8
1 POLICY BRIEF PUSAT PENELITIAN BADAN KEAHLIAN DPR RI PERKEMBANGAN UTANG LUAR NEGERI INDONESIA DAN PENGELOLAANNYA Mandala Harefa 1) dan Juli Panglima Saragih 2) Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI, Jakarta 10270 I. LATAR BELAKANG Dalam beberapa pekan terakhir ini, masyarakat terutama pemerhati ekonomi mempersoalkan besarnya utang luar negeri (foreign loan) Indonesia yang mencapai Rp4.034,8 triliun. Ada yang mengkhawatirkan dan merasa pesimis bahwa utang luar negeri tersebut berpotensi tidak bisa dibayar dan akan menjadi beban yang harus ditanggung rakyat pada masa sekarang dan yang akan datang terlebih semakin melemahnya nilai tukar rupiah. Sebaliknya, pemerintah mengaku optimis bahwa utang tersebut masih terkendali dan tidak akan membebani APBN. Bagi masyarakat umum, jumlah utang luar negeri sejumlah ribuan triliun rupiah tersebut merupakan angka yang besar dan tidak bisa dibayangkan meskipun pemerintah memastikan porsi utang luar negeri yang terus bertambah itu dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan pembangunan. Sebagai perbandingan dan mengingatkan kembali bahwa sebenarnya jika dihitung sejak era Orde Baru hingga sekarang, utang luar negeri Indonesia secara nominal memang bertambah tetapi secara rasio terus menciut atau mengecil. Saat Soeharto menjabat sebagai Presiden, utang luar negeri pemerintah tercatat mencapai Rp551,4 triliun dengan rasio 57,7% dari PDB. Sedangkan pada masa awal pemerintahan Presiden Joko Widodo (2015), utang pemerintah (utang domestik dan luar negeri) mencapai Rp4.136,39 triliun dengan rasio 29,78% terhadap PDB. Salah satu tujuan kebijakan utang yang ditempuh pemerintah adalah untuk menutup pembiayaan defisit APBN setiap tahun baik yang bersumber dari dalam maupun luar negeri. Konsekuensinya, jumlah seluruh kebutuhan pembiayaan defisit anggaran maupun untuk pemenuhan kewajiban pembayaran pokok utang dalam dan luar negeri yang jatuh tempo, Abstrak Isu utang kembali muncul setelah dipublikasikannya jumlah kumulatif utang Indonesia yang mencapai Rp4.034,8 triliun. Pemerintah menegaskan posisi utang tersebut masih dalam batas aman karena klaim kemampuan pemerintah untuk membayar utang masih kuat, rasionya terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) masih dapat dikontrol (kisaran 29,24%), dan utang diajukan masih dalam batas-batas yang diatur dalam UU No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yakni 60% dari nilai PDB. Indonesia telah melakukan utang luar negeri sejak jaman orde lama, orde baru, dan orde reformasi sehingga jumlah utang saat ini merupakan akumulasi. Peningkatan utang luar negeri Indonesia bahkan pernah mengalami trauma pada saat krisis ekonomi tahun 1998. Dampaknya terhadap pembengkakan jumlah utang akibat anjloknya kurs rupiah terhadap mata uang asing terutama dolar AS begitu kuat sehingga bunga utang terus meningkat setiap tahun. Aspek lain terkait penggunaan utang yang tidak tepat sasaran dan mengalami kebocoran juga berimplikasi serius pada beban fiskal. Merujuk pada pengalaman tersebut dan rambu-rambu aturan keuangan negara, pengawasan DPR RI terhadap pengelolaan utang luar negeri dan penggunaanya merupakan bagian penting yang harus terus dikawal dalam proses pembahasan APBN. 1) Peneliti Utama Ekonomi dan Kebijakan Publik di Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI. 2) Peneliti Madya Ekonomi dan Kebijakan Publik di Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI. Email: [email protected]

POLI CY BRIEF · 2018. 6. 4. · Rp13.798,91 triliun. Nilai nominal PDB tersebut selain mendudukkan Indonesia pada posisi ke-16 dari negara-negara dengan perekonomian terbesar di

  • Upload
    others

  • View
    1

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: POLI CY BRIEF · 2018. 6. 4. · Rp13.798,91 triliun. Nilai nominal PDB tersebut selain mendudukkan Indonesia pada posisi ke-16 dari negara-negara dengan perekonomian terbesar di

1

POLICY BRIEFPUSAT PENELITIAN BADAN KEAHLIAN DPR RI

PERKEMBANGAN UTANG LUAR NEGERI INDONESIADAN PENGELOLAANNYA

Mandala Harefa1) dan Juli Panglima Saragih2)

Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI, Jakarta 10270

I. LATAR BELAKANGDalam beberapa pekan terakhir ini,

masyarakat terutama pemerhati ekonomi mempersoalkan besarnya utang luar negeri (foreign loan) Indonesia yang mencapai Rp4.034,8 triliun. Ada yang mengkhawatirkan dan merasa pesimis bahwa utang luar negeri tersebut berpotensi tidak bisa dibayar dan akan menjadi beban yang harus ditanggung rakyat pada masa sekarang dan yang akan datang terlebih semakin melemahnya nilai tukar rupiah. Sebaliknya, pemerintah mengaku optimis bahwa utang tersebut masih terkendali dan tidak akan membebani APBN.

Bagi masyarakat umum, jumlah utang luar negeri sejumlah ribuan triliun rupiah tersebut merupakan angka yang besar dan tidak bisa dibayangkan meskipun pemerintah memastikan porsi utang luar negeri yang terus bertambah itu dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan pembangunan. Sebagai perbandingan dan mengingatkan kembali bahwa sebenarnya jika dihitung sejak era Orde Baru hingga sekarang, utang luar negeri Indonesia secara nominal memang bertambah tetapi secara rasio terus menciut atau mengecil. Saat Soeharto menjabat sebagai Presiden, utang luar negeri pemerintah tercatat mencapai Rp551,4 triliun dengan rasio 57,7% dari PDB. Sedangkan pada masa awal pemerintahan Presiden Joko Widodo (2015), utang pemerintah (utang domestik dan luar negeri) mencapai Rp4.136,39 triliun dengan rasio 29,78% terhadap PDB.

Salah satu tujuan kebijakan utang yang ditempuh pemerintah adalah untuk menutup pembiayaan defisit APBN setiap tahun baik yang bersumber dari dalam maupun luar negeri. Konsekuensinya, jumlah seluruh kebutuhan pembiayaan defisit anggaran maupun untuk pemenuhan kewajiban pembayaran pokok utang dalam dan luar negeri yang jatuh tempo,

Abstrak Isu utang kembali muncul setelah dipublikasikannya jumlah kumulatif utang Indonesia yang mencapai Rp4.034,8 triliun. Pemerintah menegaskan posisi utang tersebut masih dalam batas aman karena klaim kemampuan pemerintah untuk membayar utang masih kuat, rasionya terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) masih dapat dikontrol (kisaran 29,24%), dan utang diajukan masih dalam batas-batas yang diatur dalam UU No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yakni 60% dari nilai PDB. Indonesia telah melakukan utang luar negeri sejak jaman orde lama, orde baru, dan orde reformasi sehingga jumlah utang saat ini merupakan akumulasi. Peningkatan utang luar negeri Indonesia bahkan pernah mengalami trauma pada saat krisis ekonomi tahun 1998. Dampaknya terhadap pembengkakan jumlah utang akibat anjloknya kurs rupiah terhadap mata uang asing terutama dolar AS begitu kuat sehingga bunga utang terus meningkat setiap tahun. Aspek lain terkait penggunaan utang yang tidak tepat sasaran dan mengalami kebocoran juga berimplikasi serius pada beban fiskal. Merujuk pada pengalaman tersebut dan rambu-rambu aturan keuangan negara, pengawasan DPR RI terhadap pengelolaan utang luar negeri dan penggunaanya merupakan bagian penting yang harus terus dikawal dalam proses pembahasan APBN.

1)Peneliti Utama Ekonomi dan Kebijakan Publik di Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI.

2)Peneliti Madya Ekonomi dan Kebijakan Publik di Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI.Email: [email protected]

Page 2: POLI CY BRIEF · 2018. 6. 4. · Rp13.798,91 triliun. Nilai nominal PDB tersebut selain mendudukkan Indonesia pada posisi ke-16 dari negara-negara dengan perekonomian terbesar di

2

mengalami peningkatan yang signifikan. Nilai manfaat strategi ini adalah angka rasio defisit terhadap PDB dapat ditekan hingga di bawah 2,5%.

Hal ini disebabkan oleh membengkaknya jumlah kewajiban pembayaran pokok utang, baik utang dalam maupun luar negeri, karena sudah jatuh tempo (on-time schedule). Utang luar negeri pemerintah yang sangat besar justru menggambarkan dan menyiratkan bahwa rasio pembayaran bunga dan cicilan pokok utang luar negeri terhadap total ekspor (debt service ratio/DSR) masih tinggi.

Kekawatiran masyarakat dinilai wajar, mengingat Indonesia pernah mengalami situasi yang disebut sebagai “Fisher Paradox” dalam hubungannya dengan utang luar negerinya, yaitu situasi semakin banyak cicilan utang luar negeri dilakukan semakin besar akumulasi utang luar negerinya. Indonesia juga pernah mengalami rescheduling pembayaran utang dan bunga (outstanding and interest of loan). Hal ini disebabkan cicilan plus bunga utang luar negeri secara substansial dibiayai oleh utang baru.

Melihat tren yang meningkat dari nilai tersebut, banyak kalangan yang mulai mengkhawatirkan kemampuan pemerintah untuk membayar utangnya. Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk melihat kemampuan pemerintah dalam mengatasi beban keuangan negara adalah rasio utang terhadap PDB (debt to GDP ratio). Debt to GDP ratio merupakan rasio utang luar negeri pemerintah terhadap PDB. Rasio ini menggambarkan kesehatan penggunaan atau pengelolaan utang luar negeri oleh pemerintah. Semakin tinggi rasionya, maka utang pemerintah terlalu banyak sehingga pendapatan/produksi suatu negara tidak mampu untuk menutupi utang tersebut. UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan

Negara, khususnya di penjelasan Pasal 12 ayat 3 menegaskan bahwa jumlah utang dibatasi maksimal 60% dari PDB. Ketentuan ini menjadi acuan pemerintah untuk menyatakan aman atau tidaknya proporsi utang luar negerinya. Penetapan tingkat keamanan tersebut tidak sama dengan negara lain karena dalam perumusannya mempertimbangkan berbagai aspek, seperti rasio pajak, defisit transaksi berjalan serta kewajiban dan bunga utang.

Bila kita melihat dalam sejarah perkembangannya, utang yang merupakan instrumen dalam APBN kita selama ini. Sejak pemerintahan Presiden Soeharto hingga Presiden Jokowi, upaya menutup defisit APBN dilakukan guna menjaga agar target pembangunan nasional tercapai. Upaya tersebut dilakukan pemerintah agar dapat terus menjaga kesehatan APBN sehingga ia tetap prudent. Pemerintahan Presiden Jokowi bahkan terang-terangan menyatakan bahwa bertambahnya utang pemerintah dilakukan hanya untuk mengejar ketertinggalan Indonesia di bidang infrastruktur dari negara tetangga.

Berdasarkan data Kementerian Keuangan hingga 30 September 2017 total outstanding utang pemerintah telah mencapai Rp3.866,4 triliun atau setara US$286,5 miliar. Angka tersebut naik sekitar Rp1.257,6 triliun dibandingkan jumlah utang yang ditinggalkan pemerintahan sebelumnya di mana pada akhir 2014 lalu hanya mencapai Rp2.608,8 triliun atau rasionya terhadap PDB 24,7 persen. Jumlah utang saat ini diakui memang secara nominal meningkat dari tahun ke tahun tetapi ia juga harus dilihat secara keseluruhan karena utang digunakan untuk mengejar tujuan APBN.

Sejak krisis ekonomi yang terjadi pada 1998 Presiden Soeharto telah meninggalkan utang pemerintah sebesar Rp551 triliun atau setara US$68,7 miliar atau rasio 57,7% terhadap PDB. Kemudian, utang berlanjut di pemerintahan Presiden BJ Habibie pada akhir 1999 dengan outstanding mencapai Rp938,8 triliun atau setara US$132,2 miliar yang pada saat itu rasionya terhadap PDB mencapai 85,4%. Lalu, Presiden Gus Dur pada akhir 2001 naik menjadi Rp1.232,8 triliun yang rasio terhadap PDB-nya mencapai 77,2%. Sementara itu, pada era Presiden Megawati utang yang ditinggalkan mencapai Rp1.298 triliun atau setara US$139,7 miliar pada 2004. Dan pada era Presiden SBY selesai utang ditinggalkan sebesar Rp2.608,8 triliun (lihat Tabel 1).

II. PEMBAHASANUtang sebuah negara (domestik dan luar

negeri) merupakan bagian yang tidak terpisahkan untuk menggerakkan roda pemerintahan setiap negara terutama untuk membiayai pembangunan. Bahkan negara sebesar Amerika Serikat (AS), Jepang atau Arab Saudi juga membutuhkan

Tabel 1. Jumlah dan Rasio Utang Pemerintah Sejak Era Soeharto Hingga Era Jokowi

Pemerintah Tahun Jumlah Utang (Triliun Rupiah)

Rasio Utang terhadap PDB

(%)

Era Soeharto 1998 551,4 57,7

Era Habibie 1999 938,8 85,4

Era Gus Dur 2000 1.232,8 88,7

2001 1.271,4 77,2

Era Megawati 2002 1.223,0 67,2

2003 1.230,0 61,1

2004 1.298,0 56,5

Era SBY 2005 1.311,7 47,3

2009 1.590,7 28,3

2014 2.608,8 24,7

Era Jokowi 2015 3.165,2 27,4

2016 3.466,9 27,5

Sumber: Kemeneterian Keuangan, 2017

Page 3: POLI CY BRIEF · 2018. 6. 4. · Rp13.798,91 triliun. Nilai nominal PDB tersebut selain mendudukkan Indonesia pada posisi ke-16 dari negara-negara dengan perekonomian terbesar di

3

utang dalam mengelola negara. Dalam memacu perekonomiannya, negara-negara besar pun justru membutuhkan utang luar negeri. Jadi sebenarnya kebutuhan akan utang luar negeri bagi suatu negara memang menjadi bagian inheren (hubungan erat) dari pengelolaan negara. Demikian juga dengan AS dan Jepang juga masih memiliki utang termasuk utang luar negeri.

Dalam menjalankan pembangunan negara, bila pemerintah lebih banyak melakukan pengeluaran daripada mengumpulkan dana melalui pajak, pemerintah akan meminjam dari berbagai negara atau sektor swasta (luar negeri) untuk mendanai defisit anggaran (Mankiw, 2007: 420). Banyak pemerintah di negara dunia ketiga menginginkan untuk mendapatkan modal asing dalam menunjang pembangunan nasionalnya tetapi tidak semua berhasil mendapatkannya. Kalau pun berhasil jumlah yang didapat akan bervariasi tergantung pada beberapa faktor. Seperti yang dikatakan oleh Jhingan (1983: 643-646), beberapa faktor tersebut antara lain:1) Ketersediaan dana dari negara kreditur yang

umumnya adalah negara-negara industri maju.2) Daya serap negara penerima (debitur). Artinya,

negara debitur akan mendapat bantuan modal asing sebanyak yang dapat digunakan untuk membiayai investasi yang bermanfaat.

3) Ketersediaan sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM) di negara penerima. Karena tanpa ketersediaan yang cukup dari kedua sumberdaya tersebut dapat menghambat pemanfaatan modal asing secara efektif.

4) Kemampuan negara penerima bantuan untuk membayar kembali (repayment).

5) Kemauan dan usaha negara penerima untuk membangun.

Namun perlu dipahami bahwa, modal atau utang yang diterima dari luar negeri tidak dengan sendirinya memberikan hasil, kecuali jika disertai dengan usaha untuk memanfaatkan dengan benar oleh negara penerima. Sebagaimana dikatakan Nurkse, bahwa modal sebenarnya lebih baik diciptakan dan bersumber utama dari dalam negeri sehingga peran modal atau investasi dari luar negeri hanya sebagai pelengkap atau cadangan (reserve) untuk memobilisasi dan mempercepat pergerakan ekonomi suatu negara (Nurkse, 1961: 83)

Besarnya jeratan utang luar negeri dan ancaman defisit anggaran pemerintah membawa dampak yang buruk terhadap perekonomian. Hal ini disebabkan penerimaan pajak dan pengeluaran pemerintah yang tidak sebanding. Dapat dilihat dari masih rendahnya penerimaan pajak, sedangkan pengeluaran pemerintah yang masih besar karena kebutuhan impor barang-barang modal masih tinggi (Crouch, 1997:14).

II.1. Posisi Terakhir Utang Luar Negeri Pemerintah

Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang didorong melalui pelaksanaan paket-paket kebijakan rekonomi serta reformasi struktural, menempatkan PDB Indonesia pada tahun 2018 menjadi sebesar Rp13.798,91 triliun. Nilai nominal PDB tersebut selain mendudukkan Indonesia pada posisi ke-16 dari negara-negara dengan perekonomian terbesar di kelompok G-20. Di samping itu, ia juga menunjukkan kekuatan perekonomian Indonesia dalam mengelola total utang luar negeri (mencapai 29,24% dari PDB per akhir bulan Februari 2018) itu relatif baik.

Jumlah utang pemerintah di atas masih terjaga pada level yang relatif aman dan lebih rendah dari batas sebagaimana yang ditetapkan dalam UU Keuangan Negara. Jika dibandingkan dengan negara yang setara dengan Indonesia (peer-countries) seperti Vietnam (63,4 persen), Thailand (41,8 persen),Malaysia (52,7 persen), Brazil (81,2 persen), Nikaragua (35,1 persen) ataupun Irlandia (72,8 persen), maka Indonesia mempunyai total utang terhadap PDB yang relatif kecil. Seiring dengan membaiknya fundamental perekonomian dan peringkat kredit perbankan Indonesia, minat dan kepercayaan investor terhadap instrumen keuangan Indonesia semakin meningkat. Hal ini membawa dampak langsung terhadap semakin menurunnya biaya Utang yang ditunjukkan oleh tren penurunan yield seperti surat berharga negara (SBN).

Dari segi komposisi Utang, selama beberapa waktu ini jumlah utang luar negeri yang berasal dari kreditur Komersial mengalami pertumbuhan yang negatif, dari Rp45,22 triliun pada akhir bulan Februari 2017 menjadi Rp43,32 triliun per akhir Februari 2018 atau sebesar -4,21% (yoy). Sementara itu untuk utang luar negeri yang berasal dari kreditur multilateral mengalami peningkatan 8,15% (yoy), dari Rp366,18 triliun di akhir Februari 2017 menjadi Rp396,02 triliun pada akhir bulan Februari 2018. Adanya pergeseran pada kedua jenis utang luar negeri tersebut menunjukkan upaya pemerintah untuk mencapai efisiensi pemanfaatan Utang.

Dalam upaya mendukung pembiayaan defisit APBN, pemerintah melakukannya secara terukur, mengutamakan efisiensi biaya, dan selaras dengan upaya pengembangan pasar keuangan. Pada akhir Februari 2018, posisi Utang luar negeri pemerintah harus terjaga pada level 29,2 persen terhadap PDB*) yang masih di bawah batas yang ditetapkan UU Keuangan Negara sebesar 60 persen (Tabel 2).

Dalam hal ini pemerintah masih mengandalkan utang luar negeri multilateral yang biayanya relatif lebih murah dibandingkan dengan utang komersial seperti kredit ekspor. Di samping itu, utang luar negeri multilateral juga memiliki lebih banyak

Page 4: POLI CY BRIEF · 2018. 6. 4. · Rp13.798,91 triliun. Nilai nominal PDB tersebut selain mendudukkan Indonesia pada posisi ke-16 dari negara-negara dengan perekonomian terbesar di

4

Tabel 2. Posisi Utang Luar Negeri Pemerintahper Akhir Februari 2018 (Rp Triliun)

KeteranganNominal Pertumbuhan

(yoy, %)Persentase

(%)Feb 2017 Feb 2018

Total Utang Pemerintah Pusat 3556,11 4034,80 13,46 100,00

a. Utang 734,98 777,54 5,79 19,27

1. Utang Luar Negeri 729,66 771,76 5,77 19,13

• Bilaterai 318,19 331,24 4,10 8,21

• Multilateral 366,18 396,02 8,15 9,82

• Komersial 45,22 43,32 -4,21 1,07

• Suppliers 0,07 1,17 1544,13 0,03

2. Utang Dalam Negeri 5,32 5,78 8,75 0,14

b. Surat Berharga Negara (SBN) 2821,12 3257,26 15,46 80,73

1. Denominasi Rupiah 2057,67 2359,47 14,67 62,62

2. Denominasi Valas 763,45 897,78 17,60 18,11

Pendapatan Domestik Bruto (PDB)**

13.798,91

Rasio Utang terhadap PDB 29,24%

Keterangan: ** Asumsi PDB hingga 28 Feb 2018Sumber: APBN KITA (Kinerja dan Fakta) Edisi Maret 2018

Sementara itu, dalam periode 2013-2016 pembayaran bunga utang untuk instrumen utang luar negeri mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 1,6% tahun, yaitu dari Rp14,3 triliun pada tahun 2013 menjadi sebesar Rp15,0 triliun pada tahun 2016. Selanjutnya, pembayaran bunga utang untuk instrumen utang luar negeri pada outlook 2017 dialokasikan sebesar Rp16,3 triliun atau mengalami kenaikan sebesar 8,7% dari realisasinya pada tahun 2016. Kenaikan pembayaran bunga utang untuk instrumen utang luar negeri tersebut antara lain disebabkan oleh pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat dan mata uang dunia lainnya seperti Yen dan Euro, serta tambahan pengadaan utang baru. Perkembangan Program Pengelolaan Utang Negara (P3HN) untuk pembayaran bunga utang tahun 2013—2017 (Gambar 1).

2.500

2.000

1.500

1.000

500

0 2013 2014 2015 2016 Outlook 2017

Gambar 1. Program Pengelolaan Utang Negara Untuk Pembayaran Bunga (2013-2017)Sumber: Nota Keuangan dan APBN Tahun 2018, Kementerian Keuangan, Tahun 2018

keuntungan seperti adanya alih teknologi serta sharing knowledge dan expertise yang diberikan oleh lembaga-lembaga kreditur multilateral. Keuntungan yang diberikan tersebut masih dibutuhkan Indonesia dalam menangani isu-isu pembangunan yang terkait dengan reformasi struktural dan sektoral. Keuntungan yang didapatkan ini sejalan dengan agenda lembaga donor multilateral tersebut dalam program pembangunan global yang secara langsung terkait dengan program-program pembangunan di dalam negeri yang produktif, seperti kesehatan, pendidikan, perlindungan sosial, infrastruktur, Proyek Pengembangan dan Perbaikan Mutu Perguruan Tinggi (P3MPT) di Indonesia seperti pada Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya dan Universitas Negeri Padang.

II.2. Realisasi Pembayaran Bunga dan Cicilan Utang

Realisasi pembayaran bunga utang lebih didominasi oleh instrumen utang dalam negeri, yang secara nominal mengalami pertumbuhan rata-rata 19,3% per tahun, dari sebesar Rp98,7 triliun pada tahun 2013 menjadi sebesar Rp167,8 triliun pada tahun 2016. Selanjutnya, pembayaran bunga Utang untuk instrumen Utang dalam negeri pada outlook tahun 2017 dialokasikan sebesar Rp202,3 triliun, atau mengalami peningkatan sebesar 20,6% terhadap realisasinya pada tahun 2016. Besarnya pertumbuhan dari pembayaran bunga Utang dalam negeri tersebut sejalan dengan komitmen pemerintah untuk mengoptimalkan potensi pendanaan Utang dari sumber dalam negeri terutama dari SBN.

Page 5: POLI CY BRIEF · 2018. 6. 4. · Rp13.798,91 triliun. Nilai nominal PDB tersebut selain mendudukkan Indonesia pada posisi ke-16 dari negara-negara dengan perekonomian terbesar di

5

Kementerian Keuangan mengakui bahwa terjadi pembengkakan utang pemerintah Indonesia sebesar Rp10,9 triliun selama 2017 akibat pelemahan nilai tukar rupiah yang sudah menembus 14.000 per dolar AS. Dengan kenaikan jumlah utang tersebut, maka total outstanding utang pemerintah saat ini menjadi sekitar Rp4.147,29 triliun. Dibanding posisi per Maret 2018 yang sebesar Rp4.136,39 triliun. Peningkatan jumlah utang pokok tersbrut adalah akibat currency missmatch, jika menggunakan kurs Rp13.400 sesuai APBN, maka pemerintah wajib membayar sekitar Rp121,9 triliun.

Seperti diketahui, pembayaran bunga utang dilakukan untuk memenuhi kewajiban pemerintah atas penggunaan utang (principal outstanding), baik terhadap outstanding utang yang lampau yang bersifat baseline, maupun perkiraan tambahan utang baru termasuk di dalamnya biaya-biaya yang timbul akibat pengelolaan utang (pembayaran bunga utang bruto dan fee). Sementara itu, pembayaran bunga Utang netto merupakan pembayaran bunga utang bruto setelah memerhitungkan premium/gain. Besaran pembayaran bunga utang diperkirakan mencapai 5,5% terhadap outstanding utang pemerintah dalam outlook tahun 2017, yang berarti mengalami kenaikan 0,7% dari persentase pembayaran bunga utang terhadap outstanding utang pada tahun 2013.

Kecenderungan peningkatan pembayaran bunga utang selama periode 2013-2017 tersebut sangat dipengaruhi oleh fluktuasi tingkat bunga utang dan nilai tukar mata uang. Selain itu, mengingat instrumen utang didominasi oleh SBN berbunga tetap, maka pembayaran bunga utang saat ini juga dipengaruhi tingkat kupon SBN yang telah diterbitkan pada periode lampau.

II.3. Pengelolaan Utang Luar Negeri Jangka Panjang

Menurut aliran Neoklasik, utang termasuk utang luar negeri merupakan suatu hal yang sangat positif. Hal ini disebabkan dana utang luar negeri dapat menambah cadangan devisa, mengisi kekurangan tabungan pemerintah sebagai modal yang sangat membantu pertumbuhan ekonomi suatu negara. Namun utang luar negeri akan menjadi masalah ketika utang tersebut tidak dikelola dengan baik dan benar.

Indonesia juga sudah menuju ke arah yang sama. Saat ini dari total utang yang dimiliki, 80% berasal dari Surat Berharga Negara (SBN) dalam denominasi rupiah yang diperdagangkan di pasar uang. Komposisinya adalah 60% dimiliki rakyat Indonesia dan 40% investor asing. Jadi, sejumlah 48% dari total utang adalah utang dari masyarakat. Bahkan pemerintah juga makin memperluas instrumen Utang seperti Sukuk Ritel dan SBN Ritel, agar masyarakat luas dapat ikut menempatkan dana investasinya di surat utang pemerintah

(SBN). Sisanya 52% berasal dari luar negeri dengan komposisi 32% SBN dibeli investor asing plus 20% adalah utang langsung.

Melalui kebijakan disiplin anggaran, reformasi perpajakan dan membaiknya perekonomian dalam negeri, pemerintah akan terus mengupayakan penurunan keseimbangan primer (primary balance) dalam APBN agar dapat mencapai surplus, sehingga beberapa tahun ke depan Indonesia tidak lagi mengajukan utang baru. Bila melihat secara konsep maka utang seharusnya memiliki waktu yang panjang dalam proses maupun dalam pengembaliannya yakni Original Maturity Period utang yang dihitung mulai dari timbulnya kewajiban pembayaran bunga utang sampai dengan utang tersebut jatuh tempo (outstanding payment).

Dalam pengelolaan utang, pemerintah sebenarnya telah melakukan perencanaan dan proyeksi termasuk SBN pada tahun 2018 ini. Komposisi utang akan bertumpu pada SBN di mana pada tahun 2018 sebesar Rp324 Triliun dan utang luar negeri sebesar Rp72 Triliun. Dalam pengelolaan utang tersebut disekariokan bahwa 30 tahun ke depan komposisi utang semakin berkurang. Demikian pula pada tahun-tahun berikutnya pada tahun 2019 diproyeksikan Rp274 Triliun dan utang Rp 82Triliun (Gambar 2) .

Dari gambaran tersebut, pengelolaan utang saat ini dan selamjutmya dari 100 persen utang, 80 persen berasal dari Surat Berharga Negara (SBN) dalam Rupiah yang diperdagangkan di market. Komposisinya adalah 60 persen dimiliki rakyat Indonesia dan 40 persen investor asing. Jadi, sejumlah 48 persen dari total utang adalah utang dari masyarakat. Bahkan pemerintah juga makin memperluas instrumen utang seperti Sukuk ritel dan SBN ritel agar masyarakat luas dapat ikut menempatkan dana investasinya di surat utang pemerintah. Sisanya yang 52 persen dari luar dengan komposisi 32 persen SBN yang dibeli asing plus 20 persen utang langsung.

Kebijakan pengelolaan utang telah dibahas bersama DPR dan disampaikan dan dibahas secara lengkap dan transparan dengan DPR yang merupakan perwakilan seluruh masyarakat serta partai politik. Utang Indonesia juga diaudit oleh BPK dan selalu dinilai oleh semua rating agencies dan oleh para kreditor di dalam negeri dan dari global. Artinya pemerintah terus menjaga pengelolaan utang negara secara hati-hati dan bertanggung jawab dan mengikuti kaedah rambu-rambu pengelolaan utang secara prudent dan bijaksana dengan tata kelola yang baik dan profesional. Namun demikian, dalam pelaksanaanya harus tetap diawasi Ini adalah pertanggung-jawaban pemerintah kepada rakyatnya dimana pemerintah harus bekerja secara profesional dan transparan dalam mengelola keuangan negara.

Page 6: POLI CY BRIEF · 2018. 6. 4. · Rp13.798,91 triliun. Nilai nominal PDB tersebut selain mendudukkan Indonesia pada posisi ke-16 dari negara-negara dengan perekonomian terbesar di

6

III. REKOMENDASIUtang luar negeri bermanfaat jika dikelola dan

digunakan dalam kegiatan bersifat produktif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi (PDB), seperti pembangunan berbagai infrastruktur terutama fisik. Meski demikian, pengelolaan Utang khususnya Utang luar negeri harus tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian (prudent approach).

Selain mengikuti batasan yang telah ditetapkan dalam undang-undang, pengelolaan utang pun harus melihat lebih dalam kemampuan keuangan negara untuk membayar utang pokok dan bunganya. Di sisi lain, rasio penerimaan pajak terhadap PDB yang dua tahun terakhir (2016-2017) cenderung menurun dan masih berada dalam kondisi memprihatinkan, yaitu 10,76% untuk tahun 2015 dan 10,36% pada tahun 2016. Padahal, rasio pajak ini merupakan indikator penting yang harus dipertimbangkan dalam menentukan apakah utang luar negeri pemerintah masih aman atau tidak. Pajak merupakan salah satu yang utama sumber pemasukan yang akan digunakan untuk membayar Utang pemerintah.

Tidak dapat dipungkiri bahwa pembiayaan melalui utang memiliki biaya dan risiko, untuk itu pemerintah harus bersungguh-sungguh dalam mengelola utang secara hati-hati (prudent) dan akuntabel. Pengelolaan utang yang secara hati-hati ini ditunjukkan dengan menjaga jumlah Utang pada batas yang aman serta mengendalikan portfolio utang untuk mencapai biaya yang rendah pada tingkat risiko yang minimal. Sedangkan dalam mengelola utang yang akuntabel, pemerintah benar-benar memperhitungkan bahwa setiap rupiah utang yang dilakukan pemerintah harus dimanfaatkan untuk membiayai kegiatan yang sifatnya produktif dan investasi dalam jangka panjang

yang tidak dapat ditunda pelaksanaannya agar tidak menimbulkan kerugian

Seharusnya peningkatan jumlah utang luar negeri hendaknya juga menjadi perhatian khusus DPR RI selain pemerintah. Hal ini terkait dengan sejauhmana pemerintah konsisten menerapkan ketentuan dalam UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. DPR dapat mengkritisi proposal utang baru dan mendesak pemerintah untuk segera menganalisa seberapa besar kemampuan pemeirntah mencicil dan berpikir ulang untuk melakukan penarikan utang luar negeri baru dengan pertimbangan fluktuasi nilai kurs rupiah dan kemampuan fiskal. Di samping itu, perlu diperhatikan perkembangan kurs rupiah terhadap nilai tukar dolar, tingkat pendapatan sektor pajak yang tidak mencapai target dan defisit perdagangan yang semakin tinggi maka pengajuan utang luar negeri baru justru akan membebani APBN ke depan.

Pemerintah juga harus berhati-hati dalam mengelola utang dengan menekankan pemanfaatannya untuk sektor-sektor produktif yang mampu menghasilkan penerimaan Negara dan memacu pertumbuhan ekonomi (PDB) agar dapat menarik investor. Di sisi penerimaan, DPR harus terus memantau dan mengawasi untuk memastikan apakah pemerintah mampu mengelola utang luar negeri dengan tidak mencoba meminta rescheduling. Seperti diketahui, penerimaan pajak sampai saat ini masih menjadi sumber utama pendapatan negara dalam APBN. Namun pada tahun 2017 lalu, sayangnya penerimaan pajak tidak memenuhi target walaupun telah dilakukan program pengampunan pajak (tax amnesty).

Gambar 2. Realisasi dan Proyeksi Utang Pemerintah (2018- 2055)Sumber: Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Resiko, Kemenkeu Januari 2018

350

300

250

200

150

100

50

2018

2019

2020

2021

2022

2023

2024

2025

2026

2027

2028

2029

2030

2031

2032

2033

2034

2035

2036

2037

2038

2038

2040

2055

ProyeksiRealisasi

Page 7: POLI CY BRIEF · 2018. 6. 4. · Rp13.798,91 triliun. Nilai nominal PDB tersebut selain mendudukkan Indonesia pada posisi ke-16 dari negara-negara dengan perekonomian terbesar di

7

DAFTAR REFERENSIBank Indonesia. (2018). Statistik Utang Luar Negeri

Indonesia. Jakarta: Penerbit Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan.

Crouch, R. L. (1997). “Economic Development, Foreign Aid, and Neo Classical Growth”, Journal of Development Studies.

FaktaNews. (2018). “Ini Penjelasan untuk Meredam Gonjang-ganjing Utang Pemerintah”, https://fakta.news/berita/ini-penjelasan-untuk-meredam-gonjang-ganjing-utang-pemerintah, diakses 21 Maret 2018.

Jhingan, M. L. (1983). The Economic of Development and Planning, Sixteenth Edition. Rev. ed. New Delhi: Vicas Publishing House Ltd.

Krugman, Paul R, dan Maurice Obstfeld. (2000). Ekonomi Internasional, Teori dan Kebijakan. Jakarta: Rajawali Pers.

Kementerian Keuangan RI. (2018). Nota Keuangan Beserta Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2018, Buku II. Jakarta: Kementerian Keuangan RI.

Kementerian Keuangan RI. (2018). Profil Utang dan Penjaminan Utang Pemerintah Pusat. Jakarta: Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Resiko, Kementerian Keuangan RI.

Kompas. (2018). “Bagaimana Posisi Utang Indonesia?”, https://nasional.kompas.com/read/2018/03/18/19555721/bagaimana-posisi-utang- indonesia, diakses 18 Maret 2018.

Kompas. (2018). “Bagaimana Posisi Utang Indonesia?”, https://nasional.kompas.com/read/2018/03/18/19555721/bagaimana-posisi-utang-indonesia, diakses 18 Maret 2018.

Kompas. (2018). “Faisal Basri: Tidak Ada Negara yang Tidak Berutang”, https://ekonomi.kompas.com/read/2018/03/21/152809626/faisal-basri-tidak-ada-negara-yang-tidak-berutang, diakses 20 April 2018.

Kompas. (2018). “Dolar AS tembus Rp 14.000 pembayaran Utang Indonesia membengkak”, h t t p s : / / e k o n o m i . k o m p a s . c o m /read/2018/05/08/131400926/dollar-as-tembus-rp-14.000-pembayaran-utang-indonesia-membengkak, diakses 8 Mei 2018.

MetroTV (2018). “Utang Indonesia dan ibarat memiliki sebuah-rumah”, http://news.metrotvnews.com/read/2018/04/18/862094/, diakses 20 April 2018.

Mankiw, N. Gregory. (2007). Makroekonomi, Edisi Keenam. Jakarta: Erlangga.

Prasetiantono, A. Tony. (2018). “Utang Luar Negeri”, Kompas, 20 Maret 2018.

R. Nurkse. (1961). Problems of Capital Formation in Underdeveloped Countries. Oxford: Blackwell. La

mpi

ran

:

Tabe

l 3.

Prof

il U

tang

Jat

uh T

empo

Beb

erap

a Je

nis

Uta

ng lu

ar n

eger

i (20

18-2

030)

Pro

fil J

atu

h T

emp

o (M

atu

rity

pro

file

)20

1820

1920

2020

2120

2220

2320

2420

2520

2620

2720

2820

2920

30

Uta

ng/L

oans

72.4

581

.68

80.3

668

.07

62.1

653

.50

44.6

540

.74

34.9

631

.08

27.4

723

.54

22.3

1

Uta

ng D

alam

Neg

eri/

Dom

esti

c Lo

ans

1.39

1.39

1.18

0.77

0.50

0.21

0.07

----

----

----

Uta

ng L

uar

Neg

eri/

Ext

erna

l Loa

ns71

.06

80.2

979

.18

67.2

961

.66

53.2

944

.58

40.7

434

.96

31.0

827

.47

23.5

422

.31

Sura

t Ber

harg

a N

egar

a /

Deb

t Sec

urit

ies

323.

5227

4.07

166.

7321

8.00

221.

9016

2.19

232.

8712

5.96

182.

7419

1.30

76.9

499

.89

28.5

9

Sura

t Ber

harg

a N

egar

a/Se

curi

ties

216.

7416

2.03

104.

9318

2.02

188.

2413

9.44

210.

5595

.32

159.

0316

0.41

76.9

496

.04

26.4

2

Dom

estik

/ D

omes

tic

Cur

renc

y18

8.30

123.

2762

.30

127.

4113

7.76

81.3

116

6.07

41.3

912

5.84

129.

9352

.68

96.0

426

.42

Val

as /

For

eign

Cur

renc

y28

.45

38.7

642

.63

54.6

150

.48

58.1

344

.47

53.9

333

.19

30.4

824

.26

____

Sura

t Ber

harg

a Sy

aria

h N

egar

a /

Suku

k10

6.78

112.

0561

.80

35.9

833

.66

22.7

522

.32

30.6

423

.71

30.8

8__

3.86

2.18

Dom

estik

/ D

omes

tic

Cur

renc

y93

.23

91.7

361

.80

25.8

26.

5622

.75

2.00

3.55

__3.

79__

3.86

2.18

Val

as /

For

eign

Cur

renc

y13

.55

20.3

2__

10.1

627

.10

__20

.32

27.1

023

.71

27.1

0__

____

Gra

nd T

otal

395.

9735

5.76

247.

0828

6.07

284.

0621

5.69

277.

5216

6.70

217.

7022

2.38

104.

4112

3.43

50.9

0

Sum

ber:

Dit

jen

Pen

gelo

laan

Pem

biay

aan

dan

Res

iko,

Kem

neke

u, Ja

nuar

i 201

8

Page 8: POLI CY BRIEF · 2018. 6. 4. · Rp13.798,91 triliun. Nilai nominal PDB tersebut selain mendudukkan Indonesia pada posisi ke-16 dari negara-negara dengan perekonomian terbesar di