15
Pluralisme agama merupakan kesadaran manusia akan kemajemukan agama dan secara aktif menjaga keanekaragaman tersebut serta melakukan kerjasama antar pemeluk agama dalam kerangka menjaga keseimbangan dunia bagi kebajikan. Untuk meembentuk sikap sebagaimana diharakan diatas maka pluralisme agama harus didikkan kepada para perserta didik. Pluralisme agama merupakan kesadaran manusia akan kemajemukan agama dan secara aktif menjaga keanekaragaman tersebut serta melakukan kerjasama antar pemeluk agama dalam kerangka menjaga keseimbangan dunia bagi kebajikan. Untuk meembentuk sikap sebagaimana diharakan diatas maka pluralisme agama harus didikkan kepada para perserta didik. Menganggap agama sebagai “religious experience” atau “human respons” adalah hal yang jamak dalam masyarakat barat, yang berarti menafikan mentah-mentah kemungkinan datangnya agama dari Zat Yang Maha Agung (Tuhan). Istilah-istilah reduksionistik seperti di atas, dipakai oleh banyak ahli berbagai disiplin ilmu di barat sejak permulaan abad ke-20, antara lain James William, Wach Joachim, Ninian Smart dan Wayne Proudfoot. Seorang orientalis terkemuka Wilfred Cantwell Smith, mengusulkan dua terminologi baru untuk agama yang bertendensi sama dengan istilah-istilah di atas, salah satunya adalah “Commulative Traditions” yang ia definisikan sebagai: “Tradisi yang terhimpun dalam sejarah manusia sebagai hasil interaksi antara berbagai kumpulan dari anasir keagamaan dan budaya yang hidup, seperti keyakinan, ritus, ritual, teks suci dan tafsirnya, mitos, seni, dan sebagainya sehingga membentuk suatu sistem tersendiri yang karakteristik yang selanjutnya disebut tradisi hindu atau Budha, Yahudi, Kristen, Islam, dan sebagainya” (W.C. Smith, The Meaning and End of Religion dalam Dr, Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama, hal. 74) Tampak jelas gagasan Smith tersebut berangkat dari ketidak percayaannya bahwa agama secara genuine bersumber dari Tuhan, sehingga menurut pandangannya agama tidak memiliki esensi sama sekali. Terminologi commulative traditions Smith, menggiring kita

Pluralisme Agama Merupakan Kesadaran Manusia Akan Kemajemukan Agama Dan Secara Aktif Menjaga Kean

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Pluralisme Agama

Citation preview

Page 1: Pluralisme Agama Merupakan Kesadaran Manusia Akan Kemajemukan Agama Dan Secara Aktif Menjaga Kean

Pluralisme agama merupakan kesadaran manusia akan kemajemukan agama dan secara aktif menjaga keanekaragaman tersebut serta melakukan kerjasama antar pemeluk agama dalam kerangka menjaga keseimbangan dunia bagi kebajikan. Untuk meembentuk sikap sebagaimana diharakan diatas maka pluralisme agama harus didikkan kepada para perserta didik. Pluralisme agama merupakan kesadaran manusia akan kemajemukan agama dan secara aktif menjaga keanekaragaman tersebut serta melakukan kerjasama antar pemeluk agama dalam kerangka menjaga keseimbangan dunia bagi kebajikan. Untuk meembentuk sikap sebagaimana diharakan diatas maka pluralisme agama harus didikkan kepada para perserta didik.

Menganggap agama sebagai “religious experience” atau “human respons” adalah hal yang jamak dalam masyarakat barat, yang berarti menafikan mentah-mentah kemungkinan datangnya agama dari Zat Yang Maha Agung (Tuhan).

Istilah-istilah reduksionistik seperti di atas, dipakai oleh banyak ahli berbagai disiplin ilmu di barat sejak permulaan abad ke-20, antara lain James William, Wach Joachim, Ninian Smart dan Wayne Proudfoot.   Seorang orientalis terkemuka Wilfred Cantwell Smith, mengusulkan dua terminologi baru untuk agama yang bertendensi sama dengan istilah-istilah di atas, salah satunya adalah “Commulative Traditions” yang ia definisikan sebagai: “Tradisi yang terhimpun dalam sejarah manusia sebagai hasil interaksi antara berbagai kumpulan dari anasir keagamaan dan budaya yang hidup, seperti keyakinan, ritus, ritual, teks suci dan tafsirnya, mitos, seni, dan sebagainya sehingga membentuk suatu sistem tersendiri yang karakteristik yang selanjutnya disebut tradisi hindu atau Budha, Yahudi, Kristen, Islam, dan sebagainya” (W.C. Smith, The Meaning and End of Religion dalam Dr, Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama, hal. 74)   Tampak jelas gagasan Smith tersebut berangkat dari ketidak percayaannya bahwa agama secara genuine bersumber dari Tuhan, sehingga menurut pandangannya agama tidak memiliki esensi sama sekali. Terminologi commulative traditions Smith, menggiring kita pada sejumlah isu yang sangat krusial antara lain berkaitan dengan eksistensi agama-agama, masa depan agama-agama, juga persoalan hak dan bathil yang didefinisikan agama-agama, sebagaimana yang memang dikehendaki oleh para eksponen humanisme sekular pada umumnya.   Walaupun istilah commulative traditions sendiri belum begitu dikenal oleh mesyarakat Indonesia pada umumnya, tapi kecenderungan masyarakat kita untuk menyamakan antara agama dengan tradisi telah berlangsung lama. Hanya saja seiring arus globalisasi dan peningkatan intensitas diskursus pluralisme agama khususnya, kecenderungan tersebut semakin meningkat pula..   Ketika agama disamakan dengan tradisi, maka ibadah yang dilakukan seseorang tidak akan memberikan kontribusi apa-apa terhadap prilaku/akhlak seseorang. Hal itu disebabkan ibadah yang semula bernilai sakral (bernilai keTuhan-an), telah menjadi sekadar kegiatan untuk penegasan identitas pelakunya semata (terkadang juga menjadi ajang cari muka tentunya). Umpamanya ibadah haji, umrah, sedekah, pelaksanaan MTQ dan sebagainya telah menjadi sekadar kegiatan untuk menegaskan ke-Indonesiaan/kesukuan pelakunya. Dan kerena menganggap ibadah-ibadah tersebut tidak memiliki nilai keTuhan-an (tidak sakral), maka faktor halal-haramnya dana untuk pelaksanaan ibadah-ibadah tersebut menjadi tidak penting.

Page 2: Pluralisme Agama Merupakan Kesadaran Manusia Akan Kemajemukan Agama Dan Secara Aktif Menjaga Kean

  Hal-hal seperti di atas sangat mudah ditemukan dalam masyarakat kita, yang menunjukkan bahwa kecenderungan menyamakan antara agama dan tradisi telah menjadi lebih dari sekadar gejala dalam masyarakat kita. Bahkan terkadang agama bukan hanya mereka samakan dengan tradisi, tetapi diletakkan pada posisi yang lebih rendah dari tradisi. Kita dapat melihat misalnya; disatu sisi alasan tradisi (budaya) begitu getol diusung oleh fihak-fihak tertentu untuk menolak undang-undang pornoaksi. Sementara disisi lainnya tidak banyak yeng berani menggunakan alasan agama untuk mendukung undang-undang tersebut. Ini merupakan indikasi bahwa dalam konteks tertentu dalam masyarakat kita, kedudukan agama telah berada di bawah tradisi (budaya).   Faktor Penyebab

Faktor internal penyebab seseorang menyamakan antara agama dan tradisi (bahkan lebih rendah dari tradisi) adalah karena seseorang menjadi penganut agama tertentu hanya karena agama tersebut diwariskan padanya, bukan karena keimanannya atau pilihannya terhadap agama tersebut (efek agama warisan). Ini adalah problem yang harus dihadapi oleh semua agama di seluruh dunia, bukan hanya Islam saja. Sedangkan faktor eksternalnya adalah pengaruh globalisasi, baik globalisasi tak alami (ghazwul fikri/perang pemikiran) dengan mekanisme paling ampuhnya (licik) yaitu sekularisme, maupun globalisasi alami. Dan pada level tertentu kecenderungan menyamakan antara agama dengan tradisi inilah yang diidentifikasikan oleh para peneliti dan analis pada umumnya sebagai krisis “religious disorientation”.   Oleh karena itu kurang tepat kiranya pendapat yang mengatakan bahwa revolusi politik di barat (demokrasi liberal dan pluralisme politik sejak abad ke-18) di satu sisi dan di timur (komunisme atheis) di sisi lainnya, yang menjadi penyebab terjadinya krisis religious disorientation di seluruh dunia, tanpa mempertimbangkan faktor internal “efek agama warisan” di atas.   Kita dapat melihat misalnya bagaimana ulama periode klasik seperti Al-Ghazali, menunjukkan kegelisahan yang luar biasa terhadap krisis religious disorientation yang terjadi pada masanya, padahal dunia pada saat itu belumlah menjelma menjadi “global village” seperti yang kita kenal sekarang ini. Bahkan anjuran Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin-nya agar seorang muslim yang menginjak usia baliqh untuk mengulang kembali syhahadatnya, dapat dipandang sebagai upaya Ghazali untuk menetralisir “efek agama warisan” di atas.   Sanggahan terhadap terminologi Smith Tuhan mengintervensi kehidupan manusia lewat perangkat wahyu (revelation) dalam jumlah yang memadai, yang selanjutnya membentuk sebuah sistem submission (kepasrahan) yang memadai pula berupa ritual, hukum, panduan, tata cara, dan sebagainya yang kita kenal sebagai agama. Selama wahyu-wahyu pembentuk sistem submission tersebut otentik dan dalam jumlah yang memadai, maka ia layak disebut agama. Sebaliknya jika wahyu-wahyu pembentuk sistem submission tersebut tidak otentik atau dalam jumlah yang tidak memadai, maka ia tak layak disebut agama.   Terkait hal tersebut, Syed Muhammad Naquib Al-Attas seorang pemikir besar Islam dan pendiri ISTAC mengatakan, tata cara dan bentuk penyerahan diri (submission) kepada Tuhan yang

Page 3: Pluralisme Agama Merupakan Kesadaran Manusia Akan Kemajemukan Agama Dan Secara Aktif Menjaga Kean

terdapat dalam satu agama, pasti terkait konsep Tuhan dalam agama itu. Konsepsi tentang Tuhan haruslah memadai untuk menjelaskan hakikat Tuhan yang sebenarnya, yang hanya mungkin didapat dari wahyu (revelation), bukan dari tradisi etnis atau budaya, atau dari ramuan antara tradisi etnis, budaya dan wahyu, atau dari spekulasi filosofis. (Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Prolegomena to The Metaphysics of Islam, dalam Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat hal. 355) Begitu pentingnya aspek otensitas wahyu, sehingga Allah Swt. perlu membuat sebuah pernyataan maha penting tersendiri dalam Al-Qur’an yakni “Inna nahnu nazzalna al-zikra, wa inna lahu lahafidzun” (Qs. Al-Hijr:9). Agaknya, itu pula sebabnya mengapa golongan ahlul kitab memperoleh kedudukan khusus dalam pandangan Islam, karena kata “ahlul kitab” memberi konotasi bahwa mereka adalah golongan yang menekankan pada otensitas wahyu (kitab) Allah Swt. dalam beragama, yang menjadikan mereka berbeda dengan Yahudi dan Kristen yang kita kenal sekarang ini.   Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka terminologi commulative traditions Smith yang memasukkan Islam ke dalam kategori tradisi, sejajar dengan “agama-agama tradisi” lainnya sangat tidak dapat diterima. Karena ajaran pokok Islam (akidah) sepenuhnya bersumber dari wahyu yang otentik (Al-Qur’an dan hadist), sehingga bersifat tetap, tidak berubah mengikuti zaman, karena Ia sendiri (Islam) dimaksudkan sebagai pedoman zaman.   Kondisi Islam yang demikian menjadikan Islam berbeda dengan agama-agama selain Islam, sebagaimana yang dikatakan Al-Attas: “Maka agama Kristian, agama barat sebagaimana juga agama-agama lain yang bukan Islam adalah agama kebudayaan, agama “buatan” manusia yang terbina dari pengalaman sejarah, yang terkandung oleh sejarah, yang dilahirkan serta dibela dan diasuh dan dibesarkan oleh sejarah.” (Muhammad Naquib Al-Attas, Risalah Untuk Kaum Muslim, dalam Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat, hal.238). Sehingga terminologi commulative traditions Smith hanya pantas diterapkan pada agama-agama selain Islam.   Metode Dakwah

Seperti yang telah disinggung sebelumnya, menyamakan antara agama dan tradisi, berarti menafikan (tak mengimani) bahwa agama bersumber dari Tuhan. Oleh karena itu hendaknya usaha internal (da’wah) untuk menghadapi masalah ini, diarahkan untuk menumbuhkan kepercayaan/keimanan masyarakat terlebih dahulu, yakni dengan da’wah yang menekankan pada penyampaian bukti-bukti kebenaran agama ini (mukjizat-mukjizat), bukan da’wah yang hanya menyampaikan masalah halal-haram, fiqh, kewajiban-larangan dan sebagainya.   Karena tanpa titik tolak keimanan, maka seseorang tidak akan mampu untuk taat (beribadah) kepada Allah Swt., sebagaimana yang terlihat dari susunan rukun Islam, dimana rukun Islam pertama adalah syahadat yang melambangkan keimanan, baru kemudian diikuti oleh shalat, zakat, puasa ramadhan, dan haji yang seluruhnya melambangkan ketaatan. Metode da’wah seperti itu diterapkan oleh Rasulullah Saw., dimana setelah sepuluh tahun periode kerasulan beliau, barulah turun perintah untuk melaksanakan ibadah-ibadah ritual yang menekankan pada ketaatan, sebagaimana yang telah banyak disampaikan oleh para ulama.   Tentunya mukjizat yang dimaksudkan disini bukanlah mukjizat irasional yang dapat

Page 4: Pluralisme Agama Merupakan Kesadaran Manusia Akan Kemajemukan Agama Dan Secara Aktif Menjaga Kean

mengembalikan manusia pada periode kekanak-kanakannya, bukan pula mukjizat yang dapat ditiru, karena sesuatu yang dapat ditiru tidak layak disebut mukjizat. Mukjizat yang dimaksudkan disini adalah Al-Qur’an, yang telah ditakdirkan Allah Swt. untuk abadi sehingga dapat disaksikan di semua zaman, yang mampu mengeluarkan manusia dari periode kekanakannya, dan yang menjadi faktor paling dominan terhadap keberhasilan da’wah Rasulullah Saw. sebagaimana yang terekam oleh sejarah (Lihat misalnya pendapat-pendapat Prof. Dr M.M.. Al-A’zami, Sayyid Quthb, Quraish Shihab, Karen Armstrong, juga sirah-sirah Nabawiyah.)   Untuk itu pradigma “mengajarkan Al-Qur’an adalah mengajarkan cara membacanya saja” seperti yang selama ini kita pegang, hendaknya lebih diluaskan dengan mengajarkan juga segi-segi kemukjizatannya, terutama dari segi bahasanya yang merupakan kemukjizatan utamanya. Dan untuk itu tentunya menuntut pembumian bahasa Al-Qur’an (arab).   Selain itu kesempurnaan Islam merupakan mukjizat tersendiri, baik kesempurnaan konsepnya, tujuannya maupun pencapainnya. Untuk itu da’wah juga hendaknya diarahkan untuk menerangkan kesempurnaan-kesempurnaan ini kepada masyarakat.

Menyikapi Makna Tradisi dan Agama

Judul Buku : Dekonstruksi Tradisi. Gelegar Pemikiran Arab Islam

Penulis : Issa J. Boullata

Penerbit : LKiS, Yogya

Tebal : xii + 253 hlm

Peresensi : Odhy's

WACANA Islam terus bergulir saat amaliah Islam coba menembus sekat-sekat budaya dan batas jaman. Secara historis bermunculan teori yang pada titik-titik tertentu berwujud jadi paham atau isme. Kecuali itu penyebutan atas kelompok wacana kian membuat nuansa Islam mengalami pengayaan. Kita mencatat adanya Islam mazhab, dikotomi Suni-Syi'ah hingga Literal-Liberal, Islam ortodok, ekstrim , garis keras, juga islam sufi yan tercipta dimana-mana pada kondisi tertentu. Semua ini terjadi karena Islam didekati dengan -sekedar-konsep wacana. Sementara praktik amaliah senatiasa menuntut kekaffahan : orosinil dan menyeluruh !

Kebebasan atau fenomena menafsir Islam secara merdeka secara politis telah pula dimanfaatkan oleh pihak di luar Islam. Hal ini terlihat dengan maraknya misi Islamisis dan kajian-kajian Tasawuf yang melibatkan nama banyak pakar / intelektual non - muslim. Mereka bergerak tak seimbang lantaran hanya bermain disatu sisi, yakni wacana tanpa pernah merasakan esensi Islam melalui amaliah. Maka Islam diperlakukan sebatas objek budaya yang - celakanya - kerap menyesatkan.

Salah satu contoh, sebuah media Barat suatu ketika pernah menampilkan photo seorang muslim Arab yang tengah melakukan Salat disebuah bangunan pabrik berteknologi mutakhir. Komentar

Page 5: Pluralisme Agama Merupakan Kesadaran Manusia Akan Kemajemukan Agama Dan Secara Aktif Menjaga Kean

yang mereka tuliskan dibawah photo tersebut antara lain berbunyi : "inilah 'penyakit' orang Arab yang tak pernah mampu melepaskan budaya leluhur mereka, meski jaman telah menjadi sangat modern".

Dalam kacamata Islam, komentar seperti ini tentu sangat menyesatkan ; terlepas dari sengaja atau tidaknya komentar terebut dibuat. Mereka menyejajarkan antara Budaya dan Agama. Padahal keduanya merupakan dua kutub yang sangat tidak mungkin dapat dipersamakan, karena Agama merupakan produk Allah, sementara Budaya adalah produk manusia. Lantas bagaimana dengan buku karya Issa J. Boullata yang aslinya berjudul "Trend and Issuees in Contemporary Arab Though" ini ? Apa yang ingin disimpulkan oleh penulisnya dalam buku yang bermula dari sebuah penelitian dalam era 1984 - 1985 tersebut ? Ternyata enam Bab yang ditampilkan benar-benar menjadi wacana penggoda ; di mana tradisi atau budaya yang dalam banyak hal dipersatukan dengan agama coba diungkit-ungkit sebagai sesuatu yang wajib menafsir kembali dirinya manakala jaman semakin bernafaskan teknologi. Coba simak alinea awal dari tulisannya berikut ini : " Dengan mewarisi sebuah peradaban kuno yang besar di abad ke-20 dalam beberapa dekade sekarang ini, dunia Arab sedang melakukan modernisasi berbagai aspek kemasyarakatan." Kata 'peradaban kuno' tentu mesti kita tolak mengingat Islam secara esensial adalah dinamis : senantiasa dapat menyesuaikan dirinya dengan denyut perubahan jaman. Justru kerusakan terjadi manakala Islam dikeluarkan dari anasir-anasir kehidupan. Dan kehidupan sekuler itulah yang jadi biang malapetaka. Pada bab selanjutnya, penulis menampilkan wacana yang umum tengah melanda dunia intelektual Islam. Agama yang dengan keliru didominasi oleh budaya tampak kian terpuruk saat kebudayaan global tumbuh dengan slogan kampanye besar-besaran. Rasa was-was akan otensitas 'warisan' religius membuat banyak dikalangan intelektual Islam ingin mengajukan konsep dekonstruksi terhadap agama 'nenek moyang' mereka. Arus interpretasi liberal menjadi sebuah trend dimana-mana. Dinamikanya demikian luas, tidak tunggal, dan terbentang dari yang paling kiri hingga kanan. Ketegangan berlangsung - menurut pemikiran Issa J. Boullata - antara kesetiaan pada "tradisi" dan harapan serta keyakinan pada "progresi". Hal seperti ini, bila hanya disadari setakat wacana semata, sehingga tak mempengaruhi kekaffahan amaliah, tentu tak mendatangkan kerugian bagi Islam selaku agama yang haq. Bahkan bilamana justru dapat menjadi senjata menepis gaya hidup sekuler, ia tentu ak

Menuju Pemahaman Pluralisme Seni, Tradisi dan Agama

Seputar Kesenian

Ditulis oleh K.H.Maman lmanulhaq Faqieh    Tantangan modernitas yang bercirikan industrialisasi dan globalisasi dengan dominasi dan hegemoni negara-negara maju (developed countries) di segala bidang, menuntut setiap anggota masyarakat global untuk mengambil sikap antisipatif. Terlebih Indonesia, yang dilihat dari seluruh sudut pandang geologis, historis dan budaya, sangat beragam dan kompleks, tetapi kurang memiliki sumber daya manusia yang memadai. Hal tersebut terlihat dari rendahnya kualitas SDM di berbagai institusi sosial, budaya, politik, pendidikan dan keagamaan, yang dibuktikan dengan sikap yang tidak profesional, kurang memahami dinamika budaya, HAM dan demokrasi, serta ketidakmampuan untuk menguasai teknologi informasi dan manajemen informasi. Ada dua hal yang menjadi kendala serius dalam menghadapi tantangan modernitas. Pertama, sikap keagamaan yang eksklusif. Sikap eksklusif ini akan menyulitkan diri dalam menghadapi

Page 6: Pluralisme Agama Merupakan Kesadaran Manusia Akan Kemajemukan Agama Dan Secara Aktif Menjaga Kean

tantangan modernitas. Umat beragama akan merasa kaku untuk menerimanya, karena telah terjebak akan romantisme  kemapanan, klaim kebenaran, dan sikap yang menutup diri terhadap kritik atas pribadi  dan tradisinya sendiri. Sehingga banyak para pemimpin umat yang mengalami kegugupan mental dan iintelektual dalam menghadapi kemajuan trasformasi budaya. Semua itu dapat mengakibatkan kaum beragama kehilangan vitalitas, daya hidup dan daya saing di tengah kehidupan yang semakin kritis, maju dan juga penuh tantangan. Sikap para tokoh agama yang menghegemoni dan mendominasi peran, kesempatan, dan adanya pandangan umat yang pluralistik akan semakin memperparah keadaan umat yang telah terperosok pada jurang kemiskinan, kekerasan, perpecahan, pandangan sempit (jurnud al-`ain) yang terpisah dan realitas. Hal itu yang mengakibatkan terabaikannya problem-problem kemanusiaan serta tercerabutnya nilai spiritualitas dan nalar pembaruan di tengah-tengah llajunya perubahan yang sangat cepat. Kedua, pendidikan yang kontra-realitas. Pendidikan hanya sebagai proses pengalihan (transfer) informasi, bukan sebagai proses transformasi sosial. Padahal, pendidikan yang benar, menurut Paulo Freire, adalah pendidikan yang direncanakan sebagai proses perubahan, dalam rangka menciptakan struktur–struktur sosial yang llebih adil dan manusiawi. Dalam salah satu bukunya, 'Cultural Action For Freedom', Paulo Freire menambahkan bahwa pendidikan harus menjadi aksi kebudayaan untuk pembebasan dan aksi revolusi. Atau dalam bahasa Al-Quran, pendidikan harus menjadi alat untuk "wa yadho'u ishrarahum wa al-aghlala allaiiy kanat `alaihim, menghilangkan beban penderitaan dan belenggu kesengsaraan yang ada pada umat manusia." (QS. AVAraf :157).

Rendahnya kualitas sumber daya tersebut memicu munculnya berbagai ketegangan dan bahkan konflik dalam berbagai bidang. Umpamanya saja yang terjadi dalam konflik sosial-politik, seperti ketidakseimbangan kinerja  pemerintah dengan tuntutan publik dalam mengatur polarisasi system dan mekanisme kerja.

Umumnya mekanisma kerja birokrasi di negara ini hanya menjadi representasi sebuah kekuasaan yang  hegemonis, merasa paling pintar dan memarjinalkan peran masyarakat. System kekuasaan tidak lagi aspiratif dan fair. Konflik kepentingan antar partai politik yang terfokus pada power clepence, semakin menjauhkan peran lembaga legislatif ini dari produk kebijakan publik (public policy). Padahal, seluruh kebijakan public harus berorientasi pada kemaslahatan "Tasharruf al-imam manutun hi al-maslakhah" dan mengusahakan penguatan civil society. Lembaga legislatif seharusnya bermuatan spirit moralitas yang berpihak pada kemaslahatan masyarakat. Dengan itu kehidupan sosial akan terorganisir dengan dinamis dengan partisipasi publik yang didasarkan pada kerelaan. keswasembadaan, ketaatan pada hukum, keswadayaan dan kemandirian. Begitu pula yang terjadi  dengan konflik sosial-budaya, misalnya kasus Dayak Kalimantan. Atau konflik sosial-¬politik-keagamaan, seperti tragedi Poso, Ambon, Situbondo, Mataram, Tasikmalaya dan banyak lagi. Kesemuanya konflik itu menunjukkan ketidaksiapan SDM Indonesia dalam menghadapi modernitas, demokratisasi dan pluralisme.

Selain konflik yang di atas, muncul sebuah konflik baru, yaitu ketegangan yang terjadi menyangkut hubungan antara agama dengan kesenian (kebudayaan). Contohnya, sikap beberapa agamawan terutama ulama syari'ah, yang secara terang-terangan mengharamkan ikhwal keberadaan seni. Akibatnya, perkembangan seni mengalami hambatan. Seni tradisi misalnya, dianggap bermuatan syirik, berdekatan dengan perilaku setan, atau bahkan dipandang selalu diikuti setan. Seni tradisi dikhawatirkan akan menjauhkan umat dari nilai-nilai illahiah

Page 7: Pluralisme Agama Merupakan Kesadaran Manusia Akan Kemajemukan Agama Dan Secara Aktif Menjaga Kean

(ketuhanan). Penerapan "bunyi ajaran agama" yang diambil dari teks-teks fiqih, hadis, dan menghadapkannya secara kaku pada realitas masyarakat dan tradisi-tradisi lokal, khususnya menyangkut keseniannya, akan menjadikan "agama" gagal mendengarkan aspirasi-aspirasi dasar dari masyarakat. Kekakuan, ketertutupan, dogmatisme, dan kemandegan menyebabkan agama kehilangan vitalitas perubahan di tengah masyarakat. Hegemoni para tokoh agama dengan doktrin-doktrin agama sangat berpengaruh terhadap perkembangan seni budaya, khususnya seni budaya tradisional (lokal) yang telah menjadi salah satu sendi kehidupan masyarakat kita jauh sebelum ajaran Islam masuk ke dalam tatanan budaya kita. Pada titik ini, seni tradisi tak jarang menjadi ikon budaya yang dipandang menempati posisi berseberangan dengan ajaran agama. Hubungan antara agama (Islam) dan kreator seni tradisi lain tidak harmonis dan saling berlawanan. Agama dan budaya lokal lalu sulit bertegur sapa. Ironisnya, agama dan budaya lokal masyarakat (khususnya seni tradisi) tidak sekadar berjalan pada wilayahnya masing-masing, melainkan kadang bertentangan, bertabrakan, dan saling melenyapkan. Bukannya saling mendekat dan bersinergi, tetapi agama dan masyarakat pun lalu berjauhan, bahkan saling bermusuhan. Energinya  tersedot habis dalam pusaran konflik yang tentu saja tidak produktif, bahkan bisa menjadi destruktif. Sudah saatnya kita menepis pola berpikir biner dan dikotomis, misalnya antara "santri" dan "abangan", "muslim" dan "non-muslim", "Islam(i)" dan "non-Islam(i)", dan seterusnya. Yang penting bukan "baju" dan "simbol" luarnya, melainkan sumbangsih positifnya bagi kemanusiaan dan kehidupan.

Karenanya, apa yang dirintis PSN menemukan relevansinya dengan sebuah ikhtiar yang serius, cerdas dan mengikuti `kompas`. Di samping menjawab persoalan pokok pendidikan seni, yaitu bagaimana menghasilkan anak didik yang mampu mengapresiasi seni dan menghasilkan penciptaan seni yang kreatif, inovatif, berkepribadian Indonesia serta memiliki integritas tinggi dalam melestarikan dan mengembangkan seni tradisional sebagai akar budaya.

Pendidikan seni dapat dijadikan sebagai sarana dialog serta proses transformasi sosial, menuju terciptanya masyarakat yang inklusif, egaliter dan demokratis. Yaitu sebuah masyarakat yang mempunyai kesadaran tentang pluralitas, di mana keberadaan mereka di dunia yang beragam ini ikut serta untuk membangun kebersamaan. Sebuah kesadaran yang sangat diperlukan untuk pembebasan. Farid Esack dalam bukunya `Qur`an, Liberation and Pluralism` bahwa, seluruh isu transformasi harus dibangun dari basis pemahaman pluralisme yang bersifat pembebasan (liberation). Pembebasan ini dapat dicapai melalui perjuangan bersama melawan penindasan dan ketidakadilan dengan kaum marjinal dan tereksploitasi, akan mewujudkan solidaritas tak terucap, melintasi garis doktrinal yang sempit.

Seni merupakan sarana manusia untuk mencapai kearifan, sebagaimana yang dikatakan Ibn Arabi (1165-1240). Kearifan yang mengantarkan manusia pada sebuah pengalaman spiritual yang tinggi, sehingga seseorang akan mengalami disclosure, tersingkapnya sesuatu yang baru. Soren Kierkegaard mengistilahkan dengan leap of faith (lompatan iman) atau dalam agama disebut; enlighment, satori, moksha, nirvana atau ma'rifat. Dalam hadits Nabi dikatakan "man 'arafa nafsahu fa qod `arafa rabbahu": barang siapa yang mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya. Sebuah ungkapan yang konon berasal dari Nabi Idris, (Hurmus, mengacu pada risalah hurmusiyyah atau Hermes, guru Plato) yang berkata: "`irif  nafsaka ta'rif rabbaka": kenali dirimu, maka kamu akan mengenali Tuhanmu. Kesadaran akan essensi diri, menurut Suhrawardi (1153-1191 M) berarti memberi kesadaran pada semua wujud yang berada pada tingkat yang sama.

Page 8: Pluralisme Agama Merupakan Kesadaran Manusia Akan Kemajemukan Agama Dan Secara Aktif Menjaga Kean

Inilah yang menjadi pijakan awal bagaimana sesungguhnya pendidikan seni yang digagas PSN dapat menghantarkan pada pemahaman pluralisme. Yakni, terbentuknya sebuah kesadaran yang terwujud dalam pola pikir, sikap dan pola tindak yang menjunjung tinggi nilai-nilai persamaan, persaudaraan dan martabat kemanusiaan. Tanpa harus terjebak pada sikap diskriminatif berdasarkan suku, bangsa, warna kulit, keturunan, keyakinan dan agama. Misalnya dalam pluralitas antar agama, seni diharapkan memberi kesadaran (to be religious is to be interreligious). Sehingga seni bisa menjadi semacam "sarana-dialog" yang dapat meminimalisir kebencian, permusuhan, konflik dan pertumpahan darah, yang sering dilakukan oleh kelompok yang mengatasnamakan sesuatu yang suci, yaitu Tuhan dan agama. Sebagai contoh adalah kasus penyerbuan kampus Mubarak Jamaat Ahmadiyyah Indonesia, di Parung-Depok, yang merupakan serpihan kekerasan atas klaim kebenaran sepihak yang meruntuhkan citra agama. Sarana-dialog ini merupakan kemauan menerima orang lain yang berbeda (the other, al-akhor), mendengar dengan tulus dan berakhir dengan mutual learning. Seperti dalam seni, dialog meniscayakan kesejajaran, menghindarkan dari stereotyping, bias, dan apriori serta menekankan deskripsi dan interpretasi yang kritis terhadap sebuah fenomena secara objektif yang dilandasi semangat belajar, spirit of learning. Karena, seperti yang dikatakan Bhagavan Das dalam bukunya “The Essential Unity of All Religion” semua penganut agama akan bertemu dalam the road of life dengan the supreme of spirit" (Qs al-Hujurat:13).

Dalam dunia tasawuf, seni (terutama musik dan tarian), mendapat tempat utama sebagai sarana penyucian jiwa dan pengenalan unsur rohani. Seorang sufi besar dan pendiri tarekat Maulawiyah, yaitu Jalaluddin Rumi (w.1273) mengatakan, "Banyak jalan menuju Tuhan, pilihanku adalah musik dan tari". Sebagai sarana penyucian, jiwa, seni akan mendorong seseorang untuk melakukan tindak penyucian yang meliputi: pertama, penyucian jiwa (tazkiyyah an-nufush) dari segala akhlak yang busuk dan tercela (al-madzmumah), prinsip hidup yang melawan fitrah kemanusiaan, serta mum hati (sirr) yang memandang kepada selain Allah. Kedua, penyucian indrawi, di mana ia mempunyai kepedulian terhadap kebersihan (nazdafah), keindahan dan kebersamaan. Patalogi sosial yang mengaburkan batas antara benar dan salah, baik dan jahat, moral dan amoral, serta menjerumuskan pada kondisi ketidakmenentuan moral (indeterminancy moral), muncul dari jiwa yang tidak tersentuh oleh tindak penyucian terscbut (tazkiyyah). Dalam kitab Ihya Ulumuddin, Imam al-Ghozali. yang mempunyai nama lengkap Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad al-Thusyi al-Syafi'i al-Ghazali, lahir di Thusi, sebuah kota kecil di Iran, pada tahun 450 H (1058 H), seorang pemikir ulung yang dianggap berhasil membuktikan kebenaran Islam, karenanya ia dijuluki Hujjah al-Islam, mengatakan, "Barangsiapa yang jiwanya tidak tergerak oleh kembang-¬kembang yang bermekaran di musim bunga, atau oleh alat musik dan getaran nadanya, maka fitrahnya telah mengidap penyakit kejiwaan yang sulit diobati". Dari penyakit kejiwaan tersebut, muncul kebencian, kemarahan, kekerasan dan ketidakadilan yang merupakan awal dari degradasi moral. Sesuatu yang jauh lebih serius dibandingkan dengan bencana alam semisal gempa bumi dan tsunami yang menghantam Aceh dan Sumut, yang menurut Sekjen PBB Koffi Anand merupakan an un precendented disaster which requires unprecedented response (bencana yang belum pernah terjadi sebelumnya hingga membutuhkan respons yang juga belum pernah terjadi sebelumnya). Ingat, peradaban tidak akan pernah hancur hanya karena bencana apalagi akibat kebebasan berpikir atau berkreativitas. Kehancuran peradaban justru diakibatkan kehancuran moralitas.

Pendidikan seni di sekolah dimaksudkan PSN sebagai upaya mengembangkan kepribadian anak

Page 9: Pluralisme Agama Merupakan Kesadaran Manusia Akan Kemajemukan Agama Dan Secara Aktif Menjaga Kean

didik agar memiliki kebudayaan nasional. Mochtar Lubis, da!am Horison (Februari 1986) mengatakan bahwa jika hendak membangun kekuatan budaya bangsa, maka perlu mengembangkan budaya Indonesia yang baru dengan memasukkan unsur budaya tradisional yang berfungsi memperkuat watak, kepribadian, kemandirian, sikap kritis, kreativitas, solidaritas, rasionalitas dan kemanusiaan. Itulah nilai-nilai spiritual yang harus dimiliki anak didik, sebagai calon pemimpin-pemimpin di masa yang datang. Karena seperti yang disimpulkan sebuah diskusi yang mengambil tema 'Does Spirituality Drive Succes', apakah spiritualitas bisa membuat sukses? di Harvard Bussines School, April 2002, bahwa: kesuksesan seseorang sangat tergantung dari nilai spiritulisme yang dimilikinya. Dengan jiwa spiritualitas yang kuat, berupa Integritas (kejujuran), Energi (semangat), Inspirasi (penuh ide), Wisdom (bijaksana) dan Courageous (keberanian) yang dimilikinya, anak didik terdorong melakukan pembebasan terhadap problem-problem kemanusiaan yang kompleks, mengembalikan nilai spiritualitas dan nalar pembaruan dalam perubahan yang sangat cepat. Serta selalu berikhtiar untuk mempertemukan gagasan dan ide yang mempertemukan pemikiran yang emansipatif dan eksploratif, baik bernuansa keagamaan maupun kebudayaan. Dari sinilah akan lahir generasi baru yang memiliki kecenderungan revolusioner dari dinamika pemikiran bersifat plural, terbuka, apresiatif terhadap hal-hal baru, merakyat, dan punya kepedulian sosial yang tinggi. Yang dijabarkan dengan sikap toleransi yang tinggi, menghormati hak asasi, dan konsisten pada visi penguatan masyarakat sipil.

Tampaknya, disinilah pentingnya nilai serta pengaruh kesenian terhadap realisasi penyempurnaan kehidupan spiritual manusia. Seni bukan sekedar eskspresi kebebasan tanpa nilai, atau alat yang akan mengantarkan manusia pada pendangkalan spiritual, pelanggaran moral dan agama. Karena jika itu yang terjadi. jangan heran sisi lain tradisi dan keagamaan (seperti yang dikemukan di atas) menolak terhadap kesenian. Contohnya tulisan Louis Ginzberg dalam bukunya The Legends of The Jews, mengatakan bahwa bencana air bah pada zaman Nabi Nuh diakibatkan ulah Cain (Kabil, putra Adam) yang menodai dunia dengan memainkan musik dan pesta mabuk. Dalam Mukasyafah al-Qulub, beberapa ulama mengemukan pandangan mereka terhadap seni, di antaranya: "sesungguhnya nyanyian adalah kebatilan, siapapun yang menyenanginya adalah orang bodoh (safih) yang ditolak kesaksiannya". Begitu pula sikap sebagian komunitas muslim (pesantren salah¬satunya) yang menolak seni tradisi. Umpamanya: penolakan terhadap seni tradisi Sunda seperti pantun, bebeluk, dan ngawih disertai perangkat instrumentalnya seperti kecapi, dan gamelan, hal ini merupakan sebuah realitas yang menghawatirkan. Semua itu, sebenarnya, merupakan tindakan preventif (sadd ad¬dara'i) agar manusia tidak terjerumus pada kehancuran. Misalnya seni dapat membuat manusia lalai kepada Sang Pencipta, menodai sifat kemanusiaan, mendorong kriminalitas, menimbulkan gairah sensual, pemujaan terhadap individu serta tindakan anarkis.

Semoga pendidikan kesenian 'ala PSN ini melahirkan anak didik yang berjiwa seni, yang serius berinteraksi dengan gagasan-gagasan besar yang menyangkut pembebasan (liberation) manusia dari problem kemanusiaan yang membelenggunya. Serta mengahayati proses berkesenian sebagai nilai spiritual yang akan mendorongnya menegakkan nilai dan prinsip keadilan sosial, kemaslahatan umat manusia, kerahmatan semesta, dan kearifan lokal.