22
1 Pluralisme dalam Pandangan Agama-Agama di Indonesia Oleh: Abdul Wahid I. Pendahuluan Salah satu misi utama yang diusung gerakan pluralisme adalah relativitas kebenaran bagi setiap agama di dunia, sebagai bentuk toleransi untuk memelihara kerukunan hidup antarumat beragama di tengah-tengah keragaman agama yang berkembang saat ini. 1 Dengan menyatakan bahwa semua agama benar, para pengusung pluralisme agama, seperti Schleiermacher dan John Hick, berharap tidak ada lagi agama yang mengklaim sebagai pemilik kebenaran hakiki karena pada hakikatnya, menurut Schleiermacher, agama itu merupakan hasil dari berbagai perasaan dan pengalaman keberagamaan manusia, sehingga setiap agama yang ada di dunia ini mengandung kebenaran Ilahi. 2 Hal senada juga dikemukakan John Hick yang melihat bahwa konflik keagamaan di berbagai tempat diakibatkan tidak adanya toleransi atau saling pengertian antar-pemeluk agama yang berbeda. Ia berpendapat bahwa pluralisme agama akan menjadi solusi yang tepat untuk mencegah konflik antarumat beragama dan menciptakan keharmonisan umat manusia di dunia. Hal ini bisa terwujud jika masing-masing pemeluk agama bisa bersikap toleran dengan mengakui eksistensi agama masing- masing dan tidak beranggapan bahwa hanya agamanya yang paling benar. 3 Konsep relativitas kebenaran yang diusung paham pluralisme tersebut bisa menggoyahkan keyakinan para pemeluk agama. Karena kebenaran agama sudah tidak mutlak lagi, maka muncullah skeptisisme di kalangan para penganut agama yang akhirnya berujung pada ateisme dan agnostisisme. 4 Para penganut agama meninggalkan agama karena sudah tidak percaya lagi terhadap agama. Pada akhirnya, agama hanya tinggal nama dan tidak memiliki penganut lagi. Walaupun agama-agama yang ada di dunia masih dianut para pengikutnya, namun eksistensi tiap-tiap agama hanyalah formalitas belaka. Paham pluralisme memaksakan keseragaman agama-agama, sehingga harus mengorbankan keyakinan akan kebenaran mutlak yang diyakini masing-masing agama. 5 Dengan kata lain, gerakan ini sangat membahayakan eksistensi agama yang berujung pada upaya terminasi agama-agama. Doktrin pluralisme agama yang menganggap semua agama itu sama telah lama masuk ke Indonesia dan berdampak negatif terhadap kehidupan sosial 1 M. Legenhausen, Pluralitas dan Pluralisme Agama, (Jakarta: Shadra Press, 2010), hal. 37. 2 Ibid, hal. 19. 3 Ibid, hal. 37-38. 4 Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, (Jakarta: Perspektif Kelompok Gema Insani, 2005), hal. 139. 5 Ibid, hal. 142.

Abdul Wahid Pluralisme Pandangan Agama Agama

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Agama

Citation preview

  • 1

    Pluralisme dalam Pandangan Agama-Agama di Indonesia

    Oleh: Abdul Wahid

    I. Pendahuluan

    Salah satu misi utama yang diusung gerakan pluralisme adalah relativitas

    kebenaran bagi setiap agama di dunia, sebagai bentuk toleransi untuk memelihara

    kerukunan hidup antarumat beragama di tengah-tengah keragaman agama yang

    berkembang saat ini.1 Dengan menyatakan bahwa semua agama benar, para

    pengusung pluralisme agama, seperti Schleiermacher dan John Hick, berharap

    tidak ada lagi agama yang mengklaim sebagai pemilik kebenaran hakiki karena

    pada hakikatnya, menurut Schleiermacher, agama itu merupakan hasil dari

    berbagai perasaan dan pengalaman keberagamaan manusia, sehingga setiap agama

    yang ada di dunia ini mengandung kebenaran Ilahi.2 Hal senada juga

    dikemukakan John Hick yang melihat bahwa konflik keagamaan di berbagai

    tempat diakibatkan tidak adanya toleransi atau saling pengertian antar-pemeluk

    agama yang berbeda. Ia berpendapat bahwa pluralisme agama akan menjadi solusi

    yang tepat untuk mencegah konflik antarumat beragama dan menciptakan

    keharmonisan umat manusia di dunia. Hal ini bisa terwujud jika masing-masing

    pemeluk agama bisa bersikap toleran dengan mengakui eksistensi agama masing-

    masing dan tidak beranggapan bahwa hanya agamanya yang paling benar.3

    Konsep relativitas kebenaran yang diusung paham pluralisme tersebut bisa

    menggoyahkan keyakinan para pemeluk agama. Karena kebenaran agama sudah

    tidak mutlak lagi, maka muncullah skeptisisme di kalangan para penganut agama

    yang akhirnya berujung pada ateisme dan agnostisisme.4 Para penganut agama

    meninggalkan agama karena sudah tidak percaya lagi terhadap agama. Pada

    akhirnya, agama hanya tinggal nama dan tidak memiliki penganut lagi. Walaupun

    agama-agama yang ada di dunia masih dianut para pengikutnya, namun eksistensi

    tiap-tiap agama hanyalah formalitas belaka. Paham pluralisme memaksakan

    keseragaman agama-agama, sehingga harus mengorbankan keyakinan akan

    kebenaran mutlak yang diyakini masing-masing agama.5 Dengan kata lain,

    gerakan ini sangat membahayakan eksistensi agama yang berujung pada upaya

    terminasi agama-agama.

    Doktrin pluralisme agama yang menganggap semua agama itu sama telah

    lama masuk ke Indonesia dan berdampak negatif terhadap kehidupan sosial

    1 M. Legenhausen, Pluralitas dan Pluralisme Agama, (Jakarta: Shadra Press, 2010), hal.

    37. 2 Ibid, hal. 19.

    3 Ibid, hal. 37-38.

    4 Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, (Jakarta: Perspektif

    Kelompok Gema Insani, 2005), hal. 139. 5 Ibid, hal. 142.

  • 2

    khususnya keagamaan.6 Pluralisme agama merupakan problem semua umat

    beragama. Menanggapi gerakan ini, Pdt. Stevri Indra Lumintang menyatakan

    bahwa Pluralisme adalah suatu tantangan sekaligus bahaya yang sangat serius

    bagi kekristenan.7 Sementara Dr. Anis malik Thoha menjelaskan bahwa

    pluralisme agama adalah agama baru oleh karena itu konsep ini sangat

    berbahaya, dan perlu mendapat perhatian dan kewaspadaan yang ekstra ketat dari

    seluruh pemeluk tiap-tiap agama di dunia.8 Di kalangan umat Hindu juga

    melakukan perlawanan dan menyatakan bahwa pluralisme agama adalah paham

    universalisme radikal yang intinya menyatakan bahwa semua agama adalah

    sama.9 Dari sini bisa kita pahami bahwa banyak dari kalangan pemikir agama-

    agama tidak setuju dengan doktrin pluralisme agama.10

    Perkembangan pluralisme agama di Barat sebenarnya bisa kita telusuri

    dari pemikiran dua tokoh ternama yang berkecimpung di dalamnya. yaitu John

    Hick dengan paham Teologi Global (Global Theology)11

    nya dan Frithjof Schuon

    mengenai paham Kesatuan Transenden Agama-agama (Transcendent Unity of

    Religions).12

    Kedua aliran ini telah membangun gagasan, konsep dan prinsip masing-

    masing hingga akhirnya menjadi paham yang sistemik. Munculnya kedua aliran di

    atas juga disebabkan oleh dua motif yang berbeda. Teologi Global (Global

    Theology) lahir dari rahim globalisme Barat.13

    Berbeda dengan Teologi Global,

    6 Lihat Pengantar dalam Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam ISLAMIA. Tahun 1 No.

    3, SeptemberNovember 2004, hal. 5.

    7 Stevri Indra Lumintang, Teologi Abu-Abu (Pluralisme Iman) (Malang: YPPII, 2002),

    Cetakan Pertama, hal. 15

    8 Dr. Anis Malik Thoha, Konsep World Theology dan Global Theology Eksposisi

    Doktrin Pluralisme Agama, Smith dan Hick dalam Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam

    ISLAMIA. Thn. 1 No 4, JanuariMaret, 2005, hal. 59.

    9 Ngakan Made Madrasuta (ed). Semua Agama Tidak Sama. (Media Hindu, 2006) hal.

    xxx.

    10 Lihat Harold Coward. Pluralisme Tantangan Bagi AgamaAgama. (Yogyakarta:

    Kanisius, cetakan kesembilan, 2003), hal. 56.

    11 John Hick, Tuhan Punya Banyak Nama, Terj. Amin Maruf dan Taufik Aminuddin,

    (Interfidei, Cet. 1, 2006), hal. 65

    12 Salah satu konsep utama kelompok ini adalah konsep Sophia Perennis, bahwa setiap

    agama terdapat tradisi-tradisi sakral yang perlu dihidupkan dan dipelihara secara adil. Lihat Adnin

    Armas, Gagasan Frithjof Schuon Tentang Titik Temu Agama-Agama dalam Majalah pemikiran

    dan Peradaban Islam ISLAMIA. Thn I No 3, September-November 2004, hal. 9-10

    13 Akibat globalisme membuat agama-agama berkoeksistensi antara satu dengan yang

    lain, Hick mengajukan teologi global sebagai solusi yang kompetibel dengan memodfikasi klaim

    eksklusivime dan inklusivisme agama-agama, Lih: Adnan Aslan, Religious Pluralism in Christian

    and Islamic Philosophy: the Though of John Hick and Seyyed Hossein Nasr, (Curzon Press, Cet. 1,

    1998), hal. 99

  • 3

    Kesatuan Transenden Agama-agama (Transcendent Unity of Religions) yang lahir

    sebagai kritik terhadap globalisme dan modernitas Barat yang anti agama.14

    Oleh karena itu, tulisan ini akan membahas lebih lanjut konsep-konsep

    paham pluralisme dari sudut pandang agama-agama. Bagaimanakah agama-agama

    memandang pluralisme yang menyatakan bahwa tidak ada satu pun agama yang

    berhak mengklaim sebagai agama yang paling benar itu?

    II. Pembahasan

    A. Pengertian Pluralisme

    1. Makna Pluralisme

    Pluralisme berasal dari bahasa Inggris, yaitu pluralism. Asal katanya

    adalah plural yang artinya jamak, lebih dari satu (more than one).15

    Dari berbagai

    kamus pluralism dapat disederhanakan ke dalam dua pengertian: pertama,

    pengakuan terhadap keragaman kelompok, baik yang bercorak ras, agama, suku,

    aliran, maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan

    yang sangat karakteristik diantara kelompok-kelompok tersebut (the existence

    within society of diverse groups, as in religion, race, or ethnic origin, which

    contribute to the cultural matrix of the society while retaining their distinctive

    characters). Kedua, doktrin yang memandang bahwa tidak ada pendapat yang

    benar atau semua pendapat adalah sama benarnya (No view is true, or that all

    view are equally true).16

    Dari kedua pengertian tersebut di atas, pluralisme bisa dipahami

    menghargai keragamaan dan perbedaan dengan cara merelatifkan kebenaran. Hal

    ini bisa dilihat dari pengertian kedua yang bermakna relativitas kebenaran, yaitu

    suatu pandangan atau paham yang menyatakan bahwa tidak ada kebenaran mutlak

    atau setiap pendapat bisa sama-sama benar.

    Sementara Moqsith Ghazali, seorang tokoh pluralisme di Indonesia

    menyatakan bahwa pluralisme itu bukan berarti menyamakan agama-agama. Ia

    membantah pernyataan MUI yang melarang pluralisme karena paham ini

    mengusung misi menyamakan semua agama. Menurutnya, menyamaratakan

    semua agama itu bukanlah esensi dasar dari pluralisme.17

    Pluralisme justru

    14

    Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama; Tinjauan Kritis (Jakarta: Perspektif;

    Kelompok Gema Insani, 2007), hal. 117-118

    15 A.S Hornby, Oxford Advanced Leaners Dictionary of Corrent English, (London:

    Oxford University Press, 1983, Cet. 11), hal. 889;

    16 The New International Websters Comprehensive Dictionary of The English Language,

    (Chicago: Trident Press International, 1996), (pluralism), hal. 972; Simon Blackburn, Oxford

    Dictionary of Philosophy, (Oxford: Oxford University Press), see: pluralism; Lorens Bagus,

    Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), hal. 855

    17 Abdul Moqsith Ghazali, Metodologi Berfatwa dalam Islam, hal. 130.

  • 4

    mengakui keragaman dan mempertahankan perbedaan, bukanlah memaksakan

    sama. Maka, pluralisme datang untuk membuat berbagai perbedaan itu hidup

    berdampingan.

    Pernyataan Moqsith jelas bertentangan dengan kenyataan. Pada saat

    pluralisme mengatakan mengakui dan menghormati perbedaan, ketika itu pula

    pluralisme tidak mau menghormati perbedaan keyakinan suatu agama yang

    mengklaim sebagai agama yang paling benar. Inilah rancunya paham pluralisme.

    Wacana pluralisme ini erat kaitannya dengan pemikiran Barat postmodern.

    Dalam bukunya yang berjudul Postmodernism and Islam, Akbar S. Ahmed

    menyebutkan bahwa paham postmodernisme mengandung semangat pluralisme.18

    Wajar saja, postmodernisme memiliki paham utama yang menjadi intinya, yaitu

    subyektivitas dan relativitas kebenaran.19

    Paham ini menganut pemikiran anti

    agama yang bisa asalnya bisa ditelusuri dari para pemikir Barat, seperti Nietzche

    (1844-1900). Ia telah mereduksi nilai-nilai agama yang absolut itu dengan

    teriakannya tentang kematian Tuhan. Pemikirannya itu kemudian dikenal dengan

    istilah nihilisme. Jika sudah berpandangan seperti ini, maka tak ada lagi

    kebenaran yang mutlak. Semuanya relatif.

    2. Pluralisme Agama

    Saat pluralisme bersentuhan dengan agama, paham ini kemudian dikenal

    dengan istilah pluralisme agama (religious pluralism). Pada perkembanganya,

    istilah ini (pluralisme agama) telah menjadi terminologi khusus yang sudah baku

    (technical term). Pengertiannya tidak bisa hanya berdasarkan kamus-kamus

    bahasa. Walaupun di dalam kamus terdapat makna pluralisme yang artinya

    toleransi atau sikap saling menghormati keunikan masing-masing. Akan tetapi,

    pluralisme agama telah menjadi sebuah paham yang memaknai pluralitas agama

    sebagai sebuah keniscayaan sekaligus memandang semua agama sama, tidak

    berbeda satu sama lain.20

    18

    Lengkapnya, penuturan Akbar S Ahmed: To approach an understanding of the

    postmodernist age is to presuppose a questioning of, a loss of faith in, the project of modernity; a

    spirit of pluralism; a heightened scepticism of traditional orthodoxies; and finally a rejection of a

    view of theworld as a universal totality, of the expectation of final solutionsand complete answers.

    Lih: Akbar S Ahmed, Postmodernism and Islam: Predicament and Promise, (London and New

    York: Routledege, Cet. 1, 1992), hal. 10

    19 Lebih jelasnya tentang posmodernisme, lih: Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisasi

    Pemikiran Islam: Gerakan bersama Misionaris, Orientalis, dan Kolonisalis, (CIOS: ISID, Cet. 1,

    2008), hal. 20

    20 Dalam bahasa Hick Other Religions are equally valid ways to the same truth, John B

    Cobb Jr Other: Other Religions speak of different but equally valid truths, Raimundo Panikkar:

    Each religion expresses an important part of the truth, atau menurut Seyyed Hosein Nasr: setiap

    agama sebenarnya mengekspresikan adanya: The One in The Many. Lih: Adian Husaini, Wajah

    Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekuler-Liberal, (Jakarta: Gema Insani,

    2005), hal. 339

  • 5

    Pemahaman demikian paling tidak dapat ditelusuri dari dua aliran

    pluralisme, yaitu Teologi Global (Global Theology) dan Kesatuan Transenden

    Agama-agama (Transcendent Unity of Religions). Diperkenalkan oleh John Hick

    yang dikenal sebagai seorang teolog Kristen Protestan, Teologi Global (Global

    Theology) merupakan pemahaman yang berkembang dari globalisme Barat.21

    John Hick mengemukakan teori tentang revolusi teologis dari pemusatan agama-

    agama menuju pemusatan Tuhan (the transformation from religion-centredness to

    God-centerdness). Tidak hanya itu, ia berpandangan bahwa agama apapun yang

    ada di dunia ini hanyalah realitas dari respon budaya manusia yang berbeda-beda

    dari Satu Yang Nyata (The Real).22

    Dengan ini, Hick mencoba menjelaskan

    bahwa kebenaran agama tidak bisa bersifat monolitik atau tunggal tapi bersifat

    plural sesuai dengan jumlah tradisi-tradisi atau ajaran-ajaran agama yang

    merupakan respon dari budaya manusia.23

    Berbeda dengan John Hick yang mengusung teori Teologi Global-nya,

    Fritchof Schuon memperkenalkan teori Kesatuan Transenden Agama-agama

    (Transcendent Unity of Religions), sebagai kritik terhadap globalisme dan

    modernitas Barat yang antiagama. Schuon membagi agama-agama kepada dua

    hakikat: eksoterik (lahiriyah) dan esoterik (bathiniyah). Menurut teori ini, semua

    agama, baik Islam, Kristen, Yahudi, Hindu, Budha, dan lain sebagainya hanyalah

    bentuk lahiriyah (eksoterik), yang dipisahkan oleh garis horizontal dan bertemu

    pada hakikat esoterik. 24

    Sebenarnya, Schuon mencoba untuk mengajak manusia agar sepakat

    memandang semua agama hanyalah merupakan perwujudan beragam dari hakikat

    esoterik yang tunggal. Menurutnya, dimensi esoterik itulah yang absolut,

    sedangkan dimensi eksoterik bersifat relatif. Dengan demikian, semua agama

    dapat hidup berdampingan atau berkoeksistensi satu sama lain.25

    B. Konsep Global Theology John Hick

    21

    Akibat globalisme membuat agama-agama berkoeksistensi antara satu dengan yang

    lain, Hick mengajukan teologi global sebagai solusi yang kompetibel dengan memodfikasi klaim

    eksklusivime dan inklusivisme agama-agama, Lih: Adnan Aslan, Religious Pluralism in Christian

    and Islamic Philosophy: the Though of John Hick and Seyyed Hossein Nasr, (Curzon Press, Cet. 1,

    1998), hal. 99

    22 John Hick, Tuhan Punya Banyak Nama, Terj. Amin Maruf dan Taufik Aminuddin,

    (Interfidei, Cet. 1, 2006), hal. 65

    23 Lebih jelasnya, baca: Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama; Tinjauan Kritis

    (Jakarta: Perspektif; Kelompok Gema Insani, 2007), hal. 83

    24 Lih: gambaran Huston Smith, dalam pengantar buku Schuon, Frithjof Schuon, The

    Transcendent Unity of Religions, (Quest Book Theosopical Publishing House, Cet. 2, 1993), hal.

    xii

    25 Lebih jelasnya, Lih: Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama, hal. 117-118

  • 6

    Konsep Global Theology yang diusung John Hick ini, jika ditelusuri lebih

    jauh, maka konsepnya sangat terpengaruh oleh pandangan Smith. Hick dalam

    analisisnya mengenai fenomena pluralitas agama menyatakan bahwa Wilfred

    Cantwell Smith dalam teori-teorinya tentang agama adalah yang paling

    bertanggung jawab dalam menciptakan perubahan cara pandang orang-orang

    terhadap kehidupan agama manusia.26

    Penyataan ini bisa menjadi legitimasi

    sekaligus mengajak orang menggunakan cara pandang Smith, agar mendapatkan

    pandangan yang benar dan obyektif, atau setidaknya mendekati obyektif, terkait

    fenomena keragaman agama-agama yang ada. Pernyataannya itu juga bisa

    menjadi bukti terpengaruhnya Hick oleh gagasan-gagasan atau pandangan-

    pandangan Smith. Hal ini sesuai dengan pengakuan Hick di dalam kata

    pendahuluan salah satu bukunya.27

    Hick menafsirkan fenomena pluralitas agama berdasarkan kesimpulan

    Smith bahwasanya kehidupan spiritual keagaman manusia tidaklah berhenti dan

    tetap (static), melainkan senantiasa baru, berkembang dan berubah-ubah secara

    terus menerus sesuai dengan perubahan masa dan perkembangan akal manusia.

    Dari sini, dengan serta merta, ia masuk untuk membangun teori pluralisme yang

    relevan dengan era globalisasi saat ini.28

    Ia berkata:

    Religions as institutions, with the theological doctrines and the

    codes of behaviour that form their boundaries, did not come about

    because the religious reality required this, but because such a

    development was historically inevitable in the days of undeveloped

    communication between the different cultural groups. Now that the

    world has become a communicational unity, we are moving into a new

    situation in which it becomes both possible and appropriate for

    religious thinking to transcend these cultural-historical boundaries.29

    (Agama-agama sebagai institusi-institusi, dengan doktrin-

    doktrin teologis dan etika-etika perilaku yang membentuk tapal-batas-

    tapal-batasnya, tidaklah timbul karena realitas agama memang

    meniscayakan hal itu, tapi karena perkembangan semacam ini memang

    merupakan sesuatu yang secara historis tak terhindarkan ketika sarana

    komunikasi antar berbagai kelompok kultural masih belum maju. Kini

    bahwa dunia telah menjadi satu kesatuan komunikasional, kita sedang

    bergerak menuju sebuah situasi baru di mana wacana atau pemikiran

    26

    John Hick, Religious Pluralism, in Frank Whaling, (ed.), The Worlds Religious

    Traditions: Current Perspectives in Religious Studies (Edinburgh: T. & T. Clark, 1984), hlm. 147.

    27John Hick, An Interpretation of Religion, (Gifford Lecture, 1986-87), hlm. xiii-xiv

    28Lihat: John Hick, Philosophy of Religion (New Delhi: Prentice Hall, [1963] 3rd ed.

    1983), hlm. 112-13.

    29Ibid, hlm. 113.

  • 7

    keagamaan menjadi mungkin dan patut untuk melampaui batas-batas

    kultural dan historis ini.)

    Wacana keagamaan lintas kultural ini, menurut Hick, harus dibungkus

    dalam kemasan yang ia sebut sebagai Global Theology (teologi global). Karena

    menurutnya, teologi global akan relevan dengan fenomena pluralitas agama

    sebagai bentuk kehidupan beragama yang realistis.30

    Dalam pandangannya, jika

    dianggap tidak mungkin adanya agama universal, maka sebetulnya ada

    kemungkinan untuk menggagas cara-cara dan upaya-upaya untuk mencapai

    teologi global (suatu terminologi yang menurutnya preferable).31

    Menurut Hick, upaya untuk mencapai teologi global tentu saja tidak

    mudah, tapi juga tidak mustahil. Maka, ia menggulirkan sebuah tesis tentang

    transformasi dari pemusatan agama menuju pemusatan tuhan (the transformation

    from self-centredness to Reality-centredness). Di sini tampak bahwa dalam

    melihat fenomena agama, Hick menggunakan terminologi self (diri) sebagai

    pengganti religion (agama). Ia mengikuti kacamata Smithian yang mengganti

    istilah agama dengan iman dan himpunan tradisi. Iman Smithian ini, oleh

    Hick didefinisikan sebagai something of vital religious significance (sesuatu

    makna keagamaan yang vital). Ia kemudian berpendapat bahwa iman dalam arti

    seperti ini memiliki bentuk yang beragam dan berbeda dalam konteks bermacam-

    macam tradisi historis di seluruh dunia.32

    Hick memahami iman ini sebagai the

    exercise of cognitive freedom (latihan kebebasan kognitif).33

    Dan dalam hal ini

    seluruh manusia sama, yaitu mulai dari respons yang negatif, tertutup, dan

    eksklusif, sampai respons yang positif, terbuka terhadap eksistensi ketuhanan

    yang dapat menggeser dan menaikkan derajat dan level spiritual seseorang dan

    secara gradual menuju eksistensi ketuhanan34

    atau yang ia namakan dalam

    bukunya yang lain sebagai radical self-transcendence (transendensi-diri yang

    radikal) dalam berbagai bentuknya.35

    Secara praktis, proses transformasi ini

    terjadi pada diri semua manusia secara sama, tidak ada perbedaan yang prinsipil

    antara yang satu dengan yang lain dalam berbagai konteks keagamaan. Dengan

    kata lain, Hick ingin menegaskan bahwa jalan keselamatan tidaklah tunggal dan

    30

    John Hick, God and the Universe of Faiths, hlm. 106.

    31Lihat: John Hick, God Has Many Names (London: Macmillan, 1980), hlm. 8.

    32Hick, Religious Pluralism.... hlm. 148; dan ---------, Problems of Religious Pluralism,

    hlm. 29.

    33Hick menjelaskan hal itu dalam bukunya An Interpretation of Religion, hlm. 160.

    34Hick, Religious Pluralism,.... hlm. 148; ----------, Problems of Religious Pluralism,

    hlm. 29.

    35Lihat: Hick, An Interpretation..,.... hlm. 161.

  • 8

    monolitik, melainkan plural dan beragam sesuai dengan jumlah tradisi-tradisi atau

    ajaran-ajaran yang dilalui manusia sebagai respon terhadap Realitas ketuhanan

    yang absolut.36

    Tesis inilah yang menjadi salah satu doktrin penting dalam konsep

    teologi global Hick.

    Selanjutnya, jalan menuju teologi global akan semakin terbuka jika

    pemahaman terhadap konsep Tuhan juga direvolusi. Hal ini bisa dimaklumi

    karena untuk mendukung salah satu doktrin penting teologi global; yaitu jalan

    keselamatan tidaklah monolitik, diperlukan konsep tentang Tuhan yang sesuai.

    Oleh karena itulah Hick memilih menggunakan terminologi the Real (Zat yang

    Nyata) sebagai pengganti terminologi God (Tuhan). Kemudian ia bedakan antara

    the Real an sich atau the noumenal Real (Zat yang Nyata sebagaimana

    adanya) dan the phenomenal Real (Zat yang Nyata sebagaimana yang tampak

    oleh manusia melalui tradisi dan agama yang berbeda-beda).37

    Menurut Hick,

    kesalahan umum yang dilakukan manusia sampai saat ini adalah meyakini bahwa

    Tuhan yang mereka ketahui melalui kacamata-kacamata tradisional dan kultural

    mereka Yahweh, Trinitas, Allah, Krisna, Wisnu, Siwa dsb. adalah Tuhan atau

    Realitas ketuhanan yang absolut, dan oleh karenanya merupakan titik pusat dan

    pangkal keselamatan satu-satunya. Padahal tidak demikian sebenarnya, karena

    Tuhan-tuhan tersebut, menurut hipotesa Hick, hanyalah gambaran dari Realitas

    ketuhanan yang Absolut yang Tunggal dan tak terbatas oleh segala macam

    ungkapan, konsepsi, dan pemahaman.38

    Oleh karena itu, The Real inilah yang

    menjadi sentra yang sebenarnya.

    Selanjutnya Hick melihat bahwa mayoritas umat beragama memiliki

    pandangan yang keliru terhadap keselamatan, pembebasan dan pencerahan.

    Pandangan keliru itu ia sebut sebagai nalar teologi Ptolemaik, sebagaimana

    astronomi Ptolemaik menganggap bahwa planet bumi merupakan pusat sistem

    tata-surya dan bahwa semua benda-benda langit berevolusi dan berrotasi

    mengelilingi bumi. Makna analogisnya, setiap pengikut agama menganggap

    36

    Teori ini adalah teori yang berusaha ditekankan dan dikukuhkan Hick dalam semua

    karyanya, khususnya bukunya yang berjudul Problems of Religious Pluralism yang

    menggabungkan delapan makalahnya yang pernah dipublikasikan di beberapa buku dan jurnal.

    Buku ini mulai awal hingga akhir mengupas wacana ini secara detail dan komprehensif.

    37Wacana tentang ketuhanan menurut John Hick merupakan wacana epistemologis. Oleh

    karena itu, ia mengikuti epistemologi Kantian yang membedakan antara noumenon (thing an

    sich, atau thing as it is in itself, yakni sesuatu sebagaimana adanya) dan phenomenon (thing as

    experienced by human being, yakni sesuatu sebagaimana yang tampak oleh manusia). Kemudian

    ia mengaplikasikannya pada konsep Tuhan, walaupun Kant sendiri sebenarnya tidak

    melakukannya. Karena menurut Kant, hal itu di luar kemampuan akan manusia.

    38John Hick berkali-kali mengulang analisis Kantiannya ini di berbagai karyanya, lihat

    misalnya: Hick, Philosophy of Religion, hlm. 118-121; ---------, Religious Pluralism, hlm. 159-

    164; ---------, Problems of Religious Pluralism, hlm.39-44; ---------, An Interpretation of Religion,

    hlm. 240; ---------, The Real and Its Personae and Impersonae, hlm. 143-58.

  • 9

    bahwa agamanya merupakan pusat dunia agama-agama dan bahwa agama-agama

    lain berevolusi dan berrotasi mengelilinginya.39

    Implikasinya, doktrin Kristen

    tidak ada keselamatan di luar Kristen, atau doktrin Islam agama yang benar di

    sisi Allah hanyalah Islam adalah teologi Ptolemaik.

    Di mata Hick, nalar teologi Ptolemaik sangat problematis. Hal ini

    disebabkan karena di era globalisasi, di mana tumbuh dan berkembang penemuan-

    penemuan baru ilmiah dan sosio-kultural, khususnya di bidang astronomi dan

    ilmu perbandingan agama, orientasi pandangan semacam ini, menjadi sesuatu

    yang baseless, dan untenable (tak mungkin dipertahankan), serta harus

    diperbaharui sebagaimana yang ia katakan, Kita harus melakukan apa yang

    disebut revolusi Copernican dalam teologi agama-agama.40 Kemudian ia

    menjelaskan lebih lanjut:

    Now the Copernican revolution in astronomy consisted in a

    transformation in the way in which men understood the universe and

    their own location within it. It involved a shift from the dogma that the

    earth is the centre of the revolving universe to the realization that it is

    the sun that is at the centre, with all the planets, including our own

    earth, moving around it. And the needed Copernican revolution in

    theology involves an equally radical transformation of the universe of

    faiths and the place of our own religion within it. It involves a shift

    from the dogma that Christianity is at the centre to the realization that

    it is God who is at the centre, and that all the religions of mankind,

    including our own, serve and revolve around him.41

    (Kini revolusi Copernican dalam astronomi terjadi karena

    sebuah transformasi dalam cara manusia memahami alam dan posisi

    mereka di dalamnya. Transformasi ini melibatkan suatu pergeseran

    dari dogma bahwa bumi adalah pusat dari alam yang berputar

    mengelilinginya menuju sebuah pemahaman bahwa mataharilah

    sesungguhnya yang berada di pusat, dan semua planet, termasuk bumi

    kita, bergerak mengelilinginya. Dan revolusi Copernican yang

    diperlukan dalam teologi melibatkan sebuah transformasi yang sama

    radikalnya berkenaan dengan alam agama-agama dan tempat atau

    posisi agama kita sendiri di dalamnya. Ia melibatkan sebuah

    pergeseran dari dogma bahwa Kristen berada di pusat, menuju

    39

    Hick, God Has Many Names,...hlm. 51.

    40Ibid.

    41John Hick, God and the Universe of Faiths, hlm. 130. Penjelasan singkat tentang teori

    ini juga dapat ditemukan dalam buku-buku Hick yang lain, seperti berikut: Hick, John, God Has

    Many Names, hlm. 52; ----------, Whatever Path Men Choose is Mine, hlm. 182; dan ----------,

    Trinity, Incarnation and Religious Pluralism, hlm. 199.

  • 10

    pemahaman bahwa Tuhanlah yang berada di pusat, dan semua agama-

    agama manusia, termasuk agama kita, berputar di sekelilingNya).

    Revolusi Copernican dalam teologi mengharuskan umat beragama untuk

    tidak lagi meyakini bahwa hanya agamanyalah yang benar. Karena sebenarnya

    seluruh agama menyembah Tuhan yang sama yaitu The Real. Dialah yang

    menjadi pusat dari agama-agama di dunia ini sebagaimana matahari menjadi

    pusat planet-plenet. Dari sini bisa dicatat bahwa Hick yang seorang Kristen,

    ingin mengajak saudaranya yang beragama Kristen yang masih meyakini

    absolutisme Kristen, untuk merevolusi keyakinannya. Namun ia juga

    mengharapkan revolusi teologis seperti ini juga diterapkan kepada seluruh

    agama.42

    Karena menurutnya inilah satu-satunya solusi yang aplikatif dalam

    membangun kehidupan bersama yang penuh dengan kedamaian, kesetaraan, dan

    toleransi diantara agama-agama dan budaya yang sangat beragam dan saling

    bertentangan, sebagai jawaban atas tantangan globalisasi.

    C. Kesatuan Transenden Agama-Agama

    Frithjof Schuon43

    dengan gagasannya Transcendent Unity of Religions44

    .

    Gagasan ini menegaskan Tuhan yang disembah oleh agama adalah sama meski

    dengan nama yang berbeda. Jadi di balik perbedaan agama-agama, ada harapan

    untuk bertemu pada level transcendental yakni Tuhan. Kesatuan terjadi pada level

    Tuhan yang disembah bukan pada tataran yang nampak. Schuon mengatakan

    bahwa bila tidak ada persamaan pada agama-agama, maka kita tidak akan

    menyebutnya dengan nama yang sama agama.45

    42

    Lihat: ----------, Problems of Religious Pluralism, hlm. 50-1; dan ----------, Trinity,

    Incarnation and Religious Pluralism, hlm. 199.

    43 Schuon lahir di Basel, (1907-1998) adalah pemikir terbesar dari ranah tradisionalis di

    bidang agama dan dikenal sebagai penggagas dari religio perennis, yang dalam kehidupan

    pribadinya dikenal juga sebagai seorang guru Sufi bernama Syaikh Isa Nuruddin Ahmad al-Shadhili al-Alawi al-Maryam setelah ia memeluk Islam. Selengkapnya lihat Jean-Baptiste Aymard dan Patrick Laude, Frithjof Schuon; Life and Teachings, (Pakistan: Suhail Academy

    Lahore, 2005), Seyyed Hossein Nasr and William Stoddart (Eds.), Religion of the Heart; Essays

    presented to Frithjof Schuon on his eightieth birthday, 1st Edition, (Washington: Foundation for

    Traditional Studies, 1991), dan Seyyed Hossein Nasr, (Ed.), The Essential Writing of Frithjof

    Schuon, (New York: Amity House, 1986).

    44

    Salah satu konsep utama kelompok ini adalah konsep Sophia Perennis, bahwa

    setiap agama terdapat tradisi-tradisi sakral yang perlu dihidupkan dan dipelihara secara adil. Lihat

    Adnin Armas, Gagasan Frithjof Schuon Tentang Titik Temu Agama-Agama di ISLAMIA,

    Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, Thn I No 3, September-November 2004, hal. 9-10.

    45Frithjof Schuon, Islam and the Perennial Philosophy, Daphne Buckmaster (Ed.) .J.

    Peter Hobson (Tr.). 1st Edition by (World of Islam Festival Publishing Company Ltd, 1976), hal. 9.

  • 11

    Schuon mengatakan bahwa agama-agama berbeda dalam aspek-aspek

    eksternal (exoteric) namun mempunyai unsur batin (esoteric) yang sama46

    . Dari

    asumsi ini, ia berkesimpulan bahwa semua agama memiliki kebenaran dan bersatu

    pada dimensi Kebenaran (Tuhan yang sama)47

    .

    Dimensi Esoterik adalah dimensi yang mengandung aspek metafisis dan

    internal agama yang bersemayam di tataran Transenden lagi suci.48

    Tanpa

    esoteris, agama akan teredusir menjadi sekedar aspek eksternal dan dogmatis-

    formalistik. Kehidupan beragama eksoterisme ada pada dunia bentuk (a world of

    forms), namun bersumber dari Esensi yang Tak Berbentuk (the Formless Essence)

    yang esoteris.49

    Intinya ide ini menekankan terdapat kesamaan dalam dimensi

    esoterik agama, meskipun pada kenyataan berbeda bentuk ritual keagamaan,

    doktrin, kitab suci, ibadah dan segala macam yang nampak secara lahiriah.

    Meskipun agama memiliki perbedaan dalam level eksoterik tetapi cenderung

    sama pada level esoterik. Sehingga tidak mengherankan apabila kemudian ada

    istilah Satu Tuhan, banyak jalan.

    Lalu jika yang Absolut hanya dicapai pada level esoterik maka baginya

    setiap agama akan bertemu pada level ini.50

    Schuon nampaknya memberi kesan

    bahwa setiap pemeluk agama seakan-akan meyembah Tuhan yang sama meski

    dengan cara yang berbeda. Padahal kenyataannya tidak demikian, bagaimana

    mungkin setiap agama yang memiliki konsepsi yang berbeda-beda mengenai

    Tuhan bisa bersatu dan bertemu.51

    Schuon memiliki banyak pengikut, diantara

    yang paling setia adalah Seyyed Hossein Nasr, dan Indonesia, idenya sering

    dijadikan rujukan, diantaranya adalah oleh Nurcholis Madjid dan Jaluddin

    46 Muhammad Legenhausen, Islam and Religious Pluralism, terj. Arif Mulyadi dan Ana

    farida, Pluralitas dan Pluralisme Agama, (Jakarta: Lentera Basritama 2002), cetakan pertama, hal.

    144. Lihat juga Frithjof Schuon, Gnosis: Divine Wisdom, a new translation with selected letters,

    Mark Perry et al (Trs.), (Canada: World Wisdom, 2006), p. 4-5. U.S.A: Wheaton-The

    Theosophical Publishing House,1984). Selain Schuon sebelumnya telah ada Hazrat Imayat Khan

    misalnya dengan gagasan semisal, The Unity of Religious Ideals, juga Bhagavan Das, The

    Essential Unity of All Religions. 47 Schuon mengatakan esoterism is revelation and its interiorizing realize totality to the

    same extent, Frithjof Schuon, Esoterism, hal. 15.

    48

    Frithjof Schuon, Survey of Metaphysics and Esoterism, 1st Edition (Pakistan:

    Suhail Academy Lahore, 2005), hal. 115. Dengan jalan Transendental dapat ditemukan norma-

    norma abadi dari inti setiap ajaran agama-agama. Frithjof Schuon, Roots, p. 68.

    49 dimensi esoteris agama-agama itu berada di atas eksoteris, pada dimensi esoteris

    terdapat titik temu agama-agama. Lihat Frithjof Schuon, The Essential Writings, Seyyed

    Hossein Nasr (Ed.), hal. 15.

    50 semua kebenaran menurut Schuon berada di luar bentuk, Frithjof Schuon, Survey of

    Metaphysics and Esoterism, hal. 90. Juga Frithjof Schuon, The Essential Writings, Seyyed Hossein

    Nasr (Ed.), hal. 149.

    51 Adian Husaini, Tinjauan Historis Konflik Yahudi Kristen Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), hal. 9.

  • 12

    Rahmat.52

    Dengan cara transendental ini, ditemukan adanya norma-norma abadi

    yang hidup dalam hati setiap agama-agama maupun tradisi-tradisi spiritual kuno

    yang olehnya disebut The Heart of Religion yang bersifat Ilahi.53

    Secara konseptual, ide Schuon bermasalah. Sebenarnya perbedaan tidak

    hanya terjadi pada level eksoterik karena pada level esoterik pun terjadi

    perbedaan diantara agama-agama.54

    Jelas sekali ia mencoba untuk membenarkan

    semua agama. Itupun ia dasarkan pada intelek.55

    Al-Quran banyak mengkritisi

    dimensi esoterik dari agama-agama lain. Jika sama, dalam Islam tidak akan ada

    sebutan untuk shirk, kafir dan dawah. Diutusnya nabi untuk berdakwah adalah

    justru karena di tataran esoterik berbeda. Dalam Islam dimensi esoterik agama

    tidak bisa dipisahkan dengan dimensi eksoterisnya. Syeikh Nawawi al-Jawi

    mengatakan bahwa syari'at nabi diteruskan dan disempurnakan oleh nabi

    setelahnya.56

    Dengan demikian (Truth claim) harus dibela sekaligus diterima,57

    karena secara jelas ajaran agama menjelaskannya. Yang perlu dicatat adalah truth

    claim tidak mesti dengan kekerasan antar agama.

    D. Pandangan Agama-Agama Terhadap Pluralisme

    1. Pandangan Katolik

    Semakin gencarnya gerakan pluralisme agama membuat para tokoh

    agama-agama bereaksi memberi tanggapan dan penolakan. Dari kalangan tokoh

    Katolik, Paus Yohannes Paulus II, telah mengeluarkan sebuah dekrit yang disebut

    Dekrit Dominus Jesus pada tahun 2000 untuk menolak paham pluralisme agama

    tersebut. Tokoh Katolik lainnya, Prof. Frans Magnis Suseno telah menulis buku

    52

    setiap agama sebenarnya merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan yang sama. Ibarat roda, pusat itu adalah Tuhan, dan jari-jari itu adalah jalan dari berbagai Agama. Kata pengantar Cak Nur dalam buku Tiga Agama Satu Tuhan, ter. Santi Indra Astuti, (Bandung:

    Mizan, 1999), hal. xix. Dengan bahasa yang hampir sama Jalaluddin Rakhmat dalam buku Islam

    dan Pluralisme: Akhlak Quran Perbedaan, (Jakarta: Serambi, 2006), hal. 34. 53

    Budhy Munawar Rachman, Islam Pluralis, Wacana Kesetaraan Kaum Beriman,

    (Jakarta: Srigunting, 2004). hal. 116. 54

    sedangkan dalam Islam tidak adak perbedaan antara level esoteric dan eksoterik,

    keduanya harus menjadi satu. Ma'rifat dan haqqah haruslah sejalan dengan tharqah dan syarah.

    Selebihnya lihat Adnin Armas, Gagasan Frithjof Schuon Tentang Titik Temu Agama-Agama,

    dalam ISLAMIA, Thn I No 3, September-November 2004, hal. 16.

    55 intelek menurut Schuon adalah cara satu-satunya untuk mencapai kebenaran metafisik,

    tetapi dalam kesempatan lain ia menyatakan bahwa sumber pengetahuan kita tentang Allah adalah

    pada saat yang sama adalah akal dan wahyu. Frithjof Schuon, Gnosis, chapter 2, dikutip dari The

    Essential Writings, hal. 150. Pada prinsipnya intelek mengetahui segalanya. Frithjof Schuon, Logic and Transcendence, 1

    st Edition, (New York: Harper & Row Publisher Inc, 1984), hal. 71-72.

    Jadi menurutnya intelek memiliki posisi dan peran yang khusus. 56

    lihat Muhammad bin 'Umar Nawawi al-Jawi, Maroh Labid Li Kasyfi Ma'na al-Qur'an

    al-Majid Jilid I (Beirut: Dar al-Kotob Al-Ilmiyah, 2006), hal. 280.

    57 Tidak seperti pendapaat Charles Kimball lihat dalam karyanya When Religion Becomes

    Evil, terj. Nurhadi, Kala Agama Jadi Bencana, (Bandung: Mizan, 2003), cetakan pertama.

  • 13

    berjudul Menjadi Saksi di Tengah Masyarakat Majemuk untuk menanggapi

    gerakan ini.58

    Menurut Frans Magnis Suseno di bukunya tersebut, pluralisme

    agama adalah paham yang menolak eksklusivisme kebenaran sebagaimana

    dikemukakan para pengusungnya seperti John Hick, Paul F. Knitter dari kalangan

    Protestan dan Raimundo Panikkar dari Katolik. Mereka mengganggap agama

    yang mengklaim sebagai yang paling benar itu merupakan kesombongan.

    Vatikan menerbitkan penjelasan Dominus Jesus pada tahun 2000 untuk

    menolak paham pluralisme agama.59

    Penjelasan ini menyatakan secara tegas

    penolakan Gereja Katolik terhadap paham pluralisme Agama sekaligus

    mempertegas kembali bahwa Yesus Kristus adalah satu-satunya pengantara

    keselamatan Ilahi dan tidak ada orang yang bisa ke Bapa selain melalui Yesus.

    Di kalangan Katolik sendiri, Dominus Jesus menimbulkan reaksi keras.

    Frans Magnis sendiri mendukung Dominus Jesus itu, dan menyatakan, bahwa

    Dominus Jesus itu sudah perlu dan tepat waktu. Menurutnya, pluralisme agama

    hanya di permukaan saja kelihatan lebih rendah hati dan toleran daripada sikap

    inklusif yang tetap meyakini imannya. Bukan toleransi namanya jika untuk mau

    saling menerima dituntut agar masing-masing melepaskan apa yang mereka

    yakini. Ambil saja sebagai contoh Islam dan Kristianitas. Pluralisme mengusulkan

    agar masing-masing saling menerima karena masing-masing tidak lebih dari

    ungkapan religiusitas manusia, dan kalau begitu, tentu saja mengklaim kebenaran

    mutlak tidak masuk akal. Namun yang nyatanya menjadi tuntutan kaum pluralis

    adalah agar Islam melepaskan klaimnya bahwa Allah dalam al-Quran memberi

    petunjuk definitif, akhir dan benar tentang bagaimana manusia harus hidup agar ia

    selamat, dengan sekaligus membatalkan petunjuk-petunjuk sebelumnya. Dari

    kaum Kristiani, kaum pluralis menuntut untuk mengesampingkan bahwa Yesus

    itu Sang Jalan, Sang Kehidupan dan Sang Kebenaran, menjadi salah satu

    jalan, salah satu sumber kehidupan dan salah satu kebenaran, jadi melepaskan

    keyakinan lama yang mengatakan bahwa hanya melalui Putra manusia bisa

    sampai ke Bapa.

    58

    Frans Magnis Suseno, Menjadi Saksi Kristus di Tengah Masyarakat Majemuk, (Jakarta:

    Penerbit Obor, 2004), hal. 59.

    59 Dominus Jesus dikonsep dan semula ditandatangani oleh Kardinal Ratzinger dan

    dikeluarkan pada tanggal 28 Agustus 2000. Dokumen ini telah menimbulkan perdebatan sengit di

    kalangan Kristen, termasuk intern Katolik sendiri. Dokumen ini dikeluarkan menyusul kehebohan

    di kalangan petinggi Katolik akibat keluarnya buku Toward a Christian Theology of Religious

    Pluralism karya Prof. Jacques Dupuis SJ, dosen di Gregorian University Roma. Dalam bukunya

    ini, Dupuis menyatakan, bahwa kebenaran penuh (fullness of truth) tidak akan terlahir sampai

    datangnya kiamat atau kedatangan Yesus kedua. Jadi, katanya semua agama terus berjalan

    sebagaimana Kristen- menuju kebenaran penuh tersebut. Semua agama disatukan dalam

    kerendahan hati karena kekuarangan bersama dalam meraih kebenaran penuh tersebut. (Perdebatan

    tentang Dominus Jesus bisa dilihat, misalnya, dalam John Cornwell, The Pope in Winter, (London:

    Penguin Books, 2005), hal. 192-199.

  • 14

    Terhadap paham semacam itu, Frans Magnis menegaskan:

    Menurut saya ini tidak lucu dan tidak serius. Ini sikap menghina

    kalau pun bermaksud baik. Toleransi tidak menuntut agar kita semua

    menjadi sama, mari kita bersedia saling menerima. Toleransi yang

    sebenarnya berarti menerima orang lain, kelompok lain, keberadaan agama

    lain, dengan baik, mengakui dan menghormati keberadaan mereka dalam

    keberagaman mereka! Toleransi justru bukan asimilasi, melainkan format

    penuh identitas masing-masing yang tidak sama.60

    2. Protestan

    Berbeda dengan agama Katolik yang memiliki pemimpin tertinggi dalam

    hirarkis Gereja (Paus), dalama kalangan Protestan tidak bisa ditemukan satu sikap

    yang sama terhadap paham pluralisme agama. Teolog-teolog Protestan banyak

    yang menjadi pelopor paham ini. Meskipun demikian, dari kalangan Protestan,

    juga muncul tantangan keras terhadap paham pluralisme agama.

    Poltak YP Sibarani dan Bernard Jody A. Siregar menjelaskan alasan

    penolakan Protestan terhadap pluralisme agama:

    Pluralisme bukan sekadar menghargai pluralitas agama tetapi

    sekaligus menganggap (penganut) agama lain setara dengan agamanya.

    Ini adalah sikap yang mampu menerima dan menghargai dan

    memandang agama lain sebagai agama yang baik dan benar, serta

    mengakui adanya jalan keselamatan di dalamnya. Di satu pihak, jika

    tidak berhati-hati, sikap ketiga ini dapat berbahaya dan menciptakan

    polarisasi iman. Artinya, keimanannya atas agama yang diyakininya

    pada akhirnya bisa memudar dengan sendirinya, tanpa intervensi pihak

    lain.61

    Sebuah kajian dan kritik yang serius terhadap paham pluralisme agama

    dilakukan oleh Pendeta Dr. Stevri I. Lumintang, seorang pendeta di Gereja

    Keesaan Injil Indonesia. Kajian Stevri Lumintang dituangkan dalam sebuah buku

    berjudul Theologia Abu-Abu: Tantangan dan Ancaman Racun Pluralisme dalam

    Teologi Kristen Masa Kini, (Malang: Gandum Mas, 2004).

    60

    Sikap Katolik yang menolak paham pluralisme agama sangatlah logis, sebab

    meskipun dalam Konsili Vatikan II, Gereja Katolik telah mengubah sikapnya terhadap agama-

    agama lain, tetapi Konsili juga menetapkan Dekrit Ad Gentes (kepada bangsa-bangsa) yang

    mewajibkan seluruh Gereja untuk menjalankan kerja misionaris. Dalam pidatonya pada tanggal 7

    Desember 1990, yang bertajuk Redemtoris Msi

    61 Poltak YP Sibarani & Bernard Jody A. Siregar, Beriman dan Berilmu: Panduan

    Pendidikan Agama Kristen untuk Mahasiswa, (Jakarta: Ramos Gospel Publishing House, 2005),

    hal. 126.

  • 15

    Dicatat dalam ilustrasi sampul buku ini, bahwa Teologi Abu-Abu adalah

    posisi teologi kaum pluralis. Karena teologi yang mereka bangun merupakan

    integrasi dari pelbagai warna kebenaran dari semua agama, filsafat dan budaya

    yang ada di dunia. Alkitab dipakai hanya sebagai salah satu sumber, itu pun

    dianggap sebagai mitos. Dan perpaduan multi kebenaran ini, lahirlah teologi abu-

    abu, yaitu teologi bukan hitam, bukan juga putih, bukan teologi Kristen, bukan

    juga teologi salah satu agama yang ada di dunia ini. Namun, teologi ini sedang

    meracuni, baik agama Kristen, maupun semua agama, dengan cara mencabut dan

    membuang semua unsur-unsur absolut yang diklaim oleh masing-masing agama.

    Juga dikatakan di dalam buku ini:

    Inti Teololgi Abu-Abu (Pluralisme) merupakan penyangkalan

    terhadapp intisari atau jatidiri semua agama yang ada. Karena,

    perjuangan mereka membangun Teologi Abu-Abu atau teologi agama-

    agama, harus dimulai dari usaha untuk menghancurkan batu sandungan

    yang menghalangi perwujudan teologi mereka. batu sandungan utama

    yang harus mereka hancurkan atau paling tidak yang harus digulingkan

    ialah klaim keabsolutan dan kefinalitasan kebenaran yang ada di

    masing-masing agama. di dalam konteks kekristenan, mereka harus

    menghancurkan keyakinan dan pengajaran tentang Yesus Kristus

    sebagai pernyataan Allah yang final.62

    Menurut Stevri Lumintang:

    Pluralisme adalah suatu tantangan sekaligus bahaya yang sangat serius

    bagi kekristenan. Karena pluralisme bukanlah sekadar konsep sosiologi,

    anthropologis, melainkan konsep filsafat agama yang bertolak bukan dari Alkitab,

    melainkan bertolak dari fakta kemajemukan yang diikuti oleh tuntutan toleransi,

    dan diilhami oleh keadaan sosial-politik yang didukung oleh kemajemukan etnis,

    budaya, dan agama; serta disponsori oleh semangat globalisasi dan filsafat

    relativisme yang mengiringinya. Pluralisme secara terang-terangan menolak

    konsep kefinalitasan, eksklusivisme yang normatif, dan keunikan Yesus Kristus.

    Kristus bukan lagi satu-satunya penyelamat, melainkan salah satu penyelamat.

    Inilah pluralisme, dan di sinilah letaknya kehancuran kekristenan masa kini,

    sekalipun pada hakikatnya kekristenan tidak akan pernah hancur. Penyangkalan

    terhadap semua intisari kekristenan ini, pada hakikatnya adalah upaya untuk

    membangun jalan raya bagi lalu lintas teologi agama-agama atau Theologia Abu-

    Abu (pluralisme). Oleh karena itu, semua disiplin ilmu teologi diupayakan untuk

    dikaji ulang (rekonstruksi) untuk membersihkan teologi Kristen dari rumusan-

    rumusan tradisional atau ortodoks, yang pada hakikatnya merupakan batu

    62

    Stevri I. Lumintang, Theologia Abu-Abu: Tantangan dan Ancaman Racun Pluralisme

    dalam Teologi Kristen Masa Kini, (Malang: Gandum Mas, 2004), hal. 235-236.

  • 16

    sandungan terciptanya Theologia Abu-Abu atau teologi agama-agama (Theologia

    Religionum).63

    Dalam Dokumen Keesaan Gereja-Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia

    (DKG-PGI) yang diputuskan dalam Sidang Raya XIV PGI di Wisma Kinasih, 29

    November-5 Desember 2004, masalah pluralisme agama tidak dibahas secara

    eksplisit. Tetapi, dokumen ini menunjukkan sikap eksklusivitas teologis kaum

    Protestan. Misalnya bisa dilihat dalam Bab IV: Bersaksi dan Memberitakan Injil

    kepada Segala Makhluk, yang menegaskan: Gereja Harus Memberitakan Injil

    kepada Segala Makhluk. Disebutkan dalam bagian ini: Gereja-gereja di

    Indonesia menegaskan bahwa Injil adalah Berita Kesukaan yang utuh dan

    menyeluruh, untuk segala makhluk, manusia dan alam lingkungan hidupnya serta

    keutuhannya: bahwa Injil yang seutuhnya diberitakan kepada manusia yang

    seutuhnya...

    Dalam Tata dasar Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia pada pasa

    Dalam Tata dasar Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia pada pasal 3

    (Pengakuan) disebutkan:

    Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia mengaku bahwa Yesus Kristus

    adalah Tuhan dan Juruselamat dunia serta Kepala Gereja, sumber kebenaran dan

    hidup, yang menghimpun dan menumbuhkan gereja, sesuai dengan Firman Allah

    dalam Alkitab, yaitu Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru (1 kor. 3 : 11): Karena

    tidak ada seorang pun yang dapat meletakkan dasar lain daripada dasar yang telah

    diletakkan yaitu Yesus Kristus. (bnd. Mat. 16 : 16 ; e. 4 : 15 dan UI. 7 : 6).64

    Di dalam acara kebaktian Minggu, kaum Kristen biasanya mengucapkan

    apa yang mereka sebut sebagai sahada rasuli atau pengakuan iman rasuli yang

    juga disebut dua belas pengakuan iman, yang bunyinya: (1). Aku percaya

    kepada Allah Bapa, yang Mahakuasa, Khalik langit dan bumi. (2) Dan kepada

    Yesus Kristus, Anak-Nya yang tunggal, Tuhan kita, (3) yang dikandung daripada

    Roh Kudus, lahir dari anak dara Maria, (4) yang menderita di bawah

    pemerintahan Pontius Pilatus, disalibkan, mati dan dikuburkan, turun ke dalam

    kerajaan maut. (5) pada hari yang ketiga bangkit pula dari antara orang mati, (6)

    naik ke sorga, duduk di sebelah kanan Allah, Bapa yang Mahakuasa, (7) dan akan

    datang dari sana untuk menghakimi orang yang hidup dan yang mati, (8) Aku

    percaya kepada Roh Kudus, (9) gereja yang kudus dan am; persekutuan orang

    63

    Ibid, hal. 15.

    64 Weinata Sairin (ed), Dokumen Keesaan Gereja-Persekutuan Gereja-gereja di

    Indonesia (DKG-PGI), (Jakarta: BPK, 2006).

  • 17

    kudus; (10) pengampunan dosa, (11) kebangkitan daging, (12) dan hidup yang

    kekal.65

    3. Hindu

    Salah satu buku yang secara keras membantah paham pluralisme agama

    berjudul Semua Agama Tidak Sama, terbitan Media Hindu tahun 2006. Dalam

    buku ini, pahama pluralisme agama disebut sebagai paham Universalisme

    Radikal yang intinya menyatakan, bahwa semua agama adalah sama. Buku ini

    diberi pengantar oleh Parisada Hindu Dharma, induk umat Hindu di Indonesia.

    Editor buku ini, Ngakan Made Madrasuta menulis kata pengantarnya

    dengan judul Mengapa Takut Perbedaan? Ngakan mengkritik pandangan yang

    menyamakan semua agama, termasuk yang dipromosikan oleh sebagian orang

    Hindu Pluralis yang suka mengutip Bagawad Gita IV:11:

    Jalan mana pun yang ditempuh manusia ke arah-Ku, semuanya Aku

    terima.

    Padahal, jelas Ngakan: Yang disebut Jalan dalam Gita adalah empat

    yoga yaitu Karma Yoga, Jnana Yoga, Bhakti Yoga, dan Raja Yoga. Semua yoga

    ini ada dalam agama Hindu, dan tidak ada dalam agama lain. Agama Hindu

    menyediakan banyak jalan, bukan hanya satu bagi pemeluknya, sesuai dengan

    kemampuan dan kecenderungannya.66

    Bagian pertama buku ini memuat tulisan Giridhar Mamidi yang diberi

    judul Semua Agama Sederajat? Semuanya Mengajarkan Hal yang Sama? Di

    sini, penulis berusaha membuktikan bahwa semua agama tidaklah sama. Hanyalah

    orang-orang Hindu yang suka menyatakan, bahwa semua agama adalah

    mengajarkan hal-hal yang sama. Bahkan, Bharat Ratna Bhagavandas menulis satu

    buku berjudul The Essential Unity of Religious (Kesatuan Esensial dari Semua

    Agama). Mahatma Gandhi pun mendukung gagasan ini.67

    Dr. Frank Gaetano Morales, seorang cendekiawan Hindu, mengecam keras

    orang-orang Hindu yang menyama-nyamakan agamanya dengan agama lain.

    65

    Dr. Harun Hadiwijono, Inilah Sahadatku, (Jakarta: BPK, 2001), hal. 11. Kaum Katolik

    di Indonesia juga menggunakan istilah sahadat untuk menyebut Nicene Creed yang salah satu

    versi redaksinya berbunyi: Kami percaya akan satu Allah, Bapa yang Mahakuasa, Pencipta hal-

    hal yang kelihatan dan tak kelihatan, dan akan satu Tuhan Yesus Kristus, Sang Sabda dari Allah,

    Terang dari Terang, Hidup dari Hidup, Putra Allah yang Tunggal Yang pertama lahir dari semua

    ciptaan, dilahirkan dari Bapa, sebelum segala abad... (Alex I. Suwandi PR, Tanya Jawab

    Syahadat Iman Katolik, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hal. 73.

    66 Ngakan Made Madrasuta (ed), Semua Agama Tidak Sama, (Media Hindu, 2006), hal.

    xxx.

    67 Ibid, hal. 3

  • 18

    Biasanya kaum Hindu pluralis menggunakan metafora gunung (mountain

    metaphor), yang menyatakan:

    Kebenaran (atau Tuhan atau Brahman) berada di puncak dari sebuah

    gunung yanga sangat tinggi. Ada berbagai jalan untuk mencapai puncak gunung,

    dan dengan itu mencapai tujuan tertinggi. Beberapa jalan lebih pendek, yang lain

    lebih panjang. Jalan itu sendiri bagaiamna pun tidak penting. Satu-satunya yang

    sungguh penting, adalah para pencari semua mencapai puncak gunung itu.68

    Morales menjelaskan, bahwa tidak setiap agama membagi tujuan yang

    sama, konsepsi yang sama mengenai Yang Absolut, atau alat yang sama untuk

    mencapai tujuan mereka masing-masing. Tapi, ada banyak gunung filosofis

    yang berbeda-beda, masing-masing dengan klaim mereka yang sangat unik untuk

    menjadi tujuan tertinggi upaya spiritual seluruh manusia. Universalisme Radikal

    yang menyatakan bahwa semua agama adalah sama adalah doktrin yang sama

    sekali tidak dikenal dalam agama Hindu tradisional.69

    Menurut Morales, gagasan persamaan agama dalam Hindu menjadi

    populer saat disebarkan oleh sejumlah tokoh Hindu sendiri. Ia menyebut nama

    Ram Mohan Roy (1772-1833) yang dikenal dengan ajaran-ajarannya yang

    sinkretik. Roy yang juga pendiri Brahmo Samaj, dipengaruhi ajaran-ajaran Gereja

    Unitarian, sebuah sekte atau denominasi agama Kristen heterodoks. Sebagai

    tambahan mempelajari agama Kristen, Islam, dan Sansekerta, dia belajar bahasa

    Ibrani dan Yunani dengan impian untuk menerjemahkan Bibel dalam bahasa

    Bengali. Ia mengaku sebagai pembaru Hindu dan memandang agama Hindu

    melalui kaca mata kolonial Kristen yang telah dibengkokkan.

    Lebih jauh Morales menulis:

    Kaum misionaris Kristen memberi tahu Roy bahwa agama Hindu

    tradisional adalah satu agama barbar yang telah menimbulkan penindasan,

    ketahyulan, dan kebodohan kepada rakyat India. Dia mempercayai mereka...

    Dalam semangat misionaris untuk mengkristenkan agama Hindu, kaum pembaru

    Hindu ini bahkan menulis satu traktat anti-Hindu dikenal sebagai The Precepts of

    Jesus: The Guide to Peace and Happiness (Ajaran-ajaran Yesus: Penuntun

    kepada Kedamaian dan Kebahagiaan). Dari kaum misionaris Kristen ini secara

    langsung Roy mendapat bagian terbesar dari ide-idenya, termasuk ide anti-Hindu

    mengenai kesamaan radikal dari semua agama.70

    68

    Ibid, hal. 22.

    69 Ibid, hal. 23.

    70 Ibid, hal. 45-46.

  • 19

    Pengganti Roy berikutnya adalah Debendranath Tagore dan Kashub

    Chandra Sen, yang mencoba menggabungkan lebih banyak lagi ide-ide Kristen ke

    dalam noe-Hinduisme. Sen bahkan lebih jauh lagi meramu kitab suci Brahmo

    Samaj yang berisi ayat-ayat dari berbagai tradisi agama yang berbeda, termasuk

    Yahudi, Kristen, Islam, Hindu, dan Budhis. Dengan Kejatuhan Sen ke dalam

    kemurtadan anti-Hindu dan megalomania, gerakan ini menurun secara drastis

    dalam pengaruh pengikutnya, tulis Morales. Pada abad ke-19, muncul dua tokoh

    Universalis Radikal dari Hindu, yaitu Ramakrisna (1836-1886) dan

    Viverakananda (1863-1902). Di samping dipengaruhi oleh akar-akar tradisi

    Hindu, Ramakrishna juga meramu ide dan praktik ritualnya dari agama-agama

    non-Vedic, seperti Islam dan Kristen liberal. Sekalipun tetap melihat dirinya

    sebagai seorang Hindu, Ramakrishna juga sembahyang di masjid-masjid dan

    gereja dan percaya bahwa semua agama ditujukan pada tujuan tertinggi yang

    sama.

    Gagasan Ramakrishna dilanjutkan oleh muridnya yang sangat terkenal,

    yaitu Swami Viverakananda. Tokoh ini dikenal besar sekali jasanya dalam

    mengkampanyekan agama Hindu di dunia internasional. Tetapi, untuk

    menyesuaikan dengan unsur-unsur modernitas, Viverakananda juga melakukan

    usaha yang melemahkan agama Hindu otentik dari leluhur mereka dan

    mengadopsi ide-ide asing seperti Universalisme Radikal, dengan harapan

    memperoleh persetujuan dari tuan-tuan Eropa yang memerintah mereka ketika itu.

    Viverakananda mengadopsi gagasan semacam Universalisme Radikal yang

    bersifat hierarkis yang mendukung kesederajatan semua agama, sementara pada

    saat bersamaan mengklaim bahwa semua agama sesungguhnya sedang

    berkembang dari gagasan religiusitas yang lebih rendah menuju satu mode puncak

    tertinggi, yang bagi Viverakananda ditempati oleh Hindu. Morales mencatat:

    Sekalipun Viverakananda memberi kontribusi besar untuk membantu

    orang Eropa dan Amerika non-Hindu untuk memahami kebesaran agama Hindu,

    Universalisme Radikal dan ketidakakuratan neo-Hindu yang ia kembangkan juga

    telah mengakibatkan kerusakan besar.71

    Pada akhirnya Morales menyimpulkan, bahwa gagasan Universalisme

    Radikal yang dikembangkan oleh sementara kalangan Hindu adalah sangat

    merugikan agama Hindu itu sendiri. Ia menulis:

    Ketika kita membuat klaim yang secara sentimental menenangkan,

    namun tanpa pemikiran bahwa semua agama adalah sama, kita sedang tanpa

    sadar mengkhianati kemuliaan dan integritas dari warisan kuno ini, dan membantu

    memperlemah matrix filosofis/kultural agama Hindu sampai pada intinya yang

    paling dalam. Setiap kali orang Hindu mendukung Universalisme Radikal, dan

    71

    Ibid, hal 48-51.

  • 20

    secara bombastik memproklamasikan bahwa semua agama adalah sama, dia

    melakukan itu atas dasar kerugian besar dari agama Hindu yang dia katakan dia

    cintai.72

    Ketika Hindu menolak paham persamaan agama, maka itu bukan sikap

    mudah, sebab pada bagian lain dari buku ini, agama Hindu juga dikatakan sebagai

    agama pluralistik. Itu karena di dalam agama Hindu sendiri, terdapat begitu

    banyak agama dan perbedaan yang sangat besar antara satu dengan lainnya, di

    mana satu dengan yang lain merupakan agama yang berbeda-beda. Ditulis dalam

    buku ini:

    Agama Hindu adalah agama pluralistik di dunia. Ia mengajarkan bahwa

    ada banyak jalan, banyak orang suci, dan banyak kitab suci, dan bahwa tidak ada

    agama dapat mengklaim memiliki kebenaran eksklusif. Ini tidaklah berarti bahwa

    agama Hindu tidak mengakui satu kesatuan atas kebenaran. Sebaliknya agama

    Hindu mengakui satu kesatuan total dan mendalam tapi satu kesatuan yang cukup

    luas untuk mengijinkan keberagaman dan mengintegrasikan keserbaragaman,

    seperti banyak daun dari sebatang pohon beringin yang besar... Agama Hindu

    dibangun di atas keberagaman dan di dalam dirinya memiliki satu variasi yang

    mengagumkan, dari guru-guru dan ajaran-ajaran dari apa yang tampak sebagai

    bentuk-bentuk yang amata primitif sampai kepada filosofi spiritual dan praktik-

    praktik yoga yang paling abstrak. Seseorang dapat mengatakan bahwa terdapat

    lebih banyak agama di dalam Hindu daripada di luarnya. Agama Hindu

    mempunyai lebih banyak Dewa dan Dewi, lebih banyak pustaka suci, lebih

    banyak oran suci, maharesi, dan avatara dibandingkan dengan agama-agama

    utama dijadikan satu.73

    Tetapi, pluralisme ini diakui masih dalam internal Hindu. Karena itu,

    mereka menolak pandangan kaum Hindu modern yang menyatakan, bahwa semua

    agama adalah satu, bahwa mereka semua pada akhirnya adalah sama, dan

    semuanya sama baiknya. Selanjutnya dikatakan:

    Mereka melihat kepada agama-agama yang berbeda sebagai hanya

    sekadar jalan alternatif untuk mencapai tujuan yang sama. Ini telah menyebabkan

    mereka mencampuradukkan agama-agama yang berbeda menjadi satu, sering

    dengan wiweka yang kecil, mencoba menjadikan semua hal untuk semua orang.

    Sementara pandangan mereka mungkin dimotivasi oleh satu upaya yang tulus

    untuk menciptakan keselarasan agama dan perdamaian dunia, hal ini telah

    menimbulkan banyak distorsi. Di atas semua itu, pandangan bahwa semua agama

    adalah sama telah melawan pendekatan pluralistik dari tradisi Hindu. Menjadikan

    72

    Ibid, hal. 106.

    73 Ibid, hal. 209-210.

  • 21

    semua agama sama adalah satu penolakan atas pluralisme dan dapat melahirkan

    bentuk lain dari intoleransi.74

    4. Islam

    Islam mengakui adanya pluralitas agama, ras dan kultur sebagai kehendak

    Allah (Q.S: Hud: 118) tapi Islam tidak mengakui pluralisme yang memandang

    semua agama sama. Hal itu karena adanya perbedaan fundamental secara teologis

    antara agama-agama. Islam adalah agama Tawhid yang mengakui Allah sebagai

    Tuhan, sedangkan Yahudi mengakui tuhan Yahweh sebagai Tuhan khusus untuk

    golongan mereka; Kristen mengimani satu Tuhan namun memiliki tiga unsur;

    Tuhan Bapak, Tuhan Anak dan Ruh Kudus, atau dikenal dengan Trinitas.

    Sedangkan agama-agama non semitik seperti Hindu, Majusi, Taoisme dan

    lainnya beriman kepada banyak Tuhan atau golongan yang sering disebut

    politeistik.75

    Perbedaan fundamental tersebut menjadikan Islam tidak mentolerir secara

    teologis bahwa agama-agama lain sama dengan Islam, apalagi membuka pintu-

    pintu surga bagi mereka seperti usulan pluralis liberal di Indonesia. Bahkan dalam

    al-Quran, Islam menyalahkan golongan-golongan yang menyeleweng dari Ahli

    Kitab, dan kaum Musyrik lainnya.

    Jika pluralisme membenarkan semua agama, Islam tidaklah demikian.

    Islam meyakini adanya pluralitas agama-agama sebagai kehendak Allah, tapi

    kehendak Allah sebagaimana penjelasan Ibnu Taymiyah terbagi dua: pertama,

    Iradah kawniyah, yaitu kehendak ontologis dalam setiap eksistensi kehidupan

    sebagai keseimbangan; ada baik dan buruk, cahaya dan gelap, laki-laki dan

    perempuan, dan lain sebagainya. Kedua, iradah diniyah, sebagai legislator antara

    yang haqq dan yang bathil. Maka ada ciptaan Allah yang Allah menghendakinya

    secara kawniyah dan diniyah, seperti; kebaikan, kebenaran, iman, dan segala

    sesuatu yang dicintai yang termaktub dalam syariatNya. Dan ada juga

    ciptaanNya yang dikehendaki secara kawniyah namun tidak dikehendaki secara

    diniyah; seperti kufur, kejelekan, kebathilan dan lain sebagainya. 76

    Dalam pandangan Islam, paham pluralisme agama adalah racun, yang

    melemahkan keimanan dan keyakinan akan kebenaran Islam. Islam tegak di atas

    landasan syahadat: pengakuan bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan

    Muhammad adalah utusan Allah. Jadi, Islam bukan hanya percaya kepada Allah,

    74

    Ibid, hal. 213.

    75 Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama; Tinjauan Kritis, hal. 28-29

    76 Taqiyuddin Abu al-Abbas Ahmad bin Abdul Halim Ibnu Taymiyah al-Harrani,

    Majmu Fatawa, Juz: 18 , Tahqiq: Anwar al-Baz dan Amir al-Jazaar, (Daar al-Wafa, Cet. 3,

    1426 H), hal. 134

  • 22

    tetapi juga mengakui kebenaran kerasulan Muhammad. Inilah yang ditolak keras

    oleh kaum Yahudi dan Nasrani sepanjang sejarah.

    Makna Islam itu sendiri digambarkan oleh Nabi Muhammad Saw dalam

    berbagai sabda beliau. Imam al-Nawawi dalam Kitab Hadits-nya yang terkenal,

    al-Arbain an-Nawawiyah, menyebutkan definisi Islam pada hadits kedua: Islam

    adalah bahwasanya engkau bersaksi bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain

    Allah dan bahwa sesungguhnya Muhammad utusan Allah, engkau menegakkan

    shalat, menunaikan zakat, melaksanakan puasa Ramadhan, dan menunaikan haji

    ke Baitullah, jika engkau berkemampuan melaksanakannya. (H.R. Muslim).

    Pada hadits ketiga juga disebutkan, bahwasanya Nabi Muhammad Saw bersabda:

    Islam ditegakkan di atas lima hal: persaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah

    dan Muhammad adalah utusan Allah, penegakan shalat, penunaian zakat,

    pelaksanaan haji ke Baitullah, dan puasa Ramadhan. (H.R. Bukhari dan Muslim).

    Al-Quran sudah menegaskan:

    Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali

    tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk

    orang-orang yang rugi. (Q.S. Ali Imran: 85). Sesungguhnya agama (yang

    diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. (Q.S. Ali Imran: 19).

    III. Kesimpulan

    Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa semua agama memiliki

    kebenaran mutlak dengan konsep ajaran-ajaran yang tak bisa disamakan. Masing-

    masing agama menolak paham pluralisme agama yang mencoba menghilangkan

    perbedaan konsep tersebut. Pluralisme agama hanyalah kedok untuk mengikis

    keyakinan para pemeluk agama yang pada akhirnya memunculkan orang-orang

    ateis. Lama kelamaan, agama-agama di dunia ini kehilangan pengikutnya yang

    mulai bersikap skeptis terhadap agama.

    Kenyataannya, pluralisme agama tidak menjadi solusi atas keragaman

    agama-agama dan keharmonisan hidup manusia. Tapi, pluralisme malah

    menimbulkan polemik baru antraagama yang memaksakan pahamnya untuk

    menyamakan semua agama. Padahal, konsep masing-masing agama jelas berbeda,

    dan tidak bisa disamakan. Karena itulah, pluralisme agama tidak bisa dianut satu

    pun agama di dunia ini. Paham ini hanya akan membuat agama-agama kehilangan

    identitasnya dan pelan-pelan lenyap tanpa pengikut yang mempercayainya.