Upload
others
View
4
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
KAJIAN EKOLINGUISTIK METAFORIS NILAI-NILAI KEARIFAN
LOKAL TRADISI LISAN DÉRÉ SEBAGAI MANIFESTASI JATI DIRI
MASYARAKAT MANGGARAI
TESIS
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Magister Pendidikan
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
YOGYAKARTA
2020
Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Magister
Oleh:
KRISTIANA JAYANTI ANDANG
NIM: 181232001
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA PROGRAM MAGISTER
JURUSAN BAHASA DAN SENI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
i
KAJIAN EKOLINGUISTIK METAFORIS NILAI-NILAI KEARIFAN
LOKAL TRADISI LISAN DÉRÉ SEBAGAI MANIFESTASI JATI DIRI
MASYARAKAT MANGGARAI
TESIS
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Magister Pendidikan
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2020
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA PROGRAM MAGISTER
JURUSAN BAHASA DAN SENI
Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Magister
Oleh:
KRISTIANA JAYANTI ANDANG
NIM: 181232001
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iv
MOTO
“Rahasia kesuksesan adalah mengetahui yang orang lain tidak tahu.”
(Aristotle Onassis)
“Hiduplah seolah engkau mati besok. Belajarlah seolah engkau hidup selamanya."
(Mahatma Gandhi)
HALAMAN PERSEMBAHAN
Seiring dengan ucapan syukur ke hadirat TYME yang telah memberikan berkat dan
restunya hingga saat ini saya dapat menyelesaikan Tesis ini, karya ini saya
persembahkan bagi bagi kedua orang tua, Bapak Hendrikus Andang dan Ibu Yofita
Setia yang senantiasa setia memberikan dukungan baik secara moril maupun materi
selama proses belajar dan penyelesaian Tesis.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vii
Andang, K., J., 2020. Kajian Ekolinguistik Metaforis Nilai-Nilai Kearifan Lokal
Tradisi Lisan Déré sebagai Manifestasi Jati Diri Masyarakat Manggarai.
Tesis. Yogyakarta: Pendidikan Bahasa Indonesia, Program Magister,
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma.
Penelitian ini bertujuan untuk 1) mendeskripsikan wujud nilai-nilai kearifan
lokal, 2) mendeskripsikan makna simbolik nilai-nilai kearifan lokal, 3)
Mendeskripsikan nilai-nilai kearifan lokal Déré yang menunjukan manifestasi jati diri
mamasyarakat Manggarai, 4) Mendeskripsikan strategi preservasi. Jenis penelitian
adalah penelitian kualitatif yang dengan pendekatan ekolinguistik metaforis. Objek
dalam penelitian ini adalah wujud kearifan lokal, makna simbolik wujud kearifan
lokal, nilai kearifan lokal yang menunjukan manifestasi jati diri masyarakat
Manggarai dalam tradisi lisan Déré. Data dalam penelitian ini berupa bagian-bagian
tradisi lisan Déré. Metode pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode
simak dengan teknik dasar dan teknik lanjutan serta metode etnografi.
Metode simak dan teknik ini disejajarkan dengan metode observasi dalam
penelitian sosial sedangkan metode etnografi digunakan untuk melakukan wawancara
mendalam. Instrumen dalam penelitian ini adalah peneliti yang didukung dengan
pedoman wawancara dan alat bantu rekam. Penelitian ini menggunakan metode
analisis ektralingual dan kontekstual yang disejajarkan dengan metode deskripsi
kebudayaan dalam etnografi. Prosedur analisis data dalam penelitian ini meliputi
proses identifikasi data yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia,
klasifikasi data, interpretasi, triangulasi, konfirmasi, dan penulisan laporan hasil
penelitian.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, pertama dalam tradisi lisan Déré
terdapat kearifan lokal tidak berwujud nyata (intangible) berupa 1) ungkapan, 2)
bidal, 3) metafora, 4) petuah, 5) kepercayaan dan 6) kebiasaan dan kearifan lokal
berwujud nyata (tangible) berupa 1) air (Waé) dan 2) altar (compang). Kedua, makna
simbolik wujud kearifan lokal tradisi lisan Déré yaitu, 1) raja, 2) pohon, 3) altar
(compang), 4) Ndéréng, dan 5) air (Waé), 6) bulan (Wulang) dan bintang (Ntala), dan
6) pisang (Muku). Ketiga, nilai yang terkandung dalam tradisi lisan Déré yaitu, 1)
nilai solidaritas, 2) nilai penghormatan, 3) Nilai religius, 4) nilai syukur dan 5) nilai
ketaatan yang menunjukkan manifestasi jati diri masyarakat Manggarai berupa, 1)
masyarakat yang solider dan 2) masyarakat Manggarai sebagai masyarakat yang
religius dan 3) masyarakat Manggarai sebagai masyarakat pekerja keras. Keempat,
strategi preservasi tradisi lisan Déré dilakukan dengan bekerjasama dengan 1)
lembaga keagamaan dan 2) lembaga pendidikan.
Kata Kunci: ekolinguistik metaforis, tradisi lisan Déré, wujud kearifan lokal, nilai
kearifan lokal, makna simbolik, jati diri dan preservasi tradisi lisan.
ABSTRAK
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
viii
ABSTRACT
Andang, K., J., 2020. Metaphorical Ecolinguistic Study of Local Wisdom Values
Déré Oral Traditions as Manifestations of Manggarai People's Identity.
Thesis. Yogyakarta: Indonesian Language Education, Masters Program,
Faculty of Teacher Training and Education, Sanata Dharma University.
This research aims to 1) describe the form of local wisdom values, 2)
describe the symbolic meaning of local wisdom values, 3) describe the values of local
wisdom Déré which shows the manifestation of the identity of the Manggarai
community 4) describe the preservation strategy values. This type of research is
qualitative research with a metaphorical ecolinguistic approach. The object of this
research is the form of local wisdom, the symbolic meaning of the form of local
wisdom, the value of local wisdom that shows the manifestation of the identity of the
Manggarai community in the oral tradition of Déré. The data in this study are in the
parts of Déré's oral tradition. The method of data collection is done by using the
method of referring to basic and advanced techniques as well as ethnographic
methods.
The listening method and this technique are paralleled by the observation
method in social research while the ethnographic method is used to conduct in-depth
interviews. The instruments in this study were researchers who were supported by
interview guidelines and recording aids. This research uses the extralingaling and
contextual analysis method which is paralleled by the method of cultural description
in ethnography. Data analysis procedures in this study include the process of
identifying data that has been translated into Indonesian, data classification,
interpretation, triangulation, confirmation, and writing a research report.
The results of this study indicate that, first in Déré's oral tradition there is
intangible local wisdom in the form of expressions, 2) thimbles, 3) metaphors, 4)
advice, 5) beliefs and 6) habits and local wisdom tangible tangible (tangible) ) in the
form of 1) water (Waé) and 2) altar (tattered). Second, the symbolic meaning of local
wisdom is the oral tradition of Déré, namely, 1) the king, 2) the tree, 3) the altar
(compang), 4) Ndéréng, and 5) water (Waé), 6) month (Wulang) and star (Ntala) ,
and 6) bananas (Muku). Third, the values contained in Déré's oral tradition are, 1)
the value of solidarity, 2) the value of respect, 3) the religious value, 4) the value of
gratitude and 5) the value of obedience that shows the manifestation of Manggarai
community identity in the form of, 1) solider society and 2) the Manggarai community
is a religious society and 3) Manggarai community as a hard-working community.
Fourth, Déré's oral tradition preservation strategy is carried out in collaboration
with 1) religious institutions and 2) educational institutions.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ix
Keywords: metaphorical ecolinguistics, Déré oral traditions, forms of local wisdom,
local wisdom values, symbolic meaning, identity and preservation of oral
traditions
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................. i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................... iii
HALAMAN MOTO DAN PERSEMBAHAN .................................... iv
HALAMAN KEASLIAN KARYA ...................................................... v
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ...................................... vi
ABSTRAK ............................................................................................. vii
ABSTRACT ............................................................................................ viii
KATA PENGANTAR ........................................................................... x
DAFTAR ISI ........................................................................................ xii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1
1.1 Latar Belakang Masalah .................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................. 8
1.3 Tujuan Penelitian .............................................................................. 8
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................ 9
1.5 Sistematika Penelitian ....................................................................... 10
1.6 Batasan Istilah ................................................................................... 11
BAB II KAJIAN TEORI ...................................................................... 14
2.1 Ekolinguistik dan Ekolinguistik Metaforis ....................................... 14
2.2 Bahasa, Kebudayaan dan Masyarakat ............................................... 21
2.3 Tradisi Lisan Déré............................................................................. 26
2.4 Konsep Identitas Masyarakat ............................................................ 33
2.5 Kearifan Lokal .................................................................................. 36
2.6 Pelestarian Tradisi Lisan ………………………………………... 40
2.7 Kerangka Berpikir…………………………………………………. 44
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiii
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ........................................... 46
3.1 Jenis Penelitian .................................................................................. 46
3.2 Sumber Data, Data dan Objek Penelitian .......................................... 47
3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ............................................ 48
3.3.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data Bahasa ...................... 48
3.3.2 Metode dan Teknik Pengumpulan Data Etnografi ................... 50
3.4 Instrumen Penelitian.......................................................................... 54
3.5 Metode dan Teknik Analisis Data ..................................................... 54
3.6 Triangulasi......................................................................................... 57
BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN ........................... 59
4.1 Deskripsi Data ................................................................................... 59
4.2 Hasil Analisis .................................................................................... 64
4.2.1 Wujud Kearifan Lokal Tradisi Lisan Déré .................................. 64
4.2.2 Makna Simbolik Nilai Kearifan Lokal Déré ................................ 95
4.2.3 Nilai Kearifan Lokal yang Memanifestasi Jati Diri Mayarakat
Manggarai .................................................................................... 112
4.2.4 Upaya Preservasi Tradisi Lisan Déré ........................................... 158
4.3 Pembahasan ....................................................................................... 164
4.3.1 Wujud Kearifan Lokal Tradisi Lisan Déré .................................. 164
4.3.2 Makna Simbolik Nilai Kearifan Lokal Déré ................................ 168
4.3.3 Nilai Kearifan Lokal yang Memanifestasi Jati Diri Mayarakat
Manggarai .................................................................................... 172
4.3.4 Upaya Preservasi Tradisi Lisan Déré ........................................... 175
BAB V PENUTUP ................................................................................ 179
5.1 Simpulan ........................................................................................... 179
5.2 Saran .................................................................................................. 183
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiv
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 186
LAMPIRAN-LAMPIRAN ................................................................... 192
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1
BAB I
PENDAHULUAN
Pada pendahuluan, peneliti akan menguraikan enam hal yaitu, latar belakang,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, sistematika penyajian, dan
batasan istilah. Hal-hal tersebut diuraikan dalam subbab berikut.
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara yang dikenal melalui keadaan masyakrat
yang multikulur. Keadaan masyarakat Indonesia yang seperti demikian ditandai
dengan adanya suku, ras, religi dan adat istiadat yang beragam, namun tetap dalam
kesatuan yang utuh. Salah satu hal yang perlu disoroti adalah keragaman kebudayaan
yang tercermin dalam adat istiadat yang terdapat disetiap daerah. Dalam kaitannya
dengan cerminan kebudayaan, tradisi lisan menjadi salah satu hal yang perlu dikaji
secara ilmiah, mengingat bahwa tradisi lisan merupakan suatu sistem yang selaras
antara manusia, lingkungan dan penciptanya.
Tradisi lisan menjadi salah satu bagian adat istiadat yang melekat dalam sebuah
kebudayaan tertentu. Tradisi lisan adalah sejarah itu sendiri. Di antara berbagai jenis
sumber sejarah, tradisi menduduki sebuah tempat yang istimewa. Tradisi adalah
pesan, tetapi bukanlah pesan yang tertulis (Vansia, 2014: xiv). Pandangan terkait
tradisi lisan tersebut menunjukan bahwa tradisi lisan dijadikan sebagai bentuk
ataupun cara masyarakat suatu kebudayaan tertentu dalam menyampaikan sesuatu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
Konsep “tradisi lisan” mengacu pada tradisi yang disampaikan secara turun-temurun
dari satu generasi ke generasi lain dengan media lisan melalui “mulut ke telinga”
(Sibarani, 2015:4). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tradisi lisan adalah
proses penyampaian tradisi yang dalam hal ini adalah pesan dilakukan secara lisan
dan turun-temurun dalam satu komunitas masyarakat.
Tradisi lisan sebagai tradisi yang menduduki sebuah tempat yang istimewah
hendaknya dapat dijaga dan dilestarikan, namun nyatanya kini telah mengalami
kemerosotan dalam melawan kemajuan zaman. Tim Peneliti Nilai-nilai Pendidikan
Agama dalam Tradisi Lisan dari Balai Litbang Agama Jakarta menemukan lima
tradisi lisan yang mengalami kepunahan dan menutut adanya penggalian dan
pengkajian. Terdapat indikator dalam melakukan kajian tradisi yaitu, tradisi lisan
merupakan sesuatu yang unik dan hampir punah (Republika, 2018). Kepunahan
tradisi lisan khas nusantara dipengaruhi oleh banyak hal salah satunya adalah
kurangnya perhatian terhadap pendidikan multikulturalisme. Kurangnya pendidikan
multikulturalisme menyebabkan pendidikan dan penelitian terhadap budaya dan
bahasa makin tidak popular (Berita satu, 2011).
Hal ini didasari oleh keadaan bangsa Indonesia yang kaya akan budaya. Perlu
memberi porsi terhadap pendidikan multikultur, selain sebagai identitas komunitas
tradisi lisan juga menjadi sumber penting dalam pembentukkan karakter bangsa.
Hilangnya tradisi bisa menghilangkan struktur sosial dan sifat keturunan dari bangsa,
pandangan filosofis, pola pikir dan nilai-nilai kehidupan serta menghilangkan
ekspresi linguistik (Berita satu, 2011). Hal ini menunjukkan betapa penting menjaga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
kelestarian tradisi yang di dalamnya terkandung nilai-nilai kehidupan masyaraka,
pola pikir bahkan identitas pemilik tradisi. Tradisi lisan dapat menjadi gerbang masuk
dalam mengenal keadaan hingga persmasalahan suatu masyarakat.
Selain itu memasuki era baru yaitu, Revolusi 4.0 yang menimbulkan kemajuan di
bidang IPTEK yang telah memeberikan pengaruh terhadap perkembangan kearifan
lokal. Dalam dunia pendidikan, dengan adanya revolusi industri 4.0 memberikan
dampak positif dengan semakin maju dan berkembangnya sistem pembelajaran kita,
akan tetapi juga memberikan dampak negatif bagi dunia pendidikan kita apabila tidak
mampu menjawab tantangan yang muncul di era sekarang. Dampak negatif yang
ditimbulkan dan dapat kita lihat sekarang ini adalah kurangnya pemahaman mengenai
pendidikan multikultural bagi generasi muda kita dalam hal ini anak usia sekolah
(Rohman & Ningsih, 2018: 44). Besarnya pengaruh negatif revolusi 4.0 yang dialami
ini menyebabkan kekhawatiran akan pudarnya nilai-nilai luhur budaya yang ada
dalam kebudayaan lokal. Dengan demikian, dibutuhkan pemahaman mendalam
mengenai nilai-nilai kearifan lokal dalam tradisi yang dapat dijadikan sebagai dasar
ketahanan nasional. Brata (2016: 9) menyebutkan bahwa kearifan lokal merupakan
elemen budaya yang harus digali, dikaji, dan direvitalisasikan karena esensinya
begitu penting dalam penguatan fondasi jati diri bangsa dalam menghadapi tantangan
globalisasi.
Berdasarkan bukti di atas, peneliti menyadari bahwa mencari, menjaga dan
mempertahankan nilai-nilai wujud dan makna simbolik nilai kearifan lokal yang
terkandung dalam tradisi lisan merupakan tindakan yang tepat dalam menjaga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
eksistensi tradisi lisan. Salah satu hal yang dapat dilakukan adalah dengan mengkaji
nilai-nilai kearifan lokal dalam sebuah tadisi lisan yang mampu mencerminkan
identitas masyarakat pemiliknya serta merancang strategi preservasi tradisi lisan.
Warisan budaya dan kearifan lokal, dalam hal ini budaya, menjadi bagian penting
dalam menumbuhkan dan membangun jati diri (Yulianti, 2015).
Sejalan dengan itu, salah satu masyarakat di wilayah NTT, yaitu masyarakat
Manggarai memiliki adat kebiasaan tradisi lisan berupa Déré. Daerah Manggarai
pada dasarnya telah terbagi dalam tiga wilayah yang berbeda, yaitu Manggarai Barat,
Manggarai Timur dan Manggarai Tengah. Namun pembahasan dalam penelitian ini
tidak akan memisahkan antara ketiga wilayah Manggarai tersebut. Manggarai
digunakan sebagai wilayah kultural juga mengikutsertakan Manggarai Barat dan
Manggarai Timur hanya sebagai wilayah administratif (Deki, 2011: 40).
Masyarakat Manggarai memiliki ketertarikan yang tinggi terhadap dunia seni dan
bentuk kesenian masyarakat Manggarai tersebut diklasifikasi dalam dua jenis yaitu
seni sastra dan seni pertunjukan (Deki, 2011: 87). Sebagai sebuah kajian dalam dunia
linguistik, maka fokus dalam penelitian ini adalah seni sastra karena mengandung
unsur verbal. Salah satu bentuk kesusastraan yang terdapat dalam kebudaya
Manggarai adalah Déré. Déré merupakan salah satu bentuk kesenian yang
menyampaikan maksud dalam syair-syair dengan iringan nada-nada tertentu yang
membantuk suatu kesatuan bunyi. Déré memiliki ciri khas dalam alunan nada yang
diciptakan untuk mengiringi syair-syair (Deki, 2011: 171). Déré dalam Bahasa
Indonesia diartikan sebagai syair lagu yang dilantunkan dengan beragam alunan nada.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
Hampir di setiap ucapara adat yang diselenggarakan oleh masyarakat Manggarai
pada umumnya diwarnai dengan tradisi lisan Déré. Hal ini secara tidak langsung
ingin menunjukan adanya hubungan antara ungkapan dalam tradisi lisan mayarakat
Manggarai dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya baik nilai sosial, religi,
budaya dan histori. Pemaparan tersebut sejalan dengan teori Linguistic Antropology
yang disampaikan oleh (Duranti, 1997: 25) bahwa melalui bahasa tercermin seluk
beluk kebudayaan tertentu dan sebagai bentuk performansi aktivitas sosial dan
budaya. Melalui tradisi lisan Déré, masyarakat Manggarai juga dapat menunjukan
identitas sosial dan budayanya yang tentu saja berbeda dengan masyarakat lain yang
terdapat di wilayah Indonesia.
Supriatin (2012:407) menyatakan bahwa tradisi lisan Tradisi lisan adalah warisan
leluhur yang banyak menyimpan kearifan lokal, kebijakan, dan filosofi hidup yang
terekspresikan dalam bentuk mantera, pepatah-petitih, pertunjukan, dan upacara adat.
Tradisi lisan sebagai warisan leluhur yang mengandung banyak hal penting di
dalamnya sehingga penting untuk suatu masyarakat tertentu untuk tetap menjaga
kelestarian tradisi lisan. Lebih lanjut, Supriatin (2012: 408) yang mengatakan bahwa
tradisi lisan yang terdapat di Nusantara, sekaligus juga menyimpan identitas bangsa
karena pada tradisi lisan terletak akar budaya dan akar tradisi sebagai subkultur atau
kultur Indonesia. Melalui hal-hal tersebut dapat terlihat dengan jelas bahwa tradisi
lisan Déré yang terdapat dalam budaya Manggarai terkandung nilai-nilai kearifan
lokal yang mampu memanifestasi jati diri masyarakat Manggarai. Mengingat bahwa,
tradisi lisan menjadi bagian dari kebudayaan yang patut dijaga, maka masing-masing
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
masyarakat yang menjadi bagian dari kebudayaan diharapkan mampu menjaga dan
mempertahankan kelestariannya. Dengan demikian, salah satu hal utama yang hendak
dikaji oleh peneliti dalam penelitian ini adalah mendeskripsikan manifestasi jati diri
masyarakat Manggarai yang terdapat dalam tradisi lisan Déré.
Tradisi lisan Déré sebagai bagian dari budaya masyarakat Manggarai tentu
mengandung nilai-nilai kearifan lokal yang patut dilestarikan. Kearifan lokal adalah
tatanan sosial budaya dalam bentuk pengetahuan, norma, peraturan dan keterampilan
masyarakat di suatu wilayah untuk memenuhi kebutuhan (hidup) bersama yang
diwariskan secara turun temurun (Duranti, 1997: 25; Hidayati, 2017: 40). Dalam
mengkaji hal tersebut, peneliti menggunakan prespektif ekolinguistik untuk mengkaji
hubungan antara bahasa dan ekologi. Pada perkembangnya, konsep ekologi
dibedakan menjadi dua yaitu, ekologi metaforis dan ekologi biologis.
Tradisi lisan Déré yang dikaji dalam penelitian ini dianggap sangat relevan
prespektif ekolinguistik metaforis. Hal ini didasari oleh beberapa alasan, seperti
yang dikemukakan oleh (A. Fill & Muhlhausler, 2006), yaitu (1) perbedaan
kerangka kerja yang berbeda antara ekologi metaforis dan ekologi biologis. (2)
fokus penelitian yang dikaji dalam penelitian ini melibatkan konteks sosial dan
budaya masyarakat budaya Manggarai, yaitu untuk melihat hubungan antara
penggunaan bahasa di dalam tradisi lisan Déré dengan lingkungan sosial dan budaya
masyarakat Manggarai. Ekolinguistik metaforis melihat hubungan antara penggunaan
bahasa Manggarai dalam tradisi lisan Déré menunjukkan bahwa penggunaan
bahasa berupa kata-kata maupun kalimat merupakan bagian yang tak terpisahkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
dari sebuah kebudayaan. Pola pikir, cara berprilaku dan kebiasaan suatu
masyarakat dapat tercermin dalam bahasa yang digunakan. Melalui hal ini dapat
terlihat adanya keterlibatkan antara lingkungan sosial dan budaya masyarakat
Manggarai.
Dengan demikian terdapat beberapa identifikasi masalah diantaranya adalah (1)
tradisi lisan Déré menjadi salah satu tradisi lisan yang tidak dapat dipisahkan dari
kebudayaan masyarakat Manggarai dan hingga saat ini masih melekat dengan
kehidupan masyarakat Manggarai sehingga sangat penting untuk diteliti secara
mendalam. (2) Terdapat wujud nilai-nilai kearifan lokal serta makna simbolik dalam
kearifan lokal tradisi lisan Déré masyarakat Manggarai yang belum diteliti secara
baik dan lengkap. (3) Tradisi lisan dari waktu ke waktu semakin dilupakan, sehingga
besar kemungkinan mengalami kepunahan. Untuk itu perlu dilakukan preservasi
tradisi lisan agar tetap ada dan menjadi kekhasan dari masing-masing kebudayaan.
Berdasarkan pemaparan tersebut dapat diketahui bahwa kajian ekolinguistik
metaforis nilai-nilai kearifan lokal tradisi lisan Déré sebagai manifestasi jati diri
masyarakat Manggarai relevan dan penting untuk dilakukan. Peneliti merumusakan
judul penelitian yaitu, kajian ekolinguistik metaforis nilai-nilai kearifan lokal tradisi
lisan Déré sebagai manifestasi jati diri masyarakat Manggarai.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, terdapat rumusan masalah utama dalam
penelitian ini adalah “Bagaimanakah manifestasi jati diri masyarakat Manggarai yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
terdapat dalam tradisi lisan Déré berdasarkan kajian ekolinguistik metaforis?”
Rumusan masalah utama tersebut dijabarkan dalam empat sub masalah, yaitu:
1. Apa sajakah wujud nilai-nilai kearifan lokal yang tercermin dalam tuturan Déré
berdasarkan kajian ekolinguistik metaforis?
2. Apa sajakah makna simbolik nilai-nilai kearifan lokal yang tercermin dalam
tuturan Déré berdasarkan kajian ekolinguistik metaforis?
3. Bagaimanakah nilai-nilai kearifan lokal Déré menunjukan manifestasi jati diri
masyarakat Manggarai berdasarkan kajian ekolinguistik metaforis?
4. Bagaimanakah strategi preservasi nilai-nilai kearifan lokal yang tercermin dalam
tuturan Déré agar tetap lestari?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan umum dari penelitian ini adalah
“Mendeskripsikan jati diri masyarakat Manggarai yang termanifestasi dalam tradisi
lisan Déré berdasarkan kajian ekolinguistik metaforis”. Tujuan umum tersebut
diperinci dalam tujuan khusus sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan wujud nilai-nilai kearifan lokal yang tercermin dalam tuturan
Déré berdasarkan kajian ekolinguistik metaforis.
2. Mendeskripsikan makna simbolik nilai-nilai kearifan lokal yang tercermin dalam
tuturan Déré berdasarkan kajian ekolinguistik metaforis.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
3. Mendeskripsikan nilai-nilai kearifan lokal Déré yang menunjukan manifestasi jati
diri masyarakat Manggarai berdasarkan kajian ekolinguistik metaforis.
4. Merumuskan strategi preservasi nilai-nilai kearifan lokal yang tercermin dalam
tuturan Déré agar tetap lestari.
1.4 Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan tersebut, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
bagi khalayak baik manfaat teoritis dan praktis. Pada penelitian ini, manfaat teoretis
dan manfaat praktis tersebut dijelaskan sebagai berikut:
1.4.1 Manfaat Teoretis
Manfaat teoretis dari penelitian ini dijabarkan sebagai berikut;
1. Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat untuk pengembangan teori dalam
hubungannya antara lingkungan ekonomi, sosial dan budaya (ekolinguistik
metaforis).
2. Hasil penelitian ini dapat memberi sumbangsih teori nilai kearifan lokal dan
makna simbolik tradisi lisan Déré masyarakat Manggarai.
3. Hasil penelitian ini dapat memberi sumbangsih teori tentang jati diri serta tradisi
lisan Déré masyarakat Manggarai.
4. Hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangsih teori preservasi tradisi lisan,
khususnya tradisi lisan Déré masyarakat Manggarai.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
1.4.2 Manfaat Praktis
Manfaat praktis dari penelitian ini dijabarkan sebagai berikut;
1. Hasil penelitian ini dapat membantu para tenaga pengajar untuk memanfaatkan
hasil penelitian sebagai bahan ajar kontekstual terkait pelajaran muatan lokal.
2. Hasil penelitian ini dapat digunakan oleh pemerintah Manggarai dalam
merancang program pembangunan masyarakat Manggarai berbasis kearifan
lokal.
3. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai upaya memelihara dan
mempertahankan tradisi lisan Déré masyarakat Manggarai dari ancaman
kepunahan.
1.5 Sistematika Penyajian
Penelitian ini terdiri dari lima bab, berikut ini adalah uraian sistematis penelitian
ini. Bab I berisi tentang pendahuluan terdiri dari latar belakang, rumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan istilah dan sistematika penelitian. Bab II
berisi tentang landasan teori yang memuat teori- teori yang relevan dengan topik
penelitian. Sub-subtopik dalam landasan teori ini berupa integrasikan penelitian-
penelitian terdahulu yang relevan dengan teori-teori ekolinguistik dan ekolinguistik
metaforis, kebudayaan, masyarakat dan bahasa, tradisi lisan Déré, konsep jati diri
masyarakat, konsep kearifan lokal, preservasi tradisi lisan, dan kerangka berpikir.
Bab III berisi tentang metodologi penelitian. Metode penelitian ini menjabarkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
tentang jenis penelitian, sumber data, data, dan objek penelitian, teknik pengumpulan
data, instrumen pengumpulan data, teknik analisis data dan triangulasi.
1.6 Batasan Istilah
Ada beberapa istilah penting yang digunakan dalam penelitian ini. Beberapa
istilah tersebut kemudian dibatasi oleh peneliti. Adapun pembatasan istilah tersebut
dijelaskan sebagai berikut:
1. Ekolinguistik Metaforis
Ekolinguistik metaforis merupakan studi interdisipliner yang mengkaji hubungan
antara bahasa dengan lingkungan sosial dan budaya (Haugen, 1972: 325).
Hubungan antara bahasa dan lingkungan sekitar (sosial, politik dan budaya) di
mana sebuah bahasa digunakan dapat bersifat timbal balik.
2. Tradisi Lisan
Konsep “tradisi lisan” mengacu pada tradisi yang disampaikan secara turun-
temurun dari satu generasi ke generasi lain dengan media lisan melalui “mulut ke
telinga” (Sibarani, 2015: 4). Tradisi lisan diartikan sebagai tradisi dalam bentuk
lisan atau verba dan penyampaiannya diwariskan turun-temurun secara lisan.
3. Tradisi Lisan Déré
Déré merupakan salah satu bentuk kesenian yang menyampaikan maksud dalam
syair-syair dengan iringan nada-nada tertentu yang membantuk suatu kesauan
bunyi. Déré memiliki ciri khas dalam alunan nada yang diciptakan untuk
mengiringi syair-syair (Deki, 2011: 171). Hal ini mengimplikasikan bahwa tradisi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
lisan Déré memiliki makna kontinuitas (keberlanjutan), adat kebiasaan yang
dalam hal ini merupakan ungkapan verbal sebagai milik bersama yang diteruskan
untuk dipraktikkan dalam kelompok masyarakat tertentu yaitu, masyarakat
Manggarai.
4. Kearifan Lokal
Kearifan lokal adalah tatanan sosial budaya dalam bentuk pengetahuan, norma,
peraturan dan keterampilan masyarakat di suatu wilayah untuk memenuhi
kebutuhan (hidup) bersama yang diwariskan secara turun temurun (Duranti, 1997:
25; Hidayati, 2017: 40). Dalam praktiknya, kearifan lokal semacam itu dihayati,
diajarkan, dan diwariskan dari satu generasi ke generasi lain, yang sekaligus
membentuk pola perilaku manusia dalam masyarakat.
5. Jati Diri
‘Jati diri’ merujuk pada dua pengertian, yakni (1) ‘ciri-ciri, gambaran, atau
keadaan suatu benda; identitas’; dan (2) ‘inti, jiwa, semangat, dan daya gerak dari
dalam; spiritualitas’ (KBBI, 2016). Istilah ‘jati diri' merujuk pada konsep jati diri
kolektif masyarakat tertentu yang terwujud di dalam tradisi lisan dapat berupa
biologis, sosiologis, psikologis, dan ideologis suatu masyarakat tertentu.
6. Preservasi Tradisi Lisan
Preservasi adalah semua hal yang merujuk pada proses pengawetan,
pemeliharaan, penjagaan, perlindungan (KBBI, 2016). Berdasarkan pengertian
tersebut maka preservasi tradisi lisan merujuk pada segala macam bentuk upaya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
pemeliharaan, penjagaan dan perlindungan agar tradisi lisan tetap bertahan
sebagaimana adanya. Preservasi dilakukan pada bahasa yang terancam punah,
maupun yang telah mengalami kepunahan dengan fokus penelitiannya yaitu,
menyelidiki, mendokumentasikan dan menyelamatkannya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
BAB II
LANDASAN TEORI
Pada bab ini peneliti menguraikan tujuh kajian teori yang diintegrasikan dengan
penelitian-penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini yaitu, ekolinguistik
dan ekolinguistik metaforis, kebudayaan, masyarakat dan bahasa, tradisi lisan Déré,
konsep identitas masyarakat, konsep kearifan lokal, pelestarian tradisi lisan, dan
kerangka berpikir. Hal-hal tersebut dipaparkan sebagai berikut.
2.1 Ekolinguistik dan Ekolinguistik Metaforis
Kajian ekolinguistik mengangkat persoalan terkait hubungan antara bahasa dan
lingkungan di mana suatu bahasa dipergunakan. Hubungan bahasa dan lingkungan
dibedakan menjadi ekolinguistik metaforis dan ekolinguistik alamiah. Fokus kajian
dalam penelitian ini adalah ekolinguistik metaforis. Berikut dijelaskan secara
mendalam terkait pendekatan ekolinguistik metaforis yang dijadikan sebagai
kerangka teori sekaligus pisau analisis dalam mendeskripsikan wujud nilai kearifan
lokal, makna simbolik keraifan lokal, nilai keraifan lokal yang menunjukan
manifestasi jati diri masyarakat Manggarai dalam tradisi lisan Déré serta strategi
preservasi tradisi lisan Déré.
2.1.1 Ekolinguistik
Kajian ekolinguistik sebagai bidang ilmu interdisipliner yang mengkaitkan
ekologi dan linguistik pertama kali dipelopori Haugen (1972:35) yang lebih dikenal
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
dengan “ekologi bahasa”. Haugen memandang bahwa ekologi bahasa adalah kajian
tentang hubungan bahasa dan lingkungannya. Hal yang paling mendekati dengan
konteks ini adalah konsep ekolinguistik metafosir yang disampaikan oleh Haugen,
yaitu terdapat hubungan tali temali dengan dimensi-dimensi non alamiah yang dapat
berupa dimensi sosial, kultural dan historis. Bahasa terdapat dalam pikiran
penuturnya, bahasa dapat memiliki fungsi apabila digunakan untuk menghubungkan
antarpenutur, dan penutur dengan lingkungannya, baik itu dalam lingkungan alamiah
maupun yang non alamiah (Haugen, 1972:35; Fill & Penz, 2018). Bidang kajian
ekolinguistik, yaitu suatu disiplin ilmu yang mengkaji bahasa dan lingkungannya dan
menyandingkan ekologi dengan linguistik (Mbete, 2009: 1). Sejalan dengan itu,
prespektif ekolinguistik disebut sebagai muara natural dari berbagai interdisipliner
linguistik yang bertugas mengupas masalah-masalah di dalam lingkungan budaya,
sosial, politik, bahkan hukum (Rahardi et al., 2016:1-2). Dalam pembahasannya,
ekolinguistik mencoba mengangkat persoalan-persoalan terkait bahasa berserta
lingkungan di mana bahasa itu digunakan. Baik itu lingkungan sosial, ekonomi,
politik dan budaya.
Beberapa konsep ekolinguistik yang digunakan untuk mengupas tuntas
perubahan timbal balik antara lingkungan dan bahasanya bisa menjelaskan bahwa
pergeseran nilai, norma-norma dan kultur yang ada dalam masyarakat bisa
menyebabkan perubahan dan tekanan dalam bahasa sebagai akibat dari tekanan
terhadap lingkungan yang turut terjadi sebelumnya (Umiyati, 2011). Konsep
dimaksud meliputi konsep ekolinguistik kritis, keberlanjutan, konsep masyarakat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
berisiko, parameter ekolinguistik, leksikon, serta konsep ideologi. Konsep
ekolinguistik hadir sebagai bentuk respon terhadap perubahan yang dipengarhi oleh
perubahan lingkungan alam, sosial, dan budaya yang melanda lingkungan bahasa
tersebut. Perubahan yang melanda aspek-aspek sosial dan budaya pendukungnya juga
berpengaruh terhadap penggunaan bahasa.
Haugen (1972) berupaya menggunakan analogi dari ekologi dan lingkungan
dalam menciptakan metafora berupa metafora ekosistem yang ditujukan untuk
menjelaskan hubungan dan interaksi bermacam-macam bentuk bahasa yang ada di
dunia. Dalam bentuk metafora tersebut, Haugen membuat perbandingan antara
ekologi dengan spesies hewan atau fauna dan tanaman atau flora, serta seluruh
kandungan mineral yang berada di lingkungan ekologi tersebut. Haugen (1972: 325)
menggambarkan bahwa bahasa sesungguhnya hanya ada di dalam otak penggunanya
dan hanya berfungsi menghubungkan penggunanya dengan sesama dan kepada alam
yaitu, lingkungan sosial, lingkungan buatan dan lingkungan alam. Haugen
menunjukan bahwa antara bahasa dijadikan sebagai penyokong dalam proses
interaksi antara pengguna bahasa dan lingkungan sekitarnya.
Selanjutnya A. Fill & Muhlhausler (2006) menjelaskan bahwa Haugen berupaya
menciptakan suatu studi ekologi dan bahasa dalam hubungannya dengan kognitif
manusia pada komunitas multilingual dengan keberagaman bahasa yang mereka
miliki. “The ecology of language meant the study of the interrelations between
languages in the human mind and in the multilingual community”. Peneliti bahasa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
hanya memiliki kecendrungan untuk meneliti permasalahan-permasalahan bahasa
yang bersifat internal yaitu, persoalan bahasa yang berkaitan dengan fonologi,
kaidah-kaidah bahasa dan leksikon. Pembicaraan yang mengarah kepada ekologi
bahasa dianggap masih sangat kurang, padahal menurut Haugen (1972: 325),
penelitian ekologi bahasa atau ekolinguistik dapat merambah luas dan bekerjasama
dengan antropologi, sosiologi, psikologi dan ilmu politik. Hal ini disebabkan kajian
ekolinguistik sejatinya merupakan kajian interaksi antara bahasa apa saja dengan
lingkungannya. Definisi lingkungan merujuk pada pikiran seseorang kepada dunia
nyata tempat bahasa itu digunakan karena lingkungan alam dari sebuah bahasa adalah
masyarakat pengguna bahasa itu sendiri.
Ekolinguistik adalah kajian yang menyandingkan kajian bahasa dan ekologis
(Nuzwaty et al., 2014). Bahasa terdapat dalam pikiran penuturnya, bahasa dapat
memiliki fungsi apabila digunakan untuk menghubungkan antarpenutur, dan penutur
dengan lingkungannya, baik itu dalam lingkungan alamiah maupun yang non
alamiah. Proses interaksi yang terjadi di lingkungan di mana seseorang tinggal,
menuntut adanya kemampuan mempergunakan bahasa sebagai media berinteraksi.
Kemampuan seseorang dalam menggunakan sistem bahasa dianggap sebagai hasil
interaksi seseorang terhadap lingkungannya. Individu yang lahir dan bertumbuh
dalam suatu lingkungan tertentu membiasakan diri untuk belajar dan mengadaptasi
sistem yang ada di lingkungan tersebut. Istilah Ekolinguistik (ekologi bahasa)
berhubungan dengan kata ‘ekologi’ yaitu ilmu yang mempelajari interaksi antara
organisme dengan lingkungannya dan yang lainnya. Lingkungan dalam hal ini
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
merujuk pada pikiran seseorang terhadap dunia nyata tempat bahasa itu digunakan
karena lingkungan alam dari sebuah bahasa adalah masyarakat pengguna bahasa
tersebut. Kajian ekologi mencakup ketergantungan dalam suatu sistem, sedangkan
dalam kajian ekologi bahasa yang dilihat adalah konsep ekologi memadukan
lingkungan, konservasi, interaksi, dan sistem dalam bahasa (A. Fill & Muhlhausler,
2006).
Ekologi bahasa bermetamorfosis menjadi ekolinguistik yang tidak hanya
mencakup pengertian alamiah (natural ecolinguistics) maupun ekolinguistik dalam
pengertian metaforis (metaphoric ecolinguistics). Ekolinguistik natural banyak
disebut envirolinguistik (envirolinguistics), sedangkan sedangkan ekolinguistik
metaforis lazim diterminologikan ekolinguistik (Rahardi et al., 2016:1). Ekolinguistik
mataforis menjadi prespektif teori yang paling relevan dengan persoalan yang dibahas
dalam penelitian ini. (Rahardi et al., 2016) menegaskan bahwa dalam ekolinguistik
metaforis sebagai bentuk preservasi nilai-nilai kearifan lokal dan sangat erat
kaitannya dengan pembelajaran, termasuk di dalamnya adalah wujud kearifan lokal
dengan latar belakang kultur yang berbeda. Ekolinguistik metaforis tidak hanya
berfokus pada persoalan-persoalan lingkungan melainkan mencoba menampilkan
nilai-nilai kearifan lokal yang bersifat khas dalam budaya tertentu serta berusaha
mengusung berbagai strategi pelestarian yang diharapkan mampu mengatasi
persoalan kepunahan suatu bahasa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
2.1.2 Ekolinguistik Metaforis
Ekolinguistik sebagai sebuah kajian baru dalam dunia linguistik ini muncul
pertama-tama karena keprihatinan terhadap hilangnya keanekaragaman linguistik
(Pupavac, 2012: 198; Fill & Penz, 2018: i). Salah satu bentuk ‘hilangnya linguistik’
ini bukan semata-mata hilangnya bahasa ataupun dialek, tetapi termasuk juga
hilangnya tradisi- tradisi yang mengikutsertakan bahasa di dalamnya. Dalam hal ini,
lingkungan bahasa adalah hubungan antartempat di mana proses interaksi antara
bahasa dan lingkungan ini berlangsung. Sehingga pada gilirannya terminologi
ekolinguistik bermetamorfosis menjadi ekolingustik, baik ekolinguistik dalam
pengertian alamiah (natural ecolinguistics) maupun ekolinguistik dalam pengertian
metaforis (metaphoric ecolinguistics). Ekolinguistik natural banyak disebut
envirolinguistik (envirolinguistics), sedangkan ekolinguistik metaforis lazim
diterminologikan ekolinguistik (Rahardi et al., 2016:1). Di dalam penelitian ini,
peneliti tetap menggunakan istilah ekolinguistik metaforis sebagai bentuk penegasan
bahwa penelitian ini bukanlah penelitian ekolinguistik natural atau envirolinguistik.
Ekolinguistik metaforis terkandung nilai-nilai mendasar yakni preservasi nilai-nilai
kearifan lokal (local values) yang mustahil dilepaskan dari praksis pembelajaran
bahasa. Ketika peneliti telah sampai pada pembahasan mengenai hubungan tersebut
maka nilai-nilai kearifan lokal masyarakat setempat juga akan tampak (Rahardi et al.,
2016: 1-2). Ekolinguistik metaforis tidak hanya mengangkat persoalan lingkungan
dan bahasa, namun secara tidak langsung memerihkan nilai-nilai keraifan lokal secara
eksplisit dari masyarakat tersebut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
Nash (2019: 243) mengemukakan bahwa ekolinguistik atau bidang ekologi
bahasa terutama berkaitan dengan dua bidang penelitian utama. Pertama, analisis
wacana lingkungan, sering disebut analisis wacana ekologis atau bahasa ekologi dan
lingkungan. Kedua, ekologi bahasa sebagai interaksi antara manusia, pikiran, dan
lingkungan yang sering diungkapkan melalui studi leksiko-gramatika, tentang
bagaimana manusia berbicara dan beradaptasi secara linguistik dengan lingkungan
baru dan juga asing. Berdasarkan kedua bidang penelitian tersebut, sebenarnya
ekologi merupakan studi tentang saling keterkaitan dan interaksi spesies dan entitas
lainnya. Ekolinguistik didefinisikan sebagai studi tentang interaksi timbal balik antara
bahasa dan antara bahasa dan lingkungannya. Setiap komponen bahasa, pengguna
serta lingkungan di mana bahasa digunakan menjadi satu kesatuan yang memberikan
pengaruh antara satu komponen dengan komponen lainnya.
Terdapat penelitian terdahulu yang membahas tentang kajian ekolinguistik
metaforis yang dianggap masih relevan dengan penelitian ini yaitu, “Tradisi Lisan
Takanab sebagai Wujud Identitas Masyarakat Dawan: Kajian Ekolinguistik
Metaforis” oleh Antonius Nesi (2018). Penelitian yang dilakukan oleh peneliti
tersebut menggunakan kajian ekolinguistik metaforis sebagai pisau pembedah
persoalan yang dibahas dalam penelitian untuk mendeskripsikan wujud jati diri dan
kearifan lokal dari tradisi lisan Takanab. Pendekatan ekolinguistik metaforis pada
penelitian tersebut melihat bahwa bahasa dalam tradisi lisan Takanab tidak dapat
terlepas dari konteks lingkungan sosial dan budaya masyarakat Dawan. Penelitian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
yang dilakukan oleh Antonius Nesi (2018) menjawab tiga rumusan masalah yaitu, jati
diri, wujud kearifan lokal dan strategi preservasi tradisi lisan Takanab.
Selain penelitian yang dilakukan Nesi (2018) terdapat penelitian lain yang
membahas tentang tradisi lisan dengan menggunakan pendekatan ekolinguistik.
Penelitian yang dilakukan oleh (Helmon, 2020) tentang “Tradisi Lisan Torok sebagai
Manifestasi Jati Diri Masyarakat Manggarai”. Penelitian ini menggunakan kajian
ekolinguistik metaforis dalam memaknai persoalan yang dibahas dalam penelitian
untuk mendeskripsikan wujud kearifan lokal, nilai kearifan lokal dan jati Mayarakat
Manggarai melalui tradisi lisan Torok. Terdapat beberapa perbedaan dan persamaan
antara penelitian ini dengan kedua penelitian terdahulu. Perbedaan antara penelitian
terdahulu dan penelitian yang dilakukan ini adalah bentuk tradisi lisan yang diteliti
dan hal yang hendak dikaji. Sedangkan persamaannya terletak pada penggunaan
metodologi etnografi sebagai metode penelitian serta pemecahan persoalan terkait
tradisi lisan menggunakan pendekatan ekolinguiatik metaforis.
2.2 Bahasa, Kebudayaan dan Masyarakat
Terdapat beberapa teori yang dapat mengambarkan hubungan antara bahasa,
kebudayaan dan masyarakat. Berikut dijelaskan ketiga hal tersebut.
2.2.1 Bahasa dan Kebudayaan
Salah satu konsep yang paling melekat dalam ekolinguistik bahwa bahasa
memiliki hubungan yang erat dengan lingkungan yang ada di sekitarnya. Lingkungan
ini dapat merujuk pada, lingkungan sosial maupun lingkungan budaya. Sejalan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
dengan itu, Haugen (1972:325) berpendapat bahwa bahasa adalah bagian dari
lingkungan yang lebih besar yang bersifat fisik (pengguna bahasa hanya ada di
lingkungan fisik), psikologis (bahasa berinteraksi dengan bahasa lain di benak
bilingual dan multibahasa penutur), dan sosiologis (bahasa berinteraksi dengan
masyarakat di yang berfungsi sebagai media komunikasi). Hal itu didukung oleh
pendapat bahwa setiap bahasa memiliki perangkat kata tertentu sebagai petunjuk
bahwa kata-kata itu menjadi bagian yang penting dalam sebuah kebudayaan
(Mulyadi, 2014:93). Hal ini nampak dalam pola pikir dan tingkahlaku yang
diwujudkan menggunakan kata-kata dalam bahasa kebudyaaan tertentu.
Suatu bahasa tidak bisa dipahami hanya sebagai sistem struktural yang tidak
tergantung pada penutur dan budaya mereka (Garner, 2014:112). Dalam kaitannya
dengan ekolinguistik, perlu dibahasa secara khusus terkait hubungan antara bahasa
dan kebudayaan. Lebih lanjut, Sitompul & Simaremare (2017:26) menyatakan bahwa
dalam kebudayaan bahasa menduduki tempat yang unik dan terhormat. Selain sebagai
unsur kebudayaan, bahasa juga berfungsi sebagai sarana terpenting dalam pewarisan,
pengembangan, dan penyebarluasan kebudayaan.
Foley (1997:3) mendefenisikan bahwa “Antropological linguistics views
language through the prism of the core anthropological concept, culture, and such,
seeks to uncover the meaning behind the use, misuse, or non-use of language, its
different forms, registers and style. It is an interpretive discipline peeling away at
language to find cultural understandings”. Linguistik antropologi sebagai subdisiplin
linguistik, berkaitan dengan tempat bahasa dalam konteks budaya maupun sosial dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
memiliki peran menyokong dan menempa praktek-praktek kultural dan struktur
sosial. Melalui pengertian ini diketahui bahwa antropolinguistik mencoba mengkaji
bahasa, budaya dan aspek lain yang ada di dalamnya memiliki peranan yang tidak
terpisahkan satu dengan yang lainnya. Pemahaman bahasa membantu memahami
suatu budaya.
Sibarani (2004: 51) dalam (Sitompul & Simaremare, 2017:27) menyatakan
terdapat tiga relasi yang perlu diperhatikan. Pertama, hubungan antara satu bahasa
dengan satu budaya yang bersangkutan. Hal ini berarti bahwa ketika mempelajari suatu
budaya, kita juga harus mempelajari bahasanya, dan ketika kita mempelajari bahasanya
kita juga harus mempelajari budayanya. Kedua, hubungan bahasa dengan budaya secara
umum yang mengartikan bahwa setiap ada satu bahasa dalam suatu masyarakat, maka ada
satu budaya dalam masyarakat itu. Bahasa meng- indikasikan budaya, perbedaan bahasa
berarti perbedaan budaya atau sebaliknya. Ketiga, hubungan antara linguistik sebagai
ilmu bahasa dengan antropologi sebagai ilmu budaya. Ketiga relasi penting dalam
ilmu antropolinguistik ini menunjukkan bahwa budaya dan bahasa memiliki
keterkaitan yang sangat erat, sehingga bahasa juga turut memberi penanda dalam
perkembangan masyarakat itu sendiri dalam berbagai aspek kehidupan.
Sejalan dengan itu, ilmu kebudayaan yang dimaksud dalam penelitian ini dikaji
atau menjadi fokus utama dalam bidang antropologi. Duranti (1997:2) mengatakan
bahwa antropologi linguistik “the study of language as a cultural resource and
speaking as a cultural practice” mengkaji studi bahasa sebagai sumber daya budaya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
dan berbicara sebagai praktik budaya. Duranti juga menegaskan bahwa linguistik
antropologi ‘tidak bersinonim’ dengan studi bahasa yang dilakukan oleh ilmuwan
antropologi. Meskipun difokuskan pada telaah bahasa, namun Duranti menempatkan
antropologi linguistik sebagai bagian dari antropologi. Lebih lanjut, Duranti
(1997:27) dalam bukunya Linguistic Anthropology mempertegas “To know a culture
is like know- ing a language. They are both mental realities. Furthermore, to describe
a culture is like describing a language”. Mengenal budaya sama seperti mengenal
bahasa. Keduanya adalah realitas mental. Lebih jauh, mendeskripsikan suatu budaya
sama seperti mendeskripsikan suatu bahasa. Hal ini menunjukkan bahwa
mendeskripsikan suatu budaya sama halnya dengan mendeskripsikan bahasa.
Dengan kata lain, dalam antropolinguistik terapat tiga kajian yaitu, studi
budaya, bahasa dan aspek kehidupan manusia. Asumsi ini mendorong para peneliti
untuk mengkaji tradisi lisan khususnya yang memiliki unsur-unsur verbal yang
terkandung di dalamnya. Terdapat hipotesis dari dua pakar linguistik ternama,
Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf yang telah disintesiskan oleh Yunhadi
(2016:171). Dalam tulisannya, Yunhadi (2016:171) menjelakan pokok pikiran Sapir-
Whorf bahwa pola-pola bahasa yang terungkap dalam analisis bahasa mencerminkan
pola yang ada dalam pikiran penuturnya. Lebih lanjut, Yunhadi (2016:171)
menjelaskan bahwa Sapir dan Worf menguraikan hipotesis mengenai keterkaitan
antara bahasa dan pikiran yang dikenal dengan nama hipotesis linguistic relativity,
yaitu perbedaan struktur bahasa secara umum paralel dengan perbedaan kognitif non
bahasa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa bahasa dijadikan sebagai media bagi
masyarakat pengguna dalam menyalurkan ide, gagasan maupun perasaan yang
dimiliki. Pemikiran manusia tak dapat lepas dari realitas lingkungan alam, sosial, dan
budayanya, sehingga lingkungan alam, budaya dan lingkup sosial dapat
mempengaruhi pola pikirnya. Secara pasti dapat dikatakan bahwa dengan korelasi itu
ekspresi pemikiran manusia tidak dapat lepas dari praktik komunikasi. Di sinilah
konsep etnografi komunikasi dipandang relevan dan bertali-temali dengan
ekolinguistik metaforis sebagai sebagai perspektif penelitian ini.
2.2.2 Bahasa dan Masyarakat
Hubungan antara bahasa dan masyarakat, dapat menunjukan pula hubungan
antara bahasa dan pikiran masyarakat. Hubungan antara bahasa dan masyarakat ini,
telah menarik perhatian para ahli bahasa dengan berbagai macam latar belakang yang
berbeda. Pada saat kita menyebut masyarakat dan bahasa, tidak dapat dipungkiri
bahwa kedua hal tersebut tidak dapat memisahkannya dari budaya. Goodenough
([1957] 1964: 36) dalam (Duranti, 1997:27) “a society’s culture consists of whatever
it is one has to know or believe in order to operate in a manner acceptable to its
members, and do so in any role that they accept for any one of themselves. Culture,
being what people have to learn as distinct from their biological heritage, must
consist of the end product of learning: knowledge, in a most general, if relative, sense
of the term. By this definition, we should note that culture is not a material
phenomenon; it does not consist of things, people, behavior, or emotions. It is rather
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
an organization of these things. It is the forms of things that people have in mind,
their models for perceiving, relating, and otherwise interpreting them”. Masyarakat
dalam suatu kebudayaan terdiri atas segala sesuatu yang harus diketahui dan
dipercaya oleh seseorang agar dapat diterima dalam suatu masyarakatnya. Sekali lagi
pada saat membahas atau mencari pengaruh bahasa terhadap masayarakat, kita tidak
bisa memisahkan antara masyarakat dengan budayanya.
Hal ini sejalan dengan pandangan yang menyatakan bahwa struktur sebuah
bahasa berpengaruh pada cara pandang penutur terhadap dunia. Yunhadi (2016:171)
menjelaskan pokok pikiran Sapir-Whorf tentang linguistic determinism, yaitu struktur
bahasa mempengaruhi cara inidvidu mempersepsi dan menalar dunia perseptual.
Struktur kognisi manusia ditentukan oleh kategori dan struktur yang sudah ada dalam
bahasa. Jadi, pikiran manusia mengikuti struktur dan kosa kata yang digunakan dalam
bahasa yang dituturkan. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa tidak hanya berpengaruh
pada masyarakat tetapi menentukan masyarakat. Misalnya; struktur bahasa yang
digunakan mampu menunjukkan masyarakat sebagai penggunanya. Penutur dari
bahasa yang berbeda memiliki cara pandang yang berbeda pula terhadap dunianya.
Bahasa mencerminkan pengalaman yang dialami oleh penuturnya, bahasa tidak
digunakan hanya semata-mata untuk melaporkan pengalaman kita tentang dunia
disekitar kita.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
2.3 Tradisi Lisan Déré
Terdapat tiga karakteristik tradisi menurut (Sibarani, 2015:4). Pertama, tradisi itu
merupakan kebiasaan (lore) dan sekaligus proses (process) kegiatan yang dimiliki
bersama suatu komunitas yang mengimplikasikan bahwa tradisi itu memiliki makna
kontinuitas (keberlanjutan), materi, adat, dan ungkapan verbal sebagai milik bersama
yang diteruskan untuk dipraktikkan dalam kelompok masyarakat tertentu. Kedua,
tradisi itu merupakan sesuatu yang menciptakan dan mengukuhkan identitas.
Kepemilikan tradisi secara langsung dapat memperkuat dan mengukuhkan
mengukuhkan identitas kelompok masyarakat tertentu. Ketiga, tradisi itu merupakan
sesuatu yang dikenal dan diakui oleh kelompok itu sebagai tradisinya. Suatu tradisi
dapat dikenal dan diakui melalui partisipasi kelompok masyarakatnya sendiri.
Tradisi lisan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI: 2016) dibedakan
menjadi dua makna, yakni (1) adat kebiasaan turun-temurun dari nenek moyang yang
masih dijalankan dalam masyarakat dan (2) penilaian atau anggapan bahwa caracara
yang telah ada merupakan cara yang paling baik dan benar. Makna kata tradisi dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia masih dapat diterima tentang tradisi yang
disampaikan secara turun-temurun dan makna kedua yang menyatakan bahwa di
dalam tradisi mengandung kebaikan dan kebenaran meskipun baik dan benar di sini
bersifat lokalitas. Arti kedua tentang tradisi berdasarkan KBBI tersebut minimal dapat
menepis mitos yang sudah beredar dalam masyarakat bahwa tradisi senantiasa
dimaknai sebagai segala sesuatu yang berasal dari masa lampau. Padahal, realitasnya
tidaklah demikian, sebagaimana dinyatakan oleh Baso (2003) dalam Supriatin (2012:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
409) bahwa tradisi tidak hadir sebagaimana adanya pada masa lalu, tetapi pasti telah
mengalami proses seleksi atau bongkar ulang sehingga ada yang dipopulerkan atau
dipinggirkan bergantung pada relasi kekuasaan yang bermain di sekitarnya. Baso
menambahkan bahwa tradisi lisan tidak hanya terpaku pada kejadian masa lampu
saja, melainkan mengalami pula proses perbenahan menjadi sebuah tradisi yang dapat
diterima dan dijaga kelestariannya hingga kini.
Dalam bukunya yang berjudul De la Tradition Orale: esai de method historique,
menjelaskan bahwa tradisi lisan sebagai sumber sejarah yang mampu menghadirkan
fakta-fakta yang kredibel, hingga mengansumsikan tradisi lisan sebagai sejarah itu
sendiri (Vansia, 2014: xxiv-xxv). Hal inilah yang disebut oleh (Vansia, 2014) sebagai
proses transmisi yaitu proses pemindahan tradisi secara turun-temurun. Dalam
kaitannya dengan tradisi lisan, Déré merupakan salah satu bentuk kesenian yang
menyampaikan maksud dalam syair-syair dengan iringan nada-nada tertentu yang
membentuk suatu kesatuan bunyi dan dilakukan turun secara lisan. Déré memiliki ciri
khas dalam alunan nada yang diciptakan untuk mengiringi syair-syair (Deki, 2011:
171). Tradisi lisan dianggap selalu berjalan beriringan dengan sejarah bahkan dapat
dikatakan sebagai saksi peradaban manusia. Hal ini sejalan dengan yang disampaikan
Supriatin (2012: 407) yang mengatakan bahwa tradisi lisan merupakan warisan
leluhur yang banyak menyimpan kearifan lokal, kebijakan, dan filosofi hidup yang
terekspresikan dalam bentuk mantera, pepatah-petitih, pertunjukan, dan upacara adat.
Tradisi lisan merupakan cultural heritage atau warisan budaya yang mengandung
berbagai kearifan lokal (local wisdom), nilai-nilai budaya, dan kebijakan yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
terekspresikan dalam cerita rakyat, seni pertunjukan rakyat, dan berbagai ritual dalam
upacara adat. Cultural heritage atau warisan budaya ini merupakan kekayaan bangsa
Indonesia yang harus kita pelihara dan kita lestarikan karena di dalamnya menyimpan
identitas budaya sekaligus sebagai akar budaya yang merupakan subkultur atau kultur
Indonesia.
Tradisi lisan adalah sebuah kebudayaan yang diwariskan terutama melalui aspek
kelisanan (oral tradition) (Takari, 2013: 2). Berdasarkan pendapat tersebut, tradisi
lisan bukan berarti tradisi itu terdiri atas unsur- unsur verbal saja, melainkan
penyampaian tradisi itu secara turun-temurun dan secara lisan secara lisan. Tradisi
lisan terdiri atas tradisi yang mengandung unsur-unsur verbal, sebagian verbal (partly
verbal), atau nonverbal (nonverbal) (Takari, 2013:2). Hal ini juga sejalan dengan
yang disampaikan Danandjaja yang mengatakan bahwa secara garis besar bentuk-
bentuk folklor dapat digolongkan ke dalam tiga kategori, yakni folklor lisan (verbal
folklore), folklor sebagian lisan (partly verbal), dan folklor bukan lisan (non verbal
folklore) (Danandjaja, 2015: 64). Selanjutnya Danandjaja juga mengatakan bahwa
istilah folklor lisan di dalam tulisannya tersebut bersinonim dengan istilah tradisi
lisan (oral tradition). Hal ini menunjukkan bahwa ‘tradisi lisan’ mengacu pada proses
penyampaian tradisi dan hasil dari proses penyampian dalam bentuk lisan. Sejalan
dengan itu, konsep “tradisi lisan” mengacu pada tradisi yang disampaikan secara
turun-temurun dari satu generasi ke generasi lain dengan media lisan melalui “mulut
ke telinga” (Sibarani, 2015:4). Tradisi lisan, terutama tradisi yang memiliki unsur-
unsur verbal seperti tradisi bermantra, bercerita rakyat, berteka-teki, berpidato adat,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
berpantun, berdoa, dan permainan rakyat yang disertai nyanyian dapat dikaji dari
sudut pandang bahasa, khususnya yang mengkaji hubungan antara bahasa dengan
kebudayaan.
Saat ini tradisi lisan telah menjadi domain yang sangat menarik bagi para peneliti
dari berbagai disiplin ilmu. Dengan tidak adanya naskah, penelitian mengenai tradisi
ini menjadi proses rumit khususnya untuk menyampaikan informasi tentang budaya,
kebiasaan, dan perilaku masyarakat dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui
mulut ke mulut melalui cerita. Kemampuan manusia untuk berbicara dan
berkomunikasi pada akhirnya membedakan manusia itu sendiri dari makhluk hidup
lain. Aktivitas manusia untuk berkomunikasi melalui ucapan dan kecerdasannya,
kemampuan kognitif untuk menyadari lingkungannya dan memvisualisasikan apa
yang ada di dalam pikiran merupakan dua faktor penting dalam perkembangan
masyarakat, sehingga tidak heran apabila Wilson mengatakan bahwa tradisi lisan
merupakan aspek evolusi masyarakat manusia (Wilson, 2015: 118). Tradisi lisan
menjadi penanda perkembangan yang terjadi di dalam lingkup masyarakat itu sendiri.
Tradisi lisan (oral tradition) di berbagai daerah muncul dalam banyak bentuk dan
dengan istilah yang berbeda-beda. Masyarakat Manggarai memiliki interese yang
tinggi terhadap dunia seni (Deki, 2011: 87). Ketertarikan akan kesenian mendorong
mayarakat Manggarai dalam menciptakan beragam kesenian. Bentuk kesenian orang
Manggarai dapat diklasifikasikan dalam dua jenis, yaitu seni sastra dan seni
pertunjukan. Kajian dalam penelitian ini merupakan salah satu bentuk kajian bahasa,
maka fokus kajiannya adalah seni sastra. Bentuk kesusastraan tersebut diungkapkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
dalam pelbagai bentuk, seperti prosa (tombo nunduk, tombo turuk, tombo rapang,
mantra, bidal, dan puisi yang berupa pepatah, peribahasa (go’et), syair (Déré) dan
lagu (Déré,). Pada penelitian ini, fokus peneliti adalah Déré.
Déré merupakan salah satu bentuk kesenian yang menyampaikan maksud dalam
syair-syair dengan iringan nada-nada tertentu yang membentuk suatu kesatuan bunyi
dan dilakukan turun secara lisan. Déré memiliki ciri khas dalam alunan nada yang
diciptakan untuk mengiringi syair-syair (Deki, 2011:171). Syair-syair yang terdapat
dalam Déré pada umumnya mengandung kata-kata puitis dalam menyampaikan
maksud Déré yang dibuat. Déré yang diciptakan pada umumnya disebarkan turun-
temurun secara lisan. Déré pada awal mulanya merupakan nyanyian rakyat, sampai
pada akhirnya mucul gereja katolik dan berkeinginan mentrasliterasikan syair lagu
yang mulanya berbentuk lisan menjadi tulisan dan diberi not.
Bagi masyarakat Manggarai, Déré menempati posisi penting karena dijadikan
sebagai media mengekspresikan jiwa seni yang dapat ditampikan dalam situsi dan
kondisi tertentu (Deki, 2011:173). Déré kerapkali dijumpai dalam upacara adat baik
komunal maupun privat. Upacara komunal misalnya upacara atau ritus adat yang
merupakan upacara dari masyarakat satu kampung. Beberapa ritus adat dalam sistem
lingko atau komunal tersebut antara lain upacara adat resmi, yaitu pentas caci, sanda
dan mbata. Sedangkan pada upacara privat atau upacara keluarga (kilo) salah satunya
adalah upacara kematian (lorang). Hadirnya Déré dalam upacara komunal maupun
privat seperti yang telah disebutkan pada dasarnya mengandung maksud yang sama
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
yaitu sebagai media mengekspresikan diri sesuai dengan konteks masyarakat
Manggarai.
Penelitian tentang tradisi lisan yang relevan dengan penelitaian ini adalah
penelitian yang berjudul Tradisi Lisan Male-Male: Nyanyian Kematian dalam
Masyarakat Ciacia oleh (Asrif, 2017). Tradisi lisan male-male itu menggambarkan
penghargaan masyarakat terhadap sosok sempurna melalui ungkapan kesedihan,
kerinduan, ketabahan, dan puji-pujian. Pelaksanaan male-male memiliki sejumlah
fungsi, baik fungsi pribadi (penutur dan tuan rumah) maupun fungsi bagi masyarakat
(warga yang melayat). Bagi penutur dan tuan rumah, tradisi itu berfungsi untuk
menghibur, memberikan kepedulian sesama, menyebarkan nilai sosial, agama, dan
prestise, serta mewariskan tradisi. Bagi masyarakat, male-male berfungsi sebagai
sarana mengingatkan diri akan kematian, memperkukuh keimanan, serta
meningkatkan empati, dan solidaritas sesama. Untuk itu diperlukan upaya pewarisan
dalam menjaga keberlanjutan tradisi itu. Pewarisan formal dilakukan melalui sekolah,
sedangkan pewarisan informal melalui penguatan lembaga adat.
Penelitian lain yang relevan dengan penelitian penelitian ini adalah, penelitian
tentang “Tradisi Lisan Bhanti-Bhanti sebagai Media Komunikasi Kultural dalam
Masyarakat Wakatobi” yang dilakukan oleh Udu (2015). Tradisi lisan Bhati-bhati
merupakan nyanyian rakyat yang selama ini tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat Wakatobi. Pementasan tradisi lisan bhanti-bhanti merupakan media
komunikasi kultural masyarakat Wakatobi untuk menyampaikan berbagai hal yang
menyangkut berbagai nilai budaya, sejarah, adat istiadat, hubungan manusia dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
lingkungan, yang berhubungan dengan Tuhannya. Mereka juga bebas
mengungkapkan pikiran, perasaannya terhadap seseorang, kampung, ataupun masalah
sosial lainnya, dan pendengar tidak bisa tersinggung karena kritik itu disampaikan
dengan bahasa halus dan penuh dengan canda.
Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Asrif (2017) yang hanya
memeraikan fungsi tradisi lisan Male-male dan penelitian yang dilakukan oleh Udu
(2015) yang memeraikan fungsi dan nilai tradisi lisan Bhati-bhati. Penelitian ini akan
mencoba mempergunakan tradisi lisan Déré dalam memeraikan wujud nilai-nilai
kerarifan lokal, makna simbolik nilai kearifan lokal serta nilai kearifan lokal tradisi
lisan Déré yang menunjukan menifestasi jati diri masyarakat Manggarai dengan
menggunakan pendekatan ekolinguistik metaforis sebagai pisau analisis.
2.4 Konsep Identitas Masyarakat
Tradisi lisan yang terdapat dalam budaya masyarakat tertentu secara tidak
langsung memberikan gambaran identitas masyarakat itu sendiri, salah satunya
adalah identitas diri masyarakat Manggarai yang tercermin dalam tardisi lisan Déré.
Hal ini menunjukan bahwa penelitian terkait identitas masyarakat Manggarai penting
untuk dikaji. Dalam KBBI (2016) identitas diartikan sebagai ‘jati diri’. Dalam kamus
itu, ‘jati diri’ merujuk pada dua pengertian, yakni (1) ‘ciri-ciri, gambaran, atau
keadaan suatu benda; identitas’; dan (2) ‘inti, jiwa, semangat, dan daya gerak dari
dalam; spiritualitas’. Ciri-ciri, gambaran atau keadaan dari sesuatu yang dalam hal ini
adalah kebudayaan yang satu dengan kebudayaan lainnya. Ciri, dan keadaan dari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
masing-masing kebudaayan di wujudkan dalam semangat spiritualitas yang mereka
miliki.
Erikson (2002: 21) menjelaskan bahwa identitas adalah konfigurasi integratif dari
masa lampau dengan masa sekarang dan dari yang di dalam dan yang di luar, ke
dalam suatu keseluruhan yang baru dan secara kodrati proses identitas ini proses
identitas ini bersifat psikososial. Pembentukan ientitas pribadi dilakukan bersamaan
dengan kelompok sosial masyaarakatnya. Apabila kata identitas dalam kaitannya
dengan masyarakat maka, identitas digunakan untuk menyatakan ciri golongan suatu
kelompok masyarakat tertentu. Digunakan untuk menunjukkan ciri yang berbeda
dengan kelompok masyarakat lainnya pada suatu daerah tertentu dan sifatnya
kompleks. Konsep identitas atau jati diri apabila dikaitkan dengan keadaan
masyarakat manggarai artinya menunjukan ciri-ciri, keadaan maupun gambaran
kebudayaan masyarakat Manggarai yang berbeda dengan budaya masyarakat lain.
Identitas masyarakat Manggarai secara tidak langsung dapat tercermin melalaui
tradisi lisan Déré yang ada dalam kebudayaan tersebut.
Penelitian terkait identitas suatu masyarakat sebelumnya dilakukan oleh (Tube,
2017) terkait “Tradisi Lisan Liâ Asa Usu sebagai Potret Jati Diri Masyarakat
Lamalera: Sebuah Kajian Etnopragmatik”. Dalam penelitiannya, Tube
mendeskripsikan identitas masyarakat Lamaera, NTT, melalui tradisi lisan Liâ Asa
Usu yang ada di daerah tersebut. Tube (2017) mempergunakan perspektif
etnopragmatik dalam mengkaji penelitiannya. Metode etnografi digunakan dalam
pengumpulan dan analisis data. Tube menjelaskan bahwa jati diri masyarakat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
Lamalera tergambar melalui sistem peralatan hidup, sistem mata pencaharian, sistem
kepercayaan, dan bahasa. Apabila Tube yang menempatkan jati diri masyarakat
Lamalera pada kerangka unsur-unsur universal kebudayaan, maka beda halnya
dengan penelitian ini yang mengungkap identitas masyarakat Manggarai dengan
melakukan pemaknaan tradisi lisan Déré melalui sudut pandang ekolinguistik
metaforis dan dikaitkan dengan konteks sosial dan budaya masyarakat Manggarai.
Penelitian selanjutnya mengkaji tentang Tradisi Tunggul Wulung Sebagai Sarana
Penguat Jati Diri Bangsa oleh (Susanti et al., 2018). Penelitian ini dilakukan pada
saat perayaan Tradisi Tunggul Wulung untuk melihat nilai-nilai yang terkandung
dalam tradisi tersebut yang dapat memperkuat Jati Diri Bangsa. Berdasarkan hasil
penelitian, diperoleh hasil bahwa dalam Tradisi Tunggul Wulung banyak nilai-nilai
sosial sebagai penguat jati diri bangsa berupa kekeluargaan, gotong royong, dan
toleransi. Penelitian ini hanya menunjukkan jati diri melalui Tradisi Tunggul Wulung
dengan memeraikan beragam nilai yang terkandung di dalamnya tanpa menggunakan
pendekatan secara khusus. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh (Susanti et
al., 2018), penelitian ini hendak memeraikan wujud kearifan lokal, makna simbolik
dan nilai kearifan lokal yang menunjukan jati diri masyarakat Manggarai melalui
tradisi lisan Déré dengan menggunakan ekolinguistik metaforis sebagai pisau
analisis.
Dengan demikian, istilah ‘identitas’ dalam penelitian ini merujuk pada konsep
jati diri kolektif masyarakat yang terwujud di dalam tradisi lisan Déré berupa jati diri
yang tercermin dalam pola pikir, pola hidup dan juga pola budaya masyarakat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
Manggarai. Aspek-aspek jati diri tersebut menjadi hal yang tidak terpisahkan dari
aspek lingkungan sosial, biologi, ekonomi dan budaya masyarakat Manggarai. Semua
hal terkait jati diri yang tercermin dalam tradisi lisan Déré Masyarakat Manggarai
dikaitkan dengan berbagai konteks lingkungan yang ada dalam kebudayaan tersebut.
2.5 Kearifan Lokal
Secara etimologis, kearifan lokal berasal dari kosakata bahasa Inggris, local
‘ruang, tempat’, dan wisdom ‘kearifan, kebijaksanaan’. Kosa kata local secara
spesifik menunjuk pada ruang interaksi terbatas dengan sistem nilai yang terbatas
pula. Dalam konteks penelitian ini, local dapat dimaknai sebagai lingkungan
interaksi, yang di dalamnya ditunjukkan pola hubungan antara manusia, sesama, dan
lingkungan sosial budayanya. Sementara itu, wisdom dapat dimaknai sebagai
perwujudan pola pikir, sikap, dan tindakan yang merujuk pada nilai-nilai luhur.
Dengan demikian, kearifan lokal dapat dipahami sebagai wujud akal, sikap, dan
tindakan manusia pada suatu lingkungan dalam menghayati nilai-nilai luhur atau
kebijaksanaan itu.
Menurut Hidayati (2016: 40) kearifan lokal adalah tatanan sosial budaya dalam
bentuk pengetahuan, norma, peraturan dan keterampilan masyarakat di suatu wilayah
untuk memenuhi kebutuhan (hidup) bersama yang diwariskan secara turun temurun.
Lebih lanjut, kearifan lokal bervariasi menurut referensi dan cakupannya, namun dari
definisi-definisi tersebut terdapat beberapa kata kunci, yaitu: pengetahuan, gagasan,
nilai, keterampilan, pengalaman, tingkah laku, dan kebiasaan adat yang dilakukan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
oleh masyarakat di wilayah tertentu (Hidayati, 2016). Secara substansial, kearifan
lokal adalah nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Nilai-nilai yang diyakini
kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertingkah laku sehari- hari masyarakat
setempat (Widyanti, 2015:161). Jadi, kearifan lokal sebagai bentuk cermin realitas
masyarakat pemilik budaya tersebut mencakup pengetahuan, gagasan, nilai,
keterampilan, pengalaman, tingkah laku, kebiasaan adat yang dijadikan sebagai acuan
dan diwariskan secara turun-temurun.
Wujud kearifan lokal selanjutnya dikategorikan menjadi (1) kearifan lokal
berwujud nyata (tangible) dan kearifan lokal tidak berwujud nyata (intangible).
Kearifan lokal tangible meliputi teks yang termanifestasi di dalam sistem nilai, tata-
cara, ketentuan khusus yang dituangkan dalam bentuk catatan tertulis seperti kitab
tradisional, kalender, prasasti, dan lain-lain; dan arsitektur serta benda cagar budaya.
Kearifan lokal intangible berupa nasehat-nasehat lisan yang disampaikan secara
verbal dan turun-temurun seperti peribahasa, petuah, dan lagu, yang di dalamnya
terdapat ajaran-ajaran tradisional (Dokhi, dkk., 2016:9). Jadi, kearifan lokal sebagai
bentuk cermin realitas masyarakat pemilik budaya tersebut mencakup pengetahuan,
gagasan, nilai, keterampilan, pengalaman, tingkah laku, dan kebiasaan adat yang
diwariskan secara turun temurun dan dapat berbentuk sesuatu yang berwujud nyata
dan ada yang tak nyata. Sibarani (2012:133) dalam Sitompul & Simaremare
(2017:29) menjelaskan bahwa kearifan lokal mengandung nilai-nilai budaya,
diantaranya adalah: (1) kesejahteraan, (2) kerja keras, (3) disiplin, (4) pendidikan, (5)
kesehatan, (6) gotong royong, (7) pengelolaan gender, (8) pelestarian dan kreativitas
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
budaya, (9) peduli lingkungan, (10) kedamaian, (11) kesopansantunan, (12)
kejujuran, (13) kesetiakawanan sosial, (14) kerukunan dan penyelesaian konflik, (15)
komitmet dan (16) pikiran positif dan rasa syukur. Lebih lanjut, dalam kaitannnya
dengan nilai kearifan lokal, Prosser (1978:303) dalam Sitompul & Simaremare
(2017:29) menjelaskan bahwa nilai adalah aspek budaya yang paling dalam tertanam
dalam suatu masyarakat. Prosser (1978:303) dalam Sitompul & Simaremare
(2017:29) membagi nilai menjadi lima, yaitu: (1) nilai yang berhubungan dengan
Tuhan, (2) nilai yang berhubungan dan berorientasi dengan alam, (3) nilai yang
berhubungan dan berorientasi dengan waktu, (4) nilai yang berhubungan dan
berorientasi pada kegiatan, dan (5) nilai berhubungan dan berorientasi pada hubungan
antar manusia.
Kearifan lokal pada berbagai pembahasannya memiliki beberapa istilah yang pada
dasarnya mengandung pengertian yang sama. Kearifan lokal juga dikenal dengan
beragam istilah yaitu, kebijakan setempat (local wisdom), pengetahuan setempat
(local knowledge) atau kecerdasan setempat (local genius). Berbagai istilah-istilah
tersebut merujuk pada pengertian bahwa kearifan lokal merupakan pandangan hidup
dan pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktifitas yang
dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam memenuhi
kebutuhan mereka yang meliputi seluruh aspek kehidupan seperti agama, ilmu
pengetahuan, ekonomi, teknologi, organisasi sosial, bahasa, serta kesenian (Alfian,
2013: 424). Hal yang ingin ditujukan dalam penelitian ini tidak jauh berbeda dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
pemaparan yang disampaikan sebelumnya yaitu, mampu menunjukan jati diri atau
identitas dari masyarakat budaya Manggarai melalui tradisi lisan Déré.
Penelitian tentang kearifan lokal sebelumnya pernah dilakukan oleh Rahardi et
al., (2016) yang berjudul “Kefatisan Berbahasa dalam Perspektif Linguistik Ekologi
Metaforis”. Penelitian yang dilakukan Rahardi et al., (2016), Menggunakan
pendekatan deskriptif kualiatif. Data dikumpulkan dengan menggunakan metode
simak khususnya simak bebas libat cakap. Penelitian ini berada dalam salah satu
wilayah kajian ekolinguistik metaforis berancangan pragmatik. Hasil penelitian yang
dilakukan Rahardi, dkk. adalah sebagai berikut; dalam menangkap maksud kefatisan
berbahasa secara benar dan tepat diperlukan pemahaman akan konteks pragmatik.
Konteks yang diperantikan untuk menangkap maksud kefatisan itu bukan saja
konteks dalam pengertian temporal dan spasial, atau konteks dalam pengertian sosial
dan sosietal, serta konteks dalam pegertian situasional, tetapi haruslah konteks yang
berhakikat asumsi-asumsi penutrn dan mifa tutur yang sifatnya personal maupun
komunal. Manifestasi kefatisan berbahasa dalam kaian dengan studi ekolinguistik
metaforis memang masih sangat perlu untuk digelorakan dan digalakkan dalam studi
linguistik dan pragmatik di Indonesia. Masih relatif langkanya kajian-kajian kefatisan
berahasa dalam perspektif ekolinguistik metaforis yang demikian ini mengesankan
bahwa studi linguistik dan pragmatik di Indonesia memang masih berjalan cukup
lamban dan kurang inovatif hingga sekarang ini.
Penelitian yang dilakukan (Rahardi et al., 2016) berbeda dengan penelitian ini.
Apabila (Rahardi et al., 2016) dalam penelitiannya menganalisis nilai-nilai kearifan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
dengan menggunakan pargmatik, penelitian ini mencoba memerihkan nilai-nilai
keraifan lokal yang ada dalam tradisi lisan Déré dengan melihat falsafah kehidupan
masyarakat Manggarai dengan memperhatikan konteks sosial, ekonomi dan budaya
masyarakat Manggarai. Penelitian ini juga tidak berfokus pada ranah pendidikan
melainkan berfokus pada suatu kebudayaan tertentu yaitu, kebudayaan Manggarai.
Dengan demikian, metode pengumpulan dan analisis data dalam penelitian ini
menggunakan metode kualitatif etnogarfi.
Penelitian relevan selanjutnya dilakukan oleh Parmono (2013) tentang “Nilai
Kearifan Lokal dalam Batik Tradisional Kawung”. Nilai-nilai dalam batik tradisional
di angkat dari proses akulturasi budaya Jawa, Hindu, dan Islam serta pengaruh
budaya pendatang. Salah satu motif batik tradisional adalah batik Kawung. Batik
tradisional Kawung mengandung nilai kearifan lokal yang dilukiskan dalam
motif/corak, warna, nama, dan fungsinya. Motif batik Kawung ini menggambarkan
tatanan kehidupan masyarakat yang ideal. Motif Kawung ini mengandung pesan agar
seseorang menjadi manusia yang unggul, baik, dan bermanfaat bagi sesama manusia.
Penelitian relevan yang dilakukan oleh (Parmono, 2013) memiliki kesamaan dengan
penelitian ini yaitu, sama-sama mendeskripsikan nilai kearifan lokal namun tidak
membahasa sampai pada tingkat wujud kearifan lokal, makna wujud kearifan lokal
dan jati diri masyarakat pemilik tradisi seperti dalam penelitian ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
2.6 Pelestarian Tradisi Lisan
Pergeseran eksistensi tradisi lisan menjadi salah satu persoalan yang semakin
disorot dalam kehidupan masa kini. Hal ini dipertegas oleh pedapat (Haugen,
1972:326) bahasa lahir dan mati bak organisme hidup. Bahasa memiliki rentang
kehidupannya, tumbuh dan berubah seperti halnya manusia dan hewan, memiliki
sedikit penyakit yang hanya dapat disembuhkan menggunakan obat yang tepat oleh
para pakar bahasa. Inti dari pandangan haugen ini adalah persoalan terkait
kebertahanan bahasa yang semakin mengalami kepunahan. Pada kenyataannya,
bahasa tidak terus-menerus ada, ada saatnya suatu bahasa hilang seiring berkurangnya
perhatian untuk terus menjaga kealamian dan kelestariannya. Salah satu fokus kajian
ekolinguistik metaforis mengkaji tradisi lisan sebagai salah bentuk eksplorasi
masalah-masalah lingkungan biologis, sosial, ekonomi dan budaya yang dijadikan
sebagai strategi mempertahankan kelestarian suatu bahasa yang ada dalam
lingkungan tertentu.
Persoalan terkait kemungkinan kepunahan bahasa, mendorong para peneliti
untuk mecoba memecahkan persoalan-persoalan tersebut dengan mulai mengkaji
nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung dalam tradisi lisan kebudayaan tertentu
beserta upaya pelestraiannya. Penelitian terkait pelestarian tradisi lisan sebelumnya
pernah dilakukan oleh (Yanzi, 2017) dengan judul “Penguatan Tradisi Lisan Sebagai
Upaya Eksistensi Nilai-Nilai Multikutur”. Yanzi mencoba menjabarkan upaya
pelestarian tradisi lisan Hahiwang yang ada di Kabupaten Pesisir Barat, Provinsi
Lampung dengan menggunakan pendekatan studi etnografi, dengan teknik
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
pengumpulan data menggunakan wawancara, dokumentasi dan observasi. Yanzi
(2017) menyampaikan bahwa upaya pelestrarian tradisi lisan Hahiwang yang ada di
Kabupaten Pesisir Barat, Provinsi Lampung, dapat dilakukan oleh kepala pekon
sebagai wakil dari masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, dan masyarakat adat
terhadap penguatan tradisi lisan di Kecamatan Krui Selatan KabupetenPesisir Barat,
antara lain pemerintah ataupun lembaga terkait dapat melaksanakan programprogram
yang berkaitan dengan pembinaan masyarakat, karena program pengenalan tradisi
lisan sebagai upaya ketahanan sosial budaya. Upaya mengaktualisasi nilai-nilai
multikultural yang berwujud pada aktivitas penggalian, pelestarian, dan
pengembangan.
Sejalan dengan hasil penelitian Yanzi, upaya pelestarian tradisi lisan juga termuat
dalam Permendikbud No.10 pasal 5 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelestarian Tradisi
(Kemendikbud, 2014). Peraturan tersebut berbunyi bentuk Pelestarian Tradisi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliput; pelindungan, pengembangan dan
pemanfaatan. Hal ini menunjukan bahwa pelestarian tradisi lisan pada dasarnya
dikembangkan berdasarkan tiga bentuk tindakan pelesatraian yang telah termuat
dalam Permendikbud No.10 pasal 5 ayat (2) dan dilakukan oleh semua masyarakat
budaya tertentu sebagai pemilik, pelaksana dan pengembang tradisi lisan secara
turun-temurun. Hal yang termuat dalam Permendikbud No.10 pasal 5 Tahun 2014
tentang Pedoman Pelestarian Tradisi dipertegas dengan hasil konvensi yang
dilakukan oleh UNESCO pada tanggal 17 Oktober 2003 di Paris (Kemenkumham,
2007). Dalam konvensi tersebut, disampaikan bahwa tradisi lisan menjadi salah satu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
Intangible Cultural Heritage yang harus dilindungi. Tradisi lisan menjadi salah satu
kekayaan masyarakat Indonesia, dengan demikian harus dijaga agar tetap lestari.
Apabila dikaitkan dengan konteks penelitian ini, peneliti mencoba membangun upaya
preservasi tradisi lisan Déré pada kebudayaan masyarakat Manggarai, NTT.
Upaya preservasi dilakukan agar dapat mempertahankan tradisi lisan yang
semakin terabaikan, sejalan dengan pendapat yang dikutip dari (Republika, 2018)
bahwa semakin banyak tradisi lisan di Nusantara yang keberadaanya terabaikan
sehingga mengakibatkan banyak tradisi lisan yang akhirnya mati. Berangkat dari
persoalan terkait kepunahan tradisi lisan ini, peneliti mencoba mengkaji nilai-nilai
kearifan lokal dalam tradisi lisan Déré berserta upaya preservasi dari nilai kearifan
lokal baik meliputi; perlindungan, pengembangan dan pemanfaatannya.
Sumitri, Ni Wayan dan Arka (2016:4-5) mengusulkan upaya pelestarian tradisi
lisan melal