Upload
others
View
6
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA KALADA
MASYARAKAT KABIZU BEIJELLO, SUMBA BARAT DAYA:
KAJIAN EKOLINGUISTIK METAFORIS
TESIS
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Magister Pendidikan
Pada Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Magister
Oleh:
YULIANA SESI BITU
NIM: 171232001
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA
PROGRAM MAGISTER
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2020
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
i
TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA KALADA
MASYARAKAT KABIZU BEIJELLO, SUMBA BARAT DAYA:
KAJIAN EKOLINGUISTIK METAFORIS
TESIS
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Magister Pendidikan
Pada Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Magister
Oleh:
YULIANA SESI BITU
NIM: 171232001
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA
PROGRAM MAGISTER
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2020
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iv
HALAMAN MOTO DAN PERSEMBAHAN
MOTO
“Segala perkara dapat ku tanggung
di dalam Dia yang memberikan kekuatan kepadaku”(Filipi 4:13)
Bersukacitalah dalam pengharapan, sabarlah dalam kesesakan,
dan bertekunlah dalam doa! (Roma 12:12)
Kerjakanlah hari ini apa yang hendak dikerjakan hari ini,
karena hari esok tentu akan mempunyai ceritanya sendiri.
(Penulis)
Bukan Pelangi namanya kalau hanya ada merah,
bukan hidup namanya kalau hanya ada kebahagiaan
(Penulis)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
v
PERSEMBAHAN
Kupersembahkan karya perjuanganku ini untuk:
1. Allah Tritunggal Yang Maha Kudus dan Bunda Maria yang selalu
menganugerahkan Roh kekuatan, ketekunan dan kebahagiaan.
2. Bapak Alm. Mateus Bulu Paga, Bapak Alm. Yakobus Lede Bulu, dan
Bapak Alm. Siprianus Suluh yang telah memberikan teladan hidup
ketekunan dan kerja keras.
3. Mama Mantu Ribka Tanda Kawi yang dengan penuh ketulusan, cinta yang
tanpa batas, dan tidak mengenal lelah telah merawat, mendidik dan
membesarkan anakku.Terimakasih Mama.
4. Mama Khristina Milla dan Mama Agnes Dairo Bili yang telah
mengorbankan separuh jiwa dan terus bersujud syukur untuk
keberhasilanku. Terimakasih Mama.
5. Suamiku tercinta Melkianus Suluh, M.Pd yang selalu merindukan
keberhasilanku.
6. Anakku Pankrasius Milenio Suluh yang telah kehilangan kasih sayang dan
cinta dari ibunya di masa-masa dia membutuhkan kasih sayang dan cinta
dari seorang ibu.
7. Saudara-saudariku tersayang yang selalu ada untukku di saat suka dan duka,
yang selalu menguatkan dan mendukungku dalam situasi apapun.
8. STKIP Weetebula dan Manajemen Misereor Jerman yang telah memberikan
kesempatan kepadaku untuk melanjutkan studi S2 dan memenuhi seluruh
kebutuhanku untuk kelancaran studi.
9. Almamaterku tercinta, Universitas Sanata Dharma.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vi
ABSTRAK
Sesi, Yuliana Bitu. 2020. “Tradisi Lisan Teda dalam Upacara Padede Uma
Kalada Masyarakat Kabizu Beijello, Sumba Barat Daya: Kajian
Ekolinguistik Metaforis”. Tesis. Yogyakarta. Program Studi Pendidikan Bahasa
Indonesia Program Magister. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.
Universitas Sanata Dharma.
Penelitian ini bertujuan untuk (1) mendeskripsikan wujud-wujud kearifan
lokal masyarakat Kabizu Beijello yang terdapat dalam tradisi lisan Teda pada
upacara Padede Uma Kalada (2) mendeskripsikan nilai-nilai kearifan lokal yang
terdapat dalam tradisi lisan Teda pada upacara Padede Uma Kalada (3)
mendeskripsikan jati diri masyarakat Kabizu Beijello yang termanifestasikan
dalam tradisi lisan Teda pada upacara Padede Uma Kalada, (4) merumuskan
upaya-upaya strategis preservasi tradisi lisan Teda masyarakat Kabizu Beijello.
Penelitian ini dikaji dengan menggunakan perspektif ekolinguistik metaforis.
Penelitian ini tergolong dalam jenis penelitian kualitatif. Objek Penelitian
ini adalah kearifan-kearifan lokal, nilai-nilai kearifan lokal, dan wujud jati diri
masyarakat Kabizu Beijello. Wujud data dalam penelitian ini adalah bagian-
bagian dari tradisi lisan pada upacara Padede Uma Kalada. Data dalam penelitian
ini dikumpulkan dengan menggunakan metode sadap, wawancara dan observasi
partisipan yang diterapkan melalui beberapa teknik, yakni simak bebas cakap,
simak libat cakap, teknik rekam dan teknik catat. Metode analisis data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode padan ekstralingual. Metode ini
diterapkan dengan cara menggunakan teknik analisis kontekstual. Prosedur
analisis data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi transkripsi data,
terjemahan gloss cermat dan gloss lancar data, identifikasi data, klasifikasi data,
deskripsi konteks, pemaknaan data, triangulasi data, konfirmasi dan refleksi.
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan 4 kearifan lokal berwujud nyata
yakni (1) sirih, pinang, dan beras), (2) cincin dan pari’i tiang, (3) kalabo, kapouta
(ikat kepala), dan katopo (parang), (4) ayam, babi, dan kerbau. Selain itu,
ditemukan juga 6 kearifan-kearifan lokal berwujud tidak nyata, yakni (1)
paralelisme, (2) metafora, (3) syair, (4) petuah, (5) mantra, dan (ideologi). Nilai-
nilai kearifan lokal yang ditemukan dalam penelitian ini meliputi nilai ketaatan,
solidaritas, persatuan, penghormatan, kerja keras, syukur, rekonsiliasi dan religius.
Wujud jati diri masyarakat Kabizu Beijello yang paling hakiki yang ditemukan
dalam penelitian ini adalah adalah masyarakat yang selalu mengutamakan
keharmonisan. Wujud jati diri yang paling hakiki ini yang mendasari terbentuknya
wujud jati diri lainnya yang meliputi, masyarakat yang selalu bermusyawarah,
solider, menghormati pemimpin, menghormati Marapu (leluhur dan roh-roh
gaib), religius, ritual dan agraris. Strategi preservasi tradisi lisan masyarakat
Kabizu Beijello yang ditemukan dalam penelitian ini terdiri atas tiga, yakni
preservasi tradisi lisan melalui pelestarian alamiah, melalui lembaga agama, dan
melalui lembaga Pendidikan.
Kata Kunci: Ekolinguistik metaforis, tradisi lisan, kearifan lokal, nilai-nilai
kearifan lokal, jati diri dan preservasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vii
ABSTRACT
Sesi, Yuliana Bitu. 2020. "Oral Tradition Teda in the Padede Uma Kalada
Ceremony Kabizu Beijello community, Sumba Barat Daya: A Metaphorical
Ecolinguistic Study". Thesis. Yogyakarta. Indonesian Language Study Program,
Magister Program. Faculty of Teacher Training and Education. Sanata Dharma
University.
This study aims to (1) describe the forms of local wisdom of the Kabizu
Beijello community contained in the oral tradition Teda of the Padede Uma
Kalada ceremony (2) describe the local wisdom values contained in the oral
tradition Teda of the Padede Uma Kalada ceremony (3) describe the identity of
the Kabizu Beijello community that manifested in oral traditions Teda of the
Padede Uma Kalada ceremony, (4) formulating strategic efforts to preserve the
oral traditions Teda of the Kabizu Beijello community. This research was studied
using a metaphorical ecolinguistic perspective.
This research is included in the type of qualitative research. The object of
this research is local wisdom, local wisdom values, and the manifestation of the
identity of the community of Kabizu Beijello. The data in this study are parts of
the oral tradition of the Padede Uma Kalada ceremony. The data in this study
were collected using tapping methods, interviews and participant observation
which were applied through several techniques, namely free speech, listening
involved, recording techniques and note taking techniques. The data analysis
method used in this study is the extralingual equivalent method. This method is
applied by using contextual analysis techniques. Data analysis procedures used in
this study include data transcription, careful gloss translation and smooth gloss
data, data identification, data classification, context description, data meaning,
data triangulation, confirmation and reflection.
Based on the results of the study found 4 real tangible local wisdom
namely (1) betel, areca nut and rice), (2) ring and pari'i pole, (3) kalabo, kapouta
(headband), and katopo (machete), (4 ) chicken, pork and buffalo. In addition, 6
local wisdoms were found to be intangible, namely (1) parallelism, (2) metaphors,
(3) poetry, (4) advice, (5) mantras, and ideology. The values of local wisdom
found in this study include the values of obedience, solidarity, unity, respect, hard
work, gratitude, reconciliation and religious values. The most essential form of
identity of the Kabizu Beijello community found in this research is to maintain
harmony in living together, solidarity, leaders honor, honor of the Marapu
(ancestors and supernatural spirits), religious life, rite and agrarian life. The
preservation strategy of the oral tradition of the Kabizu Beijello community found
in this study consisted of three, namely preservation of oral traditions through
natural preservation, through religious institutions, and through educational
institutions.
Keywords: Metaphorical ecolinguistics, oral traditions, local wisdom, local
wisdom values, identity and preservation.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang saya tulis ini tidak
memuat karya atau bagian karya orang lain· maupun karya sendiri, kecuali yang
telahdisebutkan di dalamkutipan dan daftar referensi sebagaimana layaknya
penulisal1karya· ilmiah.
Yogyakarta, 24 Januari 2020
Penulis
Yuliana Sesi Bitu
viii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLlKASI KARYA ILMIAH
UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:Nama : Yuliana Sesi BituNim : 171232001
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada PerpustakaanUniversitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA KALADAMASYARAKAT KABIZU BEIJELLO, SUMBA BARAT DAYA:
KAJIAN EKOLINGUISTIK METAFORIS
beserta·perangkat··-yangdiperlukan~····Dengandemikian·sayamemberikan·kepadaPerpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkandalam bentuk media lain, mengolahnyadalam bentuk pangkalan data,mendistribusikan secara terbatas dan mempublikasikannya di internet atau medialain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupunmemberikan royalti kepada saya selama tetapmencantumkan nama saya sebagaipenulis.Demikian Pemyataan ini·yang saya buat dengan.sebenarnya.
Dibuat di YogyakartaPada tanggal 24 Januari 2020
Yuliana Sesi Bitu
IX
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
x
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Allah Tri Tunggal Yang Maha Kudus dan kepada
Bunda Maria atas kemurahan kasih, berkat dan rahmat yang diangugerahkan
sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis yang berjudul “Tradisi lisan
Teda dalam Upacara Padede Uma Kalada Masyarakat Kabizu Beijello, Sumba
Barat Daya: Kajian Ekolinguistik Metaforis”. Penulis percaya dan yakin teguh
bahwa kelancaran penulisan tesis ini, mulai dari perumusan dan penentuan judul
sampai pada pelaporan hasil akhir penelitian boleh terjadi hanya karena atas
pertolongan, penyertaan dan campur tangan Allah Tritunggal Yang Maha Kudus
dan Bunda Maria. Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat yang penulis
harus penuhi agar dapat memperoleh gelar Magister Pendidikan dari Program
Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, Program Magister, Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Peneliti menyadari bahwa pergumulan dalam menyelesaikan tesis ini tidak
terlepas dari pertolongan, dorongan dan motivasi dari berbagai pihak. Menyadari
akan hal itu, penulis dengan hati yang tulus dan ikhlas mengucapkan limpah
terima kasih kepada:
1. Drs. Yohanes Eka Priyatma, M.Sc., Ph.D., sebagai Rektor Universitas
Sanata Dharma yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
melanjutkan studi S2 di Universitas Sanata Dharma tepatnya pada Program
Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Magister.
2. Dr. Yohanes Harsoyo, S.Pd., M.Si., sebagai Dekan FKIP Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xi
untuk mengembangkan kemampuan akademik dan kepribadian pada
Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Magister.
3. Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum., sebagai Ketua Program Studi Magister
PBSI, FKIP, USD, yang selalu memberi dorongan dan motivasi kepada
penulis selama penulis berproses dalam rangka menyelesaikan studi S2 ini.
Sekaligus sebagai dosen pembimbing I yang dengan penuh kesabaran,
pengertian dan ketelitian dalam memberikan bimbingan, dorongan, motivasi
dan masukan-masukan yang sangat berharga kepada penulis demi
kesempurnaan penulisan tesis ini.
4. Prof. Dr. Pranowo, M.Pd., sebagai dosen pembimbing II yang dengan penuh
kesabaran, pengertian dan ketelitian telah membimbing dan memberikan
masukan-masukan yang sangat berharga kepada penulis untuk
kesempurnaan penulisan tesis ini.
5. Dr. Y. Y. Taum, M.Hum., sebagai triangulator hasil analisis data penelitian
ini yang yang dengan penuh kerendahan hati, pengertian dan ketelitian telah
menyediakan waktu untuk mentriangulasi hasil analisis data penelitian ini
dan juga memberikan masukan-masukan yang berharga sehingga tesis ini
dapat dikerjakan dengan baik.
6. Dosen-dosen Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Program
Magister, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata
Dharma yang telah mendidik, mengarahkan, mendampingi dan membagikan
ilmunya kepada penulis selama masa studi dalam upaya memperkaya
kemampuan akademik baik di bidang ilmu pendidikan maupun kebahasaan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xii
7. Bapak Nicolaus Widiastoro dan segenap staf di Sekretariat Prodi MPBSI,
yang selalu memberikan pelayanan yang baik, rendah hati dan ramah
kepada penulis pada saat mengurus berbagai kebutuhan administratif.
8. Drs. Paulus Suparmo, S.S., M.Hum., sebagai Kepala Perpustakaan USD dan
segenap staf perpustakaan USD yang selalu memberikan pelayanan yang
baik, rendah hati dan ramah kepada penulis dalam berbagai urusan
perpustakaan, baik peminjaman dan pengembalian buku, print maupun
dalam hal pemakaian ruang workstation
9. Ketua Yayasan Pendidikan Nusa Cendana Sumba Barat Daya, Ketua STKIP
Weetebula, para Wakil Ketua, dan segenap sivitas akademika STKIP
Weetebula serta Manajemen Misereor Jerman yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi S2 dan telah
memfalisitasi penulis dalam berbagai kebutuhan demi kelancaran studi.
10. Para informan yang telah menyediakan banyak waktu untuk penulis selama
proses mengumpulkan data penelitian ini dan memberikan informasi yang
mendalam terkait dengan pemaknaan serta telah memberikan izin kepada
peneliti untuk merekam data-data dalam penelitian ini.
11. Kakak Antonius Nesi, M.Pd dan Adik Jetho Lawet S.Pd yang telah menjadi
partner diskusi yang baik dan selalu memberi memotivasi kepada penulis
untuk segera menyelesaikan tesis ini serta meluangkan waktu untuk
membaca dan memberikan catatan-catatan sehingga tesis ini dapat
diselesaikan dengan baik.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiii
12. Teman-teman angkatan 2017 dan seluruh rekan-rekan mahasiswa MPBSI,
USD yang selalu membantu serta mendukung penulis selama berproses
dalam perkuliahan.
13. Ibu Pupu Purwaningsih, S.S., M.A., Pak Elyakim Nova Supriyedi Patty,
M.Pd., Ibu Iga Nurwinda, S.Pd., Pak Yustinus Ghanggo Ate, M.Gen&App
Ling (Adv)., Ibu Veronika Gheda Rangga, S.Pd., Ibu Yublina Yati Ngongo,
S.Pd., Ibu Yohana Anggreni Talo, S.Pd., Pak Fransiskus Ghunu Bili, S.Pd.,
Pak Petrus Lende, S.Pd., Adik An Helmon, M.Pd., Ponaan Agustinus A.
Bili, S.Ars, Adik Maria Doreste Lobo, S.Pd, Adik Marita Nura, Ponaan
Dian Mada Kaka yang dengan caranya masing-masing selalu memotivasi
dan terus menyemangati penulis sehingga penulis selalu kuat dan
mempunyai semangat untuk segera menyelesaikan tesis ini.
14. Saudara dan saudariku terkasih yang tidak henti-hentinya mendorong,
menyemangati dan mendoakan penulis sehingga penulis mempunyai tekat
dan niat yang kuat di dalam diri untuk harus segera menyelesaikan tesis ini.
15. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu yang turut
andil dalam proses pengerjaan tesis ini sehingga tesis ini dapat diselesaikan
dengan baik.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiv
Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini masih sangat jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari
berbagai pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan tesis ini.
Yogyakarta, Januari 2020
Penulis
Yuliana Sesi Bitu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................. ii HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. iii HALAMAN MOTO DAN PERSEMBAHAN ................................................... iv
ABSTRAK ............................................................................................................ vi ABSTRACT ......................................................................................................... vii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ............................................................ viii PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH .............. ix KATA PENGANTAR ........................................................................................... x DAFTAR ISI ........................................................................................................ xv
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................... 7
1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................................... 8 1.4 Manfaat Penelitian .................................................................................... 9
1.4.1 Manfaat Teoretis ....................................................................................... 9 1.4.2 Manfaat Praktis ....................................................................................... 10
1.5 Sistematika Penyajian ............................................................................. 11 1.6 Batasan Istilah ......................................................................................... 12
BAB II LANDASAN TEORI ............................................................................ 15 2.1 Bahasa dan Kebudayaan ......................................................................... 15 2.2 Ekolinguistik dan Ekolinguistik Metaforis ............................................. 20
2.3 Konteks dalam Kajian Ekolinguistik Metaforis ...................................... 26 2.4 Etnografi dan Etnografi Komunikasi ...................................................... 30
2.5 Tradisi Lisan ........................................................................................... 35 2.6 Tradisi Lisan Teda dalam Upacara Padede Uma Kalada Masyarakat
Kabizu Beijello ........................................................................................ 39
2.7 Kearifan Lokal ........................................................................................ 44 2.8 Jati Diri.................................................................................................... 48 2.9 Preservasi ................................................................................................ 51 2.10 Kerangka Berpikir ................................................................................... 53
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ........................................................ 55 3.1 Jenis Penelitian........................................................................................ 55 3.2 Sumber Data, Data dan Objek Penelitian ............................................... 56 3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data .................................................. 59
3.4 Instrumen Penelitian ............................................................................... 67 3.5 Metode dan Teknik Analisis Data........................................................... 68
3.6 Triangulasi .............................................................................................. 70
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xvi
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .................................. 72 4.1 Deskripsi Data ......................................................................................... 72
4.2 Hasil Penelitian ....................................................................................... 81 4.2.1 Kearifan-kearifan Lokal yang Terdapat dalam Tradisi Lisan Teda dalam
Upacara Padede Uma Kalada ................................................................. 83 4.2.1.1 Kearifan-Kearifan Lokal yang Berwujud Nyata (Tangible) ................... 85 4.2.1.2 Kearifan-Kearifan Lokal Berwujud Tidak Nyata (intangible) ............... 99
4.2.2 Nilai-nilai Kearifan Lokal yang Terkandung dalam Tradisi Lisan Teda
dalam Upacara Padede Uma Kalada .................................................... 127
4.2.2.1 Nilai Ketaatan ....................................................................................... 127 4.2.2.2 Nilai Solidaritas .................................................................................... 130 4.2.2.3 Nilai Persatuan ...................................................................................... 134 4.2.2.4 Nilai Penghormatan .............................................................................. 135 4.2.2.5 Kerja Keras ........................................................................................... 145
4.2.2.6 Nilai Syukur .......................................................................................... 147 4.2.2.7 Rekonsiliasi ........................................................................................... 151
4.2.2.8 Nilai Religius ........................................................................................ 154 4.2.3 Jati Diri Masyarakat Kabizu Beijello yang Terdapat dalam Tradisi Lisan
Teda pada Upacara Padede Uma Kalada ............................................. 156 4.2.3.1 Masyarakat yang Selalu Membina Sikap Bermusyawarah ................... 157 4.2.3.2 Masyarakat Kabizu Beijello sebagai Masyarakat yang Solider ............ 162
4.2.3.3 Masyarakat yang Menghormati Pemimpin ........................................... 169
4.2.3.4 Masyarakat Kabizu Beijello sebagai Masyarakat Agraris .................... 172 4.2.3.5 Masyarakat yang Menghormati Marapu .............................................. 180 4.2.3.6 Masyarakat Kabizu Beijello sebagai Masyarakat Religius ................... 188
4.2.3.7 Masyarakat Kabizu Beijello sebagai Masyarakat Ritual ....................... 196 4.2.4 Strategi Preservasi Tradisi Lisan Teda Masyarakat Kabizu Beijello .... 203
4.2.4.1 Preservasi Tradisi Lisan Teda melalui Pelestarian Alamiah ................. 204 4.2.4.2 Preservasi Tradisi Lisan Teda melalui Lembaga Agama ..................... 208 4.2.4.3 Preservasi Tradisi Lisan Teda melalui Lembaga Pendidikan ............... 211
4.3 Pembahasan........................................................................................... 214 4.3.1 Kearifan-kearifan Lokal yang Terdapat dalam Tradisi Lisan Teda dalam
Upacara Padede Uma Kalada ............................................................... 214
4.3.2 Nilai-nilai Kearifan Lokal yang Terkandung dalam Tradisi Lisan Teda
pada Upacara Padede Uma Kalada ...................................................... 231 4.3.3 Jati Diri Masyarakat Kabizu Beijello yang Termanifestasi dalam Tradisi
Lisan Teda pada Upacara Padede Uma Kalada ................................... 235 4.3.3.1 Jati Diri Hakiki Masyarakat Kabizu Beijello ........................................ 257 4.3.4 Strategi Preservasi Tradisi Lisan Teda Masyarakat Kabizu Beijello .... 262
BAB V PENUTUP ............................................................................................ 267 5.1 Kesimpulan ................................................................................................... 267 5.2 Saran .............................................................................................................. 269 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 271
LAMPIRAN ....................................................................................................... 280
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam bab ini dipaparkan lima hal, yakni (1) latar belakang masalah, (2)
rumusan masalah, (3) tujuan penelitian, (4) manfaat penelitian, dan (5) batasan
istilah. Kelima hal itu diuraikan sebagai berikut.
1.1 Latar Belakang
Kabizu merupakan hubungan kekerabatan yang terikat berdasarkan asal-usul
nenek moyang pertama termasuk warisan-warisannya berupa tanah, rumah adat,
benda-benda pusaka yang tidak dapat diperjualbelikan, juga ritual-ritual adat yang
mengarah pada pemujaan terhadap Marapu. Hubungan kekerabatan itu dilihat
berdasarkan garis keturunan ayah (patrilineal). Hal ini sejalan dengan
Soeriadiredja (2013:68) yang mengemukakan bahwa Kabizu atau dalam bahasa
Sumba Timurnya Kabihu merupakan kelompok kekerabatan yang merasa diri
berasal dari seorang nenek moyang dan antara satu dengan lainnya terikat melalui
garis keturunan laki-laki saja. Dengan merujuk pada konsep itu, maka Kabizu
dapat dipahami sebagai klan. Dengan demikian, masyarakat Kabizu Beijello
merupakan salah satu masyarakat etnik yang berasal dari klan Beijello, suku
Wewewa, Kabupaten Sumba Barat Daya.
Masyarakat Kabizu Beijello sebagai masyarakat etnik memiliki corak tradisi
dan kebudayaan yang sangat khas untuk diteliti. Salah satu kekhasan itu adalah
tradisi lisan Teda dalam upacara adat Padede Uma Kalada (pembangunan rumah
besar). Teda adalah ungkapan-ungkapan tradisional yang sangat magis, berbernas
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
mempunyai roh tertentu yang dapat memberikan rasa percaya diri bagi penuturnya
dan sekaligus dapat memberikan rasa kekaguman bagi pendengar serta
mempengaruhi pikiran dan tindakan pendengar untuk bertindak sesuai yang
diinginkan penutur. Ungkapan-ungkapan dalam tradisi lisan Teda memiliki sistem
pembarisan tersendiri yang berbentuk syair yang indah dan selalu diungkap dalam
konteks upacara adat baik upacara adat kematian, perkawinan, pertanian, maupun
pembangunan rumah besar. Dalam konteks penelitian ini, peneliti hanya
memfokuskan pengkajian pada tradisi lisan Teda pada upacara Padede Uma
Kalada (pembangunan rumah besar).
Tradisi lisan Teda dalam upacara Padede Uma Kalada sebagai sebuah
warisan leluhur tentu tidak hanya sebagai alat komunikasi dalam seluruh ritual-
ritual adat selama proses Padede Uma Kalada. Tradisi lisan Teda dalam upacara
Padede Uma Kalada tentu mengandung dan memberikan gambaran terkait
kearifan-kearifan lokal yang mengakar pada kepercayaan Marapu sebagai
kepercayaan asli masyarakat Kabizu Beijello. Kearifan-kearifan lokal itu
mengandung pengetahuan-pengetahuan lokal yang digunakan untuk membina
kehidupan yang seimbang dan harmonis baik dengan sesama, leluhur, roh-roh
gaib, dan Tuhan sebagai Wujud Tertinggi. Hal itu selaras dengan yang
diungkapkan Sriyono (2014:57) bahwa kearifan lokal merupakan pengetahuan
lokal yang digunakan masyarakat lokal untuk bertahan hidup dalam
lingkungannya yang menyatu dengan sistem kepercayaan, norma, dan budaya
yang diekspresikan di dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu
yang lama.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
Selain itu, tradisi lisan Teda dalam upacara Padede Uma Kalada juga tidak
dapat dilepaspisahkan dari hukum adat, nilai-nilai, sejarah budaya, dan bahkan
ideologi yang mencerminkan jati diri atau identitas diri masyarakat Kabizu
Beijello. Supriatin (2012:408) mengatakan bahwa tradisi lisan adalah warisan
leluhur yang banyak menyimpan kearifan lokal, kebijakan, dan filosofi hidup
yang terekspresikan dalam bentuk mantera, pepatah-petitih, pertunjukan, dan
upacara adat. Lebih lanjut diungkapkan bahwa tradsi lisan yang terdapat di
Nusantara sekaligus juga menyimpan identitas bangsa karena pada tradisi lisan
terletak akar budaya dan akar tradisi sebagai subkultur atau kultur Indonesia.
Dengan melihat kekayaan-kekayaan yang terkandung dalam tradisi lisan
Teda pada upacara adat itu seharusnya generasi muda sebagai penerusnya
mempunyai kepedulian untuk menjaga dan memelihara tradisi lisan. Namun,
kenyataan yang dihadapi adalah tradisi lisan Teda semakin mengalami degradasi
dalam aspek kuantitas penutur khususnya di kalangan generasi muda. Salah satu
faktor penyebabnya adalah arus globalisasi yang semakin pesat. Dalam
penelitiannya, Mbete (2015) mengungkapkan bahwa ada gejala serius dimana
generasi muda remaja bangsa semakin pragmatis, lebih berorientasi dan memilih
untuk mempelajari dan menguasai bahasa asing, dan mengabaikan bahasa daerah
atau bahasa lokal. Gejala ini pula terjadi pada ruang lingkup masyarakat Kabizu
Beijello, Suku Wewewa. Hal ini dibuktikan dari hasil penelitian Kami (2018:5-6)
bahwa apresiasi generasi muda masyarakat Wewewa terhadap tradisi lisan
semakin berkurang. Banyak generasi muda yang sudah melupakan warisan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
berharga para leluhur dan jati diri masyarakatnya dengan fenomena baru, yakni
lebih mengenal hal-hal yang lebih bersifat modern.
Kondisi kritis ini apabila tidak disikapi dengan bijak tentu akan berimbas
pada memudarnya jati diri masyarakat Kabizu Beijello. Selain itu, kearifan-
kearifan lokal dan nilai-nilai yang terekam dalam tradisi lisan pada upacara
Padede Uma Kalada sebagai warisan leluhur masyarakat Kabizu Beijello tentu
akan ikut sirna. Hal ini sejalan pula dengan temuan Mbete (2015:183) bahwa
sebagian besar bahasa lokal di negeri ini terancam punah.Ancaman itu jelas
memudarkan ciri jati diri komunitas etnik. Seiring dengan itu, sirna pula nilai-nilai
warisan leluhur, adicita (ideology), dan aneka kearifan lokal (local wisdom) yang
terekam dalam bahasa lokal itu.
Berdasarkan beberapa temuan di atas, upaya preservasi menjadi sebuah
keniscayaan dalam konteks globalisasi. Menurut Rahardi (2016) dalam konteks
globalisasi preservasi dan penyelamatan nilai-nilai kebijaksanaan dan kearifan
lokal harus mendapat tempat yang lebih tepat. Senada dengan ini, Mbete
(2015:186) juga mengungkapkan bahwa pelestarian bahasa-bahasa lokal
merupakan bagian-bagian penting dari upaya untuk mempertahankan dan
melestarikan kebersamaan dalam keberbedaan bahasa sebagai wadah kebudayaan
lokal dan identitas keetnikan.
Preservasi sebagai salah satu langkah penyelamatan nilai-nilai
kebijaksanaan dan kearifan-kearifan lokal yang terekam dalam tradisi lisan pada
era globalisasi ini, tentu relevan dengan kajian teori yang digunakan sebagai pisau
analisis dalam penelitian ini, yakni teori ekolinguistik metaforis. Hal itu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
ditegaskan oleh Fill dan Penz (2018:i) bahwa ekolinguistik pada hakikatnya
membahas tentang kehilangan bahasa dan pemeliharaan bahasa di era
globalisasi. Haugen (1972:325) sebagai pelopor teori ekolinguistik memiliki
asumsi bahwa bahasa lahir dan mati bagaikan organisme hidup. Bahasa memiliki
rentang kehidupannya tumbuh dan berubah seperti halnya manusia dan hewan,
serta memiliki sedikit penyakit yang hanya dapat disembuhkan dengan
menggunakan obat yang tepat oleh para pakar Bahasa. Pernyataan Haugen ini,
mengisyaratkan bahwa salah satu cara melindungi dan memelihara bahasa dari
kepungan arus globalisasi adalah melalui penelitian-penelitian bahasa. Dengan
demikian, penelitian terhadap tradisi lisan Teda dalam upacara Padede Uma
Kalada sangat penting untuk dilakukan. Selain sebagai salah satu bentuk tindakan
memelihara dan melindungi tradisi lisan Teda, juga karena dalam tradisi lisan itu
menyimpan kekayaan nilai-nilai kearifan lokal, filosofi hidup dan jati diri
masyarakat penuturnya.
Sifat tradisi lisan Teda yang mengandung dan memberikan gambaran
tentang kearifan lokal, nilai-nilai kearifan lokal dan wujud jati diri masyarakat
Kabizu Beijello tentu relevan dikaji dengan menggunakan kajian ekolinguistik
metaforis. Haugen (1972:325) mengemukakan bahwa ekolinguistik adalah studi
tentang interaksi bahasa tertentu dengan lingkungannya. Lingkungan dalam hal ini
didefinisikan sebagai masyarakat yang menggunakan bahasa sebagai salah satu
kode. Dalam hal ini Haugen memaknai lingkungan dalam arti metaforis. Hal itu
ditegaskan oleh Rahardi (2016) dalam artikelnya yang berjudul “Urgensi
Menggelorakan Linguistik Ekologi” yang dituliskan pada surat kabar Kedaulatan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
Rakyat yang menuliskan bahwa dimensi ekolinguistik lainnya yang tidak temasuk
dalam pengertian natural, bersifat metaforis dan lazim diterminologikan sebagai
ekolinguistik saja, yakni hubungan tali temali antara bahasa dengan strata sosial,
status sosial, kebudayaan, etnisitas, laras dan sejenisnya.
Berdasarkan kedua pandangan pakar di atas, maka ekolinguistik metaforis
dalam konteks penelitian ini adalah hubungan tali temali antara bahasa yang
digunakan dalam tradisi lisan pada upacara Padede Uma Kalada dengan
masyarakat Kabizu Beijello yang menggunakan bahasa tersebut sebagai salah satu
kode yang mencerminkan lingkungan sosial dan budaya. Hal seperti yang
diungkapkan oleh Mulyadi (2014:93) bahwa di dalam ekolinguistik, bahasa bukan
sekadar nomenklatur (tata nama), tetapi bahasa memiliki perangkat kata tertentu
sebagai petunjuk bahwa kata-kata itu menjadi bagian yang penting dalam sebuah
kebudayaan. Pandangan hidup suatu bangsa adakalanya diungkapkan dengan
kata-kata kunci tertentu.
Berdasarkan seluruh uraian di atas, peneliti dapat mengidentifikasi beberapa
masalah, yakni (1) tradisi lisan Teda dalam upacara Padede Uma Kalada
merupakan salah satu kekayaan budaya masyarakat Kabizu Beijello yang sampai
saat ini masih dipraktikkan dalam upacara-upacara pembangunan rumah besar.
Akan tetapi, sejauh ini penelitian terkait tradisi lisan Teda dalam upacara Padede
Uma Kalada masih jarang dilakukan oleh kaum akademisi terutama peneliti di
bidang bahasa, sastra dan pengajaran. (2) Tradisi lisan dalam upacara Padede
Uma Kalada merekam dan menyimpan wujud kearifan-kearifan lokal, nilai-nilai
dan memberikan gambaran tentang wujud jati diri yang selalu dipraktek oleh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
masyarakat Kabizu Beijello. Akan tetapi, sejauh ini pembahasan terkait ketiga hal
ini belum terperikan secara maksimal. Hal itu karena peneliti-peneliti terdahulu
belum sampai pada taraf pengkajian makna bahasa dalam hubungannya dengan
praktik sosial dan budaya yang melingkupi masyarakat Kabizu Beijello. (3) Fakta
membuktikan bahwa tradisi lisan Teda pada era globalisasi ini, berada pada
ambang kepunahan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini tidak hanya bersifat
deskriptif saja tetapi juga akan sampai pada memaparkan strategi-strategi yang
dapat dilakukan agar tradisi lisan Teda tetap lestari. Berdasarkan seluruh uraian
itu dan identifikasi masalah yang ditemukan, maka peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul “Tradisi Lisan dalam Teda dalam Upacara
Padede Uma Kalada Masyarakat Kabizu Beijello, Sumba Barat Daya: Kajian
Ekolinguistik Metaforis”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan hasil identifikasi masalah, maka
rumusan masalah utama dalam penelitian ini adalah bagaimanakah tradisi lisan
Teda dalam upacara Padede Uma Kalada masyarakat Kabizu Beijello, Sumba
Barat Daya berdasarkan kajian ekolinguistik metaforis? Berdasarkan rumusan
masalah utama ini, dapat disusun beberapa rumusan submasalah sebagai berikut.
1) Kearifan-kearifan lokal apa sajakah yang terdapat dalam tradisi lisan Teda
pada upacara Padede Uma Kalada berdasarkan kajian ekolinguistik
metaforis?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
2) Nilai-nilai kearifan lokal apa sajakah yang terdapat dalam tradisi lisan Teda
pada upacara Padede Uma Kalada berdasarkan kajian ekolinguistik
metaforis?
3) Jati diri masyarakat Kabizu Beijello apa sajakah yang terdapat dalam tradisi
lisan Teda pada upacara Padede Uma Kalada berdasarkan kajian ekolinguistik
metaforis?
4) Strategi preservasi apakah yang dapat dilakukan untuk menjaga kelestarian
tradisi lisan Teda masyarakat Kabizu Beijello?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab rumusan masalah.
Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan penelitian ini terdiri atas dua yang
meliputi tujuan umum dan tujuan khusus. Adapun tujuan umum dari penelitian ini
adalah untuk mendeskripsikan tradisi lisan Teda dalam upacara adat Padede Uma
Kalada masyarakat Kabizu Beijello, Sumba Barat Daya dengan menggunakan
kajian ekolinguistik metaforis. Berdasarkan tujuan umum ini, dapat disusun
beberapa tujuan khusus yang dapat diperinci sebagai berikut.
1) Mendeskripsikan kearifan-kearifan lokal yang terdapat dalam tradisi lisan Teda
pada upacara Padede Uma Kalada berdasarkan kajian ekolinguistik metaforis.
2) Mendeskripsikan nilai-nilai kearifan lokal yang terdapat dalam tradisi lisan
Teda pada upacara Padede Uma Kalada berdasarkan kajian ekolinguistik
metaforis.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
3) Mendeskripsikan jati diri masyarakat Kabizu Beijello yang termanifestasikan
pada tradisi lisan Teda dalam upacara Padede Uma Kalada berdasarkan kajian
ekolinguistik metaforis.
4) Merumuskan strategi preservasi yang dapat dilakukan untuk menjaga
kelestarian tradisi lisan Teda masyarakat Kabizu Beijello.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang berarti, baik
secara teoritis maupun secara praktis. Manfaat teoritis terkait dengan sumbangan
teoritis kajian ini untuk pengembangan teori linguistik pada umumnya dan
ekolinguistik metaforis secara khusus. Sedangkan, manfaat praktis terkait dengan
manfaat secara langsung dari hasil penelitian ini yang dapat digunakan oleh
masyarakat pada umumnya. Manfaat teoritis dan manfaat praktis ini akan
diuraikan secara lengkap sebagai berikut.
1.4.1 Manfaat Teoretis
Tradisi lisan Teda dalam upacara Padede Uma Kalada merupakan salah
satu wujud identitas suku bangsa yang harus dijaga kelestariannya. Oleh karena
itu, tradisi lisan ini harus dikaji secara teoretis untuk menemukan manfaat yang
terdapat didalamnya sebagai salah satu langkah pengembangan pengetahuan
secara akademik. Adapun manfaat teoretis dari hasil penelitian ini dapat dilihat
sebagai berikut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
1) Dapat menambah khasanah pengetahuan terkait teori linguistik, khususnya
teori linguistik yang membahas hubungan tali-temali bahasa dengan
lingkungan. Dalam hal ini, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi
pengembangan teori ekolinguistik metaforis.
2) Dapat menambah khasanah pengetahuan terkait teori tradisi lisan, kearifan
lokal, nilai-nilai kearifan lokal dan teori jati diri yang terekam dalam
kebudayaan.
3) Dapat menambah khasanah pengetahuan mengenai konsep preservasi bahasa
dan budaya.
1.4.2 Manfaat Praktis
Penelitian ini selain memiliki manfaat teoritis, juga memiliki manfaat
praktis yang dapat dijabarkan sebagai berikut.
1) Hasil penelitian ini dapat menjadi sumber rujukan bagi peneliti lain yang ingin
melakukan penelitian yang serupa, yakni penelitian terkait hubungan tali
temali antara bahasa dan lingkungan sosial budaya suatu masyarakat etnik.
2) Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bacaan akademik bagi dosen,
guru dan peserta didik dalam mendalami konsep-konsep terkait ekolinguistik
metaforis, tradisi lisan, kearifan lokal, nilai-nilai kearifan lokal dan wujud jati
diri.
3) Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh para pengajar baik di
tingkat sekolah dasar, menengah maupun perguruan tinggi yang ada di pulau
Sumba dalam menanamkan pendidikan karakter. Hal itu mengingat bahwa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
tradisi lisan dalam upacara Padede Uma Kalada merupakan ungkapan-
ungkapan tradisional yang sangat sopan dan sangat santun, syarat makna dan
berbernas yang digunakan untuk memberikan himbauan dan nasihat. Oleh
karena itu, petuah-petuah dalam tradisi lisan ini dapat digunakan untuk
memberikan himbauan dan nasihat dalam menanamkan pendidikan karakter
bagi anak didik.
4) Hasil penelitian ini secara praktis dapat digunakan oleh pihak pemerintah
Sumba Barat Daya dalam merancang program pembangunan dan menulis
buku-buku yang berbasis budaya dan kearifan lokal sebagai salah satu langkah
pelestarian kearifan lokal yang ada di Kabupaten Sumba Barat Daya.
5) Hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu langkah memelihara dan
melindungi kebudayaan dan tradisi lisan masyarakat Kabizu Beijello. Artinya
bahwa hasil penelitian ini dapat menjadi dokumen atau bukti tradisi lisan
masyarakat Kabizu Beijello dan sekaligus dapat menjadi dokumen sejarah atau
bukti sejarah keberlangsungan hidup masyarakat Kabizu Beijello. Hal itu
karena tradisi lisan dalam upacara Padede Uma Kalada merekam realitas
sosial dan sejarah budaya masyarakat Kabizu Beijello.
1.5 Sistematika Penyajian
Penelitian ini terdiri atas lima bab. Sistematika penyajian dari masing-
masing bab itu, yakni bab I memuat tentang pendahuluan yang terdiri atas latar
belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, sistematika
penyajian dan batasan istilah. Bab II memuat tentang landasan teori yang terdiri
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
atas teori-teori yang relevan dengan penelitian ini. Adapun teori-teori yang
dimaksud, yakni bahasa dan kebudayaan, ekolinguistik dan ekolinguistik
metaforis, konteks dalam ekolinguistik metaforis, tradisi lisan, tradisi lisan dalam
upacara Padede Uma Kalada, kearifan lokal, jati diri, preservasi dan kerangka
berpikir. Masing-masing teori itu dalam uraiannya diintegrasikan dengan
penelitian-penelitian terdahulu yang relevan. Bab III berisi tentang metodologi
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yang terdiri atas jenis penelitian,
sumber data, data dan objek penelitian, metode dan teknik analisis data serta
triangulasi. Bab IV memuat tentang uraian dari hasil penelitian dan pembahasan
dari hasil penelitian yang ditemukan. Bab V merupakan penutup yang terdiri atas
kesimpulan dari data yang telah diinterpretasi dan saran.
1.6 Batasan Istilah
Penelitian memiliki beberapa Batasan istilah. Batasan-batasan istilah itu
merujuk pada kata-kata kunci yang terdapat pada judul dan fokus masalah yang
diteliti dalam penelitian ini. Adapun beberapa batasan istilah itu dijabarkan
sebagai berikut.
1) Ekolinguistik Metaforis
Ekolinguistik metaforis dalam penelitian ini dibatasi sebagai ilmu yang
mengkaji hubungan tali temali antara bahasa yang digunakan oleh masyarakat
Kabizu Beijello dalam upacara adat Padede Uma Kalada dengan lingkungan
sosial dan budaya yang melingkupi masyarakat Kabizu Beijello (periksa
Haugen, 1972:325; Fill and Mühlhäusler, 2001:14; Rahardi, 2016).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
2) Tradisi Lisan
Tradisi lisan dalam penelitian ini dibatasi sebagai warisan budaya masyarakat
Kabizu Beijello yang mengandung kearifan-kearifan lokal, nilai-nilai sosial
budaya dan jati diri masyarakat Kabizu Beijello yang terekspresikan pada
tuturan-tuturan, doa-doa dan nyanyian-nyanyian yang berbentuk syair yang
indah dalam upacara adat selama proses Padede Uma Kalada (pembuatan
rumah adat). Tradisi lisan tersebut ada yang dituturkan dalam dalam
musyawarah-musyawarah persiapan pembangunan rumah besar, dalam doa-
doa yang ditujukan kepada leluhur, roh-roh gaib dan Tuhan sebagai Wujud
Tertinggi. Selain itu, ada juga yang dinyanyikan dengan diiringi gong dan
tambur pada upacara adat Saiso (Supriatin, 2012:407; Vansina, 2014:1).
3) Kearifan Lokal
Kearifan lokal dalam penelitian ini dibatasi sebagai gagasan dan pengetahuan-
pengetahuan lokal yang menyatu dengan budaya, norma dan kepercayaan
Marapu yang dianut oleh masyarakat Kabizu Beijello yang terekspresikan
dalam tradisi lisan dalam upacara Padede Uma Kalada. Kearifan lokal itu ada
yang berwujud nyata (tangible) dan adapula yang berwujud tidak nyata
(intangible) (Dokhi, dkk., 2016:8-9).
4) Nilai kearifan lokal
Nilai kearifan lokal dalam penelitian ini dibatasi sebagai sesuatu yang
berharga dan ideal yang memberikan corak pada pola pikiran, perasaan dan
perilaku masyarakat Kabizu Beijello (Aslan, 2017:13).
5) Jati Diri
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
5) Jati Diri
Jati diri dalam penelitian ini dibatasi sebagai ciri khas yang dimiliki oleh
masyarakat Kabizu Beijello yang membedakannya dari komunitas etnik
lainnya yang dapat diamati melalui tutur kata, perilaku, kepercayaan dan
pandangan hidup (Alfian, 2013: 427-428; Somantri, 2010).
6) Preservasi
Preservasi adalah tindakan yang memungkinkan tradisi lisan dapat
dipertahankan dalam jangka waktu lama melalui kegiatan perlindungan dan
pemeliharaan tradisi lisan (Ellis, 1993) dalam Kami (2018:15). Dalam konteks
penelitian ini, maka preservasi dibatasi sebagai upaya-upaya strategis yang
dilakukan untuk melindungi dan melestarikan tradisi lisan dalam upacara
Padede Uma Kalada.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
BAB II
LANDASAN TEORI
Dalam bab ini dipaparkan teori-teori dasar yang melandasi penelitian ini.
Landasan teori dalam penelitian ini merupakan tinjauan kepustakaan yang
mendukung atau relevan dengan masalah-masalah penelitian. Landasan teori
tersebut meliputi, (1) bahasa dan kebudayaan, (2) ekolinguistik dan ekolinguistik
metaforis, (3) konteks dalam ekolinguistik metaforis, (4) etnografi dan etnografi
komunikasi, (5) tradisi lisan, (6) tradisi lisan Teda dalam dalam upacara Padede
Uma Kalada masyarakat Kabizu Beijello, (7) kearifan lokal, (8) jati diri, (9)
preservasi, dan (10) kerangka berpikir. Tinjauan teoritis ini akan dipaparkan
sebagai berikut.
2.1 Bahasa dan Kebudayaan
Bahasa dan lingkungan sosial budaya merupakan unsur utama dalam kajian
ekolinguistik metaforis. Oleh karena itu, peneliti memandang perlu untuk
memaparkan terlebih dahulu terkait hubungan antara bahasa dan kebudayaan
sebelum memaparkan teori ekolinguistik metaforis. Mbete (2015:184)
menjelaskan bahwa bahasa adalah gambaran tentang realitas, gambaran tentang
pengetahuan dan pengalaman manusia. Dalam hal ini komunitas tuturnya tentang
dunia nyata, di sisi dunia imajinasi, yang ada di lingkungannya. Senada dengan
pandangan ini Kramsch (1998:3) menegaskan bahwa bahasa mengekspresikan
atau melambangkan realitas budaya. Lebih lanjut dijelaskan bahwa bahasa adalah
sarana utama dalam menjalankan kehidupan sosial. Ketika digunakan dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
konteks komunikasi, bahasa terikat dengan budaya yang beragam dengan cara
yang kompleks atau rumit. Ketika memulai suatu komunikasi kata-kata yang
diucapkan oleh seseorang mengacu pada pengalaman yang umum. Bahasa
mengungkapkan fakta, ide, atau peristiwa yang merujuk pada pengetahuan
tentang dunia. Kata-kata yang digunakan dalam peristiwa komunikasi
mencerminkan sikap dan kepercayaan penuturnya dan sudut pandang penutur
terhadap lingkungan. Selain itu, bahasa juga merupakan sistem tanda yang
dipandang memiliki nilai budaya. Sikap, kepercayaan dan sistem nilai umumnya
tercermin dalam cara anggota kelompok menggunakan bahasa.
Merujuk pada kedua pandangan pakar di atas dapat dikatakan bahwa
berbicara mengenai bahasa tidak dapat dilepaspisahkan dari lingkungan sosial
budaya yang dihidupi oleh masyarakat penuturnya. Bahasa yang digunakan dalam
berbagai peristiwa tutur tentu memberikan gambaran tentang kebudayaan yang
dihidupi oleh masyarakat pemakainya. Hal itu ditegaskan oleh (Rahardi, 2009: 6)
bahwa bahasa menjadi penanda keadaan perkembangan dari budaya dan
masyarakat.
Salah satu klaim lama mengenai hubungan antara bahasa dan budaya adalah
bahwa struktur bahasa menentukan cara penutur bahasa memandang dunia. Versi
yang agak lebih lemah adalah bahwa struktur bahasa tidak menentukan pandangan
dunia penuturnya tetapi mempengaruhi budaya dan cara berpikir penuturnya.
Klaim ketiga, 'netral,' adalah bahwa ada sedikit atau tidak ada hubungan antara
bahasa dan budaya. Klaim bahwa struktur bahasa memengaruhi budaya dan cara
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
penuturnya memandang dunia disebut sebagai hipotesis Sapir-Whorf, yakni
hipotesis relativitas bahasa (Wardhaugh, 2006:221).
Klaim-klaim yang terperikan di atas, jika didasarkan pada dua paradigma
dalam pengkajian bahasa, klaim satu dan dua termasuk dalam paradigma kaum
fungsionalis. Sementara itu, klaim tiga termasuk dalam paradigma kaum formalis.
Mujib (2009:142-143) dalam penelitiannya yang berjudul “Hubungan Bahasa
dan Budaya: Perspektif Sosiolinguistik” mengemukakan bahwa pandangan yang
menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara bahasa dan budaya merujuk pada
pandangan kaum formalis, yakni teori linguistik struktural oleh Noam Chomsky,
yakni teori yang menekankan bahwa pengetahuan linguistik hanya memfokuskan
pada pengetahuan mengenai bahasa itu sendiri tanpa perlu mengkaji bahasa dalam
pemakaiannya dengan menolak secara eksplisit adanya hubungan antara bahasa
dengan masyarakat. Dengan demikian, penelitian ini termasuk dalam paradigma
kaum fungsionalis, yakni pengkajian bahasa dengan melihat hubungan tali
temalinya dengan lingkungan sosial dan budaya mamsyarakat penuturnya.
Frans Boas adalah seorang ahli bahasa yang bergerak di bidang
antropolinguistik. Bahasa dan budaya merupakan perhatian dari Boas dengan
pendekatannya yang bernama Tradisi Boasian. Tradisi Boas beranggapan bahwa,
“seseorang tidak akan benar-benar memahami budaya orang lain tanpa memiliki
akses langsung pada bahasanya”. Artinya bahwa tanpa memahami bahasa, orang
tidak akan mampu memahami budaya orang lain. Menurutnya sistem bahasa suatu
masyarakat dapat dipelajari sebagai pemandu untuk sistem budaya suatu
masyarakat. Ia menyimpulkan bahwa bahasa mengklasifikasikan dunia dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
pengalaman manusia. Artinya bahwa bahasa yang berbeda-beda dapat
mengklasifikasikan pengalaman yang berbeda pula. Ia menggunakan argumen itu
untuk menyokong teori relativitas budaya, yakni budaya itu tentu saja tidak dapat
diterapkan di masyarakat lain yang tidak memiliki pola pikir yang sama dan
setiap budaya memiliki pandangan dunianya sendiri (Duranti, 1997:52-55).
Edward Sapir adalah salah seorang murid dari Frans Boas yang memperluas
kajian Boas dalam bidang bahasa dengan memberikan perhatian lebih pada
struktur linguistik. Dalam pandangan Sapir sebagaimana dicatat oleh Duranti
(1997:56) dijelaskan bahwa bahasa adalah sarana paling sempurna atas
komunikasi dan ekspresi di antara orang-orang yang saling mengenal. Dalam
artikelnya yang diterbitkan tahun 1929 yang berjudul “The Status of Linguistics
as a science” Sapir (1929) berpendapat bahwa bahasa adalah panduan dalam
berinteraksi sosial. Manusia tidak hidup di dunia objektif saja, tidak juga sendirian
di dunia aktivitas sosial seperti yang biasanya dipahami, tetapi sangat bergantung
pada bahasa tertentu yang telah menjadi media ekspresi bagi masyarakat mereka.
Faktanya adalah bahwa 'dunia nyata' sebagian besar secara tidak sadar didasarkan
pada kebiasaan bahasa kelompok. Tidak ada dua bahasa yang cukup mirip untuk
dianggap mewakili realitas sosial yang sama. Dunia di mana masyarakat yang
berbeda hidup adalah dunia yang berbeda, bukan hanya dunia yang sama dengan
label yang berbeda.
Syairi (2013) dalam penelitiannya yang berjudul “Pembelajaran Bahasa
dengan Pendekatan Budaya” memberikan gambaran terkait bahasa yang sama
atau cukup mirip belum tentu dianggap dapat mewakili realitas sosial yang sama.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
Hal ini dapat dilihat dari pernyataan Syairi yang mengatakan bahwa beberapa
keistimewaan bahasa dipakai suatu bangsa, atau daerah tertentu untuk membatasi
cara-cara berpikir dan pandangan bangsa atau daerah yang bersangkutan terhadap
fenomena tempat mereka hidup. Dengan demikian susunan bahasa dan
keistimewaan lain yang dimilikinya merupakan faktor dasar bagaimana suatu
masyarakat memandang hakikat alam dan tempat mereka berada. Selanjutnya
dalam penelitian ini Syairi memberikan contoh sebagaimana berikut.
Umpamanya kata ikan dalam bahasa Indonesia merujuk kepada jenis
binatang yang hidup dalam air dan biasa dimakan sebagai lauk; dalam
bahasa Inggris sepadan dengan fish; dalam bahasa banjar disebut iwak.
Tetapi kata iwak dalam bahasa jawa bukan hanya berarti ikan atau fish.
Melainkan juga berarti daging yang digunakan juga sebagai lauk (teman
pemakan nasi). Malah semua lauk seperti tahu dan tempe sering juga
disebut iwak. Begitu pula halnya dalam budaya masyarakat Inggris yang
tidak mengenal nasi sebagai makanan pokok hanya ada kata rice untuk
menyatakan nasi, beras, gabah, dan padi. Karena itu, kata rice pada
konteks tertentu berarti nasi pada konteks lain berarti gabah dan pada
konteks lain lagi berarti beras atau padi.
Pandangan Syairi di atas memberikan gambaran bahwa bahasa yang sama
belum tentu mewakili budaya dan cara pandang yang sama dalam memaknai
bahasa. Budaya dan pola pikir masyarakat Jawa yang memandang bahwa iwak
(ikan) tidak hanya merujuk pada binatang laut yang biasa dimakan tetapi juga
merujuk pada semua daging dan bahkan semua lauk seperti tempe dan tahu
sebagai teman pemakan nasi mempengaruhi pamahaman makna terhadap bahasa
sebagaimana masyarakat Indonesia, Inggris dan masyarakat Banjar memahami
makna kata ikan. Begitu pula budaya masyarakat Inggris yang tidak menjadikan
nasi sebagai makanan pokok sebagaimana digambarkan Syairi di atas
memberikan gambaran pemahaman kepada kita bahwa bahasa yang berbeda dapat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
merefleksikan budaya dan cara pandang yang berbeda terhadap lingkungan sosial
budaya masyarakat penuturnya. Bahasa terikat oleh budaya dan pemahaman
masyarakat penuturnya dalam memandang lingkungan dimana mereka hidup.
bahasa itu adalah produk budaya dan sekaligus wadah penyampaian kebudayaan
dari masyarakat bahasa yang bersangkutan.
Berdasarkan seluruh uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa bahasa
dan budaya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Bahasa yang
digunakan oleh masyarakat dalam suatu lingkungan tertentu terikat oleh budaya
dan cara pandang masyarakat penuturnya dalam memahami dan memaknai
lingkungannya. Bahasa dibangun dan diproduksi berdasarkan pengalaman dan
pengetahuan tentang lingkungan sosial dan budaya masyarakat penuturnya. Oleh
karena itu, jelaslah bahwa bahasa yang sama atau cukup mirip tentu tidak dapat
dikatakan dapat mewakili realitas sosial budaya yang sama. Bahasa yang berbeda
tentu menggambarkan budaya, cara pandang dan tingkah laku masyarakat
penuturnya yang berbeda pula.
2.2 Ekolinguistik dan Ekolinguistik Metaforis
Ekologi merupakan konsep yang menjadi titik awal munculnya istilah
‘ekolinguistik’. Ahli biologi Jerman Ernst Haeckel sejak tahun 1866
mendefinisikan istilah 'ekologi' sebagai studi tentang keterkaitan antara organisme
dan lingkungan hidup dan tidak hidup mereka termasuk organisme yang sama dan
spesies lainnya. Pada tahun 1960-an, kata 'ekologis', dipahami sebagai biologis,
alami, dan ramah lingkungan. Dalam perkembangannya selanjutnya 'ekologi'
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
sepenuhnya selaras dengan asumsi ekolinguistik, yakni ekologi adalah studi
tentang hubungan antara organisme hidup, termasuk manusia, dan lingkungan
fisik mereka; ia berusaha memahami hubungan vital antara tanaman, hewan dan
lingkungan di sekitar mereka (Dash, 2019:379).
Sesungguhnya studi ekolinguistik sudah diawali sejak tahun 1912 ketika
Edward Sapir menulis refleksinya tentang 'Bahasa dan Lingkungan'. Hal ini dapat
dibaca dalam buku yang ditulis oleh Fill and Mühlhäusler (2001:2-3) dengan
menuliskan sebagaimana berikut.
Ketika Edward Sapir menulis refleksi tentang 'Bahasa dan Lingkungan'
pada tahun 1912, istilah 'lingkungan' belum memperoleh makna
ekologisnya, tetapi hanya menandakan 'lingkungan fisik dan sosial'. Akan
tetapi, teks Sapir yang pertama kali dicetak dalam buku ini adalah upaya
awal dari seorang ahli bahasa untuk melampaui deskripsi bahasa dalam
hal struktur, sistem suara, makna kata dan sejenisnya dan untuk
membangun hubungan antara 'Alam dan bahasa. Perhatian Sapir terhadap
bahasa dan lingkungan tidak terbatas pada satu bahasa saja (misalnya,
bahasa Inggris) dalam teks singkat ini, ia menyebutkan sejumlah besar
budaya dan bahasa yang memiliki hubungannya dengan lingkungannya
yang ia jelajahi. Jika ekolinguistik memang didasarkan pada prinsip-
prinsip interaksi dan keanekaragaman, Sapir adalah eksponen awal
ekolinguistik sejauh ia menunjukkan hubungan antara bahasa dengan
lingkungan fisik di satu sisi dan bahasa dengan dimensi social dan budaya
di sisi lain. Keterkaitan antara bahasa dan lingkungan ini hanya ada pada
pada tataran leksikon saja, bukan pada tataran fonologi atau morfologi.
Pada topik “Language and Environment Edward Sapir” Sapir
sebagaimana dicatat oleh Fill and Mühlhäusler (2001:14) membagi lingkungan
atas tiga jenis. Pertama, lingkungan ragawi, yang mencakup karakter geografis
seperti topografi suafu lsgara (mis. pantai, lembah, dataran tinggi, pegunungan,
iklim, darr intensitas curah hujan). Kedua, lingkungan ekonomis, yang terdiri atas
fauna, flora, dan sumber-sumber mineral yang terdapat di daerah tersebut. Ketiga,
lingkungan sosial, yang berupa pelbagai kekuatan yang ada dalam masyarakat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
dalam membentuk kehidupan dan pikiran setiap individu, di antaranya agama,
budaya, etika, organisasi politik, dan seni.
Lingkungan yang digambarkan oleh Sapir di atas apabila dikaitkan dengan
ekolinguistik maka lingkungan yang pertama dan kedua temasuk termasuk dalam
ruang lingkup kajian ekolinguistik natural yang kini lebih banyak disebut sebagai
envirolinguistik. Sementara itu, lingkungan yang ketiga termasuk dalam ruang
lingkup kajian ekolinguistik metaforis, yakni mengkaji hubungan tali temali
antara bahasa dan kekuatan-kekuatan sosial, politik, kepercayaan, budaya, adat
istiadat, etika, dan seni yang melingkupi masyarakat penuturnya.
Steffensen and Fill (2013:3) dalam artikel yang berjudul “Ecolinguistics:
The State of The Art and Future Horizons” juga berupaya menelusuri kemunculan
dan perkembangan linguistik ekologi, atau ekolinguistik dari dari abad 20-an
sampai 1970-an. Dari hasil penelusuran ini ditemukan empat konsep atau
pendekatan dalam ekolinguistik, yakni (1) bahasa terdapat dalam ekologi
simbolik, yakni pendekatan yang menyelidiki koeksistensi bahasa atau sistem
simbolik di otak seorang pembicara dalam suatu lingkungan tertentu, (2) bahasa
terdapat dalam ekologi alami, yakni pendekatan yang mengkaji terkait hubungan
bahasa dengan biologis dan ekosistem lingkungan dimana bahasa digunakan yang
meliputi, topografi, iklim, fauna, flora, dan lain-lain, (3) bahasa ada dalam ekologi
sosiokultural, yakni pendekatan yang menyelidiki bagaimana bahasa berhubungan
dengan kekuatan sosial dan budaya yang membentuk kondisi penutur dan
komunitas tutur, (4) bahasa ada dalam ekologi kognitif, yakni pendekatan ini
menyelidiki bagaimana bahasa diaktifkan oleh dinamika biologis organisme dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
lingkungannya, dengan fokus pada kapasitas kognitif yang memunculkan
organisme yang fleksibel dan adaptasi tingkah laku.
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa pendekatan terdapat
dalam ekologi alami termasuk dalam pengkajian bahasa dalam hubungannya
dengan lingkungan fisik. Sementara itu, pendekatan bahasa ada dalam ekologi
simbolik, sosiokultural dan kognitif termasuk dalam ekolinguistik metaforis,
yakni mengkaji bahasa dalam hubungannya dengan sistem nilai, kepercayaan,
agama, sosial, budaya, seni, politik dan bahkan ideologi serta ilmu-ilmu lainnya
yang tidak tergolong dalam lingkungan fisik atau ragawi.
Konsep ekolinguistik menjadi mapan ketika Haugen (1970) memberikan
pidato dengan judul “The Ecology of Language” (Fill dan Penz, 2018:3).
Ekolinguistik dalam pandangan Haugen (1970:325) adalah studi interaksi antara
bahasa tertentu dengan lingkungannya. Teori ini merupakan bentuk kritik Haugen
terhadap pendekatan linguistik yang hanya memahami bahasa sebagai seperangkat
kaidah (mikrolinguistik) seperti fonologi, sintaksis dan leksikon. Dalam
pandangan Haugen, bahasa memiliki hubungan tali temali dengan lingkungannya.
Dalam lingkungan inilah bahasa menghadirkan penuturnya. Atas dasar pemikiran
ini, Haugen menciptakan paradigma baru dalam kajian bahasa yakni ekologi
bahasa, yaitu studi tentang interaksi bahasa dengan lingkungannya. Dalam
konteks ini, Haugen menggunakan konsep lingkungan secara metaforis.
Rahardi (2016) dalam artikelnya yang berjudul “Urgensi Menggelorakan
Linguistik Ekologi” yang dituliskan pada surat kabar Kedaulatan Rakyat
memberikan penegasan bahwa ekologi bahasa pada gilirannya bermetamorfosis
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
menjadi ekolinguistik, baik dalam pengertian natural maupun metaforis. Studi
ekolinguistik natural kini banyak disebut envirolinguistik, yakni berbagai dimensi
alam yang bertali temali dengan bahasa yang selanjutnya melahirkan konsep
ikonisitas. Sedangkan dimensi ekolinguistik lainnya bersifat metaforis dan lazim
diterminologikan sebagai ekolinguistik saja, yakni hubungan tali temali antara
bahasa dengan strata sosial, status sosial, kebudayaan, etnisitas, laras dan
sejenisnya.
Senada dengan pandangan di atas, Nesi, (2018:30) menjelaskan bahwa
konsep ekologi dalam ekolinguistik tidak semata-mata merujuk pada lingkungan
fisik, tetapi juga merujuk pada lingkungan dalam arti masyarakat pengguna
bahasa itu sendiri. Lingkungan dalam arti metaforis dalam perkembangannya
ternyata juga meliputi lingkungan politik, hukum, bahkan informasi dan
teknologi. Sementara itu, Uyanne, Onuoha, dan Osigwe (2014:162)
mengungkapkan bahwa ekolinguistik merupakan studi multidisipliner bahasa
dalam interaksi yang menafsirkan bahasa dalam hal adat istiadat, budaya, strata
sosial, sudut pandang politik dan bentuk-bentuk lain yang khas pada lingkungan
tertentu.
Dalam konteks penelitian di Indonesia, penelitian terkait hubungan bahasa
dengan lingkungan fisik atau ragawi dan lingkungan sosial budaya dapat dibaca
dalam penelitian yang dilakukan oleh Suktiningsih (2016) dan Nesi (2018).
Penelitian yang dilakukan oleh Suktiningsih (2016) berjudul “Leksikon Fauna
Masyarakat Sunda”. Dalam penelitian ini Suktiningsih, mengidentifikasi leksikon
yang terdapat dalam metafora masyarakat Sunda. Identifikasi leksikon yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
dilakukan bersifat gramatikal yang meliputi bentuk, kategori dan fungsi. Dari
hasil analisis menunjukkan bahwa banyak penggunaan leksikon fauna dalam
petuah atau nasehat masyarakat Sunda. Leksikon fauna yang ditemukan, yaitu
leksikon bentuk dasar yang berkategori nomina. Sehubungan dengan ini,
penelitian ini meneliti hubungan bahasa dengan lingkungan fisik atau ragawi.
Penelitian yang dilakukan Nesi (2018) berjudul “Tradisi Lisan Takanab
sebagai Wujud Identitas Masyarakat Dawan: Kajian Ekolinguistik Metaforis”.
Jika dilihat dari judulnya sangat jelas bahwa penelitian ini mengkaji bahasa dalam
hubungannya dengan lingkungan sosial dan budaya masyarakat Dawan. Metode
yang digunakan di dalam penelitian ini adalah metode simak dengan teknik sibat
libat cakap, teknik simak bebas libat cakap, teknik rekam, dan teknik catat. Selain
itu penelitian ini memanfaatkan juga metode etnografi komunikasi yaitu
pengalaman langsung, observasi partisipasi, dan wawancara. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa dalam tradisi lisan Takanab terwujud identitas hakiki
masyarakat Dawan, yakni masyarakat Dawan sebagai masyarakat agraris.
Identitas hakiki ini menunjukkkan pula jati diri kolektif masyarakat Dawan, yakni
masyarakat Dawan sebagai masyarakat religius, sastrawi, patriarkat, solider,
ritual, ekologis dan humanis. Selain itu dalam penelitian ini juga ditemukan
kearifan-kearifan lokal masyarakat Dawan, yakni kearifan lokal yang berwujud
nyata (tangible) berupa batu dan air, tiang dan pagar, wadah sirih pinang, kain
tenun motif, rumah adat, benda pusaka dan kearifan lokal berwujud tidak nyata
(intangible) meliputi peribahasa, petuah, syair, paralelisme, dan ideologi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
Berdasarkan seluruh paparan di atas, penelitian ini termasuk dalam
penelitian ekolinguistik metaforis. Melalui penelitian ini, peneliti berupaya
mengekplorasi hubungan bahasa dalam tradisi lisan Teda pada upacara Padede
Uma Kalada dengan dimensi sosial dan budaya masyarakat Kabizu Beijello.
Melalui kegiatan eksplorasi itu dapat diungkap kearifan-kearifan lokal, nilai-nilai
dan jati diri masyarakat Kabizu Beijello. Penelitian terhadap tradisi lisan Teda
dalam upacara Padede Uma Kalada, selain memanfaatkan kajian ekolinguistik
metaforis, juga mengacu pada tiga pendekatan ekolinguistik yang dikemukakan
oleh Steffensen and Fill (2013:3), yakni (1) bahasa terdapat dalam ekologi
simbolis, (2) bahasa ada dalam ekologi sosiokultural, (3) bahasa ada dalam
ekologi kognitif.
2.3 Konteks dalam Kajian Ekolinguistik Metaforis
Pemahaman terhadap hakikat konteks dalam kajian ekolinguistik metaforis
merupakan hal yang sangat penting. Hal itu dilandasi oleh asumsi bahwa
pengungkapan makna terdalam yang berkaitan dengan kearifan-kearifan lokal,
nilai-nilai dan wujud jati diri yang terkandung dalam sebuah peristiwa tutur baru
dapat diperoleh secara utuh apabila dikaitkan dengan konteks yang melatari
terbentuknya tuturan itu. Hal ini sejalan dengan pandangan Tube (2017:21) bahwa
konteks merupakan aspek penting dalam pembentukan suatu tuturan. Pemaknaan
suatu tuturan akan menjadi utuh jika dihubungkan dengan konteksnya.
Nesi (2018:33) dalam penelitiannya yang berjudul “Tradisi Lisan Takanab
sebagai Wujud Identitas Masyarakat Dawan: Kajian Ekolinguistik Metaforis”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
mengungkapkan bahwa dalam kajian ekolinguistik metaforis pemahaman
terhadap hakikat konteks dipandang sangat penting. Bagaimanapun, makna
bahasa tutur seperti halnya yang terdapat dalam tradisi lisan Takanab senantiasa
terajut di dalam konteks. Kode-kode bahasa yang terdapat dalam tradisi lisan
Takanab yang digunakan oleh masyarakat Dawan baru tersibak apabila konteks
sosial dan konteks budaya dilibatkan dalam analisis. Pandangan Nesi ini
mengisyarakatkan bahwa penelitian dengan memanfaatkan kajian ekolinguistik
metaforis selalu terikat dengan konteks sosial dan konteks budaya masyarakat
yang diteliti.
Konteks adalah semua latar belakang pengetahuan yang dimiliki penutur
dan mitra tutur serta yang menyertai dan mewadahi sebuah pertuturan
(Rahardi,2006:50). Konteks ialah gagasan yang tidak dapat diwakili oleh kata-
kata padahal ingin diungkapkan oleh penutur. Penentuan konteks dapat
diidentifikasi dari beberapa hal, yaitu dasar pemahaman bersama, latar belakang
budaya, asumsi penutur terhadap mitra tutur, kesantunan dan knowledge of the
world (Pranowo, 2015: 4). Berdasarkan kedua pendapat ini dapat disimpulkan
bahwa konteks adalah latar belakang pengetahuan yang dimiliki oleh penutur dan
mitra tutur tentang semua hal yang mendukung terbentuknya tuturan yang
mengandung gagasan yang tidak dapat diwakili kata-kata oleh penutur dan
maknanya dapat dipahami mitra tutur.
Penelitian ini memanfaatkan kajian ekolinguistik metaforis sebagai pisau
analisis. Pemaknaan yang mendalam terhadap tuturan-tuturan dalam tradisi lisan
Teda pada upacara Padede Uma Kalada dapat tersibak secara utuh apabila
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
melibatkan konteks. Dalam hal ini konteks budaya dan konteks dijadikan dasar
dalam memahami tuturan-tuturan dalam tradisi lisan Teda pada upacara Padede
Uma Kalada. Pranowo (2015:5) mengungkapkan bahwa tuturan akan dipahami
apabila penutur dan mitra tutur sama-sama memahami latar belakang budaya
bertutur. Konteks budaya adalah latar belakang pengetahuan tentang budaya
tertentu yang dimiliki oleh penutur dan mitra tutur yang mendukung komunikasi
antara penutur dan mitra tutur agar menjalan dengan baik (Putrayasa, 2014:29).
Sementara itu, Nesi (2018:33) mengungkapkan bahwa konteks budaya merupakan
konteks yang terkait dengan sistem nilai dan norma yang berlaku dalam
masyarakat tertentu. Song (2010:877) mengemukakan juga bahwa konteks
kebudayaan mengacu pada budaya, adat istiadat, dan latar belakang zaman dalam
masyarakat pengguna bahasa. Berdasarkan ketiga pendapat ini dapat disimpulkan
bahwa konteks budaya adalah latar belakang pengetahuan tentang budaya yang
terkait dengan sistem nilai, norma, adat istiadat dan latar belakang zaman yang
mewadahi atau mendukung terbentuknya tuturan.
Konteks sosial adalah konteks yang timbul sebagai akibat dari munculnya
interaksi antaranggota masyarakat dalam entitas atau kelompok tertentu (Nesi,
2018:33). Mey (1983) dalam (Rahardi 2009:4) menjelaskan bahwa konteks sosial
berkaitan erat dengan hal-ihwal interaksi sosial. Hymes (1989) sebagaimana
dikutip oleh Pranowo (2014:176-177) memaparkan elemen-elemen tutur dalam
konteks sosial yang diberi singkatan S-P-E-A-K-I-N-G, yang mana di dalam
masing-masing fonem ini mengandung elemen-elemen tutur yang dapat
dijabarkan sebagai berikut. Situation mengacu pada keadaan yang melingkupi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
terjadinya peristiwa komunikasi (santai, serius, netral, dan sebagainya).
Participant mengacu pada orang yang ikut terlibat dalam peristiwa komunikasi
(teman kerja, atasan, bawahan, pembantu). Ends mengacu pada tujuan atau apa
yang ingin dicapai melalui peristiwa komunikasi (mempengaruhi, memberi
informasi, menyuruh, membujuk, merayu). Addresee mengacu pada mitra
komunikasi atau orang yang diajak berkomunikasi. Keys (kunci) mengacu pada
pokok persoalan yang menjadi kunci pembicaraan. Instrument mengacu pada
segala hal yang berada di luar pembicaraan yang dapat dimanfaatkan untuk
mendukung kelancaran pembicaraan. Norms mengacu pada norma atau kaidah-
kaidah yang harus diikuti oleh pembicara (pranata sosial masyarakat yang
berlaku). Genre mengacu pada ragam atau corak bahasa yang sesuai dengan
situasi komunikasi (ragam santai, ragam formal ragam literer).
Selain konteks budaya dan konteks sosial interpretasi makna data dalam
penelitian ini memanfaatkan juga konteks sosietal dan konteks situasional.
Konteks sosietal berkaitan dengan kedudukan di dalam masyarakat dan institusi-
institusi sosial yang ada (Mey, 1983 dalam Rahardi, 2009:4). Hal ini sejalan pula
dengan Nesi (2018:33) bahwa konteks sosietal (status atau kedudukan)
merupakan konteks yang faktor penentunya adalah kedudukan anggota-anggota
masyarakat dalam institusi sosial yang ada dalam masyarakat sosial.
Sementara itu, konteks situasi terdiri atas empat komponen utama, yakni
field, tenor, mode. Field atau medan merujuk pada apa yang sedang terjadi dalam
teks dan sifat-sifat proses sosial apa yang sedang dilakukan partisipan dengan
menggunakan bahasa sebagai mediumnya, atau sebagai ‘the social action’. Tenor
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
atau pelibat adalah ‘the role structure’ mengacu kepada siapa yang berperan di
dalam kejadian sosial tersebut, sifat-sifat partisipan, status dan peran sosial. Mode
atau sarana adalah ‘the symbolic organization’ merujuk pada bagian yang
diperankan oleh bahasa. Hal ini menyangkut harapan partisipan dengan
menggunakan bahasa dalam situasi tertentu organisasi simbolik teks, status yang
dimilikinya, fungsinya dalam konteks, saluran: tertulis atau lisan atau gabungan
keduanya, sarana retoris: persuasif, ekspositoris, didaktis, dan sejenisnya
(Rosmawaty, 2011:78-79).
2.4 Etnografi dan Etnografi Komunikasi
Secara harfiah entografi berarti tulisan atau laporan tentang suatu suku
bangsa yang ditulis oleh seorang antropolog atas hasil penelitian lapangan (field
work) selama sekian bulan atau sekian tahun (Spradley, 2006: vii). Istilah
etnografi berasal dari kata Yunani ethnos yang berarti 'orang' dan graphein yang
berarti 'tulisan'. Istilah itu kemudian diartikan sebagai sejenis tulisan yang
menggunakan bahan-bahan dari penelitian lapangan untuk menggambarkan
kebudayaan manusia (Hanifah, 2010:2).
Etnografi merupakan cabang antropologi yang digunakan untuk
menggambarkan, menjelaskan dan menganalisis unsur kebudayaan suatu
masyarakat atau suku bangsa. Etnografi dalam kegiatannya memerikan uraian
terperinci mengenai aspek cara berperilaku dan cara berpikir yang sudah
membaku pada orang yang dipelajari yang dituangkan dalam bentuk tulisan, foto,
gambar atau film. Hal yang dipelajari bias berupa bahasa, mata pencaharian,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
sistem teknologi, organisasi sosial, kesenian, sistem pengetahuan dan religi
(Hanifah, 2010:1).
Tujuan etnografi adalah untuk memahami sudut pandang penduduk asli,
hubungannya dengan kehidupan, untuk mendapatkan pandangannya mengenai
dunianya. Oleh karena itu, penelitian etnografi melibatkan aktivitas belajar
mengenai dunia orang yang telah belajar, melihat, mendengar berbicara berpikir
dan bertindak dengan cara yang berbeda-beda, tidak hanya mempelajari
masyarakat tapi lebih dari itu etnografi berarti belajar dari masyarakat
(Malinowski dalam Spradley (2006:4). Hal ini selaras pula dengan Hanifah,
(2010:2) yang mengungkapkan bahwa etnografi merupakan salah satu model
penelitian yang lebih banyak terkait dengan antropologi yang mempelajari dan
mendeskripsikan peristiwa budaya, yang menyajikan pandangan hidup subjek
subjek yang menjadi objek studi. Deskripsi itu diperoleh peneliti dengan cara
berpartisipasi secara langsung dan lama terhadap kehidupan sosial suatu
masyarakat.
Etnografi merupakan suatu kegiatan yang dilakukan dalam upaya untuk
mempelajari, menemukan dan menguraikan suatu pandangan hidup dari suatu
masyarakat. Pandangan hidup itu dapat terkait dengan adat-istiadat, sistem
kepercayaan, wujud jati diri dan norma yang selalu dihidupi oleh masyarakat yang
diteliti tersebut. Pandangan hidup itu tentu ada yang tercermin secara langsung
dalam tuturan-tuturan dan ada pula yang secara tidak langsung, yakni yang dapat
diamati dari perilaku dan perbuatan dari masyarakat yang diteliti itu. Hal itu
diungkapkan oleh (Spradley, 2006: 3-5) bahwa etnografi adalah upaya untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
memperhatikan makna-makna tindakan yang menimpa orang lain yang ingin
dipahami. Beberapa makna tersebut terekspresikan secara langsung dalam bahasa,
dan diantara makna yang diterima, banyak yang disampaikan secara tidak
langsung melalui kata-kata, namun dapat diamati melalui perilaku dan perbuatan
orang yang diamati.
Etnografi terdiri dari beberapa fase perkembangan, yakni etnografi versi
awal, etnografi modern dan etnografi baru. Etnografi versi awal, menggambarkan
unsur kebudayaan suatu masyarakat seperti bahasa, mata pencaharian, teknologi,
sistem pengetahuan dan religi yang diperoleh dari sumber-sumber tidak langsung
seperti naskah atau peninggalan zaman dahulu. Metode etnografi modern baru
muncul pada dasawarsa 1915/1925, dipelopori oleh dua ahli antropologi sosial
Inggris, A.R. Radcliffe Brown dan B. Malinowski. Ciri penting yang
membedakan mereka dari para etnografer awal adalah bahwa mereka tidak terlalu
memandang penting hal ihwal yang berhubungan dengan sejarah kebudayaan
suatu kelompok masyarakat. Perhatian utama mereka adalah pada kehidupan masa
kini yang sedang dijalani oleh anggota masyarakat, yaitu tentang way of life
masyarakat tersebut. Berbeda dari etnografi modern yang memusatkan perhatian
pada organisasi internal suatu masyarakat dan membanding-bandingkan sistem
sosial dalam rangka untuk mendapatkan kaida-kaidah umum tentang masyarakat.
Etnografi baru ini memusatkan usahanya untuk menemukan bagaimana berbagai
masyarakat mengorganisasikan budaya mereka dalam pikiran mereka dan
kemudian menggunakan budaya tersebut dalam kehidupan. Jadi singkatnya,
budaya itu ada di dalam pikiran (mind) manusia, dan bentuknya adalah organisasi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
pikiran tentang fenomena material. Tugas etnografi adalah menemukan dan
menggambarkan organisasi pikiran tersebut.
Senada dengan pandangan di atas, Spradley (2006:xiii) juga
mengungkapkan bahwa pada etnografi baru, etnografer lebih memusatkan
usahanya untuk menemukan bagaimana berbagai masyarakat mengorganisasikan
budaya mereka dalam pikiran mereka dan kemudian menggunakan budaya
tersebut dalam kehidupan. Hal ini dilatarbelakangi oleh orang-orang dari aliran
antropologi kognitif. Mereka berasumsi bahwa setiap masyarakat mempunyai satu
sistem yang unik dalam mempersepsikan dan mengorganisasikan fenomena
material, seperti benda-benda, kejadian, perilaku dan emosi. Karena itu, objek
kajian antropologi bukanlah fenomena material tersebut, tetapi tentang cara
fenomena tersebut diorganisasikan dalam pikiran (mind) manusia. Lebih lanjut
diungkapkan bahwa tugas etnografer adalah menemukan dan menggambarkan
organisasi pikiran tersebut dan jalan paling mudah dan tepat untuk memperoleh
budaya tersebut adalah melalui bahasa atau lebih spesifik adalah daftar kata-kata
yang ada dalam bahasa. Studi bahasa suatu masyarakat adalah titik masuk,
sekaligus aspek utama dalam etnografi aliran antropologi kognitif karena
pendekatan apapun yang digunakan entografer baik itu pengamatan, wawancara
etnografis, mengumpulkan kisah-kisah kehidupan, atau campuran dari berbagai
strategi selalu memunculkan bahasa di dalam setiap fasenya. Etnografi yang
berhubungan dengan bahasa ini disebut Etnography of Speaking atau etnografi
komunikasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
Etnografi komunikasi dikenal sebagai salah satu cabang ilmu antropologi,
khususnya turunan dari etnografi berbahasa (ethnography of speaking). Hal ini
karena adanya anggapan bahwa yang menjadi kerangka acuan untuk memberikan
tempat bahasa dalam suatu kebudayaan haruslah difokuskan pada penggunaan
bahasa dalam komunikasi, bukan hanya pada internal bahasa itu sendiri. Dengan
demikian dapat dikatakan, bahasa itu hidup dalam komunikasi, bahasa tidak akan
bermakna jika tidak digunakan dalam komunikasi (Hymes, 1964 dalam Haryono,
2015: 27).
Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat dikatakan bahwa Hymes
memberikan atensi pada komunikasi dalam suatu lingkungan budaya, yakni
terkait dengan pola-pola komunikasi dan perilaku komunikasi yang digunakan
oleh manusia dalam suatu lingkungan kebudayaan, bukan pada aspek-aspek
internal bahasa sebagaimana yang terdapat dalam kajian-kajian linguistik.
Zakiah (2005: 182) mengkonseptualisasikan etnografi komunikasi sebagai
suatu kajian mengenai pola-pola komunikasi suatu komunitas budaya. Hal ini
karena etnografi komunikasi berakar pada istilah bahasa dan interaksi sosial
dalam aturan penelitian kualitatif komunikasi. Penekanan adalah pada cara-cara
bagaimana bahasa dipergunakan dalam masyarakat yang berbeda kebudayaannya,
dimana bahasa yang digunakan dalam suatu komunikasi dapat dilihat sebagai
kode-kode budaya dan ritual-ritual bagi masyarakat yang bersangkutan.
Berdasarkan beberapa pendapat itu, dapat disimpulkan bahwa etnografi
komunikasi merupakan suatu kajian mengenai pola-pola komunikasi yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
digunakan oleh suatu masyarakat yang di dalamnya terimplisitkan kode-kode
budaya dan ritual-ritual dari masyarakat yang bersangkutan.
2.5 Tradisi Lisan
Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia (2016) kata tradisi memiliki dua
pengertian, yakni (1) adat kebiasaan secara turun temurun (dari nenek moyang)
yang masih dijalankan dalam masyarakat. (2) Penilaian atau anggapan bahwa
cara-cara yang telah ada merupakan yang paling baik dan benar. Sedangkan, kata
lisan memiliki arti (1) kata-kata yang diucapkan, (2) berkenaan dengan kata-kata
yang diucapkan. Salah satu turunan dari kata lisan adalah melisankan yang
memiliki arti (1) menyatakan dengan ucapan atau tutur kata, mengucapkan,
menuturkan atau melafalkan. Berdasarkan beberapa konsep ini, dapat disimpulkan
bahwa tradisi lisan merupkan norma atau adat kebiasaan yang disampaikan secara
turun temurun dan masih berjalan dalam masyarakat yang disampaikan dengan
menggunakan bahasa lisan.
Tradisi lisan merupakan tradisi yang berkorelasi pada fase situasi
masyarakat yang belum mengenal tradisi tulis-menulis, sebagai salah satu bentuk
komunikasi, sebagai medium transformasi nilai, norma, dan hukum yang
pewarisannya berlangsung dari satu individu ke individu atau dari satu generasi ke
generasi. Tradisi lisan sebagai warisan leluhur banyak menyimpan kearifan lokal,
kebijakan, dan filosofi hidup yang terekspresikan dalam bentuk mantera, pepatah-
petitih, pertunjukan, dan upacara adat (Supriatin, 2012:409).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
Tradisi lisan selain mengedepankan unsur kelisanan (komunikasi verbal),
didukung juga oleh aspek-aspek komunikasi nonverbal berupa pertunjukan dan
upacara-upacara adat. Penekanannya adalah pada enkulturasi atau penanaman
nilai-nilai, norma dan hukum adat yang menjadi pedoman suatu masyarakat
budaya dalam berinteraksi sosial. Takari (2013:2) dalam makalahnya yang
berjudul “Tradisi Lisan di Alam Melayu Arah dan Pewarisannya” menjelaskan
bahwa tradisi lisan sangat mengedepankan aspek kelisanan. Kelisanan ini juga
bukan hanya memfokuskan perhatian kepada komunikasi secara verbal saja, tetapi
lebih jauh dari itu aspek-aspek komunikasi nonverbal juga menjadi salah satu
pendukung dalam tradisi lisan sebuah masyarakat. Tradisi lisan mencakup semua
unsur kebudayaan manusia, baik sistem religi, bahasa, teknologi, ekonomi, seni,
organisasi dan pendidikan. Tradisi lisan juga dapat berbentuk gagasan-gagasan,
kegiatan sampai artefak-artefak.
Untuk mendukung pandangannya, Takari memaparkan dua karakteristik
kebudayaan alam Melayu, yakni (1) tradisi lisan yang menyebar secara meluas di
sebahagian besar wilayah budaya Melayu. Contoh tradisi lisan seperti ini adalah
bahasa Melayu itu sendiri, zapin, ronggeng atau joget, syair, pantun, gurindam,
talibun, nazam, makyong, inai, dan lain-lainnya. (2) tradisi lisan yang tumbuh dan
kemudian berkembang secara khas di kawasan-kawasan budaya melayu tertentu
saja. Contoh tradisi lisan seperti ini adalah dedeng di kawasan Langkat Sumatera
Utara, sinandong di Batubara, Asahan, dan Labuhanbatu. Kemudian ada pula ulik
mayang di Perlis, kemudian mandi berminyak di Serdang, tari gebuk di Sergai,
dan lain-lainnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
Pandangan di atas sejalan pula dengan Banda (2016:5) yang berpendapat
bahwa tradisi lisan adalah pengetahuan, adat istiadat, karya seni, hukum adat,
sastra tradisional yang diturunkan secara lisan serta hidup dalam konteks estetika
sejarah, struktur dan organisasi sosial, filsafat, etika, nilai-nilai moral, dan
berkelanjutan dalam proses budaya yang dinamis ekspresif, dan mengikuti
perkembangan zaman. Selanjutnya Banda, merumuskan tradisi lisan dalam tiga
poin, yakni Pertama, tradisi lisan adalah pengetahuan dan adat istiadat yang
disampaikan turun-temurun secara lisan. Kedua, tradisi lisan adalah hasil karya
seni dan hukum adat yang berkelanjutan dalam proses budaya. Ketiga, tradisi
lisan adalah berbagai bentuk karya sastra tradisional yang disampaikan secara
lisan dan hidup dalam konteks estetika sejarah, struktur dan organisasi sosial,
filsafat, etika, serta nilai-nilai moral. Dengan demikian tradisi lisan dalam
penelitian ini adalah pengetahuan dan adat istiadat yang disampaikan dari generasi
ke genarasi secara lisan dalam konteks upacara adat Padede Uma Kalada.
Tradisi lisan sebagai sebuah media transformasi nilai, norma dan hukum
adat tentunya tidak terlepas dari sebuah proses dan produk, sebagaimana Vansina
(2014: 1) yang memaknai tradisi lisan sebagai sebuah proses dan produk. Dalam
pandangan Vansina, tradisi lisan merupakan suatu proses karena pesan-pesan
yang terdapat dalam tradisi lisan disampaikan lewat perkataan mulut ke mulut
selama beberapa waktu sampai pesan tersebut menghilang. Sedangkan, hasil dari
proses tersebut dapat berupa pesan-pesan lisan yang berdasarkan pada pesan-
pesan lisan terdahulu yang berusia paling tidak satu generasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
Tradisi lisan oleh Danandjaja (1990:97-98) disinonimkan dengan folklor
yakni sebagian dari kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan
secara turun temurun, secara tradisional dalam versi yang berbeda baik dalam
bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu
mengingat. Selanjutnya, Danandjaja membagi folklor dalam tiga kategori.
Bentuk-bentuk foklor yang termasuk dalam kategori pertama meliputi ujaran
rakyat, ungkapan tradisional, pertanyaan tradisional, cerita prosa rakyat (mite,
legenda dan dongeng), puisi rakyat dan nyanyian rakyat. Folklor yang termasuk
dalam kategori kedua, yakni kepercayaan rakyat, permainan rakyat, teater rakyat,
tari rakyat, adat istiadat, upacara, pesta rakyat. Dan folklor yang termasuk dalam
kategori yang ketiga, yakni arsitektur rakyat, kerajinan tangan rakyat, pakaian dan
perhiasan tubuh rakyat, makanan dan minuman rakyat, obat-obatan tradisional,
gerak isyarat, bunyi isyarat untuk komunikasi, dan musik rakyat.
Beberapa pandangan di atas didukung pula oleh penelitian yang relevan
yang dilakukan oleh Kami (2018) yang berjudul “Tradisi Lisan Oka Sebagai
Manifestasi Jati Diri Masyarakat Wewewa Sumba Barat Daya: Kajian
Etnopragmatik”. Dari penelitian ini ditemukan bahwa Oka merupakan tradisi
lisan. Secara harafiah Oka dalam bahasa daerah Wewewa berarti “berteriak
dengan suara lantang atau nyaring”. Akan tetapi, dalam hubungannya dengan
tradisi masyarakat, yakni ritual Oka, maka kata Oka berarti tuturan-tuturan lisan
yang diucapkan dalam bentuk tanya jawab yang terekspresi dalam berbagai ritual
menjemput tamu atau rombongan yang datang berkunjung. Tuturan-tuturan lisan
Oka dilantunkan oleh tetua adat sebagai penutur yang mewakili tuan rumah dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
tetua adat sebagai mitra tutur yang mewakili tamu atau rombongan yang datang
dalam bentuk dialog atau tanya jawab. Tradisi lisan Oka ini diwariskan oleh
nenek moyang sejak dulu kala yang pesannya tetap sama hingga sekarang, yaitu
untuk menyelidiki setiap tamu atau rombongan yang datang, tergolong orang baik
atau orang jahat.
2.6 Tradisi Lisan Teda dalam Upacara Padede Uma Kalada Masyarakat
Kabizu Beijello
Kabizu adalah hubungan kekerabatan yang merasa diri berasal dari satu
nenek moyang yang dilihat berdasarkan garis keturunan ayah (Soeriadiredja,
2013:68). Oleh karena itu, Kabizu dapat disebut sebagai klan. Keberadaan suatu
Kabizu tidak terlepas dari Marapu. Marapu dapat diartikan sebagai arwah-arwah
nenek moyang pertama yang mendirikan atau membentuk Kabizu yang dipercaya
sebagai perantara atau penghubung antara manusia dengan Yang Ilahi. Setiap
kabizu memiliki Marapunya masing-masing dan bahkan beberapa kabisu dapat
memuja Marapu yang sama. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Soeriadiredja
(2013:68) bahwa setiap kabizu/kabihu tidak perna berdiri sendiri dan selalu
mempunyai hubungan dengan kabihu-kabihu lain. Hubungan tersebut
dimungkinkan karena di antara kabihu-kabihu tersebut berasal dari satu leluhur
atau karena ada hubungan kekerabatan berdasarkan sangkut paut dengan sejarah
leluhurnya. Widarmiati (2009:100) juga mengatakan bahwa setiap kabisu
memiliki Marapu masing-masing yang diposisikan sebagai dewa perantara untuk
menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Lebih lanjut dikatakan bahwa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
adapula kabizu yang memuja Marapu yang sama. Hal ini karena keturunan
mereka berasal dari satu Marapu.
Berdasarkan hasil wawancara dengan salah seorang tetua adat Kabizu
Beijello Wini Lagara dijelaskan bahwa setiap Kabizu memiliki Marapunya
masing-masing. Sebuah Kabizu yang memuja Marapu yang sama, apabila sudah
membentuk sendiri Kabizu, maka perilaku hidup keturunan-keturunannya akan
berpedoman pada perilaku Marapu Kabizu yang telah terpisah dari Kabizu induk
dan juga Marapu Kabizu induk. Begitu pula halnya dalam ritual-ritual yang
dilakukan akan di arahkan pada Marapu Kabizu induk dan Marapu Kabizu yang
telah terpisah dari Kabizu induk. Pemberian nama dari masing-masing kabizu
berpedoman pada nama leluhur atau Marapu yang pertama kali membentuk
sebuah Kabizu sebagai penanda identitas dari Kabizu yang bersangkutan yang
oleh masyarakat Wewewa disebut dengan istilah Marapu Kabizu. Misalnya,
Marapu dari Kabizu Beijello akan disebut Marapu Kabizu Beijello.
Kabizu Beijello sebagai salah satu dari sekian banyak Kabizu atau klan yang
ada di Wewewa, Kabupaten Sumba Barat Daya terbagi dalam tujuh klan. Hal ini
karena Marapu Kabizu Beijello memiliki tujuh orang anak laki-laki. Adapun
ketujuh Kabizu tersebut, yakni Kabizu Beijello Weebiaka, Kabizu Beijello Bondo
Lona, Kabizu Beijello Wini Lelemoto, Kabizu Beijello Wini Lele Moto Rei,
Kabizu Beijello Oma, Kabizu Beijello Watu Pala, dan Kabizu Beijello Wini
Lagara. Pemberian nama dari masing-masing kabizu ini berpedoman pada nama
dari Marapu kabizu induk, yakni Kabizu Beijello dan juga dipengaruhi oleh
perilaku dan tempat kediaman dari Marapu Kabizu yang baru terbentuk.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
Berbicara tentang Kabizu tentu tidak akan terlepas dari konsep Uma Kalada
(rumah besar atau rumah adat). Hal itu karena Uma Kalada merupakan rumah
pertama yang dibangun oleh nenek moyang pertama sebagai asal-usul kehidupan
dari semua rumah yang berasal dari salah satu Kabizu. Berdasarkan hasil
wawancara etnografis dengan beberapa tetua adat Kabizu Beijello diketahui
bahwa Uma Kalada (rumah adat) merupakan rumah yang menjadi pusat dari
beberapa rumah yang berasal dari satu Kabizu. Uma kalada merupakan pusat
sentral pelaksanaan ritual-ritual adat yang dilakukan oleh sebuah Kabizu.
Kehilangan rumah adat sama halnya dengan kehilangan Kabizu. Hal ini karena
tidak ada lagi tempat pelaksanaan upacara-upacara adat yang telah ditetapkan oleh
Marapu Kabizu. Orang yang mendiami rumah adat adalah orang yang ditunjuk
oleh Marapu kabizu melalui upacara adat, yakni yang memiliki perilaku hidup
sesuai dengan perilaku hidup yang telah ditetapkan oleh Marapu, yakni berjiwa
besar, bijaksana, penuh tanggung jawab, jujur dan tidak melanggar perintah
Marapu seperti jangan mencuri, jangan berzinah, janga membunuh dan jangan
bersaksi dusta atau berbohong.
Ramone (2015:65) mengemukakan bahwa rumah adat bagi orang Sumba
merupakan jati diri orang Sumba. Bagi orang Sumba tidak memiliki rumah adat
sama halnya dengan kehilangan identitas dan jati diri. Di rumah adat inilah,
tempat bertemu dan berkumpul semua warga Kabizu untuk membicarakan hal-hal
dasariah membangun hidup yang lebih baik seperti menjaga harmoni dalam segala
hal, relasi dengan dunia Ilahi, dengan sesama, dengan alam lingkungan, maupun
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
dengan diri sendiri. Rumah adat menjadi tempat pentransferan nilai atau kearifan
lokal dari generasi tua ke generasi muda.
Dalam rangkuman hasil wawancara yang ditulis oleh Ramone (2015:70)
dalam buku yang berjudul “Revitalisasi Desa Adat dan Dampak Sosial Budaya di
Pulau Sumba” diketahui bahwa para pemilik rumah adat yang telah direvitalisasi
rumah adatnya mengatakan bahwa dengan dibangun kembalinya rumah adat,
kami dapat melangsungkan dan menghidupi kembali ritual-ritual adat yang sudah
lama kami tinggalkan. Rumah adat bagi kami merupakan jati diri kami sebagai
orang Sumba. Di dalam rumah adat inilah kami dan masyarakat tahu dari mana
kami berasal, bagaimana hidup kami sekarang dan peran kami dalam masyarakat.
Rumah adat merupakan sarana penting bagi kami untuk mewariskan nilai-nilai
budaya sebagai orang Sumba kepada anak-anak kami.
Rumah adat bagi masyarakat Sumba umumnya dan Wewewa khususnya
merupakan unit sosial inti dimana segala jaringan aktivitas kepercayaan, ekonomi,
sosial kemasyarakatan maupun urusan publik kenegaraan dan kebangsaan
dirancang, dipersiapkan dan dilaksanakan di rumah adat. Rumah adat merupakan
wadah resmi pertama dan terakhir dari seluruh siklus kehidupan manusia dimulai
dan diakhiri, yakni terkait dengan ritual pemujaan dan penyembahan, urusan
perkawinan, kelahiran, persiapan kegiatan pertanian, peternakan, kematian, pesta-
pesta adat, pembangunan rumah adat maupun pelaksanaan berbagai ritual adat dan
upacara adat Marapu menurut kalender yang telah disepakati (Neonbasu
(2016a:174-175).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
Uma Kalada Kabizu Beijello merupakan jati diri Kabizu Beijello. Eksistensi
Kabizu Beijello sangat ditentukan oleh keberadaan rumah adat Kabizu Beijello.
Apabila Kabizu Beijello kehilangan rumah adat, maka sama halnya Kabizu
Beijello kehilangan identitas dan jati dirinya. Dari Uma Kalada inilah Kabizu
Beijello mengetahui siapa dirinya, dari mana asalnya dan bagaimana perannya
dalam kehidupan bermasyarakat. Selain itu, kehilangan rumah adat sama halnya
kehilangan semua ritual-ritual adat. Hal ini karena semua ritual adat akan diawali
dan diakhiri di rumah adat. Uma Kalada merupakan tempat perawatan hubungan
yang harmonis bagi warga Kabizu. Melalui Uma Kalada akan terjadi proses
pentransferan nilai-nilai kearifan lokal kepada generasi muda yang disampaikan
secara lisan.
Salah satu tradisi lisan yang dapat mewadahi proses pewarisan jati diri dan
nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Kabizu Beijello adalah tradisi lisan Teda.
Tradisi lisan Teda yang dilakukan selama proses pembangunan rumah adat dapat
memberikan gambaran siapakah masyarakat Kabizu Beijello, bagaimana peran
Marapu, peran orang tua, peran anak laki-laki dan peran anak mantu sebagai
warga rumah, dan juga terkait bagaimana manusia menjalin hubungan yang
harmonis dengan Tuhan, leluhur, roh-roh yang mendiami alam semesta dan juga
sesama manusia dan bahkan dengan diri sendiri. Selain itu, juga memberikan
gambaran tentang kearifan-kearifan lokal dan nilai-nilai kearifan lokal yang
diwariskan kepada generasi muda.
Tradisi lisan Teda dalam Upacara Padede Uma Kalada ini dapat ditemukan
dalam tahap-tahap selama proses pembuatan rumah adat, yakni tahap pertama
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
Yapateki (pemberitahuan) kepada tetua adat rumah kecil. Kedua, tahap pertemuan
keluarga besar Kabizu Beijello di rumah kecil. Ketiga, tahap ritual adat urrata
atau penyampaian kepada leluhur hasil kesepakatan bersama di rumah kecil.
Keempat, tahap pertemuan satu keluarga besar Kabizu Beijello di rumah besar
(rumah adat). Kelima, tahap pembagian sirih pinang sebagai pengikat janji atau
sumpah di rumah besar. Keenam, tahap urrata atau penyampaian hasil
kesepakatan kepada nenek moyang di rumah besar. Ketujuh, tahap ritual adat
urrata (doa-doa) sebelum pemotongan kayu yang dilakukan di rumah besar.
Kedelapan, tahap permohonan izin kepada roh-roh yang mendiami hutan yang
dianggap sebagai pemilik hutan. Kesembilan, tahap urrata dan woleka, yakni
ritual adat pengucapan syukur kepada roh-roh yang dianggap sebagai pemilik
hutan yang telah memberikan kesempatan, menjaga dan melindungi sehingga
proses penebangan kayu dan pemotongan tali boleh berhasil dan berjalan dengan
lancar. Kesepuluh, tahap Oka (tanya-jawab) pada saat kayu masuk kampung.
Kesebelas, tahap pembongkaran rumah besar. Keduabelas, tahap Saiso pada saat
sebelum pendirian tiang. Ketigabelas, tahap Saiso pada saat sebelum memuat
loteng. Keempatbelas, Saiso pada saat Padeta Marapu (pengucapan syukur).
Kelimabelas, Saiso perjanjian dengan Marapu dan Sang Khalik. Keenambelas,
tahap Saiso penepatan janji menempati rumah besar atau rumah adat.
2.7 Kearifan Lokal
Pemahaman terhadap konsep kearifan lokal dapat dilihat dari dua kata,
yakni kearifan yang berarti kebijaksanaan dan lokal yang berarti setempat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
Dengan demikian, secara umum kearifan lokal dapat diartikan sebagai gagasan-
gagasan setempat (lokal) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan dan bernilai
baik, yang tertanam dan diikuti oleh masyarakat-masyarakatnya (Dokhi, dkk.
2016:8). Kartawinata (2011) menjelaskan juga bahwa kearifan lokal adalah
gagasan-gagasan lokal, pengetahuan setempat atau kecerdasan setempat yang
bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai yang tertanam dan diikuti oleh warga
masyarakatnya serta menjadi dasar identitas kebudayaan. Sementara itu, Sibarani
(2013:278) mengungkapkan bahwa kearifan lokal adalah kebijaksanaan atau
pengetahuan asli suatu masyarakat yang berasal dari nilai luhur tradisi budaya
untuk mengatur tatanan kehidupan bermasyarakat.
Berdasarkan beberapa pandangan di atas dapat disimpulkan bahwa kearifan
lokal adalah gagasan-gagasan lokal yang bersifak bijaksana dan penuh kearifan
yang bersumber dari nilai, norma dan adat istiadat yang berlaku dalam suatu
masyarakat yang dijadikan sebagai pedoman dalam menata kehidupan bersama.
Hal itu seperti yang diungkapkan Sibarani (2013:278) bahwa kearifan lokal itu
adalah nilai dan norma budaya yang berlaku dalam menata kehidupan masyarakat.
Nilai dan norma yang diyakini kebenarannya yang menjadi acuan dalam
bertingkah laku sehari-hari masyarakat setempat.
Kearifan lokal dapat diwariskan kepada generasi penerusnya secara lisan
dan dapat pula melalui melalui ritual-ritual adat. Hal itu seperti yang diungkap
Pudensia MPSS, 2013) bahwa kearifan lokal (local wisdom) merupakan
pengetahuan tradisional (indigenous knowledge) yang diturunkan dari satu
generasi ke generasi berikutnya dan pada umumnya diwariskan dalam lingkungan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
keluarga secara lisan, baik dengan tuturan maupun melalui ritual, upacara, dan
sarana lain serta merupakan milik bersama suatu komunitas. Ranahnya adalah
publik, umum yang menjadi anggota sebuah komunitas bersangkutan yang saling
mengakui dan diakui oleh anggota komunitas.
Dilihat dari segi wujud kearifan lokal dapat dibagi dua, yakni kearifan lokal
berwujud nyata (tangible) dan kearifan lokal berwujud tidak nyata (intangible).
Kearifan berwujud nyata meliputi, tekstual (sistem nilai, tata cara, ketentuan
khusus yang dituangkan dalam catatan tertulis seperti kitab tradisional primbon,
kalender dan prasi atau tulisan di atas daun lontar), bangunan atau arsitektur, dan
benda cagar budaya serta karya seni. Sementara itu, kearifan lokal berwujud tidak
nyata meliputi petuah yang disampaikan secara verbal dan turun temurun yang
dapat berupa nyanyian dan kidung yang mengandung nilai-nilai ajaran tradisional
(Dokhi, dkk. 2016:8).
Penelitian yang relevan dengan pandangan-pandangan di atas dapat dilihat
dalam penelitian yang dilakukan oleh (Nesi 2018) dan penelitian yang dilakukan
oleh Rahardi, Setyaningsih, dan Dewi (2016). Penelitian yang dilakukan oleh Nesi
berjudul “Tradisi Lisan Takanab sebagai Wujud Identitas Masyarakat Dawan:
kajian Ekolinguistik Metaforis”. Kearifan lokal yang dapat ditemukan dalam
penelitian ini adalah kearifan lokal yang bersifat tangible dan intangible. Kearifan
lokal yang bersifat tangible yang ditemukan dalam penelitian ini adalah kearifan
lokal yang berkaitan dengan batu dan air, tiang, pagar, wadah sirih pinang, kain
tenun motif, rumah adat, dan benda pusaka. Sementara itu, kearifan lokal yang
bersifat intangible meliputi peribahasa, petuah, syair, paralelisme, dan ideologi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Rahardi, Setyaningsih, dan Rishe
Purnama Dewi (2016) berjudul “Kefatisan Berbahasa dalam Perspektif Linguistik
Ekologi Metaforis”. Dalam penelitian ini, kefatisan berbahasa dimaknai sebagai
kearifan lokal yang bersifat intangible. Nilai kearifan lokal yang ditemukan dalam
fenomena kefatisan berbahasa adalah nilai kebijaksanaan. Selain itu, kefatisan
berbahasa juga bertujuan untuk mengukuhkan kerja sama dalam hidup
bermasyarakat dan berbudaya.
Secara keseluruhan berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa
tradisi lisan Teda dalam upacara adat Padede Uma Kalada merupakan salah satu
kearifan lokal masyarakat Kabizu Beijello. Hal itu karena di dalam tradisi lisan ini
mengandung pengetahuan, gagasan-gagasan, nilai dan norma yang bersifat arif
dan bijaksana yang dipakai oleh masyarakat Kabizu Beijello sebagai pedoman
hidup dalam membina hubungan yang harmonis baik dengan sesama, alam roh,
leluhur dan Sang Ilahi. Dalam konteks penelitian ini, berdasarkan hasil studi
kepustakaan yang dilakukan oleh peneliti ditemukan bahwa kode-kode
kebahasaan yang terkait dengan kearifan-kearifan lokal dan nilai-nilai kearifan
lokal yang terekam dalam tradisi lisan pada upacara Padede Uma Kalada belum
tersibak secara maksimal. Oleh karena itu, melalui penelitian ini diharapkan dapat
mengungkap kearifan-kearifan lokal dan nilai-nilai kearifan lokal masyarakat
Kabizu Beijello.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
2.8 Jati Diri
Jati diri merupakan ciri khas berdasarkan sifat atau tingkah laku baik secara
perseorangan ataupun kelompok, jati diri ini juga bisa berarti sebuah penilaian
dari pihak luar terhadap seseorang atau kelompok yang mengamatinya (Alfian,
2013: 427-428). Jati diri adalah sesuatu yang membuat kita lekas mengenali
seseorang dari tutur kata, perilaku dan pandangannya (Somantri, 2010). Dengan
demikian, berdasarkan kedua pandangan pakar ini dapat disimpulkan bahwa jati
diri merupakan ciri khas yang dimiliki oleh setiap individu, suatu kelompok atau
komunitas tertentu yang dapat diamati melalui pola perilaku, tutur kata dan
tindakan yang dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2016) jati diri diartikan sebagai ciri-
ciri, gambaran, atau keadaan khusus seseorang atau suatu benda; identitas.
Berdasarkan pengertian ini, jati diri dapat diartikan sebagai identitas diri. Salah
satu tokoh yang dianggap sebagai penggagas istilah pembentukan identitas diri
adalah Erikson (1989). Dalam pandangan Erikson seperti yang dikutip Hasanah
(2013:181) identitas diri merupakan kesadaran individu untuk menempatkan diri
dan memberikan arti pada dirinya dengan tepat di dalam konteks kehidupan yang
akan datang menjadi sebuah kesatuan gambaran diri yang utuh dan
berkesinambungan untuk menemukan jati dirinya. Lebih lanjut dikemukakan
bahwa identitas diri merupakan potret diri yang disusun dari macam-macam
identitas, yakni identitas karir, identitas politik, identitas agama identitas
hubungan dengan orang lain, identitas intelektual, identitas seksual, identitas
etnik, identitas minat, identitas kepribadian, dan identitas fisik.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
Purwadi (2004:47) memahami identitas diri sebagai bangun psikologis.
Dalam hal ini Purwadi, melihat bahwa identitas diri tidak terbentuk dalam waktu
yang singkat, namun membutuhkan proses yang panjang dan dibangun oleh
elemen-elemen dasar, sehingga identitas diri benar-benar dapat menjadi suatu
aspek yang mencirikan seseorang individu benar-benar berbeda dengan sosok
individu lain. Sementara itu, Soeriadiredja (2013:62-63) membagi membagi
identitas menjadi tiga, yakni (1) identitas diri atau pribadi merupakan pengakuan
terhadap seseorang berdasarkan pada keunikan pribadinya dan serangkaian ciri-
ciri menyeluruh yang menandainya sebagai bagian dari suatu kelompok tertentu.
Ciri-ciri pribadi ini mempresentasi siapa diri individu itu sebenarnya. Dalam hal
ini, identitas pribadi menekankan pada kepentingan subjektif individu. Misalnya,
selera pribadi dan kemampuan intelektual. (2) Identitas sosial merupakan identitas
yang terbentuk dari keterlibatan individu sebagai bagian dari kelompok sosialnya.
Dengan demikian, ciri-ciri, cita-cita, dan nilai-nilai yang menjadi acuan dari
kelompok sosial tersebut, menjadi identitas individu yang bersangkutan. Dalam
hal ini, identitas sosial menekankan pada kepentingan kelompok. (3) Identitas
budaya merupakan ciri yang ditunjukkan oleh seseorang, karena dia adalah bagian
dari kelompok etnik tertentu yang telah menerima proses belajar tentang tradisi,
adat istiadat, nilai-nilai, bahasa, sistem keyakinan, dan lainnya dalam kebudayaan
kelompok tersebut.
Identitas kebudayaan (cultural) adalah rincian karakteristik atau ciri-ciri
sebuah kebudayaan yang dimiliki oleh sekelompok orang yang kita ketahui batas-
batasnya tatkala dibandingkan dengan karakteristik atau ciri-ciri kebudayaan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
orang lain (Suryandari, 2017:23). Stibbe (2015:107) memahami konsep jati diri
atau identitas dari dua istilah, yakni ‘an identity’ dan ‘a self-identiy’. Dalam
pandangan Stibbe, istilah ‘an identity’ merujuk pada refleksi diri dalam pikiran
seseorang tentang apa artinya menjadi pribadi yang khas yang berbeda dari orang
lain yang terkait dengan jenis kelamin, penampilan, karakter, perilaku dan nilai.
Sedangkan, a self identity merujuk pada suatu pandangan yang berkembang yang
diceritakan kepada diri sendiri dan orang lain tentang bagaimana gambaran diri
seseorang. Definisi yang dikemukakan oleh Stibbe ini menurut Nesi (2018: 63)
menunjukkan bahwa identitas memiliki tiga karakteristik, yakni karakteristik
biologis, karakteristik psikologis dan sosial. Karakteristik biologis merujuk pada
keadaan fisik suatu objek termasuk manusia, sedangkan karakteristik psikologis
dan sosial merujuk pada ciri kepribadian manusia dan gambaran tentang dirinya
baik sebagai individu maupun sebagai kelompok.
Pemahaman terkait jati diri suatu masyarakat yang terkadung dalam tradisi
lisan dapat dilihat dalam penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti dalam
konteks penelitian tradisi lisan di NTT, yakni penelitian yang dilakukan Kami
(2018) dan Nesi (2018). Penelitian yang dilakukan Kami (2018) berjudul “Tradisi
Lisan Oka sebagai Manifestasi Jati Diri Masyarakat Wewewa, Sumba Barat Daya:
Kajian Etnopragmatik”. Penelitian yang dilakukan Kami ini merupakan penelitian
kualitatif dengan menggunakan kajian etnopragmatik. Dari hasil penelitian ini
ditemukan bahwa cinta kasih sebagai jati diri sesungguhnya hidup dan berakar
pada masyarakat Wewewa sejak dahulu dan termanifestasi dalam tuturan lisan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
Oka dalam aneka bentuk, melalui penghormatan kepada leluhur, penghormatan
kepada pemimpin, kerja keras, syukur, kebersamaan, dan kekeluargaan.
Sementara itu, penelitian yang dilakukan Nesi (2018) berjudul “Tradisi
Lisan Takanab sebagai Wujud Identitas Masyarakat Dawan: Kajian Ekolinguistik
Metaforis”. Dari hasil penelitian ini ditemukan bahwa identitas hakiki yang
terwujud dalam tradisi lisan Takanab ialah identitas agraris. Identitas hakiki ini
menunjukkan pula jati diri kolektif masyarakat Dawan sebagai masyarakat
religius, sastrawi, patriarkat, solider, ritual, ekologis, dan humanis.
2.9 Preservasi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2016) preservasi memiliki
pengertian pengawetan, pemeliharaan, penjagaan dan perlindungan. Dengan
merujuk pada pengertian ini maka preservasi tradisi lisan merupakan kegiatan
yang dilakukan untuk memelihara dan melindungi tradisi lisan yang sudah mulai
tergerus oleh zaman. Hal itu seperti yang diungkapkan Ellis (1993) dalam Kami
(2018:15) yang menjelaskan bahwa preservasi merupakan tindakan yang
memungkinkan tradisi lisan dapat dipertahankan dalam jangka waktu lama
melalui kegiatan perlindungan dan pemeliharaan tradisi lisan. Preservasi
mencakup semua pertimbangan manajerial, teknik dan metode pelestarian bahan
untuk menjaga informasi yang terkandung di dalamnya (Endang, 2018: 14).
Berdasarkan beberapa pandangan di atas, istilah preservasi tentu tepat
digunakan dalam penelitian ini. Hal itu karena tradisi lisan Teda masyarakat
Kabizu Beijello masih dipraktekkan dalam berbagai komunikasi yang bersifat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
resmi dan dalam ritual-ritual adat. Namun, tantangan zaman yang tidak dapat
dibendung pada era globalisasi ini tentu membawa dampak negatif bagi
kelestarian tradisi lisan ini. Penelitian yang dilakukan Mbete (2015) membuktikan
bahwa ada gejala serius yang melanda (sebagian besar) generasi muda bangsa
yakni “ketercerabutaan” (rootlessness) dari akar lokal. Generasi muda dan remaja
bangsa khususnya semakin pragmatis, lebih berorientasi dan memilih untuk
mempelajari dan menguasai bahasa asing, dan mengabaikan bahasa daerah atau
bahasa lokal.
Kepala Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, Dandang Sunendar dalam pidatonya pada saat
memperingati Bulan Bahasa dan Sastra pada hari Senin (28/10/2019) di Jakarta
menunjukkan fakta bahwa 11 bahasa daerah yang tersebar di wilayah Indonesia
telah punah, 22 bahasa terancam punah, 4 bahasa dalam kondisi kritis, dan 16
bahasa stabil, tetapi terancam punah. Selain itu, 2 bahasa daerah mengalami
kemunduran dan hanya 19 bahasa yang berada pada kategori aman (Kompas,
2019).
Dengan melihat fenomena dan fakta ini maka peneliti dalam penelitian ini
menganggap perlu untuk merumuskan strategi-strategi untuk melindungi dan
melestarikan tradisi lisan Teda masyarakat Kabisu Beijello. Upaya preservasi ini
diambil untuk tetap mempertahankan tradisi lisan yang ada di Nusantara,
mengingat banyak sekali tradisi- tradisi lisan di Nusantara yang keberadaanya
terabaikan sehingga mengakibatkan banyak tradisi lisan yang akhirnya mati
(Republika, 2018).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
Selain itu, dalam penelitian ini peneliti juga menganggap perlu untuk
melestarikan nilai-nilai kearifan lokal yang terekam dalam tradisi lisan masyarakat
Kabizu Beijello. Preservasi kearifan lokal itu disebut preservasi pengetahuan. Hal
itu ditegaskan oleh Primadesi (2013: 181) bahwa preservasi pengetahuan yang
bersifat kearifan lokal dan yang merupakan pengetahuan asli penting untuk
dilakukan karena hal ini berhubungan dengan lingkungan dan pengembangan
sosial budaya masyarakat setempat.
2.10 Kerangka Berpikir
Upacara adat Padede Uma Kalada merupakan salah satu upacara adat yang
dilakukan oleh masyarakat Kabizu Beijello selama proses pembangunan rumah
adat. Dalam berbagai upacara adat selama proses pembangunan rumah adat baik
pada saat musyawarah-musyawarah adat maupun dalam ritual-ritual adat selalu
diwarnai dengan penggunaan tradisi lisan Teda. Tradisi lisan itu dapat berupa
tuturan-tuturan dalam musyawarah adat, doa-doa dan nyanyian-nyanyian
tradisional yang berisi permohonan, harapan dan rasa syukur kepada leluhur, roh-
roh gaib dan Tuhan Sang Pencipta. Tradisi lisan Teda yang menghiasi upacara
adat selama proses pembangunan rumah adat itu tentu tidak hanya dipandang
sebagai alat komunikasi atau jenis tutur adat. Akan tetapi, dalam tradisi lisan itu
tentu menyimpan dan memberikan gambaran terkait kearifan-kearifan lokal dan
nilai-nilai kearifan lokal yang dapat membentuk jati diri masyarakat Kabizu
Beijello.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
Untuk dapat mengungkap fenomena-fenomena tersebut, peneliti harus
menggunakan kajian teori yang relevan. Dalam penelitian ini peneliti
menggunakan kajian teori ekolingusitik metaforis untuk mendeskripsikan
kearifan-kearifan lokal, nilai-nilai dan wujud jati diri masyarakat Kabizu Beijello.
Ekolinguistik metaforis adalah interdipliner linguistik yang mengkaji hubungan
tali temali bahasa dengan strata sosial, status sosial, kebudayaan, etnisitas, laras
dan sejenisnya (Haugen, 1972:325; Rahardi, 2016). Dalam penelitian ini peneliti
juga merumuskan strategi preservasi tradisi lisan masyarakat Kabziu Beijello
dengan maksud agar tradisi lisan dan nilai-nilai kearifan lokal yang terekam
dalam tradisi lisan itu tetap lestari. Setelah tujuan penelitian ini diuraikan pada
bagian hasil penelitian dan pembahasan, peneliti akan membuat kesimpulan.
Kerangka berpikir penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut.
Kesimpulan
Upacara Adat Padede Uma Kalada
Tradisi Lisan Teda dalam Upacara Padede Uma Kalada
Ekolinguistik Metaforis
Kearifan-kearifan
lokal yang
terdapat dalam
tradisi lisan Teda
pada upacara
Padede Uma
Kalada
Nilai-nilai
kearifan lokal
yang terdapat
dalam tradisi
lisan Teda pada
upacara Padede
Uma Kalada
Wujud jati diri
masyarakat
Kabizu Beijello
Preservasi tradisi
lisan Teda
masyarakat
Kabizu Beijello
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Dalam penelitian ini akan dipaparkan beberapa hal terkait dengan metode
penelitian yang meliputi, (1) jenis penelitian, (2) Sumber data, data dan objek
penelitian, (3) metode dan teknik pengumpulan data, (4) instrumen penelitian, (5)
metode dan teknik analisis data, (6) triangulasi data. Keenam hal ini akan
dipaparkan sebagai berikut.
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini berupaya mengungkap dan mendeskripsikan kearifan-kearifan
lokal, nilai-nilai kearifan lokal dan wujud jati diri masyarakat Kabizu Beijello
yang terekam dalam tradisi lisan pada upacara Padede Uma Kalada dengan
menggunakan pisau analisis ekolinguistik metaforis. Berdasarkan tujuan ini, maka
data-data yang dikaji dan dideskripsikan oleh peneliti merupakan data-data yang
bersifat alamiah yang benar-benar ada dalam lingkungan sosial dan lingkungan
budaya masyarakat Kabizu Beijello. Data-data tersebut berupa kata-kata bukan
angka. Dengan melihat karakteristik data yang dikaji dan dideskripsikan itu, maka
penelitian ini digolongkan dalam jenis penelitian kualitatif. Satori (2009:25)
menjelaskan bahwa penelitian kualitatif adalah suatu pendekatan penelitian yang
berusaha mengungkap situasi sosial tertentu dengan mendeskripsikan kenyataan
secara benar, dibentuk oleh kata-kata, berdasarkan teknik pengumpulan data dan
analisis data yang relevan yang diperoleh dari situasi yang alamiah. Senada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
dengan pandangan ini Muhammad (2016:31) mengungkapkan juga bahwa salah
satu fenomena yang akan menjadi objek penelitian kualitatif adalah peristiwa
komunikasi atau berbahasa karena peristiwa ini melibatkan tuturan, makna
semantik tutur, orang yang bertutur, maksud yang bertutur, situasi tutur, peristiwa
tutur, tindak tutur dan latar tuturan. Selanjutnya, Muhammad merumuskan ciri-ciri
penelitian kualitatif, yakni (1) latar pelaksanaan penelitian kualitatif adalah
alamiah, sesuai dengan konteks yang alamiah, (2) instrumen penelitian kualitatif
adalah manusia atau peneliti itu sendiri. Artinya, peneliti menjadi alat pengumpul
data utama karena mampu menyesuaikan diri dengan kenyataan di lapangan.
Selain itu peneliti juga mampu memahami, menilai, menyadari dan mengatasi
kenyataan-kenyataan itu. (3) Ada tiga metode yang digunakan dalam penelitian
kualitatif (a) wawancara, (b) pengamatan, (c) telaah dokumen. (4) Deskriptif
adalah sifat data penelitian kualitatif. Wujud datanya berupa deskripsi objek
penelitian berupa kata-kata, gambar.
3.2 Sumber Data, Data dan Objek Penelitian
Data dalam penelitian ini diperoleh dari dua jenis sumber data, yakni
sumber data lokasional dan sumber data substantif. Rahardi (2009:32)
menjelaskan bahwa tempat asal muasal data dalam penelitian linguistik lazim
disebut sebagai sumber data. Sumber data dibedakan atas dua macam, yakni
sumber data substantif dan sumber data lokasional. Dengan demikian, sumber
data lokasional dalam penelitian ini adalah Suku Wewewa, Kabupaten Sumba
Barat Daya, Nusa Tenggara Timur. Pemilihan sumber data lokasional ini didasari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
oleh alasan bahwa wilayah Wewewa merupakan tempat berdomisili masyarakat
Kabizu Beijello yang masih menjunjung tinggi kepercayaan terhadap Marapu dan
masih memelihara warisan-warisan nenek moyang, baik berupa ritual-ritual adat,
kampung-kampung adat, rumah adat maupun tradisi lisan. Selain itu, di wilayah
ini masih terdapat Rato Marapu (imam Marapu) yang biasanya memimpin ritual-
ritual adat dan dapat menuturkan tradisi lisan dengan dengan fasih dan lancar.
Sementara itu, sumber data substantif dalam penelitian ini terdiri atas dua
jenis sumber data, yakni sumber data primer dan sumber data sekunder.
Sudaryanto (2015:224) mengemukakan bahwa sumber data primer merupakan
data yang diperoleh peneliti bahasa yang linguis itu bersumberkan langsung pada
pertuturan para penutur bahasa yang diteliti sebagai fenomena lingual. Sedangkan,
sumber data sekunder merupakan sumber data yang diperoleh peneliti tidak
bersumberkan langsung pada pertuturan melainkan pada tulisan laporan kinerja
dan kinerja penganalisis sejawat.
Berdasarkan pendapat di atas, sumber data primer dalam penelitian ini
adalah tuturan-tuturan dalam tradisi lisan dalam upacara Padede Uma Kalada
yang telah ditranskripsikan oleh peneliti menjadi teks dari hasil rekaman (periksa
Nesi, 2018:80). Sumber data primer ini diperoleh peneliti dari dua orang tetua
adat yang berasal dari Kabizu Beijello dan satu orang tetua adat yang bukan
merupakan Kabizu Beijello. Pemilihan tetua adat yang bukan merupakan Kabizu
Beijello ini didasari oleh alasan bahwa tetua adat tersebut memiliki pengetahuan
yang luas dan mendalam mengenai tradisi lisan dalam upacara Padede Uma
Kalada dan sering diundang untuk memimpin ritual-ritual adat baik ritual-ritual
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
adat yang dilakukan oleh masyarakat Kabizu Beijello maupun Kabizu lainnya.
Tetua adat inipun mampu melantunkan tradisi lisan dalam upacara Padede Uma
Kalada dengan fasih dan lancar. Ketiga informan ini merupakan informan kunci
dalam penelitian ini.
Sementara itu, sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah sumber
data kedua atau pendukung yang diperoleh peneliti dari buku-buku referensi,
artikel-artikel jurnal yang sudah dipublikasikan, dokumen-dokumen yang relevan
dan informasi dari informan yang dikutip peneliti untuk mengonfirmasi dan
menegaskan interpretasi data primer (Nesi, 2018:80). Sumber data sekunder ini
selain diperoleh dari 3 orang informan kunci juga dijaring peneliti dari empat
orang masyarakat Wewewa dengan menggunakan wawancara etnografis (periksa
Spradley, 2006:85). Keempat informan ini merupakan informan pendukung dalam
penelitian ini. Penentuan informan dalam penelitian ini diawali dengan adanya
komunikasi yang intensif antara peneliti dengan tokoh-tokoh masyarakat,
pemerintah setempat dan tokoh-tokoh agama dengan keyakinan bahwa mereka
mengenal orang-orang yang layak dan pantas untuk dijadikan informan dalam
penelitian ini.
Data dalam penelitian ini terdiri atas dua jenis data, yakni (1) data primer
berupa data yang dapat diperoleh dari bagian-bagian dari tradisi lisan dalam
upacara adat Padede Uma Kalada yang sudah ditranskripsikan dan telah
diidentifikasi oleh peneliti sehingga menjadi korpus data yang di dalamnya tentu
mengandung kearifan-kearifan lokal, nilai-nilai dan wujud jati diri masyarakat
Kabizu Beijello. (2) Data sekunder merupakan data berupa informasi yang
diperoleh peneliti dari hasil wawancara etnografis dengan informan, hasil studi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
dokumen dan referensi-referensi pustaka yang dikutip oleh peneliti untuk
mengonfirmasi dan menguatkan argumen peneliti terkait dengan interpretasi data
primer.
Berdasarkan paparan di atas, maka sumber data primer dan sumber data
sekunder digunakan untuk menjawab rumusan masalah (1), (2), dan (3).
Sementara itu, untuk menjawab rumusan masalah (4) peneliti menggunakan
sumber data sekunder. Sejalan dengan sumber data dan data, objek penelitian ini
meliputi (1) kearifan-kearifan lokal masyarakat Kabizu Beijello yang terdapat
dalam tradisi lisan pada upacara Padede Uma Kalada, (2) nilai-nilai kearifan lokal
yang tercermin dalam tradisi lisan dalam upacara Padede Uma Kalada, dan (3)
wujud jati diri masyarakat Kabizu Beijello yang termanifestasi dalam tradisi lisan
pada upacara Padede Uma Kalada. Ketiga objek penelitian ini diidentifikasi
berdasarkan hadirnya data-data tradisi lisan dalam upacara Padede Uma Kalada
yang dikutip oleh peneliti berdasarkan cara kerja kualitatif. Dalam hal ini sebelum
data-data itu dianalisis terlebih dahulu peneliti menyeleksi, mengidentifikasi dan
mengklasifikasikan data yang mampu menjawab objek yang diteliti tersebut.
3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Metode dan teknik merupakan dua istilah yang digunakan untuk
menunjukan dua konsep yang berbeda tetapi berhubungan langsung satu sama
lain. Metode adalah analog dengan jalan yang harus dilalui untuk mencapai
sebuah tujuan sedangkan teknik adalah cara bagaimana seseorang melewati jalan
yang sudah dipilih berdasarkan asumsi tertentu. Teknik merupakan cara
bagaimana suatu tujuan dapat dicapai (Pranowo, 2014: 265-266). Senada dengan
pandangan ini, Sudaryanto (2015:9) juga mengemukakan bahwa metode dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
teknik merupakan dua konsep yang berbeda tetapi berhubungan langsung satu
sama lain. Metode adalah cara yang harus dilaksanakan atau diterapkan. Teknik
merupakan cara melaksanakan atau menerapkan metode. Dan sebagai cara,
kesejatian atau identitas teknik ditentukan oleh adanya alat yang dipakai.
Pengumpulan data dalam penelitian ini memanfaatkan metode dan teknik
dalam penelitian bahasa dan penelitian etnografi. Metode dan teknik penelitian
bahasa digunakan karena data yang dianalisis dalam penelitian ini adalah tuturan.
Sementara itu, metode dan teknik etnografi digunakan dengan tujuan untuk
mendapatkan dan menggali informasi yang mendalam terkait dengan hubungan
bahasa dalam tradisi lisan pada upacara Padede Uma Kalada dengan kearifan-
kearifan, nilai-nilai dan wujud jati diri masyarakat Kabizu Beijello. Hal itu seperti
yang dijelaskan Nesi (2018:83) bahwa kolaborasi metode dan teknik dalam kajian
bahasa dengan metode dan teknik dalam kajian etnografi bertujuan untuk
memampukan peneliti mendeskripsikan makna bahasa berkaitan dengan budaya
lokal dalam rangkah menyelesaikan masalah sehingga dapat mencapai tujuan
penelitian ini. Kedua metode dan teknik pengumpulan data tersebut masing-
masing dipaparkan sebagai berikut.
3.3.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data dalam Penelitian Bahasa
Metode dan teknik pengumpulan data dalam kajian bahasa yang digunakan
dalam penelitian ini merujuk pada metode dan teknik yang dikemukakan oleh
Sudaryanto (2015:203), yakni metode simak dengan teknik dasar dan teknik
lanjutan. Sudaryanto (2015:203) mengungkapkan bahwa metode simak
merupakan kegiatan menyimak penggunaan bahasa, menyimak pembicaraan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
seseorang atau sekelompok orang. Dalam penelitian ini kegiatan menyimak
tuturan-tuturan dari Rato Marapu (imam Marapu) merupakan cara yang mula-
mula dilakukan oleh peneliti untuk mendapatkan data. Untuk benar-benar
mendapatkan data yang mampu menjawab tujuan penelitian ini, maka metode
simak diterapkan melalui dua teknik, yakni (1) teknik dasar dan (2) teknik
lanjutan. Sudaryanto (2015:203) menjelaskan bahwa metode simak pada
praktiknya diwujudkan melalui teknik dasar dan teknik lanjutan. Teknik dasar,
yakni teknik sadap atau penyadapan. Peneliti untuk mendapatkan data pertama-
tama dengan segenap kecerdikan dan kemauan menyadap pembicaraan seseorang
atau beberapa orang. Dalam praktik selanjutnya teknik sadap ini diikuti dengan
teknik lanjutan, yakni (1) teknik simak bebas cakap, (2) teknik libat cakap, (3)
teknik rekam, dan (4) teknik catat.
Dalam konteks penelitian ini, untuk mendapatkan data peneliti
menggunakan teknik sadap, yakni menyadap tuturan-tuturan dari para Rato
Marapu. Teknik lanjutan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas 4 teknik
lanjutan, yakni (1) teknik simak bebas cakap, (2) teknik libat cakap, (3) teknik
rekam, dan (4) teknik catat. Pada teknik simak bebas cakap, peneliti tidak terlibat
di dalam dialog ketika beberapa informan kunci menuturkan data-data tradisi lisan
dalam upacara Padede Uma Kalada (Sudaryanto, 2015:203). Ketidakterlibatan itu
bertujuan agar tidak mengganggu konsentrasi informan pada saat menyampaikan
data-data tersebut. Hal itu karena setiap pertanyaan yang diajukan peneliti ketika
informan menuturkan data-data tradisi lisan tentu memunculkan persoalan oleh
karena bunyi pertanyaan mengganggu konsentrasi informan. Dengan demikian,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
data-data yang dituturkan menjadi tidak runtut (Neonbasu, 2016a:119). Sementara
itu, pada teknik simak libat cakap, peneliti terlibat langsung dalam dialog.
Keterlibatan itu nampak ketika peneliti mengkorfirmasikan data-data yang sudah
ditranskripsikan dengan maksud untuk menguji kebenaran data tersebut. Dalam
hal ini keterlibatan peneliti dalam dialog ini bersifat aktif reseptif. Artinya bahwa
peneliti ikut berpartisipasi dalam dialog itu, namun lebih banyak sebagai
pendengar yang mendengarkan tuturan-tuturan dari Rato Marapu. Keterlibatan
yang bersifat aktif reseptif itu juga dilakukan oleh peneliti karena tradisi lisan
dalam upacara Padede Uma Kalada merupakan bahasa yang sangat halus yang
hanya dapat dituturkan oleh tetua-tetua adat sehingga peneliti tidak mungkin ikut
secara aktif dalam menuturkan tradisi lisan dalam upacara Padede Uma Kalada.
Teknik rekam digunakan dalam penelitian ini dengan tujuan untuk merekam
data (data primer) dengan menggunakan alat bantu berupa Handphone Android.
Adapun Teknik catat digunakan untuk mencatat hal-hal yang dianggap penting
dan mencatat hasil konfirmasi kebenaran dari data-data tuturan dan juga mencatat
glosss cermat dan gloss lancar data. Setelah peneliti merumuskan metode dan
teknik pengumpulan data tradisi lisan Teda pada upacara Padede Uma Kalada,
peneliti kemudian menentukan prosedur pengumpulan data. Prosedur
pengumpulan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
Pertama, transkripsi data, yakni data-data tradisi lisan Teda dalam upacara
Padede Uma Kalada yang melalui teknik rekam ditranskripsikan oleh peneliti
sehingga menjadi bentuk tertulis. Kedua, seleksi data. Pada bagian ini data
diseleksi oleh peneliti dengan tujuan untuk mengurangi pendobelan data,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
mengetahui tahap-tahap data tersebut dituturkan dan untuk menguji kebenaran
data. Seiring dengan itu, proses seleksi data ini melibat informan kunci. Ketiga,
penerjemahan gloss data, yakni data dalam penelitian ini diterjemahkan dari
bahasa Wewewa ke dalam bahasa Indonesia. Proses penerjemahan gloss data ini
melibatkan informan kunci. Hal itu karena tradisi lisan dalam upacara Padede
Uma Kalada adalah bahasa yang sangat halus dan mengandung makna kiasan.
Oleh karena itu, perlu melibatkan informan kunci dengan maksud untuk
mendapatkan terjemahan yang lengkap. Proses penerjemahan gloss data ini
dilakukan dalam dua bentuk, yakni penerjemahan dalam bentuk gloss cermat,
yakni terjemahan kata demi kata yang langsung diletakkan di bawah teks asli yang
digarisbawahi. Penggunaan garis bertujuan untuk menunjukkan makna leksikal
kata-kata tersebut dalam bahasa Indonesia. Sementara itu, penerjemahan dalam
bentuk gloss lancar, yakni terjemahan bebas dalam bahasa Indonesia dengan
tujuan untuk memahami makna kata-kata tersebut, disamping menjelaskan makna
kias dari ungkapan-ungkapan dan kata-kata yang tidak menyandang makna
leksikal tertentu yang terdapat dalam tradisi lisan dalam upacara Padede Uma
Kalada. Penerjemahan gloss lancar data ini disesuaikan dengan kenyataan yang
diungkap dan gloss ini terikat pada sasaran (Sudaryanto, 2015:262).
3.3.2 Metode dan Teknik Pengumpulan Data dalam Penelitian Etnografi
Karakteristik dari objek yang diteliti dalam penelitian ini tidak terlepas dari
konteks sosial dan budaya masyarakat Kabizu Beijello. Oleh karena itu, dalam
penelitian ini peneliti juga menggunakan metode dan teknik pengumpulan data
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
dalam kajian etnografi. Hanifah (2010) mengungkapkan bahwa etnografi
merupakan metode riset yang menggunakan observasi langsung terhadap kegiatan
manusia dalam konteks sosial dan budaya sehari-hari. Lebih lanjut diungkapkan
bahwa tujuan penelitian etnografi adalah menggambarkan dan menganalisis
budaya yang dimiliki bersama oleh sekelompok individu serta membuat
interpretasi tentang pola-pola yang terlihat maupun didengar.
Metode etnografi dalam penelitian ini meliputi observasi partisipan dan
wawancara. Observasi partisipan digunakan peneliti dalam penelitian ini dengan
maksud untuk mengetahui gambaran umum terkait suasana kehidupan sosial dan
budaya yang dihidupi oleh masyarakat Kabizu Beijello. Hal ini baru dapat
dilakukan peneliti ketika peneliti sudah membangun keadaan rapport dengan
masyarakat Kabizu Beijello. Keadaan rapport yang dibangun oleh peneliti adalah
peneliti terlibat secara langsung dalam dunia kehidupan masyarakat Kabizu
Beijello wilayah Wewewa, tinggal bersama-sama dengan mereka dan berupaya
mengenal dan membangun hubungan yang baik dengan mereka.
Senada dengan hal di atas, Nesi (2018:83) menjelaskan bahwa observasi
partisipasi merupakan metode etnografi yang khas karena mengharuskan peneliti
terlibat secara langsung dalam masyarakat dengan tujuan untuk membangun
pemahaman tentang budaya. Hanifah (2010:11) juga mengungkapkan bahwa
penelitian lapangan dalam konteks etnografi berarti peneliti menjaring data di
lokasi tempat partisipan dan pola-pola kultural yang diteliti berada. Etnografer
menjaring data dengan cara tinggal bersama dengan para partisipan untuk
mengamati bagaimana mereka pola-pola yang mereka gunakan ketika bekerja,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
bersantai, beribadah, dan lain-lain. Untuk memperoleh pemahaman yang lebih
mendalam, peneliti bisa turut serta bekerja, bermain, atau beribadah dengan para
partisipan.
Wawancara digunakan peneliti dalam penelitian ini terutama untuk
menggali informasi yang sedalam-dalamnya terkait dengan objek yang diteliti.
Untuk memperlancar proses wawancara, sebelum wawancara berlangsung terlebih
dahulu peneliti menyiapkan pedoman wawancara. Pedoman wawancara itu berisi
pertanyaan-pertanyaan tertulis terkait dengan tradisi lisan dalam upacara Padede
Uma Kalada dan hubungan bahasa dalam tradisi lisan pada upacara Padede Uma
Kalada dengan kearifan-kearifan lokal, nilai-nilai luhur dan wujud jati diri yang
dihidupi oleh masyarakat Kabizu Beijello. Pedoman wawancara digunakan dalam
penelitian ini dengan maksud agar alur komunikasi selama proses wawancara
dengan informan tidak membias keluar dari topik permasalahan yang hendak
diteliti. Selain itu, peneliti juga menyiapkan sarana pendukung seperti buku
catatan dan Handphone Android untuk membantu mentatat dan merekam data
wawancara. Duranti (1997:102-103) menjelaskan bahwa dalam wawancara terjadi
interaksi tanya jawab antara peneliti dengan penutur asli selama kerja lapangan.
Pertanyaan-pertanyaan itu disiapkan peneliti untuk memperoleh informasi
mendalam yang berkaitan dengan masalah penelitian. Lebih dari itu, peneliti
menyiapkan sarana pendukung seperti buku catatan, tape recorder atau handycam
untuk membantu merekam data.
Kegiatan wawancara ini dilakukan secara terpisah, yakni di tempat masing-
masing dari informan yang diwawancarai. Hal ini dilakukan sebagai bentuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
pengecekan silang untuk menjaga keabsahan data yang dikumpulkan (Kami,
2018:61). Selain itu, selama proses wawancara ini berlangsung peneliti lebih
banyak menggunakan bahasa Wewewa daripada bahasa Indonesia. Penggunaan
bahasa Wewewa ini karena informan yang diwawancarai merupakan penduduk
asli suku Wewewa. Selain itu, penggunaan bahasa Wewewa juga merupakan salah
satu cara membangun keadaan rapport dengan informan.
Dalam kaitannya dengan penelitian metode etnografi, alur penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini memanfaatkan alur penelitian maju bertahap yang
dikemukakan oleh Spradley (2006:315-318) yang terdiri atas duabelas langkah,
yakni (1) menetapkan informan, (2) mewawancarai informan, (3) membuat
catatan etnografis, (4) mengajukan pertanyaan deskriptif, (5) melakukan analisis
wawancara, (6) membuat analisis domain, (7) mengajukan pertanyaan struktural,
(8) membuat analisis taksonomik, (9) mengajukan pertanyaan kontras, (10)
membuat analisis komponen, (11) menemukan tema-tema budaya, dan (12)
menulis suatu etnografi.
Perlu diketahui bahwa langkah-langkah di atas merupakan teknik
pengumpulan data sekaligus langkah analisis data dalam penelitian etnografi.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan langkah pengumpulan data menurut
metode etnografi guna mendeskripsikan makna bahasa berkaitan dengan
lingkungan sosial dan budaya masyarakat Kabizu Beijello sehingga mampu
mencapai tujuan penelitian ini. Langkah-langkah pengumpulan data tersebut di
atas yang digunakan dalam penelitian ini meliputi (1) menetapkan informan, (2)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
mewawancarai informan, (3) membuat catatan etnografis, dan (4) mengajukan
pertanyaan deskriptif.
Wawancara selain untuk keperluan menjawab rumusan masalah 1,2, dan 3
digunakan juga oleh peneliti untuk menjawab rumusan masalah 4, yakni strategi
preservasi tradisi lisan. Selain beberapa metode yang dikemukakan di atas dalam
penelitian ini peneliti juga menggunakan metode studi kepustakaan. Pengunaan
metode ini bertujuan untuk mengonfirmasi, mendukung dan mempertegas
argumen peneliti terkait dengan hasil interpretasi data serta untuk menjawab
rumusan masalah 4 yang bersumber dari buku, artikel jurnal, atau dokumen-
dokumen yang relevan dengan topik yang diteliti. Teknik yang digunakan yang
mendukung metode ini adalah teknik catat, yakni peneliti mencatat atau mengutip
bagian-bagian dari dokumen yang relevan dengan masalah yang diteliti ( periksa
Creswell (2010:269). Senada dengan hal ini, Nesi (2018) menjelaskan bahwa
karakteristik atau sifat metode studi pustaka merupakan suatu cara penelusuran
materi dan bukti autentik dari topik yang diteliti. Teknik yang digunakan dalam
metode dokumentasi adalah teknik catat, yakni peneliti mencatat bagian-bagian
dokumen yang relevan dengan masalah yang diselesaikan peneliti.
3.4 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat pengumpulan data atau alat untuk
memperoleh data. Dengan kata lain, instrumen penelitian adalah fasilitas yang
digunakan peneliti dalam mengumpulkan data agar pekerjaan peneliti lebih
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
mudah dan hasilnya lebih baik, dalam artian lebih cermat, lengkap dan sistematis
sehingga mudah untuk diolah (Arikunto, 2010:203 dalam Kami, 2018:64).
Dalam penelitian kualitatif, instrumen utamanya adalah peneliti itu sendiri
(Hanifah, 2010:19). Untuk mengumpulkan data dari para informan, peneliti
sebagai instrumen utama memerlukan instrumen bantuan (Afrizal, 2015: 135).
Dalam penelitian ini, instrumen bantuan yang digunakan peneliti adalah pedoman
wawancara dan alat rekam berupa Handphone Android. Pedoman wawancara
yang dibuat peneliti untuk mendapatkan informasi dari informan dalam penelitian
ini adalah daftar-daftar pertanyaan yang memerlukan jawaban uraian.
3.5 Metode dan Teknik Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
padan ekstralingual. Mahsun (2009:120) menjelaskan bahwa metode padan
ekstralingual merupakan metode analisis yang digunakan untuk menghubungkan
masalah bahasa dengan hal yang berada di luar bahasa. Hal yang berada di luar
bahasa yang dimaksud dalam penelitian ini adalah lingkungan sosial dan budaya
masyarakat Kabizu Beijello, sedangkan ‘bahasa’ yang dimaksud adalah tradisi
lisan Teda dalam upacara Padede Uma Kalada.
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
analisis kontekstual. Rahardi (2009:36) mengungkapkan bahwa teknik analisis
kontekstual merupakan cara analisis yang diterapkan pada data dengan mendasar
dan mengaitkan pada konteks. Peneliti menggunakan teknik ini karena teknik ini
tepat digunakan sebagai cara untuk melaksanakan dan menerapkan metode padan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
ekstralingual. Selain itu, ketika peneliti menganalisis data guna mengungkap
kode-kode sosial dan budaya yang digambarkan dalam tradisi lisan Teda pada
upacara Padede Uma Kalada, peneliti tidak dapat lepas dari konteks yang
melingkupi data-data tradisi lisan tersebut.
Setelah peneliti menetapkan metode dan teknik yang digunakan dalam
penelitian ini, selanjutnya peneliti menentukan prosedur analisis data. Adapun
prosedur analisis data yang ditempuh dalam penelitian ini, yakni pertama,
identifikasi data. Proses identifikasi data dalam penelitian ini disesuaikan dengan
tiga pendekatan dalam ekolinguistik metaforis, yakni (1) bahasa terdapat dalam
ekologi simbolis, (2) bahasa ada dalam ekologi sosiokultural, dan (3) bahasa ada
dalam ekologi kognitif (Steffensen and Fill, 2013:3). Data-data yang didasarkan
pada tiga pendekatan tersebut adalah data yang mampu menjawab rumusan
masalah 1, 2, dan 3, yakni wujud kearifan lokal, nilai-nilai kearifan lokal dan
wujud jati diri masyarakat Kabizu Beijello. Data yang telah diidentifikasi tersebut
dicatat dalam tabulasi data. Kedua, klasifikasi data, yakni peneliti
mengklasifikasikan data berdasarkan masing-masing tujuan penelitian yang
dicatat dalam tabulasi data. Ketiga, pemaknaan data, yakni peneliti
mendeskripsikan makna data berdasarkan hadirnya konteks yang mewadahi
terbentuknya data yang ditempatkan langsung di bawah data. Pemaknaan data
tersebut dicatat pada tabulasi data.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
3.6 Triangulasi
Triangulasi yang dilakukan oleh peneliti dalam penelitian ini, meliputi
triangulasi teori dan triangulasi konfirmasi. Dalam triangulasi teori, peneliti
menelusuri teori-teori yang relevan dengan penelitian ini. Teori-teori yang
ditelusuri oleh peneliti ini, didiskusikan dengan dosen pembimbing untuk menguji
kebenarannya.
Triangulasi konfirmasi dilakukan melalui pengujian kebenaran gloss data
dan hasil analisis data yang dapat dilakukan oleh pakar. Pengujian kebenaran
gloss data dilakukan oleh informan kunci. Selain itu, pemilihan informan kunci
untuk menguji kebenaran gloss data didasari oleh alasan akademis, yakni (1)
informan kunci merupakan penutur asli bahasa Wewewa dan fasih menggunakan
bahasa Wewewa serta memiliki kemampuan berbahasa Indonesia yang baik, (2)
informan kunci memiliki pemahaman yang luas dan mendalam terkait tradisi lisan
dalam upacara Padede Uma Kalada, (3) informan kunci selain memiliki
kecakapan dalam berbahasa Wewewa, juga dapat dengan mudah diajak
berkomunikasi.
Sementara itu, pengujian kebenaran hasil analisis data dilakukan oleh pakar
linguistik. Sebelum hasil analisis data ditriangulasi oleh pakar linguistik, terlebih
dahulu peneliti mendiskusikannya dengan pembimbing I dan II. Selanjutnya,
catatan-catatan hasil pengujian kebenaran hasil analisis data yang dilakukan oleh
pakar linguistik direfleksikan oleh peneliti dan didiskusikan dengan pembimbing I
dan II. Setelah hasil bimbingan selama proses penyusunan tesis dan hasil analisis
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
data dinyatakan valid, maka peneliti akan melaporkan hasil penelitian ini pada
bagian hasil penelitian dan pembahasan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini diuraikan tiga hal, yaitu (1) deskripsi data, (2) hasil penelitian,
dan (3) pembahasan. Pada bagian deskripsi data, peneliti menampilkan gambaran
mengenai data-data yang dianalisis. Pada bagian hasil penelitian, peneliti
menguraikan hasil dari penelitian ini yang meliputi (1) kearifan lokal yang
terdapat dalam tradisi lisan Teda pada upacara Padede Uma Kalada (membangun
rumah besar) masyarakat Kabisu Beijello, masyarakat Wewewa, Kabupaten
Sumba Barat Daya (2) nilai-nilai kearifan lokal yang terdapat dalam tradisi lisan
Teda pada upacara Padede Uma Kalada, (3) jati diri masyarakat Kabizu Beijello
yang terdapat dalam tradisi lisan Teda pada upacara Padede Uma Kalada, (4)
strategi preservasi tradisi lisan Teda masyarakat Kabizu Beijello. Sementara itu,
pada bagian pembahasan berisi tentang hasil perenungan yang mendalam
mengenai hasil penelitian yang ditemukan. Selanjutnya, deskripsi data, hasil
penelitian, dan pembahasan dipaparkan sebagai berikut.
4.1 Deskripsi Data
Sumber data primer yang dipaparkan dalam penelitian ini adalah tuturan-
tuturan lisan yang dituturkan dalam upacara selama proses Padede Uma Kalada
(membangun rumah besar atau rumah adat) yang sudah diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia dan telah ditranskripsikan oleh peneliti menjadi teks tertulis.
Sumber data primer tersebut terdiri atas 18 syair yang dituturkan pada setiap tahap
dalam proses pembangunan rumah besar. Sumber data primer tersebut dituturkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
dalam ritual Urrata, Saiso, Oka, dan pada saat pertemuan-pertemuan membahas
rencana pembangunan rumah adat, baik yang dilakukan di rumah kecil maupun
yang dilakukan di rumah besar.
Tuturan lisan yang terdapat dalam ritual Urrata dan Saiso berupa ungkapan-
ungkapan yang tersusun dalam bentuk syair-syair yang indah yang selalu
diungkapkan dalam konteks upacara adat dalam suasana yang sangat sakral, yakni
pada saat menyampaikan harapan, permohonan berkat dan pengampunan, serta
menyampaikan ucapan syukur kepada Marapu, roh gaib dan Sang Ilahi. Ritual
Urrata ini merupakan doa asli masyarakat Kabizu Beijello. Dalam praktiknya
ritual Urrata dilaksanakan secara monolog. Pihak yang menuturkan doa-doa
dalam ritual adat Urrata hanya satu orang, yakni Ata Urrata. Peserta lain yang
turut hadir dalam ritual adat itu hanya sebagai pendengar yang turut
mendengarkan dan mengikuti rangkaian doa-doa yang didaraskan oleh Ata
Urrata. Ritual Urrata dilakukan secara pribadi maupun secara komunal,
sedangkan ritual Saiso dan Oka hanya dapat dilakukan secara komunal.
Berbeda dengan ritual Urrata, ritual Saiso tidak dilaksanakan secara
monolog tetapi dialog. Dalam dialog itu ada yang bertugas sebagai penutur utama
yang biasa disebut sebagai Ata Saiso dan ada yang bertugas sebagai penutur
pendukung, yakni sebagai penanya yang biasa disebut Ata Tau Li’i. Ata Tau Li’i
ini biasanya terdiri dari beberapa tetua adat. Dalam pelaksanaannya, penutur
utama menyampaikan permohonan, doa-doa dan ucapan syukur dan terimakasih
kepada Marapu, roh-roh gaib dan Sang Ilahi dengan cara dinyanyikan yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
diiringi dengan bunyi gong dan tambur. Sementara itu, penanya menyampaikan
pertanyaannya dengan cara dituturkan tanpa iringan gong dan tambur.
Tuturan lisan dalam ritual Oka dalam konteks penelitian ini adalah tuturan-
tuturan yang berupaya menyelidiki dan mempertanyakan tujuan rombongan yang
membawa material bangunan memasuki kampung. Dalam ritual ini diselidiki
siapakah, darimana, tujuannya apa dan bagaimana perjalanan rombongan tersebut.
Dalam praktiknya ritual Oka dilaksanakan secara dialog, yakni melibatkan tetua
adat yang bertugas sebagai penanya yang mewakili tuan rumah dan tetua adat
yang bertugas sebagai penjawab yang mewakili rombongan.
Tuturan-tuturan lisan yang digunakan dalam situasi-situasi formal, yakni
pada saat musyawarah di rumah kecil dan di rumah besar serta dalam ritual-ritual
adat sebagaimana dipaparkan di atas, oleh masyarakat Wewewa dikenal sebagai
tradisi lisan Teda. Hal ini dapat dilihat dari hasil wawancara etnografis dengan
informan yang mengatakan sebagai berikut.
Tradisi lisan Teda merupakan tradisi lisan yang hanya dapat digunakan
dalam situasi-situasi resmi dan dalam ritus-ritus keagamaan. Teda ini
bukan merupakan bahasa kelakar dan bahasa sehari-hari. Bahasa Teda
mempunyai tingkatan yang lebih tinggi dari bahasa sehari-hari. Bahasa
Teda digunakan untuk menyatakan tujuan-tujuan sosial tertentu,
digunakan dalam pertemuan-pertemuan resmi, pada saat memberikan
nasihat, dalam upacara perkawinan dalam ritual-ritual keagamaan seperti
Urrata, Saiso, Oka, Woleka, Dodo. Dalam ritual-ritual keagamaan ini,
hanya dapat menggunakan bahasa Teda tidak bisa menggunakan bahasa
sehari-hari. Misalnya, pada saat Dodo natara dana (mengisahkan suatu
peristiwa dengan cara bernyanyi di halaman depan rumah), tidak dapat
menggunakan bahasa sehari-hari, harus menggunakan bahasa Teda
(W/KKLMB/1).
Sejatinya, tradisi lisan Teda digunakan dalam situasi-situasi resmi dan
dalam ritual-ritual keagamaan karena tradisi lisan Teda dipandang sebagai bahasa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
yang sangat sopan, kaya makna, berbernas, bernilai, sangat religius dan sangat
magis. Di dalam bahasa Teda terkandung pesan moral, sosial, ekonomi, religius
dan budaya. Selain itu, penggunaan tradisi lisan Teda dalam suatu peristiwa
komunikasi diyakini mampu memberi roh atau jiwa dari sesuatu yang
disampaikan. Mampu menghipnotis, memberikan rasa kekaguman, ketakutan,
kedamaian, persatuan, meluluhkan dan mengangkat hati orang yang
mendengarkan. Dengan menggunakan tradisi lisan Teda, orang-orang yang
mendengarkan merasa dihargai dan dihormati. Sementara itu, orang-orang yang
menggunakan Teda merasa percaya diri dan merasa seolah-olah dikuasai oleh
kekuatan-kekuatan tertentu yang dapat mengubah situasi dalam peristiwa
komunikasi serta mampu mempengaruhi kehidupan orang lain.
Tradisi lisan Teda sebagai warisan leluhur masyarakat Wewewa memiliki
keunikan tersendiri yang berbeda dari bahasa sehari-hari. Adapun keunikan yang
dimaksud, yakni tradisi lisan Teda biasanya dituturkan dalam bentuk berpasangan.
Penelitian yang dilakukan oleh Fox (1988) dan penelitian Mitchell (1988) yang
dikutip oleh Neonbasu (2016a:113-119) membuktikan bahwa pola berpasangan
atau gaya paralelisme merupakan cara berbahasa masyarakat Sumba umumnya
dan Wewewa khususnya. Dalam hasil penelitian yang dilakukan oleh Fox
ditemukan bahwa gaya paralisme adalah sebuah cara berbahasa yang sangat
umum dalam masyarakat yang berkategori dalam rumpun bahasa Austronesia
termasuk di dalamnya masyarakat Sumba. Sementara itu, dalam penelitian yang
dilakukan oleh Mitchell, ditemukan bahwa gaya paralelisme hampir sama untuk
empat bahasa yang ada di pulau Sumba, termasuk di dalamnya bahasa Wewewa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
Seiring dengan ini, pada saat mentranskripsikan dan menerjemahkan data tradisi
lisan dalam upacara Padede Uma Kalada ke dalam bahasa Indonesia, peneliti
tetap menjaga konsistensi unsur-unsur yang berpasangan tersebut dalam satu baris
sehingga tetap berbentuk struktur puisi.
Dalam alam pikir masyarakat Sumba umumnya dan Wewewa khususnya,
penggunaan bentuk berpasangan dalam tradisi lisan merupakan ekspresi budaya
yang telah diwariskan oleh nenek moyang sejak awal mula. Hal ini tampak dari
kesaksian informan yang mengatakan bahwa dalam budaya Sumba semuanya
dibawa dalam bentuk berpasangan sehingga terbawa pula pada bentuk tuturan.
Hal ini sudah menjadi ekspresi budaya sejak dulu, sejak nenek moyang.
Berpasangan itu dianggap sebagai sesuatu yang luhur. Misalnya, rumah orang
Sumba kadu uma (tanduk rumah) berpasangan, pintu berpasangan, tiang rumah
ada tiang ina ama (tiang ibu dan tiang bapak), ada tiang anamane, pawasse (tiang
anak laki-laki dan tiang anak mantu). Dan bahkan Tuhan disapa sebagai yang
mempunyai pasangan. Meskipun kita yakini bahwa Tuhan itu satu, tetapi dalam
menyapa Tuhan, itu selalu berpasangan. Misalnya, Ina mawolo, ama marawi (Ibu
yang membentuk, Bapak yang membuat), AkaladaNa matana, Abelleka katilluNa
(Yang besar mataNya, Yang lebar telingaNya). Hal itu karena Tuhan itu
dipandang sebagai Yang Esa. Bentuk berpasangan dalam tradisi lisan
mengimplisitkan makna bahwa hidup ini harus selalu berpasangan dan tidak boleh
sendiri (W/KKLMB/2).
Berdasarkan hasil pengamatan peneliti, penggunaan bentuk berpasangan itu
selain merupakan ekspresi budaya, juga memiliki beberapa tujuan, yakni (1) untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
menghasilkan konfigurasi nada dan irama yang indah dan khas pada saat
dituturkan atau dinyanyikan, sehingga dapat menimbulkan rangkaian makna pada
setiap baris dan baitnya, (2) menambah nilai rasa pada tuturan sehingga tuturan
terkesan sopan, santun dan menyejukkan hati pendengar, (3) memperkuat daya
tuturan, memberi roh dan jiwa pada tuturan sehingga tuturan dapat berbernas dan
bernilai, dan (4) menjadi ciri pembeda dengan bahasa sehari-hari. Sejalan dengan
ini, Rambut (2018:56) mengungkapkan bahwa paralelisme merupakan simbol
verbal yang berdasarkan pada imajeri penuturnya dan simbol itu digunakan dalam
berinteraksi dengan sesama manusia dan dengan roh-roh leluhur, terutama dengan
Tuhan. Karena sebagai simbol verbal, maka paralelisme berperan untuk
menyampaikan maksud, perasaan, dan pikiran kepada orang lain dengan cara
yang sopan dan indah sehingga pendengar merasa senang. Di pihak lain simbol
verbal itu menyimpan makna, nilai, dan pandangan hidup manusia.
Tradisi lisan dalam upacara Padede Uma Kalada selain tersusun dalam
bentuk syair dan terdiri dari unsur-unsur yang berpasangan mengandung makna
kias. Oleh karena itu, tradisi lisan dalam upacara Padede Uma Kalada dapat
dipandang sebagai bahasa yang bersifat seni yang diungkap dalam proses adat.
Adapun wujud-wujud seni berbahasa yang terkandung dalam tradisi lisan Teda,
yakni syair, petuah, metafora, paralelisme, mantra, dan ideologi.
Untuk dapat mengungkap makna terdalam (deeper meaning) dalam
kaitannya dengan kearifan lokal, nilai-nilai dan jati diri masyarakat Kabizu
Beijello yang termanisfestasi dalam tradisi lisan dalam upacara Padede Uma
Kalada, maka dalam proses penerjemahan gloss data, dilakukan dalam dua
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
bentuk, yaitu (1) penerjemahan dalam bentuk gloss cermat, yakni penerjemahan
kata demi kata dalam bahasa Indonesia sesuai dengan arti leksikal dari kata-kata
tersebut yang diletakkan langsung di bawah teks yang digarisbawahi. (2)
Penerjemahan dalam bentuk gloss lancar, yakni terjemahan bebas dalam bahasa
Indonesia untuk menemukan dan memahami makna dari teks. Dalam proses
penerjemahan ini selalu dikaitkan dengan konteks yang melingkupi tuturan itu.
Dalam proses penerjemahan data, peneliti selalu bekerja sama dengan
informan kunci yang sekaligus merupakan triangulator gloss data. Pelibatan
informan kunci dalam proses penerjemahan ini adalah untuk menguji kebenaran
gloss data. Selain itu, salah satu metode pengumpulan data yang digunakan dalam
penelitian adalah metode etnografis. Oleh karena itu, pelibatan informan kunci
juga bertujuan untuk mengetahui dan memahami sudut pandang, pengetahuan dan
pengalaman informan terkait hubungan bahasa dengan kearifan-kearifan lokal,
nilai-nilai dan wujud jati diri masyarakat Kabizu Beijello yang digambarkan
dalam tradisi pada upacara Padede Uma Kalada. Seiring dengan ini, pemaknaan
data dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis kontekstual (Rahardi,
2009: 36).
Wujud data yang dipaparkan dalam penelitian ini sebagai upaya untuk
menjawab rumusan masalah 1, 2, dan 3 adalah bagian-bagian dari tradisi lisan
dalam upacara Padede Uma Kalada yang diperoleh dari 23 data primer.
Sementara itu, untuk menjawab rumusan masalah 4, peneliti menggunakan wujud
data yang diperoleh dari hasil wawancara etnografis dan kajian dokumen-
dokumen yang relevan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
Bagian-bagian dari tradisi lisan Teda dalam upacara Padede Uma Kalada
dalam penelitian ini dikutip peneliti dengan mempertimbangkan kesatuan makna
ekolinguistik metaforis. Berdasarkan kesatuan makna ekolinguistik metaforis itu,
peneliti dapat menentukan kearifan-kearifan lokal yang terkandung dalam tradisi
lisan Teda pada upacara Padede Uma Kalada. Kearifan-kearifan lokal tersebut
dapat berwujud nyata (tangible) berupa bukti-bukti fisik dan hasil kreativitas
masyarakat Kabizu Beijello. Selain itu, dapat juga berwujud tidak nyata
(intangible) berupa paralelisme, metafora, syair, petuah, mantra dan ideologi. Di
dalam kearifan-kearifan lokal yang berwujud nyata dan tidak nyata tersebut
peneliti dapat mengungkap gagasan-gagasan dan pengetahuan lokal yang
melingkupi masyarakat Kabisu Beijello. Dalam menginterpretasi dan memaknai
kearifan-kearifan lokal dalam tradisi lisan pada upacara Padede Uma Kalada,
peneliti juga menyertakan data-data hasil wawancara etnografis dan kajian
dokumen-dokumen yang relevan.
Sementara itu, indikator bagi peneliti untuk menentukan nilai-nilai kearifan
lokal masyarakat Kabizu Beijello adalah pedoman-pedoman hidup bersama yang
menjadi alat kontrol bagi masyarakat Kabizu Beijello dalam membina hubungan
yang harmonis yang tercermin dalam tuturan-tuturan lisan pada upacara Padede
Uma Kalada. Pedoman-pedoman hidup bersama tersebut, digali peneliti
berdasarkan gagasan-gagasan dan pengetahuan lokal yang ditemukan dalam
kearifan-kearifan lokal. Pemaknaan dan interpretasi data nilai-nilai kearifan lokal,
ditunjang pula dengan data-data hasil wawancara etnografis dan kajian terhadap
dokumen-dokumen yang relevan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
Gagasan dan pengetahuan lokal serta nilai-nilai kearifan lokal dalam tradisi
lisan pada upacara Padede Uma Kalada dapat dijadikan indikator bagi peneliti
untuk menjawab rumusan masalah 3, yakni wujud jati diri masyarakat Kabizu
Beijello yang tergambarkan dalam tradisi lisan Teda dalam upacara Padede Uma
Kalada. Hal itu seperti yang dijelaskan Sukmayadi (2018:26) bahwa nilai-nilai
kearifan lokal merupakan dasar yang membentuk identitas. Selain itu, wujud jati
diri masyarakat Kabizu Beijello yang terekspresikan pada tradisi lisan dalam
upacara Padede Uma Kalada juga diinterpretasi atau dimaknai peneliti
berdasarkan data-data hasil wawancara etnografis dan hasil penelusuran
dokumen-dokumen yang relevan.
Data-data primer yang digunakan untuk menjawab rumusan masalah 1,2,
dan 3 sebelum diidentifikasi dan dianalisis, terlebih dahulu peneliti membuat
kodifikasi data dengan menggunakan huruf kapital A sampai R. Dalam tabulasi
data, angka yang mengikuti huruf kapital merupakan urutan data dari sumber data
yang mengandung kesatuan makna ekolinguistik metaforis. Sebagai contoh: (H2),
dibaca: data ke-2 dari sumber data H. Sementara itu, kerangka kesatuan makna
ekolinguistik metaforis diberi kode dengan menggunakan singkatan ES untuk
menunjukkan ekologi simbolis, ESK untuk menunjukkan ekologi sosiokultural,
dan EK untuk menunjukkan ekologi kognitif. Selanjutnya, angka yang mengikuti
singkatan dalam klasifikasi data merupakan nomor urut data dalam kerangka
kesatuan makna ekolinguistik metaforis. Misalnya, H2/ES6, dibaca: data ke-2 dari
sumber data H, yang diidentifikasi berdasarkan data ada dalam ekologi simbolis
urutan ke-6.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
4.2 Hasil Penelitian
Dalam perspektif ekolinguistik, bahasa adalah gambaran tentang realitas,
gambaran tentang pengetahuan dan pengalaman manusia. Dalam hal ini
komunitas tuturnya tentang dunia nyata, di sisi dunia imajinasi, yang ada di
lingkungannya. Bahasa menggambarkan realitas lingkungan, baik lingkungan
alam maupun realitas manusia, masyarakat dan kebudayaannya (Mbete,
2015:184). Dalam konteks penelitian ini, dalam perspektif ekolinguistik
metaforis, bahasa dalam tradisi lisan pada upacara Padede Uma Kalada
merupakan gambaran dari realitas atau dunia nyata yang ada di lingkungan
masyarakat Kabizu Beijello. Realitas atau dunia nyata itu berupa kearifan-kearifan
lokal, nilai-nilai kearifan lokal dan wujud jati diri yang selalu dipraktek oleh
masyarakat Kabizu Beijello.
Berdasarkan hasil identifikasi data yang dilakukan ditemukan 23 data yang
mengandung kearifan lokal, nilai-nilai kearifan lokal, dan jati diri masyarakat
Kabizu Beijello. Data-data ini diidentifikasi oleh peneliti dengan menggunakan
kerangka teori ekolinguistik metaforis yang dikemukakan oleh Steffensen and Fill
(2013:3), yakni (1) bahasa ada dalam ekologi simbolis, (2) bahasa ada dalam
ekologi sosiokultural, (3) bahasa ada dalam ekologi kognitif.
Pada kajian bahasa ada dalam ekologi simbolis diidentifikasi sebanyak 12
data dan ditemukan 7 wujud kearifan lokal yang terdiri atas 3 wujud kearifan
lokal berwujud nyata dan 4 wujud kearifan lokal berwujud tidak nyata. Adapun 3
wujud kearifan lokal berwujud nyata itu, yakni (1) mama (sirih, pinang), (2) manu
(ayam) (3) labe a belleka, pari’i a kaladana (cincin yang lebar, tiang yang besar
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
atau agung). Sementara itu, 4 wujud kearifan lokal berwujud tidak nyata, yaitu (1)
paralelisme, (2) metafora, (3) petuah, dan (4) mantra.
Pada kajian ini ditemukan juga 6 nilai kearifan lokal dan 7 wujud jati diri.
Adapun 6 nilai kearifan lokal itu, yakni (1) nilai ketaatan, (2) nilai solidaritas, (3)
nilai persatuan, (4) nilai penghormatan, (5) nilai syukur dan terimakasih, dan (6)
nilai religius. Sementara itu, 7 wujud jati diri yang ditemukan, yakni (1)
masyarakat yang selalu membina sikap bermusyawarah, (2) masyarakat yang
solider, (3) masyarakat yang menghormati pemimpin, (4) masyarakat yang
menghormati Marapu, (5) masyarakat ritual, (6) masyarakat religius, dan (7)
masyarakat agraris.
Dalam kajian bahasa ada dalam ekologi sosiokultural dapat diidentifikasi 9
data dan ditemukan 5 kearifan lokal, yakni 3 wujud kearifan lokal berwujud nyata
dan 2 wujud kearifan lokal berwujud tidak nyata. Adapun 3 wujud kearifan lokal
berwujud nyata itu, yakni (1) yasa (beras), pamama (sirih, pinang), dan manu
(ayam), (2) kalabo (kain tenun yang diikat di pinggang), kapouta (ikat kepala),
katopo (parang), dan (3) wawi (babi), karambo (kerbau) dan 2 wujud kearifan
lokal yang berwujud tidak nyata, yakni (1) paralelisme, dan (2) syair.
Nilai-nilai kearifan lokal ditemukan 4 nilai kearifan lokal dan 7 wujud jati
diri. Adapun empat nilai itu, yakni (1) nilai penghormatan, (2) nilai kerja keras,
(3) nilai rekonsiliasi, dan (4) nilai penghormatan kepada pemimpin. Sementara
itu, 7 wujud jati diri yang ditemukan, yaitu (1) masyarakat yang selalu membina
sikap bermusyawarah, (2) masyarakat Kabizu Beijello sebagai masyarakat ritual,
(3) masyarakat Kabizu Beijello sebagai masyarakat yang solider, (4) masyarakat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
Kabizu Beijello sebagai masyarakat yang religius, (5) masyarakat Kabizu Beijello
sebagai masyarakat yang menghormati Marapu, (6) masyarakat Kabizu Beijello
sebagai masyarakat yang agraris, dan (7) masyarakat Kabizu Beijello sebagai
masyarakat yang menghormati pemimpin.
Dalam frame data ada dalam ekologi kognitif dapat diidentifikasi 2 data dan
ditemukan 1 wujud kearifan lokal berwujud tidak nyata berupa idelogi lokal
masyarakat Kabizu Beijello dan 1 nilai kearifan lokal, yakni nilai solidaritas serta
1 wujud jati diri, yakni masyarakat Kabizu Beijello sebagai masyaSeluruh paparan
deskripsi hasil identifikasi data di atas, dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut.
Paparan secara lebih mendalam terkait dengan kearifan-kearifan lokal yang
terkandung dalam tradisi lisan pada upacara Padede Uma kalada dapat dilihat
pada subbab 4.2.1. Paparan terkait nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Kabizu
Beijello yang terwujud dalam tradisi lisan dalam upacara Padede Uma Kalada
dapat dilihat pada subbab 4.2.2. Sementara itu, paparan terkait jati diri masyarakat
Kabizu Beijello yang terwujud dalam tradisi lisan pada upacara Padede Uma
Kalada dapat dilihat pada subbab 4.2.3. Secara berurutan paparan terkait kearifan-
kearifan lokal, nilai-nilai kearifan lokal dan wujud jati diri masyarakat Kabizu
Beijello yang termanifestasi dalam tradisi lisan pada upacara Padede Uma Kalada
dapat dilihat sebagai berikut.
4.2.1 Kearifan-kearifan Lokal yang Terdapat dalam Tradisi Lisan Teda
dalam Upacara Padede Uma Kalada
Pada hakikatnya masyarakat Kabizu Beijello sebagaimana masyarakat
Sumba pada umumnya yang lahir dalam dinamika spiritual Marapu memiliki
kearifan-kearifan lokal yang merupakan warisan kebudayaan nenek moyang. Di
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
dalam kearifan-kearifan lokal itu, terdapat gagasan-gagasan dan pengetahuan-
pengetahuan yang bersifat arif dan bijaksana yang digunakan sebagai alat kontrol
dalam membina kehidupan bersama baik sebagai anggota warga rumah, maupun
sebagai warga Kabizu, dan bermasyarakat. Hal ini sejalan dengan pandangan
Sriyono (2014:57) yang mengungkapkan bahwa kearifan lokal merupakan
pengetahuan lokal yang digunakan masyarakat lokal untuk bertahan hidup dalam
lingkungannya yang menyatu dengan sistem kepercayaan, norma, dan budaya
yang diekspresikan di dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu
yang lama. Senada dengan pandangan ini, Aslan (2017:13) juga mengungkapkan
bahwa kearifan lokal merupakan budaya masyarakat yang telah diciptakan oleh
nenek moyang dan menjadi warisan bagi anak cucunya dan sebagai alat kontrol
tingkah laku masyarakat.
Dhoki, dkk., (2016:9) membagi kearifan lokal menjadi 2, yakni kearifan
lokal berwujud nyata (tangible) dan kearifan lokal berwujud tidak nyata
(intangible). Kearifan lokal berwujud nyata, meliputi tekstual, bangunan atau
arsitektur, benda cagar budaya dan karya seni. Kearifan lokal berwujud tidak
nyata, meliputi bahasa, sastra, kesenian, dan petuah yang disampaikan secara
verbal dan turun temurun yang dapat berupa nyanyian dan kidung yang
mengandung nilai-nilai ajaran tradisional.
Sehubungan dengan pandangan di atas, kearifan lokal dalam penelitian ini
merupakan gagasan dan pengetahuan lokal masyarakat Kabizu Beijello yang
digunakan sebagai pedoman dalam kehidupan sosial budaya yang ditemukan
dalam tradisi lisan dalam upacara Padede Uma Kalada. Adapun wujud kearifan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
lokal tersebut, yakni kearifan lokal berwujud nyata (tangible) dan kearifan lokal
berwujud tidak nyata (intangible). Wujud-wujud kearifan-kearifan lokal
masyarakat Kabizu Beijello yang terdapat dalam tradisi lisan dalam upacara
Padede Uma Kalada dipaparkan lebih lanjut sebagai berikut.
4.2.1.1 Kearifan-Kearifan Lokal yang Berwujud Nyata (Tangible)
Berdasarkan hasil identifikasi yang dilakukan peneliti menemukan 4
kearifan lokal berwujud nyata (tangible). Pada setiap kearifan lokal itu
mengandung gagasan dan pengetahuan lokal yang melingkupi kehidupan sosial
budaya masyarakat Kabizu Beijello. Gagasan dan pengetahuan lokal itu
dipaparkan sebagai berikut.
1) Kearifan Lokal yang Berkaitan dengan Pamama (Sirih, Pinang) dan
Yasa (Beras)
Sirih, pinang dan beras merupakan salah satu wujud kearifan lokal yang
dimiliki masyarakat Kabizu Beijello. Sejatinya, dalam praktik sosial dan budaya
masyarakat Kabizu Beijello selalu diwarnai dengan tindakan saling memberi dan
menerima sirih pinang. Sebagai contoh, pada saat santai dengan keluarga,
menyambut tamu, musyawarah-musyawarah adat dan upacara-upacara adat
seperti kematian, perkawinan, upacara berkaitan dengan pertanian, upacara
pembangunan rumah selalu ditandai dengan perilaku saling memberi dan
menerima sirih pinang. Sesungguhnya, dibalik peristiwa itu terdapat gagasan-
gagasan dan pengetahuan lokal terkait dengan praktik sosial dan budaya yang
yang selalu dihidupi oleh masyarakat Kabizu Beijello.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
86
Dwinanto, dkk., (2019:363) dalam penelitian yang berjudul “Budaya Sirih
Pinang Dan Peluang Pelestariannya Di Sumba Barat, Indonesia” menemukan
bahwa sirih pinang di Sumba Barat memiliki beragam fungsi sosial, budaya,
ekonomi dan pengobatan. Sirih pinang menjadi simbol penting dalam budaya
Sumba. Hal ini terkait erat dengan tatanan yang memengaruhi kehidupan orang
Sumba, yaitu kepercayaan Marapu, tempat tinggal (rumah: uma ; dan kampung:
wano), serta ikatan kekerabatan (Kabisu). Dalam konteks penelitian ini, sirih
pinang mengandung gagasan lokal seperti yang digambarkan dalam tuturan lisan
berikut.
Data 1. G1/ES5
Nebahinna, nennati pamama ole
Saat ini, ini sirih pinang kawan
Terimalah sirih pinang ini.
Konteks: Tuturan lisan di atas merupakan bagian dari data tradisi lisan pada saat pembagian
sirih pinang pada tahap pertemuan satu keluarga besar Kabizu Beijello di rumah
besar. Tuturan lisan di atas dituturkan oleh pemimpin klan atau orang yang
dipercayakan pemimpin musyawarah pada tahap musyawarah adat satu keluarga
besar Kabizu Beijello di rumah besar. Dalam data di atas memperlihatkan ada
peristiwa pembagian sirih pinang setelah pengambilan ikrar atau sumpah. Sirih
pinang diyakini sebagai simbol kehadiran Marapu (arwah-arwah leluhur) yang
mengikat seluruh keputusan yang telah disepakati. Oleh karena itu, keputusan itu
tidak boleh dilanggar. Jika dilanggar maka konsekuensinya adalah petaka.
Pada data 1 di atas kearifan lokal berwujud nyata ditunjukkan pada kata
pamama yang berarti sirih-pinang. Masyarakat Kabizu Beijello pada saat
menyebut buah sirih dan pinang secara bersamaan selalu menggunakan kata
pamama. Sementara itu, kegiatan menguyah sirih dan pinang secara bersamaan
yang dicampur dengan kapur disebut mama. Dalam bahasa Wewewa sirih disebut
utta dan pinang disebut winno. Pamama (sirih-pinang) dalam data 1 di atas
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
87
mengandung gagasan dan pengetahuan lokal yakni pamama (sirih-pinang)
digunakan sebagai meterai yang mengikat dan mensahkan suatu keputusan.
Masyarakat Kabizu Beijello dalam musyawarah-musyawarah adat setelah
terdapat kesepakatan selalu dilakukan hal penting yang mengikat keputusan yang
diambil. Adapun hal penting yang dimaksud adalah pengambilan ikrar atau janji
dengan sumpah adat. Ikrar diangkat oleh tetua adat atau pemimpin musyawarah
yang ditandai dengan pembagian sirih pinang. Dalam hal ini, sirih pinang sebagai
pertanda bahwa keputusan bersama yang diambil sah dan tidak boleh dilanggar.
Praktik budaya pengangkatan ikrar atau sumpah yang ditandai dengan
pembagian sirih pinang pada data 1 di atas tampak pada tuturan nennati pamama
ole (terimalah sirih pinang ini). Tuturan ini dituturkan oleh tetua adat atau
pemimpin musyawarah pada tahap pertemuan satu keluarga besar Kabizu Beijello
di rumah besar. Tuturan ini memberikan gambaran nyata bahwa dalam praktik
budaya masyakat Kabizu Beijello, sirih pinang digunakan sebagai meterai yang
mengikat suatu keputusan yang diambil atau diikrarkan. Setiap peserta yang telah
menerima sirih dan pinang dari tetua adat atau pemimpin musyawarah tidak boleh
mengkhianati ikrar atau sumpah yang baru diambil. Pengingkaran terhadap ikrar
atau sumpah melalui peristiwa penerimaan sirih pinang diyakini sebagai petaka
bagi orang yang mengingkari janji atau sumpah adat tersebut. Hal itu diungkapkan
oleh informan dalam wawancara etnografis sebagai berikut.
Pembagian sirih pinang dalam musyawarah adat merupakan tanda agar
orang yang menerima sirih pinang memegang janji dan keputusan
bersama. Sirih dan pinang dalam hal ini sebagai pengikat atau meterai
yang mengikat keputusan bersama yang telah ditetapkan. Apabila telah
menyepakati sebuah keputusan, selanjutnya adalah pembagian sirih
pinang. Sebagai meterai, sebagai pengikat agar tidak ada orang yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
melanggar keputusan bersama ini. Setelah bermusyawarah dan sebagai
tanda bermusyawarah adalah semua orang yang hadir diberikan sirih
pinang yang berarti bahwa jangan lagi mengkhianati keputusan ini, jangan
ada orang berkata lain, bertindak lain selain keputusan ini. Apabila ada
orang yang menerima sirih pinang lalu kemudian hari berubah pikiran
orang tersebut akan mendapatkan resiko adat. Hal ini karena pembagian
sirih pinang saja merupakan salah satu tanda terlibatnya Marapu.
sehingga Marapu sudah melihat semua yang menerima sirih pinang. Jadi
ketika ada orang yang melangggarnya, maka orang tersebut akan
menanggung sendiri akibatnya (W/KKLMB/3).
Penggunaan sirih pinang sebagai meterai dalam musyawarah adat
sesungguhnya tidak terlepas dari sistem kepercayaan yang dianut oleh masyarakat
Kabizu Beijello, yakni kepercayaan Marapu. Masyarakat Kabizu Beijello
sebagaimana masyarakat Sumba pada umumnya sangat menghormati dan
menjunjung tinggi peran Marapu dalam kehidupan mereka. Sirih dan pinang
dalam pengangkatan ikrar melalui sumpah adat itu diyakini sebagai tanda
kehadiran Marapu yang mengikat ikrar atau sumpah yang diangkat. Ikrar atau
sumpah yang telah disaksikan oleh Marapu melalui peristiwa pembagian sirih
pinang tidak boleh dilanggar. Apabila dilanggar konsekuensinya adalah petaka
bagi orang yang melanggar.
Masyarakat Kabizu Beijello tidak hanya menggunakan sirih-pinang sebagai
meterai yang mensahkan suatu keputusan, tetapi sirih pinang dan beras juga
merupakan perlengkapan wajib pada saat melakukan ritual Urrata. Hal itu tampak
dalam data tradisi lisan pada upacara Padede Uma Kalada sebagai berikut.
Data 2. E1/ESK2
Nennati yasa, pamama
Itu beras sirih pinang
Itu beras dan sirih pinang
Konteks:
Tuturan lisan di atas merupakan bagian dari data tradisi lisan dalam ritual Urrata
yang dilakukan setelah pengangkatan ikrar di Uma Kii (rumah kecil). Data tradisi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
89
lisan ini merupakan doa kepada nenek moyang. Dalam doa itu, masyarakat
Kabizu Beijello memohon persetujuan nenek moyang terkait hasil keputusan
bersama yang telah disepakati. Selain itu, juga meminta petunjuk kepada nenek
moyang terkait dengan rencana musyawarah adat yang akan dilakukan di rumah
besar Kabizu Beijello. Untuk membuka komunikasi dengan nenek moyang
digunakan sirih, pinang dan beras.
Kearifan lokal berwujud nyata pada data 2 tampak pada kata yasa (beras),
pamama (sirih pinang). Tuturan lisan di atas dituturkan dalam ritual Urrata
permohonan persetujuan dan petunjuk dari Marapu terkait hasil keputusan
musyawarah adat pembangunan rumah besar. Masyarakat Kabizu Beijello dalam
praktik budaya senantiasa menjunjung tinggi peran Marapu atas setiap keputusan
yang diambil. Keputusan itu harus disampaikan dan didiskusikan dengan Marapu
melalui ritual Urrata. Dalam ritual ini, komunikasi dengan Marapu dibuka
dengan menggunakan yasa (beras), pamama (sirih pinang) seperti yang tampak
pada data 2 di atas, yakni nennati yasa, pamama (terimalah beras dan sirih pinang
itu)
Gagasan dan pengetahuan lokal dibalik praktik praktik budaya penggunaan
sirih-pinang dalam ritual Urrata adalah sirih-pinang dimaknai sebagai media
komunikasi dengan Marapu. Selain itu, masyarakat Kabizu Beijello dalam ritual
Urrata juga meyakini bahwa sirih, pinang dan beras merupakan makanan yang
dapat memberikan rasa nyaman kepada Marapu yang dalam bahasa Wewewanya
Tora Tagu Marapu. Atas dasar keyakinan itu, Ata Urrata mengundang Marapu
dengan cara menyebarkan beras yang telah dicampur dengan sirih dan pinang ke
kiri, kanan, muka dan belakang. Hal ini karena masyarakat Kabizu Beijello
meyakini bahwa di dalam rumah terdapat bermacam-macam Marapu. Ada yang
jahat dan ada yang baik. Oleh karena itu, agar seluruh Marapu yang ada di dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
90
rumah mendukung dan memberi restu atas keputusan yang telah diniatkan
bersama, maka semua Marapu harus mendapatkan bagian dari beras, sirih dan
pinang yang disebarkan. Hal itu diungkapkan oleh informan yang diwawancarai
sebagai berikut.
Dalam ritual Urrata untuk memulai komunikasi dengan Marapu harus
menggunakan beras dan pamama. Pada saat membuangnya, Ata
Urrata membuangnya ke depan, belakang, kiri kanan. Setelah itu baru
menyampaikan apa yang perlu disampaikan. Hal ini karena di dalam
rumah ini ada begitu banyak roh dengan segala kepentingannya.
Marapu ada tingkatannya. Kadang-kadang mereka bisa mengutuk
sesuatu. Oleh karena itu, harus diberikan Tora Taguda. Hal ini
bertujuan agar mereka tidak membuat masalah. Sehingga apa yang
disampaikan boleh lurus sampai kepada Sang Khalik. Sehingga, sirih
pinang di sini sebagai tanda, yakni pertama, sebagai tanda untuk
membuka pembicaraan dengan orang hidup dan orang mati. Kedua,
dia menjadi sesuatu yang bisa diberikan yang bisa memberikan rasa
aman kepada mereka sehingga kemudian mereka tidak mengganggu
kehidupan kita. Sehingga, sirih pinang di sini merupakan makanan
untuk roh mereka. Beras dan sirih pinang ini merupakan makanan
untuk mereka. Pinang itu untuk membuka pembicaraan dengan
mereka. Padi itu untuk memberi makan kepada roh mereka. Sehingga,
penggunaan beras, sirih dan pinang ini berfungsi untuk membuka
pembicaraan dan sekaligus sebagai makanan untuk Marapu
(W/KKLMB/4).
2) Kearifan Lokal yang Berkaitan dengan Labe (Cincin) dan Pari’i (Tiang)
Rumah adat Sumba pada umumnya adalah rumah adat dengan konstruksi
bangunan berbentuk panggung. Bahan bangunan yang digunakan sebagian besar
berbahan kayu. Kayu yang digunakan adalah kayu pilihan seperti kayu airara.
Konstruksi bangunan tersebut 16 tiang dengan empat buah tiang pokok atau
sentral dari konstruksi bangunan tersebut. Empat tiang pokok tersebut sebagai
soko guru rumah yang menopang menara dan atap rumah yang berbentuk joglo
(Badra, 2009: 56 dalam Jayanti, 2015: 225).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
91
Masyarakat Sumba pada umumnya dan Kabizu Beijello tidak memaknai
Labe (cincin) dan Pari’i (tiang) hanya sekedar sebagai penyangga menara atau
atap rumah tetapi mengandung gagasan dan pengetahuan suatu kearifan lokal
berwujud nyata yang terikat dengan kepercayaan Marapu yang dianut oleh
masyarakat Kabizu Beijello. Bera (2015:6) dalam pendahuluan buku yang ditulis
oleh (Ramone, 2015) yang berjudul “Revitalisasi Desa Adat dan Dampak Sosial
Budaya Masyarakat di Pulau Sumba” menjelaskan bahwa rumah masyarakat
Sumba merupakan wadah perawatan hubungan-hubungan antaranggota warga
rumah agar tetap utuh dan harmonis. Menurut alam pikir masyarakat Sumba,
rumah adat lengkap mengatur status dan peran anggota warga rumah yang selalu
dikaitkan dengan yang Ilahi dan dilukiskan dalam bahasa dan benda simbolik
bagian dari inti rumah. Seiring dengan itu, gagasan lokal yang terkandung dalam
kearifan lokal, yakni Labe (cincin) dan Pari’i (tiang) tampak dalam tradisi lisan
dalam upacara Padede Uma Kalada sebagai berikut.
Data 3. O1/ES12
Nadukkiwe na’i Labe A Belleka,
Sampai kepada dia di sana cincin yang lebar ,
Pari’i A Kaladana tiang yang besar
Sampai kepada Sang Khalik
Konteks:
Tuturan lisan di atas merupakan bagian dari tradisi lisan pada tahap Saiso
pembuatan loteng rumah. Data tradisi lisan ini dinyanyikan oleh Ata Saiso.
Nyanyian ini merupakan doa yang ditujukan kepada Tuhan melalui perantaraan
Marapu. Dalam doa itu, Ata Saiso memohon pengampunan, keselamatan dan
keberhasilan pembuatan loteng rumah.
Tuturan lisan pada data 3 di atas merupakan salah satu bentuk doa kepada
Yang Ilahi melalui perantaraan Marapu. Kearifan lokal berwujud nyata yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
92
tampak pada tuturan itu adalah Labe A Belleka, Pari’i A Kaladana (Cincin Yang
Lebar, Tiang Yang Besar). Kearifan lokal ini memberikan gambaran nyata bahwa
struktur rumah adat masyarakat Sumba pada umumnya ditopang oleh empat tiang
utama. Pada masing-masing tiang ini terdapat Labe (cincin), yakni kayu yang
berbentuk bulat. Dari keempat Pari’i dan Labe ini terdapat salah satu Pari’i yang
dimaknai sebagai tiang agung, yang dalam bahasa Wewewanya koko poga.
Masyarakat Kabizu Beijello memandang tiang agung itu sebagai Tuhan Allah.
Dalam hal ini, tiang agung diyakini sebagai lambang kehadiran Tuhan Yang Maha
Besar dan Maha Agung. Tuhan yang mampu merangkul, memikul, melindungi
dan menopang seluruh umatnya. Sementara itu, Labe yang berada pada tiang
agung memiliki ukuran yang lebih besar dari ke tiga Labe lainnya. Labe yang ada
pada tiang agung ini diyakini sebagai mezbah Tuhan. Sebagai tempat bertahta dan
kedudukan Tuhan yang mampu memayungi dan menaungi umatnya.
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan ketika peneliti mengajukan
pertanyaan “Pengetahuan lokal apakah yang terkandung dalam tuturan nadukkiwe
na’i Labe A Belleka, Pari’i A Kaladana?” diberi kesaksian bahwa pada tuturan ini
memberikan gambaran terkait masyarakat yang ber-Tuhan. Labe ini merupakan
mazbah Tuhan. Setiap warga Marapu yang datang menyampaikan permohonan
kepada Tuhan, biasanya meletak pinang di Labe. Setelah itu baru mulai
menyampaikan permohonan kepada Tuhan. Labe ini merupakan tempat
kedudukan Tuhan sebagai Pencipta. Labe adalah mazbah Tuhan yang Maha
melihat semua yang dilakukan umatnya. Labe yang merupakan mazbah Tuhan itu,
dia lebih besar sendiri. Seluruh kehidupan kita itu diselenggarakan oleh Tuhan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
93
dan semua pergumulan kehidupan kita itu selalu kita bawa kepada Tuhan dengan
meletakkan sirih pinang di Labe (W/KKLMB/5).
3) Kearifan Lokal yang Berkaitan dengan Kalabo, Kapouta, dan Katopo
Masyarakat Sumba dan Kabizu Beijello khususnya merupakan masyarakat
yang masih kuat mempertahankan budaya warisan leluhur. Hal ini terbukti bahwa
masyarakat Kabizu Beijello dalam berbagai upacara-upacara adat atau upacara
formal masih mengenakan pakaian adat yang merupakan warisan leluhur seperti
pada upacara kematian, perkawinan, pembangunan rumah, pertanian, pesta
Woleka (syukur), upacara menarik batu kubur, dan lain sebagainya. Bahkan ada
pula masyarakat Kabizu Beijello yang berdomisili di kampung-kampung masih
tetap mengenakan pakaian adat dalam kehidupan keseharian mereka. Sementara
itu, mereka yang berdomisili di daerah perkotaan sudah jarang mengenakan
pakaian adat di rumah. Akan tetapi, apabila mengikuti upacara adat sebagaimana
telah disebutkan di atas, masyarakat Kabizu Beijello tetap menggunakan pakaian
adat. Begitu kuatnya tradisi ini, sehingga masyarakat-masyarakat yang berasal
dari luar Pulau Sumba pun akan memakai pakaian adat apabila mengikuti upacara
suatu upacara adat Sumba.
Tradisi pemakaian pakaian adat dalam berbagai upacara adat bagi
masyarakat Kabizu Beijello tidak hanya sebagai pembungkus badan, tetapi tradisi
penggunaan pakaian adat ini tertuang gagasan lokal yang dihidupi oleh
masyarakat Kabizu Beijello. Hal ini sebagaimana dilukiskan dalam data tradisi
lisan dalam upacara Padede Uma Kalada sebagai berikut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
94
Data 4. O2/ESK6
Kapamenderadandi kapouta , katopo,
Agar kalian memegang kuat-kuat ikat kepala, parang,
Agar kalian memegang kuat-kuat ikat kepala, parang
kalaboda ata pennenanno
ikat pinggang dari orang yang memanjat loteng
ikat pinggang dari orang-orang yang membuat loteng
Konteks:
Data ini merupakan bagian dari data tradisi lisan pada tahap Saiso sebelum
membuat loteng rumah. Data tradisi lisan tersebut dituturkan oleh Ata Urrata
dalam ritual Urrata. Data tradisi lisan ini merupakan doa kepada nenek
moyang. Dalam doa itu, masyarakat Kabizu Beijello memohon khidmat,
keselamatan, pengampunan dan keberhasilan kepada nenek moyang.
Kearifan lokal berwujud nyata yang digambarkan pada data 4 di atas adalah
kapouta, katopo, dan kalabo. Ketiga kearifan lokal berwujud nyata itu merupakan
pakaian kehormatan bagi kaum laki-laki. Kapouta merupakan kain tenun yang di
ikat di kepala laki-laki. Kain tenun ini biasa disebut selendang. Kalabo adalah
kain tenun yang dililitkan di pinggang sampai di bawah lutut. Kain tenun ini
biasanya disebut ingngi. Pakaian adat laki-laki Sumba juga dilengkapi dengan
katopo (parang) dan kaleku, yakni tempat sirih pinang yang terbuat dari daun
pandan. Sementara itu, pakaian adat perempuan Sumba adalah we’e (sarung) yang
dilengkapi pula dengan Kaleku. Apabila dalam upacara-upacara adat, masyarakat
Kabizu Beijello tidak menggunakan pakaian-pakaian adat, maka hilanglah
kewibawaan, harga diri, dan kehormatannya.
Dalam proses adat atau praktik budaya seperti membangun rumah, jatuhnya
katopo dan kalabo dari pinggang serta kapouta dari kepala anggota keluarga atau
orang yang memasang loteng rumah merupakan pertanda buruk atau aib bagi
Kabizu yang membangun rumah tersebut. Dalam konteks kepercayaan Marapu
jatuhnya kalabo, kapouta dan katopo pada saat membuat loteng rumah menjadi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
95
pertanda bahwa adanya pelanggaran terhadap perintah Marapu. Jika hal itu terjadi
maka akan menyebabkan runtuhnya harga diri, kewibawaan, dan kehormatan
nama baik Kabizu Beijello di mata sesama. Oleh karena itu, sebelum memasang
loteng rumah terlebih dahulu dilakukan ritual permohonan perlindungan dan
keselamatan kepada Marapu sehingga kalabo, kapouta dan katopo tidak terjatuh.
Permohonan itu tergambar pada tuturan kapamenderadandi kapouta, katopo,
kalaboda ata pennenanno (agar kalian memegang kuat-kuat ikat kepala, ikat
pinggang dan parang keluarga yang mengerjakan loteng rumah). Permohononan
ini dituturkan oleh Rato Marapu dalam ritual Saiso. Dengan semikian, melalui
kearifan lokal berwujud nyata itu dapat diidentifikasi pemahaman dan
pengetahuan masyarakat Kabizu Beijello bahwa kapouta, katopo, dan kalaboda
merupakan lambang kehormatan, harga diri, kewibawaan, martabat dan nama baik
Kabizu.
4) Kearifan Lokal yang Berkaitan dengan Manu (Ayam), Wawi (Babi),
Karambo (Kerbau)
Hewan-hewan seperti ayam, babi, kerbau merupakan hewan-hewan yang
sangat dibutuhkan dalam upacara-upacara keagamaan Marapu. Dalam dinamika
kepercayaan Marapu, hewan-hewan ini diidentifikasi sebagai wujud kearifan
lokal berwujud nyata (tangible). Masyarakat Kabizu Beijello yang menganut
kepercayaan Marapu meyakini bahwa hewan-hewan ini memiliki kedudukan
khusus dan memiliki kekuatan gaib. Oleh sebab itu, hewan-hewan ini sering
dikurbankan dalam berbagai ritual adat. Hal ini senada dengan temuan
Dwiningsih, dkk., (2014:24) bahwa hewan-hewan yang biasanya dipelihara dan
dikembangbiakkan masyarakat Sumba adalah babi, kuda, kerbau, sapi, ayam,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
96
kambing, dan anjing. Selain memiliki nilai ekonomi yang tinggi, beberapa hewan
seperti babi dan kuda memiliki posisi penting dalam adat Sumba.
Masyarakat Kabizu Beijello sebagai bagian dari masyarakat Sumba dalam
berbagai ritual adat yang diselenggarakan selama proses pembangunan rumah
besar, ayam, babi dan kerbau merupakan hewan yang sangat dibutuhkan. Hewan-
hewan itu, selain sebagai hewan kurban untuk memberi sesajen kepada Marapu
juga untuk meramalkan suatu peristiwa atau petunjuk dari Marapu. Hal ini
dieksplisitkan dalam data tradisi lisan pada upacara Padede Uma Kalada sebagai
berikut.
Data 5. H2/ES6
Na,i manu bowakahinna
Itu ayam supaya tandanya menerima
Berilah petunjuk yang baik melalui ayam itu.
Konteks:
Tuturan lisan di atas merupakan bagian dari data tradisi lisan pada tahap
pertemuan satu keluarga besar Kabizu Beijello di rumah besar. Tuturan lisan itu
dituturkan oleh Ata Urrata dalam ritual Urrata. Ritual Urrata ini dilakukan
setelah pengambilan ikrar atau sumpah adat yang ditandai dengan pembagian sirih
pinang. Dalam konteks data ini, ritual Urrata dimaknai sebagai doa kepada
Marapu. Dalam doa itu, Ata Urrata memohon perlindungan, keselamatan dan
keberhasilan kepada nenek moyang.
Kearifan lokal berwujud nyata pada tuturan lisan di atas adalah manu
(ayam). Manu (ayam), diidentifikasi sebagai kearifan lokal berwujud nyata
(tangible) karena di dalamnya mengandung gagasan dan pengetahuan yang terikat
dengan kepercayaan Marapu. Adapun gagasan lokal itu adalah ayam diyakini
memiliki fungsi magis religius. Ayam dikatakan berfungsi religius karena dalam
ritual Urrata, ayam digunakan sebagai media komunikasi untuk menyampaikan
permohonan, harapan dan kerinduan kepada Tuhan melalui perantaraan Marapu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
97
Sementara itu, dikatakan mengandung unsur magis karena melalui hati dan
usus ayam dapat diramalkan persetujuan Marapu terkait sesuatu hal yang dipinta
atau dimohonkan dalam ritual Urrata. Hal itu dieksplisitkan dalam tuturan Na’i
manu bowakahinna (Berilah petunjuk yang baik melalui ayam itu). Selain itu,
ayam yang sama juga digunakan untuk memberi sesajen kepada leluhur.
Pemberian ayam sebagai sesajen ini dilandasi oleh keyakinan bahwa selain
sebagai makanan Marapu, ayam tersebut juga merupakan toratagu Marapu
(milik Marapu).
Secara spiritual masyarakat Kabizu Beijello memiliki memiliki kebiasaan
memberi makan atau sesajen kepada Marapu. Masyarakat Kabizu Beijello yakin
bahwa orang yang meninggal akan berubah menjadi roh yang memiliki kekuatan
gaib yang biasa disebut Marapu. Konsekuensinya, masyarakat Kabizu Beijello
selalu memberikan makan kepada Marapu sebagai tanda hormat dan penghargaan
kepada Marapu sehingga apapun yang dimohonkan dapat direstui dan
disampaikan kepada Yang Ilahi. Sesaji merupakan sarana untuk memohon dan
meminta kepada Marapu. Sesaji yang biasanya disediakan dalam ritual
diantaranya dapat berupa ayam, babi, dan kerbau. Pemberian sesaji kepada
Marapu dieksplisitkan dalam data tradisi lisan berikut.
Data 6. R1/ESK9
Na’i wawi a bolo, na’i karambo a ia terewi
itu babi yang satu , itu kerbau yang satu peganglah
Peganglah babi dan kerbau itu
Kanga’apangaa , we’epaenundi
Agar menjadi makanan, agar menjadi minuman kalian
Agar menjadi makanan dan minuman kalian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
98
Konteks:
Tuturan lisan di atas merupakan bagian dari data tradisi lisan pada ritual Saiso
peresmian rumah besar. Data tradisi lisan merupakan doa pengucapan syukur
kepada Marapu. Dalam do aitu, Ata Saiso menyampaikan kepada Marapu bahwa
masyarakat Kabizu Beijello telah menepati janji adat untuk melakukan syukuran
peresmian rumah besar. Dalam upacara syukuran ini dikurbankan babi dan
kerbau. Selain itu, disampaikan juga kepada Marapu bahwa masyarakat Kabizu
Beijello telah menyatakan persatuan dan solidaritas.
Kearifan lokal yang berwujud nyata pada 6 di atas adalah wawi (babi) dan
karambo (kerbau). Pada data ini terdapat dua gagasan dan pengetahuan lokal,
yakni (1) babi, dan kerbau digunakan untuk memberi sesajen kepada Marapu. Hal
itu dieksplisitkan pada tuturan kanga’a panga’a, we’e paenundi (agar menjadi
makanan dan minuman kalian). Pemberian babi dan kerbau sebagai sesajen ini
dilandasi oleh keyakinan bahwa selain sebagai makanan Marapu, kedua ekor
hewan tersebut juga merupakan milik Marapu. Dalam keyakinan Marapu apa
yang menjadi milik Marapu harus diberikan kepada Marapu. Keyakinan ini
tertuang dalam istilah tora tagu Marapu (sebagai makanan dan milik Marapu). (2)
Babi, dan kerbau memiliki fungsi magis. Fungsi ini tergambar dalam penggunaan
ayam, babi, dan kerbau untuk meramalkan suatu peristiwa. Namun, dalam
kenyataannya ayam yang paling sering digunakan. Sementara itu, babi dan kerbau
hanya akan digunakan dalam upacara-upacara adat skala yang besar. Terkait
dengan pemberian sesajen kepada Marapu, informan yang diwawancarai
memberikan kesaksian sebagai berikut.
Marapu itu harus dihormati. Walaupun Marapu itu tidak kelihatan,
tapi mereka mempunyai kekuatan-kekuatan ajaib yang dapat
memberikan kebahagiaan dan keselamatan kepada manusia. Hati
ayam dalam ritual adat merupakan makanan Marapu. Untuk menjaga
agar Marapu tidak tersinggung atau marah, maka Marapu harus diberi
makan. Dalam ritual-ritual adat Marapu yang harus diberi makan
duluan, tidak bisa kemudian. Marapu tidak boleh terlupakan. Bahkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
99
Rato Marapu, setelah memeriksa usus dan hati ayam, mereka akan
meminta agar hati ayam segera dibakar untuk memberi makan kepada
Marapu. Mereka takut apabila lupa memberi makan kepada Marapu.
Tora tagudawi olumu. Nyakanda bullakandi. Ba bullakundi, bani
bada. Danna manotoba hetti padengi. Wa’i-wa’i awabage nemme
ndamawenna (Ayam ini merupakan milik Marapu, bagian Marapu.
Oleh karena itu, kita harus memberikan kepada Marapu apa yang
menjadi bagian dan milik Marapu. Apabila kita lupa memberi makan
kepada Marapu, mereka akan marah. Tidak akan berhasil apa yang
menjadi harapan dan kerinduan kita. Akan ada-ada saja halangan atau
kekacauan yang terjadi yang menyebabkan apa yang dimohonkan
tidak akan tercapai) (W/KKLMB/6).
Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam budaya
spiritual masyarakat Kabizu Beijello, pemberian sesajen kepada Marapu
merupakan suatu keharusan. Sesajen dimaknai sebagai bahan persembahan yang
merupakan tora tagu Marapu (bagian dan milik Marapu). Marapu telah
membantu manusia menyampaikan permohonan kepada Yang Ilahi. Oleh karena
itu, manusia wajib memberikan sesajen sebagai bentuk ucapan terimakasih kepada
Marapu. Sesajen itu dapat berupa hewan kurban seperti ayam, babi, dan kerbau.
Masyarakat Kabizu Beijello meyakini bahwa dengan memberi sesajen kepada
Marapu setiap permohonan yang telah dikabulkan dapat berjalan sesuai dengan
yang direncanakan dan berhasil.
4.2.1.2 Kearifan-Kearifan Lokal Berwujud Tidak Nyata (intangible)
1) Kearifan Lokal yang Berkaitan dengan Paralelisme
Tradisi lisan Teda dalam upacara Padede Uma Kalada, sebagaimana tradisi
lisan yang tergabung dalam rumpun bahasa Austronesia memiliki karakteristik
yang khas, yakni ditandai dengan adanya penggunaan pola-pola bahasa yang
berpasangan dengan konfigurasi nada yang indah sehingga dapat menimbulkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
100
makna pada setiap baris dan baitnya. Hal ini sejalan dengan hasil temuan
Neonbasu (2016c: 88) bahwa proses dan dinamika berbahasa dalam pemahaman
masyarakat Sumba selalu mengambil pola berpasangan. Menurut Nesi (2018:
189) unsur-unsur yang berpasangan itu oleh para peneliti bahasa dan budaya
diistilahkan dengan diad atau speak in pairs, sebuah istilah yang dirujuk dari studi
linguistik Roman Jakobson tentang paralelisme atau kesejajaran unsur-unsur atau
pola-pola bahasa yang kadangkala sulit diterjemahkan ke dalam bahasa sasaran.
Paralelisme dalam tradisi lisan upacara Padede Uma Kalada dapat
diidentifikasikan sebagai suatu kearifan lokal yang berwujud tidak nyata
(intangible). Kalimat-kalimat dengan pola berpasangan dalam tuturan-tuturan
pada upacara Padede Uma Kalada itu mengandung gagasan lokal dan
pengetahuan lokal masyarakat Kabizu Beijello. Hal itu tampak pada data tuturan
lisan berikut.
Data 7. A1/ES1
Neti dari tana, batu ruta. Ini garuk tanah, cabut rumput
Di sini di rumah kecil.
Konteks:
Tuturan lisan di atas merupakan bagian dari tradisi lisan yang dituturkan oleh
Rato Uma Kalada Kabizu Beijello (pemimpin klan Kabizu Beijello) yang
ditujukan kepada Rato Uma Kii (tetua adat rumah kecil) pada tahap yapatekki
(pemberitahuan). Tahap Yapatekki merupakan tahap diskusi antara tetua adat
rumah besar dengan tetua adat rumah kecil. Tujuan dari diskusi itu adalah untuk
membahas terkait rumah besar yang telah mengalami pelapukan dan kerusakan.
Diskusi ini dilakukan di rumah kecil.
Paralelisme neti dari tana, batu ruta secara harafiah berarti ‘di sini di garuk
tanah, cabut rumput’. Tuturan dengan pola sejajar ini sesungguhnya memiliki
makna simbolik yang merujuk pada rumah kecil. Rumah kecil dimaksudkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
101
bukan merujuk pada ukuran sebuah rumah berukuran kecil, tetapi merujuk pada
rumah dari masing-masing anggota Kabizu.
Masyarakat Kabizu Beijello dalam tuturan-tuturan adat selalu menyebut
rumah kecil dengan istilah dari tana, batu ruta untuk membedakannya dari rumah
besar dalam Kabizu Beijello. Pada zaman dahulu, masyarakat Kabizu Beijello
pada umumnya bermata pencaharian sebagai petani. Anggota Kabizu Beijello
akan pergi meninggalkan rumah besar dengan tujuan untuk berkebun yang
letaknya jauh dari rumah besar. Biasanya lahan yang dijadikan tempat berkebun
adalah lahan yang berada di pinggir hutan yang dekat dengan sumber mata air.
Dan di tempat ini pula anggota keluarga Kabizu Beijello akan mendirikan sebuah
rumah sebagai tempat tinggal permanen. Rumah itu yang kemudian dalam
tuturan-tuturan disebut dari tana, batu ruta. Hal ini terungkap dalam wawancara
dengan informan yang memberi kesaksian bahwa tuturan Neti dari tana, batu ruta
merujuk pada anggota-anggota Kabizu atau rumah dari masing-masing anggota
Kabizu. Mereka disebut dari tana, batu ruta (garuk tanah, cabut rumput) karena
mereka telah keluar dari rumah besar untuk berkebun dan memelihara hewan-
hewan ternak (W/KKLMB/7). Terkait dengan paralelisme sebagai kearifan lokal,
tampak pula pada data sebagai berikut.
Data 8. Q1/ESK8
Hetti yamme kaina kanna tutuke bama kako paelleta tollu,
Agar kami juga mempunyai cukup waktu untuk kami pergi mencari telur,
kanna tutuke bama elleta manu.
agar cukup waktunya kami mencari ayam
Agar kami juga mempunyai waktu yang cukup untuk bekerja keras
Konteks:
Tuturan lisan di atas merupakan bagian dari tradisi lisan pada pada tahap Saiso
perjanjian dengan Marapu. Masyarakat Kabizu Beijello memiliki tradisi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
102
memohon berkat, rahmat, dan perlindungan kepada Marapu. Dalam upacara
permohonan berkat ini, masyarakat Kabizu Beijello juga membuat perjanjian
dengan Marapu bahwa apabila sesuatu yang dimohonkan itu berhasil, maka akan
dibuatkan acara syukuran. Apabila perjanjian ini tidak ditepati diyakini bahwa
akan mendatangkan malapetaka. Perjanjian adat ini dilakukan melalui ritual
Urrata dan Saiso.
Kalimat dengan pola berpasangan pada data 8 di atas, yakni kanna tutuke
bama kako paelleta tollu, kanna tutuke bama kako paelleta manu (agar kami
mempunyai waktu yang cukup untuk kami pergi mencari telur, agar cukup
waktunya kami pergi mencari ayam) merupakan doa kepada Marapu. Dalam doa
itu, masyarakat Kabizu Beijello memohon agar segala usaha dan kerja keras dapat
membuahkan hasil. Hasil usaha dan kerja keras itu yang nantinya akan dibawa
sebagai bahan persembahan pada saat peresmian rumah besar sesuai dengan
perjanjian antara manusia dengan Marapu, yakni tujuh tahun, tujuh bulan dan
tujuh hari. Bahan persembahan pada kalimat dengan pola berpasangan di atas
ditunjukkan pada kata tollu (telur) dan manu (ayam).
Masyarakat Kabizu Beijello dalam praktik budaya, tollu dan manu seperti
yang ditunjukkan pada kalimat dengan pola berpasangan di atas, tidak hanya
merujuk pada telur dan ayam. Akan tetapi, termasuk juga bahan-bahan
persembahan yang dibawa oleh masyarakat Kabizu Beijello pada upacara
peresmian rumah besar seperti beras, kopi, gula, sirih, pinang, ayam, babi, dan
bahkan kerbau. Sesungguhnya, telah menjadi tradisi bahwa masyarakat Kabizu
Biejello dalam komunikasi-komunikasi yang bersifat resmi selalu terjalin dalam
dialog puitis yang penuh makna yang oleh masyarakat biasa atau orang-orang
yang berasal dari luar Sumba mengalami keruwetan dan adanya kemungkinan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
103
kesalahan penafsiran dalam mengungkap makna dibalik tuturan yang penuh
kiasan tersebut.
Masyarakat Kabizu Beijello meyakini bahwa Marapu hanya akan menolong
orang yang selalu menunjukkan perilaku hidup yang sesuai dengan kehendak
Marapu. Salah satu perilaku hidup yang dikehendaki oleh Marapu adalah harus
melakukan ritual memohon pengampunan apabila melakukan perbuatan yang
melanggar perintah Marapu. Hal itu ditunjukkan dalam paralelisme berikut.
Data 9. O2/ESK6
Lakkawa’ikunamme adirakapababa touna , aakitapaleira wekkina
Kendatipun ada yang beraib tubuhnya, berdosa badannya
Kendatipun ada yang memiliki aib dan dosa
Du kettekageole, du pagukawi pangngu
Janganlah ikat bersama, jangan simpul bergandeng
Janganlah engkau melibatkannya dengan kami
Konteks:
Tuturan lisan di atas merupakan bagian dari data tradisi lisan pada tahap Saiso
sebelum membuat loteng rumah. Data tradisi lisan tersebut dituturkan oleh Ata
Urrata dalam ritual Urrata. Data tradisi lisan ini merupakan doa kepada nenek
moyang. Dalam doa itu, masyarakat Kabizu Beijello memohon khidmat,
keselamatan, pengampunan dan keberhasilan kepada nenek moyang.
Tuturan dengan pola berpasangan pada data 9 di atas, yakni
lakkawa’ikunamme adirakapababa touna, aakitapaleira wekkina (kendatipun ada
yang beraib tubuhnya, berdosa badannya). Du kettekageole, du pagukawi pangngu
(Jangan ikat bersama, jangan simpul bergandeng) mengandung makna
pengampunan bagi anggota masyarakat Kabizu yang telah melanggar perintah
Marapu.
Berdasarkan konteks budaya yang melatari kedua tuturan paralel di atas
diketahui bahwa dalam budaya masyarakat Kabizu Beijello sebelum membuat
loteng rumah terlebih dahulu dilakukan ritual Saiso. Ritual Saiso dalam konteks
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
104
tuturan ini merupakan ritual untuk memohon perlindungan, keselamatan dan
keberhasilan pada saat membuat loteng rumah besar. Selain itu, dimaknai juga
sebagai ritual memohon pengampunan kepada Marapu untuk anggota Kabizu
yang telah melanggar perintah Marapu yang mendatangkan aib dan dosa. Hal itu
dilukiskan dalam tuturan lakkawa’ikunamme adirakapababa touna, aakitapaleira
wekkina (kendatipun ada yang beraib tubuhnya, berdosa badannya).
Ata Saiso meminta agar Marapu tidak memperhitungkan dosa atau aib
anggota keluarga Kabizu yang terlibat dalam proses membuat loteng rumah besar
meski hanya untuk sementara waktu. Hal ini tergambar pada tuturan du
kettekageole, du pagukawi pangngu (janganlah ikat bersama, jangan simpul
bergandeng). Apabila Marapu memperhitungkan dosanya, maka orang tersebut
akan mendapatkan malapetaka. Malapetaka tersebut diyakini masyarakat Kabizu
sebagai sebuah petaka untuk Kabizu. Dalam pandangan masyarakat Kabizu
Beijello, malapetaka yang dialami satu orang saja pada saat membangun Uma
Kalada diyakini sebagai pencemaran nama baik terhadap seluruh Kabizu.
2) Kearifan Lokal yang Berkaitan dengan Metafora
Masyarakat Sumba dan khususnya masyarakat Kabizu Beijello selalu
menggunakan metafora dalam ritual-ritual adat dan komunikasi-komunikasi yang
bersifat resmi seperti urusan perkawinan, kematian, pernikahan, perdagangan dan
menyelesaikan masalah tanah dan dalam ritual-ritual pembangunan rumah besar.
Hal ini diungkapkan Fox (1988, 1998, 2013) yang dikutip oleh Neonbasu (2016a:
113) bahwa gaya metafora adalah sebuah cara berbahasa yang sangat umum
dalam masyarakat yang berkategori dalam rumpun bahasa Austronesia termasuk
juga masyarakat Sumba.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
105
Metafora merupakan mekanisme yang lazim bagi penutur bahasa untuk
mendeskripsikan bermacam-macam peristiwa. Secara definitif, metafora adalah
mekanisme kognitif dalam memahami satu ranah pengalaman berdasarkan
struktur konseptual dari ranah pengalaman lain yang bertalian secara sistematis
(Mulyadi, 2014:96). Dalam konteks penelitian ini, makna yang terkandung dalam
tradisi lisan dalam upacara Padede Uma Kalada dapat diungkap atau disibak
dengan berpedoman pada ranah pengalaman dari terjemahan cermat dari tuturan-
tuturan dalam tradisi lisan dalam upacara Padede Uma Kalada kemudian
dihubungkan dengan konteks sosial dan budaya masyarakat Kabizu Beijello.
Melalui penghubungan itu dapat diungkapkan gagasan hidup yang dijadikan
pedoman bagi masyarakat Kabizu Beijello dalam membina kehidupan bersama
yang harmonis. Hal itu tampak pada data tradisi lisan pada upacara Padede Uma
Kalada sebagai berikut.
Data 10. A1/ES1
Nemme nakarewe ebana, nakarawuwe logena.
Di sana dia lapuk pinggangnya, dia berantakan rambutnya
Ini terkait badan rumah nenek moyang kita yang sudah lapuk kayunya, rusak
atapnya.
Tuta pomawo loddo, kada pomawo urra.
payung pelindung matahari, payung pelindung hujan
Rumah yang dapat memberikan kenyamanan, perlindungan, yang dapat
mempersatukan dan mendamaikan
Konteks:
Tuturan lisan di atas merupakan bagian dari tradisi lisan yang dituturkan oleh
Rato Uma Kalada Kabizu Beijello (pemimpin klan Kabizu Beijello) yang
ditujukan kepada Rato Uma Kii (tetua adat rumah kecil) pada tahap yapatekki
(pemberitahuan). Tahap Yapatekki merupakan tahap diskusi antara tetua adat
rumah besar dengan tetua adat rumah kecil. Tujuan dari diskusi itu adalah untuk
membahas terkait rumah besar yang telah mengalami pelapukan dan kerusakan.
Diskusi ini dilakukan di rumah kecil.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
106
Metafora Nakarewe ebana, Nakarawuwe logena (Di sana dia lapuk
pinggangnya, Dia berantakan rambutnya) pada data 10 di atas mengandung
makna metaforis, yakni merujuk pada rumah besar masyarakat Kabizu Beijello.
Sejatinya, setiap klan yang ada di Pulau Sumba, pada umumnya memiliki rumah
adatnya masing-masing yang biasa disebut dengan istilah Uma Kalada (rumah
besar). Uma Kalada (rumah besar) dalam hal ini bukan karena rumah tersebut
terkesan besar melainkan justru dari rumah besar itulah keturunan dari salah satu
Kabizu berbiak. Dalam hal ini, masyarakat Sumba memandang rumah besar
sebagai lambang asal usul. Artinya rumah besar dimaknai sebagai lambang
kehadiran nenek moyang yang telah melahirkan keturunan dari satu Kabizu.
Rumah besar merupakan rumah ayah dan sekaligus sebagai orang tua (leluhur)
yang telah melahirkan, menjaga dan merawat anak-anaknya. Kesadaran akan hal
itu, dalam tuturan-tuturan adat masyarakat Kabizu Beijello selalu menyebut
badan rumah sebagai pinggang nenek moyang (ebana) dan atap rumah sebagai
rambut nenek moyang (logena).
Rumah besar selain dipandang sebagai lambang kehadiran nenek moyang
yang telah melahirkan dan meneruskan keturunan dalam satu Kabizu, juga
memiliki peran sentral dalam memberikan perlindungan, kenyamanan, kerukunan
dan keharmonisan bagi seluruh anggota warga rumah (Kabizu), masyarakat, dan
alam raya. Hal itu tampak pada data 10, yakni pada metafora tuta pomawo loddo,
kada pomawo urra (payung pelindung dari matahari, payung pelindung dari
hujan). Metafora ini tidak hanya mau mengatakan bahwa rumah besar merupakan
tempat yang dapat memberikan perlindungan dari matahari dan hujan tetapi
mengandung pandangan dan gagasan lokal bahwa rumah besar merupakan tempat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
107
perawatan relasi yang utuh dan harmonis bagi seluruh anggota warga rumah
(Kabizu), masyarakat dan alam semesta.
Selain metafora di atas, pada data di bawah ini juga terdapat metafora yang
memuat gagasan dan pengetahuan lokal masyarakat Kabizu Beijello yang seturut
dengan kehendak Marapu.
Data 11. K1/ES10
Natogola manairo bage, namawellita mawana bage
Sudah berhasil menyiangi sudah rampung anyaman
Proses penebangan kayu dan pemotongan tali telah berhasil dan berjalan
dengan lancar
Konteks:
Tuturan lisan di atas merupakan bagian dari data tradisi lisan pada tahap Saiso
pengucapan syukur atas keberhasilan penebangan pohon dan pemotongan tali di
hutan. Tuturan lisan ini merupakan doa yang ditujukan kepada roh-roh gaib yang
diyakini sebagai pemilik hutan. Doa itu tidak dituturkan tapi dinyanyikan. Dalam
doa itu Ata Saiso menyampaikan ucapan syukur kepada roh-roh gaib atas, izin,
pertolongan dan bantuan yang diberikan sehingga proses pengambilan material
bangunan dapat berhasil. Dalam doa itu pula, Ata Saiso memohon keselamatan
dan perlindungan kepada roh-roh gaib sehingga prosesi pengantaran material
bangunan ke tempat pembangunan rumah besar dapat berhasil.
Masyarakat Kabizu Beijello sejatinya merupakan masyarakat bertani. Dalam
kegiatan bertani, masyarakat Kabizu Beijello masih menggunakan alat bertani
tradisional, yakni menggunakan pacul atau cangkul untuk membersihkan dan
menyiangi kebun. Hasil dari kegiatan mencangkul dan menyiangi kebun
dikatakan berhasil apabila telah siap dipanen atau sudah dipanen yang dalam data
di atas dilukiskan pada tuturan natogola manairobage. Selain itu, masyarakat
Kabizu Beijello juga dikenal sebagai masyarakat kreatif yang menghasilkan
berbagai bentuk anyaman dari rotan, bambu dan daun pandan. Dalam bahasa
Wewewa, kerajinan tangan yang telah rampung dikenal dengan istilah
mawellitabana (sudah rampung).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
108
Dengan demikian, metafora natogola manairobage, namawellita
mawanabage (Sudah berhasil menyiangi, sudah rampung anyaman) pada data 11
di atas menggambarkan segala pekerjaan yang telah rampung atau berhasil.
Tuturan lisan di atas dituturkan dalam ritual Todi Kadawu. Ritual tersebut baru
dapat dilaksanakan apabila seluruh pekerjaan pengambilan material di hutan telah
selesai.
Untuk membangun rumah adat, masyarakat Kabizu Bejeillo membutuhkan
bahan-bahan berupa kayu dan tali yang berasal dari pohon berusia puluhan sampai
ratusan tahun. Bahan-bahan ini hanya diperoleh di hutan. Ketika proses
pengambilan bahan-bahan ini selesai maka harus diadakanlah ritual Todi Kadawu
yang oleh masyarakat setempat dimaknai sebagai ritual ‘tutup hutan’. Ritual ini
menggambarkan bahwa telah selesainya proses pengambilan material bangunan
rumah adat.
3) Kearifan Lokal yang Berkaitan dengan Syair
Syair dapat diklasifikasikan sebagai salah jenis puisi lama yang berasal dari
arab. Sebagai puisi lama, syair terikat oleh aturan-aturan tertentu, yakni pola
barisnya terdiri atas empat baris, dengan jumlah kata 4-6. Jumlah suku kata dalam
satu baris adalah 8-12. Pada pertengahan baris ada semacam perhentian yang
seakan-akan membagi dua baris yang sama pembagiannya, yakni dua atau tiga
priodesitet dengan bandingan jumlah kata 2:3 atau 3:2. Syair tidak memiliki
sampiran. Keseluruhan barisnya mengandung isi, dengan persajakan akhirnya
berbunyi sama, yakni aa-aa (Nesi, 2018: 182). Sejalan dengan pandangan ini,
KEMENDIKBUD (2012: 4) juga menjelaskan bahwa syair merupakan jenis puisi
lama yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut, yakni (1) setiap baitnya terdiri
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
109
atas empat larik, (b) mempunyai rima yang sama setiap lariknya, yaitu /a/-/a/-/a/-
/a/, (c) semua larik merupakan isi, biasanya tidak selesai dalam satu bait karena
digunakan untuk menyampaikan suatu cerita, (d) isinya berupa cerita yang
mengandung unsur rekaan belaka, mitos, sejarah, agama dan falsafah. Dengan
memperhatikan ciri-ciri syair ini, dalam tradisi lisan upacara pada Padede Uma
Kalada ditemukan juga syair. Hal itu tampak pada data berikut.
Data 12. P1/ESK7
Tadapadoudou-padoudoumu
Tandalah tempat kalian masing-masing
Tandalah tempat kalian masing-masing
Manu tadakowe reddetamu , wawi dukkikuwi rabamu
Ayam tandalah tempatmu, babi tandalah tempat makanmu
Ayam, babi tandalah tempatmu
Karambo tadakowe okamu , dara tadako gollumu
Kerbau tandalah kandangmu, kuda tandalah kandangmu
Kerbau, kuda tandalah kandangmu
Pawasse padoumu, pamatto padoumu
Anak mantu tanda tempatmu, Ibu mertua tandalah tempatmu
Anak mantu, ibu mertua tandalah tempatmu
Konteks:
Tuturan lisan di atas merupakan bagian dari tradisi lisan pada tahap Saiso
menempati rumah besar. Masyarakat Kabizu Beijello memiliki tradisi melakukan
ritual Saiso setelah rumah besar selesai dibangun kembali. Upacara ini bertujuan
meminta warga rumah, binatang peliharaan, Marapu dan Tuhan sebagai Wujud
Tertinggi untuk menempati kembali rumah besar yang baru selesai di bangun
tersebut. Selain itu, dalam upacara itu secara tidak langsung Rato Marapu
meminta kepada seluruh anggota warga rumah dan warga Kabizu untuk
menunjukkan perilaku hidup sesuai dengan peran dan kedudukannya masing-
masing. Hal itu demi terciptanya keharmonisan bersama. Upacara ini hanya
diikuti oleh masyarakat Kabizu Beijello.
Data 12 di atas, apabila ditinjau dari disiplin karya sastra lama Indonesia
memenuhi syarat sebuah syair. Setiap baris dalam bait tersebut tidak memiliki
sampiran. Keseluruhan barisnya merupakan isi. Pada pertengahan baris terdapat
semacam perhentian yang seolah-olah membagi baris tersebut menjadi dua bagian
yang sama pembagiannya, yakni 2:2 dan 3:3. Selain itu, jumlah kata pada setiap
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
110
baris terdiri atas 4-6 kata dan memiliki pola persajakan akhir bunyi yang sama
(a/a/a/a) serta terdiri atas empat baris.
Syair di atas dinyanyikan oleh Ata Saiso dalam ritual Saiso. Dalam
nyanyian itu, Rato Marapu memberitahukan kepada seluruh anggota warga
Kabizu dan warga rumah baik itu Marapu, Yang Ilahi, orang tua, anak-anak,
maupun hewan-hewan peliharaan, agar menempati kembali rumah tersebut sesuai
dengan tempat mereka masing-masing. Dalam data syair di atas pemberitahuan itu
dieksplisitkan pada tuturan baris 1, yakni tadapadoudou-padoudoumu (tandalah
tempat kalian masing-masing).
Tuturan di atas sejatinya memberikan gambaran nyata bahwa masyarakat
Kabizu Beijello memiliki rumah berbentuk panggung yang terdiri atas tiga bagian,
yakni bagian paling bawah biasa disebut kabu katonga atau gollu dana (kandang),
bagian tengah biasa disebut uma atau bei uma (bagian inti rumah), dan yang
paling atas biasa disebut uma dana (loteng rumah). Kabu katonga atau gollu dana
(kandang) merupakan tempat memelihara hewan, seperti babi, kuda, kerbau, sapi,
kambing. Uma atau bei uma (bagian inti rumah) merupakan tempat aktivitas
sosial kehidupan manusia, seperti memasak, bekerja, tempat untuk
bermusyawarah adat, dan tempat tidur. Sementara itu, uma dana (loteng rumah)
diyakini sebagai tempat yang sangat sakral, yakni tempat para Marapu (arwah
leluhur dan arwah sanak keluarga yang telah meninggal), tempat penyimpanan
benda-benda keramat yang merupakan warisan leluhur dan tempat penyimpanan
bahan-bahan makanan, seperti padi, jagung, pinang, pisang yang diperam, kacang,
garam, bawang, dan bahan-bahan makanan lainnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
111
Filosofi rumah masyarakat Kabizu Beijello, rumah bukan sekedar tempat
bernaung dari hujan dan panas tetapi rumah merupakan mikrokosmos dari
dunia yang makro kosmos. Oleh karena itu rumah masyarakat Kabizu Beijello
dibagi menjadi tiga bagian: yaitu bagian paling bawah kabu katonga atau gollu
dana (kandang), bagian tengah uma atau bei uma (bagian inti rumah), dan yang
paling atas biasa disebut uma dana atau toko uma (loteng rumah). Bagian yang
paling atas itu dimaknai sebagai simbol alam oleh masyarakat Kabizu Beijello.
Selanjutnya, pada baris 2 dan 3 data 12 terdapat tuturan manu tadakowe
reddetamu, wawi dukkikuwi rabamu (ayam, babi tandalah tempatmu). Karambo
tadakowe okamu, dara tadako gollumu (Kerbau, kuda tandalah kandangmu).
Kedua tuturan ini memberikan gambaran bahwa pada rumah adat masyarakat
Kabizu Beijello terdapat tempat-tempat khusus untuk hewan seperti ayam, babi,
kuda dan kerbau. Hal itu ditunjukkkan pada kata reddeta, raba, oka, dan dara.
Reddeta merupakan tempat bertenggernya ayam yang biasanya berada di bagian
rumah paling belakang di atas kandang kerbau. Raba merupakan tempat makan
babi. Babi biasanya dilepas di kandang bagian dapur (kerepadalu). Oka adalah
tempat kerbau diikat atau dilepas berupa kandang yang luas yang terletak di
bagian belakang rumah utama. Sementara itu, gollu secara umum artinya
kandang, namun dalam hal ini merupakan tempat kuda diikat, yakni di bagian
bawah pintu utama.
Tuturan pada baris 2 dan 3 data 12 di atas, sesungguhnya tidak hanya
bertujuan untuk meminta hewan-hewan tersebut untuk menempati tempat mereka
masing-masing. Akan tetapi, pada tuturan-tuturan itu mengandung gagasan lokal,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
112
yakni agar setiap anggota Kabizu mengetahui asalnya, siapa nenek moyangnya,
dimana rumahnya dan bagaimana jati diri serta identitas diri nenek moyang yang
harus dijadikan sebagai contoh, pedoman dan pegangan hidup dalam membina
kehidupan bersama yang harmonis.
Sementara itu, pada baris 4 data 12 di atas terdapat tuturan pawasse
padoumu, pamatto padoumu. Pada tuturan ini Rato Marapu meminta menantu dan
mertuanya untuk menempati tempat mereka masing-masing. Tuturan ini
memberikan gambaran nyata bahwa pada rumah masyarakat Sumba terdapat
tempat khusus untuk menantu dan mertua. Tempat itu dipisahkan oleh rabuka
(tempat masak). Tempat khusus untuk mertua disebut padou erri (tempat
keramat), yakni tempat sebelah rabuka.
Wilayah padou erri berkisar dari tiang agung sampai pada kamar orang tua
yang biasa disebut koro erri (kamar keramat). Dalam tradisi masyarakat Kabizu
Beijello, menantu tidak boleh melakukan aktivitas apapun di padou erri. Apalagi
di koro erri anak mantu sangat dilarang untuk melakukan aktivitas atau memasuki
kamar tersebut. Masyarakat Kabisu Beijello meyakini bahwa padou erri
merupakan wilayah leluhur. Sementara itu, koro erri diyakini sebagai tempat
leluhur dan benda-benda keramat yang merupakan warisan leluhur. Benda-benda
keramat tersebut hanya bisa disentuh oleh mertua dan anak laki-lakinya yang
ditunjuk oleh Marapu. Apabila seseorang yang tidak dipercaya oleh Marapu
menyentuh benda-benda tersebut, maka akan terjadi peristiwa-peristiwa aneh yang
diluar nalar manusia, seperti badan orang tersebut bengkak dengan sendirinya,
mata menjadi buta, dan orang itu akan berputar-putar di dalam kamar itu secara
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
113
tidak sadar. Bertolak dari keyakinan itu padou erri dan koro erri dipandang
sebagai tempat keramat. Oleh karena itu, menantu dilarang beraktivitas atau
memasuki koro erri dan padou erri.
4) Kearifan Lokal yang Berkaitan dengan Petuah
Petuah merupakan nasihat-nasihat, ajaran dan wejangan yang bersifat arif
dan bijaksana dari orang-orang tua dan orang-orang alim atau bijak yang dapat
dijadikan sebagai pegangan, petunjuk dan pedoman dalam kehidupan bersama.
Sejalan dengan ini, Nesi (2018: 182) mengungkapkan bahwa petuah bersinonim
dengan wejangan, yakni sejenis pidato yang berisi petunjuk-petunjuk dan dasar-
dasar kesusilaan dan moral sebagai acuan dalam bersikap dan bertindak.
Masyarakat Kabizu Beijello dalam kehidupan sosial selalu menggunakan petuah
untuk memberikan nasihat, wejangan, himbauan, dan amanat kepada anak-anak
atau anggota keluarga Kabizu. Petuah selalu dikemas dalam bentuk kiasan untuk
memperhalus tuturan. Selain itu, tuturan tersebut menjadi sarat nilai, makna, dan
bernas. Pengungkapan dengan bahasa kiasan diyakini memiliki ‘roh’ atau daya
yang menggugah rasa pendengar.
Berdasarkan hasil identifikasi data, tradisi lisan dalam upacara Padede Uma
Kalada ditemukan tiga bentuk petuah atau wejangan, yakni petuah untuk
memelihara persatuan, petuah untuk menghaturkan terima kasih atau syukur, dan
petuah untuk bekerja keras. Petuah-petuah tersebut dapat dideskripsikan sebagai
berikut.
Data 13. F3/ES4
Kada’ikana a lera eka bei, a kedu eka ana
Agar tidak ada yang terbang lain ibu, yang lari lain anak
Agar kita selalu membina semangat persatuan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
114
Katta pasamana ate, katta pamerana wiwi.
Agar kita menyamakan hati, agar kita memerahkan bibir
Agar kita selalu satu hati, satu suara.
Konteks:
Tuturan lisan di atas merupakan bagian dari tradisi lisan pada tahap musyawarah
satu keluarga besar Kabizu Beijello di rumah besar (rumah adat). Tuturan lisan
tersebut dituturkan oleh tetua adat yang menjaga rumah besar. Tetua adat itu
merupakan pemimpin klan Beijello. Musyawarah yang diadakan di rumah besar
ini merupakan musyawarah terakhir sebagai penentu keputusan dan sekaligus
pembagian tugas pembangunan rumah besar. Musyawarah ini diikuti oleh tetua
adat rumah besar, tetua-tetua adat rumah kecil dan anggota-anggota Kabizu
Beijello yang mempunyai pemikiran yang luas, cakap, berani dan berjiwa
kepemimpinan. Dalam musyawarah itu, tetua adat menghimbau agar seluruh
anggota keluarga selalu bersatu, sehati, sesuara demi suksesnya pembangunan
rumah besar.
Petuah kada’ikana a lera eka bei, a kedu eka ana pada data 13 di atas secara
harafiah memiliki arti ‘jangan ada yang terbang ke lain ibu, jangan ada yang lari
ke lain anak’. Berdasarkan konteks tuturan, kata Ibu merujuk pada pemimpin klan
dan kata anak merujuk pada anggota masyarakat Kabizu Beijello. Tuturan ini
merupakan himbauan kepada warga masyarakat Kabizu Beijello agar tidak
membelot kepada pemimpin klan yang lain. Begitu pula halnya pemimpin klan
Kabizu Beijello agar tidak membelot kepada warga Kabizu lain. Pesan yang
hendak disampaikan dalam petuah ini adalah agar masyarakat Kabizu Beijello
tidak tercerai berai, melainkan selalu bersatu demi terwujudnya kesuksesan
pembangunan rumah besar.
Petuah kedua, yakni katta pasamana ate, katta pamerana wiwi pada data
tradisi lisan 13 di atas secara harafiah memiliki arti agar kita menyamakan hati,
agar kita memerahkan bibir. Dalam konteks tuturan ini, masyarakat Kabizu
Beijello memiliki pemahaman bahwa menyamakan hati bukan berarti memiliki
hati yang sama melainkan suatu wejangan untuk selalu sehati (agar kita
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
115
menyamakan hati). Sementara itu, tuturan memerahkan bibir bukan berarti
membuat bibir menjadi merah melainkan satu suara. Secara keseluruhan, kedua
petuah di atas memberikan wejangan agar seluruh anggota keluarga Kabizu
Beijello bersatu hati, bersatu suara, seia-sekata dalam mendukung dan
melaksanakan kesepakatan dalam musyawarah tersebut demi suksesnya
pembangunan rumah besar.
Masyarakat Kabizu Beijello dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari
senantiasa berusaha untuk bekerja keras sehingga membuahkan hasil yang
memuaskan. Oleh karena itu, setiap orangtua selalu menasehati anaknya untuk
bekerja keras. Nasehat itu tampak pada data berikut.
Data 14. Q1/ESK8
Banna batuku ruta , banna dariku tana
apabila dia mencabut rumput, apabila dia menggaruk tanah
Apabila dia bekerja keras agar membuahkan hasil
Banna pennikowa manu, kamanuamapennikia
Apabila dia memelihara ayam, agar dapat berkembang biak menjadi banyak
Apabila dia memelihara ayam, agar dapat berkembang biak menjadi banyak
Banna tauku wawi, kawawiamataukia
Apabila dia memelihara babi, agar dapat berkembangbiak dengan baik
Apabila dia memelihara babi, agar dapat berkembangbiak dengan baik
Kanna dadige padadi , kanna timbuge patimbu
Agar tumbuh yang tumbuh, agar hidup yang hidup
Agar bertumbuh dan berkembangbiak dengan baik semua hasil usaha dan
kerja keras
Konteks:
Tuturan lisan di atas merupakan bagian dari tradisi lisan pada pada tahap Saiso
perjanjian dengan Marapu. Masyarakat Kabizu Beijello memiliki tradisi
memohon berkat, rahmat, dan perlindungan kepada Marapu. Dalam upacara
permohonan berkat ini, masyarakat Kabizu Beijello juga membuat perjanjian
dengan Marapu bahwa apabila sesuatu yang dimohonkan itu berhasil, maka akan
dibuatkan acara syukuran. Apabila perjanjian ini tidak ditepati diyakini bahwa
akan mendatangkan malapetaka. Perjanjian adat ini dilakukan melalui ritual
Urrata dan Saiso. Selain itu, dalam upacara ini terdapat wejangan agar
masyarakat Kabizu Beijello selalu bekerja keras. Upacara Saiso ini diikuti oleh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
116
tetua adat rumah besar, tetua adat rumah kecil dan utusan dari masing-masing
anggota rumah kecil.
Tuturan-tuturan lisan pada data 14 di atas merupakan doa kepada Marapu
untuk memohon berkat atas setiap usaha yang dilakukan oleh masyarakat Kabizu
Beijello. Meskipun ini merupakan bentuk doa kepada Marapu, tetapi juga
merupakan wejangan kepada warga Kabizu Beijello untuk harus bekerja keras
dalam berkebun, memelihara ayam, dan memelihara babi ‘batuku ruta, dariku
tana, tauku wawi, pennikowa manu’. Bagi masyarakat Kabizu Beijello, doa yang
tidak diikuti dengan kerja keras merupakan hal yang mustahil. Dengan demikian,
tuturan-tuturan di atas hendak memberikan wejangan untuk senantiasa bekerja
keras sesuai dengan profesi yang digeluti masing-masing anggota Kabizu Beijello.
Pekerjaan-pekerjaan yang ditekuni dengan penuh kerja keras akan memperoleh
hasil yang memuaskan. Hal ini tergambar dalam tuturan kanna dadige padadi,
kanna timbuge patimbu yang berarti agar tumbuh dan berkembang biak dengan
baik hasil usaha dan kerja keras. Hasil yang diperoleh itu kemudian dapat menjadi
bahan persembahan pada saat menepati perjanjian dengan Marapu, yakni pada
saat upacara syukuran menempati rumah besar.
Pemberian persembahan kepada Marapu merupakan salah satu bentuk
ucapan terima kasih dan syukur atas usaha dan kerja keras. Perilaku ini menjadi
wujud pelaksanaan wejangan untuk menghaturkan ucapan terima kasih atau
syukur yang tergambar dalam data berikut.
Data 15. M1/ES11
Pamalangiwa inna, paosawa ama
Terimakasih kepada ibu, syukur kepada bapak
Terimakasih dan syukur kepada rumah besar dan leluhur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
117
Konteks:
Tuturan di atas merupakan bagian dari tradisi lisan dalam upacara Woleka pada
tahap pembongkaran rumah lama. Tuturan di atas dinyanyikan oleh Ata Saiso
dengan diiringi gong dan tambur. Upacara Woleka dimaknai sebagai upacara
pengucapan syukur dan terimakasih kepada nenek moyang dan rumah besar yang
telah melindungi, memayungi, mempersatukan dan memberikan kenyamanan
serta kedamaian. Upacara ini dilaksanakan dengan penuh sukacita dan
kegembiraan.
Tuturan pamalangiwa inna, paosawa ama (terimakasih kepada Ibu, syukur
kepada Bapak) pada data 15 di atas mengandung petuah yang selalu digunakan
oleh orangtua ketika memberikan wejangan kepada anak-anak. Adapun petuah itu,
pamalangikia Inamu, paosakiwa Amamu yang memiliki makna jangan lupa
mengucapkan terimakasih dan syukur kepada Ina (ibu) dan Ama (Bapak) serta
kepada setiap orang yang telah memberikan pertolongan dan bantuan.
Berdasarkan konteks data, masyarakat Kabizu Beijello terlebih dahulu harus
melakukan upacara woleka (syukur) sebelum membongkar rumah lama yang
kemudian akan dibangun kembali. Masyarakat Kabizu Beijello memaknai upacara
woleka sebagai upacara pengucapan syukur dan terimakasih kepada ‘Ibu’ dan
‘Bapak’ yang merujuk pada nenek moyang dan roh-roh yang mendiami rumah
besar dan rumah yang akan dibongkar. Dalam kaitan dengan petuah di atas,
hendak mengiaskan nasihat atau wejangan yakni jangan lupa untuk mengucap
terimakasih dan syukur kepada nenek moyang dan rumah yang diyakini telah
melindungi, menolong dan menganugerahkan berkat kepada anggota keluarga
yang mendiami rumah besar dan seluruh keluarga besar Kabizu Beijello.
5) Kearifan Lokal yang Berkaitan dengan Mantra
Mantra adalah salah satu jenis puisi lama yang merupakan perwujudan dari
sistem religi dan kepercayaan yang dianut oleh suatu masyarakat yang di
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
118
dalamnya berupa doa-doa atau ucapan-ucapan yang memiliki kekuatan gaib
dengan maksud dan tujuan tertentu. Dalam hal ini, dapat berupa maksud yang
baik dan maksud buruk. Maksud baik, misalnya dapat memperoleh keselamatan,
kesembuhan dari penyakit, keberhasilan dan kesuksesan dalam pekerjaan.
Sementara itu, maksud buruk, misalnya menyakiti atau mencelakai orang lain dan
balas dendam. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Hamidin (2016) bahwa
mantra merupakan puisi tua, keberadaannya dalam masyarakat melayu pada
mulanya bukan sebagai karya sastra, melainkan lebih banyak berkaitan dengan
adat dan kepercayaan. Mantra adalah ucapan-ucapan yang dianggap memiliki
kekuatan gaib.
Mantra dalam konteks penelitian ini adalah doa-doa dan ucapan-upacan
yang dituturkan oleh Ata Urrata atau Rato Marapu yang ditujukan kepada roh-roh
yang mendiami hutan dengan maksud untuk memohon izin. Hal itu dilukiskan
dalam data tradisi lisan Teda pada ritual urrata pada tahap penebangan pohon dan
pemotongan tali di hutan sebagai berikut.
Data 16. J1/ES9
Ka dara pa kaloga ma , ka tena pa magawa ma
Agar seperti kuda yang bebas kami , agar seperti sampan yang leluasa kami
Agar kami seperti kuda yang bebas, agar kami seperti sampan yang leluasa
Agar kami diberi kebebasan dan keleluasaan
Dappalaka kama karingge, dappa lodakama kalerre
Janganlah palang kayu, janganlah menarik tali
Janganlah menghalangi kami
Newe mandoke toramu a erri ,
Di sini, peganglah bagianmu yang pemali,
mandokiwe tunggamu a poddu genggamlah milikmu yang sakral
Awasilah tempat yang pemali dan sakral agar orang leluasa bergerak
Newe bamma kalolakowa wawi,
Di sini jika kami berburu babi,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
119
kamma kolekina wawi apa ulle agar kami mendapatkan babi yang bertaring
Sehingga, pada saat kami menebang pohon, kami mendapat pohon yang
berkualitas dan berteras
Bamma gesakowa kedu, kamma kolekina kedu apa dari
Jika kami mengejar kera, agar kami mendapatkan kera yang berjenggot
Sehingga pada saat kami memotong tali kami mendapatkan tali yang kuat
Kada’ikana windararawiti, tunduraradeida
Agar tidak ada jari terhalang, kaki terantuk
Agar tidak ada halangan dan rintangan
Konteks:
Tuturan lisan di atas merupakan bagian dari tradisi lisan dalam ritual Urrata pada
tahap penebangan pohon dan pemotongan tali di hutan. Data tradisi lisan ini
merupakan doa yang mengandung makna permohonan izin kepada roh-roh yang
diyakini sebagai pemilik hutan, padang, kali dan tanah. Dalam ritual ini,
masyarakat Kabizu Beijello memberikan sesajen berupa satu anak ayam, satu butir
telur, kapas, tembakau, sirih, pinang dan serpihan emas atau perak. Perkenanan
dan persetujuan roh-roh yang mendiami hutan tersebut dapat diramalkan atau
dilihat oleh Ata Urrata (imam Marapu) melalui usus ayam, hati ayam dan hati
babi.
Mantra pada data 16 di atas mengandung pesan kebijaksanaan, yakni
menjaga keseimbangan dan keharmonisan dengan roh-roh gaib akan menghantar
manusia pada keselamatan, keberhasilan dan keberkatan dalam hidup. Cara untuk
menjaga harmonisasi dengan roh-roh gaib adalah menunjukkan perilaku hidup
yang sesuai dengan yang dikehendaki roh-roh gaib.
Masyarakat Sumba khususnya masyarakat Kabizu Beijello menganut
kepercayaan animisne. Soeriadiredja (2016:10) mengungkapkan bahwa
masyarakat Sumba percaya akan adanya suatu kekuatan sakti dalam alam yang
dapat menyusahkan hidup manusia, tetapi dapat digunakan bila dikendalikan
dengan ilmu gaib. Misalnya dengan cara mempelajari mantra-mantra. Mantra di
atas dituturkan oleh Ata Urrata dengan tujuan untuk memohon izin kepada roh-
roh yang berdiam di hutan tertentu. Mereka percaya bahwa hutan tersebut
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
120
mempunyai pemiliknya sehingga segala aktivitas seperti menebang pohon,
memotong tali dan kayu, serta melukai tanah perlu mendapatkan izin dari yang
empunya. Untuk memperoleh izin tersebut masyarakat Kabizu Beijello
melaksanakan ritual Urrata.
Ata urrata dalam ritual urrata akan mengucapkan mantra dengan
menggunakan bahasa yang estetis dan penuh dengan kiasan. Tujuannya adalah
untuk menjaga kesopansantunan dalam berkomunikasi dengan roh gaib sehingga
permohonan izin dapat berkenan di hati roh gaib. Seiring dengan itu pula,
masyarakat akan diperkenankan untuk memasuki hutan dan diberi kewenangan
untuk memotong tali dan kayu. Hal itu ditunjukkan pada metafora ka dara
pakalogama, ka tena pamagawama. Secara cermat, tuturan ini berarti ‘agar kami
seperti kuda yang bebas, agar kami seperti sampan yang leluasa’. Masyarakat
Kabizu Beijello memiliki pemahaman bahwa kuda apabila diikat, maka kuda itu
tidak akan bebas mencari dan memakan rumput. Sama halnya, apabila sampan
diikat, maka sampan tersebut tidak akan leluasa mengarungi lautan. Makna yang
terkandung dalam tuturan ini adalah masyarakat Kabizu Beijello memohon izin
agar diberi keleluasaan dan kebebasan untuk mencari dan menebang serta
memotong kayu dan tali.
Tuturan dappalaka kama karingge, dappa lodakama kalerre (janganlah
palang kayu, janganlah menarik tali) pada mantra di atas merupakan salah satu
bentuk metafora yang berhubungan dengan pemahaman masyarakat Kabizu
Beijello bahwa pada zaman dahulu kampung hanya memiliki satu pintu dan selalu
dikelilingi oleh pagar batu. Pintu ini selalu ditutup dengan menggunakan kayu. Di
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
121
bagian luar pintu masuk kampung terdapat pula tugu yang diyakini sebagai
lambang kehadiran Marapu Binna, yakni Marapu yang menjaga pintu kampung
dari luar. Selain itu, masyarakat Kabizu Beijello memiliki kebiasaan melakukan
ritual karaki wanno, yakni ritual melindungi atau menjaga kampung dari berbagai
bahaya dari luar. Apabila ada orang jahat yang hendak memasuki kampung, orang
jahat itu tidak akan melihat kampung tersebut, tetapi yang dilihat adalah gunung,
hutan atau lautan. Atas dasar pemahaman itu, masyarakat Kabizu Beijello dalam
ritual permohonan izin di hutan menggunakan metafora ‘Janganlah palang kayu,
janganlah menarik tali’ yang memiliki makna bukakanlah kami pintu, janganlah
menghalangi kami, berilah kami izin untuk mencari, menebang kayu dan
memotong tali.
Ritual permohonan izin dimaknai oleh masyarakat Kabizu Beijello sebagai
wujud menjaga keharmonisan dengan roh gaib. Masyarakat Kabizu Beijello
meyakini bahwa apabila ritual ini tidak dilakukan, maka akan ada malapetaka
yang terjadi dan tidak akan mendapat kayu serta tali. Dengan demikian, rencana
pengambilan material di hutan untuk bangunan rumah adat tidak akan berhasil.
Namun, jika ritual tersebut dilakukan maka masyarakat Kabizu Beijello akan
memperoleh keberhasilan dan kesuksesan dalam proses penebangan pohon dan
pemotongan tali. Hal ini ditunjukkan pada 2 metafora pada data 16 di atas, yakni
(1) newe bamma kalolakowa wawi, kamma kolekina wawi apa ulle. (2) Bamma
gesakowa kedu kamma kolekina kedu apa dari. Kedua tuturan metaforis ini
mengandung makna memohon kepada Marapu agar diberi kemudahan dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
122
seluruh proses penebangan, pengumpulan dan pengambilan material bangunan
sehingga proses tersebut dapat berjalan lancar.
Roh gaib dalam konteks data ini merupakan makhluk halus yang menjadi
penghuni hutan, batu-batu besar dan gua-gua. Roh-roh gaib itu ada yang baik dan
ada pula yang jahat. Salah satu contoh roh jahat itu adalah Marapu Tana yang
selalu mengganggu manusia sehingga sangat ditakuti. Oleh karena itu, masyarakat
Kabizu Beijello juga memohon bantuan kepada roh yang baik untuk menghalau
roh jahat sehingga proses penebangan pohon dapat berhasil. Hal itu seperti yang
dilukiskan pada data 16 di atas, yakni pada tuturan newe mandoke toramu a erri,
mandokiwe tunggamu a poddu (di sini, peganglah bagianmu yang pemali,
genggamlah milikmu yang sakral). Kada’ikana windararawiti, tunduraradeida
(Agar tidak ada jari terhalang, kaki terantuk). Tuturan ini mengandung makna
bahwa masyarakat Kabizu meminta perlindungan dari roh yang baik agar
dibebaskan dari tempat-tempat keramat yang dihuni oleh roh yang jahat.
6) Kearifan Lokal yang Berkaitan dengan Ideologi
Ideologi berasal dari kata idea yang berarti ide dan logos yang berarti
pengetahuan. Secara etimologis ideologi berarti pengetahuan tentang ide. Ideologi
berkaitan dengan sistem budaya tertentu yang terbentuk oleh elemen-elemen
budaya seperti agama atau sistem kepercayaan, pandangan hidup, tradisi atau
adat-istiadat, sistem sosial-ekonomi dan lingkungan alam geografis (Hidayat,
2007:34).
Berdasarkan pandangan di atas, ideologi dalam konteks penelitian ini adalah
seperangkat ide dan keyakinan yang dianut oleh masyarakat Kabizu Beijello yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
123
dijadikan sebagai pijakan, pegangan dan pedoman dalam bertindak, menegakkan
norma, moral, nilai dan adat istiadat. Konsep ideologi dalam penelitian ini hadir
dalam bentuk tradisi lisan sebagaimana tampak pada data tradisi lisan sebagai
berikut.
Data 17. F2/EK1
Peidawe newe akarewe ebana, a karawu logena
Kita mengapakan ini yang lapuk pinggangnya, yang berantakan rambutnya
Kita mengapakan badan rumah nenek moyang kita yang sudah lapuk kayunya
dan rusak atapnya?
Newe ina, newe ama
Ini ibu, ini bapak
Ini rumah nenek moyang kita
Konteks:
Tuturan lisan di atas merupakan bagian dari tradisi lisan pada tahap musyawarah
satu keluarga besar Kabizu Beijello di rumah besar (rumah adat). Tuturan lisan
tersebut dituturkan oleh tetua adat yang menjaga rumah besar. Tetua adat itu
merupakan pemimpin klan Beijello. Musyawarah yang diadakan di rumah besar
ini merupakan musyawarah terakhir sebagai penentu keputusan dan sekaligus
pembagian tugas pembangunan rumah besar. Musyawarah ini diikuti oleh tetua
adat rumah besar, tetua-tetua adat rumah kecil dan anggota-anggota Kabizu
Beijello yang mempunyai pemikiran yang luas, cakap, berani dan berjiwa
kepemimpinan. Dalam musyawarah itu, tetua adat menghimbau agar seluruh
anggota keluarga selalu bersatu, sehati, sesuara demi suksesnya pembangunan
rumah besar.
Masyarakat Kabizu Beijello memandang Marapu sebagai landasan
berpikir, pegangan dan pedoman hidup dalam bertutur kata dan bertingkah laku.
Marapu mempunyai tata nilai mendasar dan aturan-aturan yang dijadikan sebagai
pedoman dalam berperilaku. Aturan-aturan itu bersifat mengikat sehingga tidak
boleh dilanggar. Pelanggaran diyakini sebagai petaka. Tata nilai dan aturan-aturan
dalam kepercayaan Marapu itu seluruhnya diarahkan kepada kebaikan hidup
manusia. Apabila manusia menunjukkan sikap taat dan patuh pada aturan-aturan
itu, tentu manusa akan mendapatkan berkat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
124
Marapu sebagai pedoman dan pegangan hidup masyarakat Kabizu Beijello
dinyatakan dalam wujud benda simbolik, yakni rumah adat. Ideologi yang
mendasari gagasan itu adalah masyarakat Kabizu Beijello memandang dan
memahami rumah besar atau rumah adat sebagai lambang kehadiran Marapu.
Rumah besar dipandang bukan sebagai bangunan yang mati melainkan bangunan
yang hidup karena di dalamnya berdiam atau menjadi tempat tinggal roh-roh
nenek moyang yang disebut Marapu. Kesadaran bahwa rumah besar merupakan
lambang kehadiran Marapu, maka rumah besar selalu dimetaforakan sebagai
Marapu, yang pada data 17 di atas badan rumah dimetaforan sebagai pinggang
Marapu (ebana) dan atap rumah dilambangkan sebagai rambut Marapu (logena).
Rumah besar sungguh-sungguh merupakan lambang kehadiran Marapu.
Bukti dari itu, masyarakat Kabizu Beijello dalam tuturan-tuturan adat selalu
menyebut rumah besar sebagai ‘Ibu’ dan ‘Bapak’. Hal itu tampak pada data 17 di
atas, yakni newe Ina, newe Ama (Ini Ibu, ini Bapak). Tuturan ini membuktikan
bahwa rumah besar adalah Marapu yang diyakini sebagai sumber keselamatan,
keberkatan hidup dan sekaligus sebagai penghubung antara manusia dengan Yang
Ilahi. Kehilangan rumah besar sama dengan kehilangan Marapu, kehilangan
pedoman dan pegangan hidup, nilai-nilai, sejarah Kabizu, hukum adat, jati diri
serta identitas diri Kabizu. Oleh karena itu, apabila rumah besar mengalami
pelapukan atau kerusakan maka harus segera dibangun ulang. Hal itu yang
dibicarakan dalam konteks data 17 di atas, yakni tetua adat yang memimpin
musyawarah mengatakan “Kita mengapakan badan rumah nenek moyang kita
yang sudah lapuk kayunya dan rusak atapnya? Saya berpikir agar segera
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
125
dibongkar dan dibangun ulang ”. Dalam wawancara dengan informan terkait
dengan ideologi yang melandasi gagasan pada tuturan di atas diberi kesaksian
sebagai berikut.
Rumah besar itu dipandang sebagai Marapu, sebagai lambang kehadiran
Marapu. Rumah adat itu, bentuknya memang rumah tapi karena di sana
tempat tinggal roh-roh nenek moyang (Marapu), maka rumah adat
dipandang sebagai nenek moyang. Dipandang sebagai ina, ama (Ibu,
Bapak). Rumah adat itu dipandang sebagai nenek moyang yang tinggal di
sana. Nenek moyang yang merupakan kunci kehidupan masyarakat
Kabizu. Kehilangan rumah adat, sama halnya dengan kehilangan Marapu,
kehilangan pedoman hidup dan jati diri Kabizu. Dengan tidak adanya
Uma Kalada, Kabizu itu menjadi tidak nampak dalam masyarakat.
Menjadi Kabizu yang tidak diperhitungkan atau yang kehilangan arah
hidup dan harga dirinya (W/KKLMB/8).
Lambang kehadiran Marapu tidak hanya dalam bentuk rumah besar tetapi
juga dalam wujud gong dan tambur. Dalam konteks penelitian ini wujud
kehadiran Marapu dalam rupa gong dan tambur dilukiskan dalam data tradisi
lisan Teda berikut.
Data 18. N1/EK2
Waikobatallawi indatallaki Walaupun kelihatannya ini gong tapi bukan gong
Walaupun kelihatannya ini gong tapi bukan gong
waikobabeduwi indabeduki
walaupun kelihatannya ini tambur tapi bukan tambur
Walaupun kelihatannya ini tambur tapi bukan tambur
Li’ikawulagundi , li’ikaaulagundi
Mereka adalah suara yang memanggil Mereka adalah suara yang
mengundang
Tapi ini adalah suara yang memanggil dan mengundang seluruh keluarga
besar untuk menyatakan dukungan dan solidaritas
Konteks:
Data ini merupakan bagian dari data tradisi lisan pada tahap Saiso sebelum
pendirian tiang. Data tradisi lisan itu merupakan doa yang dituturkan oleh Ata
Saiso. Dalam doa itu, Ata Saiso memohon kepada Marapu agar dianugerahi
perlindungan, keselamatan, dan berkat sehingga proses pembangunan tiang dapat
berjalan lancar dan sukses. Selain sebagai doa, bunyi gong dan tambur dimaknai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
126
sebagai suara nenek moyang yang mengundang anggota Kabizu untuk
menyatakan dukungan dan solidaritas.
Ideologi yang mendasari tuturan lisan pada data 18 di atas adalah
masyarakat Kabizu Beijello meyakini bahwa gong dan tambur bukan hanya
sekedar sebagai alat musik. Akan tetapi, gong dan tambur merupakan lambang
kehadiran nenek moyang yang memanggil dan mengundang setiap anggota
Kabizu untuk menyatakan kebersamaan dalam suatu peristiwa yang dialami.
Tuturan lisan pada data 18 di atas dituturkan pada ritual Saiso sebelum
pendirian tiang utama. Tuturan tersebut merupakan doa kepada Marapu.
Meskipun tuturan itu dituturkan dalam konteks doa tetapi diyakini bahwa gong
dan tambur dalam tuturan itu merupakan nenek moyang yang mengundang
seluruh anggota Kabizu Beijelo untuk terlibat aktif pada saat mendirikan tiang
utama. Bentuk keterlibatan itu dapat berupa tenaga dan sumbangan-sumbangan
lainnya yang dapat memperlancar proses pendirian tiang utama. Hal itu
diungkapkan informan yang diwawancarai yang mengatakan bahwa gong dan
tambur bukan hanya pengiring ritual adat Saiso melainkan suara nenek moyang
yang mengundang untuk menyatakan persatuan dan dukungan. Rumah besar ini
merupakan rumah Kabizu. Pada saat membangunnya membutuhkan tenaga yang
banyak dan biaya yang besar. Sehingga, bunyi gong dan tambur dalam tuturan ini
menggambarkan nenek moyang yang meminta pertolongan dan bantuan kepada
anggota Kabizu (W/KKLMB/9).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
127
4.2.2 Nilai-nilai Kearifan Lokal yang Terkandung dalam Tradisi Lisan
Teda dalam Upacara Padede Uma Kalada
Nilai merupakan suatu keyakinan manusia yang dianggap penting mengenai
apa yang pantas dan tidak pantas dilakukan (Yunus, 2014:18). Senada dengan hal
ini Aslan (2017:13) mengemukakan bahwa nilai adalah sesuatu yang berharga
sehingga menjadi patokan dalam kehidupan. Nilai memberi makna dalam hidup
sehingga memberi corak dalam perilaku manusia. Sementara itu, kearifan lokal
adalah budaya masyarakat yang telah diciptakan oleh nenek moyang dan menjadi
warisan bagi anak cucunya serta sebagai alat kontrol tingkah laku dalam
kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa nilai kearifan
lokal merupakan suatu keyakinan atau sesuatu yang berharga yang diwariskan
oleh leluhur yang dapat dijadikan sebagai alat kontrol dalam berperilaku dan
bertindak.
Berdasarkan hasil identifikasi data ditemukan nilai-nilai luhur warisan
nenek moyang masyarakat Kabizu Beijello. Nilai-nilai tersebut digunakan sebagai
tata kelakuan atau alat kontrol yang mengatur tata tertib kehidupan masyarakat
Kabizu Beijello baik dengan sesama, leluhur, roh gaib maupun Sang Ilahi. Nilai-
nilai itu, yakni nilai ketaatan, solidaritas, persatuan, penghormatan, kerja keras,
syukur, rekonsiliasi dan nilai religius. Masing-masing nilai ini dipaparkan lebih
lanjut sebagai berikut.
4.2.2.1 Nilai Ketaatan
Ketaatan memiliki makna senantiasa tunduk, patuh, setia dan tidak berlaku
curang kepada pemerintah, kepada Tuhan dan sebagainya (Sukmayadi,2018:24).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
128
Masyarakat Kabizu Beijello merupakan masyarakat yang lahir dalam dinamika
spiritual Marapu. Marapu merupakan pedoman, landasan, dan kunci kehidupan
masyarakat Kabizu Beijello. Kesadaran akan hal itu, masyarakat Kabizu Beijello
selalu menaruh sikap taat dan patuh kepada Marapu. Hal ini tergambarkan pada
data tradisi lisan dalam upacara Padede Uma Kalada sebagai berikut.
Data 19. G1/ES5
Nebahinna, nennati mama ole
Saat ini, ini sirih pinang kawan
Terimalah sirih pinang ini.
Mandungo katanga, kettera kaleba
Pegang kuat kendali, eratkan ikat pinggang
Peganglah kuat-kuat keputusan dan janji yang telah disepakati bersama.
Tana dadikki , watu dangero
Tanah yang tidak berpindah, batu yang tidak bergeser
Keputusan dan janji yang tidak akan berubah.
Konteks: Tuturan lisan di atas merupakan bagian dari data tradisi lisan pada saat pembagian
sirih pinang pada tahap pertemuan satu keluarga besar Kabizu Beijello di rumah
besar. Tuturan lisan di atas dituturkan oleh pemimpin klan atau orang yang
dipercayakan pemimpin musyawarah pada tahap musyawarah adat satu keluarga
besar Kabizu Beijello di rumah besar. Dalam data di atas memperlihatkan ada
peristiwa pembagian sirih pinang setelah pengambilan ikrar atau sumpah. Sirih
pinang diyakini sebagai simbol kehadiran Marapu (arwah-arwah leluhur) yang
mengikat seluruh keputusan yang telah disepakati. Oleh karena itu, keputusan itu
tidak boleh dilanggar. Jika dilanggar maka konsekuensinya adalah petaka.
Sebagaimana telah dikemukakan pada subbab kearifan lokal berwujud
nyata, pamama (sirih dan pinang) dalam konteks data ini merupakan meterai yang
mengikat ikrar atau sumpah yang diambil oleh anggota masyarakat Kabizu
Beijello yang terlibat dalam musyawarah pembangunan rumah besar. Masyarakat
Kabizu Beijello meyakini bahwa penggunaan sirih dan pinang pada saat
mengangkat ikrar atau sumpah merupakan lambang kehadiran nenek moyang
yang menyaksikan dan mengikat ikrar atau sumpah adat tersebut. Oleh karena itu,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
129
ikrar dan sumpah adat tersebut harus ditaati dan dijalankan dengan penuh
kesetiaan, kejujuran, dan tanggung jawab. Hal tersebut terlukiskan pada metafora
mandungo katanga, kettera kaleba (peganglah kuat-kuat keputusan dan janji yang
telah disepakati bersama). Setiap orang yang telah menerima sirih pinang berarti
menyatakan kesiapsediaan untuk menggenggam erat keputusan bersama. Apabila
ikrar atau sumpah ini dilanggar maka si pelanggar akan mendapatkan risiko adat
berupa malapetaka sebab janji atau ikrar yang telah dimeteraikan melalui
peristiwa pembagian sirih dan pinang itu bersifat sah, kukuh dan mengikat. Hal itu
dilukiskan pada metafora tana dadikki, watu dangero (keputusan dan janji yang
tidak akan berubah).
Nilai luhur yang terlukiskan dalam kearifan lokal berwujud nyata, yakni
sirih dan pinang adalah ketaatan terhadap perintah Marapu. Masyarakat Kabizu
Beijello menyakini bahwa ada empat perintah yang harus ditaati, yakni jangan
membunuh, jangan berzina, jangan mencuri, dan jangan bersaksi dusta atau
berbohong. Ketidaktaatan terhadap janji adat dipandang sebagai sebuah
kebohongan atau bersaksi dusta terhadap Marapu. Hal itu diungkapkan oleh
informan yang diwawancarai yang memberi kesaksian bahwa dalam kepercayaan
Marapu, setiap janji atau sumpah adat yang telah diikat melalui peristiwa
pembagian sirih pinang itu tidak boleh dilanggar. Janji atau sumpah adat itu harus
ditaati. Artinya di sini ada nilai ketaatan terhadap sumpah itu. Sehingga, jika
dilanggar, maka menjadi petaka bagi orang tersebut. Hal ini karena pembagian
sirih pinang saja merupakan salah satu tanda terlibatnya Marapu yang sudah
melihat semua yang menerima sirih pinang. Dalam hal dosa, salah satu dosa yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
130
sangat dibenci oleh Marapu adalah berbohong, bersaksi dusta dan tidak menepati
janji adat (W/NKLMKB/1).
4.2.2.2 Nilai Solidaritas
Solidaritas menurut Kamus Besar bahasa Indonesia Daring (KBBI, 2016)
memiliki pengertian sifat atau perasaan solider; sifat satu rasa; persaan setia
kawan. Sementara itu, Yunus (2014:) nilai solidaritas termanifestasi dalam cinta,
persahabatan, dan gotong-royong.
Perasaan senasib, sepenanggungan dan setia kawan sejatinya merupakan
nilai luhur yang selalu dijunjung tinggi oleh masyarakat Kabizu Beijello. Hal ini
karena didasari oleh kesadaran bahwa masyarakat Kabizu Beijello merupakan
masyarakat yang berasal dari satu nenek moyang. Atas dasar kedekatan darah itu,
masyarakat Kabizu Beijello selalu menjunjung tinggi nilai solidaritas dalam
kehidupan sosial dan budaya. Nilai itu menjelma dalam perasaan cinta,
persaudaraan, gotong royong dan bekerja secara Bersama-sama. Nilai solidaritas
itu tergambar pada data kearifan lokal dalam tradisi lisan Teda dalam upacara
Padede Uma Kalada sebagai berikut.
Data 20. B1/ES2
Unggula dukka kikkuna , wadora dukka ngorana
Kumpulkan batas ekornya, himpun batas mulutnya
Kumpulkan dan himpunlah seluruh keluarga dari yang paling jauh sampai
yang paling dekat
Unggula a matomba, wadora a maupa
Kumpulkan yang liar, rangkul yang jinak
Himpunlah keluarga yang menjauh, rangkul keluarga yang mendekat
Konteks:
Tuturan lisan di atas merupakan tanggapan tetua adat rumah kecil dalam diskusi
dengan tetua adat rumah besar pada tahap Yapatekki (pemberitahuan) rencana
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
131
pembangunan rumah besar. Dalam tanggapan itu, tetua adat rumah kecil
menghimbau bahwa apabila ingin membangun ulang rumah besar Kabizu Beijello,
maka semua anggota Kabizu Beijello harus dihimpun dan dikumpulkan. Adapun
tujuannya adalah agar sama-sama menyatakan dukungan dan solidaritas demi
suksesnya pembangunan rumah besar.
Tuturan unggula dukka kikkuna, wadora dukka ngorana. Unggula a
matomba, wadora a maupa pada data 20 di atas mengandung makna agar seluruh
anggota Kabizu Beijello berkumpul dan berhimpun untuk menyatakan persatuan,
dukungan dan keterlibatan dalam mensukseskan rencana pembangunan rumah
besar. Tuturan unggula, wadora (kumpulkan, himpunlah) pada kedua data ini
terkandung nilai, yakni agar selalu membina semangat kebersatuan,
kesetiakawanan, saling menopang dan mendukung satu sama lain sebagai anggota
warga Kabizu. Nilai ini merupakan nilai luhur yang didambakan oleh nenek
moyang yang terus diwariskan kepada generasi Kabizu Beijello sampai saat ini.
Tuturan lisan di atas dituturkan oleh Rato Uma Kii (pemimpin klan rumah
kecil) pada saat pertemuan dengan Rato Uma Kalada (pemimpin klan Kabizu
Beijello). Pertemuan itu bertujuan untuk membahas dan mendiskusikan rencana
pembangunan rumah besar. Pada pertemuan tersebut, Rato Uma Kii menghimbau
agar seluruh anggota keluarga Kabizu Beijello untuk dikumpulkan, dihimpun dan
diberitahukan terkait rencana pembangunan rumah besar itu. Dengan tujuan agar
semuanya saling mendukung, bekerja sama dan bergotong royong demi
mensukseskan rencana tersebut.
Rumah besar merupakan rumah dari setiap orang yang merasa diri berasal
dari satu nenek moyang. Misalnya, rumah besar Kabizu Beijello merupakan
rumah dari setiap orang yang merasa diri berasal dari nenek moyang Kabizu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
132
Beijello. Atas dasar pemahaman ini, apabila rumah besar mengalami pelapukan
dan kerusakan sudah barang tentu menjadi tanggung jawab seluruh anggota
Kabizu.
Berdasarkan keterangan informan, masyarakat Sumba terutama masyarakat
Marapu selalu menunjukkan solidaritas. Dalam upacara pembangunan rumah adat
misalnya, mereka akan dengan sendirinya menyatakan dukungan sebagai tanda
solidaritas. Wujud solidaritas yang diberikan dapat berupa tenaga maupun materi
seperti uang, hewan, dan bahan bangunan rumah. Orang yang jauh sekalipun
dengan sendirinya akan terpanggil untuk menyumbang. Ada yang menyumbang
dalam bentuk uang, ada juga yang menyumbang dalam bentuk material
(W/NKLMKB/2).
Perasaan senasib dan sepenanggungan akan tampak ketika masyarakat
Kabizu Beijello mendengar bunyi gong atau tambur. Hal ini tergambar dalam data
berikut.
Data 21. N1/EK2
Waikobatallawi indatallaki Walaupun kelihatannya ini gong tapi bukan gong
Walaupun kelihatannya ini gong tapi bukan gong
waikobabeduwi indabeduki
walaupun kelihatannya ini tambur tapi bukan tambur
Walaupun kelihatannya ini tambur tapi bukan tambur
Li’ikawulagundi , li’ikaaulagundi
Mereka adalah suara yang memanggil Mereka adalah suara yang
mengundang
Tapi ini adalah suara yang memanggil dan mengundang seluruh keluarga
besar untuk menyatakan dukungan dan solidaritas
Konteks:
Data ini merupakan bagian dari data tradisi lisan pada tahap Saiso sebelum
pendirian tiang. Data tradisi lisan itu merupakan doa yang dituturkan oleh Ata
Saiso. Dalam doa itu, Ata Saiso memohon kepada Marapu agar dianugerahi
perlindungan, keselamatan, dan berkat sehingga proses pembangunan tiang dapat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
133
berjalan lancar dan sukses. Selain sebagai doa, bunyi gong dan tambur dimaknai
sebagai suara nenek moyang yang mengundang anggota Kabizu untuk
menyatakan dukungan dan solidaritas.
Tuturan waikobatallawi indatallaki (walaupun kelihatannya ini gong tapi
bukan gong). Waikobabeduwi indabeduki (Walaupun kelihatannya ini tambur tapi
bukan tambur). Li’ikawulagundi, li’ikaaulagundi (Tapi ini adalah suara yang
memanggil dan mengundang seluruh keluarga besar dan kerabat) mengandung
makna bahwa ‘gong’ dan ‘tambur’ tidak hanya dipandang alat-alat musik
tradisional tetapi oleh masyarakat Kabizu Beijello diyakini sebagai simbol
Marapu. Ketika gong dan tambur tersebut dibunyikan pertanda suara Marapu
yang memanggil dan mengundang setiap anggota Kabizu Beijello untuk
menyatakan solidaritas dalam mendukung upacara pembangunan rumah besar.
Setiap upacara pada masyarakat Kabizu Beijello mempunyai kekhasan
bunyi gong dan tambur tersendiri. Bunyi tersebut yang menjadi berita akan
adanya sebuah peristiwa, seperti syukur (kelahiran, pembangunan rumah adat,
perkawinan, panen), kematian, dan Saiso (pemanggilan arwah, kebakaran rumah,
kebakaran lahan padi, penyucian diri). Ketika mendengar bunyi gong dan tambur
maka masyarakat sudah bisa mengetahui peristiwa apa yang terjadi. Dengan
demikian, seluruh kerabat terutama anggota Kabizu harus menyatakan
solidaritasnya.
Solidaritas merupakan salah satu nilai yang diamanatkan oleh Marapu
dalam kehidupan bersama sebagai suatu keluarga dalam Kabizu Beijello.
Solidaritas tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk kerja sama dan gotong
royong. Masyarakat Kabizu Beijello meyakini bahwa pekerjaan yang berat
sekalipun akan terasa ringan apabila dikerjakan secara bersama-sama tanpa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
134
adanya unsur balas jasa atau adanya perhitungan untung dan rugi. Perilaku inilah
yang semestinya menjadi nilai yang harus terus dihayati dan diamalkan dalam
kehidupan bersama.
4.2.2.3 Nilai Persatuan
Makna persatuan pada hakikatnya adalah satu, yang artinya bulat dan tidak
terbagikan atau terpecah belah (Asmaroini, 2017: 58). Masyarakat Kabizu Beijello
merupakan salah satu etnis di Pulau Sumba yang sangat memelihara nilai
persatuan dalam kehidupan bersama. Nilai tersebut tampak jelas dalam tuturan
pada tradisi lisan dalam upacara Padede Uma Kalada sebagai berikut.
Data 22. F3/ES4
Kada’ikana a lera eka bei, a kedu eka ana
Agar tidak ada yang terbang lain ibu, yang lari lain anak
Agar kita selalu membina semangat persatuan.
Katta pasamana ate, katta pamerana wiwi.
Agar kita menyamakan hati, agar kita memerahkan bibir
Agar kita selalu satu hati, satu suara.
Konteks:
Tuturan lisan di atas merupakan bagian dari tradisi lisan pada tahap musyawarah
satu keluarga besar Kabizu Beijello di rumah besar (rumah adat). Tuturan lisan
tersebut dituturkan oleh tetua adat yang menjaga rumah besar. Tetua adat itu
merupakan pemimpin klan Beijello. Musyawarah yang diadakan di rumah besar
ini merupakan musyawarah terakhir sebagai penentu keputusan dan sekaligus
pembagian tugas pembangunan rumah besar. Musyawarah ini diikuti oleh tetua
adat rumah besar, tetua-tetua adat rumah kecil dan anggota-anggota Kabizu
Beijello yang mempunyai pemikiran yang luas, cakap, berani dan berjiwa
kepemimpinan. Dalam musyawarah itu, tetua adat menghimbau agar seluruh
anggota keluarga selalu bersatu, sehati, sesuara demi suksesnya pembangunan
rumah besar.
Tuturan kada’ikana a lera eka bei, a kedu eka ana. Katta pasamana ate,
katta pamerana wiwi menggambarkan nilai persatuan yang dihidupi masyarakat
Kabizu Beijello. Kedua tuturan ini dituturkan oleh tetua adat yang menjaga rumah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
135
besar atau pemimpin yang dipercayakan memimpin jalannya musyawarah
pembangunan rumah besar. Tetua adat atau pemimpin musyawarah menghimbau
dan mengajak seluruh anggota keluarga agar tidak berjalan sendiri-sendiri, agar
tidak ada yang tercerai berai, melainkan selalu sehati dan sesuara. Masyarakat
Kabizu meyakini bahwa kesuksesan pembangunan rumah besar hanya akan
terwujud apabila adanya persatuan seluruh warga Kabizu.
Sehubungan dengan hal di atas, dalam wawancara dengan informan ketika
peneliti menanyakan nilai yang terkandung dalam tuturan kada’ikana a lera eka
bei, a kedu eka ana. Katta pasamana ate, katta pamerana wiwi diberi kesaksian
bahwa tuturan tersebut mengiaskan nilai persatuan dalam melakukan suatu
pekerjaan. Agar tidak ada yang berjalan sendiri-sendiri, melainkan satu hati dan
satu suara dalam melaksanakan keputusan yang telah disepakati bersama. Petuah
ini selalu digunakan oleh orang tua, orang bijak dan pemimpin pada saat
memberikan amanat dan nasihat terkait bersatu pada saat bekerja, bergotong
royong untuk mensukseskan suatu pekerjaan. Ini sudah jati diri yang telah
dicontohkan oleh nenek moyang sejak dulu. Bersatu dalam hal ini, bukan hanya
dalam hal bekerja sama pada saat membangun rumah, melainkan juga bersatu
dalam hal melihat kebutuhan dan kekurang dari rumah besar atau anggota kabizu
itu untuk dapat diatasi dan ditanggulangi secara bersama-sama (W/NKLMKB/3).
4.2.2.4 Nilai Penghormatan
Penghormatan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2016) memiliki
pengertian proses, cara, perbuatan menghormati, pemberian hormat. Masyarakat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
136
Kabizu Beijello sangat menjunjung tinggi sikap menghormati baik itu
penghormatan secara vertikal maupun secara horizontal. Model penghormatan itu
dapat diklasifikasikan ke dalam lima bentuk. Pertama, penghormatan antarsesama
dalam Kabizu Beijello. Kedua, penghormatan warga Kabizu Beijello terhadap
leluhur. Ketiga, saling menghormati antara menantu dan mertua, keempat,
penghormatan warga Kabizu Beijel terhadap pemimpin klan. Kelima,
penghormatan warga Kabizu Beijello terhadap roh gaib. Nila-nilai tersebut dapat
dipaparkan lebih lanjut sebagai berikut.
1) Penghormatan antarsesama dalam Kabizu
Masyarakat Sumba secara umum senantiasa menaruh sikap hormat
antarsesama Kabizu. Sikap hormat ini menjadi nilai kearifan lokal yang dihayati
dan dihidupi dalam kehidupan bersama. Nilai penghormatan antarsesama dalam
Kabizu tampak pada tuturan dalam data sebagai berikut.
Data 23. P1/ESK7
Tadapadoudou-padoudoumu
Tandalah tempat kalian masing-masing
Tandalah tempat kalian masing-masing
Konteks:
Tuturan lisan di atas merupakan bagian dari tradisi lisan pada tahap Saiso
menempati rumah besar. Masyarakat Kabizu Beijello memiliki tradisi melakukan
ritual Saiso setelah rumah besar selesai dibangun kembali. Upacara ini bertujuan
meminta warga rumah, binatang peliharaan, Marapu dan Tuhan sebagai Wujud
Tertinggi untuk menempati kembali rumah besar yang baru selesai di bangun
tersebut. Selain itu, dalam upacara itu secara tidak langsung Rato Marapu
meminta kepada seluruh anggota warga rumah dan warga Kabizu untuk
menunjukkan perilaku hidup sesuai dengan peran dan kedudukannya masing-
masing. Hal itu demi terciptanya keharmonisan bersama. Upacara ini hanya
diikuti oleh masyarakat Kabizu Beijello.
Tuturan tadapadoudou-padoudoumu pada data 23 di atas mengandung nilai
saling menghormati. Secara harafiah tuturan tersebut berarti tandalah tempat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
137
kalian masing-masing. Pada tuturan ini, Rato Marapu tidak hanya memberikan
himbauan untuk memberikan tanda dalam menempati kembali sebuah rumah
setelah rampung dibangun. Akan tetapi, tuturan ini mengandung nilai
penghormatan antaranggota warga rumah maupun antarwarga Kabizu Beijello.
Nilai tersebut dapat diwujudkan dengan cara menyadari, memahami, dan
memposisikan diri sesuai dengan peran, kedudukan, dan tanggung jawabnya
masing-masing. Hal ini dilakukan demi terciptanya kehidupan yang damai, rukun,
dan harmonis. Masyarakat Kabizu Beijello meyakini bahwa kesadaran akan peran
dan tanggungjawab serta kedudukan masing-masing dapat menjadi pedoman
untuk berkomunikasi dan bertingkah laku. Orang yang sadar akan peran, tanggung
jawab dan kedudukannya masing-masing adalah orang yang tahu menghormati
antarsesama anggota Kabizu.
2) Penghormatan Warga Kabizu Beijello Kepada Leluhur
Masyarakat Sumba meyakini leluhur sebagai perantara antara manusia dan
Yang Ilahi. Leluhur adalah orang yang telah meninggal dunia. Masyarakat Sumba
percaya bahwa meski secara fisik orang tersebut tidak kelihatan, tetapi rohnya
tetap hidup dan mempunyai pengaruh yang besar terhadap kehidupan mereka.
Dalam hal ini masyarakat Sumba menyebutnya dengan istilah ne’endi kabaila
ro’o atau ‘berada di dunia lain’. Kesadaran akan hal itu, masyarakat Sumba sangat
menaruh hormat terhadap leluhur. Hal ini dapat dideskripsikan melalui data
tuturan berikut.
Data 24. P1/ESK7
Manu tadakowe reddetamu , wawi dukkikuwi rabamu
Ayam tandalah tempatmu, babi tandalah tempat makanmu
Ayam, babi tandalah tempatmu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
138
Karambo tadakowe okamu , dara tadako gollumu
Kerbau tandalah kandangmu, kuda tandalah kandangmu
Kerbau, kuda tandalah kandangmu
Konteks:
Tuturan lisan di atas merupakan bagian dari tradisi lisan pada tahap Saiso
menempati rumah besar. Masyarakat Kabizu Beijello memiliki tradisi melakukan
ritual Saiso setelah rumah besar selesai dibangun kembali. Upacara ini bertujuan
meminta warga rumah, binatang peliharaan, Marapu dan Tuhan sebagai Wujud
Tertinggi untuk menempati kembali rumah besar yang baru selesai di bangun
tersebut. Selain itu, dalam upacara itu secara tidak langsung Rato Marapu
meminta kepada seluruh anggota warga rumah dan warga Kabizu untuk
menunjukkan perilaku hidup sesuai dengan peran dan kedudukannya masing-
masing. Hal itu demi terciptanya keharmonisan bersama. Upacara ini hanya
diikuti oleh masyarakat Kabizu Beijello.
Data 24 di atas mengandung tuturan manu tadakowe reddetamu, wawi
dukkikuwi rabamu (ayam, babi tandalah tempatmu). Karambo tadakowe okamu,
dara tadako gollumu (kerbau, kuda tandalah kandangmu). Kedua tuturan ini
mengandung nilai menghormati leluhur. Dalam keyakinan masyarakat Kabizu
Beijello, leluhur merupakan asal usul kehidupan yang dimetaforakan dalam
reddeta dan raba. Sementara itu, oka dan gollu tidak dimaknai secara harafiah
sebagai kandang tetapi sebagai rumah besar sebagai lambang kehadiran leluhur.
Wujud nyata nilai penghormatan terhadap leluhur adalah menjaga,
mempertahankan, dan melestarikan keberadaan rumah besar. Jika rumah besar
mengalami kerusakan maka haruslah dibangun kembali. Kehilangan rumah besar
yang menjadi kediaman leluhur berarti juga kehilangan penghormatan terhadap
leluhur. Dengan demikian, masyarakat Kabizu Beijello tidak akan mendapatkan
pertolongan dan berkat dari leluhur sebagai imbalan atas penghormatan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
139
3) Penghormatan antara Menantu dan Mertua
Masyarakat Sumba secara umum merupakan masyarakat yang menganut
sistem kekerabatan patrilineal. Seorang perempuan yang telah menikah harus
meninggalkan orangtuanya dan tinggal bersama suaminya. Di mata kedua orang
tua suaminya, perempuan tersebut menyandang status menantu. Sementara itu,
seorang perempuan akan memandang orangtua dari suaminya sebagai mertua.
Sebagai sebuah keluarga, mertua dan menantu harus saling menghormati demi
terciptanya keharmonisan. Hal ini tampak pada data tuturan berikut.
Data 25. P1/ESK7
Pawasse padoumu, pamatto padoumu
Anak mantu tanda tempatmu, Ibu mertua tandalah tempatmu
Anak mantu, ibu mertua tandalah tempatmu
Konteks:
Tuturan lisan di atas merupakan bagian dari tradisi lisan pada tahap Saiso
menempati rumah besar. Masyarakat Kabizu Beijello memiliki tradisi melakukan
ritual Saiso setelah rumah besar selesai dibangun kembali. Upacara ini bertujuan
meminta warga rumah, binatang peliharaan, Marapu dan Tuhan sebagai Wujud
Tertinggi untuk menempati kembali rumah besar yang baru selesai di bangun
tersebut. Selain itu, dalam upacara itu secara tidak langsung Rato Marapu
meminta kepada seluruh anggota warga rumah dan warga Kabizu untuk
menunjukkan perilaku hidup sesuai dengan peran dan kedudukannya masing-
masing. Hal itu demi terciptanya keharmonisan bersama. Upacara ini hanya
diikuti oleh masyarakat Kabizu Beijello.
Kata ‘padou’ pada tuturan pawasse padoumu, pamatto padoumu (anak
mantu, ibu mertua tandalah tempatmu) pada data 25 di atas tidak hanya merujuk
pada kamar dari mertua dan menantu. Akan tetapi, merujuk pada peran, tanggung
jawab dan kedudukan dari mertua dan menantu. Menurut keyakinan masyarakat
Kabizu Beijello, setiap anggota dalam suatu keluarga telah memiliki tugas dan
peran masing-masing sesuai dengan kedudukannya. Menantu memiliki tugas
untuk menyelesaikan segala aktivitas rumah tangga yang dalam tuturan adat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
140
disebut papalewa gidugoda, papawede pidupata (yang mondar-mandir ke sana
kemari, yang disuruh ke sana kemari). Sementara itu, tugas mertua adalah
melaksanakan ritus-ritus adat dan siap dilayani oleh menantu yang dikenal dengan
tuturan Ina dunga, Ama ngodo (ibu yang diam, bapak yang bersila).
Nilai yang ingin ditampilkan pada tuturan di atas adalah saling menghormati
sesuai dengan kedudukan, peran dan tanggung masing-masing. Menantu tidak
boleh mengambil peran dan tanggung jawab mertua. Begitu pula mertua tidak
boleh mengambil peran dan tanggung jawab menantu. Hal ini demi terciptanya
kehidupan bersama yang rukun, damai dan harmonis.
4) Penghormatan Warga Kabizu Beijello terhadap Pemimpin Klan
Setiap Kabizu yang ada di Pulau Sumba memiliki pemimpin spiritual
tertingginya masing-masing atau pemimpin klan. Bagi masyarakat Wewewa
sendiri, pemimpin klan dalam Kabizu biasa disebut sebagai Rato Uma Kalada,
yakni Rato yang menduduki atau menempati rumah besar. Rato Uma Kalada
memiliki tugas dan tanggung jawab untuk menjaga dan menghidupkan api di
rumah besar sehingga rumah besar tetap terjaga keberadaannya. Selain itu, juga
mempunyai kewajiban untuk meneruskan keturunan bagi rumah besar sehingga
keanggotaan rumah besar tidak sampai punah. Oleh karena kedudukan tersebut,
maka setiap anggota Kabizu wajib menghormati pemimpin klan. Hal itu
dieksplisitkan dalam data tuturan berikut.
Data 26. L2/ESK4
Yowa dona ata papawede , allikapapatukami
Saya sudah orang yang disuruh, adik yang diperintah
Sayalah orang yang disuruh, adik yang diperintah
Papawede pidupata , papalewa gidugoda
Yang diperintah ke sana ke mari, yang disuruh mondar-mandir
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
141
Konteks:
Tuturan lisan di atas merupakan bagian dari data tradisi lisan pada tahap ritual
Oka. Tuturan lisan dalam ritual Oka ini dituturkan oleh Rato Marapu yang
bertugas sebagai penanya dari pihak tuan rumah. Masyarakat Kabizu Beijello
memiliki tradisi menyambut tamu atau rombongan yang hendak memasuki
kampung dengan maksud tertentu. Tradisi itu disebut Oka. Ritual Oka itu
dilakukan di depan pintu masuk kampung. Tujuan pelaksanaan ritual ini adalah
untuk menanyakan dan menyelidiki rombongan yang hendak memasuki kampung
dengan membawa material bangunan.
Tuturan yowa dona ata papawede, allikapapatukami (sayalah orang yang
disuruh, adik yang diperintah). Papawede pidupata, papalewa gidugoda (yang
disuruh ke sana kemari, yang diperintah mondar-mandir) pada data di atas
mengandung nilai penghormatan kepada pemimpin klan. Allika dalam tuturan ini
merujuk pada anggota Kabizu Beijello. Sementara itu, yemmi yang disingkat mi
pada tuturan ini merujuk pada pemimpin klan Kabizu Beijello yang disebut Rato
Uma Kalada Kabizu Beijello.
Kedua tuturan di atas mau menggambarkan status atau kedudukan yang
melekat pada setiap pribadi dalam tatanan kehidupan masyarakat Kabizu Beijello.
Masyarakat Kabizu tidak memandang seseorang berdasarkan umur tetapi lebih
kepada kedudukan dalam sistem adat. Definisi adik tidak hanya terbatas pada
umur seseorang yang lebih muda dari yang lain. Demikian pun, orang yang tua
dalam hal ini tidak berarti orang yang sudah tua tetapi mereka yang memiliki
posisi penting dalam sistem adat. Berdasarkan konteks sosietal, makna orang yang
lebih tua adalah orang yang dihormati bukan karena umur dari orang tersebut,
melainkan karena kedudukan orang tersebut. Oleh karena itu, sebagai seorang
adik, anggota Kabizu Beijello wajib hukumnya untuk hormat terhadap pemimpin
klannya meski dalam hal umur orang tersebut lebih tua. Penghormatan yang
diberikan didasarkan pada kedudukan berdasarkan sistem adat yang ada.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
142
Masyarakat penganut Marapu meyakini bahwa Rato Uma Kalada memiliki
hubungan yang dekat dengan Marapu. Atas kedekatan ini, Rato Uma Kalada
diyakini dapat memberi berkat dan sekaligus dapat mengutuk. Doa-doa dan
permohonannya didengarkan oleh Marapu. Apapun yang dimintanya diyakini
dikabulkan oleh Marapu. Atas dasar ini, maka dalam dinamika spiritual Marapu,
Rato Uma Kalada sangat ditakuti, disegani dan dihormati. Hal itu digambarkan
melalui kedua tuturan di atas. Bentuk penghormatan dari masyarakat Kabizu
Beijello terhadap Rato Uma Kalada adalah semua orang yang terlibat dalam
rombongan yang membawa material bangunan menyatakan diri mereka sebagai
adik. Mereka memandang dan menempatkan diri mereka sebagai adik yang harus
menghormati kakaknya, yang dapat disuruh atau diperintah ke sana kemari oleh
kakaknya.
Dalam wawancara yang dilakukan dengan informan ketika peneliti
mengajukan pertanyaan “Nilai apakah yang terkandung dalam tuturan yowa dona
ata papawede, allikapapatukami. Papawede pidupata, papalewa gidugoda?”
diberi kesaksian bahwa ungkapan ini nilai penghormatan kepada Rato yang
menduduki rumah besar. Bentuk penghormatan itu adalah dalam upacara Oka
rombongan yang membawa material dari hutan menyebut diri mereka sebagai
seorang anak atau sebagai seorang adik. Itu dalam ungkapan, kendatipun dalam
rombongan tersebut ada yang lebih dewasa atau lebih tua, lebih pintar, lebih
cerdas, ketimbang Rato yang menduduki Uma Kabizu. Dia dituakan dan
dihormati karena kedudukannya sebagai pemimpin atau kepala klan. Dialah yang
menjaga rumah itu besar itu (W/NKLMKB/4).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
143
5) Penghormatan Warga Kabizu Beijello terhadap Roh Gaib
Masyarakat Marapu menyadari bahwa ada suatu dunia yang tidak tampak
yang berada di luar batas kemampuan panca indra dan akalnya, yaitu dunia gaib.
Dunia gaib ini dihuni oleh para dewa, makhluk-makhluk halus dan kekuatan-
kekuatan sakti yang tidak dapat dikuasai oleh manusia secara biasa, karena itu
sangat ditakuti. Kesadaran akan adanya dunia gaib inilah yang mendorong
masyarakat Marapu untuk menaruh hormat. Hal itu terekspresikan dalam data
berikut.
Data 27. J1/ES9
Nenna rengepo you ina mori loda, ama mori pada
Itu dengarlah engkau ibu pemilik hutan, bapak pemilik padang
Dengarlah dewa pemilik hutan dan pemilik padang
Ina mori loko, ama mangu tana
Ibu pemilik kali, bapak pemilik tanah
Dewa pemilik kali dan pemilik tanah
Ka dara pa kaloga ma , ka tena pa magawa ma
Agar seperti kuda yang bebas kami , agar seperti sampan yang leluasa kami
Agar kami seperti kuda yang bebas, agar kami seperti sampan yang leluasa
Agar kami diberi kebebasan dan keleluasaan
Dappalaka kama karingge, dappa lodakama kalerre
Janganlah palang kayu, janganlah menarik tali
Janganlah menghalangi kami
Konteks:
Tuturan lisan di atas merupakan bagian dari tradisi lisan dalam ritual Urrata pada
tahap penebangan pohon dan pemotongan tali di hutan. Data tradisi lisan ini
merupakan doa yang mengandung makna permohonan izin kepada roh-roh yang
diyakini sebagai pemilik hutan, padang, kali dan tanah. Dalam ritual ini,
masyarakat Kabizu Beijello memberikan sesajen berupa satu anak ayam, satu butir
telur, kapas, tembakau, sirih, pinang dan serpihan emas atau perak. Perkenanan
dan persetujuan roh-roh yang mendiami hutan tersebut dapat diramalkan atau
dilihat oleh Ata Urrata (imam Marapu) melalui usus ayam, hati ayam dan hati
babi.
Masyarakat Kabizu Beijello sebagai bagian dari masyarakat Marapu juga
memiliki keyakinan akan adanya dunia gaib yang dihuni roh-roh halus, para dewa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
144
dan kekuatan sakti lainnya. Dunia gaib itu tinggal di hutan, pohon-pohon,
lembah, gunung, padang, dan lain sebagainya di alam semesta. Kesadaran akan
hal itu masyarakat Kabizu Beijello selalu menunjukkan sikap hormat kepada roh-
roh gaib. Penghormatan itu ditunjukkan dalam konteks data di atas yakni ketika
hendak masuk hutan untuk menebang pohon, memotong tali untuk pembangunan
rumah adat terlebih dahulu harus memohon izin. Permohonan izin dilandasi oleh
keyakinan bahwa hutan, pohon, dan tali yang hendak diambil mempunyai
pemiliknya. Keyakinan akan adanya pemilik tersebut nampak dalam tuturan
“nenna rengepo you ina mori loda, ama mori pada. Ina mori loko, ama
mangu tana”. Dengan demikian, mengambil milik orang lain harus didahului
dengan ungkapan permohonan dengan maksud diberi izin. Dalam konteks ini,
permohonan izin dipandang sebagai bentuk penghormatan terhadap dunia gaib
yang menjadi pemilik hutan, pohon, dan tali. Ketika pengambilan pohon dan tali
dari hutan didahului dengan permohonan izin maka sudah tentu kegiatan tersebut
dapat berhasil sebab sudah dibebaskan oleh kekuatan dari dunia gaib. Hal ini
ditandai dengan tuturan ka dara pa kaloga ma, ka tena pa magawa ma (agar kami
diberi kebebasan dan keleluasaan).
Hasil penelitian di atas, didukung pula oleh hasil wawancara yang dilakukan
oleh peneliti dengan informan yang memberikan kesaksian bahwa semua yang
ada dimuka bumi ini ada yang punya. Hutan, tanah, kayu, tali dan segala macam
benda yang ada di hutan itu mempunyai pemilik dan pelindung. Mempunyai roh
atau jiwa. Oleh karena itu, sebelum diganggu, harus terlebih dahulu memohon izin
dengan cara mengucapkan mantra permohonan izin yang dapat diucapkan oleh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
145
Ata Urrata atau Rato Marapu. Kalau ritual ini tidak dilakukan roh-roh gaib itu
akan marah. Roh-roh gaib akan mencelakai manusia. Ini merupakan cara menjaga
menghormati roh-roh gaib itu. Perilaku seperti ini yang dikehendaki oleh nenek
moyang dan roh-roh yang ada di alam raya ini (W/NKLMKB/5).
4.2.2.5 Kerja Keras
Kerja keras merupakan bekerja dengan sungguh-sungguh tanpa mengenal
lelah atau berhenti sebelum target kerja tercapai dan selalu mengutamakan atau
memperhatikan kepuasan hasil pada setiap kegiatan yang dilakukan (Kami,
2018:136). Sehubungan dengan pandangan ini, kerja keras merupakan nilai yang
dihidupi masyarakat Kabizu Beijello. Nilai tersebut nampak dalam tuturan sebagai
berikut.
Data 28. P1/ESK7
Natogola manairo bage, namawellita mawana bage
Sudah berhasil menyiangi sudah rampung anyaman
Saat ini proses pembangunan rumah telah selesai dan berjalan dengan lancar
Konteks:
Tuturan lisan di atas merupakan bagian dari tradisi lisan pada tahap Saiso
menempati rumah besar. Masyarakat Kabizu Beijello memiliki tradisi melakukan
ritual Saiso setelah rumah besar selesai dibangun kembali. Upacara ini bertujuan
meminta warga rumah, binatang peliharaan, Marapu dan Tuhan sebagai Wujud
Tertinggi untuk menempati kembali rumah besar yang baru selesai di bangun
tersebut. Selain itu, dalam upacara itu secara tidak langsung Rato Marapu
meminta kepada seluruh anggota warga rumah dan warga Kabizu untuk
menunjukkan perilaku hidup sesuai dengan peran dan kedudukannya masing-
masing. Hal itu demi terciptanya keharmonisan bersama. Upacara ini hanya
diikuti oleh masyarakat Kabizu Beijello.
Tuturan natogola manairo bage, namawellita mawana bage memiliki arti
sudah berhasil menyiangi, sudah rampung anyaman. Tuturan lisan ini dituturkan
oleh Ata Saiso pada ritual Saiso menempati rumah besar. Tuturan ini merupakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
146
doa ucapan syukur kepada Marapu dan Yang Ilahi karena telah rampung
membangun rumah besar. Kesuksesan tersebut diyakini sebagai buah dari kerja
keras setiap anggota masyarakat Kabizu Beijello.
Kata manairo dan mawellita dalam data tuturan di atas tidak hanya merujuk
pada mencangkul dan menganyam tetapi merujuk pada sebuah pekerjaan. Jika
masyarakat Kabizu Beijello ‘mencangkul’ dan ‘mengayam’ dengan sungguh-
sungguh atau dengan kerja keras maka sudah tentu kesuksesan akan diraih.
Melalui tuturan itu dapat ditemukan perilaku kerja keras masyarakat Kabizu
Beijello yang menjadi nilai yang dihidupi. Selain tuturan ini, pada data tradisi
lisan (Q1/ESK8) (lihat tabulasi data) juga terdapat tuturan yang memberi
gambaran terkait nilai kerja keras yang dihidupi oleh masyarakat Kabizu Beijello,
yakni banna batuku ruta, banna dariku tana, Banna pennikowa manu,
kamanuamapennikia (apabila dia memelihara ayam, agar dapat berkembang biak
menjadi banyak), Banna tauku wawi, kawawiamataukia (Apabila dia memelihara
babi, agar dapat berkembangbiak dengan baik). Meskipun ini merupakan bentuk
doa kepada Marapu, tetapi di dalamnya mengandung nilai kerja keras. Hal itu
tampak pada tuturan ‘batuku ruta, dariku tana’ (cabutlah rumput, garuklah tanah).
Pennikowa manu (peliharalah ayam). Tauku wawi (perilaharalah babi). Ketiga
tuturan tidak hanya merujuk pada bekerja sebagai petani atau peternak melainkan
menggambarkan perilaku hidup bekerja keras sesuai dengan profesi yang digeluti.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
147
4.2.2.6 Nilai Syukur
Syukur merupakan salah satu dari kajian psikologi positif yang memiliki arti
mengucapkan terima kasih atas anugerah (Shobihah, 2014:386). Masyarakat
Kabizu Beijello senantiasa menanamkan nilai syukur dalam kehidupan sehari-hari.
Ketika seseorang mendapatkan pertolongan apapun bentuknya maka
sepatutnyalah orang tersebut mengucapkan terima kasih. Sebaliknya, jika yang
ditolong tidak mengucapkan terima kasih maka orang tersebut akan mendapat
sanksi sosial berupa dicap sebagai orang yang tidak tahu terima kasih. Dalam
bahasa Wewewa, terima kasih dikenal dengan istilah malangi. Ungkapan syukur
dan terima kasih tidak hanya diungkapkan kepada sesama manusia dan Tuhan
Sang Ilahi tetapi juga roh gaib dan leluhur. Hal itu tergambarkan dalam data
tradisi lisan sebagai berikut.
Data. 29 M1/ES11
Pamalangiwa inna, paosawa ama
Terimakasih kepada ibu, syukur kepada bapak
Terimakasih dan syukur kepada rumah besar dan leluhur
Konteks:
Tuturan di atas merupakan bagian dari tradisi lisan dalam upacara Woleka pada
tahap pembongkaran rumah lama. Tuturan di atas dinyanyikan oleh Ata Saiso
dengan diiringi gong dan tambur. Upacara Woleka dimaknai sebagai upacara
pengucapan syukur dan terimakasih kepada nenek moyang dan rumah besar yang
telah melindungi, memayungi, mempersatukan dan memberikan kenyamanan
serta kedamaian. Upacara ini dilaksanakan dengan penuh sukacita dan
kegembiraan.
Tuturan pamalangiwa inna, paosawa ama (terimakasih dan syukur kepada
rumah besar dan leluhur) pada data 29 di atas mengandung nilai syukur. Kata Inna
dan Ama pada tuturan ini merujuk pada rumah besar dan leluhur. Tuturan ini
dituturkan oleh Rato Marapu pada ritual Saiso sebelum membongkar rumah
besar. Masyarakat Kabizu Beijello memiliki tradisi, yakni sebelum pembongkaran
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
148
rumah besar atau rumah adat untuk dibangun ulang, terlebih dahulu harus
dilakukan ritual Saiso. Masyarakat Kabizu Beijello memaknai ritual Saiso sebagai
ritual mengucapkan terima kasih dan syukur kepada rumah besar dan nenek
moyang.
Masyarakat Kabizu Beijello meyakini bahwa rumah besar telah memberikan
perlindungan dan kenyamanan dari matahari, hujan dan segala macam gangguan
serta ancaman dari luar. Selain itu, di rumah besar berdiam roh-roh leluhur yang
diyakini sebagai pemberi pertolongan, perlindungan dan berkat kepada
masyarakat Kabizu Beijello. Atas semua pertolongan, perlindungan, dan berkat itu
masyarakat Kabizu Beijello wajib mengucapkan terimakasih dan syukur.
Konsekuensi dari itu, proses pembongkaran rumah besar dapat berjalan dengan
lancar dan sukses. Sebaliknya, apabila ritual ini tidak dilakukan akan terjadi
malapetala pada saat pembongkaran rumah besar.
Terkait dengan hal di atas, berdasarkan hasil wawancara dengan informan
diberi kesaksian bahwa dalam hidup kita jangan lupa bersyukur dan
berterimakasih yang terungkap dalam tuturan Pamalangiwa inna, paosawa ama.
Ucapan bersyukur dan berterimakasih ini merupakan nilai yang diwarisi oleh
leluhur sejak awal mula. Apabila kita tidak bersyukur dan berterimakasih, nenek
moyang akan marah kepada kita. Seiring dengan itu pula, apapun yang kita
kerjakan tidak akan berhasil. Kita tidak akan memperoleh keberkatan dalam
hidup. Oleh karena itu, kita harus menjaga hubungan yang harmonis dengan
leluhur, dengan sesama dan alam raya (W/NKLMKB/9).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
149
Selain mengucapkan terimakasih kepada leluhur, masyarakat Kabizu
Beijello juga selalu mengucapkan syukur dan terimakasih kepada roh-roh gaib
atas setiap bantuan dan pertolongan yang diperoleh. Hal itu, tereskpresikan dalam
data tradisi lisan Teda sebagai berikut.
Data 30. K1/ES10
Natogola manairo bage, namawellita mawana bage
Sudah berhasil menyiangi sudah rampung anyaman
Proses penebangan kayu dan pemotongan tali telah berhasil dan berjalan
dengan lancar
Konteks:
Tuturan lisan di atas merupakan bagian dari data tradisi lisan pada tahap Saiso
pengucapan syukur atas keberhasilan penebangan pohon dan pemotongan tali di
hutan. Tuturan lisan ini merupakan doa yang ditujukan kepada roh-roh gaib yang
diyakini sebagai pemilik hutan. Doa itu tidak dituturkan tapi dinyanyikan. Dalam
doa itu Ata Saiso menyampaikan ucapan syukur kepada roh-roh gaib atas, izin,
pertolongan dan bantuan yang diberikan sehingga proses pengambilan material
bangunan dapat berhasil. Dalam doa itu pula, Ata Saiso memohon keselamatan
dan perlindungan kepada roh-roh gaib sehingga prosesi pengantaran material
bangunan ke tempat pembangunan rumah besar dapat berhasil.
Tuturan natogola manairobage, namawellita mawanabage pada data 30 di
atas mengandung nilai syukur. Tuturan itu dituturkan oleh Ata Saiso pada ritual
Todi Kadawu. Masyarakat Kabizu Beijello memaknai ritual Todi Kadawu sebagai
ritual pengucapan syukur dan terimakasih kepada roh-roh gaib. Masyarakat
Kabizu Beijello telah diberi izin dan diperkenankan oleh roh-roh gaib untuk
mengambil material bangunan. Selain itu, masyarakat Kabizu Beijello juga telah
mendapatkan pertolongan dan bantuan dari roh-roh gaib sehingga proses
pengambilan material bangunan dapat berjalan dengan lancar dan sukses. Oleh
karena itu, masyarakat Kabizu Beijello harus mengucap syukur dan terimakasih
atas izin, pertolongan dan bantuan itu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
150
Masyarakat Kabizu Beijello meyakini bahwa apabila ritual todi kadawu ini
tidak dilakukan, maka proses selanjutnya baik pada saat mengeluarkan kayu dari
hutan, maupun dalam perjalanan menuju ke tempat pembangunan rumah besar
tidak akan berjalan dengan lancar. Berdasarkan hasil wawancara dengan informan
diberi kesaksian bahwa dalam dinamika spiritual Marapu, setiap rencana yang
telah diniatkan bersama-sama dengan Marapu baik melalui ritus Urrata maupun
Saiso, apabila mencapai keberhasilan harus dibuatkan upacara pengucapan
syukur. Apabila upacara pengucapan syukur itu tidak dilakukan, Marapu akan
murka dan menyebabkan manusia akan mendapatkan malapetaka. Oleh karena itu,
masyarakat Marapu harus menjaga harmonisasi dengan Marapu dengan cara
harus melakukan ritual pengucapan syukur. Misalnya, setelah berhasil menebang
pohon dan memotong tali masyarakat harus membuat ritual Todi Kadawu sebagai
tanda syukur dan terimakasih kepada Marapu (W/NKLMKB/11).
Berdasarkan seluruh paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa tuturan
pamalangiwa inna, paosawa ama (terimakasih kepada Ibu, syukur kepada Bapak)
pada data 29 dan tuturan natogola manairobage, namawellita mawanabage pada
data 30 mengandung nilai membina kehidupan bersama yang harmonis dengan
leluhur dan roh-roh gaib. Adapun nilai yang dimaksud adalah dalam hidup jangan
lupa mengucap syukur dan berterimakasih atas setiap bantuan, pertolongan dan
keberhasilan yang dicapai. Hendaknya nilai tersebut harus selalu dihayati dan
diamalkan dalam kehidupan bersama demi terciptanya keseimbangan, keselarasan
dan keharmonisan baik dengan insan berbudi, leluhur dan roh-roh gaib. Perilaku
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
151
hidup selalu bersyukur dan berterimakasih akan membawa manusia pada
ketenangan hidup, kedamaian hati, kerukunan dan keberkatan dalam hidup.
4.2.2.7 Rekonsiliasi
Rekonsiliasi dapat diartikan sebagai upaya untuk memperbaiki hubungan
sosial yang hasil akhirnya adalah perdamaian (Gogali, 2008 dalam Nugraha,
2019:344). Rekonsiliasi diartikan sebagai perbuatan memulihkan persahabatan ke
keadaan semula (KBBI, 2016 daring). Dalam konteks penelitian ini, rekonsiliasi
merupakan suatu upaya untuk meminta maaf atau memohon pengampunan
sebagai konsekuensi atas pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat Kabizu
Beijello. Rekonsiliasi menjadi hal yang sangat penting untuk dilakukan ketika
seorang anggota Kabizu melakukan pelanggaran terhadap perintah Marapu. Hal
ini nampak dalam tuturan dalam tradisi lisan Padede Uma Kalada sebagai berikut.
Data 31. O2/ESK6
Lakkawa’ikunamme adirakapababa touna , aakitapaleira wekkina
Kendatipun ada yang beraib tubuhnya, berdosa badannya
Kendatipun ada yang memiliki aib dan dosa
Du kettekageole, du pagukawi pangngu
Janganlah ikat bersama, jangan simpul bergandeng
Janganlah engkau melibatkannya dengan kami
Konteks:
Data ini merupakan bagian dari data tradisi lisan pada tahap Saiso sebelum
membuat loteng rumah. Data tradisi lisan tersebut dituturkan oleh Ata Urrata
dalam ritual Urrata. Data tradisi lisan ini merupakan doa kepada nenek moyang.
Dalam doa itu, masyarakat Kabizu Beijello memohon khidmat, keselamatan,
pengampunan dan keberhasilan kepada nenek moyang.
Dalam dinamika spiritual Marapu, perilaku hidup untuk selalu menjaga
keselarasan dan keharmonisan dalam kehidupan di alam semesta ini merupakan
perilaku hidup seturut cita rasa Marapu. Marapu sangat menghargai setiap orang
yang menunjukkan perilaku hidup sesuai dengan norma dan ajaran Marapu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
152
Marapu mempunyai kuasa untuk memberi berkat dan menyelamatkan manusia
apabila manusia hidup sesuai dengan kehendak Marapu. Sebaliknya, manusia
akan mendapatkan hukuman dan malapetaka apabila menunjukkan perilaku hidup
yang tidak sesuai cita rasa Marapu. Oleh karena itu, menjaga keharmonisan dan
keseimbangan dalam dinamika spiritual Marapu, tidak hanya dengan sesama
manusia, melainkan juga dengan alam roh (Marapu).
Salah satu cara menjaga harmonisasi dengan Marapu adalah meminta maaf
apabila manusia melakukan perbuatan yang melanggar perintah Marapu. Dalam
keyakinan masyarakat Marapu, orang yang melanggar perintah Marapu apabila
tidak meminta maaf tidak akan mendapatkan keberkatan dalam hidup. Tuturan
lakkawa’ikunamme adirakapababa touna, aakitapaleira wekkina (kendatipun ada
yang beraib tubuhnya, berdosa badannya. Du kettekageole, du pagukawi pangngu
(Janganlah ikat bersama, jangan simpul bergandeng). Kedua tuturan ini dituturkan
dalam ritual Saiso sebelum membuat loteng rumah. Dalam budaya masyarakat
Sumba sebelum membuat loteng rumah terlebih dahulu harus dilakukan upacara
Saiso. Ritual Saiso dalam konteks tuturan ini merupakan ritual permohonan
pertolongan, perlindungan dan keselamatan kepada Marapu. Selain itu, ritual ini
juga dimaknai sebagai ritual rekonsiliasi dengan Marapu.
Ata Saiso memohon kepada Marapu bahwa pada saat membuat loteng
rumah ditemui anggota keluarga yang beraib tubuhnya, yang berdosa badannya,
yang tidak bersih dirinya, yang melakukan perbuatan yang menyimpang dari
amanat Marapu agar diampuni. Hal itu dilukiskan pada tuturan du kettekageole,
du pagukawi pangngu (janganlah ikat bersama, jangan simpul bergandeng).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
153
Tuturan ini merujuk pada permohonan agar Marapu tidak menghitung-hitung
kesalahan dari anggota keluarga yang turut ambil bagian dalam proses pembuatan
loteng rumah sehingga seluruh proses pembuatan rumah dapat berjalan dengan
lancar dan berhasil. Seiring dengan itu pula, kehormatan dan nama baik Kabizu
Beijellopun ikut terjaga.
Masyarakat Kabizu Beijello memandang bahwa malapetaka yang dialami
satu orang saja pada saat membangun Uma Kalada diyakini sebagai pencemaran
nama baik. Oleh karena itu, sebelum membuat loteng rumah terlebih dahulu harus
dilakukan upacara rekonsiliasi dengan Yang Ilahi dan Marapu. Apabila upacara
rekonsiliasi ini tidak dilakukan atau dibuat, masyarakat Kabizu Beijello meyakini
bahwa akan ada malapetaka yang terjadi selama proses pembuatan loteng rumah
dan pembuatan loteng rumah tidak akan berhasil.
Uma Kalada (rumah besar) bagi masyarakat Marapu merupakan tempat
bagi orang yang bersih dirinya dan suci hatinya. Tempat bagi orang-orang yang
tidak melakukan pelanggaran sesuai dengan yang diamanatkan oleh Marapu,
seperti jangan membunuh, jangan mencuri, jangan berzinah, jangan berbohong
atau bersaksi dusta, harus menepati janji-janji adat. Atas dasar ini, masyarakat
Kabizu Beijello yang merasa diri melanggar perintah Marapu, sebelum pergi
mengikuti upacara adat di rumah besar terlebih dahulu harus melakukan upacara
rekonsiliasi di rumah mereka masing-masing. Dalam upacara ini, masyarakat
Kabizu Beijello dengan kesadaran penuh harus mengakui kesalahan dan dosa yang
diperbuat. Pengampunan dari Marapu dapat dilihat melalui usus dan hati ayam
yang dikorbankan sekaligus merupakan silih atas dosa yang diperbuat. Apabila
dari hasil ramalan menunjukkan bahwa orang yang memohon pengampunan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
154
tersebut tidak diampuni, maka orang tersebut tidak akan pergi mengikuti perayaan
atau upacara di rumah besar termasuk upacara membangun rumah besar. Apabila
orang tersebut memaksakan diri untuk mengikuti upacara di rumah besar diyakini
orang itu akan mendapatkan malapetaka. Selain itu, tentu Rato Uma Kalada juga
tidak akan mengizinkan orang yang melanggar perintah Marapu untuk ambil
bagian dalam proses pembangunan rumah besar. Hal ini demi menjaga nama baik
Kabizu.
Terkait dengan upaya rekonsiliasi dan dosa-dosa yang dilarang oleh
Marapu, baiknya disimak berdasarkan informasi dari informan sebagai berikut.
Dalam hal dosa dan kesalahan terdapat beberapa dosa yang paling dibenci
oleh Marapu, yakni Dala (berzina), kedu (mencuri), pamate ata
(membunuh), dan boto (berbohong, bersaksi dusta, dan tidak menepati
janji). Dosa-dosa inilah yang mencemari suku sehingga kedua hal ini sangat
dibenci oleh marapu. Untuk mendapatkan pengampunan dari Marapu maka
harus dibuatkan upacara pemulihan kanna madiina kenga da kara (agar dia
menduduki paha yang tidak berkoreng), kanna kajatuna susu dakilla (agar
dia menyusu dari susu yang tidak beracun). Yang memiliki makna agar
orang tersebut kembali ke pangkuan Marapu dan Tuhan Yang Maha
Penyayang dan Pengasih. Tuturan ini mengandung nilai pertobatan. Agar
tersebut kembali kepada Ibu dan Ayahnya dan diapun diberkati. Dengan
penyesalan atas dosa melalui upacara rekonsiliasi orang akan mendapatkan
balasan yang besar dari Tuhan (W/NKLMKB/12).
4.2.2.8 Nilai Religius
Masyarakat Kabizu Beijello sebagai masyarakat Marapu tidak hanya
percaya kepada Marapu atau kekuatan gaib yang lainnya. Akan tetapi, juga
memiliki kepercayaan kepada Wujud Tertinggi, yakni Tuhan. Selaras dengan
pandangan ini, Soelarto dalam buku yang berjudul “Budaya Sumba Jilid I” yang
diterbitkan oleh DITJEN Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
juga menemukan bahwa justru kepercayaan Marapu sendiri secara asasi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
155
(prinsipil) tidak mengakui adanya Marapu pencipta alam semesta, Marapu yang
paling tinggi tingkat derajatnya. Karena yang paling tinggi tingkat derajatnya
ialah Yang Mencipta seisi alam semesta, Yang Membentuk kehidupan, Yang
Memberi nyawa, Yang Bertelinga dan Yang Bermata Mahabesar. Terkait dengan
hal ini, nilai religius yang dihidupi oleh masyarakat Kabizu Beijello tampak dalam
data berikut.
Data 32. O1/ ES12
Nadukkiwe na’i labe a belleka, pari’i a kaladana
Sampai kepada Dia di sana cincin yang lebar , tiang yang besar
Sampai kepada Sang Khalik yang menciptakan dan menaungi seluruh umat
manusia
Ina A Mawolo , Ama A Marawi
Ibu yang mencipta, Bapak yang menjadikan
Tuhan yang menjadikan dan menciptakan manusia dan seluruh alam semesta
Konteks:
Data ini merupakan bagian dari data tradisi lisan pada tahap Saiso sebelum
membuat loteng rumah. Data tradisi lisan tersebut dinyanyikan oleh Ata Saiso
dalam ritual Urrata. Data tradisi lisan ini merupakan doa kepada nenek moyang.
Dalam doa itu, masyarakat Kabizu Beijello memohon khidmat, keselamatan,
pengampunan dan keberhasilan kepada nenek moyang.
Tuturan-tuturan pada data 32 di atas dituturkan oleh Ata Saiso dalam
konteks doa kepada Wujud Tertinggi melalui perantaraan Marapu pada ritual
Saiso. Ritual Saiso dalam konteks data ini adalah ritual permohonan keselamatan
dan keberhasilan selama pembuatan loteng rumah besar. Melalui tuturan-tuturan
dalam ritual Saiso dapat diidentifikasikan nilai religiusitas pada masyarakat
Kabizu Beijello.
Tuturan nadukkiwe na’i Labe A Belleka, Pari’i A Kaladana yang berarti
sampai kepada Dia di sana, cincin yang lebar, tiang yang tinggi merujuk pada
Tuhan sebagai Wujud Tertinggi yang digambarkan sebagai cincin yang lebar dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
156
tiang yang besar. Selain itu, Tuhan diyakini sebagai Yang Esa. Kepercayaan itu
tampak jelas dalam tuturan Ina A Mawolo, Ama A Marawi yang berarti Ibu yang
mencipta, Bapak yang menjadikan. Masyarakat Kabizu Beijello percaya bahwa
Tuhan itu Ibu sekaligus Bapak yang menciptakan dan menjadikan segala sesuatu,
yang memisahkan jari tangan dan kaki, serta yang membentuk tubuh manusia.
Terkait dengan ini, dalam Wawancara dengan informan ketika peneliti
mengajukan pertanyaan “Mengapa masyarakat Kabizu Beijello menyebut Tuhan
dengan ungkapan Dappa Tekki Ngara, Dappa Summa Tamo?” diberi kesaksian
bahwa masyarakat Kabizu Beijello menyebut Tuhan dengan ungkapan demikian
karena namaNya sangat keramat dan sakral. Oleh karena itu, namaNya tidak dapat
disebutkan secara sembarangan. Ini merupakan bentuk penghormatan dan
ketakwaan terhadap ke-Allahan dan ke-Ilahian Tuhan sebagai Pencipta dan
Penguasa seluruh alam jagad raya beserta isinya. Untuk menghormati Keluhuran
dan Kemuliaan Tuhan sebagai Yang Agung, Ilahi dan Esa, masyarakat selalu
menyebut nama Tuhan secara berpasangan, misalnya Ina Mawolo, Ama Marawi
(Ibu Yang Mencipta, Bapak Yang menjadikan) (W/NKLMKB/13).
4.2.3 Jati Diri Masyarakat Kabizu Beijello yang Terdapat dalam Tradisi
Lisan Teda pada Upacara Padede Uma Kalada
Jati diri merupakan ciri khas berdasarkan sifat atau tingkah laku baik secara
perseorangan ataupun kelompok, jati diri ini juga bisa berarti sebuah penilaian
dari pihak luar terhadap seseorang atau kelompok yang mengamatinya (Alfian,
2013: 427-428). Jati diri adalah sesuatu yang membuat kita lekas mengenali
seseorang dari tutur kata, perilaku dan pandangannya (Somantri, 2010). Dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
157
demikian, berdasarkan kedua pandangan pakar ini dapat disimpulkan bahwa jati
diri merupakan ciri khas yang dimiliki oleh setiap individu, suatu kelompok atau
komunitas tertentu yang dapat diamati melalui pola perilaku, tutur kata dan
tindakan yang dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan hasil identifikasi data sebagaimana telah dipaparkan pada
bagian deskripsi data ditemukan 7 wujud jati diri masyarakat Kabizu Beijello,
yakni (1) masyarakat yang selalu membina sikap bermusyawarah, (2) masyarakat
yang solider, (3) masyarakat yang menghormati pemimpin, (4) masyarakat
agraris, (5) masyarakat yang menghormati Marapu, (6) masyarakat ritual, (7)
masyarakat religius. Ketujuh wujud jati diri masyarakat Kabizu Beijello ini
dipaparkan sebagai berikut.
4.2.3.1 Masyarakat yang Selalu Membina Sikap Bermusyawarah
Musyawarah merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh sekelompok
orang atau komunitas dengan tujuan untuk membahas, merembukkan atau
merundingkan masalah-masalah yang dihadapi dengan tujuan untuk menemukan
solusi dari masalah yang dihadapi tersebut. Solusi yang diputuskan harus
merupakan hasil kesepakatan bersama dari komunitas atau kelompok yang
bermusyawarah. Pratiwi dan Sunarso (2018: 200) menjelaskan bahwa
musyawarah merupakan kegiatan berembuk dan berunding untuk memecahkan
masalah yang menghasilkan kesepakatan bersama. Musyawarah masyarakat
Kabizu Beijello dalam pembuatan rumah besar umumnya terjadi dalam tiga tahap,
yakni (1) musyawarah antara tetua adat rumah besar dengan tetua adat rumah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
158
kecil, (2) tetua adat rumah besar, tetua adat rumah kecil dengan anggota rumah
kecil, dan (3) tetua adat rumah besar, tetua adat rumah kecil dengan utusan dari
masing-masing rumah kecil yang dilakukan di rumah besar.
Wujud musyawarah antara tetua adat rumah besar dan tetua adat rumah
kecil tergambarkan pada data tradisi lisan sebagai berikut.
Data 33. A1/ES1
Nyado nebahinna ne’e ole bawaikoga , maida neti tidi
Baik sekarang ini kawan jika saya ada, saya datang di sini di samping
barrami neti oma dana
dekat kalian di kebun
Baik, jika saat ini saya berada di sini, di rumah kecil ini
Neti dari tana, batu ruta. Ini garuk tanah, cabut rumput
Di sini di rumah kecil
Nemme nakarewe ebana, nakarawuwe logena.
Di sana dia lapuk pinggangnya, dia berantakan rambutnya
Ini terkait badan rumah nenek moyang kita yang sudah lapuk kayunya dan
rusak atapnya
Tuta pomawo loddo, kada pomawo urra.
payung pelindung hujan, payung pelindung hujan
Rumah yang dapat memberikan kenyamanan, perlindungan, yang dapat
mempersatukan dan mendamaikan
Konteks:
Tuturan lisan di atas merupakan bagian dari tradisi lisan yang dituturkan oleh
Rato Uma Kalada Kabizu Beijello (pemimpin klan Kabizu Beijello) yang
ditujukan kepada Rato Uma Kii (tetua adat rumah kecil) pada tahap yapatekki
(pemberitahuan). Tahap Yapatekki merupakan tahap diskusi antara tetua adat
rumah besar dengan tetua adat rumah kecil. Tujuan dari diskusi itu adalah untuk
membahas terkait rumah besar yang telah mengalami pelapukan dan kerusakan.
Diskusi ini dilakukan di rumah kecil.
Tuturan lisan pada data 33 di atas dituturkan pada tahap yapatekki. Secara
harfiah yapatekki berarti pemberitahuan. Akan tetapi, dalam kaitannya dengan
proses pembangunan rumah besar seperti tampak pada data 33 di atas, yapatekki
bermakna perundingan, pendiskusian atau perembukan masalah-masalah yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
159
ditemukan terkait dengan rencana pembangunan rumah besar. Wujud musyawarah
yang tampak pada data 33 di atas adalah musyawarah antara tetua adat rumah
besar dengan tetua adat rumah kecil.
Masyarakat Kabizu Beijello memandang rumah besar sebagai tempat yang
memberikan kenyamanan dan perlindungan, tuta pomawo loddo, kada pomawo
urra (paying pelindung dari matahari, payung pelindung dari hujan). Selain itu,
rumah besar itu jugalah yang menjadi tempat bersemayam roh-roh nenek moyang.
Ketika rumah tersebut mengalami pelapukan kayu dan kerusakan atap, maka tetua
adat akan menemui masing-masing tetua adat rumah kecil untuk berembuk
bersama mengenai rencana pembangunan rumah besar. Hal ini digambarkan
dalam tuturan nyado nebahinna ne’e ole bawaikoga, maida neti tidi barrami neti
omadana (baik, jika saat ini saya berada di sini, di rumah kecil ini). Nemme
nakarewe ebana, nakarawuwe logena. (Ini terkait badan rumah nenek moyang
kita yang sudah lapuk kayunya dan rusak atapnya). Kedua tuturan ini dituturkan
oleh tetua adat rumah besar yang ditujukan kepada tetua adat rumah kecil. Kedua
tuturan dalam data ini memperlihatkan bahwa tujuan pelaksanaan musyawarah ini
adalah untuk membahas atau merundingkan terkait rumah besar yang sudah lapuk
kayunya dan rusak atapnya.
Proses musyawarah untuk membangun rumah besar dalam budaya
masyarakat Kabizu Beijello, tidak hanya dilakukan pada level tetua adat rumah
besar dengan tetua adat rumah kecil. Akan tetapi, juga terjadi antara tetua adat
rumah besar, tetua adat rumah kecil dengan anggota rumah kecil. Hal itu
tergambarkan pada data C1/ESK1 (lihat tabulasi data).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
160
Data C1/ESK1 dituturkan pada tahap musyawarah di rumah kecil.
Masyarakat Kabizu Beijello memiliki tradisi bahwa setelah terdapat kesepakatan
antara tetua adat rumah besar dengan tetua adat rumah kecil, akan ditentukan
waktu untuk pertemuan bersama antara tetua adat rumah besar, tetua adat rumah
kecil, dengan anggota rumah kecil. Rumah besar merupakan rumah Kabizu. Oleh
karena itu, semua anggota Kabizu harus dilibatkan dalam seluruh rencana
pembangunan rumah besar termasuk pada saat musyawarah. Jika anggota rumah
kecil tidak dilibatkan dalam musyawarah maka mereka tidak akan melibatkan diri
dalam proses pembangunan rumah besar. Hal itu karena anggota Kabizu Beijello
tersebut merasa kurang dihargai.
Wujud musyawarah antara tetua adat dengan anggota Kabizu pada data di
C1/ESK1 tampak pada tuturan ‘jika saat ini kita banyak dan berkumpul di sini.
Jika kita berkumpul dan berhimpun di sini. Ini terkait dengan rumah leluhur kita.
Kita mengapakan’. Pada tuturan ini menggunakan tuturan ‘kita banyak’ dan
‘berkumpul’ yang memberikan gambaran nyata bahwa dalam musyawarah itu
tidak hanya melibatkan tetua adat, tetapi juga anggota rumah kecil. Musyawarah
pada level ini bertujuan untuk mengetahui pernyataan dukungan dari anggota
Kabizu terkait dengan rencana pembangunan rumah besar. Selain itu, juga akan
dibahas beberapa hal mendasar terkait dengan rencana pembangunan rumah besar
yang meliputi waktu pembangunan rumah besar, tempat pengambil material
bangunan, tanggung jawab yang akan diambil oleh anggota rumah kecil, dan
waktu untuk musyawarah terakhir di rumah besar.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
161
Musyawarah terakhir adalah musyawarah di rumah besar yang melibatkan
tetua adat rumah besar, tetua adat rumah kecil, dan utusan dari anggota rumah
kecil. Hal ini tergambarkan pada data F1/ES7 (lihat tabulasi data). Musyawarah
terakhir merupakan musyawarah puncak dalam Kabizu Beijello yang terjadi di
rumah besar induk. Ruang lingkup musyawarah ini lebih luas dibandingkan
dengan dua level musyawarah seperti yang telah dipaparkan di atas. Keputusan-
keputusan musyawarah yang telah disepakati pada saat musyawarah di rumah
kecil akan diramu dan dibahas lebih lanjut pada musyawarah puncak ini.
Musyawarah pada level ini melibatkan tetua adat rumah besar, tetua-tetua adat
rumah kecil dan utusan dari masing-masing keluarga besar rumah kecil. Utusan
itu merupakan orang-orang terpilih yang mempunyai jiwa kepemimpinan, berani,
cakap, mampu menyampaikan aspirasi dan hasil keputusan yang telah disepakati
bersama pada saat musyawarah di rumah kecil.
Tetua adat rumah besar pada data F1/ES7 digambarkan pada tuturan lappata
yamme newe a dita wee, a poi api (serta kami di sini yang menghuni rumah
besar). Sementara itu, tetua adat rumah kecil dan utusan dari masing-masing
keluarga besar rumah kecil digambarkan pada tuturan lisan nemme a wali niri
kedu, liri wawi (di sana yang berasal dari rumah-rumah kecil). A wali Gola Mali
Ege, Tako Mali Deta (yang berasal dari Gola Mali Ege, Tako Mali Deta).
Pelibatan tetua adat rumah besar, tetua adat rumah kecil dan utusan dari
masing-masing keluarga besar rumah kecil pada musyawarah puncak ini didasari
oleh pandangan bahwa rumah besar merupakan rumah dari semua orang yang
terikat secara genealogis dengan Kabizu Beijello. Pelibatan ini demi menjaga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
162
keharmonisan satu sama lain yang akan berdampak pula pada suksesnya
pembangunan rumah besar. Hal itu sebagaimana diungkapkan oleh informan
sebagai berikut.
Uma Kalada (rumah besar) bukanlah merupakan rumah satu orang. Akan
tetapi, rumah ini merupakan rumah banyak orang, uma kabizuwe (ini
merupakan rumah klan). Jadi, semua anggota Kabizu dilibatkan dalam
musyawarah. Peiwe pata pakeddewe, pirrabapakeddewe, gagarra
bertanggung jawab, babapakeddewe, batauge tolakana, batauge ngaingo
gagarra patekki (bagaimana cara membangun, kapan proses membangun
dilakukan, siapa-siapa yang harus bertanggung jawab dan pada saat
pendirian tiang, pemuatan bubungan rumah dan pengatapan siapa-siapa
yang harus diundang). Ini semua harus dibicarakan. Musyawarah pertama-
tama dilakukan antar tetua adat, lalu tetua-tetua adat dengan anggota Kabizu
yang dilakukan di rumah kecil, dan musyawarah terakhir di rumah besar.
Hasil keputusan dari masing-masing keluarga besar rumah kecil akan
disimpulkan pada saat musyawarah di rumah besar. Proses pembangunan
rumah besar ini bukanlah merupakan hal yang mudah. Oleh karena itu, perlu
perundingan, perlu musyawarah sehingga tidak ada yang tersinggung karena
tidak dilibatkan. Apabila tidak dirunding atau dimusyawarahkan, maka
kakodou-kakodoubana ba (semuanya berjalan sendiri-sendiri) yang akan
berdampak pada proses pembangunan rumah tidak berhasil (W/JDMKB/1).
4.2.3.2 Masyarakat Kabizu Beijello sebagai Masyarakat yang Solider
Solidaritas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2016) memiliki
pengertian sifat atau perasaan solider; sifat satu rasa; persaan setia kawan.
Masyarakat Kabizu Beijello sebagai masyarakat Marapu yang terlahir dari satu
nenek moyang selalu mengutamakan sifat atau perasaan senasib, sepenanggungan
dan setia kawan dalam berperilaku hidup sehari-hari. Wujud jati diri solidaritas
itu, tampak pada data tradisi lisan dalam upacara Padede Uma Kalada sebagai
berikut.
Data 34. H2/ES6
Nebahinna kapandege hettibama kalola wawi,
Saat ini, agar kalian mengetahui kami pergi sudah berburu babi
amagesowa kedu
mengejar kera
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
163
Konteks: Tuturan lisan di atas merupakan bagian dari data tradisi lisan pada tahap
pertemuan satu keluarga besar Kabizu Beijello di rumah besar. Tuturan lisan itu
dituturkan oleh Ata Urrata dalam ritual Urrata. Ritual Urrata ini dilakukan
setelah pengambilan ikrar atau sumpah adat yang ditandai dengan pembagian sirih
pinang. Dalam konteks data ini, ritual Urrata dimaknai sebagai doa kepada
Marapu. Dalam doa itu, Ata Urrata memohon perlindungan, keselamatan dan
keberhasilan kepada nenek moyang.
Masyarakat Kabizu Beijello senantiasa menanamkan perilaku kerja sama
dalam membangun sebuah rumah besar. Kerja sama dilandasi oleh suatu ikatan
genealogis, yakni berasal dari satu nenek moyang. Kesamaan inilah yang
membuat masyarakat Kabizu Beijello merasa senasib dan sepenanggungan dalam
kehidupan bersama. Wujud dari perasaan senasib dan sepenanggungan tersebut
menyata dalam solidaritas membangun rumah besar. Masyarakat memandang
bahwa rumah besar merupakan rumah nenek moyang. Kesadaran akan asal usul
dari satu nenek moyang yang sama itulah yang menggerakkan masyarakat untuk
solider saat memotong tali dan menebang pohon seperti yang dilukiskan dalam
tuturan nebahinna kapandege hettibama kalola wawi, amagesowa kedu (saat ini
kami sudah pergi berburu babi, kami sudah pergi berburu kera). Tuturan ‘berburu
kera’ dan ‘berburu babi’ dalam konteks data di atas dimaknai sebagai aktivitas
memotong tali dan menebang pohon untuk membangun rumah besar.
Dalam budaya masyarakat Kabizu Beijello pada zaman dahulu pemotongan
pohon tidak dilakukan secara sembarangan. Akan tetapi, harus melalui proses
memilih dan memilah mana yang benar-benar berkualitas dan kuat. Untuk
mengetahui pohon itu berkualitas bagus maka harus ditombak terlebih dahulu.
Apabila pohon itu mengeluarkan ‘darah’ yang berwarna merah kehitam-hitaman
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
164
yang mengindikasikan bahwa pohon tersebut berkualitas dan kuat. Hal itu
tergambarkan pada data 34 di atas, yakni pada tuturan babamma kalolakowa
wawi, kamma kolekina wawi apaulle. Babamma magesokowa kedu, kamma
kolekina kedu a padari. Tuturan ‘wawi apaulle’ (babi yang bertaring) dimaknai
sebagai kayu yang kuat dan berkualitas bagus. Sementara itu, tuturan ‘kedu
apadari’ (kera yang berjenggot) dimaknai sebagai tali yang kuat dan berkualitas
bagus pula.
Tuturan-tuturan di atas dituturkan dalam konteks doa kepada Marapu. Ata
Urrata dalam doa tersebut menggunakan kata hettibama (kami hendak pergi),
bamma (jika kami), dan kamma (agar kami) yang menandakan bahwa ada
kekompakan dan kesatuan tekad dari anggota-anggota Kabizu yang pergi
menebang kayu dan memotong tali. Bukti kesatuan tekad, niat dan kekompakan
dari masyarakat itu disampaikan kepada Marapu melalui ritual Urrata. Dalam
dinamika spiritual Marapu segala sesuatu yang telah disampaikan kepada Marapu
harus dipatuhi dan ditaati. Oleh karena itu, untuk mensukseskan harapan bersama
yang telah disampaikan kepada Marapu, yakni kesuksesan pada saat menebang
kayu dan memotong tali seluruh anggota Kabizu harus selalu senasib dan saling
mendukung dan bekerja secara Bersama-sama.
Wujud jati diri solidaritas yang dipraktekkan oleh masyarakat Kabizu
Beijello selain pada saat menebang kayu dan memotong tali, juga tampak pada
saat mengeluarkan kayu dari hutan menuju ke tempat pembuatan rumah besar.
Wujud solidaritas itu tampak pada data tradisi lisan berikut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
165
Data 35. L1/ESK3
Djooooo appaatawu nemme a lollungo malawo mangu ana,
Hallo, siapakah kamu di sana yang beriringan bagai tikus membawa anak
Abiringo tawewe mangu tollu?
yang berkelompok bagai ayam hutan membawa telur?
Hallo, siapakah kalian yang datang beriring-iringan, yang berbondong-
bondong?
Akangira dara kodi , akabara bongga dawa
Yang meringkik bagaikan kuda Kodi, yang menyalak bagaikan anjing Jawa
Yang datang dengan pakallaka (ringkikan) dan payawau (teriakan)
Konteks: Tuturan lisan di atas merupakan bagian dari data tradisi lisan pada tahap ritual
Oka. Tuturan lisan dalam ritual Oka ini dituturkan oleh Rato Marapu yang
bertugas sebagai penanya dari pihak tuan rumah. Masyarakat Kabizu Beijello
memiliki tradisi menyambut tamu atau rombongan yang hendak memasuki
kampung dengan maksud tertentu. Tradisi itu disebut Oka. Ritual Oka itu
dilakukan di depan pintu masuk kampung. Tujuan pelaksanaan ritual ini adalah
untuk menanyakan dan menyelidiki rombongan yang hendak memasuki kampung
dengan membawa material bangunan.
Wujud jati diri solider yang digambarkan pada data 36 di atas adalah adanya
perasaan senasib dan sepenanggungan pada saat bergotong royong menarik dan
mengangkat kayu serta tali dari hutan untuk dibawa ke tempat pembuatan rumah
besar. Pada data di atas tampak pada tuturan djooooo appaatawu nemme a
lollungo malawo mangu ana, abiringo tawewe mangu tollu? Tuturan lisan ini
mengandung makna metaforis bahwa a lollungo malawo mangu ana (yang
beriring-iringan bagaikan tikus membawa anak) dan abiringo tawewe mangu tollu
(yang berbondong-bondong bagaikan ayam hutan membawa telur) dimaknai
sebagai masyarakat Kabizu Beijello yang berbondong-bondong dan beriring-
iringan pada saat bekerja sama dan bergotong royong dalam menarik kayu dan
memikul tali. Dalam iring-iringan ini tidak hanya melibatkan kaum laki-laki,
tetapi juga kaum perempuan. Semuanya menyatukan tekad dan saling
memberikan semangat agar prosesi penarikan kayu dan tali ini dapat tercapai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
166
sesuai dengan yang diharapkan bersama. Sebagaimana dalam data di atas, penutur
adat melanjutkan, akangira dara kodi, akabara bongga dawa. Tuturan lisan ini
mengandung makna metaforis, yakni akangira dara kodi (yang meringkik
bagaikan kuda Kodi) merujuk pada teriakan-teriakan khas kaum perempuan
Sumba, yakni pakallaka. Sementara itu, tuturan lisan akabara bongga dawa (yang
menyalak bagaikan anjing Jawa) merujuk pada teriakan-teriakan khas kaum laki-
laki Sumba, yakni kabara/payawau.
Dalam prosesi adat penarikan kayu, setiap tarikan kayu selalu diiringi
kabara/payawau dan pakallaka dengan tujuan untuk membangkitkan semangat
dari masyarakat yang menarik kayu dan memikul tali. Biasanya teriakan-teriakan
ini diawali dengan kabara/payawau, kemudian disahut oleh kaum perempuan
dengan pakallaka. Pembangunan rumah adat ini merupakan harapan dan niat
bersama. Oleh karena itu, demi suksesnya rencana ini, seluruh anggota Kabizu
saling mendukung dan memberikan semangat dalam suasana kegembiraan dan
penuh sukacita. Dengan kabara dan pakallaka semua orang yang terlibat dalam
prosesi penarikan kayu ini merasa memperoleh semangat baru, seolah-olah
memperoleh roh dan kekuatan baru sehingga tidak akan merasa capek atau lelah
karena semuanya dilakukan dalam suasana kebersamaan, kekompakan,
kegembiraan dan penuh sukacita.
Selain pada kedua data tradisi lisan di atas, wujud jati diri solider yang
dipraktekkan oleh masyarakat Kabizu Beijello tergambar juga pada data tradisi
lisan berikut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
167
Data 36. R1/ESK9
Nebahinna wa’ikuabana heti a wali liri kedu,
Saat ini, kami sudah berkumpul baik yang berasal dari pinggir kera,
liri wawi pinggir babi
Saat ini kami semua telah berkumpul di sini baik yang berasal dari rumah-
rumah kecil.
Lappata nawa dita we’e, a poi api
Dan juga kami di sini yang menimba air , yang meniup api
Dan juga kami di sini yang mendiami rumah besar ini
Wa’ikuawabama da’ibana lera eka bei,
Kami semua sudah berkumpul tidak ada lagi yang terbang ke lain ibu,
kedu eka ana yang lari ke lain anak
Tidak ada lagi yang berjalan sendiri-sendiri.
Kapandege , hetti damma toddukidi limmama ,
Agar kalian mengetahui, ini kami tidak menjunjung tangan kami,
damma lebakige logema
kami tidak melepas rambut kami
Agar kalian mengetahui bahwa kami tidak datang dengan tangan kosong
Manakabana manu, matewelabana yasa newe
Kami telah membawa ayam, kami telah menenteng beras di sini
Kami telah membawa ayam dan beras di sini
Konteks:
Data ini merupakan data tradisi lisan pada ritual Saiso peresmian rumah besar.
Data tradisi lisan ini dinyanyikan oleh Ata Saiso. Dalam nyanyian itu, Ata Saiso
menyampaikan kepada Marapu bahwa masyarakat Kabizu Beijello telah menepati
janji adat untuk melakukan syukuran peresmian rumah besar. Selain itu,
disampaikan juga kepada Marapu bahwa masyarakat Kabizu Beijello telah
menyatakan persatuan dan solidaritas.
Masyarakat Kabizu Beijello sebagai masyarakat yang terikat secara
geneologis selalu menumbuhkan semangat senasib dan sepenanggungan dalam
berbagai hal. Hal itu nampak dalam upacara peresmian rumah besar seperti yang
digambarkan pada data 36 di atas. Ata Saiso melantunkan doa kepada Marapu
dengan bertutur nebahinna wa’ikuabana heti a wali liri kedu, liri wawi (saat ini
kami semua telah berkumpul di sini baik yang berasal dari rumah-rumah kecil).
Tuturan ini memberikan gambaran nyata bahwa solider merupakan warisan luhur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
168
nenek moyang masyarakat Kabizu Beijello. Warisan luhur itu menjadi dambaan
nenek moyang untuk dipraktikkan generasi penerusnya. Dengan demikian, tuturan
dalam doa pada data 36 di atas merupakan sebuah pemberitahuan kepada Marapu
bahwa seluruh anggota Kabizu Beijello telah berkumpul. Perkumpulan ini
merupakan wujud nyata dari adanya perasaan senasib dan sepenanggungan yang
dalam data 36 di atas digambarkan pada tuturan wa’ikuawabama da’ibana lera
eka bei, Kedu eka ana (kami semua sudah berkumpul tidak ada lagi yang terbang
ke lain ibu, yang lari ke lain anak).
Bukti nyata dari perilaku hidup solider itu, tidak hanya dengan datang
berkumpul di rumah besar. Akan tetapi, setiap anggota Kabizu Beijello dengan
kesadaran penuh dan tanpa paksaan dari siapapun membawa sumbangan dalam
berbagai bentuk. Sumbangan itu merupakan wujud dukungan untuk
menyukseskan seluruh rangkaian upacara peresmian rumah besar yang dalam data
36 di atas tergambarkan pada tuturan hetti damma toddukidi limmama (kami tidak
datang dengan tangan kosong). Manakabana manu, matewelabana yasa newe
(kami telah membawa ayam, kami telah menenteng beras di sini). Kata ‘manu’
(ayam) dan ‘yasa’ (beras) pada tuturan ini tidak hanya bermakna ayam atau beras,
tetapi ‘manu’ dimaknai sebagai hewan-hewan sembihan dan ‘yasa’ juga dimaknai
sebagai bahan makanan yang dibawa ke rumah besar. Setiap orang secara sukarela
membawa apa saja yang sanggup dibawa. Tidak ada suatu peraturan mutlak yang
mewajibkan anggota Kabizu Beijello untuk membawa jenis sumbangan baik itu
bahan makanan maupun hewan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
169
4.2.3.3 Masyarakat yang Menghormati Pemimpin
Pemimpin adalah orang yang mengemban tugas dan tanggung jawab untuk
memimpin dan bisa mempengaruhi orang yang dipimpinnya. Penghormatan
kepada pemimpin adalah pemberian hormat kepada orang yang memimpin (Kami
2018:131). Sehubungan dengan ini, sikap menghormati pemimpin merupakan
suatu sikap hormat yang ditunjukkan oleh sekelompok masyarakat kepada
pemimpinnya yang dilandasi oleh adanya kecakapan atau kelebihan-kelebihan
tertentu yang dimiliki oleh pemimpin tersebut.
Masyarakat Kabziu Beijello selalu menunjukkan sikap penghormatan
kepada pemimpin karena ada keyakinan bahwa pemimpin klan merupakan
penyalur dan pemberi berkat karena ia dianggap sebagai yang suci hatinya dan
bersih jiwanya sehingga doa-doanya didengarkan oleh Marapu. Selain itu,
diyakini pula bahwa pemimpin klan merupakan penghubung atau mediator antara
anggota masyarakat Kabizu Beijello dengan Marapu. Atas dasar pemahaman itu,
masyarakat Kabizu Beijello selalu menaruh sikap hormat, patuh dan taat kepada
pemimpin klan Beijello. Hal ini seperti yang digambarkan dalam tradisi lisan pada
upacara Padede Uma Kalada berikut.
Data 37. D1/ES3
Balummubadoge you ina , amama
Jika engkau sudah mengatakan demikian engkau ibu, bapak kami
Jika engkau sebagai ibu, bapak kami sudah mengatakan demikian
Neti yamme a ne’ena dari tana, batu ruta
Ini kami yang ada di garuk tanah cabut rumput
Kami di sini yang berasal dari rumah kecil
Neti yamme ma dara padeku, ma bongga pamane
Ini kami kami kuda penurut kami anjing pengikut
Kami hormati keputusan ini dan siap menjalankan amanat ini
Damma negokaibage pasilli , damma kabakaibage pakai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
170
Kami juga tidak menari menghindar kami juga tidak ronggeng
mengelak
Kami juga tidak menghindar, kami juga tidak mengelak
Konteks:
Data tradisi lisan merupakan tanggapan tetua adat rumah kecil yang mewakili
suara hati dari keluarga besar rumah kecil. Tuturan lisan itu ditujukan kepada
tetua adat rumah besar sebagai pemimpin klan Beijello. Dalam tanggapan itu,
tetua adat menyampaikan bahwa seluruh anggota rumah kecil menaati keputusan
yang telah diambil oleh pemimpin klan dan siap melaksanakannya dengan penuh
tanggung jawab. Tuturan lisan ini dituturkan pada tahap musyawarah kedua di
rumah kecil.
Masyarakat Kabizu Beijello sebagai masyarakat yang selalu menghormati
pemimpin tampak jelas pada tuturan balummubadoge you ina, amama (jika
engkau sebagai Ibu dan Bapak kami sudah mengatakan demikian). Tuturan ini
memberikan gambaran nyata bahwa masyarakat Kabizu Beijello sangat
menghargai dan menghormati pemimpin spiritualitas tertinggi mereka, yakni Rato
Uma Kalada Kabizu Beijello. Wujud penghormatan ini terbukti dimana
masyarakat Kabizu Beijello menyapa Rato Uma Kalada Kabizu Beijello sebagai
Ina (ibu) dan sekaligus Ama (bapak). Ini merupakan bentuk penghormatan yang
tulus dan penuh kerendahan hati kepada Rato Uma Kalada Kabizu Beijello.
Sikap hormat dan taat masyarakat Kabizu Beijello kepada Rato Uma Kalada
Kabisu Beijello tidak hanya dilihat dalam perkataan, melainkan diwujudnyatakan
dalam tindakan. Hal itu digambarkan pada tuturan neti yamme madara padeku,
ama bongga pamane (kami seperti kuda yang penurut, kami seperti anjing yang
pengikut). Tuturan ini mengandung makna metaforis yang merujuk pada
masyarakat Kabizu Beijello yang siap menaati, menghormati dan siap
menjalankan seluruh amanat dari Rato Marapu Kabizu Beijello.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
171
Pada zaman dahulu masyarakat Sumba menggunakan dara (kuda) sebagai
alat transpotasi, sebagai kuda tunggang dan juga turut menanggung beban bawaan
tuannya. Sementara itu, bongga (anjing) selalu mengikuti tuannya kemanapun
mereka pergi. Walaupun anjing itu tersesat, tetapi akan tetap kembali ke rumah
tuannya. Dengan demikian, tuturan madara padeku dimaknai sebagai pernyataan
sikap masyarakat Kabizu Beijello yang turut merasakan dan menanggung beban
Rato Marapu Kabizu Beijello. Sementara itu, Tuturan mabongga pamane
dimaknai sebagai pernyataan sikap masyarakat Kabizu Beijello bahwa dimanapun
mereka berada akan tetap menaati, menghormati dan siap menjalankan setiap
keputusan Rato Marapu Kabizu Beijello dengan penuh tanggung jawab.
Pernyataan sikap penghormatan kepada Rato Uma Kalada Kabizu Beijello
tergambarkan pula pada tuturan damma negokaibage pasilli, damma kabakaibage
pakai. Tuturan ini dimaknai sebagai pernyataan sikap masyarakat Kabizu Beijello
yang patuh dan taat kepada pemimpin. Masyarakat Kabizu Beijello siap menuruti,
menghormati dan menjalankan keputusan yang telah diambil oleh pemimpin klan.
Dalam konteks data ini, masyarakat Kabizu Beijello menyatakan sikap ambil
bagian dalam seluruh proses pembuatan rumah adat sampai pada tahap rumah
adat siap dihuni. Sikap ini merupakan bentuk penghormatan dan penghargaan
Kabizu Beijello kepada pemimpin. Setiap keputusan yang telah ditetapkan tidak
boleh dilanggar. Apabila dalam perjalanan ada yang melanggarnya diyakini akan
mendatangkan malapetaka bagi orang yang melanggar tersebut.
Wujud nyata dari penghormatan terhadap Rato Uma Kalada Kabizu Beijello
sebagai pemimpin klan Beijello ditunjukkan oleh masyarakat Kabizu Beijello
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
172
dalam sikap siap melaksanakan setiap amanat dan perintah dari Rato Uma Kalada
Kabizu Beijello. Kesiapsediaan itu dinyatakan dalam data L2/ESK4 (lihat tabulasi
data). Tuturan madunnibawi oro, mabalibawi wewe dalam data ini mengandung
makna metaforis yang dimaknai sebagai pernyataan diri dari masyarakat Kabizu
Beijello yang telah melaksanakan amanat dari Rato Uma Kalada Kabizu Beijello.
Dalam amanat itu, masyarakat Kabizu Beijello diperintahkan untuk pergi
menebang kayu dan memotong tali.
Berdasarkan konteks, data L2/ESK4 dituturkan pada ritual Oka. Masyarakat
Kabizu Beijello memaknai ritual Oka ini untuk menanyakan siapakah rombongan
yang beriring-iringan dengan teriakan-teriakan yang khas. Selain itu, juga untuk
memberitahukan kepada khalayak yang menyaksikan ritual Oka bahwa
masyarakat Kabizu Beijello mematuhi dan menghormati pemimpin klan Beijello.
Wujud nyata dari penghormatan itu adalah masyarakat Kabizu Beijello
melaksanakan perintah dari Rato Uma Kalada Kabizu Beijello yang dalam data
ini ditunjukkan pada tuturan makolebawi wawi apa ulle, madekeba kedu. Tuturan
metaforis ini dimaknai sebagai pernyataan dari masyarakat Kabizu Beijello yang
telah kembali ke rumah besar dengan membawa kayu dan tali.
4.2.3.4 Masyarakat Kabizu Beijello sebagai Masyarakat Agraris
Masyarakat Sumba pada umumnya merupakan masyarakat petani. Petani
yang dimaksud adalah petani yang memiliki kegiatan ekonomi sangat bervariasi
dalam bidang pertanian dan peternakan. Pada umumnya masyarakat petani Sumba
memiliki mata pencaharian hidup bertani dan berternak. Dalam kegiatan pertanian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
173
saja terdiri dari usaha lahan kering dan lahan basah (sawah). Dalam kegiatan
berternak masyarakat Sumba memelihara berbagai jenis ternak besar misalnya,
kerbau, sapi, kuda. Ternak kecil misalnya, ayam, sapi kambing, anjing, kucing
(Aluman, 2016a:24).
Masyarakat Kabizu Beijello sebagai bagian dari masyarakat Sumba
merupakan masyarakat petani. Petani dalam hal ini merujuk pada masyarakat
Kabizu Beijello yang dapat melakukan berbagai kegiatan yang dapat menunjang
dan menopang kehidupan ekonomi rumah tangga. Adapun kegiatan yang
dimaksud adalah kegiatan dalam bidang pertanian, peternakan, tukang besi atau
pandai besi, dan kegiatan-kegiatan kreatif lainnya misalnya, menenun, memintal
tali, membuat berbagai anyaman-anyaman dari rotan, daun pandan, daun lontar
dan bambu. Hal itu tergambarkan dalam data tradisi lisan sebagai berikut.
Data 38. Q1/ESK8
Banebahinnage bama kako hitti ,
Sehingga dengan demikian jika kami pulang ke sana,
hatti a neena omadana
itu yang berada di kebun
Sehingga dengan demikian, jika kami pulang, terutama semua keluarga yang
berasal dari rumah kecil
Banna pennikowa manu, kamanuamapennikia
Apabila dia memelihara ayam, agar dapat berkembang biak menjadi banyak
Apabila dia memelihara ayam, agar dapat berkembang biak menjadi banyak
Banna tauku wawi, kawawiamataukia
Apabila dia memelihara babi, agar dapat berkembangbiak dengan baik
Konteks:
Tuturan lisan di atas merupakan bagian dari tradisi lisan pada pada tahap Saiso
perjanjian dengan Marapu. Masyarakat Kabizu Beijello memiliki tradisi
memohon berkat, rahmat, dan perlindungan kepada Marapu. Dalam upacara
permohonan berkat ini, masyarakat Kabizu Beijello juga membuat perjanjian
dengan Marapu bahwa apabila sesuatu yang dimohonkan itu berhasil, maka akan
dibuatkan acara syukuran. Apabila perjanjian ini tidak ditepati diyakini bahwa
akan mendatangkan malapetaka. Perjanjian adat ini dilakukan melalui ritual
Urrata dan Saiso.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
174
Wujud jati diri bertani dan berternak sejatinya merupakan identitas atau jati
diri yang tidak dapat dilepaspisahkan dari kehidupan masyarakat Kabizu Beijello.
Wujud jati diri bertani dan berternak itu nampak bahwa masyarakat Kabizu
Beijello walaupun telah memiliki pekerjaan tetap, mereka juga tetap melakoni
praktik budaya bertani dan berternak. Ketika berkunjung ke rumah masyarakat
Kabizu Beijello, pasti ada kandang babi yang selalu terisi dengan minimal satu
ekor babi.
Masyarakat Kabizu Beijello meyakini bahwa praktik budaya bertani dan
berternak merupakan perilaku hidup nenek moyang. Hal itu terbukti bahwa sejak
awal anggota-anggota masyarakat Uma Kalada yang keluar dari Uma Kalada
untuk berdikari sendiri selalu menyebut diri mereka seperti yang dieksplisitkan
pada data 40 di atas, yakni hatti a ne’ena oma dana (itu yang berasal dari kebun).
Tuturan ini mengandung makna simbolik, yakni merujuk pada anggota-anggota
masyarakat Kabizu Beijello yang berasal dari rumah kecil. Mereka selalu disebut
ata omadana (orang dari kebun) karena pada zaman dahulu anggota rumah kecil
keluar dari rumah besar karena pergi berkebun. Selain itu, anggota masyarakat
rumah kecil juga memelihara babi, ayam, anjing, kambing, kerbau, kuda, dan sapi
dengan tujuan untuk menunjang dan menopang kehidupan ekonomi rumah
tangga. Atas dasar itu, perilaku hidup bertani dan berternak yang telah
dicontohkan oleh nenek moyang mengakar, tumbuh dan melekat dalam hati dan
sanubari Kabizu Beijello sampai saat ini.
Wujud nyata dari kegiatan masyarakat Kabizu Beijello sebagai masyarakat
petani dalam bidang peternakan pada data 38 di atas tampak pada tuturan banna
pennikowa manu, kamanuamapennikia (apabila dia memelihara ayam, agar dapat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
175
berkembang biak menjadi banyak). Banna taukuwi wawi, kawawiamataukia
(Apabila dia memelihara babi, agar dapat berkembangbiak dengan baik). Tuturan
ini memberikan gambaran nyata bahwa dalam bidang peternakan, ternak yang
dipelihara oleh masyarakat Kabizu Beijello adalah ‘manu’ (ayam) dan ‘wawi’
(babi). Tuturan itu merupakan doa kepada Marapu. Masyarakat Kabizu Beijello
meyakini bahwa Marapu Kabizu Beijello sangat mendambakan agar anggota
Kabizu Beijello dapat melakukan berbagai kegiatan yang dapat menunjang
ekonomi rumah tangga terutama bertani dan berternak. Atas dasar keyakinan itu,
orang selalu memberikan nasihat kepada anak-anak mereka agar selain melakoni
sebuah pekerjaan tetap, harus juga berternak dan berkebun. Sehingga apabila
sewaktu-waktu dibutuhkan tidak harus membeli. Selain itu, hasil dari bertani dan
berternak juga dapat dijual untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak seperti
kebutuhan biaya sekolah.
Masyarakat Kabizu Beijello dalam kegiatan berternak selain memelihara
ayam dan babi, juga memelihara kuda dan kerbau. Hal ini sebagaimana
terekspresi dalam tuturan lisan dalam upacara Padede Uma Kalada sebagai
berikut.
Data 39. P1/ESK7
Natogola manairo bage, namawellita mawana bage
Sudah berhasil menyiangi sudah rampung anyaman
Saat ini proses pembangunan rumah telah selesai dan berjalan dengan lancar
Banebahinna napawe’e kaka, ingi kakaba
Saat ini sarungnya sudah putih, kainnya sudah putih
Saat ini rumah besar ini sudah baru
Kadillitaba katonga , kakaraba kawedobawe
sudah mengkilap balai-balai sudah cerah tirisan air
Balai-balai dan tirisan air sudah baru
Manu tadakowe reddetamu , wawi dukkikuwi rabamu
Ayam tandalah tempatmu, babi tandalah tempat makanmu
Ayam, babi tandalah tempatmu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
176
Karambo tadakowe okamu , dara tadako gollumu
Kerbau tandalah kandangmu, kuda tandalah kandangmu
Kerbau, kuda tandalah kandangmu
Konteks:
Tuturan lisan di atas merupakan bagian dari tradisi lisan pada tahap Saiso
menempati rumah besar. Masyarakat Kabizu Beijello memiliki tradisi melakukan
ritual Saiso setelah rumah besar selesai dibangun kembali. Upacara ini bertujuan
meminta warga rumah, binatang peliharaan, Marapu dan Tuhan sebagai Wujud
Tertinggi untuk menempati kembali rumah besar yang baru selesai di bangun
tersebut. Selain itu, dalam upacara itu secara tidak langsung Rato Marapu
meminta kepada seluruh anggota warga rumah dan warga Kabizu untuk
menunjukkan perilaku hidup sesuai dengan peran dan kedudukannya masing-
masing. Hal itu demi terciptanya keharmonisan bersama. Upacara ini hanya
diikuti oleh masyarakat Kabizu Beijello.
Wujud jati diri masyarakat Kabizu Beijello sebagai masyarakat petani pada
data 39 di atas tergambarkan pada tuturan kanna togola manairo, kanna mawellita
mawana (agar pekerjaan yang akan dikerjakan berhasil dan sukses). Tuturan
metaforis ini apabila diterjemahkan secara cermat memiliki arti agar cangkulan
menghasilkan dan agar anyaman rampung. Terjemahan cermat ini memberikan
gambaran bahwa masyarakat Kabizu Beijello merupakan masyarakat yang bertani
dan menghasilkan kerajinan tangan berupa anyaman-anyaman dari daun pandan,
rotan, bambu dan daun lontar.
Masyarakat Kabizu Beijello sebagai masyarakat petani sesungguhnya sudah
tergambarkan secara jelas berdasarkan arsitektur rumah adat. Hal itu karena pada
rumah adat masyarakat Sumba umumnya dan Kabizu Beijello khususnya terdapat
tempat khusus untuk penyimpanan hasil bertani seperti padi, jagung, ubi, kacang-
kacangan, pinang, pisang dan bahan-bahan makanan lainnya yang biasa disebut
uma dana (loteng rumah). Selain itu, terdapat tempat khusus untuk ternak yang
biasa disebut gollu dana (kandang). Pada bagian gollu dana masih terbagi lagi ke
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
177
dalam beberapa bagian sesuai dengan jenis ternak. Hal itu tergambarkan pada data
39 di atas, yakni pada tuturan manu tadakowe reddetamu, wawi dukkikuwi
rabamu (ayam tandalah tempatmu, babi tandalah tempat makanmu). Karambo
tadakowe okamu, dara tadako gollumu (Kerbau tandalah kandangmu, kuda
tandalah kandangmu). Reddeta pada tuturan ini merupakan tempat khusus untuk
ayam. Raba merupakan tempat khusus untuk babi. Oka merupakan tempat khusus
untuk kerbau. Dan gollu merupakan tempat khusus untuk kuda. Dengan demikian,
berdasarkan konstruksi bangunan rumah adat tampak jelas bahwa masyarakat
Kabizu Beijello adalah masyarakat petani. Sebagai masyarakat petani di bidang
peternakan masyarakat Kabizu Beijello memelihara manu (ayam), wawi (babi),
karambo (kuda), dan dara (kuda).
Selain itu, pada data 39 di atas juga memperlihatkan masyarakat Kabizu
Beijello sebagai masyarakat bertani dan penghasil ekonomi kreatif seperti
bertenun. Hal itu tergambar dalam tuturan kadillitaba katonga (balai-balai sudah
licin). Tuturan ini memberikan gambaran nyata bahwa balai-balai masyarakat
Sumba pada umumnya terbuat dari bambu bulat. Seiring dengan ini, bambu
merupakan salah satu jenis tanaman yang ditanam oleh masyarakat Kabizu
Beijello. Sementara itu, masyarakat Sumba sebagai penghasil ekonomi kreatif
pada data 39 digambarkan pada metafora napawe’e kaka, ingi kakaba. Metafora
ini apabila diterjemahkan secara cermat memiliki arti sarungnya sudah putih,
kainnya sudah putih. Hal ini memberikan gambaran nyata bahwa sarung putih dan
kain putih merupakan jenis tenunan yang dihasilkan oleh masyarakat Kabizu
Beijello. Sarung merupakan tenunan khusus untuk perempuan. Sementara itu, kain
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
178
merupakan tenunan khusus untuk laki-laki. Terkait dengan kegiatan ekonomi
kreatif yang dilakukan oleh masyarakat Kabizu Beijello tergambarkan pula pada
data tradisi lisan Teda berikut.
Data 40. O2/ESK6
Kapamenderadandi kapouta , katopo,
Agar kalian memegang kuat-kuat ikat kepala, parang,
Agar kalian memegang kuat-kuat ikat kepala, parang
kalaboda ata pennenanno
ikat pinggang dari orang yang memanjat loteng
ikat pinggang dari orang-orang yang memanjat loteng
Konteks:
Tuturan lisan di atas merupakan bagian dari tradisi lisan pada tahap Saiso
pembuatan loteng rumah. Data tradisi lisan ini dinyanyikan oleh Ata Saiso.
Nyanyian ini merupakan doa yang ditujukan kepada Tuhan melalui perantaraan
Marapu. Dalam doa itu, Ata Saiso memohon pengampunan, keselamatan dan
keberhasilan pembuatan loteng rumah.
Data 41. N1/EK2
Waikobatallawi indatallaki Walaupun kelihatannya ini gong tapi bukan gong
Walaupun kelihatannya ini gong tapi bukan gong
waikobabeduwi indabeduki
walaupun kelihatannya ini tambur tapi bukan tambur
Walaupun kelihatannya ini tambur tapi bukan tambur
Li’ikawulagundi , li’ikaaulagundi
Mereka adalah suara yang memanggil Mereka adalah suara yang
mengundang
Tapi ini adalah suara yang memanggil dan mengundang seluruh keluarga
besar untuk menyatakan dukungan dan solidaritas
Konteks:
Tuturan lisan di atas merupakan bagian dari tradisi lisan pada tahap musyawarah
satu keluarga besar Kabizu Beijello di rumah besar (rumah adat). Tuturan lisan
tersebut dituturkan oleh tetua adat yang menjaga rumah besar. Tetua adat itu
merupakan pemimpin klan Beijello. Musyawarah yang diadakan di rumah besar
ini merupakan musyawarah terakhir sebagai penentu keputusan dan sekaligus
pembagian tugas pembangunan rumah besar. Musyawarah ini diikuti oleh tetua
adat rumah besar, tetua-tetua adat rumah kecil dan anggota-anggota Kabizu
Beijello yang mempunyai pemikiran yang luas, cakap, berani dan berjiwa
kepemimpinan. Dalam musyawarah itu, tetua adat menghimbau agar seluruh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
179
anggota keluarga selalu bersatu, sehati, sesuara demi suksesnya pembangunan
rumah besar.
Tuturan kapamenderadandi kapouta, katopo, kalaboda ata pennenanno
pada data 40 memberikan gambaran bahwa kapouta, katopo (parang), dan kalabo
merupakan produk dari ekonomi kreatif. Kapouta merupakan kain tenun yang
diikat di kepala yang biasa disebut selendang. Sementara itu, Kalabo merupakan
kain tenun yang biasa diikat di pinggang. Selain menenun, produk ekonomi
kreatif lainnya yang dihasilkan oleh masyarakat Kabizu Beijello tampak pula pada
data 41, yakni pada tuturan waikobatallawi indatallaki, waikobabeduwi
indabeduki. Wujud dari ekonomi kreatif yang tampak pada tuturan ini adalah
‘talla’ (gong) dan ‘bedu’ (tambur).
Berdasarkan hasil pengamatan peneliti, masyarakat Kabizu Beijello masih
giat menenun, membuat parang, kapak, pisau, tombak, panah, pacul, cangkul,
sabit, dan membuat sendok dari kayu. Selain itu, masyarakat Kabizu Beijello juga
membuat berbagai jenis anyaman, seperti gedek, keranjang, tikar, nyiru, bakul,
besek, kaleku (tas khas Sumba khusus untuk menyimpan sirih pinang) dan masih
banyak lagi lainnya. Hasil produk masyarakat tersebut kemudian dijual untuk
dapat memenuhi kebutuhan harian.
Selain untuk menopang ekonomi rumah tangga, salah satu motif utama
masyarakat Kabizu Beijello bekerja kebun dan memelihara ternak adalah untuk
dapat digunakan dalam upacara-upacara adat. Hal itu tergambarkan pada data
E1/ESK2 (lihat tabulasi data). Tuturan nennati yasa, pamama (itu beras dan sirih
pinang). Deibapo yo’u ina, yo’u amama (Terimalah kalian nenek moyang kami)
dan tuturan na’i manu bowakahinna (itu ayam agar tandanya menerima)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
180
memberikan gambaran jelas bahwa hasil bertani dan beternak digunakan dalam
upacara adat. Data E1/ESK2 itu dituturkan dalam ritual Urrata. Masyarakat
Kabizu Beijello memiliki tradisi bahwa untuk dapat melakukan ritual Urrata harus
ada beras, sirih, pinang dan ayam. Beras, sirih dan pinang digunakan untuk
membuka komunikasi dengan Marapu. Sementara itu, ayam digunakan untuk
meramalkan persetujuan Marapu terkait dengan permohonan yang disampaikan
dalam ritual Urrata itu. Ayam yang digunakan dalam ritual Urrata harus
merupakan ayam kampung, bukan jenis ayam broiler atau ayam pedaging.
Berdasarkan wawancara dengan informan diberi kesaksian bahwa untuk
dapat melakukan ritual Urrata harus ada beras, sirih, pinang dan ayam. Dan harus
merupakan hasil kebun dan ternak sendiri dari orang yang membuat ritual.
Masyarakat penganut Marapu pada umumnya, mempunyai kebiasaan selalu
menyiapkan beras untuk ritual Urrata. Beras ini biasanya disimpan di botol-botol
yang telah dipersiapkan. Walaupun tidak ada bahan makanan, beras yang telah
dipersiapkan untuk ritual Urrata ini tidak boleh diambil dan botol-botol
penyimpanan beras tidak boleh kosong. Hal ini bertujuan untuk berjaga-jaga
apabila sewaktu-waktu akan diadakan ritual Urrata. Beras itu merupakan media
komunikasi dengan Marapu. Sementara itu, ayam digunakan untuk mengetahui
persetujuan Marapu terkait permohonan dalam ritual Urrata itu yang dapat dilihat
melalui hati dan usus ayam (W/JDMKB/3).
4.2.3.5 Masyarakat yang Menghormati Marapu
Pulau Sumba dikenal sebagai “Tanah Marapu”. Sebutan itu dilatarbelakangi
oleh kenyataan bahwa masyarakat Sumba memiliki hubungan yang erat dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
181
tradisi dan kebudayaan yang berakar pada kepercayaan Marapu. Hal ini
ditegaskan oleh Welem (2004:41) dalam Kleden (2013:5) yang mengatakan
bahwa mengenal Sumba berarti mengenal Marapu, Sumba berarti Marapu dan
Marapu berarti Sumba. Jalan masuk mengenal Sumba hanya melalui Marapu.
Solihin (2013) dengan mengutip pandangan L. Ovlee (dalam Wellem,
2004:41) mengungkapkan bahwa Marapu berasal dari dua kata, yakni ma dan
rappu. Ma bermakna “yang”, dan rappu bermakna “dihormati”, “disembah”, dan
“didewakan”, sehingga Marappu merujuk pada arti sesuatu yang dihormati,
disembah, atau didewakan. Dengan demikian, Marapu dalam konteks penelitian
ini adalah roh-roh leluhur dan roh-roh gaib yang dihormati oleh masyarakat
Kabizu Beijello. Wujud penghormatan masyarakat Kabizu Beijello terhadap roh-
roh leluhur dan roh-roh gaib dipaparkan lebih lanjut sebagai berikut.
1) Masyarakat yang Menghormati Leluhur
Masyarakat Kabizu Beijello menghormati leluhur karena dilandasi oleh
keyakinan bahwa roh-roh leluhur yang disebut Marapu dapat mengabulkan setiap
permohonan manusia dalam kaitannya keselamatan dalam setiap aktivitas yang
dilakukan, keberhasilan dalam suatu pekerjaan, kesembuhan dari penyakit. Di sisi
lain, Marapu juga dapat mendatangkan malapetaka apabila manusia menunjukkan
perilaku hidup yang tidak dikehendaki oleh Marapu. Atas dasar itu, masyarakat
Kabizu Beijello selalu menaruh sikap taat dan hormat kepada Marapu. Adapun
wujud penghormatan itu adalah masyarakat Kabizu Beijello selalu menjaga
warisan-warisan Marapu (leluhur) dan melakukan ritual pengucapan syukur
kepada leluhur atas suatu keberhasilan yang dicapai. Hal itu seperti yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
182
terekspresikan dalam tradisi lisan pada upacara Padede Uma Kalada sebagai
berikut.
Data 42. F2 /EK1
Peidawe newe akarewe ebana, a karawu logena
Kita mengapakan ini yang lapuk pinggangnya, yang berantakan rambutnya
Gainagu kanuarage, karawipi’age lungguwaga
Agar dibongkar, agar dibuat ulang saya bilang
Saya berpikir agar segera dibongkar dan dibangun ulang
Konteks:
Tuturan lisan di atas merupakan bagian dari tradisi lisan pada tahap musyawarah
satu keluarga besar Kabizu Beijello di rumah besar (rumah adat). Tuturan lisan
tersebut dituturkan oleh tetua adat yang menjaga rumah besar. Tetua adat itu
merupakan pemimpin klan Beijello. Musyawarah yang diadakan di rumah besar
ini merupakan musyawarah terakhir sebagai penentu keputusan dan sekaligus
pembagian tugas pembangunan rumah besar. Musyawarah ini diikuti oleh tetua
adat rumah besar, tetua-tetua adat rumah kecil dan anggota-anggota Kabizu
Beijello yang mempunyai pemikiran yang luas, cakap, berani dan berjiwa
kepemimpinan. Dalam musyawarah itu, tetua adat menghimbau agar seluruh
anggota keluarga selalu bersatu, sehati, sesuara demi suksesnya pembangunan
rumah besar.
Uma Kalada Kabizu Beijello (rumah besar Kabizu Beijello) merupakan
rumah dari semua rumah yang berasal dari klan Beijello. Rumah pertama dari
semua anggota keluarga yang terhimpun dalam klan Beijello. Rumah ini dibangun
oleh nenek moyang pertama dari klan Beijello yang dalam ungkapan adatnya
kawunga tou welli, kawunga dede pari’i (awal mula badan yang berharga, awal
mula berdirinya tiang). Tuturan ini dimaknai oleh masyarakat Kabizu Beijello
bahwa Uma Kalada Kabizu Beijello merupakan rumah pertama yang didirikan
oleh nenek moyang Kabizu Beijello dan dari sanalah awal mula kehidupan Kabizu
Beijello.
Sebagai wujud hormat kepada nenek moyang yang telah mengawali
kehidupan dan mendirikan Uma Kalada, masyarakat Kabizu Beijello selalu
menjaga dan membangun ulang Uma Kalada Kabizu Beijello apabila telah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
183
mengalami pelapukan atau kerusakan. Hal itu seperti yang terekspresikan pada
data 42 di atas, yakni pada tuturan peidawe newe akarewe ebana, a karawu
logena (kita mengapakan badan rumah nenek moyang kita yang sudah lapuk
kayunya dan rusak atapnya?). Gainagu kanuarage, karawipi’age lungguwaga
(Saya berpikir agar segera dibongkar dan dibuat ulang). Tuturan ini dituturkan
oleh tetua adat pada saat musyawarah di rumah besar. Agenda utama yang
dirembukkan dalam musyawarah itu adalah rencana pembangunan ulang rumah
besar yang telah mengalami pelapukan dan kerusakan. Dengan demikian, menjaga
dan mempertahankan rumah besar sebagai warisan nenek moyang merupakan
suatu keharusan bagi masyarakat Kabizu Beijello. Perilaku demikian dimaknai
oleh masyarakat Kabizu Beijello sebagai wujud mengenang dan menghormati
nenek moyang.
Selain menjaga warisan nenek moyang, masyarakat Kabizu Beijello juga
menghormati nenek moyang dengan cara melakukan upacara pengucapan syukur.
Upacara pengucapan syukur itu dikenal dengan istilah pesta Woleka, yakni
upacara pengucapan syukur kepada nenek moyang atas keberhasilan suatu
rencana, niat, cita-cita dan pekerjaan yang dilakukan. Upacara syukur sebagai
wujud penghormatan kepada Marapu tergambarkan dalam data M1/ES11 (lihat
tabulasi data). Masyarakat Kabizu Beijello meyakini bahwa seluruh kehidupan ini
dapat terselenggarakan hanya karena atas pertolongan dan bantuan Marapu.
Marapu diyakini sebagai pelindung dari segala marabahaya. Hal itu dalam data
M1/ES11 tampak pada tuturan tuta pamawo loddo, kada pamawo urra.
Masyarakat Kabizu Beijello memaknai tuturan lisan ini tidak hanya merujuk pada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
184
rumah besar yang dapat memberikan perlindungan dari matahari dan hujan. Akan
tetapi, di rumah besar terdapat roh-roh nenek moyang yang disebut Marapu. Roh-
roh itu diyakini sebagai benteng pelindung dari segala malapetaka.
Selain itu, Marapu juga diyakini sebagai pemberi berkat dan rahmat. Hal itu
dieksplisitkan dalam data M1/ES11 pada tuturan banna yawe we’e maringi,
banna yawe we’e Malala. Frasa ‘we’e maringi’ (air dingin) dan ‘we’e malala’ (air
sejuk) pada tuturan ini bermakna berkat dan rahmat. Dengan demikian, tuturan ini
memberikan gambaran nyata bahwa Marapu adalah sumber segala berkat dan
rahmat dari segala jerih payah dan kerja keras masyarakat Kabizu Beijello, yang
pada data 47 di atas ditunjukkan pada tuturan dari tana, batu ruta. Selain itu,
Marapu juga yang menganugerahkan berkat dan rahmat bagi masyarakat Kabizu
Beijello dalam ‘memelihara ayam, babi’, ‘memanen padi dan jagung’.
Atas dasar pemahaman di atas, masyarakat Kabizu Beijello selalu
menunjukkan sikap hormat kepada Marapu. Wujud penghormatan kepada
Marapu yang ditampakkan pada data M1/ES11 adalah masyarakat Kabizu
Beijello sebelum membongkar rumah besar yang merupakan tempat kediaman
Marapu, terlebih dahulu harus diadakan upacara pengucapan syukur atas segala
perlindungan, berkat dan rahmat yang telah dilimpahkan. Hal ini merupakan salah
satu cara menjaga keseimbangan dan harmonisasi dengan Marapu. Dengan
demikian, proses pembongkaran rumah besar dan seluruh rencana dalam kaitan
dengan pembangunan rumah besar diyakini akan berjalan dengan lancar.
Upacara pengucapan syukur sebagai wujud penghormatan kepada Marapu
tidak hanya dilakukan ketika hendak membongkar rumah besar. Akan tetapi, juga
dilakukan setelah rumah besar itu selesai dibangun. Hal itu tergambarkan pada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
185
data P1/ESK7 (lihat tabulasi data). Masyarakat Kabizu Beijello memiliki tradisi
bahwa setelah berhasil mendirikan rumah besar harus diadakan upacara
pengucapan syukur. Upacara itu dimaknai sebagai wujud penghormatan kepada
Marapu yang telah melindungi, menyertai dan memberkati sehingga seluruh
proses pembangunan rumah besar dapat berjalan dengan lancar dan rumah
besarpun berhasil didirikan. Hal itu tergambarkan pada tuturan natogola manairo
bage, namawellita mawana bage. Tuturan ini dituturkan dalam konteks doa
kepada Marapu pada ritual Padeta Marapu. Masyarakat Kabizu Beijello
memaknai ritual Padeta Marapu sebagai ritual pemberitahuan dan pengucapan
syukur serta terimakasih kepada Marapu atas keberhasilan pembangunan rumah
besar. Perilaku hidup seperti ini dimaknai sebagai wujud penghormatan kepada
Marapu. Dengan demikian, doa-doa yang disampaikan oleh Ata Saiso dalam
ritual Padeta Marapu dapat didengarkan dan disampaikan oleh Marapu kepada
Yang Ilahi sebagai sumber kehidupan. Masyarakat Kabizu Beijello meyakini
bahwa apabila ritual ini tidak dilakukan maka perjalanan kehidupan ke depannya
tidak akan mendapatkan keberkatan.
2) Masyarakat yang Menghormati Roh-Roh Gaib
Disamping percaya terhadap leluhur masyarakat Sumba juga meyakini
adanya roh-roh gaib yang dapat menolong atau mencelakakan kehidupan manusia.
Kepercayaan terhadap roh merupakan kebutuhan untuk menangkal kejahatan,
musibah atau menjamin keselamatan (Djawa dan Suprijono, 2014:75). Kesadaran
bahwa roh-roh gaib memiliki pengaruh atas keselamatan dan keberhasilan maka
masyarakat Kabizu beijello sebagai bagian dari masyarakat Sumba selalu menaruh
sikap hormat kepada roh-roh gaib. Wujud penghormatan terhadap roh-roh gaib
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
186
adalah dengan cara memohon izin dan mengucap syukur. Hal itu tergambarkan
pada data tradisi lisan berikut.
Data 43. J1/ES9
Nenna rengepo you ina mori loda, ama mori pada
Itu dengarlah engkau ibu pemilik hutan, bapak pemilik padang
Dengarlah dewa pemilik hutan dan pemilik padang
Ina mori loko, ama mangu tana
Ibu pemilik kali, bapak pemilik tanah
Dewa pemilik kali dan pemilik tanah
Ka dara pa kaloga ma , ka tena pa magawa ma
Agar seperti kuda yang bebas kami , agar seperti sampan yang leluasa kami
Agar kami seperti kuda yang bebas, agar kami seperti sampan yang leluasa
Agar kami diberi kebebasan dan keleluasaan
Dappalaka kama karingge, dappa lodakama kalerre
Janganlah palang kayu, janganlah menarik tali
Janganlah menghalangi kami
Konteks:
Tuturan lisan di atas merupakan bagian dari tradisi lisan dalam ritual Urrata pada
tahap penebangan pohon dan pemotongan tali di hutan. Data tradisi lisan ini
merupakan doa yang mengandung makna permohonan izin kepada roh-roh yang
diyakini sebagai pemilik hutan, padang, kali dan tanah. Dalam ritual ini,
masyarakat Kabizu Beijello memberikan sesajen berupa satu anak ayam, satu butir
telur, kapas, tembakau, sirih, pinang dan serpihan emas atau perak. Perkenanan
dan persetujuan roh-roh yang mendiami hutan tersebut dapat diramalkan atau
dilihat oleh Ata Urrata (imam Marapu) melalui usus ayam, hati ayam dan hati
babi.
Roh gaib dalam konteks data 43 di atas adalah makhluk halus yang diyakini
sebagai ina mori loda, ama mori pada (Ibu pemilik hutan dan Bapak pemilik
padang). Kesadaran bahwa hutan mempunyai pemilik dan pelindung, maka
sebelum prosesi penebangan pohon yang juga akan berdampak pada kerusakan
ekosistem yang ada di hutan itu, maka terlebih dahulu harus dilakukan ritual
wukke kadawu. Masyarakat Kabizu Beijello memaknai ritual wukke kadawu
sebagai ritual permohonan izin sebelum masuk ke dalam hutan untuk menebang
kayu dan memotong tali.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
187
Pelaksanaan ritual wukke kadawu sejatinya merupakan wujud penghormatan
masyarakat Kabizu Beijello terhadap roh-roh gaib yang telah menjaga dan
melindungi hutan. Masyarakat Kabizu Beijello meyakini bahwa sikap hormat
kepada roh gaib dengan cara terlebih dahulu memohon izin akan membawa
keberhasilan pada saat penebang pohon dan memotong tali. Hal itu karena roh-roh
gaib yang menjaga hutan telah memberikan keleluasaan dan kebebasan kepada
masyarakat Kabizu Beijello. Dalam data 43 di atas tergambarkan pada tuturan ka
dara pa kaloga ma, ka tena pa magawa ma (Agar kami diberi kebebasan dan
keleluasaan). Tuturan ini dituturkan dalam konteks doa kepada roh-roh gaib.
Dalam doa itu, Ata Urrata memohon kepada roh-roh gaib agar diberi keleluasaan
dan kebebasan pada saat menebang pohon dan memotong tali. Jawaban dari
permohonan itu dilihat melalui usus dan hati ayam. Proses penebangan pohon
baru dapat dimulai apabila berdasarkan ramalan roh-roh gaib telah memberikan
kebebasan dan izin. Dengan demikian, perilaku hidup menghormati roh gaib
dengan cara memohon izin merupakan perilaku hidup menciptakan keseimbangan
dan keharmonisan dalam pelana alam semesta.
Selain dengan memohon izin, wujud penghormatan kepada roh-roh gaib
juga dilakukan dengan cara mengucap syukur dan terimakasih karena telah
berhasil memotong kayu dan tali. Hal itu digambarkan pada data tradisi lisan
(K1/ES10) (lihat tabulasi data). Masyarakat Kabizu Beijello menyadari bahwa
keberhasilan yang diraih tersebut bukan semata-mata karena kemampuan mereka,
melainkan karena pertolongan dan bantuan dari roh-roh gaib. Masyarakat Kabizu
Beijello meyakini bahwa roh-roh gaib itulah yang telah menjaga tempat-tempat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
188
yang dianggap sakral dan keramat sehingga masyarakat Kabizu Beijello tidak
mendapatkan hambatan apapun dalam proses pengambilan material bangunan
rumah besar. Roh-roh gaib yang diyakini sebagai pemilik hutan itulah yang telah
memberikan keleluasan, kebebasan, perlindungan dan pertolongan kepada
masyarakat Kabizu Beijello sehingga seluruh proses pengambilan material
bangunan dapat berjalan dengan lancar dan sukses. Atas dasar kesadaran itu,
masyarakat Kabizu Beijello menaruh sikap hormat kepada roh-roh gaib dengan
cara mengucap syukur.
4.2.3.6 Masyarakat Kabizu Beijello sebagai Masyarakat Religius
Religi bersinonim dengan kepercayaan, yakni kepercayaan kepada Tuhan
dan kepercayaan akan adanya kekuatan adikodrati yang melampaui kemampuan
manusia. Kepercayaan itu selama ini dikenal sebagai kepercayaan animisme dan
dinamisme (Bera, 2016:198). Masyarakat Kabizu Beijello adalah masyarakat yang
menganut kepercayaan Marapu. Dalam kepercayaan itu, masyarakat Kabizu
Beijello percaya akan adanya kekuatan-kekuatan adikodrati yang berasal dari roh-
roh nenek moyang dan roh-roh gaib. Kekuatan-kekuatan adikodrati itu dipercaya
dapat mempengaruhi kehidupan manusia dalam kaitannya dengan keberhasilan
dan kegagalan dalam suatu pekerjaan. Meskipun demikian, masyarakat Kabizu
Beijello sebagai masyarakat Marapu juga tidak mengingkari akan adanya
kekuasaan tunggal yang hanya berasal dari Tuhan Sang Pencipta dan Penguasa.
Yang menciptakan dan berkuasa atas seluruh alam semesta termasuk kekuatan-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
189
kekuatan adikodrati itu. Hal itu digambarkan dalam tradisi lisan Teda sebagai
berikut.
Data 44. O1/ES12
Nebahinna kapandege you ina, you ama
Saat ini supaya kalian mengetahui, engkau ibu, engkau bapak
Saat ini, agar nenek moyang mengetahui
Nadukkiwe na’i labe a belleka, pari’i a kaladana
Sampai kepada dia di sana cincin yang lebar , tiang yang besar
Sampai kepada Sang Khalik
A kanga wolla limma, a bokka wolla wa’i
Yang memisah jari tangan, yang membagi jari kaki
Tuhan sebagai pemisah jari tangan dan jari kaki
Ina A Mawolo , Ama A Marawi
Ibu yang mencipta, Bapak yang menjadikan
Tuhan yang menjadikan dan menciptakan manusia dan seluruh alam semesta
Adopola tou , A adiwe wekki
Yang membentuk badan, yang memadatkan tubuh
Tuhan yang membentuk dan memadatkan badan
Konteks:
Tuturan lisan di atas merupakan bagian dari tradisi lisan pada tahap Saiso
pembuatan loteng rumah. Data tradisi lisan ini dinyanyikan oleh Ata Saiso.
Nyanyian ini merupakan doa yang ditujukan kepada Tuhan melalui perantaraan
Marapu. Dalam doa itu, Ata Saiso memohon pengampunan, keselamatan dan
keberhasilan pembuatan loteng rumah.
Masyarakat Kabizu Beijello memandang Tuhan sebagai Yang Luhur, Agung
dan Esa. Oleh karena itu, masyarakat Kabizu Beijello takut untuk mendekati dan
memohon secara langsung kepada Tuhan. Dalam praktik religius, setiap
permohonan yang disampaikan kepada Tuhan harus melalui perantaraan Marapu
dan Tuhan menjawab permohonan itu melalui Marapu pula. Praktik religius
dengan menyampaikan permohonan kepada Tuhan melalui perantaraan Marapu
pada data tradisi lisan 44 di atas, tergambarkan pada tuturan saat ini, agar nenek
moyang mengetahui. Sampai kepada Sang Khalik. Tuturan ini memberikan
gambaran nyata bahwa masyarakat Kabizu Beijello dalam praktik religius
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
190
memandang Marapu sebagai penghubung dan penyampai permohonan kepada
Sang Khalik. Yang dalam ungkapan adatnya, a kaito papadolana panewe, a lende
papalana kadauka yang bermakna yang menjadi galah untuk menyampaikan
pembicaraan dan menjadi jembatan untuk menyeberangkan hasil perbincangan
kepada Sang Khalik.
Masyarakat Kabizu Beijello selain tidak dapat menyampaikan permohonan
secara langsung kepada Tuhan juga tidak dapat menyebut nama Tuhan secara
langsung. Hal itu karena masyarakat Kabizu Beijello memandang Tuhan sebagai
Yang Luhur, Mulia, dan Esa. Oleh karena itu, nama Tuhan pantang disebutkan
secara langsung yang dalam bahasa Wewewanya Dappa Tekki Ngara, Dappa
Summa Tamo (Yang Tidak dapat disebutkan Nama-Nya, Yang Tidak dinyatakan
gelar). Dalam wawancara dengan informan ketika peneliti mengajukan pertanyaan
“Mengapa masyarakat Kabizu Beijello tidak dapat menyebutkan nama Tuhan dan
menyampaikan permohonan secara langsung kepada Tuhan?” diberi kesaksian
bahwa Tuhan itu dipandang sebagai Yang sangat sakral, Mahasuci, dan luhur. Dia
sangat ditakuti dan disegani. Oleh karena itu, nama Tuhan tidak dapat disebutkan
secara sembarangan. Dan kitapun tidak boleh menyampaikan permohonan secara
langsung kepada Tuhan. Ini merupakan bentuk penghormatan dan ketakwaan
terhadap ke-Allahan dan ke-Ilahian Tuhan sebagai Pencipta dan Penguasa seluruh
alam jagad raya beserta isinya (W/JDMKB/5).
Pengakuan akan adanya Tuhan Sang Khalik senantiasa dinyatakan dengan
nama-nama paralel atau kalimat-kalimat kiasan. Nama-nama paralel dalam bentuk
kiasan itu dengan maksud untuk menunjukkan fungsi sentral dan hakikat dari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
191
Tuhan Sang Pencipta dan Penguasa seluruh alam semesta yang pada data di atas
ditunjukkan pada tuturan labe a belleka, pari’i a kaladana. Tuturan ini memiliki
makna ikonisitas yang merujuk pada cincin yang terbuat dari kayu yang
dilekatkan pada tiang Agung yang diyakini sebagai tempat bertahta dan mezbah
Tuhan. Tuturan ini digunakan untuk menggambarkan Keagungan dan Kebesaran
Tuhan. Selain itu, juga untuk menggambarkan hakekat Tuhan sebagai tempat
untuk bernaung, bersandar dan menyampaikan setiap permohonan serta
pergumulan hidup. Selain itu, pada data di atas masyarakat Kabizu Beijello
meyakini bahwa hanya Tuhanlah yang dapat ‘memisah jari tangan, memisah jari
kaki’, ‘menjadikan dan menciptakan manusia serta seluruh alam semesta’,
‘membentuk dan memadatkan badan’.
Masyarakat Kabizu Beijello selain meyakini bahwa Marapu (roh-roh nenek
moyang) merupakan perantara antara manusia dan Sang Ilahi, tetapi juga sebagai
pelindung dari roh-roh gaib. Roh-roh nenek moyang yang disebut Marapu itu
diyakini memiliki kuasa atas roh-roh gaib. Kesadaran atas keyakinan itu,
masyarakat Kabizu Beijello pada saat berhadapan dengan roh-roh gaib selalu
memohon perlindungan kepada roh-roh nenek moyang. Hal itu tergambarkan
pada data tradisi lisan Teda sebagai berikut.
Data 45. I1/ES8
Kaletekowama towo, kasongakowama bale
Tungganglah kami kepala, peluklah kami badan
Tungganglah kepala kami, peluklah badan kami
Lindungilah kami
Kopora kaduango, gollu pamamanno
Tutup bungkus, kandang kami yang aman (kandangkanlah kami yang aman)
Tutup bungkuslah kami agar kami selalu merasa aman
Yako mangewala mata, kayalo wekki
Berilah terang mata, ringan badan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
192
Berilah kami kesehatan
Pawessidakkota bani ate, bani wiwi
Kekuatan marah hati, marah bibir
Berilah kami kekuatan dan keberanian
Baaroni ina mori loda, ama mori pada
Ketika berhadapan dengan ibu pemilik hutan bapak pemilik padang
Ketika kami berhadapan dengan roh pemilik hutan dan roh pemilik padang
Ina pepa , Ama Mawo
Ibu pelindung, bapak penjaga
Roh-roh yang melindungi dan menjaga hutan dan padang
Konteks:
Data ini merupakan bagian dari data tradisi lisan pada tahap Urrata di rumah
besar pada malam sebelum pergi menebang kayu dan memotong tali di hutan.
Tuturan lisan dalam ritual Urrata itu dituturkan oleh Ata Urrata (imam Marapu).
Tuturan lisan ini merupakan doa kepada Marapu untuk memohon perlindungan
dari roh-roh gaib.
Masyarakat Kabizu Beijello dalam praktik religius selalu memohon
perlindungan kepada roh-roh nenek moyang ketika berhadapan dengan roh-roh
gaib. Hal dieksplisitkan pada data tradisi lisan 45 di atas, yakni pada tuturan
lindungilah kami. Tutup bungkuslah kami agar kami selalu merasa aman. Berilah
kami kesehatan, berilah kami kekuatan dan keberanian. Ketika kami berhadapan
dengan roh pemilik hutan dan roh pemilik padang. Roh-roh yang melindungi dan
menjaga hutan. Tuturan-tuturan lisan ini merupakan doa kepada Marapu (roh-roh
nenek moyang). Dalam doa itu, masyarakat Kabizu Beijello memohon
perlindungan kepada Marapu. Masyarakat Kabizu Beijello meyakini bahwa
perlindungan dan dekapan Marapu akan menyelamatkan dari malapetaka yang
berasal dari roh-roh gaib.
Masyarakat Kabizu Beijello sebagai masyarakat yang menganut
kepercayaan Marapu meyakini bahwa di dunia ini terdapat kekuatan-kekuatan
gaib atau roh-roh gaib yang mempunyai pengaruh atas keberhasilan dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
193
kegagalan hidup manusia. Hal itu digambarkan dalam data tradisi lisan Teda
dalam upacara Padede Uma Kalada sebagai berikut.
Data 46. J1/ES9
Nenna rengepo you ina mori loda, ama mori pada
Itu dengarlah engkau ibu pemilik hutan, bapak pemilik padang
Dengarlah dewa pemilik hutan dan pemilik padang
Ina mori loko, ama mangu tana
Ibu pemilik kali, bapak pemilik tanah
Dewa pemilik kali dan pemilik tanah
Ka dara pa kaloga ma , ka tena pa magawa ma
Agar seperti kuda yang bebas kami , agar seperti sampan yang leluasa kami
Agar kami seperti kuda yang bebas, agar kami seperti sampan yang leluasa
Agar kami diberi kebebasan dan keleluasaan
Dappalaka kama karingge, dappa lodakama kalerre
Janganlah palang kayu, janganlah menarik tali
Janganlah menghalangi kami
Konteks:
Tuturan lisan di atas merupakan bagian dari tradisi lisan dalam ritual Urrata pada
tahap penebangan pohon dan pemotongan tali di hutan. Data tradisi lisan ini
merupakan doa yang mengandung makna permohonan izin kepada roh-roh yang
diyakini sebagai pemilik hutan, padang, kali dan tanah. Dalam ritual ini,
masyarakat Kabizu Beijello memberikan sesajen berupa satu anak ayam, satu butir
telur, kapas, tembakau, sirih, pinang dan serpihan emas atau perak. Perkenanan
dan persetujuan roh-roh yang mendiami hutan tersebut dapat diramalkan atau
dilihat oleh Ata Urrata (imam Marapu) melalui usus ayam, hati ayam dan hati
babi.
Kepercayaan Marapu yang dianut oleh masyarakat Kabizu Beijello, telah
membentuk sistem keyakinan dan kepercayaan bahwa segala sesuatu yang ada
dimuka bumi ini memiliki roh. Masyarakat Kabizu Beijello percaya bahwa
lembah, hutan, sungai, laut, padang, gunung, kayu, batu, dan segala jenis benda
lainnya memiliki roh atau jiwa. Alam dipandang sebagai satu kesatuan kosmis
yang memiliki jiwa dan raga yang sama seperti manusia. Hal itu dieksplisitkan
dalam data 46 di atas, yakni pada tuturan nenna rengepo you ina mori loda, ama
mori pada (Dengarlah dewa pemilik hutan dan pemilik padang). Ina mori loko,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
194
ama mangu tana (Dewa pemilik kali dan pemilik tanah). Tuturan-tuturan lisan ini
memberikan gambaran nyata bahwa masyarakat Kabizu Beijello percaya akan
adanya roh-roh yang mendiami hutan, padang, kali dan seluruh alam semesta.
Roh-roh ini dipercaya dapat menyelamatkan dan sekaligus mendatangkan
malapetaka. Kesadaran akan hal itu masyarakat Kabizu Beijello selalu memohon
perlindungan dan keselamatan kepada roh gaib.
Dalam wawancara etnografis peneliti mengajukan pertanyaan, “Mengapa
harus diadakan upacara wukke kadawu (membuka hutan/ upacara permohonan
izin) ketika hendak memotong tali dan menebang pohon di hutan?” Informan
yang diwawancarai mengutarakan bahwa hutan, padang, rimba, kayu dan batu
diyakini mempunyai jiwa atau roh. Di hutan terdapat begitu banyak Marapu Tana
(makhluk-makhluk halus). Hutan merupakan tempat tinggal Marapu Tana.
Mereka diyakini sebagai penjaga dan pemilik hutan. Atas dasar ini, Marapu Tana
selalu disebut sebagai Ina mori loda, Ama mori pada (Ibu pemilik hutan, Bapak
pemilik rimba). Marapu Tana ini ada yang bersifat baik dan ada juga yang jahat.
Oleh karena itu, ketika hendak mengambil ramuan untuk membangun rumah
besar, kita harus memohon izin kepada Marapu Tana yang telah menjaga dan
sekaligus menjadi pemilik hutan. Ini merupakan bentuk penghargaan kepada
mereka (W/JDMKB/6).
Data 46 di atas memperlihatkan bahwa masyarakat Kabizu Beijello
menyandarkan harapan dan kerinduan mereka kepada Marapu Tana (roh-roh
gaib) yang ada di hutan. Adapun tujuannya adalah agar selalu diberikan
kemudahan dan keleluasaan pada saat mencari pohon dan tali yang berkualitas
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
195
bagus dan kuat serta agar tidak mendapatkan malapetaka selama proses
penebangan, pemotongan dan pengumpulan material bangunan. Hal ini tercermin
dalam tuturan lisan kadara pakalogama, katena pamagawama (agar kami diberi
kebebasan dan keleluasaan). Tuturan lisan ini mengandung makna metaforis yang
merujuk pada masyarakat Kabizu Beijello yang memohon kebebasan dan
keleluasaan pada saat memotong tali dan menebang pohon kepada dewa atau dewi
yang dipercaya sebagai pemilik hutan dan padang.
Pada tuturan lisan dappalaka kama karingge, dappa lodakama kalerre
(Janganlah menghalangi kami) mengandung makna masyarakat Kabizu Beijello
memohon agar tidak dihalangi pada saat memotong tali dan menebang pohon.
Selain itu, masyarakat Kabizu Beijello juga memohon kepada roh-roh gaib agar
selalu menjaga tempat-tempat yang dianggap sakral atau keramat sehingga tidak
ada kekuatan-kekuatan jahat yang mengganggu masyarakat Kabizu Beijello
selama proses mencari, memotong, menebang dan mengumpulkan material
bangunan.
Wujud keyakinan akan adanya peran Marapu tana (roh-roh gaib) tidak
hanya tampak pada saat hendak memotong tali dan menebang kayu di hutan.
Akan tetapi, terwujud pula pada saat hendak mengeluarkan kayu dari hutan
menuju ke tempat pembangunan rumah besar. Hal itu digambarkan pada data
K1/ES10 (lihat tabulasi data). Wujud praktik religius yang dilukiskan dalam data
ini adalah masyarakat Kabizu Beijello memohon kepada roh gaib agar selamat
dalam perjalanan menuju tempat pembangunan rumah besar. Hal itu tampak pada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
196
tuturan “jauhkanlah ancaman dan musibah dalam perjalanan. Agar kami diberi
kesehatan. Agar kami boleh sampai di rumah besar kami dengan selamat”.
4.2.3.7 Masyarakat Kabizu Beijello sebagai Masyarakat Ritual
Masyarakat Sumba pada umumnya dan masyarakat Kabizu Beijello
khususnya selalu diwarnai dengan berbagai ritual adat yang berakar pada
kepercayaan Marapu. Adapun ritual adat yang dimaksud, yakni ritual adat dalam
kaitannya dengan bidang pertanian, meliputi ritual pembukaan lahan baru, ritual
menanam, ritual memanen dan ritual membawa persembahan hasil panen ke
rumah besar. Ritual adat dalam kaitannya dengan daur hidup, meliputi ritual
kelahiran, ritual perkawinan dan ritual kematian. Ritual adat dalam kaitannya
dengan membangun rumah, meliputi ritual musyawarah adat pembangunan
rumah, ritual pembongkaran rumah lama untuk rumah yang dibangun ulang, ritual
pemotongan kayu, dan lain-lain. Ritual-ritual adat ini memiliki tata perayaan yang
khas dan unik.
Ragam ritual adat yang dimaksudkan dalam konteks penelitan ini adalah
ritual-ritual adat dalam kaitannya dengan pembangunan rumah besar atau rumah
adat. Dalam budaya spiritual masyarakat Kabizu Beijello ritual-ritual ini bersifat
wajib karena bertujuan untuk menciptakan hubungan yang harmonis antara
manusia, Marapu, dan Tuhan sebagai Pencipta. Selain itu, ritual-ritual yang
dilaksanakan bertujuan untuk memohon restu, rahmat, dan berkat sehingga segala
rencana dan niat baik dalam rangka pembangunan rumah besar dapat berjalan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
197
lancar dan berhasil. Adapun ritual-ritual adat selama proses pembangunan rumah
besar yang dimaksud adalah sebagai berikut.
1) Ritual SetelahMusyawarah Adat Pembangunan Rumah Besar
Ritual setelah musyawarah adat pembangunan rumah besar adalah ritual
yang dilakukan setelah terdapat kesepakatan dalam musyawarah adat
pembangunan rumah besar. Ritual ini adat ini terdiri atas tiga, yakni ritual adat
setelah kesepakatan antara tetua adat rumah kecil dengan tetua adat rumah besar,
tetua adat rumah kecil, anggota rumah kecil dan tetua adat rumah besar yang
dilakukan di rumah kecil dan ritual setelah kesepakatan di rumah besar yang
melibatkan tetua adat rumah kecil, utusan dari anggota rumah kecil dengan tetua
adat rumah besar. Ritual adat yang dilakukan di rumah kecil tampak dalam data
tradisi lisan Teda berikut.
Data 47. E1/ESK2
Nennati yasa, pamama
Itu beras sirih pinang
Itu beras dan sirih pinang
Deibapo yo’u ina, yo’u amama
Terimalah engkau ibu, engkau bapak kami
Terimalah kalian nenek moyang kami
Nebahinna, damma negobage pakai , damma kababage pasilli
Saat ini kami tidak menari menghindar, kami tidak ronggeng mengelak
Saat ini kami tidak menghindar, kami tidak mengelak
Hinnabawe balimmikumi , na’i manu bowa kahinna
Demikianlah sudah jika kalian mengatakan, itu ayam supaya tandanya
menerima
Jika kalian mengatakan bahwa demikianlah sudah, berikanlah petunjuk baik
melalui ayam itu
Konteks:
Tuturan lisan di atas merupakan bagian dari data tradisi lisan dalam ritual Urrata
yang dilakukan setelah pengangkatan ikrar di Uma Kii (rumah kecil). Data tradisi
lisan ini merupakan doa kepada nenek moyang. Dalam doa itu, masyarakat
Kabizu Beijello memohon persetujuan nenek moyang terkait hasil keputusan
bersama yang telah disepakati. Selain itu, juga meminta petunjuk kepada nenek
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
198
moyang terkait dengan rencana musyawarah adat yang akan dilakukan di rumah
besar Kabizu Beijello. Untuk membuka komunikasi dengan nenek moyang
digunakan sirih, pinang dan beras.
Ritual yang tergambarkan pada data tradisi lisan di atas adalah ritual Urrata
pemberitahuan dan permohonan petunjuk kepada Marapu terkait dengan hasil
kesepakatan dalam musyawarah pembangunan rumah besar. Ritual Urrata itu
dipimpin oleh Ata Urrata (imam Marapu). Untuk membuka komunikasi dengan
Marapu, Ata Urrata mengundang Marapu dengan cara menyebarkan beras yang
telah dicampur dengan sirih dan pinang ke kiri, kanan, muka dan belakang.
Setelah itu, Ata Urrata mengajak Marapu makan sirih pinang yang berada di
dalam besek yang diletakkan di depannya. Hal ini tereksplisitkan dalam data
tradisi lisan (E1/ESK2), yakni pada tuturan nennati yasa, pamama (itu beras dan
sirih pinang). Deibapo yo’u ina, yo’u amama (Terimalah kalian nenek moyang
kami). Ritual mengajak Marapu makan sirih dan pinang dilanjutkan dengan Ata
Urrata mengutarakan maksud dan tujuannya berkomunikasi dengan Marapu,
yakni bahwa seluruh keluarga yang hadir telah menyatakan persatuan dan
solidaritas untuk menyukseskan rencana Padede Uma Kalada (pembangunan
rumah besar). Hal ini terekspresikan dalam tuturan lisan dalam data (E1/ESK2) di
atas, yakni pada tuturan nebahinna, damma negobage pakai, damma kababage
pasilli (Saat ini kami tidak menghindar, kami tidak mengelak). Sejatinya, selalu
membina persatuan, kekeluargaan dan solidaritas merupakan nilai luhur yang
sangat didambakan oleh Marapu.
Selain itu, dalam ritual Urrata disampaikan kepada Marapu terkait seluruh
hasil keputusan yang telah disepakati bersama. Adapun tujuannya adalah agar
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
199
Marapu mengetahui, merestui, dan memberikan petunjuk terkait dengan
keputusan yang telah diniatkan bersama. Restu dan petunjuk dari Marapu
diramalkan oleh Ata Urrata (imam Marapu) melalui usus ayam dan hati ayam
yang mana hal ini tergambarkan secara eksplisit dalam data tradisi lisan
(E1/ESK2), yakni pada tuturan Hinnabawe balimmikumi, nai manu bowakahinna
(Jika kalian mengatakan bahwa demikianlah sudah, berikanlah petunjuk baik
melalui ayam itu).
Berdasarkan informasi dari informan melalui wawancara etnografis
dikatakan bahwa tuturan ini memberikan gambaran nyata, yakni dalam ritual
Urrata ada penyembelihan ayam dan bahkan babi. Ayam ini yang kemudian
diperiksa usus dan hatinya oleh Ata Urrata untuk meramalkan restu dan
persetujuan dari Marapu. Sementara itu, untuk babi hanya hatinya saja yang
diperiksa. Dalam pertemuan ini apabila terdapat anggota keluarga yang secara
diam-diam tidak mendukung atau menyetujui keputusan bersama, maka usus
ayam, hati ayam dan hati babi yang diperiksa akan menunjukkan keanehan yang
hanya dapat diramalkan oleh Ata Urrata. Berdasarkan hasil ramalannya, Ata
Urrata akan menyampaikan kepada tetua adat untuk ditanyakan kepada semua
yang hadir terkait siapa yang tidak mendukung keputusan dan menyelidiki
penyebab orang tersebut tidak menyetujuinya. Setelah semua menyatakan
persatuan akan dilakukan ritual Urrata lagi dengan tujuan untuk menyampaikan
kepada Marapu bahwa semua telah bersatu. Biasanya, apabila penyebab Marapu
tidak menyetujui keputusan tersebut telah ditemukan dan diselesaikan tanda dari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
200
usus, hati ayam dan hati babi akan menunjukkan menerima, merestui dan
menyetujui (W/JDMKB/7).
2) Ritual Pengumpulan Bahan-Bahan Bangunan
Rumah adat atau rumah besar masyarakat Sumba umumnya dan Kabizu
Beijello khususnya, memiliki konstruksi berbentuk panggung dengan bahan
utamanya adalah kayu. Kayu yang digunakan adalah kayu yang berkualitas bagus
dan kuat yang hanya dapat diperoleh dari hutan-hutan tertentu. Proses
pengumpulan bahan-bahan bangunan selalu diwarnai dengan ritual adat, baik
sebelum berangkat ke tempat pemotongan kayu, setelah sampai di hutan dan
setelah selesai pemotongan kayu di hutan. Ritual-ritual adat terkait dengan
pengumpulan bahan-bahan bangunan tampak dalam data tradisi lisan sebagai
berikut.
Data 48. H2/ES6
Hinnabawi balimmi badona yemmi ina, yemmi ama
Demikianlah sudah jika kalian mengatakan kalian ibu kalian bapak
Jika nenek moyang mengatakan bahwa demikianlah sudah
Na,i manu bowakahinna
Itu ayam supaya tandanya menerima
Berilah petunjuk yang baik melalui ayam itu.
Konteks: Tuturan lisan di atas merupakan bagian dari data tradisi lisan pada tahap
pertemuan satu keluarga besar Kabizu Beijello di rumah besar. Tuturan lisan itu
dituturkan oleh Ata Urrata dalam ritual Urrata. Ritual Urrata ini dilakukan
setelah pengambilan ikrar atau sumpah adat yang ditandai dengan pembagian sirih
pinang. Dalam konteks data ini, ritual Urrata dimaknai sebagai doa kepada
Marapu. Dalam doa itu, Ata Urrata memohon perlindungan, keselamatan dan
keberhasilan kepada nenek moyang.
Data (H2/ES6) di atas memberikan gambaran nyata bahwa sebelum anggota
keluarga Kabizu Beijello yang bertugas untuk menebang kayu dan memotong tali
berangkat ke hutan, terlebih dahulu harus diadakan ritual Urrata di rumah besar.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
201
Tujuan pelaksanaan ritual ini adalah untuk memberitahukan, memohon berkat,
rahmat, perlindungan, meminta petunjuk dan restu kepada Marapu terkait dengan
rencana keberangkatan penebangan pohon di hutan. Dalam ritual adat ini akan
disembelih ayam atau babi sebagai hewan kurban kepada Marapu dan Sang Ilahi.
Selain itu, hewan ini akan dijadikan sebagai media komunikasi untuk meramalkan
persetujuan, petunjuk dan restu dari Marapu, yang mana dalam data (H2/ES6) di
atas tampak pada tuturan ninnabawi balimmi badona yemmi ina, yemmi ama (jika
nenek moyang mengatakan bahwa demikianlah sudah). Na’i manu bowakahinna
(Berilah petunjuk yang baik melalui ayam itu). Apabila dari petunjuk yang
diramalkan oleh Ata Urrata menunjukkan bahwa Marapu merestui semua rencana
penebangan kayu di hutan, maka pada keesokan harinya akan berangkat
menebang kayu dan memotong tali di hutan.
Sesampainya di hutan tempat penebangan kayu dan pemotongan tali,
anggota keluarga Kabizu Beijello tidak langsung masuk ke dalam hutan untuk
menebang kayu dan memotong tali. Anggota keluarga Kabizu Beijello terlebih
dahulu melakukan ritual permohonan izin di pinggir hutan. Hal ini tampak dalam
data tradisi lisan dalam upacara Padede Uma Kalada sebagai berikut.
Data 49. J1/ES9
Ka dara pa kaloga ma , ka tena pa magawa ma
Agar seperti kuda yang bebas kami , agar seperti sampan yang leluasa kami
Agar kami seperti kuda yang bebas, agar kami seperti sampan yang leluasa
Agar kami diberi kebebasan dan keleluasaan
Dappalaka kama karingge, dappa lodakama kalerre
Janganlah palang kayu, janganlah menarik tali
Janganlah menghalangi kami
Nebahinna hidda marata anamanu, kamidda ana omma
Saat ini terimalah kurban anak ayam, persembahan anak emas
Terimalah kurban anak ayam dan persembahan uang perak ini
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
202
Konteks:
Tuturan lisan di atas merupakan bagian dari tradisi lisan dalam ritual Urrata pada
tahap penebangan pohon dan pemotongan tali di hutan. Data tradisi lisan ini
merupakan doa yang mengandung makna permohonan izin kepada roh-roh yang
diyakini sebagai pemilik hutan, padang, kali dan tanah. Dalam ritual ini,
masyarakat Kabizu Beijello memberikan sesajen berupa satu anak ayam, satu butir
telur, kapas, tembakau, sirih, pinang dan serpihan emas atau perak. Perkenanan
dan persetujuan roh-roh yang mendiami hutan tersebut dapat diramalkan atau
dilihat oleh Ata Urrata (imam Marapu) melalui usus ayam, hati ayam dan hati
babi.
Ritual adat yang dilakukan berdasarkan konteks data tradisi lisan (J1/ES9)
di atas adalah ritual wukke kadawu. Ritual ini dimaknai sebagai ritual permohonan
izin sebelum menebang pohon dan memotong tali. Hal itu tergambarkan pada
tuturan kadara pakalogama, katena pamagawama (agar kami diberi kebebasan
dan keleluasaan). Dappalaka kama karingge, dappa lodakama kalerre (Janganlah
menghalangi kami). Berdasarkan hasil wawancara etnografis dengan informan
dikatakan bahwa tuturan ini merupakan tuturan permohonan izin kepada roh-roh
yang mendiami hutan tempat penebangan pohon dan pemotongan tali. Sebelum
pelaksanaan pemotongan tali dan penebangan kayu, para Rato Marapu menggelar
ritual untuk memohon perkenanan kepada Marapu pemilik hutan. Agar dalam
pencarian pohon dan tali, dengan mudah mendapatkan pohon dan tali yang
berkualitas bagus. Apabila ritual ini tidak dilakukan, maka akan ada saja
marabahaya yang mengintai, misalnya tertimpah pohon, digigit ular, susah
mendapatkan pohon dan tali yang berkualitas (W/JDMKB/9).
Informasi dari informan di atas terungkap pula pada tuturan newe bamma
kalolakowa wawi, kamma kolekina wawi apaulle (sehingga, pada saat kami
menebang pohon, kami mendapat pohon yang berkualitas dan berteras). Bamma
gesakowa kedu, kamma kolekina kedu apadari (Sehingga pada saat kami
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
203
memotong tali, kami mendapatkan tali yang kuat). Ritual permohonan izin ini
dilakukan di tempat pemujaan yang telah dipersiapkan sebelumnya, yakni pondok
yang terbuat dari daun-daunan dan sebuah tugu batu.
Dalam ritual adat ini ada syarat yang harus dipenuhi, yakni memberikan
sesaji berupa satu anak ayam, satu butir telur, kapas, tembakau, sirih, pinang dan
serpihan emas atau perak kepada Marapu. Hal itu digambarkan pada tuturan
nebahinna hidda marata anamanu, kamidda ana omma (Terimalah kurban anak
ayam, telur, kapas, tembakau, sirih, pinang, dan persembahan cincin emas).
Pemberian sesaji itu dimaknai oleh masyarakat Kabizu Beijello sebagai upaya
memohon izin, dan memohon perlindungan serta keselamatan dari segala
malapetaka ketika mengambil material bangunan di hutan .
Praktik ritual yang dilakukan oleh masyarakat Kabizu Beijello tidak hanya
tampak pada saat memohon izin, tetapi tampak pula pada saat mengucap syukur
atas keberhasilan penebangan pohon dan pemotongan tali. Hal itu tampak pada
data tradisi lisan (K1/ES10) (lihat tabulasi data). Wujud praktik ritual yang
digambarkan dalam data tradisi lisan ini adalah ritual Todi Kadawu.
4.2.4 Strategi Preservasi Tradisi Lisan Teda Masyarakat Kabizu Beijello
Tradisi lisan Teda dalam upacara Padede Uma Kalada merupakan salah
satu khazanah budaya yang kaya akan kearifan-kearifan lokal baik yang berwujud
nyata (tangible) atau tidak nyata (intangible). Kearifan-kearifan lokal itu tidak
hanya menunjukkan jati diri masyarakat Wewewa tetapi juga mengandung nilai-
nilai yang sangat bermanfaat bagi masyarakat dalam kehidupan sosial dan budaya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
204
Oleh karena itu, preservasi menjadi sebuah keniscayaan agar tradisi lisan tersebut
tetap lestari.
Preservasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 612) adalah
pengawetan, pemeliharaan, penjagaan, dan perlindungan. Preservasi merupakan
suatu proses dan tindakan yang dilakukan dalam rangka memastikan
kelangsungan hidup setiap catatan otentik secara teknis dan intelektual. Hal ini
selaras dengan apa yang dikatakan Wirajaya (2016:65) yang mengemukakan
bahwa preservasi adalah suatu usaha yang sungguh-sungguh untuk membuat
sebuah tradisi lisan tetap bermanfaat dan berdaya guna. Selain itu, preservasi
merupakan upaya pemeliharaan tradisi lisan karena di dalamnya mengandung tata
nilai yang sangat kaya untuk kehidupan masyarakat. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa preservasi tradisi lisan Teda pada upacara Padede Uma Kalada
merupakan upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk memelihara dan melindungi
tradisi lisan Teda sehingga tetap lestari. Upaya ini menjadi sebuah langkah
penting di tengah kepunahan yang tengah mengancam eksistensi tradisi lisan Teda
masyarakat Kabizu Beijello.
Preservasi terhadap tradisi lisan Teda masyarakat Kabizu Beijello dapat
diwujudkan melalui beberapa langkah, yakni (1) preservasi tradisi lisan Teda
melalui pelestarian alamiah, lembaga agama, lembaga pendidikan.
4.2.4.1 Preservasi Tradisi Lisan Teda melalui Pelestarian Alamiah
Pewarisan tradisi lisan Teda dalam upacara Padede Uma Kalada memiliki
keunikannya tersendiri. Dalam kenyataannya, masyarakat Kabizu Beijello tidak
semuanya bisa menuturkan tradisi lisan Teda. Hanya orang-orang terpilih saja
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
205
yang mampu bertutur dalam setiap upacara adat tersebut yang biasa disebut Rato.
Jabatan sebagai Rato merupakan langsung oleh Marapu. Karunia tersebut akan
turun pada yang orang bersih hatinya, jujur, dan tidak melanggar perintah Marapu
dengan melalui berbagai cara seperti mimpi, sakit dan pingsan. Orang yang
dikaruniai itulah yang selanjutnya akan disebut sebagai Rato yang berarti imam
atau raja yang memiliki kepandaian memimpin upacara adat. Hal ini juga
diungkapkan oleh Riti (2015:124) bahwa salah satu hal yang sangat unik dari
kaum tersebut adalah bahwa posisinya sebagai Rato tidak secara otomatis
diturunkan atau diwariskan kepada keturunannya, karena kepandaian memimpin
upacara adat pada kenyataannya lahir secara alamiah atau karena kebiasaan
mengikuti Rato atau bahkan tidak jarang diyakini sebagai karunia dari para
leluhur yang sudah meninggal dunia dalam rangka menjaga kelestarian adat
budaya tersebut. Dari percakapan dengan informan diperoleh informasi bahwa
anggota masyarakat Kabizu Beijello yang dapat menuturkan tradisi lisan Teda
dalam upacara Padede Uma Kalada melalui cara alamiah termuat dalam data
percakapan berikut.
Proses secara alamiah itu maksudnya bahwa tradisi lisan itu merupakan
karunia secara langsung atau diturunkan dan diilhamkan secara langsung
oleh Marapu kepada seseorang yang dipilih oleh Marapu. Proses
pewarisan itu biasanya melalui peristiwa-peristiwa tertentu. Misalnya,
melalui mimpi, sakit atau pingsan. Pada saat sakit dan pingsan itulah
orang tersebut akan mendapatkan karunia dan ilham dari Marapu
sehingga ketika sadar orang itu sudah fasih menuturkan tradisi lisan Teda.
Meskipun, orang yang tadinya tidak bisa berbicara di depan umum atau
tidak mempunyai kemampuan berbicara, tapi ketika mendapatkan karunia
itu menjadi orang yang sangat berani dan mempunyai kemampuan
berbicara dan tampil untuk membawakan ritual-ritual adat. Artinya bahwa
itu tanpa perbuatan manusia tapi itu merupakan karunia dari leluhur.
Dalam satu klan selalu ada yang menjadi pewaris tradisi lisan Teda tanpa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
206
harus dididik, tanpa dilatih, tanpa diajar orang ini akan dengan sendirinya
menguasai teda (W/SPTLMKB/1).
Hasil percakapan di atas memberikan gambaran nyata bahwa pelestarian
tradisi lisan Teda masyarakat Kabizu Beijello dapat dilakukan melalui cara
alamiah, yakni karunia dari Marapu. Karunia tersebut akan diperoleh dalam
berbagai cara seperti melalui mimpi, pingsan atau sakit yang diderita oleh orang
pilihan. Proses pemilihan meniadakan intervensi manusia. Artinya, manusia tidak
memiliki hak untuk membantah apalagi menolak orang pilihan Marapu.
Kewajiban anggota Kabizu adalah menerima hasil putusan dari Marapu tersebut.
Dalam kenyataannya, meski orang pilihan Marapu tidak memiliki kecakapan
berbicara dalam ritual adat, tetapi karunia dari Marapu tersebut akan
memampukan orang itu menjadi seorang Rato yang memiliki kepandaian
membawakan ritual adat.
Tidak hanya merupakan karunia dari Marapu, pewarisan tradisi lisan Teda
masyarakat Kabizu Beijello dapat juga diperoleh melalui partisipasi yang terdiri
atas dua, yakni pertama, partisipasi karena atas kesadaran diri dari seseorang
untuk menguasai tradisi lisan Teda. Di dukung oleh kesadaran itu, seseorang akan
sering terlibat dalam berbagai pembicaraan adat. Dengan demikian kemampuan
seseorang untuk menguasai tradisi lisan Teda akan semakin terasah. Kedua, Rato
akan melibatkan anaknya dalam setiap upacara adat. Tidak menutup kemungkinan
pula bahwa dalam partisipasi tersebut seorang Rato melibatkan salah satu anggota
Kabizu yang sama dan bukannya dari Kabizu lain. Melalui partisipasi tersebut
anak Rato atau anggota Kabizu akan terus dilatih dan ditempa untuk memimpin
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
207
upacara adat. Hal ini tergambar dalam wawancara dengan informan sebagai
berikut.
Secara alamiah juga bisa dari orang tua (imam Marapu) itu kepada
anaknya atau imam Marapu itu kepada salah satu orang dalam kabizu
itu. Tidak mungkin talenta itu diberikan kepada Kabizu lain. Kabizu
lain itu juga mempunyai kedudukan sendiri. mempunyai marapu
(nenek moyang) sendiri. Dalam Kabizu ada Rato. Rato itu melihat
bahwa anaknya atau anggota Kabizu itu mampu, lalu anaknya diajar
secara terus menerus atau dibawa dan diminta untuk terlibat dalam
ritual-ritual Urrata, Saiso, Dodo dan Oka. Selain itu, bisa juga karena
ada niat dalam diri seseorang untuk bisa menguasai Teda. Orang itu
akan sering terlibat dalam pembicaraan-pembicaraan adat. Misalnya,
dekuna tauna li’i bawai’ikoge Saiso, Dodo, monno Oka (ikut menjadi
penanya pada ritual-ritual Saiso, Dodo, dan Oka). Dengan secara terus
menerus orang tersebut terlibat dalam pembicaraan adat, maka orang
itu akan menguasai bahasa-bahasa Teda (W/SPTLMKB/2).
Hasil wawancara di atas, memberikan pemahaman bahwa selain merupakan
karunia dari Marapu, kepandaian membawakan ritual adat juga didukung oleh
partisipasi yang didasarkan pada kesadaran diri dari orang yang ingin menguasai
tradisi lisan Teda dan juga dapat diturunkan dari seorang Rato kepada anaknya
atau salah satu anggota Kabizu. Hal ini dapat diperoleh melalui proses otodidak.
Artinya, seseorang akan selalu berpartisipasi dalam berbagai pembicaraan adat.
Selain itu, Rato akan selalu melibatkan anaknya atau anggota Kabizu dalam setiap
upacara adat. Pelibatan itu dimaksudkan agar orang tersebut dapat belajar dengan
cara mendengar tuturan Rato dalam setiap upacara adat atau terlibat langsung
dalam upacara adat yang dikenal dengan istilah tauna li’i (penanya) dalam
upacara Saiso, Dodo, dan Oka. Ketika orang tersebut sudah merasa diri mahir atau
ketika Rato merasa bahwa orang tersebut sudah mahir, maka dengan sendirinya
Rato akan memberikan kesempatan untuk memimpin upacara adat. Sebab
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
208
menurut keyakinan Kabizu seseorang yang melakukan kesalahan tuturan dalam
upacara adat akan mendapatkan malapetaka.
Berdasarkan seluruh uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa ada dua
bentuk pelestarian alamiah tradisi lisan masyarakat Kabizu Beijello. Pertama,
Marapu akan memberikan karunia sebagai Rato terhadap orang pilihannya yang
dipandang tidak melanggar perintah Marapu. Kedua, partisipasi dari orang yang
menguasai tradisi lisan Teda dalam berbagai ritual adat. Partisipasi itu terdiri atas
dua, yakni (a) kesadaran diri dari seseorang yang ingin menguasai tradisi lisan
Teda untuk terlibat langsung dalam komunikasi-komunikasi ritual, (b) inisiatif
dari Rato untuk memberikan pembelajaran secara otodidak kepada anaknya atau
anggota Kabizu dengan cara melibatkan anaknya dalam setiap upacara adat.
Setelah mereka menjadi mahir, Rato akan memberikan kesempatan untuk
memimpin jalannya upacara adat.
4.2.4.2 Preservasi Tradisi Lisan Teda melalui Lembaga Agama
Marapu merupakan salah satu aliran kepercayaan asli masyarakat pulau
Sumba. Kepercayaan ini menyebar di empat kabupaten di Sumba secara merata
yang meliputi Kabupaten Sumba Barat, Sumba Barat Daya, Sumba Tengah, dan
Sumba Timur. Dalam perkembangannya, penyebaran agama Kristen baik
Protestan maupun Katholik memasuki pulau Sumba. Secara garis besar misi
Protestan di NTT terbagi menjadi dua. Misi pertama diusahakan oleh
Nederlandsch Zendeling Genootschap (NZG) yang berfokus di beberapa pulau
seperti Timor, Sabu, Rote dan Alor. Pada tahun 1947, jemaat-jemaat Protestan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
209
yang ada di daerah ini dimandirikan dengan nama Gereja Masehi Injili di Timor
(GMIT). Misi Protestan yang kedua berfokus di pulau Sumba dan diusahakan oleh
beberapa lembaga zending seperti Nederlands Gereformeerde
Zendingsvereeniging (NGZV), Zending Van de Christelijk Gereformeerde Kerke
(ZGCK), dan Zending Gereformeerde Kerken in Nederland (ZGKN). Jemaat-
jemaat di Sumba juga dimandirikan pada tahun 1947 dengan nama Gereja Kristen
Sumba (GKS) (https://indoprogress.com). GKS mulai bekerja di Sumba sejak
1881 (Leyloh, 2007).
Masuknya agama-agama modern di pulau Sumba merupakan tantangan bagi
eksistensi kepercayaan asli, yakni Marapu. Dalam hal kuantitas, jumlah pemeluk
Marapu terus mengalami penurunan. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik
Sumba Barat Daya tercatat bahwa pada tahun 2016 penganut kepercayaan
Marapu berjumlah 8.452. Pada tahun 2017 berjumlah 7.748. Sementara itu, pada
tahun 2018 berjumlah 7.742 (https://sumbabaratdayakab.bps.go.id/). Data ini
membuktikan bahwa jumlah penganut Marapu dari tahun ke tahun mengalami
penurunan. Dengan demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa suatu saat
kepercayaan Marapu akan punah. Hal ini akan berimbas pula pada punahnya
tradisi lisan yang digunakan dalam berbagai ritual Marapu.
Gereja Katholik sebagai salah satu lembaga agama yang ada di Sumba
menyadari gejala kepunahan itu. Hal itu dipandang sebagai satu masalah pokok
pastoral liturgi Gereja Katolik di Indonesia yang dewasa ini mendesak adalah
inkulturasi liturgi. Kemendesakan masalah inkulturasi liturgi ini sebenarnya telah
lama digaungkan oleh para Uskup di Indonesia. Dalam Anjuran Apostolik
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
210
Ecclesia in Asia, Paus Yohanes Paulus II bersama para Uskup di Asia juga
menegaskan kemendesakan masalah inkulturasi ini. Begitu pula dalam Anjuran
Apostolik Pasca-Sinode Para Uskup, Sacramentum Caritatis, Paus Benediktus
XVI menegaskan pentingnya inkulturasi khususnya pada perayaan Ekaristi
(Hariprabowo, 2004:16-20; Martasudjita, 2010). Berbagai upaya inkulturasi
liturgi juga telah dilaksanakan di Indonesia, seperti misalnya penyusunan
nyanyian-nyanyian liturgi inkulturatif, pembangunan gedung-gedung gereja yang
inkulturatif, dekorasi altar dan busana liturgi inkulturatif, relief dan gambar-
gambar suci yang inkulturatif, tarian-tarian daerah yang dibawakan dalam
perarakan pada Perayaan Ekaristi, dsb.
Proses inkulturasi bergerak pada tujuan inkulturasi yang intinya ialah agar
hal-hal yang kudus dari Injil dapat diungkapkan dengan lebih jelas, dan umat
dapat menangkapnya lebih mudah dan dapat berpartisipasi secara penuh sadar dan
aktif menurut cara yang khas dari jemaat. Tujuan ini digariskan dalam LRI no. 35
yang mengutip dokumen Sacrosanctum Concilium Art. Istilah “umat dapat
menangkapnya lebih mudah” mencakup pengertian bahwa ungkapan simbol
liturgis tersebut tidak memerlukan banyak penjelasan. Umat dengan cepat
mengerti dengan baik dan ikut serta dengan aktif. “Menurut cara yang khas dari
jemaat” mencakup berbagai ungkapan simbolik yang khas pada umat yang
merayakan liturgi itu. Dengan demikian tujuan inkulturasi bukan sekedar
menyangkut soal ungkapan iman menurut budaya setempat saja melainkan juga
mencakup soal perwujudan iman dalam kehidupan sehari-hari menurut situasi dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
211
kondisi aktual setempat (Martasudjita, 2010:50). Hal ini dibenarkan oleh
informan dalam wawancara sebagai berikut.
Kalau dalam bidang keagamaan itu, kita di gereja katolik ada yang
namanya inkulturasi, enkulturasi dimana kita memasukkan unsur-unsur
budaya setempat dalam kehidupan keagamaan sehingga keagamaan kita
menjadi sesuatu yang relevan dengan kehidupan sosial budaya itu.
Penghayatan iman kita, tidak menjadi sesuatu yang asing, datangnya dari
luar tetapi dia menjadi sesuatu yang cocok dengan penghayatan iman
dalam kebudayaan. Inkulturasi, yakni mewajibkan dalam gereja itu untuk
menggunakan bahasa ibu, menggunakan bahasa Teda supaya orang bisa
mengerti dengan apa yang diuraikan. Selain itu, lagu-lagu rohani yang
dibawakan pada saat perayaan-perayaan ekaristi menggunakan bahasa
Teda. Contohnya lagu pareku mori dan tarian-tarian itu perlu dimasukkan
sebagai inkulturasi, lagu-lagu daerah itu perlu dinyanyikan karena itu
mempunyai nilai. Karena dengan menggunakan tradisi lisan dalam lagu-
lagu ini dapat mengangkat hati orang, dapat menggugah hati orang. Dan
juga tarian-tarian seperti Saiso, Oka, Dodo di gereja juga diperkenankan.
Lembaga Gereja itu sudah lama sekali mencoba melestarikan tradisi lisan.
Misalnya dulu itu terbitnya buku amama zamme, itu melalui lokakarya
yang dibuat resmi oleh lembaga Gereja. Bahasa-bahasa dalam
Amamasamme itu merupakan bahasa-bahasa Teda. Kalau kita mendengar
doa-doanya, lagu-lagunya. Lagu Bapa Kami itu menggunkan bahasa
Teda. Syair dalam doa bapa kami itu merupakan bahasa Teda. Kemudian
dalam liturgi Katolik sering kali dalam lagu-lagu dalam tarian-tarian
persembahan yang diiringi dengan lagu itu menggunakan bahasa teda
(W/SPTLMKB/3).
4.2.4.3 Preservasi Tradisi Lisan Teda melalui Lembaga Pendidikan
Upaya preservasi tradisi lisan Teda pada upacara Padede Uma Kalada dapat
dilakukan melalui lembaga formal seperti sekolah, lembaga informal seperti
keluarga dan masyarakat, serta lembaga nonformal seperti sanggar. Hal ini selaras
dengan apa yang disampaikan Sibarani (2012: 307) bahwa tipe revitalisasi dan
pelestarian tradisi lisan dapat dilakukan secara formal melalui pendidikan formal,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
212
secara informal melalui kesadaran sendiri belajar di masyarakat, dan secara
nonformal melalui sanggar-sanggar atau lembaga-lembaga adat.
Eksistensi tradisi lisan Teda pada upacara Padede Uma Kalada mengalami
kemerosotan jumlah penutur. Dalam kenyataannya, tidak semua masyarakat
Kabizu memiliki pengetahuan dan kemampuan berkaitan dengan tradisi lisan
tersebut. Jika hal ini terus diabaikan maka sudah barang tentu kepunahan menjadi
sebuah kenyataan yang tak dapat dihindari. Inilah yang menjadi kenyataan yang
sedang dihadapi oleh masyarakat Kabizu yang terungkap lewat data wawancara
berikut.
Saya sangat dilematis dengan realitas sekarang. Sebagai seorang tokoh
budaya, tokoh adat, tokoh pemerhati kelestarian budaya Sumba secara
umum dan Wewewa secara khusus saya sangat menyesal. Mengapa
saya menyesal karena pada saat ini tradisi lisan ini berada di ambang
kepunahan. Tradisi lisan Teda pada saat ini hanya dikuasai oleh
penutur-penutur tua. Sedangkan, yang memiliki umur di bawah saya
apalagi yang temasuk anak-anaknya saya, saya sangat menyesal, saya
sangat kecewa karena apa mereka macam menjadi orang asing di
negerinya sendiri. Orang asing yang belajar di orang Sumba, lebih
hebat, lebih pintar berbahasa Teda, bersyair, berpantun, berseloka adat
Wewewa dibandingkan dengan orang Wewewa sendiri. Anak-anak
muda sekarang cenderung mainannya yang berkaitan dengan teknologi
seperti bermain hp, facebook, game online, WA (W/SPTLMKB/4).
Kegelisahan yang disampaikan oleh salah satu tokoh adat seperti pada data
di atas merupakan sebuah tantangan di tengah dunia yang memasuki era revolusi
industry 4.0. Minat kaum muda terhadap tradisi lisan khususnya bahasa Teda
semakin menurun karena hadirnya berbagai alat teknologi seperti telepon pintar,
facebook, dan lain sebagainya. Tidak banyak kaum muda yang menguasai tradisi
lisan Teda pada upacara Padede Uma Kalada.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
213
Masyarakat Kabizu Beijello sungguh menyadari kenyataan akan kepunahan
yang bakal terjadi sehingga upaya preservasi menjadi salah satu langkah tepat
sasar jika tidak ingin tradisi lisan punah. Upaya itu dilakukan melalui lembaga
pendidikan formal seperti sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Hal ini
terekspresikan dalam hasil wawancara dengan informan sebagai berikut.
Harus diangkat melalui pendidikan. Sebetulnya peluang untuk diangkat
melalui pendidikan ini sangat besar. Katakanlah kalau melalui pendidikan
formal, muatan-muatan lokal bisa mengangkat unsur-unsur ini. Itu untuk
sekolah dasar sampai sekolah menengah. Di perguruan tinggi, sangat bisa
diangkat menjadi satu mata kuliah. Dan ini bisa diangkat menjadi salah
satu kearifan lokal yang menjadi ciri khas program studi
(W/SPTLMKB/5).
Upaya preservasi tradisi lisan melalui lembaga pendidikan pada level SD,
SMP, dan SMA/SMK dapat dilakukan melalui kegiatan kurikuler seperti pelajaran
muatan lokal dan ekstrakulikuler seperti kelompok tari, kelompok nyanyi.
Preservasi melalui kegiatan kurikuler diatur dalam Permendikbud No. 79 Tahun
2014 tentang Muatan Lokal. Pada pasal 2 (1) merumuskan bahwa muatan lokal
merupakan bahan kajian atau mata pelajaran pada satuan pendidikan yang berisi
muatan dan proses pembelajaran tentang potensi dan keunikan lokal yang
dimaksudkan untuk membentuk pemahaman peserta didik terhadap keunggulan
dan kearifan di daerah tempat tinggalnya. Selanjutnya, pada pasal 2 (2)
dirumuskan tujuan dari mata pelajaran Muatan Lokal, yakni untuk tujuan
membekali peserta didik dengan sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang
diperlukan, yakni (a) agar peserta didik dapat mengenal dan mencintai lingkungan
alam, sosial, budaya, dan spiritual di daerahnya, dan (b) agar peserta didik dapat
melestarikan dan mengembangkan keunggulan dan kearifan daerah yang berguna
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
214
bagi diri dan lingkungannya dalam rangka menunjang pembangunan nasional.
Pada pasal 4 (1) dirinci muatan dari mata pelajaran Muatan Lokal berupa (a) seni
budaya, (b) prakarsa, (c), pendidikan jasmani, olahraga, dan kesehatan, (d) bahasa,
dan (e) teknologi. Melalui pelajaran seni budaya dapat diajarkan tradisi lisan Teda
sebagai salah satu upaya untuk menjaga kelestarian tradisi tersebut.
Selain kegiatan kurikuler, preservasi tradisi lisan dapat ditempuh melalui
kegiatan ekstrakulikuler yang diberlakukan di jenjang sekolah dasar dan
menengah seperti yang diatur dalam Permendikbud No. 62 Tahun 2014. Dalam
pasal 1 ekstrakulikuler didefinisikan sebagai kegiatan kurikuler yang dilakukan
oleh peserta didik di luar jam belajar kegiatan intrakurikuler dan kegiatan
kokurikuler, di bawah bimbingan dan pengawasan satuan pendidikan. Selanjutnya
dalam pasal 2 dipaparkan bahwa kegiatan ekstrakurikuler diselenggarakan dengan
tujuan untuk mengembangkan potensi, bakat, minat, kemampuan, kepribadian,
kerjasama, dan kemandirian peserta didik secara optimal dalam rangka
mendukung pencapaian tujuan pendidikan nasional. Berdasarkan peraturan
tersebut, upaya preservasi di sekolah dapat dilakukan dengan mendirikan
kelompok minat dan bakat.
4.3 Pembahasan
4.3.1 Kearifan-kearifan Lokal yang Terdapat dalam Tradisi Lisan Teda
dalam Upacara Padede Uma Kalada
Kearifan lokal dalam tradisi lisan pada upacara Padede Uma Kalada
sejatinya tidak terlepas dari ekosofi. Ekosofi adalah filsafat tentang keselarasan
atau keseimbangan lingkungan. Filsafat sebagai jenis sofia atau kearifan, secara
terbuka bersifat normatif, ia mengandung baik norma-norma, nilai-nilai, aturan-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
215
aturan, dalil-dalil, maupun maklumat-maklumat, dan hipotesis-hipotesis tentang
berbagai persoalan di alam semesta (Naess,1972 dalam Mudofir, 2009:120).
Kearifan-kearifan lokal dalam upacara Padede Uma Kalada mengandung hukum-
hukum adat dan gagasan-gagasan lokal yang menjadi pedoman dalam
menciptakan kehidupan yang harmonis dan seimbang baik secara horizontal
maupun secara vertikal. Hukum-hukum adat dan gagasan-gagasan lokal itu tidak
boleh dilanggar karena setiap pelanggaran akan mendatangkan malapetaka. Hal
itu karena hukum adat dan gagasan lokal itu terikat oleh sistem kepercayaan lokal
masyarakat Kabizu Beijello, yakni kepercayaan Marapu.
Pada bagian deskripsi data telah dikemukakan bahwa pada frame bahasa
adat dalam ekologi simbolis ditemukan 12 data. Dari ke-12 data tersebut
ditemukan 3 kearifan lokal berwujud nyata, yakni (1) mama (sirih, pinang), (2)
manu (ayam), dan (3) labe a belleka, pari’i a kaladana (cincin yang lebar, tiang
yang besar dan agung). Selain itu, juga ditemukan 4 kearifan lokal berwujud tidak
nyata, yakni paralelisme, metafora, petuah, dan mantra. Pada kearifan lokal
berwujud nyata, dikutip 3 data primer dengan pembagiannya, yakni kearifan lokal
berwujud nyata berupa mama (sirih dan pinang) dikutip dari data primer
(G1/ES5). Data kearifan lokal labe a belleka, pari’i a kaladana (cincin yang
lebar, tiang yang besar dan agung) dikutip dari data (O1/ES12). Selanjutnya, data
kearifan lokal berwujud nyata, yakni manu (ayam) dikutip dari data primer
(H2/ES6). Sementara itu, pada kearifan lokal berwujud tidak nyata dikutip dari 6
data primer dengan pembagiannya, yakni paralelisme dikutip dari data (A1/ES1),
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
216
metafora dikutip dari data (A1/ES1) dan (K1/ES10), petuah dikutip dari data
(F3/ES4), (M1/ES11), dan mantra dikutip dari data (M1/ES11).
Data-data primer yang diidentifikasi tersebut ditemukan adanya simbol.
Kata dan unsur-unsur paralel pada kearifan-kearifan lokal seperti mama (sirih,
pinang), manu (ayam), neti dari tanah, batu ruta (ini garuk tanah, cabut rumput),
dan labe a belleka, pari’i a kaladana (cincin yang lebar, tiang yang agung dan
besar) mengandung makna simbolik. Kehadiran kata-kata tersebut sebagai simbol
ditentukan secara konvensional dan diakui bersama oleh masyarakat Kabizu
Beijello. Selain itu, sistem simbol juga terikat dengan kepercayaan Marapu yang
dianut oleh masyarakat Kabizu Beijello. Hal ini sejalan dengan pandangan
Dharmojo (2005:27) bahwa simbol adalah suatu objek atau fisik, tindakan, dan
peristiwa yang memiliki atau mengandung konsepsi yang dibuat secara
konvensional dan diakui bersama oleh masyarakat pemiliknya. Simbol memiliki
daya kekuatan yang melekat yang bersifat gaib, mistis, religius atau rohaniah.
Mama (sirih, pinang) pada konteks data (G1/ES5) bagi masyarakat Kabizu
Beijello adalah simbol kehadiran nenek moyang yang mengikat suatu ikrar atau
janji yang diungkapkan oleh masyarakat. Oleh karena itu, ikrar atau janji yang
diangkat tersebut tidak boleh dilanggar. Pelanggaran terhadap ikrar atau janji itu
diyakini sebagai petaka bagi orang yang melanggar tersebut. Dengan demikian,
simbol sebagai sebuah konvensi memiliki daya kekuatan yang dapat
mempengaruhi pikiran, perasaan dan tindakan masyarakat pemiliknya. Daya
kekuatan itu tidak lepas dari konteks pemahaman masyarakat Kabizu Beijello
dengan lingkungan sosial budaya mereka. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
217
Dharmojo (2005:28) bahwa simbol mempunyai daya kekuatan yang dapat
merangsang perasaan dan tindakan seseorang. Simbol berpartisipasi dalam makna
dan kekuatan dari sesuatu yang disimbolkan.
Sirih dan pinang sebagai simbol yang memiliki daya kekuatan yang dapat
mempengaruhi pikiran dan tindakan masyarakat penggunanya tidak hanya tampak
dalam budaya masyarakat Kabizu Beijello, tetapi juga masyarakat Melayu.
Penelitian Natasya (2019) yang berjudul “Fungsi dan Makna Sirih pada Upacara
Masyarakat Melayu di Desa Pulau Simardan Kecamatan Datuk Bandar Timur,
Kabupaten Tanjung Balai” membuktikan bahwa sirih dan pinang digunakan
sebagai pengikat dalam upacara perkawinan. Pada upacara ikat janji, pengunaan
sirih yang dimasukkan pada tepak sirih yang diberikan oleh pihak laki-laki kepada
pihak perempuan sebagai hantaran menandakan bahwa anak perempuan itu tidak
boleh lagi diganggu oleh laki-laki lain.
Simbol selain memiliki daya kekuatan yang dapat memengaruhi masyarakat
pemakainya, simbol juga memiliki fungsi sebagai mediasi. Dharmojo (2005:45)
menjelaskan bahwa simbol sebagai mediasi atau penghantar merupakan objek
yang hadir di antara subjek/pengguna dan objek/pihak lain untuk menyampaikan
maksud. Simbol itu dapat berupa objek apapun yang digunakan oleh manusia
yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam pandangan Duranti
(2000:40) yang dikutip oleh Dharmojo (2005:45) dikemukakan bahwa untuk
mengendalikan dunia, objek mediasi selalu berada antara manusia dengan diri
sendiri, manusia lain, masyarakat, makhluk hidup lain, lingkungan, alam dan
dunia gaib.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
218
Kata manu (ayam) pada data primer (H2/ES6) dapat diidentifikasi sebagai
simbol mediasi. Masyarakat Kabizu Beijello dalam ritual-ritual Urrata selalu
menggunakan ayam untuk menyampaikan permohonan kepada Tuhan dan
Marapu. Persetujuan, restu, petunjuk dan pesan dari Tuhan dan Marapu dapat
diramal melalui hati dan usus ayam. Dalam konteks ini maka dapat dikatakan
bahwa masyarakat Kabizu Beijjelo memaknai ayam sebagai media komunikasi
dengan Tuhan dan Marapu (arwah-arwah leluhur). Hal ini sejalan dengan hasil
temuan Dwiningsih, dkk. (2014:75) bahwa dalam ritual hamayangu, doa kepada
Marapu, ada penyembelihan hewan berupa ayam untuk diambil hati dan tali
perutnya. Hati dan tali perut tersebut dianggap sebagai media yang mampu
menghubungkan dukun dengan Marapu. Lewat media tersebut pulalah, Marapu
akan memberikan petunjuk atau pesan tentang apa yang harus dilakukan kepada si
sakit.
Masyarakat Kabizu Beijello juga memaknai ayam sebagai simbol mediasi
yang dapat memelihara hubungan yang harmonis dan seimbang antara masyarakat
Kabizu Beijello dengan Marapu. Ayam yang telah diperiksa usus dan hatinya
selanjutnya akan dibakar atau direbus hatinya untuk diberikan kepada Marapu
sebagai sesajen. Pemberian sesajen ini merupakan salah satu cara menjaga
harmonisasi dengan Marapu. Bila selalu memelihara hubungan yang harmonis
dan seimbang dengan Marapu, maka Marapu akan berbelas kasih dan selalu
melindungi serta menolong masyarakat Kabizu Beijello untuk mencapai
kesuksesan dari segala permohonan, kerinduan dan harapan yang telah disetujui
dan direstui dalam ritual Urrata tersebut. Hal ini sejalan dengan hasil wawancara
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
219
peneliti dengan Herman bahwa ayam merupakan salah satu hewan sesajen kepada
Marapu sebagai salah satu wujud menjaga keharmonisan relasi dengan Marapu.
Kalau dalam ritual Urrata ayam yang digunakan untuk
meramal itu akan dibakar atau direbus hatinya untuk
diberikan kepada Marapu. Ata Urrata setelah Urrata
akan memerintahkan untuk segera membakar hati ayam
untuk diberikan kepada Marapu. Sehingga Marapu
tidak marah dan terus memberikan pertolongan serta
dukungan. Kalau tidak walaupun doa dari hasil ramalan
itu dikabulkan, tetap saja nanti akan ada kendala, tidak
akan berhasil (W/KKLMB/11).
Keharmonisan dengan Marapu akan terganggu apabila mayarakat Kabizu
Beijjelo tidak memberikan sesajen berupa hati ayam. Hal itu diyakini akan
menimbulkan kemarahan Marapu yang berujung pada tidak terkabulnya segala
doa dan permohonan. Ada semacam simbiosis mutualisme dalam relasi antara
masyarakat Kabizu Beijjelo dengan Marapu. Korelasi itu tergambar dalam hasil
wawancaranya Onvlee (1980:199) dengan seorang kepala desa di Sumba Barat
sebagaimana dicatat oleh (Vel, 2010: 80) menuturkan bahwa jika saya
menyediakan sesuatu bagi leluhur saya, mereka juga akan menyediakan sesuatu
bagi kelengkapan hidup saya. Jika saya memberi mereka makanan, mereka juga
akan memberi saya makanan. Jika saya memberi kekayaan kepada mereka,
mereka juga akan memberi saya kekayaan.
Ayam sebagai simbol mediasi dalam upacara-upacara adat telah menjadi
budaya bagi masyarakat Indonesia. Penelitian Kuenna (2015) dan penelitian
Ardina (2016) membuktikan bahwa masyarakat Dayak Ngaju dan masyarakat
Koto Rajo, Kuantar Hilir Seberang, Propinsi Riau menggunakan ayam sebagai
simbol mediasi dalam upacara-upacara adat. Penelitian yang dilakukan Ardina
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
220
(2016) berjudul “Makna Simbolik Ritual Pengobatan Tradisional Togak Belian di
Desa Koto Rajo, Kecamatan Kuantan Hilir Seberang, Kabupaten Kuantan
Singingi, Provinsi Riau”. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa dalam prosesi
pelaksanaan ritual pengobatan tradisional togak belian, ayam digunakan sebagai
simbol mediasi antara orang sakit, dukun dengan makhluk gaib. Ayam diberikan
kepada makhluk gaib sebagai sesajen dengan maksud agar makhluk gaib mau
membantu menyembuhkan orang yang sakit tersebut.
Sementara itu, penelitian Kuenna (2015) berjudul “Simbol Dalam Upacara
Adat Dayak Ngaju (Symbols in Ritual Tribe of Dayak Ngaju)”. Dalam penelitian
ini ditemukan bahwa dalam upacara ritual masyarakat Dayak Ngaju, “behas”
(beras) dan “meto” (hewan) tidak pernah ketinggalan dalam upacara apapun, baik
dalam upacara tiwah, upacara perkawinan, upacara mapalas/pengobatan, upacara
manajah antang, upacara kehamilan, upacara sangiang maupun bentukbentuk
upacara lain berdasarkan adat Dayak Ngaju. Beras dan hewan ini tidak hanya
sebagai pelengkap makanan pokok namun mempunyai makna lain. Behas (beras)
merupakan simbol media komunikasi yang sangat efektif antara manusia dengan
Ranying Hatalla (Tuhan). Selain beras yang sering digunakan dalam setiap acara
adat masyarakat Dayak adalah darah binatang. Adapun darah hewan yang
biasanya digunakan adalah darah ayam. Darah ayam ini biasanya digunakan untuk
mamalas atau menetralisir hal-hal yang berbau tidak baik. Darah ini
melambangkan hubungan antarmakhluk, antarmanusia, dan fungsinya
mendamaikan dan menentramkankan hubungan antara manusia dengan Tuhan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
221
Sistem simbolik pada tuturan-tuturan dalam tradisi lisan pada upacara
Padede Uma Kalada merupakan hasil kreativitas pikiran atau gagasan-gagasan
bersama masyarakat Kabizu Beijello yang terikat dengan konteks pemahaman dan
pengetahuan tentang lingkungan mereka. Hal itu ditegaskan Dharmojo,
(2005:150) bahwa simbol sebagai representasi dari budaya dapat dipelajari
berdasarkan pengetahuan tentang dunia. Bagi masyarakat Kabizu Beijello tuturan
paralel neti dari tana, batu ruta (ini garuk tanah, cabut rumput) dan labe a
belleka, pari’i a kaladana (cincin yang lebar, tiang yang besar dan agung) adalah
simbol. Sistem simbolik pada tuturan paralel ini merupakan hasil dari
penghayatan dan pengetahuan masyarakat Kabizu Beijello tentang lingkungan
mereka.
Neti dari tana, batu ruta (ini garuk tanah, cabut rumput) merupakan simbol
yang merujuk pada rumah-rumah dari anggota Kabizu Beijello. Rumah dari
anggota masyarakat Kabizu Beijello disebut dari tana, batu ruta karena pada
zaman dahulu secara umum masyarakat Kabizu Beijello memiliki mata
pencaharian utama sebagai petani. Anggota Kabizu Beijello keluar dari rumah
besar untuk bekerja kebun yang letaknya jauh dari rumah besar, yakni di pinggir-
pinggir hutan yang dekat dengan sumber mata air. Ketika sudah merasa nyaman
di tempat berkebun tersebut, maka anggota Kabizu Beijello itu membangun rumah
dan menetap di situ. Rumah inilah yang kemudian disebut dari tana, batu ruta.
Interpretasi terhadap makna simbolik dari tana, batu ruta pada saat ini tidak
hanya berlaku bagi anggota Kabizu Beijello yang bermata pencaharian sebagai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
222
petani. Akan tetapi berlaku bagi rumah dari semua anggota Kabizu Beijello dari
berbagai latar belakang profesi.
Tuturan labe a belleka, pari’i a kaladana (cincin yang lebar, tiang yang
besar dan agung) merupakan simbol yang merujuk pada kehadiran Tuhan yang
Maha Besar dan Maha Agung. Hal ini dibuktikan dalam penelitian yang dilakukan
oleh Bera (2016: 193) bahwa tiang utama, tiang besar orang Sumba disebut Tuhan
Allah, disebut sebagai tiang agung yang dalam bahasa Marapu dikenal dengan
istilah koko poga (leher besar atau leher agung). Ungkapan ini tertuju pada
pengertian kehadiran Tuhan Pencipta yang memikul dan melindungi seluruh umat
manusia. Cincin menjadi payung yang menaungi seluruh manusia. Cincin rumah
agung (lele labe). Sistem simbolik pada tuturan ini merupakan hasil penghayatan
dan pengetahuan masyarakat Kabizu Beijello yang memandang rumah sebagai
simbol. Sejatinya, setiap bagian dari rumah adat Kabizu Beijello adalah simbol.
Simbol itu memberikan gambaran terkait adanya Tuhan dan roh-roh gaib. Selain
itu, simbol pada rumah adat juga mengatur hubungan yang harmonis dan serasi
baik sebagai anggota warga rumah, warga Kabizu, dengan leluhur, alam raya dan
Tuhan sebagai Pencipta.
Sejalan dengan hal di atas, hasil penelitian Vel (2008) sebagaimana dicatat
oleh Bera dan Neonbasu (2016:325-326) menemukan bahwa rumah merupakan
penentu segala sesuatu yang berkaitan dengan perubahan dan perkembangan serta
dinamika kehidupan dan paradigma kebersamaan masyarakat Sumba. Tata krama
kehidupan dan spektrum pemahaman yang terpusat pada rumah terlukiskan secara
fisik dalam bangunan rumah adat Sumba. Sementara itu, Bera dalam pengantar
buku “Revitalisasi Desa Adat dan Dampak Sosial Budaya Masyarakat di Pulau
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
223
Sumba” (Ramone, 2015:6) juga menemukan bahwa rumah masyarakat Sumba
merupakan wadah perawatan hubungan-hubungan antaranggota warga rumah agar
tetap utuh dan harmonis. Misalnya, hubungan antara orang tua dan anak-anak dan
hubungan suami isteri. Menurut alam pikir masyarakat Sumba, rumah adat
lengkap mengatur status dan peran anggota warga rumah yang selalu dikaitkan
dengan yang Ilahi dan dilukiskan dalam bahasa dan benda simbolik. Misalnya,
status suami atau kepala keluarga disimbolkan oleh tiang bagian kepala “pari’i
tedu lunna (tiang bagian kepala)”, tiang apabila dilihat dari posisi tidur.
Sedangkan, status isteri disimbolkan oleh tiang bagian kaki “pari’i keretenda”,
status anak-anak disimbolkan dengan periuk dan piring nasi (ghuro-enga).
Berdasarkan seluruh deskripsi di atas, sistem simbolik pada tuturan-tuturan
dalam tradisi lisan pada saat upacara Padede Uma Kalada merepresentasikan
lingkungan sosial budaya masyarakat Kabizu Beijello. Lingkungan sosial budaya
yang direpresentasikan dalam bentuk tuturan-tuturan (bahasa) tersebut sejalan
dengan dengan pendapat yang disampaikan Duranti (1997:2) bahwa di dalam dan
melalui bahasa terungkap kebudayaan sebagai seluk beluk kehidupan manusia dan
berbahasa merupakan performansi aktivitas sosial dan budaya. Dengan demikian,
bahasa bukan sekadar nomenklatur (tata nama) tetapi bahasa memiliki perangkat
kata-kata tertentu yang dapat menjadi petunjuk bahwa kata-kata itu merupakan
bagian yang penting dalam sebuah kebudayaan. Berbagai wujud simbol yang
diungkapkan melalui bahasa secara tidak langsung merupakan gambaran dari
lingkungan sosial dan budaya masyarakat pemilik bahasa sekaligus budaya
tersebut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
224
Data-data primer pada kearifan-kearifan lokal dalam tradisi lisan pada
upacara Padede Uma Kalada selain diidentifikasi adanya simbol juga
diidentifikasi adanya metafora. Jika simbol-simbol itu tidak ditentukan
berdasarkan pada hubungan persamaan dari sesuatu yang mewakili sesuatu yang
lain, tetapi berdasarkan konvensi yang diakui bersama oleh masyarakat Kabizu
Beijello. Maka sebaliknya metafora dalam kearifan-kearifan itu ditentukan dengan
cara membandingkan sifat, menunjukkan analogi dan menyoroti ciri-ciri yang
dipersepsikan di antara entitas yang berbeda. Hal ini sejalan dengan Mulyadi
(2014:96) yang mengatakan bahwa metafora adalah mekanisme kognitif dalam
memahami satu ranah pengalaman berdasarkan struktur konseptual dari ranah
pengalaman lain yang bertalian secara sistematis. Sementara itu, Nirmala (2014:6)
mengungkapkan bahwa untuk dapat memahami maksud yang terkandung dalam
metafora ditemukan kesamaan karakteristik yang dimiliki antara target dan
sumber. Dengan membandingkan karakteristik yang dimiliki keduanya, akan
ditemukan dasar suatu metafora digunakan.
Metafora pada kearifan-kearifan lokal itu diciptakan oleh masyarakat
Kabizu Beijello seturut pengalaman dan pengetahuan mereka pada saat
berinteraksi dengan lingkungan sosial dan budaya. Hal ini sejalan dengan yang
dikatakan oleh Mulyadi (2014:96) bahwa penciptaan metafora adalah satu aspek
dari kecenderungan manusia dalam menggolongkan pengalamannya. Akar
metafora terletak pada persepsi sensori manusia, relasi manusia dengan dunia.
Tuturan tuta pomawo loddo (payung pelindung dari matahari), kada pomawo urra
(payung pelindung dari hujan) mengandung makna metaforis yang merujuk pada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
225
rumah adat masyarakat Kabizu Beijello. Ranah sumber dari metafora ini adalah
payung sebagai alat yang dapat memberikan perlindungan dari panas matahari
atau hujan. Pada situasi-situasi tertentu payung menjadi tempat berkumpul
beberapa orang. Ranah target dari metafora ini adalah rumah adat yang dapat
memberikan perlindungan dari panas matahari dan hujan. Sama halnya seperti
payung, rumah adat pada situasi-situasi tertentu menjadi tempat berkumpul untuk
menyatakan persatuan, kebersamaan dan perdamaian.
Metafora tuta pomawo loddo (payung pelindung dari matahari), kada
pomawo urra (payung pelindung dari hujan) selain merujuk pada rumah besar
juga merujuk kepada Marapu (arwah-arwah leluhur). Ranah sumber metafora ini
adalah payung yang dapat memberikan perlindungan dan kenyamanan. Sementara
itu, ranah targetnya adalah Marapu yang diyakini sebagai pelindung dari segala
macam ancaman dan malapetaka baik yang kelihatan maupun yang tidak
kelihatan (kekuatan-kekuatan gaib dan roh-roh gaib).
Selain metafora di atas, pada kearifan lokal dalam tradisi lisan pada upacara
Padede Uma Kalada juga ditemukan metafora nakarewe ebana (dia lapuk
pinggangnya), nakarawuwe logena (dia berantakan rambutnya). Ranah sumber
dari metafora ini adalah ebana (pinggang) dan logena (rambut). Pinggang dan
rambut pada tuturan ini merujuk pada pinggang dan rambut dari nenek moyang.
Ranah target dari tuturan ini adalah rumah besar dari masyarakat Kabizu Beijello.
Pada metafora ini terdapat proses kognitif, yakni konseptualisasi bahwa rumah
besar dibayangkan atau dipandang sebagai nenek moyang. Di dalam rumah besar
berdiam roh-roh nenek moyang. Rumah besar adalah nenek moyang. Oleh karena
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
226
itu, dalam konseptualisasi itu kerusakan atap dan badan rumah besar dipandang
sebagai kerusakan dari rambut dan pinggang nenek moyang.
Berdasarkan paparan di atas, dapat dikatakan bahwa metafora-metafora
dalam tradisi lisan pada upacara Padede Uma kalada merupakan aktivitas
kognitif. Aktivitas kognitif yang dimaksudkan adalah mekanisme kognitif dalam
memahami satu ranah pengalaman berdasarkan struktur konseptual dari ranah
pengalaman lain yang bertalian secara sistematis (Mulyadi (2014:96). Masyarakat
Kabizu Beijello pertama-tama merekam lingkungan yang ada di sekitar mereka
kemudian mengonspetualisasikannya ke dalam pikiran dan menghasilkan bahasa
(tuturan) dalam bentuk metafora-metafora yang terdapat dalam tradisi lisan pada
upacara Padede Uma kalada. Deskripsi ini dalam ekolinguistik sebagaimana
diwacanakan oleh Haugen (1972:325) membuktikan bahwa secara psikologis
terdapat pengaruh lingkungan terhadap bahasa-bahasa dalam pikiran atau kognisi
penutur bahasa tersebut.
Dari ekologi simbolik, peneliti kemudian masuk ke dalam tataran ekologi
sosiokultural. Dalam frame bahasa ada dalam ekologi simbolis peneliti
mengidentifikasi sebanyak 9 data. Pada sembilan data itu ditemukan 3 kearifan
lokal berwujud nyata dan 2 kearifan lokal berwujud tidak nyata. Adapun 3
kearifan lokal berwujud nyata itu, yakni (1) yasa, pamama (beras, sirih dan
pinang) yang dikutip dari data primer (E1/ESK2), (2) kapouta (ikat kepala),
kalabo (kain yang diikat di pinggang), katopo (parang) dikutip dari data
(O2/ESK6), dan (3) wawi (babi), karambo (kerbau) dikutip dari data (R1/ESK9).
Sementara itu, 2 kearifan lokal yang berwujud tidak nyata yang ditemukan yakni
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
227
(1) paralelisme dikutip dari data (O2/ESK6, Q1/ESK8) dan (2) syair dikutip dari
data primer (P1/ESK7).
Pengkajian terhadap bahasa ada dalam ekologi sosiokultural tentu juga akan
memperlihatkan interaksi manusia (bahasa) yang keduanya membentuk dan
didasari oleh struktur sosial dan pranata budaya yang membingkai interaksi
tersebut. Struktur sosial berkaitan dengan lembaga-lembaga sosial dan institusi-
institusi politik. Sementara itu, pranata budaya berkaitan dengan institusi
kekerabatan tradisional (Steffensen and Fill, 2013:11). Dalam konteks masyarakat
Kabizu Beijello, pranata budaya yang membingkai interaksi yang tampak dalam
tradisi lisan pada upacara Padede Uma Kalada adalah masih kuatnya kepercayaan
asli masyarakat Kabizu Beijello, yakni kepercayaan Marapu.
Marapu adalah kunci dari segala aktivitas kehidupan masyarakat Kabizu
Beijello. Relasi kehidupan manusia dan citra kehidupan bersama senantiasa
bersumber dari Marapu. Ide dasar kerukunan, menjaga harmonisasi dan
keseimbangan senantiasa bersumber dari Marapu. Dalam hal ini, sebagaimana
dikatakan oleh Neonbasu (2016b) bahwa Marapu bukan saja sebuah kepercayaan
melainkan sebuah citra kehidupan yang telah lama terkristalisasi dari sebuah
diskursus integral yang sempurna dan indah memukau. Marapu adalah percikan
keharuman macrocosmos dan microcosmos. Ciri utama Marapu adalah pencarian
keindahan dan pencinta keseimbangan, yakni keseimbangan antara manusia
dengan alam, manusia dengan sesama, dan antara manusia dengan Pencipta.
Masyarakat Kabizu Beijello dalam pranata budaya menjaga harmonisasi
dengan Marapu, roh gaib dan Yang Ilahi adalah keharusan. Dengan begitu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
228
masyarakat Kabizu Beijello akan memperoleh keselamatan dan keberkatan dalam
kehidupan. Pada kearifan lokal berwujud tidak nyata, yakni paralelisme dan
mantra ditunjukkan dengan jelas wujud menjaga harmonisasi dengan Marapu, roh
gaib dan Sang Ilahi. Paralelisme “Kendatipun ada yang beraib tubuhnya, berdosa
badannya. Janganlah ikat bersama, jangan simpul bergandeng” memperlihatkan
wujud menjaga harmonisasi dengan Marapu dan Sang Ilahi. Wujud menjaga
harmonisasi yang dilukiskan melalui paralelisme itu adalah masyarakat Kabizu
Beijello harus menunjukkan sikap taat terhadap hukum adat. Dalam konteks data
ini, hukum adat yang dimaksud adalah melakukan upacara rekonsiliasi apabila
menyadari diri telah melanggar perintah Marapu seperti dapamate kana ata
(jangan membunuh), dadala kana (jangan berzina), daboto kana (jangan bersaksi
dusta), dan dakedu kana (jangan mencuri). Sementara itu, pada kearifan lokal
berupa mantra juga dilukiskan hukum adat menjaga harmonisasi dengan roh gaib.
Hukum adat itu adalah harus memohon izin sebelum memotong tali dan
menebang pohon yang kemudian berdampak pada rusaknya seluruh ekosistem
yang ada di hutan. Dan setelah melakukan aktivitas itu, harus menanam pohon
sebagai ganti dari pohon dari pohon yang ditebang itu.
Hukum adat melakukan upacara rekonsiliasi dan memohon izin memang
tidak tertulis, tetapi wajib sifatnya untuk ditaati. Apabila tidak ditaati, maka
konsekuensinya adalah petaka. Hal ini sejalan dengan temuan Soeriadiredja
(2016:5) dalam wawancara dengan seorang Raja di Sumba Timur yang
memberikan kesaksian bahwa segala aturan dalam adat harus ditaati. Bila tidak,
akan disebut ‘pangga lii pawulu – liti lii pabanjalu’ (melangkah kata yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
229
diucapkan, menginjak bicara yang diletakkan), melanggar janji. Imbalan dari
perbuatan itu adalah ‘nda pamalundungu’, tidak panjang umur, atau tidak selamat.
Karena itulah kita selalu melaksanakan apa-apa yang sudah diamanatkan oleh
para Marapu itu.
Seluruh paparan di atas membuktikan bahwa ketika mengkaji bahasa dalam
ekologi sosiokultural, juga akan diungkap pula struktur sosial dan pranata budaya
masyarakat pemakai bahasa tersebut. Hal itu sebagaimana dikatakan oleh
Steffensen and Fill (2013:7) bahwa ketika seseorang berfokus pada ekologi
sosiokultural bahasa, seseorang melihat interaksi manusia (linguistik) yang
keduanya membentuk dan didasari oleh struktur sosial dan kemasyarakatan yang
lebih besar yang meliputi lembaga, proses ekonomi dan sumber daya sosial
budaya.
Selanjutnya akan dibahas terkait bahasa ada dalam ekologi kognitif.
Steffensen and Fill (2013:7) mengungkapkan bahwa pendekatan bahasa ada
dalam ekologi kognitif merupakan pendekatan yang menyelidiki bagaimana
bahasa diaktifkan oleh dinamika biologis organisme dan lingkungannya, dengan
fokus pada kapasitas kognitif yang memunculkan organisme yang fleksibel serta
adaptasi tingkah laku. Dalam penelitian ini, pada frame bahasa ada dalam ekologi
kognitif diidentifikasi 2 data. Dari kedua data itu ditemukan satu kearifan lokal
berwujud tidak nyata (intangible), yakni ideologi.
Ideologi adalah salah satu bentuk tujuan atau visi untuk mencapai sesuatu.
Ideologi dapat berupa formula atau draf yang disepakati bersama baik secara lisan
maupun tulisan. Itu menjadi prinsip yang akan menjadi pedoman untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
230
kepentingan komunitas tertentu. Selain itu, juga menjadi faktor pendorong dan
prinsip kehidupan seseorang, kelompok dan komunitas untuk menegakkan norma,
moral, nilai, dan adat istiadat (Amin, dkk., 2015:759).
Sesuatu yang sangat fundamental dalam tradisi lisan dalam upacara Padede
Uma Kalada adalah adanya fungsi relasi antara konstruksi tekstual dengan konsep
ideologis dalam proses produksi dan resepsi tuturan-tuturan tersebut. Hal itu
ditegaskan oleh Fowler (1986:8) yang dikutip Santoso (2007:5) bahwa linguistik
kritis mengajak membicarakan arah teori bahasa dalam fungsi yang penuh dan
dinamik dalam konteks-konteks historis, sosial, dan retoris. Dalam relasinya
dengan makna struktur lingual, sesuatu yang amat fundamental adalah terdapatnya
fungsi relasi antara konstruksi tekstual dengan kondisi-kondisi sosial,
institusional, dan ideologis dalam proses-proses produksi dan resepsinya.
Struktur-struktur lingual digunakan untuk menyistematisasikan dan
mentransformasikan realitas. Oleh karena itu, dimensi- dimensi sejarah, struktur
sosial, dan ideologi merupakan sumber utama pengetahuan dan hipotesis dalam
kerangka kerja linguistik kritis..
Gambaran tentang konsep ideologis ini tampak pada dua tuturan pada data
(F2/EK1) dan (N1/EK2). Pada data (F2/EK1) ‘rumah besar’ tidak dipandang
sebagai salah satu bangunan, melainkan sebagai ‘Ibu dan Bapak’ yang melahirkan
dan membesarkan masyarakat Kabizu Beijello. ‘Ibu dan Bapak’ merujuk pada
Marapu sebagai asal muasal kehidupan masyarakat Kabizu Beijello. Sementara
itu, pada data (N1/EK2) ‘gong dan tambur’ tidak dilihat sebagai alat musik semata
melainkan ‘suara Marapu’ yang berseru kepada masyarakat Kabizu Beijello. Oleh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
231
karena itu, upaya renovasi dan rekonstruksi rumah besar serta pemeliharaan gong
dan tambur menjadi sebuah keharusan bagi masyarakat Kabizu Beijello.
Keniscayaan ini dilatarbelakangi oleh konsep ideologi bahwa rumah besar, gong
dan tambur adalah Marapu yang menjadi pusat hidup yang mengatur norma,
moral, nilai, dan adat istiadat. Hal ini sejalan dengan Neonbasu (2016b:3) bahwa
Marapu secara ideologis dan spiritual-cosmis telah menghadirkan serta memberi
sebuah struktur kehidupan yang rukun, asri, natural, sangat kaya, penuh makna,
dan kaya nilai dalam tataran alam pikiran lokal.
4.3.2 Nilai-nilai Kearifan Lokal yang Terkandung dalam Tradisi Lisan
Teda pada Upacara Padede Uma Kalada
Linguistik dan ekologi adalah dua hal yang saling memengaruhi. Sistem
bahasa berpengaruh terhadap perilaku penggunanya dalam mengelola lingkungan.
Hal ini selaras dengan apa yang diungkapkan Fill and Muhlhaussler (2001) dalam
The Ecolinguistic Reader: Language, Ecology and Environment menyatakan
bahwa hubungan antara bahasa dan lingkungan ada 4 kondisi dan domain yang
memungkinkan untuk dianalisis, yaitu:
“Language is independent and self-contained (cognitive linguistics), language
is constructed by the world, the world is contructed by the language
(structuralism and post structuralism), language is interconnected with the
world- it both construct and is constructed by it but rarely independent
(ecolinguistics)”.
Linguistik kognitif memandang bahasa sebagai entitas yang berdiri sendiri.
Tesis ini ditentang oleh aliran linguistik strukturalis dan post-strukturalisme yang
melihat adanya hubungan bahasa dengan dunia, yakni dunia dibangun oleh bahasa
dan bahasa dibangun oleh dunia. Keterkaitan ini diafirmasi pula oleh ekolinguistik
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
232
yang memandang adanya hubungan yang erat antara bahasa (linguistik) dan dunia
(ekologi). Ekolinguistik tidak melihat bahasa dan lingkungan sebagai dua entitas
yang berdiri sendiri. Hal ini sejalan dengan pernyataan Mulyadi (2014:1) yang
menyatakan bahwa bahasa bukan merupakan entitas yang mandiri dalam
perspektif ekologis. Perubahan yang terjadi pada bahasa boleh jadi disebabkan
oleh lingkungan, dan itu dapat dilihat melalui ekspresi metaforis.
Nilai-nilai kearifan lokal yang terdapat dalam tradisi lisan Teda pada
upacara Padede Uma Kalada ialah nilai kearifan lokal dalam ekologi simbolis,
yakni nilai ketaatan (G1/ES5), nilai solidaritas (B1/ES2), nilai persatuan
(F3/ES4), nilai penghormatan (J1/ES9), nilai syukur (K1/ES10, M1/ES4), dan
nilai religius (O1/ES/12). Nilai kearifan lokal dalam ekologi sosiokultural
meliputi nilai-nilai penghormatan (P1/ESK7), nilai kerja keras (P1/ESK7,
Q1/ESK8), nilai rekonsiliasi (O2/ESK6). Sementara itu, nilai kearifan lokal dalam
ekologi kognitif yang ditunjukkan dalam data (N1/EK2), yakni nilai solidaritas.
Masyarakat Kabizu Beijello merupakan salah satu masyarakat yang masih
memegang teguh agama asli, yakni Marapu. Kehadiran agama asli tersebut tidak
serta merta hilang dengan masuknya penyebaran agama modern. Agama asli dan
agama modern melebur jadi satu dalam proses enkulturasi yang diselaraskan
dengan adat istiadat. Enkulturasi ini dapat membentuk kearifan lokal yang
menjadi pandangan hidup masyarakat. Hal ini sejalan dengan pernyataan Teezzi,
Marchettini, dan Rosini yang dikutip Hasbullah (2012:233) bahwa kearifan lokal
terbentuk oleh tradisi dan agama. Bagi masyarakat, nilai kearifan lokal dapat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
233
ditemukan dalam nyayian, pepatah, sasanti, semboyan, dan kitab-kitab kuno yang
melekat dalam perilaku kehidupan sehari-hari.
Nilai luhur yang dilukiskan dalam kearifan lokal berwujud nyata, yakni sirih
dan pinang pada data (G1/ES5) adalah ketaatan terhadap perintah Marapu.
Masyarakat Kabizu Beijello meyakini bahwa penggunaan sirih dan pinang pada
saat mengangkat ikrar dalam bentuk sumpah adat merupakan lambang kehadiran
nenek moyang yang menyaksikan dan mengikat ikrar atau sumpah adat tersebut.
Oleh karena itu, ikrar dan sumpah adat tersebut harus ditaati dan dijalankan
dengan penuh kesetiaan, kejujuran, dan tanggung jawab. Hal tersebut terlukiskan
pada metafora mandungo katanga, kettera kaleba (peganglah kuat-kuat keputusan
dan janji yang telah disepakati bersama). Setiap orang yang telah menerima sirih
pinang berarti menyatakan kesiapsediaan untuk menggenggam erat keputusan
bersama. Apabila ikrar atau sumpah ini dilanggar maka si pelanggar akan
mendapatkan risiko adat berupa malapetaka sebab janji atau ikrar yang telah
dimeteraikan melalui peristiwa pembagian sirih dan pinang itu bersifat sah, kukuh
dan mengikat. Hal itu dilukiskan pada metafora tana dadikki, watu dangero
(keputusan dan janji yang tidak akan berubah).
Data di atas memperlihatkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara
bahasa dalam bentuk tradisi lisan dengan lingkungan penuturnya. Tradisi lisan
menyimpan dan memuat fakta-fakta sejarah terkait kearifan lokal dan nilai-nilai
kearifan lokal masyarakat penuturnya. Hal ini sejalan dengan Fill and
Muhlhaussler (2001) bahwa linguistik dan ekologi adalah dua hal yang saling
memengaruhi. Ekolinguistik tidak melihat bahasa dan lingkungan sebagai dua
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
234
entitas yang berdiri sendiri. Ada hubungan yang erat antara bahasa (linguistik) dan
dunia (ekologi).
Masyarakat Kabizu Beijello yang hidup dalam lingkaran sosiokultural juga
memiliki pranata hukum adat yang menuntut kepatuhan atau ketaataan. Nilai
tersebut bukanlah sebuah paksaan melainkan kesadaran yang tumbuh dalam diri
masyarakat bahwa ketaatan akan mendatangkan berkah. Sebaliknya pelanggaran
terhadap pranata hukum adat akan membawa bencana. Hal ini didukung pula oleh
hasil temuan Soeriadiredja (2016:5) dalam wawancara yang dilakukan dengan
seorang Raja di Sumba Timur yang memberikan kesaksian bahwa segala aturan
dalam adat harus ditaati. Bila tidak, akan disebut ‘pangga lii pawulu – liti lii
pabanjalu’ (melangkah kata yang diucapkan, menginjak bicara yang diletakkan),
melanggar janji. Imbalan dari perbuatan itu adalah ‘nda pamalundungu’, tidak
panjang umur, atau tidak selamat. Karena itulah kita selalu melaksanakan apa-apa
yang sudah diamanatkan oleh para Marapu itu.
Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Dwiningsih, dkk., (2014) juga
membuktikan bahwa Marapu hanya akan memberikan perlindungan kepada orang
yang tunduk dan taat kepadanya, yaitu orang yang tidak melanggar dosa dan
norma yang diajarkan marapu. Jika ajaran Marapu dilanggar, maka ngilu bisa
datang dengan mudah karena Marapu sudah lepas tangan dan tidak berkenan
memberikan perlindungan lagi. Saat perlindungan tersebut hilang, maka ngilu bisa
datang karena memang ngilu sedang melintas di dekatnya, atau karena ‘dibikin’
oleh mahkluk jahat seperti suanggi (tukang guna-guna/santet). Maka untuk merasa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
235
aman dan selamat dari penyakit, orang Sumba percaya jika mereka harus taat
kepada Marapu.
4.3.3 Jati Diri Masyarakat Kabizu Beijello yang Termanifestasi dalam
Tradisi Lisan Teda pada Upacara Padede Uma Kalada
Berdasarkan hasil penelitian, peneliti menemukan bahwa di dalam tradisi
lisan pada upacara Padede Uma Kalada tergambarkan 7 wujud jati diri
masyarakat Kabizu Beijello yang meliputi (1) masyarakat Kabizu Beijello sebagai
masyarakat yang selalu membina sikap bermusyawarah, (2) masyarakat Kabizu
Beijello sebagai masyarakat solider, (3) masyarakat Kabizu Beijello sebagai
masyarakat yang menghormati pemimpin klan, (4) masyarakat Kabizu Beijello
sebagai masyarakat agraris, (5) masyarakat Kabiziu Beijello sebagai masyarakat
yang menghormati Marapu, (6) masyarakat Kabizu Beijello sebagai masyarakat
religius, dan (7) masyarakat Kabizu Beijello sebagai masyarakat ritual.
Data (A1/ES1), (F1/ES7), dan (C1/ESK1) memperlihatkan dengan jelas
wujud jati diri masyarakat Kabizu Beijello sebagai masyarakat yang selalu
membina sikap bermusyawarah. Wujud jati diri musyawarah yang digambarkan
dalam konteks data-data tradisi lisan ini adalah musyawarah selama proses
pembangunan rumah besar atau rumah adat. Musyawarah dalam rangka
merundingkan rencana pembangunan ulang rumah adat dilakukan dalam tiga
tahap, yakni (1) musyawarah antara tetua adat rumah besar dengan tetua-tetua
adat rumah kecil, (2) musyawarah antara tetua adat rumah besar, tetua adat rumah
kecil dengan anggota rumah kecil yang dilakukan di rumah kecil, dan (3)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
236
musyawarah antara tetua adat rumah besar, tetua adat rumah kecil dengan utusan
dari rumah kecil. Musyawarah yang ketiga ini dilakukan di rumah besar.
Masyarakat Kabizu Beijello dan masyarakat Sumba secara umum
memandang bahwa musyawarah merupakan warisan leluhur atau Marapu. Hal ini
sebagaimana terbaca dari penelitian yang dilakukan oleh Soeriadiredja (2013:69)
dengan judul “Marapu: Konstruksi Identitas Budaya Orang Sumba, NTT”. Dalam
penelitian ini diungkapkan bahwa bermusyawarah merupakan suatu kewajiban
yang sudah ditetapkan oleh Marapu. Tidak ada permasalahan yang tidak dapat
dipecahkan melalui musyawarah. Pandangan ini dipertegas pula oleh Wora (2007)
sebagaimana dicatat oleh Djawa dan Suprijono (2014: 82) bahwa musyawarah
merupakan budaya orang Sumba dalam mengambil keputusan.
Jati diri masyarakat Kabizu Beijello sebagai masyarakat yang selalu
membina sikap bermusyawarah, dalam bahasa Wewewa dikenal dengan istilah
pakuana. Apabila diterjemahkan secara cermat kata pakuana memiliki arti
berkumpul. Akan tetapi, dalam kaitannya dengan kegiatan musyawarah kata
pakuana memiliki makna berkumpul dan duduk secara bersama-sama untuk
sama-sama melihat, membicarakan, merundingkan dan merembukkan hal-hal
yang menjadi tujuan pakuana (bermusyawarah). Dalam konteks data (F1/ES7)
konsep kata pakuana itu dilukiskan dengan jelas pada tuturan metaforis mattu
mata, tanga wiwi. Tuturan ini apabila diterjemahkan secara cermat memiliki arti
‘banyak mata, bertemu bibir’ yang memiliki makna bahwa dalam berkumpul dan
bermusyawarah harus secara bersama-sama melihat dan membicarakan terkait
dengan masalah-masalah yang ditemukan dalam musyawarah itu. Selain itu,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
237
konsep pakuana tampak pula pada data (C1/ESK1) yakni pada tuturan bumbuge
rawa, maruge mata. Rawa (burung merpati) bagi masyarakat Kabizu Beijello
adalah lambang kekeluargaan, cinta kasih dan kesetiaan. Dengan demikian,
tuturan metaforis ini memiliki makna bahwa dalam berkumpul dan
bermusyawarah yang harus diutamakan adalah musyawarah harus dibingkai
dalam semangat cinta kasih dan kesetiaan sebagai satu keluarga. Dalam hal ini,
pada saat pakuana tentu ada perbedaan pendapat. Namun demikian, perbedaan
pendapat itu selalu diupayakan untuk diungkapkan dalam suasana penuh cinta
kasih dan kekeluargaan. Konsekuensi dari itu, hasil kesepakatan bersama yang
ditetapkan dapat memberikan kepuasan tersendiri bagi seluruh peserta
musyawarah tanpa adanya unsur tekanan dan keterpaksaan.
Dengan demikian, masyarakat Kabizu Beijello dalam bermusyawarah hanya
mengenal musyawarah dalam bentuk mufakat yang berlandaskan pada asas cinta
kasih dan kekeluargaan. Dalam hal ini, masyarakat Sumba pada umumnya tidak
mengenal sistem voting atau pemungutan suara terbanyak sebagai hasil keputusan
dari suatu masalah yang dihadapi. Hal ini sejalan dengan hasil temuan Tunggul
(2003:47-49) bahwa masyarakat Sumba secara umum dengan budaya spiritualnya
mengutamakan nilai dasar mufakat dalam musyawarah kekeluargaan. Persetujuan
melalui pemungutan suara atau suara terbanyak tidak dikenal dalam tata tertib
musyawarah mufakat dalam budaya spiritual suku Sumba.
Dalam pranata sosiobudaya lokal, kehidupan kolektif masyarakat Kabizu
Beijello selain mengutamakan musyawarah untuk mencapai mufakat juga
menekankan filosofi hidup solider. Data tradisi lisan (H2/ES6), (L1/ESK3) dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
238
(R1/ESK9) membuktikan bahwa masyarakat Kabizu Beijello adalah masyarakat
yang solider. Solidaritas dalam masyarakat Kabizu Beijello terjalin dalam ikatan
sosial budaya yang berwujud “gotong royong dan tolong menolong” yang lahir
dari hubungan kekerabatan klan. Sejatinya, wujud solidaritas itu tidak hanya
menyata dalam kehidupan sebagai satu klan Beijello, tetapi juga dihidupi dalam
konteks masyarakat secara luas. Terkait dengan hal ini terbukti pula dalam
penelitian yang dilakukan oleh Aluman (2016b:235) bahwa partisipasi yang
terjadi pada masyarakat Marapu adalah partisipasi yang lahir dari kesadaran
individu karena kedekatan emosional dan perasaan saling memiliki. Partisipasi
yang dimiliki merupakan wujud gotong royong karena perasaan kebersamaan dan
perasaan memiliki, yang merupakan kekuatan dari dalam diri setiap individu,
dimana mereka tidak ingin melihat saudaranya menderita atau sengsara. Pada
masyarakat Marapu perasaan senasib dan sepenanggungan diwariskan secara
turun temurun.
Praktik solidaritas yang dihidupi oleh masyarakat Kabizu Beijello
sesungguhnya lahir dari satu nilai yang sangat agung, yakni manawara (belas
kasih atau cinta kasih). Hal ini itu diungkapkan Bera (2016:205) bahwa salah satu
butir nilai utama dalam perbendaharaan nilai-nilai manusia Sumba Marapu yang
masih bertahan sampai saat ini adalah manawara (kepedulian, solider, setia
kawan, prihatin, dan cinta kasih). Ide atau pengalaman akan nilai ini berasal dari
getaran jiwa, hati, dan rasa dari dalam diri seseorang ketika melihat suatu keadaan
yang menimpa nasib manusia sesama warga masyarakat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
239
Diksi manawara yang dikonkretisasikan dalam wujud ‘bergotong royong
dan tolong menolong’ yang dilukiskan dalam tradisi lisan pada upacara Padede
Uma Kalada sejatinya memperlihatkan nilai-nilai ecosophy. Hal itu sebagaimana
dijelaskan oleh Stibbe (2015:15-16) bahwa dalam rangka pembangunan
peradaban baru, diksi dan ungkapan-ungkapan bijak dapat membantu orang untuk
peduli pada lingkungan, baik lingkungan alam atau fisik maupun lingkungan
sosiokultural. Dalam hal ini, diksi dan ungkapan-ungkapan bijak itu dimaknai
oleh Stibbe sebagai ecosophy yang sesungguhnya. Hal itu sebagaimana diuraikan
lebih lanjut bahwa nilai intrinsik tipologi bahasa memiliki daya dan manfaat untuk
merawat sesama manusia, budaya dan lingkungan alam.
Pada jati diri masyarakat Kabizu Beijello sebagai masyarakat yang
menghormati pemimpin dan menghormati Marapu juga menunjukkan adanya
dimensi ecosophy. Dalam Data (D1/ES3) dan (L2/ESK4) menunjukkan dengan
jelas wujud praktik penghormatan kepada pemimpin. Pemimpin yang
dimaksudkan dalam konteks data ini adalah pemimpin klan Beijello.
Penghormatan itu diberikan karena kedudukannya tersebut. Data you ina, amama
(Engkau Ibu, Bapak kami) mengandung makna metaforis yang merujuk pada
pemimpin klan Beijello. Wujud dari jati diri penghormatan kepada pemimpin klan
Beijello yang dilukiskan melalui tuturan ini adalah masyarakat Kabizu Beijello
menyapa pemimpin klan dengan tuturan yang sopan dan santun, yakni ina, ama
(Ibu, Bapak).
Masyarakat Kabizu Beijello dalam konteks sosial budaya, sejatinya selalu
menyapa orang yang tua atau orang yang dituakan karena kedudukannya dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
240
sapaan ina, ama (Ibu, Bapak). Sapaan dengan tutur kata yang sopan dan santun ini
menunjukkan bahwa pemimpin klan mendapatkan posisi dan perlakuan yang
sangat dihormati dan dihargai dalam konteks Kabizu. Hal ini sejalan dengan
temuan Aluman (2016a:25) bahwa salah satu nilai yang masih bertahan pada
masyarakat Sumba sampai saat ini adalah sikap dan tutur kata sopan santun ketika
berkomunikasi. Pada kelompok masyarakat Sumba penghormatan kepada orang
tua atau yang dituakan sudah menjadi tradisi. Penghormatan dengan sopan santun
berkomunikasi itu masih dipertahankan dalam praktik kehidupan harian
masyarakat setempat. Seseorang yang berkedudukan sebagai anak harus menyapa
orang tua atau orang yang dituakan dengan Ina, Ama. Sapaan Ina, Ama
merupakan wujud penghormatan kepada orang tua atau dituakan tersebut.
Penghormatan kepada pemimpin klan selain karena kedudukannya, juga
dilandasi oleh keyakinan bahwa pemimpin klan Beijello merupakan penghubung
atau mediator antara masyarakat Kabizu Beijello dengan Marapu. Hal ini sejalan
dengan Rostiyati (2009: 201) yang mengatakan bahwa kebergantungan
masyarakat pada pemimpin informal yang berperan sebagai pemimpin adat,
sangat tinggi. Hal itu disebabkan warga masyarakat meyakini, bahwa pemimpin
adat mempunyai kemampuan dan kelebihan tertentu. Masyarakat percaya bahwa
kehadiran pemimpin adat dapat memberi ketenangan dan harmoni. Ia dapat
merepresentasikan masyarakat untuk berhubungan dengan leluhur. Pemimpin adat
merupakan mediator antara masyarakat dengan leluhurnya.
Masyarakat Kabizu Beijello meyakini bahwa pemimpin klan Beijello
memiliki hubungan yang dekat dengan Marapu. Doa-doanya didengarkan oleh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
241
Marapu. Apabila pemimpin klan memohon kepada Marapu untuk mengutuk
anggota Kabizu Beijello yang melanggar perintah Marapu, maka Marapu akan
mengabulkan doanya itu. Atas dasar keyakinan itu, masyarakat Kabizu Beijello
selalu menjaga harmonisasi dengan pemimpin klan dengan cara menunjukkan
sikap hormat dan taat kepada pemimpin klan. Wujud dari penghormatan itu
adalah masyarakat Kabizu Beijello selalu menaati dan menjalankan perintah
Marapu. Hal itu dilukiskan pada tuturan metaforis madara padeku, mabongga
pamane (Kami kuda penurut, anjing pengikut). Dalam hal ini, tuturan metaforis
ini menggambarkan kehidupan sosial budaya yang terjadi pada klan Beijello.
Metafora ‘Kami kuda penurut’ menggambarkan budaya masyarakat Kabizu
Beijello yang selalu siap untuk ikut menanggung beban dan menuruti perintah
pemimpin klan. Sementara itu, metafora ‘kami anjing pengikut’ menggambarkan
budaya masyarakat Kabizu Beijello yang mengikuti dan melaksanakan perintah
pemimpin klan. Konsekuensi dari sikap itu adalah masyarakat Kabizu Beijello
akan memperoleh keberkatan dalam kehidupan.
Dalam kaitannya dengan ekolinguistik sebagaimana diwacanakan oleh
Haugen, (1972:325) data di atas membuktikan bahwa bahasa memiliki hubungan
tali temali dengan konteks sosial dan budaya. Bahasa dalam tradisi lisan pada
upacara Padede Uma Kalada itu menggambarkan atau merepresentasikan
lingkungan sosial budaya masyarakat Kabizu Beijello. Dalam tradisi lisan ini
terdapat seperangkat kata tertentu yang memberi petunjuk tentang kehidupan
sosial dan budaya masyarakat Kabizu Beijello. Hal ini sejalan dengan pandangan
Mulyadi (2014:93) bahwa bahasa bukan sekadar nomenklatur (tata nama). Setiap
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
242
bahasa memiliki perangkat kata tertentu sebagai petunjuk bahwa kata-kata itu
menjadi bagian yang penting dalam sebuah kebudayaan.
Data (F2/EK1), (M1/ES11), (P1/ESK7), (J1/ES9), dan (K1/ES10)
menunjukkan wujud jati diri penghormatan kepada Marapu. Pemahaman terkait
hakikat Marapu dapat ditelusuri melalui catatan Solihin (2013) dengan mengutip
pandangan L. Ovlee (dalam Wellem, 2004:41) yang mengatakan bahwa kata
Marapu berasal dari dua kata, yakni ma dan rappu. Ma bermakna “yang”, dan
rappu bermakna “dihormati”, “disembah”, dan “didewakan”, sehingga marappu
merujuk pada arti sesuatu yang dihormati, disembah, atau didewakan. Selain itu,
Solihin (2013) juga mengutip pendapat A.A. Yewangoe (1980:52) yang
berpendapat bahwa Marappu merupakan gabungan dari kata ma (yang) dan rappu
(tersembunyi), sehingga kata marappu bermakna “yang tersembunyi”. Selain itu,
Yewangoe sebagaimana dicatat oleh Solihin, juga memperkirakan bahwa
Marappu berasal dari kata mera (sama/serupa) dan appu (nenek moyang).
Konsep tentang Marapu juga dapat dilihat dalam catatan Tunggul (2003:21)
yang juga merupakan gabungan dari dua kata, yakni ma yang berarti ‘yang’ dan
rappu yang berarti mengkristal ke dasar. Lebih lanjut Tunggul, mengungkapkan
bahwa Marapu mengandung makna ‘yang telah rampung, telah beres atau telah
selesai’. Artinya jasad manusia yang telah dikuburkan dengan resmi menurut
hukum adat, dimasukkan dalam liang lahat di tanah. Roh dan jiwanya juga telah
diserahkan atau diantar kembali kepada Maha Pencipta, yakni Tuhan Yang Maha
Esa. Dengan demikian tugas manusia di bumi telah selesai, telah dirampungkan
jasadnya kembali menjadi tanah, sebagai zat asalnya semula awal kejadiannya.
Sedangkan, roh dan jiwanya telah dipercayakan kepada Penciptanya, telah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
243
menyatu pada zat Ilahi atau berada dan diterima kembali di sampingnya, dalam
suasana kehidupan yang baru dan abadi selamanya. Dengan keyakinan ini, maka
roh dan jiwa si mati atau leluhur yang disebut Marapu menjadi telah sedemikian
dekatnya, bahkan menyatu dengan Sang Pencipta, sehingga Marapu dapat
menjadi penghubung manusia untuk berkomunikasi dengan Sang Alkhalik, Sang
Pencipta atau Tuhan.
Untuk menambah pemahaman terkait hakikat Marapu, Tunggul juga
mencatat dua ungkapan dalam bahasa Sumba Timur, yaitu (1) Da mapa
turukungu lii, da-da ma parapangu pekada, yang bermakna mereka yang
menyampaikan segala pesan, hasrat dan keinginan umat manusia secara tepat dan
benar di hadapan Tuhan Yang Maha Esa. (2) Da lindi papa kalangu, da ketu papa
jolangu, mereka (roh leluhur) adalah titian yang digalang, mereka adalah penjolok
yang diulurkan. Mereka adalah jembatan penghubung untuk mendapatkan
sesuatu.
Pandangan Tunggul di atas, memberikan gambaran secara jelas bahwa
Marapu adalah arwah-arwah leluhur yang telah meninggal yang dipercaya sebagai
penghubung antara manusia dengan Yang Ilahi. Masyarakat Sumba terutama
penganut kepercayaan Marapu percaya bahwa setelah kematian ada kehidupan.
Setelah seseorang meninggal, tubuhnya memang binasa tetapi dewa-nya atau
jiwa-nya tetap hidup. Jiwa-jiwa para leluhur yang telah meninggal ini kemudian
dinamakan Marapu, yang dihormati sebagai perantara antara manusia yang masih
hidup dengan Magholo (pencipta)-Marawi (pembuat) yang dimaksud di sini
adalah Tuhan sebagai pencipta yang memiliki kekuasaan tertinggi. Hal ini sejalan
dengan pendapat yang dikemukakan oleh Neonbasu (2016c:70) yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
244
mengemukakan bahwa Marapu adalah arwah daripada para leluhur yang
bertindak sebagai dikita (berpindah-pindah) noneka (mondar-mandir), yaitu
perantara antara manusia dengan Yang Ilahi.
Petrus Ngongo Tanggu Bera dalam pendahuluan buku berjudul “Revitalisasi
Desa Adat dan Dampak Sosial Budaya di Pulau Sumba” yang ditulis oleh Ramone
(2015: 2) merumuskan hakikat Marapu sedikit berbeda dengan pendapat di atas.
Menurut Tanggu Bera, Marapu merupakan kepercayaan asli manusia Sumba
purba yang masih bertahan sampai sekarang. Kepercayaan Marapu mencakup
alam roh, dewa atau dewi, arwah leluhur, kekuatan magis atau gaib, obat-obatan,
dan sejenisnya yang diyakini mempengaruhi hidup manusia. Hal yang sama juga
diungkapkan oleh Solihin (2013) bahwa kepercayaan Marapu merupakan salah
satu dari agama-agama arkais. Hal ini dapat dilihat dari beberapa ciri khas agama
ini, seperti pengultusan terhadap arwah leluhur, kepercayaan terhadap roh halus
dan kekuatan-kekuatan gaib, serta fetisisme, yaitu pemujaan terhadap benda-
benda keramat. Rumusan ini menurut Neonbasu (2016c:72) sebetulnya
merupakan kristalisasi pemahaman akan kekayaan dari makna dan arti marapu
yang acapkali dimengerti secara sepihak dan tidak menyeluruh. Sementara itu,
Fernandez (1990: 296) dalam Kleden (2013: 6) juga mengungkapkan bahwa
munculnya rumusan ini merupakan perwujudan dari kebutuhan manusia yang
mencari keamanan, perlindungan dan ketenteraman.
Sehubungan dengan seluruh paparan di atas, Marapu yang dimaksud pada
konteks data ini adalah arwah-arwah leluhur, makhluk-makhluk halus, dewa atau
dewi yang mendiami pohon, hutan, padang dan kekuatan-kekuatan sakti lainnya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
245
yang dipercaya berasal dari dunia gaib yang dalam bahasa Wewewanya, a ne’ena
kabaila ro’o (yang berasal dari balik daun), yang memiliki makna kekuatan-
kekuatan yang tidak kelihatan atau berasal dari dunia lain atau gaib. Dalam hal ini,
merujuk pada Marapu yang tidak dapat dilihat secara kasat mata, tetapi dipercaya
memiliki kekuatan-kekuatan sakti yang dapat mempengaruhi seluruh aktivitas
kehidupan manusia.
Wujud dari penghormatan kepada Marapu yang digambarkan pada data-
data di atas adalah masyarakat Kabizu Beijello selalu menjaga warisan-warisan
Marapu, memohon izin ketika hendak menebang pohon dan memotong tali serta
melakukan ritual pengucapan syukur. Pelaksanaan ritual pengucapan syukur
dilandasi oleh keyakinan bahwa keselamatan dan keberhasilan itu dicapai karena
adanya pertolongan dan perkenanan dari Marapu.
Masyarakat Kabizu Beijello dalam kaitannya dengan kehidupan sosial
budaya sesungguhnya selalu diwarnai dengan upacara pengucapan syukur yang
meliputi upacara pengucapan syukur atas kelahiran baru, syukur atas hasil panen,
syukur atas keberhasilan seseorang dalam menyelesaikan pendidikannya, dan
syukur atas rumah yang telah memberikan kenyamanan, kedamaian, dan
persatuan. Hal ini sejalan pula dengan temuan Riti (2015: 124) bahwa
Penghormatan kepada leluhur melalui beragam upacara adat merupakan kekayaan
budaya yang tidak ternilai harganya. Dalam kaitannya dengan sosial budaya,
hidup keseharian orang Sumba diwarnai oleh lima ciri utama yaitu kelahiran,
perkawinan, kematian, aktivitas bertani (menanam dan memanen), dan aktivitas
beternak (memelihara kerbau, babi, dan kuda). Pada masa lalu hingga pengkajian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
246
ini dilaksanakan, secara umum masih sangat mudah dijumpai di seluruh wilayah
perkampungan atau pedesaan di Sumba, dimana setiap aktivitas tersebut memiliki
hal-hal yang menjadi ciri tersendiri sebagai bentuk penghormatan kepada Marapu
atau Sang Khalik. Penghormatan tersebut dapat melalui bentuk permohonan
berkat, permohonan izin, dan ucapan syukur kepada arwah nenek moyang atas
kelahiran baru atau panenan yang diperoleh.
Upacara pengucapan syukur dalam ritual-ritual adat selalu ditandai dengan
tuturan natogola manairobage, namawellita mawanabage. Tuturan ini
mengandung makna metaforis, yakni merujuk pada pengucapan syukur atas suatu
pekerjaan yang telah selesai atau rampung. Masyarakat Kabizu Beijello apabila
dalam ritual adat mendengarkan tetua adat menuturkan kalimat paralel ini, maka
dapat dipastikan bahwa ritual itu adalah ritual pengucapan syukur. Dengan
demikian, tuturan ini membuktikan bahwa bahasa mencerminkan lingkungan
sosial dan budaya masyarakat penuturnya. Hal ini sejalan dengan pandangan
Tarigan (2016:19) yang mengatakan bahwa kelengkapan leksikon suatu bahasa
mencerminkan sebagian besar karakter lingkungan ragawi dan karakteristik sosial
serta budaya masyarakat penuturnya.
Penghormatan kepada pemimpin klan dan penghormatan kepada Marapu
yang dikonkretisasikan melalui sikap sopan santun dalam menyapa pemimpin
klan, mentaati dan menjalankan perintah pemimpin klan, menjaga warisan
leluhur, memohon izin kepada roh gaib sebelum melakukan aktivitas di hutan
serta mengucap syukur sejatinya adalah perilaku hidup menjaga harmonisasi.
Membangun relasi yang seimbang dan harmonis sesuai dengan perintah orde alam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
247
raya merupakan salah satu warisan luhur masyarakat Kabizu Beijello. Hal itu
selaras dengan hasil temuan Neonbasu (2016a:180-184) bahwa salah satu hal
pokok yang merupakan warisan luhur dan hendaknya terus diperhatikan dalam
bingkai Marapu adalah menjaga harmonisasi, baik diantara sesama manusia
(hidup bermasyarakat) maupun kehidupan pada tataran cosmis yakni hidup
bersama alam raya, leluhur dan Yang Tertinggi. Menjaga harmonisasi itu tidak
saja perilaku sosial di antara manusia berbudi, melainkan sikap dan respek ikhlas
untuk mentaati dan menghormati orde alam raya.
Dari wujud jati diri penghormatan kepada pemimpin klan dan penghormatan
kepada Marapu, selanjutnya peneliti masuk pada wujud jati diri masyarakat
Kabizu Beijello sebagai masyarakat agraris. Berdasarkan hasil identifikasi data
ditemukan enam data primer yang menggambarkan wujud jati diri masyarakat
Kabizu Beijello sebagai masyarakat agraris, yakni data (R1/ESK9), (Q1/ESK8),
(P1/ESK7), (O2/ESK6), (E1/ESK2), dan (N1/EK2). Tuturan hatti a ne’ena oma
dana (itu yang berasal dari kebun) mengandung makna simbolik, yakni merujuk
pada anggota-anggota masyarakat Kabizu Beijello yang berasal dari rumah kecil.
Sistem simbolik ini dilatari oleh konteks budaya masyarakat Kabizu Beijello
sebagai masyarakat agraris. Dalam hal ini masyarakat agraris dalam konteks
pemahaman masyarakat Kabizu Beijello tidak terbatas pada konsep bertani, tetapi
juga beternak. Dengan demikian, bahasa dalam tradisi lisan pada upacara Padede
Uma Kalada menggambarkan pula kenyataan yang ada disekitarnya. Hal itu
selaras dengan pandangan Mbete, dkk., 2015:5) bahwa bahasa adalah gambaran
atau representasi lingkungan tempat bahasa hidup, dalam arti hidup dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
248
manusia. Kekayaan subsistem leksikon, teks, dan wacana menggambarkan dan
merepresentasikan lingkungan alam dan budaya yang ada disekitarnya.
Wujud jati diri bertani dan berternak sejatinya merupakan identitas atau jati
diri yang tidak dapat dilepaspisahkan dari kehidupan masyarakat Kabizu Beijello.
Wujud jati diri bertani dan berternak itu nampak bahwa masyarakat Kabizu
Beijello walaupun telah memiliki pekerjaan tetap, mereka juga tetap melakoni
praktik budaya bertani dan berternak. Hal itu terbukti pula dari penelitian yang
dilakukan oleh Aluman (2016b:293) bahwa kegiatan berternak telah dianggap
sebagai kewajiban bagi setiap keluarga. Ternak yang dipelihara adalah ayam, babi
dan kerbau. Ketika berkunjung pada setiap keluarga pasti ada kandang babi yang
selalu terisi dengan minimal satu ekor babi.
Masyarakat Kabizu Beijello dalam praktik budaya agraris mempraktikkan
kegiatan seperti bertani, beternak, dan kegiatan ekonomi kreatif. Dalam kegiatan
bertani dikenal tiga istilah yakni oma (kebun), paba (sawah), dan kalio (kintal).
Oma dan paba (sawah) digunakan untuk menanam tanaman umur pendek seperti
padi, jagung, sayur-sayuran, kacang-kacangan, dan ubi-ubian. Sementara itu, kalio
adalah lahan kering yang berada di sekitar rumah. Kalio biasanya ditanami
tanaman umur panjang seperti seperti kopi, pinang, kelapa, sawo, durian dan
kayu-kayu yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan material pembuatan rumah.
Masyarakat Kabizu Beijello dalam kegiatan beternak memelihari ternak
seperti ayam, babi, anjing, kerbau, kuda, kambing, dan sapi. Temuan ini didukung
pula dengan hasil temuan Aluman (2016a: 24) bahwa pada umumnya masyarakat
petani Sumba memiliki mata pencaharian hidup bertani dan berternak. Dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
249
kegiatan pertanian saja terdiri dari usaha lahan kering dan lahan basah (sawah).
Pada areal lahan pertanian lahan kering juga ditanami dengan tanaman umur
panjang. Usaha pertanian lahan kering ditanami berbagai jenis tanaman (tumpang
sari). Dalam kegiatan berternak juga memelihara berbagai jenis ternak besar
misalnya, kerbau, sapi, kuda. Ternak kecil misalnya, ayam, sapi kambing, anjing,
kucing. Kegiatan pertanian dan beternak bersifat diversifikasi. Oleh karena itu,
tidak fokus pada satu jenis tanaman atau satu jenis ternak dalam jumlah besar.
Yang mestinya diusahakan adalah supaya biar sedikit tetapi dimiliki oleh setiap
petani.
Selain bertani dan beternak, masyarakat Kabizu Beijello juga melakukan
kegiatan ekonomi kreatif dalam bidang kerajinan tangan seperti menenun,
memintal tali, menghasilkan berbagai anyaman yang terbuat dari bambu, daun
padan, rotan dan daun lontar. Selain itu, masyarakat Kabizu Beijello dalam
kegiatan ekonomi kreatif ada juga yang berprofesi sebagai pandai besi. Dalam
kegiatan pandai besi dihasilkan produk seperti parang, cangkul, pacul, pisau,
keris, gong, dan tombak.
Praktik budaya agraris tersebut di atas selain bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan hidup, sesungguhnya memiliki motif utama, yakni agar dapat
digunakan dalam upacara-upacara adat. Hal itu terbukti pula dari hasil penelitian
Aluman (2016b: 293) yang menemukan bahwa motif masyarakat selalu
menyediakan ternak babi dalam kandang adalah untuk berjaga-jaga dan demi
terpenuhinya kebutuhan upacara adat bilamana diperlukan. Kewaspadaan
terhadap kematian menjadi bagian sangat penting bagi masyarakat Marapu,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
250
sehingga berternak babi bagi setiap keluarga tidak mengenal pangkat, usia,
golongan dan pekerjaan jika keluarga tersebut adalah komunitas Marapu. Temuan
ini sejalan pula dengan hasil temuan Atmosudiro (1982) yang dicatat oleh Solihin
(2018:15) bahwa berbagai upacara adat di Sumba telah mendorong adanya usaha
peternakan yang ditujukan untuk memenuhi persediaan hewan dalam upacara
pengorbanan.
Masyarakat Kabizu Beijello merupakan masyarakat ritual. Dalam berbagai
ritual adat atau upacara adat ternak merupakan kebutuhan yang bersifat mendesak
dan penting. Misalnya, untuk dapat melakukan ritual urrata harus ada ayam.
Ayam ini digunakan untuk meramalkan suatu peristiwa. Dalam upacara kematian,
minimal harus ada babi sebagai hewan kurban apabila orang yang meninggal
tersebut berasal dari keluarga yang tidak mampu. Akan tetapi, apabila orang yang
meninggal tersebut berasal dari keluarga yang terpandang, yakni Rato (raja atau
bangswan) atau Tokko (orang yang memiliki kedudukan di atas Rato), hewan
yang dikurbankan berupa babi, kerbau, sapi dan kuda.
Dalam alam pikir masyarakat Sumba, kuda merupakan hewan yang akan
digunakan sebagai tunggangan dan hewan-hewan lainnya merupakan bekal orang
yang meninggal tersebut menuju Bondo Bolu, Wanno Raza (surga atau negeri
Marapu). Sebagai pertanda bahwa akan mengurbankan ternak-ternak besar, maka
akan terdengar bunyi gong pada saat orang tersebut meninggal. Selain itu, jenasah
tersebut akan dibungkus dengan kain tenun. Kain tenun itu dipandang sebagai
pakaian dari orang yang meninggal itu. Sementara itu, dalam upacara perkawinan,
pihak laki-laki akan membawa belis berupa kerbau, kuda dan sapi. Selain itu,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
251
pihak laki-laki juga akan membawa parang, tombak, mamoli dan babi. Pihak
perempuan juga akan membalas dengan sejumlah kain tenun serta babi yang
masih hidup dan yang sudah dibunuh. Tamu yang datang disambut dengan sirih
pinang sebagai tanda ketulusan hati menerima tamu tersebut. Selanjutnya, nasi
yang dimakan sebagai bentuk jamuan makan bersama harus berasal dari beras
sebagai lambang penghormatan kepada tamu atau undangan.
Selanjutnya, peneliti masuk pada bagian wujud jati diri masyarakat Kabizu
Beijello sebagai masyarakat ritual. Data (E1/ESK2), (H2/ES6), (J1/ES9), dan
(K1/ES10) menunjukkan dengan jelas praktik ritual yang mendominasi proses
Padede Uma Kalada (pembangunan rumah besar). Pada bagian ini peneliti tidak
berfokus pada ritual-ritual adat yang mendominasi proses pembangunan rumah
besar tersebut. Peneliti dengan memanfaatkan cara kerja etnografi komunikasi dan
pendekatan holistik lebih berfokus pada ‘bahasa ritual’ yang digunakan dalam
tradisi lisan pada upacara Padede Uma Kalada. Satu hal yang pasti bahwa bahasa
ritual itu berada dalam ruang lingkup sosiokultural masyarakat Kabizu Beijello.
Bahasa ritual itu digunakan oleh masyarakat Kabizu Beijello dalam komunikasi-
komunikasi yang bersifat resmi, yakni pada pertemuan-pertemuan yang bersifat
resmi, pada saat berkomunikasi dengan leluhur, roh gaib dan Yang Ilahi. Ketika
masyarakat Kabizu Beijello memohon berkat dan membawa persembahan kepada
roh-roh leluhur (Tau Marapu Wanno) dan kepada roh alam (Tau Mori Loda)
bahasa ritual itulah yang menjadi mediumnya.
Masyarakat Kabizu Beijello selain menggunakan bahasa ritual sebagai
media komunikasi, juga digunakan untuk mengekspresikan model pemikiran yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
252
paling abstrak yang terkait dengan kosmologi, sejarah, budaya, tatanan hukum,
dan moral. Sejalan dengan ini Mufwene (2003:153) sebagaimana dicatat oleh
(Nesi 2018:231) mengungkapkan bahwa pelbagai studi awal tentang ekologi
bahasa yang melibatkan masyarakat primitif selalu mengacu pada kondisi sosial
budaya, praktik politik, dan pergeseran ekonomi. Hal itu disebabkan karena
fenomena bahasa ritus masyarakat tradisional selalu berada dalam dimensi
tipologi yang unik. Keunikan itu tidak hanya menyangkut struktur dan diksi,
tetapi juga daya dan maknanya.
Penelitian ini memanfaatkan pendekatan holistik dan etnografi komunikasi.
Pemanfaatan itu bertujuan untuk mengungkap sudut pandang penduduk asli
(masyarakat Kabizu Beijello) terkait dengan konteks sosial dan budaya yang
terekam dalam tradisi lisan Teda pada upacara Padede Uma Kalada (Danandjaja,
1990:99; Spradley, 2006: 39). Data “Itu beras dan sirih pinang. Terimalah
engkau kalian nenek moyang kami”, misalnya terjalin dalam konteks budaya.
Dalam pranata budaya masyarakat Kabizu Beijello ‘beras, sirih dan pinang’
merupakan lambang penghormatan kepada seseorang atau tamu. Ketika
berkunjung ke rumah masyarakat Kabizu Beijello setelah dibentangkan tikar dan
dipersilahkan duduk, kemudian akan disuguhi sirih pinang. Dalam hal ini, sirih
dan pinang merupakan lambang penghormatan, ketulusan dan keikhlasan hati
menerima tamu tersebut. Selanjutnya, dalam jamuan makan bersama sebagai
wujud penghormatan kepada tamu, nasi yang dimakan adalah nasi yang harus
berasal dari beras. Penolakan terhadap suguhan sirih, pinang dan jamuan makan
bersama dianggap sebagai penolakan atas budaya mereka. Konsekuensi dari itu,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
253
apa yang menjadi tujuan kunjungan itu tidak akan mendapatkan tanggapan yang
baik.
Dalam konteks ritual adat sebagaimana dilukiskan dalam data di atas,
menyapa Marapu dengan menggunakan beras, sirih dan pinang hendak
menunjukkan bahwa masyarakat yang melakukan ritual itu menghormati Marapu
dan tulus serta ikhlas berkomunikasi dengan Marapu. Selain itu, juga hendak
menyatakan bahwa mereka menunjukkan ketulusan dan keikhlasan hati
berkomunikasi dengan Marapu. Konsekuensi dari itu, Marapu akan
mendengarkan doa-doa mereka dan meneruskannya kepada Yang Ilahi. Hal itu
dinyatakan oleh informan yang diwawancarai dengan mengungkapkan sebagai
berikut.
Sirih dan pinang dalam budaya masyarakat Sumba secara umum
merupakan tanda penghormatan, ketulusan dan keterbukaan hati
menerima orang lain atau tamu. Misalnya, jika kita memberikan kaleku
(tempat sirih pinang) kepada seseorang, itu karena hati kita terbuka dan
tulus berbicara dengan orang tersebut. Kita tidak akan perna bisa
memberikan kaleku pada orang yang sedang kita musuhi. Walaupun sudah
disuguhi we’e muttu (kopi, teh) atau sudah dijamu dengan makanan, tetapi
apabila belum diberikan kaleku masyarakat Sumba tetap menilai bahwa
masih ada yang kurang, masih merasa bahwa belum dihormati atau
dihargai. Sementara itu, beras merupakan makanan yang mempunyai nilai
tinggi yang dapat diberikan kepada tamu yang kita hargai dan hormati.
Sebagai tanda penghormatan dan penghargaan kepada tamu, kita
menjamu tamu dengan menghidangkan nasi yang berasal dari beras. Sama
halnya ketika hendak berbicara dengan Marapu. Sebelum berbicara
dengan Marapu harus terlebih dahulu menyebarkan beras, sirih dan
pinang sebagai tanda kita benar-benar menghormati, tulus dan terbuka
berbicara dengan Marapu. Dengan begitu doa-doa kita akan lurus sampai
kepada Ina Mawolo, Ama Marawi (Pencipta).
Informasi dari informan di atas, didukung pula oleh penelitian yang
dilakukan oleh Leyloh (2007: 30) yang menemukan bahwa sirih dan pinang
merupakan tanda persahabatan dan penghormatan kepada seseorang. Sirih dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
254
pinang disuguhkan kepada tamu sebagai penghormatan dan ucapan selamat
datang. Walaupun seseorang tidak biasa makan sirih dan pinang, tetapi sebaiknya
suguhan itu diterima karena jika tidak maka akan dianggap tidak menghargai dan
tidak menerima ucapan selamat datang. Selain itu, sirih dan pinang juga sebagai
tanda persahabatan. Jika dua orang bertemu maka mereka akan sama-sama
mengeluarkan dan bertukar kaleku pamama (tempat sirih, pinang dan kapur)
untuk masing-masing mengambil isinya, yakni sirih dan pinang. Oleh karena itu,
salah satu sesaji dalam ritus-ritus Marapu adalah juga sirih dan pinang.
Data “Terimalah kurban anak ayam dan persembahan uang perak ini” juga
merupakan data yang muncul dari konteks budaya. Budaya yang diperlihatkan
melalui data ini adalah memberi sesajen kepada roh gaib. Sesajen yang diberikan
tidak hanya anak ayam dan serpihan emas atau perak, tetapi ada juga telur, kapas,
tembakau, sirih, dan pinang. Dalam pranata budaya masyarakat Kabizu Beijello
tradisi memberi sesajen itu sejatinya merupakan perilaku hidup nenek moyang
dalam membangun relasi yang harmonis dan seimbang dengan makrokosmos.
Tradisi ini masih terus dipraktikkan sampai saat ini. Ada semacam Common Sense
yang masih dipertahankan sampai saat ini, yakni adanya keyakinan bahwa apabila
memberikan sesajen kepada Marapu, maka manusia akan memperoleh
keberhasilan dan keberkatan dalam kehidupan.
Data tradisi lisan pada upacara Padede Uma Kalada selain menunjukkan
wujud jati diri masyarakat Kabizu Beijello sebagai masyarakat ritual, juga
memperlihatkan bahwa masyarakat Kabizu Beijello juga merupakan masyarakat
religius. Masyarakat Kabizu Beijello dalam konteks budaya selalu mempraktikan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
255
perilaku hidup memohon kerkat dan pertolongan kepada Marapu. Namun
demikian, masyarakat Kabizu Beijello juga tidak mengingkari adanya Tuhan Sang
Pencipta dan Penyelenggara kehidupan. Tuhan yang berkuasa atas seluruh alam
semesta beserta isinya termasuk manusia. Apabila dalam praktik budaya
masyarakat Kabizu Beijello memohon berkat dan pertolongan kepada Marapu
sejatinya itu hanyalah perwujudan dari kebutuhan spiritual praktis, yakni untuk
mendapatkan keamanan, perlindungan dan ketenteraman.
Sejalan dengan temuan di atas, Soelarto dalam buku yang berjudul “Budaya
Sumba Jilid I” yang diterbitkan oleh DITJEN Kebudayaan Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan juga menemukan bahwa pada hakekatnya
kepercayaan Marapu adalah suatu kepercayaan Urmonotheisme. Bahwa dalam
perkembangannya tokoh-tokoh Marapu lokal lebih ditampilkan kehadirannya, hal
itu dikarenakan kebutuhan spiritual yang praktis. Dalam usaha manusia untuk
berkomunikasi, memuja memohon pertolongan dengan mahluk-mahluk halus,
arwah leluhur dan arwah keluarga yang memiliki kepribadian serta dikenal
namanya. Namun tokoh-tokoh berbagai Marapu yang lebih sering disebut nama-
namanya, dipuja-puja dan dimohoni pertolongan itu sama sekali tidak
menyebabkan pengingkaran terhadap adanya (eksistensi) Tuhan Yang Satu, Sang
Pencipta. Dan derajatnya di tingkat paling tinggi, tetap tidak tersaingi oleh para
Marapu. Juga kedudukannya sebagai Sang Pencipta alam semesta dan seisinya
tidak pernah digoyahkan oleh berbagai Marapu di langit yang memiliki kesaktian-
kesaktian luar biasa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
256
Wujud jati diri masyarakat Kabizu Beijello sebagai masyarakat religius
ditunjukkan dengan jelas pada frame bahasa ada dalam ekologi simbolis, yakni
pada data (O1/ES12), (I1/ES8), (H2/ES6), (J1/ES9), dan (K1/ES10). Wujud jati
diri masyarakat Kabizu Beijello sebagai masyarakat religius pada data-data itu
dilukiskan dengan bahasa yang arkais. Data “Cincin Yang Lebar, Tiang Yang
Besar” memiliki makna simbolik, yakni sebagai lambang kehadiran Tuhan Yang
Maha Besar dan Maha Agung.
Masyarakat Kabizu Beijello sesungguhnya mempunyai cara yang sangat
sederhana namun jitu dalam menanamkan nilai-nilai kehidupan baik sebagai
warga rumah maupun sebagai warga Kabizu. Masyarakat Kabizu Beijello dalam
membangun kesadaran hidup adab berketuhanan, Tuhan Sang Pencipta itu
dihadirkan atau digambarkan melalui benda-benda fisik tertentu berupa bagian
dari tubuh rumah sebagai simbolis. Pencipta disimbolkan dengan Pari’i Kalada
‘Tiang Besar’ dan Labe A Belleka ‘Cincin Yang Lebar’. Arti praktisnya adalah
Tuhan Pencipta itu adalah pelindung hidup manusia warga rumah maupun warga
Kabizu. Tuhan adalah sandaran dan andalan seperti tiang pada rumah menjadi
penopang bangunan rumah. Sementara itu, cincin yang lebar itu memiliki makna
Tuhan sebagai penopang dan pemberi kekuatan seperti cincin yang melekat pada
tiang itu merupakan penopang dan penguat bangunan rumah. Melalui benda
simbolik tiang agung dan cincin yang lebar yang kelihatan dilakukan pendidikan
dan transfer nilai bahwa Tuhan Sang Pencipta sungguh ada dan hadir dalam dan
ditengah hidup manusia (Ramone, 2015:7).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
257
Hal menarik dari serial tradisi lisan dalam upacara Padede Uma Kalada
adalah bahwa nama Tuhan tidak disebutkan secara langsung. Dalam artian bahwa
masyarakat Kabizu Beijello selalu menggunakan bahasa kiasan (metafora) dan
kalimat paralel. Data paralel “Yang memisah jari tangan, Yang membagi jari kaki.
Ibu yang mencipta, Bapak yang menjadikan. Yang membentuk badan, Yang
memadatkan tubuh” memiliki makna metaforis yang menggambarkan hakikat
Yang Ilahi. Metafora-metafora ini dalam pandangan Neonbasu (2016c:94)
berkenaan dengan ucapan yang akrab dan imanen terhadap hakikat Yang
Tertinggi. Titik tolak yang dituju adalah hakikat Yang tertinggi, yang sungguh
agung dan mulia yang selalu tidak berarti terlepas dari kehidupan mamnusia
setiap hari. Metafora-metafora itu digunakan untuk menggambarkan secara
kurang lebih tepat hakikat Yang Tertinggi sebagai subjek spiritual cosmis yang
mencipta dari ketiadaan.
Berdasarkan wujud jati diri yang telah dipaparkan di atas maka dapat
diungkapkan satu wujud jati diri yang paling hakiki yang dihidupi masyarakat
Kabizu Beijello, yakni masyarakat yang menjaga keharmonisan. Hal itu diuraikan
lebih lanjut dalam subbab berikut.
4.3.3.1 Jati Diri Hakiki Masyarakat Kabizu Beijello
Jati diri hakiki masyarakat Kabizu Beijello yang digambarkan dalam tradisi
lisan Teda pada upacara Padede Uma Kalada adalah masyarakat yang selalu
menjaga keharmonisan. Harmoni adalah keselarasan hubungan antara manusia
dengan unsur lainnya yang melingkupi kehidupannya (Trianton, 2019:3).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
258
Keharmonisan adalah perihal atau keadaan harmonis; keselarasan; keserasian
(KBBI, 2016). Keharmonisan yang digambarkan dalam tradisi lisan pada upacara
Padede Uma Kalada adalah perihal atau keadaan menjaga keselarasan,
keseimbangan dan keserasian hubungan antara manusia dengan unsur-unsur lain
yang melingkupi kehidupan masyarakat Kabizu Beijello.
Masyarakat Sumba secara umum dan masyarakat Kabizu Beijello khususnya
selalu mengutamakan keharmonisan dalam tatanan kehidupan sehari-hari.
Keharmonisan merupakan nilai luhur warisan Marapu. Soelarto dalam buku yang
berjudul “Budaya Sumba Jilid I” menegaskan bahwa konsepsi kepercayaan
Marapu yang mencakup tatahidup alam semesta ialah keseimbangan atau
harmoni. Hanya dengan keseimbangan, harmoni sajalah akan terwujud
keselarasan dan kebahagiaan. Keselarasan yang seimbang dan harmonis itu wajib
dipelihara agar jangan sampai menimbulkan kegoncangan yang merusak tata-
hidup. Karena sikap perbuatan yang melanggar asas-asas kepercayaan dan adat
merupakan dosa besar yang menimbulkan ketidakseimbangan dan mengakibatkan
malapetaka dahsyat.
Keharmonisan yang dihidupi oleh masyarakat Kabizu Beijello yang
ditemukan dalam tradisi lisan pada upacara Padede Uma Kalada meliputi
keharmonisan yang bersifat vertikal dan horizontal. Masyarakat Kabizu Beijello
tidak hanya menjaga keharmonisan dengan Tuhan dan Marapu tetapi juga dengan
sesamanya dan alam semesta. Ada keyakinan bahwa saling menjaga
keseimbangan dan keharmonisan akan membawa manusia pada kebahagiaan,
keberhasilan dan keberkatan dalam kehidupan. Hal ini sejalan dengan temuan Riti
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
259
(2015:131) bahwa Orang Sumba terikat dengan upaya memelihara hubungan yang
harmonis dengan Marapu sehingga senantiasa dapat memperoleh keselamatan
dalam menjalankan berbagai aktivitas kehidupan di dunia. Hubungan tersebut
terbagi dalam tiga arah, yakni hubungan dengan Gha Magholo Gha Marawi atau
dengan Sang Khalik, hubungan dengan alam semesta, dan hubungan antar sesama
umat manusia.
Upaya menjaga keharmonisan tiga arah yang ditemukan dalam tradisi lisan
pada upacara Padede Uma Kalada adalah mengutamakan musyawarah untuk
mencapai mufakat, menghormati pemimpin klan, mengutamakan sikap solidaritas,
harus menunjukkan sikap hormat kepada Marapu, harus melaksanakan ritual-
ritual adat sebagai tatatertib yang telah ditetapkan oleh Marapu, harus
menunjukkan perilaku hidup bekerja keras sesuai dengan profesi masing-masing
dan harus menjunjung tinggi peran Sang Ilahi dalam seluruh tatanan kehidupan.
Masyarakat Sumba secara umum terutama yang berasal dari satu Kabizu
(klan) selalu mengutamakan musyawarah mufakat dalam pengambilan keputusan.
Musyawarah ini merupakan budaya nenek moyang sejak awal mula. Hal seperti
yang diungkapkan Wora (2007) yang dikutip oleh Djawa dan Suprijono (2014:
82) bahwa musyawarah merupakan budaya orang Sumba dalam mengambil
keputusan. Musyawarah merupakan perhimpunan untuk membahas bersama
masalah-masalah yang dihadapi untuk mendapatkan kesimpulan yang disetujui
bersama dan menjadi keputusan bersama. Masyarakat Sumba pada umumnya
sangat menghormati keputusan-keputusan yang diambil berdasarkan musyawarah,
dimana tokohnya atau yang mewakili turut hadir dan memberi pendapat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
260
Musyawarah mufakat yang dihidupi oleh masyarakat Kabizu Beijello
sejatinya lahir dari satu nilai luhur warisan Marapu (leluhur), yakni menjaga
keharmonisan antar sesama dalam Kabizu. Ada keyakinan bahwa pekerjaan
apapun yang dilakukan terutama pekerjaan yang mengharuskan keterlibatan satu
Kabizu apabila dimusyawarahkan secara bersama-sama tentu akan mencapai
keberhasilan. Hal itu seperti yang diungkapkan informan yang diwawancarai
sebagai berikut.
Musyawarah merupakan warisan leluhur sejak awal mula yang terus
dihidupkan oleh masyarakat kabizunya. Dalam hal ini bukan saja Kabizu
Beijello yang menjadikan musyawarah sebagai jati diri mereka. Akan tetapi,
semua kabizu di Sumba sudah menjalankan ini sejak nenek moyang mereka
masing-masing. Ini sudah menjadi perilaku hidup nenek moyang yang
diwariskan kepada generasi sekarang ini. Musyawarah ini dilakukan dengan
tujuan untuk menjaga keseimbangan dan keharmonisan. Agar tidak ada
ketersinggungan antara satu dengan yang lainnya. Agar tidak ada yang
merasa diri sudah tidak berarti pada komunitas itu, pada kelompok, pada
persaudaraan dan kekeluargaan itu. Sehingga, apapun yang dicita-citakan
atau diidam-idamkan dapat berhasil. Musyarawah dalam hal ini misalnya,
musyawarah dalam hal pembuatan rumah adat, membuat batu kubur, gali
tulang, upacara Woleka (syukur), perkawinan, kematian, anak sekolah dan
masih banyak lagi lainnya (W/JDMKB/14).
Perilaku hidup menjaga keharmonisan antarsesama tidak hanya tampak
pada saat bermusyawarah, tetapi terlihat pula pada perilaku hidup
penghormatan kepada pemimpin klan yang selalu dipraktekkan oleh
masyarakat Kabizu Beijello. Penghormatan itu diberikan karena ada keyakinan
bahwa pemimpin klan memiliki hubungan yang dekat dengan Marapu.
Kesadaran akan kedekatan itu, masyarakat Kabizu Beijello selalu menjaga
keharmonisan dengan pemimpin klan dengan cara menaati dan menjalankan
perintahnya dan harus menunjukkan perilaku sopan santun pada saat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
261
berkomunikasi dengan pemimpin klan. Hal itu disampaikan oleh informan
yang diwawancarai sebagai berikut.
Cara menjaga harmonisasi dengan pemimpin klan adalah menaati dan
menjalankan perintahnya. Pemimpin klan adalah orang yang memiliki
hubungan yang dekat dengan Marapu. Doa dan permohonannya
didengarkan oleh Marapu. Apabila dalam permohonan itu, pemimpin
klan memohon petaka bagi orang yang tidak menaati perintah pemimpin
klan, maka petaka itu akan terjadi. Orang yang tidak mengindahkan
perintah pemimpin klan tidak akan perna mendapatkan keselamatan dan
keberkatan dalam hidup. Oleh karena itu, agar selalu mendapatkan berkat
dan keselamatan maka harus menjaga harmonisasi dengan pemimpin
klan dengan cara menaati dan melaksanakan perintahnya W/JDMKB/15.
Masyarakat Kabizu Beijello selain menjaga keharmonisan dengan
sesama, juga selalu menunjukkan perilaku hidup menjaga harmonisasi dengan
Marapu. Marapu merupakan pedoman hidup dan tatanilai mendasar bagi
masyarakat Kabizu Beijello. Hal ini sejalan dengan Bera (2016:216) bahwa
Marapu merupakan tatanilai mendasar yang dipegang dan dianut oleh
masyarakat Sumba. Marapu berperan sebagai ‘penolong’ artinya ketika
manusia (masyarakat Sumba) mampu menjalankan aturan-aturan dalam
Marapu, maka masyarakat Sumba akan selamat. Kesadaran akan hal ini,
masyarakat Kabizu Beijello sebagai bagian dari masyarakat Sumba selalu
menunjukkan keharmonisan dengan Marapu dengan cara menjalankan aturan-
aturan yang telah ditetapkan oleh Marapu. Hal ini sejalan dengan Leyloh
(2007:45) yang menegaskan bahwa keharmonisan hubungan antara manusia
dengan para Marapu harus selalu dipelihara dengan cara menjalankan segala
tatatertib yang telah ditetapkan oleh Marapu.
Perilaku hidup menjaga harmonisasi dengan Marapu yang terdapat
dalam tradisi lisan Teda pada upacara Padede Uma Kalada meliputi (1)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
262
menjaga warisan-warisan leluhur, (2) melakukan upacara pengucapan syukur,
(3) melakukan ritual permohonan izin, (4) melakukan ritual rekonsiliasi, dan
(5) memberikan sesajen kepada Marapu. Hal ini sejalan dengan temuan
Soeriadiredja (2013:71) yang menemukan bahwa satu hal yang sangat umum
dan sering dijumpai di Sumba adalah pelaksaan ritual keagamaan Marapu. Hal
tersebut berkaitan erat dengan sikap hidup masyarakat Sumba yang
mengutamakan keharmonisan hidup. Penelitian Kami (2018:177)
membuktikan juga bahwa dalam ritual kepercayaan Marapu, masyarakat
Marapu selalu mempersembahkan korban seperti ayam, babi dan hasil panen
lainnya. Sesaji merupakan sarana menjaga harmonisasi dengan nenek moyang
yang senantiasa ada dan hadir dalam setiap peristiwa hidup masyarakat
Marapu baik pada saat menjemput hasil panen, menjemput material bangunan
dan lain sebaginya.
4.3.4 Strategi Preservasi Tradisi Lisan Teda Masyarakat Kabizu Beijello
Kearifan lokal dewasa ini sudah mulai memudar bahkan mulai ditinggalkan
seiring dengan kemajuan teknologi dan informasi. Keterbukaan informasi telah
membuat banyak perubahan dalam kehidupan. Masyarakat, khususnya remaja,
lebih tertarik dengan budaya asing. Akibatnya, sedikit demi sedikit warisan
budaya lokal dan kearifan lokal mulai ditingalkan ( Tribun, 2019 ). Situasi inilah
yang sedang dialami oleh tradisi lisan Teda pada upacara Padede Uma Kalada.
Fenomena yang terjadi pada masyarakat Sumba secara umum, yakni sangat
kurangnya keterlibatan generasi mudah terhadap pelestarian tradisi lisan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
263
Didukung dengan faktor kemiskinan dan masih kurangnya lapangan kerja
menyebabkan anak mudah lebih banyak mencari kerja di luar pulau dan kemudian
lebih terikat dengan perkembangan modern daripada mempelajari tradisi lisan.
Dalam pandangan mereka, mempelajari tradisi lisan itu hanya orang-orang kuno
atau pimitif.
Kearifan lokal dalam tradisi lisan Teda pada upacara Padede Uma Kalada
merupakan suatu warisan dari leluhur yang mengatur pola berperilaku dan
bertindak dalam tatanan masyarakat. Hal ini selaras dengan pandangan
Sukmayadi (2018:21) yang menyatakan bahwa pandangan hidup membuat sebuah
masyarakat kuat dalam menjaga dan membina nilai-nilai dalam keluarga, sosial,
dan keagamaan, sehingga mereka dapat hidup rukun, aman, dan tenteram. Dengan
demikian, preservasi menjadi sebuah keharusan jika tidak ingin tradisi lisan yang
mengandung kearifan lokal sebagai warisan leluhur tersebut tidak mengalami
kepunahan.
Dalam penelitian ini, preservasi tradisi lisan bukan hanya tradisi lisan yang
ada dalam upacara Padede Uma Kalada. Akan tetapi, lebih dari pada itu adalah
preservasi terhadap tradisi lisan masyarakat Wewewa, Kabupaten Sumba Barat
Daya, yakni preservasi tradisi lisan Teda. Upaya ini sejajar dengan Permendikbud
Nomor 14 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelestarian Tradisi pasal 4 d yang
menyatakan bahwa objek pelestarian tradisi meliputi ungkapan tradisional yaitu
kalimat-kalimat kiasan, simbol-simbol yang dipahami maknanya oleh para
pemakainya secara lisan dimana terkandung nilai-nilai kehidupan dan pandangan
masyarakat. Strategi preservasi tradisi lisan Teda pada upacara Padede Uma
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
264
Kalada sebagai salah satu folklore yang mengandung nilai-nilai kehidupan para
pemakainya dapat dilakukan dengan berbagai jenis terobosan. Dalam penelitian
ini, peneliti menyuguhkan beberapa langkah urgen sebagai upaya preservasi,
yakni (1) preservasi tradisi lisan melalui pelestarian alamiah, (2) preservasi tradisi
lisan melalui lembaga agama, (3) preservasi tradisi lisan melalui lembaga
pendidikan.
Tradisi pada upacara Padede Uma Kalada merupakan salah satu folklor
yang diwariskan secara turun temurun oleh nenek moyang masyarakat Kabizu
Beijello. Pewarisan itu terjadi secara alamiah dalam kehidupan sehari-hari melalui
dua cara, yakni pertama, penunjukan langsung dari Marapu. Model preservasi ini
tidak mempertimbangkan peran manusia melainkan kewenangan penuh Marapu
yang tidak dapat diintervensi apalagi dibantah oleh manusia. Dengan demikian,
tidak ada intervensi manusia dalam model preservasi ini. Kedua, proses pelibatan
secara terus menerus hingga menjadi penutur yang kompeten. Dalam konteks
masyarakat Kabizu Beijello, seorang penutur dillibatkan dalam setiap ritual adat
hingga orang tersebut menjadi kompeten. Model ini dapat dikategorikan dalam
tipe naturalistik pembelajaran bahasa yang berasumsi bahwa penutur yang secara
terus menerus menggunakan suatu bahasa dalam interaksi sehari-hari maka
penutur tersebut dapat menguasainya secara natural (Chaer dan Agustina,
1995:244).
Senada dengan hal di atas, Lubis (2019:67)mengatakan bahwa untuk
menjadi penutur yang kompeten dari suatu bahasa, berarti harus mampu
melakukan segala hal dengan menggunakan bahasa tersebut sebagai bagian dari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
265
aktivitas sosial yang lebih besar dengan aturan-aturan budaya yang tersusun dan
haruslah dapat diinterpretasikan secara budaya tersebut pula. Partisipasi
merupakan peristiwa yang mencakup keterlibatan dari setiap partisipan dalam
acara/kegiatan komunikasi yang seperti giliran berbicara (turn taking), kehadiran,
dan aturan mengenai tahapan berbicara.
Lembaga agama melalui praktik inkulturasi dapat dipandang sebagai salah
satu bentuk upaya preservasi tradisi lisan yang dimiliki oleh masyarakat Kabizu
Beijello, Sumba Barat Daya. Dokumen De Liturgia Romana et Inculturatione
(art.4) memandang inkulturasi sebagai inkarnasi Injil dalam pelbagai kebudayaan
yang otonom dan sekaligus memasukan kebudayaan-kebudayaan tersebut ke
dalam kehidupan Gereja. Dalam konteks masyarakat Sumba, dapat dikatakan
bahwa inkulturasi dipandang sebagai integrasi dua kepercayaan yakni agama
Marapu sebagai agama asli dan agama Katholik sebagai agama baru yang
memulai pewartaannya di tanah Sumba. Dalam inkulturasi tersebut muncul
transformasi yang mendalam dari nilai-nilai budaya asli yang diintegrasikan ke
dalam tradisi Kristiani. Proses inkulturasi ini menjadi salah satu jalan tengah
dimana masyarakat Sumba divonis sebagai ‘masyarakat yang menunggangi dua
kuda’ dalam pengertian menganut dua agama yakni Marapu sekaligus Katholik
(Panda, 2014:127). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kehadiran
lembaga agama yang modern seperti ajaran Katholik tidak serta merta
menghilangkan tradisi kebudayaan setempat melainkan membuka peluang akan
adanya pemertahanan budaya asli yang hidup di masyarakat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
266
Preservasi terhadap tradisi lisan Teda pada upacara Padede Uma Kalada
juga harus menjadi perhatian utama lembaga pendidikan baik formal, informal,
maupun non formal. Walaupun dalam “The McGill Conference In Honour of
Wallace E. Lambert” yang diedit oleh Allan G. Reynolds dinyatakan bahwa
pengembangan pemerolehan dan pembelajaran bahasa akan dapat berkembang
secara lebih efektif bila diaplikasikan dalam kehidupan sosial (naturalistic), tetapi
menurut banyak ahli bahwa tipe pemerolehan bahasa secara formal seharusnya
bisa mendapatkan output yang lebih baik daripada pola naturalistic (Chaer dan
Agustina, 1995:244). Tipe ini biasanya terjadi di dalam kelas dengan bimbingan
seorang guru, materi, media dan alat bantu pembelajaran yang sudah dipersiapkan
secara baik. Aktualisasi dalam ruang lingkup pendidikan formal dapat dituangkan
dalam kurikulum pembelajaran bahasa dan sastra Teda berbasis lingkungan. Hal
ini selaras dengan peryataan Mbete (2015) bahwa pembelajaran bahasa yang
diintegrasikan dengan ekologi dapat dijadikan muatan isi yang nyata dalam
pembelajaran bahasa tentang lingkungan hidup.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
267
BAB V
PENUTUP
Dalam bab ini diuraikan dua hal, yaitu, (1) kesimpulan dan (2) saran.
Kesimpulan meliputi ringkasan dari hasil temuan. Saran meliputi hal-hal relevan
yang patut diperhatikan untuk penelitian lanjutan dan untuk realisasi hasil
penelitian, baik untuk pembelajaran bahasa dan sastra di lembaga pendidikan
maupun institusi-institusi terkait yang menaruh perhatian terhadap tradisi lisan
Teda dalam upacara Padede Uma Kalada.
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan ditemukan bahwa tradisi lisan
Teda dalam upacara Padede Uma Kalada memiliki hubungan tali temali dengan
lingkungan sosial budaya masyarakat Kabizu Beijello. Di dalam tradisi lisan Teda
pada upacara Padede Uma Kalada terdapat kode-kode bahasa yang dapat
memberi gambaran terkait kearifan-kearifan lokal, nilai-nilai kearifan lokal dan
wujud jati diri masyarakat Kabizu Beijello. Kearifan-kearifan lokal yang
ditemukan dalam tradisi lisan Teda pada upacara Padede Uma Kalada meliputi
kearifan lokal berwujud nyata dan kearifan lokal berwujud tidak nyata. Kearifan
lokal berwujud nyata yang ditemukan terdiri atas 4 , yaitu (1) sirih, pinang dan
beras, (2) Cincin Yang Lebar, Tiang Yang Agung, (3) kalabo (kain tenun yang
diikat di pinggang sampai lutut), kapouta (ikat kepala), dan katopo (parang), dan
(4) ayam, babi dan kerbau. Sementara itu, dalam penelitian ini ditemukan juga 6
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
268
kearifan local berwujud tidak nyata, yaitu (1) paralelisme, (2) metafora, (3) syair,
(4) petuah, (5) mantra, dan (6) ideologi.
Nilai-nilai kearifan lokal yang ditemukan dalam penelitian ini meliputi, nilai
ketaatan, solidaritas, persatuan, penghormatan, kerja keras, syukur, rekonsiliasi
dan nilai religius. Wujud jati diri hakiki masyarakat Kabizu Beijello yang
ditemukan dalam tradisi lisan Teda pada upacara Padede Uma Kalada adalah
masyarakat Kabizu Beijello sebagai masyarakat yang selalu menjaga
keharmonisan. Keharmonisan yang dihidupi oleh masyarakat Kabizu Beijello
meliputi keharmonisan yang bersifat vertikal dan horizontal. Masyarakat Kabizu
Beijello tidak hanya menjaga keharmonisan dengan Tuhan dan Marapu tetapi juga
dengan sesamanya dan alam semesta. Ada keyakinan bahwa saling menjaga
keseimbangan dan keharmonisan akan membawa manusia pada kebahagiaan,
keberhasilan dan keberkatan dalam kehidupan.
Wujud jati diri yang paling hakiki itu, yang kemudian menjadi dasar
terbentuknya 7 wujud jati diri lainnya yang ditemukan dalam tradisi lisan Teda
pada upacara Padede Uma Kalada yang meliputi (1) masyarakat Kabizu Beijello
sebagai masyarakat yang selalu membina sikap bermusyawarah, (2) masyarakat
yang solider, (3) masyarakat yang menghormati pemimpin, (4) masyarakat yang
menghormati Marapu (leluhur dan roh-roh gaib), (5) masyarakat yang religius, (6)
masyarakat Kabizu Beijello sebagai masyarakat ritual dan (7) masyarakat Kabizu
Beijello sebagai masyarakat agraris.
Upaya-upaya strategis preservasi tradisi lisan masyarakat Kabizu Beijello
yang ditemukan dalam penelitian ini dapat diwujudkan dalam tiga langkah, yakni
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
269
preservasi tradisi lisan melalui pelestarian alamiah, lembaga agama, dan lembaga
pendidikan. Preservasi tradisi lisan melalui pelestarian alamiah dapat dilakukan
melalui dua bentuk, yakni (1) Marapu mengaruniakan tradisi lisan kepada
anggota Kabizu yang dikehendaki oleh Marapu dalam berbagai cara seperti
mimpi, sakit dan pingsan. (2) Partisipasi dari orang yang menguasai tradisi lisan
Teda dalam berbagai ritual adat. Partisipasi ini terdiri atas dua, yakni kesadaran
diri dari seseorang yang ingin menguasai tradisi lisan untuk terlibat langsung
dalam komunikasi-komunikasi ritual dan inisiatif dari Rato untuk memberikan
pembelajaran secara otodidak kepada anaknya atau anggota Kabizu dengan cara
melibatkan anaknya dalam setiap upacara adat. Kehadiran lembaga agama yang
modern seperti ajaran Katholik tidak serta merta menghilangkan tradisi lisan
tetapi membuka peluang akan adanya pemertahanan tradisi lisan Teda yang hidup
di masyarakat melalui praktik inkulturasi. Preservasi tradisi lisan dapat juga
ditempuh melalui lembaga Pendidikan baik formal maupun informal.
5.2 Saran
Tradisi lisan dalam upacara Padede Uma Kalada sejatinya mengandung
kearifan lokal, nilai-nilai kearifan lokal, dan wujud jati diri. Hal ini menjadi suatu
khazanah budaya yang dimiliki masyarakat Kabizu Beijello. Tradisi lisan tersebut
juga menjadi suatu warisan budaya dari nenek moyang yang harus dilestarikan.
Oleh karena itu, dibutuhkan upaya strategis untuk mempetahankan tradisi lisan
tersebut. Peneliti menganjurkan beberapa saran.
1. Peneliti menyarankan kepada setiap anggota masyarakat untuk tetap
melestarikan tradisi lisan dalam upacara Padede Uma Kalada sebagai salah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
270
satu kekayaan budaya warisan nenek moyang. Untuk itu baik keluarga atau
masyarakat hendaknya memberikan motivasi dan semangat kepada generasi
muda untuk terus berpartisipasi aktif dalam kegiatan budaya serta berusaha
untuk belajar tentang tradisi lisan Teda.
2. Peneliti memberikan saran kepada lembaga pendidikan formal mulai dari
level sekolah dasar sampai penggruruan tinggi untuk memberikan peluang
kepada peserta didik untuk mempelajari kebudayaan-kebudayaan daerah baik
melalui kegiatan kurikuler maupun dalam kegiatan ekstrakuliler. Perencanaan
ini dapat diaplikasikan dalam perencanaan pembelajaran yang terintegrasi
dengan lingkungan hidup. Gagasan hidup dan nilai-nilai kearifan lokal yang
terekam dalam tradisi lisan pada upacara Padede Uma Kalada dapat
dijadikan sebagai pedoman dalam menanamkan dan membentuk karakter
peserta didik.
3. Peneliti memberikan saran kepada .lembaga gereja untuk memepertahankan
kolaborasi .antara Gereja dan kebudayaan setempat melalui inkulturasi
sehingga kebudayaan-kebudayaan yang ada tidak punah. Gereja dapat
mengintegrasikan kearifan lokal yang dimiliki masyakat dalam liturgi Gereja.
4. Peneliti memberi saran kepada pemerintah untuk terus mempromosikan
kebudayaan-kebudayaan daerah sehingga menarik minat wisatawan asing
sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
5. Peneliti juga memberi saran kepada peneliti lain untuk menaruh perhatian
yang lebih mendalam entah dengan topik Ekolinguistik Metaforis seperti
yang peneliti lakukan ataupun bisa mengembangkan, memperdalam dari
berbagai aspek. Penelitian ini dapat dijadikan rujukan bagi penelitian-
penelitian selanjutnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
271
DAFTAR PUSTAKA
Afrizal. (2015). Metode Penelitian Kualitatif: Sebuah Upaya Mendukung
Penggunaan Penelitian Kualitatif dalam Berbagai Disiplin Ilmu. Jakarta:
RajaGrafindo Persada.
Alfian, M. (2013). “Potensi Kearifan Lokal dalam Pembentukan Jati Diri
Bangsa”. Dalam Prosiding The 5th International Conference on Indonesian
Studies: “Ethnicity and Globalization” (424–435). Yogyakarta: The 5th
ICSSIS (International Conference on Indonesian Studies).
Aluman, Adrianus. (2016a). “Letak Geografis dan Identifikasi Wilayah”. Dalam
Neonbasu. (2016). Akar Kehidupan Masyarakat Sumba: Dalam Cita Rasa
Marapu. Jakarta: Lappop Press Jakarta.
Aluman, Adrianus. (2016b). “Perekonomian Desa pada Pelana Masyarakat
Sumba”. Dalam Neonbasu. (2016). Akar Kehidupan Masyarakat Sumba:
Dalam Cita Rasa Marapu. Jakarta: Lappop Press Jakarta.
Amin, Kasma F, dkk. (2015). “The Ideology of Buginese in Indonesia (Study of
Culture and Local Wisdom)”. Journal of Language Teaching and
Research. 6 (4), 758-765.
Ardina, Rani. (2016). “Makna Simbolik Ritual Pengobatan Tradisional Togak
Belian di Desa Koto Rajo, Kecamatan Kuantan Hilir Seberang, Kabupaten
Kuantan Singingi, Provinsi Riau”. Jurnal Jom Fisip. 3 (2), 1-12.
Aslan. (2017). “Nilai-Nilai Kearifan Lokal dalam Budaya Pantang Larang Suku
Melayu Sambas”. Jurnal Ilmu Ushuluddin. 16 (1), 11-20.
Asmaroini, Ambiro Puji. (2017). “Menjaga Eksistensi Pancasila dan
Penerapannya bagi Masyarakat di Era Globalisasi”. Jurnal Pancasila dan
Kewarganegaraan. 1 (2), 50-64.
Banda, Maria Matildis (2016). “Tradisi Lisan dan Kelisanan Sekunder di Era
Globalisasi”. Makalah pada Seri Fakultas Ilmu Budaya, Universitas
Udayana. Bali.
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. (2016). “Kamus Besar Bahasa
Indonesia dalam Jaringan”. Diakses dari https://kbbi.kemdikbud.go.id/.
Bera, Petrus Ngongo Tanggu dan Gregorius Neonbasu (2016). “Kearifan Lokal
Masyarakat Marapu”. Dalam Neonbasu. (2016). Akar Kehidupan
Masyarakat Sumba: Dalam Cita Rasa Marapu. Jakarta: Lappop Press
Jakarta.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
272
Bera, Petrus Ngongo Tanggu. (2016). “Spiritual Capital dalam Dinamika
Pembangunan dan Ide Kekerabatan”. Dalam Neonbasu. (2016). Akar
Kehidupan Masyarakat Sumba: Dalam Cita Rasa Marapu. Jakarta:
Lappop Press Jakarta.
Chaer, Abdul dan Leoni Agustina. (1995). Sosiolinguistik: Suatu Pengantar.
Jakarta :Rineka Cipta.
Creswell, John W. (2010). Research Desain: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif,
dan Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Danandjaja, James. (1990). “Metode Penelitian Kualitatif dalam Penelitian
Folklor”. Dalam Aminddin (1990). Pengembangan Penelitian Kualitatif
dalam Bidang Bahasa dan Sastra. Malang: Yayayasan Asih, Asah, Usuh
Malang.
Dash, Rajendra Kumar. (2019). “What Is Ecolinguistics?”. Language in India
Journal. 19 (5), 379-384.
Dharmojo. (2005). Sistem Simbol dalam Munaba Waropen Papua. Jakarta: Pusat
Bahasa.
Djawa, Ambrosius Randa dan Agus Suprijono. (2014). “Ritual Marapu di
Masyarakat Sumba Timur”. Jurnal AVATARA, e-Journal Pendidikan
Sejarah. 2 (1), 71-85.
Dokhi, M. dkk. (2016). Analisis Kearifan Lokal Ditinjau dari Keragaman
Budaya. Jakarta: Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan.
Duranti, Alessandro. (1997). Linguistic Anthropology. Cambridge: Cambridge
University Press.
Dwiningsih, Santi Sri Mulyani, Semi Kawarakonda, dan Betty Roosihermiatie.
(2014). Belenggu Apung: Etnik Sumba Kabupaten Sumba Timur. Jakarta:
Lembaga penerbitan BALITBANGKES.
Dwinanto, Arief, Rini S. Soemarwoto, Miranda Risang Ayu Palar. (2019). Budaya
Sirih Pinang dan Peluang Pelestariannya di Sumba Barat. Jurnal
Patanjala. 11 (3), 363-379.
Endang, F. (2018). “Preservasi, Konservasi, dan Restorasi Bahan Perpustakaan”.
Jurnal Libria. 10 (1), 13–32.
Fill, Alwin dan Peter Mühlhäusler. (2001). The Ecolinguistics Reader: Language,
Ecology and Environment. New York: Continuum.
Fill, Alwin F. dan Hermina Penz. (2018). The Routledge Handbook of
Ecolinguistics. New York: Taylor & Francis Group.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
273
Hamidin, Muhammad. (2016). “Bentuk, Fungsi, dan Makna Mantra Ritual
Upacara Kasambu Masyarakat Muna di Kecamatan Katobu Kabupaten
Muna”. Jurnal BASTRA. 1 (2).
Hanifah, Ninip. (2010). Penelitian Etnografi dan Penelitian Grounded Theory.
Jakarta: Akademi Bahasa Asing.
Haryono, Akhmad. (2015). Etnografi Komunikasi: Konsep, Metode dan Contoh
Penelitian Pola Komunikasi. Jember: Jember University Press.
Hasanah, Uswatun. (2013). “Pembentukan Identitas Diri dan Gambaran Diri pada
Remaja Putri Bertato di Samarinda”. eJournal Psikologi 1 (2), (177-186).
Hasbullah. (2012). “REWANG: Kearifan Lokal dalam Membangun Solidaritas
dan Integrasi Sosial Masyarakat di Desa Bukit Batu Kabupaten
Bengkalis”. Jurnal Sosial Budaya. 9 (2), 231-243.
Hariprabowo, Yacobus. (2004). “Ecclesia in Asia Anugerah bagi Misi Gereja
Asia”. Jurnal LOGOS, Jurnal Filsafat-Teologi. 3 (1), 15-30.
Haugen, Einar. (1970). “The Ecology of Language”. Dalam Dil, A.S. (ed.).
(1972). The Ecology of Language: Essays by Einar Haugen. California:
Stanford University Press.
Hidayat, July. (2007). “Desain sebagai Fenomena Ideologi”. Jurnal Dimensi
Interior. 5 (1), 34-43.
Jayanti, I Gusti Ngurah. (2015). “Bentuk-Bentuk Ritual Adat di Kampung Umbu
Koba: Sebuah Tinjauan Antrapologi Religi”. Jurnal Jnana Budaya. 20 (2),
217-228.
Kami, Kanisius. (2018). Tradisi Lisan Oka Sebagai Manifestasi Jati Diri
Masyarakat Wewewa, Sumba Barat Daya: Kajian Etnopagmatik. Tesis.
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Tidak diterbitkan.
Kartawinata. (2011). “Merentas Kearifan Lokal di Tengah Modernisasi dan
Tantangan Pelestarian”. Badan Pengembangan Sumber Daya Kebudayaan
dan Pariwisata.(2011). Kearifan Lokal di Tengah Modernisasi. Jakarta:
Pusat Penelitian dan pengembangan Kebudayaan.
KEMENDIKBUD. 2012. Apresiasi Sastra. Jakarta: Pusat Pengembangan Profesi
Pendidik.
Kleden, Dony. (2013). POLITIK RESIPROSITAS KEDDE “Kontestasi Kearifan
Lokal dan Manipulasi Lokal”. Yogyakarta: ANDI OFFSET.
Kramsch, Claire. (1998). Language and Culture. New York.Oxford University
Press.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
274
Kompas. (2019). “Cegah Kematian Bahasa”. Diakses melalui
https://kompas.id/baca/utama/2019/10/29/cegah-kematian-bahasa/. Pada
tanggal 11 Januari 2020.
Kuenna. (2015). “Simbol Dalam Upacara Adat Dayak Ngaju (Symbols in Ritual
Tribe of Dayak Ngaju)”. Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya. 5
(2), 179-187.
Leyloh, Yendri A. H. Y. (2007). Identitas Penganut Marapu Berhadapan dengan
Gereja dan Program Pariwisata di Sumba Barat, NTT. Tesis. Universitas
Sanata Dharma. Yogyakarta: Tidak diterbitkan.
Lubis, Tasnim. (2019). Tradisi Lisan Nandong Simeulue: Pendekatan
Antropolinguistik. Disertasi. Fakultas Ilmu Budaya. Universitas Sumatera
Utara. Medan. Tidak diterbitkan.
Mahsun. (2009). Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan
Tekniknya. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Martasudjita, E.P.D. (2010). “Proses Inkulturasi Liturgi di Indonesia”. Jurnal
Studia Philosophica et Theologica. 10 (1), 39-60.
Mbete, Aron. (2015). “Masalah Kebahasaan dalam Kerangka Pelestariannya:
Perspektif Ekolinguistik”. Jurnal Tutur. 1 (2), 181-188.
Mbete, Aron, dkk., (2015). “Khazanah Ekoleksikal Guyub Tutur Bahasa Lio,
Flores”. Laporan Hasil Penelitian. Universitas Udayana. Bali
Mudofir. (2009). Argumen Konservasi Lingkungan Sebagai Tujuan Tertinggi
Syari’ah. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri.
Jakarta. Tidak diterbitkan.
Mujib, Ahmad. (2009). “Hubungan Bahasa dan Kebudayaan: Perspektif
Sosiolinguistik”. Jurnal Adabiyyát. 8 (1), 142-154.
Muhammad. (2016). Metode Penelitian Bahasa. Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA.
Mulyadi. (2014). “Ekologi Bahasa dan Metafora Ekologis”. Makalah disampaikan
pada seminar Ekolinguistik. Medan
Natasya, Purba Devira. (2019). Fungsi dan Makna sirih pada Upacara Masyarakat
Melayu di Desa Pulau Simardan, Kecamatan Datuk Bandar Timur,
Kabupaten Tanjung Balai. Skripsi. Universitas Sumatera. Tidak
Diterbitkan.
Neonbasu, Gregorius. (2016a). "Tata Krama Relasi Manusia dengan Marapu".
Dalam Neonbasu, Gregorius (ed.) (2016). Akar Kehidupan Masyarakat
Sumba: Dalam Cita Rasa Marapu. Jakarta: Lappop Press Jakarta.
Neonbasu, Gregorius. (2016b). "Tambang Emas Bagi Yang Ingin Mengerti
Sumba". Dalam Neonbasu, Gregorius (ed.) (2016). Akar Kehidupan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
275
Masyarakat Sumba: Dalam Cita Rasa Marapu. Jakarta: Lappop Press
Jakarta.
Neonbasu, Gregorius. (2016c). “Catatan Antropologis mengenai Marapu”. Dalam
Neonbasu, Gregorius (ed.) (2016). Akar Kehidupan Masyarakat Sumba:
Dalam Cita Rasa Marapu. Jakarta: Lappop Press Jakarta.
Nesi, Anton. (2018). Tradisi Lisan Takanab sebagai Wujud Identitas Masyarakat
Dawan: Kajian Ekolinguistik Metaforis. Tesis. Universitas Sanata Dharma.
Yogyakarta. Tidak diterbitkan.
Nirmala, Deli. (2014). “Proses Kognitif dalam Ungkapan Metaforis”. Jurnal
Parole. 4 (1), 1-3.
Nugraha, Muhamad Tisna. (2019). “Rekonsiliasi Nilai-Nilai Kepahlawanan serta
Internalisasinya dalam Pendidikan Islam”. Jurnal Pendidikan Islam
Ta’dibuna. 8 (2), 241-258.
Panda, Herman Punda. (2014). “Mengapa Orang Katolik Masih Menjalankan
Ritual Marapu? Menguak Praktik Iman Ganda Di Loura”. Jurnal Ledalero.
13 (1), 110-131.
PERMENDIKBUD. (2014). Pedoman Pelestarian Tradisi. Jakarta:
MENDIKBUD.
PERMENDIKBUD. (2014). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.
79 Tahun 2014 tentang Muatan Lokal. (Online). Tersedia
http://luk.tsipil.ugm.ac.id/atur/bsnp/Permendikbud79-
2014MuatanLokalK13.pdf
PERMENDIKBUD. (2014). Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan
Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 2014 tentang Kegiatan
Ekstrakurikuler pada Pendidikan Dasar Dan Pendidikan Menengah.
(Online). Tersedia
http://simpuh.kemenag.go.id/regulasi/permendikbud_62_14.pdf.
Pratiwi, Yesi Eka dan Sunarso. (2018). “Peranan Musyawarah Mufakat (Bubalah)
dalam Membentuk Iklim Akademik Positif di Prodi PPKN FKIP UNILA”.
Jurnal Sosiohumaniora. 20 (3), 199-206.
Pranowo. (2014). Teori Belajar Bahasa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pranowo. (2015). “Tergantung Pada Konteks”. Dalam Prosiding Seminar
Nasional PIPSI XXXVII. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.
Primadesi, Y. (2013). "Preservasi Pengetahuan dalam Tradisi Lisan Seni
Pertunjukan Randai di Minangkabau Sumatera Barat". Jurnal Kajian
Informasi dan Perpustakaan, 1(2), 179–187.
Pudensia MPSS. (2013). “Kearifan Lokal Sebagai Kekuatan Kultural Membentuk
Peradaban”. Makalah Seminar dan Rapat Tahunan Bidang Bahasa, Sastra,
Seni dan Budaya Badan Kerja Sama PTN Wilayah Barat. Pontianak.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
276
Purwadi.(2004). “Proses Pembentukan Identitas Diri Remaja”. Humanitas:
Indonesian Psychologycal Journal. 1 (1), 43-52.
Putrayasa, Ida Bagus. 2014. Pragmatik. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Rahardi, R Kunjana. (2006). Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia.
Jakarta:Erlangga
Rahardi, R Kunjana. (2009). Sosiopragmatik: Kajian Imperatif Dalam Wadah
Konteks Sosiokultural dan Konteks Situasionalnya. Jakarta: Penerbit
Erlangga.
Rahardi, R Kunjana, Yuliana Setyaningsih, dan Rishe Purnama Dewi. (2016).
“Kefatisan Berbahasa dalam Perspektif Linguisik Ekologi Metaforis”.
Makalah disajikan pada Seminar Tahunan Linguistik di Universitas
Pendidikan Indonesia. Bandung.
Rahardi, R Kunjana. (2016). “Urgensi Menggelorakan Linguistik Ekologi”.
Kedaulatan Rakyat LXXXXI. Halaman 12.
Ramone, Robert. (2015). Revitalisasi Desa Adat dan Dampak Sosial Budaya
Masyarakat di Pulau Sumba. Jakarta: Direktorat Kepercayaan Terhadap
Tuhan YME dan Tradisi.
Rambut, Kanisius. 2018. “Ungkapan Paralel Dalam Teks Ritual Kenduri Etnik
Manggarai: Kajian Linguistik Kebudayaan”. Dalam Jurnal Tutur. 4(1),
hal.51–59.
Republika. (2018). “Lestarikan Tradisi Lisan di Indonesia”. Diakses dari
https://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/18/09/13/pf033m313-
lestarikan-tradisi-lisan-di-indonesia pada tanggal 27 Februari 2019.
Riti, Servulus Bobo. (2015). “Bara Merapu Sebagai Kepercayaan Asli Orang
Sumba: Perspektif Pelayanan Hak Sipil dan Ancaman Kepunahan”. Jurnal
Multikultural & Multireligius. 14 (1), 120-137.
Rosmawaty. (2011). “Tautan Konteks Situasi dan Konteks Budaya: Kajian
Linguistik Sistemik Fungsional pada Cerita Terjemahan Fiksi Halilian”.
LITERA. 10 (1), 76-86.
Rostiyati, Ani. (2009). “Peranan Pemimpin Informal pada Masyarakat Guradog”.
Jurnal Patanjala. 1 (2), 201-215.
Santoso, Anang. (2007). “Ilmu Bahasa dalam Perspektif Kajian Budaya”. Jurnal
Bahasa dan Seni. 35 (1), 1-16.
Sapir, E. (1929). “The Status of Linguistics as a Science”. Journal Language. 5
(4), 207-214.
Spradley, James P. (2006). Metode Etnografi. Diterjemahkan oleh Mizbah Zulfah
Elisabeth. Yogyakarta: Tiara Wacana.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
277
Satori, Djam’an, dkk. (2009). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabet.
Sibarani, R. (2012). Kearifan Lokal: Hakikat, Peran, dan Metode Tradisi Lisan.
Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan.
Sibarani, R. (2013). “Pendekatan Antropolinguistik dalam Menggali Kearifan
Lokal sebagai Identitas Bangsa”. Makalah pada International Coference
on Indonesian Studies. Yogyakarta.
Shobihah, Ida Fitri. (2017). “Kebersyukuran (Upaya membangun Karakter
Bangsa Melalui Figur Ulama)”. Jurnal Dakwah. 15 (2), 383-406.
Soelarto. . Budaya Sumba Jilid I. Jakarta: DITJEN Kebudayaan Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Somantri, Soz Gumilar Rusliwa. (2010). “Jati Diri Bangsa”. Disampaikan pada
Seminar Etnopedagogik dan Pengembangan Budaya Sunda. Program Studi
Pendidikan Bahasa dan Budaya Sunda Sekolah Pascasarjana UPI.
Soeriadiredja, Purwadi. (2013). “MARAPU: Konstruksi Identitas Orang Sumba,
NTT”. Jurnal Antropologi Indonesia. 34(1), 59-74.
Soeriadiredja, Purwadi. (2016). “Dinamika Identitas Budaya Orang Sumba”.
Laporan penelitian. Prodi Antropologi FIB. Universitas Udayana.
Denpasar.
Song, L. (2010). “The Role Of context in Discourse Analysis. Journal of
Languages Teaching and Research”. 1 (6), 876-879.
Solihin. (2013). Mengantar Arwah Jenazah Ke Parai Marapu: Upacara Kubur
Batu Pada Masyarakat Umalulu, Sumba Timur. Jakarta: Pusat Penelitian
dan Pengembangan Kebudayaan.
Solihin. (2018). Uma Mbatangu Arsitektur Tradisional Sumba di Kampung Adat
Ratenggaro. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
Sriyono. (2014). “Kearifan Lokal dalam Sastra Lisan Suku Moy Papua”. Jurnal
Atavisme. 17 (1), 55-69.
Steffensen, S. V dan Fill A. (2013). “Ecolinguistics: The State of The Art and
Future Horizons”. Language Sciences. 41 (A), 6-25.
Stibbe, A. (2015). Ecolinguistics: Language, Ecology and the Stories We Live By.
New York. Roudledge.
Sudaryanto. (2015). Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar
Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistik. Yogyakarta: Sanata
Dharma University Press.
Sukmayadi, Trisna. (2018). “Nilai-Nilai Kearifan Lokal dalam Pandangan Hidup
Masyarakat Adat Kampung Kuta”. Jurnal Pancasila dan Kewarganegaraan.
3 (1), 19-29.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
278
Suktiningsih, Wiya. (2016). “Leksikon Fauna Masyarakat Sunda”. Jurnal
RETORIKA. 2 (1), 138-156.
Supriatin, Yeni Mulyani. (2012). “Tradisi Lisan dan Identitas Bangsa: Studi
Kasus Kampung Adat Sinarresmi Sukabumi”. Jurnal Patanjala. 4 (3), 407-
418.
Suryandari, Nikmah. (2017). “Eksistensi Identitas Kultural di Tengah Masyarakat
Multikultur dan Desakan Budaya Lokal”. Jurnal Komunikasi. 11 (1), 21-
28.
Syairi, Khairi Abu. (2013). “Pembelajaran Bahasa dengan Pendekatan Budaya”.
Jurnal Dinamika Ilmu 13 (2), 174-188.
Takari, Muhammad. (2013). “Tradisi Lisan di Alam Melayu: Arah dan
Pewarisannya”. Fakultas Ilmu Budaya. Universitas Sumatera Utara.
Tarigan, Bahagia. (2016). Kebertahanan dan Ketergeseran Leksikon Flora Bahasa
Karo: Kajian Ekolinguistik. Disertasi. Fakultas Ilmu Budaya. Universitas
Sumatera Utara: Tidak diterbitkan.
Trianton, Teguh. (2019). “Representasi Harmoni Manusia dengan Alam dalam
Khasanah Budaya Banyumas pada Novel-Novel Karya Akhmad Tohari”.
Makalah disajikan dalam sidang paralel di forum Pertemuan Ilmiah
Bahasa dan Sastra Indonesia ke-41 dan ADOBSI. Surakarta
Tribun. (2019). “Kearifan Lokal Mulai Dilupakan Anak Negeri”.
https://wartakota.tribunnews.com/2017/03/23/kearifan-lokal-mulai-
dilupakan-anak-negeri. (27 November 2019).
Tube. (2017). Tradisi Lisan Lia Asa Usu sebagai Potret Jati Diri Masyarakat
Lamalera: Sebuah Kajian Etnoprakmatik. Tesis: Universitas Sanata
Dharma: Tidak diterbitkan
Tunggul, Nggodu. (2003). Etika dan Moralitas dalam Budaya Sumba. Jakarta:
Pro Millenio Center.
Uyanne, Chukwualuka Michael, Eugene Chukwuemeka Onuoha & Nneka
A.Osigwe. (2016). “Ecolinguistic Perspective: Dialectics of Language and
Environment”. AJELLS. 5 (1), 150-169.
Vansina, Jan. (2014). Tadisi Lisan Sebagai Sejarah. Yogyakarta: Ombak.
Vel, Jacqueline. (2010). Ekonomi UMA: Penerapan Adat Dalam Dinamika
Ekonomi Berbasis Kekerabatan. Jakarta: HuMa-Jakarta.
Wardhaugh, Ronald. (2006). “An Introduction to Sociolinguistics”. Australia:
Blackwell Publishing.
Widarmiati, Luh Putu Ayu Riska. (2009). Pertahanan Status Sosial Melalui
Penguburan Mayat Dalam Kepercayaan Marapu di Sumba Timur, Nusa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
279
Tenggara Timur. Tesis. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Tidak
diterbitkan.
Wirajaya. (2016). “Preservasi dan Konservasi Naskah-Naskah Nusantara di
Surakarta sebagai Upaya Penyelamatan Aset Bangsa”. Jurnal Etnografi. 16
(2), 59-123.
Yunus, Rasid. (2014). Nilai-Nilai Kearifan Lokal (Local Genius) Sebagai Penguat
Karakter Bangsa: Studi Empiris Tentang Huyula. Yogyakarta: Deepublis.
Zakiah, Kiki. (2008). “Penelitian Etnografi Komunikasi: Tipe dan Metode”.
MEDIATOR. 9 (1), 181-188.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
280
LAMPIRAN
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
IDENTIFIKASI DATA SESUAI KESATUAN MAKNA
EKOLINGUISTIK METAFORIS
PENELITIAN BERJUDUL:
“TRADISI LISAN DALAM UPACARA PADEDE UMA KALADA
SEBAGAI MANIFESTASI JATI DIRI MASYARAKAT KABIZU
BEIJELLO:
KAJIAN EKOLINGUISTIK METAFORIS”
Oleh: Yuliana Sesi Bitu
Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Magister
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sanata Dharma
I. BAHASA ADA DALAM EKOLOGI SIMBOLIS
1. DATA: A1/ES1
Nyado nebahinna ne’e ole bawaikoga , maida neti tidi
Baik sekarang ini kawan jika saya ada, saya datang di sini di samping
barrami neti oma dana.
dekat kalian di kebun
Baik, jika saat ini saya berada di sini, di rumah kecil ini.
Neti dari tana, batu ruta.
Ini garuk tanah, cabut rumput
Di sini di rumah kecil.
Nemme nakarewe ebana, nakarawuwe logena.
Di sana dia lapuk pinggangnya, dia berantakan rambutnya
Ini terkait badan rumah nenek moyang kita yang sudah lapuk kayunya, rusak
atapnya.
Nemme ina, ama.
Itu ibu, bapak
Rumah nenek moyang kita.
Tuta pomawo loddo, kada pomawo urra.
payung pelindung hujan, payung pelindung hujan
Rumah yang dapat memberikan kenyamanan, perlindungan, yang dapat
mempersatukan dan mendamaikan
Nyawe neti kaku toma tidi , dukki barrami.
Makanya ini saya sampai di samping, sampai di dekat kalian
Inilah sebabnya sehingga saya boleh berada di sini
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Konteks:
Data ini merupakan bagian dari tradisi lisan pada tahap yapatekki
(pemberitahuan). Data ini dituturkan oleh Rato Uma Kalada Kabizu Beijello
(pemimpin klan Kabizu Beijello) yang ditujukan kepada Rato Uma Kii (tetua
adat rumah kecil). Tahap Yapatekki merupakan tahap diskusi antara tetua adat
rumah besar dengan tetua adat rumah kecil. Tujuan dari diskusi itu adalah
untuk membahas terkait rumah besar yang telah mengalami pelapukan dan
kerusakan. Diskusi ini dilakukan di rumah kecil.
2. DATA: B1/ES2
Banna kareweko ebana , banna karawuko logena
Jika dia lapuk pinggangnya, jika dia berantakan rambutnya
Jika rumah nenek moyang sudah lapuk pinggangnya, sudah rusak atapnya.
Ne ina, ne ama
Ini ibu, ini bapak
Ini rumah nenek moyang
Unggula dukka kikkuna , wadora dukka ngorana
Kumpulkan batas ekornya, himpun batas mulutnya
Kumpulkan dan Himpunlah seluruh keluarga dari yang paling jauh sampai
yang
paling dekat.
Unggula a matomba, wadora a maupa
Kumpulkan yang liar, rangkul yang jinak
Himpunlah keluarga yang menjauh, rangkul keluarga yang mendekat.
Kanna mattu mata, kanna tanga wiwi
Agar banyak mata, agar bertemu bibir
Agar kita melihat dan membicarakan secara bersama-sama.
Katta worona panewe, katta kaddona kadauka
Agar kita berbicara bersama-sama, Agar kita berpikir bersama-sama
Agar kita membicarakan dan memikirkan secara bersama-sama
Konteks:
Data tradisi lisan di atas merupakan tanggapan tetua adat rumah kecil dalam
diskusi dengan tetua adat rumah besar pada tahap Yapatekki (pemberitahuan)
rencana pembangunan rumah besar. Dalam tanggapan itu, tetua adat rumah
kecil menghimbau bahwa apabila ingin membangun ulang rumah besar
Kabizu Beijello, maka semua anggota Kabizu Beijello harus dihimpun dan
dikumpulkan. Adapun tujuannya adalah agar sama-sama menyatakan
dukungan dan solidaritas demi suksesnya pembangunan rumah besar.
3. DATA: D1/ES3
Balummubadoge you ina, amama
Jika engkau sudah mengatakan demikian engkau ibu bapak kami
Jika engkau sebagai ibu, bapak kami sudah mengatakan demikian.
Dakku negobanna pakai , dakku kababage pasilli,
Saya tidak menari menghindar, saya tidak ronggeng mengelak,
Jika engkau mengatakan saya tidak menghindar dan mengelak.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Balummubadoge you
Jika engkau sudah mengatakan demikian engkau
Jika engkau sudah mengatakan demikian
Neti yamme ane’ena dari tana, batu ruta
Ini kami yang tinggal garuk tanah, cabut rumput
Kami di sini yang berasal dari rumah kecil.
Neti yamme madara padeku, ama bongga pamane
Ini kami kuda penurut, kami anjing pengikut
Kami hormati keputusan ini dan siap menjalankan amanat ini.
Damma negokaibage pasilli , damma kabakaibage
pakai
Kami juga tidak menari menghindar, kami juga tidak ronggeng
mengelak
Kami juga tidak menghindar, kami juga tidak mengelak.
Konteks:
Data tradisi lisan merupakan tanggapan tetua adat rumah kecil yang mewakili
suara hati dari keluarga besar rumah kecil. Tuturan lisan itu ditujukan kepada
tetua adat rumah besar sebagai pemimpin klan Beijello. Dalam tanggapan itu,
tetua adat menyampaikan bahwa seluruh anggota rumah kecil menaati
keputusan yang telah diambil oleh pemimpin klan dan siap melaksanakannya
dengan penuh tanggung jawab. Tuturan lisan ini dituturkan pada tahap
musyawarah kedua di rumah kecil.
4. DATA: F3/ES4
Nebahinna katta bumbuge rawa , katta mattuge mata
Saat ini agar kita berkumpul burung merpati, agar kita banyak mata
Sekarang agar kita melihat dan membicarakan secara bersama-sama
Kada’ikana a lera eka bei, a kedu eka ana
Agar tidak ada yang terbang lain ibu, yang lari lain anak
Agar kita selalu membina semangat persatuan
Katta pasamana ate, katta pamerana wiwi.
Agar kita menyamakan hati, agar kita memerahkan bibir
Agar kita selalu satu hati, satu suara
Konteks:
Data ini merupakan bagian dari tradisi lisan pada tahap musyawarah satu
keluarga besar Kabizu Beijello di rumah besar (rumah adat). Data tersebut
dituturkan oleh tetua adat yang menjaga rumah besar. Tetua adat itu merupakan
pemimpin klan Beijello. Musyawarah yang diadakan di rumah besar ini
merupakan musyawarah terakhir sebagai penentu keputusan dan sekaligus
pembagian tugas pembangunan rumah besar.
5. DATA: G1/ES5
Nebahinna, nennati mama ole
Saat ini, ini sirih pinang kawan
Terimalah sirih pinang ini.
Mandungo katanga, kettera kaleba
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Pegang kuat kendali, eratkan ikat pinggang
Peganglah kuat-kuat keputusan dan janji yang telah disepakati bersama.
Tana dadikki , watu dangero
Tanah yang tidak berpindah, batu yang tidak bergeser
Keputusan dan janji yang tidak akan berubah.
Nemme kanna marage tana, kanna moddu kaporota
Nanti supaya kering tanah, supaya tua sidagura
Nanti pada musim kemarau saatnya kita membangun.
Konteks:
Data tradisi lisan di atas dituturkan oleh pemimpin klan atau orang yang
dipercayakan pemimpin musyawarah pada tahap musyawarah adat satu
keluarga besar Kabizu Beijello di rumah besar. Dalam data di atas
memperlihatkan ada peristiwa pembagian sirih pinang setelah pengambilan
ikrar atau sumpah. Sirih pinang diyakini sebagai simbol kehadiran Marapu
(arwah-arwah leluhur) yang mengikat seluruh keputusan yang telah disepakati.
Oleh karena itu, keputusan itu tidak boleh dilanggar. Apabila dilanggar, maka
akan mendatangkan malapetaka. 6. DATA: H2/ES6
Nebahinna kapandege hettibama kalola wawi, amagesowa
kedu
Saat ini, agar kalian mengetahui kami pergi sudah berburu babi mengejar
kera
Saat ini, agar kalian mengetahui bahwa kami hendak pergi mencari kayu dan
tali.
Babamma kalolakowa wawi, kamma kolekina wawi a paulle
Jika nanti kami berburu babi, agar kami mendapatkan babi yang bertaring
Pada saat kami mencari kayu, agar kami menemukan kayu yang berkualitas
dan berteras.
Babamma magesokowa kedu, kamma kolekina kedu a padari
Jika nanti kami mengejar kera, agar kami mendapatkan kera yang berjenggot
Pada saat kami mencari tali, agar kami mendapatkan tali yang kuat.
Hitti kadaikana windararawiti, Tunduraradeida
Agar tidak ada jari terhalang, kaki terantuk
Agar tidak terdapat halangan dan rintangan.
Yakima kanuru, kanengga
Berikanlah kami hikmat kebijaksanaan
Berilah kami hikmat dan kebijaksanaan.
Kanengga bara wa’i, kanuru bara limma
Kebijaksanaan dekat kaki hikmat dekat tangan
Kebijaksanaan pada saat melangkah, hikmat pada saat menebang pohon dan
memotong tali.
Hitti katippakimawi loddo bani, urra bani
Agar engkau tepiskan kami matahari marah, hujan marah
Jauhkanlah kami dari marabahaya dan malapetaka.
Ne’e padou wawi a paulle, kedu a padari
Di sana tempat babi yang bertaring, kera yang berjenggot.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Di hutan tempat kami menebang pohon yang berteras, tempat memotong tali
yang kuat.
Ne’e Gola Mali Ege, Tako Mali Deta
Di sana Gola Mali Ege Tako Mali Deta
Di sana di Gola Mali Ege, Tako Mali Deta.
Ne’e Djoka Billa Aido, Lolo Alle Moro
Di sana Djoka Billa Aido Lolo Alle Moro
Di Djoka Billa Aido, Lolo Alle Moro.
Hinnabawi balimmi badona
Demikianlah sudah jika kalian mengatakan
yemmi ina, yemmi ama
Jika nenek moyang mengatakan bahwa demikianlah sudah
Na,i manu bowakahinna
Itu ayam supaya tandanya menerima
Berilah petunjuk yang baik melalui ayam itu.
Tau……
Jawablah
Jawablah
Konteks:
Data tradisi lisan di atas dituturkan pada pada tahap pertemuan satu keluarga
besar Kabizu Beijello di rumah besar. Data tradisi lisan tersebut dituturkan
oleh Ata Urrata dalam ritual Urrata. Ritual Urrata ini dilakukan setelah
pengambilan ikrar atau sumpah melalui peristiwa pembagian sirih pinang.
Dalam konteks data ini, ritual Urrata dimaknai sebagai doa kepada Marapu.
Dalam doa itu, Ata Urrata memohon perlindungan, keselamatan dan
keberhasilan kepada nenek moyang.
7. DATA: F1/ES7
Nebahinna batta mattu banna mata, batta tanga banna wiwi
Saat ini, kita sudah banyak mata, kita sudah bertemu bibir
Saat ini kita sudah berkumpul dan berhimpun di sini
A wali Gola Mali Ege, Tako Mali Deta
Yang berasal dari Gola Mali Ege, Tako Mali Deta
Yang berasal dari Gola Mali Ege, Tako Mali Deta
Nemme a wali niri kedu, liri wawi
Dari sana yang berasal dari pingggir kera, pinggir babi
Baik yang berasal tempat yang jauh maupun dekat
Lappata yamme newe a dita wee, a poi api
Serta kami di sini yang timbah air, yang tiup api
Serta kami di sini yang menghuni rumah besar ini
Konteks:
Data ini merupakan bagian dari tradisi lisan pada tahap musyawarah satu
keluarga besar Kabizu Beijello di rumah besar (rumah adat). Data tersebut
dituturkan oleh tetua adat yang menjaga rumah besar. Tetua adat itu
merupakan pemimpin klan Beijello. Musyawarah yang diadakan di rumah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
besar ini merupakan musyawarah terakhir sebagai penentu keputusan dan
sekaligus pembagian tugas pembangunan rumah besar. Musyawarah ini
diikuti oleh tetua adat rumah besar, tetua-tetua adat rumah kecil dan anggota-
anggota Kabizu Beijello yang mempunyai pemikiran yang luas, cakap, berani
dan berjiwa kepemimpinan.
8. DATA: I1/ES8
Kaletekowama towo, kasongakowama bale
Tungganglah kami kepala, peluklah kami badan
Tungganglah kepala kami, peluklah badan kami
Lindungilah kami
Kopora kaduango, gollu pamamanno
Tutup bungkus, kandang kami yang aman
Tutup bungkus, kandangkanlah kami yang aman
Tutup bungkuslah kami agar kami selalu merasa aman
Yako mangewala mata, kayalo wekki
Berilah terang mata, ringan badan
Berilah kami kesehatan
Pawessidakkota bani ate, bani wiwi
Kekuatan marah hati, marah bibir
Berilah kami kekuatan dan keberanian
Baaroni ina mori loda, ama mori pada
Pada saat berhadapan dengan ibu pemilik hutan, bapak pemilik padang
Pada saat kami berhadapan dengan ibu pemilik hutan dan bapak pemilik
padang
Ina pepa , ama mawo
Ibu pelindung, bapak penjaga
Roh-roh yang melindungi hutan
Konteks:
Data ini merupakan bagian dari data tradisi lisan pada tahap Urrata di Uma
kalada pada malam sebelum pergi menebang kayu dan memotong tali di
hutan. Tuturan lisan dalam ritual Urrata ini dituturkan oleh Ata Urrata (imam
Marapu). Tuturan lisan ini merupakan doa kepada Marapu untuk memohon
perlindungan dari roh-roh gaib.
9. DATA: J1/ES9
Nenna rengepo you ina mori loda, ama mori pada
Itu dengarlah engkau ibu pemilik hutan, bapak pemilik padang
Dengarlah dewa pemilik hutan dan pemilik padang
Ina mori loko, ama mangu tana
Ibu pemilik kali, bapak pemilik tanah
Dewa pemilik kali dan pemilik tanah
Nebahinna bawa’ikoma tidi waimaneramu, djongawailapalemu
Saat ini jika kami ada di dekatmu, di sampingmu
Saat ini jika kami berada di sini
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
A pogowa wasu agasu , a ratage kalerre alolo
Yang menebang kayu sebatang, yang memotong tali seutas
Yang menebang sebatang kayu, memotong seutas tali
Ka dara pa kaloga ma , ka tena pa magawa ma
Agar seperti kuda yang bebas kami , agar seperti sampan yang leluasa kami
Agar kami seperti kuda yang bebas, agar kami seperti sampan yang leluasa
Agar kami diberi kebebasan dan keleluasaan
Dappalaka kama karingge, dappa lodakama kalerre
Janganlah palang kayu, janganlah menarik tali
Janganlah menghalangi kami
Karewena ebana , karawuna logena
Dia lapuk pinggangnya, dia berantakan rambutnya
Ini karena badan rumah nenek moyang kami sudah lapuk kayunya dan rusak
atapnya
Tuta poma loddo, kada poma urra
Payung pelindung dari matahari, payung pelindung dari hujan
Rumah yang melindungi kami dari panasnya matahari dan hujan
Nebahinna hidda marata anamanu, kamidda ana omma
Saat ini terimalah kurban anak ayam, persembahan anak emas
Terimalah kurban anak ayam dan persembahan uang perak ini
Katidi waimanerandi, kajonga wailapalendi
Agar berada di dekat kalian, agar berada di samping kalian
Agar selalu berada bersama-sama dengan kalian
Newe mandoke toramu a erri , mandokiwe tunggamu a poddu
Di sini, peganglah bagianmu yang pemali, genggamlah milikmu yang sacral
Awasilah tempat yang pemali dan sakral agar orang leluasa bergerak
Newe bamma kalolakowa wawi, kamma kolekina wawi apa ulle
Di sini jika kami berburu babi, agar kami mendapatkan babi yang
bertaring
Sehingga, pada saat kami menebang pohon, kami mendapat pohon yang
berkualitas dan berteras
Bamma gesakowa kedu, kamma kolekina kedu apa dari
Jika kami mengejar kera, agar kami mendapatkan kera yang berjenggot
Sehingga pada saat kami memotong tali kami mendapatkan tali yang kuat
Kada’ikana windararawiti, tunduraradeida
Agar tidak ada jari terhalang, kaki terantuk
Agar tidak ada halangan dan rintangan
Konteks:
Data di atas dituturkan oleh Ata Urrata dalam ritual Urrata pada tahap
penebangan pohon dan pemotongan tali di hutan. Data tradisi lisan ini
merupakan doa yang mengandung makna permohonan izin kepada roh-roh
yang diyakini sebagai pemilik hutan, padang, kali dan tanah. Dalam ritual ini,
masyarakat Kabizu Beijello memberikan sesajen berupa satu anak ayam, satu
butir telur, kapas, tembakau, sirih, pinang dan serpihan emas atau perak.
Perkenanan dan persetujuan roh-roh yang mendiami hutan tersebut dapat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
diramalkan atau dilihat oleh Ata Urrata (imam Marapu) melalui usus ayam,
hati ayam dan hati babi.
10. K1/ES10
Natogola manairo bage, namawellita mawana bage
Sudah berhasil menyiangi sudah rampung anyaman
Proses penebangan kayu dan pemotongan tali telah selesai dan berjalan
dengan lancar
Pakameme dengi ramegu, pawawi dengi
pa’ugu
Yang saya minta seperti kambing meminta daun, seperti babi meminta
dedak
Yang saya minta dan mohonkan
Pakaleika milla mata, balabadde widdu keda
Yang merupakan seruan miskin mata, yang merupakan jeritan kempis
pinggang
Yang merupakan seruan dan dambaan
Pakareba ti’a, pamaro’u bukku
Yang menjadi kelaparan perut, yang menjadi kehausan leher
Yang menjadi kelaparan, yang menjadi kehausan
Yang menjadi impian dan harapan
Nabonnu wogo dara, na nudu wullu manu
Telah penuh punuk kuda, dia ikut bulu ayam
Telah berakhir dan berjalan dengan lancar
Nebahinnage lagei ladde , woki kako
Saat ini angkat langkah, ayun kaki
Saat ini, kami hendak berjalan pulang
Kamma toma uma, kamma dukkikoge katonga
Agar kami sampai di rumah, agar kami sampai di balai-balai
Agar kami tiba di balai-balai dan di rumah dengan selamat
Illakona poddu tillu tana, illakona balaingo maredda
Hilangkanlah ancaman di tengah tanah, hilangkanlah musibah di padang
Jauhkanlah ancaman dan musibah dalam perjalanan
Kanna mangewala mata, kanna kayalo wekki
Agar terang mata, agar ringan badan
Agar kami diberi kesehatan
Dukki bara ina, toma bara ama
Sampai dekat ibu, sampai dekat bapak
Sehingga kami boleh sampai di rumah besar kami dengan selamat
Konteks:
Data ini merupakan data tradisi lisan pada tahap Saiso pengucapan syukur
atas keberhasilan penebangan pohon dan pemotongan tali di hutan. Data
tradisi lisan ini merupakan doa yang dinyanyikan oleh Ata Saiso yang
ditujukan kepada roh-roh gaib yang diyakini sebagai pemilik hutan. Dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
doa itu Ata Saiso menyampaikan ucapan syukur kepada roh-roh gaib atas,
izin, pertolongan dan bantuan yang diberikan sehingga proses pengambilan
material bangunan dapat berhasil. Dalam doa itu pula, Ata Saiso memohon
keselamatan dan perlindungan kepada roh-rog gaib sehingga prosesi
pengantaran material bangunan ke tempat pembangunan rumah besar dapat
berhasil.
11. DATA: M1/ES11
Pamalangiwa inna, paosawa ama
Terimakasih kepada ibu, syukur kepada bapak
Terimakasih dan syukur kepada rumah besar dan leluhur
Ne tuta pamawo loddo , ne kada pamawo urra
Di payung pelindung dari matahari, di payung pelindung dari hujan
Atas rumah yang telah memberikan kenyamanan, perlindungan, yang
mempersatukan dan mendamaikan
Banna yawe wee maringi , banna yawe
Karena dia telah memberikan air dingin, karena dia telah memberikan
wee malala
air kesejukan
Yang telah memberikan rahmat dan berkat
Dari tana , batu ruta
Garuk tanah, cabut rumput
Bagi rumah-rumah kecil
Penni manu, tau wawi
Memberi makan ayam, memberi makan babi
Sehingga dapat memelihara ayam, memelihara babi
Keni pare oppu watara
Panen padi, petik jagung
Sehingga dapat memanen padi, memetik jagung
Konteks:
Data ini merupakan data tradisi lisan dalam upacara Woleka pada tahap
pembongkaran rumah. Data tradisi lisan tersebut dinyanyikan oleh Ata Saiso
dengan diiringi gong dan tambur. Upacara Woleka dimaknai sebagai upacara
pengucapan syukur dan terimakasih kepada nenek moyang dan rumah besar
yang telah melindungi, memayungi, mempersatukan dan memberikan
kenyamanan serta kedamaian. Upacara ini dilaksanakan dengan penuh
sukacita dan kegembiraan.
12. DATA: O1/ES12
Nebahinna kapandege you ina, you ama
Saat ini supaya mengetahui engkau ibu, engkau bapak
Saat ini supaya engkau ibu, engkau bapak mengetahui
Saat ini, agar nenek moyang mengetahui
Nadukkiwe na’i labe a belleka, pari’i a kaladana
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Sampai kepada dia di sana cincin yang lebar , tiang yang besar
Sampai kepada Sang Khalik yang menciptakan dan menaungi seluruh umat
manusia
A kanga wolla limma, a bokka wolla wa’i
Yang memisah jari tangan, yang membagi jari kaki
Yang memisah jari tangan dan membagi jari kaki
Ina a mawolo , ama a marawi
Ibu yang mencipta, bapak yang menjadikan
Tuhan yang menjadikan dan menciptakan manusia dan seluruh alam semesta
Adopola tou , a adiwe wekki
Yang membentuk badan, yang memadatkan tubuh
Yang membentuk dan memadatkan badan
Takka nebahinna tekkida ana ullumu, tekkida
Dan sekarang, beritahukanlah kepada ana sulung, beritahukanlah kepada
ana murri mu
anak bungsumu
Dan sekarang beritahukanlah kepada semua Marapu (semua arwah yang telah
meninggal)
II. BAHASA ADA DALAM EKOLOGI SOSIOKULTURAL
1. DATA: C1/ESK1
Neti ngarakuana baku angunguamigi
Ini semuanya sebagai saudara laki-laki saya
Semuanya sebagai saudara laki-laki saya.
Baku amamigi, baku anamigi
Sebagai bapak saya, sebagai anak saya
Sebagai bapak saya dan sebagai anak saya.
Baku allikamigi, baku kaamigi
Sebagai adik saya, sebagai kakak saya
Sebagai adik dan kakak saya.
Ba nebahinna batta pakuana, batta pakassana
Jika saat ini kita berkumpul, jika kita banyak
Jika saat ini kita berkumpul di sini.
Ne umana ina, umana ama
Di rumahnya Ibu, rumahnya Bapak
Di rumah leluhur kita.
Nebahinna batta bumbuge rawa, batta maruga mata
Saat ini jika kita berkumpul burung merpati, jika kita banyak mata
Jika kita berkumpul dan berhimpun di sini.
Tubanawe umana ina, umana ama
Ini terkait rumahnya ibu, rumahnya bapak
Ini terkait dengan rumah leluhur kita.
Peidawe?
Kita mengapakan?
Kita mengapakan?
Konteks:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Data di atas merupakan data tradisi lisan pada tahap musyawarah adat terkait
dengan rencana pembangunan rumah besar. Data tersebut dituturkan oleh tetua
adat sebagai pemimpin klan Beijello. Dalam tuturan itu, pemimpin klan
menghimbau kepada seluruh anggota Kabizu yang mengikuti musyawarah
untuk sama-sama melihat, mendiskusikan dan merembukkan terkait rumah
besar sebagai rumah nenek moyang yang telah mengalami pelapukan dan
kerusakan. Musyawarah pada tahap ini dilakukan di rumah kecil. Adapun yang
terlibat dalam musyawarah itu adalah tetua adat rumah besar, tetua adat rumah
kecil dan anggota-anggota rumah kecil. Dalam musyawarah ini, tidak
mengenal sistem voting. Keputusan yang diambil harus merupakan hasil
kesepakatan bersama.
2. DATA: E1/ESK2
Nennati yasa, neida pamama
Itu beras, ini sirih pinang
Itu beras, ini sirih pinang
Deibapo yo’u ina, yo’u amama
Terimalah engkau ibu, engkau bapak kami
Terimalah kalian nenek moyang kami
Newe limmabage, bamma woroge pu’una ,
Di sini kami sudah kami membicarakan pangkalnya,
bamma kaddoge lawina
kami sudah pikirkan ujungnya
Di sini kami sudah membicarakan dan memikirkan secara bersama-sama
A bu’u uma kalada, newe ata uma kii
Yang satu buah rumah besar, di sini orang rumah kecil
Kami yang berasal dari satu keluarga besar dari rumah kecil
Apa angunguana , apa amana
yang sebagai saudara laki-laki, yang sebagai bapak
Kami yang bersaudara laki-laki, kami sebagai bapak
Apa allina, apa ka’ana
Yang sebagai adik, yang sebagai kakak
Kami sebagai adik dan sebagai kakak
Nebahinna, damma negobage pakai , damma kababage pasilli
Saat ini kami tidak menari menghindar, kami tidak ronggeng mengelak
Saat ini kami tidak menghindar, kami tidak mengelak
Nemme loddopoddu nya bamma kako dobba uma kalada
Nanti hari Minggu waktunya kami pergi semua rumah besar
Hari minggu adalah waktunya kami ke rumah besar
Nya bamma lolungo malawo, bamma biringo tawewe
Waktunya kami berkelompok tikus, kami beriringan ayam hutan
Waktunya kami beriringan dan berkumpul di rumah besar
Kapandege yemmi ina kaweda, ama kaweda
Agar kalian mengetahui kalian nenek , kakek
Agar nenek dan kakek mengetahui
Hinnabawe balimmikumi , na’i manu bowa kahinna
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Demikianlah sudah jika kalian mengatakan, itu ayam supaya tandanya
menerima
Jika kalian mengatakan bahwa demikianlah sudah, berikanlah petunjuk baik
melalui ayam itu
Tau…..
Jawablah
Konteks:
Data ini merupakan data tradisi lisan dalam ritual Urrata yang dilakukan
setelah kesepakatan di Uma Kii (kecil). Data tradisi lisan ini merupakan doa
kepada nenek moyang. Dalam doa itu, masyarakat Kabizu Beijello
mengkomunikasikan dengan nenek moyang terkait hasil keputusan bersama
yang telah ditetapkan. Selain itu, juga meminta petunjuk kepada nenek
moyang terkait dengan rencana musyawarah adat yang akan dilakukan di
rumah besar Kabizu Beijello. Petunjuk itu dilihat pada usus dan hati ayam.
3. DATA: L1/ESK3
Djooooo appaatawu nemme a lollungo malawo mangu ana,
Hallo, siapakah kamu di sana yang beriringan bagai tikus membawa anak
Abiringo tawewe mangu tollu
yang berkelompok bagai ayam hutan membawa telur
Hallo, siapakah kamu yang datang beriring-iringan, yang berbondong-
bondong?
Akangira dara kodi, akabara bongga dawa
Yang meringkik bagaikan kuda Kodi, yang menyalak bagaikan anjing Jawa
Yang datang dengan pakallaka (ringkikan) dan payawau (teriakan)
Ne’e kabu gollugu , ne’e kabu aturagu
Di bawah kandang saya, di bawah pagar batu
Di sebelah perkampungan saya
Ne tabali binna mone, pu’u kawango dassa
Di sebelah pintu jantan, di pohon waru indah
Di pintu gerbang saya, di perkampungan yang indah
Kedu mai pawunnumi?, Wawi mai pangassami?
Kera datang marah kalian? Babi datang mengamuk kalian?
Apakah kalian kera yang datang marah, babi yang datang mengamuk?
Apakah kalian adalah musuh yang datang mengamuk?
Balewaga panewe , nongawaga kadauka
Jawab pembicaraan, imbali perkataan saya
Jawablah pembicaraan dan perkataan saya
Malla…..
Jawablah
Jawablah
Konteks:
Data ini merupakan bagian dari data tradisi lisan dalam ritual Oka pada tahap
bahan material bangunan hendak memasuki kampung. Tuturan lisan dalam
ritual Oka ini dituturkan oleh Rato Marapu yang bertugas sebagai penanya
dari pihak tuan rumah. Masyarakat Kabizu Beijello memiliki tradisi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
menyambut tamu atau rombongan yang hendak memasuki kampung dengan
maksud tertentu. Tradisi itu disebut Oka. Ritual Oka itu dilakukan di depan
pintu masuk kampung. Tujuan pelaksanaan ritual ini adalah untuk
menanyakan dan menyelidiki rombongan yang hendak memasuki kampung
dengan membawa material bangunan.
4. DATA: L2/ESK4
Djoooo hiddi pakadimu koko, pasosimi
ate
Baiklah, itu yang engkau tanyakan melalui leher, yang engkau selidiki
melalui hati
Baiklah, itu yang engkau pertanyakan dan engkau selidiki
Yowa dona ata papawede , allikapapatukami
Saya sudah orang yang disuruh, adik yang diperintah
Sayalah orang yang disuruh, adik yang diperintah
Papawede pidupata , papalewa gidugoda
Yang diperintah ke sana ke mari, yang disuruh ke tempat yang jauh dan dekat
Yang diperintah ke sana ke mari, yang disuruh ke tempat yang jauh dan dekat
Hitti papatukamu kalola wawi, hatti papawedemu magesa
kedu
Itu yang kalian perintahkan berburu babi, itu yang engkau suruh
mengejar kera
Mereka yang kalian perintahkan untuk menebang pohon, yang disuruh
memotong tali
Natogola manairobage, namawellita mawanabage
Sudah berhasil menyiangi , sudah rampung anyaman
Proses penebangan pohon dan pemotongan tali telah berhasil dan berjalan
dengan lancar
Madunnibawi oro , mabalibawi
wewe
Kami sudah pulang mengikuti bekas jalan, kami sudah kembali mengikuti
jejak
Kami sudah kembali dengan mengikuti jalan yang perna kami lewati
Makolebawi wawi apa ulle , madekeba kedu
Kami sudah mendapatkan babi yang bertaring, kami sudah mengambil kera
yang
apadari
berjenggot
Kami sudah mendapatkan kayu yang berkualitas dan berteras, kami sudah
mengambil tali yang kuat
dakaboka kama binna, dakaraga kama lara
Janganlah menutupkan kami pintu, janganlah memalang kayu kami di jalan
Bukakanlah kami pintu, lapangkanlah kami jalan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Darapakalogama , tenapamagawama
Agar kami seperti kuda yang bebas, agar kami seperti sampan yang leluasa
Agar kami diberikan kebebasan dan keleluasaan
Tau…….
Jawablah
Jawablah
Konteks:
Data ini merupakan bagian dari data tradisi lisan dalam ritual Oka pada tahap
bahan material bangunan hendak memasuki kampung. Tuturan lisan ini
dituturkan oleh Rato Marapu yang mewakili rombongan yang membawa
material bangunan tersebut. Ritual Oka itu dilakukan di depan pintu masuk
kampung. Tujuan pelaksanaan ritual ini adalah untuk menanyakan dan
menyelidiki rombongan yang hendak memasuki kampung dengan membawa
material bangunan tersebut.
5. DATA: N2/ESK5
Kokalangge baku padedekowa na’i pari’i,
Esok jika saya mendirikan itu tiang,
baku padedekowa na’i wasu a gasu
jika saya mendirikan itu kayu yang sebatang
Esok jika saya mendirikan tiang, jika saya mendirikan sebatang kayu
Daraikaga windararawiti , tunduraradeida
Janganlah membuat tangan terhalang, kaki terantuk
Agar tidak terdapat halangan dan rintangan
Banna rengekowaganame ole dou kareka, ole watte tau
omagu
Apabila dia dengar itu teman penghuni gubuk, teman batas bekerja
kebun
Apabila teman penghuni gubuk mendengar, teman batas berkebun
Apabila teman penghuni gubuk dan tetangga kebun saya mendengar
Na’i na langilirabaga
Di sana dia akan jadikan bahan pergunjingan
hinnako danna manoto, danna mawennake
Berarti tidak sesuai, tidak mengena
Dia akan menjadikan bahan pergunjingan
Dia akan mengatakan bahwa yang diperbuatnya tidak pantas dan tidak sesuai
Ne’enyawe kanna windararawiti , kanna tunduraradeida
Itulah sebabnya sehingga tangannya terhalang, kakinya terantuk
Itulah yang menyebabkan sehingga dia mendapatkan halangan dan rintangan
Indaki. Gegela’agu yowa balummudona
Tidak. Kemana saya jika engkau mengatakan demikian
you ina kaweda, ama kaweda
engkau nenek, kakek
Tidak. Saya akan selalu menyertai kalian, jika nenek moyang berkata
demikian
Newe danna lummukelewa , danna muddakemaddala
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ini bukan hal yang mudah, bukan hal yang gampang
Ini bukanlah hal yang mudah, bukanlah hal yang gampang
Nebahinna pakakoga kindola , paleraga kikipa
Saat ini jalankanlah yang baik, terbangkanlah yang lurus
Yang bengkok luruskanlah, yang tidak baik jadikanlah baik
Yakoga wee maringi loko,
Berikanlah saya air dingin kali,
Berikanlah saya air kali yang dingin
Yakoga wee magobba paba
berikanlah saya air sejuk sawah
berikanlah saya air sawah yang sejuk
Berikanlah kami rahmat dan berkat yang berlimpah
ga’inagu kokalangge kanna togola manairo , kanna mawellita mawana
Agar esok agar berhasil menyiangi, agar rampung anyaman
Agar proses pendirian tiang pada keesokan harinya dapat berhasil dan dapat
berjalan dengan lancar
Konteks:
Data ini merupakan bagian dari data tradisi lisan pada tahap Saiso sebelum
pendirian tiang. Masyarakat Wewewa pada umumnya dan Kabizu Beijello
khususnya mempunyai tradisi bahwa beberapa hari sebelum pendirian tiang
beberapa Rato Marapu dan keluarga besar Kabizu Beijello mengadakan ritual
Urrata dan Saiso untuk memohon khidmat, berkat dan rahmat kepada
Marapu agar proses pendirian tiang dapat berjalan dengan lancar. Ritual
Urrata dan Saiso ini diikuti oleh keluarga besar Kabizu Beijello dan
handaitulan Kabizu Beijello.
6. DATA: O2/ESK6
Koka baku botikowe wellibodolangge,
Esok pada saat saya memuat bagian atas,
Baku babado welli bawa
karena saya sudah menyelesaikan bagian bawah
Esok pada saat saya membuat loteng rumah
Kapamenderadandi kapouta , katopo,
Agar kalian memegang kuat-kuat ikat kepala, parang,
kalaboda ata pennenanno .
ikat pinggang dari orang yang memanjat loteng
Agar nenek moyang memegang kapotu, kalabo dan katopo dari orang-orang
yang membuat loteng rumah
Duwolokagandi windararawiti , tunduraradeida
Janganlah membuat tangan terhalang, kaki terantuk
Jauhkanlah halangan dan rintangan
Lakkawa’ikunamme adirakapababa touna , aakitapaleira wekkina
Kendatipun ada yang beraib tubuhnya, berdosa badannya
Kendatipun ada yang memiliki aib dan dosa
Du kettekageole, du pagukawi pangngu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Janganlah ikat bersama, jangan simpul bergandeng
Janganlah engkau melibatkannya dengan kami
Danna muddake madda, danna lummuke lewa nanno
Ini bukanlah hal yang mudah, ini bukanlah hal yang gampang
Ini bukanlah hal yang mudah, ini bukanlah hal yang gampang
Noddo wabbona, toroge tunggana
Peganglah bagianmu yang pemali , peganglah bagianmu yang pahit
Jagalah tempat-tempat yang sakral
Konteks:
Data ini merupakan bagian dari data tradisi lisan pada tahap Saiso sebelum
membuat loteng rumah. Data tradisi lisan tersebut dituturkan oleh Ata Urrata
dalam ritual Urrata. Data tradisi lisan ini merupakan doa kepada nenek
moyang. Dalam doa itu, masyarakat Kabizu Beijello memohon khidmat,
keselamatan, pengampunan dan keberhasilan kepada nenek moyang.
7. DATA: P1/ESK7
Natogola manairo bage, namawellita mawana bage
Sudah berhasil menyiangi sudah rampung anyaman
Saat ini proses pembuatan rumah telah selesai dan berjalan dengan lancer
Kutapoma urra, katapoma loddo
Payung pelindung dari hujan, payung pelindung dari matahari
Rumah yang mampu memberikan perlindungan, kedamaian dan persatuan
Nebahinna kapande yemmi ina kaweda , ama kaweda.
Saat ini agar mengetahui kalian ibu tua (nenek), bapak tua (kakek)
Saat ini agar nenek dan kakek mengetahui
Saat ini agar nenek moyang mengetahui
Akatongapabeikage , akoropapalage
Yang memiliki tempat tidur ini, yang memiliki kamar ini
Sebagai pemilik rumah ini
Neti aneena dita wee, powi api
Ini yang tinggal di timba air, tiup api
Yang tinggal di rumah besar ini
Banebahinna napawe’e kaka, ingi kakaba
Saat ini sarungnya sudah putih, kainnya sudah putih
Saat ini rumah besar ini sudah baru
Nabo’uba kelerre , kakaraba ngaingo
Sudah mudah tali sudah cerah alang
Alang dan talinya sudah baru
Kadillitaba katonga , kakaraba kawedobawe
sudah mengkilap balai-balai sudah cerah tirisan air
Balai-balai dan tirisan air sudah baru
Kapandege nebahinna ne umamibalunggukumi,
Agar kalian mengetahui saat ini, ini rumah kalian
ne katangomibalunggukumi
ini balai-balai kalian
Agar kalian mengetahui bahwa inilah rumah dan balai-balai kalian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Tadapadoudou-padoudoumi
Tandalah tempat kalian masing-masing
Tandalah tempat kalian masing-masing
Manu tadakowe rabemu , wawi dukkikuwi rabamu
Ayam tandalah tempatmu, babi tandalah tempat makanmu
Ayam, babi tandalah tempatmu
Karambo tadakowe okamu , dara tadako gollumu
Kerbau tandalah kandangmu, kuda tandalah kandangmu
Kerbau, kuda tandalah kandangmu
Pawasse padoum u, pamatto padoumu
Anak mantu tanda tempatmu, Ibu mertua tandalah tempatmu
Anak mantu, ibu mertua tandalah tempatmu
8. DATA: Q1/ESK8
Nebahinna limmabage bamma wologe kira,
Di sini kami sudah membicarakan kami sudah membuat janji,
bamma raige dadi
kami sudah membuat kesepakatan
Di sini kami telah membicarakan, menyepakati, dan berjanji
Nemme pittu dou , pittu wulla, pittu loddo, ga’inagu kaenga wou
Nanti, tujuh tahun, tujuh bulan, tujuh hari, agar tetap engkau
Agar Engkau mengetahui bahwa nanti setelah tujuh tahun, tujuh bulan, tujuh
hari kami akan melaksanakan syukuran
Hetti yamme kaina kanna tutuke bama kako paelleta tollu,
Agar kami juga mempunyai cukup waktu untuk kami pergi mencari telur,
kanna tutuke bama elleta manu.
agar cukup waktunya kami mencari ayam
Agar kami mempunyai waktu yang cukup untuk bekerja keras
Newe wolama wekkima , pasassama touma
Di sini kami mengikuti tubuh kami, kami menuruti badan kami
Di sini kami tidak mempunyai apa-apa
Banebahinnage bama kako hitti ,
Sehingga dengan demikian jika kami pulang ke sana,
hatti a neena omadana
itu yang berada di kebun
Sehingga dengan demikian, jika kami pulang, terutama semua keluarga yang
berasal dari rumah kecil
A neena liri kedu, liri wawi bana kako hitti
Yang berada di pinggir kera, di pinggir babi, jika dia pulang ke sana
Apabila keluarga rumah kecil, baik yang berada di tempat yang paling jauh
maupun yang dekat kembali ke rumah mereka masing-masing
Banna batuku ruta , banna dariku tana
apabila dia mencabut rumput, apabila dia menggaruk tanah
Apabila dia bekerja agar membuahkan hasil
Banna pennikowa manu, kamanuamapennikia
Apabila dia memelihara ayam, agar dapat berkembang biak menjadi banyak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Apabila dia memelihara ayam, agar dapat berkembang biak menjadi banyak
Banna tauku wawi, kawawiamataukia
Apabila dia memelihara babi, agar dapat berkembangbiak dengan baik
Apabila dia memelihara babi, agar dapat berkembangbiak dengan baik
Kanna dadige padadi , kanna timbuge patimbu
Agar tumbuh yang tumbuh, agar hidup yang hidup
Agar bertumbuh dan berkembangbiak dengan baik semua hasil usaha dan
kerja keras
Badukkikogeu nemme bama dukkige kira pawolo ,
Jika sampai nanti kami sampai pada janji yang kami bicarakan,
dadi paraimalage
kesepakatan yang kami buat
Sehingga pada saat kami sampai pada janji yang kami bicarakan dan sepakati
bersama
Kadamma lebakage loge , kadamma toddukadi limmama
Agar kami tidak melepas rambut, agar kami tidak menjunjung tangan kami
Agar kami tidak datang di rumah besar dengan tangan kosong
Konteks:
Data ini merupakan bagian dari data tradisi lisan pada tahap Saiso perjanjian
dengan Marapu. Masyarakat Kabizu Beijello memiliki tradisi memohon
berkat, rahmat, perlindungan dan penyertaan Tuhan sebagai Sang Khalik
melalui perantaraan Marapu. Dalam upacara permohonan berkat ini, biasanya
mereka juga membuat perjanjian dengan Tuhan dan Marapu bahwa apabila
sesuatu yang dimohonkan itu berhasil, maka akan dibuatkan acara syukuran.
Apabila perjanjian ini tidak ditepati diyakini bahwa akan mendatangkan
malapetaka. Perjanjian adat ini dilakukan melalui ritual Urrata dan Saiso.
9. DATA: R1/ESK9
Nebahinna renge you ina kaweda , ama kaweda
Saat ini dengarlah engkau ibu tua (nenek), bapak tua (kakek)
Saat ini, dengarlah nenek moyang kami
Hinnane’e madukkibage heti kira paraima ,
sekarang ini kami telah sampai pada janji yang kami buat,
dadi pawoloma
rencana yang telah kami sepakati
Sekarang ini kami telah sampai pada janji yang kami buat, rencana yang telah
kami sepakati
Ngarakuama newe wollamu karere , uwamu karobbo
Kami semua di sini bunga mentimun, buah labu
Kami semua anak cucumu yang berasal dari rumah besar ini
Nebahinna, ne malelangge
Saat ini, ini malam
Saat ini, malam ini
Rengewu you newe , tatadapadouna
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Dengarlah engkau di sini, tandalah tempat kalian masing-masing
balunggukugu hettiwaina
jika saya mengatakan demikian pada waktu itu
Dengarlah engkau di sini, jika pada waktu itu saya meminta kalian untuk
menanda tempat kalian masing-masing
Nebahinna wa’ikuabana heti a wali liri kedu,
Saat ini, kami sudah berkumpul semua baik yang berasal dari pinggir kera,
liri wawi
pinggir babi
Saat ini kami semua telah berkumpul di sini baik yang berasal dari rumah-
rumah kecil.
Gola Mali Ege, Tako Mali Deta
Yang berasal dari Gola Mali Ege, Tako Mali Deta
Lappata nawa dita we’e, a poi api
Dan juga kami di sini yang menimba air , yang meniup api
Dan juga kami di sini yang mendiami rumah besar ini
Wa’ikuawabama , da’ibana lera eka bei,
Kami semua sudah berkumpul, tidak ada lagi yang terbang ke lain ibu,
Kedu eka ana
yang lari ke lain anak
Kami telah bersatu di sini
Banebahinna bamma mattubana mata, bamma tangabana wiwi
Saat ini kami sudah banyak mata, kami sudah bertemu bibir
Kami telah satu hati, satu suara
Madekebage kira , madukkibage ne dadi pawolo
paraima
Kami telah menginjak janji, kami telah sampai pada rencana yang telah kami
buat
Kami telah menepati janji yang telah kami buat dan rencanakan
Ngaradukkama yamme newe aummage ne umma,
Semua kami di sini yang memiliki ini rumah,
akatongage ne katonga
yang memiliki ini balai-balai
Kami semua sebagai pemilik balai-balai dan rumah besar ini
Kapandege , hetti damma toddukidi limmama ,
Agar kalian mengetahui, ini kami tidak menjunjung tangan kami,
damma lebakige logema
kami tidak melepas rambut kami
Agar kalian mengetahui bahwa kami tidak datang dengan tangan kosong
Manakabana manu, matewelabana yasa newe
Kami telah membawa ayam, kami telah menenteng beras di sini
Kami telah membawa ayam dan beras di sini
Nebahinnawe banna kakarabadowe ngaingo,
Saat ini, karena sudah baru alang,
banna bo’ubadowe kalerre balimakugulangge
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
karena sudah muda tali jika kami mengatakan kepadamu
Saat ini rumahmu sudah baru
Ne umamu , ne katongamu
Di sini rumahmu, di sini balai-balaimu
Di sini rumahmu dan balai-balaimu
Ne koropabeikamu, ne koropapalamu
Di sini kamar tidurmu, di sini bilikmu
Di sini kamar tidurmu, di sini bilikmu
Na’i wawi a bolo, na’i karambo a ia terewi
itu babi yang satu , itu kerbau yang satu peganglah
Peganglah babi dan kerbau itu
Kanga’apangaa , we’epaenuwi
Agar menjadi makanan, agar menjadi minuman kalian
Agar menjadi makanan dan minuman kalian
Kadaouwaige neumamu,
Agar kamu gunakan untuk menempati rumah ini,
katerewaige nekatongamu
agar kamu gunakan untuk menduduki balai-balai ini
Agar nenek moyang gunakan untuk menempati dan menjaga rumah ini.
Konteks:
Data ini merupakan data tradisi lisan pada ritual Saiso peresmian rumah
besar. Data tradisi lisan ini dinyanyikan oleh Ata Saiso. Dalam nyanyian itu,
Ata Saiso menyampaikan kepada Marapu bahwa masyarakat Kabizu Beijello
telah menepati janji adat untuk melakukan syukuran peresmian rumah besar.
Selain itu, disampaikan juga kepada Marapu bahwa masyarakat Kabizu
Beijello telah menyatakan persatuan dan solidaritas.
III. BAHASA ADA DALAM EKOLOGI KOGNITIF
1. DATA: F2/ESK1
Peidawe newe akarewe ebana, a karawu logena?
Kita mengapakan ini yang lapuk pinggangnya, yang berantakan rambutnya
Kita mengapakan badan rumah nenek moyang kita yang sudah lapuk kayunya
dan rusak atapnya?
Newe ina, newe ama
Ini ibu, ini bapak
Ini rumah nenek moyang kita
Tuta pamawo loddo , kada pamawo urra
Payung pelindung matahari, payung pelindung hujan
Rumah yang mampu memberikan perlindungan, kenyamanan, sebagai tempat
persatuan dan perdamaian
Gainagu kanuarage, karawipi’age lungguwaga
Agar dibongkar, agar dibuat ulang saya bilang
Saya berpikir agar segera dibongkar dan direnovasi ulang
Konteks:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Data ini merupakan bagian dari tradisi lisan pada tahap musyawarah satu
keluarga besar Kabizu Beijello di rumah besar (rumah adat). Data tersebut
dituturkan oleh tetua adat yang menjaga rumah besar. Tetua adat itu
merupakan pemimpin klan Beijello. Musyawarah yang diadakan di rumah
besar ini merupakan musyawarah terakhir sebagai penentu keputusan dan
sekaligus pembagian tugas pembangunan rumah besar. Musyawarah ini
diikuti oleh tetua adat rumah besar, tetua-tetua adat rumah kecil dan anggota-
anggota Kabizu Beijello yang mempunyai pemikiran yang luas, cakap, berani
dan berjiwa kepemimpinan.
2. DATA: N1/ESK2
Waikobatallawi indatallaki ,
Walaupun kelihatannya ini gong tapi bukan gong,
waikobabeduwi indabeduki
walaupun kelihatannya ini tambur tapi bukan tambur
Walaupun kelihatannya ini gong tapi bukan gong, walaupun kelihatannya ini
tambur tapi bukan tambur
Li’ikawulagundi , li’ikaaulagundi
Mereka adalah suara yang memanggil Mereka adalah suara yang mengundang
Tapi ini adalah suara yang memanggil dan mengundang seluruh keluarga besar
dan kerabat
Konteks:
Data ini merupakan bagian dari data tradisi lisan pada tahap Saiso sebelum
pendirian tiang. Data tradisi lisan tersebut merupakan doa yang dituturkan oleh
Ata Saiso. Dalam doa itu, Ata Saiso memohon kepada Marapu agar
dianugerahi perlindungan, keselamatan, dan berkat sehingga proses
pembangunan tiang dapat berjalan lancar dan sukses. Selain sebagai doa, bunyi
gong dan tambur dimaknai sebagai suara nenek moyang yang mengundang
anggota Kabizu untuk menyatakan dukungan dan solidaritas.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
GLOSS CERMAT DAN GLOSS LANCAR SUMBER DATA PRIMER
PENELITIAN BERJUDUL:
“TRADISI LISAN DALAM UPACARA PADEDE UMA KALADA
SEBAGAI MANIFESTASI JATI DIRI MASYARAKAT KABIZU
BEIJELLO:
KAJIAN EKOLINGUISTIK METAFORIS”
Oleh: Yuliana Sesi Bitu
Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Magister
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sanata Dharma
A. Tuturan Lisan pada Tahap Pemberitahuan Kepada Tetua Adat
Uma Kii (rumah kecil) (Kode A)
Nyado nebahinna ne’e ole bawaikoga , maida neti tidi
Baik sekarang ini kawan jika saya ada, saya datang di sini di
samping
barrami neti oma dana.
dekat kalian di kebun
Baik, jika saat ini saya berada di sini, di rumah kecil ini.
Neti dari tana, batu ruta.
Ini garuk tanah, cabut rumput
Di sini di rumah kecil.
Nemme nakarewe ebana, nakarawuwe logena.
Di sana dia lapuk pinggangnya, dia berantakan rambutnya
Ini terkait badan rumah nenek moyang kita yang sudah lapuk kayunya,
rusak atapnya.
Nemme ina, ama.
Itu ibu, bapak
Rumah nenek moyang kita.
Tuta pomawo loddo, kada pomawo urra.
payung pelindung hujan, payung pelindung hujan
Rumah yang dapat memberikan kenyamanan, perlindungan, yang dapat
mempersatukan dan mendamaikan
Nyawe neti kaku toma tidi , dukki barrami.
Makanya ini saya sampai di samping, sampai di dekat kalian
Inilah sebabnya sehingga saya boleh berada di sini
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
B. Tuturan Lisan Tanggapan Tetua Adat Uma Kii (rumah kecil) pada
Tahap Pemberitahuan Kepada Tetua Adat Uma Kii (rumah kecil)
(Kode B)
Banna kareweko ebana , banna karawuko logena
Jika dia lapuk pinggangnya, jika dia berantakan rambutnya
Jika rumah nenek moyang sudah lapuk pinggangnya, sudah rusak
atapnya.
Ne ina, ne ama
Ini ibu, ini bapak
Ini rumah nenek moyang
Unggula dukka kikkuna , wadora dukka ngorana
Kumpulkan batas ekornya, himpun batas mulutnya
Kumpulkan dan Himpunlah seluruh keluarga dari yang paling jauh
sampai yang
paling dekat.
Unggula a matomba, wadora a maupa
Kumpulkan yang liar, rangkul yang jinak
Himpunlah keluarga yang menjauh, rangkul keluarga yang mendekat.
Kanna mattu mata, kanna tanga wiwi
Agar banyak mata, agar bertemu bibir
Agar kita melihat dan membicarakan secara bersama-sama.
Katta worona panewe, katta kaddona kadauka
Agar kita berbicara bersama-sama, Agar kita berpikir bersama-sama
Agar kita membicarakan dan memikirkan secara bersama-sama
C. Tuturan Lisan pada Tahap Musyawarah di Uma Kii (Rumah Kecil)
(Kode C)
Neti ngarakuana baku angunguamigi
Ini semuanya sebagai saudara laki-laki saya
Semuanya sebagai saudara laki-laki saya.
Baku amamigi, baku anamigi
Sebagai bapak saya, sebagai anak saya
Sebagai bapak saya dan sebagai anak saya.
Baku allikamigi, baku kaamigi
Sebagai adik saya, sebagai kakak saya
Sebagai adik dan kakak saya.
Ba nebahinna batta pakuana, batta pakassana
Jika saat ini kita berkumpul, jika kita banyak
Jika saat ini kita berkumpul di sini.
Ne umana ina, umana ama
Di rumahnya Ibu, rumahnya Bapak
Di rumah leluhur kita.
Nebahinna batta bumbuge rawa, batta maruga mata
Saat ini jika kita berkumpul burung merpati, jika kita banyak mata
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Jika kita berkumpul dan berhimpun di sini.
Tubanawe umana ina, umana ama
Ini terkait rumahnya ibu, rumahnya bapak
Ini terkait dengan rumah leluhur kita.
Peidawe?
Kita mengapakan?
Kita mengapakan?
D. Tuturan Lisan Tanggapan Keluarga Besar Uma Kii (Rumah Kecil)
pada Tahap Musyawarah di Rumah Kecil (Kode D)
Balummubadoge you ina, amama
Jika engkau sudah mengatakan demikian engkau ibu bapak kami
Jika engkau sebagai ibu, bapak kami sudah mengatakan demikian.
Dakku negobanna pakai , dakku kababage pasilli,
Saya tidak menari menghindar, saya tidak ronggeng mengelak,
Jika engkau mengatakan saya tidak menghindar dan mengelak.
Balummubadoge you
Jika engkau sudah mengatakan demikian engkau
Jika engkau sudah mengatakan demikian
Neti yamme ane’ena dari tana, batu ruta
Ini kami yang tinggal garuk tanah, cabut rumput
Kami di sini yang berasal dari rumah kecil.
Neti yamme madara padeku, ama bongga pamane
Ini kami kuda penurut, kami anjing pengikut
Kami hormati keputusan ini dan siap menjalankan amanat ini.
Damma negokaibage pasilli , damma
kabakaibage pakai
Kami juga tidak menari menghindar, kami juga tidak ronggeng
mengelak
Kami juga tidak menghindar, kami juga tidak mengelak.
E. Data Tradisi Lisan dalam ritual Urrata Setelah Pengangkatan Ikrar
di Uma Kii (Kode E)
Nennati yasa, neida pamama
Itu beras, ini sirih pinang
Itu beras, ini sirih pinang
Deibapo yo’u ina, yo’u amama
Terimalah engkau ibu, engkau bapak kami
Terimalah kalian nenek moyang kami
Newe limmabage, bamma woroge pu’una ,
Di sini kami sudah kami membicarakan pangkalnya,
bamma kaddoge lawina
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kami sudah pikirkan ujungnya
Di sini kami sudah membicarakan dan memikirkan secara bersama-sama
A bu’u uma kalada, newe ata uma kii
Yang satu buah rumah besar, di sini orang rumah kecil
Kami yang berasal dari satu keluarga besar dari rumah kecil
Apa angunguana , apa amana
yang sebagai saudara laki-laki, yang sebagai bapak
Kami yang bersaudara laki-laki, kami sebagai bapak
Apa allina, apa ka’ana
Yang sebagai adik, yang sebagai kakak
Kami sebagai adik dan sebagai kakak
Nebahinna, damma negobage pakai , damma kababage
pasilli
Saat ini kami tidak menari menghindar, kami tidak ronggeng
mengelak
Saat ini kami tidak menghindar, kami tidak mengelak
Nemme loddopoddu nya bamma kako dobba uma kalada
Nanti hari Minggu waktunya kami pergi semua rumah besar
Hari minggu adalah waktunya kami ke rumah besar
Nya bamma lolungo malawo, bamma biringo tawewe
Waktunya kami berkelompok tikus, kami beriringan ayam
hutan
Waktunya kami beriringan dan berkumpul di rumah besar
Kapandege yemmi ina kaweda, ama kaweda
Agar kalian mengetahui kalian nenek , kakek
Agar nenek dan kakek mengetahui
Hinnabawe balimmikumi , na’i manu bowa kahinna
Demikianlah sudah jika kalian mengatakan, itu ayam supaya tandanya
menerima
Jika kalian mengatakan bahwa demikianlah sudah, berikanlah petunjuk
baik melalui ayam itu
Tau…..
Jawablah
Jawablah
F. Tuturan Lisan pada Tahap Pertemuan Satu Keluarga Besar Kabizu
Beijello di Rumah Besar (Kode F)
Nebahinna batta mattu banna mata, batta tanga banna wiwi
Saat ini, kita sudah banyak mata, kita sudah bertemu bibir
Saat ini kita sudah berkumpul dan berhimpun di sini
A wali Gola Mali Ege, Tako Mali Deta
Yang berasal dari Gola Mali Ege, Tako Mali Deta
Yang berasal dari Gola Mali Ege, Tako Mali Deta
Nemme a wali niri kedu, liri wawi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Dari sana yang berasal dari pingggir kera, pinggir babi
Baik yang berasal tempat yang jauh maupun dekat
Lappata yamme newe a dita wee, a poi api
Serta kami di sini yang timbah air, yang tiup api
Serta kami di sini yang menghuni rumah besar ini
Peidawe newe akarewe ebana, a karawu
logena?
Kita mengapakan ini yang lapuk pinggangnya, yang berantakan
rambutnya
Kita mengapakan badan rumah nenek moyang kita yang sudah lapuk
kayunya dan rusak atapnya?
Newe ina, newe ama
Ini ibu, ini bapak
Ini rumah nenek moyang kita
Tuta pamawo loddo , kada pamawo urra
Payung pelindung matahari, payung pelindung hujan
Rumah yang mampu memberikan perlindungan, kenyamanan, sebagai
tempat persatuan dan perdamaian
Gainagu kanuarage, karawipi’age lungguwaga
Agar dibongkar, agar dibuat ulang saya bilang
Saya berpikir agar segera dibongkar dan direnovasi ulang
Nebahinna katta bumbuge rawa , katta mattuge mata
Saat ini agar kita berkumpul burung merpati, agar kita banyak mata
Sekarang agar kita melihat dan membicarakan secara bersama-sama
Kada’ikana a lera eka bei, a kedu eka ana
Agar tidak ada yang terbang lain ibu, yang lari lain anak
Agar kita selalu membina semangat persatuan
Katta pasamana ate, katta pamerana wiwi.
Agar kita menyamakan hati, agar kita memerahkan bibir
Agar kita selalu satu hati, satu suara
G. Tuturan Lisan pada saat Pembagian Sirih Pinang pada Tahap
Pertemuan Satu Keluarga Besar Kabizu Beijello di Rumah Besar
(Kode G)
Nebahinna, nennati mama ole
Saat ini, ini sirih pinang kawan
Terimalah sirih pinang ini.
Mandungo katanga, kettera kaleba
Pegang kuat kendali, eratkan ikat pinggang
Peganglah kuat-kuat keputusan dan janji yang telah disepakati bersama.
Tana dadikki , watu dangero
Tanah yang tidak berpindah, batu yang tidak bergeser
Keputusan dan janji yang tidak akan berubah.
Nemme kanna marage tana, kanna moddu kaporota
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Nanti supaya kering tanah, supaya tua sidagura
Nanti pada musim kemarau saatnya kita membangun.
H. Tuturan Lisan Urrata Setelah Kesepakatan di Rumah Besar pada
Tahap Pertemuan Satu Keluarga Besar Kabizu Beijello di Rumah
Besar (Kode H)
Nennati yasa, neida pamama
Itu beras, ini sirih pinang
Itu beras dan ini sirih pinang
Deibapo yemmi ina, yemmi ama
terimalah kalian ibu, kalian bapak
Terimalah kalian nenek moyang kami
Nebahinna maworobage pu’una , makaddobage
lawina
Saat ini kami sudah membicarakan pangkalnya, kami sudah
memikirkan ujungnya
Saat ini kami sudah membicarakan dan memikirkan secara bersama-
sama
Da’ibana lera eka bei, daibana kedu eka ana
Tidak ada lagi yang terbang lain ibu, tidak ada lagi yang lari lain anak
Kami sudah menyatukan pikiran dan pembicaraan
Ngarakuami wollami karere , uwami karobbo
Kalian semua bunga mentimun, buah labu
Kalian semua marapu (arwah-arwah yang telah meninggal) kami
Nebahinna kapandege hettibama kalola wawi,
amagesowa kedu
Saat ini, agar kalian mengetahui kami pergi sudah berburu babi
mengejar kera
Saat ini, agar kalian mengetahui bahwa kami hendak pergi mencari kayu
dan tali.
Babamma kalolakowa wawi, kamma kolekina wawi a
paulle
Jika nanti kami berburu babi, agar kami mendapatkan babi yang
bertaring
Pada saat kami mencari kayu, agar kami menemukan kayu yang
berkualitas dan berteras.
Babamma magesokowa kedu, kamma kolekina kedu a padari
Jika nanti kami mengejar kera, agar kami mendapatkan kera yang
berjenggot
Pada saat kami mencari tali, agar kami mendapatkan tali yang kuat.
Hitti kadaikana windararawiti, Tunduraradeida
Agar tidak ada jari terhalang, kaki terantuk
Agar tidak terdapat halangan dan rintangan.
Yakima kanuru, kanengga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Berikanlah kami hikmat kebijaksanaan
Berilah kami hikmat dan kebijaksanaan.
Kanengga bara wa’i, kanuru bara limma
Kebijaksanaan dekat kaki hikmat dekat tangan
Kebijaksanaan pada saat melangkah, hikmat pada saat menebang pohon
dan memotong tali.
Hitti katippakimawi loddo bani, urra bani
Agar engkau tepiskan kami matahari marah, hujan marah
Jauhkanlah kami dari marabahaya dan malapetaka.
Ne’e padou wawi a paulle, kedu a padari
Di sana tempat babi yang bertaring, kera yang berjenggot.
Di hutan tempat kami menebang pohon yang berteras, tempat
memotong tali yang kuat.
Ne’e Gola Mali Ege, Tako Mali Deta
Di sana Gola Mali Ege Tako Mali Deta
Di sana di Gola Mali Ege, Tako Mali Deta.
Ne’e Djoka Billa Aido, Lolo Alle Moro
Di sana Djoka Billa Aido Lolo Alle Moro
Di Djoka Billa Aido, Lolo Alle Moro.
Hinnabawi balimmi badona
Demikianlah sudah jika kalian mengatakan
yemmi ina, yemmi ama
Jika nenek moyang mengatakan bahwa demikianlah sudah
Na,i manu bowakahinna
Itu ayam supaya tandanya menerima
Berilah petunjuk yang baik melalui ayam itu.
Tau……
Jawablah
Jawablah
I. Tuturan Lisan pada Tahap Urrata di Uma Kalada pada Malam
Sebelum Pergi Menebang Kayu dan Memotong Tali di Hutan (Kode
I)
Kaletekowama towo, kasongakowama bale
Tungganglah kami kepala, peluklah kami badan
Tungganglah kepala kami, peluklah badan kami
Lindungilah kami
Kopora kaduango, gollu pamamanno
Tutup bungkus, kandang kami yang aman
Tutup bungkus, kandangkanlah kami yang aman
Tutup bungkuslah kami agar kami selalu merasa aman
Yako mangewala mata, kayalo wekki
Berilah terang mata, ringan badan
Berilah kami kesehatan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Pawessidakkota bani ate, bani wiwi
Kekuatan marah hati, marah bibir
Berilah kami kekuatan dan keberanian
Baaroni ina mori loda, ama mori pada
Pada saat berhadapan dengan ibu pemilik hutan, bapak pemilik padang
Pada saat kami berhadapan dengan ibu pemilik hutan dan bapak pemilik
padang
Ina pepa , ama mawo
Ibu pelindung, bapak penjaga
Roh-roh yang melindungi hutan
J. Tuturan Lisan pada Ritual Urrata pada Tahap Penebangan Pohon
dan Pemotongan Tali di Hutan (Kode J)
Nenna rengepo you ina mori loda, ama mori pada
Itu dengarlah engkau ibu pemilik hutan, bapak pemilik padang
Dengarlah dewa pemilik hutan dan pemilik padang
Ina mori loko, ama mangu tana
Ibu pemilik kali, bapak pemilik tanah
Dewa pemilik kali dan pemilik tanah
Nebahinna bawa’ikoma tidi waimaneramu, djongawailapalemu
Saat ini jika kami ada di dekatmu, di sampingmu
Saat ini jika kami berada di sini
A pogowa wasu agasu , a ratage kalerre alolo
Yang menebang kayu sebatang, yang memotong tali seutas
Yang menebang sebatang kayu, memotong seutas tali
Ka dara pa kaloga ma , ka tena pa magawa
ma
Agar seperti kuda yang bebas kami , agar seperti sampan yang leluasa
kami
Agar kami seperti kuda yang bebas, agar kami seperti sampan yang
leluasa
Agar kami diberi kebebasan dan keleluasaan
Dappalaka kama karingge, dappa lodakama kalerre
Janganlah palang kayu, janganlah menarik tali
Janganlah menghalangi kami
Karewena ebana , karawuna logena
Dia lapuk pinggangnya, dia berantakan rambutnya
Ini karena badan rumah nenek moyang kami sudah lapuk kayunya dan
rusak atapnya
Tuta poma loddo, kada poma urra
Payung pelindung dari matahari, payung pelindung dari hujan
Rumah yang melindungi kami dari panasnya matahari dan hujan
Nebahinna hidda marata anamanu, kamidda ana omma
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Saat ini terimalah kurban anak ayam, persembahan anak emas
Terimalah kurban anak ayam dan persembahan uang perak ini
Katidi waimanerandi, kajonga wailapalendi
Agar berada di dekat kalian, agar berada di samping kalian
Agar selalu berada bersama-sama dengan kalian
Newe mandoke toramu a erri , mandokiwe tunggamu a
poddu
Di sini, peganglah bagianmu yang pemali, genggamlah milikmu yang
sacral
Awasilah tempat yang pemali dan sakral agar orang leluasa bergerak
Newe bamma kalolakowa wawi, kamma kolekina wawi apa
ulle
Di sini jika kami berburu babi, agar kami mendapatkan babi yang
bertaring
Sehingga, pada saat kami menebang pohon, kami mendapat pohon yang
berkualitas dan berteras
Bamma gesakowa kedu, kamma kolekina kedu apa dari
Jika kami mengejar kera, agar kami mendapatkan kera yang
berjenggot
Sehingga pada saat kami memotong tali kami mendapatkan tali yang
kuat
Kada’ikana windararawiti, tunduraradeida
Agar tidak ada jari terhalang, kaki terantuk
Agar tidak ada halangan dan rintangan
K. Tuturan Lisan pada Tahap Saiso Pengucapan Syukur Atas
Keberhasilan Penebangan Kayu dan Pemotongan Tali di Hutan
(Kode K)
Natogola manairo bage, namawellita mawana bage
Sudah berhasil menyiangi sudah rampung anyaman
Proses penebangan kayu dan pemotongan tali telah selesai dan berjalan
dengan lancar
Pakameme dengi ramegu, pawawi dengi
pa’ugu
Yang saya minta seperti kambing meminta daun, seperti babi
meminta dedak
Yang saya minta dan mohonkan
Pakaleika milla mata, balabadde widdu
keda
Yang merupakan seruan miskin mata, yang merupakan jeritan kempis
pinggang
Yang merupakan seruan dan dambaan
Pakareba ti’a, pamaro’u bukku
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Yang menjadi kelaparan perut, yang menjadi kehausan leher
Yang menjadi kelaparan, yang menjadi kehausan
Yang menjadi impian dan harapan
Nabonnu wogo dara, na nudu wullu manu
Telah penuh punuk kuda, dia ikut bulu ayam
Telah berakhir dan berjalan dengan lancar
Nebahinnage lagei ladde , woki kako
Saat ini angkat langkah, ayun kaki
Saat ini, kami hendak berjalan pulang
Kamma toma uma, kamma dukkikoge katonga
Agar kami sampai di rumah, agar kami sampai di balai-balai
Agar kami tiba di balai-balai dan di rumah dengan selamat
Illakona poddu tillu tana, illakona balaingo maredda
Hilangkanlah ancaman di tengah tanah, hilangkanlah musibah di
padang
Jauhkanlah ancaman dan musibah dalam perjalanan
Kanna mangewala mata, kanna kayalo wekki
Agar terang mata, agar ringan badan
Agar kami diberi kesehatan
Dukki bara ina, toma bara ama
Sampai dekat ibu, sampai dekat bapak
Sehingga kami boleh sampai di rumah besar kami dengan selamat
L. Tuturan Lisan pada Tahap Ritual Oka (Kode L)
Penanya:
Djooooo appaatawu nemme a lollungo malawo mangu ana,
Hallo, siapakah kamu di sana yang beriringan bagai tikus membawa
anak
Abiringo tawewe mangu tollu
yang berkelompok bagai ayam hutan membawa telur
Hallo, siapakah kamu yang datang beriring-iringan, yang berbondong-
bondong?
Akangira dara kodi, akabara bongga
dawa
Yang meringkik bagaikan kuda Kodi, yang menyalak bagaikan anjing
Jawa
Yang datang dengan pakallaka (ringkikan) dan payawau (teriakan)
Ne’e kabu gollugu , ne’e kabu aturagu
Di bawah kandang saya, di bawah pagar batu
Di sebelah perkampungan saya
Ne tabali binna mone, pu’u kawango dassa
Di sebelah pintu jantan, di pohon waru indah
Di pintu gerbang saya, di perkampungan yang indah
Kedu mai pawunnumi?, Wawi mai pangassami?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Kera datang marah kalian? Babi datang mengamuk kalian?
Apakah kalian kera yang datang marah, babi yang datang mengamuk?
Apakah kalian adalah musuh yang datang mengamuk?
Balewaga panewe , nongawaga kadauka
Jawab pembicaraan, imbali perkataan saya
Jawablah pembicaraan dan perkataan saya
Malla…..
Jawablah
Jawablah
Penjawab:
Djoooo hiddi pakadimu koko, pasosimi
ate
Baiklah, itu yang engkau tanyakan melalui leher, yang engkau selidiki
melalui hati
Baiklah, itu yang engkau pertanyakan dan engkau selidiki
Yowa dona ata papawede , allikapapatukami
Saya sudah orang yang disuruh, adik yang diperintah
Sayalah orang yang disuruh, adik yang diperintah
Papawede pidupata , papalewa gidugoda
Yang diperintah ke sana ke mari, yang disuruh ke tempat yang jauh dan
dekat
Yang diperintah ke sana ke mari, yang disuruh ke tempat yang jauh dan
dekat
Hitti papatukamu kalola wawi, hatti papawedemu
magesa kedu
Itu yang kalian perintahkan berburu babi, itu yang engkau suruh
mengejar kera
Mereka yang kalian perintahkan untuk menebang pohon, yang disuruh
memotong tali
Natogola manairobage, namawellita mawanabage
Sudah berhasil menyiangi , sudah rampung anyaman
Proses penebangan pohon dan pemotongan tali telah berhasil dan
berjalan dengan lancar
Madunnibawi oro , mabalibawi
wewe
Kami sudah pulang mengikuti bekas jalan, kami sudah kembali
mengikuti jejak
Kami sudah kembali dengan mengikuti jalan yang perna kami lewati
Makolebawi wawi apa ulle , madekeba
kedu
Kami sudah mendapatkan babi yang bertaring, kami sudah mengambil
kera yang
apadari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
berjenggot
Kami sudah mendapatkan kayu yang berkualitas dan berteras, kami
sudah mengambil tali yang kuat
dakaboka kama binna, dakaraga kama
lara
Janganlah menutupkan kami pintu, janganlah memalang kayu kami di
jalan
Bukakanlah kami pintu, lapangkanlah kami jalan
Darapakalogama , tenapamagawama
Agar kami seperti kuda yang bebas, agar kami seperti sampan yang
leluasa
Agar kami diberikan kebebasan dan keleluasaan
Tau…….
Jawablah
Jawablah
M. Tuturan Lisan pada Tahap Ritual Saiso Pembongkaran Rumah
(Kode M)
Pamalangiwa inna, paosawa ama
Terimakasih kepada ibu, syukur kepada bapak
Terimakasih dan syukur kepada rumah besar dan leluhur
Ne tuta pamawo loddo , ne kada pamawo urra
Di payung pelindung dari matahari, di payung pelindung dari hujan
Atas rumah yang telah memberikan kenyamanan, perlindungan, yang
mempersatukan dan mendamaikan
Banna yawe wee maringi , banna yawe
Karena dia telah memberikan air dingin, karena dia telah
memberikan
wee malala
air kesejukan
Yang telah memberikan rahmat dan berkat
Dari tana , batu ruta
Garuk tanah, cabut rumput
Bagi rumah-rumah kecil
Penni manu, tau wawi
Memberi makan ayam, memberi makan babi
Sehingga dapat memelihara ayam, memelihara babi
Keni pare oppu watara
Panen padi, petik jagung
Sehingga dapat memanen padi, memetik jagung
N. Tuturan Tahap Ritual Saiso Sebelum Pendirian Tiang (Kode N)
Waikobatallawi indatallaki ,
Walaupun kelihatannya ini gong tapi bukan gong,
waikobabeduwi indabeduki
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
walaupun kelihatannya ini tambur tapi bukan tambur
Walaupun kelihatannya ini gong tapi bukan gong, walaupun
kelihatannya ini tambur tapi bukan tambur
Li’ikawulagundi , li’ikaaulagundi
Mereka adalah suara yang memanggil Mereka adalah suara yang
mengundang
Tapi ini adalah suara yang memanggil dan mengundang seluruh
keluarga besar dan kerabat
Tuta pomawo loddo , kada pomawo urra
Payung pelindung dari matahari, payung pelindung dari hujan
Rumah yang dapat memberikan perlindungan, kedamaian dan
kenyamanan
Karewe ebana , karawuwe logena
Lapuk pinggangnya, berantakan rambutnya
Badan rumah sudah lapuk kayunya, sudah rusak atapnya
Kokalangge baku padedekowa na’i pari’i,
Esok jika saya mendirikan itu tiang,
baku padedekowa na’i wasu a gasu
jika saya mendirikan itu kayu yang sebatang
Esok jika saya mendirikan tiang, jika saya mendirikan sebatang kayu
Daraikaga windararawiti , tunduraradeida
Janganlah membuat tangan terhalang, kaki terantuk
Agar tidak terdapat halangan dan rintangan
Banna rengekowaganame ole dou kareka, ole watte tau
omagu
Apabila dia dengar itu teman penghuni gubuk, teman batas
bekerja kebun
Apabila teman penghuni gubuk mendengar, teman batas
berkebun
Apabila teman penghuni gubuk dan tetangga kebun saya mendengar
Na’i na langilirabaga
Di sana dia akan jadikan bahan pergunjingan
hinnako danna manoto, danna mawennake
Berarti tidak sesuai, tidak mengena
Dia akan menjadikan bahan pergunjingan
Dia akan mengatakan bahwa yang diperbuatnya tidak pantas dan tidak
sesuai
Ne’enyawe kanna windararawiti , kanna tunduraradeida
Itulah sebabnya sehingga tangannya terhalang, kakinya terantuk
Itulah yang menyebabkan sehingga dia mendapatkan halangan dan
rintangan
Indaki. Gegela’agu yowa balummudona
Tidak. Kemana saya jika engkau mengatakan demikian
you ina kaweda, ama kaweda
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
engkau nenek, kakek
Tidak. Saya akan selalu menyertai kalian, jika nenek moyang berkata
demikian
Newe danna lummukelewa , danna muddakemaddala
Ini bukan hal yang mudah, bukan hal yang gampang
Ini bukanlah hal yang mudah, bukanlah hal yang gampang
Nebahinna pakakoga kindola , paleraga kikipa
Saat ini jalankanlah yang baik, terbangkanlah yang lurus
Yang bengkok luruskanlah, yang tidak baik jadikanlah baik
Yakoga wee maringi loko,
Berikanlah saya air dingin kali,
Berikanlah saya air kali yang dingin
Yakoga wee magobba paba
berikanlah saya air sejuk sawah
berikanlah saya air sawah yang sejuk
Berikanlah kami rahmat dan berkat yang berlimpah
ga’inagu kokalangge kanna togola manairo , kanna mawellita
mawana
Agar esok agar berhasil menyiangi, agar rampung
anyaman
Agar proses pendirian tiang pada keesokan harinya dapat berhasil dan
dapat berjalan dengan lancer
O. Tuturan Lisan pada Tahap Saiso Sebelum Membuat Loteng
Rumah
(Kode O)
Nebahinna kapandege you ina, you ama
Saat ini supaya mengetahui engkau ibu, engkau bapak
Saat ini supaya engkau ibu, engkau bapak mengetahui
Saat ini, agar nenek moyang mengetahui
Nadukkiwe na’i labe a belleka, pari’i a kaladana
Sampai kepada dia di sana cincin yang lebar , tiang yang besar
Sampai kepada Sang Khalik yang menciptakan dan menaungi seluruh
umat manusia
A kanga wolla limma, a bokka wolla wa’i
Yang memisah jari tangan, yang membagi jari kaki
Yang memisah jari tangan dan membagi jari kaki
Ina a mawolo , ama a marawi
Ibu yang mencipta, bapak yang menjadikan
Tuhan yang menjadikan dan menciptakan manusia dan seluruh alam
semesta
Adopola tou , a adiwe wekki
Yang membentuk badan, yang memadatkan tubuh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Yang membentuk dan memadatkan badan
Takka nebahinna tekkida ana ullumu, tekkida
Dan sekarang, beritahukanlah kepada ana sulung, beritahukanlah
kepada
ana murri mu
anak bungsumu
Dan sekarang beritahukanlah kepada semua Marapu (semua arwah
yang telah meninggal)
Koka baku botikowe wellibodolangge,
Esok pada saat saya memuat bagian atas,
Baku babado welli bawa
karena saya sudah menyelesaikan bagian bawah
Esok pada saat saya membuat loteng rumah
Kapamenderadandi kapouta , katopo,
Agar kalian memegang kuat-kuat ikat kepala, parang,
kalaboda ata pennenanno .
ikat pinggang dari orang yang memanjat loteng
Agar nenek moyang memegang kapotu, kalabo dan katopo dari orang-
orang yang membuat loteng rumah
Duwolokagandi windararawiti , tunduraradeida
Janganlah membuat tangan terhalang, kaki terantuk
Jauhkanlah halangan dan rintangan
Lakkawa’ikunamme adirakapababa touna , aakitapaleira wekkina
Kendatipun ada yang beraib tubuhnya, berdosa
badannya
Kendatipun ada yang memiliki aib dan dosa
Du kettekageole, du pagukawi pangngu
Janganlah ikat bersama, jangan simpul bergandeng
Janganlah engkau melibatkannya dengan kami
Danna muddake madda, danna lummuke lewa nanno
Ini bukanlah hal yang mudah, ini bukanlah hal yang gampang
Ini bukanlah hal yang mudah, ini bukanlah hal yang gampang
Noddo wabbona, toroge tunggana
Peganglah bagianmu yang pemali , peganglah bagianmu yang pahit
Jagalah tempat-tempat yang sakral
P. Tuturan Lisan pada Tahap Saiso Menempati Rumah Besar (Kode
P)
Natogola manairo bage, namawellita mawana bage
Sudah berhasil menyiangi sudah rampung anyaman
Saat ini proses pembuatan rumah telah selesai dan berjalan dengan
lancer
Kutapoma urra, katapoma loddo
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Payung pelindung dari hujan, payung pelindung dari matahari
Rumah yang mampu memberikan perlindungan, kedamaian dan
persatuan
Nebahinna kapande yemmi ina kaweda , ama kaweda.
Saat ini agar mengetahui kalian ibu tua (nenek), bapak tua (kakek)
Saat ini agar nenek dan kakek mengetahui
Saat ini agar nenek moyang mengetahui
Akatongapabeikage , akoropapalage
Yang memiliki tempat tidur ini, yang memiliki kamar ini
Sebagai pemilik rumah ini
Neti aneena dita wee, powi api
Ini yang tinggal di timba air, tiup api
Yang tinggal di rumah besar ini
Banebahinna napawe’e kaka, ingi kakaba
Saat ini sarungnya sudah putih, kainnya sudah putih
Saat ini rumah besar ini sudah baru
Nabo’uba kelerre , kakaraba ngaingo
Sudah mudah tali sudah cerah alang
Alang dan talinya sudah baru
Kadillitaba katonga , kakaraba kawedobawe
sudah mengkilap balai-balai sudah cerah tirisan air
Balai-balai dan tirisan air sudah baru
Kapandege nebahinna ne umamibalunggukumi,
Agar kalian mengetahui saat ini, ini rumah kalian
ne katangomibalunggukumi
ini balai-balai kalian
Agar kalian mengetahui bahwa inilah rumah dan balai-balai kalian
Tadapadoudou-padoudoumi
Tandalah tempat kalian masing-masing
Tandalah tempat kalian masing-masing
Manu tadakowe rabemu , wawi dukkikuwi rabamu
Ayam tandalah tempatmu, babi tandalah tempat makanmu
Ayam, babi tandalah tempatmu
Karambo tadakowe okamu , dara tadako gollumu
Kerbau tandalah kandangmu, kuda tandalah kandangmu
Kerbau, kuda tandalah kandangmu
Pawasse padoum u, pamatto padoumu
Anak mantu tanda tempatmu, Ibu mertua tandalah tempatmu
Anak mantu, ibu mertua tandalah tempatmu
Q. Tuturan Lisan pada Tahap Saiso Perjanjian dengan Marapu (Kode
Q)
Nebahinna limmabage bamma wologe kira,
Di sini kami sudah membicarakan kami sudah membuat janji,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
bamma raige dadi
kami sudah membuat kesepakatan
Di sini kami telah membicarakan, menyepakati, dan berjanji
Nemme pittu dou , pittu wulla, pittu loddo, ga’inagu kaenga wou
Nanti, tujuh tahun, tujuh bulan, tujuh hari, agar tetap engkau
Agar Engkau mengetahui bahwa nanti setelah tujuh tahun, tujuh bulan,
tujuh hari kami akan melaksanakan syukuran
Hetti yamme kaina kanna tutuke bama kako paelleta
tollu,
Agar kami juga mempunyai cukup waktu untuk kami pergi mencari
telur,
kanna tutuke bama elleta manu.
agar cukup waktunya kami mencari ayam
Agar kami mempunyai waktu yang cukup untuk bekerja keras
Newe wolama wekkima , pasassama touma
Di sini kami mengikuti tubuh kami, kami menuruti badan kami
Di sini kami tidak mempunyai apa-apa
Banebahinnage bama kako hitti ,
Sehingga dengan demikian jika kami pulang ke sana,
hatti a neena omadana
itu yang berada di kebun
Sehingga dengan demikian, jika kami pulang, terutama semua keluarga
yang berasal dari rumah kecil
A neena liri kedu, liri wawi bana kako hitti
Yang berada di pinggir kera, di pinggir babi, jika dia pulang ke sana
Apabila keluarga rumah kecil, baik yang berada di tempat yang paling
jauh maupun yang dekat kembali ke rumah mereka masing-masing
Banna batuku ruta , banna dariku tana
apabila dia mencabut rumput, apabila dia menggaruk tanah
Apabila dia bekerja agar membuahkan hasil
Banna pennikowa manu, kamanuamapennikia
Apabila dia memelihara ayam, agar dapat berkembang biak menjadi
banyak
Apabila dia memelihara ayam, agar dapat berkembang biak menjadi
banyak
Banna tauku wawi, kawawiamataukia
Apabila dia memelihara babi, agar dapat berkembangbiak dengan baik
Apabila dia memelihara babi, agar dapat berkembangbiak dengan baik
Kanna dadige padadi , kanna timbuge patimbu
Agar tumbuh yang tumbuh, agar hidup yang hidup
Agar bertumbuh dan berkembangbiak dengan baik semua hasil usaha
dan kerja keras
Badukkikogeu nemme bama dukkige kira pawolo ,
Jika sampai nanti kami sampai pada janji yang kami bicarakan,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dadi paraimalage
kesepakatan yang kami buat
Sehingga pada saat kami sampai pada janji yang kami bicarakan dan
sepakati bersama
Kadamma lebakage loge , kadamma toddukadi limmama
Agar kami tidak melepas rambut, agar kami tidak menjunjung tangan
kami
Agar kami tidak datang di rumah besar dengan tangan kosong
R. Tradisi Lisan pada Tahap Saiso Penepatan Janji Menempati
Rumah Besar (Kode R)
Nebahinna renge you ina kaweda , ama kaweda
Saat ini dengarlah engkau ibu tua (nenek), bapak tua (kakek)
Saat ini, dengarlah nenek moyang kami
Hinnane’e madukkibage heti kira paraima ,
sekarang ini kami telah sampai pada janji yang kami buat,
dadi pawoloma
rencana yang telah kami sepakati
Sekarang ini kami telah sampai pada janji yang kami buat, rencana yang
telah kami sepakati
Ngarakuama newe wollamu karere , uwamu karobbo
Kami semua di sini bunga mentimun, buah labu
Kami semua anak cucumu yang berasal dari rumah besar ini
Nebahinna, ne malelangge
Saat ini, ini malam
Saat ini, malam ini
Rengewu you newe , tatadapadouna
Dengarlah engkau di sini, tandalah tempat kalian masing-masing
balunggukugu hettiwaina
jika saya mengatakan demikian pada waktu itu
Dengarlah engkau di sini, jika pada waktu itu saya meminta kalian untuk
menanda tempat kalian masing-masing
Nebahinna wa’ikuabana heti a wali liri
kedu,
Saat ini, kami sudah berkumpul semua baik yang berasal dari pinggir
kera,
liri wawi
pinggir babi
Saat ini kami semua telah berkumpul di sini baik yang berasal dari
rumah-rumah kecil.
Gola Mali Ege, Tako Mali Deta
Yang berasal dari Gola Mali Ege, Tako Mali Deta
Lappata nawa dita we’e, a poi api
Dan juga kami di sini yang menimba air , yang meniup api
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Dan juga kami di sini yang mendiami rumah besar ini
Wa’ikuawabama , da’ibana lera eka bei,
Kami semua sudah berkumpul, tidak ada lagi yang terbang ke lain ibu,
Kedu eka ana
yang lari ke lain anak
Kami telah bersatu di sini
Banebahinna bamma mattubana mata, bamma tangabana
wiwi
Saat ini kami sudah banyak mata, kami sudah bertemu
bibir
Kami telah satu hati, satu suara
Madekebage kira , madukkibage ne dadi pawolo
paraima
Kami telah menginjak janji, kami telah sampai pada rencana yang telah
kami buat
Kami telah menepati janji yang telah kami buat dan rencanakan
Ngaradukkama yamme newe aummage ne umma,
Semua kami di sini yang memiliki ini rumah,
akatongage ne katonga
yang memiliki ini balai-balai
Kami semua sebagai pemilik balai-balai dan rumah besar ini
Kapandege , hetti damma toddukidi limmama ,
Agar kalian mengetahui, ini kami tidak menjunjung tangan kami,
damma lebakige logema
kami tidak melepas rambut kami
Agar kalian mengetahui bahwa kami tidak datang dengan tangan kosong
Manakabana manu, matewelabana yasa newe
Kami telah membawa ayam, kami telah menenteng beras di sini
Kami telah membawa ayam dan beras di sini
Nebahinnawe banna kakarabadowe ngaingo,
Saat ini, karena sudah baru alang,
banna bo’ubadowe kalerre balimakugulangge
karena sudah muda tali jika kami mengatakan kepadamu
Saat ini rumahmu sudah baru
Ne umamu , ne katongamu
Di sini rumahmu, di sini balai-balaimu
Di sini rumahmu dan balai-balaimu
Ne koropabeikamu, ne koropapalamu
Di sini kamar tidurmu, di sini bilikmu
Di sini kamar tidurmu, di sini bilikmu
Na’i wawi a bolo, na’i karambo a ia terewi
itu babi yang satu , itu kerbau yang satu peganglah
Peganglah babi dan kerbau itu
Kanga’apangaa , we’epaenuwi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Agar menjadi makanan, agar menjadi minuman kalian
Agar menjadi makanan dan minuman kalian
Kadaouwaige neumamu,
Agar kamu gunakan untuk menempati rumah ini,
katerewaige nekatongamu
agar kamu gunakan untuk menduduki balai-balai ini
Agar nenek moyang gunakan untuk menempati dan menjaga rumah ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
TRANSKRIPSI DATA MENTAH
PENELITIAN BERUJUDL “TRADISI LISAN DALAM UPACARA
PADEDE UMA KALADA SEBAGAI MANIFESTASI JATI DIRI
MASYARAKAT KABIZU BEIJELLO:
KAJIAN EKOLINGUISTIK METAFORIS”
Oleh: Yuliana Sesi Bitu
Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Magister
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sanata Dharma
A. Tuturan Lisan pada Tahap Pemberitahuan Kepada Tetua Adat Uma Kii
(rumah kecil)
Nyado nebahinna ne’e ole bawaikoga maida neti tidi barrami,
Neti dari tana, batu ruta.
Nemme nakarewe ebana, nakarawuwe logena.
Nemme ina, ama.
Tuta pomawo loddo, kada pomawo urra.
Nyawe neti kaku toma tidi dukki barrami.
(Sumber data ini direkam dan ditranskripsikan oleh Yuliana Sesi Bitu sebagai
peneliti di Kampung Gollu Utta, Wewewa Barat, Sumba Barat Daya, NTT,
pada tanggal 28 Januari 2019. Data ini dituturkan oleh Rato Marapu Kabizu
Beijello Bapak Bernardus Ngongo Bulu, Umur 61tahun, Petani)
B. Tuturan Lisan Tanggapan Tetua Adat Uma Kii (rumah kecil) pada
Tahap Pemberitahuan Kepada Tetua Adat Uma Kii (rumah kecil)
Banna kareweko ebana banna karawuko logena
Ne ina, ne ama
Unggula dukka kikkuna wadora dukka ngorana
Unggula a matomba, wadora a maupa
Kanna mattu mata, kanna tanga wiwi
Katta worona panewe, katta kaddona kadauka
(Sumber data ini direkam dan ditranskripsikan oleh Yuliana Sesi Bitu sebagai
peneliti di Kampung Kalembu Kowo, Wewewa Barat, Sumba Barat Daya,
NTT, pada tanggal 10 Februari 2019. Data ini dituturkan oleh Rato Marapu
Kabizu Beijello Bapak Barnabas B. Ole, 53 tahun, petani)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
C. Tuturan Lisan pada Tahap Musyawarah di Uma Kii (Rumah Kecil)
Neti ngarakuana baku angunguamigi
Baku amamigi, baku anamigi
Baku allikamigi, baku kaamigi
Ba nebahinna batta pakuana, batta pakassana
Ne umana ina, umana ama
Nebahinna batta bumbuge rawa, batta maruga mata
Tubanawe umana ina, umana ama
Peidawe?
(Sumber data ini direkam dan ditranskripsikan oleh Yuliana Sesi Bitu sebagai
peneliti di Kampung Gollu Utta, Wewewa Barat, Sumba Barat Daya, NTT,
pada tanggal 12 Februari 2019. Data ini dituturkan oleh Rato Marapu Kabizu
Beijello Bapak Hermanus Bulu Manu, 45 tahun, petani).
D. Tuturan Lisan Tanggapan Keluarga Besar Uma Kii (Rumah Kecil) pada
Tahap Musyawarah di Rumah Kecil
Balummubadoge you ina, amama
Dakku negobanna pakai dakku kababage pasilli,
Balummubadogeyou
Neti yamme ane’ena dari tana, batu ruta
Neti yamme madara padeku, ama bongga pamane
Damma negokaibage pasilli damma kabakaibage pakai
(Sumber data ini direkam dan ditranskripsikan oleh Yuliana Sesi Bitu sebagai
peneliti di Kampung Gollu Utta, Wewewa Barat, Sumba Barat Daya, NTT,
pada tanggal 12 Februari 2019. Data ini dituturkan oleh Rato Marapu Kabizu
Beijello Bapak Hermanus Bulu Manu, 45 tahun, petani).
E. Data Tradisi Lisan dalam ritual Urrata Setelah Pengangkatan Ikrar di
Uma Kii
Nennati yasa, neida pamama
Itu beras, ini sirih pinang
Deibapo yo’u ina, yo’u amama
Newe limmabage, bamma woroge pu’una, bamma kaddoge lawina
A bu’u uma kalada, newe ata uma kii
Apa angunguana apaamana
Apa allina, apa ka’ana
Nebahinna, damma negobage pakai damma ababage pasilli
Nemme loddopoddu nya bamma kako dobba uma kalada
Nyabamma lolungo malawo, bamma biringo tawewe
Kapandege yemmi ina kaweda, ama kaweda
Hinnabawe balimmikumi na’i manu bowa kahinna
Tau…..
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
(Sumber data ini direkam dan ditranskripsikan oleh Yuliana Sesi Bitu sebagai
peneliti di Kampung Gollu Utta, Wewewa Barat, Sumba Barat Daya, NTT,
pada tanggal 12 Februari 2019. Data ini dituturkan oleh Rato Marapu Kabizu
Beijello Bapak Hermanus Bulu Manu, 45 tahun, petani).
F. Tuturan Lisan pada Tahap Pertemuan Satu Keluarga Besar Kabizu
Beijello di Rumah Besar
Nebahinna batta mattu banna mata, batta tanga banna wiwi
A wali Gola Mali Ege, Tako Mali Deta
Nemme awali niri kedu, liri wawi
Lappata yamme newe a dita wee, apoi api
Peidawe newe akarewe ebana, a karawu logena
Newe ina, newe ama
Tuta pamawo loddo, kada pamawo urra
Gainagu kanuarage, karawipi’age lungguwaga
Nebahinna katta bumbuge rawa, katta mattuge mata
Kada’ikana alera eka bei, akedu eka ana
Katta pasamana ate, katta pamerana wiwi.
(Sumber data ini direkam dan ditranskripsikan oleh Yuliana Sesi Bitu sebagai
peneliti di Kampung Gollu Utta, Wewewa Barat, Sumba Barat Daya, NTT,
pada tanggal 12 Februari 2019. Data ini dituturkan oleh Rato Marapu Kabizu
Beijello Bapak Hermanus Bulu Manu, 45 tahun, petani).
G. Tuturan Lisan pada saat Pembagian Sirih Pinang pada Tahap Pertemuan
Satu Keluarga Besar Kabizu Beijello di Rumah Besar
Nebahinna, nennati mama ole
Mandungo katanga, kettera kaleba
Tana dadikki, watu dangero
Nemme kanna marage tana, kanna moddu kaporota
(Sumber data ini direkam dan ditranskripsikan oleh Yuliana Sesi Bitu sebagai
peneliti di Kampung Gollu Utta, Wewewa Barat, Sumba Barat Daya, NTT,
pada tanggal 12 Februari 2019. Data ini dituturkan oleh Rato Marapu Kabizu
Beijello Bapak Hermanus Bulu Manu, 45 tahun, petani).
H. Tuturan Lisan Urrata Setelah Kesepakatan di Rumah Besar pada Tahap
Pertemuan Satu Keluarga Besar Kabizu Beijello di Rumah Besar
Nennati yasa, neida pamama
Deibapo yemmi ina, yemmi ama
Nebahinna maworobage pu’una, makaddobage lawina
Da’ibana lera eka bei, daibana kedu eka ana
Ngarakuami wollami karere uwami karobbo
Nebahinna kapandege hettibama kalola wawi, amagesowa kedu
Babamma kalolakowa wawi, kamma kolekina wawi apaulle
Babamma magesokowa kedu, kamma kolekina kedu a padari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Hitti kadaikana windararawiti, Tunduraradeida
Yakima kanuru, kanengga
Kanengga bara wa’i, kanuru bara limma
Hitti katippakimawi loddo bani, urra bani
Ne’e padou wawi a paulle, kedu a padari
Ne’e Gola Mali Ege, Tako Mali Deta
Ne’e Djoka Billa Aido, Lolo Alle Moro
Hinnabawi balimmi badona
yemmi ina, yemmi ama
Na,i manu bowakahinna
(Sumber data ini direkam dan ditranskripsikan oleh Yuliana Sesi Bitu sebagai
peneliti di Kampung Gollu Utta, Wewewa Barat, Sumba Barat Daya, NTT,
pada tanggal 12 Februari 2019. Data ini dituturkan oleh Rato Marapu Kabizu
Beijello Bapak Hermanus Bulu Manu, 45 tahun, petani).
I. Tuturan Lisan pada Tahap Urrata di Uma Kalada pada Malam Sebelum
Pergi Menebang Kayu dan Memotong Tali di Hutan
Kaletekowama towo, kasongakowama bale
Kopora kaduango, gollu pamamanno
Yako mangewala mata, kayalo wekki
Pawessidakkota bani ate, bani wiwi
Baaroni ina mori loda, ama mori pada
Ina pepa, ama mawo
(Sumber data ini direkam dan ditranskripsikan oleh Yuliana Sesi Bitu sebagai
peneliti di Kampung Kalembu Kowo, Wewewa Barat, Sumba Barat Daya,
NTT, pada tanggal 10 Februari 2019. Data ini dituturkan oleh Rato Marapu
Kabizu Beijello Bapak Barnabas B. Ole, 53 tahun, petani)
J. Tuturan Lisan Urrata pada Tahap Penebangan Pohon dan Pemotongan
Tali di Hutan
Nenna rengepo you ina mori loda, ama mori pada
Ina mori loko, ama mangu tana
Nebahinna bawa’ikoma tidi waimaneramu, djongawailapalemu
A pogowa wasu agasu, aratage kalerre alolo
Kadara pakalogama, katena pamagawa ma
Dappalaka kama karingge, dappa lodakama kalerre
Karewena ebana, karawuna logena
Kuta poma loddo, kada poma urra
Nebahinna hidda marata anamanu, kamidda ana omma
Katidi waimanerandi, kajonga wailapalendi
Newe mandoke toramu a erri, mandokiwe tunggamu a poddu
Newe bamma kalolakowa wawi, kamma kolekina wawi apa ulle
Bamma gesakowa kedu, kamma kolekina kedu apa dari
Kada’ikana windararawiti, tunduraradeida
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
(Sumber data ini direkam dan ditranskripsikan oleh Yuliana Sesi Bitu sebagai
peneliti di Kampung Gollu Utta, Wewewa Barat, Sumba Barat Daya, NTT,
pada tanggal 12 Februari 2019. Data ini dituturkan oleh Rato Marapu Kabizu
Beijello Bapak Hermanus Bulu Manu, 45 tahun, petani).
K. Tuturan Lisan pada Tahap Saiso Pengucapan Syukur Atas Keberhasilan
Penebangan Kayu dan Pemotongan Tali di Hutan
Natogola manairo bage, namawellita mawana bage
Pakameme dengi ramegu,pawawi dengi pa’ugu
Pakaleika milla mata, balabadde widdu keda
Pakareba ti’a, pamaro’u bukku
Nabonnu wogo dara, na nudu wullu manu
Nebahinnage lagei ladde, woki kako
Kamma toma uma, kamma dukkikoge katonga
Illakona poddu tillu tana, illakona balaingo maredda
Kanna mangewala mata, kanna kayalo wekki
Dukki bara ina, toma bara ama
(Sumber data ini direkam dan ditranskripsikan oleh Yuliana Sesi Bitu sebagai
peneliti di Kampung Kalembu Kowo, Wewewa Barat, Sumba Barat Daya,
NTT, pada tanggal 10 Februari 2019. Data ini dituturkan oleh Rato Marapu
Kabizu Beijello Bapak Barnabas B. Ole, 53 tahun, petani)
L. Tuturan Lisan pada Tahap Ritual Oka
Penanya:
Djooooo appaatawu nemme a lollungo malawo mangu ana,
abiringo tawewe mangu tollu
Akangira dara kodi, akabara bongga dawa
Ne’e kabu gollugu, ne’e kabu aturagu
Ne tabali binna mone, pu’u kawango dassa
Kedu mai pawunnumi, Wawi mai pangassami?
Balewaga panewe, nongawaga kadauka
Malla…..
Penjawab:
Djoooo hiddi pakadimu koko, pasosimi ate
Yowa dona ata papawede, allikapapatukami
Papawede pidupata, papalewa gidugoda
Hitti papatukamu kalola wawi, hatti papawedemu magesa kedu
Natogola manairobage, namawellita mawanabage
Madunnibawi oro, mabalibawi wewe
Makolebawi wawi apa ulle, madekeba kedu apadari
Dakabokakama binna, dakaraga kama lara
Darapakalogama, tenapamagawama
Tau…….
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
(Sumber data ini direkam dan ditranskripsikan oleh Yuliana Sesi Bitu sebagai
peneliti di Kampung Gollu Utta, Wewewa Barat, Sumba Barat Daya, NTT,
pada tanggal 12 Februari 2019. Data ini dituturkan oleh Rato Marapu Kabizu
Beijello Bapak Hermanus Bulu Manu, 45 tahun, petani).
M. Tuturan Lisan pada Tahap Ritual Saiso Pembongkaran Rumah
Pamalangiwa inna, paosawa ama
Ne tuta pamawo loddo, ne kada pamawo urra
Banna yawe wee maringi, banna yawe wee malala
Dari tana, batu ruta
Penni manu, tau wawi
Keni pare oppu watara
(Sumber data ini direkam dan ditranskripsikan oleh Yuliana Sesi Bitu sebagai
peneliti di Kampung Kalembu Kowo, Wewewa Barat, Sumba Barat Daya,
NTT, pada tanggal 10 Februari 2019. Data ini dituturkan oleh Rato Marapu
Kabizu Beijello Bapak Barnabas B. Ole, 53 tahun, petani)
N. Tuturan Lisan pada Tahap Saiso Sebelum Pendirian Tiang
Waikobatallawi indatallaki, waikobabeduwi indabeduki
Li’ikawulagundi, li’ikaaulagundi
Tuta pomawo loddo, kada pomawo urra
Karewe ebana, karawuwe logena
Kokalangge baku padedekowa na’i pari’i, baku padedekowa na’i wasu a gasu
Daraikaga windararawiti, tunduraradeida
(Sumber data ini direkam dan ditranskripsikan oleh Yuliana Sesi Bitu sebagai
peneliti di Kampung Gollu Utta, Wewewa Barat, Sumba Barat Daya, NTT,
pada tanggal 12 Februari 2019. Data ini dituturkan oleh Rato Marapu Kabizu
Beijello Bapak Hermanus Bulu Manu, 45 tahun, petani).
O. Tuturan Lisan pada Tahap Saiso Sebelum Membuat Loteng Rumah
Nebahinna kapandege you ina, you ama
Nadukkiwe na’i labe a belleka, pari’i a kaladana
A kanga wolla limma, a bokka wolla wa’i
Ina a mawolo, ama a marawi
Adopola tou, a adiwe wekki
Takka nebahinna tekkida ana ullumu, tekkida ana murri mu
Koka baku botikowe wellibodolangge, baku babado welli bawa
Kapamenderadandi kapouta, katopo, kalaboda ata pennenanno
Duwolokagandi windararawiti, tunduraradeida
Lakkawa’ikunamme adirakapababa touna, aakitapaleira wekkina
Du kettekageole, du pagukawi pangngu
Danna muddake madda, danna lummuke lewa nanno
Noddo wabbona, toroge tunggana
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
(Sumber data di atas direkam dan ditranskripsikan oleh Yuliana Sesi Bitu
sebagai peneliti di Kampung Gollu Utta, Wewewa Barat, Sumba Barat Daya,
NTT, pada tanggal 28 Januari 2019. Data ini dituturkan oleh Rato Marapu
Kabizu Beijello Bapak Bernardus Ngongo Bulu , Umur 61 tahun, Petani)
P. Tuturan Lisan pada Tahap Saiso Menempati Rumah Besar
Natogola manairo bage, namawellita mawana bage
Kutapoma urra, katapoma loddo
Nebahinna kapande yemmi ina kaweda, ama kaweda.
Akatongapabeikage, akoropapalage
Neti aneena dita wee, powi api
Banebahinna napawe’e kaka, ingi kakaba
Nabo’uba kelerre, kakaraba ngaingo
Kadillitaba katonga, kakaraba kawedobawe
Kapandege nebahinna ne umamibalunggukumi, ne katangomibalunggukumi
Tadapadoudou-padoudoumi
Manu tadakowe rabemu, wawi dukkikuwi rabamu
Karambo tadakowe okamu, dara tadako gollumu
Pawasse padoumu, pamatto padoumu
(Sumber data ini direkam dan ditranskripsikan oleh Yuliana Sesi Bitu sebagai
peneliti di Kampung Gollu Utta, Wewewa Barat, Sumba Barat Daya, NTT,
pada tanggal 12 Februari 2019. Data ini dituturkan oleh Rato Marapu Kabizu
Beijello Bapak Hermanus Bulu Manu, 45 tahun, petani).
Q. Tuturan Lisan pada Tahap Saiso Saiso Perjanjian dengan Marapu
Nebahinna limmabage bamma wologe kira, bamma raige dadi
Nemme pittu dou, pittu wulla, pittu loddo, ga’inagu kaenga wou
hetti yamme kaina kanna tutuke bama kako paelleta tollu, kanna tutuke bama
elleta manu.
Newe wolama wekkima, pasassama touma
Banebahinnage bama kako hitti, hatti a neena omadana
A neena liri kedu, liri wawi bana kako hitti
Banna batuku ruta, banna dariku tana
Banna pennikowa manu, kamanuamapennikia
Banna tauku wawi, kawawiamataukia
Kanna dadige padadi, kanna timbuge patimbu
Badukkikogeu nemme bama dukkige kira pawolo, dadi paraimalage
Kadamma lebakage loge, kadamma toddukadi limmama
(Sumber data ini direkam dan ditranskripsikan oleh Yuliana Sesi Bitu sebagai
peneliti di Kampung Gollu Utta, Wewewa Barat, Sumba Barat Daya, NTT,
pada tanggal 28 Januari 2019. Data ini dituturkan oleh Rato Marapu Kabizu
Beijello Bapak Bernardus Ngongo Bulu , Umur 61 tahun, Petani)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
R. Tradisi Lisan pada Tahap Saiso Penepatan Janji Menempati Rumah
Besar
Nebahinna renge you ina kaweda, ama kaweda
Hinnane’e madukkibage heti kira paraima, dadi pawoloma
Ngarakuama newe wollamu karere, uwamu karobbo
Nebahinna, ne malelangge
Rengewu you newe, tatadapadouna alunggukugu hettiwaina
Nebahinna wa’ikuabana heti a wali liri kedu, liri wawi
Gola Mali Ege, Tako Mali Deta
Lappata nawa dita we’e, a poi api
Wa’ikuawabama, da’ibana lera eka bei, kedu eka ana
Banebahinna bamma mattubana mata, bamma tangabana wiwi
Madekebage kira, madukkibage ne dadi pawolo paraima
Ngaradukkama yamme newe aummage ne umma, akatongage ne katonga
Kapandege, hetti damma toddukidi limmama, damma lebakige logema
Manakabana manu, matewelabana yasa newe
Nebahinnawe banna kakarabadowe ngaingo, banna bo’ubadowe kalerre
balimakugulangge
Ne umamu, ne katongamu
Ne koropabeikamu, ne koropapalamu
na’i wawi a bolo, na’i karambo a ia terewi
Kanga’apangaa, we’epaenuwi
Kadaouwaige neumamu, aterewaige nekatongamu
(Sumber data ini direkam dan ditranskripsikan oleh Yuliana Sesi Bitu sebagai
peneliti di Kampung Gollu Utta, Wewewa Barat, Sumba Barat Daya, NTT,
pada tanggal 12 Februari 2019. Data ini dituturkan oleh Rato Marapu Kabizu
Beijello Bapak Hermanus Bulu Manu, 45 tahun, petani).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
RANGKUMAN HASIL WAWANCARA ETNOGRAFIS
PENELITIAN BERJUDUL:
“TRADISI LISAN DALAM UPACARA PADEDE UMA KALADA
SEBAGAI MANIFESTASI JATI DIRI MASYARAKAT KABIZU BEIJELLO:
KAJIAN EKOLINGUISTIK METAFORIS”
Oleh: Yuliana Sesi Bitu
Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Magister
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sanata Dharma
Narasumber:
Tiga (3) orang tetua adat dan sekaligus merupakan informan kunci, 3 orang pejabat gereja, yakni 2 pastor dan 1 majelis
agama protestan, dan 1 orang guru.
Data ini merupakan rangkuman dari 3 kali wawancara tidak terstruktur yang berlangsung dari bulan Januari 2019 sampai
dengan bulan Februari 2019 di Wewewa, Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur.
1. Wawancara yang Berkaitan dengan Kearifan-Kearifan Lokal Masyarakat Kabizu Beijello
Kode: W/KKLMB/…
No. Pertanyaan Jawaban (Rangkuman) Kode
1. Apa yang dimaksud
dengan tradisi lisan Teda?
Tradisi lisan Teda merupakan tradisi lisan yang hanya dapat
digunakan dalam situasi-situasi resmi dan dalam ritus-ritus
keagamaan. Teda ini bukan merupakan bahasa kelakar dan
bahasa sehari-hari. Bahasa Teda mempunyai tingkatan yang
lebih tinggi dari bahasa sehari-hari. Bahasa Teda digunakan
untuk menyatakan tujuan-tujuan sosial tertentu, digunakan
W/KKLMB/1
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dalam pertemuan-pertemuan resmi, pada saat memberikan
nasihat, dalam upacara perkawinan dalam ritual-ritual
keagamaan seperti Urrata, Saiso, Oka, Woleka, Dodo. Dalam
ritual-ritual keagamaan ini, hanya dapat menggunakan bahasa
Teda tidak bisa menggunakan bahasa sehari-hari. Misalnya,
pada saat Dodo natara dana (mengisahkan suatu peristiwa
dengan cara bernyanyi di halaman depan rumah), tidak dapat
menggunakan bahasa sehari-hari, harus menggunakan bahasa
Teda.
2. Mengapa dalam Teda
selalu menggunakan
bentuk-bentuk
berpasangan?
Dalam budaya Sumba semuanya dibawa dalam bentuk berpasangan
sehingga terbawa pula pada bentuk tuturan. Hal ini sudah menjadi
ekspresi budaya sejak dulu, sejak nenek moyang. Berpasangan itu
dianggap sebagai sesuatu yang luhur. Misalnya, rumah orang Sumba
kadu uma (tanduk rumah) berpasangan, pintu berpasangan, tiang
rumah ada tiang ina ama (tiang ibu dan tiang bapak), ada tiang
anamane, pawasse (tiang anak laki-laki dan tiang anak mantu). Dan
bahkan Tuhan disapa sebagai yang mempunyai pasangan. Meskipun
kita yakini bahwa Tuhan itu satu, tetapi dalam menyapa Tuhan, itu
selalu berpasangan. Misalnya, Ina mawolo, ama marawi (Ibu yang
membentuk, Bapak yang membuat), akaladana matana, abelleka
katilluna (Yang besar mataNya, Yang lebar telingaNya). Hal ini
karena Tuhan itu dipandang sebagai Yang Esa. Bentuk berpasangan
dalam tradisi lisan mengimplisitkan makna bahwa hidup ini harus
selalu berpasangan dan tidak boleh sendiri.
W/KKLMB/2
3. Mengapa pada saat
pengangkatan ikrar atau
sumpah adat selalu
dikahiri dengan pembagian
pamama (sirih pinang)?
Pembagian sirih pinang dalam musyawarah adat merupakan
tanda agar orang yang menerima sirih pinang memegang janji
dan keputusan bersama. Sirih dan pinang dalam hal ini
sebagai pengikat atau meterai yang mengikat keputusan
bersama yang telah ditetapkan. Apabila telah menyepakati
W/KKLMB/3
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
sebuah keputusan, selanjutnya adalah pembagian sirih pinang.
Sebagai meterai, sebagai pengikat agar tidak ada orang yang
melanggar keputusan bersama ini. Setelah bermusyawarah
dan sebagai tanda bermusyawarah adalah semua orang yang
hadir diberikan sirih pinang yang berarti bahwa jangan lagi
mengkhianati keputusan ini, jangan ada orang berkata lain,
bertindak lain selain keputusan ini. Apabila ada orang yang
menerima sirih pinang lalu kemudian hari berubah pikiran
orang tersebut akan mendapatkan resiko adat. Hal ini karena
pembagian sirih pinang saja merupakan salah satu tanda
terlibatnya Marapu. sehingga Marapu sudah melihat semua
yang menerima sirih pinang. Jadi ketika ada orang yang
melangggarnya, maka orang tersebut akan menanggung
sendiri akibatnya.
4. Mengapa dalam ritual
Urrata selalu
menggunakan beras dan
sirih pinang untuk
mengawali komunikasi
dengan Marapu?
Dalam ritual Urrata untuk memulai komunikasi dengan Marapu
biasanya menggunakan beras dan pamama. Pada saat membuangnya,
Ata Urrata membuangnya ke depan, belakang, kiri kanan. Setelah itu
baru menyampaikan apa yang perlu disampaikan. Hal ini karena di
dalam rumah ini ada begitu banyak roh dengan segala
kepentingannya. Marapu ada tingkatannya. Kadang-kadang mereka
bisa mengutuk sesuatu. Oleh karena itu, harus diberikan Tora Taguda.
Hal ini bertujuan agar mereka tidak membuat masalah. Sehingga apa
yang disampaikan boleh lurus sampai kepada Sang Khalik. Sehingga,
sirih pinang di sini sebagai tanda, yakni pertama, sebagai tanda untuk
membuka pembicaraan dengan orang hidup dan orang mati. Kedua,
dia menjadi sesuatu yang bisa diberikan yang bisa memberikan rasa
aman kepada mereka sehingga kemudian mereka tidak mengganggu
kehidupan kita. Sehingga, sirih pinang di sini merupakan makanan
W/KKLMB/4
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
untuk roh mereka. Beras dan sirih pinang ini merupakan makanan
untuk mereka. Pinang itu untuk membuka pembicaraan dengan
mereka. Padi itu untuk memberi makan kepada roh mereka. Sehingga,
penggunaan beras, sirih dan pinang ini berfungsi untuk membuka
pembicaraan dan sekaligus sebagai makanan untuk Marapu.
5. Pengetahuan lokal apakah
yang terkandung dalam
tuturan Nadukkiwe na‟i
labe a belleka, pari‟i a
kaladana?
Pada tuturan ini memberikan gambaran terkait masyarakat yang ber-
Tuhan. Labe ini merupakan mazbah Tuhan. Setiap warga Marapu
yang datang menyampaikan permohonan kepada Tuhan, biasanya
meletak pinang di Labe. Setelah itu baru mulai menyampaikan
permohonan kepada Tuhan. Labe ini merupakan tempat kedudukan
Tuhan sebagai Pencipta. Labe adalah mazbah Tuhan yang Maha
melihat semua yang dilakukan umatnya. Labe yang merupakan
mazbah Tuhan itu, dia lebih besar sendiri. Seluruh kehidupan kita itu
diselenggarakan oleh Tuhan dan semua pergumulan kehidupan kita
itu selalu kita bawa kepada Tuhan dengan meletakkan sirih pinang di
Labe.
W/KKLMB/5
6. Mengapa dalam ritual-
ritual adat masyarakat
Kabizu Beijello selalu
memberi sesajen kepada
Marapu?
Marapu itu harus dihormati. Walaupun Marapu itu tidak kelihatan,
tapi mereka mempunyai kekuatan-kekuatan ajaib yang dapat
memberikan kebahagiaan dan keselamatan kepada manusia. Hati
ayam dalam ritual adat merupakan makanan Marapu. Untuk menjaga
agar Marapu tidak tersinggung atau marah, maka Marapu harus diberi
makan. Dalam ritual-ritual adat Marapu yang harus diberi makan
duluan, tidak bisa kemudian. Marapu tidak boleh terlupakan. Bahkan
Rato Marapu, setelah memeriksa usus dan hati ayam, mereka akan
meminta agar agar hati ayam segera dibakar untuk memberi makan
kepada Marapu. Mereka takut apabila lupa memberi makan kepada
Marapu. Tora tagudawi olumu. Nyakanda bullakandi. Ba bullakundi,
bani bada. Danna manotoba hetti padengi. Wa‟i-wa‟i awabage
nemme ndamawenna (Ayam ini merupakan milik Marapu, bagian
W/KKLMB/6
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Marapu. Oleh karena itu, kita harus memberikan kepada Marapu apa
yang menjadi bagian dan milik Marapu. Apabila kita lupa memberi
makan kepada Marapu, mereka akan marah. Tidak akan berhasil apa
yang menjadi harapan dan kerinduan kita. Akan ada-ada saja halangan
atau kekacauan yang terjadi yang menyebabkan apa yang dimohonkan
tidak akan tercapai).
7 Apa makna tuturan “Neti
dari tana (garuk tanah),
batu ruta (cabut
rumput)”?
Tuturan Neti dari tana, batu ruta merujuk pada anggota-anggota
Kabizu atau rumah dari masing-masing anggota Kabizu. Mereka
disebut dari tana, batu ruta (garuk tanah, cabut rumput) karena
mereka telah keluar dari rumah besar untuk berkebun dan memelihara
hewan-hewan ternak.
W/KKLMB/7
8. Mengapa rumah besar
dipandang sebagai „Ibu‟
dan „Bapak‟ (Marapu)?
Rumah besar itu dipandang sebagai Marapu, sebagai lambang
kehadiran Marapu. Rumah adat itu, bentuknya memang rumah tapi
karena di sana tempat tinggalnya roh-roh nenek moyang (Marapu),
maka rumah adat dipandang sebagai nenek moyang. Dipandang
sebagai ina, ama (Ibu, Bapak). Rumah adat itu dipandang sebagai
nenek moyang yang tinggal di sana. Nenek moyang yang merupakan
kunci kehidupan masyarakat Kabizu. Kehilangan rumah adat, sama
halnya dengan kehilangan Marapu, kehilangan pedoman hidup dan
jati diri Kabizu. Dengan tidak adanya Uma Kalada, Kabizu itu
menjadi tidak nampak dalam masyarakat. Menjadi Kabizu yang tidak
diperhitungkan atau yang kehilangan harga dirinya.
W/KKLMB/8
9. Mengapa gong dan tambur
dalam tuturan-tuturan pada
saat upacara-upacara adat
tidak disebut sebagai gong
dan tambur tetapi
dimetaforakan sebagai
„suara yang memanggil
gong dan tambur bukan hanya pengiring ritual adat Saiso melainkan
suara nenek moyang yang mengundang untuk menyatakan persatuan
dan dukungan. Rumah besar ini merupakan rumah Kabizu. Pada saat
membangunnya membutuhkan tenaga yang banyak dan biaya yang
besar. Sehingga, bunyi gong dan tambur dalam tuturan ini
menggambarkan nenek moyang yang meminta pertolongan dan
bantuan kepada anggota Kabizu.
W/KKLMB/9
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dan mengundang‟?
10. Apa makna tuturan
kada‟ikana alera eka bei,
akedu eka ana?
Tuturan lisan kada‟ikana alera eka bei, akedu eka ana memiliki
makna persatuan dan kekompakan dalam melakukan suatu pekerjaan.
Ini pertanda bahwa tidak ada lagi yang berjalan sendiri-sendiri. Kerja
sama, rasa sepenanggungan dan solider merupakan ciri khas
masyarakat Kabizu beijello dan bahkan Sumba pada umumnya.
Ketika berbicara dalam konteks suku tidak bisa menonjolkan pribadi
atau kedirian. Untuk mencapai sebuah kesuksesan seluruh anggota
suku harus bekerja sama, dan harus selalu merasa senasib dan
sepenanggungan. Mereka selalu seia, sekata dan kompak dalam
membuat kesepakatan dan sama-sama siap untuk melaksakan
keputusan itu. Ini sudah jati diri yang telah dicontohkan oleh nenek
moyang sejak dulu
W/KKLMB/10
11. Hewan-hewan apakah
yang dapat digunakan
untuk memberikan
sesajen?
Kalau dalam ritual Urrata ayam yang digunakan untuk meramal itu
akan dibakar atau direbus hatinya untuk diberikan kepada Marapu.
Ata Urrata setelah Urrata akan memerintahkan untuk segera
membakar hati ayam untuk diberikan kepada Marapu. Sehingga
Marapu tidak marah dan terus memberikan pertolongan serta
dukungan. Kalau tidak walaupun doa dari hasil ramalan itu
dikabulkan, tetap saja nanti akan ada kendala, tidak akan berhasil.
W/KKLMB/11
12. Mengapa Rato Uma
Kalada Kabizu Beijello
selalu dimetaforakan
sebagai a poi api, a dita
wee (yang meniup api
yang mencedok air)?
Rato Uma Kalada adalah orang yang menjaga dan menempati Uma
Kalada (rumah besar), yakni rumah dari semua rumah yang berasal
dari satu Kabizu. Ia selalu disapa sebagai a poi api, a dita we‟e. A poi
api maksudnya adalah orang yang menduduki rumah besar, yang
menghidupkan api di rumah besar. Dalam hal ini, Rato Uma Kalada
harus mampu memberikan semangat, mampu mengayomi,
menggembleng dan bertanggung jawab. A dita we‟e memiliki makna
orang yang mampu memberikan kesejukan dan kedamaian bagi
anggota masyarakat Kabizunya. Selain itu, Rato Uma Kalada juga
W/KKLMB/12
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
selalu disapa sebagai ina, ama (ibu dan bapak). Hal ini karena dalam
hubungannya dengan kepercayaan Marapu Kabizu Beijello, Rato
Uma Kalada Kabizu Beijello adalah pemegang kekuasaan tertinggi.
Rato Uma Kalada dipilih oleh Marapu sebagai pemimpin karena ia
memiliki sikap jujur, bertanggung jawab, dan jauh dari sikap-sikap
yang sangat dibenci oleh Marapu, yakni kedu (mencuri), pamate ata
(membunuh), dala (berzina). Rato Uma Kalada dipercaya dapat
menjadi penyalur berkat dan sekaligus dapat mengutuk. Dalam
kaitannya dengan keberlangsungan hidup dan kepentingan Kabizu, ia
sangat ditakuti, dihargai dan dihormati
13. Apa fungsi tombak, parang
dan tameng bagi
masyarakat Kabizu
Beijello?
Tombak, parang dan tameng merupakan alat-alat perang nenek
moyang pada zaman dahulu. Ini merupakan I Uma (isi rumah atau
warisan nenek moyang). Semua benda-benda keramat yang dianggap
sebagai I Uma (isi rumah) biasanya tersimpan di loteng rumah yang
dianggap sebagai tempat yang sangat keramat dan hanya dikeluarkan
dalam ritual-ritual adat tertentu kecuali gong yang digantung di
balitonga (balai-balai adat). Benda-benda keramat ini tidak dapat
diperjualbelikan. Apabila ada yang menjualnya, orang yang menjual
tersebut bersama keturunannya diyakini akan mendapatkan
malapetaka, misalnya dalam keluarga tersebut ada yang gila,
meninggal secara tiba-tiba, meninggal karena kecelakaan, meninggal
secara berturut-turut dan sakit yang berkepanjangan
W/KKLMB/13
14. Apa makna tuturan
Hinnabawe balimmikumi,
nai manu bowakahinna?
Tuturan ini memberikan gambaran nyata, yakni dalam ritual Urrata
ada penyembelihan ayam dan bahkan babi. Ayam ini yang kemudian
diperiksa usus dan hatinya oleh Ata Urrata untuk meramalkan restu
dan persetujuan dari Marapu. Sementara itu, untuk babi hanya hatinya
saja yang diperiksa. Dalam pertemuan ini apabila terdapat anggota
keluarga yang secara diam-diam tidak mendukung atau menyetujui
keputusan bersama, maka usus ayam, hati ayam dan hati babi yang
W/KKLMB/14
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
diperiksa akan menunjukkan keanehan yang hanya dapat diramalkan
oleh Ata Urrata. Berdasarkan hasil ramalannya, Ata Urrata akan
menyampaikan kepada tetua adat untuk ditanyakan kepada semua
yang hadir terkait siapa yang tidak mendukung keputusan dan
menyelidiki penyebab orang tersebut tidak menyetujuinya. Setelah
semua menyatakan persatuan akan dilakukan ritual Urrata lagi
dengan tujuan untuk menyampaikan kepada Marapu bahwa semua
telah bersatu. Biasanya, apabila penyebab Marapu tidak menyetujui
keputusan tersebut telah ditemukan dan diselesaikan tanda dari usus,
hati ayam dan hati babi akan menunjukkan menerima, merestui dan
menyetujui.
15. Apa makna tuturan
Kadara pakalogama,
katena pamagawama
(Agar kami diberi
kebebasan dan
keleluasaan). Dappalaka
kama karingge, dappa
lodakama kalerre
(Janganlah menghalangi
kami)?
Tuturan ini merupakan tuturan permohonan izin kepada roh-roh yang
mendiami hutan tempat penebangan pohon dan pemotongan tali.
Sebelum pelaksanaan pemotongan tali dan penebangan kayu, para
Rato Marapu menggelar ritual untuk memohon perkenanan kepada
Marapu pemilik hutan. Agar dalam pencarian pohon dan tali, dengan
mudah mendapatkan pohon dan tali yang berkualitas bagus. Apabila
ritual ini tidak dilakukan, maka akan ada saja marabahaya yang
mengintai, misalnya tertimpah pohon, digigit ular, susah mendapatkan
pohon dan tali yang berkualitas.
W/KKLMB/15
16. Mengapa proses
mendirikan tiang tidak
dapat dilakukan secara
bersamaan?
Pada saat mendirikan tiang, tiang yang didirikan paling pertama
adalah pari‟i tenda (tiang bagian kaki) yang melambangkan kehadiran
seorang ibu. Hal ini merupakan bentuk penghormatan dan
penghargaan terhadap seorang ibu. Ibu bagi masyarakat Sumba
merupakan penyalur berkat. Ibu adalah penerus keturunan dalam
rumah itu. Oleh karena itu, Ibu harus selalu dihargai dan dihormati.
Bentuk penghargaan terhadap seorang Ibu adalah pada saat
mendirikan tiang utama, tiang yang pertama didirikan adalah tiang
W/KKLMB/14
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
yang melambangkan kehadiran seorang Ibu. Setelah itu, dilanjutkan
dengan mendirikan pari‟i toddu yang melambangkan kehadiran
seorang Bapak. Pari‟i ini juga disebut sebagai tiang agung, yakni
lambang kehadiran Tuhan sebagai Pencipta yang selalu disembah dan
dipuja. Bagi masyarakat yang menganut kepercayaan Marapu, tugas
utama seorang Bapak adalah melaksanakan ritus pemujaan dan
penyembahan kepada Tuhan melalui perantaraan Marapu. Oleh
karena itu, seorang Bapak sangat dihormati dan ditakuti karena
memiliki hubungan yang dekat dengan Marapu. Setelah itu, tiang
ketiga yang didirikan adalah pari‟i tenda (tiang bagian kaki) yang
melambangkan kehadiran anak mantu. Kemudian, tiang yang terakhir
didirikan adalah pari‟i toddu yang melambangkan kehadiran anak
laki-laki.
2. Wawancara Berkaitan dengan Nilai-Nilai Kearifan Lokal Masyarakat Kabizu Beijello
Kode: W/NKLMKB/…
No. Pertanyaan Jawaban (Rangkuman) Kode
1. Nilai apakah yang
terkandung dalam
peristiwa pembagian sirih
pinang pada saat
pengambilan ikrar atau
sumpah adat?
Dalam kepercayaan Marapu, setiap janji atau sumpah adat yang
telah diikat melalui peristiwa pembagian sirih pinang itu tidak boleh
dilanggar. Janji atau sumpah adat itu harus ditaati. Artinya di sini
ada nilai ketaatan terhadap sumpah adat itu. Sehingga, jika
dilanggar, maka menjadi petaka bagi orang tersebut. Hal ini karena
pembagian sirih pinang saja merupakan salah satu tanda terlibatnya
Marapu yang sudah melihat semua yang menerima sirih pinang.
Dalam hal dosa, salah satu dosa yang sangat dibenci oleh Marapu
adalah berbohong, bersaksi dusta dan tidak menepati janji adat.
W/NKLMKB/1
2. Mengapa segenap anggota
Kabizu dengan sendirinya
merasa terpanggil untuk
Masyarakat Sumba terutama masyarakat Marapu selalu
menunjukkan solidaritas. Dalam upacara pembangunan rumah adat
misalnya, mereka akan dengan sendirinya menyatakan dukungan
W/NKLMKB/2
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
menyatakan dukungan
dalam seluruh proses
pembangunan rumah
besar?
sebagai tanda solidaritas. Wujud solidaritas yang diberikan dapat
berupa tenaga maupun materi seperti uang, hewan, dan bahan
bangunan rumah. Orang yang jauh sekalipun dengan sendirinya
akan terpanggil untuk menyumbang. Ada yang menyumbang dalam
bentuk uang, ada juga yang menyumbang dalam bentuk material.
3 Nilai apakah yang
terkandung dalam tuturan
“Kada‟ikana a lera eka
bei, a kedu eka ana. Katta
pasamana ate, katta
pamerana wiwi”?
Tuturan tersebut mengiaskan nilai persatuan dalam melakukan suatu
pekerjaan. Agar tidak ada yang berjalan sendiri-sendiri, melainkan
satu hati dan satu suara dalam melaksanakan keputusan yang telah
disepakati bersama. Petuah ini selalu digunakan oleh orang tua,
orang bijak dan pemimpin pada saat memberikan amanat dan
nasihat terkait bersatu pada saat bekerja, bergotong royong untuk
mensukseskan suatu pekerjaan. Ini sudah jati diri yang telah
dicontohkan oleh nenek moyang sejak dulu. Bersatu dalam hal ini,
bukan hanya dalam hal bekerja sama pada saat membangun rumah,
melainkan juga bersatu dalam hal melihat kebutuhan dan kekurang
dari rumah besar atau anggota kabizu itu untuk dapat diatasi dan
ditanggulangi secara bersama-sama.
W/NKLMKB/3
4. Nilai apakah yang
terkandung dalam tuturan
Yowa dona ata papawede,
allikapapatukami.
Papawede pidupata,
papalewa gidugoda?
Ungkapan ini mengandung nilai penghormatan kepada Rato yang
menduduki rumah besar. Bentuk penghormatan itu adalah dalam
upacara Oka rombongan yang membawa material dari hutan
menyebut diri mereka sebagai seorang anak atau sebagai seorang
adik. Itu dalam ungkapan, kendatipun dalam rombongan tersebut
ada yang lebih dewasa atau lebih tua, lebih pintar, lebih cerdas,
ketimbang Rato yang menduduki Uma Kabizu. Dia dituakan dan
dihormati karena kedudukannya sebagai pemimpin atau kepala
klan. Dialah yang menjaga rumah itu besar itu.
W/NKLMKB/4
5. Mengapa proses
pengambilan kayu dan tali
di hutan harus diawali
Semua yang ada dimuka bumi ini ada yang punya. Hutan, tanah,
kayu, tali dan segala macam benda yang ada di hutan itu
mempunyai pemilik dan pelindung. Mempunyai roh atau jiwa. Oleh
W/NKLMKB/5
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dengan ritual permohonan
izin?
karena itu, sebelum dimengganggu, harus terlebih dahulu memohon
izin dengan cara mengucapkan mantra permohonan izin yang dapat
diucapkan oleh Ata Urrata atau Rato Marapu. Tidak semua orang
juga dapat mengucapkan mantra. Hanya orang-orang tertentu saja,
seperti Ata tau moro (dukun), Ata urrata, dan Rato Marapu. Kalau
ritual ini tidak dilakukan roh-roh gaib itu akan marah. Mereka akan
mencelakai manusia. Ini merupakan cara menjaga hubungan yang
baik dan harmonis dengan roh gaib. Perilaku seperti yang
dikehendaki oleh nenek moyang dan roh-roh yang ada di alam raya
ini.
6. Bagaimanakah
penghayatan nilai-nilai
kerja sama dalam
kehidupan sosial
masyarakat Kabizu
Beijello?
Masyarakat Sumba terutama masyarakat Marapu dalam berbagai
hal selalu menunjukkan kebersatuan, solidaritas, kerjsa sama dan
gotong royong. Dalam upacara pembangunan rumah adat misalnya,
mereka akan dengan sendirinya menyatakan dukungan sebagai
tanda kebersatuan mereka. Dukungan yang mereka berikan bisa
dalam berbagai bentuk, baik berupa tenaga maupun materi. Orang
yang jauh sekalipun dengan sendirinya akan terpanggil untuk
menyumbang. Ada yang menyumbang dalam bentuk uang, ada juga
yang menyumbang dalam bentuk material. Satu hal yang diyakini
oleh masyarakat Sumba Marapu, yakni dengan ikut ambil bagian
dalam pembangunan rumah besar, mereka akan mendapatkan berkat
dari nenek moyang. Masyarakat Sumba Marapu meyakini bahwa
setiap sumbangan dan dukungan yang mereka berikan dililihat dan
diperhitungkan oleh Marapu.
W/KLMKB/6
7. Nilai-nilai apakah yang
terkandung dalam syair
Tadapadoudou-
padoudoumu. Manu
tadakowe reddetamu, wawi
Tuturan Tadapadoudou-padoudoumu (tandalah tempat kalian
masing-masing) sesungguhnya terkandung nilai filosofi agar setiap
anggota warga rumah dan warga Kabizu mengetahui dan
berperilaku hidup sesuai dengan peran dan kedudukannya masing-
masing. Sementara itu, pada tuturan Manu tadakowe rabemu, wawi
W/NKLMKB/7
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dukkikuwi rabamu.
Karambo tadakowe okamu,
dara tadako gollumu
Pawasse padoumu,
pamatto padoumu?
dukkikuwi rabamu (ayam tandalah tempat bertenggermu, babi
tandalah tempat makanmu) dan tuturan Karambo tadakowe okamu,
dara tadako gollumu (kerbau, kuda tandalah kandangmu) selain
memberikan gambaran terkait masyarakat Sumba sebagai
masyarakat agraris, lebih dari itu terkandung nilai filosofi, yakni
agar setiap anggota warga rumah maupun warga Kabizu tahu
identitas dan jati diri mereka. Mereka harus tahu siapa diri mereka.
Apandepu genyawi rabada, genyage gollu (mereka harus tahu
dimana rumah mereka, dari Kabizu mana mereka berasal). Orang
Sumba jika tidak mengetahui Kabizunya, jika tidak mengetahui
kedudukannya, ata adappa nangabanawi, ata lenanawi (dia adalah
orang yang tidak jelas arah dan tujuan hidupnya).
8. Mengapa harus
mengadakan upacara
syukur sebelum
membongkar rumah besar?
Dalam hidup kita jangan lupa bersyukur dan berterimakasih.
Perilaku bersyukur dan berterimakasih ini merupakan perilaku
hidup nenek moyang sejak awal mula. Apabila kita tidak bersyukur
dan berterimakasih, nenek moyang akan marah kepada kita. Seiring
dengan itu pula, apapun yang kita kerjakan tidak akan berhasil. Kita
tidak akan memperoleh keberkatan dalam hidup. Oleh karena itu,
kita harus menjaga hubungan yang harmonis dengan nenek moyang,
dengan sesama dan alam raya.
W/NKLMKB/8
9. Nilai apakah yang
terkandung dalam tuturan
“Pamalangiwa inna,
paosawa ama”?
Ungkapan ini mengandung nilai ucapan syukur dan terima kasih.
Dalam hidup kita jangan lupa bersyukur dan berterimakasih
Pamalangiwa inna, paosawa ama. Ucapan bersyukur dan
berterimakasih ini merupakan nilai yang diwarisi oleh leluhur sejak
awal mula. Apabila kita tidak bersyukur dan berterimakasih, nenek
moyang akan marah kepada kita. Seiring dengan itu pula, apapun
yang kita kerjakan tidak akan berhasil. Kita tidak akan memperoleh
keberkatan dalam hidup. Oleh karena itu, kita harus menjaga
hubungan yang harmonis dengan leluhur, dengan sesama dan alam
W/NKLMKB/9
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
raya.
10. Nilai apakah yang
terkandung dalam budaya
saling memberikan sirih
pinang bagi masyarakat
Sumba?
Sirih pinang bagi masyarakat Sumba adalah alat komunikasi. Di
tempat lain, ketika masuk ke rumah orang kita mengucapkan salam.
Dalam budaya Sumba, ucapan salamnya tidak ada. Tidak ada
selamat pagi, selamat siang, selamat malam. Sebagai tanda ucapan
salam kita selalu menemukan orang mengatakan yapa kalekumu
(Berikanlah saya tempat sirih pinangmu). Dalam hal ini, sirih
pinang ini merupakan simbol atau alat yang mengawali atau
membuka komunikasi bagi masyarakat Sumba. Selain itu, sirih
pinang juga sebagai tanda ketulusan dan keterbukaan hati kita
menerima orang lain, misalnya jika kita memberikan kaleku kepada
seseorang, itu karena hati kita terbuka dan tulus berbicara dengan
orang tersebut. Kita tidak akan perna bisa memberikan kaleku pada
orang yang sedang kita musuhi. Tanda kita berdamai dengan
seseorang adalah kita harus memberikan kaleku, kemudian diikuti
tuturan atekakagu hinnako na kalekugu yang bermakna sebagai
tanda hati saya yang putih, suci dan tulus, maka terimalah kaleku
ini. Sirih pinang sebagai tanda ketulusan (ate kakago). Sebagai
tanda perdamaian kita memberikan kaleku yang kemudian diikuti
dengan menyuguhkan we‟e muttu (kopi, teh). Walaupun sudah
disuguhi we‟e muttu, atau dijamu dengan makanan, akan tetapi
apabila belum diberikan kaleku masyarakat Sumba tetap menilai
bahwa masih ada yang kurang, masih merasa bahwa belumdihargai.
Oleh karena itu, sirih pinang dalam kehidupan sosial budaya
masyarakat Sumba sangat kaya makna, yakni sebagai simbol
komunikasi, simbol perdamaian, simbol ketulusan dan simbol
persaudaraan
W/NKLMKB/10
11 Mengapa ritual Todi
Kadawu itu harus
Dalam dinamika spiritual Marapu, setiap rencana yang telah
diniatkan bersama-sama dengan Marapu baik melalui ritus Urrata
W/NKLMKB/11
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dilakukan? maupun Saiso, apabila mencapai keberhasilan harus dibuatkan
upacara pengucapan syukur. Apabila upacara pengucapan syukur
itu tidak dilakukan, Marapu akan murka dan menyebabkan manusia
akan mendapatkan malapetaka. Oleh karena itu, masyarakat
Marapu harus menjaga harmonisasi dengan Marapu dengan cara
harus melakukan ritual pengucapan syukur. Misalnya, setelah
berhasil menebang pohon dan memotong tali masyarakat harus
membuat ritual Todi Kadawu sebagai tanda syukur dan terimakasih
kepada Marapu.
12. Dosa-dosa apakah yang
paling tidak disukai
Marapu?
Dalam hal dosa dan kesalahan terdapat beberapa dosa yang paling
dibenci oleh Marapu, yakni Dala (berzina), kedu (mencuri), pamate
ata (membunuh), dan boto (berbohong, bersaksi dusta, dan tidak
menepati janji). Dosa-dosa inilah yang mencemari suku sehingga
kedua hal ini sangat dibenci oleh marapu. Untuk mendapatkan
pengampunan dari Marapu maka harus dibuatkan upacara
pemulihan kanna madiina kenga da kara (agar dia menduduki paha
yang tidak berkoreng), kanna kajatuna susu dakilla (agar dia
menyusu dari susu yang tidak beracun). Yang memiliki makna agar
orang tersebut kembali ke pangkuan Marapu dan Tuhan Yang Maha
penyayang dan Pengasih. Tuturan ini mengandung nilai pertobatan.
Agar tersebut kembali kepada Ibu dan Ayahnya dan diapun
diberkati. Dengan penyesalan atas dosa melalui upacara rekonsiliasi
orang akan mendapatkan balasan yang besar dari Tuhan. Pemulihan
untuk orang yang berbuat dosa yang sangat dibenci oleh Marapu
dilakukan melalui dua tahap, yakni pertama, terlebih dahulu
melakukan pemulihan dengan Marapu, kemudian pemulihan
dengan sesama manusia di dalam rumah. Kalau dosa Dala upacara
pemulihannya, yakni tunnu kareka, tawwe kabota. Setelah itu,
dengan menggunakan anjing yang akan dibuang di kali untuk
W/NKLMKB/12
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
membuang semua salah dan dosa yang telah mencemari nama baik
Kabizu. Lalu kemudian meminyaki orang yang berbuat dosa
tersebut dengan menggunakan kelapa untuk pembersihan kembali.
Dala yang dimaksud di sini ada tingkatannya. Yang paling berat
adalah Dala dalam hubungan sedarah atau satu Kabizu. itu paling
berat hukumannya. Kalau dalam bahasa sehari-harinya Marapu
sangat tidak menyukai selingkuh. Lebih baik orang tersebut kawin
dengan 12 istri daripada selingkuh. Ketika sudah membelis seorang
perempuan, menurut Maarapu perkawinan itu sah, perkawinan itu
suci. Dibandingkan sembunyi-sembuyi atau selingkuh. Jadi, lebih
bermartabat jika memiliki lebih dari satu istri dengan jalur yang sah
daripada Dala. Menurut Marapu, orang yang melakukan Dala
adalah orang yang tidak mempunyai harga diri.
13. Mengapa masyarakat
Kabizu Beijello menyebut
Tuhan dengan ungkapan
Dappa Tekki Ngara,
Dappa Summa Tamo (yang
tidak dinyatakan gelar-
Nya, yang tidak diketahui
wujud-Nya)?
Masyarakat Kabizu Beijello menyebut Tuhan dengan ungkapan
demikian karena namaNya sangat keramat dan sakral. Oleh karena
itu, namaNya tidak dapat disebutkan secara sembarangan. Ini
merupakan bentuk penghormatan dan ketakwaan terhadap ke-
Allahan dan ke-Ilahian Tuhan sebagai Pencipta dan Penguasa
seluruh alam jagad raya beserta isinya. Untuk menghormati
Keluhuran dan Kemuliaan Tuhan sebagai Yang Agung, Ilahi dan
Esa, masyarakat selalu menyebut nama Tuhan secara berpasangan,
misalnya Ina Mawolo, Ama Marawi (Ibu Yang Mencipta, Bapak
Yang menjadikan).
W/NKLMKB/13
14. Nilai filosofis apakah yang
terkandung dalam tuturan
labe a belleka, pari‟i a
kaladana?
Dalam tuturan labe a belleka, pari‟i a kaladana terkandung nilai
filosofis, yakni masyarakat yang religius. Masyarakat yang ber-
Tuhan. Labe ini merupakan mazbah Tuhan. Setiap warga Marapu
yang datang menyampaikan permohonan kepada Tuhan, biasanya
meletak pinang di Labe. Setelah itu baru mulai menyampaikan
permohonan kepada Tuhan. Labe ini merupakan tempat kedudukan
W/NKLMKB/14
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Tuhan sebagai Pencipta. Labe adalah mazbah Tuhan yang Maha
Melihat semua yang dilakukan umatnya. Labe yang merupakan
mazbah Tuhan itu, dia lebih besar sendiri. Ini menandakan bahwa
masyarakat Sumba itu sebagai masyarakat yang religius dan orang
Sumba percaya bahwa Tuhan itu ada. Seluruh kehidupan kita itu
diselenggarakan oleh Tuhan dan semua pergumulan kehidupan kita
itu selalu kita bawa kepada Tuhan dengan meletakkan sirih pinang
di Labe. Dan sekali waktu kita akan kembali kepada Tuhan. Dialah
tempat kita bersandar, tempat kita berserah. Jadi tujuan hidup
terakhir kita adalah Tuhan sementara itu Marapu hanya sebagai
perantara yang menghubungkan manusia dengan Yang Ilahi
15. Mengapa dalam ritual-
ritual adat masyarakat
Kabizu Beijello selalu
memberi sesajen kepada
Marapu?
Marapu itu harus dihormati. Walaupun Marapu itu tidak kelihatan,
tapi mereka mempunyai kekuatan-kekuatan ajaib yang dapat
memberikan kebahagiaan dan keselamatan kepada manusia. Bentuk
penghargaan dan penghormatan kepada Marapu adalah memberi
mereka makan. Dalam hal ini, ayam dalam ritual adat merupakan
makanan mereka. Untuk menjaga agar mereka tidak tersinggung
atau marah, mereka harus diberi makan. Ini merupakan cara
menjaga hubungan yang harmonis dan akrab antara manusia dengan
Marapu. Sehingga, dalam ritual-ritual adat Marapu yang harus
diberi makan duluan, tidak bisa kemudian. Marapu tidak boleh
terlupakan. Bahkan Rato Marapu, setelah memeriksa usus dan hati
ayam, mereka akan meminta agar agar hati ayam segera segera
dibakar untuk memberi makan kepada Marapu. Mereka takut
apabila lupa memberi makan kepada Marapu. Tora tagudawi
olumu. Nyakanda bullakandi. Ba bullakundi, bani bada. Danna
manotoba hetti padengi. Wa‟i-wa‟i awabage nemme ndamawenna
(Ayam ini merupakan milik Marapu, bagian Marapu. Oleh karena
itu, kita harus memberikan kepada Marapu apa yang menjadi
W/KLMKB/15
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
bagian dan milik Marapu. Apabila kita lupa memberi makan kepada
Marapu, mereka akan marah. Tidak akan berhasil apa yang menjadi
harapan dan kerinduan kita. Akan ada-ada saja halangan atau
kekacauan yang terjadi yang menyebabkan apa yang dimohonkan
tidak akan tercapai).
3. Wawancara Berkaitan dengan Jati Diri Masyarakat Kabizu Beijello
Kode: W/JDMKB/…
No. Pertanyaan Jawaban (Rangkuman) Kode
1. Mengapa seluruh anggota
Kabizu dilibatkan dalam
seluruh proses
pembangunan rumah
besar?
Uma Kalada (rumah besar) bukanlah merupakan rumah satu orang.
Akan tetapi, rumah ini merupakan rumah banyak orang, uma kabizuwe
(ini merupakan rumah klan). Jadi, semua anggota Kabizu dilibatkan
dalam musyawarah. Peiwe pata pakeddewe, pirrabapakeddewe,
gagarra bertanggung jawab, babapakeddewe, batauge tolakana,
batauge ngaingo gagarra patekki (bagaimana cara membangun, kapan
proses membangun dilakukan, siapa-siapa yang harus bertanggung
jawab dan pada saat pendirian tiang, pemuatan bubungan rumah dan
pengatapan siapa-siapa yang harus diundang). Ini semua harus
dibicarakan. Musyawarah pertama-tama dilakukan antar tetua adat,
lalu tetua-tetua adat dengan anggota Kabizu yang dilakukan di rumah
kecil, dan musyawarah terakhir di rumah besar. Hasil keputusan dari
masing-masing keluarga besar rumah kecil akan disimpulkan pada
saat musyawarah di rumah besar. Proses pembangunan rumah besar
ini bukanlah merupakan hal yang mudah. Oleh karena itu, perlu
perundingan, perlu musyawarah sehingga tidak ada yang tersinggung
karena tidak dilibatkan. Apabila tidak dirunding atau
dimusyawarahkan, maka kakodou-kakodoubana ba (semuanya
berjalan sendiri-sendiri) yang akan berdampak pada proses
pembangunan rumah tidak berhasil.
W/JDMKB/1
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2. Mengapa masyarakat
Kabizu Beijello selalu
menghormati Rato Uma
Kalada (pemimpin klan)?
Rato Uma Kalada adalah orang yang menjaga dan menempati Uma
Kalada (rumah besar), yakni rumah dari semua rumah yang berasal
dari satu Kabizu. Ia selalu disapa sebagai a poi api, a dita we‟e. A
poi api maksudnya adalah orang yang menduduki rumah besar,
yang menghidupkan api di rumah besar. Dalam hal ini, Rato Uma
Kalada harus mampu memberikan semangat, mampu mengayomi,
menggembleng dan bertanggung jawab. A dita we‟e memiliki
makna orang yang mampu memberikan kesejukan dan kedamaian
bagi anggota masyarakat Kabizunya. Selain itu, Rato Uma Kalada
juga selalu disapa sebagai ina, ama (ibu dan bapak). Hal ini karena
dalam hubungannya dengan kepercayaan Marapu Kabizu Beijello,
Rato Uma Kalada Kabizu Beijello adalah pemegang kekuasaan
tertinggi. Rato Uma Kalada dipilih oleh Marapu sebagai pemimpin
karena ia memiliki sikap jujur, bertanggung jawab, dan jauh dari
sikap-sikap yang sangat dibenci oleh Marapu, yakni kedu
(mencuri), pamate ata (membunuh), dala (berzina). Rato Uma
Kalada dipercaya dapat menjadi penyalur berkat dan sekaligus
dapat mengutuk. Dalam kaitannya dengan keberlangsungan hidup
dan kepentingan Kabizu, ia sangat ditakuti, dihargai dan dihormati.
W/JDMKB/2
3. Apakah beras dan sirih
pinang yang digunakan
dalam ritual Urrata harus
merupakan hasil usaha
sendiri dari orang yang
membuat ritual?
Beras dan sirih pinang yang digunakan dalam ritual Urrata harus
merupakan hasil kebun sendiri dari orang yang membuat ritual.
Masyarakat penganut Marapu mempunyai kebiasaan selalu
menyiapkan beras untuk ritual Urrata. Beras ini biasanya disimpan di
botol-botol yang telah dipersiapkan. Walaupun tidak ada bahan
makanan, beras yang telah dipersiapkan untuk ritual Urrata ini tidak
boleh diambil dan botol-botol penyimpanan beras tidak boleh kosong.
Hal ini bertujuan untuk berjaga-jaga apabila sewaktu-waktu akan
diadakan ritual Urrata.
W/JDMKB/3
4. Mengapa masyarakat Hutan, kayu, batu, gunung, lembah, sungai dalam keyakinan W/JDMKB/4
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Kabizu Beijello harus
melaksanakan ritual Todi
Kadawu setelah selesai
mengambil material
bangunan?
masyarakat Marapu mempunyai jiwa, mempunyai roh, mempunyai
tuan yang diyakini sebagai Ina mori loda (Ibu pemilik hutan), Ama
mori pada (Bapak pemilik padang). Oleh karena itu, setalah
mengambil material bangunan seperti kayu dan tali harus diadakan
ritual todi kadawu (ritual penutupan hutan). Ritual ini, merupakan
ritual mengucapkan syukur dan terimakasih kepada pohon, kayu, tali,
batu dan pemilik hutan, pemilik padang. Perilaku ini merupakan
wujud penghormatan kepada roh-roh gaib yang telah menolong
sehingga pekerjaan yang dilakukan boleh berjalan lancar dan berhasil
yang dalam bahasa Wewewanya natogola manairo, namawellita
mawana. Ritual ini harus dilakukan, jika tidak dilakukan akan ada saja
kendala-kendala yang dialami. Dengan dilakukannya ritual ini, proses
membawa kayu itu sampai di kampung halaman dapat berjalan dengan
baik dan lancar.
5. Mengapa masyarakat
Kabizu Beijello tidak dapat
menyebutkan nama Tuhan
dan menyampaikan
permohonan secara
langsung kepada Tuhan?
Tuhan itu dipandang sebagai Yang sangat sakral, Mahasuci, dan luhur.
Dia sangat ditakuti dan disegani. Oleh karena itu, nama Tuhan tidak
dapat disebutkan secara sembarangan. Dan kitapun tidak boleh
menyampaikan permohonan secara langsung kepada Tuhan. Ini
merupakan bentuk penghormatan dan ketakwaan terhadap ke-Allahan
dan ke-Ilahian Tuhan sebagai Pencipta dan Penguasa seluruh alam
jagad raya beserta isinya.
W/JDMKB/5
6. Mengapa harus diadakan
upacara wukke kadawu
(membuka hutan/ upacara
permohonan izin) ketika
hendak memotong tali dan
menebang pohon di hutan?
Hutan, padang, rimba, kayu dan batu diyakini mempunyai jiwa atau
roh. Di hutan terdapat begitu banyak Marapu Tana (makhluk-makhluk
halus). Hutan merupakan tempat tinggal Marapu Tana. Mereka
diyakini sebagai penjaga dan pemilik hutan. Atas dasar ini, Marapu
Tana selalu disebut sebagai Ina mori loda, Ama mori pada (Ibu
pemilik hutan, Bapak pemilik rimba). Marapu Tana ini ada yang
bersifat baik dan ada juga yang jahat. Oleh karena itu, ketika hendak
mengambil ramuan untuk membangun rumah besar, kita harus
W/JDMKB/6
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
memohon izin kepada Marapu Tana yang telah menjaga dan sekaligus
menjadi pemilik hutan. Ini merupakan bentuk penghargaan kepada
mereka.
7. Apa fungsi ayam dan babi
dalam ritual Urrata?
Dalam ritual Urrata ada penyembelihan ayam dan bahkan babi. Ayam
ini yang kemudian diperiksa usus dan hatinya oleh Ata Urrata untuk
meramalkan restu dan persetujuan dari Marapu. Sementara itu, untuk
babi hanya hatinya saja yang diperiksa. Dalam pertemuan ini apabila
terdapat anggota keluarga yang secara diam-diam tidak mendukung
atau menyetujui keputusan bersama, maka usus ayam, hati ayam dan
hati babi yang diperiksa akan menunjukkan keanehan yang hanya
dapat diramalkan oleh Ata Urrata. Berdasarkan hasil ramalannya, Ata
Urrata akan menyampaikan kepada tetua adat untuk ditanyakan
kepada semua yang hadir terkait siapa yang tidak mendukung
keputusan dan menyelidiki penyebab orang tersebut tidak
menyetujuinya. Setelah semua menyatakan persatuan akan dilakukan
ritual Urrata lagi dengan tujuan untuk menyampaikan kepada Marapu
bahwa semua telah bersatu. Biasanya, apabila penyebab Marapu tidak
menyetujui keputusan tersebut telah ditemukan dan diselesaikan tanda
dari usus, hati ayam dan hati babi akan menunjukkan menerima,
merestui dan menyetujui.
W/JDMKB/7
8. Mengapa setiap keputusan
yang telah disepakati
selalu diakhiri dengan
ritual Urrata (ritual
memohon persetujuan
kepada Marapu)?
Masyarakat Sumba pada umumnya menganut kepercayaan animisme.
Oleh karena itu, dalam bermusyawarah tidak hanya melibatkan orang-
orang yang masih hidup, tetapi juga melibatkan mereka yang telah
meninggal. Dalam hal ini, nenek moyang dan anggota-anggota Kabizu
yang telah meninggal. Setiap tahap pembuatan rumah adat baru dapat
dilakukan apabila telah mendapat persetujuan dari Marapu. Apabila
belum mendapatkan persetujuan dari Marapu dan proses pembuatan
rumah ini dipaksakan untuk dilakukan, maka diyakini akan
mendatangkan malapetaka atau proses pembuatan rumah ini tidak
W/JDMKB/8
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dapat berjalan lancar. Dan belum perna dilakukan pendirian rumah
tanpa ada persetujuan dari Marapu. Dalam alam pikir masyarakat
Sumba pada umumnya Marapu diyakini sebagai pengayom,
pelindung, penyelamat, penjaga. Sehingga, diyakini bahwa pelibatan
Marapu dalam setiap tahap musyawarah ini bertujuan agar setiap
tahap pembuatan rumah sampai pada tahap rumah di dihuni dapat
berjalan dengan lancar. Dalam musyawarah dengan Marapu ini yang
harus ditanyakan misalnya, appa pari‟i pawai, pari‟i bei atau pari‟i
wasu. Pirra madetada pari‟i. Pirragaiwe tolakana. Appapawai
ngaingo atau senge. (tiang apakah yang harus digunakan, apakah tiang
dari kayu atau besi. Berapa tinggi tiangnya, berapa tinggi bubungan
rumahnya. Dan apakah menggunakan alang atau seng). Semua ini
harus didiskusikan terlebih dahulu dengan Marapu yang walaupun
telah diputuskan oleh anggota klan yang masih hidup.
9. Apa makna tuturan
“Kadara pakalogama,
katena pamagawama
(Agar kami diberi
kebebasan dan
keleluasaan). Dappalaka
kama karingge, dappa
lodakama kalerre
(Janganlah menghalangi
kami)”?
Tuturan ini merupakan tuturan permohonan izin kepada roh-roh yang
mendiami hutan tempat penebangan pohon dan pemotongan tali.
Sebelum pelaksanaan pemotongan tali dan penebangan kayu, para
Rato Marapu menggelar ritual untuk memohon perkenanan kepada
Marapu pemilik hutan. Agar dalam pencarian pohon dan tali, dengan
mudah mendapatkan pohon dan tali yang berkualitas bagus. Apabila
ritual ini tidak dilakukan, maka akan ada saja marabahaya yang
mengintai, misalnya tertimpah pohon, digigit ular, susah mendapatkan
pohon dan tali yang berkualitas (W/JDMKB/18).
W/JDMKB/9
10. Apa fungsi sirih pinang
dalam konteks sosial
budaya masyarakat Kabizu
Beijello?
Sirih dan pinang dalam budaya masyarakat Sumba secara umum
merupakan tanda penghormatan, ketulusan dan keterbukaan hati
menerima orang lain atau tamu. Misalnya, jika kita memberikan
kaleku (tempat sirih pinang) kepada seseorang, itu karena hati kita
terbuka dan tulus berbicara dengan orang tersebut. Kita tidak akan
W/JDMKB/10
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
perna bisa memberikan kaleku pada orang yang sedang kita musuhi.
Walaupun sudah disuguhi we‟e muttu (kopi, teh) atau sudah dijamu
dengan makanan, tetapi apabila belum diberikan kaleku masyarakat
Sumba tetap menilai bahwa masih ada yang kurang, masih merasa
bahwa belum dihormati atau dihargai. Sementara itu, beras merupakan
makanan yang mempunyai nilai tinggi yang dapat diberikan kepada
tamu yang kita hargai dan hormati. Sebagai tanda penghormatan dan
penghargaan kepada tamu, kita menjamu tamu dengan menghidangkan
nasi yang berasal dari beras. Sama halnya ketika hendak berbicara
dengan Marapu. Sebelum berbicara dengan Marapu harus terlebih
dahulu menyebarkan beras, sirih dan pinang sebagai tanda kita benar-
benar menghormati, tulus dan terbuka berbicara dengan Marapu.
Dengan begitu doa-doa kita akan lurus sampai kepada Ina Mawolo,
Ama Marawi (Pencipta).
11. Apakah solider merupakan
jati diri masyarakat Kabizu
Beijello
Kerja sama, rasa sepenanggungan dan solider merupakan ciri khas
masyarakat Kabizu beijello dan bahkan Sumba pada umumnya. Untuk
mencapai sebuah kesuksesan seluruh anggota suku harus bekerja
sama, dan harus selalu merasa senasib dan sepenanggungan. Ketika
berbicara dalam konteks suku tidak bisa menonjolkan pribadi atau
kedirian. Masyarakat Sumba menjadikan kerja sama sebagai identitas
untuk mencapai kesuksesan bersama. Dalam suku tidak ada satupun
yang dapat dikerjakan sendiri, harus selalu dikerjakan secara bersama-
sama. Hal ini karena tidak sesuai dengan jati diri Marapu. Jadi,
meskipun misalnya, saya kaya dan saya bisa mengerjakan sendiri
tetapi dalam adatnya tidak bisa saya menyatakan bahwa saya sendiri
yang mengerjakannya. Harus tetap dikatakan bahwa dikerjakan secara
bersama terutama orang yang dituakan yang dihargai dalam keluarga.
Yang walaupun secara psikologi dia tidak mampu, tapi tetap dia yang
dituakan di situ. Jadi tidak bisa mengungkapkan kedirian. Itu harus
W/JDMKB/11
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dilalui dengan kerja sama atau kebersamaan itu.
12. Pada saat-saat kapankah
musyawarah-musyawarah
itu dilakukan?
Dalam dinamika spiritualitas masyarakat Sumba pada umumnya
terdapat beberapa bentuk kerja sama, yakni pada saat upacara panen.
Ketika seseorang hendak panen diundanglah anggota keluarga Kabizu,
tetangga dan kenalan untuk membantu. Setelah selesai panen,
diadakan upacara Woleka (syukur) dengan memukul gong sebagai
pertanda untuk menyampaikan kepada Marapu bahwa upacara panen
telah selesai dan memberitahukan kepada Marapu bahwa ini tidak
dikerjakan sendiri, tetapi merupakan hasil kerja sama. Selain itu,
masih terdapat beberapa bentuk kerja sama yang lain, misalnya pada
saat membangun rumah, membantu meringan beban dari orang yang
mengalami musibah (rumah terbakar, keluarga yang sakit atau
meninggal), potong batu kubur, Tarik batu kubur. Ketika mendengar
ada keluarga yang meninggal, seluruh anggota keluarga dan bahkan
tetangga atau haudai tolan dengan sendirinya merasa terpanggil untuk
menunjukkan rasa belasungkawa mereka melalui sikap kekompakan
dalam memperbaiki rumah dari orang yang meninggal, membangun
tenda dan menggali kubur. Orang-orang yang turut ambil bagian
dalam berbagai kegiatan ini tidak diundang. Mereka dengan
sendirinya merasa terpanggil untuk meringankan beban dari keluarga
yang meninggal. Selain membantu dalam berbagai kegiatan, keluarga
atau handai tolan yang datang juga membawa kain, sarung, beras,
kopi, gula, sirih, pinang dan bahkan ada yang membawa babi dan
kerbau. Ini merupakan bentuk solidaritas, merasa senasib,
sepenanggungan.
W/JDMKB/12
13. Apakah masyarakat Kabizu
Beijello dapat disebut
sebagai masyarakat
agraris?
Masyarakat Sumba pada umumnya adalah masyarakat agraris. Orang
Sumba dalam konteks adat itu, mereka harus bekerja kebun dan
berternak. Pagi sampai siang mereka bekerja kebun. Pada saat istirahat
makan siang mereka tidak tidur siang, melainkan mereka melakukan
W/JDMKB/13
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
pekerjaan-pekerjaan kreatif seperti mengayam, menenun, memintal
tali, membuat sendok, membuat parang, cangkul, pacul, pisau. Pada
sore hari mereka pergi lagi ke kebun. Pada saat pulang dari kebun
mereka membawa makanan babi, kuda, kerbau, dan sebagainya.
Orang Sumba mempunyai filosofi hidup bahwa jika tidak bekerja,
maka tidak ada orang yang dapat memberikan kita makan. Harus
bekerja baru bisa makan. Melalui bekerja kebun, memelihara ayam,
babi, kuda, kerbau orang bisa bertahan hidup. Melalui bekerja orang
dapat mengurus kehidupannya sendiri, dapat dipakai untuk membantu
atau menolong orang lain yang membutuhkan dan juga dapat
menghasilkan sesuatu yang dapat dipersembahkan kepada yang Ilahi
14 Apakah musyawarah
merupakan jati diri
masyarakat Kabizu
Beijello?
Musyawarah merupakan warisan leluhur sejak awal mula yang terus
dihidupkan oleh masyarakat kabizunya. Dalam hal ini bukan saja
Kabizu Beijello yang menjadikan musyawarah sebagai jati diri
mereka. Akan tetapi, semua kabizu di Sumba sudah menjalankan ini
sejak nenek moyang mereka masing-masing. Ini sudah menjadi
perilaku hidup nenek moyang yang diwariskan kepada generasi
sekarang ini. Musyawarah ini dilakukan dengan tujuan untuk menjaga
keseimbangan dan keharmonisan. Agar tidak ada ketersinggungan
antara satu dengan yang lainnya. Agar tidak ada yang merasa diri
sudah tidak berarti pada komunitas itu, pada kelompok, pada
persaudaraan dan kekeluargaan itu. Sehingga, apapun yang dicita-
citakan atau diidam-idamkan dapat berhasil. Musyarawah dalam hal
ini misalnya, musyawarah dalam hal pembuatan rumah adat, membuat
batu kubur, gali tulang, upacara Woleka (syukur), perkawinan,
kematian, anak sekolah dan masih banyak lagi lainnya.
W/JDMKB/14
15 Bagaimanakah cara
menjaga harmonisasi
dengan pemimpin klan?
Cara menjaga harmonisasi dengan pemimpin klan adalah menaati dan
menjalankan perintahnya. Pemimpin klan adalah orang yang memiliki
hubungan yang dekat dengan Marapu. Doa dan permohonannya
W/JDMKB/15
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
didengarkan oleh Marapu. Apabila dalam permohonan itu, pemimpin
klan memohon petaka bagi orang yang tidak menaati perintah
pemimpin klan, maka petaka itu akan terjadi. Orang yang tidak
mengindahkan perintah pemimpin klan tidak akan perna mendapatkan
keselamatan dan keberkatan dalam hidup. Oleh karena itu, agar selalu
mendapatkan berkat dan keselamatan maka harus menjaga
harmonisasi dengan pemimpin klan dengan cara menaati dan
melaksanakan perintahnya.
4. Wawancara Berkaitan dengan Strategi Preservasi Tradisi Lisan Masyarakat Kabizu Beijello
Kode: W/SPTLMKB/…
No. Pertanyaan Jawaban (Rangkuman) Kode
1. Bagaimana proses
pewarisan tradisi lisan
masyarakat Kabizu
Beijello?
Dapat melalui proses alamiah. Proses secara alamiah itu maksudnya
bahwa tradisi lisan itu merupakan karunia secara langsung atau
diturunkan dan diilhamkan secara langsung oleh Marapu kepada
seseorang yang dipilih oleh Marapu. Proses pewarisan itu biasanya
melalui peristiwa-peristiwa tertentu. Misalnya, melalui mimpi, sakit
atau pingsan. Pada saat sakit dan pingsan itulah orang tersebut akan
mendapatkan karunia dan ilham dari Marapu sehingga ketika sadar
orang itu sudah fasih menuturkan tradisi lisan Teda. Meskipun,
orang yang tadinya tidak bisa berbicara di depan umum atau tidak
mempunyai kemampuan berbicara, tapi ketika mendapatkan karunia
itu menjadi orang yang sangat berani dan mempunyai kemampuan
berbicara dan tampil untuk membawakan ritual-ritual adat. Artinya
bahwa itu tanpa perbuatan manusia tapi itu merupakan karunia dari
leluhur. Dalam satu klan selalu ada yang menjadi pewaris tradisi
lisan Teda tanpa harus dididik, tanpa dilatih, tanpa diajar orang ini
akan dengan sendirinya menguasai teda.
W/SPTLMKB/1
2. Apakah keterlibatan dan Secara alamiah juga bisa dari orang tua (imam Marapu) itu kepada W/SPTLMKB/2
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ikut aktif dalam
menuturkan tradisi lisan
Teda pada berbagai ritual
adat dapat membuat
seseorang menguasai
Teda?
anaknya atau imam Marapu itu kepada salah satu orang dalam
kabizu itu. Tidak mungkin talenta itu diberikan kepada Kabizu lain.
Kabizu lain itu juga mempunyai kedudukan sendiri. mempunyai
marapu (nenek moyang) sendiri. Dalam Kabizu ada Rato. Rato itu
melihat bahwa anaknya atau anggota Kabizu itu mampu, lalu
anaknya diajar secara terus menerus atau dibawa dan diminta untuk
terlibat dalam ritual-ritual Urrata, Saiso, Dodo dan Oka. Selain itu,
bisa juga karena ada niat dalam diri seseorang untuk bisa
menguasai Teda. Orang itu akan sering terlibat dalam pembicaraan-
pembicaraan adat. Misalnya, dekuna tauna li‟i bawai‟ikoge Saiso,
Dodo, monno Oka (ikut menjadi penanya pada ritual-ritual Saiso,
Dodo, dan Oka). Dengan secara terus menerus orang tersebut
terlibat dalam pembicaraan adat, maka orang itu akan menguasai
bahasa-bahasa Teda.
3. Bagaimanakah peran
Lembaga agama dalam
melestarikan tradisi lisan?
Kalau dalam bidang keagamaan itu, kita di gereja katolik ada yang
namanya inkulturasi, enkulturasi dimana kita memasukkan unsur-
unsur budaya setempat dalam kehidupan keagamaan sehingga
keagamaan kita menjadi sesuatu yang relevan dengan kehidupan
sosial budaya itu. Penghayatan iman kita, tidak menjadi sesuatu
yang asing, datangnya dari luar tetapi dia menjadi sesuatu yang
cocok dengan penghayatan iman dalam kebudayaan. Inkulturasi,
yakni mewajibkan dalam gereja itu untuk menggunakan bahasa ibu,
menggunakan bahasa Teda supaya orang bisa mengerti dengan apa
yang diuraikan. Selain itu, lagu-lagu rohani yang dibawakan pada
saat perayaan-perayaan ekaristi menggunakan bahasa Teda.
Contohnya lagu pareku mori dan tarian-tarian itu perlu dimasukkan
sebagai inkulturasi, lagu-lagu daerah itu perlu dinyanyikan karena
itu mempunyai nilai. Karena dengan menggunakan tradisi lisan
dalam lagu-lagu ini dapat mengangkat hati orang, dapat menggugah
W/SPTLMKB/3
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
hati orang. Dan juga tarian-tarian seperti Saiso, Oka, Dodo di
gereja juga diperkenankan. Lembaga Gereja itu sudah lama sekali
mencoba melestarikan tradisi lisan. Misalnya dulu itu terbitnya
buku amama zamme, itu melalui lokakarya yang dibuat resmi oleh
lembaga Gereja. Bahasa-bahasa dalam Amamasamme itu
merupakan bahasa-bahasa Teda. Kalau kita mendengar doa-doanya,
lagu-lagunya. Lagu Bapa Kami itu menggunkan bahasa Teda. Syair
dalam doa bapa kami itu merupakan bahasa Teda. Kemudian dalam
liturgi Katolik sering kali dalam lagu-lagu dalam tarian-tarian
persembahan yang diiringi dengan lagu itu menggunakan bahasa
teda.
4. Bagaimanakah keberadaan
tradisi lisan Teda pada era
globalisasi ini?
Saya sangat dilematis dengan realitas sekarang. Sebagai seorang
tokoh budaya, tokoh adat, tokoh pemerhati kelestarian budaya
Sumba secara umum dan Wewewa secara khusus saya sangat
menyesal. Mengapa saya menyesal karena pada saat ini tradisi lisan
ini berada di ambang kepunahan. Tradisi lisan Teda pada saat ini
hanya dikuasai oleh penutur-penutur tua. Sedangkan, yang
memiliki umur di bawah saya apalagi yang temasuk anak-anaknya
saya, saya sangat menyesal, saya sangat kecewa karena apa mereka
macam menjadi orang asing di negerinya sendiri. Orang asing yang
belajar di orang Sumba, lebih hebat, lebih pintar berbahasa Teda,
bersyair, berpantun, berseloka adat Wewewa ketimbang orang kita
sendiri. Anak-anak muda sekarang cenderung mainannya yang
berkaitan dengan teknologi seperti bermain hp, facebook, game
online, WA.
W/SPTLMKB/4
5. Bagaimanakah peran
lembaga Pendidikan dalam
melestarikan tradisi lisan
Teda?
Harus diangkat melalui pendidikan. Sebetulnya peluang untuk
diangkat melalui pendidikan ini sangat besar. Katakanlah kalau
melalui pendidikan formal, muatan-muatan lokal bisa mengangkat
unsur-unsur ini. Itu untuk sekolah dasar sampai sekolah menengah.
W/SPTLMKB/5
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Di perguruan tinggi, sangat bisa diangkat menjadi satu mata kuliah.
Dan ini bisa diangkat menjadi salah satu kearifan lokal yang
menjadi ciri khas program studi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1
NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL DALAM TRADISI LISAN TEDA:
KAJIAN EKOLINGUISTIK METAFORIS
Yuliana Sesi Bitu1, R. Kunjana Rahardi
2, Pranowo
3
Program Studi Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Surel: [email protected];
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan nilai-nilai kearifan lokal yang
termanifestasikan dalam tradisi lisan Teda pada upacara Padede Uma Kalada.
Penelitian ini dikaji dengan menggunakan perspektif ekolinguistik metaforis,
yakni ilmu yang mengkaji hubungan tali-temali bahasa dengan strata sosial,
status sosial, kebudayaan, etnisitas laras, dan sejenisnya (Rahardi, 2016).
Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah metode wawancara
dan observasi. Metode ini diterapkan melalui teknik rekam dan teknik catat.
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan ditemukan 5 nilai yang selalu dihidupi
oleh masyarakat Kabiz Beijello yang meliputi nilai ketaatan, religius,
persatuan, rekonsiliasi dan syukur.
Kata Kunci: Ekolinguistik metaforis, tradisi lisan Teda, dan nilai kearifan
lokal.
Abstract
This research is designed to describe the values of the the local wisdom that
manifested in the oral tradition of Teda and Padede Uma Kalada Ceremony.
This research was examined using a metaphorical ecolinguistic perspective:
study about relationship between language with social status, culture, larvae
(Rahardi, 2016). All data are collected by using interview method. This method
is applied through the record and written technique. Based on the results of the
study found 5 values that are always lived by Kabizu Beijello community
which includes the values of obedience, religious, unity, reconciliation and
gratitude.
Keywords: Metaphorical ecolinguistics, oral tradition of Teda, and the value of
local wisdom.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
A. Pendahuluan
Pada era globalisasi ini terdapat fenomena bahwa tradisi lisan semakin
ditinggalkan oleh masyarakat penerusnya (generasi muda). Kondisi ini apabila tidak
disikapi dengan bijak, maka niscaya kepunahan tradisi lisan hanyalah soal waktu.
Situasi yang sedang dialami tradisi lisan Teda dalam upacara Padede Uma Kalada
berdasarkan kesaksian informan yang diwawancarai adalah tradisi lisan Teda pada
saat ini hanya dikuasai oleh penutur-penutur tua. Generasi muda sangat kurang
keterlibatannya dalam melestarikan tradisi lisan Teda. Generasi muda pada saat ini
lebih tertarik dengan hal-hal yang bersifat modern daripada mempelajari tradisi lisan.
Penelitian yang dilakukan Mbete (2015) membuktikan juga bahwa ada gejala
serius yang melanda (sebagian besar) generasi muda bangsa yakni “ketercerabutaan”
(rootlessness) dari akar lokal. Generasi muda dan remaja bangsa khususnya semakin
pragmatis, lebih berorientasi dan memilih untuk mempelajari dan menguasai bahasa
asing, dan mengabaikan bahasa daerah atau bahasa lokal. Dengan demikian,
kurangnya rasa cinta dan kepedulian generasi muda terhadap tradisi lisan (bahasa
daerah), maka niscaya kepunahannya hanyalah soal waktu. Kepala Badan
Pengembangan Bahasa dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Dadang Sunendar dalam pidatonya pada saat memperingati puncak Bulan Bahasa dan
Sastra pada hari Senin (28/10/2019) di Jakarta menunjukan fakta bahwa 11 bahasa
daerah yang tersebar di wilayah Indonesia telah punah, 22 bahasa terancam punah, 4
bahasa dalam kondisi kritis, dan 16 bahasa stabil, tetapi terancam punah. Selain itu, 2
bahasa daerah mengalami kemunduran dan hanya 19 bahasa berada pada
kategori aman (Kompas, 2019).
Terancam punahnya bahasa daerah dan fenomena kurangnya rasa memiliki
dan rasa cinta generasi mudah terhadap bahasa daerah tentu akan berimbas pada
hilangnya kearifan-kearifan lokal. Selain itu, akan menyebabkan memudarnya nilai-
nilai toleransi, solidaritas dan persatuan yang merupakan warisan leluhur yang
terekam dalam tradisi lisan atau bahasa daerah itu. Hal ini senada dengan (Mbete,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
2015:183) yang mengungkapkan bahwa ancaman punahnya bahasa daerah jelas
memudarkan ciri jati diri komunitas etnik. Seiring dengan itu, sirna pula nilai-nilai
warisan leluhur, adicita (ideology), dan aneka kearifan lokal (local wisdom) yang
terekam dalam bahasa lokal itu.
Berdasarkan berbagai fakta dan data di atas, maka kegiatan menggali dan
menghidupkan kembali kekayaan nilai-nilai kearifan-kearifan lokal yang terekam
dalam tradisi lisan Teda pada upacara Padede Uma Kalada menjadi sangat penting
untuk dilakukan. Hal itu selain sebagai salah satu cara memelihara nilai-nilai yang
dapat memperkuat dan memperkokoh kebhinnekaan bangsa, juga merupakan salah
satu cara melestarikan bahasa. Hal itu sebagaimana diwacanakan oleh Haugen
(1972:325) sebagai pelopor teori ekolinguistik yang menyatakan bahwa bahasa lahir
dan mati bagaikan organisme hidup. Bahasa memiliki rentang kehidupannya tumbuh
dan berubah seperti halnya manusia dan hewan serta memiliki sedikit penyakit yang
hanya dapat disembuhkan dengan menggunakan obat yang tepat oleh para pakar
bahasa. Pernyataan Haugen ini, mengisyaratkan bahwa penelitian-penelitian bahasa
merupakan salah satu cara memelihara dan menyelamatkan bahasa dari kepungan
arus globalisasi. Hal ini ditegaskan oleh Fill & Penz (2018: i) bahwa ekolinguistik
pada hakikatnya membahas tentang kehilangan bahasa dan pemeliharaan bahasa
di era globalisasi.
Teda merupakan tradisi lisan asli masyarakat Wewewa, Kabupaten Sumba
Barat Daya, Nusa Tenggara Timur. Tradisi lisan Teda merupakan tradisi lisan yang
bersifat resmi. Dalam artian bahwa tradisi lisan itu hanya dapat dituturkan dalam
situasi-situasi yang bersifat resmi seperti dalam pertemuan atau musyawarah adat dan
dalam ritual-ritual adat. Dalam kenyataannya, setiap aktivitas sosial dan budaya
masyarakat Wewewa selalu diwarnai dengan berbagai macam upacara adat, seperti
upacara adat perkawinan, kematian, menabur benih, upacara syukur (woleka) dan
upacara pembangunan rumah adat (Padede Uma Kalada). Di dalam berbagai
aktivitas sosial dan budaya itulah tradisi lisan Teda mewarnai rangkaian acara. Dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
artikel ini pengkajian dibatasi pada tradisi lisan Teda yang digunakan dalam upacara
Padede Uma Kalada (pembangunan rumah besar).
Tradisi lisan Teda tentu bukan hanya sebagai salah satu jenis tutur adat,
namun sebagai salah satu warisan nenek moyang tradisi lisan itu tentu menyimpan
dan merekam nilai-nilai kearifan lokal, kebijakan dan filosofi hidup yang dijadikan
sebagai pedoman dan alat kontrol dalam membina kehidupan bersama yang seimbang
dan harmonis baik dengan sesama, leluhur, roh-roh gaib maupun dengan Tuhan
sebagai Wujud Tertinggi. Hal ini sejalan dengan Neonbasu (2016:122) bahwa
penjelasan puitis terhadap ayat-ayat tradisi lisan masyarakat Sumba bermanfaat untuk
memahami lebih dalam kepribadian penutur dan terlebih konsep perilaku sosial
masyarakat baik anak-anak maupun orang dewasa dan orang tua. Titik tolak
pemahaman ini terletak pada perasaan tanggung jawab yang sama untuk senantiasa
menjaga harmonisasi.
Sifat tradisi lisan Teda yang merekam nilai-nilai kearifan lokal tentu sangat
relevan dikaji dengan menggunakan pisau analisis ekolinguistik metaforis.
Pengambilan posisi ini karena ekolinguistik metaforis merupakan interdisipliner
linguistik yang mengkaji hubungan tali temali antara bahasa dengan lingkungan.
Lingkungan dalam hal ini didefinisikan sebagai masyarakat yang menggunakan
bahasa sebagai salah satu kode sosial dan budaya (Haugen, 1972:325). Hal ini senada
pula dengan Rahardi (2016) yang menjelaskan bahwa ekolinguistik metaforis adalah
studi yang mengkaji hubungan tali temali antara bahasa dengan strata sosial, status
sosial, kebudayaan, etnisitas, laras dan sejenisnya.
Berdasarkan uraian di atas, pertanyaan yang hendak dijawab dalam penelitian
ini adalah nilai-nilai kearifan lokal apakah yang termanifestasi dalam tradisi lisan
Teda pada upacara Padede Uma Kalada? Seiring dengan rumusan masalah ini, tujuan
dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan nilai-nilai kearifan lokal yang
tertemanifestasikan dalam tradisi lisan Teda pada upacara Padede Uma Kalada
dengan menggunakan kajian ekolinguistik metaforis.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
Data dalam penelitian ini diperoleh dari dua jenis sumber data, yakni sumber
data lokasional dan sumber data substantif (periksa Rahardi, 2009:32). Sumber data
lokasional dalam penelitian ini diperoleh dari masyarakat Kabizu Beijello, Kabupaten
Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur. Sementara itu, sumber data substantif
dalam penelitian ini terdiri atas dua jenis sumber data, yakni sumber data primer dan
sumber data sekunder (periksan Sudaryanto, 2015:224). Sumber data primer dalam
penelitian ini adalah tuturan-tuturan dalam tradisi lisan dalam upacara Padede Uma
Kalada yang telah ditranskripsikan oleh peneliti menjadi teks dari hasil rekaman atau
hasil catatan pada saat pengumpulan data (periksa Nesi, (2018:80). Sumber data
primer ini diperoleh peneliti dari tiga orang tetua adat masyarakat Wewewa,
Kabupaten Sumba Barat Daya, NTT.
Data dalam penelitian ini terdiri atas dua jenis data, yakni (1) data primer
berupa data yang dapat diperoleh dari bagian-bagian dari tradisi lisan dalam upacara
adat Padede Uma Kalada yang sudah ditranskripsikan dan telah diidentifikasi oleh
peneliti sehingga menjadi korpus data yang di dalamnya merekam nilai-nilai kearifan
lokal masyarakat Kabizu Beijello. (2) Data sekunder merupakan data berupa
informasi yang diperoleh peneliti dari hasil wawancara etnografis dengan informan,
hasil studi dokumen dan referensi-referensi pustaka yang dikutip oleh peneliti untuk
mengonfirmasi dan memperkuat argumen peneliti terkait dengan interpretasi data
primer yang diteliti. Sementara itu, metode pengumpulan data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode etnografis yang terdiri atas dua, yakni metode
pengamatan dan metode wawancara. Kedua metode ini dibantu dengan empat teknik,
yakni teknik simak libat cakap, teknik bebas simak libat cakap, teknik rekam dan
teknik catat.
Data dalam penelitian ini dianalisis dengan melalui 7 (tujuh) tahap, yakni
pertama, transkripsi data, yakni data yang direkam tersebut ditranskripsikan oleh
peneliti agar lebih mudah menentukan korpus data yang dapat menjajawab penelitian
ini. Kedua, penerjemahan gloss data, yakni data diterjemahkan dari bahasa Wewewa
ke dalam bahasa Indonesia. Ketiga, identifikasi data, yakni peneliti mengidentifikasi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
data-data yang dapat dianalisis. Keempat, klasifikasi data, yakni peneliti
mengelompokan data berdasarkan tujuan penelitian. Kelima, deskripsi konteks, yakni
penelitian mendeskripsikan konteks yang melingkupi tuturan. Keenam, pemaknaan
data, yakni peneliti mendeskripsikan nilai-nilai yang terkandung dalam data. Ketujuh,
triangulasi hasil analisis, konfirmasi dan refleksi (Nesi, 2018:87-88).
B. Nilai-Nilai Kearifan Lokal dalam Tradisi Lisan Teda Berdasarkan pada
Kajian Ekolinguistik Metaforis
Berdasarkan hasil analisis data ditemukan bahwa di dalam tradisi lisan Teda
pada upacara Padede Uma Kalada terdapat nilai-nilai yang dihidupi oleh masyarakat
Kabizu Beijello. Nilai-nilai itu meliputi, nilai ketaatan, religius, persatuan,
rekonsiliasi dan syukur. Masing-masing nilai itu dipaparkan sebagai berikut.
1. Ketaatan
Ketaatan memiliki makna senantiasa tunduk, patuh, setia dan tidak berlaku
curang kepada pemerintah, kepada Tuhan dan sebagainya (Sumayadi, 2018:24).
Masyarakat Kabizu Beijello merupakan masyarakat yang lahir dalam dinamika
spiritual Marapu. Marapu merupakan pedoman, landasan, dan kunci kehidupan
masyarakat Kabizu Beijello. Kesadaran akan hal itu, masyarakat Kabizu Beijello
selalu menaruh sikap taat dan patuh kepada Marapu. Hal ini tergambarkan pada data
tradisi lisan Teda dalam upacara Padede Uma Kalada sebagai berikut.
Data 1. G1/ES5
Nebahinna, nennati pamama ole
Saat ini, ini sirih pinang kawan
Terimalah sirih pinang ini.
Mandungo katanga, kettera kaleba
Pegang kuat kendali, eratkan ikat pinggang
Peganglah kuat-kuat keputusan dan janji yang telah disepakati bersama.
Tana dadikki , watu dangero
Tanah yang tidak berpindah, batu yang tidak bergeser
Keputusan dan janji yang tidak akan berubah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
Konteks: Tuturan lisan di atas merupakan bagian dari data tradisi lisan pada saat pembagian
sirih pinang pada tahap pertemuan satu keluarga besar Kabizu Beijello di rumah
besar. Tuturan lisan di atas dituturkan oleh pemimpin klan atau orang yang
dipercayakan pemimpin musyawarah pada tahap musyawarah adat satu keluarga
besar Kabizu Beijello di rumah besar. Dalam data di atas memperlihatkan ada
peristiwa pembagian sirih pinang setelah pengambilan ikrar atau sumpah. Sirih
pinang diyakini sebagai simbol kehadiran Marapu (arwah-arwah leluhur) yang
mengikat seluruh keputusan yang telah disepakati. Oleh karena itu, keputusan itu
tidak boleh dilanggar. Jika dilanggar maka konsekuensinya adalah petaka.
Pada data 1 di atas kearifan lokal berwujud nyata ditunjukkan pada kata
pamama yang berarti sirih-pinang. Masyarakat Kabizu Beijello pada saat menyebut
buah sirih dan pinang secara bersamaan selalu menggunakan kata pamama.
Sementara itu, kegiatan menguyah sirih dan pinang secara bersamaan yang dicampur
dengan kapur disebut mama. Dalam bahasa Wewewa sirih disebut utta dan pinang
disebut winno. Pamama (sirih-pinang) dalam data 1 di atas mengandung gagasan dan
pengetahuan lokal yakni pamama (sirih-pinang) digunakan sebagai meterai yang
mengikat dan mensahkan ikrar dalam musyawarah adat.
Nilai yang dapat direfleksikan melalui pembagian mama (sirih pinang) adalah
ketaatan terhadap hukum adat. Masyarakat Kabizu Beijello meyakini bahwa
pengangkatan ikrar atau sumpah yang ditandai dengan peristiwa pembagian sirih
pinang merupakan lambang kehadiran Marapu (nenek moyang) yang menyaksikan
dan mengikat ikrar. Oleh karena itu, ikrar dalam wujud sumpah adat itu harus ditaati
dan dijalankan dengan penuh kesetiaan, kejujuran, dan tanggung jawab. Hal itu
digambarkan pada metafora mandungo katanga, ketera kaleba. Setiap orang yang
telah menerima sirih pinang berarti menyatakan kesiapsediaan untuk menggenggam
erat keputusan bersama tersebut. Hal itu karena keputusan itu bersifat sah, kukuh dan
mengikat. Hal itu ditunjukkan pada metafora tana dadikki, watu ndangero.
Pelanggaran terhadap ikrar dalam wujud sumpah adat itu diyakini sebagai petaka bagi
si pelanggar tersebut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
Senada dengan hal di atas, Aluman (2016) dalam penelitiannya yang berjudul
“Perekonomian Desa pada Pelana Masyarakat Sumba” juga menemukan bahwa
komunitas Marapu memiliki komitmen yang sangat tinggi terhadap sebuah
keputusan. Penghargaan terhadap sebuah keputusan diwujudkan dalam
pelaksanaannya. Mereka tidak mengingkari janji atau melaksanakan sesuatu hal yang
menyimpang dari keputusan yang ditetapkan sebelumnya. Keputusan yang telah
ditetapkan memiliki nilai yang sangat tinggi dan mengandung resiko buruk ketika
dilanggar dalam pelaksanaannya.
2. Religius
Religi bersinonim dengan kepercayaan, yakni kepercayaan kepada Tuhan dan
kepercayaan akan adanya kekuatan adikodrati yang melampaui kemampuan manusia.
Kepercayaan itu selama ini dikenal sebagai kepercayaan animisme dan dinamisme
(Bera, 2016:198). Masyarakat Kabizu Beijello sebagai masyarakat Marapu tidak
hanya percaya kepada Marapu atau kekuatan gaib yang lainnya. Akan tetapi, juga
memiliki kepercayaan kepada Wujud Tertinggi, yakni Tuhan. Hal itu digambarkan
dalam tradisi lisan Teda dalam upacara adat Padede Uma Kalada sebagai berikut.
Data 2. O1/ES12
Nebahinna kapandege you ina, you ama
Saat ini supaya kalian mengetahui, engkau ibu, engkau bapak
Saat ini, agar nenek moyang mengetahui
Nadukkiwe na’i labe a belleka, pari’i a kaladana
Sampai kepada dia di sana cincin yang lebar , tiang yang besar
Sampai kepada Sang Khalik
A kanga wolla limma, a bokka wolla wa’i
Yang memisah jari tangan, yang membagi jari kaki
Tuhan sebagai pemisah jari tangan dan jari kaki
Ina A Mawolo , Ama A Marawi
Ibu yang mencipta, Bapak yang menjadikan
Tuhan yang menjadikan dan menciptakan manusia dan seluruh alam semesta
Adopola tou , A adiwe wekki
Yang membentuk badan, yang memadatkan tubuh
Tuhan yang membentuk dan memadatkan badan
Konteks:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
Tuturan lisan di atas merupakan bagian dari tradisi lisan pada tahap Saiso
pembuatan loteng rumah. Data tradisi lisan ini dinyanyikan oleh Ata Saiso.
Nyanyian ini merupakan doa yang ditujukan kepada Tuhan melalui perantaraan
Marapu. Dalam doa itu, Ata Saiso memohon pengampunan, keselamatan dan
keberhasilan pembuatan loteng rumah.
Tuturan Labe A Belleka, Pari‟i A Kaladana (Cincin Yang Lebar, Tiang Yang
Besar) pada data 2 di atas memberikan gambaran nyata bahwa struktur rumah adat
masyarakat Wewewa ditopang oleh empat tiang utama. Pada masing-masing tiang ini
terdapat Labe (cincin), yakni kayu yang berbentuk bulat. Dari keempat Pari‟i dan
Labe ini terdapat salah satu Pari‟i yang dimaknai sebagai Tiang Agung yang dalam
bahasa Wewewanya koko poga. Masyarakat Kabizu Beijello memandang Tiang
Agung sebagai Tuhan Allah. Dalam hal ini, tiang agung diyakini sebagai lambang
kehadiran Tuhan Yang Maha Besar dan Maha Agung. Tuhan yang merangkul,
memikul, melindungi dan menopang seluruh umatnya. Sementara itu, Labe yang
berada pada Tiang Agung memiliki ukuran yang lebih besar dari ke tiga Labe
lainnya. Labe yang ada pada tiang agung ini diyakini sebagai mazbah Tuhan. Sebagai
tempat bertahta dan kedudukan Tuhan yang mampu memayungi dan menaungi
umatnya. Dengan demikian, Pari‟i dan Labe bagi masyarakat Sumba bukan hanya
sekedar penyangga atap, melainkan memiliki nilai filosofis, yakni menandakan
masyarakat yang religius yang meyakini dan percaya akan keberadaan Tuhan sebagai
Pencipta, Penjaga dan Penyelenggara kehidupan. Hal ini sejalan dengan Bera (2016:
193) yang mengungkapkan bahwa tiang utama, tiang besar orang Sumba disebut
Tuhan Allah, disebut sebagai tiang agung yang dalam bahasa Marapu dikenal dengan
istilah koko poga (leher besar atau leher agung). Ungkapan ini tertuju pada pengertian
kehadiran Tuhan Pencipta yang memikul dan melindungi seluruh umat manusia.
Cincin menjadi payung yang menaungi seluruh manusia. Cincin rumah agung (lele
labe).
Masyarakat Kabizu Beijello sesungguhnya mempunyai cara yang sangat
sederhana namun jitu dalam menanamkan nilai-nilai kehidupan baik sebagai warga
rumah maupun sebagai warga Kabizu. Masyarakat Kabizu Beijello dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
membangun kesadaran hidup adab berketuhanan, Tuhan Sang Pencipta itu dihadirkan
atau digambarkan melalui benda-benda fisik tertentu berupa bagian dari tubuh rumah
sebagai simbolis. Pencipta disimbolkan dengan Pari‟i Kalada „Tiang Besar‟ dan
Labe A Belleka „Cincin Yang Lebar‟. Arti praktisnya adalah Tuhan Pencipta itu
adalah pelindung hidup manusia warga rumah maupun warga Kabizu. Tuhan adalah
sandaran dan andalan seperti tiang pada rumah menjadi penopang bangunan rumah.
Sementara itu, cincin yang lebar itu memiliki makna Tuhan sebagai penopang dan
pemberi kekuatan seperti cincin yang melekat pada tiang itu merupakan penopang
dan penguat bangunan rumah. Melalui benda simbolik Tiang Agung dan Cincin yang
lebar yang kelihatan dilakukan pendidikan dan transfer nilai bahwa Tuhan Sang
Pencipta sungguh ada dan hadir dalam dan ditengah hidup manusia (Ramone,
2015:7).
Pengakuan akan adanya Tuhan Sang Khalik selain ditunjukkan melalui
benda-benda simbolik juga senantiasa dinyatakan dengan nama-nama paralel dan
kalimat-kalimat kiasan. Hal itu seperti yang ditunjukkan pada data 2 di atas, yakni
„Yang memisah jari tangan, Yang memisah jari kaki. Ibu yang mencipta, Bapak yang
menjadikan. Yang membentuk badan, Yang memadatkan tubuh‟. Dalam catatan
Neonbasu (2016: 95) kalimat-kalimat kiasan ini digunakan untuk menggambarkan
secara kurang lebih tepat hakekat Yang Ilahi sebagai subjek spiritual cosmis yang
mencipta dari ketiadaan. Gelar-gelar ini langsung tertuju pada fungsi sentral dan
hakekat Yang Tertinggi.
3. Persatuan
Makna persatuan pada hakikatnya adalah satu, yang artinya bulat dan tidak
terbagikan atau terpecah belah (Asmaroini, 2017: 58). Masyarakat Kabizu Beijello
merupakan salah satu etnis di Pulau Sumba yang sangat memelihara nilai persatuan
dalam kehidupan bersama. Nilai tersebut tampak jelas dalam tuturan pada tradisi lisan
dalam upacara Padede Uma Kalada sebagai berikut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
Data 3. F3/ES4
Kada’ikana a lera eka bei, a kedu eka ana
Agar tidak ada yang terbang lain ibu, yang lari lain anak
Agar kita selalu membina semangat persatuan.
Katta pasamana ate, katta pamerana wiwi.
Agar kita menyamakan hati, agar kita memerahkan bibir
Agar kita selalu satu hati, satu suara.
Konteks:
Tuturan lisan di atas merupakan bagian dari tradisi lisan pada tahap musyawarah
satu keluarga besar Kabizu Beijello di rumah besar (rumah adat). Tuturan lisan
tersebut dituturkan oleh tetua adat yang menjaga rumah besar. Tetua adat itu
merupakan pemimpin klan Beijello. Musyawarah yang diadakan di rumah besar
ini merupakan musyawarah terakhir sebagai penentu keputusan dan sekaligus
pembagian tugas pembangunan rumah besar. Musyawarah ini diikuti oleh tetua
adat rumah besar, tetua-tetua adat rumah kecil dan anggota-anggota Kabizu
Beijello yang mempunyai pemikiran yang luas, cakap, berani dan berjiwa
kepemimpinan. Dalam musyawarah itu, tetua adat menghimbau agar seluruh
anggota keluarga selalu bersatu, sehati, sesuara demi suksesnya pembangunan
rumah besar.
Data 3 di atas merupakan kearifan lokal berwujud tidak nyata, yakni petuah.
Petuah itu menggambarkan nilai persatuan yang selalu dihidupi oleh masyarakat
Sumba. Petuah kada‟ikana a lera eka bei, a kedu eka ana. Katta pasamana ate, katta
pamerana wiwi dalam konteks data 3 di atas dituturkan oleh tetua adat yang menjaga
rumah besar atau pemimpin yang dipercayakan memimpin jalannya musyawarah
pembangunan rumah besar. Kata „Ibu‟ pada petuah kada‟ikana a lera eka bei, a kedu
eka ana merujuk pada pemimpin klan dan kata anak merujuk pada anggota
masyarakat Kabizu Beijello. Tuturan ini merupakan himbauan kepada warga
masyarakat Kabizu Beijello agar tidak membelot kepada pemimpin klan yang lain.
Begitu pula halnya pemimpin klan Kabizu Beijello agar tidak membelot kepada
warga Kabizu lain. Pesan yang hendak disampaikan melalui petuah ini adalah agar
seluruh anggota keluarga tidak berjalan sendiri-sendiri, agar tidak ada yang tercerai
berai, melainkan selalu sehati dan sesuara. Masyarakat Kabizu Beijello meyakini
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
bahwa kesuksesan pembangunan rumah besar hanya akan terwujud apabila adanya
persatuan seluruh warga Kabizu. Sementara itu, petuah Katta pasamana ate, katta
pamerana wiwi mengandung pesan agar seluruh anggota keluarga Kabizu Beijello
bersatu hati, bersatu suara, seia-sekata dalam mendukung dan melaksanakan
kesepakatan dalam musyawarah tersebut demi suksesnya pembangunan rumah besar.
Sehubungan dengan hal di atas, dalam wawancara dengan informan ketika
peneliti menanyakan nilai yang terkandung dalam tuturan kada‟ikana a lera eka bei,
a kedu eka ana. Katta pasamana ate, katta pamerana wiwi diberi kesaksian bahwa
tuturan tersebut mengiaskan nilai persatuan dalam melakukan suatu pekerjaan. Agar
tidak ada yang berjalan sendiri-sendiri, melainkan satu hati dan satu suara dalam
melaksanakan keputusan yang telah disepakati bersama. Petuah ini selalu digunakan
oleh orang tua, orang bijak dan pemimpin pada saat memberikan amanat dan nasihat
terkait bersatu pada saat bekerja, bergotong royong untuk mensukseskan suatu
pekerjaan. Ini sudah jati diri yang telah dicontohkan oleh nenek moyang sejak dulu.
Bersatu dalam hal ini, bukan hanya dalam hal bekerja sama pada saat membangun
rumah, melainkan juga bersatu dalam hal melihat kebutuhan dan kekurang dari rumah
besar atau anggota kabizu itu untuk dapat diatasi dan ditanggulangi secara bersama-
sama (W/NKLMKB/3).
4. Rekonsiliasi
Rekonsiliasi dapat diartikan sebagai upaya untuk memperbaiki hubungan sosial
yang hasil akhirnya adalah perdamaian (Gogali, 2008 dalam Nugraha, 2019:344).
Rekonsiliasi diartikan sebagai perbuatan memulihkan persahabatan ke keadaan
semula (KBBI, 2016 daring). Dalam konteks penelitian ini, rekonsiliasi merupakan
suatu upaya untuk meminta maaf atau memohon pengampunan sebagai konsekuensi
atas pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat Kabizu Beijello. Rekonsiliasi
menjadi hal yang sangat penting untuk dilakukan ketika seorang anggota Kabizu
melakukan pelanggaran terhadap perintah Marapu. Hal ini nampak dalam tuturan
dalam tradisi lisan Padede Uma Kalada sebagai berikut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
Data 4. O2/ESK6
Lakkawa’ikunamme adirakapababa touna , aakitapaleira wekkina
Kendatipun ada yang beraib tubuhnya, berdosa badannya
Kendatipun ada yang memiliki aib dan dosa
Du kettekageole, du pagukawi pangngu
Janganlah ikat bersama, jangan simpul bergandeng
Janganlah engkau melibatkannya dengan kami
Konteks:
Data ini merupakan bagian dari data tradisi lisan pada tahap Saiso sebelum
membuat loteng rumah. Data tradisi lisan tersebut dituturkan oleh Ata Urrata
dalam ritual Urrata. Data tradisi lisan ini merupakan doa kepada nenek moyang.
Dalam doa itu, masyarakat Kabizu Beijello memohon khidmat, keselamatan,
pengampunan dan keberhasilan kepada nenek moyang.
Tuturan dengan pola berpasangan pada data 4 di atas, yakni lakkawa‟ikunamme
adirakapababa touna, aakitapaleira wekkina (kendatipun ada yang beraib tubuhnya,
berdosa badannya). Du kettekageole, du pagukawi pangngu (Jangan ikat bersama,
jangan simpul bergandeng) mengandung makna pengampunan bagi anggota
masyarakat Kabizu yang telah melanggar perintah Marapu. Kedua tuturan ini
dituturkan dalam ritual Saiso sebelum membuat loteng rumah. Dalam budaya
masyarakat Sumba sebelum membuat loteng rumah terlebih dahulu harus dilakukan
upacara Saiso. Ritual Saiso dalam konteks tuturan ini merupakan ritual permohonan
pertolongan, perlindungan dan keselamatan kepada Marapu. Selain itu, ritual ini juga
dimaknai sebagai ritual rekonsiliasi dengan Marapu.
Ata Saiso memohon kepada Marapu bahwa pada saat membuat loteng rumah
ditemui anggota keluarga yang beraib tubuhnya, yang berdosa badannya, yang tidak
bersih dirinya, yang melakukan perbuatan yang menyimpang dari amanat Marapu
agar diampuni. Hal itu dilukiskan pada tuturan du kettekageole, du pagukawi
pangngu (janganlah ikat bersama, jangan simpul bergandeng). Tuturan ini merujuk
pada permohonan agar Marapu tidak menghitung-hitung kesalahan dari anggota
keluarga yang turut ambil bagian dalam proses pembuatan loteng rumah sehingga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
seluruh proses pembuatan rumah dapat berjalan dengan lancar dan berhasil. Seiring
dengan itu pula, kehormatan dan nama baik Kabizu Beijellopun ikut terjaga.
5. Nilai Syukur
Syukur merupakan salah satu dari kajian psikologi positif yang memiliki arti
mengucapkan terima kasih atas anugerah (Shobihah, 2014:386). Masyarakat Kabizu
Beijello senantiasa menanamkan nilai syukur dalam kehidupan sehari-hari. Ketika
seseorang mendapatkan pertolongan apapun bentuknya maka sepatutnyalah orang
tersebut mengucapkan terima kasih. Hal itu terlukiskan dalam data tradisi lisan Teda
dalam upacara Padede Uma Kalada sebagai berikut.
Data. 5 M1/ES11
Pamalangiwa inna, paosawa ama
Terimakasih kepada ibu, syukur kepada bapak
Terimakasih dan syukur kepada rumah besar dan leluhur
Konteks:
Tuturan di atas merupakan bagian dari tradisi lisan dalam upacara Woleka pada
tahap pembongkaran rumah lama. Tuturan di atas dinyanyikan oleh Ata Saiso
dengan diiringi gong dan tambur. Upacara Woleka dimaknai sebagai upacara
pengucapan syukur dan terimakasih kepada nenek moyang dan rumah besar yang
telah melindungi, memayungi, mempersatukan dan memberikan kenyamanan
serta kedamaian. Upacara ini dilaksanakan dengan penuh sukacita dan
kegembiraan.
Tuturan pamalangiwa inna, paosawa ama (terimakasih kepada Ibu, syukur
kepada Bapak) pada data 5 di atas mengandung petuah yang selalu digunakan oleh
orangtua ketika memberikan wejangan kepada anak-anak. Adapun petuah itu,
pamalangikia Inamu, paosakiwa Amamu yang memiliki makna jangan lupa
mengucapkan terimakasih dan syukur kepada Ina (ibu) dan Ama (Bapak) serta kepada
setiap orang yang telah memberikan pertolongan dan bantuan.
Berdasarkan konteks data, masyarakat Kabizu Beijello terlebih dahulu harus
melakukan upacara woleka (syukur) sebelum membongkar rumah lama yang
kemudian akan dibangun kembali. Masyarakat Kabizu Beijello memaknai upacara
woleka sebagai upacara pengucapan syukur dan terimakasih kepada „Ibu‟ dan
„Bapak‟ yang merujuk pada nenek moyang dan roh-roh yang mendiami rumah besar
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
dan rumah yang akan dibongkar. Dalam kaitan dengan petuah di atas, hendak
mengiaskan nasihat atau wejangan yakni jangan lupa untuk mengucap terimakasih
dan syukur kepada nenek moyang dan rumah yang diyakini telah melindungi,
menolong dan menganugerahkan berkat kepada anggota keluarga yang mendiami
rumah besar dan seluruh keluarga besar Kabizu Beijello.
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan diberi kesaksian bahwa dalam
hidup kita jangan lupa bersyukur dan berterimakasih yang terungkap dalam tuturan
Pamalangiwa inna, paosawa ama. Ucapan bersyukur dan berterimakasih ini
merupakan nilai yang diwarisi oleh leluhur sejak awal mula. Apabila kita tidak
bersyukur dan berterimakasih, nenek moyang akan marah kepada kita. Seiring
dengan itu pula, apapun yang kita kerjakan tidak akan berhasil. Kita tidak akan
memperoleh keberkatan dalam hidup. Oleh karena itu, kita harus menjaga hubungan
yang harmonis dengan leluhur, dengan sesama dan alam raya.
C. SIMPULAN
Nilai-nilai kearifan lokal yang ditemukan dalam tradisi lisan pada upacara
Padede Uma Kalada terdiri atas 5, yakni nilai ketaatan, religius, persatuan,
rekonsiliasi dan syukur. Pada era globalisasi, nilai-nilai kearifan lokal yang dimiliki
oleh komunitas etnik ini menjadi penting untuk dihayati dan dipelihara. Hal itu
karena nilai-nilai luhur ini selaras dengan filsafat pancasila sebagai filosofi bangsa
Indonesia. Nilai-nilai luhur itu apabila dihayati secara utuh tentu dapat semakin
memperkokoh dan memperkuat filosofi pancasila yang sudah mulai kehilangan jati
dirinya karena tergerus arus globalisasi.
DAFTAR PUSTAKA:
Aluman, Adrianus. (2016). “Perekonomian Desa pada Pelana Masyarakat Sumba”.
Dalam Neonbasu, Gregorius (ed.) (2016). Akar Kehidupan Masyarakat
Sumba: dalam Cita Rasa Marapu. Jakarta: Lappop Press Jakarta.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
Asmaroini, Ambiro Puji. (2017). “Menjaga Eksistensi Pancasila dan Penerapannya
Bagi Masyarakat di Era Globalisasi”. Jurnal Pancasila dan Kewarganegaraan.
1 (2), 50-64.
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. (2016). “Kamus Besar Bahasa
Indonesia dalam jaringan”. Diakses dari https://kbbi.kemdikbud.go.id/.
Bera, Petrus Ngongo Tanggu. (2016). “Spiritual Capital dalam Dinamika
Pembangunan dan Ide Kekerabatan”. Dalam Neonbasu. (2016). Akar
Kehidupan Masyarakat Sumba: Dalam Cita Rasa Marapu. Jakarta: Lappop
Press Jakarta.
Fill, Alwin F. dan Hermina Penz. (2018). The Routledge Handbook of Ecolinguistics.
New York: Taylor & Francis Group.
Haugen, Einar. (1970). “The Ecology of Language”. Dalam Dil, A.S. (ed.). (1972).
The Ecology of Language: Essays by Einar Haugen. California: Stanford
University Press.
Kompas. (2019). “Cegah Kematian Bahasa”. Diakses melalui
https://kompas.id/baca/utama/2019/10/29/cegah-kematian-bahasa/. Pada
tanggal 11 Januari 2020.
Neonbasu, Gregorius. (2016). “Tata Krama Relasi Manusia dengan Marapu”. Dalam
Neonbasu, Gregorius (ed.) (2016). Akar Kehidupan Masyarakat Sumba:
Dalam Cita Rasa Marapu. Jakarta: Lappop Press Jakarta.
Neonbasu, Gregorius. (2016). “Catatan Antropologis tentang Marapu”. Dalam
Neonbasu, Gregorius (ed.) (2016). Akar Kehidupan Masyarakat Sumba:
Dalam Cita Rasa Marapu. Jakarta: Lappop Press Jakarta.
Nesi, Anton. (2018). “Tradisi Lisan Takanab sebagai Wujud Identitas Masyarakat
Dawan: Kajian Ekolinguistik Metaforis”. Tesis. Universitas Sanata Dharma.
Yogyakarta. Tidak diterbitkan.
Nugraha, Muhamad Tisna. (2019). “Rekonsiliasi Nilai-Nilai Kepahlawanan serta
Internalisasinya dalam Pendidikan Islam”. Jurnal Ta‟dibuna. 8 (2), 241-258.
Mbete, Aron. (2015). “Masalah Kebahasaan dalam Kerangka Pelestariannya:
Perspektif Ekolinguistik”. Jurnal Tutur. 1 (2), 181-188.
Rahardi, R Kunjana. (2009). Sosiopragmatik: Kajian Imperatif Dalam Wadah
Konteks Sosiokultural dan Konteks Situasionalnya. Jakarta: Penerbit
Erlangga.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
Rahardi, R Kunjana. (2016). “Urgensi Menggelorakan Linguistik Ekologi”.
Kedaulatan Rakyat LXXXXI. Halaman 12.
Ramone, Robert. (2015). Revitalisasi Desa Adat dan Dampak Sosial Budaya
Masyarakat di Pulau Sumba. Jakarta: Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan
YME dan Tradisi.
Shobihah, Ida Fitri. (2017). “Kebersyukuran (Upaya membangun Karakter Bangsa
Melalui Figur Ulama)”. Jurnal Dakwah. 15 (2), 383-406.
Sukmayadi, Trisna. (2018). “Nilai-Nilai Kearifan Lokal dalam Pandangan Hidup
Masyarakat Adat Kampung Kuta”. Jurnal Pancasila dan Kewarganegaraan. 3
(1), 19-29.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Foto-Foto Wawancara Dengan Informan Kunci Dan Informan Pendukung
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Foto-Foto Penelitian yang Menggambar Identitas Masyarakat Kabizu
Beijello
1. Masyarakat Kabizu Beijello sebagai Masyarakat Agraris
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2. Masyrakat Kabizu Beijello sebagai Masyarakat Ritual
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Foto-Foto Pendukung Lainnya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BIODATA PENULIS
Yuliana Sesi Bitu lahir di Gollu Utta pada tanggal 29
November 1988 dari Ayah yang bernama Yakobus Lede Bulu
dan Ibu Agnes Dairo Bili. Penulis masuk Sekolah Dasar pada
tahun 1994 di SDK Bondo Lenga dan lulus pada tahun 2000.
Selanjutnya, penulis masuk SMP Negeri 2 Wewewa Barat dan lulus pada tahun
2003. Penulis melanjutkan studi ke jenjang Pendidikan menengah atas di SMA
Negeri 1 Waingapu, Sumba Timur pada tahun 2003 dan lulus pada tahun 2006.
Penulis melanjutkan pendidikan S1 di Universitas Nusa Cendana Kupang pada
Program Studi PBSI, FKIP, Universitas Nusa Cenda Kupang pada tahun 2006 dan
lulus pada tahun 2011. Mulai tahun 2017 penulis melanjutkan studi S-2 di
Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Magister, FKIP, Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI