441
TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA KALADA MASYARAKAT KABIZU BEIJELLO, SUMBA BARAT DAYA: KAJIAN EKOLINGUISTIK METAFORIS TESIS Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister Pendidikan Pada Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Magister Oleh: YULIANA SESI BITU NIM: 171232001 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA PROGRAM MAGISTER FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2020 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

  • Upload
    others

  • View
    6

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA KALADA

MASYARAKAT KABIZU BEIJELLO, SUMBA BARAT DAYA:

KAJIAN EKOLINGUISTIK METAFORIS

TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Magister Pendidikan

Pada Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Magister

Oleh:

YULIANA SESI BITU

NIM: 171232001

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA

PROGRAM MAGISTER

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2020

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 2: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

i

TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA KALADA

MASYARAKAT KABIZU BEIJELLO, SUMBA BARAT DAYA:

KAJIAN EKOLINGUISTIK METAFORIS

TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Magister Pendidikan

Pada Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Magister

Oleh:

YULIANA SESI BITU

NIM: 171232001

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA

PROGRAM MAGISTER

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2020

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 3: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 4: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 5: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

iv

HALAMAN MOTO DAN PERSEMBAHAN

MOTO

“Segala perkara dapat ku tanggung

di dalam Dia yang memberikan kekuatan kepadaku”(Filipi 4:13)

Bersukacitalah dalam pengharapan, sabarlah dalam kesesakan,

dan bertekunlah dalam doa! (Roma 12:12)

Kerjakanlah hari ini apa yang hendak dikerjakan hari ini,

karena hari esok tentu akan mempunyai ceritanya sendiri.

(Penulis)

Bukan Pelangi namanya kalau hanya ada merah,

bukan hidup namanya kalau hanya ada kebahagiaan

(Penulis)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 6: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

v

PERSEMBAHAN

Kupersembahkan karya perjuanganku ini untuk:

1. Allah Tritunggal Yang Maha Kudus dan Bunda Maria yang selalu

menganugerahkan Roh kekuatan, ketekunan dan kebahagiaan.

2. Bapak Alm. Mateus Bulu Paga, Bapak Alm. Yakobus Lede Bulu, dan

Bapak Alm. Siprianus Suluh yang telah memberikan teladan hidup

ketekunan dan kerja keras.

3. Mama Mantu Ribka Tanda Kawi yang dengan penuh ketulusan, cinta yang

tanpa batas, dan tidak mengenal lelah telah merawat, mendidik dan

membesarkan anakku.Terimakasih Mama.

4. Mama Khristina Milla dan Mama Agnes Dairo Bili yang telah

mengorbankan separuh jiwa dan terus bersujud syukur untuk

keberhasilanku. Terimakasih Mama.

5. Suamiku tercinta Melkianus Suluh, M.Pd yang selalu merindukan

keberhasilanku.

6. Anakku Pankrasius Milenio Suluh yang telah kehilangan kasih sayang dan

cinta dari ibunya di masa-masa dia membutuhkan kasih sayang dan cinta

dari seorang ibu.

7. Saudara-saudariku tersayang yang selalu ada untukku di saat suka dan duka,

yang selalu menguatkan dan mendukungku dalam situasi apapun.

8. STKIP Weetebula dan Manajemen Misereor Jerman yang telah memberikan

kesempatan kepadaku untuk melanjutkan studi S2 dan memenuhi seluruh

kebutuhanku untuk kelancaran studi.

9. Almamaterku tercinta, Universitas Sanata Dharma.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 7: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

vi

ABSTRAK

Sesi, Yuliana Bitu. 2020. “Tradisi Lisan Teda dalam Upacara Padede Uma

Kalada Masyarakat Kabizu Beijello, Sumba Barat Daya: Kajian

Ekolinguistik Metaforis”. Tesis. Yogyakarta. Program Studi Pendidikan Bahasa

Indonesia Program Magister. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.

Universitas Sanata Dharma.

Penelitian ini bertujuan untuk (1) mendeskripsikan wujud-wujud kearifan

lokal masyarakat Kabizu Beijello yang terdapat dalam tradisi lisan Teda pada

upacara Padede Uma Kalada (2) mendeskripsikan nilai-nilai kearifan lokal yang

terdapat dalam tradisi lisan Teda pada upacara Padede Uma Kalada (3)

mendeskripsikan jati diri masyarakat Kabizu Beijello yang termanifestasikan

dalam tradisi lisan Teda pada upacara Padede Uma Kalada, (4) merumuskan

upaya-upaya strategis preservasi tradisi lisan Teda masyarakat Kabizu Beijello.

Penelitian ini dikaji dengan menggunakan perspektif ekolinguistik metaforis.

Penelitian ini tergolong dalam jenis penelitian kualitatif. Objek Penelitian

ini adalah kearifan-kearifan lokal, nilai-nilai kearifan lokal, dan wujud jati diri

masyarakat Kabizu Beijello. Wujud data dalam penelitian ini adalah bagian-

bagian dari tradisi lisan pada upacara Padede Uma Kalada. Data dalam penelitian

ini dikumpulkan dengan menggunakan metode sadap, wawancara dan observasi

partisipan yang diterapkan melalui beberapa teknik, yakni simak bebas cakap,

simak libat cakap, teknik rekam dan teknik catat. Metode analisis data yang

digunakan dalam penelitian ini adalah metode padan ekstralingual. Metode ini

diterapkan dengan cara menggunakan teknik analisis kontekstual. Prosedur

analisis data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi transkripsi data,

terjemahan gloss cermat dan gloss lancar data, identifikasi data, klasifikasi data,

deskripsi konteks, pemaknaan data, triangulasi data, konfirmasi dan refleksi.

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan 4 kearifan lokal berwujud nyata

yakni (1) sirih, pinang, dan beras), (2) cincin dan pari’i tiang, (3) kalabo, kapouta

(ikat kepala), dan katopo (parang), (4) ayam, babi, dan kerbau. Selain itu,

ditemukan juga 6 kearifan-kearifan lokal berwujud tidak nyata, yakni (1)

paralelisme, (2) metafora, (3) syair, (4) petuah, (5) mantra, dan (ideologi). Nilai-

nilai kearifan lokal yang ditemukan dalam penelitian ini meliputi nilai ketaatan,

solidaritas, persatuan, penghormatan, kerja keras, syukur, rekonsiliasi dan religius.

Wujud jati diri masyarakat Kabizu Beijello yang paling hakiki yang ditemukan

dalam penelitian ini adalah adalah masyarakat yang selalu mengutamakan

keharmonisan. Wujud jati diri yang paling hakiki ini yang mendasari terbentuknya

wujud jati diri lainnya yang meliputi, masyarakat yang selalu bermusyawarah,

solider, menghormati pemimpin, menghormati Marapu (leluhur dan roh-roh

gaib), religius, ritual dan agraris. Strategi preservasi tradisi lisan masyarakat

Kabizu Beijello yang ditemukan dalam penelitian ini terdiri atas tiga, yakni

preservasi tradisi lisan melalui pelestarian alamiah, melalui lembaga agama, dan

melalui lembaga Pendidikan.

Kata Kunci: Ekolinguistik metaforis, tradisi lisan, kearifan lokal, nilai-nilai

kearifan lokal, jati diri dan preservasi.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 8: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

vii

ABSTRACT

Sesi, Yuliana Bitu. 2020. "Oral Tradition Teda in the Padede Uma Kalada

Ceremony Kabizu Beijello community, Sumba Barat Daya: A Metaphorical

Ecolinguistic Study". Thesis. Yogyakarta. Indonesian Language Study Program,

Magister Program. Faculty of Teacher Training and Education. Sanata Dharma

University.

This study aims to (1) describe the forms of local wisdom of the Kabizu

Beijello community contained in the oral tradition Teda of the Padede Uma

Kalada ceremony (2) describe the local wisdom values contained in the oral

tradition Teda of the Padede Uma Kalada ceremony (3) describe the identity of

the Kabizu Beijello community that manifested in oral traditions Teda of the

Padede Uma Kalada ceremony, (4) formulating strategic efforts to preserve the

oral traditions Teda of the Kabizu Beijello community. This research was studied

using a metaphorical ecolinguistic perspective.

This research is included in the type of qualitative research. The object of

this research is local wisdom, local wisdom values, and the manifestation of the

identity of the community of Kabizu Beijello. The data in this study are parts of

the oral tradition of the Padede Uma Kalada ceremony. The data in this study

were collected using tapping methods, interviews and participant observation

which were applied through several techniques, namely free speech, listening

involved, recording techniques and note taking techniques. The data analysis

method used in this study is the extralingual equivalent method. This method is

applied by using contextual analysis techniques. Data analysis procedures used in

this study include data transcription, careful gloss translation and smooth gloss

data, data identification, data classification, context description, data meaning,

data triangulation, confirmation and reflection.

Based on the results of the study found 4 real tangible local wisdom

namely (1) betel, areca nut and rice), (2) ring and pari'i pole, (3) kalabo, kapouta

(headband), and katopo (machete), (4 ) chicken, pork and buffalo. In addition, 6

local wisdoms were found to be intangible, namely (1) parallelism, (2) metaphors,

(3) poetry, (4) advice, (5) mantras, and ideology. The values of local wisdom

found in this study include the values of obedience, solidarity, unity, respect, hard

work, gratitude, reconciliation and religious values. The most essential form of

identity of the Kabizu Beijello community found in this research is to maintain

harmony in living together, solidarity, leaders honor, honor of the Marapu

(ancestors and supernatural spirits), religious life, rite and agrarian life. The

preservation strategy of the oral tradition of the Kabizu Beijello community found

in this study consisted of three, namely preservation of oral traditions through

natural preservation, through religious institutions, and through educational

institutions.

Keywords: Metaphorical ecolinguistics, oral traditions, local wisdom, local

wisdom values, identity and preservation.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 9: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang saya tulis ini tidak

memuat karya atau bagian karya orang lain· maupun karya sendiri, kecuali yang

telahdisebutkan di dalamkutipan dan daftar referensi sebagaimana layaknya

penulisal1karya· ilmiah.

Yogyakarta, 24 Januari 2020

Penulis

Yuliana Sesi Bitu

viii

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 10: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLlKASI KARYA ILMIAH

UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:Nama : Yuliana Sesi BituNim : 171232001

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada PerpustakaanUniversitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA KALADAMASYARAKAT KABIZU BEIJELLO, SUMBA BARAT DAYA:

KAJIAN EKOLINGUISTIK METAFORIS

beserta·perangkat··-yangdiperlukan~····Dengandemikian·sayamemberikan·kepadaPerpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkandalam bentuk media lain, mengolahnyadalam bentuk pangkalan data,mendistribusikan secara terbatas dan mempublikasikannya di internet atau medialain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupunmemberikan royalti kepada saya selama tetapmencantumkan nama saya sebagaipenulis.Demikian Pemyataan ini·yang saya buat dengan.sebenarnya.

Dibuat di YogyakartaPada tanggal 24 Januari 2020

Yuliana Sesi Bitu

IX

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 11: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah Tri Tunggal Yang Maha Kudus dan kepada

Bunda Maria atas kemurahan kasih, berkat dan rahmat yang diangugerahkan

sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis yang berjudul “Tradisi lisan

Teda dalam Upacara Padede Uma Kalada Masyarakat Kabizu Beijello, Sumba

Barat Daya: Kajian Ekolinguistik Metaforis”. Penulis percaya dan yakin teguh

bahwa kelancaran penulisan tesis ini, mulai dari perumusan dan penentuan judul

sampai pada pelaporan hasil akhir penelitian boleh terjadi hanya karena atas

pertolongan, penyertaan dan campur tangan Allah Tritunggal Yang Maha Kudus

dan Bunda Maria. Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat yang penulis

harus penuhi agar dapat memperoleh gelar Magister Pendidikan dari Program

Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, Program Magister, Fakultas Keguruan dan

Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Peneliti menyadari bahwa pergumulan dalam menyelesaikan tesis ini tidak

terlepas dari pertolongan, dorongan dan motivasi dari berbagai pihak. Menyadari

akan hal itu, penulis dengan hati yang tulus dan ikhlas mengucapkan limpah

terima kasih kepada:

1. Drs. Yohanes Eka Priyatma, M.Sc., Ph.D., sebagai Rektor Universitas

Sanata Dharma yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk

melanjutkan studi S2 di Universitas Sanata Dharma tepatnya pada Program

Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Magister.

2. Dr. Yohanes Harsoyo, S.Pd., M.Si., sebagai Dekan FKIP Universitas Sanata

Dharma Yogyakarta, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 12: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

xi

untuk mengembangkan kemampuan akademik dan kepribadian pada

Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Magister.

3. Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum., sebagai Ketua Program Studi Magister

PBSI, FKIP, USD, yang selalu memberi dorongan dan motivasi kepada

penulis selama penulis berproses dalam rangka menyelesaikan studi S2 ini.

Sekaligus sebagai dosen pembimbing I yang dengan penuh kesabaran,

pengertian dan ketelitian dalam memberikan bimbingan, dorongan, motivasi

dan masukan-masukan yang sangat berharga kepada penulis demi

kesempurnaan penulisan tesis ini.

4. Prof. Dr. Pranowo, M.Pd., sebagai dosen pembimbing II yang dengan penuh

kesabaran, pengertian dan ketelitian telah membimbing dan memberikan

masukan-masukan yang sangat berharga kepada penulis untuk

kesempurnaan penulisan tesis ini.

5. Dr. Y. Y. Taum, M.Hum., sebagai triangulator hasil analisis data penelitian

ini yang yang dengan penuh kerendahan hati, pengertian dan ketelitian telah

menyediakan waktu untuk mentriangulasi hasil analisis data penelitian ini

dan juga memberikan masukan-masukan yang berharga sehingga tesis ini

dapat dikerjakan dengan baik.

6. Dosen-dosen Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Program

Magister, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata

Dharma yang telah mendidik, mengarahkan, mendampingi dan membagikan

ilmunya kepada penulis selama masa studi dalam upaya memperkaya

kemampuan akademik baik di bidang ilmu pendidikan maupun kebahasaan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 13: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

xii

7. Bapak Nicolaus Widiastoro dan segenap staf di Sekretariat Prodi MPBSI,

yang selalu memberikan pelayanan yang baik, rendah hati dan ramah

kepada penulis pada saat mengurus berbagai kebutuhan administratif.

8. Drs. Paulus Suparmo, S.S., M.Hum., sebagai Kepala Perpustakaan USD dan

segenap staf perpustakaan USD yang selalu memberikan pelayanan yang

baik, rendah hati dan ramah kepada penulis dalam berbagai urusan

perpustakaan, baik peminjaman dan pengembalian buku, print maupun

dalam hal pemakaian ruang workstation

9. Ketua Yayasan Pendidikan Nusa Cendana Sumba Barat Daya, Ketua STKIP

Weetebula, para Wakil Ketua, dan segenap sivitas akademika STKIP

Weetebula serta Manajemen Misereor Jerman yang telah memberikan

kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi S2 dan telah

memfalisitasi penulis dalam berbagai kebutuhan demi kelancaran studi.

10. Para informan yang telah menyediakan banyak waktu untuk penulis selama

proses mengumpulkan data penelitian ini dan memberikan informasi yang

mendalam terkait dengan pemaknaan serta telah memberikan izin kepada

peneliti untuk merekam data-data dalam penelitian ini.

11. Kakak Antonius Nesi, M.Pd dan Adik Jetho Lawet S.Pd yang telah menjadi

partner diskusi yang baik dan selalu memberi memotivasi kepada penulis

untuk segera menyelesaikan tesis ini serta meluangkan waktu untuk

membaca dan memberikan catatan-catatan sehingga tesis ini dapat

diselesaikan dengan baik.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 14: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

xiii

12. Teman-teman angkatan 2017 dan seluruh rekan-rekan mahasiswa MPBSI,

USD yang selalu membantu serta mendukung penulis selama berproses

dalam perkuliahan.

13. Ibu Pupu Purwaningsih, S.S., M.A., Pak Elyakim Nova Supriyedi Patty,

M.Pd., Ibu Iga Nurwinda, S.Pd., Pak Yustinus Ghanggo Ate, M.Gen&App

Ling (Adv)., Ibu Veronika Gheda Rangga, S.Pd., Ibu Yublina Yati Ngongo,

S.Pd., Ibu Yohana Anggreni Talo, S.Pd., Pak Fransiskus Ghunu Bili, S.Pd.,

Pak Petrus Lende, S.Pd., Adik An Helmon, M.Pd., Ponaan Agustinus A.

Bili, S.Ars, Adik Maria Doreste Lobo, S.Pd, Adik Marita Nura, Ponaan

Dian Mada Kaka yang dengan caranya masing-masing selalu memotivasi

dan terus menyemangati penulis sehingga penulis selalu kuat dan

mempunyai semangat untuk segera menyelesaikan tesis ini.

14. Saudara dan saudariku terkasih yang tidak henti-hentinya mendorong,

menyemangati dan mendoakan penulis sehingga penulis mempunyai tekat

dan niat yang kuat di dalam diri untuk harus segera menyelesaikan tesis ini.

15. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu yang turut

andil dalam proses pengerjaan tesis ini sehingga tesis ini dapat diselesaikan

dengan baik.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 15: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

xiv

Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini masih sangat jauh dari

kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari

berbagai pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan tesis ini.

Yogyakarta, Januari 2020

Penulis

Yuliana Sesi Bitu

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 16: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

xv

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................. ii HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. iii HALAMAN MOTO DAN PERSEMBAHAN ................................................... iv

ABSTRAK ............................................................................................................ vi ABSTRACT ......................................................................................................... vii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ............................................................ viii PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH .............. ix KATA PENGANTAR ........................................................................................... x DAFTAR ISI ........................................................................................................ xv

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................... 7

1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................................... 8 1.4 Manfaat Penelitian .................................................................................... 9

1.4.1 Manfaat Teoretis ....................................................................................... 9 1.4.2 Manfaat Praktis ....................................................................................... 10

1.5 Sistematika Penyajian ............................................................................. 11 1.6 Batasan Istilah ......................................................................................... 12

BAB II LANDASAN TEORI ............................................................................ 15 2.1 Bahasa dan Kebudayaan ......................................................................... 15 2.2 Ekolinguistik dan Ekolinguistik Metaforis ............................................. 20

2.3 Konteks dalam Kajian Ekolinguistik Metaforis ...................................... 26 2.4 Etnografi dan Etnografi Komunikasi ...................................................... 30

2.5 Tradisi Lisan ........................................................................................... 35 2.6 Tradisi Lisan Teda dalam Upacara Padede Uma Kalada Masyarakat

Kabizu Beijello ........................................................................................ 39

2.7 Kearifan Lokal ........................................................................................ 44 2.8 Jati Diri.................................................................................................... 48 2.9 Preservasi ................................................................................................ 51 2.10 Kerangka Berpikir ................................................................................... 53

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ........................................................ 55 3.1 Jenis Penelitian........................................................................................ 55 3.2 Sumber Data, Data dan Objek Penelitian ............................................... 56 3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data .................................................. 59

3.4 Instrumen Penelitian ............................................................................... 67 3.5 Metode dan Teknik Analisis Data........................................................... 68

3.6 Triangulasi .............................................................................................. 70

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 17: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

xvi

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .................................. 72 4.1 Deskripsi Data ......................................................................................... 72

4.2 Hasil Penelitian ....................................................................................... 81 4.2.1 Kearifan-kearifan Lokal yang Terdapat dalam Tradisi Lisan Teda dalam

Upacara Padede Uma Kalada ................................................................. 83 4.2.1.1 Kearifan-Kearifan Lokal yang Berwujud Nyata (Tangible) ................... 85 4.2.1.2 Kearifan-Kearifan Lokal Berwujud Tidak Nyata (intangible) ............... 99

4.2.2 Nilai-nilai Kearifan Lokal yang Terkandung dalam Tradisi Lisan Teda

dalam Upacara Padede Uma Kalada .................................................... 127

4.2.2.1 Nilai Ketaatan ....................................................................................... 127 4.2.2.2 Nilai Solidaritas .................................................................................... 130 4.2.2.3 Nilai Persatuan ...................................................................................... 134 4.2.2.4 Nilai Penghormatan .............................................................................. 135 4.2.2.5 Kerja Keras ........................................................................................... 145

4.2.2.6 Nilai Syukur .......................................................................................... 147 4.2.2.7 Rekonsiliasi ........................................................................................... 151

4.2.2.8 Nilai Religius ........................................................................................ 154 4.2.3 Jati Diri Masyarakat Kabizu Beijello yang Terdapat dalam Tradisi Lisan

Teda pada Upacara Padede Uma Kalada ............................................. 156 4.2.3.1 Masyarakat yang Selalu Membina Sikap Bermusyawarah ................... 157 4.2.3.2 Masyarakat Kabizu Beijello sebagai Masyarakat yang Solider ............ 162

4.2.3.3 Masyarakat yang Menghormati Pemimpin ........................................... 169

4.2.3.4 Masyarakat Kabizu Beijello sebagai Masyarakat Agraris .................... 172 4.2.3.5 Masyarakat yang Menghormati Marapu .............................................. 180 4.2.3.6 Masyarakat Kabizu Beijello sebagai Masyarakat Religius ................... 188

4.2.3.7 Masyarakat Kabizu Beijello sebagai Masyarakat Ritual ....................... 196 4.2.4 Strategi Preservasi Tradisi Lisan Teda Masyarakat Kabizu Beijello .... 203

4.2.4.1 Preservasi Tradisi Lisan Teda melalui Pelestarian Alamiah ................. 204 4.2.4.2 Preservasi Tradisi Lisan Teda melalui Lembaga Agama ..................... 208 4.2.4.3 Preservasi Tradisi Lisan Teda melalui Lembaga Pendidikan ............... 211

4.3 Pembahasan........................................................................................... 214 4.3.1 Kearifan-kearifan Lokal yang Terdapat dalam Tradisi Lisan Teda dalam

Upacara Padede Uma Kalada ............................................................... 214

4.3.2 Nilai-nilai Kearifan Lokal yang Terkandung dalam Tradisi Lisan Teda

pada Upacara Padede Uma Kalada ...................................................... 231 4.3.3 Jati Diri Masyarakat Kabizu Beijello yang Termanifestasi dalam Tradisi

Lisan Teda pada Upacara Padede Uma Kalada ................................... 235 4.3.3.1 Jati Diri Hakiki Masyarakat Kabizu Beijello ........................................ 257 4.3.4 Strategi Preservasi Tradisi Lisan Teda Masyarakat Kabizu Beijello .... 262

BAB V PENUTUP ............................................................................................ 267 5.1 Kesimpulan ................................................................................................... 267 5.2 Saran .............................................................................................................. 269 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 271

LAMPIRAN ....................................................................................................... 280

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 18: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

1

BAB I

PENDAHULUAN

Dalam bab ini dipaparkan lima hal, yakni (1) latar belakang masalah, (2)

rumusan masalah, (3) tujuan penelitian, (4) manfaat penelitian, dan (5) batasan

istilah. Kelima hal itu diuraikan sebagai berikut.

1.1 Latar Belakang

Kabizu merupakan hubungan kekerabatan yang terikat berdasarkan asal-usul

nenek moyang pertama termasuk warisan-warisannya berupa tanah, rumah adat,

benda-benda pusaka yang tidak dapat diperjualbelikan, juga ritual-ritual adat yang

mengarah pada pemujaan terhadap Marapu. Hubungan kekerabatan itu dilihat

berdasarkan garis keturunan ayah (patrilineal). Hal ini sejalan dengan

Soeriadiredja (2013:68) yang mengemukakan bahwa Kabizu atau dalam bahasa

Sumba Timurnya Kabihu merupakan kelompok kekerabatan yang merasa diri

berasal dari seorang nenek moyang dan antara satu dengan lainnya terikat melalui

garis keturunan laki-laki saja. Dengan merujuk pada konsep itu, maka Kabizu

dapat dipahami sebagai klan. Dengan demikian, masyarakat Kabizu Beijello

merupakan salah satu masyarakat etnik yang berasal dari klan Beijello, suku

Wewewa, Kabupaten Sumba Barat Daya.

Masyarakat Kabizu Beijello sebagai masyarakat etnik memiliki corak tradisi

dan kebudayaan yang sangat khas untuk diteliti. Salah satu kekhasan itu adalah

tradisi lisan Teda dalam upacara adat Padede Uma Kalada (pembangunan rumah

besar). Teda adalah ungkapan-ungkapan tradisional yang sangat magis, berbernas

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 19: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

2

mempunyai roh tertentu yang dapat memberikan rasa percaya diri bagi penuturnya

dan sekaligus dapat memberikan rasa kekaguman bagi pendengar serta

mempengaruhi pikiran dan tindakan pendengar untuk bertindak sesuai yang

diinginkan penutur. Ungkapan-ungkapan dalam tradisi lisan Teda memiliki sistem

pembarisan tersendiri yang berbentuk syair yang indah dan selalu diungkap dalam

konteks upacara adat baik upacara adat kematian, perkawinan, pertanian, maupun

pembangunan rumah besar. Dalam konteks penelitian ini, peneliti hanya

memfokuskan pengkajian pada tradisi lisan Teda pada upacara Padede Uma

Kalada (pembangunan rumah besar).

Tradisi lisan Teda dalam upacara Padede Uma Kalada sebagai sebuah

warisan leluhur tentu tidak hanya sebagai alat komunikasi dalam seluruh ritual-

ritual adat selama proses Padede Uma Kalada. Tradisi lisan Teda dalam upacara

Padede Uma Kalada tentu mengandung dan memberikan gambaran terkait

kearifan-kearifan lokal yang mengakar pada kepercayaan Marapu sebagai

kepercayaan asli masyarakat Kabizu Beijello. Kearifan-kearifan lokal itu

mengandung pengetahuan-pengetahuan lokal yang digunakan untuk membina

kehidupan yang seimbang dan harmonis baik dengan sesama, leluhur, roh-roh

gaib, dan Tuhan sebagai Wujud Tertinggi. Hal itu selaras dengan yang

diungkapkan Sriyono (2014:57) bahwa kearifan lokal merupakan pengetahuan

lokal yang digunakan masyarakat lokal untuk bertahan hidup dalam

lingkungannya yang menyatu dengan sistem kepercayaan, norma, dan budaya

yang diekspresikan di dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu

yang lama.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 20: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

3

Selain itu, tradisi lisan Teda dalam upacara Padede Uma Kalada juga tidak

dapat dilepaspisahkan dari hukum adat, nilai-nilai, sejarah budaya, dan bahkan

ideologi yang mencerminkan jati diri atau identitas diri masyarakat Kabizu

Beijello. Supriatin (2012:408) mengatakan bahwa tradisi lisan adalah warisan

leluhur yang banyak menyimpan kearifan lokal, kebijakan, dan filosofi hidup

yang terekspresikan dalam bentuk mantera, pepatah-petitih, pertunjukan, dan

upacara adat. Lebih lanjut diungkapkan bahwa tradsi lisan yang terdapat di

Nusantara sekaligus juga menyimpan identitas bangsa karena pada tradisi lisan

terletak akar budaya dan akar tradisi sebagai subkultur atau kultur Indonesia.

Dengan melihat kekayaan-kekayaan yang terkandung dalam tradisi lisan

Teda pada upacara adat itu seharusnya generasi muda sebagai penerusnya

mempunyai kepedulian untuk menjaga dan memelihara tradisi lisan. Namun,

kenyataan yang dihadapi adalah tradisi lisan Teda semakin mengalami degradasi

dalam aspek kuantitas penutur khususnya di kalangan generasi muda. Salah satu

faktor penyebabnya adalah arus globalisasi yang semakin pesat. Dalam

penelitiannya, Mbete (2015) mengungkapkan bahwa ada gejala serius dimana

generasi muda remaja bangsa semakin pragmatis, lebih berorientasi dan memilih

untuk mempelajari dan menguasai bahasa asing, dan mengabaikan bahasa daerah

atau bahasa lokal. Gejala ini pula terjadi pada ruang lingkup masyarakat Kabizu

Beijello, Suku Wewewa. Hal ini dibuktikan dari hasil penelitian Kami (2018:5-6)

bahwa apresiasi generasi muda masyarakat Wewewa terhadap tradisi lisan

semakin berkurang. Banyak generasi muda yang sudah melupakan warisan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 21: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

4

berharga para leluhur dan jati diri masyarakatnya dengan fenomena baru, yakni

lebih mengenal hal-hal yang lebih bersifat modern.

Kondisi kritis ini apabila tidak disikapi dengan bijak tentu akan berimbas

pada memudarnya jati diri masyarakat Kabizu Beijello. Selain itu, kearifan-

kearifan lokal dan nilai-nilai yang terekam dalam tradisi lisan pada upacara

Padede Uma Kalada sebagai warisan leluhur masyarakat Kabizu Beijello tentu

akan ikut sirna. Hal ini sejalan pula dengan temuan Mbete (2015:183) bahwa

sebagian besar bahasa lokal di negeri ini terancam punah.Ancaman itu jelas

memudarkan ciri jati diri komunitas etnik. Seiring dengan itu, sirna pula nilai-nilai

warisan leluhur, adicita (ideology), dan aneka kearifan lokal (local wisdom) yang

terekam dalam bahasa lokal itu.

Berdasarkan beberapa temuan di atas, upaya preservasi menjadi sebuah

keniscayaan dalam konteks globalisasi. Menurut Rahardi (2016) dalam konteks

globalisasi preservasi dan penyelamatan nilai-nilai kebijaksanaan dan kearifan

lokal harus mendapat tempat yang lebih tepat. Senada dengan ini, Mbete

(2015:186) juga mengungkapkan bahwa pelestarian bahasa-bahasa lokal

merupakan bagian-bagian penting dari upaya untuk mempertahankan dan

melestarikan kebersamaan dalam keberbedaan bahasa sebagai wadah kebudayaan

lokal dan identitas keetnikan.

Preservasi sebagai salah satu langkah penyelamatan nilai-nilai

kebijaksanaan dan kearifan-kearifan lokal yang terekam dalam tradisi lisan pada

era globalisasi ini, tentu relevan dengan kajian teori yang digunakan sebagai pisau

analisis dalam penelitian ini, yakni teori ekolinguistik metaforis. Hal itu

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 22: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

5

ditegaskan oleh Fill dan Penz (2018:i) bahwa ekolinguistik pada hakikatnya

membahas tentang kehilangan bahasa dan pemeliharaan bahasa di era

globalisasi. Haugen (1972:325) sebagai pelopor teori ekolinguistik memiliki

asumsi bahwa bahasa lahir dan mati bagaikan organisme hidup. Bahasa memiliki

rentang kehidupannya tumbuh dan berubah seperti halnya manusia dan hewan,

serta memiliki sedikit penyakit yang hanya dapat disembuhkan dengan

menggunakan obat yang tepat oleh para pakar Bahasa. Pernyataan Haugen ini,

mengisyaratkan bahwa salah satu cara melindungi dan memelihara bahasa dari

kepungan arus globalisasi adalah melalui penelitian-penelitian bahasa. Dengan

demikian, penelitian terhadap tradisi lisan Teda dalam upacara Padede Uma

Kalada sangat penting untuk dilakukan. Selain sebagai salah satu bentuk tindakan

memelihara dan melindungi tradisi lisan Teda, juga karena dalam tradisi lisan itu

menyimpan kekayaan nilai-nilai kearifan lokal, filosofi hidup dan jati diri

masyarakat penuturnya.

Sifat tradisi lisan Teda yang mengandung dan memberikan gambaran

tentang kearifan lokal, nilai-nilai kearifan lokal dan wujud jati diri masyarakat

Kabizu Beijello tentu relevan dikaji dengan menggunakan kajian ekolinguistik

metaforis. Haugen (1972:325) mengemukakan bahwa ekolinguistik adalah studi

tentang interaksi bahasa tertentu dengan lingkungannya. Lingkungan dalam hal ini

didefinisikan sebagai masyarakat yang menggunakan bahasa sebagai salah satu

kode. Dalam hal ini Haugen memaknai lingkungan dalam arti metaforis. Hal itu

ditegaskan oleh Rahardi (2016) dalam artikelnya yang berjudul “Urgensi

Menggelorakan Linguistik Ekologi” yang dituliskan pada surat kabar Kedaulatan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 23: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

6

Rakyat yang menuliskan bahwa dimensi ekolinguistik lainnya yang tidak temasuk

dalam pengertian natural, bersifat metaforis dan lazim diterminologikan sebagai

ekolinguistik saja, yakni hubungan tali temali antara bahasa dengan strata sosial,

status sosial, kebudayaan, etnisitas, laras dan sejenisnya.

Berdasarkan kedua pandangan pakar di atas, maka ekolinguistik metaforis

dalam konteks penelitian ini adalah hubungan tali temali antara bahasa yang

digunakan dalam tradisi lisan pada upacara Padede Uma Kalada dengan

masyarakat Kabizu Beijello yang menggunakan bahasa tersebut sebagai salah satu

kode yang mencerminkan lingkungan sosial dan budaya. Hal seperti yang

diungkapkan oleh Mulyadi (2014:93) bahwa di dalam ekolinguistik, bahasa bukan

sekadar nomenklatur (tata nama), tetapi bahasa memiliki perangkat kata tertentu

sebagai petunjuk bahwa kata-kata itu menjadi bagian yang penting dalam sebuah

kebudayaan. Pandangan hidup suatu bangsa adakalanya diungkapkan dengan

kata-kata kunci tertentu.

Berdasarkan seluruh uraian di atas, peneliti dapat mengidentifikasi beberapa

masalah, yakni (1) tradisi lisan Teda dalam upacara Padede Uma Kalada

merupakan salah satu kekayaan budaya masyarakat Kabizu Beijello yang sampai

saat ini masih dipraktikkan dalam upacara-upacara pembangunan rumah besar.

Akan tetapi, sejauh ini penelitian terkait tradisi lisan Teda dalam upacara Padede

Uma Kalada masih jarang dilakukan oleh kaum akademisi terutama peneliti di

bidang bahasa, sastra dan pengajaran. (2) Tradisi lisan dalam upacara Padede

Uma Kalada merekam dan menyimpan wujud kearifan-kearifan lokal, nilai-nilai

dan memberikan gambaran tentang wujud jati diri yang selalu dipraktek oleh

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 24: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

7

masyarakat Kabizu Beijello. Akan tetapi, sejauh ini pembahasan terkait ketiga hal

ini belum terperikan secara maksimal. Hal itu karena peneliti-peneliti terdahulu

belum sampai pada taraf pengkajian makna bahasa dalam hubungannya dengan

praktik sosial dan budaya yang melingkupi masyarakat Kabizu Beijello. (3) Fakta

membuktikan bahwa tradisi lisan Teda pada era globalisasi ini, berada pada

ambang kepunahan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini tidak hanya bersifat

deskriptif saja tetapi juga akan sampai pada memaparkan strategi-strategi yang

dapat dilakukan agar tradisi lisan Teda tetap lestari. Berdasarkan seluruh uraian

itu dan identifikasi masalah yang ditemukan, maka peneliti tertarik untuk

melakukan penelitian dengan judul “Tradisi Lisan dalam Teda dalam Upacara

Padede Uma Kalada Masyarakat Kabizu Beijello, Sumba Barat Daya: Kajian

Ekolinguistik Metaforis”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah dan hasil identifikasi masalah, maka

rumusan masalah utama dalam penelitian ini adalah bagaimanakah tradisi lisan

Teda dalam upacara Padede Uma Kalada masyarakat Kabizu Beijello, Sumba

Barat Daya berdasarkan kajian ekolinguistik metaforis? Berdasarkan rumusan

masalah utama ini, dapat disusun beberapa rumusan submasalah sebagai berikut.

1) Kearifan-kearifan lokal apa sajakah yang terdapat dalam tradisi lisan Teda

pada upacara Padede Uma Kalada berdasarkan kajian ekolinguistik

metaforis?

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 25: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

8

2) Nilai-nilai kearifan lokal apa sajakah yang terdapat dalam tradisi lisan Teda

pada upacara Padede Uma Kalada berdasarkan kajian ekolinguistik

metaforis?

3) Jati diri masyarakat Kabizu Beijello apa sajakah yang terdapat dalam tradisi

lisan Teda pada upacara Padede Uma Kalada berdasarkan kajian ekolinguistik

metaforis?

4) Strategi preservasi apakah yang dapat dilakukan untuk menjaga kelestarian

tradisi lisan Teda masyarakat Kabizu Beijello?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab rumusan masalah.

Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan penelitian ini terdiri atas dua yang

meliputi tujuan umum dan tujuan khusus. Adapun tujuan umum dari penelitian ini

adalah untuk mendeskripsikan tradisi lisan Teda dalam upacara adat Padede Uma

Kalada masyarakat Kabizu Beijello, Sumba Barat Daya dengan menggunakan

kajian ekolinguistik metaforis. Berdasarkan tujuan umum ini, dapat disusun

beberapa tujuan khusus yang dapat diperinci sebagai berikut.

1) Mendeskripsikan kearifan-kearifan lokal yang terdapat dalam tradisi lisan Teda

pada upacara Padede Uma Kalada berdasarkan kajian ekolinguistik metaforis.

2) Mendeskripsikan nilai-nilai kearifan lokal yang terdapat dalam tradisi lisan

Teda pada upacara Padede Uma Kalada berdasarkan kajian ekolinguistik

metaforis.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 26: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

9

3) Mendeskripsikan jati diri masyarakat Kabizu Beijello yang termanifestasikan

pada tradisi lisan Teda dalam upacara Padede Uma Kalada berdasarkan kajian

ekolinguistik metaforis.

4) Merumuskan strategi preservasi yang dapat dilakukan untuk menjaga

kelestarian tradisi lisan Teda masyarakat Kabizu Beijello.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang berarti, baik

secara teoritis maupun secara praktis. Manfaat teoritis terkait dengan sumbangan

teoritis kajian ini untuk pengembangan teori linguistik pada umumnya dan

ekolinguistik metaforis secara khusus. Sedangkan, manfaat praktis terkait dengan

manfaat secara langsung dari hasil penelitian ini yang dapat digunakan oleh

masyarakat pada umumnya. Manfaat teoritis dan manfaat praktis ini akan

diuraikan secara lengkap sebagai berikut.

1.4.1 Manfaat Teoretis

Tradisi lisan Teda dalam upacara Padede Uma Kalada merupakan salah

satu wujud identitas suku bangsa yang harus dijaga kelestariannya. Oleh karena

itu, tradisi lisan ini harus dikaji secara teoretis untuk menemukan manfaat yang

terdapat didalamnya sebagai salah satu langkah pengembangan pengetahuan

secara akademik. Adapun manfaat teoretis dari hasil penelitian ini dapat dilihat

sebagai berikut.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 27: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

10

1) Dapat menambah khasanah pengetahuan terkait teori linguistik, khususnya

teori linguistik yang membahas hubungan tali-temali bahasa dengan

lingkungan. Dalam hal ini, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi

pengembangan teori ekolinguistik metaforis.

2) Dapat menambah khasanah pengetahuan terkait teori tradisi lisan, kearifan

lokal, nilai-nilai kearifan lokal dan teori jati diri yang terekam dalam

kebudayaan.

3) Dapat menambah khasanah pengetahuan mengenai konsep preservasi bahasa

dan budaya.

1.4.2 Manfaat Praktis

Penelitian ini selain memiliki manfaat teoritis, juga memiliki manfaat

praktis yang dapat dijabarkan sebagai berikut.

1) Hasil penelitian ini dapat menjadi sumber rujukan bagi peneliti lain yang ingin

melakukan penelitian yang serupa, yakni penelitian terkait hubungan tali

temali antara bahasa dan lingkungan sosial budaya suatu masyarakat etnik.

2) Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bacaan akademik bagi dosen,

guru dan peserta didik dalam mendalami konsep-konsep terkait ekolinguistik

metaforis, tradisi lisan, kearifan lokal, nilai-nilai kearifan lokal dan wujud jati

diri.

3) Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh para pengajar baik di

tingkat sekolah dasar, menengah maupun perguruan tinggi yang ada di pulau

Sumba dalam menanamkan pendidikan karakter. Hal itu mengingat bahwa

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 28: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

11

tradisi lisan dalam upacara Padede Uma Kalada merupakan ungkapan-

ungkapan tradisional yang sangat sopan dan sangat santun, syarat makna dan

berbernas yang digunakan untuk memberikan himbauan dan nasihat. Oleh

karena itu, petuah-petuah dalam tradisi lisan ini dapat digunakan untuk

memberikan himbauan dan nasihat dalam menanamkan pendidikan karakter

bagi anak didik.

4) Hasil penelitian ini secara praktis dapat digunakan oleh pihak pemerintah

Sumba Barat Daya dalam merancang program pembangunan dan menulis

buku-buku yang berbasis budaya dan kearifan lokal sebagai salah satu langkah

pelestarian kearifan lokal yang ada di Kabupaten Sumba Barat Daya.

5) Hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu langkah memelihara dan

melindungi kebudayaan dan tradisi lisan masyarakat Kabizu Beijello. Artinya

bahwa hasil penelitian ini dapat menjadi dokumen atau bukti tradisi lisan

masyarakat Kabizu Beijello dan sekaligus dapat menjadi dokumen sejarah atau

bukti sejarah keberlangsungan hidup masyarakat Kabizu Beijello. Hal itu

karena tradisi lisan dalam upacara Padede Uma Kalada merekam realitas

sosial dan sejarah budaya masyarakat Kabizu Beijello.

1.5 Sistematika Penyajian

Penelitian ini terdiri atas lima bab. Sistematika penyajian dari masing-

masing bab itu, yakni bab I memuat tentang pendahuluan yang terdiri atas latar

belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, sistematika

penyajian dan batasan istilah. Bab II memuat tentang landasan teori yang terdiri

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 29: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

12

atas teori-teori yang relevan dengan penelitian ini. Adapun teori-teori yang

dimaksud, yakni bahasa dan kebudayaan, ekolinguistik dan ekolinguistik

metaforis, konteks dalam ekolinguistik metaforis, tradisi lisan, tradisi lisan dalam

upacara Padede Uma Kalada, kearifan lokal, jati diri, preservasi dan kerangka

berpikir. Masing-masing teori itu dalam uraiannya diintegrasikan dengan

penelitian-penelitian terdahulu yang relevan. Bab III berisi tentang metodologi

penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yang terdiri atas jenis penelitian,

sumber data, data dan objek penelitian, metode dan teknik analisis data serta

triangulasi. Bab IV memuat tentang uraian dari hasil penelitian dan pembahasan

dari hasil penelitian yang ditemukan. Bab V merupakan penutup yang terdiri atas

kesimpulan dari data yang telah diinterpretasi dan saran.

1.6 Batasan Istilah

Penelitian memiliki beberapa Batasan istilah. Batasan-batasan istilah itu

merujuk pada kata-kata kunci yang terdapat pada judul dan fokus masalah yang

diteliti dalam penelitian ini. Adapun beberapa batasan istilah itu dijabarkan

sebagai berikut.

1) Ekolinguistik Metaforis

Ekolinguistik metaforis dalam penelitian ini dibatasi sebagai ilmu yang

mengkaji hubungan tali temali antara bahasa yang digunakan oleh masyarakat

Kabizu Beijello dalam upacara adat Padede Uma Kalada dengan lingkungan

sosial dan budaya yang melingkupi masyarakat Kabizu Beijello (periksa

Haugen, 1972:325; Fill and Mühlhäusler, 2001:14; Rahardi, 2016).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 30: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

13

2) Tradisi Lisan

Tradisi lisan dalam penelitian ini dibatasi sebagai warisan budaya masyarakat

Kabizu Beijello yang mengandung kearifan-kearifan lokal, nilai-nilai sosial

budaya dan jati diri masyarakat Kabizu Beijello yang terekspresikan pada

tuturan-tuturan, doa-doa dan nyanyian-nyanyian yang berbentuk syair yang

indah dalam upacara adat selama proses Padede Uma Kalada (pembuatan

rumah adat). Tradisi lisan tersebut ada yang dituturkan dalam dalam

musyawarah-musyawarah persiapan pembangunan rumah besar, dalam doa-

doa yang ditujukan kepada leluhur, roh-roh gaib dan Tuhan sebagai Wujud

Tertinggi. Selain itu, ada juga yang dinyanyikan dengan diiringi gong dan

tambur pada upacara adat Saiso (Supriatin, 2012:407; Vansina, 2014:1).

3) Kearifan Lokal

Kearifan lokal dalam penelitian ini dibatasi sebagai gagasan dan pengetahuan-

pengetahuan lokal yang menyatu dengan budaya, norma dan kepercayaan

Marapu yang dianut oleh masyarakat Kabizu Beijello yang terekspresikan

dalam tradisi lisan dalam upacara Padede Uma Kalada. Kearifan lokal itu ada

yang berwujud nyata (tangible) dan adapula yang berwujud tidak nyata

(intangible) (Dokhi, dkk., 2016:8-9).

4) Nilai kearifan lokal

Nilai kearifan lokal dalam penelitian ini dibatasi sebagai sesuatu yang

berharga dan ideal yang memberikan corak pada pola pikiran, perasaan dan

perilaku masyarakat Kabizu Beijello (Aslan, 2017:13).

5) Jati Diri

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 31: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

14

5) Jati Diri

Jati diri dalam penelitian ini dibatasi sebagai ciri khas yang dimiliki oleh

masyarakat Kabizu Beijello yang membedakannya dari komunitas etnik

lainnya yang dapat diamati melalui tutur kata, perilaku, kepercayaan dan

pandangan hidup (Alfian, 2013: 427-428; Somantri, 2010).

6) Preservasi

Preservasi adalah tindakan yang memungkinkan tradisi lisan dapat

dipertahankan dalam jangka waktu lama melalui kegiatan perlindungan dan

pemeliharaan tradisi lisan (Ellis, 1993) dalam Kami (2018:15). Dalam konteks

penelitian ini, maka preservasi dibatasi sebagai upaya-upaya strategis yang

dilakukan untuk melindungi dan melestarikan tradisi lisan dalam upacara

Padede Uma Kalada.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 32: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

15

BAB II

LANDASAN TEORI

Dalam bab ini dipaparkan teori-teori dasar yang melandasi penelitian ini.

Landasan teori dalam penelitian ini merupakan tinjauan kepustakaan yang

mendukung atau relevan dengan masalah-masalah penelitian. Landasan teori

tersebut meliputi, (1) bahasa dan kebudayaan, (2) ekolinguistik dan ekolinguistik

metaforis, (3) konteks dalam ekolinguistik metaforis, (4) etnografi dan etnografi

komunikasi, (5) tradisi lisan, (6) tradisi lisan Teda dalam dalam upacara Padede

Uma Kalada masyarakat Kabizu Beijello, (7) kearifan lokal, (8) jati diri, (9)

preservasi, dan (10) kerangka berpikir. Tinjauan teoritis ini akan dipaparkan

sebagai berikut.

2.1 Bahasa dan Kebudayaan

Bahasa dan lingkungan sosial budaya merupakan unsur utama dalam kajian

ekolinguistik metaforis. Oleh karena itu, peneliti memandang perlu untuk

memaparkan terlebih dahulu terkait hubungan antara bahasa dan kebudayaan

sebelum memaparkan teori ekolinguistik metaforis. Mbete (2015:184)

menjelaskan bahwa bahasa adalah gambaran tentang realitas, gambaran tentang

pengetahuan dan pengalaman manusia. Dalam hal ini komunitas tuturnya tentang

dunia nyata, di sisi dunia imajinasi, yang ada di lingkungannya. Senada dengan

pandangan ini Kramsch (1998:3) menegaskan bahwa bahasa mengekspresikan

atau melambangkan realitas budaya. Lebih lanjut dijelaskan bahwa bahasa adalah

sarana utama dalam menjalankan kehidupan sosial. Ketika digunakan dalam

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 33: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

16

konteks komunikasi, bahasa terikat dengan budaya yang beragam dengan cara

yang kompleks atau rumit. Ketika memulai suatu komunikasi kata-kata yang

diucapkan oleh seseorang mengacu pada pengalaman yang umum. Bahasa

mengungkapkan fakta, ide, atau peristiwa yang merujuk pada pengetahuan

tentang dunia. Kata-kata yang digunakan dalam peristiwa komunikasi

mencerminkan sikap dan kepercayaan penuturnya dan sudut pandang penutur

terhadap lingkungan. Selain itu, bahasa juga merupakan sistem tanda yang

dipandang memiliki nilai budaya. Sikap, kepercayaan dan sistem nilai umumnya

tercermin dalam cara anggota kelompok menggunakan bahasa.

Merujuk pada kedua pandangan pakar di atas dapat dikatakan bahwa

berbicara mengenai bahasa tidak dapat dilepaspisahkan dari lingkungan sosial

budaya yang dihidupi oleh masyarakat penuturnya. Bahasa yang digunakan dalam

berbagai peristiwa tutur tentu memberikan gambaran tentang kebudayaan yang

dihidupi oleh masyarakat pemakainya. Hal itu ditegaskan oleh (Rahardi, 2009: 6)

bahwa bahasa menjadi penanda keadaan perkembangan dari budaya dan

masyarakat.

Salah satu klaim lama mengenai hubungan antara bahasa dan budaya adalah

bahwa struktur bahasa menentukan cara penutur bahasa memandang dunia. Versi

yang agak lebih lemah adalah bahwa struktur bahasa tidak menentukan pandangan

dunia penuturnya tetapi mempengaruhi budaya dan cara berpikir penuturnya.

Klaim ketiga, 'netral,' adalah bahwa ada sedikit atau tidak ada hubungan antara

bahasa dan budaya. Klaim bahwa struktur bahasa memengaruhi budaya dan cara

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 34: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

17

penuturnya memandang dunia disebut sebagai hipotesis Sapir-Whorf, yakni

hipotesis relativitas bahasa (Wardhaugh, 2006:221).

Klaim-klaim yang terperikan di atas, jika didasarkan pada dua paradigma

dalam pengkajian bahasa, klaim satu dan dua termasuk dalam paradigma kaum

fungsionalis. Sementara itu, klaim tiga termasuk dalam paradigma kaum formalis.

Mujib (2009:142-143) dalam penelitiannya yang berjudul “Hubungan Bahasa

dan Budaya: Perspektif Sosiolinguistik” mengemukakan bahwa pandangan yang

menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara bahasa dan budaya merujuk pada

pandangan kaum formalis, yakni teori linguistik struktural oleh Noam Chomsky,

yakni teori yang menekankan bahwa pengetahuan linguistik hanya memfokuskan

pada pengetahuan mengenai bahasa itu sendiri tanpa perlu mengkaji bahasa dalam

pemakaiannya dengan menolak secara eksplisit adanya hubungan antara bahasa

dengan masyarakat. Dengan demikian, penelitian ini termasuk dalam paradigma

kaum fungsionalis, yakni pengkajian bahasa dengan melihat hubungan tali

temalinya dengan lingkungan sosial dan budaya mamsyarakat penuturnya.

Frans Boas adalah seorang ahli bahasa yang bergerak di bidang

antropolinguistik. Bahasa dan budaya merupakan perhatian dari Boas dengan

pendekatannya yang bernama Tradisi Boasian. Tradisi Boas beranggapan bahwa,

“seseorang tidak akan benar-benar memahami budaya orang lain tanpa memiliki

akses langsung pada bahasanya”. Artinya bahwa tanpa memahami bahasa, orang

tidak akan mampu memahami budaya orang lain. Menurutnya sistem bahasa suatu

masyarakat dapat dipelajari sebagai pemandu untuk sistem budaya suatu

masyarakat. Ia menyimpulkan bahwa bahasa mengklasifikasikan dunia dan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 35: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

18

pengalaman manusia. Artinya bahwa bahasa yang berbeda-beda dapat

mengklasifikasikan pengalaman yang berbeda pula. Ia menggunakan argumen itu

untuk menyokong teori relativitas budaya, yakni budaya itu tentu saja tidak dapat

diterapkan di masyarakat lain yang tidak memiliki pola pikir yang sama dan

setiap budaya memiliki pandangan dunianya sendiri (Duranti, 1997:52-55).

Edward Sapir adalah salah seorang murid dari Frans Boas yang memperluas

kajian Boas dalam bidang bahasa dengan memberikan perhatian lebih pada

struktur linguistik. Dalam pandangan Sapir sebagaimana dicatat oleh Duranti

(1997:56) dijelaskan bahwa bahasa adalah sarana paling sempurna atas

komunikasi dan ekspresi di antara orang-orang yang saling mengenal. Dalam

artikelnya yang diterbitkan tahun 1929 yang berjudul “The Status of Linguistics

as a science” Sapir (1929) berpendapat bahwa bahasa adalah panduan dalam

berinteraksi sosial. Manusia tidak hidup di dunia objektif saja, tidak juga sendirian

di dunia aktivitas sosial seperti yang biasanya dipahami, tetapi sangat bergantung

pada bahasa tertentu yang telah menjadi media ekspresi bagi masyarakat mereka.

Faktanya adalah bahwa 'dunia nyata' sebagian besar secara tidak sadar didasarkan

pada kebiasaan bahasa kelompok. Tidak ada dua bahasa yang cukup mirip untuk

dianggap mewakili realitas sosial yang sama. Dunia di mana masyarakat yang

berbeda hidup adalah dunia yang berbeda, bukan hanya dunia yang sama dengan

label yang berbeda.

Syairi (2013) dalam penelitiannya yang berjudul “Pembelajaran Bahasa

dengan Pendekatan Budaya” memberikan gambaran terkait bahasa yang sama

atau cukup mirip belum tentu dianggap dapat mewakili realitas sosial yang sama.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 36: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

19

Hal ini dapat dilihat dari pernyataan Syairi yang mengatakan bahwa beberapa

keistimewaan bahasa dipakai suatu bangsa, atau daerah tertentu untuk membatasi

cara-cara berpikir dan pandangan bangsa atau daerah yang bersangkutan terhadap

fenomena tempat mereka hidup. Dengan demikian susunan bahasa dan

keistimewaan lain yang dimilikinya merupakan faktor dasar bagaimana suatu

masyarakat memandang hakikat alam dan tempat mereka berada. Selanjutnya

dalam penelitian ini Syairi memberikan contoh sebagaimana berikut.

Umpamanya kata ikan dalam bahasa Indonesia merujuk kepada jenis

binatang yang hidup dalam air dan biasa dimakan sebagai lauk; dalam

bahasa Inggris sepadan dengan fish; dalam bahasa banjar disebut iwak.

Tetapi kata iwak dalam bahasa jawa bukan hanya berarti ikan atau fish.

Melainkan juga berarti daging yang digunakan juga sebagai lauk (teman

pemakan nasi). Malah semua lauk seperti tahu dan tempe sering juga

disebut iwak. Begitu pula halnya dalam budaya masyarakat Inggris yang

tidak mengenal nasi sebagai makanan pokok hanya ada kata rice untuk

menyatakan nasi, beras, gabah, dan padi. Karena itu, kata rice pada

konteks tertentu berarti nasi pada konteks lain berarti gabah dan pada

konteks lain lagi berarti beras atau padi.

Pandangan Syairi di atas memberikan gambaran bahwa bahasa yang sama

belum tentu mewakili budaya dan cara pandang yang sama dalam memaknai

bahasa. Budaya dan pola pikir masyarakat Jawa yang memandang bahwa iwak

(ikan) tidak hanya merujuk pada binatang laut yang biasa dimakan tetapi juga

merujuk pada semua daging dan bahkan semua lauk seperti tempe dan tahu

sebagai teman pemakan nasi mempengaruhi pamahaman makna terhadap bahasa

sebagaimana masyarakat Indonesia, Inggris dan masyarakat Banjar memahami

makna kata ikan. Begitu pula budaya masyarakat Inggris yang tidak menjadikan

nasi sebagai makanan pokok sebagaimana digambarkan Syairi di atas

memberikan gambaran pemahaman kepada kita bahwa bahasa yang berbeda dapat

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 37: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

20

merefleksikan budaya dan cara pandang yang berbeda terhadap lingkungan sosial

budaya masyarakat penuturnya. Bahasa terikat oleh budaya dan pemahaman

masyarakat penuturnya dalam memandang lingkungan dimana mereka hidup.

bahasa itu adalah produk budaya dan sekaligus wadah penyampaian kebudayaan

dari masyarakat bahasa yang bersangkutan.

Berdasarkan seluruh uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa bahasa

dan budaya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Bahasa yang

digunakan oleh masyarakat dalam suatu lingkungan tertentu terikat oleh budaya

dan cara pandang masyarakat penuturnya dalam memahami dan memaknai

lingkungannya. Bahasa dibangun dan diproduksi berdasarkan pengalaman dan

pengetahuan tentang lingkungan sosial dan budaya masyarakat penuturnya. Oleh

karena itu, jelaslah bahwa bahasa yang sama atau cukup mirip tentu tidak dapat

dikatakan dapat mewakili realitas sosial budaya yang sama. Bahasa yang berbeda

tentu menggambarkan budaya, cara pandang dan tingkah laku masyarakat

penuturnya yang berbeda pula.

2.2 Ekolinguistik dan Ekolinguistik Metaforis

Ekologi merupakan konsep yang menjadi titik awal munculnya istilah

‘ekolinguistik’. Ahli biologi Jerman Ernst Haeckel sejak tahun 1866

mendefinisikan istilah 'ekologi' sebagai studi tentang keterkaitan antara organisme

dan lingkungan hidup dan tidak hidup mereka termasuk organisme yang sama dan

spesies lainnya. Pada tahun 1960-an, kata 'ekologis', dipahami sebagai biologis,

alami, dan ramah lingkungan. Dalam perkembangannya selanjutnya 'ekologi'

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 38: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

21

sepenuhnya selaras dengan asumsi ekolinguistik, yakni ekologi adalah studi

tentang hubungan antara organisme hidup, termasuk manusia, dan lingkungan

fisik mereka; ia berusaha memahami hubungan vital antara tanaman, hewan dan

lingkungan di sekitar mereka (Dash, 2019:379).

Sesungguhnya studi ekolinguistik sudah diawali sejak tahun 1912 ketika

Edward Sapir menulis refleksinya tentang 'Bahasa dan Lingkungan'. Hal ini dapat

dibaca dalam buku yang ditulis oleh Fill and Mühlhäusler (2001:2-3) dengan

menuliskan sebagaimana berikut.

Ketika Edward Sapir menulis refleksi tentang 'Bahasa dan Lingkungan'

pada tahun 1912, istilah 'lingkungan' belum memperoleh makna

ekologisnya, tetapi hanya menandakan 'lingkungan fisik dan sosial'. Akan

tetapi, teks Sapir yang pertama kali dicetak dalam buku ini adalah upaya

awal dari seorang ahli bahasa untuk melampaui deskripsi bahasa dalam

hal struktur, sistem suara, makna kata dan sejenisnya dan untuk

membangun hubungan antara 'Alam dan bahasa. Perhatian Sapir terhadap

bahasa dan lingkungan tidak terbatas pada satu bahasa saja (misalnya,

bahasa Inggris) dalam teks singkat ini, ia menyebutkan sejumlah besar

budaya dan bahasa yang memiliki hubungannya dengan lingkungannya

yang ia jelajahi. Jika ekolinguistik memang didasarkan pada prinsip-

prinsip interaksi dan keanekaragaman, Sapir adalah eksponen awal

ekolinguistik sejauh ia menunjukkan hubungan antara bahasa dengan

lingkungan fisik di satu sisi dan bahasa dengan dimensi social dan budaya

di sisi lain. Keterkaitan antara bahasa dan lingkungan ini hanya ada pada

pada tataran leksikon saja, bukan pada tataran fonologi atau morfologi.

Pada topik “Language and Environment Edward Sapir” Sapir

sebagaimana dicatat oleh Fill and Mühlhäusler (2001:14) membagi lingkungan

atas tiga jenis. Pertama, lingkungan ragawi, yang mencakup karakter geografis

seperti topografi suafu lsgara (mis. pantai, lembah, dataran tinggi, pegunungan,

iklim, darr intensitas curah hujan). Kedua, lingkungan ekonomis, yang terdiri atas

fauna, flora, dan sumber-sumber mineral yang terdapat di daerah tersebut. Ketiga,

lingkungan sosial, yang berupa pelbagai kekuatan yang ada dalam masyarakat

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 39: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

22

dalam membentuk kehidupan dan pikiran setiap individu, di antaranya agama,

budaya, etika, organisasi politik, dan seni.

Lingkungan yang digambarkan oleh Sapir di atas apabila dikaitkan dengan

ekolinguistik maka lingkungan yang pertama dan kedua temasuk termasuk dalam

ruang lingkup kajian ekolinguistik natural yang kini lebih banyak disebut sebagai

envirolinguistik. Sementara itu, lingkungan yang ketiga termasuk dalam ruang

lingkup kajian ekolinguistik metaforis, yakni mengkaji hubungan tali temali

antara bahasa dan kekuatan-kekuatan sosial, politik, kepercayaan, budaya, adat

istiadat, etika, dan seni yang melingkupi masyarakat penuturnya.

Steffensen and Fill (2013:3) dalam artikel yang berjudul “Ecolinguistics:

The State of The Art and Future Horizons” juga berupaya menelusuri kemunculan

dan perkembangan linguistik ekologi, atau ekolinguistik dari dari abad 20-an

sampai 1970-an. Dari hasil penelusuran ini ditemukan empat konsep atau

pendekatan dalam ekolinguistik, yakni (1) bahasa terdapat dalam ekologi

simbolik, yakni pendekatan yang menyelidiki koeksistensi bahasa atau sistem

simbolik di otak seorang pembicara dalam suatu lingkungan tertentu, (2) bahasa

terdapat dalam ekologi alami, yakni pendekatan yang mengkaji terkait hubungan

bahasa dengan biologis dan ekosistem lingkungan dimana bahasa digunakan yang

meliputi, topografi, iklim, fauna, flora, dan lain-lain, (3) bahasa ada dalam ekologi

sosiokultural, yakni pendekatan yang menyelidiki bagaimana bahasa berhubungan

dengan kekuatan sosial dan budaya yang membentuk kondisi penutur dan

komunitas tutur, (4) bahasa ada dalam ekologi kognitif, yakni pendekatan ini

menyelidiki bagaimana bahasa diaktifkan oleh dinamika biologis organisme dan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 40: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

23

lingkungannya, dengan fokus pada kapasitas kognitif yang memunculkan

organisme yang fleksibel dan adaptasi tingkah laku.

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa pendekatan terdapat

dalam ekologi alami termasuk dalam pengkajian bahasa dalam hubungannya

dengan lingkungan fisik. Sementara itu, pendekatan bahasa ada dalam ekologi

simbolik, sosiokultural dan kognitif termasuk dalam ekolinguistik metaforis,

yakni mengkaji bahasa dalam hubungannya dengan sistem nilai, kepercayaan,

agama, sosial, budaya, seni, politik dan bahkan ideologi serta ilmu-ilmu lainnya

yang tidak tergolong dalam lingkungan fisik atau ragawi.

Konsep ekolinguistik menjadi mapan ketika Haugen (1970) memberikan

pidato dengan judul “The Ecology of Language” (Fill dan Penz, 2018:3).

Ekolinguistik dalam pandangan Haugen (1970:325) adalah studi interaksi antara

bahasa tertentu dengan lingkungannya. Teori ini merupakan bentuk kritik Haugen

terhadap pendekatan linguistik yang hanya memahami bahasa sebagai seperangkat

kaidah (mikrolinguistik) seperti fonologi, sintaksis dan leksikon. Dalam

pandangan Haugen, bahasa memiliki hubungan tali temali dengan lingkungannya.

Dalam lingkungan inilah bahasa menghadirkan penuturnya. Atas dasar pemikiran

ini, Haugen menciptakan paradigma baru dalam kajian bahasa yakni ekologi

bahasa, yaitu studi tentang interaksi bahasa dengan lingkungannya. Dalam

konteks ini, Haugen menggunakan konsep lingkungan secara metaforis.

Rahardi (2016) dalam artikelnya yang berjudul “Urgensi Menggelorakan

Linguistik Ekologi” yang dituliskan pada surat kabar Kedaulatan Rakyat

memberikan penegasan bahwa ekologi bahasa pada gilirannya bermetamorfosis

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 41: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

24

menjadi ekolinguistik, baik dalam pengertian natural maupun metaforis. Studi

ekolinguistik natural kini banyak disebut envirolinguistik, yakni berbagai dimensi

alam yang bertali temali dengan bahasa yang selanjutnya melahirkan konsep

ikonisitas. Sedangkan dimensi ekolinguistik lainnya bersifat metaforis dan lazim

diterminologikan sebagai ekolinguistik saja, yakni hubungan tali temali antara

bahasa dengan strata sosial, status sosial, kebudayaan, etnisitas, laras dan

sejenisnya.

Senada dengan pandangan di atas, Nesi, (2018:30) menjelaskan bahwa

konsep ekologi dalam ekolinguistik tidak semata-mata merujuk pada lingkungan

fisik, tetapi juga merujuk pada lingkungan dalam arti masyarakat pengguna

bahasa itu sendiri. Lingkungan dalam arti metaforis dalam perkembangannya

ternyata juga meliputi lingkungan politik, hukum, bahkan informasi dan

teknologi. Sementara itu, Uyanne, Onuoha, dan Osigwe (2014:162)

mengungkapkan bahwa ekolinguistik merupakan studi multidisipliner bahasa

dalam interaksi yang menafsirkan bahasa dalam hal adat istiadat, budaya, strata

sosial, sudut pandang politik dan bentuk-bentuk lain yang khas pada lingkungan

tertentu.

Dalam konteks penelitian di Indonesia, penelitian terkait hubungan bahasa

dengan lingkungan fisik atau ragawi dan lingkungan sosial budaya dapat dibaca

dalam penelitian yang dilakukan oleh Suktiningsih (2016) dan Nesi (2018).

Penelitian yang dilakukan oleh Suktiningsih (2016) berjudul “Leksikon Fauna

Masyarakat Sunda”. Dalam penelitian ini Suktiningsih, mengidentifikasi leksikon

yang terdapat dalam metafora masyarakat Sunda. Identifikasi leksikon yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 42: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

25

dilakukan bersifat gramatikal yang meliputi bentuk, kategori dan fungsi. Dari

hasil analisis menunjukkan bahwa banyak penggunaan leksikon fauna dalam

petuah atau nasehat masyarakat Sunda. Leksikon fauna yang ditemukan, yaitu

leksikon bentuk dasar yang berkategori nomina. Sehubungan dengan ini,

penelitian ini meneliti hubungan bahasa dengan lingkungan fisik atau ragawi.

Penelitian yang dilakukan Nesi (2018) berjudul “Tradisi Lisan Takanab

sebagai Wujud Identitas Masyarakat Dawan: Kajian Ekolinguistik Metaforis”.

Jika dilihat dari judulnya sangat jelas bahwa penelitian ini mengkaji bahasa dalam

hubungannya dengan lingkungan sosial dan budaya masyarakat Dawan. Metode

yang digunakan di dalam penelitian ini adalah metode simak dengan teknik sibat

libat cakap, teknik simak bebas libat cakap, teknik rekam, dan teknik catat. Selain

itu penelitian ini memanfaatkan juga metode etnografi komunikasi yaitu

pengalaman langsung, observasi partisipasi, dan wawancara. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa dalam tradisi lisan Takanab terwujud identitas hakiki

masyarakat Dawan, yakni masyarakat Dawan sebagai masyarakat agraris.

Identitas hakiki ini menunjukkkan pula jati diri kolektif masyarakat Dawan, yakni

masyarakat Dawan sebagai masyarakat religius, sastrawi, patriarkat, solider,

ritual, ekologis dan humanis. Selain itu dalam penelitian ini juga ditemukan

kearifan-kearifan lokal masyarakat Dawan, yakni kearifan lokal yang berwujud

nyata (tangible) berupa batu dan air, tiang dan pagar, wadah sirih pinang, kain

tenun motif, rumah adat, benda pusaka dan kearifan lokal berwujud tidak nyata

(intangible) meliputi peribahasa, petuah, syair, paralelisme, dan ideologi.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 43: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

26

Berdasarkan seluruh paparan di atas, penelitian ini termasuk dalam

penelitian ekolinguistik metaforis. Melalui penelitian ini, peneliti berupaya

mengekplorasi hubungan bahasa dalam tradisi lisan Teda pada upacara Padede

Uma Kalada dengan dimensi sosial dan budaya masyarakat Kabizu Beijello.

Melalui kegiatan eksplorasi itu dapat diungkap kearifan-kearifan lokal, nilai-nilai

dan jati diri masyarakat Kabizu Beijello. Penelitian terhadap tradisi lisan Teda

dalam upacara Padede Uma Kalada, selain memanfaatkan kajian ekolinguistik

metaforis, juga mengacu pada tiga pendekatan ekolinguistik yang dikemukakan

oleh Steffensen and Fill (2013:3), yakni (1) bahasa terdapat dalam ekologi

simbolis, (2) bahasa ada dalam ekologi sosiokultural, (3) bahasa ada dalam

ekologi kognitif.

2.3 Konteks dalam Kajian Ekolinguistik Metaforis

Pemahaman terhadap hakikat konteks dalam kajian ekolinguistik metaforis

merupakan hal yang sangat penting. Hal itu dilandasi oleh asumsi bahwa

pengungkapan makna terdalam yang berkaitan dengan kearifan-kearifan lokal,

nilai-nilai dan wujud jati diri yang terkandung dalam sebuah peristiwa tutur baru

dapat diperoleh secara utuh apabila dikaitkan dengan konteks yang melatari

terbentuknya tuturan itu. Hal ini sejalan dengan pandangan Tube (2017:21) bahwa

konteks merupakan aspek penting dalam pembentukan suatu tuturan. Pemaknaan

suatu tuturan akan menjadi utuh jika dihubungkan dengan konteksnya.

Nesi (2018:33) dalam penelitiannya yang berjudul “Tradisi Lisan Takanab

sebagai Wujud Identitas Masyarakat Dawan: Kajian Ekolinguistik Metaforis”

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 44: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

27

mengungkapkan bahwa dalam kajian ekolinguistik metaforis pemahaman

terhadap hakikat konteks dipandang sangat penting. Bagaimanapun, makna

bahasa tutur seperti halnya yang terdapat dalam tradisi lisan Takanab senantiasa

terajut di dalam konteks. Kode-kode bahasa yang terdapat dalam tradisi lisan

Takanab yang digunakan oleh masyarakat Dawan baru tersibak apabila konteks

sosial dan konteks budaya dilibatkan dalam analisis. Pandangan Nesi ini

mengisyarakatkan bahwa penelitian dengan memanfaatkan kajian ekolinguistik

metaforis selalu terikat dengan konteks sosial dan konteks budaya masyarakat

yang diteliti.

Konteks adalah semua latar belakang pengetahuan yang dimiliki penutur

dan mitra tutur serta yang menyertai dan mewadahi sebuah pertuturan

(Rahardi,2006:50). Konteks ialah gagasan yang tidak dapat diwakili oleh kata-

kata padahal ingin diungkapkan oleh penutur. Penentuan konteks dapat

diidentifikasi dari beberapa hal, yaitu dasar pemahaman bersama, latar belakang

budaya, asumsi penutur terhadap mitra tutur, kesantunan dan knowledge of the

world (Pranowo, 2015: 4). Berdasarkan kedua pendapat ini dapat disimpulkan

bahwa konteks adalah latar belakang pengetahuan yang dimiliki oleh penutur dan

mitra tutur tentang semua hal yang mendukung terbentuknya tuturan yang

mengandung gagasan yang tidak dapat diwakili kata-kata oleh penutur dan

maknanya dapat dipahami mitra tutur.

Penelitian ini memanfaatkan kajian ekolinguistik metaforis sebagai pisau

analisis. Pemaknaan yang mendalam terhadap tuturan-tuturan dalam tradisi lisan

Teda pada upacara Padede Uma Kalada dapat tersibak secara utuh apabila

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 45: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

28

melibatkan konteks. Dalam hal ini konteks budaya dan konteks dijadikan dasar

dalam memahami tuturan-tuturan dalam tradisi lisan Teda pada upacara Padede

Uma Kalada. Pranowo (2015:5) mengungkapkan bahwa tuturan akan dipahami

apabila penutur dan mitra tutur sama-sama memahami latar belakang budaya

bertutur. Konteks budaya adalah latar belakang pengetahuan tentang budaya

tertentu yang dimiliki oleh penutur dan mitra tutur yang mendukung komunikasi

antara penutur dan mitra tutur agar menjalan dengan baik (Putrayasa, 2014:29).

Sementara itu, Nesi (2018:33) mengungkapkan bahwa konteks budaya merupakan

konteks yang terkait dengan sistem nilai dan norma yang berlaku dalam

masyarakat tertentu. Song (2010:877) mengemukakan juga bahwa konteks

kebudayaan mengacu pada budaya, adat istiadat, dan latar belakang zaman dalam

masyarakat pengguna bahasa. Berdasarkan ketiga pendapat ini dapat disimpulkan

bahwa konteks budaya adalah latar belakang pengetahuan tentang budaya yang

terkait dengan sistem nilai, norma, adat istiadat dan latar belakang zaman yang

mewadahi atau mendukung terbentuknya tuturan.

Konteks sosial adalah konteks yang timbul sebagai akibat dari munculnya

interaksi antaranggota masyarakat dalam entitas atau kelompok tertentu (Nesi,

2018:33). Mey (1983) dalam (Rahardi 2009:4) menjelaskan bahwa konteks sosial

berkaitan erat dengan hal-ihwal interaksi sosial. Hymes (1989) sebagaimana

dikutip oleh Pranowo (2014:176-177) memaparkan elemen-elemen tutur dalam

konteks sosial yang diberi singkatan S-P-E-A-K-I-N-G, yang mana di dalam

masing-masing fonem ini mengandung elemen-elemen tutur yang dapat

dijabarkan sebagai berikut. Situation mengacu pada keadaan yang melingkupi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 46: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

29

terjadinya peristiwa komunikasi (santai, serius, netral, dan sebagainya).

Participant mengacu pada orang yang ikut terlibat dalam peristiwa komunikasi

(teman kerja, atasan, bawahan, pembantu). Ends mengacu pada tujuan atau apa

yang ingin dicapai melalui peristiwa komunikasi (mempengaruhi, memberi

informasi, menyuruh, membujuk, merayu). Addresee mengacu pada mitra

komunikasi atau orang yang diajak berkomunikasi. Keys (kunci) mengacu pada

pokok persoalan yang menjadi kunci pembicaraan. Instrument mengacu pada

segala hal yang berada di luar pembicaraan yang dapat dimanfaatkan untuk

mendukung kelancaran pembicaraan. Norms mengacu pada norma atau kaidah-

kaidah yang harus diikuti oleh pembicara (pranata sosial masyarakat yang

berlaku). Genre mengacu pada ragam atau corak bahasa yang sesuai dengan

situasi komunikasi (ragam santai, ragam formal ragam literer).

Selain konteks budaya dan konteks sosial interpretasi makna data dalam

penelitian ini memanfaatkan juga konteks sosietal dan konteks situasional.

Konteks sosietal berkaitan dengan kedudukan di dalam masyarakat dan institusi-

institusi sosial yang ada (Mey, 1983 dalam Rahardi, 2009:4). Hal ini sejalan pula

dengan Nesi (2018:33) bahwa konteks sosietal (status atau kedudukan)

merupakan konteks yang faktor penentunya adalah kedudukan anggota-anggota

masyarakat dalam institusi sosial yang ada dalam masyarakat sosial.

Sementara itu, konteks situasi terdiri atas empat komponen utama, yakni

field, tenor, mode. Field atau medan merujuk pada apa yang sedang terjadi dalam

teks dan sifat-sifat proses sosial apa yang sedang dilakukan partisipan dengan

menggunakan bahasa sebagai mediumnya, atau sebagai ‘the social action’. Tenor

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 47: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

30

atau pelibat adalah ‘the role structure’ mengacu kepada siapa yang berperan di

dalam kejadian sosial tersebut, sifat-sifat partisipan, status dan peran sosial. Mode

atau sarana adalah ‘the symbolic organization’ merujuk pada bagian yang

diperankan oleh bahasa. Hal ini menyangkut harapan partisipan dengan

menggunakan bahasa dalam situasi tertentu organisasi simbolik teks, status yang

dimilikinya, fungsinya dalam konteks, saluran: tertulis atau lisan atau gabungan

keduanya, sarana retoris: persuasif, ekspositoris, didaktis, dan sejenisnya

(Rosmawaty, 2011:78-79).

2.4 Etnografi dan Etnografi Komunikasi

Secara harfiah entografi berarti tulisan atau laporan tentang suatu suku

bangsa yang ditulis oleh seorang antropolog atas hasil penelitian lapangan (field

work) selama sekian bulan atau sekian tahun (Spradley, 2006: vii). Istilah

etnografi berasal dari kata Yunani ethnos yang berarti 'orang' dan graphein yang

berarti 'tulisan'. Istilah itu kemudian diartikan sebagai sejenis tulisan yang

menggunakan bahan-bahan dari penelitian lapangan untuk menggambarkan

kebudayaan manusia (Hanifah, 2010:2).

Etnografi merupakan cabang antropologi yang digunakan untuk

menggambarkan, menjelaskan dan menganalisis unsur kebudayaan suatu

masyarakat atau suku bangsa. Etnografi dalam kegiatannya memerikan uraian

terperinci mengenai aspek cara berperilaku dan cara berpikir yang sudah

membaku pada orang yang dipelajari yang dituangkan dalam bentuk tulisan, foto,

gambar atau film. Hal yang dipelajari bias berupa bahasa, mata pencaharian,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 48: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

31

sistem teknologi, organisasi sosial, kesenian, sistem pengetahuan dan religi

(Hanifah, 2010:1).

Tujuan etnografi adalah untuk memahami sudut pandang penduduk asli,

hubungannya dengan kehidupan, untuk mendapatkan pandangannya mengenai

dunianya. Oleh karena itu, penelitian etnografi melibatkan aktivitas belajar

mengenai dunia orang yang telah belajar, melihat, mendengar berbicara berpikir

dan bertindak dengan cara yang berbeda-beda, tidak hanya mempelajari

masyarakat tapi lebih dari itu etnografi berarti belajar dari masyarakat

(Malinowski dalam Spradley (2006:4). Hal ini selaras pula dengan Hanifah,

(2010:2) yang mengungkapkan bahwa etnografi merupakan salah satu model

penelitian yang lebih banyak terkait dengan antropologi yang mempelajari dan

mendeskripsikan peristiwa budaya, yang menyajikan pandangan hidup subjek

subjek yang menjadi objek studi. Deskripsi itu diperoleh peneliti dengan cara

berpartisipasi secara langsung dan lama terhadap kehidupan sosial suatu

masyarakat.

Etnografi merupakan suatu kegiatan yang dilakukan dalam upaya untuk

mempelajari, menemukan dan menguraikan suatu pandangan hidup dari suatu

masyarakat. Pandangan hidup itu dapat terkait dengan adat-istiadat, sistem

kepercayaan, wujud jati diri dan norma yang selalu dihidupi oleh masyarakat yang

diteliti tersebut. Pandangan hidup itu tentu ada yang tercermin secara langsung

dalam tuturan-tuturan dan ada pula yang secara tidak langsung, yakni yang dapat

diamati dari perilaku dan perbuatan dari masyarakat yang diteliti itu. Hal itu

diungkapkan oleh (Spradley, 2006: 3-5) bahwa etnografi adalah upaya untuk

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 49: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

32

memperhatikan makna-makna tindakan yang menimpa orang lain yang ingin

dipahami. Beberapa makna tersebut terekspresikan secara langsung dalam bahasa,

dan diantara makna yang diterima, banyak yang disampaikan secara tidak

langsung melalui kata-kata, namun dapat diamati melalui perilaku dan perbuatan

orang yang diamati.

Etnografi terdiri dari beberapa fase perkembangan, yakni etnografi versi

awal, etnografi modern dan etnografi baru. Etnografi versi awal, menggambarkan

unsur kebudayaan suatu masyarakat seperti bahasa, mata pencaharian, teknologi,

sistem pengetahuan dan religi yang diperoleh dari sumber-sumber tidak langsung

seperti naskah atau peninggalan zaman dahulu. Metode etnografi modern baru

muncul pada dasawarsa 1915/1925, dipelopori oleh dua ahli antropologi sosial

Inggris, A.R. Radcliffe Brown dan B. Malinowski. Ciri penting yang

membedakan mereka dari para etnografer awal adalah bahwa mereka tidak terlalu

memandang penting hal ihwal yang berhubungan dengan sejarah kebudayaan

suatu kelompok masyarakat. Perhatian utama mereka adalah pada kehidupan masa

kini yang sedang dijalani oleh anggota masyarakat, yaitu tentang way of life

masyarakat tersebut. Berbeda dari etnografi modern yang memusatkan perhatian

pada organisasi internal suatu masyarakat dan membanding-bandingkan sistem

sosial dalam rangka untuk mendapatkan kaida-kaidah umum tentang masyarakat.

Etnografi baru ini memusatkan usahanya untuk menemukan bagaimana berbagai

masyarakat mengorganisasikan budaya mereka dalam pikiran mereka dan

kemudian menggunakan budaya tersebut dalam kehidupan. Jadi singkatnya,

budaya itu ada di dalam pikiran (mind) manusia, dan bentuknya adalah organisasi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 50: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

33

pikiran tentang fenomena material. Tugas etnografi adalah menemukan dan

menggambarkan organisasi pikiran tersebut.

Senada dengan pandangan di atas, Spradley (2006:xiii) juga

mengungkapkan bahwa pada etnografi baru, etnografer lebih memusatkan

usahanya untuk menemukan bagaimana berbagai masyarakat mengorganisasikan

budaya mereka dalam pikiran mereka dan kemudian menggunakan budaya

tersebut dalam kehidupan. Hal ini dilatarbelakangi oleh orang-orang dari aliran

antropologi kognitif. Mereka berasumsi bahwa setiap masyarakat mempunyai satu

sistem yang unik dalam mempersepsikan dan mengorganisasikan fenomena

material, seperti benda-benda, kejadian, perilaku dan emosi. Karena itu, objek

kajian antropologi bukanlah fenomena material tersebut, tetapi tentang cara

fenomena tersebut diorganisasikan dalam pikiran (mind) manusia. Lebih lanjut

diungkapkan bahwa tugas etnografer adalah menemukan dan menggambarkan

organisasi pikiran tersebut dan jalan paling mudah dan tepat untuk memperoleh

budaya tersebut adalah melalui bahasa atau lebih spesifik adalah daftar kata-kata

yang ada dalam bahasa. Studi bahasa suatu masyarakat adalah titik masuk,

sekaligus aspek utama dalam etnografi aliran antropologi kognitif karena

pendekatan apapun yang digunakan entografer baik itu pengamatan, wawancara

etnografis, mengumpulkan kisah-kisah kehidupan, atau campuran dari berbagai

strategi selalu memunculkan bahasa di dalam setiap fasenya. Etnografi yang

berhubungan dengan bahasa ini disebut Etnography of Speaking atau etnografi

komunikasi.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 51: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

34

Etnografi komunikasi dikenal sebagai salah satu cabang ilmu antropologi,

khususnya turunan dari etnografi berbahasa (ethnography of speaking). Hal ini

karena adanya anggapan bahwa yang menjadi kerangka acuan untuk memberikan

tempat bahasa dalam suatu kebudayaan haruslah difokuskan pada penggunaan

bahasa dalam komunikasi, bukan hanya pada internal bahasa itu sendiri. Dengan

demikian dapat dikatakan, bahasa itu hidup dalam komunikasi, bahasa tidak akan

bermakna jika tidak digunakan dalam komunikasi (Hymes, 1964 dalam Haryono,

2015: 27).

Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat dikatakan bahwa Hymes

memberikan atensi pada komunikasi dalam suatu lingkungan budaya, yakni

terkait dengan pola-pola komunikasi dan perilaku komunikasi yang digunakan

oleh manusia dalam suatu lingkungan kebudayaan, bukan pada aspek-aspek

internal bahasa sebagaimana yang terdapat dalam kajian-kajian linguistik.

Zakiah (2005: 182) mengkonseptualisasikan etnografi komunikasi sebagai

suatu kajian mengenai pola-pola komunikasi suatu komunitas budaya. Hal ini

karena etnografi komunikasi berakar pada istilah bahasa dan interaksi sosial

dalam aturan penelitian kualitatif komunikasi. Penekanan adalah pada cara-cara

bagaimana bahasa dipergunakan dalam masyarakat yang berbeda kebudayaannya,

dimana bahasa yang digunakan dalam suatu komunikasi dapat dilihat sebagai

kode-kode budaya dan ritual-ritual bagi masyarakat yang bersangkutan.

Berdasarkan beberapa pendapat itu, dapat disimpulkan bahwa etnografi

komunikasi merupakan suatu kajian mengenai pola-pola komunikasi yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 52: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

35

digunakan oleh suatu masyarakat yang di dalamnya terimplisitkan kode-kode

budaya dan ritual-ritual dari masyarakat yang bersangkutan.

2.5 Tradisi Lisan

Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia (2016) kata tradisi memiliki dua

pengertian, yakni (1) adat kebiasaan secara turun temurun (dari nenek moyang)

yang masih dijalankan dalam masyarakat. (2) Penilaian atau anggapan bahwa

cara-cara yang telah ada merupakan yang paling baik dan benar. Sedangkan, kata

lisan memiliki arti (1) kata-kata yang diucapkan, (2) berkenaan dengan kata-kata

yang diucapkan. Salah satu turunan dari kata lisan adalah melisankan yang

memiliki arti (1) menyatakan dengan ucapan atau tutur kata, mengucapkan,

menuturkan atau melafalkan. Berdasarkan beberapa konsep ini, dapat disimpulkan

bahwa tradisi lisan merupkan norma atau adat kebiasaan yang disampaikan secara

turun temurun dan masih berjalan dalam masyarakat yang disampaikan dengan

menggunakan bahasa lisan.

Tradisi lisan merupakan tradisi yang berkorelasi pada fase situasi

masyarakat yang belum mengenal tradisi tulis-menulis, sebagai salah satu bentuk

komunikasi, sebagai medium transformasi nilai, norma, dan hukum yang

pewarisannya berlangsung dari satu individu ke individu atau dari satu generasi ke

generasi. Tradisi lisan sebagai warisan leluhur banyak menyimpan kearifan lokal,

kebijakan, dan filosofi hidup yang terekspresikan dalam bentuk mantera, pepatah-

petitih, pertunjukan, dan upacara adat (Supriatin, 2012:409).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 53: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

36

Tradisi lisan selain mengedepankan unsur kelisanan (komunikasi verbal),

didukung juga oleh aspek-aspek komunikasi nonverbal berupa pertunjukan dan

upacara-upacara adat. Penekanannya adalah pada enkulturasi atau penanaman

nilai-nilai, norma dan hukum adat yang menjadi pedoman suatu masyarakat

budaya dalam berinteraksi sosial. Takari (2013:2) dalam makalahnya yang

berjudul “Tradisi Lisan di Alam Melayu Arah dan Pewarisannya” menjelaskan

bahwa tradisi lisan sangat mengedepankan aspek kelisanan. Kelisanan ini juga

bukan hanya memfokuskan perhatian kepada komunikasi secara verbal saja, tetapi

lebih jauh dari itu aspek-aspek komunikasi nonverbal juga menjadi salah satu

pendukung dalam tradisi lisan sebuah masyarakat. Tradisi lisan mencakup semua

unsur kebudayaan manusia, baik sistem religi, bahasa, teknologi, ekonomi, seni,

organisasi dan pendidikan. Tradisi lisan juga dapat berbentuk gagasan-gagasan,

kegiatan sampai artefak-artefak.

Untuk mendukung pandangannya, Takari memaparkan dua karakteristik

kebudayaan alam Melayu, yakni (1) tradisi lisan yang menyebar secara meluas di

sebahagian besar wilayah budaya Melayu. Contoh tradisi lisan seperti ini adalah

bahasa Melayu itu sendiri, zapin, ronggeng atau joget, syair, pantun, gurindam,

talibun, nazam, makyong, inai, dan lain-lainnya. (2) tradisi lisan yang tumbuh dan

kemudian berkembang secara khas di kawasan-kawasan budaya melayu tertentu

saja. Contoh tradisi lisan seperti ini adalah dedeng di kawasan Langkat Sumatera

Utara, sinandong di Batubara, Asahan, dan Labuhanbatu. Kemudian ada pula ulik

mayang di Perlis, kemudian mandi berminyak di Serdang, tari gebuk di Sergai,

dan lain-lainnya.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 54: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

37

Pandangan di atas sejalan pula dengan Banda (2016:5) yang berpendapat

bahwa tradisi lisan adalah pengetahuan, adat istiadat, karya seni, hukum adat,

sastra tradisional yang diturunkan secara lisan serta hidup dalam konteks estetika

sejarah, struktur dan organisasi sosial, filsafat, etika, nilai-nilai moral, dan

berkelanjutan dalam proses budaya yang dinamis ekspresif, dan mengikuti

perkembangan zaman. Selanjutnya Banda, merumuskan tradisi lisan dalam tiga

poin, yakni Pertama, tradisi lisan adalah pengetahuan dan adat istiadat yang

disampaikan turun-temurun secara lisan. Kedua, tradisi lisan adalah hasil karya

seni dan hukum adat yang berkelanjutan dalam proses budaya. Ketiga, tradisi

lisan adalah berbagai bentuk karya sastra tradisional yang disampaikan secara

lisan dan hidup dalam konteks estetika sejarah, struktur dan organisasi sosial,

filsafat, etika, serta nilai-nilai moral. Dengan demikian tradisi lisan dalam

penelitian ini adalah pengetahuan dan adat istiadat yang disampaikan dari generasi

ke genarasi secara lisan dalam konteks upacara adat Padede Uma Kalada.

Tradisi lisan sebagai sebuah media transformasi nilai, norma dan hukum

adat tentunya tidak terlepas dari sebuah proses dan produk, sebagaimana Vansina

(2014: 1) yang memaknai tradisi lisan sebagai sebuah proses dan produk. Dalam

pandangan Vansina, tradisi lisan merupakan suatu proses karena pesan-pesan

yang terdapat dalam tradisi lisan disampaikan lewat perkataan mulut ke mulut

selama beberapa waktu sampai pesan tersebut menghilang. Sedangkan, hasil dari

proses tersebut dapat berupa pesan-pesan lisan yang berdasarkan pada pesan-

pesan lisan terdahulu yang berusia paling tidak satu generasi.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 55: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

38

Tradisi lisan oleh Danandjaja (1990:97-98) disinonimkan dengan folklor

yakni sebagian dari kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan

secara turun temurun, secara tradisional dalam versi yang berbeda baik dalam

bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu

mengingat. Selanjutnya, Danandjaja membagi folklor dalam tiga kategori.

Bentuk-bentuk foklor yang termasuk dalam kategori pertama meliputi ujaran

rakyat, ungkapan tradisional, pertanyaan tradisional, cerita prosa rakyat (mite,

legenda dan dongeng), puisi rakyat dan nyanyian rakyat. Folklor yang termasuk

dalam kategori kedua, yakni kepercayaan rakyat, permainan rakyat, teater rakyat,

tari rakyat, adat istiadat, upacara, pesta rakyat. Dan folklor yang termasuk dalam

kategori yang ketiga, yakni arsitektur rakyat, kerajinan tangan rakyat, pakaian dan

perhiasan tubuh rakyat, makanan dan minuman rakyat, obat-obatan tradisional,

gerak isyarat, bunyi isyarat untuk komunikasi, dan musik rakyat.

Beberapa pandangan di atas didukung pula oleh penelitian yang relevan

yang dilakukan oleh Kami (2018) yang berjudul “Tradisi Lisan Oka Sebagai

Manifestasi Jati Diri Masyarakat Wewewa Sumba Barat Daya: Kajian

Etnopragmatik”. Dari penelitian ini ditemukan bahwa Oka merupakan tradisi

lisan. Secara harafiah Oka dalam bahasa daerah Wewewa berarti “berteriak

dengan suara lantang atau nyaring”. Akan tetapi, dalam hubungannya dengan

tradisi masyarakat, yakni ritual Oka, maka kata Oka berarti tuturan-tuturan lisan

yang diucapkan dalam bentuk tanya jawab yang terekspresi dalam berbagai ritual

menjemput tamu atau rombongan yang datang berkunjung. Tuturan-tuturan lisan

Oka dilantunkan oleh tetua adat sebagai penutur yang mewakili tuan rumah dan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 56: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

39

tetua adat sebagai mitra tutur yang mewakili tamu atau rombongan yang datang

dalam bentuk dialog atau tanya jawab. Tradisi lisan Oka ini diwariskan oleh

nenek moyang sejak dulu kala yang pesannya tetap sama hingga sekarang, yaitu

untuk menyelidiki setiap tamu atau rombongan yang datang, tergolong orang baik

atau orang jahat.

2.6 Tradisi Lisan Teda dalam Upacara Padede Uma Kalada Masyarakat

Kabizu Beijello

Kabizu adalah hubungan kekerabatan yang merasa diri berasal dari satu

nenek moyang yang dilihat berdasarkan garis keturunan ayah (Soeriadiredja,

2013:68). Oleh karena itu, Kabizu dapat disebut sebagai klan. Keberadaan suatu

Kabizu tidak terlepas dari Marapu. Marapu dapat diartikan sebagai arwah-arwah

nenek moyang pertama yang mendirikan atau membentuk Kabizu yang dipercaya

sebagai perantara atau penghubung antara manusia dengan Yang Ilahi. Setiap

kabizu memiliki Marapunya masing-masing dan bahkan beberapa kabisu dapat

memuja Marapu yang sama. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Soeriadiredja

(2013:68) bahwa setiap kabizu/kabihu tidak perna berdiri sendiri dan selalu

mempunyai hubungan dengan kabihu-kabihu lain. Hubungan tersebut

dimungkinkan karena di antara kabihu-kabihu tersebut berasal dari satu leluhur

atau karena ada hubungan kekerabatan berdasarkan sangkut paut dengan sejarah

leluhurnya. Widarmiati (2009:100) juga mengatakan bahwa setiap kabisu

memiliki Marapu masing-masing yang diposisikan sebagai dewa perantara untuk

menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Lebih lanjut dikatakan bahwa

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 57: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

40

adapula kabizu yang memuja Marapu yang sama. Hal ini karena keturunan

mereka berasal dari satu Marapu.

Berdasarkan hasil wawancara dengan salah seorang tetua adat Kabizu

Beijello Wini Lagara dijelaskan bahwa setiap Kabizu memiliki Marapunya

masing-masing. Sebuah Kabizu yang memuja Marapu yang sama, apabila sudah

membentuk sendiri Kabizu, maka perilaku hidup keturunan-keturunannya akan

berpedoman pada perilaku Marapu Kabizu yang telah terpisah dari Kabizu induk

dan juga Marapu Kabizu induk. Begitu pula halnya dalam ritual-ritual yang

dilakukan akan di arahkan pada Marapu Kabizu induk dan Marapu Kabizu yang

telah terpisah dari Kabizu induk. Pemberian nama dari masing-masing kabizu

berpedoman pada nama leluhur atau Marapu yang pertama kali membentuk

sebuah Kabizu sebagai penanda identitas dari Kabizu yang bersangkutan yang

oleh masyarakat Wewewa disebut dengan istilah Marapu Kabizu. Misalnya,

Marapu dari Kabizu Beijello akan disebut Marapu Kabizu Beijello.

Kabizu Beijello sebagai salah satu dari sekian banyak Kabizu atau klan yang

ada di Wewewa, Kabupaten Sumba Barat Daya terbagi dalam tujuh klan. Hal ini

karena Marapu Kabizu Beijello memiliki tujuh orang anak laki-laki. Adapun

ketujuh Kabizu tersebut, yakni Kabizu Beijello Weebiaka, Kabizu Beijello Bondo

Lona, Kabizu Beijello Wini Lelemoto, Kabizu Beijello Wini Lele Moto Rei,

Kabizu Beijello Oma, Kabizu Beijello Watu Pala, dan Kabizu Beijello Wini

Lagara. Pemberian nama dari masing-masing kabizu ini berpedoman pada nama

dari Marapu kabizu induk, yakni Kabizu Beijello dan juga dipengaruhi oleh

perilaku dan tempat kediaman dari Marapu Kabizu yang baru terbentuk.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 58: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

41

Berbicara tentang Kabizu tentu tidak akan terlepas dari konsep Uma Kalada

(rumah besar atau rumah adat). Hal itu karena Uma Kalada merupakan rumah

pertama yang dibangun oleh nenek moyang pertama sebagai asal-usul kehidupan

dari semua rumah yang berasal dari salah satu Kabizu. Berdasarkan hasil

wawancara etnografis dengan beberapa tetua adat Kabizu Beijello diketahui

bahwa Uma Kalada (rumah adat) merupakan rumah yang menjadi pusat dari

beberapa rumah yang berasal dari satu Kabizu. Uma kalada merupakan pusat

sentral pelaksanaan ritual-ritual adat yang dilakukan oleh sebuah Kabizu.

Kehilangan rumah adat sama halnya dengan kehilangan Kabizu. Hal ini karena

tidak ada lagi tempat pelaksanaan upacara-upacara adat yang telah ditetapkan oleh

Marapu Kabizu. Orang yang mendiami rumah adat adalah orang yang ditunjuk

oleh Marapu kabizu melalui upacara adat, yakni yang memiliki perilaku hidup

sesuai dengan perilaku hidup yang telah ditetapkan oleh Marapu, yakni berjiwa

besar, bijaksana, penuh tanggung jawab, jujur dan tidak melanggar perintah

Marapu seperti jangan mencuri, jangan berzinah, janga membunuh dan jangan

bersaksi dusta atau berbohong.

Ramone (2015:65) mengemukakan bahwa rumah adat bagi orang Sumba

merupakan jati diri orang Sumba. Bagi orang Sumba tidak memiliki rumah adat

sama halnya dengan kehilangan identitas dan jati diri. Di rumah adat inilah,

tempat bertemu dan berkumpul semua warga Kabizu untuk membicarakan hal-hal

dasariah membangun hidup yang lebih baik seperti menjaga harmoni dalam segala

hal, relasi dengan dunia Ilahi, dengan sesama, dengan alam lingkungan, maupun

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 59: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

42

dengan diri sendiri. Rumah adat menjadi tempat pentransferan nilai atau kearifan

lokal dari generasi tua ke generasi muda.

Dalam rangkuman hasil wawancara yang ditulis oleh Ramone (2015:70)

dalam buku yang berjudul “Revitalisasi Desa Adat dan Dampak Sosial Budaya di

Pulau Sumba” diketahui bahwa para pemilik rumah adat yang telah direvitalisasi

rumah adatnya mengatakan bahwa dengan dibangun kembalinya rumah adat,

kami dapat melangsungkan dan menghidupi kembali ritual-ritual adat yang sudah

lama kami tinggalkan. Rumah adat bagi kami merupakan jati diri kami sebagai

orang Sumba. Di dalam rumah adat inilah kami dan masyarakat tahu dari mana

kami berasal, bagaimana hidup kami sekarang dan peran kami dalam masyarakat.

Rumah adat merupakan sarana penting bagi kami untuk mewariskan nilai-nilai

budaya sebagai orang Sumba kepada anak-anak kami.

Rumah adat bagi masyarakat Sumba umumnya dan Wewewa khususnya

merupakan unit sosial inti dimana segala jaringan aktivitas kepercayaan, ekonomi,

sosial kemasyarakatan maupun urusan publik kenegaraan dan kebangsaan

dirancang, dipersiapkan dan dilaksanakan di rumah adat. Rumah adat merupakan

wadah resmi pertama dan terakhir dari seluruh siklus kehidupan manusia dimulai

dan diakhiri, yakni terkait dengan ritual pemujaan dan penyembahan, urusan

perkawinan, kelahiran, persiapan kegiatan pertanian, peternakan, kematian, pesta-

pesta adat, pembangunan rumah adat maupun pelaksanaan berbagai ritual adat dan

upacara adat Marapu menurut kalender yang telah disepakati (Neonbasu

(2016a:174-175).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 60: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

43

Uma Kalada Kabizu Beijello merupakan jati diri Kabizu Beijello. Eksistensi

Kabizu Beijello sangat ditentukan oleh keberadaan rumah adat Kabizu Beijello.

Apabila Kabizu Beijello kehilangan rumah adat, maka sama halnya Kabizu

Beijello kehilangan identitas dan jati dirinya. Dari Uma Kalada inilah Kabizu

Beijello mengetahui siapa dirinya, dari mana asalnya dan bagaimana perannya

dalam kehidupan bermasyarakat. Selain itu, kehilangan rumah adat sama halnya

kehilangan semua ritual-ritual adat. Hal ini karena semua ritual adat akan diawali

dan diakhiri di rumah adat. Uma Kalada merupakan tempat perawatan hubungan

yang harmonis bagi warga Kabizu. Melalui Uma Kalada akan terjadi proses

pentransferan nilai-nilai kearifan lokal kepada generasi muda yang disampaikan

secara lisan.

Salah satu tradisi lisan yang dapat mewadahi proses pewarisan jati diri dan

nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Kabizu Beijello adalah tradisi lisan Teda.

Tradisi lisan Teda yang dilakukan selama proses pembangunan rumah adat dapat

memberikan gambaran siapakah masyarakat Kabizu Beijello, bagaimana peran

Marapu, peran orang tua, peran anak laki-laki dan peran anak mantu sebagai

warga rumah, dan juga terkait bagaimana manusia menjalin hubungan yang

harmonis dengan Tuhan, leluhur, roh-roh yang mendiami alam semesta dan juga

sesama manusia dan bahkan dengan diri sendiri. Selain itu, juga memberikan

gambaran tentang kearifan-kearifan lokal dan nilai-nilai kearifan lokal yang

diwariskan kepada generasi muda.

Tradisi lisan Teda dalam Upacara Padede Uma Kalada ini dapat ditemukan

dalam tahap-tahap selama proses pembuatan rumah adat, yakni tahap pertama

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 61: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

44

Yapateki (pemberitahuan) kepada tetua adat rumah kecil. Kedua, tahap pertemuan

keluarga besar Kabizu Beijello di rumah kecil. Ketiga, tahap ritual adat urrata

atau penyampaian kepada leluhur hasil kesepakatan bersama di rumah kecil.

Keempat, tahap pertemuan satu keluarga besar Kabizu Beijello di rumah besar

(rumah adat). Kelima, tahap pembagian sirih pinang sebagai pengikat janji atau

sumpah di rumah besar. Keenam, tahap urrata atau penyampaian hasil

kesepakatan kepada nenek moyang di rumah besar. Ketujuh, tahap ritual adat

urrata (doa-doa) sebelum pemotongan kayu yang dilakukan di rumah besar.

Kedelapan, tahap permohonan izin kepada roh-roh yang mendiami hutan yang

dianggap sebagai pemilik hutan. Kesembilan, tahap urrata dan woleka, yakni

ritual adat pengucapan syukur kepada roh-roh yang dianggap sebagai pemilik

hutan yang telah memberikan kesempatan, menjaga dan melindungi sehingga

proses penebangan kayu dan pemotongan tali boleh berhasil dan berjalan dengan

lancar. Kesepuluh, tahap Oka (tanya-jawab) pada saat kayu masuk kampung.

Kesebelas, tahap pembongkaran rumah besar. Keduabelas, tahap Saiso pada saat

sebelum pendirian tiang. Ketigabelas, tahap Saiso pada saat sebelum memuat

loteng. Keempatbelas, Saiso pada saat Padeta Marapu (pengucapan syukur).

Kelimabelas, Saiso perjanjian dengan Marapu dan Sang Khalik. Keenambelas,

tahap Saiso penepatan janji menempati rumah besar atau rumah adat.

2.7 Kearifan Lokal

Pemahaman terhadap konsep kearifan lokal dapat dilihat dari dua kata,

yakni kearifan yang berarti kebijaksanaan dan lokal yang berarti setempat.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 62: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

45

Dengan demikian, secara umum kearifan lokal dapat diartikan sebagai gagasan-

gagasan setempat (lokal) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan dan bernilai

baik, yang tertanam dan diikuti oleh masyarakat-masyarakatnya (Dokhi, dkk.

2016:8). Kartawinata (2011) menjelaskan juga bahwa kearifan lokal adalah

gagasan-gagasan lokal, pengetahuan setempat atau kecerdasan setempat yang

bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai yang tertanam dan diikuti oleh warga

masyarakatnya serta menjadi dasar identitas kebudayaan. Sementara itu, Sibarani

(2013:278) mengungkapkan bahwa kearifan lokal adalah kebijaksanaan atau

pengetahuan asli suatu masyarakat yang berasal dari nilai luhur tradisi budaya

untuk mengatur tatanan kehidupan bermasyarakat.

Berdasarkan beberapa pandangan di atas dapat disimpulkan bahwa kearifan

lokal adalah gagasan-gagasan lokal yang bersifak bijaksana dan penuh kearifan

yang bersumber dari nilai, norma dan adat istiadat yang berlaku dalam suatu

masyarakat yang dijadikan sebagai pedoman dalam menata kehidupan bersama.

Hal itu seperti yang diungkapkan Sibarani (2013:278) bahwa kearifan lokal itu

adalah nilai dan norma budaya yang berlaku dalam menata kehidupan masyarakat.

Nilai dan norma yang diyakini kebenarannya yang menjadi acuan dalam

bertingkah laku sehari-hari masyarakat setempat.

Kearifan lokal dapat diwariskan kepada generasi penerusnya secara lisan

dan dapat pula melalui melalui ritual-ritual adat. Hal itu seperti yang diungkap

Pudensia MPSS, 2013) bahwa kearifan lokal (local wisdom) merupakan

pengetahuan tradisional (indigenous knowledge) yang diturunkan dari satu

generasi ke generasi berikutnya dan pada umumnya diwariskan dalam lingkungan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 63: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

46

keluarga secara lisan, baik dengan tuturan maupun melalui ritual, upacara, dan

sarana lain serta merupakan milik bersama suatu komunitas. Ranahnya adalah

publik, umum yang menjadi anggota sebuah komunitas bersangkutan yang saling

mengakui dan diakui oleh anggota komunitas.

Dilihat dari segi wujud kearifan lokal dapat dibagi dua, yakni kearifan lokal

berwujud nyata (tangible) dan kearifan lokal berwujud tidak nyata (intangible).

Kearifan berwujud nyata meliputi, tekstual (sistem nilai, tata cara, ketentuan

khusus yang dituangkan dalam catatan tertulis seperti kitab tradisional primbon,

kalender dan prasi atau tulisan di atas daun lontar), bangunan atau arsitektur, dan

benda cagar budaya serta karya seni. Sementara itu, kearifan lokal berwujud tidak

nyata meliputi petuah yang disampaikan secara verbal dan turun temurun yang

dapat berupa nyanyian dan kidung yang mengandung nilai-nilai ajaran tradisional

(Dokhi, dkk. 2016:8).

Penelitian yang relevan dengan pandangan-pandangan di atas dapat dilihat

dalam penelitian yang dilakukan oleh (Nesi 2018) dan penelitian yang dilakukan

oleh Rahardi, Setyaningsih, dan Dewi (2016). Penelitian yang dilakukan oleh Nesi

berjudul “Tradisi Lisan Takanab sebagai Wujud Identitas Masyarakat Dawan:

kajian Ekolinguistik Metaforis”. Kearifan lokal yang dapat ditemukan dalam

penelitian ini adalah kearifan lokal yang bersifat tangible dan intangible. Kearifan

lokal yang bersifat tangible yang ditemukan dalam penelitian ini adalah kearifan

lokal yang berkaitan dengan batu dan air, tiang, pagar, wadah sirih pinang, kain

tenun motif, rumah adat, dan benda pusaka. Sementara itu, kearifan lokal yang

bersifat intangible meliputi peribahasa, petuah, syair, paralelisme, dan ideologi.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 64: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

47

Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Rahardi, Setyaningsih, dan Rishe

Purnama Dewi (2016) berjudul “Kefatisan Berbahasa dalam Perspektif Linguistik

Ekologi Metaforis”. Dalam penelitian ini, kefatisan berbahasa dimaknai sebagai

kearifan lokal yang bersifat intangible. Nilai kearifan lokal yang ditemukan dalam

fenomena kefatisan berbahasa adalah nilai kebijaksanaan. Selain itu, kefatisan

berbahasa juga bertujuan untuk mengukuhkan kerja sama dalam hidup

bermasyarakat dan berbudaya.

Secara keseluruhan berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa

tradisi lisan Teda dalam upacara adat Padede Uma Kalada merupakan salah satu

kearifan lokal masyarakat Kabizu Beijello. Hal itu karena di dalam tradisi lisan ini

mengandung pengetahuan, gagasan-gagasan, nilai dan norma yang bersifat arif

dan bijaksana yang dipakai oleh masyarakat Kabizu Beijello sebagai pedoman

hidup dalam membina hubungan yang harmonis baik dengan sesama, alam roh,

leluhur dan Sang Ilahi. Dalam konteks penelitian ini, berdasarkan hasil studi

kepustakaan yang dilakukan oleh peneliti ditemukan bahwa kode-kode

kebahasaan yang terkait dengan kearifan-kearifan lokal dan nilai-nilai kearifan

lokal yang terekam dalam tradisi lisan pada upacara Padede Uma Kalada belum

tersibak secara maksimal. Oleh karena itu, melalui penelitian ini diharapkan dapat

mengungkap kearifan-kearifan lokal dan nilai-nilai kearifan lokal masyarakat

Kabizu Beijello.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 65: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

48

2.8 Jati Diri

Jati diri merupakan ciri khas berdasarkan sifat atau tingkah laku baik secara

perseorangan ataupun kelompok, jati diri ini juga bisa berarti sebuah penilaian

dari pihak luar terhadap seseorang atau kelompok yang mengamatinya (Alfian,

2013: 427-428). Jati diri adalah sesuatu yang membuat kita lekas mengenali

seseorang dari tutur kata, perilaku dan pandangannya (Somantri, 2010). Dengan

demikian, berdasarkan kedua pandangan pakar ini dapat disimpulkan bahwa jati

diri merupakan ciri khas yang dimiliki oleh setiap individu, suatu kelompok atau

komunitas tertentu yang dapat diamati melalui pola perilaku, tutur kata dan

tindakan yang dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2016) jati diri diartikan sebagai ciri-

ciri, gambaran, atau keadaan khusus seseorang atau suatu benda; identitas.

Berdasarkan pengertian ini, jati diri dapat diartikan sebagai identitas diri. Salah

satu tokoh yang dianggap sebagai penggagas istilah pembentukan identitas diri

adalah Erikson (1989). Dalam pandangan Erikson seperti yang dikutip Hasanah

(2013:181) identitas diri merupakan kesadaran individu untuk menempatkan diri

dan memberikan arti pada dirinya dengan tepat di dalam konteks kehidupan yang

akan datang menjadi sebuah kesatuan gambaran diri yang utuh dan

berkesinambungan untuk menemukan jati dirinya. Lebih lanjut dikemukakan

bahwa identitas diri merupakan potret diri yang disusun dari macam-macam

identitas, yakni identitas karir, identitas politik, identitas agama identitas

hubungan dengan orang lain, identitas intelektual, identitas seksual, identitas

etnik, identitas minat, identitas kepribadian, dan identitas fisik.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 66: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

49

Purwadi (2004:47) memahami identitas diri sebagai bangun psikologis.

Dalam hal ini Purwadi, melihat bahwa identitas diri tidak terbentuk dalam waktu

yang singkat, namun membutuhkan proses yang panjang dan dibangun oleh

elemen-elemen dasar, sehingga identitas diri benar-benar dapat menjadi suatu

aspek yang mencirikan seseorang individu benar-benar berbeda dengan sosok

individu lain. Sementara itu, Soeriadiredja (2013:62-63) membagi membagi

identitas menjadi tiga, yakni (1) identitas diri atau pribadi merupakan pengakuan

terhadap seseorang berdasarkan pada keunikan pribadinya dan serangkaian ciri-

ciri menyeluruh yang menandainya sebagai bagian dari suatu kelompok tertentu.

Ciri-ciri pribadi ini mempresentasi siapa diri individu itu sebenarnya. Dalam hal

ini, identitas pribadi menekankan pada kepentingan subjektif individu. Misalnya,

selera pribadi dan kemampuan intelektual. (2) Identitas sosial merupakan identitas

yang terbentuk dari keterlibatan individu sebagai bagian dari kelompok sosialnya.

Dengan demikian, ciri-ciri, cita-cita, dan nilai-nilai yang menjadi acuan dari

kelompok sosial tersebut, menjadi identitas individu yang bersangkutan. Dalam

hal ini, identitas sosial menekankan pada kepentingan kelompok. (3) Identitas

budaya merupakan ciri yang ditunjukkan oleh seseorang, karena dia adalah bagian

dari kelompok etnik tertentu yang telah menerima proses belajar tentang tradisi,

adat istiadat, nilai-nilai, bahasa, sistem keyakinan, dan lainnya dalam kebudayaan

kelompok tersebut.

Identitas kebudayaan (cultural) adalah rincian karakteristik atau ciri-ciri

sebuah kebudayaan yang dimiliki oleh sekelompok orang yang kita ketahui batas-

batasnya tatkala dibandingkan dengan karakteristik atau ciri-ciri kebudayaan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 67: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

50

orang lain (Suryandari, 2017:23). Stibbe (2015:107) memahami konsep jati diri

atau identitas dari dua istilah, yakni ‘an identity’ dan ‘a self-identiy’. Dalam

pandangan Stibbe, istilah ‘an identity’ merujuk pada refleksi diri dalam pikiran

seseorang tentang apa artinya menjadi pribadi yang khas yang berbeda dari orang

lain yang terkait dengan jenis kelamin, penampilan, karakter, perilaku dan nilai.

Sedangkan, a self identity merujuk pada suatu pandangan yang berkembang yang

diceritakan kepada diri sendiri dan orang lain tentang bagaimana gambaran diri

seseorang. Definisi yang dikemukakan oleh Stibbe ini menurut Nesi (2018: 63)

menunjukkan bahwa identitas memiliki tiga karakteristik, yakni karakteristik

biologis, karakteristik psikologis dan sosial. Karakteristik biologis merujuk pada

keadaan fisik suatu objek termasuk manusia, sedangkan karakteristik psikologis

dan sosial merujuk pada ciri kepribadian manusia dan gambaran tentang dirinya

baik sebagai individu maupun sebagai kelompok.

Pemahaman terkait jati diri suatu masyarakat yang terkadung dalam tradisi

lisan dapat dilihat dalam penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti dalam

konteks penelitian tradisi lisan di NTT, yakni penelitian yang dilakukan Kami

(2018) dan Nesi (2018). Penelitian yang dilakukan Kami (2018) berjudul “Tradisi

Lisan Oka sebagai Manifestasi Jati Diri Masyarakat Wewewa, Sumba Barat Daya:

Kajian Etnopragmatik”. Penelitian yang dilakukan Kami ini merupakan penelitian

kualitatif dengan menggunakan kajian etnopragmatik. Dari hasil penelitian ini

ditemukan bahwa cinta kasih sebagai jati diri sesungguhnya hidup dan berakar

pada masyarakat Wewewa sejak dahulu dan termanifestasi dalam tuturan lisan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 68: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

51

Oka dalam aneka bentuk, melalui penghormatan kepada leluhur, penghormatan

kepada pemimpin, kerja keras, syukur, kebersamaan, dan kekeluargaan.

Sementara itu, penelitian yang dilakukan Nesi (2018) berjudul “Tradisi

Lisan Takanab sebagai Wujud Identitas Masyarakat Dawan: Kajian Ekolinguistik

Metaforis”. Dari hasil penelitian ini ditemukan bahwa identitas hakiki yang

terwujud dalam tradisi lisan Takanab ialah identitas agraris. Identitas hakiki ini

menunjukkan pula jati diri kolektif masyarakat Dawan sebagai masyarakat

religius, sastrawi, patriarkat, solider, ritual, ekologis, dan humanis.

2.9 Preservasi

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2016) preservasi memiliki

pengertian pengawetan, pemeliharaan, penjagaan dan perlindungan. Dengan

merujuk pada pengertian ini maka preservasi tradisi lisan merupakan kegiatan

yang dilakukan untuk memelihara dan melindungi tradisi lisan yang sudah mulai

tergerus oleh zaman. Hal itu seperti yang diungkapkan Ellis (1993) dalam Kami

(2018:15) yang menjelaskan bahwa preservasi merupakan tindakan yang

memungkinkan tradisi lisan dapat dipertahankan dalam jangka waktu lama

melalui kegiatan perlindungan dan pemeliharaan tradisi lisan. Preservasi

mencakup semua pertimbangan manajerial, teknik dan metode pelestarian bahan

untuk menjaga informasi yang terkandung di dalamnya (Endang, 2018: 14).

Berdasarkan beberapa pandangan di atas, istilah preservasi tentu tepat

digunakan dalam penelitian ini. Hal itu karena tradisi lisan Teda masyarakat

Kabizu Beijello masih dipraktekkan dalam berbagai komunikasi yang bersifat

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 69: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

52

resmi dan dalam ritual-ritual adat. Namun, tantangan zaman yang tidak dapat

dibendung pada era globalisasi ini tentu membawa dampak negatif bagi

kelestarian tradisi lisan ini. Penelitian yang dilakukan Mbete (2015) membuktikan

bahwa ada gejala serius yang melanda (sebagian besar) generasi muda bangsa

yakni “ketercerabutaan” (rootlessness) dari akar lokal. Generasi muda dan remaja

bangsa khususnya semakin pragmatis, lebih berorientasi dan memilih untuk

mempelajari dan menguasai bahasa asing, dan mengabaikan bahasa daerah atau

bahasa lokal.

Kepala Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan Kementerian

Pendidikan dan Kebudayaan, Dandang Sunendar dalam pidatonya pada saat

memperingati Bulan Bahasa dan Sastra pada hari Senin (28/10/2019) di Jakarta

menunjukkan fakta bahwa 11 bahasa daerah yang tersebar di wilayah Indonesia

telah punah, 22 bahasa terancam punah, 4 bahasa dalam kondisi kritis, dan 16

bahasa stabil, tetapi terancam punah. Selain itu, 2 bahasa daerah mengalami

kemunduran dan hanya 19 bahasa yang berada pada kategori aman (Kompas,

2019).

Dengan melihat fenomena dan fakta ini maka peneliti dalam penelitian ini

menganggap perlu untuk merumuskan strategi-strategi untuk melindungi dan

melestarikan tradisi lisan Teda masyarakat Kabisu Beijello. Upaya preservasi ini

diambil untuk tetap mempertahankan tradisi lisan yang ada di Nusantara,

mengingat banyak sekali tradisi- tradisi lisan di Nusantara yang keberadaanya

terabaikan sehingga mengakibatkan banyak tradisi lisan yang akhirnya mati

(Republika, 2018).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 70: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

53

Selain itu, dalam penelitian ini peneliti juga menganggap perlu untuk

melestarikan nilai-nilai kearifan lokal yang terekam dalam tradisi lisan masyarakat

Kabizu Beijello. Preservasi kearifan lokal itu disebut preservasi pengetahuan. Hal

itu ditegaskan oleh Primadesi (2013: 181) bahwa preservasi pengetahuan yang

bersifat kearifan lokal dan yang merupakan pengetahuan asli penting untuk

dilakukan karena hal ini berhubungan dengan lingkungan dan pengembangan

sosial budaya masyarakat setempat.

2.10 Kerangka Berpikir

Upacara adat Padede Uma Kalada merupakan salah satu upacara adat yang

dilakukan oleh masyarakat Kabizu Beijello selama proses pembangunan rumah

adat. Dalam berbagai upacara adat selama proses pembangunan rumah adat baik

pada saat musyawarah-musyawarah adat maupun dalam ritual-ritual adat selalu

diwarnai dengan penggunaan tradisi lisan Teda. Tradisi lisan itu dapat berupa

tuturan-tuturan dalam musyawarah adat, doa-doa dan nyanyian-nyanyian

tradisional yang berisi permohonan, harapan dan rasa syukur kepada leluhur, roh-

roh gaib dan Tuhan Sang Pencipta. Tradisi lisan Teda yang menghiasi upacara

adat selama proses pembangunan rumah adat itu tentu tidak hanya dipandang

sebagai alat komunikasi atau jenis tutur adat. Akan tetapi, dalam tradisi lisan itu

tentu menyimpan dan memberikan gambaran terkait kearifan-kearifan lokal dan

nilai-nilai kearifan lokal yang dapat membentuk jati diri masyarakat Kabizu

Beijello.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 71: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

54

Untuk dapat mengungkap fenomena-fenomena tersebut, peneliti harus

menggunakan kajian teori yang relevan. Dalam penelitian ini peneliti

menggunakan kajian teori ekolingusitik metaforis untuk mendeskripsikan

kearifan-kearifan lokal, nilai-nilai dan wujud jati diri masyarakat Kabizu Beijello.

Ekolinguistik metaforis adalah interdipliner linguistik yang mengkaji hubungan

tali temali bahasa dengan strata sosial, status sosial, kebudayaan, etnisitas, laras

dan sejenisnya (Haugen, 1972:325; Rahardi, 2016). Dalam penelitian ini peneliti

juga merumuskan strategi preservasi tradisi lisan masyarakat Kabziu Beijello

dengan maksud agar tradisi lisan dan nilai-nilai kearifan lokal yang terekam

dalam tradisi lisan itu tetap lestari. Setelah tujuan penelitian ini diuraikan pada

bagian hasil penelitian dan pembahasan, peneliti akan membuat kesimpulan.

Kerangka berpikir penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut.

Kesimpulan

Upacara Adat Padede Uma Kalada

Tradisi Lisan Teda dalam Upacara Padede Uma Kalada

Ekolinguistik Metaforis

Kearifan-kearifan

lokal yang

terdapat dalam

tradisi lisan Teda

pada upacara

Padede Uma

Kalada

Nilai-nilai

kearifan lokal

yang terdapat

dalam tradisi

lisan Teda pada

upacara Padede

Uma Kalada

Wujud jati diri

masyarakat

Kabizu Beijello

Preservasi tradisi

lisan Teda

masyarakat

Kabizu Beijello

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 72: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

55

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Dalam penelitian ini akan dipaparkan beberapa hal terkait dengan metode

penelitian yang meliputi, (1) jenis penelitian, (2) Sumber data, data dan objek

penelitian, (3) metode dan teknik pengumpulan data, (4) instrumen penelitian, (5)

metode dan teknik analisis data, (6) triangulasi data. Keenam hal ini akan

dipaparkan sebagai berikut.

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini berupaya mengungkap dan mendeskripsikan kearifan-kearifan

lokal, nilai-nilai kearifan lokal dan wujud jati diri masyarakat Kabizu Beijello

yang terekam dalam tradisi lisan pada upacara Padede Uma Kalada dengan

menggunakan pisau analisis ekolinguistik metaforis. Berdasarkan tujuan ini, maka

data-data yang dikaji dan dideskripsikan oleh peneliti merupakan data-data yang

bersifat alamiah yang benar-benar ada dalam lingkungan sosial dan lingkungan

budaya masyarakat Kabizu Beijello. Data-data tersebut berupa kata-kata bukan

angka. Dengan melihat karakteristik data yang dikaji dan dideskripsikan itu, maka

penelitian ini digolongkan dalam jenis penelitian kualitatif. Satori (2009:25)

menjelaskan bahwa penelitian kualitatif adalah suatu pendekatan penelitian yang

berusaha mengungkap situasi sosial tertentu dengan mendeskripsikan kenyataan

secara benar, dibentuk oleh kata-kata, berdasarkan teknik pengumpulan data dan

analisis data yang relevan yang diperoleh dari situasi yang alamiah. Senada

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 73: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

56

dengan pandangan ini Muhammad (2016:31) mengungkapkan juga bahwa salah

satu fenomena yang akan menjadi objek penelitian kualitatif adalah peristiwa

komunikasi atau berbahasa karena peristiwa ini melibatkan tuturan, makna

semantik tutur, orang yang bertutur, maksud yang bertutur, situasi tutur, peristiwa

tutur, tindak tutur dan latar tuturan. Selanjutnya, Muhammad merumuskan ciri-ciri

penelitian kualitatif, yakni (1) latar pelaksanaan penelitian kualitatif adalah

alamiah, sesuai dengan konteks yang alamiah, (2) instrumen penelitian kualitatif

adalah manusia atau peneliti itu sendiri. Artinya, peneliti menjadi alat pengumpul

data utama karena mampu menyesuaikan diri dengan kenyataan di lapangan.

Selain itu peneliti juga mampu memahami, menilai, menyadari dan mengatasi

kenyataan-kenyataan itu. (3) Ada tiga metode yang digunakan dalam penelitian

kualitatif (a) wawancara, (b) pengamatan, (c) telaah dokumen. (4) Deskriptif

adalah sifat data penelitian kualitatif. Wujud datanya berupa deskripsi objek

penelitian berupa kata-kata, gambar.

3.2 Sumber Data, Data dan Objek Penelitian

Data dalam penelitian ini diperoleh dari dua jenis sumber data, yakni

sumber data lokasional dan sumber data substantif. Rahardi (2009:32)

menjelaskan bahwa tempat asal muasal data dalam penelitian linguistik lazim

disebut sebagai sumber data. Sumber data dibedakan atas dua macam, yakni

sumber data substantif dan sumber data lokasional. Dengan demikian, sumber

data lokasional dalam penelitian ini adalah Suku Wewewa, Kabupaten Sumba

Barat Daya, Nusa Tenggara Timur. Pemilihan sumber data lokasional ini didasari

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 74: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

57

oleh alasan bahwa wilayah Wewewa merupakan tempat berdomisili masyarakat

Kabizu Beijello yang masih menjunjung tinggi kepercayaan terhadap Marapu dan

masih memelihara warisan-warisan nenek moyang, baik berupa ritual-ritual adat,

kampung-kampung adat, rumah adat maupun tradisi lisan. Selain itu, di wilayah

ini masih terdapat Rato Marapu (imam Marapu) yang biasanya memimpin ritual-

ritual adat dan dapat menuturkan tradisi lisan dengan dengan fasih dan lancar.

Sementara itu, sumber data substantif dalam penelitian ini terdiri atas dua

jenis sumber data, yakni sumber data primer dan sumber data sekunder.

Sudaryanto (2015:224) mengemukakan bahwa sumber data primer merupakan

data yang diperoleh peneliti bahasa yang linguis itu bersumberkan langsung pada

pertuturan para penutur bahasa yang diteliti sebagai fenomena lingual. Sedangkan,

sumber data sekunder merupakan sumber data yang diperoleh peneliti tidak

bersumberkan langsung pada pertuturan melainkan pada tulisan laporan kinerja

dan kinerja penganalisis sejawat.

Berdasarkan pendapat di atas, sumber data primer dalam penelitian ini

adalah tuturan-tuturan dalam tradisi lisan dalam upacara Padede Uma Kalada

yang telah ditranskripsikan oleh peneliti menjadi teks dari hasil rekaman (periksa

Nesi, 2018:80). Sumber data primer ini diperoleh peneliti dari dua orang tetua

adat yang berasal dari Kabizu Beijello dan satu orang tetua adat yang bukan

merupakan Kabizu Beijello. Pemilihan tetua adat yang bukan merupakan Kabizu

Beijello ini didasari oleh alasan bahwa tetua adat tersebut memiliki pengetahuan

yang luas dan mendalam mengenai tradisi lisan dalam upacara Padede Uma

Kalada dan sering diundang untuk memimpin ritual-ritual adat baik ritual-ritual

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 75: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

58

adat yang dilakukan oleh masyarakat Kabizu Beijello maupun Kabizu lainnya.

Tetua adat inipun mampu melantunkan tradisi lisan dalam upacara Padede Uma

Kalada dengan fasih dan lancar. Ketiga informan ini merupakan informan kunci

dalam penelitian ini.

Sementara itu, sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah sumber

data kedua atau pendukung yang diperoleh peneliti dari buku-buku referensi,

artikel-artikel jurnal yang sudah dipublikasikan, dokumen-dokumen yang relevan

dan informasi dari informan yang dikutip peneliti untuk mengonfirmasi dan

menegaskan interpretasi data primer (Nesi, 2018:80). Sumber data sekunder ini

selain diperoleh dari 3 orang informan kunci juga dijaring peneliti dari empat

orang masyarakat Wewewa dengan menggunakan wawancara etnografis (periksa

Spradley, 2006:85). Keempat informan ini merupakan informan pendukung dalam

penelitian ini. Penentuan informan dalam penelitian ini diawali dengan adanya

komunikasi yang intensif antara peneliti dengan tokoh-tokoh masyarakat,

pemerintah setempat dan tokoh-tokoh agama dengan keyakinan bahwa mereka

mengenal orang-orang yang layak dan pantas untuk dijadikan informan dalam

penelitian ini.

Data dalam penelitian ini terdiri atas dua jenis data, yakni (1) data primer

berupa data yang dapat diperoleh dari bagian-bagian dari tradisi lisan dalam

upacara adat Padede Uma Kalada yang sudah ditranskripsikan dan telah

diidentifikasi oleh peneliti sehingga menjadi korpus data yang di dalamnya tentu

mengandung kearifan-kearifan lokal, nilai-nilai dan wujud jati diri masyarakat

Kabizu Beijello. (2) Data sekunder merupakan data berupa informasi yang

diperoleh peneliti dari hasil wawancara etnografis dengan informan, hasil studi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 76: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

59

dokumen dan referensi-referensi pustaka yang dikutip oleh peneliti untuk

mengonfirmasi dan menguatkan argumen peneliti terkait dengan interpretasi data

primer.

Berdasarkan paparan di atas, maka sumber data primer dan sumber data

sekunder digunakan untuk menjawab rumusan masalah (1), (2), dan (3).

Sementara itu, untuk menjawab rumusan masalah (4) peneliti menggunakan

sumber data sekunder. Sejalan dengan sumber data dan data, objek penelitian ini

meliputi (1) kearifan-kearifan lokal masyarakat Kabizu Beijello yang terdapat

dalam tradisi lisan pada upacara Padede Uma Kalada, (2) nilai-nilai kearifan lokal

yang tercermin dalam tradisi lisan dalam upacara Padede Uma Kalada, dan (3)

wujud jati diri masyarakat Kabizu Beijello yang termanifestasi dalam tradisi lisan

pada upacara Padede Uma Kalada. Ketiga objek penelitian ini diidentifikasi

berdasarkan hadirnya data-data tradisi lisan dalam upacara Padede Uma Kalada

yang dikutip oleh peneliti berdasarkan cara kerja kualitatif. Dalam hal ini sebelum

data-data itu dianalisis terlebih dahulu peneliti menyeleksi, mengidentifikasi dan

mengklasifikasikan data yang mampu menjawab objek yang diteliti tersebut.

3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Metode dan teknik merupakan dua istilah yang digunakan untuk

menunjukan dua konsep yang berbeda tetapi berhubungan langsung satu sama

lain. Metode adalah analog dengan jalan yang harus dilalui untuk mencapai

sebuah tujuan sedangkan teknik adalah cara bagaimana seseorang melewati jalan

yang sudah dipilih berdasarkan asumsi tertentu. Teknik merupakan cara

bagaimana suatu tujuan dapat dicapai (Pranowo, 2014: 265-266). Senada dengan

pandangan ini, Sudaryanto (2015:9) juga mengemukakan bahwa metode dan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 77: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

60

teknik merupakan dua konsep yang berbeda tetapi berhubungan langsung satu

sama lain. Metode adalah cara yang harus dilaksanakan atau diterapkan. Teknik

merupakan cara melaksanakan atau menerapkan metode. Dan sebagai cara,

kesejatian atau identitas teknik ditentukan oleh adanya alat yang dipakai.

Pengumpulan data dalam penelitian ini memanfaatkan metode dan teknik

dalam penelitian bahasa dan penelitian etnografi. Metode dan teknik penelitian

bahasa digunakan karena data yang dianalisis dalam penelitian ini adalah tuturan.

Sementara itu, metode dan teknik etnografi digunakan dengan tujuan untuk

mendapatkan dan menggali informasi yang mendalam terkait dengan hubungan

bahasa dalam tradisi lisan pada upacara Padede Uma Kalada dengan kearifan-

kearifan, nilai-nilai dan wujud jati diri masyarakat Kabizu Beijello. Hal itu seperti

yang dijelaskan Nesi (2018:83) bahwa kolaborasi metode dan teknik dalam kajian

bahasa dengan metode dan teknik dalam kajian etnografi bertujuan untuk

memampukan peneliti mendeskripsikan makna bahasa berkaitan dengan budaya

lokal dalam rangkah menyelesaikan masalah sehingga dapat mencapai tujuan

penelitian ini. Kedua metode dan teknik pengumpulan data tersebut masing-

masing dipaparkan sebagai berikut.

3.3.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data dalam Penelitian Bahasa

Metode dan teknik pengumpulan data dalam kajian bahasa yang digunakan

dalam penelitian ini merujuk pada metode dan teknik yang dikemukakan oleh

Sudaryanto (2015:203), yakni metode simak dengan teknik dasar dan teknik

lanjutan. Sudaryanto (2015:203) mengungkapkan bahwa metode simak

merupakan kegiatan menyimak penggunaan bahasa, menyimak pembicaraan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 78: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

61

seseorang atau sekelompok orang. Dalam penelitian ini kegiatan menyimak

tuturan-tuturan dari Rato Marapu (imam Marapu) merupakan cara yang mula-

mula dilakukan oleh peneliti untuk mendapatkan data. Untuk benar-benar

mendapatkan data yang mampu menjawab tujuan penelitian ini, maka metode

simak diterapkan melalui dua teknik, yakni (1) teknik dasar dan (2) teknik

lanjutan. Sudaryanto (2015:203) menjelaskan bahwa metode simak pada

praktiknya diwujudkan melalui teknik dasar dan teknik lanjutan. Teknik dasar,

yakni teknik sadap atau penyadapan. Peneliti untuk mendapatkan data pertama-

tama dengan segenap kecerdikan dan kemauan menyadap pembicaraan seseorang

atau beberapa orang. Dalam praktik selanjutnya teknik sadap ini diikuti dengan

teknik lanjutan, yakni (1) teknik simak bebas cakap, (2) teknik libat cakap, (3)

teknik rekam, dan (4) teknik catat.

Dalam konteks penelitian ini, untuk mendapatkan data peneliti

menggunakan teknik sadap, yakni menyadap tuturan-tuturan dari para Rato

Marapu. Teknik lanjutan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas 4 teknik

lanjutan, yakni (1) teknik simak bebas cakap, (2) teknik libat cakap, (3) teknik

rekam, dan (4) teknik catat. Pada teknik simak bebas cakap, peneliti tidak terlibat

di dalam dialog ketika beberapa informan kunci menuturkan data-data tradisi lisan

dalam upacara Padede Uma Kalada (Sudaryanto, 2015:203). Ketidakterlibatan itu

bertujuan agar tidak mengganggu konsentrasi informan pada saat menyampaikan

data-data tersebut. Hal itu karena setiap pertanyaan yang diajukan peneliti ketika

informan menuturkan data-data tradisi lisan tentu memunculkan persoalan oleh

karena bunyi pertanyaan mengganggu konsentrasi informan. Dengan demikian,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 79: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

62

data-data yang dituturkan menjadi tidak runtut (Neonbasu, 2016a:119). Sementara

itu, pada teknik simak libat cakap, peneliti terlibat langsung dalam dialog.

Keterlibatan itu nampak ketika peneliti mengkorfirmasikan data-data yang sudah

ditranskripsikan dengan maksud untuk menguji kebenaran data tersebut. Dalam

hal ini keterlibatan peneliti dalam dialog ini bersifat aktif reseptif. Artinya bahwa

peneliti ikut berpartisipasi dalam dialog itu, namun lebih banyak sebagai

pendengar yang mendengarkan tuturan-tuturan dari Rato Marapu. Keterlibatan

yang bersifat aktif reseptif itu juga dilakukan oleh peneliti karena tradisi lisan

dalam upacara Padede Uma Kalada merupakan bahasa yang sangat halus yang

hanya dapat dituturkan oleh tetua-tetua adat sehingga peneliti tidak mungkin ikut

secara aktif dalam menuturkan tradisi lisan dalam upacara Padede Uma Kalada.

Teknik rekam digunakan dalam penelitian ini dengan tujuan untuk merekam

data (data primer) dengan menggunakan alat bantu berupa Handphone Android.

Adapun Teknik catat digunakan untuk mencatat hal-hal yang dianggap penting

dan mencatat hasil konfirmasi kebenaran dari data-data tuturan dan juga mencatat

glosss cermat dan gloss lancar data. Setelah peneliti merumuskan metode dan

teknik pengumpulan data tradisi lisan Teda pada upacara Padede Uma Kalada,

peneliti kemudian menentukan prosedur pengumpulan data. Prosedur

pengumpulan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

Pertama, transkripsi data, yakni data-data tradisi lisan Teda dalam upacara

Padede Uma Kalada yang melalui teknik rekam ditranskripsikan oleh peneliti

sehingga menjadi bentuk tertulis. Kedua, seleksi data. Pada bagian ini data

diseleksi oleh peneliti dengan tujuan untuk mengurangi pendobelan data,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 80: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

63

mengetahui tahap-tahap data tersebut dituturkan dan untuk menguji kebenaran

data. Seiring dengan itu, proses seleksi data ini melibat informan kunci. Ketiga,

penerjemahan gloss data, yakni data dalam penelitian ini diterjemahkan dari

bahasa Wewewa ke dalam bahasa Indonesia. Proses penerjemahan gloss data ini

melibatkan informan kunci. Hal itu karena tradisi lisan dalam upacara Padede

Uma Kalada adalah bahasa yang sangat halus dan mengandung makna kiasan.

Oleh karena itu, perlu melibatkan informan kunci dengan maksud untuk

mendapatkan terjemahan yang lengkap. Proses penerjemahan gloss data ini

dilakukan dalam dua bentuk, yakni penerjemahan dalam bentuk gloss cermat,

yakni terjemahan kata demi kata yang langsung diletakkan di bawah teks asli yang

digarisbawahi. Penggunaan garis bertujuan untuk menunjukkan makna leksikal

kata-kata tersebut dalam bahasa Indonesia. Sementara itu, penerjemahan dalam

bentuk gloss lancar, yakni terjemahan bebas dalam bahasa Indonesia dengan

tujuan untuk memahami makna kata-kata tersebut, disamping menjelaskan makna

kias dari ungkapan-ungkapan dan kata-kata yang tidak menyandang makna

leksikal tertentu yang terdapat dalam tradisi lisan dalam upacara Padede Uma

Kalada. Penerjemahan gloss lancar data ini disesuaikan dengan kenyataan yang

diungkap dan gloss ini terikat pada sasaran (Sudaryanto, 2015:262).

3.3.2 Metode dan Teknik Pengumpulan Data dalam Penelitian Etnografi

Karakteristik dari objek yang diteliti dalam penelitian ini tidak terlepas dari

konteks sosial dan budaya masyarakat Kabizu Beijello. Oleh karena itu, dalam

penelitian ini peneliti juga menggunakan metode dan teknik pengumpulan data

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 81: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

64

dalam kajian etnografi. Hanifah (2010) mengungkapkan bahwa etnografi

merupakan metode riset yang menggunakan observasi langsung terhadap kegiatan

manusia dalam konteks sosial dan budaya sehari-hari. Lebih lanjut diungkapkan

bahwa tujuan penelitian etnografi adalah menggambarkan dan menganalisis

budaya yang dimiliki bersama oleh sekelompok individu serta membuat

interpretasi tentang pola-pola yang terlihat maupun didengar.

Metode etnografi dalam penelitian ini meliputi observasi partisipan dan

wawancara. Observasi partisipan digunakan peneliti dalam penelitian ini dengan

maksud untuk mengetahui gambaran umum terkait suasana kehidupan sosial dan

budaya yang dihidupi oleh masyarakat Kabizu Beijello. Hal ini baru dapat

dilakukan peneliti ketika peneliti sudah membangun keadaan rapport dengan

masyarakat Kabizu Beijello. Keadaan rapport yang dibangun oleh peneliti adalah

peneliti terlibat secara langsung dalam dunia kehidupan masyarakat Kabizu

Beijello wilayah Wewewa, tinggal bersama-sama dengan mereka dan berupaya

mengenal dan membangun hubungan yang baik dengan mereka.

Senada dengan hal di atas, Nesi (2018:83) menjelaskan bahwa observasi

partisipasi merupakan metode etnografi yang khas karena mengharuskan peneliti

terlibat secara langsung dalam masyarakat dengan tujuan untuk membangun

pemahaman tentang budaya. Hanifah (2010:11) juga mengungkapkan bahwa

penelitian lapangan dalam konteks etnografi berarti peneliti menjaring data di

lokasi tempat partisipan dan pola-pola kultural yang diteliti berada. Etnografer

menjaring data dengan cara tinggal bersama dengan para partisipan untuk

mengamati bagaimana mereka pola-pola yang mereka gunakan ketika bekerja,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 82: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

65

bersantai, beribadah, dan lain-lain. Untuk memperoleh pemahaman yang lebih

mendalam, peneliti bisa turut serta bekerja, bermain, atau beribadah dengan para

partisipan.

Wawancara digunakan peneliti dalam penelitian ini terutama untuk

menggali informasi yang sedalam-dalamnya terkait dengan objek yang diteliti.

Untuk memperlancar proses wawancara, sebelum wawancara berlangsung terlebih

dahulu peneliti menyiapkan pedoman wawancara. Pedoman wawancara itu berisi

pertanyaan-pertanyaan tertulis terkait dengan tradisi lisan dalam upacara Padede

Uma Kalada dan hubungan bahasa dalam tradisi lisan pada upacara Padede Uma

Kalada dengan kearifan-kearifan lokal, nilai-nilai luhur dan wujud jati diri yang

dihidupi oleh masyarakat Kabizu Beijello. Pedoman wawancara digunakan dalam

penelitian ini dengan maksud agar alur komunikasi selama proses wawancara

dengan informan tidak membias keluar dari topik permasalahan yang hendak

diteliti. Selain itu, peneliti juga menyiapkan sarana pendukung seperti buku

catatan dan Handphone Android untuk membantu mentatat dan merekam data

wawancara. Duranti (1997:102-103) menjelaskan bahwa dalam wawancara terjadi

interaksi tanya jawab antara peneliti dengan penutur asli selama kerja lapangan.

Pertanyaan-pertanyaan itu disiapkan peneliti untuk memperoleh informasi

mendalam yang berkaitan dengan masalah penelitian. Lebih dari itu, peneliti

menyiapkan sarana pendukung seperti buku catatan, tape recorder atau handycam

untuk membantu merekam data.

Kegiatan wawancara ini dilakukan secara terpisah, yakni di tempat masing-

masing dari informan yang diwawancarai. Hal ini dilakukan sebagai bentuk

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 83: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

66

pengecekan silang untuk menjaga keabsahan data yang dikumpulkan (Kami,

2018:61). Selain itu, selama proses wawancara ini berlangsung peneliti lebih

banyak menggunakan bahasa Wewewa daripada bahasa Indonesia. Penggunaan

bahasa Wewewa ini karena informan yang diwawancarai merupakan penduduk

asli suku Wewewa. Selain itu, penggunaan bahasa Wewewa juga merupakan salah

satu cara membangun keadaan rapport dengan informan.

Dalam kaitannya dengan penelitian metode etnografi, alur penelitian yang

digunakan dalam penelitian ini memanfaatkan alur penelitian maju bertahap yang

dikemukakan oleh Spradley (2006:315-318) yang terdiri atas duabelas langkah,

yakni (1) menetapkan informan, (2) mewawancarai informan, (3) membuat

catatan etnografis, (4) mengajukan pertanyaan deskriptif, (5) melakukan analisis

wawancara, (6) membuat analisis domain, (7) mengajukan pertanyaan struktural,

(8) membuat analisis taksonomik, (9) mengajukan pertanyaan kontras, (10)

membuat analisis komponen, (11) menemukan tema-tema budaya, dan (12)

menulis suatu etnografi.

Perlu diketahui bahwa langkah-langkah di atas merupakan teknik

pengumpulan data sekaligus langkah analisis data dalam penelitian etnografi.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan langkah pengumpulan data menurut

metode etnografi guna mendeskripsikan makna bahasa berkaitan dengan

lingkungan sosial dan budaya masyarakat Kabizu Beijello sehingga mampu

mencapai tujuan penelitian ini. Langkah-langkah pengumpulan data tersebut di

atas yang digunakan dalam penelitian ini meliputi (1) menetapkan informan, (2)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 84: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

67

mewawancarai informan, (3) membuat catatan etnografis, dan (4) mengajukan

pertanyaan deskriptif.

Wawancara selain untuk keperluan menjawab rumusan masalah 1,2, dan 3

digunakan juga oleh peneliti untuk menjawab rumusan masalah 4, yakni strategi

preservasi tradisi lisan. Selain beberapa metode yang dikemukakan di atas dalam

penelitian ini peneliti juga menggunakan metode studi kepustakaan. Pengunaan

metode ini bertujuan untuk mengonfirmasi, mendukung dan mempertegas

argumen peneliti terkait dengan hasil interpretasi data serta untuk menjawab

rumusan masalah 4 yang bersumber dari buku, artikel jurnal, atau dokumen-

dokumen yang relevan dengan topik yang diteliti. Teknik yang digunakan yang

mendukung metode ini adalah teknik catat, yakni peneliti mencatat atau mengutip

bagian-bagian dari dokumen yang relevan dengan masalah yang diteliti ( periksa

Creswell (2010:269). Senada dengan hal ini, Nesi (2018) menjelaskan bahwa

karakteristik atau sifat metode studi pustaka merupakan suatu cara penelusuran

materi dan bukti autentik dari topik yang diteliti. Teknik yang digunakan dalam

metode dokumentasi adalah teknik catat, yakni peneliti mencatat bagian-bagian

dokumen yang relevan dengan masalah yang diselesaikan peneliti.

3.4 Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah alat pengumpulan data atau alat untuk

memperoleh data. Dengan kata lain, instrumen penelitian adalah fasilitas yang

digunakan peneliti dalam mengumpulkan data agar pekerjaan peneliti lebih

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 85: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

68

mudah dan hasilnya lebih baik, dalam artian lebih cermat, lengkap dan sistematis

sehingga mudah untuk diolah (Arikunto, 2010:203 dalam Kami, 2018:64).

Dalam penelitian kualitatif, instrumen utamanya adalah peneliti itu sendiri

(Hanifah, 2010:19). Untuk mengumpulkan data dari para informan, peneliti

sebagai instrumen utama memerlukan instrumen bantuan (Afrizal, 2015: 135).

Dalam penelitian ini, instrumen bantuan yang digunakan peneliti adalah pedoman

wawancara dan alat rekam berupa Handphone Android. Pedoman wawancara

yang dibuat peneliti untuk mendapatkan informasi dari informan dalam penelitian

ini adalah daftar-daftar pertanyaan yang memerlukan jawaban uraian.

3.5 Metode dan Teknik Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

padan ekstralingual. Mahsun (2009:120) menjelaskan bahwa metode padan

ekstralingual merupakan metode analisis yang digunakan untuk menghubungkan

masalah bahasa dengan hal yang berada di luar bahasa. Hal yang berada di luar

bahasa yang dimaksud dalam penelitian ini adalah lingkungan sosial dan budaya

masyarakat Kabizu Beijello, sedangkan ‘bahasa’ yang dimaksud adalah tradisi

lisan Teda dalam upacara Padede Uma Kalada.

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik

analisis kontekstual. Rahardi (2009:36) mengungkapkan bahwa teknik analisis

kontekstual merupakan cara analisis yang diterapkan pada data dengan mendasar

dan mengaitkan pada konteks. Peneliti menggunakan teknik ini karena teknik ini

tepat digunakan sebagai cara untuk melaksanakan dan menerapkan metode padan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 86: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

69

ekstralingual. Selain itu, ketika peneliti menganalisis data guna mengungkap

kode-kode sosial dan budaya yang digambarkan dalam tradisi lisan Teda pada

upacara Padede Uma Kalada, peneliti tidak dapat lepas dari konteks yang

melingkupi data-data tradisi lisan tersebut.

Setelah peneliti menetapkan metode dan teknik yang digunakan dalam

penelitian ini, selanjutnya peneliti menentukan prosedur analisis data. Adapun

prosedur analisis data yang ditempuh dalam penelitian ini, yakni pertama,

identifikasi data. Proses identifikasi data dalam penelitian ini disesuaikan dengan

tiga pendekatan dalam ekolinguistik metaforis, yakni (1) bahasa terdapat dalam

ekologi simbolis, (2) bahasa ada dalam ekologi sosiokultural, dan (3) bahasa ada

dalam ekologi kognitif (Steffensen and Fill, 2013:3). Data-data yang didasarkan

pada tiga pendekatan tersebut adalah data yang mampu menjawab rumusan

masalah 1, 2, dan 3, yakni wujud kearifan lokal, nilai-nilai kearifan lokal dan

wujud jati diri masyarakat Kabizu Beijello. Data yang telah diidentifikasi tersebut

dicatat dalam tabulasi data. Kedua, klasifikasi data, yakni peneliti

mengklasifikasikan data berdasarkan masing-masing tujuan penelitian yang

dicatat dalam tabulasi data. Ketiga, pemaknaan data, yakni peneliti

mendeskripsikan makna data berdasarkan hadirnya konteks yang mewadahi

terbentuknya data yang ditempatkan langsung di bawah data. Pemaknaan data

tersebut dicatat pada tabulasi data.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 87: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

70

3.6 Triangulasi

Triangulasi yang dilakukan oleh peneliti dalam penelitian ini, meliputi

triangulasi teori dan triangulasi konfirmasi. Dalam triangulasi teori, peneliti

menelusuri teori-teori yang relevan dengan penelitian ini. Teori-teori yang

ditelusuri oleh peneliti ini, didiskusikan dengan dosen pembimbing untuk menguji

kebenarannya.

Triangulasi konfirmasi dilakukan melalui pengujian kebenaran gloss data

dan hasil analisis data yang dapat dilakukan oleh pakar. Pengujian kebenaran

gloss data dilakukan oleh informan kunci. Selain itu, pemilihan informan kunci

untuk menguji kebenaran gloss data didasari oleh alasan akademis, yakni (1)

informan kunci merupakan penutur asli bahasa Wewewa dan fasih menggunakan

bahasa Wewewa serta memiliki kemampuan berbahasa Indonesia yang baik, (2)

informan kunci memiliki pemahaman yang luas dan mendalam terkait tradisi lisan

dalam upacara Padede Uma Kalada, (3) informan kunci selain memiliki

kecakapan dalam berbahasa Wewewa, juga dapat dengan mudah diajak

berkomunikasi.

Sementara itu, pengujian kebenaran hasil analisis data dilakukan oleh pakar

linguistik. Sebelum hasil analisis data ditriangulasi oleh pakar linguistik, terlebih

dahulu peneliti mendiskusikannya dengan pembimbing I dan II. Selanjutnya,

catatan-catatan hasil pengujian kebenaran hasil analisis data yang dilakukan oleh

pakar linguistik direfleksikan oleh peneliti dan didiskusikan dengan pembimbing I

dan II. Setelah hasil bimbingan selama proses penyusunan tesis dan hasil analisis

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 88: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

71

data dinyatakan valid, maka peneliti akan melaporkan hasil penelitian ini pada

bagian hasil penelitian dan pembahasan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 89: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

72

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini diuraikan tiga hal, yaitu (1) deskripsi data, (2) hasil penelitian,

dan (3) pembahasan. Pada bagian deskripsi data, peneliti menampilkan gambaran

mengenai data-data yang dianalisis. Pada bagian hasil penelitian, peneliti

menguraikan hasil dari penelitian ini yang meliputi (1) kearifan lokal yang

terdapat dalam tradisi lisan Teda pada upacara Padede Uma Kalada (membangun

rumah besar) masyarakat Kabisu Beijello, masyarakat Wewewa, Kabupaten

Sumba Barat Daya (2) nilai-nilai kearifan lokal yang terdapat dalam tradisi lisan

Teda pada upacara Padede Uma Kalada, (3) jati diri masyarakat Kabizu Beijello

yang terdapat dalam tradisi lisan Teda pada upacara Padede Uma Kalada, (4)

strategi preservasi tradisi lisan Teda masyarakat Kabizu Beijello. Sementara itu,

pada bagian pembahasan berisi tentang hasil perenungan yang mendalam

mengenai hasil penelitian yang ditemukan. Selanjutnya, deskripsi data, hasil

penelitian, dan pembahasan dipaparkan sebagai berikut.

4.1 Deskripsi Data

Sumber data primer yang dipaparkan dalam penelitian ini adalah tuturan-

tuturan lisan yang dituturkan dalam upacara selama proses Padede Uma Kalada

(membangun rumah besar atau rumah adat) yang sudah diterjemahkan ke dalam

bahasa Indonesia dan telah ditranskripsikan oleh peneliti menjadi teks tertulis.

Sumber data primer tersebut terdiri atas 18 syair yang dituturkan pada setiap tahap

dalam proses pembangunan rumah besar. Sumber data primer tersebut dituturkan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 90: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

73

dalam ritual Urrata, Saiso, Oka, dan pada saat pertemuan-pertemuan membahas

rencana pembangunan rumah adat, baik yang dilakukan di rumah kecil maupun

yang dilakukan di rumah besar.

Tuturan lisan yang terdapat dalam ritual Urrata dan Saiso berupa ungkapan-

ungkapan yang tersusun dalam bentuk syair-syair yang indah yang selalu

diungkapkan dalam konteks upacara adat dalam suasana yang sangat sakral, yakni

pada saat menyampaikan harapan, permohonan berkat dan pengampunan, serta

menyampaikan ucapan syukur kepada Marapu, roh gaib dan Sang Ilahi. Ritual

Urrata ini merupakan doa asli masyarakat Kabizu Beijello. Dalam praktiknya

ritual Urrata dilaksanakan secara monolog. Pihak yang menuturkan doa-doa

dalam ritual adat Urrata hanya satu orang, yakni Ata Urrata. Peserta lain yang

turut hadir dalam ritual adat itu hanya sebagai pendengar yang turut

mendengarkan dan mengikuti rangkaian doa-doa yang didaraskan oleh Ata

Urrata. Ritual Urrata dilakukan secara pribadi maupun secara komunal,

sedangkan ritual Saiso dan Oka hanya dapat dilakukan secara komunal.

Berbeda dengan ritual Urrata, ritual Saiso tidak dilaksanakan secara

monolog tetapi dialog. Dalam dialog itu ada yang bertugas sebagai penutur utama

yang biasa disebut sebagai Ata Saiso dan ada yang bertugas sebagai penutur

pendukung, yakni sebagai penanya yang biasa disebut Ata Tau Li’i. Ata Tau Li’i

ini biasanya terdiri dari beberapa tetua adat. Dalam pelaksanaannya, penutur

utama menyampaikan permohonan, doa-doa dan ucapan syukur dan terimakasih

kepada Marapu, roh-roh gaib dan Sang Ilahi dengan cara dinyanyikan yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 91: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

74

diiringi dengan bunyi gong dan tambur. Sementara itu, penanya menyampaikan

pertanyaannya dengan cara dituturkan tanpa iringan gong dan tambur.

Tuturan lisan dalam ritual Oka dalam konteks penelitian ini adalah tuturan-

tuturan yang berupaya menyelidiki dan mempertanyakan tujuan rombongan yang

membawa material bangunan memasuki kampung. Dalam ritual ini diselidiki

siapakah, darimana, tujuannya apa dan bagaimana perjalanan rombongan tersebut.

Dalam praktiknya ritual Oka dilaksanakan secara dialog, yakni melibatkan tetua

adat yang bertugas sebagai penanya yang mewakili tuan rumah dan tetua adat

yang bertugas sebagai penjawab yang mewakili rombongan.

Tuturan-tuturan lisan yang digunakan dalam situasi-situasi formal, yakni

pada saat musyawarah di rumah kecil dan di rumah besar serta dalam ritual-ritual

adat sebagaimana dipaparkan di atas, oleh masyarakat Wewewa dikenal sebagai

tradisi lisan Teda. Hal ini dapat dilihat dari hasil wawancara etnografis dengan

informan yang mengatakan sebagai berikut.

Tradisi lisan Teda merupakan tradisi lisan yang hanya dapat digunakan

dalam situasi-situasi resmi dan dalam ritus-ritus keagamaan. Teda ini

bukan merupakan bahasa kelakar dan bahasa sehari-hari. Bahasa Teda

mempunyai tingkatan yang lebih tinggi dari bahasa sehari-hari. Bahasa

Teda digunakan untuk menyatakan tujuan-tujuan sosial tertentu,

digunakan dalam pertemuan-pertemuan resmi, pada saat memberikan

nasihat, dalam upacara perkawinan dalam ritual-ritual keagamaan seperti

Urrata, Saiso, Oka, Woleka, Dodo. Dalam ritual-ritual keagamaan ini,

hanya dapat menggunakan bahasa Teda tidak bisa menggunakan bahasa

sehari-hari. Misalnya, pada saat Dodo natara dana (mengisahkan suatu

peristiwa dengan cara bernyanyi di halaman depan rumah), tidak dapat

menggunakan bahasa sehari-hari, harus menggunakan bahasa Teda

(W/KKLMB/1).

Sejatinya, tradisi lisan Teda digunakan dalam situasi-situasi resmi dan

dalam ritual-ritual keagamaan karena tradisi lisan Teda dipandang sebagai bahasa

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 92: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

75

yang sangat sopan, kaya makna, berbernas, bernilai, sangat religius dan sangat

magis. Di dalam bahasa Teda terkandung pesan moral, sosial, ekonomi, religius

dan budaya. Selain itu, penggunaan tradisi lisan Teda dalam suatu peristiwa

komunikasi diyakini mampu memberi roh atau jiwa dari sesuatu yang

disampaikan. Mampu menghipnotis, memberikan rasa kekaguman, ketakutan,

kedamaian, persatuan, meluluhkan dan mengangkat hati orang yang

mendengarkan. Dengan menggunakan tradisi lisan Teda, orang-orang yang

mendengarkan merasa dihargai dan dihormati. Sementara itu, orang-orang yang

menggunakan Teda merasa percaya diri dan merasa seolah-olah dikuasai oleh

kekuatan-kekuatan tertentu yang dapat mengubah situasi dalam peristiwa

komunikasi serta mampu mempengaruhi kehidupan orang lain.

Tradisi lisan Teda sebagai warisan leluhur masyarakat Wewewa memiliki

keunikan tersendiri yang berbeda dari bahasa sehari-hari. Adapun keunikan yang

dimaksud, yakni tradisi lisan Teda biasanya dituturkan dalam bentuk berpasangan.

Penelitian yang dilakukan oleh Fox (1988) dan penelitian Mitchell (1988) yang

dikutip oleh Neonbasu (2016a:113-119) membuktikan bahwa pola berpasangan

atau gaya paralelisme merupakan cara berbahasa masyarakat Sumba umumnya

dan Wewewa khususnya. Dalam hasil penelitian yang dilakukan oleh Fox

ditemukan bahwa gaya paralisme adalah sebuah cara berbahasa yang sangat

umum dalam masyarakat yang berkategori dalam rumpun bahasa Austronesia

termasuk di dalamnya masyarakat Sumba. Sementara itu, dalam penelitian yang

dilakukan oleh Mitchell, ditemukan bahwa gaya paralelisme hampir sama untuk

empat bahasa yang ada di pulau Sumba, termasuk di dalamnya bahasa Wewewa.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 93: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

76

Seiring dengan ini, pada saat mentranskripsikan dan menerjemahkan data tradisi

lisan dalam upacara Padede Uma Kalada ke dalam bahasa Indonesia, peneliti

tetap menjaga konsistensi unsur-unsur yang berpasangan tersebut dalam satu baris

sehingga tetap berbentuk struktur puisi.

Dalam alam pikir masyarakat Sumba umumnya dan Wewewa khususnya,

penggunaan bentuk berpasangan dalam tradisi lisan merupakan ekspresi budaya

yang telah diwariskan oleh nenek moyang sejak awal mula. Hal ini tampak dari

kesaksian informan yang mengatakan bahwa dalam budaya Sumba semuanya

dibawa dalam bentuk berpasangan sehingga terbawa pula pada bentuk tuturan.

Hal ini sudah menjadi ekspresi budaya sejak dulu, sejak nenek moyang.

Berpasangan itu dianggap sebagai sesuatu yang luhur. Misalnya, rumah orang

Sumba kadu uma (tanduk rumah) berpasangan, pintu berpasangan, tiang rumah

ada tiang ina ama (tiang ibu dan tiang bapak), ada tiang anamane, pawasse (tiang

anak laki-laki dan tiang anak mantu). Dan bahkan Tuhan disapa sebagai yang

mempunyai pasangan. Meskipun kita yakini bahwa Tuhan itu satu, tetapi dalam

menyapa Tuhan, itu selalu berpasangan. Misalnya, Ina mawolo, ama marawi (Ibu

yang membentuk, Bapak yang membuat), AkaladaNa matana, Abelleka katilluNa

(Yang besar mataNya, Yang lebar telingaNya). Hal itu karena Tuhan itu

dipandang sebagai Yang Esa. Bentuk berpasangan dalam tradisi lisan

mengimplisitkan makna bahwa hidup ini harus selalu berpasangan dan tidak boleh

sendiri (W/KKLMB/2).

Berdasarkan hasil pengamatan peneliti, penggunaan bentuk berpasangan itu

selain merupakan ekspresi budaya, juga memiliki beberapa tujuan, yakni (1) untuk

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 94: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

77

menghasilkan konfigurasi nada dan irama yang indah dan khas pada saat

dituturkan atau dinyanyikan, sehingga dapat menimbulkan rangkaian makna pada

setiap baris dan baitnya, (2) menambah nilai rasa pada tuturan sehingga tuturan

terkesan sopan, santun dan menyejukkan hati pendengar, (3) memperkuat daya

tuturan, memberi roh dan jiwa pada tuturan sehingga tuturan dapat berbernas dan

bernilai, dan (4) menjadi ciri pembeda dengan bahasa sehari-hari. Sejalan dengan

ini, Rambut (2018:56) mengungkapkan bahwa paralelisme merupakan simbol

verbal yang berdasarkan pada imajeri penuturnya dan simbol itu digunakan dalam

berinteraksi dengan sesama manusia dan dengan roh-roh leluhur, terutama dengan

Tuhan. Karena sebagai simbol verbal, maka paralelisme berperan untuk

menyampaikan maksud, perasaan, dan pikiran kepada orang lain dengan cara

yang sopan dan indah sehingga pendengar merasa senang. Di pihak lain simbol

verbal itu menyimpan makna, nilai, dan pandangan hidup manusia.

Tradisi lisan dalam upacara Padede Uma Kalada selain tersusun dalam

bentuk syair dan terdiri dari unsur-unsur yang berpasangan mengandung makna

kias. Oleh karena itu, tradisi lisan dalam upacara Padede Uma Kalada dapat

dipandang sebagai bahasa yang bersifat seni yang diungkap dalam proses adat.

Adapun wujud-wujud seni berbahasa yang terkandung dalam tradisi lisan Teda,

yakni syair, petuah, metafora, paralelisme, mantra, dan ideologi.

Untuk dapat mengungkap makna terdalam (deeper meaning) dalam

kaitannya dengan kearifan lokal, nilai-nilai dan jati diri masyarakat Kabizu

Beijello yang termanisfestasi dalam tradisi lisan dalam upacara Padede Uma

Kalada, maka dalam proses penerjemahan gloss data, dilakukan dalam dua

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 95: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

78

bentuk, yaitu (1) penerjemahan dalam bentuk gloss cermat, yakni penerjemahan

kata demi kata dalam bahasa Indonesia sesuai dengan arti leksikal dari kata-kata

tersebut yang diletakkan langsung di bawah teks yang digarisbawahi. (2)

Penerjemahan dalam bentuk gloss lancar, yakni terjemahan bebas dalam bahasa

Indonesia untuk menemukan dan memahami makna dari teks. Dalam proses

penerjemahan ini selalu dikaitkan dengan konteks yang melingkupi tuturan itu.

Dalam proses penerjemahan data, peneliti selalu bekerja sama dengan

informan kunci yang sekaligus merupakan triangulator gloss data. Pelibatan

informan kunci dalam proses penerjemahan ini adalah untuk menguji kebenaran

gloss data. Selain itu, salah satu metode pengumpulan data yang digunakan dalam

penelitian adalah metode etnografis. Oleh karena itu, pelibatan informan kunci

juga bertujuan untuk mengetahui dan memahami sudut pandang, pengetahuan dan

pengalaman informan terkait hubungan bahasa dengan kearifan-kearifan lokal,

nilai-nilai dan wujud jati diri masyarakat Kabizu Beijello yang digambarkan

dalam tradisi pada upacara Padede Uma Kalada. Seiring dengan ini, pemaknaan

data dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis kontekstual (Rahardi,

2009: 36).

Wujud data yang dipaparkan dalam penelitian ini sebagai upaya untuk

menjawab rumusan masalah 1, 2, dan 3 adalah bagian-bagian dari tradisi lisan

dalam upacara Padede Uma Kalada yang diperoleh dari 23 data primer.

Sementara itu, untuk menjawab rumusan masalah 4, peneliti menggunakan wujud

data yang diperoleh dari hasil wawancara etnografis dan kajian dokumen-

dokumen yang relevan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 96: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

79

Bagian-bagian dari tradisi lisan Teda dalam upacara Padede Uma Kalada

dalam penelitian ini dikutip peneliti dengan mempertimbangkan kesatuan makna

ekolinguistik metaforis. Berdasarkan kesatuan makna ekolinguistik metaforis itu,

peneliti dapat menentukan kearifan-kearifan lokal yang terkandung dalam tradisi

lisan Teda pada upacara Padede Uma Kalada. Kearifan-kearifan lokal tersebut

dapat berwujud nyata (tangible) berupa bukti-bukti fisik dan hasil kreativitas

masyarakat Kabizu Beijello. Selain itu, dapat juga berwujud tidak nyata

(intangible) berupa paralelisme, metafora, syair, petuah, mantra dan ideologi. Di

dalam kearifan-kearifan lokal yang berwujud nyata dan tidak nyata tersebut

peneliti dapat mengungkap gagasan-gagasan dan pengetahuan lokal yang

melingkupi masyarakat Kabisu Beijello. Dalam menginterpretasi dan memaknai

kearifan-kearifan lokal dalam tradisi lisan pada upacara Padede Uma Kalada,

peneliti juga menyertakan data-data hasil wawancara etnografis dan kajian

dokumen-dokumen yang relevan.

Sementara itu, indikator bagi peneliti untuk menentukan nilai-nilai kearifan

lokal masyarakat Kabizu Beijello adalah pedoman-pedoman hidup bersama yang

menjadi alat kontrol bagi masyarakat Kabizu Beijello dalam membina hubungan

yang harmonis yang tercermin dalam tuturan-tuturan lisan pada upacara Padede

Uma Kalada. Pedoman-pedoman hidup bersama tersebut, digali peneliti

berdasarkan gagasan-gagasan dan pengetahuan lokal yang ditemukan dalam

kearifan-kearifan lokal. Pemaknaan dan interpretasi data nilai-nilai kearifan lokal,

ditunjang pula dengan data-data hasil wawancara etnografis dan kajian terhadap

dokumen-dokumen yang relevan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 97: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

80

Gagasan dan pengetahuan lokal serta nilai-nilai kearifan lokal dalam tradisi

lisan pada upacara Padede Uma Kalada dapat dijadikan indikator bagi peneliti

untuk menjawab rumusan masalah 3, yakni wujud jati diri masyarakat Kabizu

Beijello yang tergambarkan dalam tradisi lisan Teda dalam upacara Padede Uma

Kalada. Hal itu seperti yang dijelaskan Sukmayadi (2018:26) bahwa nilai-nilai

kearifan lokal merupakan dasar yang membentuk identitas. Selain itu, wujud jati

diri masyarakat Kabizu Beijello yang terekspresikan pada tradisi lisan dalam

upacara Padede Uma Kalada juga diinterpretasi atau dimaknai peneliti

berdasarkan data-data hasil wawancara etnografis dan hasil penelusuran

dokumen-dokumen yang relevan.

Data-data primer yang digunakan untuk menjawab rumusan masalah 1,2,

dan 3 sebelum diidentifikasi dan dianalisis, terlebih dahulu peneliti membuat

kodifikasi data dengan menggunakan huruf kapital A sampai R. Dalam tabulasi

data, angka yang mengikuti huruf kapital merupakan urutan data dari sumber data

yang mengandung kesatuan makna ekolinguistik metaforis. Sebagai contoh: (H2),

dibaca: data ke-2 dari sumber data H. Sementara itu, kerangka kesatuan makna

ekolinguistik metaforis diberi kode dengan menggunakan singkatan ES untuk

menunjukkan ekologi simbolis, ESK untuk menunjukkan ekologi sosiokultural,

dan EK untuk menunjukkan ekologi kognitif. Selanjutnya, angka yang mengikuti

singkatan dalam klasifikasi data merupakan nomor urut data dalam kerangka

kesatuan makna ekolinguistik metaforis. Misalnya, H2/ES6, dibaca: data ke-2 dari

sumber data H, yang diidentifikasi berdasarkan data ada dalam ekologi simbolis

urutan ke-6.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 98: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

81

4.2 Hasil Penelitian

Dalam perspektif ekolinguistik, bahasa adalah gambaran tentang realitas,

gambaran tentang pengetahuan dan pengalaman manusia. Dalam hal ini

komunitas tuturnya tentang dunia nyata, di sisi dunia imajinasi, yang ada di

lingkungannya. Bahasa menggambarkan realitas lingkungan, baik lingkungan

alam maupun realitas manusia, masyarakat dan kebudayaannya (Mbete,

2015:184). Dalam konteks penelitian ini, dalam perspektif ekolinguistik

metaforis, bahasa dalam tradisi lisan pada upacara Padede Uma Kalada

merupakan gambaran dari realitas atau dunia nyata yang ada di lingkungan

masyarakat Kabizu Beijello. Realitas atau dunia nyata itu berupa kearifan-kearifan

lokal, nilai-nilai kearifan lokal dan wujud jati diri yang selalu dipraktek oleh

masyarakat Kabizu Beijello.

Berdasarkan hasil identifikasi data yang dilakukan ditemukan 23 data yang

mengandung kearifan lokal, nilai-nilai kearifan lokal, dan jati diri masyarakat

Kabizu Beijello. Data-data ini diidentifikasi oleh peneliti dengan menggunakan

kerangka teori ekolinguistik metaforis yang dikemukakan oleh Steffensen and Fill

(2013:3), yakni (1) bahasa ada dalam ekologi simbolis, (2) bahasa ada dalam

ekologi sosiokultural, (3) bahasa ada dalam ekologi kognitif.

Pada kajian bahasa ada dalam ekologi simbolis diidentifikasi sebanyak 12

data dan ditemukan 7 wujud kearifan lokal yang terdiri atas 3 wujud kearifan

lokal berwujud nyata dan 4 wujud kearifan lokal berwujud tidak nyata. Adapun 3

wujud kearifan lokal berwujud nyata itu, yakni (1) mama (sirih, pinang), (2) manu

(ayam) (3) labe a belleka, pari’i a kaladana (cincin yang lebar, tiang yang besar

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 99: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

82

atau agung). Sementara itu, 4 wujud kearifan lokal berwujud tidak nyata, yaitu (1)

paralelisme, (2) metafora, (3) petuah, dan (4) mantra.

Pada kajian ini ditemukan juga 6 nilai kearifan lokal dan 7 wujud jati diri.

Adapun 6 nilai kearifan lokal itu, yakni (1) nilai ketaatan, (2) nilai solidaritas, (3)

nilai persatuan, (4) nilai penghormatan, (5) nilai syukur dan terimakasih, dan (6)

nilai religius. Sementara itu, 7 wujud jati diri yang ditemukan, yakni (1)

masyarakat yang selalu membina sikap bermusyawarah, (2) masyarakat yang

solider, (3) masyarakat yang menghormati pemimpin, (4) masyarakat yang

menghormati Marapu, (5) masyarakat ritual, (6) masyarakat religius, dan (7)

masyarakat agraris.

Dalam kajian bahasa ada dalam ekologi sosiokultural dapat diidentifikasi 9

data dan ditemukan 5 kearifan lokal, yakni 3 wujud kearifan lokal berwujud nyata

dan 2 wujud kearifan lokal berwujud tidak nyata. Adapun 3 wujud kearifan lokal

berwujud nyata itu, yakni (1) yasa (beras), pamama (sirih, pinang), dan manu

(ayam), (2) kalabo (kain tenun yang diikat di pinggang), kapouta (ikat kepala),

katopo (parang), dan (3) wawi (babi), karambo (kerbau) dan 2 wujud kearifan

lokal yang berwujud tidak nyata, yakni (1) paralelisme, dan (2) syair.

Nilai-nilai kearifan lokal ditemukan 4 nilai kearifan lokal dan 7 wujud jati

diri. Adapun empat nilai itu, yakni (1) nilai penghormatan, (2) nilai kerja keras,

(3) nilai rekonsiliasi, dan (4) nilai penghormatan kepada pemimpin. Sementara

itu, 7 wujud jati diri yang ditemukan, yaitu (1) masyarakat yang selalu membina

sikap bermusyawarah, (2) masyarakat Kabizu Beijello sebagai masyarakat ritual,

(3) masyarakat Kabizu Beijello sebagai masyarakat yang solider, (4) masyarakat

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 100: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

83

Kabizu Beijello sebagai masyarakat yang religius, (5) masyarakat Kabizu Beijello

sebagai masyarakat yang menghormati Marapu, (6) masyarakat Kabizu Beijello

sebagai masyarakat yang agraris, dan (7) masyarakat Kabizu Beijello sebagai

masyarakat yang menghormati pemimpin.

Dalam frame data ada dalam ekologi kognitif dapat diidentifikasi 2 data dan

ditemukan 1 wujud kearifan lokal berwujud tidak nyata berupa idelogi lokal

masyarakat Kabizu Beijello dan 1 nilai kearifan lokal, yakni nilai solidaritas serta

1 wujud jati diri, yakni masyarakat Kabizu Beijello sebagai masyaSeluruh paparan

deskripsi hasil identifikasi data di atas, dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut.

Paparan secara lebih mendalam terkait dengan kearifan-kearifan lokal yang

terkandung dalam tradisi lisan pada upacara Padede Uma kalada dapat dilihat

pada subbab 4.2.1. Paparan terkait nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Kabizu

Beijello yang terwujud dalam tradisi lisan dalam upacara Padede Uma Kalada

dapat dilihat pada subbab 4.2.2. Sementara itu, paparan terkait jati diri masyarakat

Kabizu Beijello yang terwujud dalam tradisi lisan pada upacara Padede Uma

Kalada dapat dilihat pada subbab 4.2.3. Secara berurutan paparan terkait kearifan-

kearifan lokal, nilai-nilai kearifan lokal dan wujud jati diri masyarakat Kabizu

Beijello yang termanifestasi dalam tradisi lisan pada upacara Padede Uma Kalada

dapat dilihat sebagai berikut.

4.2.1 Kearifan-kearifan Lokal yang Terdapat dalam Tradisi Lisan Teda

dalam Upacara Padede Uma Kalada

Pada hakikatnya masyarakat Kabizu Beijello sebagaimana masyarakat

Sumba pada umumnya yang lahir dalam dinamika spiritual Marapu memiliki

kearifan-kearifan lokal yang merupakan warisan kebudayaan nenek moyang. Di

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 101: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

84

dalam kearifan-kearifan lokal itu, terdapat gagasan-gagasan dan pengetahuan-

pengetahuan yang bersifat arif dan bijaksana yang digunakan sebagai alat kontrol

dalam membina kehidupan bersama baik sebagai anggota warga rumah, maupun

sebagai warga Kabizu, dan bermasyarakat. Hal ini sejalan dengan pandangan

Sriyono (2014:57) yang mengungkapkan bahwa kearifan lokal merupakan

pengetahuan lokal yang digunakan masyarakat lokal untuk bertahan hidup dalam

lingkungannya yang menyatu dengan sistem kepercayaan, norma, dan budaya

yang diekspresikan di dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu

yang lama. Senada dengan pandangan ini, Aslan (2017:13) juga mengungkapkan

bahwa kearifan lokal merupakan budaya masyarakat yang telah diciptakan oleh

nenek moyang dan menjadi warisan bagi anak cucunya dan sebagai alat kontrol

tingkah laku masyarakat.

Dhoki, dkk., (2016:9) membagi kearifan lokal menjadi 2, yakni kearifan

lokal berwujud nyata (tangible) dan kearifan lokal berwujud tidak nyata

(intangible). Kearifan lokal berwujud nyata, meliputi tekstual, bangunan atau

arsitektur, benda cagar budaya dan karya seni. Kearifan lokal berwujud tidak

nyata, meliputi bahasa, sastra, kesenian, dan petuah yang disampaikan secara

verbal dan turun temurun yang dapat berupa nyanyian dan kidung yang

mengandung nilai-nilai ajaran tradisional.

Sehubungan dengan pandangan di atas, kearifan lokal dalam penelitian ini

merupakan gagasan dan pengetahuan lokal masyarakat Kabizu Beijello yang

digunakan sebagai pedoman dalam kehidupan sosial budaya yang ditemukan

dalam tradisi lisan dalam upacara Padede Uma Kalada. Adapun wujud kearifan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 102: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

85

lokal tersebut, yakni kearifan lokal berwujud nyata (tangible) dan kearifan lokal

berwujud tidak nyata (intangible). Wujud-wujud kearifan-kearifan lokal

masyarakat Kabizu Beijello yang terdapat dalam tradisi lisan dalam upacara

Padede Uma Kalada dipaparkan lebih lanjut sebagai berikut.

4.2.1.1 Kearifan-Kearifan Lokal yang Berwujud Nyata (Tangible)

Berdasarkan hasil identifikasi yang dilakukan peneliti menemukan 4

kearifan lokal berwujud nyata (tangible). Pada setiap kearifan lokal itu

mengandung gagasan dan pengetahuan lokal yang melingkupi kehidupan sosial

budaya masyarakat Kabizu Beijello. Gagasan dan pengetahuan lokal itu

dipaparkan sebagai berikut.

1) Kearifan Lokal yang Berkaitan dengan Pamama (Sirih, Pinang) dan

Yasa (Beras)

Sirih, pinang dan beras merupakan salah satu wujud kearifan lokal yang

dimiliki masyarakat Kabizu Beijello. Sejatinya, dalam praktik sosial dan budaya

masyarakat Kabizu Beijello selalu diwarnai dengan tindakan saling memberi dan

menerima sirih pinang. Sebagai contoh, pada saat santai dengan keluarga,

menyambut tamu, musyawarah-musyawarah adat dan upacara-upacara adat

seperti kematian, perkawinan, upacara berkaitan dengan pertanian, upacara

pembangunan rumah selalu ditandai dengan perilaku saling memberi dan

menerima sirih pinang. Sesungguhnya, dibalik peristiwa itu terdapat gagasan-

gagasan dan pengetahuan lokal terkait dengan praktik sosial dan budaya yang

yang selalu dihidupi oleh masyarakat Kabizu Beijello.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 103: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

86

Dwinanto, dkk., (2019:363) dalam penelitian yang berjudul “Budaya Sirih

Pinang Dan Peluang Pelestariannya Di Sumba Barat, Indonesia” menemukan

bahwa sirih pinang di Sumba Barat memiliki beragam fungsi sosial, budaya,

ekonomi dan pengobatan. Sirih pinang menjadi simbol penting dalam budaya

Sumba. Hal ini terkait erat dengan tatanan yang memengaruhi kehidupan orang

Sumba, yaitu kepercayaan Marapu, tempat tinggal (rumah: uma ; dan kampung:

wano), serta ikatan kekerabatan (Kabisu). Dalam konteks penelitian ini, sirih

pinang mengandung gagasan lokal seperti yang digambarkan dalam tuturan lisan

berikut.

Data 1. G1/ES5

Nebahinna, nennati pamama ole

Saat ini, ini sirih pinang kawan

Terimalah sirih pinang ini.

Konteks: Tuturan lisan di atas merupakan bagian dari data tradisi lisan pada saat pembagian

sirih pinang pada tahap pertemuan satu keluarga besar Kabizu Beijello di rumah

besar. Tuturan lisan di atas dituturkan oleh pemimpin klan atau orang yang

dipercayakan pemimpin musyawarah pada tahap musyawarah adat satu keluarga

besar Kabizu Beijello di rumah besar. Dalam data di atas memperlihatkan ada

peristiwa pembagian sirih pinang setelah pengambilan ikrar atau sumpah. Sirih

pinang diyakini sebagai simbol kehadiran Marapu (arwah-arwah leluhur) yang

mengikat seluruh keputusan yang telah disepakati. Oleh karena itu, keputusan itu

tidak boleh dilanggar. Jika dilanggar maka konsekuensinya adalah petaka.

Pada data 1 di atas kearifan lokal berwujud nyata ditunjukkan pada kata

pamama yang berarti sirih-pinang. Masyarakat Kabizu Beijello pada saat

menyebut buah sirih dan pinang secara bersamaan selalu menggunakan kata

pamama. Sementara itu, kegiatan menguyah sirih dan pinang secara bersamaan

yang dicampur dengan kapur disebut mama. Dalam bahasa Wewewa sirih disebut

utta dan pinang disebut winno. Pamama (sirih-pinang) dalam data 1 di atas

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 104: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

87

mengandung gagasan dan pengetahuan lokal yakni pamama (sirih-pinang)

digunakan sebagai meterai yang mengikat dan mensahkan suatu keputusan.

Masyarakat Kabizu Beijello dalam musyawarah-musyawarah adat setelah

terdapat kesepakatan selalu dilakukan hal penting yang mengikat keputusan yang

diambil. Adapun hal penting yang dimaksud adalah pengambilan ikrar atau janji

dengan sumpah adat. Ikrar diangkat oleh tetua adat atau pemimpin musyawarah

yang ditandai dengan pembagian sirih pinang. Dalam hal ini, sirih pinang sebagai

pertanda bahwa keputusan bersama yang diambil sah dan tidak boleh dilanggar.

Praktik budaya pengangkatan ikrar atau sumpah yang ditandai dengan

pembagian sirih pinang pada data 1 di atas tampak pada tuturan nennati pamama

ole (terimalah sirih pinang ini). Tuturan ini dituturkan oleh tetua adat atau

pemimpin musyawarah pada tahap pertemuan satu keluarga besar Kabizu Beijello

di rumah besar. Tuturan ini memberikan gambaran nyata bahwa dalam praktik

budaya masyakat Kabizu Beijello, sirih pinang digunakan sebagai meterai yang

mengikat suatu keputusan yang diambil atau diikrarkan. Setiap peserta yang telah

menerima sirih dan pinang dari tetua adat atau pemimpin musyawarah tidak boleh

mengkhianati ikrar atau sumpah yang baru diambil. Pengingkaran terhadap ikrar

atau sumpah melalui peristiwa penerimaan sirih pinang diyakini sebagai petaka

bagi orang yang mengingkari janji atau sumpah adat tersebut. Hal itu diungkapkan

oleh informan dalam wawancara etnografis sebagai berikut.

Pembagian sirih pinang dalam musyawarah adat merupakan tanda agar

orang yang menerima sirih pinang memegang janji dan keputusan

bersama. Sirih dan pinang dalam hal ini sebagai pengikat atau meterai

yang mengikat keputusan bersama yang telah ditetapkan. Apabila telah

menyepakati sebuah keputusan, selanjutnya adalah pembagian sirih

pinang. Sebagai meterai, sebagai pengikat agar tidak ada orang yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 105: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

88

melanggar keputusan bersama ini. Setelah bermusyawarah dan sebagai

tanda bermusyawarah adalah semua orang yang hadir diberikan sirih

pinang yang berarti bahwa jangan lagi mengkhianati keputusan ini, jangan

ada orang berkata lain, bertindak lain selain keputusan ini. Apabila ada

orang yang menerima sirih pinang lalu kemudian hari berubah pikiran

orang tersebut akan mendapatkan resiko adat. Hal ini karena pembagian

sirih pinang saja merupakan salah satu tanda terlibatnya Marapu.

sehingga Marapu sudah melihat semua yang menerima sirih pinang. Jadi

ketika ada orang yang melangggarnya, maka orang tersebut akan

menanggung sendiri akibatnya (W/KKLMB/3).

Penggunaan sirih pinang sebagai meterai dalam musyawarah adat

sesungguhnya tidak terlepas dari sistem kepercayaan yang dianut oleh masyarakat

Kabizu Beijello, yakni kepercayaan Marapu. Masyarakat Kabizu Beijello

sebagaimana masyarakat Sumba pada umumnya sangat menghormati dan

menjunjung tinggi peran Marapu dalam kehidupan mereka. Sirih dan pinang

dalam pengangkatan ikrar melalui sumpah adat itu diyakini sebagai tanda

kehadiran Marapu yang mengikat ikrar atau sumpah yang diangkat. Ikrar atau

sumpah yang telah disaksikan oleh Marapu melalui peristiwa pembagian sirih

pinang tidak boleh dilanggar. Apabila dilanggar konsekuensinya adalah petaka

bagi orang yang melanggar.

Masyarakat Kabizu Beijello tidak hanya menggunakan sirih-pinang sebagai

meterai yang mensahkan suatu keputusan, tetapi sirih pinang dan beras juga

merupakan perlengkapan wajib pada saat melakukan ritual Urrata. Hal itu tampak

dalam data tradisi lisan pada upacara Padede Uma Kalada sebagai berikut.

Data 2. E1/ESK2

Nennati yasa, pamama

Itu beras sirih pinang

Itu beras dan sirih pinang

Konteks:

Tuturan lisan di atas merupakan bagian dari data tradisi lisan dalam ritual Urrata

yang dilakukan setelah pengangkatan ikrar di Uma Kii (rumah kecil). Data tradisi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 106: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

89

lisan ini merupakan doa kepada nenek moyang. Dalam doa itu, masyarakat

Kabizu Beijello memohon persetujuan nenek moyang terkait hasil keputusan

bersama yang telah disepakati. Selain itu, juga meminta petunjuk kepada nenek

moyang terkait dengan rencana musyawarah adat yang akan dilakukan di rumah

besar Kabizu Beijello. Untuk membuka komunikasi dengan nenek moyang

digunakan sirih, pinang dan beras.

Kearifan lokal berwujud nyata pada data 2 tampak pada kata yasa (beras),

pamama (sirih pinang). Tuturan lisan di atas dituturkan dalam ritual Urrata

permohonan persetujuan dan petunjuk dari Marapu terkait hasil keputusan

musyawarah adat pembangunan rumah besar. Masyarakat Kabizu Beijello dalam

praktik budaya senantiasa menjunjung tinggi peran Marapu atas setiap keputusan

yang diambil. Keputusan itu harus disampaikan dan didiskusikan dengan Marapu

melalui ritual Urrata. Dalam ritual ini, komunikasi dengan Marapu dibuka

dengan menggunakan yasa (beras), pamama (sirih pinang) seperti yang tampak

pada data 2 di atas, yakni nennati yasa, pamama (terimalah beras dan sirih pinang

itu)

Gagasan dan pengetahuan lokal dibalik praktik praktik budaya penggunaan

sirih-pinang dalam ritual Urrata adalah sirih-pinang dimaknai sebagai media

komunikasi dengan Marapu. Selain itu, masyarakat Kabizu Beijello dalam ritual

Urrata juga meyakini bahwa sirih, pinang dan beras merupakan makanan yang

dapat memberikan rasa nyaman kepada Marapu yang dalam bahasa Wewewanya

Tora Tagu Marapu. Atas dasar keyakinan itu, Ata Urrata mengundang Marapu

dengan cara menyebarkan beras yang telah dicampur dengan sirih dan pinang ke

kiri, kanan, muka dan belakang. Hal ini karena masyarakat Kabizu Beijello

meyakini bahwa di dalam rumah terdapat bermacam-macam Marapu. Ada yang

jahat dan ada yang baik. Oleh karena itu, agar seluruh Marapu yang ada di dalam

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 107: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

90

rumah mendukung dan memberi restu atas keputusan yang telah diniatkan

bersama, maka semua Marapu harus mendapatkan bagian dari beras, sirih dan

pinang yang disebarkan. Hal itu diungkapkan oleh informan yang diwawancarai

sebagai berikut.

Dalam ritual Urrata untuk memulai komunikasi dengan Marapu harus

menggunakan beras dan pamama. Pada saat membuangnya, Ata

Urrata membuangnya ke depan, belakang, kiri kanan. Setelah itu baru

menyampaikan apa yang perlu disampaikan. Hal ini karena di dalam

rumah ini ada begitu banyak roh dengan segala kepentingannya.

Marapu ada tingkatannya. Kadang-kadang mereka bisa mengutuk

sesuatu. Oleh karena itu, harus diberikan Tora Taguda. Hal ini

bertujuan agar mereka tidak membuat masalah. Sehingga apa yang

disampaikan boleh lurus sampai kepada Sang Khalik. Sehingga, sirih

pinang di sini sebagai tanda, yakni pertama, sebagai tanda untuk

membuka pembicaraan dengan orang hidup dan orang mati. Kedua,

dia menjadi sesuatu yang bisa diberikan yang bisa memberikan rasa

aman kepada mereka sehingga kemudian mereka tidak mengganggu

kehidupan kita. Sehingga, sirih pinang di sini merupakan makanan

untuk roh mereka. Beras dan sirih pinang ini merupakan makanan

untuk mereka. Pinang itu untuk membuka pembicaraan dengan

mereka. Padi itu untuk memberi makan kepada roh mereka. Sehingga,

penggunaan beras, sirih dan pinang ini berfungsi untuk membuka

pembicaraan dan sekaligus sebagai makanan untuk Marapu

(W/KKLMB/4).

2) Kearifan Lokal yang Berkaitan dengan Labe (Cincin) dan Pari’i (Tiang)

Rumah adat Sumba pada umumnya adalah rumah adat dengan konstruksi

bangunan berbentuk panggung. Bahan bangunan yang digunakan sebagian besar

berbahan kayu. Kayu yang digunakan adalah kayu pilihan seperti kayu airara.

Konstruksi bangunan tersebut 16 tiang dengan empat buah tiang pokok atau

sentral dari konstruksi bangunan tersebut. Empat tiang pokok tersebut sebagai

soko guru rumah yang menopang menara dan atap rumah yang berbentuk joglo

(Badra, 2009: 56 dalam Jayanti, 2015: 225).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 108: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

91

Masyarakat Sumba pada umumnya dan Kabizu Beijello tidak memaknai

Labe (cincin) dan Pari’i (tiang) hanya sekedar sebagai penyangga menara atau

atap rumah tetapi mengandung gagasan dan pengetahuan suatu kearifan lokal

berwujud nyata yang terikat dengan kepercayaan Marapu yang dianut oleh

masyarakat Kabizu Beijello. Bera (2015:6) dalam pendahuluan buku yang ditulis

oleh (Ramone, 2015) yang berjudul “Revitalisasi Desa Adat dan Dampak Sosial

Budaya Masyarakat di Pulau Sumba” menjelaskan bahwa rumah masyarakat

Sumba merupakan wadah perawatan hubungan-hubungan antaranggota warga

rumah agar tetap utuh dan harmonis. Menurut alam pikir masyarakat Sumba,

rumah adat lengkap mengatur status dan peran anggota warga rumah yang selalu

dikaitkan dengan yang Ilahi dan dilukiskan dalam bahasa dan benda simbolik

bagian dari inti rumah. Seiring dengan itu, gagasan lokal yang terkandung dalam

kearifan lokal, yakni Labe (cincin) dan Pari’i (tiang) tampak dalam tradisi lisan

dalam upacara Padede Uma Kalada sebagai berikut.

Data 3. O1/ES12

Nadukkiwe na’i Labe A Belleka,

Sampai kepada dia di sana cincin yang lebar ,

Pari’i A Kaladana tiang yang besar

Sampai kepada Sang Khalik

Konteks:

Tuturan lisan di atas merupakan bagian dari tradisi lisan pada tahap Saiso

pembuatan loteng rumah. Data tradisi lisan ini dinyanyikan oleh Ata Saiso.

Nyanyian ini merupakan doa yang ditujukan kepada Tuhan melalui perantaraan

Marapu. Dalam doa itu, Ata Saiso memohon pengampunan, keselamatan dan

keberhasilan pembuatan loteng rumah.

Tuturan lisan pada data 3 di atas merupakan salah satu bentuk doa kepada

Yang Ilahi melalui perantaraan Marapu. Kearifan lokal berwujud nyata yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 109: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

92

tampak pada tuturan itu adalah Labe A Belleka, Pari’i A Kaladana (Cincin Yang

Lebar, Tiang Yang Besar). Kearifan lokal ini memberikan gambaran nyata bahwa

struktur rumah adat masyarakat Sumba pada umumnya ditopang oleh empat tiang

utama. Pada masing-masing tiang ini terdapat Labe (cincin), yakni kayu yang

berbentuk bulat. Dari keempat Pari’i dan Labe ini terdapat salah satu Pari’i yang

dimaknai sebagai tiang agung, yang dalam bahasa Wewewanya koko poga.

Masyarakat Kabizu Beijello memandang tiang agung itu sebagai Tuhan Allah.

Dalam hal ini, tiang agung diyakini sebagai lambang kehadiran Tuhan Yang Maha

Besar dan Maha Agung. Tuhan yang mampu merangkul, memikul, melindungi

dan menopang seluruh umatnya. Sementara itu, Labe yang berada pada tiang

agung memiliki ukuran yang lebih besar dari ke tiga Labe lainnya. Labe yang ada

pada tiang agung ini diyakini sebagai mezbah Tuhan. Sebagai tempat bertahta dan

kedudukan Tuhan yang mampu memayungi dan menaungi umatnya.

Berdasarkan hasil wawancara dengan informan ketika peneliti mengajukan

pertanyaan “Pengetahuan lokal apakah yang terkandung dalam tuturan nadukkiwe

na’i Labe A Belleka, Pari’i A Kaladana?” diberi kesaksian bahwa pada tuturan ini

memberikan gambaran terkait masyarakat yang ber-Tuhan. Labe ini merupakan

mazbah Tuhan. Setiap warga Marapu yang datang menyampaikan permohonan

kepada Tuhan, biasanya meletak pinang di Labe. Setelah itu baru mulai

menyampaikan permohonan kepada Tuhan. Labe ini merupakan tempat

kedudukan Tuhan sebagai Pencipta. Labe adalah mazbah Tuhan yang Maha

melihat semua yang dilakukan umatnya. Labe yang merupakan mazbah Tuhan itu,

dia lebih besar sendiri. Seluruh kehidupan kita itu diselenggarakan oleh Tuhan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 110: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

93

dan semua pergumulan kehidupan kita itu selalu kita bawa kepada Tuhan dengan

meletakkan sirih pinang di Labe (W/KKLMB/5).

3) Kearifan Lokal yang Berkaitan dengan Kalabo, Kapouta, dan Katopo

Masyarakat Sumba dan Kabizu Beijello khususnya merupakan masyarakat

yang masih kuat mempertahankan budaya warisan leluhur. Hal ini terbukti bahwa

masyarakat Kabizu Beijello dalam berbagai upacara-upacara adat atau upacara

formal masih mengenakan pakaian adat yang merupakan warisan leluhur seperti

pada upacara kematian, perkawinan, pembangunan rumah, pertanian, pesta

Woleka (syukur), upacara menarik batu kubur, dan lain sebagainya. Bahkan ada

pula masyarakat Kabizu Beijello yang berdomisili di kampung-kampung masih

tetap mengenakan pakaian adat dalam kehidupan keseharian mereka. Sementara

itu, mereka yang berdomisili di daerah perkotaan sudah jarang mengenakan

pakaian adat di rumah. Akan tetapi, apabila mengikuti upacara adat sebagaimana

telah disebutkan di atas, masyarakat Kabizu Beijello tetap menggunakan pakaian

adat. Begitu kuatnya tradisi ini, sehingga masyarakat-masyarakat yang berasal

dari luar Pulau Sumba pun akan memakai pakaian adat apabila mengikuti upacara

suatu upacara adat Sumba.

Tradisi pemakaian pakaian adat dalam berbagai upacara adat bagi

masyarakat Kabizu Beijello tidak hanya sebagai pembungkus badan, tetapi tradisi

penggunaan pakaian adat ini tertuang gagasan lokal yang dihidupi oleh

masyarakat Kabizu Beijello. Hal ini sebagaimana dilukiskan dalam data tradisi

lisan dalam upacara Padede Uma Kalada sebagai berikut.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 111: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

94

Data 4. O2/ESK6

Kapamenderadandi kapouta , katopo,

Agar kalian memegang kuat-kuat ikat kepala, parang,

Agar kalian memegang kuat-kuat ikat kepala, parang

kalaboda ata pennenanno

ikat pinggang dari orang yang memanjat loteng

ikat pinggang dari orang-orang yang membuat loteng

Konteks:

Data ini merupakan bagian dari data tradisi lisan pada tahap Saiso sebelum

membuat loteng rumah. Data tradisi lisan tersebut dituturkan oleh Ata Urrata

dalam ritual Urrata. Data tradisi lisan ini merupakan doa kepada nenek

moyang. Dalam doa itu, masyarakat Kabizu Beijello memohon khidmat,

keselamatan, pengampunan dan keberhasilan kepada nenek moyang.

Kearifan lokal berwujud nyata yang digambarkan pada data 4 di atas adalah

kapouta, katopo, dan kalabo. Ketiga kearifan lokal berwujud nyata itu merupakan

pakaian kehormatan bagi kaum laki-laki. Kapouta merupakan kain tenun yang di

ikat di kepala laki-laki. Kain tenun ini biasa disebut selendang. Kalabo adalah

kain tenun yang dililitkan di pinggang sampai di bawah lutut. Kain tenun ini

biasanya disebut ingngi. Pakaian adat laki-laki Sumba juga dilengkapi dengan

katopo (parang) dan kaleku, yakni tempat sirih pinang yang terbuat dari daun

pandan. Sementara itu, pakaian adat perempuan Sumba adalah we’e (sarung) yang

dilengkapi pula dengan Kaleku. Apabila dalam upacara-upacara adat, masyarakat

Kabizu Beijello tidak menggunakan pakaian-pakaian adat, maka hilanglah

kewibawaan, harga diri, dan kehormatannya.

Dalam proses adat atau praktik budaya seperti membangun rumah, jatuhnya

katopo dan kalabo dari pinggang serta kapouta dari kepala anggota keluarga atau

orang yang memasang loteng rumah merupakan pertanda buruk atau aib bagi

Kabizu yang membangun rumah tersebut. Dalam konteks kepercayaan Marapu

jatuhnya kalabo, kapouta dan katopo pada saat membuat loteng rumah menjadi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 112: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

95

pertanda bahwa adanya pelanggaran terhadap perintah Marapu. Jika hal itu terjadi

maka akan menyebabkan runtuhnya harga diri, kewibawaan, dan kehormatan

nama baik Kabizu Beijello di mata sesama. Oleh karena itu, sebelum memasang

loteng rumah terlebih dahulu dilakukan ritual permohonan perlindungan dan

keselamatan kepada Marapu sehingga kalabo, kapouta dan katopo tidak terjatuh.

Permohonan itu tergambar pada tuturan kapamenderadandi kapouta, katopo,

kalaboda ata pennenanno (agar kalian memegang kuat-kuat ikat kepala, ikat

pinggang dan parang keluarga yang mengerjakan loteng rumah). Permohononan

ini dituturkan oleh Rato Marapu dalam ritual Saiso. Dengan semikian, melalui

kearifan lokal berwujud nyata itu dapat diidentifikasi pemahaman dan

pengetahuan masyarakat Kabizu Beijello bahwa kapouta, katopo, dan kalaboda

merupakan lambang kehormatan, harga diri, kewibawaan, martabat dan nama baik

Kabizu.

4) Kearifan Lokal yang Berkaitan dengan Manu (Ayam), Wawi (Babi),

Karambo (Kerbau)

Hewan-hewan seperti ayam, babi, kerbau merupakan hewan-hewan yang

sangat dibutuhkan dalam upacara-upacara keagamaan Marapu. Dalam dinamika

kepercayaan Marapu, hewan-hewan ini diidentifikasi sebagai wujud kearifan

lokal berwujud nyata (tangible). Masyarakat Kabizu Beijello yang menganut

kepercayaan Marapu meyakini bahwa hewan-hewan ini memiliki kedudukan

khusus dan memiliki kekuatan gaib. Oleh sebab itu, hewan-hewan ini sering

dikurbankan dalam berbagai ritual adat. Hal ini senada dengan temuan

Dwiningsih, dkk., (2014:24) bahwa hewan-hewan yang biasanya dipelihara dan

dikembangbiakkan masyarakat Sumba adalah babi, kuda, kerbau, sapi, ayam,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 113: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

96

kambing, dan anjing. Selain memiliki nilai ekonomi yang tinggi, beberapa hewan

seperti babi dan kuda memiliki posisi penting dalam adat Sumba.

Masyarakat Kabizu Beijello sebagai bagian dari masyarakat Sumba dalam

berbagai ritual adat yang diselenggarakan selama proses pembangunan rumah

besar, ayam, babi dan kerbau merupakan hewan yang sangat dibutuhkan. Hewan-

hewan itu, selain sebagai hewan kurban untuk memberi sesajen kepada Marapu

juga untuk meramalkan suatu peristiwa atau petunjuk dari Marapu. Hal ini

dieksplisitkan dalam data tradisi lisan pada upacara Padede Uma Kalada sebagai

berikut.

Data 5. H2/ES6

Na,i manu bowakahinna

Itu ayam supaya tandanya menerima

Berilah petunjuk yang baik melalui ayam itu.

Konteks:

Tuturan lisan di atas merupakan bagian dari data tradisi lisan pada tahap

pertemuan satu keluarga besar Kabizu Beijello di rumah besar. Tuturan lisan itu

dituturkan oleh Ata Urrata dalam ritual Urrata. Ritual Urrata ini dilakukan

setelah pengambilan ikrar atau sumpah adat yang ditandai dengan pembagian sirih

pinang. Dalam konteks data ini, ritual Urrata dimaknai sebagai doa kepada

Marapu. Dalam doa itu, Ata Urrata memohon perlindungan, keselamatan dan

keberhasilan kepada nenek moyang.

Kearifan lokal berwujud nyata pada tuturan lisan di atas adalah manu

(ayam). Manu (ayam), diidentifikasi sebagai kearifan lokal berwujud nyata

(tangible) karena di dalamnya mengandung gagasan dan pengetahuan yang terikat

dengan kepercayaan Marapu. Adapun gagasan lokal itu adalah ayam diyakini

memiliki fungsi magis religius. Ayam dikatakan berfungsi religius karena dalam

ritual Urrata, ayam digunakan sebagai media komunikasi untuk menyampaikan

permohonan, harapan dan kerinduan kepada Tuhan melalui perantaraan Marapu.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 114: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

97

Sementara itu, dikatakan mengandung unsur magis karena melalui hati dan

usus ayam dapat diramalkan persetujuan Marapu terkait sesuatu hal yang dipinta

atau dimohonkan dalam ritual Urrata. Hal itu dieksplisitkan dalam tuturan Na’i

manu bowakahinna (Berilah petunjuk yang baik melalui ayam itu). Selain itu,

ayam yang sama juga digunakan untuk memberi sesajen kepada leluhur.

Pemberian ayam sebagai sesajen ini dilandasi oleh keyakinan bahwa selain

sebagai makanan Marapu, ayam tersebut juga merupakan toratagu Marapu

(milik Marapu).

Secara spiritual masyarakat Kabizu Beijello memiliki memiliki kebiasaan

memberi makan atau sesajen kepada Marapu. Masyarakat Kabizu Beijello yakin

bahwa orang yang meninggal akan berubah menjadi roh yang memiliki kekuatan

gaib yang biasa disebut Marapu. Konsekuensinya, masyarakat Kabizu Beijello

selalu memberikan makan kepada Marapu sebagai tanda hormat dan penghargaan

kepada Marapu sehingga apapun yang dimohonkan dapat direstui dan

disampaikan kepada Yang Ilahi. Sesaji merupakan sarana untuk memohon dan

meminta kepada Marapu. Sesaji yang biasanya disediakan dalam ritual

diantaranya dapat berupa ayam, babi, dan kerbau. Pemberian sesaji kepada

Marapu dieksplisitkan dalam data tradisi lisan berikut.

Data 6. R1/ESK9

Na’i wawi a bolo, na’i karambo a ia terewi

itu babi yang satu , itu kerbau yang satu peganglah

Peganglah babi dan kerbau itu

Kanga’apangaa , we’epaenundi

Agar menjadi makanan, agar menjadi minuman kalian

Agar menjadi makanan dan minuman kalian

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 115: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

98

Konteks:

Tuturan lisan di atas merupakan bagian dari data tradisi lisan pada ritual Saiso

peresmian rumah besar. Data tradisi lisan merupakan doa pengucapan syukur

kepada Marapu. Dalam do aitu, Ata Saiso menyampaikan kepada Marapu bahwa

masyarakat Kabizu Beijello telah menepati janji adat untuk melakukan syukuran

peresmian rumah besar. Dalam upacara syukuran ini dikurbankan babi dan

kerbau. Selain itu, disampaikan juga kepada Marapu bahwa masyarakat Kabizu

Beijello telah menyatakan persatuan dan solidaritas.

Kearifan lokal yang berwujud nyata pada 6 di atas adalah wawi (babi) dan

karambo (kerbau). Pada data ini terdapat dua gagasan dan pengetahuan lokal,

yakni (1) babi, dan kerbau digunakan untuk memberi sesajen kepada Marapu. Hal

itu dieksplisitkan pada tuturan kanga’a panga’a, we’e paenundi (agar menjadi

makanan dan minuman kalian). Pemberian babi dan kerbau sebagai sesajen ini

dilandasi oleh keyakinan bahwa selain sebagai makanan Marapu, kedua ekor

hewan tersebut juga merupakan milik Marapu. Dalam keyakinan Marapu apa

yang menjadi milik Marapu harus diberikan kepada Marapu. Keyakinan ini

tertuang dalam istilah tora tagu Marapu (sebagai makanan dan milik Marapu). (2)

Babi, dan kerbau memiliki fungsi magis. Fungsi ini tergambar dalam penggunaan

ayam, babi, dan kerbau untuk meramalkan suatu peristiwa. Namun, dalam

kenyataannya ayam yang paling sering digunakan. Sementara itu, babi dan kerbau

hanya akan digunakan dalam upacara-upacara adat skala yang besar. Terkait

dengan pemberian sesajen kepada Marapu, informan yang diwawancarai

memberikan kesaksian sebagai berikut.

Marapu itu harus dihormati. Walaupun Marapu itu tidak kelihatan,

tapi mereka mempunyai kekuatan-kekuatan ajaib yang dapat

memberikan kebahagiaan dan keselamatan kepada manusia. Hati

ayam dalam ritual adat merupakan makanan Marapu. Untuk menjaga

agar Marapu tidak tersinggung atau marah, maka Marapu harus diberi

makan. Dalam ritual-ritual adat Marapu yang harus diberi makan

duluan, tidak bisa kemudian. Marapu tidak boleh terlupakan. Bahkan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 116: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

99

Rato Marapu, setelah memeriksa usus dan hati ayam, mereka akan

meminta agar hati ayam segera dibakar untuk memberi makan kepada

Marapu. Mereka takut apabila lupa memberi makan kepada Marapu.

Tora tagudawi olumu. Nyakanda bullakandi. Ba bullakundi, bani

bada. Danna manotoba hetti padengi. Wa’i-wa’i awabage nemme

ndamawenna (Ayam ini merupakan milik Marapu, bagian Marapu.

Oleh karena itu, kita harus memberikan kepada Marapu apa yang

menjadi bagian dan milik Marapu. Apabila kita lupa memberi makan

kepada Marapu, mereka akan marah. Tidak akan berhasil apa yang

menjadi harapan dan kerinduan kita. Akan ada-ada saja halangan atau

kekacauan yang terjadi yang menyebabkan apa yang dimohonkan

tidak akan tercapai) (W/KKLMB/6).

Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam budaya

spiritual masyarakat Kabizu Beijello, pemberian sesajen kepada Marapu

merupakan suatu keharusan. Sesajen dimaknai sebagai bahan persembahan yang

merupakan tora tagu Marapu (bagian dan milik Marapu). Marapu telah

membantu manusia menyampaikan permohonan kepada Yang Ilahi. Oleh karena

itu, manusia wajib memberikan sesajen sebagai bentuk ucapan terimakasih kepada

Marapu. Sesajen itu dapat berupa hewan kurban seperti ayam, babi, dan kerbau.

Masyarakat Kabizu Beijello meyakini bahwa dengan memberi sesajen kepada

Marapu setiap permohonan yang telah dikabulkan dapat berjalan sesuai dengan

yang direncanakan dan berhasil.

4.2.1.2 Kearifan-Kearifan Lokal Berwujud Tidak Nyata (intangible)

1) Kearifan Lokal yang Berkaitan dengan Paralelisme

Tradisi lisan Teda dalam upacara Padede Uma Kalada, sebagaimana tradisi

lisan yang tergabung dalam rumpun bahasa Austronesia memiliki karakteristik

yang khas, yakni ditandai dengan adanya penggunaan pola-pola bahasa yang

berpasangan dengan konfigurasi nada yang indah sehingga dapat menimbulkan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 117: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

100

makna pada setiap baris dan baitnya. Hal ini sejalan dengan hasil temuan

Neonbasu (2016c: 88) bahwa proses dan dinamika berbahasa dalam pemahaman

masyarakat Sumba selalu mengambil pola berpasangan. Menurut Nesi (2018:

189) unsur-unsur yang berpasangan itu oleh para peneliti bahasa dan budaya

diistilahkan dengan diad atau speak in pairs, sebuah istilah yang dirujuk dari studi

linguistik Roman Jakobson tentang paralelisme atau kesejajaran unsur-unsur atau

pola-pola bahasa yang kadangkala sulit diterjemahkan ke dalam bahasa sasaran.

Paralelisme dalam tradisi lisan upacara Padede Uma Kalada dapat

diidentifikasikan sebagai suatu kearifan lokal yang berwujud tidak nyata

(intangible). Kalimat-kalimat dengan pola berpasangan dalam tuturan-tuturan

pada upacara Padede Uma Kalada itu mengandung gagasan lokal dan

pengetahuan lokal masyarakat Kabizu Beijello. Hal itu tampak pada data tuturan

lisan berikut.

Data 7. A1/ES1

Neti dari tana, batu ruta. Ini garuk tanah, cabut rumput

Di sini di rumah kecil.

Konteks:

Tuturan lisan di atas merupakan bagian dari tradisi lisan yang dituturkan oleh

Rato Uma Kalada Kabizu Beijello (pemimpin klan Kabizu Beijello) yang

ditujukan kepada Rato Uma Kii (tetua adat rumah kecil) pada tahap yapatekki

(pemberitahuan). Tahap Yapatekki merupakan tahap diskusi antara tetua adat

rumah besar dengan tetua adat rumah kecil. Tujuan dari diskusi itu adalah untuk

membahas terkait rumah besar yang telah mengalami pelapukan dan kerusakan.

Diskusi ini dilakukan di rumah kecil.

Paralelisme neti dari tana, batu ruta secara harafiah berarti ‘di sini di garuk

tanah, cabut rumput’. Tuturan dengan pola sejajar ini sesungguhnya memiliki

makna simbolik yang merujuk pada rumah kecil. Rumah kecil dimaksudkan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 118: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

101

bukan merujuk pada ukuran sebuah rumah berukuran kecil, tetapi merujuk pada

rumah dari masing-masing anggota Kabizu.

Masyarakat Kabizu Beijello dalam tuturan-tuturan adat selalu menyebut

rumah kecil dengan istilah dari tana, batu ruta untuk membedakannya dari rumah

besar dalam Kabizu Beijello. Pada zaman dahulu, masyarakat Kabizu Beijello

pada umumnya bermata pencaharian sebagai petani. Anggota Kabizu Beijello

akan pergi meninggalkan rumah besar dengan tujuan untuk berkebun yang

letaknya jauh dari rumah besar. Biasanya lahan yang dijadikan tempat berkebun

adalah lahan yang berada di pinggir hutan yang dekat dengan sumber mata air.

Dan di tempat ini pula anggota keluarga Kabizu Beijello akan mendirikan sebuah

rumah sebagai tempat tinggal permanen. Rumah itu yang kemudian dalam

tuturan-tuturan disebut dari tana, batu ruta. Hal ini terungkap dalam wawancara

dengan informan yang memberi kesaksian bahwa tuturan Neti dari tana, batu ruta

merujuk pada anggota-anggota Kabizu atau rumah dari masing-masing anggota

Kabizu. Mereka disebut dari tana, batu ruta (garuk tanah, cabut rumput) karena

mereka telah keluar dari rumah besar untuk berkebun dan memelihara hewan-

hewan ternak (W/KKLMB/7). Terkait dengan paralelisme sebagai kearifan lokal,

tampak pula pada data sebagai berikut.

Data 8. Q1/ESK8

Hetti yamme kaina kanna tutuke bama kako paelleta tollu,

Agar kami juga mempunyai cukup waktu untuk kami pergi mencari telur,

kanna tutuke bama elleta manu.

agar cukup waktunya kami mencari ayam

Agar kami juga mempunyai waktu yang cukup untuk bekerja keras

Konteks:

Tuturan lisan di atas merupakan bagian dari tradisi lisan pada pada tahap Saiso

perjanjian dengan Marapu. Masyarakat Kabizu Beijello memiliki tradisi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 119: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

102

memohon berkat, rahmat, dan perlindungan kepada Marapu. Dalam upacara

permohonan berkat ini, masyarakat Kabizu Beijello juga membuat perjanjian

dengan Marapu bahwa apabila sesuatu yang dimohonkan itu berhasil, maka akan

dibuatkan acara syukuran. Apabila perjanjian ini tidak ditepati diyakini bahwa

akan mendatangkan malapetaka. Perjanjian adat ini dilakukan melalui ritual

Urrata dan Saiso.

Kalimat dengan pola berpasangan pada data 8 di atas, yakni kanna tutuke

bama kako paelleta tollu, kanna tutuke bama kako paelleta manu (agar kami

mempunyai waktu yang cukup untuk kami pergi mencari telur, agar cukup

waktunya kami pergi mencari ayam) merupakan doa kepada Marapu. Dalam doa

itu, masyarakat Kabizu Beijello memohon agar segala usaha dan kerja keras dapat

membuahkan hasil. Hasil usaha dan kerja keras itu yang nantinya akan dibawa

sebagai bahan persembahan pada saat peresmian rumah besar sesuai dengan

perjanjian antara manusia dengan Marapu, yakni tujuh tahun, tujuh bulan dan

tujuh hari. Bahan persembahan pada kalimat dengan pola berpasangan di atas

ditunjukkan pada kata tollu (telur) dan manu (ayam).

Masyarakat Kabizu Beijello dalam praktik budaya, tollu dan manu seperti

yang ditunjukkan pada kalimat dengan pola berpasangan di atas, tidak hanya

merujuk pada telur dan ayam. Akan tetapi, termasuk juga bahan-bahan

persembahan yang dibawa oleh masyarakat Kabizu Beijello pada upacara

peresmian rumah besar seperti beras, kopi, gula, sirih, pinang, ayam, babi, dan

bahkan kerbau. Sesungguhnya, telah menjadi tradisi bahwa masyarakat Kabizu

Biejello dalam komunikasi-komunikasi yang bersifat resmi selalu terjalin dalam

dialog puitis yang penuh makna yang oleh masyarakat biasa atau orang-orang

yang berasal dari luar Sumba mengalami keruwetan dan adanya kemungkinan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 120: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

103

kesalahan penafsiran dalam mengungkap makna dibalik tuturan yang penuh

kiasan tersebut.

Masyarakat Kabizu Beijello meyakini bahwa Marapu hanya akan menolong

orang yang selalu menunjukkan perilaku hidup yang sesuai dengan kehendak

Marapu. Salah satu perilaku hidup yang dikehendaki oleh Marapu adalah harus

melakukan ritual memohon pengampunan apabila melakukan perbuatan yang

melanggar perintah Marapu. Hal itu ditunjukkan dalam paralelisme berikut.

Data 9. O2/ESK6

Lakkawa’ikunamme adirakapababa touna , aakitapaleira wekkina

Kendatipun ada yang beraib tubuhnya, berdosa badannya

Kendatipun ada yang memiliki aib dan dosa

Du kettekageole, du pagukawi pangngu

Janganlah ikat bersama, jangan simpul bergandeng

Janganlah engkau melibatkannya dengan kami

Konteks:

Tuturan lisan di atas merupakan bagian dari data tradisi lisan pada tahap Saiso

sebelum membuat loteng rumah. Data tradisi lisan tersebut dituturkan oleh Ata

Urrata dalam ritual Urrata. Data tradisi lisan ini merupakan doa kepada nenek

moyang. Dalam doa itu, masyarakat Kabizu Beijello memohon khidmat,

keselamatan, pengampunan dan keberhasilan kepada nenek moyang.

Tuturan dengan pola berpasangan pada data 9 di atas, yakni

lakkawa’ikunamme adirakapababa touna, aakitapaleira wekkina (kendatipun ada

yang beraib tubuhnya, berdosa badannya). Du kettekageole, du pagukawi pangngu

(Jangan ikat bersama, jangan simpul bergandeng) mengandung makna

pengampunan bagi anggota masyarakat Kabizu yang telah melanggar perintah

Marapu.

Berdasarkan konteks budaya yang melatari kedua tuturan paralel di atas

diketahui bahwa dalam budaya masyarakat Kabizu Beijello sebelum membuat

loteng rumah terlebih dahulu dilakukan ritual Saiso. Ritual Saiso dalam konteks

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 121: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

104

tuturan ini merupakan ritual untuk memohon perlindungan, keselamatan dan

keberhasilan pada saat membuat loteng rumah besar. Selain itu, dimaknai juga

sebagai ritual memohon pengampunan kepada Marapu untuk anggota Kabizu

yang telah melanggar perintah Marapu yang mendatangkan aib dan dosa. Hal itu

dilukiskan dalam tuturan lakkawa’ikunamme adirakapababa touna, aakitapaleira

wekkina (kendatipun ada yang beraib tubuhnya, berdosa badannya).

Ata Saiso meminta agar Marapu tidak memperhitungkan dosa atau aib

anggota keluarga Kabizu yang terlibat dalam proses membuat loteng rumah besar

meski hanya untuk sementara waktu. Hal ini tergambar pada tuturan du

kettekageole, du pagukawi pangngu (janganlah ikat bersama, jangan simpul

bergandeng). Apabila Marapu memperhitungkan dosanya, maka orang tersebut

akan mendapatkan malapetaka. Malapetaka tersebut diyakini masyarakat Kabizu

sebagai sebuah petaka untuk Kabizu. Dalam pandangan masyarakat Kabizu

Beijello, malapetaka yang dialami satu orang saja pada saat membangun Uma

Kalada diyakini sebagai pencemaran nama baik terhadap seluruh Kabizu.

2) Kearifan Lokal yang Berkaitan dengan Metafora

Masyarakat Sumba dan khususnya masyarakat Kabizu Beijello selalu

menggunakan metafora dalam ritual-ritual adat dan komunikasi-komunikasi yang

bersifat resmi seperti urusan perkawinan, kematian, pernikahan, perdagangan dan

menyelesaikan masalah tanah dan dalam ritual-ritual pembangunan rumah besar.

Hal ini diungkapkan Fox (1988, 1998, 2013) yang dikutip oleh Neonbasu (2016a:

113) bahwa gaya metafora adalah sebuah cara berbahasa yang sangat umum

dalam masyarakat yang berkategori dalam rumpun bahasa Austronesia termasuk

juga masyarakat Sumba.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 122: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

105

Metafora merupakan mekanisme yang lazim bagi penutur bahasa untuk

mendeskripsikan bermacam-macam peristiwa. Secara definitif, metafora adalah

mekanisme kognitif dalam memahami satu ranah pengalaman berdasarkan

struktur konseptual dari ranah pengalaman lain yang bertalian secara sistematis

(Mulyadi, 2014:96). Dalam konteks penelitian ini, makna yang terkandung dalam

tradisi lisan dalam upacara Padede Uma Kalada dapat diungkap atau disibak

dengan berpedoman pada ranah pengalaman dari terjemahan cermat dari tuturan-

tuturan dalam tradisi lisan dalam upacara Padede Uma Kalada kemudian

dihubungkan dengan konteks sosial dan budaya masyarakat Kabizu Beijello.

Melalui penghubungan itu dapat diungkapkan gagasan hidup yang dijadikan

pedoman bagi masyarakat Kabizu Beijello dalam membina kehidupan bersama

yang harmonis. Hal itu tampak pada data tradisi lisan pada upacara Padede Uma

Kalada sebagai berikut.

Data 10. A1/ES1

Nemme nakarewe ebana, nakarawuwe logena.

Di sana dia lapuk pinggangnya, dia berantakan rambutnya

Ini terkait badan rumah nenek moyang kita yang sudah lapuk kayunya, rusak

atapnya.

Tuta pomawo loddo, kada pomawo urra.

payung pelindung matahari, payung pelindung hujan

Rumah yang dapat memberikan kenyamanan, perlindungan, yang dapat

mempersatukan dan mendamaikan

Konteks:

Tuturan lisan di atas merupakan bagian dari tradisi lisan yang dituturkan oleh

Rato Uma Kalada Kabizu Beijello (pemimpin klan Kabizu Beijello) yang

ditujukan kepada Rato Uma Kii (tetua adat rumah kecil) pada tahap yapatekki

(pemberitahuan). Tahap Yapatekki merupakan tahap diskusi antara tetua adat

rumah besar dengan tetua adat rumah kecil. Tujuan dari diskusi itu adalah untuk

membahas terkait rumah besar yang telah mengalami pelapukan dan kerusakan.

Diskusi ini dilakukan di rumah kecil.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 123: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

106

Metafora Nakarewe ebana, Nakarawuwe logena (Di sana dia lapuk

pinggangnya, Dia berantakan rambutnya) pada data 10 di atas mengandung

makna metaforis, yakni merujuk pada rumah besar masyarakat Kabizu Beijello.

Sejatinya, setiap klan yang ada di Pulau Sumba, pada umumnya memiliki rumah

adatnya masing-masing yang biasa disebut dengan istilah Uma Kalada (rumah

besar). Uma Kalada (rumah besar) dalam hal ini bukan karena rumah tersebut

terkesan besar melainkan justru dari rumah besar itulah keturunan dari salah satu

Kabizu berbiak. Dalam hal ini, masyarakat Sumba memandang rumah besar

sebagai lambang asal usul. Artinya rumah besar dimaknai sebagai lambang

kehadiran nenek moyang yang telah melahirkan keturunan dari satu Kabizu.

Rumah besar merupakan rumah ayah dan sekaligus sebagai orang tua (leluhur)

yang telah melahirkan, menjaga dan merawat anak-anaknya. Kesadaran akan hal

itu, dalam tuturan-tuturan adat masyarakat Kabizu Beijello selalu menyebut

badan rumah sebagai pinggang nenek moyang (ebana) dan atap rumah sebagai

rambut nenek moyang (logena).

Rumah besar selain dipandang sebagai lambang kehadiran nenek moyang

yang telah melahirkan dan meneruskan keturunan dalam satu Kabizu, juga

memiliki peran sentral dalam memberikan perlindungan, kenyamanan, kerukunan

dan keharmonisan bagi seluruh anggota warga rumah (Kabizu), masyarakat, dan

alam raya. Hal itu tampak pada data 10, yakni pada metafora tuta pomawo loddo,

kada pomawo urra (payung pelindung dari matahari, payung pelindung dari

hujan). Metafora ini tidak hanya mau mengatakan bahwa rumah besar merupakan

tempat yang dapat memberikan perlindungan dari matahari dan hujan tetapi

mengandung pandangan dan gagasan lokal bahwa rumah besar merupakan tempat

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 124: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

107

perawatan relasi yang utuh dan harmonis bagi seluruh anggota warga rumah

(Kabizu), masyarakat dan alam semesta.

Selain metafora di atas, pada data di bawah ini juga terdapat metafora yang

memuat gagasan dan pengetahuan lokal masyarakat Kabizu Beijello yang seturut

dengan kehendak Marapu.

Data 11. K1/ES10

Natogola manairo bage, namawellita mawana bage

Sudah berhasil menyiangi sudah rampung anyaman

Proses penebangan kayu dan pemotongan tali telah berhasil dan berjalan

dengan lancar

Konteks:

Tuturan lisan di atas merupakan bagian dari data tradisi lisan pada tahap Saiso

pengucapan syukur atas keberhasilan penebangan pohon dan pemotongan tali di

hutan. Tuturan lisan ini merupakan doa yang ditujukan kepada roh-roh gaib yang

diyakini sebagai pemilik hutan. Doa itu tidak dituturkan tapi dinyanyikan. Dalam

doa itu Ata Saiso menyampaikan ucapan syukur kepada roh-roh gaib atas, izin,

pertolongan dan bantuan yang diberikan sehingga proses pengambilan material

bangunan dapat berhasil. Dalam doa itu pula, Ata Saiso memohon keselamatan

dan perlindungan kepada roh-roh gaib sehingga prosesi pengantaran material

bangunan ke tempat pembangunan rumah besar dapat berhasil.

Masyarakat Kabizu Beijello sejatinya merupakan masyarakat bertani. Dalam

kegiatan bertani, masyarakat Kabizu Beijello masih menggunakan alat bertani

tradisional, yakni menggunakan pacul atau cangkul untuk membersihkan dan

menyiangi kebun. Hasil dari kegiatan mencangkul dan menyiangi kebun

dikatakan berhasil apabila telah siap dipanen atau sudah dipanen yang dalam data

di atas dilukiskan pada tuturan natogola manairobage. Selain itu, masyarakat

Kabizu Beijello juga dikenal sebagai masyarakat kreatif yang menghasilkan

berbagai bentuk anyaman dari rotan, bambu dan daun pandan. Dalam bahasa

Wewewa, kerajinan tangan yang telah rampung dikenal dengan istilah

mawellitabana (sudah rampung).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 125: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

108

Dengan demikian, metafora natogola manairobage, namawellita

mawanabage (Sudah berhasil menyiangi, sudah rampung anyaman) pada data 11

di atas menggambarkan segala pekerjaan yang telah rampung atau berhasil.

Tuturan lisan di atas dituturkan dalam ritual Todi Kadawu. Ritual tersebut baru

dapat dilaksanakan apabila seluruh pekerjaan pengambilan material di hutan telah

selesai.

Untuk membangun rumah adat, masyarakat Kabizu Bejeillo membutuhkan

bahan-bahan berupa kayu dan tali yang berasal dari pohon berusia puluhan sampai

ratusan tahun. Bahan-bahan ini hanya diperoleh di hutan. Ketika proses

pengambilan bahan-bahan ini selesai maka harus diadakanlah ritual Todi Kadawu

yang oleh masyarakat setempat dimaknai sebagai ritual ‘tutup hutan’. Ritual ini

menggambarkan bahwa telah selesainya proses pengambilan material bangunan

rumah adat.

3) Kearifan Lokal yang Berkaitan dengan Syair

Syair dapat diklasifikasikan sebagai salah jenis puisi lama yang berasal dari

arab. Sebagai puisi lama, syair terikat oleh aturan-aturan tertentu, yakni pola

barisnya terdiri atas empat baris, dengan jumlah kata 4-6. Jumlah suku kata dalam

satu baris adalah 8-12. Pada pertengahan baris ada semacam perhentian yang

seakan-akan membagi dua baris yang sama pembagiannya, yakni dua atau tiga

priodesitet dengan bandingan jumlah kata 2:3 atau 3:2. Syair tidak memiliki

sampiran. Keseluruhan barisnya mengandung isi, dengan persajakan akhirnya

berbunyi sama, yakni aa-aa (Nesi, 2018: 182). Sejalan dengan pandangan ini,

KEMENDIKBUD (2012: 4) juga menjelaskan bahwa syair merupakan jenis puisi

lama yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut, yakni (1) setiap baitnya terdiri

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 126: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

109

atas empat larik, (b) mempunyai rima yang sama setiap lariknya, yaitu /a/-/a/-/a/-

/a/, (c) semua larik merupakan isi, biasanya tidak selesai dalam satu bait karena

digunakan untuk menyampaikan suatu cerita, (d) isinya berupa cerita yang

mengandung unsur rekaan belaka, mitos, sejarah, agama dan falsafah. Dengan

memperhatikan ciri-ciri syair ini, dalam tradisi lisan upacara pada Padede Uma

Kalada ditemukan juga syair. Hal itu tampak pada data berikut.

Data 12. P1/ESK7

Tadapadoudou-padoudoumu

Tandalah tempat kalian masing-masing

Tandalah tempat kalian masing-masing

Manu tadakowe reddetamu , wawi dukkikuwi rabamu

Ayam tandalah tempatmu, babi tandalah tempat makanmu

Ayam, babi tandalah tempatmu

Karambo tadakowe okamu , dara tadako gollumu

Kerbau tandalah kandangmu, kuda tandalah kandangmu

Kerbau, kuda tandalah kandangmu

Pawasse padoumu, pamatto padoumu

Anak mantu tanda tempatmu, Ibu mertua tandalah tempatmu

Anak mantu, ibu mertua tandalah tempatmu

Konteks:

Tuturan lisan di atas merupakan bagian dari tradisi lisan pada tahap Saiso

menempati rumah besar. Masyarakat Kabizu Beijello memiliki tradisi melakukan

ritual Saiso setelah rumah besar selesai dibangun kembali. Upacara ini bertujuan

meminta warga rumah, binatang peliharaan, Marapu dan Tuhan sebagai Wujud

Tertinggi untuk menempati kembali rumah besar yang baru selesai di bangun

tersebut. Selain itu, dalam upacara itu secara tidak langsung Rato Marapu

meminta kepada seluruh anggota warga rumah dan warga Kabizu untuk

menunjukkan perilaku hidup sesuai dengan peran dan kedudukannya masing-

masing. Hal itu demi terciptanya keharmonisan bersama. Upacara ini hanya

diikuti oleh masyarakat Kabizu Beijello.

Data 12 di atas, apabila ditinjau dari disiplin karya sastra lama Indonesia

memenuhi syarat sebuah syair. Setiap baris dalam bait tersebut tidak memiliki

sampiran. Keseluruhan barisnya merupakan isi. Pada pertengahan baris terdapat

semacam perhentian yang seolah-olah membagi baris tersebut menjadi dua bagian

yang sama pembagiannya, yakni 2:2 dan 3:3. Selain itu, jumlah kata pada setiap

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 127: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

110

baris terdiri atas 4-6 kata dan memiliki pola persajakan akhir bunyi yang sama

(a/a/a/a) serta terdiri atas empat baris.

Syair di atas dinyanyikan oleh Ata Saiso dalam ritual Saiso. Dalam

nyanyian itu, Rato Marapu memberitahukan kepada seluruh anggota warga

Kabizu dan warga rumah baik itu Marapu, Yang Ilahi, orang tua, anak-anak,

maupun hewan-hewan peliharaan, agar menempati kembali rumah tersebut sesuai

dengan tempat mereka masing-masing. Dalam data syair di atas pemberitahuan itu

dieksplisitkan pada tuturan baris 1, yakni tadapadoudou-padoudoumu (tandalah

tempat kalian masing-masing).

Tuturan di atas sejatinya memberikan gambaran nyata bahwa masyarakat

Kabizu Beijello memiliki rumah berbentuk panggung yang terdiri atas tiga bagian,

yakni bagian paling bawah biasa disebut kabu katonga atau gollu dana (kandang),

bagian tengah biasa disebut uma atau bei uma (bagian inti rumah), dan yang

paling atas biasa disebut uma dana (loteng rumah). Kabu katonga atau gollu dana

(kandang) merupakan tempat memelihara hewan, seperti babi, kuda, kerbau, sapi,

kambing. Uma atau bei uma (bagian inti rumah) merupakan tempat aktivitas

sosial kehidupan manusia, seperti memasak, bekerja, tempat untuk

bermusyawarah adat, dan tempat tidur. Sementara itu, uma dana (loteng rumah)

diyakini sebagai tempat yang sangat sakral, yakni tempat para Marapu (arwah

leluhur dan arwah sanak keluarga yang telah meninggal), tempat penyimpanan

benda-benda keramat yang merupakan warisan leluhur dan tempat penyimpanan

bahan-bahan makanan, seperti padi, jagung, pinang, pisang yang diperam, kacang,

garam, bawang, dan bahan-bahan makanan lainnya.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 128: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

111

Filosofi rumah masyarakat Kabizu Beijello, rumah bukan sekedar tempat

bernaung dari hujan dan panas tetapi rumah merupakan mikrokosmos dari

dunia yang makro kosmos. Oleh karena itu rumah masyarakat Kabizu Beijello

dibagi menjadi tiga bagian: yaitu bagian paling bawah kabu katonga atau gollu

dana (kandang), bagian tengah uma atau bei uma (bagian inti rumah), dan yang

paling atas biasa disebut uma dana atau toko uma (loteng rumah). Bagian yang

paling atas itu dimaknai sebagai simbol alam oleh masyarakat Kabizu Beijello.

Selanjutnya, pada baris 2 dan 3 data 12 terdapat tuturan manu tadakowe

reddetamu, wawi dukkikuwi rabamu (ayam, babi tandalah tempatmu). Karambo

tadakowe okamu, dara tadako gollumu (Kerbau, kuda tandalah kandangmu).

Kedua tuturan ini memberikan gambaran bahwa pada rumah adat masyarakat

Kabizu Beijello terdapat tempat-tempat khusus untuk hewan seperti ayam, babi,

kuda dan kerbau. Hal itu ditunjukkkan pada kata reddeta, raba, oka, dan dara.

Reddeta merupakan tempat bertenggernya ayam yang biasanya berada di bagian

rumah paling belakang di atas kandang kerbau. Raba merupakan tempat makan

babi. Babi biasanya dilepas di kandang bagian dapur (kerepadalu). Oka adalah

tempat kerbau diikat atau dilepas berupa kandang yang luas yang terletak di

bagian belakang rumah utama. Sementara itu, gollu secara umum artinya

kandang, namun dalam hal ini merupakan tempat kuda diikat, yakni di bagian

bawah pintu utama.

Tuturan pada baris 2 dan 3 data 12 di atas, sesungguhnya tidak hanya

bertujuan untuk meminta hewan-hewan tersebut untuk menempati tempat mereka

masing-masing. Akan tetapi, pada tuturan-tuturan itu mengandung gagasan lokal,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 129: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

112

yakni agar setiap anggota Kabizu mengetahui asalnya, siapa nenek moyangnya,

dimana rumahnya dan bagaimana jati diri serta identitas diri nenek moyang yang

harus dijadikan sebagai contoh, pedoman dan pegangan hidup dalam membina

kehidupan bersama yang harmonis.

Sementara itu, pada baris 4 data 12 di atas terdapat tuturan pawasse

padoumu, pamatto padoumu. Pada tuturan ini Rato Marapu meminta menantu dan

mertuanya untuk menempati tempat mereka masing-masing. Tuturan ini

memberikan gambaran nyata bahwa pada rumah masyarakat Sumba terdapat

tempat khusus untuk menantu dan mertua. Tempat itu dipisahkan oleh rabuka

(tempat masak). Tempat khusus untuk mertua disebut padou erri (tempat

keramat), yakni tempat sebelah rabuka.

Wilayah padou erri berkisar dari tiang agung sampai pada kamar orang tua

yang biasa disebut koro erri (kamar keramat). Dalam tradisi masyarakat Kabizu

Beijello, menantu tidak boleh melakukan aktivitas apapun di padou erri. Apalagi

di koro erri anak mantu sangat dilarang untuk melakukan aktivitas atau memasuki

kamar tersebut. Masyarakat Kabisu Beijello meyakini bahwa padou erri

merupakan wilayah leluhur. Sementara itu, koro erri diyakini sebagai tempat

leluhur dan benda-benda keramat yang merupakan warisan leluhur. Benda-benda

keramat tersebut hanya bisa disentuh oleh mertua dan anak laki-lakinya yang

ditunjuk oleh Marapu. Apabila seseorang yang tidak dipercaya oleh Marapu

menyentuh benda-benda tersebut, maka akan terjadi peristiwa-peristiwa aneh yang

diluar nalar manusia, seperti badan orang tersebut bengkak dengan sendirinya,

mata menjadi buta, dan orang itu akan berputar-putar di dalam kamar itu secara

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 130: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

113

tidak sadar. Bertolak dari keyakinan itu padou erri dan koro erri dipandang

sebagai tempat keramat. Oleh karena itu, menantu dilarang beraktivitas atau

memasuki koro erri dan padou erri.

4) Kearifan Lokal yang Berkaitan dengan Petuah

Petuah merupakan nasihat-nasihat, ajaran dan wejangan yang bersifat arif

dan bijaksana dari orang-orang tua dan orang-orang alim atau bijak yang dapat

dijadikan sebagai pegangan, petunjuk dan pedoman dalam kehidupan bersama.

Sejalan dengan ini, Nesi (2018: 182) mengungkapkan bahwa petuah bersinonim

dengan wejangan, yakni sejenis pidato yang berisi petunjuk-petunjuk dan dasar-

dasar kesusilaan dan moral sebagai acuan dalam bersikap dan bertindak.

Masyarakat Kabizu Beijello dalam kehidupan sosial selalu menggunakan petuah

untuk memberikan nasihat, wejangan, himbauan, dan amanat kepada anak-anak

atau anggota keluarga Kabizu. Petuah selalu dikemas dalam bentuk kiasan untuk

memperhalus tuturan. Selain itu, tuturan tersebut menjadi sarat nilai, makna, dan

bernas. Pengungkapan dengan bahasa kiasan diyakini memiliki ‘roh’ atau daya

yang menggugah rasa pendengar.

Berdasarkan hasil identifikasi data, tradisi lisan dalam upacara Padede Uma

Kalada ditemukan tiga bentuk petuah atau wejangan, yakni petuah untuk

memelihara persatuan, petuah untuk menghaturkan terima kasih atau syukur, dan

petuah untuk bekerja keras. Petuah-petuah tersebut dapat dideskripsikan sebagai

berikut.

Data 13. F3/ES4

Kada’ikana a lera eka bei, a kedu eka ana

Agar tidak ada yang terbang lain ibu, yang lari lain anak

Agar kita selalu membina semangat persatuan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 131: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

114

Katta pasamana ate, katta pamerana wiwi.

Agar kita menyamakan hati, agar kita memerahkan bibir

Agar kita selalu satu hati, satu suara.

Konteks:

Tuturan lisan di atas merupakan bagian dari tradisi lisan pada tahap musyawarah

satu keluarga besar Kabizu Beijello di rumah besar (rumah adat). Tuturan lisan

tersebut dituturkan oleh tetua adat yang menjaga rumah besar. Tetua adat itu

merupakan pemimpin klan Beijello. Musyawarah yang diadakan di rumah besar

ini merupakan musyawarah terakhir sebagai penentu keputusan dan sekaligus

pembagian tugas pembangunan rumah besar. Musyawarah ini diikuti oleh tetua

adat rumah besar, tetua-tetua adat rumah kecil dan anggota-anggota Kabizu

Beijello yang mempunyai pemikiran yang luas, cakap, berani dan berjiwa

kepemimpinan. Dalam musyawarah itu, tetua adat menghimbau agar seluruh

anggota keluarga selalu bersatu, sehati, sesuara demi suksesnya pembangunan

rumah besar.

Petuah kada’ikana a lera eka bei, a kedu eka ana pada data 13 di atas secara

harafiah memiliki arti ‘jangan ada yang terbang ke lain ibu, jangan ada yang lari

ke lain anak’. Berdasarkan konteks tuturan, kata Ibu merujuk pada pemimpin klan

dan kata anak merujuk pada anggota masyarakat Kabizu Beijello. Tuturan ini

merupakan himbauan kepada warga masyarakat Kabizu Beijello agar tidak

membelot kepada pemimpin klan yang lain. Begitu pula halnya pemimpin klan

Kabizu Beijello agar tidak membelot kepada warga Kabizu lain. Pesan yang

hendak disampaikan dalam petuah ini adalah agar masyarakat Kabizu Beijello

tidak tercerai berai, melainkan selalu bersatu demi terwujudnya kesuksesan

pembangunan rumah besar.

Petuah kedua, yakni katta pasamana ate, katta pamerana wiwi pada data

tradisi lisan 13 di atas secara harafiah memiliki arti agar kita menyamakan hati,

agar kita memerahkan bibir. Dalam konteks tuturan ini, masyarakat Kabizu

Beijello memiliki pemahaman bahwa menyamakan hati bukan berarti memiliki

hati yang sama melainkan suatu wejangan untuk selalu sehati (agar kita

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 132: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

115

menyamakan hati). Sementara itu, tuturan memerahkan bibir bukan berarti

membuat bibir menjadi merah melainkan satu suara. Secara keseluruhan, kedua

petuah di atas memberikan wejangan agar seluruh anggota keluarga Kabizu

Beijello bersatu hati, bersatu suara, seia-sekata dalam mendukung dan

melaksanakan kesepakatan dalam musyawarah tersebut demi suksesnya

pembangunan rumah besar.

Masyarakat Kabizu Beijello dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari

senantiasa berusaha untuk bekerja keras sehingga membuahkan hasil yang

memuaskan. Oleh karena itu, setiap orangtua selalu menasehati anaknya untuk

bekerja keras. Nasehat itu tampak pada data berikut.

Data 14. Q1/ESK8

Banna batuku ruta , banna dariku tana

apabila dia mencabut rumput, apabila dia menggaruk tanah

Apabila dia bekerja keras agar membuahkan hasil

Banna pennikowa manu, kamanuamapennikia

Apabila dia memelihara ayam, agar dapat berkembang biak menjadi banyak

Apabila dia memelihara ayam, agar dapat berkembang biak menjadi banyak

Banna tauku wawi, kawawiamataukia

Apabila dia memelihara babi, agar dapat berkembangbiak dengan baik

Apabila dia memelihara babi, agar dapat berkembangbiak dengan baik

Kanna dadige padadi , kanna timbuge patimbu

Agar tumbuh yang tumbuh, agar hidup yang hidup

Agar bertumbuh dan berkembangbiak dengan baik semua hasil usaha dan

kerja keras

Konteks:

Tuturan lisan di atas merupakan bagian dari tradisi lisan pada pada tahap Saiso

perjanjian dengan Marapu. Masyarakat Kabizu Beijello memiliki tradisi

memohon berkat, rahmat, dan perlindungan kepada Marapu. Dalam upacara

permohonan berkat ini, masyarakat Kabizu Beijello juga membuat perjanjian

dengan Marapu bahwa apabila sesuatu yang dimohonkan itu berhasil, maka akan

dibuatkan acara syukuran. Apabila perjanjian ini tidak ditepati diyakini bahwa

akan mendatangkan malapetaka. Perjanjian adat ini dilakukan melalui ritual

Urrata dan Saiso. Selain itu, dalam upacara ini terdapat wejangan agar

masyarakat Kabizu Beijello selalu bekerja keras. Upacara Saiso ini diikuti oleh

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 133: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

116

tetua adat rumah besar, tetua adat rumah kecil dan utusan dari masing-masing

anggota rumah kecil.

Tuturan-tuturan lisan pada data 14 di atas merupakan doa kepada Marapu

untuk memohon berkat atas setiap usaha yang dilakukan oleh masyarakat Kabizu

Beijello. Meskipun ini merupakan bentuk doa kepada Marapu, tetapi juga

merupakan wejangan kepada warga Kabizu Beijello untuk harus bekerja keras

dalam berkebun, memelihara ayam, dan memelihara babi ‘batuku ruta, dariku

tana, tauku wawi, pennikowa manu’. Bagi masyarakat Kabizu Beijello, doa yang

tidak diikuti dengan kerja keras merupakan hal yang mustahil. Dengan demikian,

tuturan-tuturan di atas hendak memberikan wejangan untuk senantiasa bekerja

keras sesuai dengan profesi yang digeluti masing-masing anggota Kabizu Beijello.

Pekerjaan-pekerjaan yang ditekuni dengan penuh kerja keras akan memperoleh

hasil yang memuaskan. Hal ini tergambar dalam tuturan kanna dadige padadi,

kanna timbuge patimbu yang berarti agar tumbuh dan berkembang biak dengan

baik hasil usaha dan kerja keras. Hasil yang diperoleh itu kemudian dapat menjadi

bahan persembahan pada saat menepati perjanjian dengan Marapu, yakni pada

saat upacara syukuran menempati rumah besar.

Pemberian persembahan kepada Marapu merupakan salah satu bentuk

ucapan terima kasih dan syukur atas usaha dan kerja keras. Perilaku ini menjadi

wujud pelaksanaan wejangan untuk menghaturkan ucapan terima kasih atau

syukur yang tergambar dalam data berikut.

Data 15. M1/ES11

Pamalangiwa inna, paosawa ama

Terimakasih kepada ibu, syukur kepada bapak

Terimakasih dan syukur kepada rumah besar dan leluhur

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 134: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

117

Konteks:

Tuturan di atas merupakan bagian dari tradisi lisan dalam upacara Woleka pada

tahap pembongkaran rumah lama. Tuturan di atas dinyanyikan oleh Ata Saiso

dengan diiringi gong dan tambur. Upacara Woleka dimaknai sebagai upacara

pengucapan syukur dan terimakasih kepada nenek moyang dan rumah besar yang

telah melindungi, memayungi, mempersatukan dan memberikan kenyamanan

serta kedamaian. Upacara ini dilaksanakan dengan penuh sukacita dan

kegembiraan.

Tuturan pamalangiwa inna, paosawa ama (terimakasih kepada Ibu, syukur

kepada Bapak) pada data 15 di atas mengandung petuah yang selalu digunakan

oleh orangtua ketika memberikan wejangan kepada anak-anak. Adapun petuah itu,

pamalangikia Inamu, paosakiwa Amamu yang memiliki makna jangan lupa

mengucapkan terimakasih dan syukur kepada Ina (ibu) dan Ama (Bapak) serta

kepada setiap orang yang telah memberikan pertolongan dan bantuan.

Berdasarkan konteks data, masyarakat Kabizu Beijello terlebih dahulu harus

melakukan upacara woleka (syukur) sebelum membongkar rumah lama yang

kemudian akan dibangun kembali. Masyarakat Kabizu Beijello memaknai upacara

woleka sebagai upacara pengucapan syukur dan terimakasih kepada ‘Ibu’ dan

‘Bapak’ yang merujuk pada nenek moyang dan roh-roh yang mendiami rumah

besar dan rumah yang akan dibongkar. Dalam kaitan dengan petuah di atas,

hendak mengiaskan nasihat atau wejangan yakni jangan lupa untuk mengucap

terimakasih dan syukur kepada nenek moyang dan rumah yang diyakini telah

melindungi, menolong dan menganugerahkan berkat kepada anggota keluarga

yang mendiami rumah besar dan seluruh keluarga besar Kabizu Beijello.

5) Kearifan Lokal yang Berkaitan dengan Mantra

Mantra adalah salah satu jenis puisi lama yang merupakan perwujudan dari

sistem religi dan kepercayaan yang dianut oleh suatu masyarakat yang di

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 135: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

118

dalamnya berupa doa-doa atau ucapan-ucapan yang memiliki kekuatan gaib

dengan maksud dan tujuan tertentu. Dalam hal ini, dapat berupa maksud yang

baik dan maksud buruk. Maksud baik, misalnya dapat memperoleh keselamatan,

kesembuhan dari penyakit, keberhasilan dan kesuksesan dalam pekerjaan.

Sementara itu, maksud buruk, misalnya menyakiti atau mencelakai orang lain dan

balas dendam. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Hamidin (2016) bahwa

mantra merupakan puisi tua, keberadaannya dalam masyarakat melayu pada

mulanya bukan sebagai karya sastra, melainkan lebih banyak berkaitan dengan

adat dan kepercayaan. Mantra adalah ucapan-ucapan yang dianggap memiliki

kekuatan gaib.

Mantra dalam konteks penelitian ini adalah doa-doa dan ucapan-upacan

yang dituturkan oleh Ata Urrata atau Rato Marapu yang ditujukan kepada roh-roh

yang mendiami hutan dengan maksud untuk memohon izin. Hal itu dilukiskan

dalam data tradisi lisan Teda pada ritual urrata pada tahap penebangan pohon dan

pemotongan tali di hutan sebagai berikut.

Data 16. J1/ES9

Ka dara pa kaloga ma , ka tena pa magawa ma

Agar seperti kuda yang bebas kami , agar seperti sampan yang leluasa kami

Agar kami seperti kuda yang bebas, agar kami seperti sampan yang leluasa

Agar kami diberi kebebasan dan keleluasaan

Dappalaka kama karingge, dappa lodakama kalerre

Janganlah palang kayu, janganlah menarik tali

Janganlah menghalangi kami

Newe mandoke toramu a erri ,

Di sini, peganglah bagianmu yang pemali,

mandokiwe tunggamu a poddu genggamlah milikmu yang sakral

Awasilah tempat yang pemali dan sakral agar orang leluasa bergerak

Newe bamma kalolakowa wawi,

Di sini jika kami berburu babi,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 136: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

119

kamma kolekina wawi apa ulle agar kami mendapatkan babi yang bertaring

Sehingga, pada saat kami menebang pohon, kami mendapat pohon yang

berkualitas dan berteras

Bamma gesakowa kedu, kamma kolekina kedu apa dari

Jika kami mengejar kera, agar kami mendapatkan kera yang berjenggot

Sehingga pada saat kami memotong tali kami mendapatkan tali yang kuat

Kada’ikana windararawiti, tunduraradeida

Agar tidak ada jari terhalang, kaki terantuk

Agar tidak ada halangan dan rintangan

Konteks:

Tuturan lisan di atas merupakan bagian dari tradisi lisan dalam ritual Urrata pada

tahap penebangan pohon dan pemotongan tali di hutan. Data tradisi lisan ini

merupakan doa yang mengandung makna permohonan izin kepada roh-roh yang

diyakini sebagai pemilik hutan, padang, kali dan tanah. Dalam ritual ini,

masyarakat Kabizu Beijello memberikan sesajen berupa satu anak ayam, satu butir

telur, kapas, tembakau, sirih, pinang dan serpihan emas atau perak. Perkenanan

dan persetujuan roh-roh yang mendiami hutan tersebut dapat diramalkan atau

dilihat oleh Ata Urrata (imam Marapu) melalui usus ayam, hati ayam dan hati

babi.

Mantra pada data 16 di atas mengandung pesan kebijaksanaan, yakni

menjaga keseimbangan dan keharmonisan dengan roh-roh gaib akan menghantar

manusia pada keselamatan, keberhasilan dan keberkatan dalam hidup. Cara untuk

menjaga harmonisasi dengan roh-roh gaib adalah menunjukkan perilaku hidup

yang sesuai dengan yang dikehendaki roh-roh gaib.

Masyarakat Sumba khususnya masyarakat Kabizu Beijello menganut

kepercayaan animisne. Soeriadiredja (2016:10) mengungkapkan bahwa

masyarakat Sumba percaya akan adanya suatu kekuatan sakti dalam alam yang

dapat menyusahkan hidup manusia, tetapi dapat digunakan bila dikendalikan

dengan ilmu gaib. Misalnya dengan cara mempelajari mantra-mantra. Mantra di

atas dituturkan oleh Ata Urrata dengan tujuan untuk memohon izin kepada roh-

roh yang berdiam di hutan tertentu. Mereka percaya bahwa hutan tersebut

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 137: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

120

mempunyai pemiliknya sehingga segala aktivitas seperti menebang pohon,

memotong tali dan kayu, serta melukai tanah perlu mendapatkan izin dari yang

empunya. Untuk memperoleh izin tersebut masyarakat Kabizu Beijello

melaksanakan ritual Urrata.

Ata urrata dalam ritual urrata akan mengucapkan mantra dengan

menggunakan bahasa yang estetis dan penuh dengan kiasan. Tujuannya adalah

untuk menjaga kesopansantunan dalam berkomunikasi dengan roh gaib sehingga

permohonan izin dapat berkenan di hati roh gaib. Seiring dengan itu pula,

masyarakat akan diperkenankan untuk memasuki hutan dan diberi kewenangan

untuk memotong tali dan kayu. Hal itu ditunjukkan pada metafora ka dara

pakalogama, ka tena pamagawama. Secara cermat, tuturan ini berarti ‘agar kami

seperti kuda yang bebas, agar kami seperti sampan yang leluasa’. Masyarakat

Kabizu Beijello memiliki pemahaman bahwa kuda apabila diikat, maka kuda itu

tidak akan bebas mencari dan memakan rumput. Sama halnya, apabila sampan

diikat, maka sampan tersebut tidak akan leluasa mengarungi lautan. Makna yang

terkandung dalam tuturan ini adalah masyarakat Kabizu Beijello memohon izin

agar diberi keleluasaan dan kebebasan untuk mencari dan menebang serta

memotong kayu dan tali.

Tuturan dappalaka kama karingge, dappa lodakama kalerre (janganlah

palang kayu, janganlah menarik tali) pada mantra di atas merupakan salah satu

bentuk metafora yang berhubungan dengan pemahaman masyarakat Kabizu

Beijello bahwa pada zaman dahulu kampung hanya memiliki satu pintu dan selalu

dikelilingi oleh pagar batu. Pintu ini selalu ditutup dengan menggunakan kayu. Di

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 138: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

121

bagian luar pintu masuk kampung terdapat pula tugu yang diyakini sebagai

lambang kehadiran Marapu Binna, yakni Marapu yang menjaga pintu kampung

dari luar. Selain itu, masyarakat Kabizu Beijello memiliki kebiasaan melakukan

ritual karaki wanno, yakni ritual melindungi atau menjaga kampung dari berbagai

bahaya dari luar. Apabila ada orang jahat yang hendak memasuki kampung, orang

jahat itu tidak akan melihat kampung tersebut, tetapi yang dilihat adalah gunung,

hutan atau lautan. Atas dasar pemahaman itu, masyarakat Kabizu Beijello dalam

ritual permohonan izin di hutan menggunakan metafora ‘Janganlah palang kayu,

janganlah menarik tali’ yang memiliki makna bukakanlah kami pintu, janganlah

menghalangi kami, berilah kami izin untuk mencari, menebang kayu dan

memotong tali.

Ritual permohonan izin dimaknai oleh masyarakat Kabizu Beijello sebagai

wujud menjaga keharmonisan dengan roh gaib. Masyarakat Kabizu Beijello

meyakini bahwa apabila ritual ini tidak dilakukan, maka akan ada malapetaka

yang terjadi dan tidak akan mendapat kayu serta tali. Dengan demikian, rencana

pengambilan material di hutan untuk bangunan rumah adat tidak akan berhasil.

Namun, jika ritual tersebut dilakukan maka masyarakat Kabizu Beijello akan

memperoleh keberhasilan dan kesuksesan dalam proses penebangan pohon dan

pemotongan tali. Hal ini ditunjukkan pada 2 metafora pada data 16 di atas, yakni

(1) newe bamma kalolakowa wawi, kamma kolekina wawi apa ulle. (2) Bamma

gesakowa kedu kamma kolekina kedu apa dari. Kedua tuturan metaforis ini

mengandung makna memohon kepada Marapu agar diberi kemudahan dalam

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 139: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

122

seluruh proses penebangan, pengumpulan dan pengambilan material bangunan

sehingga proses tersebut dapat berjalan lancar.

Roh gaib dalam konteks data ini merupakan makhluk halus yang menjadi

penghuni hutan, batu-batu besar dan gua-gua. Roh-roh gaib itu ada yang baik dan

ada pula yang jahat. Salah satu contoh roh jahat itu adalah Marapu Tana yang

selalu mengganggu manusia sehingga sangat ditakuti. Oleh karena itu, masyarakat

Kabizu Beijello juga memohon bantuan kepada roh yang baik untuk menghalau

roh jahat sehingga proses penebangan pohon dapat berhasil. Hal itu seperti yang

dilukiskan pada data 16 di atas, yakni pada tuturan newe mandoke toramu a erri,

mandokiwe tunggamu a poddu (di sini, peganglah bagianmu yang pemali,

genggamlah milikmu yang sakral). Kada’ikana windararawiti, tunduraradeida

(Agar tidak ada jari terhalang, kaki terantuk). Tuturan ini mengandung makna

bahwa masyarakat Kabizu meminta perlindungan dari roh yang baik agar

dibebaskan dari tempat-tempat keramat yang dihuni oleh roh yang jahat.

6) Kearifan Lokal yang Berkaitan dengan Ideologi

Ideologi berasal dari kata idea yang berarti ide dan logos yang berarti

pengetahuan. Secara etimologis ideologi berarti pengetahuan tentang ide. Ideologi

berkaitan dengan sistem budaya tertentu yang terbentuk oleh elemen-elemen

budaya seperti agama atau sistem kepercayaan, pandangan hidup, tradisi atau

adat-istiadat, sistem sosial-ekonomi dan lingkungan alam geografis (Hidayat,

2007:34).

Berdasarkan pandangan di atas, ideologi dalam konteks penelitian ini adalah

seperangkat ide dan keyakinan yang dianut oleh masyarakat Kabizu Beijello yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 140: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

123

dijadikan sebagai pijakan, pegangan dan pedoman dalam bertindak, menegakkan

norma, moral, nilai dan adat istiadat. Konsep ideologi dalam penelitian ini hadir

dalam bentuk tradisi lisan sebagaimana tampak pada data tradisi lisan sebagai

berikut.

Data 17. F2/EK1

Peidawe newe akarewe ebana, a karawu logena

Kita mengapakan ini yang lapuk pinggangnya, yang berantakan rambutnya

Kita mengapakan badan rumah nenek moyang kita yang sudah lapuk kayunya

dan rusak atapnya?

Newe ina, newe ama

Ini ibu, ini bapak

Ini rumah nenek moyang kita

Konteks:

Tuturan lisan di atas merupakan bagian dari tradisi lisan pada tahap musyawarah

satu keluarga besar Kabizu Beijello di rumah besar (rumah adat). Tuturan lisan

tersebut dituturkan oleh tetua adat yang menjaga rumah besar. Tetua adat itu

merupakan pemimpin klan Beijello. Musyawarah yang diadakan di rumah besar

ini merupakan musyawarah terakhir sebagai penentu keputusan dan sekaligus

pembagian tugas pembangunan rumah besar. Musyawarah ini diikuti oleh tetua

adat rumah besar, tetua-tetua adat rumah kecil dan anggota-anggota Kabizu

Beijello yang mempunyai pemikiran yang luas, cakap, berani dan berjiwa

kepemimpinan. Dalam musyawarah itu, tetua adat menghimbau agar seluruh

anggota keluarga selalu bersatu, sehati, sesuara demi suksesnya pembangunan

rumah besar.

Masyarakat Kabizu Beijello memandang Marapu sebagai landasan

berpikir, pegangan dan pedoman hidup dalam bertutur kata dan bertingkah laku.

Marapu mempunyai tata nilai mendasar dan aturan-aturan yang dijadikan sebagai

pedoman dalam berperilaku. Aturan-aturan itu bersifat mengikat sehingga tidak

boleh dilanggar. Pelanggaran diyakini sebagai petaka. Tata nilai dan aturan-aturan

dalam kepercayaan Marapu itu seluruhnya diarahkan kepada kebaikan hidup

manusia. Apabila manusia menunjukkan sikap taat dan patuh pada aturan-aturan

itu, tentu manusa akan mendapatkan berkat.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 141: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

124

Marapu sebagai pedoman dan pegangan hidup masyarakat Kabizu Beijello

dinyatakan dalam wujud benda simbolik, yakni rumah adat. Ideologi yang

mendasari gagasan itu adalah masyarakat Kabizu Beijello memandang dan

memahami rumah besar atau rumah adat sebagai lambang kehadiran Marapu.

Rumah besar dipandang bukan sebagai bangunan yang mati melainkan bangunan

yang hidup karena di dalamnya berdiam atau menjadi tempat tinggal roh-roh

nenek moyang yang disebut Marapu. Kesadaran bahwa rumah besar merupakan

lambang kehadiran Marapu, maka rumah besar selalu dimetaforakan sebagai

Marapu, yang pada data 17 di atas badan rumah dimetaforan sebagai pinggang

Marapu (ebana) dan atap rumah dilambangkan sebagai rambut Marapu (logena).

Rumah besar sungguh-sungguh merupakan lambang kehadiran Marapu.

Bukti dari itu, masyarakat Kabizu Beijello dalam tuturan-tuturan adat selalu

menyebut rumah besar sebagai ‘Ibu’ dan ‘Bapak’. Hal itu tampak pada data 17 di

atas, yakni newe Ina, newe Ama (Ini Ibu, ini Bapak). Tuturan ini membuktikan

bahwa rumah besar adalah Marapu yang diyakini sebagai sumber keselamatan,

keberkatan hidup dan sekaligus sebagai penghubung antara manusia dengan Yang

Ilahi. Kehilangan rumah besar sama dengan kehilangan Marapu, kehilangan

pedoman dan pegangan hidup, nilai-nilai, sejarah Kabizu, hukum adat, jati diri

serta identitas diri Kabizu. Oleh karena itu, apabila rumah besar mengalami

pelapukan atau kerusakan maka harus segera dibangun ulang. Hal itu yang

dibicarakan dalam konteks data 17 di atas, yakni tetua adat yang memimpin

musyawarah mengatakan “Kita mengapakan badan rumah nenek moyang kita

yang sudah lapuk kayunya dan rusak atapnya? Saya berpikir agar segera

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 142: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

125

dibongkar dan dibangun ulang ”. Dalam wawancara dengan informan terkait

dengan ideologi yang melandasi gagasan pada tuturan di atas diberi kesaksian

sebagai berikut.

Rumah besar itu dipandang sebagai Marapu, sebagai lambang kehadiran

Marapu. Rumah adat itu, bentuknya memang rumah tapi karena di sana

tempat tinggal roh-roh nenek moyang (Marapu), maka rumah adat

dipandang sebagai nenek moyang. Dipandang sebagai ina, ama (Ibu,

Bapak). Rumah adat itu dipandang sebagai nenek moyang yang tinggal di

sana. Nenek moyang yang merupakan kunci kehidupan masyarakat

Kabizu. Kehilangan rumah adat, sama halnya dengan kehilangan Marapu,

kehilangan pedoman hidup dan jati diri Kabizu. Dengan tidak adanya

Uma Kalada, Kabizu itu menjadi tidak nampak dalam masyarakat.

Menjadi Kabizu yang tidak diperhitungkan atau yang kehilangan arah

hidup dan harga dirinya (W/KKLMB/8).

Lambang kehadiran Marapu tidak hanya dalam bentuk rumah besar tetapi

juga dalam wujud gong dan tambur. Dalam konteks penelitian ini wujud

kehadiran Marapu dalam rupa gong dan tambur dilukiskan dalam data tradisi

lisan Teda berikut.

Data 18. N1/EK2

Waikobatallawi indatallaki Walaupun kelihatannya ini gong tapi bukan gong

Walaupun kelihatannya ini gong tapi bukan gong

waikobabeduwi indabeduki

walaupun kelihatannya ini tambur tapi bukan tambur

Walaupun kelihatannya ini tambur tapi bukan tambur

Li’ikawulagundi , li’ikaaulagundi

Mereka adalah suara yang memanggil Mereka adalah suara yang

mengundang

Tapi ini adalah suara yang memanggil dan mengundang seluruh keluarga

besar untuk menyatakan dukungan dan solidaritas

Konteks:

Data ini merupakan bagian dari data tradisi lisan pada tahap Saiso sebelum

pendirian tiang. Data tradisi lisan itu merupakan doa yang dituturkan oleh Ata

Saiso. Dalam doa itu, Ata Saiso memohon kepada Marapu agar dianugerahi

perlindungan, keselamatan, dan berkat sehingga proses pembangunan tiang dapat

berjalan lancar dan sukses. Selain sebagai doa, bunyi gong dan tambur dimaknai

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 143: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

126

sebagai suara nenek moyang yang mengundang anggota Kabizu untuk

menyatakan dukungan dan solidaritas.

Ideologi yang mendasari tuturan lisan pada data 18 di atas adalah

masyarakat Kabizu Beijello meyakini bahwa gong dan tambur bukan hanya

sekedar sebagai alat musik. Akan tetapi, gong dan tambur merupakan lambang

kehadiran nenek moyang yang memanggil dan mengundang setiap anggota

Kabizu untuk menyatakan kebersamaan dalam suatu peristiwa yang dialami.

Tuturan lisan pada data 18 di atas dituturkan pada ritual Saiso sebelum

pendirian tiang utama. Tuturan tersebut merupakan doa kepada Marapu.

Meskipun tuturan itu dituturkan dalam konteks doa tetapi diyakini bahwa gong

dan tambur dalam tuturan itu merupakan nenek moyang yang mengundang

seluruh anggota Kabizu Beijelo untuk terlibat aktif pada saat mendirikan tiang

utama. Bentuk keterlibatan itu dapat berupa tenaga dan sumbangan-sumbangan

lainnya yang dapat memperlancar proses pendirian tiang utama. Hal itu

diungkapkan informan yang diwawancarai yang mengatakan bahwa gong dan

tambur bukan hanya pengiring ritual adat Saiso melainkan suara nenek moyang

yang mengundang untuk menyatakan persatuan dan dukungan. Rumah besar ini

merupakan rumah Kabizu. Pada saat membangunnya membutuhkan tenaga yang

banyak dan biaya yang besar. Sehingga, bunyi gong dan tambur dalam tuturan ini

menggambarkan nenek moyang yang meminta pertolongan dan bantuan kepada

anggota Kabizu (W/KKLMB/9).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 144: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

127

4.2.2 Nilai-nilai Kearifan Lokal yang Terkandung dalam Tradisi Lisan

Teda dalam Upacara Padede Uma Kalada

Nilai merupakan suatu keyakinan manusia yang dianggap penting mengenai

apa yang pantas dan tidak pantas dilakukan (Yunus, 2014:18). Senada dengan hal

ini Aslan (2017:13) mengemukakan bahwa nilai adalah sesuatu yang berharga

sehingga menjadi patokan dalam kehidupan. Nilai memberi makna dalam hidup

sehingga memberi corak dalam perilaku manusia. Sementara itu, kearifan lokal

adalah budaya masyarakat yang telah diciptakan oleh nenek moyang dan menjadi

warisan bagi anak cucunya serta sebagai alat kontrol tingkah laku dalam

kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa nilai kearifan

lokal merupakan suatu keyakinan atau sesuatu yang berharga yang diwariskan

oleh leluhur yang dapat dijadikan sebagai alat kontrol dalam berperilaku dan

bertindak.

Berdasarkan hasil identifikasi data ditemukan nilai-nilai luhur warisan

nenek moyang masyarakat Kabizu Beijello. Nilai-nilai tersebut digunakan sebagai

tata kelakuan atau alat kontrol yang mengatur tata tertib kehidupan masyarakat

Kabizu Beijello baik dengan sesama, leluhur, roh gaib maupun Sang Ilahi. Nilai-

nilai itu, yakni nilai ketaatan, solidaritas, persatuan, penghormatan, kerja keras,

syukur, rekonsiliasi dan nilai religius. Masing-masing nilai ini dipaparkan lebih

lanjut sebagai berikut.

4.2.2.1 Nilai Ketaatan

Ketaatan memiliki makna senantiasa tunduk, patuh, setia dan tidak berlaku

curang kepada pemerintah, kepada Tuhan dan sebagainya (Sukmayadi,2018:24).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 145: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

128

Masyarakat Kabizu Beijello merupakan masyarakat yang lahir dalam dinamika

spiritual Marapu. Marapu merupakan pedoman, landasan, dan kunci kehidupan

masyarakat Kabizu Beijello. Kesadaran akan hal itu, masyarakat Kabizu Beijello

selalu menaruh sikap taat dan patuh kepada Marapu. Hal ini tergambarkan pada

data tradisi lisan dalam upacara Padede Uma Kalada sebagai berikut.

Data 19. G1/ES5

Nebahinna, nennati mama ole

Saat ini, ini sirih pinang kawan

Terimalah sirih pinang ini.

Mandungo katanga, kettera kaleba

Pegang kuat kendali, eratkan ikat pinggang

Peganglah kuat-kuat keputusan dan janji yang telah disepakati bersama.

Tana dadikki , watu dangero

Tanah yang tidak berpindah, batu yang tidak bergeser

Keputusan dan janji yang tidak akan berubah.

Konteks: Tuturan lisan di atas merupakan bagian dari data tradisi lisan pada saat pembagian

sirih pinang pada tahap pertemuan satu keluarga besar Kabizu Beijello di rumah

besar. Tuturan lisan di atas dituturkan oleh pemimpin klan atau orang yang

dipercayakan pemimpin musyawarah pada tahap musyawarah adat satu keluarga

besar Kabizu Beijello di rumah besar. Dalam data di atas memperlihatkan ada

peristiwa pembagian sirih pinang setelah pengambilan ikrar atau sumpah. Sirih

pinang diyakini sebagai simbol kehadiran Marapu (arwah-arwah leluhur) yang

mengikat seluruh keputusan yang telah disepakati. Oleh karena itu, keputusan itu

tidak boleh dilanggar. Jika dilanggar maka konsekuensinya adalah petaka.

Sebagaimana telah dikemukakan pada subbab kearifan lokal berwujud

nyata, pamama (sirih dan pinang) dalam konteks data ini merupakan meterai yang

mengikat ikrar atau sumpah yang diambil oleh anggota masyarakat Kabizu

Beijello yang terlibat dalam musyawarah pembangunan rumah besar. Masyarakat

Kabizu Beijello meyakini bahwa penggunaan sirih dan pinang pada saat

mengangkat ikrar atau sumpah merupakan lambang kehadiran nenek moyang

yang menyaksikan dan mengikat ikrar atau sumpah adat tersebut. Oleh karena itu,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 146: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

129

ikrar dan sumpah adat tersebut harus ditaati dan dijalankan dengan penuh

kesetiaan, kejujuran, dan tanggung jawab. Hal tersebut terlukiskan pada metafora

mandungo katanga, kettera kaleba (peganglah kuat-kuat keputusan dan janji yang

telah disepakati bersama). Setiap orang yang telah menerima sirih pinang berarti

menyatakan kesiapsediaan untuk menggenggam erat keputusan bersama. Apabila

ikrar atau sumpah ini dilanggar maka si pelanggar akan mendapatkan risiko adat

berupa malapetaka sebab janji atau ikrar yang telah dimeteraikan melalui

peristiwa pembagian sirih dan pinang itu bersifat sah, kukuh dan mengikat. Hal itu

dilukiskan pada metafora tana dadikki, watu dangero (keputusan dan janji yang

tidak akan berubah).

Nilai luhur yang terlukiskan dalam kearifan lokal berwujud nyata, yakni

sirih dan pinang adalah ketaatan terhadap perintah Marapu. Masyarakat Kabizu

Beijello menyakini bahwa ada empat perintah yang harus ditaati, yakni jangan

membunuh, jangan berzina, jangan mencuri, dan jangan bersaksi dusta atau

berbohong. Ketidaktaatan terhadap janji adat dipandang sebagai sebuah

kebohongan atau bersaksi dusta terhadap Marapu. Hal itu diungkapkan oleh

informan yang diwawancarai yang memberi kesaksian bahwa dalam kepercayaan

Marapu, setiap janji atau sumpah adat yang telah diikat melalui peristiwa

pembagian sirih pinang itu tidak boleh dilanggar. Janji atau sumpah adat itu harus

ditaati. Artinya di sini ada nilai ketaatan terhadap sumpah itu. Sehingga, jika

dilanggar, maka menjadi petaka bagi orang tersebut. Hal ini karena pembagian

sirih pinang saja merupakan salah satu tanda terlibatnya Marapu yang sudah

melihat semua yang menerima sirih pinang. Dalam hal dosa, salah satu dosa yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 147: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

130

sangat dibenci oleh Marapu adalah berbohong, bersaksi dusta dan tidak menepati

janji adat (W/NKLMKB/1).

4.2.2.2 Nilai Solidaritas

Solidaritas menurut Kamus Besar bahasa Indonesia Daring (KBBI, 2016)

memiliki pengertian sifat atau perasaan solider; sifat satu rasa; persaan setia

kawan. Sementara itu, Yunus (2014:) nilai solidaritas termanifestasi dalam cinta,

persahabatan, dan gotong-royong.

Perasaan senasib, sepenanggungan dan setia kawan sejatinya merupakan

nilai luhur yang selalu dijunjung tinggi oleh masyarakat Kabizu Beijello. Hal ini

karena didasari oleh kesadaran bahwa masyarakat Kabizu Beijello merupakan

masyarakat yang berasal dari satu nenek moyang. Atas dasar kedekatan darah itu,

masyarakat Kabizu Beijello selalu menjunjung tinggi nilai solidaritas dalam

kehidupan sosial dan budaya. Nilai itu menjelma dalam perasaan cinta,

persaudaraan, gotong royong dan bekerja secara Bersama-sama. Nilai solidaritas

itu tergambar pada data kearifan lokal dalam tradisi lisan Teda dalam upacara

Padede Uma Kalada sebagai berikut.

Data 20. B1/ES2

Unggula dukka kikkuna , wadora dukka ngorana

Kumpulkan batas ekornya, himpun batas mulutnya

Kumpulkan dan himpunlah seluruh keluarga dari yang paling jauh sampai

yang paling dekat

Unggula a matomba, wadora a maupa

Kumpulkan yang liar, rangkul yang jinak

Himpunlah keluarga yang menjauh, rangkul keluarga yang mendekat

Konteks:

Tuturan lisan di atas merupakan tanggapan tetua adat rumah kecil dalam diskusi

dengan tetua adat rumah besar pada tahap Yapatekki (pemberitahuan) rencana

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 148: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

131

pembangunan rumah besar. Dalam tanggapan itu, tetua adat rumah kecil

menghimbau bahwa apabila ingin membangun ulang rumah besar Kabizu Beijello,

maka semua anggota Kabizu Beijello harus dihimpun dan dikumpulkan. Adapun

tujuannya adalah agar sama-sama menyatakan dukungan dan solidaritas demi

suksesnya pembangunan rumah besar.

Tuturan unggula dukka kikkuna, wadora dukka ngorana. Unggula a

matomba, wadora a maupa pada data 20 di atas mengandung makna agar seluruh

anggota Kabizu Beijello berkumpul dan berhimpun untuk menyatakan persatuan,

dukungan dan keterlibatan dalam mensukseskan rencana pembangunan rumah

besar. Tuturan unggula, wadora (kumpulkan, himpunlah) pada kedua data ini

terkandung nilai, yakni agar selalu membina semangat kebersatuan,

kesetiakawanan, saling menopang dan mendukung satu sama lain sebagai anggota

warga Kabizu. Nilai ini merupakan nilai luhur yang didambakan oleh nenek

moyang yang terus diwariskan kepada generasi Kabizu Beijello sampai saat ini.

Tuturan lisan di atas dituturkan oleh Rato Uma Kii (pemimpin klan rumah

kecil) pada saat pertemuan dengan Rato Uma Kalada (pemimpin klan Kabizu

Beijello). Pertemuan itu bertujuan untuk membahas dan mendiskusikan rencana

pembangunan rumah besar. Pada pertemuan tersebut, Rato Uma Kii menghimbau

agar seluruh anggota keluarga Kabizu Beijello untuk dikumpulkan, dihimpun dan

diberitahukan terkait rencana pembangunan rumah besar itu. Dengan tujuan agar

semuanya saling mendukung, bekerja sama dan bergotong royong demi

mensukseskan rencana tersebut.

Rumah besar merupakan rumah dari setiap orang yang merasa diri berasal

dari satu nenek moyang. Misalnya, rumah besar Kabizu Beijello merupakan

rumah dari setiap orang yang merasa diri berasal dari nenek moyang Kabizu

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 149: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

132

Beijello. Atas dasar pemahaman ini, apabila rumah besar mengalami pelapukan

dan kerusakan sudah barang tentu menjadi tanggung jawab seluruh anggota

Kabizu.

Berdasarkan keterangan informan, masyarakat Sumba terutama masyarakat

Marapu selalu menunjukkan solidaritas. Dalam upacara pembangunan rumah adat

misalnya, mereka akan dengan sendirinya menyatakan dukungan sebagai tanda

solidaritas. Wujud solidaritas yang diberikan dapat berupa tenaga maupun materi

seperti uang, hewan, dan bahan bangunan rumah. Orang yang jauh sekalipun

dengan sendirinya akan terpanggil untuk menyumbang. Ada yang menyumbang

dalam bentuk uang, ada juga yang menyumbang dalam bentuk material

(W/NKLMKB/2).

Perasaan senasib dan sepenanggungan akan tampak ketika masyarakat

Kabizu Beijello mendengar bunyi gong atau tambur. Hal ini tergambar dalam data

berikut.

Data 21. N1/EK2

Waikobatallawi indatallaki Walaupun kelihatannya ini gong tapi bukan gong

Walaupun kelihatannya ini gong tapi bukan gong

waikobabeduwi indabeduki

walaupun kelihatannya ini tambur tapi bukan tambur

Walaupun kelihatannya ini tambur tapi bukan tambur

Li’ikawulagundi , li’ikaaulagundi

Mereka adalah suara yang memanggil Mereka adalah suara yang

mengundang

Tapi ini adalah suara yang memanggil dan mengundang seluruh keluarga

besar untuk menyatakan dukungan dan solidaritas

Konteks:

Data ini merupakan bagian dari data tradisi lisan pada tahap Saiso sebelum

pendirian tiang. Data tradisi lisan itu merupakan doa yang dituturkan oleh Ata

Saiso. Dalam doa itu, Ata Saiso memohon kepada Marapu agar dianugerahi

perlindungan, keselamatan, dan berkat sehingga proses pembangunan tiang dapat

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 150: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

133

berjalan lancar dan sukses. Selain sebagai doa, bunyi gong dan tambur dimaknai

sebagai suara nenek moyang yang mengundang anggota Kabizu untuk

menyatakan dukungan dan solidaritas.

Tuturan waikobatallawi indatallaki (walaupun kelihatannya ini gong tapi

bukan gong). Waikobabeduwi indabeduki (Walaupun kelihatannya ini tambur tapi

bukan tambur). Li’ikawulagundi, li’ikaaulagundi (Tapi ini adalah suara yang

memanggil dan mengundang seluruh keluarga besar dan kerabat) mengandung

makna bahwa ‘gong’ dan ‘tambur’ tidak hanya dipandang alat-alat musik

tradisional tetapi oleh masyarakat Kabizu Beijello diyakini sebagai simbol

Marapu. Ketika gong dan tambur tersebut dibunyikan pertanda suara Marapu

yang memanggil dan mengundang setiap anggota Kabizu Beijello untuk

menyatakan solidaritas dalam mendukung upacara pembangunan rumah besar.

Setiap upacara pada masyarakat Kabizu Beijello mempunyai kekhasan

bunyi gong dan tambur tersendiri. Bunyi tersebut yang menjadi berita akan

adanya sebuah peristiwa, seperti syukur (kelahiran, pembangunan rumah adat,

perkawinan, panen), kematian, dan Saiso (pemanggilan arwah, kebakaran rumah,

kebakaran lahan padi, penyucian diri). Ketika mendengar bunyi gong dan tambur

maka masyarakat sudah bisa mengetahui peristiwa apa yang terjadi. Dengan

demikian, seluruh kerabat terutama anggota Kabizu harus menyatakan

solidaritasnya.

Solidaritas merupakan salah satu nilai yang diamanatkan oleh Marapu

dalam kehidupan bersama sebagai suatu keluarga dalam Kabizu Beijello.

Solidaritas tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk kerja sama dan gotong

royong. Masyarakat Kabizu Beijello meyakini bahwa pekerjaan yang berat

sekalipun akan terasa ringan apabila dikerjakan secara bersama-sama tanpa

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 151: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

134

adanya unsur balas jasa atau adanya perhitungan untung dan rugi. Perilaku inilah

yang semestinya menjadi nilai yang harus terus dihayati dan diamalkan dalam

kehidupan bersama.

4.2.2.3 Nilai Persatuan

Makna persatuan pada hakikatnya adalah satu, yang artinya bulat dan tidak

terbagikan atau terpecah belah (Asmaroini, 2017: 58). Masyarakat Kabizu Beijello

merupakan salah satu etnis di Pulau Sumba yang sangat memelihara nilai

persatuan dalam kehidupan bersama. Nilai tersebut tampak jelas dalam tuturan

pada tradisi lisan dalam upacara Padede Uma Kalada sebagai berikut.

Data 22. F3/ES4

Kada’ikana a lera eka bei, a kedu eka ana

Agar tidak ada yang terbang lain ibu, yang lari lain anak

Agar kita selalu membina semangat persatuan.

Katta pasamana ate, katta pamerana wiwi.

Agar kita menyamakan hati, agar kita memerahkan bibir

Agar kita selalu satu hati, satu suara.

Konteks:

Tuturan lisan di atas merupakan bagian dari tradisi lisan pada tahap musyawarah

satu keluarga besar Kabizu Beijello di rumah besar (rumah adat). Tuturan lisan

tersebut dituturkan oleh tetua adat yang menjaga rumah besar. Tetua adat itu

merupakan pemimpin klan Beijello. Musyawarah yang diadakan di rumah besar

ini merupakan musyawarah terakhir sebagai penentu keputusan dan sekaligus

pembagian tugas pembangunan rumah besar. Musyawarah ini diikuti oleh tetua

adat rumah besar, tetua-tetua adat rumah kecil dan anggota-anggota Kabizu

Beijello yang mempunyai pemikiran yang luas, cakap, berani dan berjiwa

kepemimpinan. Dalam musyawarah itu, tetua adat menghimbau agar seluruh

anggota keluarga selalu bersatu, sehati, sesuara demi suksesnya pembangunan

rumah besar.

Tuturan kada’ikana a lera eka bei, a kedu eka ana. Katta pasamana ate,

katta pamerana wiwi menggambarkan nilai persatuan yang dihidupi masyarakat

Kabizu Beijello. Kedua tuturan ini dituturkan oleh tetua adat yang menjaga rumah

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 152: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

135

besar atau pemimpin yang dipercayakan memimpin jalannya musyawarah

pembangunan rumah besar. Tetua adat atau pemimpin musyawarah menghimbau

dan mengajak seluruh anggota keluarga agar tidak berjalan sendiri-sendiri, agar

tidak ada yang tercerai berai, melainkan selalu sehati dan sesuara. Masyarakat

Kabizu meyakini bahwa kesuksesan pembangunan rumah besar hanya akan

terwujud apabila adanya persatuan seluruh warga Kabizu.

Sehubungan dengan hal di atas, dalam wawancara dengan informan ketika

peneliti menanyakan nilai yang terkandung dalam tuturan kada’ikana a lera eka

bei, a kedu eka ana. Katta pasamana ate, katta pamerana wiwi diberi kesaksian

bahwa tuturan tersebut mengiaskan nilai persatuan dalam melakukan suatu

pekerjaan. Agar tidak ada yang berjalan sendiri-sendiri, melainkan satu hati dan

satu suara dalam melaksanakan keputusan yang telah disepakati bersama. Petuah

ini selalu digunakan oleh orang tua, orang bijak dan pemimpin pada saat

memberikan amanat dan nasihat terkait bersatu pada saat bekerja, bergotong

royong untuk mensukseskan suatu pekerjaan. Ini sudah jati diri yang telah

dicontohkan oleh nenek moyang sejak dulu. Bersatu dalam hal ini, bukan hanya

dalam hal bekerja sama pada saat membangun rumah, melainkan juga bersatu

dalam hal melihat kebutuhan dan kekurang dari rumah besar atau anggota kabizu

itu untuk dapat diatasi dan ditanggulangi secara bersama-sama (W/NKLMKB/3).

4.2.2.4 Nilai Penghormatan

Penghormatan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2016) memiliki

pengertian proses, cara, perbuatan menghormati, pemberian hormat. Masyarakat

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 153: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

136

Kabizu Beijello sangat menjunjung tinggi sikap menghormati baik itu

penghormatan secara vertikal maupun secara horizontal. Model penghormatan itu

dapat diklasifikasikan ke dalam lima bentuk. Pertama, penghormatan antarsesama

dalam Kabizu Beijello. Kedua, penghormatan warga Kabizu Beijello terhadap

leluhur. Ketiga, saling menghormati antara menantu dan mertua, keempat,

penghormatan warga Kabizu Beijel terhadap pemimpin klan. Kelima,

penghormatan warga Kabizu Beijello terhadap roh gaib. Nila-nilai tersebut dapat

dipaparkan lebih lanjut sebagai berikut.

1) Penghormatan antarsesama dalam Kabizu

Masyarakat Sumba secara umum senantiasa menaruh sikap hormat

antarsesama Kabizu. Sikap hormat ini menjadi nilai kearifan lokal yang dihayati

dan dihidupi dalam kehidupan bersama. Nilai penghormatan antarsesama dalam

Kabizu tampak pada tuturan dalam data sebagai berikut.

Data 23. P1/ESK7

Tadapadoudou-padoudoumu

Tandalah tempat kalian masing-masing

Tandalah tempat kalian masing-masing

Konteks:

Tuturan lisan di atas merupakan bagian dari tradisi lisan pada tahap Saiso

menempati rumah besar. Masyarakat Kabizu Beijello memiliki tradisi melakukan

ritual Saiso setelah rumah besar selesai dibangun kembali. Upacara ini bertujuan

meminta warga rumah, binatang peliharaan, Marapu dan Tuhan sebagai Wujud

Tertinggi untuk menempati kembali rumah besar yang baru selesai di bangun

tersebut. Selain itu, dalam upacara itu secara tidak langsung Rato Marapu

meminta kepada seluruh anggota warga rumah dan warga Kabizu untuk

menunjukkan perilaku hidup sesuai dengan peran dan kedudukannya masing-

masing. Hal itu demi terciptanya keharmonisan bersama. Upacara ini hanya

diikuti oleh masyarakat Kabizu Beijello.

Tuturan tadapadoudou-padoudoumu pada data 23 di atas mengandung nilai

saling menghormati. Secara harafiah tuturan tersebut berarti tandalah tempat

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 154: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

137

kalian masing-masing. Pada tuturan ini, Rato Marapu tidak hanya memberikan

himbauan untuk memberikan tanda dalam menempati kembali sebuah rumah

setelah rampung dibangun. Akan tetapi, tuturan ini mengandung nilai

penghormatan antaranggota warga rumah maupun antarwarga Kabizu Beijello.

Nilai tersebut dapat diwujudkan dengan cara menyadari, memahami, dan

memposisikan diri sesuai dengan peran, kedudukan, dan tanggung jawabnya

masing-masing. Hal ini dilakukan demi terciptanya kehidupan yang damai, rukun,

dan harmonis. Masyarakat Kabizu Beijello meyakini bahwa kesadaran akan peran

dan tanggungjawab serta kedudukan masing-masing dapat menjadi pedoman

untuk berkomunikasi dan bertingkah laku. Orang yang sadar akan peran, tanggung

jawab dan kedudukannya masing-masing adalah orang yang tahu menghormati

antarsesama anggota Kabizu.

2) Penghormatan Warga Kabizu Beijello Kepada Leluhur

Masyarakat Sumba meyakini leluhur sebagai perantara antara manusia dan

Yang Ilahi. Leluhur adalah orang yang telah meninggal dunia. Masyarakat Sumba

percaya bahwa meski secara fisik orang tersebut tidak kelihatan, tetapi rohnya

tetap hidup dan mempunyai pengaruh yang besar terhadap kehidupan mereka.

Dalam hal ini masyarakat Sumba menyebutnya dengan istilah ne’endi kabaila

ro’o atau ‘berada di dunia lain’. Kesadaran akan hal itu, masyarakat Sumba sangat

menaruh hormat terhadap leluhur. Hal ini dapat dideskripsikan melalui data

tuturan berikut.

Data 24. P1/ESK7

Manu tadakowe reddetamu , wawi dukkikuwi rabamu

Ayam tandalah tempatmu, babi tandalah tempat makanmu

Ayam, babi tandalah tempatmu

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 155: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

138

Karambo tadakowe okamu , dara tadako gollumu

Kerbau tandalah kandangmu, kuda tandalah kandangmu

Kerbau, kuda tandalah kandangmu

Konteks:

Tuturan lisan di atas merupakan bagian dari tradisi lisan pada tahap Saiso

menempati rumah besar. Masyarakat Kabizu Beijello memiliki tradisi melakukan

ritual Saiso setelah rumah besar selesai dibangun kembali. Upacara ini bertujuan

meminta warga rumah, binatang peliharaan, Marapu dan Tuhan sebagai Wujud

Tertinggi untuk menempati kembali rumah besar yang baru selesai di bangun

tersebut. Selain itu, dalam upacara itu secara tidak langsung Rato Marapu

meminta kepada seluruh anggota warga rumah dan warga Kabizu untuk

menunjukkan perilaku hidup sesuai dengan peran dan kedudukannya masing-

masing. Hal itu demi terciptanya keharmonisan bersama. Upacara ini hanya

diikuti oleh masyarakat Kabizu Beijello.

Data 24 di atas mengandung tuturan manu tadakowe reddetamu, wawi

dukkikuwi rabamu (ayam, babi tandalah tempatmu). Karambo tadakowe okamu,

dara tadako gollumu (kerbau, kuda tandalah kandangmu). Kedua tuturan ini

mengandung nilai menghormati leluhur. Dalam keyakinan masyarakat Kabizu

Beijello, leluhur merupakan asal usul kehidupan yang dimetaforakan dalam

reddeta dan raba. Sementara itu, oka dan gollu tidak dimaknai secara harafiah

sebagai kandang tetapi sebagai rumah besar sebagai lambang kehadiran leluhur.

Wujud nyata nilai penghormatan terhadap leluhur adalah menjaga,

mempertahankan, dan melestarikan keberadaan rumah besar. Jika rumah besar

mengalami kerusakan maka haruslah dibangun kembali. Kehilangan rumah besar

yang menjadi kediaman leluhur berarti juga kehilangan penghormatan terhadap

leluhur. Dengan demikian, masyarakat Kabizu Beijello tidak akan mendapatkan

pertolongan dan berkat dari leluhur sebagai imbalan atas penghormatan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 156: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

139

3) Penghormatan antara Menantu dan Mertua

Masyarakat Sumba secara umum merupakan masyarakat yang menganut

sistem kekerabatan patrilineal. Seorang perempuan yang telah menikah harus

meninggalkan orangtuanya dan tinggal bersama suaminya. Di mata kedua orang

tua suaminya, perempuan tersebut menyandang status menantu. Sementara itu,

seorang perempuan akan memandang orangtua dari suaminya sebagai mertua.

Sebagai sebuah keluarga, mertua dan menantu harus saling menghormati demi

terciptanya keharmonisan. Hal ini tampak pada data tuturan berikut.

Data 25. P1/ESK7

Pawasse padoumu, pamatto padoumu

Anak mantu tanda tempatmu, Ibu mertua tandalah tempatmu

Anak mantu, ibu mertua tandalah tempatmu

Konteks:

Tuturan lisan di atas merupakan bagian dari tradisi lisan pada tahap Saiso

menempati rumah besar. Masyarakat Kabizu Beijello memiliki tradisi melakukan

ritual Saiso setelah rumah besar selesai dibangun kembali. Upacara ini bertujuan

meminta warga rumah, binatang peliharaan, Marapu dan Tuhan sebagai Wujud

Tertinggi untuk menempati kembali rumah besar yang baru selesai di bangun

tersebut. Selain itu, dalam upacara itu secara tidak langsung Rato Marapu

meminta kepada seluruh anggota warga rumah dan warga Kabizu untuk

menunjukkan perilaku hidup sesuai dengan peran dan kedudukannya masing-

masing. Hal itu demi terciptanya keharmonisan bersama. Upacara ini hanya

diikuti oleh masyarakat Kabizu Beijello.

Kata ‘padou’ pada tuturan pawasse padoumu, pamatto padoumu (anak

mantu, ibu mertua tandalah tempatmu) pada data 25 di atas tidak hanya merujuk

pada kamar dari mertua dan menantu. Akan tetapi, merujuk pada peran, tanggung

jawab dan kedudukan dari mertua dan menantu. Menurut keyakinan masyarakat

Kabizu Beijello, setiap anggota dalam suatu keluarga telah memiliki tugas dan

peran masing-masing sesuai dengan kedudukannya. Menantu memiliki tugas

untuk menyelesaikan segala aktivitas rumah tangga yang dalam tuturan adat

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 157: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

140

disebut papalewa gidugoda, papawede pidupata (yang mondar-mandir ke sana

kemari, yang disuruh ke sana kemari). Sementara itu, tugas mertua adalah

melaksanakan ritus-ritus adat dan siap dilayani oleh menantu yang dikenal dengan

tuturan Ina dunga, Ama ngodo (ibu yang diam, bapak yang bersila).

Nilai yang ingin ditampilkan pada tuturan di atas adalah saling menghormati

sesuai dengan kedudukan, peran dan tanggung masing-masing. Menantu tidak

boleh mengambil peran dan tanggung jawab mertua. Begitu pula mertua tidak

boleh mengambil peran dan tanggung jawab menantu. Hal ini demi terciptanya

kehidupan bersama yang rukun, damai dan harmonis.

4) Penghormatan Warga Kabizu Beijello terhadap Pemimpin Klan

Setiap Kabizu yang ada di Pulau Sumba memiliki pemimpin spiritual

tertingginya masing-masing atau pemimpin klan. Bagi masyarakat Wewewa

sendiri, pemimpin klan dalam Kabizu biasa disebut sebagai Rato Uma Kalada,

yakni Rato yang menduduki atau menempati rumah besar. Rato Uma Kalada

memiliki tugas dan tanggung jawab untuk menjaga dan menghidupkan api di

rumah besar sehingga rumah besar tetap terjaga keberadaannya. Selain itu, juga

mempunyai kewajiban untuk meneruskan keturunan bagi rumah besar sehingga

keanggotaan rumah besar tidak sampai punah. Oleh karena kedudukan tersebut,

maka setiap anggota Kabizu wajib menghormati pemimpin klan. Hal itu

dieksplisitkan dalam data tuturan berikut.

Data 26. L2/ESK4

Yowa dona ata papawede , allikapapatukami

Saya sudah orang yang disuruh, adik yang diperintah

Sayalah orang yang disuruh, adik yang diperintah

Papawede pidupata , papalewa gidugoda

Yang diperintah ke sana ke mari, yang disuruh mondar-mandir

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 158: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

141

Konteks:

Tuturan lisan di atas merupakan bagian dari data tradisi lisan pada tahap ritual

Oka. Tuturan lisan dalam ritual Oka ini dituturkan oleh Rato Marapu yang

bertugas sebagai penanya dari pihak tuan rumah. Masyarakat Kabizu Beijello

memiliki tradisi menyambut tamu atau rombongan yang hendak memasuki

kampung dengan maksud tertentu. Tradisi itu disebut Oka. Ritual Oka itu

dilakukan di depan pintu masuk kampung. Tujuan pelaksanaan ritual ini adalah

untuk menanyakan dan menyelidiki rombongan yang hendak memasuki kampung

dengan membawa material bangunan.

Tuturan yowa dona ata papawede, allikapapatukami (sayalah orang yang

disuruh, adik yang diperintah). Papawede pidupata, papalewa gidugoda (yang

disuruh ke sana kemari, yang diperintah mondar-mandir) pada data di atas

mengandung nilai penghormatan kepada pemimpin klan. Allika dalam tuturan ini

merujuk pada anggota Kabizu Beijello. Sementara itu, yemmi yang disingkat mi

pada tuturan ini merujuk pada pemimpin klan Kabizu Beijello yang disebut Rato

Uma Kalada Kabizu Beijello.

Kedua tuturan di atas mau menggambarkan status atau kedudukan yang

melekat pada setiap pribadi dalam tatanan kehidupan masyarakat Kabizu Beijello.

Masyarakat Kabizu tidak memandang seseorang berdasarkan umur tetapi lebih

kepada kedudukan dalam sistem adat. Definisi adik tidak hanya terbatas pada

umur seseorang yang lebih muda dari yang lain. Demikian pun, orang yang tua

dalam hal ini tidak berarti orang yang sudah tua tetapi mereka yang memiliki

posisi penting dalam sistem adat. Berdasarkan konteks sosietal, makna orang yang

lebih tua adalah orang yang dihormati bukan karena umur dari orang tersebut,

melainkan karena kedudukan orang tersebut. Oleh karena itu, sebagai seorang

adik, anggota Kabizu Beijello wajib hukumnya untuk hormat terhadap pemimpin

klannya meski dalam hal umur orang tersebut lebih tua. Penghormatan yang

diberikan didasarkan pada kedudukan berdasarkan sistem adat yang ada.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 159: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

142

Masyarakat penganut Marapu meyakini bahwa Rato Uma Kalada memiliki

hubungan yang dekat dengan Marapu. Atas kedekatan ini, Rato Uma Kalada

diyakini dapat memberi berkat dan sekaligus dapat mengutuk. Doa-doa dan

permohonannya didengarkan oleh Marapu. Apapun yang dimintanya diyakini

dikabulkan oleh Marapu. Atas dasar ini, maka dalam dinamika spiritual Marapu,

Rato Uma Kalada sangat ditakuti, disegani dan dihormati. Hal itu digambarkan

melalui kedua tuturan di atas. Bentuk penghormatan dari masyarakat Kabizu

Beijello terhadap Rato Uma Kalada adalah semua orang yang terlibat dalam

rombongan yang membawa material bangunan menyatakan diri mereka sebagai

adik. Mereka memandang dan menempatkan diri mereka sebagai adik yang harus

menghormati kakaknya, yang dapat disuruh atau diperintah ke sana kemari oleh

kakaknya.

Dalam wawancara yang dilakukan dengan informan ketika peneliti

mengajukan pertanyaan “Nilai apakah yang terkandung dalam tuturan yowa dona

ata papawede, allikapapatukami. Papawede pidupata, papalewa gidugoda?”

diberi kesaksian bahwa ungkapan ini nilai penghormatan kepada Rato yang

menduduki rumah besar. Bentuk penghormatan itu adalah dalam upacara Oka

rombongan yang membawa material dari hutan menyebut diri mereka sebagai

seorang anak atau sebagai seorang adik. Itu dalam ungkapan, kendatipun dalam

rombongan tersebut ada yang lebih dewasa atau lebih tua, lebih pintar, lebih

cerdas, ketimbang Rato yang menduduki Uma Kabizu. Dia dituakan dan

dihormati karena kedudukannya sebagai pemimpin atau kepala klan. Dialah yang

menjaga rumah itu besar itu (W/NKLMKB/4).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 160: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

143

5) Penghormatan Warga Kabizu Beijello terhadap Roh Gaib

Masyarakat Marapu menyadari bahwa ada suatu dunia yang tidak tampak

yang berada di luar batas kemampuan panca indra dan akalnya, yaitu dunia gaib.

Dunia gaib ini dihuni oleh para dewa, makhluk-makhluk halus dan kekuatan-

kekuatan sakti yang tidak dapat dikuasai oleh manusia secara biasa, karena itu

sangat ditakuti. Kesadaran akan adanya dunia gaib inilah yang mendorong

masyarakat Marapu untuk menaruh hormat. Hal itu terekspresikan dalam data

berikut.

Data 27. J1/ES9

Nenna rengepo you ina mori loda, ama mori pada

Itu dengarlah engkau ibu pemilik hutan, bapak pemilik padang

Dengarlah dewa pemilik hutan dan pemilik padang

Ina mori loko, ama mangu tana

Ibu pemilik kali, bapak pemilik tanah

Dewa pemilik kali dan pemilik tanah

Ka dara pa kaloga ma , ka tena pa magawa ma

Agar seperti kuda yang bebas kami , agar seperti sampan yang leluasa kami

Agar kami seperti kuda yang bebas, agar kami seperti sampan yang leluasa

Agar kami diberi kebebasan dan keleluasaan

Dappalaka kama karingge, dappa lodakama kalerre

Janganlah palang kayu, janganlah menarik tali

Janganlah menghalangi kami

Konteks:

Tuturan lisan di atas merupakan bagian dari tradisi lisan dalam ritual Urrata pada

tahap penebangan pohon dan pemotongan tali di hutan. Data tradisi lisan ini

merupakan doa yang mengandung makna permohonan izin kepada roh-roh yang

diyakini sebagai pemilik hutan, padang, kali dan tanah. Dalam ritual ini,

masyarakat Kabizu Beijello memberikan sesajen berupa satu anak ayam, satu butir

telur, kapas, tembakau, sirih, pinang dan serpihan emas atau perak. Perkenanan

dan persetujuan roh-roh yang mendiami hutan tersebut dapat diramalkan atau

dilihat oleh Ata Urrata (imam Marapu) melalui usus ayam, hati ayam dan hati

babi.

Masyarakat Kabizu Beijello sebagai bagian dari masyarakat Marapu juga

memiliki keyakinan akan adanya dunia gaib yang dihuni roh-roh halus, para dewa

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 161: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

144

dan kekuatan sakti lainnya. Dunia gaib itu tinggal di hutan, pohon-pohon,

lembah, gunung, padang, dan lain sebagainya di alam semesta. Kesadaran akan

hal itu masyarakat Kabizu Beijello selalu menunjukkan sikap hormat kepada roh-

roh gaib. Penghormatan itu ditunjukkan dalam konteks data di atas yakni ketika

hendak masuk hutan untuk menebang pohon, memotong tali untuk pembangunan

rumah adat terlebih dahulu harus memohon izin. Permohonan izin dilandasi oleh

keyakinan bahwa hutan, pohon, dan tali yang hendak diambil mempunyai

pemiliknya. Keyakinan akan adanya pemilik tersebut nampak dalam tuturan

“nenna rengepo you ina mori loda, ama mori pada. Ina mori loko, ama

mangu tana”. Dengan demikian, mengambil milik orang lain harus didahului

dengan ungkapan permohonan dengan maksud diberi izin. Dalam konteks ini,

permohonan izin dipandang sebagai bentuk penghormatan terhadap dunia gaib

yang menjadi pemilik hutan, pohon, dan tali. Ketika pengambilan pohon dan tali

dari hutan didahului dengan permohonan izin maka sudah tentu kegiatan tersebut

dapat berhasil sebab sudah dibebaskan oleh kekuatan dari dunia gaib. Hal ini

ditandai dengan tuturan ka dara pa kaloga ma, ka tena pa magawa ma (agar kami

diberi kebebasan dan keleluasaan).

Hasil penelitian di atas, didukung pula oleh hasil wawancara yang dilakukan

oleh peneliti dengan informan yang memberikan kesaksian bahwa semua yang

ada dimuka bumi ini ada yang punya. Hutan, tanah, kayu, tali dan segala macam

benda yang ada di hutan itu mempunyai pemilik dan pelindung. Mempunyai roh

atau jiwa. Oleh karena itu, sebelum diganggu, harus terlebih dahulu memohon izin

dengan cara mengucapkan mantra permohonan izin yang dapat diucapkan oleh

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 162: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

145

Ata Urrata atau Rato Marapu. Kalau ritual ini tidak dilakukan roh-roh gaib itu

akan marah. Roh-roh gaib akan mencelakai manusia. Ini merupakan cara menjaga

menghormati roh-roh gaib itu. Perilaku seperti ini yang dikehendaki oleh nenek

moyang dan roh-roh yang ada di alam raya ini (W/NKLMKB/5).

4.2.2.5 Kerja Keras

Kerja keras merupakan bekerja dengan sungguh-sungguh tanpa mengenal

lelah atau berhenti sebelum target kerja tercapai dan selalu mengutamakan atau

memperhatikan kepuasan hasil pada setiap kegiatan yang dilakukan (Kami,

2018:136). Sehubungan dengan pandangan ini, kerja keras merupakan nilai yang

dihidupi masyarakat Kabizu Beijello. Nilai tersebut nampak dalam tuturan sebagai

berikut.

Data 28. P1/ESK7

Natogola manairo bage, namawellita mawana bage

Sudah berhasil menyiangi sudah rampung anyaman

Saat ini proses pembangunan rumah telah selesai dan berjalan dengan lancar

Konteks:

Tuturan lisan di atas merupakan bagian dari tradisi lisan pada tahap Saiso

menempati rumah besar. Masyarakat Kabizu Beijello memiliki tradisi melakukan

ritual Saiso setelah rumah besar selesai dibangun kembali. Upacara ini bertujuan

meminta warga rumah, binatang peliharaan, Marapu dan Tuhan sebagai Wujud

Tertinggi untuk menempati kembali rumah besar yang baru selesai di bangun

tersebut. Selain itu, dalam upacara itu secara tidak langsung Rato Marapu

meminta kepada seluruh anggota warga rumah dan warga Kabizu untuk

menunjukkan perilaku hidup sesuai dengan peran dan kedudukannya masing-

masing. Hal itu demi terciptanya keharmonisan bersama. Upacara ini hanya

diikuti oleh masyarakat Kabizu Beijello.

Tuturan natogola manairo bage, namawellita mawana bage memiliki arti

sudah berhasil menyiangi, sudah rampung anyaman. Tuturan lisan ini dituturkan

oleh Ata Saiso pada ritual Saiso menempati rumah besar. Tuturan ini merupakan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 163: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

146

doa ucapan syukur kepada Marapu dan Yang Ilahi karena telah rampung

membangun rumah besar. Kesuksesan tersebut diyakini sebagai buah dari kerja

keras setiap anggota masyarakat Kabizu Beijello.

Kata manairo dan mawellita dalam data tuturan di atas tidak hanya merujuk

pada mencangkul dan menganyam tetapi merujuk pada sebuah pekerjaan. Jika

masyarakat Kabizu Beijello ‘mencangkul’ dan ‘mengayam’ dengan sungguh-

sungguh atau dengan kerja keras maka sudah tentu kesuksesan akan diraih.

Melalui tuturan itu dapat ditemukan perilaku kerja keras masyarakat Kabizu

Beijello yang menjadi nilai yang dihidupi. Selain tuturan ini, pada data tradisi

lisan (Q1/ESK8) (lihat tabulasi data) juga terdapat tuturan yang memberi

gambaran terkait nilai kerja keras yang dihidupi oleh masyarakat Kabizu Beijello,

yakni banna batuku ruta, banna dariku tana, Banna pennikowa manu,

kamanuamapennikia (apabila dia memelihara ayam, agar dapat berkembang biak

menjadi banyak), Banna tauku wawi, kawawiamataukia (Apabila dia memelihara

babi, agar dapat berkembangbiak dengan baik). Meskipun ini merupakan bentuk

doa kepada Marapu, tetapi di dalamnya mengandung nilai kerja keras. Hal itu

tampak pada tuturan ‘batuku ruta, dariku tana’ (cabutlah rumput, garuklah tanah).

Pennikowa manu (peliharalah ayam). Tauku wawi (perilaharalah babi). Ketiga

tuturan tidak hanya merujuk pada bekerja sebagai petani atau peternak melainkan

menggambarkan perilaku hidup bekerja keras sesuai dengan profesi yang digeluti.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 164: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

147

4.2.2.6 Nilai Syukur

Syukur merupakan salah satu dari kajian psikologi positif yang memiliki arti

mengucapkan terima kasih atas anugerah (Shobihah, 2014:386). Masyarakat

Kabizu Beijello senantiasa menanamkan nilai syukur dalam kehidupan sehari-hari.

Ketika seseorang mendapatkan pertolongan apapun bentuknya maka

sepatutnyalah orang tersebut mengucapkan terima kasih. Sebaliknya, jika yang

ditolong tidak mengucapkan terima kasih maka orang tersebut akan mendapat

sanksi sosial berupa dicap sebagai orang yang tidak tahu terima kasih. Dalam

bahasa Wewewa, terima kasih dikenal dengan istilah malangi. Ungkapan syukur

dan terima kasih tidak hanya diungkapkan kepada sesama manusia dan Tuhan

Sang Ilahi tetapi juga roh gaib dan leluhur. Hal itu tergambarkan dalam data

tradisi lisan sebagai berikut.

Data. 29 M1/ES11

Pamalangiwa inna, paosawa ama

Terimakasih kepada ibu, syukur kepada bapak

Terimakasih dan syukur kepada rumah besar dan leluhur

Konteks:

Tuturan di atas merupakan bagian dari tradisi lisan dalam upacara Woleka pada

tahap pembongkaran rumah lama. Tuturan di atas dinyanyikan oleh Ata Saiso

dengan diiringi gong dan tambur. Upacara Woleka dimaknai sebagai upacara

pengucapan syukur dan terimakasih kepada nenek moyang dan rumah besar yang

telah melindungi, memayungi, mempersatukan dan memberikan kenyamanan

serta kedamaian. Upacara ini dilaksanakan dengan penuh sukacita dan

kegembiraan.

Tuturan pamalangiwa inna, paosawa ama (terimakasih dan syukur kepada

rumah besar dan leluhur) pada data 29 di atas mengandung nilai syukur. Kata Inna

dan Ama pada tuturan ini merujuk pada rumah besar dan leluhur. Tuturan ini

dituturkan oleh Rato Marapu pada ritual Saiso sebelum membongkar rumah

besar. Masyarakat Kabizu Beijello memiliki tradisi, yakni sebelum pembongkaran

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 165: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

148

rumah besar atau rumah adat untuk dibangun ulang, terlebih dahulu harus

dilakukan ritual Saiso. Masyarakat Kabizu Beijello memaknai ritual Saiso sebagai

ritual mengucapkan terima kasih dan syukur kepada rumah besar dan nenek

moyang.

Masyarakat Kabizu Beijello meyakini bahwa rumah besar telah memberikan

perlindungan dan kenyamanan dari matahari, hujan dan segala macam gangguan

serta ancaman dari luar. Selain itu, di rumah besar berdiam roh-roh leluhur yang

diyakini sebagai pemberi pertolongan, perlindungan dan berkat kepada

masyarakat Kabizu Beijello. Atas semua pertolongan, perlindungan, dan berkat itu

masyarakat Kabizu Beijello wajib mengucapkan terimakasih dan syukur.

Konsekuensi dari itu, proses pembongkaran rumah besar dapat berjalan dengan

lancar dan sukses. Sebaliknya, apabila ritual ini tidak dilakukan akan terjadi

malapetala pada saat pembongkaran rumah besar.

Terkait dengan hal di atas, berdasarkan hasil wawancara dengan informan

diberi kesaksian bahwa dalam hidup kita jangan lupa bersyukur dan

berterimakasih yang terungkap dalam tuturan Pamalangiwa inna, paosawa ama.

Ucapan bersyukur dan berterimakasih ini merupakan nilai yang diwarisi oleh

leluhur sejak awal mula. Apabila kita tidak bersyukur dan berterimakasih, nenek

moyang akan marah kepada kita. Seiring dengan itu pula, apapun yang kita

kerjakan tidak akan berhasil. Kita tidak akan memperoleh keberkatan dalam

hidup. Oleh karena itu, kita harus menjaga hubungan yang harmonis dengan

leluhur, dengan sesama dan alam raya (W/NKLMKB/9).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 166: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

149

Selain mengucapkan terimakasih kepada leluhur, masyarakat Kabizu

Beijello juga selalu mengucapkan syukur dan terimakasih kepada roh-roh gaib

atas setiap bantuan dan pertolongan yang diperoleh. Hal itu, tereskpresikan dalam

data tradisi lisan Teda sebagai berikut.

Data 30. K1/ES10

Natogola manairo bage, namawellita mawana bage

Sudah berhasil menyiangi sudah rampung anyaman

Proses penebangan kayu dan pemotongan tali telah berhasil dan berjalan

dengan lancar

Konteks:

Tuturan lisan di atas merupakan bagian dari data tradisi lisan pada tahap Saiso

pengucapan syukur atas keberhasilan penebangan pohon dan pemotongan tali di

hutan. Tuturan lisan ini merupakan doa yang ditujukan kepada roh-roh gaib yang

diyakini sebagai pemilik hutan. Doa itu tidak dituturkan tapi dinyanyikan. Dalam

doa itu Ata Saiso menyampaikan ucapan syukur kepada roh-roh gaib atas, izin,

pertolongan dan bantuan yang diberikan sehingga proses pengambilan material

bangunan dapat berhasil. Dalam doa itu pula, Ata Saiso memohon keselamatan

dan perlindungan kepada roh-roh gaib sehingga prosesi pengantaran material

bangunan ke tempat pembangunan rumah besar dapat berhasil.

Tuturan natogola manairobage, namawellita mawanabage pada data 30 di

atas mengandung nilai syukur. Tuturan itu dituturkan oleh Ata Saiso pada ritual

Todi Kadawu. Masyarakat Kabizu Beijello memaknai ritual Todi Kadawu sebagai

ritual pengucapan syukur dan terimakasih kepada roh-roh gaib. Masyarakat

Kabizu Beijello telah diberi izin dan diperkenankan oleh roh-roh gaib untuk

mengambil material bangunan. Selain itu, masyarakat Kabizu Beijello juga telah

mendapatkan pertolongan dan bantuan dari roh-roh gaib sehingga proses

pengambilan material bangunan dapat berjalan dengan lancar dan sukses. Oleh

karena itu, masyarakat Kabizu Beijello harus mengucap syukur dan terimakasih

atas izin, pertolongan dan bantuan itu.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 167: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

150

Masyarakat Kabizu Beijello meyakini bahwa apabila ritual todi kadawu ini

tidak dilakukan, maka proses selanjutnya baik pada saat mengeluarkan kayu dari

hutan, maupun dalam perjalanan menuju ke tempat pembangunan rumah besar

tidak akan berjalan dengan lancar. Berdasarkan hasil wawancara dengan informan

diberi kesaksian bahwa dalam dinamika spiritual Marapu, setiap rencana yang

telah diniatkan bersama-sama dengan Marapu baik melalui ritus Urrata maupun

Saiso, apabila mencapai keberhasilan harus dibuatkan upacara pengucapan

syukur. Apabila upacara pengucapan syukur itu tidak dilakukan, Marapu akan

murka dan menyebabkan manusia akan mendapatkan malapetaka. Oleh karena itu,

masyarakat Marapu harus menjaga harmonisasi dengan Marapu dengan cara

harus melakukan ritual pengucapan syukur. Misalnya, setelah berhasil menebang

pohon dan memotong tali masyarakat harus membuat ritual Todi Kadawu sebagai

tanda syukur dan terimakasih kepada Marapu (W/NKLMKB/11).

Berdasarkan seluruh paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa tuturan

pamalangiwa inna, paosawa ama (terimakasih kepada Ibu, syukur kepada Bapak)

pada data 29 dan tuturan natogola manairobage, namawellita mawanabage pada

data 30 mengandung nilai membina kehidupan bersama yang harmonis dengan

leluhur dan roh-roh gaib. Adapun nilai yang dimaksud adalah dalam hidup jangan

lupa mengucap syukur dan berterimakasih atas setiap bantuan, pertolongan dan

keberhasilan yang dicapai. Hendaknya nilai tersebut harus selalu dihayati dan

diamalkan dalam kehidupan bersama demi terciptanya keseimbangan, keselarasan

dan keharmonisan baik dengan insan berbudi, leluhur dan roh-roh gaib. Perilaku

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 168: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

151

hidup selalu bersyukur dan berterimakasih akan membawa manusia pada

ketenangan hidup, kedamaian hati, kerukunan dan keberkatan dalam hidup.

4.2.2.7 Rekonsiliasi

Rekonsiliasi dapat diartikan sebagai upaya untuk memperbaiki hubungan

sosial yang hasil akhirnya adalah perdamaian (Gogali, 2008 dalam Nugraha,

2019:344). Rekonsiliasi diartikan sebagai perbuatan memulihkan persahabatan ke

keadaan semula (KBBI, 2016 daring). Dalam konteks penelitian ini, rekonsiliasi

merupakan suatu upaya untuk meminta maaf atau memohon pengampunan

sebagai konsekuensi atas pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat Kabizu

Beijello. Rekonsiliasi menjadi hal yang sangat penting untuk dilakukan ketika

seorang anggota Kabizu melakukan pelanggaran terhadap perintah Marapu. Hal

ini nampak dalam tuturan dalam tradisi lisan Padede Uma Kalada sebagai berikut.

Data 31. O2/ESK6

Lakkawa’ikunamme adirakapababa touna , aakitapaleira wekkina

Kendatipun ada yang beraib tubuhnya, berdosa badannya

Kendatipun ada yang memiliki aib dan dosa

Du kettekageole, du pagukawi pangngu

Janganlah ikat bersama, jangan simpul bergandeng

Janganlah engkau melibatkannya dengan kami

Konteks:

Data ini merupakan bagian dari data tradisi lisan pada tahap Saiso sebelum

membuat loteng rumah. Data tradisi lisan tersebut dituturkan oleh Ata Urrata

dalam ritual Urrata. Data tradisi lisan ini merupakan doa kepada nenek moyang.

Dalam doa itu, masyarakat Kabizu Beijello memohon khidmat, keselamatan,

pengampunan dan keberhasilan kepada nenek moyang.

Dalam dinamika spiritual Marapu, perilaku hidup untuk selalu menjaga

keselarasan dan keharmonisan dalam kehidupan di alam semesta ini merupakan

perilaku hidup seturut cita rasa Marapu. Marapu sangat menghargai setiap orang

yang menunjukkan perilaku hidup sesuai dengan norma dan ajaran Marapu.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 169: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

152

Marapu mempunyai kuasa untuk memberi berkat dan menyelamatkan manusia

apabila manusia hidup sesuai dengan kehendak Marapu. Sebaliknya, manusia

akan mendapatkan hukuman dan malapetaka apabila menunjukkan perilaku hidup

yang tidak sesuai cita rasa Marapu. Oleh karena itu, menjaga keharmonisan dan

keseimbangan dalam dinamika spiritual Marapu, tidak hanya dengan sesama

manusia, melainkan juga dengan alam roh (Marapu).

Salah satu cara menjaga harmonisasi dengan Marapu adalah meminta maaf

apabila manusia melakukan perbuatan yang melanggar perintah Marapu. Dalam

keyakinan masyarakat Marapu, orang yang melanggar perintah Marapu apabila

tidak meminta maaf tidak akan mendapatkan keberkatan dalam hidup. Tuturan

lakkawa’ikunamme adirakapababa touna, aakitapaleira wekkina (kendatipun ada

yang beraib tubuhnya, berdosa badannya. Du kettekageole, du pagukawi pangngu

(Janganlah ikat bersama, jangan simpul bergandeng). Kedua tuturan ini dituturkan

dalam ritual Saiso sebelum membuat loteng rumah. Dalam budaya masyarakat

Sumba sebelum membuat loteng rumah terlebih dahulu harus dilakukan upacara

Saiso. Ritual Saiso dalam konteks tuturan ini merupakan ritual permohonan

pertolongan, perlindungan dan keselamatan kepada Marapu. Selain itu, ritual ini

juga dimaknai sebagai ritual rekonsiliasi dengan Marapu.

Ata Saiso memohon kepada Marapu bahwa pada saat membuat loteng

rumah ditemui anggota keluarga yang beraib tubuhnya, yang berdosa badannya,

yang tidak bersih dirinya, yang melakukan perbuatan yang menyimpang dari

amanat Marapu agar diampuni. Hal itu dilukiskan pada tuturan du kettekageole,

du pagukawi pangngu (janganlah ikat bersama, jangan simpul bergandeng).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 170: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

153

Tuturan ini merujuk pada permohonan agar Marapu tidak menghitung-hitung

kesalahan dari anggota keluarga yang turut ambil bagian dalam proses pembuatan

loteng rumah sehingga seluruh proses pembuatan rumah dapat berjalan dengan

lancar dan berhasil. Seiring dengan itu pula, kehormatan dan nama baik Kabizu

Beijellopun ikut terjaga.

Masyarakat Kabizu Beijello memandang bahwa malapetaka yang dialami

satu orang saja pada saat membangun Uma Kalada diyakini sebagai pencemaran

nama baik. Oleh karena itu, sebelum membuat loteng rumah terlebih dahulu harus

dilakukan upacara rekonsiliasi dengan Yang Ilahi dan Marapu. Apabila upacara

rekonsiliasi ini tidak dilakukan atau dibuat, masyarakat Kabizu Beijello meyakini

bahwa akan ada malapetaka yang terjadi selama proses pembuatan loteng rumah

dan pembuatan loteng rumah tidak akan berhasil.

Uma Kalada (rumah besar) bagi masyarakat Marapu merupakan tempat

bagi orang yang bersih dirinya dan suci hatinya. Tempat bagi orang-orang yang

tidak melakukan pelanggaran sesuai dengan yang diamanatkan oleh Marapu,

seperti jangan membunuh, jangan mencuri, jangan berzinah, jangan berbohong

atau bersaksi dusta, harus menepati janji-janji adat. Atas dasar ini, masyarakat

Kabizu Beijello yang merasa diri melanggar perintah Marapu, sebelum pergi

mengikuti upacara adat di rumah besar terlebih dahulu harus melakukan upacara

rekonsiliasi di rumah mereka masing-masing. Dalam upacara ini, masyarakat

Kabizu Beijello dengan kesadaran penuh harus mengakui kesalahan dan dosa yang

diperbuat. Pengampunan dari Marapu dapat dilihat melalui usus dan hati ayam

yang dikorbankan sekaligus merupakan silih atas dosa yang diperbuat. Apabila

dari hasil ramalan menunjukkan bahwa orang yang memohon pengampunan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 171: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

154

tersebut tidak diampuni, maka orang tersebut tidak akan pergi mengikuti perayaan

atau upacara di rumah besar termasuk upacara membangun rumah besar. Apabila

orang tersebut memaksakan diri untuk mengikuti upacara di rumah besar diyakini

orang itu akan mendapatkan malapetaka. Selain itu, tentu Rato Uma Kalada juga

tidak akan mengizinkan orang yang melanggar perintah Marapu untuk ambil

bagian dalam proses pembangunan rumah besar. Hal ini demi menjaga nama baik

Kabizu.

Terkait dengan upaya rekonsiliasi dan dosa-dosa yang dilarang oleh

Marapu, baiknya disimak berdasarkan informasi dari informan sebagai berikut.

Dalam hal dosa dan kesalahan terdapat beberapa dosa yang paling dibenci

oleh Marapu, yakni Dala (berzina), kedu (mencuri), pamate ata

(membunuh), dan boto (berbohong, bersaksi dusta, dan tidak menepati

janji). Dosa-dosa inilah yang mencemari suku sehingga kedua hal ini sangat

dibenci oleh marapu. Untuk mendapatkan pengampunan dari Marapu maka

harus dibuatkan upacara pemulihan kanna madiina kenga da kara (agar dia

menduduki paha yang tidak berkoreng), kanna kajatuna susu dakilla (agar

dia menyusu dari susu yang tidak beracun). Yang memiliki makna agar

orang tersebut kembali ke pangkuan Marapu dan Tuhan Yang Maha

Penyayang dan Pengasih. Tuturan ini mengandung nilai pertobatan. Agar

tersebut kembali kepada Ibu dan Ayahnya dan diapun diberkati. Dengan

penyesalan atas dosa melalui upacara rekonsiliasi orang akan mendapatkan

balasan yang besar dari Tuhan (W/NKLMKB/12).

4.2.2.8 Nilai Religius

Masyarakat Kabizu Beijello sebagai masyarakat Marapu tidak hanya

percaya kepada Marapu atau kekuatan gaib yang lainnya. Akan tetapi, juga

memiliki kepercayaan kepada Wujud Tertinggi, yakni Tuhan. Selaras dengan

pandangan ini, Soelarto dalam buku yang berjudul “Budaya Sumba Jilid I” yang

diterbitkan oleh DITJEN Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,

juga menemukan bahwa justru kepercayaan Marapu sendiri secara asasi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 172: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

155

(prinsipil) tidak mengakui adanya Marapu pencipta alam semesta, Marapu yang

paling tinggi tingkat derajatnya. Karena yang paling tinggi tingkat derajatnya

ialah Yang Mencipta seisi alam semesta, Yang Membentuk kehidupan, Yang

Memberi nyawa, Yang Bertelinga dan Yang Bermata Mahabesar. Terkait dengan

hal ini, nilai religius yang dihidupi oleh masyarakat Kabizu Beijello tampak dalam

data berikut.

Data 32. O1/ ES12

Nadukkiwe na’i labe a belleka, pari’i a kaladana

Sampai kepada Dia di sana cincin yang lebar , tiang yang besar

Sampai kepada Sang Khalik yang menciptakan dan menaungi seluruh umat

manusia

Ina A Mawolo , Ama A Marawi

Ibu yang mencipta, Bapak yang menjadikan

Tuhan yang menjadikan dan menciptakan manusia dan seluruh alam semesta

Konteks:

Data ini merupakan bagian dari data tradisi lisan pada tahap Saiso sebelum

membuat loteng rumah. Data tradisi lisan tersebut dinyanyikan oleh Ata Saiso

dalam ritual Urrata. Data tradisi lisan ini merupakan doa kepada nenek moyang.

Dalam doa itu, masyarakat Kabizu Beijello memohon khidmat, keselamatan,

pengampunan dan keberhasilan kepada nenek moyang.

Tuturan-tuturan pada data 32 di atas dituturkan oleh Ata Saiso dalam

konteks doa kepada Wujud Tertinggi melalui perantaraan Marapu pada ritual

Saiso. Ritual Saiso dalam konteks data ini adalah ritual permohonan keselamatan

dan keberhasilan selama pembuatan loteng rumah besar. Melalui tuturan-tuturan

dalam ritual Saiso dapat diidentifikasikan nilai religiusitas pada masyarakat

Kabizu Beijello.

Tuturan nadukkiwe na’i Labe A Belleka, Pari’i A Kaladana yang berarti

sampai kepada Dia di sana, cincin yang lebar, tiang yang tinggi merujuk pada

Tuhan sebagai Wujud Tertinggi yang digambarkan sebagai cincin yang lebar dan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 173: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

156

tiang yang besar. Selain itu, Tuhan diyakini sebagai Yang Esa. Kepercayaan itu

tampak jelas dalam tuturan Ina A Mawolo, Ama A Marawi yang berarti Ibu yang

mencipta, Bapak yang menjadikan. Masyarakat Kabizu Beijello percaya bahwa

Tuhan itu Ibu sekaligus Bapak yang menciptakan dan menjadikan segala sesuatu,

yang memisahkan jari tangan dan kaki, serta yang membentuk tubuh manusia.

Terkait dengan ini, dalam Wawancara dengan informan ketika peneliti

mengajukan pertanyaan “Mengapa masyarakat Kabizu Beijello menyebut Tuhan

dengan ungkapan Dappa Tekki Ngara, Dappa Summa Tamo?” diberi kesaksian

bahwa masyarakat Kabizu Beijello menyebut Tuhan dengan ungkapan demikian

karena namaNya sangat keramat dan sakral. Oleh karena itu, namaNya tidak dapat

disebutkan secara sembarangan. Ini merupakan bentuk penghormatan dan

ketakwaan terhadap ke-Allahan dan ke-Ilahian Tuhan sebagai Pencipta dan

Penguasa seluruh alam jagad raya beserta isinya. Untuk menghormati Keluhuran

dan Kemuliaan Tuhan sebagai Yang Agung, Ilahi dan Esa, masyarakat selalu

menyebut nama Tuhan secara berpasangan, misalnya Ina Mawolo, Ama Marawi

(Ibu Yang Mencipta, Bapak Yang menjadikan) (W/NKLMKB/13).

4.2.3 Jati Diri Masyarakat Kabizu Beijello yang Terdapat dalam Tradisi

Lisan Teda pada Upacara Padede Uma Kalada

Jati diri merupakan ciri khas berdasarkan sifat atau tingkah laku baik secara

perseorangan ataupun kelompok, jati diri ini juga bisa berarti sebuah penilaian

dari pihak luar terhadap seseorang atau kelompok yang mengamatinya (Alfian,

2013: 427-428). Jati diri adalah sesuatu yang membuat kita lekas mengenali

seseorang dari tutur kata, perilaku dan pandangannya (Somantri, 2010). Dengan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 174: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

157

demikian, berdasarkan kedua pandangan pakar ini dapat disimpulkan bahwa jati

diri merupakan ciri khas yang dimiliki oleh setiap individu, suatu kelompok atau

komunitas tertentu yang dapat diamati melalui pola perilaku, tutur kata dan

tindakan yang dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Berdasarkan hasil identifikasi data sebagaimana telah dipaparkan pada

bagian deskripsi data ditemukan 7 wujud jati diri masyarakat Kabizu Beijello,

yakni (1) masyarakat yang selalu membina sikap bermusyawarah, (2) masyarakat

yang solider, (3) masyarakat yang menghormati pemimpin, (4) masyarakat

agraris, (5) masyarakat yang menghormati Marapu, (6) masyarakat ritual, (7)

masyarakat religius. Ketujuh wujud jati diri masyarakat Kabizu Beijello ini

dipaparkan sebagai berikut.

4.2.3.1 Masyarakat yang Selalu Membina Sikap Bermusyawarah

Musyawarah merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh sekelompok

orang atau komunitas dengan tujuan untuk membahas, merembukkan atau

merundingkan masalah-masalah yang dihadapi dengan tujuan untuk menemukan

solusi dari masalah yang dihadapi tersebut. Solusi yang diputuskan harus

merupakan hasil kesepakatan bersama dari komunitas atau kelompok yang

bermusyawarah. Pratiwi dan Sunarso (2018: 200) menjelaskan bahwa

musyawarah merupakan kegiatan berembuk dan berunding untuk memecahkan

masalah yang menghasilkan kesepakatan bersama. Musyawarah masyarakat

Kabizu Beijello dalam pembuatan rumah besar umumnya terjadi dalam tiga tahap,

yakni (1) musyawarah antara tetua adat rumah besar dengan tetua adat rumah

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 175: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

158

kecil, (2) tetua adat rumah besar, tetua adat rumah kecil dengan anggota rumah

kecil, dan (3) tetua adat rumah besar, tetua adat rumah kecil dengan utusan dari

masing-masing rumah kecil yang dilakukan di rumah besar.

Wujud musyawarah antara tetua adat rumah besar dan tetua adat rumah

kecil tergambarkan pada data tradisi lisan sebagai berikut.

Data 33. A1/ES1

Nyado nebahinna ne’e ole bawaikoga , maida neti tidi

Baik sekarang ini kawan jika saya ada, saya datang di sini di samping

barrami neti oma dana

dekat kalian di kebun

Baik, jika saat ini saya berada di sini, di rumah kecil ini

Neti dari tana, batu ruta. Ini garuk tanah, cabut rumput

Di sini di rumah kecil

Nemme nakarewe ebana, nakarawuwe logena.

Di sana dia lapuk pinggangnya, dia berantakan rambutnya

Ini terkait badan rumah nenek moyang kita yang sudah lapuk kayunya dan

rusak atapnya

Tuta pomawo loddo, kada pomawo urra.

payung pelindung hujan, payung pelindung hujan

Rumah yang dapat memberikan kenyamanan, perlindungan, yang dapat

mempersatukan dan mendamaikan

Konteks:

Tuturan lisan di atas merupakan bagian dari tradisi lisan yang dituturkan oleh

Rato Uma Kalada Kabizu Beijello (pemimpin klan Kabizu Beijello) yang

ditujukan kepada Rato Uma Kii (tetua adat rumah kecil) pada tahap yapatekki

(pemberitahuan). Tahap Yapatekki merupakan tahap diskusi antara tetua adat

rumah besar dengan tetua adat rumah kecil. Tujuan dari diskusi itu adalah untuk

membahas terkait rumah besar yang telah mengalami pelapukan dan kerusakan.

Diskusi ini dilakukan di rumah kecil.

Tuturan lisan pada data 33 di atas dituturkan pada tahap yapatekki. Secara

harfiah yapatekki berarti pemberitahuan. Akan tetapi, dalam kaitannya dengan

proses pembangunan rumah besar seperti tampak pada data 33 di atas, yapatekki

bermakna perundingan, pendiskusian atau perembukan masalah-masalah yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 176: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

159

ditemukan terkait dengan rencana pembangunan rumah besar. Wujud musyawarah

yang tampak pada data 33 di atas adalah musyawarah antara tetua adat rumah

besar dengan tetua adat rumah kecil.

Masyarakat Kabizu Beijello memandang rumah besar sebagai tempat yang

memberikan kenyamanan dan perlindungan, tuta pomawo loddo, kada pomawo

urra (paying pelindung dari matahari, payung pelindung dari hujan). Selain itu,

rumah besar itu jugalah yang menjadi tempat bersemayam roh-roh nenek moyang.

Ketika rumah tersebut mengalami pelapukan kayu dan kerusakan atap, maka tetua

adat akan menemui masing-masing tetua adat rumah kecil untuk berembuk

bersama mengenai rencana pembangunan rumah besar. Hal ini digambarkan

dalam tuturan nyado nebahinna ne’e ole bawaikoga, maida neti tidi barrami neti

omadana (baik, jika saat ini saya berada di sini, di rumah kecil ini). Nemme

nakarewe ebana, nakarawuwe logena. (Ini terkait badan rumah nenek moyang

kita yang sudah lapuk kayunya dan rusak atapnya). Kedua tuturan ini dituturkan

oleh tetua adat rumah besar yang ditujukan kepada tetua adat rumah kecil. Kedua

tuturan dalam data ini memperlihatkan bahwa tujuan pelaksanaan musyawarah ini

adalah untuk membahas atau merundingkan terkait rumah besar yang sudah lapuk

kayunya dan rusak atapnya.

Proses musyawarah untuk membangun rumah besar dalam budaya

masyarakat Kabizu Beijello, tidak hanya dilakukan pada level tetua adat rumah

besar dengan tetua adat rumah kecil. Akan tetapi, juga terjadi antara tetua adat

rumah besar, tetua adat rumah kecil dengan anggota rumah kecil. Hal itu

tergambarkan pada data C1/ESK1 (lihat tabulasi data).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 177: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

160

Data C1/ESK1 dituturkan pada tahap musyawarah di rumah kecil.

Masyarakat Kabizu Beijello memiliki tradisi bahwa setelah terdapat kesepakatan

antara tetua adat rumah besar dengan tetua adat rumah kecil, akan ditentukan

waktu untuk pertemuan bersama antara tetua adat rumah besar, tetua adat rumah

kecil, dengan anggota rumah kecil. Rumah besar merupakan rumah Kabizu. Oleh

karena itu, semua anggota Kabizu harus dilibatkan dalam seluruh rencana

pembangunan rumah besar termasuk pada saat musyawarah. Jika anggota rumah

kecil tidak dilibatkan dalam musyawarah maka mereka tidak akan melibatkan diri

dalam proses pembangunan rumah besar. Hal itu karena anggota Kabizu Beijello

tersebut merasa kurang dihargai.

Wujud musyawarah antara tetua adat dengan anggota Kabizu pada data di

C1/ESK1 tampak pada tuturan ‘jika saat ini kita banyak dan berkumpul di sini.

Jika kita berkumpul dan berhimpun di sini. Ini terkait dengan rumah leluhur kita.

Kita mengapakan’. Pada tuturan ini menggunakan tuturan ‘kita banyak’ dan

‘berkumpul’ yang memberikan gambaran nyata bahwa dalam musyawarah itu

tidak hanya melibatkan tetua adat, tetapi juga anggota rumah kecil. Musyawarah

pada level ini bertujuan untuk mengetahui pernyataan dukungan dari anggota

Kabizu terkait dengan rencana pembangunan rumah besar. Selain itu, juga akan

dibahas beberapa hal mendasar terkait dengan rencana pembangunan rumah besar

yang meliputi waktu pembangunan rumah besar, tempat pengambil material

bangunan, tanggung jawab yang akan diambil oleh anggota rumah kecil, dan

waktu untuk musyawarah terakhir di rumah besar.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 178: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

161

Musyawarah terakhir adalah musyawarah di rumah besar yang melibatkan

tetua adat rumah besar, tetua adat rumah kecil, dan utusan dari anggota rumah

kecil. Hal ini tergambarkan pada data F1/ES7 (lihat tabulasi data). Musyawarah

terakhir merupakan musyawarah puncak dalam Kabizu Beijello yang terjadi di

rumah besar induk. Ruang lingkup musyawarah ini lebih luas dibandingkan

dengan dua level musyawarah seperti yang telah dipaparkan di atas. Keputusan-

keputusan musyawarah yang telah disepakati pada saat musyawarah di rumah

kecil akan diramu dan dibahas lebih lanjut pada musyawarah puncak ini.

Musyawarah pada level ini melibatkan tetua adat rumah besar, tetua-tetua adat

rumah kecil dan utusan dari masing-masing keluarga besar rumah kecil. Utusan

itu merupakan orang-orang terpilih yang mempunyai jiwa kepemimpinan, berani,

cakap, mampu menyampaikan aspirasi dan hasil keputusan yang telah disepakati

bersama pada saat musyawarah di rumah kecil.

Tetua adat rumah besar pada data F1/ES7 digambarkan pada tuturan lappata

yamme newe a dita wee, a poi api (serta kami di sini yang menghuni rumah

besar). Sementara itu, tetua adat rumah kecil dan utusan dari masing-masing

keluarga besar rumah kecil digambarkan pada tuturan lisan nemme a wali niri

kedu, liri wawi (di sana yang berasal dari rumah-rumah kecil). A wali Gola Mali

Ege, Tako Mali Deta (yang berasal dari Gola Mali Ege, Tako Mali Deta).

Pelibatan tetua adat rumah besar, tetua adat rumah kecil dan utusan dari

masing-masing keluarga besar rumah kecil pada musyawarah puncak ini didasari

oleh pandangan bahwa rumah besar merupakan rumah dari semua orang yang

terikat secara genealogis dengan Kabizu Beijello. Pelibatan ini demi menjaga

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 179: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

162

keharmonisan satu sama lain yang akan berdampak pula pada suksesnya

pembangunan rumah besar. Hal itu sebagaimana diungkapkan oleh informan

sebagai berikut.

Uma Kalada (rumah besar) bukanlah merupakan rumah satu orang. Akan

tetapi, rumah ini merupakan rumah banyak orang, uma kabizuwe (ini

merupakan rumah klan). Jadi, semua anggota Kabizu dilibatkan dalam

musyawarah. Peiwe pata pakeddewe, pirrabapakeddewe, gagarra

bertanggung jawab, babapakeddewe, batauge tolakana, batauge ngaingo

gagarra patekki (bagaimana cara membangun, kapan proses membangun

dilakukan, siapa-siapa yang harus bertanggung jawab dan pada saat

pendirian tiang, pemuatan bubungan rumah dan pengatapan siapa-siapa

yang harus diundang). Ini semua harus dibicarakan. Musyawarah pertama-

tama dilakukan antar tetua adat, lalu tetua-tetua adat dengan anggota Kabizu

yang dilakukan di rumah kecil, dan musyawarah terakhir di rumah besar.

Hasil keputusan dari masing-masing keluarga besar rumah kecil akan

disimpulkan pada saat musyawarah di rumah besar. Proses pembangunan

rumah besar ini bukanlah merupakan hal yang mudah. Oleh karena itu, perlu

perundingan, perlu musyawarah sehingga tidak ada yang tersinggung karena

tidak dilibatkan. Apabila tidak dirunding atau dimusyawarahkan, maka

kakodou-kakodoubana ba (semuanya berjalan sendiri-sendiri) yang akan

berdampak pada proses pembangunan rumah tidak berhasil (W/JDMKB/1).

4.2.3.2 Masyarakat Kabizu Beijello sebagai Masyarakat yang Solider

Solidaritas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2016) memiliki

pengertian sifat atau perasaan solider; sifat satu rasa; persaan setia kawan.

Masyarakat Kabizu Beijello sebagai masyarakat Marapu yang terlahir dari satu

nenek moyang selalu mengutamakan sifat atau perasaan senasib, sepenanggungan

dan setia kawan dalam berperilaku hidup sehari-hari. Wujud jati diri solidaritas

itu, tampak pada data tradisi lisan dalam upacara Padede Uma Kalada sebagai

berikut.

Data 34. H2/ES6

Nebahinna kapandege hettibama kalola wawi,

Saat ini, agar kalian mengetahui kami pergi sudah berburu babi

amagesowa kedu

mengejar kera

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 180: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

163

Konteks: Tuturan lisan di atas merupakan bagian dari data tradisi lisan pada tahap

pertemuan satu keluarga besar Kabizu Beijello di rumah besar. Tuturan lisan itu

dituturkan oleh Ata Urrata dalam ritual Urrata. Ritual Urrata ini dilakukan

setelah pengambilan ikrar atau sumpah adat yang ditandai dengan pembagian sirih

pinang. Dalam konteks data ini, ritual Urrata dimaknai sebagai doa kepada

Marapu. Dalam doa itu, Ata Urrata memohon perlindungan, keselamatan dan

keberhasilan kepada nenek moyang.

Masyarakat Kabizu Beijello senantiasa menanamkan perilaku kerja sama

dalam membangun sebuah rumah besar. Kerja sama dilandasi oleh suatu ikatan

genealogis, yakni berasal dari satu nenek moyang. Kesamaan inilah yang

membuat masyarakat Kabizu Beijello merasa senasib dan sepenanggungan dalam

kehidupan bersama. Wujud dari perasaan senasib dan sepenanggungan tersebut

menyata dalam solidaritas membangun rumah besar. Masyarakat memandang

bahwa rumah besar merupakan rumah nenek moyang. Kesadaran akan asal usul

dari satu nenek moyang yang sama itulah yang menggerakkan masyarakat untuk

solider saat memotong tali dan menebang pohon seperti yang dilukiskan dalam

tuturan nebahinna kapandege hettibama kalola wawi, amagesowa kedu (saat ini

kami sudah pergi berburu babi, kami sudah pergi berburu kera). Tuturan ‘berburu

kera’ dan ‘berburu babi’ dalam konteks data di atas dimaknai sebagai aktivitas

memotong tali dan menebang pohon untuk membangun rumah besar.

Dalam budaya masyarakat Kabizu Beijello pada zaman dahulu pemotongan

pohon tidak dilakukan secara sembarangan. Akan tetapi, harus melalui proses

memilih dan memilah mana yang benar-benar berkualitas dan kuat. Untuk

mengetahui pohon itu berkualitas bagus maka harus ditombak terlebih dahulu.

Apabila pohon itu mengeluarkan ‘darah’ yang berwarna merah kehitam-hitaman

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 181: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

164

yang mengindikasikan bahwa pohon tersebut berkualitas dan kuat. Hal itu

tergambarkan pada data 34 di atas, yakni pada tuturan babamma kalolakowa

wawi, kamma kolekina wawi apaulle. Babamma magesokowa kedu, kamma

kolekina kedu a padari. Tuturan ‘wawi apaulle’ (babi yang bertaring) dimaknai

sebagai kayu yang kuat dan berkualitas bagus. Sementara itu, tuturan ‘kedu

apadari’ (kera yang berjenggot) dimaknai sebagai tali yang kuat dan berkualitas

bagus pula.

Tuturan-tuturan di atas dituturkan dalam konteks doa kepada Marapu. Ata

Urrata dalam doa tersebut menggunakan kata hettibama (kami hendak pergi),

bamma (jika kami), dan kamma (agar kami) yang menandakan bahwa ada

kekompakan dan kesatuan tekad dari anggota-anggota Kabizu yang pergi

menebang kayu dan memotong tali. Bukti kesatuan tekad, niat dan kekompakan

dari masyarakat itu disampaikan kepada Marapu melalui ritual Urrata. Dalam

dinamika spiritual Marapu segala sesuatu yang telah disampaikan kepada Marapu

harus dipatuhi dan ditaati. Oleh karena itu, untuk mensukseskan harapan bersama

yang telah disampaikan kepada Marapu, yakni kesuksesan pada saat menebang

kayu dan memotong tali seluruh anggota Kabizu harus selalu senasib dan saling

mendukung dan bekerja secara Bersama-sama.

Wujud jati diri solidaritas yang dipraktekkan oleh masyarakat Kabizu

Beijello selain pada saat menebang kayu dan memotong tali, juga tampak pada

saat mengeluarkan kayu dari hutan menuju ke tempat pembuatan rumah besar.

Wujud solidaritas itu tampak pada data tradisi lisan berikut.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 182: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

165

Data 35. L1/ESK3

Djooooo appaatawu nemme a lollungo malawo mangu ana,

Hallo, siapakah kamu di sana yang beriringan bagai tikus membawa anak

Abiringo tawewe mangu tollu?

yang berkelompok bagai ayam hutan membawa telur?

Hallo, siapakah kalian yang datang beriring-iringan, yang berbondong-

bondong?

Akangira dara kodi , akabara bongga dawa

Yang meringkik bagaikan kuda Kodi, yang menyalak bagaikan anjing Jawa

Yang datang dengan pakallaka (ringkikan) dan payawau (teriakan)

Konteks: Tuturan lisan di atas merupakan bagian dari data tradisi lisan pada tahap ritual

Oka. Tuturan lisan dalam ritual Oka ini dituturkan oleh Rato Marapu yang

bertugas sebagai penanya dari pihak tuan rumah. Masyarakat Kabizu Beijello

memiliki tradisi menyambut tamu atau rombongan yang hendak memasuki

kampung dengan maksud tertentu. Tradisi itu disebut Oka. Ritual Oka itu

dilakukan di depan pintu masuk kampung. Tujuan pelaksanaan ritual ini adalah

untuk menanyakan dan menyelidiki rombongan yang hendak memasuki kampung

dengan membawa material bangunan.

Wujud jati diri solider yang digambarkan pada data 36 di atas adalah adanya

perasaan senasib dan sepenanggungan pada saat bergotong royong menarik dan

mengangkat kayu serta tali dari hutan untuk dibawa ke tempat pembuatan rumah

besar. Pada data di atas tampak pada tuturan djooooo appaatawu nemme a

lollungo malawo mangu ana, abiringo tawewe mangu tollu? Tuturan lisan ini

mengandung makna metaforis bahwa a lollungo malawo mangu ana (yang

beriring-iringan bagaikan tikus membawa anak) dan abiringo tawewe mangu tollu

(yang berbondong-bondong bagaikan ayam hutan membawa telur) dimaknai

sebagai masyarakat Kabizu Beijello yang berbondong-bondong dan beriring-

iringan pada saat bekerja sama dan bergotong royong dalam menarik kayu dan

memikul tali. Dalam iring-iringan ini tidak hanya melibatkan kaum laki-laki,

tetapi juga kaum perempuan. Semuanya menyatukan tekad dan saling

memberikan semangat agar prosesi penarikan kayu dan tali ini dapat tercapai

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 183: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

166

sesuai dengan yang diharapkan bersama. Sebagaimana dalam data di atas, penutur

adat melanjutkan, akangira dara kodi, akabara bongga dawa. Tuturan lisan ini

mengandung makna metaforis, yakni akangira dara kodi (yang meringkik

bagaikan kuda Kodi) merujuk pada teriakan-teriakan khas kaum perempuan

Sumba, yakni pakallaka. Sementara itu, tuturan lisan akabara bongga dawa (yang

menyalak bagaikan anjing Jawa) merujuk pada teriakan-teriakan khas kaum laki-

laki Sumba, yakni kabara/payawau.

Dalam prosesi adat penarikan kayu, setiap tarikan kayu selalu diiringi

kabara/payawau dan pakallaka dengan tujuan untuk membangkitkan semangat

dari masyarakat yang menarik kayu dan memikul tali. Biasanya teriakan-teriakan

ini diawali dengan kabara/payawau, kemudian disahut oleh kaum perempuan

dengan pakallaka. Pembangunan rumah adat ini merupakan harapan dan niat

bersama. Oleh karena itu, demi suksesnya rencana ini, seluruh anggota Kabizu

saling mendukung dan memberikan semangat dalam suasana kegembiraan dan

penuh sukacita. Dengan kabara dan pakallaka semua orang yang terlibat dalam

prosesi penarikan kayu ini merasa memperoleh semangat baru, seolah-olah

memperoleh roh dan kekuatan baru sehingga tidak akan merasa capek atau lelah

karena semuanya dilakukan dalam suasana kebersamaan, kekompakan,

kegembiraan dan penuh sukacita.

Selain pada kedua data tradisi lisan di atas, wujud jati diri solider yang

dipraktekkan oleh masyarakat Kabizu Beijello tergambar juga pada data tradisi

lisan berikut.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 184: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

167

Data 36. R1/ESK9

Nebahinna wa’ikuabana heti a wali liri kedu,

Saat ini, kami sudah berkumpul baik yang berasal dari pinggir kera,

liri wawi pinggir babi

Saat ini kami semua telah berkumpul di sini baik yang berasal dari rumah-

rumah kecil.

Lappata nawa dita we’e, a poi api

Dan juga kami di sini yang menimba air , yang meniup api

Dan juga kami di sini yang mendiami rumah besar ini

Wa’ikuawabama da’ibana lera eka bei,

Kami semua sudah berkumpul tidak ada lagi yang terbang ke lain ibu,

kedu eka ana yang lari ke lain anak

Tidak ada lagi yang berjalan sendiri-sendiri.

Kapandege , hetti damma toddukidi limmama ,

Agar kalian mengetahui, ini kami tidak menjunjung tangan kami,

damma lebakige logema

kami tidak melepas rambut kami

Agar kalian mengetahui bahwa kami tidak datang dengan tangan kosong

Manakabana manu, matewelabana yasa newe

Kami telah membawa ayam, kami telah menenteng beras di sini

Kami telah membawa ayam dan beras di sini

Konteks:

Data ini merupakan data tradisi lisan pada ritual Saiso peresmian rumah besar.

Data tradisi lisan ini dinyanyikan oleh Ata Saiso. Dalam nyanyian itu, Ata Saiso

menyampaikan kepada Marapu bahwa masyarakat Kabizu Beijello telah menepati

janji adat untuk melakukan syukuran peresmian rumah besar. Selain itu,

disampaikan juga kepada Marapu bahwa masyarakat Kabizu Beijello telah

menyatakan persatuan dan solidaritas.

Masyarakat Kabizu Beijello sebagai masyarakat yang terikat secara

geneologis selalu menumbuhkan semangat senasib dan sepenanggungan dalam

berbagai hal. Hal itu nampak dalam upacara peresmian rumah besar seperti yang

digambarkan pada data 36 di atas. Ata Saiso melantunkan doa kepada Marapu

dengan bertutur nebahinna wa’ikuabana heti a wali liri kedu, liri wawi (saat ini

kami semua telah berkumpul di sini baik yang berasal dari rumah-rumah kecil).

Tuturan ini memberikan gambaran nyata bahwa solider merupakan warisan luhur

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 185: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

168

nenek moyang masyarakat Kabizu Beijello. Warisan luhur itu menjadi dambaan

nenek moyang untuk dipraktikkan generasi penerusnya. Dengan demikian, tuturan

dalam doa pada data 36 di atas merupakan sebuah pemberitahuan kepada Marapu

bahwa seluruh anggota Kabizu Beijello telah berkumpul. Perkumpulan ini

merupakan wujud nyata dari adanya perasaan senasib dan sepenanggungan yang

dalam data 36 di atas digambarkan pada tuturan wa’ikuawabama da’ibana lera

eka bei, Kedu eka ana (kami semua sudah berkumpul tidak ada lagi yang terbang

ke lain ibu, yang lari ke lain anak).

Bukti nyata dari perilaku hidup solider itu, tidak hanya dengan datang

berkumpul di rumah besar. Akan tetapi, setiap anggota Kabizu Beijello dengan

kesadaran penuh dan tanpa paksaan dari siapapun membawa sumbangan dalam

berbagai bentuk. Sumbangan itu merupakan wujud dukungan untuk

menyukseskan seluruh rangkaian upacara peresmian rumah besar yang dalam data

36 di atas tergambarkan pada tuturan hetti damma toddukidi limmama (kami tidak

datang dengan tangan kosong). Manakabana manu, matewelabana yasa newe

(kami telah membawa ayam, kami telah menenteng beras di sini). Kata ‘manu’

(ayam) dan ‘yasa’ (beras) pada tuturan ini tidak hanya bermakna ayam atau beras,

tetapi ‘manu’ dimaknai sebagai hewan-hewan sembihan dan ‘yasa’ juga dimaknai

sebagai bahan makanan yang dibawa ke rumah besar. Setiap orang secara sukarela

membawa apa saja yang sanggup dibawa. Tidak ada suatu peraturan mutlak yang

mewajibkan anggota Kabizu Beijello untuk membawa jenis sumbangan baik itu

bahan makanan maupun hewan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 186: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

169

4.2.3.3 Masyarakat yang Menghormati Pemimpin

Pemimpin adalah orang yang mengemban tugas dan tanggung jawab untuk

memimpin dan bisa mempengaruhi orang yang dipimpinnya. Penghormatan

kepada pemimpin adalah pemberian hormat kepada orang yang memimpin (Kami

2018:131). Sehubungan dengan ini, sikap menghormati pemimpin merupakan

suatu sikap hormat yang ditunjukkan oleh sekelompok masyarakat kepada

pemimpinnya yang dilandasi oleh adanya kecakapan atau kelebihan-kelebihan

tertentu yang dimiliki oleh pemimpin tersebut.

Masyarakat Kabziu Beijello selalu menunjukkan sikap penghormatan

kepada pemimpin karena ada keyakinan bahwa pemimpin klan merupakan

penyalur dan pemberi berkat karena ia dianggap sebagai yang suci hatinya dan

bersih jiwanya sehingga doa-doanya didengarkan oleh Marapu. Selain itu,

diyakini pula bahwa pemimpin klan merupakan penghubung atau mediator antara

anggota masyarakat Kabizu Beijello dengan Marapu. Atas dasar pemahaman itu,

masyarakat Kabizu Beijello selalu menaruh sikap hormat, patuh dan taat kepada

pemimpin klan Beijello. Hal ini seperti yang digambarkan dalam tradisi lisan pada

upacara Padede Uma Kalada berikut.

Data 37. D1/ES3

Balummubadoge you ina , amama

Jika engkau sudah mengatakan demikian engkau ibu, bapak kami

Jika engkau sebagai ibu, bapak kami sudah mengatakan demikian

Neti yamme a ne’ena dari tana, batu ruta

Ini kami yang ada di garuk tanah cabut rumput

Kami di sini yang berasal dari rumah kecil

Neti yamme ma dara padeku, ma bongga pamane

Ini kami kami kuda penurut kami anjing pengikut

Kami hormati keputusan ini dan siap menjalankan amanat ini

Damma negokaibage pasilli , damma kabakaibage pakai

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 187: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

170

Kami juga tidak menari menghindar kami juga tidak ronggeng

mengelak

Kami juga tidak menghindar, kami juga tidak mengelak

Konteks:

Data tradisi lisan merupakan tanggapan tetua adat rumah kecil yang mewakili

suara hati dari keluarga besar rumah kecil. Tuturan lisan itu ditujukan kepada

tetua adat rumah besar sebagai pemimpin klan Beijello. Dalam tanggapan itu,

tetua adat menyampaikan bahwa seluruh anggota rumah kecil menaati keputusan

yang telah diambil oleh pemimpin klan dan siap melaksanakannya dengan penuh

tanggung jawab. Tuturan lisan ini dituturkan pada tahap musyawarah kedua di

rumah kecil.

Masyarakat Kabizu Beijello sebagai masyarakat yang selalu menghormati

pemimpin tampak jelas pada tuturan balummubadoge you ina, amama (jika

engkau sebagai Ibu dan Bapak kami sudah mengatakan demikian). Tuturan ini

memberikan gambaran nyata bahwa masyarakat Kabizu Beijello sangat

menghargai dan menghormati pemimpin spiritualitas tertinggi mereka, yakni Rato

Uma Kalada Kabizu Beijello. Wujud penghormatan ini terbukti dimana

masyarakat Kabizu Beijello menyapa Rato Uma Kalada Kabizu Beijello sebagai

Ina (ibu) dan sekaligus Ama (bapak). Ini merupakan bentuk penghormatan yang

tulus dan penuh kerendahan hati kepada Rato Uma Kalada Kabizu Beijello.

Sikap hormat dan taat masyarakat Kabizu Beijello kepada Rato Uma Kalada

Kabisu Beijello tidak hanya dilihat dalam perkataan, melainkan diwujudnyatakan

dalam tindakan. Hal itu digambarkan pada tuturan neti yamme madara padeku,

ama bongga pamane (kami seperti kuda yang penurut, kami seperti anjing yang

pengikut). Tuturan ini mengandung makna metaforis yang merujuk pada

masyarakat Kabizu Beijello yang siap menaati, menghormati dan siap

menjalankan seluruh amanat dari Rato Marapu Kabizu Beijello.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 188: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

171

Pada zaman dahulu masyarakat Sumba menggunakan dara (kuda) sebagai

alat transpotasi, sebagai kuda tunggang dan juga turut menanggung beban bawaan

tuannya. Sementara itu, bongga (anjing) selalu mengikuti tuannya kemanapun

mereka pergi. Walaupun anjing itu tersesat, tetapi akan tetap kembali ke rumah

tuannya. Dengan demikian, tuturan madara padeku dimaknai sebagai pernyataan

sikap masyarakat Kabizu Beijello yang turut merasakan dan menanggung beban

Rato Marapu Kabizu Beijello. Sementara itu, Tuturan mabongga pamane

dimaknai sebagai pernyataan sikap masyarakat Kabizu Beijello bahwa dimanapun

mereka berada akan tetap menaati, menghormati dan siap menjalankan setiap

keputusan Rato Marapu Kabizu Beijello dengan penuh tanggung jawab.

Pernyataan sikap penghormatan kepada Rato Uma Kalada Kabizu Beijello

tergambarkan pula pada tuturan damma negokaibage pasilli, damma kabakaibage

pakai. Tuturan ini dimaknai sebagai pernyataan sikap masyarakat Kabizu Beijello

yang patuh dan taat kepada pemimpin. Masyarakat Kabizu Beijello siap menuruti,

menghormati dan menjalankan keputusan yang telah diambil oleh pemimpin klan.

Dalam konteks data ini, masyarakat Kabizu Beijello menyatakan sikap ambil

bagian dalam seluruh proses pembuatan rumah adat sampai pada tahap rumah

adat siap dihuni. Sikap ini merupakan bentuk penghormatan dan penghargaan

Kabizu Beijello kepada pemimpin. Setiap keputusan yang telah ditetapkan tidak

boleh dilanggar. Apabila dalam perjalanan ada yang melanggarnya diyakini akan

mendatangkan malapetaka bagi orang yang melanggar tersebut.

Wujud nyata dari penghormatan terhadap Rato Uma Kalada Kabizu Beijello

sebagai pemimpin klan Beijello ditunjukkan oleh masyarakat Kabizu Beijello

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 189: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

172

dalam sikap siap melaksanakan setiap amanat dan perintah dari Rato Uma Kalada

Kabizu Beijello. Kesiapsediaan itu dinyatakan dalam data L2/ESK4 (lihat tabulasi

data). Tuturan madunnibawi oro, mabalibawi wewe dalam data ini mengandung

makna metaforis yang dimaknai sebagai pernyataan diri dari masyarakat Kabizu

Beijello yang telah melaksanakan amanat dari Rato Uma Kalada Kabizu Beijello.

Dalam amanat itu, masyarakat Kabizu Beijello diperintahkan untuk pergi

menebang kayu dan memotong tali.

Berdasarkan konteks, data L2/ESK4 dituturkan pada ritual Oka. Masyarakat

Kabizu Beijello memaknai ritual Oka ini untuk menanyakan siapakah rombongan

yang beriring-iringan dengan teriakan-teriakan yang khas. Selain itu, juga untuk

memberitahukan kepada khalayak yang menyaksikan ritual Oka bahwa

masyarakat Kabizu Beijello mematuhi dan menghormati pemimpin klan Beijello.

Wujud nyata dari penghormatan itu adalah masyarakat Kabizu Beijello

melaksanakan perintah dari Rato Uma Kalada Kabizu Beijello yang dalam data

ini ditunjukkan pada tuturan makolebawi wawi apa ulle, madekeba kedu. Tuturan

metaforis ini dimaknai sebagai pernyataan dari masyarakat Kabizu Beijello yang

telah kembali ke rumah besar dengan membawa kayu dan tali.

4.2.3.4 Masyarakat Kabizu Beijello sebagai Masyarakat Agraris

Masyarakat Sumba pada umumnya merupakan masyarakat petani. Petani

yang dimaksud adalah petani yang memiliki kegiatan ekonomi sangat bervariasi

dalam bidang pertanian dan peternakan. Pada umumnya masyarakat petani Sumba

memiliki mata pencaharian hidup bertani dan berternak. Dalam kegiatan pertanian

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 190: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

173

saja terdiri dari usaha lahan kering dan lahan basah (sawah). Dalam kegiatan

berternak masyarakat Sumba memelihara berbagai jenis ternak besar misalnya,

kerbau, sapi, kuda. Ternak kecil misalnya, ayam, sapi kambing, anjing, kucing

(Aluman, 2016a:24).

Masyarakat Kabizu Beijello sebagai bagian dari masyarakat Sumba

merupakan masyarakat petani. Petani dalam hal ini merujuk pada masyarakat

Kabizu Beijello yang dapat melakukan berbagai kegiatan yang dapat menunjang

dan menopang kehidupan ekonomi rumah tangga. Adapun kegiatan yang

dimaksud adalah kegiatan dalam bidang pertanian, peternakan, tukang besi atau

pandai besi, dan kegiatan-kegiatan kreatif lainnya misalnya, menenun, memintal

tali, membuat berbagai anyaman-anyaman dari rotan, daun pandan, daun lontar

dan bambu. Hal itu tergambarkan dalam data tradisi lisan sebagai berikut.

Data 38. Q1/ESK8

Banebahinnage bama kako hitti ,

Sehingga dengan demikian jika kami pulang ke sana,

hatti a neena omadana

itu yang berada di kebun

Sehingga dengan demikian, jika kami pulang, terutama semua keluarga yang

berasal dari rumah kecil

Banna pennikowa manu, kamanuamapennikia

Apabila dia memelihara ayam, agar dapat berkembang biak menjadi banyak

Apabila dia memelihara ayam, agar dapat berkembang biak menjadi banyak

Banna tauku wawi, kawawiamataukia

Apabila dia memelihara babi, agar dapat berkembangbiak dengan baik

Konteks:

Tuturan lisan di atas merupakan bagian dari tradisi lisan pada pada tahap Saiso

perjanjian dengan Marapu. Masyarakat Kabizu Beijello memiliki tradisi

memohon berkat, rahmat, dan perlindungan kepada Marapu. Dalam upacara

permohonan berkat ini, masyarakat Kabizu Beijello juga membuat perjanjian

dengan Marapu bahwa apabila sesuatu yang dimohonkan itu berhasil, maka akan

dibuatkan acara syukuran. Apabila perjanjian ini tidak ditepati diyakini bahwa

akan mendatangkan malapetaka. Perjanjian adat ini dilakukan melalui ritual

Urrata dan Saiso.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 191: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

174

Wujud jati diri bertani dan berternak sejatinya merupakan identitas atau jati

diri yang tidak dapat dilepaspisahkan dari kehidupan masyarakat Kabizu Beijello.

Wujud jati diri bertani dan berternak itu nampak bahwa masyarakat Kabizu

Beijello walaupun telah memiliki pekerjaan tetap, mereka juga tetap melakoni

praktik budaya bertani dan berternak. Ketika berkunjung ke rumah masyarakat

Kabizu Beijello, pasti ada kandang babi yang selalu terisi dengan minimal satu

ekor babi.

Masyarakat Kabizu Beijello meyakini bahwa praktik budaya bertani dan

berternak merupakan perilaku hidup nenek moyang. Hal itu terbukti bahwa sejak

awal anggota-anggota masyarakat Uma Kalada yang keluar dari Uma Kalada

untuk berdikari sendiri selalu menyebut diri mereka seperti yang dieksplisitkan

pada data 40 di atas, yakni hatti a ne’ena oma dana (itu yang berasal dari kebun).

Tuturan ini mengandung makna simbolik, yakni merujuk pada anggota-anggota

masyarakat Kabizu Beijello yang berasal dari rumah kecil. Mereka selalu disebut

ata omadana (orang dari kebun) karena pada zaman dahulu anggota rumah kecil

keluar dari rumah besar karena pergi berkebun. Selain itu, anggota masyarakat

rumah kecil juga memelihara babi, ayam, anjing, kambing, kerbau, kuda, dan sapi

dengan tujuan untuk menunjang dan menopang kehidupan ekonomi rumah

tangga. Atas dasar itu, perilaku hidup bertani dan berternak yang telah

dicontohkan oleh nenek moyang mengakar, tumbuh dan melekat dalam hati dan

sanubari Kabizu Beijello sampai saat ini.

Wujud nyata dari kegiatan masyarakat Kabizu Beijello sebagai masyarakat

petani dalam bidang peternakan pada data 38 di atas tampak pada tuturan banna

pennikowa manu, kamanuamapennikia (apabila dia memelihara ayam, agar dapat

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 192: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

175

berkembang biak menjadi banyak). Banna taukuwi wawi, kawawiamataukia

(Apabila dia memelihara babi, agar dapat berkembangbiak dengan baik). Tuturan

ini memberikan gambaran nyata bahwa dalam bidang peternakan, ternak yang

dipelihara oleh masyarakat Kabizu Beijello adalah ‘manu’ (ayam) dan ‘wawi’

(babi). Tuturan itu merupakan doa kepada Marapu. Masyarakat Kabizu Beijello

meyakini bahwa Marapu Kabizu Beijello sangat mendambakan agar anggota

Kabizu Beijello dapat melakukan berbagai kegiatan yang dapat menunjang

ekonomi rumah tangga terutama bertani dan berternak. Atas dasar keyakinan itu,

orang selalu memberikan nasihat kepada anak-anak mereka agar selain melakoni

sebuah pekerjaan tetap, harus juga berternak dan berkebun. Sehingga apabila

sewaktu-waktu dibutuhkan tidak harus membeli. Selain itu, hasil dari bertani dan

berternak juga dapat dijual untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak seperti

kebutuhan biaya sekolah.

Masyarakat Kabizu Beijello dalam kegiatan berternak selain memelihara

ayam dan babi, juga memelihara kuda dan kerbau. Hal ini sebagaimana

terekspresi dalam tuturan lisan dalam upacara Padede Uma Kalada sebagai

berikut.

Data 39. P1/ESK7

Natogola manairo bage, namawellita mawana bage

Sudah berhasil menyiangi sudah rampung anyaman

Saat ini proses pembangunan rumah telah selesai dan berjalan dengan lancar

Banebahinna napawe’e kaka, ingi kakaba

Saat ini sarungnya sudah putih, kainnya sudah putih

Saat ini rumah besar ini sudah baru

Kadillitaba katonga , kakaraba kawedobawe

sudah mengkilap balai-balai sudah cerah tirisan air

Balai-balai dan tirisan air sudah baru

Manu tadakowe reddetamu , wawi dukkikuwi rabamu

Ayam tandalah tempatmu, babi tandalah tempat makanmu

Ayam, babi tandalah tempatmu

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 193: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

176

Karambo tadakowe okamu , dara tadako gollumu

Kerbau tandalah kandangmu, kuda tandalah kandangmu

Kerbau, kuda tandalah kandangmu

Konteks:

Tuturan lisan di atas merupakan bagian dari tradisi lisan pada tahap Saiso

menempati rumah besar. Masyarakat Kabizu Beijello memiliki tradisi melakukan

ritual Saiso setelah rumah besar selesai dibangun kembali. Upacara ini bertujuan

meminta warga rumah, binatang peliharaan, Marapu dan Tuhan sebagai Wujud

Tertinggi untuk menempati kembali rumah besar yang baru selesai di bangun

tersebut. Selain itu, dalam upacara itu secara tidak langsung Rato Marapu

meminta kepada seluruh anggota warga rumah dan warga Kabizu untuk

menunjukkan perilaku hidup sesuai dengan peran dan kedudukannya masing-

masing. Hal itu demi terciptanya keharmonisan bersama. Upacara ini hanya

diikuti oleh masyarakat Kabizu Beijello.

Wujud jati diri masyarakat Kabizu Beijello sebagai masyarakat petani pada

data 39 di atas tergambarkan pada tuturan kanna togola manairo, kanna mawellita

mawana (agar pekerjaan yang akan dikerjakan berhasil dan sukses). Tuturan

metaforis ini apabila diterjemahkan secara cermat memiliki arti agar cangkulan

menghasilkan dan agar anyaman rampung. Terjemahan cermat ini memberikan

gambaran bahwa masyarakat Kabizu Beijello merupakan masyarakat yang bertani

dan menghasilkan kerajinan tangan berupa anyaman-anyaman dari daun pandan,

rotan, bambu dan daun lontar.

Masyarakat Kabizu Beijello sebagai masyarakat petani sesungguhnya sudah

tergambarkan secara jelas berdasarkan arsitektur rumah adat. Hal itu karena pada

rumah adat masyarakat Sumba umumnya dan Kabizu Beijello khususnya terdapat

tempat khusus untuk penyimpanan hasil bertani seperti padi, jagung, ubi, kacang-

kacangan, pinang, pisang dan bahan-bahan makanan lainnya yang biasa disebut

uma dana (loteng rumah). Selain itu, terdapat tempat khusus untuk ternak yang

biasa disebut gollu dana (kandang). Pada bagian gollu dana masih terbagi lagi ke

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 194: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

177

dalam beberapa bagian sesuai dengan jenis ternak. Hal itu tergambarkan pada data

39 di atas, yakni pada tuturan manu tadakowe reddetamu, wawi dukkikuwi

rabamu (ayam tandalah tempatmu, babi tandalah tempat makanmu). Karambo

tadakowe okamu, dara tadako gollumu (Kerbau tandalah kandangmu, kuda

tandalah kandangmu). Reddeta pada tuturan ini merupakan tempat khusus untuk

ayam. Raba merupakan tempat khusus untuk babi. Oka merupakan tempat khusus

untuk kerbau. Dan gollu merupakan tempat khusus untuk kuda. Dengan demikian,

berdasarkan konstruksi bangunan rumah adat tampak jelas bahwa masyarakat

Kabizu Beijello adalah masyarakat petani. Sebagai masyarakat petani di bidang

peternakan masyarakat Kabizu Beijello memelihara manu (ayam), wawi (babi),

karambo (kuda), dan dara (kuda).

Selain itu, pada data 39 di atas juga memperlihatkan masyarakat Kabizu

Beijello sebagai masyarakat bertani dan penghasil ekonomi kreatif seperti

bertenun. Hal itu tergambar dalam tuturan kadillitaba katonga (balai-balai sudah

licin). Tuturan ini memberikan gambaran nyata bahwa balai-balai masyarakat

Sumba pada umumnya terbuat dari bambu bulat. Seiring dengan ini, bambu

merupakan salah satu jenis tanaman yang ditanam oleh masyarakat Kabizu

Beijello. Sementara itu, masyarakat Sumba sebagai penghasil ekonomi kreatif

pada data 39 digambarkan pada metafora napawe’e kaka, ingi kakaba. Metafora

ini apabila diterjemahkan secara cermat memiliki arti sarungnya sudah putih,

kainnya sudah putih. Hal ini memberikan gambaran nyata bahwa sarung putih dan

kain putih merupakan jenis tenunan yang dihasilkan oleh masyarakat Kabizu

Beijello. Sarung merupakan tenunan khusus untuk perempuan. Sementara itu, kain

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 195: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

178

merupakan tenunan khusus untuk laki-laki. Terkait dengan kegiatan ekonomi

kreatif yang dilakukan oleh masyarakat Kabizu Beijello tergambarkan pula pada

data tradisi lisan Teda berikut.

Data 40. O2/ESK6

Kapamenderadandi kapouta , katopo,

Agar kalian memegang kuat-kuat ikat kepala, parang,

Agar kalian memegang kuat-kuat ikat kepala, parang

kalaboda ata pennenanno

ikat pinggang dari orang yang memanjat loteng

ikat pinggang dari orang-orang yang memanjat loteng

Konteks:

Tuturan lisan di atas merupakan bagian dari tradisi lisan pada tahap Saiso

pembuatan loteng rumah. Data tradisi lisan ini dinyanyikan oleh Ata Saiso.

Nyanyian ini merupakan doa yang ditujukan kepada Tuhan melalui perantaraan

Marapu. Dalam doa itu, Ata Saiso memohon pengampunan, keselamatan dan

keberhasilan pembuatan loteng rumah.

Data 41. N1/EK2

Waikobatallawi indatallaki Walaupun kelihatannya ini gong tapi bukan gong

Walaupun kelihatannya ini gong tapi bukan gong

waikobabeduwi indabeduki

walaupun kelihatannya ini tambur tapi bukan tambur

Walaupun kelihatannya ini tambur tapi bukan tambur

Li’ikawulagundi , li’ikaaulagundi

Mereka adalah suara yang memanggil Mereka adalah suara yang

mengundang

Tapi ini adalah suara yang memanggil dan mengundang seluruh keluarga

besar untuk menyatakan dukungan dan solidaritas

Konteks:

Tuturan lisan di atas merupakan bagian dari tradisi lisan pada tahap musyawarah

satu keluarga besar Kabizu Beijello di rumah besar (rumah adat). Tuturan lisan

tersebut dituturkan oleh tetua adat yang menjaga rumah besar. Tetua adat itu

merupakan pemimpin klan Beijello. Musyawarah yang diadakan di rumah besar

ini merupakan musyawarah terakhir sebagai penentu keputusan dan sekaligus

pembagian tugas pembangunan rumah besar. Musyawarah ini diikuti oleh tetua

adat rumah besar, tetua-tetua adat rumah kecil dan anggota-anggota Kabizu

Beijello yang mempunyai pemikiran yang luas, cakap, berani dan berjiwa

kepemimpinan. Dalam musyawarah itu, tetua adat menghimbau agar seluruh

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 196: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

179

anggota keluarga selalu bersatu, sehati, sesuara demi suksesnya pembangunan

rumah besar.

Tuturan kapamenderadandi kapouta, katopo, kalaboda ata pennenanno

pada data 40 memberikan gambaran bahwa kapouta, katopo (parang), dan kalabo

merupakan produk dari ekonomi kreatif. Kapouta merupakan kain tenun yang

diikat di kepala yang biasa disebut selendang. Sementara itu, Kalabo merupakan

kain tenun yang biasa diikat di pinggang. Selain menenun, produk ekonomi

kreatif lainnya yang dihasilkan oleh masyarakat Kabizu Beijello tampak pula pada

data 41, yakni pada tuturan waikobatallawi indatallaki, waikobabeduwi

indabeduki. Wujud dari ekonomi kreatif yang tampak pada tuturan ini adalah

‘talla’ (gong) dan ‘bedu’ (tambur).

Berdasarkan hasil pengamatan peneliti, masyarakat Kabizu Beijello masih

giat menenun, membuat parang, kapak, pisau, tombak, panah, pacul, cangkul,

sabit, dan membuat sendok dari kayu. Selain itu, masyarakat Kabizu Beijello juga

membuat berbagai jenis anyaman, seperti gedek, keranjang, tikar, nyiru, bakul,

besek, kaleku (tas khas Sumba khusus untuk menyimpan sirih pinang) dan masih

banyak lagi lainnya. Hasil produk masyarakat tersebut kemudian dijual untuk

dapat memenuhi kebutuhan harian.

Selain untuk menopang ekonomi rumah tangga, salah satu motif utama

masyarakat Kabizu Beijello bekerja kebun dan memelihara ternak adalah untuk

dapat digunakan dalam upacara-upacara adat. Hal itu tergambarkan pada data

E1/ESK2 (lihat tabulasi data). Tuturan nennati yasa, pamama (itu beras dan sirih

pinang). Deibapo yo’u ina, yo’u amama (Terimalah kalian nenek moyang kami)

dan tuturan na’i manu bowakahinna (itu ayam agar tandanya menerima)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 197: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

180

memberikan gambaran jelas bahwa hasil bertani dan beternak digunakan dalam

upacara adat. Data E1/ESK2 itu dituturkan dalam ritual Urrata. Masyarakat

Kabizu Beijello memiliki tradisi bahwa untuk dapat melakukan ritual Urrata harus

ada beras, sirih, pinang dan ayam. Beras, sirih dan pinang digunakan untuk

membuka komunikasi dengan Marapu. Sementara itu, ayam digunakan untuk

meramalkan persetujuan Marapu terkait dengan permohonan yang disampaikan

dalam ritual Urrata itu. Ayam yang digunakan dalam ritual Urrata harus

merupakan ayam kampung, bukan jenis ayam broiler atau ayam pedaging.

Berdasarkan wawancara dengan informan diberi kesaksian bahwa untuk

dapat melakukan ritual Urrata harus ada beras, sirih, pinang dan ayam. Dan harus

merupakan hasil kebun dan ternak sendiri dari orang yang membuat ritual.

Masyarakat penganut Marapu pada umumnya, mempunyai kebiasaan selalu

menyiapkan beras untuk ritual Urrata. Beras ini biasanya disimpan di botol-botol

yang telah dipersiapkan. Walaupun tidak ada bahan makanan, beras yang telah

dipersiapkan untuk ritual Urrata ini tidak boleh diambil dan botol-botol

penyimpanan beras tidak boleh kosong. Hal ini bertujuan untuk berjaga-jaga

apabila sewaktu-waktu akan diadakan ritual Urrata. Beras itu merupakan media

komunikasi dengan Marapu. Sementara itu, ayam digunakan untuk mengetahui

persetujuan Marapu terkait permohonan dalam ritual Urrata itu yang dapat dilihat

melalui hati dan usus ayam (W/JDMKB/3).

4.2.3.5 Masyarakat yang Menghormati Marapu

Pulau Sumba dikenal sebagai “Tanah Marapu”. Sebutan itu dilatarbelakangi

oleh kenyataan bahwa masyarakat Sumba memiliki hubungan yang erat dengan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 198: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

181

tradisi dan kebudayaan yang berakar pada kepercayaan Marapu. Hal ini

ditegaskan oleh Welem (2004:41) dalam Kleden (2013:5) yang mengatakan

bahwa mengenal Sumba berarti mengenal Marapu, Sumba berarti Marapu dan

Marapu berarti Sumba. Jalan masuk mengenal Sumba hanya melalui Marapu.

Solihin (2013) dengan mengutip pandangan L. Ovlee (dalam Wellem,

2004:41) mengungkapkan bahwa Marapu berasal dari dua kata, yakni ma dan

rappu. Ma bermakna “yang”, dan rappu bermakna “dihormati”, “disembah”, dan

“didewakan”, sehingga Marappu merujuk pada arti sesuatu yang dihormati,

disembah, atau didewakan. Dengan demikian, Marapu dalam konteks penelitian

ini adalah roh-roh leluhur dan roh-roh gaib yang dihormati oleh masyarakat

Kabizu Beijello. Wujud penghormatan masyarakat Kabizu Beijello terhadap roh-

roh leluhur dan roh-roh gaib dipaparkan lebih lanjut sebagai berikut.

1) Masyarakat yang Menghormati Leluhur

Masyarakat Kabizu Beijello menghormati leluhur karena dilandasi oleh

keyakinan bahwa roh-roh leluhur yang disebut Marapu dapat mengabulkan setiap

permohonan manusia dalam kaitannya keselamatan dalam setiap aktivitas yang

dilakukan, keberhasilan dalam suatu pekerjaan, kesembuhan dari penyakit. Di sisi

lain, Marapu juga dapat mendatangkan malapetaka apabila manusia menunjukkan

perilaku hidup yang tidak dikehendaki oleh Marapu. Atas dasar itu, masyarakat

Kabizu Beijello selalu menaruh sikap taat dan hormat kepada Marapu. Adapun

wujud penghormatan itu adalah masyarakat Kabizu Beijello selalu menjaga

warisan-warisan Marapu (leluhur) dan melakukan ritual pengucapan syukur

kepada leluhur atas suatu keberhasilan yang dicapai. Hal itu seperti yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 199: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

182

terekspresikan dalam tradisi lisan pada upacara Padede Uma Kalada sebagai

berikut.

Data 42. F2 /EK1

Peidawe newe akarewe ebana, a karawu logena

Kita mengapakan ini yang lapuk pinggangnya, yang berantakan rambutnya

Gainagu kanuarage, karawipi’age lungguwaga

Agar dibongkar, agar dibuat ulang saya bilang

Saya berpikir agar segera dibongkar dan dibangun ulang

Konteks:

Tuturan lisan di atas merupakan bagian dari tradisi lisan pada tahap musyawarah

satu keluarga besar Kabizu Beijello di rumah besar (rumah adat). Tuturan lisan

tersebut dituturkan oleh tetua adat yang menjaga rumah besar. Tetua adat itu

merupakan pemimpin klan Beijello. Musyawarah yang diadakan di rumah besar

ini merupakan musyawarah terakhir sebagai penentu keputusan dan sekaligus

pembagian tugas pembangunan rumah besar. Musyawarah ini diikuti oleh tetua

adat rumah besar, tetua-tetua adat rumah kecil dan anggota-anggota Kabizu

Beijello yang mempunyai pemikiran yang luas, cakap, berani dan berjiwa

kepemimpinan. Dalam musyawarah itu, tetua adat menghimbau agar seluruh

anggota keluarga selalu bersatu, sehati, sesuara demi suksesnya pembangunan

rumah besar.

Uma Kalada Kabizu Beijello (rumah besar Kabizu Beijello) merupakan

rumah dari semua rumah yang berasal dari klan Beijello. Rumah pertama dari

semua anggota keluarga yang terhimpun dalam klan Beijello. Rumah ini dibangun

oleh nenek moyang pertama dari klan Beijello yang dalam ungkapan adatnya

kawunga tou welli, kawunga dede pari’i (awal mula badan yang berharga, awal

mula berdirinya tiang). Tuturan ini dimaknai oleh masyarakat Kabizu Beijello

bahwa Uma Kalada Kabizu Beijello merupakan rumah pertama yang didirikan

oleh nenek moyang Kabizu Beijello dan dari sanalah awal mula kehidupan Kabizu

Beijello.

Sebagai wujud hormat kepada nenek moyang yang telah mengawali

kehidupan dan mendirikan Uma Kalada, masyarakat Kabizu Beijello selalu

menjaga dan membangun ulang Uma Kalada Kabizu Beijello apabila telah

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 200: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

183

mengalami pelapukan atau kerusakan. Hal itu seperti yang terekspresikan pada

data 42 di atas, yakni pada tuturan peidawe newe akarewe ebana, a karawu

logena (kita mengapakan badan rumah nenek moyang kita yang sudah lapuk

kayunya dan rusak atapnya?). Gainagu kanuarage, karawipi’age lungguwaga

(Saya berpikir agar segera dibongkar dan dibuat ulang). Tuturan ini dituturkan

oleh tetua adat pada saat musyawarah di rumah besar. Agenda utama yang

dirembukkan dalam musyawarah itu adalah rencana pembangunan ulang rumah

besar yang telah mengalami pelapukan dan kerusakan. Dengan demikian, menjaga

dan mempertahankan rumah besar sebagai warisan nenek moyang merupakan

suatu keharusan bagi masyarakat Kabizu Beijello. Perilaku demikian dimaknai

oleh masyarakat Kabizu Beijello sebagai wujud mengenang dan menghormati

nenek moyang.

Selain menjaga warisan nenek moyang, masyarakat Kabizu Beijello juga

menghormati nenek moyang dengan cara melakukan upacara pengucapan syukur.

Upacara pengucapan syukur itu dikenal dengan istilah pesta Woleka, yakni

upacara pengucapan syukur kepada nenek moyang atas keberhasilan suatu

rencana, niat, cita-cita dan pekerjaan yang dilakukan. Upacara syukur sebagai

wujud penghormatan kepada Marapu tergambarkan dalam data M1/ES11 (lihat

tabulasi data). Masyarakat Kabizu Beijello meyakini bahwa seluruh kehidupan ini

dapat terselenggarakan hanya karena atas pertolongan dan bantuan Marapu.

Marapu diyakini sebagai pelindung dari segala marabahaya. Hal itu dalam data

M1/ES11 tampak pada tuturan tuta pamawo loddo, kada pamawo urra.

Masyarakat Kabizu Beijello memaknai tuturan lisan ini tidak hanya merujuk pada

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 201: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

184

rumah besar yang dapat memberikan perlindungan dari matahari dan hujan. Akan

tetapi, di rumah besar terdapat roh-roh nenek moyang yang disebut Marapu. Roh-

roh itu diyakini sebagai benteng pelindung dari segala malapetaka.

Selain itu, Marapu juga diyakini sebagai pemberi berkat dan rahmat. Hal itu

dieksplisitkan dalam data M1/ES11 pada tuturan banna yawe we’e maringi,

banna yawe we’e Malala. Frasa ‘we’e maringi’ (air dingin) dan ‘we’e malala’ (air

sejuk) pada tuturan ini bermakna berkat dan rahmat. Dengan demikian, tuturan ini

memberikan gambaran nyata bahwa Marapu adalah sumber segala berkat dan

rahmat dari segala jerih payah dan kerja keras masyarakat Kabizu Beijello, yang

pada data 47 di atas ditunjukkan pada tuturan dari tana, batu ruta. Selain itu,

Marapu juga yang menganugerahkan berkat dan rahmat bagi masyarakat Kabizu

Beijello dalam ‘memelihara ayam, babi’, ‘memanen padi dan jagung’.

Atas dasar pemahaman di atas, masyarakat Kabizu Beijello selalu

menunjukkan sikap hormat kepada Marapu. Wujud penghormatan kepada

Marapu yang ditampakkan pada data M1/ES11 adalah masyarakat Kabizu

Beijello sebelum membongkar rumah besar yang merupakan tempat kediaman

Marapu, terlebih dahulu harus diadakan upacara pengucapan syukur atas segala

perlindungan, berkat dan rahmat yang telah dilimpahkan. Hal ini merupakan salah

satu cara menjaga keseimbangan dan harmonisasi dengan Marapu. Dengan

demikian, proses pembongkaran rumah besar dan seluruh rencana dalam kaitan

dengan pembangunan rumah besar diyakini akan berjalan dengan lancar.

Upacara pengucapan syukur sebagai wujud penghormatan kepada Marapu

tidak hanya dilakukan ketika hendak membongkar rumah besar. Akan tetapi, juga

dilakukan setelah rumah besar itu selesai dibangun. Hal itu tergambarkan pada

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 202: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

185

data P1/ESK7 (lihat tabulasi data). Masyarakat Kabizu Beijello memiliki tradisi

bahwa setelah berhasil mendirikan rumah besar harus diadakan upacara

pengucapan syukur. Upacara itu dimaknai sebagai wujud penghormatan kepada

Marapu yang telah melindungi, menyertai dan memberkati sehingga seluruh

proses pembangunan rumah besar dapat berjalan dengan lancar dan rumah

besarpun berhasil didirikan. Hal itu tergambarkan pada tuturan natogola manairo

bage, namawellita mawana bage. Tuturan ini dituturkan dalam konteks doa

kepada Marapu pada ritual Padeta Marapu. Masyarakat Kabizu Beijello

memaknai ritual Padeta Marapu sebagai ritual pemberitahuan dan pengucapan

syukur serta terimakasih kepada Marapu atas keberhasilan pembangunan rumah

besar. Perilaku hidup seperti ini dimaknai sebagai wujud penghormatan kepada

Marapu. Dengan demikian, doa-doa yang disampaikan oleh Ata Saiso dalam

ritual Padeta Marapu dapat didengarkan dan disampaikan oleh Marapu kepada

Yang Ilahi sebagai sumber kehidupan. Masyarakat Kabizu Beijello meyakini

bahwa apabila ritual ini tidak dilakukan maka perjalanan kehidupan ke depannya

tidak akan mendapatkan keberkatan.

2) Masyarakat yang Menghormati Roh-Roh Gaib

Disamping percaya terhadap leluhur masyarakat Sumba juga meyakini

adanya roh-roh gaib yang dapat menolong atau mencelakakan kehidupan manusia.

Kepercayaan terhadap roh merupakan kebutuhan untuk menangkal kejahatan,

musibah atau menjamin keselamatan (Djawa dan Suprijono, 2014:75). Kesadaran

bahwa roh-roh gaib memiliki pengaruh atas keselamatan dan keberhasilan maka

masyarakat Kabizu beijello sebagai bagian dari masyarakat Sumba selalu menaruh

sikap hormat kepada roh-roh gaib. Wujud penghormatan terhadap roh-roh gaib

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 203: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

186

adalah dengan cara memohon izin dan mengucap syukur. Hal itu tergambarkan

pada data tradisi lisan berikut.

Data 43. J1/ES9

Nenna rengepo you ina mori loda, ama mori pada

Itu dengarlah engkau ibu pemilik hutan, bapak pemilik padang

Dengarlah dewa pemilik hutan dan pemilik padang

Ina mori loko, ama mangu tana

Ibu pemilik kali, bapak pemilik tanah

Dewa pemilik kali dan pemilik tanah

Ka dara pa kaloga ma , ka tena pa magawa ma

Agar seperti kuda yang bebas kami , agar seperti sampan yang leluasa kami

Agar kami seperti kuda yang bebas, agar kami seperti sampan yang leluasa

Agar kami diberi kebebasan dan keleluasaan

Dappalaka kama karingge, dappa lodakama kalerre

Janganlah palang kayu, janganlah menarik tali

Janganlah menghalangi kami

Konteks:

Tuturan lisan di atas merupakan bagian dari tradisi lisan dalam ritual Urrata pada

tahap penebangan pohon dan pemotongan tali di hutan. Data tradisi lisan ini

merupakan doa yang mengandung makna permohonan izin kepada roh-roh yang

diyakini sebagai pemilik hutan, padang, kali dan tanah. Dalam ritual ini,

masyarakat Kabizu Beijello memberikan sesajen berupa satu anak ayam, satu butir

telur, kapas, tembakau, sirih, pinang dan serpihan emas atau perak. Perkenanan

dan persetujuan roh-roh yang mendiami hutan tersebut dapat diramalkan atau

dilihat oleh Ata Urrata (imam Marapu) melalui usus ayam, hati ayam dan hati

babi.

Roh gaib dalam konteks data 43 di atas adalah makhluk halus yang diyakini

sebagai ina mori loda, ama mori pada (Ibu pemilik hutan dan Bapak pemilik

padang). Kesadaran bahwa hutan mempunyai pemilik dan pelindung, maka

sebelum prosesi penebangan pohon yang juga akan berdampak pada kerusakan

ekosistem yang ada di hutan itu, maka terlebih dahulu harus dilakukan ritual

wukke kadawu. Masyarakat Kabizu Beijello memaknai ritual wukke kadawu

sebagai ritual permohonan izin sebelum masuk ke dalam hutan untuk menebang

kayu dan memotong tali.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 204: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

187

Pelaksanaan ritual wukke kadawu sejatinya merupakan wujud penghormatan

masyarakat Kabizu Beijello terhadap roh-roh gaib yang telah menjaga dan

melindungi hutan. Masyarakat Kabizu Beijello meyakini bahwa sikap hormat

kepada roh gaib dengan cara terlebih dahulu memohon izin akan membawa

keberhasilan pada saat penebang pohon dan memotong tali. Hal itu karena roh-roh

gaib yang menjaga hutan telah memberikan keleluasaan dan kebebasan kepada

masyarakat Kabizu Beijello. Dalam data 43 di atas tergambarkan pada tuturan ka

dara pa kaloga ma, ka tena pa magawa ma (Agar kami diberi kebebasan dan

keleluasaan). Tuturan ini dituturkan dalam konteks doa kepada roh-roh gaib.

Dalam doa itu, Ata Urrata memohon kepada roh-roh gaib agar diberi keleluasaan

dan kebebasan pada saat menebang pohon dan memotong tali. Jawaban dari

permohonan itu dilihat melalui usus dan hati ayam. Proses penebangan pohon

baru dapat dimulai apabila berdasarkan ramalan roh-roh gaib telah memberikan

kebebasan dan izin. Dengan demikian, perilaku hidup menghormati roh gaib

dengan cara memohon izin merupakan perilaku hidup menciptakan keseimbangan

dan keharmonisan dalam pelana alam semesta.

Selain dengan memohon izin, wujud penghormatan kepada roh-roh gaib

juga dilakukan dengan cara mengucap syukur dan terimakasih karena telah

berhasil memotong kayu dan tali. Hal itu digambarkan pada data tradisi lisan

(K1/ES10) (lihat tabulasi data). Masyarakat Kabizu Beijello menyadari bahwa

keberhasilan yang diraih tersebut bukan semata-mata karena kemampuan mereka,

melainkan karena pertolongan dan bantuan dari roh-roh gaib. Masyarakat Kabizu

Beijello meyakini bahwa roh-roh gaib itulah yang telah menjaga tempat-tempat

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 205: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

188

yang dianggap sakral dan keramat sehingga masyarakat Kabizu Beijello tidak

mendapatkan hambatan apapun dalam proses pengambilan material bangunan

rumah besar. Roh-roh gaib yang diyakini sebagai pemilik hutan itulah yang telah

memberikan keleluasan, kebebasan, perlindungan dan pertolongan kepada

masyarakat Kabizu Beijello sehingga seluruh proses pengambilan material

bangunan dapat berjalan dengan lancar dan sukses. Atas dasar kesadaran itu,

masyarakat Kabizu Beijello menaruh sikap hormat kepada roh-roh gaib dengan

cara mengucap syukur.

4.2.3.6 Masyarakat Kabizu Beijello sebagai Masyarakat Religius

Religi bersinonim dengan kepercayaan, yakni kepercayaan kepada Tuhan

dan kepercayaan akan adanya kekuatan adikodrati yang melampaui kemampuan

manusia. Kepercayaan itu selama ini dikenal sebagai kepercayaan animisme dan

dinamisme (Bera, 2016:198). Masyarakat Kabizu Beijello adalah masyarakat yang

menganut kepercayaan Marapu. Dalam kepercayaan itu, masyarakat Kabizu

Beijello percaya akan adanya kekuatan-kekuatan adikodrati yang berasal dari roh-

roh nenek moyang dan roh-roh gaib. Kekuatan-kekuatan adikodrati itu dipercaya

dapat mempengaruhi kehidupan manusia dalam kaitannya dengan keberhasilan

dan kegagalan dalam suatu pekerjaan. Meskipun demikian, masyarakat Kabizu

Beijello sebagai masyarakat Marapu juga tidak mengingkari akan adanya

kekuasaan tunggal yang hanya berasal dari Tuhan Sang Pencipta dan Penguasa.

Yang menciptakan dan berkuasa atas seluruh alam semesta termasuk kekuatan-

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 206: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

189

kekuatan adikodrati itu. Hal itu digambarkan dalam tradisi lisan Teda sebagai

berikut.

Data 44. O1/ES12

Nebahinna kapandege you ina, you ama

Saat ini supaya kalian mengetahui, engkau ibu, engkau bapak

Saat ini, agar nenek moyang mengetahui

Nadukkiwe na’i labe a belleka, pari’i a kaladana

Sampai kepada dia di sana cincin yang lebar , tiang yang besar

Sampai kepada Sang Khalik

A kanga wolla limma, a bokka wolla wa’i

Yang memisah jari tangan, yang membagi jari kaki

Tuhan sebagai pemisah jari tangan dan jari kaki

Ina A Mawolo , Ama A Marawi

Ibu yang mencipta, Bapak yang menjadikan

Tuhan yang menjadikan dan menciptakan manusia dan seluruh alam semesta

Adopola tou , A adiwe wekki

Yang membentuk badan, yang memadatkan tubuh

Tuhan yang membentuk dan memadatkan badan

Konteks:

Tuturan lisan di atas merupakan bagian dari tradisi lisan pada tahap Saiso

pembuatan loteng rumah. Data tradisi lisan ini dinyanyikan oleh Ata Saiso.

Nyanyian ini merupakan doa yang ditujukan kepada Tuhan melalui perantaraan

Marapu. Dalam doa itu, Ata Saiso memohon pengampunan, keselamatan dan

keberhasilan pembuatan loteng rumah.

Masyarakat Kabizu Beijello memandang Tuhan sebagai Yang Luhur, Agung

dan Esa. Oleh karena itu, masyarakat Kabizu Beijello takut untuk mendekati dan

memohon secara langsung kepada Tuhan. Dalam praktik religius, setiap

permohonan yang disampaikan kepada Tuhan harus melalui perantaraan Marapu

dan Tuhan menjawab permohonan itu melalui Marapu pula. Praktik religius

dengan menyampaikan permohonan kepada Tuhan melalui perantaraan Marapu

pada data tradisi lisan 44 di atas, tergambarkan pada tuturan saat ini, agar nenek

moyang mengetahui. Sampai kepada Sang Khalik. Tuturan ini memberikan

gambaran nyata bahwa masyarakat Kabizu Beijello dalam praktik religius

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 207: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

190

memandang Marapu sebagai penghubung dan penyampai permohonan kepada

Sang Khalik. Yang dalam ungkapan adatnya, a kaito papadolana panewe, a lende

papalana kadauka yang bermakna yang menjadi galah untuk menyampaikan

pembicaraan dan menjadi jembatan untuk menyeberangkan hasil perbincangan

kepada Sang Khalik.

Masyarakat Kabizu Beijello selain tidak dapat menyampaikan permohonan

secara langsung kepada Tuhan juga tidak dapat menyebut nama Tuhan secara

langsung. Hal itu karena masyarakat Kabizu Beijello memandang Tuhan sebagai

Yang Luhur, Mulia, dan Esa. Oleh karena itu, nama Tuhan pantang disebutkan

secara langsung yang dalam bahasa Wewewanya Dappa Tekki Ngara, Dappa

Summa Tamo (Yang Tidak dapat disebutkan Nama-Nya, Yang Tidak dinyatakan

gelar). Dalam wawancara dengan informan ketika peneliti mengajukan pertanyaan

“Mengapa masyarakat Kabizu Beijello tidak dapat menyebutkan nama Tuhan dan

menyampaikan permohonan secara langsung kepada Tuhan?” diberi kesaksian

bahwa Tuhan itu dipandang sebagai Yang sangat sakral, Mahasuci, dan luhur. Dia

sangat ditakuti dan disegani. Oleh karena itu, nama Tuhan tidak dapat disebutkan

secara sembarangan. Dan kitapun tidak boleh menyampaikan permohonan secara

langsung kepada Tuhan. Ini merupakan bentuk penghormatan dan ketakwaan

terhadap ke-Allahan dan ke-Ilahian Tuhan sebagai Pencipta dan Penguasa seluruh

alam jagad raya beserta isinya (W/JDMKB/5).

Pengakuan akan adanya Tuhan Sang Khalik senantiasa dinyatakan dengan

nama-nama paralel atau kalimat-kalimat kiasan. Nama-nama paralel dalam bentuk

kiasan itu dengan maksud untuk menunjukkan fungsi sentral dan hakikat dari

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 208: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

191

Tuhan Sang Pencipta dan Penguasa seluruh alam semesta yang pada data di atas

ditunjukkan pada tuturan labe a belleka, pari’i a kaladana. Tuturan ini memiliki

makna ikonisitas yang merujuk pada cincin yang terbuat dari kayu yang

dilekatkan pada tiang Agung yang diyakini sebagai tempat bertahta dan mezbah

Tuhan. Tuturan ini digunakan untuk menggambarkan Keagungan dan Kebesaran

Tuhan. Selain itu, juga untuk menggambarkan hakekat Tuhan sebagai tempat

untuk bernaung, bersandar dan menyampaikan setiap permohonan serta

pergumulan hidup. Selain itu, pada data di atas masyarakat Kabizu Beijello

meyakini bahwa hanya Tuhanlah yang dapat ‘memisah jari tangan, memisah jari

kaki’, ‘menjadikan dan menciptakan manusia serta seluruh alam semesta’,

‘membentuk dan memadatkan badan’.

Masyarakat Kabizu Beijello selain meyakini bahwa Marapu (roh-roh nenek

moyang) merupakan perantara antara manusia dan Sang Ilahi, tetapi juga sebagai

pelindung dari roh-roh gaib. Roh-roh nenek moyang yang disebut Marapu itu

diyakini memiliki kuasa atas roh-roh gaib. Kesadaran atas keyakinan itu,

masyarakat Kabizu Beijello pada saat berhadapan dengan roh-roh gaib selalu

memohon perlindungan kepada roh-roh nenek moyang. Hal itu tergambarkan

pada data tradisi lisan Teda sebagai berikut.

Data 45. I1/ES8

Kaletekowama towo, kasongakowama bale

Tungganglah kami kepala, peluklah kami badan

Tungganglah kepala kami, peluklah badan kami

Lindungilah kami

Kopora kaduango, gollu pamamanno

Tutup bungkus, kandang kami yang aman (kandangkanlah kami yang aman)

Tutup bungkuslah kami agar kami selalu merasa aman

Yako mangewala mata, kayalo wekki

Berilah terang mata, ringan badan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 209: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

192

Berilah kami kesehatan

Pawessidakkota bani ate, bani wiwi

Kekuatan marah hati, marah bibir

Berilah kami kekuatan dan keberanian

Baaroni ina mori loda, ama mori pada

Ketika berhadapan dengan ibu pemilik hutan bapak pemilik padang

Ketika kami berhadapan dengan roh pemilik hutan dan roh pemilik padang

Ina pepa , Ama Mawo

Ibu pelindung, bapak penjaga

Roh-roh yang melindungi dan menjaga hutan dan padang

Konteks:

Data ini merupakan bagian dari data tradisi lisan pada tahap Urrata di rumah

besar pada malam sebelum pergi menebang kayu dan memotong tali di hutan.

Tuturan lisan dalam ritual Urrata itu dituturkan oleh Ata Urrata (imam Marapu).

Tuturan lisan ini merupakan doa kepada Marapu untuk memohon perlindungan

dari roh-roh gaib.

Masyarakat Kabizu Beijello dalam praktik religius selalu memohon

perlindungan kepada roh-roh nenek moyang ketika berhadapan dengan roh-roh

gaib. Hal dieksplisitkan pada data tradisi lisan 45 di atas, yakni pada tuturan

lindungilah kami. Tutup bungkuslah kami agar kami selalu merasa aman. Berilah

kami kesehatan, berilah kami kekuatan dan keberanian. Ketika kami berhadapan

dengan roh pemilik hutan dan roh pemilik padang. Roh-roh yang melindungi dan

menjaga hutan. Tuturan-tuturan lisan ini merupakan doa kepada Marapu (roh-roh

nenek moyang). Dalam doa itu, masyarakat Kabizu Beijello memohon

perlindungan kepada Marapu. Masyarakat Kabizu Beijello meyakini bahwa

perlindungan dan dekapan Marapu akan menyelamatkan dari malapetaka yang

berasal dari roh-roh gaib.

Masyarakat Kabizu Beijello sebagai masyarakat yang menganut

kepercayaan Marapu meyakini bahwa di dunia ini terdapat kekuatan-kekuatan

gaib atau roh-roh gaib yang mempunyai pengaruh atas keberhasilan dan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 210: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

193

kegagalan hidup manusia. Hal itu digambarkan dalam data tradisi lisan Teda

dalam upacara Padede Uma Kalada sebagai berikut.

Data 46. J1/ES9

Nenna rengepo you ina mori loda, ama mori pada

Itu dengarlah engkau ibu pemilik hutan, bapak pemilik padang

Dengarlah dewa pemilik hutan dan pemilik padang

Ina mori loko, ama mangu tana

Ibu pemilik kali, bapak pemilik tanah

Dewa pemilik kali dan pemilik tanah

Ka dara pa kaloga ma , ka tena pa magawa ma

Agar seperti kuda yang bebas kami , agar seperti sampan yang leluasa kami

Agar kami seperti kuda yang bebas, agar kami seperti sampan yang leluasa

Agar kami diberi kebebasan dan keleluasaan

Dappalaka kama karingge, dappa lodakama kalerre

Janganlah palang kayu, janganlah menarik tali

Janganlah menghalangi kami

Konteks:

Tuturan lisan di atas merupakan bagian dari tradisi lisan dalam ritual Urrata pada

tahap penebangan pohon dan pemotongan tali di hutan. Data tradisi lisan ini

merupakan doa yang mengandung makna permohonan izin kepada roh-roh yang

diyakini sebagai pemilik hutan, padang, kali dan tanah. Dalam ritual ini,

masyarakat Kabizu Beijello memberikan sesajen berupa satu anak ayam, satu butir

telur, kapas, tembakau, sirih, pinang dan serpihan emas atau perak. Perkenanan

dan persetujuan roh-roh yang mendiami hutan tersebut dapat diramalkan atau

dilihat oleh Ata Urrata (imam Marapu) melalui usus ayam, hati ayam dan hati

babi.

Kepercayaan Marapu yang dianut oleh masyarakat Kabizu Beijello, telah

membentuk sistem keyakinan dan kepercayaan bahwa segala sesuatu yang ada

dimuka bumi ini memiliki roh. Masyarakat Kabizu Beijello percaya bahwa

lembah, hutan, sungai, laut, padang, gunung, kayu, batu, dan segala jenis benda

lainnya memiliki roh atau jiwa. Alam dipandang sebagai satu kesatuan kosmis

yang memiliki jiwa dan raga yang sama seperti manusia. Hal itu dieksplisitkan

dalam data 46 di atas, yakni pada tuturan nenna rengepo you ina mori loda, ama

mori pada (Dengarlah dewa pemilik hutan dan pemilik padang). Ina mori loko,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 211: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

194

ama mangu tana (Dewa pemilik kali dan pemilik tanah). Tuturan-tuturan lisan ini

memberikan gambaran nyata bahwa masyarakat Kabizu Beijello percaya akan

adanya roh-roh yang mendiami hutan, padang, kali dan seluruh alam semesta.

Roh-roh ini dipercaya dapat menyelamatkan dan sekaligus mendatangkan

malapetaka. Kesadaran akan hal itu masyarakat Kabizu Beijello selalu memohon

perlindungan dan keselamatan kepada roh gaib.

Dalam wawancara etnografis peneliti mengajukan pertanyaan, “Mengapa

harus diadakan upacara wukke kadawu (membuka hutan/ upacara permohonan

izin) ketika hendak memotong tali dan menebang pohon di hutan?” Informan

yang diwawancarai mengutarakan bahwa hutan, padang, rimba, kayu dan batu

diyakini mempunyai jiwa atau roh. Di hutan terdapat begitu banyak Marapu Tana

(makhluk-makhluk halus). Hutan merupakan tempat tinggal Marapu Tana.

Mereka diyakini sebagai penjaga dan pemilik hutan. Atas dasar ini, Marapu Tana

selalu disebut sebagai Ina mori loda, Ama mori pada (Ibu pemilik hutan, Bapak

pemilik rimba). Marapu Tana ini ada yang bersifat baik dan ada juga yang jahat.

Oleh karena itu, ketika hendak mengambil ramuan untuk membangun rumah

besar, kita harus memohon izin kepada Marapu Tana yang telah menjaga dan

sekaligus menjadi pemilik hutan. Ini merupakan bentuk penghargaan kepada

mereka (W/JDMKB/6).

Data 46 di atas memperlihatkan bahwa masyarakat Kabizu Beijello

menyandarkan harapan dan kerinduan mereka kepada Marapu Tana (roh-roh

gaib) yang ada di hutan. Adapun tujuannya adalah agar selalu diberikan

kemudahan dan keleluasaan pada saat mencari pohon dan tali yang berkualitas

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 212: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

195

bagus dan kuat serta agar tidak mendapatkan malapetaka selama proses

penebangan, pemotongan dan pengumpulan material bangunan. Hal ini tercermin

dalam tuturan lisan kadara pakalogama, katena pamagawama (agar kami diberi

kebebasan dan keleluasaan). Tuturan lisan ini mengandung makna metaforis yang

merujuk pada masyarakat Kabizu Beijello yang memohon kebebasan dan

keleluasaan pada saat memotong tali dan menebang pohon kepada dewa atau dewi

yang dipercaya sebagai pemilik hutan dan padang.

Pada tuturan lisan dappalaka kama karingge, dappa lodakama kalerre

(Janganlah menghalangi kami) mengandung makna masyarakat Kabizu Beijello

memohon agar tidak dihalangi pada saat memotong tali dan menebang pohon.

Selain itu, masyarakat Kabizu Beijello juga memohon kepada roh-roh gaib agar

selalu menjaga tempat-tempat yang dianggap sakral atau keramat sehingga tidak

ada kekuatan-kekuatan jahat yang mengganggu masyarakat Kabizu Beijello

selama proses mencari, memotong, menebang dan mengumpulkan material

bangunan.

Wujud keyakinan akan adanya peran Marapu tana (roh-roh gaib) tidak

hanya tampak pada saat hendak memotong tali dan menebang kayu di hutan.

Akan tetapi, terwujud pula pada saat hendak mengeluarkan kayu dari hutan

menuju ke tempat pembangunan rumah besar. Hal itu digambarkan pada data

K1/ES10 (lihat tabulasi data). Wujud praktik religius yang dilukiskan dalam data

ini adalah masyarakat Kabizu Beijello memohon kepada roh gaib agar selamat

dalam perjalanan menuju tempat pembangunan rumah besar. Hal itu tampak pada

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 213: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

196

tuturan “jauhkanlah ancaman dan musibah dalam perjalanan. Agar kami diberi

kesehatan. Agar kami boleh sampai di rumah besar kami dengan selamat”.

4.2.3.7 Masyarakat Kabizu Beijello sebagai Masyarakat Ritual

Masyarakat Sumba pada umumnya dan masyarakat Kabizu Beijello

khususnya selalu diwarnai dengan berbagai ritual adat yang berakar pada

kepercayaan Marapu. Adapun ritual adat yang dimaksud, yakni ritual adat dalam

kaitannya dengan bidang pertanian, meliputi ritual pembukaan lahan baru, ritual

menanam, ritual memanen dan ritual membawa persembahan hasil panen ke

rumah besar. Ritual adat dalam kaitannya dengan daur hidup, meliputi ritual

kelahiran, ritual perkawinan dan ritual kematian. Ritual adat dalam kaitannya

dengan membangun rumah, meliputi ritual musyawarah adat pembangunan

rumah, ritual pembongkaran rumah lama untuk rumah yang dibangun ulang, ritual

pemotongan kayu, dan lain-lain. Ritual-ritual adat ini memiliki tata perayaan yang

khas dan unik.

Ragam ritual adat yang dimaksudkan dalam konteks penelitan ini adalah

ritual-ritual adat dalam kaitannya dengan pembangunan rumah besar atau rumah

adat. Dalam budaya spiritual masyarakat Kabizu Beijello ritual-ritual ini bersifat

wajib karena bertujuan untuk menciptakan hubungan yang harmonis antara

manusia, Marapu, dan Tuhan sebagai Pencipta. Selain itu, ritual-ritual yang

dilaksanakan bertujuan untuk memohon restu, rahmat, dan berkat sehingga segala

rencana dan niat baik dalam rangka pembangunan rumah besar dapat berjalan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 214: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

197

lancar dan berhasil. Adapun ritual-ritual adat selama proses pembangunan rumah

besar yang dimaksud adalah sebagai berikut.

1) Ritual SetelahMusyawarah Adat Pembangunan Rumah Besar

Ritual setelah musyawarah adat pembangunan rumah besar adalah ritual

yang dilakukan setelah terdapat kesepakatan dalam musyawarah adat

pembangunan rumah besar. Ritual ini adat ini terdiri atas tiga, yakni ritual adat

setelah kesepakatan antara tetua adat rumah kecil dengan tetua adat rumah besar,

tetua adat rumah kecil, anggota rumah kecil dan tetua adat rumah besar yang

dilakukan di rumah kecil dan ritual setelah kesepakatan di rumah besar yang

melibatkan tetua adat rumah kecil, utusan dari anggota rumah kecil dengan tetua

adat rumah besar. Ritual adat yang dilakukan di rumah kecil tampak dalam data

tradisi lisan Teda berikut.

Data 47. E1/ESK2

Nennati yasa, pamama

Itu beras sirih pinang

Itu beras dan sirih pinang

Deibapo yo’u ina, yo’u amama

Terimalah engkau ibu, engkau bapak kami

Terimalah kalian nenek moyang kami

Nebahinna, damma negobage pakai , damma kababage pasilli

Saat ini kami tidak menari menghindar, kami tidak ronggeng mengelak

Saat ini kami tidak menghindar, kami tidak mengelak

Hinnabawe balimmikumi , na’i manu bowa kahinna

Demikianlah sudah jika kalian mengatakan, itu ayam supaya tandanya

menerima

Jika kalian mengatakan bahwa demikianlah sudah, berikanlah petunjuk baik

melalui ayam itu

Konteks:

Tuturan lisan di atas merupakan bagian dari data tradisi lisan dalam ritual Urrata

yang dilakukan setelah pengangkatan ikrar di Uma Kii (rumah kecil). Data tradisi

lisan ini merupakan doa kepada nenek moyang. Dalam doa itu, masyarakat

Kabizu Beijello memohon persetujuan nenek moyang terkait hasil keputusan

bersama yang telah disepakati. Selain itu, juga meminta petunjuk kepada nenek

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 215: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

198

moyang terkait dengan rencana musyawarah adat yang akan dilakukan di rumah

besar Kabizu Beijello. Untuk membuka komunikasi dengan nenek moyang

digunakan sirih, pinang dan beras.

Ritual yang tergambarkan pada data tradisi lisan di atas adalah ritual Urrata

pemberitahuan dan permohonan petunjuk kepada Marapu terkait dengan hasil

kesepakatan dalam musyawarah pembangunan rumah besar. Ritual Urrata itu

dipimpin oleh Ata Urrata (imam Marapu). Untuk membuka komunikasi dengan

Marapu, Ata Urrata mengundang Marapu dengan cara menyebarkan beras yang

telah dicampur dengan sirih dan pinang ke kiri, kanan, muka dan belakang.

Setelah itu, Ata Urrata mengajak Marapu makan sirih pinang yang berada di

dalam besek yang diletakkan di depannya. Hal ini tereksplisitkan dalam data

tradisi lisan (E1/ESK2), yakni pada tuturan nennati yasa, pamama (itu beras dan

sirih pinang). Deibapo yo’u ina, yo’u amama (Terimalah kalian nenek moyang

kami). Ritual mengajak Marapu makan sirih dan pinang dilanjutkan dengan Ata

Urrata mengutarakan maksud dan tujuannya berkomunikasi dengan Marapu,

yakni bahwa seluruh keluarga yang hadir telah menyatakan persatuan dan

solidaritas untuk menyukseskan rencana Padede Uma Kalada (pembangunan

rumah besar). Hal ini terekspresikan dalam tuturan lisan dalam data (E1/ESK2) di

atas, yakni pada tuturan nebahinna, damma negobage pakai, damma kababage

pasilli (Saat ini kami tidak menghindar, kami tidak mengelak). Sejatinya, selalu

membina persatuan, kekeluargaan dan solidaritas merupakan nilai luhur yang

sangat didambakan oleh Marapu.

Selain itu, dalam ritual Urrata disampaikan kepada Marapu terkait seluruh

hasil keputusan yang telah disepakati bersama. Adapun tujuannya adalah agar

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 216: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

199

Marapu mengetahui, merestui, dan memberikan petunjuk terkait dengan

keputusan yang telah diniatkan bersama. Restu dan petunjuk dari Marapu

diramalkan oleh Ata Urrata (imam Marapu) melalui usus ayam dan hati ayam

yang mana hal ini tergambarkan secara eksplisit dalam data tradisi lisan

(E1/ESK2), yakni pada tuturan Hinnabawe balimmikumi, nai manu bowakahinna

(Jika kalian mengatakan bahwa demikianlah sudah, berikanlah petunjuk baik

melalui ayam itu).

Berdasarkan informasi dari informan melalui wawancara etnografis

dikatakan bahwa tuturan ini memberikan gambaran nyata, yakni dalam ritual

Urrata ada penyembelihan ayam dan bahkan babi. Ayam ini yang kemudian

diperiksa usus dan hatinya oleh Ata Urrata untuk meramalkan restu dan

persetujuan dari Marapu. Sementara itu, untuk babi hanya hatinya saja yang

diperiksa. Dalam pertemuan ini apabila terdapat anggota keluarga yang secara

diam-diam tidak mendukung atau menyetujui keputusan bersama, maka usus

ayam, hati ayam dan hati babi yang diperiksa akan menunjukkan keanehan yang

hanya dapat diramalkan oleh Ata Urrata. Berdasarkan hasil ramalannya, Ata

Urrata akan menyampaikan kepada tetua adat untuk ditanyakan kepada semua

yang hadir terkait siapa yang tidak mendukung keputusan dan menyelidiki

penyebab orang tersebut tidak menyetujuinya. Setelah semua menyatakan

persatuan akan dilakukan ritual Urrata lagi dengan tujuan untuk menyampaikan

kepada Marapu bahwa semua telah bersatu. Biasanya, apabila penyebab Marapu

tidak menyetujui keputusan tersebut telah ditemukan dan diselesaikan tanda dari

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 217: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

200

usus, hati ayam dan hati babi akan menunjukkan menerima, merestui dan

menyetujui (W/JDMKB/7).

2) Ritual Pengumpulan Bahan-Bahan Bangunan

Rumah adat atau rumah besar masyarakat Sumba umumnya dan Kabizu

Beijello khususnya, memiliki konstruksi berbentuk panggung dengan bahan

utamanya adalah kayu. Kayu yang digunakan adalah kayu yang berkualitas bagus

dan kuat yang hanya dapat diperoleh dari hutan-hutan tertentu. Proses

pengumpulan bahan-bahan bangunan selalu diwarnai dengan ritual adat, baik

sebelum berangkat ke tempat pemotongan kayu, setelah sampai di hutan dan

setelah selesai pemotongan kayu di hutan. Ritual-ritual adat terkait dengan

pengumpulan bahan-bahan bangunan tampak dalam data tradisi lisan sebagai

berikut.

Data 48. H2/ES6

Hinnabawi balimmi badona yemmi ina, yemmi ama

Demikianlah sudah jika kalian mengatakan kalian ibu kalian bapak

Jika nenek moyang mengatakan bahwa demikianlah sudah

Na,i manu bowakahinna

Itu ayam supaya tandanya menerima

Berilah petunjuk yang baik melalui ayam itu.

Konteks: Tuturan lisan di atas merupakan bagian dari data tradisi lisan pada tahap

pertemuan satu keluarga besar Kabizu Beijello di rumah besar. Tuturan lisan itu

dituturkan oleh Ata Urrata dalam ritual Urrata. Ritual Urrata ini dilakukan

setelah pengambilan ikrar atau sumpah adat yang ditandai dengan pembagian sirih

pinang. Dalam konteks data ini, ritual Urrata dimaknai sebagai doa kepada

Marapu. Dalam doa itu, Ata Urrata memohon perlindungan, keselamatan dan

keberhasilan kepada nenek moyang.

Data (H2/ES6) di atas memberikan gambaran nyata bahwa sebelum anggota

keluarga Kabizu Beijello yang bertugas untuk menebang kayu dan memotong tali

berangkat ke hutan, terlebih dahulu harus diadakan ritual Urrata di rumah besar.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 218: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

201

Tujuan pelaksanaan ritual ini adalah untuk memberitahukan, memohon berkat,

rahmat, perlindungan, meminta petunjuk dan restu kepada Marapu terkait dengan

rencana keberangkatan penebangan pohon di hutan. Dalam ritual adat ini akan

disembelih ayam atau babi sebagai hewan kurban kepada Marapu dan Sang Ilahi.

Selain itu, hewan ini akan dijadikan sebagai media komunikasi untuk meramalkan

persetujuan, petunjuk dan restu dari Marapu, yang mana dalam data (H2/ES6) di

atas tampak pada tuturan ninnabawi balimmi badona yemmi ina, yemmi ama (jika

nenek moyang mengatakan bahwa demikianlah sudah). Na’i manu bowakahinna

(Berilah petunjuk yang baik melalui ayam itu). Apabila dari petunjuk yang

diramalkan oleh Ata Urrata menunjukkan bahwa Marapu merestui semua rencana

penebangan kayu di hutan, maka pada keesokan harinya akan berangkat

menebang kayu dan memotong tali di hutan.

Sesampainya di hutan tempat penebangan kayu dan pemotongan tali,

anggota keluarga Kabizu Beijello tidak langsung masuk ke dalam hutan untuk

menebang kayu dan memotong tali. Anggota keluarga Kabizu Beijello terlebih

dahulu melakukan ritual permohonan izin di pinggir hutan. Hal ini tampak dalam

data tradisi lisan dalam upacara Padede Uma Kalada sebagai berikut.

Data 49. J1/ES9

Ka dara pa kaloga ma , ka tena pa magawa ma

Agar seperti kuda yang bebas kami , agar seperti sampan yang leluasa kami

Agar kami seperti kuda yang bebas, agar kami seperti sampan yang leluasa

Agar kami diberi kebebasan dan keleluasaan

Dappalaka kama karingge, dappa lodakama kalerre

Janganlah palang kayu, janganlah menarik tali

Janganlah menghalangi kami

Nebahinna hidda marata anamanu, kamidda ana omma

Saat ini terimalah kurban anak ayam, persembahan anak emas

Terimalah kurban anak ayam dan persembahan uang perak ini

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 219: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

202

Konteks:

Tuturan lisan di atas merupakan bagian dari tradisi lisan dalam ritual Urrata pada

tahap penebangan pohon dan pemotongan tali di hutan. Data tradisi lisan ini

merupakan doa yang mengandung makna permohonan izin kepada roh-roh yang

diyakini sebagai pemilik hutan, padang, kali dan tanah. Dalam ritual ini,

masyarakat Kabizu Beijello memberikan sesajen berupa satu anak ayam, satu butir

telur, kapas, tembakau, sirih, pinang dan serpihan emas atau perak. Perkenanan

dan persetujuan roh-roh yang mendiami hutan tersebut dapat diramalkan atau

dilihat oleh Ata Urrata (imam Marapu) melalui usus ayam, hati ayam dan hati

babi.

Ritual adat yang dilakukan berdasarkan konteks data tradisi lisan (J1/ES9)

di atas adalah ritual wukke kadawu. Ritual ini dimaknai sebagai ritual permohonan

izin sebelum menebang pohon dan memotong tali. Hal itu tergambarkan pada

tuturan kadara pakalogama, katena pamagawama (agar kami diberi kebebasan

dan keleluasaan). Dappalaka kama karingge, dappa lodakama kalerre (Janganlah

menghalangi kami). Berdasarkan hasil wawancara etnografis dengan informan

dikatakan bahwa tuturan ini merupakan tuturan permohonan izin kepada roh-roh

yang mendiami hutan tempat penebangan pohon dan pemotongan tali. Sebelum

pelaksanaan pemotongan tali dan penebangan kayu, para Rato Marapu menggelar

ritual untuk memohon perkenanan kepada Marapu pemilik hutan. Agar dalam

pencarian pohon dan tali, dengan mudah mendapatkan pohon dan tali yang

berkualitas bagus. Apabila ritual ini tidak dilakukan, maka akan ada saja

marabahaya yang mengintai, misalnya tertimpah pohon, digigit ular, susah

mendapatkan pohon dan tali yang berkualitas (W/JDMKB/9).

Informasi dari informan di atas terungkap pula pada tuturan newe bamma

kalolakowa wawi, kamma kolekina wawi apaulle (sehingga, pada saat kami

menebang pohon, kami mendapat pohon yang berkualitas dan berteras). Bamma

gesakowa kedu, kamma kolekina kedu apadari (Sehingga pada saat kami

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 220: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

203

memotong tali, kami mendapatkan tali yang kuat). Ritual permohonan izin ini

dilakukan di tempat pemujaan yang telah dipersiapkan sebelumnya, yakni pondok

yang terbuat dari daun-daunan dan sebuah tugu batu.

Dalam ritual adat ini ada syarat yang harus dipenuhi, yakni memberikan

sesaji berupa satu anak ayam, satu butir telur, kapas, tembakau, sirih, pinang dan

serpihan emas atau perak kepada Marapu. Hal itu digambarkan pada tuturan

nebahinna hidda marata anamanu, kamidda ana omma (Terimalah kurban anak

ayam, telur, kapas, tembakau, sirih, pinang, dan persembahan cincin emas).

Pemberian sesaji itu dimaknai oleh masyarakat Kabizu Beijello sebagai upaya

memohon izin, dan memohon perlindungan serta keselamatan dari segala

malapetaka ketika mengambil material bangunan di hutan .

Praktik ritual yang dilakukan oleh masyarakat Kabizu Beijello tidak hanya

tampak pada saat memohon izin, tetapi tampak pula pada saat mengucap syukur

atas keberhasilan penebangan pohon dan pemotongan tali. Hal itu tampak pada

data tradisi lisan (K1/ES10) (lihat tabulasi data). Wujud praktik ritual yang

digambarkan dalam data tradisi lisan ini adalah ritual Todi Kadawu.

4.2.4 Strategi Preservasi Tradisi Lisan Teda Masyarakat Kabizu Beijello

Tradisi lisan Teda dalam upacara Padede Uma Kalada merupakan salah

satu khazanah budaya yang kaya akan kearifan-kearifan lokal baik yang berwujud

nyata (tangible) atau tidak nyata (intangible). Kearifan-kearifan lokal itu tidak

hanya menunjukkan jati diri masyarakat Wewewa tetapi juga mengandung nilai-

nilai yang sangat bermanfaat bagi masyarakat dalam kehidupan sosial dan budaya.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 221: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

204

Oleh karena itu, preservasi menjadi sebuah keniscayaan agar tradisi lisan tersebut

tetap lestari.

Preservasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 612) adalah

pengawetan, pemeliharaan, penjagaan, dan perlindungan. Preservasi merupakan

suatu proses dan tindakan yang dilakukan dalam rangka memastikan

kelangsungan hidup setiap catatan otentik secara teknis dan intelektual. Hal ini

selaras dengan apa yang dikatakan Wirajaya (2016:65) yang mengemukakan

bahwa preservasi adalah suatu usaha yang sungguh-sungguh untuk membuat

sebuah tradisi lisan tetap bermanfaat dan berdaya guna. Selain itu, preservasi

merupakan upaya pemeliharaan tradisi lisan karena di dalamnya mengandung tata

nilai yang sangat kaya untuk kehidupan masyarakat. Dengan demikian, dapat

dikatakan bahwa preservasi tradisi lisan Teda pada upacara Padede Uma Kalada

merupakan upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk memelihara dan melindungi

tradisi lisan Teda sehingga tetap lestari. Upaya ini menjadi sebuah langkah

penting di tengah kepunahan yang tengah mengancam eksistensi tradisi lisan Teda

masyarakat Kabizu Beijello.

Preservasi terhadap tradisi lisan Teda masyarakat Kabizu Beijello dapat

diwujudkan melalui beberapa langkah, yakni (1) preservasi tradisi lisan Teda

melalui pelestarian alamiah, lembaga agama, lembaga pendidikan.

4.2.4.1 Preservasi Tradisi Lisan Teda melalui Pelestarian Alamiah

Pewarisan tradisi lisan Teda dalam upacara Padede Uma Kalada memiliki

keunikannya tersendiri. Dalam kenyataannya, masyarakat Kabizu Beijello tidak

semuanya bisa menuturkan tradisi lisan Teda. Hanya orang-orang terpilih saja

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 222: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

205

yang mampu bertutur dalam setiap upacara adat tersebut yang biasa disebut Rato.

Jabatan sebagai Rato merupakan langsung oleh Marapu. Karunia tersebut akan

turun pada yang orang bersih hatinya, jujur, dan tidak melanggar perintah Marapu

dengan melalui berbagai cara seperti mimpi, sakit dan pingsan. Orang yang

dikaruniai itulah yang selanjutnya akan disebut sebagai Rato yang berarti imam

atau raja yang memiliki kepandaian memimpin upacara adat. Hal ini juga

diungkapkan oleh Riti (2015:124) bahwa salah satu hal yang sangat unik dari

kaum tersebut adalah bahwa posisinya sebagai Rato tidak secara otomatis

diturunkan atau diwariskan kepada keturunannya, karena kepandaian memimpin

upacara adat pada kenyataannya lahir secara alamiah atau karena kebiasaan

mengikuti Rato atau bahkan tidak jarang diyakini sebagai karunia dari para

leluhur yang sudah meninggal dunia dalam rangka menjaga kelestarian adat

budaya tersebut. Dari percakapan dengan informan diperoleh informasi bahwa

anggota masyarakat Kabizu Beijello yang dapat menuturkan tradisi lisan Teda

dalam upacara Padede Uma Kalada melalui cara alamiah termuat dalam data

percakapan berikut.

Proses secara alamiah itu maksudnya bahwa tradisi lisan itu merupakan

karunia secara langsung atau diturunkan dan diilhamkan secara langsung

oleh Marapu kepada seseorang yang dipilih oleh Marapu. Proses

pewarisan itu biasanya melalui peristiwa-peristiwa tertentu. Misalnya,

melalui mimpi, sakit atau pingsan. Pada saat sakit dan pingsan itulah

orang tersebut akan mendapatkan karunia dan ilham dari Marapu

sehingga ketika sadar orang itu sudah fasih menuturkan tradisi lisan Teda.

Meskipun, orang yang tadinya tidak bisa berbicara di depan umum atau

tidak mempunyai kemampuan berbicara, tapi ketika mendapatkan karunia

itu menjadi orang yang sangat berani dan mempunyai kemampuan

berbicara dan tampil untuk membawakan ritual-ritual adat. Artinya bahwa

itu tanpa perbuatan manusia tapi itu merupakan karunia dari leluhur.

Dalam satu klan selalu ada yang menjadi pewaris tradisi lisan Teda tanpa

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 223: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

206

harus dididik, tanpa dilatih, tanpa diajar orang ini akan dengan sendirinya

menguasai teda (W/SPTLMKB/1).

Hasil percakapan di atas memberikan gambaran nyata bahwa pelestarian

tradisi lisan Teda masyarakat Kabizu Beijello dapat dilakukan melalui cara

alamiah, yakni karunia dari Marapu. Karunia tersebut akan diperoleh dalam

berbagai cara seperti melalui mimpi, pingsan atau sakit yang diderita oleh orang

pilihan. Proses pemilihan meniadakan intervensi manusia. Artinya, manusia tidak

memiliki hak untuk membantah apalagi menolak orang pilihan Marapu.

Kewajiban anggota Kabizu adalah menerima hasil putusan dari Marapu tersebut.

Dalam kenyataannya, meski orang pilihan Marapu tidak memiliki kecakapan

berbicara dalam ritual adat, tetapi karunia dari Marapu tersebut akan

memampukan orang itu menjadi seorang Rato yang memiliki kepandaian

membawakan ritual adat.

Tidak hanya merupakan karunia dari Marapu, pewarisan tradisi lisan Teda

masyarakat Kabizu Beijello dapat juga diperoleh melalui partisipasi yang terdiri

atas dua, yakni pertama, partisipasi karena atas kesadaran diri dari seseorang

untuk menguasai tradisi lisan Teda. Di dukung oleh kesadaran itu, seseorang akan

sering terlibat dalam berbagai pembicaraan adat. Dengan demikian kemampuan

seseorang untuk menguasai tradisi lisan Teda akan semakin terasah. Kedua, Rato

akan melibatkan anaknya dalam setiap upacara adat. Tidak menutup kemungkinan

pula bahwa dalam partisipasi tersebut seorang Rato melibatkan salah satu anggota

Kabizu yang sama dan bukannya dari Kabizu lain. Melalui partisipasi tersebut

anak Rato atau anggota Kabizu akan terus dilatih dan ditempa untuk memimpin

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 224: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

207

upacara adat. Hal ini tergambar dalam wawancara dengan informan sebagai

berikut.

Secara alamiah juga bisa dari orang tua (imam Marapu) itu kepada

anaknya atau imam Marapu itu kepada salah satu orang dalam kabizu

itu. Tidak mungkin talenta itu diberikan kepada Kabizu lain. Kabizu

lain itu juga mempunyai kedudukan sendiri. mempunyai marapu

(nenek moyang) sendiri. Dalam Kabizu ada Rato. Rato itu melihat

bahwa anaknya atau anggota Kabizu itu mampu, lalu anaknya diajar

secara terus menerus atau dibawa dan diminta untuk terlibat dalam

ritual-ritual Urrata, Saiso, Dodo dan Oka. Selain itu, bisa juga karena

ada niat dalam diri seseorang untuk bisa menguasai Teda. Orang itu

akan sering terlibat dalam pembicaraan-pembicaraan adat. Misalnya,

dekuna tauna li’i bawai’ikoge Saiso, Dodo, monno Oka (ikut menjadi

penanya pada ritual-ritual Saiso, Dodo, dan Oka). Dengan secara terus

menerus orang tersebut terlibat dalam pembicaraan adat, maka orang

itu akan menguasai bahasa-bahasa Teda (W/SPTLMKB/2).

Hasil wawancara di atas, memberikan pemahaman bahwa selain merupakan

karunia dari Marapu, kepandaian membawakan ritual adat juga didukung oleh

partisipasi yang didasarkan pada kesadaran diri dari orang yang ingin menguasai

tradisi lisan Teda dan juga dapat diturunkan dari seorang Rato kepada anaknya

atau salah satu anggota Kabizu. Hal ini dapat diperoleh melalui proses otodidak.

Artinya, seseorang akan selalu berpartisipasi dalam berbagai pembicaraan adat.

Selain itu, Rato akan selalu melibatkan anaknya atau anggota Kabizu dalam setiap

upacara adat. Pelibatan itu dimaksudkan agar orang tersebut dapat belajar dengan

cara mendengar tuturan Rato dalam setiap upacara adat atau terlibat langsung

dalam upacara adat yang dikenal dengan istilah tauna li’i (penanya) dalam

upacara Saiso, Dodo, dan Oka. Ketika orang tersebut sudah merasa diri mahir atau

ketika Rato merasa bahwa orang tersebut sudah mahir, maka dengan sendirinya

Rato akan memberikan kesempatan untuk memimpin upacara adat. Sebab

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 225: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

208

menurut keyakinan Kabizu seseorang yang melakukan kesalahan tuturan dalam

upacara adat akan mendapatkan malapetaka.

Berdasarkan seluruh uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa ada dua

bentuk pelestarian alamiah tradisi lisan masyarakat Kabizu Beijello. Pertama,

Marapu akan memberikan karunia sebagai Rato terhadap orang pilihannya yang

dipandang tidak melanggar perintah Marapu. Kedua, partisipasi dari orang yang

menguasai tradisi lisan Teda dalam berbagai ritual adat. Partisipasi itu terdiri atas

dua, yakni (a) kesadaran diri dari seseorang yang ingin menguasai tradisi lisan

Teda untuk terlibat langsung dalam komunikasi-komunikasi ritual, (b) inisiatif

dari Rato untuk memberikan pembelajaran secara otodidak kepada anaknya atau

anggota Kabizu dengan cara melibatkan anaknya dalam setiap upacara adat.

Setelah mereka menjadi mahir, Rato akan memberikan kesempatan untuk

memimpin jalannya upacara adat.

4.2.4.2 Preservasi Tradisi Lisan Teda melalui Lembaga Agama

Marapu merupakan salah satu aliran kepercayaan asli masyarakat pulau

Sumba. Kepercayaan ini menyebar di empat kabupaten di Sumba secara merata

yang meliputi Kabupaten Sumba Barat, Sumba Barat Daya, Sumba Tengah, dan

Sumba Timur. Dalam perkembangannya, penyebaran agama Kristen baik

Protestan maupun Katholik memasuki pulau Sumba. Secara garis besar misi

Protestan di NTT terbagi menjadi dua. Misi pertama diusahakan oleh

Nederlandsch Zendeling Genootschap (NZG) yang berfokus di beberapa pulau

seperti Timor, Sabu, Rote dan Alor. Pada tahun 1947, jemaat-jemaat Protestan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 226: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

209

yang ada di daerah ini dimandirikan dengan nama Gereja Masehi Injili di Timor

(GMIT). Misi Protestan yang kedua berfokus di pulau Sumba dan diusahakan oleh

beberapa lembaga zending seperti Nederlands Gereformeerde

Zendingsvereeniging (NGZV), Zending Van de Christelijk Gereformeerde Kerke

(ZGCK), dan Zending Gereformeerde Kerken in Nederland (ZGKN). Jemaat-

jemaat di Sumba juga dimandirikan pada tahun 1947 dengan nama Gereja Kristen

Sumba (GKS) (https://indoprogress.com). GKS mulai bekerja di Sumba sejak

1881 (Leyloh, 2007).

Masuknya agama-agama modern di pulau Sumba merupakan tantangan bagi

eksistensi kepercayaan asli, yakni Marapu. Dalam hal kuantitas, jumlah pemeluk

Marapu terus mengalami penurunan. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik

Sumba Barat Daya tercatat bahwa pada tahun 2016 penganut kepercayaan

Marapu berjumlah 8.452. Pada tahun 2017 berjumlah 7.748. Sementara itu, pada

tahun 2018 berjumlah 7.742 (https://sumbabaratdayakab.bps.go.id/). Data ini

membuktikan bahwa jumlah penganut Marapu dari tahun ke tahun mengalami

penurunan. Dengan demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa suatu saat

kepercayaan Marapu akan punah. Hal ini akan berimbas pula pada punahnya

tradisi lisan yang digunakan dalam berbagai ritual Marapu.

Gereja Katholik sebagai salah satu lembaga agama yang ada di Sumba

menyadari gejala kepunahan itu. Hal itu dipandang sebagai satu masalah pokok

pastoral liturgi Gereja Katolik di Indonesia yang dewasa ini mendesak adalah

inkulturasi liturgi. Kemendesakan masalah inkulturasi liturgi ini sebenarnya telah

lama digaungkan oleh para Uskup di Indonesia. Dalam Anjuran Apostolik

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 227: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

210

Ecclesia in Asia, Paus Yohanes Paulus II bersama para Uskup di Asia juga

menegaskan kemendesakan masalah inkulturasi ini. Begitu pula dalam Anjuran

Apostolik Pasca-Sinode Para Uskup, Sacramentum Caritatis, Paus Benediktus

XVI menegaskan pentingnya inkulturasi khususnya pada perayaan Ekaristi

(Hariprabowo, 2004:16-20; Martasudjita, 2010). Berbagai upaya inkulturasi

liturgi juga telah dilaksanakan di Indonesia, seperti misalnya penyusunan

nyanyian-nyanyian liturgi inkulturatif, pembangunan gedung-gedung gereja yang

inkulturatif, dekorasi altar dan busana liturgi inkulturatif, relief dan gambar-

gambar suci yang inkulturatif, tarian-tarian daerah yang dibawakan dalam

perarakan pada Perayaan Ekaristi, dsb.

Proses inkulturasi bergerak pada tujuan inkulturasi yang intinya ialah agar

hal-hal yang kudus dari Injil dapat diungkapkan dengan lebih jelas, dan umat

dapat menangkapnya lebih mudah dan dapat berpartisipasi secara penuh sadar dan

aktif menurut cara yang khas dari jemaat. Tujuan ini digariskan dalam LRI no. 35

yang mengutip dokumen Sacrosanctum Concilium Art. Istilah “umat dapat

menangkapnya lebih mudah” mencakup pengertian bahwa ungkapan simbol

liturgis tersebut tidak memerlukan banyak penjelasan. Umat dengan cepat

mengerti dengan baik dan ikut serta dengan aktif. “Menurut cara yang khas dari

jemaat” mencakup berbagai ungkapan simbolik yang khas pada umat yang

merayakan liturgi itu. Dengan demikian tujuan inkulturasi bukan sekedar

menyangkut soal ungkapan iman menurut budaya setempat saja melainkan juga

mencakup soal perwujudan iman dalam kehidupan sehari-hari menurut situasi dan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 228: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

211

kondisi aktual setempat (Martasudjita, 2010:50). Hal ini dibenarkan oleh

informan dalam wawancara sebagai berikut.

Kalau dalam bidang keagamaan itu, kita di gereja katolik ada yang

namanya inkulturasi, enkulturasi dimana kita memasukkan unsur-unsur

budaya setempat dalam kehidupan keagamaan sehingga keagamaan kita

menjadi sesuatu yang relevan dengan kehidupan sosial budaya itu.

Penghayatan iman kita, tidak menjadi sesuatu yang asing, datangnya dari

luar tetapi dia menjadi sesuatu yang cocok dengan penghayatan iman

dalam kebudayaan. Inkulturasi, yakni mewajibkan dalam gereja itu untuk

menggunakan bahasa ibu, menggunakan bahasa Teda supaya orang bisa

mengerti dengan apa yang diuraikan. Selain itu, lagu-lagu rohani yang

dibawakan pada saat perayaan-perayaan ekaristi menggunakan bahasa

Teda. Contohnya lagu pareku mori dan tarian-tarian itu perlu dimasukkan

sebagai inkulturasi, lagu-lagu daerah itu perlu dinyanyikan karena itu

mempunyai nilai. Karena dengan menggunakan tradisi lisan dalam lagu-

lagu ini dapat mengangkat hati orang, dapat menggugah hati orang. Dan

juga tarian-tarian seperti Saiso, Oka, Dodo di gereja juga diperkenankan.

Lembaga Gereja itu sudah lama sekali mencoba melestarikan tradisi lisan.

Misalnya dulu itu terbitnya buku amama zamme, itu melalui lokakarya

yang dibuat resmi oleh lembaga Gereja. Bahasa-bahasa dalam

Amamasamme itu merupakan bahasa-bahasa Teda. Kalau kita mendengar

doa-doanya, lagu-lagunya. Lagu Bapa Kami itu menggunkan bahasa

Teda. Syair dalam doa bapa kami itu merupakan bahasa Teda. Kemudian

dalam liturgi Katolik sering kali dalam lagu-lagu dalam tarian-tarian

persembahan yang diiringi dengan lagu itu menggunakan bahasa teda

(W/SPTLMKB/3).

4.2.4.3 Preservasi Tradisi Lisan Teda melalui Lembaga Pendidikan

Upaya preservasi tradisi lisan Teda pada upacara Padede Uma Kalada dapat

dilakukan melalui lembaga formal seperti sekolah, lembaga informal seperti

keluarga dan masyarakat, serta lembaga nonformal seperti sanggar. Hal ini selaras

dengan apa yang disampaikan Sibarani (2012: 307) bahwa tipe revitalisasi dan

pelestarian tradisi lisan dapat dilakukan secara formal melalui pendidikan formal,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 229: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

212

secara informal melalui kesadaran sendiri belajar di masyarakat, dan secara

nonformal melalui sanggar-sanggar atau lembaga-lembaga adat.

Eksistensi tradisi lisan Teda pada upacara Padede Uma Kalada mengalami

kemerosotan jumlah penutur. Dalam kenyataannya, tidak semua masyarakat

Kabizu memiliki pengetahuan dan kemampuan berkaitan dengan tradisi lisan

tersebut. Jika hal ini terus diabaikan maka sudah barang tentu kepunahan menjadi

sebuah kenyataan yang tak dapat dihindari. Inilah yang menjadi kenyataan yang

sedang dihadapi oleh masyarakat Kabizu yang terungkap lewat data wawancara

berikut.

Saya sangat dilematis dengan realitas sekarang. Sebagai seorang tokoh

budaya, tokoh adat, tokoh pemerhati kelestarian budaya Sumba secara

umum dan Wewewa secara khusus saya sangat menyesal. Mengapa

saya menyesal karena pada saat ini tradisi lisan ini berada di ambang

kepunahan. Tradisi lisan Teda pada saat ini hanya dikuasai oleh

penutur-penutur tua. Sedangkan, yang memiliki umur di bawah saya

apalagi yang temasuk anak-anaknya saya, saya sangat menyesal, saya

sangat kecewa karena apa mereka macam menjadi orang asing di

negerinya sendiri. Orang asing yang belajar di orang Sumba, lebih

hebat, lebih pintar berbahasa Teda, bersyair, berpantun, berseloka adat

Wewewa dibandingkan dengan orang Wewewa sendiri. Anak-anak

muda sekarang cenderung mainannya yang berkaitan dengan teknologi

seperti bermain hp, facebook, game online, WA (W/SPTLMKB/4).

Kegelisahan yang disampaikan oleh salah satu tokoh adat seperti pada data

di atas merupakan sebuah tantangan di tengah dunia yang memasuki era revolusi

industry 4.0. Minat kaum muda terhadap tradisi lisan khususnya bahasa Teda

semakin menurun karena hadirnya berbagai alat teknologi seperti telepon pintar,

facebook, dan lain sebagainya. Tidak banyak kaum muda yang menguasai tradisi

lisan Teda pada upacara Padede Uma Kalada.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 230: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

213

Masyarakat Kabizu Beijello sungguh menyadari kenyataan akan kepunahan

yang bakal terjadi sehingga upaya preservasi menjadi salah satu langkah tepat

sasar jika tidak ingin tradisi lisan punah. Upaya itu dilakukan melalui lembaga

pendidikan formal seperti sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Hal ini

terekspresikan dalam hasil wawancara dengan informan sebagai berikut.

Harus diangkat melalui pendidikan. Sebetulnya peluang untuk diangkat

melalui pendidikan ini sangat besar. Katakanlah kalau melalui pendidikan

formal, muatan-muatan lokal bisa mengangkat unsur-unsur ini. Itu untuk

sekolah dasar sampai sekolah menengah. Di perguruan tinggi, sangat bisa

diangkat menjadi satu mata kuliah. Dan ini bisa diangkat menjadi salah

satu kearifan lokal yang menjadi ciri khas program studi

(W/SPTLMKB/5).

Upaya preservasi tradisi lisan melalui lembaga pendidikan pada level SD,

SMP, dan SMA/SMK dapat dilakukan melalui kegiatan kurikuler seperti pelajaran

muatan lokal dan ekstrakulikuler seperti kelompok tari, kelompok nyanyi.

Preservasi melalui kegiatan kurikuler diatur dalam Permendikbud No. 79 Tahun

2014 tentang Muatan Lokal. Pada pasal 2 (1) merumuskan bahwa muatan lokal

merupakan bahan kajian atau mata pelajaran pada satuan pendidikan yang berisi

muatan dan proses pembelajaran tentang potensi dan keunikan lokal yang

dimaksudkan untuk membentuk pemahaman peserta didik terhadap keunggulan

dan kearifan di daerah tempat tinggalnya. Selanjutnya, pada pasal 2 (2)

dirumuskan tujuan dari mata pelajaran Muatan Lokal, yakni untuk tujuan

membekali peserta didik dengan sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang

diperlukan, yakni (a) agar peserta didik dapat mengenal dan mencintai lingkungan

alam, sosial, budaya, dan spiritual di daerahnya, dan (b) agar peserta didik dapat

melestarikan dan mengembangkan keunggulan dan kearifan daerah yang berguna

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 231: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

214

bagi diri dan lingkungannya dalam rangka menunjang pembangunan nasional.

Pada pasal 4 (1) dirinci muatan dari mata pelajaran Muatan Lokal berupa (a) seni

budaya, (b) prakarsa, (c), pendidikan jasmani, olahraga, dan kesehatan, (d) bahasa,

dan (e) teknologi. Melalui pelajaran seni budaya dapat diajarkan tradisi lisan Teda

sebagai salah satu upaya untuk menjaga kelestarian tradisi tersebut.

Selain kegiatan kurikuler, preservasi tradisi lisan dapat ditempuh melalui

kegiatan ekstrakulikuler yang diberlakukan di jenjang sekolah dasar dan

menengah seperti yang diatur dalam Permendikbud No. 62 Tahun 2014. Dalam

pasal 1 ekstrakulikuler didefinisikan sebagai kegiatan kurikuler yang dilakukan

oleh peserta didik di luar jam belajar kegiatan intrakurikuler dan kegiatan

kokurikuler, di bawah bimbingan dan pengawasan satuan pendidikan. Selanjutnya

dalam pasal 2 dipaparkan bahwa kegiatan ekstrakurikuler diselenggarakan dengan

tujuan untuk mengembangkan potensi, bakat, minat, kemampuan, kepribadian,

kerjasama, dan kemandirian peserta didik secara optimal dalam rangka

mendukung pencapaian tujuan pendidikan nasional. Berdasarkan peraturan

tersebut, upaya preservasi di sekolah dapat dilakukan dengan mendirikan

kelompok minat dan bakat.

4.3 Pembahasan

4.3.1 Kearifan-kearifan Lokal yang Terdapat dalam Tradisi Lisan Teda

dalam Upacara Padede Uma Kalada

Kearifan lokal dalam tradisi lisan pada upacara Padede Uma Kalada

sejatinya tidak terlepas dari ekosofi. Ekosofi adalah filsafat tentang keselarasan

atau keseimbangan lingkungan. Filsafat sebagai jenis sofia atau kearifan, secara

terbuka bersifat normatif, ia mengandung baik norma-norma, nilai-nilai, aturan-

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 232: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

215

aturan, dalil-dalil, maupun maklumat-maklumat, dan hipotesis-hipotesis tentang

berbagai persoalan di alam semesta (Naess,1972 dalam Mudofir, 2009:120).

Kearifan-kearifan lokal dalam upacara Padede Uma Kalada mengandung hukum-

hukum adat dan gagasan-gagasan lokal yang menjadi pedoman dalam

menciptakan kehidupan yang harmonis dan seimbang baik secara horizontal

maupun secara vertikal. Hukum-hukum adat dan gagasan-gagasan lokal itu tidak

boleh dilanggar karena setiap pelanggaran akan mendatangkan malapetaka. Hal

itu karena hukum adat dan gagasan lokal itu terikat oleh sistem kepercayaan lokal

masyarakat Kabizu Beijello, yakni kepercayaan Marapu.

Pada bagian deskripsi data telah dikemukakan bahwa pada frame bahasa

adat dalam ekologi simbolis ditemukan 12 data. Dari ke-12 data tersebut

ditemukan 3 kearifan lokal berwujud nyata, yakni (1) mama (sirih, pinang), (2)

manu (ayam), dan (3) labe a belleka, pari’i a kaladana (cincin yang lebar, tiang

yang besar dan agung). Selain itu, juga ditemukan 4 kearifan lokal berwujud tidak

nyata, yakni paralelisme, metafora, petuah, dan mantra. Pada kearifan lokal

berwujud nyata, dikutip 3 data primer dengan pembagiannya, yakni kearifan lokal

berwujud nyata berupa mama (sirih dan pinang) dikutip dari data primer

(G1/ES5). Data kearifan lokal labe a belleka, pari’i a kaladana (cincin yang

lebar, tiang yang besar dan agung) dikutip dari data (O1/ES12). Selanjutnya, data

kearifan lokal berwujud nyata, yakni manu (ayam) dikutip dari data primer

(H2/ES6). Sementara itu, pada kearifan lokal berwujud tidak nyata dikutip dari 6

data primer dengan pembagiannya, yakni paralelisme dikutip dari data (A1/ES1),

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 233: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

216

metafora dikutip dari data (A1/ES1) dan (K1/ES10), petuah dikutip dari data

(F3/ES4), (M1/ES11), dan mantra dikutip dari data (M1/ES11).

Data-data primer yang diidentifikasi tersebut ditemukan adanya simbol.

Kata dan unsur-unsur paralel pada kearifan-kearifan lokal seperti mama (sirih,

pinang), manu (ayam), neti dari tanah, batu ruta (ini garuk tanah, cabut rumput),

dan labe a belleka, pari’i a kaladana (cincin yang lebar, tiang yang agung dan

besar) mengandung makna simbolik. Kehadiran kata-kata tersebut sebagai simbol

ditentukan secara konvensional dan diakui bersama oleh masyarakat Kabizu

Beijello. Selain itu, sistem simbol juga terikat dengan kepercayaan Marapu yang

dianut oleh masyarakat Kabizu Beijello. Hal ini sejalan dengan pandangan

Dharmojo (2005:27) bahwa simbol adalah suatu objek atau fisik, tindakan, dan

peristiwa yang memiliki atau mengandung konsepsi yang dibuat secara

konvensional dan diakui bersama oleh masyarakat pemiliknya. Simbol memiliki

daya kekuatan yang melekat yang bersifat gaib, mistis, religius atau rohaniah.

Mama (sirih, pinang) pada konteks data (G1/ES5) bagi masyarakat Kabizu

Beijello adalah simbol kehadiran nenek moyang yang mengikat suatu ikrar atau

janji yang diungkapkan oleh masyarakat. Oleh karena itu, ikrar atau janji yang

diangkat tersebut tidak boleh dilanggar. Pelanggaran terhadap ikrar atau janji itu

diyakini sebagai petaka bagi orang yang melanggar tersebut. Dengan demikian,

simbol sebagai sebuah konvensi memiliki daya kekuatan yang dapat

mempengaruhi pikiran, perasaan dan tindakan masyarakat pemiliknya. Daya

kekuatan itu tidak lepas dari konteks pemahaman masyarakat Kabizu Beijello

dengan lingkungan sosial budaya mereka. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 234: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

217

Dharmojo (2005:28) bahwa simbol mempunyai daya kekuatan yang dapat

merangsang perasaan dan tindakan seseorang. Simbol berpartisipasi dalam makna

dan kekuatan dari sesuatu yang disimbolkan.

Sirih dan pinang sebagai simbol yang memiliki daya kekuatan yang dapat

mempengaruhi pikiran dan tindakan masyarakat penggunanya tidak hanya tampak

dalam budaya masyarakat Kabizu Beijello, tetapi juga masyarakat Melayu.

Penelitian Natasya (2019) yang berjudul “Fungsi dan Makna Sirih pada Upacara

Masyarakat Melayu di Desa Pulau Simardan Kecamatan Datuk Bandar Timur,

Kabupaten Tanjung Balai” membuktikan bahwa sirih dan pinang digunakan

sebagai pengikat dalam upacara perkawinan. Pada upacara ikat janji, pengunaan

sirih yang dimasukkan pada tepak sirih yang diberikan oleh pihak laki-laki kepada

pihak perempuan sebagai hantaran menandakan bahwa anak perempuan itu tidak

boleh lagi diganggu oleh laki-laki lain.

Simbol selain memiliki daya kekuatan yang dapat memengaruhi masyarakat

pemakainya, simbol juga memiliki fungsi sebagai mediasi. Dharmojo (2005:45)

menjelaskan bahwa simbol sebagai mediasi atau penghantar merupakan objek

yang hadir di antara subjek/pengguna dan objek/pihak lain untuk menyampaikan

maksud. Simbol itu dapat berupa objek apapun yang digunakan oleh manusia

yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam pandangan Duranti

(2000:40) yang dikutip oleh Dharmojo (2005:45) dikemukakan bahwa untuk

mengendalikan dunia, objek mediasi selalu berada antara manusia dengan diri

sendiri, manusia lain, masyarakat, makhluk hidup lain, lingkungan, alam dan

dunia gaib.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 235: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

218

Kata manu (ayam) pada data primer (H2/ES6) dapat diidentifikasi sebagai

simbol mediasi. Masyarakat Kabizu Beijello dalam ritual-ritual Urrata selalu

menggunakan ayam untuk menyampaikan permohonan kepada Tuhan dan

Marapu. Persetujuan, restu, petunjuk dan pesan dari Tuhan dan Marapu dapat

diramal melalui hati dan usus ayam. Dalam konteks ini maka dapat dikatakan

bahwa masyarakat Kabizu Beijjelo memaknai ayam sebagai media komunikasi

dengan Tuhan dan Marapu (arwah-arwah leluhur). Hal ini sejalan dengan hasil

temuan Dwiningsih, dkk. (2014:75) bahwa dalam ritual hamayangu, doa kepada

Marapu, ada penyembelihan hewan berupa ayam untuk diambil hati dan tali

perutnya. Hati dan tali perut tersebut dianggap sebagai media yang mampu

menghubungkan dukun dengan Marapu. Lewat media tersebut pulalah, Marapu

akan memberikan petunjuk atau pesan tentang apa yang harus dilakukan kepada si

sakit.

Masyarakat Kabizu Beijello juga memaknai ayam sebagai simbol mediasi

yang dapat memelihara hubungan yang harmonis dan seimbang antara masyarakat

Kabizu Beijello dengan Marapu. Ayam yang telah diperiksa usus dan hatinya

selanjutnya akan dibakar atau direbus hatinya untuk diberikan kepada Marapu

sebagai sesajen. Pemberian sesajen ini merupakan salah satu cara menjaga

harmonisasi dengan Marapu. Bila selalu memelihara hubungan yang harmonis

dan seimbang dengan Marapu, maka Marapu akan berbelas kasih dan selalu

melindungi serta menolong masyarakat Kabizu Beijello untuk mencapai

kesuksesan dari segala permohonan, kerinduan dan harapan yang telah disetujui

dan direstui dalam ritual Urrata tersebut. Hal ini sejalan dengan hasil wawancara

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 236: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

219

peneliti dengan Herman bahwa ayam merupakan salah satu hewan sesajen kepada

Marapu sebagai salah satu wujud menjaga keharmonisan relasi dengan Marapu.

Kalau dalam ritual Urrata ayam yang digunakan untuk

meramal itu akan dibakar atau direbus hatinya untuk

diberikan kepada Marapu. Ata Urrata setelah Urrata

akan memerintahkan untuk segera membakar hati ayam

untuk diberikan kepada Marapu. Sehingga Marapu

tidak marah dan terus memberikan pertolongan serta

dukungan. Kalau tidak walaupun doa dari hasil ramalan

itu dikabulkan, tetap saja nanti akan ada kendala, tidak

akan berhasil (W/KKLMB/11).

Keharmonisan dengan Marapu akan terganggu apabila mayarakat Kabizu

Beijjelo tidak memberikan sesajen berupa hati ayam. Hal itu diyakini akan

menimbulkan kemarahan Marapu yang berujung pada tidak terkabulnya segala

doa dan permohonan. Ada semacam simbiosis mutualisme dalam relasi antara

masyarakat Kabizu Beijjelo dengan Marapu. Korelasi itu tergambar dalam hasil

wawancaranya Onvlee (1980:199) dengan seorang kepala desa di Sumba Barat

sebagaimana dicatat oleh (Vel, 2010: 80) menuturkan bahwa jika saya

menyediakan sesuatu bagi leluhur saya, mereka juga akan menyediakan sesuatu

bagi kelengkapan hidup saya. Jika saya memberi mereka makanan, mereka juga

akan memberi saya makanan. Jika saya memberi kekayaan kepada mereka,

mereka juga akan memberi saya kekayaan.

Ayam sebagai simbol mediasi dalam upacara-upacara adat telah menjadi

budaya bagi masyarakat Indonesia. Penelitian Kuenna (2015) dan penelitian

Ardina (2016) membuktikan bahwa masyarakat Dayak Ngaju dan masyarakat

Koto Rajo, Kuantar Hilir Seberang, Propinsi Riau menggunakan ayam sebagai

simbol mediasi dalam upacara-upacara adat. Penelitian yang dilakukan Ardina

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 237: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

220

(2016) berjudul “Makna Simbolik Ritual Pengobatan Tradisional Togak Belian di

Desa Koto Rajo, Kecamatan Kuantan Hilir Seberang, Kabupaten Kuantan

Singingi, Provinsi Riau”. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa dalam prosesi

pelaksanaan ritual pengobatan tradisional togak belian, ayam digunakan sebagai

simbol mediasi antara orang sakit, dukun dengan makhluk gaib. Ayam diberikan

kepada makhluk gaib sebagai sesajen dengan maksud agar makhluk gaib mau

membantu menyembuhkan orang yang sakit tersebut.

Sementara itu, penelitian Kuenna (2015) berjudul “Simbol Dalam Upacara

Adat Dayak Ngaju (Symbols in Ritual Tribe of Dayak Ngaju)”. Dalam penelitian

ini ditemukan bahwa dalam upacara ritual masyarakat Dayak Ngaju, “behas”

(beras) dan “meto” (hewan) tidak pernah ketinggalan dalam upacara apapun, baik

dalam upacara tiwah, upacara perkawinan, upacara mapalas/pengobatan, upacara

manajah antang, upacara kehamilan, upacara sangiang maupun bentukbentuk

upacara lain berdasarkan adat Dayak Ngaju. Beras dan hewan ini tidak hanya

sebagai pelengkap makanan pokok namun mempunyai makna lain. Behas (beras)

merupakan simbol media komunikasi yang sangat efektif antara manusia dengan

Ranying Hatalla (Tuhan). Selain beras yang sering digunakan dalam setiap acara

adat masyarakat Dayak adalah darah binatang. Adapun darah hewan yang

biasanya digunakan adalah darah ayam. Darah ayam ini biasanya digunakan untuk

mamalas atau menetralisir hal-hal yang berbau tidak baik. Darah ini

melambangkan hubungan antarmakhluk, antarmanusia, dan fungsinya

mendamaikan dan menentramkankan hubungan antara manusia dengan Tuhan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 238: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

221

Sistem simbolik pada tuturan-tuturan dalam tradisi lisan pada upacara

Padede Uma Kalada merupakan hasil kreativitas pikiran atau gagasan-gagasan

bersama masyarakat Kabizu Beijello yang terikat dengan konteks pemahaman dan

pengetahuan tentang lingkungan mereka. Hal itu ditegaskan Dharmojo,

(2005:150) bahwa simbol sebagai representasi dari budaya dapat dipelajari

berdasarkan pengetahuan tentang dunia. Bagi masyarakat Kabizu Beijello tuturan

paralel neti dari tana, batu ruta (ini garuk tanah, cabut rumput) dan labe a

belleka, pari’i a kaladana (cincin yang lebar, tiang yang besar dan agung) adalah

simbol. Sistem simbolik pada tuturan paralel ini merupakan hasil dari

penghayatan dan pengetahuan masyarakat Kabizu Beijello tentang lingkungan

mereka.

Neti dari tana, batu ruta (ini garuk tanah, cabut rumput) merupakan simbol

yang merujuk pada rumah-rumah dari anggota Kabizu Beijello. Rumah dari

anggota masyarakat Kabizu Beijello disebut dari tana, batu ruta karena pada

zaman dahulu secara umum masyarakat Kabizu Beijello memiliki mata

pencaharian utama sebagai petani. Anggota Kabizu Beijello keluar dari rumah

besar untuk bekerja kebun yang letaknya jauh dari rumah besar, yakni di pinggir-

pinggir hutan yang dekat dengan sumber mata air. Ketika sudah merasa nyaman

di tempat berkebun tersebut, maka anggota Kabizu Beijello itu membangun rumah

dan menetap di situ. Rumah inilah yang kemudian disebut dari tana, batu ruta.

Interpretasi terhadap makna simbolik dari tana, batu ruta pada saat ini tidak

hanya berlaku bagi anggota Kabizu Beijello yang bermata pencaharian sebagai

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 239: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

222

petani. Akan tetapi berlaku bagi rumah dari semua anggota Kabizu Beijello dari

berbagai latar belakang profesi.

Tuturan labe a belleka, pari’i a kaladana (cincin yang lebar, tiang yang

besar dan agung) merupakan simbol yang merujuk pada kehadiran Tuhan yang

Maha Besar dan Maha Agung. Hal ini dibuktikan dalam penelitian yang dilakukan

oleh Bera (2016: 193) bahwa tiang utama, tiang besar orang Sumba disebut Tuhan

Allah, disebut sebagai tiang agung yang dalam bahasa Marapu dikenal dengan

istilah koko poga (leher besar atau leher agung). Ungkapan ini tertuju pada

pengertian kehadiran Tuhan Pencipta yang memikul dan melindungi seluruh umat

manusia. Cincin menjadi payung yang menaungi seluruh manusia. Cincin rumah

agung (lele labe). Sistem simbolik pada tuturan ini merupakan hasil penghayatan

dan pengetahuan masyarakat Kabizu Beijello yang memandang rumah sebagai

simbol. Sejatinya, setiap bagian dari rumah adat Kabizu Beijello adalah simbol.

Simbol itu memberikan gambaran terkait adanya Tuhan dan roh-roh gaib. Selain

itu, simbol pada rumah adat juga mengatur hubungan yang harmonis dan serasi

baik sebagai anggota warga rumah, warga Kabizu, dengan leluhur, alam raya dan

Tuhan sebagai Pencipta.

Sejalan dengan hal di atas, hasil penelitian Vel (2008) sebagaimana dicatat

oleh Bera dan Neonbasu (2016:325-326) menemukan bahwa rumah merupakan

penentu segala sesuatu yang berkaitan dengan perubahan dan perkembangan serta

dinamika kehidupan dan paradigma kebersamaan masyarakat Sumba. Tata krama

kehidupan dan spektrum pemahaman yang terpusat pada rumah terlukiskan secara

fisik dalam bangunan rumah adat Sumba. Sementara itu, Bera dalam pengantar

buku “Revitalisasi Desa Adat dan Dampak Sosial Budaya Masyarakat di Pulau

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 240: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

223

Sumba” (Ramone, 2015:6) juga menemukan bahwa rumah masyarakat Sumba

merupakan wadah perawatan hubungan-hubungan antaranggota warga rumah agar

tetap utuh dan harmonis. Misalnya, hubungan antara orang tua dan anak-anak dan

hubungan suami isteri. Menurut alam pikir masyarakat Sumba, rumah adat

lengkap mengatur status dan peran anggota warga rumah yang selalu dikaitkan

dengan yang Ilahi dan dilukiskan dalam bahasa dan benda simbolik. Misalnya,

status suami atau kepala keluarga disimbolkan oleh tiang bagian kepala “pari’i

tedu lunna (tiang bagian kepala)”, tiang apabila dilihat dari posisi tidur.

Sedangkan, status isteri disimbolkan oleh tiang bagian kaki “pari’i keretenda”,

status anak-anak disimbolkan dengan periuk dan piring nasi (ghuro-enga).

Berdasarkan seluruh deskripsi di atas, sistem simbolik pada tuturan-tuturan

dalam tradisi lisan pada saat upacara Padede Uma Kalada merepresentasikan

lingkungan sosial budaya masyarakat Kabizu Beijello. Lingkungan sosial budaya

yang direpresentasikan dalam bentuk tuturan-tuturan (bahasa) tersebut sejalan

dengan dengan pendapat yang disampaikan Duranti (1997:2) bahwa di dalam dan

melalui bahasa terungkap kebudayaan sebagai seluk beluk kehidupan manusia dan

berbahasa merupakan performansi aktivitas sosial dan budaya. Dengan demikian,

bahasa bukan sekadar nomenklatur (tata nama) tetapi bahasa memiliki perangkat

kata-kata tertentu yang dapat menjadi petunjuk bahwa kata-kata itu merupakan

bagian yang penting dalam sebuah kebudayaan. Berbagai wujud simbol yang

diungkapkan melalui bahasa secara tidak langsung merupakan gambaran dari

lingkungan sosial dan budaya masyarakat pemilik bahasa sekaligus budaya

tersebut.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 241: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

224

Data-data primer pada kearifan-kearifan lokal dalam tradisi lisan pada

upacara Padede Uma Kalada selain diidentifikasi adanya simbol juga

diidentifikasi adanya metafora. Jika simbol-simbol itu tidak ditentukan

berdasarkan pada hubungan persamaan dari sesuatu yang mewakili sesuatu yang

lain, tetapi berdasarkan konvensi yang diakui bersama oleh masyarakat Kabizu

Beijello. Maka sebaliknya metafora dalam kearifan-kearifan itu ditentukan dengan

cara membandingkan sifat, menunjukkan analogi dan menyoroti ciri-ciri yang

dipersepsikan di antara entitas yang berbeda. Hal ini sejalan dengan Mulyadi

(2014:96) yang mengatakan bahwa metafora adalah mekanisme kognitif dalam

memahami satu ranah pengalaman berdasarkan struktur konseptual dari ranah

pengalaman lain yang bertalian secara sistematis. Sementara itu, Nirmala (2014:6)

mengungkapkan bahwa untuk dapat memahami maksud yang terkandung dalam

metafora ditemukan kesamaan karakteristik yang dimiliki antara target dan

sumber. Dengan membandingkan karakteristik yang dimiliki keduanya, akan

ditemukan dasar suatu metafora digunakan.

Metafora pada kearifan-kearifan lokal itu diciptakan oleh masyarakat

Kabizu Beijello seturut pengalaman dan pengetahuan mereka pada saat

berinteraksi dengan lingkungan sosial dan budaya. Hal ini sejalan dengan yang

dikatakan oleh Mulyadi (2014:96) bahwa penciptaan metafora adalah satu aspek

dari kecenderungan manusia dalam menggolongkan pengalamannya. Akar

metafora terletak pada persepsi sensori manusia, relasi manusia dengan dunia.

Tuturan tuta pomawo loddo (payung pelindung dari matahari), kada pomawo urra

(payung pelindung dari hujan) mengandung makna metaforis yang merujuk pada

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 242: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

225

rumah adat masyarakat Kabizu Beijello. Ranah sumber dari metafora ini adalah

payung sebagai alat yang dapat memberikan perlindungan dari panas matahari

atau hujan. Pada situasi-situasi tertentu payung menjadi tempat berkumpul

beberapa orang. Ranah target dari metafora ini adalah rumah adat yang dapat

memberikan perlindungan dari panas matahari dan hujan. Sama halnya seperti

payung, rumah adat pada situasi-situasi tertentu menjadi tempat berkumpul untuk

menyatakan persatuan, kebersamaan dan perdamaian.

Metafora tuta pomawo loddo (payung pelindung dari matahari), kada

pomawo urra (payung pelindung dari hujan) selain merujuk pada rumah besar

juga merujuk kepada Marapu (arwah-arwah leluhur). Ranah sumber metafora ini

adalah payung yang dapat memberikan perlindungan dan kenyamanan. Sementara

itu, ranah targetnya adalah Marapu yang diyakini sebagai pelindung dari segala

macam ancaman dan malapetaka baik yang kelihatan maupun yang tidak

kelihatan (kekuatan-kekuatan gaib dan roh-roh gaib).

Selain metafora di atas, pada kearifan lokal dalam tradisi lisan pada upacara

Padede Uma Kalada juga ditemukan metafora nakarewe ebana (dia lapuk

pinggangnya), nakarawuwe logena (dia berantakan rambutnya). Ranah sumber

dari metafora ini adalah ebana (pinggang) dan logena (rambut). Pinggang dan

rambut pada tuturan ini merujuk pada pinggang dan rambut dari nenek moyang.

Ranah target dari tuturan ini adalah rumah besar dari masyarakat Kabizu Beijello.

Pada metafora ini terdapat proses kognitif, yakni konseptualisasi bahwa rumah

besar dibayangkan atau dipandang sebagai nenek moyang. Di dalam rumah besar

berdiam roh-roh nenek moyang. Rumah besar adalah nenek moyang. Oleh karena

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 243: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

226

itu, dalam konseptualisasi itu kerusakan atap dan badan rumah besar dipandang

sebagai kerusakan dari rambut dan pinggang nenek moyang.

Berdasarkan paparan di atas, dapat dikatakan bahwa metafora-metafora

dalam tradisi lisan pada upacara Padede Uma kalada merupakan aktivitas

kognitif. Aktivitas kognitif yang dimaksudkan adalah mekanisme kognitif dalam

memahami satu ranah pengalaman berdasarkan struktur konseptual dari ranah

pengalaman lain yang bertalian secara sistematis (Mulyadi (2014:96). Masyarakat

Kabizu Beijello pertama-tama merekam lingkungan yang ada di sekitar mereka

kemudian mengonspetualisasikannya ke dalam pikiran dan menghasilkan bahasa

(tuturan) dalam bentuk metafora-metafora yang terdapat dalam tradisi lisan pada

upacara Padede Uma kalada. Deskripsi ini dalam ekolinguistik sebagaimana

diwacanakan oleh Haugen (1972:325) membuktikan bahwa secara psikologis

terdapat pengaruh lingkungan terhadap bahasa-bahasa dalam pikiran atau kognisi

penutur bahasa tersebut.

Dari ekologi simbolik, peneliti kemudian masuk ke dalam tataran ekologi

sosiokultural. Dalam frame bahasa ada dalam ekologi simbolis peneliti

mengidentifikasi sebanyak 9 data. Pada sembilan data itu ditemukan 3 kearifan

lokal berwujud nyata dan 2 kearifan lokal berwujud tidak nyata. Adapun 3

kearifan lokal berwujud nyata itu, yakni (1) yasa, pamama (beras, sirih dan

pinang) yang dikutip dari data primer (E1/ESK2), (2) kapouta (ikat kepala),

kalabo (kain yang diikat di pinggang), katopo (parang) dikutip dari data

(O2/ESK6), dan (3) wawi (babi), karambo (kerbau) dikutip dari data (R1/ESK9).

Sementara itu, 2 kearifan lokal yang berwujud tidak nyata yang ditemukan yakni

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 244: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

227

(1) paralelisme dikutip dari data (O2/ESK6, Q1/ESK8) dan (2) syair dikutip dari

data primer (P1/ESK7).

Pengkajian terhadap bahasa ada dalam ekologi sosiokultural tentu juga akan

memperlihatkan interaksi manusia (bahasa) yang keduanya membentuk dan

didasari oleh struktur sosial dan pranata budaya yang membingkai interaksi

tersebut. Struktur sosial berkaitan dengan lembaga-lembaga sosial dan institusi-

institusi politik. Sementara itu, pranata budaya berkaitan dengan institusi

kekerabatan tradisional (Steffensen and Fill, 2013:11). Dalam konteks masyarakat

Kabizu Beijello, pranata budaya yang membingkai interaksi yang tampak dalam

tradisi lisan pada upacara Padede Uma Kalada adalah masih kuatnya kepercayaan

asli masyarakat Kabizu Beijello, yakni kepercayaan Marapu.

Marapu adalah kunci dari segala aktivitas kehidupan masyarakat Kabizu

Beijello. Relasi kehidupan manusia dan citra kehidupan bersama senantiasa

bersumber dari Marapu. Ide dasar kerukunan, menjaga harmonisasi dan

keseimbangan senantiasa bersumber dari Marapu. Dalam hal ini, sebagaimana

dikatakan oleh Neonbasu (2016b) bahwa Marapu bukan saja sebuah kepercayaan

melainkan sebuah citra kehidupan yang telah lama terkristalisasi dari sebuah

diskursus integral yang sempurna dan indah memukau. Marapu adalah percikan

keharuman macrocosmos dan microcosmos. Ciri utama Marapu adalah pencarian

keindahan dan pencinta keseimbangan, yakni keseimbangan antara manusia

dengan alam, manusia dengan sesama, dan antara manusia dengan Pencipta.

Masyarakat Kabizu Beijello dalam pranata budaya menjaga harmonisasi

dengan Marapu, roh gaib dan Yang Ilahi adalah keharusan. Dengan begitu

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 245: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

228

masyarakat Kabizu Beijello akan memperoleh keselamatan dan keberkatan dalam

kehidupan. Pada kearifan lokal berwujud tidak nyata, yakni paralelisme dan

mantra ditunjukkan dengan jelas wujud menjaga harmonisasi dengan Marapu, roh

gaib dan Sang Ilahi. Paralelisme “Kendatipun ada yang beraib tubuhnya, berdosa

badannya. Janganlah ikat bersama, jangan simpul bergandeng” memperlihatkan

wujud menjaga harmonisasi dengan Marapu dan Sang Ilahi. Wujud menjaga

harmonisasi yang dilukiskan melalui paralelisme itu adalah masyarakat Kabizu

Beijello harus menunjukkan sikap taat terhadap hukum adat. Dalam konteks data

ini, hukum adat yang dimaksud adalah melakukan upacara rekonsiliasi apabila

menyadari diri telah melanggar perintah Marapu seperti dapamate kana ata

(jangan membunuh), dadala kana (jangan berzina), daboto kana (jangan bersaksi

dusta), dan dakedu kana (jangan mencuri). Sementara itu, pada kearifan lokal

berupa mantra juga dilukiskan hukum adat menjaga harmonisasi dengan roh gaib.

Hukum adat itu adalah harus memohon izin sebelum memotong tali dan

menebang pohon yang kemudian berdampak pada rusaknya seluruh ekosistem

yang ada di hutan. Dan setelah melakukan aktivitas itu, harus menanam pohon

sebagai ganti dari pohon dari pohon yang ditebang itu.

Hukum adat melakukan upacara rekonsiliasi dan memohon izin memang

tidak tertulis, tetapi wajib sifatnya untuk ditaati. Apabila tidak ditaati, maka

konsekuensinya adalah petaka. Hal ini sejalan dengan temuan Soeriadiredja

(2016:5) dalam wawancara dengan seorang Raja di Sumba Timur yang

memberikan kesaksian bahwa segala aturan dalam adat harus ditaati. Bila tidak,

akan disebut ‘pangga lii pawulu – liti lii pabanjalu’ (melangkah kata yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 246: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

229

diucapkan, menginjak bicara yang diletakkan), melanggar janji. Imbalan dari

perbuatan itu adalah ‘nda pamalundungu’, tidak panjang umur, atau tidak selamat.

Karena itulah kita selalu melaksanakan apa-apa yang sudah diamanatkan oleh

para Marapu itu.

Seluruh paparan di atas membuktikan bahwa ketika mengkaji bahasa dalam

ekologi sosiokultural, juga akan diungkap pula struktur sosial dan pranata budaya

masyarakat pemakai bahasa tersebut. Hal itu sebagaimana dikatakan oleh

Steffensen and Fill (2013:7) bahwa ketika seseorang berfokus pada ekologi

sosiokultural bahasa, seseorang melihat interaksi manusia (linguistik) yang

keduanya membentuk dan didasari oleh struktur sosial dan kemasyarakatan yang

lebih besar yang meliputi lembaga, proses ekonomi dan sumber daya sosial

budaya.

Selanjutnya akan dibahas terkait bahasa ada dalam ekologi kognitif.

Steffensen and Fill (2013:7) mengungkapkan bahwa pendekatan bahasa ada

dalam ekologi kognitif merupakan pendekatan yang menyelidiki bagaimana

bahasa diaktifkan oleh dinamika biologis organisme dan lingkungannya, dengan

fokus pada kapasitas kognitif yang memunculkan organisme yang fleksibel serta

adaptasi tingkah laku. Dalam penelitian ini, pada frame bahasa ada dalam ekologi

kognitif diidentifikasi 2 data. Dari kedua data itu ditemukan satu kearifan lokal

berwujud tidak nyata (intangible), yakni ideologi.

Ideologi adalah salah satu bentuk tujuan atau visi untuk mencapai sesuatu.

Ideologi dapat berupa formula atau draf yang disepakati bersama baik secara lisan

maupun tulisan. Itu menjadi prinsip yang akan menjadi pedoman untuk

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 247: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

230

kepentingan komunitas tertentu. Selain itu, juga menjadi faktor pendorong dan

prinsip kehidupan seseorang, kelompok dan komunitas untuk menegakkan norma,

moral, nilai, dan adat istiadat (Amin, dkk., 2015:759).

Sesuatu yang sangat fundamental dalam tradisi lisan dalam upacara Padede

Uma Kalada adalah adanya fungsi relasi antara konstruksi tekstual dengan konsep

ideologis dalam proses produksi dan resepsi tuturan-tuturan tersebut. Hal itu

ditegaskan oleh Fowler (1986:8) yang dikutip Santoso (2007:5) bahwa linguistik

kritis mengajak membicarakan arah teori bahasa dalam fungsi yang penuh dan

dinamik dalam konteks-konteks historis, sosial, dan retoris. Dalam relasinya

dengan makna struktur lingual, sesuatu yang amat fundamental adalah terdapatnya

fungsi relasi antara konstruksi tekstual dengan kondisi-kondisi sosial,

institusional, dan ideologis dalam proses-proses produksi dan resepsinya.

Struktur-struktur lingual digunakan untuk menyistematisasikan dan

mentransformasikan realitas. Oleh karena itu, dimensi- dimensi sejarah, struktur

sosial, dan ideologi merupakan sumber utama pengetahuan dan hipotesis dalam

kerangka kerja linguistik kritis..

Gambaran tentang konsep ideologis ini tampak pada dua tuturan pada data

(F2/EK1) dan (N1/EK2). Pada data (F2/EK1) ‘rumah besar’ tidak dipandang

sebagai salah satu bangunan, melainkan sebagai ‘Ibu dan Bapak’ yang melahirkan

dan membesarkan masyarakat Kabizu Beijello. ‘Ibu dan Bapak’ merujuk pada

Marapu sebagai asal muasal kehidupan masyarakat Kabizu Beijello. Sementara

itu, pada data (N1/EK2) ‘gong dan tambur’ tidak dilihat sebagai alat musik semata

melainkan ‘suara Marapu’ yang berseru kepada masyarakat Kabizu Beijello. Oleh

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 248: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

231

karena itu, upaya renovasi dan rekonstruksi rumah besar serta pemeliharaan gong

dan tambur menjadi sebuah keharusan bagi masyarakat Kabizu Beijello.

Keniscayaan ini dilatarbelakangi oleh konsep ideologi bahwa rumah besar, gong

dan tambur adalah Marapu yang menjadi pusat hidup yang mengatur norma,

moral, nilai, dan adat istiadat. Hal ini sejalan dengan Neonbasu (2016b:3) bahwa

Marapu secara ideologis dan spiritual-cosmis telah menghadirkan serta memberi

sebuah struktur kehidupan yang rukun, asri, natural, sangat kaya, penuh makna,

dan kaya nilai dalam tataran alam pikiran lokal.

4.3.2 Nilai-nilai Kearifan Lokal yang Terkandung dalam Tradisi Lisan

Teda pada Upacara Padede Uma Kalada

Linguistik dan ekologi adalah dua hal yang saling memengaruhi. Sistem

bahasa berpengaruh terhadap perilaku penggunanya dalam mengelola lingkungan.

Hal ini selaras dengan apa yang diungkapkan Fill and Muhlhaussler (2001) dalam

The Ecolinguistic Reader: Language, Ecology and Environment menyatakan

bahwa hubungan antara bahasa dan lingkungan ada 4 kondisi dan domain yang

memungkinkan untuk dianalisis, yaitu:

“Language is independent and self-contained (cognitive linguistics), language

is constructed by the world, the world is contructed by the language

(structuralism and post structuralism), language is interconnected with the

world- it both construct and is constructed by it but rarely independent

(ecolinguistics)”.

Linguistik kognitif memandang bahasa sebagai entitas yang berdiri sendiri.

Tesis ini ditentang oleh aliran linguistik strukturalis dan post-strukturalisme yang

melihat adanya hubungan bahasa dengan dunia, yakni dunia dibangun oleh bahasa

dan bahasa dibangun oleh dunia. Keterkaitan ini diafirmasi pula oleh ekolinguistik

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 249: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

232

yang memandang adanya hubungan yang erat antara bahasa (linguistik) dan dunia

(ekologi). Ekolinguistik tidak melihat bahasa dan lingkungan sebagai dua entitas

yang berdiri sendiri. Hal ini sejalan dengan pernyataan Mulyadi (2014:1) yang

menyatakan bahwa bahasa bukan merupakan entitas yang mandiri dalam

perspektif ekologis. Perubahan yang terjadi pada bahasa boleh jadi disebabkan

oleh lingkungan, dan itu dapat dilihat melalui ekspresi metaforis.

Nilai-nilai kearifan lokal yang terdapat dalam tradisi lisan Teda pada

upacara Padede Uma Kalada ialah nilai kearifan lokal dalam ekologi simbolis,

yakni nilai ketaatan (G1/ES5), nilai solidaritas (B1/ES2), nilai persatuan

(F3/ES4), nilai penghormatan (J1/ES9), nilai syukur (K1/ES10, M1/ES4), dan

nilai religius (O1/ES/12). Nilai kearifan lokal dalam ekologi sosiokultural

meliputi nilai-nilai penghormatan (P1/ESK7), nilai kerja keras (P1/ESK7,

Q1/ESK8), nilai rekonsiliasi (O2/ESK6). Sementara itu, nilai kearifan lokal dalam

ekologi kognitif yang ditunjukkan dalam data (N1/EK2), yakni nilai solidaritas.

Masyarakat Kabizu Beijello merupakan salah satu masyarakat yang masih

memegang teguh agama asli, yakni Marapu. Kehadiran agama asli tersebut tidak

serta merta hilang dengan masuknya penyebaran agama modern. Agama asli dan

agama modern melebur jadi satu dalam proses enkulturasi yang diselaraskan

dengan adat istiadat. Enkulturasi ini dapat membentuk kearifan lokal yang

menjadi pandangan hidup masyarakat. Hal ini sejalan dengan pernyataan Teezzi,

Marchettini, dan Rosini yang dikutip Hasbullah (2012:233) bahwa kearifan lokal

terbentuk oleh tradisi dan agama. Bagi masyarakat, nilai kearifan lokal dapat

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 250: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

233

ditemukan dalam nyayian, pepatah, sasanti, semboyan, dan kitab-kitab kuno yang

melekat dalam perilaku kehidupan sehari-hari.

Nilai luhur yang dilukiskan dalam kearifan lokal berwujud nyata, yakni sirih

dan pinang pada data (G1/ES5) adalah ketaatan terhadap perintah Marapu.

Masyarakat Kabizu Beijello meyakini bahwa penggunaan sirih dan pinang pada

saat mengangkat ikrar dalam bentuk sumpah adat merupakan lambang kehadiran

nenek moyang yang menyaksikan dan mengikat ikrar atau sumpah adat tersebut.

Oleh karena itu, ikrar dan sumpah adat tersebut harus ditaati dan dijalankan

dengan penuh kesetiaan, kejujuran, dan tanggung jawab. Hal tersebut terlukiskan

pada metafora mandungo katanga, kettera kaleba (peganglah kuat-kuat keputusan

dan janji yang telah disepakati bersama). Setiap orang yang telah menerima sirih

pinang berarti menyatakan kesiapsediaan untuk menggenggam erat keputusan

bersama. Apabila ikrar atau sumpah ini dilanggar maka si pelanggar akan

mendapatkan risiko adat berupa malapetaka sebab janji atau ikrar yang telah

dimeteraikan melalui peristiwa pembagian sirih dan pinang itu bersifat sah, kukuh

dan mengikat. Hal itu dilukiskan pada metafora tana dadikki, watu dangero

(keputusan dan janji yang tidak akan berubah).

Data di atas memperlihatkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara

bahasa dalam bentuk tradisi lisan dengan lingkungan penuturnya. Tradisi lisan

menyimpan dan memuat fakta-fakta sejarah terkait kearifan lokal dan nilai-nilai

kearifan lokal masyarakat penuturnya. Hal ini sejalan dengan Fill and

Muhlhaussler (2001) bahwa linguistik dan ekologi adalah dua hal yang saling

memengaruhi. Ekolinguistik tidak melihat bahasa dan lingkungan sebagai dua

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 251: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

234

entitas yang berdiri sendiri. Ada hubungan yang erat antara bahasa (linguistik) dan

dunia (ekologi).

Masyarakat Kabizu Beijello yang hidup dalam lingkaran sosiokultural juga

memiliki pranata hukum adat yang menuntut kepatuhan atau ketaataan. Nilai

tersebut bukanlah sebuah paksaan melainkan kesadaran yang tumbuh dalam diri

masyarakat bahwa ketaatan akan mendatangkan berkah. Sebaliknya pelanggaran

terhadap pranata hukum adat akan membawa bencana. Hal ini didukung pula oleh

hasil temuan Soeriadiredja (2016:5) dalam wawancara yang dilakukan dengan

seorang Raja di Sumba Timur yang memberikan kesaksian bahwa segala aturan

dalam adat harus ditaati. Bila tidak, akan disebut ‘pangga lii pawulu – liti lii

pabanjalu’ (melangkah kata yang diucapkan, menginjak bicara yang diletakkan),

melanggar janji. Imbalan dari perbuatan itu adalah ‘nda pamalundungu’, tidak

panjang umur, atau tidak selamat. Karena itulah kita selalu melaksanakan apa-apa

yang sudah diamanatkan oleh para Marapu itu.

Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Dwiningsih, dkk., (2014) juga

membuktikan bahwa Marapu hanya akan memberikan perlindungan kepada orang

yang tunduk dan taat kepadanya, yaitu orang yang tidak melanggar dosa dan

norma yang diajarkan marapu. Jika ajaran Marapu dilanggar, maka ngilu bisa

datang dengan mudah karena Marapu sudah lepas tangan dan tidak berkenan

memberikan perlindungan lagi. Saat perlindungan tersebut hilang, maka ngilu bisa

datang karena memang ngilu sedang melintas di dekatnya, atau karena ‘dibikin’

oleh mahkluk jahat seperti suanggi (tukang guna-guna/santet). Maka untuk merasa

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 252: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

235

aman dan selamat dari penyakit, orang Sumba percaya jika mereka harus taat

kepada Marapu.

4.3.3 Jati Diri Masyarakat Kabizu Beijello yang Termanifestasi dalam

Tradisi Lisan Teda pada Upacara Padede Uma Kalada

Berdasarkan hasil penelitian, peneliti menemukan bahwa di dalam tradisi

lisan pada upacara Padede Uma Kalada tergambarkan 7 wujud jati diri

masyarakat Kabizu Beijello yang meliputi (1) masyarakat Kabizu Beijello sebagai

masyarakat yang selalu membina sikap bermusyawarah, (2) masyarakat Kabizu

Beijello sebagai masyarakat solider, (3) masyarakat Kabizu Beijello sebagai

masyarakat yang menghormati pemimpin klan, (4) masyarakat Kabizu Beijello

sebagai masyarakat agraris, (5) masyarakat Kabiziu Beijello sebagai masyarakat

yang menghormati Marapu, (6) masyarakat Kabizu Beijello sebagai masyarakat

religius, dan (7) masyarakat Kabizu Beijello sebagai masyarakat ritual.

Data (A1/ES1), (F1/ES7), dan (C1/ESK1) memperlihatkan dengan jelas

wujud jati diri masyarakat Kabizu Beijello sebagai masyarakat yang selalu

membina sikap bermusyawarah. Wujud jati diri musyawarah yang digambarkan

dalam konteks data-data tradisi lisan ini adalah musyawarah selama proses

pembangunan rumah besar atau rumah adat. Musyawarah dalam rangka

merundingkan rencana pembangunan ulang rumah adat dilakukan dalam tiga

tahap, yakni (1) musyawarah antara tetua adat rumah besar dengan tetua-tetua

adat rumah kecil, (2) musyawarah antara tetua adat rumah besar, tetua adat rumah

kecil dengan anggota rumah kecil yang dilakukan di rumah kecil, dan (3)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 253: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

236

musyawarah antara tetua adat rumah besar, tetua adat rumah kecil dengan utusan

dari rumah kecil. Musyawarah yang ketiga ini dilakukan di rumah besar.

Masyarakat Kabizu Beijello dan masyarakat Sumba secara umum

memandang bahwa musyawarah merupakan warisan leluhur atau Marapu. Hal ini

sebagaimana terbaca dari penelitian yang dilakukan oleh Soeriadiredja (2013:69)

dengan judul “Marapu: Konstruksi Identitas Budaya Orang Sumba, NTT”. Dalam

penelitian ini diungkapkan bahwa bermusyawarah merupakan suatu kewajiban

yang sudah ditetapkan oleh Marapu. Tidak ada permasalahan yang tidak dapat

dipecahkan melalui musyawarah. Pandangan ini dipertegas pula oleh Wora (2007)

sebagaimana dicatat oleh Djawa dan Suprijono (2014: 82) bahwa musyawarah

merupakan budaya orang Sumba dalam mengambil keputusan.

Jati diri masyarakat Kabizu Beijello sebagai masyarakat yang selalu

membina sikap bermusyawarah, dalam bahasa Wewewa dikenal dengan istilah

pakuana. Apabila diterjemahkan secara cermat kata pakuana memiliki arti

berkumpul. Akan tetapi, dalam kaitannya dengan kegiatan musyawarah kata

pakuana memiliki makna berkumpul dan duduk secara bersama-sama untuk

sama-sama melihat, membicarakan, merundingkan dan merembukkan hal-hal

yang menjadi tujuan pakuana (bermusyawarah). Dalam konteks data (F1/ES7)

konsep kata pakuana itu dilukiskan dengan jelas pada tuturan metaforis mattu

mata, tanga wiwi. Tuturan ini apabila diterjemahkan secara cermat memiliki arti

‘banyak mata, bertemu bibir’ yang memiliki makna bahwa dalam berkumpul dan

bermusyawarah harus secara bersama-sama melihat dan membicarakan terkait

dengan masalah-masalah yang ditemukan dalam musyawarah itu. Selain itu,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 254: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

237

konsep pakuana tampak pula pada data (C1/ESK1) yakni pada tuturan bumbuge

rawa, maruge mata. Rawa (burung merpati) bagi masyarakat Kabizu Beijello

adalah lambang kekeluargaan, cinta kasih dan kesetiaan. Dengan demikian,

tuturan metaforis ini memiliki makna bahwa dalam berkumpul dan

bermusyawarah yang harus diutamakan adalah musyawarah harus dibingkai

dalam semangat cinta kasih dan kesetiaan sebagai satu keluarga. Dalam hal ini,

pada saat pakuana tentu ada perbedaan pendapat. Namun demikian, perbedaan

pendapat itu selalu diupayakan untuk diungkapkan dalam suasana penuh cinta

kasih dan kekeluargaan. Konsekuensi dari itu, hasil kesepakatan bersama yang

ditetapkan dapat memberikan kepuasan tersendiri bagi seluruh peserta

musyawarah tanpa adanya unsur tekanan dan keterpaksaan.

Dengan demikian, masyarakat Kabizu Beijello dalam bermusyawarah hanya

mengenal musyawarah dalam bentuk mufakat yang berlandaskan pada asas cinta

kasih dan kekeluargaan. Dalam hal ini, masyarakat Sumba pada umumnya tidak

mengenal sistem voting atau pemungutan suara terbanyak sebagai hasil keputusan

dari suatu masalah yang dihadapi. Hal ini sejalan dengan hasil temuan Tunggul

(2003:47-49) bahwa masyarakat Sumba secara umum dengan budaya spiritualnya

mengutamakan nilai dasar mufakat dalam musyawarah kekeluargaan. Persetujuan

melalui pemungutan suara atau suara terbanyak tidak dikenal dalam tata tertib

musyawarah mufakat dalam budaya spiritual suku Sumba.

Dalam pranata sosiobudaya lokal, kehidupan kolektif masyarakat Kabizu

Beijello selain mengutamakan musyawarah untuk mencapai mufakat juga

menekankan filosofi hidup solider. Data tradisi lisan (H2/ES6), (L1/ESK3) dan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 255: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

238

(R1/ESK9) membuktikan bahwa masyarakat Kabizu Beijello adalah masyarakat

yang solider. Solidaritas dalam masyarakat Kabizu Beijello terjalin dalam ikatan

sosial budaya yang berwujud “gotong royong dan tolong menolong” yang lahir

dari hubungan kekerabatan klan. Sejatinya, wujud solidaritas itu tidak hanya

menyata dalam kehidupan sebagai satu klan Beijello, tetapi juga dihidupi dalam

konteks masyarakat secara luas. Terkait dengan hal ini terbukti pula dalam

penelitian yang dilakukan oleh Aluman (2016b:235) bahwa partisipasi yang

terjadi pada masyarakat Marapu adalah partisipasi yang lahir dari kesadaran

individu karena kedekatan emosional dan perasaan saling memiliki. Partisipasi

yang dimiliki merupakan wujud gotong royong karena perasaan kebersamaan dan

perasaan memiliki, yang merupakan kekuatan dari dalam diri setiap individu,

dimana mereka tidak ingin melihat saudaranya menderita atau sengsara. Pada

masyarakat Marapu perasaan senasib dan sepenanggungan diwariskan secara

turun temurun.

Praktik solidaritas yang dihidupi oleh masyarakat Kabizu Beijello

sesungguhnya lahir dari satu nilai yang sangat agung, yakni manawara (belas

kasih atau cinta kasih). Hal ini itu diungkapkan Bera (2016:205) bahwa salah satu

butir nilai utama dalam perbendaharaan nilai-nilai manusia Sumba Marapu yang

masih bertahan sampai saat ini adalah manawara (kepedulian, solider, setia

kawan, prihatin, dan cinta kasih). Ide atau pengalaman akan nilai ini berasal dari

getaran jiwa, hati, dan rasa dari dalam diri seseorang ketika melihat suatu keadaan

yang menimpa nasib manusia sesama warga masyarakat.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 256: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

239

Diksi manawara yang dikonkretisasikan dalam wujud ‘bergotong royong

dan tolong menolong’ yang dilukiskan dalam tradisi lisan pada upacara Padede

Uma Kalada sejatinya memperlihatkan nilai-nilai ecosophy. Hal itu sebagaimana

dijelaskan oleh Stibbe (2015:15-16) bahwa dalam rangka pembangunan

peradaban baru, diksi dan ungkapan-ungkapan bijak dapat membantu orang untuk

peduli pada lingkungan, baik lingkungan alam atau fisik maupun lingkungan

sosiokultural. Dalam hal ini, diksi dan ungkapan-ungkapan bijak itu dimaknai

oleh Stibbe sebagai ecosophy yang sesungguhnya. Hal itu sebagaimana diuraikan

lebih lanjut bahwa nilai intrinsik tipologi bahasa memiliki daya dan manfaat untuk

merawat sesama manusia, budaya dan lingkungan alam.

Pada jati diri masyarakat Kabizu Beijello sebagai masyarakat yang

menghormati pemimpin dan menghormati Marapu juga menunjukkan adanya

dimensi ecosophy. Dalam Data (D1/ES3) dan (L2/ESK4) menunjukkan dengan

jelas wujud praktik penghormatan kepada pemimpin. Pemimpin yang

dimaksudkan dalam konteks data ini adalah pemimpin klan Beijello.

Penghormatan itu diberikan karena kedudukannya tersebut. Data you ina, amama

(Engkau Ibu, Bapak kami) mengandung makna metaforis yang merujuk pada

pemimpin klan Beijello. Wujud dari jati diri penghormatan kepada pemimpin klan

Beijello yang dilukiskan melalui tuturan ini adalah masyarakat Kabizu Beijello

menyapa pemimpin klan dengan tuturan yang sopan dan santun, yakni ina, ama

(Ibu, Bapak).

Masyarakat Kabizu Beijello dalam konteks sosial budaya, sejatinya selalu

menyapa orang yang tua atau orang yang dituakan karena kedudukannya dengan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 257: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

240

sapaan ina, ama (Ibu, Bapak). Sapaan dengan tutur kata yang sopan dan santun ini

menunjukkan bahwa pemimpin klan mendapatkan posisi dan perlakuan yang

sangat dihormati dan dihargai dalam konteks Kabizu. Hal ini sejalan dengan

temuan Aluman (2016a:25) bahwa salah satu nilai yang masih bertahan pada

masyarakat Sumba sampai saat ini adalah sikap dan tutur kata sopan santun ketika

berkomunikasi. Pada kelompok masyarakat Sumba penghormatan kepada orang

tua atau yang dituakan sudah menjadi tradisi. Penghormatan dengan sopan santun

berkomunikasi itu masih dipertahankan dalam praktik kehidupan harian

masyarakat setempat. Seseorang yang berkedudukan sebagai anak harus menyapa

orang tua atau orang yang dituakan dengan Ina, Ama. Sapaan Ina, Ama

merupakan wujud penghormatan kepada orang tua atau dituakan tersebut.

Penghormatan kepada pemimpin klan selain karena kedudukannya, juga

dilandasi oleh keyakinan bahwa pemimpin klan Beijello merupakan penghubung

atau mediator antara masyarakat Kabizu Beijello dengan Marapu. Hal ini sejalan

dengan Rostiyati (2009: 201) yang mengatakan bahwa kebergantungan

masyarakat pada pemimpin informal yang berperan sebagai pemimpin adat,

sangat tinggi. Hal itu disebabkan warga masyarakat meyakini, bahwa pemimpin

adat mempunyai kemampuan dan kelebihan tertentu. Masyarakat percaya bahwa

kehadiran pemimpin adat dapat memberi ketenangan dan harmoni. Ia dapat

merepresentasikan masyarakat untuk berhubungan dengan leluhur. Pemimpin adat

merupakan mediator antara masyarakat dengan leluhurnya.

Masyarakat Kabizu Beijello meyakini bahwa pemimpin klan Beijello

memiliki hubungan yang dekat dengan Marapu. Doa-doanya didengarkan oleh

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 258: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

241

Marapu. Apabila pemimpin klan memohon kepada Marapu untuk mengutuk

anggota Kabizu Beijello yang melanggar perintah Marapu, maka Marapu akan

mengabulkan doanya itu. Atas dasar keyakinan itu, masyarakat Kabizu Beijello

selalu menjaga harmonisasi dengan pemimpin klan dengan cara menunjukkan

sikap hormat dan taat kepada pemimpin klan. Wujud dari penghormatan itu

adalah masyarakat Kabizu Beijello selalu menaati dan menjalankan perintah

Marapu. Hal itu dilukiskan pada tuturan metaforis madara padeku, mabongga

pamane (Kami kuda penurut, anjing pengikut). Dalam hal ini, tuturan metaforis

ini menggambarkan kehidupan sosial budaya yang terjadi pada klan Beijello.

Metafora ‘Kami kuda penurut’ menggambarkan budaya masyarakat Kabizu

Beijello yang selalu siap untuk ikut menanggung beban dan menuruti perintah

pemimpin klan. Sementara itu, metafora ‘kami anjing pengikut’ menggambarkan

budaya masyarakat Kabizu Beijello yang mengikuti dan melaksanakan perintah

pemimpin klan. Konsekuensi dari sikap itu adalah masyarakat Kabizu Beijello

akan memperoleh keberkatan dalam kehidupan.

Dalam kaitannya dengan ekolinguistik sebagaimana diwacanakan oleh

Haugen, (1972:325) data di atas membuktikan bahwa bahasa memiliki hubungan

tali temali dengan konteks sosial dan budaya. Bahasa dalam tradisi lisan pada

upacara Padede Uma Kalada itu menggambarkan atau merepresentasikan

lingkungan sosial budaya masyarakat Kabizu Beijello. Dalam tradisi lisan ini

terdapat seperangkat kata tertentu yang memberi petunjuk tentang kehidupan

sosial dan budaya masyarakat Kabizu Beijello. Hal ini sejalan dengan pandangan

Mulyadi (2014:93) bahwa bahasa bukan sekadar nomenklatur (tata nama). Setiap

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 259: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

242

bahasa memiliki perangkat kata tertentu sebagai petunjuk bahwa kata-kata itu

menjadi bagian yang penting dalam sebuah kebudayaan.

Data (F2/EK1), (M1/ES11), (P1/ESK7), (J1/ES9), dan (K1/ES10)

menunjukkan wujud jati diri penghormatan kepada Marapu. Pemahaman terkait

hakikat Marapu dapat ditelusuri melalui catatan Solihin (2013) dengan mengutip

pandangan L. Ovlee (dalam Wellem, 2004:41) yang mengatakan bahwa kata

Marapu berasal dari dua kata, yakni ma dan rappu. Ma bermakna “yang”, dan

rappu bermakna “dihormati”, “disembah”, dan “didewakan”, sehingga marappu

merujuk pada arti sesuatu yang dihormati, disembah, atau didewakan. Selain itu,

Solihin (2013) juga mengutip pendapat A.A. Yewangoe (1980:52) yang

berpendapat bahwa Marappu merupakan gabungan dari kata ma (yang) dan rappu

(tersembunyi), sehingga kata marappu bermakna “yang tersembunyi”. Selain itu,

Yewangoe sebagaimana dicatat oleh Solihin, juga memperkirakan bahwa

Marappu berasal dari kata mera (sama/serupa) dan appu (nenek moyang).

Konsep tentang Marapu juga dapat dilihat dalam catatan Tunggul (2003:21)

yang juga merupakan gabungan dari dua kata, yakni ma yang berarti ‘yang’ dan

rappu yang berarti mengkristal ke dasar. Lebih lanjut Tunggul, mengungkapkan

bahwa Marapu mengandung makna ‘yang telah rampung, telah beres atau telah

selesai’. Artinya jasad manusia yang telah dikuburkan dengan resmi menurut

hukum adat, dimasukkan dalam liang lahat di tanah. Roh dan jiwanya juga telah

diserahkan atau diantar kembali kepada Maha Pencipta, yakni Tuhan Yang Maha

Esa. Dengan demikian tugas manusia di bumi telah selesai, telah dirampungkan

jasadnya kembali menjadi tanah, sebagai zat asalnya semula awal kejadiannya.

Sedangkan, roh dan jiwanya telah dipercayakan kepada Penciptanya, telah

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 260: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

243

menyatu pada zat Ilahi atau berada dan diterima kembali di sampingnya, dalam

suasana kehidupan yang baru dan abadi selamanya. Dengan keyakinan ini, maka

roh dan jiwa si mati atau leluhur yang disebut Marapu menjadi telah sedemikian

dekatnya, bahkan menyatu dengan Sang Pencipta, sehingga Marapu dapat

menjadi penghubung manusia untuk berkomunikasi dengan Sang Alkhalik, Sang

Pencipta atau Tuhan.

Untuk menambah pemahaman terkait hakikat Marapu, Tunggul juga

mencatat dua ungkapan dalam bahasa Sumba Timur, yaitu (1) Da mapa

turukungu lii, da-da ma parapangu pekada, yang bermakna mereka yang

menyampaikan segala pesan, hasrat dan keinginan umat manusia secara tepat dan

benar di hadapan Tuhan Yang Maha Esa. (2) Da lindi papa kalangu, da ketu papa

jolangu, mereka (roh leluhur) adalah titian yang digalang, mereka adalah penjolok

yang diulurkan. Mereka adalah jembatan penghubung untuk mendapatkan

sesuatu.

Pandangan Tunggul di atas, memberikan gambaran secara jelas bahwa

Marapu adalah arwah-arwah leluhur yang telah meninggal yang dipercaya sebagai

penghubung antara manusia dengan Yang Ilahi. Masyarakat Sumba terutama

penganut kepercayaan Marapu percaya bahwa setelah kematian ada kehidupan.

Setelah seseorang meninggal, tubuhnya memang binasa tetapi dewa-nya atau

jiwa-nya tetap hidup. Jiwa-jiwa para leluhur yang telah meninggal ini kemudian

dinamakan Marapu, yang dihormati sebagai perantara antara manusia yang masih

hidup dengan Magholo (pencipta)-Marawi (pembuat) yang dimaksud di sini

adalah Tuhan sebagai pencipta yang memiliki kekuasaan tertinggi. Hal ini sejalan

dengan pendapat yang dikemukakan oleh Neonbasu (2016c:70) yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 261: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

244

mengemukakan bahwa Marapu adalah arwah daripada para leluhur yang

bertindak sebagai dikita (berpindah-pindah) noneka (mondar-mandir), yaitu

perantara antara manusia dengan Yang Ilahi.

Petrus Ngongo Tanggu Bera dalam pendahuluan buku berjudul “Revitalisasi

Desa Adat dan Dampak Sosial Budaya di Pulau Sumba” yang ditulis oleh Ramone

(2015: 2) merumuskan hakikat Marapu sedikit berbeda dengan pendapat di atas.

Menurut Tanggu Bera, Marapu merupakan kepercayaan asli manusia Sumba

purba yang masih bertahan sampai sekarang. Kepercayaan Marapu mencakup

alam roh, dewa atau dewi, arwah leluhur, kekuatan magis atau gaib, obat-obatan,

dan sejenisnya yang diyakini mempengaruhi hidup manusia. Hal yang sama juga

diungkapkan oleh Solihin (2013) bahwa kepercayaan Marapu merupakan salah

satu dari agama-agama arkais. Hal ini dapat dilihat dari beberapa ciri khas agama

ini, seperti pengultusan terhadap arwah leluhur, kepercayaan terhadap roh halus

dan kekuatan-kekuatan gaib, serta fetisisme, yaitu pemujaan terhadap benda-

benda keramat. Rumusan ini menurut Neonbasu (2016c:72) sebetulnya

merupakan kristalisasi pemahaman akan kekayaan dari makna dan arti marapu

yang acapkali dimengerti secara sepihak dan tidak menyeluruh. Sementara itu,

Fernandez (1990: 296) dalam Kleden (2013: 6) juga mengungkapkan bahwa

munculnya rumusan ini merupakan perwujudan dari kebutuhan manusia yang

mencari keamanan, perlindungan dan ketenteraman.

Sehubungan dengan seluruh paparan di atas, Marapu yang dimaksud pada

konteks data ini adalah arwah-arwah leluhur, makhluk-makhluk halus, dewa atau

dewi yang mendiami pohon, hutan, padang dan kekuatan-kekuatan sakti lainnya

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 262: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

245

yang dipercaya berasal dari dunia gaib yang dalam bahasa Wewewanya, a ne’ena

kabaila ro’o (yang berasal dari balik daun), yang memiliki makna kekuatan-

kekuatan yang tidak kelihatan atau berasal dari dunia lain atau gaib. Dalam hal ini,

merujuk pada Marapu yang tidak dapat dilihat secara kasat mata, tetapi dipercaya

memiliki kekuatan-kekuatan sakti yang dapat mempengaruhi seluruh aktivitas

kehidupan manusia.

Wujud dari penghormatan kepada Marapu yang digambarkan pada data-

data di atas adalah masyarakat Kabizu Beijello selalu menjaga warisan-warisan

Marapu, memohon izin ketika hendak menebang pohon dan memotong tali serta

melakukan ritual pengucapan syukur. Pelaksanaan ritual pengucapan syukur

dilandasi oleh keyakinan bahwa keselamatan dan keberhasilan itu dicapai karena

adanya pertolongan dan perkenanan dari Marapu.

Masyarakat Kabizu Beijello dalam kaitannya dengan kehidupan sosial

budaya sesungguhnya selalu diwarnai dengan upacara pengucapan syukur yang

meliputi upacara pengucapan syukur atas kelahiran baru, syukur atas hasil panen,

syukur atas keberhasilan seseorang dalam menyelesaikan pendidikannya, dan

syukur atas rumah yang telah memberikan kenyamanan, kedamaian, dan

persatuan. Hal ini sejalan pula dengan temuan Riti (2015: 124) bahwa

Penghormatan kepada leluhur melalui beragam upacara adat merupakan kekayaan

budaya yang tidak ternilai harganya. Dalam kaitannya dengan sosial budaya,

hidup keseharian orang Sumba diwarnai oleh lima ciri utama yaitu kelahiran,

perkawinan, kematian, aktivitas bertani (menanam dan memanen), dan aktivitas

beternak (memelihara kerbau, babi, dan kuda). Pada masa lalu hingga pengkajian

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 263: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

246

ini dilaksanakan, secara umum masih sangat mudah dijumpai di seluruh wilayah

perkampungan atau pedesaan di Sumba, dimana setiap aktivitas tersebut memiliki

hal-hal yang menjadi ciri tersendiri sebagai bentuk penghormatan kepada Marapu

atau Sang Khalik. Penghormatan tersebut dapat melalui bentuk permohonan

berkat, permohonan izin, dan ucapan syukur kepada arwah nenek moyang atas

kelahiran baru atau panenan yang diperoleh.

Upacara pengucapan syukur dalam ritual-ritual adat selalu ditandai dengan

tuturan natogola manairobage, namawellita mawanabage. Tuturan ini

mengandung makna metaforis, yakni merujuk pada pengucapan syukur atas suatu

pekerjaan yang telah selesai atau rampung. Masyarakat Kabizu Beijello apabila

dalam ritual adat mendengarkan tetua adat menuturkan kalimat paralel ini, maka

dapat dipastikan bahwa ritual itu adalah ritual pengucapan syukur. Dengan

demikian, tuturan ini membuktikan bahwa bahasa mencerminkan lingkungan

sosial dan budaya masyarakat penuturnya. Hal ini sejalan dengan pandangan

Tarigan (2016:19) yang mengatakan bahwa kelengkapan leksikon suatu bahasa

mencerminkan sebagian besar karakter lingkungan ragawi dan karakteristik sosial

serta budaya masyarakat penuturnya.

Penghormatan kepada pemimpin klan dan penghormatan kepada Marapu

yang dikonkretisasikan melalui sikap sopan santun dalam menyapa pemimpin

klan, mentaati dan menjalankan perintah pemimpin klan, menjaga warisan

leluhur, memohon izin kepada roh gaib sebelum melakukan aktivitas di hutan

serta mengucap syukur sejatinya adalah perilaku hidup menjaga harmonisasi.

Membangun relasi yang seimbang dan harmonis sesuai dengan perintah orde alam

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 264: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

247

raya merupakan salah satu warisan luhur masyarakat Kabizu Beijello. Hal itu

selaras dengan hasil temuan Neonbasu (2016a:180-184) bahwa salah satu hal

pokok yang merupakan warisan luhur dan hendaknya terus diperhatikan dalam

bingkai Marapu adalah menjaga harmonisasi, baik diantara sesama manusia

(hidup bermasyarakat) maupun kehidupan pada tataran cosmis yakni hidup

bersama alam raya, leluhur dan Yang Tertinggi. Menjaga harmonisasi itu tidak

saja perilaku sosial di antara manusia berbudi, melainkan sikap dan respek ikhlas

untuk mentaati dan menghormati orde alam raya.

Dari wujud jati diri penghormatan kepada pemimpin klan dan penghormatan

kepada Marapu, selanjutnya peneliti masuk pada wujud jati diri masyarakat

Kabizu Beijello sebagai masyarakat agraris. Berdasarkan hasil identifikasi data

ditemukan enam data primer yang menggambarkan wujud jati diri masyarakat

Kabizu Beijello sebagai masyarakat agraris, yakni data (R1/ESK9), (Q1/ESK8),

(P1/ESK7), (O2/ESK6), (E1/ESK2), dan (N1/EK2). Tuturan hatti a ne’ena oma

dana (itu yang berasal dari kebun) mengandung makna simbolik, yakni merujuk

pada anggota-anggota masyarakat Kabizu Beijello yang berasal dari rumah kecil.

Sistem simbolik ini dilatari oleh konteks budaya masyarakat Kabizu Beijello

sebagai masyarakat agraris. Dalam hal ini masyarakat agraris dalam konteks

pemahaman masyarakat Kabizu Beijello tidak terbatas pada konsep bertani, tetapi

juga beternak. Dengan demikian, bahasa dalam tradisi lisan pada upacara Padede

Uma Kalada menggambarkan pula kenyataan yang ada disekitarnya. Hal itu

selaras dengan pandangan Mbete, dkk., 2015:5) bahwa bahasa adalah gambaran

atau representasi lingkungan tempat bahasa hidup, dalam arti hidup dalam

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 265: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

248

manusia. Kekayaan subsistem leksikon, teks, dan wacana menggambarkan dan

merepresentasikan lingkungan alam dan budaya yang ada disekitarnya.

Wujud jati diri bertani dan berternak sejatinya merupakan identitas atau jati

diri yang tidak dapat dilepaspisahkan dari kehidupan masyarakat Kabizu Beijello.

Wujud jati diri bertani dan berternak itu nampak bahwa masyarakat Kabizu

Beijello walaupun telah memiliki pekerjaan tetap, mereka juga tetap melakoni

praktik budaya bertani dan berternak. Hal itu terbukti pula dari penelitian yang

dilakukan oleh Aluman (2016b:293) bahwa kegiatan berternak telah dianggap

sebagai kewajiban bagi setiap keluarga. Ternak yang dipelihara adalah ayam, babi

dan kerbau. Ketika berkunjung pada setiap keluarga pasti ada kandang babi yang

selalu terisi dengan minimal satu ekor babi.

Masyarakat Kabizu Beijello dalam praktik budaya agraris mempraktikkan

kegiatan seperti bertani, beternak, dan kegiatan ekonomi kreatif. Dalam kegiatan

bertani dikenal tiga istilah yakni oma (kebun), paba (sawah), dan kalio (kintal).

Oma dan paba (sawah) digunakan untuk menanam tanaman umur pendek seperti

padi, jagung, sayur-sayuran, kacang-kacangan, dan ubi-ubian. Sementara itu, kalio

adalah lahan kering yang berada di sekitar rumah. Kalio biasanya ditanami

tanaman umur panjang seperti seperti kopi, pinang, kelapa, sawo, durian dan

kayu-kayu yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan material pembuatan rumah.

Masyarakat Kabizu Beijello dalam kegiatan beternak memelihari ternak

seperti ayam, babi, anjing, kerbau, kuda, kambing, dan sapi. Temuan ini didukung

pula dengan hasil temuan Aluman (2016a: 24) bahwa pada umumnya masyarakat

petani Sumba memiliki mata pencaharian hidup bertani dan berternak. Dalam

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 266: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

249

kegiatan pertanian saja terdiri dari usaha lahan kering dan lahan basah (sawah).

Pada areal lahan pertanian lahan kering juga ditanami dengan tanaman umur

panjang. Usaha pertanian lahan kering ditanami berbagai jenis tanaman (tumpang

sari). Dalam kegiatan berternak juga memelihara berbagai jenis ternak besar

misalnya, kerbau, sapi, kuda. Ternak kecil misalnya, ayam, sapi kambing, anjing,

kucing. Kegiatan pertanian dan beternak bersifat diversifikasi. Oleh karena itu,

tidak fokus pada satu jenis tanaman atau satu jenis ternak dalam jumlah besar.

Yang mestinya diusahakan adalah supaya biar sedikit tetapi dimiliki oleh setiap

petani.

Selain bertani dan beternak, masyarakat Kabizu Beijello juga melakukan

kegiatan ekonomi kreatif dalam bidang kerajinan tangan seperti menenun,

memintal tali, menghasilkan berbagai anyaman yang terbuat dari bambu, daun

padan, rotan dan daun lontar. Selain itu, masyarakat Kabizu Beijello dalam

kegiatan ekonomi kreatif ada juga yang berprofesi sebagai pandai besi. Dalam

kegiatan pandai besi dihasilkan produk seperti parang, cangkul, pacul, pisau,

keris, gong, dan tombak.

Praktik budaya agraris tersebut di atas selain bertujuan untuk memenuhi

kebutuhan hidup, sesungguhnya memiliki motif utama, yakni agar dapat

digunakan dalam upacara-upacara adat. Hal itu terbukti pula dari hasil penelitian

Aluman (2016b: 293) yang menemukan bahwa motif masyarakat selalu

menyediakan ternak babi dalam kandang adalah untuk berjaga-jaga dan demi

terpenuhinya kebutuhan upacara adat bilamana diperlukan. Kewaspadaan

terhadap kematian menjadi bagian sangat penting bagi masyarakat Marapu,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 267: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

250

sehingga berternak babi bagi setiap keluarga tidak mengenal pangkat, usia,

golongan dan pekerjaan jika keluarga tersebut adalah komunitas Marapu. Temuan

ini sejalan pula dengan hasil temuan Atmosudiro (1982) yang dicatat oleh Solihin

(2018:15) bahwa berbagai upacara adat di Sumba telah mendorong adanya usaha

peternakan yang ditujukan untuk memenuhi persediaan hewan dalam upacara

pengorbanan.

Masyarakat Kabizu Beijello merupakan masyarakat ritual. Dalam berbagai

ritual adat atau upacara adat ternak merupakan kebutuhan yang bersifat mendesak

dan penting. Misalnya, untuk dapat melakukan ritual urrata harus ada ayam.

Ayam ini digunakan untuk meramalkan suatu peristiwa. Dalam upacara kematian,

minimal harus ada babi sebagai hewan kurban apabila orang yang meninggal

tersebut berasal dari keluarga yang tidak mampu. Akan tetapi, apabila orang yang

meninggal tersebut berasal dari keluarga yang terpandang, yakni Rato (raja atau

bangswan) atau Tokko (orang yang memiliki kedudukan di atas Rato), hewan

yang dikurbankan berupa babi, kerbau, sapi dan kuda.

Dalam alam pikir masyarakat Sumba, kuda merupakan hewan yang akan

digunakan sebagai tunggangan dan hewan-hewan lainnya merupakan bekal orang

yang meninggal tersebut menuju Bondo Bolu, Wanno Raza (surga atau negeri

Marapu). Sebagai pertanda bahwa akan mengurbankan ternak-ternak besar, maka

akan terdengar bunyi gong pada saat orang tersebut meninggal. Selain itu, jenasah

tersebut akan dibungkus dengan kain tenun. Kain tenun itu dipandang sebagai

pakaian dari orang yang meninggal itu. Sementara itu, dalam upacara perkawinan,

pihak laki-laki akan membawa belis berupa kerbau, kuda dan sapi. Selain itu,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 268: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

251

pihak laki-laki juga akan membawa parang, tombak, mamoli dan babi. Pihak

perempuan juga akan membalas dengan sejumlah kain tenun serta babi yang

masih hidup dan yang sudah dibunuh. Tamu yang datang disambut dengan sirih

pinang sebagai tanda ketulusan hati menerima tamu tersebut. Selanjutnya, nasi

yang dimakan sebagai bentuk jamuan makan bersama harus berasal dari beras

sebagai lambang penghormatan kepada tamu atau undangan.

Selanjutnya, peneliti masuk pada bagian wujud jati diri masyarakat Kabizu

Beijello sebagai masyarakat ritual. Data (E1/ESK2), (H2/ES6), (J1/ES9), dan

(K1/ES10) menunjukkan dengan jelas praktik ritual yang mendominasi proses

Padede Uma Kalada (pembangunan rumah besar). Pada bagian ini peneliti tidak

berfokus pada ritual-ritual adat yang mendominasi proses pembangunan rumah

besar tersebut. Peneliti dengan memanfaatkan cara kerja etnografi komunikasi dan

pendekatan holistik lebih berfokus pada ‘bahasa ritual’ yang digunakan dalam

tradisi lisan pada upacara Padede Uma Kalada. Satu hal yang pasti bahwa bahasa

ritual itu berada dalam ruang lingkup sosiokultural masyarakat Kabizu Beijello.

Bahasa ritual itu digunakan oleh masyarakat Kabizu Beijello dalam komunikasi-

komunikasi yang bersifat resmi, yakni pada pertemuan-pertemuan yang bersifat

resmi, pada saat berkomunikasi dengan leluhur, roh gaib dan Yang Ilahi. Ketika

masyarakat Kabizu Beijello memohon berkat dan membawa persembahan kepada

roh-roh leluhur (Tau Marapu Wanno) dan kepada roh alam (Tau Mori Loda)

bahasa ritual itulah yang menjadi mediumnya.

Masyarakat Kabizu Beijello selain menggunakan bahasa ritual sebagai

media komunikasi, juga digunakan untuk mengekspresikan model pemikiran yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 269: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

252

paling abstrak yang terkait dengan kosmologi, sejarah, budaya, tatanan hukum,

dan moral. Sejalan dengan ini Mufwene (2003:153) sebagaimana dicatat oleh

(Nesi 2018:231) mengungkapkan bahwa pelbagai studi awal tentang ekologi

bahasa yang melibatkan masyarakat primitif selalu mengacu pada kondisi sosial

budaya, praktik politik, dan pergeseran ekonomi. Hal itu disebabkan karena

fenomena bahasa ritus masyarakat tradisional selalu berada dalam dimensi

tipologi yang unik. Keunikan itu tidak hanya menyangkut struktur dan diksi,

tetapi juga daya dan maknanya.

Penelitian ini memanfaatkan pendekatan holistik dan etnografi komunikasi.

Pemanfaatan itu bertujuan untuk mengungkap sudut pandang penduduk asli

(masyarakat Kabizu Beijello) terkait dengan konteks sosial dan budaya yang

terekam dalam tradisi lisan Teda pada upacara Padede Uma Kalada (Danandjaja,

1990:99; Spradley, 2006: 39). Data “Itu beras dan sirih pinang. Terimalah

engkau kalian nenek moyang kami”, misalnya terjalin dalam konteks budaya.

Dalam pranata budaya masyarakat Kabizu Beijello ‘beras, sirih dan pinang’

merupakan lambang penghormatan kepada seseorang atau tamu. Ketika

berkunjung ke rumah masyarakat Kabizu Beijello setelah dibentangkan tikar dan

dipersilahkan duduk, kemudian akan disuguhi sirih pinang. Dalam hal ini, sirih

dan pinang merupakan lambang penghormatan, ketulusan dan keikhlasan hati

menerima tamu tersebut. Selanjutnya, dalam jamuan makan bersama sebagai

wujud penghormatan kepada tamu, nasi yang dimakan adalah nasi yang harus

berasal dari beras. Penolakan terhadap suguhan sirih, pinang dan jamuan makan

bersama dianggap sebagai penolakan atas budaya mereka. Konsekuensi dari itu,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 270: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

253

apa yang menjadi tujuan kunjungan itu tidak akan mendapatkan tanggapan yang

baik.

Dalam konteks ritual adat sebagaimana dilukiskan dalam data di atas,

menyapa Marapu dengan menggunakan beras, sirih dan pinang hendak

menunjukkan bahwa masyarakat yang melakukan ritual itu menghormati Marapu

dan tulus serta ikhlas berkomunikasi dengan Marapu. Selain itu, juga hendak

menyatakan bahwa mereka menunjukkan ketulusan dan keikhlasan hati

berkomunikasi dengan Marapu. Konsekuensi dari itu, Marapu akan

mendengarkan doa-doa mereka dan meneruskannya kepada Yang Ilahi. Hal itu

dinyatakan oleh informan yang diwawancarai dengan mengungkapkan sebagai

berikut.

Sirih dan pinang dalam budaya masyarakat Sumba secara umum

merupakan tanda penghormatan, ketulusan dan keterbukaan hati

menerima orang lain atau tamu. Misalnya, jika kita memberikan kaleku

(tempat sirih pinang) kepada seseorang, itu karena hati kita terbuka dan

tulus berbicara dengan orang tersebut. Kita tidak akan perna bisa

memberikan kaleku pada orang yang sedang kita musuhi. Walaupun sudah

disuguhi we’e muttu (kopi, teh) atau sudah dijamu dengan makanan, tetapi

apabila belum diberikan kaleku masyarakat Sumba tetap menilai bahwa

masih ada yang kurang, masih merasa bahwa belum dihormati atau

dihargai. Sementara itu, beras merupakan makanan yang mempunyai nilai

tinggi yang dapat diberikan kepada tamu yang kita hargai dan hormati.

Sebagai tanda penghormatan dan penghargaan kepada tamu, kita

menjamu tamu dengan menghidangkan nasi yang berasal dari beras. Sama

halnya ketika hendak berbicara dengan Marapu. Sebelum berbicara

dengan Marapu harus terlebih dahulu menyebarkan beras, sirih dan

pinang sebagai tanda kita benar-benar menghormati, tulus dan terbuka

berbicara dengan Marapu. Dengan begitu doa-doa kita akan lurus sampai

kepada Ina Mawolo, Ama Marawi (Pencipta).

Informasi dari informan di atas, didukung pula oleh penelitian yang

dilakukan oleh Leyloh (2007: 30) yang menemukan bahwa sirih dan pinang

merupakan tanda persahabatan dan penghormatan kepada seseorang. Sirih dan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 271: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

254

pinang disuguhkan kepada tamu sebagai penghormatan dan ucapan selamat

datang. Walaupun seseorang tidak biasa makan sirih dan pinang, tetapi sebaiknya

suguhan itu diterima karena jika tidak maka akan dianggap tidak menghargai dan

tidak menerima ucapan selamat datang. Selain itu, sirih dan pinang juga sebagai

tanda persahabatan. Jika dua orang bertemu maka mereka akan sama-sama

mengeluarkan dan bertukar kaleku pamama (tempat sirih, pinang dan kapur)

untuk masing-masing mengambil isinya, yakni sirih dan pinang. Oleh karena itu,

salah satu sesaji dalam ritus-ritus Marapu adalah juga sirih dan pinang.

Data “Terimalah kurban anak ayam dan persembahan uang perak ini” juga

merupakan data yang muncul dari konteks budaya. Budaya yang diperlihatkan

melalui data ini adalah memberi sesajen kepada roh gaib. Sesajen yang diberikan

tidak hanya anak ayam dan serpihan emas atau perak, tetapi ada juga telur, kapas,

tembakau, sirih, dan pinang. Dalam pranata budaya masyarakat Kabizu Beijello

tradisi memberi sesajen itu sejatinya merupakan perilaku hidup nenek moyang

dalam membangun relasi yang harmonis dan seimbang dengan makrokosmos.

Tradisi ini masih terus dipraktikkan sampai saat ini. Ada semacam Common Sense

yang masih dipertahankan sampai saat ini, yakni adanya keyakinan bahwa apabila

memberikan sesajen kepada Marapu, maka manusia akan memperoleh

keberhasilan dan keberkatan dalam kehidupan.

Data tradisi lisan pada upacara Padede Uma Kalada selain menunjukkan

wujud jati diri masyarakat Kabizu Beijello sebagai masyarakat ritual, juga

memperlihatkan bahwa masyarakat Kabizu Beijello juga merupakan masyarakat

religius. Masyarakat Kabizu Beijello dalam konteks budaya selalu mempraktikan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 272: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

255

perilaku hidup memohon kerkat dan pertolongan kepada Marapu. Namun

demikian, masyarakat Kabizu Beijello juga tidak mengingkari adanya Tuhan Sang

Pencipta dan Penyelenggara kehidupan. Tuhan yang berkuasa atas seluruh alam

semesta beserta isinya termasuk manusia. Apabila dalam praktik budaya

masyarakat Kabizu Beijello memohon berkat dan pertolongan kepada Marapu

sejatinya itu hanyalah perwujudan dari kebutuhan spiritual praktis, yakni untuk

mendapatkan keamanan, perlindungan dan ketenteraman.

Sejalan dengan temuan di atas, Soelarto dalam buku yang berjudul “Budaya

Sumba Jilid I” yang diterbitkan oleh DITJEN Kebudayaan Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan juga menemukan bahwa pada hakekatnya

kepercayaan Marapu adalah suatu kepercayaan Urmonotheisme. Bahwa dalam

perkembangannya tokoh-tokoh Marapu lokal lebih ditampilkan kehadirannya, hal

itu dikarenakan kebutuhan spiritual yang praktis. Dalam usaha manusia untuk

berkomunikasi, memuja memohon pertolongan dengan mahluk-mahluk halus,

arwah leluhur dan arwah keluarga yang memiliki kepribadian serta dikenal

namanya. Namun tokoh-tokoh berbagai Marapu yang lebih sering disebut nama-

namanya, dipuja-puja dan dimohoni pertolongan itu sama sekali tidak

menyebabkan pengingkaran terhadap adanya (eksistensi) Tuhan Yang Satu, Sang

Pencipta. Dan derajatnya di tingkat paling tinggi, tetap tidak tersaingi oleh para

Marapu. Juga kedudukannya sebagai Sang Pencipta alam semesta dan seisinya

tidak pernah digoyahkan oleh berbagai Marapu di langit yang memiliki kesaktian-

kesaktian luar biasa.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 273: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

256

Wujud jati diri masyarakat Kabizu Beijello sebagai masyarakat religius

ditunjukkan dengan jelas pada frame bahasa ada dalam ekologi simbolis, yakni

pada data (O1/ES12), (I1/ES8), (H2/ES6), (J1/ES9), dan (K1/ES10). Wujud jati

diri masyarakat Kabizu Beijello sebagai masyarakat religius pada data-data itu

dilukiskan dengan bahasa yang arkais. Data “Cincin Yang Lebar, Tiang Yang

Besar” memiliki makna simbolik, yakni sebagai lambang kehadiran Tuhan Yang

Maha Besar dan Maha Agung.

Masyarakat Kabizu Beijello sesungguhnya mempunyai cara yang sangat

sederhana namun jitu dalam menanamkan nilai-nilai kehidupan baik sebagai

warga rumah maupun sebagai warga Kabizu. Masyarakat Kabizu Beijello dalam

membangun kesadaran hidup adab berketuhanan, Tuhan Sang Pencipta itu

dihadirkan atau digambarkan melalui benda-benda fisik tertentu berupa bagian

dari tubuh rumah sebagai simbolis. Pencipta disimbolkan dengan Pari’i Kalada

‘Tiang Besar’ dan Labe A Belleka ‘Cincin Yang Lebar’. Arti praktisnya adalah

Tuhan Pencipta itu adalah pelindung hidup manusia warga rumah maupun warga

Kabizu. Tuhan adalah sandaran dan andalan seperti tiang pada rumah menjadi

penopang bangunan rumah. Sementara itu, cincin yang lebar itu memiliki makna

Tuhan sebagai penopang dan pemberi kekuatan seperti cincin yang melekat pada

tiang itu merupakan penopang dan penguat bangunan rumah. Melalui benda

simbolik tiang agung dan cincin yang lebar yang kelihatan dilakukan pendidikan

dan transfer nilai bahwa Tuhan Sang Pencipta sungguh ada dan hadir dalam dan

ditengah hidup manusia (Ramone, 2015:7).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 274: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

257

Hal menarik dari serial tradisi lisan dalam upacara Padede Uma Kalada

adalah bahwa nama Tuhan tidak disebutkan secara langsung. Dalam artian bahwa

masyarakat Kabizu Beijello selalu menggunakan bahasa kiasan (metafora) dan

kalimat paralel. Data paralel “Yang memisah jari tangan, Yang membagi jari kaki.

Ibu yang mencipta, Bapak yang menjadikan. Yang membentuk badan, Yang

memadatkan tubuh” memiliki makna metaforis yang menggambarkan hakikat

Yang Ilahi. Metafora-metafora ini dalam pandangan Neonbasu (2016c:94)

berkenaan dengan ucapan yang akrab dan imanen terhadap hakikat Yang

Tertinggi. Titik tolak yang dituju adalah hakikat Yang tertinggi, yang sungguh

agung dan mulia yang selalu tidak berarti terlepas dari kehidupan mamnusia

setiap hari. Metafora-metafora itu digunakan untuk menggambarkan secara

kurang lebih tepat hakikat Yang Tertinggi sebagai subjek spiritual cosmis yang

mencipta dari ketiadaan.

Berdasarkan wujud jati diri yang telah dipaparkan di atas maka dapat

diungkapkan satu wujud jati diri yang paling hakiki yang dihidupi masyarakat

Kabizu Beijello, yakni masyarakat yang menjaga keharmonisan. Hal itu diuraikan

lebih lanjut dalam subbab berikut.

4.3.3.1 Jati Diri Hakiki Masyarakat Kabizu Beijello

Jati diri hakiki masyarakat Kabizu Beijello yang digambarkan dalam tradisi

lisan Teda pada upacara Padede Uma Kalada adalah masyarakat yang selalu

menjaga keharmonisan. Harmoni adalah keselarasan hubungan antara manusia

dengan unsur lainnya yang melingkupi kehidupannya (Trianton, 2019:3).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 275: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

258

Keharmonisan adalah perihal atau keadaan harmonis; keselarasan; keserasian

(KBBI, 2016). Keharmonisan yang digambarkan dalam tradisi lisan pada upacara

Padede Uma Kalada adalah perihal atau keadaan menjaga keselarasan,

keseimbangan dan keserasian hubungan antara manusia dengan unsur-unsur lain

yang melingkupi kehidupan masyarakat Kabizu Beijello.

Masyarakat Sumba secara umum dan masyarakat Kabizu Beijello khususnya

selalu mengutamakan keharmonisan dalam tatanan kehidupan sehari-hari.

Keharmonisan merupakan nilai luhur warisan Marapu. Soelarto dalam buku yang

berjudul “Budaya Sumba Jilid I” menegaskan bahwa konsepsi kepercayaan

Marapu yang mencakup tatahidup alam semesta ialah keseimbangan atau

harmoni. Hanya dengan keseimbangan, harmoni sajalah akan terwujud

keselarasan dan kebahagiaan. Keselarasan yang seimbang dan harmonis itu wajib

dipelihara agar jangan sampai menimbulkan kegoncangan yang merusak tata-

hidup. Karena sikap perbuatan yang melanggar asas-asas kepercayaan dan adat

merupakan dosa besar yang menimbulkan ketidakseimbangan dan mengakibatkan

malapetaka dahsyat.

Keharmonisan yang dihidupi oleh masyarakat Kabizu Beijello yang

ditemukan dalam tradisi lisan pada upacara Padede Uma Kalada meliputi

keharmonisan yang bersifat vertikal dan horizontal. Masyarakat Kabizu Beijello

tidak hanya menjaga keharmonisan dengan Tuhan dan Marapu tetapi juga dengan

sesamanya dan alam semesta. Ada keyakinan bahwa saling menjaga

keseimbangan dan keharmonisan akan membawa manusia pada kebahagiaan,

keberhasilan dan keberkatan dalam kehidupan. Hal ini sejalan dengan temuan Riti

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 276: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

259

(2015:131) bahwa Orang Sumba terikat dengan upaya memelihara hubungan yang

harmonis dengan Marapu sehingga senantiasa dapat memperoleh keselamatan

dalam menjalankan berbagai aktivitas kehidupan di dunia. Hubungan tersebut

terbagi dalam tiga arah, yakni hubungan dengan Gha Magholo Gha Marawi atau

dengan Sang Khalik, hubungan dengan alam semesta, dan hubungan antar sesama

umat manusia.

Upaya menjaga keharmonisan tiga arah yang ditemukan dalam tradisi lisan

pada upacara Padede Uma Kalada adalah mengutamakan musyawarah untuk

mencapai mufakat, menghormati pemimpin klan, mengutamakan sikap solidaritas,

harus menunjukkan sikap hormat kepada Marapu, harus melaksanakan ritual-

ritual adat sebagai tatatertib yang telah ditetapkan oleh Marapu, harus

menunjukkan perilaku hidup bekerja keras sesuai dengan profesi masing-masing

dan harus menjunjung tinggi peran Sang Ilahi dalam seluruh tatanan kehidupan.

Masyarakat Sumba secara umum terutama yang berasal dari satu Kabizu

(klan) selalu mengutamakan musyawarah mufakat dalam pengambilan keputusan.

Musyawarah ini merupakan budaya nenek moyang sejak awal mula. Hal seperti

yang diungkapkan Wora (2007) yang dikutip oleh Djawa dan Suprijono (2014:

82) bahwa musyawarah merupakan budaya orang Sumba dalam mengambil

keputusan. Musyawarah merupakan perhimpunan untuk membahas bersama

masalah-masalah yang dihadapi untuk mendapatkan kesimpulan yang disetujui

bersama dan menjadi keputusan bersama. Masyarakat Sumba pada umumnya

sangat menghormati keputusan-keputusan yang diambil berdasarkan musyawarah,

dimana tokohnya atau yang mewakili turut hadir dan memberi pendapat.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 277: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

260

Musyawarah mufakat yang dihidupi oleh masyarakat Kabizu Beijello

sejatinya lahir dari satu nilai luhur warisan Marapu (leluhur), yakni menjaga

keharmonisan antar sesama dalam Kabizu. Ada keyakinan bahwa pekerjaan

apapun yang dilakukan terutama pekerjaan yang mengharuskan keterlibatan satu

Kabizu apabila dimusyawarahkan secara bersama-sama tentu akan mencapai

keberhasilan. Hal itu seperti yang diungkapkan informan yang diwawancarai

sebagai berikut.

Musyawarah merupakan warisan leluhur sejak awal mula yang terus

dihidupkan oleh masyarakat kabizunya. Dalam hal ini bukan saja Kabizu

Beijello yang menjadikan musyawarah sebagai jati diri mereka. Akan tetapi,

semua kabizu di Sumba sudah menjalankan ini sejak nenek moyang mereka

masing-masing. Ini sudah menjadi perilaku hidup nenek moyang yang

diwariskan kepada generasi sekarang ini. Musyawarah ini dilakukan dengan

tujuan untuk menjaga keseimbangan dan keharmonisan. Agar tidak ada

ketersinggungan antara satu dengan yang lainnya. Agar tidak ada yang

merasa diri sudah tidak berarti pada komunitas itu, pada kelompok, pada

persaudaraan dan kekeluargaan itu. Sehingga, apapun yang dicita-citakan

atau diidam-idamkan dapat berhasil. Musyarawah dalam hal ini misalnya,

musyawarah dalam hal pembuatan rumah adat, membuat batu kubur, gali

tulang, upacara Woleka (syukur), perkawinan, kematian, anak sekolah dan

masih banyak lagi lainnya (W/JDMKB/14).

Perilaku hidup menjaga keharmonisan antarsesama tidak hanya tampak

pada saat bermusyawarah, tetapi terlihat pula pada perilaku hidup

penghormatan kepada pemimpin klan yang selalu dipraktekkan oleh

masyarakat Kabizu Beijello. Penghormatan itu diberikan karena ada keyakinan

bahwa pemimpin klan memiliki hubungan yang dekat dengan Marapu.

Kesadaran akan kedekatan itu, masyarakat Kabizu Beijello selalu menjaga

keharmonisan dengan pemimpin klan dengan cara menaati dan menjalankan

perintahnya dan harus menunjukkan perilaku sopan santun pada saat

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 278: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

261

berkomunikasi dengan pemimpin klan. Hal itu disampaikan oleh informan

yang diwawancarai sebagai berikut.

Cara menjaga harmonisasi dengan pemimpin klan adalah menaati dan

menjalankan perintahnya. Pemimpin klan adalah orang yang memiliki

hubungan yang dekat dengan Marapu. Doa dan permohonannya

didengarkan oleh Marapu. Apabila dalam permohonan itu, pemimpin

klan memohon petaka bagi orang yang tidak menaati perintah pemimpin

klan, maka petaka itu akan terjadi. Orang yang tidak mengindahkan

perintah pemimpin klan tidak akan perna mendapatkan keselamatan dan

keberkatan dalam hidup. Oleh karena itu, agar selalu mendapatkan berkat

dan keselamatan maka harus menjaga harmonisasi dengan pemimpin

klan dengan cara menaati dan melaksanakan perintahnya W/JDMKB/15.

Masyarakat Kabizu Beijello selain menjaga keharmonisan dengan

sesama, juga selalu menunjukkan perilaku hidup menjaga harmonisasi dengan

Marapu. Marapu merupakan pedoman hidup dan tatanilai mendasar bagi

masyarakat Kabizu Beijello. Hal ini sejalan dengan Bera (2016:216) bahwa

Marapu merupakan tatanilai mendasar yang dipegang dan dianut oleh

masyarakat Sumba. Marapu berperan sebagai ‘penolong’ artinya ketika

manusia (masyarakat Sumba) mampu menjalankan aturan-aturan dalam

Marapu, maka masyarakat Sumba akan selamat. Kesadaran akan hal ini,

masyarakat Kabizu Beijello sebagai bagian dari masyarakat Sumba selalu

menunjukkan keharmonisan dengan Marapu dengan cara menjalankan aturan-

aturan yang telah ditetapkan oleh Marapu. Hal ini sejalan dengan Leyloh

(2007:45) yang menegaskan bahwa keharmonisan hubungan antara manusia

dengan para Marapu harus selalu dipelihara dengan cara menjalankan segala

tatatertib yang telah ditetapkan oleh Marapu.

Perilaku hidup menjaga harmonisasi dengan Marapu yang terdapat

dalam tradisi lisan Teda pada upacara Padede Uma Kalada meliputi (1)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 279: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

262

menjaga warisan-warisan leluhur, (2) melakukan upacara pengucapan syukur,

(3) melakukan ritual permohonan izin, (4) melakukan ritual rekonsiliasi, dan

(5) memberikan sesajen kepada Marapu. Hal ini sejalan dengan temuan

Soeriadiredja (2013:71) yang menemukan bahwa satu hal yang sangat umum

dan sering dijumpai di Sumba adalah pelaksaan ritual keagamaan Marapu. Hal

tersebut berkaitan erat dengan sikap hidup masyarakat Sumba yang

mengutamakan keharmonisan hidup. Penelitian Kami (2018:177)

membuktikan juga bahwa dalam ritual kepercayaan Marapu, masyarakat

Marapu selalu mempersembahkan korban seperti ayam, babi dan hasil panen

lainnya. Sesaji merupakan sarana menjaga harmonisasi dengan nenek moyang

yang senantiasa ada dan hadir dalam setiap peristiwa hidup masyarakat

Marapu baik pada saat menjemput hasil panen, menjemput material bangunan

dan lain sebaginya.

4.3.4 Strategi Preservasi Tradisi Lisan Teda Masyarakat Kabizu Beijello

Kearifan lokal dewasa ini sudah mulai memudar bahkan mulai ditinggalkan

seiring dengan kemajuan teknologi dan informasi. Keterbukaan informasi telah

membuat banyak perubahan dalam kehidupan. Masyarakat, khususnya remaja,

lebih tertarik dengan budaya asing. Akibatnya, sedikit demi sedikit warisan

budaya lokal dan kearifan lokal mulai ditingalkan ( Tribun, 2019 ). Situasi inilah

yang sedang dialami oleh tradisi lisan Teda pada upacara Padede Uma Kalada.

Fenomena yang terjadi pada masyarakat Sumba secara umum, yakni sangat

kurangnya keterlibatan generasi mudah terhadap pelestarian tradisi lisan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 280: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

263

Didukung dengan faktor kemiskinan dan masih kurangnya lapangan kerja

menyebabkan anak mudah lebih banyak mencari kerja di luar pulau dan kemudian

lebih terikat dengan perkembangan modern daripada mempelajari tradisi lisan.

Dalam pandangan mereka, mempelajari tradisi lisan itu hanya orang-orang kuno

atau pimitif.

Kearifan lokal dalam tradisi lisan Teda pada upacara Padede Uma Kalada

merupakan suatu warisan dari leluhur yang mengatur pola berperilaku dan

bertindak dalam tatanan masyarakat. Hal ini selaras dengan pandangan

Sukmayadi (2018:21) yang menyatakan bahwa pandangan hidup membuat sebuah

masyarakat kuat dalam menjaga dan membina nilai-nilai dalam keluarga, sosial,

dan keagamaan, sehingga mereka dapat hidup rukun, aman, dan tenteram. Dengan

demikian, preservasi menjadi sebuah keharusan jika tidak ingin tradisi lisan yang

mengandung kearifan lokal sebagai warisan leluhur tersebut tidak mengalami

kepunahan.

Dalam penelitian ini, preservasi tradisi lisan bukan hanya tradisi lisan yang

ada dalam upacara Padede Uma Kalada. Akan tetapi, lebih dari pada itu adalah

preservasi terhadap tradisi lisan masyarakat Wewewa, Kabupaten Sumba Barat

Daya, yakni preservasi tradisi lisan Teda. Upaya ini sejajar dengan Permendikbud

Nomor 14 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelestarian Tradisi pasal 4 d yang

menyatakan bahwa objek pelestarian tradisi meliputi ungkapan tradisional yaitu

kalimat-kalimat kiasan, simbol-simbol yang dipahami maknanya oleh para

pemakainya secara lisan dimana terkandung nilai-nilai kehidupan dan pandangan

masyarakat. Strategi preservasi tradisi lisan Teda pada upacara Padede Uma

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 281: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

264

Kalada sebagai salah satu folklore yang mengandung nilai-nilai kehidupan para

pemakainya dapat dilakukan dengan berbagai jenis terobosan. Dalam penelitian

ini, peneliti menyuguhkan beberapa langkah urgen sebagai upaya preservasi,

yakni (1) preservasi tradisi lisan melalui pelestarian alamiah, (2) preservasi tradisi

lisan melalui lembaga agama, (3) preservasi tradisi lisan melalui lembaga

pendidikan.

Tradisi pada upacara Padede Uma Kalada merupakan salah satu folklor

yang diwariskan secara turun temurun oleh nenek moyang masyarakat Kabizu

Beijello. Pewarisan itu terjadi secara alamiah dalam kehidupan sehari-hari melalui

dua cara, yakni pertama, penunjukan langsung dari Marapu. Model preservasi ini

tidak mempertimbangkan peran manusia melainkan kewenangan penuh Marapu

yang tidak dapat diintervensi apalagi dibantah oleh manusia. Dengan demikian,

tidak ada intervensi manusia dalam model preservasi ini. Kedua, proses pelibatan

secara terus menerus hingga menjadi penutur yang kompeten. Dalam konteks

masyarakat Kabizu Beijello, seorang penutur dillibatkan dalam setiap ritual adat

hingga orang tersebut menjadi kompeten. Model ini dapat dikategorikan dalam

tipe naturalistik pembelajaran bahasa yang berasumsi bahwa penutur yang secara

terus menerus menggunakan suatu bahasa dalam interaksi sehari-hari maka

penutur tersebut dapat menguasainya secara natural (Chaer dan Agustina,

1995:244).

Senada dengan hal di atas, Lubis (2019:67)mengatakan bahwa untuk

menjadi penutur yang kompeten dari suatu bahasa, berarti harus mampu

melakukan segala hal dengan menggunakan bahasa tersebut sebagai bagian dari

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 282: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

265

aktivitas sosial yang lebih besar dengan aturan-aturan budaya yang tersusun dan

haruslah dapat diinterpretasikan secara budaya tersebut pula. Partisipasi

merupakan peristiwa yang mencakup keterlibatan dari setiap partisipan dalam

acara/kegiatan komunikasi yang seperti giliran berbicara (turn taking), kehadiran,

dan aturan mengenai tahapan berbicara.

Lembaga agama melalui praktik inkulturasi dapat dipandang sebagai salah

satu bentuk upaya preservasi tradisi lisan yang dimiliki oleh masyarakat Kabizu

Beijello, Sumba Barat Daya. Dokumen De Liturgia Romana et Inculturatione

(art.4) memandang inkulturasi sebagai inkarnasi Injil dalam pelbagai kebudayaan

yang otonom dan sekaligus memasukan kebudayaan-kebudayaan tersebut ke

dalam kehidupan Gereja. Dalam konteks masyarakat Sumba, dapat dikatakan

bahwa inkulturasi dipandang sebagai integrasi dua kepercayaan yakni agama

Marapu sebagai agama asli dan agama Katholik sebagai agama baru yang

memulai pewartaannya di tanah Sumba. Dalam inkulturasi tersebut muncul

transformasi yang mendalam dari nilai-nilai budaya asli yang diintegrasikan ke

dalam tradisi Kristiani. Proses inkulturasi ini menjadi salah satu jalan tengah

dimana masyarakat Sumba divonis sebagai ‘masyarakat yang menunggangi dua

kuda’ dalam pengertian menganut dua agama yakni Marapu sekaligus Katholik

(Panda, 2014:127). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kehadiran

lembaga agama yang modern seperti ajaran Katholik tidak serta merta

menghilangkan tradisi kebudayaan setempat melainkan membuka peluang akan

adanya pemertahanan budaya asli yang hidup di masyarakat.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 283: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

266

Preservasi terhadap tradisi lisan Teda pada upacara Padede Uma Kalada

juga harus menjadi perhatian utama lembaga pendidikan baik formal, informal,

maupun non formal. Walaupun dalam “The McGill Conference In Honour of

Wallace E. Lambert” yang diedit oleh Allan G. Reynolds dinyatakan bahwa

pengembangan pemerolehan dan pembelajaran bahasa akan dapat berkembang

secara lebih efektif bila diaplikasikan dalam kehidupan sosial (naturalistic), tetapi

menurut banyak ahli bahwa tipe pemerolehan bahasa secara formal seharusnya

bisa mendapatkan output yang lebih baik daripada pola naturalistic (Chaer dan

Agustina, 1995:244). Tipe ini biasanya terjadi di dalam kelas dengan bimbingan

seorang guru, materi, media dan alat bantu pembelajaran yang sudah dipersiapkan

secara baik. Aktualisasi dalam ruang lingkup pendidikan formal dapat dituangkan

dalam kurikulum pembelajaran bahasa dan sastra Teda berbasis lingkungan. Hal

ini selaras dengan peryataan Mbete (2015) bahwa pembelajaran bahasa yang

diintegrasikan dengan ekologi dapat dijadikan muatan isi yang nyata dalam

pembelajaran bahasa tentang lingkungan hidup.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 284: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

267

BAB V

PENUTUP

Dalam bab ini diuraikan dua hal, yaitu, (1) kesimpulan dan (2) saran.

Kesimpulan meliputi ringkasan dari hasil temuan. Saran meliputi hal-hal relevan

yang patut diperhatikan untuk penelitian lanjutan dan untuk realisasi hasil

penelitian, baik untuk pembelajaran bahasa dan sastra di lembaga pendidikan

maupun institusi-institusi terkait yang menaruh perhatian terhadap tradisi lisan

Teda dalam upacara Padede Uma Kalada.

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan ditemukan bahwa tradisi lisan

Teda dalam upacara Padede Uma Kalada memiliki hubungan tali temali dengan

lingkungan sosial budaya masyarakat Kabizu Beijello. Di dalam tradisi lisan Teda

pada upacara Padede Uma Kalada terdapat kode-kode bahasa yang dapat

memberi gambaran terkait kearifan-kearifan lokal, nilai-nilai kearifan lokal dan

wujud jati diri masyarakat Kabizu Beijello. Kearifan-kearifan lokal yang

ditemukan dalam tradisi lisan Teda pada upacara Padede Uma Kalada meliputi

kearifan lokal berwujud nyata dan kearifan lokal berwujud tidak nyata. Kearifan

lokal berwujud nyata yang ditemukan terdiri atas 4 , yaitu (1) sirih, pinang dan

beras, (2) Cincin Yang Lebar, Tiang Yang Agung, (3) kalabo (kain tenun yang

diikat di pinggang sampai lutut), kapouta (ikat kepala), dan katopo (parang), dan

(4) ayam, babi dan kerbau. Sementara itu, dalam penelitian ini ditemukan juga 6

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 285: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

268

kearifan local berwujud tidak nyata, yaitu (1) paralelisme, (2) metafora, (3) syair,

(4) petuah, (5) mantra, dan (6) ideologi.

Nilai-nilai kearifan lokal yang ditemukan dalam penelitian ini meliputi, nilai

ketaatan, solidaritas, persatuan, penghormatan, kerja keras, syukur, rekonsiliasi

dan nilai religius. Wujud jati diri hakiki masyarakat Kabizu Beijello yang

ditemukan dalam tradisi lisan Teda pada upacara Padede Uma Kalada adalah

masyarakat Kabizu Beijello sebagai masyarakat yang selalu menjaga

keharmonisan. Keharmonisan yang dihidupi oleh masyarakat Kabizu Beijello

meliputi keharmonisan yang bersifat vertikal dan horizontal. Masyarakat Kabizu

Beijello tidak hanya menjaga keharmonisan dengan Tuhan dan Marapu tetapi juga

dengan sesamanya dan alam semesta. Ada keyakinan bahwa saling menjaga

keseimbangan dan keharmonisan akan membawa manusia pada kebahagiaan,

keberhasilan dan keberkatan dalam kehidupan.

Wujud jati diri yang paling hakiki itu, yang kemudian menjadi dasar

terbentuknya 7 wujud jati diri lainnya yang ditemukan dalam tradisi lisan Teda

pada upacara Padede Uma Kalada yang meliputi (1) masyarakat Kabizu Beijello

sebagai masyarakat yang selalu membina sikap bermusyawarah, (2) masyarakat

yang solider, (3) masyarakat yang menghormati pemimpin, (4) masyarakat yang

menghormati Marapu (leluhur dan roh-roh gaib), (5) masyarakat yang religius, (6)

masyarakat Kabizu Beijello sebagai masyarakat ritual dan (7) masyarakat Kabizu

Beijello sebagai masyarakat agraris.

Upaya-upaya strategis preservasi tradisi lisan masyarakat Kabizu Beijello

yang ditemukan dalam penelitian ini dapat diwujudkan dalam tiga langkah, yakni

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 286: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

269

preservasi tradisi lisan melalui pelestarian alamiah, lembaga agama, dan lembaga

pendidikan. Preservasi tradisi lisan melalui pelestarian alamiah dapat dilakukan

melalui dua bentuk, yakni (1) Marapu mengaruniakan tradisi lisan kepada

anggota Kabizu yang dikehendaki oleh Marapu dalam berbagai cara seperti

mimpi, sakit dan pingsan. (2) Partisipasi dari orang yang menguasai tradisi lisan

Teda dalam berbagai ritual adat. Partisipasi ini terdiri atas dua, yakni kesadaran

diri dari seseorang yang ingin menguasai tradisi lisan untuk terlibat langsung

dalam komunikasi-komunikasi ritual dan inisiatif dari Rato untuk memberikan

pembelajaran secara otodidak kepada anaknya atau anggota Kabizu dengan cara

melibatkan anaknya dalam setiap upacara adat. Kehadiran lembaga agama yang

modern seperti ajaran Katholik tidak serta merta menghilangkan tradisi lisan

tetapi membuka peluang akan adanya pemertahanan tradisi lisan Teda yang hidup

di masyarakat melalui praktik inkulturasi. Preservasi tradisi lisan dapat juga

ditempuh melalui lembaga Pendidikan baik formal maupun informal.

5.2 Saran

Tradisi lisan dalam upacara Padede Uma Kalada sejatinya mengandung

kearifan lokal, nilai-nilai kearifan lokal, dan wujud jati diri. Hal ini menjadi suatu

khazanah budaya yang dimiliki masyarakat Kabizu Beijello. Tradisi lisan tersebut

juga menjadi suatu warisan budaya dari nenek moyang yang harus dilestarikan.

Oleh karena itu, dibutuhkan upaya strategis untuk mempetahankan tradisi lisan

tersebut. Peneliti menganjurkan beberapa saran.

1. Peneliti menyarankan kepada setiap anggota masyarakat untuk tetap

melestarikan tradisi lisan dalam upacara Padede Uma Kalada sebagai salah

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 287: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

270

satu kekayaan budaya warisan nenek moyang. Untuk itu baik keluarga atau

masyarakat hendaknya memberikan motivasi dan semangat kepada generasi

muda untuk terus berpartisipasi aktif dalam kegiatan budaya serta berusaha

untuk belajar tentang tradisi lisan Teda.

2. Peneliti memberikan saran kepada lembaga pendidikan formal mulai dari

level sekolah dasar sampai penggruruan tinggi untuk memberikan peluang

kepada peserta didik untuk mempelajari kebudayaan-kebudayaan daerah baik

melalui kegiatan kurikuler maupun dalam kegiatan ekstrakuliler. Perencanaan

ini dapat diaplikasikan dalam perencanaan pembelajaran yang terintegrasi

dengan lingkungan hidup. Gagasan hidup dan nilai-nilai kearifan lokal yang

terekam dalam tradisi lisan pada upacara Padede Uma Kalada dapat

dijadikan sebagai pedoman dalam menanamkan dan membentuk karakter

peserta didik.

3. Peneliti memberikan saran kepada .lembaga gereja untuk memepertahankan

kolaborasi .antara Gereja dan kebudayaan setempat melalui inkulturasi

sehingga kebudayaan-kebudayaan yang ada tidak punah. Gereja dapat

mengintegrasikan kearifan lokal yang dimiliki masyakat dalam liturgi Gereja.

4. Peneliti memberi saran kepada pemerintah untuk terus mempromosikan

kebudayaan-kebudayaan daerah sehingga menarik minat wisatawan asing

sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

5. Peneliti juga memberi saran kepada peneliti lain untuk menaruh perhatian

yang lebih mendalam entah dengan topik Ekolinguistik Metaforis seperti

yang peneliti lakukan ataupun bisa mengembangkan, memperdalam dari

berbagai aspek. Penelitian ini dapat dijadikan rujukan bagi penelitian-

penelitian selanjutnya.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 288: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

271

DAFTAR PUSTAKA

Afrizal. (2015). Metode Penelitian Kualitatif: Sebuah Upaya Mendukung

Penggunaan Penelitian Kualitatif dalam Berbagai Disiplin Ilmu. Jakarta:

RajaGrafindo Persada.

Alfian, M. (2013). “Potensi Kearifan Lokal dalam Pembentukan Jati Diri

Bangsa”. Dalam Prosiding The 5th International Conference on Indonesian

Studies: “Ethnicity and Globalization” (424–435). Yogyakarta: The 5th

ICSSIS (International Conference on Indonesian Studies).

Aluman, Adrianus. (2016a). “Letak Geografis dan Identifikasi Wilayah”. Dalam

Neonbasu. (2016). Akar Kehidupan Masyarakat Sumba: Dalam Cita Rasa

Marapu. Jakarta: Lappop Press Jakarta.

Aluman, Adrianus. (2016b). “Perekonomian Desa pada Pelana Masyarakat

Sumba”. Dalam Neonbasu. (2016). Akar Kehidupan Masyarakat Sumba:

Dalam Cita Rasa Marapu. Jakarta: Lappop Press Jakarta.

Amin, Kasma F, dkk. (2015). “The Ideology of Buginese in Indonesia (Study of

Culture and Local Wisdom)”. Journal of Language Teaching and

Research. 6 (4), 758-765.

Ardina, Rani. (2016). “Makna Simbolik Ritual Pengobatan Tradisional Togak

Belian di Desa Koto Rajo, Kecamatan Kuantan Hilir Seberang, Kabupaten

Kuantan Singingi, Provinsi Riau”. Jurnal Jom Fisip. 3 (2), 1-12.

Aslan. (2017). “Nilai-Nilai Kearifan Lokal dalam Budaya Pantang Larang Suku

Melayu Sambas”. Jurnal Ilmu Ushuluddin. 16 (1), 11-20.

Asmaroini, Ambiro Puji. (2017). “Menjaga Eksistensi Pancasila dan

Penerapannya bagi Masyarakat di Era Globalisasi”. Jurnal Pancasila dan

Kewarganegaraan. 1 (2), 50-64.

Banda, Maria Matildis (2016). “Tradisi Lisan dan Kelisanan Sekunder di Era

Globalisasi”. Makalah pada Seri Fakultas Ilmu Budaya, Universitas

Udayana. Bali.

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. (2016). “Kamus Besar Bahasa

Indonesia dalam Jaringan”. Diakses dari https://kbbi.kemdikbud.go.id/.

Bera, Petrus Ngongo Tanggu dan Gregorius Neonbasu (2016). “Kearifan Lokal

Masyarakat Marapu”. Dalam Neonbasu. (2016). Akar Kehidupan

Masyarakat Sumba: Dalam Cita Rasa Marapu. Jakarta: Lappop Press

Jakarta.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 289: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

272

Bera, Petrus Ngongo Tanggu. (2016). “Spiritual Capital dalam Dinamika

Pembangunan dan Ide Kekerabatan”. Dalam Neonbasu. (2016). Akar

Kehidupan Masyarakat Sumba: Dalam Cita Rasa Marapu. Jakarta:

Lappop Press Jakarta.

Chaer, Abdul dan Leoni Agustina. (1995). Sosiolinguistik: Suatu Pengantar.

Jakarta :Rineka Cipta.

Creswell, John W. (2010). Research Desain: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif,

dan Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Danandjaja, James. (1990). “Metode Penelitian Kualitatif dalam Penelitian

Folklor”. Dalam Aminddin (1990). Pengembangan Penelitian Kualitatif

dalam Bidang Bahasa dan Sastra. Malang: Yayayasan Asih, Asah, Usuh

Malang.

Dash, Rajendra Kumar. (2019). “What Is Ecolinguistics?”. Language in India

Journal. 19 (5), 379-384.

Dharmojo. (2005). Sistem Simbol dalam Munaba Waropen Papua. Jakarta: Pusat

Bahasa.

Djawa, Ambrosius Randa dan Agus Suprijono. (2014). “Ritual Marapu di

Masyarakat Sumba Timur”. Jurnal AVATARA, e-Journal Pendidikan

Sejarah. 2 (1), 71-85.

Dokhi, M. dkk. (2016). Analisis Kearifan Lokal Ditinjau dari Keragaman

Budaya. Jakarta: Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan.

Duranti, Alessandro. (1997). Linguistic Anthropology. Cambridge: Cambridge

University Press.

Dwiningsih, Santi Sri Mulyani, Semi Kawarakonda, dan Betty Roosihermiatie.

(2014). Belenggu Apung: Etnik Sumba Kabupaten Sumba Timur. Jakarta:

Lembaga penerbitan BALITBANGKES.

Dwinanto, Arief, Rini S. Soemarwoto, Miranda Risang Ayu Palar. (2019). Budaya

Sirih Pinang dan Peluang Pelestariannya di Sumba Barat. Jurnal

Patanjala. 11 (3), 363-379.

Endang, F. (2018). “Preservasi, Konservasi, dan Restorasi Bahan Perpustakaan”.

Jurnal Libria. 10 (1), 13–32.

Fill, Alwin dan Peter Mühlhäusler. (2001). The Ecolinguistics Reader: Language,

Ecology and Environment. New York: Continuum.

Fill, Alwin F. dan Hermina Penz. (2018). The Routledge Handbook of

Ecolinguistics. New York: Taylor & Francis Group.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 290: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

273

Hamidin, Muhammad. (2016). “Bentuk, Fungsi, dan Makna Mantra Ritual

Upacara Kasambu Masyarakat Muna di Kecamatan Katobu Kabupaten

Muna”. Jurnal BASTRA. 1 (2).

Hanifah, Ninip. (2010). Penelitian Etnografi dan Penelitian Grounded Theory.

Jakarta: Akademi Bahasa Asing.

Haryono, Akhmad. (2015). Etnografi Komunikasi: Konsep, Metode dan Contoh

Penelitian Pola Komunikasi. Jember: Jember University Press.

Hasanah, Uswatun. (2013). “Pembentukan Identitas Diri dan Gambaran Diri pada

Remaja Putri Bertato di Samarinda”. eJournal Psikologi 1 (2), (177-186).

Hasbullah. (2012). “REWANG: Kearifan Lokal dalam Membangun Solidaritas

dan Integrasi Sosial Masyarakat di Desa Bukit Batu Kabupaten

Bengkalis”. Jurnal Sosial Budaya. 9 (2), 231-243.

Hariprabowo, Yacobus. (2004). “Ecclesia in Asia Anugerah bagi Misi Gereja

Asia”. Jurnal LOGOS, Jurnal Filsafat-Teologi. 3 (1), 15-30.

Haugen, Einar. (1970). “The Ecology of Language”. Dalam Dil, A.S. (ed.).

(1972). The Ecology of Language: Essays by Einar Haugen. California:

Stanford University Press.

Hidayat, July. (2007). “Desain sebagai Fenomena Ideologi”. Jurnal Dimensi

Interior. 5 (1), 34-43.

Jayanti, I Gusti Ngurah. (2015). “Bentuk-Bentuk Ritual Adat di Kampung Umbu

Koba: Sebuah Tinjauan Antrapologi Religi”. Jurnal Jnana Budaya. 20 (2),

217-228.

Kami, Kanisius. (2018). Tradisi Lisan Oka Sebagai Manifestasi Jati Diri

Masyarakat Wewewa, Sumba Barat Daya: Kajian Etnopagmatik. Tesis.

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Tidak diterbitkan.

Kartawinata. (2011). “Merentas Kearifan Lokal di Tengah Modernisasi dan

Tantangan Pelestarian”. Badan Pengembangan Sumber Daya Kebudayaan

dan Pariwisata.(2011). Kearifan Lokal di Tengah Modernisasi. Jakarta:

Pusat Penelitian dan pengembangan Kebudayaan.

KEMENDIKBUD. 2012. Apresiasi Sastra. Jakarta: Pusat Pengembangan Profesi

Pendidik.

Kleden, Dony. (2013). POLITIK RESIPROSITAS KEDDE “Kontestasi Kearifan

Lokal dan Manipulasi Lokal”. Yogyakarta: ANDI OFFSET.

Kramsch, Claire. (1998). Language and Culture. New York.Oxford University

Press.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 291: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

274

Kompas. (2019). “Cegah Kematian Bahasa”. Diakses melalui

https://kompas.id/baca/utama/2019/10/29/cegah-kematian-bahasa/. Pada

tanggal 11 Januari 2020.

Kuenna. (2015). “Simbol Dalam Upacara Adat Dayak Ngaju (Symbols in Ritual

Tribe of Dayak Ngaju)”. Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya. 5

(2), 179-187.

Leyloh, Yendri A. H. Y. (2007). Identitas Penganut Marapu Berhadapan dengan

Gereja dan Program Pariwisata di Sumba Barat, NTT. Tesis. Universitas

Sanata Dharma. Yogyakarta: Tidak diterbitkan.

Lubis, Tasnim. (2019). Tradisi Lisan Nandong Simeulue: Pendekatan

Antropolinguistik. Disertasi. Fakultas Ilmu Budaya. Universitas Sumatera

Utara. Medan. Tidak diterbitkan.

Mahsun. (2009). Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan

Tekniknya. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Martasudjita, E.P.D. (2010). “Proses Inkulturasi Liturgi di Indonesia”. Jurnal

Studia Philosophica et Theologica. 10 (1), 39-60.

Mbete, Aron. (2015). “Masalah Kebahasaan dalam Kerangka Pelestariannya:

Perspektif Ekolinguistik”. Jurnal Tutur. 1 (2), 181-188.

Mbete, Aron, dkk., (2015). “Khazanah Ekoleksikal Guyub Tutur Bahasa Lio,

Flores”. Laporan Hasil Penelitian. Universitas Udayana. Bali

Mudofir. (2009). Argumen Konservasi Lingkungan Sebagai Tujuan Tertinggi

Syari’ah. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri.

Jakarta. Tidak diterbitkan.

Mujib, Ahmad. (2009). “Hubungan Bahasa dan Kebudayaan: Perspektif

Sosiolinguistik”. Jurnal Adabiyyát. 8 (1), 142-154.

Muhammad. (2016). Metode Penelitian Bahasa. Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA.

Mulyadi. (2014). “Ekologi Bahasa dan Metafora Ekologis”. Makalah disampaikan

pada seminar Ekolinguistik. Medan

Natasya, Purba Devira. (2019). Fungsi dan Makna sirih pada Upacara Masyarakat

Melayu di Desa Pulau Simardan, Kecamatan Datuk Bandar Timur,

Kabupaten Tanjung Balai. Skripsi. Universitas Sumatera. Tidak

Diterbitkan.

Neonbasu, Gregorius. (2016a). "Tata Krama Relasi Manusia dengan Marapu".

Dalam Neonbasu, Gregorius (ed.) (2016). Akar Kehidupan Masyarakat

Sumba: Dalam Cita Rasa Marapu. Jakarta: Lappop Press Jakarta.

Neonbasu, Gregorius. (2016b). "Tambang Emas Bagi Yang Ingin Mengerti

Sumba". Dalam Neonbasu, Gregorius (ed.) (2016). Akar Kehidupan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 292: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

275

Masyarakat Sumba: Dalam Cita Rasa Marapu. Jakarta: Lappop Press

Jakarta.

Neonbasu, Gregorius. (2016c). “Catatan Antropologis mengenai Marapu”. Dalam

Neonbasu, Gregorius (ed.) (2016). Akar Kehidupan Masyarakat Sumba:

Dalam Cita Rasa Marapu. Jakarta: Lappop Press Jakarta.

Nesi, Anton. (2018). Tradisi Lisan Takanab sebagai Wujud Identitas Masyarakat

Dawan: Kajian Ekolinguistik Metaforis. Tesis. Universitas Sanata Dharma.

Yogyakarta. Tidak diterbitkan.

Nirmala, Deli. (2014). “Proses Kognitif dalam Ungkapan Metaforis”. Jurnal

Parole. 4 (1), 1-3.

Nugraha, Muhamad Tisna. (2019). “Rekonsiliasi Nilai-Nilai Kepahlawanan serta

Internalisasinya dalam Pendidikan Islam”. Jurnal Pendidikan Islam

Ta’dibuna. 8 (2), 241-258.

Panda, Herman Punda. (2014). “Mengapa Orang Katolik Masih Menjalankan

Ritual Marapu? Menguak Praktik Iman Ganda Di Loura”. Jurnal Ledalero.

13 (1), 110-131.

PERMENDIKBUD. (2014). Pedoman Pelestarian Tradisi. Jakarta:

MENDIKBUD.

PERMENDIKBUD. (2014). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.

79 Tahun 2014 tentang Muatan Lokal. (Online). Tersedia

http://luk.tsipil.ugm.ac.id/atur/bsnp/Permendikbud79-

2014MuatanLokalK13.pdf

PERMENDIKBUD. (2014). Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan

Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 2014 tentang Kegiatan

Ekstrakurikuler pada Pendidikan Dasar Dan Pendidikan Menengah.

(Online). Tersedia

http://simpuh.kemenag.go.id/regulasi/permendikbud_62_14.pdf.

Pratiwi, Yesi Eka dan Sunarso. (2018). “Peranan Musyawarah Mufakat (Bubalah)

dalam Membentuk Iklim Akademik Positif di Prodi PPKN FKIP UNILA”.

Jurnal Sosiohumaniora. 20 (3), 199-206.

Pranowo. (2014). Teori Belajar Bahasa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Pranowo. (2015). “Tergantung Pada Konteks”. Dalam Prosiding Seminar

Nasional PIPSI XXXVII. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.

Primadesi, Y. (2013). "Preservasi Pengetahuan dalam Tradisi Lisan Seni

Pertunjukan Randai di Minangkabau Sumatera Barat". Jurnal Kajian

Informasi dan Perpustakaan, 1(2), 179–187.

Pudensia MPSS. (2013). “Kearifan Lokal Sebagai Kekuatan Kultural Membentuk

Peradaban”. Makalah Seminar dan Rapat Tahunan Bidang Bahasa, Sastra,

Seni dan Budaya Badan Kerja Sama PTN Wilayah Barat. Pontianak.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 293: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

276

Purwadi.(2004). “Proses Pembentukan Identitas Diri Remaja”. Humanitas:

Indonesian Psychologycal Journal. 1 (1), 43-52.

Putrayasa, Ida Bagus. 2014. Pragmatik. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Rahardi, R Kunjana. (2006). Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia.

Jakarta:Erlangga

Rahardi, R Kunjana. (2009). Sosiopragmatik: Kajian Imperatif Dalam Wadah

Konteks Sosiokultural dan Konteks Situasionalnya. Jakarta: Penerbit

Erlangga.

Rahardi, R Kunjana, Yuliana Setyaningsih, dan Rishe Purnama Dewi. (2016).

“Kefatisan Berbahasa dalam Perspektif Linguisik Ekologi Metaforis”.

Makalah disajikan pada Seminar Tahunan Linguistik di Universitas

Pendidikan Indonesia. Bandung.

Rahardi, R Kunjana. (2016). “Urgensi Menggelorakan Linguistik Ekologi”.

Kedaulatan Rakyat LXXXXI. Halaman 12.

Ramone, Robert. (2015). Revitalisasi Desa Adat dan Dampak Sosial Budaya

Masyarakat di Pulau Sumba. Jakarta: Direktorat Kepercayaan Terhadap

Tuhan YME dan Tradisi.

Rambut, Kanisius. 2018. “Ungkapan Paralel Dalam Teks Ritual Kenduri Etnik

Manggarai: Kajian Linguistik Kebudayaan”. Dalam Jurnal Tutur. 4(1),

hal.51–59.

Republika. (2018). “Lestarikan Tradisi Lisan di Indonesia”. Diakses dari

https://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/18/09/13/pf033m313-

lestarikan-tradisi-lisan-di-indonesia pada tanggal 27 Februari 2019.

Riti, Servulus Bobo. (2015). “Bara Merapu Sebagai Kepercayaan Asli Orang

Sumba: Perspektif Pelayanan Hak Sipil dan Ancaman Kepunahan”. Jurnal

Multikultural & Multireligius. 14 (1), 120-137.

Rosmawaty. (2011). “Tautan Konteks Situasi dan Konteks Budaya: Kajian

Linguistik Sistemik Fungsional pada Cerita Terjemahan Fiksi Halilian”.

LITERA. 10 (1), 76-86.

Rostiyati, Ani. (2009). “Peranan Pemimpin Informal pada Masyarakat Guradog”.

Jurnal Patanjala. 1 (2), 201-215.

Santoso, Anang. (2007). “Ilmu Bahasa dalam Perspektif Kajian Budaya”. Jurnal

Bahasa dan Seni. 35 (1), 1-16.

Sapir, E. (1929). “The Status of Linguistics as a Science”. Journal Language. 5

(4), 207-214.

Spradley, James P. (2006). Metode Etnografi. Diterjemahkan oleh Mizbah Zulfah

Elisabeth. Yogyakarta: Tiara Wacana.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 294: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

277

Satori, Djam’an, dkk. (2009). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabet.

Sibarani, R. (2012). Kearifan Lokal: Hakikat, Peran, dan Metode Tradisi Lisan.

Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan.

Sibarani, R. (2013). “Pendekatan Antropolinguistik dalam Menggali Kearifan

Lokal sebagai Identitas Bangsa”. Makalah pada International Coference

on Indonesian Studies. Yogyakarta.

Shobihah, Ida Fitri. (2017). “Kebersyukuran (Upaya membangun Karakter

Bangsa Melalui Figur Ulama)”. Jurnal Dakwah. 15 (2), 383-406.

Soelarto. . Budaya Sumba Jilid I. Jakarta: DITJEN Kebudayaan Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan.

Somantri, Soz Gumilar Rusliwa. (2010). “Jati Diri Bangsa”. Disampaikan pada

Seminar Etnopedagogik dan Pengembangan Budaya Sunda. Program Studi

Pendidikan Bahasa dan Budaya Sunda Sekolah Pascasarjana UPI.

Soeriadiredja, Purwadi. (2013). “MARAPU: Konstruksi Identitas Orang Sumba,

NTT”. Jurnal Antropologi Indonesia. 34(1), 59-74.

Soeriadiredja, Purwadi. (2016). “Dinamika Identitas Budaya Orang Sumba”.

Laporan penelitian. Prodi Antropologi FIB. Universitas Udayana.

Denpasar.

Song, L. (2010). “The Role Of context in Discourse Analysis. Journal of

Languages Teaching and Research”. 1 (6), 876-879.

Solihin. (2013). Mengantar Arwah Jenazah Ke Parai Marapu: Upacara Kubur

Batu Pada Masyarakat Umalulu, Sumba Timur. Jakarta: Pusat Penelitian

dan Pengembangan Kebudayaan.

Solihin. (2018). Uma Mbatangu Arsitektur Tradisional Sumba di Kampung Adat

Ratenggaro. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa

Sriyono. (2014). “Kearifan Lokal dalam Sastra Lisan Suku Moy Papua”. Jurnal

Atavisme. 17 (1), 55-69.

Steffensen, S. V dan Fill A. (2013). “Ecolinguistics: The State of The Art and

Future Horizons”. Language Sciences. 41 (A), 6-25.

Stibbe, A. (2015). Ecolinguistics: Language, Ecology and the Stories We Live By.

New York. Roudledge.

Sudaryanto. (2015). Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar

Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistik. Yogyakarta: Sanata

Dharma University Press.

Sukmayadi, Trisna. (2018). “Nilai-Nilai Kearifan Lokal dalam Pandangan Hidup

Masyarakat Adat Kampung Kuta”. Jurnal Pancasila dan Kewarganegaraan.

3 (1), 19-29.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 295: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

278

Suktiningsih, Wiya. (2016). “Leksikon Fauna Masyarakat Sunda”. Jurnal

RETORIKA. 2 (1), 138-156.

Supriatin, Yeni Mulyani. (2012). “Tradisi Lisan dan Identitas Bangsa: Studi

Kasus Kampung Adat Sinarresmi Sukabumi”. Jurnal Patanjala. 4 (3), 407-

418.

Suryandari, Nikmah. (2017). “Eksistensi Identitas Kultural di Tengah Masyarakat

Multikultur dan Desakan Budaya Lokal”. Jurnal Komunikasi. 11 (1), 21-

28.

Syairi, Khairi Abu. (2013). “Pembelajaran Bahasa dengan Pendekatan Budaya”.

Jurnal Dinamika Ilmu 13 (2), 174-188.

Takari, Muhammad. (2013). “Tradisi Lisan di Alam Melayu: Arah dan

Pewarisannya”. Fakultas Ilmu Budaya. Universitas Sumatera Utara.

Tarigan, Bahagia. (2016). Kebertahanan dan Ketergeseran Leksikon Flora Bahasa

Karo: Kajian Ekolinguistik. Disertasi. Fakultas Ilmu Budaya. Universitas

Sumatera Utara: Tidak diterbitkan.

Trianton, Teguh. (2019). “Representasi Harmoni Manusia dengan Alam dalam

Khasanah Budaya Banyumas pada Novel-Novel Karya Akhmad Tohari”.

Makalah disajikan dalam sidang paralel di forum Pertemuan Ilmiah

Bahasa dan Sastra Indonesia ke-41 dan ADOBSI. Surakarta

Tribun. (2019). “Kearifan Lokal Mulai Dilupakan Anak Negeri”.

https://wartakota.tribunnews.com/2017/03/23/kearifan-lokal-mulai-

dilupakan-anak-negeri. (27 November 2019).

Tube. (2017). Tradisi Lisan Lia Asa Usu sebagai Potret Jati Diri Masyarakat

Lamalera: Sebuah Kajian Etnoprakmatik. Tesis: Universitas Sanata

Dharma: Tidak diterbitkan

Tunggul, Nggodu. (2003). Etika dan Moralitas dalam Budaya Sumba. Jakarta:

Pro Millenio Center.

Uyanne, Chukwualuka Michael, Eugene Chukwuemeka Onuoha & Nneka

A.Osigwe. (2016). “Ecolinguistic Perspective: Dialectics of Language and

Environment”. AJELLS. 5 (1), 150-169.

Vansina, Jan. (2014). Tadisi Lisan Sebagai Sejarah. Yogyakarta: Ombak.

Vel, Jacqueline. (2010). Ekonomi UMA: Penerapan Adat Dalam Dinamika

Ekonomi Berbasis Kekerabatan. Jakarta: HuMa-Jakarta.

Wardhaugh, Ronald. (2006). “An Introduction to Sociolinguistics”. Australia:

Blackwell Publishing.

Widarmiati, Luh Putu Ayu Riska. (2009). Pertahanan Status Sosial Melalui

Penguburan Mayat Dalam Kepercayaan Marapu di Sumba Timur, Nusa

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 296: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

279

Tenggara Timur. Tesis. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Tidak

diterbitkan.

Wirajaya. (2016). “Preservasi dan Konservasi Naskah-Naskah Nusantara di

Surakarta sebagai Upaya Penyelamatan Aset Bangsa”. Jurnal Etnografi. 16

(2), 59-123.

Yunus, Rasid. (2014). Nilai-Nilai Kearifan Lokal (Local Genius) Sebagai Penguat

Karakter Bangsa: Studi Empiris Tentang Huyula. Yogyakarta: Deepublis.

Zakiah, Kiki. (2008). “Penelitian Etnografi Komunikasi: Tipe dan Metode”.

MEDIATOR. 9 (1), 181-188.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 297: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

280

LAMPIRAN

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 298: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 299: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 300: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 301: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 302: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 303: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 304: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 305: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 306: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 307: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 308: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 309: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 310: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 311: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 312: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 313: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 314: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 315: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 316: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 317: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 318: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 319: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 320: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 321: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 322: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 323: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 324: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 325: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 326: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 327: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 328: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 329: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 330: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 331: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 332: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 333: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 334: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 335: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 336: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 337: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

IDENTIFIKASI DATA SESUAI KESATUAN MAKNA

EKOLINGUISTIK METAFORIS

PENELITIAN BERJUDUL:

“TRADISI LISAN DALAM UPACARA PADEDE UMA KALADA

SEBAGAI MANIFESTASI JATI DIRI MASYARAKAT KABIZU

BEIJELLO:

KAJIAN EKOLINGUISTIK METAFORIS”

Oleh: Yuliana Sesi Bitu

Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Magister

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Sanata Dharma

I. BAHASA ADA DALAM EKOLOGI SIMBOLIS

1. DATA: A1/ES1

Nyado nebahinna ne’e ole bawaikoga , maida neti tidi

Baik sekarang ini kawan jika saya ada, saya datang di sini di samping

barrami neti oma dana.

dekat kalian di kebun

Baik, jika saat ini saya berada di sini, di rumah kecil ini.

Neti dari tana, batu ruta.

Ini garuk tanah, cabut rumput

Di sini di rumah kecil.

Nemme nakarewe ebana, nakarawuwe logena.

Di sana dia lapuk pinggangnya, dia berantakan rambutnya

Ini terkait badan rumah nenek moyang kita yang sudah lapuk kayunya, rusak

atapnya.

Nemme ina, ama.

Itu ibu, bapak

Rumah nenek moyang kita.

Tuta pomawo loddo, kada pomawo urra.

payung pelindung hujan, payung pelindung hujan

Rumah yang dapat memberikan kenyamanan, perlindungan, yang dapat

mempersatukan dan mendamaikan

Nyawe neti kaku toma tidi , dukki barrami.

Makanya ini saya sampai di samping, sampai di dekat kalian

Inilah sebabnya sehingga saya boleh berada di sini

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 338: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

Konteks:

Data ini merupakan bagian dari tradisi lisan pada tahap yapatekki

(pemberitahuan). Data ini dituturkan oleh Rato Uma Kalada Kabizu Beijello

(pemimpin klan Kabizu Beijello) yang ditujukan kepada Rato Uma Kii (tetua

adat rumah kecil). Tahap Yapatekki merupakan tahap diskusi antara tetua adat

rumah besar dengan tetua adat rumah kecil. Tujuan dari diskusi itu adalah

untuk membahas terkait rumah besar yang telah mengalami pelapukan dan

kerusakan. Diskusi ini dilakukan di rumah kecil.

2. DATA: B1/ES2

Banna kareweko ebana , banna karawuko logena

Jika dia lapuk pinggangnya, jika dia berantakan rambutnya

Jika rumah nenek moyang sudah lapuk pinggangnya, sudah rusak atapnya.

Ne ina, ne ama

Ini ibu, ini bapak

Ini rumah nenek moyang

Unggula dukka kikkuna , wadora dukka ngorana

Kumpulkan batas ekornya, himpun batas mulutnya

Kumpulkan dan Himpunlah seluruh keluarga dari yang paling jauh sampai

yang

paling dekat.

Unggula a matomba, wadora a maupa

Kumpulkan yang liar, rangkul yang jinak

Himpunlah keluarga yang menjauh, rangkul keluarga yang mendekat.

Kanna mattu mata, kanna tanga wiwi

Agar banyak mata, agar bertemu bibir

Agar kita melihat dan membicarakan secara bersama-sama.

Katta worona panewe, katta kaddona kadauka

Agar kita berbicara bersama-sama, Agar kita berpikir bersama-sama

Agar kita membicarakan dan memikirkan secara bersama-sama

Konteks:

Data tradisi lisan di atas merupakan tanggapan tetua adat rumah kecil dalam

diskusi dengan tetua adat rumah besar pada tahap Yapatekki (pemberitahuan)

rencana pembangunan rumah besar. Dalam tanggapan itu, tetua adat rumah

kecil menghimbau bahwa apabila ingin membangun ulang rumah besar

Kabizu Beijello, maka semua anggota Kabizu Beijello harus dihimpun dan

dikumpulkan. Adapun tujuannya adalah agar sama-sama menyatakan

dukungan dan solidaritas demi suksesnya pembangunan rumah besar.

3. DATA: D1/ES3

Balummubadoge you ina, amama

Jika engkau sudah mengatakan demikian engkau ibu bapak kami

Jika engkau sebagai ibu, bapak kami sudah mengatakan demikian.

Dakku negobanna pakai , dakku kababage pasilli,

Saya tidak menari menghindar, saya tidak ronggeng mengelak,

Jika engkau mengatakan saya tidak menghindar dan mengelak.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 339: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

Balummubadoge you

Jika engkau sudah mengatakan demikian engkau

Jika engkau sudah mengatakan demikian

Neti yamme ane’ena dari tana, batu ruta

Ini kami yang tinggal garuk tanah, cabut rumput

Kami di sini yang berasal dari rumah kecil.

Neti yamme madara padeku, ama bongga pamane

Ini kami kuda penurut, kami anjing pengikut

Kami hormati keputusan ini dan siap menjalankan amanat ini.

Damma negokaibage pasilli , damma kabakaibage

pakai

Kami juga tidak menari menghindar, kami juga tidak ronggeng

mengelak

Kami juga tidak menghindar, kami juga tidak mengelak.

Konteks:

Data tradisi lisan merupakan tanggapan tetua adat rumah kecil yang mewakili

suara hati dari keluarga besar rumah kecil. Tuturan lisan itu ditujukan kepada

tetua adat rumah besar sebagai pemimpin klan Beijello. Dalam tanggapan itu,

tetua adat menyampaikan bahwa seluruh anggota rumah kecil menaati

keputusan yang telah diambil oleh pemimpin klan dan siap melaksanakannya

dengan penuh tanggung jawab. Tuturan lisan ini dituturkan pada tahap

musyawarah kedua di rumah kecil.

4. DATA: F3/ES4

Nebahinna katta bumbuge rawa , katta mattuge mata

Saat ini agar kita berkumpul burung merpati, agar kita banyak mata

Sekarang agar kita melihat dan membicarakan secara bersama-sama

Kada’ikana a lera eka bei, a kedu eka ana

Agar tidak ada yang terbang lain ibu, yang lari lain anak

Agar kita selalu membina semangat persatuan

Katta pasamana ate, katta pamerana wiwi.

Agar kita menyamakan hati, agar kita memerahkan bibir

Agar kita selalu satu hati, satu suara

Konteks:

Data ini merupakan bagian dari tradisi lisan pada tahap musyawarah satu

keluarga besar Kabizu Beijello di rumah besar (rumah adat). Data tersebut

dituturkan oleh tetua adat yang menjaga rumah besar. Tetua adat itu merupakan

pemimpin klan Beijello. Musyawarah yang diadakan di rumah besar ini

merupakan musyawarah terakhir sebagai penentu keputusan dan sekaligus

pembagian tugas pembangunan rumah besar.

5. DATA: G1/ES5

Nebahinna, nennati mama ole

Saat ini, ini sirih pinang kawan

Terimalah sirih pinang ini.

Mandungo katanga, kettera kaleba

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 340: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

Pegang kuat kendali, eratkan ikat pinggang

Peganglah kuat-kuat keputusan dan janji yang telah disepakati bersama.

Tana dadikki , watu dangero

Tanah yang tidak berpindah, batu yang tidak bergeser

Keputusan dan janji yang tidak akan berubah.

Nemme kanna marage tana, kanna moddu kaporota

Nanti supaya kering tanah, supaya tua sidagura

Nanti pada musim kemarau saatnya kita membangun.

Konteks:

Data tradisi lisan di atas dituturkan oleh pemimpin klan atau orang yang

dipercayakan pemimpin musyawarah pada tahap musyawarah adat satu

keluarga besar Kabizu Beijello di rumah besar. Dalam data di atas

memperlihatkan ada peristiwa pembagian sirih pinang setelah pengambilan

ikrar atau sumpah. Sirih pinang diyakini sebagai simbol kehadiran Marapu

(arwah-arwah leluhur) yang mengikat seluruh keputusan yang telah disepakati.

Oleh karena itu, keputusan itu tidak boleh dilanggar. Apabila dilanggar, maka

akan mendatangkan malapetaka. 6. DATA: H2/ES6

Nebahinna kapandege hettibama kalola wawi, amagesowa

kedu

Saat ini, agar kalian mengetahui kami pergi sudah berburu babi mengejar

kera

Saat ini, agar kalian mengetahui bahwa kami hendak pergi mencari kayu dan

tali.

Babamma kalolakowa wawi, kamma kolekina wawi a paulle

Jika nanti kami berburu babi, agar kami mendapatkan babi yang bertaring

Pada saat kami mencari kayu, agar kami menemukan kayu yang berkualitas

dan berteras.

Babamma magesokowa kedu, kamma kolekina kedu a padari

Jika nanti kami mengejar kera, agar kami mendapatkan kera yang berjenggot

Pada saat kami mencari tali, agar kami mendapatkan tali yang kuat.

Hitti kadaikana windararawiti, Tunduraradeida

Agar tidak ada jari terhalang, kaki terantuk

Agar tidak terdapat halangan dan rintangan.

Yakima kanuru, kanengga

Berikanlah kami hikmat kebijaksanaan

Berilah kami hikmat dan kebijaksanaan.

Kanengga bara wa’i, kanuru bara limma

Kebijaksanaan dekat kaki hikmat dekat tangan

Kebijaksanaan pada saat melangkah, hikmat pada saat menebang pohon dan

memotong tali.

Hitti katippakimawi loddo bani, urra bani

Agar engkau tepiskan kami matahari marah, hujan marah

Jauhkanlah kami dari marabahaya dan malapetaka.

Ne’e padou wawi a paulle, kedu a padari

Di sana tempat babi yang bertaring, kera yang berjenggot.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 341: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

Di hutan tempat kami menebang pohon yang berteras, tempat memotong tali

yang kuat.

Ne’e Gola Mali Ege, Tako Mali Deta

Di sana Gola Mali Ege Tako Mali Deta

Di sana di Gola Mali Ege, Tako Mali Deta.

Ne’e Djoka Billa Aido, Lolo Alle Moro

Di sana Djoka Billa Aido Lolo Alle Moro

Di Djoka Billa Aido, Lolo Alle Moro.

Hinnabawi balimmi badona

Demikianlah sudah jika kalian mengatakan

yemmi ina, yemmi ama

Jika nenek moyang mengatakan bahwa demikianlah sudah

Na,i manu bowakahinna

Itu ayam supaya tandanya menerima

Berilah petunjuk yang baik melalui ayam itu.

Tau……

Jawablah

Jawablah

Konteks:

Data tradisi lisan di atas dituturkan pada pada tahap pertemuan satu keluarga

besar Kabizu Beijello di rumah besar. Data tradisi lisan tersebut dituturkan

oleh Ata Urrata dalam ritual Urrata. Ritual Urrata ini dilakukan setelah

pengambilan ikrar atau sumpah melalui peristiwa pembagian sirih pinang.

Dalam konteks data ini, ritual Urrata dimaknai sebagai doa kepada Marapu.

Dalam doa itu, Ata Urrata memohon perlindungan, keselamatan dan

keberhasilan kepada nenek moyang.

7. DATA: F1/ES7

Nebahinna batta mattu banna mata, batta tanga banna wiwi

Saat ini, kita sudah banyak mata, kita sudah bertemu bibir

Saat ini kita sudah berkumpul dan berhimpun di sini

A wali Gola Mali Ege, Tako Mali Deta

Yang berasal dari Gola Mali Ege, Tako Mali Deta

Yang berasal dari Gola Mali Ege, Tako Mali Deta

Nemme a wali niri kedu, liri wawi

Dari sana yang berasal dari pingggir kera, pinggir babi

Baik yang berasal tempat yang jauh maupun dekat

Lappata yamme newe a dita wee, a poi api

Serta kami di sini yang timbah air, yang tiup api

Serta kami di sini yang menghuni rumah besar ini

Konteks:

Data ini merupakan bagian dari tradisi lisan pada tahap musyawarah satu

keluarga besar Kabizu Beijello di rumah besar (rumah adat). Data tersebut

dituturkan oleh tetua adat yang menjaga rumah besar. Tetua adat itu

merupakan pemimpin klan Beijello. Musyawarah yang diadakan di rumah

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 342: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

besar ini merupakan musyawarah terakhir sebagai penentu keputusan dan

sekaligus pembagian tugas pembangunan rumah besar. Musyawarah ini

diikuti oleh tetua adat rumah besar, tetua-tetua adat rumah kecil dan anggota-

anggota Kabizu Beijello yang mempunyai pemikiran yang luas, cakap, berani

dan berjiwa kepemimpinan.

8. DATA: I1/ES8

Kaletekowama towo, kasongakowama bale

Tungganglah kami kepala, peluklah kami badan

Tungganglah kepala kami, peluklah badan kami

Lindungilah kami

Kopora kaduango, gollu pamamanno

Tutup bungkus, kandang kami yang aman

Tutup bungkus, kandangkanlah kami yang aman

Tutup bungkuslah kami agar kami selalu merasa aman

Yako mangewala mata, kayalo wekki

Berilah terang mata, ringan badan

Berilah kami kesehatan

Pawessidakkota bani ate, bani wiwi

Kekuatan marah hati, marah bibir

Berilah kami kekuatan dan keberanian

Baaroni ina mori loda, ama mori pada

Pada saat berhadapan dengan ibu pemilik hutan, bapak pemilik padang

Pada saat kami berhadapan dengan ibu pemilik hutan dan bapak pemilik

padang

Ina pepa , ama mawo

Ibu pelindung, bapak penjaga

Roh-roh yang melindungi hutan

Konteks:

Data ini merupakan bagian dari data tradisi lisan pada tahap Urrata di Uma

kalada pada malam sebelum pergi menebang kayu dan memotong tali di

hutan. Tuturan lisan dalam ritual Urrata ini dituturkan oleh Ata Urrata (imam

Marapu). Tuturan lisan ini merupakan doa kepada Marapu untuk memohon

perlindungan dari roh-roh gaib.

9. DATA: J1/ES9

Nenna rengepo you ina mori loda, ama mori pada

Itu dengarlah engkau ibu pemilik hutan, bapak pemilik padang

Dengarlah dewa pemilik hutan dan pemilik padang

Ina mori loko, ama mangu tana

Ibu pemilik kali, bapak pemilik tanah

Dewa pemilik kali dan pemilik tanah

Nebahinna bawa’ikoma tidi waimaneramu, djongawailapalemu

Saat ini jika kami ada di dekatmu, di sampingmu

Saat ini jika kami berada di sini

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 343: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

A pogowa wasu agasu , a ratage kalerre alolo

Yang menebang kayu sebatang, yang memotong tali seutas

Yang menebang sebatang kayu, memotong seutas tali

Ka dara pa kaloga ma , ka tena pa magawa ma

Agar seperti kuda yang bebas kami , agar seperti sampan yang leluasa kami

Agar kami seperti kuda yang bebas, agar kami seperti sampan yang leluasa

Agar kami diberi kebebasan dan keleluasaan

Dappalaka kama karingge, dappa lodakama kalerre

Janganlah palang kayu, janganlah menarik tali

Janganlah menghalangi kami

Karewena ebana , karawuna logena

Dia lapuk pinggangnya, dia berantakan rambutnya

Ini karena badan rumah nenek moyang kami sudah lapuk kayunya dan rusak

atapnya

Tuta poma loddo, kada poma urra

Payung pelindung dari matahari, payung pelindung dari hujan

Rumah yang melindungi kami dari panasnya matahari dan hujan

Nebahinna hidda marata anamanu, kamidda ana omma

Saat ini terimalah kurban anak ayam, persembahan anak emas

Terimalah kurban anak ayam dan persembahan uang perak ini

Katidi waimanerandi, kajonga wailapalendi

Agar berada di dekat kalian, agar berada di samping kalian

Agar selalu berada bersama-sama dengan kalian

Newe mandoke toramu a erri , mandokiwe tunggamu a poddu

Di sini, peganglah bagianmu yang pemali, genggamlah milikmu yang sacral

Awasilah tempat yang pemali dan sakral agar orang leluasa bergerak

Newe bamma kalolakowa wawi, kamma kolekina wawi apa ulle

Di sini jika kami berburu babi, agar kami mendapatkan babi yang

bertaring

Sehingga, pada saat kami menebang pohon, kami mendapat pohon yang

berkualitas dan berteras

Bamma gesakowa kedu, kamma kolekina kedu apa dari

Jika kami mengejar kera, agar kami mendapatkan kera yang berjenggot

Sehingga pada saat kami memotong tali kami mendapatkan tali yang kuat

Kada’ikana windararawiti, tunduraradeida

Agar tidak ada jari terhalang, kaki terantuk

Agar tidak ada halangan dan rintangan

Konteks:

Data di atas dituturkan oleh Ata Urrata dalam ritual Urrata pada tahap

penebangan pohon dan pemotongan tali di hutan. Data tradisi lisan ini

merupakan doa yang mengandung makna permohonan izin kepada roh-roh

yang diyakini sebagai pemilik hutan, padang, kali dan tanah. Dalam ritual ini,

masyarakat Kabizu Beijello memberikan sesajen berupa satu anak ayam, satu

butir telur, kapas, tembakau, sirih, pinang dan serpihan emas atau perak.

Perkenanan dan persetujuan roh-roh yang mendiami hutan tersebut dapat

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 344: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

diramalkan atau dilihat oleh Ata Urrata (imam Marapu) melalui usus ayam,

hati ayam dan hati babi.

10. K1/ES10

Natogola manairo bage, namawellita mawana bage

Sudah berhasil menyiangi sudah rampung anyaman

Proses penebangan kayu dan pemotongan tali telah selesai dan berjalan

dengan lancar

Pakameme dengi ramegu, pawawi dengi

pa’ugu

Yang saya minta seperti kambing meminta daun, seperti babi meminta

dedak

Yang saya minta dan mohonkan

Pakaleika milla mata, balabadde widdu keda

Yang merupakan seruan miskin mata, yang merupakan jeritan kempis

pinggang

Yang merupakan seruan dan dambaan

Pakareba ti’a, pamaro’u bukku

Yang menjadi kelaparan perut, yang menjadi kehausan leher

Yang menjadi kelaparan, yang menjadi kehausan

Yang menjadi impian dan harapan

Nabonnu wogo dara, na nudu wullu manu

Telah penuh punuk kuda, dia ikut bulu ayam

Telah berakhir dan berjalan dengan lancar

Nebahinnage lagei ladde , woki kako

Saat ini angkat langkah, ayun kaki

Saat ini, kami hendak berjalan pulang

Kamma toma uma, kamma dukkikoge katonga

Agar kami sampai di rumah, agar kami sampai di balai-balai

Agar kami tiba di balai-balai dan di rumah dengan selamat

Illakona poddu tillu tana, illakona balaingo maredda

Hilangkanlah ancaman di tengah tanah, hilangkanlah musibah di padang

Jauhkanlah ancaman dan musibah dalam perjalanan

Kanna mangewala mata, kanna kayalo wekki

Agar terang mata, agar ringan badan

Agar kami diberi kesehatan

Dukki bara ina, toma bara ama

Sampai dekat ibu, sampai dekat bapak

Sehingga kami boleh sampai di rumah besar kami dengan selamat

Konteks:

Data ini merupakan data tradisi lisan pada tahap Saiso pengucapan syukur

atas keberhasilan penebangan pohon dan pemotongan tali di hutan. Data

tradisi lisan ini merupakan doa yang dinyanyikan oleh Ata Saiso yang

ditujukan kepada roh-roh gaib yang diyakini sebagai pemilik hutan. Dalam

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 345: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

doa itu Ata Saiso menyampaikan ucapan syukur kepada roh-roh gaib atas,

izin, pertolongan dan bantuan yang diberikan sehingga proses pengambilan

material bangunan dapat berhasil. Dalam doa itu pula, Ata Saiso memohon

keselamatan dan perlindungan kepada roh-rog gaib sehingga prosesi

pengantaran material bangunan ke tempat pembangunan rumah besar dapat

berhasil.

11. DATA: M1/ES11

Pamalangiwa inna, paosawa ama

Terimakasih kepada ibu, syukur kepada bapak

Terimakasih dan syukur kepada rumah besar dan leluhur

Ne tuta pamawo loddo , ne kada pamawo urra

Di payung pelindung dari matahari, di payung pelindung dari hujan

Atas rumah yang telah memberikan kenyamanan, perlindungan, yang

mempersatukan dan mendamaikan

Banna yawe wee maringi , banna yawe

Karena dia telah memberikan air dingin, karena dia telah memberikan

wee malala

air kesejukan

Yang telah memberikan rahmat dan berkat

Dari tana , batu ruta

Garuk tanah, cabut rumput

Bagi rumah-rumah kecil

Penni manu, tau wawi

Memberi makan ayam, memberi makan babi

Sehingga dapat memelihara ayam, memelihara babi

Keni pare oppu watara

Panen padi, petik jagung

Sehingga dapat memanen padi, memetik jagung

Konteks:

Data ini merupakan data tradisi lisan dalam upacara Woleka pada tahap

pembongkaran rumah. Data tradisi lisan tersebut dinyanyikan oleh Ata Saiso

dengan diiringi gong dan tambur. Upacara Woleka dimaknai sebagai upacara

pengucapan syukur dan terimakasih kepada nenek moyang dan rumah besar

yang telah melindungi, memayungi, mempersatukan dan memberikan

kenyamanan serta kedamaian. Upacara ini dilaksanakan dengan penuh

sukacita dan kegembiraan.

12. DATA: O1/ES12

Nebahinna kapandege you ina, you ama

Saat ini supaya mengetahui engkau ibu, engkau bapak

Saat ini supaya engkau ibu, engkau bapak mengetahui

Saat ini, agar nenek moyang mengetahui

Nadukkiwe na’i labe a belleka, pari’i a kaladana

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 346: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

Sampai kepada dia di sana cincin yang lebar , tiang yang besar

Sampai kepada Sang Khalik yang menciptakan dan menaungi seluruh umat

manusia

A kanga wolla limma, a bokka wolla wa’i

Yang memisah jari tangan, yang membagi jari kaki

Yang memisah jari tangan dan membagi jari kaki

Ina a mawolo , ama a marawi

Ibu yang mencipta, bapak yang menjadikan

Tuhan yang menjadikan dan menciptakan manusia dan seluruh alam semesta

Adopola tou , a adiwe wekki

Yang membentuk badan, yang memadatkan tubuh

Yang membentuk dan memadatkan badan

Takka nebahinna tekkida ana ullumu, tekkida

Dan sekarang, beritahukanlah kepada ana sulung, beritahukanlah kepada

ana murri mu

anak bungsumu

Dan sekarang beritahukanlah kepada semua Marapu (semua arwah yang telah

meninggal)

II. BAHASA ADA DALAM EKOLOGI SOSIOKULTURAL

1. DATA: C1/ESK1

Neti ngarakuana baku angunguamigi

Ini semuanya sebagai saudara laki-laki saya

Semuanya sebagai saudara laki-laki saya.

Baku amamigi, baku anamigi

Sebagai bapak saya, sebagai anak saya

Sebagai bapak saya dan sebagai anak saya.

Baku allikamigi, baku kaamigi

Sebagai adik saya, sebagai kakak saya

Sebagai adik dan kakak saya.

Ba nebahinna batta pakuana, batta pakassana

Jika saat ini kita berkumpul, jika kita banyak

Jika saat ini kita berkumpul di sini.

Ne umana ina, umana ama

Di rumahnya Ibu, rumahnya Bapak

Di rumah leluhur kita.

Nebahinna batta bumbuge rawa, batta maruga mata

Saat ini jika kita berkumpul burung merpati, jika kita banyak mata

Jika kita berkumpul dan berhimpun di sini.

Tubanawe umana ina, umana ama

Ini terkait rumahnya ibu, rumahnya bapak

Ini terkait dengan rumah leluhur kita.

Peidawe?

Kita mengapakan?

Kita mengapakan?

Konteks:

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 347: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

Data di atas merupakan data tradisi lisan pada tahap musyawarah adat terkait

dengan rencana pembangunan rumah besar. Data tersebut dituturkan oleh tetua

adat sebagai pemimpin klan Beijello. Dalam tuturan itu, pemimpin klan

menghimbau kepada seluruh anggota Kabizu yang mengikuti musyawarah

untuk sama-sama melihat, mendiskusikan dan merembukkan terkait rumah

besar sebagai rumah nenek moyang yang telah mengalami pelapukan dan

kerusakan. Musyawarah pada tahap ini dilakukan di rumah kecil. Adapun yang

terlibat dalam musyawarah itu adalah tetua adat rumah besar, tetua adat rumah

kecil dan anggota-anggota rumah kecil. Dalam musyawarah ini, tidak

mengenal sistem voting. Keputusan yang diambil harus merupakan hasil

kesepakatan bersama.

2. DATA: E1/ESK2

Nennati yasa, neida pamama

Itu beras, ini sirih pinang

Itu beras, ini sirih pinang

Deibapo yo’u ina, yo’u amama

Terimalah engkau ibu, engkau bapak kami

Terimalah kalian nenek moyang kami

Newe limmabage, bamma woroge pu’una ,

Di sini kami sudah kami membicarakan pangkalnya,

bamma kaddoge lawina

kami sudah pikirkan ujungnya

Di sini kami sudah membicarakan dan memikirkan secara bersama-sama

A bu’u uma kalada, newe ata uma kii

Yang satu buah rumah besar, di sini orang rumah kecil

Kami yang berasal dari satu keluarga besar dari rumah kecil

Apa angunguana , apa amana

yang sebagai saudara laki-laki, yang sebagai bapak

Kami yang bersaudara laki-laki, kami sebagai bapak

Apa allina, apa ka’ana

Yang sebagai adik, yang sebagai kakak

Kami sebagai adik dan sebagai kakak

Nebahinna, damma negobage pakai , damma kababage pasilli

Saat ini kami tidak menari menghindar, kami tidak ronggeng mengelak

Saat ini kami tidak menghindar, kami tidak mengelak

Nemme loddopoddu nya bamma kako dobba uma kalada

Nanti hari Minggu waktunya kami pergi semua rumah besar

Hari minggu adalah waktunya kami ke rumah besar

Nya bamma lolungo malawo, bamma biringo tawewe

Waktunya kami berkelompok tikus, kami beriringan ayam hutan

Waktunya kami beriringan dan berkumpul di rumah besar

Kapandege yemmi ina kaweda, ama kaweda

Agar kalian mengetahui kalian nenek , kakek

Agar nenek dan kakek mengetahui

Hinnabawe balimmikumi , na’i manu bowa kahinna

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 348: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

Demikianlah sudah jika kalian mengatakan, itu ayam supaya tandanya

menerima

Jika kalian mengatakan bahwa demikianlah sudah, berikanlah petunjuk baik

melalui ayam itu

Tau…..

Jawablah

Konteks:

Data ini merupakan data tradisi lisan dalam ritual Urrata yang dilakukan

setelah kesepakatan di Uma Kii (kecil). Data tradisi lisan ini merupakan doa

kepada nenek moyang. Dalam doa itu, masyarakat Kabizu Beijello

mengkomunikasikan dengan nenek moyang terkait hasil keputusan bersama

yang telah ditetapkan. Selain itu, juga meminta petunjuk kepada nenek

moyang terkait dengan rencana musyawarah adat yang akan dilakukan di

rumah besar Kabizu Beijello. Petunjuk itu dilihat pada usus dan hati ayam.

3. DATA: L1/ESK3

Djooooo appaatawu nemme a lollungo malawo mangu ana,

Hallo, siapakah kamu di sana yang beriringan bagai tikus membawa anak

Abiringo tawewe mangu tollu

yang berkelompok bagai ayam hutan membawa telur

Hallo, siapakah kamu yang datang beriring-iringan, yang berbondong-

bondong?

Akangira dara kodi, akabara bongga dawa

Yang meringkik bagaikan kuda Kodi, yang menyalak bagaikan anjing Jawa

Yang datang dengan pakallaka (ringkikan) dan payawau (teriakan)

Ne’e kabu gollugu , ne’e kabu aturagu

Di bawah kandang saya, di bawah pagar batu

Di sebelah perkampungan saya

Ne tabali binna mone, pu’u kawango dassa

Di sebelah pintu jantan, di pohon waru indah

Di pintu gerbang saya, di perkampungan yang indah

Kedu mai pawunnumi?, Wawi mai pangassami?

Kera datang marah kalian? Babi datang mengamuk kalian?

Apakah kalian kera yang datang marah, babi yang datang mengamuk?

Apakah kalian adalah musuh yang datang mengamuk?

Balewaga panewe , nongawaga kadauka

Jawab pembicaraan, imbali perkataan saya

Jawablah pembicaraan dan perkataan saya

Malla…..

Jawablah

Jawablah

Konteks:

Data ini merupakan bagian dari data tradisi lisan dalam ritual Oka pada tahap

bahan material bangunan hendak memasuki kampung. Tuturan lisan dalam

ritual Oka ini dituturkan oleh Rato Marapu yang bertugas sebagai penanya

dari pihak tuan rumah. Masyarakat Kabizu Beijello memiliki tradisi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 349: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

menyambut tamu atau rombongan yang hendak memasuki kampung dengan

maksud tertentu. Tradisi itu disebut Oka. Ritual Oka itu dilakukan di depan

pintu masuk kampung. Tujuan pelaksanaan ritual ini adalah untuk

menanyakan dan menyelidiki rombongan yang hendak memasuki kampung

dengan membawa material bangunan.

4. DATA: L2/ESK4

Djoooo hiddi pakadimu koko, pasosimi

ate

Baiklah, itu yang engkau tanyakan melalui leher, yang engkau selidiki

melalui hati

Baiklah, itu yang engkau pertanyakan dan engkau selidiki

Yowa dona ata papawede , allikapapatukami

Saya sudah orang yang disuruh, adik yang diperintah

Sayalah orang yang disuruh, adik yang diperintah

Papawede pidupata , papalewa gidugoda

Yang diperintah ke sana ke mari, yang disuruh ke tempat yang jauh dan dekat

Yang diperintah ke sana ke mari, yang disuruh ke tempat yang jauh dan dekat

Hitti papatukamu kalola wawi, hatti papawedemu magesa

kedu

Itu yang kalian perintahkan berburu babi, itu yang engkau suruh

mengejar kera

Mereka yang kalian perintahkan untuk menebang pohon, yang disuruh

memotong tali

Natogola manairobage, namawellita mawanabage

Sudah berhasil menyiangi , sudah rampung anyaman

Proses penebangan pohon dan pemotongan tali telah berhasil dan berjalan

dengan lancar

Madunnibawi oro , mabalibawi

wewe

Kami sudah pulang mengikuti bekas jalan, kami sudah kembali mengikuti

jejak

Kami sudah kembali dengan mengikuti jalan yang perna kami lewati

Makolebawi wawi apa ulle , madekeba kedu

Kami sudah mendapatkan babi yang bertaring, kami sudah mengambil kera

yang

apadari

berjenggot

Kami sudah mendapatkan kayu yang berkualitas dan berteras, kami sudah

mengambil tali yang kuat

dakaboka kama binna, dakaraga kama lara

Janganlah menutupkan kami pintu, janganlah memalang kayu kami di jalan

Bukakanlah kami pintu, lapangkanlah kami jalan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 350: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

Darapakalogama , tenapamagawama

Agar kami seperti kuda yang bebas, agar kami seperti sampan yang leluasa

Agar kami diberikan kebebasan dan keleluasaan

Tau…….

Jawablah

Jawablah

Konteks:

Data ini merupakan bagian dari data tradisi lisan dalam ritual Oka pada tahap

bahan material bangunan hendak memasuki kampung. Tuturan lisan ini

dituturkan oleh Rato Marapu yang mewakili rombongan yang membawa

material bangunan tersebut. Ritual Oka itu dilakukan di depan pintu masuk

kampung. Tujuan pelaksanaan ritual ini adalah untuk menanyakan dan

menyelidiki rombongan yang hendak memasuki kampung dengan membawa

material bangunan tersebut.

5. DATA: N2/ESK5

Kokalangge baku padedekowa na’i pari’i,

Esok jika saya mendirikan itu tiang,

baku padedekowa na’i wasu a gasu

jika saya mendirikan itu kayu yang sebatang

Esok jika saya mendirikan tiang, jika saya mendirikan sebatang kayu

Daraikaga windararawiti , tunduraradeida

Janganlah membuat tangan terhalang, kaki terantuk

Agar tidak terdapat halangan dan rintangan

Banna rengekowaganame ole dou kareka, ole watte tau

omagu

Apabila dia dengar itu teman penghuni gubuk, teman batas bekerja

kebun

Apabila teman penghuni gubuk mendengar, teman batas berkebun

Apabila teman penghuni gubuk dan tetangga kebun saya mendengar

Na’i na langilirabaga

Di sana dia akan jadikan bahan pergunjingan

hinnako danna manoto, danna mawennake

Berarti tidak sesuai, tidak mengena

Dia akan menjadikan bahan pergunjingan

Dia akan mengatakan bahwa yang diperbuatnya tidak pantas dan tidak sesuai

Ne’enyawe kanna windararawiti , kanna tunduraradeida

Itulah sebabnya sehingga tangannya terhalang, kakinya terantuk

Itulah yang menyebabkan sehingga dia mendapatkan halangan dan rintangan

Indaki. Gegela’agu yowa balummudona

Tidak. Kemana saya jika engkau mengatakan demikian

you ina kaweda, ama kaweda

engkau nenek, kakek

Tidak. Saya akan selalu menyertai kalian, jika nenek moyang berkata

demikian

Newe danna lummukelewa , danna muddakemaddala

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 351: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

Ini bukan hal yang mudah, bukan hal yang gampang

Ini bukanlah hal yang mudah, bukanlah hal yang gampang

Nebahinna pakakoga kindola , paleraga kikipa

Saat ini jalankanlah yang baik, terbangkanlah yang lurus

Yang bengkok luruskanlah, yang tidak baik jadikanlah baik

Yakoga wee maringi loko,

Berikanlah saya air dingin kali,

Berikanlah saya air kali yang dingin

Yakoga wee magobba paba

berikanlah saya air sejuk sawah

berikanlah saya air sawah yang sejuk

Berikanlah kami rahmat dan berkat yang berlimpah

ga’inagu kokalangge kanna togola manairo , kanna mawellita mawana

Agar esok agar berhasil menyiangi, agar rampung anyaman

Agar proses pendirian tiang pada keesokan harinya dapat berhasil dan dapat

berjalan dengan lancar

Konteks:

Data ini merupakan bagian dari data tradisi lisan pada tahap Saiso sebelum

pendirian tiang. Masyarakat Wewewa pada umumnya dan Kabizu Beijello

khususnya mempunyai tradisi bahwa beberapa hari sebelum pendirian tiang

beberapa Rato Marapu dan keluarga besar Kabizu Beijello mengadakan ritual

Urrata dan Saiso untuk memohon khidmat, berkat dan rahmat kepada

Marapu agar proses pendirian tiang dapat berjalan dengan lancar. Ritual

Urrata dan Saiso ini diikuti oleh keluarga besar Kabizu Beijello dan

handaitulan Kabizu Beijello.

6. DATA: O2/ESK6

Koka baku botikowe wellibodolangge,

Esok pada saat saya memuat bagian atas,

Baku babado welli bawa

karena saya sudah menyelesaikan bagian bawah

Esok pada saat saya membuat loteng rumah

Kapamenderadandi kapouta , katopo,

Agar kalian memegang kuat-kuat ikat kepala, parang,

kalaboda ata pennenanno .

ikat pinggang dari orang yang memanjat loteng

Agar nenek moyang memegang kapotu, kalabo dan katopo dari orang-orang

yang membuat loteng rumah

Duwolokagandi windararawiti , tunduraradeida

Janganlah membuat tangan terhalang, kaki terantuk

Jauhkanlah halangan dan rintangan

Lakkawa’ikunamme adirakapababa touna , aakitapaleira wekkina

Kendatipun ada yang beraib tubuhnya, berdosa badannya

Kendatipun ada yang memiliki aib dan dosa

Du kettekageole, du pagukawi pangngu

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 352: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

Janganlah ikat bersama, jangan simpul bergandeng

Janganlah engkau melibatkannya dengan kami

Danna muddake madda, danna lummuke lewa nanno

Ini bukanlah hal yang mudah, ini bukanlah hal yang gampang

Ini bukanlah hal yang mudah, ini bukanlah hal yang gampang

Noddo wabbona, toroge tunggana

Peganglah bagianmu yang pemali , peganglah bagianmu yang pahit

Jagalah tempat-tempat yang sakral

Konteks:

Data ini merupakan bagian dari data tradisi lisan pada tahap Saiso sebelum

membuat loteng rumah. Data tradisi lisan tersebut dituturkan oleh Ata Urrata

dalam ritual Urrata. Data tradisi lisan ini merupakan doa kepada nenek

moyang. Dalam doa itu, masyarakat Kabizu Beijello memohon khidmat,

keselamatan, pengampunan dan keberhasilan kepada nenek moyang.

7. DATA: P1/ESK7

Natogola manairo bage, namawellita mawana bage

Sudah berhasil menyiangi sudah rampung anyaman

Saat ini proses pembuatan rumah telah selesai dan berjalan dengan lancer

Kutapoma urra, katapoma loddo

Payung pelindung dari hujan, payung pelindung dari matahari

Rumah yang mampu memberikan perlindungan, kedamaian dan persatuan

Nebahinna kapande yemmi ina kaweda , ama kaweda.

Saat ini agar mengetahui kalian ibu tua (nenek), bapak tua (kakek)

Saat ini agar nenek dan kakek mengetahui

Saat ini agar nenek moyang mengetahui

Akatongapabeikage , akoropapalage

Yang memiliki tempat tidur ini, yang memiliki kamar ini

Sebagai pemilik rumah ini

Neti aneena dita wee, powi api

Ini yang tinggal di timba air, tiup api

Yang tinggal di rumah besar ini

Banebahinna napawe’e kaka, ingi kakaba

Saat ini sarungnya sudah putih, kainnya sudah putih

Saat ini rumah besar ini sudah baru

Nabo’uba kelerre , kakaraba ngaingo

Sudah mudah tali sudah cerah alang

Alang dan talinya sudah baru

Kadillitaba katonga , kakaraba kawedobawe

sudah mengkilap balai-balai sudah cerah tirisan air

Balai-balai dan tirisan air sudah baru

Kapandege nebahinna ne umamibalunggukumi,

Agar kalian mengetahui saat ini, ini rumah kalian

ne katangomibalunggukumi

ini balai-balai kalian

Agar kalian mengetahui bahwa inilah rumah dan balai-balai kalian

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 353: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

Tadapadoudou-padoudoumi

Tandalah tempat kalian masing-masing

Tandalah tempat kalian masing-masing

Manu tadakowe rabemu , wawi dukkikuwi rabamu

Ayam tandalah tempatmu, babi tandalah tempat makanmu

Ayam, babi tandalah tempatmu

Karambo tadakowe okamu , dara tadako gollumu

Kerbau tandalah kandangmu, kuda tandalah kandangmu

Kerbau, kuda tandalah kandangmu

Pawasse padoum u, pamatto padoumu

Anak mantu tanda tempatmu, Ibu mertua tandalah tempatmu

Anak mantu, ibu mertua tandalah tempatmu

8. DATA: Q1/ESK8

Nebahinna limmabage bamma wologe kira,

Di sini kami sudah membicarakan kami sudah membuat janji,

bamma raige dadi

kami sudah membuat kesepakatan

Di sini kami telah membicarakan, menyepakati, dan berjanji

Nemme pittu dou , pittu wulla, pittu loddo, ga’inagu kaenga wou

Nanti, tujuh tahun, tujuh bulan, tujuh hari, agar tetap engkau

Agar Engkau mengetahui bahwa nanti setelah tujuh tahun, tujuh bulan, tujuh

hari kami akan melaksanakan syukuran

Hetti yamme kaina kanna tutuke bama kako paelleta tollu,

Agar kami juga mempunyai cukup waktu untuk kami pergi mencari telur,

kanna tutuke bama elleta manu.

agar cukup waktunya kami mencari ayam

Agar kami mempunyai waktu yang cukup untuk bekerja keras

Newe wolama wekkima , pasassama touma

Di sini kami mengikuti tubuh kami, kami menuruti badan kami

Di sini kami tidak mempunyai apa-apa

Banebahinnage bama kako hitti ,

Sehingga dengan demikian jika kami pulang ke sana,

hatti a neena omadana

itu yang berada di kebun

Sehingga dengan demikian, jika kami pulang, terutama semua keluarga yang

berasal dari rumah kecil

A neena liri kedu, liri wawi bana kako hitti

Yang berada di pinggir kera, di pinggir babi, jika dia pulang ke sana

Apabila keluarga rumah kecil, baik yang berada di tempat yang paling jauh

maupun yang dekat kembali ke rumah mereka masing-masing

Banna batuku ruta , banna dariku tana

apabila dia mencabut rumput, apabila dia menggaruk tanah

Apabila dia bekerja agar membuahkan hasil

Banna pennikowa manu, kamanuamapennikia

Apabila dia memelihara ayam, agar dapat berkembang biak menjadi banyak

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 354: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

Apabila dia memelihara ayam, agar dapat berkembang biak menjadi banyak

Banna tauku wawi, kawawiamataukia

Apabila dia memelihara babi, agar dapat berkembangbiak dengan baik

Apabila dia memelihara babi, agar dapat berkembangbiak dengan baik

Kanna dadige padadi , kanna timbuge patimbu

Agar tumbuh yang tumbuh, agar hidup yang hidup

Agar bertumbuh dan berkembangbiak dengan baik semua hasil usaha dan

kerja keras

Badukkikogeu nemme bama dukkige kira pawolo ,

Jika sampai nanti kami sampai pada janji yang kami bicarakan,

dadi paraimalage

kesepakatan yang kami buat

Sehingga pada saat kami sampai pada janji yang kami bicarakan dan sepakati

bersama

Kadamma lebakage loge , kadamma toddukadi limmama

Agar kami tidak melepas rambut, agar kami tidak menjunjung tangan kami

Agar kami tidak datang di rumah besar dengan tangan kosong

Konteks:

Data ini merupakan bagian dari data tradisi lisan pada tahap Saiso perjanjian

dengan Marapu. Masyarakat Kabizu Beijello memiliki tradisi memohon

berkat, rahmat, perlindungan dan penyertaan Tuhan sebagai Sang Khalik

melalui perantaraan Marapu. Dalam upacara permohonan berkat ini, biasanya

mereka juga membuat perjanjian dengan Tuhan dan Marapu bahwa apabila

sesuatu yang dimohonkan itu berhasil, maka akan dibuatkan acara syukuran.

Apabila perjanjian ini tidak ditepati diyakini bahwa akan mendatangkan

malapetaka. Perjanjian adat ini dilakukan melalui ritual Urrata dan Saiso.

9. DATA: R1/ESK9

Nebahinna renge you ina kaweda , ama kaweda

Saat ini dengarlah engkau ibu tua (nenek), bapak tua (kakek)

Saat ini, dengarlah nenek moyang kami

Hinnane’e madukkibage heti kira paraima ,

sekarang ini kami telah sampai pada janji yang kami buat,

dadi pawoloma

rencana yang telah kami sepakati

Sekarang ini kami telah sampai pada janji yang kami buat, rencana yang telah

kami sepakati

Ngarakuama newe wollamu karere , uwamu karobbo

Kami semua di sini bunga mentimun, buah labu

Kami semua anak cucumu yang berasal dari rumah besar ini

Nebahinna, ne malelangge

Saat ini, ini malam

Saat ini, malam ini

Rengewu you newe , tatadapadouna

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 355: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

Dengarlah engkau di sini, tandalah tempat kalian masing-masing

balunggukugu hettiwaina

jika saya mengatakan demikian pada waktu itu

Dengarlah engkau di sini, jika pada waktu itu saya meminta kalian untuk

menanda tempat kalian masing-masing

Nebahinna wa’ikuabana heti a wali liri kedu,

Saat ini, kami sudah berkumpul semua baik yang berasal dari pinggir kera,

liri wawi

pinggir babi

Saat ini kami semua telah berkumpul di sini baik yang berasal dari rumah-

rumah kecil.

Gola Mali Ege, Tako Mali Deta

Yang berasal dari Gola Mali Ege, Tako Mali Deta

Lappata nawa dita we’e, a poi api

Dan juga kami di sini yang menimba air , yang meniup api

Dan juga kami di sini yang mendiami rumah besar ini

Wa’ikuawabama , da’ibana lera eka bei,

Kami semua sudah berkumpul, tidak ada lagi yang terbang ke lain ibu,

Kedu eka ana

yang lari ke lain anak

Kami telah bersatu di sini

Banebahinna bamma mattubana mata, bamma tangabana wiwi

Saat ini kami sudah banyak mata, kami sudah bertemu bibir

Kami telah satu hati, satu suara

Madekebage kira , madukkibage ne dadi pawolo

paraima

Kami telah menginjak janji, kami telah sampai pada rencana yang telah kami

buat

Kami telah menepati janji yang telah kami buat dan rencanakan

Ngaradukkama yamme newe aummage ne umma,

Semua kami di sini yang memiliki ini rumah,

akatongage ne katonga

yang memiliki ini balai-balai

Kami semua sebagai pemilik balai-balai dan rumah besar ini

Kapandege , hetti damma toddukidi limmama ,

Agar kalian mengetahui, ini kami tidak menjunjung tangan kami,

damma lebakige logema

kami tidak melepas rambut kami

Agar kalian mengetahui bahwa kami tidak datang dengan tangan kosong

Manakabana manu, matewelabana yasa newe

Kami telah membawa ayam, kami telah menenteng beras di sini

Kami telah membawa ayam dan beras di sini

Nebahinnawe banna kakarabadowe ngaingo,

Saat ini, karena sudah baru alang,

banna bo’ubadowe kalerre balimakugulangge

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 356: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

karena sudah muda tali jika kami mengatakan kepadamu

Saat ini rumahmu sudah baru

Ne umamu , ne katongamu

Di sini rumahmu, di sini balai-balaimu

Di sini rumahmu dan balai-balaimu

Ne koropabeikamu, ne koropapalamu

Di sini kamar tidurmu, di sini bilikmu

Di sini kamar tidurmu, di sini bilikmu

Na’i wawi a bolo, na’i karambo a ia terewi

itu babi yang satu , itu kerbau yang satu peganglah

Peganglah babi dan kerbau itu

Kanga’apangaa , we’epaenuwi

Agar menjadi makanan, agar menjadi minuman kalian

Agar menjadi makanan dan minuman kalian

Kadaouwaige neumamu,

Agar kamu gunakan untuk menempati rumah ini,

katerewaige nekatongamu

agar kamu gunakan untuk menduduki balai-balai ini

Agar nenek moyang gunakan untuk menempati dan menjaga rumah ini.

Konteks:

Data ini merupakan data tradisi lisan pada ritual Saiso peresmian rumah

besar. Data tradisi lisan ini dinyanyikan oleh Ata Saiso. Dalam nyanyian itu,

Ata Saiso menyampaikan kepada Marapu bahwa masyarakat Kabizu Beijello

telah menepati janji adat untuk melakukan syukuran peresmian rumah besar.

Selain itu, disampaikan juga kepada Marapu bahwa masyarakat Kabizu

Beijello telah menyatakan persatuan dan solidaritas.

III. BAHASA ADA DALAM EKOLOGI KOGNITIF

1. DATA: F2/ESK1

Peidawe newe akarewe ebana, a karawu logena?

Kita mengapakan ini yang lapuk pinggangnya, yang berantakan rambutnya

Kita mengapakan badan rumah nenek moyang kita yang sudah lapuk kayunya

dan rusak atapnya?

Newe ina, newe ama

Ini ibu, ini bapak

Ini rumah nenek moyang kita

Tuta pamawo loddo , kada pamawo urra

Payung pelindung matahari, payung pelindung hujan

Rumah yang mampu memberikan perlindungan, kenyamanan, sebagai tempat

persatuan dan perdamaian

Gainagu kanuarage, karawipi’age lungguwaga

Agar dibongkar, agar dibuat ulang saya bilang

Saya berpikir agar segera dibongkar dan direnovasi ulang

Konteks:

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 357: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

Data ini merupakan bagian dari tradisi lisan pada tahap musyawarah satu

keluarga besar Kabizu Beijello di rumah besar (rumah adat). Data tersebut

dituturkan oleh tetua adat yang menjaga rumah besar. Tetua adat itu

merupakan pemimpin klan Beijello. Musyawarah yang diadakan di rumah

besar ini merupakan musyawarah terakhir sebagai penentu keputusan dan

sekaligus pembagian tugas pembangunan rumah besar. Musyawarah ini

diikuti oleh tetua adat rumah besar, tetua-tetua adat rumah kecil dan anggota-

anggota Kabizu Beijello yang mempunyai pemikiran yang luas, cakap, berani

dan berjiwa kepemimpinan.

2. DATA: N1/ESK2

Waikobatallawi indatallaki ,

Walaupun kelihatannya ini gong tapi bukan gong,

waikobabeduwi indabeduki

walaupun kelihatannya ini tambur tapi bukan tambur

Walaupun kelihatannya ini gong tapi bukan gong, walaupun kelihatannya ini

tambur tapi bukan tambur

Li’ikawulagundi , li’ikaaulagundi

Mereka adalah suara yang memanggil Mereka adalah suara yang mengundang

Tapi ini adalah suara yang memanggil dan mengundang seluruh keluarga besar

dan kerabat

Konteks:

Data ini merupakan bagian dari data tradisi lisan pada tahap Saiso sebelum

pendirian tiang. Data tradisi lisan tersebut merupakan doa yang dituturkan oleh

Ata Saiso. Dalam doa itu, Ata Saiso memohon kepada Marapu agar

dianugerahi perlindungan, keselamatan, dan berkat sehingga proses

pembangunan tiang dapat berjalan lancar dan sukses. Selain sebagai doa, bunyi

gong dan tambur dimaknai sebagai suara nenek moyang yang mengundang

anggota Kabizu untuk menyatakan dukungan dan solidaritas.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 358: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 359: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

GLOSS CERMAT DAN GLOSS LANCAR SUMBER DATA PRIMER

PENELITIAN BERJUDUL:

“TRADISI LISAN DALAM UPACARA PADEDE UMA KALADA

SEBAGAI MANIFESTASI JATI DIRI MASYARAKAT KABIZU

BEIJELLO:

KAJIAN EKOLINGUISTIK METAFORIS”

Oleh: Yuliana Sesi Bitu

Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Magister

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Sanata Dharma

A. Tuturan Lisan pada Tahap Pemberitahuan Kepada Tetua Adat

Uma Kii (rumah kecil) (Kode A)

Nyado nebahinna ne’e ole bawaikoga , maida neti tidi

Baik sekarang ini kawan jika saya ada, saya datang di sini di

samping

barrami neti oma dana.

dekat kalian di kebun

Baik, jika saat ini saya berada di sini, di rumah kecil ini.

Neti dari tana, batu ruta.

Ini garuk tanah, cabut rumput

Di sini di rumah kecil.

Nemme nakarewe ebana, nakarawuwe logena.

Di sana dia lapuk pinggangnya, dia berantakan rambutnya

Ini terkait badan rumah nenek moyang kita yang sudah lapuk kayunya,

rusak atapnya.

Nemme ina, ama.

Itu ibu, bapak

Rumah nenek moyang kita.

Tuta pomawo loddo, kada pomawo urra.

payung pelindung hujan, payung pelindung hujan

Rumah yang dapat memberikan kenyamanan, perlindungan, yang dapat

mempersatukan dan mendamaikan

Nyawe neti kaku toma tidi , dukki barrami.

Makanya ini saya sampai di samping, sampai di dekat kalian

Inilah sebabnya sehingga saya boleh berada di sini

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 360: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

B. Tuturan Lisan Tanggapan Tetua Adat Uma Kii (rumah kecil) pada

Tahap Pemberitahuan Kepada Tetua Adat Uma Kii (rumah kecil)

(Kode B)

Banna kareweko ebana , banna karawuko logena

Jika dia lapuk pinggangnya, jika dia berantakan rambutnya

Jika rumah nenek moyang sudah lapuk pinggangnya, sudah rusak

atapnya.

Ne ina, ne ama

Ini ibu, ini bapak

Ini rumah nenek moyang

Unggula dukka kikkuna , wadora dukka ngorana

Kumpulkan batas ekornya, himpun batas mulutnya

Kumpulkan dan Himpunlah seluruh keluarga dari yang paling jauh

sampai yang

paling dekat.

Unggula a matomba, wadora a maupa

Kumpulkan yang liar, rangkul yang jinak

Himpunlah keluarga yang menjauh, rangkul keluarga yang mendekat.

Kanna mattu mata, kanna tanga wiwi

Agar banyak mata, agar bertemu bibir

Agar kita melihat dan membicarakan secara bersama-sama.

Katta worona panewe, katta kaddona kadauka

Agar kita berbicara bersama-sama, Agar kita berpikir bersama-sama

Agar kita membicarakan dan memikirkan secara bersama-sama

C. Tuturan Lisan pada Tahap Musyawarah di Uma Kii (Rumah Kecil)

(Kode C)

Neti ngarakuana baku angunguamigi

Ini semuanya sebagai saudara laki-laki saya

Semuanya sebagai saudara laki-laki saya.

Baku amamigi, baku anamigi

Sebagai bapak saya, sebagai anak saya

Sebagai bapak saya dan sebagai anak saya.

Baku allikamigi, baku kaamigi

Sebagai adik saya, sebagai kakak saya

Sebagai adik dan kakak saya.

Ba nebahinna batta pakuana, batta pakassana

Jika saat ini kita berkumpul, jika kita banyak

Jika saat ini kita berkumpul di sini.

Ne umana ina, umana ama

Di rumahnya Ibu, rumahnya Bapak

Di rumah leluhur kita.

Nebahinna batta bumbuge rawa, batta maruga mata

Saat ini jika kita berkumpul burung merpati, jika kita banyak mata

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 361: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

Jika kita berkumpul dan berhimpun di sini.

Tubanawe umana ina, umana ama

Ini terkait rumahnya ibu, rumahnya bapak

Ini terkait dengan rumah leluhur kita.

Peidawe?

Kita mengapakan?

Kita mengapakan?

D. Tuturan Lisan Tanggapan Keluarga Besar Uma Kii (Rumah Kecil)

pada Tahap Musyawarah di Rumah Kecil (Kode D)

Balummubadoge you ina, amama

Jika engkau sudah mengatakan demikian engkau ibu bapak kami

Jika engkau sebagai ibu, bapak kami sudah mengatakan demikian.

Dakku negobanna pakai , dakku kababage pasilli,

Saya tidak menari menghindar, saya tidak ronggeng mengelak,

Jika engkau mengatakan saya tidak menghindar dan mengelak.

Balummubadoge you

Jika engkau sudah mengatakan demikian engkau

Jika engkau sudah mengatakan demikian

Neti yamme ane’ena dari tana, batu ruta

Ini kami yang tinggal garuk tanah, cabut rumput

Kami di sini yang berasal dari rumah kecil.

Neti yamme madara padeku, ama bongga pamane

Ini kami kuda penurut, kami anjing pengikut

Kami hormati keputusan ini dan siap menjalankan amanat ini.

Damma negokaibage pasilli , damma

kabakaibage pakai

Kami juga tidak menari menghindar, kami juga tidak ronggeng

mengelak

Kami juga tidak menghindar, kami juga tidak mengelak.

E. Data Tradisi Lisan dalam ritual Urrata Setelah Pengangkatan Ikrar

di Uma Kii (Kode E)

Nennati yasa, neida pamama

Itu beras, ini sirih pinang

Itu beras, ini sirih pinang

Deibapo yo’u ina, yo’u amama

Terimalah engkau ibu, engkau bapak kami

Terimalah kalian nenek moyang kami

Newe limmabage, bamma woroge pu’una ,

Di sini kami sudah kami membicarakan pangkalnya,

bamma kaddoge lawina

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 362: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

kami sudah pikirkan ujungnya

Di sini kami sudah membicarakan dan memikirkan secara bersama-sama

A bu’u uma kalada, newe ata uma kii

Yang satu buah rumah besar, di sini orang rumah kecil

Kami yang berasal dari satu keluarga besar dari rumah kecil

Apa angunguana , apa amana

yang sebagai saudara laki-laki, yang sebagai bapak

Kami yang bersaudara laki-laki, kami sebagai bapak

Apa allina, apa ka’ana

Yang sebagai adik, yang sebagai kakak

Kami sebagai adik dan sebagai kakak

Nebahinna, damma negobage pakai , damma kababage

pasilli

Saat ini kami tidak menari menghindar, kami tidak ronggeng

mengelak

Saat ini kami tidak menghindar, kami tidak mengelak

Nemme loddopoddu nya bamma kako dobba uma kalada

Nanti hari Minggu waktunya kami pergi semua rumah besar

Hari minggu adalah waktunya kami ke rumah besar

Nya bamma lolungo malawo, bamma biringo tawewe

Waktunya kami berkelompok tikus, kami beriringan ayam

hutan

Waktunya kami beriringan dan berkumpul di rumah besar

Kapandege yemmi ina kaweda, ama kaweda

Agar kalian mengetahui kalian nenek , kakek

Agar nenek dan kakek mengetahui

Hinnabawe balimmikumi , na’i manu bowa kahinna

Demikianlah sudah jika kalian mengatakan, itu ayam supaya tandanya

menerima

Jika kalian mengatakan bahwa demikianlah sudah, berikanlah petunjuk

baik melalui ayam itu

Tau…..

Jawablah

Jawablah

F. Tuturan Lisan pada Tahap Pertemuan Satu Keluarga Besar Kabizu

Beijello di Rumah Besar (Kode F)

Nebahinna batta mattu banna mata, batta tanga banna wiwi

Saat ini, kita sudah banyak mata, kita sudah bertemu bibir

Saat ini kita sudah berkumpul dan berhimpun di sini

A wali Gola Mali Ege, Tako Mali Deta

Yang berasal dari Gola Mali Ege, Tako Mali Deta

Yang berasal dari Gola Mali Ege, Tako Mali Deta

Nemme a wali niri kedu, liri wawi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 363: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

Dari sana yang berasal dari pingggir kera, pinggir babi

Baik yang berasal tempat yang jauh maupun dekat

Lappata yamme newe a dita wee, a poi api

Serta kami di sini yang timbah air, yang tiup api

Serta kami di sini yang menghuni rumah besar ini

Peidawe newe akarewe ebana, a karawu

logena?

Kita mengapakan ini yang lapuk pinggangnya, yang berantakan

rambutnya

Kita mengapakan badan rumah nenek moyang kita yang sudah lapuk

kayunya dan rusak atapnya?

Newe ina, newe ama

Ini ibu, ini bapak

Ini rumah nenek moyang kita

Tuta pamawo loddo , kada pamawo urra

Payung pelindung matahari, payung pelindung hujan

Rumah yang mampu memberikan perlindungan, kenyamanan, sebagai

tempat persatuan dan perdamaian

Gainagu kanuarage, karawipi’age lungguwaga

Agar dibongkar, agar dibuat ulang saya bilang

Saya berpikir agar segera dibongkar dan direnovasi ulang

Nebahinna katta bumbuge rawa , katta mattuge mata

Saat ini agar kita berkumpul burung merpati, agar kita banyak mata

Sekarang agar kita melihat dan membicarakan secara bersama-sama

Kada’ikana a lera eka bei, a kedu eka ana

Agar tidak ada yang terbang lain ibu, yang lari lain anak

Agar kita selalu membina semangat persatuan

Katta pasamana ate, katta pamerana wiwi.

Agar kita menyamakan hati, agar kita memerahkan bibir

Agar kita selalu satu hati, satu suara

G. Tuturan Lisan pada saat Pembagian Sirih Pinang pada Tahap

Pertemuan Satu Keluarga Besar Kabizu Beijello di Rumah Besar

(Kode G)

Nebahinna, nennati mama ole

Saat ini, ini sirih pinang kawan

Terimalah sirih pinang ini.

Mandungo katanga, kettera kaleba

Pegang kuat kendali, eratkan ikat pinggang

Peganglah kuat-kuat keputusan dan janji yang telah disepakati bersama.

Tana dadikki , watu dangero

Tanah yang tidak berpindah, batu yang tidak bergeser

Keputusan dan janji yang tidak akan berubah.

Nemme kanna marage tana, kanna moddu kaporota

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 364: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

Nanti supaya kering tanah, supaya tua sidagura

Nanti pada musim kemarau saatnya kita membangun.

H. Tuturan Lisan Urrata Setelah Kesepakatan di Rumah Besar pada

Tahap Pertemuan Satu Keluarga Besar Kabizu Beijello di Rumah

Besar (Kode H)

Nennati yasa, neida pamama

Itu beras, ini sirih pinang

Itu beras dan ini sirih pinang

Deibapo yemmi ina, yemmi ama

terimalah kalian ibu, kalian bapak

Terimalah kalian nenek moyang kami

Nebahinna maworobage pu’una , makaddobage

lawina

Saat ini kami sudah membicarakan pangkalnya, kami sudah

memikirkan ujungnya

Saat ini kami sudah membicarakan dan memikirkan secara bersama-

sama

Da’ibana lera eka bei, daibana kedu eka ana

Tidak ada lagi yang terbang lain ibu, tidak ada lagi yang lari lain anak

Kami sudah menyatukan pikiran dan pembicaraan

Ngarakuami wollami karere , uwami karobbo

Kalian semua bunga mentimun, buah labu

Kalian semua marapu (arwah-arwah yang telah meninggal) kami

Nebahinna kapandege hettibama kalola wawi,

amagesowa kedu

Saat ini, agar kalian mengetahui kami pergi sudah berburu babi

mengejar kera

Saat ini, agar kalian mengetahui bahwa kami hendak pergi mencari kayu

dan tali.

Babamma kalolakowa wawi, kamma kolekina wawi a

paulle

Jika nanti kami berburu babi, agar kami mendapatkan babi yang

bertaring

Pada saat kami mencari kayu, agar kami menemukan kayu yang

berkualitas dan berteras.

Babamma magesokowa kedu, kamma kolekina kedu a padari

Jika nanti kami mengejar kera, agar kami mendapatkan kera yang

berjenggot

Pada saat kami mencari tali, agar kami mendapatkan tali yang kuat.

Hitti kadaikana windararawiti, Tunduraradeida

Agar tidak ada jari terhalang, kaki terantuk

Agar tidak terdapat halangan dan rintangan.

Yakima kanuru, kanengga

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 365: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

Berikanlah kami hikmat kebijaksanaan

Berilah kami hikmat dan kebijaksanaan.

Kanengga bara wa’i, kanuru bara limma

Kebijaksanaan dekat kaki hikmat dekat tangan

Kebijaksanaan pada saat melangkah, hikmat pada saat menebang pohon

dan memotong tali.

Hitti katippakimawi loddo bani, urra bani

Agar engkau tepiskan kami matahari marah, hujan marah

Jauhkanlah kami dari marabahaya dan malapetaka.

Ne’e padou wawi a paulle, kedu a padari

Di sana tempat babi yang bertaring, kera yang berjenggot.

Di hutan tempat kami menebang pohon yang berteras, tempat

memotong tali yang kuat.

Ne’e Gola Mali Ege, Tako Mali Deta

Di sana Gola Mali Ege Tako Mali Deta

Di sana di Gola Mali Ege, Tako Mali Deta.

Ne’e Djoka Billa Aido, Lolo Alle Moro

Di sana Djoka Billa Aido Lolo Alle Moro

Di Djoka Billa Aido, Lolo Alle Moro.

Hinnabawi balimmi badona

Demikianlah sudah jika kalian mengatakan

yemmi ina, yemmi ama

Jika nenek moyang mengatakan bahwa demikianlah sudah

Na,i manu bowakahinna

Itu ayam supaya tandanya menerima

Berilah petunjuk yang baik melalui ayam itu.

Tau……

Jawablah

Jawablah

I. Tuturan Lisan pada Tahap Urrata di Uma Kalada pada Malam

Sebelum Pergi Menebang Kayu dan Memotong Tali di Hutan (Kode

I)

Kaletekowama towo, kasongakowama bale

Tungganglah kami kepala, peluklah kami badan

Tungganglah kepala kami, peluklah badan kami

Lindungilah kami

Kopora kaduango, gollu pamamanno

Tutup bungkus, kandang kami yang aman

Tutup bungkus, kandangkanlah kami yang aman

Tutup bungkuslah kami agar kami selalu merasa aman

Yako mangewala mata, kayalo wekki

Berilah terang mata, ringan badan

Berilah kami kesehatan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 366: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

Pawessidakkota bani ate, bani wiwi

Kekuatan marah hati, marah bibir

Berilah kami kekuatan dan keberanian

Baaroni ina mori loda, ama mori pada

Pada saat berhadapan dengan ibu pemilik hutan, bapak pemilik padang

Pada saat kami berhadapan dengan ibu pemilik hutan dan bapak pemilik

padang

Ina pepa , ama mawo

Ibu pelindung, bapak penjaga

Roh-roh yang melindungi hutan

J. Tuturan Lisan pada Ritual Urrata pada Tahap Penebangan Pohon

dan Pemotongan Tali di Hutan (Kode J)

Nenna rengepo you ina mori loda, ama mori pada

Itu dengarlah engkau ibu pemilik hutan, bapak pemilik padang

Dengarlah dewa pemilik hutan dan pemilik padang

Ina mori loko, ama mangu tana

Ibu pemilik kali, bapak pemilik tanah

Dewa pemilik kali dan pemilik tanah

Nebahinna bawa’ikoma tidi waimaneramu, djongawailapalemu

Saat ini jika kami ada di dekatmu, di sampingmu

Saat ini jika kami berada di sini

A pogowa wasu agasu , a ratage kalerre alolo

Yang menebang kayu sebatang, yang memotong tali seutas

Yang menebang sebatang kayu, memotong seutas tali

Ka dara pa kaloga ma , ka tena pa magawa

ma

Agar seperti kuda yang bebas kami , agar seperti sampan yang leluasa

kami

Agar kami seperti kuda yang bebas, agar kami seperti sampan yang

leluasa

Agar kami diberi kebebasan dan keleluasaan

Dappalaka kama karingge, dappa lodakama kalerre

Janganlah palang kayu, janganlah menarik tali

Janganlah menghalangi kami

Karewena ebana , karawuna logena

Dia lapuk pinggangnya, dia berantakan rambutnya

Ini karena badan rumah nenek moyang kami sudah lapuk kayunya dan

rusak atapnya

Tuta poma loddo, kada poma urra

Payung pelindung dari matahari, payung pelindung dari hujan

Rumah yang melindungi kami dari panasnya matahari dan hujan

Nebahinna hidda marata anamanu, kamidda ana omma

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 367: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

Saat ini terimalah kurban anak ayam, persembahan anak emas

Terimalah kurban anak ayam dan persembahan uang perak ini

Katidi waimanerandi, kajonga wailapalendi

Agar berada di dekat kalian, agar berada di samping kalian

Agar selalu berada bersama-sama dengan kalian

Newe mandoke toramu a erri , mandokiwe tunggamu a

poddu

Di sini, peganglah bagianmu yang pemali, genggamlah milikmu yang

sacral

Awasilah tempat yang pemali dan sakral agar orang leluasa bergerak

Newe bamma kalolakowa wawi, kamma kolekina wawi apa

ulle

Di sini jika kami berburu babi, agar kami mendapatkan babi yang

bertaring

Sehingga, pada saat kami menebang pohon, kami mendapat pohon yang

berkualitas dan berteras

Bamma gesakowa kedu, kamma kolekina kedu apa dari

Jika kami mengejar kera, agar kami mendapatkan kera yang

berjenggot

Sehingga pada saat kami memotong tali kami mendapatkan tali yang

kuat

Kada’ikana windararawiti, tunduraradeida

Agar tidak ada jari terhalang, kaki terantuk

Agar tidak ada halangan dan rintangan

K. Tuturan Lisan pada Tahap Saiso Pengucapan Syukur Atas

Keberhasilan Penebangan Kayu dan Pemotongan Tali di Hutan

(Kode K)

Natogola manairo bage, namawellita mawana bage

Sudah berhasil menyiangi sudah rampung anyaman

Proses penebangan kayu dan pemotongan tali telah selesai dan berjalan

dengan lancar

Pakameme dengi ramegu, pawawi dengi

pa’ugu

Yang saya minta seperti kambing meminta daun, seperti babi

meminta dedak

Yang saya minta dan mohonkan

Pakaleika milla mata, balabadde widdu

keda

Yang merupakan seruan miskin mata, yang merupakan jeritan kempis

pinggang

Yang merupakan seruan dan dambaan

Pakareba ti’a, pamaro’u bukku

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 368: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

Yang menjadi kelaparan perut, yang menjadi kehausan leher

Yang menjadi kelaparan, yang menjadi kehausan

Yang menjadi impian dan harapan

Nabonnu wogo dara, na nudu wullu manu

Telah penuh punuk kuda, dia ikut bulu ayam

Telah berakhir dan berjalan dengan lancar

Nebahinnage lagei ladde , woki kako

Saat ini angkat langkah, ayun kaki

Saat ini, kami hendak berjalan pulang

Kamma toma uma, kamma dukkikoge katonga

Agar kami sampai di rumah, agar kami sampai di balai-balai

Agar kami tiba di balai-balai dan di rumah dengan selamat

Illakona poddu tillu tana, illakona balaingo maredda

Hilangkanlah ancaman di tengah tanah, hilangkanlah musibah di

padang

Jauhkanlah ancaman dan musibah dalam perjalanan

Kanna mangewala mata, kanna kayalo wekki

Agar terang mata, agar ringan badan

Agar kami diberi kesehatan

Dukki bara ina, toma bara ama

Sampai dekat ibu, sampai dekat bapak

Sehingga kami boleh sampai di rumah besar kami dengan selamat

L. Tuturan Lisan pada Tahap Ritual Oka (Kode L)

Penanya:

Djooooo appaatawu nemme a lollungo malawo mangu ana,

Hallo, siapakah kamu di sana yang beriringan bagai tikus membawa

anak

Abiringo tawewe mangu tollu

yang berkelompok bagai ayam hutan membawa telur

Hallo, siapakah kamu yang datang beriring-iringan, yang berbondong-

bondong?

Akangira dara kodi, akabara bongga

dawa

Yang meringkik bagaikan kuda Kodi, yang menyalak bagaikan anjing

Jawa

Yang datang dengan pakallaka (ringkikan) dan payawau (teriakan)

Ne’e kabu gollugu , ne’e kabu aturagu

Di bawah kandang saya, di bawah pagar batu

Di sebelah perkampungan saya

Ne tabali binna mone, pu’u kawango dassa

Di sebelah pintu jantan, di pohon waru indah

Di pintu gerbang saya, di perkampungan yang indah

Kedu mai pawunnumi?, Wawi mai pangassami?

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 369: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

Kera datang marah kalian? Babi datang mengamuk kalian?

Apakah kalian kera yang datang marah, babi yang datang mengamuk?

Apakah kalian adalah musuh yang datang mengamuk?

Balewaga panewe , nongawaga kadauka

Jawab pembicaraan, imbali perkataan saya

Jawablah pembicaraan dan perkataan saya

Malla…..

Jawablah

Jawablah

Penjawab:

Djoooo hiddi pakadimu koko, pasosimi

ate

Baiklah, itu yang engkau tanyakan melalui leher, yang engkau selidiki

melalui hati

Baiklah, itu yang engkau pertanyakan dan engkau selidiki

Yowa dona ata papawede , allikapapatukami

Saya sudah orang yang disuruh, adik yang diperintah

Sayalah orang yang disuruh, adik yang diperintah

Papawede pidupata , papalewa gidugoda

Yang diperintah ke sana ke mari, yang disuruh ke tempat yang jauh dan

dekat

Yang diperintah ke sana ke mari, yang disuruh ke tempat yang jauh dan

dekat

Hitti papatukamu kalola wawi, hatti papawedemu

magesa kedu

Itu yang kalian perintahkan berburu babi, itu yang engkau suruh

mengejar kera

Mereka yang kalian perintahkan untuk menebang pohon, yang disuruh

memotong tali

Natogola manairobage, namawellita mawanabage

Sudah berhasil menyiangi , sudah rampung anyaman

Proses penebangan pohon dan pemotongan tali telah berhasil dan

berjalan dengan lancar

Madunnibawi oro , mabalibawi

wewe

Kami sudah pulang mengikuti bekas jalan, kami sudah kembali

mengikuti jejak

Kami sudah kembali dengan mengikuti jalan yang perna kami lewati

Makolebawi wawi apa ulle , madekeba

kedu

Kami sudah mendapatkan babi yang bertaring, kami sudah mengambil

kera yang

apadari

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 370: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

berjenggot

Kami sudah mendapatkan kayu yang berkualitas dan berteras, kami

sudah mengambil tali yang kuat

dakaboka kama binna, dakaraga kama

lara

Janganlah menutupkan kami pintu, janganlah memalang kayu kami di

jalan

Bukakanlah kami pintu, lapangkanlah kami jalan

Darapakalogama , tenapamagawama

Agar kami seperti kuda yang bebas, agar kami seperti sampan yang

leluasa

Agar kami diberikan kebebasan dan keleluasaan

Tau…….

Jawablah

Jawablah

M. Tuturan Lisan pada Tahap Ritual Saiso Pembongkaran Rumah

(Kode M)

Pamalangiwa inna, paosawa ama

Terimakasih kepada ibu, syukur kepada bapak

Terimakasih dan syukur kepada rumah besar dan leluhur

Ne tuta pamawo loddo , ne kada pamawo urra

Di payung pelindung dari matahari, di payung pelindung dari hujan

Atas rumah yang telah memberikan kenyamanan, perlindungan, yang

mempersatukan dan mendamaikan

Banna yawe wee maringi , banna yawe

Karena dia telah memberikan air dingin, karena dia telah

memberikan

wee malala

air kesejukan

Yang telah memberikan rahmat dan berkat

Dari tana , batu ruta

Garuk tanah, cabut rumput

Bagi rumah-rumah kecil

Penni manu, tau wawi

Memberi makan ayam, memberi makan babi

Sehingga dapat memelihara ayam, memelihara babi

Keni pare oppu watara

Panen padi, petik jagung

Sehingga dapat memanen padi, memetik jagung

N. Tuturan Tahap Ritual Saiso Sebelum Pendirian Tiang (Kode N)

Waikobatallawi indatallaki ,

Walaupun kelihatannya ini gong tapi bukan gong,

waikobabeduwi indabeduki

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 371: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

walaupun kelihatannya ini tambur tapi bukan tambur

Walaupun kelihatannya ini gong tapi bukan gong, walaupun

kelihatannya ini tambur tapi bukan tambur

Li’ikawulagundi , li’ikaaulagundi

Mereka adalah suara yang memanggil Mereka adalah suara yang

mengundang

Tapi ini adalah suara yang memanggil dan mengundang seluruh

keluarga besar dan kerabat

Tuta pomawo loddo , kada pomawo urra

Payung pelindung dari matahari, payung pelindung dari hujan

Rumah yang dapat memberikan perlindungan, kedamaian dan

kenyamanan

Karewe ebana , karawuwe logena

Lapuk pinggangnya, berantakan rambutnya

Badan rumah sudah lapuk kayunya, sudah rusak atapnya

Kokalangge baku padedekowa na’i pari’i,

Esok jika saya mendirikan itu tiang,

baku padedekowa na’i wasu a gasu

jika saya mendirikan itu kayu yang sebatang

Esok jika saya mendirikan tiang, jika saya mendirikan sebatang kayu

Daraikaga windararawiti , tunduraradeida

Janganlah membuat tangan terhalang, kaki terantuk

Agar tidak terdapat halangan dan rintangan

Banna rengekowaganame ole dou kareka, ole watte tau

omagu

Apabila dia dengar itu teman penghuni gubuk, teman batas

bekerja kebun

Apabila teman penghuni gubuk mendengar, teman batas

berkebun

Apabila teman penghuni gubuk dan tetangga kebun saya mendengar

Na’i na langilirabaga

Di sana dia akan jadikan bahan pergunjingan

hinnako danna manoto, danna mawennake

Berarti tidak sesuai, tidak mengena

Dia akan menjadikan bahan pergunjingan

Dia akan mengatakan bahwa yang diperbuatnya tidak pantas dan tidak

sesuai

Ne’enyawe kanna windararawiti , kanna tunduraradeida

Itulah sebabnya sehingga tangannya terhalang, kakinya terantuk

Itulah yang menyebabkan sehingga dia mendapatkan halangan dan

rintangan

Indaki. Gegela’agu yowa balummudona

Tidak. Kemana saya jika engkau mengatakan demikian

you ina kaweda, ama kaweda

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 372: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

engkau nenek, kakek

Tidak. Saya akan selalu menyertai kalian, jika nenek moyang berkata

demikian

Newe danna lummukelewa , danna muddakemaddala

Ini bukan hal yang mudah, bukan hal yang gampang

Ini bukanlah hal yang mudah, bukanlah hal yang gampang

Nebahinna pakakoga kindola , paleraga kikipa

Saat ini jalankanlah yang baik, terbangkanlah yang lurus

Yang bengkok luruskanlah, yang tidak baik jadikanlah baik

Yakoga wee maringi loko,

Berikanlah saya air dingin kali,

Berikanlah saya air kali yang dingin

Yakoga wee magobba paba

berikanlah saya air sejuk sawah

berikanlah saya air sawah yang sejuk

Berikanlah kami rahmat dan berkat yang berlimpah

ga’inagu kokalangge kanna togola manairo , kanna mawellita

mawana

Agar esok agar berhasil menyiangi, agar rampung

anyaman

Agar proses pendirian tiang pada keesokan harinya dapat berhasil dan

dapat berjalan dengan lancer

O. Tuturan Lisan pada Tahap Saiso Sebelum Membuat Loteng

Rumah

(Kode O)

Nebahinna kapandege you ina, you ama

Saat ini supaya mengetahui engkau ibu, engkau bapak

Saat ini supaya engkau ibu, engkau bapak mengetahui

Saat ini, agar nenek moyang mengetahui

Nadukkiwe na’i labe a belleka, pari’i a kaladana

Sampai kepada dia di sana cincin yang lebar , tiang yang besar

Sampai kepada Sang Khalik yang menciptakan dan menaungi seluruh

umat manusia

A kanga wolla limma, a bokka wolla wa’i

Yang memisah jari tangan, yang membagi jari kaki

Yang memisah jari tangan dan membagi jari kaki

Ina a mawolo , ama a marawi

Ibu yang mencipta, bapak yang menjadikan

Tuhan yang menjadikan dan menciptakan manusia dan seluruh alam

semesta

Adopola tou , a adiwe wekki

Yang membentuk badan, yang memadatkan tubuh

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 373: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

Yang membentuk dan memadatkan badan

Takka nebahinna tekkida ana ullumu, tekkida

Dan sekarang, beritahukanlah kepada ana sulung, beritahukanlah

kepada

ana murri mu

anak bungsumu

Dan sekarang beritahukanlah kepada semua Marapu (semua arwah

yang telah meninggal)

Koka baku botikowe wellibodolangge,

Esok pada saat saya memuat bagian atas,

Baku babado welli bawa

karena saya sudah menyelesaikan bagian bawah

Esok pada saat saya membuat loteng rumah

Kapamenderadandi kapouta , katopo,

Agar kalian memegang kuat-kuat ikat kepala, parang,

kalaboda ata pennenanno .

ikat pinggang dari orang yang memanjat loteng

Agar nenek moyang memegang kapotu, kalabo dan katopo dari orang-

orang yang membuat loteng rumah

Duwolokagandi windararawiti , tunduraradeida

Janganlah membuat tangan terhalang, kaki terantuk

Jauhkanlah halangan dan rintangan

Lakkawa’ikunamme adirakapababa touna , aakitapaleira wekkina

Kendatipun ada yang beraib tubuhnya, berdosa

badannya

Kendatipun ada yang memiliki aib dan dosa

Du kettekageole, du pagukawi pangngu

Janganlah ikat bersama, jangan simpul bergandeng

Janganlah engkau melibatkannya dengan kami

Danna muddake madda, danna lummuke lewa nanno

Ini bukanlah hal yang mudah, ini bukanlah hal yang gampang

Ini bukanlah hal yang mudah, ini bukanlah hal yang gampang

Noddo wabbona, toroge tunggana

Peganglah bagianmu yang pemali , peganglah bagianmu yang pahit

Jagalah tempat-tempat yang sakral

P. Tuturan Lisan pada Tahap Saiso Menempati Rumah Besar (Kode

P)

Natogola manairo bage, namawellita mawana bage

Sudah berhasil menyiangi sudah rampung anyaman

Saat ini proses pembuatan rumah telah selesai dan berjalan dengan

lancer

Kutapoma urra, katapoma loddo

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 374: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

Payung pelindung dari hujan, payung pelindung dari matahari

Rumah yang mampu memberikan perlindungan, kedamaian dan

persatuan

Nebahinna kapande yemmi ina kaweda , ama kaweda.

Saat ini agar mengetahui kalian ibu tua (nenek), bapak tua (kakek)

Saat ini agar nenek dan kakek mengetahui

Saat ini agar nenek moyang mengetahui

Akatongapabeikage , akoropapalage

Yang memiliki tempat tidur ini, yang memiliki kamar ini

Sebagai pemilik rumah ini

Neti aneena dita wee, powi api

Ini yang tinggal di timba air, tiup api

Yang tinggal di rumah besar ini

Banebahinna napawe’e kaka, ingi kakaba

Saat ini sarungnya sudah putih, kainnya sudah putih

Saat ini rumah besar ini sudah baru

Nabo’uba kelerre , kakaraba ngaingo

Sudah mudah tali sudah cerah alang

Alang dan talinya sudah baru

Kadillitaba katonga , kakaraba kawedobawe

sudah mengkilap balai-balai sudah cerah tirisan air

Balai-balai dan tirisan air sudah baru

Kapandege nebahinna ne umamibalunggukumi,

Agar kalian mengetahui saat ini, ini rumah kalian

ne katangomibalunggukumi

ini balai-balai kalian

Agar kalian mengetahui bahwa inilah rumah dan balai-balai kalian

Tadapadoudou-padoudoumi

Tandalah tempat kalian masing-masing

Tandalah tempat kalian masing-masing

Manu tadakowe rabemu , wawi dukkikuwi rabamu

Ayam tandalah tempatmu, babi tandalah tempat makanmu

Ayam, babi tandalah tempatmu

Karambo tadakowe okamu , dara tadako gollumu

Kerbau tandalah kandangmu, kuda tandalah kandangmu

Kerbau, kuda tandalah kandangmu

Pawasse padoum u, pamatto padoumu

Anak mantu tanda tempatmu, Ibu mertua tandalah tempatmu

Anak mantu, ibu mertua tandalah tempatmu

Q. Tuturan Lisan pada Tahap Saiso Perjanjian dengan Marapu (Kode

Q)

Nebahinna limmabage bamma wologe kira,

Di sini kami sudah membicarakan kami sudah membuat janji,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 375: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

bamma raige dadi

kami sudah membuat kesepakatan

Di sini kami telah membicarakan, menyepakati, dan berjanji

Nemme pittu dou , pittu wulla, pittu loddo, ga’inagu kaenga wou

Nanti, tujuh tahun, tujuh bulan, tujuh hari, agar tetap engkau

Agar Engkau mengetahui bahwa nanti setelah tujuh tahun, tujuh bulan,

tujuh hari kami akan melaksanakan syukuran

Hetti yamme kaina kanna tutuke bama kako paelleta

tollu,

Agar kami juga mempunyai cukup waktu untuk kami pergi mencari

telur,

kanna tutuke bama elleta manu.

agar cukup waktunya kami mencari ayam

Agar kami mempunyai waktu yang cukup untuk bekerja keras

Newe wolama wekkima , pasassama touma

Di sini kami mengikuti tubuh kami, kami menuruti badan kami

Di sini kami tidak mempunyai apa-apa

Banebahinnage bama kako hitti ,

Sehingga dengan demikian jika kami pulang ke sana,

hatti a neena omadana

itu yang berada di kebun

Sehingga dengan demikian, jika kami pulang, terutama semua keluarga

yang berasal dari rumah kecil

A neena liri kedu, liri wawi bana kako hitti

Yang berada di pinggir kera, di pinggir babi, jika dia pulang ke sana

Apabila keluarga rumah kecil, baik yang berada di tempat yang paling

jauh maupun yang dekat kembali ke rumah mereka masing-masing

Banna batuku ruta , banna dariku tana

apabila dia mencabut rumput, apabila dia menggaruk tanah

Apabila dia bekerja agar membuahkan hasil

Banna pennikowa manu, kamanuamapennikia

Apabila dia memelihara ayam, agar dapat berkembang biak menjadi

banyak

Apabila dia memelihara ayam, agar dapat berkembang biak menjadi

banyak

Banna tauku wawi, kawawiamataukia

Apabila dia memelihara babi, agar dapat berkembangbiak dengan baik

Apabila dia memelihara babi, agar dapat berkembangbiak dengan baik

Kanna dadige padadi , kanna timbuge patimbu

Agar tumbuh yang tumbuh, agar hidup yang hidup

Agar bertumbuh dan berkembangbiak dengan baik semua hasil usaha

dan kerja keras

Badukkikogeu nemme bama dukkige kira pawolo ,

Jika sampai nanti kami sampai pada janji yang kami bicarakan,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 376: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

dadi paraimalage

kesepakatan yang kami buat

Sehingga pada saat kami sampai pada janji yang kami bicarakan dan

sepakati bersama

Kadamma lebakage loge , kadamma toddukadi limmama

Agar kami tidak melepas rambut, agar kami tidak menjunjung tangan

kami

Agar kami tidak datang di rumah besar dengan tangan kosong

R. Tradisi Lisan pada Tahap Saiso Penepatan Janji Menempati

Rumah Besar (Kode R)

Nebahinna renge you ina kaweda , ama kaweda

Saat ini dengarlah engkau ibu tua (nenek), bapak tua (kakek)

Saat ini, dengarlah nenek moyang kami

Hinnane’e madukkibage heti kira paraima ,

sekarang ini kami telah sampai pada janji yang kami buat,

dadi pawoloma

rencana yang telah kami sepakati

Sekarang ini kami telah sampai pada janji yang kami buat, rencana yang

telah kami sepakati

Ngarakuama newe wollamu karere , uwamu karobbo

Kami semua di sini bunga mentimun, buah labu

Kami semua anak cucumu yang berasal dari rumah besar ini

Nebahinna, ne malelangge

Saat ini, ini malam

Saat ini, malam ini

Rengewu you newe , tatadapadouna

Dengarlah engkau di sini, tandalah tempat kalian masing-masing

balunggukugu hettiwaina

jika saya mengatakan demikian pada waktu itu

Dengarlah engkau di sini, jika pada waktu itu saya meminta kalian untuk

menanda tempat kalian masing-masing

Nebahinna wa’ikuabana heti a wali liri

kedu,

Saat ini, kami sudah berkumpul semua baik yang berasal dari pinggir

kera,

liri wawi

pinggir babi

Saat ini kami semua telah berkumpul di sini baik yang berasal dari

rumah-rumah kecil.

Gola Mali Ege, Tako Mali Deta

Yang berasal dari Gola Mali Ege, Tako Mali Deta

Lappata nawa dita we’e, a poi api

Dan juga kami di sini yang menimba air , yang meniup api

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 377: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

Dan juga kami di sini yang mendiami rumah besar ini

Wa’ikuawabama , da’ibana lera eka bei,

Kami semua sudah berkumpul, tidak ada lagi yang terbang ke lain ibu,

Kedu eka ana

yang lari ke lain anak

Kami telah bersatu di sini

Banebahinna bamma mattubana mata, bamma tangabana

wiwi

Saat ini kami sudah banyak mata, kami sudah bertemu

bibir

Kami telah satu hati, satu suara

Madekebage kira , madukkibage ne dadi pawolo

paraima

Kami telah menginjak janji, kami telah sampai pada rencana yang telah

kami buat

Kami telah menepati janji yang telah kami buat dan rencanakan

Ngaradukkama yamme newe aummage ne umma,

Semua kami di sini yang memiliki ini rumah,

akatongage ne katonga

yang memiliki ini balai-balai

Kami semua sebagai pemilik balai-balai dan rumah besar ini

Kapandege , hetti damma toddukidi limmama ,

Agar kalian mengetahui, ini kami tidak menjunjung tangan kami,

damma lebakige logema

kami tidak melepas rambut kami

Agar kalian mengetahui bahwa kami tidak datang dengan tangan kosong

Manakabana manu, matewelabana yasa newe

Kami telah membawa ayam, kami telah menenteng beras di sini

Kami telah membawa ayam dan beras di sini

Nebahinnawe banna kakarabadowe ngaingo,

Saat ini, karena sudah baru alang,

banna bo’ubadowe kalerre balimakugulangge

karena sudah muda tali jika kami mengatakan kepadamu

Saat ini rumahmu sudah baru

Ne umamu , ne katongamu

Di sini rumahmu, di sini balai-balaimu

Di sini rumahmu dan balai-balaimu

Ne koropabeikamu, ne koropapalamu

Di sini kamar tidurmu, di sini bilikmu

Di sini kamar tidurmu, di sini bilikmu

Na’i wawi a bolo, na’i karambo a ia terewi

itu babi yang satu , itu kerbau yang satu peganglah

Peganglah babi dan kerbau itu

Kanga’apangaa , we’epaenuwi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 378: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

Agar menjadi makanan, agar menjadi minuman kalian

Agar menjadi makanan dan minuman kalian

Kadaouwaige neumamu,

Agar kamu gunakan untuk menempati rumah ini,

katerewaige nekatongamu

agar kamu gunakan untuk menduduki balai-balai ini

Agar nenek moyang gunakan untuk menempati dan menjaga rumah ini.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 379: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

TRANSKRIPSI DATA MENTAH

PENELITIAN BERUJUDL “TRADISI LISAN DALAM UPACARA

PADEDE UMA KALADA SEBAGAI MANIFESTASI JATI DIRI

MASYARAKAT KABIZU BEIJELLO:

KAJIAN EKOLINGUISTIK METAFORIS”

Oleh: Yuliana Sesi Bitu

Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Magister

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Sanata Dharma

A. Tuturan Lisan pada Tahap Pemberitahuan Kepada Tetua Adat Uma Kii

(rumah kecil)

Nyado nebahinna ne’e ole bawaikoga maida neti tidi barrami,

Neti dari tana, batu ruta.

Nemme nakarewe ebana, nakarawuwe logena.

Nemme ina, ama.

Tuta pomawo loddo, kada pomawo urra.

Nyawe neti kaku toma tidi dukki barrami.

(Sumber data ini direkam dan ditranskripsikan oleh Yuliana Sesi Bitu sebagai

peneliti di Kampung Gollu Utta, Wewewa Barat, Sumba Barat Daya, NTT,

pada tanggal 28 Januari 2019. Data ini dituturkan oleh Rato Marapu Kabizu

Beijello Bapak Bernardus Ngongo Bulu, Umur 61tahun, Petani)

B. Tuturan Lisan Tanggapan Tetua Adat Uma Kii (rumah kecil) pada

Tahap Pemberitahuan Kepada Tetua Adat Uma Kii (rumah kecil)

Banna kareweko ebana banna karawuko logena

Ne ina, ne ama

Unggula dukka kikkuna wadora dukka ngorana

Unggula a matomba, wadora a maupa

Kanna mattu mata, kanna tanga wiwi

Katta worona panewe, katta kaddona kadauka

(Sumber data ini direkam dan ditranskripsikan oleh Yuliana Sesi Bitu sebagai

peneliti di Kampung Kalembu Kowo, Wewewa Barat, Sumba Barat Daya,

NTT, pada tanggal 10 Februari 2019. Data ini dituturkan oleh Rato Marapu

Kabizu Beijello Bapak Barnabas B. Ole, 53 tahun, petani)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 380: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

C. Tuturan Lisan pada Tahap Musyawarah di Uma Kii (Rumah Kecil)

Neti ngarakuana baku angunguamigi

Baku amamigi, baku anamigi

Baku allikamigi, baku kaamigi

Ba nebahinna batta pakuana, batta pakassana

Ne umana ina, umana ama

Nebahinna batta bumbuge rawa, batta maruga mata

Tubanawe umana ina, umana ama

Peidawe?

(Sumber data ini direkam dan ditranskripsikan oleh Yuliana Sesi Bitu sebagai

peneliti di Kampung Gollu Utta, Wewewa Barat, Sumba Barat Daya, NTT,

pada tanggal 12 Februari 2019. Data ini dituturkan oleh Rato Marapu Kabizu

Beijello Bapak Hermanus Bulu Manu, 45 tahun, petani).

D. Tuturan Lisan Tanggapan Keluarga Besar Uma Kii (Rumah Kecil) pada

Tahap Musyawarah di Rumah Kecil

Balummubadoge you ina, amama

Dakku negobanna pakai dakku kababage pasilli,

Balummubadogeyou

Neti yamme ane’ena dari tana, batu ruta

Neti yamme madara padeku, ama bongga pamane

Damma negokaibage pasilli damma kabakaibage pakai

(Sumber data ini direkam dan ditranskripsikan oleh Yuliana Sesi Bitu sebagai

peneliti di Kampung Gollu Utta, Wewewa Barat, Sumba Barat Daya, NTT,

pada tanggal 12 Februari 2019. Data ini dituturkan oleh Rato Marapu Kabizu

Beijello Bapak Hermanus Bulu Manu, 45 tahun, petani).

E. Data Tradisi Lisan dalam ritual Urrata Setelah Pengangkatan Ikrar di

Uma Kii

Nennati yasa, neida pamama

Itu beras, ini sirih pinang

Deibapo yo’u ina, yo’u amama

Newe limmabage, bamma woroge pu’una, bamma kaddoge lawina

A bu’u uma kalada, newe ata uma kii

Apa angunguana apaamana

Apa allina, apa ka’ana

Nebahinna, damma negobage pakai damma ababage pasilli

Nemme loddopoddu nya bamma kako dobba uma kalada

Nyabamma lolungo malawo, bamma biringo tawewe

Kapandege yemmi ina kaweda, ama kaweda

Hinnabawe balimmikumi na’i manu bowa kahinna

Tau…..

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 381: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

(Sumber data ini direkam dan ditranskripsikan oleh Yuliana Sesi Bitu sebagai

peneliti di Kampung Gollu Utta, Wewewa Barat, Sumba Barat Daya, NTT,

pada tanggal 12 Februari 2019. Data ini dituturkan oleh Rato Marapu Kabizu

Beijello Bapak Hermanus Bulu Manu, 45 tahun, petani).

F. Tuturan Lisan pada Tahap Pertemuan Satu Keluarga Besar Kabizu

Beijello di Rumah Besar

Nebahinna batta mattu banna mata, batta tanga banna wiwi

A wali Gola Mali Ege, Tako Mali Deta

Nemme awali niri kedu, liri wawi

Lappata yamme newe a dita wee, apoi api

Peidawe newe akarewe ebana, a karawu logena

Newe ina, newe ama

Tuta pamawo loddo, kada pamawo urra

Gainagu kanuarage, karawipi’age lungguwaga

Nebahinna katta bumbuge rawa, katta mattuge mata

Kada’ikana alera eka bei, akedu eka ana

Katta pasamana ate, katta pamerana wiwi.

(Sumber data ini direkam dan ditranskripsikan oleh Yuliana Sesi Bitu sebagai

peneliti di Kampung Gollu Utta, Wewewa Barat, Sumba Barat Daya, NTT,

pada tanggal 12 Februari 2019. Data ini dituturkan oleh Rato Marapu Kabizu

Beijello Bapak Hermanus Bulu Manu, 45 tahun, petani).

G. Tuturan Lisan pada saat Pembagian Sirih Pinang pada Tahap Pertemuan

Satu Keluarga Besar Kabizu Beijello di Rumah Besar

Nebahinna, nennati mama ole

Mandungo katanga, kettera kaleba

Tana dadikki, watu dangero

Nemme kanna marage tana, kanna moddu kaporota

(Sumber data ini direkam dan ditranskripsikan oleh Yuliana Sesi Bitu sebagai

peneliti di Kampung Gollu Utta, Wewewa Barat, Sumba Barat Daya, NTT,

pada tanggal 12 Februari 2019. Data ini dituturkan oleh Rato Marapu Kabizu

Beijello Bapak Hermanus Bulu Manu, 45 tahun, petani).

H. Tuturan Lisan Urrata Setelah Kesepakatan di Rumah Besar pada Tahap

Pertemuan Satu Keluarga Besar Kabizu Beijello di Rumah Besar

Nennati yasa, neida pamama

Deibapo yemmi ina, yemmi ama

Nebahinna maworobage pu’una, makaddobage lawina

Da’ibana lera eka bei, daibana kedu eka ana

Ngarakuami wollami karere uwami karobbo

Nebahinna kapandege hettibama kalola wawi, amagesowa kedu

Babamma kalolakowa wawi, kamma kolekina wawi apaulle

Babamma magesokowa kedu, kamma kolekina kedu a padari

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 382: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

Hitti kadaikana windararawiti, Tunduraradeida

Yakima kanuru, kanengga

Kanengga bara wa’i, kanuru bara limma

Hitti katippakimawi loddo bani, urra bani

Ne’e padou wawi a paulle, kedu a padari

Ne’e Gola Mali Ege, Tako Mali Deta

Ne’e Djoka Billa Aido, Lolo Alle Moro

Hinnabawi balimmi badona

yemmi ina, yemmi ama

Na,i manu bowakahinna

(Sumber data ini direkam dan ditranskripsikan oleh Yuliana Sesi Bitu sebagai

peneliti di Kampung Gollu Utta, Wewewa Barat, Sumba Barat Daya, NTT,

pada tanggal 12 Februari 2019. Data ini dituturkan oleh Rato Marapu Kabizu

Beijello Bapak Hermanus Bulu Manu, 45 tahun, petani).

I. Tuturan Lisan pada Tahap Urrata di Uma Kalada pada Malam Sebelum

Pergi Menebang Kayu dan Memotong Tali di Hutan

Kaletekowama towo, kasongakowama bale

Kopora kaduango, gollu pamamanno

Yako mangewala mata, kayalo wekki

Pawessidakkota bani ate, bani wiwi

Baaroni ina mori loda, ama mori pada

Ina pepa, ama mawo

(Sumber data ini direkam dan ditranskripsikan oleh Yuliana Sesi Bitu sebagai

peneliti di Kampung Kalembu Kowo, Wewewa Barat, Sumba Barat Daya,

NTT, pada tanggal 10 Februari 2019. Data ini dituturkan oleh Rato Marapu

Kabizu Beijello Bapak Barnabas B. Ole, 53 tahun, petani)

J. Tuturan Lisan Urrata pada Tahap Penebangan Pohon dan Pemotongan

Tali di Hutan

Nenna rengepo you ina mori loda, ama mori pada

Ina mori loko, ama mangu tana

Nebahinna bawa’ikoma tidi waimaneramu, djongawailapalemu

A pogowa wasu agasu, aratage kalerre alolo

Kadara pakalogama, katena pamagawa ma

Dappalaka kama karingge, dappa lodakama kalerre

Karewena ebana, karawuna logena

Kuta poma loddo, kada poma urra

Nebahinna hidda marata anamanu, kamidda ana omma

Katidi waimanerandi, kajonga wailapalendi

Newe mandoke toramu a erri, mandokiwe tunggamu a poddu

Newe bamma kalolakowa wawi, kamma kolekina wawi apa ulle

Bamma gesakowa kedu, kamma kolekina kedu apa dari

Kada’ikana windararawiti, tunduraradeida

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 383: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

(Sumber data ini direkam dan ditranskripsikan oleh Yuliana Sesi Bitu sebagai

peneliti di Kampung Gollu Utta, Wewewa Barat, Sumba Barat Daya, NTT,

pada tanggal 12 Februari 2019. Data ini dituturkan oleh Rato Marapu Kabizu

Beijello Bapak Hermanus Bulu Manu, 45 tahun, petani).

K. Tuturan Lisan pada Tahap Saiso Pengucapan Syukur Atas Keberhasilan

Penebangan Kayu dan Pemotongan Tali di Hutan

Natogola manairo bage, namawellita mawana bage

Pakameme dengi ramegu,pawawi dengi pa’ugu

Pakaleika milla mata, balabadde widdu keda

Pakareba ti’a, pamaro’u bukku

Nabonnu wogo dara, na nudu wullu manu

Nebahinnage lagei ladde, woki kako

Kamma toma uma, kamma dukkikoge katonga

Illakona poddu tillu tana, illakona balaingo maredda

Kanna mangewala mata, kanna kayalo wekki

Dukki bara ina, toma bara ama

(Sumber data ini direkam dan ditranskripsikan oleh Yuliana Sesi Bitu sebagai

peneliti di Kampung Kalembu Kowo, Wewewa Barat, Sumba Barat Daya,

NTT, pada tanggal 10 Februari 2019. Data ini dituturkan oleh Rato Marapu

Kabizu Beijello Bapak Barnabas B. Ole, 53 tahun, petani)

L. Tuturan Lisan pada Tahap Ritual Oka

Penanya:

Djooooo appaatawu nemme a lollungo malawo mangu ana,

abiringo tawewe mangu tollu

Akangira dara kodi, akabara bongga dawa

Ne’e kabu gollugu, ne’e kabu aturagu

Ne tabali binna mone, pu’u kawango dassa

Kedu mai pawunnumi, Wawi mai pangassami?

Balewaga panewe, nongawaga kadauka

Malla…..

Penjawab:

Djoooo hiddi pakadimu koko, pasosimi ate

Yowa dona ata papawede, allikapapatukami

Papawede pidupata, papalewa gidugoda

Hitti papatukamu kalola wawi, hatti papawedemu magesa kedu

Natogola manairobage, namawellita mawanabage

Madunnibawi oro, mabalibawi wewe

Makolebawi wawi apa ulle, madekeba kedu apadari

Dakabokakama binna, dakaraga kama lara

Darapakalogama, tenapamagawama

Tau…….

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 384: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

(Sumber data ini direkam dan ditranskripsikan oleh Yuliana Sesi Bitu sebagai

peneliti di Kampung Gollu Utta, Wewewa Barat, Sumba Barat Daya, NTT,

pada tanggal 12 Februari 2019. Data ini dituturkan oleh Rato Marapu Kabizu

Beijello Bapak Hermanus Bulu Manu, 45 tahun, petani).

M. Tuturan Lisan pada Tahap Ritual Saiso Pembongkaran Rumah

Pamalangiwa inna, paosawa ama

Ne tuta pamawo loddo, ne kada pamawo urra

Banna yawe wee maringi, banna yawe wee malala

Dari tana, batu ruta

Penni manu, tau wawi

Keni pare oppu watara

(Sumber data ini direkam dan ditranskripsikan oleh Yuliana Sesi Bitu sebagai

peneliti di Kampung Kalembu Kowo, Wewewa Barat, Sumba Barat Daya,

NTT, pada tanggal 10 Februari 2019. Data ini dituturkan oleh Rato Marapu

Kabizu Beijello Bapak Barnabas B. Ole, 53 tahun, petani)

N. Tuturan Lisan pada Tahap Saiso Sebelum Pendirian Tiang

Waikobatallawi indatallaki, waikobabeduwi indabeduki

Li’ikawulagundi, li’ikaaulagundi

Tuta pomawo loddo, kada pomawo urra

Karewe ebana, karawuwe logena

Kokalangge baku padedekowa na’i pari’i, baku padedekowa na’i wasu a gasu

Daraikaga windararawiti, tunduraradeida

(Sumber data ini direkam dan ditranskripsikan oleh Yuliana Sesi Bitu sebagai

peneliti di Kampung Gollu Utta, Wewewa Barat, Sumba Barat Daya, NTT,

pada tanggal 12 Februari 2019. Data ini dituturkan oleh Rato Marapu Kabizu

Beijello Bapak Hermanus Bulu Manu, 45 tahun, petani).

O. Tuturan Lisan pada Tahap Saiso Sebelum Membuat Loteng Rumah

Nebahinna kapandege you ina, you ama

Nadukkiwe na’i labe a belleka, pari’i a kaladana

A kanga wolla limma, a bokka wolla wa’i

Ina a mawolo, ama a marawi

Adopola tou, a adiwe wekki

Takka nebahinna tekkida ana ullumu, tekkida ana murri mu

Koka baku botikowe wellibodolangge, baku babado welli bawa

Kapamenderadandi kapouta, katopo, kalaboda ata pennenanno

Duwolokagandi windararawiti, tunduraradeida

Lakkawa’ikunamme adirakapababa touna, aakitapaleira wekkina

Du kettekageole, du pagukawi pangngu

Danna muddake madda, danna lummuke lewa nanno

Noddo wabbona, toroge tunggana

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 385: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

(Sumber data di atas direkam dan ditranskripsikan oleh Yuliana Sesi Bitu

sebagai peneliti di Kampung Gollu Utta, Wewewa Barat, Sumba Barat Daya,

NTT, pada tanggal 28 Januari 2019. Data ini dituturkan oleh Rato Marapu

Kabizu Beijello Bapak Bernardus Ngongo Bulu , Umur 61 tahun, Petani)

P. Tuturan Lisan pada Tahap Saiso Menempati Rumah Besar

Natogola manairo bage, namawellita mawana bage

Kutapoma urra, katapoma loddo

Nebahinna kapande yemmi ina kaweda, ama kaweda.

Akatongapabeikage, akoropapalage

Neti aneena dita wee, powi api

Banebahinna napawe’e kaka, ingi kakaba

Nabo’uba kelerre, kakaraba ngaingo

Kadillitaba katonga, kakaraba kawedobawe

Kapandege nebahinna ne umamibalunggukumi, ne katangomibalunggukumi

Tadapadoudou-padoudoumi

Manu tadakowe rabemu, wawi dukkikuwi rabamu

Karambo tadakowe okamu, dara tadako gollumu

Pawasse padoumu, pamatto padoumu

(Sumber data ini direkam dan ditranskripsikan oleh Yuliana Sesi Bitu sebagai

peneliti di Kampung Gollu Utta, Wewewa Barat, Sumba Barat Daya, NTT,

pada tanggal 12 Februari 2019. Data ini dituturkan oleh Rato Marapu Kabizu

Beijello Bapak Hermanus Bulu Manu, 45 tahun, petani).

Q. Tuturan Lisan pada Tahap Saiso Saiso Perjanjian dengan Marapu

Nebahinna limmabage bamma wologe kira, bamma raige dadi

Nemme pittu dou, pittu wulla, pittu loddo, ga’inagu kaenga wou

hetti yamme kaina kanna tutuke bama kako paelleta tollu, kanna tutuke bama

elleta manu.

Newe wolama wekkima, pasassama touma

Banebahinnage bama kako hitti, hatti a neena omadana

A neena liri kedu, liri wawi bana kako hitti

Banna batuku ruta, banna dariku tana

Banna pennikowa manu, kamanuamapennikia

Banna tauku wawi, kawawiamataukia

Kanna dadige padadi, kanna timbuge patimbu

Badukkikogeu nemme bama dukkige kira pawolo, dadi paraimalage

Kadamma lebakage loge, kadamma toddukadi limmama

(Sumber data ini direkam dan ditranskripsikan oleh Yuliana Sesi Bitu sebagai

peneliti di Kampung Gollu Utta, Wewewa Barat, Sumba Barat Daya, NTT,

pada tanggal 28 Januari 2019. Data ini dituturkan oleh Rato Marapu Kabizu

Beijello Bapak Bernardus Ngongo Bulu , Umur 61 tahun, Petani)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 386: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

R. Tradisi Lisan pada Tahap Saiso Penepatan Janji Menempati Rumah

Besar

Nebahinna renge you ina kaweda, ama kaweda

Hinnane’e madukkibage heti kira paraima, dadi pawoloma

Ngarakuama newe wollamu karere, uwamu karobbo

Nebahinna, ne malelangge

Rengewu you newe, tatadapadouna alunggukugu hettiwaina

Nebahinna wa’ikuabana heti a wali liri kedu, liri wawi

Gola Mali Ege, Tako Mali Deta

Lappata nawa dita we’e, a poi api

Wa’ikuawabama, da’ibana lera eka bei, kedu eka ana

Banebahinna bamma mattubana mata, bamma tangabana wiwi

Madekebage kira, madukkibage ne dadi pawolo paraima

Ngaradukkama yamme newe aummage ne umma, akatongage ne katonga

Kapandege, hetti damma toddukidi limmama, damma lebakige logema

Manakabana manu, matewelabana yasa newe

Nebahinnawe banna kakarabadowe ngaingo, banna bo’ubadowe kalerre

balimakugulangge

Ne umamu, ne katongamu

Ne koropabeikamu, ne koropapalamu

na’i wawi a bolo, na’i karambo a ia terewi

Kanga’apangaa, we’epaenuwi

Kadaouwaige neumamu, aterewaige nekatongamu

(Sumber data ini direkam dan ditranskripsikan oleh Yuliana Sesi Bitu sebagai

peneliti di Kampung Gollu Utta, Wewewa Barat, Sumba Barat Daya, NTT,

pada tanggal 12 Februari 2019. Data ini dituturkan oleh Rato Marapu Kabizu

Beijello Bapak Hermanus Bulu Manu, 45 tahun, petani).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 387: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

RANGKUMAN HASIL WAWANCARA ETNOGRAFIS

PENELITIAN BERJUDUL:

“TRADISI LISAN DALAM UPACARA PADEDE UMA KALADA

SEBAGAI MANIFESTASI JATI DIRI MASYARAKAT KABIZU BEIJELLO:

KAJIAN EKOLINGUISTIK METAFORIS”

Oleh: Yuliana Sesi Bitu

Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Magister

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Sanata Dharma

Narasumber:

Tiga (3) orang tetua adat dan sekaligus merupakan informan kunci, 3 orang pejabat gereja, yakni 2 pastor dan 1 majelis

agama protestan, dan 1 orang guru.

Data ini merupakan rangkuman dari 3 kali wawancara tidak terstruktur yang berlangsung dari bulan Januari 2019 sampai

dengan bulan Februari 2019 di Wewewa, Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur.

1. Wawancara yang Berkaitan dengan Kearifan-Kearifan Lokal Masyarakat Kabizu Beijello

Kode: W/KKLMB/…

No. Pertanyaan Jawaban (Rangkuman) Kode

1. Apa yang dimaksud

dengan tradisi lisan Teda?

Tradisi lisan Teda merupakan tradisi lisan yang hanya dapat

digunakan dalam situasi-situasi resmi dan dalam ritus-ritus

keagamaan. Teda ini bukan merupakan bahasa kelakar dan

bahasa sehari-hari. Bahasa Teda mempunyai tingkatan yang

lebih tinggi dari bahasa sehari-hari. Bahasa Teda digunakan

untuk menyatakan tujuan-tujuan sosial tertentu, digunakan

W/KKLMB/1

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 388: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

dalam pertemuan-pertemuan resmi, pada saat memberikan

nasihat, dalam upacara perkawinan dalam ritual-ritual

keagamaan seperti Urrata, Saiso, Oka, Woleka, Dodo. Dalam

ritual-ritual keagamaan ini, hanya dapat menggunakan bahasa

Teda tidak bisa menggunakan bahasa sehari-hari. Misalnya,

pada saat Dodo natara dana (mengisahkan suatu peristiwa

dengan cara bernyanyi di halaman depan rumah), tidak dapat

menggunakan bahasa sehari-hari, harus menggunakan bahasa

Teda.

2. Mengapa dalam Teda

selalu menggunakan

bentuk-bentuk

berpasangan?

Dalam budaya Sumba semuanya dibawa dalam bentuk berpasangan

sehingga terbawa pula pada bentuk tuturan. Hal ini sudah menjadi

ekspresi budaya sejak dulu, sejak nenek moyang. Berpasangan itu

dianggap sebagai sesuatu yang luhur. Misalnya, rumah orang Sumba

kadu uma (tanduk rumah) berpasangan, pintu berpasangan, tiang

rumah ada tiang ina ama (tiang ibu dan tiang bapak), ada tiang

anamane, pawasse (tiang anak laki-laki dan tiang anak mantu). Dan

bahkan Tuhan disapa sebagai yang mempunyai pasangan. Meskipun

kita yakini bahwa Tuhan itu satu, tetapi dalam menyapa Tuhan, itu

selalu berpasangan. Misalnya, Ina mawolo, ama marawi (Ibu yang

membentuk, Bapak yang membuat), akaladana matana, abelleka

katilluna (Yang besar mataNya, Yang lebar telingaNya). Hal ini

karena Tuhan itu dipandang sebagai Yang Esa. Bentuk berpasangan

dalam tradisi lisan mengimplisitkan makna bahwa hidup ini harus

selalu berpasangan dan tidak boleh sendiri.

W/KKLMB/2

3. Mengapa pada saat

pengangkatan ikrar atau

sumpah adat selalu

dikahiri dengan pembagian

pamama (sirih pinang)?

Pembagian sirih pinang dalam musyawarah adat merupakan

tanda agar orang yang menerima sirih pinang memegang janji

dan keputusan bersama. Sirih dan pinang dalam hal ini

sebagai pengikat atau meterai yang mengikat keputusan

bersama yang telah ditetapkan. Apabila telah menyepakati

W/KKLMB/3

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 389: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

sebuah keputusan, selanjutnya adalah pembagian sirih pinang.

Sebagai meterai, sebagai pengikat agar tidak ada orang yang

melanggar keputusan bersama ini. Setelah bermusyawarah

dan sebagai tanda bermusyawarah adalah semua orang yang

hadir diberikan sirih pinang yang berarti bahwa jangan lagi

mengkhianati keputusan ini, jangan ada orang berkata lain,

bertindak lain selain keputusan ini. Apabila ada orang yang

menerima sirih pinang lalu kemudian hari berubah pikiran

orang tersebut akan mendapatkan resiko adat. Hal ini karena

pembagian sirih pinang saja merupakan salah satu tanda

terlibatnya Marapu. sehingga Marapu sudah melihat semua

yang menerima sirih pinang. Jadi ketika ada orang yang

melangggarnya, maka orang tersebut akan menanggung

sendiri akibatnya.

4. Mengapa dalam ritual

Urrata selalu

menggunakan beras dan

sirih pinang untuk

mengawali komunikasi

dengan Marapu?

Dalam ritual Urrata untuk memulai komunikasi dengan Marapu

biasanya menggunakan beras dan pamama. Pada saat membuangnya,

Ata Urrata membuangnya ke depan, belakang, kiri kanan. Setelah itu

baru menyampaikan apa yang perlu disampaikan. Hal ini karena di

dalam rumah ini ada begitu banyak roh dengan segala

kepentingannya. Marapu ada tingkatannya. Kadang-kadang mereka

bisa mengutuk sesuatu. Oleh karena itu, harus diberikan Tora Taguda.

Hal ini bertujuan agar mereka tidak membuat masalah. Sehingga apa

yang disampaikan boleh lurus sampai kepada Sang Khalik. Sehingga,

sirih pinang di sini sebagai tanda, yakni pertama, sebagai tanda untuk

membuka pembicaraan dengan orang hidup dan orang mati. Kedua,

dia menjadi sesuatu yang bisa diberikan yang bisa memberikan rasa

aman kepada mereka sehingga kemudian mereka tidak mengganggu

kehidupan kita. Sehingga, sirih pinang di sini merupakan makanan

W/KKLMB/4

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 390: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

untuk roh mereka. Beras dan sirih pinang ini merupakan makanan

untuk mereka. Pinang itu untuk membuka pembicaraan dengan

mereka. Padi itu untuk memberi makan kepada roh mereka. Sehingga,

penggunaan beras, sirih dan pinang ini berfungsi untuk membuka

pembicaraan dan sekaligus sebagai makanan untuk Marapu.

5. Pengetahuan lokal apakah

yang terkandung dalam

tuturan Nadukkiwe na‟i

labe a belleka, pari‟i a

kaladana?

Pada tuturan ini memberikan gambaran terkait masyarakat yang ber-

Tuhan. Labe ini merupakan mazbah Tuhan. Setiap warga Marapu

yang datang menyampaikan permohonan kepada Tuhan, biasanya

meletak pinang di Labe. Setelah itu baru mulai menyampaikan

permohonan kepada Tuhan. Labe ini merupakan tempat kedudukan

Tuhan sebagai Pencipta. Labe adalah mazbah Tuhan yang Maha

melihat semua yang dilakukan umatnya. Labe yang merupakan

mazbah Tuhan itu, dia lebih besar sendiri. Seluruh kehidupan kita itu

diselenggarakan oleh Tuhan dan semua pergumulan kehidupan kita

itu selalu kita bawa kepada Tuhan dengan meletakkan sirih pinang di

Labe.

W/KKLMB/5

6. Mengapa dalam ritual-

ritual adat masyarakat

Kabizu Beijello selalu

memberi sesajen kepada

Marapu?

Marapu itu harus dihormati. Walaupun Marapu itu tidak kelihatan,

tapi mereka mempunyai kekuatan-kekuatan ajaib yang dapat

memberikan kebahagiaan dan keselamatan kepada manusia. Hati

ayam dalam ritual adat merupakan makanan Marapu. Untuk menjaga

agar Marapu tidak tersinggung atau marah, maka Marapu harus diberi

makan. Dalam ritual-ritual adat Marapu yang harus diberi makan

duluan, tidak bisa kemudian. Marapu tidak boleh terlupakan. Bahkan

Rato Marapu, setelah memeriksa usus dan hati ayam, mereka akan

meminta agar agar hati ayam segera dibakar untuk memberi makan

kepada Marapu. Mereka takut apabila lupa memberi makan kepada

Marapu. Tora tagudawi olumu. Nyakanda bullakandi. Ba bullakundi,

bani bada. Danna manotoba hetti padengi. Wa‟i-wa‟i awabage

nemme ndamawenna (Ayam ini merupakan milik Marapu, bagian

W/KKLMB/6

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 391: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

Marapu. Oleh karena itu, kita harus memberikan kepada Marapu apa

yang menjadi bagian dan milik Marapu. Apabila kita lupa memberi

makan kepada Marapu, mereka akan marah. Tidak akan berhasil apa

yang menjadi harapan dan kerinduan kita. Akan ada-ada saja halangan

atau kekacauan yang terjadi yang menyebabkan apa yang dimohonkan

tidak akan tercapai).

7 Apa makna tuturan “Neti

dari tana (garuk tanah),

batu ruta (cabut

rumput)”?

Tuturan Neti dari tana, batu ruta merujuk pada anggota-anggota

Kabizu atau rumah dari masing-masing anggota Kabizu. Mereka

disebut dari tana, batu ruta (garuk tanah, cabut rumput) karena

mereka telah keluar dari rumah besar untuk berkebun dan memelihara

hewan-hewan ternak.

W/KKLMB/7

8. Mengapa rumah besar

dipandang sebagai „Ibu‟

dan „Bapak‟ (Marapu)?

Rumah besar itu dipandang sebagai Marapu, sebagai lambang

kehadiran Marapu. Rumah adat itu, bentuknya memang rumah tapi

karena di sana tempat tinggalnya roh-roh nenek moyang (Marapu),

maka rumah adat dipandang sebagai nenek moyang. Dipandang

sebagai ina, ama (Ibu, Bapak). Rumah adat itu dipandang sebagai

nenek moyang yang tinggal di sana. Nenek moyang yang merupakan

kunci kehidupan masyarakat Kabizu. Kehilangan rumah adat, sama

halnya dengan kehilangan Marapu, kehilangan pedoman hidup dan

jati diri Kabizu. Dengan tidak adanya Uma Kalada, Kabizu itu

menjadi tidak nampak dalam masyarakat. Menjadi Kabizu yang tidak

diperhitungkan atau yang kehilangan harga dirinya.

W/KKLMB/8

9. Mengapa gong dan tambur

dalam tuturan-tuturan pada

saat upacara-upacara adat

tidak disebut sebagai gong

dan tambur tetapi

dimetaforakan sebagai

„suara yang memanggil

gong dan tambur bukan hanya pengiring ritual adat Saiso melainkan

suara nenek moyang yang mengundang untuk menyatakan persatuan

dan dukungan. Rumah besar ini merupakan rumah Kabizu. Pada saat

membangunnya membutuhkan tenaga yang banyak dan biaya yang

besar. Sehingga, bunyi gong dan tambur dalam tuturan ini

menggambarkan nenek moyang yang meminta pertolongan dan

bantuan kepada anggota Kabizu.

W/KKLMB/9

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 392: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

dan mengundang‟?

10. Apa makna tuturan

kada‟ikana alera eka bei,

akedu eka ana?

Tuturan lisan kada‟ikana alera eka bei, akedu eka ana memiliki

makna persatuan dan kekompakan dalam melakukan suatu pekerjaan.

Ini pertanda bahwa tidak ada lagi yang berjalan sendiri-sendiri. Kerja

sama, rasa sepenanggungan dan solider merupakan ciri khas

masyarakat Kabizu beijello dan bahkan Sumba pada umumnya.

Ketika berbicara dalam konteks suku tidak bisa menonjolkan pribadi

atau kedirian. Untuk mencapai sebuah kesuksesan seluruh anggota

suku harus bekerja sama, dan harus selalu merasa senasib dan

sepenanggungan. Mereka selalu seia, sekata dan kompak dalam

membuat kesepakatan dan sama-sama siap untuk melaksakan

keputusan itu. Ini sudah jati diri yang telah dicontohkan oleh nenek

moyang sejak dulu

W/KKLMB/10

11. Hewan-hewan apakah

yang dapat digunakan

untuk memberikan

sesajen?

Kalau dalam ritual Urrata ayam yang digunakan untuk meramal itu

akan dibakar atau direbus hatinya untuk diberikan kepada Marapu.

Ata Urrata setelah Urrata akan memerintahkan untuk segera

membakar hati ayam untuk diberikan kepada Marapu. Sehingga

Marapu tidak marah dan terus memberikan pertolongan serta

dukungan. Kalau tidak walaupun doa dari hasil ramalan itu

dikabulkan, tetap saja nanti akan ada kendala, tidak akan berhasil.

W/KKLMB/11

12. Mengapa Rato Uma

Kalada Kabizu Beijello

selalu dimetaforakan

sebagai a poi api, a dita

wee (yang meniup api

yang mencedok air)?

Rato Uma Kalada adalah orang yang menjaga dan menempati Uma

Kalada (rumah besar), yakni rumah dari semua rumah yang berasal

dari satu Kabizu. Ia selalu disapa sebagai a poi api, a dita we‟e. A poi

api maksudnya adalah orang yang menduduki rumah besar, yang

menghidupkan api di rumah besar. Dalam hal ini, Rato Uma Kalada

harus mampu memberikan semangat, mampu mengayomi,

menggembleng dan bertanggung jawab. A dita we‟e memiliki makna

orang yang mampu memberikan kesejukan dan kedamaian bagi

anggota masyarakat Kabizunya. Selain itu, Rato Uma Kalada juga

W/KKLMB/12

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 393: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

selalu disapa sebagai ina, ama (ibu dan bapak). Hal ini karena dalam

hubungannya dengan kepercayaan Marapu Kabizu Beijello, Rato

Uma Kalada Kabizu Beijello adalah pemegang kekuasaan tertinggi.

Rato Uma Kalada dipilih oleh Marapu sebagai pemimpin karena ia

memiliki sikap jujur, bertanggung jawab, dan jauh dari sikap-sikap

yang sangat dibenci oleh Marapu, yakni kedu (mencuri), pamate ata

(membunuh), dala (berzina). Rato Uma Kalada dipercaya dapat

menjadi penyalur berkat dan sekaligus dapat mengutuk. Dalam

kaitannya dengan keberlangsungan hidup dan kepentingan Kabizu, ia

sangat ditakuti, dihargai dan dihormati

13. Apa fungsi tombak, parang

dan tameng bagi

masyarakat Kabizu

Beijello?

Tombak, parang dan tameng merupakan alat-alat perang nenek

moyang pada zaman dahulu. Ini merupakan I Uma (isi rumah atau

warisan nenek moyang). Semua benda-benda keramat yang dianggap

sebagai I Uma (isi rumah) biasanya tersimpan di loteng rumah yang

dianggap sebagai tempat yang sangat keramat dan hanya dikeluarkan

dalam ritual-ritual adat tertentu kecuali gong yang digantung di

balitonga (balai-balai adat). Benda-benda keramat ini tidak dapat

diperjualbelikan. Apabila ada yang menjualnya, orang yang menjual

tersebut bersama keturunannya diyakini akan mendapatkan

malapetaka, misalnya dalam keluarga tersebut ada yang gila,

meninggal secara tiba-tiba, meninggal karena kecelakaan, meninggal

secara berturut-turut dan sakit yang berkepanjangan

W/KKLMB/13

14. Apa makna tuturan

Hinnabawe balimmikumi,

nai manu bowakahinna?

Tuturan ini memberikan gambaran nyata, yakni dalam ritual Urrata

ada penyembelihan ayam dan bahkan babi. Ayam ini yang kemudian

diperiksa usus dan hatinya oleh Ata Urrata untuk meramalkan restu

dan persetujuan dari Marapu. Sementara itu, untuk babi hanya hatinya

saja yang diperiksa. Dalam pertemuan ini apabila terdapat anggota

keluarga yang secara diam-diam tidak mendukung atau menyetujui

keputusan bersama, maka usus ayam, hati ayam dan hati babi yang

W/KKLMB/14

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 394: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

diperiksa akan menunjukkan keanehan yang hanya dapat diramalkan

oleh Ata Urrata. Berdasarkan hasil ramalannya, Ata Urrata akan

menyampaikan kepada tetua adat untuk ditanyakan kepada semua

yang hadir terkait siapa yang tidak mendukung keputusan dan

menyelidiki penyebab orang tersebut tidak menyetujuinya. Setelah

semua menyatakan persatuan akan dilakukan ritual Urrata lagi

dengan tujuan untuk menyampaikan kepada Marapu bahwa semua

telah bersatu. Biasanya, apabila penyebab Marapu tidak menyetujui

keputusan tersebut telah ditemukan dan diselesaikan tanda dari usus,

hati ayam dan hati babi akan menunjukkan menerima, merestui dan

menyetujui.

15. Apa makna tuturan

Kadara pakalogama,

katena pamagawama

(Agar kami diberi

kebebasan dan

keleluasaan). Dappalaka

kama karingge, dappa

lodakama kalerre

(Janganlah menghalangi

kami)?

Tuturan ini merupakan tuturan permohonan izin kepada roh-roh yang

mendiami hutan tempat penebangan pohon dan pemotongan tali.

Sebelum pelaksanaan pemotongan tali dan penebangan kayu, para

Rato Marapu menggelar ritual untuk memohon perkenanan kepada

Marapu pemilik hutan. Agar dalam pencarian pohon dan tali, dengan

mudah mendapatkan pohon dan tali yang berkualitas bagus. Apabila

ritual ini tidak dilakukan, maka akan ada saja marabahaya yang

mengintai, misalnya tertimpah pohon, digigit ular, susah mendapatkan

pohon dan tali yang berkualitas.

W/KKLMB/15

16. Mengapa proses

mendirikan tiang tidak

dapat dilakukan secara

bersamaan?

Pada saat mendirikan tiang, tiang yang didirikan paling pertama

adalah pari‟i tenda (tiang bagian kaki) yang melambangkan kehadiran

seorang ibu. Hal ini merupakan bentuk penghormatan dan

penghargaan terhadap seorang ibu. Ibu bagi masyarakat Sumba

merupakan penyalur berkat. Ibu adalah penerus keturunan dalam

rumah itu. Oleh karena itu, Ibu harus selalu dihargai dan dihormati.

Bentuk penghargaan terhadap seorang Ibu adalah pada saat

mendirikan tiang utama, tiang yang pertama didirikan adalah tiang

W/KKLMB/14

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 395: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

yang melambangkan kehadiran seorang Ibu. Setelah itu, dilanjutkan

dengan mendirikan pari‟i toddu yang melambangkan kehadiran

seorang Bapak. Pari‟i ini juga disebut sebagai tiang agung, yakni

lambang kehadiran Tuhan sebagai Pencipta yang selalu disembah dan

dipuja. Bagi masyarakat yang menganut kepercayaan Marapu, tugas

utama seorang Bapak adalah melaksanakan ritus pemujaan dan

penyembahan kepada Tuhan melalui perantaraan Marapu. Oleh

karena itu, seorang Bapak sangat dihormati dan ditakuti karena

memiliki hubungan yang dekat dengan Marapu. Setelah itu, tiang

ketiga yang didirikan adalah pari‟i tenda (tiang bagian kaki) yang

melambangkan kehadiran anak mantu. Kemudian, tiang yang terakhir

didirikan adalah pari‟i toddu yang melambangkan kehadiran anak

laki-laki.

2. Wawancara Berkaitan dengan Nilai-Nilai Kearifan Lokal Masyarakat Kabizu Beijello

Kode: W/NKLMKB/…

No. Pertanyaan Jawaban (Rangkuman) Kode

1. Nilai apakah yang

terkandung dalam

peristiwa pembagian sirih

pinang pada saat

pengambilan ikrar atau

sumpah adat?

Dalam kepercayaan Marapu, setiap janji atau sumpah adat yang

telah diikat melalui peristiwa pembagian sirih pinang itu tidak boleh

dilanggar. Janji atau sumpah adat itu harus ditaati. Artinya di sini

ada nilai ketaatan terhadap sumpah adat itu. Sehingga, jika

dilanggar, maka menjadi petaka bagi orang tersebut. Hal ini karena

pembagian sirih pinang saja merupakan salah satu tanda terlibatnya

Marapu yang sudah melihat semua yang menerima sirih pinang.

Dalam hal dosa, salah satu dosa yang sangat dibenci oleh Marapu

adalah berbohong, bersaksi dusta dan tidak menepati janji adat.

W/NKLMKB/1

2. Mengapa segenap anggota

Kabizu dengan sendirinya

merasa terpanggil untuk

Masyarakat Sumba terutama masyarakat Marapu selalu

menunjukkan solidaritas. Dalam upacara pembangunan rumah adat

misalnya, mereka akan dengan sendirinya menyatakan dukungan

W/NKLMKB/2

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 396: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

menyatakan dukungan

dalam seluruh proses

pembangunan rumah

besar?

sebagai tanda solidaritas. Wujud solidaritas yang diberikan dapat

berupa tenaga maupun materi seperti uang, hewan, dan bahan

bangunan rumah. Orang yang jauh sekalipun dengan sendirinya

akan terpanggil untuk menyumbang. Ada yang menyumbang dalam

bentuk uang, ada juga yang menyumbang dalam bentuk material.

3 Nilai apakah yang

terkandung dalam tuturan

“Kada‟ikana a lera eka

bei, a kedu eka ana. Katta

pasamana ate, katta

pamerana wiwi”?

Tuturan tersebut mengiaskan nilai persatuan dalam melakukan suatu

pekerjaan. Agar tidak ada yang berjalan sendiri-sendiri, melainkan

satu hati dan satu suara dalam melaksanakan keputusan yang telah

disepakati bersama. Petuah ini selalu digunakan oleh orang tua,

orang bijak dan pemimpin pada saat memberikan amanat dan

nasihat terkait bersatu pada saat bekerja, bergotong royong untuk

mensukseskan suatu pekerjaan. Ini sudah jati diri yang telah

dicontohkan oleh nenek moyang sejak dulu. Bersatu dalam hal ini,

bukan hanya dalam hal bekerja sama pada saat membangun rumah,

melainkan juga bersatu dalam hal melihat kebutuhan dan kekurang

dari rumah besar atau anggota kabizu itu untuk dapat diatasi dan

ditanggulangi secara bersama-sama.

W/NKLMKB/3

4. Nilai apakah yang

terkandung dalam tuturan

Yowa dona ata papawede,

allikapapatukami.

Papawede pidupata,

papalewa gidugoda?

Ungkapan ini mengandung nilai penghormatan kepada Rato yang

menduduki rumah besar. Bentuk penghormatan itu adalah dalam

upacara Oka rombongan yang membawa material dari hutan

menyebut diri mereka sebagai seorang anak atau sebagai seorang

adik. Itu dalam ungkapan, kendatipun dalam rombongan tersebut

ada yang lebih dewasa atau lebih tua, lebih pintar, lebih cerdas,

ketimbang Rato yang menduduki Uma Kabizu. Dia dituakan dan

dihormati karena kedudukannya sebagai pemimpin atau kepala

klan. Dialah yang menjaga rumah itu besar itu.

W/NKLMKB/4

5. Mengapa proses

pengambilan kayu dan tali

di hutan harus diawali

Semua yang ada dimuka bumi ini ada yang punya. Hutan, tanah,

kayu, tali dan segala macam benda yang ada di hutan itu

mempunyai pemilik dan pelindung. Mempunyai roh atau jiwa. Oleh

W/NKLMKB/5

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 397: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

dengan ritual permohonan

izin?

karena itu, sebelum dimengganggu, harus terlebih dahulu memohon

izin dengan cara mengucapkan mantra permohonan izin yang dapat

diucapkan oleh Ata Urrata atau Rato Marapu. Tidak semua orang

juga dapat mengucapkan mantra. Hanya orang-orang tertentu saja,

seperti Ata tau moro (dukun), Ata urrata, dan Rato Marapu. Kalau

ritual ini tidak dilakukan roh-roh gaib itu akan marah. Mereka akan

mencelakai manusia. Ini merupakan cara menjaga hubungan yang

baik dan harmonis dengan roh gaib. Perilaku seperti yang

dikehendaki oleh nenek moyang dan roh-roh yang ada di alam raya

ini.

6. Bagaimanakah

penghayatan nilai-nilai

kerja sama dalam

kehidupan sosial

masyarakat Kabizu

Beijello?

Masyarakat Sumba terutama masyarakat Marapu dalam berbagai

hal selalu menunjukkan kebersatuan, solidaritas, kerjsa sama dan

gotong royong. Dalam upacara pembangunan rumah adat misalnya,

mereka akan dengan sendirinya menyatakan dukungan sebagai

tanda kebersatuan mereka. Dukungan yang mereka berikan bisa

dalam berbagai bentuk, baik berupa tenaga maupun materi. Orang

yang jauh sekalipun dengan sendirinya akan terpanggil untuk

menyumbang. Ada yang menyumbang dalam bentuk uang, ada juga

yang menyumbang dalam bentuk material. Satu hal yang diyakini

oleh masyarakat Sumba Marapu, yakni dengan ikut ambil bagian

dalam pembangunan rumah besar, mereka akan mendapatkan berkat

dari nenek moyang. Masyarakat Sumba Marapu meyakini bahwa

setiap sumbangan dan dukungan yang mereka berikan dililihat dan

diperhitungkan oleh Marapu.

W/KLMKB/6

7. Nilai-nilai apakah yang

terkandung dalam syair

Tadapadoudou-

padoudoumu. Manu

tadakowe reddetamu, wawi

Tuturan Tadapadoudou-padoudoumu (tandalah tempat kalian

masing-masing) sesungguhnya terkandung nilai filosofi agar setiap

anggota warga rumah dan warga Kabizu mengetahui dan

berperilaku hidup sesuai dengan peran dan kedudukannya masing-

masing. Sementara itu, pada tuturan Manu tadakowe rabemu, wawi

W/NKLMKB/7

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 398: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

dukkikuwi rabamu.

Karambo tadakowe okamu,

dara tadako gollumu

Pawasse padoumu,

pamatto padoumu?

dukkikuwi rabamu (ayam tandalah tempat bertenggermu, babi

tandalah tempat makanmu) dan tuturan Karambo tadakowe okamu,

dara tadako gollumu (kerbau, kuda tandalah kandangmu) selain

memberikan gambaran terkait masyarakat Sumba sebagai

masyarakat agraris, lebih dari itu terkandung nilai filosofi, yakni

agar setiap anggota warga rumah maupun warga Kabizu tahu

identitas dan jati diri mereka. Mereka harus tahu siapa diri mereka.

Apandepu genyawi rabada, genyage gollu (mereka harus tahu

dimana rumah mereka, dari Kabizu mana mereka berasal). Orang

Sumba jika tidak mengetahui Kabizunya, jika tidak mengetahui

kedudukannya, ata adappa nangabanawi, ata lenanawi (dia adalah

orang yang tidak jelas arah dan tujuan hidupnya).

8. Mengapa harus

mengadakan upacara

syukur sebelum

membongkar rumah besar?

Dalam hidup kita jangan lupa bersyukur dan berterimakasih.

Perilaku bersyukur dan berterimakasih ini merupakan perilaku

hidup nenek moyang sejak awal mula. Apabila kita tidak bersyukur

dan berterimakasih, nenek moyang akan marah kepada kita. Seiring

dengan itu pula, apapun yang kita kerjakan tidak akan berhasil. Kita

tidak akan memperoleh keberkatan dalam hidup. Oleh karena itu,

kita harus menjaga hubungan yang harmonis dengan nenek moyang,

dengan sesama dan alam raya.

W/NKLMKB/8

9. Nilai apakah yang

terkandung dalam tuturan

“Pamalangiwa inna,

paosawa ama”?

Ungkapan ini mengandung nilai ucapan syukur dan terima kasih.

Dalam hidup kita jangan lupa bersyukur dan berterimakasih

Pamalangiwa inna, paosawa ama. Ucapan bersyukur dan

berterimakasih ini merupakan nilai yang diwarisi oleh leluhur sejak

awal mula. Apabila kita tidak bersyukur dan berterimakasih, nenek

moyang akan marah kepada kita. Seiring dengan itu pula, apapun

yang kita kerjakan tidak akan berhasil. Kita tidak akan memperoleh

keberkatan dalam hidup. Oleh karena itu, kita harus menjaga

hubungan yang harmonis dengan leluhur, dengan sesama dan alam

W/NKLMKB/9

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 399: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

raya.

10. Nilai apakah yang

terkandung dalam budaya

saling memberikan sirih

pinang bagi masyarakat

Sumba?

Sirih pinang bagi masyarakat Sumba adalah alat komunikasi. Di

tempat lain, ketika masuk ke rumah orang kita mengucapkan salam.

Dalam budaya Sumba, ucapan salamnya tidak ada. Tidak ada

selamat pagi, selamat siang, selamat malam. Sebagai tanda ucapan

salam kita selalu menemukan orang mengatakan yapa kalekumu

(Berikanlah saya tempat sirih pinangmu). Dalam hal ini, sirih

pinang ini merupakan simbol atau alat yang mengawali atau

membuka komunikasi bagi masyarakat Sumba. Selain itu, sirih

pinang juga sebagai tanda ketulusan dan keterbukaan hati kita

menerima orang lain, misalnya jika kita memberikan kaleku kepada

seseorang, itu karena hati kita terbuka dan tulus berbicara dengan

orang tersebut. Kita tidak akan perna bisa memberikan kaleku pada

orang yang sedang kita musuhi. Tanda kita berdamai dengan

seseorang adalah kita harus memberikan kaleku, kemudian diikuti

tuturan atekakagu hinnako na kalekugu yang bermakna sebagai

tanda hati saya yang putih, suci dan tulus, maka terimalah kaleku

ini. Sirih pinang sebagai tanda ketulusan (ate kakago). Sebagai

tanda perdamaian kita memberikan kaleku yang kemudian diikuti

dengan menyuguhkan we‟e muttu (kopi, teh). Walaupun sudah

disuguhi we‟e muttu, atau dijamu dengan makanan, akan tetapi

apabila belum diberikan kaleku masyarakat Sumba tetap menilai

bahwa masih ada yang kurang, masih merasa bahwa belumdihargai.

Oleh karena itu, sirih pinang dalam kehidupan sosial budaya

masyarakat Sumba sangat kaya makna, yakni sebagai simbol

komunikasi, simbol perdamaian, simbol ketulusan dan simbol

persaudaraan

W/NKLMKB/10

11 Mengapa ritual Todi

Kadawu itu harus

Dalam dinamika spiritual Marapu, setiap rencana yang telah

diniatkan bersama-sama dengan Marapu baik melalui ritus Urrata

W/NKLMKB/11

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 400: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

dilakukan? maupun Saiso, apabila mencapai keberhasilan harus dibuatkan

upacara pengucapan syukur. Apabila upacara pengucapan syukur

itu tidak dilakukan, Marapu akan murka dan menyebabkan manusia

akan mendapatkan malapetaka. Oleh karena itu, masyarakat

Marapu harus menjaga harmonisasi dengan Marapu dengan cara

harus melakukan ritual pengucapan syukur. Misalnya, setelah

berhasil menebang pohon dan memotong tali masyarakat harus

membuat ritual Todi Kadawu sebagai tanda syukur dan terimakasih

kepada Marapu.

12. Dosa-dosa apakah yang

paling tidak disukai

Marapu?

Dalam hal dosa dan kesalahan terdapat beberapa dosa yang paling

dibenci oleh Marapu, yakni Dala (berzina), kedu (mencuri), pamate

ata (membunuh), dan boto (berbohong, bersaksi dusta, dan tidak

menepati janji). Dosa-dosa inilah yang mencemari suku sehingga

kedua hal ini sangat dibenci oleh marapu. Untuk mendapatkan

pengampunan dari Marapu maka harus dibuatkan upacara

pemulihan kanna madiina kenga da kara (agar dia menduduki paha

yang tidak berkoreng), kanna kajatuna susu dakilla (agar dia

menyusu dari susu yang tidak beracun). Yang memiliki makna agar

orang tersebut kembali ke pangkuan Marapu dan Tuhan Yang Maha

penyayang dan Pengasih. Tuturan ini mengandung nilai pertobatan.

Agar tersebut kembali kepada Ibu dan Ayahnya dan diapun

diberkati. Dengan penyesalan atas dosa melalui upacara rekonsiliasi

orang akan mendapatkan balasan yang besar dari Tuhan. Pemulihan

untuk orang yang berbuat dosa yang sangat dibenci oleh Marapu

dilakukan melalui dua tahap, yakni pertama, terlebih dahulu

melakukan pemulihan dengan Marapu, kemudian pemulihan

dengan sesama manusia di dalam rumah. Kalau dosa Dala upacara

pemulihannya, yakni tunnu kareka, tawwe kabota. Setelah itu,

dengan menggunakan anjing yang akan dibuang di kali untuk

W/NKLMKB/12

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 401: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

membuang semua salah dan dosa yang telah mencemari nama baik

Kabizu. Lalu kemudian meminyaki orang yang berbuat dosa

tersebut dengan menggunakan kelapa untuk pembersihan kembali.

Dala yang dimaksud di sini ada tingkatannya. Yang paling berat

adalah Dala dalam hubungan sedarah atau satu Kabizu. itu paling

berat hukumannya. Kalau dalam bahasa sehari-harinya Marapu

sangat tidak menyukai selingkuh. Lebih baik orang tersebut kawin

dengan 12 istri daripada selingkuh. Ketika sudah membelis seorang

perempuan, menurut Maarapu perkawinan itu sah, perkawinan itu

suci. Dibandingkan sembunyi-sembuyi atau selingkuh. Jadi, lebih

bermartabat jika memiliki lebih dari satu istri dengan jalur yang sah

daripada Dala. Menurut Marapu, orang yang melakukan Dala

adalah orang yang tidak mempunyai harga diri.

13. Mengapa masyarakat

Kabizu Beijello menyebut

Tuhan dengan ungkapan

Dappa Tekki Ngara,

Dappa Summa Tamo (yang

tidak dinyatakan gelar-

Nya, yang tidak diketahui

wujud-Nya)?

Masyarakat Kabizu Beijello menyebut Tuhan dengan ungkapan

demikian karena namaNya sangat keramat dan sakral. Oleh karena

itu, namaNya tidak dapat disebutkan secara sembarangan. Ini

merupakan bentuk penghormatan dan ketakwaan terhadap ke-

Allahan dan ke-Ilahian Tuhan sebagai Pencipta dan Penguasa

seluruh alam jagad raya beserta isinya. Untuk menghormati

Keluhuran dan Kemuliaan Tuhan sebagai Yang Agung, Ilahi dan

Esa, masyarakat selalu menyebut nama Tuhan secara berpasangan,

misalnya Ina Mawolo, Ama Marawi (Ibu Yang Mencipta, Bapak

Yang menjadikan).

W/NKLMKB/13

14. Nilai filosofis apakah yang

terkandung dalam tuturan

labe a belleka, pari‟i a

kaladana?

Dalam tuturan labe a belleka, pari‟i a kaladana terkandung nilai

filosofis, yakni masyarakat yang religius. Masyarakat yang ber-

Tuhan. Labe ini merupakan mazbah Tuhan. Setiap warga Marapu

yang datang menyampaikan permohonan kepada Tuhan, biasanya

meletak pinang di Labe. Setelah itu baru mulai menyampaikan

permohonan kepada Tuhan. Labe ini merupakan tempat kedudukan

W/NKLMKB/14

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 402: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

Tuhan sebagai Pencipta. Labe adalah mazbah Tuhan yang Maha

Melihat semua yang dilakukan umatnya. Labe yang merupakan

mazbah Tuhan itu, dia lebih besar sendiri. Ini menandakan bahwa

masyarakat Sumba itu sebagai masyarakat yang religius dan orang

Sumba percaya bahwa Tuhan itu ada. Seluruh kehidupan kita itu

diselenggarakan oleh Tuhan dan semua pergumulan kehidupan kita

itu selalu kita bawa kepada Tuhan dengan meletakkan sirih pinang

di Labe. Dan sekali waktu kita akan kembali kepada Tuhan. Dialah

tempat kita bersandar, tempat kita berserah. Jadi tujuan hidup

terakhir kita adalah Tuhan sementara itu Marapu hanya sebagai

perantara yang menghubungkan manusia dengan Yang Ilahi

15. Mengapa dalam ritual-

ritual adat masyarakat

Kabizu Beijello selalu

memberi sesajen kepada

Marapu?

Marapu itu harus dihormati. Walaupun Marapu itu tidak kelihatan,

tapi mereka mempunyai kekuatan-kekuatan ajaib yang dapat

memberikan kebahagiaan dan keselamatan kepada manusia. Bentuk

penghargaan dan penghormatan kepada Marapu adalah memberi

mereka makan. Dalam hal ini, ayam dalam ritual adat merupakan

makanan mereka. Untuk menjaga agar mereka tidak tersinggung

atau marah, mereka harus diberi makan. Ini merupakan cara

menjaga hubungan yang harmonis dan akrab antara manusia dengan

Marapu. Sehingga, dalam ritual-ritual adat Marapu yang harus

diberi makan duluan, tidak bisa kemudian. Marapu tidak boleh

terlupakan. Bahkan Rato Marapu, setelah memeriksa usus dan hati

ayam, mereka akan meminta agar agar hati ayam segera segera

dibakar untuk memberi makan kepada Marapu. Mereka takut

apabila lupa memberi makan kepada Marapu. Tora tagudawi

olumu. Nyakanda bullakandi. Ba bullakundi, bani bada. Danna

manotoba hetti padengi. Wa‟i-wa‟i awabage nemme ndamawenna

(Ayam ini merupakan milik Marapu, bagian Marapu. Oleh karena

itu, kita harus memberikan kepada Marapu apa yang menjadi

W/KLMKB/15

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 403: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

bagian dan milik Marapu. Apabila kita lupa memberi makan kepada

Marapu, mereka akan marah. Tidak akan berhasil apa yang menjadi

harapan dan kerinduan kita. Akan ada-ada saja halangan atau

kekacauan yang terjadi yang menyebabkan apa yang dimohonkan

tidak akan tercapai).

3. Wawancara Berkaitan dengan Jati Diri Masyarakat Kabizu Beijello

Kode: W/JDMKB/…

No. Pertanyaan Jawaban (Rangkuman) Kode

1. Mengapa seluruh anggota

Kabizu dilibatkan dalam

seluruh proses

pembangunan rumah

besar?

Uma Kalada (rumah besar) bukanlah merupakan rumah satu orang.

Akan tetapi, rumah ini merupakan rumah banyak orang, uma kabizuwe

(ini merupakan rumah klan). Jadi, semua anggota Kabizu dilibatkan

dalam musyawarah. Peiwe pata pakeddewe, pirrabapakeddewe,

gagarra bertanggung jawab, babapakeddewe, batauge tolakana,

batauge ngaingo gagarra patekki (bagaimana cara membangun, kapan

proses membangun dilakukan, siapa-siapa yang harus bertanggung

jawab dan pada saat pendirian tiang, pemuatan bubungan rumah dan

pengatapan siapa-siapa yang harus diundang). Ini semua harus

dibicarakan. Musyawarah pertama-tama dilakukan antar tetua adat,

lalu tetua-tetua adat dengan anggota Kabizu yang dilakukan di rumah

kecil, dan musyawarah terakhir di rumah besar. Hasil keputusan dari

masing-masing keluarga besar rumah kecil akan disimpulkan pada

saat musyawarah di rumah besar. Proses pembangunan rumah besar

ini bukanlah merupakan hal yang mudah. Oleh karena itu, perlu

perundingan, perlu musyawarah sehingga tidak ada yang tersinggung

karena tidak dilibatkan. Apabila tidak dirunding atau

dimusyawarahkan, maka kakodou-kakodoubana ba (semuanya

berjalan sendiri-sendiri) yang akan berdampak pada proses

pembangunan rumah tidak berhasil.

W/JDMKB/1

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 404: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

2. Mengapa masyarakat

Kabizu Beijello selalu

menghormati Rato Uma

Kalada (pemimpin klan)?

Rato Uma Kalada adalah orang yang menjaga dan menempati Uma

Kalada (rumah besar), yakni rumah dari semua rumah yang berasal

dari satu Kabizu. Ia selalu disapa sebagai a poi api, a dita we‟e. A

poi api maksudnya adalah orang yang menduduki rumah besar,

yang menghidupkan api di rumah besar. Dalam hal ini, Rato Uma

Kalada harus mampu memberikan semangat, mampu mengayomi,

menggembleng dan bertanggung jawab. A dita we‟e memiliki

makna orang yang mampu memberikan kesejukan dan kedamaian

bagi anggota masyarakat Kabizunya. Selain itu, Rato Uma Kalada

juga selalu disapa sebagai ina, ama (ibu dan bapak). Hal ini karena

dalam hubungannya dengan kepercayaan Marapu Kabizu Beijello,

Rato Uma Kalada Kabizu Beijello adalah pemegang kekuasaan

tertinggi. Rato Uma Kalada dipilih oleh Marapu sebagai pemimpin

karena ia memiliki sikap jujur, bertanggung jawab, dan jauh dari

sikap-sikap yang sangat dibenci oleh Marapu, yakni kedu

(mencuri), pamate ata (membunuh), dala (berzina). Rato Uma

Kalada dipercaya dapat menjadi penyalur berkat dan sekaligus

dapat mengutuk. Dalam kaitannya dengan keberlangsungan hidup

dan kepentingan Kabizu, ia sangat ditakuti, dihargai dan dihormati.

W/JDMKB/2

3. Apakah beras dan sirih

pinang yang digunakan

dalam ritual Urrata harus

merupakan hasil usaha

sendiri dari orang yang

membuat ritual?

Beras dan sirih pinang yang digunakan dalam ritual Urrata harus

merupakan hasil kebun sendiri dari orang yang membuat ritual.

Masyarakat penganut Marapu mempunyai kebiasaan selalu

menyiapkan beras untuk ritual Urrata. Beras ini biasanya disimpan di

botol-botol yang telah dipersiapkan. Walaupun tidak ada bahan

makanan, beras yang telah dipersiapkan untuk ritual Urrata ini tidak

boleh diambil dan botol-botol penyimpanan beras tidak boleh kosong.

Hal ini bertujuan untuk berjaga-jaga apabila sewaktu-waktu akan

diadakan ritual Urrata.

W/JDMKB/3

4. Mengapa masyarakat Hutan, kayu, batu, gunung, lembah, sungai dalam keyakinan W/JDMKB/4

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 405: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

Kabizu Beijello harus

melaksanakan ritual Todi

Kadawu setelah selesai

mengambil material

bangunan?

masyarakat Marapu mempunyai jiwa, mempunyai roh, mempunyai

tuan yang diyakini sebagai Ina mori loda (Ibu pemilik hutan), Ama

mori pada (Bapak pemilik padang). Oleh karena itu, setalah

mengambil material bangunan seperti kayu dan tali harus diadakan

ritual todi kadawu (ritual penutupan hutan). Ritual ini, merupakan

ritual mengucapkan syukur dan terimakasih kepada pohon, kayu, tali,

batu dan pemilik hutan, pemilik padang. Perilaku ini merupakan

wujud penghormatan kepada roh-roh gaib yang telah menolong

sehingga pekerjaan yang dilakukan boleh berjalan lancar dan berhasil

yang dalam bahasa Wewewanya natogola manairo, namawellita

mawana. Ritual ini harus dilakukan, jika tidak dilakukan akan ada saja

kendala-kendala yang dialami. Dengan dilakukannya ritual ini, proses

membawa kayu itu sampai di kampung halaman dapat berjalan dengan

baik dan lancar.

5. Mengapa masyarakat

Kabizu Beijello tidak dapat

menyebutkan nama Tuhan

dan menyampaikan

permohonan secara

langsung kepada Tuhan?

Tuhan itu dipandang sebagai Yang sangat sakral, Mahasuci, dan luhur.

Dia sangat ditakuti dan disegani. Oleh karena itu, nama Tuhan tidak

dapat disebutkan secara sembarangan. Dan kitapun tidak boleh

menyampaikan permohonan secara langsung kepada Tuhan. Ini

merupakan bentuk penghormatan dan ketakwaan terhadap ke-Allahan

dan ke-Ilahian Tuhan sebagai Pencipta dan Penguasa seluruh alam

jagad raya beserta isinya.

W/JDMKB/5

6. Mengapa harus diadakan

upacara wukke kadawu

(membuka hutan/ upacara

permohonan izin) ketika

hendak memotong tali dan

menebang pohon di hutan?

Hutan, padang, rimba, kayu dan batu diyakini mempunyai jiwa atau

roh. Di hutan terdapat begitu banyak Marapu Tana (makhluk-makhluk

halus). Hutan merupakan tempat tinggal Marapu Tana. Mereka

diyakini sebagai penjaga dan pemilik hutan. Atas dasar ini, Marapu

Tana selalu disebut sebagai Ina mori loda, Ama mori pada (Ibu

pemilik hutan, Bapak pemilik rimba). Marapu Tana ini ada yang

bersifat baik dan ada juga yang jahat. Oleh karena itu, ketika hendak

mengambil ramuan untuk membangun rumah besar, kita harus

W/JDMKB/6

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 406: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

memohon izin kepada Marapu Tana yang telah menjaga dan sekaligus

menjadi pemilik hutan. Ini merupakan bentuk penghargaan kepada

mereka.

7. Apa fungsi ayam dan babi

dalam ritual Urrata?

Dalam ritual Urrata ada penyembelihan ayam dan bahkan babi. Ayam

ini yang kemudian diperiksa usus dan hatinya oleh Ata Urrata untuk

meramalkan restu dan persetujuan dari Marapu. Sementara itu, untuk

babi hanya hatinya saja yang diperiksa. Dalam pertemuan ini apabila

terdapat anggota keluarga yang secara diam-diam tidak mendukung

atau menyetujui keputusan bersama, maka usus ayam, hati ayam dan

hati babi yang diperiksa akan menunjukkan keanehan yang hanya

dapat diramalkan oleh Ata Urrata. Berdasarkan hasil ramalannya, Ata

Urrata akan menyampaikan kepada tetua adat untuk ditanyakan

kepada semua yang hadir terkait siapa yang tidak mendukung

keputusan dan menyelidiki penyebab orang tersebut tidak

menyetujuinya. Setelah semua menyatakan persatuan akan dilakukan

ritual Urrata lagi dengan tujuan untuk menyampaikan kepada Marapu

bahwa semua telah bersatu. Biasanya, apabila penyebab Marapu tidak

menyetujui keputusan tersebut telah ditemukan dan diselesaikan tanda

dari usus, hati ayam dan hati babi akan menunjukkan menerima,

merestui dan menyetujui.

W/JDMKB/7

8. Mengapa setiap keputusan

yang telah disepakati

selalu diakhiri dengan

ritual Urrata (ritual

memohon persetujuan

kepada Marapu)?

Masyarakat Sumba pada umumnya menganut kepercayaan animisme.

Oleh karena itu, dalam bermusyawarah tidak hanya melibatkan orang-

orang yang masih hidup, tetapi juga melibatkan mereka yang telah

meninggal. Dalam hal ini, nenek moyang dan anggota-anggota Kabizu

yang telah meninggal. Setiap tahap pembuatan rumah adat baru dapat

dilakukan apabila telah mendapat persetujuan dari Marapu. Apabila

belum mendapatkan persetujuan dari Marapu dan proses pembuatan

rumah ini dipaksakan untuk dilakukan, maka diyakini akan

mendatangkan malapetaka atau proses pembuatan rumah ini tidak

W/JDMKB/8

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 407: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

dapat berjalan lancar. Dan belum perna dilakukan pendirian rumah

tanpa ada persetujuan dari Marapu. Dalam alam pikir masyarakat

Sumba pada umumnya Marapu diyakini sebagai pengayom,

pelindung, penyelamat, penjaga. Sehingga, diyakini bahwa pelibatan

Marapu dalam setiap tahap musyawarah ini bertujuan agar setiap

tahap pembuatan rumah sampai pada tahap rumah di dihuni dapat

berjalan dengan lancar. Dalam musyawarah dengan Marapu ini yang

harus ditanyakan misalnya, appa pari‟i pawai, pari‟i bei atau pari‟i

wasu. Pirra madetada pari‟i. Pirragaiwe tolakana. Appapawai

ngaingo atau senge. (tiang apakah yang harus digunakan, apakah tiang

dari kayu atau besi. Berapa tinggi tiangnya, berapa tinggi bubungan

rumahnya. Dan apakah menggunakan alang atau seng). Semua ini

harus didiskusikan terlebih dahulu dengan Marapu yang walaupun

telah diputuskan oleh anggota klan yang masih hidup.

9. Apa makna tuturan

“Kadara pakalogama,

katena pamagawama

(Agar kami diberi

kebebasan dan

keleluasaan). Dappalaka

kama karingge, dappa

lodakama kalerre

(Janganlah menghalangi

kami)”?

Tuturan ini merupakan tuturan permohonan izin kepada roh-roh yang

mendiami hutan tempat penebangan pohon dan pemotongan tali.

Sebelum pelaksanaan pemotongan tali dan penebangan kayu, para

Rato Marapu menggelar ritual untuk memohon perkenanan kepada

Marapu pemilik hutan. Agar dalam pencarian pohon dan tali, dengan

mudah mendapatkan pohon dan tali yang berkualitas bagus. Apabila

ritual ini tidak dilakukan, maka akan ada saja marabahaya yang

mengintai, misalnya tertimpah pohon, digigit ular, susah mendapatkan

pohon dan tali yang berkualitas (W/JDMKB/18).

W/JDMKB/9

10. Apa fungsi sirih pinang

dalam konteks sosial

budaya masyarakat Kabizu

Beijello?

Sirih dan pinang dalam budaya masyarakat Sumba secara umum

merupakan tanda penghormatan, ketulusan dan keterbukaan hati

menerima orang lain atau tamu. Misalnya, jika kita memberikan

kaleku (tempat sirih pinang) kepada seseorang, itu karena hati kita

terbuka dan tulus berbicara dengan orang tersebut. Kita tidak akan

W/JDMKB/10

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 408: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

perna bisa memberikan kaleku pada orang yang sedang kita musuhi.

Walaupun sudah disuguhi we‟e muttu (kopi, teh) atau sudah dijamu

dengan makanan, tetapi apabila belum diberikan kaleku masyarakat

Sumba tetap menilai bahwa masih ada yang kurang, masih merasa

bahwa belum dihormati atau dihargai. Sementara itu, beras merupakan

makanan yang mempunyai nilai tinggi yang dapat diberikan kepada

tamu yang kita hargai dan hormati. Sebagai tanda penghormatan dan

penghargaan kepada tamu, kita menjamu tamu dengan menghidangkan

nasi yang berasal dari beras. Sama halnya ketika hendak berbicara

dengan Marapu. Sebelum berbicara dengan Marapu harus terlebih

dahulu menyebarkan beras, sirih dan pinang sebagai tanda kita benar-

benar menghormati, tulus dan terbuka berbicara dengan Marapu.

Dengan begitu doa-doa kita akan lurus sampai kepada Ina Mawolo,

Ama Marawi (Pencipta).

11. Apakah solider merupakan

jati diri masyarakat Kabizu

Beijello

Kerja sama, rasa sepenanggungan dan solider merupakan ciri khas

masyarakat Kabizu beijello dan bahkan Sumba pada umumnya. Untuk

mencapai sebuah kesuksesan seluruh anggota suku harus bekerja

sama, dan harus selalu merasa senasib dan sepenanggungan. Ketika

berbicara dalam konteks suku tidak bisa menonjolkan pribadi atau

kedirian. Masyarakat Sumba menjadikan kerja sama sebagai identitas

untuk mencapai kesuksesan bersama. Dalam suku tidak ada satupun

yang dapat dikerjakan sendiri, harus selalu dikerjakan secara bersama-

sama. Hal ini karena tidak sesuai dengan jati diri Marapu. Jadi,

meskipun misalnya, saya kaya dan saya bisa mengerjakan sendiri

tetapi dalam adatnya tidak bisa saya menyatakan bahwa saya sendiri

yang mengerjakannya. Harus tetap dikatakan bahwa dikerjakan secara

bersama terutama orang yang dituakan yang dihargai dalam keluarga.

Yang walaupun secara psikologi dia tidak mampu, tapi tetap dia yang

dituakan di situ. Jadi tidak bisa mengungkapkan kedirian. Itu harus

W/JDMKB/11

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 409: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

dilalui dengan kerja sama atau kebersamaan itu.

12. Pada saat-saat kapankah

musyawarah-musyawarah

itu dilakukan?

Dalam dinamika spiritualitas masyarakat Sumba pada umumnya

terdapat beberapa bentuk kerja sama, yakni pada saat upacara panen.

Ketika seseorang hendak panen diundanglah anggota keluarga Kabizu,

tetangga dan kenalan untuk membantu. Setelah selesai panen,

diadakan upacara Woleka (syukur) dengan memukul gong sebagai

pertanda untuk menyampaikan kepada Marapu bahwa upacara panen

telah selesai dan memberitahukan kepada Marapu bahwa ini tidak

dikerjakan sendiri, tetapi merupakan hasil kerja sama. Selain itu,

masih terdapat beberapa bentuk kerja sama yang lain, misalnya pada

saat membangun rumah, membantu meringan beban dari orang yang

mengalami musibah (rumah terbakar, keluarga yang sakit atau

meninggal), potong batu kubur, Tarik batu kubur. Ketika mendengar

ada keluarga yang meninggal, seluruh anggota keluarga dan bahkan

tetangga atau haudai tolan dengan sendirinya merasa terpanggil untuk

menunjukkan rasa belasungkawa mereka melalui sikap kekompakan

dalam memperbaiki rumah dari orang yang meninggal, membangun

tenda dan menggali kubur. Orang-orang yang turut ambil bagian

dalam berbagai kegiatan ini tidak diundang. Mereka dengan

sendirinya merasa terpanggil untuk meringankan beban dari keluarga

yang meninggal. Selain membantu dalam berbagai kegiatan, keluarga

atau handai tolan yang datang juga membawa kain, sarung, beras,

kopi, gula, sirih, pinang dan bahkan ada yang membawa babi dan

kerbau. Ini merupakan bentuk solidaritas, merasa senasib,

sepenanggungan.

W/JDMKB/12

13. Apakah masyarakat Kabizu

Beijello dapat disebut

sebagai masyarakat

agraris?

Masyarakat Sumba pada umumnya adalah masyarakat agraris. Orang

Sumba dalam konteks adat itu, mereka harus bekerja kebun dan

berternak. Pagi sampai siang mereka bekerja kebun. Pada saat istirahat

makan siang mereka tidak tidur siang, melainkan mereka melakukan

W/JDMKB/13

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 410: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

pekerjaan-pekerjaan kreatif seperti mengayam, menenun, memintal

tali, membuat sendok, membuat parang, cangkul, pacul, pisau. Pada

sore hari mereka pergi lagi ke kebun. Pada saat pulang dari kebun

mereka membawa makanan babi, kuda, kerbau, dan sebagainya.

Orang Sumba mempunyai filosofi hidup bahwa jika tidak bekerja,

maka tidak ada orang yang dapat memberikan kita makan. Harus

bekerja baru bisa makan. Melalui bekerja kebun, memelihara ayam,

babi, kuda, kerbau orang bisa bertahan hidup. Melalui bekerja orang

dapat mengurus kehidupannya sendiri, dapat dipakai untuk membantu

atau menolong orang lain yang membutuhkan dan juga dapat

menghasilkan sesuatu yang dapat dipersembahkan kepada yang Ilahi

14 Apakah musyawarah

merupakan jati diri

masyarakat Kabizu

Beijello?

Musyawarah merupakan warisan leluhur sejak awal mula yang terus

dihidupkan oleh masyarakat kabizunya. Dalam hal ini bukan saja

Kabizu Beijello yang menjadikan musyawarah sebagai jati diri

mereka. Akan tetapi, semua kabizu di Sumba sudah menjalankan ini

sejak nenek moyang mereka masing-masing. Ini sudah menjadi

perilaku hidup nenek moyang yang diwariskan kepada generasi

sekarang ini. Musyawarah ini dilakukan dengan tujuan untuk menjaga

keseimbangan dan keharmonisan. Agar tidak ada ketersinggungan

antara satu dengan yang lainnya. Agar tidak ada yang merasa diri

sudah tidak berarti pada komunitas itu, pada kelompok, pada

persaudaraan dan kekeluargaan itu. Sehingga, apapun yang dicita-

citakan atau diidam-idamkan dapat berhasil. Musyarawah dalam hal

ini misalnya, musyawarah dalam hal pembuatan rumah adat, membuat

batu kubur, gali tulang, upacara Woleka (syukur), perkawinan,

kematian, anak sekolah dan masih banyak lagi lainnya.

W/JDMKB/14

15 Bagaimanakah cara

menjaga harmonisasi

dengan pemimpin klan?

Cara menjaga harmonisasi dengan pemimpin klan adalah menaati dan

menjalankan perintahnya. Pemimpin klan adalah orang yang memiliki

hubungan yang dekat dengan Marapu. Doa dan permohonannya

W/JDMKB/15

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 411: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

didengarkan oleh Marapu. Apabila dalam permohonan itu, pemimpin

klan memohon petaka bagi orang yang tidak menaati perintah

pemimpin klan, maka petaka itu akan terjadi. Orang yang tidak

mengindahkan perintah pemimpin klan tidak akan perna mendapatkan

keselamatan dan keberkatan dalam hidup. Oleh karena itu, agar selalu

mendapatkan berkat dan keselamatan maka harus menjaga

harmonisasi dengan pemimpin klan dengan cara menaati dan

melaksanakan perintahnya.

4. Wawancara Berkaitan dengan Strategi Preservasi Tradisi Lisan Masyarakat Kabizu Beijello

Kode: W/SPTLMKB/…

No. Pertanyaan Jawaban (Rangkuman) Kode

1. Bagaimana proses

pewarisan tradisi lisan

masyarakat Kabizu

Beijello?

Dapat melalui proses alamiah. Proses secara alamiah itu maksudnya

bahwa tradisi lisan itu merupakan karunia secara langsung atau

diturunkan dan diilhamkan secara langsung oleh Marapu kepada

seseorang yang dipilih oleh Marapu. Proses pewarisan itu biasanya

melalui peristiwa-peristiwa tertentu. Misalnya, melalui mimpi, sakit

atau pingsan. Pada saat sakit dan pingsan itulah orang tersebut akan

mendapatkan karunia dan ilham dari Marapu sehingga ketika sadar

orang itu sudah fasih menuturkan tradisi lisan Teda. Meskipun,

orang yang tadinya tidak bisa berbicara di depan umum atau tidak

mempunyai kemampuan berbicara, tapi ketika mendapatkan karunia

itu menjadi orang yang sangat berani dan mempunyai kemampuan

berbicara dan tampil untuk membawakan ritual-ritual adat. Artinya

bahwa itu tanpa perbuatan manusia tapi itu merupakan karunia dari

leluhur. Dalam satu klan selalu ada yang menjadi pewaris tradisi

lisan Teda tanpa harus dididik, tanpa dilatih, tanpa diajar orang ini

akan dengan sendirinya menguasai teda.

W/SPTLMKB/1

2. Apakah keterlibatan dan Secara alamiah juga bisa dari orang tua (imam Marapu) itu kepada W/SPTLMKB/2

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 412: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

ikut aktif dalam

menuturkan tradisi lisan

Teda pada berbagai ritual

adat dapat membuat

seseorang menguasai

Teda?

anaknya atau imam Marapu itu kepada salah satu orang dalam

kabizu itu. Tidak mungkin talenta itu diberikan kepada Kabizu lain.

Kabizu lain itu juga mempunyai kedudukan sendiri. mempunyai

marapu (nenek moyang) sendiri. Dalam Kabizu ada Rato. Rato itu

melihat bahwa anaknya atau anggota Kabizu itu mampu, lalu

anaknya diajar secara terus menerus atau dibawa dan diminta untuk

terlibat dalam ritual-ritual Urrata, Saiso, Dodo dan Oka. Selain itu,

bisa juga karena ada niat dalam diri seseorang untuk bisa

menguasai Teda. Orang itu akan sering terlibat dalam pembicaraan-

pembicaraan adat. Misalnya, dekuna tauna li‟i bawai‟ikoge Saiso,

Dodo, monno Oka (ikut menjadi penanya pada ritual-ritual Saiso,

Dodo, dan Oka). Dengan secara terus menerus orang tersebut

terlibat dalam pembicaraan adat, maka orang itu akan menguasai

bahasa-bahasa Teda.

3. Bagaimanakah peran

Lembaga agama dalam

melestarikan tradisi lisan?

Kalau dalam bidang keagamaan itu, kita di gereja katolik ada yang

namanya inkulturasi, enkulturasi dimana kita memasukkan unsur-

unsur budaya setempat dalam kehidupan keagamaan sehingga

keagamaan kita menjadi sesuatu yang relevan dengan kehidupan

sosial budaya itu. Penghayatan iman kita, tidak menjadi sesuatu

yang asing, datangnya dari luar tetapi dia menjadi sesuatu yang

cocok dengan penghayatan iman dalam kebudayaan. Inkulturasi,

yakni mewajibkan dalam gereja itu untuk menggunakan bahasa ibu,

menggunakan bahasa Teda supaya orang bisa mengerti dengan apa

yang diuraikan. Selain itu, lagu-lagu rohani yang dibawakan pada

saat perayaan-perayaan ekaristi menggunakan bahasa Teda.

Contohnya lagu pareku mori dan tarian-tarian itu perlu dimasukkan

sebagai inkulturasi, lagu-lagu daerah itu perlu dinyanyikan karena

itu mempunyai nilai. Karena dengan menggunakan tradisi lisan

dalam lagu-lagu ini dapat mengangkat hati orang, dapat menggugah

W/SPTLMKB/3

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 413: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

hati orang. Dan juga tarian-tarian seperti Saiso, Oka, Dodo di

gereja juga diperkenankan. Lembaga Gereja itu sudah lama sekali

mencoba melestarikan tradisi lisan. Misalnya dulu itu terbitnya

buku amama zamme, itu melalui lokakarya yang dibuat resmi oleh

lembaga Gereja. Bahasa-bahasa dalam Amamasamme itu

merupakan bahasa-bahasa Teda. Kalau kita mendengar doa-doanya,

lagu-lagunya. Lagu Bapa Kami itu menggunkan bahasa Teda. Syair

dalam doa bapa kami itu merupakan bahasa Teda. Kemudian dalam

liturgi Katolik sering kali dalam lagu-lagu dalam tarian-tarian

persembahan yang diiringi dengan lagu itu menggunakan bahasa

teda.

4. Bagaimanakah keberadaan

tradisi lisan Teda pada era

globalisasi ini?

Saya sangat dilematis dengan realitas sekarang. Sebagai seorang

tokoh budaya, tokoh adat, tokoh pemerhati kelestarian budaya

Sumba secara umum dan Wewewa secara khusus saya sangat

menyesal. Mengapa saya menyesal karena pada saat ini tradisi lisan

ini berada di ambang kepunahan. Tradisi lisan Teda pada saat ini

hanya dikuasai oleh penutur-penutur tua. Sedangkan, yang

memiliki umur di bawah saya apalagi yang temasuk anak-anaknya

saya, saya sangat menyesal, saya sangat kecewa karena apa mereka

macam menjadi orang asing di negerinya sendiri. Orang asing yang

belajar di orang Sumba, lebih hebat, lebih pintar berbahasa Teda,

bersyair, berpantun, berseloka adat Wewewa ketimbang orang kita

sendiri. Anak-anak muda sekarang cenderung mainannya yang

berkaitan dengan teknologi seperti bermain hp, facebook, game

online, WA.

W/SPTLMKB/4

5. Bagaimanakah peran

lembaga Pendidikan dalam

melestarikan tradisi lisan

Teda?

Harus diangkat melalui pendidikan. Sebetulnya peluang untuk

diangkat melalui pendidikan ini sangat besar. Katakanlah kalau

melalui pendidikan formal, muatan-muatan lokal bisa mengangkat

unsur-unsur ini. Itu untuk sekolah dasar sampai sekolah menengah.

W/SPTLMKB/5

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 414: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

Di perguruan tinggi, sangat bisa diangkat menjadi satu mata kuliah.

Dan ini bisa diangkat menjadi salah satu kearifan lokal yang

menjadi ciri khas program studi.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 415: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

1

NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL DALAM TRADISI LISAN TEDA:

KAJIAN EKOLINGUISTIK METAFORIS

Yuliana Sesi Bitu1, R. Kunjana Rahardi

2, Pranowo

3

Program Studi Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Surel: [email protected];

[email protected];

[email protected]

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan nilai-nilai kearifan lokal yang

termanifestasikan dalam tradisi lisan Teda pada upacara Padede Uma Kalada.

Penelitian ini dikaji dengan menggunakan perspektif ekolinguistik metaforis,

yakni ilmu yang mengkaji hubungan tali-temali bahasa dengan strata sosial,

status sosial, kebudayaan, etnisitas laras, dan sejenisnya (Rahardi, 2016).

Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah metode wawancara

dan observasi. Metode ini diterapkan melalui teknik rekam dan teknik catat.

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan ditemukan 5 nilai yang selalu dihidupi

oleh masyarakat Kabiz Beijello yang meliputi nilai ketaatan, religius,

persatuan, rekonsiliasi dan syukur.

Kata Kunci: Ekolinguistik metaforis, tradisi lisan Teda, dan nilai kearifan

lokal.

Abstract

This research is designed to describe the values of the the local wisdom that

manifested in the oral tradition of Teda and Padede Uma Kalada Ceremony.

This research was examined using a metaphorical ecolinguistic perspective:

study about relationship between language with social status, culture, larvae

(Rahardi, 2016). All data are collected by using interview method. This method

is applied through the record and written technique. Based on the results of the

study found 5 values that are always lived by Kabizu Beijello community

which includes the values of obedience, religious, unity, reconciliation and

gratitude.

Keywords: Metaphorical ecolinguistics, oral tradition of Teda, and the value of

local wisdom.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 416: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

2

A. Pendahuluan

Pada era globalisasi ini terdapat fenomena bahwa tradisi lisan semakin

ditinggalkan oleh masyarakat penerusnya (generasi muda). Kondisi ini apabila tidak

disikapi dengan bijak, maka niscaya kepunahan tradisi lisan hanyalah soal waktu.

Situasi yang sedang dialami tradisi lisan Teda dalam upacara Padede Uma Kalada

berdasarkan kesaksian informan yang diwawancarai adalah tradisi lisan Teda pada

saat ini hanya dikuasai oleh penutur-penutur tua. Generasi muda sangat kurang

keterlibatannya dalam melestarikan tradisi lisan Teda. Generasi muda pada saat ini

lebih tertarik dengan hal-hal yang bersifat modern daripada mempelajari tradisi lisan.

Penelitian yang dilakukan Mbete (2015) membuktikan juga bahwa ada gejala

serius yang melanda (sebagian besar) generasi muda bangsa yakni “ketercerabutaan”

(rootlessness) dari akar lokal. Generasi muda dan remaja bangsa khususnya semakin

pragmatis, lebih berorientasi dan memilih untuk mempelajari dan menguasai bahasa

asing, dan mengabaikan bahasa daerah atau bahasa lokal. Dengan demikian,

kurangnya rasa cinta dan kepedulian generasi muda terhadap tradisi lisan (bahasa

daerah), maka niscaya kepunahannya hanyalah soal waktu. Kepala Badan

Pengembangan Bahasa dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Dadang Sunendar dalam pidatonya pada saat memperingati puncak Bulan Bahasa dan

Sastra pada hari Senin (28/10/2019) di Jakarta menunjukan fakta bahwa 11 bahasa

daerah yang tersebar di wilayah Indonesia telah punah, 22 bahasa terancam punah, 4

bahasa dalam kondisi kritis, dan 16 bahasa stabil, tetapi terancam punah. Selain itu, 2

bahasa daerah mengalami kemunduran dan hanya 19 bahasa berada pada

kategori aman (Kompas, 2019).

Terancam punahnya bahasa daerah dan fenomena kurangnya rasa memiliki

dan rasa cinta generasi mudah terhadap bahasa daerah tentu akan berimbas pada

hilangnya kearifan-kearifan lokal. Selain itu, akan menyebabkan memudarnya nilai-

nilai toleransi, solidaritas dan persatuan yang merupakan warisan leluhur yang

terekam dalam tradisi lisan atau bahasa daerah itu. Hal ini senada dengan (Mbete,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 417: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

3

2015:183) yang mengungkapkan bahwa ancaman punahnya bahasa daerah jelas

memudarkan ciri jati diri komunitas etnik. Seiring dengan itu, sirna pula nilai-nilai

warisan leluhur, adicita (ideology), dan aneka kearifan lokal (local wisdom) yang

terekam dalam bahasa lokal itu.

Berdasarkan berbagai fakta dan data di atas, maka kegiatan menggali dan

menghidupkan kembali kekayaan nilai-nilai kearifan-kearifan lokal yang terekam

dalam tradisi lisan Teda pada upacara Padede Uma Kalada menjadi sangat penting

untuk dilakukan. Hal itu selain sebagai salah satu cara memelihara nilai-nilai yang

dapat memperkuat dan memperkokoh kebhinnekaan bangsa, juga merupakan salah

satu cara melestarikan bahasa. Hal itu sebagaimana diwacanakan oleh Haugen

(1972:325) sebagai pelopor teori ekolinguistik yang menyatakan bahwa bahasa lahir

dan mati bagaikan organisme hidup. Bahasa memiliki rentang kehidupannya tumbuh

dan berubah seperti halnya manusia dan hewan serta memiliki sedikit penyakit yang

hanya dapat disembuhkan dengan menggunakan obat yang tepat oleh para pakar

bahasa. Pernyataan Haugen ini, mengisyaratkan bahwa penelitian-penelitian bahasa

merupakan salah satu cara memelihara dan menyelamatkan bahasa dari kepungan

arus globalisasi. Hal ini ditegaskan oleh Fill & Penz (2018: i) bahwa ekolinguistik

pada hakikatnya membahas tentang kehilangan bahasa dan pemeliharaan bahasa

di era globalisasi.

Teda merupakan tradisi lisan asli masyarakat Wewewa, Kabupaten Sumba

Barat Daya, Nusa Tenggara Timur. Tradisi lisan Teda merupakan tradisi lisan yang

bersifat resmi. Dalam artian bahwa tradisi lisan itu hanya dapat dituturkan dalam

situasi-situasi yang bersifat resmi seperti dalam pertemuan atau musyawarah adat dan

dalam ritual-ritual adat. Dalam kenyataannya, setiap aktivitas sosial dan budaya

masyarakat Wewewa selalu diwarnai dengan berbagai macam upacara adat, seperti

upacara adat perkawinan, kematian, menabur benih, upacara syukur (woleka) dan

upacara pembangunan rumah adat (Padede Uma Kalada). Di dalam berbagai

aktivitas sosial dan budaya itulah tradisi lisan Teda mewarnai rangkaian acara. Dalam

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 418: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

4

artikel ini pengkajian dibatasi pada tradisi lisan Teda yang digunakan dalam upacara

Padede Uma Kalada (pembangunan rumah besar).

Tradisi lisan Teda tentu bukan hanya sebagai salah satu jenis tutur adat,

namun sebagai salah satu warisan nenek moyang tradisi lisan itu tentu menyimpan

dan merekam nilai-nilai kearifan lokal, kebijakan dan filosofi hidup yang dijadikan

sebagai pedoman dan alat kontrol dalam membina kehidupan bersama yang seimbang

dan harmonis baik dengan sesama, leluhur, roh-roh gaib maupun dengan Tuhan

sebagai Wujud Tertinggi. Hal ini sejalan dengan Neonbasu (2016:122) bahwa

penjelasan puitis terhadap ayat-ayat tradisi lisan masyarakat Sumba bermanfaat untuk

memahami lebih dalam kepribadian penutur dan terlebih konsep perilaku sosial

masyarakat baik anak-anak maupun orang dewasa dan orang tua. Titik tolak

pemahaman ini terletak pada perasaan tanggung jawab yang sama untuk senantiasa

menjaga harmonisasi.

Sifat tradisi lisan Teda yang merekam nilai-nilai kearifan lokal tentu sangat

relevan dikaji dengan menggunakan pisau analisis ekolinguistik metaforis.

Pengambilan posisi ini karena ekolinguistik metaforis merupakan interdisipliner

linguistik yang mengkaji hubungan tali temali antara bahasa dengan lingkungan.

Lingkungan dalam hal ini didefinisikan sebagai masyarakat yang menggunakan

bahasa sebagai salah satu kode sosial dan budaya (Haugen, 1972:325). Hal ini senada

pula dengan Rahardi (2016) yang menjelaskan bahwa ekolinguistik metaforis adalah

studi yang mengkaji hubungan tali temali antara bahasa dengan strata sosial, status

sosial, kebudayaan, etnisitas, laras dan sejenisnya.

Berdasarkan uraian di atas, pertanyaan yang hendak dijawab dalam penelitian

ini adalah nilai-nilai kearifan lokal apakah yang termanifestasi dalam tradisi lisan

Teda pada upacara Padede Uma Kalada? Seiring dengan rumusan masalah ini, tujuan

dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan nilai-nilai kearifan lokal yang

tertemanifestasikan dalam tradisi lisan Teda pada upacara Padede Uma Kalada

dengan menggunakan kajian ekolinguistik metaforis.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 419: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

5

Data dalam penelitian ini diperoleh dari dua jenis sumber data, yakni sumber

data lokasional dan sumber data substantif (periksa Rahardi, 2009:32). Sumber data

lokasional dalam penelitian ini diperoleh dari masyarakat Kabizu Beijello, Kabupaten

Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur. Sementara itu, sumber data substantif

dalam penelitian ini terdiri atas dua jenis sumber data, yakni sumber data primer dan

sumber data sekunder (periksan Sudaryanto, 2015:224). Sumber data primer dalam

penelitian ini adalah tuturan-tuturan dalam tradisi lisan dalam upacara Padede Uma

Kalada yang telah ditranskripsikan oleh peneliti menjadi teks dari hasil rekaman atau

hasil catatan pada saat pengumpulan data (periksa Nesi, (2018:80). Sumber data

primer ini diperoleh peneliti dari tiga orang tetua adat masyarakat Wewewa,

Kabupaten Sumba Barat Daya, NTT.

Data dalam penelitian ini terdiri atas dua jenis data, yakni (1) data primer

berupa data yang dapat diperoleh dari bagian-bagian dari tradisi lisan dalam upacara

adat Padede Uma Kalada yang sudah ditranskripsikan dan telah diidentifikasi oleh

peneliti sehingga menjadi korpus data yang di dalamnya merekam nilai-nilai kearifan

lokal masyarakat Kabizu Beijello. (2) Data sekunder merupakan data berupa

informasi yang diperoleh peneliti dari hasil wawancara etnografis dengan informan,

hasil studi dokumen dan referensi-referensi pustaka yang dikutip oleh peneliti untuk

mengonfirmasi dan memperkuat argumen peneliti terkait dengan interpretasi data

primer yang diteliti. Sementara itu, metode pengumpulan data yang digunakan dalam

penelitian ini adalah metode etnografis yang terdiri atas dua, yakni metode

pengamatan dan metode wawancara. Kedua metode ini dibantu dengan empat teknik,

yakni teknik simak libat cakap, teknik bebas simak libat cakap, teknik rekam dan

teknik catat.

Data dalam penelitian ini dianalisis dengan melalui 7 (tujuh) tahap, yakni

pertama, transkripsi data, yakni data yang direkam tersebut ditranskripsikan oleh

peneliti agar lebih mudah menentukan korpus data yang dapat menjajawab penelitian

ini. Kedua, penerjemahan gloss data, yakni data diterjemahkan dari bahasa Wewewa

ke dalam bahasa Indonesia. Ketiga, identifikasi data, yakni peneliti mengidentifikasi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 420: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

6

data-data yang dapat dianalisis. Keempat, klasifikasi data, yakni peneliti

mengelompokan data berdasarkan tujuan penelitian. Kelima, deskripsi konteks, yakni

penelitian mendeskripsikan konteks yang melingkupi tuturan. Keenam, pemaknaan

data, yakni peneliti mendeskripsikan nilai-nilai yang terkandung dalam data. Ketujuh,

triangulasi hasil analisis, konfirmasi dan refleksi (Nesi, 2018:87-88).

B. Nilai-Nilai Kearifan Lokal dalam Tradisi Lisan Teda Berdasarkan pada

Kajian Ekolinguistik Metaforis

Berdasarkan hasil analisis data ditemukan bahwa di dalam tradisi lisan Teda

pada upacara Padede Uma Kalada terdapat nilai-nilai yang dihidupi oleh masyarakat

Kabizu Beijello. Nilai-nilai itu meliputi, nilai ketaatan, religius, persatuan,

rekonsiliasi dan syukur. Masing-masing nilai itu dipaparkan sebagai berikut.

1. Ketaatan

Ketaatan memiliki makna senantiasa tunduk, patuh, setia dan tidak berlaku

curang kepada pemerintah, kepada Tuhan dan sebagainya (Sumayadi, 2018:24).

Masyarakat Kabizu Beijello merupakan masyarakat yang lahir dalam dinamika

spiritual Marapu. Marapu merupakan pedoman, landasan, dan kunci kehidupan

masyarakat Kabizu Beijello. Kesadaran akan hal itu, masyarakat Kabizu Beijello

selalu menaruh sikap taat dan patuh kepada Marapu. Hal ini tergambarkan pada data

tradisi lisan Teda dalam upacara Padede Uma Kalada sebagai berikut.

Data 1. G1/ES5

Nebahinna, nennati pamama ole

Saat ini, ini sirih pinang kawan

Terimalah sirih pinang ini.

Mandungo katanga, kettera kaleba

Pegang kuat kendali, eratkan ikat pinggang

Peganglah kuat-kuat keputusan dan janji yang telah disepakati bersama.

Tana dadikki , watu dangero

Tanah yang tidak berpindah, batu yang tidak bergeser

Keputusan dan janji yang tidak akan berubah.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 421: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

7

Konteks: Tuturan lisan di atas merupakan bagian dari data tradisi lisan pada saat pembagian

sirih pinang pada tahap pertemuan satu keluarga besar Kabizu Beijello di rumah

besar. Tuturan lisan di atas dituturkan oleh pemimpin klan atau orang yang

dipercayakan pemimpin musyawarah pada tahap musyawarah adat satu keluarga

besar Kabizu Beijello di rumah besar. Dalam data di atas memperlihatkan ada

peristiwa pembagian sirih pinang setelah pengambilan ikrar atau sumpah. Sirih

pinang diyakini sebagai simbol kehadiran Marapu (arwah-arwah leluhur) yang

mengikat seluruh keputusan yang telah disepakati. Oleh karena itu, keputusan itu

tidak boleh dilanggar. Jika dilanggar maka konsekuensinya adalah petaka.

Pada data 1 di atas kearifan lokal berwujud nyata ditunjukkan pada kata

pamama yang berarti sirih-pinang. Masyarakat Kabizu Beijello pada saat menyebut

buah sirih dan pinang secara bersamaan selalu menggunakan kata pamama.

Sementara itu, kegiatan menguyah sirih dan pinang secara bersamaan yang dicampur

dengan kapur disebut mama. Dalam bahasa Wewewa sirih disebut utta dan pinang

disebut winno. Pamama (sirih-pinang) dalam data 1 di atas mengandung gagasan dan

pengetahuan lokal yakni pamama (sirih-pinang) digunakan sebagai meterai yang

mengikat dan mensahkan ikrar dalam musyawarah adat.

Nilai yang dapat direfleksikan melalui pembagian mama (sirih pinang) adalah

ketaatan terhadap hukum adat. Masyarakat Kabizu Beijello meyakini bahwa

pengangkatan ikrar atau sumpah yang ditandai dengan peristiwa pembagian sirih

pinang merupakan lambang kehadiran Marapu (nenek moyang) yang menyaksikan

dan mengikat ikrar. Oleh karena itu, ikrar dalam wujud sumpah adat itu harus ditaati

dan dijalankan dengan penuh kesetiaan, kejujuran, dan tanggung jawab. Hal itu

digambarkan pada metafora mandungo katanga, ketera kaleba. Setiap orang yang

telah menerima sirih pinang berarti menyatakan kesiapsediaan untuk menggenggam

erat keputusan bersama tersebut. Hal itu karena keputusan itu bersifat sah, kukuh dan

mengikat. Hal itu ditunjukkan pada metafora tana dadikki, watu ndangero.

Pelanggaran terhadap ikrar dalam wujud sumpah adat itu diyakini sebagai petaka bagi

si pelanggar tersebut.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 422: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

8

Senada dengan hal di atas, Aluman (2016) dalam penelitiannya yang berjudul

“Perekonomian Desa pada Pelana Masyarakat Sumba” juga menemukan bahwa

komunitas Marapu memiliki komitmen yang sangat tinggi terhadap sebuah

keputusan. Penghargaan terhadap sebuah keputusan diwujudkan dalam

pelaksanaannya. Mereka tidak mengingkari janji atau melaksanakan sesuatu hal yang

menyimpang dari keputusan yang ditetapkan sebelumnya. Keputusan yang telah

ditetapkan memiliki nilai yang sangat tinggi dan mengandung resiko buruk ketika

dilanggar dalam pelaksanaannya.

2. Religius

Religi bersinonim dengan kepercayaan, yakni kepercayaan kepada Tuhan dan

kepercayaan akan adanya kekuatan adikodrati yang melampaui kemampuan manusia.

Kepercayaan itu selama ini dikenal sebagai kepercayaan animisme dan dinamisme

(Bera, 2016:198). Masyarakat Kabizu Beijello sebagai masyarakat Marapu tidak

hanya percaya kepada Marapu atau kekuatan gaib yang lainnya. Akan tetapi, juga

memiliki kepercayaan kepada Wujud Tertinggi, yakni Tuhan. Hal itu digambarkan

dalam tradisi lisan Teda dalam upacara adat Padede Uma Kalada sebagai berikut.

Data 2. O1/ES12

Nebahinna kapandege you ina, you ama

Saat ini supaya kalian mengetahui, engkau ibu, engkau bapak

Saat ini, agar nenek moyang mengetahui

Nadukkiwe na’i labe a belleka, pari’i a kaladana

Sampai kepada dia di sana cincin yang lebar , tiang yang besar

Sampai kepada Sang Khalik

A kanga wolla limma, a bokka wolla wa’i

Yang memisah jari tangan, yang membagi jari kaki

Tuhan sebagai pemisah jari tangan dan jari kaki

Ina A Mawolo , Ama A Marawi

Ibu yang mencipta, Bapak yang menjadikan

Tuhan yang menjadikan dan menciptakan manusia dan seluruh alam semesta

Adopola tou , A adiwe wekki

Yang membentuk badan, yang memadatkan tubuh

Tuhan yang membentuk dan memadatkan badan

Konteks:

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 423: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

9

Tuturan lisan di atas merupakan bagian dari tradisi lisan pada tahap Saiso

pembuatan loteng rumah. Data tradisi lisan ini dinyanyikan oleh Ata Saiso.

Nyanyian ini merupakan doa yang ditujukan kepada Tuhan melalui perantaraan

Marapu. Dalam doa itu, Ata Saiso memohon pengampunan, keselamatan dan

keberhasilan pembuatan loteng rumah.

Tuturan Labe A Belleka, Pari‟i A Kaladana (Cincin Yang Lebar, Tiang Yang

Besar) pada data 2 di atas memberikan gambaran nyata bahwa struktur rumah adat

masyarakat Wewewa ditopang oleh empat tiang utama. Pada masing-masing tiang ini

terdapat Labe (cincin), yakni kayu yang berbentuk bulat. Dari keempat Pari‟i dan

Labe ini terdapat salah satu Pari‟i yang dimaknai sebagai Tiang Agung yang dalam

bahasa Wewewanya koko poga. Masyarakat Kabizu Beijello memandang Tiang

Agung sebagai Tuhan Allah. Dalam hal ini, tiang agung diyakini sebagai lambang

kehadiran Tuhan Yang Maha Besar dan Maha Agung. Tuhan yang merangkul,

memikul, melindungi dan menopang seluruh umatnya. Sementara itu, Labe yang

berada pada Tiang Agung memiliki ukuran yang lebih besar dari ke tiga Labe

lainnya. Labe yang ada pada tiang agung ini diyakini sebagai mazbah Tuhan. Sebagai

tempat bertahta dan kedudukan Tuhan yang mampu memayungi dan menaungi

umatnya. Dengan demikian, Pari‟i dan Labe bagi masyarakat Sumba bukan hanya

sekedar penyangga atap, melainkan memiliki nilai filosofis, yakni menandakan

masyarakat yang religius yang meyakini dan percaya akan keberadaan Tuhan sebagai

Pencipta, Penjaga dan Penyelenggara kehidupan. Hal ini sejalan dengan Bera (2016:

193) yang mengungkapkan bahwa tiang utama, tiang besar orang Sumba disebut

Tuhan Allah, disebut sebagai tiang agung yang dalam bahasa Marapu dikenal dengan

istilah koko poga (leher besar atau leher agung). Ungkapan ini tertuju pada pengertian

kehadiran Tuhan Pencipta yang memikul dan melindungi seluruh umat manusia.

Cincin menjadi payung yang menaungi seluruh manusia. Cincin rumah agung (lele

labe).

Masyarakat Kabizu Beijello sesungguhnya mempunyai cara yang sangat

sederhana namun jitu dalam menanamkan nilai-nilai kehidupan baik sebagai warga

rumah maupun sebagai warga Kabizu. Masyarakat Kabizu Beijello dalam

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 424: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

10

membangun kesadaran hidup adab berketuhanan, Tuhan Sang Pencipta itu dihadirkan

atau digambarkan melalui benda-benda fisik tertentu berupa bagian dari tubuh rumah

sebagai simbolis. Pencipta disimbolkan dengan Pari‟i Kalada „Tiang Besar‟ dan

Labe A Belleka „Cincin Yang Lebar‟. Arti praktisnya adalah Tuhan Pencipta itu

adalah pelindung hidup manusia warga rumah maupun warga Kabizu. Tuhan adalah

sandaran dan andalan seperti tiang pada rumah menjadi penopang bangunan rumah.

Sementara itu, cincin yang lebar itu memiliki makna Tuhan sebagai penopang dan

pemberi kekuatan seperti cincin yang melekat pada tiang itu merupakan penopang

dan penguat bangunan rumah. Melalui benda simbolik Tiang Agung dan Cincin yang

lebar yang kelihatan dilakukan pendidikan dan transfer nilai bahwa Tuhan Sang

Pencipta sungguh ada dan hadir dalam dan ditengah hidup manusia (Ramone,

2015:7).

Pengakuan akan adanya Tuhan Sang Khalik selain ditunjukkan melalui

benda-benda simbolik juga senantiasa dinyatakan dengan nama-nama paralel dan

kalimat-kalimat kiasan. Hal itu seperti yang ditunjukkan pada data 2 di atas, yakni

„Yang memisah jari tangan, Yang memisah jari kaki. Ibu yang mencipta, Bapak yang

menjadikan. Yang membentuk badan, Yang memadatkan tubuh‟. Dalam catatan

Neonbasu (2016: 95) kalimat-kalimat kiasan ini digunakan untuk menggambarkan

secara kurang lebih tepat hakekat Yang Ilahi sebagai subjek spiritual cosmis yang

mencipta dari ketiadaan. Gelar-gelar ini langsung tertuju pada fungsi sentral dan

hakekat Yang Tertinggi.

3. Persatuan

Makna persatuan pada hakikatnya adalah satu, yang artinya bulat dan tidak

terbagikan atau terpecah belah (Asmaroini, 2017: 58). Masyarakat Kabizu Beijello

merupakan salah satu etnis di Pulau Sumba yang sangat memelihara nilai persatuan

dalam kehidupan bersama. Nilai tersebut tampak jelas dalam tuturan pada tradisi lisan

dalam upacara Padede Uma Kalada sebagai berikut.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 425: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

11

Data 3. F3/ES4

Kada’ikana a lera eka bei, a kedu eka ana

Agar tidak ada yang terbang lain ibu, yang lari lain anak

Agar kita selalu membina semangat persatuan.

Katta pasamana ate, katta pamerana wiwi.

Agar kita menyamakan hati, agar kita memerahkan bibir

Agar kita selalu satu hati, satu suara.

Konteks:

Tuturan lisan di atas merupakan bagian dari tradisi lisan pada tahap musyawarah

satu keluarga besar Kabizu Beijello di rumah besar (rumah adat). Tuturan lisan

tersebut dituturkan oleh tetua adat yang menjaga rumah besar. Tetua adat itu

merupakan pemimpin klan Beijello. Musyawarah yang diadakan di rumah besar

ini merupakan musyawarah terakhir sebagai penentu keputusan dan sekaligus

pembagian tugas pembangunan rumah besar. Musyawarah ini diikuti oleh tetua

adat rumah besar, tetua-tetua adat rumah kecil dan anggota-anggota Kabizu

Beijello yang mempunyai pemikiran yang luas, cakap, berani dan berjiwa

kepemimpinan. Dalam musyawarah itu, tetua adat menghimbau agar seluruh

anggota keluarga selalu bersatu, sehati, sesuara demi suksesnya pembangunan

rumah besar.

Data 3 di atas merupakan kearifan lokal berwujud tidak nyata, yakni petuah.

Petuah itu menggambarkan nilai persatuan yang selalu dihidupi oleh masyarakat

Sumba. Petuah kada‟ikana a lera eka bei, a kedu eka ana. Katta pasamana ate, katta

pamerana wiwi dalam konteks data 3 di atas dituturkan oleh tetua adat yang menjaga

rumah besar atau pemimpin yang dipercayakan memimpin jalannya musyawarah

pembangunan rumah besar. Kata „Ibu‟ pada petuah kada‟ikana a lera eka bei, a kedu

eka ana merujuk pada pemimpin klan dan kata anak merujuk pada anggota

masyarakat Kabizu Beijello. Tuturan ini merupakan himbauan kepada warga

masyarakat Kabizu Beijello agar tidak membelot kepada pemimpin klan yang lain.

Begitu pula halnya pemimpin klan Kabizu Beijello agar tidak membelot kepada

warga Kabizu lain. Pesan yang hendak disampaikan melalui petuah ini adalah agar

seluruh anggota keluarga tidak berjalan sendiri-sendiri, agar tidak ada yang tercerai

berai, melainkan selalu sehati dan sesuara. Masyarakat Kabizu Beijello meyakini

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 426: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

12

bahwa kesuksesan pembangunan rumah besar hanya akan terwujud apabila adanya

persatuan seluruh warga Kabizu. Sementara itu, petuah Katta pasamana ate, katta

pamerana wiwi mengandung pesan agar seluruh anggota keluarga Kabizu Beijello

bersatu hati, bersatu suara, seia-sekata dalam mendukung dan melaksanakan

kesepakatan dalam musyawarah tersebut demi suksesnya pembangunan rumah besar.

Sehubungan dengan hal di atas, dalam wawancara dengan informan ketika

peneliti menanyakan nilai yang terkandung dalam tuturan kada‟ikana a lera eka bei,

a kedu eka ana. Katta pasamana ate, katta pamerana wiwi diberi kesaksian bahwa

tuturan tersebut mengiaskan nilai persatuan dalam melakukan suatu pekerjaan. Agar

tidak ada yang berjalan sendiri-sendiri, melainkan satu hati dan satu suara dalam

melaksanakan keputusan yang telah disepakati bersama. Petuah ini selalu digunakan

oleh orang tua, orang bijak dan pemimpin pada saat memberikan amanat dan nasihat

terkait bersatu pada saat bekerja, bergotong royong untuk mensukseskan suatu

pekerjaan. Ini sudah jati diri yang telah dicontohkan oleh nenek moyang sejak dulu.

Bersatu dalam hal ini, bukan hanya dalam hal bekerja sama pada saat membangun

rumah, melainkan juga bersatu dalam hal melihat kebutuhan dan kekurang dari rumah

besar atau anggota kabizu itu untuk dapat diatasi dan ditanggulangi secara bersama-

sama (W/NKLMKB/3).

4. Rekonsiliasi

Rekonsiliasi dapat diartikan sebagai upaya untuk memperbaiki hubungan sosial

yang hasil akhirnya adalah perdamaian (Gogali, 2008 dalam Nugraha, 2019:344).

Rekonsiliasi diartikan sebagai perbuatan memulihkan persahabatan ke keadaan

semula (KBBI, 2016 daring). Dalam konteks penelitian ini, rekonsiliasi merupakan

suatu upaya untuk meminta maaf atau memohon pengampunan sebagai konsekuensi

atas pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat Kabizu Beijello. Rekonsiliasi

menjadi hal yang sangat penting untuk dilakukan ketika seorang anggota Kabizu

melakukan pelanggaran terhadap perintah Marapu. Hal ini nampak dalam tuturan

dalam tradisi lisan Padede Uma Kalada sebagai berikut.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 427: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

13

Data 4. O2/ESK6

Lakkawa’ikunamme adirakapababa touna , aakitapaleira wekkina

Kendatipun ada yang beraib tubuhnya, berdosa badannya

Kendatipun ada yang memiliki aib dan dosa

Du kettekageole, du pagukawi pangngu

Janganlah ikat bersama, jangan simpul bergandeng

Janganlah engkau melibatkannya dengan kami

Konteks:

Data ini merupakan bagian dari data tradisi lisan pada tahap Saiso sebelum

membuat loteng rumah. Data tradisi lisan tersebut dituturkan oleh Ata Urrata

dalam ritual Urrata. Data tradisi lisan ini merupakan doa kepada nenek moyang.

Dalam doa itu, masyarakat Kabizu Beijello memohon khidmat, keselamatan,

pengampunan dan keberhasilan kepada nenek moyang.

Tuturan dengan pola berpasangan pada data 4 di atas, yakni lakkawa‟ikunamme

adirakapababa touna, aakitapaleira wekkina (kendatipun ada yang beraib tubuhnya,

berdosa badannya). Du kettekageole, du pagukawi pangngu (Jangan ikat bersama,

jangan simpul bergandeng) mengandung makna pengampunan bagi anggota

masyarakat Kabizu yang telah melanggar perintah Marapu. Kedua tuturan ini

dituturkan dalam ritual Saiso sebelum membuat loteng rumah. Dalam budaya

masyarakat Sumba sebelum membuat loteng rumah terlebih dahulu harus dilakukan

upacara Saiso. Ritual Saiso dalam konteks tuturan ini merupakan ritual permohonan

pertolongan, perlindungan dan keselamatan kepada Marapu. Selain itu, ritual ini juga

dimaknai sebagai ritual rekonsiliasi dengan Marapu.

Ata Saiso memohon kepada Marapu bahwa pada saat membuat loteng rumah

ditemui anggota keluarga yang beraib tubuhnya, yang berdosa badannya, yang tidak

bersih dirinya, yang melakukan perbuatan yang menyimpang dari amanat Marapu

agar diampuni. Hal itu dilukiskan pada tuturan du kettekageole, du pagukawi

pangngu (janganlah ikat bersama, jangan simpul bergandeng). Tuturan ini merujuk

pada permohonan agar Marapu tidak menghitung-hitung kesalahan dari anggota

keluarga yang turut ambil bagian dalam proses pembuatan loteng rumah sehingga

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 428: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

14

seluruh proses pembuatan rumah dapat berjalan dengan lancar dan berhasil. Seiring

dengan itu pula, kehormatan dan nama baik Kabizu Beijellopun ikut terjaga.

5. Nilai Syukur

Syukur merupakan salah satu dari kajian psikologi positif yang memiliki arti

mengucapkan terima kasih atas anugerah (Shobihah, 2014:386). Masyarakat Kabizu

Beijello senantiasa menanamkan nilai syukur dalam kehidupan sehari-hari. Ketika

seseorang mendapatkan pertolongan apapun bentuknya maka sepatutnyalah orang

tersebut mengucapkan terima kasih. Hal itu terlukiskan dalam data tradisi lisan Teda

dalam upacara Padede Uma Kalada sebagai berikut.

Data. 5 M1/ES11

Pamalangiwa inna, paosawa ama

Terimakasih kepada ibu, syukur kepada bapak

Terimakasih dan syukur kepada rumah besar dan leluhur

Konteks:

Tuturan di atas merupakan bagian dari tradisi lisan dalam upacara Woleka pada

tahap pembongkaran rumah lama. Tuturan di atas dinyanyikan oleh Ata Saiso

dengan diiringi gong dan tambur. Upacara Woleka dimaknai sebagai upacara

pengucapan syukur dan terimakasih kepada nenek moyang dan rumah besar yang

telah melindungi, memayungi, mempersatukan dan memberikan kenyamanan

serta kedamaian. Upacara ini dilaksanakan dengan penuh sukacita dan

kegembiraan.

Tuturan pamalangiwa inna, paosawa ama (terimakasih kepada Ibu, syukur

kepada Bapak) pada data 5 di atas mengandung petuah yang selalu digunakan oleh

orangtua ketika memberikan wejangan kepada anak-anak. Adapun petuah itu,

pamalangikia Inamu, paosakiwa Amamu yang memiliki makna jangan lupa

mengucapkan terimakasih dan syukur kepada Ina (ibu) dan Ama (Bapak) serta kepada

setiap orang yang telah memberikan pertolongan dan bantuan.

Berdasarkan konteks data, masyarakat Kabizu Beijello terlebih dahulu harus

melakukan upacara woleka (syukur) sebelum membongkar rumah lama yang

kemudian akan dibangun kembali. Masyarakat Kabizu Beijello memaknai upacara

woleka sebagai upacara pengucapan syukur dan terimakasih kepada „Ibu‟ dan

„Bapak‟ yang merujuk pada nenek moyang dan roh-roh yang mendiami rumah besar

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 429: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

15

dan rumah yang akan dibongkar. Dalam kaitan dengan petuah di atas, hendak

mengiaskan nasihat atau wejangan yakni jangan lupa untuk mengucap terimakasih

dan syukur kepada nenek moyang dan rumah yang diyakini telah melindungi,

menolong dan menganugerahkan berkat kepada anggota keluarga yang mendiami

rumah besar dan seluruh keluarga besar Kabizu Beijello.

Berdasarkan hasil wawancara dengan informan diberi kesaksian bahwa dalam

hidup kita jangan lupa bersyukur dan berterimakasih yang terungkap dalam tuturan

Pamalangiwa inna, paosawa ama. Ucapan bersyukur dan berterimakasih ini

merupakan nilai yang diwarisi oleh leluhur sejak awal mula. Apabila kita tidak

bersyukur dan berterimakasih, nenek moyang akan marah kepada kita. Seiring

dengan itu pula, apapun yang kita kerjakan tidak akan berhasil. Kita tidak akan

memperoleh keberkatan dalam hidup. Oleh karena itu, kita harus menjaga hubungan

yang harmonis dengan leluhur, dengan sesama dan alam raya.

C. SIMPULAN

Nilai-nilai kearifan lokal yang ditemukan dalam tradisi lisan pada upacara

Padede Uma Kalada terdiri atas 5, yakni nilai ketaatan, religius, persatuan,

rekonsiliasi dan syukur. Pada era globalisasi, nilai-nilai kearifan lokal yang dimiliki

oleh komunitas etnik ini menjadi penting untuk dihayati dan dipelihara. Hal itu

karena nilai-nilai luhur ini selaras dengan filsafat pancasila sebagai filosofi bangsa

Indonesia. Nilai-nilai luhur itu apabila dihayati secara utuh tentu dapat semakin

memperkokoh dan memperkuat filosofi pancasila yang sudah mulai kehilangan jati

dirinya karena tergerus arus globalisasi.

DAFTAR PUSTAKA:

Aluman, Adrianus. (2016). “Perekonomian Desa pada Pelana Masyarakat Sumba”.

Dalam Neonbasu, Gregorius (ed.) (2016). Akar Kehidupan Masyarakat

Sumba: dalam Cita Rasa Marapu. Jakarta: Lappop Press Jakarta.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 430: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

16

Asmaroini, Ambiro Puji. (2017). “Menjaga Eksistensi Pancasila dan Penerapannya

Bagi Masyarakat di Era Globalisasi”. Jurnal Pancasila dan Kewarganegaraan.

1 (2), 50-64.

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. (2016). “Kamus Besar Bahasa

Indonesia dalam jaringan”. Diakses dari https://kbbi.kemdikbud.go.id/.

Bera, Petrus Ngongo Tanggu. (2016). “Spiritual Capital dalam Dinamika

Pembangunan dan Ide Kekerabatan”. Dalam Neonbasu. (2016). Akar

Kehidupan Masyarakat Sumba: Dalam Cita Rasa Marapu. Jakarta: Lappop

Press Jakarta.

Fill, Alwin F. dan Hermina Penz. (2018). The Routledge Handbook of Ecolinguistics.

New York: Taylor & Francis Group.

Haugen, Einar. (1970). “The Ecology of Language”. Dalam Dil, A.S. (ed.). (1972).

The Ecology of Language: Essays by Einar Haugen. California: Stanford

University Press.

Kompas. (2019). “Cegah Kematian Bahasa”. Diakses melalui

https://kompas.id/baca/utama/2019/10/29/cegah-kematian-bahasa/. Pada

tanggal 11 Januari 2020.

Neonbasu, Gregorius. (2016). “Tata Krama Relasi Manusia dengan Marapu”. Dalam

Neonbasu, Gregorius (ed.) (2016). Akar Kehidupan Masyarakat Sumba:

Dalam Cita Rasa Marapu. Jakarta: Lappop Press Jakarta.

Neonbasu, Gregorius. (2016). “Catatan Antropologis tentang Marapu”. Dalam

Neonbasu, Gregorius (ed.) (2016). Akar Kehidupan Masyarakat Sumba:

Dalam Cita Rasa Marapu. Jakarta: Lappop Press Jakarta.

Nesi, Anton. (2018). “Tradisi Lisan Takanab sebagai Wujud Identitas Masyarakat

Dawan: Kajian Ekolinguistik Metaforis”. Tesis. Universitas Sanata Dharma.

Yogyakarta. Tidak diterbitkan.

Nugraha, Muhamad Tisna. (2019). “Rekonsiliasi Nilai-Nilai Kepahlawanan serta

Internalisasinya dalam Pendidikan Islam”. Jurnal Ta‟dibuna. 8 (2), 241-258.

Mbete, Aron. (2015). “Masalah Kebahasaan dalam Kerangka Pelestariannya:

Perspektif Ekolinguistik”. Jurnal Tutur. 1 (2), 181-188.

Rahardi, R Kunjana. (2009). Sosiopragmatik: Kajian Imperatif Dalam Wadah

Konteks Sosiokultural dan Konteks Situasionalnya. Jakarta: Penerbit

Erlangga.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 431: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

17

Rahardi, R Kunjana. (2016). “Urgensi Menggelorakan Linguistik Ekologi”.

Kedaulatan Rakyat LXXXXI. Halaman 12.

Ramone, Robert. (2015). Revitalisasi Desa Adat dan Dampak Sosial Budaya

Masyarakat di Pulau Sumba. Jakarta: Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan

YME dan Tradisi.

Shobihah, Ida Fitri. (2017). “Kebersyukuran (Upaya membangun Karakter Bangsa

Melalui Figur Ulama)”. Jurnal Dakwah. 15 (2), 383-406.

Sukmayadi, Trisna. (2018). “Nilai-Nilai Kearifan Lokal dalam Pandangan Hidup

Masyarakat Adat Kampung Kuta”. Jurnal Pancasila dan Kewarganegaraan. 3

(1), 19-29.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 432: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

18

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 433: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

19

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 434: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

19

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 435: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

Foto-Foto Wawancara Dengan Informan Kunci Dan Informan Pendukung

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 436: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

Foto-Foto Penelitian yang Menggambar Identitas Masyarakat Kabizu

Beijello

1. Masyarakat Kabizu Beijello sebagai Masyarakat Agraris

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 437: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

2. Masyrakat Kabizu Beijello sebagai Masyarakat Ritual

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 438: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

Foto-Foto Pendukung Lainnya

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 439: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 440: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 441: TRADISI LISAN TEDA DALAM UPACARA PADEDE UMA …

BIODATA PENULIS

Yuliana Sesi Bitu lahir di Gollu Utta pada tanggal 29

November 1988 dari Ayah yang bernama Yakobus Lede Bulu

dan Ibu Agnes Dairo Bili. Penulis masuk Sekolah Dasar pada

tahun 1994 di SDK Bondo Lenga dan lulus pada tahun 2000.

Selanjutnya, penulis masuk SMP Negeri 2 Wewewa Barat dan lulus pada tahun

2003. Penulis melanjutkan studi ke jenjang Pendidikan menengah atas di SMA

Negeri 1 Waingapu, Sumba Timur pada tahun 2003 dan lulus pada tahun 2006.

Penulis melanjutkan pendidikan S1 di Universitas Nusa Cendana Kupang pada

Program Studi PBSI, FKIP, Universitas Nusa Cenda Kupang pada tahun 2006 dan

lulus pada tahun 2011. Mulai tahun 2017 penulis melanjutkan studi S-2 di

Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Magister, FKIP, Universitas

Sanata Dharma Yogyakarta.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI