89
Pilkada Damai, Demokrasi yang Rapuh: Pilkada Pasca Konflik di Aceh dan Implikasinya Samuel Clark Blair Palmer November 2008 Indonesian Social Development Paper No. 11 Diterbitkan di Jakarta oleh World Bank

PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

  • Upload
    buitu

  • View
    235

  • Download
    5

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

Pilkada Damai,

Demokrasi yang Rapuh:

Pilkada Pasca Konflik di Aceh dan Implikasinya

Samuel Clark Blair Palmer November 2008 Indonesian Social Development Paper No. 11 Diterbitkan di Jakarta oleh World Bank

Page 2: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

ii

Indonesian Social Development Papers Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami transisi politik dan ekonomi yang sangat luar biasa. Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya krisis ekonomi dan moneter, serta berlangsungnya proses desentralisasi secara radikal telah mengubah lingkungan politik, ekonomi dan sosial. Hubungan-hubungan kekuasaan mengalami pasang-surut, identitas-identitas tengah mengalami negosiasi ulang, dan lembaga-lembaga sedang mengalami perubahan. Perubahan insentif dan peran lembaga-lembaga formal maupun informal pada berbagai tingkatan telah mengubah cara individu-individu dan kelompok-kelompok saling berhubungan satu sama lain dan cara mereka berhubungan dengan negara. Konteks baru ini, serta cara berbagai aktor (nasional dan internasional) dapat mendorong perubahan sosial yang progresif, penting untuk dipahami. Seri Indonesian Social Development Papers (ISDP) bertujuan untuk mengembangkan diskusi mengenai berbagai isu yang berkaitan dengan konteks sosial dan politik yang kini tengah berkembang di Indonesia, serta untuk membantu melahirkan gagasan-gagasan tentang bagaimana transisi yang demokratis dan damai dapat didukung. Seri ini akan mencakup berbagai isu meliputi konflik, pembangunan, korupsi, tatakelola pemerintahan, peran sektor keamanan dan seterusnya. Setiap paper menyajikan hasil riset tentang dimensi tertentu pembangunan sosial dan menawarkan usulan-usulan kebijakan yang pragmatis. Paper-paper yang diterbitkan dalam seri ini juga berupaya menilai dampak dari berbagai intervensi—dari aktor-aktor tingkat lokal maupun nasional serta lembaga-lembaga pembangunan internasional—terhadap konteks yang telah ada sebelumnya dan proses-proses perubahan. Paper-paper dalam seri ini merupakan karya-karya yang terus berkembang. Penekanannya adalah untuk melahirkan diskusi di kalangan para pemangku kepentingan yang berbeda—meliputi pemerintah, masyarakat sipil dan lembaga-lembaga internasional—bukan untuk menawarkan kesimpulan-kesimpulan yang bersifat mutlak. Paper-paper tersebut diharapkan akan mendorong diskusi lebih lanjut mengenai persoalan-persoalan yang berusaha dijawab, hipotesis-hipotesis yang diuji dan rekomendasi-rekomendasi yang disarankan. Patrick Barron (editor seri ISDP) [email protected]

Page 3: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

iii

Ucapan Terima Kasih Laporan ini merupakan hasil studi tentang pemilihan kepala daerah di Aceh pada 2006-2007. Penelitian lapangan awal untuk studi ini dilakukan bekerja sama dengan UNDP. Kami ingin menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada para peneliti lapangan kami yang telah bekerja keras: Marzi Afriko, Nyak Anwar, Siti Rahmah, Sri Wahyuni, Joko Sutranto dan Yustinawaty Hasibuan (World Bank). Ucapan terima kasih kami tujukan pula untuk Melina Nathan dan Zulfan Tadjoeddin (UNDP) yang telah memberi masukan-masukan yang berguna selama tahap perancangan dan penelitian lapangan studi ini. Selain itu, kami hendak mengucapkan terima kasih kepada Patrick Barron, Matthew Zurstrassen, Chris Wilson, Susan Wong dan Scott Guggenheim (World Bank), Marcus Mietzner (Australian National University) dan Nezar Patria (kanalOne), yang telah memberikan berbagai komentar yang berguna untuk laporan ini. Juliana Wilson telah memberi bantuan dalam hal penyuntingan. DfID, melalui Decentralization Support Facility (DSF), dan hibah untuk mendukung SPADA di Aceh, telah memberi bantuan pendanaan yang sangat berharga untuk penelitian ini. Pandangan yang tertuang dalam laporan ini adalah tanggung jawab para penulis, bukan lembaga-lembaga yang para penulis memiliki kaitan dengannya. Laporan ini merupakan terjemahan dari bahasa Inggris; yang asli berjudul Peaceful Pilkada, Dubious Democracy: Aceh’s Post-Conflict Elections and their Implications. Para penulis dapat dihubungi di [email protected] dan [email protected]. Foto sampul: Suasana Kampanye oleh Marzuki Harun.

Page 4: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

iv

Ringkasan Eksekutif Makalah ini menganalisa pilkada yang dilaksanakan di Aceh pasca konfliknya. Pilkada untuk menetapkan Gubernur dan 19 Bupati dan Walikota dilangsungkan pada bulan Desember 2006 dan pada awal tahun 2007, hanya berselang 16 bulan setelah penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) yang mengakhiri 30 tahun konflik di Aceh. Makalah ini mengutarakan bahwa selain tujuan jangka pendek untuk memperbolehkan keterlibatan mantan kombatan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) dalam proses politik lokal—yang merupakan langkah penting dalam proses perdamaian—pilkada ini juga berpotensi memiliki dua peran kunci dalam membangun perdamaian jangka panjang: yaitu untuk memperkuat cara-cara persaingan politik yang sehat antara para elite lokal Aceh, dan untuk membangun landasan bagi tatakelola pemerintahan yang baik (good governance) dan pengembangan kebijakan yang efektif di Aceh. Tujuan dari makalah ini adalah untuk mengkaji sejauh mana pilkada Aceh mampu memenuhi peran-peran tersebut, serta untuk mempertimbangkan dampak-dampak jangka pendek dan jangka panjang dari praktek-praktek politik yang terjadi selama pilkada Aceh. Memahami sejauh mana pilkada pasca konflik di Aceh mampu memperkuat persaingan politik yang sehat serta pemerintahan yang bersih memerlukan pendekatan analitik yang lebih luas daripada fokus kepada apakah pilkada berjalan ‘bebas, jujur dan adil’ saja. Khususnya, diperlukan pengamatan lebih jauh mengenai: (i) pelaksanaan pilkada secara institusional; (ii) strategi kampanye dan mobilisasi oleh para kandidat; dan (iii) perilaku pemilih. Temuan yang terkait ketiga faktor tersebut akan didiskusikan dan dikaitkan dengan dinamika politik pasca pilkada baru-baru ini. Walaupun pengalaman dari tempat lain menunjukkan bahwa pemilihan pasca konflik jarang dapat segera mewujudkan tatakelola pemerintahan yang baik, analisa praktek pilkada dan dampaknya terhadap persaingan politik dan pemerintahan yang bersih pada tahun pertama setelah pilkada dapat menjadi membantu dalam pengembangan pendekatan-pendekatan untuk memperkuat demokrasi damai di Aceh. Temuan makalah ini memiliki relevansi untuk persiapan pemilu-pemilu ke depan, dan juga bagi mereka yang ingin merancang program-program atau kebijakan-kebijakan pembangunan yang efektif di Aceh. Data untuk makalah ini didapatkan melalui penelitian lapangan kualitatif mendalam yang dilaksanakan pada delapan kabupaten, dan dari pemantauan surat kabar terhadap semua konflik terkait pilkada (baik yang melibatkan kekerasan maupun yang tidak). Penelitian lapangan dilaksanakan pada awal-awal persiapan pilkada (September 2006), selama kampanye (November 2006), pada hari pemungutan suara (11 Desember 2006), segera setelah pilkada (Januari 2007), serta pada periode pasca pilkada (November 2007). Makalah ini mencakup pilkada baik di tingkat propinsi (pilgub) maupun tingkat

Page 5: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

v

kabupaten/kotamadya (pilbup/pilwali), namun sebagian besar analisa terfokus pada tingkat kabupaten/kotamadya. Pilkada Pasca Konflik di Aceh: Melampaui Pendekatan ‘Bebas, Jujur dan Adil’ Makalah ini berargumen bahwa meskipun pilkada pasca konflik di Aceh telah berlangsung sukses—dalam arti pilkada berlangsung bebas, adil dan damai—pelaksanaan pilkada juga memperlihatkan praktek-praktek politik yang cenderung tidak memperkuat manajemen persaingan politik antar elite lokal dan kurang membantu membentukkan pemerintahan yang akuntabel, bertanggung jawab dan responsif pada jangka menengah dan panjang. Pelaksanaan Kelembagaan Tingkat kekerasan yang terjadi pada pilkada Aceh dapat dikatakan rendah. Kalau mengingat Aceh baru damai setelah 30 tahun dilanda konflik kekerasan, pencapaian ini patut dihargai. Meski demikian, konflik dan sengketa terkait pilkada sering terjadi walaupun jarang disertai kekerasan. Pada konflik-konflik tanpa kekerasan ini, tingkat keterlibatan institusi pemerintahan dapat dikatakan tinggi, baik sebagai pihak yang bertikai maupun sebagai pelaku pelanggaran pilkada. Pengamatan terhadap masalah-masalah ini memperlihatkan beberapa kelemahan yang signifikan pada pelaksanaan pilkada secara kelembagaan: pengawasan pilkada masih rendah; penyelidikan sengketa dan pelanggaran pilkada tidak efektif; terdapat indikasi adanya petugas pilkada yang kurang netral; dan beberapa prosedur penting ternyata tidak dilaksanakan, misalnya prosedur pengawasan dana kampanye. Di satu sisi, kelemahan-kelemahan ini akan berdampak pada cara-cara penanganan konflik politik di kemudian hari serta upaya membangunkan tatakelola pemerintahan yang baik (good governance) di Aceh. Meskipun tidak terjadi manipulasi yang meluas, namun banyaknya pelanggaran dan gagalnya lembaga-lembaga resmi menyelesaikan berbagai masalah secara efektif telah menimbulkan kekecewaan di antara fraksi-fraksi elit, dan telah mengurangi legitimasi para kandidat yang menang. Di sisi lain, karena buruknya pelaksanaan peraturan dana kampanye, maka masyarakat dan komponen masyarakat sipil (civil society) kehilangan suatu alat penting dalam menuntut akuntabilitas pemerintah pada masa mendatang. Hal ini mungkin akan berdampak buruk terhadap upaya-upaya membangun pemerintahan yang bersih dan pembuatan kebijakan yang efektif. Strategi Kampanye dan Mobilisasi oleh para Kandidat Partai-partai dan rencana-rencana kebijakan tidak secara signifikan membentuk strategi kampanye kandidat pada pilkada Aceh. Justru strategi-strategi lain lebih menonjol dalam kampanye dan cara memobilisasikan pendukung seperti pembentukan aliansi pragmatis melalui tim sukses, serta menyebarkan ‘patronase’ dan janji-janji. Para kandidat bersaing untuk mendapatkan dukungan dari tokoh-tokoh masyarakat, dan mempekerjakan broker-broker politik yang menjual jasa mobilisasinya kepada kandidat yang membayar paling tinggi. Khususnya di antara kandidat yang berafiliasi GAM, mereka menggunakan jaringan luas yang mereka memiliki pada era konflik. Melalui strategi-strategi kampanye seperti ini, banyak kandidat tingkat propinsi maupun tingkat kabupaten terlibat hutang, baik hutang politik maupun hutang finansial, yang harus dilunasi pada masa mendatang. Kandidat-kandidat yang menang akan menghadapi tekanan

Page 6: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

vi

kuat untuk membayar hutangnya melalui jasa-jasa politik yang cenderung mengkompromikan prinsip-prinsip tatakelola pemerintahan yang baik. Hal ini berlaku untuk kandidat-kandidat yang berafiliasi dengan GAM maupun yang lain. Sebaliknya, kalau kandidat yang menang enggan melunasi hutang politik dengan cara tersebut, diperkirakan dapat menimbulkan konflik politik di antara elite lokal, ketika pendukung menjadi kecewa karena tidak menerima balasan dan akhirnya justru menyerang balik kandidat tersebut. Perilaku Pemilih Perilaku pemilih jarang ditentukan berdasarkan kesamaan antara pemilih dan kandidat pada rencana-rencana kebijakan yang ditawarkan. Pemilih justru memilih kandidat berdasarkan faktor lain. Pertama, masyarakat memilih kandidat yang sudah memiliki hubungan khusus dengan desa mereka. Cara ini (diharapkan) dapat memfasilitasikan akses mereka terhadap sumberdaya negara. Kedua, bila tidak ada hubungan khusus, pemilih kadang berusaha untuk menghubungkan dirinya dengan salah seorang kandidat yang cenderung akan menang, dengan tujuan dukungan mereka dapat membawa keuntungan khusus di kemudian hari. Ketiga, pemilihan di Aceh seringkali bersifat komunal. Pemimpin desa seringkali berpengaruh dalam menentukan pilihan warganya, dan dia dapat mempengaruhi sebagian besar warga untuk memilih salah satu kandidat. Terakhir, beberapa kasus intimidasi terjadi di daerah yang masih didominasi GAM, meski tidak sebanyak yang diperkirakan dapat terjadi pada wilayah pasca konflik. Pola perilaku pemilih seperti ini menunjukkan bahwa warga sangat tidak yakin bahwa pemerintah bisa melaksanakan pembangunan dan melakukan reformasi kebijakan, tetapi pada saat yang sama warga juga sepertinya mengharapkan mendapatkan keuntungan yang disalurkan melalui jaringan patronase dan hubungan pribadi. Adanya dua faktor itu, kekecewaan terhadap negara dan harapan mendapat keuntungan khusus, berpotensi menjadi landasan munculnya sengketa dan mobilisasi masa di kemudian hari, yang dapat meningkatkan kemungkinanan pecahnya kekerasan yang lebih luas. Dampak-dampak Awal terhadap Persaingan Politik dan Tatakelola Pemerintahan Pada periode pasca pilkada, terdapat tanda-tanda awal bahwa praktek-praktek politik yang digambarkan di atas memang telah berakibat buruk pada manejemen persaingan politik dan penetapan landasan yang kuat bagi tatakelola pemerintahan yang baik dan pembuatan kebijakan. Terdapat empat perkembangan penting yang telah timbul pada awal periode pasca pilkada. Pertama, kelemahan-kelemahan pada pelaksanaan pilkada berujung pada sengketa pasca pilkada dan kekecewaan yang berlanjut. Hal ini menunjukkan di beberapa kabupaten, pilkada gagal menetapkan pemenang yang diterima khalayak, dan di banyak tempat telah meningkatkan persaingan politik yang tidak sehat antar elit-elit. Persaingan yang tidak sehat ini telah menghentikan roda pemerintahan pada satu kabupaten. Di tempat lain sengketa berujung pada perjanjian-perjanjian terselubung untuk meredam ketegangan antar kedua belah pihak yang bersengketa.

Page 7: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

vii

Kedua, metode-metode kampanye dan mobilisasi telah membangun atau memperkuat hubungan-hubungan ‘patronase’ yang mendorong penyaluran kekuasaan dan sumberdaya pemerintah melalui jalur tidak resmi, sehingga semakin mengukuhkan siklus pemerintahan yang korup. Fenomena ini sudah memunculkan konflik di antara para elite lokal yang saling berebut dukungan, dan menurut sejumlah indikasi yang ada sekarang, akan terus mempersempit peluang untuk memperbaiki pemerintahan di Aceh. Ketiga, hasil pilkada dimana sebagian dimenangkan oleh kandidat yang berafiliasi dengan GAM, telah meningkatkan tekanan terhadap pememang yang berafiliasi dengan GAM itu untuk menyalurkan sumberdaya pemerintah kepada kelompok-kelompok mantan GAM. Tekanan ini berdampak buruk terhadap pemerintahan, dan juga telah menyebabkan keretakan baru, dan memperparah keretakan lama, di tubuh GAM sendiri. Karena masih belum jelas sejauh mana kepemimpinan GAM akan mampu menangani keretakan-keretakan ini, maka perpecahan di dalam tubuh GAM masih tetap berpotensi sebagai sumber konflik ke depan. Terakhir, terdapat beberapa tanda-tanda awal bahwa jaringan ‘patronase’ yang dikembangkan selama pilkada akan dimanfaatkan untuk memobilisasi kekecewaan di tingkat desa. Mobilisasi seperti ini dapat digunakan untuk meraih kepentingan politik desa, namun juga bisa dimanipulasikan dan dimanfaatkan sehingga memperparah konflik politik tingkat kabupaten. Praktek-praktek politik dan kelemahan-kelemahan pelaksanaan pilkada yang digambarkan di atas memiliki banyak kesamaan dengan apa yang telah digambarkan oleh pengamat pemilu dan peneliti mengenai situasi di berbagai daerah di Indonesia pada umumnya. Bila tantangan-tantangan utama dalam menegakkan demokrasi di Aceh kini mirip dengan tantangan yang dihadapi pada daerah lain, maka ini bisa dianggap sebuah pencapaian yang signifikan. Namun demikian, Aceh menghadapi tantangan yang lebih berat dan lebih beragam dibandingkan daerah lain di negeri ini, seperti adanya sejarah konflik, masyarakat yang telah mengalami banyak trauma, munculnya dinamika yang unik di mana mantan kombatan kini menjadi pimpinan pemerintah, tingginya tingkat kemiskinan dan korupsi, ketegangan antar etnis, serta gerakan-gerakan untuk memekarkan propinsi baru. Kondisi perpolitikan dalam konteks Aceh cenderung memiliki resiko untuk terjadinya praktek politik negatif ini. Keadaan yang digambarkan di atas menunjukkan bahwa kekecewaan mengenai pemanfaatan sumberdaya dan kinerja pemerintah, yang pada masa lalu melatarbelakangi konflik separatis, akan tetap ada. Walaupun kekerasan skala luas telah berhenti dengan adanya MoU Helsinki, konflik-konflik politik antara elite lokal tetap sering terjadi, dan apabila pemerintah daerah gagal menepati janji-janji dari kampanye pilkada, konflik dan kekecewaan ini bisa semakin parah. Memang komitmen politik terhadap proses perdamaian masih tetap kuat pada kedua belah pihak. Namun, bila politik lokal terus berjalan melalui sistem patronase, maka hanya sebagian kecil masyarakat akan merasakan peningkatan kesejahteraan. Dengan demikian, kekecewaan yang dapat menjadi dasar mobilisasi, dan juga insentif-insentif bagi elite untuk memobilisasi, masih tetap ada. Hal ini menunjukkan bahwa ada kebutuhan mendesak bagi Aceh untuk terus memperkuat dasar-dasar dari sistem demokrasi di Aceh, agar perdamaian bertahan sampai jangka panjang.

Page 8: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

viii

Rekomendasi Untuk menghadapi tantangan-tantangan ini, dibutuhkan sudut pandang baik jangka pendek maupun juga jangka panjang. Intervensi jangka pendek dapat memperbaiki masalah-masalah yang berkaitan dengan pelaksanaan pemilihan, dan merupakan sesuatu yang penting pada saat pemilu 2009. Selain itu, intervensi jangka panjang juga perlu dilakukan. Jangka Pendek: Memperbaiki Pelaksanaan Pemilihan Tujuan rekomendasi-rekomendasi ini adalah untuk menguatkan pelaksanaan pemilu secara kelembagaan dan untuk mengurangi potensi terjadinya kekerasan.

1. Ketergantungan lembaga-lembaga pemilihan tingkat daerah pada DPRD hendaknya dihilangkan.

2. Hubungan antara lembaga pemilihan tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota hendaknya diperjelas.

3. Kekuasaan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) vis-à-vis Komisi Independen Pemilihan (KIP) hendaknya diperbesar.

4. Mekanisme penyelesaian sengketa hendaknya diperbaiki dengan cara mempertegas sanksi apabila terjadi kasus yang tidak dilanjutkan serta dengan meningkatkan transparansi menyangkut kasus-kasus yang telah dilaporkan.

5. Berbagai kelemahan dalam peraturan mengenai dana kampanye harus diatasi, dan harus dibuat prosedur pemantauan dana kampanye yang lebih efektif.

6. Kapasitas civil society untuk memantau dana kampanye perlu dibangun. 7. Definisi politik uang harus diperjelas dan disosialisasikan kepada masyarakat. 8. Netralitas para pejabat pemerintah harus dipantau secara lebih cermat, dan sanksi

harus diberikan kepada mereka yang bersikap memihak. 9. Diskusi-diskusi mengenai kebijakan harus diperbanyak selama masa kampanye. 10. Diperlukan upaya untuk memfasilitasi penilaian berbasis riset mengenai rekam jejak

para calon. 11. Diperlukan upaya untuk mengorganisasikan ikrar untuk kebijakan dan tatakelola

pemerintahan yang baik, serta ikrar warga untuk menuntut dan memberi suara demi tatakelola pemerintahan yang baik.

12. Perlu diprioritaskan program-program untuk mengatasi pengangguran di kalangan mantan kombatan dan para pemuda lainnya.

Jangka Panjang: Memperkuat Demokrasi Tujuan rekomendasi-rekomendasi ini adalah untuk mengupayakan tercapainya syarat-syarat dasar yang dapat menumbuhkan demokrasi yang sehat pada masa depan.

1. Perlu dilakukan penelitian untuk memahami secara lebih baik bagaimana para pemimpin politik menyebarkan patronase.

2. Perlu dibentuk organisasi pemantau kontrak (contract watch). 3. Diperlukan upaya untuk memfasilitasi transparansi yang lebih baik dan pengawasan

terhadap proses-proses di mana patronase disebarkan. 4. Perlu difasilitasi upaya pemantauan oleh civil society terhadap jaringan patronase.

Page 9: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

ix

5. Perlu diperluas penyebaran informasi dan media komunikasi (yakni surat kabar, radio, TV).

6. Perlu diberikan dukungan kepada jurnalisme investigatif yang independen. 7. Diperlukan upaya untuk memfasilitasi diskusi yang lebih aktif menyangkut isu-isu

tatakelola pemerintahan dan diberikan mandat untuk musyawarah dengan warga dalam pengembangan prioritas-prioritas dan kebijakan pemerintah daerah.

8. Diperlukan upaya untuk memperkuat kapasitas teknis partai-partai politik tingkat lokal maupun nasional dalam mengembangkan dan menjelaskan kebijakan sosial dan ekonomi.

9. Perlu diatur ketentuan bahwa para pemimpin yang baru terpilih diperbolehkan mempertahankan para ahli strategi kampanye mereka sebagai para penasihat kebijakan.

Page 10: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

x

Daftar Isi UCAPAN TERIMA KASIH................................................................................................................................. iii RINGKASAN EKSEKUTIF .................................................................................................................................iv DAFTAR ISTILAH ................................................................................................................................................xi I. PENDAHULUAN .................................................................................................................................................1 II. LATAR BELAKANG DAN KERANGKA ANALISIS ................................................................................3

1. ARTI PENTING PILKADA PASCA KONFLIK DI ACEH .........................................................................................3 2. PERSAINGAN POLITIK DAN KONFLIK LOKAL DI ACEH.....................................................................................5 3. TATAKELOLA PEMERINTAHAN DAN PEMBANGUNAN DI ACEH........................................................................7 4. KERANGKA ANALISIS YANG MELAMPAUI PENDEKATAN ‘BEBAS, JUJUR, ADIL’ ...........................................9

III. PELAKSANAAN DAN PRAKTEK KELEMBAGAAN ..........................................................................13 1. PENGATURAN KEAMANAN DAN PENCEGAHAN KONFLIK YANG DISERTAI KEKERASAN TERKAIT PILKADA..............................................................................................................................................................................15 2. PENGAWASAN, PENGELOLAAN SENGKETA DAN KONFLIK TANPA KEKERASAN TERKAIT PILKADA ...........17 3. PERATURAN DANA KAMPANYE DAN TATAKELOLA PEMERINTAHAN KE DEPAN .........................................24

IV. STRATEGI KAMPANYE DAN MOBILISASI PEMILIH .....................................................................28 1. PLATFORM DAN JANJI-JANJI .............................................................................................................................30 2. JANGKAUAN DAN JARINGAN KEPEMIMPINAN: PENTINGNYA TIM SUKSES ...................................................31 3. SILATURRAHMI, SUMBANGAN DAN ‘POLITIK UANG’ ....................................................................................35 4. PAMER KEKUATAN: KAMPANYE TERBUKA DAN ‘PELABELAN’ DESA .........................................................38

V. PERILAKU PEMILIH.....................................................................................................................................41 1. RASA TAKUT, INTIMIDASI DAN ‘MEMILIH DEMI PERDAMAIAN’ ...................................................................43 2. MEMBANDINGKAN REKAM JEJAK PARA CALON............................................................................................44 3. AFILIASI, HUBUNGAN DAN KONEKSI PRIBADI ...............................................................................................45 4. MEMILIH PEMENANG.......................................................................................................................................47 5. MEMILIH SECARA KOMUNAL DAN PENGARUH PEMIMPIN LOKAL ................................................................48 6. POLITIK UANG DAN REAKSI PEMILIH .............................................................................................................49

VI. DINAMIKA PASCA PILKADA: MASALAH-MASALAH TERKAIT PERSAINGAN POLITIK DAN TATAKELOLA PEMERINTAHAN ........................................................................................................51

1. SENGKETA HASIL PILKADA.............................................................................................................................51 2. MEMBAGI-BAGIKAN ‘HARTA NEGARA’ .........................................................................................................57 3. BERLANJUTNYA PERPECAHAN DI TUBUH GAM/KPA...................................................................................60 4. DINAMIKA POLITIK TINGKAT DESA................................................................................................................62 5. IMPLIKASI BAGI PERDAMAIAN DI ACEH..........................................................................................................64

VII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI....................................................................................................66 1. JANGKA PENDEK: MEMPERBAIKI PELAKSANAAN PEMILIHAN ......................................................................67 2. JANGKA PANJANG: MEMBANGUN LANDASAN DEMOKRASI YANG SEHAT ...................................................70

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................................................72

Page 11: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

xi

Daftar Istilah Agara Aceh Tenggara AMM Aceh Monitoring Mission (Misi Pemantauan Aceh) AMPG Angkatan Muda Partai Golkar BRR Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh C59 Kelompok yang terdiri dari 59 kontraktor yang aktif di Kabupaten

Aceh Barat Daya CoSA Commission on Security Arrangements (Komisi untuk Pengaturan

Keamanan) DPRA Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRD Tingkat I) DPRK Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRD Tingkat II) EU-EOM European Union Election Observation Mission (Misi Pemantauan

Pemilihan Uni Eropa) FORKAB Forum Komunikasi Anak Bangsa GAM Gerakan Aceh Merdeka GEMPAR Gerakan Pembaharuan Nagan Raya Geuchik Kepala desa ICG International Crisis Group IDP Internally Displaced Person (Pengungsi domestik) JPAD Jaringan Pilkada Aceh Damai KDP Kecamatan Development Program (Program Pengembangan

Kecamatan, PPK) KIP Komisi Independen Pemilihan (disebut KPU di wilayah lain di

Indonesia) KIP NAD KIP Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam KIP Kab KIP Kabupaten KPA Komite Peralihan Aceh KPK Komisi Pemberantasan Korupsi KPPS Kelompok Penyelenggaran Pemungutan Suara KPU Komisi Pemilihan Umum Linmas Perlindungan Masyarakat MoU Memorandum of Understanding, Nota Kesepahaman Mukim Pemimpin tradisional (antara tingkat desa dan kecamatan di Aceh) NAD Nanggroe Aceh Darussalam (dulu nama Propinsi Aceh, diganti April

2009 menjadi ‘Propinsi Aceh’) PAN Partai Amanat Nasional Panwaslih Panitia Pengawasan Pemilihan Panwaslu Panitia Pengawasan Pemilu PBB Partai Bulan Bintang PBR Partai Bintang Reformasi PDIP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan PETA Pembela Tanah Air Pilkada Pemilihan Kepala Daerah Pilkadasung Pemilihan Kepala Daerah Langsung PKB Partai Kebangkitan Bangsa

Page 12: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

xii

PKPI Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia PPG Panitia Pemilihan Gampong PPK Panitia Pemilihan Kecamatan PPNUI Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia PPP Partai Persatuan Pembangunan PTUN Pengadilan Tata Usaha Negara Qanun Undang-undang tingkat provinsi yang dibuat DPRA RASKIN Beras untuk Rakyat Miskin SIRA Sentral Informasi Referendum Aceh SMUR Solidaritas Mahasiswa Untuk Rakyat Teuku (T.) Gelar bangsawan Aceh Teungku (Tgk.) Gelar untuk ulama atau tokoh agama di Aceh TPS Tempat Pemungutan Suara UUPA Undang-Undang Pemerintahan Aceh, UU 22/2006

Page 13: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

I. Pendahuluan Pemilihan kepala daerah langsung (pilkada) untuk jabatan gubernur dan 21 kepala daerah tingkat kotamadya dan kabupaten diselenggarakan di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) antara Desember 2006 hingga Januari 2008. Pelaksanaan pilkada itu secara umum dianggap berhasil. Hanya terjadi sedikit insiden kekerasan politik, hasil pilkada umumnya diterima baik di Aceh maupun di Jakarta, dan pilkada itu mendapat liputan positif baik dari kelompok-kelompok pemantau Indonesia maupun internasional. Mengingat konteks berlangsungnya pilkada itu—yang hanya kurang dari dua tahun sejak proses perdamaian Helsinki yang mengakhiri konflik disertai kekerasan yang berlangsung selama 30 tahun di wilayah tersebut—ini merupakan sebuah prestasi yang mengesankan. Namun, kendati pilkada di Aceh itu berhasil dari segi pelaksanaannya yang secara umum berlangsung bebas, jujur, adil dan damai, namun pilkada kurang berhasil memberi kontribusi bagi pengelolaan persaingan politik di kalangan elite lokal dan dalam membangun landasan jangka panjang bagi sebuah pemerintahan daerah yang tanggap dan bertanggung jawab. Bagaimana cara demokrasi bekerja di Aceh sangat penting untuk dipahami guna memberi masukan bagi pengembangan proyek dan kebijakan serta strategi-strategi advokasi yang dapat membantu memastikan bahwa pemilihan di masa mendatang dapat berperan penting dalam memperkokoh demokrasi dan perdamaian di Aceh. Tujuan laporan ini adalah melakukan penilaian mengenai seberapa jauh pilkada di Aceh telah memberi kontribusi bagi pengelolaan persaingan politik yang efektif serta membangun landasan yang kuat bagi tatakelola pemerintahan dan pembuatan kebijakan yang baik. Kami berpendapat bahwa hal itu meniscayakan suatu pendekatan analisis yang tidak hanya terpaku pada penilaian mengenai apakah pilkada telah berlangsung secara ‘bebas, jujur dan adil’. Secara khusus hal itu memerlukan perhatian yang lebih dalam terhadap: (i) praktek-praktek kelembagaan yang terjadi dalam pelaksanaan pilkada; (ii) strategi kampanye dan mobilisasi para calon; dan (iii) perilaku pemilih. Berbagai temuan terkait faktor-faktor ini selanjutnya akan didiskusikan dengan mempertimbangkan dinamika politik pasca pilkada yang berlangsung saat ini. Data untuk bahan analisis diperoleh dengan menggunakan dua metode riset utama: penelitian lapangan dan pemantauan surat kabar. Penelitian lapangan dilakukan pada berbagai tahapan pilkada di sejumlah kabupaten. Tiga putaran pertama penelitian lapangan difokuskan pada pelaksanaan pilkada dan strategi kampanye. Hal itu dilakukan pada tahap persiapan awal (September 2006) di dua belas kabupaten, pada tahap kampanye (November 2006) di empat kabupaten, Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya dan Pidie, dan pada hari pemungutan suara (11 Desember 2006) di dua kabupaten, Aceh Barat dan Nagan Raya. Putaran keempat difokuskan pada soal perilaku pemilih dengan melibatkan studi mendalam di tingkat desa di dua kabupaten, Pidie dan Nagan Raya, pada Januari 2007. Terakhir, satu putaran lanjutan untuk menggali persaingan politik pasca pilkada dan isu-isu tatakelola pemerintahan dilaksanakan pada November 2007 di Aceh Barat Daya, Aceh Timur, Aceh Tenggara dan Bireuen. Studi ini juga memanfaatkan dua dataset surat kabar yang

Page 14: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

Pendahuluan

2

memantau insiden konflik secara umum dan konflik terkait pilkada secara khusus.1 Data ini khususnya berguna untuk melakukan investigasi menyangkut dinamika persaingan politik dan pelaksanaan pilkada. Laporan ini mencakup pilkada tingkat provinsi (pemilihan gubernur) maupun tingkat kabupaten/kota (pemilihan bupati/walikota), namun sebagian besar analisis lebih difokuskan pada pilkada tingkat kabupaten/kota. Ada tiga alasan untuk hal tersebut. Pertama, pilkada tingkat kabupaten/kota sesungguhnya juga sangat penting bagi upaya memelihara perdamaian, memperbaiki penyediaan pelayanan dan pembangunan, dan memperbaiki tatakelola pemerintahan. Akan tetapi, pilkada tingkat kabupaten/kota kurang banyak mendapat perhatian. Padahal, pemerintah tingkat kabupaten/kota merupakan level pemerintahan yang memiliki kontak paling langsung dengan warga. Kedua, banyak dinamika menarik dalam demokrasi di Aceh juga lebih terlihat dalam pilkada tingkat kabupaten/kota dibandingkan dengan pilkada tingkat provinsi. Misalnya, perilaku politik berbasis patronase lebih tampak pada pilkada tingkat kabupaten/kota, yang lebih sedikit didorong oleh isu-isu ideologis dibandingkan dengan pilkada tingkat provinsi. Terakhir, kenyataan bahwa calon yang berafiliasi dengan GAM berhasil memenangkan jabatan gubernur, dan para calon yang kalah umumnya tidak mempersoalkan hasil pemilihan gubernur itu, mengindikasikan bagi banyak orang bahwa pilkada tingkat provinsi itu telah berlangsung secara bebas, jujur dan adil, namun tidak demikian halnya dengan pilkada tingkat kabupaten/kota. Banyak hasil dari pilkada tingkat kabupaten/kota yang sangat dipermasalahkan, dan kendati sebagian gugatan-gugatan itu bersifat oportunistik, namun hal itu menyingkap banyak hal tentang praktek politik lokal dan kelemahan-kelemahan dalam pelaksanaan pilkada. Laporan ini dibagi ke dalam tujuh bagian. Bagian selanjutnya menyajikan latar belakang yang memperlihatkan arti penting pilkada pasca konflik di Aceh dan mengusulkan sebuah kerangka sederhana untuk menganalisis implikasi-implikasi pilkada terhadap persaingan politik, tatakelola pemerintahan dan pembangunan di Aceh. Tiga bagian selanjutnya difokuskan pada dinamika pilkada: Bagian III membahas soal pengaturan kelembagaan; Bagian IV melihat strategi kampanye dan mobilisasi para calon; dan Bagian V difokuskan pada perilaku pemilih. Seluruh bagian ini menyajikan berbagai temuan kami tentang praktek demokrasi pemilihan di Aceh. Bagian VI memberi perhatian pada periode pasca pilkada, dan mengkaji sejumlah dampak dari praktek-praktek tersebut terhadap persaingan politik dan tatakelola pemerintahan di Aceh. Bagian VII berisi kesimpulan dan rekomendasi.

1 Dataset Konflik Aceh merekam seluruh insiden konflik sebagaimana dilaporkan di dalam dua surat kabar daerah (Aceh Kita dan Serambi). Hasilnya dipublikasikan secara berkala sebagai Laporan Pemantauan Konflik di Aceh dan tersedia on-line pada www.conflictanddevelopment.org. Dataset Konflik Pilkada Aceh merekam seluruh insiden konflik terkait pilkada sebagaimana dilaporkan di dalam empat surat kabar (Aceh Kita, Rakyat Aceh, Serambi dan Waspada) dari 1 Juli 2006 hingga 28 Februari 2007. Lebih jauh mengenai metodologi pemantauan surat kabar berikut keterbatasan-keterbatasannya, lihat Barron and Sharpe (2005).

Page 15: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

II. Latar Belakang dan Kerangka Analisis

Problem utama Aceh bukan terletak pada kebijakan yang berasal dari Jakarta, melainkan lebih pada pola pemerintahan daerah yang mengakar kuat di Aceh seperti halnya di tempat-tempat lain di Indonesia. Tatkala pemerintah berjalan menurut garis favoritisme elite yang telah mengalami personalisasi—yang secara teknis dikenal dengan istilah neo-patrimonialisme—nepotisme yang dihasilkan berbenturan secara mendasar dengan apa yang berhak diharapkan oleh masyarakat dari negara modern, sehingga protes menjadi hampir tak terhindarkan.

Sulaiman dan van Klinken (2007: 226)

1. Arti Penting Pilkada Pasca Konflik di Aceh Pemilihan telah menjadi unsur penting dalam kebanyakan proses perdamaian pada zaman sekarang. Demikian hal itu terjadi sejak ‘gelombang ketiga’ demokratisasi pada era 1970-an, dan dipercepat dengan berakhirnya era Perang Dingin. Sejak saat itu PBB dan pihak-pihak lain telah mengadopsi formula penyelesaian konflik berupa kesepakatan damai melalui proses negosiasi yang segera diikuti dengan penyelenggaraan pemilihan yang kompetitif (Barnes 2001). Dalam konteks semacam itu, pemilihan biasanya diharapkan dapat menjadi sarana untuk mencapai sejumlah tujuan, termasuk pemberlakuan aturan-aturan baru demokrasi mengenai persaingan politik, pemberian legitimasi bagi pemerintahan baru, dan penyediaan landasan demokratis untuk memastikan tatakelola pemerintahan dan pembuatan kebijakan yang baik (Ottaway 2002; Lyons 2002; Lyons 2004). Tujuan-tujuan itu sesungguhnya berlaku pula dalam kasus pemilihan pada era pasca konflik di Aceh. Pemilihan pada periode pasca konflik merupakan komponen penting dalam proses perdamaian Helsinki. Nota Kesepahaman Helsinki menyatakan bahwa para pihak akan menciptakan kondisi bagi pemerintahan yang ‘adil dan demokratis’ (Pembukaan) dan bahwa pemilihan langsung di tingkat daerah—yang dalam istilah Indonesia disebut sebagai pilkada2—diselenggarakan tidak lama sesudah kesepakatan perdamaian ditandatangani (Klausul 1.2.2).3 Meskipun tertunda, pilkada provinsi (pemilihan gubernur) dan 19 dari 21 pilkada kabupaten/kota4 diselenggarakan pada Desember 2006, kurang dari dua tahun sejak

2 Ada dua istilah yang dikenal di Indonesia untuk pemilihan di tingkat daerah, yaitu ‘pilkada’ dan ‘pilkadasung’. Pilkada berarti ‘pemilihan kepala daerah’, sedangkan pilkadasung berarti ‘pemilihan kepala daerah langsung’. Namun, sesudah pemilihan dilaksanakan secara langsung, selanjutnya istilah ‘pilkada’ tetap umum digunakan. 3 Nota Kesepahaman itu juga menetapkan sejumlah perubahan pada sistem pemilihan, yang mengatur bahwa calon independen boleh turut berkompetisi dalam pilkada tahun 2006 (Klausul 1.2.2), dan bahwa partai-partai politik lokal diperbolehkan ikut dalam pemilu legislatif pada tahun 2009 dan seterusnya (Klausul 1.2.1), dan bahwa akan ada transparansi penuh menyangkut soal dana kampanye (Klausul 1.2.8). 4 Di Provinsi Aceh wilayah yang termasuk kotamadya adalah Sabang, Banda Aceh, Lhokseumawe dan Langsa. Sedangkan sisanya merupakan wilayah kabupaten.

Page 16: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

Latar Belakang dan Kerangka Analisis

4

kesepakatan perdamaian ditandatangani. Para calon harus meraih lebih dari 25 persen suara untuk memenangkan pemilihan dalam satu putaran. Jika tidak ada calon yang berhasil meraih jumlah tersebut, maka pemilihan putaran kedua akan dilaksanakan. Hanya di tiga kabupaten yang mengharuskan adanya pemilihan putaran kedua, yang dilaksanakan pada awal 2007. Di dua kabupaten sisanya (Bireuen dan Aceh Selatan) pilkada dilaksanakan masing-masing pada Juni dan November 2007.5 Peta 1 menggambarkan waktu pelaksanaan pilkada kabupaten/kota. Hasil pilkada ditampilkan dalam Tabel 1 dan 2 pada Bagian V di bawah. Ada dua alasan mengapa pilkada pada era pasca konflik di Aceh menjadi penting. Pertama, pilkada penting karena terkait dengan peran yang dimilikinya dalam mengelola persaingan politik di kalangan elite politik di Aceh. Pada masa lalu, dinamika persaingan politik di kalangan elite lokal di Aceh telah memengaruhi sifat dari konflik lokal maupun konflik

pusat-pinggiran di provinsi tersebut. Kelompok elite mapan seperti kaum bangsawan dan ulama telah digantikan oleh kelompok elite baru, meliputi pejabat tinggi pemerintah, GAM dan elite tandingan dari kelompok masyarakat sipil, serta para kontraktor kaya. Bagaimana perbedaan-perbedaan politik ditangani dan bagaimana kekuasaan dibagi di antara dan di dalam tubuh kelompok-kelompok tersebut, akan berimplikasi pada hubungan antara Jakarta dan Aceh, dan demikian pula pada proses perdamaian. Keberhasilan pilkada dalam mengelola persaingan politik antarelite bergantung pada sejumlah faktor yang akan digali secara lebih mendalam di bawah. Kedua, pilkada pada era pasca konflik di Aceh penting terkait dengan peran yang dimilikinya

dalam mewujudkan komitmen politik dan prioritas kebijakan yang akan memengaruhi tatakelola pemerintahan dan pembuatan kebijakan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Pilkada dimaksudkan untuk mencerminkan kebutuhan dan preferensi warga, dan memastikan bahwa pihak-pihak yang ikut dalam persaingan memperebutkan jabatan akan

5 Di Aceh Selatan juga harus diadakan pemilihan putaran kedua, yang dilaksanakan pada Januari 2008.

Peta 1: Jadwal Pilkada tingkat Kabupaten/Kotamadya

Page 17: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

Latar Belakang dan Kerangka Analisis

5

tanggap terhadap kebutuhan dan preferensi warga tersebut, serta bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan dan preferensi itu di masa mendatang. Di Aceh pada masa belakangan praktek-praktek politik telah menggerogoti tata kelola pemerintahan dan pembangunan daerah, mendorong tumbuhnya korupsi dan distribusi sumber-sumber daya negara yang lebih didasarkan atas kepentingan patronase daripada kebijakan. Dua hal ini, praktek tatakelola pemerintahan dan persaingan politik yang dikelola secara buruk, berpotensi mengancam perdamaian yang berkelanjutan di Aceh. Pelaksanaan pemilihan pada era pasca konflik yang bebas dari kelemahan tentu saja jarang sekali terjadi. Namun demikian, sementara keberhasilan pilkada di Aceh yang secara umum berlangsung bebas, jujur, adil dan damai perlu diakui, namun penting pula dicermati bagaimana pilkada itu berjalan menurut ukuran-ukuran lain. Hal ini diperlukan agar kita dapat memahami secara lebih baik dukungan apa yang harus diberikan agar proses demokratisasi yang terus-menerus dan perdamaian yang bersifat jangka panjang dapat diwujudkan di Aceh. Lebih dari itu, ukuran-ukuran semacam itulah, dan bukan sekadar tujuan-tujuan yang bersifat jangka pendek, yang seharusnya semakin lebih banyak digunakan untuk menilai pemilihan mendatang di Aceh (dan juga di seluruh wilayah lainnya di Indonesia).

2. Persaingan Politik dan Konflik Lokal di Aceh Para elite di Aceh telah bersaing untuk memperebutkan kekuasaan politik dan kontrol atas sumber daya selama berabad-abad, dan dinamika persaingan itu telah memengaruhi sifat dasar konflik di Aceh. Pada abad ketujuhbelas, kekuasaan dan sumber daya dibagi antara Sultan, yang mengendalikan perdagangan luar negeri, dan kelompok pejabat-pedagang kaya (dikenal sebagai ‘orangkaya’), yang menjadi perantara dan mengendalikan akses produsen lokal ke pasar (Reid 2005: 99-100). Hubungan antara kedua kelompok ini cenderung labil selama periode transisi kesultanan dan gejolak politik. Dengan semakin pentingnya perdagangan pertanian pada akhir abad kedelapanbelas dan awal abad kesembilanbelas, kekuasaan dan otoritas Sultan menurun dan tergeser oleh kelompok ulèëbalang, kelas keturunan penguasa lokal yang mengendalikan produksi pertanian (Hing 2006; Hurgronje 1960 dalam Reid 2005: 140). Sekitar 1870-an Belanda mengirim kekuatan militer ke Aceh untuk menguasai wilayah tersebut; perlawanan bersenjata rakyat Aceh berlangsung selama 30 tahun sejak saat itu. Pada masa itu Belanda memperkuat kontrol mereka dengan menguasai kelompok ulèëbalang, dengan memosisikan mereka sebagai tuan-tuan tanah yang berkuasa sebagai imbalan atas kesetiaan mereka kepada Belanda. Sementara itu, kelompok ulama tetap melakukan perlawanan di wilayah-wilayah pedalaman, dengan memimpin perang gerilya melawan Belanda (Reid 2006). Banyak orang Aceh yang marah dengan kesediaan kelompok ulèëbalang untuk bekerja sama dengan pihak Belanda, serta dengan monopoli mereka atas peluang-peluang ekonomi pada masa itu. Perang Dunia II dan bertekuk-lututnya pemerintah militer Jepang dalam waktu singkat menyediakan peluang untuk bertindak atas dasar berbagai ketidakpuasan tersebut. Di banyak wilayah di Indonesia, kaum ulama setempat dan para pendukungnya menanggapi

Page 18: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

Latar Belakang dan Kerangka Analisis

6

kevakuman politik akibat hengkangnya pihak Jepang secara tiba-tiba dengan cara memimpin revolusi lokal melawan kelompok elite pribumi yang telah dikuasai Belanda (Anderson 1972). Mengikuti pola ini, tidak lama setelah Jepang mundur, kelompok ulama menggulingkan dengan kekerasan kelompok ulèëbalang dan merebut kendali atas pemerintahan Aceh (Aspinal 2006). Di wilayah-wilayah lain di Indonesia, ketika kelompok elite yang telah dikuasai Belanda itu telah digulingkan, kelompok ulama umumnya merasa puas untuk membiarkan kelompok elite lokal baru yang memiliki pengalaman birokrasi untuk memerintah, dan selanjutnya kelompok ulama menarik diri dari politik (Anderson 1972). Akan tetapi, di Aceh kelompok ulama berkeinginan agar Republik Indonesia mengadopsi beberapa prinsip Islam tertentu, dan bahwa peranan Islam dalam urusan kemasyarakatan di Aceh tetap dilindungi. Pemerintah Republik Indonesia yang cenderung sekular tidak puas untuk memerintah secara tidak langsung melalui kelompok ulama, seperti sebelumnya Belanda merasa puas untuk menggunakan kelompok ulèëbalang sebagai tangan pemerintah (McGibbon 2006: 319). Perbedaan-perbedaan itu pada akhirnya membuahkan pemberontakan terhadap Indonesia pada era 1950-an, yang dipimpin oleh Daud Beureueh, pemimpin salah satu kelompok ulama yang utama. Sejak berdirinya Republik Indonesia, ada empat kelompok baru elite lokal yang menonjol di Aceh. Kelompok elite pemerintahan yang terdidik dan berorientasi sekular muncul ketika Indonesia memperluas kehadirannya di tingkat daerah pada akhir 1960-an dan 1970-an. Banyak pihak memandang elite birokrasi dan akademik ini—yang disebut juga sebagai kaum ‘teknokrat’ (McGibbon 2006)—memainkan peran serupa dengan kelompok ulèëbalang, dengan kepentingan mereka yang lebih sejalan dengan kekuasaan luar (Jakarta) daripada dengan rakyat Aceh pada umumnya. Bahkan, karena alasan itulah kelompok ini seringkali disebut sebagai kelompok ‘ulèëbalang baru’ (Morris 1993; Brown 1994). Antara lain sebagai respons terhadap kolusi yang dianggap terjadi antara kelompok elite lokal dan Jakarta, pada Desember 1976 Hasan di Tiro mendeklarasikan pembentukan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan menyatakan kemerdekaan Aceh dari Indonesia. GAM memanfaatkan ketidakpuasan banyak rakyat Aceh yang gagal memperoleh manfaat dari penemuan dan pengembangan ladang-ladang gas alam yang sangat besar di kawasan pantai timur provinsi tersebut. Gerakan itu bertambah besar pada 1980-an dan sebagian pejuangnya mendapat pelatihan di Libya. Melalui sejumlah operasinya, pihak militer Indonesia berusaha dengan menggunakan kekuatan menghancurkan gerakan tersebut. Namun, kebrutalan dan kekejaman, terutama yang terjadi pada masa ketika Aceh ditetapkan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) pada 1989-1998, justru memperkuat GAM dan citranya di mata rakyat Aceh. Tatkala Indonesia diterpa krisis ekonomi dan politik pada akhir 1990-an, jangkauan GAM bertambah luas dan rekrutmen para pejuangnya pada masa belakangan itu antara lain menjadi salah satu penyebab terjadinya perpecahan antargenerasi dan ideologis dalam tubuh gerakan tersebut (Schulze 2004). Popularitas GAM paling kuat berada di wilayah pedesaan. Di wilayah perkotaan kelompok elite pembangkang (dissident) dari kalangan terdidik juga muncul, dan memiliki sentimen anti-Jakarta yang serupa dengan GAM. Kelompok yang sering disebut sebagai kelompok ‘elite tandingan’ ini terdiri dari para mahasiswa dan aktivis LSM, dan mereka membentuk jaringan yang kuat khususnya pada periode pascareformasi 1998 (McGibbon 2006).

Page 19: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

Latar Belakang dan Kerangka Analisis

7

Kelompok keempat terdiri dari kalangan kontraktor dan pengusaha yang bekerja erat dengan elite birokrasi. Kontrol negara atas sumber daya alam Aceh yang berlimpah, termasuk gas alam dan minyak bumi yang ditemukan pada 1970-an, ditambah lagi dengan korupsi yang merajalela, telah melahirkan kelas ekonomi para kontraktor yang bergantung pada kontrak-kontrak pembangunan dan izin eksploitasi yang diperoleh melalui koneksi politik baik dengan pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Menjelang pilkada tahun 2006, keempat kelompok elite ini sangat menonjol: elite teknokrat, para kontraktor kaya yang memiliki koneksi politik yang kuat, GAM dan elite tandingan masyarakat sipil. Kelompok elite tradisional seperti ulama dan keturunan ulèëbalang hanya memainkan peran yang lebih kecil; para ulama telah menjadi terpecah dan konservatif (McGibbon 2006: 329), sedangkan para ulèëbalang masih lekat dengan reputasi tercela akibat sikap kolaboratif mereka dengan pihak Belanda pada masa lalu. Selama beberapa dasawarsa lalu hubungan antara keempat kelompok elite itu didorong oleh situasi darurat politik akibat konflik, di mana kelompok teknokrat dan kontraktor berada pada pihak yang berlawanan dengan GAM dan elite tandingan masyarakat sipil. Namun, pembedaan sederhana ini menutupi perpecahan dan kepentingan yang saling berlawanan yang sesungguhnya ada di dalam masing-masing kelompok elite tersebut. Demokratisasi Indonesia setelah turunnya Soeharto pada 1998 dan, lebih penting lagi, pengakhiran konflik6 pusat-pinggiran dengan ditandatanganinya Nota Kesepahaman Helsinki pada 2005, telah mengubah lingkungan politik di mana persaingan antarkelompok elite itu terjadi. Diberlakukannya sejumlah aturan baru, seperti pemilihan langsung, calon independen dan partai politik lokal (untuk pemilu 2009 dan seterusnya), telah mengubah secara dramatis ‘aturan main’ (rules of engagement) dan ‘keunggulan komparatif’ (comparative advantage) masing-masing kelompok. Mengingat konflik terjadi antara lain akibat “ketidakpuasan massa terhadap elite yang berkuasa” (McGibbon 2006: 349), pilkada pada era pasca konflik di Aceh menjadi krusial terkait dengan peran yang dimilikinya dalam mengelola persaingan politik di dalam dan di antara berbagai kelompok elite tersebut.

3. Tatakelola Pemerintahan dan Pembangunan di Aceh Praktek pemilihan dan politik pada masa lalu di Aceh telah merusak tatakelola pemerintahan dan pembangunan di provinsi tersebut. Hal itu tidak hanya menyumbang pada tingginya tingkat kemiskinan, tetapi juga telah menciptakan berbagai ketidakpuasan yang menjadi landasan bagi konflik pusat-pinggiran yang diwarnai kekerasan. Pilkada yang baru-baru ini diselenggarakan di Aceh berpotensi untuk memainkan peran penting dalam memastikan bahwa kebijakan-kebijakan dan praktek-praktek menyangkut distribusi sumber daya negara sejalan dengan kebutuhan dan preferensi rakyat Aceh pada umumnya. Dari 6 Di dalam laporan ini istilah ‘konflik’ digunakan dalam beberapa pengertian yang berbeda. Dengan melihat konteks penggunaannya, seharusnya sudah jelas apakah istilah itu mengacu pada konflik panjang disertai kekerasan selama 30 tahun antara GAM dan pemerintah Indonesia, atau mengacu pada konflik politik yang berlangsung terus-menerus pada tingkat yang rendah (seperti perselisihan, persaingan dsb.) pada periode pasca Nota Kesepahaman Helsinki, yang dapat berbentuk konflik tanpa kekerasan maupun konflik yang disertai kekerasan.

Page 20: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

Latar Belakang dan Kerangka Analisis

8

sudut ini, pemilihan mendatang, termasuk pemilu legislatif tahun 2009, menjadi penting. Apabila kebijakan dan praktek menyangkut distribusi sumber daya negara tidak sejalan dengan kebutuhan dan preferensi rakyat Aceh, maka berbagai ketidakpuasan akan terus muncul, yang kemudian menyediakan lahan bagi tumbuhnya sentimen anti-pemerintah yang pada gilirannya dapat menyebabkan pecahnya konflik lebih jauh. Aceh kaya dengan sumber daya alam, tetapi pada saat yang sama juga merupakan salah satu provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Indonesia. Aceh merupakan provinsi terkaya ketiga dari segi tingkat pendapatan perkapita, hanya berada di belakang Papua dan Kalimantan Timur (World Bank 2006: xiii). Namun, tingkat kemiskinan di Aceh diperkirakan sebesar 26,5% dari penduduk di Aceh, artinya lebih dari 1 juta jiwa; ini berarti hampir dua kali lipat dari rata-rata tingkat kemiskinan nasional (World Bank 2008a). Konflik selama tiga dasawarsa di Aceh telah memungkinkan bertahannya praktek pengelolaan dana dan program pemerintah yang korup dan tidak kompeten, dan hal ini menambah ketidakpuasan yang mendorong terjadinya konflik (McGibbon 2006: 339). Kebutuhan akan tatakelola pemerintahan daerah yang lebih baik guna memastikan distribusi dana pemerintah berlangsung efektif merupakan hal yang sangat mendesak di Aceh dewasa ini, mengingat jumlah dana yang dikelola oleh pemerintah daerah meningkat dengan pesat. Bencana Tsunami pada Desember 2004 telah menyapu kawasan pantai Aceh, dan telah mendorong upaya rekonstruksi secara besar-besaran. Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh (BRR), yang dibentuk berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) dan melapor langsung ke Jakarta, diberi wewenang untuk memimpin dan mengoordinasikan upaya rekonstruksi tersebut. Ini dimaksudkan sebagai langkah untuk memotong jalur badan-badan pemerintah daerah yang dipandang korup dan tidak memiliki kapasitas.7 Namun, mandat BRR akan berakhir pada 2009, dan tanggungjawab untuk rekonstruksi dan pembangunan kembali akan dilimpahkan ke pemerintah daerah Aceh. Badan-badan pemerintah daerah juga akan bertanggung jawab untuk mengalokasikan dan mendistribusikan dana otonomi pasca konflik yang sangat besar, yang dimandatkan oleh Nota Kesepahaman dan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA), yang mengimplementasikan banyak kesepakatan yang diatur dalam Nota Kesepahaman (World Bank 2006). Bagaimana cara pemerintah mengalokasikan sumber daya akan terkait erat dengan pilkada dan politik lokal. Langkah ke arah pemberian kontrol yang lebih besar atas dana dan kebijakan kepada pemerintah daerah didasarkan atas keyakinan bahwa pemerintah daerah lebih dekat dengan rakyat dan karena itu mereka lebih mengetahui kebutuhan dan aspirasi rakyat setempat (Tendler 2000; Mehler 2002; Hadenius 2003). Namun, jika desentralisasi dan pilkada hanya menciptakan peluang baru bagi para elite politik lokal untuk memanipulasi penyusunan program pemerintah dan mengeruk sumber daya negara, maka hasilnya tidak akan seperti yang telah diteorikan (Barron dan Clark 2006). Oleh sebab itu, politik lokal di Aceh akan menjadi semakin penting bagi upaya rekonstruksi dan pembangunan, yang memiliki implikasi langsung terhadap perdamaian yang kokoh dan langgeng di Aceh.

7 BRR sendiri tidak lepas dari tuduhan korupsi dan kolusi. Lihat Kompas (2007).

Page 21: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

Latar Belakang dan Kerangka Analisis

9

Di Aceh kaitan antara politik lokal, pemilihan dan tatakelola pemerintahan terlihat jelas pada masa Gubernur Abdullah Puteh, 2000-2004.8 Pada masa itu Gubernur tidak dipilih langsung oleh rakyat, tetapi oleh anggota DPRD Provinsi. Investasi besar jelas dibutuhkan karena para calon akan mengerahkan tim sukses untuk melobi para anggota DPRD guna meraih suara, dan sering kali juga dengan memberi suap secara langsung.9 Setelah terpilih, Puteh jelas sangat ingin mengembalikan modal investasi yang ia dan para pendukungnya telah keluarkan. Ada dua mekanisme utama untuk membalas dukungan dan membagi-bagikan ‘hadiah dari negara’ kepada para pengikutnya: pembagian jabatan berpengaruh dalam pemerintahan provinsi; dan pembagian dana pemerintah, khususnya melalui pemberian kontrak-kontrak pemerintah. Di antara berbagai kasus yang dicurigai, salah satunya akhirnya membuat Puteh mendekam di penjara: pembelian pesawat helikopter untuk kepentingan pemerintah. Berbagai laporan mengindikasikan bahwa harga pembelian helikopter itu telah digelembungkan (mark-up) hingga empat kali lipat harga pasar (McGibbon 2006: 340), yang menambah beban ekstra atas pengeluaran publik sebesar Rp. 12 milyar (sekitar 1,3 juta dollar AS) (Saraswati 2004).

4. Kerangka Analisis yang melampaui Pendekatan ‘Bebas, Jujur, Adil’ Mengelola persaingan politik dan memperbaiki tatakelola pemerintahan di Aceh memiliki arti penting, dan oleh sebab itu evaluasi atas keberhasilan pilkada hendaknya tidak hanya difokuskan pada soal apakah pilkada berlangsung ‘bebas, jujur dan adil’, tetapi juga pada seberapa jauh pilkada memberi kontribusi pada hasil yang lebih bersifat jangka panjang. Bagian ini akan menguraikan sebuah kerangka untuk memahami pilkada yang belum lama ini berlangsung di Aceh serta implikasinya terhadap persaingan politik, tatakelola pemerintahan dan pembangunan, serta pada akhirnya perdamaian yang langgeng di Aceh. Pemilihan yang berlangsung pada periode pasca konflik dan pascarezim otoriter acapkali disertai upaya untuk menilai sejauh mana pemilihan berlangsung ‘bebas, jujur dan adil’. Tujuan utama menentukan apakah sebuah pemilihan berlangsung bebas, jujur dan adil adalah untuk menilai seberapa kuat pemerintah terpilih mencerminkan kehendak rakyat yang sesungguhnya (Goodwin 2006: viii). Untuk itu sejumlah kriteria dan standar yang canggih (dan objektif) telah dikembangkan untuk menilai apakah warga telah diberi peluang untuk mengekspresikan kehendak mereka secara bebas. Kriteria umum sebuah pemilihan dipandang berlangsung bebas, jujur dan adil meliputi hak pilih yang bersifat universal, kebebasan memberikan suara, kebebasan berbicara untuk para calon dan partai politik, tidak adanya intimidasi, pemberian suara bersifat rahasia dan penghitungan suara tidak memihak (Goodwin 2006). Dengan demikian, ciri pendekatan ‘bebas, jujur dan adil’ untuk analisis pemilihan adalah fokusnya pada proses kelembagaan dan hasil jangka pendek.

8 Bagian tentang Abdullah Puteh ini didasarkan atas artikel menarik oleh Sulaiman dan van Klinken (2007). 9 Sulaiman dan van Klinken (2007: 231) mengemukakan bahwa masing-masing tim sukses menyerahkan sekitar Rp. 50-150 juta untuk setiap anggota DPRD, kendati hal itu sulit dipastikan karena pemberian uang umumnya dilakukan secara rahasia.

Page 22: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

Latar Belakang dan Kerangka Analisis

10

Ada sejumlah keuntungan dari pendekatan untuk analisis pemilihan tersebut. Pertama, pendekatan ini dapat memastikan dengan relatif cepat legitimasi pemilihan dan meramalkan kemungkinan bahwa calon yang kalah akan menerima hasil pemilihan. Dalam konteks pasca konflik, pendekatan ini dapat membantu memprediksi apakah kekerasan politik akan terjadi setelah pemilihan usai. Kedua, pengawasan yang disyaratkan oleh pendekatan ini—misi Uni Eropa melibatkan 88 orang pengamat yang tersebar di seluruh penjuru Aceh—dapat memberi insentif yang kuat dan sangat diperlukan untuk mempertahankan standar pemilihan yang tinggi dan mencegah terjadinya kecurangan dalam pemilihan. Ketiga, karena standar untuk pemilihan yang bebas, jujur dan adil relatif objektif, standar itu dapat digunakan dalam berbagai konteks politik dan kelembagaan, dan dapat menghasilkan rekomendasi umum tentang bagaimana cara memperbaiki pemilihan pada masa mendatang. Namun, pendekatan ‘bebas, jujur dan adil’ juga memiliki sejumlah keterbatasan penting. Keputusan yang relatif cepat mengenai apakah pemilihan berlangsung bebas, jujur dan adil umumnya mengenyampingkan analisis terhadap hasil jangka panjang menyangkut proses-proses seperti persaingan politik dan tatakelola pemerintahan, yang di atas diidentifikasi sebagai dua faktor penting di Aceh. Pendekatan tersebut juga tidak dapat memberikan rekomendasi-rekomendasi yang secara kontekstual agak kompleks mengenai bagaimana cara memperbaiki pemilihan dan praktek-praktek politik melampaui resep-resep standar untuk pemilihan, seperti menjamin ‘peluang kampanye yang setara’ atau ‘memperbaiki pengawasan terhadap penghitungan suara’. Dengan demikian, sementara analisis mengenai apakah pemilihan berlangsung bebas, jujur dan adil tetap penting, dibutuhkan analisis yang lebih mendalam guna memahami implikasi-implikasi jangka panjang yang dihasilkan pemilihan. Hal ini semakin penting di Indonesia di mana reformasi pemilihan dan terlaksananya pemilihan yang ‘bebas, jujur dan adil’ gagal menghasilkan perbaikan-perbaikan yang diharapkan dalam hal tatakelola pemerintahan dan pembangunan (Hadiz 2003; McLeod dan McIntyre 2007; Hidayat 2007; MacDougall 2007). Oleh sebab itu, lensa analisis alternatif dibutuhkan. Salah satunya adalah pendekatan yang tetap difokuskan pada proses-proses dan prosedur-prosedur pemilihan, namun melibatkan analisis kelembagaan yang lebih mendalam dan rumit (McLeod dan McIntyre 2007). Pendekatan tersebut, misalnya, dapat memusatkan perhatian pada praktek-praktek aktual dari para aktor lembaga pemilihan untuk menyingkap insentif-insentif yang menghambat atau mencegah upaya-upaya mereka dalam mengimplementasikan prosedur-prosedur pemilihan sebagaimana semestinya. Pendekatan yang lain memperluas analisis dengan memberi perhatian pada ‘lembaga-lembaga sekunder’. Lembaga-lembaga itu mencakup pengadilan, partai politik, militer dan masyarakat sipil, yang seluruhnya berperan dalam mengelola lingkungan politik di mana pemilihan berlangsung, dan mendorong para politisi untuk tetap bersikap tanggung jawab dan tanggap terhadap pemilih pada masa setelah pemilihan. Dengan menggunakan pendekatan ini, Buehler dan Tan (2007) meneliti hubungan antara calon dan partai di Indonesia, dan mereka menemukan bahwa partai-partai politik relatif belum terlembagakan, sedangkan dinasti keluarga dan jaringan patronase memiliki pengaruh yang jauh lebih besar (lihat juga Mietzner 2007a).

Page 23: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

Latar Belakang dan Kerangka Analisis

11

Pendekatan ketiga, yang kerap disebut sebagai ‘perspektif developmentalis’, tidak lagi memfokuskan pada lembaga-lembaga, melainkan pada praktek-praktek politik dan demokrasi yang lebih luas. Sebagian menekankan pada peran pembangunan ekonomi dan sosial dalam menentukan praktek-praktek politik dan demokrasi. Kitschelt dan Wilkinson (2007), misalnya, berasumsi bahwa mungkin sesungguhnya pembangunanlah yang menggerakkan demokrasi, bukan sebaliknya. Sebagian yang lain memfokuskan pada peran budaya politik dan praktek-praktek politik pada masa lalu (Bastion dan Luckham 2002), dan menekankan perlunya memahami bagaimana kedua faktor tersebut berinteraksi dengan aturan-aturan dan prosedur-prosedur kelembagaan serta insentif-insentif yang dimiliki oleh para politisi dan warga. Pendekatan tersebut menyarankan agar perhatian diberikan pada topik-topik seperti perilaku pemilih dan gaya kampanye. Seluruh literatur tersebut menyediakan cara-cara yang berguna untuk melampaui paradigma ‘bebas, jujur dan adil’ dalam menilai dampak jangka panjang dari pemilihan. Dengan memanfaatkan berbagai pendekatan tersebut, laporan ini mengkaji tiga unsur dalam pilkada di Aceh: (1) pelaksanaan pilkada, termasuk praktek lembaga-lembaga pemilihan dan lembaga-lembaga sekunder yang penting; (2) strategi kampanye dan mobilisasi para politisi; dan (3) perilaku pemilih. Lembaga-lembaga Pelaksana Pemilihan dan Pelaksanaannya Pengaturan kelembagaan dan pelaksanaannya memainkan peranan krusial dalam menentukan hasil jangka pendek seperti legitimasi pemilihan. Faktor-faktor itu juga memengaruhi hasil jangka panjang seperti kemungkinan para pihak yang bersaing akan merasa tidak puas dan sejauh mana pendanaan kampanye yang tidak wajar akan memengaruhi tatakelola pemerintahan di masa mendatang. Lembaga-lembaga penting yang bertanggung jawab atas pelaksanaan pilkada di Aceh adalah Komite Independen Pemilihan (KIP), Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih), polisi dan pengadilan (lihat Kotak 1 di bawah). Peraturan-peraturan menyangkut dana kampanye, pelanggaran dalam pemilihan dan nominasi calon, misalnya, mungkin saja dilaksanakan secara memihak atau menguntungkan pihak tertentu, khususnya jika tidak ada pengawasan. Dalam analisis yang dipaparkan berikut, perhatian akan diarahkan pada insentif-insentif yang memengaruhi praktek kelembagaan yang pada kenyataannya berlangsung. Hal ini memudahkan analisis yang lebih canggih mengenai bagaimana lembaga-lembaga bekerja dan bagaimana mereka dapat diperbaiki. Strategi Kampanye dan Mobilisasi para Calon Seringkali diasumsikan bahwa dalam sebuah pemilihan demokratis para calon akan mendasarkan strategi kampanye mereka pada preferensi warga, dan bahwa setelah pemilihan, para calon pemenang akan berusaha memenuhi janji-janji yang mereka sampaikan pada saat kampanye karena, jika tidak, mereka tidak akan dipilih lagi pada pemilihan mendatang. Namun, pada kenyataannya berbagai strategi lain mungkin saja digunakan, temasuk klientelisme dan hubungan patronase, daya tarik kharisma, politik indentitas, atau bahkan kekerasan atau ancaman kekerasan. Laporan ini mengkaji strategi-strategi kampanye dan mobilisasi yang digunakan oleh para calon dalam pilkada di Aceh. Pendekatan ini menyingkap berbagai janji, utang-budi dan hubungan yang akan

Page 24: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

Latar Belakang dan Kerangka Analisis

12

memengaruhi pendekatan yang akan digunakan oleh pemerintah mendatang dalam hal tatakelola pemerintahan dan distribusi sumber daya negara. Pendekatan ini juga akan menyingkap sifat interaksi dan persaingan di antara elite politik di Aceh. Perilaku Pemilih Meskipun ada anggapan umum bahwa warga akan memberikan suara mereka berdasarkan pemahaman mereka terhadap platform kebijakan yang ditawarkan oleh para calon, pada prakteknya sejumlah faktor lain dapat berperan dalam menentukan perilaku pemilih. Pemilih mungkin memilih seorang calon berdasarkan kesan mereka terhadap kesalehan keagamaan atau faktor keturunan sang calon; atau atas dasar imbalan material jangka pendek (seperti suap); atau karena sang calon berasal dari desa yang dekat dengan desa pemilih; atau karena rasa takut; atau mungkin saja pemilih membiarkan orang lain (seperti orang tua mereka atau pemimpin setempat) untuk menentukan pilihan mereka. Bentuk-bentuk perilaku pemilih yang berbeda mengimplikasikan tolok-ukur yang berbeda pula dalam mengukur kinerja pemerintah mendatang. Oleh sebab itu, memahami perilaku pemilih penting untuk memahami hambatan-hambatan yang akan dihadapi oleh para calon pemenang. Hal itu juga memperkaya pemahaman kita mengenai sifat dan substansi persaingan antarelite politik.

Page 25: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

III. Pelaksanaan dan Praktek Kelembagaan Lembaga-lembaga yang bertanggung jawab atas pelaksanaan pilkada di Aceh berhasil memastikan bahwa pilkada berlangsung bebas dan damai dengan tingkat partisipasi pemilih yang tinggi dan persentase surat suara rusak yang rendah. Namun, apabila dampak jangka panjang terhadap persaingan politik dan tatakelola pemerintahan dipertimbangkan, lembaga-lembaga itu terlihat kurang berhasil. Analisis kami mengindikasikan bahwa lembaga-lembaga pemilihan terfokus pada upaya mengelola persaingan politik jangka pendek guna menjamin berlangsungnya ‘pilkada damai’. Ini dapat dimengerti mengingat konteks pasca konflik yang rapuh. Namun, fokus jangka pendek ini telah memangkas kemampuan pilkada untuk dapat menyediakan basis yang kuat bagi cara-cara persaingan politik yang positif, tatakelola pemerintahan dan pembangunan yang baik dalam jangka panjang. Banyak pelanggaran dalam pilkada yang tidak ditangani dengan semestinya, sehingga menciptakan berbagai ketidakpuasan yang berakibat pada berkurangnya legitimasi para pemenang pilkada serta berpotensi menyumbang pada terjadinya perseteruan politik. Prosedur-prosedur tertentu yang penting bagi akuntabilitas pemerintahan di masa mendatang, seperti prosedur yang berkaitan dengan pendanaan kampanye, tidak dijalankan secara memadai, sehingga menghilangkan efek positif pilkada terhadap tatakelola pemerintahan yang semula diharapkan. Pelaksanaan pemilihan di Aceh pada era pasca konflik merupakan tanggung jawab lembaga-lembaga ‘primer’ maupun ‘sekunder’. Lembaga-lembaga primer meliputi Komisi Independen Pemilihan (KIP) dan Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih). Lembaga-lembaga sekunder, yang tugasnya penting namun tidak terkait langsung dengan proses pemilihan, mencakup kepolisian, pengadilan, parlemen lokal (DPRA pada tingkat provinsi dan DPRK pada tingkat kabupaten), dan Misi Pemantauan Aceh (Aceh Monitoring Mission, AMM). Kotak 1 di bawah menguraikan secara singkat tanggung jawab lembaga-lembaga yang berperan penting dalam pilkada, meliputi tugas-tugas seperti nominasi calon, kampanye, pemberian suara, keamanan, pemantauan dan pengawasan, serta penanganan sengketa.

Kotak 1: Lembaga-lembaga yang bertanggung jawab atas pilkada di Aceh Komisi Independen Pemilihan (KIP) Komisi Independen Pemilihan (KIP) memiliki tanggung jawab utama untuk menyelenggarakan pilkada di Aceh. KIP tingkat provinsi (KIP NAD) bertanggung jawab atas penyelenggaraan pemilihan gubernur, sedangkan KIP tingkat kabupaten (KIP Kab) atas penyelenggaraan pemilihan bupati/walikota. Kedua lembaga itu berada di bawah wewenang komisi pemilihan tingkat nasional, yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU).10 KIP NAD beranggotakan 13 orang, sedangkan masing-masing KIP Kabupaten terdiri dari lima anggota, yang dipilih untuk masa jabatan lima tahun oleh DPRD. Bagian sekretariat di masing-masing KIP, yang terdiri dari para pegawai negeri sipil (PNS), membantu dalam menangani urusan administrasi dan logistik. Tugas-tugas utama KIP tingkat provinsi maupun kabupaten adalah menetapkan berbagai prosedur pilkada sejalan dengan undang-undang pemilihan tingkat nasional maupun provinsi; menetapkan jadwal; memverifikasi nominasi calon; mengelola urusan logistik seperti pencetakan dan distribusi kartu pemilih, surat suara dan kotak suara; mengorganisasikan hari pemungutan suara; menghitung suara; dan

10 Qanun No. 7, Pasal 1.8

Page 26: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

Pelaksanaan dan Praktek Kelembagaan

14

mengumumkan hasil. KIP tingkat provinsi maupun kabupaten juga bertanggung jawab untuk menangani pelanggaran-pelanggaran dalam pilkada yang bersifat prosedural atau administratif. Untuk menjalankan tugas-tugas tersebut, KIP membentuk panitia pemilihan pada tingkat kecamatan (PPK) dan tingkat desa (Panitia Pemilihan Gampong, PPG). Selanjutnya Panitia Pemilihan membentuk KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara) pada masing-masing TPS (Tempat Pemungutan Suara). Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih) Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih) adalah sebuah lembaga ad hoc yang dibentuk selama proses pemilihan. Panwaslih dibentuk di tingkat provinsi dan kabupaten, dan selanjutnya Panwaslih tingkat kabupaten membentuk kantor-kantor di tingkat kecamatan. Setiap Panwaslih tingkat provinsi dan kabupaten beranggotakan lima orang, terdiri dari unsur kepolisian, kejaksaan, media, akademisi dan masyarakat umum. Tanggung jawab utama Panwaslih adalah memantau proses pemilihan, meliputi pendaftaran pemilih, nominasi calon, pemberian suara, penghitungan suara dan tabulasi. Panwaslih juga bertanggung jawab untuk menerima, menyelidiki dan menengahi berbagai pengaduan terkait pemilihan. Namun, Panwaslih tidak dapat mengambil tindakan hukum menyangkut berbagai pengaduan dan pelanggaran tersebut. Pelanggaran-pelanggaran yang bersifat administratif diserahkan kepada KIP untuk ditindaklanjuti, sedangkan pelanggaran-pelanggaran yang bersifat pidana diserahkan kepada kepolisian untuk dilakukan penyelidikan dan penuntutan. Kepolisian Tanggung jawab utama kepolisian adalah memelihara situasi keamanan selama masa kampanye dan pada hari pemungutan suara. Aparat kepolisian ditugaskan untuk berada di dekat TPS-TPS, tetapi dengan menjaga jarak, dan dibantu aparat Linmas (Perlindungan Masyarakat) yang berada di lokasi TPS. Kepolisian juga bertanggung jawab untuk melakukan penyelidikan terhadap kasus-kasus pelanggaran pemilihan yang bersifat pidana dan menyerahkan hasil penyelidikan mereka kepada pihak kejaksaan. Pengadilan Menurut Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA), hanya Mahkamah Agung (MA) di Jakarta yang dapat membatalkan hasil pemilihan. Namun, hal ini bertentangan dengan peraturan MA yang memberikan kewenangan kepada Pengadilan Tinggi untuk sengketa terkait pilkada tingkat kabupaten. Pengadilan Negeri menyidangkan kasus-kasus pelanggaran pilkada yang diajukan oleh kejaksaan setempat. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DPRD tingkat provinsi (Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, DPRA) bertanggung jawab untuk mengesahkan undang-undang tingkat provinsi (yang disebut qanun di Aceh) yang menyediakan kerangka hukum bagi pilkada. DPRD tingkat provinsi maupun kabupaten menyediakan anggaran bagi kantor KIP dan Panwaslih pada masing-masing tingkatan. Pada tingkat provinsi dan kabupaten, sebuah panitia dalam DPRD menominasikan nama-nama anggota untuk KIP dan Panwaslih. DPRD juga menerima pemberitahuan hasil pilkada dari KIP dan selanjutnya harus mengirim surat ke Departemen Dalam Negeri (Depdagri) untuk meminta Depdagri mengeluarkan surat pengangkatan pemimpin baru yang terpilih. Misi Pemantauan Aceh (Aceh Monitoring Mission, AMM) Misi Pemantauan Aceh (AMM) dibentuk untuk memantau pelaksanaan kesepakatan perdamaian Helsinki sebagaimana tertuang dalam Nota Kesepahaman yang ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia dan GAM. Kesepakatan itu mencakup pembubaran dan reintegrasi mantan kombatan GAM, penarikan pasukan tentara dan kepolisian ‘non-organik’ dari Aceh, kondisi keamanan umum, pelanggaran hak asasi manusia serta kodifikasi Nota Kesepahaman dalam perundang-undangan nasional. Mandat awal AMM adalah selama enam bulan sejak 15 September 2005, namun diperpanjang hingga 15 Desember 2006 agar dapat mencakup putaran pertama pilkada. Akan tetapi, mandat AMM tidak termasuk melakukan pemantauan pilkada, yang menjadi kewenangan utama Misi Pemantauan Pemilihan Uni Eropa (EU Election Observation Mission, EU-EOM).

Page 27: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

Pelaksanaan dan Praktek Kelembagaan

15

Bagian ini tidak akan mengevaluasi seluruh pengaturan kelembagaan tersebut dan kualitas pelaksanaannya. Sebaliknya, bagian ini lebih difokuskan pada berbagai pengaturan dan praktek pelaksanaan yang terlihat menonjol dari segi keberhasilannya atau dari segi kelemahannya yang mendasar. Database konflik terkait pilkada sangat berguna untuk membantu mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan utama yang dibahas pada bagian ini.

1. Pengaturan Keamanan dan Pencegahan Konflik yang disertai Kekerasan terkait Pilkada Mungkin temuan yang terpenting dan paling mengejutkan adalah bahwa secara umum pilkada berlangsung dengan damai. Dataset surat kabar mencatat bahwa secara keseluruhan hanya ada 28 insiden kekerasan terkait pilkada,11 yakni 11 persen dari 259 insiden terkait pilkada yang dicatat antara awal Juli 2006 hingga akhir Februari 2007. Tingkat kekerasan ini dapat dikatakan rendah mengingat selama periode yang sama terdapat 73 insiden konflik lokal disertai kekerasan yang tercatat dalam Laporan Pemantauan Konflik di Aceh.12 Rendahnya tingkat kekerasan terkait pilkada di Aceh ini dapat dibandingkan dengan tingkat kekerasan dalam pemilihan belum lama ini di provinsi-provinsi lain di Indonesia yang bukan merupakan wilayah konflik. Sebuah studi tentang pemilu legislatif tahun 2004 di empat provinsi lain menemukan jumlah kasus konflik terkait pemilu hampir sama, dengan sekitar 11 persen di antaranya berupa kekerasan (Barron, Nathan dan Welsh 2005). Di Maluku, satu-satunya provinsi pasca konflik yang termasuk dalam studi itu, 20 persen dari insiden konflik terkait pemilu berupa insiden kekerasan, lebih tinggi daripada tingkat kekerasan di Aceh.13 Ada tiga tipe konflik disertai kekerasan terkait pilkada di Aceh: penghancuran atribut partai; intimidasi dan ancaman kekerasan; dan, yang paling menguatirkan, serangan fisik terhadap para calon atau tim kampanye mereka. Di Aceh Selatan, misalnya, dilaporkan terjadi dua insiden yang melibatkan intimidasi serius terhadap kepala desa. Di Pidie ketua Forum Komunikasi Anak Bangsa (FORKAB)—sebuah organisasi yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan anti-separatis pada masa konflik—diculik; ia adalah juga anggota tim sukses partai Golkar. Insiden terakhir ini memperlihatkan bagaimana ketegangan-

11 Konflik di sini mengacu pada bentrokan disertai kekerasan maupun pertikaian kecil dan pengaduan di mana dua pihak berjuang untuk meraih (apa yang dipersepsikan sebagai) tujuan yang bertentangan. Peristiwa kekerasan didefinisikan sebagai peristiwa yang melibatkan kekuatan fisik atau ancaman serius terhadap orang, atau perusakan harta-benda. Ancaman verbal dan intimidasi yang lebih ringan tidak dianggap sebagai kekerasan. 12 Istilah ‘konflik lokal’ mengacu pada berbagai insiden konflik kecil menyangkut isu-isu lokal, yang berbeda dari konflik yang lebih besar seperti pemberontakan GAM melawan pemerintah. Perbedaan yang ditunjukkan oleh angka-angka tersebut lebih menonjol, mengingat Laporan Pemantauan Konflik di Aceh merekam insiden-insiden konflik yang hanya dilaporkan oleh dua surat kabar (Aceh Kita dan Serambi), sedangkan pemetaan konflik terkait pilkada menggunakan empat surat kabar daerah. Laporan Pemantauan Konflik di Aceh dapat diakses di: www.conflictanddevelopment.org. 13 Sulit untuk membandingkan jumlah kasus dalam kedua studi tersebut karena perbedaan kerangka waktu (dua bulan untuk studi tahun 2004 dan delapan bulan untuk studi kami ini) dan perbedaan sifat pemilihan (pemilu nasional vs. pilkada di Aceh). Oleh sebab itu kami menggunakan persentase insiden kekerasan untuk melakukan perbandingan.

Page 28: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

Pelaksanaan dan Praktek Kelembagaan

16

ketegangan pada masa sebelum Nota Kesepahaman dapat muncul kembali dalam bentuk konflik disertai kekerasan terkait pilkada, sebuah fenomena yang untungnya jarang terjadi. Sedikitnya terjadi kekerasan politik selama pilkada dan rendahnya efek dari ketegangan-ketegangan pada masa sebelum Nota Kesepahaman merupakan perkembangan yang sangat positif mengingat sebagian besar pilkada itu dilaksanakan hanya 16 bulan setelah tercapainya kesepakatan perdamaian. Dalam konteks pasca konflik banyak pemilihan yang diwarnai dengan kekerasan yang melibatkan pihak-pihak yang terlibat dalam proses perdamaian.14 Temuan-temuan yang diperoleh dari studi ini menunjukkan bahwa pengaturan kelembagaan (institutional arrangements) telah berjalan sehingga menjamin bahwa GAM dan pemerintah bukan hanya dapat berpartisipasi, tetapi juga menyampaikan pandangan-pandangan mereka melalui proses pilkada. Penelitian kami menunjukkan ada empat pengaturan kelembagaan yang berperan penting dalam membatasi terjadinya insiden kekerasan. Hal yang pertama dan terpenting adalah ketentuan UUPA, yang membolehkan adanya calon-calon independen dalam pilkada, yang memungkinkan GAM untuk bersaing dalam pilkada tanpa harus melalui partai-partai politik nasional.15 Berdasarkan payung hukum tersebut, GAM, para elite yang sebelumnya tercabut haknya (termasuk elite tandingan dari kalangan masyarakat sipil) dan para pendukungnya dapat benar-benar berpartisipasi dalam pemilihan. Kedua, penarikan aparat keamanan ‘non-organik’ sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Nota Kesepahaman, serta pelucutan senjata dan pembubaran para pejuang GAM yang tampaknya berhasil dilakukan, berperan penting dalam meminimalkan konflik antara GAM dan pemerintah, khususnya pada tingkat lokal.16 Meskipun peralihan GAM dari sebuah organisasi militer menjadi organisasi sipil baru berjalan sebagian,17 upacara penyerahan senjata yang diadakan di seluruh penjuru provinsi itu berperan penting dalam memberi tanda mengenai peralihan tersebut, dan dalam mendorong pemberdayaan sayap ‘sipil’ GAM daripada sayap militernya.

14 Lihat, misalnya, Ottaway (1998) yang memfokuskan pada kegagalan pemilihan di Angola pada 1992. 15 Nota Kesepahaman memuluskan jalan untuk dibolehkannya calon independen (Klausul 1.2.2) meskipun pada mulanya muncul ketidaksepakatan menyangkut apakah Nota Kesepahaman sebenarnya memandatkan partisipasi GAM dalam pilkada. Hal ini diselesaikan melalui dialog dan kemudian melalui UUPA, yang membolehkan calon independen tampil hanya dalam pilkada 2006 dan dibolehkannya partai politik lokal pada pemilu tahun 2009. Dalam pilkada sebelum tahun 2008, hanya partai politik yang memiliki sedikitnya 15 persen dari kursi di DPRD yang dapat menominasikan calon. Untuk pilkada di Aceh, calon dapat maju tanpa nominasi dari partai selama mereka menyerahkan tanda tangan dukungan sebanyak tiga persen dari jumlah penduduk (kabupaten atau provinsi). Khususnya mulai tahun 2008, calon independen dapat bertarung dalam pilkada di seluruh Indonesia menyusul putusan yang dibuat oleh Mahkamah Konstitusi. 16 Nota Kesepahaman menggunakan pembedaan antara pasukan ‘organik’ dan ‘non-organik’ yang umum dikenal di Indonesia. Pasukan organik adalah pasukan yang pangkalannya (dan biasanya juga asal-usul etnisnya) berada di lokasi tugas mereka, sedangkan pasukan non-organik adalah unit-unit yang pangkalannya berada di tempat lain, dan dipandang bersikap lebih brutal terhadap penduduk setempat. 17 Setelah penandatanganan Nota Kesepahaman, GAM tidak aktif lagi, dan kebanyakan mantan anggota GAM bergabung ke dalam Komite Peralihan Aceh (KPA), yang dibentuk untuk mewadahi kepentingan mereka pasca Nota Kesepahaman di Aceh.

Page 29: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

Pelaksanaan dan Praktek Kelembagaan

17

Faktor ketiga adalah fasilitasi inovatif yang dilakukan AMM berupa pertemuan keamanan berkala antara GAM, militer dan pemerintah sipil baik menjelang maupun pada masa pilkada. Pertemuan berkala Komisi untuk Pengaturan Keamanan (Commision on Security Arrangements, CoSA) ini diadakan pada tingkat provinsi dan kabupaten, dan menciptakan ruang kelembagaan yang efektif untuk berbagi informasi, membangun rasa saling percaya, dan mengatasi berbagai permasalahan yang timbul. Forum ini memberi insentif yang kuat bagi pihak militer untuk benar-benar menghindari keterlibatan dalam politik, dan bagi GAM untuk tidak menggunakan cara-cara intimidasi. Hal yang terpenting, pertemuan CoSA menyediakan sebuah forum kelembagaan untuk dengan cepat menangani ketegangan dan isu-isu keamanan manakala muncul selama masa pilkada. Terakhir, lembaga-lembaga pemilihan berperan penting dalam mempromosikan ‘pilkada damai’ melalui kampanye sosialisasi dan upaya untuk mensponsori ‘pernyataan perdamaian’ oleh seluruh calon. Di banyak kabupaten KIP dan juga pihak kepolisian mengumpulkan seluruh calon bersama untuk menyatakan ikrar bahwa mereka akan menaati seluruh aturan, menghindari penggunaan intimidasi dan kekerasan serta menerima kekalahan dengan lapang dada. Bahan-bahan dan pernyataan-pernyataan tersebut menyebarluaskan tema ‘pilkada damai’, yang mengirimkan pesan kuat kepada seluruh faksi bahwa kekerasan dalam pilkada dapat mengancam perdamaian yang masih berada dalam kondisi rapuh di Aceh, dan karena itu harus dihindari dengan segenap tenaga. Oleh karena berbagai pengaturan kelembagaan tersebut, persaingan politik telah cukup berhasil dikelola sehingga dapat menghasilkan pilkada damai, kendati tentu saja faktor-faktor yang lain juga penting, termasuk jenis-jenis kampanye yang dijalankan oleh para calon (lihat Bagian IV). Namun demikian, aspek-aspek pelaksanaan kelembagaan lainnya tidak cukup dikelola dengan baik.

2. Pengawasan, Pengelolaan Sengketa dan Konflik Tanpa Kekerasan terkait Pilkada Berbeda dengan rendahnya tingkat kekerasan terkait pilkada, tingkat konflik politik tanpa kekerasan selama periode pilkada cukup signifikan. Database surat kabar mencatat jumlah total 231 insiden konflik tanpa kekerasan terkait pilkada sejak Juli 2006 hingga Februari 2007. Gambar 1 memperlihatkan jumlah insiden konflik tanpa kekerasan maupun yang melibatkan kekerasan terkait pilkada menurut waktu, sementara Gambar 2 memperlihatkan jumlah total insiden menurut kabupaten. Mayoritas insiden non-kekerasan berupa tuduhan menyangkut pelanggaran terhadap proses dan prosedur pilkada. Pokok perselisihan bervariasi selama periode pilkada. Menjelang periode kampanye, kebanyakan perselisihan berkaitan dengan soal pemilihan petugas lembaga pemilihan dan verifikasi calon. Pada masa kampanye perselisihan terutama berhubungan dengan soal pelanggaran aturan-aturan kampanye. Pada saat dan tidak lama setelah hari pemberian suara, perselisihan yang terjadi berkaitan dengan masalah-masalah dalam pemberian suara dan berbagai kejanggalan dalam penghitungan suara. Sebagian besar dari perselisihan-perselisihan itu berbentuk protes kolektif, demonstrasi atau konfrontasi berupa intimidasi. Kotak 2 menyajikan contoh-contoh mengenai tipe-tipe konflik tanpa kekerasan terkait pilkada.

Page 30: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

Pelaksanaan dan Praktek Kelembagaan

18

Sumber: Dataset Konflik Pilkada Sumber: Dataset Konflik Pilkada

Kotak 2: Contoh-contoh Konflik tanpa Kekerasan terkait Pilkada • Verifikasi Calon: Gagal dalam ujian membaca Al-Qur’an

Undang-undang tingkat propinsi (qanun) tentang pilkada menetapkan bahwa seluruh calon harus mampu membaca Al-Qur’an (mengaji), dan KIP menjadi penyelenggara ujian membaca Al-Qur’an tersebut sebagai bagian dari verifikasi calon. Ujian itu menyebabkan ketegangan di Aceh Utara pada saat diumumkan bahwa dua calon bupati, yang salah satunya berafiliasi dengan GAM, gagal dalam ujian tersebut. Hal ini melahirkan sejumlah insiden konflik antara berbagai kelompok masyarakat sipil dan KIP. Dua kelompok menuduh bahwa KIP telah melakukan intervensi politik dan menyatakan bahwa KIP menggunakan sistem penilaian yang keliru.18 Langkah penyelesaian kompromi yang diambil akhirnya adalah calon dari GAM yang tidak lolos ujian itu tetap dianggap gugur, namun GAM diberi kesempatan untuk mengajukan calon baru, yang kemudian berhasil lulus dalam ujian membaca Al-Qur’an (dan akhirnya memenangkan pilkada).

• Kampanye: tuduhan suap terhadap para pemilih

Pada 9 Desember 2006, dua hari menjelang hari pemungutan suara, sekelompok warga dari Desa Bun-bun Alas dan Desa Bun-bun Indah melaporkan kepada Panwaslih bahwa ada PNS yang menyuap pemilih di desa mereka untuk memilih calon bupati yang menjabat sebelumnya. Mereka menuduh bahwa sekelompok orang berjumlah puluhan datang dengan menggunakan tiga mobil, termasuk camat dan beberapa anggota DPRD Aceh Tenggara, dan membagi-bagikan uang sebesar Rp 50.000 untuk setiap orang di sebuah warung kopi kepada para pemilih yang setuju untuk mendukung calon dari partai Golkar yang merupakan bupati sebelumnya, Armen Desky.19

• Penghitungan suara: manipulasi yang berujung pada penolakan hasil

Ada sejumlah perselisihan pasca pilkada menyangkut pelaksanaan pilkada di Kejuruan Muda, Aceh Tamiang. Insiden pertama terjadi pada hari pemungutan suara ketika sejumlah petugas lembaga

18 Pihak pemrotes mengatakan bahwa yayasan yang diberi tanggung jawab untuk menyelenggarakan ujian (Yayasan Pembangunan Tilawatil Qur’an) telah melanggar peraturan KIP dengan menggunakan sistem Musabaqah Tilawatil Qur’an untuk menilai calon, bukan menggunakan sistem Murattal yang ditetapkan. Kedua sistem itu memiliki standar penilaian yang berbeda untuk menilai kemampuan calon dalam membaca Al-Qur’an. 19 Rakyat Aceh, 4 Januari 2007.

Gambar 1: Konflik terkait Pilkada per Waktu (dwi-mingguan, Juli 2006-Februari 2007)

Gambar 2: Insiden Konflik terkait Pilkada per Kabupaten (kekerasan dan tanpa kekerasan, Juli 2006-Februari 2007)

Page 31: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

Pelaksanaan dan Praktek Kelembagaan

19

pemilihan membuka sebagian kotak suara tanpa dihadiri oleh seluruh saksi. Seorang anggota KPA marah dan melakukan protes, dan hampir terjadi perkelahian. Ketua KIP dan ketua Panwaslih kabupaten dipanggil untuk menyelesaikan persoalan tersebut, namun tidak ada tindakan apa-apa. Dua hari kemudian, pada 13 Desember 2006, para pendukung calon yang berafiliasi dengan GAM menggelar unjuk rasa di depan kantor KIP dan Panwaslih. Lalu pada 18 Desember 2006 lebih dari seribu orang berunjuk rasa. Akhirnya pada 21 Desember 2006 lima dari pasangan calon yang kalah mengumumkan sikap mereka untuk menolak hasil pilkada.

Sebagian besar konflik tanpa kekerasan terkait pilkada melibatkan aktor-aktor negara, khususnya KIP dan Panwaslih, sebagai pihak-pihak yang terlibat dalam konflik atau sebagai pelaku pelanggaran aturan-aturan pilkada. Database konflik menunjukkan bahwa 52 persen dari insiden konflik terkait pilkada terjadi antara pihak-pihak/individu-individu dan negara, dan 20 persen lainnya terjadi antarlembaga negara. Secara keseluruhan, negara terlibat di dalam lebih dari 70 persen konflik terkait pilkada. Aktor yang terlibat dalam jumlah terbanyak konflik pilkada adalah KIP, yaitu dalam 142 kasus atau 55 persen dari seluruh insiden. Persentase ini tinggi jika dibandingkan dengan pemilihan lainnya. Studi yang dilakukan oleh IFES tentang pemilihan di empat belas negara pada 2002, misalnya, menyimpulkan bahwa rata-rata hanya 14 persen dari kasus konflik terkait pemilihan yang melibatkan negara (Fischer 2002). Namun, untuk Indonesia, tingginya keterlibatan negara dalam konflik terkait pemilihan bukan merupakan fenomena yang tidak lazim. Studi mengenai pemilu legislatif tahun 2004 menemukan sejumlah provinsi di mana negara terlibat di dalam 57 persen hingga 86 persen insiden konflik terkait pemilu (Barron, Nathan, dan Welsh 2004: 6). Tingginya tingkat konflik tanpa kekerasan, dan menonjolnya keterlibatan negara, khususnya lembaga-lembaga pemilihan, dalam insiden konflik, menunjukkan adanya kelemahan kelembagaan yang signifikan dalam pelaksanaan pemilihan. Hal itu juga menunjukkan bahwa warga bersedia untuk menanggapi hal tersebut dengan mengajukan pengaduan, suatu perkembangan yang positif, kendati tidak ada jaminan bahwa berbagai pengaduan itu ditangani secara adil dan memuaskan.20 Penelitian kami menunjukkan ada dua kelemahan kelembagaan paling penting yang menyumbang pada tingginya angka insiden perselisihan tersebut: buruknya pengawasan pemilihan dan buruknya penanganan sengketa pemilihan. Pengawasan terhadap Pelaksanaan Pilkada Panwaslih memiliki mandat untuk mengawasi seluruh aspek pelaksanaan pilkada, dan di setiap kabupaten yang dikunjungi, Panwaslih terlihat lemah kinerjanya atau bersikap memihak. Hal ini tidak saja memicu banyak protes terhadap tindakan KIP, tetapi juga mengurangi legitimasi pilkada di mata para calon yang kalah dan para pendukung mereka. Penelitian kami menunjukkan ada empat alasan utama yang menyebabkan kurang berhasilnya kerja Panwaslih: anggaran yang kecil dan datangnya terlambat; sumber

20 Sebagian dari pengaduan-pengaduan itu mungkin saja tidak didasari atas keluhan yang nyata. Namun, penelitian lapangan kami menunjukkan bahwa sementara kasus-kasus pengadilan yang menggugat hasil pilkada terkadang didorong oleh kepentingan yang bersifat oportunistik, namun berbagai kasus pengaduan yang diajukan sebelum hari pemungutan suara tampaknya kecil kemungkinan didorong oleh kepentingan oportunistik semacam itu.

Page 32: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

Pelaksanaan dan Praktek Kelembagaan

20

pendanaan yang dapat mengorbankan netralitas; kurangnya kewenangan yang dimiliki; serta tekanan dan intimidasi politik. Banyak petugas Panwaslih yang menyatakan bahwa anggaran operasional mereka tidak memadai untuk memungkinkan mereka menjalankan tugas-tugas mereka. Kunjungan lapangan ke daerah-daerah terpencil memerlukan biaya yang mahal. Panwaslih memiliki tiga orang petugas pada tingkat kecamatan, tetapi tidak memiliki seorang petugas pun pada tingkat desa, dan sebenarnya kegiatan pengawasan hanya dilakukan di tingkat kabupaten/kota ke atas. Hal ini berarti hanya ada sedikit kegiatan pengawasan di luar ibu kota kabupaten. Misi Pemantauan Pemilihan Uni Eropa telah mengatakan demikian juga (EU-EOM 2007: 11). Anggaran Panwaslih bukan hanya sedikit, tetapi juga sering datang terlambat. Survei cepat yang dilakukan pada September 2006 menunjukkan bahwa di sembilan dari tigabelas kabupaten, Panwaslih masih menunggu anggaran mereka dari DPRD kabupaten. Ini berarti bahwa pada saat Panwaslih baru mulai aktif bekerja, proses pendaftaran pemilih dan verifikasi calon umumnya telah selesai dilaksanakan. Oleh sebab itu, Panwaslih tidak memiliki kesempatan untuk mengawasi proses uji kesehatan calon, ujian membaca Al-Qur’an dan verifikasi tanda tangan dukungan bagi calon independen. Sumber anggaran operasional Panwaslih juga membatasi kinerjanya. Sementara pada Pemilu 2004 KPU bertanggung jawab atas anggaran Panwaslu, dalam pilkada di Aceh tanggung jawab penyediaan anggaran untuk Panwaslih tingkat provinsi ada di DPR Propinsi (DPRA) dan untuk kabupaten ada di DPR Kabupaten (DPRK). Meskipun hal itu mungkin merupakan kemajuan dibandingkan dengan tahun 2004, ketika Panwaslu diberi dana dari lembaga yang harus diawasinya, namun ada indikasi bahwa kontrol parlemen lokal atas anggaran Panwaslih juga mengancam kenetralan Panwaslih dan memberi insentif negatif kepada Panwaslih dalam menjalankan tugas pengawasannya secara tegas. Terganggunya kenetralan Panwaslih dapat dilihat dalam sejumlah kasus perselisihan di mana petugas Panwaslih dituduh telah bersikap memihak. Tuduhan keberpihakan itu kadangkala, meskipun tidak selalu, berkaitan dengan proses pemilihan anggota Panwaslih. Menurut Qanun No. 7, para anggota Panwaslih kabupaten harus diangkat oleh Panwaslu setelah menerima usulan dari DPRK. Pada prakteknya, proses pemilihan itu dilakukan sepenuhnya oleh DPRK.21 Netralitas petugas Panwaslih (dan KIP) dipersoalkan di sebagian besar kabupaten yang dikunjungi; kebanyakan dari mereka dipandang bersikap pro terhadap bupati lama (incumbent). Kotak 3 mempaparkan sejumlah tuduhan menyangkut pemilihan petugas Panwaslih yang tidak dilakukan dengan semestinya atau mengenai sikap keberpihakan para petugas Panwaslih. Dua contoh ini menggarisbawahi dua isu penting. Pertama, DPRD seringkali gagal memilih anggota-anggota Panwaslih yang netral, dan terkadang mengabaikan peraturan-peraturan mengenai kelayakan calon anggota Panwaslih. Dalam kasus Aceh Barat, hanya empat dari tujuh anggota Komisi A DPRK yang turut serta dalam pemilihan anggota Panwaslih, dan

21 Ambiguitas atau kekaburan ini disoroti dalam catatan kebijakan tentang pilkada yang dibuat oleh Forum Bersama. Lihat UNDP dan World Bank (2006a, 2006b).

Page 33: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

Pelaksanaan dan Praktek Kelembagaan

21

dua dari empat anggota Komisi A DPRK justru merupakan calon yang ikut bertarung dalam pilkada. Secara umum, para anggota DPRD di seluruh Aceh mencerminkan kepentingan politik sebelum perjanjian damai Helsinki dan karena itu lebih dekat dengan status quo (yaitu para bupati dan walikota lama). Kedua, meskipun yang terpilih adalah anggota-anggota Panwaslih yang netral, namun seiring dengan waktu netralitas mereka terkikis setelah didekati oleh kepentingan-kepentingan yang berpengaruh. Tanpa adanya pengawasan efektif oleh media dan masyarakat sipil terhadap kinerja Panwaslih, didasarkan atas kebebasan memperoleh informasi, upaya untuk memengaruhi para anggota Panwaslih sulit dicegah.

Kotak 3: Tuduhan mengenai keberpihakan di kalangan anggota Panwaslih Di Aceh Barat, sebuah koalisi yang terdiri dari sebelas kelompok masyarakat sipil bernama JPAD (Jaringan Pilkada Aceh Damai) memprotes pemilihan anggota Panwaslih dengan alasan bahwa dua anggota Panwaslih termasuk dalam pengurus partai politik, dan hal ini melanggar peraturan Panwaslih. Anggota Panwaslih yang satu akhirnya menyatakan mundur dari keanggotaannya dalam partai politik, dan mengatakan bahwa pengangkatannya sebagai sekretaris dalam partai tersebut dilakukan tanpa sepengetahuannya. Sementara itu, anggota Panwaslih yang lain menyatakan bahwa keanggotaannya dalam partai politik telah berakhir pada 2002. Tidak ada dari kedua orang itu yang dicopot dari keanggotaan Panwaslih, kendati JPAD terus melakukan protes. Oleh banyak informan lokal, Panwaslih dipandang tidak efektif dan pro terhadap bupati lama. Di kabupaten lain, muncul pula tuduhan bahwa sebagian anggota Panwaslih bersikap tidak netral dan memihak ke bupati lama. Tuduhan ini mengemuka bukan pada saat proses pemilihan anggota Panwaslih, melainkan pada saat Panwaslih mulai bekerja. Usai pilkada, yang dimenangkan oleh bupati lama, para calon yang kalah mengungkapkan kekecewaan terhadap kinerja Panwaslih, dan mengemukakan bahwa pengaduan mereka tidak ditindaklanjuti. Salah seorang anggota Panwaslih mengatakan kepada kami bahwa para anggota Panwaslih yang lain bersikap netral pada saat diangkat, namun kemudian dipengaruhi oleh para calon tertentu sehingga kinerja mereka menjadi buruk. Faktor lainnya, jelas anggota tersebut, ialah ketika Panwaslih memilih wakil dari unsur kepolisian untuk menjadi ketua Panwaslih dengan harapan mereka dapat terhindar dari intimidasi yang mungkin dilakukan oleh para pendukung calon. Dengan berjalannya waktu, terbukti bahwa pengaturan semacam ini bukan meningkatkan kinerja Panwaslih, tetapi malah membuat Panwaslih kurang efektif dan kurang netral. Ternyata ketua Panwaslih tidak berbagi informasi dengan para anggota Panwaslih lainnya dan cenderung membatalkan kasus-kasus yang melibatkan bupati lama.

Lemahnya kinerja Panwaslih juga diakibatkan oleh kurangnya kewenangan yang mereka miliki. Panwaslih hanya dapat melakukan penyelidikan dan membuat rekomendasi. Mereka harus menyerahkan kasus-kasus pelanggaran yang bersifat administratif kepada KIP untuk ditangani dan menyerahkan kasus-kasus pelanggaran yang bersifat pidana kepada kepolisian untuk dilakukan penyelidikan (lihat bagian selanjutnya). Berapa banyak kasus yang benar-benar ditindaklanjuti oleh KIP maupun kepolisian hampir luput dari perhatian publik. Sebagian besar anggota Panwaslih yang diajak berbincang-bincang menggambarkan bagaimana kasus-kasus yang disampaikan oleh mereka seringkali diabaikan begitu saja. Panwaslih yang ‘tidak bergigi’ ini menjadi hambatan serius bagi para anggota Panwaslih untuk benar-benar menjalankan mandat mereka secara tegas, belum lagi ditambah dengan porsi anggaran yang kecil yang menyebabkan kegiatan-kegiatan mereka menjadi terbatas. Para anggota Panwaslih menjelaskan bahwa lemahnya kinerja mereka, atau dalam perspektif mereka keengganan mereka untuk bersikap ‘pro-aktif’ dalam

Page 34: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

Pelaksanaan dan Praktek Kelembagaan

22

menjalankan tugas mereka, disebabkan karena mereka merasa bahwa upaya mereka akan sia-sia belaka. Terakhir, tekanan dan intimidasi politik juga memiliki andil dalam menyebabkan lemahnya kinerja Panwaslih. Bahwa para anggota Panwaslih tidak mendapat serangan fisik tidak sepenuhnya mencerminkan kokohnya demokrasi Indonesia, tetapi justru lebih mencerminkan bahwa secara umum kinerja Panwaslih pasif dan pasrah, lebih menghindar untuk melaksanakan tugas daripada menempatkan diri dalam bahaya dengan menjalankan tugas secara tegas. Seringkali laporan-laporan mengenai pelanggaran hanya ditindaklanjuti ketika ada indikasi bahwa jika kasus itu tidak diproses, maka hal itu akan memicu intimidasi lebih jauh (lihat di bawah). Banyak elite politik yang memelihara koneksi dengan geng-geng pemuda atau kelompok-kelompok preman. Koneksi itu seringkali menghalangi para anggota Panwaslih untuk mengambil sikap menentang pelanggaran: “Jika saya menjalankan tugas dengan semestinya, saya akan dihilangkan”, demikian menurut kata-kata seorang anggota Panwaslih.22 Tingkat intimidasi politik menjadi jelas pada saat terjadinya gugatan terhadap hasil pilkada di Aceh Tengah. Saat itu ketua Panwaslih menghilang karena dilaporkan ia mendapat ancaman pembunuhan terkait dengan protes yang terjadi.23 Ringkasnya, insentif-insentif yang ada umumnya menyebabkan Panwaslih menjalankan peran mereka secara parsial dan tidak efektif. Intimidasi politik, ditambah dengan kecilnya anggaran dan sedikitnya wewenang, telah membatasi kegunaan Panwaslih. Selain itu, tidak adanya pengawasan terhadap kinerja Panwaslih mengakibatkan tidak adanya hukuman bagi mereka jika mereka tidak menjalankan tugasnya. Masalah-masalah ini bukan khas pilkada di Aceh. Panitia pengawas pemilihan yang dibiayai negara juga digunakan pada saat pemilu legislatif dan pemilihan presiden tahun 2004 di Indonesia, dan hal itu telah dikritik sebagai hal yang telah mengakibatkan tidak efektifnya kerja lembaga panitia pengawas pemilu (Barron, Nathan, dan Welsh 2005) karena sejumlah alasan yang sama: kurangnya dana, tenaga, netralitas dan kewenangan (Carter Center 2005). Meskipun tidak efektifnya pengawasan tidak menghambat terlaksananya ‘pilkada damai’ (jika dilihat dari segi rendahnya tingkat kekerasan yang terjadi), namun hal itu telah menciptakan konflik dan mengikis legitimasi para pemenang pilkada di mata para elite pesaingnya. Penyelidikan atas pelanggaran dan pengaduan Banyak konflik tanpa kekerasan yang melibatkan lembaga-lembaga negara berkaitan dengan berbagai laporan mengenai pelanggaran-pelanggaran yang tidak ditangani dengan semestinya oleh lembaga-lembaga tersebut. Pendekatan umum yang diambil lembaga-lembaga pelaksana pilkada terhadap kasus-kasus pelanggaran dan pengaduan adalah dengan sikap menghindar. Sikap ini terkait dengan faktor-faktor yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya: intimidasi, ditambah minimnya dana, kewenangan dan akuntabilitas. Penanganan yang memadai atas berbagai pengaduan menyangkut pelanggaran pilkada, yang dilaporkan oleh masyarakat umum atau para calon pesaing, sangat penting bagi legitimasi hasil pilkada.

22 Wawancara dengan anggota Panwaslih kabupaten, 20 Februari 2007. 23 Serambi Indonesia, 6 Januari 2007.

Page 35: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

Pelaksanaan dan Praktek Kelembagaan

23

Ada empat lembaga yang diberi tanggung jawab untuk menangani perselisihan-perselisihan yang timbul selama proses pilkada: Panwaslih, KIP, kepolisian dan pengadilan. Berbagai pengaduan atau ketidakpuasan seharusnya dilaporkan ke Panwaslih, yang selanjutnya akan merujuk pengaduan tersebut ke KIP atau kepolisian, seperti dijelaskan di atas. Jika Panwaslih tidak menemukan bukti kuat mengenai sebuah pelanggaran, maka Panwaslih akan menengahi perselisihan itu melalui cara musyawarah. Seluruh lembaga yang bertanggung jawab untuk menyelidiki atau memproses pengaduan memiliki batas waktu yang telah ditentukan, namun tidak ada sanksi atau prosedur alternatif yang ditetapkan jika batas waktu itu terlampaui. Dengan adanya disinsentif atau hambatan kuat untuk bertindak ini—intimidasi, anggaran yang rendah, kewenangan yang lemah serta ketiadaan akuntabilitas—Panwaslih seringkali mengabaikan berbagai pengaduan, dan ketika mereka memproses kasus-kasus itu dan menyerahkannya ke KIP atau kepolisian, kasus-kasus itu acapkali hilang tanpa jejak. Para calon dan masyarakat umum mengemukakan tingkat frustrasi yang tinggi dengan berbagai penanganan perselisihan yang tidak efektif tersebut.

“Kami hanya menyelidiki kasus yang dilaporkan calon…kami tidak pro-aktif menyelidiki kasus yang kami ketahui kecuali kalau sudah menimbulkan masalah.”

Ketua Panwaslih, Aceh Jaya “Kami sudah adukan banyak kasus pelanggaran ke Panwaslih, tetapi kasus berhenti di sana. Kami juga coba langsung ke polisi…dan ke kejaksaan. Tapi mereka tidak mau tindaklanjuti. Mereka semua temannya dia [bupati lama]. Makanya kami putuskan lapor ke gubernur dan KPK [Komisi Pemberantasan Korupsi].”

Calon yang kalah, Nagan Raya Banyak petugas Panwaslih yang diwawancarai mengakui bahwa mereka tidak menangani berbagai pengaduan-pengaduan sepenuhnya atau secara seragam, tetapi menjustifikasi tindakan mereka sebagai upaya mempromosikan ‘pilkada damai’. Hal ini mengindikasikan adanya asumsi bahwa penyelidikan pro-aktif terhadap perselisihan akan menciptakan lebih banyak konflik daripada menyelesaikannya. Sementara itu para petugas lainnya mengadopsi filosofi ‘lapangan bermain yang setara’, dengan berargumen bahwa karena seluruh calon sama-sama melakukan pelanggaran pilkada, maka mereka hanya akan menyelidiki kasus-kasus perselisihan yang khususnya dapat merugikan pihak calon tertentu. Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa para petugas lembaga pilkada akan menyelidiki pelanggaran-pelanggaran hanya jika kasus-kasus itu melibatkan tekanan politik yang penting—dalam bentuk dukungan elite dan/atau ‘kekuatan jalanan’. Kotak 4 memperlihatkan perjuangan yang dibutuhkan agar sebuah pengaduan diselidiki dan ditangani dengan semestinya. Penyelesaian kasus ini bergantung pada bertemunya dua faktor kunci. Pertama, pihak yang mengajukan pengaduan berhasil menemui anggota Panwaslih yang sungguh-sungguh mau menyelidiki pengaduan mereka; banyak pengaduan semacam itu yang tampaknya diabaikan. Di Nagan Raya, para petugas lembaga pilkada umumnya dituduh bersikap

Page 36: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

Pelaksanaan dan Praktek Kelembagaan

24

memihak; ketua KIP akhirnya dituntut karena dipandang tidak mampu menangani pelanggaran-pelanggaran pilkada dengan semestinya. Kedua, para anggota KPA yang membuat pengaduan datang secara berkelompok, dan menggunakan ancaman kekerasan guna mendesak penyelesaian atas pengaduan mereka. Unjuk kekuatan mengingatkan lembaga-lembaga pilkada akan ‘kekuatan jalanan’ KPA dan membuat mereka tertekan untuk bertindak. Di berbagai wilayah di Aceh, berbagai pengaduan yang dilaporkan tanpa disertai dukungan politik atau ancaman kekerasan akan dengan mudah diabaikan.

Kotak 4: Perjuangan untuk keadilan di Nagan Raya Sesudah pilkada, seorang anggota Panwaslih Nagan Raya menjelaskan bahwa ia merasa keadilan yang sesungguhnya telah dilakukan hanya dalam satu kasus yang ditangani oleh lembaganya. Dalam kasus ini para anggota KPA setempat melaporkan pengaduan ke Panwaslih pada malam sebelum hari pemungutan suara pada 11 Desember 2006. Mereka menuduh bahwa 58 orang penduduk telah dicantumkan dalam daftar pemilih meskipun mereka baru pindah ke desa tersebut dalam jangka waktu kurang dari minimial waktu yang dipersyaratkan. Untuk dapat memiliki hak pilih, seseorang harus telah tinggal di daerah pemilihan minimal selama enam bulan sebelum hari terakhir pendaftaran pemilih. Pengaduan awal di kantor Panwaslih sempat memanas. Setelah melakukan penyelidikan, Panwaslih membawa para pemrotes ke KIP untuk menindaklanjuti pengaduan tersebut. KIP tidak menanggapi pengaduan itu dengan serius, namun akhirnya didesak untuk mengunjungi desa tersebut guna memverifikasi informasi tersebut. Pada saat kunjungan yang sudah larut malam ke desa itu, KIP terlihat bersikap tidak tegas. Namun, sekelompok anggota KPA memperlihatkan kemarahan mereka dan mengancam untuk mengacaukan pemungutan suara di desa itu pada keesokan harinya jika masalah itu tidak diatasi.24 Akhirnya, pada pukul 4 pagi, setelah melalui banyak perdebatan, para penduduk yang dipersoalkan dicoret dari daftar pemilih.

Pikiran bahwa para petugas lembaga pemilihan berusaha menyelidiki berbagai pengaduan itu dengan tidak memperburuk konflik atau membahayakan proses perdamaian adalah suatu hal yang positif. Sebagian pengaduan memang bersifat oportunistik atau tidak begitu penting, ketika dibandingkan dengan kemungkinan penerapan sanksi yang tegas, seperti diskualifikasi calon, justru dapat membuahkan kekerasan. Namun, alur berpikir ini kadangkala digunakan sebagai alasan bagi para petugas lembaga pemilihan untuk tidak berbuat apa-apa atau justru menegakkan aturan secara memihak. Bukti dari lapangan menunjukkan bahwa para petugas lembaga pemilihan lebih terfokus untuk memastikan keselamatan pribadi mereka daripada melindungi proses perdamaian. Klaim melindungi perdamaian digunakan untuk menjustifikasi baik pelaksanaan memihak yang dimotivasi kepentingan politik maupun sikap malas mereka yang mencolok. Masih ada persepsi yang kuat bahwa dalam banyak kasus pelanggaran pilkada, keadilan justru diabaikan.

3. Peraturan Dana Kampanye dan Tatakelola Pemerintahan ke Depan Kegagalan untuk mengimplementasikan peraturan-peraturan menyangkut dana kampanye dalam pilkada di Aceh kemungkinan akan menjadi ancaman serius bagi tatakelola 24 Para anggota KPA tampaknya merasa bahwa 58 pemilih yang dipermasalahkan itu kemungkinan akan mendukung bupati incumbent yang didukung oleh partai Golkar. Mereka adalah orang Jawa dan datang untuk bekerja di pembangkit listrik yang dimiliki oleh Surya Paloh, seorang politisi Golkar tingkat nasional yang berpengaruh. Memang banyak orang Jawa di Nagan Raya secara terbuka mendukung bupati incumbent dari partai Golkar ini (lihat Bagian VI).

Page 37: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

Pelaksanaan dan Praktek Kelembagaan

25

pemerintahan mendatang di Aceh. Pilkada di Aceh memiliki ketentuan-ketentuan yang mensyaratkan adanya pelaporan, publikasi dan audit terhadap dana kampanye para calon. Namun, ketentuan-ketentuan tersebut tidak dilaksanakan secara penuh dan karena itu tidak efektif. Sedikit sekali diketahui mengenai bagaimana para calon membiayai kampanye mereka, dan karena itu publik hanya memiliki sedikit peluang untuk menggunakan informasi itu guna memantau keputusan-keputusan yang dibuat oleh calon yang menang ketika sudah berkuasa. Meskipun tidak menimbulkan protes dan konflik selama masa pilkada dan sesudahnya, hal ini mengurangi potensi pilkada untuk dapat menghasilkan pemimpin-pemimpin baru yang tidak cenderung melestarikan tatakelola pemerintahan yang buruk akibat praktek pendanaan ilegal yang mereka jalankan selama masa kampanye. Di kebanyakan negara-negara demokrasi kampanye pemilihan dibiayai oleh kombinasi antara tabungan pribadi dan subsidi negara. Di Indonesia pada tahun 2005 subsidi negara untuk partai politik dipangkas. Sekarang, bukan partai yang mendanai para calon dalam rangka mengusung kebijakan mereka dengan memenangkan pemilihan, melainkan para calonlah yang harus membayar partai agar mendukung mereka melalui proses pencalonan (Mietzner 2007a).25 Misalnya, salah seorang calon untuk jabatan gubernur DKI Jakarta diyakini telah membayar sebuah partai lebih dari 10 milyar rupiah (1 juta dollar AS) agar partai itu mencalonkan dirinya (Mietzner 2007a: 252). Penelitian lapangan kami di Aceh juga menemukan kasus-kasus di mana calon membayarkan sejumlah uang kepada partai politik. Para calon menghabiskan dana yang besar untuk kampanye-kampanye mereka, karena membutuhkan uang untuk memenangkan pencalonan oleh partai, mencetak bahan-bahan kampanye dan memasang iklan, membiayai tim asisten, dan untuk menyebarkan keuntungan patronase melalui jaringan para pendukung (lihat Bagian IV). Para calon yang tidak memiliki dana pribadi dalam jumlah yang besar harus mencari dana melalui jaringan sosial mereka, terkadang maju berpasangan dengan calon wakil bupati yang kaya, atau meraih dukungan dari anggota tim sukses yang kaya guna mendanai kampanye mereka dengan imbalan berupa dukungan atau bantuan jika mereka menang. Meskipun jumlah dana yang dihabiskan untuk kampanye pilkada sangat besar, namun ketidakpedulian terhadap sumber dana kampanye sudah menjadi ciri khas pada sistem demokrasi di Indonesia pasca Soeharto. Pada pilkada tahun 2005 di Kabupaten Gowa, Sulawesi Tengah, misalnya, koordinator kampanye salah satu calon mengakui secara pribadi bahwa ia telah menghabiskan lebih dari empat milyar rupiah, meskipun hanya 143 juta rupiah sumbangan kampanye dilaporkan ke KPU (Buehler dan Tan 2007: 11). Penelitian lapangan kami mengungkap berbagai indikasi mengenai kesepakatan pendanaan yang dilakukan untuk mendapat imbalan dalam bentuk jasa politik. Misalnya, seorang pengusaha lokal di bidang perkayuan diduga mendukung salah seorang calon bupati di Aceh Barat. Para informan mengemukakan bahwa sang pendukung ini berharap akan memperoleh konsesi perkayuan dan kekebalan hukum atas pembalakan liar sekiranya calon itu memenangkan pemilihan. Di Aceh Barat Daya, berbagai laporan mengindikasikan bahwa para kontraktor kaya telah menyumbang milyaran rupiah untuk kampanye dan

25 Di Indonesia pada tahun 2004 partai-partai politik menerima dana negara sebesar Rp. 1.000 per suara yang mereka dapatkan pada Pemilu 1999 (Mietzner 2007: 243).

Page 38: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

Pelaksanaan dan Praktek Kelembagaan

26

mengharapkan bantuan tertentu sebagai imbalannya. Dalam skala yang lebih kecil, seorang kontraktor yang sekaligus anggota tim sukses di tingkat kecamatan di Nagan Raya mengindikasikan bahwa ia telah menyumbangkan dana pribadinya sebesar Rp 15-20 juta untuk kegiatan kampanye tingkat lokal. Kasus terbesar mencuat menjelang hari pemungutan suara, ketika seseorang yang diduga sebagai ajudan dari calon yang menang di Nagan Raya tertangkap di Medan ketika sedang menarik uang sebesar 10M dari rekening bank yang data pemiliknya palsu. Diduga bahwa dana tersebut merupakan sumbangan kampanye dari para kontraktor di Nagan Raya—yang mengakui bahwa uang itu adalah milik mereka, namun mereka menyangkal bahwa uang itu diperuntukkan bagi sumbangan kampanye. Sebagian dari kesepakatan pendanaan itu dikatakan disertai penandatanganan kontrak politik yang menyatakan secara jelas keuntungan apa yang akan diberikan oleh sang calon jika ia dapat memenangkan jabatan. Dalam kasus-kasus lain, perjanjian berbentuk lisan. Para kontraktor umumnya mengharapkan kontrak jasa konstruksi dari pemerintah yang menguntungkan dengan pengawasan keuangan yang minim. Mereka juga menyadari bahwa jika calon mereka kalah, kemungkinan besar mereka tidak akan mendapat kontrak-kontrak tersebut. Potensi dan bahaya pendanaan kampanye yang ilegal semacam itu telah mendapat perhatian besar sehingga hal itu dibahas dalam Nota Kesepahaman Helsinki. Klausul 1.2.8 menyatakan bahwa “Akan ada transparansi penuh dalam hal dana kampanye”. Selanjutnya, undang-undang pilkada Aceh memberi kerangka untuk memantau dana kampanye. Qanun No. 2 dan 3 tentang pilkada menyatakan bahwa para calon diharuskan menggunakan rekening bank yang telah ditetapkan untuk seluruh sumbangan dan pengeluaran kampanye, untuk hanya menerima sumbangan di bawah batas jumlah tertentu dari perseorangan dan perusahaan, dan untuk melaporkan seluruh sumbangan dan pengeluaran kepada KIP.26 KIP diharuskan mengaudit dan memverifikasi laporan tersebut dalam sepuluh hari masa pilkada27 dan memublikasikan laporan di dalam surat-kabar daerah. Prosedur semacam ini serupa dengan peraturan-peraturan yang digunakan di dalam pemilihan-pemilihan sebelumnya, yang tidak menyebut adanya sanksi jika calon tidak menyerahkan laporan atau tidak mematuhi peraturan-peraturan pemilihan (Indonesian Corruption Watch t.t.: 4-5). Akibatnya, pada masa lalu peraturan-peraturan dana kampanye diabaikan begitu saja (lihat Mietzner 2007a: 254). Misalnya, pada tahun 2004 hanya satu dari 128 anggota DPRD dan 13 dari 24 partai politik yang menyerahkan laporan dana kampanye mereka (Carter Center 2005). Tingkat kepatuhan terhadap peraturan dana kampanye dalam pilkada di Aceh juga rendah. Banyak calon yang tidak menyerahkan laporan dana kampanye mereka setelah pilkada—khususnya para calon yang kalah. Di Bener Meriah, hanya calon yang menang yang menyerahkan laporan, sedangkan di Aceh Barat Daya hanya dua calon dalam pemilihan putaran kedua yang menyerahkan laporan. Juga tidak ada bukti bahwa rekening bank 26 Lihat Qanun No. 2 (2004) Pasal 48-49 dan Qanun No. 3 (2005) Pasal 50. Jumlah maksimal sumbangan perseorangan sebesar Rp. 50 juta untuk calon gubernur dan Rp. 25 juta untuk calon bupati/walikota. Sumbangan dari perusahaan swasta dapat mencapai dua kali dari jumlah tersebut. 27 Qanun No. 7 (2006) Pasal 9(1)(a).

Page 39: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

Pelaksanaan dan Praktek Kelembagaan

27

digunakan hanya untuk dana kampanye atau bahkan telah digunakan sama sekali, atau bahwa pihak bank membantu melakukan verifikasi terhadap transaksi dana kampanye. Di Nagan Raya seorang petugas Panwaslih melaporkan bahwa ia tidak dapat memperoleh nomer-nomer rekening dana kampanye para calon, kecuali satu, yang setelah diverifikasi ternyata kosong. Para calon tampaknya hanya sekadar diminta untuk mengisi formulir yang mencantumkan dana kampanye dan pengeluaran total. Ketika diserahkan, akurasi laporan dana kampanye itu diragukan. Menurut International Crisis Group (2007: 4), seorang anggota tim sukses calon gubernur Azwar Abubakar mengakui telah mengeluarkan dana sebesar empat kali lipat dari jumlah yang dilaporkan ke KIP. Wawancara yang kami lakukan juga menemukan berbagai indikasi serupa. Lebih dari itu, tidak ada tanda-tanda bahwa proses audit yang dijanjikan benar-benar dijalankan. Hal ini diperoleh dari pengakuan para petugas kampanye yang mengatakan bahwa tidak ada orang yang telah menghubungi mereka untuk meminta informasi lebih jauh atau untuk memverifikasi informasi yang terdapat dalam laporan mereka. Kesimpulan jelas yang dapat diambil ialah lembaga-lembaga pemilihan tidak mampu atau enggan untuk memantau pendanaan kampanye guna meminimalkan terjadinya penukaran dana untuk jasa politik atau kesepakatan-kesepakatan lainnya. Hal ini dapat mempunyai dampak buruk bagi tatakelola pemerintahan dan pendistribusian sumber daya negara. Verifikasi terhadap dana kampanye adalah sebuat alat yang dapat digunakan oleh oposisi politik, media, LSM-LSM dan masyarakat sipil untuk menegakkan akuntabilitas bagi calon-calon yang memenangkan pilkada. Namun, sebelum alat ini dapat menjadi efektif, sejumlah syarat harus dipenuhi, termasuk adanya dukungan dari masyarakat luas untuk upaya-upaya menyelidiki dana kampanye, adanya oposisi politik atau kelompok sipil (LSM, media) yang bersedia menyelidiki dan menekan agar pelanggaran-pelanggaran ditangani, dan adanya upaya terus-menerus untuk menyelidiki korupsi di pemerintah serta hubungan antara keputusan-keputusan pemerintah dan sumber dana kampanye. Oleh sebab itu, pelaksanaan peraturan dana kampanye yang efektif merupakan langkah penting untuk memastikan bahwa pemilihan menyiapkan jalan menuju terwujudnya tatakelola pemerintahan yang baik.

Page 40: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

IV. Strategi Kampanye dan Mobilisasi Pemilih Penelitian ini menunjukkan bahwa dalam pilkada di Aceh strategi kampanye dan mobilisasi kurang efektif dalam mensosialisasikan prioritas-prioritas kebijakan para calon, dan kurang efektif dalam mendorong para politisi supaya tanggap terhadap kebutuhan dan prioritas warga pada umumnya. Bukan mengandalkan dialog kebijakan dan mobilisasi tingkat bawah menyangkut prioritas pemilih, para calon—terutama dalam persaingan di tingkat kabupaten/kota—malah lebih banyak bersandar pada upaya menyebarkan patronase, memengaruhi para pemimpin desa, politik uang, dan pamer kebesaran dan status. Bagian ini menganalisis praktek-praktek kampanye dan mobilisasi tersebut dan membahas implikasi-implikasi dari strategi-strategi semacam itu. Empat kelompok pemimpin di Aceh seperti telah dipaparkan sebelumnya menonjol sebagai calon-calon dalam pilkada: ‘teknokrat’ (birokrat dan akademisi), tokoh GAM, ‘elite tandingan’ dari masyarakat sipil, dan kontraktor:

• Calon-calon teknokrat biasanya adalah orang-orang incumbent, para anggota DPRD (paling umum adalah ketua DPRD), birokrat (seringkali kepala dinas), pejabat militer atau pemimpin partai, dan lebih cenderung mewakili partai-partai politik nasional daripada maju sebagai calon independen.

• Calon-calon yang berafiliasi dengan GAM maju dalam pilkada di 15 kabupaten/kota, dan umumnya berasal dari lapisan ‘GAM sipil’.28 Kebanyakan maju sebagai calon independen, dengan pengecualian calon wakil gubernur Hasbi Abdullah, yang maju dengan dukungan PPP bersama Human Hamid.

• Calon-calon dari masyarakat sipil, yang menonjol di antara mereka adalah orang-orang yang memiliki kaitan dengan SIRA, sebagian dari mereka maju sebagai calon independen (seringkali berpasangan dengan calon dari GAM) atau dengan dukungan partai.29

• Para kontraktor seringkali maju sebagai calon wakil bupati, mungkin berperan untuk memberi dukungan dana untuk tokoh yang lebih terkenal yang maju sebagai calon bupati.

Ulama tidak tampil sebagai calon, namun dalam beberapa kasus mereka menyatakan dukungan secara terbuka terhadap calon-calon tertentu. Tidak ada keturunan ulèëbalang, yang dapat dikenali dari penggunaan gelar Teuku pada namanya, yang menonjol di antara calon, dan tidak pula di kalangan pemenang; hanya seorang Teuku yang tampil sebagai calon yang berhasil (lihat di bawah). Kotak 5 memberi tiga contoh calon dan apa yang dipandang sebagai kualitas yang membuat mereka layak menjadi calon.

28 GAM memiliki anggota militer maupun non-militer, yang di Aceh pihak yang terakhir itu disebut sebagai GAM sipil. 29 SIRA (Sentral Informasi Referendum Aceh) mengorganisasikan unjuk rasa besar pada 1999 dan 2000, yang mengumpulkan ratusan ribu pendukung untuk mengekspresikan keinginan mereka agar dilaksanakan sebuah referendum untuk menentukan kemerdekaan Aceh. SIRA berakar dalam gerakan mahasiswa, dan pemimpinnya, Muhammad Nazar, berpasangan dengan Irwandi Yusuf sebagai calon wakil gubernur (dan berhasil menang).

Page 41: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

Strategi Kampanye dan Mobilisasi Pemilih

29

Kotak 5: Para calon dalam pilkada • Seorang pengusaha sukses di Pidie

Khairul Basyar, yang dikenal sebagai ‘Raja Walet’ karena kesuksesannya dalam usaha perdagangan sarang burung walet, maju sebagai calon bupati Pidie dengan didukung oleh koalisi partai-partai kecil. Reputasi yang dimilikinya sangat membantu kampanyenya; ia dikenal sebagai orang yang sukses (sebagai pengusaha), wajah baru (yakni belum tercemar oleh pengalaman langsung dalam politik lokal), kaya (dan karena itu pendukungnya beralasan bahwa kecil kemungkinan ia akan melakukan korupsi ketika ia telah menjabat), dan dermawan (memiliki sejarah membantu pembangunan masjid dan menolong orang miskin). Kampanyenya didanai dari uang yang berasal dari koceknya sendiri, dan ia menang di sejumlah kecamatan. Akan tetapi, pada akhirnya ia tidak dapat mengalahkan dukungan terhadap calon yang berafiliasi dengan GAM, dan hanya berhasil meraih posisi kedua.

• Calon masih menjabat yang berkedudukan baik di Nagan Raya

Di Nagan Raya bupati lama, Teuku Zulkarnaini, memiliki banyak hal yang mendukungnya untuk maju sebagai calon. Pertama, ia adalah seorang birokrat yang diangkat untuk jabatan bupati di kabupaten baru Nagan Raya pada 2003. Dilaporkan bahwa hal ini memungkinkan dirinya membangun jaringan para pendukung setia di dalam birokrasi dan lembaga-lembaga daerah lainnya; rumor yang banyak beredar mengenai adanya pengangkatan yang bersifat nepotis dan penyebaran patronase. Kedua, ia adalah keturunan dari Raja Beutong, sebuah wilayah yang kini menjadi kecamatan di Nagan Raya, dan hal ini terus menjadi sumber kesetiaan terhadap dirinya dari sebagian penduduk. Terkahir, ia adalah cucu dari Abu Plekong, ulama dan pemimpin berstatus tinggi yang para keturunannya tetap mendapat dukungan yang nyaris fanatik. Seluruh faktor itu mungkin membantu. Ia memenangkan pilkada dengan kemenangan mutlak.

• Calon GAM yang tidak dikenal luas namun berhasil di Aceh Utara

Ilyas Pasee adalah calon yang berafiliasi dengan GAM di Aceh Utara. Pilihan semula adalah Amni Ahmad Marzuki, yang tidak lolos dalam ujian membaca Al-Qur’an. Setelah melalui proses negosiasi yang berlangsung tegang, KPA dibolehkan mengajukan seorang calon untuk menggantikan dirinya. Sebelumnya Ilyas Pasee adalah wakil komandan wilayah dan koordinator politik untuk wilayah GAM yang meliputi Aceh Utara (dan tiga kabupaten lainnya) (International Crisis Group 2007). Meskipun ia tidak dikenal di beberapa bagian kabupaten Aceh Utara, ia dapat memenangkan pemilihan berkat ikatannya dengan GAM.

Bagaimana para calon berkampanye untuk merebut kursi kepemimpinan di Aceh? Calon-calon independen yang berafiliasi dengan GAM umumnya memiliki dana yang sedikit, namun mereka mengandalkan jaringan tingkat akar-rumput yang mereka miliki, terutama di kalangan pemilih miskin dan pemilih di wilayah pedesaan, dengan pesan kampanye yang disebarkan melalui jaringan pendukung KPA yang besar. Sebaliknya, para calon dengan latar belakang teknokrat atau kontraktor, cenderung mengandalkan jaringan patronase yang lebih oportunistik (berlawanan dengan jaringan GAM yang lebih ideologis), dan kampanye media yang mencolok (dan mahal) untuk menjangkau para pemilih. Bagian ini akan menguraikan lebih jauh empat ciri strategi kampanye para calon: • Tidak adanya platform kebijakan yang jelas dan maraknya janji-janji; • Mengandalkan jangkauan dan jaringan kepemimpinan; • Membagi-bagikan sumbangan, ‘paket bantuan’, dan pemberian uang tunai (politik

uang), seringkali diberikan ketika ada acara silaturrahmi atau kampanye terbuka;

Page 42: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

Strategi Kampanye dan Mobilisasi Pemilih

30

• Pamer kekuatan melalui kampanye terbuka yang sengaja dibuat besar-besaran, dan dengan “mencap” wilayah tertentu sebagai wilayah kekuasaan calon tertentu.

Strategi-strategi tersebut memiliki implikasi negatif terhadap tatakelola pemerintahan karena calon membentuk hubungan patron-klien dan membuat komitmen patronase yang akan membutuhkan pemberian-pemberian ilegal barang dan jasa secara terus-menerus.30 Praktek-praktek ini juga memiliki implikasi negatif terhadap persaingan politik karena praktek-praktek itu melibatkan mobilisasi ‘klien’ untuk bekerja atas nama patron politik mereka, bukan melalui pedebatan dan pernyataan kebijakan, melainkan melalui pendekatan personal, pemberian uang secara ilegal dan unjuk kekuatan. Hal ini dapat menjadi penyebab bagi munculnya dan meningkatnya berbagai pertikaian di masa mendatang.

1. Platform dan Janji-janji

“Kampanye dilakukan melalui slogan-slogan saja…tidak ada yang memiliki program yang jelas.”

Pekerja LSM, Aceh Barat Kampanye untuk pilkada di Aceh tidak mengandung penjelasan terperinci mengenai platform kebijakan. Di berbagai kampanye terbuka, yang biasanya diselenggarakan di ibu kota kecamatan, para calon melontarkan berbagai ungkapan banal yang berisi janji-janji untuk ‘menolong rakyat miskin’, ‘memprioritaskan petani’, ‘menciptakan lapangan kerja’, ‘memperbaiki ekonomi’, ‘memelihara perdamaian’ atau ‘memberantas korupsi’. Di berbagai kampanye itu umumnya tidak terlihat pembahasan yang canggih mengenai inovasi kebijakan atau pengalokasian anggaran. Hal ini berlaku untuk calon kepala daerah tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Dengan tidak adanya pembahasan semacam itu, para calon diasosiasikan dengan posisi ideologis yang luas berdasarkan latar belakang partai atau GAM. Partai-partai politik sekular dipandang mewakili ideologi nasionalis, partai-partai Islam mewakili ideologi Islam yang berhaluan nasionalis, dan calon-calon yang berafiliasi dengan GAM mewakili ideologi perubahan, identitas keacehan dan pro-rakyat miskin. Ideologi politik tidak membedakan secara tegas partai-partai politik nasional. Sebaliknya, para calon yang berafiliasi dengan GAM memanfaatkan setiap kesempatan untuk menekankan ciri ideologis (ideological credentials) mereka. Berpose dalam foto dengan menggunakan busana tradisional Aceh, yang kemudian muncul dalam surat suara, merupakan strategi utama dalam menggarap citra keacehan, dan membuat mereka tampak berbeda secara jelas dari calon-calon yang didukung oleh partai-partai politik nasional.31 Namun, tidak seperti partai-partai lokal lainnya dalam konteks pasca konflik, para calon

30 Hubungan patron-klien adalah ikatan hierarkis yang langgeng antara dua pihak. Biasanya sang patron atau pelindung menyediakan pekerjaan, perlindungan dan keuntungan-keuntungan lain, sedangkan sang klien menyediakan tenaga kerja atau dukungan politik. Sebuah sistem politik terbangun atas dasar hubungan jangka lama semacam ini dapat disebut ‘patrimonial’. 31 Strategi ini dipandang begitu berhasil sehingga seluruh calon dalam pilkada Bireuen tahun 2007, bukan hanya mereka yang berafiliasi dengan GAM, mengenakan gaya busana yang sama.

Page 43: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

Strategi Kampanye dan Mobilisasi Pemilih

31

yang berafiliasi dengan GAM cenderung tidak terlalu menekankan peran mereka dalam mencapai otonomi (lihat Hohe 2002).

“Said Mahdi hanya berjanji kalau menang akan dibangun balai desa...itu aja yang dijanji dan itu aja saya tahu dari ‘visi dan misi’-nya.”

Anggota Tim Sukses, Beutong, Nagan Raya Daripada menyampaikan kebijakan dan program partai atau pribadi, para calon lebih berusaha meraih dukungan dengan membuat janji-janji khusus kepada desa-desa atau kelompok desa tertentu. Seorang calon mungkin menjanjikan untuk membangun jalan desa atau memperbaiki masjid, sedangkan calon yang lain mungkin menjanjikan program bantuan pertanian. Pada masa lalu, tatkala para kepala daerah dipilih oleh anggota DPRD, para calon memfokuskan upaya patronase mereka kepada para anggota DPRD dan elite pendukung lainnya (lihat Sulaiman dan van Klinken 2007). Namun, setelah pemilihan berjalan langsung, mereka memfokuskan upaya patronase mereka kepada masyarakat umum. Pernah muncul pendapat bahwa pemilihan melahirkan ‘tekanan distribusi ke bawah’ yang sangat kuat melalui jaringan patronase dalam pemilihan langsung yang dilaksanakan di tengah perubahan politik, sosial dan ekonomi, khususnya ketika ideologi tidak menentukan secara signifikan keputusan untuk memilih (Scott 1972).32 Seluruh kondisi tersebut terdapat di Aceh. Para pemilih umumnya tidak terikat secara ideologis dengan para calon (kecuali dalam kasus GAM), dan banyak janji-janji yang diumbar oleh para calon untuk memenangkan dukungan rakyat lapisan bawah. Selama penelitian lapangan kami, para pemilih menggambarkan jenis-jenis janji nyata yang ditawarkan para calon kepada warga: membangun masjid, balai desa, tanggul penahan banjir dan jalan.

2. Jangkauan dan Jaringan Kepemimpinan: Pentingnya Tim Sukses

“Tim sukses terdiri dari berbagai tipe orang…tokoh publik, kontraktor…tetapi metode sama semua.”

Direktur LSM lokal, Aceh Barat Jangkauan dan jaringan kepemimpinan merupakan strategi kampanye dan mobilisasi yang utama bagi para calon. Pemilihan yang bersifat langsung memaksa para calon untuk menjangkau rakyat lapisan bawah, namun kebanyakan calon tidak memiliki koneksi ini—terutama para calon yang tidak berafiliasi dengan GAM. Para calon umumnya berusaha membangun hubungan dengan para penduduk desa dengan memanfaatkan para pemimpin lokal dan dengan mengandalkan jaringan dan pengaruh mereka di tingkat lokal. Untuk 32 Empat kondisi yang disebutkan Scott (1972) adalah: ketika warga memilih secara langsung para calon (seperti di Aceh dengan pilkada langsung); ketika kekuasaan politik tidak stabil (di Aceh, gejolak pasca Nota Kesepahaman Helsinki, termasuk diperbolehkannya calon independen); ketika terjadi perubahan sosio-ekonomi yang luas (seperti situasi pasca Tsunami dan pasca konflik di Aceh); dan para calon tidak dapat bersandar pada topangan ideologis (seperti di Aceh ketika warga kecewa dengan partai-partai nasional dan kelompok teknokrat).

Page 44: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

Strategi Kampanye dan Mobilisasi Pemilih

32

kepentingan ini tim sukses dibentuk di tingkat provinsi (untuk pemilihan gubernur), kabupaten/kota, kecamatan dan bahkan desa. Sebisa mungkin tim sukses dipilih dari jaringan yang telah dimiliki para calon, dan ditambah dengan orang-orang baru, yang seluruhnya kemudian berusaha memengaruhi para pemimpin lokal di sekitar mereka agar mendukung secara terbuka calon mereka. GAM telah memiliki jaringan yang kuat dan dukungan tingkat desa yang luas. Para calon yang berafiliasi dengan GAM menggunakan struktur KPA untuk menyebarkan pesan kampanye, terutama secara informal, di warung-warung kopi dan pertemuan-pertemuan informal, daripada menggunakan cara berkunjung ke rumah-rumah secara terbuka dan pidato di forum publik. Para pendukung GAM terkadang hanya bertanya kepada seorang (mantan) anggota GAM calon mana yang merupakan ‘uroeng tanyoe’ (orang kita).33 Kampanye semacam ini tidak melibatkan diskusi yang mendalam, dan banyak pendukung GAM yang hanya memiliki pengetahuan yang sangat sedikit tentang para calon. Yang mereka tahu hanyalah jika mereka mendukung uroeng tanyoe, maka mereka harus memilih calon nomor 5 (misalnya) pada hari pemungutan suara. Para calon yang berafiliasi dengan GAM, yang berpasangan dengan calon wakil dari SIRA, juga memperoleh keuntungan dari reputasi positif SIRA yang kuat sebagai sebuah organisasi yang sangat jelas identitas keacehannya dan aktif pada masa perjuangan menentang pemerintah pusat. Namun, mayoritas calon harus mengandalkan jaringan hierarkis tim sukses yang dibentuk dan dikerahkan secara cepat, dengan tim sukses tingkat kabupaten memilih tim sukses tingkat kecamatan, dan demikian seterusnya. Kunci pembentukan tim sukses yang berhasil adalah mengenali dan meraih dukungan dari individu-individu dan organisasi-organisasi yang memiliki jaringan dan pengaruh. Misalnya, incumbent bupati Pidie berhasil membentuk tim sukses yang terdiri dari para kontraktor, pengusaha, anggota DPRD, tokoh masyarakat, ulama dan perhimpunan ulama, perhimpunan santri dan kelompok-kelompok pemuda. Kotak 6 memaparkan karakteristik utama yang membuat seorang anggota tim sukses berhasil.

Kotak 6: Ciri-ciri seorang anggota tim sukses yang berhasil • Jaringan yang luas dan kuat

Para anggota tim sukses harus memiliki jaringan sosial yang luas, baik melalui keanggotaan dalam organisasi, jaringan patron-klien yang kuat atau jaringan sosial yang bersifat informal. Karena dukungan diperoleh bukan dengan menyebarkan informasi, melainkan dengan menebarkan pengaruh, maka lebih efektif jika menggunakan hubungan sosial yang telah ada daripada membangun hubungan sosial yang baru. Jaringan terutama penting jika jaringan itu menjembatani antara tingkat kabupaten dan tingkat desa, daripada menghubungkan elite tingkat kabupaten dengan elite tingkat kecamatan. Seorang anggota tim sukses yang memiliki hubungan erat dengan calon lebih mungkin dapat meyakinkan para pemilih bahwa keuntungan-keuntungan yang dijanjikan benar-benar akan sampai ke desa mereka.

• Status dan legitimasi sosial

Karena yang dijual oleh anggota tim sukses adalah pengaruh, bukannya informasi, maka status

33 Penggunaan ungkapan ‘orang kita’ di sini memiliki maksud tertentu. Banyak pihak yang merasa bahwa calon-calon dari partai-partai nasional tidak mewakili kepentingan mereka, namun penggunaan ungkapan ini mengesankan bahwa seluruh calon bukan GAM dipandang sebagai orang luar.

Page 45: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

Strategi Kampanye dan Mobilisasi Pemilih

33

anggota tim sukses sangat penting. Status sosial di Aceh bergantung pada garis keturunan (dari keluarga bangsawan atau keluarga terpandang), usia, gender, reputasi keagamaan, pendidikan, kekayaan dan faktor-faktor lainnya. Dalam berbagai pertemuan sosial, pendapat orang tidaklah setara, dan norma-norma sosial membatasi penduduk yang berstatus lebih rendah untuk berbicara dalam pertemuan-pertemuan besar. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa para anggota tim sukses yang berstatus rendah cenderung tidak efektif dan tidak aktif, sementara mereka yang berstatus tinggi dapat berbicara dalam forum-forum publik dan pendapat mereka ditanggapi dengan lebih serius.

• Kepribadian

Para anggota tim sukses harus kharismatik, pandai berbicara dan energik agar dapat berhasil memengaruhi orang dalam jumlah besar. Orang yang memiliki kualitas-kualitas tersebut akan lebih sukses dalam meyakinkan warga untuk mendukung calon mereka dan dalam membangun jaringan pengaruh yang lebih besar.

• Amanah

Sikap amanah sangat penting mengingat para calon seringkali menyalurkan dana kepada para anggota tim sukses untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan kampanye. Mengandalkan hubungan baru adalah tindakan berisiko, dan beredar banyak cerita tentang para anggota tim sukses yang mengorupsi atau menyelewengkan dana kampanye; pada akhirnya para calon menghentikan dana untuk para anggota tim sukses yang tidak amanah itu. Lebih aman untuk bekerja melalui aliansi politik yang telah ada dan telah teruji. Jaringan politik antara orang-orang yang sebelumnya menjadi anggota tim sukses pada pemilu tahun 2004 diaktifkan kembali untuk pilkada.

Meskipun sebagian anggota tim sukses adalah kader partai, dan sebagian tertarik kepada seorang calon karena alasan-alasan ideologis, pada kenyataannya banyak anggota tim sukses yang merupakan ‘pengusaha politik’ yang menjual ketrampilan mereka. Sebagian akan menawarkan jasa mereka kepada sejumlah calon untuk memperoleh kesepakatan yang paling menguntungkan untuk diri mereka sendiri. Pandangan bahwa tim sukses adalah para pengusaha politik didukung oleh kenyataan bahwa banyak dari anggota tim sukses itu berasal dari kalangan kontraktor dan pengusaha, orang-orang yang sudah tertanam dalam jaringan neo-patrimonial dengan tokoh-tokoh pemerintah, dan terbiasa membuat kesepakatan yang pragmatis.34 Kotak 7 mendeskripsikan tiga orang anggota tim sukses yang aktif dalam pilkada kabupaten.

Kotak 7: Tiga contoh anggota tim sukses • Seorang anggota tim sukses panutan di sebuah desa di Pidie

Meskipun calon bupati terpilih di Kabupaten Pidie berasal dari calon yang berafiliasi dengan GAM, Khairul Basyar, yang dikenal sebagai ‘Raja Walet’ (lihat Kotak 5 di atas), meraih suara terbanyak di desa ini—dan ia juga menang di tingkat kecamatan. Keberhasilan ini antara lain disebabkan karena ia telah memilih tim sukses yang baik serta berhasil memanfaatkan jaringan politik yang telah ada untuk menyalurkan dana dan menanamkan pengaruh. Keberhasilan anggota tim sukses Raja Walet ini, Ramli,35 di kecamatan ini dapat dikatakan karena sejumlah faktor berikut: • Kakaknya Ramli adalah seorang kontraktor di Sigli dan telah berperan sebagai pengusaha politik

selama masa kampanye Pemilu 2004. Karena itu, Ramli memiliki hubungan yang baik dengan

34 Neo-patrimonialisme mengacu pada sistem politik yang baru muncul belakangan di mana hubungan patron-klien lebih bersifat oportunistik dan jangka pendek. Lihat Scott (1972), Eisenstadt (1973) dan Brown (1994). 35 Nama-nama dalam kotak ini bukan nama sebenarnya.

Page 46: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

Strategi Kampanye dan Mobilisasi Pemilih

34

tokoh-tokoh politik di ibu kota kabupaten. • Ayah Ramli memiliki kedudukan tinggi di desa, memiliki gelar bangsawan teuku, dan dipandang

memiliki ‘nama besar’ di wilayah tersebut. Hal ini mendongkrak status Ramli di mata penduduk desa.

• Ramli adalah orang yang kharismatik, energik, cerdas dan pandai berbicara. • Sebelumnya Ramli telah sukses dalam pemilu legislatif tahun 2004 pada saat ia mendukung

seorang calon yang kemudian berhasil menjadi anggota DPRK. • Seorang pengusaha politik di Pidie

Husin tinggal di sebuah desa terpencil di Pidie yang merupakan basis dukungan GAM. Pada Pemilu tahun 2004 ia aktif untuk partai Golkar. Ia memiliki sebuah warung kopi serta orang yang percaya diri dan pandai berbicara. Menjelang pilkada ia mendekati tim sukses Irwandi Yusuf di tingkat kabupaten, dan menawarkan diri untuk menjadi anggota tim sukses tingkat desa. Akan tetapi, ia tidak berhasil memperoleh dana dari tim sukses Irwandi Yusuf, dan kemudian mengalihkan energi untuk pilkada kabupaten dan Raja Walet. Meskipun secara resmi ia adalah anggota tim sukses untuk Raja Walet, namun ia menjelaskan bahwa kesetiaan (dan suaranya) tetap diberikan untuk Irwandi Yusuf dan Mirza Ismail, calon-calon dari latar belakang GAM untuk tingkat provinsi dan kabupaten. Tampaknya hanya sedikit sekali ia berkampanye untuk Raja Walet, sekadar untuk memperoleh sumber daya apapun yang ia dapat peroleh dari tim sukses di tingkat yang lebih atas.

• Anggota tim sukses swadana di Nagan Raya

Di sebuah kecamatan di Nagan Raya, Mustafa, ketua tim sukses untuk calon bupati Golkar, adalah seorang kontraktor kaya. Mustafa telah memiliki pengalaman politik sebelumnya, ketika ia maju sebagai calon untuk Partai Patriot Pancasila. Dilaporkan bahwa ia didekati secara pribadi oleh calon partai Golkar untuk menjadi anggota tim suksesnya di tingkat kecamatan. Meskipun tidak memiliki hubungan sebelumnya dengan sang calon, Mustafa mengklaim bahwa ia telah mengeluarkan uang dari koceknya sendiri sekitar Rp. 17 juta untuk keperluan kampanye. Pengaruhnya di tingkat lokal terkait dengan kekayaan dan patronasenya. Ia mengoperasikan sejumlah truk dan terlibat dalam proyek-proyek bantuan pasca tsunami di Aceh Barat, dan ia membawa tenaga kerja untuk berbagai proyek tersebut dari kecamatan kampung halamannya. Jelas bahwa Mustafa berharap bahwa investasinya berupa uang dan tenaga akan menghasilkan laba dalam bentuk keuntungan material dan bantuan politik sekiranya calon yang didukungnya menang.

Tim sukses menjalankan berbagai kegiatan, tergantung pada strateginya serta sumber daya yang disalurkan kepada mereka. Hal ini meliputi kegiatan menyebarkan bahan-bahan kampanye (poster, stiker, kaos), memengaruhi para penduduk desa dalam percakapan sehari-hari di warung kopi, berusaha menggaet dukungan dari para pemimpin desa yang berpengaruh, dan mengatur transportasi untuk penduduk desa guna menghadiri kampanye terbuka. Jika tim sukses tidak memiliki jaringan di desa tertentu, seringkali mereka mendekati geuchik (kepala desa). Meskipun sudah semestinya orang melaporkan keberadaannya kepada geuchik pada saat tiba di desa, namun banyak yang mengatakan bahwa berbagai tim sukses berusaha secara aktif untuk merekrut geuchik sebagai anggota tim sukses lokal (yang tidak resmi). Kotak 8 menggambarkan sebagian dari kegiatan tim sukses tersebut.

“Jika calon saya menang, tidak mesti saya akan diberi pekerjaan. Tetapi jika saya tawarkan semacam proposal, akan lebih mudah didengar.”

Fasilitator desa program PPK dan anggota tim sukses tingkat lokal

Page 47: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

Strategi Kampanye dan Mobilisasi Pemilih

35

Apa yang memotivasi para anggota tim sukses? Para calon yang kaya atau memperoleh dukungan pendanaan yang memadai dapat membagi-bagikan dana mereka kepada tim sukses yang dipercaya, namun banyak tim sukses yang bekerja tanpa menerima dana dari atas. Mulai dari para kontraktor yang mendanai kampanye calon di tingkat kabupaten sampai tingkat kecamatan, hingga tim sukses tingkat desa yang menginvestasikan uang mereka sendiri dalam kegiatan-kegiatan kampanye, tim sukses berharap bahwa bantuan mereka dapat dibalas dengan bantuan politik atau material. Dengan demikian, mereka masuk ke dalam hubungan neo-patrimonial dengan para calon dengan harapan mereka akan memperoleh imbalan pada masa mendatang daripada upah untuk jam kerja yang mereka habiskan. Keuntungan yang diharapkan dapat berupa hadiah motor atau mobil, jika mereka dapat menghasilkan cukup suara, hingga berupa pekerjaan di masa mendatang, kontrak konstruksi yang menggiurkan, atau dalam skala yang lebih kecil, hanya sekadar ‘telinga’ calon jika ia menjadi bupati seperti dikutip di atas. Bahkan jika anggota tim sukses tidak mendapat keuntungan secara individual, kedekatan mereka dengan calon yang menang dapat memungkinkan mereka untuk menjamin bahwa desa mereka dapat memperoleh proyek pembangunan yang dijanjikan, yang jika ini terjadi, status sosial dan pengaruh mereka di mata warga desa akan meningkat.

Kotak 8: Geuchik menjadi sasaran para calon dan tim sukses Berbagai laporan dari lapangan mengindikasikan bahwa para incumbent bupati sesekali waktu berusaha memobilisasi camat dan geuchik untuk mendukung pencalonan mereka. Seorang geuchik mengatakan kepada kami bagaimana ia dipanggil ke kantor camat bersama geuchik lainnya, dan mendapat instruksi untuk mendukung bupati lama dari partai Golkar. Geuchik ini mengatakan bahwa karena berbahaya jika ia menolak perintah itu di hadapan sang camat, ia lebih memilih untuk secara diam-diam tidak melaksanakan perintah tersebut. Tuduhan bahwa incumbent bupati menggunakan aparat negara sebagai tim sukses muncul di sejumlah kabupaten lain. Geuchik lainnya melaporkan adanya upaya perekrutan yang dilakukan oleh para calon yang lain. Penelitian lapangan kami menemukan kasus-kasus di mana geuchik tampaknya telah berhasil direkrut. Salah seorang geuchik relatif terbuka mengakui dukungannya atas calon tertentu, dan menjustifikasi kegiatannya sebagai ‘pengusaha politik’ dengan mengemukakan keluhan tentang rendahnya gaji yang diterima dari pemerintah. Ada banyak tuduhan mengenai tindakan geuchik yang memihak, namun sedikit sekali bukti mengenai hal itu—Panwaslih nyaris tidak ada di bawah tingkat kabupaten—yang itu berarti bahwa selama geuchik bertindak dengan cara yang tidak mencolok (dan tidak secara formal terdaftar sebagai anggota tim sukses), mereka bebas untuk bertindak semaunya.

3. Silaturrahmi, Sumbangan dan ‘Politik Uang’ Banyak sekali beredar cerita tentang tim sukses yang memberi uang secara langsung kepada para pemilih dalam bentuk uang tunai (berkisar Rp. 20.000-50.000) agar mereka memilih calon tertentu. Namun, hanya sedikit kasus yang diperkarakan ke pengadilan. Para calon juga menyediakan makan dan ‘uang transportasi’ jika warga menghadiri kampanye terbuka mereka. Sebelum periode kampanye resmi dimulai, para calon menggunakan silaturrahmi (kunjungan sosial ke desa-desa, seringkali disertai kegiatan makan, salat dan diskusi bersama) untuk menjangkau masyarakat desa, dan pertemuan-pertemuan ini umumnya melibatkan pembagian sumbangan, paket bantuan dan/atau bahan sembako. Secara khusus, ada tiga praktek yang dapat dikenali yang tampaknya melanggar aturan kampanye.

Page 48: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

Strategi Kampanye dan Mobilisasi Pemilih

36

Pertama, ketika berkunjung ke desa-desa, para calon dan tim sukses seringkali memberi sumbangan untuk dana masjid atau kepada kelompok-kelompok sosial seperti kelompok pengajian Al-Qur’an wanita atau tim olahraga pemuda. Sumbangan-sumbangan itu menunjukkan bahwa sang calon memiliki kepedulian dan akan mengambil tindakan nyata untuk memperbaiki kehidupan masyarakat desa.36 Seorang mukim (pemimpin tradisional) mengakui bahwa ‘kampanye amal’ semacam itu merupakan cara yang paling efektif untuk mendulang suara. Para anggota tim sukses juga mengakui bahwa itu adalah praktek yang lazim, bahkan bagi para calon yang berafiliasi dengan GAM:

“Jika kita pergi ke desa dan lihat masjid dalam kondisi tidak layak, kita harus kasih sumbangan…orang juga minta Al-Qur’an sama kami.”

Anggota KPA dan anggota tim sukses Kedua, politik uang juga terjadi pada saat kampanye terbuka, di mana para calon akan membagi-bagikan paket berisi pakaian atau bahan sembako, atau uang tunai untuk mengganti ‘biaya transportasi’. Dalam situasi seperti ini, masyarakat desa umumnya memiliki ikatan ideologis yang lemah dengan para calon, kecuali terhadap calon-calon yang berafiliasi dengan GAM, dan mereka tidak akan menghadiri acara kampanye jika mereka harus menyediakan sendiri keperluan makan dan transportasi. Karena itu, banyak tim sukses merasa bahwa merupakan suatu keniscayaan untuk menyediakan makanan yang baik, sejumlah uang transportasi dan mungkin barang-barang lain guna menarik peserta agar menghadiri kampanye terbuka. Oleh sebab itu, banyak masyarakat yang akan menghadiri setiap kampanye terbuka yang diadakan, daripada hanya menghadiri acara kampanye yang diadakan oleh para calon yang mereka dukung.

“Kalau tidak punya biaya untuk ‘beli kopi’ buat orang, jangan coba-coba masuk politik.”

Anggota DPRD dan anggota tim sukses Strategi ketiga yang umum dilakukan adalah menggunakan uang untuk memperkuat jaringan calon dengan para pemimpin lokal—termasuk usaha untuk menyuap geuchik dengan uang dan janji-janji. Tim sukses harus memilih cara yang paling efektif untuk menggunakan dana kampanye yang tersedia: menyebarkan pesan kampanye (melalui poster dsb.), mengadakan pertemuan, memberi barang kepada individu pemilih, atau membayar aktor-aktor kunci pada tingkat desa. Para calon diperbolehkan menyewa tim sukses di desa dan membayar mereka, tetapi geuchik seharusnya bersikap netral. Meskipun sebagian geuchik mungkin telah menolak upaya suap dan tetap bersikap netral, namun banyak orang melaporkan bahwa geuchik, sama seperti halnya para pemilih, sangat ingin menerima apapun yang ditawarkan kepada mereka.

“Tim sukses cari geuchik, nego dengan mereka, tawarkan mereka program. Banyak mobil [tim sukses] datang dan pergi sekarang. Geuchik menerima apa

36 Salah satu sifat penting kepemimpinan di Indonesia adalah kemampuan untuk memberikan jasa kepada masyarakat. Orang harus membagi-bagikan sumber daya jika orang itu ingin dipandang sebagai seorang pemimpin yang berpengaruh dan efektif (Antlöv 2004: 132). Selama periode kampanye, para calon dinilai antara lain atas dasar jasa tersebut.

Page 49: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

Strategi Kampanye dan Mobilisasi Pemilih

37

saja. Mereka bilang ke tim sukses: ‘jangan hanya bicara program, mana uangnya?’”

Penduduk desa dan staf PPK, Aceh Barat Ada perbedaan yang mencolok antara, di satu sisi, pengakuan yang luas di kalangan masyarakat bahwa politik uang bukan hanya sering terjadi, melainkan juga praktek lazim dalam pemilihan di Indonesia, dan di sisi lain, sangat sedikitnya jumlah kasus politik uang yang dibawa ke pengadilan. Satu penjelasan untuk kontradiksi yang mencolok ini adalah definisi tentang politik uang yang kabur dan membingungkan (lihat Kotak 9). Penjelasan lainnya adalah tantangan untuk mengumpulkan bukti; dalam kebanyakan kasus masyarakat lebih memilih untuk menyimpan hadiah yang mereka terima daripada melaporkannya. Melaporkan kejahatan kepada kepolisian dipandang sebagai proses yang berbelit-belit dan berisiko,37 dan kasus-kasus yang dilaporkan seringkali disabotase secara kelembagaan sebelum sampai ke pengadilan, atau ditolak oleh pengadilan atas dasar alasan lemahnya bukti atau batas waktu yang telah lewat untuk pelaporan. Penjelasan ketiga adalah lemahnya pengawasan pemilihan (lihat Bagian III di atas).

Kotak 9: Definisi hukum mengenai politik uang Menurut UU12/2003 dan UU23/2003, politik uang adalah: “menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk memengaruhi pemilih” (ICW t.t.: 8). Akan sulit untuk membuktikan bahwa uang tunai atau materi diberikan untuk memengaruhi pemilih; orang-orang yang memberikan dana seringkali menyamarkan dana tersebut sebagai ‘sumbangan’ atau ‘uang bensin’ seolah-olah tidak dimaksudkan untuk mempengaruhi pemilih. Tidak adanya kejelasan dalam definisi politik uang itu membuat penuntutan sulit dilakukan terhadap hal-hal seperti pemberian uang dan barang pada masa kampanye (ibid.: 3). Selain itu, banyak warga sendiri yang merasa tidak jelas menyangkut definisi politik uang, misalnya, apakah diperbolehkan para calon menyumbangkan barang kepada pemilih, menyumbangkan dana ke masjid atau kelompok-kelompok pengajian Al-Qur’an, atau memberi uang untuk mengganti ongkos transportasi pada kampanye terbuka.

Hal yang menarik adalah kendati politik uang tetap bertahan, namun praktek dan bentuknya mengalami perubahan pada tahun-tahun belakangan. Pada pemilu 1999 para pelaku politik uang kebanyakan adalah birokrat, sementara pada pemilu 2004 sebagian besar pelakunya adalah wakil partai, calon dan tim sukses (ICW t.t.). Pada 2006, penelitian lapangan kami mengindikasikan bahwa model yang terakhir—khususnya penggunaan tim sukses—terus berlanjut dalam pilkada di Aceh.38

37 Orang yang melaporkan kasus kejahatan dapat digolongkan sebagai saksi, namun pada prakteknya saksi seringkali pada akhirnya berubah menjadi tersangka; ini merupakan satu faktor yang menyebabkan warga enggan melaporkan kasus-kasus kejahatan. Faktor lain adalah keyakinan yang berkembang luas bahwa keadilan tidak akan diperoleh jika orang tidak memiliki pengaruh dan uang. Faktor ketiga adalah keyakinan bahwa jika anda melaporkan kasus kejahatan yang dilakukan oleh orang yang berkuasa, anda boleh berharap menjadi sasaran berbagai bentuk intimidasi, dan menjadi lebih kecil kemungkinan bahwa keadilan akan ditegakkan oleh kepolisian dan pengadilan. 38 Sebagian bukti mengenai politik uang diperoleh dari survei tentang sikap pemilih. Menurut temuan survei IFES, 4 persen responden melaporkan bahwa calon atau wakil partai menawarkan uang kepada famili atau kenalan agar memilih calon bersangkutan (IFES 2007). Mengingat adanya tekanan-tekanan agar pembelian suara semacam itu tidak diakui, angka yang sebenarnya mungkin jauh lebih tinggi.

Page 50: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

Strategi Kampanye dan Mobilisasi Pemilih

38

Apakah politik uang semacam ini pada kenyataannya memengaruhi hasil dan akibat dari pilkada? Kami membahas reaksi pemilih terhadap sumbangan, hadiah dan suap di Bagian V di bawah. Namun, meskipun seandainya pemilih tidak terbuai, politik uang tetap membahayakan sistem demokrasi dengan sejumlah cara. Ketika calon memenangkan suara pemilih melalui suap, maka mereka tidak perlu memiliki platform kebijakan yang jelas, mereka tidak perlu melaksanakan platform tersebut untuk mempertahankan legitimasi, dan mereka mungkin akan terlibat dalam korupsi dalam rangka mengembalikan dana yang mereka telah habiskan selama masa kampanye. Para calon yang kalah, yang menempati jabatan pemerintahan, mungkin juga akan berusaha untuk secara ilegal memperoleh kembali dana yang telah mereka habiskan untuk kampanye, melalui korupsi. Mungkin jika pemilih menunjukkan diri mereka kebal terhadap politik uang, maka proses itu akan memudar dengan sendirinya seiring berjalannya waktu. Namun, dalam jangka pendek keberadaan politik uang akan terus membahayakan tatakelola pemerintahan di masa mendatang dengan menyediakan motivasi yang kuat untuk terjadinya korupsi.

4. Pamer Kekuatan: Kampanye Terbuka dan ‘Pelabelan’ Desa Kampanye terbuka seringkali berperan sebagai sejenis unjuk kekuatan untuk meyakinkan pemilih bahwa sang calon memiliki peluang besar untuk menang. Karena itu, menjadi penting untuk memberi kesan bahwa seorang calon memiliki banyak pendukung, misalnya, dengan mendatangkan sebanyak mungkin pendukung sejauh anggaran memungkinkan. Pada gilirannya hal ini akan meningkatkan suara bagi sang calon, karena banyak pemilih berharap untuk memaksimalkan potensi imbalan patronase mereka dengan mendekatkan diri kepada siapapun pihak yang memiliki kemungkinan untuk menang (lihat Bagian V). ‘Rapat akbar’ semacam itu membutuhkan anggaran yang besar untuk transportasi, makanan dan hiburan, dan merupakan salah satu metode utama dana kampanye dapat menghasilkan dampak. Calon tentu saja berkepentingan untuk melebih-lebihkan popularitas mereka pada setiap kesempatan, karena ramalan-ramalan semacam itu bisa jadi akan terwujud dengan sendirinya.39 Rapat akbar adalah salah satu metode untuk mewujudkan hal ini.40 Para calon dan tim sukses terus-menerus mengevaluasi tingkat dukungan di desa dan kecamatan yang berbeda-beda, dan cenderung berbicara tentang wilayah yang merupakan ‘milik’ calon ini atau calon itu. Dengan demikian seorang calon tertentu dapat mengklaim bahwa desa X dan Y adalah ‘miliknya’, sementara desa A dan B adalah ‘milik’ calon

39 Menurut Clifford Geertz (1980), dalam pemerintahan kerajaan di nusantara pada masa lalu kemewahan atau kebesaran bukan hanya mencerminkan kekuasaan yang telah dicapai, tetapi juga merupakan cara untuk mencapai kekuasaan. Berbagai ritual yang diadakan secara mewah dan besar-besaran meyakinkan rakyat bahwa pemimpin tetap memiliki kontrol atas kekuatan alam dan politik dalam kerajaan. Sama halnya, rapat umum kampanye yang diadakan secara besar-besaran yang digambarkan di sini dapat membantu meyakinkan para pemilih bahwa sang calon berpengaruh, sehingga meningkatkan perolehan suara mereka serta membantu mereka meraih kekuasaan politik. 40 Ada faktor-faktor lain yang mendorong diselenggarakannya rapat umum kampanye secara besar-besaran. Aturan kampanye cenderung membatasi jumlah rapat umum yang dapat diadakan oleh masing-masing calon. Selain itu, waktu dan tempat rapat umum juga dibedakan guna menghindari terjadinya bentrokan antara para pendukung. Jadual yang sangat terbatas untuk rapat umum mendorong para calon untuk menyelenggarakan rapat umum sebesar-besarnya dan semegah-megahnya, dan sedikitnya waktu yang tersedia berarti para pemilih tidak harus memilih antara rapat-rapat umum yang diadakan pada waktu yang bersamaan.

Page 51: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

Strategi Kampanye dan Mobilisasi Pemilih

39

lawannya.41 Ketika calon bupati Aceh Jaya (yang kemudian menjadi pemenang) yang berafiliasi dengan GAM diwawancarai, ia membahas tentang wilayah-wilayah yang merupakan miliknya dan wilayah-wilayah yang merupakan milik calon yang lain. Apakah betul atau tidak bahwa daerah-daerah itu memberikan suara seperti pelabelan yang diberikan terhadap daerah-daerah tersebut, fenomena praktek pelabelan ini menggejala luas dan berimplikasi pada strategi-strategi kampanye dan potensi konflik. Pelabelan terhadap suatu daerah memengaruhi pengalokasian sumber daya kampanye karena para calon cenderung memusatkan energi untuk daerah-daerah di mana mereka telah mempunyai dukungan, daripada berusaha untuk menggarap daerah-daerah yang baru. Hal ini berkaitan dengan faktor momentum yang telah disebut sebelumnya; di wilayah-wilayah di mana mereka telah memiliki dukungan penting, para calon dapat menggambarkan dirinya sebagai pemenang dan berusaha untuk meningkatkan dukungan mereka lebih jauh. Para calon tampaknya merasa bahwa lebih sedikit sumber daya yang diperlukan (dan risiko yang harus ditanggung) untuk meningkatkan dukungan mereka, katakanlah, dari 50 persen menjadi 80 persen di daerah di mana mereka dikenal daripada meningkatkan dari nol persen menjadi 30 persen di daerah di mana mereka umumnya tidak dikenal. Praktek pelabelan wilayah juga berdampak pada persaingan politik dan potensi konflik. Ketika desa-desa diberi label (terlepas dari apakah para pemilih membuktikan atau tidak membuktikan klaim itu pada hari pemungutan suara), para calon dan pendukung membayangkan batas-batas wilayah tidak resmi antara daerah mereka dan daerah pesaingnya, meskipun sebagian wilayah tidak mempunyai ‘pemilik’ yang jelas. Para calon secara umum bersikap hati-hati untuk memasuki wilayah pesaingnya karena hal ini dapat dilihat sebagai tindakan agresi dan dapat berujung pada konflik.42 Memang terdapat kasus-kasus di mana para pendukung seorang calon yang dominan di suatu daerah menghancurkan bahan-bahan kampanye calon pesaing, dan banyak calon yang memperlihatkan keengganan untuk memasuki wilayah-wilayah yang dikuasai oleh GAM. Di Sabang calon GAM terutama berkampanye di wilayah pedesaan, sementara calon Golkar tetap berkampanye di wilayah perkotaan, semacam pembagian wilayah secara informal (International Crisis Group 2007). Meskipun menghindari persaingan politik langsung mungkin berguna dalam sebuah demokrasi baru, khususnya dalam konteks pasca konflik, namun untuk kepentingan stabilitas politik jangka panjang, persaingan (di daerah-daerah yang berdekatan) harus dikelola, bukan dihindari. Masalah lain yang terkait dengan praktek ‘pelabelan’ adalah reputasi sebuah desa dalam mendukung seorang calon tertentu acapkali bertahan hingga periode pascapemilihan. Para pemimpin politik baru diperkirakan merasa berutang-budi kepada wilayah-wilayah pendukung mereka. Para wakil dari kecamatan-kecamatan di bawah kabupaten tersebut, 41 ‘Kepemilikan’ semacam ini, di mana wilayah-wilayah berada dalam lingkup pengaruh seorang pemimpin, bukan dalam arti kepemilikan barang, pernah didiskusikan dalam tulisan-tulisan mengenai sejarah politik Asia Tenggara (lihat Reid 1993; Anderson 1990). 42 Meskipun secara umum para calon mengambil sikap berhati-hati, calon-calon dengan latar belakang GAM merupakan sebuah pengecualian penting. Para calon yang berafiliasi dengan GAM pada umumnya dapat berkampanye di luar wilayah-wilayah basis dukungan mereka. Bahkan, menurut International Crisis Group (2007: 11), ini merupakan salah satu faktor kunci keberhasilan GAM dalam pilkada, dan hal yang membedakan mereka dari calon-calon lain yang hanya melakukan kampanye di wilayah-wilayah di mana mereka merasa akan menang.

Page 52: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

Strategi Kampanye dan Mobilisasi Pemilih

40

dan terutama anggota tim sukses, akan berusaha memperoleh keuntungan dari pemerintahan baru, atas dasar jasa yang telah mereka berikan kepada pihak pemenang pemilihan.

Page 53: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

V. Perilaku Pemilih

“Rakyat memutuskan pilihannya hanya dengan ikut orang lain, atau karena sang calon berasal dari daerah yang sama dengan mereka, atau karena mereka dikasih uang.”

Pekerja LSM, Aceh Barat Bagian ini memaparkan beberapa cara pemilih menentukan pilihan mereka dalam pilkada Aceh. Memahami perilaku pemilih penting karena hal itu menjelaskan tentang prioritas pemilih secara umum, tentang harapan mereka umumnya terhadap para calon, dan khususnya terhadap pemerintahan mendatang, tentang sifat legitimasi para pemimpin terpilih, dan tentang hubungan yang dihasilkan pilkada antara elite dan warga. Faktor-faktor tersebut dapat membantu kita memahami cara persaingan politik pasca pilkada lantaran elite terus mencari dukungan dari publik pemilih, serta memahami cara tatakelola pemerintahan, karena berbagai tekanan terhadap calon pemenang menjadi jelas. Banyak pengamat terkejut dengan hasil pilkada, terutama dengan tingginya tingkat dukungan terhadap calon-calon yang berafiliasi dengan GAM. Pasangan Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar memenangkan pemilihan gubernur dalam putaran pertama dengan meraih 38 persen suara, jauh di atas pasangan calon berikutnya, Human Hamid-Hasbi Abdullah (16 persen) (lihat Tabel 1). Dari 21 pilkada tingkat kabupaten/kota, sembilan dimenangkan oleh calon-calon independen yang berafiliasi dengan GAM, enam oleh calon-calon yang didukung oleh partai Golkar, dan enam lainnya oleh calon-calon yang didukung partai-partai lainnya, yang menonjol di antaranya adalah partai-partai Islam, meskipun partai-partai ini kurang berhasil dibandingkan dengan apa yang sebelumnya diramalkan oleh sebagian orang. Tabel 2 meringkaskan hasil pilkada kabupaten/kota dan tingkat dukungan di kabupaten/kota untuk calon-calon gubernur. Keberhasilan calon-calon yang berafiliasi dengan GAM dalam pilkada, kendati tanpa dukungan pendanaan yang besar, berkaitan dengan sejumlah proritas yang dimiliki para pemilih: dukungan terhadap perjuangan GAM sebelum Nota Kesepahaman Helsinki; antusiasme terhadap sikap GAM yang pro-rakyat miskin dan pro-identitas keacehan; kekecewaan meluas terhadap partai-partai politik nasional dan kalangan birokrat lokal; serta semangat untuk perubahan. Dukungan terhadap calon-calon GAM ditemukan di seluruh Aceh, namun tingkat dukungan itu bervariasi di masing-masing tingkat pemerintahan. Yakni, daerah-daerah basis di pantai timur tegas mendukung calon-calon GAM untuk jabatan gubernur dan bupati/walikota, seperti Aceh Jaya, Aceh Barat dan Sabang.43 Di banyak kabupaten terdapat kecamatan-kecamatan yang dikenal sebagai wilayah pro-GAM—seringkali lebih terpencil dan lebih terpengaruh konflik—dan hal ini acapkali terlihat dalam penghitungan suara. Misalnya di Aceh Barat, sebagian kecamatan mendukung calon GAM secara mutlak (50-70 persen suara pada putaran pertama), sementara di kecamatan-kecamatan lainnya tidak (10-20 persen). Sama halnya, banyak desa

43 Hal yang menarik, tingkat dukungan tertinggi untuk Irwandi adalah di Aceh Jaya dan Aceh Selatan, yang keduanya terletak di pantai barat, serta Bireuen di pantai timur.

Page 54: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

Perilaku Pemilih

42

terpencil dan miskin yang mendukung kuat calon-calon yang berafiliasi dengan GAM, yang mencerminkan daya tarik GAM dalam hal sikapnya yang pro-rakyat miskin dan kenyataan bahwa desa-desa yang terpencil mengalami tingkat penindasan militer yang lebih tinggi pada masa konflik (Barron, Clark, dan Daud 2005). Tabel 1: Hasil Pemilihan Gubernur

No. Nama Calon Partai Hasil 1 Irwandi Yusuf-Muhammad Nazar Independen (GAM) 38.2% 2 Human Hamid-Hasbi Abdullah PPP 16.6% 3 Malik Raden-Said Fuad Zakaria Golkar, PDIP, PKPI 13.9% 4 Azwar Abubakar-M. Nasir Djamil PAN, PKS 10.6% 5 Ghazali Abbas Adan-Shalahuddin Alfata Independen 7.8% 6 Iskandar Hoesin-M. Saleh Manaf PBB 5.5% 7 Tamlicha Ali-Tgk Harmen Nuriqmar PBR, PPNUI, PKB 3.9% 8 M. Djali Yusuf-RA Syauqas Rahmatillah Independen 3.2%

Tabel 2: Hasil Pemilihan Gubernur dan Bupati/Walikota, per kabupaten/kota

No. Kabupaten/ Kota

Pemenang Status Margin Kemenangan

Calon Gubernur yang Unggul

1 Lhokseumawe GAM Baru 39% Irwandi 40% 2 Sabang GAM Baru 36% Irwandi 41% 3 Pidie GAM Baru 56% Humam 50% 4 Aceh Utara GAM Baru 67% Irwandi 61% 5 Aceh Jaya GAM Baru 63% Irwandi 71% 6 Aceh Timur GAM Baru 36% Irwandi 49% 7 Aceh Barat GAM (put. ke-2) Baru 24.6% (put. ke-1) /

76% (put. ke-2) Irwandi 41%

8 Bireuen GAM Baru 62% Irwandi 62% 9 Aceh Selatan GAM (put. ke-2) Baru 19% (put. ke-1)/

54% (put. ke-2) Irwandi 62%

10 Simeulue Golkar* Incumbent 37% Irwandi 34% 11 Nagan Raya Golkar* Incumbent 31% Irwandi 32% 12 Bener Meriah Golkar* PJS 34% Malik Raden 33% 13 Gayo Lues Golkar* PJS 58% Irwandi 39% 14 Aceh Singkil Golkar Incumbent 37% Malik Raden 33% 15 Kota Langsa Golkar PJS 41% Irwandi 27% 16 Banda Aceh PPP/PBR /PD* Incumbent 33% Humam 22%, Azwar A. 21%

Malik R. 18% Irwandi 15% 17 Aceh Besar PAN/PBR Baru 26% Irwandi 30% 18 Aceh Tengah PPP/PAN /PBR* Incumbent 39% Malik Raden 33% 19 Aceh Tamiang PAN/PKS (put.

ke-2) PJS 20% (put. ke-1) /

50.5% (put. ke-2) Malik Raden 20% Irwandi 19%

20 Aceh Barat Daya

PAN (put. ke-2) Baru 22% (put. ke-1) / 57% (put. ke-2)

Irwandi 50%

21 Aceh Tenggara PDIP/PKB* PJS 29% Irwandi 41% * berarti koalisi dengan partai-partai kecil PJS = pemangku jabatan sebelumnya, orang yang pernah memegang jabatan seperti ketua DPRK, kepala dinas, dll. Sejumlah pola yang tampak dalam hasil pemungutan suara memunculkan pertanyaan-pertanyaan menyangkut perilaku pemilih. Pertama, hasil pilkada memperlihatkan bahwa para pemilih menyikapi pilkada gubernur dan pilkada bupati dengan cara yang cukup berbeda. Ada banyak contoh yang menunjukkan di suatu desa tertentu atau di keseluruhan

Page 55: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

Perilaku Pemilih

43

kabupaten, jumlah suara terbanyak diraih oleh calon yang berafiliasi dengan GAM dalam pemilihan gubernur, namun di tingkat kabupaten/kota suara terbanyak dimenangkan oleh calon dari Golkar—baik yang merupakan incumbent, pejabat, anggota DPRK, atau lainnya. Hal ini terjadi di Nagan Raya, Simeulue, Gayo Lues dan Kota Langsa, yang seluruhnya memilih Irwandi sebagai gubernur dan calon Golkar sebagai bupati/walikota. Irwandi bahkan menang di Aceh Tenggara, yang pada masa konflik GAM hanya sedikit hadir di sana. Mengapa hal ini terjadi? Penelitian lapangan kami menunjukkan bahwa para pemilih cenderung memberikan pilihan dalam pemilihan gubernur berdasarkan alasan ideologis, sedangkan pertimbangan-pertimbangan pragmatis—seperti patronase dan afiliasi—lebih penting bagi pemilih dalam memilih bupati/walikota. Kedua, desa-desa seringkali memberikan hampir seluruh suara mereka kepada calon tertentu, terutama dalam pemilihan bupati/walikota. Seorang calon bupati seringkali berhasil memperoleh persentase jumlah suara di tingkat desa yang jauh lebih tinggi dibandingkan persentase keseluruhan suara yang diperoleh pada tingkat kabupaten. Masyarakat menyebut hal ini sebagai pemberian suara yang ‘kompak’. Ketiga, di seluruh wilayah di Aceh, desa-desa yang bertetangga seringkali memberikan suara yang berbeda secara mencolok antara desa yang satu dan desa lainnya, kendati di masing-masing desa suara diberikan secara relatif kompak untuk seorang calon tertentu. Mengingat kondisi lokal yang serupa, mungkin dapat diperkirakan bahwa desa-desa yang berdekatan akan memberikan suara kepada calon tertentu yang sama. Namun, ternyata seringkali tidak begitu yang terjadi. Untuk memahami dengan lebih baik pola-pola ini serta aspek-aspek lain perilaku pemilih, penelitian lapangan mendalam dilakukan tidak lama sesudah pemungutan suara pada Desember 2006. Dari hasil penelitian lapangan tersebut, dapat diidentifikasikan lima faktor kunci yang ikut memengaruhi keputusan pemilih:

• Rasa takut, intimidasi dan ‘memilih demi perdamaian’; • Rekam jejak sang calon; • Afiliasi pribadi dengan calon, yang dapat terjalin karena asal daerah yang sama atau

melalui kunjungan calon ke desa-desa; • Memilih pemenang, atau berharap merapatkan diri atau desa secara keseluruhan

dengan calon terkuat, guna memperoleh keuntungan; • Memilih secara komunal dan mengikuti nasihat pemimpin dalam memilih.

1. Rasa Takut, Intimidasi dan ‘Memilih demi Perdamaian’ Dalam pemilihan pada era pasca konflik harus diteliti mengenai seberapa tinggi rasa takut memengaruhi pilihan untuk memberikan suara. Meskipun tingkat kekerasan terkait pilkada di Aceh sangat rendah, beberapa kasus intimidasi memang terjadi. Ada berbagai laporan mengenai intimidasi terhadap pemilih di daerah-daerah yang dikuasai oleh GAM, dan ada sejumlah indikasi bahwa sebagian warga memilih calon-calon yang berafiliasi dengan GAM disebabkan karena mereka takut akan mendapat aksi balas dendam jika GAM tidak menang di desa atau kecamatan mereka. Sebaliknya, di sebagian wilayah para pemilih

Page 56: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

Perilaku Pemilih

44

merasa takut untuk memilih calon-calon yang berafiliasi dengan GAM karena mereka takut akan mendapat aksi pembalasan terhadap desa atau kecamatan mereka.44 Sebagian pemilih juga memaparkan bahwa mereka memilih bukan karena takut terhadap keselamatan pribadi mereka, tetapi karena berharap perdamaian dapat terpelihara di Aceh. Meskipun tidak ada calon yang berkampanye dengan mengusung platform yang dapat mengancam perdamaian, sebagian warga mengemukakan bahwa mereka memilih calon-calon yang berafiliasi dengan GAM untuk memberi kesempatan kepada mereka untuk memerintah daripada memberontak.45 Dengan kata lain, sebagian pemilih merasa bahwa perdamaian kemungkinan besar akan terpelihara dengan memilih GAM—bahkan meskipun mereka bukan pendukung GAM dan tidak merasa bahwa GAM akan memerintah dengan baik. Sikap memilih untuk mencari keselamatan pribadi ini terkadang memiliki dimensi etnis. Sebuah contoh dipaparkan dalam Kotak 10.

Kotak 10: Orang Jawa memilih bupati lama (incumbent) yang diunggulkan Nagan Raya memiliki banyak penduduk dari etnis Jawa, dan salah seorang calon bupati menggandeng orang Jawa sebagai calon wakilnya guna menarik para pemilih Jawa tersebut. Namun, para pemilih Jawa justru cenderung memilih bupati lama dari Golkar, T. Zulkarnaini, yang akhirnya memenangkan pemilihan bupati. Sebelum pilkada, sebagian penduduk Jawa di Nagan Raya telah menyatakan diri mereka sebagai ‘90 persen pendukung Zulkarnaini’. Mereka merasa bahwa di bawah kepemimpinan bupati lama, mereka terlindungi dengan baik di Nagan Raya. Posisinya sebagai calon unggulan memperkuat dukungan mereka. Seorang petugas lembaga pemilihan mengatakan seperti ini: “orang Jawa mau cari aman, jadi pilih raja atau siapa yang kuat.” Dalam kasus sebuah desa yang kami kunjungi, ditemukan adanya insentif tambahan yang turut bermain. Kepala desa mengatakan kepada kami bahwa masyarakatnya terikat janji untuk memilih incumbent karena mereka telah menerima pembayaran sebagai imbalan atas suara mereka.

2. Membandingkan Rekam Jejak Para Calon Para calon yang telah menduduki jabatan dalam pemerintahan pada masa lalu dievaluasi berdasarkan persepsi terhadap kinerja mereka ketika menjabat. Hal ini seringkali merugikan sang calon karena di kalangan sebagian besar pemilih ada penilaian yang sangat negatif terhadap kinerja para birokrat dan anggota legislatif, yang pada umumnya dipandang korup, nepotistik dan tak acuh terhadap kebutuhan rakyat (Kotak 11). Kekecewaan yang meluas terhadap para politisi, pejabat pemerintah dan partai-partai nasional tidak hanya dijumpai di wilayah-wilayah basis GAM, tetapi di seluruh Aceh. 44 Karena suara dihitung langsung di TPS, pemilih tahu bahwa hasil penghitungan suara untuk desa dan kecamatan mereka akan diketahui secara umum. Dalam sebagian pemilihan pada era pasca konflik, suara hanya dihitung pada tingkat pemerintahan yang lebih tinggi (kabupaten/kota atau provinsi) persis guna menghindari potensi aksi balas dendam terhadap desa-desa yang memberikan suara untuk calon tertentu. 45 ‘Memilih demi perdamaian’ semacam ini umum terjadi dalam pemilihan pada situasi pasca konflik (Lyons 2004: 39).

Page 57: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

Perilaku Pemilih

45

Di sisi lain, rekam jejak calon dapat membantu mereka dalam mendulang suara. Sebagian calon memiliki proyek atau prestasi tertentu yang dikaitkan dengan nama mereka pada saat masih menjabat, dan sebagian lainnya dipandang baik jika mereka dipandang “tidak terlalu korup”. Di Pidie, misalnya, seorang calon bupati yang sebelumnya menjabat sebagai wakil bupati dipersepsikan memiliki rekam jejak yang positif meskipun ia merupakan bagian dari pemerintahan yang secara umum dipandang korup. Apabila seorang calon tidak memiliki reputasi buruk pada saat ia menjadi birokrat,

jika namanya dikenal saja, hal itu dapat membantunya memperoleh suara. Ada unsur subjektif yang kuat dalam penilaian terhadap rekam jejak seorang calon; seorang calon dapat memiliki rekam jejak yang positif di satu desa, namun memiliki rekam jejak yang negatif di desa lain yang berdekatan. Para pemilih menilai para calon dari segi dampak yang dimiliki seorang calon terhadap desa mereka. Oleh sebab itu masyarakat cenderung mempertimbangkan perhatian yang diterima oleh desa mereka (termasuk proyek, bantuan dsb.) pada masa kepemimpinan bupati tertentu, dan mereka mengaitkan tanggung jawab atas perhatian tersebut dengan campur tangan pribadi bupati atau pejabat senior lainnya. Lebih jauh, para pemilih membuat penilaian mereka di tengah lingkungan informasi yang terbatas, lebih mengandalkan informasi dari mulut ke mulut daripada sumber-sumber informasi lainnya. Penilaian subjektif terhadap rekam jejak calon mungkin antara lain menjelaskan mengapa desa-desa yang berdekatan memiliki pola memilih yang berbeda.

3. Afiliasi, Hubungan dan Koneksi Pribadi Orang seringkali memilih seorang calon yang memiliki semacam afiliasi dengan desa mereka. Afiliasi ini mungkin didasari atas asal-usul (calon atau pasangannya berasal dari desa tersebut), koneksi yang terlihat dengan jelas (calon atau wakil-wakilnya telah berkunjung ke desa atau memberi bantuan untuk desa tersebut), atau melalui koneksi atau jaringan lainnya (seperti jika sorang pemain politik penting yang dekat dengan calon berasal dari desa tersebut). Kotak 12 memaparkan beberapa contoh. Ada dua asumsi yang mendasari perilaku pemilih berbasis afiliasi. Pertama, program-program pemerintah tidak didistribusikan secara merata atau didasari atas pertimbangan-pertimbangan yang objektif, dan koneksi atau afiliasi personal dengan para pemimpin tertentu berpengaruh terhadap upaya memperoleh keuntungan. Ini bukan asumsi yang tidak berdasar di Aceh, atau bahkan di setiap wilayah lain di Indonesia. Kedua, ketika sebuah desa memberi dukungan yang kuat untuk calon tertentu, calon itu akan berutang-budi pada desa tersebut dan akan mengingat dukungan mereka. Kedua asumsi ini secara bersama-

Kotak 11: Puisi Politik Di Kabupaten Nagan Raya, sebuah stasiun radio lokal menyiarkan sebuah puisi pantun mengenai pilkada, yang menggambarkan pemimpin-pemimpin politik sebagai orang yang penuh korupsi dan janji-janji kosong pada masa pemilihan. Ini satu bagian dari pantun tersebut, yang menunjukkan adanya rasa sinis yang mendalam terhadap moralitas para pemimpin: Tetapi rakyat kini sudah mengerti Jangan hanya bicara bermanis suara Awalnya bicara soal uang Tapi belakangan daun pisang kering yang dibawa

Page 58: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

Perilaku Pemilih

46

sama menggambarkan sebuah sistem politik neo-patrimonial; hubungan patron-klien terbangun ketika pihak klien menyediakan dukungan politik, sementara pihak patron memasok sumber daya, seperti bantuan tunai atau program.46

Kotak 12: Afiliasi • Asal-usul: faktor kampung halaman

Salah satu alasan mengapa hasil perolehan suara antardesa tidak konsisten adalah jika seorang calon berasal dari salah satu desa, dan desa ini memberi suara banyak kepada calon tersebut. Di Kecamatan Beutong di Nagan Raya, calon yang menang, T. Zulkarnaini, memenangkan suara di 26 dari 29 desa. Dari tiga desa yang merupakan pengecualian tersebut, dua di antaranya merupakan kampung halaman dari calon lain. Pola semacam ini terjadi di seluruh Aceh, di desa-desa yang merupakan kampung halaman dari calon gubernur maupun bupati/walikota.

• Koneksi sebelumnya

Di satu desa di Nagan Raya warga menjelaskan bahwa salah satu alasan utama mengapa mereka memilih T. Zulkarnaini adalah ketika mereka tertimpa bencana pada beberapa tahun sebelumnya (bencana banjir, atau terpaksa mengungsi akibat konflik), mereka menerima bantuan dari T. Zulkarnaini yang saat itu menjabat sebagai bupati. Warga menekankan bahwa desa mereka ‘dikenal’ oleh T. Zulkarnaini, dan bahwa tidak seperti desa-desa lain, mereka dapat mendekatinya secara langsung untuk meminta bantuan. Karena itu, mereka memberikan suara kepada T. Zulkarnaini bukan semata-mata sebagai ucapan terima kasih atas bantuan darinya pada masa lalu, atau karena mendukung yang bersangkutan yang memiliki program bantuan bencana yang baik, tetapi didasari atas pikiran bahwa mereka akan memiliki akses mudah kepada sang bupati pada masa mendatang.

• Koneksi melalui jaringan

Di sebuah desa terpencil di Pidie tingkat simpati kepada GAM cukup kuat, dan memang calon bupati yang berafiliasi dengan GAM meraih kemenangan di desa itu. Namun, jumlah suara pemilih untuk calon PAN ternyata cukup tinggi, sangat berbeda dengan desa-desa tetangganya. Belakangan kami mendapat penjelasan bahwa salah seorang warga yang disegani di desa itu ternyata merupakan politisi berpengaruh PAN di ibu kota kabupaten, dan bahwa ia telah berkunjung ke desa itu sebelum pilkada dan ‘bagi-bagi rejeki’. Oleh sebab itu, sebagian warga tidak hanya menerima keuntungan, tetapi juga merasa bahwa mungkin akan lebih banyak keuntungan yang diperoleh jika PAN menang.

Pemberian suara berbasis-afiliasi membantu untuk menjelaskan pola memilih yang tidak konsisten yang disebut sebelumnya. Mengingat bahwa masing-masing desa seringkali memiliki atau membentuk afiliasi yang berlainan dengan calon-calon yang berbeda, tidak begitu mengejutkan jika dalam banyak kasus desa-desa yang berdekatan memiliki pilihan suara yang sangat berbeda satu sama lain.

46 Pola favoritisme (pengistimewaan) serupa telah diamati dalam kaitannya dengan afiliasi etnis: “Salah satu aspek favoritisme neo-patrimonial adalah praktek yang bias etnis, di mana pemimpin memberi perlakuan istimewa kepada orang-orang yang berasal dari kelompok daerah, budaya, agama atau bahasa yang sama, dengan keyakinan, yang mungkin benar atau mungkin salah, bahwa itu akan meningkatkan kesetiaan orang-orang itu” (Brown 1994: 126). Lihat Sulaiman dan van Klinken (2007) untuk paparan lebih dalam mengenai sistem politik neo-patrimonial di Aceh.

Page 59: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

Perilaku Pemilih

47

4. Memilih Pemenang Bahkan ketika afiliasi belum terbangun, sebuah desa dapat berusaha menciptakan sebuah afiliasi atau hubungan neo-patrimonial dengan memberi dukungan kuat kepada calon tertentu: mereka dapat berusaha ‘memilih pemenang’. Selama sebuah desa menghasilkan seorang pemenang mutlak dalam hasil penghitungan suara mereka, jika calon itu memenangkan pemilihan, maka warga akan berharap memiliki akses yang lebih baik untuk mendekatinya untuk mengajukan permintaan di masa mendatang (Kotak 13 memaparkan sebuah contoh).47 Tentu saja di banyak negara para pemilih mungkin saja mempertimbangkan apakah seorang calon memiliki kemungkinan untuk menang sebelum memutuskan siapa yang mereka akan pilih, untuk memastikan agar suara mereka tidak sia-sia. Strategi ‘memilih pemenang’ berbeda dengan hal tersebut dalam dua hal: pertama, strategi ini didasari atas asumsi bahwa imbalan material yang bersifat langsung akan mengalir sebagai buah dukungan mereka terhadap sang calon (yakni asumsi perlakuan istimewa); dan, kedua, strategi ini bergantung pada hasil suara tingkat desa yang secara jelas mendukung satu calon, karena desa hanya dapat mengklaim imbalan jika hasil penghitungan suara menunjukkan mereka sebagai desa pendukung.

Kotak 13: Strategi ‘memilih pemenang’ Di satu desa di Pidie seorang anggota tim sukses untuk seorang calon bupati (yang akhirnya menempati urutan kedua) menyebarkan informasi tentang kualitas-kualitas yang baik pada diri calon itu, dan mengatakan bahwa akses akan menjadi lebih mudah nantinya: “akan lebih mudah untuk minta bantuan dari dia kalau menang, asal kita pilih dia sekarang”. Sang calon tidak dikenal di desa itu dan tidak berkunjung sebelum pilkada, namun meraih 53 persen suara di desa itu. Tampaknya pemilih menganggapnya sebagai calon yang kuat dan mereka berharap mendapat keuntungan dari aliran patronase sesudah pilkada jika calon itu menang.

Gaya perilaku pemilih untuk ‘memilih pemenang’ cocok dengan kampanye unjuk kekuatan yang dipaparkan pada bagian terdahulu; para calon berusaha menyakinkan pemilih bahwa mereka berpeluang untuk menang, dalam rangka menjaring suara pemilih yang didasari atas pertimbangan ‘memilih pemenang’ tersebut. Mempertontonkan kebesaran (kemegahan) dan mendatangkan pendukung dalam jumlah besar lebih dapat mencapai tujuan tersebut daripada mengadakan debat terbuka mengenai kebijakan. Perilaku ini mungkin juga membantu untuk menjelaskan sebagian pola memilih yang membingungkan, seperti inkonsistensi yang mengejutkan antara suara sebuah desa untuk calon bupati dan untuk calon gubernur. Apabila suara didasarkan atas platform dan ideologi partai, maka suatu hal yang mengejutkan bahwa Irwandi memenangkan suara untuk jabatan gubernur di begitu banyak kabupaten, sementara calon dari Gokar memenangkan pilkada tingkat kabupaten (banyak desa yang memberikan suara banyak untuk seorang calon bupati dari Golkar, tetapi memberikan suara untuk Irwandi dalam pemilihan gubernur). Tatkala strategi ‘memilih pemenang’ berjalan, pemilih berusaha untuk membangun kesepakatan-kesepakatan neo-patrimonial dengan para calon. Kesepakatan-kesepakatan itu lebih mudah 47 Antlöv memaparkan sesuatu yang mirip dengan konsep ‘memilih pemenang’ di Jawa Barat, yang di sana disebut sebagai ‘nanglu’; ia juga menggambarkan asumsi perlakuan istimewa sebagai warisan dari pemilu pada masa Orde Baru (2003: 56).

Page 60: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

Perilaku Pemilih

48

dibentuk pada tingkat kabupaten/kota di mana pemerintah daerah lebih dekat, memiliki kontak langsung yang lebih sering dengan desa, lebih mungkin mengingat desa-desa mana yang mendukung dan desa-desa mana yang tidak, dan pada akhirnya lebih mungkin untuk memberikan keuntungan. Oleh sebab itu pemilih mungkin lebih cenderung untuk menggunakan strategi ‘memilih pemenang’ dalam pilkada tingkat kabupaten/kota, tetapi memilih calon gubernur berdasarkan pertimbangan-pertimbangan lain, seperti ideologi pro rakyat miskin atau kesetiaan terhadap GAM.

5. Memilih secara Komunal dan Pengaruh Pemimpin Lokal Di banyak wilayah di Aceh para pemimpin desa berperan penting dalam memengaruhi keputusan rakyat dalam memilih. Masyarakat seringkali meminta pendapat para pemimpin ketika memutuskan siapa yang akan mereka pilih, seperti halnya ketika mereka meminta pendapat menyangkut keputusan-keputusan penting lainnya. Secara umum pengaruh ini tidak bersifat memaksa, melainkan bersifat nasihat. Di dalam berbagai pertemuan desa yang membahas soal pemilihan, pendapat yang disuarakan oleh anggota masyarakat yang berstatus tinggi memiliki pengaruh. Dengan kurangnya informasi tentang calon dan kurangnya pengalaman dengan pemilihan demokratis, banyak pemilih melaporkan bahwa mereka sangat dipengaruhi oleh pendapat tetangga dan terutama petunjuk dari para sesepuh desa. Banyak orang berharap memperoleh keuntungan dari tindakan mendukung secara terang-terangan seorang calon tertentu, seperti dipaparkan di atas. Namun, untuk melakukan hal ini, mereka harus memilih secara ‘kompak’, yaitu cukup seragam untuk menunjukkan dukungan terhadap calon tertentu. Masyarakat desa seringkali berbicara tentang apakah pilihan suara desa mereka kompak sebagai tanda persatuan dan kesatuan. Memilih secara kompak dipandang positif karena hal itu menandakan tidak adanya perpecahan politik di desa itu, dan karena warga desa kemudian akan memiliki posisi tawar yang lebih kuat untuk meminta bantuan. Karena desa berkepentingan untuk memilih secara kompak, para pemimpin desa seringkali dimintai pendapat mengenai bagaimana desa seharusnya memilih. Mengomentari hasil penghitungan suara di desa tertentu, seorang tokoh berkata kepada kami, “jika [calon itu] dapat banyak suara di sana, pasti ada tokoh yang dorong.” Seorang tokoh di sebuah barak pengungsi diwawancarai. Ia mengatakan barak itu akan memilih sebagai satu kesatuan, serta menjelaskan: “Di sini kita sama-sama satu perahu. Jika kami [para pemimpin barak] bilang A, semua pilih A. Jika ada yang tidak naik perahu sama kami, dia akan mati.” Tokoh ini perlu memastikan bahwa para pemilih akan mengikuti perintahnya sehingga ia dapat menjamin dukungan kepada calon dalam tawar-menawar. Di sebagian desa para pemilih merasa puas dengan menyerahkan pilihan mereka kepada pemimpin setempat dengan harapan mereka akan mendapat imbalan dari kesepakatan yang dibuat antara tokoh itu dan sang calon. Hal ini menjadi tekanan bagi pemimpin lokal itu sehingga ia harus dapat memberi keuntungan kepada desa, atau jika tidak, status dan kekuasaannya di dalam masyarakat akan berkurang. Pemimpin lokal yang berperan memberi nasihat kepada warga bervariasi dari satu tempat ke tempat lain. Umumnya, mereka termasuk pejabat desa (geuchik, sekretaris desa atau

Page 61: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

Perilaku Pemilih

49

pengurus lainnya), sesepuh atau tetua desa, orang-orang yang memiliki kualifikasi keagamaan yang kuat, atau orang yang berstatus PNS, relatif kaya, atau berpendidikan tinggi.48 Di antara para pemimpin lokal itu, geuchik adalah yang sangat berpengaruh dalam banyak kasus. Kotak 14 memaparkan berbagai cara geuchik berperan dalam memengaruhi suara desa.

Kotak 14: Pengaruh Geuchik terhadap pilihan pemilih • Di banyak desa di mana geuchik dan para pemimpin lain bersatu dalam pilihan mereka terhadap

calon, para pemilih memilih secara kompak calon tersebut. Di Pidie seorang geuchik mendukung kuat seorang calon tertentu, dan ia tidak berupaya menyembunyikan kenyataan tersebut; 53 persen suara desa memilih calon yang didukungnya. Di desa tetangga, geuchik dan pemimpin lainnya terpecah menyangkut calon yang mereka dukung, dan terbukti akhirnya suara desa juga terpecah.

• Di sejumlah kabupaten, termasuk Aceh Tengah dan Nagan Raya, Panwaslih mencatat berbagai

pengaduan tentang tindakan mantan bupati yang menggunakan jaringannya supaya para camat dan geuchik ikut membantu kampanye mereka. Di Kecamatan Beutong, Nagan Raya, sebagian besar geuchik mendukung mantan bupati, yang akhirnya menjadi pemenang, T. Zulkarnaini. 26 dan 29 desa memilih T. Zulkarnaini, terkadang dengan margin perolehan suara yang cukup besar.

• Di sebuah desa lain di Pidie, 91 persen pemilih memilih Mirza Ismail, calon dari GAM. Seorang warga

menjelaskan, “di sini tokoh-tokoh dukung Mirza, jadi semua warga ikut.” Memilih secara komunal (communal voting), selama tidak melibatkan pemaksaan, tidak menimbulkan masalah bagi demokrasi seperti halnya intimidasi terhadap pemilih. Namun, ada risiko bahwa para calon akan menguasai para pemimpin lokal (dan dengan demikian juga masyarakat), dengan memuaskan kepentingan pribadi mereka, yang mungkin pada kenyataannya tidak bermanfaat bagi masyarakat. Jika demikian, pemimpin lokal yang telah terpengaruh sebenarnya bertindak sebagai anggota tim sukses samaran, yang menyalahgunakan kepercayaan warga dengan mengejar tujuan-tujuan yang bersifat pribadi. Memang ada dasarnya kenapa geuchik diwajibkan bersikap netral. Risiko kedua ialah keputusan memilih secara komunal memungkinkan terjadi pembuatan kesepakatan yang bersifat neo-patrimonal, yang melanggengkan sistem tatakelola pemerintahan yang korup (ketika kesepakatan ditunaikan oleh calon pemenang) serta dapat melahirkan kekecewaan dan potensi konflik (jika kesepakatan itu tidak dijalankan).49

6. Politik Uang dan Reaksi Pemilih Meskipun ada klaim bahwa ada pemilih yang merasa terpaksa memilih calon yang telah membayar mereka, namun hal ini jarang terjadi. Reaksi paling umum terhadap politik uang

48 Sebagai perbandingan, Tjen Silalahi (1977, dalam Brown 1994: 120), yang mengkaji perilaku pemilih dalam pemilu Indonesia tahun 1977, menemukan bahwa warga dipengaruhi terutama oleh tiga tipe pemimpin lokal: pemimpin yang diangkat oleh pemerintah, kalangan bangsawan tradisional dan tokoh-tokoh keagamaan. 49 Kaitan antara komunalisme dan politik sebuah negara neo-patrimonial telah cukup dikenal; sebagian kalangan mengatakan bahwa kedua hal itu (komunalisme dan neo-patrimonialisme) tidak dapat dipisahkan (Heeger 1974).

Page 62: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

Perilaku Pemilih

50

adalah menerima uang, tetapi memilih siapa saja yang mereka inginkan. Hal ini dapat diamati di seluruh Aceh. Seperti dikatakan seseorang pada hari pemungutan suara, “money yes, vote no!”. Bahkan sebagian warga mengatakan bahwa meskipun mereka menerima uang yang ditawarkan, ini adalah alasan untuk tidak memilih calon tersebut karena ia pasti akan berusaha mengganti uang yang telah dikeluarkan melalui korupsi jika ia terpilih. Tim sukses yang tidak ingin melakukan politik uang, atau tidak mampu karena dananya kurang, secara aktif mendorong sikap ini—khususnya para anggota KPA yang tidak memiliki banyak dana dan mendukung calon-calon yang berafiliasi dengan GAM:

“Sangat sulit untuk mengubah paradigma lama. Tentu saja [politik uang] terus berlangsung. Kami tahu itu sulit dirubah. Tim sukses [juga] bagi-bagikan sarung, dan bilang ‘ingat, ya?” Kami bilang kepada rakyat, terima saja uangnya, tapi pilihan terserah kamu. Pilih sesuai hati nurani, jangan karena uang.”

Wakil KPA untuk AMM, Aceh Barat Reaksi pemilih terhadap politik uang menunjukkan bahwa pemberian uang kepada pemilih barangkali tidak berdampak besar pada hasil pemilihan. Ini merupakan tanda semakin cerdasnya para pemilih. Apabila pemilih memang tidak lagi memilih sesuai dengan pembayaran yang mereka terima, para calon akan memahami hal ini, dan bentuk politik uang ini akan sirna. Namun, dalam jangka pendek fakta bahwa sebagian calon yang menggunakan taktik patrimonial ini dapat memenangkan pemilihan berarti pemilih ikut terlibat dan turut memikul tanggung jawab atas lemahnya tatakelola pemerintahan yang mungkin akan dihasilkan.

Page 63: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

Gambar 3: Konflik terkait Pemilihan Pasca Pilkada, per Kabupaten/Kota.

VI. Dinamika Pasca Pilkada: Masalah-masalah terkait Persaingan Politik dan Tatakelola Pemerintahan

Bagian ini membahas sejumlah perkembangan pasca pilkada yang menguatirkan, terkait dengan isu-isu pilkada dan praktek politik yang telah dikemukakan sebelumnya. Tujuan kami dalam bagian ini adalah menyoroti kaitan antara dinamika pilkada dan cara persaingan politik dan praktek tatakelola pemerintahan yang terjadi kemudian, untuk mengidentifikasi apa yang mungkin dilakukan guna memperkuat dampak positif pilkada (termasuk terhadap proses perdamaian). Pada bagian ini dibahas empat perkembangan penting pasca pilkada, terkait dengan isu-isu persaingan politik yang sehat, tatakelola pemerintahan dan kebijakan pembangunan:

• Sengketa menyangkut hasil pilkada yang terjadi di banyak wilayah; • Konflik dan kekerasan politik menyangkut distribusi jabatan politik, kontrak dan

‘harta negara’ lainnya; • Perpecahan dan ketegangan berlanjut di tubuh GAM; • Dinamika politik tingkat desa.

1. Sengketa Hasil Pilkada Lemahnya pelaksanaan pilkada, ditambah dengan penanganan yang buruk terhadap protes dan pengaduan menyangkut pelanggaran pilkada, telah mengakibatkan muncul banyaknya kasus gugatan terhadap hasil pilkada. Sebagian dari gugatan itu terkait dengan hal-hal kecil, seperti tuduhan bahwa kotak suara dibuka tanpa dihadiri saksi-saksi, kasus-kasus intimidasi dan politik uang. Insiden-insiden semacam ini terjadi di kebanyakan kabupaten/kota. Namun, ada sejumlah gugatan yang cukup serius, yang melibatkan penolakan terhadap hasil pilkada dan pemenangnya. Insiden semacam ini terjadi sedikitnya di delapan kabupaten, dan yang paling serius terjadi di Aceh Tengah dan Aceh Tenggara. Para calon yang kalah biasanya memimpin upaya penolakan terhadap hasil pilkada. Penolakan ini seringkali diawali dalam bentuk protes yang lebih kecil menyangkut pelanggaran, namun kemudian meningkat ketika protes tidak ditangani secara efektif. Di

Page 64: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

Dinamika Pasca Pilkada

52

sedikitnya delapan kabupaten, digelar kasus pengadilan untuk menggugat hasil resmi pilkada. Gambar 3 memperlihatkan konflik terkait pemilihan menurut kabupaten/kota dalam 2 bulan sejak usainya pilkada (12 Desember 2006-28 Februari 2007). Tabel 3 berisi ringkasan kasus-kasus besar gugatan terhadap hasil pilkada (diolah dari World Bank dan UNDP 2006c). Tabel 3: Ringkasan Gugatan Pilkada Kabupaten/Kota Kab./Kota Ringkasan Hasil Aceh Barat Daya

KPA/GAM memprotes berbagai kejanggalan administratif. Para calon yang kalah menuntut agar diadakan pilkada ulang dan agar calon yang menang didiskualifikasi karena politik uang.

Tidak ada.

Aceh Singkil Seorang calon mengajukan protes ke KIP terkait kurangnya penyediaan surat suara di sejumlah lokasi dan sekitar 1.000 orang berpartisipasi dalam sebuah unjuk rasa yang diadakan oleh Forum Peduli Demokrasi.

Tidak ada.

Aceh Tamiang Sejumlah demonstrasi berlangsung secara terpisah yang didukung oleh calon-calon yang kalah, menuntut agar KIP mengadakan pilkada ulang karena terjadinya pembelian suara dan pelanggaran kampanye serta manipulasi surat suara di sejumlah kecamatan. Para calon yang kalah mengajukan gugatan hukum terhadap hasil pilkada.

Bukannya diadakan pilkada ulang, pelaksanaan pilkada putaran kedua ditunda dengan harapan agar protes mereda dengan sendirinya; dan seiring dengan berlalunya waktu, protes itu akhirnya pun mereda.

Aceh Tengah Tujuh calon bersama-sama menolak hasil pilkada kabupaten dan menuntut agar diadakan pilkada ulang dalam jangka waktu enam bulan. Para calon yang kalah mengajukan gugatan hukum terhadap hasil pilkada.

Pengumuman hasil pilkada ditunda, tetapi tidak ada perubahan.

Aceh Tenggara Seluruh enam calon yang kalah menolak hasil pilkada. Mereka menuntut diadakannya pilkada ulang dan menuduh adanya berbagai kecurangan dalam pilkada, termasuk sikap memihak aparat kepolisian setempat, pembelian suara, intimidasi dan korupsi yang melibatkan para petugas KIP dalam pencetakan surat suara. Bupati incumbent, yang kalah di pilkada, mengajukan beberapa gugatan hukum terhadap hasil pilkada.

Gugatan hukum terhadap hasil pilkada terus berlangsung hingga memasuki tahun 2008. Namun seluruh kasus pengadilan gagal mengubah hasil pilkada.

Bener Meriah Calon yang memperoleh tempat kedua dan ketiga menolak untuk menerima hasil pilkada, dan menuntut agar tidak ada pengumuman resmi mengenai hasil sampai pihak kepolisian menyelidiki berbagai tuduhan mengenai politik uang. Para calon yang kalah mengajukan gugatan hukum terhadap hasil pilkada.

Tidak ada.

Kota Langsa Lima calon yang kalah menandatangai deklarasi bersama menuntut diadakannya pilkada ulang atas dasar alasan bahwa sedikitnya 29.000 pemilih tidak dapat menggunakan hak pilih mereka akibat petugas lembaga pemilihan tidak mengirim undangannya. Para calon yang kalah mengajukan gugatan hukum terhadap hasil pilkada.

Tidak ada.

Nagan Raya Seluruh tujuh calon yang kalah menyatakan penolakan terhadap hasil pilkada, dengan alasan bahwa calon yang menang telah melakukan politik uang dan pelanggaran lain, dan mereka mengajukan gugatan hukum terhadap hasil pilkada.

Tidak ada.

Simeulue Para pendukung dari lima calon yang kalah menuntut agar KIP menggelar pilkada ulang dan Panwaslih menyelidiki enam tuduhan mengenai politik uang dan manipulasi surat suara. Diancam akan berdemo selama seminggu tetapi demo hanya berlangsung satu hari. Para calon yang kalah mengajukan gugatan terhadap hasil pilkada.

Tidak ada.

Page 65: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

Dinamika Pasca Pilkada

53

Seluruh kasus-kasus besar gugatan hukum terhadap hasil pilkada akhirnya kandas di pengadilan. Berbagai kasus hukum itu ditolak karena sejumlah alasan: kurangnya bukti, yurisdiksi yang tidak tepat, atau keterlambatan dalam membawa kasus ke pengadilan. Sebagian dari kasus itu mungkin memang hanya merupakan langkah oportunistik dari calon-calon yang kalah untuk mengubah hasil pilkada. Fakta bahwa kasus-kasus itu gagal mungkin memberi kontribusi pada stabilitas politik, karena tindakan mendiskualifikasi pemenang atau mengubah hasil dapat mengakibatkan terjadinya kekerasan. Walaupun demikian, kelemahan-kelemahan dalam pelaksanaan pilkada memungkinkan lahirnya serangkaian ketidakpuasan, yang pada gilirannya menjadi dasar bagi penolakan terhadap hasil pilkada, menyumbang pada persaingan politik yang tidak sehat di antara elite, serta menciptakan ketegangan dalam masyarakat. Kasus-kasus sengketa pasca pilkada di Aceh Tengah, Aceh Tenggara dan Nagan Raya memberi contoh yang jelas mengenai arah perkembangan kasus-kasus gugatan pasca pilkada yang berbeda-beda. Ketiga kasus itu semuanya bermula dari protes menyangkut isu-isu seperti politik uang, intimidasi terhadap pemilih, masalah pendaftaran pemilih atau sikap para petugas lembaga pemilihan yang memihak atau tidak aktif—isu-isu yang disoroti dalam Bagian III. Kasus-kasus itu, cara-cara berbeda yang digunakan untuk menggugat hasil pilkada, dan arah perkembangannya yang berbeda-beda, memberi ilustrasi tentang bahayanya pelaksanaan pemilihan yang lemah dan penanganan sengketa atau perselisihan yang buruk, serta memberi gambaran tentang beberapa dinamika persaingan elite dalam sebuah sistem yang bersifat klientelistik (yakni, didasari atas hubungan patron-klien). Aceh Tengah Di Aceh Tengah ketegangan cukup tinggi bahkan sejak sebelum pilkada, ketika calon yang didukung partai Golkar telah mengisyaratkan bahwa akan muncul masalah jika ia tidak menang dalam pilkada. Setelah incumbent bupati (yang didukung oleh PAN) memenangkan pilkada, calon dari Golkar itu, yang tadinya adalah ketua DPRD Kabupaten dan pemimpin front anti-separatis setempat, memimpin koalisi calon-calon yang protes dan menggunakan ‘kekuatan jalanan’ yang dimilikinya untuk memaksa para petugas lembaga pemilihan untuk tidak mengumumkan secara resmi hasil pilkada (lihat Kotak 15 di bawah). Muncul banyak tuduhan bahwa para birokrat dan lembaga-lembaga pemerintah telah bersikap memihak pada para incumbent. Pada akhirnya protes berlalu, namun ketegangan tetap tinggi di kabupaten itu hingga beberapa waktu setelah pilkada.

Kotak 15: Ketegangan meningkat setelah hari pemungutan suara di Aceh Tengah Meskipun pelaksanaan pemungutan suara berlangsung cukup tenang, namun di penghujung hari, tujuh calon yang kalah bertekad menyatukan kekuatan untuk menolak hasil pilkada, yang tampaknya dimenangkan oleh bupati yang incumbent. Mereka menuduh ada banyak kejanggalan dalam seluruh proses pilkada. Hal ini mencakup tuduhan bahwa 11 dari 14 camat bersikap memihak, bahwa para pejabat pemerintah telah mengintimidasi para calon, maraknya politik uang, dan ada sejumlah kartu suara yang telah dicoblos sebelumnya. Protes digerakkan terutama oleh calon dari Golkar yang kalah, yang menempati posisi kedua dalam hasil penghitungan suara, dan karena itu berharap dapat menempati posisi pertama jika pemenang pilkada didiskualifikasi. Ia juga merupakan yang paling berpengaruh di antara

Page 66: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

Dinamika Pasca Pilkada

54

calon-calon yang kalah, serta memiliki jaringan dan dana untuk menciptakan protes yang luas. Ia didukung oleh organisasi-organisasi pemuda seperti Pemuda Pancasila dan AMPG (Angkatan Muda Partai Golkar), serta memiliki dukungan yang cukup kuat dari front anti-separatis (PETA) di Aceh Tengah. Konon disebut bahwa ia telah menghabiskan milyaran rupiah untuk kegiatan kampanyenya, dan sebelumnya ia telah memperingatkan bahwa para pendukungnya akan ‘bereaksi keras’ jika ia kalah. Selama seminggu setelah hari pemungutan suara, ketujuh calon yang kalah beserta pendukungnya menggelar aksi unjuk rasa di depan kantor KIP, Panwaslih dan DPRD Kabupaten. Mereka menuntut agar hasil pilkada tidak diumumkan dan pilkada ulang diadakan dalam waktu enam bulan. Akibatnya, selama dua minggu setelah hari pemungutan suara, hasil pilkada tidak dipampang di kantor-kantor lembaga pemilihan tingkat kecamatan. Selain itu, para petugas KIP maupun Panwaslih di Aceh Tengah tidak ada yang berani mengomentari situasi tersebut. DPRD Kabupaten memutuskan bahwa tidak tersedia anggaran untuk pelaksanaan pilkada ulang. Setelah berlangsung konsultasi intensif yang melibatkan KIP NAD dan Gubernur, KIP NAD menetapkan keputusan bahwa pada tanggal 20 Desember calon pemenang akan didiskualifikasi jika polisi dapat menemukan bukti mengenai berbagai kecurangan yang dituduhkan kepadanya, namun tidak akan dilakukan pilkada ulang. Mengingat adanya tuduhan mengenai sikap aparat kepolisian yang berpihak kepada incumbent, keputusan KIP itu tidak banyak meredam calon-calon yang kalah itu, yang memperingatkan bahwa pendukung mereka akan “bereaksi”. Babak selanjutnya dari kisah ini adalah menghilangnya pada hari yang sama ketua Panwaslih Aceh Tengah, yang diduga menghindar karena mendapat ancaman pembunuhan melalui telepon maupun pesan singkat (SMS). Kemudian kantor KIP Aceh Tengah dibakar, dan tidak lama kemudian seluruh staf KIP meninggalkan kabupaten itu untuk menghindari “tekanan dari para calon yang kalah”. Akan tetapi, kekerasan tidak berlanjut, dan beberapa bulan kemudian ketua Panwaslih muncul kembali. Akhirnya dua staf KIP ditangkap atas tuduhan membakar kantor KIP, dan mereka terbukti bersalah. Diduga motif mereka adalah menutupi kasus penyalahgunaan dana pilkada sebesar 10 milyar rupiah.

Diolah dari World Bank dan UNDP (2006c). Aceh Tenggara Di Aceh Tenggara calon bupati masih menjabat yang didukung partai Golkar kalah dalam pilkada, dan hasil penghitungan suara itu sendiri tidak diumumkan sampai delapan bulan setelah hari pemungutan suara. Berlarut-larutnya pengumuman itu terutama disebabkan oleh terjadinya perselisihan dan tarik-menarik antarlembaga pemerintahan, di mana sebagian besar lembaga tingkat kabupaten, seperti KIP, Panwaslih, Pengadilan Negeri dan DPRD Kabupaten, mendukung calon bupati masih menjabat sebagai pemenang “sesungguhnya” (lihat Kotak 16). Ketika metode protes kelembagaan ini gagal, dan setelah intervensi tingkat provinsi berhasil menetapkan calon penantang sebagai pihak pemenang, kekuatan jalanan digunakan untuk mendukung calon bupati dari partai Golkar itu. Insiden pembakaran dan kerusuhan menyertai pelantikan bupati baru tersebut. Di Aceh Tenggara masih tertanam kuat rasa permusuhan di antara faksi-faksi elite dan di antara warga yang berada di pihak yang berlawanan dalam perselisihan yang ingar-bingar dan berkepanjangan ini.

Kotak 16: Pertikaian antarlembaga yang berkepanjangan di Aceh Tenggara Insiden pertama pasca pilkada terjadi pada 14 Desember 2006 ketika sekelompok massa yang terdiri dari sekitar 100 orang berunjuk rasa di depan kantor Polres Aceh Tenggara, mengawali pertikaian politik dan kelembagaan yang berlangsung lebih dari setahun. Pihak kepolisian dituduh memampang hasil pilkada

Page 67: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

Dinamika Pasca Pilkada

55

yang memperlihatkan Hasanuddin mengalahkan calon bupati masih menjabat yang didukung oleh partai Golkar, Armen Desky. Protes diawali dengan tuduhan bahwa keseluruhan kampanye diwarnai dengan intimidasi, politik uang, inkompetensi dan keberpihakan lembaga-lembaga pemilihan. Tiga hari kemudian seluruh keenam calon yang kalah menolak keseluruhan proses pilkada dan menyatakan niat mereka untuk menggugat secara hukum. Pada 20 Desember ribuan pendukung dari keenam calon menggelar unjuk rasa di depan kantor DPRD kabupaten. Pada 25 Desember baik KIP dan Panwaslih, dengan dukungan DPRD kabupaten, mengeluarkan keputusan untuk menyelenggarakan pilkada ulang. Waktu berlalu, dan KIP Kabupaten Aceh Tenggara (disingkat menjadi KIP Agara) menolak untuk mengumumkan hasil pilkada, serta menekankan kembali keputusannya untuk menyelenggarakan pilkada ulang. KIP NAD mengeluarkan sebuah pernyataan yang menolak keputusan KIP Agara untuk mengadakan pilkada ulang, dengan mengingatkan bahwa hanya Mahkamah Agung atau Pengadilan Tinggi yang dapat memutuskan adanya pilkada ulang. Sebagai jawaban, KIP Agara menuntut KIP NAD sebesar 1 milyar karena dianggap “mengintervensi kewenangan KIP Agara”. Sebulan kemudian KIP NAD balik menuntut KIP Agara sebesar 10 milyar. Departemen Dalam Negeri, KPU dan DPR Aceh bersepakat bahwa keputusan KIP Agara untuk mengadakan pilkada ulang bertentangan dengan perundang-undangan. Menolak untuk mundur, KIP Agara membawa perkara tersebut ke Pengadilan Negeri Aceh Tenggara, yang kemudian mengeluarkan putusan bahwa pilkada harus diulang. Pada 13 Februari 2007 Pengadilan Tinggi Banda Aceh mempersoalkan putusan Pengadilan Negeri Aceh Tenggara, dan menjelaskan kepada media bahwa hanya Pengadilan Tinggi yang dapat memutuskan adanya pilkada ulang untuk tingkat kabupaten dan Mahkamah Agung untuk tingkat provinsi. Setelah pertikaian berlanjut antara KIP NAD dan KIP Agara, akhirnya KIP Agara dibubarkan oleh KIP NAD. Menanggapi hal itu, para anggota KIP Agara yang kini telah dibebastugaskan pergi ke luar Aceh, ke Kota Medan, di mana mereka menggelar jumpa pers yang mengumumkan bahwa pemenang pilkada adalah incumbent bupati dari partai Golkar, Armen Desky. Pada 30 Juli 2007, Departemen Dalam Negeri mengumumkan Hasanuddin sebagai pemenang pilkada. Ketegangan semakin meningkat tatkala Gubernur Irwandi Yusuf mengadakan persiapan untuk melantik Hasanuddin pada 1 September 2007. Pada bulan Agustus, sebuah bom meledak di gedung DPRD kabupaten, terjadi pelemparan granat ke rumah penjabat bupati, dan terjadi pembakaran terhadap sejumlah kantor kecamatan. Demonstrasi terjadi di Jakarta dan Aceh Tenggara, dan 20 dari 25 anggota DPRD yang setia kepada Armen Desky mengumumkan bahwa mereka tidak akan lagi menghadiri sidang-sidang DPRD jika Hasanuddin dilantik sebagai bupati baru. Akhirnya Hasanuddin dilantik sebagai bupati baru Aceh Tenggara, kendati upacara pelantikan diwarnai oleh kerusuhan yang dilaporkan melibatkan banyak kelompok pemuda yang merupakan pendukung Desky. Pada Desember 2007 Desky tetap menolak hasilnya, DPRD kabupaten tetap menolak untuk bersidang, dan pemerintahan baru nyaris tidak berfungsi. Desky dan sekutunya di KIP Agara membawa kasus mereka ke Mahkamah Konstitusi dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), dan dengan demikian terus ada harapan kepada para pendukung Desky. Desa-desa di seluruh Aceh Tenggara terbelah antara kelompok pendukung Desky dan pendukung Hasanuddin. Di beberapa desa, pendukung salah satu pihak menolak untuk melayani pihak lawannya di toko mereka, menghadiri acara pernikahan, atau melakukan salat di masjid yang sama. Kalangan pengusaha dikatakan dapat kehilangan kontrak jika mereka berada di pihak seberang. Namun, hal yang positif adalah kekerasan berskala besar tidak terjadi, dan pihak Desky menyatakan bahwa jika upaya mereka gagal di Mahkamah Konstitusi dan PTUN, maka mereka akan menghentikan perjuangan mereka. Pada 11 Maret 2008, Mahkamah Konstitusi menolak kasus Desky atas dasar alasan bahwa kasus itu bukan berada dalam yurisdiksi mereka. Namun, efek jangka panjang perpecahan di kalangan birokrasi, legislatif dan masyarakat umum belum diketahui.

World Bank (2007a, 2007b, 2007d).

Page 68: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

Dinamika Pasca Pilkada

56

Nagan Raya Di Nagan Raya calon bupati masih menjabat yang didukung partai Golkar memenangkan pilkada. Meskipun muncul banyak tuduhan mengenai sikap berpihak lembaga-lembaga dan berbagai pelanggaran dalam pilkada, para calon yang kalah tidak memiliki kekuatan jalanan yang signifikan ataupun kontrol atas lembaga-lembaga di tingkat lokal untuk dapat melancarkan protes secara efektif (Kotak 17). Di sini protes-protes pasca pilkada akhirnya berlalu lantaran KIP, Panwaslih, kepolisian, pengadilan negeri, yang seluruhnya dipandang sebagai sekutu calon bupati yang menang, kurang mengambil langkah untuk menangani protes-protes tersebut secara institusional. Kasus ini menunjukkan bahwa kabupaten-kabupaten di mana protes tidak terlihat tidak mesti bebas dari pertikaian. Dalam kasus Nagan Raya, pertikaian laten itu baru mengemuka setahun kemudian.

Kotak 17: Perlawanan terbungkam (silenced dissent) di Nagan Raya Calon bupati masih menjabat yang didukung partai Golkar, T. Zulkarnaini, memenangkan pilkada kabupaten Nagan Raya dengan margin perolehan suara yang cukup aman. Penelitian lapangan menunjukkan bahwa ada banyak keluhan menyangkut pelanggaran pilkada dan sikap lembaga-lembaga pemilihan yang berpihak, serta persepsi yang luas mengenai praktek-praktek nepotistik dan korup dari pemerintahan yang sekarang berkuasa. Namun, kekecewaan ini tidak melahirkan pertikaian kelembagaan (seperti di Aceh Tenggara), atau ketegangan dan gangguan pada tingkat massa (seperti di Aceh Tengah). Lembaga-lembaga, mulai dari KIP, Panwaslih, kepolisian dan pengadilan negeri, dipandang oleh banyak pihak bersikap memihak kepada calon bupati masih menjabat, dan karena itu tidak bersifat kooperatif dalam menyelidiki berbagai pengaduan. Seorang petugas Panwaslih mengakui bahwa itulah yang terjadi. Para informan lokal juga mengemukakan bahwa berbagai demonstrasi yang digerakkan mahasiswa telah dibungkam dengan menggunakan suap dan ancaman. Calon-calon yang kalah mengajukan gugatan hukum terhadap hasil pilkada (yang akhirnya gagal), sebelum protes berlalu dengan sendirinya. Tidak lama setelah hari pemungutan suara, publik dihebohkan dengan sebuah kasus pencucian uang (money laundering) yang melibatkan seseorang yang diduga mantan ajudan T. Zulkarnaini. Kasus ini diduga terkait dengan sumbangan kampanye ilegal untuk pemenang pilkada tersebut. Muncul pula berbagai tuduhan korupsi terhadap bupati menjabat pada masa jabatan sebelumnya, namun tidak benar-benar diselidiki. Ketegangan hanya meningkat pada November 2007 ketika sebuah koalisi organisasi masyarakat sipil yang disebut Gempar berdemonstrasi di Banda Aceh menuntut pemecatan T. Zulkarnaini atas dasar dugaan terlibat kasus pencucian uang dan korupsi. Pada 8 Desember, koordinator Gempar—yang juga adalah ketua KPA untuk Nagan Raya—diserang oleh sekelompok orang. Dua hari kemudian koordinator Gempar mengadakan unjuk rasa yang melibatkan ribuan orang, dan mengancam untuk “melengserkan” bupati. Ketegangan dan demonstrasi berlanjut hingga memasuki tahun 2008.

World Bank (2007d, 2007e). Berbagai gugatan pasca pilkada, khususnya beberapa kasus serius yang dipaparkan di atas, memperlihatkan bagaimana lemahnya pelaksanaan kelembagaan pilkada menjadi penyebab bagi munculnya gugatan terhadap hasil pilkada, dan menyumbang pada konflik politik yang serius pada periode pasca pilkada. Kendati banyak sengketa yang telah diselesaikan, paling tidak secara formal, di banyak kabupaten tetap tersisa rasa ketidakpuasan mendalam di antara para elite politik lokal. Berbagai konflik tersebut menunjukkan bahwa pilkada gagal untuk mengelola persaingan politik secara efektif. Para pemenang pilkada dalam banyak kasus tidak memiliki legitimasi yang kuat dari kalangan elite lainnya, dan pertikaian-

Page 69: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

Dinamika Pasca Pilkada

57

pertikaian ini berpotensial untuk terus mendorong terjadinya konflik politik pada masa mendatang.

2. Membagi-bagikan ‘Harta Negara’ Peran penting kesepakatan patronase dan hubungan neo-patrimonial jangka panjang dalam kampanye pilkada telah melahirkan utang-budi dan harapan ekonomi dan politik yang menciptakan konflik di antara para elite lokal dan inefisiensi dalam distribusi sumber daya dan kekuasaan negara. Para anggota tim sukses berharap bahwa usaha (dan terkadang dana pribadi) mereka akan mendapat imbalan setelah pilkada. Demikian pula para anggota GAM yang, selain upaya kampanye mereka, juga seringkali merasa memiliki hak sebagai buah dari perjuangan panjang mereka, yang menurut mereka mengantarkan kepada terwujudnya otonomi Aceh dan meningkatnya anggaran pemda. Untuk menunjukkan implikasi-implikasi dari hubungan klientelistik semacam itu, akan dibahas tiga kasus yang memperlihatkan berbagai cara yang diupayakan oleh para calon yang menang untuk memuaskan atau menolak tuntutan dari para pendukung. Masing-masing pertikaian itu dipicu oleh isu-isu yang terkait dengan tatakelola pemerintahan: pengangkatan pejabat birokrasi; pengalokasian kontrak; distribusi lahan; serta nasehat teknis dan pembuatan kebijakan. Namun, bagaimana masing-masing kasus terjadi telah memperlihatkan bentuk-bentuk negatif persaingan politik. Di Bireuen sebagian pemimpin KPA selama ini berjuang untuk memperoleh lebih banyak pengaruh atas keputusan-keputusan pemerintah, dan mengancam untuk menarik dukungan mereka dan meningkatkan oposisi. Dalam kasus ini ketegangan di dalam tubuh GAM antara Bireuen barat dan timur, terkait dengan pembagian kontrak, telah memperparah konflik. Di Aceh Barat Daya, kalangan elite politik berusaha memperoleh bagian mereka, dan ketika kecewa, mereka mengerahkan dukungan untuk menurunkan bupati. Perpecahan di tubuh GAM/KPA menyangkut dana reintegrasi, yang terlihat bersifat oportunistik, telah menambah dan memperburuk masalah ini. Dalam kasus Aceh Timur, berbalas budi kepada tim sukses mungkin sejalan dengan upaya untuk memperoleh nasihat kebijakan yang baik, namun perpecahan yang telah ada sebelumnya di kalangan masyarakat sipil di tingkat lokal telah muncul kembali dan memperburuk ketegangan antara bupati dan wakil bupati. Dalam pengertian yang luas, kasus-kasus itu memberi bukti tambahan bahwa sistem politik neo-patriomonial pada dirinya sendiri tidak stabil dan dapat melahirkan persaingan politik yang berbahaya (Brown 1994). Bireuen Kasus Bireuen melibatkan perselisihan antara bupati baru yang berafiliasi dengan GAM dan faksi-faksi di dalam KPA Bireuen. Isu yang dipersoalkan adalah sejauh mana GAM berhak mengakses dan memengaruhi pemerintahan kabupaten yang baru. Bupati baru menghabiskan tahun-tahun terakhir konflik dengan berdiam di Australia, namun diminta kembali untuk maju sebagai calon GAM dalam pilkada Bireuen. Meskipun beberapa faksi lokal GAM menentang pencalonannya, ia dipandang luas memiliki kemampuan, dan berusaha mendesakkan agenda reformis. Akan tetapi, oleh sebagian pihak kemenangannya dipandang sebagai hasil dukungan GAM saja, dan ini melahirkan harapan di antara banyak

Page 70: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

Dinamika Pasca Pilkada

58

pemimpin lokal GAM untuk mengakses dan memengaruhi ‘pemerintahan GAM’ yang baru. Hal ini telah bermuara pada konflik (Kotak 18).

Kotak 18: Faksi-faksi lokal GAM di Bireuen menuntut pengaruh atas keputusan pemerintah Pilkada kabupaten di Bireuen diadakan pada Juni 2007. Ketegangan di tubuh GAM telah terlihat jelas sejak awal, terkait konflik soal pemilihan calon. Pada mulanya Panglima GAM untuk wilayah Batee Iliek (Bireuen) Teungku Batee terpilih, namun ia mengundurkan diri setelah mobilnya diserang. Insiden ini mencerminkan adanya ketegangan di tubuh GAM, kendati tidak jelas apakah hal itu merupakan penolakan langsung terhadap pencalonan Teungku Batee ataukah lebih terkait erat dengan pertikaian menyangkut pembagian kontrak konstruksi di antara berbagai faksi GAM di Bireuen. Selanjutnya Teungku Batee digantikan oleh Teungku Nurdin Abdul Rahman, yang diminta kembali dari Australia untuk maju dalam pilkada. Nurdin memiliki kualifikasi GAM yang kuat, pernah tiga kali dipenjara, dan sangat terdidik. Namun, para pemimpin GAM tidak mendukungnya secara bulat, dan salah seorangnya, Teungku Cagee, mendukung calon bupati yang disponsori oleh sebuah partai yang diduga berjanji akan membantu mata pencarian mantan para pejuang GAM jika ia terpilih. Nurdin dan wakilnya, Busmadar, memenangkan pilkada dengan 62,3 persen suara. Pada awalnya hubungan antara Nurdin dan GAM/KPA baik-baik saja. Nurdin meminta para pemimpin GAM untuk memilih 32 mantan pejuang GAM untuk menjadi petugas keamanan di tempat kediaman bupati, menggantikan tugas penjagaan yang biasa dijalankan oleh aparat kepolisian. Namun, hubungan itu pecah akibat pemilihan sekda, sebuah jabatan berpengaruh yang memiliki kontrol atas pengalokasian kontrak-kontrak pemerintah yang menggiurkan. Menjadi jelas bahwa Nurdin memiliki gagasan sendiri mengenai tatakelola pemerintahan dan tidak siap mengakomodasi tuntutan-tuntutan GAM. Pecahnya hubungan ini berbuntut pada sejumlah insiden kekerasan. Pada 27 September 2007 wakil bupati diserang, dan selanjutnya pada 3 Oktober 2007 calon pilihan GAM untuk sekda diserang. Pilihan Nurdin adalah seorang PNS yang sebelumnya bekerja di Aceh Utara. Sementara itu, pilihan GAM adalah seorang mantan asisten satu bupati Bireuen. Berbagai laporan menunjukkan bahwa Nurdin mempertahankan aspirasi kuat akan tatakelola pemerintahan yang bersih, dan ia percaya bahwa pilihannya adalah calon yang lebih mampu. Sedangkan calon pilihannya GAM dikatakan lebih dekat dengan para pemimpin lokal GAM tertentu, dan ada dugaan ia telah menggunakan jabatannya untuk mengarahkan kontrak-kontrak kepada mereka. Dilaporkan bahwa perpecahan geografis di tubuh GAM juga merupakan salah satu faktor yang turut berperan dalam konflik. Nurdin dan Busmadar berasal dari wilayah timur Bireuen, sementara calon pilihan GAM dulu adalah camat di wilayah barat dan karena itu lebih dekat dengan para pemimpin GAM di sana. Pada akhirnya pilihannya Nurdin tetap jadi, namun konflik ini mencuatkan perselisihan antara Nurdin dan GAM menyangkut peran GAM dalam pemerintahan Nurdin. Pihak GAM, yang memastikan kemenangan Nurdin lewat dukungan dan jaringan mereka, percaya bahwa mereka seharusnya dikonsultasikan menyangkut seluruh urusan pemerintahan, sementara itu dilaporkan bahwa Nurdin percaya bahwa peran GAM dalam pemerintahan harus dibatasi. Seperti dikatakan oleh seorang pemimpin lokal GAM yang bersimpati kepada Nurdin, “Orang GAM perlu sadari bahwa bupati adalah dari GAM, oleh GAM, untuk rakyat; bukan dari GAM, oleh GAM, untuk GAM.”

World Bank (2007b, 2007c, 2007e). Aceh Barat Daya Dinamika serupa terlihat jelas dalam kasus Aceh Barat Daya di mana para pendukung yang menuntut imbalan dari pemerintahan baru merasa kecewa dan menciptakan konflik. Namun, di dalam kasus ini perkembangan pasca pilkada melibatkan sejumlah pihak yang berbeda, meliputi tim sukses, anggota DPRK, GAM dan para birokrat yang kecewa (Kotak

Page 71: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

Dinamika Pasca Pilkada

59

19). Bupati yang membalas budi kepada para pendukungnya dapat menghadapi upaya-upaya pelengseran dirinya dari jabatan atas dasar tuduhan korupsi atau kolusi yang diajukan oleh para pesaingnya. Sebaliknya, bupati yang tidak membalas budi para pendukungya dapat menghadapi usaha-usaha penjatuhan dirinya yang dilakukan oleh pihak mantan pendukung yang sakit hati.

Kotak 19: Aceh Barat Daya: tim sukses dan kontraktor berusaha jatuhkan bupati yang baru Akmal Ibrahim, calon dari PAN dan mantan redaktur sebuah surat kabar, memenangkan pilkada Aceh Barat Daya. Protes menyangkut pelaksanaan pilkada muncul, termasuk tuduhan bahwa Akmal Ibrahim melakukan politik uang, namun hal itu tidak berakibat. Akmal memiliki jaringan tim sukses yang luas, mulai dari tingkat kabupaten hingga tingkat desa, yang kebanyakan dari mereka adalah para kontraktor. Salah satu janji Akmal adalah membantu korban konflik sebesar Rp. 5 juta per orang dan memberi hibah untuk desa sebesar Rp. 500 juta per desa melalui mekanisme yang digerakkan oleh masyarakat. Banyak desa yang melihat janji tersebut sebagai alasan yang baik untuk memilih Akmal. Ada anggota tim sukses Akmal yang mengatakan bahwa Akmal membuat banyak janji-janji kepada mereka yang tidak ia tepati. Akmal menghadapi serangkaian protes yang menggugat kepemimpinannya, dan hal ini dapat menjadi contoh yang menunjukkan bahayanya jika seorang pemimpin memberikan ataupun tidak memberikan keuntungan yang telah ia janjikan sebelumnya. Salah satu sumber konflik politik adalah kasus perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Babahrot Agro Lestari (BAL). Pada April 2007 Gubernur Irwandi menandatangani izin penguasaan lahan untuk PT BAL seluas lebih dari 5.000 hektar di Aceh Barat Daya. Namun, Akmal malah memutuskan untuk mengalokasikan lahan tersebut ke desa-desa yang berada di dekat lahan tersebut, dua hektar untuk setiap rumah tangga—hal ini diduga merupakan salah satu janji kampanye Akmal. Pada 4 Agustus 2007 ribuan warga yang menentang izin yang dikeluarkan oleh Gubernur melakukan demonstrasi, namun dihadang oleh ratusan orang pendukung PT BAL. Para anggota GAM/KPA terlihat menonjol di kedua belah pihak dalam demonstrasi, dan kerusuhan nyaris tidak dihindari. Hal ini mencerminkan perpecahan dalam tubuh GAM yang berakar dalam soal pembagian dana reintegrasi. Demonstrasi berlanjut pada bulan September, menuntut Akmal dicopot dari jabatannya, dan para demonstran menyatakan bahwa sebagian lahan PT BAL diincar oleh Akmal dan anggota tim suksesnya untuk memberi kompensasi bagi dukungan politik mereka. Protes menentang kepemimpinan Akmal memperoleh momentum. Pada Oktober 2007, C59, sebuah kelompok yang terdiri 59 kontraktor, menghadang jalan masuk ke gedung DPRD selama empat hari, menuduh pemerintahan Akmal tidak mengikuti prosedur resmi untuk pengadaan tender, dan menuntut dilakukannya penyelidikan yang menyeluruh. Pada November 2007 berbagai kelompok bergabung di bawah bendera Koalisi Gempa, dan ribuan orang berunjuk rasa menuntut pencopotan Akmal dari jabatannya. Unsur-unsur koalisi ini mencakup C59, berbagai LSM dan kelompok masyarakat, mantan para pendukung Akmal yang kecewa, dan orang-orang yang telah lama menjadi lawan politik Akmal. Berbagai laporan menunjukkan bahwa sejumlah elite pendukung kampanye Akmal kini telah berbalik menentangnya karena merasa kecewa akibat tidak memperoleh keuntungan yang memadai dari pemerintahan baru. Dilaporkan bahwa mereka termasuk seorang kontraktor lokal yang konon telah menyumbang 4 milyar rupiah untuk kampanye Akmal, seorang pengusaha pertanian yang ingin menguasai sebagian lahan PT BAL, dan seorang mantan komandan GAM yang menyatakan bahwa ia memiliki ‘kontrak politik’ dengan Akmal yang memuat uraian tentang syarat-syarat aliansi mereka, yang kemudian tidak ditunaikan oleh Akmal. Pihak Akmal sendiri menuduh bahwa berbagai demonstrasi menentang dirinya digerakkan oleh tangan-tangan elite, bahwa salah seorang kontraktor membayar para demonstran, bahwa dua calon yang kalah dalam pilkada mendorong terjadinya berbagai protes itu, dan bahwa para kontraktor merasa kesal karena kontrak kini diberikan melalui proses yang sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku, bukan melalui patronase.

World Bank (2007a, 2007b, 2007c, 2007d).

Page 72: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

Dinamika Pasca Pilkada

60

Aceh Timur Pertikaian di Aceh Timur, yang skalanya jauh lebih kecil, memperlihatkan kaitan yang berlainan antara proses pilkada dan tantangan terhadap tatakelola pemerintahan saat ini. Di sini calon yang berafiliasi dengan GAM, Muslem Hasballah, memenangkan pilkada, namun ia miskin pengalaman dalam pemerintahan dan hanya mengenyam pendidikan sekolah dasar (hal ini sebenarnya bertentangan dengan peraturan, namun dilaporkan bahwa hal itu baru diketahui oleh para petugas lembaga pemilihan setelah pilkada). Ia telah membentuk ‘tim ahli’ yang bertugas untuk memberinya nasehat teknis mengenai kebijakan, namun hal ini telah mengakibatkan konflik dengan wakil bupati dan tuduhan bahwa jabatan tim ahli yang dibayar tinggi itu dibagikan kepada para anggota tim sukses yang setia kepadanya. Kotak 20 menguraikan kasus ini dengan lebih terperinci.

Kotak 20: Tim ahli bupati mendapat tentangan di Aceh Timur Pilkada Aceh Timur diperebutkan oleh dua calon dari GAM yang berbeda, setelah terjadi perselisihan di tubuh GAM menyangkut siapa yang seharusnya dicalonkan. Muslem Hasballah, salah seorang calon, berpasangan dengan Nasruddin Abubakar dari SIRA, dan pasangan ini memenangkan pilkada. Sejak semula pasangan ini lebih bersifat oportunistik ketimbang ideologis, dan hubungan keduanya memburuk akibat perselisihan menyangkut orang-orang yang seharusnya menjadi anggota tim ahli mereka. Muslem, yang merupakan pejuang GAM bukan ‘GAM sipil’, kurang memiliki pengalaman pemerintahan, dan pendidikan minimalnya diperoleh dari pesantren. Sebaliknya, Nasruddin memiliki gelar sarjana serta pengalaman yang banyak dalam masyarakat sipil melalui keterlibatannya di dalam SIRA. Menyadari kurangnya pengalaman dalam urusan pemerintahan, Muslem ingin sekali mengangkat sebuah tim ahli untuk membantu dirinya, dan mungkin karena melihat hal ini sebagai peluang untuk terlibat dalam reformasi tatakelola pemerintahan daerah, BRR (Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh) menawarkan diri untuk membayar gaji tim ahli tersebut. Ketegangan antara Muslem dan Nasaruddin menyangkut tim ahli mulanya terfokus pada soal tingginya gaji sembilan anggota tim ahli tersebut. Namun, perhatian beralih pada soal sikap bupati yang semakin bergantung pada tim ahli, yang membuat wakil bupati dan kalangan birokrasi merasa terpinggirkan. Meskipun banyak laporan menunjukkan bahwa para anggota tim ahli adalah orang-orang yang memang kompeten, banyak pihak yang merasa tidak suka dengan dominasi tim ahli dalam rapat-rapat dan dalam penentuan kebijakan. Hubungan antara bupati dan wakil bupati memburuk. Pertikaian ini berakar pada perpecahan ideologis sebelum pilkada antara SIRA dan kelompok masyarakat sipil lainnya, SMUR (Solidaritas Mahasiswa Untuk Rakyat), kelompok yang merupakan latar belakang bagi kebanyakan anggota tim ahli. Suasana semakin diperkeruh dengan fakta bahwa orang-orang SMUR adalah para anggota kunci tim sukses Muslem, yang mengesankan bahwa ia telah menempatkan mereka dalam jabatan yang menggiurkan ini antara lain sebagai cara dirinya membalas dukungan politik mereka. Protes menyangkut tim ahli berlanjut hingga Februari 2008.

World Bank (2007b).

3. Berlanjutnya Perpecahan di Tubuh GAM/KPA Dinamika penting ketiga pasca pilkada adalah berlanjutnya perpecahan di tubuh GAM. Ini mungkin akan terus menjadi salah satu sumber utama konflik politik tatkala Aceh tengah berusaha membangun perdamaian yang abadi. Perselisihan yang terus terjadi di tubuh

Page 73: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

Dinamika Pasca Pilkada

61

GAM, yang membuat ‘generasi lama’ berhadap-hadapan dengan ‘generasi muda’ (International Crisis Group 2006; Mietzner 2007b), belum teratasi. Ketegangan di tubuh GAM berhasil dikendalikan sebelum pelaksanaan pilkada, sehingga calon-calon yang berafiliasi dengan GAM meraih sukses besar dalam pilkada. Namun, ketegangan masih berlanjut baik pada tingkat provinsi maupun kabupaten. Fokus bagian ini adalah pada dua hal yang menjadi sumber berlanjutnya ketegangan di tubuh GAM: pertikaian menyangkut kontrol atas nama dan simbol GAM; dan perebutan akses kepada sumber daya pemerintah daerah. Hubungan kekuasaan di tubuh GAM berubah setelah Irwandi Yusuf (‘generasi muda’) memenangkan jabatan gubernur, mengalahkan pasangan ‘Humam-Hasbi’ yang didukung Malik Mahmud serta beberapa orang lain yang mewakili ‘generasi lama’ GAM. Ketegangan terus berlanjut dan selama bulan-bulan terakhir tahun 2007 terfokus pada perselisihan mengenai apakah bendera dan nama GAM dapat digunakan oleh partai lokal ‘GAM’ yang dipimpin oleh Malik Mahmud. Dimensi intra-GAM dari perselisihan ini tidak ditekankan, sebaliknya perselisihan terfokus pada soal apakah Jakarta akan melegalkan partai tersebut (World Bank 2007c). Namun, kaitan pertikaian ini dengan perpecahan di tubuh GAM terlihat jelas, karena pentingnya nama dan bendera GAM terkait dengan upaya memonopoli modal politik gerakan tersebut untuk pemilu legislatif tahun 2009 di Aceh. Faksi-faksi GAM menyadari bahwa simbol GAM merupakan merek yang sangat penting, terutama setelah kekuatan simbol itu dibuktikan dalam pilkada dengan kesuksesan pakaian tradisional Aceh yang dipakai oleh calon-calon yang berafiliasi dengan GAM dalam foto mereka pada surat suara. Sementara itu, Jakarta dan partai-partai nasional juga menyadari arti penting yang dapat dimiliki simbol-simbol semacam itu dalam pemilu legislatif tahun 2009 di Aceh. Mereka menginginkan agar penggunaan simbol-simbol GAM dilarang karena hal itu “bertentangan dengan semangat MoU”. Pada Februari 2008 ketegangan mereda ketika partai GAM setuju untuk tidak menggunakan bendera GAM, dan mengubah singkatan GAM untuk nama partai mereka menjadi ‘Gerakan Aceh Mandiri’, bukan ‘Gerakan Aceh Merdeka’ (lihat World Bank 2008b). Di bawah tekanan Jakarta, nama itu diubah kembali menjadi Partai Aceh, untuk menghindari penggunaan kata ‘gerakan’ (lihat World Bank 2008c). Meskipun demikian, perjuangan untuk memonopoli modal politik GAM akan berlanjut dan kemungkinan meningkat menjelang pemilu tahun 2009, terutama jika identifikasi GAM dengan identitas keacehan dan proto-nasionalisme tetap kuat. Ketegangan di tubuh GAM juga terus menciptakan dan memperburuk konflik di kabupaten-kabupaten, seperti ditunjukkan oleh contoh kasus dari Aceh Barat Daya dan Bireuen. Para pemimpin dan kalangan awam GAM merasa ‘memiliki hak’ dan berharap agar pemerintah memberi keuntungan kepada mereka dan berkonsultasi dengan mereka menyangkut berbagai kebijakan.50 Sebagian pemimpin GAM tidak setuju dan merasa kuatir jika intervensi seperti itu akan segera menodai reputasi GAM, yang dapat berakibat buruk pada prospek keberhasilan dalam pemilu tahun 2009. Ketegangan semacam ini juga terjadi di banyak kabupaten lainnya. Hal yang menarik ialah diikutsertakannya GAM dalam pilkada di Aceh telah menciptakan ketegangan di tubuh

50 Tentang rasa ‘memiliki hak’ di kalangan anggota GAM ini, lihat Mietzner (2007b: 34). Aspinall (2007) berpendapat bahwa struktur organisasi GAM sangat cocok dengan patrimonialisme.

Page 74: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

Dinamika Pasca Pilkada

62

organisasi itu sekuat ketegangan yang terjadi antara GAM dan pemerintah Indonesia. Sistem neo-patrimonial di mana GAM kini mendapati dirinya sebagai pemain yang penting memberi tekanan kuat pada organisasi tersebut: di satu sisi mereka memiliki peluang untuk memperbaiki tatakelola pemerintahan di Aceh agar dapat memberikan keuntungan kepada rakyat miskin dan membantu meningkatkan peluang mereka dalam pemilu tahun 2009; di sisi lain, mereka menghadapi tuntutan besar dari kalangan mereka sendiri untuk memberikan keuntungan ekonomi kepada anggota-anggota GAM. Persaingan untuk memperoleh kontrak pemerintah mendorong terjadinya perpecahan di tubuh GAM, dan ini menunjukkan bahwa selama pemerintah dibiarkan mengalokasikan sumber daya negara demi keuntungan politik, persaingan politik yang tidak sehat akan terus berlangsung.

4. Dinamika Politik Tingkat Desa Pilkada Aceh merupakan kesempatan baru bagi warga desa untuk terlibat dalam politik: peluang pertama mereka untuk memilih secara langsung kepala daerah provinsi dan kabupaten/kota. Pilkada menciptakan harapan-harapan baru di kalangan warga desa, serta membangun jaringan dan hubungan baru, mulai dari elite politik kabupaten/kota hingga menjangkau tingkat desa. Meskipun harapan dan hubungan itu berpotensi untuk menyediakan landasan bagi akuntabilitas, harapan dan hubungan itu juga menyediakan mekanisme untuk menyalurkan ketidakpuasan dan untuk mobilisasi seandainya calon gagal memenuhi harapan warga. Di penghujung tahun 2007, sebagian besar warga tampaknya merasa puas untuk memberi waktu kepada pemerintahan baru. Namun, penelitian lapangan kami menemukan sejumlah contoh bagaimana harapan dan hubungan itu dapat berkembang dengan cara yang mengutamakan kepentingan elite daripada kepentingan masyarakat luas. Perpecahan politik dalam pertikaian pasca pilkada di Aceh Tenggara menjangkau hingga tingkat desa, seperti dipaparkan dalam Kotak 16. Perpecahan antara pendukung Hasanuddin dan Arman Desky tampaknya juga memiliki dampak langsung pada politik tingkat desa, di mana para pendukung Hasanuddin memanfaatkan kemenangan calon mereka untuk menyingkirkan para pendukung Desky dari jabatan-jabatan kekuasaan. Sebuah contoh dari Desa ‘RT’ menggambarkan bagaimana politik partisan dan tatakelola pemerintahan yang buruk bertemu dalam pertarungan politik tingkat desa (Kotak 21). Pertikaian tingkat desa yang serupa mungkin terjadi di seluruh Aceh Tenggara, dan hasil pilkada telah mendorong perseteruan politik di tingkat lokal di seluruh Aceh. Para anggota tim sukses yang mendukung calon pemenang mungkin dapat menikmati keuntungan dari atas, namun mereka juga menghadapi tekanan dari bawah. Setelah warga memberikan suara mereka sesuai dengan keinginan tim sukses, warga ingin mengetahui kapan tibanya keuntungan yang akan mereka terima. Salah seorang anggota tim sukses Akmal untuk tingkat desa di Aceh Barat Daya mengatakan kepada kami bahwa ia sekarang berada dalam posisi yang serba-salah karena warga berharap kepadanya agar ia mulai menyalurkan sumber daya kepada mereka sekarang setelah Akmal berhasil menang dalam pilkada:

“Saya ingin Akmal menjelaskan kepada masyarakat kalau dia belum memberikan apa-apa melalui saya, karena hingga saat ini masyarakat dan pemuda

Page 75: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

Dinamika Pasca Pilkada

63

menganggap saya yang menelan uangnya, termasuk kalau melihat kios yang saya baru dirikan.”

Anggota tim sukses Akmal, Aceh Barat Daya

Kotak 21: Efek konflik yang merembes pada perpolitikan tingkat desa, Aceh Tenggara Di sebuah desa yang namanya disingkat menjadi ‘RT’ di sini, pilkada kabupaten yang dimenangkan oleh Hasanuddin berbuntut pada upaya warga untuk mendongkel kepemimpinan kepala desa, yang dalam pilkada kabupaten mendukung Armen Desky. Suara warga nyaris imbang di desa ini, namun suara Hasanuddin menang tipis. Namun, kepala desa telah dikenal sebagai pengikut Armen Desky (sekaligus anggota Pemuda Pancasila, salah satu organisasi yang dikendalikan oleh Desky). Setelah Hasanuddin dilantik sebagai bupati, para pendukungnya di desa RT bertemu, merumuskan sebuah surat yang berisi berbagai pengaduan menyangkut kepala desa dan menuntut pencopotan dirinya sebagai kepala desa. Isi pengaduan termasuk soal pembangunan kantor desa yang didanai oleh BRR di atas lahan miliknya serta penyelewengan raskin (beras subsidi untuk rakyat miskin). Surat itu juga menyebutkan siapa yang harus menjadi penggantinya: seorang anggota tim sukses Hasanuddin, yang (bukan secara kebetulan) merupakan calon kepala desa yang gagal dalam pemilihan kepala desa terakhir. Surat ini dikirimkan ke Camat oleh utusan dari pendukung Hasanuddin. Protes itu kemungkinan akan mendapat angin karena sang camat sendiri baru saja diangkat menggantikan camat terdahulu yang dipecat karena merupakan pendukung Desky. Sebelum pelantikan Hasanuddin, 15 dari 16 camat di Aceh Tenggara pergi ke Jakarta untuk mendukung klaim Desky sebagai pemenang pilkada kabupaten. Seluruh camat ini akhirnya dipecat karena meninggalkan kantor mereka tanpa izin. Dengan cara ini kemenangan pilkada tingkat kabupaten merembes ke tingkat kecamatan dan selanjutnya tingkat desa, di mana para pendukung dengan mudah menggunakan tuduhan korupsi dan penyelewengan untuk merebut kekuasaan politik dari pihak lawannya.

Kasus kedua, juga dari Aceh Barat Daya, memperlihatkan bagaimana para kepala desa yang bersikap partisan (memihak) dapat mengerahkan warga sehingga memberi andil pada terjadinya perseteruan politik di tingkat desa. Kasus ini juga menunjukkan bagaimana ‘harta pampasan’ pemerintah, seperti kontrak, tidak pernah jauh dari agenda (Kotak 22).

Kotak 22: Pengerahan warga desa oleh elite, Aceh Barat Daya Beberapa waktu setelah Akmal dilantik sebagai bupati, kepala desa Pulo Kayee menjadi kecewa dengan kepemimpinannya, dan ia mengerahkan warga desa untuk bergabung dalam protes anti-Akmal di Blang Pidie. Sang kepala desa adalah juga seorang kontraktor, dan ia menjelaskan mengapa sekarang ia menuntut agar Akmal dicopot dari jabatannya: “Dulu dia janji mau bagikan proyek ke kami, tapi setelah jadi Bupati kami tidak bisa menang tender. Dia buat tender ecek-ecek saja, karena penerimanya sudah dia tentukan, termasuk yang menentukan itu tim suksesnya.” Meskipun kepala desa ini berhasil mengerahkan sebagian warga untuk turut serta dalam demonstrasi, warga secara umum bersikap sinis dan menyadari bahwa demonstrasi itu lebih didasarkan atas intrik elite daripada atas dasar aspirasi rakyat yang sesungguhnya. Seperti dijelaskan oleh seorang warga setelah ia ikut dalam demonstrasi, “awalnya sama masyarakat desa dibilang do’a bersama, tapi sampai di sana ternyata berdemo mendukung Akmal”. Seorang warga lain menjelaskan bahwa demonstrasi itu tidak seperti yang apa yang terlihat, “Yang ikut demo itu kan orang-orang pintar saja, yang mengharap proyek”.

Kedua kasus itu bersama-sama menunjukkan arti penting dan dampak dari hubungan yang terbentuk selama masa kampanye. Pada akhirnya rantai koneksi pribadi inilah yang melahirkan perubahan di tingkat desa dalam sebuah demokrasi patronase. Kasus-kasus itu juga memperlihatkan akibat yang dapat ditimbulkan dari hubungan dan harapan baru tersebut terhadap persaingan politik dan tatakelola pemerintahan di tingkat desa maupun

Page 76: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

Dinamika Pasca Pilkada

64

tingkat kabupaten. Hubungan itu memungkinkan terjadinya mobilisasi, harapan-harapan dapat berujung pada ketidakpuasan, dan persaingan politik dapat berjalan melalui mobilisasi berdasarkan ketidakpuasan. Hal ini telah mengakibatkan terjadinya pergeseran kekuasaan politik mulai dari tingkat desa ke atas. Jaringan-jaringan yang menjangkau hingga tingkat desa dapat menyediakan basis bagi mobilisasi. Kita dapat memprediksikan bahwa karena baik lapisan masyarakat awam maupun para anggota tim sukses menjadi kecewa akibat janji-janji yang tidak ditepati oleh pihak yang mereka dukung, mereka akan menjadi semakin rentan untuk dikerahkan oleh pihak elite tingkat kabupaten yang juga merasa kecewa.

5. Implikasi bagi Perdamaian di Aceh Pengelolaan persaingan politik di antara kalangan elite Aceh dan pembangunan tatakelola pemerintahan yang baik adalah dua hal yang sangat krusial untuk memelihara perdamaian jangka panjang di Aceh (Barron and Clark 2006). Pilkada pasca konflik di Aceh menyediakan suatu kerangka kelembagaan yang penting untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Namun, analisis kami terhadap proses pilkada dan dinamika pasca pilkada menunjukkan bahwa masih ada banyak hal yang harus dilakukan. Pertama, berbagai kelemahan dalam pelaksanaan pilkada telah melahirkan berbagai gugatan pasca pilkada dan berlanjutnya ketidakpuasan yang mengindikasikan bahwa pilkada telah gagal menghasilkan pemimpin lokal dengan legitimasi yang diterima secara luas di banyak kabupaten. Berbagai ketidakpuasan itu juga telah mendorong terjadinya persaingan politik yang tidak sehat di kalangan elite. Hal ini telah melumpuhkan keseluruhan pemerintahan di satu kabupaten, dan mungkin akan berujung pada diambilnya jalan damai berupa praktek suap dan kolusi di kabupaten-kabupaten lain guna membungkam pihak pengkritik. Kedua, mengandalkan tim sukses untuk melakukan kampanye dan menyediakan dana telah menyebabkan terbangunnya hubungan yang bersifat klientelistik, yang pada gilirannya telah mendorong terjadinya distribusi kekuasaan dan sumber daya pemerintahan menurut garis patronase. Kemungkinan besar hal ini akan sangat membahayakan tatakelola pemerintahan di Aceh dan menciptakan konflik terus-menerus di kalangan elite. Hubungan semacam ini juga cenderung bermuara pada penolakan yang kuat terhadap pihak-pihak yang memegang kekuasaan yang ingin mewujudkan agenda tatakelola pemerintahan yang bersih. Ketiga, pilkada dan hasilnya telah menambah tekanan kepada GAM, yang mengakibatkan terjadinya perpecahan baru di tubuh GAM serta memperburuk perpecahan yang telah ada sebelumnya. Meskipun belum jelas sejauh mana para pemimpin GAM dapat membatasi dampak negatif akibat perpecahan tersebut, hal ini tetap akan menjadi isu penting dan potensi sumber konflik dalam pelaksanaan pemilihan mendatang. Jelas bahwa dalam jangka pendek, perpecahan di tubuh GAM, seperti halnya persaingan antara GAM dan kelompok-kelompok elite lain, akan terus berperan dalam perebutan politik atas sumber daya di tingkat kabupaten/kota.

Page 77: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

Dinamika Pasca Pilkada

65

Terakhir, jaringan patronase yang terbangun selama pilkada menjangkau hingga tingkat desa dan memungkinkan terjadinya pengerahan atau mobilisasi warga desa atas dasar berbagai ketidakpuasan yang berkembang. Mobilisasi tersebut dapat dimanfaatkan untuk mencapai tujuan-tujuan politik tingkat desa, namun dapat juga memberi andil pada konflik politik di tingkat kabupaten/kota. Faktor-faktor tersebut secara bersama-sama menunjukkan bahwa sebagian dari jenis-jenis ketidakpuasan yang pada masa lalu telah mendorong terjadinya konflik separatis akan terus ada selama pemerintah daerah gagal menunaikan janji-janji mereka, dan selama proses pilkada dan proses-proses lainnya kurang efektif dalam mengelola persaingan politik di antara elite lokal. Mengingat konteks pasca konflik di Aceh, hal ini memunculkan momok mengenai akan berlanjutnya kekerasan di masa mendatang. Upaya memelihara perdamaian dalam jangka panjang bergantung pada upaya membangun tatakelola pemerintahan yang lebih baik dan cara-cara persaingan politik yang lebih sehat. Tentu saja, komitmen politik bagi proses perdamaian di kedua belah pihak masih tetap kuat, dan dalam jangka pendek tidak ada tanda-tanda bahwa konflik pusat-pinggiran akan muncul kembali. Namun, apabila sumber daya finansial yang berlimpah dan otonomi politik di Aceh disia-siakan dengan terbentuknya sistem kleptokrasi seperti di tempat lain, dan apabila politik lokal tetap berjalan berdasarkan patronase, yang secara otomatis akan mengakibatkan kebanyakan warga tidak dapat menikmati manfaat dari pembangunan, maka kecil peluang untuk membangun perdamaian yang abadi.

Page 78: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

VII. Kesimpulan dan Rekomendasi Pilkada pertama pada era pasca konflik di Aceh secara umum berlangsung damai, bebas, jujur dan adil, dan karena itu secara luas dipandang berhasil. Berbagai kelompok dan kepentingan politik yang saling bertentangan dapat diakomodasi; GAM dan pihak militer secara umum berhasil menahan diri untuk tidak melakukan intimidasi; pihak kepolisian dapat menjamin bahwa warga dapat memberikan suara dalam situasi yang aman; perilaku kampanye secara umum berlangsung damai; KIP secara umum dapat mengatasi tantangan-tantangan logistik, dan berhasil mencapai tingkat partisipasi pemilih yang tinggi; dan kecurangan surat suara dalam skala besar tidak terjadi. Namun, penelitian lapangan kami menemukan sejumlah persoalan di seputar pelaksanaan pilkada. Masalah-masalah itu secara keseluruhan menyingkap sisi lain dari kisah sukses di atas: kisah yang melibatkan soal penegakan prosedur pilkada yang lemah dan parsial; kelemahan dalam pengelolaan ketidakpuasan dan sengketa pilkada; nyaris tidak adanya dialog menyangkut kebijakan; mobilisasi melalui jaringan patron-klien; cara memilih dengan harapan memperoleh keuntungan personal atau bagi desanya; dan implementasi peraturan dana kampanye yang sangat tidak memadai. Berbagai kelemahan tersebut sangat mengurangi kemampuan pilkada pertama pada era pasca konflik di Aceh untuk membangun cara persaingan politik yang efektif dan untuk menyediakan landasan bagi tatakelola pemerintahan yang bersih, yang keduanya sangat penting bagi upaya membangun perdamaian yang berkelanjutan di Aceh. Analisis terhadap periode awal pasca pilkada pada tahun 2007 membuktikan adanya dinamika yang mendukung argumen kami. Aceh secara umum tetap merupakan sebuah demokrasi patronase, di mana persaingan politik terjadi melalui hierarki berbasis patronase dan unjuk kekuatan dari kelompok pendukung setia yang saling bersaing, daripada mencerminkan preferensi kebijakan warga. Keputusan-keputusan pemerintah melahirkan kontroversi lantaran para pendukung menuntut perlakuan istimewa sebagai imbalan atas dukungan politik mereka, para pendukung yang kecewa melakukan serangan politik terhadap para pemimpin, dan pihak-pihak yang tersingkir lainnya memprotes apa yang mereka lihat sebagai pengalokasian sumber daya pemerintah secara tidak adil. Tingginya tingkat pengangguran di kalangan pemuda, termasuk para mantan kombatan, berarti potensinya untuk konflik politik berubah menjadi kekerasan tetap tinggi. Selama praktek-praktek pemerintahan tetap neo-patrimonial, korup dan nepotistik (atau dipandang begitu), maka perilaku pemilih tetap akan terfokus pada mandapatkan hubungan dekat dengan calon-calon tertentu. Kampanye pemilihan pada gilirannya bertujuan untuk menarik para pemilih melalui janji-janji patronase, yang umumnya gagal dicegah melalui cara pelaksanaan pemilihan sekarang ini. Dengan cara ini, para pemimpin terpilih dalam kondisi yang mencondongkan mereka ke tatakelola pemerintahan yang korup. Untuk memutus lingkaran ini, aspek-aspek demokratisasi seperti kebebasan informasi, pendidikan, partisipasi politik, pengawasan pemilihan yang lebih baik, harus diperkuat bersamaan dengan upaya-upaya untuk memperbaiki tatakelola pemerintahan.

Page 79: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

Kesimpulan dan Rekomendasi

67

Menghadapi tantangan-tantangan ini dalam membangun demokrasi di Aceh akan membutuhkan perspektif jangka pendek maupun jangka panjang. Intervensi-intervensi jangka pendek dapat diterapkan khususnya untuk mengatasi masalah-masalah yang terkait dengan pelaksanaan pemilihan. Hal ini penting agar pemilihan mendatang, termasuk Pemilu legislatif tahun 2009, tidak mengulangi kesalahan-kesalahan yang terjadi pada pilkada tahun 2006 dan 2007. Sementara itu, perubahan-perubahan yang lain akan memerlukan waktu yang lebih lama, seperti membangun interaksi antara elite dan pemilih yang lebih demokratis (dan bukan didasari atas patronase), dan menciptakan struktur tatakelola pemerintahan dan budaya organisasi yang lebih sesuai dengan politik demokrasi. Sejumlah rekomendasi diusulkan untuk mencapai hal-hal itu. Rekomendasi-rekomendasi jangka pendek terutama ditujukan untuk lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi yang terlibat dalam pelaksanaan pemilihan di Indonesia, termasuk aktor negara maupun aktor masyarakat sipil. Sementara itu, rekomendasi-rekomendasi jangka panjang diperuntukkan bagi kalangan yang lebih luas, termasuk pemerintah, masyarakat sipil, kalangan akademisi serta badan-badan pembangunan.

1. Jangka Pendek: Memperbaiki Pelaksanaan Pemilihan Secara keseluruhan tujuan dari rekomendasi-rekomendasi ini adalah untuk memperkuat pelaksanaan kelembagaan pemilihan, untuk mengubah insentif-insentif yang pada saat ini melestarikan strategi-strategi kampanye dan perilaku pemilih yang didasarkan atas patronase, untuk mendorong penyampaian sikap kebijakan di kalangan calon maupun pemilih, dan untuk mengurangi potensi konflik politik yang melibatkan kekerasan dengan menaruh perhatian pada kebutuhan pihak mantan kombatan maupun kalangan pemuda lainnya.

1. Ketergantungan lembaga-lembaga pemilihan tingkat daerah pada DPRD hendaknya dihilangkan. Hal ini berlaku untuk tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota. Ketika lembaga-lembaga pemilihan tingkat kabupaten/kota (KIP dan Panwaslih) didanai oleh DPRD, dan anggota-anggota mereka dipilih, atau bahkan diusulkan, oleh DPRD, besar kemungkinan pertimbangan-pertimbangan yang bersifat partisan akan berdampak pada netralitas mereka. Para anggota KIP dan Panwaslih seharusnya dipilih dan didanai dari luar kabupaten/kota bersangkutan. Salah satu opsi yang dapat diambil adalah KIP tingkat lokal dipilih dan didanai oleh KIP pada tingkat yang lebih tinggi, dan Panwaslih pada tingkat yang lebih tinggi memilih dan membiayai Panwaslih pada tingkat lokal.

2. Hubungan antara lembaga pemilihan tingkat nasional, provinsi dan

kabupaten/kota hendaknya diperjelas. Tidak jelasnya yurisdiksi antara KIP kabupaten dan KIP NAD dan tidak jelasnya sanksi apabila sebuah kewajiban tidak dilaksanakan, telah memainkan peranan penting dalam konflik pasca pilkada di Aceh Tenggara. Apa yang terjadi jika KIP kabupaten tidak mengumumkan hasil pilkada pada batas waktunya? Dapatkah KIP NAD mengambil alih? Hal ini tidak jelas, dan menyebabkan munculnya kasus yang dibawa hingga ke Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Tanggung jawab kelembagaan antartingkat pemerintahan ini jelas perlu dipertegas, termasuk prosedur untuk memberhentikan

Page 80: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

Kesimpulan dan Rekomendasi

68

anggota yang tidak menunaikan kewajibannya atau terbukti melanggar syarat-syarat pengangkatan.

3. Kekuasaan Panwas vis-à-vis KIP hendaknya diperbesar. Fakta bahwa Panwaslih

kurang memiliki otoritas untuk membuat keputusan mengakibatkan rujukan dan rekomendasi yang dibuatnya umumnya diabaikan. Supaya Panwaslih (dan Panwaslu/Bawaslu untuk Pemilu) mampu menjalankan pengawasan terhadap pemilihan secara efektif dan non-partisan, ia memerlukan sumber pendanaan yang lebih besar dan lebih independen, serta kewenangan yang lebih besar untuk membuat keputusan.

4. Mekanisme penyelesaian sengketa hendaknya diperbaiki dengan cara

mempertegas sanksi apabila terjadi kasus yang tidak dilanjutkan serta dengan meningkatkan transparansi menyangkut kasus-kasus yang telah dilaporkan. Sanksi jika terdapat kasus yang tidak dilanjutkan, dengan batas waktu untuk penyelidikan dan pemrosesan, harus ditentukan secara jelas dan harus dilaksanakan. Lembaga-lembaga hendaknya diwajibkan untuk memublikasikan data yang akurat tentang berapa banyak kasus-kasus yang telah dilaporkan kepada mereka dan kasus-kasus yang telah diproses oleh mereka. Hal ini memungkinkan pihak-pihak yang terlibat dan masyarakat sipil untuk memantau berbagai pelanggaran dan penyelidikannya.

5. Berbagai kelemahan dalam peraturan mengenai dana kampanye harus diatasi,

dan harus dibuat prosedur pemantauan dana kampanye yang lebih efektif. Sistem pemantauan dana perlu dirumuskan secara lebih cermat. Perlu diperjelas sanksi untuk melanggar peraturan-peraturan tersebut, untuk menggunakan dana di luar rekening dana kampanye yang resmi, atau untuk menerima sumbangan ilegal. Para petugas Panwas hendaknya aktif memperkirakan pengeluaran dana kampanye melalui pengumpulan data secara sistematis, dan membandingkan perkiraan itu dengan aktivitas rekening kampanye. Seluruh calon, bukan saja pihak yang menang, hendaknya diharuskan melaporkan dana kampanye, dan informasi lengkap tentang sumber pendanaan untuk setiap calon harus disediakan untuk publik. Audit independen telah dimandatkan, namun pelaksanaannya perlu ditingkatkan.

6. Kapasitas civil society untuk memantau dana kampanye perlu dibangun. Sama

seperti program-program tatakelola pemerintahan yang lain, harus diciptakan tuntutan agar warga sendiri menjadi aktif dalam memantau dana kampanye para calon. Oleh sebab itu, dibutuhkan upaya untuk mendukung LSM-LSM dalam melaksanakan program partisipasi politik, dan memberi pelatihan yang lebih spesifik tentang bagaimana mengumpulkan data secara sistematis dan memperkirakan pengeluaran dana kampanye. Selain memantau berbagai pelanggaran, masyarakat sipil hendaknya juga melacak sumbangan kampanye yang legal dan melihat apakah ada konsesi-konsesi politik yang tidak sepatutnya telah diberikan kepada para pendukung kampanye.

7. Definisi politik uang harus diperjelas dan disosialisasikan kepada masyarakat.

Hal ini harus disertai dengan pendidikan tentang implikasi-implikasi politik uang

Page 81: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

Kesimpulan dan Rekomendasi

69

bagi tatakelola pemerintahan di masa mendatang. Panwaslih harus memiliki pendanaan yang cukup untuk melakukan kunjungan ke desa-desa dan menyelidiki secara pro-aktif kasus-kasus politik uang.

8. Netralitas para pejabat pemerintah harus dipantau secara lebih cermat, dan

sanksi harus diberikan kepada mereka yang bersikap memihak. Kami menemukan banyak laporan tentang sikap memihak atau partisan di kalangan pejabat pemerintah, bahkan keterlibatan langsung mereka dalam kampanye, seperti geuchik (kepala desa) dan camat. Diperlukan adanya sanksi yang jelas, dan bilamana ada pejabat pemerintah yang bertindak memihak, masyarakat perlu diberdayakan agar mereka mampu mengetahui bagaimana dan ke mana mereka harus melaporkan hal tersebut.

9. Diskusi-diskusi mengenai kebijakan harus diperbanyak selama masa kampanye.

Pada sisi permintaan, pihak donor dapat mendukung kelompok-kelompok masyarakat sipil di tingkat lokal untuk menyelenggarakan berbagai pertemuan di tingkat desa, kecamatan dan kabupaten/kota, untuk membantu memfasilitasi pengumpulan dan penyampaian prioritas warga pada umumnya. Pada sisi suplai, pihak donor, lagi-lagi melalui organisasi-organisasi tingkat lokal, dapat menyelenggarakan debat kampanye, di mana para calon akan didorong untuk menanggapi secara nyata prioritas-prioritas di tingkat lokal.

10. Diperlukan upaya untuk memfasilitasi penilaian berbasis riset mengenai rekam

jejak para calon. Pengumpulan dan penyebaran catatan berbasis riset akan membantu para pemilih dalam menilai rekam jejak para calon. Hal ini dapat meliputi informasi tentang karir bisnis mereka, atau kinerja mereka di dalam birokrasi atau lembaga legislatif.

11. Diperlukan upaya untuk mengorganisasikan ikrar untuk kebijakan dan

tatakelola pemerintahan yang baik, serta ikrar warga untuk menuntut dan memberi suara demi tatakelola pemerintahan yang baik. Dapat diselenggarakan berbagai forum di mana para calon dapat secara terbuka menandatangani ikrar. Ikrar tersebut sebaiknya mengandung komitmen spesifik tentang bagaimana para calon memiliki rencana untuk memperbaiki tatakelola pemerintahan, daripada sekadar melontarkan janji-janji yang tidak jelas. Para pemilih juga dapat didorong untuk menandatangani ikrar untuk menuntut dan memberi suara demi tatakelola pemerintahan yang baik sebagai suatu cara untuk menegaskan peran penting mereka dalam memilih para calon yang berorientasi pada perubahan (reformis).

12. Perlu diprioritaskan program-program untuk mengatasi pengangguran di

kalangan mantan kombatan dan para pemuda lainnya. Di tengah ketiadaan lapangan kerja, mantan kombatan dan para pemuda lainnya seringkali mengandalkan jaringan patron-klien untuk memperoleh keuntungan, namun jaringan semacam itu dapat dimanfaatkan untuk memobilisasi mereka untuk melakukan aksi-aksi kekerasan. Kemungkinan konflik politik berubah menjadi kekerasan akan cenderung menurun jika jumlah lapangan kerja bagi para mantan kombatan dan kalangan muda meningkat. Hal ini harus dilihat sebagai proritas

Page 82: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

Kesimpulan dan Rekomendasi

70

penting bagi perkembangan demokrasi serta perdamaian yang berkelanjutan di Aceh.

2. Jangka Panjang: Membangun Landasan Demokrasi yang Sehat Secara keseluruhan rekomendasi-rekomendasi ini bertujuan untuk menetapkan berbagai insentif yang akan mempersulit pembuatan keputusan-keputusan menyangkut tatakelola pemerintahan yang didasarkan atas distribusi patronase, untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai isu-isu tatakelola pemerintahan, dan untuk meningkatkan kapasitas para politisi dan partai-partai dalam menyampaikan isu-isu kebijakan.

1. Perlu dilakukan penelitian untuk memahami secara lebih baik bagaimana para pemimpin politik menyebarkan patronase. Sebagian dari metode utama untuk menyebarkan patronase telah diketahui: membagi-bagikan kontrak konstruksi pemerintah yang menggiurkan; merekrut individu-individu sebagai pegawai negeri sipil; memberikan perizinan untuk eksplorasi sumber daya alam; dan memberikan uang tunai. Namun, mungkin ada banyak cara lain untuk menyebarkan patronase yang dapat membahayakan tatakelola pemerintahan yang baik, dan hal itu perlu diketahui agar dapat diberantas.

2. Perlu dibentuk organisasi pemantau kontrak (contract watch). Salah satu metode

lazim untuk menyebarkan patronase adalah menggelembungkan (mark-up) nilai kontrak pemerintah. Sebuah organisasi ‘pemantau kontrak’ yang independen harus didirikan, dan harus dipersiapkan untuk memantau seluruh kontrak pemerintah, termasuk proses pengadaan, dan untuk menilai apakah kontrak telah dijalankan dengan semestinya.

3. Diperlukan upaya untuk memfasilitasi transparansi yang lebih baik dan

pengawasan terhadap proses-proses di mana patronase disebarkan. Misalnya, diperlukan adanya audit oleh masyarakat sipil terhadap proses perekrutan pegawai negeri sipil, termasuk dilakukan pemantauan terhadap kekayaan pribadi para pejabat pembuat keputusan beserta keluarga mereka, serta dilakukannya wawancara terhadap para pelamar yang sukses maupun yang gagal. Penelitian lain menemukan bahwa para pelamar yang berhasil seringkali mengaku telah memberi uang suap dalam jumlah yang besar. Proses pengadaan untuk kontrak pemerintah juga perlu diaudit secara independen, di mana hasil auditnya terbuka untuk mata publik, dan para pembuat keputusan harus menjadi sasaran pemeriksaan kekayaan. Perhatian juga perlu diberikan pada soal bagaimana desa-desa penerima proyek pembangunan pemerintah dipilih. Sanksi harus diberikan dengan tegas dan cepat terhadap mereka yang terbukti melakukan kejahatan dalam jabatan birokrasi mereka.

4. Perlu difasilitasi upaya pemantauan oleh civil society terhadap jaringan

patronase. LSM-LSM lokal seringkali memiliki banyak pengetahuan tentang tokoh-tokoh politik lokal dan koneksi yang mereka miliki dengan para pengusaha dan tokoh-tokoh elite lainnya. Membuat pemetaan terhadap koneksi tersebut akan

Page 83: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

Kesimpulan dan Rekomendasi

71

membantu upaya-upaya untuk memantau hubungan patronase ketika pemimpin terpilih naik ke tampuk kekuasaan.

5. Perlu diperluas penyebaran informasi dan media komunikasi (yakni surat kabar,

radio, TV). Banyak pemilih dalam pilkada di Aceh yang hanya sedikit mengetahui tentang para calon dan proses pilkada. Hal ini dapat ditingkatkan secara bertahap melalui program pendidikan politik yang berkesinambungan dengan sasaran yang luas melalui media massa.

6. Perlu diberikan dukungan kepada jurnalisme investigatif yang independen.

Media di Aceh telah memainkan peran dalam memberitakan masalah-masalah dalam pilkada di Aceh, akan tetapi ada lebih banyak hal yang dapat dilakukan. Jurnalisme investigatif jarang ada di tingkat provinsi, dan bahkan tidak ada pada tingkat yang lebih rendah. Para jurnalis terbenam dalam hubungan patronase dengan para elite. Untuk melawan hal ini, diperlukan dukungan untuk meningkatkan standar jurnalisme, kebijakan redaksi termasuk dalam pemilihan artikel dan proses penyuntingan/peninjauan, serta teknik-teknik jurnalisme investigatif.

7. Diperlukan upaya untuk memfasilitasi diskusi yang lebih aktif menyangkut isu-

isu tatakelola pemerintahan dan diberikan mandat untuk musyawarah dengan warga dalam pengembangan prioritas-prioritas dan kebijakan pemerintah daerah. Kebanyakan warga hanya mengetahui sedikit mengenai bagaimana keputusan-keputusan kebijakan dibuat, dan hanya menunggu untuk melihat apakah desa mereka akan menerima proyek pembangunan. Untuk meningkatkan partisipasi nyata dalam keputusan-keputusan menyangkut tatakelola pemerintahan, warga perlu memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai bagaimana program dikembangkan dan didistribusikan. Ini merupakan proses jangka panjang. Salah satu cara untuk memulainya adalah dengan memandatkan musyawarah antara pejabat dan warga.

8. Diperlukan upaya untuk memperkuat kapasitas teknis partai-partai politik

tingkat lokal maupun nasional dalam mengembangkan dan menjelaskan kebijakan sosial dan ekonomi. Ini dapat mencakup bantuan dalam melakukan jajak pendapat terhadap para pemilih, mengidentifikasi isu-isu penting bagi pemilih, strategi kampanye dan sebagainya.

9. Perlu diatur ketentuan bahwa para pemimpin yang baru terpilih diperbolehkan

mempertahankan para ahli strategi kampanye mereka sebagai para penasihat kebijakan. Kontroversi menyangkut tim ahli antara lain disebabkan karena tidak adanya ketentuan-ketentuan yang mengatur soal ini. Namun, memperbolehkan para pemimpin untuk merekrut orang-orang ini bukan hanya dapat mengurangi kebutuhan mereka untuk memberikan bentuk imbalan lain (yang ilegal) kepada orang-orang itu, tetapi juga memfasilitasikan kesinambungan antara kampanye politik dan kebijakan-kebijakan pascapemilihan.

Page 84: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

Daftar Pustaka Antlöv, Hans (2003). “The Social Construction of Power and Authority in Java”, in Hans

Antlöv and Jörgen Hellman, The Java That Never Was: Academic Theories and Practical Policies. Piscataway, NJ: Transaction Publishers, pp. 43-66.

——— (2004). “National Elections, Local Issues: The 1997 and 1999 National elections in a Village on Java”, in Hans Antlöv and Sven Cederroth, Elections in Indonesia: The New Order and Beyond. New York, NY: Routledge Curzon.

Anderson, Benedict (1972). Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance, 1944-46. Ithaca, NY: Cornell University Press.

——— (1990). Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia. Ithaca, NY: Cornell University Press.

Aspinall, Edward (2006). “Violence and Identity Formation in Aceh Under Indonesian Rule,” in Anthony Reid (ed.), Verandah of Violence: the Background to the Aceh Problem. Singapore: Singapore University Press, pp. 149-178.

——— (2007). “Guerillas in Power”. Inside Indonesia 90: Oct-Dec 2007. Available at http://insideindonesia.org/content/view/616/47/

Barnes, Samuel H. (2001). “The Contribution of Democracy to Rebuilding Postconflict Societies.” American Journal of International Law 95(1): 86-101.

Barron, Patrick and Samuel Clark (2006). “Decentralizing Inequality? Center-Periphery Relations, Local Governance and Conflict.” Conflict Prevention and Reconstruction Paper No. 39. Washington, DC: World Bank.

Barron, Patrick, Samuel Clark and Muslahuddin Daud (2005). Conflict and Recovery in Aceh: An Assessment of Conflict and Options for Supporting the Peace Process. Jakarta/Banda Aceh: World Bank/DSF.

Barron, Patrick, Melina Nathan, and Bridget Welsh (2005). “Consolidating Indonesia’s Democracy: Conflict, Institutions and the ‘Local’ in the 2004 Legislative Elections.” Conflict Prevention and Reconstruction Paper No. 31. Washington, DC: World Bank.

Barron, Patrick, and Joanne Sharpe (2005). “Counting Conflicts: Using Newspaper Reports to Understand Violence in Indonesia.” Conflict Prevention and Reconstruction Paper No. 25. Washington, DC: World Bank.

Bastion, Sunil and Robin Luckham (2003). Can Democracy be Designed? The Politics of Institutional Choice in Conflict-torn Societies. London and New York: Zed Books.

Brown, David (1994). The State and Ethnic Politics in South-East Asia. London and New York: Routledge.

Buehler, Michael and Paige Tan (2007). “Party-Candidate Relationships in Indonesian Local Politics: A Case Study of the 2005 Regional Elections in Gowa, South Sulawesi Province.” Indonesia 84 (October 2007):1-30.

Page 85: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

Daftar Pustaka

73

Carter Center (2005). “The Carter Center 2004 Indonesia Election Report”. Available at: http://www.cartercenter.org/documents/2161.pdf

Eisenstadt, Samuel (1973). Traditional Patrimonialism and Modern Neo-patrimonialism. Beverly Hills: Sage Publications.

EU-EOM (2007). “European Union Election Observation Mission – Final Report.” Available at: http://ec.europa.eu/external_relations/human_rights/eu_election_ass_observ/aceh/

Fischer, Jeff (2002). “Electoral Conflict and Violence: A Strategy for Study and Prevention.” IFES White Paper 2002-01. Washington, DC: IFES.

Geertz, Clifford (1980). Negara: The Theatre State in Nineteenth-century Bali. Princeton: Princeton University Press.

Goodwin, Guy (2006). Free and Fair Elections. Geneva: Inter-Parliament Union. Hadenius, Axel (ed.) (2003). “Decentralization and Democratic Governance: Experiences

from Bolivia, India and South Africa.” EGDI Study 2003(3). Uppsala: Department of Government, Uppsala University.

Hadiz, Vedi R. (2003). “Power and Politics in North Sumatra: The Uncompleted Reformasi,” in Edward Aspinall and Greg Fealy, Local Power and Politics in Indonesia: Decentralisation and Democratisation. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.

Heeger, Gerald (1974). Politics of Underdevelopment. London: Macmillan. Hidayat, Syarif (2007). “‘Shadow State’?: Business and Politics in the Province of Banten,”

in Henk Schulte Nordholt and Gerry van Klinken (eds.). Renegotiating Boundaries: Local Politics in Post-Suharto Indonesia. Leiden: KITLV Press.

Hing, Lee Kam (2006). “Aceh at the Time of the 1824 Treaty,” in Anthony Reid (ed.), Verandah of Violence: the Background to the Aceh Problem. Singapore: Singapore University Press, pp. 72-95.

Hohe, Tanja (2002). “Totem Polls: Indigenous Concepts and ‘Free and Fair’ Elections in East Timor.” International Peacekeeping 9(4): 69-88.

IFES (2007). “Opinions and Information on the Pilkada Aceh Elections 2006: Key Findings from an IFES Survey”. Briefing. Available at: www.ifes.org/research.

Indonesian Corruption Watch, n.d. TOR Pembuatan Kertas Posisi Untuk Usulan Perubahan Aturan Keuangan Politik (Political Finance) di dalam Undang-undang Politik. Tidak diterbit. Diakses pada 12 Maret 2008 di: www.antikorupsi.org/docs/draftkertasposisiaturandanapolitik.pdf.

International Crisis Group (2006). “Aceh’s Local Elections: The Role of the Free Aceh Movement (GAM).” Asia Briefing No. 57. 29 November 2006, Jakarta/Brussels.

——— (2007). “Indonesia: How GAM Won in Aceh.” Asia Briefing No. 61. 22 March 2007, Jakarta/Brussels.

Kitschelt, Herbert and Steven Wilkinson (eds.) (2007). Patrons, Clients and Policies: Patterns of Democratic Accountability. Cambridge: Cambridge University Press.

Page 86: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

Daftar Pustaka

74

Kompas, September 11 2007. “Proyek-proyek BRR terindikasi korupsi”. Diakses di: http://www.ti.or.id/news/45/tahun/2007/bulan/09/tanggal/11/id/1956.

Lyons, Terence (2002). “The Role of Postsettlement Elections,” in John Stedman, Donald Rothchild and Elizabeth M. Cousens (eds.) Ending Civil Wards: The Implementation of Peace Agreements. Boulder, CO: Lynne Rienner.

——— (2004). “Post-Conflict Elections and the Process of Demilitarizing Politics: The Role of Electoral Administration.” Democratization 11(3): 36-62.

MacDougall, John M. (2007). “Criminality and the Political Economy of Security in Lombok,” in Henk Schulte Nordholt and Gerry van Klinken (eds.). Renegotiating Boundaries: Local Politics in Post-Suharto Indonesia. Leiden: KITLV Press.

McGibbon, Rodd (2006). “Local Leadership and the Aceh Conflict,” in Anthony Reid (ed.), Verandah of Violence: The Background to the Aceh Problem. Singapore: Singapore University Press, pp. 315-359.

McLeod, Ross and Andrew MacIntyre (2007). Democracy and the Promise of Good Governance. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.

Mehler, Andreas (2002). “Decentralization, Division of Power and Crisis Prevention: A Theoretical Exploration with Reference to Africa,” in Debiel Thobias and Axel Klein (eds.) Fragile Peace, State Failure, Violence and Development in Crises Regions. London: Zed Books.

Mietzner, Marcus (2007a). “Party Financing in Post-Soeharto Indonesia: Between State Subsidies and Political Corruption”, Contemporary Southeast Asia 29/2, pp. 238-263.

——— (2007b). “Local Elections and Autonomy in Papua and Aceh: Mitigating or Fuelling Secessionism?”, Indonesia 84, Oct 2007, pp. 1-39.

Morris, Eric Eugene (1983). “Islam and Politics in Aceh: A Study of Center-Periphery Relations in Indonesia,” PhD Thesis, Cornell University.

National Law No. 12 (2003). On General Elections for Representatives of the People’s Representative Council, Regional Representatives Council, and Regional People’s Legislative Assemblies.

National Law No. 23 (2003). On General Elections for the President and Vice President. Ottaway, Marina (1998). “Angola’s Failed Elections,” in Krishna Kumar (ed.) (1998)

Postconflict Elections, Democratization, and International Assistance. Boulder, CO: Lynne Rienner.

Ottaway, Marina (2002). “Rebuilding State Institutions in Collapsed States,” Development and Change 33(5): 1001-23.

Qanun No. 2 (2004) tentang Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Qanun No. 3 (2005) tentang Perubahan Atas Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati Dan Walikota/Wakil Walikota Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Page 87: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

Daftar Pustaka

75

Qanun No. 7 (2006) tentang Perubahan Kedua Atas Qanun Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Rakyat Aceh, 4 Januari 2007. “Dewan dan Camat dilaporkan warga ke Panwaslih”.

Reid, Anthony (1993). Southeast Asia in the Early Modern Era: Trade, Power, and Belief. Ithaca, NY: Cornell University Press.

Reid, Anthony (ed.) (2005). An Indonesian Frontier: Acehnese and Other Histories of Sumatra. Singapore: Singapore University Press.

Reid, Anthony (2006). “Colonial Transformation: A Bitter Legacy,” in Anthony Reid (ed.), Verandah of Violence: the Background to the Aceh Problem. Singapore: Singapore University Press, pp. 96-108.

Saraswati, Muninggar Sri (2004). “Puteh to sit in the dock.” The Jakarta Post, 18 Desember 2004.

Schulze, Kristen E. (2004). “The Free Aceh Movement (GAM): Anatomy of a Separatist Organization.” Policy Studies No. 2. Washington DC: East-West Center.

Scott, James (1972). “Patron Client Politics and Political Change in Southeast Asia.” The American Political Science Review 66:1, pp. 91-113.

Serambi Indonesia, January 6 2007. “Seluruh anggota KIP menghilang”. Accessed at http://www.serambinews.com/old/index.php?aksi=bacaberita&rubrik=1&topik=11&beritaid=23882.

Sulaiman, M. Isa and Gerry van Klinken (2007). “The Rise and Fall of Governance Puteh” in Henk Schulte Nordholt and Gerry van Klinken (eds.). Renegotiating Boundaries: Local Politics in Post-Suharto Indonesia. Leiden: KITLV Press.

Tendler, Judith (2000). “Why are Social Funds so Popular?,” in Shahid Yusuf, Weiping Wu, and Simon Evenett (eds.) Local Dynamics in an Era of Globalization. New York: Oxford University Press, pp. 114-129.

World Bank and UNDP (2006a). Laporan Dinamika Pilkada Aceh – Edisi Pertama. Tersedia di: www.conflictanddevelopment.org.

——— (2006b). Laporan Dinamika Pilkada Aceh – Edisi Kedua. Tersedia di: www.conflictanddevelopment.org.

——— (2006c). Laporan Dinamika Pilkada Aceh – Edisi Ketiga. Tersedia di: www.conflictanddevelopment.org.

World Bank (2006). Aceh Public Expenditure Analysis: Spending for Reconstruction and Poverty Reduction. Banda Aceh/Jakarta: World Bank/DSF.

——— (2007a). Laporan Pemantauan Konflik di Aceh–Agustus 2007. Tersedia di: www.conflictanddevelopment.org.

——— (2007b). Laporan Pemantauan Konflik di Aceh–September 2007. Tersedia di: www.conflictanddevelopment.org.

——— (2007c). Laporan Pemantauan Konflik di Aceh–Oktober 2007. Tersedia di: www.conflictanddevelopment.org.

Page 88: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

Daftar Pustaka

76

——— (2007d). Laporan Pemantauan Konflik di Aceh–November 2007. Tersedia di: www.conflictanddevelopment.org.

——— (2007e). Laporan Pemantauan Konflik di Aceh–Desember 2007. Tersedia di: www.conflictanddevelopment.org.

——— (2008a). Aceh Poverty Assessment 2008: The Impact of the Conflict, the Tsunami and Reconstruction on Poverty in Aceh. Jakarta: World Bank.

——— (2008b). Laporan Pemantauan Konflik di Aceh–Januari-Februari 2008. Tersedia di: www.conflictanddevelopment.org.

——— (2008c). Laporan Pemantauan Konflik di Aceh–Maret-April 2008. Tersedia di: www.conflictanddevelopment.org.

Page 89: PILKADA DAMAI, DEMOKRASI YANG RAPUH - …psflibrary.org/catalog/repository/Aceh Pilkada report_indo.pdf · Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami ... Runtuhnya rezim Orde Baru, terjadinya

77

Indonesian Social Development Papers No. Title Language Author(s) Date 1 The Dynamics of District Governance: Forums, English Luthfi Ashari May 2004 Budget Processes and Transparency Dynamika Pemerintahan Kabupaten: Forum, Indonesian Perencanaan Anggaran dan Transparansi 2 Violence and Conflict Resolution in Non-Conflict English Patrick Barron Aug 2004 Regions: The Case of Lampung, Indonesia David Madden 3 Mobilizing for Violence: The Escalation and English Yuhki Tajima Aug 2004 Limitation of Identity Conflicts 4 More Than Just Ownership: Ten Land and English Samuel Clark (ed.) Dec 2004 Natural Resource Conflict Case Studies from East Java and Flores Bukan Sekedar Persoalan Kepemilikan: Indonesian Sepuluh Studi Kasus Konflik Tanah dan Sumber Daya Alam dari Jawa Timur dan Flores 5 Crisis, Social Ties, and Household Welfare: English Anna Wetterberg Apr 2005 Testing Social Capital Theory with Evidence From Indonesia 6 Village Corruption in Indonesia: Fighting English Andrea Woodhouse Apr 2005 Corruption in Indonesia's Kecamatan Development Program 7 Counting Conflicts: Using Newspaper Reports English Patrick Barron May 2005 to Understand Violence in Indonesia Joanne Sharpe 8 Aceh: Reconstruction in a Conflict Environment English Adam Burke Oct 2005 Afnan 9 Media Mapping: Understanding Communications English Joanne Sharpe Apr 2007 Environments in Aceh Imogen Wall 10 Conflict and Community Development in English Patrick Barron Jul 2006 Indonesia: Assessing the Impact of the Kecamatan Rachael Diprose Development Program Michael Woolcock 11 Peaceful Pilkada, Dubious Democracy: English Samuel Clark Nov 2008 Aceh’s Post-Conflict Elections Blair Palmer and their Implications Papers are available on-line at www.conflictanddevelopment.org