43
Nama : Widiandika Triwibowo NIM : B.131.13.0525 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Selain UU MD3 yang telah disahkan pada 8 Juli 2014, saat ini ada RUU yang juga cukup menyita perhatian publik, yaitu RUU Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang telah disahkan pada Paripurna DPR RI 25 September 2014. Perdebatan sentralnya adalah Pilkada Langsung dan Pilkada Tidak Langsung via DPRD. Untuk membahasnya, kita akan membahasnya dari segi sejarah pembentukan, konstitusi, konfigurasi politik dan perkembangan demokrasi. UU No. 17 Tahun 2014 ttg MD3 (MPR, DPR, DPD dan DPRD) ini, diketok palu untuk disepakati menjadi undang- undang satu hari menjelang Pilpres 2014, tepatnya hari Selasa 8 Juli 2014. Dapat dibayangkan waktu itu, energi publik sedang tersedot pada pelaksanaan Pilpres 2014. Akibatnya banyak hal yang luput dari pengawasan publik terhadap revisi UU No. 27 Tahun 2009 tersebut. Karena itu, tidak heran ada berbagai masalah dalam UU MD3 yang baru ini. Banyaknya pihak yang mengajukan judicial review terhadap UU MD3 yang baru ini, menjadi salah satu indikasi masih banyak permasalahan yang belum tuntas dalam pembahasan uu tersebut. Secara sosiologis-politis, hal ini dapat dipahami karena UU MD3 ini mengatur pembagian kekuasaan 1

Makalah UU Pilkada

Embed Size (px)

DESCRIPTION

PPKN makalah pilkada

Citation preview

Page 1: Makalah UU Pilkada

Nama : Widiandika TriwibowoNIM : B.131.13.0525

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Selain UU MD3 yang telah disahkan pada 8 Juli 2014, saat ini ada RUU yang

juga cukup menyita perhatian publik, yaitu RUU Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)

yang telah disahkan pada Paripurna DPR RI 25 September 2014. Perdebatan

sentralnya adalah Pilkada Langsung dan Pilkada Tidak Langsung via DPRD. Untuk

membahasnya, kita akan membahasnya dari segi sejarah pembentukan, konstitusi,

konfigurasi politik dan perkembangan demokrasi.

UU No. 17 Tahun 2014 ttg MD3 (MPR, DPR, DPD dan DPRD) ini, diketok

palu untuk disepakati menjadi undang-undang satu hari menjelang Pilpres 2014,

tepatnya hari Selasa 8 Juli 2014. Dapat dibayangkan waktu itu, energi publik sedang

tersedot pada pelaksanaan Pilpres 2014. Akibatnya banyak hal yang luput dari

pengawasan publik terhadap revisi UU No. 27 Tahun 2009 tersebut. Karena itu, tidak

heran ada berbagai masalah dalam UU MD3 yang baru ini.

Banyaknya pihak yang mengajukan judicial review terhadap UU MD3 yang

baru ini, menjadi salah satu indikasi masih banyak permasalahan yang belum tuntas

dalam pembahasan uu tersebut. Secara sosiologis-politis, hal ini dapat dipahami

karena UU MD3 ini mengatur pembagian kekuasaan khususnya partai politik yang

masuk ke parlemen. Karenanya benturan kepentingan akan sangat terasa. Konfigurasi

politik yang ada yakni Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Pendukung Jokowi-JK

turut memberikan andil terhadap hasil pembahasan UU MD3 ini.

2. Rumusan Masalah

a. Apakah yang dimaksud UU MD3?

b. Apakah latar belakang terbentuknnya UU No.17 Tahun 2014 (MD3)?

c. Memuat tentang apakah UU No.17 Tahun 2014 (MD3)?

d. Apakah yang dimaksud UU Pilkada?

e. Bagaimana sejarah lahirnya UU Pilkada?

f. Bagaimana perspektif tentang UU Pilkada?

1

Page 2: Makalah UU Pilkada

Nama : Widiandika TriwibowoNIM : B.131.13.0525

BAB II

ANALISA

1. Latar Belakang Pembentukan UU No. 17 Tahun 2014 ttg MD3

UU No. 27 Tahun 2009 ttg MD3 (UU MD3 Lama) didesain untuk

memposisikan parlemen (MPR, DPR, DPD dan DPRD) sebagai lembaga legislatif

yang kokoh dan berwibawa. Namun pada taraf implementasinya, dipandang banyak

mengandung kelemahan. Parlemen (khususnya DPR), selama 2009-2014 ini menjadi

salah satu lembaga yang paling disorot dan diberi cap “buruk”. Baik dalam kinerjanya

maupun dalam tingkah lakunya (banyak yang terjerat korupsi, ada pula yang

melakukan perbuatan tercela). Tak sedikit pula yang mengujinya di Mahkamah

Konstitusi. Karena itu tak mengherankan, dari tahun 2010 (padahal usianya baru 2

tahun), telah dimasukkan RUU Revisi ttg UU 28 Tahun 2009 dalam Prolegnas 2011

(Prolegnas Nomor 26), tahun 2012 (Prolegnas Nomor 40 ) , tahun 2013 (Prolegnas

Nomor 48), dan tahun 2014 (Prolegnas Nomor 37) untuk dilakukan perubahan.

Secara umum, kita bisa melihat nuansa kebatinan Anggota DPR yang merasa

prihatin terhadap kondisi DPR yang “terinjak-injak” menjadi bahan pergunjingan

dimedia massa dan masyarakat. Disebut sarang koruptor, tak aspiratif, dan

sebagainya. Karena sebagai pemilik kewenangan membentuk undang-undang, mereka

pun bersepakat merubah UU MD3 agar mampu keluar dari gunjingan masyarakat

tersebut.

Dalam pengantar pembahasan Revisi UU MD3 ini, Ketua Pansus, Beni K.

Harman, misalnya menyebut “Ada keinginan dari Dewan untuk mereformasi

parlemen, agar bisa kuat, akuntabel, dan kedap korupsi. Inilah desain besar dari

parlemen ke depan”, Kemudian Wakil Ketua Pansus, Ahmad Yani menyebut

“latar belakang perubahan UU MD3 di antaranya belum tertatanya alat kelengkapan

dewan di DPR. Selain itu relasi antarlembaga parlemen terutama DPR dan DPD

belum tertata dengan baik. Kesekjenan DPR juga perlu diperkuat lewat perubahan

UU MD3 ini. Argumentasi lainnya dari perubahan ini adalah MPR dan DPD selama

ini dalam menjalankan kewenangannya masih terjebak pada seremonial kenegaraan

saja. Lalu, kedudukan DPD juga masih lemah, karena menjadi bagian dari birokrasi

Pemda.”

2

Page 3: Makalah UU Pilkada

Nama : Widiandika TriwibowoNIM : B.131.13.0525

Berikut ini ulasan terkait isu-isu yang dipermasalahkan sesuai dengan yang

menjadi fokus diskusi:

Isu Hak untuk Mengusulkan dan Memperjuangkan Program Aspirasi

Pembangunan Daerah Pemilihan Oleh Anggota DPR

Hak ini, terdapat dalam Pasal 80 huruf (j) bahwa Anggota DPR berhak

mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihannya.

Hak ini muncul dengan berbagai alasan, yaitu

Sistem pemilu legislatif yang memilih langsung Anggota DPR, membuat Caleg

banyak mengumbar janji, sehingga harus dibukakan kanal terhadap pelaksanaan

janji tersebut. Sehingga hak ini sebagai respon Anggota DPR yang sering ditagih

konstituennya di daerah dalam memperjuangkan progam pembangunan daerah.

Sebagai respon terhadap klaim eksekutif baik pusat maupun daerah terkait

program pembangunan daerah, sehingga Anggota DPR sering dianggap tidak

dapat bekerja dan merealisasikan pembangunan daerah.

Karena itu, kita dapat melihat bahwa hak ini merupakan hak yang wajar

muncul akibat sistem pemilu dan budaya masyarakat ketika bertemu pejabat akan

menagih kemampuannya memperjuangkan pembangunan daerahnya. Apalagi,

berdasarkan studi banding dengan parlemen di Amerika Serikat, Anggota

Parlemennya memiliki anggaran khusus untuk program pembangunan.

Hak memperjuangkan program pembangunan di daerah pemilihan ini juga

merupakan implikasi sumpah Anggota DPR yang tertuang dalam Pasal 78 UU 17

Tahun 2014 ttg MD3:

“Demi Allah (Tuhan) saya bersumpah/berjanji:

bahwa saya, akan memenuhi kewajiban saya sebagai anggota/ketua/wakil ketua

Dewan Perwakilan Rakyat dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, sesuai dengan

peraturan perundang-undangan, dengan berpedoman pada Pancasila dan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

bahwa saya dalam menjalankan kewajiban akan bekerja dengan sungguh-sungguh,

demi tegaknya kehidupan demokrasi, serta mengutamakan kepentingan bangsa dan

negara daripada kepentingan pribadi, seseorang, dan golongan;

3

Page 4: Makalah UU Pilkada

Nama : Widiandika TriwibowoNIM : B.131.13.0525

bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya wakili untuk

mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan

Republik Indonesia.”

Hal memperjuangkan aspirasi rakyat yang diwakili tersebut juga merupakan

kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 81 khususnya huruf (e)[11], (i)[12] dan (j)

[13]. Karena itu, secara sistematis dengan keberadaan sumpah dan kewajiban

memperjuangkan aspirasi rakyat, maka juga diberikan hak mengusulkan dan

memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan.

Selanjutnya, hal tersebut diatur dalam Tata Tertib DPR yang disahkan dalam

Paripurna DPR Selasa, 16 September 2014. Dalam Pasal 195 disebutkan:

  Anggota berhak mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan

daerah pemilihan.

Usulan program sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diintegrasikan ke dalam

program pembangunan nasional dalam APBN.

Usulan program sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berasal dari inisiatif

sendiri, pemerintah daerah, atau aspirasi masyarakat di daerah pemilihan.

Dalam melaksanakan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap Anggota

diberi kesempatan untuk menyampaikan aspirasi dari tiap-tiap daerah

pemilihannya selama 1 (satu) menit atau setara 1 (satu) lembar kertas A4 pada

setiap rapat paripurna DPR.

Paling lambat (1) hari sebelum rapat paripurna DPR sebagaimana dimaksud

pada ayat (3) dilaksanakan, Anggota mendaftarkan usulan program sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) kepada Sekretariat Jenderal DPR.

Pimpinan DPR meneruskan usulan program sebagaimana dimaksud pada ayat

(2) kepada komisi terkait untuk dibahas dengan mitra kerja.

Hasil pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disampaikan kepada

Badan Anggaran untuk disinkronisasikan.

Badan Anggaran menyampaikan hasil sinkronisasi sebagaimana dimaksud pada

ayat (7) kepada komisi terkait dan selanjutnya komisi terkait memberitahukan

kepada Anggota yang mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan

di daerah pemilihannya.

4

Page 5: Makalah UU Pilkada

Nama : Widiandika TriwibowoNIM : B.131.13.0525

Anggota yang bersangkutan memberitahukan tindak lanjut usulan program

sebagaimana dimaksud pada ayat (8) kepada konstituen di daerah pemilihannya.

Melihat hak mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah

tersebut, beserta mekanismenya, maka ada sisi positif dan negatifnya. Sisi positifnya

adalah terjalinnya hubungan yang erat antara wakil rakyat dengan rakyat di daerah

pemilihannya, karena setiap aspirasi dapat diperjuangkan menjadi program

pemerintah. Namun sisi negatifnya adalah (1) tidak ada standar yang dipergunakan

Anggota DPR untuk setiap program yang diusulkan, (2) sangat mungkin terjadi jual

beli program termasuk pungli terhadap masyarakat yang mengajukan program.

Ujung-ujungnya adalah hak ini bisa berujung pada tindakan koruptif yang tidak sehat

bagi pembangunan bangsa.

Dari aspek hukum tata negara yaitu teori pemisahan kekuasaan dalam 3

cabang (eksekutif, legislatif, dan yudikatif), telah dipisahkan masing-masing

kewenangan. Maka kewenangan membentuk program pembangunan adalah

kewenangan eksekutif bukan legislatif. Karena itu hak mengusulkan program ini

dapat dikategorikan sebagai bentuk kekuasaan legislatif mencampuri urusan

kekuasaan eksekutif.

Parlemen dalam hal ini DPR mempunyai 3 (tiga) fungsi, yaitu legislasi,

pengawasan dan anggaran. Apabila DPR dengan fungsi anggarannya (memberikan

persetujuan atau tidak memberikan persetujuan APBN), kemudian dijadikan

pertimbangan atau bahkan menekan eksekutif sebagai bargaining position untuk

mengakomodir usul program pembangunan dapil dari Anggota DPR, maka dapat

disebut juga sebagai penyalah gunaan kewenangan. Ini karena, hak budget parlemen

adalah hak untuk memberikan persetujuan atau memberikan persetujuan terhadap

rasionalitas APBN yang diajukan pemerintah,[14] bukan karena belum

diakomodirnya usulan program pembangunan dari Anggota DPR. Selayaknya,

memperjuangkan program pembangunan itu di eksekutif melalui Musyawarah

Rencana Pembangunan (Musrenbang) dari tingkat desa, kabupaten/kota, provinsi

sampai tingkat nasional. Kekuasaan DPR harusnya dibatasi pada koridor-koridor

pemisahan kekuasaan, sehingga dapat dihindarkan konflik kepentingan dan

penyalahgunaan kekuasaan.

5

Page 6: Makalah UU Pilkada

Nama : Widiandika TriwibowoNIM : B.131.13.0525

2. Mengenai Imunitas Hukum Bagi Anggota DPR

Terkait dengan Imunitas ini, dalam UU No. 17 Tahun 2014 ttg MD3, diatur dalam

Bab II Paragraf 6, Pasal 224 yang terdiri dari 7 Ayat:

Pasal 224

(1) Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan,

pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun

tertulis di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi

serta wewenang dan tugas DPR.

(2) Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena sikap, tindakan,

kegiatan di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang semata-mata karena

hak dan kewenangan konstitusional DPR dan/atau anggota DPR.

(3) Anggota DPR tidak dapat diganti antarwaktu karena pernyataan, pertanyaan,

dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik di dalam rapat DPR maupun di luar

rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR.

(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal anggota

yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati dalam rapat tertutup

untuk dirahasiakan atau hal lain yang dinyatakan sebagai rahasia negara menurut

ketentuan peraturan perundang-undangan.

(5) Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga

melakukan tindak pidana sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) harus mendapatkan

persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan.

(6) Mahkamah Kehormatan Dewan harus memproses dan memberikan putusan atas

surat pemohonan tersebut dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) Hari

setelah diterimanya permohonan persetujuan pemanggilan keterangan tersebut.

(7) Dalam hal Mahkamah Kehormatan Dewan memutuskan tidak memberikan

persetujuan atas pemanggilan angggota DPR, surat pemanggilan sebagaimana

dimaksud pada ayat (5) tidak memiliki kekuatan hukum/batal demi hukum.

6

Page 7: Makalah UU Pilkada

Nama : Widiandika TriwibowoNIM : B.131.13.0525

Dengan melihat secara utuh Pasal 224 tentang Imunitas Anggota DPR ini, maka

secara rasional kita akan mengatakan Pasal tersebut adalah benar. Karena, selaku

anggota parlemen yang tugas utama berbicara (parle = bicara), maka selayaknya tugas

berbicara tersebut dilindungi undang-undang. Titik tegasnya adalah berkaitan dengan

pelaksanaan tugas dan kewenangan konstitusional, sehingga ketika membuat

pernyataan, pertanyaan dan/atau pendapat harus diberikan kebebasan, dan tidak boleh

sembarangan untuk diproses hukum. Dapat dibayangkan apabila dalam hal

pengawasan, ada anggota DPR yang sangat keras mengkritik Presiden / Wakil

Presiden, sebagai misal dalam Kasus Bank Century, kemudian dianggap melakukan

perbuatan tidak menyenangkan, lalu diproses secara hukum.

Berbeda halnya apabila kita melihat Bagian Keenam Belas tentang Penyidikan Pasal

245:

 Pasal 245

(1) Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota

DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari

Mahkamah Kehormatan Dewan.

(2) Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak

diberikan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan paling lama 30 (tiga puluh) Hari

terhitung sejak diterimanya permohonan, pemanggilan, dan permintaan keterangan

untuk penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan.

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila anggota

DPR:

1. tertangkap tangan melakukan tindak pidana;

2. disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati

atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap

kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup;

atau disangka melakukan tindak pidana khusus.

 Inilah yang menjadi permasalahan. Dan ini bukan terkait dengan imunitas,

melainkan perlakuan khusus terhadap Anggota DPR dalam hal diduga melakukan

tindak pidana. Ketika akan dipanggil dan dimintai keterangan dalam penyidikan harus

mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan. Disini terdapat

7

Page 8: Makalah UU Pilkada

Nama : Widiandika TriwibowoNIM : B.131.13.0525

perlakuan istimewa yang dianggap bertentangan dengan prinsip hukum “equalitiy

before the law”/ persamaan dihadapan hukum. Untuk memahami hal ini, maka perlu

kiranya membedahnya dari aspek hukum konstitusi dan hukum pidana.

Asas persamaan di hadapan hukum (Equality before the law principle)

merupakan salah satu asas yang utama dalam Deklarasi Universal HAM dan dianut

pula dalam UUD 1945. Asas ini mengandung arti bahwa “semua warga harus

mendapat perlindungan yang sama dalam hukum – tidak boleh ada diskriminasi

dalam perlindungan hukum ini”. Prof. Mardjono[15] mengatakan kata kuncinya

adalah “perlindungan”. Pendapat yang berbeda adalah yang menafsirkan bahwa

persamaan yang dimaksud adalah untuk “perlakuan”. Perbedaan kata kunci ini dapat

membawa kepada penafsiran yang berbeda dari makna asas ini bagi HAM.

Dengan kata-kunci “perlindungan”, maka yang dituju adalah perintah kepada

negara/pemerintah untuk memberi perlindungan hukum yang sama adilnya (fairness)

kepada warganya. Dan dalam sebuah negara dengan masyarakat majemuk atau

bersifat multi-kultural seperti Indonesia, ini mengandung makna perlindungan

terhadap kelompok minoritas (terhadap kemungkinan ketidakadilan dari kelompok

mayoritas). Mencegah adanya diskriminasi dalam perlindungan dan rasa aman

kelompok minoritas. Diskriminasi yang dilarang adalah yang merugikan kelompok

tertentu.

Namun, kalau dipergunakan kata-kunci “perlakuan”, maka penafsiran yang

berkembang dalam masyarakat Indonesia adalah perintah kepada negara/pemerintah

untuk tidak membedakan dalam perlakuan hukum antara warganya. Dan dalam

masyarakat yang terstruktur dalam “kelas”, maka ini mengandung makna jangan

memberi perlakuan istimewa kepada anggota kelas tertentu. Khususnya dalam

beberapa kasus bahwa “kelas pejabat Negara” dan/atau “kelas orang kaya” mendapat

perlakuan khusus/istimewa dalam proses peradilan pidana. Diskriminasi yang dilarang

di sini adalah menguntungkan kelas tertentu.

Karena itu, kita Prof. Mardjono menganalisis terhadap persoalan Pasal 245

dalam ayat (1) mengecualikan Anggota DPR dari prosedur KUHAP dalam proses

penyidikan, karena penyidik memerlukan izin terlebih dahulu dari Mahkamah

Kehormatan Dewan(MKD). Ayat-ayat berikutnya merupakan “tata-cara”

melaksanakan “hak-istimewa” anggota DPR itu.

8

Page 9: Makalah UU Pilkada

Nama : Widiandika TriwibowoNIM : B.131.13.0525

Apakah ini bertentangan dengan asas persamaan dalam hukum? Dijawab

“Ya”, kalau asas tersebut ditafsirkan sebagai “perlakuan”, dan pasal ini ditafsirkan

sebagai diskriminasi yang “menguntungkan” anggota DPR. Tetapi dapat juga dijawab

“Tidak”, kalau asas tersebut ditafsirkan “perlindungan”, karena tidak ada

diskriminasi yang“merugikan” kelompok non-anggota DPR.

Lebih lanjut, Prof Mardjono mengatakan: “Suara “protes” mengkaitkan ini

juga dengan kemungkinan tersangka “menghilangkan barang-bukti”, menghalangi

penyidikan, terlalu dicari-cari sebagai alasan. Pendapat yang mengatakan ini

bertentangan dengan asas peradilan “cepat, sederhana, biaya ringan” juga, menurut

saya, tidak tepat. Karena asas terakhir ini ditujukan untuk menguntungkan/melindungi

seorang tersangka, agar penyidik jangan “mengulur-waktu” perkara.

Dengan Pasal 245, memang tersangka/anggota DPR lebih beruntung, karena

kasusnya akan dinilai dahulu oleh MKD (apakah cukup ditangani secara internal,

melalui Kode Etik, ataukah memang beralasan ditangani oleh Penyidik). Pada

dasarnya setiap Organisasi Profesi (Dokter, Advokat, Akuntan,Psikolog, dan lain-lain)

mengatur demikian untuk anggota profesinya. Mengapa kita harus curiga untuk

Anggota DPR?

Pertanyaan sekarang adalah apakah “hak istimewa” (prerogative right) ini

perlu atau pantas diberikan kepada anggota DPR. Menurut saya, kalau kita mengakui

bahwa anggota DPR adalah wakil-wakil rakyat yang “mempersonifikasikan”

kedaulatan rakyat, maka “perlakuan istimewa” ini, adalah sudah sepantasnya kita

berikan. Kita menghormati lembaga DPR dan menurut saya kita juga tidak ingin

anggota-anggotanya dapat begitu saja dipangil oleh Penyidik untuk pelangaran hukum

yang tidak-serius. Dan bukankah ayat (3) sudah menyempitkan/membatasi hak

istimewa ini, dengan tiga perkecualian atas hak-istimewa dalam ayat (1)?

Berbeda halnya dengan pendapat dari Koalisi Masyarakat Sipil yang

mengajukan protes terhadap keberadaan Pasal 245 ini, karena menganggap adanya

“perlakuan” yang berbeda kepada Anggota DPR dalam penyidikan tindak pidana.

Setelah disahkan menjadi undang-undang, Koaliasi Masyarakat Sipil pun

mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi, dengan Nomor Perkara 76 dan

83/PUU-XII/2014. Dalam pandangannya, Koalisi Masyarakat Sipil

mempermasalahkan keberadaan Pasal 245 ini, dengan mengatakan bertentangan

9

Page 10: Makalah UU Pilkada

Nama : Widiandika TriwibowoNIM : B.131.13.0525

dengan prinsip negara hukum dan kekuasaan kehakiman yang merdeka. Bahkan sudah

ada Putusan MK No. 73/PUU-IX/2011 yang menyebutkan keberadaan Pasal yang

mengharuskan izin dari Presiden dalam Proses Penyidikan (Kepala Daerah),

menghambat proses peradilan dan secara tidak langsung mengintervensi sistem

penegakan keadilan.

Dengan melihat analisis-analisis tersebut, maka kita dapat melihat dua

pemahaman yang berbeda dalam melihat prinsip persamaan dihadapan hukum. Secara

psikologis, sebenarnya kita bisa melihat dan merasakan, mengapa Anggota DPR

memberikan “perlindungan” atau “perlakuan” khusus untuk mereka, yaitu agar tidak

mudah diproses pidana dalam berbagai kasus pidana. Dari aspek sikap, masih banyak

anggota DPR yang bertindak sok berkuasa sehingga terkadang berlaku seenaknya.

Doktrin “power tend to corrupt, absolutely power corrupt absolutely” dari Lord

Acton, kiranya dapat menjadi pertimbangan kemungkinan penyalahgunaan

kekuasaan. Karena itu secara pribadi saya melihat Pasal 245 ini potensial

disalahgunakan DPR dan Anggotanya untuk berlaku seenaknya, sehingga layak untuk

didukung dihapuskan.

3. Penghapusan Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN)

Pada UU No. 27 Tahun 2009 ttg MD3 (UU MD3 Lama), BAKN merupakan

salah satu alat kelengkapan DPR (diatur dalam Pasal 110-116). BAKN bertugas:

1. Melakukan penelaahan terhadap temuan hasil pemeriksaan BPK yang

disampaikan DPR;

2. Menyampaikan hasil penelaahan sebagaimana dimaksud dalam huruf a kepada

komisi;

3. Menindaklanjuti hasil pembahasan komisi terhadap temuan hasil pemerikasaan

BPK atas permintaan komisi; dan

4. Memberikan masukan kepada BPK dalam hal rencana kerja pemeriksaan tahunan,

hambatan pemeriksaan, serta penyajian dan kualitas laporan.

Dengan melihat tugas tersebut, maka BAKN dibuat untuk mempertajam fungsi

pengawasan DPR khususnya dalam pengelolaan keuangan negara. Namun,

berdasarkan evaluasi Pansus MD3, dimana ada keinginan besar supaya komisi

lebih berdaya,[16]sehingga BAKN dihapuskan dan memberikan kewenangan

lebih kepada Komisi, yang tersebut dalam Pasal 98 Ayat (3) UU MD3 Baru:

10

Page 11: Makalah UU Pilkada

Nama : Widiandika TriwibowoNIM : B.131.13.0525

(3) Tugas komisi di bidang pengawasan meliputi:

1. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-

undang, termasuk APBN, serta peraturan pelaksanaannya yang

termasuk dalam ruang lingkup tugasnya;

2. membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK yang

berkaitan dengan ruang lingkup tugasnya;

3. memberikan masukan kepada BPK dalam hal rencana kerja

pemeriksaan tahunan, hambatan pemeriksaan, serta penyajian dan

kualitas laporan berkaitan dengan ruang lingkup tugasnya;

4. melakukan pengawasan terhadap kebijakan Pemerintah; dan

5. membahas dan menindaklanjuti usulan DPD.

Dengan demikian, komisi diberikan tugas untuk memperdalam setiap laporan

hasil pemeriksaan BPK, yang kemudian dijadikan bahan untuk melakukan evaluasi

kinerja pemerintahan. Agar berdaya, maka hasil rapat kerja komisi atau rapat

gabungan dengan pemerintah tersebut bersifat mengikat dan wajib dilaksanakan

pemerintah.[17] Apabila tidak dilaksanakan, maka komisi dapat mengusulkan

penggunaan hak interpelasi, hak angket, hak menyatakan pendapat, atau hak anggota

mengajukan pertanyaan sesuai peraturan perundang-undangan.[18] Pejabat

pemerintah yang tidak menjalankan hasil rapat tersebut dapat direkomendasikan

diberikan sanksi kepada presiden.[19]

Pengaturan mengikatnya hasil rapat kerja komisi tersebut yang menjadi

pembeda dengan yang diatur dalam UU MD3 lama. Hal inilah yang menjadi salah

satu semangat Revisi UU MD3. Karena itu, secara rasional, penghapusan BAKN

dapatlah diterima. Namun demikian, patut untuk terus dipantau dan diawasi, jangan

sampai komisi tidak fokus dalam mempertajam analisis pengelolaan keuangan negara,

akibat dihapuskannya BAKN tersebut. Setiap komisi harus membentuk Panitia Kerja

yang fokus membahas pengelolaan akuntabilitas keuangan negara untuk kemudian

dibawa ke Komisi dan dibahas dalam rapat pengawasan. Dari aspek badan penunjang

keahlian, semestinya dibentuk sebuah badan yang berisikan pakar dan professional

dibawah DPR sebagai Pusat Pengkajian dan Analisis APBN serta Pengelolaan

Akuntabilitas Keuangan Negara, sebagai contoh di Amerika Serikat mempunyai 

Congressional Budget Office (CBo).[20]

11

Page 12: Makalah UU Pilkada

Nama : Widiandika TriwibowoNIM : B.131.13.0525

4. Turunnya Angka Kuorum Pengambilan Keputusan DPR Dalam Hal Hak

Menyatakan Pendapat

Turunnya angka kuorum pengambilan keputusan DPR dalam hal Hak Menyatakan

Pendapat (HMP) terdapat dalam Pasal 210 Ayat (3) UU MD3 Baru sebagai Perubahan

Pasal 184 Ayat (3) UU MD3 Lama.

Pasal 184 Ayat (3) UU MD3 Lama

Usul sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) menjadi hak menyatakan pendapat

DPR apabila mendapatkan persetujuan

dari rapat paripurna DPR yang dihadiri

paling sedikit 3/4 (tiga per empat) dari

jumlah anggota DPR dan keputusan

diambil dengan persetujuan paling

sedikit 3/4 (tiga per empat) dari jumlah

anggota DPR yang hadir.

Pasal 210 Ayat (3) UU MD3 Baru

Usul sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) menjadi hak menyatakan pendapat

DPR apabila mendapatkan persetujuan

dari rapat paripurna DPR yang dihadiri

paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari

jumlah anggota DPR dan keputusan

diambil dengan persetujuan paling

sedikit 2/3 (dua per tiga) dari jumlah

anggota DPR yang hadir.

 

Latar belakang turunnya angka kuorum ini adalah pengalaman DPR Periode

2009-2014 yang kesulitan untuk melanjutkan Hasil Hak Angket Kasus Bail Out Bank

Century (yang menyatakan Bail Out Bank Century tidak dibenarkan dan dinyatakan

telah terjadi pelanggaran pidana) untuk dibawa Hak Menyatakan Pendapat (HMP).

Untuk itu diperlukan penurunan angka kuorum.

Apabila dicermati, dalam Pasal 7B Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945,

disebutkan “Pengajuan permintaan Dewan perwakilan Rakyat kepada Mahkamah

Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari

jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang

dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan

Rakyat”.

Pasal 7B Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 inilah yang menjadi acuan,

mengingat untuk proses “impeachment” saja syaratnya 2/3 hadir dan didukung 2/3

12

Page 13: Makalah UU Pilkada

Nama : Widiandika TriwibowoNIM : B.131.13.0525

yang hadir, mengapa HMP harus dinaikkan menjadi ¾ hadir dan didukung ¾ yang

hadir. Jadi keberadaan syarat HMP pada UU MD3 lama sebenarnya sudah menyalahi

konstitusi, oleh karena itu juga sudah seharusnya dirubah.

Selain isu-isu tersebut, ada beberapa isu lain yang muncul, yaitu[21]:

Pertama, minimnya ruang pengawasan, transparansi dan akuntabilitas

penyelenggaraan DPR dengan menghapus kewajiban fraksi melakukan evaluasi

kinerja anggotanya, dan melaporkan kepada publik. Tidak hanya itu. Kewajiban DPR

melaporkan pengelolaan anggaran kepada publik dalam laporan kinerja tahunan

sebagaimana diatur sebelumnya dalam Pasal 73 ayat 5 UU No 27 Tahun 2009 pun

turut dihapus. DPR juga masih akan mempertahankan berlangsungnya rapat-rapat

tertutup apabila disetujui peserta rapat.

Kedua, soal Tren Penambahan Kewenangan MPR. Jika diamati sejak UU No 22

Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU

Susduk) hingga UU MD3 yang baru (sebagaimana yang disahkan pada 8 Juli 2014),

ada kecenderungan penambahan kewenangan MPR. Sebagian besar penambahan

kewenangan praktis hanya untuk kepentingan sosialisasi dan ini tentu saja akan

berdampak pada pembengkakan anggaran. Selain itu, potensi penganggaran ganda

bisa ditemui pada pelaksanaan tugas MPR berupa penyerapan aspirasi masyarakat

berkaitan dengan pelaksanaan UUD 1945. Mengingat anggota MPR terdiri dari

anggota DPR dan anggota DPD yang pada saat bersamaan mendapatkan pula alokasi

anggaran untuk kegiatan menyerap aspirasi dari masyarakat.

Ketiga, soal Mekanisme Pemilihan Pimpinan DPR. Tidak konsistennya pengaturan

mekanisme pemilihan pimpinan DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota

menunjukkan bahwa Pansus RUU MD3 tidak mempunyai visi yang jelas terhadap

desain kelembagaan pimpinan lembaga legislatif. Selain itu, mekanisme pemilihan

pimpinan DPR yang telah ditetapkan dalam UU MD3 yang baru merupakan daur

ulang mekanisme lama yang sudah terbukti mengakibatkan kinerja DPR periode

2004-2009 khususnya pada tahun pertama menjadi terhambat. Hal itu disebabkan

tarik ulur kepentingan yang terpolarisasi melalui Koalisi Kerakyatan dan Koalisi

Kebangsaan. Naskah Akademik, suatu dokumen rujukan yang memuat asal usul atau

latar belakang kenapa butuh UU MD3 yang baru, tidak pernah mencantumkan

kebutuhan untuk mengubah mekanisme pemilihan pimpinan DPR.

13

Page 14: Makalah UU Pilkada

Nama : Widiandika TriwibowoNIM : B.131.13.0525

Keempat, soal Mahkamah Kehormatan. Dalam konteks tugas dan wewenang,

keberadaan Mahkamah Kehormatan mengalami perluasan dibandingkan Badan

Kehormatan. Jika Badan Kehormatan hanya pada ranah kode etik, keberadaan

Mahkamah Kehormatan masuk hingga ranah penegakan hukum melalui adanya izin

pemanggilan dan pemeriksaan.

5. Sejarah Lahirnya RUU Pemilihan Kepala Daerah         

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sebelumnya diatur dalam UU No. 32

Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Mengingat ada banyak pasal yang diatur

khusus mengenai mekanisme Pilkada yakni 63 Pasal (Pasal 56 – Pasal 119), maka

dalam revisinya, Pilkada ini dipisahkan dari UU Pemda. Dalam Prolegnas sejak tahun

2011 sudah dimasukkan dengan No. 42, Prolegnas tahun 2012 No. 52, Prolegnas

tahun 2013 No. 3, Prolegnas tahun 2014 No. 3. Ini artinya sudah 4 tahun RUU ini

dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional dimana RUU disiapkan pemerintah

selama 2 tahun, kemudian dibahas bersama di DPR selama 2 tahun. Sehingga dari sisi

waktu memang sudah waktunya untuk disahkan.Pilkada secara langsung sejak 1 Juni

2005 telah melahirkan beberapa yang menyebabkan pemerintah mengusulkan Revisi

RUU Pilkada, antara lain[22]:

Pilkada langsung dibeberapa tempat melahirkan konflik horizontal antara sesama

masyarakat. Benturan masyarakat ini tentu menjadi keprihatinan yang mendalam,

karena ketidaksiapan menang atau kalah.

Pilkada langsung secara biaya cukup menyedot anggaran, baik pusat maupun

daerah.

Berdasarkan data dari Mahkamah Konstitusi, disetiap Pilkada langsung,

dipastikan akan gugatan sengketa Pemilukada ke MK, termasuk juga ketika

sengketa Pilkada di Mahkamah Agung.[23]

Sering terjadinya kecurangan yang terstruktur, sistematis dan massif khususnya

dalam bentuk money politik dan vote buying, sehingga memberikan pelajaran

demokrasi yang buruk pada masyarakat.

Terjadinya politisasi birokrasi pemerintahan daerah.

Penegakan hukum dank ode etik tidak berjalan.

Partisipasi pemilih yang rendah (rata-rata dibawah 70%).

Banyak kepala daerah terjerat korupsi.[24]

14

Page 15: Makalah UU Pilkada

Nama : Widiandika TriwibowoNIM : B.131.13.0525

Kepala daerah tidak akur dengan wakil kepala daerah.

Kepemimpimpinan lemah, manajemen rendah, dan birokrasi amburadul, serta

terjadi politik transaksional dalam menjalankan roda pemerintahan.

Pemerintah tidak efektif.

Atas pertimbangan tersebut, maka Pemerintah sebagai pihak yang diberi tugas

menyiapkan Drat RUU Pilkada melakukan langkah memberi usulan revoluioner

berupa mengubah Pilkada langsung menjadi Pilkada tidak langsung via DPRD.

6. Perspektif Konstitusi terhadap Pemilihan Kepala Daerah.

Dalam UUD NRI Tahun 1945, Pasal 18 Ayat (4) disebutkan kepala daerah

dipilih secara demokratis. Untuk memahaminya, maka salah satu caranya adalah

dengan membuka original intent Perubahan UUD NRI Tahun 1945. Untuk melihat

hal tersebut, dapat dilihat dalam Risalah Pembahasan UUD 1945, yang dapat diunduh

lewat www.mahkamahkonstitusi.go.id tentang Naskah Komprehensif Perubahan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang,

Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002, Buku IV Kekuasaan Pemerintahan Negara

Jilid 2. Dalam risalah tersebut khususnya Bab V (hlm. 1107-1432) diulas secara

khusus pembahasan Perubahan UUD 1945 mengenai Pemerintahan Daerah.

Ketika itu, draft naskah perubahan dari Badan Pekerja adalah kepala daerah

dipilih secara demokratis, namun Prof Bagir Manan mengusulkan pemerintahan

daerah mengakomodir pemilihan kepala daerah secara langsung.[25] Atas draft

tersebut, beberapa Fraksi memberikan klarifikasi dan komentar, seperti Soedijarto

dari Fraksi Utusan Golongan mengklarifikasinya dengan mengatakan:[26]

“…mengenai pemilihan Gubernur, walikota yang langsung disarankan dipilih

langsung sedangkan konsepnya kan sangat demokratis, dan masih tergantung

perkembangan pemilihan presiden dan sebagainya. Indonesia belum pernah

berpengalaman memilih pemimpun langsung kecuali Kepala Desa yang praktiknya

main uang, dan semua pemimpn sekarang termasuk ketua partaipun tidak dipilih oleh

anggota partai, kok sedang Gubernur sudah mau dipilih rakyat. Apakah ini tidak

riskan karena budaya demokrasi kita belum tumbuh, karena itu saya ingin kembali

kepada asalnya yaitu dipilih secara demokratis, …. Konstitusi tidak mendikte kepada

daerah supaya dipilih langsung”.

15

Page 16: Makalah UU Pilkada

Nama : Widiandika TriwibowoNIM : B.131.13.0525

Kemudian Pataniari Siahaan dari F-PDIP megusulkan agar kepala daerah “…

dipilih secara demokratis sebagaimana diatur undang-undang. Jadi demokratisnya

bukan oleh rakyat”.[27] Atas beberapa pendapat tersebut, Prof Bagir Manan

menyerahkan kepada anggota rapat, apakah dipilih langsung oleh rakyat atau dipilih

secara demokratis.[28]Pada akhirnya draft yang disepakati dan dibawa ke Rapat

Paripurna ke-9, 18 Agustus 2000 adalah Pemilihan kepala daerah dipilih secara

demokratis.

Hamdan Zoelva, memberikan pandangan terdapat dua prinsip yang terkandung

dalam rumusan “kepala daerah dipilih secara demokratis”, yaitu pertama: kepala

daerah harus “dipilih”, tidak dimungkinkan untuk langsung

diangkat. Kedua, pemilihan dilakukan secara demokratis, maknanya tidak harus

dipilih langsung oleh rakyat, akan tetapi dapat juga bermakna dipilih oleh DPRD yang

anggota-anggotanya juga hasil pemilihan demokratis melalui Pemilu.[29]

Atas pertimbangan tersebut, maka klausul pemilihan kepala daerah dipilih

secara demokratis memiliki makna harus adanya proses pemilihan yang dapat

langsung oleh rakyat dan dapat juga melalui DPRD. Untuk itu, klausul ini disebut

sebagai open legal policy secara konstitusi. Kedua opsi yang sedang diperdebatkan

dalam draft RUU Pilkada saat ini sama-sama konstitusional.[30]

7. Perspektif Konfigurasi Politik

Konfigurasi Politik di DPR sangat berpengaruh dalam pembahasan RUU

Pilkada. Pada tahun 2012 ketika draft RUU Pilkada dimasukkan Pemerintah ke DPR,

klausulnya pemilihan kepala daerah melalui DPRD. Klausul tersebut didukung

mayoritas partai politik dengan jumlah kursi besar seperti Partai Demokrat, Partai

Golkar, dan PKB. Sementara itu, PKS karena jumlah kursinya tidak besar menolak

usulan Pilkada melalui DPRD.

Berbicara konfigurasi politik tersebut, mengapa pemerintah mengajukan opsi

Pilkada melalui DPRD dapat dimaklumi, karena partai politik penguasa pemerintahan

yakni Partai Demokrat merupakan partai terbesar dengan 148 anggota dari 560

anggota.

Perdebatan mengenai mekanisme pemilihan kepala daerah sebenarnya hampir

menemui titik temu, yaitu; pertama tetap dilakukan pemilihan

langsung; keduapelaksanaan dilakukan secara serentak antara Pilkada Gubernur dan

16

Page 17: Makalah UU Pilkada

Nama : Widiandika TriwibowoNIM : B.131.13.0525

Pilkada Bupati/Walikota dalam rangka penghematan anggaran dan memperjelas

konfigurasi politik didaerah sehingga rakyat lebih rasional dalam memilihnya.

Namun, perhelatan Pemilu Presiden 2014 dengan 2 (dua) calon pasangan,

berimbas pula pada konfigurasi politik setelah Pilpres. Koalisi Merah Putih (KMP)

yang terdiri Partai Gerindra, Partai Golkar, PPP, PAN dan PKS termasuk juga Partai

Demokrat (6 partai dengan jumlah 421 kursi DPR) pada 9 September 2014 bersepakat

mendukung Pilkada melalui DPRD. Sementara Koalisi penyokong Calon Presiden-

Wakil Presiden Jokowi JK yang terdiri dari PDIP, PKB dan Partai Hanura (3 partai

degan jumlah 139 kursi DPR) mendukug Pilkada langsung.

Polarisasi konfigurasi politik tersebut merupakan konsekuensi sistem

multipartai yang dianut di Indonesia, dimana partai-partai politik sangat cair dalam

ideologi dan dalam penentuan dukungan politik. Hal ini tidak hanya berpengaruh pada

dinamika RUU Pilkada, tetapi juga berpengaruh pada RUU MD3 yang telah dibahas

sebelumnya.

Terakhir, 19 September 2014 kemarin, Fraksi Partai Demokrat balik badan

mendukung Pilkada Langsung, sehingga mengubah konfigurasi politik yang pro

Pilkada langsung menjadi 4 partai dengan 287 kursi di DPR, dan yang pro Pilkada

melalui DPRD menjadi 5 partai dengan 273 kursi di DPR.

8. Perspektif Perkembangan Demokrasi

Apabila kita mempelajari mengenai demokrasi sebagai pemerintahan dari,

oleh, dan untuk rakyat dari awal mula zaman Yunani Kuno sampai dengan zaman

sekarang (modern dan postmodernisme), maka kita akan menemui uniknya

perkembangan demokrasi.

Pada awalnya demokrasi di Yunani Kuno masih bersifat polis-polis atau the

Greek Stateyaitu pada mula pertamanya merupakan suatu tempat dipuncak suatu

bukit.[31] Lama kelamaan orang-orang banyak yang tinggal di tempat itu dengan

jalan mendirikan tempat tinggal bersama, berupa rumah-rumah dan kemudian tempat

tersebut dikelilinginya dengan suatu benteng tembok untuk menjaga serangan dari

luar.

Pemerintahan dalam polis merupakan hal yang tinggi, karena di atas polis

tidak ada lagi suatu organisasi kekuasaan lain yang menguasai dan memerintah polis

itu. Inilah letak keistimewaan dari polis. Organisasi yang mengatur hubungan antar

17

Page 18: Makalah UU Pilkada

Nama : Widiandika TriwibowoNIM : B.131.13.0525

orang se-polis itu tidaklah hanya mempersoalkan hubungan organisasinya saja

melainkan juga mempersoalkan mengenai hidup kepribadian orang-orang yang hidup

disekitarnya. Oleh karena itu terdapat campur tangan organisasi yang mengatur polis.

Karena polis disamakan (identik) dengan masyarakat negara atau negara, maka polis

merupakan negara kota (standstaat atau citystate).

Sehubungan dengan itu, dikalangan pemerintahan lazimnya berwujud

demokrasi langsung atau direct democracy, rakyat di dalam polis ikut serta secara

langsung menentukan beleid kebijaksanaan pemerintah atau adanya direct

government by all the people.[32]

Dalam episode Yunani Kuno tersebut, dapat kita temui beberapa pemikir hebat

yang sampai saat ini masih dipelajari, seperti Plato, Aristoteles, Polybios dan lain-

lain. Misalnya yang menarik adalah pendapat Polybios,[33] yang menjelaskan bahwa

sebagai bentuk negara yang tertua ialah monarki, pemerintahan dijalankan oleh

seorang pemimpin negara, karena orang tersebut mempunyai bakat kepandaian dan

keberanian dari yang lain-lainnya sehingga merupakan primus iner pares atau yang

pertama diantara yang sama. Ia memerintah dengan tujuan baik dan ditujukan demi

kepentingan umum berlandaskan keadilan. Akan tetapi para penggantinya kemudian

bertindak menyeleweng, memerintah demi kepentingan diri pribadi dan bertindak

sewenang-wenang. Karena itu timbulah tirani.

Dari bentuk negara tirani ini lama kelamaan para warganya memberontak

karena tidak tahan akan penderitaan dan penindasan yang dilakukan oleh seorang

tiran itu. Hasil perlawanan itu, para warga memilih beberapa orang dari golongan

ningrat cerdik pandai, yang diberi kepercayaan memerintah, dengan demikian

timbulah negara aristokrasi.

Kemudian aristokrasi mengalami proses kemunduran dan kemerosotan karena

pimpinan negara bertindak demi kepentingan mereka yang memerintah, bertindak

main hakim sendiri secara semena-mena, hal yang demikian mengakibatkan

terbentuknya negara oligarkhi.

Dari bentuk negara oligarkhi pun mengalami nasib yang sama seperti tirani,

akrena tindakan sewenang-wenang dan memperkosa hukum, menimbulkan

perlawanan dari para warganya terhadap beberapa pimpinan negara itu. Dalam

perjuangan itu para warganya mengambil alih kekuasaan pemimpin negara, maka

mereka, yaitu para warga atau rakyat memegang pemerintahan, sehingga timbulah

negara demokrasi.

18

Page 19: Makalah UU Pilkada

Nama : Widiandika TriwibowoNIM : B.131.13.0525

Apabila bentuk negara demokrasi ini dalam prosesnya mengalami

kemunduran, disebabkan warganya atau rakyat tidak tahu sedikitpun tentang

pemerintahan dan tanpa pendidikan turut campur dalam pemerintahan, maka

timbullah pemerintahan secara liar dari rakyat gembel yang hina. Karena itu timbulah

negara okhlokrasi.

Setelah pemerintahan okhlokrasi menimbulkan kebejatan dan kebobrokan dari

demokrasi, maka para wargapun sadar dan menginginkan adanya pemerintahan yang

baik dan adil. Karenanya muncul seorang warga yang berani maju kedepan dan

mengambil alih pimpinan negara. Timbulah negara monarkhi.

Pemikiran tersebut kemudian sering disebut siklus Polybios. Pemikiran

mengenai adanya bentuk-bentuk negara yang bertujuan untuk kepentingan umum,

disertai pula bentuk pemerosotannya memberikan pelajaran berharga dalam

perjalanan bernegara. Khususnya mengenai demokrasi, akan menjadi bentuk

pemerosotan apabila rakyat tidak memiliki pendidikan dan kemampuan mengelola

negara, sehingga negara akan roboh akibat salah atur.

Demokrasi langsung yang berlaku di Yunani Kuno dianggap salah satu bentuk

pemerintahan yang baik. Namun, karena perkembangan negara yang meluas dan

lintas polis, sehingga demokrasi langsung sulit diterapkan. Karenanya timbul

demokrasi tidak langsung (indirect democracy) melalui pelembagaan badan

perwakilan rakyat.

Perkembangan demokrasi berikutnya berlangsung di Romawi Kuno dengan

keberhasilan rezimnya menetapkan konstitusi yang memadukan bentuk-bentuk

pemerintahan antara monarkhi, aristokrasi dan demokrasi. Bentuk pemerintahan itu

kemudian disebut dengan republic. Terminologi republik berasal dari Bahasa Latin

yang terdiri dari dua suku kata yakni res yang berarti kejadian atau peristiwa

dan publicus yang berarti publik. Jika kedua kata digabungkan secara peristilahan

akan membentuk suatu pengertian yang menunjukkan kepemilikan rakyat.[34]

Dengan melihat demokrasi tidak langsung merupakan perkembangan

demokrasi langsung, maka klaim perdebatan dalam RUU Pilkada, bahwa Pilkada

melalui DPRD adalah kemunduran demokrasi kuranglah tepat. Karena derajat maju

mundurnya demokrasi subtantif sebenarnya tidak diukur dari prosedur bentuk

langsung atau tidak langsungnya saja.

19

Page 20: Makalah UU Pilkada

Nama : Widiandika TriwibowoNIM : B.131.13.0525

Dalam perkembangan demokrasi modern ini, baik demokrasi langsung

maupun tidak langsung adalah sebuah keniscayaan. Karenanya, diperlukan perpaduan

yang saling melengkapi agar pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat dapat berjalan

dengan efektif.

Demokrasi subtantif saat ini sering disebut dengan istilah demokrasi

partisipatif sebagai bentuk perlawanan demokrasi elitis. Partisipasi masyarakat dalam

hal ini merupakan cerminan demokrasi partisipatoris, sebagaimana disebutkan R.B.

Gibson, bahwa:[35]

“… that the purpose of democracy is to ensure that decisions are made by

individuals who will be affected. The requirements of this democracy are fully met

only if all individuals are enables and encouraged to participate ini the decisions

which will affect their lives. Thus, in participatory theory, the sphere of democracy

encompasses all areas of collective action and decision, regardless of the arbitrary

divisions of social, economic, and political concern. Participatory theory purposes

democratic societies, not just democratic government.”

Bagaimanapun dengan terpilihnya wakil rakyat tidak menghilangkan peran

masyarakat dalam pembuatan keputusan yang mempengaruhi kehidupan masyarakat

itu sendiri. Kalau dalam demokrasi elit, partisipasi masyarakat begitu dibatasi, dalam

demokrasi partisipatoris keterlibatan masyarakat yang luas dan bermakna merupakan

keniscayaan. Argumentasinya, makna hakiki dari demokrasi adalah memberi

dorongan bagi masyarakat berperan serta dalam pembuatan keputusan yang

mempengaruhi kehidupan mereka. R. B. Gibson menambahkan, demokrasi

partisipatori tidak hanya berupaya mewujudkan pemerintahan yang demokratis

(democratic government), tetapi juga masyarakat yang demokratis (democratic

societies).[36]

Hal tersebut tentunya berbeda dengan demokrasi elit yang merupakan lawan

dari demokrasi partisipatoris, sebagaimana disebutkan R.B. Gibson, yaitu[37]

“… that the main purpose of the democratic aspect of government is to ensure

that the elite leaders who are charged with making governmental decisions do not

vary too far from general interests of the electorate. In the elite theory the sphere of

democracy is confined to the elective positions of public government. The

requirements of democracy will be met if citizens are allowed to choose leaders freely

from the ranks of competing elites.”

20

Page 21: Makalah UU Pilkada

Nama : Widiandika TriwibowoNIM : B.131.13.0525

Demokrasi elit cenderung menisbikan peran masyarakat setelah proses

pemilihan umum selesai, yaitu dengan terpilihnya wakil rakyat. Jika warga negara

telah melaksanakan hak pilihnya dalam pemilihan umum, maka seterusnya

penyelenggaraan pemerintahan diserahkan kepada mereka yang terpilih menjadi

anggota lembaga legislatif. Hal ini berpotensi pada pengabaian atau juga upaya

melupakan kepentingan masyarakat yang mengitari anggota legislatif tersebut. Gibson

menambahkan, masyarakat lebih cenderung memikirkan diri sendiri sehingga sering

terjadi perbedaan kepentingan yang dapat menimbulkan konflik.[38]

Uraian tersebut menunjukkan bahwa negara demokratis partisipatoris dan elit

menunjukkan juga kualitas demokrasi perwakilan yang dibangun. Selain demokrasi

partisipatif, dewasa ini berkembang juga demokrasi deliberatif yang dikembangkan

Jurgen Habermas.[39] Bagi Habermas, perkembangan demokrasi saat ini berbeda

dengan zaman Yunani Kuno yang masyarakatnya kecil berupa polis-polis, menjadi

masyarakat yang besar (gigantis), dipenuhi dengan pluralitas masyarakat yang

kompleks yang juga terglobalisasi. Dalam demokrasi deliberatif yang memiliki peran

besar adalah komunikasi antara pemimpin yang dipimpinnya.

Deliberatif atau bahasa Latinnya deliberation, bahasa

Inggrisnya deliberation, berarti “konsultasi”, mengacu pada prosedur formasi opini

dan aspirasi masyarakat secara demokratis. Dalam demokrasi deliberatif bukanlah

jumlah kehendak individual atau juga kehendak umum yang menjadi sumber

legitimasi. Yang menjadi sumber legitimasi adalah proses formasi deliberatif

(konsultasi), argumentative-diskursif suatu keputusan politis yang ditimbang bersama-

sama senantiasa bersifat sementara dan terbuka untuk direvisi.

Dengan ungkapan lain, legitimasi kebijakan publik bukan terletak pada hasil

komunikasi politik, melainkan pada prosesnya. Semakin diskursif proses, yakni

semakin rasional dan terbuka terhadap pengujian publik, makin terlegitimasi pula

hasilnya.[40]

Pemahaman demokrasi partisipatif dan deliberatif sekaligus perlawanan

terhadap demokrasi elitis tersebut, menjadikan dasar untuk menilai apakah Pilkada

Langsung atau Pilkada Lewat DPRD dapat dikatakan meningkatkan kualitas

demokrasi atau tidak.

Apabila dicermati mengenai pelaksanaan Pilkada Langsung sejak 1 Juni 2005,

maka saat ini telah memasuki periode ke-3 Pilkada Langsung. Pada periode pertama,

21

Page 22: Makalah UU Pilkada

Nama : Widiandika TriwibowoNIM : B.131.13.0525

Pilkada Langsung masih banyak menghasilkan pemimpin-pemimpin stok lama yang

belum mampu memberikan perubahan dalam pemerintahan. Namun, dalam periode

kedua, mulai terpilih Kepala Daerah yang mampu menjalankan fungsi

kepemimpinannya secara baik, termasuk juga membangun komunikasi yang intensif

dengan masyarakat. Ditambah teknologi yang mendukung melalui social media,

twitter, facebook, path, dan lain-lain, sehingga mendekatkan pemimpin dengan rakyat

secara langsung. Periode kedua ini menghasilkan pemimpin-pemimpin yang menjadi

idola publik, apakah itu Jokowi, Ridwan Kamil, Risma, Ahmad Heriawan, dan lain-

lain. Model kepemimpinannya sudah lebih partisipatif bahkan deliberatif, dengan

mengajak warga yang dipimpinnya untuk bersama membangun daerah. Dengan

melihat fakta tersebut, maka Pilkada langsung adalah salah satu sarana memperoleh

pemimpin yang partisipatif dan deliberatif.

Namun, tidak semua kepala daerah yang dipilih langsung berprestasi. Padahal

anggaran untuk Pilkada langsung lebih besar dibandingkan dengan Pilkada tidak

langsung. Sebagaimana disebut sebelumnya, banyak Kepala Daerah yang tersangkut

korupsi pula, selain juga banyak ekses negatif akibat Pilkada langsung tersebut.

Karenanya model Pilkada melalui DPRD bisa dipertimbangkan, dengan syarat

DPRD khususnya Partai Politik siap menjalankan partisipasi dan deliberasi dalam

pemilihan kepala daerah. Mekanismenya, pertama, semua calon dapat terakomodir

dalam Pilkada melalui DPRD, termasuk juga calon independen. Kedua, calon kepala

daerah harus kapabel dan berintegritas. Ketiga, partai politik di DPRD melakukan

proses konsultasi kepada masyarakat dengan cara membuka diskusi dan perdebatan

bahkan melalui mekanisme konvensi. Keempat, partai politik di DPRD harus

menjalankan hasil konsultasi tersebut untuk kemudian dijadikan dasar dalam

pemilihan kepala daerah.

Permasalahannya, wakil-wakil rakyat kita saat ini masih bertindak sebagai elit

yang sering melupakan rakyatnya. Karenanya kita perlu mengungkap pendapat

Gilbert Abcarian sebagai mana dikutip Max Boboy yang membagi empat tipe

hubungan antara wakil dengan yang diwakili sebagai berikut:[41]

Sang wakil bertindak sebagai wali (truste), dimana wakil bebas bertindak

berdasarkan pertimbangannya sendiri tanpa harus berkonsultasi dengan yang

diwakilinya;

22

Page 23: Makalah UU Pilkada

Nama : Widiandika TriwibowoNIM : B.131.13.0525

Sang wakil bertindak sebagai utusan (delegate) yakni sang wakil bertindak

sebagai utusan atau duta dari yang diwakilinya sehingga sang wakil senantiasa

mengikuti perintah atau instruksi serta petunjuk dari yang diwakili dalam

melaksanakan tugas;

Sang wakil bertindak sebagai politico artinya kedudukan wakil terkadang

bertindak sebagai wali (truste), dan kadang kala bertindak sebagai utusan

(delegate). Hal itu tergantung pada issu dan pembahasan di tingkat lembaga

perwakilan; dan

Sang wakil bertindak sebagai partisan. Posisi wakil dalam persoalan ini cenderung

kepada kehendak atau aspirasi partainya, sedangkan hubungan dengan konstituen

pemilihnya setelah pemilihan tidak terlalu nampak.

Selain itu juga, A. Hoogerwerf membagi lima model hubungan antara wakil dengan

yang diwakili sebagai berikut:

Model utusan (delegate) yakni wakil bertindak sebagai diperintah atau kuasa

usaha yang menjalankan perintah dari yang diwakili;

Model wali (truste) yakni sang wakil bertindak sebagai orang yang diberi kuasa

penuh dari yang diwakili sehingga memiliki kebebasan bertindak berdasarkan

pendiriannya;

Model politicos yakni model yang memungkinkan sang wakil bertindak kadang

sebagai delegasi dan kadang sebagai kuasa penuh;

Model kesatuan yakni model yang mengonsepsi anggota parlemen sebagai wakil

rakyat seluruhnya; dan

Model penggolongan (diversifikasi) yakni keanggotaan wakil di parlemen

dipandang sebagai wakil kelompok territorial, kelompok sosial atau kelompok

politik tertentu.

Dari pembagian model tersebut, sejauh ini wakil rakyat masih banyak yang

berperan sebagai wali (truste) yang bekerja tanpa berkonsultasi pada rakyatnya.

Mereka belum mampu membuka diri secara partisipatif dan deliberatif. Sehingga

terkait dengan pilihan Pilkada melalui DPRD justru akan mengarahkan pada

demokrasi elitis. Karenanya, pilihan Pilkada melalui DPRD untuk saat ini kuranglah

tepat.

23

Page 24: Makalah UU Pilkada

Nama : Widiandika TriwibowoNIM : B.131.13.0525

Inilah pelajaran penting bagi perjalanan demokrasi kita. Dan mahasiswa

seharusnya tidak terjebak dalam blok-blok dukung mendukung Pilkada Langsung atau

Tidak Langsung.

24

Page 25: Makalah UU Pilkada

Nama : Widiandika TriwibowoNIM : B.131.13.0525

BAB III

PENUTUP

1. Saran-saran

Tak banyak hal yang dapat dibanggakan dari Wakil Rakyat (baca DPR RI)

Periode 2009-2014 ini. Ini dapat dilihat dari pelaksanaan fungsi Wakil Rakyat. Dari

tiga fungsi utama wakil rakyat yaitu fungsi legislasi[3], fungsi pengawasan[4] dan

fungsi anggaran[5], semuanya bermasalah baik dari aspek kuantitas penyelesaian

target maupun kualitasnya. Tak luput juga perilaku Anggota DPR yang buruk, seperti

korupsi, arogan, dan lain-lain menjadikan DPR lembaga tak berwibawa. Inilah realitas

ketatanegaraan dan politik Bangsa Indonesia, sebagai generasi muda kita harus tetap

optimis dapat mengubahnya menjadi yang lebih baik.

Dari pembahasan mengenai berbagai macam isu dalam UU MD3 dan RUU

Pilkada sebagai warisan sang wakil rakyat periode 2009-2014, maka kita bisa

memberikan penilaian positif dan negatif. Hal ini karena keran demokrasi partisipatif

maupun deliberatif belum dilakukan secara baik oleh partai politik di lembaga

perwakilan rakyat.

Bagi mahasiswa, maka mendorong perbaikan bangsa dapat dilakukan dengan

berbagai macam cara, tanpa kemudian harus terjebak dalam blok-blok partai politik

yang terpolisasi. Sehingga, peran mahasiswa sebagi agent of change, dan agent of

control social dapat dilakukan dengan baik.

25

Page 26: Makalah UU Pilkada

Nama : Widiandika TriwibowoNIM : B.131.13.0525

2. Daftar Pustaka

[1] Makalah yang disampaikan dalam Diskusi Publik “Warisan Wakil Rakyat” yang

diselenggarakan oleh Kabinet Keluarga Mahasiswa ITB, 19 September 2014 di

Kampus ITB Bandung.

[2] Tenaga Ahli di DPR RI, Peneliti Asosiasi Sarjana Hukum Tata Negara (ASHTN),

Wakil Presiden BEM Kema Unpad 2009-2010, Kordinator Isu Pemilu BEM Seluruh

Indonesia Tahun 2008-2010.

[3] Fungsi Legislasi masih bermasalah, misal tahun 2010 dengan Prolegnas 70 RUU

hanya 16 yang disahkan, pada tahun 2011 dengan Prolegnas 93 hanya 24 yang

disahkan, pada 2012 dengan Prolegnas 69 RUU hanya 30 disahkan.

[4] Fungsi pengawasan dalam bentuk Hak Angket Century belum mampu

menyelesaikan kasus tersebut secara efektif, juga dalam masalah Mafia Pajak yang

tidak terselesaikan.

[5] Fungsi Anggaran DPR belum optimal mendorong APBN untuk sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat, misal pemborosan dalam hal Anggaran Perjalan Dinas yang

terlalu besar dibandingkan Anggaran untuk Pengentasan Kemiskinan. Selain itu

adanya Oknum Anggota DPR terlibat Mafia Anggaran semakin memperburuk kerja

DPR.

[6] Permohonan Perkara No. 73/PUU-XII/2014, lihat Risalah Sidang MK

diwww.mahkamahkonstitusi.go.id.

[7] Permohonan Perkara No. 76/PUU-XII/2014 dan 83/PUU-XII/2014 lihat Risalah

Sidang MK di www.mahkamahkonstitusi.go.id.

[8] Pemohonan Perkara No. 82/PUU-XII/2014, lihat Risalah Sidang MK

diwww.mahkamahkonstitusi.go.id.

[9] Sumber: Harian Kompas, Kamis 11 September 2014, hlm. 2.

[10] Permohonan Perkara No.79/PUU-XII/2014, lihat Risalah Sidang MK

diwww.mahkamahkonstitusi.go.id.

[11] Pasal 81 huruf (e) memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat.

[12] Pasal 81 huruf (i) menyerap dan menghimpun aspirasi konstituen melalui

kunjungan kerja secara berkala.

26

Page 27: Makalah UU Pilkada

Nama : Widiandika TriwibowoNIM : B.131.13.0525

[13] Pasal 81 huruf (j) menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan

masyarakat

[14] Mei Susanto, Hak Budget Parlemen Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2013.

[15] Lihat Pendapat Prof. Mardjono, tentang Hak Imunitas dan Asas Persamaan

Kedudukan Di Hadapan Hukum Dalam UU

MD3,http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt540d7c056fc44/hak-imunitas-dan-

asas-persamaan-kedudukan-di-hadapan-hukum-dalam-uu-md3-broleh–prof-

mardjono-reksodiputro–sh–ma.

[16] Disampaikan Ketua Pansus MD3, Beni K. Harman dalam pengantar Revisi UU

No. 27 Tahun 2009.

[17] Pasal 96 Ayat (6) UU MD3 Baru: “Keputusan dan/atau kesimpulan rapat kerja

komisi atau rapat kerja gabungan komisi bersifat mengikat antara DPR dan

Pemerintah serta wajib dilaksanakan oleh Pemerintah.”

 

[18] Pasal 96 Ayat (7) UU MD3 Baru.

[19] Pasal 96 Ayat (8) UU MD3 Baru.

[20] Mei Susanto, Ibid., hlm. 336.

[21] Beberapa hal tentang isu-isu dalam UU MD3 Baru diungkapkan Koalisi

Masyarakat Sipil.

[22] Dielaborasi dari beberapa sumber media, dan Presentasi Parludem, Pemilukada

yang Demokratis dan Efisien, Masalah Pemilukada dan Masalah Pasca Pemilukada,

dalam Prosiding Seminar Nasional Evaluasi Pemilihan Umum Kepala Daerah, Jakarta

24-26 Januari 2012, Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi.

[23] Pada Tahun 2008/2009 tercatat ada 30 gugatan sengketa Pilkada ke MK, tahun

2010 ada 230 gugatan. Dan tahun 2011 ada 137 gugatan.

[24] Data Kemendagri, terdapat 318 Kepala Daerah yang tersangkut korupsi sampai

dengan tahun 2013.

[25] Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Naskah

Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002, Buku IV

Kekuasaan Pemerintahan Negara Jilid 2, Jakarta, 2010, hlm. 1360.

[26] Ibid., hlm. 1365.

[27] Ibid., hlm. 1397.

27

Page 28: Makalah UU Pilkada

Nama : Widiandika TriwibowoNIM : B.131.13.0525

[28] Ibid. hlm. 1360.

[29] Hamdan Zoelva, Tinjauan Konstitusi Pemilihan Kepala Daerah.

[30] Sebagai catatan tambahan, pada pembahasan UU No. 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah, tidak terjadi perdebatan panjang mengenai makna dipilih secara

demokratis, karena langsung diusulkan opsi dipilih secara langsung oleh rakyat, hal

ini disebabkan pertama, hasil Perubahan Ketiga UUD NRI Tahun 1945 tahun 2001,

Presiden dan Wakil Presiden sudah dipilih secara langsung oleh

rakyat, kedua, berbagai penyerapan aspirasi masyarakat diseluruh Indonesia diperoleh

aspirasi dominan dari masyarakat menghendaki kepala daerah dipilih secara langsung

oleh rakyat. Hanya yang menjadi perdebatan adalah bagaimana mekanisme pemilihan

langsung ini dilakukan disetiap daerah apakah disamakan atau bisa berbeda-beda

dimasing-masing daerah disesuaikan dengan kondisi dan kekhususan masing-masing

daerah. Lihat Hamda Zoelva, Ibid.

[31] Sjachran Basah, Ilmu Negara, Citra Aditya Bakti, Jakarta, 1997, hlm. 92.

[32] Ibid., hlm. 93.

[33] Ibid., hlm. 125-127.

[34] Suyatno, Menjelajahi Demokrasi, Yogyakarta, Liebe Book, 2004, hlm. 15.

[35] R.B. Gibson, The Value of Participation, dalam Saldi Isra, Pergeseran Fungsi

Legislasi, Menguatnya Model Legislasi Parlementer Dalam Sistem Presidensial

Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2010., hlm. 283.

[36] Ibid., hlm. 284.

[37] Ibid., hlm. 283.

[38] Ibid.

[39] Lihat F. Budi Hadirman, Demokrasi Deliberatif, Menimbang ‘Negara Hukum’

dan ‘Ruang Publik’ daalam Teori Diskursus Jurgen Habermas, Yogyakarta,

Kanisius, 2009. Hlm. 125.

[40] Ibid. hlm. 130.

[41] Ibid,. hlm. 23.

28