29
PERSISTENSI CACING ENDOPARASIT Gnathostoma sp. PADA BELUT SAWAH Monopterus albus DAN PENGENDALIANNYA MENGGUNAKAN MEBENDAZOLE DAN EKSTRAK BATANG PISANG AMBON Musa paradisiaca FENTI NURUL DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015

PERSISTENSI CACING ENDOPARASIT Gnathostoma sp. PADA … · Hb= Hemoglobin, Hc= Hematokrit, SDM = Sel darah merah, SDP = Sel darah putih, P= Prevalensi, I= Inte nsitas, MB= Mebendazole,

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PERSISTENSI CACING ENDOPARASIT Gnathostoma sp. PADA … · Hb= Hemoglobin, Hc= Hematokrit, SDM = Sel darah merah, SDP = Sel darah putih, P= Prevalensi, I= Inte nsitas, MB= Mebendazole,

PERSISTENSI CACING ENDOPARASIT Gnathostoma sp. PADA

BELUT SAWAH Monopterus albus DAN PENGENDALIANNYA

MENGGUNAKAN MEBENDAZOLE DAN EKSTRAK BATANG

PISANG AMBON Musa paradisiaca

FENTI NURUL

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2015

Page 2: PERSISTENSI CACING ENDOPARASIT Gnathostoma sp. PADA … · Hb= Hemoglobin, Hc= Hematokrit, SDM = Sel darah merah, SDP = Sel darah putih, P= Prevalensi, I= Inte nsitas, MB= Mebendazole,

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Persistensi Cacing

Endoparasit Gnathostoma sp. pada Belut Sawah Monopterus albus dan

Pengendaliannya Menggunakan Mebendazole dan Ekstrak Batang Pisang Ambon

Musa paradisiaca”adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi

pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi

mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan

maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan

dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada

Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2015

Fenti Nurul

NIM C14110028

Page 3: PERSISTENSI CACING ENDOPARASIT Gnathostoma sp. PADA … · Hb= Hemoglobin, Hc= Hematokrit, SDM = Sel darah merah, SDP = Sel darah putih, P= Prevalensi, I= Inte nsitas, MB= Mebendazole,

ABSTRAK

FENTI NURUL. Persistensi Cacing Endoparasit Gnathostoma sp. pada Belut

Sawah Monopterus albus dan Pengendaliannya Menggunakan Mebendazole dan

Ekstrak Batang Pisang Ambon Musa paradisiaca. Dibimbing oleh SRI

NURYATI dan YANI HADIROSEYANI.

Belut merupakan ikan konsumsi air tawar yang memiliki nilai gizi baik,

namun belut menjadi inang antara cacing Gnathostoma sp. yang bersifat zoonosis,

sehingga dapat menimbulkan masalah pada konsumen. Penelitian ini bertujuan

menginventarisasi keberadaan cacing Gnathostoma sp. pada belut sawah di Jawa

Barat dan mencari konsentrasi yang tepat dalam mengendalikan cacing

Gnathostoma sp. menggunakan mebendazole 500 mg dan ekstrak batang pisang

ambon melalui metode perendaman. Perendaman cacing secara in vitro, baik

dalam larutan mebendazole maupun ekstrak batang pisang ambon menunjukkan

bahwa semakin tinggi konsentrasi larutan maka kematian cacing semakin cepat.

Hasil penelitian menunjukkan perendaman secara in vitro menggunakan bahan

aktif mebendazole mengakibatkan kematian lebih cepat yaitu 2-3 hari dan ekstrak

batang pisang ambon 6-7 hari, sedangkan perendaman dalam larutan fisiologis

(tanpa pemberian mebendazole dan ekstrak batang pisang ambon) cacing mati 11-

12 hari.

Kata Kunci: Belut sawah, Gnathostoma sp, in vitro, mebendazole, Musa

paradisiaca.

ABSTRACT

FENTI NURUL. Persistance of Endoparasite Gnathostoma sp. in Ricefield Eel

Monopterus albus and controling use Mebendazole and banana Musa paradisiaca

stem extract. Supervised by SRI NURYATI and YANI HADIROSEYANI.

Rice field eel (Monopterus albus) is a freshwater fish which contained

good nutritional values. However, M. albus becomes host for worm (Gnathostoma

sp) and zoonosis to consumer. Aim of this research was to inventory existence of

Gnathostoma sp. in M. albus, examine effectivity both mebendazole 500 mg and

banana (Musa paradisiaca) stem extract by in vitro trials to control the worm.

Immersion of Gnathostoma sp. by in vitro, either in mebendazole and

M.paradisiaca stem extract indicated positive correlation both solution

concentration and mortality rate of the worm. The result of this study showed that

immersion using mebendazole and M. paradisiaca affected to mortality of the

Gnathostoma sp. in 2-3 days and 6-7 days immersion respectively. In other hand,

immersion by physiological solution caused mortality of Gnathostoma sp in 11-12

days immersion.

Keywords: Ricefield eel (Monopterus albus), Gnathostoma sp, in vitro,

mebendazole, Musa paradisiaca

Page 4: PERSISTENSI CACING ENDOPARASIT Gnathostoma sp. PADA … · Hb= Hemoglobin, Hc= Hematokrit, SDM = Sel darah merah, SDP = Sel darah putih, P= Prevalensi, I= Inte nsitas, MB= Mebendazole,

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Perikanan

Pada

Departemen Budidaya Perairan

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2015

PERSISTENSI CACING ENDOPARASIT Gnathostoma sp. PADA

BELUT SAWAH Monopterus albus DAN PENGENDALIANNYA

MENGGUNAKAN MEBENDAZOLE DAN EKSTRAK BATANG

PISANG AMBON Musa paradisiaca

Page 5: PERSISTENSI CACING ENDOPARASIT Gnathostoma sp. PADA … · Hb= Hemoglobin, Hc= Hematokrit, SDM = Sel darah merah, SDP = Sel darah putih, P= Prevalensi, I= Inte nsitas, MB= Mebendazole,
Page 6: PERSISTENSI CACING ENDOPARASIT Gnathostoma sp. PADA … · Hb= Hemoglobin, Hc= Hematokrit, SDM = Sel darah merah, SDP = Sel darah putih, P= Prevalensi, I= Inte nsitas, MB= Mebendazole,
Page 7: PERSISTENSI CACING ENDOPARASIT Gnathostoma sp. PADA … · Hb= Hemoglobin, Hc= Hematokrit, SDM = Sel darah merah, SDP = Sel darah putih, P= Prevalensi, I= Inte nsitas, MB= Mebendazole,
Page 8: PERSISTENSI CACING ENDOPARASIT Gnathostoma sp. PADA … · Hb= Hemoglobin, Hc= Hematokrit, SDM = Sel darah merah, SDP = Sel darah putih, P= Prevalensi, I= Inte nsitas, MB= Mebendazole,

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah

melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil

diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan

September 2014 sampai Februari 2015 di Laboratorium Kesehatan Ikan dan

Laboratorium Lingkungan Akuakultur, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas

Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor adalah parasit, dengan

judul Persistensi Cacing Endoparasit Gnathostoma sp. pada Belut Sawah

Monopterus albus dan Pengendaliannya Menggunakan Mebendazole dan Ekstrak

Batang Pisang Ambon Musa paradisiaca.

Dalam menyelesaikan penyusunan skripsi ini terdapat pihak yang

membantu dan memberikan motivasi. Oleh karena itu, penulis menyampaikan

ucapan terima kasih kepada Ibu Dr Sri Nuryati, SPi MSi dan Ibu Ir Yani

Hadiroseyani, MM sebagai dosen pembimbing yang selalu memberikan motivasi,

dukungan baik secara material maupun dalam pelaksanaan kegiatan penelitian ini,

serta saran dan kritikan dalam pembuatan penulisan penelitian ini. Ibu Ir Iis

Diatin, MM sebagai dosen penguji tamu, dan Bapak Ir Dadang Shaffrudin, MS

sebagai wakil dosen komisi pembimbing skripsi yang telah memimpin jalannya

sidang serta memberikan saran dalam penulisan ini. Ibu Dr Ir Mia Setiawati, MSi

sebagai dosen pembimbing akademik yang telah memberikan motivasi dan saran

dalam pelaksanaan kegiatan penelitian ini serta arahan dalam pelaksanaan

penelitian. Kedua orang tua tercinta yang saya banggakan, (Almarhum) Udin

Djamaludin dan (Almarhumah) Anon Saribanon yang telah memberikan

dukungan dan kasih sayang serta mendoakan selama hidupnya. Saudara tercinta

Kahfi Wijaya, Lukman Hakim, Dzikri Maulana, Fitria Maryati, Yani Maryani,

Mariam, Nia, dan Solihin yang telah memberikan dukungan secara moral dan

semangat dalam menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Ka Dendi 45, Ka Rahman,

Bapak Ranta, M Firdaus, Anisa Rahmia, Ibu Oca, Selia Hermawati, Ka Sepriadi,

Fadhilatun, Iqbal, Ermianus, Ka Dian, Hana, Maysilvani, Kiki, Ridhana, Risma,

Yodi, Adel, Mulyati, Syifa, Mita, Yuri, Ka Ike, Ka Nadia, Asda, Syifa, dan Irma

yang telah membantu dalam penelitian ini. Keluarga besar Asrama Putri Dramaga

IPB atas kebersamaannya dan motivasi yang telah diberikan selama penelitian.

Keluarga besar BDP 48 dan keluarga besar LKI yang telah memberikan semangat

dalam kegiatan penelitian ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat

Bogor, Juni 2015

Fenti Nurul

Page 9: PERSISTENSI CACING ENDOPARASIT Gnathostoma sp. PADA … · Hb= Hemoglobin, Hc= Hematokrit, SDM = Sel darah merah, SDP = Sel darah putih, P= Prevalensi, I= Inte nsitas, MB= Mebendazole,

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ................................................................................................... x

DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. x

DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................... x

PENDAHULUAN .................................................................................................. 1

Latar Belakang .................................................................................................... 1

Tujuan Penelitian ................................................................................................. 1

METODE ............................................................................................................... 2

Prosedur Penelitian .............................................................................................. 2

Parameter Penelitian dan Analisis Data .............................................................. 6

HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................... 6

Hasil ..................................................................................................................... 6

Pembahasan ....................................................................................................... 11

KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................ 14

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 14

LAMPIRAN .......................................................................................................... 17

RIWAYAT HIDUP ............................................................................................... 19

Page 10: PERSISTENSI CACING ENDOPARASIT Gnathostoma sp. PADA … · Hb= Hemoglobin, Hc= Hematokrit, SDM = Sel darah merah, SDP = Sel darah putih, P= Prevalensi, I= Inte nsitas, MB= Mebendazole,

DAFTAR TABEL

1 Pengukuran panjang dan lebar cacing Gnathostoma sp (n=10) .......................... 7

2 Prevalensi dan intensitas rata-rata cacing Gnathostoma sp. pada belut

sawah Monopterus albus (n=51) ....................................................................... 8

3 Persentase organ terinfeksi cacing Gnathostoma sp ........................................... 9

4 Nilai hematologi belut tidak terinfeksi dan belut terinfeksi cacing

Gnathostoma sp. (n=51) ..................................................................................... 9

DAFTAR GAMBAR

1 Skema tahapan pengerjaan penelitian bahan uji belut sawah .......................... 2

2 Pengukuran kista cacing Gnathostoma sp .......................................................... 4

3 Pengukuran cacing Gnathostoma sp. .................................................................. 5

4 Bahan perendaman cacing yang digunakan untuk pengendalian secara in

vitro . ................................................................................................................... 6

5 Tahapan cacing Gnathostoma sp. keluar dari kista (preparat segar) ................ 7

6 Morfologi cacing Gnathostoma sp. berdasarkan preparat segar dan

awetan ................................................................................................................ 7

7 Keberadaan cacing Gnathostoma sp. berdasarkan kelompok ukuran

panjang belut ....................................................................................................... 8

8 Kelangsungan hidup cacing Gnathostoma sp. akibat perendaman

mebendazole secara in vitro ................................................................................ 9

9 Kelangsungan hidup cacing Gnathostoma sp. akibat perendaman ekstrak

batang pisang ambon secara in vitro ................................................................ 10

10 Nilai pH mebendazole dan ekstrak batang pisang ambon serta larutan

fisiologis ........................................................................................................... 10

DAFTAR LAMPIRAN

1 Tahapan pembuatan larutan mebendazole ...................................................... 17

2 Tahapan pembuatan larutan ekstrak batang pisang ambon ............................ 17

3 Tahapan pengumpulan cacing Gnathostoma sp ................................................ 18

4 Siklus hidup Gnathostoma ............................................................................... 18

Page 11: PERSISTENSI CACING ENDOPARASIT Gnathostoma sp. PADA … · Hb= Hemoglobin, Hc= Hematokrit, SDM = Sel darah merah, SDP = Sel darah putih, P= Prevalensi, I= Inte nsitas, MB= Mebendazole,

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Belut sawah Monopterus albus merupakan salahsatu komoditas perikanan

asli Indonesia yang hidup di perairan berlumpur. Belut memiliki prospek sangat

tinggi dalam memenuhi kebutuhan protein masyarakat, menurut Alit (2009)

kebutuhan protein masyarakat Indonesia sekitar 80 gram/orang/hari berasal dari

protein hewani ikan. Oleh karena itu dalam memenuhi kebutuhan protein tersebut,

belut dapat menjadi pilihan bahan pangan sumber protein hewani. Bahkan di pasar

ekspor penjualan belut meningkat dari tahun ke tahun, pada tahun 2008 ekspor

belut sebesar 2.676 ton meningkat menjadi 4.744 ton tahun 2009 (WPI 2010).

Ekspor belut yang membaik merupakan indikasi manfaat belut yang tinggi dan

digunakan sebagai bahan obat untuk penyakit manusia salah satunya penyakit

kardiovaskuler (Freije dan Awadh 2010).

Permasalahan belut saat ini adalah belut bertindak sebagai inang antara

cacing Gnathostoma sp. merupakan cacing nematoda yang bersifat zoonosis. Hal

ini memicu penolakan ekspor Indonesia untuk komoditas belut ke Cina seperti

berita dari kantor Xin Hua tanggal 17 Mei 2011 yang melaporkan telah ditemukan

cacing parasitik Gnathostoma spinigerum pada belut yang berasal dari Thailand

dan Indonesia (Puspasari 2013). Importir dari Cina kini menghentikan impor belut

dari Indonesia, hal ini dapat menimbulkan kerugian ekonomi bagi Indonesia.

Nugroho (2013) menyatakan bahwa belut sawah yang diperiksa di Balai Uji

Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan, Kementerian

Kelautan dan Perikanan, Jakarta Timur positif terinfeksi cacing Gnathostoma

dengan nilai prevalensi 26.61% (n=124) dan intensitas 2 ind/ekor. Khati et al.

(2014) menyatakan bahwa belut sawah yang berasal dari hasil tangkapan alam di

daerah Kabupaten Kampar Riau positif terinfeksi cacing Gnathostoma dengan

prevalensi 46.68% (n=30) dan intensitas 31 ind/ekor. Oleh karena itu, perlu

adanya pengendalian unuk mengurangi keberadaan cacing parasitik tersebut pada

belut.

Cacing nematoda parasitik umumnya dapat dikendalikan menggunakan obat

berbahan aktif mebendazole 500 mg (Bossche dan Nollin 1973) dan fitofarmaka

ekstrak batang pisang ambon. Batang pisang ambon merupakan salah satu limbah

yang tidak termanfaatkan dan tidak bernilai ekonomis akan tetapi berguna untuk

kesehatan (Prasetyo 2008). Menurut Apriasari et al. (2013) kandungan getah

pisang ambon terdapat bahan aktif tanin 67.6%, saponin 14.5 %, fenol 0.3% dan

flavonoid 0.2%. Bahan aktif tersebut sebagai zat anti cendawan, antiseptik dan

antibakteri.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan menginventarisasi keberadaan cacing

Gnathostoma sp. pada belut sawah di Jawa Barat dan mencari konsentrasi yang

tepat dalam mengendalikan Gnathostoma sp. menggunakan bahan aktif

mebendazole 500 mg dan ekstrak batang pisang ambon Musa paradisiaca melalui

metode perendaman secara in vitro.

Page 12: PERSISTENSI CACING ENDOPARASIT Gnathostoma sp. PADA … · Hb= Hemoglobin, Hc= Hematokrit, SDM = Sel darah merah, SDP = Sel darah putih, P= Prevalensi, I= Inte nsitas, MB= Mebendazole,

2

Pengambilan sampel

darah belut

Hematologi

Hb

SDM SDP

Pemeriksaan cacing

Gnathostoma sp.

Pengendalian cacing

secara in vitro

Identifikasi Persistensi

Morfologi Morfometrik

I P

MB EB

PA

Gambar 1 Skema tahapan pengerjaan penelitian bahan uji belut sawah

Hb= Hemoglobin, Hc= Hematokrit, SDM = Sel darah merah, SDP = Sel darah

putih, P= Prevalensi, I= Intensitas, MB= Mebendazole, EBPA = Ekstrak batang

pisang ambon.

Hc

METODE PENELITIAN

Prosedur Penelitian

Penelitian ini dibagi ke dalam 3 tahap pengerjaan yaitu pengamatan

sampel darah belut, pemeriksaan cacing, dan pengendalian cacing (Gambar 1).

Belut merupakan hasil tangkapan alam dari sawah dan dibawa ke laboratorium

untuk pemeriksaan. Belut dibiarkan hidup sampai pengambilan darah belut dan

cacing.

Hematologi Belut

Pengambilan Darah

Belut dipingsankan menggunakan larutan bius merk Arowana stabilizer

(Qian Hu Corporation Ltd, Singapore) sebanyak 3 ml yang dilarutkan dalam 1

Belut sawah hasil tangkapan

Page 13: PERSISTENSI CACING ENDOPARASIT Gnathostoma sp. PADA … · Hb= Hemoglobin, Hc= Hematokrit, SDM = Sel darah merah, SDP = Sel darah putih, P= Prevalensi, I= Inte nsitas, MB= Mebendazole,

3

liter air. Ember yang berukuran panjang 30 cm diisi larutan bius dan ditutup

bagian atas ember menggunakan serbet sampai tidak ada udara yang masuk,

kemudian ditunggu 8-10 menit. Darah diambil dengan cara belut disimpan pada

baki, selanjutnya jarum suntik (syringe) dibilas dengan antikoagulan (Na-sitrat

3.8%). Jarum suntik diarahkan ke bagian intravena sebelah anus. Darah dihisap

sebanyak 0.3 ml dan jarum suntik dicabut, kemudian darah ditempatkan ke dalam

eppendorf yang telah dibilas dengan natrium sitrat.

Kadar Hemoglobin

Kadar hemoglobin dibaca dengan cara HCl 0.1 N dimasukkan pada tabung

hemometer sampai skala 10 merah. Darah diambil sebanyak 0.02 ml dan diaduk

sampai berwarna kecoklatan selama 3-5 menit. Kemudian ditambahkan aquades

sampai warna sama dengan kedua warna larutan standar dan dibaca pada skala

kuning jalur g% (Wedemeyer dan Yasutake 1977).

Kadar Hematokrit

Darah dihisap sebanyak ¾ bagian menggunakan tabung mikrohematokrit

dan disumbat dengan cristoseal 1 mm. Darah disentrifugasi dengan kecepatan

3000 rpm selama 5 menit. Nilai hematokrit dihitung dengan rumus (Anderson dan

Siwicki 1993).

Hematokrit = Panjang endapan darah x 100%

Panjang volume darah

Sel Darah Merah

Darah dihisap sampai skala 0.5 menggunakan pipet berisi bulir warna

merah. Setelah itu, darah diberi larutan hayem’s sampai skala 101 ml dan

dihomogenkan membentuk angka delapan selama 3-5 menit. Darah dibuang 2

tetes pertama kemudian diteteskan pada haemacytometer tipe Neubaeur dan

ditutup dengan kaca penutup. Sel darah merah diamati menggunakan mikroskop

cahaya perbesaran 400x dan dihitung sebanyak 5 kotak kecil (Nabib dan Pasaribu

1989).

Sel darah merah = Jumlah sel terhitung x faktor pengencer

Kotak yang dihitung

Sel Darah Putih

Darah dihisap sampai skala 0.5 menggunakan pipet yang berisi bulir warna

putih. Darah diberi larutan turk’s sampai skala 11 dan dihomogenkan membentuk

angka delapan selama 3-5 menit. Darah dibuang 2 tetes pertama kemudian

diteteskan pada haemacytometer tipe Neubaeur dan ditutup dengan kaca penutup.

Sel darah putih diamati menggunakan mikroskop cahaya perbesaran 400x dan

dihitung sebanyak 5 kotak kecil (Nabib dan pasaribu 1989).

Sel darah putih = Jumlah sel yang terhitung x faktor pengencer

Kotak yang dihitung

Page 14: PERSISTENSI CACING ENDOPARASIT Gnathostoma sp. PADA … · Hb= Hemoglobin, Hc= Hematokrit, SDM = Sel darah merah, SDP = Sel darah putih, P= Prevalensi, I= Inte nsitas, MB= Mebendazole,

4

Identifikasi Cacing Gnathostoma sp.

Identifikasi cacing dilakukan pada cacing yang berasal dari belut. Belut

dibedah dari anterior kepala sampai posterior anus. Organ internal belut

dipisahkan bagian hati, usus, otot, dan gonad yang dimasukkan kedalam larutan

fisiologis. Organ tersebut diamati menggunakan mikroskop stereo dan organ yang

terkena cacing diambil menggunakan jarum dan pinset. Dalam organ belut cacing

yang terbungkus kista, kista dilepaskan dari organ cacing untuk dilakukan

pengukuran. Pengukuran panjang dan lebar kista disajikan pada Gambar 2. Kista

kemudian dipecahkan untuk mengeluarkan cacing. Identifikasi cacing

Gnathostoma sp. meliputi pengamatan morfometrik dan morfologi yang terdiri

dari pengukuran panjang dan lebar cacing serta panjang dan lebar kista.

Pemeriksaan selanjutnya dilakukan pada cacing yang sudah diawetkan.

Pembuatan Preparat Cacing Gnathostoma sp.

Cacing difiksasi menggunakan BNF 10% selama 24 jam (Jung et al.

2008; Guerrero et al. 2014). Kemudian dilakukan proses hidrasi yaitu cacing

direndam dalam alkohol bertingkat mulai 70%, 50%, dan 35% masing-masing

selama 5 menit, kemudian dilakukan pewarnaan dengan merendam cacing dalam

larutan acetocarmine selama 10-15 menit. Spesimen cacing dari tahap pewarnaan

dilanjutkan pembilasan menggunakan aquades selama 5 menit. Kemudian proses

dehidrasi yaitu cacing direndam dalam alkohol 35%, 50%, 70%, 80%, 90%, dan

100% masing-masing selama 5 menit. Kemudian dilanjutkan proses penjernihan

yaitu cacing direndam dalam xylol 1,2, dan 3 masing-masing selama 1 menit.

Tahap mounting dilakukan dengan cara spesimen cacing disimpan pada kaca

objek dan diberi 1 tetes xylol agar spesimen tidak kering dan ditutup dengan kaca

penutup yang direkatkan entellan (Soulbsy 1982; LKI 2013). Preparat cacing

dikeringkan selama 24 jam dan diamati menggunakan mikroskop cahaya

perbesaran 10 x.

Gambar 2 Pengukuran kista cacing Gnathostoma sp. P= panjang kista cacing,

L= lebar kista cacing.

Pengukuran panjang dan lebar cacing Gnathostoma sp. mengikuti Lee

(1988) seperti disajikan pada Gambar 3.

P

L

Page 15: PERSISTENSI CACING ENDOPARASIT Gnathostoma sp. PADA … · Hb= Hemoglobin, Hc= Hematokrit, SDM = Sel darah merah, SDP = Sel darah putih, P= Prevalensi, I= Inte nsitas, MB= Mebendazole,

5

Gambar 3 Pengukuran panjang dan lebar cacing Gnathostoma sp. PA= panjang

anterior, LA= lebar anterior, PE= panjang esofagus, LE= lebar

esofagus, PTT= panjang total tubuh LTK= lebar tubuh kecil, LTB =

lebar tubuh besar, PP= panjang posterior, LP= lebar posterior.

Prevalensi dan Intensitas Parasit

Keberadaan cacing dihitung dari 51 ekor belut yang diperiksa pada bagian

organ hati, usus, otot, dan gonad. Masing-masing organ tersebut diambil dari

tubuh cacing menggunakan jarum dan pinset dan direndam dalam larutan NaCl

0.85%. Berikut ini merupakan rumus perhitungan prevalensi dan intensitas parasit

(Dogiel et al. 1970 ; Kabata 1985).

Prevalensi = Jumlah ikan yang terinfeksi x 100%

Jumlah ikan yang diperiksa

Intensitas rata-rata = Jumlah parasit tertentu yang ditemukan

Jumlah ikan yang terinfeksi

Potensi Pengendalian: Mebendazole dan Ekstrak Batang Pisang Ambon

Pembuatan larutan mebendazole dan ekstrak batang pisang ambon untuk

merendam cacing Gnathostoma sp. secara in vitro menggunakan rumus:

M1.V2 = M2.V2

Pembuatan larutan stok mebendazole dibuat dengan cara 25 mg

mebendazole ditumbuk menggunakan mortar, setelah itu dilarutkan dalam 1 liter

larutan fisiologis. Kemudian dimasukkan ke dalam rumus pengenceren untuk

pembuatan larutan konsentrasi 5 ppm, 10 ppm, 15 ppm, dan 20 ppm dengan

volume perendaman masing-masing perlakuan sebesar 20 ml. Tahapan pembuatan

larutan mebendazole dapat dilihat pada Lampiran 1. Pengukuran pH dilakukan

sebelum cacing direndam.

Pembutan larutan ekstrak batang pisang ambon dilakukan dengan cara

batang pisang ambon 500 gram dipotong kecil-kecil dengan ukuran 1 cm.

Kemudian metode selanjutnya mengacu (Nurfitrianingrum 2014) yaitu batang

pisang ambon di haluskan menggunakan hand blender sampai hancur hingga

didapatkan cairan segar batang pisang ambon. Larutan stok dibuat dengan cara

cairan segar batang pisang ambon diambil 25 ml dan dilarutkan dalam 100 ml

LTK

PP

LE LA

PA

LTB

LP PTT

PE

Page 16: PERSISTENSI CACING ENDOPARASIT Gnathostoma sp. PADA … · Hb= Hemoglobin, Hc= Hematokrit, SDM = Sel darah merah, SDP = Sel darah putih, P= Prevalensi, I= Inte nsitas, MB= Mebendazole,

6

larutan fisiologis. Kemudian dimasukkan kedalam rumus pengenceran untuk

pembuatan larutan konsentrasi 4%, 8%, 12 %, dan 16% dengan volume masing-

masing perendaman 20 ml. Tahapan pembuatan larutan ekstrak batang pisang

ambon dapat dilihat pada Lampiran 2. Pengukuran pH dilakukan sebelum cacing

direndam.

Perendaman Cacing secara In Vitro

Perendaman cacing dilakukan pada 3 jenis larutan yaitu larutan fisiologis

sebagai kontrol, larutan mebendazole dan ekstrak batang pisang ambon. Cacing

dikeluarkan dari kista menggunakan jarum dan pinset (Lampiran 3). Kemudian

setiap 3 ekor cacing dimasukkan ke dalam wadah masing-masing perlakuan sesuai

metode Fitriana (2008) seperti terlihat pada Gambar 4. Kematian cacing

berdasarkan pengamatan visual dilihat dari pergerakan cacing dan warna cacing

diamati setiap jam menggunakan mikroskop stereo. Cacing yang mati diketahui

dari tubuh yang lurus, tidak bergerak, berwarna putih dan lama kelamaan menjadi

hancur.

Larutan Fisiologis Mebendazole Estrak Batang Pisang Ambon

Analisis Data

Data kuantitatif yang diperoleh dari penelitian ini meliputi morfometrik,

keberadaan, dan kelangsungan hidup parasit serta hematologi belut. Data tersebut

disajikan dalam bentuk tabel dan grafik dianalisis secara deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Identifikasi Cacing Gnathostoma sp.

Tahapan cacing Gnathostoma sp. keluar dari kista berdasarkan preparat

segar disajikan pada Gambar 5.

8

%

%

5

ppm

10

ppm

4

%

0

20

ppm 15

ppm

12

%

16

%

Gambar 4 Bahan perendaman cacing untuk pengendalian secara in vitro

Page 17: PERSISTENSI CACING ENDOPARASIT Gnathostoma sp. PADA … · Hb= Hemoglobin, Hc= Hematokrit, SDM = Sel darah merah, SDP = Sel darah putih, P= Prevalensi, I= Inte nsitas, MB= Mebendazole,

7

Gambar 5 Tahapan cacing Gnathostoma sp. keluar dari kista (preparat segar)

a= kista cacing utuh, b= cacing mulai keluar dari kista, c= cacing

memisah dari kista.

Morfologi cacing Gnathostoma sp. berdasarkan preparat segar dan

awetan disajikan pada Gambar 6.

Gambar 6 Morfologi cacing Gnathostoma sp. berdasarkan preparat segar dan

awetan. a= preparat segar anterior cacing, b= preparat segar tubuh

cacing, c= preparat segar posterior cacing, d= preparat awetan anterior

cacing, e= preparat awetan tubuh cacing, f= preparat awetan posterior

cacing.

Hasil pengukuran panjang dan lebar kista cacing Gnathostoma sp.

tercantum pada Tabel 1

Tabel 1 Pengukuran panjang dan lebar cacing Gnathostoma sp. (n=10) Bagian organ

cacing

Panjang (mm) Lebar tubuh

kecil (mm)

Lebar tubuh

besar (mm)

Anterior 0.09+0.02 0.06+0.02 -

Esofagus 1.22+0.10 0.20+0.02 -

Tubuh 7.96+1.33 0.23+0.04 0.29+0.06

Posterior

Kista

0.16+0.04

1.67+0.35

0.10+0.04

1.48+0.42

-

-

Cacing yang ditemukan pada penelitian ini berukuran panjang 7.96+1.33

mm lebar tubuh cacing dibagi menjadi 2 bagian yaitu lebar tubuh kecil berukuran

0.23+0.04 mm dan lebar tubuh besar berukuran 0.29+0.06 mm.

Prevalensi Cacing Gnathostoma sp.

Page 18: PERSISTENSI CACING ENDOPARASIT Gnathostoma sp. PADA … · Hb= Hemoglobin, Hc= Hematokrit, SDM = Sel darah merah, SDP = Sel darah putih, P= Prevalensi, I= Inte nsitas, MB= Mebendazole,

8

Nilai prevalensi dan intensitas rata-rata cacing Gnathostoma sp. dari 51

ekor belut sawah yang diperiksa mencapai 60.78% dan 1.6 (Tabel 2).

Tabel 2 Prevalensi dan intensitas rata-rata Gnathostoma sp. belut sawah

Monopterus albus (n=51) Kelompok ukuran belut (cm) Prevalensi % Intensi Intensitas rata-rata ind/ekor

Kelompok 1 : 17.5-20.2 cm 1.96 (n=1) 1 (n=1)

Kelompok 2 : 20.3-23 cm 13.75 (n=7) 1.42 (n=10)

Kelompok 3 : 23.1-25.8 cm 13.75 (n=7) 1.57 (n=11)

Kelompok 4 : 25.9-28.6 cm 19.61 (n=10) 1.5 (n=15)

Kelompok 5 : 28.7-31.4 cm 7.84 (n=4) 2.25 (n=9)

Kelompok 6 : 31.5-34.2 cm 1.96 (n=1) 5 (n=5)

Kelompok 7 : 34.3-37 cm 1.96 (n=1) 1 (n=1)

Total 60.78 1.6

Berdasarkan 7 kelompok ukuran panjang ternyata masing-masing ukuran

bervariasi dalam prevalensi dan intensitas tersebut. Prevalensi terendah terjadi

pada kelompok ukuran 1, 6 dan 7. Prevalensi tertinggi pada kelas 4. Intensitas

terendah pada kelompok 1, dan 7. Intensitas tertinggi terdapat pada kelompok 6.

Keberadaan Cacing Gnathostoma sp. Berdasarkan Ukuran Belut

Keberadaan cacing Gnathostoma sp. berdasarkan masing-masing

kelompok ukuran panjang belut menunjukkan pada semua kelompok ukuran

terdapat belut yang tidak terinfeksi cacing (Gambar 7).

Gambar 7 Keberadaan cacing Gnathostoma sp. berdasarkan kelompok ukuran

panjang belut.

Belut berdasarkaan kelompok ukuran terpendek (17.5-20.2 cm) dan

terpanjang (31.5-37 cm) paling sedikit terinfeksi cacing. Jumlah cacing yang

paling banyak ditemukan yaitu pada kelompok ukuran 3, 4 dan 5.

Gambar 7 Frekuensi kejadian cacing Gnathostoma sp. berdasarkan

masing-masing kelompok panjang belut

0

2

4

6

8

10

12

14

16

17.5-20.2 20.3-23 23.1-25.8 25.9-28.6 28.7-31.4 31.5-34.2 34.3-37

Ke

be

rad

aan

Cacin

g (e

kor)

Kelompok Ukuran Panjang (cm)

5 cacing

4 cacing

3 cacing

2 cacing

1 cacing

0 cacing

Page 19: PERSISTENSI CACING ENDOPARASIT Gnathostoma sp. PADA … · Hb= Hemoglobin, Hc= Hematokrit, SDM = Sel darah merah, SDP = Sel darah putih, P= Prevalensi, I= Inte nsitas, MB= Mebendazole,

9

0

1

2

3

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Jum

lah

cac

ing

(eko

r)

Hari ke-

0 ppm

5 ppm

10 ppm

15 ppm

20 ppm

Persentase Organ Belut yang terinfeksi Cacing Gnathostoma sp.

Persentase organ yang terinfeksi cacing Gnathostoma sp. pada belut sawah

disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Persentase organ belut sawah terinfeksi cacing Gnathostoma sp. Organ

Persentase Infeksi Gnathostoma sp.

(n=31)

Hati 80.64

Otot

Usus

Gonad

19.36

0

0

Dari 4 organ belut yang diperiksa cacing ditemukan pada organ internal

hati 80.64 % dan otot 19.36%, sedangkan organ usus dan gonad tidak di infeksi

oleh cacing Gnathostoma sp.

Parameter Hematologi Belut

Nilai hematologi belut sawah terinfeksi dan tidak terinfeksi cacing

Gnathostoma sp. disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Nilai hematologi belut tidak terinfeksi dan belut terinfeksi cacing

Gnathostoma sp. (n=51)

Parameter Belut tidak terinfeksi (n=20) Belut terinfeksi (n=31)

Hematokrit % 48.91 + 12.32 47.40 + 9.60

Hemoglobin g% 18.24 + 1.42 16.66 + 2.14

SDM (106

sel/mm3) 3.94 + 1.22 2.55 + 0.93

SDP (105

sel/mm3) 0.71 + 0.19 0.87 + 0.28

Belut yang tidak terinfeksi cenderung memiliki nilai hematologi yang

lebih besar dibandingkan dengan belut yang terinfeksi cacing Gnathostoma sp.

kecuali nilai sel darah putih.

Potensi Pengendalian Cacing Gnathostoma sp.

Kelangsungan Hidup Cacing dengan Perlakuan Mebendazole

Kelangsungan hidup cacing Gnathostoma sp. akibat perendaman secara in

vitro menggunakan mebendazole disajikan pada Gambar 8.

Gambar 8 Kelangsungan hidup cacing Gnathostoma sp. akibat perendaman

mebendazole secara in vitro.

Page 20: PERSISTENSI CACING ENDOPARASIT Gnathostoma sp. PADA … · Hb= Hemoglobin, Hc= Hematokrit, SDM = Sel darah merah, SDP = Sel darah putih, P= Prevalensi, I= Inte nsitas, MB= Mebendazole,

10

Pengendalian cacing Gnathostoma sp. secara in vitro menggunakan bahan

aktif mebendazole mengakibatkan kematian dalam jumlah dan waktu yang

berbeda-beda. Dimana semakin tinggi konsentrasi mebendazole kematian cacing

semakin cepat.

Kelangsungan Hidup Cacing dengan Perlakuan Ekstrak Batang Pisang

Ambon Kelangsungan hidup cacing Gnathostoma sp. perendaman secara in vitro

menggunakan ekstrak batang pisang ambon disajikan pada Gambar 9.

Gambar 9 Kelangsungan hidup cacing Gnathostoma sp. akibat perendaman

ekstrak batang pisang ambon secara in vitro.

Pengendalian cacing Gnathostoma sp. secara in vitro menggunakan

ekstrak batang pisang ambon mengakibatkan kematian dalam jumlah dan waktu

yang berbeda-beda. Nilai pH disajikan pada Gambar 10.

Nilai pH : Mebendazole dan ekstrak batang pisang ambon

Nilai pH mebendazole dan ekstrak batang pisang ambon serta larutan

fisiologis disajikan pada Gambar 10.

7.28 7.14 6.98 6.83

1

3

5

7

9

11

13

4% 8% 12% 16%

Nil

ai p

H

Konsentrasi EBPA

7.36 7.38 7.41 7.45

1

3

5

7

9

11

13

5 ppm 10 ppm 15 ppm 20 ppm

Nila

i p

H

Konsentrasi MB

Page 21: PERSISTENSI CACING ENDOPARASIT Gnathostoma sp. PADA … · Hb= Hemoglobin, Hc= Hematokrit, SDM = Sel darah merah, SDP = Sel darah putih, P= Prevalensi, I= Inte nsitas, MB= Mebendazole,

11

Gambar 10 Nilai pH mebendazole dan ekstrak batang pisang ambon. MB=

perlakuan mebendazole, EBPA= perlakuan ekstrak batang pisang

ambon

Nilai pH bahan aktif mebendazole menunjukkan semakin tinggi

konsentrasi peningkatan terhadap nilai pH, sedangkan ekstrak batang pisang

ambon semakin tinggi konsentrasi menunjukkan penurunan nilai pH. Larutan

fisiologis sebanyak 4 kali pengukuran menunjukkan nilai pH yang sama.

Pembahasan

Belut yang diteliti terbukti mengandung cacing parasitik Gnathostoma sp.

Hal ini diketahui dari hasil identifikasi morfologi dan morfometrik; keberadaan

pada organ hati dan otot; serta prevalensi dan intensitas parasit tersebut. Menurut

Janwan et al. (2014) cacing parasit tersebut termasuk kelompok parasit zoonosis

phylum nematoda yang mengakibatkan penyakit human Gnathhostomiasis, dan

penyakit ini merupakan penyakit endemik Asia dan Amerika. Cacing tersebut

merupakan parasit internal yang memiliki banyak inang dalam hidupnya dan

manusia sebagai inang yang tidak normal atau incidental host bagi cacing tersebut

(Lucey dan Rusnak 1993).

Gnathostoma sp. pada belut sawah yang ditemukan terbungkus dalam kista

bewarna putih dengan dimensi 1.67+0.35 x 1.48+0.42 mm. Cacing memiliki

ukuran panjang tubuh 7.96+1.33 mm berada dalam kisaran ukuran cacing hasil

penelitian Khati et al. (2013) yaitu 5-20 mm. Saluran pencernaan cacing

Gnathostoma sp. terdiri dari esofagus, usus dan anus. Saluran pencernaan tersebut

sesuai dengan hasil penelitian Lee (1988) dan Nugroho (2013) bahwa saluran

pencernaan cacing Gnathostoma spinigerum cukup sederhana terdiri dari

esofagus, usus dan anus.

Prevalensi Gnathostoma mencapai 60.78% dengan intensitas rata-rata 1-2

ind/ekor. Keberadaan cacing dengan nilai tersebut tidak dapat dibiarkan karena

berpotensi mengganggu kesehatan belut. Menurut Fitriana (2008) cacing yang

terdapat dalam tubuh hewan tidak menimbulkan kematian akan tetapi

menyebabkan kerugian berupa penurunan produksi karena mengakibatkan

pertumbuhan terhambat. Infeksi Gnathostoma sp. tertinggi pada kelompok ukuran

panjang 25.9-28.6 cm dan infeksi terendah pada kelompok ukuran 17.5-20.2 cm

dan 34.3-37 cm. Keadaan ini diduga diakibatkan oleh pakan alami di alam. Secara

alamiah belut kecil memakan zooplankton dan zoobenthos, setelah mulai dewasa

7.19 7.19 7.19 7.19

1

3

5

7

9

11

13

1 2 3 4

Nila

i p

HLarutan fisiologis

Page 22: PERSISTENSI CACING ENDOPARASIT Gnathostoma sp. PADA … · Hb= Hemoglobin, Hc= Hematokrit, SDM = Sel darah merah, SDP = Sel darah putih, P= Prevalensi, I= Inte nsitas, MB= Mebendazole,

12

belut memakan larva serangga, cacing, siput, kodok, benih ikan (Sarwono 1999).

Kebiasaan makan alami belut menurut Bahri (2000) berdasarkan kelompok

ukuran panjang 17-21.7 cm belut lebih banyak memakan Insekta sebesar 64.1%

dan Oligochaeta 28.57% serta tidak teridentifikasi 7.34%, kemudian kelompok

ukuran panjang 21.8-26.2 Insekta 15.04%, Oligochaeta 28.8%, tidak

teridentifikasi 51.63%, Pisces 3.54%, kelompok ukuran panjang 26.5-30.7 cm

pakan alami belut yaitu Insekta 35.71%, Oligochaeta 33.34%, tidak teridentifikasi

4.75%, Pisces 7.14% dan Crustasea 19.04%, kelompok ukuran panjang 30.8-35.2

cm pakan alami belut yaitu Insekta 5.2%, Oligochaeta 51.99%, Gastropoda

28.07%, Pisces 5.25% dan Hirudinea 8.32%, dan kelompok ukuran panjang 35.3-

39.7 cm pakan alami belut yaitu Insekta 81.23%, Gastropoda 36,37% dan tidak

teridentifikasi 2.04% (Bahri 2000). Berdasarkan CDC (2009) hewan yang menjadi

inang antara Gnathostoma antara lain Copepoda (Crustasea) dan ikan (Lampiran

4). Keberadaan Gnathostoma pada penelitian ini berkaitan dengan pakan alami

yang menjadi inang antara.

Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 31 ekor belut yang terinfeksi

cacing Gnathostoma sp. persentase tertinggi ditemukan dalam organ hati yaitu

80.64% dan persentase infeksi pada organ otot 19.36%. Nico et al. (2011)

menyatakan infeksi parasit tertinggi pada belut sawah ditemukan pada organ

internal belut seperti hati, otot, dan usus dengan nilai prevalensi 84%. Sedangkan

hasil penelitian Nugroho (2013) menyatakan infeksi Gnathostoma tertinggi

ditemukan pada organ intenal belut adalah organ hati dengan persentase 91.43%

dan otot 8.57% . Infeksi parasit di suatu wilayah yang tinggi diakibatkan oleh

musim, curah hujan, suhu, sinar matahari, keadaan geografis, dan manajemen

pemeliharan (Labarthe et al. 2004).

Parameter hematologi sering digunakan untuk mengetahui kondisi dan

kesehatan ikan. Berdasakan hasil penelitian ini, belut yang tidak terinfeksi cacing

Gnathostoma sp. memiliki nilai hematokrit lebih tinggi dibandingkan dengan nilai

hematologi belut yang terinfeksi cacing Gnathostoma sp. Akan tetapi nilai sel

darah putih pada belut tidak terinfeksi cacing Gnathostoma sp. lebih rendah

dibandingkan belut terinfeksi cacing Gnathostoma sp. Menurut Nuryati et al.

(2010) infeksi dapat meningkatkan sel darah putih untuk pertahanan terhadap

infeksi pathogen. Hasil penelitian Chandrawati (2014) menyatakan ikan yang

terinfeksi bakteri Aeromonas hidrophilla akan mempengaruhi parameter

hematologi belut yaitu hemoglobin darah sel darah merah. Menurut Alamanda et

al. (2000) sel darah merah yang rendah mengakibatkan terhambatnya

metabolisme ikan serta suplai makanan yang diperoleh. Metabolisme yang baik

menyebabkan pertumbuhan ikan yang lebih baik.

Cacing Gnathostoma sp. dapat menginfeksi belut dan manusia melalui

makanan yang dimakan. Manusia diinfeksi dari ikan sebagai inang antara kedua,

seperti makanan sushi dan daging mentah tanpa dimasak terlebih dahulu (Janwan

et al. 2014). Cacing Gnathostoma sp. bersifat membahayakan bagi manusia serta

bagi inang belut tersendiri. Hal ini karena cacing Gnathostoma sp. tersebut dapat

bermigrasi ke dalam jaringan tubuh manusia yang menyebabkan penyakit

Gnathostomiasis dan gejala penyakit pernapasan saraf bahkan kematian (Rusnak

dan Lucey 1993). Infeksi cacing tersebut pada manusia menyerang dapat

mengakibatkan penyakit viseral larva migran yaitu penyakit yang menyerang

fungsi organ akibat migrasi cacing Gnathostoma. Selain itu dapat mengakibatkan

Page 23: PERSISTENSI CACING ENDOPARASIT Gnathostoma sp. PADA … · Hb= Hemoglobin, Hc= Hematokrit, SDM = Sel darah merah, SDP = Sel darah putih, P= Prevalensi, I= Inte nsitas, MB= Mebendazole,

13

penyakit cutanaeus larva migran yaitu penyakit yang menyerang bagian kulit

akibat migrasi cacing nematoda (Rojekittikhun et al. 2002). Ciri belut terinfeksi

cacing Gnathostoma sp. sama dengan ikan yang teserang cacing cestoda yaitu

bobot tubuh berkurang serta warna daging berubah menjadi kuning (Ahmad dan

Sanaaullah 1977). Akan tetapi pengamatan yang dilakukan pada belut warna

tubuh kekuningan tidak ditemukan, hal ini disebabkan intensitas rata-rata yang

didapatkan 1-2 ind/ekor atau cukup rendah sehingga tidak berdampak langsung

terhadap perubahan warna daging pada belut. Menurut (Ompusunggu 1996)

kurang lebih 20 spesies ikan sebagai hospes perantara diantaranya 3 spesies ada di

Filipina, 6 spesies di Cina dan 8 spesies di Jepang. Menurut Rojekittikun et al.

(2004) terdapat 8 spesies ikan yang di infeksi cacing Gnathostoma sp. yaitu

Monopterus albus prevalensi 30.1%, Anabas testidineus 7.7%, Channa striata

7.4%, Clarius macrocephalus 6.7%, Chana micropeltes 5.1%, Chana lucius

4.0%, Clarias bathrachus 1.4%, dan Ompok krattensis 0.6%.

Upaya untuk menghindari gangguan kesehatan akibat serangan

Gnathostoma perlu dilakukan pengendalian agar tidak merugikan konsumen.

Pengendalian secara in vitro yang dilakukan dalam penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui efektivitas dan lama waktu kematian cacing menggunakan obat bahan

aktif mebendazole dan fitofarmaka ekstrak batang pisang ambon. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa pemberian mebendazole berpengaruh lebih cepat terhadap

kematian cacing Gnathostoma sp. dibandingkan dengan ekstrak batang pisang

ambon dan larutan fisiologis. Peningkatan konsentrasi kedua bahan perlakuan

menunjukkan kematian yang lebih cepat. Keadaan ini diduga terkait dengan nilai

pH. Tampaknya larutan basa membunuh cacing lebih cepat dibandingkan dengan

larutan asam. Kematian yang terjadi pada larutan fisiologis diduga akibat tidak

adanya nutrisi bagi cacing sebagai sumber energi untuk hidup.

Menurut Bossche dan Nollin (1973) bahan aktif mebendazole 500 mg

menghambat pengambilan glukosa cacing. Sehingga terjadi pengosongan

glikogen pada cacing dan mengakibatkan kematian. Kematian cacing tersebut

disebabkan oleh adanya rangsangan dari zat anti cacing atau zat anthelmintik.

Adapun dalam getah pisang ambon terkandung zat alami antibiotik dalam

menghambat pertumbuhan jamur dan zat flavones, flavonols, dopamin (Pothavorn

et al.2010). Ekstrak batang pisang ambon telah terbukti dapat digunakan sebagai

bahan pengendalian infeksi cendawan Saprolegnia sp. pada larva ikan gurame

(Aulia 2014). Nurfitrianingrum (2014) menunjukkan bahwa ekstrak pelepah

pisang ambon dapat digunakan sebagai bahan pengendalian infeksi bakteri

Aeromonas hydrophila pada benih ikan gurame. selain itu, dalam penelitian ini

menunjukkan ekstrak batang pisang ambon dapat mematikan cacing Gnathostoma

sp. pada belut sawah secara in vitro.

Bahan aktif mebendazole 500 mg dan ekstrak batang pisang ambon

berpotensi untuk digunakan sebagai bahan pengendalian cacing Gnathostoma sp.

karena terbukti mampu mengakibatkan kematian cacing endoparasit tersebut pada

belut sawah melalui perendaman secara in vitro. Mengingat batang pisang ambon

lebih mudah diperoleh, dan melimpah di alam dibandingkan dengan mebendazole

yang komersial, tampaknya pemanfaatan ekstrak batang pisang lebih ekonomis.

Page 24: PERSISTENSI CACING ENDOPARASIT Gnathostoma sp. PADA … · Hb= Hemoglobin, Hc= Hematokrit, SDM = Sel darah merah, SDP = Sel darah putih, P= Prevalensi, I= Inte nsitas, MB= Mebendazole,

14

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Belut sawah yang berasal dari pesawahan di Jawa Barat dapat terinfeksi

Gnathostoma sp. dengan prevalensi 60.78% dan intensitas rata-rata 1.6 ind/ekor

dan mengakibatkan perubahan pada hematologi belut. Pengendalian secara in

vitro dapat mematikan cacing tersebut, dimana konsentrasi tertinggi dari

mebendazole 20 ppm dan ekstrak batang pisang ambon 16 % mengakibatkan

kematian cacing terjadi lebih cepat.

Saran

Penelitian selanjutnya disarankan pengendalian Gnathostoma sp.

menggunakan ekstrak batang pisang ambon secara in vivo melalui oral maupun

perendaman.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad AT, Sanaaullah M. 1977. Observation on the incidence and intensity of

infestations of some helminth in different lenght-group of H. Fosilis (B)

and C Batrachus (L). Dhaka Univ. Studies 25: 91-98

Alamanda IE, Noor SH, Agung B. 2007. Penggunaan metode hematologi belut

dan pengamatan endoparasit darah untuk penetapan kesehatan ikan lele

dumbo (Clarias gariepinus) di kolam budidaya Desa mangkubumen

boyolali. Biodiversitas. 8 (1) : 34-38

Alit, IGK. 2009. Pengaruh padat penebaran terhadap pertambahan berat dan

panjang badan belut sawah (Monopterus albus). J Biol. Universitas

Udayana. 12 (1): 25-28.

Anderson D P, Siwicki AK. 1993. Basic hematology and serology for fish health

program. Paper presented in second symposium on diseases in asian

aquakultur “aquatic animal and the enviromental”. Phuket, Thailand. 25-

29 th Oktober 1993. 185-202.

Apriasari LM, Iskandar, Suhartono E. 2013. Bioactive compound and antoxidant

activity of methanol ekstract mauli as (Musa sp.) stem. Biochem

4(2):110-115.

Aulia N. 2014. Efektivitas ekstrak batang pisang ambon Musa paradisiaca untuk

pengendalian infeksi Saprolegnia pada larva ikan gurame Osphronemus

gouramy [Skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor

Bahri F. 2000. Studi mengenai aspek biologi ikan belut sawah (Monopterus albus)

di Kecamatan parung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat [Skripsi]. Bogor

(ID): Institut Pertanian Bogor.

Bossche HVD, Nollin SD. 1973. Effect of mebendazole on the absoption low

molecular weight nutrient by Ascaris suum. International J F Parasitol.

Belgium. 3: 401-407.

Page 25: PERSISTENSI CACING ENDOPARASIT Gnathostoma sp. PADA … · Hb= Hemoglobin, Hc= Hematokrit, SDM = Sel darah merah, SDP = Sel darah putih, P= Prevalensi, I= Inte nsitas, MB= Mebendazole,

15

[CDC] Centres for disease control and prevalention. 2009. Parasites health

Gnathostomiasis [Internet]. Bogor (ID): [diunduh 2014 Maret]. Tersedia

pada: http://dpd.cdc.gov/dpdx/html/Gnathostomiasis.htm.

Chandrawati ND. 2014. Evaluasi penambahan ragi bir limbah produksi bir dalam

pakan terhadap kinerja pertumbuhan dan daya tahan tubuh ikan lele

(Claris sp.) akibat infeksi Aeromonas hydrophilla [Skripsi]. Bogor (ID):

Institut Pertanian Bogor.

Dogiel VAG, Petrushevski GK, Polyanski I. 1970. Parasitology of fishes T.F.H.

Publisher, Hongkong. 384 p

Fitriana S 2008. Penapisan fitokimia dan uji aktivitas anthelmintik ekstrak daun

jarak (Jatropha cucas I) terhadap cacing Ascaridia galli secara in vitro

[Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor

Freiji AM, Awadh MN. 2010. Fatty acid composition of turbo Coronatus Gmelin

1973. Brit Fo J. 112 (10): 1049-1062.

Guerrero CA, Guzman MAM, Hurtado FA. 2014. Pathological and parasitological

traits in experimentally infected cat Gnathostoma binucleatum (Spiruida:

Gnathostomatidae).Vetpar.204:279284.doi:10.1016/j.vetpar.2014.04.027.

Jung BK, Lee JJ, Pyo KH, Yoon CH, Lee SH, Shin EH, Chai JY. 2008. Detection

of Gnathostoma spinigerum third-stage in snake heads puchased from a

central part of myanmar. Korean J Parasitol. 46(4): 285-288. doi:

10.3347/kjp.2008.46.4.285

Kabata Z. 1985. Parasites and disease of fish cultured in the tropics. London and

Philadelphia : Taylor and Prancis.

Khati SA, Mahatma R, Windarti. 2014. Parasit pada belut sawah (Monopterus

albus, zuiew 1793) di Desa Sawah Kecamatan Kampar Utara. J onl

mahasis. 1(2). ISSN : 2355-6862.

Kuswanto GA. 2013. Pengaruh pemberian rebon dan keong sawah sebagai pakan

tambahan pada belut sawah (Monopterus albus) dalam media air bersih

terhadap kandungan protein dan berat tubuh [Skripsi] Semarang (ID):

IKIP PGRI Semarang.

[LKI] Laboratorium Kesehatan Ikan. 2013. Teknik pencegahan dan pengobatan

penyakit ikan. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Labarthe N, Serrao ML, Ferreira AMR, Almeida NKO, Guerrero J. 2004. A

survey of gastrointestinal helminths in cats of the metropolitan region of

rio de janeiro, Brazil. Vet parasitol. 123: 133-139. doi: 10.1016/j. vetpar.

2004.06.002.

Lee SH, Hong ST, Chai JY. 1988. Description of male Gnathostoma spinigerum

recovered from a Thai woman with Meningoencephalitis. The Korean J

of Parasitol. 6 (1): 33-38.

Nabib R, Pasaribu FH. 1989. Patologi dan Penyakit Ikan, Departemen Pendidikan

dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan.

Nico LG, Sharp P, Collins TM. 2011. Import asian swamp eel (Synbranchidae :

Monopterus) in North American live food martkets: potensial vectors of

non-native parasite. Aquatic invasions. 6: 69-76. doi:

10.399/ai.2011.1.08.

Nugroho SW. 2013. Hubungan ukuran tubuh dan kejadian kecacingan

Gnathostoma spinigerum pada belut sawah Monopterus albus [Skripsi].

Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Page 26: PERSISTENSI CACING ENDOPARASIT Gnathostoma sp. PADA … · Hb= Hemoglobin, Hc= Hematokrit, SDM = Sel darah merah, SDP = Sel darah putih, P= Prevalensi, I= Inte nsitas, MB= Mebendazole,

16

Nurfitrianingrum IDN. 2014. Efektivitas perendaman benih ikan gurame

Osphronemus gouramy dengan esktak pelepah pisang ambon putih Musa

paradisiaca untuk pengendalian infeksi bakteri Aeromonas hydrophila.

[Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Nuryati S, Maswan NA, Alimudin, Sukenda, Sumantadinata, Pasaribu FH,

Soejoedono RD, Santika A. 2010. Gambaran darah ikan mas setelah

divaksinasi dengan vaksin DNA dan diuji tantang dengan koi

herpesvirus. J Aku Indones. 9(1): 9-15.

Ompusunggu S. 1996. Cacing-cacing manusia yang ditularkan melalui ikan.

Buletin penelitian kesehatan. Jakarta (ID) : VI (3).

Pothavorn P, Kitdamrongsongt K, Swangpol S, Wongniam S, Atawongsa K,

Svasti J, Somana J. 2010. Phytochemical composition of some banana in

Thailand. Agriculuture Food Chemical. 58:15.doi : 10.1021/jf.

Puspasari K. 2013. Karakterisasi protein antigenik larva 3 Gnathostoma

spinigerum pada ikan belut rawa (Monopterus alba) menggunakan teknik

immunoblotting [Tesis]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.

Presetyo BF. 2008. Aktivitas dan uji stabilitas sediaan gel ekstrak batang pisang

ambon Musa paradisiaca var.sapientum dalam proses persembuhan luka

pada mencit Mus musculus albinus [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian

Bogor.

Rojekittikun W, Chaiyasith T, Nuamtanong S, Komalamisra C. 2002. Fish as the

natural second intermediate host of Gnathostoma spinigerum. Southeast

Asian. J Trop Med Parasitol. 33 (3) : 63-89.

Rojekittikun W, Chaiyasith T, Nuamtanong S, Komalamisra C. 2004.

Gnathostoma infection in fish caughat for local consumption in Nakhon

Nayok Province Thailand prevalensi and fish species. Southeast Asian. J

Trop Med Parasitol. 35 (3): 523-730.

Rusnak JM, Lucey DR. 1993. Clinical gnathostomiasis: case report and review of

the english-language literatur. Clin infect dis 16: 33-50.

Sarwono B. 1999. Budidaya belut dan sidat. Jakarta (ID) : Penebar Swadaya

Suolby EJL. 1982. Helminth antropods and protozoa of domesticated animals.

Edisi ke-7. London : Bailiere-Tindall.

[WPI] Warta Pasar Ikan. 2010. Belut dan sidat permintaannya semakin meningkat

Edisi April vol 80. Jakarta (ID) : Direktorat Pemasaran Dalam Negeri.

Wedemeyer GA, Yasutake WT.1977. Clinical methods for theof the assessment of

the effect enviroment stress on the fish health. Technical papers of the

US fish and wildlife service US depart of the interior fish and wildlife

service 89 :1-17

Page 27: PERSISTENSI CACING ENDOPARASIT Gnathostoma sp. PADA … · Hb= Hemoglobin, Hc= Hematokrit, SDM = Sel darah merah, SDP = Sel darah putih, P= Prevalensi, I= Inte nsitas, MB= Mebendazole,

17

Lampiran 1 Tahapan pembuatan larutan mebendazole

Keterangan : a= mebendazole tablet, b= Mortar sebagai alat

penumbuk bahan mebendazole, c= Bahan

pembuatan larutan fisiologis d= botol

plastik sebagai wadah perendaman cacing

Lampiran 2 Tahapan pembuatan larutan ekstrak batang pisang ambon

Keterangan : a.Belut sawah, b.Belut dibedah dari bagian anterior kepala,

c. Kista cacing diambil pada organ hati dan otot

Keterangan : a= batang pisang ambon , b= batang pisang ambon

di blender, c = dilarutkan menggunakan bahan

larutan fisiologis, d= botol plastik sebagai wadah

perendaman cacing.

Page 28: PERSISTENSI CACING ENDOPARASIT Gnathostoma sp. PADA … · Hb= Hemoglobin, Hc= Hematokrit, SDM = Sel darah merah, SDP = Sel darah putih, P= Prevalensi, I= Inte nsitas, MB= Mebendazole,

18

Lampiran 3 Tahapan pengumpulan cacing Gnathostoma sp.

Keterangan : a= belut sawah, b= belut dibedah dari bagian

anterior kepala, c= kista cacing diambil pada

organ internal, d= menggunakan alat bedah

(jarum dan pinset).

Lampiran 4 Siklus hidup Gnathostoma

Sumber: [CDC] Centres for disease control and prevalention (2009)

Page 29: PERSISTENSI CACING ENDOPARASIT Gnathostoma sp. PADA … · Hb= Hemoglobin, Hc= Hematokrit, SDM = Sel darah merah, SDP = Sel darah putih, P= Prevalensi, I= Inte nsitas, MB= Mebendazole,

19

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sukabumi pada tanggal 27 Juli 1992. Penulis adalah

anak ketiga dari enam bersaudara dari pasangan (Alm) Udin Djamaludin dan

(Almh) Anon Saribanon.Penulis mengawali pendidikan di SDN Neglasari tahun

1999-2005. Kemudian melanjutkan pendidikan SMP Negeri 1 Cikakak tahun

2005-2008 dan melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 1 Palabuhanratu tahun

2008-2011. Tahun 2011 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur

USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB), memilih Departemen Budidaya Perairan,

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif mengikuti organisasi intra

dan ekstra kampus. Kegiatan tersebut diantaranya sebagai Anggota Gugus

Disiplin Asrama dan Enterpreneurship TPB IPB tahun 2011/2012. Staf Divisi

Pengembangan Sumberdaya Manusia HIMAKUA periode 2012/2013 dan periode

2013/2014. Staff divisi Forum Rohis Departemen FKM FPIK periode 2013/2014,

Koordinator kebersihan Asrama Putri Dramaga IPB tahun 2012/2013.Serta

penulis juga aktif sebagai asisten praktikum mata kuliah Penyakit Organisme

Akuatik tahun 2014, asisten praktikum mata kuliah Manajemen Kesehatan

Organisme Akuatik tahun 2015. Penulis aktif mengikuti lomba Program

Kreativitas Mahasiswa (PKM) yang didanai oleh Direktorat Jenderal Perguruan

Tinggi (DIKTI). Penulis merupakan penerima beasiswa Bidikmisi IPB tahun

2011/2015.

Penulis pernah melaksanakan magang di CV Sakana Bogor, dan

melakukan kegiatan praktik lapang akuakultur (PLA) di PT.Surya Windu Kartika

Unit Bomo C Banyuwangi-Jawa Timur dengan tulisan yang berjudul

“Pembesaran Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) di PT Surya Windu

Kartika Unit Bomo C Banyuwangi-Jawa Timur’’. Tugas akhir dalam

pendidikan tinggi diselesaikan dengan menulis skripsi yang berjudul “Persistensi

Cacing Endoparasit Gnathostoma sp. Pada Belut Sawah Monopterus albus

dan Pengendaliannya Menggunakan Mebendazole dan Ekstrak Batang

Pisang Ambon Musa paradisiaca.”