Upload
others
View
9
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
MANIFESTASI KLINIS ACCOMMODATIVE EXCESS
ABSTRACTIntroduction : Accommodative and vergence binocular anomalies are vision disorders that affect clarity and binocularity, and impair comfort and efficiency of visual performance of an individual when near tasks such as reading, writing and computer-based works are performed. Accommodative disorders are more significant clinically when diagnosed as syndromes,and reports on original studies reviewed were based on the three main syndromes: accommodative insufficiency (AI), accommodative excess (AE) and accommodative infacility (AIF). AE has been used interchangeably with ciliary spasm, hyper-accommodation, accommodative spasm, pseudo-myopia and spasms of the near reflex. Although AE due to nonorganic could resolved spontaneously over time, in some cases treatment further necessary. Proper diagnosis support appropriate management.Objective : To report a case spasm accommodative.Case Report : A 13-years-old girl came with blurred vision on both eyes since 6 months ago. Ophthalmologic examination revealed that visual acuity for right eye 0.1 and on left eye is 2/60. Refractive correction on right eye with S-6.75 C-1.00 x 35 given BCVA 0.3, while on left eye S-8.50 C-0.50 x 165 given BCVA 0.4. After cycloplegic refraction visual acuity both eyes 1.0. Anterior and posterior segment examination was within normal limit. Patient was diagnosed suspect pseudomyopia ODS.Conclusion : Spasm accommodative clinically give symptoms blurred vision, headache, ocular pain, and intermittent diplopia. Major treatent is treating the cause of spasm accommodative if possible. Further management is given refractive correction, atropine drops, and reduce near vision activity. Prognosis various each patients, relating to the causes.Keywords : accommodative excess, spasm accommodative, pseudomyopia
I. Pendahuluan
Anomali akomodatif dan vergence merupakan gangguan penglihatan yang
mempengaruhi kejernihan dan binocularity, serta mengganggu kenyamanan dan
efisiensi kinerja visual seseorang ketika melakukan tugas dekat seperti membaca,
menulis dan berkerja pada komputer. Pada anomali akomodatif, mata tidak dapat
fokus dengan jelas dan efisien pada benda dengan jarak yang bervariasi, sehingga
mengakibatkan gambar retina yang tidak jelas dengan karakteristik gejala yang
beragam. Gangguan akomodatif lebih signifikan ketika didiagnosis sebagai
1
2
sindrom, dan menurut beberapa studi anomali akomodatif dibagi menjadi pada
tiga anomali utama, yaitu accommodative insufficiency (AI), accommodative
excess (AE) dan accommodative infacility (AIF). 1
AE menggambarkan anomali dimana seorang individu kesulitan dalam
melakukan relaksasi akomodasi. Pada AE, individu tersebut memiliki kekuatan
akomodatif lebih besar daripada respon dari stimulus yang dibutuhkan, dengan
kecenderungan untuk membuat dasar titik fokus sangat dekat dengan mata. AE
sering juga dikenal dengan ciliary spasm, hyper-accommodation, accommodative
spasm, pseudo-myopia dan spasms of the near reflex. Spasme akomodatif
merupakan kondisi yang langka terjadi pada anak anak, remaja, dan dewasa muda.
Secara klinis, spasme akomodatif memberikan gejala buram, sakit kepala, nyeri
daerah okular, dan intermiten diplopia. Meskipun spasme akomodatif akibat
nonorganic dapat membaik secara spontan seiring waktu, pada beberapa kasus
yang berat diperlukan tatalaksana lanjut. Diagnosis yang tepat mendukung
tatalaksana yang sesuai, terutama pada kasus spasme akomodatif dimana keadaan
tersebut jarang dijumpai. Laporan ini membahas penyebab dan gambaran klinis
pada kasus spasme akomodatif.1,2
I. Laporan Kasus
Seorang anak perempuan, berusia 13 tahun datang ke poliklinik Pediatrik
oftalmologi dan strabismus Rumah Sakit Mata Cicendo pada tanggal 7 Maret
2017 dengan keluhan mata buram selama 6 bulan terakhir. Buram dirasakan saat
melihat jauh, sedangkan melihat dekat jelas. Keluhan buram disertai dengan sakit
kepala ringan dan pegal di daerah mata, terutama setelah belajar atau main
handphone sekitar 1-2 jam. Disangkal riwayat pemakaian kacamata, trauma, mata
merah, riwayat keluhan yang sama pada keluarga, ataupun menderita penyakit
sistemik sebelumnya.
Pasien merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, dilahirkan dari ibu
P3A0, usia kandungan cukup bulan, dilahirkan secara spontan, ditolong oleh
paraji, dengan berat badan lahir tidak ingat, panjang badan lahir tidak diketahui
3
orang tua. Riwayat kehamilan tidak ada kelainan dan rutin kontrol ke bidan.
Riwayat imunisasi dan tumbuh kembang baik. Riwayat kelainan mata atau
penyakit yang sama dalam keluarga disangkal.
Pemeriksaan fisik pada tanggal 7 Maret 2017 keadaan umum tampak baik,
kesadaran compos mentis, tanda vital dalam batas normal. Status antropometris,
berat badan 43 kg. Status generalis tidak ditemukan kelainan. Gerakan bola mata
baik ke segala arah. Posisi bola mata ortotropia. Pada pemeriksaan oftalmologis,
tajam penglihatan mata kanan (OD) memiliki visus dasar 0,1 pinhole 0,3 dengan
koreksi S-6.75 C-1.00 x 35 memiliki koreksi terbaik 0,3. Tajam penglihatan mata
kiri (OS) visus dasar 2/60 dengan koreksi S-8.50 C-0.50 x 165 memiliki koreksi
terbaik 0,4. Tajam penglihatan jarak dekat unaided 1,0 M. Tekanan intra okular
(TIO) dalam batas normal. Pemeriksaan Pemeriksaan segmen anterior dan
posterior ODS dalam batas normal.
Gambar 2.1. Posisi bola mata ortotropia, gerakan bola mata baik ke segala arah
4
Gambar 2.2. Segmen posterior dalam batas normal
Pemeriksaan dilanjutkan dengan pemberian tetes obat sikloplegik
cyclopentolate 1% sebanyak masing-masing 3 tetes pada kedua mata, kemudian
dilakukan pemeriksaan visus dasar dan autorefaktometri dalam keadaan pupil
lebar. Hasil visus dasar pasca pemberian sikloplegik pada mata kanan dan kiri 1.0
dan hasil autorefraktometri didapatkan hasil pada mata kanan S+0.50 C-0.75 x 10
dan pada mata kiri S+0.50 C-0.25 x 175.
Pasien didiagnosa sementara dengan suspek pseudomyopia ODS. Pasien
belum mendapatkan terapi dan diminta kontrol 3 hari berikutnya.
Pasien datang tanggal 15 Maret 2017 dengan keluhan yang sama dan
belum ada perbaikan. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak
baik, kesadaran compos mentis, tanda vital dalam batas normal. Status generalis
tidak ditemukan kelainan. Gerakan bola mata baik ke segala arah. Posisi bola
mata ortotropia. Pada pemeriksaan oftalmologis, tajam penglihatan mata kanan
(OD) memiliki visus dasar 1/60 dengan koreksi S+0.50 C-0.75 x 10 memiliki
koreksi terbaik 1.0 dan visus dasar mata kiri (OS) visus dasar CFFC (closed face
finger counting) dengan koreksi S+0.50 C-0.25 x 175 memiliki koreksi terbaik
1.0. Tajam penglihatan jarak dekat unaided 1,0 M. Pemeriksaan nilai near point
accomodation OD 18 cm dan OS 10 cm. Nilai near point convergence 10 cm.
Tekanan intra okular (TIO) dalam batas normal. Pemeriksaan Pemeriksaan
segmen anterior dan posterior ODS dalam batas normal.
Pasien didiagnosa dengan suspek pseudomyopia ODS. Pasien
mendapatkan kacamata untuk koreksi penglihatan jauh dengan ukuran mata kanan
5
S+0.50 C-0.75 x 10 = 1.0 dan pada mata kiri S+0.25 =1.0 serta edukasi dalam
aktivitas near vision dan pasien disarakan kontrol 1 bulan.
Pasien datang kontrol 1 bulan kemudian tanpa keluhan, kacamata
dirasakan nyaman dan membantu melihat jauh dengan jelas. Pada pemeriksaan
fisik didapatkan keadaan umum tampak baik, kesadaran compos mentis, tanda
vital dalam batas normal. Status generalis tidak ditemukan kelainan. Gerakan bola
mata baik ke segala arah. Posisi bola mata ortotropia. Pada pemeriksaan
oftalmologis, tajam penglihatan ODS memiliki visus dasar 1,0f2 dengan koreksi
kacamata ODS 1.0. Tajam penglihatan jarak dekat unaided 1,0 M. Pemeriksaan
nilai near point accomodation OD 15 cm dan OS 12 cm. Nilai near point
convergence 12 cm. Nilai negative relative accommodation ODS +2,00
D.Pemeriksaan Pemeriksaan segmen anterior ODS dalam batas normal.
Pasien didiagnosa dengan suspek pseudomyopia ODS. Tatalaksana
kacamata dilanjutkan, pasien disarakan kontrol 3 bulan.
II. Diskusi
Anomali akomodatif dan vergence merupakan gangguan penglihatan yang
mempengaruhi kejernihan dan binocularity, serta mengganggu kenyamanan dan
efisiensi kinerja visual seseorang ketika melakukan tugas dekat seperti membaca,
menulis dan berkerja pada komputer. Akomodasi merupakan sebuah proses
perubahan kekuatan dioptri mata untuk mendapatkan gambar retina yang jelas
ketika berfokus pada objek dekat. Stimulus akomodasi adalah gambaran retina
yang kabur, dan proses akomodatif dimediasi oleh kontraksi atau relaksasi otot
siliaris. Proses akomodasi ini menghasilkan bertambah atau berkurangnya
kelengkungan dan ketebalan lensa, sehingga terjadi perubahan kekuatan refraktif
mata. Kemampuan untuk melakukan akomodasi yang cepat, lancar, akurat dan
mampu mempertahankan fokus pada waktu interval yang dibutuhkan merupakan
hal yang penting pada anak untuk melakukan tugas dekat secara efisien.1
6
Gambar 2.3. Proses akomodasi
Pada anomali akomodatif, mata tidak dapat fokus dengan jelas dan efisien
pada benda dengan jarak yang bervariasi, sehingga mengakibatkan gambar retina
yang tidak jelas dengan karakteristik gejala yang beragam. Gejala anomali
akomodatif saling terkait, meski setiap sindrom mungkin memiliki gejala khas.
Meskipun secara klinis sangat bermanfaat untuk mebedakan anomali akomodasi,
masih mungkin terdapat batas yang tidak jelas antara beberapa gangguan
akomodatif tersebut. Gangguan akomodatif lebih signifikan ketika didiagnosis
sebagai sindrom, dan menurut beberapa studi anomali akomodatif dibagi menjadi
pada tiga anomali utama, yaitu accommodative insufficiency (AI), accommodative
excess (AE) dan accommodative infacility (AIF).1
Klasifikasi klinis anomali akomodatif dikembangkan oleh Duane terbagi
atas accommodative insufficiency (AI), accommodative excess (AE) dan
accommodative infacility (AIF). Accommodative insufficiency (AI) adalah nilai
akomodasi yang lenih rendah dibandingkan dengan nilai akomodasi berdasarkan
usia. Accommodative excess (AE) merupakan keadaan akomodaasi berlebih
dibandingkan nilai akomodasi berdasarkan usia. Accommodative infacility (AIF)
merupakan kadaan respon akomodasi yang lebih rendah, dengan repon amplitudo
akomodasi yang normal.1
AE menggambarkan anomali dimana seorang individu kesulitan dalam
melakukan relaksasi akomodasi. Pada AE, individu tersebut memiliki kekuatan
7
akomodatif lebih besar daripada respon dari stimulus yang dibutuhkan, dengan
kecenderungan untuk membuat dasar titik fokus sangat dekat dengan mata. AE
sering juga dikenal dengan ciliary spasm, hyper-accommodation, accommodative
spasm, pseudo-myopia dan spasms of the near reflex. Spasme akomodatif yang
dikenal juga dengan nama lain pseudomyopia adalah kondisi involunter saat
respon akomodatif lebih besar dibandingkan akomodatif reaksi stimulus normal.
Keadaan spasme akomodatif dapat terjadi tiba-tiba, bilateral, dapat terjadi konstan
atau intermiten, terjadi pada jarak dan atau dekat, sering berkaitan dengan miosis
pupil dan spasme konvergensi, menghilang dengan sikloplegik, dan dapat
membaik secara spontan.12,3,4
Pada spasme akomodatif, keadaan hiperopia mungkin tampak kurang
hiperopia, emetropia tampak miopia, dan miopia tampak lebih myopia. Keadaan
spasme akomodatif sebagian besar didapatkan pada anak-anak, remaja, dan
dewasa muda. Keadaan spasme akomodatif jarang terjadi, muncul sebanyak
kurang dari 3 % pada pasien gangguan akomodatif. Spasme akomodatif terjadi
secara sporadis dan kasus familial belum dilaporkan. Spasme akomodatif dapat
merupakan bagian dari suatu triase (over accommodation, over convergence, dan
miosis) yang dikenal sebagai spasm of the near reflex (SNR).1,3
Pada kasus ini pasien merupakan remaja perempuan dengan usia 13 tahun,
dengan keluhan buram saat melihat jauh pada kedua mata terutama setelah belajar
maupun bermain handphone dalam satu sampai dua jam. Disangkal adanya
riwayat keluarga yang memiliki riwayat keluhan yang serupa dengan pasien.
Setelah menjalani anamnesis lebih dalam dan pemeriksaan oftalmologis pasien
diduga memiliki anomali akomodatif. Keluhan yang ditunjukkan oleh pasien
memiliki persamaan dengan gejala yang ditimbulkan spasme akomodatif.
Anomali akomodatif yang diduga terdapat pada pasien berupa AE atau spasme
akomodatif yang disimpulkan dari kelainan nilai refraktif yang jauh berbeda pada
saat sebelum dan sesudah pemberian tetes obat sikloplegik. Nilai kelainan
refraktif sebelum penetesan sikloplegik berkisar antara spheris minus 7 pada mata
kanan dan spheris minus 6 pada mata kiri. Namun, setelah diberikan tetes mata
sikloplegik, maka nilai tersebut berubah jauh, menjadi plano dan didapatkan visus
8
1,0 pada ODS. Manifestasi klinis ini khas didapatkan pada pasien dengan anomali
akomodatif terutama pada AE, dimana pada AE kelainan disebabkan karena
kekuatan akomodasi yang terlalu kuat dibandingkan dengan respon yang
seharusnya. Seperti pada kasus ini gejala tersebut menghilang setelah pasien
mendapatkan tets obat sikloplegik.
Spasme akomodatif dapat disebabkan oleh trauma kepala, masalah
emosional, dan penyebab lain. Etiologi spasme akomodatif yang diasosiasikan
dengan kelainan organik diantaranya trauma kepala, multiple sclerosis, hipertensi
intrakranial akibat kista pineal, blok ventriculo-peritoneal shunt, laser-assisted di
situ keratomileusis (lasik), dan beberapa farmakologi okular atau agen sistemik.
Spasme akomodatif lebih sering terjadi sebagai keadaan yang berkaitan dengan
psychogenic. 1,5,6
Pada pasien didapatkan keluhan yang terjadi tiba-tiba saat 6 bulan yang
lalu. Pada anamnesis lanjut yang berkaitan dengan status mental pasien, saat ini
pasien baru masuk SMP, terdapat beberapa waktu pasien merasa agak sulit
mengikuti pelajaran, namun pasien merasakan tidak terlalu terbebani dengan
keadaan tersebut. Pasien memang memiliki kemauan yang cukup kuat untuk dapat
memberikan hasil pelajaran sebaik mungkin. Disangkal adanya masalah di
keluarga maupun pertemanan. Disangkal adanya riwayat cedera kepala, riwayat
kelainan sistemik lainnya. Waaupun penyebab AE terbanyak berupa suatu gejala
akibat psycogenic, namun peyabab organik masih perlu dievaluasi. Evaluasi lanjut
mengenai beberapa kelainan organik seperti pemeriksaan pada bidang anak,
neurologi, psikiatri dan beberapa pemeriksaan penunjang mungkin diperlukan.
Spasme akomodatif masih merupakan suatu keadaan yang belum memiliki
gambaran maupun patofisiologi dari penyebab yang jelas, sehingga tatalaksana
biasanya tidak efektif. Kelainan organik yang mendasari seperti cedera kepala,
tumor serebelum, multiple sclerosis, lesi midbrain, tumor pineal, diduga berperan
dalam gangguan pada daerah midbrain sehingga timbul suatu keadaan spasme
akomodatif akibat gangguan proses akomodasi yang berada pada daerah midbrain.
Faktor pencetus yang paling sering pada spasme akomodatif adalah gangguan
emosional. Situasi emosional yang khas berupa rasa khawatir atau kepribadian
9
ambisius kepribadian nampak pada beberapa kasus spasme akomodatif, namun
mengenai hubungan langsung diantara keduanya masih belum dapat diketahui. 7,8
Gejala ringan meliputi kesulitan dalam relaksasi akomodasi yang
mengakibatkan penglihatan kabur (pseudomyopia). Disertai berbagai gejala
seperti sakit kepala, nyeri daerah mata, intermiten diplopia dan ketidakmampuan
untuk berkonsentrasi. Kebanyakan pasien menjadi emetropia di bawah
pemeriksaan sikloplegik. Pada kasus ringan, tajam penglihatan bisa baik tanpa
koreksi hipermetrop, sedangkan pada kasus yang lebih berat penglihatan jauh
sangat terganggu disertai gangguan melihat jarak dekat. Spasme akomodatif
biasanya terjadi bilateral. 1, 5
Gejala utama yag dialami pasien berupa buram dalam melihat jauh, namun
jelas untuk melihat dekat. Selain itu rasa sakit kepala dan pegal didaerah sekitar
mata dirasa tidak terlalu menganggu keseharian pasien dalam beraktivitas. Pada
pemeriksaan oftalmologis didapatkan hasil yang cukup baik, tanpa adanya
kelaianan posisi bola mata. Pada penilaian dalam tajam penglihatan memang
memilii ciri khas yang menunjang kepada anomali akibat AE. Namun, pada
pemeriksaan akomodatif lainnya seperti near poin accomodation (NPA), near
poin convergence (NPC) dan negative relative accomodation (NRA),
memberikan nilai tidak mendukung untuk gambaran pada suatu AE atau spasme
akomodatif. Pada pemeriksaan NPA dan NPC yang telah dilakukan berulang
didapatkan hasil nilai akomodasi pasien yang kurang dibandingkan dengan nilai
normal sesuai usianya. Sedangkan pada pemriksaan NRA, didapatkan nilai dalam
batas normal, dimana untuk membantu mendukung diagnosis AE memerlukan
nilai NRA < 1,5 D. Hal ini yang menjadi pertimbangan untuk menetapkan
diagnosis pasien tersebut. Namun, seperti telah disebutkan pada penelitian oleh
Wajuihian dan Hansraj bahwa manifestasi anomali akomodatif dapat saling
berhubungan, maka hal ini masih termasuk wajar.
Meskipun spasme akomodatif akibat nonorganic dapat membaik secara
spontan seiring waktu, pada beberapa kasus yang berat diperlukan tatalaksana
lanjut. Beberapa pilihan tatalaksana pada spasme akomodatif dengan tujuan
10
mencegah akomodasi berlebih yang dapat dilakukan dengan pemberian kacamata
bifokal dengan atau tanpa tetes mata sikloplegik.2,5
Tatalaksana utama adalah mengobati penyebab spasme akomodatif, bila
memungkinkan. Tatalaksana lanjut berupa pemberian koreksi hipermetrop dengan
nilai undercorrect, lalu berangsur diingkatkan. Pada keadaan yang lebih berat
dapat diberikan tetes atropin selama beberapa minggu, kemudian secara bertahap
dikurangi. Bila atropin tidak dapat ditoleransi, dapat diberikan alternatif berupa
tetes cyclopentolate. Pemberian tetes atropin diberikan satu kali per minggu.
Beberapa tatalaksana lainnya adalah dengan terapi orthoptic.Bila terkait spasme
konvergensi maka botulinum dapat digunakan. Pada keadaan spasme akomodatif
yang persistent, maka dapat dilakukan ekstraksi lensa. Prognosis pada masing-
masing pasien beragam, terkait dengan penyebab dan gambaran masing-masing
pasien.2,5
Pada pasien ini, walaupun diagnosis maih berupa suspek pseudomyopia,
namun seperti yang terdapat pada studi Wajuihian dan Hansraj, maka hal pertama
yang perlu dilakukan adalah dengan pemberian koreksi refraksi dan dianjurkan
untuk mengurangi durasi dalam aktivitas near vision yang terlalu lama. Penilaian
lanjut mengenai arah subtipe anomali akomodatif yang mendasarinya perlu
dilakukan di kemudian hari. Prognosis ad functionam pada pasien ini dinilai
cukup baik karena gejala yang ditimbulkan minimal, namun evaluasi ketat masih
diperlukan.
III. Kesimpulan
Spasme akomodatif yang dikenal juga dengan nama lain pseudomyopia
secara klinis memberikan gejala buram, sakit kepala, nyeri daerah okular, dan
intermiten diplopia. Tatalaksana utama adalah mengobati penyebab spasme
akomodatif, bila memungkinkan. Tatalaksana lanjut berupa pemberian koreksi
refraktif yang sesuai, pemberian tetes atropin, dan mengurangi aktivitas near
vision. Prognosis pada masing-masing pasien beragam, terkait dengan penyebab
dan gambaran masing-masing pasien
11
DAFTAR PUSTAKA
1. Wajuihian SO, Hansraj R. A review of non-strabismic accommodative-vergence anomalies in school-age children . Part 1 : Vergence anomalies. Afr Vis Eye Heal [Internet]. 2015;74(1):1–10. Available from: http://www.avehjournal.org
2. Rutstein RP. Accommodative spasm in siblings: a unique finding. Indian J Ophthalmol [Internet]. 2010;58(4):326–7. Available from: http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=2907036&tool=pmcentrez&rendertype=abstract
3. Sinclair N, Mireskandari K, Forbes J, Crow J. Merkel cell carcinoma of the eyelid in association with chronic lymphocytic leukaemia. Br J Ophthalmol. 2003;87(2):240.
4. Airiani S, Braunstein RE. Accommodative Spasm After Laser-Assisted In Situ Keratomileusis (LASIK). Am J Ophthalmol. 2006;141(6):1163–4.
5. Rowe FJ. Clinical Orthoptics. Clinical Orthoptics. 2013. 6. American Optometric Association. Optometric Clinical Practice Guideline:
Care of the pation with Accommodative and Vergence Dysfunction. Am Optom Assoc. 2011;107.
7. Sitole S, Jay WM. Spasm of the near reflex in a patient with multiple sclerosis. Semin Ophthalmol [Internet]. 2007;22(1):29–31. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17366115
8. Paton L. Functional Spasm of Accommodation. Br J Ophthalmol [Internet]. 1917;1(10):606–8. Available from: http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=513364&tool=pmcentrez&rendertype=abstract