Upload
others
View
21
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI TUNA RUNGU DITINJAU DARI
KECAKAPAN BERTINDAK DALAM PERJANJIAN JUAL BELI TANAH
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat-Syarat Memperoleh Gelar
Kesarjanaan Dalam Ilmu Hukum
Oleh:
RAMADHANTI SAFIRRIANI FIRDAUS
NIM. 135010119111001
KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS HUKUM
MALANG
2017
IDENTITAS WISUDAWAN
1. Nama (sesuai ijazah SMA) : Ramadhanti Safirriani Firdaus
2. Nomor Induk Mahasiswa : 135010119111001
3. Jenis Kelamin : Perempuan
4. Nama Ayah : Drs.Yulinar Firdaus,Msi
5. Nama Ibu : Irma Savyna Firdaus,SH
6. Pekerjaan Ayah : Pegawai Negeri Sipil (PNS)
7. Pekerjaan Ibu : Notaris & PPAT
8. Tempat / Tanggal Lahir : Tangerang, 11 Februari 1994
9. Agama : Islam
10. Alamat Asal/Kode Pos : Jalan Tanjung Duren Dalam 4 No 3
Jakarta Barat 11470
11. No.Hp/No.Telp Rmh : 082157000559 / (021)568568
12. Alamat di Malang : Jalan WatuMujur 1 No 1 Malang
65145
13. E-mail : [email protected]
DATA KEGIATAN AKADEMIK
14. Konsentrasi : Hukum Perdata Murni
15. Tanggal mulai menyusun skripsi/TA : 27 Desember 2016
16. Tanggal selesai menyusun skripsi/TA : 7 Maret 2017
17. No. SK Penetapan Pembimbing : 46 Tahun 2017
18. Judul Skripsi (dlm Bhs Indonesia) :
Perlindungan Hukum Bagi Tuna Rungu Ditinjau dari Kecakapan Bertindak
dalam Perjanjian Jual Beli Tanah
19. Judul Skripsi (dlm Bhs Inggris) :
Legal Protection For the Deaf Seem From The Ability To Act In the Land
Sale And Purchase Agreement
20. Instansi Tempat Penelitian Skripsi : -
21. Kota Lokasi Penelitian Skripsi : -
22. Dosen Pembimbing I : Prof.Dr.Mochammad Bakri,SH,MS
23. Dosen Pembimbing II : Shanti Riskawati,SH,M.Kn
DATA YUDISIUM
24. Semester saat lulus / yudisium : Semester 8
25. Tahun Akademik saat lulus/yudisium : 2017
26. Nomor SK Yudisium : 10709/UB/FH/S1/2017
27. Tanggal Yudisium : 12 April 2017
28. Predikat : Sangat Memuaskan
29. Nilai Ujian Skripsi : A
30. IPK : 3,51
31. Jumlah SKS Kumulatif : 144
32. Jumlah Mata Kuliah : 55
33. Semester Lulus : 8
34. Tanggal Ujian Skripsi : 21 Maret 2017
35. Jam ujian skripsi : 15.00
36. Gedung dan ruang ujian skripsi : Gedung A dan Ruang Perdata Barat
37. Dosen Penguji :
1. Prof.Dr.Mochammad Bakri,SH,MS
2. Dr. Imam Koeswahyono,SH,MH
3. Dr.Reka Dewantara,SH,MH
4. Shanti Riskawati,SH,M.Kn
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada:
1. Prof.Dr.Mochammad Bakri, SH.MS, selaku dosen pembimbing yang telah
menyediakan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk mengarahkan Penulis dalam
penyusunan skripsi ini;
2. Shanti Riskawati, SH., M.Kn., selaku dosen pembimbing yang telah
menyediakan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk mengarahkan Penulis dalam
penyusunan skripsi ini;
3. Notaris X,Y,dan Z, yang telah membantu Penulis memperoleh data yang
diperlukan;
4. Drs. Yulinar Firdaus, Msi., selaku Ayah yang selalu mendoakan dan
menanyakan perkembangan skripsi setiap pulang ke rumah, yang selalu
memberikan bantuan materiil.
5. Irma Savyna, SH., selaku Bunda yang selalu mendoakan dan menanyakan
perkembangan skripsi setiap pulang ke rumah, yang selalu memberikan bantuan
materiil.
6. Almarhumah Nenek yang selalu mensupport dalam keadaan apa pun.
7. Abang M. Syafril Firdaus, adik ketiga Rahmat Ali Dai’ Firdaus dan adik
keempat Nadira Anggrika Firdaus yang telah direpotkan selama Penulis
menyusun skripsi,terima kasih banyak.
8. Ryan Kristanto Sulaeman selaku calon suami Penulis luar biasa pada detik-detik
menjelang sidang hingga sudah tidak mengerti lagi melihat kondisi Penulis.
9. Kakak Emir Athira selaku Volunter PSLD Universitas Brawijaya, dan keluarga
komunitas Perdata Murni, Mereka yang telah bersama Penulis.
10. Sahabat dan teman-teman Penulis yang tinggal di Indonesia dan luar negeri
menemani Penulis baik suka dan duka melalui video call dan media sosial.
11. M. Joni Yulianto selaku Direktur Eksekutif Sasana Integrasi dan Advokasi
Difabel (SIGAB) selalu bersabar dan mendukung Penulis.
RAMADHANTI SAFIRRIANI FIRDAUS, Prof.Dr.Mochammad Bakri, SH.MS, Shanti Riskawati,
SH., M.Kn.
Fakultas Hukum Universitas Brawijaya
Abstrak
Perlindungan hukum bagi tuna rungu ditinjau dari kecakapan bertindak dalam perjanjian jual beli
tanah diharapkan akan mampu menyingkirkan rintangan fisik dan perilaku masyarakat yang tidak
inklusif serta kebijakan negara yang lebih adil dan bermartabat. Penelitian ini menggunakan metode
yuridis normatif dengan menganalisa ketentuan Pasal 433 KUHPerdata yang dikaitkan pula dengan
Pasal 1320 KUHPerdata tentang syarat sah suatu perjanjian dan Pasal 1329 KUHPerdata tentang
kecakapan bertindak. Karena stigma bahwa disabilitas tuna rungu bukanlah orang yang cakap hukum
dikukuhkan dalam buku 1 KUHPerdata Pasal 433. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat
diketahui bahwa terdapat beberapa ketentuan dalam undang-undang Pasal 433 KUHPerdata, Pasal
1320 KUHPerdata tentang syarat sah suatu perjanjian dan Pasal 1329 KUHPerdata tentang
kecakapan bertindak kurang dapat mewadahi dan dalam memberikan perlindungan hukum terhadap
hak-hak disabilitas tuna rungu dalam prose jual beli tanah di indonesia. Maka dari itu perlu dilakukan
upaya-upaya agar undang-undang tersebut dapat memberikan perlindungan hukum bagi disabilitas
tuna rungu dalam melakukan proses jual beli tanah. Adapun upaya-upaya tersebut meliputi : a)
menjelaskan secara detail batas atau derajat atau ukuran kecakapan secara lebih rinci, hal ini
disebabkan banyak terdapat disabilitas tuna rungu yang memiliki kecakapan hukum setara dengan
manusia normal pada umumnya, b) bentuk perlindungan hukum bagi disabilitas tuna rungu telah
jelas diatur dalam undang-undang, c) penerapan asas hukum/doktrin.
Abstract
Law protection for deaf people based on their capability to perform in land purchase and sale
agreement is to be expected to eliminate physical barrier and behavior of people who are not
inclusive, and also the policy of the state can be more justified and dignified. This research used
normative juridical method and analyzed article 433 of civil code which also linked to article 1320
of civil code about the valid requirement of an agreement and article 1329 civil code about the
capability to perform. Due to the stigma that people who loses their hearing ability is legally
incapacitated in law confirmed in book 1 of civil code article 433. Based on the research that had
been done, it can be known that there are some conventions in act article 433 of the civil code and
article 1320 of the civil code about the capability to perform. The civil code is less able to
accommodate and gives law protection towards deaf people in fulfilling their rights in the process of
land purchase and sale in Indonesia. Thus, several efforts need to be done, so the acts can give law
protection to the deaf in the process of land purchase and sale. Therefore, the efforts that can be done
are: a) explaining length about the limitation or degree or standard of capability at detail, b) the form
of law protection for deaf people has been clearly set out in the acts, c) implementing legal principle
or doctrine.
Keywords: deaf, legal capability, law protection, land purchase and sale
KATA PENGANTAR
Alhamdulillaahirabbil‟aalaaminn, segala puji bagi Allah subhanaahu wa
ta‟ala, Rabb semesta alam, yang Maha Kuasa atas segala sesuatu, miliki-Nyalah
segala yang ada di langit dan bumi. Atas rahmat-Nya, Penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini. Shalawat dan salam kepada Rasulullah shalallaahu „alaihi wassalam
beserta para sahabat dan para pejuang agama Allah. Penulisan skripsi ini dilakukan
dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum
pada Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang. Selama menyusun skripsi ini
begitu banyak pihak yang membantu Penulis baik materil maupun imateril.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, maka
saran dan kritik yang konstruktif dari semua pihak sangat diharapkan demi
penyempurnaan selanjutnya. Akhirnya hanya kepada Allah kita kembalikan semua
urusan dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi
penulis dan para pembaca pada umumnya, semoga Allah meridhoi dan dicatat
sebagai ibadah disisi-Nya, aamiin.
Malang, 6 Maret 2017
Penulis
DAFTAR ISI
Lembar Persetujuan…................................................................... ................... i
Lembar Pengesahan….................................................................... ................. ii
Kata Pengantar....................................................................................... .......... iii
Daftar Isi........................................................................................................... v
Ringkasan........................................................................................... .............. vii
BAB I PENDAHULUAN................................................................. ............ 1
A. Latar Belakang.......................................................................... ..... 1
B. Rumusan Permasalahan.................................................. ............... 10
C. Tujuan.................................................................................. .......... 10
D. Manfaat penelitian................................................................. ......... 11
1. Manfaat Teoritis................................................................... .... 11
2. Manfaat Aplikatif/Praktis......................................... ................ 11
E. Sitematika Penulisan................................................ ...................... 12
BAB II KAJIAN PUSTAKA................... .................................................... 14
A. Kajian Umum Tentang Hak-Hak Disabilitas ................................. 14
1. Berdasarkan CRPD.......................... ........................................ 14
2. Berdasarkan UURI No.19 Tahun 2011…................................ 17
B. Kajian Umum Tentang Perjanjian Jual Beli…........................... ... 18
C. Kajian Umum Tentang Perlindungan Hukum.................... ........... 29
D. Kecakapan Bertindak.............................. ....................................... 30
BAB III METODOLOGI PENELITIAN......................................... ........... 31
A. Jenis Penelitian…................................... ........................................ 31
B. Pendekatan Penelitian…................. ............................................... 31
C. Jenis dan Sumber Bahan Hukum…................................. .............. 32
1. Bahan Hukum Primer......................................... ...................... 32
2. Bahan Hukum Sekunder..................................... ..................... 32
3. Bahan Hukum Tersier........................................... ................... 32
D. Teknik Memperoleh Bahan Hukum...................... ......................... 33
E. Teknik Analisa Bahan Hukum.................................. ..................... 34
1. Interpretasi Gramatikal............................................................. 34
2. Interpretasi Sistematis…........................... ............................... 34
F. Definisi Konseptual…............................................ ........................ 35
1. Perlindungan Hukum......................... ...................................... 35
2. Perjanjian Jual Beli Tanah................................... .................... 35
3. Kecakapan Bertindak............................................... ................ 35
4. Disabilitas Tuna Rungu............................................ ................ 35
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN…................................. .................. 36
A. Konsep Kecakapan Bertindak Disabilitas Tuna Rungu Dalam Jual Beli
Tanah….......................................................................................... 36
1. Hak-Hak Kaum Disabilitas….................................................. 38
2. Pengertian dan Konsep Kecakapan Menurut Teori............... .. 45
3. Konsep Kecakapan Menurut KUHPerdata…......................... . 50
4. Disabilitas Tuna Rungu Subyek Hukum yang Cakap.............. 52
B. Bentuk Perlindungan Hukum Bagi Tuna Rungu Ditinjau Dari
Kecakapan Bertindak Perjanjian Jual Beli Tanah…...................... 71
1. Perlindungan Hukum Preventif....................................... ......... 72
2. Perlindungan Hukum Represif…........................................... ... 83
Bab V PENUTUP…............... ..................................................................... 86
A. Kesimpulan…............................................. ................................... 86
B. Saran…........................................ ................................................... 87
DAFTAR PUSTAKA….................................... .............................................. 88
LAMPIRAN-LAMPIRAN….................................... ....................................... 91
DAFTAR TABEL
Kode Propinsi Jumlah
11 ACEH 367
12 SUMATERA UTARA 933
13 SUMATERA BARAT 1098
14 RIAU 96
15 JAMBI 698
16 SUMATERA SELATAN 871
17 BENGKULU 517
18 LAMPUNG 918
19 KEPULAUAN BANGKA BELITUNG 147
21 KEPULAUAN RIAU 110
31 DKI JAKARTA 748
32 JAWA BARAT 2035
33 JAWA TENGAH 2524
34 DI YOGYAKARTA 939
35 JAWA TIMUR 1767
36 BANTEN 508
51 BALI 1081
52 NUSA TENGGARA BARAT 973
53 NUSA TENGGARA TIMUR 1032
61 KALIMANTAN BARAT 626
62 KALIMANTAN TENGAH 94
63 KALIMANTAN SELATAN 682
64 KALIMANTAN TIMUR 205
65 KALIMANTAN UTARA 45
71 SULAWESI UTARA 248
72 SULAWESI TENGAH 488
73 SULAWESI SELATAN 1135
74 SULAWESI TENGGARA 249
75 GORONTALO 115
76 SULAWESI BARAT 137
81 MALUKU 303
82 MALUKU UTARA 81
91 PAPUA 109
92 PAPUA BARAT 121
JUMLAH 22000
IQ Kategori Persentanse
140- ke atas
130- 139
120-129
110-119
90-109
80-89
70-79
50-69
25-49
Dibawah 25
Genius
Sangat cerdas
Cerdas
Di atas normal
Normal
Dibawah normal
Bodoh (dul)
Debil (moron)
Imbecil
idiot
0,25 %
0,75%
6%
13%
60%
13%
6%
0, 75%
0,20%
0,05%
DAFTAR GAMBAR
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setiap manusia pasti pernah melakukan perjanjian/akad jual beli,
mulaidari sistem yang tradisional (barter) hingga yang konvensional dengan
bertatap muka dan menggunakan media alat tukar berupa uang, bahkan hingga
yang tercanggih yaitu pembelian menggunakan sistem online yang mampu
untuk menembus jarak dan waktu.
Pada setiap kegiatan/perjanjian jual beli, maka akan melibatkan 2
orang/lebih didalamnya, yaitu penjual, pembeli, atau perantara. Menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, jual beli adalah suatu persetujuan dengan
mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang,
dan pihak yang lain untuk membayar harga yang dijanjikan.1Jual beli dianggap
telah terjadi antara kedua belah pihak, ketika masing-masing pihak yang terlibat
dalam penjualan mencapai kesepakatan tentang barang tersebut beserta
harganya, meskipun barang itu belum diserahkan dan harganya belum dibayar.2
Transaksi jual beli juga berlaku pada transaksi yang berhubungan
dengan jual beli tanah. Transaksi jual beli ini mewajibkan pemilik
menggunakan nama aslinya sebagai nama yang tertera dalam sebuah
kesepakatan transaksi jual beli. Hal ini dikarenakan surat kepemilikan yang
1 Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 2 Pasal 1458 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
menjadi bukti adanya pertukaran kepemilikan menjadi dasar hukum dalam
transaksi jual beli, seperti penyerahan uang, penawaran harga, penukaran nama
kepemilikan serta kepemilikan. Meski demikian, surat kepemilikan tersebut
sering menjadi permasalahan dalam kehidupan masyarakat penyandang
disabilitas, khususnya disabilitas tuna rungu. Permasalahannya pembelian
masih menggunakan atas nama orang tua atau salah satu dari keluarganya
padahal penyandang tuna rungu membeli dengan uang sendiri.
Menurut Convention Rights of People with Dissabilities yang diakui
oleh seluruh negara di dunia, disabilitas fisik terutama tunarungu adalah
seseorang yang memiliki keterbatasan dalam mendengar dan menangkap
informasi melalui suara. Keterbatasan dalam mendengar tersebut tergantung
pada tingkat desibel suara yang mampu ditangkap, kemampuan alat bantu
dengar dan usia saat menjadi individu penyandang tunarungu.3 Dalam
penerapannya di Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang nomor 8 tahun
2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Terdapat beberapa faktor yang menjadikan penyandang tuna rungu
kesulitan dalam melakukan transaksi jual-beli. Salah satunya adalah nama
kepemilikan yang berbeda dengan nama asli individu penyandang tunarungu
tersebut. Hal ini disebabkan pada proses pemberian nama pemilik dalam surat
kepemilikan, notaris ataupun pihak terkait menganggap individu penyandang
tuna rungu tidak cakap hukum.4 Penyandang tuna rungu ingin kepimilikan atas
nama sendiri, bukan dengan atas nama orang tua atau salah satu dari
3Pasal 1 ayat 1 Convention Rights of People with Dissabilities 4MIMBAR HUKUM Volume 20, Nomor 3, Oktober 2008, hlm.565
keluarganya. Berdasarkan 1 KUHPerdata Pasal 433 yang menegaskan bahwa
“Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila atau mata
gelap, harus ditempatkan di bawah pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang
cakap menggunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditempatkan di
bawah pengampuan karena keborosan”. Pada Pasal 1320 KUHPerdata juga
dinyatakan bahwa salah satu syarat sah suatu perjanjian adalah seorang yang
cakap hukum, dan yang dikualifikasi cakap hukum adalah setiap orang yang
dewasa dan sehat pikirannya.Orang yang dewasa adalah orang yang berusia 18
tahun dan sudah menikah.5 Dan orang sehat akal adalah orang yang tidak
memenuhi syarat yaitu;
a. Dungu atau idiot
b. Sakit otak atau gila
c. Mata gelap atau orang yang tidak dapat mengendalikan emosinya
d. Terkadang dapat berpikir normal kadang tidak, misalnya orang gila
menahun atau pemabuk boros atau orang selalu mengobral dan tidak
dapat mengelola kekayaannya.
Oleh karena itu, menurut KUHPerdata, individu penyandang tunarungu
tidak termasuk dalam seseorang yang tidak cakap hukum karena dapat
mengelola kekayaan dan juga memenuhi syarat sehat akal.
Kecakapan hukum adalah bagi orang-orang yang membuat perjanjian
harus cakap menurut hukum. Seorang telah dewasa atau akil balik, sehat
jasmani maupun rohani, dianggap cakap menurut hukum, sehingga dapat
5Pasal 330 ayat 1 BW
membuat suatu perjanjian. Orang-orang yang dianggap tidak cakap menurut
hukum ditentukan dalam Pasal 1330 KUHPerdata yaitu orang yang belum
dewasa dan orang yang ditaruh di bawah pengampuan.
Sehingga agar suatu kecakapan dalam perjanjian dapat menimbulkan
akibat hukum yang sempurna, maka orang yang cakap hukum, pada saat
kecakapan dilakukan, harus mempunyai kematangan berfikir yang secara
normal mampu menyadari telah dewasa atau akil balik, tidak ditaruh di bawah
pengampuan, sehat, jasmani maupun rohani, sepenuhnya tindakannya dan
akibat dari tindakannya. Orang yang secara normal mampu menyadari telah
dewasa atau akil balik, tidak ditaruh di bawah pengampuan, sehat secara
jasmani maupun rohani, tindakan dan akibat dari tindakannya dalam hukum
disebut dengan cakap hukum.
Penyandang tuna rungu seharusnya dapat membuat perjanjian karena
mereka mampu menyadari bahwa mereka telah dewasa, tindakan dan akibat
dari tindakannya dalam hukum sedangkan sehat secara jasmani maupun rohani,
tuna rungu termasuk bagian dari kekurangan fisik bukan berarti harus dianggap
sakit selamanya tetapi hanya kehilangan pendengaran namun secara fisik
mereka sehat dan dapat melakukan aktivitas seperti orang-orang yang normal
pada umumnya. Hanya saja halangannya adalah komunikasi karena biasanya
malas atau tidak mau berkomunikasi dengan penyandang tuna rungu sehingga
kesulitan membuat perjanjian meskipun negara ini mulai memasuki dunia
inklusif yaitu negara ramah terhadap masyarakat disabilitas seperti berbagai
negara yang maju dari Eropa, Amerika, Australia dan Asia Selatan. Misalnya di
Amerika sudah banyak ribuan penyandang tuna rungu menjadi pengacara
sedangkan di Indonesia tidak ada satupun penyandang tuna rungu menjadi
pengacara juga notaris. Seperti halnya pada sebuah universitas Gallaudet
Washington, banyak melahirkan dan mempekerjakan staff dari kalangan
penyandang terutama tuna rungu, sehingga di negara bagian tersebut memiliki
rasio jumlah pegawai tuna rungu terbesar yaitu sebesar 50% dari total jumlah
pegawai yang ada dalam berbagai bidang.6
Maka penyandang tuna rungu tidak termasuk di bawah pengampuan
karena mereka dapat melakukan perbuatan untuk lapangan kekayaan, berpikir
secara matang, dan sadar tindakan maupun akibat dari tindakannya dalam
hukum. Namun boleh memilih salah satu pilihan dari menggunakan
pengampuan atau tidak karena pengampuan bisa digunakan untuk melindungi
penyandang tuna rungu dari hal-hal yang buruk terjadi seperti penipuan dan
sebagainya.
Dalam suatu penelitian diuraikan oleh Imma Indra Dewi W pada tahun
2007 yang diadakan di KabupatenSleman tentang bagaimanakah orang yang
tidak cakap hukum dapat melaksanakanhak dan kewajibannya secara perdata
memperlihatkan bahwa secara hukum orang yang tidak cakap hukum dalam
melakukan perbuatan hukum berkaitan dengan hak dan kewajibannya secara
perdata harus diwakili oleh walinya atau pengampu.7
Dalam KUH Perdata tidak ditemukan pengertian tentang pengampuan.
Pasal 433 KUH Perdata hanya mengatur tentang siapa saja yang dimasukkan di
bawah pengampuan adalah setiap orang dewasa yang:
6https://fookembug.wordpress.com/2008/01/23/percentage-of-deaf-staff-at-deaf-schools/
yang diakses pada tanggal 6 Februari 2017 pukul 04.27 7MIMBAR HUKUM Volume 20, Nomor 3, Oktober 2008, loc it
a. dungu atau idiot
b. sakit otak atau gila
c. mata gelap atau orang yang tidak dapat mengendalikan emosinya
d. kadang dapat berpikir normal kadang tidak, misalnya orang gila menahun
atau pemabuk boros atau orang selalu mengobral dan tidak dapat
mengelola kekayaannya.
Faktor lainnya yang menyebabkan individu penyandang
tunarungumengalami kesulitan dalam melakukan transaksi jual beli adalah
minimnya pengetahuan masyarakat mengenai cara berkomunikasi individu
penyandang tuna rungu sehingga menyebabkan masyarakat enggan untuk
melakukan transaksi jual beli. 8
Individu penyandang tunarungu memiliki 3 cara dalam berkomunikasi
yaitu;
a. Bahasa Isyarat, Bahasa Isyarat adalah kata-kata yang diungkapkan dengan
cara gerakan jemari, tangan maupun ekspresi wajah. Bahasa isyarat
merupakan media komunikasi yang paling banyak digunakan oleh individu
penyandang tunarungu di Indonesia.
b. Verbal(lisan), Verbal (lisan) adalah adalah seorang yang memiliki
kemampuan berbicara dan membaca gerakan bibir9.
c. Tulisan,Tulisan adalah seorang yang memiliki kemampuan menulis dan
memahami kalimatnya. Ketidakpahaman masyarakat mengenai bahasa
8MIMBAR HUKUM Volume 20, Nomor 3, Oktober 2008, loc it.
9Pusat Layanan Juru Bahasa Isyarat, 7 Februari 2015, loc it.
isyarat yang menyebabkan keengganan dalam bertransaksi jual beli
sebenarnya dapat diminimalisir dengan media interpreter/penerjemah
bahasa isyarat yang biasanya telah disediakan oleh komunitas/organisasi
yang bergerak di isu disabilitas, khususnya tunarungu.
Interpreter/penerjemah bahasa isyarat adalah orang yang memiliki
kemampuan menerjemahkan bahasa Isyarat secara tepat, simultan dan
akurat ke bahasa lisan dan sebaliknya.10
Permasalahan diatas menjadi landasan bahwa Indonesia belum
sepenuhnya menjalankan Amanat Pasal 5 ayat (1) CRPD yang berbunyi
“Negara-negara Pihak mengakui bahwa semua orang adalah setara di hadapan
hukum dan berhak atas perlindungan dan keuntungan yang sama dari hukum
tanpa diskriminasi apa pun”. Convention on The Rights of Person with
Disabilities/ CRPD adalah Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas yang
sudah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dengan Undang-Undang No.19
tahun 2011.MelaluiCRPD diharapkan akan mampu menyingkirkan rintangan
fisik dan perilaku masyarakat yang tidak inklusif serta kebijakan negara yang
lebih adil dan bermartabat. Aplikasi amanat tersebut juga bisa membuat
Indonesia menjadi negara yang memiliki komitmen terhadap penegakan HAM
serta mengubah paradigma yang memiliki perspektif penyandang tuna rungu
yaitu dulu dianggap tidak bisa apa-apa bahkan tidak bisa beraktifitas seperti
orang-orang pada umumnya namun kenyataan mereka bisa melakukan
beraktifitas. Kontribusi negara secara komprehensif dan lintas sektoral masih
sangat kurang dalam upaya penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan bagi
10Pusat Layanan Juru Bahasa Isyarat, 7 Februari 2015, loc it.
masyarakat tuna rungu; yang sebenarnya mampu mendukung keberadaan tuna
rungu untuk menjadi bagian dari aset pembangunan bangsa serta mampu
mendukung perubahan sosial yang lebih baik dan adil.
Penyandang tuna rungu mampu melakukan perbuatan hukum salah
satunya membuat perjanjian. Perjanjian atau kontrak yang berdasarkan pasal
1313 BW merupakan suatu peristiwa hukum di mana seorang berjanji kepada
orang lain atau dua orang saling berjanji kepada orang lain untuk melakukan
atau tidak melakukan sesuatu. 11 Bentuk perjanjian:
1. Lisan
2. Tulisan, dibagi 2 (dua), yaitu:
1) Bukan Akta
Adalah setiap tulisan yang tidak sengaja dijadikan bukti tentang
suatu peristiwa dan/atau tidak ditandatangani oleh pembuatnya. Para
sarjana mengatakan bahwa kekuatan pembuktian tulisan-tulisan yang
bukan akta adalah sebagai alat bukti bebas, artinya hakim mempunyai
kebebasan untuk mempercayai atau tidak mempercayai tulisan-tulisan
yang bukan akta tersebut.12
2) Akta
Akta adalah suatu tulisan yang memang dengan sengaja dibuat untuk
dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani pihak yang
11 Salim H.S,S.H.,M.S.,Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar
Grafika, 2013, hlm 5.
12Ny. Retnowulan Sutantie, SH, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek,
Alumni, Bandung, Cet. I, 1979, hlm. 62
membuatnya. Berdasarkan ketentuan pasal 1867 KUHPerdata suatu
akta dibagi menjadi 2 (dua), antara lain:
a. Akta Di bawah Tangan (Onderhands)
Adalah akta yang dibuat tidak di hadapan pejabat yang
berwenang atau Notaris.Akta ini yang dibuat dan ditandatangani
oleh para pihak yang membuatnya. Apabila suatu akta di bawah
tangan tidak disangkal oleh Para Pihak, maka berarti mereka
mengakui dan tidak menyangkal kebenaran apa yang tertulis pada
akta di bawah tangan tersebut, sehingga sesuai pasal 1857
KUHPerdata akta di bawah tangan tersebut memperoleh kekuatan
pembuktian yang sama dengan suatu Akta Otentik.
b. Akta Resmi (Otentik)
Akta Otentik ialah akta yang dibuat oleh pejabat umum yang
berwenang yang memuat atau menguraikan secara otentik sesuatu
tindakan yang dilakukan atau suatu keadaan yang dilihat atau
disaksikan oleh pejabat umum pembuat akta itu. Pejabat umum
yang dimaksud adalah notaris, hakim, juru sita pada suatu
pengadilan, pegawai pencatatan sipil, dan sebagainya.
Kecakapan bertindak yang berdasarkan Pasal 1329 KUHPerdata
adalah “semua orang adalah cakap bertindak, kecuali ditentukan tidak cakap
menurut undang-undang”.13 Maka dapat disimpulkan syarat-syarat agar
seseorang cakap bertindak untuk melakukan tindakan hukum:
1. Orang yang telah dewasa
Mengenai yang belum dewasa diatur dalam Pasal 330 KUHPerdata,
yang menentukan:
13 Pasal 1329 KUHPerdata
a) Telah berusia 21 tahun
b) Atau belum 21 tahun tetap sudah atau pernah kawin sebelumnya.
2. Tidak dibawah pengampuan
Pasal 433 KUHPerdata, “Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam
keadaan dungu, gila atau mata gelap, harus ditempatkan di bawah
pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan
pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditempatkan dibawah
pengampuan karena keborosan”
3. Status perempuan bersuami yang tidak cakap bertindak hukum telah
menjadi sama dengan suami berdasarkan UUD 1945 , UU No. 1/1974
dan SEMA No.3 Tahun 1963.
Bertitik tolak pada uraian di atas maka seharusnya penyandang tuna
rungu dapat melakukan perjanjian jual beli tanpa hambatan. Oleh karena itu,
peneliti mengangkat judul “Perlindungan Hukum Bagi Tuna Rungu Ditinjau
dari Kecakapan Bertindak dalam Perjanjian Jual Beli Tanah” menjadi topik
penelitian yang akan peneliti teliti.
B. Perumusan Masalah
1. Bagaimana konsep kecakapan bertindak kaum disabilitas dalam perjanjian
jual beli tanah?
2. Bagaimana bentuk perlindungan Hukum Bagi Tuna Rungu dalam
Perjanjian Jual Beli Tanah?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk dapat menjelaskan konsep Perlindungan Hukum Bagi Tuna Rungu
Ditinjau dari Kecakapan Bertindak dalam Perjanjian Jual Beli Tanah.
2. Untuk dapat mengetahui bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh
negara kepada disabilitas tuna rungu dalam perjanjian jual beli tanah.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
Secara teoritis, penelitian bermanfaat bagi pengembangan ilmu hukum,
khususnya hukum acara perdata, hukum hak asasi manusia, dan hukum
lainnya, lebih khusus lagi terkait dengan penerapan teori-teori hukum terkait
pelaksanaan perlindungan hukum terhadap individu penyandang tuna rungu
dalam perjanjian jual beli tanah.
2. Manfaat Aplikatif/Praktis
1. Bagi individu penyandang tuna rungu, penelitian ini bisa menjadi bahan
pembelajaran dalam melakukan transaksi jual beli ataupun pembuatan
surat kepemilikan
2. Bagi pemerintah, penelitian ini bisa menjadi bahan masukan pada
prosespenyusunan peraturan pelaksana lebih lanjut terkait pelaksanaan
perlindungan hukum terhadap individu penyandang tuna rungu dalam
perjanjian jual beli tanah.
3. Bagi masyarakat, penelitian ini bisa membantu masyarakat memahami
peran dan tanggungjawab dalam pencapaian sasaran pelaksanaan
perlindungan hukum terhadap tuna rungu dalam perjanjian jual beli
tanah.
4. Bagi pihak yang terlibat dalam proses hukum transaksi jual beli,
penelitian ini bertujuan untuk memberikan pemahaman mengenai
kewajiban dan hak individu penyandang tuna rungu dalam proses
tersebut.
E. Sistematika Penulisan
Terdiri atas 4 Bab yang tersusun secara berurutam yang secara garis
besar akan diuraikan sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini penulis akan menguraikan beberapa hal, yaitu berisi
tentang latar belakang permasalahan, rumusan permasalahan, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
Pada bab ini penulis akan menjelaskan mengenai pengertian-pengertian
yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti yaitu mengenai Perlindungan
Hukum Bagi Tuna Rungu Ditinjau dari Kecakapan Bertindak dalam Perjanjian
Jual Beli Tanah meliputi UU yang melindungi dan mengatur kehidupan
bermasyarakat kaum disabilitas tuna rungu, aturan serta pelaksanaan dalam
perjanjian jual beli tanah, dan teori perlindungan hukum yang digunakan
seperti hukum positifnya maupun aspek penunjang lainnya.
BAB III METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini penulis menggunakan penelitian normative yang
mengacu pada :
1. Pendekatan yang digunakan, karena bersifat normative maka pendekatan
yang digunakan yaitu pendekatan perundangan-undangan (statue
approach), pendekatan konsep (concept approach), pendekatan kasus (case
approach), dan lain lain.
2. Jenis data dan sumber bahan hukum
Untuk menunjang penelitian ini penulis menggunakan bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.
Sehingga akan mengemukakan hasil penelitian serta analisis dari hasil
penelitian berkaitan dengan masalah yang akan diteliti yaitu mengenai
Perlindungan Hukum Bagi Tuna Rungu Ditinjau dari Kecakapan Bertindak
dalam Perjanjian Jual Beli Tanah.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam BAB IV mendeskripsikan bagaimana Perlindungan Hukum
Bagi Tuna Rungu Ditinjau dari Kecakapan Bertindak dalam Perjanjian Jual Beli
Tanah di Indonesia sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan,
serta untuk menganalisa untuk menemukan formulasi penyelesaian dari aspek
hukum terhadap permasalahan yang terjadi.
BAB V PENUTUP
Berisi kesimpulan-kesimpulan dari hasil pembahasa pada bab
sebelumnya sekaligus saran yang berisi beberapa masukan yang diharapkan
menjadi pertimbangan bagi pihak-pihak terkait, khususnya pihak pemerintah
sebagai perumus kebijakan.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Hukum Tentang Hak-Hak Disabilitas
1. Berdasarkan CRPD
Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (Convention On The Rights Of
Persons With Disabilities) Konvensi ini disepakati pada tanggal 13 Desember
2006 oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa dengan Resolusi 61/106
dan terbuka untuk ditandatangani oleh Negara-negara anggota PBB pada
tanggal 30 Maret 2007.1 Indonesia mengirim delegasi untuk penandatanganan
yang dipimpin oleh departemen teknis yaitu Departemen Sosial Republik
Indonesia. Empat tahun kemudian Indonesia telah meratifikasi konvensi
tersebut ‘melalui Undang- undang No 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan
Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas pada tanggal 18 Oktober 2011.
Pasal 1
Tujuan Konvensi ini adalah untuk memajukan, melindungi dan
menjamin penikmatan secara penuh dan setara semua hak-hak asasi manusia
dan kebebasan fundamental oleh semua penyandang disabilitas, dan untuk
meningkatkan penghormatan atas martabat yang melekat pada mereka.
Penyandang disabilitas mencakupi mereka yang memiliki-penderitaan fisik,
mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama dimana interaksi
1Konvensi hak-hak penyandang disabilitas (Convention On The Rights Of Persons With
Disabilities)
dengan berbagai hambatan dapat menyulitkan partisipasi penuh dan efektif
dalam masyarakat berdasarkan kesetaraan dengan yang lainnya.
Pasal 12
1. Negara-Negara Pihak menegaskan kembali bahwa penyandang disabilitas
memiliki hak untuk diakui dimana pun berada sebagai seorang manusia di
muka hukum.
2. Negara-Negara Pihak wajib mengakui bahwa penyandang disabilitas
memiliki kapasitas hukum atas dasar kesamaan dengan orang lain dalam
semua aspek kehidupan.
3. Negara-Negara Pihak wajib mengambil langkah yang tepat untuk
menyediakan akses bagi penyandang disabilitas terhadap bantuan yang
mungkin mereka perlukan dalam melaksanakan kapasitas hukum mereka.
4. Negara-Negara Pihak wajib menjamin bahwa’ seluruh langkah yang terkait
dengan pelaksanaan kapasitas hukum menyediakan ‘pengamanan yang
tepat dan efektif untuk mencegah penyalahgunaan, selaras dengan hukum
hak asasi manusia internasional. Pengamanan tersebut wajib menjamin
bahwa langkah yang terkaitdengan pelaksanaan kapasitas hukum
menghormati hak-hak, kehendak dan pilihan penyandang disabilitas
bersangkutan, bebas dari konflik kepentingan dan pengaruh yang tidak
semestinya, proporsional dan disesuaikan dengan keadaan penyandang
disabilitas bersangkutan, diterapkan dalam waktu sesingkat mungkin dan
dikaji secara teratur oleh otoritas atau badan judisial yang kompeten,
mandiri dan tidak memihak. Pengamanan wajib bersifat proporsional
hingga pada tingkat dimana ketentuan semacam ini memberikan dampak
terhadap hak dan kepentingan penyandang disabilitas bersangkutan.
5. Merujuk dengan ketentuan-ketentuan dalam pasal ini, Negara-Negara Pihak
wajib mengambil langkah yang tepat dan efektif untuk menjamin hak yang
sama bagi penyandang disabilitas dalam memilik: atau mewarisi properti,
dalam mengendalikan masalah keuangan mereka dan dalam memiliki
persamaan akses terhadap pinjaman bank, kredit perumahan, dan bentuk-
bentuk lain kredit keuangan, dan Negara-Negara Pihak wajib menjamin
bahwa penyandang disabilitas tidak dikurangi’ kepemilikannya secara
sewenang-wenang.
Kajian terhadap Hukum Tentang Hak-Hak Disabilitas adalah melihat isu
disabilitas dalam kerangka hukum dan perundang-undangan, sudah banyak
berkembang di berbagai negara. Hal itu berpengaruh langsung terhadap konsep
dan cara pandang terhadap disabilitas dalam berbagai produk hukum, baik di
suatu negara tertentu atau dalam suatu konvensi internasional. Ada perubahan
yang signifikan dari perkembangan itu, yaitu disabilitas sudah tidak lagi
dianggap sebagai suatu tragedi yang segala permasalahannya dapat hanya
diselesaikan dengan bantuan. Disabilitas sudah dipandang sebagai bagian dari
keragaman umat manusia dan kemanusiaan yang hadir ditengah masyarakat.
Selain itu, disabilitas sudah tidak lagi hanya dilihat dari aspek medis, yang
hanya akan mengarah kepada pemaknaan “normal” dan “tidak normal”, tetapi
sudah bergeser dengan dilihat dari aspek sosial, yaitu melihat dari hambatan
yang muncul dari hasil interaksi dan kondisi lingkungan sekitar.2
2 Kerangka Hukum Disabilitas di Indonesia: Menuju Indonesia Ramah Disabilitas,
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Jakarta, 2015, hlm 4.
2. Berdasarkan UU Nomor 19 Tahun 2011
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011 Tentang
Pengesahan Convention On The Rights Of Persons With Disabilities (Konvensi
Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas) 3 Pokok-Pokok Isi Konvensi
adalah:
1. Pembukaan Pembukaan berisi pengakuan harga diri dan nilai serta hak
yang sama bagi penyandang disabilitas, yaitu orang yang memiliki
keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu
lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sikap
masyarakatnya dapat menemui hambatan yang menyulitkan untuk
berpartisipasi penuh dan efektif berdasarkan kesamaan hak. Oleh karena
itu, pengakuan bahwa diskriminasi berdasarkan disabilitas merupakan
pelanggaran terhadap martabat dan nilai yang melekat pada setiap
orang.
2. Tujuan
Tujuan konvensi ini adalah untuk memajukan, melindungi,dan
menjamin kesamaan hak dan kebebasan yang mendasar bagi semua
penyandang disabilitas, serta penghormatan terhadap martabat
penyandang disabilitas sebagai bagian yang tidak terpisahkan (inherent
dignity).
3. Kewajiban Negara
3Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan
Convention On The Rights Of Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang
Disabilitas)
Kewajiban negara merealisasikan hak yang termuat dalam Konvensi,
melalui penyesuaian peraturan perundang-undangan, hukum dan
administrasi dari setiap negara, termasuk mengubah peraturan
perundang-undangan, kebiasaan dan praktik-praktik yang diskriminatif
terhadap penyandang disabilitas, baik perempuan maupun anak,
menjamin partisipasi penyandang disabilitas dalam segala aspek
kehidupan seperti pendidikan, kesehatan, pekerjaan, politik, olah raga,
seni dan budaya, serta pemanfaatan teknologi, informasi dan
komunikasi.
4. Hak-hak Penyandang Disabilitas
Setiap penyandang disabilitas harus bebas dari penyiksaan atau
perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan martabat
manusia, bebas dari eksploitasi, kekerasan dan perlakuan semena-mena,
serta memiliki hak untuk mendapatkan penghormatan atas integritas
mental dan fisiknya berdasarkan kesamaan dengan orang lain.
Termasuk didalamnya hak untuk mendapatkan perlindungan dan
pelayanan sosial dalam rangka kemandirian, serta dalam keadaan
darurat.
B. Kajian umum tentang perjanjian jual beli
Perjanjian atau kontrak merupakan suatu peristiwa hukum di mana
seorang berjanji kepada orang lain atau dua orang saling berjanji kepada orang
lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.4 Biasanya kalau seorang
4 Salim H.S,S.H.,M.S.,Op cit, hlm.5
berjanji kepada orang lain, kontrak tersebut merupakan kontrak yang biasa
diistilahkan dengan kontrak sepihak di mana hanya seorang yang wajib
menyerahkan sesuatu kepada orang lain, sedangkan orang yang menerima
penyerahan itu tidak memberikan sesuatu sebagai balasan (kontra prestasi) atas
sesuatu yang diterimanya. Berikut beberapa Aspek aspek hukum transaksi jual
beli tanah.
Berbicara mengenai transaksi jual beli, tidak terlepas dari konsep
perjanjian secara mendasar sebagaimana termuat dalam Pasal 1313
KUHPerdata yang menegaskan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain
atau lebih. Ketentuan yang mengatur tentang perjanjian terdapat dalam Buku III
KUHPerdata, yang memiliki sifat terbuka artinya ketentuan-ketentuannya dapat
dikesampingkan, sehingga hanya berfungsi mengatur saja. Sifat terbuka dari
KUHPerdata ini tercermin dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang
mengandung asas Kebebasan Berkontrak, maksudnya setiap orang bebas untuk
menentukan bentuk, macam dan isi perjanjian asalkan tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kesusilaan dan ketertiban
umum, serta selalu memperhatikan syarat sahnya perjanjian sebagaimana
termuat dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang mengatakan bahwa, syarat sahnya
sebuah perjanjian adalah sebagai berikut:
1. Kesepakatan para pihak dalam perjanjian
2. Kecakapan para pihak dalam perjanjian
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal
Kesepakatan berarti adanya persesuaian kehendak dari para pihak yang
membuat perjanjian, sehingga dalam melakukan suatu perjanjian tidak boleh
ada paksaan, kekhilafan dan penipuan (dwang, dwaling, bedrog). Kecakapan
hukum sebagai salah satu syarat sahnya perjanjian maksudnya bahwa para
pihak yang melakukan perjanjian harus telah dewasa yaitu telah berusia 18
tahun atau telah menikah, sehat mentalnya serta diperkenankan oleh undang-
undang. Apabila orang yang belum dewasa hendak melakukan sebuah
perjanjian, maka dapat diwakili oleh orang tua atau walinya sedangkan orang
yang cacat mental dapat diwakili oleh pengampu atau kuratornya.
Suatu hal tertentu berhubungan dengan objek perjanjian, maksudnya
bahwa objek perjanjian itu harus jelas, dapat ditentukan dan diperhitungkan
jenis dan jumlahnya, diperkenankan oleh undang-undang serta mungkin untuk
dilakukan para pihak. Suatu sebab yang halal, berarti perjanjian termaksud
harus dilakukan berdasarkan itikad baik. Berdasarkan Pasal 1335 KUH Perdata,
suatu perjanjian tanpa sebab tidak mempunyai kekuatan. Sebab dalam hal ini
adalah tujuan dibuatnya sebuah perjanjian.
Kesepakatan para pihak dan kecakapan para pihak merupakan syarat
sahnya perjanjian yang bersifat subjektif. Apabila tidak tepenuhi, maka
perjanjian dapat dibatalkan artinya selama dan sepanjang para pihak tidak
membatalkan perjanjian, maka perjanjian masih tetap berlaku. Sedangkan suatu
hal tertentu dan suatu sebab yang halal merupakan syarat sahnya perjanjian
yang bersifat objektif. Apabila tidak terpenuhi, maka perjanjian batal demi
hukum artinya sejak semula dianggap tidak pernah ada perjanjian. Pada
kenyataannya, banyak perjanjian yang tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian
secara keseluruhan, misalnya unsur kesepakatan sebagai persesuaian kehendak
dari para pihak yang membuat perjanjian pada saat ini telah mengalami
pergeseran dalam pelaksanaannya.
Pada saat ini muncul perjanjian-perjanjian yang dibuat dimana isinya
hanya merupakan kehendak dari salah satu pihak saja.Perjanjian seperti itu
dikenal dengan sebutan Perjanjian Baku (standard of contract). Pada dasarnya
suatu perjanjian harus memuat beberapa unsur perjanjian yaitu :
1. Unsur Esentialia, sebagai unsur pokok yang wajib ada dalam perjanjian,
seperti identitas para pihak yang harus dicantumkan dalam suatu perjanjian,
termasuk perjanjian yang dilakukan jual beli secara elektronik
2. Unsur Naturalia, merupakan unsur yang dianggap ada dalam perjanjian
walaupun tidak dituangkan secara tegas dalam perjanjian, seperti itikad baik
dari masing-masing pihak dalam perjanjian.
3. Unsur Accedentialia, yaitu unsur tambahan yang diberikan oleh para pihak
dalam perjanjian, seperti klausula tambahan yang berbunyi "barang yang
sudah dibeli tidak dapat dikembalikan”.
Dalam suatu perjanjian harus diperhatikan pula beberapa macam asas
yang dapat diterapkan antara lain:
1. Asas Konsensualisme, yaitu asas kesepakatan, dimana suatu perjanjian
dianggap ada seketika setelah ada kata sepakat.
1. Asas Kepercayaan, yaitu bahwa yang harus ditanamkan diantara para pihak
yang membuat perjanjian.
2. Asas kekuatan mengikat, yaitu bahwa para pihak yang membuat perjanjian
terikat pada seluruh isi perjanjian dan kepatutan yang berlaku.
3. Asas Persamaan Hukum, yaitu bahwa setiap orang dalam hal ini para pihak
mempunyai kedudukan yang sama dalam hukum.
4. Asas Keseimbangan, yaitu bahwa dalam melaksanakan perjanjian harus ada
keseimbangan hak dan kewajiban dari masing-masing pihak sesuai dengan
apa yang diperjanjikan.
5. Asas Moral adalah sikap moral yang baik harus menjadi motivasi para pihak
yang membuat dan melaksanakan perjanjian.
6. Asas Kepastian Hukum yaitu bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak
berlaku sebagai undang-undang bagi para pembuatnya.
7. Asas Kepatutan, yaitu bahwa isi perjanjian tidak hanya harus sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku tetapi juga harus sesuai
dengan kepatutan, sebagaimana ketentuan Pasal 1339 KUHPerdata yang
menyatakan bahwa suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal
yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu
yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau
undang-undang.
8. Asas Kebiasaan, yaitu bahwa perjanjian harus mengikuti kebiasaan yang
lazim dilakukan, sesuai dengan isi pasal 1347 KUHPerdata yang berbunyi
hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan dianggap secara
diam-diam dimasukkan ke dalam perjanjian, meskipun tidak dengan tegas
dinyatakan. Hal ini merupakan perwujudan dari unsur naturalia dalam
perjanjian.
Semua ketentuan perjanjian tersebut diatas dapat diterapkan pula pada
perjanjian yang dilakukan melalui media internet, seperti perjanjian jual beli
secara elektronik, sebagai akibat adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Menurut Pasal 1457 KUHPerdata, jual beli adalah suatu perjanjian
dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu
kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.
Jual beli tidak hanya dapat dilakukan secara berhadapan langsung antara
penjual dengan pembeli, tetapi juga dapat dilakukan secara terpisah antara
penjual dan pembeli, sehingga mereka tidak berhadapan langsung, melainkan
transaksi dilakukan melalui media internet/secara elektronik.
Dalam Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, disebutkan
bahwa:5
Pasal 1338 KUHPerdata
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-
undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat
ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena
alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Suatu
perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.”
Pasal 1338 KUHPerdata menyebutkan semua perjanjian yang dibuat secara
sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Perjanjian
tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena
alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Perjanjian
harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Berdasarkan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
5 R. Subekti SH dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Edisi Revisi,
1995, hlm.342
tersebut diatas, maka tiap-tiap pihak dalam perjanjian wajib mematuhi hal-hal
yang telah diperjanjikan dan melaksanakan perjanjian dengan itikad baik.
Apabila ada pihak yang tidak mematuhi dan tidak melaksanakan perjanjian
dengan baik maka dapat dikatakan pihak tersebut tidak beritikad baik. Pihak
yang dirugikan oleh pihak yang tidak beritikad baik akan mendapat perlindungan
hukum. Perlindungan hukum yang dimaksud disini adalah perlindungan
terhadap hak-hak yang dimiliki oleh pihak yang dirugikan tersebut dalam
perjanjian.
Sementara itu, apabila dua orang saling berjanji, berarti masing-masing
pihak menjanjikan untuk memberikan sesuatu/berbuat sesuatu kepada pihak
lainnya yang berarti bahwa masing-masing pihak berhak untuk menerima apa
yang dijanjikan oleh pihak lain. Hal ini berarti bahwa masing-masing pihak
dibebankan kewajiban dan diberi hak sebagaimana yang dijanjikan.
Hukum kontrak adalah keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang
mengatur hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat
untuk menimbulkan akibat hukum. Hubungan hukum adalah hubungan uang
menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum, yaitu timbulnya hak dan kewajiban.
Hak merupakan sebuah kenikmatan, sedangkan kewajiban merupakan beban.
Bentuk perjanjian:
1. Lisan
2. Tulisan, dibagi 2 (dua), yaitu:
a) Bukan Akta
Adalah setiap tulisan yang tidak sengaja dijadikan bukti tentang
suatu peristiwa dan/atau tidak ditandatangani oleh pembuatnya. Para
sarjana mengatakan bahwa kekuatan pembuktian tulisan-tulisan
yang bukan akta adalah sebagai alat bukti bebas, artinya hakim
mempunyai kebebasan untuk mempercayai atau tidak mempercayai
tulisan-tulisan yang bukan akta tersebut.6
b) Akta
Akta adalah suatu tulisan yang memang dengan sengaja dibuat
untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani
pihak yang membuatnya. Berdasarkan ketentuan pasal 1867 KUH
Perdata suatu akta dibagi menjadi 2 (dua), antara lain:
1) Akta Di bawah Tangan (Onderhands)
Adalah akta yang dibuat tidak di hadapan pejabat yang
berwenang atau Notaris.Akta ini yang dibuat dan ditandatangani
oleh para pihak yang membuatnya. Apabila suatu akta di bawah
tangan tidak disangkal oleh Para Pihak, maka berarti mereka
mengakui dan tidak menyangkal kebenaran apa yang tertulis
pada akta di bawah tangan tersebut, sehingga sesuai pasal 1857
KUHPerdata akta di bawah tangan tersebut memperoleh
kekuatan pembuktian yang sama dengan suatu Akta Otentik.
2) Akta Resmi (Otentik).
Adalah akta yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang
yang memuat atau menguraikan secara otentik sesuatu tindakan
6Ny. Retnowulan Sutantie, SH, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek,
Alumni, Bandung, Cet. I, 1979, hlm.62
yang dilakukan atau suatu keadaan yang dilihat atau disaksikan
oleh pejabat umum pembuat akta itu. Pejabat umum yang
dimaksud adalah notaris, hakim, juru sita pada suatu pengadilan,
pegawai pencatatan sipil, dan sebagainya.
Pasal 1338 ayat 1 BW bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.7
Syarat sahnya perjanjian yang berdasarkan pada pasal 1320 BW8:
a) Adanya kesepakatan kedua belah pihak
b) Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum
c) Adanya objek, dan
d) Adanya kausa yang halal
Keempat hal itu dikemukakan sebagai berikut:
1) Adanya kesepakatan kedua belah pihak
Kesepakatan ini diatur dalam pasal 1320 ayat 1
KUHPerdata.Yang dimaksud adalah persesuaian pernyataan kehendak
antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya.Secara kenyataannya
kehendak itu tidak dapat dilihat/diketahui oleh orang lain, maka ada
lima cara terjadinya persesuaian pernyataan kehendak, yaitu dengan:
a) Bahasa yang sempurna dan tertulis
b) Bahasa yang sempurna secara lisan
7 Ibid,hlm.9 8Ibid, hlm.33
c) Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak
lawan.Karena dalam kenyataannya seringkali seseorang
menyampaikan dengan bahasa yang tidak sempurna tetapi
dimengerti oleh pihak lawannya
d) Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya
e) Diam atau membisu, tetapi asal dipahami atau diterima pihak’
lawannya.9
2) Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum
Adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan
perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan
menimbulkan akibat hukum. Orang-orang yang akan mengadakan
perjanjian haruslah orang-orang yang cakap dan mempunyai
wewenang untuk melakukan perbuatan hukum dan mempunyai
wewenang untuk melakukan perbuatan hukum, yaitu orang yang
sudah dewasa. Ukuran kedewasaan adalah telah berumur 21 tahun
dan atau sudah kawin.
Orang yang tidak berwenang untuk melakukan perbuatan hukum:
a) Anak di bawah umur (minderjarigheid)
b) Orang yang ditaruh di bawah pengampuan
3) Adanya objek perjanjian (Ondwerp der Overeenskomst) , dan
Yang menjadi objek perjanjian adalan prestasi (pokok perjanjian).
Prestasi adalah apa yang menjadi kewajiban debitur dan apa yang
menjadi hak kreditur. Prestasi terdiri atas:
9Salim H.S., Op cit.hlm.33
a) Memberikan sesuatu
b) Berbuat sesuatu
c) Tidak berbuat sesuatu ( Pasal 1234 KUHPerdata)
4) Adanya kausa yang halal
Adalah terlarang apabila bertentangan dengan undang-
undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Syarat yang pertama dan kedua disebut syarat subjektif, karena
menyangkut pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Sedangkan syarat
ketiga dan keempat disebut syarat onjektif, karena menyangkut objek
perjanjian.10
Apabila syarat pertama dan kedua tidak terpenuhi maka perjanjian itu
dapat dibatalkan. Artinya, bahwa salah satu pihak dapat mengajukan kepada
pengadilan untuk membatalkan perjanjian yang disepakatinya. Kecuali tidak
ada keberatan maka perjanjian itu tetap dianggap sah. Sedangkan syarat ketiga
dan keempat tidak terpenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum. Artinya,
bahwa dari semula perjanjian itu dianggap tidak ada.
C. Kajian Umum Tentang Perlindungan Hukum
Perlindungan hukum merupakan perlindungan harkat dan martabat dan
pengakuan terhadap hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum dalam
negara hukum dengan berdasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku di
negara tersebut guna mencegah terjadinya kesewenang-wenangan.
10Ibid, hlm.35
Perlindungan hukum itu pada umumnya berbentuk suatu peraturan tertulis,
sehingga sifatnya lebih mengikat dan akan mengakibatkan adanya sanksi yang
harus dijatuhkan kepada pihak yang melanggarnya.11
Prinsip perlindungan hukum di Indonesia adalah pengakuan dan
perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada
prinsip negara hukum yang berlandaskan Pancasila.12
Sarana perlindungan hukum yang digunakan bersifat preventif atau
bersifat melindungi sebagaimana diuraikan bahwa tindakan preventif menjamin
keadilan dan menjamin suatu pemerintahan. Hal ini dapat memungkinkan bagi
individu yang terkena tindak pemerintahan dapat mengemukakan hak-haknya
dan kepentingannya dan cara demikian menunjang suatu pertumbuhan suasana
saling percaya antara yang memerintah dan yang diperintah.13
Prinsip perlindungan hukum di Indonesia adalah pengakuan dan
perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada
prinsip negara hukum yang berlandaskan Pancasila.14
Bagi penyandang disabilitas di indonesia bentuk dari perlindungan
hukun telah diatur dalam UUD 1945 pasal 28 dan UU no.8 tahun 2016.
11 Philipus M. Hadjon I, Perlindungan hukum bagi rakyat di Indonesia, sebuah studi
tentang prinsip-prinsip penanganannya oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum
dan pembentukan peradilan administrasi, Peradaban, Surabaya, (selanjutnya disingkat Philipus
M. Hadjon I), hlm.205
12 Philipus M. Hadjon I, Op.cit. hlm.19 13 Philipus M. Hadjon I, Op.cit. hlm.4 14 Philipus M. Hadjon I, Op.cit. hlm.19
D. Kecakapan Bertindak
Kecakapan bertindak yang berdasarkan Pasal 1329 KUHPerdata
adalah “semua orang adalah cakap bertindak, kecuali ditentukan tidak cakap
menurut undang-undang”.15 Maka dapat disimpulkan syarat-syarat agar
seseorang cakap bertindak untuk melakukan tindakan hukum:
1. Orang yang telah dewasa
Mengenai yang belum dewasa diatur dalam Pasal 330 KUHPerdata,
yang menentukan:
a) Telah berusia 21 tahun
b) Atau belum 21 tahun tetap sudah atau pernah kawin sebelumnya.
2. Tidak dibawah pengampuan.
Pasal 433 KUHPerdata, “Setiap orang dewasa, yang selalu berada
dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap, harus ditempatkan di bawah
pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya.
Seorang dewasa boleh juga ditempatkan dibawah pengampuan karena
keborosan”
3. Status perempuan bersuami yang tidak cakap bertindak hukum telah
menjadi sama dengan suami berdasarkan UUD 1945 , UU No. 1/1974 dan
SEMA No.3 Tahun 1963.
15 Pasal 1329 KUHPerdata
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah peneilitian
yuridis normatif. Penelitian ini memfokuskan untuk mengkaji penalaran
kaidah-kaidah atau norma-norma hukum positif. Jenis yuridis normatif dalam
penelitian ini untuk menganalisis ketentuan Pasal 433KUHPerdata yang
dikaitkan pula dengan Pasal 1320 KUHPerdata tentang syarat sah suatu
perjanjian dan Pasal 1329 KUHPerdata tentang kecakapan bertindak. Karena
stigma bahwa disabilitas bukanlah orang yang cakap hukum dikukuhkan dalam
buku 1 KUHPerdata Pasal 433 yang menegaskan bahwa “Setiap orang dewasa,
yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap, harus
ditempatkan di bawah pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang cakap
menggunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditempatkan di bawah
pengampuan karena keborosan”. Pada Pasal 1320 KUHPerdata juga
dinyatakan bahwa salah satu syarat sah suatu perjanjian adalah seorang yang
cakap hukum, dan yang dikualifikasi cakap hukum adalah setiap orang yang
dewasa dan sehat pikirannya.
B. Pendekatan Penelitian
Metode pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini yakni peraturan
perundang-undangan (statue approach). Suatu penelitian normatif tentu harus
menggunakan pendekatan perundang-undangan, karena yang akan diteliti
adalah berbagai aturan hukum yang akan menjadi fokus sekaligus tema sentral
dari suatu penelitian.1 Aturan yang dimaksud di sini adalah aturan mengenai
Pasal 433KUHPerdata, Pasal 1320 KUHPerdata tentang syarat sah suatu
perjanjian dan Pasal 1329 KUHPerdata tentang kecakapan bertindak sehingga
dengan memperhatikan aturan tersebut pembaca akan memahami relevansinya
dengan topik bahasan utama dalam metode penelitian.
C. Jenis Dan Sumber Bahan Hukum
Penelitian hukum normatif mengacu pada menggunakan bahan hukum.
Sedangkan bahan hukum yang digunakan peneliti bertumpu pada bahan hukum
primer, sekunder dan tersier.
1. Bahan hukum primer, adalah bahan hukum yang mengikat.2Beberapa
peraturan perundang-undangan yang perlu dikaji sebagai berikut:
a) Pasal 28 huruf C ayat 2, 28 huruf D ayat 1, 28 huruf F, 28 huruf G ayat
1, 28 huruf H ayat 4, 28 huruf I ayat 2 dan 5 Undang-Undang Dasar
Negara Repblik Indonesia 1945
b) Pasal 433, 1320 dan 1329 KUHPerdata
c) Pasal 1, 2, 5, 6, dan 8 Undang-Undang nomor 8 tahun 2016 tentang
Penyandang Disabilitas jo Undang-Undang nomor 19 tahun 2011
d) Pasal 1, 2, 3 dan 4 Konvensi hak-hak penyandang disabilitas /
Convention On The Rights Of Persons With Disabilities (CRPD)
2. Bahan hukum sekunder, adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer dan wawancara dengan notaris yang pernah
1 Johny Ibrahim, Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia
Publishing:Malang, 2006, hlm.302
2 Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normative Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali
Pers, Jakarta, 2010, hlm.13
membuat akta untuk kaum penyandang disabilitas.3 Yang dibutuhkan oleh
peneliti sebagai bahan hukum pendukung dalam menguatkan bahan hukum
primer, berupa buku-buku literatur, makalah, jurnal, risalah, keputusan
pengadilan, pendapat para ahli, teori hukum dan artikel-artikel dari media
cetak maupun elektronik tentang Kecakapan Bertindak dalam Perjanjian
Jual Beli Tanah.
3. Dan bahan hukum tersier, adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk
maupun memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan
sekunder.4 Yang digunakan berupa kamus hukum, kamus besar bahasa
Indonesia, dan kamus besar bahasa Inggris-Indonesia.
D. Teknik Memperoleh Bahan Hukum
Peneliti menggunakan metode penelitian dengan pendekatan statue
approach, maka teknik pengumpulan bahan hukumnya dilakukan dengan studi
kepustakaan (library research). Studi kepustakaan, adalah serangkaian
kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan bahan hukum
pustaka,yaitu membaca dan mencatat buku-buku serta literature yang
berhubungan dengan tujuan penelitian kemudian.5 Yakni mencari dan
mengumpulkan peraturan perundang-undangan mengenai KUHPerdata, UU
no. 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, CRPD, baik berupa undang-
undang dan atau peraturan lain yang sifatnya vertikal maupun horizontal.
Selain itu, pengumpulan bahan hukum juga dilakukan dengan membaca
3 Soerjono Soekanto, Loc. Cit. 4 Ibid
5 Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2008,
hlm.3
literatur, makalah, jurnal, artikel dan essai yang berkaitan dengan ilmu
perundang-undangan dan wawancara.
E. Teknik Analisis Bahan Hukum
Teknik analisis bahan hukum dalam penelitian ini menggunakan
metode interpretasi.Intepretasi adalah salah satu teknik analisa dengan cara
menafsirkan atau mengetahui makna peraturan perundang-undangan. Metode
intepretasi yang akan digunakan adalah sebagai berikut:6
1. Intepretasi gramatikal adalah cara penafsiran untuk mengetahui makna
ketentuan dengan menguraikan menurut bahasa, susun kata atau bunyinya.
Intepretasi ini tidak mungkin tidak digunakan mengingat suatu peraturan
perundang-undangan terdiri dari susunan kata-kata yang terangkai.
Karena stigma bahwa disabilitas bukanlah orang yang cakap hukum
dikukuhkan dalam buku 1 KUHPerdata Pasal 433 yang menegaskan bahwa
“Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila atau
mata gelap, harus ditempatkan di bawah pengampuan, sekalipun ia kadang-
kadang cakap menggunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga
ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosan”.Pada Pasal 1320
KUHPerdata juga dinyatakan bahwa salah satu syarat sah suatu perjanjian
adalah seorang yang cakap hukum, dan yang dikualifikasi cakap hukum
adalah setiap orang yang dewasa dan sehat pikirannya.
2. Intepretasi sistematis adalah cara penafsiran dengan jalan menghubungkan
dengan undang-undang (peraturan perundang-undangan) lain dengan tidak
6Sudikno mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Penerbit Liberty,
Yogyakarta, 1999, hlm.153-156
menyimpang dari sistem perundang-undangan. Interpretasi ini perlu
digunakan mengingat peraturan perundang-undangan merupakan satu
kesatuan yang saling terintegrasi.
Karena untuk memahami teks dan konteks dari Pasal 433 KUHPerdata, Pasal
1329 KUHPerdata tentang kecakapan bertindak dan Pasal 1320 KUHPerdata
tentang syarat sah suatu perjanjian.
F. Definisi Konseptual
Adalah penarikan batasan yang menjelaskan suatu konsep secara singkat,
jelas, dan tegas.7
1. Perlindungan hukum adalah perlindungan terhadap hak-hak yang dimiliki
oleh pihak yang dirugikan tersebut dalam perjanjian.
2. Perjanjian jual beli tanah adalah suatu peristiwa hukum di mana seorang
berjanji kepada orang lain atau dua orang saling berjanji kepada orang lain
untukmembayar harga yang dijanjikan dalam jual beli tanah
3. Kecakapan bertindak yang berdasarkan Pasal 1329 KUHPerdata adalah
“semua orang adalah cakap bertindak, kecuali ditentukan tidak cakap
menurut undang-undang”.
4. Disabilitas tunarungu adalah seseorang yang memiliki keterbatasan dalam
mendengar dan menangkap informasi melalui suara.
7Prof. Dr. M.A.S Imam Chourmain, M.Ed. 2008. Acuan Normatif Penelitian Untuk
Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi. Jakarta: Al-Haramain Publishing House. hlm.36
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Konsep Kecakapan Bertindak Kaum Disabilitas Tuna Rungu Dalam
Perjanjian Jual Beli Tanah
Pada dasarnya setiap subyek hukum mempunyai kewenangan hukum,
meskipun demikian tidak semua subyek hukum mempunyai kecakapan
berbuat. Kecakapan berbuat adalah kemampuan untuk melakukan perbuatan
hukum dengan akibat hukum yang sempurna. Kedudukan tiap manusia dimata
hukum adalah sama namun terdapat diskriminasi yang dilakukan ke kaum
disabilitas terutama dalam akses pemenuhan kebutuhan hukum yang sepadan
dengan manusia lainnya. Pada saat ini, 22.000 penyandang disabilitas di
indonesia, sebagian dewasa di atas umur 18 tahun tidak diberi hak dalam
membuat perjanjian di indonesia. Kebanyakan penyandang disabilitas merasa
dirugikan dengan stigma disabilitas.
Rekapitulasi Data Penyandang Disabilitas Berat 20151
Kode Propinsi Jumlah
11 ACEH 367
12 SUMATERA UTARA 933
1http://asodkb.org/data/rekap/diakses pada tanggal 10 Januari 2016.
13 SUMATERA BARAT 1098
14 RIAU 96
15 JAMBI 698
16 SUMATERA SELATAN 871
17 BENGKULU 517
18 LAMPUNG 918
19 KEPULAUAN BANGKA BELITUNG 147
21 KEPULAUAN RIAU 110
31 DKI JAKARTA 748
32 JAWA BARAT 2035
33 JAWA TENGAH 2524
34 DI YOGYAKARTA 939
35 JAWA TIMUR 1767
36 BANTEN 508
51 BALI 1081
52 NUSA TENGGARA BARAT 973
53 NUSA TENGGARA TIMUR 1032
61 KALIMANTAN BARAT 626
62 KALIMANTAN TENGAH 94
63 KALIMANTAN SELATAN 682
64 KALIMANTAN TIMUR 205
65 KALIMANTAN UTARA 45
71 SULAWESI UTARA 248
72 SULAWESI TENGAH 488
73 SULAWESI SELATAN 1135
74 SULAWESI TENGGARA 249
75 GORONTALO 115
76 SULAWESI BARAT 137
81 MALUKU 303
82 MALUKU UTARA 81
91 PAPUA 109
92 PAPUA BARAT 121
JUMLAH 22000
1. Hak-hak kaum disabilitas
Untuk melindungi dan mengayomi kebutuhan kaum disabilitas
Indonesia lebih lanjut negara Indonesia telah menjelaskan secara rinci
dalam undang-undang. Hak hak kaum disabilitas telah diatur dalam UU
no.8 tahun 2016 ‘yaitu:
Dalam ketentuan umum Pasal 1
“Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami
keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka
waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat
mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh
dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.
2. Kesamaan Kesempatan adalah keadaan yang memberikan peluang
dan/atau menyediakan akses kepada Penyandang Disabilitas untuk
menyalurkan potensi dalam segala aspek penyelenggaraan negara dan
masyarakat.
3. Diskriminasi adalah setiap pembedaan, pengecualian pembatasan,
pelecehan, atau pengucilan atas dasar disabilitas yang bermaksud atau
berdampak pada pembatasan atau peniadaan pengakuan, penikmatan,
atau pelaksanaan hak Penyandang Disabilitas.
4. Penghormatan adalah sikap menghargai atau menerima keberadaan
Penyandang Disabilitas dengan segala hak yang melekat tanpa
berkurang.
5. Pelindungan adalah upaya yang dilakukan secara sadar untuk
melindungi, mengayomi, dan memperkuat hak Penyandang Disabilitas.
6. Pemenuhan adalah upaya yang dilakukan untuk memenuhi,
melaksanakan, dan mewujudkan hak Penyandang Disabilitas.
7. Pemberdayaan adalah upaya untuk menguatkan keberadaan
Penyandang Disabilitas dalam bentuk penumbuhan iklim dan
pengembangan potensi sehingga mampu tumbuh dan berkembang
menjadi individu atau kelompok Penyandang Disabilitas yang tangguh
dan mandiri.
8. Aksesibilitas adalah kemudahan yang disediakan untuk Penyandang
Disabilitas guna mewujudkan Kesamaan Kesempatan.
9. Akomodasi yang Layak adalah modifikasi dan penyesuaian yang tepat
dan diperlukan untuk menjamin penikmatan atau pelaksanaan semua
hak asasi manusia dan kebebasan fundamental untuk Penyandang
Disabilitas berdasarkan kesetaraan.
10. Alat Bantu adalah benda yang berfungsi membantu kemandirian
Penyandang Disabilitas dalam melakukan kegiatan sehari-hari.
11. Alat Bantu Kesehatan adalah benda yang berfungsi mengoptimalkan
fungsi anggota tubuh Penyandang Disabilitas berdasarkan rekomendasi
dari tenaga medis.
12. Konsesi adalah segala bentuk potongan biaya yang diberikan oleh
Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau setiap orang kepada
Penyandang Disabilitas berdasarkan kebijakan Pemerintah dan
Pemerintah Daerah.
13. Pelayanan Publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka
pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas
barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh
penyelenggara pelayanan publik.
14. Unit Layanan Disabilitas adalah bagian dari satu institusi atau lembaga
yang berfungsi sebagai penyedia layanan dan fasilitas untuk
Penyandang Disabilitas.
15. Pemberi Kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum,
atau badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar
upah atau imbalan dalam bentuk lain.
16. Komisi Nasional Disabilitas yang selanjutnya disingkat KND adalah
lembaga nonstruktural yang bersifat independen.
17. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang
berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
18. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden
Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara
Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri
sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
19. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara
Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
20. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang sosial. ”
Dalam ketentuan umum Pasal 2
“Pelaksanaan dan Pemenuhan hak Disabilitas berasaskan:
1. Penghormatan terhadap martabat;
2. Otonomi individu
3. Penyandang tanpa diskriminasi
4. Partisipasi penuh
5. keragaman manusia dan kemanusiaan;
6. Kesamaan Kesempatan;
7. kesetaraan;
8. Aksesibilitas;
9. kapasitas yang terus berkembang dan identitas anak;
10. inklusif; dan
11. perlakuan khusus dan Pelindungan lebih.”
Dalam ketentuan umum Pasal 5
“(1) Penyandang Disabilitas memiliki hak:
1. hidup;
2. bebas dari stigma;
3. privasi;
4. keadilan dan perlindungan hukum;
5. pendidikan;
6. pekerjaan, kewirausahaan, dan koperasi;
7. kesehatan;
8. politik;
9. keagamaan;
10. keolahragaan;
11. kebudayaan dan pariwisata;
12. kesejahteraan sosial;
13. Aksesibilitas;
14. Pelayanan Publik;
15. Pelindungan dari bencana;
16. habilitasi dan rehabilitasi;
17. Konsesi;
18. pendataan;
19. hidup secara mandiri dan dilibatkan dalam masyarakat;
20. berekspresi, berkomunikasi, dan memperoleh informasi;
21. berpindah tempat dan kewarganegaraan; dan
22. bebas dari tindakan Diskriminasi, penelantaran, penyiksaan, dan
eksploitasi.
(2) Selain hak Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
perempuan dengan disabilitas memiliki hak:
1. atas kesehatan reproduksi;
2. menerima atau menolak penggunaan alat kontrasepsi;
3. mendapatkan Pelindungan lebih dari perlakuan Diskriminasi berlapis;
dan
4. untuk mendapatkan Pelindungan lebih dari tindak kekerasan,
termasuk kekerasan dan eksploitasi seksual.
(3) Selain hak Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
anak penyandang disabilitas memiliki hak:
1. mendapatkan Pelindungan khusus dari Diskriminasi, penelantaran,
pelecehan, eksploitasi, serta kekerasan dan kejahatan seksual;
2. mendapatkan perawatan dan pengasuhan keluarga atau keluarga
pengganti untuk tumbuh kembang secara optimal;
3. dilindungi kepentingannya dalam pengambilan keputusan;
4. perlakuan anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak anak;
5. Pemenuhan kebutuhan khusus;
6. perlakuan yang sama dengan anak lain untuk mencapai integrasi sosial
dan pengembangan individu; dan
7. mendapatkan pendampingan sosial.”
Dalam ketentuan umum Pasal 6
“Hak hidup untuk Penyandang Disabilitas meliputi hak:
1. atas Penghormatan integritas;
2. tidak dirampas nyawanya;
3. mendapatkan perawatan dan pengasuhan yang menjamin kelangsungan
hidupnya;
4. bebas dari penelantaran, pemasungan, pengurungan, dan pengucilan;
5. bebas dari ancaman dan berbagai bentuk eksploitasi; dan
6. bebas dari penyiksaan, perlakuan dan penghukuman lain yang kejam,
tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia.”
Dalam ketentuan umum Pasal 8
“Hak privasi untuk Penyandang Disabilitas meliputi hak:
1. diakui sebagai manusia pribadi yang dapat menuntut dan memperoleh
perlakuan serta Pelindungan yang sama sesuai dengan martabat manusia di
depan umum;
2. membentuk sebuah keluarga dan melanjutkan keturunan melalui
perkawinan yang sah;
3. Penghormatan rumah dan keluarga;
4. mendapat Pelindungan terhadap kehidupan pribadi dan keluarga; dan
5. dilindungi kerahasiaan atas data pribadi, surat- menyurat, dan bentuk
komunikasi pribadi lainnya, termasuk data dan informasi k’esehatan.”
2. Pengertian dan konsep kecakapan menurut teori
a) Menurut Thoha, kecakapan merupakan salah satu unsur dalam
kematangan berkaitan dengan pengetahuan atau keterampilan yang
dapat diperoleh dari pendidikan, pelatihan dan suatu pengalaman.2
b) Kecakapan atau Kemampuan(abilities) seseorang akan turut serta
menentukan perilaku dan hasilnya. Yang dimaksud kemampuan atau
abilities ialah bakat yang melekat pada seseorang untuk melakukan
suatu kegiatan secara phisik atau mental yang ia peroleh sejak lahir,
belajar, dan dari pengalaman.3
c) Sedangkan menurut Stepen P. Robbins dalam bukunya Perilaku
Organisasi kemampuan atau kecakapan adalah suatu kapasitas individu
untuk melaksanakan tugas dalam pekerjaan terrtentu. 4
d) Menurut Soelaiman, kemampuan adalah sifat yang dibawa lahir atau
dipelajari yang memungkinkan seseorang yang dapat menyelesaikan
pekerjaannya, baik secara mental ataupun fisik. Karyawan dalam suatu
organisasi, meskipun dimotivasi dengan baik, tetapi tdak semua
memiliki kemampuan untuk bekerja dengan baik. Kemampuan dan
keterampilan memainkan peranan utama dalam perilaku dan kinerja
individu. Keterampilan adalah kecakapan yang berhubungan dengan
2Miftah thoha, 1995, Kepemimpinan dalam Manajemen, PT Raja Grafindo Persada.
hlm.123
3Soehardi. 2003. Essensi Perilaku Organisasional. Bagian Penerbit Fakultas Ekonomi
Sarjanawiyata Tamansiswa, Yogyakarta. Hlm.24
4Stephen P. Robins. 2010. Pengantar Manajemen Dan Organisasi. Jakarta:Erlangga,
hlm.20
tugas yang di miliki dan dipergunakan oleh seseorang padawaktu yang
tepat.5
e) Menurut Stephen P. Robins Kemampuan(ability) adalah kapasitas
individu untuk melaksanakan berbagai tugas dalam pekerjaan tertentu.
Seluruh kemampuan seorang individu pada hakekatnya tersusun dari
dua perangkat factor yaitu kemampuan intelektual dan kemampuan
phisik. 6
f) Sedangkan menurut Mc Shane dan Glinow dalam Buyung ability the
natural aptitudes and learned capabilities required to
successfullycomplete a task (kemampuan adalah kecerdasan-kecerdasan
alami dan kapabilitas dipelajari yang diperlukan untuk menyelesaikan
suatu tugas). Kecerdasan adalah bakat alami yang membantu para
karyawan mempelajari tugas-tugas tertentu lebih cepat dan
mengerjakannya lebih baik.7
g) C.P. Chaplin memberikan pengertian bahwa inteligensi atau kecakapan
itu adalah kemampuan menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap
situasi baru secara cepat dan efektif.Kecakapan setiap orang memang
berbeda,dalam hal ini kecakapan seseorang bisa di lihat dari sikap dan
perilaku seseorang tersebut.8
h) Dalam Kurikulum 2004, kecakapan hidup adalah "Kecakapan yang
dimiliki seseorang untuk mampu memecahkan permasalahan hidup
5Soelaiman. 2007. Sumber Daya Manusia. PT. Indeks Jakarta. hlm.112 6Stephen P. Robins. Op cit. hlm.46 7Mc Shane dan Glinow dalam Buyung. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. hlm.37
8LN Yusuf Syamsu; 2010, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Bandung : PT.
Remaja Rosdakarya. hlm.106
secara wajar dan menjalani kehidupan secara bermartabat tanpa merasa
tertekan, kemudian secara proaktif mencari serta menemukan solusi,
sehingga akhirnya mampu mengatasinya".9
Berdasarkan pengertian di atas, kecakapan hidup (life skills) merupakan
kecakapan untuk memecahkan masalah secara inovatif dengan menggunakan
fakta, konsep, prinsip atau prosedur yang telah dipelajari. Pemecahan masalah
tersebut dapat berupa proses maupun produk yang bermanfaat untuk
mempertahankan, meningkatkan, atau memperbaharui aataupun mempermudah
hidup. Pengertian kecakapan hidup di sini, tidak semata-mata berarti memiliki
kemampuan tertentu saja, namun ia harus memiliki kompetensi dasar
pendukungnya, seperti membaca, menulis, menghitung, merumuskan dan
memecahkan masalah, mengelola sumber daya, bertindak secara individu,
bekerja dalam tim atau kelompok, terus belajar di tempat bekerja,
mempergunakan teknologi, dan lain sebagainya.
Kecakapan menunjuk pada berbagai ragam kemampuan seseorang
untuk menempuh kehidupan dengan sukses, bahagia dan secara bermartabat di
dalam masyarakat tanpa adanya kesulitan serta mengetahui batasan antara yang
boleh untuk dilakukan dan yang tidak. Life skills merupakan kemampuan
sepanjang hayat, kepemilikan kemampuan berpikir yang kompleks,
kemampuan komunikasi secara efektif, kemampuan membangun kerjasama,
melaksanakan peranan sebagai warga negara yang bertanggungjawab, memiliki
9Kunandar,S.Pd., M.Si., 2009, Guru Profesional Implementasi Kurikiulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi Guru, Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, hlm.289
kesiapan serta kecakapan untuk bekerja, memiliki karakter dan etika untuk
terjun ke masyarakat.
Selain itu kecakapan dalam hal ini mungkin lebih memperlihatkan
tentang sikap seseorang yang aktif dan kritis, cakap dalam hal ini seseorang
tersebut mampu menangkap setiap hal yang yang sedang di bicarakan dan tidak
segan-segan ikut berpartisipasi untuk mengeluarkan pendapatnya.Jadi
kecakapan seseorang bisa lebih baik itu tergantung dari masing-masing orang
tersebut,bagaimana dan sebisa mungkin seseorang tersebut untuk bisa lebih
mengoptimalkan kemampuannya dalam bidang akademik maupun dalam
pergaulannya sehari-hari.
Pengolongan kecakapan untuk mengkategorikan disabilitas tuna rungu
juga memiliki kecakapan yang sama dengan manusia pada umumnya dapat
dijelaskan sebagai berikut, Kecakapan dalam bahasa inggrisnya “ability”
dibedakan dalam dua hal, yaitu kecakapan potensial atau potencial ability
disebut juga kapasitas atau capacity dan kecakapan nyata atau actual ability
ataudisebut juga achievement. Kecakapan potensial merupakan kecakapan-
kecakapan yang masih tersembunyi, masih kuncup belum termanifestasikan
(ketahui), dan merupakan kecakapan- kecakapan yang dibawa dari
kelahirannya. Kecakapan nyata merupakan kecakapan yang sudah terbuka,
sudah termanifestasikan dalam berbagai aspek kehidupan dan perilaku, dan
berpangkal pada kecakapan potensial. Kecakapan ini sudah banyak mendapat
pengaruh dari lingkungan dan dapat dilihat dalam perilaku khusus atau pun
perilaku sehari- hari.
Kecakapan potensial atau kapasitas itu juga ada dua macam, ada
kapasitas umum yang sering dikenal dengan inteligensi atau intelligenceatau
kecerdasan, dan kapasitas khusus yang disebut juga bakat atau aptitude. Jadi
baik inteligensi maupun bakat masih bersifat potensial, tersembunyi, atau
kuncup, akan terbuka atau mekar dalam bentuk kecakapan- kecakapan nyata.
Kecakapan dalam komunikasi dapat dijelaskan sebagai berikut, Menurut
Dredge dan Croswhite, ada dua komponen penting dalam terciptanya
komunikasi secara efektif.10 Komponen pertama adalah kemampuan untuk
memahami pesan (pemahaman) yaitu kemampuan mendengarkan suara atau
melihat aksi, kemampuan mengolah pesan, dan menyimpannya dalam memori.
Komponen kedua adalah kemampuan berespon terhadap pesan (ekspresi) yaitu
kemampuan memilih kata atau aksi yang tepat, kemampuan menyusun kata-
kata dan aksi-aksi menjadi pesan yang dapat dimengerti. Dredge dan Croswhite
menjelaskan bahwa pada dasarnya komunikasi dapat dibedakan dalam
kemampuan komunikasi reseptif dan kemampuan komunikasi ekspresif .11
Kemampuan komunikasi reseptif ditunjukkan dengan kemampuan anak dalam
memahami dan mengerti instruksi atau perintah. Kemampuan komunikasi
reseptif ditunjukkan dalam bentuk isyarat, tindakan atau bahasa tubuh.
Sedangkan kemampuan komunikasi ekspresif adalah kemampuan seorang anak
dalam menjawab atau mengekspresikan pikiran dan perasaan. Kemampuan
komunikasi ekspresif biasanya ditunjukkan dalam bentuk verbal.
10Dredge, B and Croswhite. 1986. Communication Without Speech A Guide to Parent
and Proffesionals. Australia: Victoria, Commonwealth School Commission. hlm.2 11Dredge, B and Croswhite. Op cit. hlm.164
Sependapat dengan hal tersebut di atas Sabir menyebutkan bahwa
bahasa dibagi menjadi dua bagian yaitu bahasa reseptif/pemahaman dan bahasa
ekspresif/pengungkapan secara verbal. Bicara hanyalah salah satu dari cara
berkomunikasi.12 Disamping penggunaan bahasa verbal, banyak cara lain yang
dapat digunakan untuk dapat berkomunikasi dengan difabel tuna rungu yaitu
menggunakan ekspresi wajah, menggunakan gesture atau gerak-isyarat,
melakukan modifikasi pada intonasi nada suara sesuai kebutuhan, menunjuk
gambar, menunjuk tulisan, menggunakan papan komunikasi, dan
menggunakan simbol.13
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa komponen
kemampuan komunikasi meliputi kemampuan dalam memahami pesan, yaitu
kemampuan mendengarkan suara/instruksi atau melihat aksi, kemampuan
mengolah pesan dan menyimpannya dalam memori. Dan kemampuan
memberikan respon terhadap pesan atau instruksi yang ditunjukkan dalam
dalam bentuk verbal, isyarat, tindakan atau bahasa tubuh.
3. Konsep kecakapan menurut hukum berdasarkan KUHPerdata
Berkaitan dengan kecakapan bertindak, hukum tidak mengaturnya
secara tegas. Undang-undang hanya mengatur tentang siapa saja yang
dinyatakan tidak cakap dalam Pasal 1330 KUHPerdata. Apabila dicermati
ketentuan dalam Pasal 1330 KUHPerdata tersebut memang hanya mengatur
tentang perjanjian, tetapi ketentuan ini dapat dianalogikan pula untuk semua
12Evi Sabir – Gitawan, Bsc. 2003. Gangguan Bahasa dan Bicara pada anak dengan
Autistic Spectrum Disorder.Yayasan Kailila Indonesia. hlm.233
13Sjah S, dan Fadillah. 2003. Membantu Anak Berkomunikasi Secara Efektif.
Konferensi Autisme Pertama: Rowards a Better Life For Autistic Individual. Jakarta, 3-4 Mei
2003. hlm.214
perbuatan hukum, terutama perbuatan hukum yang bersifat perdata. Lebih
lanjut mengenai konsep kecakapan ditinjau dari KUHPerdata telah dijelaskan
dalam pasal ;
a) Pasal 330
“Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh
satu tahun, dan lebih dahulu telah kawin.”
Berdasarkan pasal tersebut tidak berlaku karena hanya berlaku untuk
melakukan perbuatan hukum sepanjang yang objeknya mengenai tanah
maka batasan usia dewasa yang digunakan adalah usia 18 tahun sesuai
Keputusan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan
Nasional dalam Surat Edaran nomor 4/SE/I/2015 tentang Batasan Usia
Dewasa dalam Rangka Pelayanan Pertanahan.
b) Pasal 433
“Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila atau
mata gelap, harus ditempatkan di bawah pengampuan, sekalipun ia kadang-
kadang cakap menggunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga
ditempatkan dibawah pengampuan karena keborosan”
c) Pasal 1329
“semua orang adalah cakap bertindak, kecuali ditentukan tidak cakap
menurut undang-undang”.
d) Pasal 1330
“Tak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah:
1. Orang-orang yang belum dewasa
2. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan
3. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-
undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang
telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu”
4. Kaum disabilitas tuna rungu adalah subyek yang hukum yang cakap
Untuk menetukan seorang disabilitas tuna rungu dapat dikatakan
memiliki kecakapan hukum dapat diketahui dengan beberapa indikator :
Carl Witherington, mengemukakan enam indikator dari perbuatan yang cerdas
(kecakapan) yaitu:
a) Memiliki kemampuan yang cepat dalam bekerja dengan bilangan.
b) Efisien dalam berbahasa. (tepat dan inti)
c) Kemampuan mengamati dan menarik kesimpulan dari hasi pengamatan
yang cukup cepat.
d) Kemampuan mengingat yang cukup cepat dan tahan lama.
e) Cepat dalam memahami hubungan dengan manusia lain.
f) Memiliki daya khayal atau imajinasi yang tinggi.14
Dasar seseorang dikatakan memiliki kecakapan atau tidak dapat diukur
dengan menggunakan Alat ukur kecakapan dasar (intelegensi) yang paling
banyak dikenal dan digunakandi Indonesia, ialah Test Binet Simon (verbal test)
yang dikembangkan sejak 1905 di Perancis dan direvisi serta dikembangkan di
Stanford (USA) mulai tahun 1916. Dalam konteks tes ini, indeks kecerdasan
14Nana Syaodih Sukmadinata, 2004, Landasan Psikologi Proses Pendidikan.
Bandung:Rosda Karya, hlm.94
seseorang dinyatakan dengan IQ yang diperoleh dengan jalan membandingkan
hasil jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang dipersiapkan untuk tingkat-
timgkat umur tertentu (yang disebut MA= mental age, umur kecerdasan)
dengan umur sebenarnya menurut kelahiran (CA= chronological age, umur
kronologis). Jadi, IQ=MA : CA x 100. Atas dasar hasil penilitian terhadap
sejumlah sampel yang dipandang mencerminkan populasinya telah dapat
dikembangkan suatu sistem norma ukuran kecerdasan dalam konteks tes ini
ialah sebagai berikut:15
IQ Kategori Persentanse
140- ke atas
130- 139
120-129
110-119
90-109
80-89
70-79
50-69
25-49
Genius
Sangat cerdas
Cerdas
Di atas normal
Normal
Dibawah normal
Bodoh (dul)
Debil (moron)
Imbecil
0,25 %
0,75%
6%
13%
60%
13%
6%
0, 75%
0,20%
15 Nur’aeni, S.Psi., M.Si. 2012. Tes Psikologi : Tes Inteligensi Dan Tes Bakat
,Yogyakarta: Universitas Muhammadiyah (UM) Purwokerto Press. hlm.25
Dibawah 25 idiot 0,05%
Test Binet-Simon dipersiapkan untuk orang yang berusia mulai 3
sampai 15 tahun. Perhitungan IQ untuk orang yang berusia lebih dari 15, CA-
nya diperhitungkan menurut tingkat usia 15 tahun ini, dengan asumsi bahwa
perkembangan kecerdasan mencapai kemantapannya pada tingkat usia tersebut
. mengingat tes ini bersifat tes verbal, maka penggunaannya pun dipersiapkan
mulai untuk usia 3 tahun, dengan anggapan pula bahwa mulai usia tersebut
anak telah mengerti pertnyaan-pertanyaan atau perintah-perintah secara
verbal.16
Sehingga dari penjelasan diatas dapat diartikan selama kaum disabilitas
tuna rungu tersebut masih dalam batas IQ normal serta mampu untuk
mengidentifikasi, mengingat, mengamati, dan menarik kesimpulan dari sebuah
perbuatan. Maka disabilitas tunarungu tergolong dalam kategori manusia yang
cakap dan memiliki kecakapan.
Kecakapan subyek hukum menurut Pasal 1329 KUHPerdata, setiap
orang dianggap cakap melakukan perbuatan hukum, kecuali jika yang
bersangkutan oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap melakukan
perbuatan hukum. Mengenai kecakapan seseorang dalam melakukan perbuatan
hukum dapat dilihat pada Pasal 330, 433, dan 1330 KUHPerdata. Pasal-pasal
ini tidak menyatakan secara tegas tentang seseorang yang dinyatakan cakap
16 Nur’aeni, S.Psi., M.Si. Op cit. hlm.25
melakukan perbuatan hukum, tetapi dari isi pasal tersebut dapat disimpulkan
tentang siapa yang cakap melakukan perbuatan hukum.
Sedangkan dalam sisi hukum yang dimaksud dengan kecakapan dalam
hukum adalah telah diatur dalam pasal 433 KUHPerdata, dan pasal 1330
KUHPerdata.
Pada Pasal 433 KUH Perdata dinyatakan bahwa:
“Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila
atau mata gelap, harus ditempatkan di bawah pengampuan, sekalipun ia
kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga
ditempatkan dibawah pengampuan karena keborosan”
Berdasar ketentuan pada pasal tersebut maka dapat diketahui yang tidak
cakap melakukan perbuatan hukum adalah orang yang belum dewasa, orang
yang ditaruh dibawah pengampuan, tetapi stigma ketidakcakapan disabilitas
tuna rungu masih berlangsung. Secara hukum orang yang tidak cakap hukum
dalam melakukan perbuatan hukum berkaitan dengan hak dan kewajibannya
secara perdata harus diwakili oleh walinya atau pengampuan. Hal ini karena
menurut hukum mereka dimasukkan dalam lembaga perwalian ataupun
pengampuan sesuai dengan penyebab ketidakcakapannya.
Pada Pasal 1330 KUH Perdata dinyatakan bahwa:
Tak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah:
1. Orang-orang yang belum dewasa
2. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan
Dari isi Pasal 1330 KUH Perdata tersebut dapat ditafsirkan secara a
contrario bahwa yang cakap membuat perjanjian adalah orang-orang yang
sudah dewasa, orang yang tidak ditaruh di bawah pengampuan, orang-orang
perempuan dalam hal-hal tidak ditetapkan oleh undang-undang, dan orang-
orang yang tidak dilarang oleh undang-undang.
Mengenai siapa yang dikatakan dewasa dapat ditafsirkan dari ketentuan
Pasal 330 KUH Perdata yang menyatakan :
“Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh
satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin. Apabila perkawinan itu
dibubarkan sebelum umur mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum
dewasa.” 17
Mereka yang tidak di bawah pengampuan dapat ditafsirkan secara a
contrario dari isi Pasal 433 KUH Perdata yang menyatakan bahwa:
“Setiap orang dewasa, yang selalu bearada dalam keadaan dungu, sakit otak
atau mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan, pun jika ia kadang-
kadang cakap mempergunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga
ditaruh di bawah pengampuan karena keborosannya.”
Para advokat juga sepakat bahwa orang yang mengalami kekurangan
fisik tertentu dapat dimasukkan dalam kondisi tidak cakap melakukan
perbuatan hukum, meskipun untuk menyatakannya diperlukan ketetapan
hakim atau ketetapan Pengadilan Negeri. Cacat yang dikatagorikan tidak cakap
melakukan perbuatan hukum bukan hanya cacat mental saja, tetapi termasuk
cacat fisik, diantaranya para penderita tuna rungu (dengan pengecualian
17Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
apabila memiliki standar IQ dibawah normal) dan kelumpuhan, terutama
kelumpuhan total. Alasan yang dikemukan juga sama dengan yang dikemukan
oleh hakim, yaitu dalam kondisinya tersebut, orang-orang ini sudah sangat sulit
untuk memenuhi kepentingannya, apalagi melakukan perbuatan hukum. 18
Sebagai contoh penderita tuna rungu sangat sulit berkomunikasi dengan
orang lain, komunitas ini mempunyai bahasa khusus untuk melakukan
komunikasi dan tidak mudah dimengerti oleh semua orang di luar
komunitasnya. Bahasa tersebut disebut dengan bahasa isyarat. Menurut
keterangan para responden advokat, dalam melakukan perbuatan hukum
tertentu penderita tuna rungu, dengan ketetapan Pengadilan Negeri dapat
dimasukkan dalam golongan tidak cakap melakukan perbuatan hukum.
Pertimbangan memasukkannya mereka dalam golongan tidak cakap
melakukan perbuatan hukum bukan berarti ada keinginan dari para penegak
hukum untuk mendiskriminasikan para penderita tuna rungu, tetapi semata-
mata hanya untuk melindungi kepentingan mereka agar tidak dimanfaatkan
oleh orang lain yang tidak bertanggung jawab. Menentukan penderita tuna
rungu dalam golongan tidak cakap melakukan perbuatan hukum juga harus
dilakukan berdasar ketetapan Pengadilan Negeri. Jadi tidak dapat dilakukan
dengan mudah dan sekehendak hati.
Mengenai orang yang berada dalam kondisi tidak sempurna mentalnya,
responden dari notaris tetap mengacu pada ketentuan. Sehingga mereka
termasuk dalam golongan tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Notaris
juga berpendapat bahwa orang-orang tertentu yang belum ditetapkan oleh
18MIMBAR HUKUM Volume 20, Nomor 3, Oktober 2008, hlm.564
undang-undang sebagai tidak cakap dengan putusan hakim dan pertimbangan
perlindungan kepentingan hukumnya dapat ditetapkan sebagai orang yang
tidak cakap melakukan perbuatan hukum, misalnya orang pikun, penderita
alzemeir, penderita stroke berat, dan penderita kelumpuhan total.
Salah satu dari notaris yang menjadi responden menyatakan tidak
sepakat bahwa orang yang mengalami kecacatan fisik, tuna rungu sekalipun,
dimasukkan dalam golongan tidak cakap melakukan perbuatan hukum, karena
pada dasarnya akal mereka tetap sehat dan mereka dapat bertanggung jawab
sendiri terhadap akibat perbuatan hukum yang dilakukannya, hanya saja pada
saat melakukan transaksi dalam lapangan harta kekayaan terutama perlu
didampingi saja.19
Berdasar hasil penelitian yang dilakukan terhadap hakim PN Sleman,
para advokat dan notaris dapat disimpulkan bahwa praktisi yang menjadi
responden di Kabupaten Sleman tetap mengacu pada ketentuan Pasal 433 KUH
Perdata untuk menentukan kecakapan subyek hukum. Jadi subyek hukum
dikatakan cakap melakukan perbuatan hukum diukur dari: 20
a. kedewasaan yang dilihat dari ukuran usianya, yaitu 21 (dua puluh
satu) tahun atau sudah dewasa
b. kondisi mental yang dilihat dari segi mampu tidaknya seseorang itu
menggunakan akal sehat dalam melakukan perbuatan hukum dan
bertanggung jawab terhadap akibatnya, termasuk di dalamnya
adalah orang pikun.
19MIMBAR HUKUM Volume 20, Nomor 3, Oktober 2008, hlm.566 20MIMBAR HUKUM Volume 20, Op.cit, hlm.566
Dalam KUH Perdata tidak ditemukan pengertian tentang pengampuan.
Pasal 433 KUH Perdata hanya mengatur tentang siapa saja yang dimasukkan di
bawah pengampuan adalah setiap orang dewasa yang:
1. dungu atau idiot
2. sakit otak atau gila
3. mata gelap atau orang yang tidak dapat mengendalikan emosinya
4. kadang dapat berpikir normal kadang tidak, misalnya orang gila menahun
atau pemabuk
5. boros atau orang selalu mengobral dan tidak dapat mengelola kekayaannya
Menurut J. Satriyo, pengampuan adalah suatu keadaan, di mana orang
dewasa kedudukan hukumnya diturunkan menjadi sama dengan orang belum
dewasa, dengan konsekuensinya, kewenangannya untuk bertindak
dicabut.21Kansil menyatakan bahwa pengampuan adalah bimbingan yang
dilaksanakan oleh kurator yaitu keluarga sedarah atau orang yang ditunjuk
terhadap orang-orang dewasa yang karena sesuatu sebab dinyatakan tidak cakap
bertindak di dalam lalu lintas hukum.22
Vollmar menyatakan bahwa pengampuan adalah:
“Keadaan yang disitu seseorang (curandus) karena sifat-sifat pribadinya
dianggap tidak cakap atau di dalam segala hal tidak cakap untuk bertindak
sendiri (atau pribadi) di dalam lalu lintas hukum. Atas dasar itu orang tersebut
21J. Satrio, 1999, Hukum Pribadi Bagian I Persoon Alamiah, Citra Aditya Bakti,
Bandung, hlm.74
22C.S.T. Kansil, et. al, 2006, Modul Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm.138.
dengan keputusan hakim dimasukkan ke dalam golongan orang yang tidak cakap
bertindak. Karenanya, orang tersebut lantas diberi seorang wakil menurut
undang-undang, yaitu yang disebut pengampu (curator atau curatele).” 23
Dari beberapa pengertian tersebut nampak bahwa pengampuan adalah
perwakilan terhadap kepentingan orang yang sudah dewasa tetapi tidak cakap
melakukan perbuatan hukum.
Akibat dimasukkannya seseorang dalam pengampuan maka
kedudukannya menjadi sama dengan seorang yang belum dewasa. Ketentuan ini
diatur dalam Pasal 452 KUH Perdata berkaitan dengan hak dan kewajiban,
hakim, advokat dan notaris yang menjadi responden, berpendapat bahwa orang
yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum tetap memiliki hak dan kewajiban,
hanya dalam menjalankannya perlu bantuan orang lain. Apabila orang yang tidak
cakap melakukan perbuatan hukum tersebut melakukan sendiri perbuatan
hukumnya dan merugikan, perbuatan hukum itu dapat dikenai pembatalan oleh
orang yang ditunjuk untuk mewakilinya atau apabila perbuatan hukum tersebut
justru merugikan pihak lain maka pihak yang dirugikan itu dapat meminta
pembatalan kepada wakil dari orang yang tidak cakap. Terutama dalam hal
perjanjian, apabila dibuat oleh pihak yang tidak cakap melakukan perbuatan
hukum maka perjanjian tersebut dikatakan tidak sah secara subyektif, dan dapat
diancam dengan pembatalan oleh pihak yang dirugikan.Sejauh tidak merugikan
maka perjanjian tersebut tetap berlaku sah dan mempunyai akibat hukum.
Di dalam buku 1 KUHPerdata Pasal 433 menimbulkan
23MIMBAR HUKUM Volume 20, Op.cit, hlm.568
kesalahpahaman bahwa disabilitas haruslah di bawah pengampuan dan
dianggap tidak cakap hukum. Sehingga mereka tidak boleh melakukan
tindakan hukum apapun termasuk perjanjian. Padahal hanya beberapa jenis
disabilitas.Keadaan ini diperkuat oleh Pasal 1320 KUHPerdata yang
menyatakan bahwa salah satu syarat sah suatu perjanjian adalah seorag yang
cakap hukum. Pasal 433 KUHPerdata yang berbunyi sebagai berikut:
“setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila atau
mata gelap, harus ditempatkan di bawah pengampuan, sekalipun ia kadang-
kadang cakap menggunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juha
ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosan”.24
Hal ini tentu saja bertentangan dengan Pasal 28 D ayat 1 UUD 1945
Amandemen kedua dan Pasal 12 ayat 2 Konvensi Hak Penyandang Disabilitas.
Pasal 12 ayat 2 Konvensi Hak-Hak penyandang Disabilitas mengemukakan
bahwa:
“ Negara-Negara Pihak harus mengakui bahwa penyandang disabilitas
merupakan subyek hukum yang setara dengan lainnya di semua aspek
kehidupan.”25
Ini semua menandakan perlunya perubahan sistem Hukum dan
Peradilan di Indonesia berpersektif disabilitas.Agar akses terhadap keadilan,
terpenuhinya nilai-nilai kemanfaatan, keadilan, kepastian hukum, dan
keseimbangan bagi disabilitas dapat terwujud.Adanya sistem hukum
24Pasal 433 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 25Pasal 12 ayat 2 Konvensi Hak-Hak penyandang Disabilitas
berperspektif disabilitas dapat dikatakan sebagai universal legal capacity.
Maksudnya, apabila akses yang fairs bagi disabilitas dapat terpenuhi, berarti
hal yang sama juga berlaku untuk semua manusia di muka bumi.
Aksesibilitas yang fairs bagi disabilitas dimulai dari perlakuan yang
setara di dalam akses bagi disabilitas. Selain itu ketiadaan hambatan yang
dialami disabilitas dalam akses harus dipastikan. Menurut Komisi Hak Asasi
Manusia Australia, secara umum, ditimbang dari jenis-jenis disabilitasnya,
disabilitas mengalami 5 (lima) hambatan:
1. Tidak adanya dukungan dari masyarakat, program-program dan bantuan
untuk mencegah terjadinya kekerasan dan keadaan merugikan, dan
mengatasi kemungkinan tidak terpenuhnya berbagai factor kesehatan dan
sosial bagi disabilitas.
2. Disabilitas tidak menerima dukungan, aksesibilitas atau bantuan yang
mereka butuhkan untuk mendapatkan perlindungan, untuk memulai atau
mepertahankan persoalan-persoalan perdata, atau untuk berpartisipasi di
dalam proses peradilan perdata.
3. Stigma-stigma dan asumsi-asumsi negatif tentang disabilitas yang dilihat
sebagai seorang tidak mampu melakukan apa-apa, tidak dapat dimintai
pertanggungjawaban atau tidak dapat membuktikan, membuat
pertimbangan-pertimbangan hukum atau berpartisipasi dalam proses
hukum.
4. Hambatan dukungan spesialis, akomodasi dan program-program tidak
tersedia bagi disabilitas ketika mereka tidak mampu memahami atau
menanggapi penuntutan perdata (tidak layak untuk mengajukan
permohonan).
5. Hambatan dukungan, penyesuaian diri dan tidak tersedianya alat bantu
untuk terdakwa yang disabilitas sehingga hak-hak dasar mereka terpenuhi
dan mampu berpartisipasi dalam kehidupan.26
Sebelum membahas kebutuhan disabilitas dalam aksesbilitas yang fairs
ada baiknya perlu diketahui beberapa kategori besar pembagian kategori
disabilitas berdasarkan International Classification of Functioning Health and
Disability (ICF).27
1. Kategori Intelektual
2. Kategori Mobilitas
3. Kategori Komunikasi
4. Kategori Sensori
5. Kategori Psikososial
Disabilitas yang termasuk di dalam Kategori Intelektual adalah sebagai
berikut:
a) Retardasi mental (Tuna Grahita)
b) Lamban belajar (Slow Learner)
Sedangkan yang masuk di dalam kategori Mobilitas adalah sebagai
berikut:
26Australian Human Right Commision, 2014.Equal Before The Law:Towards Disability
Justice Strategies. Australian Human Rights Commision. hlm. 8 27 Jurnal Difabel,Vol. 1, Op.cit, hlm.8
a) Gangguan anggota tubuh (kaki, tangan, dll)
b) Gangguan fungsi tubuh akibat cerebral palsy
c) Gangguan fungsi tubuh akibat spina bifida
d) Gangguan fungsi tubuh spinal cord injury (cedera tulang belakang)
e) Gangguan fungsi tubuh akibat amputasi
f) Gangguan fungsi tubuh akibat paraphlegia
g) Gangguan fungsi tubuh akibat hemiphlegia
Disabilitas Psikososial bisa dilihat di bawah ini:
a) Autism
b) Gangguan perilaku dan hiperaktivitas (ADHD)
c) Kleptomani
d) Bipolar
e) Gangguan kesehatan jiwa
Disabilitas yang termasuk kategori Komunikasi adalah
a) Gangguan wicara
b) Gangguan pendengaran
c) Autis
d) ADHD
e) Tuna Grahita berat
Yang termasuk kategori Sensorik adalah sebagai berikut:
a) Gangguan pendengaran
b) Gangguan penglihatan
c) Kusta
Namun, di samping lima kategori besar yang ada juga terdapat kategori
multiple disabilitas, misalnya orang dengan gangguan pendengaran dan wicara,
orang dengan gangguan penglihatan dan pendengaran, cerebral palsy dengan
mental retardasi dan sebagainya. Adapun hambatan-hambatan yang dialami
dari masing-masing kategori bisa dijelaskan di bawah ini:
1. Kategori Intelektual memiliki hambatan terhadap akses yang fairs sebagai
berikut:
a) Memahami/penalaran terhadap perkara yang dihadapi
b) Menyampaikan
c) Umur kalender tidak sama dengan umur mental
d) Emosi yang tidak terkendali dan trauma
2. Kategori Mobilitas memiliki hambatan tidak teraksesnya bangunan fisik
sangat sering dirasakan oleh disabilitas yang masuk dalam kategori
mobilitas, misalnya saja bangunan yang mempunyai anak tangga. Lantai
licin akan menyulitkan mobilitas mereka. Apalagi apabila bangunan
tersebut mempunyai lebih darri satu. Disabilitas kategori mobilitas dengan
segala keterbatasannya tidak akan mampu menuju ruangan lantai dua dan
lantai-lantai di atasnya. Sehingga mereka membutuhkan bantuan orang lain
atau adanya assistive device seperti kursi roda ataupun fasilitas-fasilitas
gedung yang sesuai konsep universal design yaitu dengan pintu geser dan
lebar, ramp, lift.
3. Kategori Psikososial memiliki hambatan sebagai berikut:
a) Tidak dapat mengontrol perilaku dan emosi
b) Tidak dapat fokus
c) Hambatan komunikasi
d) Hambatan menafsirkan
e) Banyak menghayal
f) Sensitive (terlalu peka)
g) Impulsif (tidak bisa menahan diri)
4. Kategori Sensorik memiliki hambatan sebagai berikut:
a) Aksesibilitas fisik dan non fisik
b) Tidak merasa sakit pada anggota gerak badan khusus penderita kusta
5. Kategori Komunikasi memiliki hambatan sebagai berkut:
a) Tidak mampu berkomunikasi lisan
b) Bahasa yang susah dipahami
c) Ketidakmampuan mendengar
Untuk mengatasi hambatan yang dialami oleh disabilitas dalam
aksesbilitas yang fairs, maka tentu saja harus dimulai dengan dipenuhinya
kebutuhan-kebutuhan difabel terhadap aksesibilitas yang fairs tersebut.
Kebutuhan-kebutuhan tersebut seperti yang dijelaskan Internationa
Classification of Functioning Health and Disability (ICF) antara lain:
1. Pendamping
Pendamping diperlukan untuk kenyamanan disabilitas dalam proses.
Sehingga prosesnya dapat berjalan dengan lancar? Siapa yang dapat
menjadi pendamping disabilitas dalam proses? Jawabannya adalah orang
terdekat, yaitu orang yang dipercaya disabilitas dan dia merasa nyaman
dengan adanya pendamping tersebut dalam proses.
2. Penerjemah
Penerjemah diperlukan oleh disabilitas. Terutama disabilitas dengan
gangguan pendengaran, gangguan wicara, gangguan pendengaran yang
disertai wicara (tuna rungu wicara), disabilitas dengan Celebral Palsy otot
mulut, disabilitas dengan gangguan penglihatan yang disertai gangguan
pendengaran (deaf/blind).
3. Lingkungan yang aksesibel
Lingkungan yang aksesibel memudahkan disabilitas untuk
menjangkau tempat. Lingkungan yang aksesisibel harus mencakup dua
aspek aksesbilitas, yaitu aksesbilitas fisik maupun non fisik.
Aksesbilitas fisik dimaknai sebagai tersedianya fasilitas bagi disabilitas
untuk menghampiri, memasuki, menjangkau lingkungan tanpa
hambatan.Ruang hendaknya dilengkapi dengan fasilitas fisik. Sehingga
disabilitas dapat mengakses ruang tanpa bantuan orang lain. Running text
yang menunjukkan jadwal disertai jam dan ruangan untuk kebutuhan tuna
rungu
Aksesibilitas non-fisik yang dimaksud adalah tersedianya kebijakan
afirmatif terhadap disabilitas dalam setiap layanan yang ada di ruang, yaitu
dengan mendahulukan pelayanan terhadap disabilitas.
4. Kapasitas pejabat, petugas maupun yang lainnya yang mengerti dan
memahami disabilitas.
Richard Whittle mengungkapkan salah satu hal penting yang harus
dipenuhi berdasarkan Pasal 13 Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas
adalah menyelenggarakan pelatihan kesetaraan hak disabilitas bagi pejabat,
petugas maupun yang lain. Hal ini dilakukan agar dapat memahami
hambatan akses yang dialami disabilitas dan dampak-dampak yang
ditimbulkan dari diskriminasi bagi disabilitas di berbagai sektor.28
5. Bantuan hukum
Bantuan hukum untuk disabilitas menurut Franchis
Gibsonmerupakan hak yang harus dipenuhi oleh negara.29 Secara tegas,
pasal 13 Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas memberikan parameter
khusus tentang hak mendapatkan hukum bagi disabilitas.
Negara harus memenuhi kebutuhan disabilitas terhadap aksesibilitas yang fairs.
Bagaimanapun, disabilitas merupakan bagian dari entitas bangsa. Negara juga harus
membuat sistem hukum yang berpihak kepada disabilitas dengan memperhatikan
universal legal capacity.
Berdasarkan BW/Burgerlijk, Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata), setiap orang/manusia adalah subyek hukum yang mempunyai hak dan
kewajiban, namun tidak semua orang cakap dalam melakukan perbuatan hukum.
Pasal 1330 KUHPerdata menyatakan bahwa ada beberapa orang yang tidak cakap
28 Richard Whittle. 2012. Access to Justice And Article 13 UNCRPD. Sheffiled Hallam
University), hlm.5
29Franchis Gibson, “Artivle 13 of the Convention on Rights of Persons with Disabilities-
a Right to Legal Aid?” (diakses pada 22 April 2014) dari
http://wwww.academia.edu/207906/Article_13_of_the_Convention_on_Rights_of_Persons_with_
Disabilities_-_A_Right_to_Legal_Aid.
membuat perjanjian, yaitu diantaranya:30
a) Orang-orang yang belum dewasa (belum berusia 21 tahun dan belum
menikah sebagaimana terdapat dalam pasal 330 ayat 1 BW)
b) Mereka di bawah pengampuan sendiri, menurut pasal 433 BW, didasarkan
atas tiga alasan.31
1) Keborosan (verkwisting)
2) Lemah akal budinya (zwakheid vab vermongen) misalnya imbisil
atau debisil.
3) Kekurangan daya berpikir, sakit ingatan (krankzinnigheid), dungu
(onnozelheid), dan dungu disertai sering mengamuk (razernij).
Terkait disabilitas, orang-orang yang berada di bawah pengampuan
adalah mereka yang mengalami disabilitas mental intelektual.Mereka juga
sering dikategorikan sebagai orang-orang yang mengalami imbisil atau debisil,
kurang daya pikir, dan dungu.Sedangkan orang-orang yang mengalami
disabilitas mental psikosoial adalah mereka yang disebut orang yang sangat
pemboros.32
Sedangkan orang-orang yang mengalami disabilitas fisik/daksa, netra
ataupun bisu dan tuli tidak disebut sebagai orang yang tidak cakap hukum
sebagaimana tersebut dalam kriteria pasal 433 BW/KUHPerdata. Pasal 940 dan
941 KUHPerdata secara jelas menyebutkan bahwa wasiat harus ditulis sendiri
30 Jurnal Difabel,Vol. 1, Op.cit, hlm.103
31 R. Soetojo Prawirohamidjojo & Marthalena Pohan, Hukum Orang dan Keluarga [
Personen en Familie-Recht], Surabaya:Airlangga University Press, 1991, hlm.237 32 Jurnal Difabel,Vol. 1, Op.cit, hlm.103
oleh si pewaris atau menyuruh orang lain untuk menuliskannya. Bila si pewaris
adalah orang bisu, tetapi dapat menulis, maka wasiat atau testament tetap harus
ditulis, diberi tanggal dan ditandatangani oleh pewasiat.Kemudian wasiat atau
testament harus ditulis si pewaris di muka notaris dan para saksi.Lalu, tulisan
yang diserahkan itu diposisikan sebagai wasiatnya.33
Untuk ini, notaris membuat kata superscripsi dan menyebutkan di
dalamnya bahwa keterangan dari si pewaris itu ditulis di hadapan notaris dan
saksi-saksi. Notaris wajib memberitahukan adanya wasiat itu kepada orang
yang berkewajiban apabila si pewaris itu telah meninggal dunia. Suatu wasiat
atau testament tidak boleh dibuat oleh dua orang. Baik orang kedua, orang
ketiga, maupun dua orang yang saling menguntungkan. Dasar larangan ini
adalah agar penarikan kembali wasiat atau testament itu tidak terjadi.34 Ini
berarti disabilitas bisu pun merupakan seorang cakap untuk melakukan
perbuatan hukum, dalam konteks ini membuat wasiat. Seperti halnya juga
dianggap cakap hukum saat membuat perikatan, perjanjian, atau pengelolaan
harta waris.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa selama
disabilitas tuna rungu tersebut dewasa, dan memiliki kecakapan dan paham
akan konsekuensi dari segala tindakan yang dilakukan serta memiliki IQ
(derajat kecerdasan) minimal di tingkat normal, mampu untuk memahami
komunikasi yang dilakukan dengan orang lain dan bisa melakukan transaksi.
33 Jurnal Difabel,Vol. 1, Op.cit, hlm.104
34 Sembiring MU, Beberapa Bab Penting dalam Hukum Waris Menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata,Medan: Program Pendidikan Notariat Fakultas Hukum
USU,1989, hlm.45
Maka disabilitas tuna rungu tersebut masuk dalam kategori manusia / pribadi
yang cakap hukum sebagaimana yang tercantum di uu yang mengatur jual beli
tanah. Sedangkan dalam proses jual beli, disabilitas tuna rungu dapat
menggunakan haknya untuk menggunakan pendamping dan penerjemah
bahasa isyarat.
B. Bentuk Perlindungan Hukum Bagi Tuna Rungu Ditinjau Dari Kecakapan
Bertindak Dalam Perjanjian Jual Beli Tanah
Pada hakikatnya terdapat hubungan antara subjek hukum dengan objek
hukum yang dilindungi oleh hukum dan menimbulkan kewajiban.Hak dan
kewajiban yang timbul dari hubungan hukum tersebut harus dilindungi oleh
hukum, sehingga anggota masyarakat merasa aman dalam melaksanakan
kepentingannya. Hal ini menunjukkan bahwa perlindungan hukum dapat
diartikan sebagai suatu pemberian jaminan atau kepastian bahwa seseorang
akan mendapatkan apa yang telah menjadi hak dan kewajibannya, sehingga
yang bersangkutan merasa aman. Hukum dibutuhkan untuk mereka yang
lemah dan belum kuat secara sosial, ekonomi dan politik untuk memperoleh
keadilan sosial.
Berdasarkan uraian di atas, orang yang lemah dimaksudkan yaitu
masyarakat yang awam tentang hukum dan juga bagi masyarakat yang tidak
mampu.Lemah disini artinya masyarakat memerlukan perlindungan dari
tindakan–tindakan yang bisa mengakibatkan kerugian bagi dirinya.
Perlindungan hukum yang dilakukan dalam wujud perlindungan hukum
preventif, artinya “ketentuan hukum dapat dihadirkan sebagai upaya
pencegahan atas tindakan pelanggaran hukum.
Upaya pencegahan ini diimplementasikan dengan membentuk aturan-
aturan hukum yang bersifat normatif.Ada dua macam bentuk perlindungan
hukum, yaitu perlindungan hukum yang bersifat preventif dan represif.
1. Perlindungan Hukum Preventif
Preventif artinya perlindungan yang diberikan sebelum terjadinya
sengketa, sedangkan sebaliknya perlindungan hukum yang represif bertujuan
untuk menyelesaikan sengketa yang muncul apabila terjadi suatu pelanggaran
terhadap norma-norma hukum dalam peraturan perundang-undangan.
Perlindungan hukum harus melihat tahapan yakni perlindungan hukum lahir
dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh
masyarakat yang pada dasarnya merupakan kesepakatan masyarakat tersebut
untuk mengatur hubungan prilaku antara anggota-anggota masyarakat dan
antara perseroan dengan pemerintah yang dianggap mewakili kepentingan
masyarakat.
Selanjutnya, apabila dalam lingkup hukum perdata, penjual tanah yang
melakukan wanprestasi bisa dituntut dengan tuntutan ganti rugi, pembatalan
perjanjian, peralihan resiko dan pembayaran biaya perkara, maka dalam
lingkup hukum pidana, debitur yang wanprestasi bisa dituntut melakukan
tindakan penipuan, karena apa yang telah diperjanjikan ternyata tidak sesuai
dengan apa yang telah diberikan.
Brosur, pamflet atau sejenis selebaran yang berisi tentang spesifikasi
tanah atau rumah sebelum penerbitan PPJB yang berisi penawaran menarik
untuk menarik minat pembeli rumah juga bisa dijadikan perlindungan hukum
otentik untuk mengajukan tuntutan kepengadilan dengan Tindak Pidana
penipuan yang tertera dalam syarat sahnya perjanjian dengan pokok perkara
apabila kondisi tanah (luas atau besar tanah, status tanah) beberapa tahun ke
depan kondisi yang ditawarkan pada awalnya tidak sesuai dengan kondisi tanah
(luas atau besar tanah, status tanah) sekarang telah diterima pembeli berbeda
jauh dengan apa yang telah ditawarkan oleh perusahaan pengembang maka
sahlah bukti tersebut diajukan ke pengadilan sebagaimana mestinya.35
Perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah
terjadinya sengketa.Pada perlindungan hukum preventif kepada rakyat
diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan (inspraak) atau
pendapatnya sebelum keputusan pemerintah.Perlindungan hukum preventif
sangat besar artinya bagi tindak pemerintahan yang didasarkan kepada
kebebasan bertindak, karena dengan adanya perlindungan hukum yang
preventif pemerintah terdorong untuk bersikap hati-hati dalam mengambil
keputusan yang didasarkan pada diskresi.36
Manusia sesuai kodratnya diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa
dalam kedudukan yang sejajar. Di dalam kehidupan manusia terdapat berbagai
perbedaan yang didasarkan pada jenis kelamin, suku/ras, warna kulit, agama,
kebangsaan, paham politik, cacat tubuh, dan lain sebagainya. Pada masa
tertentu, perbedaan itu seringkali dijadikan dasar untuk memperlakukan
manusia secara berbeda dalam berbagai bidang kehidupan dan hal itu
menyebabkan manusia mengalami perlakukan yang tidak semestinya.
81Aldyan Vileza, NOTARIS dan PPAT, wawancara pribadi, MALANG, 1 Februari 2017,
pukul 10.00 wib. 36Philipus M. Hadjon I, Op.cit. hlm.2
Indonesia adalah Negara Hukum sebagaimana dinyatakan dalam pasal
1 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.Hal ini
membawa konsekwensi bahwa Negara sudah semestinya melindungi segenap
tumpah darah Indonesia.Negara Indonesia wajib memberikan perlindungan
kepada setiap warga Negara Indonesia tanpa membedak-bedakan apapun.
Menurut John Dicey, negara hukum memiliki 3 unsur, yaitu:
1. Hak asasi manusia dijamin lewat Undang-Undang
2. Persamaan kedudukan di muka hukum (equality before the law)
3. Supremasi aturan-aturan hukum dan tidak ada kesewenang-wenangan
tanpa aturan hukum yang jelas.37
Dengan mengacu pada pandangan Dicey, negara sudah semestinya
memperlakukan setiap warga negaranya sama di hadapan hukum dan menjamin
serta melindungi hak asasinya, dengan kata lain negara wajib menghormati (to
respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fulfill) hak asasi manusia
(HAM) setiap warga negaranya tanpa terkecuali. Negara diasusmsikan
memiliki kewajiban untuk secara aktif melindungi dan memastikan
terpenuhinya hak-hak dan kebebasan-kebebasan.
Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa perlindungan hukum
merupakan perlindungan harkat dan martabat dan pengakuan terhadap hak asasi
manusia yang dimiliki oleh subyek hukum dalam negara hukum dengan
berdasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku di negara tersebut guna
mencegah terjadinya kesewenang-wenangan. Perlindungan hukum itu pada
umumnya berbentuk suatu peraturan tertulis, sehingga sifatnya lebih mengikat
37 Jurnal Difabel, Vol. 1, No. 1, Mei, 2014, hlm.12
dan akan mengakibatkan adanya sanksi yang harus dijatuhkan kepada pihak
yang melanggarnya. 38
Prinsip perlindungan hukum di Indonesia adalah pengakuan dan
perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada
prinsip negara hukum yang berlandaskan Pancasila.39
Apabila dikaitkan dengan isu-isu disabilitas, pada dasarnya setiap
disabilitas berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum
yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Berdasarkan Perjanjian
Hak-hak Fundamental Uni Eropa yang disahkan pada tahun 2000 dan
merupakan yang paling progresif dalam hal hak-hak penyandang disabilitas, di
dalam perjanjian tersebut memuat prinsip anti-diskriminasi dalam ayat 21 yang
menyatakan dilarang melakukan diskriminasi dengan dasar apa pun, termasuk
jenis kelamin, ras warna kulit, asal-usul etnis atau sosial, fitur genetik, bahasa,
agama atau kepercayaan, politik atau perbedaan opini, keanggotaan dalam
minoritas nasional tertentu, properti, keturunan, disabilitas, umur atau orientasi
seksual.40Bangsa indonesia senantiasa menempatkan penghormatan terhadap
harkat dan martabat manusia dalam segala aspek berbangsa, bernegara dan
bermasyarakat. Hal ini dikukuhkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 hasil
amandemen. Dalam Pasal 28 h ayat 2 berbunyi: “Setiap orang berhak mendapat
kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat
yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.” Sedangkan pada Pasal 28I
38 Philipus M. Hadjon I, Op.cit. hlm.205 39 Philipus M. Hadjon I, Op.cit. hlm.19
40http://www2.agendaasia.org/index.php/id/perpustakaan/album-foto/9-2nd-
conference/detail/159-img-2274-jpg?tmpl=component yang diakses pada tanggal 22 februari 2017
ayat (2) diatur bahwa: “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat
diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan
terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”
Hal ini juga diperkuat di dalam Pasal 12 dan Pasal 13 Konvensi Hak-
Hak Penyandang Disabilitas (Convention on The Rights of Person with
Disabilities/CRPD) yang sudah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dengan
Undang-Undang No.19 tahun 2011. Di dalam realitanya para difabel seringkali
mengalami praktik diskriminasi, termasuk dalam hal aksesibilitas di lingkup
penegakan hukum (sejak tahan penyidikan sampai dengan di pengadilan)
maupun di bidang hukum perdata, seperti hukum perkawinan dan hukum waris.
Realitanya, disabilitas secara sosial ekonomi merupakan komunitas
kelas menengah ke bawah, karena ada beberapa situasi kondisi yang secara
sistematis dan structural dapat memiskinkan disabilitas serta memposisikan
disabilitas, merupakan bagian dari “orang yang tidak cakap hukum”. Disabilitas
mau tidak mau harus diletakkan di bawah pengampuan, karena bukan termasuk
orang yang cakap hukum.Hal inilah yang dapat melanggar hak penyandang
disabilitas, khususnya ketika diletakkan di bawah pengampuan, pengampunya
tidak jujur dan melanggar hak-hak disabilitas.
Pada saat ini, 22.000 penyandang disabilitas di indonesia, sebagian
dewasa di atas umur 18 tahun tidak diberi hak dalam membuat perjanjian di
indonesia. Kebanyakan penyandang disabilitas merasa dirugikan dengan stigma
disabilitas.
Khusus dalam kasus hukum perdata, disabilitas juga seringkali
terpojokkan. Disabilitas dengan segala variannya di stigma sebagai pribadi
yang tidak memiliki kecakapan hukum. Maka tidak aneh, disabilitas yang
hendak menjalin relasi keperdataan selalu terdiskriminasi, seperti tidak
diperkenankan menjadi pihak dalam perjanjian perbankan, asuransi, dan
ataupun praktek keperdataan yang lain seperti tidak mendapatkan hak waris
karena berada di bawah pengampuan, tidak boleh menikah bagi disabilitas
mental intelektual karena mentalnya yang dianggap seperti anak-anak, dan
ataupun seorang disabilitas yang boleh diceraikan karena disabilitasnya.41
Potret difabel di atas adalah sedikit contoh yang menggambarkan
bagaimana seorang disabilitas kerap terpojokan ketika berproses di depan
hukum. Karenanya, tidak banyak disabilitas yang bertaruh untuk
menyelesaikan kasusnya di depan hukum, sebab ujung prosesnya seringkali
ironis dan menyakitkan. Terdapat beberapa contoh kasus yang melibatkan
disabilitas baik sebagai korban, terdakwa atau pihak dalam kasus
keperdataan, dan proses hukum selalu melemahkan posisi disabilitas.
Berkaitan dengan pemenuhan hak para disabilitas tuna rungu untuk
memiliki dengan menggunakan atas nama sendiri dalam hal properti,
ataupun tanah. Para disabilitas tuna rungu mendapatkan perlindungan
hukum dalam melakukan proses jual beli tanah. Para disabilitas tuna rungu
dapat mengacu pada Pasal 1338 KUHPerdata menyebutkan semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya.Perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain
dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh
undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Perjanjian harus dilaksanakan
41Jurnal Difabel, Vol. 1, No. 1, Mei, 2014, hlm.8
dengan itikad baik.
Berdasarkan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
tersebut diatas, maka tiap-tiap pihak dalam perjanjian wajib mematuhi hal-
hal yang telah diperjanjikan dan melaksanakan perjanjian dengan itikad
baik. Apabila ada pihak yang tidak mematuhi dan tidak melaksanakan
perjanjian dengan baik maka dapat dikatakan pihak tersebut tidak beritikad
baik. Pihak yang dirugikan oleh pihak yang tidak beritikad baik akan
mendapat perlindungan hukum implementasi dari UU no.19 tahun 2011
pasal 13 yaitu Hak atas Akses terhadap Keadilan dan “Hak atas Melindungi
Integritas Penyandang Disabilitas(Pasal 17), yang menjadi tugas dan
tanggung jawab Kementerian Hukum dan HAM RI. Perlindungan hukum
yang dimaksud disini adalah perlindungan terhadap hak-hak yang dimiliki
oleh pihak yang dirugikan tersebut dalam perjanjian.Selain itu pada
realitanya banyak terdapat difabel tuna rungu yang dalam kapasitasnya
memiliki kemampuan untuk berpikir, memutuskan dan bertindak secara
benar (tidak melawan hukum). Karena pada dasarnya para difabel
tunarungu hanya mengalami keterbatasan dalam pendengaran tapi tidak
dalam pemikiran secara rasional. Sehingga sudah sepatutnya mereka
mendapatkan perlakuan yang sama dengan orang lainnya untuk
mendapatkan haknya dalam proses jual beli tanah. Bentuk perlindungan
hukum yang diberikan oleh negara kepada disabilitas tuna rungu dalam
melakukan proses jual beli tanah, negara menunjuk PPAT dalam
mekanismenya. Dasar mengeluarkan hukum yang digunakan untuk
menguatkan proses jual beli dan kepemilikan atas tanah yaitu notaris
mengeluarkan AJB (akta jual beli) dan mengesahkan perubahan pada SHM
(sertifikat hak milik) atas tanah tersebut yaitu selama disabilitas tuna rungu
tidak dalam pengampuan seperti yang termaksud dalam pasal 433
KUHPerdata maka notaris berhak untuk melakukan pengesahan proses jual
beli tanah tersebut adalah PP 24/1997 jo PMNA/3/1997 yang menyebutkan
kewenangan PPAT membuat akta untuk siapapun dengan syarat syarat
formal dan materiil. Sedangkan untuk meminimalkan terjadinya sengketa di
kemudian hari, notaris dan advokat sepakat untuk memberikan perlakuan
khusus yaitu pada proses jual beli bisa didampingi oleh penerjemah yang
bisa menjembatani antara orang normal dengan difabel tunarungu. Sehingga
sejauh tidak merugikan maka perjanjian tersebut tetap berlaku sah dan
mempunyai akibat hukum.
Dari aspek struktur dan budaya hukum, belum sepenuhnya
menunjang bagi perwujudan kemandirian dan kesejahteraan para disabilitas
tuna rungu, sehingga banyak ketentuan yang ada dalam peraturan
perundnag-undangan belum dapat dilaksanakan. Untuk itu perlu dilakukan
suatu Affirmation Action.42
Affirmation Action untuk mewujudkan kesamaaan kesempatan
dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan bagi disabilitas tuna rungu.
Aksi ini mengarah pada penyadaran publik akan hak-hak disabilitas tuna
rungu dan kewajiban mereka untuk berperan aktif dalam berinteraksi social
yang sehat dan wajar. Aksi tersebut membutuhkan strategi sosialisasi yang
42 Prof. Dr. H. Muladi, SH., 2009, Hak Asasi Manusia Hakekat, konsep dan
Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Refika Aditama, Bandung, hlm.262
efektif, menyangkut:43
a) Pola penyadaran integral antar pemerintah, disabilitas tuna rungu dan
masyarakat pada umumnya sehingga memunculkan suatu sinergi. Pola
tersebut meliputi:
1. Peningkatan pengetahuan disabilitas tuna rungu akan hak-haknya
misalnya melalui seminar, penyebaran lembar informasi (info
sheet), dialog publik, media center, memasukan materi perundang-
undangan disabilitas tuna rungu ke dalam kurikulum pendidikan dan
sebagainya.
2. Implementasi perundang-undangan dari tingkat pusat hingga
daerah.
3. Melakukan advokasi hukum disabilitas tuna rungu dalam
memperjuangkan hak-haknya.
b) Pola pembudayaan dari sosialisasi sinergis di atas. Pola pembudayaan
ini sepertinya yang tersulit. Karena bercermin dari kasus-kasus yang
terjadi di negeri ini, memerlukan waktu yang lama dan dengan strategi
pembudayaan yang kontinyuserta simultan dengan melibatkan
masyarakat yang sudah “tersadarkan”
Menurut J. Satriyo, pengampuan adalah suatu keadaan, di mana
orang dewasa kedudukan hukumnya diturunkan menjadi sama dengan
orang belum dewasa, dengan konsekuensinya, kewenangannya untuk
43Prof. Dr. H. Muladi, SH., 2009, Op.cit., hlm.263
bertindak dicabut.44 Kansil menyatakan bahwa pengampuan adalah
bimbingan yang dilaksanakan oleh kurator yaitu keluarga sedarah atau
orang yang ditunjuk terhadap orang-orang dewasa yang karena sesuatu
sebab dinyatakan tidak cakap bertindak di dalam lalu lintas hukum.45
Vollmar menyatakan bahwa pengampuan adalah:
“Keadaan yang disitu seseorang (curandus) karena sifat-sifat
pribadinya dianggap tidak cakap atau di dalam segala hal tidak cakap untuk
bertindak sendiri (atau pribadi) di dalam lalu lintas hukum. Atas dasar itu
orang tersebut dengan keputusan hakim dimasukkan ke dalam golongan
orang yang tidak cakap bertindak. Karenanya, orang tersebut lantas diberi
seorang wakil menurut undang-undang, yaitu yang disebut pengampu
(curator atau curatele).”46
Dari beberapa pengertian tersebut nampak bahwa pengampuan
adalah perwakilan terhadap kepentingan orang yang sudah dewasa tetapi
tidak cakap melakukan perbuatan hukum.
Sebetulnya aturan dalam Kitab Undang-Undang hukum Perdata
sudah berusaha melakukan perlindungan terhadap disabilitas tuna rungu
dari penipuan.
Alur proses pengajuan pengampu di peradilan
44J. Satrio, 1999, Hukum Pribadi Bagian I Persoon Alamiah, Citra Aditya Bakti,
Bandung, hlm.74
45C.S.T. Kansil, et. al, 2006, Modul Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm.138 46MIMBAR HUKUM Volume 20, Op.cit, hlm.568
Menurut pasal 449 KUHPerdata, setiap keputusan Pengadilan
terhadap pengampuan yang telah berkekuatan tetap, maka pengangkatan
pengampu harus segera mungkin diberitahukan kepada Balai Harta
Peninggalan selaku pengampu Pengawas.
Dalam hal kedudukan dan peranan Balai Harta Peninggalan sebagai
pengampu pengawas adalah sama dengan perwalian pengawas, Tugas
Pengampuan Pengawas berakhir apabila seseorang yang ditaruh dalam
pengampuan sembuh atau meninggal.
Syarat-syarat Pendukung :
1. Penetapan Pengadilan Negeri;
2. Identitas Pengampu
3. Identitas orang yang ditaruh dibawah Pengampuan;
4. Bukti Kekayaan orang yang ditaruh dibawah Pengampuan.
2. Perlindungan Hukum Represif
Dalam garis besar, sistem hukum di dunia modern terdiri atas dua
sistem induk, yaitu “civil law system” (modern Roman) dan “common law
system”. Sistem hukum yang berbeda melahirkan perbedaan mengenai bentuk
dan jenis sarana perlindungan hukum bagi rakyat, dalam hal ini sarana
perlindungan hukum represif.47
Perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan
sengketa. Di Indonesia bentuk implementasi dari hukum represif adalah adanya
badan-badan yang sudah ada dan memiliki wewenang masing-masing. Prinsip-
prinsip perlindungan hukum bagi rakyat. “Prinsip” didahulukan karena atas
dasar prinsip, baru dibentuk sarananya, karena tanpa dilandaskan pada prinsip,
pembentukan sarana menjadi tanpa arah. Prinsip perlindungan dengan hukum
bagi rakyat (di Indonesia) adalah prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap
harkat dan martabat manusia yang bersumber pada Pancasila dan prinsip
negara hukum yang berdasarkan Pancasila. Pengakuan dan perlindungan
terhadap harkat dan martabat manusia dikatakan bersumber pada Pancasila,
karena pengakuan dan perlindungan terhadapnya secara intrinsic melekat pada
pancasila dan seyogianya memberi warna dan corak serta isi negara hukum
yang berdasrakan Pancasila.48
Dalam praktek, dengan menelaah putusan-putusan pengadilan,
disimpulkan bahwa ada tiga dasar yang digunakan oleh pengadilan untuk
menyatakan kewenangannya namun tiga dasar itu tidak digunakan secara
bersama-sama namun secara tidak konsisten, yaitu: menggunakan ketentuan
pasal 2 RO dengan mendasarkan pada ketentuan pasal 11 Aturan Peralihan
UUD 1945, dalam putusan lain, yurisprudensi, di ketengahan sebagai dasar dan
82Philipus M. Hadjon I, Op.cit. hlm.5 83Philipus M. Hadjon I, Op.cit. hlm.20
dalam putusan lainnya di ketengahann sebagai dasar ialah karena belum adanya
peradilan administrasi negara.49
Dari penjelasan diatas dapat dijelaskan bahwa bentuk perlindungan
hukum represif bagi disabilitas tuna rungu telah diatur dengan jelas, hal ini
sesuai dengan adanya UUD 1945 pasal 28, UU no.8 tahun 2016, serta adanya
putusan yang lain yang mampu digunakan sebagai landasan perlindungan
hukum bagi disabilitas tuna rungu. Selanjutnya apabila terjadi sengketa
dikemudian hari yang timbul akibat adanya perjanjian jual beli tanah yang
dilakukan dengan pihak disabilitas tuna rungu, maka disabilitas tuna rungu
dilindungi hak haknya oleh hukum untuk melakukan gugatan ke badan hukum
yang berkaitan.
49Philipus M. Hadjon I, Op.cit. hlm.21
BAB V
PENUTUP
KESIMPULAN
1. Kecakapan bertindak
Berdasarkan hasil penelitian, maka difabel tuna rungu yang dianggap memiliki
kecakapan hukum adalah orang dewasa yang berusia 18 tahun atau 21 tahun,
sudah menikah, dapat bertransaksi dan dapat menggunakan akal pikiran dan
minimal IQ 109 yang dapat ditarik kesimpulan bahwa kaum disabilitas tuna
rungu tersebut masih dalam batas IQ normal serta mampu untuk
mengidentifikasi, mengingat, mengamati, dan menarik kesimpulan dari sebuah
perbuatan. Maka disabilitas tunarungu tergolong dalam kategori manusia yang
cakap dan memiliki kecakapan.
2. Perlindungan hukum
Perlindungan hukum untuk para pihak apabila salah satu pihak melakukan
wanprestasi dibagi menjadi dua. Pertama perlindungan hukum secara preventif
atau pencegahan, sebelum terjadi wanprestasi. Perlindungan hukum secara
represif yang dilakukan setelah terjadinya sengketa atau permasalahan.
Perlindungan hukum secara preventif dapat diberikan dengan cara penambahan
klausula dalam perjanjian untuk memberatkan pihak yang melakukan
wanprestasi. Perlindungan hukum secara represif dilakukan setelah terjadinya
wanprestasi dengan menempuh jalur penyelesaian di luar lembaga peradilan
atau penyelesaian melalui lembaga peradilan. Penyelesaian sengketa dalam
perjanjian jual beli dapat ditempuh melalui dua jalur yaitu jalur non litigasi dan
jalur litigasi. Non litigasi merupakan penyelesaian sengketa di luar peradilan,
cara-cara yang digunakan adalah negosiasi dan mediasi. Negosiasi atau
berunding dilakukan untuk berkompromi guna menyelesaikan suatu sengketa
untuk mencapai kata sepakat. Mediasi merupakan cara penyelesaian sengketa
yang hampir sama dengan mediasi amun ada pihak ketiga sebagai penengah dan
tujuannya sama dengan negosiasi yaitu untuk mencapai kata sepakat. Jalur
litigasi atau penyelesaian sengketa melalui jalur peradilan, dapat ditempuh bila
upaya negosiasi dan mediasi tidak memberikan hasil.
SARAN
1. Penyandang Tuna Rungu seharusnya dapat memiliki akta dan memperoleh hak
atas kepemilikannya sendiri serta memperoleh pendamping dan penerjemah
bahasa isyarat selama bertransaksi dan menerjemahkan.
2. Lebih lanjut diharapkan dengan adanya penelitian ini hak hukum untuk
memperoleh akta jual beli tanah pada penyandang Tuna rungu. Akan dijelaskan
lebih rinci di masa mendatang.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
C.S.T. Kansil, et. al, Modul Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 2006.
Evi Sabir – Gitawan, Bsc. Gangguan Bahasa dan Bicara pada anak
dengan Autistic Spectrum Disorder.Yayasan Kailila Indonesia, 2003.
Kunandar,S.Pd., M.Si., Guru Profesional Implementasi Kurikiulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi
Guru, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2009.
J. Satrio, Hukum Pribadi Bagian I Persoon Alamiah, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1999.
Johny Ibrahim, Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia
Publishing:Malang, 2006.
Mc Shane dan Glinow dalam Buyung. Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2007.
Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, Yayasan Obor Indonesia,
Jakarta, 2008.
Miftah thoha, Kepemimpinan dalam Manajemen, PT Raja Grafindo
Persada, 1995.
Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan.
Bandung:Rosda Karya, 2004.
Nur’aeni, S.Psi., M.Si. Tes Psikologi : Tes Inteligensi Dan Tes Bakat,
Yogyakarta: Universitas Muhammadiyah (UM) Purwokerto Press,2012.
Ny. Retnowulan Sutantie, SH, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan
Praktek, Alumni, Bandung, Cet. I, 1979.
Philipus M. Hadjon I, Perlindungan hukum bagi rakyat di Indonesia, sebuah
studi tentang prinsip-prinsip penanganannya oleh pengadilan dalam
lingkungan peradilan umum dan pembentukan peradilan
administrasi, Peradaban, Surabaya, (selanjutnya disingkat Philipus M.
Hadjon I), 1987.
Prof. Dr. H. Muladi, SH., Hak Asasi Manusia Hakekat, konsep dan
Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Refika
Aditama, Bandung, 2009.
Prof. Dr. M.A.S Imam Chourmain, M.Ed. Acuan Normatif Penelitian Untuk
Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi. Jakarta: Al-Haramain
Publishing House, 2008.
R. Soetojo Prawirohamidjojo & Marthalena Pohan, Hukum Orang dan
Keluarga [ Personen en Familie-Recht], Surabaya:Airlangga University
Press, 1991.
R. Subekti SH dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Edisi Revisi, 1995.
Salim H.S,S.H.,M.S.,Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak,
Sinar Grafika, 2013.
Sembiring MU, Beberapa Bab Penting dalam Hukum Waris Menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, Medan: Program Pendidikan Notariat
Fakultas Hukum USU, 1989.
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normative Suatu Tinjauan
Singkat, Rajawali Pers, Jakarta, 2010.
Soehardi. Essensi Perilaku Organisasional. Bagian Penerbit Fakultas
Ekonomi Sarjanawiyata Tamansiswa, Yogyakarta, 2003.
Stephen P. Robins. Pengantar Manajemen Dan Organisasi. Jakarta:Erlangga,
2010.
Sudikno mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Penerbit Liberty,
Yogyakarta, 1999.
PERUNDANG-UNDANGAN
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan
Convention On The Rights Of Persons With Disabilities (Konvensi
Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas)
Konvensi Hak-Hak penyandang Disabilitas (Convention On The Rights Of
Persons With Disabilities)
JURNAL
Jurnal Difabel, Vol. 1, No. 1, Mei, 2014
MIMBAR HUKUM Volume 20, Nomor 3, Oktober 2008
Pusat Layanan Juru Bahasa Isyarat, 7 Februari 2015
Sjah S, dan Fadillah. Membantu Anak Berkomunikasi Secara Efektif.
Konferensi Autisme Pertama: Rowards a Better Life For Autistic
Individual. Jakarta, 3-4 Mei 2003.
INTERNET
Franchis Gibson, “Artivle 13 of the Convention on Rights of Persons with
Disabilities-a Right to Legal Aid?” (diakses pada 22 April 2014) dari
http://wwww.academia.edu/207906/Article_13_of_the_Convention_on_Ri
ghts_of_Persons_with_Disabilities_-_A_Right_to_Legal_Aid.
https://fookembug.wordpress.com/2008/01/23/percentage-of-deaf-staff-at-deaf-
schools/