18
540 DOI: http://dx.doi.org/10.21776/ub.arenahukum.2018.01003.7 PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN TERKAIT PEREDARAN PANGAN HASIL REKAYASA GENETIKA DI INDONESIA Yuliati Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Jl. MT. Haryono 169 Malang Email: [email protected] Abstract The distribution of food products containing genetic modified organism (GMO) in the market has the potential ito harm the public as consumers, even though consumers have the right to food security and the right to obtain information protected by Act Number 8 year 1999 on Consumer Protection. This article is a legal research that use statutes approach. The result shows that the government of Indonesia has provide adequate legal protection for consumers regarding the distribution of food product containing GMO in the form of the obligation to conduct safety testing of engineering products for business actors as outlined in Government Regulation No.21 Year 2005. Meanwhile, the government has also provided a clear definition of prohibited activities as well as sanction as stated on Consumers Protection Act and Food Act. Key words: food, genetic engineering, consumer’s protection Abstrak Beredarnya produk pangan hasil rekayasa genetika di pasaran, berpotensi merugikan masyarakat sebagai konsumen produk tersebut, padahal konsumen memiliki hak atas keamanan pangan dan hak untuk mendapat informasi yang dilindungi oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Artikel ini adalah hasil penelitian hukum yuridis normatif dengan pendekatan perundang- undangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia telah memberikan perlindungan hukum yang memadai bagi konsumen atas peredaran produk pangan rekayasa genetika baik sebelum peredaran produk dalam bentuk keharusan untuk melakukan uji keamanan produk rekayasa bagi pelaku usaha yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No.21 Tahun 2005 tentang keamanan hayati produk rekayasa genetika dan kewajiban bagi pelaku usaha untuk memenuhi kewajiban tentang pelabelan produk pangan yang mengandung rekayasa genetika. Kata Kunci: Pangan, Rekayasa Genetika, Perlindungan Konsumen Latar Belakang Perdagangan adalah kegiatan yang telah dilakukan oleh manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada masyarakat yang sederhana pemenuhan kebutuhan tersebut dapat dilakukan dengan cara barter, namun dalam perkembangannya perdagangan merupakan kegiatan yang sangat komplek,

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN TERKAIT …

  • Upload
    others

  • View
    16

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN TERKAIT …

540 DOI: http://dx.doi.org/10.21776/ub.arenahukum.2018.01003.7

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN TERKAIT PEREDARAN PANGAN HASIL REKAYASA GENETIKA

DI INDONESIA

Yuliati

Fakultas Hukum Universitas BrawijayaJl. MT. Haryono 169 Malang Email: [email protected]

Abstract

The distribution of food products containing genetic modifi ed organism (GMO) in the market has the potential ito harm the public as consumers, even though consumers have the right to food security and the right to obtain information protected by Act Number 8 year 1999 on Consumer Protection. This article is a legal research that use statutes approach. The result shows that the government of Indonesia has provide adequate legal protection for consumers regarding the distribution of food product containing GMO in the form of the obligation to conduct safety testing of engineering products for business actors as outlined in Government Regulation No.21 Year 2005. Meanwhile, the government has also provided a clear defi nition of prohibited activities as well as sanction as stated on Consumers Protection Act and Food Act.Key words: food, genetic engineering, consumer’s protection

Abstrak

Beredarnya produk pangan hasil rekayasa genetika di pasaran, berpotensi merugikan masyarakat sebagai konsumen produk tersebut, padahal konsumen memiliki hak atas keamanan pangan dan hak untuk mendapat informasi yang dilindungi oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Artikel ini adalah hasil penelitian hukum yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia telah memberikan perlindungan hukum yang memadai bagi konsumen atas peredaran produk pangan rekayasa genetika baik sebelum peredaran produk dalam bentuk keharusan untuk melakukan uji keamanan produk rekayasa bagi pelaku usaha yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No.21 Tahun 2005 tentang keamanan hayati produk rekayasa genetika dan kewajiban bagi pelaku usaha untuk memenuhi kewajiban tentang pelabelan produk pangan yang mengandung rekayasa genetika.Kata Kunci: Pangan, Rekayasa Genetika, Perlindungan Konsumen

Latar Belakang

Perdagangan adalah kegiatan yang telah

dilakukan oleh manusia dalam memenuhi

kebutuhan hidupnya. Pada masyarakat yang

sederhana pemenuhan kebutuhan tersebut

dapat dilakukan dengan cara barter, namun

dalam perkembangannya perdagangan

merupakan kegiatan yang sangat komplek,

Page 2: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN TERKAIT …

541 ARENA HUKUM Volume 11, Nomor 3, Desember 2018, Halaman 540-557

karena melibatkan banyak pihak mulai dari penyediaan bahan baku, proses produksi sampai dengan proses pemasaran produk yang pada akhirnya akan dikonsumsi oleh konsumen.

Pemakaian teknologi yang semakin canggih, di satu sisi memungkinkan pelaku usaha mampu membuat produk beraneka macam jenis, bentuk, kegunaan, maupun kualitasnya sehingga pemenuhan kebutuhan konsumen dapat terpenuhi lebih luas, lengkap, cepat, dan menjangkau bagian terbesar lapisan masyarakat.1 Namun, disisi lain penggunaan teknologi memungkinkan dihasilkannya produk yang tidak sesuai dengan persyaratan keamanan dan keselamatan pemakai sehingga menimbulkan kerugian kepada konsumen.2 Dengan demikian apabila tidak ada jaminan tentang keamanan produk pangan dari pemerintah, maka masyarakat sebagai konsumen akan sulit untuk memilih dan memilah makanan yang benar-benar aman.

Keterbukaan informasi atas bahan pangan yang diperdagangkan kepada konsumen harus diperhatikan oleh pemerintah karena informasi ini menyangkut keamanan konsumen untuk mengkonsumsi pangan yang diperdagangkan.Ditengah informasi yang minim, fakta menunjukkan bahwa

produk pangan hasil rekayasa genetika telah lama masuk ke pasar Indonesia.3 Hal ini telah terbukti 3 hasil pengujian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) yang menunjukkan bahwa beberapa produk turunan kedelai, jagung dan kentang positif mengandung rekayasa genetika.4 Bukan saja produk tidak bermerk seperti tahu dan tempe yang positif mengandung rekayasa genetika, tetapi sejumlah produk pangan bermerk dan terdaftar juga terbukti mengandung rekayasa genetika.5 Penelitian yang dilakukan oleh Yayasan Lembaga Konsumen terhadap produk pangan dari kentang dan jagung, terbukti bahwa produk-produk impor seperti Pringleys Potato dan Honig Maizena yang dijual bebas di pasaran Indonesia mengandung bahan rekayasa genetika.6

Rekayasa genetika adalah salah satu aplikasi dari bioteknologi yang merupakan teknologi pemanfaatan oganisme atau mikoba atau produk organisme yang bertujuan untuk menghasilkan bahan lain. Bioteknologi secara sederhana bukanlah hal baru bagi peradaban manusia, teknologi pembuatan tape, empe dan kecap menunjukkan pemanfaatan mikroba untuk mengubah bahan dasar menjadi bahan yang bersifat ekonomi lebih tinggi.7

Sedangkan seiring dengan perkembangan

1 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung:Citra Aditya Bakti, 2006),hlm. 19.2 Ibid.3 Kehadiran Benih Produk Rekayasa Genetika di Indonesia,Balai Besar PPMB, Bogor, 14 Januari 20144 Koalisi Ornop untuk Keamanan dan Pangan, “Menggugat Peredaran Pangan Transgenik”, http://www.ylki.

or.id, diakses 12 Maret 2017.5 Ibid.,6 Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, “Pemerintah Harus Serius Tangani Produk Pangan Transgenik”,

http://www.ylki.or.id, diakses 12 Maret 2017.7 Muhammad Djumhana, Hukum dalam Perkembangan Bioteknologi, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2000),

hlm.62.

Page 3: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN TERKAIT …

Yuliati, Perlindungan Hukum bagi Konsumen Terkait Peredaran Pangan Hasil... 542

ilmu pengetahuan timbulah bioteknologi modern (modern biotechnology) sebagaimana disebut dalam The Cartagene Protocol on Bio Safety to the Convention on Biological

Diversity8 menyebutkan :

“modern biotechnology means the application of :

(a) In vitro necleid techniques, including recombinant deoxyribonucleid acid (DNA) and direct injection of nucleid acid into cells or organelles, or

(b) Fusion of cells beyond the taxonomix family”

Keberadaan Protocol Cartagena ini merupakan tindak lanjut dari persoalan keamanan pangan terutama produk pangan hasil rekayasa genetika. Persoalan keamanan pangan ini merupakan hal yang sangat penting karena akan berdampak langsung dengan kesehatan manusia sehingga pemanfaatan produk pangan hasil rekayasa genetika ini perlu diterapkan unsur kehati-hatian

(precautionary principle).9

Sejarah panjang pembentukan undang-undang perlindungan konsumen di berbagai negara maju berawal dari adanya perkembangan teknologi, khususnya teknologi manufaktur yang pada intinya bermaksud melindungi hak-hak konsumen sekaligus

mendorong persaingan usaha yang sehat.10

Sedangkan di negara-negara berkembang

pembentukan pengaturan undang-undang

perlindungan konsumen juga didasarkan pada

The UN Guidelines for Consumer Protection

melalui Resolusi PBB No.A/RES/39/248 yang

merupakan pengakuan atas hak-hak dasar

konsumen yang wajib dipenuhi oleh negara-

negara peserta.11

Pada Tahun 1999, pemerintah Indonesia

telah mengundangkan Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen yang bertujuan untuk:

1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan

dan kemandirian konsumen untuk

melindungi diri;

2. Mengangkat harkat dan martabat

konsumen dengan cara menghindarkannya

dari ekses negatif pemakaian barang dan

jasa;

3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen

dalam memilih dan menentukan dan

menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

4. Menciptakan sistem perlindungan

konsumen yang mengandung unsur

kepastian hukum dan keterbukaan

informasi serta akses untuk mendapatkan

informasi ;

5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha

mengenai pentingnya perlindungan

konsumen sehingga tumbuh sikap yang

8 Article 3 sub (i)The Cartagene Protocol on Bio Safety to the Convention on Biological Diversity, protocol ini sudah diratifi kasi oleh pemerintah Indonesia dengan UURI No 21 tahun 2004. Protokol ini merupakan pelengkap dari Konvensi PBB tentang keanekaragaman Hayati yang juga telah diratifi kasi oleh pemerinah Indonesia dengan UURI No.5 tahun 1994.

9 Anto Ismu Budianto, “Perlindungan Hukum Terhdap Konsumen Produk Rekayasa Genetik di Indonesia”, Jurnal Hukum No.15, Vol.7, (Desember 2000): 124

10 Firman Tumantara Endiapraja, Hukum Perlindungan Konsumen, (Malang: Setara Press,2016), hlm.103.11 NHT Siahaan, Hukum Konsumen,( Jakarta: Panta Rei, 2005), hlm. 13.

Page 4: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN TERKAIT …

543 ARENA HUKUM Volume 11, Nomor 3, Desember 2018, Halaman 540-557

jujur dan bertanggung jawab dalam

berusaha;

6. Meningkatkan kualitas barag dan jasa

yang menjamin kelangsungan usaha

produksi barang dan jasa untuk kesehatan,

keamanan dan kenyamanan konsumen.

Dalam rangka melindungi hak-hak

konsumen dari praktek perdagangan yang

tidak etis, keberadaan undang-undang

perlindungan konsumen ini sangat berarti,

karena undang-undang ini merupakan langkah

awal reformasi atas keadaan yang tidak adil

yang dialami konsumen,12 namun demikian

dalam prakteknya masih banyak terjadi

pelanggaran terhadap hak- hak konsumen.

Bertolak dari kondisi tersebut, maka perlu

diadakan penelitian mengenai perlindungan

hukum terhadap hak-hak konsumen terutama

hak atas informasi, keamanan dan keselamatan

terhadap produk pangan hasil rekayasa

genetika. Hal ini sangat penting karena

konsumen memiliki hak untuk dilindungi dari

segala bahaya yang mengancam kesehatan,

jiwa, dan harta bendanya karena memakai atau

mengkonsumsi makanan terutama produk

pangan hasil rekayasa genetika, karena sampai

saat ini belum dinyatakan aman pangan oleh

pemerintah.

Pembahasan

A. Bentuk Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Atas Peredaran Produk Pangan Rekayasa Genetika (PRG) Di Indonesia.

Bentuk perlindungan hukum bagi

konsumen atas suatu produk yang beredar di

masyarakat terkait erat dengan pemenuhan

hak konsumen atas informasi yang jujur dan

akurat atas suatu produk. Hak konsumen

atas informasi ini penting bagi konsumen

karena konsumen memerlukan data dan fakta

agar dapat menentukan pilihan berdasarkan

informasi yang tersedia. Penyebaran informasi

kepada konsumen dapat dilakukan dengan

pemberian label dan penyiaran iklan tentang

produk pangan sebagaimana diatur dalam UU

RI No.18 Tahun 2012 tentang Pangan.13 Hal ini

dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran

konsumen atas hak dan kewajibannya serta

agar konsumen dapat bersikap hati-hati dalam

mengkonsumsi barang dan/atau jasa.

Setiap label harus memuat keterangan

mengenai pangan dengan benar. Produk

pangan hendaknya tidak dinyatakan,

didiskripsikan atau dipresentasikan secara

salah, menyesatkan (misleading atau

deceptive), atau menjurus pada munculnya

impresiyang salah terhadap karakter

12 Yusuf Shofi e, Pelaku Usaha, Konsumen dan Tindak Pidana Korporasi, ( Jakarta: Ghalia Indonesia. 2002), hlm. 32.

13 Pasal 96-Pasal 107 UURI No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan

Page 5: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN TERKAIT …

Yuliati, Perlindungan Hukum bagi Konsumen Terkait Peredaran Pangan Hasil... 544

produk pangan tersebut. Bahkan, diskripsi

ataupresentasi baik melalui kata-kata, gambar,

atau cara lain hendaknya tidak secarasugestif,

baik langsung atau tidak langsung, membuat

konsumen mempunyai impresi dan asosiasi

terhadap produk lain.

Pengertian benar dan tidak menyesatkan

berarti bahwa istilah yang digunakanpada

label hendaknya diartikan sama, baik oleh

pemerintah (untuk keperluanpengawasan),

kalangan produsen (untuk keperluan

persaingan yang sehat) maupun oleh konsumen

(untuk keperluan menentukan pilihannya).

Ketentuan tentang pemberian label telah

diatur secara khusus dalam PP No. 69 Tahun

1999 tentang Label dan Iklan Pangan. Menurut

Pasal 1 Angka 3 PP No. 69 Tahun 1999, label

pangan adalah:

“Setiap keterangan mengenai

pangan yang berbentuk gambar,

tulisan, kombinasi keduanya, atau

bentuk lain yang disertakan pada

pangan, dimasukkan ke dalam,

ditempelkan pada, atau merupakan

bagian kemasan pangan”.

Dalam Pasal 2 PP tentang Label dan Iklan

Pangan tersebut disebutkan bahwa setiap

orang yang memproduksi atau memasukkan

pangan yang dikemas kedalam wilayah

Indonesia untuk diperdagangkan wajib

mencantumkan label pada, di dalam, dan/

atau di kemasan pangan. Label tersebut harus

dilakukan sedemikian rupa agar tidak mudah

lepas dari kemasannya, tidak mudah luntur

atau rusak, serta terletak pada bagian kemasan

pangan yang mudah untuk dilihat dan dibaca.

Ketentuan mengenai pemberian label

pangan juga diatur dalam Pasal 8 Ayat (1) UU

RI No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Konsumen khususnya angka i yang berbunyi:1. Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/

atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:

a. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha, serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat.

Selain itu, ketentuan mengenai pemberian

label telah diatur juga dalam Pasal 97 UURI

No. 18 Tahun 2012 Tentang Pangan, yang

berbunyi:

“Setiap orang yang memproduksi

atau memasukkan ke dalam

wilayah Indonesia yang dikemas

untuk diperdagangkan wajib

mencantumkan label pada, didalam,

dan/atau di kemasan pangan”

Pemberian label pada kemasan makanan

merupakan hal yang penting untuk diperhatikan

oleh pelaku usaha dalam memproduksi produk

makanan dalam kemasan. Label pangan dan

iklan tentang pangan memiliki beberapa

fungsi, antara lain:

1. Sebagai sumber informasi. Produsen bisa

memasukkan unsur-unsur yang dapat

memikat konsumen untuk membelinya.

Namun, informasi yang dicantumkan

Page 6: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN TERKAIT …

545 ARENA HUKUM Volume 11, Nomor 3, Desember 2018, Halaman 540-557

harus benar, jelas dan jujur, mengenai

kondisi dan jaminan barang dan/atau

jasa sesuai dengan ketentuan pada Pasal

4 UURI No. 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen

2. Label dapat digunakan sebagai bahan

pertimbangan bagi konsumen untuk

menentukan pilihan. Hal-hal yang dapat

dijadikan pertimbangan adalah dari segi

komposisi, berat bersih, serta harganya.

3. Label dapat digunakan sebagai sarana

mengikat transaksi, artinya apa yang

diinformasikan dalam label dan

dijanjikan dalam iklan harus dapat

dibuktikan kebenarannya dan bersedia

dituntut bila ternyata tidak benar. Oleh

karena itu diperlukan pengawas iklan

independen untuk menjamin bahwa iklan

tersebut legal, terukur, jujur, dan objektif

sehingga konsumen bisa terlindungi.

Berbagai peraturan hukum dan ketentuan

perundang-undangan telah mengatur tentang

pengemasan dan pemberian label kemasan

makanan, seperti UURI No. 18 Tahun 2012

tentang Pangan dan PP No. 69 Tahun 1999

tentang Label dan Iklan Pangan. Peraturan

tersebut mengatur bahwa label kemasan harus

memuat sekurang-kurangnya antara lain:14

1. Nama Produk dan Merek Dagang.

Nama produk dan merek dagang

merupakan tanda yang dipakai

untuk membedakan makanan yang

diperdagangkan oleh produsen satu

dengan lainnya. Fungsi pencantuman

nama produk dan merek dagang adalah

untuk memudahkan pengenalan suatu

produk.

2. Daftar Bahan yang digunakan.

Pencantuman daftar bahan yang

digunakan dalam suatu produk makanan

dapat memberikan informasi susunan

bahan penyusun dan/atau komponen

yang terdapat dalam makanan.Fungsi

pencantuman daftar bahan yang

digunakan adalah agar konsumen lebih

memahami produk yang telah dibelinya.

3. Berat Bersih (Netto).

Berat bersih yaitu berat produk diluar

kemasan.Untuk produk dengan media

cair (sirup, kuah, larutan garam, saus)

harus disertai dengan berat tuntas, yaitu

berat makanan dikurangi berat cairannya.

Fungsi pencantuman berat bersih adalah

untuk mengetahui proporsi isi kemasan,

media dan harga.

4. Nama dan Alamat Produsen.

Nama dan alamat produsen yaitu alamat

lengkap pihak yang memproduksi atau

mengedarkan produk makanan. Fungsi

pencantuman nama dan alamat produsen

adalah untuk memudahkan konsumen

dalam melakukan pengaduan jika terjadi

sesuatu yang merugikan konsumen.

5. Tanggal Kadaluwarsa.

Tanggal kadaluwarsa yaitu keterangan

yang mengindikasikan waktu (tanggal,

bulan dan tahun) kapan makanan aman

dikonsumsi sejak diproduksi dan diterima

14 Tim Boga AKS, “Label Pada Kemasan Makanan”, Koki, (Edisi 0039, Maret 2005): hlm.22.

Page 7: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN TERKAIT …

Yuliati, Perlindungan Hukum bagi Konsumen Terkait Peredaran Pangan Hasil... 546

konsumen.Fungsinya untuk antisipasi

keamanan, keselamatan konsumen

mengkonsumsi suatu produk makanan.

6. Keterangan Halal.15

Keterangan halal untuk suatu produk

pangan sangat penting bagi masyarakat

Indonesia yang mayoritas memeluk

agama Islam.Namun, pencantumannya

pada label pangan baru merupakan

kewajiban apabila setiap orang

yang memproduksi pangan dan/atau

memasukkan pangan kedalam wilayah

Indonesia untuk diperdagangkan

menyatakan bahwa pangan yang

bersangkutan adalah halal bagi umat

Islam. Adapun keterangan tentang halal

dimaksudkan agar masyarakat terhindar

dari mengkonsumsi pangan yang tidak

halal (haram).Dengan pencantuman

halal pada label pangan, dianggap telah

terjadi pernyataan dimaksud dan setiap

orang yang membuat pernyataan tersebut

bertanggung jawab atas kebenaran

pernyataan itu.

7. Kode Produksi

Kode produksi yaitu keterangan huruf

atau angka atau kombinasi keduanya yang

menunjukkan riwayat barang produksi.

Kode produksi hanya diketahui produsen.

Fungsinya adalah untuk memudahkan

produsen menarik produknya dari

pasaran jika terjadi sesuatu yang tidak

diinginkan.

8. Nomor pendaftaran.

Nomor pendaftaran yaitu nomor yang

diberikan oleh Kementerian Kesehatan

RI untuk makanan yang telah terdaftar,

seperti No.SP/… untuk makanan

produksi industri kecil, No.MD untuk

makanan produksi industri besar dalam

negeri, dan No.ML untuk makanan yang

diimport dari luar negeri.Fungsinya

adalah untuk memberikan informasi

bahwa produk tersebut telah melalui

pemeriksaan standar Kementerian

Kesehatan (KEMENKES) sehingga

aman dikonsumsi.

9. Keterangan Lainnya

Keterangan lainnya adalah keterangan-

keterangan selain yang dimaksud diatas.

Misalnya, keterangan mengenai tata cara

penggunaan dan pemakaian, kandungan

gizi pangan, cara penyimpanan, ataupun

efek samping pangan bagi kelompok

masyarakat tertentu dan informasi

lain yang akan membantu konsumen

memahami produk yang dibelinya.

Disamping itu, pemerintah dapat

melarang pencantuman gambar atau

tulisan pada label yang dapat memberikan

gambaran yang menyesatkan atau tidak

benar.

Berkaitan dengan pangan produk rekayasa

genetika, beberapa fungsi dari label makanan

tersebut sangat penting. Pertama, label

menjadi satu-satunya sumber informasi bagi

15 Lebih lanjut diatur dalam ketentuan dalam UURI No. 30 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal

Page 8: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN TERKAIT …

547 ARENA HUKUM Volume 11, Nomor 3, Desember 2018, Halaman 540-557

konsumen tentang makanan yang dikemas,

sebagai suatu produk pangan yang berbeda

dengan pangan konvensional maka pangan

produk rekayasa genetika ini harus lebih

diperhatikan keberadaan informasinya.

Informasi terhadap keberadaan pangan

produk rekayasa genetika sangat penting,

jika pemberian informasi tersebut tidak

dilakukan secara benar, jelas dan jujur, maka

hak konsumen untuk memperoleh informasi

terhadap produk yang diinformasikan tersebut

akan terlanggar.

Kedua, sebagai pangan produk yang

berbeda materi dan substansi dengan produk

makanan lainnya, maka keberadaan label

pada produk tersebut sangat penting bagi

konsumen untuk menentukan pilihan, karena

konsumen berhak untuk mengetahui apakah

produk makanan yang mereka konsumsi aman

atau tidak. Semakin informatif label pada

kemasan makanan akan semakin membantu

konsumen untuk menentukan pilihan dalam

membeli produk atau tidak, karena memilih

suatu produk makanan dalam kemasan bukan

hanya untuk rasa dan preferensi, namun

untuk keamanan dan kesehatan kita sebagai

konsumen.

Penerapan bioteknologi modern ini

bertujuan untuk menghasilkan hewan/tanaman

dengan varietas unggul yang memiliki

berbagai kelebihan, seperti produktivitas

yang tinggi, tahan hama, dan lingkungan

ekstrim. Dengan harapan teknologi rekayasa

genetik dapat menjawab persoalan krisis

pangan dunia yang kini tengah menjadi

isu global. Makhluk hidup hasil rekayasa

genetik kemudian dimanfaatkan sebagai

bahan baku pengolahan pangan yang sebagian

besar berasal dari tanaman dan pada saat ini

tanaman yang paling banyak dibudidayakan

secara transgenik.

Di satu sisi produk pangan hasil rekayasa

genetik semakin beragam dan menarik untuk

dikonsumsi. Namun di sisi lain, konsumsi

pangan Produk pangan Rekayasa Genetika

(selanjutnya disebut PRG) masih menuai

kekhawatiran bahwa pangan tersebut

mungkin dapat beresiko terhadap kesehatan

manusia. Kekhawatiran terhadap pangan

PRG mencakup berbagai aspek yang sering

dipermasalahkan antara lain kecenderungan

untuk menyebabkan reaksi alergi

(alergenisitas), transfer gen dan outcrossing.

Peredaran produk pangan rekayasa

genetika seperti jagung, kedelai, minyak

kanola, kacang polong, tomat, pepaya,

kentang, beras dan produk susu beserta

turunannya, saat ini sudah meluas hampir di

semua negara di dunia termasuk di Indonesia.

Walaupun masih banyak pertentangan

pendapat antara kebaikan dan keburukan yang

ditimbulkan atas produk pangan rekayasa

genetika ini, maka disinilah diperlukan peran

pemerintah untuk melindungi kepentingan

warganya. Dalam hal ini bentuk perlindungan

hukum yang dapat diberikan adalah kebijakan

yang jelas tentang pelabelan produk pangan

rekayasa genetika.

Seiring dengan perkembangan

perdagangan internasional dan perjanjian

Page 9: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN TERKAIT …

Yuliati, Perlindungan Hukum bagi Konsumen Terkait Peredaran Pangan Hasil... 548

internasional, maka pada tahun 2004

Pemerintah Indonesia telah meratifikasi

The Cartagene Protocol on Bio safety

yang kemudian di sahkan melalui UURI

No.21 Tahun 2004 tentang Pengesahan The

Cartagene Protocol on Bio safety. Ratifikasi

Protocol Cartagene on Bio Safety inilah yang

menjadi dasar perubahan UURI No.7 Tahun

1996 tentang Pangan menjadi UU RI No.18

Tahun 2012 tentang Pangan. Sementara itu PP

No.69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan

Pangan masih berlaku hingga saat ini.

Kebijakan hukum yang terkait dengan

peredaran produk pangan hasil rekayasa

genetika diturunkan dalam Peraturan

Pemerintah No.21 Tahun 2005 tentang

Keamanan Hayati Produk Rekayasa

Genetika, Peraturan Presiden No. 39 tahun

2010 tentang Komisi Keamanan Hayati

Produk Rekayasa Genetik sebagaimana

diperbarui dengan Peraturan Presiden No.

53 tahun 2014.Selain itu, dalam tataran

aplikatif diatur dalam Peraturan Kepala

Badan POM RI No. HK.03.23.03.12.1563

tahun 2012 tentang Pedoman Pengkajian

Keamanan Pangan Produk Rekayasa Genetika

dan Peraturan Kepala Badan POM RI

No.HK.03.23.03.12.1564 tahun 2012 tentang

Pengawasan Pelabelan Pangan Produk Pangan

Rekayasa Genetika.

Dalam Pasal 77 ayat (2) UURI No.18

Tahun 2012 tentang Pangan menyatakan:

“Setiap orang yang melakukan

kegiatan atau proses produksi

pangan dilarang menggunakan

bahan baku , bahan tambahan

pangan dan atau bahan lain yang

dihasilkan dari rekayasa genetika

pangan yang belum mendapatkan

persetujuan keamanan pangan

sebelum diedarkan”.

Dari isi ketentuan pasal tersebut

merupakan perwujudan dari pendekatan

kehati-hatian (precautionary approach)

sebagaimana dimuat dalam the Cartagene

Protocol on Biosafety. Pendekatan kehati-

hatian ini diperlukan guna memastikan aspek

keamanan dari produk pangan rekayasa

genetika tersebut. Sedangkan Pasal 109

UURI No.39 tahun 2009 tentang Kesehatan

menyebutkan :

“Setiap orang dan/atau badan hukum

yang memproduksi, mengolah, serta

mendistribusikan makanan dan

minuman yang diperlakukan sebagai

makanan dan minuman hasil

teknologi rekayasa genetik harus

menjamin agar aman bagi manusia,

hewan yang dimakan manusia, dan

lingkungan”.

Pemerintah mewajibkan pemeriksaan

keamanan pangan PRG sebelum diedarkan

(pre-market food safety assessment).

Pengkajian keamanan dilakukan oleh Komisi

Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik

(selanjutnya disebut KKH PRG).

Peraturan Kepala Badan POM RI No.

HK.03.23.03.12.1564 tahun 2012 tentang

Pengawasan Pelabelan Pangan Produk Pangan

Page 10: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN TERKAIT …

549 ARENA HUKUM Volume 11, Nomor 3, Desember 2018, Halaman 540-557

Rekayasa Genetika, mengatur penerapan

pelabelan keterangan pangan produk rekayasa

genetika sebagai berikut:16

1. Pangan PRG yang diperdagangkan dalam

bentuk curah atau dalam keadaan tidak

dikemas harus diberi informasi yang

jelas bahwa pangan tersebut merupakan

pangan PRG. Informasi tersebut

ditempatkan sedemikian rupa sehingga

mudah terlihat dan harus berada dalam

wadah atau berdekatan dengan wadah

tempat penjualan pangan tersebut.

2. Pangan PRG yang telah memenuhi

persyaratan dan diedarkan dalam

kemasan wajib mencantumkan

keterangan tertulis berupa “Pangan

Produk Rekayasa Genetik”.

3. Tulisan “Pangan Produk Rekayasa

Genetik” dicantumkan jika pangan

mengandung paling sedikit 5 (lima) persen

pangan PRG, berdasarkan presentase

kandungan Asam Deoksiribonukleat

(Deoxyribo Nucleic Acid/DNA) PRG

terhadap kandungan DNA non PRG.

4. Pangan yang menggunakan 1 (satu)

pangan PRG (ingredient tunggal), tulisan

“Pangan Produk Rekayasa Genetik”

dicantumkan setelah penulisan nama

jenis pangan pada bagian utama label.

5. Dalam hal pangan mengandung lebih

dari 1 (satu) pangan PRG, perhitungan

presentase kandungan dilakukan terhadap

masing-masing pangan PRG, tulisan

“Pangan Produk Rekayasa Genetik”

dicantumkan setelah penulisan nama

bahan pangan yang bersangkutan pada

bagian daftar bahan yang digunakan.

6. Ukuran huruf untuk tulisan “Pangan

Produk Rekayasa Genetik” harus sama

dengan ukuran huruf nama jenis pangan

atau nama bahan pangan.

7. Pangan yang telah mengalami proses

pemurnian lebih lanjut sehingga tidak

teridentifi kasi mengandung protein PRG

seperti minyak, lemak, gula, dan pati,

tidak wajib diberi keterangan PRG.

Bentuk perlindungan hukum bagi

konsumen atas peredaran pangan produk

rekayasa genetika juga diwujudkan dalam

Peraturan Pemerintah No.21 tahun 200

tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa

Gentika. Peraturan Pemerintah ini diperlukan

oleh karena peraturan perundang-undangan

yang telah ada belum cukup untuk mengatur

segala sesuatu tentang PRG sebagaimana

diamanatkan dalam Konvensi, maka

diperlukan pengaturan yang sistematis dan

efektif. Peraturan Pemerintah ini dijadikan

dasar hukum dalam mewujudkan keamanan

hayati, keamanan pangan, dan/atau pakan PRG

bagi kesejahteraan rakyat berdasarkan prinsip

kesehatan serta pengelolaan sumberdaya

hayati, perlindungan konsumen dan kepastian

berusaha dengan mempertimbangkan agama,

etika, sosial, budaya dan estetika.

16 Yusra Egayanti, Pengkajian Keamanan Pangan Produk Rekayasa Genetika, Simposium dan SeminarNasional Produk Rekayasa Genetika, Universitas Brawijaya, Fakultas MIPA, 10 September 2015.

Page 11: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN TERKAIT …

Yuliati, Perlindungan Hukum bagi Konsumen Terkait Peredaran Pangan Hasil... 550

Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 21

Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk

Rekayasa Genetik disebutkan:

”Pengaturan yang diterapkan

dalam Peraturan Pemerintah ini

menggunakan pendekatan kehati-

hatian dalam rangka mewujudkan

keamanan lingkungan, keamanan

pangan dan/atau pakan dengan

didasarkan pada metode ilmiah yang

sahih serta mempertimbangkan

kaidah agama, etika, sosial budaya,

dan estetika.”

Penjelasan pasal ini menyebutkan

bahwa yang dimaksud dengan pendekatan

kehati-hatian adalah suatu pendekatan

dalam pengambilan keputusan untuk

melakukan tindakan pencegahan atas adanya

kemungkinan terjadinya dampak merugikan

pada lingkungan dan kesehatan manusia yang

signifi kan, bahkan sebelum bukti-bukti ilmiah

konklusif mengenai dampak tersebut muncul.

Peraturan pemerintah ini menetapkan

bahwa pendekatan kehati-hatian

diimplementasikan dalam ketentuan bahwa

sebelum suatu PRG dapat dimanfaatkan perlu

dilakukan terlebih dahulu pengkajian dan

pengelolaan resiko keamanan lingkungan,

pangan dan/atau pakan dengan metode ilmiah

yang sahih dan pertimbangan faktor sosial,

ekonomi, dan etika, untuk menjamin bahwa

risiko pemanfaatan PRG terhadap lingkungan

dan kesehatan manusia dapat diterima

berdasarkan persyaratan peraturan yang ada.

Pertimbangan dari kaidah agama, etika,

sosial budaya dan etika, antara lain adalah gen

yang ditransformasikan ke PRG harus berasal

dari organisme yang tidak bertentangan

dengan kaidah agama tertentu, bentuk atau

fenotipe hewan PRG harus sepadan dengan

tetuanya dan sesuai dengan estetika yang

berlaku.

Peraturan Pemerintah ini telah memberikan

aturan yang lebih spesifi k mengenai

pemanfaatan produk rekayasa genetik, akan

tetapi sama dengan peraturan-peraturan

sebelumnya, Peraturan Pemerintah No. 21

Tahun 2005 ini belum mampu menyediakan

acuan yang jelas mengenai hal kapan tindakan

pencegahan dini dilakukan pada situasi yang

konkrit. Akibatnya, prinsip pencegahan

dini menjadi samar-samar (sekedar konsep)

dan sulit untuk diejawantahkan ke dalam

kebijakan. Untuk itu, langkah-langkah yang

diperlukan dalam rangka mendukung prinsip

pencegahan dini harus dilihat dari berbagai

aspek, diantaranya: (1) aspek legalitas; (2)

aspek pengembangan kelembagaan; (3) aspek

pengembangan fasilitas sarana dan peralatan;

(4) aspek penelitian dan pengembangan;

(5) aspek pencerahan masyarakat (public

awareness) ; dan (6) peranan kelembagaan.17

17 Posisi Pemerintah Mengenai Pengembangan dan Pemanfaatan Pangan Transgenik, Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan, Jakarta, Oktober 2001.

Page 12: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN TERKAIT …

551 ARENA HUKUM Volume 11, Nomor 3, Desember 2018, Halaman 540-557

B. Bentuk Pertanggungjawaban Hu-kum Bagi Pelaku Usaha yang Terkait Dengan Peredaran Produk Pangan Rekayasa Genetika (PRG) Di Indonesia.

Dalam mencermati hubungan hukum yang

terjadi antara pelaku usaha dan konsumen

maka ada beberapa prinsip tanggungjawab

hukum yang dapat di terapkan antara lain :

1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan

unsur kesalahan18

Prinsip ini menyatakan bahwa seseorang

baru dapat dimintakan pertanggung

jawabannya secara hukum jika ada unsur

kesalahan (fault liability principle atau

liability based on fault) ini merupakan

prinsip yang cukup umum berlaku

dalam hukum pidana dan hukum

perdata. Prinsip ini dipegang teguh

dalam pasal 1365, pasal 1366 dan pasal

1367 KUHPerdata.Persoalan yang

perlu diperjelas dalam prinsip ini, yang

sebenarnya juga berlaku umum untuk

prinsip-prinsip lainnya adalah defi nisi

tentang subyek pelaku kesalahan (lihat

pasal 1367 KUHPerdata). Dalam doktrin

hukum dikenal asas vicariousliability

dan corporate liability.

Vicarious liability (atau disebut

juga respondeat superior, let the

masteranswer), mengandung pengertian,

majikan bertanggung jawab atas

kerugian pihak lain yang ditimbulkan

oleh orang-orang/karyawan yang berada

di bawah pengawasannya. Jika karyawan

itu dipinjamkan ke pihak lain, maka

tanggung jawabnya beralih pada pemakai

karyawan tadi.

Dalam corporate liability, lembaga

(korporasi) yang menanggung suatu

kelompok pekerja mempunyai tanggung

jawab terhadap tenaga-tenaga yang

dipekerjakan. Latar belakang penerapan

prinsip ini adalah konsumen hanya

melihat semua di balik dinding suatu

korporasi itu sebagai satu kesatuan. Ia

tidak dapat membedakan mana yang

berhubungan secara organik dengan

korporasi dan mana yang tidak.

2. Prinsip praduga untuk selalu bertanggung

jawab19

Prinsip ini menyatakan bahwa tergugat

selalu dianggap bertanggung jawab

(presumption of liability principle)

sampai ia dapat membuktikan bahwa ia

tidak bersalah. Jadi, beban pembuktian

ada pada tergugat (beban pembuktian

terbalik atau omkering von bewijsslast).

UU No. 8 tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen (UUPK) juga

mengadopsi sistem pembuktian terbalik

ini sebagaimana ditegaskan dalam pasal

19, pasal 22 dan pasal 23 UUPK (lihat

ketentuan pasal 28 UUPK).

18 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta: Gramedia Media Sarana Indonesia:2000), hlm. 73-75

19 Ibid, hlm. 75-76

Page 13: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN TERKAIT …

Yuliati, Perlindungan Hukum bagi Konsumen Terkait Peredaran Pangan Hasil... 552

3. Prinsip praduga untuk tidak selalu

bertanggung jawab20

Prinsip praduga untuk tidak selalu

bertanggung jawab (presumption of

non-liability principle) menyatakan

bahwa tergugat selalu dianggap tidak

bertanggung jawab sampai terbukti bahwa

ia benar-benar bersalah menurut putusan

pengadilan. Pihak yang dibebankan untuk

membuktikan kesalahan itu ada pada

konsumen, biasanya penerapan prinsip

ini adalah pada hukum pengangkutan

udara.

4. Prinsip tanggung jawab mutlak21

Prinsip tanggung jawab mutlak (strict

liability principle) sering diidentikkan

dengan prinsip tanggung jawab absolut

(absolute liability principle). Namun

demikian, dalam penggunaan istilah ini

ternyata tidak sama karena yang menjadi

ukuran utama dari prinsip tanggung

jawab mutlak adalah tanggung jawab

yang tidak mempersoalkan ada atau

tidaknya kesalahan.

5. Prinsip tanggung jawab dengan

pembatasan22

Prinsip tanggung jawab dengan

pembatasan (limitation of liability

principle) sangat disenangi oleh pelaku

usaha untuk dicantumkan sebagai

klausula eksonerasi dalam perjanjian

standar yang dibuatnya. Prinsip tanggung

jawab ini sangat merugikan konsumen

bila ditetapkan secara sepihak oleh

pelaku usaha.

6. Prinsip tanggung jawab produk dan

Prinsip tanggung jawab profesional23

Prinsip tanggung jawab produk (product

liability principle) mengacu pada

tanggung jawab yang dibebankan kepada

produsen. Agnes M. Toar mengartikan

tanggung jawab produk sebagai

tanggung jawab produsen untuk produk

yang dibawanya ke dalam peredaran

yang menimbulkan atau menyebabkan

kerugian karena cacat yang melekat pada

produk tersebut.24

Sedangkan prinsip tanggung jawab

profesional (professional liability principle)

lebih berhubungan dengan jasa. Menurut

Komar Kantaatmadja, tanggung jawab

profesional adalah tanggung jawab hukum

(legal liability) dalam hubungan dengan jasa

profesional yang diberikan kepada klien25.

Tanggung jawab profesional timbul karena

mereka (para penyedia jasa profesional) tidak

memenuhi perjanjian yang mereka sepakati

dengan klien mereka atau akibat kelalaian

penyedia jasa tersebut mengakibatkan

terjadinya perbuatan melawan hukum.

20 Ibid, hlm. 7721 Ibid, hlm. 77-7922 Ibid, hlm. 7923 Ibid, hlm. 8024 Ibid, hlm, 80-8125 Ibid, hlm. 82

Page 14: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN TERKAIT …

553 ARENA HUKUM Volume 11, Nomor 3, Desember 2018, Halaman 540-557

Dalam hubungan antara pelaku usaha dan konsumen terkait dengan peredaran pangan produk rekayasa genetika maka pertanggungjawaban hukum bagi pelaku usaha dapat dianalisis dari berbagai peraturan.

UURI No. 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

Berbicara tentang tanggung jawab pelaku usaha, maka terlebih dahulu harus dibicarakan mengenai kewajibannya karena dari kewajiban (duty, obligation) akan lahir tanggung jawab. Tanggung jawab timbul karena seseorang atau suatu pihak mempunyai suatu kewajiban, termasuk kewajiban karena Undang-undang dan hukum (statutory

obligation)26. Dalam kaitannya dengan UU Perlindungan Konsumen (UUPK), pelaku usaha berkewajiban untuk beritikad baik dalam aktivitas produksinya (pasal 7 huruf a UUPK) dan pelaku usha berkewajiban memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan perbaikan dan pemeliharaan (pasal 7 huruf b UUPK). Rumusan pasal ini mengandung suatu keharusan atau kewajiban yang tidak boleh tidak harus dilaksanakan.

Merujuk UUPK, jika suatu produk merugikan konsumen, maka produsen bertanggungjawab untuk mengganti kerugian yang diderita konsumen. Kewajiban itu tetap melekat pada produk meskipun antara pelaku usaha dan konsumen tidak terdapat

persetujuan lebih dahulu. Hal ini di dasarkan

pada perbuatan melawan hukum, sebagaimana

ditentukan di dalam pasal 1365 KUHPerdata,

yang berbunyi:

“Tiap perbuatan melanggar hukum,

yang membawa kerugian kepada

seorang lain, mewajibkan orang

yang karena salahnya menerbitkan

kerugian itu, mengganti kerugian

tersebut”.

Pelaku usaha bertanggung jawab

memberikan ganti rugi atas kerusakan,

pencemaran, dan/atau kerugian konsumen

akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa

yang dihasilkan atau diperdagangkan (pasal

19 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1999).Ganti rugi

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat

berupa pengembalian uang atau penggantian

barang dan/atau jasa sejenis atau setara

nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau

pemberian santunan yang sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan

yang berlaku (pasal 19 ayat (2) UU No. 8

Tahun 1999).

Rincian kompensasi yang disebutkan

dalam Pasal 19 ayat (2) UU No. 8 Tahun

1999 tampak hanya bersifat material karena

tidak ditentukan tentang kemungkinan lain

yang melebihi kerugian material. Misalnya,

dalam hal kerugian yang bersifat immaterial

atau moral, yang terkadang kerugiannya lebih

besar daripada kerugian material.27

26 N. H. T. Siahaan, Hukum Konsumen: Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk, (Jakarta: Panta Rei, 2005), hlm 137.

27 Ibid, hlm. 144

Page 15: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN TERKAIT …

Yuliati, Perlindungan Hukum bagi Konsumen Terkait Peredaran Pangan Hasil... 554

Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam

tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal

transaksi (pasal 19 ayat (3) UU No. 8 tahun

1999). Pemberian ganti rugi sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak

menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan

pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut

mengenai adanya unsur kesalahan (pasal 19

ayat (4) UU No. 8 Tahun 1999).Ketentuan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan

ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha

dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut

merupakan kesalahan konsumen (pasal 19

ayat (5) UU No. 8 Tahun 1999).

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa

UUPK menyediakan bermacam-macam

sanksi yang dapat dikenakan kepada pelaku

usaha sesuai dengan pasal yang dilanggar

antara lain: 1. Sanksi administratif, Badan

penyelesaian sengketa konsumen berwenang

menjatuhkan sanksi administratif terhadap

pelaku usaha yang melanggar pasal 19 ayat

(2) dan ayat (3), pasal 20, pasal 25 dan pasal

26. Sanksi administratif berupa penetapan

ganti rugi paling banyak Rp. 200.000.000,00

(dua ratus juta rupiah) (pasal 60). 2.Sanksi

pidana, Penuntutan dapat dilakukan terhadap

pelaku usaha dan/atau pengurusnya (pasal

61). Pelaku usaha yang melanggar ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam pasal 8,

dipidana dengan pidana penjara paling lama 5

(lima) tahun atau pidana denda paling banyak

Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)

(pasal 62). 3. Hukuman tambahan,terhadap

sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam

pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman tambahan,

berupa:

a. perampasan barang tertentu;

b. pengumuman keputusan hakim;

c. pembayaran ganti rugi;

d. perintah penghentian kegiatan tertentu

yang menyebutkan timbulnya kerugian

konsumen;

e. kewajiban penarikan barang dari

peredaran; atau

f. pencabutan izin usaha.

Terkait dengan tanggung jawab pelaku

usaha atas peredaran pangan produk rekasaya

genetika, undang-undang ini menegaskan

bahwa pelaku usaha harus memenuhi

persyaratan uji keamanan sebelum produk

beredar serta memenuhi aturan pelabelan.

Pasal 77 UU no.18 Tahun 2012 tentang pangan

menyatakan bahwa :1. Setiap Orang dilarang memproduksi

Pangan yang dihasilkan dari Rekayasa Genetik Pangan yang belum mendapatkan persetujuan Keamanan Pangan sebelum diedarkan.

2. Setiap Orang yang melakukan kegiatan atau proses Produksi Pangan dilarang menggunakan bahan baku, bahan tambahan Pangan, dan/atau bahan lain yang dihasilkan dari Rekayasa Genetik Pangan yang belum mendapatkan persetujuan Keamanan Pangan sebelum diedarkan.

Sedangkan terkait dengan uji keamanan

pelaku usaha juga tunduk pada ketetentuan

pasal 78 sebagai berikut:1. Pemerintah menetapkan persyaratan dan

prinsip penelitian, pengembangan, dan pemanfaatan metode Rekayasa Genetik

Page 16: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN TERKAIT …

555 ARENA HUKUM Volume 11, Nomor 3, Desember 2018, Halaman 540-557

Pangan dalam kegiatan atau proses Produksi Pangan, serta menetapkan persyaratan bagi pengujian Pangan yang dihasilkan dari Rekayasa Genetik Pangan.

2. Ketentuan mengenai persyaratan dan prinsip penelitian, pengembangan, dan pemanfaatan metode Rekayasa Genetik Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Sedangkan sanksi yang dapat diterapkan

terhadap ketentuan pasal 77 diatur dalam

pasal 79 sebagai berikut:1. Setiap Orang yang melanggar ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) dan ayat (2) dikenai sanksi administratif.

2. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. denda; b. penghentian sementara dari kegiatan,

produksi, dan/atau peredaran; c. penarikan Pangan dari peredaran oleh

produsen; d. ganti rugi; dan/atau e. pencabutan izin.

3. Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, tata cara, dan mekanisme pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Sedangkan pada saat peredaran produk

pangan rekayasa genetika pelaku usaha tunduk

pada ketentuan tentang pelabelan pangan yang

diatur dalam pasal 100 UU no.18 Tahun 2012

tentang pangan menyatakan bahwa :4. Setiap label Pangan yang diperdagangkan

wajib memuat keterangan mengenai Pangan dengan benar dan tidak menyesatkan.

5. Setiap Orang dilarang memberikan keterangan atau pernyataan yang tidak benar dan/atau menyesatkan pada label.

Pelanggaran terhadap ketentuan pasal 100

UURI No. 18 Tahun 2012 ini dapat dikenai

sanksi Sanksi administratif sebagaimana

diatur dalam Pasal 103 berupa: a. denda;

b. penghentian sementara dari kegiatan,

produksi, dan/atau peredaran; c. penarikan

Pangan dari peredaran oleh produsen; d.

ganti rugi; dan/atau e. pencabutan izin.

Dalam pelaksanaan lebih lanjut dari

ketentuan ini diatur dalam penduan pelabelan

pangan produk rekaya genetika yang

dituangkan dalam Peraturan Kepala Badan

POM RI No.HK.03.23.03.12.1564 tahun

2012 tentang Pengawasan Pelabelan Pangan

Produk Pangan Rekayasa Genetika.

Dari beberapa peraturan tersebut diatas

dapat disimpulkan bahwa tanggungjawab

pelaku usaha terkait dengan peredaran pangan

produk rekayasa genetika telah diatur secara

rinci dan dapat diterapkan di Indonesia.

Simpulan

Bentuk perlindungan hukum bagi

konsumen terkait dengan peredaran produk

pangan rekasaya genetika di Indonesia secara

normatif dapat disimpulkan bahwa pemerintah

Indonesia telah memberikan perlindungan

hukum yang memadai bagi konsumen atas

peredaran produk pangan rekayasa genetika

baik sebelum peredaran produk dalam bentuk

keharusan untuk melakukan uji keamanan

produk rekayasa bagi pelaku usaha yang

Page 17: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN TERKAIT …

Yuliati, Perlindungan Hukum bagi Konsumen Terkait Peredaran Pangan Hasil... 556

dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No.21 Tahun 2005 tentang keamanan hayati produk rekayasa genetika dan kewajiban bagi pelaku usaha untuk memenuhi kewajiban tentang pelabelan produk pangan yang mengandung rekayasa genetika sebagaimana diatur dalam Undang-undang Pangan dan Peraturan Kepala Badan POM RI No. HK.03.23.03.12.1563 Tahun 2012 tentang Pedoman Pengkajian Keamanan Pangan Produk Rekayasa Genetika dan pada saat produk diedarkan melalui Peraturan Kepala Badan POM RI

No.HK.03.23.03.12.1564 tahun 2012 tentang

Pengawasan Pelabelan Pangan Produk Pangan

Rekayasa Genetika.

Sedangkan tanggung jawab pelaku usaha

terkait dengan peredaran produk pangan

rekayasa genetika ini pemerintah juga sudah

memberikan batasan yang jelas bagi pelaku

usaha terkait dengan perbuatan yang dilarang

serta sanksi yang dapat dikenakan terhadap

pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha

sebagaimana diatur dalam undang-undang

perlindungan konsumen dan undang-undang

pangan.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Djumhana, Muhammad,Hukum dalam

Perkembangan Bioteknologi, Bandung:

Citra Aditya Bhakti, 2000

Endia Praja, Firman Tumantara, Hukum

Perlindungan Konsumen, Malang:

Setara Press,2016

Siahaan NHT, Hukum Konsumen, Jakarta

:Panta Rei, 2005

-------Hukum Konsumen: Perlindungan

Konsumen dan Tanggung Jawab

Produk, Jakarta: Panta Rei, 2005

Sidabalok, Janus, Hukum Perlindungan

Konsumen di Indonesia, Bandung:Citra

Aditya Bakti, 2006

Shofie,Yusuf, Pelaku Usaha, Konsumen dan

Tindak Pidana Korporasi, Jakarta:

Ghalia Indonesia, 2002

Shidarta,Hukum Perlindungan Konsumen

Indonesia, Jakarta: Gramedia Media

Sarana Indonesia, 2000

Yusra Egayanti, Pengkajian Keamanan

Pangan Produk Rekayasa Genetika,

Simposium dan SeminarNasional

Produk Rekayasa Genetika, Universitas

Brawijaya, Fakultas MIPA, 10

September 2015.

Jurnal

Anto Ismu Budianto, Perlindungan Hukum

Terhadap Konsumen Produk Rekayasa

Genetik di Indonesia, Jurnal Hukum

No.15 Vol.7, Desember 2000

Guspri Devi Artanti, Hardinsyah, Dewa Ketut

Sadra Swastika, dan Retnaningsih,

Analisis Faktor-Faktor Yang

Page 18: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN TERKAIT …

557 ARENA HUKUM Volume 11, Nomor 3, Desember 2018, Halaman 540-557

Mempengaruhi Penerimaan Petani

Terhadap Produk Rekayasa Genetika,

Jurnal Gizi Dan Pangan. 2012;5(2).

Dewi Sulistianingsih, Pemahaman Masyarakat

Terhadap Bahaya Penyalah-Gunaan

Pemakaian Kemasan Produk Makanan

Dan Penegakan Hukumnya, Jurnal

Litigasi. 2016;16(1) Doi 10.23969/

Litigasi.V16i1.50.

Makalah

Kehadiran Benih Produk Rekayasa Genetika

di Indonesia, Balai Besar PPMB,

Bogor, 14 Januari 2014

Posisi Pemerintah Mengenai Pengembangan

dan Pemanfaatan Pangan Transgenik,

Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan,

Jakarta, Oktober 2001.

Artikel Internet

Koalisi Ornop untuk Keamanan dan Pangan,

2006, Menggugat Peredaran Pangan

Transgenik, http://www.ylki.or.id,

diakses 12 Maret 2017

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia,

2006, pemerintah Harus Serius Tangani

Produk Pangan Transgenik, http://

www.ylki.or.id, diakses 12 Maret 2017

Peraturan Perundang-undangan

The Cartagene Protocol on Bio Safety to the

Convention on Biological Diversity

UURI No 21 tahun 2004 tentang Ratifikasi

The Cartagene Protocol on Bio Safety to

the Convention on Biological Diversity

UURI No.5 tahun 1994 tentang Ratifikasi

Konvensi PBB tentang Keanake

Ragaman Hayati

UURI No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan

UURI No. 30 tahun 2014 tentang Jaminan

Produk Halal

UURI No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsmen

Peraturan Pemerintah No.21 Tahun 2005

tentang Keamanan Hayati Produk

Rekayasa Genetika

Peraturan Presiden No. 39 tahun 2010

tentang Komisi Keamanan Hayati

Produk Rekayasa Genetik sebagaimana

diperbarui dengan Peraturan Presiden

No. 53 tahun 2014.

Peraturan Kepala Badan POM RI No.

HK.03.23.03.12.1563 tahun 2012

tentang Pedoman Pengkajian Keamanan

Pangan Produk Rekayasa Genetika

Peraturan Kepala Badan POM RI No.

HK.03.23.03.12.1564 tahun 2012

tentang Pengawasan Pelabelan Pangan

Produk Pangan Rekayasa Genetika