14
92 Perkembangan Arsitektur Masa Kolonial Di Kota Palopo (1908-1940) - Syahruddin Mansyur & Hasrianti PERKEMBANGAN ARSITEKTUR MASA KOLONIAL DI KOTA PALOPO (1908-1940) The Development of Colonial Architecture in The Palopo City (1908-1940) Syahruddin Mansyur 1 dan Hasrianti 2 Balai Arkeologi Sulawesi Selatan Jalan Pajjaiyang No. 13, Sudiang Raya-Makassar, 90242, Indonesia 1 [email protected] 2 [email protected] Abstract This research is focused on aspects of the development of colonial architecture in the Palopo city. The research objective is to obtain an overview of the architectural style of buildings in the colonial city of Palopo. The study used a survey method with direct observation techniques for data recording which was carried out with verbal and pictorial descriptions, followed by an analysis of the shape, technology, style, and environment supporting archaeological data, and ended with interpretation. Colonial buildings in the Palopo city are divided into government buildings, military buildings, public facilities buildings, religious buildings, and residences. Each building has the characteristics of Dutch colonial architecture with an architectural style that represents the period of development of Dutch colonial architecture in Indonesia generally. Key Word: development, architecture, colonial, Dutch, Palopo Abstrak Penelitian ini difokuskan pada aspek perkembangan arsitektur bangunan masa kolonial di Kota Palopo. Tujuan penelitian ialah untuk memperoleh gambaran tentang gaya arsitektur bangunan-bangunan masa kolonial Kota Palopo. Penelitian menggunakan metode survei dengan teknik observasi langsung untuk perekaman data yang dilakukan dengan deskripsi verbal dan piktorial, dilanjutkan dengan analisis terhadap bentuk, teknologi, gaya, dan lingkungan pendukung data arkeologi, dan diakhiri dengan interpretasi. Bangunan kolonial di Kota Palopo terbagi atas bangunan pemerintahan, bangunan militer, bangunan fasilitas umum, bangunan religi, dan rumah tinggal. Setiap bangunan memiliki ciri arsitektur kolonial Belanda dengan gaya arsitektur yang mewakili periode perkembangan arsitektur kolonial Belanda di Indonesia pada umumnya. Kata kunci: Perkembangan, arsitektur, kolonial, Belanda, Palopo PENDAHULUAN Sejarah Palopo sebagai sebuah kota telah terbentang sejak awal abad ke-17, saat wilayah yang bernama Ware ini dikembangkan oleh Kerajaan Luwu sebagai ibukota kerajaan. Wilayah ini dikembangkan sebagai pusat kerajaan dimana pada periode sebelumnya pihak Kerajaan Luwu memusatkan ibukota kerajaan di Malangke, sebuah wilayah yang berada di sebelah timur Palopo. Menurut sejarahnya pula, pemindahan pusat kekuasaan ini terjadi pasca Perang Utara-Selatan. Penetapan wilayah Palopo sebagai pusat kekuasaan baru bagi Kerajaan Luwu karena dianggap posisi wilayah ini berada di tengah-tengah diantara pihak yang berperang saat itu. Sebagai penanda awal berkembangannya Palopo menjadi pusat kekuasaan baru bagi Kerajaan Luwu dibangun sebuah masjid yang disebut Masjid Jami (Mahmud, 1993; dan Mahmud, 2003). Dalam perjalanan historisnya, Kota Palopo tidak lepas dari pengaruh bangsa kolonial (Belanda) yang sejak abad ke-17 mulai hadir di beberapa wilayah di Nusantara. Palopo sendiri tampaknya mengalami pengaruh kolonial pada periode belakangan yaitu akhir abad ke-19.

PERKEMBANGAN ARSITEKTUR MASA KOLONIAL DI KOTA …

  • Upload
    others

  • View
    12

  • Download
    1

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PERKEMBANGAN ARSITEKTUR MASA KOLONIAL DI KOTA …

92

Perkembangan Arsitektur Masa Kolonial Di Kota Palopo (1908-1940) - Syahruddin Mansyur & Hasrianti

PERKEMBANGAN ARSITEKTUR MASA KOLONIAL DI KOTA PALOPO (1908-1940)

The Development of Colonial Architecture in The Palopo City (1908-1940)

Syahruddin Mansyur1 dan Hasrianti2

Balai Arkeologi Sulawesi Selatan Jalan Pajjaiyang No. 13, Sudiang Raya-Makassar, 90242, Indonesia

[email protected] [email protected]

Abstract This research is focused on aspects of the development of colonial architecture in the Palopo city. The research objective is to obtain an overview of the architectural style of buildings in the colonial city of Palopo. The study used a survey method with direct observation techniques for data recording which was carried out with verbal and pictorial descriptions, followed by an analysis of the shape, technology, style, and environment supporting archaeological data, and ended with interpretation. Colonial buildings in the Palopo city are divided into government buildings, military buildings, public facilities buildings, religious buildings, and residences. Each building has the characteristics of Dutch colonial architecture with an architectural style that represents the period of development of Dutch colonial architecture in Indonesia generally. Key Word: development, architecture, colonial, Dutch, Palopo

Abstrak

Penelitian ini difokuskan pada aspek perkembangan arsitektur bangunan masa kolonial di Kota Palopo. Tujuan penelitian ialah untuk memperoleh gambaran tentang gaya arsitektur bangunan-bangunan masa kolonial Kota Palopo. Penelitian menggunakan metode survei dengan teknik observasi langsung untuk perekaman data yang dilakukan dengan deskripsi verbal dan piktorial, dilanjutkan dengan analisis terhadap bentuk, teknologi, gaya, dan lingkungan pendukung data arkeologi, dan diakhiri dengan interpretasi. Bangunan kolonial di Kota Palopo terbagi atas bangunan pemerintahan, bangunan militer, bangunan fasilitas umum, bangunan religi, dan rumah tinggal. Setiap bangunan memiliki ciri arsitektur kolonial Belanda dengan gaya arsitektur yang mewakili periode perkembangan arsitektur kolonial Belanda di Indonesia pada umumnya. Kata kunci: Perkembangan, arsitektur, kolonial, Belanda, Palopo

PENDAHULUAN

Sejarah Palopo sebagai sebuah kota telah terbentang sejak awal abad ke-17, saat wilayah yang bernama Ware ini dikembangkan oleh Kerajaan Luwu sebagai ibukota kerajaan. Wilayah ini dikembangkan sebagai pusat kerajaan dimana pada periode sebelumnya pihak Kerajaan Luwu memusatkan ibukota kerajaan di Malangke, sebuah wilayah yang berada di sebelah timur Palopo. Menurut sejarahnya pula, pemindahan pusat kekuasaan ini terjadi pasca Perang Utara-Selatan. Penetapan wilayah Palopo sebagai pusat kekuasaan baru bagi Kerajaan

Luwu karena dianggap posisi wilayah ini berada di tengah-tengah diantara pihak yang berperang saat itu. Sebagai penanda awal berkembangannya Palopo menjadi pusat kekuasaan baru bagi Kerajaan Luwu dibangun sebuah masjid yang disebut Masjid Jami (Mahmud, 1993; dan Mahmud, 2003).

Dalam perjalanan historisnya, Kota Palopo tidak lepas dari pengaruh bangsa kolonial (Belanda) yang sejak abad ke-17 mulai hadir di beberapa wilayah di Nusantara. Palopo sendiri tampaknya mengalami pengaruh kolonial pada periode belakangan yaitu akhir abad ke-19.

Page 2: PERKEMBANGAN ARSITEKTUR MASA KOLONIAL DI KOTA …

93

Jurnal Tumotowa Volume 2 Nomor 2, Desember 2019: 92 - 105

Pengaruh ini kemudian semakin menguat ditandai dengan pembangunan infrastruktur kota, sekitar awal abad ke-20. Sebagai sebuah kota yang dikembangkan oleh Pemerintah Hindia Belanda, wajah fisik kota Palopo menampilkan bangunan-bangunan kolonial yang masih dapat diamati hingga saat ini. Bangunan-bangunan tersebut saat ini difungsikan sebagai perkantoran dan bangunan militer.

Dalam kerangka babakan perkembangan kota, oleh Lombard membagi dalam empat periode yaitu pertama dimulai dari abad ke-3 – 9; kedua, dari abad ke-9 – 15; ketiga, dari abad ke-15 – 18; dan keempat, pada abad yang ke-19 – 20 (Sumalyo, 1999: 3-4). Periode pertama dan kedua sebagaimana dikemukakan oleh Lombard memberikan gambaran tentang berkembangnya kerajaan-kerajaan Hindu-Budha di Nusantara dengan adanya candi sebagai bukti monumental. Pada periode ketiga dipengaruhi oleh budaya Islam dengan adanya masjid sebagai unsur utama dalam pembentukan struktur kota dan periode keempat perkembangan kota di Indonesia yang didominasi oleh bangsa Eropa dengan adanya bangunan-bangunan berarsitektur Eropa (Mansyur, 2002: 1-2).

Menurut Gill (1997), terdapat lima alasan penting mengenai pembahasan tentang kota kolonial di Indonesia yaitu pertama, untuk memberikan masukan dalam menghubungkan kekosongan tentang perkampungan penduduk pada awal kota Indonesia dan kota Indis menuju kota Indonesia modern. Kedua, memberikan informasi untuk penelitian lebih lanjut dan diskusi yang disebut “the missing link” bagi orang profesional Indonesia pada pembangunan modern. Ketiga, memberikan pemahaman lebih dalam mengenai morfologi kota dan perkampungan yang secara langsung diakibatkan oleh proses dominasi sosial dalam pembentukan kota. Keempat, memberikan contoh nyata tentang keadaan Indonesia dan warisan orang Belanda yang secara tidak langsung dapat diidentifikasi dan melakukan tindakan perlindungan, penyelamatan lebih lanjut dan sekaligus pencegahan. Kelima, mempelajari tentang kota kolonial dapat menyajikan konstribusi untuk identifikasi nilai arsitektur kolonial dan perencanaan kota sebagai bagian warisan Indonesia (Gill, 1997: 73-74).

Fase atau periode yang memengaruhi perkembangan arsitektur di Indonesia adalah

adanya pengaruh budaya Eropa yang berkembang cukup lama di Indonesia. Fase perkembangan ini sering pula disebut dengan pengaruh arsitektur kolonial, yang tidak hanya berpengaruh pada arsitektur bangunan tetapi juga pada penataan kota.

Penelitian-penelitian terkait perkembangan Kota Palopo telah dilakukan baik perkembangan tata kota maupun kajian terhadap tinggalan arkeologinya. Penelitian tentang perkembangan Kota Palopo diantaranya dilakukan oleh M. Irfan Mahmud pada tahun 1993, berjudul “Struktur Kota Palopo abad XII-XIX (Studi Arkeologi Tentang Pemahaman Eksperensi Dan Alam Cita)”. Hasil Penelitian ini kemudian telah diterbitkan pada tahun 2003, dalam buku berjudul “Kota Palopo: Dimensi Fisik, Sosial, dan Kosmologi”.

Selain itu, Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sulawesi Selatan juga telah melakukan kajian zonasi terhadap objek Cagar Budaya (CB) pada tahun 2013. Kajian ini berhasil menginventarisasi 21 objek CB di Kota Palopo, 16 diantaranya berupa bangunan rumah tinggal/perkantoran, empat Kompleks Makam, serta satu fitur yaitu Tana Bangkala (tempat prosesi pelantikan Datu, yang terdiri atas tiga lokasi yaitu Salekkoe, Pancai, Mattirowalie) (Iswadi, 2013). Sementara itu, hasil kajian zonasi objek Cagar Budaya yang dilakukan pada tahun 2015 (tahap lanjutan) memperoleh tambahan 14 objek yang diduga CB, yaitu 10 bangunan, dua struktur, dan dua fitur. Dari ke-14 objek tersebut, sembilan diantaranya ditetapkan sebagai CB, sementara tiga objek lainnya tidak memenuhi kriteria sebagai CB, dan dua objek lainnya direkomendasikan untuk dikaji lebih lanjut (Iswadi, 2015).

Penelitian ini difokuskan pada aspek perkembangan arsitektur bangunan masa kolonial di Kota Palopo. Dengan demikian, permasalahan pada penelitian ini terangkum pada poin pertanyaan bagaimana perkembangan arsitektur bangunan kolonial di Kota Palopo? Penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran tentang perkembangan gaya arsitektur bangunan kolonial Kota Palopo. Sementara itu, manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai bahan untuk memperkaya informasi terkait arsitektur bangunan-bangunan masa kolonial yang ada di Kota Palopo. Informasi ini diharapkan dapat menambah khasanah nilai penting bangunan

Page 3: PERKEMBANGAN ARSITEKTUR MASA KOLONIAL DI KOTA …

94

Perkembangan Arsitektur Masa Kolonial Di Kota Palopo (1908-1940) - Syahruddin Mansyur & Hasrianti

masa kolonial khususnya nilai penting arsitektur, sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan dalam rangka pelestarian bangunan masa kolonial yang ada di Kota Palopo.

METODE PENELITIAN Penelitian yang dilakukan di Kota Palopo

bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang gaya arsitektur bangunan-bangunan masa kolonial. Oleh karena itu, metode yang diterapkan pada penelitian ini yaitu metode survei. Survei dalam penjaringan dan perekaman data dilakukan dengan teknik observasi langsung di lapangan. Observasi lapangan meliputi deskripsi verbal, dan deskripsi piktorial. Untuk melengkapi teknik pengumpulan data tersebut dilakukan pula wawancara terhadap tokoh atau pemuka masyarakat setempat.

Tahap selanjutnya adalah tahap analisis data untuk mengidentifikasi tinggalan arkeologi. Tahapan analisis data yang dilakukan merujuk pada teknik analisis arsitektur bangunan, meliputi analisis morfologi, analisis teknologi, analisis stilistik, dan analisis kontekstual (Puslit Arkenas, 2008: 83). Dalam analisis bentuk atau morfologi, variabel-variabel yang diamati adalah ukuran bangunan, denah bangunan, arah hadap, bagian kaki, tubuh, dan atap. Denah bangunan ada yang berbentuk bujursangkar, persegipanjang, bulat, atau bentuk lainnya. Bagian kaki bangunan merupakan bagian dasar yang sekaligus berfungsi sebagai pondasi bangunan. Umumnya, bentuk kaki atau denah dasar bangunan sekaligus menjadi bentuk atau denah dasar bangunan itu sendiri. Sementara itu, bagian tubuh bangunan terdapat relung-relung yang berfungsi sebagai pintu, jendela atau ventilasi. Bagian tubuh bangunan juga merupakan dinding yang memiliki ragam hias dengan kontruksi kayu, susunan batu atau beton. Bagian atap dapat berupa limas, limas berundak, pelana, perisai, tranjumas, tajug, kerucut, lengkung, dan kubah. Selain mengamati bentuk atap juga dilakukan pengamatan terhadap konstruksi atap yang digunakan.

Analisis teknologi mengamati bahan-bahan yang digunakan dalam pendirian bangunan umumnya berupa susunan batu, bata, campuran batu dan bata, kayu, dan beton. Teknik penyambungan yaitu teknik pasak atau menggunakan teknik rubbing (gosok). Dinding bangunan juga dikenal teknik susunan batu yaitu

satu lapis, dua lapis, atau tiga lapis dengan isian (innerstone). Sementara itu, teknik hias pada ragam hias arsitektural umumnya menggunakan teknik yang sama dengan teknik pendirian bangunannya: sedangkan teknik hias pada ragam hias dekoratif umumnya menggunakan teknik pahat.

Satuan analisis yang diamati dalam analisis gaya meliputi bentuk dan ragam hias pada keseluruham bangunan, baik berupa ragam hias arsitektural maupun dekoratif. Ragam hias arsitektural antara lain berbentuk pilaster atau pelipit, sedangkan ragam hias dekoratif berbentuk flora, fauna, atau antropomorfis. Struktur desain dapat bersambungan, berkelompok, atau acak.

Variabel-variabel yang menjadi satuan pengamatan dalam analisis kontekstual berupa halaman bangunan, pagar keliling, parit keliling, dan bangunan-bangunan di sekitarnya. Selain itu diperlukan pula pengamatan terhadap lingkungan fisik di sekitar bangunan inti/utama untuk mengetahui lokasi perolehan bahan baku bangunan. Denah halaman ada yang berbentuk bujur sangkar, persegi panjang, atau tidak beraturan. Arah hadap juga menjadi bagian pengamatan.

Tahap selanjutnya setelah tahap analisis ialah tahap interpretasi. Interpretasi merupakan proses sintesis semua informasi yang telah dihasilkan selama penelitian. Dalam proses interpretasi digunakan konsep-konsep atau teori-teori tertentu yang dianggap dapat memberikan penjelasan yang paling tepat. Untuk penelitian bernalar deduktif, pada hakekatnya interpretasi lebih ditekankan pada upaya untuk mengevaluasi kesesuaian antara prediksi implikasi penelitian dengan hasil penelitian. Sementara itu, untuk memperoleh penjelasan menyangkut data artefaktual dan situs meliputi fungsi dan kronologi maka metode analisis yang digunakan adalah analisis fisik dan kontekstual. Analisis fisik digunakan untuk menjelaskan tipe-tipe artefak untuk mengetahui fungsinya dalam situs, sementara analisis kontekstual untuk mencari hubungan antar artefak dengan data lainnya. Analisis kontekstual meliputi asosiasi dan distribusi. Asosiasi yakni hubungan antar artefak dengan artefak lainnya, maupun artefak dengan lingkungan situs. Sedangkan distribusi yaitu sebaran dalam dalam satuan ruang secara horisontal (Puslit Arkenas, 2008).

Page 4: PERKEMBANGAN ARSITEKTUR MASA KOLONIAL DI KOTA …

95

Jurnal Tumotowa Volume 2 Nomor 2, Desember 2019: 92 - 105

HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi

Sebagian besar bangunan cagar budaya yang ada di Palopo saat ini dibangun pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Bangunan-bangunan tersebut difungsikan sebagai perkantoran untuk menunjang aktifitas pemerintahan Belanda di Palopo yang saat itu ditetapkan sebagai kota Afdeling yang membawahi beberapa Onderafdeling. Bangunan-bangunan yang saat ini masih menyisakan ciri arsitektur kolonial, diantaranya: a. Bangunan pemerintahan 1) Eks Kantor Asisten Residen

Saat ini, bangunan eks kantor Asisten Residen difungsikan sebagai Markas Komando Distrik Militer 1403, Komando Resor Militer 142/TATAG. Bangunan ini berada di Jalan A. Tadda, Kelurahan Amassangan, Kecamatan Wara. Terdapat dua versi terkait informasi tahun pendirian bangunan ini, yaitu tahun 1908 dan tahun 1925 (Iswadi, 2013: 37).

Gambar 1. Tampak samping bangunan utama Eks

Kantor Asisten Residen. (Sumber: Balar Sulsel, Tahun 2017)

Bangunan Eks Kantor Asisten Residen terdiri dari sebuah bangunan utama yang terletak di bagian tengah dan dikelilingi oleh bangunan-bangunan tambahan di bagian kiri, kanan dan belakang. Denah dasar bangunan utama berbentuk persegi yang terhubung oleh selasar-selasar menuju ke bangunan tambahan berbentuk persegi panjang pada sayap kiri dan kanan bangunan utama. Selain itu, terdapat bangunan lain yang terpisah yaitu pos jaga di sisi kiri depan bangunan utama, serta tiga bangunan pada bagian belakang. Secara umum, konstruksi bangunan didominasi penggunaan bahan kayu terutama pada badan bangunan berupa panel rangka dinding serta konstruksi atap.

Gambar 2. Tampak samping bangunan tambahan

Eks Kantor Asisten Residen. (Sumber: Balar Sulsel, Tahun 2017)

2) Kantor Pemerintahan Kondisi bangunan masih bagus dan

terawat, sekarang ini digunakan oleh Dinas Tata Ruang dan Kebudayaan (sebelumnya difungsikan sebagai Balai Kota). Konstruksi atap menggunanakan atap pelana dan bangunan diperuntukkan untuk layanan publik.

Gambar 3. Detail sudut bangunan Kantor

Pemerintahan. (Sumber: Balar Sulsel, Tahun 2017)

Bangunan kantor pemerintahan terdiri atas beberapa bangunan, di tengah-tengah terdapat taman, dan di sepanjang taman terdapat galeri (beranda). Pemakaian galeri (beranda) di sekeliling bangunan untuk menghindari tampias hujan dan sinar matahari langsung. Dinding bangunan menggunakan susunan batu bata tebal dan di plester. Terdapat banyak jendela dengan ukuran yang besar untuk pencahayaan dan sirkulasi udara. Pengaruh vernakular Belanda dan penyesuaian iklim tropis dapat dilihat pada bangunan ini.

3) Kantor Pos Bangunan Kantor Pos Kota Palopo

terletak di Jalan Ahmad Yani. Letak bangunan berhadapan dengan Istana Luwu dari sisi Jalan Ahmad Yani dan Masjid Jami dari sisi Jalan

Page 5: PERKEMBANGAN ARSITEKTUR MASA KOLONIAL DI KOTA …

96

Perkembangan Arsitektur Masa Kolonial Di Kota Palopo (1908-1940) - Syahruddin Mansyur & Hasrianti

Andi Djemma. Fasad bangunan menghadap ke arah tenggara (Jalan Ahmad Yani), terdapat satu pintu masuk pada bagian depan, satu pintu masuk pada sisi sudut barat laut, dan satu pintu pada sisi samping (arah timur) bangunan. Dinding bangunan didominasi oleh penggunaan jendela yang saat ini telah menggunakan jendela kaca, serta ventilasi yang ditempatkan pada bagian atas masing-masing jendela. Jendela pada dinding barat bangunan menggunakan topping atau kanopi dari bahan beton. Dinding bangunan tampak memperlihatkan perbedaan ketebalan, dimana pada dinding bagian bawah (tinggi ± 1 meter) lebih tebal dibandingkan bagian atas.

Gambar 4. Tampak depan bangunan Kantor Pos.

(Sumber: Balar Sulsel, Tahun 2017) 4) Kantor Arsitek

Bangunan Kantor Arsitek terletak di sudut antara Jalan A. Tenriajeng dan Jalan Pattimura. Saat ini difungsikan sebagai Kantor Dinas Perhubungan, dan sebelumnya Kantor Bappeda Kota Palopo. Bangunan telah mengalami renovasi dan perubahan, terutama pada bagian atap dan teras bangunan.

Gambar 5. Tampak depan bangunan Kantor.

Arsitek. (Sumber: Balar Sulsel, Tahun 2017)

Denah dasar bangunan berbentuk persegi dengan dua pintu masuk. Pintu utama pada bangunan ini memiliki dua daun pintu berbentuk

krapyak pada bagian atas dan tertutup pada bagian bawah. Pada sisi kiri dan kanan pintu masing-masing terdapat satu jendela dengan satu daun jendela berupa panel kayu dengan kaca. Masing-masing jendela ini diapit oleh pilaster atau pilar semu.

Pada bagian depan bangunan terdapat ruangan berukuran ± 6 x 3 m yang dihubungkan oleh pintu menuju ke ruangan lebih besar di bagian dalam bangunan. Pintu penghubung kedua ruangan ini memiliki dua susun pintu yaitu satu pintu panel kayu dengan kaca serta pintu lain berbentuk pintu koboi. Pada bagian atas pintu terdapat ventilasi berbentuk persegi dengan teralis besi.

Gambar 6. Daun pintu krapyak (kanan) dan daun

pintu koboi (kiri). (Sumber: Balar Sulsel, Tahun 2017)

Ruangan dalam bangunan menyerupai sebuah hall meski terdapat satu ruangan di sisi kiri pintu masuk yang tampaknya merupakan ruangan tambahan. Pada bagian atas dinding-dinding di ruangan ini (dinding samping) terdapat jendela tertutup berbahan kaca dengan kusen kayu. Sementara itu, dinding belakang terdapat satu pintu dengan ventilasi berbentuk persegi dan jendela krapyak pada sisi kanan pintu. Selain itu, terdapat satu ruangan pada sisi kiri bangunan dan satu ruangan yang dilengkapi pintu keluar dan teras pada sisi kanan bangunan. Ruangan yang terdapat pada sisi kiri kanan merupakan elemen tambahan pada bangunan ini.

5) Kantor Bea Cukai (Pelabuhan) Arsitektur bangunan mendapat pengaruh

neoklasik yang terlihat dari bentuk denah simetris, atap perisai, tembok tebal, dan langit-langit tinggi. Bentuk denah sudah mengalami perubahan. Bangunan terdiri dari bangunan utama dan bangunan penunjang dengan pola bangunan tertutup dan banyak ruang. Bangunan

Page 6: PERKEMBANGAN ARSITEKTUR MASA KOLONIAL DI KOTA …

97

Jurnal Tumotowa Volume 2 Nomor 2, Desember 2019: 92 - 105

berlantai dua. Ruang di bagian depan merupakan ruang publik sekaligus ruang privat. Ruang utama (central room) berhubungan langsung dengan beranda depan dan belakang. Ruang tidur terdapat di sisi kiri dan kanan ruang utama. Ruang servis yaitu dapur dan ruang pelayan ditempatkan di bagian belakang dan dihubungkan dengan bangunan utama oleh beranda belakang. Bangunan terletak di tanah yang luas dengan kebun di sekelilingnya. Pemakaian jendela yang banyak memungkinkan cahaya bisa masuk. Jendela yang banyak ini merupakan bentuk adaptasi dari iklim tropis. Terdapat elemen gavel pada atap dan dua buah tiang langgam Tuscan (Sederhana) di teras lantai dua.

Gambar 7. Tampak depan bangunan Kantor Bea

Cukai. (Sumber: Balar Sulsel, Tahun 2017)

b. Bangunan militer 1) Kompleks Rumah Dinas Pejabat Militer

Kompleks Rumah Dinas Pejabat Militer di Kota Palopo berada di sebelah barat Lapangan Gaspa. Di lokasi ini terdapat enam bangunan, tiga diantaranya merupakan bangunan dengan arsitektur Eropa. Keenam bangunan tersebut berjejer dari arah selatan ke arah utara mengikuti arah jalan yang berada di sebelah barat Lapangan Gaspa.

Gambar 8. Kompleks Rumah Dinas Pejabat Militer. (Sumber: Balar Sulsel, Tahun 2017)

2) Rumah Sakit Tentara Bangunan ini berada di sebelah timur

Kantor Dinas Tata Ruang dan Kebudayaan Kota Palopo (Kantor Walikota Lama), di depan eks bangunan Rumah Sakit Sawerigading (saat ini difungsikan sebagai Kantor Walikota sementara). Data yang diperoleh dari hasil inventarisasi BPCB Sulawesi Selatan menyebut bahwa sebelumnya, lokasi bangunan ini merupakan Taman Makam Pahlawan dan kemudian dipindahkan ke Kelurahan Salobulo pada tahun 1958. Di lokasi ini kemudian dibangun Rumah Sakit Tentara tingkat/kelas III yang pada tahun 1980 berubah status menjadi Rumah Sakit Induk. Bangunan ini telah beberapa kali direnovasi dan terakhir pada tahun 2014 mendapatkan bangunan tambahan di bagian belakang (Iswadi, 2015: 31).

Fasad bangunan menghadap ke arah selatan (eks Rumah Sakit Sawerigading). Bangunan utama membujur arah timur-barat, dan pada masing-masing sisi terdapat bangunan tambahan yang membujur arah utara-selatan. Bagian depan bangunan difungsikan sebagai ruang administrasi, bangunan di sisi kanan (barat) difungsikan sebagai apotik, dan bangunan di sisi kiri (timur) difungsikan sebagai ruang pendaftaran. Pada bangunan sisi kiri terdapat elemen gavel berbentuk segitiga terbuat dari susunan papan kayu. Kedua bangunan tambahan yang membujur ke arah utara difungsikan sebagai ruang perawatan. Pada bagian depan masing-masing bangunan tambahan ini terdapat selasar, dan pada sisi plafon selasar tersebut masih menggunakan gamacca sebagai bahan utama plafon tersebut.

Gambar 9. Detail gavel pada bangunan sisi kiri Rumah Sakit Tentara (kiri).

(Sumber: Balar Sulsel, Tahun 2017)

Page 7: PERKEMBANGAN ARSITEKTUR MASA KOLONIAL DI KOTA …

98

Perkembangan Arsitektur Masa Kolonial Di Kota Palopo (1908-1940) - Syahruddin Mansyur & Hasrianti

3) Tangsi Militer Bangunan tangsi militer berada di sebelah

barat (belakang) kompleks Rumah Dinas Pejabat Militer. Salah satu bangunan tangsi militer ini tidak terawat dan tidak difungsikan. Bangunan tangsi militer ini merupakan sebuah kompleks bangunan, dimana masing-masing bangunan terdiri atas ruang-ruang kamar yang difungsikan sebagai barak. Bangunan pertama dengan kondisi tidak terawat membujur arah timur-barat. Bangunan tersebut terbagi atas dua sisi barak yaitu menghadap ke arah utara dan arah selatan. Masing-masing kamar atau ruang dipisahkan oleh sekat bangunan berbahan beton, dan bagian depan masing-masing barak terdapat pintu. Terdapat dua susun atap terbuat dari bahan seng pada bangunan. Atap bagian atas dibuat melengkung dan berukuran lebih kecil dibanding atap bagian bawah. Pada sisi di antara kedua atap tersebut terdapat celah udara yang sekaligus berfungsi sebagai ventilasi.

Gambar 10. Detail gavel bangunan tangsi militer. (Sumber: Balar Sulsel, Tahun 2017)

Sisi samping bangunan terdapat gavel berbentuk segitiga yang menutup antara dinding dan atap berupa susunan papan kayu. Dinding bangunan terbuat dari bahan beton dengan penyusun batu bata yang diplester. Konstruksi atap berupa tiang kayu sekaligus sebagai penopang utama dipasang menyatu dengan dinding bangunan. Pada bagian dalam bangunan masih dapat ditemui sisa-sisa plafon dari bahan gamacca. Bangunan lain berada di sebelah selatan bangunan sebelumnya dan saat ini masih difungsikan sebagai asrama atau tempat tinggal oleh personil Kodim.

c. Bangunan fasilitas umum 1) Eks Rumah Sakit Sawerigading

Dibangun pada tahun 1920, sesuai dengan tulisan yang ada pada dinding depan bangunan

(Anno 1920). Arsitektur bangunan sudah mengalami beberapa perubahan tetapi bentuk asli bangunan masih terlihat. Pada fasad bangunan terdapat elemen gavel dan pada atapnya yang berbentuk pelana terdapat elemen gaveltoppen (hiasan kemuncak atap depan) yang merupakan elemen yang umum ditemui pada bangunan berarsitektur kolonial Belanda.

Gambar 11. Detail gavel pada bangunan sisi kanan

Eks Rumah Sakit Sawerigading. (Sumber: Balar Sulsel, Tahun 2017)

Bangunan diperuntukkan untuk layanan publik, pintu masuk berada di tengah. Denah bangunan sudah mengalami beberapa perubahan. Bentuk denah persegi. Pembagian ruang di desain untuk mendukung kegiatan-kegiatan pelayananan publik. Terdapat taman di tengah dan di sepanjang taman tersebut terdapat galeri (beranda). Pemakaian galeri (beranda) di sekeliling bangunan untuk bertujuan untuk menghindari tampias hujan dan sinar matahari langsung sebagai wujud adaptasi terhadap iklim tropis. Dinding bangunan menggunakan susunan batu bata tebal dan diplester. Sebagian dindingnya ditutup dengan keramik.

2) Gedung Veteran Bentuk arsitektur Gedung Veteran telah

mengalami perubahan yaitu dengan adanya penambahan bangunan di belakang bangunan utama. Bentuk atap perisai, menggunakan penutup atap seng. Bentuk denah simetris, ukuran tinggi jendela dan tinggi bangunan terbilang cukup pendek untuk bangunan kolonial yang biasanya tinggi. Pada dinding bagian luar bangunan (fasad) diberi pola seperti susunan batu pondasi. Kondisi bangunan masih bagus.

Page 8: PERKEMBANGAN ARSITEKTUR MASA KOLONIAL DI KOTA …

99

Jurnal Tumotowa Volume 2 Nomor 2, Desember 2019: 92 - 105

Gambar 12. Tampak depan bangunan Gedung Veteran.

(Sumber: Balar Sulsel, Tahun 2017)

3) Gedung Trimurti Kondisi Gedung Trimurti masih bagus

dan terawat. Terdapat bangunan utama dan bangunan penunjang dengan pola bangunan tertutup. Bentuk denah simetris. Pembagian ruangnya yaitu, di bagian depan merupakan ruang publik, selanjutnya ruang privat yang di kiri kanannya terdapat ruang tidur, ruang servis berupa dapur ditempatkan di bagian belakang dan dihubungkan dengan rumah utama oleh galeri (beranda belakang). Fasad bangunan menggunakan elemen gavel berbentuk stepped gable. Atap berbentuk pelana. Interior bangunan menggunakan banyak jendela, sehingga memungkinkan cahaya bisa masuk.

Gambar 13. Tampak depan bangunan Gedung Trimurti.

(Sumber: Balar Sulsel, Tahun 2017)

4) Penjara Penjara ini berada di Jalan Opu

Tosappaile dekat dengan Gedung Trimurti. Saat ini, bangunan tidak lagi difungsikan sebagai penjara, akan tetapi difungsikan sebagai rumah tinggal oleh pegawai Lapas. Sebagai bangunan yang dulunya difungsikan sebagai penjara, bangunan ini merupakan sebuah kompleks tertutup terdiri atas beberapa bangunan berdenah dasar persegi panjang yang ditempatkan mengelilingi sebuah halaman tengah yang

terbuka. Orientasi fasad bangunan utama menghadap ke arah barat laut, membujur arah timur laut - barat daya. Akses masuk hanya satu dengan pintu yang terbuat dari kayu. Pintu masuk ini berupa koridor yang mengikuti lebar bangunan. Terdapat pilar yang menyatu dengan dinding (pilaster) sebagai penguat konstruksi dinding khususnya pada bagian pintu masuk. Pada singkapan dinding yang terkelupas dapat dilihat bahan penyusun dinding terdiri atas susunan batu dengan perekat semen dan kemudian diplester.

Gambar 14. Bangunan sisi kiri gerbang bangunan penjara lama.

(Sumber: Balar Sulsel, Tahun 2017)

Bangunan bagian depan (bangunan utama) terdiri atas beberapa ruang yang difungsikan sebagai perkantoran, dan pada sisi kanan terdapat area pemisah yang terbuat dari rang besi sebagai pembatas antara ruang penjara dan ruang administrasi Lapas. Bangunan yang berfungsi sebagai penjara berada di sisi kanan (barat daya) dan kiri (timur laut) bangunan utama. Masing-masing bangunan yang terdapat pada kompleks penjara lama ini memiliki selasar pada bagian depan. Di sisi sudut belakang dari halaman tengah terdapat sebuah sumur. d. Bangunan religi (gereja p’niel palopo)

Bangunan Gereja P’Niel berada di Jalan Opu Tossappaile. Gereja ini memiliki bentuk dasar persegi empat. Pada fasad depan gereja terdapat tulisan Anno 1920, yang artinya bangunan ini dibangun pada tahun 1920. Arsitektur bangunan bergaya gotik, dapat dilihat pada bentuk lancip atap menara yang terletak di depan bangunan. Bentuk menara yang menjulang tinggi memberikan kesan agung. Sehingga mengesankan bahwa gaya arsitektur gotik memiliki konsep “menggapai surga”. Selain itu, adanya menara menjadi penanda

Page 9: PERKEMBANGAN ARSITEKTUR MASA KOLONIAL DI KOTA …

100

Perkembangan Arsitektur Masa Kolonial Di Kota Palopo (1908-1940) - Syahruddin Mansyur & Hasrianti

bahwa bangunan ini adalah bangunan peribadatan.

Gambar 15. Tampak samping bangunan Gereja P’Niel.

(Sumber: Balar Sulsel, Tahun 2017)

Denah bangunan gereja berbentuk persegi empat, terbagi atas tiga ruang. Interior gereja dibuat dengan langit-langit yang tinggi, banyak jendela dan pemakaian kaca berwarna (stained glass) untuk memudahkan cahaya matahari masuk sebanyak-banyaknya (penerangan alami di siang hari) serta memberikan keindahan secara visual. Cahaya yang masuk ke dalam bangunan melalui bukaan jendela menciptakan kesan sakral untuk gereja, sesuai dengan konsep agama Kristen yang menggunakan cahaya sebagai simbol firman dan kehadiran Tuhan.

Pintu dan jendela memiliki lengkung berujung lancip (pointed arch). Ini juga merupakan salah satu ciri yang terdapat pada arsitektur gotik. Langit-langit bangunan menggunakan elemen ribbed vaulting sebagai pengganti kolom atau tiang yang jauh lebih efisien untuk menahan beban, sehingga tinggi bangunan dapat dimaksimalkan. Barisan kolom yang berfungsi sebagai penyalur beban bersambung ke langit-langit dan menjadikannya sebagai bagian dari dekorasi interior bangunan. Lantai gereja menggunakan lantai teraso dengan ukuran 20 x 20 cm berwarna hitam dan putih.

Konstruksi bangunan gereja disusun oleh dinding dari batu bata tebal yang diplester. Setengah dinding (bawah) yang tampak pada fasad terbuat dari susunan batu kali. Tinggi susunan batu yang menghiasi dinding ini bervariasi pada setiap dinding dengan ukuran 55 cm hingga 178 cm dari permukaan tanah. Atap bangunan berbentuk pelana dengan tambahan elemen gavel dan gaveltoppen (hiasan kemuncak atap depan).

e. Rumah tinggal 1) Istana Datu Luwu (Langkanae)

Istana Datu Luwu atau yang dikenal dengan nama Langkanae dibangun oleh pemerintah Hindia Belanda sekitar tahun 1920an di atas tanah bekas Saoraja (istana sebelumnya). Bangunan ini sekarang difungsikan sebagai museum. Ciri arsitektur kolonial Belanda yang sangat terlihat adalah penggunaan elemen gavel, dormer (jendela pada atap). Bentuk denah simetris, atap perisai, tembok tebal, dan langit-langit yang tinggi memberikan kesan adanya pengaruh gaya neoklasik. Banyaknya bukaan berupa jendela menunjukkan suatu upaya penyesuaian terhadap iklim tropis dengan tujuan untuk mendapatkan sirkulasi udara yang baik dan pencahayaan alami. Meskipun bangunan ini dibangun sebagai Istana Datu Luwu, namun tidak ada satupun unsur lokal terdapat pada bangunan.

Gambar 16. Tampak samping bangunan Istana Datu

Luwu. (Sumber: Balar Sulsel, Tahun 2017)

2) Eks Rumah Jabatan Asisten Residen Arsitektur bangunan mendapat pengaruh

gaya neoklasik, terlihat dari bentuk denah simetris dengan banyak ruang, atap perisai, tembok tebal, dan langit-langit yang tinggi. Bentuk denah sudah mengalami perubahan. Bangunan terdiri dari bangunan utama dan bangunan penunjang dengan pola bangunan tertutup. Pada fasad bangunan terdapat elemen gavel, dormer (jendela pada atap), lisplang atap dan ragam hias pada dinding yang berfungsi untuk menambah keindahan tampilan bangunan. Ragam hias pada dinding berupa papan-papan berukir yang dipasang secara vertikal dan membentuk lubang-lubang ventilasi (terawang). Ragam hias demikian dapat juga dijumpai pada dinding lego-lego dan pegangan tangga rumah tradisonal (lokal).

Page 10: PERKEMBANGAN ARSITEKTUR MASA KOLONIAL DI KOTA …

101

Jurnal Tumotowa Volume 2 Nomor 2, Desember 2019: 92 - 105

Gambar 17. Tampak depan Eks Rumah Jabatan Asisten Residen.

(Sumber: Balar Sulsel, Tahun 2017)

3) Eks Rumah Jabatan Kontrolir Bangunan dibangun pada tahun 1923.

Dahulu merupakan tempat tinggal pejabat kontrolir (controleur) Pemerintahan Hindia-Belanda dan sekarang menjadi rumah tinggal keluarga Bapak Sabani. Bangunan telah mengalami beberapa perubahan, namun bentuk aslinya masih terlihat dengan kondisi yang masih terawat. Pengaruh gaya neoklasik terlihat pada arsitektur bangunan sesuai dengan gaya arsitektur yang berkembang pada masa bangunan ini didirikan.

Gambar 17. Tampak depan Eks Rumah Jabatan

Kontrolir. (Sumber: Balar Sulsel, Tahun 2017)

Bangunan berlantai satu dengan denah berbentuk simetris. Bangunan terdiri dari bangunan utama (induk) dan bangunan tambahan. Pembagian ruang pada bangunan utama terdiri dari teras depan, ruang utama, kamar tidur, dan teras belakang. Bangunan tambahan yang terletak di belakang bangunan utama berfungsi sebagai ruang servis. Pembagian ruang seperti ini merupakan ciri umum bangunan kolonial pada akhir abad ke-19. Denah bangunan utama tidak berubah dari bentuk awalnya kecuali adanya penambahan ruang pada bangunan tambahan. Interior

bangunan banyak menggunakan jendela untuk mendapatkan pencahayaan alami dari sinar matahari. Pada dinding rumah, di atas pintu dan jendela, terdapat ventilasi yang dapat dibuka keluar agar udara bisa masuk. Konstruksi dinding bangunan tersusun atas batu bata tebal yang diplester. Atap berbentuk perisai dan pada puncaknya terdapat dua buah keramik. 4) Mess Lebang

Gambar 18. Tampak depan bangunan Mess Lebang.

(Sumber: Balar Sulsel, Tahun 2017)

Gambar 19. Bangunan utama dan bangunan tambahan di bagian belakang Mess Lebang.

(Sumber: Balar Sulsel, Tahun 2017)

Kondisi bangunan masih bagus namun kurang terawat. Bangunan terdiri dari bangunan utama dan bangunan tambahan berpola tertutup. Bentuk denah simetris dengan banyak ruang. Penataan ruang mengikuti bentuk penataan ruang bangunan kolonial pada akhir abad ke-19. Bangunan utama terdiri dari teras depan, ruang utama (central room), kamar tidur (ruang privat) di sisi kiri dan kanan ruang utama, dan teras belakang. Pintu masuk ke ruang utama berjumlah dua buah. Bangunan tambahan berfungsi sebagai ruang servis yaitu dapur dan kamar pelayan. Interior rumah menggunakan banyak jendela berukuran besar untuk pencahayaan alami dan sirkulasi udara.

Page 11: PERKEMBANGAN ARSITEKTUR MASA KOLONIAL DI KOTA …

102

Perkembangan Arsitektur Masa Kolonial Di Kota Palopo (1908-1940) - Syahruddin Mansyur & Hasrianti

Penggunaan teras di sekeliling bangunan berfungsi untuk menghindari tampias hujan dan sinar matahari langsung. Hal ini merupakan wujud adaptasi terhadap iklim setempat. Atap rumah berbentuk limasan dengan penutup atap berbahan seng.

Perkembangan Arsitektur Masa Kolonial Kota Palopo

Perkembangan arsitektur masa kolonial di Kota Palopo dapat dilihat pada bangunan-bangunan peninggalan masa pemerintahan Hindia Belanda yang masih berdiri hingga saat ini, antara lain Istana Datu Luwu, gereja P’Niel, eks kantor Asisten Residen, eks rumah jabatan Asisten Residen (Rujab Wawali), kantor dinas Tata Ruang dan Dinas Kebudayaan, Eks Rumah Sakit Sawerigading (kantor Walikota sementara), rumah jabatan Pejabat Militer, kantor pos, kantor arsitek, kantor Dinas Perhubungan, dan Mess Lebang. Bangunan-bangunan ini difungsikan oleh Pemerintah Hindia Belanda di masa itu sebagai bangunan perkantoran, rumah tinggal, bangunan religi, bangunan militer, maupun fasilitas umum.

Ciri bangunan kolonial Belanda umumnya berdinding tembok tebal dari bahan batu-bata yang diplaster, memiliki pintu dan jendela berukuran lebar dan tinggi, serta tiang-tiang pada serambi depan dan belakang bergaya neo klasik. Bentuk atap limasan atau pelana, dengan sudut kemiringan sekitar 30˚ atau lebih. Pada atap terdapat elemen gavel (gable) yaitu bagian triangular pada atap; dormer yaitu jendela tambahan pada atap; menara (tower) yang secara fisik menambah estetika, dapat digunakan untuk melihat pemandangan luar dan berfungsi untuk mengalirkan udara panas dari dalam ke luar ruangan; dan, deltils yaitu konsol penyangga atap tritisan (Samsudi, 2000: 69-70).

Bentuk atap bangunan kolonial Kota Palopo terdiri dari bentuk pelana, perisai, dan limasan. Pada bagian atap sebagian besar bangunan terdapat elemen gavel dari bahan kayu maupun batu-bata yang diplaster dan gaveltoppen. Pada bangunan Istana Datu Luwu dan Eks Rumah Jabatan Asisten Residen dapat dijumpai adanya elemen dormer. Tiang berlanggam Tuscan dapat dijumpai pada teras depan lantai kedua bangunan Kantor Bea Cukai.

Konstruksi dinding bangunan-bangunan terbuat dari bahan batu-bata yang diplaster. Dinding bangunan Eks Kantor Asisten Residen,

Kantor Pemerintahan, dan Eks Rumah Jabatan Asisten Residen menggunakan half-timbered yang menunjukkan adanya pengaruh gaya Tudor (Medieval Revival) dalam arsitektur bangunan, sehingga menimbulkan asumsi bahwa ketiga bangunan ini didirikan pada tahun yang sama. Pengaruh gaya arsitektur Art Nouveau nampak pada dinding bangunan Gedung Veteran yang menggunakan setengah batu kali. Art Nouveau adalah gaya arsitektur yang berkembang di Prancis dan Belgia pada tahun 1880-1910. Dicirikan oleh bentuk-bentuk organik yang mengalir, berlekuk-lekuk, dinamis, dan menggunakan ornamen naturalistik. Gaya arsitektur ini menggabungkan gaya art and crafts dalam bentuk arsitekturnya (Burden, 1998: 178). Kemudian, pengaruh gaya Gotik nampak pada bangunan Gereja P’Niel dengan bentuk atap menara yang lancip dan jendela berpelengkung gaya Gotik (Gothic arch). Pada bangunan Penjara terdapat pilaster yang menunjukkan adanya pengaruh gaya arsitektur Neo Klasik.

Denah bangunan secara umum berbentuk persegi yang simetris. Penataan ruang bangunan-bangunan mengingatkan kepada bangunan dengan arsitektur bergaya Indische Empire yang dipopulerkan oleh Daendels pada akhir abad ke-19 (Sumalyo, 2005: 28), dimana terdapat bangunan utama dengan ruangan terbagi atas teras depan dan belakang, ruang utama, dan ruang privat (kamar tidur), serta bangunan tambahan sebagai ruang servis (dapur) di belakang bangunan utama. Gaya Indische Empire atau Neo Klasik berasal dari negara Prancis yang diterjemahkan secara bebas di Hindia Belanda hingga terbentuk gaya bercitra kolonial yang disesuaikan dengan lingkungan lokal dan iklim serta ketersediaan material setempat (Handinoto, 1993: 2-3). Ciri khasnya yaitu, denah simetris, dengan ruang utama (central room) yang terdiri dari kamar tidur utama dan kamar tidur lainnya. Ruang utama berhubungan langsung dengan teras depan (voor galerij) dan teras belakang (achter galerij), yang biasanya sangat luas dan diujungnya terdapat barisan kolom bergaya Yunani atau Romawi. Dapur, kamar mandi, gudang dan ruang servis lainnya merupakan bagian yang terpisah dari bangunan utama dan terletak di belakang (Hartono dan Handinoto, 2006: 85).

Jika melihat angka kronologi tahun pendirian dan ciri fisik yang nampak pada

Page 12: PERKEMBANGAN ARSITEKTUR MASA KOLONIAL DI KOTA …

103

Jurnal Tumotowa Volume 2 Nomor 2, Desember 2019: 92 - 105

bangunan-bangunan, perkembangan gaya arsitektur bangunan kolonial di Kota Palopo berada pada periode ketiga (1902-1920an) dan keempat (1920-1940an) dalam perkembangan arsitektur kolonial Belanda di Indonesia. Menurut Helen Jessup (1984) perkembangan gaya bangunan Kolonial Belanda terbagi atas empat periode, yaitu: (1) Tahun 1700-an adalah periode kekuasaan VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) di Indonesia. Pada masa ini bangunan-bangunan didirikan mengikuti gaya bangunan dari Negeri Belanda tanpa mempertimbangkan kondisi iklim dan budaya setempat; (2) Tahun 1800-an hingga 1902, yaitu masa peralihan dari periode kekuasaan VOC ke periode kekuasaan Kerajaan Belanda. Pada masa ini bangunan-bangunan berkesan megah didirikan untuk menunjukkan kekuasaan yang berkuasa, dan umumnya bergaya arsitektur neo klasik; (3) Tahun 1902 hingga 1920-an, politik etis diberlakukan di Indonesia, yang berdampak pada pembangunan bangunan-bangunan modern yang lebih berorientasi ke Belanda; dan, (4) Tahun 1920 hingga 1940-an. Pada masa ini, gerakan pembaruan dalam arsitektur bermunculan serta memunculkan gaya campuran dari berbagai gaya arsitektur, misalnya art deco (Abbas, 2006: 229-230).

Bangunan Eks Kantor Residen, Kantor Pemerintahan, Kantor Arsitek, Kantor Bea Cukai, Rumah Sakit Tentara, Tangsi Militer, Gedung Trimurti, Penjara, Eks Rumah Jabatan Asisten Residen, Eks Rumah Jabatan Kontrolir dan Mess Lebang adalah bangunan-bangunan yang dibangun pada periode ketiga dalam perkembangan gaya arsitektur kolonial Kota Palopo yaitu pada kronologi tahun 1908 hingga menjelang tahun 1920. Meskipun telah mendapat sentuhan modernitas, gaya arsitektur neo klasik yang berkembang pada periode kedua masih mempengaruhi bentuk arsitektur bangunan-bangunan ini, antara lain pada penataan ruang, penggunaan gavel, dormer, tiang bergaya klasik, pilaster, dan half timbered pada dinding. Bangunan-bangunan kolonial yang mewakili gaya arsitektur periode keempat di Kota Palopo dibangun pada kronologi tahun 1920 hingga menjelang tahun 1945, antara lain bangunan Kantor Pos, Kompleks Rumah Dinas Pejabat Militer, Rumah Sakit Sawerigading, Gedung Veteran, Gereja P’niel, dan Istana Datu Luwu. Gaya arsitektur bangunan pada periode ini merupakan percampuran dari berbagai gaya

arsitektur. Arsitektur Gereja P’Niel misalnya yang menunjukkan perpaduan antara gaya Neo Klasik, gaya Gotik, dan Art Noveau. KESIMPULAN

Kajian mengenai perkembangan arsitektur bangunan-bangunan kolonial di Kota Palopo pada dasarnya dapat memberikan informasi bagi diskusi dan kajian lebih lanjut terkait pembentukan kota kolonial di Indonesia. Identifikasi dan analisis terhadap bangunan kolonial juga adalah dasar untuk melakukan tindakan perlindungan dan penyelamatan terhadap warisan pemerintah Hindia Belanda di Indonesia. Melalui metode survei, bangunan-bangunan kolonial di Kota Palopo dikumpulkan, dianalisis dengan memperhatikan bentuk, teknologi, gaya, dan lingkungan sekitar, kemudian disintesakan.

Keseluruhan bangunan kolonial Kota Palopo yang telah didata berjumlah 17 buah. Berdasarkan fungsinya, bangunan-bangunan ini dikelompokkan ke dalam kategori bangunan pemerintahan, bangunan militer, bangunan fasilitas umum, bangunan religi, dan rumah tinggal. Bangunan pemerintahan berjumlah lima antara lain Eks Kantor Asisten Residen, Kantor Pemerintahan, Kantor Pos, Kantor Arsitek, dan Kantor Bea Cukai. Bangunan militer berjumlah tiga antara lain Kompleks Rumah Dinas Pejabat Militer, Rumah Sakit Tentara, dan Tangsi Militer. Bangunan fasilitas umum berjumlah empat antara lain Eks Rumah Sakit Sawerigading, Gedung Veteran, Gedung Trimurti, dan Penjara. Bangunan religi berjumlah satu yaitu Gereja P’Niel Palopo. Bangunan rumah tinggal berjumlah empat antara lain Istana Datu Luwu (Langkanae), Eks Rumah Jabatan Asisten Residen, Eks Rumah Jabatan Kontrolir, dan Mess Lebang.

Dalam konteks perkembangan gaya arsitektur bangunan kolonial, bangunan-bangunan tersebut berada pada periode ketiga (1902-1920) dan periode keempat (1920-1940). Bangunan-bangunan yang berdiri (atau diperkirakan sejaman) pada kurun tahun 1902 hingga awal tahun 1920 memiliki gaya arsitektur modern yang masih dipengaruhi oleh gaya neo klasik. Adapun arsitektur bangunan-bangunan yang berdiri (atau diperkirakan sejaman) pada kurun akhir tahun 1920 hingga menjelang tahun

Page 13: PERKEMBANGAN ARSITEKTUR MASA KOLONIAL DI KOTA …

104

Perkembangan Arsitektur Masa Kolonial Di Kota Palopo (1908-1940) - Syahruddin Mansyur & Hasrianti

1945 merupakan perpaduan berbagai gaya arsitektur yang berkembang di Eropa di masa itu.

Ucapan Terima Kasih

Naskah ini merupakan pengembangan dari Laporan Penelitian “Perkembangan Arsitektur Bangunan di Kota Palopo Provinsi Sulawesi Selatan” Tahun 2017. Penelitian ini dapat terlaksana berkat bantuan dan kerjasama tim penelitian, instansi dan masyarakat Palopo. Oleh karena itu penulis mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah memberi bantuan kepada Tim Penelitian; Wakil Walikota Palopo, Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang Palopo, Jajaran dan Staf Komando Distrik Militer 1403 Palopo, dan M. Irfan Mahmud, S.S., M.Si (Kepala Balai Arkeologi Sulsel), juga kepada seluruh anggota Tim Penelitian, Zulham A. Hafid, S.E., M.Si (Bappeda Kota Palopo), Fadliyah Rahmah, M.A (Dosen IAIN Palopo), Nafsiah Asnawi, S.T., M.ARH (Yayasan Lingkar Makassar), Ade Sahroni, S.T (Balar Sulsel), Basran Burhan, S.S (Balar Sulsel), dan seluruh informan.

***** DAFTAR PUSTAKA Abbas, N. (2006). Warna Eropa dalam Wajah

Kota. Dalam Rr. Triwurjani, dkk, Permukiman di Indonesia: Perspektif Arkeologi. Jakarta: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.

Burden, E. E. (1998). Illustrated Dictionary of Architecture. USA: McGraw-Hill.

Gill, R. (1997). Dutch Colonial Settlement and Towns in Java. Dalam Eko Budiharjo (Ed.), Preservation and Conservation of Cultural Heritage in Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Handinoto. (1993). Arsitek G.C. Citroen dan Perkembangan Arsitektur Kolonial Belanda di Surabaya (1915-1940). Dimensi (Journal of Architecture and Built Environment), Vol. 19, Agustus 1993. Link: http://fportfolio.petra.ac.id/user_files/81-

005/CITROEN.pdf (Diakses 08/12/2019).

Hartono, S., dan Handinoto. (2006). Arsitektur Transisi di Nusantara dari Akhir Abad XIX ke Awal Abad XX (Studi Kasus Kompleks Bangunan Militer di Jawa pada Peralihan Abad XIX ke XX). Dimensi (Journal of Architecture and Built Environment), Vol. 34, No. 2, Desember 2006. Link: http://dimensi.petra.ac.id/index.php/ars/issue/view/2717.pdf (Diakses 08/12/2019).

Iswadi, dkk. (2013). Zonasi Istana Datu Luwu dan Sekitarnya di Kota Palopo Provinsi Sulawesi Selatan. Makassar: Balai Pelestarian Cagar Budaya Makassar.

Iswadi, dkk. (2015). Laporan Zonasi Tinggalan Kolonial Kota Palopo (lanjutan) Provinsi Sulawesi Selatan. Makassar: Balai Pelestarian Cagar Budaya Makassar.

Mahmud, M. I. (1993). Struktur Kota Palopo abad XII-XIX (Studi Arkeologi tentang Pemahaman Ekspresi dan Alam Cita). Skripsi Sarjana. Ujung Pandang: Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin.

Mahmud, M. I. (2003). Kota Kuno Palopo: Dimensi Fisik, Sosial, dan Kosmologi. Makassar: Masagena Press.

Mansyur, S. (2002). Kota Makassar Akhir Abad XVII hingga Awal Abad XX (Studi Arkeologi Ruang). Skripsi Sarjana. Makassar: Universitas Hasanuddin.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional. (2008). Metode Penelitian Arkeologi. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional.

Samsudi. (2000). Aspek-Aspek Arsitektur Kolonial Belanda pada Bangunan Puri Mangkunegaran. Tesis Magister. Semarang: Program Pasca Sarjana Magister Teknik Arsitektur Universitas Diponegoro.

Sumalyo, Y. (1999). Ujung Pandang: Perkembangan Kota dan Arsitektur pada Akhir Abad 17 hingga Awal Abad 20. Dalam Henri Chambert-Loir dan Hasan Muarif Ambary (Ed.), Panggung Sejarah: Persembahan kepada Prof. Dr.

Page 14: PERKEMBANGAN ARSITEKTUR MASA KOLONIAL DI KOTA …

105

Jurnal Tumotowa Volume 2 Nomor 2, Desember 2019: 92 - 105

Denys Lombard. Jakarta: EFEO, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Yayasan Obor Indonesia.

Sumalyo, Y. (2005). Arsitektur Modern Akhir Abad XIX dan Abad XX, Edisi ke-2. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.