Upload
lynguyet
View
228
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
PERINGATAN !!! Bismillaahirrahmaanirraahiim
Assalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh
1. Skripsi digital ini hanya digunakan sebagai bahan referensi
2. Cantumkanlah sumber referensi secara lengkap bila Anda mengutip dari Dokumen ini
3. Plagiarisme dalam bentuk apapun merupakan pelanggaran keras terhadap etika moral penyusunan karya ilmiah
4. Patuhilah etika penulisan karya ilmiah
Selamat membaca !!!
Wassalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh
UPT PERPUSTAKAAN UNISBA
STUDI PERBANDINGAN TENTANG METODE ISTINBATH
HUKUM ZAKAT PROFESI DI KALANGAN ULAMA
NAHDATUL ULAMA, MUHAMMADIYAH, DAN
PERSATUAN ISLAM
JAWA BARAT
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy) Pada Fakultas Syariah
Jurusan Peradilan Agama
Oleh
FAZLUR RAHMAN
NPM : 10010107005
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
2012 M/ 1433 H
ii
PERSETUJUAN
Disetujui Oleh:
Pembimbing I Pembimbing II
H.A. Rifa’i Hasbi, Drs., M.Ag. M. Roji Iskandar, Drs., MH.
Mengetahui:
Dekan Fakultas Syariah Ketua Jurusan
Peradilan Agama
H. Asep Ramdan Hidayat, Drs., M.Si. Titin Suprihatin, Dra., M.H.
iii
LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi berjudul “STUDI PERBANDINGAN TENTANG METODE
ISTINBATH HUKUM ZAKAT PROFESI DI KALANGAN ULAMA
NAHDATUL ULAMA (NU), MUHAMMADIYAH, DAN PERSATUAN
ISLAM (PERSIS) JAWA BARAT” telah disahkah oleh sidang panitia ujian
sarjana (S1) Jurusan Peradilan Agama Fakultas Syariah Universitas Islam
Bandung pada hari Kamis tanggal 16 Februari 2012 dan diterima sebagai salah
satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Syariah.
Bandung, Kamis 16 Februari 2012
PANITIA MUNAQASYAH
Ketua Sekretaris
H. Asep Ramdan Hidayat, Drs., M.Si. Titin Suprihatin, Dra., M.H.
Tim Penguji
1. Prof. Dr. H.M. Abdurrahman, M.A. ( )
2. H.M. Zainuddin, Drs., Lc., Dipl., M.H. ( )
3. N. Eva Fauziah, Dra., M.Ag. ( )
iv
ABSTRAK
FAZLUR RAHMAN, NPM : 10010107005
STUDI PERBANDINGAN TENTANG METODE ISTINBATH HUKUM ZAKAT PROFESI DI KALANGAN ULAMA NAHDATUL ULAMA (NU), MUHAMMADIYAH, DAN PERSATUAN ISLAM (PERSIS) JAWA BARAT
Kata Kunci: Islam, Zakat Profesi, Metode Istinbath.
Zakat merupakan rukun Islam yang ketiga, sebagaimana kita ketahui bahwa tidak akan sempurna keislaman seseorang apabila ia tidak memenuhi rukun-rukun yang telah ditetapkan Islam itu sendiri. Sehingga dapat dikatakan bahwa zakat menempati posisi penting dalam Islam.
Munculnya ide zakat profesi baru-baru ini yang sebelumnya belum pernah dikenal dalam khasanah keilmuan Islam telah menyulut perbedaan pendapat di kalangan ulama terkait status hukumnya. Di Indonesia sendiri tiga organisasi besar yakni Nahdatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan Persatuan Islam (Persis) telah memberikan pandangannya masing-masing. Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah menetapkan bahwa zakat profesi wajib, sedangkan Persatuan Islam menetapkan tidak ada kewajiban zakat profesi yang ada yakni infaq profesi. Berdasarkan hal tersebut tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui bagaimana metode istinbath hukum dari masing-masing organisasi sehingga sampai pada kesimpulannya masing-masing.
Metode yang penulis gunakan dalam penelitian ini yakni metode deskriptif analitik dan komparatif, dengan teknik pengumpulan data melalui studi kepustakaan dan wawancara langsung. Penelitian ini berusaha memaparkan tentang metode istinbath hukum zakat secara umum sebelum akhirnya mendeskripsikan pembahasan seputar metode istinbath zakat profesi dari tiga organisasi yang diteliti yaitu Nahdatul Ulama, Muhammadiya, dan Persatuan Islam.
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa dasar istinbath hukum Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah terkait kewajiban zakat profesi ini mengacu pada ayat-ayat umum tentang kewajiban zakat. Mengenai kemana zakat profesi ini diqiyaskan, Nahdatul Ulama belum menetapkan format yang pasti berbeda dengan Muhammadiyah yang menetapkan qiyas zakat profesi ke zakat emas. Selain itu hal yang turut mempengaruhi metode istinbath hukum pendukung zakat profesi yakni adanya anggapan bahwa zakat bukan hanya sekedar ibadah mahdoh semata, seperti halnya shalat, namun zakat merupakan ibadah yang memberikan efek sosial sehingga dalam memandang persoalan zakat ini harus lebih dinamis. Adapun Persatuan Islam menetapkan bahwa zakat profesi tidak wajib dikarenakan zakat adalah ibadah mahdoh yang telah ditentukan mustahiqnya, ukurannya, bahkan waktunya. Sehingga Persis tidak menerima zakat profesi sebagai suatu kewajiban yang harus ditunaikan karena merupakan pemikiran hukum baru yang tidak terdapat nash-nya dalam Alqur’an maupun Sunnah.
v
MOTTO
آلعسر یسرا إن مع فإن مع آلعسر یسرا
“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan
Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.”
(Al-Insyirah [94] : 5-6)
Kupersembahkan karya ini kepada:
Orang tua tercinta
Kakak dan adik-adik tersayang
Saudara-saudara dan sahabat-sahabat
yang senantiasa mendoakan dan mencurahkan perhatiannya,
Semoga kita selalu dalam limpahan rahmat dan kasih sayang-Nya. Amien.
vi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapakan kepada Allah SWT, Tuhan semesta alam
yang senantiasa melimpahkan kasih dan sayang-Nya kepada penulis sehingga
skripsi ini dapat diselesaikan. Ada pun judul skripsi ini adalah STUDI
PERBANDINGAN TENTANG METODE ISTINBATH HUKUM ZAKAT
PROFESI DI KALANGAN ULAMA NAHDATUL ULAMA (NU),
MUHAMMADIYAH, DAN PERSATUAN ISLAM (PERSIS) JAWA BARAT
Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak memperoleh dukungan dari
berbagaipihak. Oleh karena itu dengan segala ketulusan dan kerendahan hati,
penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:
1. Allah Swt yang telah memberikan segala nikmat dan karunia-Nya.
2. Rasulullah Muhammad Saw. yang sangat mencintai ummatnya.
3. Mamah tercinta , kakak dan adik-adik tersayang yang telah mendoakan
dan menyuplai segala kebutuhan penulis selama pengerjaan skripsi ini.
4. Prof. DR. dr. Thaufiq Shiddiq Boesoirie, MS., SpTHT-KL(K) selaku
rektor Universitas Islam Bandung yang sudah bersedia mendedikasikan
diri memimpin kampus perjuangan ini. Banyak hal yang penulis
banggakan dari diri Bapak.
5. Al-Ustadz H. Asep Ramdan Hidayat, Drs., M.Si selaku dekan Fakultas
Syariah dan Ibunda Titin Suprihatin, Dra., M.H. selaku ketua jurusan yang
selalu bersemangat memajukan Fakultas dan jurusan tertua di kampus
perjuangan ini.
vii
6. Al-Ustadz H.A.Rifa’i Hasbi, Drs., M.Ag, dan Al-Ustadz H.M. Roji
Iskandar, Drs., MH., selaku dosen pembimbing skripsi yang telah bersedia
meluangkan waktunya untuk mengoreksi dan mengarahkan penulis agar
selalu berada di jalan yang benar dalam mengerjakan skripsi. Semoga
Allah Swt. membalas amal kebaikan Bapak dengan amal yang berlimpah.
Amien.
7. Sahabat-sahabat DKM Masjid Al-Asy’ari. Terima kasih atas dukungan,
hujatan, bualan, canda tawa yang telah kalian berikan selama di Al-
Asy’ari. Keep fighting Bosconovitch..!
8. Sahabat-sahabat jurusan Peradilan Agama 2007. Terutama yang masih
belum lulus. Good Bye..!
9. Sahabat-sahabat Keuangan Perbankan Syari’ah 2007. Semoga suatu saat
ada masa dimana kita dapat saling mengenal lebih jauh.
Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
tidak dapat disebutkan satu persatu yang mungkin ikut terlibat dalam penyelesaian
skripsi ini.
Semoga hasil dari skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis
maupun semua pihak yang membutuhkan.
Bandung, Februari 2012
Fazlur Rahman
viii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN PERSETUJUAN …………………………………………………ii
HALAMAN PENGESAHAN ………………………………………………….iii
ABSTRAK ………………………………………………………………………iv
MOTTO ………………………………………………………………………….v
KATA PENGANTAR ………………………………………………………….vi
DAFTAR ISI …………………………………………………………………..viii
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………….1
A. Latar Belakang ……………………………………………………………1
B. Rumusan Masalah ………………………………………………………...6
C. Tujuan Penelitian …………………………………………………………6
D. Kerangka Pemikiran ……………………………………………………...6
E. Metode Dan Teknik Penelitian ………………………………………….13
1. Metode Penelitian ……………………………………………….13
2. Teknik Pengambilan Data ……………………………………….14
3. Teknik Analisis Data ……………………………………………15
F. Sistematika Pembahasan ………………………………………………...16
BAB II TINJAUAN UMUM ZAKAT PROFESI …………………………….19
A. Zakat Secara Umum …………………………………………………….19
1. Pengertian Zakat …………………………………………………19
2. Dasar Hukum Zakat ……………………………………………..21
3. Macam-Macam Harta Yang Wajib Dizakati …………………….24
4. Sejarah Perkembangan Zakat Pada Awal Islam …………………30
5. Tujuan Zakat …………………………………………………….33
6. Hikmah Zakat ……………………………………………………34
B. Pengertian Profesi Dan Zakat Profesi ...…………………………………35
ix
C. Perbedaan Pendapat Tentang Hukum Zakat Profesi ……………………37
1. Argumen Para Pendukung Zakat Profesi ………………………..37
2. Argumen Penentang Zakat Profesi ………………………………43
BAB III STUDI PERBANDINGAN TENTANG METODE ISTINBATH HUKUM ZAKAT PROFESI DI KALANGAN ULAMA NAHDATUL ULAMA (NU), MUHAMMADIYAH, DAN PERSATUAN ISLAM (PERSIS) JAWA BARAT …………………47
A. Selayang Pandang ……………………………………………………….47
1. Deskripsi Singkat Nahdatul Ulama ………………………………….47
2. Deskripsi Singkat Muhammadiyah ………………………………….50
3. Deskripsi Singkat Persatuan Islam …………………………………..55
B. Ulasan Hasil Penelitian ………………………………………………….59
BAB IV ANALISIS METODE ISTINBATH HUKUM ZAKAT PROFESI ULAMA NAHDATUL ULAMA (NU), MUHAMMADIYAH, DAN PERSATUAN ISLAM (PERSIS) JAWA BARAT ………………..78
A. Analisis Hasil Wawancara ………………………………………………78
B. Analisis Persamaan Dan Perbedaan Metode Istinbath Hukum Zakat
Profesi Menurut Ulama Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, dan Persatuan
Islam ……………………………………………………………………..86
C. Memilih Pendapat Yang Lebih Kuat ……………………………………88
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ……………………………………… 91
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………..94
LAMPIRAN …………………………………………………………………….95
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Umat Islam adalah umat yang mulia, umat yang dipilih Allah untuk
mengemban risalah agar mereka menjadi saksi atas segala umat. Tugas umat
Islam adalah mewujudkan kehidupan yang adil, makmur, tentram, dan sejahtera di
manapun mereka berada. Karena itu umat Islam seharusnya menjadi rahmat bagi
sekalian alam.
Bahwa kenyataan umat Islam kini jauh dari kondisi ideal adalah akibat
belum mampu mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri (QS. Ar-Ra'du :
11). Potensi-potensi dasar yang dianugerahkan Allah kepada umat Islam belum
dikembangkan secara optimal. Padahal umat Islam memiliki banyak intelektual
dan ulama, di samping potensi sumber daya alam dan ekonomi yang melimpah.
Jika seluruh potensi itu dikembangkan secara seksama, dirangkai dengan potensi
aqidah Islamiyah (tauhid), tentu akan diperoleh hasil yang optimal. Pada saat
yang sama, jika kemandirian, kesadaran beragama, dan ukhuwah Islamiyah kaum
muslimin meningkat, maka pintu-pintu kemungkaran akibat kesulitan ekonomi
akan makin dapat dipersempit.
Salah satu sisi ajaran Islam yang belum ditangani secara serius adalah
penanggulanagn kemiskinan dengan cara mengoptimalkan pengumpulan dan
pendayagunaan zakat. Sebagaimana telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW serta
2
penerusnya di zaman keemasan Islam. Padahal umat Islam (Indonesia) sebenarnya
memiliki potensi dana yang sangat besar.
Abdullah al-Mushlih (2004 : 474) menjelaskan bahwa “pada masa awal
Islam, yakni masa Rasulullah SAW dan para sahabat, prinsip-prinsip Islam telah
dilaksanakan secara demonstratif, terutama dalam hal zakat yang merupakan
rukun Islam ketiga setelah syahadat dan shalat.” Secara nyata, zakat telah
menghasilkan perubahan ekonomi yang menyeluruh dalam masyarakat muslim.
Permasalahan zakat tidak dapat dipisahkan dari usaha dan penghasilan
masyarakat. Demikian juga pada zaman Nabi Muhammad SAW pada tahap awal
Hijriyah di Madinah, zakat belum dijalankan. Pada tahun pertama di Madinah itu,
Nabi dan para sahabatnya beserta segenap kaum Muhajirin masih dihadapkan
bagaimana menjalankan usaha penghidupan di tempat baru tersebut. Sebab tidak
semua orang yang yang ikut hijrah itu berkecukupan, kecuali Utsman bin Affan,
juga karena semua harta benda dan kekayaan yang mereka miliki ditinggal di
Makkah. Pada zaman khalifah Utsman bin Affan, pengumpulan zakat tidak lagi
dipusatkan pada khalifah. Karena, orang-orang sudah memiliki pandangan yang
berbeda dalam menyerahkan zakat, ada yang langsung kepada orang miskin dan
ada pula yang menyerahkannya kepada para utusan Utsman. Di samping itu,
daerah kekuasaan Islam sudah sangat luas sehingga pengantar zakat ditangani
oleh gubernur daerah masing-masing (Muhammad, 2002 : 35).
Selanjutnya, diceritakan dalam sejarah peradaban Islam, bahwa
keberhasilan pemerintahan Islam yang mencapai puncaknya sewaktu dipimpin
oleh khalifah Umar bin Abdul Azis. Diceritakan pula seperti apa yang
3
diungkapkan oleh Muhammad (2002 : 37) bahwa “Umar bin Abdul Azis telah
memungut zakat penghasilan yang berasal dari pemberian, hadiah, gaji pegawai,
honorarium, harta sitaan dan lain-lain. Dengan demikian, pada zamannya ini telah
dikenal zakat penghasilan atau zakat profesi, walaupun bentuk-bentuk
pendapatannya masih sederhana dibandingkan dengan kondisi seperti sekarang.”
Sedangkan pada masa nabi harta benda yang dizakati hanya berupa binatang
ternak, kambing, sapi dan unta, barang-barang yang berharga; emas dan perak,
tumbuh-tumbuhan; gandum, anggur kering (kismis) dan kurma.
Yusuf Qardhawi (1999 : 34) membagi perkembangan zakat pada masa awal Islam ke dalam dua periode, yaitu periode Makkah dan Madinah. Dikemukakan olehnya, bahwa bentuk zakat pada periode Makkah adalah zakat tak terikat (bisa dikatakan infaq), karena tidak ada ketentuan batas dan besarnya zakat yang dikeluarkan, tetapi diserahkan saja kepada rasa iman, kemurahan hati dan dengan orang atau lembaga lain, yang mendatangkan penghasilan (uang) yang memenuhi nishab.
Zakat atas penghasilan atau zakat profesi adalah suatu istilah yang muncul
dewasa ini, kenyataan membuktikan bahwa pada saat ini banyak pekerja profesi
yang dapat menghasilkan uang cukup besar dan dilakukan dengan cara yang
mudah dalam waktu yang relatif singkat. Jika permasalahan ini dikaitkan dengan
pelaksanaan zakat yang sudah berjalan di masyarakat, maka terlihat adanya
kesenjangan atau ketidakadilan antara petani yang banyak mencurahkan tenaga
tetapi memiliki penghasilan kecil dengan para pekerja profesional yang dalam
waktu cepat dapat memperoleh hasil yang cukup besar.
Sementara itu, yang menjadi polemik dalam zakat profesi adalah tidak
adanya dalil yang secara terang-terangan mewajibkan zakat profesi, baik di dalam
al-Quran maupun al-Sunnah. Bahkan, Rasulullah saw tidak pernah menerapkan
4
zakat profesi di masa beliau masih hidup. Oleh karena itu, apabila sekarang ada
sebagian ulama' yang mengatakan bahwa tidak ada zakat profesi di syari'at Islam,
hal ini masih dapat diterima. Sebab dasar pengambilan hukumnya memang sudah
tepat, yaitu tidak diajarkan oleh Rasulullah saw dan juga tidak dipraktekkan oleh
para sahabat beliau bahkan oleh para al-salaf al-shalih sekalipun. Hanya saja
terlalu terburu-buru memvonis bahwa zakat profesi adalah bid'ah hanya karena
kita tidak menemukan contoh konkritnya di masa Rasulullah saw, karena tentunya
tidak sesederhana itu masalahnya.
Di Indonesia sendiri di antara organisasi-organisasi keislaman masing-
masing memiliki pandangan yang berbeda tentang hukum zakat profesi walaupun
ada yang sebagian yang berpandangan sama. Menurut Nahdatul Ulama (NU) di
dalam hasil Keputusan Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdatul Ulama
Tentang Masail Waqi’iyah Ubudiyyah (Muamalat) di Asrama Haji Pondok Gede
Jakarta, 25-28 Juli 2002 M/ 14-17 Rabiul Akhir 1423 H menetapkan zakat profesi
wajib hukumnya, sedemikian halnya Muhammadiyah melalui Musyawarah
Nasional Tarjih XXV tahun 2000 di Jakarta telah menetapkan bahwa zakat profesi
itu hukumnya wajib, sedangkan menurut Dewan Hisbah Persis seperti yang ada
dalam Keputusan Dewan Hisbah Persis tertanggal 26-27 Rabiul Awwal 1412H/ 5-
6 Oktober 1991 di Bandung menetapkan hukum zakat profesi adalah tidak wajib
dan hanya memutuskan bahwa harta yang tidak terkena kewajiban zakat termasuk
hasil profesi dikenai kewajiban infaq yang besarannya tergantung kebutuhan
Islam terhadap harta tersebut. Mungkin di antara kita ada yang bertanya mengapa
5
demikian? Mengapa di antara organisasi keislaman berbeda dalam menetapkan
hukum bagi zakat profesi tersebut.
Dari latar belakang tersebut penulis tertarik ingin mengetahui mengapa
terjadi perbedaan tersebut, namun penelitian ini akan mengerucut hanya kepada
tiga organisasi besar yang ada di Indonesia yakni Nahdatul Ulama (NU),
Muhammadiyah, dan Persatuan Islam (Persis), dan lebih khusus lagi hanya dalam
lingkup Jawa Barat. Walaupun Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah memiliki
pandangan akhir sama tentang hukum zakat profesi namun sekiranya mungkin ada
keunikan tersendiri yang membedakan di antara keduanya dalam hal proses
hingga sampai pada kesimpulan hukum. Dan Ulama Persis yang berbeda pendapat
dengan keduanya dalam hal ini akan semakin menambah khasanah keilmuan kita
dalam memahami sebab terjadinya ikhtilaf di kalangan ulama. Maka penulis
menyusun penelitian ini dengan judul: STUDI PERBANDINGAN TENTANG
METODE ISTINBATH HUKUM ZAKAT PROFESI DI KALANGAN ULAMA
NAHDATUL ULAMA, MUHAMMADIYAH, DAN PERSATUAN ISLAM
JAWA BARAT.
6
B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang masalah di atas dapat dibuat rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana metode istinbath hukum yang digunakan oleh ulama Nahdlatul
Ulama (NU), Muhammadiyah, dan Persatuan Islam (Persis) tentang
hukum zakat Profesi?
2. Apa persamaan dan perbedaan dari ketiga organisasi Islam tersebut dalam
memandang hukum tentang zakat profesi?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah yang ada di atas, maka tujuan penelitian
ini adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana metode istinbath hukum yang digunakan
ulama Nahdatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan Persatuan Islam
(Persis) tentang hukum zakat profesi.
2. Dan untuk mengetahui persamaan dan perbedaan dari ketiga organisasi
Islam tersebut dalam memandang hukum tentang zakat profesi.
D. Kerangka Pemikiran
Suharsimi Arikunto (2002 : 47) mengatakan bahwa “yang dimaksud
dengan kerangka pemikiran adalah teori dasar yang kebenarannya diterima oleh
penyelidik.”
7
Sedangkan Uma Sekaran dalam bukunya Business Research (1992) seperti
yang dikutip Sugiyono (2006 : 67) mengemukakan bahwa “kerangka pemikiran
merupakan model konseptual tentang bagaimana teori berhubungan dengan
berbagai faktor yang telah diidentifikasi sebagai masalah yang penting.”
Adapun yang menjadi kerangka pemikiran dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
Manusia merupakan makhluk Allah SWT yang dalam Al-Qur’an terdapat
tiga kata yang menunjukkan tentang manusia, yakni insan, basyar dan bani Adam.
Basyar banyak mengacu pada pengertian manusia dari segi fisik dan nalurinya
yang berbeda dengan makhluk lainnya. Sementara insan menunjukkan manusia
dengan segala totalitasnya, jiwa dan raga. Manusia (insan) yang berbeda antara
seorang dengan seorang yang lain karena perbedaan fisik, mental dan kecerdasan.
Bani Adam menunjukkan pada semua manusia sebagai makhluk sosial.
Dalam QS. Al-Mu’minun ayat 115:
متسبا أفحمأن اكملقنثا خبع كمأنا ونون ال إليعجر١١٥( ت(
“Maka Apakah kamu mengira, bahwa Sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada kami?”
Dapat ditemukan dalam konteks ayat tersebut, bahwa “Manusia adalah
makhluk fungsional dan bertanggung jawab”. Artinya manusia berfungsi terhadap
diri pribadinya, berfungsi terhadap masyarakat, berfungsi terhadap lingkungan
8
dan berfungsi terhadap Allah Sang Pencipta Manusia (Quraish Shihab, 2000 :
278).
Zakat merupakan salah satu ibadah kepada Allah SWT setelah manusia
dikarunai keberhasilan dalam bekerja dengan melimpahnya harta benda. Bagi
orang muslim, pelunasan zakat merupakan cerminan kualitas imannya kepada
Allah SWT. Kepentingan zakat merupakan kewajiban agama seperti halnya shalat
dan menunaikan ibadah haji. Islam memandang bahwa harta kekayaan adalah
mutlak milik Allah SWT, sedangkan manusia dalam hal ini hanya sebatas
pengurusan dan pemanfaatannya saja. Harta adalah amanah yang harus
dipertanggungjawabkan setiap pembelanjaannya di akhirat nanti. Dengan
demikian, setiap muslim yang harta kekayaannya telah mencapai nishab dan haul
berkewajiban untuk mengeluarkan zakat, baik zakat fitrah maupun zakat maal.
Arti penting zakat bagi perekonomian kaum muslimin diharapkan mampu
menghapus kemiskinan dari masyarakat yang tidak mampu dengan menyadarkan
si kaya akan tanggung jawab sosial yang mereka miliki dan juga harus dilandasi
dengan hati yang bersih dalam menunaikannya. Dengan itu jarak antara si kaya
dan si miskin tidak lagi seperti langit dan bumi.
Seiring dengan berkembangnya zaman dan semakin kompleksnya
permasalahan-permasalahan yang muncul, berkembang pula pemikiran manusia,
Khusus dalam bidang agama para mujtahid dituntut untuk selalu dinamis dan
mengikuti perkembangan agar dapat memecahkan setiap permasalahan yang
9
muncul di tengah-tengah umat. Karena di tangan mujtahid lah ayat-ayat al-Qur’an
dan hadits akan tergali untuk memberikan hukum pada sesuatu yang baru.
Kaidah fiqih menyebutkan:
نامينكر تغير األحكام بتغير األز ال
“Tidak dapat dipungkiri adanya perubahan hukum karena perubahan zaman” Perbedaan tempat, kebiasaan, situasi dan kondisi mempunyai peranan
yang sangat dominan dalam penetapan hukum-hukum syara’ yang bersifat
ijtihadi, oleh karenanya setiap hukum syara’ yang ditetapkan atas dasar ‘uruf,
didasarkan suatu mashlahah, atau didasarkan situasi dan kondisi suatu tempat,
pastinya hukum tersebut akan berubah sewaktu-waktu karena disebabkan adanya
perbedaan kebiasaan, mashlahah ataupun situasi dan kondisi suatu tempat
tersebut. Sedangkan hukum yang sudah ditetapkan oleh nash yang sudah jelas,
maka hukum tersebut tidak bisa dirubah lagi.
Permasalahan zakat pun tak lepas dari pengaruh berkembangnya
peradaban manusia, baru-baru ini kita mendengar tentang adanya zakat bagi yang
memiliki profesi, atau lebih familiar dengan istilah zakat profesi. Para ulama pun
berbeda pendapat mengenai status hukumnya.
Di antara ulama yang mewajibkan zakat profesi sekaligus pencetus adalah
Yusuf Al-Qardhawi. Profesi seperti pegawai negeri/swasta, konsultan, dokter,
notaris, wiraswasta, merupakan sumber pendapatan (kasab) yang tidak banyak
dikenal di masa generasi terdahulu, oleh karenanya bentuk kasab ini tidak banyak
10
dibahas, khususnya yang berkaitan dengan zakat. Lain halnya dengan bentuk
kasab yang lebih populer saat itu, seperti pertanian, peternakan, dan perniagaan,
mendapatkan porsi pembahasan yang sangat memadai dan detail.
Yusuf Qardlawi seperti yang dikutip Hafidhuddin (2002 : 28) menyatakan bahwa di antara hal yang sangat penting untuk mendapatkan perhatian kaum muslimin saat ini adalah penghasilan atau pendapatan yang diusahakan melalui keahliannya, baik keahlian yang dilakukan sendiri, misalnya Profesi Dokter, Arsitek, Ahli Hukum, Penjahit, Pelukis, mungkin juga Da’i atau Muballigh, dan lain sebagainya. Bentuk zakat ini merupakan langkah maju menyelesaikan perkembangan zaman.
Sedangkan zakat profesi itu sendiri menurut Muhammad (2002 : 58) yakni
“zakat yang dikeluarkan dari hasil usaha yang halal yang dapat mendatangkan
hasil (uang) yang relatif banyak dengan cara mudah, melalui suatu keahlian
tertentu”. Maka banyak ulama yang mewajibkan untuk mengeluarkan zakat dari
hasil profesinya tersebut, karena selama ini kewajiban mengeluarkan zakat profesi
hanya sebatas kesadaran individu masing-masing dengan menggunakan ijtihad
hukum masing-masing pula karena belum adanya sandaran hukum yang kuat
mengenai zakat profesi dari segi keberadaan hukumnya dalam nash, baik Al-
Qur’an, Sunnah Rasulullah SAW, atau dari hasil ijtihad ulama dahulu. Dalam
undang-undang zakat pun belum disebutkan secara terperinci mengenai
pelaksanaan zakat profesi.
Fakhruddin (2008 : 136-137) memberikan penjelasan bahwa para ulama yang turut berpendapat bahwa zakat profesi hukumnya wajib mengemukakan bahwa landasan hukumnya berasal dari al-Qur’an. Istilah yang digunakan dalam al-Qur’an terkait dengan zakat profesi ini adalah al-kasab. Profesi pada masa Rasulullah Saw pada realitanya berbeda dengan profesi pada masa sekarang. Namun sebenarnya kewajiban mengeluarkan zakat profesi itu hakikatnya tidak ada hubungannya dengan profesi seseorang. Akan tetapi seseorang itu kaya atau tidak dengan profesinya. Jika ia menjadi kaya dengan profesinya, maka ia berkewajiban
11
mengeluarkan zakat apabila telah mencapai nishab. Sebaliknya, apabila ia tidak menjadi kaya dengan profesinya maka ia juga tidak berkewajiban mengeluarkan zakat profesi. Bisa jadi justru ia menjadi mustahiq zakat.
Meskipun demikian sebenarnya kewajiban mengeluarkan zakat itu tidak
disebabkan oleh profesi seseorang. Akan tetapi bukan berarti harta yang
didapatkan dari hasil profesi tersebut bebas dari zakat. Alasan utama seseorang
berkewajiban mengeluarkan zakat adalah seseorang itu telah diklasifikasikan
sebagai orang kaya. Sebab zakat itu pada hakikatnya adalah pungutan harta yang
diambil dari orang-orang kaya untuk dibagikan kepada orang-orang miskin (sesuai
dengan ketentuan syara'). Untuk itulah, batas minimal kepemilikan (nishab)
menjadi standar ukuran seseorang dikatakan kaya yang kemudian lahir kewajiban
mengeluarkan zakat baginya.
Sementara itu yang menolak adanya zakat profesi berpendapat bahwa
zakat profesi tidak dikenal dalam khasanah keilmuan Islam klasik. Kewajiban
mengeluarkan zakat profesi tidak ditemukan landasan hukumnya secara qath’i
(pasti), baik dalam al-Qur’an maupun hadits, sehingga ada perselisihan di antara
para ulama kontemporer tentang kewajiban mengeluarkan zakat profesi secara
khusus.
Di dalam fatwa Lajnah Da’imah Li Al Buhuts Al Ilmiyah Wa Al Ifta’
(Lembaga Ulama Untuk Kajian Ilmiah dan Fatwa) (www.almanhaj.or.id, diakses
30 Mei 2011) dipaparkan bahwa “zakat gaji tidak dapat diqiyaskan dengan zakat
hasil bumi. Sebab persyaratan haul (satu tahun) tentang wajibnya zakat bagi dua
mata uang (emas dan perak) merupakan persyaratan yang jelas berdasarkan nash.
12
Apabila sudah ada nash, maka tidak ada lagi qiyas.” Berdasarkan hal itu, maka
tidaklah wajib zakat bagi uang dari gaji pegawai sebelum memenuhi haul.
Di antara organisasi-organisasi keislaman di Indonesia masing-masing
memiliki pandangan yang berbeda tentang hukum zakat profesi walaupun ada
yang sebagian yang berpandangan sama. Menurut Nahdatul Ulama (NU) di dalam
hasil Keputusan Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdatul Ulama Tentang
Masail Waqi’iyah Ubudiyyah (Muamalat) di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta,
25-28 Juli 2002 M/ 14-17 Rabiul Akhir 1423 H menetapkan zakat profesi wajib
hukumnya, sama halnya dengan Muhammadiyah melalui Musyawarah Nasional
Tarjih XXV tahun 2000 di Jakarta telah menetapkan bahwa zakat profesi itu
hukumnya wajib, sedangkan menurut Dewan Hisbah Persis seperti yang ada
dalam Keputusan Dewan Hisbah Persis tertanggal 12 Sya’ban 1423 H/19 Oktober
2002 menetapkan hukum zakat profesi adalah tidak wajib dan hanya memutuskan
bahwa harta yang tidak terkena kewajiban zakat termasuk hasil profesi, hanya
dikenai kewajiban infaq yang besarannya tergantung kebutuhan Islam terhadap
harta tersebut.
Fenomena perbedaan pendapat dalam masalah furu’ (ijtihadiyah) adalah
fenomena klasik yang sudah terjadi sejak generasi salaf, dan merupakan realita
yang diakui, diterima dan tidak mungkin ditolak atau dihilangkan sampai
kapanpun karena memang sebab-sebab yang melatarbelakanginya akan tetap
selalu ada.
Ahmad Mudzoffar Jufri ([email protected], diakses 22 Juni 2011) menjelaskan bahwa sebab-sebab terjadinya ikhtilaf dapat disimpulkan dan dikelompokkan ke dalam empat sebab utama:
13
1. Perbedaan pendapat tentang valid - tidaknya suatu teks dalil syar’i sebagai hujjah
2. Perbedaan pendapat dalam menginterpretasikan teks dalil syar’i tertentu 3. Perbedaan pendapat tentang beberapa kaidah ushul fiqh dan beberapa dalil
(sumber) hukum syar’i (dalam masalah-masalah yang tidak ada nash-nya), seperti qiyas, istihsan, mashalih mursalah, ’urf, saddudz-dzara-i’, syar’u man qablana, dan lain-lain.
4. Perbedaan pendapat yang dilatarbelakangi oleh perubahan situasi, kondisi, tempat , masyarakat, dan semacamnya.
Mungkin akan menarik bagi kita untuk mengetahui persamaan dan
perbedaan istinbath hukum yang dimiliki oleh ketiga organisasi Islam tersbut,
sehingga kita dapat menyikapi dengan arif ikhtilaf yang terjadi.
E. Metode dan Teknik Penelitian
1. Metode Penelitian
Metode yang penulis gunakan dalam penelitian ini yakni metode deskriptif
analitik dan komparatif. Penelitian ini berusaha memaparkan tentang metode
istinbath hukum zakat secara umum sebelum akhirnya akan mendeskripsikan
kerangka pendapat tentang zakat profesi dari tiga organisasi yang diteliti yaitu NU
lewat Bahsul Masail-nya, Muhammadiyah dengan Majlis Tarjih-nya, dan
Persatuan Islam dengan Dewan Hisbah-nya. Melalui data yang diperoleh,
kemudian dilakukan analisis interpretasi tentang bagaimana metode pengambilan
keputusan hukum yang dilakukan oleh ketiga organisasi tersebut dengan
membangun korelasi yang dianggap signifikan. Setelah itu dilakukan analisa yang
bersifat membandingkan (komparatif) sehingga dapat diketahui persamaan dan
perbedaan pendapat tentang zakat profesi.
14
2. Teknik Pengambilan Data
Adapun teknik yang penulis gunakan dalam penelitian ini, pengumpulan
data dilakukan dengan cara:
a. Penelitian Lapangan (Field Research), yaitu data yang diperoleh langsung
dari objek penelitian untuk memperoleh data primer yang diperlukan yang
berkaitan dengan masalah yang diteliti. Teknik pengumpulan data primer
yang digunakan adalah sebagai berikut:
1) Dokumenter, yaitu metode yang digunakan untuk menelusuri data historis.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan cara
mengumpulkan bahan-bahan yang diperlukan berupa dokumen yang
terdapat di lembaga dari ketiga organisasi tersebut. Seperti NU dapat
diteliti melalui hasil Keputusan Musyawarah Nasional Alim Ulama
Nahdatul Ulama Tentang Masail Waqi’iyah Ubudiyyah (Muamalat) di
Asrama Haji Pondok Gede Jakarta, 25-28 Juli 2002 M/ 14-17 Rabiul
Akhir 1423 H, Muhammadiyah dapat diteliti melalui hasil Musyawarah
Nasional Tarjih XXV tahun 2000 di Jakarta, dan Persatuan Islam melalui
Keputusan Dewan Hisbah Persis tertanggal 12 Sya’ban 1423 H/19
Oktober 2002.
2) Wawancara, yaitu teknik pengumpulan data dengan cara tanya jawab
dengan pihak yang menjadi representasi dari ketiga organisasi tersebut
untuk memperoleh informasi yang berhubungan dengan masalah yang
diteliti.
15
b. Studi kepustakaan (Library Reserch), yaitu teknik pengumpulan data dengan
cara mengumpulkan data dan bahan-bahan yang berasal dari pustaka, yaitu
buku-buku tentang zakat profesi baik di dalam kitab-kitab klasik maupun
kontemporer dan literatur-literatur yang dapat berupa pendapat-pendapat
ulama, artikel-artikel di internet dan sebagainya yang sesuai dengan masalah
yang akan dibahas sebagai landasan teori masalah yang diteliti.
3. Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan hal yang terpenting dalam penelitian kualitatif
yang harus selalu disandingkan dengan upaya interpretatif. Masri Singarimbun
dan Sofian Effendi (1987 : 257) menjelaskan bahwa ”Analysing meliputi
penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan
diinterpretasikan.”
Dalam menganalisis dan menginterpretasikan data yang telah terkumpul.
penyusun menggunakan cara berfikir komparasi. Anton Bakker dan Achmad
Charis Zubar (1992 : 71) menjelaskan bahwa “komparasi yaitu
membandingkan sebuah pendapat dengan pendapat yang lain tentang hal yang
sama (hukum zakat profesi), baik yang memiliki nuansa pemikiran yang
hampir sama atau bahkan yang sangat bertentangan.” Dalam penelitian ini,
Pendapat Nahdatul Ulama dikomparasikan dengan pendapat Muhammadiyah
dan Persatuan Islam, sehingga dapat diketahui persamaan maupun perbedaan
pendapat keduanya dan dapat ditarik suatu kesimpulan yang konkrit tentang
persoalan yang diteliti.
16
F. Sistematika Pembahasan
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan pokok-pokok bahasan
secara sistematis yang terdiri dari lima bab dan pada tiap-tiap bab terdiri dari sub-
sub sebagai perinciannya. Adapun sistematika pembahasannya adalah sebagai
berikut:
Bab satu (I) merupakan pendahuluan yang berisi: pertama, latar belakang
masalah yang memuat alasan-alasan pemunculan masalah yang diteliti. Kedua,
rumusan masalah merupakan penegasan terhadap apa yang terkandung dalam latar
belakang masalah. Ketiga, tujuan yang diharapkan tercapainya penelitian ini.
Keempat, kerangka pemikiran menyangkut pola fikir atau kerangka berfikir yang
digunakan dalam memecahkan masalah. Kelima, metode penelitian berupa
penjelasan langkah-langkah yang akan ditempuh dalam mengumpulkan dan
menganalisis data. Keenam, sistematika pembahasan sebagai upaya yang
mensistematiskan penyusunan.
Selanjutnya, tahap kedua yaitu isi, terdiri dari tiga bab, yakni bab II, III,
dan IV. Bab kedua mengulas tentang zakat secara umum, pengertian profesi dan
zakat profesi, dan perbedaan pendapat tentang hukum zakat profesi. Bab ini
terbagi atas tiga sub bab. Sub bab pertama terdiri atas enam point yang membahas
mengenai zakat secara umum, pertama, membahas pengertian zakat. Kedua, dasar
yang menjadi hukum zakat. Ketiga, membahas mengenai macam-macam harta
yang wajib dizakati. Keempat, menjelaskan tentang sejarah perkembangan zakat
pada masa awal Islam. Kelima, menerangkan tentang tujuan zakat. Keenam,
17
menerangkan hikmah zakat. Adapun sub bab kedua langsung menjelaskan
pengertian profesi dan zakat profesi. Sedangkan sub bab ketiga memaparkan
tentang seputar perbedaan pendapat mengenai hukum zakat profesi, terdiri atas
dua point. Pertama, membahas argumen apa saja yang dipakai para pendukung
zakat profesi. Kedua, argument-argumen penolak zakat profesi.
Sedangkan bab ketiga membahas mengenai studi perbandingan tentang
metode istinbath hukum zakat profesi di kalangan ulama Nahdatul Ulama,
Muhammadiyah, dan Persis Jawa Barat. Bab ini terbagi menjadi menjadi dua sub,
pertama, mengulas tentang selayang pandang yang terdiri dari tiga poin. Masing-
masing poin membahas tentang deskripsi singkat Nahdlatul Ulama,
Muhammadiyah, dan Persatuan Islam. Kedua, menjelaskan ulasan hasil
penelitian.
Selanjutnya, bab keempat terbagi menjadi tiga sub bab. Pertama, analisis
hasil wawancara. Kedua, analisis yang berkenaan dengan segi-segi persamaan dan
perbedaan antara ketiganya tentang zakat profesi dalam kerangka perbandingan
(komparatif) ditinjau dari segi ketentuan hukum dan metode yang digunakan
(istinbatnya). Sehingga dari ulasan ini diharapkan akan ada kejelasan bagaimana
hukum Islam memandang keberadaan zakat profesi. Sedangkan subbab ketiga
memuat pandangan penulis terkait pendapat yang lebih kuat.
Bab kelima (V) sebagai bab terakhir dari keseluruhan rangkaian
pembahasan, memaparkan simpulan dari pembahasan bab-bab sebelumnya
sehingga memperjelas jawaban terhadap persolan yang dikaji serta saran-saran
18
dari penulis berkenaan dengan pengembangan keilmuan agar dapat mencapai hal-
hal yang lebih baik dan lebih maju.
19
BAB II
TINJAUAN UMUM ZAKAT PROFESI
A. Zakat Secara Umum.
1. Pengertian Zakat.
Zakat menurut pengertian bahasa seperti yang diuraikan dalam kitab
Subulus Salam (1926 : 120) mempunyai beberapa arti kata atau memiliki
pengertian lebih dari satu (Musytarak). “Al-namâ ialah tumbuh , ath-Thaharatu
artinya kesucian dan ash-Shalahu artinya kebaikan. Kata “zakat” itu berlaku
umum bagi shadaqah wajib, shadaqah sunnah, nafaqah, ampunan dan hak.”
Dalam Lisanul ‘Arab (1955 : 358) disebutkan tentang definisi zakat:
اولص كالزاة فالل يغالط ةهةار وماءالن الوركبة وحاملد لكوق هد استعلم ي ف ثيداحلو آنرقال
“Asal dari zakat menurut bahasa adalah suci, tumbuh, berkah, dan terpuji. Semua ini telah digunakan dalam Al Quran dan Al Hadits.”
Definisi zakat telah diuraikan oleh Syaikh Sayyid Sabiq (1991 : 327)
Rahimahullah sebagai berikut:
ا مل اةكز تيمسو .اءرقفال ىلإ اىلعت اهللا قح نم انسناال هجرخي امل مسا ةكالزاكينو فيها من رال اءجبةكرو ،تزكةي سفالن وتنميتالا بهخيرإف. اتنهأا مخةذو من
كالزاةو ،هو الناءم الطوهةار الوبةكر.
20
“Zakat adalah benda yang dikeluarkan manusia berupa hak Allah Ta’ala kepada para fuqara. Dinamakan zakat karena di dalamnya terdapat pengharapan terhadap berkah, mensucikan jiwa, dan mengembangkannya dengan kebaikan-kebaikan. Dia diambil dari Az Zakah yaitu tumbuh, suci, dan berkah.”
Didin Hafidhuddin (2002 : 7) menjelaskan bahwa menurut bahasa, “zakat
berasal dari kata zaka yang berarti berkah, tumbuh, bersih dan baik. Sesuatu itu
zaka, berarti tumbuh dan berkembang dan seorang itu zaka, berarti orang itu
baik.’ Zakat juga mempunyai beberapa arti, yaitu al-barakatu ‘keberkahan’, al-
namaa ’pertumbuhan dan perkembangan’, ath-thaharatu ‘kesucian’ dan ash-
shalahu ‘keberesan’.”
Sedangkan menurut terminologi syari’at (istilah) seperti yang dijelaskan
Al-Imam Taqiyuddin dan Abu Bakar Al-Husaini (1984 : 357) di dalam kitab
Kifayatul Akhyar, “zakat adalah nama bagi sejumlah harta tertentu yang telah
mencapai syarat tertentu yang diwajibkan oleh Allah untuk dikeluarkan dan
diberikan kepada yang berhak menerimanya dengan persyaratan tertentu pula.”
Pendapat tersebut juga diamini oleh Abdurrahman al-Jaziri (tt : 304) yang
mengatakan bahwa, zakat adalah pemilikan harta yang dikhususkan kepada
mustahiq (penerima) dengan syarat-syarat tertentu.
Sedangkan menurut Yusuf Qardhawi (1999 : 34) zakat berarti “sejumlah
harta tertentu yang diwajibkan Allah SWT yang diserahkan kepada orang-orang
yang berhak.” Menurut Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang
Pengelolaan Zakat Pasal 1 ayat 2 yang berbunyi: “Zakat adalah harta yang wajib
disisihkan oleh seorang muslim atau badan yang dimiliki oleh orang muslim
sesuai dengan ketentuan agama untuk diberikan kepada yang berhak
21
menerimanya”. Menurut Ensiklopedi Islam (1994 : 224), “Zakat adalah sebutan
atau nama bagi sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah SWT supaya
diserahkan kepada orang-orang yang berhak (mustahak).” Dan hal ini
sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah SWT surat at-Taubah ayat 103 yang
berbunyi:
لهم سكن صالتك إن عليهم وصل بها وتزكيهم تطهرهم صدقة أموالهم من خذاللهو يعمس يمل١٠٣( ع(
Artinya : “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”
Ayat di atas dijelaskan dalam Tafsir Ibnu Katsir (2000 : 22), “Allah Swt. memerintahkan Rasul-Nya untuk mengambil zakat dari harta mereka guna membersihkan dan menyucikan mereka melalui zakat itu. Pengertian ayat ini umum, sekalipun sebagian ulama mengembalikan dhomir yang terdapat pada lafaz amwaalihim kepada orang-orang yang mengakui dosa-dosa mereka dan yang mencampurbaurkan amal shaleh dengan amal buruknya.
Dari beberapa pengertian di atas penulis berkesimpulan bahwa zakat
adalah kewajiban atas harta yang telah ditetapkan oleh syariat untuk dikeluarkan
dengan mengikuti aturan-aturan syari’at yang ditujukan untuk golongan-golongan
yang telah ditetapkan oleh syariat.
2. Dasar Hukum Zakat.
Abdurrahman Qadir (1998 : 43) menjelaskan “penggunaan lafadz zakat
seperti yang diutarakan dengan segala bentuknya di dalam al-Qur’an terulang
sebanyak 30 kali, dan 27 kali di antaranya digandengkan dengan kewajiban
22
mendirikan shalat.” Hal ini memberi isyarat tentang eratnya hubungan ibadah
zakat dengan ibadah shalat. Ibadah shalat merupakan perwujudan hubungan
dengan Allah SWT dan sesama manusia.
Perintah wajib zakat turun di Madinah pada bulan Syawal tahun kedua
Hijrah Nabi SAW. Adapun ayat-ayat yang secara tegas mewajibkan zakat di
antaranya adalah dalam firman Allah SWT dalam al-Qur’an:
Al-Baqarah [2] : 43
)٤٣( الراكعني مع واركعوا الزكاة وآتوا الصالة وأقيموا
Artinya : “dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'.”
Ayat ini ditujukan kepada orang-orang Ahli Kitab, “Dan dirikanlah salat”,
merupakan perintah Allah kepada mereka agar mereka salat bersama Nabi Saw.
Dan firman-Nya, “Dan tunaikanlah zakat”, merupakan perintah Allah kepada
mereka agar mereka menunaikan zakat, yakni menyerahkannya kepada Nabi Saw.
Dan firman Allah Swt., “Dan rukuklah kalian bersama orang-orang yang rukuk,”
merupakan perintah Allah kepada mereka agar melakukan rukuk (salat) bersama
orang-orang yang rukuk (salat) dari kalangan umat Muhammad Saw (Ibnu katsir,
2000 : 445-446). Dari sini kita dapat melihat bahwa perintah-perintah tersebut
tentu harus menjadi perhatian utama bagi seorang muslim karena hal tersebut pun
bahkan diperintahkan kepada ahli kitab yang notabene bukan Islam.
23
Al-Bayyinah [98]: 5
الزكاة ويؤتوا الصالة ويقيموا حنفاء الدين له مخلصني الله ليعبدوا إال أمروا وماكذلو يند ة٥( القيم(
Artinya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.”
An-Nuur [24] : 56
)٥٦( ترحمون لعلكم الرسول وأطيعوا الزكاة وآتوا الصالة وأقيموا
Artinya: “dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada rasul, supaya kamu diberi rahmat.”
Di dalam kitab Tafsir Al-Maraghi (1985 : 355) dijelaskan tentang tafsir
surat al-Bayyinah ayat 5 di atas bahwa “yang dimaksud dengan mendirikan shalat
adalah melakukan shalat dengan khusyu terhadap ke-Mahabesaran Allah Sang
Maha Pencipta yang disembah. Dengan demikian, ia selalu berupaya
membiasakan diri menyembah-Nya. dan maksud menunaikan zakat adalah
menginfakkan (membayarkan) harta kepada golongan yang sudah ditentukan,
seperti yang sudah dijelaskan di dalam Kitabullah.” Sedangkan perihal tafsir surat
An-Nuur ayat 56, Al-Maraghi (1993 : 232) memberikan penafsiran bahwa “Allah
menyeru kepada manusia agar mengeluarkan zakat yang diwajibkan untuk
diberikan kepada orang yang berhak menerimanya, karena di situ terkandung nilai
kebaikan kepada orang fakir, orang miskin, orang yang sedang dalam kesusahan
dan orang yang membutuhkan.”
24
Ayat-ayat di atas menerangkan dengan jelas tentang perintah wajib zakat
termasuk orang-orang yang berhak menerimanya dan kepada mereka yang
memenuhi kewajiban ini dijanjikan pahala yang berlimpah di dunia dan di akhirat
kelak. Sebaliknya, bagi mereka yang menolak membayar zakat telah diancam
dengan hukuman keras sebagai akibat kelalaiannya.
Adapun di dalam hadits, kedudukan zakat dijelaskan sebagai salah satu
rukun Islam:
نبإال يالسم على خسم شهادلإ ال نأ ةاهللا الإ ه نأو محمدا رساهللا لو امقإو الالصة إوياءت كالزاة وحال جبيت وصمو رمانض
“Artinya : Islam itu didirikan atas lima: bersaksi bahwa tiada Tuhan
sekain Allah dan Muhammad itu utusan Allah, mendirikan shalat, Membayar
zakat, menunaikan haji ke baitullah dan berpuasa di bulan Ramadhan.
(Muttafaq alaihi).”
3. Macam-Macam Harta Yang Wajib Dizakati
Para ulama sepakat (Ibnu Rusyd, 1995 : 14) bahwa harta yang wajib dizakati
adalah:
a. Dua jenis logam, yaitu emas dan perak yang bukan untuk perhiasan b. Tiga jenis hewan, yaitu unta, sapi, dan kambing. c. Dua jenis tanaman biji, yaitu jagung dan gandum d. Dua jenis buah-buahan, yaitu kurma dan anggur Selain itu pendapat lain (Sayyid Sabiq, 1978 : 34-88) menyebutkan bahwa
jenis harta yang wajib dizakatkan yakni:
a. Zakat mata uang: emas dan perak
b. Zakat perniagaan
c. Zakat tanaman dan buah-buahan
d. Zakat ternak
25
e. Zakat rikaz dan barang tambang.
Ulama kontemporer seperti Yusuf Qardhawi (2006, 433-490) menambahkan
selain dari yang lima di atas yakni zakat investasi pabrik, gedung; zakat pencarian
dan profesi; zakat saham dan obligasi.
Selanjutnya akan dibahas secara ringkas mengenai macam-macam zakat di
atas:
a. Zakat Emas dan Perak
Kewajiban zakat emas dan perak (Sayyid Sabiq, 1978 : 34) didasarkan kepada
firman Allah Q.S At-Taubah [9] : 34 :
بالباطل الناس أموال ليأكلون والرهبان األحبار من كثريا إن آمنوا الذين أيها يا سبيل في ينفقونها وال والفضة الذهب يكنزون والذين الله سبيل عن ويصدون
الله مهرشذاب فبيم بع٣٤( أل( Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya sebahagian besar
dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar
memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi
(manusia) dari jalan Allah. dan orang-orang yang menyimpan emas dan
perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah
kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.”
“Menurut Malik, Asy-Syafi’i, Abu Hanifah, dan pendukungnya serta
Ahmad dan sejumlah ulama fiqh, nisab emas adalah seberat 20 dinar yang
senilai 200 dirham” (Ibnu Rusyd, 1995 : 23) . Sedangkan nishab perak (Sayyid
Sabiq, 1978 : 36) yakni “jika banyaknya telah mencapai 200 dirham. Para
ulama fiqh juga member syarat yaitu berlalunya waktu satu tahun dalam
26
keadaan nishab, juga jumlah yang wajib dikeluarkan ialah dua setengan persen
(2,5%).”
Mengenai perhiasan wanita berupa emas dan perak, terdapat
perbedaan. “Abu Hanifah dan Abu Hazm mengatakan wajib bila sampai
senisab, adapun ketiga imam lainnya, mereka berpendapat bahwa tidak wajib
zakat pada perhiasan-perhiasan wanita, berapa juga banyaknya” (Sayyid
Sabiq, 1978 : 39-41).
b. Zakat Perniagaan
Dasar Kewajiban zakat perniagaan yakni Al-Baqarah[2]: 267:
ياأيها الذين آمنوا أنفقوا من طيبات ما كسبتم ومما أخرجنا لكم من الأرض “Hai orang-orang yang beriman infaqkanlah sebagian dari hasil
usaha kamu yang baik…” Mujahid berkata, tentang firman Allah min thayyibati ma kasabtum,
“maksudnya adalah dari tijarah” (Tafsir at-Thabari, V:555)
Selain itu juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud
dari Samurah bin Jundab yang mengatakan:
أن نخرج الصدقة من الذي فإن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يأمرنا نعد للبيع
“Sesungguhnya Rasulullah saw. memerintah kita untuk mengeluarkan zakat dari barang-barang yang kita sediakan untuk jual-beli.” (H.R. Abu Daud (Sunan Abu Daud, II:95, No. 1562), Ibnu Abdul Barr (at-Tamhid, XVII:130), dan al-Baihaqi (as-Sunan al-Kubra, IV:146). Redaksi di atas menurut riwayat Abu Daud.
Disyaratkan (Muhammad Jawad Mughniyah, 1996 : 185) bahwa
“harga atau nilai barang-barang dagangan tersebut harus mencapai nishab.
27
Maka nilai harga yang menjadi standar adalah nilai harga emas dan perak.
Demikian pula “barang-barang tersebut harus genap satu tahun” (Ibnu Rusyd,
1995 : 51).
c. Zakat Tanaman dan Buah-Buahan
Dasar kewajiban zakat tanaman dan buah-buahan yakni berdasarkan
kepda Alqur’an surat Al-An’am [6]: 141 :
وهي وأ الذشأن اتنج اتوشرعم رغيو اتوشرعل مخالنو عرالزفا ولتخم ون أكلهتيالزان ومالرا وابهشتم رغيو ابهشتكلوا م نم رهإذا ثم روا أثمآتو قهح موي هادصال حرفوا وست هال إن بحي نيرفس١٤١( الم(
“Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang
tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila Dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.”
Ulama mazhab berbeda pendapat tentang tanaman dan buah-buahan
yang wajib dizakati. “Hanafi: semua buah-buahan dan tanaman yang keluar
dari bumi wajib dizakati, kecuali kayu, rumput, dan tebu Persi. Maliki dan
Syafi’i: setiap tanaman dan buah-buahan yang disimpan untuk kepentingan
belanja wajib dizakati, seperti gandum, beras, kurma, dan anggur. Hambali:
semua tanaman dan buah-buahan yang ditimbang dan yang disimpan wajib
dizakati” (Muhammad Jawad Mughniyah, 1996 : 187).
28
“Mengenai besaran zakatnya ada dua macam, ada yang 10%, ada juga
yang 5%. Hal ini bergantung pada pola pengairan pertanian tersebut. Jika
pertanian itu pengairannya mengandalkan air hujan maka zakatnya 10%, tetapi
apabila pengairannya menggunakan tenaga manusia, binatang, atau alat-alat
pengairan maka zakatnya 5% “(Wawan Shofwan Sholehuddin, 2011 : 118).
d. Zakat Ternak
Hewan Ternak yang wajib dizakati yakni : unta, sapi, dan kambing.
1) Zakat unta nishabnya:
Dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu, diriwayatkan bahwasanya
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
.ليس فيما دون خمس ذود من اإلبل صدقة
“Tidak ada zakat pada unta yang jumlahnya kurang dari 5 ekor.
Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/310, no. 1447) ini
adalah lafazhnya, Shahiih Muslim (II/673, no. 979), Sunan at-Tirmidzi (II/69,
no. 622), Sunan an-Nasa-i (V/17), Sunan Ibnu Majah (I/571, no. 1793).
2) Zakat Sapi
Nishab Dan Ukuran (Jumlah) Yang Wajib Dikeluarkan:
Diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu anhu, ia berkata,
“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengutusku ke Yaman dan
beliau memerintahkanku agar mengambil zakat dari setiap 40 ekor sapi,
seekor sapi betina berumur dua tahun lebih (musinnah), dan dari setiap 30
ekor sapi, seekor anak sapi berumur setahun lebih (tabi’) yang jantan atau
yang betina.” [Shahih Sunan Abi Dawud (no. 1394)], Sunan at-Tirmidzi
29
(II/68, no. 619), Sunan Abi Dawud (IV/457, no. 1561), Sunan an-Nasa-i
(V/26), Sunan Ibni Majah (I/576, no. 1803) dan lafazh ini adalah miliknya,
sedangkan dalam riwayat yang lainnya ada tambahan pada akhir hadits ini.
3) Zakat Kambing
Nishab Dan Jumlah Yang Wajib Dikeluarkan :
Dari Anas bahwasanya Abu Bakar telah menulis surat untuknya yang
berisi kewajiban zakat yang telah diwajibkan Allah dan Rasul-Nya, di antara
isinya, “Zakat kambing yang dilepas mencari makan sendiri, jika telah
mencapai jumlah 40 hingga 120 ekor, zakatnya seekor kambing. Jika lebih
dari 120 hingga 200 ekor, zakatnya dua ekor kambing. Jika lebih dari 200
hingga 300 ekor, zakatnya tiga ekor kambing. Jika lebih dari 300 ekor
kambing, maka setiap 100 ekor zakatnya satu ekor kambing. Apabila jumlah
kambing yang dilepas mencari makan sendiri tersebut kurang dari 40 ekor,
maka tidak wajib atasnya zakat kecuali jika pemiliknya menginginkan hal
tersebut.” [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 1375)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul
Baari (III/317, no. 1454, III/316, no. 1453)), Sunan Abi Dawud (IV/431, no.
1552), Sunan an-Nasa-i (V/18), Sunan Ibni Majah (I/575, no. 1800) pada
hadits yang kedua saja.
e. Zakat Rikaz dan Barang Tambang
‘Tidak ada nishab dan haul bagi zakat rikaz. Oleh karena itu setiap
menemukan harta karun langsung dikeluarkan zakatnya 20%” (Wawan
Shofwan Shalehuddin, 2011 : 160). Sedangkan zakat barang tambang yakni
2,5% dari barangnya atau seharga itu, Syafi’i mensyaratkan haul sedangkan
Maliki tidak.
f. Zakat Investasi Pabrik, Gedung
Menurut pencetusnya, qardhawi mendefinisikan zakat investasi ini
sebagai hasil eksploitasi. Hasil eksploitasi menurut beliau adalah, “Kekayaan
yang wajib zakat atas materinya, dikenakan bukan karena diperdagangkan
30
tetapi karena mengalami pertumbuhan yang memberikan penghasilan dan
lapangan usaha kepada pemiliknya, dengan menyewakan itu atau menjual
produksinya.” (Yusuf Qardhawi, 2006 : 434). Adapun nishab zakat investasi
gedung ini menggunakan nishab uang yakni seharga 85 gram emas.
g. Zakat Profesi
“Profesi adalah segala usaha yang halal yang mendatangkan hasil (uang) yang
relatif banyak dengan cara yang mudah, baik melalui sesuatu keahlian tertentu
atau tidak” (Fakhruddin, 2009 : 58). Mengenai pembahasan zakat profesi akan
dibahas lebih detil pada pembahasan selanjutnya.
h. Zakat Saham dan Obligasi
Saham adalah hak pemilikan tertentu atas kekayaan satu perseorangan
terbatas atau atas penunjukan atas saham tersebut. Tiap saham merupakan
bagian yang sama kekayaan itu. Obligasi adalah perjanjian tertulis dari bank,
perusahaan, atau pemerintah kepada pembawanya untuk melunasi sejumlah
pinjaman dalam masa tertentu dengan bunga tertentu pula. (Yusuf Qardhawi,
2006 : 490-491). Adapun mengenai nishab terjadi perbedaan pendapat. Ada
yang mengacu pada zakat uang dan ada pula yang mengacu pada zakat
pertanian.
4. Sejarah Perkembangan Zakat Pada Masa Awal Islam
Pada masa awal Islam, yakni masa Rasulullah SAW dan para sahabat,
prinsip prinsip Islam telah dilaksanakan secara demonstratif, terutama dalam hal
zakat yang merupakan rukun Islam ketiga setelah syahadat dan shalat. Secara
31
nyata, zakat telah menghasilkan perubahan ekonomi yang menyeluruh dalam
masyarakat muslim (Muhammad, 2002 : 34-35). Permasalahan zakat tidak dapat
dipisahkan dari usaha dan penghasilan masyarakat. Demikian juga pada zaman
Nabi Muhammad SAW pada tahap awal Hijriyah di Madinah, zakat belum
dijalankan. Pada tahun pertama di Madinah itu, Nabi dan para sahabatnya beserta
segenap kaum Muhajirin masih dihadapkan bagaimana menjalankan usaha
penghidupan di tempat baru tersebut. Sebab tidak semua di antara mereka orang
yang berkecukupan, kecuali Utsman bin Affan, juga karena semua harta benda
dan kekayaan yang mereka miliki ditinggal di Makkah (Syukri Ghozali, 1993 :
175-176). Maka pada zaman khalifah Utsman bin Affan, pengumpulan zakat tidak
lagi dipusatkan pada khalifah. Karena, orang-orang sudah memiliki pandangan
yang berbeda dalam menyerahkan zakat, ada yang langsung kepada orang miskin
dan ada pula yang menyerahkannya kepada para utusan Utsman. Di samping itu,
daerah kekuasaan Islam sudah sangat luas sehingga pengantar zakat ditangani
oleh gubernur daerah masing-masing. Utsman membolehkan pembayaran zakat
dengan barang-barang yang tidak nyata seperti uang, emas, dan perak langsung
diberikan kepada yang membutuhkan. Sementara untuk barang yang nyata seperti
hasil pertanian, buah-buahan dan ternak dibayarkan melalui baitul maal, dan yang
bertanggung jawab untuk system pembagiannya adalah Zaid bin Tsabit
(Muhammad, 2002 : 36-37).
Selanjutnya, diceritakan dalam sejarah peradaban Islam, bahwa
keberhasilan pemerintahan Islam yang mencapai puncaknya sewaktu dipimpin
oleh khalifah Umar bin Abdul Azis. Meskipun masa kekhalifahannya cukup
32
singkat, hanya sekitar 3 tahun, umat Islam akan terus mengenangnya sebagai
khalifah yang berhasil mensejahterakan rakyat.
Ibnu Abdil Hakam meriwayatkan, Yahya bin Said, seorang petugas zakat
masa itu berkata, "Saya pernah diutus Umar bin Abdul Aziz untuk memungut
zakat ke Afrika. Setelah memungutnya, saya bermaksud untuk memberikannya
kepada orang-orang miskin. Namun, saya tidak menjumpai seorangpun. Umar bin
Abdul Aziz telah menjadikan semua rakyat pada waktu itu berkecukupan.
Akhirnya, saya memutuskan untuk membeli budak lalu memerdekakannya.”
(http://media.isnet.org/ : diakses tanggal 5 Oktober 2011)
Kemakmuran itu tidak hanya ada di Afrika, tetapi merata di seluruh
penjuru wilayah Khilafah, seperti Irak dan Basrah. Mungkin indikator
kemakmuran yang ada waktu itu sulit akan terulang kembali, yaitu para amil zakat
berkeliling di perkampungan-perkampungan Afrika, tapi mereka tidak
menemukan seorangpun yang mau menerima zakat. Negara benar-benar
mengalami surplus, bahkan sampai ke tingkat di mana hutang-hutang pribadi dan
biaya pernikahan wargapun ditanggung oleh negara.
Muhammad (2002 : 177) menjelaskan bahwa “Umar bin Abdul Aziz telah
memungut zakat penghasilan yang berasal dari pemberian, hadiah, gaji pegawai,
honorarium, harta sitaan, dan lain-lain. Dengan demikian, pada zaman ini telah
dikenal zakat penghasilan atau zakat profesi, walaupun bentuk-bentuk
pendapatannya masih sederhana dibandingkan dengan kondisi seperti sekarang.”
Sumbangan terbesar yang ia berikan pada umat Islam dalam pengelolaan
zakatnya adalah ia telah berhasil membuat masyarakat menjadi kaya dalam kurun
33
waktu tiga puluh bulan, yakni selama masa pemerintahannya, sehingga tidak lagi
ditemukan orang-orang yang berhak menerima zakat. Hal ini membuktikan,
bahwa sistem ekonomi Islam memiliki landasan yang kuat, dan tidak sekedar
konsep dalam pikiran, tetapi juga terasa pengaruhnya terhadap yang
ditimbulkannya.
5. Tujuan Zakat
Berdasarkan jenis-jenis harta yang wajib dizakati dapat dijadikan sebagai
salah satu sumber hukum yang mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam
pelaksanaan zakat di masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari segi tujuan dan fungsi
zakat dalam peningkatan martabat hidup manusia. Zakat mempunyai tujuan yang
banyak (multi purpose).
Adapun tujuan dan dampak zakat bagi si pemberi dijelaskan oleh Yusuf
Qaradhawi (2006 : 848) sebagai berikut:
a. Zakat mensucikan jiwa dari sifat kikir.
Zakat yang dikeluarkan karena ketaatan pada Allah akan mensucikan jiwa dari segala kotoran dan dosa, terutama kotornya sifat kikir. Penyakit kikir ini telah menjadi tabiat manusia, yang juga diperingatkan oleh Rasulullah SAW sebagai penyakit yang dapat merusak manusia sekaligus penyakit yang dapat memutuskan tali persaudaraan.
b. Zakat mendidik berinfak dan memberi.
Berinfak dan memberi adalah suatu akhlak yang sangat terpuji dalam al-Qur’an, yang selalu dikaitkan dengan keimanan dan ketaqwaan. Orang terdidik juga siap untuk meninfakkan hartanya sebagai bukti kasih sayang kepada saudaranya dalam rangka kemaslahatan umat, dan tentunya akan sangat jauh sekali dari keinginan mengambil harta orang lain dengan merampas dan mencuri (juga korupsi).
c. Zakat mengembangkan kekayaan batin.
34
Dengan mengamalkan zakat mendorong manusia untuk menghilangkan egoisme, menghilangkan kelemahan jiwanya, dan sebaliknya menimbulkan jiwa besar dan menyuburkan perasaan optimisme.
d. Zakat merupakan manifestasi dari rasa syukur atas nikmat Allah SWT karena harta kekayaan yang diperoleh seseorang atas karunia-Nya. Dengan bersyukur, harta dan nikmat itu akan bertambah dan berlipat ganda.
e. Zakat melaksanakan tanggung jawab masalah sosial, karena harta kekayaan yang diperoleh oleh orang yang kaya, tidak terlepas dari adanya andil dan bantuan orang lain baik langsung maupun tidak langsung.
Sedangkan tujuan dan dampak zakat bagi si penerima atau mustahaq
menurut Abdurrahman Qadir (1998 : 82) adalah:
a. Zakat untuk memenuhi kebutuhan hidup, terutama kebutuhan primer sehari-hari, dan tersucikannya hati mereka dari rasa dengki dan kebencian yang sering menyelimuti hati mereka melihat orang kaya yang bakhil.
b. Zakat akan menimbulkan di dalam jiwa mereka rasa simpatik, hormat, serta tanggung jawab untuk ikut mengamankan dan mendoakan keselamatan dan pengembangan harta orang-orang kaya yang pemurah.
c. Zakat akan mendorong mereka dan memberi kesempatan kepada mereka untuk berusaha dan bekerja keras sehingga pada gilirannya berubah dari golongan penerima zakat menjadi golongan pembayar zakat.
d. Zakat dapat membantu memecahkan permasalahan yang dihadapi oleh algharimin (orang yang terlilit hutang), ibnu sabil (orang yang sedang dalam perjalanan), dan para mustahiq lainnya.
e. Zakat dapat membantu mengurangi dan mengangkat kaum fakir miskin dari kesulitan hidup dan penderitaan mereka. Di mana saat ini, dapat kita lihat banyaknya anak kecil di lampu merah, pengemis, pengamen yang berkeliaran dari gang ke gang, maka dengan zakat ini, sedikit banyak membantu penyelesaikan penyakit sosial.
6. Hikmah Zakat
Menurut Nasruddin Razak (1996 : 193), terdapat beberapa hikmah zakat, yaitu:
a. Zakat sebagai manifestasi rasa syukur dan pernyataan terima kasih
hamba kepada Khalik yang telah menganugerahkan rahmat dan nikmat-Nya berupa kekayaan;
b. Zakat mendidik manusia membersihkan ruhani dan jiwanya dari sifat bakhil, kikir, dan rakus dan sebaliknya mendidik manusia menjadi
35
dermawan, pemurah, latihan disiplin dalam menunaikan kewajiban dan amanah kepada yang berhak dan berkepentingan;
c. Dalam struktur ekonomi Islam, maka sistem zakat menunjukkan bahwa sifat perjuangan Islam selalu berorientasi pada kepentingan kaum dhuafa (kaum lemah);
d. Ajaran zakat menunjukkan bahwa kemiskinan adalah musuh yang harus dilenyapkan karena kemiskinan salah satu sumber kejahatan dan kekufuran;
e. Zakat menghilangkan perbedaan-perbedaan sosial yang tajam, dapat menjadi alat untuk menghilangkan jurang pemisah antara orang-orang kaya dan orang-orang miskin.
B. Pengertian Profesi dan Zakat Profesi
Kata profesi berasal dari bahasa Inggris “profession”, yang artinya
pekerjaan dan pernyataan, pengertian seperti ini dapat ditemukan dalam kamus
bahasa Inggris maupun dalam kamu popular, antara lain:
1. John M. Echols dan Hasan Shadily mengatakan dalam bukunya bahwa
pengertian profesi berasal dari kata “Profession” yang berarti: 1)
perkerjaan, seperti ungkapan, what is your profession?, apa pekerjaan mu?
The medical profession, pekerjaan seorang dokter, the teaching profession,
pekerjaan seorang guru, pekerjaan mengajar; the engineering profession,
pekerjaan seorang insinyur, pekerjaan teknik mesin. 2). Pernyataan (of
Faith)” (John M. Echols, 1995 : 449)
2. Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al-Barry menjelaskan pengertian profesi
sebagaimana berikut: “ Profesi adalah riwayat pekerjaan: pekerjaan tetap,
pencaharian, pekerjaan yang merupakan sumber pengidupan, jabatan,
kepercayaan agama, pernyataan, keterangan” (Pius A. Partanto, 1994 :
627).
36
3. Di dalam kamus bahasa Indonesia disebutkan: “profesi adalah bidang
pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (keterampilan, kejujuran dan
sebagainya) tertentu. Professional adalah yang bersangkutan dengan
profesi, memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya.” (KBBI
Online.com : diakses tanggal 1 November 2011)
Dengan demikian, dari definisi tersebut di atas maka diperoleh rumusan,
“profesi adalah segala usaha yang halal yang mendatangkan hasil (uang) yang
relatif banyak dengan cara yang mudah, baik melalui sesuatu keahlian tertentu
atau tidak.” (Fakhruddin, 2009 : 58):
Sehingga dari kriteria tersebut dapat diuraikan jenis-jenis usaha yang
berhubungan dengan profesi seseorang.
Muhammad (2002 : 58) menjelaskan apabila ditinjau dari bentuknya, usaha profesi tersebut dapat berupa :
a. Usaha fisik seperti pegawai, pengrajin dsb.
b. Usaha pikiran seperti konsultan, desainer dsb.
c. Usaha kedudukan seperti komisi dan tunjangan jabatan
d. Usaha modal seperti investasi.
Sedangkan apabila ditinjau dari hasil usahanya, profesi dapat berupa :
a. Hasil yang teratur dan pasti, baik setiap bulan, minggu atau hari seperti upah pekerja dan gaji pegawai.
b. Hasil yang tidak tetap dan tidak dapat diperkirakan secara pasti seperti kontraktor, pengacara, royalty pengarang, konsultan.
Yusuf Qardhawi (1996 : 459) dalam buku Hukum Zakat menyatakan bahwa pekerjaan yang menghasilkan uang ada dua macam. Pertama adalah pekerjaan yang dikerjakan sendiri tanpa tergantung kepada orang lain, berkat kecekatan tangan ataupun otak. Penghasilan yang diperoleh dengan cara ini merupakan penghasilan professional seperti
37
penghasilan seorang dokter, insinyur, advokat, seniman, penjahit, tukang kayu dan lain-lainnya. Kedua adalah pekerjaan yang dikerjakan seseorang buat pihak lain baik pemerintah, perusahaan, maupun perorangan dengan memperoleh upah. Penghasilan dari pekerjaan itu berupa gaji, upah, ataupun honorarium.
Bentuk-bentuk usaha tersebut jelas tidak ada pada masa Nabi SAW. dan pada masa ulama’ dahulu, karena pada masa itu masih sangat sederhana. Jadi, berbeda dengan zaman modern sekarang, yang berbagai profesi bermunculan sesuai dengan perkembangan kehidupan modern, yang kiranya tidak pernah terbayangkan oleh para ulama’ pada masa dahulu. Profesi yang dapat mendatangkan rizki secara gampang dan melimpah dewasa ini jumlahnya sangat banyak.
Dari pengertian profesi di atas maka zakat profesi didefinisikan sebagai
“zakat yang dikenakan pada tiap pekerjaan atau keahlian profesional tertentu, baik
yang dilakukan sendiri maupun bersama orang atau lembaga lain, yang
mendatangkan penghasilan (uang) yang memenuhi nishab.” (Didin Hafidhuddin,
2002 : 36)
Zakat profesi merupakan perkembangan kontemporer, yaitu disebabkan
adanya profesi-profesi modern yang sangat mudah menghasilkan uang. Misalnya
profesi dokter, konsultan, advokat, dosen, arsitek, dan sebagainya. Kenyataan
membuktikan bahwa pada akhir-akhir ini banyak orang yang karena profesinya,
dalam waktu yang relatif singkat, dapat menghasilkan uang yang begitu banyak.
C. Perbedaan Pendapat Tentang Hukum Zakat Profesi
1. Argumen Para Pendukung Wajib Zakat Profesi
1.1. Keumuman Dalil-Dalil Zakat
Salah satu argumen para pendukung wajibnya zakat profesi adalah
keumuman nash-nash tentang kewajiban zakat. Di dalam penetapan harta obyek
38
zakat, al-Quran dan Sunnah menggunakan dua metode pendekatan, yaitu
pendekatan tafsil dan pendekatan ijmal. Pendekatan tafsil adalah pendekatan rinci
harta-harta yang harus dikeluarkan zakatnya, seperti hewan ternak, emas dan
perak, perdagangan, barang tambang, hasil pertanian dan rikaz atau barang
temuan.
Seperti contoh hadits yang menerangkan tentang prosentase emas yang harus
dikeluarkan zakatnya:
ل عشرين دينارا عن عاأشة أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يأخذ من ك فصاعدا نصف دينار ومن األربعين دينارادينارا
Dari Aisyah bahwasanya Nabi Saw. mengambil zakat dari setiap dua puluh dinar setengah dinar dan satu dinar dari setiap empat puluh dinar.”(HR. Sunan Ibnu Majah)
Pendekatan ijmal adalah pernyataan al-Quran bahwa zakat diambil dari
harta yang dimiliki dan dari setiap hasil usaha yang baik dan halal. (Didin
Hafidhuddin, 2002 : 47)
لهم سكن صالتك إن عليهم وصل بها وتزكيهم تطهرهم صدقة أموالهم من خذاللهو يعمس يمل١٠٣( ع(
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (At- Taubah : 103)
39
وال األرض من لكم أخرجنا ومما كسبتم ما طيبات من أنفقوا آمنوا الذين أيها يا غني الله أن واعلموا فيه تغمضوا أن إال بآخذيه ولستم تنفقون منه الخبيث تيمموايدم٢٦٧( ح(
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (Al-Baqarah 267)
Ayat-ayat tersebut tidak membedakan antara satu kekayaan dengan
kekayaan lain, satu harta dengan harta lainnya. Maknanya umum mencakup
semua harta hasil usaha, baik barang, harta hasil jasa, dan profesi, sewaan,
kontrakan, hibah, hadiah, warisan, dll.
Karena itu, setiap harta yang memenuhi persyaratan zakat harus
dikeluarkan zakatnya walaupun di zaman Rasulullah saw belum ditemukan contoh
konkretnya. Pendapat ini menjadi salah satu keputusan Muktamar Internasional
pertama tentang zakat di Kuwait tanggal 29 Rajab 1404 H bertepatan 30 April
1984 M. Demikian pula dalam Pasal 11 ayat 2 bab IV Undang-Undang No.
38/1999 tentang Pengelolaan Zakat yang memasukkan obyek zakat yang dianggap
baru seperti perusahaan, pendapat, jasa (profesi).
1.2. Nishab dan Haul Zakat Profesi
Terdapat beberapa kemungkinan kesimpulan dalam menentukan nishab
dan haul yang ditetapkan para pendukung zakat profesi. Hal ini sangat tergantung
pada qiyas (analogi) yang dilakukan. Oleh karena itu, terdapat beberapa
perbedaan di kalangan ulama’. Karena tidak adanya dalil yang tegas tentang zakat
40
profesi (yang sekarang disebut al-mâl almustafad). Sehingga mereka
menggunakan qiyas (analogi) dengan melihat ‘illat (sebab hukum) yang sama
kepada aturan zakat yang sudah ada.
Syaikh Muhammad al-Ghazali menganalogikan zakat profesi kepada zakat
pertanian. Sehingga, berlaku nishab pertanian, tetapi tidak berlaku haul. Zakat
profesi, seperti zakat pertanian, dikeluarkan kapan saja kita memperoleh
penghasilan. Bila pertanian menggunakan irigasi, maka zakatnya 5 %, dan bila
pertanian itu mengambil air dari langit, maka dikeluarkan 10 %. Jadi, kalau
diperkirakan zakat profesi itu seperti sawah yang diairi irigasi atau air hujan, maka
konglomerat tampaknya kebanyakan mengambil air dari langit (Muhammad, 2002
: 64-65).
Lain halnya dengan pendapat Yusuf Qardhawi, yang diperkuat oleh
pendapat Abdur Rahman Hasan, Muhammad Abu Zahrah dan Abdul Wahab
Khalaf, menganalogikan zakat penghasilan dengan nishab emas, yaitu 85 gram.
Dan zakat yang harus dikeluarkan sebesar 2,5 %. Yang paling penting dari besar
nishab tersebut adalah bahwa nishab uang diukur dari nishab tersebut. Banyak
orang memperoleh gaji dan pendapatan dalam bentuk uang, maka yang paling
baik adalah menetapkan nishab gaji itu berdasarkan nishab uang (Yusuf
Qardhawi, 1996 : 482-483). Hal ini sesuai dengan yang pernah dipraktekkan oleh
Ibnu Mas’ud, Khalifah Muawiyah dan Umar bin Abdul Aziz.
Zakat profesi dapat dianalogikan pada dua hal secara sekaligus, yaitu pada
zakat pertanian dan pada zakat emas dan perak. Pendapat ini merupakan jalan
tengah dari pendapat yang menganalogikan kepada zakat pertanian dan zakat
41
emas dan perak. Dari sudut nishab dianalogikan pada zakat pertanian, yaitu
sebesar lima ausaq atau senilai 653 kg padi atau gandum dan dikeluarkan pada
saat menerimanya. Karena dianalogikan pada zakat pertanian, maka bagi zakat
profesi tidak ada ketentuan hawl. Sehingga ketentuan waktu menyalurkannnya
pada saat menerimanya. Penganalogian zakat profesi dengan zakat pertanian
dilakukan karena ada kemiripan antara keduanya (qiyas syabah).” Jika hasil panen
pada setiap musim berdiri sendiri tidak terkait dengan hasil panen sebelumnya,
demikian juga gaji dan upah yang diterimanya, tidak terkait antara penerimaan
bulan kesatu dan bulan kedua dan seterusnya. Berbeda dengan perdagangan yang
selalu terkait antara bulan pertama dan bulan kedua dan seterusnya sampai dengan
jangka waktu satu tahun atau tahun tutup buku. Dari sudut kadar zakat,
dianalogikan pada zakat uang, karena memang gaji, honorarium, upah dan yang
lainnya, pada umumnya diterima dalam bentuk uang. Karena itu kadar zakatnya
adalah sebesar rub’ul usyri atau 2,5 %. (Didin Hafidhuddin, 1997 : 97-98).
Kemudian ada pula kelompok yang berpendapat bahwa zakat profesi,
zakatnya adalah 20%, pendapat ini timbul menggugat ketidakpuasan kepada
pendapat yang mewajibkan zakat profesi hanya sebesar 2.5%. ketidak puasan itu
karena melihat para pelaku ekonomi modern, konglomerat dan sebagainya yang
dengan mudah dan cepat memperoleh penghasilan besar, tetapi zakatnya lebih
rendah padahal mereka pendapatannya diatas rata-rata pendapatan masyarakat
umumnya.
42
1.3. Al-Maal Al-Mustafaad
Para pembela zakat profesi berhujjah dengan apa yang disebut dengan maal
al-mustafaad (harta penghasilan). Mereka menyatakan bahwa terhadap maal al-
mustafad harus dizakati sebesar 1/40 begitu diterima. Mereka juga menyandarkan
pada pendapat-pendapat para shahabat, semisal Ibnu ‘Abbas, Ibnu Mas’ud, dan
Mu’awiyah; sebagian tabi’in misalnya al-Zuhriy, al-Hasan, Makhul, dan al-
Bashriy. (Yusuf Qardhawi, 2006 : 469-472)
1.4. Zakat Bukan Ibadah Mahdhah
Pendukung zakat profesi beranggapan bahwa zakat bukan merupakan ibadah
mahdah, melainkan muamalah atau ibadah sosial, sehingga pengaturannya dapat
sesuai kebutuhan atau rasa keadilan. “Oleh karena itu pada prakteknya dapat
dilakukan peng-qiyas-an pada zakat-zakat lainnya. Hal ini mengacu kepada
kebutuhan atau maslahatul umah (kemaslahatan umat), atau rasa keadilan.”
(Wawan Shofwan Shalehuddin, 2011 : 208)
1.5. Rasa Keadilan
Untuk memperkuat pendapat mereka pendukung wajibnya zakat profesi juga
memberikan logika bahwa Islam tidak memiliki konsepsi mewajibkan zakat atas
petani yang memiliki lahan lima faddan (1 faddan = ½ ha). Sedangkan atas
dokter yang penghasilannya sehari sama dengan penghasilan seorang petani dalam
setahun dari tanahnya yang atasnya diwajibkan zakat pada waktu panen jika
mencapai nishab. Untuk itu harus ada ukuran wajib zakat atas semua kaum
profesi, dan selama sebab (illat) dari dua hal memungkinkan diambil hukum
43
qiyas, maka tidak benar untuk tidak memberlakukan qiyas. (Yusuf Qardhawi,
2006 : 480-481).
2. Argumen Penentang Wajib Zakat Profesi
2.1. Dalil-Dalil Umum Zakat Tidak Berlaku Secara Umum
Ayat-ayat yang dipakai pendukung wajib zakat tidak dapat diberlakukan
secara umum (semua kekayaan atau jenis harta), karena tentang zakat sudah
menggunakan ayat-ayat atau hadits khusus. Sebagaimana ayat tentang shalat itu
mujmal dan baru dapat dilaksanakan dengan tepat dan benar setelah menempatkan
Nabi Saw. sebagai mubayyinul Qur’an (Wawan Shofwan Shalehuddin, 2011
:209-210).
2.2. Pendapat Sahabat Bukan Dalil Syara’
Pada dasarnya riwayat-riwayat yang berbicara tentang maal al-mustafaad,
semuanya berstatus hadits mauquf, yakni hanya bersambung pada thabaqat
shahabat belaka. Dalam konteks seperti ini, maka hadits-hadits tersebut tidak bisa
dijadikan hujjah untuk membenarkan adanya zakat profesi, sebab ia didasarkan
pada pendapat para shahabat. “Pendapat shahabat bukanlah dalil syara’, dan tidak
absah digunakan sebagai hujjah.” (Taqiyuddin Al-Nabhani, tt : 478)
2.3. Zakat Merupakan Ibadah Mahdah
Zakat bukan muamalah yang asalnya serba boleh dan bebas. Zakat adalah
ibadah mahdhah, sama ke-mahdhahannya dengan shalat. Terbukti Allah Swt.
sering sekali menggandengkannya dengan ayat-ayat Alqur’an yang berbicara
44
tentang shalat tanpa pemisahan hukumnya, seperti termaktub dalam Alqur’an
surat:
Qs [2] Al-Baqarah 43 dan 277, Q.s [21] Al-Anbiya: 73, Q.s [18] Maryam: 31 dll.
Jika kita bersikap terhadap shalat selalu harus berasaskan dalil yang shahih
untuk menyatakan adanya, maka seharusnya seperti itulah sikap terhadap ada dan
tidak adanya zakat dari suatu benda. (Wawan Shofwan Shalehuddin, 2011 :211-
214)
2.4. Rasa Keadilan Bukan Manusia Yang Menentukan
Rasa keadilan menurut sekelompok orang tidak dapat dijadikan dasar akan
adanya suatu ibadah mahdah. Sebab jika rasa keadilan sekelompok orang
dijadikan dasar adanya ibadah mahdhah, apa yang akan dilakukan jika orang
merasa tidak adil terhadap shalat shubuh yang hanya dua rakaat padahal biasanya
shubuh orang-orang tidak terlalu sibuk, sementara shalat zuhur empat rakaat
padahal umumnya orang sedang sibuk, apalagi Ashar, banyak orang yang
melakukan tidur siang? Demikian pula Ramadhan biasanya cuaca sangat panas,
mengapa tidak diwajibkan pada bulan-bulan yang bercuaca lebih bersahabat? Jadi
keadilan hakiki itu harus ditentukan dan diterapkan benarnya oleh Allah Swt.
Seperti bagian waris laki-laki dua bagian dari perempuan. Inilah keadilan Allah
Swt. Meskipun banyak manusia menolaknya. Demikian pula laki-laki
diperbolehkan beristri sampai empat, mengapa tidak perempuan tidak
diperbolehkan? Maka pertanyaan-pertanyaan ini adalah pertanyaan ketidak
45
patuhan kepada ke-Mahatahuan Allah Swt. Dan ke Mahabijaksanaan-Nya
(Wawan Shofwan Shalehuddin, 2011 : 217-218).
2.5. Qiyas Tidak Dapat Diterapkan Dalam Masalah Zakat Profesi
Adapun pengqiyasan antara zakat profesi dengan zakat hasil pertanian,
maupun zakat maal, adalah tertolak. Sebab, tidak ada ‘illat dalam zakat hasil
pertanian, sehingga layak untuk diqiyaskan pada profesi selain petani. Adapun
mengenai ‘illat adanya keadilan dan kesetaraan, sesungguhnya ‘illat semacam ini
tidak bernilai sama sekali untuk membangun hujjah. Sebab, ‘illat yang absah
digunakan untuk qiyas adalah ‘illat syar’iyyah, bukan ‘illat ‘aqliyyah. Padahal,
tidak ada satupun dalil yang menunjukkan bahwa ‘illat zakat adalah untuk
kesetaraan dan keadilan. (http://syamsuddinramadhan.wordpress.com : diakses 17
Januari 2012).
2.6. Upah Dari Jasa Atau Profesi Telah Ada Pada Masa Nabi Saw.
Salah satu bantahan yang dikemukakan penentang zakat profesi bahwa di
antara sahabat-sahabat dan isteri-isteri Rasulullah pun ada yang bekerja di bidang
jasa. Seperti di dalam hadits (Wawan Shofwan Shalehuddin, 2011 : 214-215) dari
Anas yang diriwayatkan di dalam shahih Bukhari:
“Bahwasanya ia ditanya mengenai upah membekam. Ia berkata,
“Rasulullah Saw berhijam, dihijam oleh Abu Thaibah dan beliau member upahnya
dua sha’ dari makanan.”
Disamping itu, para perempuan pada masa Nabi Saw. aktif pula dalam
berbagai bidang pekerjaan. Ada yang bekerja sebagai perias pengantin seperti
Ummu Salim binti Malhan yang merias antara lain Shafiyah binti Huyay, istri
46
Nabi Muhammad Saw., serta ada juga yang menjadi perawat, bidan, dan
sebagainya. “Zainab binti Jahsy juga aktif bekerja menyamak kulit binatang,
dan hasil usahanya itu beliau sedekahkan. Sementara itu, Al-Syifa', seorang
perempuan yang pandai menulis, ditugaskan oleh Khalifah Umar r.a. sebagai
petugas yang menangani pasar kota Madinah.” (Quraish Shihab, 1996 : 276)
47
BAB III
STUDI PERBANDINGAN TENTANG METODE ISTINBATH HUKUM
ZAKAT PROFESI DI KALANGAN ULAMA NAHDATUL ULAMA (NU),
MUHAMMADIYAH, DAN PERSATUAN ISLAM (PERSIS) JAWA BARAT
A. Selayang Pandang
1. Deskripsi Singkat Nahdatul Ulama
Pada anggaran dasar Nahdlatul Ulama’ Bab I Pasal I, dijelaskan bahwa
jam’iyyah ini bernama Nahdlatul Ulama’ dan disingkat menjadi NU. Didirikan di
Surabaya pada tanggal 16 Rajab 1344/31 Januari 1926. Keadaan yang melatar
belakangi berdirinya Nahdlatul Ulama’ adalah munculnya kondisi transisi dari
keterpurukan umat menuju kepada penyadaran pemahaman keagamaan
mengalami puncak kejayaannya.” Nahdlatul Ulama’ sebagai sebuah organisasi
massa lahir dari wawasan keagamaan yang bertujuan memajukan paham Islam
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Aliran pemikiran Ahlus Usnnah Wal Jama’ah di
bidang sosial kemasyarakatan berlandaskan pada prinsip-prinsip keagamaan yang
bercorak tasamuh (toleran) dan bersifat tawasut (moderat). (Muhammad Shodiq,
2002 : 42-43)
Salah satu langkah yang dilakukan Nahdlatul Ulama’ untuk meraih
tujuannya adalah dengan membentuk Lajnah Bahtsul Masail atau bisa juga
disebut Bahtsul Masail. Lajnah Bahtsul Masail (lembaga pengkajian masalah-
masalah keagamaan) adalah salah satu lembaga dalam jam’iyyah (organisasi)
Nahdlatul Ulama’ yang menghimpun, membahas dan memutuskan masalah
masalah yang menuntut kepastian hukum dengan mengacu pada empat madzhab
48
yaitu: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Kegiatan Bahtsul Masail sudah ada
sejak Kongres atau Muktamar I (1926). Berdasarkan rekomendasi Muktamar
XXVIII Yogyakarta (25-28 Nopember 1989) dan halaqah denanyar Jombang (26-
28 Januari 1990), PBNU dengan surat keterangan Nomor 30/A.I05/5/1990
membentuk Lajnah Bahtsul Masail Diniyiyah sebagai lembaga permanen yang
menghimpun para ulama’ dan intelektual muda Nahdlatul Ulama’ untuk
menangani persoalan keagamaan dengan melakukan istinbat jama’iy (penggalian
dan penetapan hukum secara kolektif).
Latar belakang munculnya Bahtsul Masail (pengkajian masalah-masalah
agama), yaitu “adanya kebutuhan masyarakat terhadap hukum Islam praktis bagi
kehidupan sehari-hari yang mendorong para ulama’ dan intelektual Nahdlatul
Ulama’ untuk mencari solusinya dengan melakukan Bahtsul Masail.” (Ahmad
Zahro, 2004 : 68)
Walaupun keputusan hukum yang ditelurkan oleh Bahtsul Masail
Nahdlatul Ulama’ ini ditujukan untuk masyarakat, akan tetapi keputusan dari
Bahtsul Masail tidak mengikat masyarakat secara luas. Menurut Ali Yafie
keputusan Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama hanya mengikat pada anggota
organisasi Nahdlatul Ulama’.
Secara umum dapat dikemukakan bahwa sistem pengambilan keputusan
dalam bahtsul masail NU dirumuskan dalam tiga cara atau prosedur. (Husein,
2002 : 9-10) Pertama melalui apa yang sebut dengan taqrir jama’i. melalui cara
ini permasalahan yang dicarikan jawaban dengan mengutip sumber fatwa dari
kitab-kitab yang menjadikan rujukan.
49
Prosedur kedua adalah ilhaq al-masail bi nadzairiha (mempersamakan
hukum suatu kasus/masalah terhadap masalah atau kasus yang serupa yang telah
dijawab oleh ulama). Istilah ini dipakai untuk menggantikan istilah qiyas yang
dipandang tidak patut dilakukan. Pada ilhaq yang diperlukan adalah
mempersamakan persolan fiqh yang belum diketemukan jawabannya dalam kitab
secara tekstual dengan persoalan yang sudah ada jawabannya berdasarkan teks
suatu kitab (mu’tabar). Sementara pada qiyas, persoalan yang belum terjawab
tersebut dirujuk langsung kepada al-Qur’an dan Hadits guna mempersamakan
oleh karena antara kedua memiliki ‘illat yang sama.
Dr. Ahmad Zahro dalam penelitiannya terhadap seluruh keputusan hukum
fiqh Lajnah Bahtsul Masail (1926-1999) menemukan setidaknya 33 keputusan
yang ditetapkan dengan menggunakan metode ilhaqy, 29 keputusan diambil
sebelum Munas Bandar Lampung dan 4 keputusan terjadi sesudahnya. (Ahmad
Zahro, 2004 : 14-16)
Namun secara resmi dan eksplisit metode ilhaqy baru terungkap dan
dirumuskan dalam Munas Bandar Lampung yang menyatakan bahwa untuk
menyelesaikan masalah yang tidak ada qaul/wajh sama sekali, maka dilakukan
prosedur ilhaq al-masail bi nadzairiha secara jama’i (kolektif) oleh para ahlinya.
(Aziz Masyhuri, 1997 : 12-13) Sedangkan prosedur ilhaq adalah dengan
memperhatikan unsur (persyaratan berikut), yaitu mulhaq bih (sesuatu yang belum
ada ketetapan hukumnya), mulhaq alaih (sesuatu yang sudah ada kepastian
hukumnya) dan wajh al-ilhaq (faktor keserupaan antara mulhaq bih dengan
mulhaq alaih) oleh para mulhiq (pelaku ilhaq) yaitu ahli.
50
Prosedur ketiga adalah istinbath. Ini adalah istilah lain dari ijtihad yang
hendak dihindari oleh ulama NU. Secara esensial kedua term ini adalah sama,
yakni melakukan kajian intensif dan maksimal dari ahli terhadap persoalan-
persoalan fiqh melalui teori-teori atau kaidah-kaidah fiqh. Inilah yang dikenal
dengan istilah fiqh manhajy atau berijtihad secara manhajy, yakni dengan
menelusuri dan mengikuti metode istinbath hukum atau jalan pikiran dan kaidah
penetapan hukum yang ditempuh oleh madzhab empat, Hanafi, Maliki, Syafi’i,
dan Hambali. (Aziz Masyhuri, 1997: 13-14)
Proses istinbath atau manhaj ini adalah setelah tidak dapat dirujukkan
kepada teks suatu kitab mu’tabar, juga tidak dapat diilhaqkan kepada hukum
suatu masalah yang mirip dan telah terdapat rujukannya dalam suatu kitab
mu’tabar maka digunakanlah metode istinbath atau manhajy dengan mendasarkan
jawaban mula-mula pada al-Qur’an, setelah tidak ditemukan lalu pada hadits dan
begitu seterusnya yang akhirnya sampailah pada jawaban dari qaidah fiqhiyyah
“daf’al-mafasid muqaddam ‘ala jalb al-mashalih” (menghindari kerusakan lebih
didahulukan dari pada upaya memperoleh kemaslahatan). Hal demikian
dimungkinkan karena prosedur istinbath hukum bagi metode manhajy adalah
dengan mempraktekkan qawaid ushuliyyah (kaidah-kaidah ushul al-fiqh) dan
qawaid fiqhiyyah (kaidah-kaidah fiqh). (Aziz Masyhuri, 1997 : 14-15)
2. Deskripsi Singkat Muhammadiyah
Muhammadiyah (Hamdan Hambali, 2006 : 7) adalah “suatu organisasi
kemasyarakatan yang bergerak di bidang sosial keagamaan yang bertujuan untuk
51
dakwah amar ma’ruf nahi munkar. Muhammadiyah didirikan pada tanggal 8
Dzulhijjah 1330 Hijriyah atau 18 Nopember 1912 Miladiyah almarhum KH.
Ahmad Dahlan.”
Muhammadiyah memiliki majelis-majelis yang disusun berdasarkan
musyawarah yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan
atau muktamar. Salah satunya adalah Majlis Tarjih. Majlis Tarjih adalah suatu
lembaga dalam Muhammadiyah yang membidangi masalah-masalah keagamaan
khususnya di bidang hukum fiqh. Majelis ini dibentuk dan disahkan pada kongres
Muhammadiyah XVII tahun 1928 di Yogyakarta dengan KH. Mas Mansur
sebagai ketuanya yang pertama. Ijtihad dapat dilakukan secara individual dan
dapat pula dilakukan secara kolektif. Muhammadiyah menilih ijtihad dalam
bentuk yang kedua. Hal ini dapat dilihat dengan dibentuknya sebuah lembaga
yang disebut Majelis Tarjih atau Lajnah Tarjih Majelis Tarjih pertama kali
didirikan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan khilafiyah yang pada waktu
itu dianggap rawan oleh Muhammadiyah. Selain itu tugasnya adalah mengarah
pada penyelesaian persoalan-persoalan baru yang belum pernah dibahas
sebelumnya. Tugas menyelesaikan masalah-masalah kontemporer baru
dilaksanakan secara efektif pada tahun 1968. (Hamdan Hambali, 2006 : 64-66)
Sesuai dengan surat keputusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah tentang
Qa’idah Lajnah Majlis Tarjih Muhammadiyah Pasal 2, bahwa tugas Lajnah Tarjih
adalah (Fathurrahman Djamil, 1995 : 166-167):
a. Menyelidiki dan memahami ilmu agama Islam untuk memperoleh
kemurniannya.
52
b. Menyusun tuntunan aqidah, akhlaq, ibadah dan muamalah duniyawiyah.
c. Memberikan fatwa dan nasehat, baik atas permintaan maupun Tarjih
sendiri memandang perlu.
d. Menyalurkan perbedaan pendapat atau faham dalam bidang keagamaan ke
arah yang lebih maslahat.
e. Mempertinggi mutu ulama’.
f. Hal-hal lain dalam keagamaan yang diserahkan oleh pimpinan
persyarikatan.
Tidak semua putusan hukum yang diputuskan oleh Majelis Tarjih adalah
permintaan dari para anggota maupun non anggota Muhammadiyah. Adakalanya
Majelis Tarjih memberikan fatwa atau keputusan hukum atas inisatif dari Majelis
Tarjih sendiri yang karena menganggap perlu untuk memecahkan hukum suatu
kasus.
Dari keterangan di atas dapat difahami bahwa keputusan hukum yang
ditelurkan oleh Muhammadiyah tidak mengikat untuk khalayak umum. Ali Yafie
mengatakan bahwa keputusan Majlis Tarjih Muhannadiyah hanya mengikat bagi
warga Muhammadiyah.
Manhaj Majelis Tarjih Muhammadiyah mempunyai tata aturan dalam
metode ijtihad yang dilakukan. Untuk lebih ringkasnya dalam pokok-pokok
Manhaj Majelis Tarjih dijelaskan sebagai berikut (Asjmuni Abdurrahman, 2002 :
12-24):
a. Di dalam beristidlal, dasar utamanya adalah al-Qur’an dan al-Sunnah al-
Shahihah. Ijtihad dan istinbat atas dasar illah terhadap hal-hal yang tidak
53
terdapat di dalam nash, dapat dilakukan. Sepanjang tidak menyangkut
bidang ta’abbudi dan memang merupakan hal yang diajarkan dalam
memenuhi kebutuhan hidup manusia. Dengan kata lain Majelis Tarjih
menerima ijtihad, termasuk qiyas sebagai cara dalam menetapkan hukum
yang tidak ada nashnya secara langsung.
b. Dalam memutuskan suatu keputusan dilakukan dengan cara musyawarah,
dalam menetapkan masalah ijtihad, dilakukan sistem ijtihad jama’iy.
Dengan demikian pendapat perorangan dari anggota majlis tidak dapat
dipandang kuat.
c. Tidak mengikatkan diri pada suatu madzhab. Tetapi pendapat-pendapat
madzhab dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menetapkan hukum.
Sepanjang sesuai dengan jiwa al-Qur’an dan al-Sunnah atau dasar-dasar
lain yang dipandang kuat.
d. Berprinsip terbuka dan toleran dan tidak beranggapan bahwa hanya
Majelis Tarjih yang paling benar. Keputusan diambil atas dasar landasan
dalil-dalil yang dipandang paling kuat, yang didapat ketika keputusan
diambil. Dan koreksi dari siapapun akan diterima. Selama dapat
memberikan dalil-dalil lain yang lebih kuat. Dengan demikian Majelis
Tarjih dimungkinkan mengubah keputusan yang pernah ditetapkan.
e. Di dalam masalah aqidah (tauhid) hanya dipergunakan dalil-dalil yang
mutawatir.
f. Tidak menolak ijma’ sahabat sebagai dasar suatu keputusan.
54
g. Terhadap dalil-dalil yang terdapat ta’arudh, digunakan cara al-jam’u wa
al-tawfiq. Dan kalau tidak dapat baru dilakukan tarjih.
h. Menggunakan saddu al-zhari’at (amalan yang zhohirnya boleh namun
bisa mengantar kepada sesuatu yang dilarang atau diharamkan) untuk
menghindari terjadinya fitnah dan mafsadah.
i. Menta’lil (member alasan) dapat dipergunakan untuk memahami
kandungan dalil-dalil al- Qur’an dan al-Sunnah selama sesuai dengan
tujuan syari’ah Adapun qaidah “al-hukmu yaduru ma’a 'illatihi wujudan
wa ‘adaman” (hokum tergantung illatnya) dalam hal- hal tertentu dapat
berlaku.
j. Penggunaan dalil-dalil untuk menetapkan suatu hukum dilakukan dengan
cara yang komprehensif, utuh dan bulat serta tidak terpisah.
k. Dalil-dalil umum al-Qur’an dapat ditakhhsis dengan hadits ahad kecuali
dalam bidang aqidah.
l. Dalam mengamalkan agama Islam menggunakan prinsip al-Taysir
(mudah).
m. Dalam bidang ibadah yang diperoleh ketentuan-ketentuannya dari al-
Qur’an dan al-Sunnah penggunaannya dapat menggunakan akal selama
diketahui latar belakang dan tujuannya. Meskipun harus diakui bahwa akal
bersifat nisbi sehingga prinsip mendahulukan nash dari pada akal memiliki
kelenturan dalam menghadapi perubahan situasi dan kondisi.
55
n. Dalam hal-hal yang termasuk al-Umuru al-Dunyawiyah (permasalahan
dunia) yang tidak termasuk tugas para Nabi, penggunaan akal sangat
diperlukan demi kemaslahatan umat.
o. Untuk memahami nash yang musytarak, faham sahabat dapat diterima.
p. Dalam memahami nash, makna zhahir didahulukan dari ta’wil dalam
bidang aqidah. Dan ta’wil sahabat dalam hal itu tidak harus diterima.
3. Deskripsi Singkat Persis
Persatuan Islam (Kamiluddin, 2006 : 66) “berdiri pada awal 1920-an,
tepatnya hari Rabu, 1 Shafar 1342 H (12 September 1923 M) di Bandung oleh
sekelompok orang Islam yang berminat dalam studi dan aktifitas keagamaan yang
dipimpin oleh Haji Zamzam, seorang alumnus Dar al-Ulum Mekkah dan Haji
Muhammad Yunus, seorang pedagang sukses yang sama-sama kelahiran
Palembang. Nama Persatuan Islam itu diberikan untuk mengarahkan jihad dan
ijtihad serta mengupayakan segenap potensi, tenaga, usaha, dan pikiran guna
mencapai harapan dan cita-cita yang sesuai dengan kehendak oraganisasi:
persatuan pemikiran Islam, persatuan rasa Islam, persatuan usaha Islam, dan
persatuan suara Islam.”
Persis tidak mengikatkan diri pada salah satu imam mazhab tertentu.
Persis berpijak pada keyakinan bahwa hidup harus sesuai dengan Alqur’an dan
Sunnah. Mekanisme ijtihad di kalangan Persis menempuh cara seperti yang
ditempuh oleh sahabat dan para imam mazhab mujtahiddin. Dengan kata lain,
56
metodologi pengambilan istinbath hukumnya sebagai berikut (Uyun Kamiluddin,
2006 : 80-81):
1. Mencari keterangan dari Alqur’an, termasuk meneliti tafsir bi al-ma’tsur
dan tafsir bi al-ma’qul al-mahmud. Bila terdapat perbedaan pemahaman
dan penafsiran, penelitian secara sungguh-sungguh segera dilakukan.
Kalau perlu diadakan al-tarjih, thariqat al-jam’i.
2. Bila tidak terdapat dalil Alqur’an, keterangan atau dalil dari Sunnah dicari.
Bila terdapat perbedaan pendapat diadakan penelitian hadits, baik dari segi
sanad maupun matan, sebagai langkah untuk melakukan pentarjihan.
3. Jika tidak terdapat juga dalilnya dalam Sunnah, atsar sahabat dicari dengan
cara yang sama pada butir kedua, tetapi dengan penekanan tidak
berlawanan dengan Alqur’an dan Sunnah yang shahih, termasuk di
dalamnya ijma’ shahabat.
4. Jika tidak terdapat dalil Alqur’an dan Sunnah atau atsar shahabat, metode
Qiyas, istihsan, dan maslahah al-mursalah digunakan dalam masalah-
masalah sosial. Dalam masalah ibadah (mahdhah) digunakan kaidah
“semua dilarang kecuali yang diperintahkan”, sedangkan dalam urusan
sosial keduniaan (maslahah al-mursalah) digunakan “semua boleh kecuali
yang dilarang”. Juga, selalu tidak dilupakan petunjuk dalam masalah
keduniaan “antum a’lamu bi umuri dunyaakum”. Metode ‘urf termasuk
dalam kaidah ini bisa dilakukan sepanjang tidak berlawanan dengan
Alqur’an dan Sunnah.
57
Metode (manhaj) resmi yang digunakan oleh Dewan Hisbah dalam
memutuskan atau mengambil keputusan hukum dengan dasar utama Al-qur’an
dan Hadits ditempuh melalui langkah-langkah seperti berikut ini (Dede Rosyada,
1999 : 89-90):
Dalam beristidlal dengan Alqur’an:
1. Mendahulukan dhahir ayat Alqur’an daripada ta’wil dan memilih cara-cara
tafwidl dalam hal-hal yang menyangkut I’tiqhadiyyah.
2. Menerima dan meyakini isi kandungan Alqur’an sekalipun tampaknya
bertentangan dengan ‘aqly dan ‘ady seperti Isra dan Mi’raj.
3. Mendahulukan makna hakiki daripada majazi, kecuali jika ada alasan
(qarinah), seperti kalimat “au lamastumunnisa” dengan pengertian
bersetubuh.
4. Apabila ayat Alqur’an bertentangan dengan Hadits, didahulukan ayat
Alqur’an sekalipun Hadits tersebut diriwayatkan oleh mutaffaqun’alaih,
seperti dalam menghajikan orang lain.
5. Menerima adanya nasikh dalam Alqur;an dan tidak menerima adanya ayat-
ayat yang mansukh (Nasikh al-Kulli)
6. Menerima tafsir dari para sahabat dalam memahami ayat-ayat Alqur’an
(tidak hanya penafsiran ahlul bait), dan mengambil penafsiran sahabat
yang lebih ahli jika terjadi perbedaan penafsiran di kalangan para sahabat.
7. Mengutamakan tafsir bi al-ma’tsur daripada bi al-ra’yi
58
8. Menerima hadits sebagai bayan terhadap Alqur’an, kecuali ayat-ayat yang
telah diungkapkan dengan sighat hasr, seperti ayat tentang makanan yang
diharamkan.
Dalam beristidlal dengan Hadits:
1. Menggunakan Hadits Shahih dan Hasan dalam mengambil keputusan
hukum
2. Menerima kaidah al-haditsu al-dla’ifu yuqwa ba’dhuhu ba’dhan, jika
kedlaifan hadits tersebut dari segi hapalan rawi (dhabith) dan tidak
bertentangan dengan Alqur’an atau hadits lain yang shahih. Jika dlaifnya
itu dari segi fisq al-rawi atau tertuduh dusta, kaidah itu tidak dipakai.
3. Tidak menerima kaidah al-haditsu al-dlaifu yu’mahu fi fadla’il al-‘amal
karena menunjukkan fadla’il al-‘amal dalam hadits pun banyak.
4. Menerima hadits shahih sebagai tasyri’ yang mandiri, sekalipun bukan
merupakan bayan dari Alqur’an.
5. Menerima hadits ahad sebagai dasar hukum selama hadits tersebut shahih.
6. Hadits mursal sahabat dan mauquf bi al-hukmi dipakai sebagai hujjah
selama sanad hadits tersebut shahih dan tidak bertentangan dengan hadits
yang shahih
7. Hadits mursal thabi’i dijadikan hujjah bila hadits tersebut disertai oleh
qarinah yang menunjukkan ittishalnya hadits tersebut.
8. Menerima kaidah al-jarhu muqaddamun ‘ala atta’dil dengan ketentuan a)
jika yang menjarah menjelaskan jarahnya didahulukan daripada ta’dil; b)
jika yang menjarah tidak menjelaskan sebab jarahnya didahulukan ta’dil
59
daripada jarah; c) jika yang menjarah tidak menjelaskan sebab jarahnya,
tetapi tak seorang pun yang menyatakan tsiqot, jarahnya bisa diterima.
9. Menerima kaidah tentang sahabat “al-shabaatu kulluhum ‘udul”
10. Riwayat orang yang suka melakukan tadlis diterima jika ia menerangkan
bahwa apa yang diriwayatkannya itu jelas shigat tahamul-nya
menunjukkan ittishal, seperti menggunakan kata “haddatsani”.
Dalam masalah-masalah yang tidak ditemukan nash yang sharih dalam
Alqur’an dan Hadits, istinbath ditempuh dengan jalan ijtihad jama’i yang
rumusannnya sebagai berikut (Uyun Kamiluddin, 2006 : 83-84):
1. Tidak menerima ijma’ secara mutlak dalam urusan ibadah, kecuali ijma’
sahabat
2. Tidak menerima qiyas dalam masalah ibadah mahdah, sedangkan dalam
masalah ghair mahdah qiyas diterima selama memenuhi persyaratan qiyas.
3. Dalam memecahkan “ta’arudl al-adilah” diupayakan dengan cara: a)
thariqat al-jam’i, selama masih mungkin dijam’u; b) thariq at-tarjih dari
berbagai sudut dan seginya. ; c) thariqat al-naskhi, jika diketahui mana
yang lebih dulu dan mana yang kemudian.
B. Ulasan Hasil Penelitian
1. Persiapan Penelitian
1.1. Pembuatan Pedoman Wawancara
Pedoman wawancara dibuat dengan tujuan memudahkan penulis saat
wawancara. Di antara manfaat dibuatnya pedoman wawancara yakni menjaga
60
agar arah pembicaraan tetap pada jalur yang diinginkan sehingga data-data
yang dibutuhkan dapat diperoleh. Dalam hal ini penulis telah membuat
pedoman wawancara yang isinya terdiri dari 16 pertanyaan yang terkait
dengan zakat profesi. Pertanyaan-pertanyaan ini telah mendapat persetujuan
oleh pembimbing 1.
1.2. Permohonan Surat Izin
Sebelum melakukan wawancara dengan ulama Nahdatul Ulama,
Muhammadiyah dan Persatuan Islam yang menjadi responden, terlebih dahulu
penulis meminta surat permohonan izin penelitian yang ditujukan kepada tiga
organisasi yang akan menjadi responden. Surat izin penelitian dibuat oleh staff
administrasi Fakultas Syari’ah Unisba yang ditandatangi oleh dekan fakultas.
Hal ini sebagai bagian dari persyaratan administrasi yang diminta oleh
responden, karena ada responden yang baru bersedia diwawancara apabila
persyaratan administratifnya terpenuhi.
1.3. Ulasan Hasil Wawancara
Berikut ini adalah hasil wawancara yang penulis tulis dalam format tabel:
61
PERTANYAAN I
1. Apa yang dimaksud zakat profesi?
NO NAMA ORGANISASI JAWABAN
1 Ust. Mujiyo NU Belum ada definisi khas dari NU, seperti pemahaman umum saja yang Saya ketahui.
2 Ust. Maftuh Kholil
NU Zakat dari setiap usaha apapun bentuknya yang menghasilkan keuntungan dana.
3 Ust. Asep Syarif
NU Zakat Profesi itu adalah zakat dari penghasilan yang belum sampai kepada haulnya.
4 Ust. Sanusi Uwes
Muhammadiyah Karena zakat merupakan ibadah Mahdoh yang terkait dengan sosial maka Muhammadiyah tidak terpaku hal yang harus dizakati itu kepada yang lima. Prinsip Muhammadiyah itu yang harus dizakati penghasilan dari usaha.
5 Ust. Ayat Dimyati
Muhammadiyah Zakat profesi adalah zakat dikenakan pada penghasilan yang diperoleh dari profesi.
6 Ust. Abdurrahman
Muhammadiyah Jadi yang dimaksud Muhammadiyah orang menyebut zakat profesi itu artinya zakat hasil usaha profesi, jadi bukan profesinya, tapi zakat hasil profesinya.
7 Ust. Wawan Sofwan
Persis Profesi itu kan artinya jasa.
8 Ust. Zae Nandang
Persis Setiap keahlian seseorang dalam bidang tertentu.
9 Ust. Ahmad Hasan
Persis Profesi itu kegiatan usaha/ekonomi yang lebih banyak bergulat di dunia jasa.
62
PERTANYAAN II
2. Pekerjaan apa saja yang dikenai zakat profesi?
NO NAMA ORGANISASI JAWABAN
1 Ust. Mujiyo NU Segala pekerjaan selain yang telah ditetapkan kelompoknya di dalam Qur’an dan Hadits.
2 Ust. Maftuh Kholil
NU Dokter, penyanyi, atau profesi-profesi lainnya di luar yang lima.
3 Ust. Asep Syarif
NU Para karyawan, pekerja, selain yang ditetapkan Al-Qur’an dan Hadits
4 Ust. Sanusi Uwes
Muhammadiyah Prinsipnya adalah penghasilan. Penghasilan dari kegiatan yang mumpuni dikuasai seseorang secara sangat baik, itu disebutnya orang yang sangat professional.
5 Ust. Ayat Dimyati
Muhammadiyah Setiap pekerjaan yang menghasilkan uang, baik pekerjaan itu dikerjakan sendiri tanpa tergantung orang lain (konsultan, dokter, notaris, akuntan, artis, penjahit, pelukis, dan lain-lain) maupun pekerjaan yang dilakukan secara bersama-sama misalnya pegawai (negeri atau swasta) dengan sistem upah atau gaji.
6 Ust. Abdurrahman
Muhammadiyah Profesi itu kan artinya keahlian, ada profesi guru, dokter, dan lain-lain.
7 Ust. Wawan Sofwan
Persis Setiap pekerjaan yang bergerak di bidang jasa.
8 Ust. Zae Nandang
Persis Ya itu pemahamannya jadi luas.
9 Ust. Ahmad Hasan
Persis Dosen, karyawan, setiap pekerjaan yang bergulat di bidang jasa.
63
PERTANYAAN III
3. Bagaimana hukum zakat profesi?
NO NAMA ORGANISASI JAWABAN
1 Ust. Mujiyo NU NU menerima pemikiran mazhab Hanafi yang rasional sehingga seluruh penghasilan termasuk di luar yang telah ditetapkan kelompoknya wajib zakat. Hanya NU masih kesulitan menentukan formatnya.
2 Ust. Maftuh Kholil
NU Wajib. Namun di kalangan ulama NU ada pula yang berpendapat lain, tidak wajib. Mereka berpegang pada tekstual yang ada pada kitab-kitab kuning yang wajib zakatnya itu hanya yang sudah dikenal
3 Ust. Asep Syarif
NU Wajib, walaupun di kalangan ulama NU sendiri ada perbedaan, ada yang berpendapat tidak wajib.
4 Ust. Sanusi Uwes
Muhammadiyah Profesi yang menjadi kasab yang dengan itu dapat penghasilan itu wajib dikeluarkan zakatnya.
5 Ust. Ayat Dimyati
Muhammadiyah Wajib, sesuai dengan Keputusan Musyawarah Nasional XXV Tarjih Muhammadiyah.
6 Ust. Abdurrahman
Muhammadiyah Wajib asalkan sesuai seperti yang Bapak jelaskan tadi.
7 Ust. Wawan Sofwan
Persis Tidak ada satupun dalil yang menyebutkan secara tekstual adanya zakat dari jasa ini, adapun sebaliknya secara kontekstual zaman Rasul pun orang-orang yang bergerak di bidang jasa pun banyak tetapi tidak ada ketentuan zakatnya, kalau di qur’an ada zakat itu pasti disebut.
8 Ust. Zae Nandang
Persis Persis berkesimpulan tidak ada zakat profesi, yang ada istilahnya infaq profesi.
9 Ust. Ahmad Hasan
Persis Persis tidak mengenal zakat profesi. Karena zakat itu sebagai ibadah maliyah ijtimaiyah jadi termasuk ibadah mahdah. Karenanya harus ada landasan hukum al-Qur’an dan al-Sunnah.
64
PERTANYAAN IV
4. Bagaimana metode istinbath hukum tentang zakat profesi?
NO NAMA ORGANISASI JAWABAN
1 Ust. Mujiyo NU Istinbathnya mengacu pada ayat-ayat umum tentang zakat. NU mengikuti paham taklid, cuma taklid itu terbagi dua, taklid qauli dan taklid manhajy. Taklid qauly itu mencari pendapat-pendapat ulama di kalangan fuqoha. Apabila setelah dikaji ternyata benar, maka diterima. Kalau kita tidak terima baru menggunakan taklid manhajy, artinya kita menggunakan metode ijtihad menurut ulama yang dapat dipedomani NU.
2 Ust. Maftuh Kholil
NU Itu berdasarkan firman Allah anfiqu mimma kasabtum yakni Surat al-Baqarah, kemudian juga di ayat lain yakni wa aatu haqqahu yauma hasodih, tunaikan kewajiban2 itu pada hari memetik hasilnya, orang seringkali menterjemahkan yauma hasodih itu pada hari memetiknya, sebenarnya di situ dapat diartikan bukan hanya dikhususkan pada pertanian tetapi ketika kita menghasilkan uang disitulah wajib zakat.
3 Ust. Asep Syarif
NU Istinbath hukum nya itu seperti wa aatu haqqahu yauma hasodih, dari situ ada ketentuan wajib.
4 Ust. Sanusi Uwes
Muhammadiyah Kalau Majelis Tarjih orientasi istinbath hukumnya itu (surat al-Baqarah), kasab itu yang menjadi dalil.
5 Ust. Ayat Dimyati
Muhammadiyah Kewajiban zakat profesi didasarkan kepada nash-nash yang bersifat umum seperti At-Taubah : 103, Al-Baqarah : 267, Adz-Dzariyaat : 19.
6 Ust. Abdurrahman
Muhammadiyah Banyak, dalil-dalil nya ayat-ayat umum tentang wajibnya zakat, mengikuti aturan-aturan fiqh yang telah berlaku. Jadi karena si profesi itu punya
65
kelebihan harta saja yang menyebabkan cara berpikir jalan istinbathnya ia harus membayar zakat, karena illatnya ia punya duit. Dan sampai nishab.
7 Ust. Wawan Sofwan
Persis Tidak ada satupun dalil yang menyebutkan secara tekstual adanya zakat dari jasa ini. Adapun sebaliknya secara kontekstual zaman Rasul pun orang-orang yang bergerak di bidang jasa pun banyak tetapi tidak ada ketentuan zakatnya, baik di qur’an maupun hadits.
8 Ust. Zae Nandang
Persis Zakat itu sudah ditetapkan secara syar’i baik bentuknya maupun besar sampai presentasenya dan zakat profesi tidak termasuk yang disebutkan oleh nabi karena itu persis berkesimpulan tidak ada zakat profesi
9 Ust. Ahmad Hasan
Persis Zakat itu sebagai ibadah maliyah ijtimaiyah jadi termasuk ibadah mahdah, jadi karena ibadah mahdah harus ada landasan hukum yang didasarkan kepada al-Qur’an dan al-Sunnah. Sedangkan zakat profesi ini kan tidak dikenal dalam syariat islam
66
PERTANYAAN V
5. Di dalam surat al-Baqarah ayat 267 yang berbunyi
Dalam potongan ayat tersebut ada kata , arti kata tersebut
yakni hasil usaha, ada ulama yang menjadikan hal ayat ini sebagai dasar zakat profesi, bagaimana menurut bapak?
NO NAMA ORGANISASI JAWABAN
1 Ust. Mujiyo NU Ya, itu sebagai salah satu dalil. 2 Ust. Maftuh
Kholil NU Seperti yang sudah Saya sebutkan.
3 Ust. Asep Syarif
NU Ya itu juga termasuk dasar hukumnya.
4 Ust. Sanusi Uwes
Muhammadiyah Seperti yang tadi dijelaskan.
5 Ust. Ayat Dimyati
Muhammadiyah Ya, itu masuk dalil-dalilnya.
6 Ust. Abdurrahman
Muhammadiyah Ya, itu masuk ke dalam dalil-dalil yang mewajibkan.
7 Ust. Wawan Sofwan
Persis Kasabtum itu kan tijaroh.
8 Ust. Zae Nandang
Persis Kita kembalikan saja kepada keterangan nabi, ada niaga, tijaroh, kemudian barang tambang, itu nabi sendiri yang menjelaskan.
9 Ust. Ahmad Hasan
Persis Persoalannya ayat al-Qur’an itu kan perlu penjelasan, penjelasan lewat hadits atau sunnah. Nah ada nggak haditsnya yang menjelaskan bahwa pada saat itu ada orang berprofesi wajib zakat?
67
PERTANYAAN VI
6. Para pendukung zakat profesi berargumen bahwa sebagian sahabat
(seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud) dan sebagian tabiin (seperti
Az-Zuhri, Hasan Bashri, dan Makhul) yang mengeluarkan zakat dari
al-maal al-mustafaad (harta perolehan) pada saat menerimanya,
bagaimana menurut Bapak?
NO NAMA ORGANISASI JAWABAN
1 Ust. Mujiyo NU - 2 Ust. Maftuh
Kholil NU -
3 Ust. Asep Syarif
NU -
4 Ust. Sanusi Uwes
Muhammadiyah -
5 Ust. Ayat Dimyati
Muhammadiyah -
6 Ust. Abdurrahman
Muhammadiyah -
7 Ust. Wawan Sofwan
Persis (Penulis Lupa Menanyakan)
8 Ust. Zae Nandang
Persis Untuk hal ini dianggap sebagai barang dagangan, jadi zakat tijaroh.
9 Ust. Ahmad Hasan
Persis Zakat dari apa? Ghanimah? Kalau terkait itu masuknya ke dalam luqatah, zakat temuan, karena tanpa usaha. 20% loh, khumus.
68
PERTANYAAN VII
7. Apakah jenis-jenis profesi sudah ada pada zaman nabi?
NO NAMA ORGANISASI JAWABAN
1 Ust. Mujiyo NU Sudah ada 2 Ust. Maftuh
Kholil NU Ada
3 Ust. Asep Syarif
NU Ada
4 Ust. Sanusi Uwes
Muhammadiyah Kalau kita lihat ada tukang jahit di zaman Nabi namanya Abu Thalib, itu dimana nabi juga dihidupi oleh Abu Thalib.
5 Ust. Ayat Dimyati
Muhammadiyah Ada
6 Ust. Abdurrahman
Muhammadiyah Ada
7 Ust. Wawan Sofwan
Persis Sudah ada
8 Ust. Zae Nandang
Persis Ada
9 Ust. Ahmad Hasan
Persis Ada
69
PERTANYAAN VIII
8. Kalau sudah ada profesi di zaman Nabi, mengapa Nabi tidak
mewajibkan zakat profesi?
NO NAMA ORGANISASI JAWABAN
1 Ust. Mujiyo NU Ada tapi belum bisa diandalkan 2 Ust. Maftuh
Kholil NU Sulit menemukan profesi yang
menghasilkan uang. 3 Ust. Asep
Syarif NU Profesi saat itu belum begitu tenar,
sehingga saat itu belum menjadi profesi/ belum dapat dijadikan sumber kehidupan . sesuai dengan perkembangan saja, kalau dokter kan sekarang penghasilannya bisa jadi sumber kehidupan.
4 Ust. Sanusi Uwes
Muhammadiyah Kasab pada saat itu belum memberikan penghasilan yang besar.
5 Ust. Ayat Dimyati
Muhammadiyah Tidak sampai mendatangkan harta banyak ketika itu.
6 Ust. Abdurrahman
Muhammadiyah Makanya di awal bapak jelaskan bahwa zakat profesi itu tidak ada, yang ada zakat uang, kalau zakat uang itu sejak zaman nabi juga sudah ada, asal orang itu punya duit itu harus sampai nishab, baru mengeluarkan zakat.
7 Ust. Wawan Sofwan
Persis -
8 Ust. Zae Nandang
Persis -
9 Ust. Ahmad Hasan
Persis -
70
PERTANYAAN IX
9. Kalau kita lihat ada petani yang penghasilannya kecil namun dikenai
zakat, namun di satu sisi ada dokter ataupun pekerja professional
yang gaji nya besar namun tidak dikenai zakat. Hal ini digunakan
sebagai alasan bagi wajibnya zakat profesi. Bagaimana menurut
pandangan Bapak?
NO NAMA ORGANISASI JAWABAN
1 Ust. Mujiyo NU - 2 Ust. Maftuh
Kholil NU -
3 Ust. Asep Syarif
NU -
4 Ust. Sanusi Uwes
Muhammadiyah -
5 Ust. Ayat Dimyati
Muhammadiyah -
6 Ust. Abdurrahman
Muhammadiyah -
7 Ust. Wawan Sofwan
Persis Rasa keadilan menurut sekelompok orang tidak dapat dijadikan dasar akan adanya suatu ibadah mahdah.
8 Ust. Zae Nandang
Persis Nah disitulah letak keadilannya, kalau ada dokter yang berpenghasilan besar makanya tidak dibatasi 2,5%, silakan lebih besar makanya disebut infaq, infaq itu kan tidak terbatas jumlahnya
9 Ust. Ahmad Hasan
Persis Justru seharusnya bisa lebih besar.
71
PERTANYAAN X
10. Apakah qiyas dapat diterapkan dalam masalah zakat profesi?
Bagaimana penerapannya?
NO NAMA ORGANISASI JAWABAN
1 Ust. Mujiyo NU Bisa. Kalau tidak tijarah kepada emas.
2 Ust. Maftuh Kholil
NU Ya, bisa.
3 Ust. Asep Syarif
NU Bisa, ke emas
4 Ust. Sanusi Uwes
Muhammadiyah Bisa, diqiyaskan kepada harta kekayaan sebesar 2,5%
5 Ust. Ayat Dimyati
Muhammadiyah Ya! Diantara warga Muhammadiyah macam-macam ada yang menggunakan 5%-10% dan 10%-20%
6 Ust. Abdurrahman
Muhammadiyah Diqiyaskan ke perdagangan juga bisa, dagang juga kan, dagangnya dagang ilmu. Zakat penghasilan itu lebih dekat ke situ. Ke emas juga bisa.
7 Ust. Wawan Sofwan
Persis Itu tidak ada, jadi kalau masalah ibadah saja diqiyas-qiyaskan nanti shalat pun diqiyas-qiyas kan.
8 Ust. Zae Nandang
Persis Tidak bisa, Ulama terdahulu mengqiyaskan barangnya bukan zakat itu sendiri
9 Ust. Ahmad Hasan
Persis Seperti pengqiyasan gandum dan kurma menjadi beras, kalau itu kan alatnya yang diqiyaskan, alat itu boleh, bukan persoalan hukumnya. Laa qiyasa fil ibadah. Ini kan persoalan bendanya. Seperti dulu pakai unta sekarang kan pakai mobil.
72
PERTANYAAN XI
11. Bagaimana nishab zakat profesi?
NO NAMA ORGANISASI JAWABAN
1 Ust. Mujiyo NU Mengikuti kepada yang diqiyaskan. 2 Ust. Maftuh
Kholil NU Diqiyaskan dengan zakat tijaroh, nanti
disamakan dengan tijaroh dimana disamping itu standarnya emas, ada yang mengatakan 90 dan seterusnya macam-macam.
3 Ust. Asep Syarif
NU Ke emas
4 Ust. Sanusi Uwes
Muhammadiyah Diqiyaskan kepada harta kekayaan sebesar 2,5%
5 Ust. Ayat Dimyati
Muhammadiyah Nishabnya 85 gram emas, kadar zakatnya 2,5 %
6 Ust. Abdurrahman
Muhammadiyah Seperti apa yang diqiyaskan.
7 Ust. Wawan Sofwan
Persis -
8 Ust. Zae Nandang
Persis -
9 Ust. Ahmad Hasan
Persis -
73
PERTANYAAN XII
12. Apakah ada haul dalam zakat profesi?
NO NAMA ORGANISASI JAWABAN
1 Ust. Mujiyo NU NU belum memberikan format. Belum ada pembahasan lebih lanjut
2 Ust. Maftuh Kholil
NU Setiap zakat yang dibayar berulang-ulang itu harus ada haul, di sinilah ada batasnya.
3 Ust. Asep Syarif
NU Ada
4 Ust. Sanusi Uwes
Muhammadiyah Muhammadiyah mengambil pendapat yang satu tahun.
5 Ust. Ayat Dimyati
Muhammadiyah Haul tidak dipakai karena haditsnya dhaif.
6 Ust. Abdurrahman
Muhammadiyah Ada yang sepakat ada yang tidak, kalau Bapak mengambil jalan tengah.
7 Ust. Wawan Sofwan
Persis -
8 Ust. Zae Nandang
Persis -
9 Ust. Ahmad Hasan
Persis -
74
PERTANYAAN XIII
13. Ada ulama yang melemahkan hadits tentang haul, bagaimana
menurut pandangan bapak?
NO NAMA ORGANISASI JAWABAN
1 Ust. Mujiyo NU Betul. Memang ada yang mempersoalkan. Namun NU belum memberikan format.
2 Ust. Maftuh Kholil
NU Lemah itu dari sisi apa, saya sendiri belum meneliti. Tetapi di dalam realita kehidupan, ada hadits-hadits yang lemah tetapi rasional. Salah satu contoh, ada hadits yang mengatakan kalau air yang berubah rasa bau dan warna dengan benda suci maka tidak boleh digunakan untuk bersuci. Ini haditsnya lemah, pertanyaannya mau tidak berwudhu dengan air seperti itu? Kemudian juga yang mengatakan haul haditsnya lemah, lalu kapan membayarkan zakatnya itu?
3 Ust. Asep Syarif
NU Kita serahkan pada masing-masing, memang dikalangan NU pun seperti itu. Ada yang mengatakan haul itu lemah, tapi ada pula yang mengatakan bahwa kalau tidak dibatasi haul bagaimana bisa mencapai titik wajib zakat?
4 Ust. Sanusi Uwes
Muhammadiyah Saya belum meneliti
5 Ust. Ayat Dimyati
Muhammadiyah Ya.
6 Ust. Abdurrahman
Muhammadiyah Ini kan untuk memudahkan, kalau bapak mengambil jalan tengah. Supaya tidak berat dipungut tiap bulan untuk dibayar akhir tahun.
7 Ust. Wawan Sofwan
Persis -
8 Ust. Zae Nandang
Persis -
9 Ust. Ahmad Hasan
Persis -
75
PERTANYAAN XIV
14. Bagaimana perhitungan Zakat Profesi?
NO NAMA ORGANISASI JAWABAN
1 Ust. Mujiyo NU Mengikuti apa yang diqiyaskan. 2 Ust. Maftuh
Kholil NU Mengikuti emas, atau niaga.
3 Ust. Asep Syarif
NU Ke emas
4 Ust. Sanusi Uwes
Muhammadiyah 2,5% dari harta kekayaan.
5 Ust. Ayat Dimyati
Muhammadiyah Seperti perhitungan zakat emas.
6 Ust. Abdurrahman
Muhammadiyah Kalau ke dagang yak e dagang, kalau ke emas ya ke emas, kalau Bapak lebih sepakat ke dagang.
7 Ust. Wawan Sofwan
Persis -
8 Ust. Zae Nandang
Persis -
9 Ust. Ahmad Hasan
Persis -
76
PERTANYAAN XV
15. Apakah di organisasi Bapak dikenal konsep infaq profesi, jika ada,
apa dasar alasannya? Dan bagaimana perhitungannya?
NO NAMA ORGANISASI JAWABAN
1 Ust. Mujiyo NU - 2 Ust. Maftuh
Kholil NU -
3 Ust. Asep Syarif
NU -
4 Ust. Sanusi Uwes
Muhammadiyah -
5 Ust. Ayat Dimyati
Muhammadiyah -
6 Ust. Abdurrahman
Muhammadiyah -
7 Ust. Wawan Sofwan
Persis Silakan baca surat al-Baqarah ayat 3, mengenai ayat ini para ulama berbeda pendapat, antara infaq wajib dan sunat. Sebagian berpendapat infaq pada ayat ini maksudnya zakat karena digandengkan dengan shalat. Sebagian lainnya menyatakan infaq wajib, dan sebagian lainnya memaknainya shadaqah sunat. Ketiga makna ini tercakup ayat tersebut. Kalau Persis sendiri mewajibkan infaq pada penghasilan yang tidak dikenai zakat. Adapun besarannya tidak ada keterangan prosentasenya, diserahkan kepada keimanan, jami’ zakat, atau imam yang berkompeten.
8 Ust. Zae Nandang
Persis Jadi kita berpendapat bahwa lahirnya wajibnya itu dari bentuk ijab. Jadi kita kumpulkan dalil-dalil, baik itu qur’an dan hadits kemudian kita ambil kesimpulan. Jadi sumber rujukannya yang qur’an kemudian sunnah
9 Ust. Ahmad Hasan
Persis Pertama, juga dari sisi yaa ayyuhal ladzi na amanu angfiqu min thoyyibati kata kata itu sudah menjelaskan al-Ashlu fil amri, istinbath ahkamnya. Jadi
77
mengistinbath hukum dari al-Qur’an itu lewat penafsiran ayat itu. Kalau untuk besarannya minimal itu 2,5 %, kalau infaq itu tidak ada ketentuan secara keseluruhan namun itu bisa lebih dari 2,5%, 10% lebih.
PERTANYAAN XVI
16. Apakah perbedaan pendapat mengenai zakat profesi ini dapat
dikategorikan sebagai produk ijtihad sehingga dapat ditolerir?
NO NAMA ORGANISASI JAWABAN
1 Ust. Mujiyo NU Bisa, karena ini kan produk ijtihad. 2 Ust. Maftuh
Kholil NU Ya.
3 Ust. Asep Syarif
NU Menurut bapak itu ijtihad yang dapat ditolerir.
4 Ust. Sanusi Uwes
Muhammadiyah Itu kan biasa saja, shalat saja takbirannya berbeda. Itu kan realitas yang ada di umat Islam. Berbahaya memaksakan pendapat ke orang lain.
5 Ust. Ayat Dimyati
Muhammadiyah Ya.
6 Ust. Abdurrahman
Muhammadiyah Terserah mereka, soal perbedaan itu kan biasa-biasa saja.
7 Ust. Wawan Sofwan
Persis Zakat profesi itu kan masalah baru, justru meledak munculnya itu setelah adanya buku fiqh zakat qardhawi, sebelum itu kan orang tenang-tenang saja, kurang mengenal zakat profesi, setelah kita baca dan kita kaji ternyata zakat tersebut tidak ada dalilnya.
8 Ust. Zae Nandang
Persis Asal jelas rujukan qur’an dan sunnahnya kami tolerir.
9 Ust. Ahmad Hasan
Persis Jadi persis punya pendapat seperti itu atas dasar ijtihad. Persoalan benar dan tidak,nah itu kan persoalan ijtihad, hanya Allah yang tahu. Kalau ada yang berpendapat wajib ya silakan.
78
BAB IV
ANALISIS METODE ISTINBATH HUKUM ZAKAT PROFESI ULAMA
NAHDATUL ULAMA (NU), MUHAMMADIYAH, DAN PERSATUAN
ISLAM (PERSIS) JAWA BARAT
Dari hasil wawancara dengan ulama masing-masing organisasi yakni
Nahdatul Ulama yang diwakili oleh Ustadz Mujiyo, Ustadz Asep Syarif, dan
Ustadz Maftuh Kholil, Muhammadiyah yang diwakili oleh Ustadz Ayat Dimyati,
Ustadz Sanusi Uwes, dan Ustadz Abdurrahman, Persis yang diwakili oleh Ustadz
Zae Nandang, Ustadz Ahmad Hasan, dan Ustadz Wawan Sofwan maka penulis
akan menganalisis terkait dengan bagaimana gambaran zakat profesi dari masing-
masing organisasi. Analisis akan dibagi ke dalam beberapa poin penting
diantaranya dari segi definisi zakat profesi, pekerjaan yang terkena zakat, hukum,
metode istinbath, nishab, dan haul zakat profesi.
A. Analisis Hasil Wawancara
1. Analisis Definisi Zakat Profesi
Definisi zakat profesi menurut ulama Nahdatul Ulama (NU) mengikuti
definisi umum yang berkembang, sehingga Nahdatul Ulama tidak memberikan
definisi khusus. Hal tersebut dapat kita pahami dari pendapat Ustadz Mujiyo yang
memberikan keterangan “Belum menemukan definisi khas menurut NU, seperti
pemahaman umum saja yang saya ketahui.” Hal ini sejalan dengan keterangan
yang diberikan Ustadz Maftuh Kholil yang memberikan definisi yang tidak jauh
berbeda dengan pemahaman umum yakni “Zakat dari setiap usaha apapun
79
bentuknya yang menghasilkan keuntungan dana.” Adapun definisi yang diberikan
Ustadz Asep Syarif agak sukar untuk dipahami maka dalam hal ini penulis
abaikan.
Definisi zakat profesi menurut ulama Muhammadiyah tak jauh berbeda
dengan pemahaman umum yang berkembang hal ini dapat dipahami dari
keterangan Ustadz Ayat Dimyati, Ustadz Sanusi Uwes, dan Ustadz Abdurrahman
yang jika ditarik intinya yakni “Zakat profesi adalah zakat yang dikenakan pada
penghasilan yang diperoleh dari profesi.” Sebagai penjelasan tambahan Ustadz
Abdurrahman memberikan keterangan bahwa bukan profesinya yang dizakatkan
tetapi hasil dari profesi tersebut, apabila telah sampai nishab.
Definisi zakat profesi menurut ulama Persatuan Islam (Persis) sedikit lebih
khusus yakni lebih tertuju pada segala hal yang berhubungan dengan sektor jasa
hal ini dapat dipahami dari keterangan yang diberikan tiga ulama Persis baik itu
Ustadz Zae Nandang, Ustadz Ahmad Hasan, dan bahkan Ustadz Wawan Sofwan
lebih tegas dengan menyebutkan bahwa “Profesi itu kan artinya jasa”.
2. Analisis Pekerjaan Yang Terkena Kewajiban Zakat Profesi
Ketiga Ulama NU pada intinya sepakat bahwa pekerjaan yang dikenai
kewajiban zakat profesi yakni segala pekerjaan selain yang telah ditetapkan
kelompoknya di dalam Qur’an dan Hadits.
Ketiga Ulama Muhammadiyah sepakat bahwa pekerjaan yang dikenai
kewajiban zakat adalah segala profesi yang memberikan penghasilan. Dalam
konteks ini profesi dengan penghasilan yang besar yang telah sampai pada nishab.
80
Persis tidak mewajibkan zakat profesi namun mewajibkan infaq, adapun
pekerjaan yang dikenai wajib infaq berarti segala pekerjaan yang terkai sektor
jasa, hal ini sesuai dengan definisi yang telah diberikan Persis seperti yang telah
dipaparkan sebelumnya.
3. Analisis Hukum Zakat Profesi
Terkait hukum zakat profesi, NU berpendapat bahwa zakat profesi wajib
hukumnya bagi setiap penghasilan di luar yang telah disebutkan secara tegas
dalam Alqur’an dan yang telah mencapai nishab. Namun beberapa ulama di
kalangan NU sendiri ada yang berpandangan tidak wajib, hal tersebut karena
mereka masih berpegang pada tekstual yang ada pada kitab-kitab kuning bahwa
yang wajib dibayarkan zakatnya itu hanya 5 macam yang sudah dikenal. Sebagai
tambahan bahwa mengenai format bagaimana penerapan zakat profesi tersebut
belum ada keputusan yang pasti dari NU hal ini seperti yang diungkapkan Ustadz
Mujiyo.
Terkait hukum zakat profesi, Muhammadiyah berpendapat bahwa zakat
profesi atau yang lebih spesifik seperti yang ditegaskan Ustadz Abdurrahman
bahwa penghasilan dari profesi itu wajib hukumnya untuk dizakati.
Sedangkan menurut Persis berpendapat bahwa tidak ada yang namanya
zakat profesi atau dapat dikatakan bahwa zakat profesi tidak wajib, dan sebagai
alternative mewajibkan infaq. Hal ini sesuai dengan keterangan yang diberikan
ulama-ulama Persis yang satu suara terkait hal tersebut.
81
4. Analisis Metode Istinbath Hukum Zakat Profesi
Ketiga ulama NU sepakat berpegang pada ayat-ayat umum tentang zakat
dalam menetapkan kewajiban zakat profesi. Di antara ayat-ayat umum tersebut
yakni surat Al-Baqarah [2] : 267 yang berbunyi:
وال األرض من لكم أخرجنا ومما كسبتم ما طيبات نم أنفقوا آمنوا الذين أيها يا غني الله أن واعلموا فيه تغمضوا أن إال بآخذيه ولستم تنفقون منه الخبيث تيمموايدم٢٦٧( ح(
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu…”
Juga Surat Al-An’am [6] ayat 141:
وهي وأ الذشأن اتنج اتوشرعم رغيو اتوشرعل مخالنو عرالزفا ولتخم أكله حصاده يوم حقه وآتوا أثمر إذا ثمره من كلوا متشابه وغير متشابها والرمان والزيتون
)١٤١( المسرفني يحب ال إنه تسرفوا وال
“Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon kurma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila Dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.”
Seperti keterangan yang diberikan Ustadz Maftuh Kholih bahwa orang
seringkali menterjemahkan yauma hasodih pada ayat itu yakni pada hari
memetiknya. Namun menurut beliau sebenarnya boleh saja disitu diartikan bukan
82
hanya dikhususkan pada pertanian tetapi ketika kita menghasilkan uang disitulah
wajib zakat.
Sebagai tambahan bahwa NU mengikuti paham taklid, ini berdasarkan
keterangan yang diberikan Ustadz mujiyo “NU mengikuti paham taklid, cuma
taklid itu terbagi dua, taklid qauli dan taklid manhajy. Taklid qauly itu mencari
pendapat-pendapat ulama di kalangan fuqoha. Apabila setelah dikaji ternyata
benar, maka diterima. Kalau kita tidak terima baru menggunakan taklid manhajy,
artinya kita menggunakan metode ijtihad menurut ulama yang dapat dipedomani
NU.”
Adapun terkait adanya profesi yang ada pada zaman nabi ketiga ulama
sepakat bahwa profesi pada saat itu belum tenar, atau belum dapat diandalkan,
sehingga tidak terkena wajib zakat.
Muhammadiyah dalam beristinbath tentang kewajiban zakat profesi
berpegang pada dalil-dalil umum zakat yang diantaranya yakni At-Taubah : 103,
Al-Baqarah : 267, Adz-Dzariyaat : 19.
Surat Al-Baqarah [2] 267:
األرض من لكم أخرجنا ومما كسبتم ما طيبات من أنفقوا آمنوا الذين أيها يا
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian
dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan
dari bumi untuk kamu…”
83
Seperti yang dipaparkan Ustadz Sanusi Uwes di dalam ayat tersebut
terdapat kata kasab yang dalam hal ini menjadi dalil kewajiban zakat profesi.
Selain itu adanya kewajiban zakat profesi ini karena zakat bukan hanya ibadah
mahdoh semata namun ibadah yang terkait dengan ghoir mahdah sehingga
Muhammadiyah lebih dinamis memandang masalah zakat. Ini sesuai dengan
keterangan dari beliau “Karena zakat merupakan ibadah Mahdoh yang terkait
dengan sosial maka Muhammadiyah tidak terpaku hal yang harus dizakati itu
kepada yang lima.”
Mengenai adanya profesi pada zaman Nabi ketiga ulama Muhammadiyah
sepakat bahwa profesi pada saat itu belum memberikan penghasilan yang besar,
sehingga Nabi tidak membebani wajib zakat.
Sedangkan Persis beristinbath bahwa Tidak ada satupun dalil yang
menyebutkan secara tekstual adanya zakat dari profesi, adapun sebaliknya secara
kontekstual zaman Rasul pun orang-orang yang bergerak di bidang jasa pun
banyak tetapi tidak ada ketentuan zakatnya. Selain itu ulama-ulama Persis
mengkritik dalil-dalil umum tentang zakat yang sering dijadikan acuan dari para
pendukung zakat profesi. Seperti keterangan yang diberikan Ustadz Wawan
Shofwan “Kasabtum itu kan tijaroh.”
Terkait al-maal al-mustafaad ulama Persis beranggapan bahwa hal tersebut
tidak dapat dijadikan dasar kewajiban zakat profesi karena al-maal al-mustafaad
masih termasuk ke dalam salah satu bagian dari kewajiban zakat yang telah
84
ditetapkan Alqur’an, dalam hal ini bisa masuk ke dalam zakat tijaroh, dapat pula
merupakan zakat rikaz.
Terkait mengenai konsep keadilan yang sering disinggung para pendukung
zakat profesi bahwa tidak adil apabila petani, terutama saat ini, dimana kehidupan
mereka dapat dikatakan masih kurang sejahtera saja dikenakan wajib zakat,
namun di satu sisi dokter, atau penyanyi, atau pekerjaan yang lain seringkali
bahkan dalam sehari mampu menghasilkan uang yang banyak tidak dikenai wajib
zakat, mengenai hal ini Persis beranggapan bahwa keadilan tidak dapat ditentukan
oleh segelintir orang. Hal ini seperti yang dipaparkan oleh Ustadz Shofwan “Rasa
keadilan menurut sekelompok orang tidak dapat dijadikan dasar akan adanya
suatu ibadah mahdah.” Selain itu sebagai tambahan menurut dua ulama Persis
yang lain bahwa seharusnya pekerjaan seperti dokter, penyanyi dan lain-lain yang
memberikan penghasilan yang besar harus lebih besar dalam mengeluarkan
infaqnya, karena harta akan dimintai pertanggungjawabannya di akherat kelak.
5. Analisis Nishab Zakat Profesi
Terjadi perbedaan pandangan di kalangan ulama NU terkait pengqiyasan
zakat profesi. ada ulama yang mengqiyaskan nishab zakat profesi ke zakat tijaroh
dan ada yang mengqiyaskan ke zakat emas. Namun perbedaan dalam hal ini dapat
dipahami karena seperti yang dipaparkan oleh Ustadz Mujiyo bahwa NU sendiri
belum menetapkan format yang pasti mengenai zakat profesi sehingga hal tersebut
berimplikasi salah satunya pada ketidakpastian pengqiyasan nishab zakat profesi.
85
Ulama Muhammadiyah dalam berbicara mengenai nishab pada intinya
lebih mengarah pada pengqiyasan ke zakat emas, walaupun ada juga ulama yang
berpendapat diqiyaskan ke zakat tijaroh. Namun penulis mengambil pendapat
resmi Muhammadiyah yang mengqiyaskan zakat profesi ke emas. Hal ini sesuai
dengan Keputusan Musyawarah Nasional XXV Tarjih Muhammadiyah yang
memutuskan bahwa nishab zakat profesi setara dengan 85 gram emas 24 karat
dengan kadar zakat profesi sebesar 2,5%.
Seperti yang telah disinggung sebelumnya bahwa Persis tidak mewajibkan
zakat profesi sehingga Persis tidak menetapkan nishab zakat profesi, yang ada
yakni infaq profesi. Mengenai besaran infaq profesi seperti yang dipaparkan oleh
Ustadz Ahmad Hasan yakni minimal 2,5 % bahkan bisa lebih.
6. Analisis Haul Zakat Profesi
Sama seperti halnya nishab, karena NU belum menetapkan format yang
pasti, walaupun demikian ada beberapa ulama yang tetap mensyaratkan adanya
haul seperti pemamaparan Ustadz Maftuh Kholil” Setiap zakat yang dibayar
berulang-ulang itu harus ada haul, di sinilah ada batasnya.”.
Meskipun Musyawarah Nasional Tarjih telah menetapkan pengqiyasan
zakat profesi ke emas, dalam hal ini mensyaratkan adanya haul, namun perbedaan
pun tetap terjadi di kalangan ulama Muhammadiyah, ada ulama yang sepakat akan
adanya haul dan adapula yang tidak sepakat karena hadits yang digunakan lemah.
Adapun pemamaparan Ustadz Abdurrahman mengenai jalan tengah maksudnya
beliau mengambil pendapat bahwa ada haul untuk zakat profesi namun dalam
86
tataran praktis dikumpulkan setiap bulan untuk menghindari keengganan
membayar zakat apabila disekaliguskan setahun.
Karena Persis menolak tentang kewajiban zakat profesi, maka tidak ada
pembahasan mengenai haul menurut Persis.
B. Analisis Persamaan Dan Perbedaan Metode Istinbath Hukum Zakat Profesi
Menurut Ulama Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, dan Persatuan Islam
Pembahasan mengenai persamaan dan perbedaan terkait metode istinbath
hukum zakat profesi akan dibuat per poin seperti halnya pembahasan analisis hasil
wawancara yakni:
1. Analisis Persamaan Dan Perbedaan Definisi Zakat Profesi
Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah dalam hal ini memiliki pendapat
yang sama dalam mendefinisikan zakat profesi yakni pada intinya zakat profesi
adalah zakat yang dikenakan pada penghasilan yang diperoleh dari profesi.
Adapun Persatuan Islam lebih spesifik mengarah kepada segala pekerjaan yang
berhubungan dengan jasa.
2. Analisis Persamaan Dan Perbedaan Pekerjaan Yang Dikenai Zakat Profesi
Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah sepakat terkait pekerjaan apa saja
yang terkenai wajib zakat profesi yakni segala hal pekerjaan yang memberikan
hasil besar di luar yang telah ditetapkan secara tegas oleh Alqur’an dan Hadits.
Adapun Persatuan Islam terkait hal ini berarti segala pekerjaan yang berhubungan
dalam bidang jasa, namun tidak dikenakan wajib zakat namun infaq profesi.
87
3. Analisis Persamaan dan Perbedaan Hukum Zakat Profesi
Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah sepakat mewajibkan zakat profesi
bagi profesi-profesi yang mencapai nishab, walaupun beberapa ulama mereka ada
yang berpendapat tidak wajib. Sedangkan Persatuan Islam tidak mewajibkan zakat
profesi dan sebagai alternatif setiap pekerjaan di luar yang telah ditetapkan oleh
Alqur’an dan Sunnah dikenai Infaq Profesi.
4. Analisis Persamaan dan Perbedaan Metode Istinbath Hukum Zakat Profesi
Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah sama-sama berpegang pada dalil-
dalil umum tentang zakat dalam mewajibkan zakat profesi. namun dalam hal ini
Muhammadiyah memberikan keterangan lebih lanjut bahwa hal tersebut karena
Muhammadiyah beranggapan zakat bukan hanya ibadah mahdoh semata namun
terkait pula dengan ghair mahdoh yang berarti ibadah yang berimplikasi terhadap
kehidupan sosial sehingga tidak terbatas pada 5 macam zakat yang telah
ditetapkan secara tegas di dalam Alquran dan Hadits.
Adapun Persatuan Islam berpendapat berbeda yakni tidak mewajibkan
zakat profesi dikarenakan tidak adanya dalil yang tegas yang mewajibkan
mengenai zakat profesi.
5. Analisis Persamaan dan Perbedaan Nishab Zakat Profesi
Nahdatul Ulama belum memiliki format yang pasti mengenai zakat profesi
sehingga pembahasan mengenai nishab tidak dapat mendeskripsikan pendapat
resmi Nahdatul Ulama. Berbeda dengan Muhammadiyah yang telah menetapkan
88
dalam Musyawarah Nasional XXV Tarjih Muhammadiyah bahwa nishab zakat
profesi setara dengan 85 gram emas 24 karat dengan kadar zakat profesi sebesar
2,5%, dan hal ini menjadi pendapat resmi Muhammadiyah walaupun ada beberapa
ulama Muhammadiyah yang berpendapat lain.
Adapun Persis tidak mewajibkan zakat profesi, sebagai alternatif mereka
mewajibkan adanya infaq profesi yang besarannya tergantung kebutuhan Islam
terhadapnya.
6. Analisis Persamaan Dan Perbedaan Haul Zakat Profesi
Nahdatul Ulama belum memiliki format yang pasti mengenai zakat profesi
sehingga pembahasan mengenai haul tidak dapat mendeskripsikan pendapat
resmi Nahdatul Ulama. Sedangkan Muhammadiyah karena mengqiyaskan kepada
emas maka mengharuskan adanya haul walaupun demikian ada pula ulama yang
berpendapat tidak harus haul karena hadits-hadits tentang haul lemah. Sedangkan
Persis tidak terdapat bahasan mengenai haul.
C. Memilih Pendapat Yang Lebih Kuat
Dari pemaparan yang telah disampaikan, penulis lebih cenderung memilih
pendapat Persatuan Islam yang menyatakan bahwa zakat profesi tidaklah wajib.
Dari kajian yang telah penulis lakukan alasan-alasan yang diberikan para
pendukung zakat profesi dapat dikatakan terdapat banyak kelemahan. Berikut
beberapa alasannya:
89
1. Zakat bukan muamalah yang asalnya serba boleh dan bebas. Zakat adalah
ibadah mahdhah, sama ke-mahdhahannya dengan shalat. Terbukti Allah Swt.
sering sekali menggandengkannya dengan ayat-ayat Alqur’an yang berbicara
tentang shalat tanpa pemisahan hukumnya, seperti termaktub dalam Alqur’an
surat:
Qs [2] Al-Baqarah 43 dan 277, Q.s [21] Al-Anbiya: 73, Q.s [18] Maryam: 31
dll.
Jika kita bersikap terhadap shalat selalu harus berasaskan dalil yang shahih
untuk menyatakan adanya, maka seharusnya seperti itulah sikap terhadap ada
dan tidak adanya zakat dari suatu benda.
2. Berdasarkan pemahaman bahwa zakat merupakan ibadah mahdah maka dalil-
dalil umum tentang zakat tidak dapat diberlakukan secara umum untuk semua
kekayaan atau jenis harta. Sebagaimana ayat tentang shalat itu mujmal dan
baru dapat dilaksanakan dengan tepat dan benar setelah menempatkan Nabi
Saw. sebagai mubayyinul Qur’an, maka tidak berbeda pula halnya dengan
zakat.
3. Pengqiyasan zakat profesi kepada zakat hasil pertanian, maupun zakat maal,
adalah tertolak. Sebab, tidak ada ‘illat dalam zakat hasil pertanian, sehingga
layak untuk diqiyaskan pada profesi selain petani. Adapun mengenai ‘illat
adanya keadilan dan kesetaraan, sesungguhnya ‘illat semacam ini tidak
bernilai sama sekali untuk membangun hujjah. Sebab, ‘illat yang absah
digunakan untuk qiyas adalah ‘illat syar’iyyah, bukan ‘illat ‘aqliyyah.
90
Padahal, tidak ada satupun dalil yang menunjukkan bahwa ‘illat zakat adalah
untuk kesetaraan dan keadilan.
4. Di antara sahabat-sahabat dan isteri-isteri Rasulullah pun ada yang bekerja di
bidang jasa, namun ternyata Nabi tidak mewajibkan zakat profesi. Adapun
alasan yang mengatakan bahwa penghasilan profesi saat itu tidaklah besar atau
belum dapat dijadikan sebagai mata pencaharian sangatlah lemah, karena
banyak atau tidaknya penghasilan tidak dapat dijadikan dasar penetapan
sebuah hukum.
5. Rasa keadilan menurut sekelompok orang tidak dapat dijadikan dasar akan
adanya suatu ibadah mahdah. Hal tersebut karena standar keadilan menurut
sekelompok orang tentu akan berbeda pula menurut kelompok yang lain.
Contoh mudahnya dalam memandang pembagian waris, menurut orang-orang
barat pembagian waris berdasarkan hukum Islam itu tidak adil, namun bagi
umat Islam tidaklah demikian.
91
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana
metode istinbath hukum tentang zakat profesi dari tiga organisasi Islam yakni
Nahdatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan Persatuan Islam (Persis). Selain itu
bertujuan pula untuk mengetahui persamaan dan perbedaan dari ketiga organisasi
Islam tersebut dalam memandang hukum tentang zakat profesi. Berdasarkan data
penelitian yang telah diperoleh, penulis dapat menarik kesimpulan sebagai
berikut:
1. Metode Istinbath Hukum Zakat Profesi
Nahdatul Ulama (NU) berpendapat bahwa hukum zakat profesi wajib,
namun NU belum memiliki format yang pasti terkait teknis pelaksanaan zakat
tersebut. Istinbath hukum wajibnya zakat profesi tersebut didasarkan kepada
ayat-ayat umum tentang zakat di antaranya surat al-Baqarah ayat 267, surat al-
An’am ayat 141, dan sebagainya. Karena belum adanya format yang pasti maka
terjadi perbedaan pendapat terkait pengqiyasan zakat profesi, beberapa ulama NU
mengqiyaskan nishab zakat profesi ke zakat emas yakni sebesar 20 dinar atau
setara dengan 85 gram emas, sedangkan sebagian yang lain mengqiyaskan ke
zakat tijaroh dengan presentase 2,5%, dari senilai 85 gram emas. Sama halnya
dengan nishab, NU pun belum menetapkan format terkait ada atau tidaknya haul,
walaupun demikian ada beberapa ulama NU yang mensyaratkan adanya haul.
92
Muhammadiyah dalam Musyawarah Nasional Tarjih XXV tahun 2000 di
Jakarta telah menetapkan bahwa zakat profesi hukumnya wajib, dengan ketentuan
nisab setara dengan 85 gram emas 24 karat, dan kadarnya sebesar 2,5%.
Walaupun Musyawarah Nasional Tarjih telah menetapkan demikian, di kalangan
ulama Muhammadiyah masih ada pula yang berpendapat diqiyaskan ke zakat
tijaroh. Istinbath hukum wajibnya zakat profesi tersebut didasarkan kepada ayat-
ayat umum tentang zakat di antaranya surat al-Baqarah ayat 267, surat al-An’am
ayat 141, dan sebagainya. Sehubungan zakat profesi diqiyaskan kepada emas,
maka disyaratkan adanya haul. Jadi, semua harta yang didapat selama satu tahun
berjalan digabungkan, dan jika ada sisa harta dalam satu tahun yang mencapai
nisab maka wajib dikeluarkan zakatnya. Namun ada pula ulama yang mengatakan
tidak wajib haul dengan argumentasi lemahnya hadits-hadits tentang haul.
Persatuan Islam melalui Keputusan Sidang Dewan Hisbah Persis tanggal 26-
27 Rabiul Awwal 1412H/ 5-6 Oktober 1991 di Bandung telah menetapkan bahwa
zakat profesi tidak wajib namun setiap hasil profesi dikenai kewajiban infaq yang
besarnya tergantung kebutuhan Islam terhadap harta tersebut. Dalam hal ini
ulama-ulama Persis satu pendapat terkait tidak wajibnya zakat profesi. Istinbath
hukum terkait tidak wajibnya zakat profesi ini dikarenakan zakat adalah ibadah
mahdoh yang telah ditentukan mustahiqnya, ukurannya, bahkan waktunya.
Sehingga Persis tidak menerima zakat profesi sebagai suatu kewajiban yang harus
ditunaikan karena merupakan pemikiran hukum baru yang tidak terdapat nash
baik dalam Alqur’an maupun Sunnah.
93
2. Persamaan dan Perbedaan
Adapun mengenai masalah persamaan dan perbedaan dari ketiga
organisasi tersebut dalam memadang zakat profesi yakni NU lebih banyak
persamaannya dengan Muhammadiyah walaupun dalam beberapa hal terdapat
perbedaan, sedangkan Persis dapat dikatakan hampir tidak ada persamaan dengan
kedua organisasi lainnya dan lebih sering memiliki pendapat yang cenderung
bersebrangan. Persamaan dan perbedaan ini dapat kita lihat dalam hal
mendefinisikan zakat profesi, penetapan hukum, metode istinbath hukumnya,
penentuan nishab dan haul dari masing-masing organisasi.
B. Saran-Saran
Saran-saran yang dapat penulis berikan sebagai bahan masukan terkait
masalah zakat profesi yakni:
1. Perlu adanya dialog antar organisasi dengan lebih memandang kepada
persamaan dan tidak membesar-besarkan perbedaan sehingga tidak terjadi
perpecahan, permusuhan, dan konflik dalam tubuh Islam. Hal tersebut dapat
dilakukan dengan saling silaturrahim antar organisasi.
2. Perlu adanya usaha yang lebih dari masing-masing organisasi dalam
menjelaskan kepada masyarakat khususnya terkait masalah perbedaan
pendapat mengenai zakat profesi. Hal tersebut agar tidak terjadi kebingungan
dan perpecahan di tubuh umat Islam.
94
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah al-Mushlih dkk. 2004. Fikih Ekonomi Keuangan Islam. Darul Haq: Jakarta.
Abdurrahman Qadir. 1998. Zakat dalam Dimensi Mahdah dan Sosial. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Ahmad Mushthafa Al-Maraghi. 1992. Terjemah Tafsir Al-Maraghi. Semarang : CV. Toha Putra
Ahmad Warson Munawwir. 1997. Kamus al-Munawwir Edisi ke-II. Cet ke-IV. Surabaya : Pustaka Progressif.
Ahmad Zahro,2004. Tradisi Intelektual NU: Lembaga Bahtsul Masail 1926-1999. Yogyakarta : P.T. LKis Pelangi Aksara
Al-Imam Taqiyuddin dan Abu Bakar Al-Husaini. 1984. Kifayatul Akhyar diterjemahkan Anas Tohir Syamsuddin. Surabaya: PT. Bina Ilmu.
Anton Bakker dan Achmad Charis Zubar. 1992. Metodologi Penelitian Filsafat. Yogyakarta : Kanisius.
Asjmuni Abdurrahman. 2002. Manhaj Tarjih Muhammadiyah. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
A.Aziz Masyhuri. 2004. Sistem Pengambilan Putusan Hukum dan Hirarki, Himpunan KeputusanBahtsul Masa’il. Jakarta : Qultum Media
Dede Rosyada. 1999. Metode Kajian Hukum Dewan Hisbah Persis. Jakarta : Logos Pusblishing House
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. 1994. Ensiklopedi Islam 5. PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Jakarta.
Didin Hafidhuddin. 2002. Zakat Dalam Perekonomian Modern. Jakarta: Gema Insani Press.
Fakhruddin. 2008. Fiqh dan Manajemen Zakat di Indonesia. Malang: UIN-Malang Press.
Fathurrahman Djamil. 1995. Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah. Jakarta : Logos Publishing House
Fatwa Lajnah Da’imah Li Al Buhuts Al Ilmiyah Wa Al Ifta’. www.almanhaj.or.id
95
Hamdan Hambali. 2006. Ideology dan Strategi Muhammadiyah. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah
Husein Muhammad. 2002. Tradisi Istinbath Hukum NU: Sebuah Kritik. Jakarta: LAKPESDAM
Http://media.isnet.org
Http://[email protected]
Ibnu Katsir. 2000. Tafsir Ibnu Katsir Juz II Penerjemah Bahrun Abu Bakar, L.C. Bandung : Sinar Baru Algesindo
Ibnu Mandzhur. 1374 H/ 1955M. Lisanul Arab. Beirut : Dar Shadir.
Ibnu Rusyd. 1995. Bidayatul Mujtahid. Jakarta : Pustaka Amani
John M. Echol dan Hassan Shadily. 1995. Kamus Inggris- Indonesia. Jakarta : PT. Gramedia.
Kamusbahasaindonesia.org/
Masri Singarimbun dan Sofian Effendi. 1987. Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES
Mohamad Taufiq. Quran In Word ver. 1.3. [email protected].
Muhammad. 2002. Zakat Profesi: Wacana Pemikiran dalam Fiqh Kontemporer. Jakarta: Salemna Diniyah.
Muhammad Azhar. 1996. Fiqh kontemporer dalam Pandangan Neomodernisme Islam. Yogyakarta :Lesiska.
Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani. 2007. Subulus salam Juz II. Surabaya : Al-Ikhlas
Muhammad Jawad Mughniyah. 1999. Fiqih Lima Madzhab Terjemahan : Masykur AB. dkk. Jakarta: PT. Lentera Basritama
Muhammad Shodiq. 2002. Dinamika Kepimpinan NU: Refleksi Perjalanan K.H. Hasyim Muzadi. Surabaya : Lajnah Ta’lif Wa Nasyr NU Jatim
M. Quraish Shihab. 1997. Wawasan Al-Qur'an: Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan.
Nasrudin Razak. 1996. Dienul Islam. Bandung: PT. Al Ma’arif
96
Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al-Barry. 1994. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arkola
Sayyid Sabiq. 1981. Fiqhus Sunnah. Beirut : Darul Fikri
Sugiyono. 2006. Metode Penelitan Kualitatif, Kuantitatif, dan R&D. Bandung: CV. Al Fabeta.
Suharsimi Arikunto. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Bima Aksara.
Syukri Ghozali. 1993. Pedoman Zakat 9 Seri. Jakarta : Proyek Pembinaan Zakat & Wakaf.
Taqiyyuddin al-Nabhani. 2007. Al-Syakhshiyyah al-Islaamiyyah juz III. Jakarta : HTI Press
Uyun Kamiluddin. 2006. Menyorot Ijtihad Persis. Bandung : Tafakur
Wahbah Al-Zuhayly, 2005. Zakat Kajian Berbagai Mazhab. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Wawan Sofhwan Shalehuddin. 2011. Risalah Zakat Infaq dan Sedekah. Bandung : Tafakur
www.syariahonline.com
Yusuf Qardhawi. 1999. Hukum Zakat. Bandung: Mizan.
ANGKET/ PEDOMAN WAWANCARA
Pertanyaan-pertanyaan berikut diajukan ke ulama yang menjadi representasi pada
organisasi Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, dan Persatuan Islam:
1. Apa yang dimaksud zakat profesi?
2. Pekerjaan apa saja yang dikenai zakat profesi?
3. Apa pendapat organisasi Bapak mengenai hukum zakat profesi?
4. Bagaimana metode istinbath hukum tentang zakat profesi?
5. Apakah ada haul dalam zakat profesi?
6. Ada ulama yang melemahkan hadits tentang haul, bagaimana menurut
pandangan bapak?
7. Bagaimana nishab zakat profesi?
8. Ada yang berargumen bahwa ada sahabat yang mengeluarkan zakat untuk
al-maal al-mustafaad (harta perolehan), dan itu dijadikan sebagai salah
satu dasar kewajiban zakat profesi, bagaimana menurut bapak?
9. Bagaimana perhitungan Zakat Profesi dan apa dasar alasannya?
10. Apakah di organisasi Saudara dikenal konsep infaq profesi, jika ada, apa
dasar alasannya? Dan bagaimana perhitungannya?
11. Apakah qiyas dapat diterapkan dalam masalah zakat profesi? Bagaimana
penerapannya?
12. Kalau kita lihat ada petani yang penghasilannya kecil namun dikenai
zakat, namun di satu sisi ada dokter ataupun pekerja professional yang gaji
nya besar namun tidak dikenai zakat. Bagaimana menurut pandangan
bapak?
13. Di dalam surat al-Baqarah ayat 267 yang berbunyi
األرض من لكم أخرجنا ومما كسبتم ما طيبات من أنفقوا آمنوا الذين أيها يا
Dalam potongan ayat tersebut ada kata , arti kata tersebut yakni
hasil usaha, ada ulama yang menjadikan hal ayat ini sebagai dasar zakat
profesi, bagaimana menurut bapak?
14. Apakah jenis-jenis profesi sudah ada pada zaman nabi?
15. Kalau kita kaji sejarah maka pada zaman nabi sudah ada yang namanya
tabib atau dokter yang pada zaman sekarang merupakan bentuk profesi,
pertanyaannya mengapa nabi tidak mewajibkan zakat profesi saat itu?
16. Apakah perbedaan pendapat mengenai zakat profesi ini dapat
dikategorikan sebagai produk ijtihad sehingga dapat ditolerir?