22
1 PERGESERAN HUKUM WARIS DI INDONESIA Sugiri Permana, S.Ag. MH 1 Abstrak Exploring complexion of law in Indonesia one of them could be stored views of the development of inheritance law that many legal shift from conventional fiqh. Inheritance law in Indonesia is heavily influenced by the two legal systems namely customary law adat recth and the civil law, so that inheritance law can now be considered as the result of compromise of all three legal systems, Islam, customary law and Western civil law. This study wants to describe the inheritance law in Indonesia which is currently contained in the Compilation of Islamic law and jurisprudence of the Supreme Court. Compilation of Islamic Law, though not included in the structure legal system, but it is factual has been used as a source of law for judges in religious courts. Meanwhile, the Supreme Court jurisprudence has sufficient bonding power because it is a legal product which was followed by subsequent judges in their decision. To emphasize the shift of inheritance law, in addition to legal researchers alive today, also describes fiqh as heirs legih conventional wide, to look toward the transitional law of inheritance. Key word: Islam, Fiqh, Indonesia, waris, Adat, A. Pendahuluan Sejatinya sebuah hukum dengan corak keIslaman, mempunyai keseragaman antara satu daerah dengan daerah lainnya atau antara satu Negara dengan Negara lainnya 2 . Namun ternyata berbagai latar belakang telah memberikan corak hukum Islam yang berbeda antara satu Negara dengan Negara lainnya. Demikian pula 1 Hakim Pengadilan Agama Tanggamus, mahasiswa Program S3 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2 Ide untuk menyeragamkan sebuah hukum Islam yang berlaku bagi seluruh umat Islam pernah dilontarkan oleh Ibnu Muqoffa (w 142H/759M), sekretaris khalifah Ja‟far al Mansur (memerintah 754-776 M). Gagasan ini dilatarbelakangi dengan beragamnya corak hukum Islam, bahkan seringkali peradilan di satau daerah berbeda putusannya dengan peradilan di daerah lain meskipun kasusnya sama, lihat Ahmad Baso, Dekonstruksi Tafsir/Otoritas/Kebenaran Tunggal Syariat Islam sebagai Wacana Publik, dalam Formalisasi Syariat Islam di Indonesia sebuah Pergulatan yang tak pernah tuntas, Masykuri Abdillah (ed), Jakarta, Renaisance, 2005, hal. 34

Pergeseran Hukum Waris Indonesia

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Pergeseran Hukum Waris Indonesia

1

PERGESERAN HUKUM WARIS DI INDONESIA

Sugiri Permana, S.Ag. MH1

Abstrak

Exploring complexion of law in Indonesia one of them could be stored views of

the development of inheritance law that many legal shift from conventional fiqh.

Inheritance law in Indonesia is heavily influenced by the two legal systems namely

customary law adat recth and the civil law, so that inheritance law can now be

considered as the result of compromise of all three legal systems, Islam, customary

law and Western civil law.

This study wants to describe the inheritance law in Indonesia which is currently

contained in the Compilation of Islamic law and jurisprudence of the Supreme Court.

Compilation of Islamic Law, though not included in the structure legal system, but it

is factual has been used as a source of law for judges in religious courts. Meanwhile,

the Supreme Court jurisprudence has sufficient bonding power because it is a legal

product which was followed by subsequent judges in their decision.

To emphasize the shift of inheritance law, in addition to legal researchers alive

today, also describes fiqh as heirs legih conventional wide, to look toward the

transitional law of inheritance.

Key word: Islam, Fiqh, Indonesia, waris, Adat,

A. Pendahuluan

Sejatinya sebuah hukum dengan corak keIslaman, mempunyai keseragaman

antara satu daerah dengan daerah lainnya atau antara satu Negara dengan Negara

lainnya2. Namun ternyata berbagai latar belakang telah memberikan corak hukum

Islam yang berbeda antara satu Negara dengan Negara lainnya. Demikian pula

1 Hakim Pengadilan Agama Tanggamus, mahasiswa Program S3 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2 Ide untuk menyeragamkan sebuah hukum Islam yang berlaku bagi seluruh umat Islam pernah

dilontarkan oleh Ibnu Muqoffa (w 142H/759M), sekretaris khalifah Ja‟far al Mansur (memerintah

754-776 M). Gagasan ini dilatarbelakangi dengan beragamnya corak hukum Islam, bahkan seringkali

peradilan di satau daerah berbeda putusannya dengan peradilan di daerah lain meskipun kasusnya

sama, lihat Ahmad Baso, Dekonstruksi Tafsir/Otoritas/Kebenaran Tunggal Syariat Islam sebagai

Wacana Publik, dalam Formalisasi Syariat Islam di Indonesia sebuah Pergulatan yang tak pernah

tuntas, Masykuri Abdillah (ed), Jakarta, Renaisance, 2005, hal. 34

Page 2: Pergeseran Hukum Waris Indonesia

2

dengan hukum waris, meskipun dengan sumber yang sama yaitu Al Quran dan

Hadits, tetapi ternyata terjadi perbedaan hukum waris dari suatu Negara dengan

Negara lainnya.

Perbedaan hukum waris di beberapa Negara yang berpenduduk muslim, mulai

terjadi setelah adanya usaha untuk pengkodifikasian3 hukum keluarga secara luas dan

hukum waris secara lebih khusus. Kodifikasi hukum keluarga muslim dimulai pada

tahun 1917 yang dipelopori oleh Negara Turki, kemudian menyusul Mesir pada

tahun 1920, Iran pada tahun 1931, Syria pada tahun 1953, Tunisia pada tahun 1956,

Pakistan Pada tahun 1961 dan Indonesia pada tahun 19744 dengan lahirnya Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.5 Dengan upaya kodifikasi

tersebut, maka masing-masing Negara mempunyai cara pandang yang berbeda

dengan Negara lainnya.

Dalam rentan waktu yang cukup lama, eksistensi hukum Islam masuk ke dalam

wadah normatif adalah merupakan kebutuhan masyarakat Indonesia dan bukan lagi

karena mayoritas dan minoritas. Gejala transformasi yang demikian lahir dari rasa

kesadaran yang tinggi dari masyarakat Indonesia. Hukum yang timbul dari kesadaran

masyarakat, berarti hukum tersebut timbul sebagai cerminan hukum rakyat/

mencerminkan hukum rakyat yang hidup dan dianut oleh rakyat setempat dalam

kehidupan sehari-hari.6

Transformasi hukum Islam dalam bentuk perundang-undangan (Takhrij al-

Ahkâm fî al-Nash al-Qânun) merupakan produk interaksi antar elit politik Islam (para

ulama, tokoh ormas, pejabat agama dan cendekiawan muslim) dengan elite

3 Ditinjau dari segi bentuknya, hukum dapat dibedakan atas: Hukum Tertulis (statute law,

written law), yaitu hukum yang dicantumkan dalam pelbagai peraturan-peraturan dan Hukum Tak

Tertulis (unstatutery law, unwritten law), yaitu hukum yang masih hidup dalam keyakinan

masyarakat, tetapi tidak tertulis namun berlakunya ditaati seperti suatu peraturan perundangan (hukum

kebiasaan). Kodifikasi berhubungan dengan hukum tertulis. Kodifikasi Hukum ialah pembukuan

jenis-jenis hukum tertentu dalam kitab undang-undang secara sistematis dan lengkap (pengertian

lama) atau dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang baru. Tujuan Kodifikasi Hukum tertulis

untuk memperoleh Kepastian,Penyederhanaan dan Kesatuan hukum, http://ilmuhukum76.

wordpress.com /2008/05/30/ kodifikasi-hukum/ 4M. Atho Mudhar menyebutnya dengan pembaharuan hukum dalam bentuk undang-undang

bukan kodifikasi, lihat M. Atho Muzdhor (Ed), Hukum Keluarga di Dunia Muslim Modern, studi

Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab-kitab Fikih, Jakarta, Ciputat Press, 2003,

hal. 1 5Sebenarnya Indonesia sudah merintis kodifikasi hukum keluarga sejak tahun 1946 yaitu dengan

Undang-Undang 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah Talak dan Rujuk, namun esensi dari

undang-undang ini lebih terasa sejak lahirnya UU Nomor 1 Tahun 1974. 6 Soehartono, “Gejala Transformasi Hukum Islam Dalam Hukum Nasional”, artikel pada

Majalah Hukum Yustisia Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Edisi No. 64 tahun XVI,

Januari-Maret 2004, hlm. 753

Page 3: Pergeseran Hukum Waris Indonesia

3

kekuasaan (the rulling elite) yakni kalangan politisi dan pejabat negara. Sebagai

contoh, diundangkannya UU Perkawinan No.1/1974 peranan elite Islam cukup

dominan di dalam melakukan pendekatan dengan kalangan elite di tingkat legislatif,

sehingga RUU Perkawinan No.1/1974 dapat dikodifikasikan.7

Kodifikasi hukum waris berjalan seiring dengan tiga bentuk hukum lainnya

yaitu hukum perkawinan dan hukum wakaf yang ketiganya berada dalam bentuk

Kompilasi Hukum Islam berdasarkan Inpres Nomor 1 Tahun 1991. Formalisasi

hukum waris di Indonesia, dilatar belakangi oleh tiga sistem hukum yaitu Hukum

Islam, Hukum Perdata Barat dan Hukum Adat. Dengan adanya ketiga sistem hukum

tersebut, kemudian munculah hukum waris Islam yang ada di Indonesia dengan

wajah barunya yang terdapat pada Kompilasi Hukum Islam buku ke II. Di samping

itu beberapa perkembangan telah menunjukkan adanya perubahan ataupun kemajuan

dari hukum waris yang telah ada melalui beberapa yurisprudensi.

Dengan latar belakang setting tiga sistem hukum tersebut, telah menimbulkan

pergeseran terhadap hukum waris di Indonesia sehingga muncul pembahasan hukum

kewarisan yang dianggap unik dari pembahasan hukum waris konvensional.

Pergeseran hukum waris konvensional ke dalam bentuk hukum waris di Indonesia

dapat terlihat pada pembahasan penghalang ahli waris, kedudukan saudara,

kedudukan anak angkat dan penggantian ahli waris.

Dalam penelitian ini, penulis mencoba mengekplor pembahasan hukum waris

di Indonesia dengan menitik beratkan pada adanya perubahan terhadap hukum waris

konvensional berkenaan penghalang ahli waris, kedudukan saudara, kedudukan anak

angkat dan penggantian ahli waris. Untuk melihat peta terjadinya pergeseran hukum

waris, penulis terlebih dahulu akan mendeskripsikan hukum waris dalam pandangan

fiqh konvensional, selanjutkan akan dipaparkan hukum yang berlaku saat ini.

Deskripsi hokum adat dan hukum Perdata Barat akan pula disajikan sebagai

gambaran untuk melihat arah perubahan hukum waris tersebut.

B. Kondisi Obyektif Terhadap Perkembangan Hukum Waris di Indonesia

Dalam diskursus sejarah hukum Indonesia, selalu menyertakan tiga sistem

hukum yang mempengaruhi sistem hukum sekarang. Ketiga sistem hukum tersebut

7 Amak F.Z., Proses Undang-undang Perkawinan, (Bandung: Al-Ma‟arif. 1976). hIm. 35-48

Page 4: Pergeseran Hukum Waris Indonesia

4

adalah hukum adat, hukum Islam dan hukum warisan Belanda atau civil law yang

banyak termuat dalam KUHPerdata.8 Hukum adat merupakan norma-norma yang

tumbuh dan berkembang secara alamiah di dalam pergaulan hidup masyarakat

Indonesia. Hukum tersebut merupakan refleksi dari sistem budaya yang dimiliki oleh

masyarakat setempat.9 Sedangkan hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari

dan menjadi bagian dari agama Islam. Konsepsi Hukum Islam yaitu dasar dan

kerangka hukumnya ditetapkan oleh Allah, tidak hanya mengatur hubungan manusia

dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat, tetapi juga hubungan-hubungan

lainnya karena manusia yang hidup di dalam masyarakat itu mempunyai berbagai

hubungan10

.

Sistem hukum lainnya adalah sistem hukum Barat yang terdapat pada

KUHPerdata atau Burgerlijk Wetboek (BW). Indonesia sebagai bekas jajahan

Belanda pernah memberlakukan KUHPerdata sebagai sumber hukum atas dasar asas

concordance, di mana Negara jajahan harus menerapkan hukum sesuai dengan apa

yang diterapkan di negaranya (Belanda).

Pandangan hukum adat terhadap hukum kewarisan sangat ditentukan oleh

persekutuan hukum adat itu sendiri. Beberapa persekutuan itu diantaranya pertama

persekutuan genealogis, berdasarkan keturunan dan persekutuan territorial

berdasarkan kependudukan yakni persekutuan hukum yang dipengaruhi baik faktor

geneologis maupun faktor teritorial. Dalam persekutuan yang geneologis, anggota-

anggotanya merasa diri terikat satu sama lain, karena mereka berketurunan dari

nenek moyang yang sama, sehingga diantara mereka terdapat hubungan keluarga.

Sementara persatuan hukum territorial anggota-anggotanya merasa terikat satu sama

lain,karena mereka bertempat kedudukan di suatu daerah yang sama. Persekutuan

8 Secara garis besar di dunia ini terdapat 5 (lima) sistem hukum besar yang hidup dan

berkembang, yaitu sistem Common Law yang dianut di Inggris dan bekas jajahannya yang kini pada

umumnya bergabung dalam negara-negara persemakmuran, sistem Civil Law yang berasal dari hukum

Romawi yang dianut di Eropa Barat Kontinental dan dibawa ke negeri-negeri jajahan atau bekas

jajahannya oleh Pemerintah Kolonial Barat dahulu, Sistem Hukum Adat di negara-negara Asia dan

Afrika, Sistem Hukum Islam dimanapun mereka berada dan Sistem Hukum Komunis/Sosialis yang

dilaksanakan di negara-negara komunis/sosialis seperti Uni Soviet dan satelit-satelitnya dahulu.

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia,

ctk. Ketujuh, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999, hlm. 187-188 9 Mohammad Jamin, Bahan Perkuliahan Hukum Adat Dan Sistem Hukum Nasional, 2004,

Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta, hlm. 13 10

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di

Indonesia, ctk. Ketujuh, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999, hlm. 38

Page 5: Pergeseran Hukum Waris Indonesia

5

semacam ini disebut desa atau gampong di Aceh dan sebagian daerah melayu

Sumatera. Sedangkan yang terkhir persekutuan hukum yang dipengaruhi territorial

dan geneologis terdapat di beberapa daerah seperti Mentawai yang disebut Uma, di

Nisas disebut Euri di Mingkabau disebut dengana Nagari dan di Batak disebut Kuria

atau Huta.

Dalam persekutuan geneologis ini terbagi pula menjadi tiga tipe tata susunan

yaitu patrilineal (kebapaan), matrilineal (keibuan) dan parental (bapak-ibu). Menurut

sistem patrilineal ini keturunan diambil dari garis bapak, yang merupakan pancaran

dari bapak asal dan menjadi penentu dalam keturunan anak cucu. Dalam hal ini

perempuan tidak menjadi saluran darah yang menghubungkan keluarga. Wanita yang

kawin dengan laki-laki ikut dengan suaminya dan anaknya menjadi keluarga

ayahnya. Sistem pertalian seperti ini terjadi di Nias, Gayo, Batak dan sebagian di

Lampung, Bengkulu, Maluku dan Timor. Dalam hukum waris, persekutuan ini lebih

mementingkan keturunan anak laki-laki daripada anak perempuan.

Sementara matrilineal adalah keturunan yang berasal dari Ibu, sehingga yang

menjadi ukuran hanyalah pertalian darah dari garis ibu yang menjadi ukuran dan

merupakan suatu persekutuan hukum. Wanita yang kawin tetap tinggal dan termasuk

dalam gabungan keluarga sendiri, sedangkan anak-anak mereka masuk dalam

keturunan ibunya. Sistem matrilineal ini terdapat di Minangkabau, Kerinci, Semendo

dan beberapa daerah Indonesia Timur. Sesuai dengan persekutuannya, matrilineal

lebih menghargai ahli waris dari pihak perempuan daripada ahli waris dari pihak laki-

laki. Selama masih ada anak perempuan, anak laki-laki tidak mendapatkan tirkah.

Sedangkan yang terakhir, pertalian darah dilihat dari kedua sisi, bapak dan ibu

serta nenek moyang. Kedua keturunan sama-sama penting bagi persekutan ini.

Keturunan berdasarkan bapak-ibu ini menurut Nani Soewondo merupakan garis

keturunan yang paling tua umurnya dan paling umum di Indonesia. Salah satu daerah

yang menganut sistem ini adalah Jawa. Menurut Hazairin dalam masyarakat bila

diperhatikan setiap orang berhak mengambil garis keturunannya ke atas maupun ibu

atau ayahnya. Dengan demikian, bagi orang Jawa keturunan bukan saja melalui

anaknya yang laki-laki atau perempuan saja, tetapi juga sampai keturunan yang lahir

dari cucunya laki-laki maupun perempuan sehingga dapat dipahami bahwa saluran-

saluran daerah dalam masyarakat Jawa biasa menjadi penghubung keturunannya dan

Page 6: Pergeseran Hukum Waris Indonesia

6

menghasilkan keluarga bagi dirinya. Dengan sitem persekutuan ini, maka hukum

waris pun tidak hanya menganggap kepada satu jenis kelamin anak saja tetapi baik

anak perempuan maupun anak laki mempunyai hak atas harta warisan.

Dalam hukum waris Islam, penempatan seseorang menjadi ahli waris

didasarkan pada adanya perkawinan, hubungan darah dan memerdekakan hamba

(saat ini sudah tidak banyak dibahas lagi kecuali dalam fiqh konvensional). Adanya

perkawinan akan menimbulkan hak waris antara suami dan istri, sedangkan

hubungan darah akan menyebabkan hak mendapatkan waris bagi kedua orang tua

dan anak-anak. Jika ahli waris ada maka yang menjadi ahli waris hanyalah suami

atau istri, anak, ibu dan bapak. Perbedaan yang menonjol dari hukum waris lainnya,

dalam hukum Islam bagian anak perempuan mendapatkan setengah dari anak laki-

laki.

Titik singgung antara hukum Islam dengan hukum adat terletak pada

pandangan adanya “keistimewaan” antara anak laki-laki dan perempuan. Dalam

hukum adat dengan sistem matrilineal, lebih mengedepankan anak perempuan,

sementara hukum waris dalam madzhab sunny (madzhab Hanafi,Maliki, Syafi'i, dan

Hambali) cenderung bersifat patrilineal. Sementara itu Hazairin yang berusaha

menggagas fikih dengan corak keIndonesiaan berusaha membangun hukum waris

dengan corak bilateral.

Perbedaan yang cukup tajam antara hukum Islam dan KUHPerdata anak laki-

laki berbanding sama dengan anak perempuan. Adapun tertib keluarga yang menjadi

ahli waris dalam KUHPerdata, yaitu: Isteri atau suami yang ditinggalkan dan

keluarga sah atau tidak sah dari pewaris. Ahli waris menurut undang undang atau ahli

waris ab intestato berdasarkan hubungan darah terdapat empat golongan, yaitu:

a. Golongan pertama, keluarga dalam garis lurus ke bawah, meliputi anak-anak

beserta keturunan mereka beserta suami atau isteri yang ditinggalkan / atau yang

hidup paling lama. Suami atau isteri yang ditinggalkan / hidup paling lama ini

baru diakui sebagai ahli waris pada tahun 1935, sedangkan sebelumnya suami /

isteri tidak saling mewarisi;

b. Golongan kedua, keluarga dalam garis lurus ke atas, meliputi orang tua dan

saudara, baik laki-laki maupun perempuan, serta keturunan mereka. Bagi orang

tua ada peraturan khusus yang menjamin bahwa bagian mereka tidak akan kurang

Page 7: Pergeseran Hukum Waris Indonesia

7

dari ¼ (seperempat) bagian dari harta peninggalan, walaupun mereka mewaris

bersama-sama saudara pewaris;

c. Golongan ketiga, meliputi kakek, nenek, dan leluhur selanjutnya ke atas dari

pewaris;

d. Golongan keempat, meliputi anggota keluarga dalam garis ke samping dan sanak

keluarga lainnya sampai derajat keenam.

Dari ke tiga sistem hukum tersebut tidak selamanya berjalan beriringan. Para

ahli hukum seringkali memandangnya sebagai sebuah konflik baik sebagai hasil

penelitian murni maupun untuk kepentingan tertentu. Cristian van den Berg pernah

mengeluarkan teorinya dengan reception in complex yang menyatakan bahwa

hukum agama adalah hukum adat di mana hukum adat telah meresepsi hukum

Islam.11

Teori ini kemudian dibantah dengan teori dari Christian Snouck Hurgronye

dengan teori receptie12

, yang menganggap bahwa hukum Islam baru diterima setelah

diterima oleh hukum Adat13

. Hazaririn menganggap teori ini sebagai teori iblis,14

dengan mengembangkan teori receptio exit karena dengan berlakunya Undang-

Undang Dasar 1945 maka teori sebelumnya menjadi hilang. Sajuti Thalib, SH,

dengan teori Receptie a Contrario. Dalam memahami keyakinan tersebut menurut

Sayuti Thalib bahwa 1) bagi orang Islam berlaku hukum Islam; 2) hal tersebut

sesuai dengan keyakinan dan cita-cita hukum, cita-cita moral; 3) hukum adat berlaku

bagi orang Islam jika tidak bertentangan dengan agama Islam dan hukum Islam.15

Terakhir teori berkenaan dengan hukum dikembangkan oleh Jaenal Arifin yakni

cultural existence theory, di mana hukum yang hidup (dalam penelitiannya yang

dimaksud adalah Pengadilan Agama) berkembang karena adanya kebutuhan social

dan budaya.16

11

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam di Peradilan Agama, (kumpulan tulisan), (Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 2002), h. 225. 12

A. Rahmad Rosyadi dan M. Rais Ahma, Formaolasi Syari’at Is;sm Dalam Perspektif Tata

Hukum Indonesia, Bogor : Ghalia Indonesia, 2006, h. 76. 13

Teori receptie oleh Prof. Snouck Hurgronje bahwa hukum Islam baru dapat diterima setelah

diakui oleh hukum adat. Dibuktikan dengan Pasal 134 ayat (2) IS tahun 1929 berbunyai: "Dalam hal

terjadi perkara perdata antara sesama orang Islam, akan diselesaikan oleh hakim agama Islam apabila

hukum adat mereka menghendakinya dan sejauh itu tidak ditentukan lain dengan suatu ordonansi. 14

Hazairin, Hukum Kekeluargaan Islam, (Jakarta: Tintamas, 1968), h. 5. 15

Sayuti Thalib, Receptie a Contrario, Hubungan Hukum Adat Dengan Hukum Islam, Jakarta

Bina Aksara1980, h. 15 16

Jaenal Aripin, Reformasi Hukum Di Indonesia Dan Implikasinya Terhadap Peradilan Agama:

Analisis Terhadap Eksistensi Peradilan Agama di Era Reformasi (1998-2008), Disertasi UIN Jakarta,

2008.

Page 8: Pergeseran Hukum Waris Indonesia

8

C. Pergeseran Hukum Waris di Indonesia

Pengertian hukum waris terdapat pada pasal 171 ayat (a) KHI yang berbunyi :

"Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan

harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi

ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing." Dalam literatur hukum Islam

ditemui beberapa istilah untuk menamakan hukum kewarisan Islam seperti faraid,

fikih mawaris dan hukum waris. Perbedaan dalam penamaan ini terjadi karena

perbedaan dalam arah yang dijadikan titik utama dalam pembahasan. Selain kedua

istilah tersebut, kata yang lazim dipakai adalah faraid.17

Beberapa ahli hukum di

Indonesia tidak mempergunakan penamaan tersebut secara seragam. Misalnya saja,

Wirjono Prodjodokoro, menggunakan istilah hukum warisan. Hazairin,

mempergunakan istilah hukum kewarisan. dan Soepomo menyebutnya dengan istilah

hukum waris.18

Pembahasan hukum waris di sini hanya sebatas terhadap isu-isu yang

terjadi pergeseran dalam pembahasan fiqh konvensional seperti yang telah

disebutkan pada latar belakang di atas yaitu berkenaan dengan penghalang ahli waris

yang murtad, kedudukan saudara, kedudukan anak angkat dan penggantian ahli

waris.

Penghalang Waris

Dalam literatur fiqh dijelaskan mengenai penghalang untuk mendapatkan hak

waris yaitu ada lima. Pertama membunuh seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah

dan an Nasai dari Qutaibah bahwa Rasulullah bersabda, orang yang membunuh tidak

mewarisi.19

Kedua adalah karena berbeda agama sebagaimana dikemukakan dalam

hadits riwayat Bukhari dan Muslim bahwa Rosulullah bersabda, tidak mewarisi

orang muslim terhadap orang kafir dan orang kafir terhadap orang muslim.20

Dalam fiqh konvensional, pembahasan mengenai perbedaan agama menjadi

penghalang menerima waris, selain ditinjau dari faktor geografi dan wilayah politik

yang tidak kondusif hubungan ismah dan perwalian juga menjadi alasan para ulama

dalam membahas perbedaan agama. Ketiga adalah mengenai perbudakan, meskipun

17

Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Prenada Media, 2005, hal. 5. 18

Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia, Dalam Perspektif Islam, Adat dan BW, Bandung,

2005, hal.1 19

Wahbah Al Zuhaili, Fiqhul Islam wa adillatuhu, (Beirut, Dar al fikr, 1989), hal 256 20

Al Kahlani, Muhammad Ibn Ismail, Subulus Salam, Juz 3, Bandung: Dahlan, tt.hal 98

Page 9: Pergeseran Hukum Waris Indonesia

9

pembahasannya sudah dianggap usang, namun dalam kitab fiqh masih

membahasnya. Hal ini didasarkan pada Firman Allah dalam surat an Nahl ayat 7521

.

Ayat ini menegaskan bahwa seorang hamba tidak mempunyai kekuasaan apapun,

sehingga kalaupun ia diberi hak waris maka pemiliknya lah yang akan

menguasainya.

Dalam Kompilasi Hukum Islam tidak dikenal mengenai penghalang waris

akibat perbedaan Negara dan perbudakaan, akan tetapi memperluas mengenai makna

membunuh yang menjadi penghalang menerma waris kepada beberapa hal seperti

pada Pasal 173 KHI yaitu seseorang yang telah dipersalahkan :

- telah membunuh

- mencoba membunuh

- menganiaya berat para pewaris;

- memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu

kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang

lebih berat.

Dengan melihat uraian tersebut, terlihat hukum waris Indonesia menetapkan

mawani’ul irsi berkenaan dengan tindak pidana lebih ketat dibandingkan dengan fiqh

konvensional. Namun sebaliknya, dalam mawaniul iris berkenaan dengan perbedaan

agama, ternyata lebih longgar, karena beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung RI

telah menetapkan bahwa ahli waris non muslim meskipun tidak mendapatkan hak

waris tetapi ia mendapatkan harta melalui wasiat wajibah. Salah satu yurisprudensi

tersebut adalah putusan Mahkamah Agung RI Nomor 366.K/AG/1995 tanggal 16 Juli

1998.

Bila ditelusuri khazanah hukum Islam, Ibnu Hazm merupakan peletak pertama

teori wasiat wajibah, seorang ulama besar kelahiran Spanyol yang beraliran madzhab

Zhohiri.22

Salah satu pemahaman terhadap wasiat adalah berkaitan dengan ahli waris

non muslim. Sekalipun ahli waris non muslim tidak dapat mewarisi muslim

21

Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba

sahaya yang dimiliki, yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatu pun (Departemen Agama RI,

1992:413).

22 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Cet Kelima, (Jakarta: Ichtiar Van Hoeve,

2005), hal 81.

Page 10: Pergeseran Hukum Waris Indonesia

10

sebagiamana telah menjadi kesepkatan para ulama (ijma‟), namun ada ulama seperti

Ibnu Hazm, At Thabari dan Muhammad Rasyid Ridlo yang berpendapat bahwa ahli

waris non muslim akan mendapatkan harta warisan pewaris muslim dengan melalui

wasiat wajibah. Di antara ketiga ulama tersebut yang lebih lengkap dan jelas

uraiannya adalah pendapat Ibnu Hazm. Menurut Ibnu Hazm bahwa kedua orang tua

dan kerabat yang tidak mewarisi salah satunya disebabkan tidak beragama Islam (non

muslim) wajib diberi wasiat. Apabila seorang muslim sewaktu hidupnya tidak

berwasiat, maka ahli waris atau wali yang mengurus wasiat harus melaksanakan

wasiat tersebut.

Pemahaman tentang wasiat dalam Islam dapat dilihat dari dua pengertian yaitu

dengan melihat kata khair dan kata wasiat. Pemahaman ini berdasarkan dari

ketentuan wasiat dalam Islam yang terdapat dalam Al Quran surah Al Baqarah ayat

18023

. Sebagian ulama memandang bahwa ayat tersebut telah dinasakh oleh ayat

faroid (an Nisa 7). Para ulama yang berpendapat demikian dikemukakan oleh Ibnu

Kasir bahwa perintah wasiat untuk ibu bapak dan kaum kerabat,hal ini menurut

pendapat yang paling sahih merupakan kewajiban sebelum turunnya ayat faroid, akan

tetapi setelah turunnya ayat faroid ayat wasiat tersebut dinasakh oleh ayat faroid.

Sebagai konsekwensinya maka mawarits yang telah ditetapkan merupakan kewajiban

dari Allah. Kelompok ini adalah mayoritas ulama terdiri dari Ibnu Abbas, Hasan

Bisri, Mazhab Syafi‟i, mayoritas Malikiah dan sekelompok ilmu.

Kedua bahwa yang dinasakh adalah keseluruhan ayat wasiat dalam arti wasiat

kepada kerabat yang ahli waris dan kerabat yang bukan ahli waris dihapus dengan

turunnya ayat faroid.. 24

Pendapat kedua mengenai ayat wasiat dikemukakan oleh

Abu Muslim Al Asfahani berpendapat bahwa ayat wasiat adalah ayat muhkamah dan

tidak bisa dinasakh dengan alasan tidak bertentangan dengan ayat mawarits malahan

ayat wasiat mengukuhkan dan menjelaskan ayat mawarits di samping juga antara

ketetapan adanya wasiat dan ketetapan adanya mirats tidak saling mempengaruhi,

dalam arti ketetapan adanya ayat mawatis tidak menghapus adanya hukum wasiat.

23

Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya dan bagi

wanita ada hak bagian pula dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya baik sedikit atau

banyak menurut bagian yang telah ditetapkan 24

Muhammad Ali Al Sayis, Tafsir Ayat Ahkam, Beirut, Darul al fikr 55-56.

Page 11: Pergeseran Hukum Waris Indonesia

11

Wasiat adalah pemberian dari orang yang akan mendekati kematian, sedangkan

mirats adalah pemberian dari Allah.

Kedudukan saudara

Titik pembahasan mengenai kedudukan saudara dalam hukum waris di

Indonesia dapat dilihat dari dua segi pertama ketika ia berada bersama-sama antara

sauada sekandung, seayah dan saudara sebapak. Kedua ketika saudara-saudara

tersebut berada dengan anak-anak dari pewaris. Pembahasan mengenai kedudukan

saudara dalam fiqh konvesional dapat dilihat pada penjelasa Abu Zahroh: 25

(122)

Saudara kandung

Saudara perempuan sekandung mendapatkan setengah bagian ketika tidak

ada ahli waris yang lain sesuai dengan bunyi surat an Nisa ayat 176, mendapatkan

2/3 ketika saudara perempuan tersebut lebih dari seorang dan menjadi ashobah

ketika bersama-sama dengan saudara kandung laki-laki dengan ketentuan saudara

laki-laki mendapatkan dua kali saudara perempuan. Saudara perempuan sekandung

menjadi ashobah ketika tidak bersama saudara sekandung apabila saudara

perempuan tersebut bersama dengan anak perempuan, anak perempuan dari anak

laki-laki dan cucu perempuan dari anak laki-laki. Anak perempuan mendapatkan ½

bagian, cucu perempuan dari anak laki-laki mendapatkan seperenam dan saudara

perempuan sekandung mendapatkan sisa sesuai dengan hadits Ibn Mas‟ud. Dalam

keadaan ini, saudara perempuan berkedudukan seperti halnya saudara laki-laki

sekandung.

Demikian halnya ia akan menghijab saudara sebapak baik laki-laki maupun

perempuan dan keturunannya serta menghijab anak laki-laki dari saudara laki-laki

sekandung.Saudara sekandung terhijab oleh anak laki-laki dan keturunannya, ayah

dan kakek, Menurut Abu Hanifah, saudara hanya mendapatkan hak waris ketika

kalalah (tidak ada anak dan ayah ashli), maka demikian pula dengan kakek yang

merupakan bagian dari ashli.

Kedudukan saudara sebapak

- Saudara laki-laki sebapak akan menjadi ashobah apabila tidak ada ahli waris

anak, ayah dan kakek. Saudara laki-laki sebapak menjadi ashobah bersama-sama

25

Abu Zahroh, Ahkamu Tirkah Al Mawarits, (Mesir: 1963, Darul Fikr Arobi), hal 122-128

Page 12: Pergeseran Hukum Waris Indonesia

12

dengan saudara perempuan seayah dengan ketentuan laki-laki dua kali bagian

perempuan.

- Kedudukan saudara perempuan sebapak sama dengan saudara perempuan

kandung, mendapatkan ½ bagian apabila sendirian (tanpa ada ahli waris lain)

dan mendapat 2/3 bagian bila terdiri dari 2 saudara perempuan kandung, apabila

ternyata saudara perempuan tersebut bersama dengan saudara laki-laki mereka

menjadi ashobah dengan ketentuan saudara perempuan mendapatkan setengah

dari yang didapatkan oleh saudara laki-laki.

- Sebagaimana diungkapkan oleh Imam Malik26

, dalam tradisi shahabat, bahwa

ketika ada saudara kandung laki-laki, maka saudara sebapak tidak mendapatkan

apapun.

- Menjadi ashobah ma‟al ghoir ketika bersama anak perempuan atau anak

perempuan dari anak laki-laki. Anak perempuan mendapatkan ½ bagian, cucu

perempuan dari anak laki-laki mendapatkan 1/6 bagian dan sisanya untuk

saudara perempuan/laki-laki seibu. Atau apabila hanya ada salah satu dari anak

perempuan/cucu perempuan dari anak laki-laki, maka saudara perempuan

sebapak menjadi ashobah.

- Mendapatkan 1/6 bagian apabila bersama dengan seorang saudara perempuan

sekandung yang mendapatkan ½ bagian. Saudara perempuan seayah menjadi

terhijab apabila ada dua orang saudara perempuan sekandung yang

menghabiskan 2/3 bagian, kecuali bersama saudara perempuan seayah terdapat

saudara laki-laki seibu, maka keduanya menjadi ashobah (apabila masih tersisa

harta).

- Saudara perempuan seayah menjadi terhijab apabila terdapat :ayah, anak laki-

laki atau cucu laki-laki dari anak laki-laki

- Saudara kandung laki-laki, kedudukannya sama dengan sama dengan cucu laki-

laki dari anak laki-laki.

Saudara seibu

Adapun saudara seibu mempunyai kedudukan sebagai ashahubl furud

mempunyai bagian tertentu. Kedudukan saudara seibu laki-laki dan perempuan

sama, apabila hanya seorang saja mendapatkan 1/6 (baik laki-laki atau perempuan),

26

Page 13: Pergeseran Hukum Waris Indonesia

13

apabila lebih dari seorang mendapatkan 1/3 bagian, dengan ketentuan sama antara

bagian saudara laki-laki dan saudara perempuan (seibu). Saudara seibu lebih kuat

kedudukannya bila dibandingkan dengan saudara perempuan seayah. Saudara

seayah (laki-laki atau perempuan) akan terhijab dengan adanya saudara sekandung,

lain halnya dengan saudara seibu mereka tetap mempunyai bagian meskipun

terdapat saudara sekandung (laki-laki atau perempuan) 27

Melihat uraian mengenai ketentuan saudara baik saudara sekandung, seayah

maupun seibu, terlihat fiqh konvensional mempunyai perhatian yang serius terhadap

perbedaan antara ketiganya. Dalam perkembangan hukum waris Indonesia, dapat

ditemukan pada beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung RI telah menetapkan

adanya kesamaan antara saudara kandung, saudara sebapak dan saudara seibu dalam

memperoleh warisan. Peraturan ini kemudian menjadi sebuah standar hukum waris

yang ditetapkan dalam sebuah panduan buku.28

Di satu sisi Mahkamah Agung telah mempersamakan saudara seayah dan seibu

sama kedudukannya dengan saudara sekandung dalam memperoleh harta warisan

sebagai dzawil furudl maupun ashobah dengan ketentuan laki-laki mendapatkan dua

kali bagian perempuan. Di sisi lain Mahkamah Agung telah mengenyampingkan

adanya kesamaan hak antara saudara perempuan seibu dan saudara laki-laki seibu,

karena fiqh konvensional memberikan bagian yang sama ketika mereka (berserikat)

mendapatkan 1/3 bagian atau menjadi ashobah.

Kesetaraan antara anak laki-laki dan anak perempuan dalam menghijab

paman atau bibi

Kedudukan anak laki-laki dan perempuan terhadap paman atau bibi

berhubungan erat dengan pembahasan mengenai kalalah. kalalah dalam kewarisan,

pada dasarnya adalah membicarakan tentang hak saudara (baik laki-laki maupun

perempuan) dari seorang yang telah meninggal dunia. Dengan kata lain, hak saudara

adakalanya mempunyai kewarisan sejajar furudiyah dengan mempertimbangkan

status dan keberadaan ahli waris lainnya.

27

Muhammad bin Sholeh bin Utsaimin, tashilul faroid, Mamlakah Arobiyah As Su‟udiyah, Dar

al Thoyyibah, 1983, hal. 41-42 28

Tim Pokja Mahkamah Agung, Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama,

(Jakarta: MARI, 2007), hal. 74

Page 14: Pergeseran Hukum Waris Indonesia

14

Permasalahan mengenai kalalah terdapat pada dua tempat yaitu surat an nisa

ayat 1229

dan ayat 17630

. Dalam analisa Amir Syarifudin31

, kalalah telah

menimbulkan polemik antara fiqh sunni dan fiqh Syi‟i. Dalam pandangan ulama

sunni kalalah adalah orang yang meninggal tidak meninggalkan ahli waris anak dan

ayah, sementara menurut pendapat ulama Syi‟i kalalah adalah seorang mati yang

tidak meninggalkan ayah. Perbedaan awal ini telah melebar pada pembahasan

kedudukan anak laki-laki dan perempuan serta dalam pembahasan hijab mahjub.

Menurut ulama sunni dengan pemahaman kalalah sebagai ahli waris yang

tidak meninggalkan anak dan ayah, menyebabkan saudara tidak mendapatkan hak

waris ketika ada ayah karena ayah akan menjadi ashobah. Hal ini berbeda dengan

pandangan ulama Syi‟i yang menganggap saudara mempunyai hak waris meskipun

ada ayah. Dalam pandangan Sunni, anak yang dimaksud dalam pembahasan kalalah

adalah anak laki-laki, sehingga anak perempuan tidak dapat menghijab saudara.

Ulama Syi‟i memandang anak tersebut adalah anak laki-laki maupun perempuan,

sehingga keduanya dapat menghijab saudara. Lain halnya dengan pendapat Zhahiri

yang menganggap sama dengan pendapat syi‟ah, namun anak perempuan hanya

menghijab saudara perempuan saja.

Perbedaan Sunni dan Syi‟i terletak pada penjelasan dari hadits Sa‟d bin Robi

(dari Jabir bin Abdillah) yang menjelaskan tentang kedudukan saudara menjadi

ashobah setelah isteri mendapat bagian 1/8 dan anak perempuan 1/2 bagian. Ibn

Mas‟ud yang menjelaskan mengenai pembagian warisan terhadap seorang anak

perempuan, anak perempuan dari anak laki-laki dan saudara perempuan. Anak

perempuan mendapatkan ½, cucu perempuan dari anak laki-laki mendapat 1/6 dan

sisanya untuk saudara. Serta sebuah hadits

Ulama Syi‟i tidak mengakui kedua hadits tersebut karena menganggap lemah,

sementara ulama sunni tidak peduli dengan adanya kecacatan dalam hadits tersebut.

Ulama sunni cenderung untuk memahami kata walad pada sebagai kata yang dipakai

dalam sehari-hari dan pemakaian pada masa Jahiliyah (isti’malul ma’na), tanpa

29

30

31

Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Prenada Media, 2005, hal 58-58

Page 15: Pergeseran Hukum Waris Indonesia

15

memperhatikan maksud dari kata walad sebenarnya yang mencakup pada makna

anak laki-laki dan perempuan.

Analisa terhadap beberapa hadits tersebut pernah dilakukan oleh Jumni Nelli,

yang menjelaskan kedudukan hadits yang menjadi pegangan ulama sunni32

. Hadits

Ibn Mas‟ud diriwayatkan oleh Abu Dawud, at Turmuzi dan ibnu Majah. Dalam

beberapa periwayatan, hadits ini terdapat kecacatan dari sudut pandang perawinya.

Tumpuan pembahasan pada rawi tersebut ditujukan kepada Abdullah Ibn

Muhammad Ibn Aqil yang oleh Ibn Katsir dianggap sebagai Majhul (tidak diketahui

kualitas pribadinya). Meskipun menurut Abu Dawud, ia dianggap orang jujur tetapi

para ulama mempersoalkan hafalannya, sehingga Ibn Sa‟ad memberikan penilaian

hadits tersebut sebagai hadits munkar.

Melihat penilaian penilaian di atas, agaknya layak untuk dikatakan bahwa

sanad hadits tersebut adalah lemah artinya kualitas hasan sahih yang diberikan oleh

at-Turmuzi terlalu tinggi untuk dikenakan pada sanad hadits tersebut. Namun

demikian, hadits tersebut sangat dikenal sebagai dalil bahwa ayat 12 mengatur

tentang hak saudara laki-laki sebagai ashobah , ketika bersama dengan anak ???

Hadits yang kedua adalah yang dikenal dengan hadits Ibnu Mas‟ud. Penulisan

matan hadits di atas berdasarkan pada matan yang diriwayatkan oleh al-Bukhari.

Hadits ini selain diriwayatkan oleh al-Bukhari, diriwayatkan pula oleh Abu Dawud,

at-Turmuzi dan Ibn Majah, at-Turmuzi menilai hadits tersebut dengan kriteria hadits

Shohih. Jumni Nelli mengambil analisa Ibu Qoyim33

, Ibnu Abbas dalam hadits ini

sepertinya tidak mengetahui apa yang telah ditetapkan oleh Nabi saw yang

diungkapkan oleh Ibn Mas‟ud. Namun ternyata baik Ibnu Abbas maupun Ibn Mas‟ud

sepakat mengenai kedudukan saudara perempuan menjadi ashobah ma‟al ghoir

dengan anak perempuan. Adapun alasan Ibn Abbas, bahwa hadits tersebut telah

dinasakh oleh surat an Nisa ayat 176 sehingga tidak mungkin mentakhsish ayat

tersebut apabila pelaksanaan hadits tersebut bersifat kasuistis.

Dalam Kompilasi Hukum Islam, ternyata baik anak perempuan maupun anak

laki-laki keduanya menghijab paman. Hal ini tidak dijelasakan secara tegas tetapi

32

Jumni Nelli, Kedudukan Kalalah Dalam Kewarisan (Analisis Tafsir, Hadis Dan Fikih), Hukum

Islam. Vol. IV No. 2 Desember 2005 search by google. 33

Ibn Qayyim al-Jauziyyah, I’lam al-Muwaqqi ‘in an Rabb al-Alami, (Kairo: Maktabah „Abd as-

Salam ,1968), h. 267

Page 16: Pergeseran Hukum Waris Indonesia

16

dapat dipahami secara a contrario/mafhum mukhalafah (pemahaman sebaliknya)

berdasarkan pasal 181 yang menyebutkan bahwa bila seorang meninggal dunia tanpa

meninggalkan anak dan ayah, maka saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu

masing-masing mendapat seperenam bagian. Bila mereka itu dua orang atau lebih

maka mereka bersama-sama mendapat seperti bagian. Pemahaman sebaliknya dari

pasal tersebut adalah apabila ternyata ada anak, baik laki-laki perempuan atau laki-

laki atau meninggalkan ayah, maka saudara laki-laki maupun saudara perempuan

tidak mendapatkan bagian harta warisan.

Dalam praktek peradilan ketentuan ini telah menjadi yurisprudensi tetap

tercatat dalam tiga putusan Mahkamah Agung yaitu :

1. Putusan Mahkamah Agung nomor 86K/AG/1994 tanggal 20 Juli 1995

2. Putusan Mahkamah Agung Nomor 184K/AG/1995 tanggal 30 September 1996

3. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 327K/AG/1997 tanggal 26 Februari 1998.

Dengan demikian, hukum waris di Indonesia berkenaan dengan kedudukan

anak terhadap pamannya cenderung memilih pendapat Ibnu Abbas daripada

pendapatnya Ibnu Mas‟ud. Dalam tatanan fiqh, ternyata madzhab Syi‟ah lebih

dipertimbangkan untuk ditetapkan dalam hukum waris Indonesia. Meskipun tidak

dapat ditemukan data catatan penyusunan KHI memori van tulichting yang kuat, dari

uraian di atas, nampaknya pendapat ahli hukum Hazairin telah mewarnai dalam

menentukan kedudukan anak terhadap paman.

Kedudukan anak angkat

Praktek pengangkatan anak oleh Rasulullah terhadap Zid bin Haritsah dan

budak lainnya Khathab „Amir bin Robi‟ah dan Abu Hudzaifah menjadi momentum

untuk menetapkan bagaimana hukum pengangkatan anak yang sebenarnya.

Pengangkatan anak di zaman Jahiliyah telah menghapus hubungannya dengan orang

tua kandung dan memberi hak penuh kepada anak angkat seperti halnya hak terhadap

anak kandung. Allah telah menghapuskan bentuk pengangkatan seperti itu dengan

menurunkan surat al Ahzab ayat 5.34

34

Mushtofa al Maroghi, Tafsir Al Maroghi, Juz 21 (Mesir: Mushtofa Albab Al Halab, 1946), hal.

127

Page 17: Pergeseran Hukum Waris Indonesia

17

Dalam kajian hukum Islam, Mahmud Syaltut mengemukakan ada dua

pengertian pengangkatan anak. Pertama mengambil anak orang lain untuk diasuh dan

didik dengan penuh perhatian dan kasih sayang, tanpa diberikan status “anak

kandung” kepadanya, cuma ia diperlakukan orang tua angkat sebagai anak sendiri.

Kedua mengambil anak orang lain sebagai anak sendiri ia diberi status sebagai anak

kandung, sehingga ia berhak memakai nama keturunan (nasab) orang tua angkatnya

dan saling mewarisi harta peninggalan serta hak-hak lain sebagai akibat hukum

antara anak angkat dan orang tua angkatnya itu35

.

Dalam KUHPerdata awalnya tidak ditemukan mengenai pengangkatan anak,

namun kemudian Pemerintah Belanda mengeluarkan Staadsblad 1917 Nomor 129

yang berisi mengatur mengenai pengangkatan anak tersebut. Salah satu ketentuan

yang penting dari aturan ini adalah adanya hak untuk mendapatkan waris dan

putusnya hubungan antara anak angkat dengan orang tua aslinya.36

Sementara itu dalam hukum adat, pengangkatan anak berbeda antara satu

daerah dengan daerah lainnya. Pada wilayah Jawa Barat serta Jawa Tengah dan Jawa

Timur, pengangkatan anak tidak dimaksudkan untuk memutuskan hubungn darah

dengan orang tua kandungnya, tetapi lebih bersifat untuk membantu orang tua

kandung atau dengn maksud menghadirkan “seorang anak” bagi keluarga yang

belum mempunyai anak. Hal ini berbed dengan adat yang ada di Bali, pengangkatan

anak cenderung memutuskan darah antara anak tersebut dengan orang tua

kandungnya dan memposisikan anak angkat sama halnya dengan anak kandung.

Dengan beragamnya pengaturan hukum adat dan hukum Perdata Barat yang

cenderung memposisikan anak angkat sebagai anak kandung di satu sisi dengan

hukum Islam di sisi lain yang meniadakan pengangkatan anak untuk memutuskan

hubungan darah dengan orang tua aslinya, maka Kompilasi Hukum Islam hadir

dengan kompromi dari ketiga sistem hukum tersebut. Pasal 209 Kompilasi Hukum

Islam memberikan hak kepada anak angkat maupun orang tua angkat untuk

memperoleh “hak waris” melalui wasiat wajibah.37

35

Nasroen dkk, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid I, Jakarta, PT Ichtiar Baru van Hove, 1996), hal

29-30. 36

Cik Basir, Aspek Prosedural/Prosesuil Pengangkatan Anak di Pengadilan Agama Pasca

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, Jakarta: Pokja Perdata MARI, 2007, hal 65. 37

Selengkapnya bunyi KHI Pasal 209 adalah :

Page 18: Pergeseran Hukum Waris Indonesia

18

Wasiat wajibah bagi anak angkat maupun orang tua angkat ketentuannya sama

seperti yang sudah dijelaskan bagi ahli waris yang non muslim. Apabila anak angkat

tidak mendapatkan wasiat ketika hidupnya dari orang tua angkat, ia berhak

mendapatkan wasiat wajibah yang dapat dituntut di depan hukum. Besarnya wasiat

wajibah tersebut tidak melebihi dari 1/3 bagian harta warisan. Dalam prakteknya,

besar wasiat wajibah bagi anak angkat harus mempertimbangkan besarnya bagian

bagi anak kandung, sehingga tidak menimbulkan kesenjangan antara bagian anak

angkat dengan anak kandung, sungguh tidak adil apabila bagian anak angkat ternyata

melebihi bagian anak kandung. Dengan demikian, meskipun wasiat wajibah batas

maksimalnya tidak melebihi 1/3 bagian, namun tidak boleh melebihi bagian dari

anak kandung.

Penggantian ahli waris

Penggantian ahli waris berarti seseorang menggantikan orang tuanya sebagai

ahli waris. Penggantian ahli waris tidak dikenal dalam fiqh konvensional tetapi

muncul dalam pembahasan hukum waris KUHPerdata. Kuat dugaan tidak adanya

pembahasan mengenai penggantian ahli waris dalam fiqh konvensional, karena sifat

dari fiqh yang berpihak pada laki-laki (patrilineal) dengan hanya menempatkan

penggantian ahli waris pada cucu laki-laki dari anak laki-laki yang mempunyai

kedudukan sama dengan ayahnya serta cucu perempuan dari anak laki-laki yang

mempunyai hak waris dalam keadaan :

- Mendapatkan ½ apabila sendirian dan 2/3 apabila dua orang atau lebih ketika

tidak ada anak (laki-laki/perempuan) dan tidak ada cucu laki-laki dari anak laki-

laki.

- Mendapatkan 1/6 bagian apabila dengan seorang anak perempuan untuk

melengkapi 2/3 bagian perempuan dan tidak mendapatkan bagian ketika anak

perempuan tersebut dua orang (karena telah menghabiskan 2/3 bagian) kecuali

(1) Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai dengan Pasal 193

tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat

wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta wasiat anak angkatnya.

(2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-

banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.

Page 19: Pergeseran Hukum Waris Indonesia

19

apabila bersama-sama dengan cucu laki-laki dari anak laki-laki (bersama-sama

dengan ashobah).38

Sistem penggantian ahli waris merupakan terobosan baru untuk melindungi

cucu dessendent of the predesseased of deceased person yang orang tuanya telah

meninggal dunia di mana menurut aturan ini cucu berhak mendapatkan bagian.

Perlindungan terhadap cucu yang meninggal dunia di Negara-negara Islam dilakukan

dengan cara memberikan wasiat wajibah bagi cucu tersebut. Pembaharuan hukum ini

dengan menerapkan wasiat wajibah bagi cucu yang ditinggal mati orang tuanya

pertama kali dilakukan oleh hukum waris Mesir pada tahun 194639

, selanjutnya

mengikuti Negara-negara lainnya Maroko, Syria dan Tunisia setelah Kuwait

memberlakukan model hukum ini, Algeria, Irak dan Yordania juga berbuat serupa.40

Penggantian ahli waris plaatsvervulling juga dikenal dalam KUHPerdata

dengan memposisikan ahli waris pengganti sama halnya dengan yang digantikannya

sesuai dengan ketentuan Pasal 841-848 KUPerdata. Penggantian ahli waris

merupakan salah satu dari dua bentuk perolehan waris berdasarkan undang-undang,

bentuk lainnya adalah perolehan ahli waris secara langsung Uit Eigen Hoofde yaitu

berdasarkan Pasal pasal 852 ayat (2) KUHPerdata, yang menyatakan bahwa,

“Mereka mewaris kepala demi kepala, jika dengan si meninggal mereka memiliki

pertalian keluarga dalam derajat kesatu dan masing-masing mempunyai hak karena

diri sendiri…”

Pembahasan ahli waris pengganti juga dikemukakan oleh Hazairin41

yang

memberikan gagasan ahli waris pengganti dengan mengambil inspirasi dari Quran

surat an Nisa ayat 3342

. Baik penafsiran maupun istinbatul hukmi yang dilakukannya,

merupakan murni hasil pemikirannya di mana sebelumnya tidak dibahas dalam kitab

38 Muhammad bin Sholeh bin Utsaimin, tashilul faroid, Mamlakah Arobiyah As Su‟udiyah, Dar al

Thoyyibah, 1983, hal.37-38. 39 M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberasi, Cet I (Yogyakarta: Titian

Ilahi Press, 1988), hal 163-164, dalam catatan Muhammad Amin Suma Mesir memberlakukan wasiat wajibah

pada tahun 1943 yaitu dengan memberlakukan Qanun Nomor 77 Tahun 1943, sementara Kwait dan Yaman

masing-masing memiliki Law Reform 1971 dan Further Legislation and Family Law 1976 – 1978, lihat

Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Duniaa Islam (Jakarta: Raja Grapindo, 2004), hal.176 40 Musthofa, Pembaharuan Hukum Islam di Kuwait: Studi Wasiat, dalam M. Atho Muzdhor (Ed), Hukum

Keluarga di Dunia Muslim Modern, studi Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab-kitab Fikih,

Jakarta, Ciputat Press, 2003 hal 168 41

Hazairin, Hukum Kewarisan Bilaterral Menurut Al-Qur’an dan Hadits, (Jakarta: Tinta Mas, 1982),

hal.16 42

Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami

jadikan pewaris-pewarisnya. Dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan

mereka, maka berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.

Page 20: Pergeseran Hukum Waris Indonesia

20

fiqh maupun oleh Negara-negara Islam dalam menetapkan undang-undangan waris.

Dalam pandangan Hazairin, mawali dalam ayat tersebut berarti ahli waris pengganti,

yang menggantikan orang tuanya.

Dengan penafsirannya terhadap mawali ia menempatkan keturunan dari anak

laki-laki dan anak perempuan pada keutamaan pertama (disamping orang tua dan

janda/duda) untuk memperoleh harta warisan. Hazairin yang merupakan ahli hukum

adat43

, tidak membicarakan tentang latar belakang “ijtihadnya” (selain atas penafsiran

sistem bilateral Al Quran), apakah ia juga dipengaruhi oleh sistem hukum Perdata

Barat yang menetapkan ahli waris pengganti menggantikan kedudukan orang tuanya.

Hanya saja Hazairin tidak membahas kewajiban yang juga dipikul oleh ahli waris

pengganti.

Kompilasi Hukum Islam menempatkan pergantian ahli waris pada Pasal 185

ayat (1) disebutkan : Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris,

maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut

dalam pasal 173. Dalam ayat (2) disebutkan: “Bagian bagi ahli waris pengganti tidak

boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti”.

Ahli waris dalam Kompilasi Hukum Islam mengandung beberapa batasan

yaitu:

- Ahli waris pengganti menggantikan orang tuanya apabila tidak terjadi penghalang

waris.

- Bagian dari ahli waris pengganti tidak melebihi dari bagian ahli waris yang

sederajat dengan yang diganti.

- Kata “dapat” pada Pasal 185 ayat (1) menunjukan bersifat fakultatif atau tentatif

sehingga bisa ditafsirkan ada ahli waris yang mungkin dapat digantikan dan ada

yang mungkin tidak dapat digantikan. Para ahli hukum memberikan apresiasi

terhadap sifat tentatifnya dengan melihat kenyataan dalam beberapa kasus,

adanya rasa kasihan terhadap cucu pewaris 44.

43 Hazairin lahir tnggal 28 Nopember 1906, sekolah di RHS (Rechtkundige Hoogeschool/Sekolah

Tinggi Hukum ), jurusan hukum adat di Batavia (Jakarta) hingga mendapat gelar Mr. (Meester in de

Rechten) pada tahun 1935. setahun kemudian ia memperoleh gelar doktor dengan disertasi berjudul

De Redjang (mengenai adat istiadat Rejang di Bengkulu). 44

Firdaus Muhammad Arwan, Silang Pendapat Tentang Ahli Waris Pengganti Dalam Kompilasi

Hukum Islam Dan Pemecahannya, hal 7, www.badilag.net/index. php?option=com_content&task

=category &sectionid=6&id=21&Itemid=54

Page 21: Pergeseran Hukum Waris Indonesia

21

Dengan melihat uraian di atas, arah hukum waris di Indonesia berkenaan

dengan penggantian ahli waris terlihat lebih “memilih”, pendapat hukum “pribumi”

Hazairin dari pada menerapkan fiqh konvensional (yang menempatkan perbedaan

cucu perempuan/laki-laki dari anak perempuan/laki-laki) dan fiqh yang dianut di

beberapa Negara Arab yang menerapkan wasiat wajibah terhadap ahli waris

pengganti. Oleh karenanya hukum waris di Indonesia sudah tidak mengenal lagi

terminology cucu perempuan atau cucu laki-laki dan cucu dari anak perempuan dan

cucu dari anak laki-laki, karena penilaian terhadap golongan ini lebih didasarkan

pada orang tua mereka yang digantikannya.

D. Kesimpulan

Dari pemaparan di atas, sampailah pada kesimpulan mengenai terjadinya

pergeseran hukum waris di Indonesia dalam beberapa hal :

1. Mawani’ul irsi penghalang warisan di Indonesia tidak mengenal adanya

perbudakan dan perbedaan wilayah Negara. Dalam hal ahli waris murtad atau

berbeda agama, masih mempunyai kesempatan untuk menikmati harta warisan

melalui wasiat wajibah. Dalam hal pembunuhan sebagai alasan penghalang hak

waris, telah dikembangkan sedemikian rupa sehingga orang yang melakukan

penganiayaan berat dan orang yang memfitnah sehingga menimbulkan

kemadaratan bagi pewaris menjadi penghalang untuk mendapatkan hak waris.

2. Anak perempuan mempunyai kedudukan yang sama dengan anak laki-laki dalam

menghijab paman atau bibi. Demikian halnya dengan status saudara, mempunyai

kedudukan yang sama antara saudara sekandung, seayah dan saudara seibu dalam

hal memperoleh hak waris.

3. Kedudukan anak angkat dalam hukum waris konvensional tidak mendapatkan

hak waris sedikitpun, akan tetapi di Indonesia anak angkat memperoleh harta

warisan melalui wasiat wajibah.

4. Hukum waris di Indonesia tidak lagi membahas cucu perempuan/laki-laki dari

anak perempuan/anak laki-laki, karena pembahasannya terletak pada orang tua

yang akan digantikannya. Hal ini disebabkan adanya pergantian ahli waris di

mana seorang ahli waris yang meninggal lebih dahulu akan digantikan oleh

Page 22: Pergeseran Hukum Waris Indonesia

22

anaknya dengan ketentuan tidak ada halangan waris dan tidak melebihi bagian

dari ahli waris yang sederajat.