Upload
muhammad-qusay-abdullah
View
351
Download
5
Tags:
Embed Size (px)
Citation preview
1
PERGESERAN HUKUM WARIS DI INDONESIA
Sugiri Permana, S.Ag. MH1
Abstrak
Exploring complexion of law in Indonesia one of them could be stored views of
the development of inheritance law that many legal shift from conventional fiqh.
Inheritance law in Indonesia is heavily influenced by the two legal systems namely
customary law adat recth and the civil law, so that inheritance law can now be
considered as the result of compromise of all three legal systems, Islam, customary
law and Western civil law.
This study wants to describe the inheritance law in Indonesia which is currently
contained in the Compilation of Islamic law and jurisprudence of the Supreme Court.
Compilation of Islamic Law, though not included in the structure legal system, but it
is factual has been used as a source of law for judges in religious courts. Meanwhile,
the Supreme Court jurisprudence has sufficient bonding power because it is a legal
product which was followed by subsequent judges in their decision.
To emphasize the shift of inheritance law, in addition to legal researchers alive
today, also describes fiqh as heirs legih conventional wide, to look toward the
transitional law of inheritance.
Key word: Islam, Fiqh, Indonesia, waris, Adat,
A. Pendahuluan
Sejatinya sebuah hukum dengan corak keIslaman, mempunyai keseragaman
antara satu daerah dengan daerah lainnya atau antara satu Negara dengan Negara
lainnya2. Namun ternyata berbagai latar belakang telah memberikan corak hukum
Islam yang berbeda antara satu Negara dengan Negara lainnya. Demikian pula
1 Hakim Pengadilan Agama Tanggamus, mahasiswa Program S3 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2 Ide untuk menyeragamkan sebuah hukum Islam yang berlaku bagi seluruh umat Islam pernah
dilontarkan oleh Ibnu Muqoffa (w 142H/759M), sekretaris khalifah Ja‟far al Mansur (memerintah
754-776 M). Gagasan ini dilatarbelakangi dengan beragamnya corak hukum Islam, bahkan seringkali
peradilan di satau daerah berbeda putusannya dengan peradilan di daerah lain meskipun kasusnya
sama, lihat Ahmad Baso, Dekonstruksi Tafsir/Otoritas/Kebenaran Tunggal Syariat Islam sebagai
Wacana Publik, dalam Formalisasi Syariat Islam di Indonesia sebuah Pergulatan yang tak pernah
tuntas, Masykuri Abdillah (ed), Jakarta, Renaisance, 2005, hal. 34
2
dengan hukum waris, meskipun dengan sumber yang sama yaitu Al Quran dan
Hadits, tetapi ternyata terjadi perbedaan hukum waris dari suatu Negara dengan
Negara lainnya.
Perbedaan hukum waris di beberapa Negara yang berpenduduk muslim, mulai
terjadi setelah adanya usaha untuk pengkodifikasian3 hukum keluarga secara luas dan
hukum waris secara lebih khusus. Kodifikasi hukum keluarga muslim dimulai pada
tahun 1917 yang dipelopori oleh Negara Turki, kemudian menyusul Mesir pada
tahun 1920, Iran pada tahun 1931, Syria pada tahun 1953, Tunisia pada tahun 1956,
Pakistan Pada tahun 1961 dan Indonesia pada tahun 19744 dengan lahirnya Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.5 Dengan upaya kodifikasi
tersebut, maka masing-masing Negara mempunyai cara pandang yang berbeda
dengan Negara lainnya.
Dalam rentan waktu yang cukup lama, eksistensi hukum Islam masuk ke dalam
wadah normatif adalah merupakan kebutuhan masyarakat Indonesia dan bukan lagi
karena mayoritas dan minoritas. Gejala transformasi yang demikian lahir dari rasa
kesadaran yang tinggi dari masyarakat Indonesia. Hukum yang timbul dari kesadaran
masyarakat, berarti hukum tersebut timbul sebagai cerminan hukum rakyat/
mencerminkan hukum rakyat yang hidup dan dianut oleh rakyat setempat dalam
kehidupan sehari-hari.6
Transformasi hukum Islam dalam bentuk perundang-undangan (Takhrij al-
Ahkâm fî al-Nash al-Qânun) merupakan produk interaksi antar elit politik Islam (para
ulama, tokoh ormas, pejabat agama dan cendekiawan muslim) dengan elite
3 Ditinjau dari segi bentuknya, hukum dapat dibedakan atas: Hukum Tertulis (statute law,
written law), yaitu hukum yang dicantumkan dalam pelbagai peraturan-peraturan dan Hukum Tak
Tertulis (unstatutery law, unwritten law), yaitu hukum yang masih hidup dalam keyakinan
masyarakat, tetapi tidak tertulis namun berlakunya ditaati seperti suatu peraturan perundangan (hukum
kebiasaan). Kodifikasi berhubungan dengan hukum tertulis. Kodifikasi Hukum ialah pembukuan
jenis-jenis hukum tertentu dalam kitab undang-undang secara sistematis dan lengkap (pengertian
lama) atau dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang baru. Tujuan Kodifikasi Hukum tertulis
untuk memperoleh Kepastian,Penyederhanaan dan Kesatuan hukum, http://ilmuhukum76.
wordpress.com /2008/05/30/ kodifikasi-hukum/ 4M. Atho Mudhar menyebutnya dengan pembaharuan hukum dalam bentuk undang-undang
bukan kodifikasi, lihat M. Atho Muzdhor (Ed), Hukum Keluarga di Dunia Muslim Modern, studi
Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab-kitab Fikih, Jakarta, Ciputat Press, 2003,
hal. 1 5Sebenarnya Indonesia sudah merintis kodifikasi hukum keluarga sejak tahun 1946 yaitu dengan
Undang-Undang 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah Talak dan Rujuk, namun esensi dari
undang-undang ini lebih terasa sejak lahirnya UU Nomor 1 Tahun 1974. 6 Soehartono, “Gejala Transformasi Hukum Islam Dalam Hukum Nasional”, artikel pada
Majalah Hukum Yustisia Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Edisi No. 64 tahun XVI,
Januari-Maret 2004, hlm. 753
3
kekuasaan (the rulling elite) yakni kalangan politisi dan pejabat negara. Sebagai
contoh, diundangkannya UU Perkawinan No.1/1974 peranan elite Islam cukup
dominan di dalam melakukan pendekatan dengan kalangan elite di tingkat legislatif,
sehingga RUU Perkawinan No.1/1974 dapat dikodifikasikan.7
Kodifikasi hukum waris berjalan seiring dengan tiga bentuk hukum lainnya
yaitu hukum perkawinan dan hukum wakaf yang ketiganya berada dalam bentuk
Kompilasi Hukum Islam berdasarkan Inpres Nomor 1 Tahun 1991. Formalisasi
hukum waris di Indonesia, dilatar belakangi oleh tiga sistem hukum yaitu Hukum
Islam, Hukum Perdata Barat dan Hukum Adat. Dengan adanya ketiga sistem hukum
tersebut, kemudian munculah hukum waris Islam yang ada di Indonesia dengan
wajah barunya yang terdapat pada Kompilasi Hukum Islam buku ke II. Di samping
itu beberapa perkembangan telah menunjukkan adanya perubahan ataupun kemajuan
dari hukum waris yang telah ada melalui beberapa yurisprudensi.
Dengan latar belakang setting tiga sistem hukum tersebut, telah menimbulkan
pergeseran terhadap hukum waris di Indonesia sehingga muncul pembahasan hukum
kewarisan yang dianggap unik dari pembahasan hukum waris konvensional.
Pergeseran hukum waris konvensional ke dalam bentuk hukum waris di Indonesia
dapat terlihat pada pembahasan penghalang ahli waris, kedudukan saudara,
kedudukan anak angkat dan penggantian ahli waris.
Dalam penelitian ini, penulis mencoba mengekplor pembahasan hukum waris
di Indonesia dengan menitik beratkan pada adanya perubahan terhadap hukum waris
konvensional berkenaan penghalang ahli waris, kedudukan saudara, kedudukan anak
angkat dan penggantian ahli waris. Untuk melihat peta terjadinya pergeseran hukum
waris, penulis terlebih dahulu akan mendeskripsikan hukum waris dalam pandangan
fiqh konvensional, selanjutkan akan dipaparkan hukum yang berlaku saat ini.
Deskripsi hokum adat dan hukum Perdata Barat akan pula disajikan sebagai
gambaran untuk melihat arah perubahan hukum waris tersebut.
B. Kondisi Obyektif Terhadap Perkembangan Hukum Waris di Indonesia
Dalam diskursus sejarah hukum Indonesia, selalu menyertakan tiga sistem
hukum yang mempengaruhi sistem hukum sekarang. Ketiga sistem hukum tersebut
7 Amak F.Z., Proses Undang-undang Perkawinan, (Bandung: Al-Ma‟arif. 1976). hIm. 35-48
4
adalah hukum adat, hukum Islam dan hukum warisan Belanda atau civil law yang
banyak termuat dalam KUHPerdata.8 Hukum adat merupakan norma-norma yang
tumbuh dan berkembang secara alamiah di dalam pergaulan hidup masyarakat
Indonesia. Hukum tersebut merupakan refleksi dari sistem budaya yang dimiliki oleh
masyarakat setempat.9 Sedangkan hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari
dan menjadi bagian dari agama Islam. Konsepsi Hukum Islam yaitu dasar dan
kerangka hukumnya ditetapkan oleh Allah, tidak hanya mengatur hubungan manusia
dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat, tetapi juga hubungan-hubungan
lainnya karena manusia yang hidup di dalam masyarakat itu mempunyai berbagai
hubungan10
.
Sistem hukum lainnya adalah sistem hukum Barat yang terdapat pada
KUHPerdata atau Burgerlijk Wetboek (BW). Indonesia sebagai bekas jajahan
Belanda pernah memberlakukan KUHPerdata sebagai sumber hukum atas dasar asas
concordance, di mana Negara jajahan harus menerapkan hukum sesuai dengan apa
yang diterapkan di negaranya (Belanda).
Pandangan hukum adat terhadap hukum kewarisan sangat ditentukan oleh
persekutuan hukum adat itu sendiri. Beberapa persekutuan itu diantaranya pertama
persekutuan genealogis, berdasarkan keturunan dan persekutuan territorial
berdasarkan kependudukan yakni persekutuan hukum yang dipengaruhi baik faktor
geneologis maupun faktor teritorial. Dalam persekutuan yang geneologis, anggota-
anggotanya merasa diri terikat satu sama lain, karena mereka berketurunan dari
nenek moyang yang sama, sehingga diantara mereka terdapat hubungan keluarga.
Sementara persatuan hukum territorial anggota-anggotanya merasa terikat satu sama
lain,karena mereka bertempat kedudukan di suatu daerah yang sama. Persekutuan
8 Secara garis besar di dunia ini terdapat 5 (lima) sistem hukum besar yang hidup dan
berkembang, yaitu sistem Common Law yang dianut di Inggris dan bekas jajahannya yang kini pada
umumnya bergabung dalam negara-negara persemakmuran, sistem Civil Law yang berasal dari hukum
Romawi yang dianut di Eropa Barat Kontinental dan dibawa ke negeri-negeri jajahan atau bekas
jajahannya oleh Pemerintah Kolonial Barat dahulu, Sistem Hukum Adat di negara-negara Asia dan
Afrika, Sistem Hukum Islam dimanapun mereka berada dan Sistem Hukum Komunis/Sosialis yang
dilaksanakan di negara-negara komunis/sosialis seperti Uni Soviet dan satelit-satelitnya dahulu.
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia,
ctk. Ketujuh, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999, hlm. 187-188 9 Mohammad Jamin, Bahan Perkuliahan Hukum Adat Dan Sistem Hukum Nasional, 2004,
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta, hlm. 13 10
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia, ctk. Ketujuh, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999, hlm. 38
5
semacam ini disebut desa atau gampong di Aceh dan sebagian daerah melayu
Sumatera. Sedangkan yang terkhir persekutuan hukum yang dipengaruhi territorial
dan geneologis terdapat di beberapa daerah seperti Mentawai yang disebut Uma, di
Nisas disebut Euri di Mingkabau disebut dengana Nagari dan di Batak disebut Kuria
atau Huta.
Dalam persekutuan geneologis ini terbagi pula menjadi tiga tipe tata susunan
yaitu patrilineal (kebapaan), matrilineal (keibuan) dan parental (bapak-ibu). Menurut
sistem patrilineal ini keturunan diambil dari garis bapak, yang merupakan pancaran
dari bapak asal dan menjadi penentu dalam keturunan anak cucu. Dalam hal ini
perempuan tidak menjadi saluran darah yang menghubungkan keluarga. Wanita yang
kawin dengan laki-laki ikut dengan suaminya dan anaknya menjadi keluarga
ayahnya. Sistem pertalian seperti ini terjadi di Nias, Gayo, Batak dan sebagian di
Lampung, Bengkulu, Maluku dan Timor. Dalam hukum waris, persekutuan ini lebih
mementingkan keturunan anak laki-laki daripada anak perempuan.
Sementara matrilineal adalah keturunan yang berasal dari Ibu, sehingga yang
menjadi ukuran hanyalah pertalian darah dari garis ibu yang menjadi ukuran dan
merupakan suatu persekutuan hukum. Wanita yang kawin tetap tinggal dan termasuk
dalam gabungan keluarga sendiri, sedangkan anak-anak mereka masuk dalam
keturunan ibunya. Sistem matrilineal ini terdapat di Minangkabau, Kerinci, Semendo
dan beberapa daerah Indonesia Timur. Sesuai dengan persekutuannya, matrilineal
lebih menghargai ahli waris dari pihak perempuan daripada ahli waris dari pihak laki-
laki. Selama masih ada anak perempuan, anak laki-laki tidak mendapatkan tirkah.
Sedangkan yang terakhir, pertalian darah dilihat dari kedua sisi, bapak dan ibu
serta nenek moyang. Kedua keturunan sama-sama penting bagi persekutan ini.
Keturunan berdasarkan bapak-ibu ini menurut Nani Soewondo merupakan garis
keturunan yang paling tua umurnya dan paling umum di Indonesia. Salah satu daerah
yang menganut sistem ini adalah Jawa. Menurut Hazairin dalam masyarakat bila
diperhatikan setiap orang berhak mengambil garis keturunannya ke atas maupun ibu
atau ayahnya. Dengan demikian, bagi orang Jawa keturunan bukan saja melalui
anaknya yang laki-laki atau perempuan saja, tetapi juga sampai keturunan yang lahir
dari cucunya laki-laki maupun perempuan sehingga dapat dipahami bahwa saluran-
saluran daerah dalam masyarakat Jawa biasa menjadi penghubung keturunannya dan
6
menghasilkan keluarga bagi dirinya. Dengan sitem persekutuan ini, maka hukum
waris pun tidak hanya menganggap kepada satu jenis kelamin anak saja tetapi baik
anak perempuan maupun anak laki mempunyai hak atas harta warisan.
Dalam hukum waris Islam, penempatan seseorang menjadi ahli waris
didasarkan pada adanya perkawinan, hubungan darah dan memerdekakan hamba
(saat ini sudah tidak banyak dibahas lagi kecuali dalam fiqh konvensional). Adanya
perkawinan akan menimbulkan hak waris antara suami dan istri, sedangkan
hubungan darah akan menyebabkan hak mendapatkan waris bagi kedua orang tua
dan anak-anak. Jika ahli waris ada maka yang menjadi ahli waris hanyalah suami
atau istri, anak, ibu dan bapak. Perbedaan yang menonjol dari hukum waris lainnya,
dalam hukum Islam bagian anak perempuan mendapatkan setengah dari anak laki-
laki.
Titik singgung antara hukum Islam dengan hukum adat terletak pada
pandangan adanya “keistimewaan” antara anak laki-laki dan perempuan. Dalam
hukum adat dengan sistem matrilineal, lebih mengedepankan anak perempuan,
sementara hukum waris dalam madzhab sunny (madzhab Hanafi,Maliki, Syafi'i, dan
Hambali) cenderung bersifat patrilineal. Sementara itu Hazairin yang berusaha
menggagas fikih dengan corak keIndonesiaan berusaha membangun hukum waris
dengan corak bilateral.
Perbedaan yang cukup tajam antara hukum Islam dan KUHPerdata anak laki-
laki berbanding sama dengan anak perempuan. Adapun tertib keluarga yang menjadi
ahli waris dalam KUHPerdata, yaitu: Isteri atau suami yang ditinggalkan dan
keluarga sah atau tidak sah dari pewaris. Ahli waris menurut undang undang atau ahli
waris ab intestato berdasarkan hubungan darah terdapat empat golongan, yaitu:
a. Golongan pertama, keluarga dalam garis lurus ke bawah, meliputi anak-anak
beserta keturunan mereka beserta suami atau isteri yang ditinggalkan / atau yang
hidup paling lama. Suami atau isteri yang ditinggalkan / hidup paling lama ini
baru diakui sebagai ahli waris pada tahun 1935, sedangkan sebelumnya suami /
isteri tidak saling mewarisi;
b. Golongan kedua, keluarga dalam garis lurus ke atas, meliputi orang tua dan
saudara, baik laki-laki maupun perempuan, serta keturunan mereka. Bagi orang
tua ada peraturan khusus yang menjamin bahwa bagian mereka tidak akan kurang
7
dari ¼ (seperempat) bagian dari harta peninggalan, walaupun mereka mewaris
bersama-sama saudara pewaris;
c. Golongan ketiga, meliputi kakek, nenek, dan leluhur selanjutnya ke atas dari
pewaris;
d. Golongan keempat, meliputi anggota keluarga dalam garis ke samping dan sanak
keluarga lainnya sampai derajat keenam.
Dari ke tiga sistem hukum tersebut tidak selamanya berjalan beriringan. Para
ahli hukum seringkali memandangnya sebagai sebuah konflik baik sebagai hasil
penelitian murni maupun untuk kepentingan tertentu. Cristian van den Berg pernah
mengeluarkan teorinya dengan reception in complex yang menyatakan bahwa
hukum agama adalah hukum adat di mana hukum adat telah meresepsi hukum
Islam.11
Teori ini kemudian dibantah dengan teori dari Christian Snouck Hurgronye
dengan teori receptie12
, yang menganggap bahwa hukum Islam baru diterima setelah
diterima oleh hukum Adat13
. Hazaririn menganggap teori ini sebagai teori iblis,14
dengan mengembangkan teori receptio exit karena dengan berlakunya Undang-
Undang Dasar 1945 maka teori sebelumnya menjadi hilang. Sajuti Thalib, SH,
dengan teori Receptie a Contrario. Dalam memahami keyakinan tersebut menurut
Sayuti Thalib bahwa 1) bagi orang Islam berlaku hukum Islam; 2) hal tersebut
sesuai dengan keyakinan dan cita-cita hukum, cita-cita moral; 3) hukum adat berlaku
bagi orang Islam jika tidak bertentangan dengan agama Islam dan hukum Islam.15
Terakhir teori berkenaan dengan hukum dikembangkan oleh Jaenal Arifin yakni
cultural existence theory, di mana hukum yang hidup (dalam penelitiannya yang
dimaksud adalah Pengadilan Agama) berkembang karena adanya kebutuhan social
dan budaya.16
11
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam di Peradilan Agama, (kumpulan tulisan), (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2002), h. 225. 12
A. Rahmad Rosyadi dan M. Rais Ahma, Formaolasi Syari’at Is;sm Dalam Perspektif Tata
Hukum Indonesia, Bogor : Ghalia Indonesia, 2006, h. 76. 13
Teori receptie oleh Prof. Snouck Hurgronje bahwa hukum Islam baru dapat diterima setelah
diakui oleh hukum adat. Dibuktikan dengan Pasal 134 ayat (2) IS tahun 1929 berbunyai: "Dalam hal
terjadi perkara perdata antara sesama orang Islam, akan diselesaikan oleh hakim agama Islam apabila
hukum adat mereka menghendakinya dan sejauh itu tidak ditentukan lain dengan suatu ordonansi. 14
Hazairin, Hukum Kekeluargaan Islam, (Jakarta: Tintamas, 1968), h. 5. 15
Sayuti Thalib, Receptie a Contrario, Hubungan Hukum Adat Dengan Hukum Islam, Jakarta
Bina Aksara1980, h. 15 16
Jaenal Aripin, Reformasi Hukum Di Indonesia Dan Implikasinya Terhadap Peradilan Agama:
Analisis Terhadap Eksistensi Peradilan Agama di Era Reformasi (1998-2008), Disertasi UIN Jakarta,
2008.
8
C. Pergeseran Hukum Waris di Indonesia
Pengertian hukum waris terdapat pada pasal 171 ayat (a) KHI yang berbunyi :
"Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan
harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi
ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing." Dalam literatur hukum Islam
ditemui beberapa istilah untuk menamakan hukum kewarisan Islam seperti faraid,
fikih mawaris dan hukum waris. Perbedaan dalam penamaan ini terjadi karena
perbedaan dalam arah yang dijadikan titik utama dalam pembahasan. Selain kedua
istilah tersebut, kata yang lazim dipakai adalah faraid.17
Beberapa ahli hukum di
Indonesia tidak mempergunakan penamaan tersebut secara seragam. Misalnya saja,
Wirjono Prodjodokoro, menggunakan istilah hukum warisan. Hazairin,
mempergunakan istilah hukum kewarisan. dan Soepomo menyebutnya dengan istilah
hukum waris.18
Pembahasan hukum waris di sini hanya sebatas terhadap isu-isu yang
terjadi pergeseran dalam pembahasan fiqh konvensional seperti yang telah
disebutkan pada latar belakang di atas yaitu berkenaan dengan penghalang ahli waris
yang murtad, kedudukan saudara, kedudukan anak angkat dan penggantian ahli
waris.
Penghalang Waris
Dalam literatur fiqh dijelaskan mengenai penghalang untuk mendapatkan hak
waris yaitu ada lima. Pertama membunuh seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah
dan an Nasai dari Qutaibah bahwa Rasulullah bersabda, orang yang membunuh tidak
mewarisi.19
Kedua adalah karena berbeda agama sebagaimana dikemukakan dalam
hadits riwayat Bukhari dan Muslim bahwa Rosulullah bersabda, tidak mewarisi
orang muslim terhadap orang kafir dan orang kafir terhadap orang muslim.20
Dalam fiqh konvensional, pembahasan mengenai perbedaan agama menjadi
penghalang menerima waris, selain ditinjau dari faktor geografi dan wilayah politik
yang tidak kondusif hubungan ismah dan perwalian juga menjadi alasan para ulama
dalam membahas perbedaan agama. Ketiga adalah mengenai perbudakan, meskipun
17
Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Prenada Media, 2005, hal. 5. 18
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia, Dalam Perspektif Islam, Adat dan BW, Bandung,
2005, hal.1 19
Wahbah Al Zuhaili, Fiqhul Islam wa adillatuhu, (Beirut, Dar al fikr, 1989), hal 256 20
Al Kahlani, Muhammad Ibn Ismail, Subulus Salam, Juz 3, Bandung: Dahlan, tt.hal 98
9
pembahasannya sudah dianggap usang, namun dalam kitab fiqh masih
membahasnya. Hal ini didasarkan pada Firman Allah dalam surat an Nahl ayat 7521
.
Ayat ini menegaskan bahwa seorang hamba tidak mempunyai kekuasaan apapun,
sehingga kalaupun ia diberi hak waris maka pemiliknya lah yang akan
menguasainya.
Dalam Kompilasi Hukum Islam tidak dikenal mengenai penghalang waris
akibat perbedaan Negara dan perbudakaan, akan tetapi memperluas mengenai makna
membunuh yang menjadi penghalang menerma waris kepada beberapa hal seperti
pada Pasal 173 KHI yaitu seseorang yang telah dipersalahkan :
- telah membunuh
- mencoba membunuh
- menganiaya berat para pewaris;
- memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu
kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang
lebih berat.
Dengan melihat uraian tersebut, terlihat hukum waris Indonesia menetapkan
mawani’ul irsi berkenaan dengan tindak pidana lebih ketat dibandingkan dengan fiqh
konvensional. Namun sebaliknya, dalam mawaniul iris berkenaan dengan perbedaan
agama, ternyata lebih longgar, karena beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung RI
telah menetapkan bahwa ahli waris non muslim meskipun tidak mendapatkan hak
waris tetapi ia mendapatkan harta melalui wasiat wajibah. Salah satu yurisprudensi
tersebut adalah putusan Mahkamah Agung RI Nomor 366.K/AG/1995 tanggal 16 Juli
1998.
Bila ditelusuri khazanah hukum Islam, Ibnu Hazm merupakan peletak pertama
teori wasiat wajibah, seorang ulama besar kelahiran Spanyol yang beraliran madzhab
Zhohiri.22
Salah satu pemahaman terhadap wasiat adalah berkaitan dengan ahli waris
non muslim. Sekalipun ahli waris non muslim tidak dapat mewarisi muslim
21
Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba
sahaya yang dimiliki, yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatu pun (Departemen Agama RI,
1992:413).
22 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Cet Kelima, (Jakarta: Ichtiar Van Hoeve,
2005), hal 81.
10
sebagiamana telah menjadi kesepkatan para ulama (ijma‟), namun ada ulama seperti
Ibnu Hazm, At Thabari dan Muhammad Rasyid Ridlo yang berpendapat bahwa ahli
waris non muslim akan mendapatkan harta warisan pewaris muslim dengan melalui
wasiat wajibah. Di antara ketiga ulama tersebut yang lebih lengkap dan jelas
uraiannya adalah pendapat Ibnu Hazm. Menurut Ibnu Hazm bahwa kedua orang tua
dan kerabat yang tidak mewarisi salah satunya disebabkan tidak beragama Islam (non
muslim) wajib diberi wasiat. Apabila seorang muslim sewaktu hidupnya tidak
berwasiat, maka ahli waris atau wali yang mengurus wasiat harus melaksanakan
wasiat tersebut.
Pemahaman tentang wasiat dalam Islam dapat dilihat dari dua pengertian yaitu
dengan melihat kata khair dan kata wasiat. Pemahaman ini berdasarkan dari
ketentuan wasiat dalam Islam yang terdapat dalam Al Quran surah Al Baqarah ayat
18023
. Sebagian ulama memandang bahwa ayat tersebut telah dinasakh oleh ayat
faroid (an Nisa 7). Para ulama yang berpendapat demikian dikemukakan oleh Ibnu
Kasir bahwa perintah wasiat untuk ibu bapak dan kaum kerabat,hal ini menurut
pendapat yang paling sahih merupakan kewajiban sebelum turunnya ayat faroid, akan
tetapi setelah turunnya ayat faroid ayat wasiat tersebut dinasakh oleh ayat faroid.
Sebagai konsekwensinya maka mawarits yang telah ditetapkan merupakan kewajiban
dari Allah. Kelompok ini adalah mayoritas ulama terdiri dari Ibnu Abbas, Hasan
Bisri, Mazhab Syafi‟i, mayoritas Malikiah dan sekelompok ilmu.
Kedua bahwa yang dinasakh adalah keseluruhan ayat wasiat dalam arti wasiat
kepada kerabat yang ahli waris dan kerabat yang bukan ahli waris dihapus dengan
turunnya ayat faroid.. 24
Pendapat kedua mengenai ayat wasiat dikemukakan oleh
Abu Muslim Al Asfahani berpendapat bahwa ayat wasiat adalah ayat muhkamah dan
tidak bisa dinasakh dengan alasan tidak bertentangan dengan ayat mawarits malahan
ayat wasiat mengukuhkan dan menjelaskan ayat mawarits di samping juga antara
ketetapan adanya wasiat dan ketetapan adanya mirats tidak saling mempengaruhi,
dalam arti ketetapan adanya ayat mawatis tidak menghapus adanya hukum wasiat.
23
Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya dan bagi
wanita ada hak bagian pula dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya baik sedikit atau
banyak menurut bagian yang telah ditetapkan 24
Muhammad Ali Al Sayis, Tafsir Ayat Ahkam, Beirut, Darul al fikr 55-56.
11
Wasiat adalah pemberian dari orang yang akan mendekati kematian, sedangkan
mirats adalah pemberian dari Allah.
Kedudukan saudara
Titik pembahasan mengenai kedudukan saudara dalam hukum waris di
Indonesia dapat dilihat dari dua segi pertama ketika ia berada bersama-sama antara
sauada sekandung, seayah dan saudara sebapak. Kedua ketika saudara-saudara
tersebut berada dengan anak-anak dari pewaris. Pembahasan mengenai kedudukan
saudara dalam fiqh konvesional dapat dilihat pada penjelasa Abu Zahroh: 25
(122)
Saudara kandung
Saudara perempuan sekandung mendapatkan setengah bagian ketika tidak
ada ahli waris yang lain sesuai dengan bunyi surat an Nisa ayat 176, mendapatkan
2/3 ketika saudara perempuan tersebut lebih dari seorang dan menjadi ashobah
ketika bersama-sama dengan saudara kandung laki-laki dengan ketentuan saudara
laki-laki mendapatkan dua kali saudara perempuan. Saudara perempuan sekandung
menjadi ashobah ketika tidak bersama saudara sekandung apabila saudara
perempuan tersebut bersama dengan anak perempuan, anak perempuan dari anak
laki-laki dan cucu perempuan dari anak laki-laki. Anak perempuan mendapatkan ½
bagian, cucu perempuan dari anak laki-laki mendapatkan seperenam dan saudara
perempuan sekandung mendapatkan sisa sesuai dengan hadits Ibn Mas‟ud. Dalam
keadaan ini, saudara perempuan berkedudukan seperti halnya saudara laki-laki
sekandung.
Demikian halnya ia akan menghijab saudara sebapak baik laki-laki maupun
perempuan dan keturunannya serta menghijab anak laki-laki dari saudara laki-laki
sekandung.Saudara sekandung terhijab oleh anak laki-laki dan keturunannya, ayah
dan kakek, Menurut Abu Hanifah, saudara hanya mendapatkan hak waris ketika
kalalah (tidak ada anak dan ayah ashli), maka demikian pula dengan kakek yang
merupakan bagian dari ashli.
Kedudukan saudara sebapak
- Saudara laki-laki sebapak akan menjadi ashobah apabila tidak ada ahli waris
anak, ayah dan kakek. Saudara laki-laki sebapak menjadi ashobah bersama-sama
25
Abu Zahroh, Ahkamu Tirkah Al Mawarits, (Mesir: 1963, Darul Fikr Arobi), hal 122-128
12
dengan saudara perempuan seayah dengan ketentuan laki-laki dua kali bagian
perempuan.
- Kedudukan saudara perempuan sebapak sama dengan saudara perempuan
kandung, mendapatkan ½ bagian apabila sendirian (tanpa ada ahli waris lain)
dan mendapat 2/3 bagian bila terdiri dari 2 saudara perempuan kandung, apabila
ternyata saudara perempuan tersebut bersama dengan saudara laki-laki mereka
menjadi ashobah dengan ketentuan saudara perempuan mendapatkan setengah
dari yang didapatkan oleh saudara laki-laki.
- Sebagaimana diungkapkan oleh Imam Malik26
, dalam tradisi shahabat, bahwa
ketika ada saudara kandung laki-laki, maka saudara sebapak tidak mendapatkan
apapun.
- Menjadi ashobah ma‟al ghoir ketika bersama anak perempuan atau anak
perempuan dari anak laki-laki. Anak perempuan mendapatkan ½ bagian, cucu
perempuan dari anak laki-laki mendapatkan 1/6 bagian dan sisanya untuk
saudara perempuan/laki-laki seibu. Atau apabila hanya ada salah satu dari anak
perempuan/cucu perempuan dari anak laki-laki, maka saudara perempuan
sebapak menjadi ashobah.
- Mendapatkan 1/6 bagian apabila bersama dengan seorang saudara perempuan
sekandung yang mendapatkan ½ bagian. Saudara perempuan seayah menjadi
terhijab apabila ada dua orang saudara perempuan sekandung yang
menghabiskan 2/3 bagian, kecuali bersama saudara perempuan seayah terdapat
saudara laki-laki seibu, maka keduanya menjadi ashobah (apabila masih tersisa
harta).
- Saudara perempuan seayah menjadi terhijab apabila terdapat :ayah, anak laki-
laki atau cucu laki-laki dari anak laki-laki
- Saudara kandung laki-laki, kedudukannya sama dengan sama dengan cucu laki-
laki dari anak laki-laki.
Saudara seibu
Adapun saudara seibu mempunyai kedudukan sebagai ashahubl furud
mempunyai bagian tertentu. Kedudukan saudara seibu laki-laki dan perempuan
sama, apabila hanya seorang saja mendapatkan 1/6 (baik laki-laki atau perempuan),
26
13
apabila lebih dari seorang mendapatkan 1/3 bagian, dengan ketentuan sama antara
bagian saudara laki-laki dan saudara perempuan (seibu). Saudara seibu lebih kuat
kedudukannya bila dibandingkan dengan saudara perempuan seayah. Saudara
seayah (laki-laki atau perempuan) akan terhijab dengan adanya saudara sekandung,
lain halnya dengan saudara seibu mereka tetap mempunyai bagian meskipun
terdapat saudara sekandung (laki-laki atau perempuan) 27
Melihat uraian mengenai ketentuan saudara baik saudara sekandung, seayah
maupun seibu, terlihat fiqh konvensional mempunyai perhatian yang serius terhadap
perbedaan antara ketiganya. Dalam perkembangan hukum waris Indonesia, dapat
ditemukan pada beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung RI telah menetapkan
adanya kesamaan antara saudara kandung, saudara sebapak dan saudara seibu dalam
memperoleh warisan. Peraturan ini kemudian menjadi sebuah standar hukum waris
yang ditetapkan dalam sebuah panduan buku.28
Di satu sisi Mahkamah Agung telah mempersamakan saudara seayah dan seibu
sama kedudukannya dengan saudara sekandung dalam memperoleh harta warisan
sebagai dzawil furudl maupun ashobah dengan ketentuan laki-laki mendapatkan dua
kali bagian perempuan. Di sisi lain Mahkamah Agung telah mengenyampingkan
adanya kesamaan hak antara saudara perempuan seibu dan saudara laki-laki seibu,
karena fiqh konvensional memberikan bagian yang sama ketika mereka (berserikat)
mendapatkan 1/3 bagian atau menjadi ashobah.
Kesetaraan antara anak laki-laki dan anak perempuan dalam menghijab
paman atau bibi
Kedudukan anak laki-laki dan perempuan terhadap paman atau bibi
berhubungan erat dengan pembahasan mengenai kalalah. kalalah dalam kewarisan,
pada dasarnya adalah membicarakan tentang hak saudara (baik laki-laki maupun
perempuan) dari seorang yang telah meninggal dunia. Dengan kata lain, hak saudara
adakalanya mempunyai kewarisan sejajar furudiyah dengan mempertimbangkan
status dan keberadaan ahli waris lainnya.
27
Muhammad bin Sholeh bin Utsaimin, tashilul faroid, Mamlakah Arobiyah As Su‟udiyah, Dar
al Thoyyibah, 1983, hal. 41-42 28
Tim Pokja Mahkamah Agung, Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama,
(Jakarta: MARI, 2007), hal. 74
14
Permasalahan mengenai kalalah terdapat pada dua tempat yaitu surat an nisa
ayat 1229
dan ayat 17630
. Dalam analisa Amir Syarifudin31
, kalalah telah
menimbulkan polemik antara fiqh sunni dan fiqh Syi‟i. Dalam pandangan ulama
sunni kalalah adalah orang yang meninggal tidak meninggalkan ahli waris anak dan
ayah, sementara menurut pendapat ulama Syi‟i kalalah adalah seorang mati yang
tidak meninggalkan ayah. Perbedaan awal ini telah melebar pada pembahasan
kedudukan anak laki-laki dan perempuan serta dalam pembahasan hijab mahjub.
Menurut ulama sunni dengan pemahaman kalalah sebagai ahli waris yang
tidak meninggalkan anak dan ayah, menyebabkan saudara tidak mendapatkan hak
waris ketika ada ayah karena ayah akan menjadi ashobah. Hal ini berbeda dengan
pandangan ulama Syi‟i yang menganggap saudara mempunyai hak waris meskipun
ada ayah. Dalam pandangan Sunni, anak yang dimaksud dalam pembahasan kalalah
adalah anak laki-laki, sehingga anak perempuan tidak dapat menghijab saudara.
Ulama Syi‟i memandang anak tersebut adalah anak laki-laki maupun perempuan,
sehingga keduanya dapat menghijab saudara. Lain halnya dengan pendapat Zhahiri
yang menganggap sama dengan pendapat syi‟ah, namun anak perempuan hanya
menghijab saudara perempuan saja.
Perbedaan Sunni dan Syi‟i terletak pada penjelasan dari hadits Sa‟d bin Robi
(dari Jabir bin Abdillah) yang menjelaskan tentang kedudukan saudara menjadi
ashobah setelah isteri mendapat bagian 1/8 dan anak perempuan 1/2 bagian. Ibn
Mas‟ud yang menjelaskan mengenai pembagian warisan terhadap seorang anak
perempuan, anak perempuan dari anak laki-laki dan saudara perempuan. Anak
perempuan mendapatkan ½, cucu perempuan dari anak laki-laki mendapat 1/6 dan
sisanya untuk saudara. Serta sebuah hadits
Ulama Syi‟i tidak mengakui kedua hadits tersebut karena menganggap lemah,
sementara ulama sunni tidak peduli dengan adanya kecacatan dalam hadits tersebut.
Ulama sunni cenderung untuk memahami kata walad pada sebagai kata yang dipakai
dalam sehari-hari dan pemakaian pada masa Jahiliyah (isti’malul ma’na), tanpa
29
30
31
Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Prenada Media, 2005, hal 58-58
15
memperhatikan maksud dari kata walad sebenarnya yang mencakup pada makna
anak laki-laki dan perempuan.
Analisa terhadap beberapa hadits tersebut pernah dilakukan oleh Jumni Nelli,
yang menjelaskan kedudukan hadits yang menjadi pegangan ulama sunni32
. Hadits
Ibn Mas‟ud diriwayatkan oleh Abu Dawud, at Turmuzi dan ibnu Majah. Dalam
beberapa periwayatan, hadits ini terdapat kecacatan dari sudut pandang perawinya.
Tumpuan pembahasan pada rawi tersebut ditujukan kepada Abdullah Ibn
Muhammad Ibn Aqil yang oleh Ibn Katsir dianggap sebagai Majhul (tidak diketahui
kualitas pribadinya). Meskipun menurut Abu Dawud, ia dianggap orang jujur tetapi
para ulama mempersoalkan hafalannya, sehingga Ibn Sa‟ad memberikan penilaian
hadits tersebut sebagai hadits munkar.
Melihat penilaian penilaian di atas, agaknya layak untuk dikatakan bahwa
sanad hadits tersebut adalah lemah artinya kualitas hasan sahih yang diberikan oleh
at-Turmuzi terlalu tinggi untuk dikenakan pada sanad hadits tersebut. Namun
demikian, hadits tersebut sangat dikenal sebagai dalil bahwa ayat 12 mengatur
tentang hak saudara laki-laki sebagai ashobah , ketika bersama dengan anak ???
Hadits yang kedua adalah yang dikenal dengan hadits Ibnu Mas‟ud. Penulisan
matan hadits di atas berdasarkan pada matan yang diriwayatkan oleh al-Bukhari.
Hadits ini selain diriwayatkan oleh al-Bukhari, diriwayatkan pula oleh Abu Dawud,
at-Turmuzi dan Ibn Majah, at-Turmuzi menilai hadits tersebut dengan kriteria hadits
Shohih. Jumni Nelli mengambil analisa Ibu Qoyim33
, Ibnu Abbas dalam hadits ini
sepertinya tidak mengetahui apa yang telah ditetapkan oleh Nabi saw yang
diungkapkan oleh Ibn Mas‟ud. Namun ternyata baik Ibnu Abbas maupun Ibn Mas‟ud
sepakat mengenai kedudukan saudara perempuan menjadi ashobah ma‟al ghoir
dengan anak perempuan. Adapun alasan Ibn Abbas, bahwa hadits tersebut telah
dinasakh oleh surat an Nisa ayat 176 sehingga tidak mungkin mentakhsish ayat
tersebut apabila pelaksanaan hadits tersebut bersifat kasuistis.
Dalam Kompilasi Hukum Islam, ternyata baik anak perempuan maupun anak
laki-laki keduanya menghijab paman. Hal ini tidak dijelasakan secara tegas tetapi
32
Jumni Nelli, Kedudukan Kalalah Dalam Kewarisan (Analisis Tafsir, Hadis Dan Fikih), Hukum
Islam. Vol. IV No. 2 Desember 2005 search by google. 33
Ibn Qayyim al-Jauziyyah, I’lam al-Muwaqqi ‘in an Rabb al-Alami, (Kairo: Maktabah „Abd as-
Salam ,1968), h. 267
16
dapat dipahami secara a contrario/mafhum mukhalafah (pemahaman sebaliknya)
berdasarkan pasal 181 yang menyebutkan bahwa bila seorang meninggal dunia tanpa
meninggalkan anak dan ayah, maka saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu
masing-masing mendapat seperenam bagian. Bila mereka itu dua orang atau lebih
maka mereka bersama-sama mendapat seperti bagian. Pemahaman sebaliknya dari
pasal tersebut adalah apabila ternyata ada anak, baik laki-laki perempuan atau laki-
laki atau meninggalkan ayah, maka saudara laki-laki maupun saudara perempuan
tidak mendapatkan bagian harta warisan.
Dalam praktek peradilan ketentuan ini telah menjadi yurisprudensi tetap
tercatat dalam tiga putusan Mahkamah Agung yaitu :
1. Putusan Mahkamah Agung nomor 86K/AG/1994 tanggal 20 Juli 1995
2. Putusan Mahkamah Agung Nomor 184K/AG/1995 tanggal 30 September 1996
3. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 327K/AG/1997 tanggal 26 Februari 1998.
Dengan demikian, hukum waris di Indonesia berkenaan dengan kedudukan
anak terhadap pamannya cenderung memilih pendapat Ibnu Abbas daripada
pendapatnya Ibnu Mas‟ud. Dalam tatanan fiqh, ternyata madzhab Syi‟ah lebih
dipertimbangkan untuk ditetapkan dalam hukum waris Indonesia. Meskipun tidak
dapat ditemukan data catatan penyusunan KHI memori van tulichting yang kuat, dari
uraian di atas, nampaknya pendapat ahli hukum Hazairin telah mewarnai dalam
menentukan kedudukan anak terhadap paman.
Kedudukan anak angkat
Praktek pengangkatan anak oleh Rasulullah terhadap Zid bin Haritsah dan
budak lainnya Khathab „Amir bin Robi‟ah dan Abu Hudzaifah menjadi momentum
untuk menetapkan bagaimana hukum pengangkatan anak yang sebenarnya.
Pengangkatan anak di zaman Jahiliyah telah menghapus hubungannya dengan orang
tua kandung dan memberi hak penuh kepada anak angkat seperti halnya hak terhadap
anak kandung. Allah telah menghapuskan bentuk pengangkatan seperti itu dengan
menurunkan surat al Ahzab ayat 5.34
34
Mushtofa al Maroghi, Tafsir Al Maroghi, Juz 21 (Mesir: Mushtofa Albab Al Halab, 1946), hal.
127
17
Dalam kajian hukum Islam, Mahmud Syaltut mengemukakan ada dua
pengertian pengangkatan anak. Pertama mengambil anak orang lain untuk diasuh dan
didik dengan penuh perhatian dan kasih sayang, tanpa diberikan status “anak
kandung” kepadanya, cuma ia diperlakukan orang tua angkat sebagai anak sendiri.
Kedua mengambil anak orang lain sebagai anak sendiri ia diberi status sebagai anak
kandung, sehingga ia berhak memakai nama keturunan (nasab) orang tua angkatnya
dan saling mewarisi harta peninggalan serta hak-hak lain sebagai akibat hukum
antara anak angkat dan orang tua angkatnya itu35
.
Dalam KUHPerdata awalnya tidak ditemukan mengenai pengangkatan anak,
namun kemudian Pemerintah Belanda mengeluarkan Staadsblad 1917 Nomor 129
yang berisi mengatur mengenai pengangkatan anak tersebut. Salah satu ketentuan
yang penting dari aturan ini adalah adanya hak untuk mendapatkan waris dan
putusnya hubungan antara anak angkat dengan orang tua aslinya.36
Sementara itu dalam hukum adat, pengangkatan anak berbeda antara satu
daerah dengan daerah lainnya. Pada wilayah Jawa Barat serta Jawa Tengah dan Jawa
Timur, pengangkatan anak tidak dimaksudkan untuk memutuskan hubungn darah
dengan orang tua kandungnya, tetapi lebih bersifat untuk membantu orang tua
kandung atau dengn maksud menghadirkan “seorang anak” bagi keluarga yang
belum mempunyai anak. Hal ini berbed dengan adat yang ada di Bali, pengangkatan
anak cenderung memutuskan darah antara anak tersebut dengan orang tua
kandungnya dan memposisikan anak angkat sama halnya dengan anak kandung.
Dengan beragamnya pengaturan hukum adat dan hukum Perdata Barat yang
cenderung memposisikan anak angkat sebagai anak kandung di satu sisi dengan
hukum Islam di sisi lain yang meniadakan pengangkatan anak untuk memutuskan
hubungan darah dengan orang tua aslinya, maka Kompilasi Hukum Islam hadir
dengan kompromi dari ketiga sistem hukum tersebut. Pasal 209 Kompilasi Hukum
Islam memberikan hak kepada anak angkat maupun orang tua angkat untuk
memperoleh “hak waris” melalui wasiat wajibah.37
35
Nasroen dkk, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid I, Jakarta, PT Ichtiar Baru van Hove, 1996), hal
29-30. 36
Cik Basir, Aspek Prosedural/Prosesuil Pengangkatan Anak di Pengadilan Agama Pasca
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, Jakarta: Pokja Perdata MARI, 2007, hal 65. 37
Selengkapnya bunyi KHI Pasal 209 adalah :
18
Wasiat wajibah bagi anak angkat maupun orang tua angkat ketentuannya sama
seperti yang sudah dijelaskan bagi ahli waris yang non muslim. Apabila anak angkat
tidak mendapatkan wasiat ketika hidupnya dari orang tua angkat, ia berhak
mendapatkan wasiat wajibah yang dapat dituntut di depan hukum. Besarnya wasiat
wajibah tersebut tidak melebihi dari 1/3 bagian harta warisan. Dalam prakteknya,
besar wasiat wajibah bagi anak angkat harus mempertimbangkan besarnya bagian
bagi anak kandung, sehingga tidak menimbulkan kesenjangan antara bagian anak
angkat dengan anak kandung, sungguh tidak adil apabila bagian anak angkat ternyata
melebihi bagian anak kandung. Dengan demikian, meskipun wasiat wajibah batas
maksimalnya tidak melebihi 1/3 bagian, namun tidak boleh melebihi bagian dari
anak kandung.
Penggantian ahli waris
Penggantian ahli waris berarti seseorang menggantikan orang tuanya sebagai
ahli waris. Penggantian ahli waris tidak dikenal dalam fiqh konvensional tetapi
muncul dalam pembahasan hukum waris KUHPerdata. Kuat dugaan tidak adanya
pembahasan mengenai penggantian ahli waris dalam fiqh konvensional, karena sifat
dari fiqh yang berpihak pada laki-laki (patrilineal) dengan hanya menempatkan
penggantian ahli waris pada cucu laki-laki dari anak laki-laki yang mempunyai
kedudukan sama dengan ayahnya serta cucu perempuan dari anak laki-laki yang
mempunyai hak waris dalam keadaan :
- Mendapatkan ½ apabila sendirian dan 2/3 apabila dua orang atau lebih ketika
tidak ada anak (laki-laki/perempuan) dan tidak ada cucu laki-laki dari anak laki-
laki.
- Mendapatkan 1/6 bagian apabila dengan seorang anak perempuan untuk
melengkapi 2/3 bagian perempuan dan tidak mendapatkan bagian ketika anak
perempuan tersebut dua orang (karena telah menghabiskan 2/3 bagian) kecuali
(1) Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai dengan Pasal 193
tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat
wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta wasiat anak angkatnya.
(2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-
banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.
19
apabila bersama-sama dengan cucu laki-laki dari anak laki-laki (bersama-sama
dengan ashobah).38
Sistem penggantian ahli waris merupakan terobosan baru untuk melindungi
cucu dessendent of the predesseased of deceased person yang orang tuanya telah
meninggal dunia di mana menurut aturan ini cucu berhak mendapatkan bagian.
Perlindungan terhadap cucu yang meninggal dunia di Negara-negara Islam dilakukan
dengan cara memberikan wasiat wajibah bagi cucu tersebut. Pembaharuan hukum ini
dengan menerapkan wasiat wajibah bagi cucu yang ditinggal mati orang tuanya
pertama kali dilakukan oleh hukum waris Mesir pada tahun 194639
, selanjutnya
mengikuti Negara-negara lainnya Maroko, Syria dan Tunisia setelah Kuwait
memberlakukan model hukum ini, Algeria, Irak dan Yordania juga berbuat serupa.40
Penggantian ahli waris plaatsvervulling juga dikenal dalam KUHPerdata
dengan memposisikan ahli waris pengganti sama halnya dengan yang digantikannya
sesuai dengan ketentuan Pasal 841-848 KUPerdata. Penggantian ahli waris
merupakan salah satu dari dua bentuk perolehan waris berdasarkan undang-undang,
bentuk lainnya adalah perolehan ahli waris secara langsung Uit Eigen Hoofde yaitu
berdasarkan Pasal pasal 852 ayat (2) KUHPerdata, yang menyatakan bahwa,
“Mereka mewaris kepala demi kepala, jika dengan si meninggal mereka memiliki
pertalian keluarga dalam derajat kesatu dan masing-masing mempunyai hak karena
diri sendiri…”
Pembahasan ahli waris pengganti juga dikemukakan oleh Hazairin41
yang
memberikan gagasan ahli waris pengganti dengan mengambil inspirasi dari Quran
surat an Nisa ayat 3342
. Baik penafsiran maupun istinbatul hukmi yang dilakukannya,
merupakan murni hasil pemikirannya di mana sebelumnya tidak dibahas dalam kitab
38 Muhammad bin Sholeh bin Utsaimin, tashilul faroid, Mamlakah Arobiyah As Su‟udiyah, Dar al
Thoyyibah, 1983, hal.37-38. 39 M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberasi, Cet I (Yogyakarta: Titian
Ilahi Press, 1988), hal 163-164, dalam catatan Muhammad Amin Suma Mesir memberlakukan wasiat wajibah
pada tahun 1943 yaitu dengan memberlakukan Qanun Nomor 77 Tahun 1943, sementara Kwait dan Yaman
masing-masing memiliki Law Reform 1971 dan Further Legislation and Family Law 1976 – 1978, lihat
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Duniaa Islam (Jakarta: Raja Grapindo, 2004), hal.176 40 Musthofa, Pembaharuan Hukum Islam di Kuwait: Studi Wasiat, dalam M. Atho Muzdhor (Ed), Hukum
Keluarga di Dunia Muslim Modern, studi Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab-kitab Fikih,
Jakarta, Ciputat Press, 2003 hal 168 41
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilaterral Menurut Al-Qur’an dan Hadits, (Jakarta: Tinta Mas, 1982),
hal.16 42
Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami
jadikan pewaris-pewarisnya. Dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan
mereka, maka berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.
20
fiqh maupun oleh Negara-negara Islam dalam menetapkan undang-undangan waris.
Dalam pandangan Hazairin, mawali dalam ayat tersebut berarti ahli waris pengganti,
yang menggantikan orang tuanya.
Dengan penafsirannya terhadap mawali ia menempatkan keturunan dari anak
laki-laki dan anak perempuan pada keutamaan pertama (disamping orang tua dan
janda/duda) untuk memperoleh harta warisan. Hazairin yang merupakan ahli hukum
adat43
, tidak membicarakan tentang latar belakang “ijtihadnya” (selain atas penafsiran
sistem bilateral Al Quran), apakah ia juga dipengaruhi oleh sistem hukum Perdata
Barat yang menetapkan ahli waris pengganti menggantikan kedudukan orang tuanya.
Hanya saja Hazairin tidak membahas kewajiban yang juga dipikul oleh ahli waris
pengganti.
Kompilasi Hukum Islam menempatkan pergantian ahli waris pada Pasal 185
ayat (1) disebutkan : Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris,
maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut
dalam pasal 173. Dalam ayat (2) disebutkan: “Bagian bagi ahli waris pengganti tidak
boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti”.
Ahli waris dalam Kompilasi Hukum Islam mengandung beberapa batasan
yaitu:
- Ahli waris pengganti menggantikan orang tuanya apabila tidak terjadi penghalang
waris.
- Bagian dari ahli waris pengganti tidak melebihi dari bagian ahli waris yang
sederajat dengan yang diganti.
- Kata “dapat” pada Pasal 185 ayat (1) menunjukan bersifat fakultatif atau tentatif
sehingga bisa ditafsirkan ada ahli waris yang mungkin dapat digantikan dan ada
yang mungkin tidak dapat digantikan. Para ahli hukum memberikan apresiasi
terhadap sifat tentatifnya dengan melihat kenyataan dalam beberapa kasus,
adanya rasa kasihan terhadap cucu pewaris 44.
43 Hazairin lahir tnggal 28 Nopember 1906, sekolah di RHS (Rechtkundige Hoogeschool/Sekolah
Tinggi Hukum ), jurusan hukum adat di Batavia (Jakarta) hingga mendapat gelar Mr. (Meester in de
Rechten) pada tahun 1935. setahun kemudian ia memperoleh gelar doktor dengan disertasi berjudul
De Redjang (mengenai adat istiadat Rejang di Bengkulu). 44
Firdaus Muhammad Arwan, Silang Pendapat Tentang Ahli Waris Pengganti Dalam Kompilasi
Hukum Islam Dan Pemecahannya, hal 7, www.badilag.net/index. php?option=com_content&task
=category §ionid=6&id=21&Itemid=54
21
Dengan melihat uraian di atas, arah hukum waris di Indonesia berkenaan
dengan penggantian ahli waris terlihat lebih “memilih”, pendapat hukum “pribumi”
Hazairin dari pada menerapkan fiqh konvensional (yang menempatkan perbedaan
cucu perempuan/laki-laki dari anak perempuan/laki-laki) dan fiqh yang dianut di
beberapa Negara Arab yang menerapkan wasiat wajibah terhadap ahli waris
pengganti. Oleh karenanya hukum waris di Indonesia sudah tidak mengenal lagi
terminology cucu perempuan atau cucu laki-laki dan cucu dari anak perempuan dan
cucu dari anak laki-laki, karena penilaian terhadap golongan ini lebih didasarkan
pada orang tua mereka yang digantikannya.
D. Kesimpulan
Dari pemaparan di atas, sampailah pada kesimpulan mengenai terjadinya
pergeseran hukum waris di Indonesia dalam beberapa hal :
1. Mawani’ul irsi penghalang warisan di Indonesia tidak mengenal adanya
perbudakan dan perbedaan wilayah Negara. Dalam hal ahli waris murtad atau
berbeda agama, masih mempunyai kesempatan untuk menikmati harta warisan
melalui wasiat wajibah. Dalam hal pembunuhan sebagai alasan penghalang hak
waris, telah dikembangkan sedemikian rupa sehingga orang yang melakukan
penganiayaan berat dan orang yang memfitnah sehingga menimbulkan
kemadaratan bagi pewaris menjadi penghalang untuk mendapatkan hak waris.
2. Anak perempuan mempunyai kedudukan yang sama dengan anak laki-laki dalam
menghijab paman atau bibi. Demikian halnya dengan status saudara, mempunyai
kedudukan yang sama antara saudara sekandung, seayah dan saudara seibu dalam
hal memperoleh hak waris.
3. Kedudukan anak angkat dalam hukum waris konvensional tidak mendapatkan
hak waris sedikitpun, akan tetapi di Indonesia anak angkat memperoleh harta
warisan melalui wasiat wajibah.
4. Hukum waris di Indonesia tidak lagi membahas cucu perempuan/laki-laki dari
anak perempuan/anak laki-laki, karena pembahasannya terletak pada orang tua
yang akan digantikannya. Hal ini disebabkan adanya pergantian ahli waris di
mana seorang ahli waris yang meninggal lebih dahulu akan digantikan oleh
22
anaknya dengan ketentuan tidak ada halangan waris dan tidak melebihi bagian
dari ahli waris yang sederajat.