Upload
thiefeezae
View
4
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
THT
Citation preview
PERCOBAAN PENATALAKSANAAN UNTUK OTORE AKUT PADA
ANAK DENGAN TABUNG TIMPANOSTOMI
ABSTRAK
Latar Belakang
Panduan terdahulu untuk penatalaksanaan otore akut pada anak dengan
tabung timpanostomi hanya berdasarkan pada bukti dari penelitian yang terbatas
mengenai perbandingan antibiotic oral dengan antibiotic topical.
Metode
Pada percobaan pragmatis terbuka ini, peneliti secara acak memberikan
pengobatan berbeda terhadap 230 anak yang berusia 1 sampai 10 tahun dan
mengalami otore tabung timpanostomi akut. 76 anak mendapatkan tetes telinga
hidrokortison basitrasin kolistin, 77 anak mendapatkan sirup suspense amoksisilin
klavulanat, dan 77 anak sisanya hanya diobservasi. Hal utama yang diteliti adalah
keadaan otore terus diperiksa selama 2 minggu menggunakan otoskop. Kemudian
durasi munculnya episode otore pertama, jumlah hari mengalami otore, dan
jumlah rekurensi otore selama 6 bulan follow up, kualitas hidup, komplikasi, dan
efek samping pengobatan
Hasil
Tetes telinga antibiotic glukokortikoid lebih baik daripada antibiotic oral
maupun observasi pada semua variable penelitian. Pada minggu kedua, 5% anak
yang diobati dengan tetes telinga antibiotic glukokortikoid mengalami otore,
dibandingkan dengan 44% anak yang diberikan Antibiotik oral (perbedaan resiko,
-39% angka; 95% interval kepercayaan, -51 hingga -26) dan 55% anak yang
hanya diobservasi (perbedaan resiko, -49% angka; 95% interval kepercayaan, -62
hingga -37). Median durasi pada episode otore pertama adalah selama 4 hari untuk
anak yang diberi tetes telinga antibiotic glukokortikoid disbanding 5 hari pada
anak yang diberikan Antibiotik oral (P<0,001) dan 12 hai pada anak yang
diobservasi saja (P<0,001). Efek samping akibat pengobatan sangat jarang
ditemui, dan tak ada efek samping dari otitis media, termasuk selulitis local,
perikondritis, mastoiditis, dan komplikasi intracranial yang dilaporakan pada
minggu kedua follow up
.
Kesimpulan
Tetes telinga antibiotic glukokortikoid paling efektif dibandingkan
pengobaan lainnya pada anak dengan tabung timpanostomi yang mengalami otore
akut tanpa komplikasi
Pemasangan tabung tinpanostomi merupakan salah satu proseduroperasi
yang paling banyak dilakukan pada anak. Indikasi utama untuk prosedur ini
adalah perbaikan pendengaran pada anak dengan otitis media efusi (OME)
persisten dan sebagai pencegahan OME berulang. Otore akut adalah sekuel umum
yang terjadi pada anak dengan tabung timpanostomi. Di mana tingkat insidensi
yang dilaporkan berkisar dari 26% pada metaanalisis studi observasionla
(melibatkan kasus otore secara klinis) hingga 75% pada percobaan acak
(melibatkan kasus subklinis dan asimtomatik). Otore tabung timpanostomi akut
dapat disertai bau busuk, demam, nyeri dan gangguan pada kualitas hidup anak.
Otore tabung timpanostomi akutdiduga diakubatkan oleh OMA. Infeksi
bakteri atau superinfeksi telinga tengah diduga merupakan penyebab predominan
OMA, dan termasuk otore tabung timpanostomi akut. Sehingga penanganannya
bertujuan mengeradikasi infeksi bakteri, dengan menggunakan antibiotic oral
spectrum luas dan antibiotic tetes telinga dengan atau tanpa glukokortikoid.
Beberapa percobaan yang membandingkan antibiotic oral dan topical pada
anak dengan tabung timpanostomi memiliki sampel sedikit aatu metodologi
penelitian lemah. Hasilnya menunjukkan tetes telinga antibiotic glukokortikoid
sama efektifnya, jika tidak lebih efektif ketimbang Antibiotik oral. Sebagai
tambahan, pengobatan topical memberikan lebih sedikit efek sistemik dan diduga
oleh beberapa pendapat lebih sedikit kemungkinan reseisten terhadap bakteri
otopatogen ketimbang Antibiotik oral. Karena otore tabung timpanostomi akut
seperti halnya OMA dapat sembuh sendiri, observasi saja dapat menjadi
alternative tatalaksana. Pada studi ini, peneliti membandingkan efektifitas dari
ketiga pengobatan untuk penatalaksanaan otore tabung timpanostomi akut pada
anak: pengobatan segera dengan tetes telinga antibiotic glukokortikoid, Antibiotik
oral, maupun diobservasi.
Metode
Pelaksanaan dan perencanaan Percobaan
Peneliti melakukan penelitian control acak pragmatis dengan label terbuka.
Semua penulis mengusahakan kesempurnaan dan keakurasian data dan kemudian
menganalisis data tersebut untuk keabsahan protokol percobaan. Untuk rincian
keabsahan rancangan penelitian dan rencana analisis statistic, lihat bagian
protokol penelitian yang tersedia pada artikel ini di NEJM.org. Penelitian ini telah
disetujui oleh komite etik medis Universitas Kedokteran Utrecht. Tidak ada pihak
komersial terlibat dalam penelitian ini.
Pasien
Anak berusia 1-10 tahun dengan gejala otore tabung timpanostomi akut
yang telah terjadi hingga 7 hari pada saat skrining dilakukan dapat dimasukkan
dalam penelitian. Peneliti menyisihkan anak yang demam lebih dari 38.5°C, anak
yang mendapatkan antibiotic hingga 2 minggu sebelumnya, anak yang baru
dipasang tabung timpanostomi hingga 4 minggu sebelumnya, anak yang
mengalami episode otore hingga 4 minggu sebelumnya, 3 atau lebih hingga 6
bulan sebelumnya maupun yang lebih dari 4 hingga setahun sebelumnya. Peneliti
juga menyisihkan anak dengan Sindroma down, anomaly kraniofasial,
imunodefisiensi, atau alergi terhadap pengobatan pada penelitian ini.
Pengumpulan pasien
Mulai Juni 2009 hingga Mei 2012, dokter THT maupun dokter umum
melakukan pendekatan terhadap orangtua anak dengan tabung timpanostomi agar
berpartisipasi dalam pengobatan.Tim peneliti juga dihubungi via telepon oleh
orang tua yang tertarik untuk berpartisipasi. Jika ada anak yang mengalami otore
saat peneliti ditelepon dan sesuai kriteria subjek penelitian, maka peneliti
melakukan home visit pada pasien tersebut. Jika ada anak yg saat itu tidak terjadi
otore, orang tua pasien diberitahu agar sesegeranya menghubungi peneliti kembali
jika terjadi otore di kemudian hari agar peneliti dapat melakukan home visit.
Garis besar pengkajian
Pada home visit, dokter pemeriksa mengambil informed consent tertulis dari
orangtua, memastikan timbulnya otore dengan otoskop, mengambil sampel untuk
kultur bakteri dan mengumpulkan data spesifik demografi dan penyakit. Orang
tua mengisi Child Health Questionnaire (CHQ), yang mengukur kualitas hidup
yang terkait dengan kesehatan umum dan Otitis Media–6 (OM-6) questionnaire,
yan mengukur kualitas hidup terkait OM. Skor pada CHQ berkisar antara 1-35
yang terbagi dalam 4 bagian, dengan skor tinggi untuk kualitas hidup yang baik.
Tugas Grup Penelitian
Manajer data independen membuat sekuens acak (dengan menggunakan 6
kotak), dengan stratifikasi berdasarkan usia (<4 tahun vs. ≥4 tahun). Dokter
peneliti mengakses laman percobaan acak setelah melakukan home visit unuk
mengumpulkan tugas grup penelitian. Randomisasi ini ditutupi dan tidak dapat
diprediksi selama penelitian. Penelitian ini dibagi menjadi rasio 1:1:1 untuk 3
grup penelitian: tetes telinga antibiotic glukokortikoid (Bacicoline-B, Daleco
Pharma) (diberikan 3x5 tetes sehari pada telinga yang sakit selama 7 hari),
antibiotik oral sirup amoksisilin klavunalat (30mg amoksisilin dan 7,5 mg
klavunalat perKgBB/hari, terbagi menjadi 3 dosis selama 7 hari), dan observasi
(selama 2 minggu).
Dokter peneliti tidak membersihkan liang telinga, baik saat kunjungan
pertama maupun kunjungan selanjutnya. Orang tua pasien ditugaskan untuk
membersihkan cairan pada luar liang telinga yang dapat dijangkau dengan tissue
sebelum memberi obat tetes telinga. Sebagai tambahan, orang tua diajarkan untuk
memiringkan kepala anaknya ke satu sisi (sekitar 90 derajat_ ketika memberikan
obat tetes telinga dan mempertahankan posisi ini selama beberapa menit agar obat
tetes meresap di liang telinga. Tidak ada instruksi lain seperti pemijatan tragus
diberikan. Setelah kunjungan follow up pertama pada minggu ke-2, pengobatan
lanjutan anak diserahkan pada dokter THT atau dokter keluarga.
Follow Up
Orang tua diberikan buku harian untuk mencatat pengobatan, efek samping
dan komplikasi hingga 2 minggu dan gejala yang berhubungan dengan telinga
hingga 6 bulan. Pada minggu ke-2 dan bulan ke-6, dokter peneliti mengunjungi
rumah anak, melakukan otoskopi, memeriksa dan mengumpulkan buku harian
orang tua, dan mengumpulkan kedua kuosioner yang diberikan sebelumnya.
Hasil penelitian yang diharapkan
Hasil utama, yaitu kegagalan penelitian didefinisikan sebagai munculnya
otore pada satu atau kedua telinga yang dilihat dokter pemeriksa menggunakan
otoskop pada kunjungan follow up pertama di minggu ke-2. Hasil lainnya dilihat
dari buku harian orang tua dan termasuk durasi otore pertama (untuk kelompok
penelitian ini, hari pertama otore hingga hari ke-7 hingga seterusnya yang bebas
otore), jumlah hari mengalami otore, dan jumlah rekurensi eposide otore (≥1 hari
mengalami otore setelah ≥ 7 hari bebas otore) dalam 6 bulan follow up,
komplikasi dan efek samping terkait pengobatan dalam 2 minggu pertama.
Sebagai tambahan, kedua kuosioner mengenai kualitas hidup dikaji pada follow up
minggu ke-2.
Analisis statistic
Analisis statistic dilakukan menggunakan program SPSS versi 20 dan
software Episheet versi Oktober 2012. Peneliti melakukan semua analisis menurut
prinsip pengobatan, dan kecuali efek sampng pengobatan, analisis dibuat samar.
Peneliti menutup data dasar yang hilang dengan median tanpa kondisi.
Perbandingan utama dalam penelitian ini adalah tetes telinga antibiotic
glukokortikoid vs. Antibiotik oral vs. observasi. Untuk perbandingan, peneliti
menghitung resiko perbedaan dengan interval kepercayaan 95% dan jumlah
pengobatan yang dibutuhkan untuk mencegah otore terjadi pada 2 minggu
pertama. Untuk mengendalikan uji majemuk, pengobatan topical harus lebih
banyak ketimbang dua pembandingnya. Dengan asumsi efek konservatif sekitar
60%, dengan ambang deviasi 2 sisi sebanyak 5% yang menunjukkan signifikansi
statistic dan dengan kekuatan statistic 90%, peneliti memperkirakan sekitar 105
anak dibutuhkan dalam masing-masing ketiga grup tersebut agar dapat
menunjukkan perbedaan absolut 20% antar grup untuk hasil utama yang
diharapkan.
Peneliti juga menghitung perbedaan resiko dan interval kepercayaan 95%
untuk perbandingan Antibiotik oral dan observasi untuk 4 hasil utama yang
diharapkan, sebagaiaman resiko relative dan interval kepercayaan 95% untuk
perbandingan untuk semua pengobatan. Deegan analisa regresi binomial log,
peneliti mengatur resiko relatif perancu sebelum menetapkan perbedaan signifikan
dan relevan secara klinis.
Untuk hasil lain yang diharapkan, peneliti menggunakan kurva Kaplan-
Meier untuk menentukan durasi episode pertama pada ketiga grup, dan peneliti
menggunakan uji log peringkat untuk menguji perbedaan ketiga grup. Peneliti
menghitung media jumlah hari mengalami otore dan jumlah rekurensi episode
otore dalam 6 bulan pertama follow up dan perubahan kualitas hidup dalam
kuesioner pada 2 minggu pertama follow up. Perubahan pada rerata skor OM-6
1,0 hingga 1,4 poin dimasukkan sebagai perubahan sedang, dan perubahan 1,5
poinatau lebih dimasukkan sebagai perubahan besar. Peneliti mengevaluasi ketiga
perbedaan kelompok menggunakan uji Mann-Whitney U.
Analisa
Setelah 2 tahun, 150 anak dengan otore tabung timpanostomi akut menjalani
randomisasi. Angka ini lebih sedikit dari target awal kami 315 anak. Setelah
berkonsultasi dengan badan pendanaan penelitian ini, mereka bersedia untuk
melakukan analisa di tengah penelitian (yang tidak direncanakan sebelumnya)
agar dilakukan oleh komite pengkaji data independen. Para anggota komite tidak
mengetahui tugas kelompok studi maupun interpretasi data.
Titik akhir penelitian yang ditentukan sebelumnya adalah resiko perbedaan
yang lebih dari 20%. Titik akhir diuji dengan pendekatan Haybittle-Peto (dengan
nilai P <0,01 dianggap memiliki statistic signifikan). Karena keselamatan (resiko
ancaman) bukan alasan untuk melakukan analisa dipercepat ini, pengobatan
pasien dilanjutkan. Analisa menunjukkan bahwa resiko perbedaan terkecil untuk
hasil yang diharapkan antara pengobatan tetes telinga disbanding pengobatan
lainnya sebanyak 32% (interval kepercayaan 95%, 48 sampai 17; P<0,001). Pada
21 Mei 2012, komite menyarankan agar pengumpulan pasien untuk percobaan
dihentikan, 230 follow up yang sedang berjalan segera diselesaikan, analisis data
dilakukan dengan blinding, dan hasilnya dilaporkan sesuai standar yang
ditentukan.
HASIL
Pengumpulan
Sejumlah 1133 anak dengan tabung timpanostomi yang berpotensi menjadi
pasien penelitian dikumpulkan; orang tua mereka bersedia untuk berpartisipasi
dalam penelitian ini jika terjadi otore tabung timpanostomi akut pada anak
mereka. Orang tua 886 anak tidak menghubungi peneliti, dan sebagian
melaporkan episode otorea yang tidak sesuai dengan kriteria inklusi.
Home visit dijadwalkan terhadap 247 anak dengan otore tabung
timpanostomi akut. Dari anak-anak tersebut, 17 di antaranya mengalami demam
≥38,5° atau tabung timpanostominya hilang. Sebanyak 230 anak dengan otore
tabung timpanostomi akut secara acak diberikan tetes telinga antibiotic
glukokortikoid (76 anak) atau antibiotik oral (77 anak) atau observasi saja (77
anak). Dalam 2 minggu pertama, 71 anak (93%), 68 (88%), dan 61 (79%) dalam
masing-masing ketiga grup, mulai menjalani manajemen pengobatan. (Gambar 1)
Kelengkapan data
Hasil utama yang diharapkan dikaji pada 228 anak (99%). Terdapat 221
buku harian orang tua pasien (96%). Dalam buku harian tersebut, informasi
mengenai munculnya otore muncul dalam 94% follow up.
Populasi Penelitian
Karakteristik klinis dan demografi partisipan digambarkan pada tabel 1, dan
dalam tabel S1 di appendiks tambahan, tersedia di NEJM.org. Tak ada perbedaan
klinis signifikan pada garis besar karakteristik dari ketiga grup. Indikasi
pemasangan tabung (OMA rekuren vs OME persisten) dan kultur bakteri otore
sedikit berbeda dalam ketiga grup (tabel ). Rata-rata umur semua anak 4,5 tahun,
rata-rata durasi otore sebelum masuk ke dalam penelitian selama 3 hari, dan 38
anak (17%) mengalami otore pada kedua telinga.
Analisis Utama
Pada minggu ke-2, 5% anak yang diobati dengan tetes telinga mengalami
otore, dibandingkan dengan 44% pada anak yang mendapat antibiotik oral
(perbedaan resiko, 29% poin; interval kepercayaan 95%, 51 sampai 26; jumlah
pengobatan yang dibutuhkan) dan 55% pada anak yang diobservasi saja
(perbedaan resiko, 49% poin; interval kepercayaan 95%, 62 sampai 37; jumlah
pengobatan yang dibutuhkan,2) (tabel 2).
Analisa Sekunder
Pada minggu ke-2, anak yang diobati dengan antibiotika oral lebih sedikit
mengalami otore dibandingkan anak yang diobservasi saja, tetapi perbedaan ini
tidak bermakna (perbedaan resiko, 11% poin; interval kepercayaan 95%, 27
sampai 5). Resiko relatif dengan penyesuaian untuk garis besar perbedaan tidak
berbeda dengan resiko relatif mentah, yang secara konsisten lebih menyukai tetes
telinga antibiotic glukokortikoid (Tabel 2).
Median durasi episode otore pertaa selama 4 hari pada anak yang diobati
dengan tetes telinga antibiotic glukokortikoid dibanding 5 hari pada anak yang
diberi antibiotic oral (P<0,001) dan 12 hari pada anak yang diobservasi (P<,001)
(tabel 2 dan gambar 2). Median jumlah hari mengalami otore selama follow up 6
bulan adalah 5 hari pada anak yang diobati dengan tetes telinga antibiotic
glukokortikoid dibanding 13,5 hari pada anak yang diberi antibiotic oral
(P<0,001) dan 18 hari pada anak yang diobservasi (P<0,001). Angka median
untuk episode otore rekuren selama follow up 6 bulan adalah 0 hari pada anak
yang diobati dengan tetes telinga antibiotic glukokortikoid dibanding 1 hari pada
anak yang diberi antibiotic oral (P<0,03) dan 1 hari pada anak yang diobservasi
(P<0,26).
Secara garis besar, kedua kuesioner kualitas hidup menunjukkan skor
kualitas hidup yang baik pada semua grup. Pada minggu ke-2 follow up,
perubahan pada kedua kuesioner kualitas hidup tidak menunjukkan perbedaan
signifikan pada semua grup. Perubahan tersebut kecil, tetapi semuanya paling
banyak terdapat pada grup tetes telinga (Tabel S2 dan S3 dan dalam appendiks
tambahan).
Komplikasi dan efek samping
Tidak ada efek samping dari otitis media, termasuk selulitis local,
perikondritis, mastoiditis, dan komplikasi intracranial yang dilaporakan pada
minggu kedua follow up (tabel 3). Sebanyak 16 anak (21%) yang mendapatkan
tetes telinga mengalami nyeri atau ketidaknyamanan ketika obat diberikan dan 2
(3%) anak mengalami ruam setempat. Gejala gastrointestinal dialami 18 anak
(23%) yang mendapatkan antibiotic oral, dan 3 anak (4%) mengalami ruam.
Selama 6 bulan follow up, anak yang diberi tetes telinga lebih sedikit mengalami
episode otore yang menetap selama 4 minggu atau lebih, dibandingkan dengan
anak grup lainnya (tabel 3).
DISKUSI
Pada penelitian control acak pragmatis dengan label terbuka ini, peneliti
menemukan tetes telinga antibiotic glukokortikoid lebih baik dibandingkan
antibiotik oral maupun observasi dalam hal hasil utama otore pada minggu ke-2,
yang dilihat dengan otoskop, pada anak dengan tabung timpanostomi yang
mengalami otore akut. Analisis sekunder peneliti mendukung penemuan tersebut.
Sekitar 1 dari 2 anak yang menjalani observasi masih mengalami otore pada
minggu ke-2, dan observasi menghasilkan lama hari mengalami otore lebih lama
ketimbang anak grup lain. Hal ini menunjukkan bahwa observasi saja bukan
merupakan manajemen yang adekuat untuk anak dengan otore tabung
timpanostomi akut.
Sebuah percobaan sebelumnya yang membandingkan strategi manajemen
yang sama, tetapi sebagai profilaksis infeksi setelah pemasangan tabung
timpanostomi. 3 percobaan sebelumnya membandinkan tetes telinga dengan
antibiotic oral pada anak dengan otore tabung timpanostomi akut. Pada 2
percobaan tersebut, tidak seperti penelitian ini, anak yang mengalami otore hingga
3 minggu (garis dasar lama otore yang sebenarnya tidak dilaporkan) dan anak
yang mendapatkan pengobatan sebelum dilakukan percobaan juga dimasukkan.
Kedua percobaan menyisihkan anak yang positif terhadap kultur streptococci
group A atau Pseudomonas aeruginosa dari analisa, yang memengaruhi
kemampuan penerapan terapi tersebut pada kasus otore sehari-hari. Pada
percobaan ke-3, yang memiliki populasi penelitian yang sebanding dengan
penelitian ini, 68 anak dengan otore tabung timpanostomi akut secara acak diberi
amoksisilin oral, tetes telinga ciprofloxacin, atau pencucian liang telinga dengan
salin fisiologis. Peneliti tersebut juga menemukan tetes telinga antibiotic lebih
baik ketimbang pengobatan lainnya, tetapi kegagalan terapinya lebih banyak dari
penelitian ini. Tingkat kegagalan yang lebih rendah pada penelitian ini mungkin
terjadi karena peneliti menggunakan tetes telinga yang mengandung antibiotic dan
kortikosteroid dan dari pengkajian efek terapi yang selama 2 minggu
dibandingkan seminggu pada penelitian tersebut.
Percobaan di Finlandia membandingkan efektifitas antibiotic oral dengan
placebo pada anak dengan otore tabung timpanostomi akut menunjukkan durasi
otore lebih pendek pada anak yang diberi antibiotik oral. Selama penelitian, liang
telinga anak dibersihkan dengan penyedotan tiap hari. Terlepas dari
ketidakpastian manfaat intervensi tambahan harian ini, hasil peneliitian sulit
diterapkan pada praktek medis sehari-hari. Peneliti tidak menemukan bahwa
antibiotic oral memberikan manfaat lebih baik ketimbang observasi pada otore
yang muncul di minggu ke-2, yang terlihat dari otoskop, tapi peneliti menemukan
bahwa durasi episode otore pertama lebih pendek pada anak yang diberi antibiotic
oral ketimbang anak yang diobservasi saja.
Beberapa aspek dari percobaan kami memerlukan perhatian lanjut. Pertama,
tetes telinga antibiotic glukokortikoid tidak secara rutin tersedia di luar Belanda
dan Prancis. Peneliti memilih tetes telinga hidrokortison basitrasin kolistin karena
obat ini paling banyak digunakan dan tersedia di Belanda yang tidak berpotensi
menjadi aminoglikosida ototoksik. Tetes telinga tersebut efektif terhadap sebagian
besar isolate bakteri yang menyebabkan otore tabung timpanostomi akut (contoh:
Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Moraxella catarrhalis,
Staphylococcus aureus, dan P. aeruginosa). Meskipun buktinya masih sedikit,
peneliti percaya bahwa kombinasi tetes telinga antibiotic glukokortikoid apapun
dengan aktivitas antimicrobial yang mirip, seperti ciprofloxacin dan
deksametason, dapat memberikan hasil serupa.
Kedua, dosis antibiotik oral sirup amoksisilin klavunalat yang kami gunakan
dalam penelitian (30mg amoksisilin dan 7,5 mg klavunalat perKgBB/hari, terbagi
menjadi 3 dosis selama 7 hari) merupakan dosis yang direkomendasikan di
Belanda dan Negara Eropa lainnya di mana tingkat resistensi antimicrobial
rendah. Ketiga, peneliti menggunakan desain penelitian control acak pragmatis
dengan label terbuka untuk meningkatkan kemudahan aplikasi hasil percobaan
pada praktik sehari-hari. Selain itu, hasil yang dikaji oleh dokter peneliti konsisten
dengan yang dilaporkan dalam buku harian. Keempat, peneliti percaya bahwa data
buku harian tersebut akurat. Peneliti mengumpulkan buku harian, termasuk
informasi munculnya otore pada follow up harian, hampir pada semua anak.
Dalam penelitian yang mirip dengan penelitian ini, peneliti menemukan tingginya
kesepakatan bagaimana mengkaji otore antara dokter peneliti dan orang tua
pasien.
Kelima, pada saat medesain percobaan ini, peneliti mengasumsikan
penurunan absolute 20% poin pada insidensi otore setelah 2 minggu dengan satu
jenis pengobatan dibandingkan pengobatan lainnya yang relevan secara klinis.
Perbedaan resiko yang diamati ternyata dua kali lebih besar, menunjukkan
pentingnya penemuan kami dalam praktik sehari-hari. Akhirnya, sebagai
perbandingan antara anak yang dimasukkan dalam penelitian maupun yang tidak,
peneliti menemukan kemiripan dalam hal usia, jenis kelamin, dan jumlah
pemasangan tabung timpanostomi sebelumnya. Karena desain penelitian peneliti
memasukkan semua anak yang diobati pada seluruh tingkatan pelayanan
kesehatan, peneliti percaya hasil penemuan ini dapat diterapkan pada anak dengan
otore tabung timpanostomi akut tanpa komplikasi yang berobat pada pelayanan
kesehatan utama maupun sekunder.