Upload
lamkhanh
View
225
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
PERBEDAAN KUALITAS TIDUR ANTARA
PASIEN ASMA DAN PASIEN TB PARU
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran
ISFALIA MUFTIANI
G0009112
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
Surakarta
2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
ABSTRAK
Isfalia Muftiani, G0009112, 2012. Perbedaan Kualitas Tidur antara Pasien Asma dan Pasien TB Paru. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Latar Belakang: Asma adalah penyakit paru kronis dimana terdapat peradangan dinding bronkial yang mengakibatkan penyempitan saluran pernapasan. TB merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Kualitas tidur menunjukkan kemampuan individu untuk tidur sesuai dengan jumlah kebutuhannya. Pasien asma dan pasien TB paru dapat mengalami kualitas tidur yang buruk akibat gejala klinis atau faktor yang lain. Penelitian ini bertujuan mengetahui perbedaan kualitas tidur antara pasien asma dan pasien TB paru.
Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross-sectional. Sampel dipilih dengan teknik purposive sampling. Jumlah sampel yaitu 30 pasien asma dan 30 pasien TB paru. Lokasi penelitian di Poliklinik Paru RSUD Dr. Moewardi. Waktu penelitian pada bulan Mei sampai Juli 2012. Pengambilan data dilakukan dengan wawancara langsung dan pengisian kuesioner Insomnia Rating Scale oleh pasien. Data hasil penelitian dianalisis menggunakan uji Chi Square dan diolah dengan Statistical Product and Service Solution (SPSS) 17.00 for Windows.
Hasil Penelitian: Terdapat perbedaan kualitas tidur antara pasien asma dan pasien TB paru. Pasien asma memiliki risiko untuk mengalami kualitas tidur buruk 9,3 kali lebih besar daripada pasien TB paru (OR= 9,3; CI95% 2,8 s.d. 30,6). Simpulan tersebut dibuat setelah mengontrol umur, penyakit penyerta, gangguan mental, dan konsumsi zat. Simpulan Penelitian: Terdapat perbedaan kualitas tidur yang signifikan antara pasien asma dan pasien TB paru dengan p < 0,001 dan Odds Ratio = 9,3
Kata kunci : Kualitas tidur, Asma, TB paru
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
ABSTRACT Isfalia Muftiani, G0009112, 2012. The Difference of Sleeping Quality between Asthmatic Patients and Pulmonary Tuberculosis Patients. Thesis. Medical Faculty of Sebelas Maret University, Surakarta. Background: Asthma is a chronic pulmonary disease in which there is bronchial wall inflammation resulting in respiratory tract narrowing. Tuberculosis is an infectious disease due to Mycobacterium tuberculosis. Quality of sleep shows individual ability to sleep based on their needs. Asthma patients and pulmonary tuberculosis patients can suffer bad quality of sleep due to clinic symptom or another factors. This research aims to find out the difference of sleeping quality between Asthmatic patients and pulmonary tuberculosis patients. Method: This study was an analytical observational research with cross-sectional approach. The sample was taken using purposive sampling technique. The sample consisted of 30 asthmatic patients and 30 pulmonary tuberculosis patients. The research was taken place in pulmonary policlinic of Dr. Moewardi Local General Hospital. The research was conducted from May to July 2012. The data was collected using direct interview and Insomnia Rating Scale questionnaire completion by the patients. The data of research was analyzed using Chi Square test and processed using Statistical Product and Service Solution (SPSS) 17.00 for Windows. Result: There was a difference of sleeping quality between Asthmatic patients and pulmonary tuberculosis patients. The asthmatic patients had risk of experience poor quality of sleeping 9,3 times higher than the pulmonary tuberculosis patients had (OR = 9,3 ; CI95% 2,8-30,6). The conclusion was drawn after controlling age, accompanying disease, mental disorder, and substance consumption. Conclusion: There was a significant difference of sleeping quality between Asthmatic patients and pulmonary tuberculosis patients with p < 0,001 and Odds Ratio = 9,3. Keywords: Quality of Sleeping, Asthma, Pulmonary TB
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user ii
PENGESAHAN SKRIPSI
Skripsi dengan judul: Perbedaan Kualitas Tidur antara Pasien Asma dan
Pasien TB Paru
Isfalia Muftiani, NIM: G0009112, Tahun: 2012
Telah diuji dan sudah disahkan di hadapan Dewan Penguji Skripsi
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada Hari: ................., Tanggal: ...................
Pembimbing Utama Nama : Dr. Reviono, dr., Sp.P(K) NIP : 19651030 200312 1 001 (......................................) Pembimbing Pendamping Nama : I.G.B. Indro Nugroho, dr., Sp.KJ NIP : 19731003 200501 1 001 (......................................) Penguji Utama Nama : Ana Rima Setijadi, dr., Sp.P NIP : 19620502 198901 2 001 (......................................) Penguji Pendamping Nama : Sri Haryati, Dra., M.Kes NIP : 19610120 198601 2 001 (......................................)
Surakarta, ............................................... Ketua Tim Skripsi Dekan FK UNS
Muthmainah, dr., M.Kes Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR FINASIM NIP: 19660702 199802 2 001 NIP: 19510601 197903 1 002
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user vi
PRAKATA
Alhamdulillah hirobbil’aalamin, segala puja dan puji penulis haturkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan nikmatnya kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan penelitian ini yang berjudul Perbedaan Kualitas Tidur antara Pasien Asma dan Pasien TB Paru. Penelitian tugas karya akhir ini merupakan salah satu persyaratan dalam menyelesaikan Program Sarjana Pendidikan Dokter di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penulis menyadari bahwa penelitian tugas karya akhir ini tidak akan berhasil tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu dengan penuh rasa hormat ucapan terima kasih yang dalam saya berikan kepada: 1. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR-FINASIM selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Reviono, dr., Sp.P (K) selaku Pembimbing Utama yang telah menyediakan
waktu untuk membimbing hingga terselesainya skripsi ini. 3. I.G.B. Indro .N, dr.,Sp.KJ selaku Pembimbing Pendamping yang bersedia
meluangkan untuk membimbing hingga terselesainya skripsi ini. 4. Ana Rima Setijadi, dr., Sp.P selaku Penguji Utama yang telah memberikan
banyak kritik dan saran dalam penyusunan skripsi ini. 5. Sri Haryati, Dra M.Kes selaku Penguji Pendamping yang telah memberikan
banyak kritik dan saran dalam penyusunan skripsi ini. 6. Nur Hafida Hikmayani, dr., MClinEpid dan Muthmainah, dr., M.Kes selaku Tim
Skripsi FK UNS, atas kepercayaan, bimbingan, koreksi dan perhatian yang sangat besar sehingga terselesainya skripsi ini.
7. Yang tercinta kedua orang tua saya, Ayahanda HS.Iskandar dan Ibunda Alifah Majid, serta kakak-kakak saya, dan seluruh keluarga besar yang senantiasa mendoakan tiada henti, dan memberikan support dalam segala hal sehingga terselesaikannya penelitian ini.
8. Partner skripsi saya yang terbaik, Elsa Adila Ramadhian yang setia memberikan saya semangat, bantuan dan mendampingi berjuang bersama saya dalam penyelesaian skripsi ini.
9. Sahabat-sahabat saya Sarah, Yenny, Fika dan angkatan 2009 atas semangat dan bantuan yang tak henti-henti dan waktu yang selalu tersedia.
10. Semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung membantu proses penelitian tugas karya akhir ini yang tidak mungkin disebutkan satu persatu.
Meskipun tulisan ini masih belum sempurna, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Saran, koreksi, dan tanggapan dari semua pihak sangat diharapkan.
Surakarta, September 2012
Isfalia Muftiani
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user vii
DAFTAR ISI
PRAKATA ..................................................................................................................... vi DAFTAR ISI .................................................................................................................. vii DAFTAR TABEL ......................................................................................................... ix DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................................. x BAB I. PENDAHULUAN .......................................................................................... 1
A. Latar Belakang ......................................................................................... 1 B. Perumusan Masalah ................................................................................. 3 C. Tujuan Penelitian ..................................................................................... 3 D. Manfaat Penelitian ................................................................................... 3
BAB II. LANDASAN TEORI ..................................................................................... 4 A. Tinjauan Pustaka ...................................... ............................................. 4
1. Asma ...................................... ........................................................... 4 a. Definisi Asma............................................ ................................... 4 b. Epidemiologi ............................................................................. … 4 c. Patogenesis .................................................................................... 5 d. Patofisiologi ......................................... ........................................ 7 e. Faktor risiko ........................................ ......................................... 8 f. Diagnosis ....................... ................................................................ 9 g. Diagnosis Banding....................... ................................................. 10 h. Klasifikasi Asma ......................................... ................................ 11 i. Penatalaksanaan......................................... ................................... 12
2. TB Paru ....................................................... ...................................... 14 a. Definisi Tuberkulosis............................................ ....................... 14 b. Epidemiologi ............................................................................. … 14 c. Patogenesis .................................................................................... 15 d. Gejala Klinis ......................................... ....................................... 16 e. Diagnosis ....................................................................................... 16 f. Diagnosis Banding ......................................... .............................. 18 g. Komplikasi ........................................ ........................................... 18 h. Penatalaksanaan ………………………………………… .......... 18 i. Multi Drug Resistance (MDR) ....................... .............................. 20
3. Tidur ....................................................... .......................................... 22 a. Definisi Tidur............................................ .................................... 22 b. Fungsi Tidur ................. ............................................................. … 22 c. Fisiologi Tidur ....................... ....................................................... 23 d. Kualitas Tidur ......................................... ..................................... 26 e. Gangguan Tidur....................... ...................................................... 28 f. Penatalaksanaan............................................................................. 31
B. Hubungan Asma dengan Tidur .............................................................. 32
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user viii
C. Hubungan TB Paru dengan Tidur ......................................................... 34 D. Kerangka Pemikiran ............................................................................... 35 C. Hipotesis................................................................................................... 36
BAB III. METODE PENELITIAN .............................................................................. 37 A. Jenis Penelitian ....................................................................................... 37 B. Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................................. 37 C. Subjek Penelitian .................................................................................... 37 D. Rancangan Penelitian .............................................................................. 40 E. Identifikasi Variabel Penelitian ............................................................. 40 F. Definisi Operasional Variabel Penelitian ............................................ 41 G. Alat dan Bahan Penelitian....................................................................... 44 H. Cara Kerja ............................................................................................... 44 I. Analisis Data ........................................................................................... 45
BAB IV. HASIL PENELITIAN ................................................................................... 46 A. Karakteristik Sampel Penelitian ............................................................ 46 B. Analisis Bivariat ..................................................................................... 47
BABV. PEMBAHASAN ........................................................................................... 49 BABVI. SIMPULAN DAN SARAN .......................................................................... 53
A. Simpulan ................................................................................................. 53 B. Saran ........................................................................................................ 53
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 54 LAMPIRAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Asma adalah penyakit paru kronis dimana terdapat peradangan dinding
bronkial yang mengakibatkan penyempitan saluran pernapasan (Lemanske
dan Busse, 2003). Di Indonesia prevalensi asma belum diketahui secara pasti,
namun hasil penelitian yang dilakukan pada anak umur 13-14 tahun pada
tahun 1995 prevalensi asma masih 2,1%, sedangkan pada tahun 2003
meningkat menjadi 5,2% (Depkes, 2009).
Data kunjungan pasien di Poliklinik Paru Instalasi Rawat Jalan RSUD
Dr. Moewardi Surakarta tahun 2007 didapatkan angka kunjungan pasien yang
menderita asma sebanyak 180 orang. Data tersebut sebanyak 65% (117
orang) adalah laki-laki dan sebanyak 35% (63 orang) adalah perempuan
(Maryono, 2009).
Dalam salah satu laporan di Journal of Allergy and Clinical
Immunology dinyatakan bahwa dari 3.207 pasien asma yang diteliti, 44-51%
mengalami batuk malam dalam sebulan terakhir. Bahkan 28,3% pasien
mengaku terganggu tidurnya paling tidak sekali dalam seminggu. Pasien
asma yang mengaku mengalami keterbatasan dalam berekreasi atau olahraga
sebanyak 52,7%, aktivitas sosial 38%, aktivitas fisik 44,1%, cara hidup
37,1%, pemilihan karier 37,9%, dan pekerjaan rumah tangga 32,6%. Absen
dari sekolah maupun pekerjaan dalam 12 bulan terakhir dialami oleh 36,5%
1
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
anak dan 26,5% orang dewasa. Hal ini di sebabkan oleh sering kambuh dan
berulangnya keluhan asma (Lai et al.,2003).
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis (Rahajoe dkk., 2005). Jumlah pasien TB Paru
yang dengan strategi DOTS di Rumah Sakit Dr. Moewardi pada tahun 2010
yaitu 242 orang. Sedangkan pada tahun 2011 mengalami peningkatan jumlah
pasien TB Paru yaitu 378 orang.
Kualitas tidur adalah kemampuan individu untuk tidur sesuai dengan
kebutuhannya. Kualitas tidur yang buruk dapat menimbulkan rasa kantuk
berlebih pada siang hari. Pembatasan tidur empat malam berturut-turut
menyebabkan rasa kantuk di siang hari, gangguan kognitif, dan defisit atensi
dan memori (Bender dan Leung, 2005).
Majde dan Krueger (2005) menyatakan bahwa hubungan asma dan
tidur masih belum jelas apakah disebabkan oleh gejala asma, sehingga
memperburuk kualitas tidur, ataupun kualitas tidur yang buruk
mempengaruhi gejala asma. Namun menurut Stores et al., (1998)
menyatakan bahwa gejala asma dapat menyebabkan kualitas tidur yang buruk
(Hanson, 2007).
Masih belum jelas apakah TB paru mempengaruhi tidur atau tidak.
Namun efek medikasi dari isoniazid dapat menyebabkan stimulasi sistem
saraf pusat yang bermanifestasi pada kelelahan, euforia, insomnia, dan sakit
kepala (Rajpal, 2000).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
Sepengetahuan penulis telah ada penelitian mengenai perbedaan
kualitas tidur pada pasien asma terkontrol dan tidak terkontrol di RSUD Dr.
Moewardi. Penelitian itu menunjukkan pasien asma tidak terkontrol
mengalami kulitas tidur lebih buruk daripada pasien asma terkontrol
(Wardhani, 2010).
Berdasarkan latar belakang tersebut, dilakukan penelitian untuk
mengidentifikasi perbedaan kualitas tidur antara pasien asma dan pasien TB
paru.
B. Perumusan masalah :
Apakah ada perbedaan kualitas tidur antara pasien asma dan pasien TB
paru ?
C. Tujuan Penelitian :
Untuk mengetahui perbedaan kualitas tidur antara pasien asma dan
pasien TB paru.
D. Manfaat Penelitian :
1. Manfaat Teoritis
Mendapatkan bukti ilmiah tentang perbedaan kualitas tidur antara
pasien asma dan pasien TB paru.
2. Manfaat Aplikatif
Mendorong pihak klinisi untuk memperhatikan penatalaksanaan
dalam menangani gangguan tidur pada pasien asma maupun pasien TB
paru sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Asma
a. Definisi Asma
Menurut Global Initiative for Asthma (GINA, 2011) asma adalah
suatu kelainan inflamasi kronis dengan hiperreaktivitas saluran
pernapasan terhadap berbagai rangsang, dengan adanya sel inflamator
yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit.
b. Epidemiologi Asma
Di Indonesia prevalensi asma belum diketahui secara pasti, namun
dari hasil penelitian pada anak sekolah usia 13-14 tahun dengan
menggunakan kuesioner International Study on Asthma and Allergy in
Children (ISAAC) tahun 1995 prevalensi asma masih 2,1%, sedangkan
pada tahun 2003 meningkat menjadi 5,2%. Hasil survei asma pada anak
sekolah di beberapa kota di Indonesia (Medan, Palembang, Bandung,
Semarang, Yogyakarta, Malang, dan Denpasar) menunjukkan
prevalensi pada anak SD (6-12 tahun) berkisar antara 3,7%-6,4% ,
sedangkan pada anak SMP di Jakarta Pusat sebesar 5,8% tahun 1995
dan tahun 2001 di Jakarta Timur sebesar 8,6% (Depkes, 2009).
4
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
c. Patogenesis
1) Reaksi Imunologi
Asma merupakan suatu bentuk penyakit yang termasuk
dalam reaksi hipersensitivitas tipe 1 yang melibatkan ikatan silang
antara antigen dan IgE yang diikat sel mast dan basofil melepas
mediator vasoaktif (Bratawidjaja dan Rengganis, 2009)
Reaksi hipersensitivitas pada asma terjadi beberapa fase,
yang pertama yaitu fase sensitasi. Antigen Presenting Cell (APCs)
di bronkial menangkap alergen dan mengenalkannya pada CD4 sel
T yang kemudian akan berdeferensiasi masuk ke sel T dari TH2
fenotip. Sel akan mensekresi IL-4, IL-5, IL-9, IL-10, dan IL-13
yang mencetus pengaktifan pada sekresi immunoglobulin limfosit
B. Limfosit B akan memproduksi IgE. IL-13 juga akan
menginduksi aktifasi eosinofil dan basofil sebagaimana pelepasan
kemokin dan enzim proteolitik seperti metalloproteinase. IgE
kemudian akan bersirkulasi dan berikatan dengan reseptor spesifik
afinitas tinggi (FcεRI) di sel mast dan basofil dan berikatan dengan
reseptor spesifik afinitas rendah (FcεRI, CD23) pada eosinofil dan
makrofag.
Ketika terjadi paparan alergen yang kedua, akan terjadi
respon bronkokonstiktif asmatikus yang terjadi dalam dua fase.
Fase pertama, fungsi paru dengan cepat menurun dalam waktu 10-
20 menit pertama dan secara perlahan kembali 2 jam berikutnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
Respon awal melibatkan histamin, PGD2, leukotrien sisteinil
(LTC4, LTD4,LTE4) dan PAF. Leuoktrien sisteinil akan
menginduksi pelepasan protease : tryptase cleaves D3a dan
bradikinin dan molekul prokursor protein yang menimbulkan
kontraksi sel otot bronkial dan peningkatan permeabelitas vaskular.
Chymase di sisi lain akan mencetus sekresi mukus. Adanya induksi
bronkokonstriksi dengan edema mukosa dan sekresi mukus akan
menimbulkan batuk, wheezing, dan sesak nafas. Fase kedua
dimulai 4-6 jam berikutnya. LTB4 dan PAF akan menarik eosinofil.
LTB4 dan PAF dalam hal ini akan menarik Major Basic Protein
(MBP) dan Eosinophil Cationic Protein (ECP) yang memiliki efek
toksik terhadap sel epitel. Destruksi sel epitel terjadi pada late
stage. Pada akhirnya akan menimbulkan akumulasi mukus di
lumen bronkial akibat dari peningkatan jumlah sel goblet dan
hipertropi dari kelenjar submukosal (Burmester, 2003).
2) Reaksi Non Imunologi
a) Drug Induced Asthma (DIA)
Pasien asma yang sudah mendapatkan terapi namun
masih mengalami serangan asma tanpa adanya tanda
infeksi virus, paparan alergi, dan iritan, hal ini perlu
dipikirkan suatu Drug Induced Asthma. Penyebabnya
adalah reaksi farmakologis idiosinkrasi dimana
mekanismenya melalui mekanisme imunologik (IgE) dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
akibat efek iritan langsung. Obat-obatan yang dapat
menyebabkan DIA adalah aspirin NSAID (indometasin,
diklofenak dan naprosin), antibiotika (penisilin,
nitrofurantoin, cefalosporin dan tetrasiklin), dan beta
adrenergic blocking agent (propanolol, atenolol,
metoprolol, nadolol, pindolol) (Syarifudin dan Koentjahja,
2001).
b) Exercise Induced Asthma (EIA)
Exercise Induced Asthma dijumpai pada orang yang
sedang menjalani olahraga. Mekanisme EIA masih belum
jelas. Namun beberapa hipotesis menyatakan bahwa saluran
nafas mengalami pendinginan bila bernafas dengan udara
dingin yang kering, karena udara tersebut harus
dihangatkan dan dibuat sesuai dengan keadaan tubuh
sebelum udara mencapai alveoli, dan untuk hal tersebut di
atas, terjadi penguapan air dan pendinginan saluran nafas
(Garry, 2011).
d. Patofisiologi
Pasien asma yang terpajan alergen penyebab atau faktor pencetus,
segera akan timbul dispnea. Percabangan trakeobronkial melebar dan
memanjang selama inspirasi tetapi sulit untuk melakukan ekspirasi
karena mengalami bronkospasme, edema mukosa dan hipersekresi
mukus. Karena banyaknya saluran udara yang yang menyempit
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
sehingga tidak dapat dialiri dan dikosongkan secara cepat sehingga
tidak terjadi aerasi paru dan hilangnya penyesuaian normal antara
ventilasi dan aliran darah paru. Turbulensi udara dan getaran mukus
mengakibatkan suara mengi yang terdengar jelas selama serangan asma
(Price dan Wilson, 2005).
e. Faktor risiko
Menurut Depkes (2009), faktor risiko asma dibedakan menjadi 2
kelompok yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan.
1) Faktor Genetik : hipereaktivitas, atopi/alergi bronkus, faktor yang
memodifikasi penyakit genetik, jenis kelamin, ras/etnik
2) Faktor Lingkungan :
a) Alergen dalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing,
alternaria/jamur, dan lain-lain)
b) Alergen di luar ruangan (alternaria, tepungsari)
c) Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan,
kacang, makanan laut, susu sapi, telur)
d) Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID, β
bloker, dan lain-lain)
e) Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray,
dan lain-lain)
f) Ekspresi emosi berlebih
g) Asap rokok dari perokok aktif dan pasif
h) Polusi udara di luar dan di dalam ruangan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
i) Exercise induced asthma, pasien yang kambuh asmanya ketika
melakukan aktifitas tertentu
j) Perubahan cuaca
f. Diagnosis
1) Pemeriksaan Fisik
Diagnosis klinis asma sering didapat dari gejala seperti
sesak, wheezing, dada terasa berat dan batuk, biasanya memburuk
pada malam dan pada awal pagi hari. Tetapi gejala di atas bukanlah
diagnosis pasti. Yang penting adalah serangan berulang tersebut
sering dicetuskan oleh faktor seperti alergi, iritan, aktivitas fisik
dan infeksi virus. Tanda klinis penting yang lain adalah bahwa
gejala di atas dapat hilang secara spontan atau dengan pemberian
bronkodilator dan kortikosteroid. Variabilitas gejala berdasar
musim dan riwayat asma keluarga juga penyakit atopi juga
membantu untuk diagnosis. Karena gejala asma sangat bervariasi
dalam sehari, pemeriksaan fisik dari sistem respirasi bisa menjadi
normal. Selama eksaserbasi, kontraksi otot polos saluran
pernapasan, edema dan hipersekresi cenderung menutup saluran
pernapasan terkecil (nonkartilagenus). Kombinasi dari hiperinflasi
dan peningkatan obstruksi saluran pernapasan pada saat
eksaserbasi akan meningkatkan kerja nafas secara bermakna. Hal
ini yang menyebabkan tanda klinis sesak, wheezing, dan tanda-
tanda hiperinflasi paru (Syarifudin dan Koentjahja, 2001).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
2) Pemeriksaan Penunjang
Mengukur faal paru dengan menggunakan alat spirometri
untuk menilai FEV₁ dan FVC. Selain itu juga digunakan Peak
Flow Meter untuk mengukur PEF. Variasi diurnal memakai PEF
lebih dari 20% adalah diagnosis untuk asma (GINA, 2011).
3) Pemeriksaan Status Alergi
Skin test dengan memakai alergen merupakan pemeriksaan
utama untuk mengetahui adanya reaksi alergi. Tes ini sangat
sederhana, cepat, murah dan sangat sensitif, tetapi bila tidak
dilakukan dengan baik dapat menyebabkan terjadinya positif palsu
maupun negatif palsu. Pengukuran IgE spesifik dalam serum
mempunyai nilai yang tinggi, tetapi tidak dapat mengalahkan skin
test dan relatif lebih mahal (GINA, 2011).
g. Diagnosis Banding
Diagnosis banding Asma menurut PDPI (2003) :
1) Dewasa
a) Penyakit Paru Obstruksi Kronik
b) Bronkitis kronik
c) Gagal Jantung Kongestif
d) Batuk kronik akibat lain-lain
e) Disfungsi larings
f) Obstruksi mekanis (misal tumor)
g) Emboli Paru
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
2) Anak
a) Benda asing di saluran napas
b) Laringotrakeomalasia
c) Pembesaran kelenjar limfe
d) Tumor
e) Stenosis trakea
f) Bronkiolitis
h. Klasifikasi Asma
Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit
dan pola keterbatasan aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat
penyakit penting bagi pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan
jangka panjang, semakin berat asma semakin tinggi tingkat pengobatan
(PDPI, 2003).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
Tabel 2.1 Derajat Asma Berdasarkan Gambaran Klinis
Derajat asma Gejala Gejala malam Faal paru Intermitten Bulanan APE≥80% - Gejala
<1x/minggu. - Tanpa gejala diluar serangan. - Serangan singkat.
≤ 2 kali sebulan - VEP1≥80%nilai prediksi APE≥80% nilai terbaik.
-Variabiliti APE<20%.
Persisten ringan Mingguan APE>80% - Gejala
>1x/minggu tetapi<1x/hari.
- Serangan dapat mengganggu aktifiti dan tidur
>2 kali sebulan - VEP1≥80% nilai prediksi APE≥80% nilai terbaik.
-Variabiliti APE 20-30%.
Persisten sedang Harian APE 60-80% - Gejala setiap hari.
- Serangan mengganggu aktifiti dan tidur.
-Membutuhkan bronkodilator setiap hari.
>2 kali sebulan
- VEP1 60-80% nilai prediksi APE 60-80% nilai terbaik.
- Variabiliti APE>30%.
Persisten berat Kontinyu APE 60≤% - Gejala terus
menerus - Sering kambuh - Aktifiti fisik
terbatas
Sering - VEP1≤60% nilai prediksi APE≤60% nilai terbaik
- Variabiliti APE>30%
Sumber : PDPI 2003
i. Penatalaksanaan Asma
Pada prinsipnya penatalaksanaan asma diklasifikasikan menjadi 2
yaitu penatalaksanaan asma akut dan penatalaksanaan asma jangka
panjang :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
1) Penatalaksanaan asma akut
Serangan akut adalah episode perburukan dari asma.
Penanganan harus cepat dan disesuaikan dengan derajat serangan
asma. Penilaian beratnya asma berdasar riwayat serangan, gejala,
pemeriksaan fisik, dan faal paru.
Pada serangan ringan obat yang digunakan hanya β2 agonis
kerja cepat yang sebaiknya secara sistemik. Pada keadaan tertentu
(seperti riwayat serangan berat sebelumnya) kortikosteroid oral
(metilprednisolon) dapat diberikan dalam waktu singkat 3-5 hari.
Pada serangan sedang diberikan β2 agonis kerja cepat dan
kortikosteoid oral. Pada dewasa dapat ditambahkan ipratropium
bromida inhalasi maupun aminofilin IV. Bila diperlukan dapat
diberikan oksigen dan pemberian cairan IV.
Pada serangan asma berat pasien dirawat dan diberikan
oksigen, cairan IV, β2 agonis kerja cepat ipratropium bromida
inhalasi, kortikosteroid IV, dan aminofilin IV (bolus atau drip).
Pemberian obat-obat bronkodilator diutamakan dalam
bentuk inhalasi menggunakan nebuliser. Bila tidak ada dapat
menggunakan IDT (MDI) dengan alat bantu (spacer) (Depkes,
2009).
2) Penatalaksanaan asma jangka panjang
Penatalaksanaan asma jangka panjang bertujuan untuk
mengontrol asma dan mencegah serangan. Pengobatan asma jangka
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
panjang disesuaikan dengan klasifikasi beratnya asma. Prinsip
pengobatan jangka panjang antara lain edukasi, obat asma
(pengontrol dan pelega), dan menjaga kebugaran (Depkes, 2009).
Kortikosteroid inhalasi merupakan obat pengontrol asma
yang diberikan jangka panjang. Obat pengontrol jangka panjang
lainnya adalah Agonis β2 kerja lama inhalasi, Leukotriene
modifier, dan Teofilin. Agonis β2 kerja lama inhalasi tidak boleh
untuk jangka panjang kecuali digunakan dengan dosis rendah
kortikosteroid inhalasi (NHLBI, 2011).
Dengan melaksanakan prinsip pengobatan jangka panjang
yaitu edukasi, obat-obatan, dan menjaga kebugaran, diharapkan
tercapai tujuan penanganan asma, yaitu asma terkontrol.
2. Tuberkulosis
a. Definisi Tuberkulosis
Penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB
(Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang
paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Depkes, 2007).
b. Epidemiologi
Di Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan
masyarakat. Jumlah pasien TB di Indonesia merupakan ke-3 terbanyak
di dunia setelah India dan Cina dengan jumlah pasien sekitar 10% dari
total jumlah pasien TB didunia. Diperkirakan pada tahun 2004, setiap
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
tahun ada 539.000 kasus baru dan kematian 101.000 orang. Insidensi
kasus TB BTA positif sekitar 110 per 100.000 penduduk (Depkes,
2007).
c. Patogenesis
Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan
kuman TB. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga
dapat melewati sistem pertahanan mukosilier bronkus, dan terus
berjalan sehingga sampai di alveolus dan menetap di sana. Infeksi
dimulai saat kuman TB berhasil berkembang biak dengan cara
pembelahan diri di paru, yang mengakibatkan radang di dalam paru.
Aliran getah bening akan membawa kuman TB ke kelenjar getah
bening di sekitar hilus paru, ini disebut sebagai kompleks primer.
Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer
adalah sekitar 4-6 minggu. Infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya
perubahan reaksi tuberkulin dari negatif menjadi positif.
Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung dari banyaknya
kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas
seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat
menghentikan perkembangan kuman Mycobacterium tuberculosis.
Meskipun demikian, beberapa kuman akan menetap sebagai kuman
persisten atau dormant (tidur). Kadang kadang daya tahan tubuh tidak
mampu menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam
beberapa bulan, yang bersangkutan akan menjadi sakit TB. Masa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
inkubasi, yaitu waktu sejak terinfeksi sampai menjadi sakit,
diperkirakan sekitar 6 bulan.
Dari tuberkulosis primer ini akan muncul tuberkulosis post
primer, biasanya pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis post primer
mempunyai nama yang bermacam-macam yaitu tuberkulosis bentuk
dewasa, localized tuberculosis, tuberkulosis menahun, dan sebagainya.
Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama menjadi problem kesehatan
rakyat, karena dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis post
primer dimulai dengan sarang dini, yang umumnya terletak di segmen
apikal dari lobus superior maupun lobus inferior (PDPI, 2006).
d. Gejala Klinis
1) Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan
darah)
2) Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya
dirasakan malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang
serangan demam seperti influenza dan bersifat hilang timbul.
3) Penurunan nafsu makan dan berat badan
4) Perasaan tidak enak (malaise), lemah
(Depkes, 2007).
e. Diagnosis
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai
keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan.
Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis pada semua suspek TB
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan
dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa dahak Sewaktu-Pagi-
Sewaktu (SPS).
Diagnosis TB Paru pada orang remaja dan dewasa ditegakkan
dengan ditemukannya kuman TB (BTA). Pada program TB nasional,
penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan
diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji
kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang
sesuai dengan indikasinya.
Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan
pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan
gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi
overdiagnosis. Gambaran kelainan radiologik Paru tidak selalu
menunjukkan aktifitas penyakit.
Pada anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan yang paling
bermanfaat untuk menunjukkan sedang/pernah terinfeksi
Mycobacterium tuberculosis dan sering digunakan dalam “Screening
TBC”. Efektifitas dalam menemukan infeksi TBC dengan uji tuberkulin
adalah lebih dari 90%. Penderita anak umur kurang dari 1 tahun yang
menderita TBC aktif uji tuberkulin positif 100%, umur 1–2 tahun 92%,
2– 4 tahun 78%, 4–6 tahun 75%, dan umur 6–12 tahun 51%. Dari
persentase tersebut dapat dilihat bahwa semakin besar usia anak maka
hasil uji tuberkulin semakin kurang spesifik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin, namun sampai
sekarang cara mantoux lebih sering digunakan. Lokasi penyuntikan uji
mantoux umumnya pada ½ bagian atas lengan bawah kiri bagian depan,
disuntikkan intrakutan (ke dalam kulit) ( Werdhani, 2009).
f. Diagnosis banding
1) Pneumonia
2) Bronkiektaksis
3) Asma
4) Kanker paru
5) Abses paru
(Crofton et al., 2002).
g. Komplikasi
1) Pleuritis dan empiema
2) Pneumothoraks spontan
3) Laringitis tuberkulosis
4) Gagal jangtung kongestif
5) Aspergilomata
(Crofton et al., 2002).
h. Penatalaksanaan
1) Tahap awal (intensif)
a) Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari
dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya
resistensi obat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
b) Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat,
biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun
waktu 2 minggu.
c) Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif
(konversi) dalam 2 bulan.
2) Tahap Lanjutan
a) Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit,
namun dalam jangka waktu yang lebih lama
b) Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten
sehingga mencegah terjadinya kekambuhan
3) Paduan OAT yang digunakan di Indonesia
Tabel 2.2. Jenis, sifat, dan dosis OAT
JENIS OAT
SIFAT
Dosis yang direkomendasikan
(mg/kg)
Harian 3 x seminggu
Isoniazid (H) Bakterisid 5 (4-6)
10 (8-12)
Rifampicin (R) Bakterisid 10 (8-12)
10 (8-12)
Pyrazinamide (Z) Bakterisid 25 (20-30)
35 (30-40)
Streptomycin (S) Bakterisid 15 (12-18)
15 (12-18)
Ethambutol (E) Bakteriostatik 15 (12-20)
30 (20-35)
Sumber : Depkes 2007
a) Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat
sisipan (HRZE)
Kategori Anak: 2HRZ/4HR
b) Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam
bentuk paket berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT),
sedangkan kategori anak sementara ini disediakan dalam
bentuk OAT kombipak. Tablet OAT KDT ini terdiri dari
kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya
disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas
dalam satu paket untuk satu pasien.
c) Paket Kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari
Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol yang
dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan
program untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang
mengalami efek samping OAT KDT (Depkes, 2007).
i. Multi Drug Resistance (MDR)
Resistensi ganda menunjukkan M.tuberculosis resisten terhadap
rifampisin dan INH dengan atau tanpa OAT lainnya
(Drobniewski,1998)
Secara umum resistensi terhadap obat tuberkulosis dibagi menjadi
resistensi primer, resisten inisial dan resisten sekunder. Resiten primer
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
ialah apabila pasien sebelumnya tidak pernah mendapat pengobatan TB.
Resistensi inisial ialah apabila tidak diketahui pasti apakah pasiennya
sudah pernah ada riwayat pengobatan sebelumnya atau tidak. Resistensi
sekunder ialah apabila pasien telah punya riwayat pengobatan
sebelumnya.
Laporan pertama tentang reistensi ganda datang dari Amerika
Serikat, khususnya pada pasien TB dan AIDS yang menimbulkan angka
kematian 70% –90% dalam waktu hanya 4 sampai 16 minggu. Laporan
WHO tentang TB tahun 2004 menyatakan bahwa sampai 50 juta orang
telah terinfeksi oleh kuman tuberkulosis yang resisten terhadap obat
anti tuberkulosis. TB paru kronik sering disebabkan oleh MDR. Ada
beberapa penyebab terjadinya resitensi terhadap obat tuberkulosis,yaitu:
1) Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberkulosis
2) Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, yaitu jenis obatnya
yang kurang atau di lingkungan tersebut telah terdapat resistensi
yang tinggi terhadap obat yang digunakan, misalnya memberikan
rifampisin dan INH saja pada daerah dengan resistensi terhadap
kedua obat tersebut sudah cukup tinggi
3) Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua
atau tiga minggu lalu stop, setelah dua bulan berhenti kemudian
berpindah dokter dan mendapat obat kembali selama dua atau tiga
bulan lalu stop lagi, demikian seterusnya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
4) Fenomena “ addition syndrome” (Crofton, 1987), yaitu suatu obat
ditambahkan dalam suatu paduan pengobatan yang tidak berhasil.
Bila kegagalan itu terjadi karena kuman TB telah resisten pada
paduan yang pertama, maka “penambahan” (addition) satu macam
obat hanya akan menambah panjang daftar obat yang resisten
5) Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan
secara baik, sehingga mengganggu bioavailabiliti obat
6) Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang obat datang ke suatu
daerah kadang terhenti pengirimannya sampai berbulan-bulan
7) Pemakaian obat antituberkulosis cukup lama, sehingga
menimbulkan kejemuan
8) Pengetahuan pasien kurang tentang penyakit TB
9) Kasus MDR-TB rujuk ke dokter spesialis paru
(PDPI, 2006).
3. Tidur
a. Definisi Tidur
Tidur didefenisikan sebagai suatu keadaan bawah sadar di mana
seseorang masih dapat dibangunkan dengan pemberian rangsang
sensorik atau dengan rangsang lainnya (Guyton dan Hall, 1997).
b. Fungsi Tidur
Fungsi tidur adalah memperbaiki kembali organ-organ tubuh.
Kegiatan memperbaiki kembali tersebut berbeda saat Rapid Eye
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
Movement (REM) dan Nonrapid Eye Movement (NREM). Nonrapid
Eye Movement akan mempengaruhi proses anabolik dan sintesis
makromolekul ribonukleic acid (RNA). Rapid Eye Movement akan
mempengaruhi pembentukan hubungan baru pada korteks dan sistem
neuroendokrin yang menuju otak. Selain tidur menjadi peringatan dini
keadaan patologis yang terjadi pada tubuh apabila terdapat gangguan
tidur (Suzanne, 2011).
c. Fisiologi Tidur
Tahap tidur dibagi menjadi tidur REM dan tidur NREM (stadium 1
sampai 4). Tahap tersebut bergantian dalam siklus yang bertahan antara
70 sampai 120 menit (Guyton dan Hall, 1997).
Non Rapid Eye Movement merupakan keadaan aktif yang terjadi
melalui osilasi antara talamus dan korteks. Tiga sistem utama osilasi
adalah kumparan tidur, delta osilasi, dan osilasi kortikal lambat.
Kumparan tidur merupakan sebuah ciri tahap tidur NREM yang
dihasilkan dari hiperpolarisasi neuron GABAergic dalam nukleus
retikulotalamus. Gelombang delta dihasilkan dari interaksi
retikulotalamus dan sumber piramidokortikal sedangkan osilasi kortikal
lambat dihasilkan di jaringan neokorteks oleh siklus hiperpolarisasi dan
depolarisasi (Pack, 2008).
Ciri EEG tambahan dari tidur fase REM adalah gelombang gigi
gergaji. Selama fase REM yang berperan adalah sistem kolinergik yang
dapat ditingkatkan dengan reseptor agonis dan dihambat dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
antikolinergik. Fase REM (tahap R) ditandai oleh atonia otot, aktivasi
kortikal, desinkronisasi bertegangan rendah dari EEG dan gerakan cepat
dari mata (Pack, 2008).
Pada manusia, tidur dibagi menjadi lima fase yaitu :
1) Tahapan terjaga
Fase ini disebut juga fase nol yang ditandai dengan subjek
dalam keadaan tenang mata tertutup dengan karakteristik
gelombang alfa (8–12,5 Hz) mendominasi seluruh rekaman, tonus
otot yang tinggi dan beberapa gerakan mata. Keadaan ini biasanya
berlangsung antara lima sampai sepuluh menit (Sleepdex, 2008).
2) Fase 1
Fase ini merupakan fase perpindahan dari fase jaga ke fase
tidur. Fase ini ditandai dengan berkurangnya gelombang alfa dan
munculnya gelombang teta (4-7 Hz), atau disebut juga gelombang
Low Voltage Mix Frequencies (LVM). Pada EOG tidak tampak
kedip mata atau REM, tetapi lebih banyak gerakan rolling (R) yang
lambat dan terjadi penurunan potensial EMG. Pada orang normal
fase 1 ini tidak berlangsung lama yaitu antara lima sampai sepuluh
menit kemudian memasuki fase berikutnya (Sleepdex, 2008).
3) Fase 2
Pada fase ini, tampak kompleks K pada gelombang EEG,
sleep spindle (S) atau gelombang delta (maksimum 20%).
Elektrokulogram sama sekali tidak terdapat REM atau R dan kedip
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
mata. EMG potensialnya lebih rendah dari fase 1. Fase 2 ini
berjalan relatif lebih lama dari fase 1 yaitu antara 20 sampai 40
menit dan bervariasi pada tiap individu (Sleepdex, 2008).
4) Fase 3
Pada fase ini gelombang delta menjadi lebih banyak
(maksimum 50%) dan gambaran lain masih seperti pada fase 2.
Fase ini lebih lama pada dewasa tua, tetapi lebih singkat pada
dewasa muda. Pada dewasa muda setelah 5 – 10 menit fase 3 akan
diikuti fase 4 (Sleepdex, 2008).
Seperti fase 2, tonus otot meningkat, tetapi tidak ada
gerakan mata (Kaplan dan Sadock, 2000).
5) Fase 4
Pada fase ini gelombang EEG didominasi oleh gelombang
delta (gelombang delta 50%) sedangkan gambaran lain masih
seperti fase 2. Pada fase 4 ini berlangsung cukup lama yaitu hampir
30 menit (Sleepdex, 2008).
6) Fase REM
Gambaran EEG tidak lagi didominasi oleh delta tetapi oleh
LVM seperti fase 1, sedangkan pada EOG didapat gerakan mata
(EM) dan gambaran EMG tetap sama seperti pada fase 3. Fase ini
sering dinamakan fase REM yang biasanya berlangsung 10 –15
menit (Sleepdex, 2008).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
Pada dewasa muda, tidur REM merupakan 25% waktu tidur
total. Dari bangun sampai tahap NREM memerlukan waktu kira-
kira 90 menit sebelum periode REM pertama yang disebut sebagai
REM latency (Kaplan dan Sadock, 2000)
d. Kualitas Tidur
Kualitas dapat menunjukkan adanya kemampuan individu untuk
tidur dan memperoleh jumlah istirahat sesuai dengan kebutuhannya.
Kualitas tidur seseorang dapat dianalisis melalui pemerikasaan
laboratorium yaitu EEG yang merupakan rekaman arus listrik dari otak.
Perekaman listrik dari permukaan otak atau permukaan luar kepala
dapat menunjukkan adanya aktivitas listrik yang terus-menerus timbul
dalam otak. Ini sangat dipengaruhi oleh derajat eksitasi otak sebagai
akibat dari keadaan tidur, keadaan siaga atau karena penyakit lain yang
diderita. Tipe gelombang EEG diklasifikasikan sebagai gelombang alfa,
betha, tetha dan delta (Guyton dan Hall, 1997).
Di antara faktor yang dapat memengaruhi kualitas dan kuantitas
tidur adalah:
1) Penyakit
Keadaan medis seperti penyakit gagal jantung, hemikrania
paroksimal kronis, arthritis, fibromialgia, kejang nokturnal, refluks
gastroesofagus (Kaplan dan Sadock,2000). Selain itu kelainan
endokrin seperti diabetes dan hipertiroidisme, kehamilan, dan nyeri
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
kronis juga dapat menyebabkan gangguan tidur (Dopp dan Philips,
2008).
2) Aktifitas Fisik dan Kelelahan
Seseorang yang telah melakukan aktifitas fisik dan
mencapai kelelahan akan meningkatkan tidur fase REM dan
NREM (Division of Sleep Medicine Harvard University, 2007).
3) Stres Psikologis
HPA aksis adalah bagian utama dari sistem neuroendokrin
yang mengontrol reaksi terhadap stres, selain itu juga berperan
dalam modulasi tidur. Disfungsi dari HPA aksis pada setiap tingkat
( CRH, glukokortikoid, dan mineralkortikoid) dapat menyebabkan
gangguan tidur (Buckely dan Schatzberg, 2005).
4) Obat
Beberapa obat yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas
tidur antara lain anti-aritmia, Beta blocker, Kortikosteroid,
Diuretik, dan Teofilin (Harvard Health Publication, 2010). Selain
itu anti konvulsan dan dekongestan juga mempengaruhi gangguan
tidur (Dopp dan Philips, 2008).
5) Kebiasaan Konsumsi
Konsumsi kafein umumnya menurunkan kuantitas slow-
wave-sleep dan tidur REM, sehingga meningkatkan jumlah
terbangun.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
Alkohol akan menginduksi tidur, namun konsumsi alkohol
yang berlebihan akan meningkatkan jumlah terbangun dan
menyebabkan insomnia.
Nikotin dapat menstimulasi tubuh dan perokok akan sulit
tertidur selain itu akan mudah terbangun dan tidur dalam waktu
singkat (Division of Sleep Medicine Harvard University, 2007).
6) Umur
Kebutuhan tidur dan kuantitas tidur terus-menerus akan
berkurang seiring dengan bertambahnya usia. Seseorang yang
usianya semakin lanjut waktu tidurnya hanya 5 sampai 8 jam per
hari (Lumbantobing, 2004).
7) Lingkungan
Seseorang yang tidur di lingkungan baru akan
mempengaruhi tidur REM dan NREM (Kaplan dan Sadock, 2000).
8) Pencahayaan
Cahaya adalah faktor eksternal yang mempengaruhi pola
tidur. Paparan cahaya pada malam hari akan menunda fase jam
internal untuk tidur (Division of Sleep Medicine Harvard
University, 2007).
e. Gangguan Tidur
Menurut International Classification of Sleep Disorders (1997)
gangguan tidur dibagi menjadi :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
1) Dissomnia
a.) Gangguan tidur intrinsik
Idiopatik, narkolepsi, gerakan anggota gerak periodik,
sindroma kaki gelisah, obstruksi saluran nafas, hipoventilasi,
post traumatik kepala, hipersomnia
b.) Gangguan tidur ekstrinsik
Tidur yang tidak sehat, lingkungan, perubahan posisi
tidur, toksik, ketergantungan alkohol, obat hipnotik atau
stimulan
c.) Gangguan tidur irama sirkadian
Jet-lag sindrom, perubahan jadwal kerja, sindroma fase
terlambat tidur, sindrom fase tidur belum waktunya, bangun
tidur tidak teratur, tidak tidur selama 24 jam.
2) Parasomnia
a.) Gangguan aurosal
Gangguan tidur berjalan, gangguan tidur teror, aurosal
konfusional
b.) Gangguan antara bangun tidur
Gerak tiba-tiba, tidur berbicara, kram kaki, gangguan
gerak berirama
c.) Berhubungan dengan fase REM
Gangguan mimpi buruk, gangguan tingkah laku,
gangguan sinus arrest
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
d.) Parasomnia lain-lainnya
Bruxism (otot rahang mengeram), mengompol, sukar
menelan, distonia paroksimal
3) Gangguan tidur berhubungan dengan gangguan kesehatan/psikiatri
a.) Gangguan mental
Psikosis, kecemasan, gangguan afektif, panik
b.) Berhubungan dengan kondisi neurologi
Penyakit degeneratif (demensia, parkinson, multipel
sklerosis), epilepsi, status epilepsi, nyeri kepala, Huntington,
post traumatik kepala, stroke, Gilles de-la tourette sindrom.
c.) Berhubungan dengan kondisi kesehatan
Penyakit asma, penyakit jantung, ulkus peptikus, refluks
gastrointestinal, Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK),
fibriomialgia
d.) Gangguan tidur yang tidak terklasifikasi
f. Insomnia
Insomnia adalah ketidakmampuan untuk mencukupi kebutuhan
tidur baik kualitas maupun kuantitas. Jenis insomnia ada 3 macam yaitu
insomnia inisial atau tidak dapat memulai tidur, insomnia intermitten
atau tidak bisa mempertahankan tidur atau sering terjaga dan insomnia
terminal atau bangun secara dini dan tidak dapat tidur kembali (Potter,
2005).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
Alat ukur untuk menilai seseorang insomnia atau tidak dapat
menggunakan Insomnia Rating Scale yang telah dibakukan oleh
Kelompok Studi Psikiatri Biologi Jakarta (KSPBJ). Insomnia (+)
skornya adalah ≥ 10 dan insomnia (-) skornya adalah <10. Alat ukur ini
dapat digunakan untuk menilai kualitas tidur, seseorang yang insomnia
memiliki kualitas tidur yang buruk.
g. Penatalaksanaan
1) Non Farmakologi
Psikoterapi sangat membantu pada pasien dengan gangguan
psikiatri seperti (depresi, obsesi, kompulsi), gangguan tidur kronik
tanpa penggunaan obat hipnotik (Japardi, 2002).
2) Farmakologi
Dalam mengobati gejala gangguan tidur, selain dilakukan
pengobatan secara kausal, juga dapat diberikan obat golongan
sedatif hipnotik. Pada dasarnya semua obat yang mempunyai
kemampuan hipnotik merupakan penekanan aktifitas dari Reticular
Activating System (RAS) diotak. Obat hipnotik selain penekanan
aktivitas susunan saraf pusat yang dipaksakan dari proses
fisiologis, juga mempunyai efek kelemahan yang dirasakan
efeknya pada hari berikutnya (long acting) sehingga mengganggu
aktifitas sehari-hari (Japardi, 2002).
Benzodiazepin merupakan obat sedatif hipnotik yang
menekan fase 3 dan 4 tidur dengan meningkatkan fase 2 tidur
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
(Lubit,2012). Benzodiazepin dapat menyebabkan ketergantungan
fisiologis apabila digunakan secara terus-menerus (Katzung, 2002).
Zolpidem kurang mampu mempengaruhi pola tidur jika
dibanding benzodiazepin. Zolpidem dapat menyebabkan efek kecil
terhadap pola tidur pada dosis hipnotik yang dianjurkan, tetapi
dapat menekan tidur REM pada dosis tinggi (Katzung, 2002).
Zalpelon menurunkan mula tidur, tetapi hanya sedikit
berpengaruh pada waktu tidur total atau pada pola tidur itu sendiri.
Penggunaan pada dosis tinggi (dua kali dosis yang dianjurkan)
menyebabkan rebound insomnia (Katzung, 2002).
3. Hubungan Asma dengan Tidur
Asma sering dikaitkan dengan gangguan tidur, penelitian
menunjukkan bahwa sekitar 80% pasien dewasa yang menderita asma
mengalami gangguan tidur. Pasien asma terbangun karena bersin dan
batuk pada malam hari dan pasien asma akan terbangun karena gejala
asma hampir setiap malam. Gangguan tidur pada pasien asma disebabkan
karena penyempitan saluran pernapasan maupun obat pengontrol asma
(Fitzpatrick et al., 1991).
Regulasi sirkadian mempengaruhi patofisiologi asma (Bashir dan
Ghamande, 2009). Individu normal yang sehat memiliki variasi sirkadian
pada arus puncak ekspirasi maksimal yaitu mencapai puncaknya pada 4
sore dan nilai terendah pada pukul 4 pagi. Besarnya perubahan lebih tinggi
pada pasien asma dibandingkan individu normal. Paru dan organ efektor
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
lainnya menunjukkan variasi bentuk dan waktu respon sirkadian yang
jelas. Kadar kortisol dan epinefrin pada pasien asma akan menunjukkan
nilai terendah sekitar tengah malam sampai pukul 05.00 pagi (Pack, 2008).
Asma nokturnal akan mengalami penurunan FEV1 sebesar 20-40%
saat pagi hari. Penurunan tersebut berhubungan dengan fase NREM dan
REM, namun terlihat signifikan pada fase REM (Bashir dan Ghamande,
2009).
Pada pasien asma, terdapat variasi sirkadian menonjol pada
resistensi jalan napas, mungkin berhubungan dengan irama sirkadian pada
level histamin dan katekolamin yang meningkatkan gejala asmatik pada
malam hari. Selain itu pengobatan asma dengan komponen berdasarkan
teofilin, agonis adrenergik atau glukokortikoid dapat mengganggu tidur
(Harrison, 2000).
Studi menunjukkan 9 penderita asma nokturnal yang terapinya
menggunakan teofilin, mengurangi efisiensi tidur.(Fitzpatrick et al.,1991)
Penderita asma yang berbaring dalam posisi telentang akan
mengalami gangguan faal paru yang progresif dan arus puncak respirasi
turun 13% selama 2 jam berbaring dan 24% selama 4 jam berbaring.
Gangguan ini akan kembali normal setelah 1,5 jam. Jadi dapat
disimpulkan bahwa berbaring dalam posisi telentang untuk jangka waktu
yang lama juga menyebabkan serangan asma pada malam hari, namun
mekanismenya belum jelas (Popping, 1988).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
Reaksi asma lambat merupakan karakteristik asma kronis.
Karakteristik asma tersebut memiliki reaksi tertunda terhadap alergen dan
pemicu iritasi. Kebanyakan gejala ini berkembang dalam waktu 4-8 jam
setelah terpapar. Karena risiko paparan ini lebih tinggi pada siang hari,
reaksinya lebih mungkin terjadi pada malam hari. Sehingga reaksi yang
tertunda dapat menjadi salah satu faktor yang menyebabkan munculnya
asma pada malam hari. Telah banyak bukti yang menunjukkan bahwa
alergen memegang perangan dalam patogenesis asma yang muncul malam
hari (Chen dan Chai, 1982).
Pada malam hari terdapat perubahan sekresi mukus pada saluran
pernapasan. Pada pasien asma perubahan tersebut dapat menyebabkan
obstruksi bronkus. Selain itu retensi sekresi bronkus pada malam hari
dapat menimbulkan gejala asmatik. Dari penelitian diketahui bahwa
berkurangnya pembersih mukosilier ini terjadi terutama pada malam hari.
Retensi sekresi ini tampaknya dihubungkan dengan tidur dan bukan
dengan variasi diurnal. Perlu penelitian lebih lanjut untuk menentukan
apakah mengakibatkan wheezing pada malam hari (Bateman, 1978).
4. Hubungan TB Paru dengan Tidur
Masih belum jelas apakah ada hubungan TB paru dengan tidur.
Salah satu obat TB antara lain Isoniazid. Isoniazid dapat mengakibatkan
stimulasi Sistem Saraf Pusat (SSP) ataupun depresi SSP. Perubahan ini
mulai dari kehilangan memori sementara sampai psikosis. Stimulasi SSP
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
ini bermanifestasi pada kelelahan, euforia, insomnia, dan sakit kepala
(Rajpal et al., 2000).
B. Kerangka Pemikiran
Keterangan : : Variabel yang tidak diteliti
: Variabel yang diteliti
: Yang mempengaruhi
Efek medikasi
Gangguan tidur
Asma TB Paru
Kualitas Tidur
a. Gangguan mental (depresi, psikosis, kecemasan, panik)
b. Penyakit gagal jantung, penyakit paru, hemikrania paroksimal kronis, arthritis, fibromialgia, kejang nokturnal, refluks gastroesofagus, diabetes, hipertiroid
c. Efek dekongestan, diuretik, kafein, beta blocker, anti konvulsan, nikotin, alkohol
1. ↓kerja mukosiliar 2. ↑resistensi
bronkus 3. Irama sirkadian 4. Efek Medikasi 5. Posisi Tidur 6. Perubahan suhu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
C. Hipotesis
Terdapat perbedaan kualitas tidur antara pasien asma dan pasien TB paru
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah cross sectional yaitu penelitian variabel bebas
dan variabel terikatnya dinilai pada satu saat menurut keadaan pada waktu
observasi (Isgiyanto, 2009).
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Poliklinik Paru RSUD Dr. Moewardi pada bulan
Mei sampai Juli 2012
C. Subjek Penelitian
1. Populasi Penelitian
Populasi penelitian ini adalah semua pasien asma dan pasien TB paru
yang berada di Poliklinik Paru RSUD Dr. Moewardi.
2. Sampel Penelitian
Setiap pasien asma dan pasien TB paru yang berada di Poliklinik Paru
RSUD Dr. Moewardi pada bulan Mei sampai Juli 2012 yang masuk dalam
kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi.
3. Kriteria Subyek Penelitian
a. Pasien asma
1) Kriteria Inklusi
a) Berumur 19 tahun ke atas
b) Didiagnosis asma persisten oleh dokter ahli paru
37
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
c) Bersedia menjadi subjek penelitian dan menandatangani
informed consent
2) Kriteria Eksklusi
a) Memiliki penyakit lain dengan diagnosis banding asma
b) Memiliki penyakit penyerta
c) Memiliki gangguan mental
d) Mengkonsumsi dekongestan, diuretik, kafein, beta blocker
teofilin, anti konvulsan, nikotin, alkohol dalam sebulan
terakhir
e) Buta huruf dan tidak bisa membaca
b. Pasien TB paru
1) Kriteria Inklusi
a) Berumur 19 tahun ke atas
b) Didiagnosis TB paru oleh dokter ahli paru
c) Bersedia menjadi subjek penelitian dan menandatangi
informed consent
2) Kriteria Ekslusi
a) Memiliki penyakit diagnosis banding TB paru
b) Didiagnosis Multi Drug Resistance (MDR)
c) Memiliki komplikasi TB Paru
d) Memiliki penyakit penyerta
e) Memiliki gangguan mental
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
f) Mengkonsumsi dekongestan, diuretik, kafein, beta blocker
teofilin, anti konvulsan, nikotin, alkohol dalam sebulan
terakhir
g) Buta huruf dan tidak bisa membaca
4. Teknik Sampling
Subyek penelitian dipilih dengan menggunakan non probability
sampling yaitu purposive sampling. Pengambilan sampel dilakukan
sedemikian rupa sehingga keterwakilannya ditentukan oleh peneliti
(Budiarto, 2001).
Besar sampel dapat diukur dengan rumus sebagai berikut :
n = 忰崎潜.颇.婆拧潜
= (1,96)2.0,052.(1-0,052)
(0,05)2
= 3,841 . 0,052 . 0,948 = 76
0,0025
Keterangan : p : perkiraan prevalensi penyakit yang diteliti pada populasi. p = 5,2%.
q : 1-p.
Zα2 : nilai statistik Zα pada kurva normal standart pada tingkat kemaknaan
α = 0,05 sehingga Zα = 1, 96.
d : presisi absolut yang dikehendaki pada kedua sisi proporsi populasi 5%
(Taufiqurrohman, 2004).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
D. Rancangan Penelitian
E. Identifikasi Variabel Penelitian
1. Variabel bebas : a. Pasien asma
b. Pasien TB paru
2. Variabel terikat : Kualitas tidur
3. Variabel Luar :
a. Terkendali :
1) Pasien asma : umur, penyakit lain dengan diagnosis banding asma,
penyakit penyerta, gangguan mental, konsumsi dekongestan,
Pasien asma Pasien TB paru
Kriteria Eksklusi Kriteria Inklusi
Mengisi kuisioner Insomnia Rating Scale
Kualitas Tidur Baik
Analisis Data Chi Square
Populasi Pasien Paru
Mengisi kuisioner Insomnia Rating Scale
Kualitas Tidur Buruk
Kualitas Tidur Baik
Kualitas Tidur Buruk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
diuretik, kafein, beta blocker, anti konvulsan, nikotin, alkohol
dalam sebulan terakhir.
2) Pasien TB paru : umur, penyakit lain dengan diagnosis banding TB,
Multi Drug Resistance (MDR), komplikasi TB Paru, penyakit
penyerta, gangguan mental, konsumsi dekongestan, diuretik,
kafein, beta blocker, anti konvulsan, nikotin, alkohol dalam
sebulan terakhir.
b. Tak Terkendali : subjektivitas responden dalam mengisi kuesioner.
F. Definisi Operasional Variabel Penelitian
1. Variabel bebas
a. Asma
1) Definisi : Pasien yang didiagnosis menderita penyakit asma yang
sedang kontrol di RSUD Dr. Moewardi .
2) Sumber data : Data primer pasien
3) Alat Ukur : Wawancara dan rekam medik
4) Skala pengukuran : Nominal
b. TB paru
1) Definisi : Pasien yang didiagnosis menderita penyakit TB paru tanpa
komplikasi yang sedang menjalani pengobatan di RSUD
Dr. Moewardi.
2) Sumber data : Data primer pasien
3) Alat Ukur : Wawancara dan rekam medik
4) Skala pengukuran : Nominal
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
2. Variabel terikat
a. Kualitas Tidur
1) Definisi : Kualitas tidur ditentukan dengan menggunakan kuesioner
Insomnia Rating Scale. Insomnia (+) atau kualitas tidur
buruk memiliki skor ≥ 10. Insomnia (-) atau kualitas tidur
baik memiliki skor < 10.
2) Sumber data : Data primer pasien
3) Alat Ukur : Kuesioner Insomnia Rating Scale
4) Skala pengukuran : Nominal
3. Variabel Luar
a. Variabel luar terkendali
1) Umur
a) Definisi : Umur sampel diatas 19 tahun.
b) Alat Ukur : Wawancara
c) Skala pengukuran : Rasio
2) Penyakit diagnosis banding asma
a) Definisi : PPOK, obstruksi mekanis (misal tumor), emboli paru
b) Alat Ukur : Wawancara dan rekam medis
c) Skala pengukuran : Nominal
3) Penyakit diagnosis banding TB paru
a) Definisi : Bronkiektasis, pneumonia, asma, kanker paru, abses
paru
b) Alat Ukur : Wawancara dan rekam medik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
c) Skala pengukuran : Nominal
4) Multi Drug Resistance (MDR)
a) Definisi : Pasien TB paru yang resisten terhadap rifampisin dan
INH dengan atau tanpa OAT lainnya
b) Alat Ukur : Wawancara dan rekam medik
c) Skala Pengukuran: Nominal
5) Komplikasi TB Paru
a) Definisi : Pleuritis, empiema, pneumothoraks spontan, laringitis
tuberkulosis, gagal jantung kongestif, aspergilomata
b) Alat Ukur :Wawancara dan rekam medik
c) Skala pengukuran : Nominal
6) Penyakit penyerta
a) Definisi : Penyakit gagal jantung, hemikrania paroksimal kronis,
arthritis, fibromialgia, kejang nokturnal, refluks
gastroesofagus, diabetes, hipertiroid
b) Alat Ukur : Wawancara dan rekam medik
c) Skala pengukuran : Nominal
7) Gangguan mental
a) Definisi : Yang termasuk gangguan mental yaitu depresi,
psikosis, kecemasan, panik
b) Alat Ukur : Rekam medik
c) Skala pengukuran : Nominal
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
8) Konsumsi zat
a) Definisi : Zat itu antara lain dekongestan, diuretik, kafein, beta
blocker, anti konvulsan, nikotin, alkohol
b) Alat Ukur : Wawancara dan rekam medik
c) Skala pengukuran : Nominal
G. Alat dan bahan Penelitian
1. Informed Consent
2. Kuesioner Insomnia Rating Scale
3. Rekam Medik
H. Cara Kerja
1. Pasien Asma
a. Wawancara data diri (nama, umur, alamat, dan pekerjaan)
b. Menjelaskan maksud, tujuan, prosedur, dan mendapat persetujuan
keikutsertaan dalam penelitian dengan penandatanganan informed
consent
c. Wawancara apakah memiliki penyakit asma atau diagnosis bandingnya,
penyakit penyerta, gangguan mental, dan mengonsumsi zat dalam
sebulan terakhir
d. Pengisian kuesioner Insomnia Rating Scale oleh pasien asma
2. Pasien TB paru
a. Wawancara data diri (nama, umur, alamat, dan pekerjaan)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
b. Menjelaskan maksud, tujuan, prosedur, dan mendapat persetujuan
keikutsertaan dalam penelitian dengan penandatanganan informed
consent
c. Wawancara apakah memiliki penyakit TB paru tanpa komplikasi atau
diagnosis bandingnya, MDR, penyakit penyerta, gangguan mental,dan
mengonsumsi zat dalam sebulan terakhir
d. Pengisian kuesioner Insomnia Rating Scale oleh pasien TB paru
3. Menghitung skor total Insomnia Rating Scale
a. Setiap soal kuesioner Insomnia Rating Scale memiliki sistem skoring
tersendiri
b. Skor tiap soal dijumlah dan didapat skor total yang kemudian
dikelompokkan menjadi insomnia (+) atau kualitas tidur buruk jika skor
total ≥ 10. Sedangkan insomnia (-) atau kualitas tidur baik jika skor
total < 10
4. Melakukan analisis data dengan Chi Square setelah diklasifikasikan
kualitas tidur baik atau kualitas tidur buruk.
I. Analisis data
Analisis data secara statistik dengan menggunakan uji Chi
Square (X2). Pengolahan data dengan menggunakan program SPSS 17 for
Windows.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
BAB IV
HASIL PENELITIAN
Penelitian mengenai Perbedaan Kualitas Tidur antara Pasien Asma dan TB
Paru telah dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juli 2012 di Poliklinik Paru
RSUD Dr. Moewardi. Subjek penelitian berjumlah 60 orang terdiri dari 30 pasien
asma dan 30 pasien TB Paru. Berikut disampaikan hasil penelitian yang disajikan
dalam bentuk tabel.
A. Karakteristik Subjek Penelitian
Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Pasien Asma dan Pasien TB Paru Berdasarkan Jenis Kelamin
Diagnosis
No. Jenis Kelamin Asma TB Paru Jumlah n (%) n (%) n (%)
1. Perempuan 21 (70) 11 (37,7) 32 (53,3)
2. Laki-laki 9 (30) 19 (63,3) 28 (47,7)
Jumlah 30 (100) 30 (100) 60 (100)
Tabel 4.1 menunjukkan selama penelitian, jenis kelamin perempuan
pada pasien asma lebih banyak dengan persentase 70%. Sedangkan pasien TB
paru lebih banyak berjenis kelamin laki-laki dengan persentase 63,3%.
46
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Pasien Asma dan Pasien TB Paru Berdasarkan Umur
Diagnosis
No. Kelompok Umur Asma (%) TB Paru (%) Jumlah
1. <20 tahun 0 (0) 2 (6,7) 2
2. 21 – 30 tahun 3 (10) 8 (26,7) 11
3. 31 – 40 tahun 4 (13,3) 4 (13,3) 8
4. 41 – 50 tahun 8 (26,7) 4 (13,3) 12
5. 51 – 60 tahun 13 (43,3) 8 (26,7) 21
6. >60 tahun 2 (6,7) 4 (13,3) 6
Jumlah 30 (100) 30 (100) 30
Dari Tabel 4.2 didapatkan pasien asma pada kelompok umur 51-60
tahun dengan persentase 43,3% dan pasien TB Paru didapati jumlah
terbanyak yaitu kelompok umur 21- 30 tahun dan 51-60 tahun dengan
persentase 26,7%.
B. Analisis Bivariat
Pada tahap ini dilakukan analisis bivariat untuk mengetahui perbedaan
antara variabel terikat (kualitas tidur) dan variabel bebas (pasien asma dan
pasien TB paru). Uji statistik menggunakan Chi-square dengan Confidence
Interval (CI) = 95%
Tabel 4.3 Analisis Bivariat tentang Kualitas Tidur antara Pasien Asma dan Pasien TB Paru
Kualitas tidur
Variabel Baik Buruk Total OR X2 p
n(%) n(%) n(%)
Pasien TB Paru 24 (80) 6 (20) 30 (100) - - -
Pasien Asma 9 (30) 21 (70) 30 (100) 9,3 15,1 < 0,001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
Dari Tabel 4.3 didapatkan kelompok pasien TB Paru dengan kualitas
tidur baik sebanyak 24 orang (80%) dan kualitas tidur buruk sebanyak 6
orang (20%). Pada kelompok pasien asma dengan kualitas tidur baik
sebanyak 9 orang (30%) dan kualitas tidur buruk sebanyak 21 orang (70%).
Analisis bivariat terhadap hubungan antara Pasien Asma dan TB Paru dengan
kualitas tidur menunjukkan hubungan yang signifikan yaitu p < 0,001. Pasien
Asma memiliki risiko untuk mengalami kualitas tidur buruk 9,3 kali lebih
besar daripada pasien TB Paru (OR = 9,3 ; CI95% 2,8 s.d. 30,6).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
BAB V
PEMBAHASAN
Penelitian yang berjudul “Perbedaan Kualitas Tidur antara Pasien Asma
dan Pasien TB Paru” dilakukan pada bulan Mei sampai dengan bulan Juli 2012 di
RSUD Dr. Moewardi dan didapatkan 60 subjek penelitian yang terdiri dari 30
pasien asma dan 30 pasien TB paru.
Distribusi frekuensi penelitian berdasarkan jenis kelamin (Tabel 4.1)
didapatkan bahwa pasien asma yang terbanyak adalah perempuan, dengan
persentase 70%. Hal ini dikarenakan jenis kelamin merupakan faktor predisposisi
asma. Menurut GINA (2011) dan NHLBI (2007), jenis kelamin laki-laki
merupakan sebuah faktor risiko terjadinya asma pada anak-anak. Namun pada
penelitian ini anak tidak diambil sampel. Hasil penelitian sudah sesuai dengan
penelitian NHLBI (2007), pada masa pubertas rasio prevalensi bergeser dan
menjadi lebih sering terjadi pada perempuan. Perempuan lebih rentan terhadap
stres dan mengalami masalah hormonal (menstruasi, premenstruasi, kehamilan)
yang menjadi faktor pencetus asma (Surjanto, 2001).
Jenis kelamin merupakan salah satu faktor risiko insomnia. Perempuan
lebih rentan mengalami insomnia karena adanya perubahan hormonal
(premenstruasi, menstruasi, dan kehamilan) (Zhang dan Wing, 2006). Pada
penelitian ini pasien asma didapati jenis kelamin terbanyak adalah perempuan.
Selain itu pasien asma juga lebih banyak yang mengalami kualitas tidur yang
49
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
buruk. Sehingga jenis kelamin merupakan faktor perancu yang tidak dapat
dikendalikan.
Berdasarkan jenis kelamin (Tabel 4.1) didapatkan bahwa pasien TB Paru
yang terbanyak adalah laki-laki dengan persentase 63,3%. Penyakit TB Paru
cenderung lebih tinggi pada jenis kelamin laki-laki dibandingkan perempuan.
Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yaitu pada jenis kelamin laki-laki
penyakit ini lebih tinggi karena sebagian besar laki-laki mengonsumsi rokok dan
alkohol sehingga dapat menurunkan sistem pertahanan tubuh, sehingga lebih
mudah terpapar dengan agen penyebab TB paru (Hiswani, 2003).
Penelitian ini kelompok umur pasien asma yang paling banyak yaitu
kelompok umur 51-60 tahun dengan persentase 43,3%. Namun penelitian
epidemiologi yang dilakukan Center for Disease Control (CDC) tahun 1998 di
Amerika Serikat menunjukkan bahwa penderita asma dewasa paling sering
ditemukan pada usia 45-47 tahun. Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh
perbedaan ras, gaya hidup, dan lingkungan.
Pada pasien TB paru kelompok umur 21-30 tahun dan 51-60 tahun
menunjukkan persentase paling banyak yaitu 26,7%. Hasil penelitian ini sudah
sesuai dengan Depkes (2010) yaitu penyakit TB paru paling sering ditemukan
pada usia produktif 15-54 tahun. Banyak ditemukan pada usia produktif karena
usia tersebut sebagian besar orang mencari nafkah di lingkungan luar sehingga
dapat dimunkinkan terjadi penularan. Dewasa ini dengan terjadinya transisi
demografi menyebabkan usia harapan hidup lansia menjadi lebih tinggi. Pada usia
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
lanjut lebih dari 55 tahun sangat rentan terhadap berbagai penyakit, termasuk
penyakit TB Paru karen sistem imunologis seseorang menurun.
Penelitian ini bertujuan mengetahui perbedaan kualitas tidur antara pasien
asma dan pasien TB paru. Pasien asma memiliki risiko untuk mengalami kualitas
tidur buruk 9,3 kali lebih besar daripada pasien TB paru (OR = 9,3 ; CI95% 2,8
s.d. 30,6). Hubungan tersebut secara statistik signifikan dan menunjukkan
hubungan yang kuat serta telah mengontrol pengaruh dari umur, penyakit
diagnosis banding asma atau TB paru, penyakit penyerta, gangguan mental,
konsumsi zat sebulan terakhir. Namun ada faktor-faktor lain yang masih
mempengaruhi yaitu umur, gender, penyakit morbiditas, kelainan psikiatri, dan
bekerja pada malam hari.
Pada kelompok pasien asma mengalami kualitas tidur buruk sebanyak
70%. Hasil penelitian tersebut sudah sesuai dengan penelitian Fitzpatrick et al
(1991) yaitu pasien asma lebih sering mengalami kesulitan tidur, mempertahankan
tidur, mengalami rasa kantuk di siang hari, terbangun terlalu pagi, mengeluhkan
tidur kurang menyegarkan dan penurunan efisiensi tidur yang signifikan
dibandingkan subjek normal sehingga menurunkan kualitas tidur. Selain itu juga
sesuai dengan penelitian Harrison (2000) yaitu pada pasien asma, terdapat variasi
sirkadian menonjol pada resistensi jalan napas, mungkin berhubungan dengan
irama sirkadian pada level histamin dan katekolamin yang meningkatkan gejala
asmatik pada malam hari. Selain itu pengobatan asma dengan komponen
berdasarkan teofilin, agonis adrenergik atau glukokortikoid dapat mengganggu
tidur.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
Tabel 4.3 didapatkan kelompok pasien TB Paru dengan kualitas tidur baik
sebanyak 24 orang (80%) dan kualitas tidur buruk sebanyak 6 orang (20%).
Hubungan TB paru dan kualitas tidur masih belum jelas. Sebagian besar pasien
TB paru mengalami kualitas tidur baik, karena sampel TB paru terbanyak sudah
menjalani pengobatan lebih dari 3 bulan sehingga ada perbaikan klinis. Pasien TB
Paru yang mengalami kualitas tidur buruk bisa disebabkan karena faktor
pencahayaan, aktivitas, lingkungan dan efek medikasi. Efek medikasi dari
Isoniazid dapat mengakibatkan stimulasi Sistem Saraf Pusat (SSP) ataupun
depresi SSP. Stimulasi SSP ini bisa bermanifestasi pada kelelahan, euforia,
insomnia, dan sakit kepala (Rajpal et al., 2000).
Pasien yang mengalami gangguan tidur sekunder akibat penyakit somatik
dapat memperbaiki kualitas tidurnya dengan mengontrol keluhan penyakit yang
timbul (Parish, 2009). Pasien asma yang mampu mengontrol keadaan asmanya
dapat mengurangi gejala asma berupa sesak napas, wheezing, batuk di malam hari
sehingga diharapkan dapat memperbaiki kualitas tidurnya.
Proses pengambilan data dilakukan dengan wawancara langsung,
pengisian kuesioner Insomnia Rating Scale, dan melihat data rekam medik pasien.
Keterbatasan dari penelitian ini adalah faktor subyektifitas pasien dalam
memberikan jawaban yang merupakan variabel luar yang tidak dapat dikendalikan
oleh peneliti. Selain itu jumlah subjek penelitian yang seharusnya berjumlah 76
subjek hanya dapat diambil 60 subjek karena keterbatasan waktu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan
bahwa terdapat perbedaan kualitas tidur antara pasien asma dan pasien TB
paru. Pasien asma mengalami kualitas tidur buruk 9,3 kali lebih besar
daripada pasien TB paru (OR = 9,3 ; CI95% 2,8 s.d. 30,6)
B. Saran
1. Edukasi pasien asma dan TB paru mengenai pengaruh penyakit asma atau
TB paru terhadap kualitas tidur
2. Mengadakan penelitian lebih lanjut mengenai kualitas tidur pada pasien
asma dan TB paru dengan jumlah sampel yang representatif dan populasi
yang lebih luas. Selain itu, penelitian mengenai manajemen peningkatan
kualitas tidur pasien asma perlu ditingkatkan.