13
©2003 Digitized by USU digital library 1 PERBANDINGAN HASIL PEMERIKSAAN METODA IMMUNOCHROMATOGRAPHIC TEST (ICT) DENGAN PERWARNAAN GIEMSA PADA INFEKSI MALARIA FALCIPARUM DESRINAWATI Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara BAB I P E N D A H U L U A N 1.1. LATAR BELAKANG Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh satu atau lebih dari empat Plasmodia yang menginfeksi manusia : P. Falciparum, P. Vivax, P.ovale dan P.malariae. 1 Dua spesies yang pertama ( P.falciparum, P.vivax) merupakan penyebab lebih dari 95% kasus malaria di dunia. 2 P.falciparum ditemukan terutama di daerah tropis dan resiko kematian lebih besar bagi orang yang tidak imun, karena dapat menyerang sel darah merah disemua umur dan obat biasanya resistensi. 1 Terdapat bukti bahwa penyakit ini mempunyai tingkat endemisitas yang tinggi di beberapa kawasan pemukiman di daerah tropis dan subtropis sejak masa prasejarah. Hal ini berhubungan dengan modifikasi terhadap lingkungan alami yang dilakukan oleh manusia. 3 Sampai saat ini malaria masih merupakan problem didaerah tropis negara yang berkembang dengan 300-500 juta kasus dan 2-3 meninggal pertahunnya. 1 Khususnya pada bayi dan anak angka kematian dan kesakitan pada umur dibawah 5 tahun adalah 6% dan 11%, di Afrika 10% angka kematian yang disebabkan oleh penyakit malaria. 4,5 Di Indonesia sampai saat ini penyakit malaria masih merupakan masalah kesehatan masyarakat. 6,7 Angka kesakitan penyakit ini masih cukup tinggi, terutama di daerah endemis dan yang non endemis malaria .6 Di daerah tersebut masih sering terjadi letusan wabah yang menimbulkan banyak kematian. Laporan pertama tentang adanya malaria di Indonesia oleh tentara Belanda. Dilaporkan adanya wabah di Cirebon pada tahun 1852-1854. 7 Penyebaran penyakit malaria di Propinsi Sumatera Utara terutama dijumpai sepanjang pantai timur dan barat. Pada daratan tinggi kasus malaria jarang ditemukan. Dari hasil survai malariometrik yang dilakukan dari tahun 1990 sampai dengan tahun 1993 di sebelas Kabupaten telah ditemukan dua spesies parasit yaitu P. falciparum dan P.vivax. Dari survai tersebut diperoleh angka malaria 2.7%. Penyebaran parasit malaria berdasarkan survai malariometrik adalah dipantai, daerah perbukitan dan daerah yang berdekatan dengan hutan lebat. 8 Hasil survai malariometrik pada daerah endemis malaria di propinsi Sumatera Utara selama kurun waktu 1989 sampai 1993 diperoleh angka parasite rate (PR) yang tinggi di beberapa daerah (PR>2%) dan pada daerah lainnya rendah (PR<2%). Kecamatan dengan parasite rate yang tinggi ditemukan di Kabupaten Mandailing Natal ( Madina ) , Asahan, Nias, Tapanuli Utara, Karo dan Labuhan Batu. 8 Tahun 1999/2000 pada High Prevalensi Area (HPA) dijumpai PR>4% dimana yang tertinggi Madina yaitu 10,65%. 9 Kabupaten Mandailing Natal terletak diantara 0 0 -10 5 0 lintang utara dan 98 0 50-100 0 10 bujur timur dan luas wilayah kira-kira 6.620.70 km2, mempunyai 8 kecamatan dengan kondisi geografi yang luas terdiri dari hutan lebat, rawa-rawa, sungai-sungai dan persawahan. Mandailing Natal berbatas sebelah utara dengan Tapanuli Selatan, sebelah selatan dengan propinsi Sumatera Barat, sebelah barat dengan Samudera Hindia, sebelah timur dengan Propinsi Riau. Jumlah penduduk

perbandingan ICT dengan GIEMSA

  • Upload
    mulyadi

  • View
    51

  • Download
    1

Embed Size (px)

DESCRIPTION

penelitian

Citation preview

Page 1: perbandingan ICT dengan GIEMSA

©2003 Digitized by USU digital library 1

PERBANDINGAN HASIL PEMERIKSAAN METODA IMMUNOCHROMATOGRAPHIC TEST (ICT) DENGAN PERWARNAAN GIEMSA

PADA INFEKSI MALARIA FALCIPARUM

DESRINAWATI

Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

BAB I

P E N D A H U L U A N

1.1. LATAR BELAKANG Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh satu atau lebih dari empat

Plasmodia yang menginfeksi manusia : P. Falciparum, P. Vivax, P.ovale dan P.malariae.1 Dua spesies yang pertama ( P.falciparum, P.vivax) merupakan penyebab lebih dari 95% kasus malaria di dunia.2 P.falciparum ditemukan terutama di daerah tropis dan resiko kematian lebih besar bagi orang yang tidak imun, karena dapat menyerang sel darah merah disemua umur dan obat biasanya resistensi. 1 Terdapat bukti bahwa penyakit ini mempunyai tingkat endemisitas yang tinggi di beberapa kawasan pemukiman di daerah tropis dan subtropis sejak masa prasejarah. Hal ini berhubungan dengan modifikasi terhadap lingkungan alami yang dilakukan oleh manusia.3 Sampai saat ini malaria masih merupakan problem didaerah tropis negara yang berkembang dengan 300-500 juta kasus dan 2-3 meninggal pertahunnya. 1 Khususnya pada bayi dan anak angka kematian dan kesakitan pada umur dibawah 5 tahun adalah 6% dan 11%, di Afrika 10% angka kematian yang disebabkan oleh penyakit malaria.4,5 Di Indonesia sampai saat ini penyakit malaria masih merupakan masalah kesehatan masyarakat.6,7 Angka kesakitan penyakit ini masih cukup tinggi, terutama di daerah endemis dan yang non endemis malaria .6 Di daerah tersebut masih sering terjadi letusan wabah yang menimbulkan banyak kematian. Laporan pertama tentang adanya malaria di Indonesia oleh tentara Belanda. Dilaporkan adanya wabah di Cirebon pada tahun 1852-1854.7

Penyebaran penyakit malaria di Propinsi Sumatera Utara terutama dijumpai sepanjang pantai timur dan barat. Pada daratan tinggi kasus malaria jarang ditemukan. Dari hasil survai malariometrik yang dilakukan dari tahun 1990 sampai dengan tahun 1993 di sebelas Kabupaten telah ditemukan dua spesies parasit yaitu P. falciparum dan P.vivax. Dari survai tersebut diperoleh angka malaria 2.7%. Penyebaran parasit malaria berdasarkan survai malariometrik adalah dipantai, daerah perbukitan dan daerah yang berdekatan dengan hutan lebat.8 Hasil survai malariometrik pada daerah endemis malaria di propinsi Sumatera Utara selama kurun waktu 1989 sampai 1993 diperoleh angka parasite rate (PR) yang tinggi di beberapa daerah (PR>2%) dan pada daerah lainnya rendah (PR<2%). Kecamatan dengan parasite rate yang tinggi ditemukan di Kabupaten Mandailing Natal ( Madina ) , Asahan, Nias, Tapanuli Utara, Karo dan Labuhan Batu.8 Tahun 1999/2000 pada High Prevalensi Area (HPA) dijumpai PR>4% dimana yang tertinggi Madina yaitu 10,65%. 9

Kabupaten Mandailing Natal terletak diantara 00-1050 lintang utara dan 980 50-100010 bujur timur dan luas wilayah kira-kira 6.620.70 km2, mempunyai 8 kecamatan dengan kondisi geografi yang luas terdiri dari hutan lebat, rawa-rawa, sungai-sungai dan persawahan. Mandailing Natal berbatas sebelah utara dengan Tapanuli Selatan, sebelah selatan dengan propinsi Sumatera Barat, sebelah barat dengan Samudera Hindia, sebelah timur dengan Propinsi Riau. Jumlah penduduk

Page 2: perbandingan ICT dengan GIEMSA

©2003 Digitized by USU digital library 2

343.715 jiwa, pada desa Penyabungan jae jumlah laki-laki 1.071 dan perempuan berjumlah 1,172 jiwa.

Sedangkan pada desa Mompang jumlah laki-laki 2.184 dan perempuan 2.239

jiwa. Mata pencarian mayoritas petani dan nelayan, pola dan jenis penyakit yang terbanyak adalah malaria klinis 17,53%.

Page 3: perbandingan ICT dengan GIEMSA

©2003 Digitized by USU digital library 3

Dengan banyaknya kasus malaria, maka kebutuhan akan suatu metoda untuk menegakkan diagnosis penyakit malaria yang sifatnya sensitif dan mendukung gejala-gejala klinis sangatlah perlu.4 Di Thailand pada tahun 1971 mendiagnosis malaria secara simtomatik sehingga terjadi diagnosis yang meningkat.11 Oleh karena itu diagnosis dini diperlukan untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian.3 Biasanya diagnosis malaria ditegakkan dengan metoda konvensional memakai perwarnaan Giemsa pada apusan darah dan pemeriksaan di bawah sinar mikroskop, pemeriksaan ini sampai saat ini masih merupakan gold standard. Namun pemeriksaan ini masih terdapat beberapa kendala dan keterbatasan. Sebagai konsekwensinya diperlukan pengembangan berbagai metoda alternatif.4

1.2. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, dimana Madina merupakan daerah malaria dengan prevalensi tertinggi di Sumatera Utara, maka kebutuhan akan suatu metoda untuk diagnosis malaria yang sifatnya mudah, cepat dan sensitive sangatlah diperlukan. Sampai saat ini Metoda Giemsa merupakan gold standard. Kelebihan dari metoda Giemsa ini adalah biaya relatif murah. Meskipun demikian masih terdapat kendala yaitu memerlukan tenaga laboratorium yang terlatih dan hasil diperoleh dalam waktu yang lebih lama (time consuming).4 Untuk mengatasi kelemahan ini Parra dan kawan-kawan (1991) memperkenalkan Immunochromatographic test (ICT) untuk mendeteksi P.falciparum trophozoite histidine rich protein-II (PfHRP-II). Uji ini lebih cepat dilakukan dan tidak membutuhkan peralatan laboratorium dan praktis dipakai di lapangan.12 ICT ini harganya Rp. 20.000

1.3. HIPOTESIS

Tidak ada perbedaan sensitifitas dan spesifisitas antara pemeriksaan ICT dengan pewarnaan Giemsa.

1.4. TUJUAN PENELITIAN

Untuk mengetahui sensitifitas dan spesifisitas uji tersebut terhadap infeksi P.falciparum

1.5. MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai alat diagnostik alternatif dalam menegakkan diagnosis penyakit malaria falciparum secara cepat dengan metoda sederhana.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Diagnosis malaria dapat dilakukan secara mikroskopis dan non mikroskopis. Uji mikroskopis dapat dilihat secara langsung di bawah mikroskop, seperti pemeriksaan darah tepi, Quantitative Buffy Coat (QBS), Acridine orange (AO). Sedangkan uji non mikroskopis berguna untuk mengidentifikasi pada antigen parasit atau antibodi antiplasmodial atau produksi metabolik parasit, seperti uji Polymerase Chain Reaction, Detection of antibodies by Radio Immuno Assay, Indirect Hemaglutination, Deoxyribonucleic acid dan Rapid Manual Test.13 Immunochromatographic test (ICT) merupakan salah satu cara pemeriksaan rapid manual test. Uji ICT ini berdasarkan kepada deteksi antigen yang dikeluarkan oleh parasit malaria, yang spesifik terhadap Plasmodium falciparum Histidine Rich

Page 4: perbandingan ICT dengan GIEMSA

©2003 Digitized by USU digital library 4

Protein II (PfHRP II) dapat melisiskan darah dengan menggunakan metoda immunochromatographic.11 Pada P.falciparum semua umur sel darah merah terinfeksi. Sel darah merah merupakan bagian utama dalam infeksi malaria, semua manifestasi klinik mulanya melibatkan perubahan-perubahan dari sel darah merah. Parasit yang sedang berkembang memakan dan menghancurkan protein intrasel, terutama hemoglobin, sehingga fungsi transport dari sel merah terganggu, muncul antigen permukaan yang berbentuk kripta, sehingga sel darah merah menjadi lonjong dan tidak elastik lagi. Pada infeksi P.falciparum penonjolan membran muncul pada permukaan eritrosit dalam 24 jam kedua dari siklus aseksual. Pada sel darah merah terbentuk knob yang halus pada permukaan membran yang disebabkan oleh Pf Erythrocyte Membrane Protein I. Dengan meningkatnya densitas elektron, protein parasit yang kaya histidine dijumpai di bawah knob ini. Knob merupakan suatu rangkaian spesifik, jenis protein yang adhesif dengan berat molekul yang tinggi dimana knob menghubungkan sel darah merah dengan reseptor-reseptor pada lapisan endothelium vena dan kapiler, yang menyebabkan Cytoadherence. P. falciparum menginfeksi sel darah merah juga menarik sel darah yang tidak terinfeksi menjadi bentuk rossete (rose). Cytoadherence dan bentuk rossete ini merupakan patogenesis utama dari infeksi malaria P.falciparum, menghasilkan bentuk agregasi dari sel darah merah dan penumpukan sel darah merah intravaskuler dalam organ-organ vital seperti dalam otak dan hati.13 Eritrosit yang terinfeksi P.falciparum mensintesa beberapa histidine rich protein dan menimbulkan histidine yang tinggi, tetapi kadar asam amino yang rendah seperti H3 isoleucin atau S35 metionin. Sintesa PfHRP II dimulai dengan parasit-parasit yang berbentuk cincin dan berlanjut hingga stadium trofozoit.14

Adapaun siklus hidup Plasmodia adalah sebagai berikut : Dalam daur hidupnya Plasmodium mempunyai dua hospes, yaitu vertebrata dan nyamuk. Siklus seksual di dalam hospes vetebrata dikenal sebagai skizogoni, dan siklus seksual yang membentuk sporozoit di dalam nyamuk sebagai sporogoni. Sporozoit infektif dari kelenjar ludah nyamuk anopheles, masuk ke dalam aliran darah hospes vertebrata melalui tusukan nyamuk itu, jasad yang langsing dan lincah ini dalam kurun waktu 30 menit memasuki sel parenkim hati, melalui stadium eksoeritrositik dari pada daur hidupnya. Didalam sel hati parasit tumbuh menjadi skizon. Sebagain parasit tetap tidak tumbuh dan mengalami masa tidur (dormant) di dalam sel hati yang disebut hipnozoit. Sewaktu-waktu hipnozoit ini menjadi aktif dan berkembang menjadi skizon dan membentuk merezoit. Pembelahan ini dari skizon, menghasilkan 15.000 sampai 40.000 merezoit di dalam sel, dalam waktu 6 sampai 9 hari, tergantung pada spesies malaria. Sel hati yang mengandung parasit pecah, merezoit keluar dengan bebas, sebagian besar difagositosis. Oleh karena proses ini terjadi sebelum sel darah merah diinfeksi, maka lebih tepat disebut stadium praeritrositik dari pada eksoeritrositik. 1,15

Pada P.falciparum hanya berlangsung satu siklus eksoeritrositik, sedangkan spesies lainnya yang mempunyai hipnozoit dapat melanjutkan siklus ini sampai bertahun-tahun lamanya, sehingga relaps dapat terjadi setelah beberapa bulan sampai beberapa tahun. Siklus eritrositik dimulai pada waktu merozoit hati memasuki sel darah merah. Parasit mulai tampak sebagai kromatin kecil, dikelilingi oleh sedikit sitoplasma yang mempunyai bentuk cincin, yaitu trofozoit. Pada trofozoit yang sedang tumbuh sitoplasma membesar, bentuknya menjadi tidak teratur dan mulai membentuk pigmen. Trofozoit tumbuh menjadi skizon muda, kemudian menjadi skizon matang dan membelah menjadi banyak merozoit. Dengan selesainya pembelahan tersebut sel darah merah memecah dan merozoit, pigmen dan sisa sel keluar serta masuk ke dalam plasma darah. 1,15 Ada tiga HRP yang dibuat oleh P.falciparum pada stasium darah, disini dinotasikan sebagai PfHRP I, II dan III berdasarkan urutan penemuannya. 14,16 PfHRP

Page 5: perbandingan ICT dengan GIEMSA

©2003 Digitized by USU digital library 5

I secara fenotip terkait dengan ekspresi tonjolan yang mirip knob pada membran permukaan eritrosit yang terinfeksi. PfHRP I tampaknya terkait dengan membran sel darah merah, khususnya sitoskleton dan hanya mempunyai knob positif. PfHRP II diekspresikan secara knob positif maupun knob negatif pada sel darah merah. Rangkaian DNA telah membuktikan bahwa PfHRP II mengandung 35 histidin dan juga kandungan alanin dan aspartat yang relatif tinggi masing- masing 40% dan 12% PfHRP III dengan rangkaian klon DNA mengandung 30% histidin dan 29% alanin.14 Penemuan Howard antibodi monoklonal 87 bereaksi secara spesifik dengan PfHRP II dan ini sangat berbeda dengan HRP I dan HRP III.14 Uji ICT ini umumnya digunakan dalam bentuk uji strip yang mengandung antibodi monoklonal yang berlangsung pada antigen parasit. Pemeriksaan serologi rapid imunokromatolografi prinsipnya adalah deteksi antigen berdasarkan reaksi kompleks antigen-antibodi pada bahan nitroselulose acetat dimana kompleks tersebut diberi marka monoklonal antibodi (Mab) yang berlabel zat warna ( colloidal gold) sebagai penanda, sedangkan antigen non spesifik lainnya dipisahkan, sehingga muncul suatu tanda yang menyatakan hasil positif/negatif.17 Uji ICT dapat mendeteksi P.falciparum dan non falciparum, tetapi tidak dapat membedakan antara P.vivax, P.ovale dan P. Malariae, maupun membedakan infeksi falciparum murni dari infeksi campuran yang termasuk P. Falciparum.11 Uji ICT merupakan uji yang lebih cepat, mudah dilakukan dan tidak memerlukan laboratorium khusus, seperti sentrifus, dan mikroskop. Uji ini lebih praktis digunakan di lapangan. Diagnosis yang cepat dan akurat adalah kunci penanganan yang efektif untuk mengatasi penyakit malaria.12 Selain ICT ada beberapa cara lain yang berdasarkan histidine rich protein II yaitu : ParaSight-F, Paracheck. Selain itu sudah dikembangkan pula uji Plasmodium Lactate Dehydrogenase (pLDH). Test ini berdasarkan deteksi enzim glycolitic soluble yang dikeluarkan oleh parasit dengan kadar yang tinggi dalam darah.13 Hingga saat ini diagnosis malaria dilakukan dengan cara konvensional yaitu dengan membuat sediaan darah tebal dan tipis yang dipulas dengan pewarnaan Giemsa dan diperiksa di bawah mikroskop cahaya. Hasil pemeriksaan negatif tidak selalu berarti tidak mengidap penyakit malaria, khususnya pada orang-orang yang mendapat pengobatan anti malaria ataupun mereka yang tinggal di daerah hipoendemis. Sediaan darah tebal berguna untuk mengkonsentrasikan parasit di dalam bidang sediaan, jadi untuk menegakkan diagnosis malaria harus menggunakan sediaan darah tebal. Sediaan darah tipis berguna untuk melihat morfologi parasit sekaligus menentukan spesies parasit.18 Kelebihan dari pewarnaan Giemsa ini adalah biaya relatif murah. Meskipun demikian masih terdapat beberapa kendala dan keterbatasan, dengan tenaga laboratorium yang berpengalaman sekalipun, memakan waktu dan membutuhkan upaya yang intensif, terutama bila parasit sedikit atau tidak dijumpai di dalam darah pada saat pemeriksaan.4,18 Dalam kasus-kasus dengan infeksi campuran P.vivax dan P.falciparum, sulit membuat diagnosis yang benar bila P.vivax hanya muncul stadium cincin atau bila persentase sel darah merah terinfeksi P.falciparum sangat sedikit.19

Page 6: perbandingan ICT dengan GIEMSA

©2003 Digitized by USU digital library 6

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1. DESAIN PENELITIAN

Metode yang digunakan adalah diagnostik dengan cara tersamar ganda untuk menilai sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi posotif, nilai prediksi negatif, akurasi dam prevalensi.

3.2. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN Penelitian dilakukan di daerah Kabupaten Mandailing Natal Kecamatan Penyabungan pada 2 Puskesmas dan 1 Rumah Sakit yaitu : 3.2.1. Puskesmas Penyabungan jae 3.2.2. Puskesmas Mompang 3.2.3. Rumah Sakit Penyabungan

Waktu penelitian 8 April - 22 April 2001 3.3. POPULASI PENELITIAN

Sampel diambil dari pasien yang berkunjung ke puskesmas dan Rumah Sakit. Umur sampel yang diambil : semua golongan umur

3.4. BESAR SAMPEL Besar sampel ditentukan : 20

2

2

dPQz

=

P = Proporsi penyakit atau keadaan yang akan dicari Q = 1 – P D = Tingkat ketepatan absolute yang dikehendaki α = Tingkat kemaknaan P = 0,5 zα = 1,96 d = 10 Dengan memakai rumus diatas maka diperoleh jumlah sampel minimal 96 orang.

3.5. KRITERIA INKLUSI DAN EKSLUSI 3.5.1. Kriteria inklusi :

Setiap pasien yang datang dengan keluhan : 3.5.1.1. Demam = 37,50C 3.5.1.2. Pucat 3.5.1.3. Mencret 3.5.1.4. Sakit Kepala

3.5.2. Kriteria ekslusi : 3.5.2.1. Penderita dengan infeksi lain (hepatitis, flebitis) 3.5.2.2. Adanya riwayat makan obat antimalaria dalam satu minggu

sebelumnya. 3.5.2.3. Penderita yang tidak bersedia diperiksa atau tidak mau mengikuti

dalam pene litian ini. 3.6. IZIN PENELITIAN

Dengan mengisi formulir yang diberikan petugas serta ditanda tangani oleh subjek sendiri atau orang tua subjek (lampiran1)

Page 7: perbandingan ICT dengan GIEMSA

©2003 Digitized by USU digital library 7

3.7. CARA KERJA Pasien yang datang ke puskesmas dengan keluhan demam, pucat, mencret dan sakit kepala dilakukan pemeriksaan suhu tubuh, frekuensi jantung, frekuensi nafas, pemeriksaan hepar dan lien. Kemudian pasien diberi izin subjek (lampiran 1) untuk ditanda tangani. Setiap pasien di ambil darah untuk pemeriksaan malaria dengan dua metoda yaitu (metoda Giemsa dan ICT) juga dilakukan pemeriksaan hemoglobin ( lampiran 2) 3.7.1. Metoda konvensional (pulasan Giemsa)

Darah tipis sampel pada kaca objek, setelah kering difiksasi dengan metanol selama 5 detik kemudian diwarnai dengan Giemsa selama 30 menit. Cuci dengan air mengalir kemudian keringkan. Hasil pulasan dilihat dibawah mikroskop cahaya biasa untuk identifikasi parasit spesies. Sediaan adalah positif bila ditemukan spesies parasit pada pulasan Giemsa. Inti parasit terlihat berwarna merah dan sitoplasma berwarna biru keungu-unguan dengan pigmen terlihat berwarna coklat kehitaman.

3.7.2. Metoda ICT ICT berbentuk kartu segi empat merupakan uji diagnostik immunologik untuk mendeteksi P.falciparum didalam darah.

Uji ini menggunakan antobodi yang spesifik terhadap PfHRP II antigen, buatan AMRAD, Australia. Sebelum digunakan kartu ICT dibuka dan letakkan diatas permukaan yang mendatar. Dengan menggunakan pipa kapiler yang tersedia, darah diambil dengan menusuk ujung jari dan pastikan bahwa pipa kaliper telah terisi penuh darah. Darah ditaruh pada daerah berwarna ungu yang ada pada kartu ICT, dilakukan dengan cara memegang pipa kapiler secara vertikal dan tekan ujungnya perlahan-lahan ke beberapa tempat di daerah ini. Kemudian teteskan reagen A ( yang telah tersedia) satu tetes pada bagian yang berwarna putih ( diatas bagian yang berwarna ungu) selanjutnya dua tetes reagen A ke bagian warna putih ( di bawah daerah berwarna ungu). Teteskan empat tetes reagen A ke tempat yang berada di atas bagian kiri dari kartu. Biarkan sampel da rah memenuhi strip test, lalu tutup kartu. Dalam 3-4 menit dapat dibaca hasilnya dari celah yang terlihat pada kartu. Bila satu garis kontrol berarti negatif dan bila dua garis berarti positif falciparum.

Page 8: perbandingan ICT dengan GIEMSA

©2003 Digitized by USU digital library 8

ANALISA DATA Data yang dinilai : 3.7.3. Sensitivitas 3.7.4. Spesifisitas 3.7.5. Nilai Prediksi positif 3.7.6. Nilai Prediksi negatif 3.7.7. Akurasi 3.7.8. Prevalensi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. HASIL PENELITIAN Jumlah sampel yang diperiksa darahnya sebanyak 96 orang. Tabel 1. Karakteristik sampel

Karakteristik n % Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Umur (tahun) 0 – 1 1 – 5 6 – 10 11 – 15 > 15

40 56 8 20 15 5 48

41,7 58,3 8,33 20,83 15,63 5,21 50,00

Dari tabel 1. Terlihat jumlah anak perempuan 56 orang (58,3%) lebih banyak

dari pada anak laki-laki 40 orang (41,7%) Umur > 15 tahun yang terbanyak yaitu 48 orang (50%) kemudian umur 1 – 5 tahun 20 orang (20,83%) dan umur 6 – 10 tahun 15 orang (15,63%) Tabel 2. Distribusi umur dan jenis kelamin yang positif antara metoda

Giemsa dan ICT Giemsa Jumlah ICT Jumlah Umur Laki-laki Perempuan n % Laki-laki Perempuan n %

Umur (Tahun) 0 – 1 1 – 5 6 – 10 11 – 15 >15

2 4 2 2 9

1 3 9 0 10

3 7 11 2 28

5,9 13,7 21,6 3,9 54,9

3 5 3 2 9

0 5 6 0 20

3 10 9 2 29

5,7 18,9 16,9 3,8 54,7

Jumlah 19 32 51 100 22 31 53 100 Dari tabel 2. Terlihat anak laki-laki yang positif dengan Giemsa sebanyak 19 orang. Sementara pada ICT sebanyak 22 orang. Pada anak perempuan jumlah yang positif dengan Giemsa sebanyak 32 orang. Pada ICT sebanyak 31 orang. Apabila dilihat dari segi umur disini terlihat, umur yang >15 tahun lebih banyak yang positif baik pada Giemsa maupun ICT 28:29. Kemudian diikuti umur 6 – 10 tahun 11: s9, baru kemudian umur 1 – 5 tahun 7:10.

Page 9: perbandingan ICT dengan GIEMSA

©2003 Digitized by USU digital library 9

Tabel 3. Gejala dan tanda pada penderita malaria Karakteristik Jumlah Giemsa ICT

Gejala Mencret Sakit Kepala Tanda Demam > 37,50C Anemi Splenomegali Hepatomegali

27 63

94 54 33 6

48,1 (13/27) 66,7 (42/63)

52,1 ( 49/94) 55,6 (30/54) 42,4 (14/33)

16,7 (1/6)

55,6 (15/27) 66,7 (42/63

54,2 (51/94) 61,1 (33/54) 54,5 (18/33)

66,7 (4/6) Dari tabel 3. Disini terlihat bahwa gejala klinis yang lebih banyak yaitu sakit kepala 63 orang (66,7%) baik metoda Giemsa maupun metoda ICT. Sementara pemeriksaan fisik dijumpai demam 94 orang baik metoda Giemsa maupun ICT (52,1% : 54,2%), sedangkan anemi 54 orang baik Giemsa maupun ICT ( 55,6%:61,1%), splenomegali 33 orang baik Giemsa maupun ICT (16,7%: 66,7%). Tabel 4. Gambaran Plasmodium malaria yang positif dengan metoda Giemsa

dan ICT Plasmodium Giemsa ICT P. Falciparum P. Vivax Campuran (P.falciparum dan P.Vivax)

51 10 2

53 0 0

Tabel 4. Disini terlihat gambaran Plasmodium malaria yang terbanyak positif dengan metoda Giemsa adalah P.falciparum 51 orang, P. vivax 10 orang dan campuran 2 orang. Sedangkan dengan metoda ICT untuk P.falciparum 53 orang. Tabel 5. Perbandingan hasil metoda ICT dengan metoda Giemsa

Giemsa Positif Negative

Jumlah

ICT

Positif Negatif

39 12

41 31

53 43

Jumlah 51 45 96 Sensitivitas : 39/51 x 100 = 76,5% Spesifisitas : 31/45 x 100 = 68,9% Likelihood Ratio + : 76,5% x 31,1% =2,45% Likelihood Ratio - : 23,5%/68,9% =0,34% Nilai prediksi positif : 39/53 x 100 = 73,6% Nilai prediksi negatif : 31/43 x 100 = 72,1% Akurasi : (39+31)/96x100 = 53,1% Prevalensi : 51/96 x 100 = 53,1% Pre test odds : 53,1/46,9 = 1,13% Tabel 5. Pada penelitian ini setelah diuji statistik didapatkan nilai sensitivitas 76,5%, nilai spesifisitas 68,9%, nilai prediksi positif 73,6%, nilai prediksi negatif 72,1%, akurasi 73% dan prevalensi 53,1%.

Page 10: perbandingan ICT dengan GIEMSA

©2003 Digitized by USU digital library 10

Tabel 6. Sensitivitas terhadap ICT berdasarkan jumlah parasitemia

Parasitemia (/mm3 darah)

Giemsa ICT Sensitivitas %

0 – 100 100 – 500 501 – 1000 1001 – 5000

> 5000

5 25 21 2 8

4 22 18 2 6

80 88

85,7 100 75

Tabel 6. Sensitivitas terhadap ICT berdasarkan jumlah parasitemia disini terlihat, bila jumlah parasitemia 100 – 500 sensitivitas 88%, bila parasitemia 501 – 1000 nilai sensitivitas 85,7% dan bila jumlah parasitemia 1001 – 5000 maka nilai sensivitasnya 100%. 4.2. PEMBAHASAN

Pada penelitian terlihat jumlah penderita perempuan 58,3% lebih banyak dari laki-laki 41,7%. Dari sebaran kelompok umur relatif tidak merata, terbanyak adalah kelompok umur > 15 tahun (50,00%). Apabila dilihat sebaran penderita malaria yang positif dengan Giemsa menurut jenis kelamin terlihat perempuan lebih banyak dari laki-laki yaitu 32:19. Hal ini berbeda dengan penelitian Husein Albar dimana laki-laki lebih banyak. 21 Bila dilihat dari kelompok umur yang terbanyak positif malaria dengan metode Giemsa adalah umur > 15 tahun. Dari penelitian Marleta di Nias ( Sumatera Utara) kasus malaria tertinggi terjadi pada usia 5 sampai dengan 14 tahun . 22 Perbedaan angka kesakitan malaria pada laki-laki dan perempuan atau berbagai golongan umur sebenarnya disebabkan oleh faktor lain seperti pekerjaan, pendidikan, perumahan, migrasi penduduk, kekebalan dan lain-lain.8

Pada pengamatan kami gejala klinis yang menonjol adalah sakit kepala 63 orang, dan mencret 27 orang. Pada penelitian Husein Albar dijumpai demam 100%, mencret 31,6%.21 Pada pemeriksaan fisik dijumpai demam 94 orang, anemi 54 orang, splenomegali 33 orang. Pada penelitian Lubis NU dijumpai demam 100%, anemi 68%, splenomegali 50,5%.23 Gambaran klinis dan pemeriksaan fisik seperti ini sering dijumpai pada penderita-penderita malaria karena dapat menyokong diagnosis malaria.6,23

Gambaran Plasmodium terlihat yang terbanyak P. falciparum dan P.vivax, hal ini sama dengan penelitian Husein Albar dan Susanto.4,21

Pada penelitian ini kami menggunakan metoda uji imunokromatografik (ICT) yang digunakan untuk mendeteksi infeksi P.falciparum. Didapatkan hasil dengan nilai sensitivitas dan spesifisitas 76,5% dan 68,9% nilai prediksi positif 73,6% nilai prediksi negatif 72,1% sedangkan akurasi 73% dan prevalensi 53,1%.

Penelitian ini tidak jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit International Timber Corparation Indonesia (ITCI), Balikpapan, Kalimantan Timur yang merupakan daerah endemis malaria, yang menggunakan Rapid Manual Test berupa uji dipstik yang mengandung antibodi monoklonal terhadap HRP-II didapatkan nilai sensitivitas 73,3% dan nilai spesifisitas 82,5%, nilai prediksi positif 85,2% dan nilai prediksi negatif 74,6% dibandingkan dengan cara konvensional.4 Thepsamarn dkk di perbatasan Thai-Myanmar memperoleh nilai sensitivitas dan spesifisitas 92,7% dan 95,1% nilai prediksi positif dan nilai prediksi negatif, 74,5% dan 98,8% dan akurasi 94,7%12 Pieroni membandingkan ParaSight-F test dan ICT mendapatkan sensitivitas untuk ParaSight-F 94% dan ICT 90% sedangkan spesifisitas 95% dan 97%. Dari kedua kit ini disimpulkan tidak ada perbedaan bermakna.24 Penelitian di Sumba Indonesia tahun 1998 dengan menggunakan ICT didapat nilai sensitivitas 95,5%, spesifisitas 89,8%, nilai prediksi positif 88,1% dan

Page 11: perbandingan ICT dengan GIEMSA

©2003 Digitized by USU digital library 11

nilai prediksi negatif 96,2%.25 di Berlin Rumah Sakit Virchow Campus melakukan perbandingan kit optiMAL dengan ICT dengan hasil sensitifitas ICT 92,5% dan nilai spesifisitas 98,3%, nilai prediksi positif 94,2% dan nilai prediksi negatif 97,8%. Dibandingkan dengan optiMAL nilai prediksi negatif 96,7% 26 Di Teheran, Iran nilai sensitivitas 93% dan spesifisitas 100%.27 University of Zurich Travel Clinic, Institute for Social and Preventive Medicine, Swizerland membandingkan Malaguick (ICT) dan ParaSight-F, kedua penelitian ini tidak berbeda bermakna.28

Beadle dkk melaporkan penelitian di Kenya dengan nilai akurasi dipstick antigen capture assay pada P. falciparum Histidine-Rich Protein-II (PfHRP-II) hasilnya sensitivitas 96,5 – 100% untuk mendeteksi lebih dari 60 parasit asexual P. falciparum/µ1 darah darah, sensitivitas 70-81% untuk 11-60 parasit/µ1 dan sensitivitas 11-67% untuk 10 parasit /µ.29 Pada penelitian ini dijumpai parasitemia/mm3 darah 0-100, maka nilai sensitivitas 80%, bila parasitemia 1001-5000 nilai sensitivitas 100%, dan bila > 5000 nilai sensitivitasnya 75%. Humar memperoleh nilai sensitivitas uji diagnostik 93% untuk parasitemia 100 parasit /µl30

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. KESIMPULAN DAN PENELELITIAN.

Dari penelitian ini disimpulkan ICT dapat digunakan sebagai alat diagnostik alternatif dalam menegakkan diagnosis penyakit malaria falciparum di lapangan secara tepat dan sederhana, oleh karena nilai sensitivitas dan spesifisitas cukup tinggi.

5.2. SARAN

Diperlukan penelitian lanjutan untuk membandingkan metoda ICT dengan Rapid Manual Test yang lain seperti Parachech untuk mendapatkan nilai sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dan dengan harga yang lebih murah. DAFTAR PUSTAKA

1. Krogtad DJ. Plasmodium Species (malaria). Dalam : Principles and practice of infectious disease. Edisi ke-5.New York : Churchill Livingstone, 2000.h. 2817-29.

2. Lubis CP. Sero-epidemiologi malaria. Majalah kedokteran Nusantara 1990; 3:135-46.

3. Poolsuwan S. Malaria in prehistoric Southeastern Asia. Southeast J Trop Me Public Health 1995;26:3-22.

4. Susanto L. Pribadi W, Astuty H. Diagnosis of malaria by the rapid manual test. Med J Indones 1995;4:24-9.

5. Diallo AB, Serres GD, Beavogui AB, Lapointe C, Viens P. Home care of malaria infected children of less than 5 years of age in a rural area of the Republic of Guinea. WHO 2001;79:28-31.

6. Rampengan TH. Malaria. Dalam : Rampengan TH, Laurantz IR, penyunting Penyakit infeksi tropic pada anak. Jakarta : EGC, 1990.h.185-204.

Page 12: perbandingan ICT dengan GIEMSA

©2003 Digitized by USU digital library 12

7. Gemijati S. Masalah malaria di Indonesia. Dalam : Pribadi W, Mulyono R, Sutanto I, penyunting. Kumpulan makalah symposium malaria. Jakarta : BPFKUI, 1991.h.1-9.

8. Siregar M. Epidemiologi malaria. Disampaikan pada symposium Recent Advances on Malaria, Medan, 6 Desember, 1994.

9. Data stratifikasi malaria menurut dampak pemberantasan vector per-dati II Propinsi Sumatera Utara tahun 1998.

10. Dinas Kesehatan Kabupaten Mandailing Natal rencana strategis tahun 2001-2005.

11. WHO. New perpectives malaria diagnosis, Report of a joint WHO/Usaid informal consultation, Geneva, 25-27 October, 1999.

12. Thepsmarn P, Prayoollawongsu N, Puksupa P, at al. The ICT malaria PF : a sample rapid dipstick test for diagnosis of Plasmodium falciparum malaria at the Thai-Myanmar boerder. Southeast Asian J Trop Med Publ Health 1997;28:723-26.

Kakkilaya BS. Diagnosis of malaria. Dr. B.S. Kakkilaya’s Malaria Web Site Available from URL :

http://www.geocities.com/HotSpring/Resort/5403/.me://A:/Diagnosis of malaria.htm.

14. Howar RJ, Uni Shigeniko, Secretion of a malarial Histidine- Rich Protein (PfHRP-II) from Plasmodium falciparum-infection erytrocytes. J Cell Biol 1986;103:1269-77.

15. Pribadi W, Sungkar S. Malaria. Jakarta : BPFKUI, 1994.h.1-15. 16. Wellems TE, Howard RJ. Homologous genes encode two dipstick histidine rich-

protein-2 in the plasma of humans with malaria. J Clin Microbiol 1991:29:1629-34.

17. Informasi produk. AMRAD ICT malaria P.f 18. Dachlan YP. Imunodiagnosis penyakit malaria pada anak. Kumpulan naskah

symposia. Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak IX, Semarang : BP UNDIP, 1993.h.55-68.

19. Transprandist S, Tharavanij S, Yamokgul P, et al, Comparison between microscopic examination, elisa and quantitative buffy coat nalysis in the diagnosis of falciparum malaria in a endemic population. Southeast Asian J Trop Med Public Health 1995;26:26-45.

20. Sastroasmoro S, penyunting. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Jakarta : Binapura, 1995.

21. Husin Albar, Agustina IS, Paris Hangewa, Ismail Syamsiah. Malaria pada anak di RSU Ternate. Cermin Dunia Kedokteran 1994;96:28-30.

22. Marleta R, Harijani AM, Sustriayu N, Sekartuti, Emiliana Tjitra. Penelitian malaria di Kecamatan Teluk Dalam, Nias, Sumatera Utara. Cermin Dunia Kedokteran 1996;106:5-9.

23. Lubis NU. Gambaran penyakit malaria di Bagian Anak Rumah Sakit Umum Langsa Aceh Timur. Cermin Dunia Kedokteran 1994;94:14-15.

24. Pieroni P, Mill CD, Ohr C, Harringtone MA, Kain KC. Comparison of the ParaSight-F test and the ICT malaria Pf test with the polymerase chain reaction for the diagnosis of Plasmodium falciparum malaria in travellers. Trans R’Soc Trop Med Hyg 1998;92:166-9.

25. Tjitra E, Suprianto S, Dyer et al. Fied evaluation of the ICT malaria P.f/P.v immunochromatographic test for detection of Plasmodium falciparum and Plasmodium vivax in patient with a presumptive clinical diagnosis of malaria in eastern Indonesia. J Clin Microbiol 1999;37:2412-7.

Page 13: perbandingan ICT dengan GIEMSA

©2003 Digitized by USU digital library 13

26. Jelinek T, Grobbusch M.P, Schwenke S et al. Sensitivity and specificity of dipstick test for rapid diagnosis of malaria in nonimmune travelers. J Clin Microbiol 1999;37:721-3.

27. Pharm D GHE, Afshar A, Mohsenni G. Rapid immunochromatographic test “ICT malaria Pf” in diagnosis of Plasmodium falciparum and its application in the vivo drug susceptibility test. WHO : MAP : 1999.

28. Funk M, Schlagenhauf P, Tschopp A, Steffen R. Malaquick versus ParaSight-F as a diagnostic aid in travellers’s malaria. Trans R Soc Trop Med Hyg 1999;93:268-272.

29. Beadle C, Long WG, Weiss RW at al. Diagnosis of malaria by detection of Plasmodium falciparum HRP-2 antigen with a rapid dipstick antigen-capturte assay. Lancet 1994;343:564-8.

30. Humar A, Ohrt C, Harrington MA, Pillai D, Kain KC. ParaSight F test compared with the polymerase chain reaction and microscopy for the diagnosis of Plasmodium falciparum malaria in travelers. Am J Trop Med Hyg 1997;56:44-8.