Upload
others
View
20
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PERAN RADIO PERHUBUNGAN DALAM PERJUANGAN
MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Program Studi Ilmu Sejarah
Oleh :
Theresia Sundari Eko Wati
NIM: 034314010
PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH
JURUSAN ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2010
v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis adalah asli kreasi
saya sendiri tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah
disebutkan dalam kutipan atau daftar pustaka, sebagaimana karya ilmiah.
Yogyakarta, 20 Sepetember 2010
Penulis
(Theresia Sundari Eko Wati)
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma :
Nama : Theresia Sundari Eko Wati
Nomor Mahasiswa : 034314010
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan
Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :
PERAN RADIO PERHUBUNGAN DALAM MEMPERJUANGKAN
KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA
Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan
kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan,
mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelola dalam bentuk pangkalan data,
mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media
lain untuk kepentingan akademis tanpa meminta ijin dari saya maupun memberi
royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini saya susun dengan sebenarnya.
Yogyakarta, 20 September 2010
Yang menyatakan
Theresia Sundari Eko Wati
vi
PERSEMBAHAN
Skripsi ini kupersembahkan untuk:
Tuhan Yesus Kristus.
Bapak, ibu dan adik-adikku yang tercinta.
Eko Davied Safryanto, seseorang yang sangat aku cintai dan kelak akan menjadi
pendamping hidupku.
vii
ABSTRAK
Theresia Sundari Eko WatiUNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
Penulisan sejarah yang membahas konflik antara Indonesia dengan Belanda telah banyak dikaji oleh para sejarawan. Namun demikian pada umumnya sejarawan hanya menulis mengenai strategi perjuangan dengan mengangkat senjata dan strategi diplomasi di meja perundingan. Tulisan ini bermaksud mengkaji berbagai upaya penyelesaian konflik antara Indonesia dengan Belanda melalui media komunikasi massa, yaitu dengan menggunakan radio Perhubungan (PHB) milik AURI.
Tujuan penulisan ini adalah untuk memberikan gambaran tentang peranan radio PHB AURI dalam menyelesaikan konflik antara Indonesia dengan Belanda khususnya pada masa PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia). Metode yang dipakai dalam penulisan ini adalah metode deskriptif-analitis. Penulisan ini didasarkan pada sumber-sumber yang didapatkan melalui studi pustaka berupa buku, surat kabar serta internet. Hasil dari penelitian ini menunjukaan bahwa stasiun radio perhubungan milik AURI sangat berperan besar dalam proses pencarian jati diri bangsa Indonesia, khususnya dalam rangka perjuangan mempertahankan eksistensi RI.
Secara garis besar, tulisan ini ingin menunjukkan bahwa perjuangan dalam melawan penjajah Belanda tidak hanya ditempuh dengan cara berjuang mengangkat senjata dan diplomasi di meja perundingan saja, tetapi ada cara lain yaitu dengan media komunikasi radio yaitu radio PHB milik AURI. Peran radio pada waktu itu sangat penting, yaitu sebagai bagian dari sarana diplomasi, khususnya diplomasi ke luar wilayah pengaruh Belanda. Dengan sarana radio para pejuang kemerdekaan dapat menginformasikan bahwa pada masa Agresi Militer Belanda Kedua pemerintah RI masih ada yaitu dalam bentuk PDRI sehingga dunia internasional dapat mengetahui keadaan yang sebenarnya dan ikut menyelesaikan masalah RI dengan Belanda.
viii
ABSTRACT
Theresia Sundari Eko WatiUNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
There are a lot of historical essays about the conflict between Indonesia and Netherlands which have been discussed by many historians. And most of the historians only wrote about the war strategies and diplomatic ways like negotiations. Related to that topic, this study wants to discuss about the using of mass communication media, in here the writer took Network Radio (PHB) from Indonesian Air Force, to end the conflict between Indonesia and Netherlands.
This analysis was written to give the clear description about the using of Network Radio (PHB) from Indonesian Air Force to end the conflict between Indonesia and Netherlands especially in Indonesia Emergency State government (PDRI) era. In this study, the writer employed descriptive and analytic methods and this analysis was written based on a lot of sources such as written books, newspapers, and also internet. Through this study, the writer found that Indonesian Air force's Network Radio Station had a big role in finding Indonesian identity especially as a way to keep Indonesian Republic existence.
As a conclusion, this study was written in order to show that people in the past did not only do wars and do some negotiations, but they also used Network Radio from Indonesian's Air Force to keep struggling and defeating the Dutch. At that time, Radio had significant role as one of diplomatic media, especially to do some diplomacy to the foreign countries which were free from Netherlands's influence. Besides that, Radio was also used by the freedom fighter to inform the Second Military Aggression so that the foreign countries from all over the world knew about Indonesia's condition and helped to end the conflict between Indonesia and Netherland.
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala berkat dan
karunianya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Peran Radio
Perhubungan dalam Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia”.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana
sastra jurusan Ilmu Sejarah. Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis banyak
mendapatkan bantuan, dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak. Maka dari itu
dengan kerendahan hati, penulis menyampaikan rasa terimakasih kepada:
1. Bapak. Drs.Hery Santosa M. Hum. selaku Kepala Jurusan Ilmu Sejarah
Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
2. Romo Dr. F.X. Baskara Tulus Wardaya, S.J., selaku pembimbing yang
memberikan pengetahuan, pengalaman, pengarahasn serta motivasi kepada
penulis untuk menyelesaikan skripsi serta meluangkan waktu ditengah
kesibukannya untuk memberikan koreksi atas skripsi ini.
3. Para dosen sastra sejarah, Drs. Silverio R.L. Aji Sampurno, M. Hum., Drs.H.
Purwanta M.A., Drs. Ig. Sandiwan Suharso, Dra. Lucia Juningsih, M.Hum, Dr.
St. Sunardi, Prof. Dr. P.J. Suwarno. S.H., Drs. G. Moedjanto. M.A., dan Drs.
Manu Joyoatmojo.
4. Mas Tri di Sekretariat Fakultas Sastra yang selalu melayani keperluan
administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah.
5. Kedua orang tuaku, Bapak Sunaryo dan ibu Yohana Estri Resmi Wati, yang telah
memberikan cinta dan kasih sayangnya tanpa henti.
6. Ketiga adikku, Ii, Nely, Dedy yang selalu mengisi hari-hariku dengan kenakalan
dan canda tawa.
x
7. Keluarga besar dari Eko Davied, terimakasih atas dukungan dan doanya.
8. Teman-teman Ilmu Sejarah angkatan 2003, Ineke (Qeqe), Hafda, Irena, Reny,
Domi, Anggie, Dedy, Yoga, Atic. Terimakasih atas kebersamaan yang selama ini
kita jalin, semoga kita bisa bertemu di lain kesempatan.
9. Dawin Awat terima kasih atas kritik, saran dan bantuannya dalam mengoreksi
sekripsi ini.
10.Teman Ilmu Sejarah angkatan 2002, Nana, Eka Rama, Daniel, Yuhan, Mamik,
Villa.
11.Bulik Wening, Om Agus dan ravael, Terimakasih atas semua jasamu, saya tidak
akan perna melupakan.
12. Ivan, Eva, Evi, Evan, terimakasih de atas dukungannya.
13. Semua pihak yang telah membantuku dan tidak dapat disebutkan satu persatu,
penulis ingin mengucapkan terimakasih sebanyak-banyaknya.
Penulis Sekripsi ini tidak lepas dari kekurangan, maka dari itu penulis
mengharapkan daran dan kritik yang membangun untuk penulisan selanjutnya.
Yogyakarta 13 Juli 2010
Penulis
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...……………………………………….....................................iHALAMAN PERSETUJUAN………………………………………..……..............iiHALAMAN PENGESAHAN……………………………………………………….iiiPERNYATAAN KEASLIAN KARYA…………………………………………….ivMOTTO………………………………………………………………..……………..vHALAMAN PERSEMBAHAN………………………….................…………..….viABSTRAK…………………………………………….....................……….............viiABSTRACT……………………………………………………...........……...........viiiKATA PENGANTAR ...............................................................................................ixDAFTAS ISI............................................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN1.1 Latar Belakang.............................................................................................11.2 Batasan Masalah.........................................................................................51.3 Rumusan Masalah........................................................................................61.4 Tujuan Penelitian.........................................................................................71.5 Manfaat Penelitian.......................................................................................71.6 Landasan Teori............................................................................................81.7 Metode Penelitian......................................................................................111.8 Kajian Pustaka ..........................................................................................131.9 Sistematika Penulisan................................................................................14
BAB II PERJUANGAN KEMERDEKAAN INDONESIA
PRA-1945……………………………………………................…...….............……16
2.1 Perjuangan Kemerdekaan Sebelum Penjajahan Jepang............................162.2 Perjuangan Kemerdekaan Melalui Radio .................................................212.3 Perjuangan Kemerdekaan Pada Masa Pendudukan Jepang 1942-1945....242.4 Perjuangan Kemerdekaan Setelah Pendudukan Jepang di Indonesia........32
BAB III STRATEGI PERJUANGAN DAN UPAYA MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN RI…………………………………………………....39
3.1 Strategi Perjuangan Bangsa Indonesia Dalam Menghadapi Agresi Militer Belanda I....................................................................................................39
3.2 Strategi Perjuangan Bangsa Indonesia Dalam Menghadapi Agresi Militer Belanda II...................................................................................................45
3.3 Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI)…………………….…..52
BAB IV STRATEGI DIPLOMASI DAN UPAYA MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN RI............................................................................57
4.1 Strategi Diplomasi Dalam Perjanjian Linggajati.......................................58
xii
4.2 Strategi Diplomasi Dalam Perundingan Renville......................................624.3 Strategi Diplomasi Dalam Roem-Royen...................................................68
BAB V RADIO SEBAGAI BAGIAN DARI PERJUANGAN KEMERDEKAAN ........................................................................................745.1 StasiunRadio PHB (Perhubungan) AURI dan Perannya Dalam Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI)................................................................74
5.1.1 Stasiun Radio PHB AURI “UDO” di Bidar Alam...........................745.1.2 Stasiun Radio PHB AURI “ZZ” di Kototinggi.................................805.1.3 Stasiun Radio PHB AURI di Aceh.................................................. 855.1.4 Stasiun Radio PHB AURI “PC-2” di Playen....................................89
5.2 Radio dan Perjuangan Kemerdekaan setelah PDRI...................................945.2.1 Pemimpin di Bangka Memprakarsai Perundingan Dengan Belanda......................................................................................................945.2.2 Konferensi Meja Bundar..................................................................98
BAB VI PENUTUP..................................................................................................100
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................102
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada tanggal 17 Agustus 1945 Sukarno memproklamasikan kemerdekaan
Republik Indonesia. Bagi bangsa Indonesia Proklamasi Kemerdekaan berarti
kembalinya kedaulatan seluruh wilayah RI ke tangan bangsa Indonesia sendiri.
Sementara itu Belanda menganggap bahwa Indonesia masih sebagai daerah
jajahannya dan bermaksud untuk memilikinya kembali. Hal itu tampak dari NICA
(Netherlands Indies Civil Administrasion) yang membonceng Sekutu datang ke
Indonesia pada tanggal 29 September 1945. Tujuan kedatangan Sekutu ke Indonesia
adalah untuk melucuti tentara Jepang yang masih ada di Indonesia dan
menyelamatkan warga negara Belanda yang ditawan oleh Jepang. Namun Sekutu
diboncengi oleh Belanda yang ingin menduduki kembali wilayah Indonesia. Rakyat
Indonesia mengecam keras tindakan Belanda tersebut dan berusaha mempertahankan
kemerdekaan Indonesia.
Usaha Bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan dilakukan
dengan dua cara, yaitu strategi diplomasi di meja perundingan dan strategi perjuangan
militer.1 Strategi diplomasi dan strategi perjuangan militer merupakan alat perjuangan
1 G. Moedjanto, Indonesia Abad ke-20 jilid I, ( Yogyakarta: Kanisius, 1988 ),
hlm 157.
2
yang saling melengkapi satu sama lain. Apabila diplomasi mengalami jalan buntu,
maka perjuangan bersenjata dengan sendirinya siap mengambil tempat.2 Demikian
pula sebaliknya.
Strategi diplomasi dalam mempertahankan kemerdekaan dilakukan dengan
cara berunding dengan pihak Belanda. Setiap perundingan antara Indonesia dengan
Belanda selalu melibatkan pihak ketiga untuk menghindari perselisihan. Perjuangan
diplomasi tersebut terwujud melalui berbagai perundingan. Perundingan yang
pertama adalah perundingan Linggajati. Dalam perundingan Linggajati tersebut
Belanda mengakui kekuasaan pemerintah Indonesia secara de facto atas pulau Jawa,
Sumatra dan Madura. Akan tetapi perjanjian tersebut diingkari oleh Belanda dengan
melakukan Agresi Militer Pertama tanggal 21 Juli 1947.
Agresi Militer Belanda Pertama mengakibatkan fenomena baru dalam
masalah RI dengan Belanda, yaitu campur tangan DK PBB sebagai penengah.3
Memanasnya hubungan antara RI dan Belanda membawa kedua negara ke
perundingan yang kedua yaitu perundingan Renville. Perundingan tersebut
ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948.
Keadaan menjadi semakin tidak menentu karena hasil persetujuan Renville
yang telah disepakati dilanggar oleh Belanda. Usaha damai yang diprakarsai Komisi
Tiga Negara untuk menyelesaikan masalah antara RI dan Belanda megalami jalan
2 Departemen Luar negeri, Sejarah Diplomasi Republik Indonesia: Dari Masa Ke Masa Periode 1945-1950, (Jakarta: Departemen Luar Negeri RI, 2004) hal 112.
3 T.B Simantupang, Laporan Dari Banaran, (Jakarta:PT. Pembangunan, 1960), hal 46.
3
buntu. Hal ini terjadi karena Belanda melanggar keterapan-ketetapan dslsm Perjanjian
Renville yang tidak mungkin diterima oleh RI. Sebagai contoh Belanda melakukan
blokade ekonomi di wilayah RI dan menghalangi perdagangan penduduk Indonesia
dengan penduduk luar daerah.4 Itikad baik bangsa Indonesia dalam melaksanakan
perundingan dengan Belanda tidak selalu memperoleh balasan yang sama dari pihak
Belanda. Belanda dengan berbagai cara dan tipu muslihat selalu mengingkari
perundingan yang dilakukan dengan Indonesia. Hal tersebut merupakan cara Belanda
untuk menjajah Indonesia kembali. Pada tanggal 11 Desember 1948 delegasi Belanda
yang dipimpin oleh Abdul Kadir Wiryoadmojo menyatakan tidak dapat melanjutkan
perundingan lagi. Itu berarti bahwa persetujuan Renville yang telah ditandatangani
pada tanggal 17 Januari 1948 mengalami kegagalan. Akhirnya pada tanggal 19
Desember 1948 mulai pukul 00.00 WIB Belanda tidak mengakui persetujuan
Renville dan melakukan Agresi Militer Belanda yang kedua di wilayah Indonesia.5
Dalam menghadapi serangan militer Belanda, para pejuang RI menggunakan
berbagai cara. Pertama menggunakan strategi diplomasi untuk mencari dukungan ke
luar negeri. Kedua, menempuh taktik bumi hangus. Ketiga, mereka menggunakan
4 Baskara T Wardaya. SJ, Indonesia Melawan Amerika, (Yogyakarta: Penerbit
GALANGPRESS, 2008) hlm 58-59.5 Anwar Sanusi, Replika sejarah Perjuangan Rakyat Yogyakarta I,
(Yogyakarta, Dinas propinsi DIT, 1983). Hal. 83.
4
prinsip non-kooperasi di kota-kota yang diduduki musuh. Keempat, perang rakyat
semesta.6
Dengan melakukan Agresi Militer Kedua, Belanda dapat menguasai wilayah
Indonesia dan menangkap para pemimpin Indonesia. Selain itu Belanda juga
memutus sarana komunikasi sehingga antara wilayah yang satu dan yang lainnya
tidak bisa saling mengetahui keadaan. Hal tersebut dimanfaatkan oleh Belanda untuk
melakukan propaganda melalui siaran radio dan menyatakan bahwa dengan aksi
militernya yang kedua, Belanda dapat menguasai Ibukota RI serta menangkap para
pemimpin Indonesia dan menghancurkan TNI. Padahal kenyataannya pada waktu itu
pemerintahan RI masih ada yakni dalam bentuk Pemerintah Darurat Republik
Indonesia (PDRI) yang berada di Sumatra. Pada awalnya PDRI tidak dikenal di luar
negeri karena sarana komunikasi diputus oleh Belanda. Beruntung pada waktu itu ada
radio Perhubungan milik AURI yang sangat berarti sebagai sarana komunikasi untuk
membantu melanjutkan perjuangan RI. Radio Perhubungan (PHB) AURI pada waktu
itu digunakan untuk sarana komunikasi pada saat bergerilya. Dengan bantuan
pemancar radio milik AURI yang berada di Jawa, Sumatra Barat dan Aceh, informasi
baru mengenai peristiwa-peristiwa di Indonesia dan sebaliknya reaksi dunia
6 TB. Simantupang, Laporan Dari Banaran,(Jakarta: PT. Pembangun, 1960),
hlm. 165.
5
Internasional terhadap tindakan militer Belanda di Indonesia dapat dipantau oleh
siaran radio dunia, termasuk Dewan Keamanan PBB.7
Semua itu menunjukkan bahwa perjuangan yang dilakukan oleh para pejuang
kemerdekaan Indonesia dalam melawan penjajah Belanda ternyata tidak hanya
dilakukan melalui pertempuran bersenjata dan meja perundingan, melainkan juga
dengan menggunakan alat-alat komunikasi, yaitu melalui radio. Siaraan radio dapat
mencapai sasaran dengan mudah dan tidak melalui proses yang kompleks. Salah satu
radio yang berperan dalam perjuangan mempertahankan RI adalah radio perhubungan
milik AURI. Dengan adanya radio tersebut perjuangan melawan penjajah dapat terus
berlangsung meskipun ada blokade dan serangan militer Belanda. Tanpa radio
tersebut belum tentu keinginan bangsa ini untuk lepas dari belenggu penjajahan
Belanda dapat terwujud.
Tulisan ini penulis ingin membahas peran radio dalam perjuangan
mempertahankan kemerdekaan, dan radio yang akan dikaji adalah radio perhubungan
milik AURI yang digunakan sebagai sarana komunikasi pada masa PDRI. Radio
tersebut antara lain adalah radio PHB AURI “PC-2” di Playen, radio PHB AURI
“UDO” di Bidar Alam, Sumatra Barat, radio PHB AURI “ZZ” Kototinggi, Sumatra
Barat dan radio PHB AURI di Aceh. Alasan pemilihan radio sebagai objek kajian
dikarenakan radio merupakan sarana yang efektif dalam perjuangan pada masa PDRI
mengingat pada waktu itu semua sarana komunikasi diputus semua oleh Belanda.
7 Mestika Zed, Pemerintah Darurat Republik Indonesia (Sebuah Mata Rantai
Sejarah Yang Terlupakan), (Jakarta:PT Pustaka Utama Grafiti,1997), hlm. 219.
6
Secara intensif radio telah menyampaikan berita, khususnya bagi para pejuang yang
ada di Jawa dan Sumatra. Penulis ingin menunjukkan bahwa melalui radio bangsa
Indonesia dapat berhubungan dengan dunia Internasional sehingga Indonesia
mendapat dukungan dari luar negeri.
1.2 Batasan Masalah
Skripsi ini akan mengkaji peran radio perhubungan AURI. Untuk
memperjelas permasalahan dan menghindari salah tafsir, maka perlu diberikan
batasan untuk memberikan pengertian. Istilah “Peran” menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia adalah bagian dari tugas utama yang harus dilaksanakan. Radio
mempunyai pengertian siaran (pengiriman) suara atau bunyi melalui udara.
Perhubungan adalah segala yang berkaitan dengan lalulintas dan telekomunikasi.
Oleh karena itu judul skripsi “Peran Radio Perhubungan Dalam Perjuangan
Kemerdekaan Republik Indonesia” mempunyai pengertian bahwa radio mempunyai
tugas utama mengenai siaran (pengiriman) yang berkaitan dengan telekomunikasi.
Hal ini terkait dengan peralatan elektronik yang dimiliki oleh AURI.
Tahun yang di ambil dalam penelitian ini adalah periode 1925-1949, mulai
dari adanya radio di Indonesia sampai perang kemerdekaan kedua. Dalam penelitian
ini tidak terlalu banyak membahas media radio karena bahan tentang media radio
pada waktu itu belum banyak, meskipun ada hanya sebatas media cetak tahun
1945an. Untuk itu supaya tidak terlalu singakat dalam bab dua penelitian ini
menguraikan tentang situasi politik dalam memperoleh kemerdekaan dari jaman
7
Belanda, Jaman Jepang sampai Belanda kembali lagi menjajah Indonesia. Ruang
lingkup penelitian ini berkisar di daerah Jawa dan Sumatra. Daerah Jawa yang
dibahas adalah Banaran, Playen, Gunungkidul sedangkan daerah Sumatra yang
disoroti adalah Bidar Alam, Kototinggi dan Aceh.
1.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah di atas ada beberapa pokok permasalahan yang
akan dibahas:
1. Bagaimana perjuangan para pejuang kemerdekaan Indonesia dalam
mengusir penjajah Belanda ?
2. Strategi apa yang digunakan oleh para pejuang tersebut dalam mengusir
penjajah Belanda?
3. Bagaimana peran radio Perhubungan (PBH) AURI pada masa PDRI
sebagai sarana komunikasi yang efektif dalam perjuangan demi
kemerdekaan ?
4. Bagaimana dampak siaran radio PHB AURI bagi PDRI dan bangsa
Indonesia?
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan yang akan dicapai dalam penulisan skripsi ini, yaitu untuk:
8
1. Mendeskripsikan dan menganalisis bagaimana perjuangan (bangsa
Indonesia) dalam melawan penjajah Belanda, baik secara militer maupun
melalui diplomasi.
2. Mendeskripsikan dan menganalisis bagaimana perkembangan dan eksistensi
radio PHB AURI serta pengoperasiannya dalam mendukung perjuangan
bangsa Indonesia pada masa PDRI.
3. Mendeskripsikan dan menganalisis akibat yang terjadi setelah adanya radio
PHB AURI pada masa PDRI.
.
1.5 Manfaat penelitian
Penulisan ini diharapkan bisa bermanfaat bagi masyarakat umum dan bukan
bagi kalangan akademis saja. Dengan adanya penulisan ini diharapkan masyarakat
akan bisa membuka pengetahuan baru mengenai latar belakang terjadinya PDRI serta
peranan radio perhubungan AURI pada waktu itu, serta apa yang dilakukan para
pejuang Indonesia dalam menghadapi serangan bangsa Belanda. Selain itu ingin
ditunjukkan pula bahwa keberhasilan melawan penjajah tidak dapat dilepaskan dari
peranan radio milik AURI, karena radio diperlukan untuk mengetahui informasi
tentang berita-berita dari musuh yang sifatnya menghasut, untuk mendongkrak
semangat juang rakyat dalam melawan musuh, serta untuk menyiarkan perjuangan
gerilya ke pelosok-pelosok.
Tulisan ini juga diharapkan mampu membuka pengetahuan masyarakat
terutama tentang sejarah perjuangan bangsa. Dalam pengertian umum perjuangan
9
melawan penjajah Belanda hanya dilakukan dengan strategi diplomasi di meja
perundingan dan strategi perjuangan di meda tempur saja saja. Padahal di samping
keduanya ada cara lain yaitu cara diplomasi komunikasi melalui radio sebagaimana
yang telah dilakukan oleh radio perhubungan AURI.
1.6 Landasan Teori
Tulisan ini membahas usaha memperjuangkan kemerdekaan melalui jalur
diplomasi dari luar negeri melalui media radio untuk memperoleh dukungan dari
luar negeri. Untuk itu teori yang digunakan dalam penulisan ini adalah teori politik
yang mengacu pada hubungan internasional.
Teori politik hubungan internasional ini digunakan untuk menganalisa
sengketa antara Indonesia dengan Belanda pada masa perang kemerdekaan yang
melibatkan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Menurut Pitirim Sorokin, dalam hubungan
internasional bisa terdapat konfik-konflik bersenjata, ambisi untuk menaklukan
antara kedua belah pihak, dimana perbuatan yang merusak ini tidak akan berkurang
selama masyarakat belum berpindah ke periode kebenaran. Sorokin juga
menggambarkan adanya tanda-tanda dari sifat kebendaan dan perbuatan-perbuatan
yang tidak adil, baik dalam hubungan masalah dalam negeri maupun dalam masalah
internasional. Ia juga menunjukkan cara bagaimana orang bisa mengubah sikapnya
dan menemukan suatu jalan keluar dari keadaan yang gawat itu. Caranya adalah
dengan menyebarkan ajaran filsafat dan perbuatan tanpa pamrih yang membuka
10
jalan untuk membangun kembali umat manusia dan mengadakan koreksi atas akses-
akses kebendaan itu.8
Apa yang dikemukakan oleh Pitirim Sorokin relevan dalam melihat
perjuangan bangsa Indonesia dalam menyelesaikan permasalahan politik dengan
Belanda. Sejak awal, kemerdekaan Indonesia diwarnai dengan pertikaian dan
peperangan dengan Belanda. Masuknya Sekutu dan Belanda yang tidak mau
mengakui kemerdekaan Indonesia menimbulkan bentrokan bersenjata yang
menimbulkan banyak korban jiwa. Berbagai cara telah dilakukan baik dengan
strategi diplomasi di meja perundingan maupun dengan strategi perjuangan di
medan tempurur guna mengakhiri sengketa. Namun usaha-usaha itu gagal karena
Belanda selalu melanggar perjanjian yang telah disepakati bersama. Hal tersebut
menunjukkan besarnya keinginan Belanda untuk menguasai kembali Indonesia.
Keinginan Belanda untuk menguasai kembali Indonesia membuat usaha perdamaian
menjadi sulit. Untuk itu jalan satu-satunya adalah mendatangkan pihak ketiga dari
Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai penengah dalam
perundingan.
Menurut Morgenthau, hubungan internasional merupakan salah satu
kebutuhan dasar dalam relasi antar manusia. Salah satu sifat dasar manusia adalah
mementingkan dirinya sendiri dan mengejar kekuasaan, sehingga dapat dengan
mudah mengakibatkan agresi. Morgenthau mengatakan bahwa pada 1930an
8 Charles A. Mcclelland, Ilmu Hubungan Internasional teori dan system,
(Jakarta:CV Rajawali, 1981), hal. 59.
11
tidaklah sulit menemukan bukti yang mendukung pandangan seperti itu. Hitler
secara terang-terangan melakukan kebijaksanaan luar negeri yang agresif, yang
ditempuh melalui konflik dan bukan kerja sama.9 Selain itu melalui radio Hitler
mempropagandakan ide-idenya ke dalam dan ke luar negeri. Propaganda macam itu
secara luas disiarkan melalui radio kepada seluruh bangsa Jerman. Lewat radio
sebagai sarana kumunikasi yang sangat ampuh ini Hitler mempropagandakan ide-
idenya sampai ke berbagai tempat bahkan di luar Jerman.10
Perang siaran dengan mengganggu siaran musuh juga pernah dialami oleh
Indonesia dalam masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Belanda dengan
kekuatan radionya mempropagandakan kepada dunia luar bahwa RI telah berhasil
dikuasai kembali. Melalui siaran propagandanya itu, diharapkan negara-negara luar
akan mengakui keberadaan Belanda di Indonesia. Akan tetapi usaha Belanda ini
dapat diatasi oleh para pejuang Indonesia. Dengan bekal radio perhubungan milik
AURI yang tidak dikuasai musuh, para pejuang kemerdekaan dapat menyangkal
semua berita yang dipropagandakan oleh Belanda, dan dengan bantahan itu pula
dunia internasional dapat mengetahui keadaan Indonesia yang sebenarnya.
1.7 Metode Penelitian
9 Robet Jackson dan George Sorensen, Pengantar Studi Hubungan
Internasional, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998) ,hlm. 55.10 T.A. Lathief Rousydiy, Dasar-dasar Rhetorica komunikasi dan Informasi,
(MedanFirma Rimbow, 1989), hal. 50.
12
Skripsi ini merupakan penulisan sejarah politik yang memerlukan metode dan
pendekatan dalam mengkajinya. Oleh sebab itu perlu untuk mengetahui apa itu
metode sejarah serta langkah-langkah dalam penulisan sejarah. Menurut Louis
Gottschalk metode sejarah adalah proses mengkaji dan menganalisa secara kritis
rekaman dan peninggalan masa lalu secara imajinatif berdasarkan fakta-fakta yang
ada, dimana fakta-fakta ini diperoleh melalui proses historiografi.11 Historiografi ini
sangat memberi manfaat bagi sejarawan untuk merekonstruksi kembali peristiwa di
masa lampau.
Guna mencari sumber-sumber tertulis dalam penulisan ini menggunakan data
historis yang didapat melalui dokumen-dokumen, surat kabar dan buku yang
diperoleh dari perpustakaan Universitas Sanata Dharma, Balai Kajian Sejarah dan
perpustakaan-perpustakaan lain yang ada di Yogyakarta.
Metode penulisan sejarah memiliki empat tahap yaitu: Heuristik, kritik
sumber, interpretasi, dan historiografi. Heuristik atau pengumpulan sumber
merupakan suatu proses pengumpulan data yang relevan sesuai objek yang dikaji.
Dalam penelitian ini sebagian besar menggunakan sumber buku. Langkah selanjutnya
adalah kritik sumber atau verifikasi data. Langkah ini bertujuan untuk mengetahui
keaslian dan kredibilitas sumber. Kritik sumber merupakan langkah yang penting
yang harus dilakukan untuk menghindari adanya kepalsuan sumber atau untuk
mengetahui apakah data dapat dipertanggungjawabkan atau tidak. Salah satunya
11 Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, (Jakarta, UI-Press,1985) hlm 32.
13
adalah dengan kritik interen dengan membandingkan sumber supaya dapat
mengetahui kebenarannya.12
Langkah selanjutnya adalah Interpretasi. Interpretasi adalah tahap penguraian
informasi dan fakta satu dengan fakta yang lainnya tanpa meninggalkan ketentuan
dalam penelitian sejarah. Dalam hal ini peneliti dituntut untuk secermat mungkin dan
mengungkapkan data secara akurat. Dengan melakukan langkah ini juga dapat
meminimalisir subyektifitas terhadap sumber pustaka.
Langkah yang terakhir adalah historiografi. Historiografi merupakan tahap ini
menberikan gambaran dan penyusuran hasil dari peneltian mengenai rangkaian suatu
peristiwa yang didapatkan dari berbagai sumber sejarah. Dalam tahap ini yang
penting untuk diperhatikan adalah aspek kronologis, sistematika dan sentralisasi gaya
bahasa. Dalam penulisan sejarah aspek kronologis suatu peristiwa sangat penting
.sehingga dapat dengan mudah memberikan suatu pengertian dasar tentang kapan
peristiwa itu terjadi.
1.8 Kajian Pustaka
Kajian pustaka yang meneliti topik yang sama dengan penelitian ini adalah
buku karya Mestika Zed yang berjudul Pemerintah Darurat Republik Indonesia,
Sebuah Mata Rantai Yang Terlupakan, diterbitkan oleh Pustaka Utama Grafiti,
Jakarta. Buku ini memberikan informasi rinci dan kronologis sejarah PDRI dalam
12 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Jakarta: Yayasan Bentang
Budaya,1995) hlm 99.
14
masa revolusi di Sumatra dan hubungannya dengan pemerintah yang berada di Jawa.
Disinggung pula aktifitas radio, terutama radio PHB AURI serta dukungan yang
diberikan oleh negara-negara sahabat kepada Indonesia. Kelemahan dalam buku ini
hanya membahas perjuangan bergerilya pada masa PDRI tanpa memaparkan
perjuangan diplomasi.
Sumber kedua adalah buku yang disusun oleh Masyarakat Sejarawan
Indonesia, berjudul PDRI Dikaji Ulang, diterbitkan oleh Kanisius Yogyakarta. Buku
ini berisi rekontruksi serta persepsi dari para sejarawan mengenai PDRI serta
perjuangannya dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Buku tersebut masih
punya kelemahan karena hanya membahas pendapat tokoh-tokoh PDRI dan tidak
menjelaskan terjadinya PDRI secara menyeluruh selain itu radio yang digunakan oleh
para pejuang pada waktu itu tidak di uraikan secara jelas.
Selain itu digunakan juga skripsi Teguh Wiyono yang berjudul Peran Radio
PHB “PC 2” Dalam Rangka Diplomasi Internasional 1948-1949, Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta, tahun 1995. Dalam skripsi tersebut dijelaskan latar belakang
Agresi Militer Belanda Kedua serta peran Radio PHB “PC 2” yang berjasa dalam
menyiarkan berita-berita Serangan Umum 1 Maret 1949. Kelemahan dalam sekripsi
ini hanya menjelaskan radio PHB di Playen saja sedangkan radio PHB yang ada di
Sumatra tidak dijelaskan.
Penulisan tentang radio Perhubungan (PHB) AURI memang sudah pernah
ditulis tetapi kebanyakan hanya beberapa radio PHB saja yang ditulis. Dalam tulisan
ini mencoba mengkaji peran radio PHB AURI yang ada di Jawa maupun yang ada di
15
Sumatra secara historis. Selain itu penelitian ini juga menguraikan radio yang
digunakan oleh penjajah Belanda dan dan penjajah Jepang dalam menguasai wilayah
Indonesia. Dibahas pula mengenai cara perjuangan melawan penjajah Belanda
dengan perjuangan militer maupun diplomasi.
1.9 Sistematika Penulisan
Tulisan ini dibagi dalam enam bab. Tiap bab memuat beberapa sub bab.
Adapun pembagiannya adalah BAB I berisi Pendahuluan, membahas tentang latar
belakang masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, kajian pustaka, landasan teori, metode penulisan dan sistematika
penulisan. BAB II hingga BAB V merupakan pembahasan masalah, dan BAB
VI merupakan bab penutup.
Bab II akan membahas perjuangan kemerdekaan Indonesia pra-1945 . Pada
bab ini akan diuraikan bentuk-bentuk perjuangan rakyat Indonesia secara umum
untuk memperoleh kemerdekaan. Bab ini akan dibagi menjadi empat sub-bab.
Pertama, perjuangan kemerdekaan sebelum penjajahan Jepang Kedua, perjuangan
kemerdekaan melalui radio. Ketiga, perjuangan bangsa Indonesia dalam memperoleh
kemerdekaan pada masa Jepang 1942-1945. Keempat, perjuangan kemerdekaan
setelah pendudukan Jepang di Indonesia.
Bab III akan membahas Strategi perjuangan dan upaya mempertahankan
kemerdekaan RI.. Selanjutnya hal itu akan diuraikan dalam tiga sub-bab. Pertama,
strategi perjuangan bangsa Indonesia dalam menghadapi serangan Agresi Militer
16
Belanda I. Kedua, strategi perjuangan bangsa Indonesia dalam menghadapi Agresi
Militer Belanda II. Ketiga, Pemerintah Darurat Republik Indonesia
Bab IV akan membahas strategi diplomasi dan upaya mempertahankan
kemerdekaan RI. Bab ini akan dibagi menjadi tiga sub-bab. Pertama, strategi
diplomasi dalam Perjanjian Linggajati. Kedua, strategi diplomasi dalam Perjanjian
Renville. Ketiga, strategi diplomasi dalam Perundingan Roem-Royen.
Bab V akan membahas radio sebgai bagian dari perjuangan kemerdekaan. Bab
ini akan dibagi menjadi tiga sub-bab. Pertama, stasiun radio PHB (Perhubungan )
AURI dan peranannya dalam PDRI. Kedua, radio dan perjuangan kemerdekaan
detelah PDRI. Ketiga, Konferensi Meja Bundar (KMB).
Bab VI, Penutup dan saran, berisi kesimpulan dari keseluruhan tulisan
mengenai peran radio perhubungan dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan
RI.
17
BAB II
PERJUANGAN KEMERDEKAAN INDONESIA PRA-1945
2.1 Perjuangan Kemerdekaan Sebelum Penjajahan Jepang
Pada tahun 1930an perjuangan rakyat Hindia Belanda untuk memperoleh
kemerdekaan ditempuh dengan membentuk organisasi-organisasi nasional. Hal
tersebut dilakukan karena pada waktu itu rakyat Hindia Belanda belum mempunyai
senjata yang cukup untuk melawan penjajah Belanda dengan cara bertempur. Untuk
itu jalan satu-satunya adalah membentuk organisasi sosial politik untuk melawan
penjajah.
Pada tahun 1931 terjadi krisis ekonomi global. Sebagai negara jajahan Hindia
Belanda sangat menderita, karena dijadikan sebagai sarana untuk mengatasi krisis
ekonomi di negara Belanda. Pemerintah Hindia Belanda meningkatkan hasil produksi
pertanian dan perkebunan, akan tetapi para pekerja (rakyat) mendapatkan upah
minimum sehingga kesejahteraan rakyat menurun.
Dalam bidang politik, krisis ekonomi tersebut mempunyai pengaruh besar
walaupun secara tidak langsung. Kebijakan Pemerintah Belanda yang sangat keras
terhadap rakyat menimbulkan aspirasi anggota Volksraad seperti Muhammad Husni
Thamrin dan Sutarjo Kartohadikusumo untuk memperjuangkan nasib rakyat melalui
18
langkah-langkah politik dengan pemerintah kolonial Belanda.1 Pada masa itu
pemerintah kolonial Belanda dipimpin oleh Gubernur Jendral De Jonge yang bersifat
menindas dan reaksioner. Politik keras G.B De Jonge tidak hanya melumpuhkan
gerakan partai politik tetapi juga organisasi-organisasi pemuda. De Jonge juga
mendirikan ordonansi sekolah-sekolah liar. Melihat hal tersebut pemuda Hindia
Belanda melakukan protes dengan cara mengadakan konggres tapi gagal karena tidak
ada ijin dari pemerintah.2
Sebelum pendudukan Jepang ke wilayah Hindia Belanda terdapat beberapa
organisasi nasional yang menonjol dan berasaskan nonkooperasi. Organisasi itu
antara lain adalah Partindo3 (Partai Indonesia) yang berdiri tanggal 17 April 1931
dan dipimpin oleh Sartono, dan PNI Baru4 (Pendidikan Nasional Indonesia) yang
1 Marwati Djoned, Sejarah Nasional Indonesia V, (Jakarta:Balai
Pustaka,1984), hlm. 86.2 Sartono Kartodirdjo, Sejarah Nasional Indonesia V, (Jakarta: Balai Pustaka
1977) hlm198.3 Tujuan didirikannya Partindo adalah untuk mencapai suatu negara Republik
Indonesia yang merdeka. Tujuan ini akan dicapai dengan jalan perluasan hak-hak politik dan penteguhan keinginan menuju suatu pemerintah rakyat yang berdasarkan demokrasi, perbaikan perhubungan-perhubungan dalam masyarakat dan perbaikan keadaan ekonomi rakyat Indonesia. Lihat http://swaramuslim.net/galery/sejarah. Data di akses tanggal 9 Mei 2009. Partindo menolak perjuangan kelas dan lebih menekankan perjuangan rasial dalam rangka memperjuangkan kemerdekaan. Partindo menyelenggarakan kongresnya pada tanggal 15-17 Mei 1932. Dalam konggres tersebut disepakati bahwa Partindo menghendaki kemerdekaan Indonesia yang didasarkan atas nasib sendiri, kebangsaan dan demokrasi. Realisasi perjuangan Partindo tetap dengan cara nonkooperasi. AK. Pringgodigo, Sejarah pergerakan Rakat,(Jakarta: Dian Rakyat,1980), hlm.114-115.
4 PNI Baru memusatkan usaha untuk memperoleh dan mendidik kader-kader yang berdisiplin tinggi dan pembangunan sebuah struktur organisasi. PNI Baru merupakan sebuah partai yang sifatnya lebih radikal sifatnya dari Partindo, dalam
19
berdiri di Yogyakarta pada bulan Desember 1931 dan dipimpin oleh Hatta. Partai-
partai yang menonjol tersebut menggunakan taktik nonkooperasi dalam mencapai
tujuan Indonesia merdeka. Berbagai macam cara dilakukan untuk mencapai tujuan
tersebut, namun perjuangannya mengalami banyak hambatan.5
Pergerakan yang menggunakan haluan kooperasi itu antara lain adalah
Parindra dan Gerindo. Parindra (Partai Indonesia Raya) yang berdiri bulan Desember
1935 bertujuan mencapai kemerdekaan Indonesia berdasarkan kekuatan dan
persatuan rakyat Indonesia sendiri. Tokoh Parindra yang terkenal adalah Dr. Soetomo
dan MH. Thamrin. Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia) didirikan pada tanggal 24
Mei 1937. Pemimpinnya adalah Drs. A.K.Gani, Mr. Muhamad Yamin dan Mr.
Sartono.6 Tujuan Gerindo adalah tercapainya bentuk masyarakat yang bersendikan
demokrasi politik, ekonomi dan sosial.
Pada tahun 1935 perekonomian Hindia Belanda mulai membaik. Hal itu
mendorong para pejuang Indonesia untuk mengusulkan adanya perubahan sistem
pemikiran sosial dan ekonominya dengan cara berpikir yang lebih sistematis mengenai perubahan sosial dan ekonomi. Lihat, Suhartono, Sejarah Pergerakan nasional, Dari Budi Utomo Sampai Proklamasi Kemerdekaan,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), hlm. 80-82.
5 Hambatan tersubut dikarenakan pemerintah Belanda melakukan pengawasan yang ketat terhadap rapat-rapat yang diadakan oleh Partindo dan PNI Baru sehingga partai tersebut tidak bebas bergerak dan mengalami kevakuman. Tindakan pemerintah berupa penangkapan dan pembuangan para pemimpin politik inilah yang menyebabkan hubungan partai-partai politik dengan rakyat terputus Demikian juga diadakan penangkapan terhadap tokoh-tokoh pergerakan tanpa ada proses hukum.
6 Hasan Shadily, Ensiklopedi Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru -Van Holeve, 1980), hlm. 1120.
20
ketatanegaraan. Perubahan tersebut diusulkan oleh Soetardjo Kartohadikusumo,
selaku ketua dan wakil dari PPBB (Persatuan Pegawai Bestuur/Pamong Praja
Bumiputra) dan wakil Volksraad. Ia mengajukan suatu petisi kepada pemerintah
Belanda yang dikenal dengan Petisi Sutarjo. Isi petisi itu pada prinsipnya meminta
kepada pemerintah Belanda agar mengadakan suatu musyawarah antara wakil-wakil
Indonesia dan negeri Belanda, di mana anggota-anggotanya mempunyai hak yang
sama.7 Usul ini muncul sebagai akibat dari ketidakpuasan rakyat terhadap kebijakan
yang diterapkan di bawah pemerintahan Gubernur Jendral De Jonge. Setelah
mengalami perjuangan yang panjang petisi itu dilarang oleh pemerintah Hindia
Belanda. Alasan penolakannya adalah bahwa perkembangan politik di Indonesia
belum mantap dan pertumbuhan ekonomi belum memadai.
Meskipun ditolak, petisi itu ternyata tetap mempunyai pengaruh bagi pejuang
Hindia Belanda, yaitu “membantu membangkitkan gerakan nasionalis”. Pada bulan
Mei 1939 partai-partai politik Indonesia mendirikan Gabungan Politik Indonesia
(GAPI).8 Pada tanggal 4 Juni 1939 GAPI melaksanakan rapat umum mengenai
berbagai program yang diajukan oleh para anggotanya. Program itu antara lain berisi
tuntutan supaya pemerintah Hindia Belanda memberikan otonomi kepada Indonesia
sehingga dapat dibentuk aksi bersama Belanda-Indonesia dalam melawan fasisme.
7Tujuan dari petisi ini adalah untuk menyusun suatu rencana yang isinya adalah pemberian kepada Indonesia suatu pemerintahan yang berdiri sendiri dalam pasal 1 UUD kerajaan Belanda, dalam kurun waktu 10 tahun atau dalam waktu yang akan ditetapkan sendiri oleh sidang permusyawaratan. Lihat, Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia V, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), hal. 221.
8 Ibid, hlm 231.
21
Pihak Belanda tidak memberikan tanggapan apapun terhadap tuntutan tersebut. Aksi
lainnya yang dilakukan GAPI adalah mengeluarkan resolusi untuk diadakannya
perubahan ketatanegaraan di Indonesia dengan “mengeluarkan hukum tatanegara di
dalam masa genting”.9 Akhirnya pada tanggal 14 September 1940 dibentuk komisi
untuk menyelidiki dan mempelajari perubahan-perubahan ketatanegaraan (Commissie
tot bestudeering van staatsrechtelijke). Komisi ini diketuai oleh Dr. F.H Visman,
dikenal dengan nama Komisi Visman.10 Pelaksanaan Komisi ini kurang memuaskan
karena hasil yang dicapai menghendaki supaya Indonesia masih tetap berada dalam
ikatan dengan kerajaan Belanda. Dengan kata lain sebenarnya Komisi Visman
tersebut tidak sungguh-sungguh ingin mengadakan perubahan ketatanegaraaan
Indonesia. Keinginan Belanda yang tidak mau bekerjasama dengan Indonesia dan
tidak menghiraukan tuntutan rakyat Indonesia pada akhirnya membuat posisi
pemerintah kolonial Belanda semakin sulit ketika harus menyerahkan kekuasaannya
di Indonesia kepada Jepang.
9 Isi resolusi tersebut yaitu mengganti volksraad dengan parlemen sejati yang
anggota-anggotanya dipilih oleh rakyat, merubah fungsi kepala-kepala departemen (departemenshoofden) menjadi menteri yang bertanggungjawab kepada parlemen tersebut. Tuntutan ini dikirimkan kepada Gubernur Jenderal, volksraad, Ratu Wilhelmina, dan kabinet Belanda di London. http://ahmadfathulbari.multiply.com.Diakses tanggal 4 Agustus 2009.
10 F.H. visman adalah tokoh pemerintah Hindia Belanda dan anggota Dewan Hindia Belanda sebelum Perang Dunia II. Namanya terkenal semenjak ia menjadi Panitia Penyelidik Perubahan-perubahan Ketatanegaraan di Hindia Belanda yang dibentuk pada bulan September 1940. Lihat Hasan Shadily, Op.cit., hlm. 38.
22
2.2 Perjuangan Kemerdekaan Melalui Radio
Selain melalui organisasi politik perjuangan bangsa Indonesia untuk melawan
penjajah Belanda juga diusahakan dengan cara-cara lain, misalnya melalui radio.
Semula, adanya radio di Indonesia muncul karena pemerintah Hindia Belanda dan
kerajaan Belanda merasakan perlunya hubungan yang cepat antara kedua wilayah
tersebut untuk menyampaikan peraturan pemerintah dan berita-berita penting. Hal ini
ditempuh dengan cara membangun jaringan komunikasi radio. Sejak saat itulah
tumbuh semangat keradioan di kalangan orang Belanda di Indonesia.11 Pada tanggal
16 Juni 1925 orang Belanda penggemar radio di Batavia mendirikan perkumpulan
radio Bataviasche Radio Vereniging (BRV). BRV didukung oleh wartawan dan
pengusaha Belanda yang memiliki tujuan komersil yakni berupa propaganda perusahaan
dan perdagangan. Tidak lama kemudian di Tanjung Priok didirikan Nederlands-Indische
Radio Ormroep (NIROM, Persatuan Siaran Radio Hindia Belanda).
Di kalangan orang Indonesia siaran radio pertama kali diselenggarakan di
Surakarta oleh perkumpulan Lingkungan Kesenian Jawa Mardi Raras
Mangkunegaran. Acara siarannya berupa kesenian Jawa dan hanya ditangkap di
lingkungan Solo. Untuk mempertahankan siaran itu, pada tanggal 1 April 1933
didirikan Solosche Radio Vereniging (SRV). Sementara itu di Yogyakarta berdiri
MARVO (Mataramsche Vereniging Radio Omroep), Di Bandung berdiri VORL
11 Ensiklopedi Nasional Indonesia Jilid 14, (Jakarta:P.T Cipta Adi Pustaka,
1990), hlm.33.
23
(Vereniging Voor Oostersche Radio Luisteraars). Di Surabaya berdiri CIRVO
(Chineesch-Indonesische Radio Vereniging ).12
Dari sekian banyak badan radio siaran yang ada, NIROM adalah radio yang
paling besar karena mendapat bantuan dari pemerintah Belanda. Perkembangan
NIROM yang pesat itu disebabkan oleh adanya keuntungan yang besar dalam bidang
keuangan yakni dari pajak radio yang dipungut dari para pengguna radio. Politik
siaran radio NIROM memang ditujukan untuk kepentingan pemerintah Belanda.
Selain itu siaran radio digunakan oleh Belanda untuk memperoleh informasi wilayah
jajahan dan menyebarkan isu-isu yang dapat mematikan semangat nasionalisme
pejuang Indonesia.
Pada waktu itu perkumpulan radio orang Indonesia disebut “radio
Ketimuran”. Radio ini didirikan untuk menandingi siaran radio Belanda yang
berorientasikan ke Barat. Radio Ketimuran melayani pula kepentingan bangsa Timur
lainnya seperti Cina dan Arab yang banyak tinggal di Hindia Belanda.13
Setelah radio Ketimuran berdiri, pihak Belanda mulai khawatir akan pesatnya
perkembangan dan pengaruh yang ditimbulkannya. Pada tahun 1936 terdengar berita
bahwa siaran radio Ketimuran akan dikuasai oleh NIROM sendiri. Berita tersebut
membuat resah para karyawan radio Ketimuran. Tindakan NIROM itu dikecam oleh
pers Bumiputra dan pers Cina. Selain itu tindakan NIROM juga menarik perhatian
12 T.A Lathief Rousydiy, Dasar-Dasar Rhetorica Komunikasi dan Informasi,
(Medan:Firma Rimbow, Medan, 1989), hlm. 161.13 Ensiklopedi Nasional Indonesia Jilid 14, Op,cit., hlm. 35.
24
anggota Volksraad. Akhirnya pada tanggal 29 Maret 1937 atas usaha anggota
Volksraad M. Sutarjo dan Ir. Sarsito Mangunkusumo diselenggarakan pertemuan
antara wakil-wakil radio Ketimuran bertempat di Bandung.14 Pertemuan itu
menghasilkan suatu badan baru yang bernama “Perserikatan Perkumpulan Radio
Ketimuran” (PPRK).
Tujuan PPRK ialah untuk memajukan kesenian dan kebudayaan nasional yang
telah terancam akibat perkembangan radio siaran pemerintah Belanda. Selain itu juga
bertujuan untuk memajukan masyarakat Indonesia baik secara rohani maupun
jasmani. Perserikatan ini sejak semula berusaha agar dapat menyelenggarakan siaran
sendiri tanpa bantuan radio NIROM.
Keputusan pemerintah Belanda yang menyetujui penyerahan penyelenggaraan
siaran Ketimuran dari NIROM kepada PPRK baru dikeluarkan pada tanggal 30 Juni
1940. Itupun dengan syarat bahwa “pemerintah berhak mencabut persetujuannya jika
PPRK tidak dapat memenuhi kewajibannya”.15 Setelah melalui berbagai rintangan,
akhirnya PPRK dapat menyelenggarakan siaran Ketimuran yang pertama pada
tanggal 1 November 1940. Setelah enam bulan siaran, masyarakat baru mengetahui
adanya usaha PPRK. Akan tetapi siaran tersebut hanya sampai pada bulan Maret
14 Utusan-utusan yang hadir adalah VORO di Surakarta, VORL dari Bandung,
MARVO dari Yogyakarta, SVR dari Surakrta dan CIRVO dari Surabaya. Lihat Onong Uchjana Effendy. MA, Radio SiaranTeori dan Praktek,(Bandung: Penerbit Alumni, 1979), hlm. 54.
15 Syarat tersebut adalah dalam melakukan siaran NIROM mengurus segi teknis dan isi siaran diurus oleh PPRK. Ensiklopedi Nasional Indonesia Jilid 14, Op.cit., hlm/ 36.
25
1942 karena pada waktu itu Jepang mulai menduduki Indonesia dan semua radio
dikuasai oleh Jepang. Menjadi jelas bahwa di zaman penjajahan Belanda, radio siaran
swasta yang dikelola oleh warga asing menyiarkan program untuk kepentingan
dagang dan propaganda. Sedangkan radio siaran swasta yang dikelola oleh pribumi
menyiarkan program untuk memajukan kesenian, kebudayaan dan kepentingan
pergerakan semangat kebangsaan.
2.3 Perjuangan Kemerdekaan Pada Masa Pendudukan Jepang 1942-1945
Awal mula kedatangan Jepang ke Indonesia didasari oleh ketertarikan Jepang
atas Sumber Daya Alam Indonesia. Sumber Daya Alam tersebut antara lain berupa:
minyak bumi, timah, karet, dan kina guna mendukung potensi perang Jepang serta
mendukung industrinya.16 Selain itu ditambah pula tekanan dari pihak Amerika yang
melarang ekspor minyak bumi ke Jepang. Keadaan ini akhirnya mendorong Jepang
mencari sumber minyak bumi sendiri dan wilayah yang menjadi sararan Jepang
adalah Asia Tenggara terutama Indonesia.
Sebelum melakukan penyerbuan ke wilayah Indonesia, pada tanggal 8
Desember 1941 Jepang menyerbu Pearl Harbour, pangkalan armada Amerika Serikat
di Pasifik.17 Maksud penyerbuan tersebut adalah melumpuhkan kekuatan Amerika
16 G. Moedjanto, Indonesia Abd ke -20 jilid I, (Yogyakarta:Kanisius, 1989),
hlm. 66.17 Serbuan tersebut mengakibatkan lumpuhnya Angkatan Laut Amerika
Serikat sehingga secara otomatis aktivitas Amerika Serkat terhambat. Ibid, hlm. 69.
26
Serikat di Pasifik sehingga penyerbuan Jepang ke wilayah Asia Tenggara termasuk
Indonesia dapat dilakukan dengan cepat dan aman.
Sesuai dengan tujuan pokok penyerbuan Jepang, yaitu mencari dan menguasai
sumber alam terutama minyak bumi, penyerbuan Jepang ke Indonesia dilakukan
dengan menduduki daerah-daerah minyak di Kalimantan dan Sumatera terlebih
dahulu. Pada tanggal 16 Desember 1941 Jepang menduduki Kalimantan dan berhasil
menduduki pertambang minyak.18
Pada tanggal 1 Maret 1942 Jepang mulai mendarat di tiga tempat di Pulau
Jawa, yaitu di Banten, Indramayu, dan Rembang.19 Tidak adanya dukungan dari
rakyat Indonesia dalam perang gerilya yang dilakukan oleh Belanda dalam
mempertahankan Pulau Jawa ikut memudahkan pendaratan tentara Jepang di
Indonesia. Serangan Jepang yang cepat itu membuat Belanda tidak berdaya, akhirnya
Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Penyerahan kekuasaan pemerintah
Hindia Belanda terhadap Jepang dilakukan pada tanggal 9 Maret 1942 di Kalijati,
Subang, Jawa Barat. Semua wilayah bekas Hindia Belanda dikuasai oleh pemerintah
militer Jepang. Penyerahan tersebut diumumkan melalui radio NIROM pada hari
Senin pukul 07.45 tanggal 8 Maret 1942. Radio NIROM di Bandung menghentikan
18 G. Moedjanto, Indonesia Abad ke-20 jilid I, ( Yogyakarta: Kanisius, 1988
), hlm 7019 Dr. A. H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Jilid, (Bandung:
Angkasa,1977), hlm. 84.
27
siarannya di udara pada saat itu juga dengan kata-kata ” Kita menutupnya sekarang.
Selamat bertemu sampai hari-hari yang lebih baik. Hidup Ratu”.20
Setelah berhasil menduduki Indonesia langkah pertama yang dilakukan
Jepang adalah menguasai radio siaran. Semua sarana komunikasi yang ada pada
waktu itu ditutup oleh Jepang. Pemancar radio dikuasai oleh Jepang dan radio-radio
rakyat disegel. Kemudian Jepang mendirikan radio sendiri yang diberi nama
Hosokyoku.21
Untuk dapat melaksanakan kebijaksanan-kebijaksanaan dengan baik,
pemerintah militer Jepang melakukan usaha propaganda ke seluruh wilayah
Indonesia. Dalam propaganda itu Jepang mengobarkan Perang Asia Timur Raya
untuk membebaskan seluruh Asia dari penjajah Barat dan mempersatukannya dalam
”lingkungan kemakmuran bersama Asia Timur Raya” di bawah pimpinan Jepang.22
Propaganda-propaganda yang dilakukan oleh pemerintah militer Jepang lebih
diperjelas lagi setelah kantor propaganda Jepang mendirikan ”Pergerakan Tiga A”
yang bersemboyan: ”Nipon Cahaya Asia, Nipon Pelindung Asia, Nipon Pemimpin
Asia”. Pergerakan Tiga A tersebut mengadakan kursus-kursus untuk pemuda, dengan
tujuan menanamkan semangat pro Jepang. 23
20 Onghokham, 1987, Op. cit., hlm. 263.21 Lembaga Pembina Jiwa 45, , Indonesia Kini dan Esok, (Jakarta: Lembaga
Pembimbing Jiwa 45, 1974), hlm. 170.22 Depdikbud, Sejarah Kebangkitan Nasional Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka,1979), hlm. 157 23 Ibid hlm 159
28
Pemerintah Jepang sebelum masuk juga menjanjikan bahwa Indonesia akan
diberi kemerdekakan. Nyanyian Indonesia, lagu Indonesia Raya dan Bendera Merah
Putih boleh dinyanyikan. Bahkan sebelum Jepang mendarat di Pulau Jawa, siaran
Tokyo sering menyiarkan lagu kebangsaan Indonesia. Radio yang dikelola
pemerintah Jepang selalu mempropagandakan hal itu. Namun setelah Jepang
mendarat semua dilarang. Keadaan sebelum kedatangan Jepang dikisahkan sebagai
berikut :
“...Kalau malam, di radio, disiarkan siaran-siaran radio Jepang yang berbahasa Indonesia, menganjurkan supaya rakyat Indonesia berontak, sebelum Jepang mendarat. Dalam propaganda itu mereka mengatakan Jepang datang bukan untuk menjajah Indonesia melainkan memerdekakan bangsa Indonesia.”24
Pada kenyataannya setelah Jepang menguasai Indonesia, ternyata harapan
datangnya kesejahteraan bagi rakyat Indonesia masih sangat jauh. Bahkan yang
dihadapi pada jaman kependudukan Jepang adalah masa yang lebih kejam dari pada
masa pendudukan Belanda.
Propaganda yang dilakukan oleh Jepang dalam rencana ekspansinya ke
Indonesia dapat diterima oleh para pejuang Indonesia. Selain itu kaum nasionalis juga
bersedia untuk diajak bekerjasama dengan Jepang. Untuk mencapai tujuan tersebut
Jepang mendirikan berbagai macam organisasi dan pelatihan militer kepada pemuda-
pemuda Indonesia.
24 Johan Nur, Di Bawah Pendudukan Jepang: Kenangan Empat Puluh Dua
Orang yang Mengalaminya, (Jakarta: ANRI,1988), hlm. 14
29
Berkaitan dengan dengan hal itu, pada tanggal 24 April 1943 pemerintah
Jepang memberikan kesempatan kepada pemuda Indonesia untuk menjadi pembantu
prajurit (heiho). Heiho dibentuk untuk membantu Angkatan Perang Jepang dan
dimasukkan sebagai bagian dari tentara Jepang. Anggota Heiho dikirim ke garis
depan dan berjuang bersama-sama Jepang, sehingga dalam hal ini anggota Heiho
merupakan bagian vital dalam pertahanan baik di daerah maupun di tingkat nasional.
Heiho dipimpin oleh komando yang terdiri dari opsir-opsir Jepang. Anggota Heiho
ditugaskan sebagai anggota kemiliteran Jepang baik dalam satuan Angkatan Darat
maupun Angkatan Laut. Pembentukan organisasi militer ini mencerminkan bahwa
pada masa pendudukan Jepang tidak terdapat lagi kesangsian dari pihak militer
Jepang kepada pemuda Indonesia bahwa pemuda Indonesia memiliki kemampuan
untuk bertugas militer.
Dalam perkembangan selanjutnya, pemerintah militer Jepang membentuk
tentara pribumi untuk mempertahankan negaranya sendiri jika kemungkinan pasukan
kolonial Barat menyerang kembali. Satuan tentara pribumi itu dikenal dengan PETA
(Tentara Pembela Tanah Air) yang dibentuk tanggal 3 Oktober 1943.25 Sedangkan
untuk membantu tugas kepolisian dalam mengatur lalu lintas dan pengamanan desa,
pemerintah militer Jepang membentuk Keibodan. Pelatihan yang diberikan Jepang
kemudian dimanfaatkan oleh pemuda Indonesia dengan sebaik-baiknya untuk
persiapan diri dalam perjuangan militer merebut kemerdekaan Indonesia.
25 G. Moedjanto, Op.Cit., hlm 82
30
Jepang juga membutuhkan bantuan tenaga untuk membangun sarana
pendukung perang, antara lain kubu pertahanan, jalan raya, rel kereta api, jembatan,
dan lapangan udara. Oleh karena itu, Jepang membutuhkan banyak tenaga kerja.
Pengerahan tenaga kerja itu disebut romusha. Keadaan ekonomi pada masa
pendudukan Jepang menjadi persoalan serius bagi Jepang. Untuk itu pemerintah
pendudukan Jepang melakukan penyitaan perkebunan-perkebunan milik Belanda dan
berbagai fasilitas vital lainnya, seperti perusahaan listrik, telekomunikasi,
transportasi, dan lain-lain. Jepang juga menerapkan peraturan-peraturan yang bersifat
membatasi dan memonopoli sarana-sarana produksi penting. Selain mencukupi
kebutuhan sendiri, rakyat Indonesia harus dapat menopang kebutuhan perang.
Sebagian rakyat lain dipaksa untuk bekerja di perkebunan yang memberikan hasil
bumi yang menguntungkan demi membiayai perang.
Rakyat diwajibkan menyetor padi, jagung, dan ternak dalam jumlah besar,
demi memenuhi kebutuhan logistik di medan perang. Selain itu rakyat juga dibebani
pekerjaan tambahan, yaitu menanam pohon jarak untuk diambil minyaknya dan
diproduksi sebagai pelumas mesin-mesin perang. Kewajiban dan paksaan yang
bertubi-tubi benar- benar menyengsarakan rakyat Indonesia pada saat itu. Pengiriman
tenaga romusha secara besar-besaran mengurangi tenaga kerja produktif. Akibatnya,
kekurangan gizi dan kelaparan merajalela. Dapat dikatakan, rakyat ketika itu sangat
31
menderita lahir dan batin. Sandang-pangan untuk rakyat sama sekali tidak layak.
Rakyat mengalami kekurangan sandang dan pangan.26
Buruknya kehidupan masyarakat pada waktu itu mendorong timbulnya
perlawanan rakyat di berbagai tempat. Contohnya, pada tanggal 25 Februari 1943
terjadi perlawanan rakyat terhadap Jepang di Tasikmalaya. Selain itu rakyat
Indramayu juga mengadakan perlawanan dan diikuti oleh daerah utara Jawa dekat
Cirebon.27 Dengan demikian organisasi-organisasi yang dibentuk Jepang untuk tujuan
propaganda dan partisan perang kemudian tumbuh menjadi pemuda yang ”anti-
Jepang”. Para pemuda bersatu untuk memperjuangkan kemerdekaan yang sudah
mereka cita-citakan.
Selama pemerintahan militer Jepang, semua radio siaran diarahkan semata-
mata untuk kepentingan Jepang. Untuk mencegah penduduk mendengarkan siaran
radio luar negeri yang merugikan kepentingan Jepang, pemerintah membatasi
kepemilikan pesawat radio oleh perorangan. Pesawat radio yang boleh dimiliki
penduduk, gelombang pendeknya disegel agar orang tidak dapat mendengarkan radio
dari luar negeri karena dikhawatirkan dapat melunturkan kepercayaan terhadap
pemerintah Jepang.28 Keadaan media cetak maupun media elektronik termasuk radio
26 Ibid, hlm 77.27 Sagimun .M.D, Perlawanan Rakyt Indonesia Terhadap Fasisme Jepang,
(Jakarta: Inti Idayu Press, 1985), hlm 55.28 50 Tahun RRI Yogyakarta, 1995, Aditya Media Yogyakart, hlm .10.
32
selama masa pendudukan Jepang sangat memprihatinkan, sebagaimana yang
digambarkan oleh M.H. Gayo berikut ini:
Di zaman fasisme Jepang yang pernah berkuasa di Indonesia selama tiga tahun yaitu sejak Maret 1942 s/d 17 Agustus 1945, perkembangan pers/mass media tidak banyak yang dapat ditemukan. Karena seluruh penerbitan pers/mass media swasta dimatikan.29
Pada zaman itu surat kabar dikuasai oleh Jepang. Kantor propaganda Jepang
menyerahkan seluruh pers dan alat media massa untuk kepentingan peperangan
Jepang yaitu Perang Asia Timur Raya melawan Sekutu.
Selama penguasaan militer Jepang di Indonesia radio siaran mengalami
perubahan. Perubahan tersebut ditandai dengan beberapa hal: pertama, terpusatnya
radio dalam satu tangan yaitu tangan penguasa pemerintah militer Jepang. Kedua,
siaran radio dititik beratkan kepada usaha perang yaitu sebagai alat untuk
memenangkan perang. Ketiga, rakyat hanya boleh mendengarkan siaran-siaran radio
pemerintah, dan untuk itu semua siaran radio disegel gelombang pendeknya.
Keempat, radio dilarang menyiarkan lagu-lagu Barat dan pengunaan bahasa asing
dalam siaran didalam negeri.30
Masa penguasaan Militer Jepang ini memiliki segi-segi negatif mapun
positifnya. Segi negatifnya ialah tidak adanya kebebasan pemilik radio untuk
mendengarkan siaran yang diinginkannya. Padahal adanya sistem radio umum, bagi
masyarakat merupakan kesempatan yang baik untuk mendapatkan keterangan tentang
29 Lembaga Pembina Jiwa, Op. Cit., hlm 182. 30http://opensource.telkomspeedy.com/wiki/index.php/Sejarah_Radio_Republ
ik_Indonesia. Akses pada tanggal 23 November 2009.
33
keadaan negara dan perkembangan situasi perang. Sedangkan segi positifnya adalah
pertama, larangan penyiaran lagu-lagu Barat dan penggunaan bahasa asing,
mendorong para seniman Indonesia yang terhimpun dalam Keimin Bunka Shidoso
(Pusat kebudayaan) menciptakan lagu-lagu Indonesia sebagaimana yang mengandung
unsur propaganda. Kedua, adanya semangat kebangsaan yang dikobarkan dengan
pidato kepada rakyat melalui siaran radio. Dengan cerdik pemimpin RI Sukarno
memanfaatkan propaganda ”Semangat Asia Timur Raya” untuk mengobarkan
semangat nasionalisme dan cita-cita kemerdekaan Indonesia meskipun sebelum
diucapkan, setiap pidato harus disensor Jepang.31 Bagi para pejuang Indonesia,
semangat tersebut berkembang menjadi semangat rela berkorban untuk membela
tanah air dan mendorong pejuang Indonesia memperoleh kemerdekaan.
2.4 Perjuangan Kemerdekaan Setelah Pendudukan Jepang di Indonesia
Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang kalah dalam Perang Pasifik setelah kota
Hiroshima dan Nagasaki dibom atom oleh tentara Sekutu. Peristiwa tersebut
mempunyai dampak yang besar bagi bangsa Indonesia yang pada waktu itu
merupakan jajahan Jepang. Dampak tersebut adalah ”pemerintah Jepang langsung
mencegah rakyat Indonesia agar tidak mendengar berita dari luar negeri” kecuali
berita yang disiarkan oleh radio Hosokyoku.32 Meskipun demikian berita kekalahan
31 Ensiklopedi Nasional Indonesia, Op.cit., hlm 3832 50 Tahun RRI Yogyakarta, Op.cit., hlm 11
34
Jepang tersebut dapat diketahui oleh para pemuda yang secara sembunyi-sembunyi
memonitor siaran radio dari Sekutu.
Para pemuda tersebut lebih dahulu mengetahui tanda-tanda kekalahan Jepang
yang disiarkan oleh radio Sekutu. Pada tanggal 14 Agustus 1945 presiden Amerika
Serikat, Truman mengumumkan ”penyerahan Jepang tanpa syarat kepada Sekutu dan
Kaisar Jepang memerintahkan seluruh Balatentara Dai Nippon untuk menghentikan
perlawanan”.33 Setelah mendengar berita penyerahan Jepang kepada Sekutu
angkatan muda Indonesia mendesak Sukarno dan Hatta untuk memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia.34
Sebenarnya pada waktu itu para pemuda ingin menyiarkan teks proklamasi
itu pada saat dibacakan oleh Sukarno, akan tetapi stasiun radio dijaga ketat oleh
tentara Jepang sejak tanggal 15 Agustus 1945. Oleh karena itu teks proklamasi tidak
dapat disiarkan secara langsung pada saat dibacakannya teks proklamasi tersebut.
Barulah pada malam hari tanggal 17 Agustus 1945, pukul 19.00 WIB dapat
33Dengan adanya orang Indonesia yang bekerja di Hosokyoku dan berada di
bagian monitoring maka informasi-informasi yang penting yang menyangkut keberadaan Jepang dan penyerahan Jepang kepada Sekutu dengan mudah dapat diketahui oleh pejuang Indonesia. Lihat juga Onong Uchjan Effendy, Op, cit, hlm55-56.
34Setelah mendengar desas-desus Jepang bakal bertekuk lutut pada Sekutu golongan muda mendesak golongan tua untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Laksamana Maeda, seorang komandan dinas Intelegen Angkatan Laut Jepang, pada tanggal 16 Agustus 1945 memberikan kelonggaran kepada para tokoh dan pemuda Indonesia untuk berkumpul di rumahnya di Jalan Imam Bonjol Jakarta, untuk berunding mengambil langkah yang menentukan bagi nasib bangsa Indonesia. Pada keesokan harinya tanggal 17 Agustus 1945 kemerdekaan Indonesiapun diproklamasikan oleh Bung Karno. Wild Colin dan Peter Carey,Gelora Api Revolusi, (Jakarta: Gramedia,1986), hlm 101.
35
diudarakan melalui Radio Republik Indonesia dalam bahasa Indonesia dan Inggris.35
Dan siaran tersebut hanya bisa didengar oleh penduduk di Jakarta. Sedangkan untuk
mendapatkan pengakuan kemerdekaan Republik Indonesia dari negara tetangga para
pemuda berusaha menyalurkan siarannya melalui siaran luar negeri yang terletak di
Bandung. Pada waktu itu yang membantu menyiarkan berita teks proklamasi adalah
seorang teknisi radio yang bernama Joe Saragih dan Syahruddin (seorang pewarta
dari kantor berita Jepang), dengan cara melepas dan menyambungkan kabel di studio
siaran dalam negeri ke studio siaran luar negeri. Tepat pukul 19.00 WIB selama
kurang lebih 15 menit Jusuf Ronodipuro (juga seorang pewarta dari kantor berita
Jepang) membacakan kabar tentang proklamasi di udara, sementara di studio siaran
dalam negeri tetap berlangsung seperti biasa untuk mengecoh perhatian tentang
Jepang. Setelah Jepang mengetahui “akal bulus “ tersebut Jusuf dan kawan-kawan
mereka langsung disiksa.36
Melihat begitu pentingnya fungsi radio, dan untuk tetap memelihara hubungan
pemerintah dengan rakyat dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI, para
karyawan radio sepakat untuk mengadakan pertemuan di Jakarta pada tanggal 10
September 1945 guna membicarakan persoalan tersebut kapada Presiden Sukarno.37
Mereka menuntut kepada Jepang untuk menyerahkan semua radio beserta pemancar
35 http://duniaradio.blogspot.com/2008. Akses tanggal 23 November 2009.36 T.A Lathief Rousydiy Op.cit., hlm 179.37 30 Tahun Kemerdekaan Indonesia, Mengungkap Kembali Semangat
perjuangan 1945, (Jakarta:Departemen RI), hlm 172-175.
36
dan perlengkapan kepada Indonesia. Akan tetapi Jepang tidak bersedia memenuhi
tuntutan itu karena menurutnya sebagai akibat kekalahan, semuanya telah menjadi
milik Sekutu.
Selanjutnya pada tanggal 11 September 1945 para pemimpin radio
mengadakan pertemuan yang terakhir. Dalam pertemuan itu tercapailah kesepakatan
untuk mendirikan sebuah organisasi radio siaran dan menentukan tindakan-tindakan
yang akan diambil oleh daerah-daerah. Berdasarkan kesepakatan itu, tanggal 11
September ditetapkan sebagai hari Radio Republik Indonesia (RRI).38
Pada awal Oktober 1945 tentara Sekutu (Inggris) yang diboncengi tentara
Belanda (NICA) mulai mendarat di Jakarta dan di daerah-daerah lainnya. Belanda
sebagai penjajah Indonesia berusaha menguasai kembali. Akibatnya terjadi
bentrokan-bentrokan senjata dengan para pejuang Indonesia yang tidak rela menerima
kedatangan penjajah Belanda kembali menguasai Indonesia. Pada tanggal 29
Sebtember 1945 Letnan Jenderal Sir Philip Christison pemimpin pasukan Inggris
mencoba menghilangkan rasa khawatir penduduk Indonesia dengan mengatakan
bahwa kedatangan Sekutu ke Indonesia hanya untuk mengungsikan para interniran
dan tentara Sekutu yang ditawan, memulangkan tentara Jepang, serta memelihara
hukum dan ketertiban.39
Pada awal Oktober 1945 Sekutu sampai ke Indonesia. Kolonel Lawrence Van
der plas, kepala divisi perang Sekutu, meminta bantuan RRI menyiarkan
38 Ibid39 Wild, Colin dan Peter Carey,Op.cit., hlm 166
37
pengumuman Sekutu. Pemimpin RRI Jakarta, Utoyo belum mengetahui bahwa
pemerintah Republik Indonesia sudah mengizinkan siaran itu, sehingga ia
menolaknya. Untuk membuktikan izin siaran Sekutu di studio RRI, Utoyo
meninggalkan studio RRI untuk mengecek izin siaran dari pemerintah Republik
Indonesia. Setelah Utoyo pergi Van der Plas melakukan siaran di RRI. Akibatnya
masyarakat Indonesia menjadi ribut. Sesudah kejadian ini, pemerintah Republik
Indonesia menyetujui permintaan Sekutu (Inggris) untuk menumpang siaran di RRI
Jakarta. Siaran itu mereka namakan Allied Forces Radio in Batavia (AFRIB, Radio
Tentara Sekutu di Batavia) dan ditujukan untuk tentara Inggris di Jakarta.40
Sementara itu pasukan Inggris mendarat di Surabaya di bawah pimpinan
Brigadir Mallaby dengan diboncengi pasukan NICA. Rakyat Surabaya
menyambutnya dengan perjuangan fisik. Oleh karena itu terjadilah pertempuran
sengit antara tentara Inggris dan rakyat Surabaya. Dalam pertempuran tersebut
Mallaby tewas karena ledakan granat. Kematian Mallaby menimbulkan amarah besar
pada pihak Sekutu sehingga pada tanggal 31 Oktober 1945 komandan tentara Sekutu
di Jawa Timur mengeluarkan ultimatum yang berbunyi “kalau pada tanggal 10
November 1945 jam enam pagi orang yang membunuh Mallaby tidak diserahkan
maka Inggris akan mengerahkan Angkatan Darat, Laut dan Udara untuk menyerbu
Surabaya”.41 Ultimatum itu rupanya tidak menyebabkan rakyat Indonesia menjadi
gentar. Sebaliknya, ultimatum itu membakar semangat perjuangan untuk melawan
40 Ensiklopedi Nasional Indonesia, Op.cit., hlm 41.41 T.A Lathief Rousydiy Op.cit., hlm 179
38
kesombongan tentara Inggris. Rakyat Indonesia tidak mau menyerahkan pembunuh
Mallaby, sehingga Inggris pada tanggal 10 November 1945 mengerahkan pasukannya
di Surabaya. Para pemuda Surabaya serentak memberikan perlawanan terhadap
tentara Inggris dengan senjata modern yang diperoleh dari Jepang.
Pada waktu itu di Surabaya tidak ada pengawasan terhadap siaran radio. Hal
tersebut ikut meningkatkan ketegangan. Bung Tomo yang mendirikan Radio
Pemberontak, menyiarkan kepada masyarakat bahwa Sekutu telah melakukan
serangan pemboman ke Surabaya. Siaran yang bersemangat dan berapi-api itu
menyebabkan terciptanya suasana emosional yang menyebabkan terjadinya
pemberontakan di Surabaya dan pertempuran sengit antara tentara Inggris dan “arek-
arek Suroboyo”. Akhirnya Sukarno melakukan siaran dua kali melalui radio yang
menyuruh supaya rakyat Surabaya tidak membuang peluru dalam melawan Sekutu.
Namun berita tersebut kurang diperhatikan oleh masyarakat dan yang lebih
berpengaruh adalah siaran Bung Tomo yang menggerakkan rakyat untuk bertempur
melawan Sekutu.42 Penolakan terhadap tentara Sekutu yang datang ke Indonesia tidak
hanya terjadi di Surabaya. Di Ambarawa, Bandung dan Jakarta juga terjadi
peperangan melawan Sekutu. Namun pertempuran yang paling besar adalah di
Surabaya yang banyak menimbulkan korban meninggal.
Melihat semangat “arek-arek Suroboyo” yang begitu besar dalam
memperjuangkan kemerdekaannya, pasukan Inggris menjadi kurang semangat untuk
42 Ibid, hlm 167
39
melanjutkan pertempuran melawan Indonesia. Selain itu pasukan Inggris juga sudah
lelah dalam Perang Dunia Kedua. Mereka berpikir bahwa membantu Belanda dalam
perang melawan rakyat Indonesia merupakan kerugian besar. Di samping rugi tenaga,
banyak juga tentara Inggris yang mati dalam pertempuran.
Tidak mengherankan bahwa tentara Inggris yang memimpin di Jawa
memberikan bantuan perjuangan kepada Indonesia. Mereka banyak memberikan
kesempatan mengeluarkan pemancar-pemancar radio dibawa ke Jakarta untuk
kepentingan pemeritah RI. Setelah itu pasukan Inggris meninggalkan Indonesia pada
bulan Oktober 1946 dan menyerahkan tanggung jawabnya kepada orang-orang
Belanda.43
Dalam perkembangannya Belanda terus melakukan aksi dalam rangka untuk
memantapkan kembali kekuasaannya di Indonesia. Aksi Belanda tersebut di dihadapi
oleh para pejuang Indonesia dengan cara mengangkat senjata maupun dengan strategi
diplomasi di meja perundingan. Upaya untuk mengatasi konflik Indonesia-Belanda
banyak mengalami jalan buntu karena Belanda selalu melakukan tindakan-tindakan
curang dengan melanggar beberapa perundingan yang telah dilakukan oleh kedua
belah pihak. Hal ini terbukti dengan tindakan Belanda yang melakukan serangan
Agresi Militer Belanda pertama dan kedua.
43 Onong Uchjan Effendy, Op.cit., hlm 62
40
BAB III
STRATEGI PERJUANGAN DAN UPAYA
MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN RI
Setelah adanya proklamasi kemerdekaan, rakyat Indonesia masih berjuang
untuk mengantisipasi kemungkinan kembalinya Belanda ke Indonesia. Perjuangan
rakyat Indonesia pada waktu itu menggunakan dua macam strategi dalam
mempertahankan kemerdekaan. Strategi yang pertama adalah strategi militer dan
kedua adalah strategi diplomasi. Dalam bab tiga ini kita akan terlebih dahulu
membahas mengenai strategi perjuangan.
3.1 Strategi Perjuangan Bangsa Indonesia Dalam Menghadapi Agresi Militer
Belanda Pertama
Sebagaimana diketahui, periode antara tahun 1945-1950 oleh Presiden
Sukarno disebut sebagai “Periode Revolusi Fisik”. Pada masa itu bangsa Indonesia
mengalami dua kali Perang Kemerdekaan, yaitu Perang Kemerdekaan pertama tahun
1947 (Agresi Militer Belanda Pertama) dan Perang Kemerdekaan kedua tahun 1948
(Agresi Militer Belanda Kedua).1
Agresi Militer Belanda Pertama merupakan bentuk pelanggaran Belanda
terhadap Perjanjian Linggajati yang telah disepakati antara Belanda dengan Indonesia
1 A.H. Nasution, Tjatatan-tjatatan Sekitar Politik Militer Indonesia, (Jakarta:
Pembimbing, 1954), hlm 78.
41
pada tanggal 15 November 1946. Untuk memperlancar dan menguatkan tindakan
Belanda dalam melakukan agresinya, pemerintah Belanda membuat pernyataan
bahwa pertempuran yang terjadi di wilayah Republik merupakan suatu perkembangan
yang tidak dapat dihindari, karena pihak Republik tidak menuruti semua ketentuan
yang sudah ditandatangani sendiri di Linggajati. 2
Pernyataan pemerintah Belanda tersebut sama sekali menyimpang dari
kenyataan. Pihak Republik hanya menolak satu soal dari berbagai tuntutan yang
diajukan Belanda pada tanggal 27 Mei 1947 tentang “gendarmeri bersama”, sebab
tuntutan tersebut sama sekali tidak berdasarkan persetujuan Linggarjati.3 Sifat
Belanda yang serakah dengan adanya nota kepada Republik yang bermakna
ultimatum membuat hubungan antara Republik Indonesia dengan Belanda semakin
memburuk. Lebih lanjut pemerintah Belanda memberikan mandat kepada Dr. van
Mook untuk melakukan aksi militer dan ”tindakan yang dianggap perlu” karena
Belanda merasa tidak mungkin menyelesaikan pertikaiannya dengan RI melalui
diplomasi.
Serangan Belanda dimulai pada tanggal 21 Juli 1947 malam hari. Pesawat-
pesawat Belanda membom wilayah Republik Indonesia mulai dari Jakarta dan
sekitarnya hingga mencakup seluruh Jawa dan Sumatra.4 Menurut Belanda aksi
2 K.M.L. Tobing, Perjuangan Politik Bangsa Indonesia, (Jakarta:Gunung
Agung, 1986), hlm 105.3 Ibid.4 Agresi Militer Belanda I dilakukan secara serentak dari semua pangkalan
militer Belanda di daerah Jawa meliputi: Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
42
tersebut bukanlah sebuah agresi, tetapi hanya sebagai bentuk “aksi polisionil” yang
tujuannya adalah untuk memelihara keamanan di daerah yang dianggap rawan dan
membersihkan para ekstrimis, pengacau dan perampok-perampok. Selain itu Belanda
menilai bahwa di Indonesia dianggap tidak mampu menjaga keamanan di daerahnya
sendiri dan menolak usulan Belanda untuk pembentukan pasukan bersama
(gendarmerie).5 Untuk itu Belanda menganggap dirinya mempunyai tanggung jawab
atas apa yang terjadi di Indonesia. Akan tetapi rakyat Indonesia memandang tindakan
Belanda tersebut sebagai sebuah agresi militer.
Untuk melancarkan penguasaannya atas wilayah Republik Indonesia, Belanda
menggunakan radio sebagai alat propaganda. Setelah Sekutu meninggalkan Republik
Indonesia, kedudukannya digantikan oleh Belanda. Atas persetujuan pemerintah
Republik Indonesia dengan Belanda gedung studio RRI Jakarta dibagi menjadi dua
yaitu di Jalan Merdeka Barat Nomor 4 dan 5. Studio di Jalan Merdeka Barat Nomor
4 Jakarta digunakan Belanda dan hanya boleh melakukan siaran dalam bahasa
Untuk daerah Jawa gerakan seluruhnya ditujukan untuk dapat mengepung dan menguasai Yogyakarta. Hal itu terbukti dengan tindakan tentara Belanda yang menghimpit dan mengucilkan Yogyakarta dari daerah-daerah lain. Belanda juga menutup jalur perhubungan yogyakarta dan pantai Utara serta jalur logistiknya di Jawa Timur. Di Sumatera Timur, sasaran mereka adalah daerah perkebunan tembakau dan merebut wilayah yang kaya minyak, seperti Sumatra Timur dan Palembang. Di Jawa Tengah Belanda menguasai seluruh pantai utara, dan di Jawa Timur, sasaran utamanya adalah wilayah di mana terdapat perkebunan tebu dan pabrik-pabrik gula. http://id.wikipedia.org/wiki/Agresi_Militer_Belanda_I. Akses tanggal 28 Desember 2009
5 G. Moedjanto, Indonesia Abd ke -20 jilid I,(Yogyakarta: Kanisius 1974), hlm 186
43
Belanda untuk tentara mereka. Sedangkan studio di Jalan Merdeka Nomor 5 Jakarta
digunakan untuk siaran Radio Republik Indonesia (RRI).
“Perang” siaran radio terjadi ketika Belanda melanggar persetujuan dengan
mengadakan siaran dalam bahasa Indonesia yang diberi nama Radio Resmi Indonesia
(singkatannya sama dengan RRI). Pemerintah Republik Indonesia melancarkan
protes, tetapi tidak di hiraukan. Oleh karena itu RRI yang berada di jalan Merdeka
Barat Nomor 5 milik Indonesia membalas dengan mengadakan siaran dengan bahasa
Belanda yang ternyata disambut baik oleh para serdadu Belanda. Ini diketahui dari
surat-surat yang mereka kirimkan ke RRI.6
Ketika Belanda melancarkan Agresi Militer I, Panglima Besar Jendral
Sudirman berusaha mempertahankan Republik Indonesia dengan bantuan dari rakyat
dan kekuatan yang ada terhadap penyerangan Belanda.7 Sedangkan sistem perang
menggunakan sistem pertahanan linier dan frontal dan disertai dengan perintah bumi
hangus di berbagai tempat yang diangap vital.8 Akan tetapi sistem tersebut tidak
mampu menanggulangi serbuan Belanda karena Indonesia kalah jumlah pasukan dan
persenjatan dengan pasukan Belanda. Indonesia hanya menggunakan bambu runcing
sedangkan Belanda melibatkan pasukan dalam jumlah yang besar dan alat perang
6 Ensiklopedi Nasional Indonesia Jilid 14, 1990, (Jakarta: P.T Cipta Adi
Pustaka,1990) hlm 41.7 Tuk Setyohdi, Sejarah Perjlanan Banagsa Indonesia dari masa ke masa,
Jakarta, 2002, hal 116-117.8 Sudirman Prajurit TNI Teladan, diterbitkan oleh Dinas Sejaran TNI-AD
(Jakarta : Disjarah-AD, 1978) hlm 53.
44
yang lengkap dan modern. Akhirnya para pejuang Indonesia melarikan diri ke daerah
pegunungan terdekat. Di sana mereka melancarkan perang gerilya yang dibantu oleh
penduduk setempat.
Akibat dari agresi militer yang dilakukan oleh Belanda ini jatuhlah ribuan
korban dari kalangan rakyat Indonesia. Selain itu agresi militer ini juga menimbulkan
reaksi dari komunitas internasional yang secara umum berpihak kepada Republik
Indonesia. Reaksi dari India terhadap Agresi Militer Belanda Pertama disampaikan
pada tanggal 24 Juli 1947. Perdana Menteri Nehru menyatakan: “Semangat Asia Baru
tidak akan toleran dengan hal-hal semacam itu. Tidak satu bangsa Eropa mana pun
berhak menggunakan tentaranya terhadap bangsa Asia. Bila terjadi demikian, Asia
tidak akan menerimanya”.9 Para buruh Australia memprotes Agresi Militer tersebut
dengan mengeluarkan larangan bongkar-muat kapal Belanda di Australia.10 India dan
Australia kemudian membawa pertikaian tersebut ke PBB.
Pada mulanya Belanda merasa keberatan jika masalah Indonesia dengan
Belanda dibahas di forum Internasional, Belanda menganggap masalah agresi adalah
masalah internal Belanda sendiri, sehingga tidak perlu ada campur tangan dari forum
internasional. Namun hal tersebut ternyata tidak berpengaruh karena negara-negara
anggota (Dewan Keamanan) DK PBB seperti Australia, India dan Polandia berhasil
membujuk DK PBB untuk menghadirkan pihak Indonesia dalam sidang DK PBB.
9 George McTurnan Kahin, Nasionalism dan Revolusi Indonesia, Jakarta:pustaka sinar Harapan, 1995) hlm 270.
10 Badan Musyawarah Musea, Yogya Benteng Proklamasi, (Yogyakarta: Badan Musywarah Musea,1985) hlm 116.
45
Masalah RI-Belanda mulai dibahas pada tanggal 4 Agustus 1947 dan memutuskan
supaya kedua belah pihak mengadakan gencatan senjata dan menyelesaikan
permasalahan dengan melibatkan pihak ketiga, yaitu DK PBB sebagai mediator
dalam perundingan tersebut. Untuk itu Indonesia dan Belanda dipertemukan dalam
meja perundingan yaitu di kapal Renville milik Amerika Serikat dan menghasilkan
Persetujuan Renville. Tidak adanya kesepakatan antara kedua belah pihak dalam
melaksanakan hasil-hasil Persetujuan Renville membuat proses perundingan
terhambat. Selain itu adanya pelanggaran perjanjian gencatan senjata yang terus
terjadi antara Republik Indonesia dan Belanda membuat hubungan kedua belah pihak
menjadi tidak baik yang pada akhirnya Belanda melakukan Agresi Militer kedua
terhadap Republik Indonesia.
3.2 Strategi Perjuangan Bangsa Indonesia Dalam Menghadapi Agresi Militer
Belanda Kedua
Pada bulan Juni 1948 perundingan antara delegasi Republik Indonesia dengan
Belanda yang membicarakan persetujuan Renville mengalami jalan buntu. Pemimpin
Republik sadar bahwa dengan adanya jalan buntu dalam setiap perundingan antara
Republik Indonesia dengan Belanda akan berakibat buruk bagi Republik. Pihak
Republik Indonesia juga sadar bahwa adanya kegagalan tersebut memang sengaja
dilakukan oleh Belanda, dengan maksud untuk mengulur-ulur waktu dalam
melakukan penyerangan terhadap Republik Indonesia.
46
Dalam menghadapi keadaan dan suhu politik yang semakin memanas,
pemimpin pemerintah Republik Indonesia dan beberapa pembesar sipil dan militer
segera mengadakan pertemuan untuk membahas siasat dan langkah yang diambil jika
Belanda benar-benar mengadakan agresi militernya yang kedua. Dalam pertemuan itu
dibicarakan tentang perlu atau tidaknya Pimpinan Negara dan Angkatan Perang di
pindahkan ke Sumatera.11
Pada tanggal 1 November Menteri Luar Negeri Belanda D.U Stikker datang
ke Indonesia untuk mengadakan perundingan dengan Wakil Presiden Muhammad
Hatta di Kaliurang, dekat Yogyakarta. Republik Indonesia berharap bahwa
kedatangan Stikker tersebut akan membantu menyelesaikan masalah Indonesia dan
Belanda. Namun demikian dalam perundingan tersebut tidak tercapai kesepakatan
yang berarti bagi kedua belah pihak. Setelah perundingan selesai, Stikker kembali ke
Nederland pada tanggal 11 November 1948. Kepergian Stikker tersebut memberikan
kesempatan bagi Indonesia untuk mengatur langah-langkah dalam memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia. 12
Pada pertengahan November 1948 Wakil Presiden Hatta berangkat ke
Bukittinggi. Keberangkatan tersebut disertai oleh beberapa pembesar militer dan sipil
11 Pada waktu itu ada gagasan untuk membagi pemerintahan Indonesia menjadi tiga kelompok. Pertama Presiden Sukarno akan memimpin perjuangan diplomasi Internasional di luar negeri. Kedua Wakil Presiden PM Hatta akan memimpin perjuangan politik dari Sumatra dan ketiga, beberapa menteri serta Pimpinan Angkatan Perang berada di pulau Jawa untuk berjuang bersama tentara dan rakyat. Ajip Rosidi, Sjahfrudin Prawira Negara Lebih Takut Kepada Allah SWT, (Jakarta :Inti Indayu Press,1986), hlm. 106.
12 Ajib Rosidi, 1986, Op.cit., hlm 106
47
yang terdiri dari: Mr. Syafrudin Prawiranegara (Menteri Kemakmuran), Mr. Lukman
Hakim (mantan Menteri Muda Keuangan), Rusli Hidayat, Kolonel Hidayat dan
Letnan Kolonel Akil Prawirodirjo.13 Dalam kunjungannya ke Sumatra Barat Hatta
melakukan persiapan-persiapan untuk memindahkan pemerintahan ke Bukittinggi,
jika Belanda kembali lagi menyerang Jawa.14
Baru beberapa hari berada di Bukittinggi, Wakil Presiden Hatta mendapat
kawat dari KTN (Komisi Tiga Negara) untuk mengadakan perundingan lagi dengan
Belanda di Yogyakarta. Setelah melakukan perundingan kembali dengan Stikker,
ternyata mengalami kegagalan. Kegagalan tersebut terjadi karena Menteri Seberang
Lautan Mr. E.J.M.A. Sassen ingin menjadikan TNI sebagai pengawal keamanan saja
dan bukan sebagai tentara nasional RIS.15 Padahal sebelumnya Hatta dan stikker
sudah memulai titik temu ke arah persoalan inti mengenai pembentukan pemerintah
federal dan status TNI sebagaimana telah disepakati dalam perjanjian Renville.
Pada tanggal 11 Desember 1948 Dr. Beel, Wakil Tertinggi Mahkota Belanda
di Indonesia, mengeluarkan ultimatum kepada Indonesia supaya Republik Indonesia
ikut dalam interim federal dan harus mengakui kedaulatan Belanda sepenuhnya.
Setelah mendengar ultimatum tersebut pada tanggal 13 Desember 1948 Hatta
meminta kepada Wakil Amerika Serikat Merle Cochran agar perundingan bisa
13 Ibid, hlm 107.14 Mestika Zed, Somewhere in the Jungle: Pemerintah Darurat Republik
Indonesia, (Jakarta : Pustaka Utama Grafiti,1997), hlm 5815 Ibid, 108.
48
dilakukan kembali. Hatta menyatakan bahwa “Republik Indonesia bersedia mengakui
kedaulatan Belanda selama masa peralihan, dan Hatta mengingatkan bahwa dalam
penyelenggaraan kekuasaannya Belanda terikat oleh beberapa pembatasan tertentu”.16
Pada tanggal 15 Desember 1948 Belanda memberikan jawaban ultimatif yang
menuntut agar pihak Republik Indonesia menyetujui usul-usulnya dalam waktu
delapan belas jam. Dalam ultimatum tersebut ditegaskan bahwa “pihak Belanda tetap
mempertahankan usulnya yang berhubungan dengan kedudukan yang sama dengan
negara bagian lainnya”. Bagi Republik Indonesia, batas waktu delapan belas jam
merupakan merupakan waktu yang sangat singkat dalam mempelajari dan menyusun
jawaban kepada Belanda.17
Pada tanggal 18 Desember 1948 jam 23.30 Dr, Beel mengatakan kepada
delegasi Indonesia di Jakarta bahwa Belanda tidak terkait lagi dengan persetujuan
Renville. Pemimpin Republik Indonesia yang berada di Yogyakarta tidak
mengetahui bahwa Belanda tidak terkait lagi dengan persetujuan Renville karena
sarana komunikasi antara Yogyakarta dengan Jakarta diputus oleh Belanda.
Pada hari minggu tanggal 19 Desember 1948 pukul 05.30 WIB Belanda
menyerbu Yogyakarta yang diawali dengan pendudukan di lapangan Maguwo.18
16 G. Moedjanto, Indonesia Abd ke -20 jilid II, (Yogyakarta:Kanisius,1974),
hlm 29.17 Ibid. hlm 29.18 Perhitungan Belanda untuk melaksanakan Agresi Militer kedua sangat
cermat dilaksanakan untuk menghindari kecaman dari PBB. Dengan dipilihnya hari pada akhir bulan pada waktu Konggres Amerika Serikat dalam masa reses (menjelang Natal dan hari minggu dengan pertimbangan bahwa mereka sedang beribadah di
49
Setelah pangkalan udara Maguwo berhasil dikuasai, Belanda melaksanakan operasi
Jembatan Udara Semarang-Yogyakarta untuk menurunkan Batalyon pasukan dengan
menggunakan pesawat angkut C-47 Dakota yang dikawal ketat oleh beberapa
pesawat P-51 Mustang. Belanda sangat mudah muntuk menguasai Maguwo karena
saat itu pesawat terbang dan senjata penagkis milik AU masih digunakan untuk
menyelesaikan pemberontakan di Madiun.
Pada pukul 12.00 pasukan Belanda dengan senapan mesinnya terus menyerbu
ke dalam kota yang merupakan pusat pemerintahan Republik Indonesia. Belanda
berhasil menduduki tempat-tempat penting di kota seperti kantor telpon PTT dan
gedung RRI. Belanda menyadari apabila stasiun radio tidak dihancurkan maka akan
dimanfaatkan oleh Sukarno dan pejabat pemerintahan RI untuk mengerahkan rakyat
dan segala usaha lain yang bisa merepotkan Belanda.19 Setelah berhasil menduduki
tempat-tempat penting, Belanda melakukan penyerangan ke Istana Kepresidenan dan
menangkap para pemimpin Republik Indonesia.
Sebelum Belanda menduduki Istana Kepresidenan para menteri masih sempat
mengadakan Sidang Kabinet di Istana Kepresidenan Yogyakarta pada pukul 10.00
WIB tanggal 19 Desember 1949. Dalam sidang tersebut dibahas situasi gawat yang
dihadapi serta sikap dan tindakan yang akan diambil oleh pemerintah dalam Gereja), tetapi kiranya perhitungan tersebut tidak tepat sebab DK PBB ternyata masih berkumpul di Paris-Prancis sehingga dengan cepat mereka dapat mendengarkan karar penyerangan tersebut. Tataq Chidmad, Pelurusan Sejarah Serangan Oemoem 1 Maret 1949,(Yogyakarta: media presindo,2001), hlm.19.
19 A. H. Nasution, Memenuhi Panggilan Tugas jilid 2A Kenangan Masa Gerilya, (Jakarta: CV. Haji Masagung, 1989), hlm. 139.
50
menghadapi aksi militer Belanda. Akhirnya dalam sidang kabinet tersebut berhasil
diambil tiga keputusan penting yaitu: pertama, Presiden dan Wakil Presiden tetap
akan tinggal di Istana dengan konsekwensi ditangkap oleh Belanda. Kedua, Presiden
menyuruh tentara dan rakyat melaksanakan perang gerilya terhadap Belanda. Ketiga,
Presiden mengirimkan dua telegram. Telegram pertama untuk Mr. Syafrudin
Prawiranegara guna membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di
Sumatera yang berbunyi sebagai berikut:20
Kami Presiden Republik Indonesia memberitahukan bahwa pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948 jam 06.00 pagi, Belanda telah mulai serangannya atas ibukota Yogyakarta. Jika dalam keadaan pemerintahan tidak dapat menjalankan pemerintahan lagi, kami mengusahakan kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran Republik Indonesia untuk membentuk Pemerintah Republik di Sumatra.
Yogyakarta,19 Desember1948
Presiden (Sukarno) Wakil Presiden (Mohammad Hatta)
Sedangkan telegram kedua diberikan kepada Mr. A.A.Maramis untuk
mendirikan pemerintah dalam pengasingan di New Delhi, India, sebagai berikut :21
Kami Presiden Republik Indonesia memberitahukan bahwa pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948 jam 06.00 pagi, Belanda telah memulai serangannya atas ibukota Yogyakarta. Jika ikhtiar Mr. Syafruddin Prawiranegara membentuk Pemerintah darurat di Sumatra tidak berhasil kepada saudara dikuasakan untuk membentuk Exile Government Republik
20 Ajib Rosidi, Op. Cit., hlm 109.21 Ibid, hlm. 110.
51
Indonesia di New Delhi. Harapan dengan ini berhubungan dengan Mr. Syafruddin Prawiranegara di Sumatra jika hubungan tidak memungkinkan harap mengambil tindakan-tindakan seperlunya.
Yogyakarta,19 Desember1948
Wakil Presiden (Mohammad Hatta) Menteri Luar Negeri (H. Agoes Salim)
Mandat kepada Syafruddin Prawiranegara dibuat dengan tujuan untuk
mengatasi segala sesuatu yang akan terjadi jika Belanda melakukan serangan ke
Ibukota Yogyakarta.
Pada waktu itu Jendral Sudirman tidak diundang dalam sidang tersebut namun
tetap mengikuti sidang di luar ruangan sambil mengeluarkan Perintah Kilat. Isi dari
Perintah Kilat tersebut ”memerintahkan kepada seluruh TNI untuk melaksanakan
rencana yang telah ditetapkan dalam Perintah Siasat untuk menghadapi Belanda”.
Naskah yang dibuat Jendral Sudirman diserahkan kepada Kapten Suparjo untuk
disiarkan melalui RRI sebelum gedung RRI di serang Belanda.
Selain menyerbu Yogyakarta, Belanda juga menyerbu Bukittinggi, Sumatera
Barat. Serbuan Belanda ke Bikittinggi untuk menguasai daerah pertanian dan minyak
di Sumatra.22 Pada hari minggu 19 Desember 1948 bersamaan dengan serangan
Belanda di Yogyakarta, serangan Belanda dilakukan juga di Bukittinggi. Dalam
melakukan serangan ke Bukttinggi Belanda tidak melakukan pendaratan ke lapangan
Gandut karena adanya informasi dari intel Belanda bahwa di antara Bukittinggi dan
Padang Panjang terdapat pasukan 10.000 pasukan TNI dengan senjata lengkap yang
22 Mestika Zed Op, cit, hlm. 74.
52
siap menghadang setiap serangan Belanda.23 Dalam penyerbuan ke Bukittinggi,
Belanda mendaratkan pasukannya di danau Singkarak, sekitar 50 km dari Bukittinggi.
Kota itu baru bisa diduduki empat hari kemudian.24
Setelah berhasil melakukan agresinya yang kedua, Belanda menyiarkan berita
ke seluruh dunia bahwa perlawanan pejuang Republik Indonesia sama sekali tidak
berarti dan rakyat menyambut kedatangan tentara Belanda sebagai pembebas. Agar
berita yang bnar tidak sampai tersiar luas ke luar negeri, Belanda melakukan sensor
pers sampai tanggal 1 Januari 1949. Dengan menyiarkan berita bohong tersebut
Belanda ingin menunjukkan kepada dunia bahwa Republik Indonesia sudah mati dan
para pemimpinnya berhasil ditangkap oleh Belanda. Tetapi meskipun pers dan sarana
komunikasi dihanguskan oleh Belanda, Republik Indonesia merasa beruntung karena
mempunyai empat orang diplomat di luar negari yaitu: Palar, Sudjatmoko, Sumitro
dan Sudarpo. Mereka inilah yang leluasa membela Republik Indonesia di luar negeri.
Di samping itu Republik Indonesia masih mempunyai radio gerilya milik TNI AU
yang sanggup untuk melancarkan berita penyerangan dan perlawanan rakyat ke luar
negeri.25
Adanya aksi militer tersebut membuat masyarakat internasional marah.
Bahwa agresi militer kedua, yang oleh Belanda disebut “aksi polisionil” dilancarkan
23 Abdul Rachman Surjomihardjo, Jr Chaniago, PDRI: Pemerintah Darurat
Republik Indonesia Dikaji Ulang,( Jakarta: MSI,1990), hlm. 97.24 Pramodya Ananta Toer, Kronik Revolusi Indonesia jilid IV (1947), (Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia,2001), hlm 711-722.25 G.Moedjanto, Op, cit, hlm 42.
53
ketika perwakilan-perwakilan Komisi Jasa Baik sedang mengadakan perundingan
damai di Kaliurang, dekat Yogyakarta.26 Lebih lagi karena Cochran menyatakan
bahwa Belanda tidak akan menggunakan kekuatan militer (karena Amerika Serikat
menentang penggunaan kekuatan militer untuk menghadai Republik Indonesia).27
Serangan tersebut langsung dikutuk oleh pemerintah Inggris, Liga Arab dan
Partai Komunis Belanda.28 Amerika Serikat mengecam akan menghentikan bantuan
keuangan kepada Belanda, sedang negara-negara bagian bersimpati kepada
Indonesia. Pemerintah Amerika Serikat dengan gigih menentang aksi tersebut dan
atas prakarsa DK PBB bersidang untuk mengecam tindakan agresi militer tersebut.29
Sehari sesudah Belanda melakukan serangan ke Indonesia Amerika Serikat
dan PBB meminta supaya menghentikan serangannya ke Indonesia dan mendesak
Belanda untuk berunding lagi dengan Indonesia. Namun setelah sidang berjalan, tidak
banyak dukungan yang diperoleh dari delegasi internasional. Akibatnya banyak
pemimpin Indonesia kecewa dan berkesimpulan bahwa situasi di Indonesia tidak
dipikirkan secara serius oleh dunia internasional. Karena kecewa pada sikap dunia
internasional banyak pemimpin Indonesia mulai meragukan efektivitas strategi
diplomasi. Akhirnya mereka kembali menggunakan strategi perjuangan bersenjata
untuk memperoleh kemerdekaan dengan cara membentuk Pemerintah Darurat
26 Baskara T Wardaya,SJ, Indonesia Melawan Amerika (Konflik Perang
Dingin 1953-1963), (Yogyakarta: Galang Press,2008), hlm. 6827 G. Moedjanto, Op, cit, hlm 41.28 Baskara T Wardaya,SJ Op.cit., hlm 68.29 Pramoedya Ananta Toer, 2002,Op.cit.,hlm 713.
54
Republik Indonesia (PDRI) di Ibu kota RI sementara di Bukit Tinggi, Sumatra Barat,
dan dipimpin oleh Syarifudiddin Prawiranegara.30
3.3 Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI)
Perundingan Renville yang diharapkan dapat menyelesaikan konflik antara
Indonesia dengan Belanda ternyata kandas di tengah jalan. Akhirnya Belanda tidak
terkait lagi dengan perjanjian Renville dan menyerbu Yogyakarta. Pada waktu yang
sama Belanda juga menyerbu Bukittinggi, Sumatera Barat. Dalam penyerangannya ke
Bukittinggi Belanda menghancurkan bangunan-bangunan seperti kantor telegraf dan
telepon yang merupakan sarana penghubung antara Yogyakarta dengan Sumatera.
Meskipun kantor kantor berita tersebut dalam keadaan rusak, namun tetap tapi bisa
menerima berita mengenai jatuhnya Yogyakarta dan tertangkapnya Presiden dan
Wakil Presiden.31
Syarifuddin Prawiranegara terkejut mendengar berita dari radio bahwa
Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda dan para pemimpin ditawan Belanda. Pada
awalnya Syarifuddin tidak percara bahwa Yogyakarta telah dikuasai Belanda, namum
lama-kelamaan berita yang didengar semakin gencar. Akhirnya Syarifuddin
Prawiranegara mengambil inisiatif untuk bergerak bersama bersama Kol. Hidayat,
Panglima Tentara dan Teritorium Sumatera, mengunjungi Mr.T. Mohammad Hassan.
30 Baskara T Wardaya,SJ, Op. cit., hlm 69.31 Ayip Rosidi, Syafrusin Prawiranegara Lebih Takut Kepada Allah SWT,
Jakarta: Inti Indayu Press, 1986, hlm 110.
55
Selanjutnya mereka membahas langkah yang harus diambil jika Yogyakarta benar-
benar jatuh ke tangan Belanda dan pemimpin Republik Indonesia ditangkap
Belanda.32 Dalam rapat tersebut Syarifuddin Prawiranegara mengusulkan agar
dibentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia. Muhammad Hasan menyetujui hal
tersebut, Oleh karena itu diambillah keputusan untuk mendirikan Pemerintah Darurat
Republik Indonesia yang akan dibentuk di Halaban.
Sampai diadakannya pertemuan di rumah Muhammad Hasan, Syarifuddin
Prawiranegara belum mendapat kawat dari Presiden untuk mendirikan PDRI. Inisiatif
Syarifuddin Prawiranegara untuk mendirikan PDRI guna mengatasi kevakuman
pemerintahaan pada waktu itu demi kesinambungan pemerintah Republik Indonesia
selanjutnya.
Gagasan Syarifuddin Prawiranegara untuk membentuk PDRI diilhami oleh
pembicaraan-pembicaraan dalam sidang kabinet di Yogyakarta yang membahas
kemungkinan membentuk Pemerintah Darurat di Sumatera apabila kota Yogyakarta
diduduki Belanda.33 Syarifuddin Prawiranegara yang berada di Sumatra sama sekali
tidak mengetahui bahwa dirinya mendapatkan mandat untuk mendirikan Pemerintah
Darurat di Sumatera. Kawat yang dikirim Presiden Sukarno tidak pernah sampai ke
tangan Syarifuddin Prawiranegara. Tidak heran jika Syarifuddin Prawiranegara dalam
mendirikan PDRI ragu-ragu karena ia tidak mengetahui bahwa dirinya mendapatkan
mandat dari Presiden Sukarno.
32 Ayip Rosidi, ibid, hlm 114.33 Ayip Rosidi,Ibid., hlm 112.
56
Pada 22 Desember 1948 mereka mengadakan rapat yang dihadiri antara lain
oleh Mr. Syafruddin Prawiranegara, Mr.TM. Hasan, Mr. Sutan Mohammad Rasjid,
Kolonel Hidayat, Mr. Lukman Hakim, Ir. Indracahya, Ir. Mananti Sitompul, Maryono
Daubroto, Mr. A Karim, Rusli Rahim dan Mr. Latif. Walaupun secara resmi kawat
Presiden Sukarno belum diterima, tanggal 22 Desember 1948 sesuai dengan konsep
yang telah disiapkan, rapat tersebut memutuskan untuk membentuk Pemerintah
Darurat Republik Indonesia (PDRI).34
Setelah dibentuk PDRI rakyat Indonesia segera melancarkan perlawanan
militer terhadap Belanda, selain itu usaha selanjutnya adalah menyiarkan PDRI ke
berbagai daerah wilayah RI maupun ke luar negeri dengan Zender YBJ 6 yang
dibawa dari Bukittinggi.35 Hal ini penting untuk mendapatkan legitimasi dan
keabsahan sebagai suatu negara yang sah. Untuk mencapai maksud itu maka
Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) mempunyai peranan penting karena
pada saat itu AURI telah mempunyai beberapa sebuah radio yang bisa digunakan
untuk melayani kebutuhan berkomunikasi. Pada masa PDRI radio digunakan untuk
34 Susunan PDRI adalah sebagai berikaut: Mr. Syafruddin Prawiranegara,
Ketua PDRI/Menteri Pertahanan/ Menteri Penerangan/Menteri Luar Negeri. Mr. T. M. Hassan, Wakil Ketua PDRI/Menteri Dalam Negeri/Menteri PPK/Menteri Agama. Mr. St. Mohammad Rasjid, Menteri Keamanan/Menteri Sosial, Pembangunan, Pemuda. Mr. Lukman Hakim, Menteri Keuangan/Menteri Kehakiman. Ir. M. Sitompul, Menteri Pekerjaan Umum/Menteri Kesehatan. Ir. Indracaya, Menteri Perhubungan/Menteri Kemakmuran Ibid, hlm 14-15
35 Dalam siaran tersebut dijelaskan bahwa pemerintah RI masih tetap ada dan bersifat mobile. Tujuannya adalah mengkoordinir pemerintah dan perjuangan Indonesia yang melakukan gerilya. Sardjono dan Marsidji, Pemerintah Darurat Republik Indonesia, (Jakarta: Tirtamas, 1982)
57
melakukan komunikasi pemimpin PDRI dengan pusat-pusat perjuangan yang ada di
Jawa dan Sumatera, bahkan dengan luar negeri seperti India tempat kedudukan
Menteri Luar Negeri Mr.A.A. Maramis.
Sementara itu dukungan terhadap PDRI terus melangalir, seperti dari menteri
dalam negeri Dr. Sukiman dan menteri kehakiman Mr. Susanto. Dari kalangan militer
terbukti adanya kawat, telegram dan nota dinas dari pimpinan militer seperti Jendral
Sudirman, Kolonel A.H Nasution, Kolonel Simantupang.36 Dengan demikian terbukti
bahwa PDRI telah diakui keberadaannya dan mendapatkan dukungan dari masyarakat
Indonesia.
36 T.B Simantupang, 1960, Laporan Dari Banaran; Kisah Pengalaman
Seorang Prajurit Selama Mas Perang Kemerdekaan , PT. Pembangunan, Jakarta, hlm177-178.
58
BAB IV
STRATEGI DIPLOMASI DAN UPAYA MEMPERTAHANKAN
KEMERDEKAAN RI
Usaha para pejuang Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan dengan
menggunakan strategi perjuangan dalam melawaan Belanda ternyata tidak
mencukupi. Oleh karena itu ditempuh cara lain, yakni dengan strategi diplomasi di
meja perundingan. Strategi diplomasi tersebut ditempuh karena jumlah persenjataan
para pejuang Indonesia terbatas sedangkan persenjataan Belanda lebih lengkap dan
modern. Pelaksanaan strategi diplomasi antara Indonesia dengan Belanda dilakukan
dengan jalur-jalur perundingan yang selalu melibatkan pihak ketiga sebagai mediator
untuk menghindari perselisihan antara kedua belah pihak. Strategi diplomasi
Indonesia dengan Belanda antara lain terwujud dalam perjanjian Hoge Veluwe,
perjanjian Linggajati, perjanjian Renville, Perjanjian Roem-Royen dan Konferensi
Meja Bundar.
Itikad baik Indonesia dalam melaksanakan perundingan tidak selalu
memperoleh balasan yang sama dari pihak Belanda. Belanda dengan berbagai cara
selalu melanggar perundingan yang dilakukannya dengan Indonesia. Semua itu
menunjukkan kuatnya niat Belanda untuk menjajah kembali Indonesia.
59
4.1 Strategi Diplomasi Dalam Perjanjian Linggajati
Sebelum membahas lebih jauh Perjanjian Linggajati, kiranya perlu sedikit
diulas Perundingan Hoge Veluwe yang melatarbelakangi terjadinya Perjanjian
Linggajati. Perundingan Hoge Veluwe dilaksanakan pada tanggal 14 April 1946
sampai dengan 24 April 1946. Utusan Indonesia dalam perundingan ini antara lain
Mr. Soewandi, Dr. Soedarsono dan Mr. Abdul Karim Pringgodigdo. Sedangkan
delegasi Pemerintah Belanda dipimpin langsung oleh Perdana Menteri Prof. Dr. Ir.
W. Schermerhorn, J. Logeman, J. H. van Roijen dan Dr. van Mook. Perundingan
Hoge Veluwe ini berjalan sangat alot dan berakhir dengan kegagalan karena Belanda
hanya mengakui de facto Republik Indonesia atas pulau Jawa dan Madura, tetapi
tidak untuk Sumatra. Perundingan Hoge Veluwe tidak membuahkan kesepakatan dan
hanya dianggap sebagai forum untuk mendapatkan informasi tentang posisi masing-
masing.
Meskipun demikian perundingan Hoge Veluwe ini dalam perkembangannya
ternyata merupakan tahapan penting bagi perundingan selanjutnya, yaitu perjanjian
Linggajati yang dilaksanakan pada tanggal 11 November 1946 di Linggajati, sebelah
selatan Cirebon. Dalam perjanjian Linggajati delegasi Belanda dipimpin oleh Prof.
Scermerhorn, dengan anggotanya Max Van Poll, F. de Baer dan H.J. van Mook.
Delegasi Indonesia dipimpin oleh Perdana Menteri Syahrir, dengan anggotanya Mr.
60
Moh. Roem, Mr. Amir Sjarifuddin, Mr. Soesanto Tirtoprodjo, Dr. A.K. Gani, dan Mr.
Ali Boediardjo. Sedangkan sebagai penengahnya adalah Lord Killearn dari Inggris.1
Perjanjian Linggajati terdiri atas 17 pasal. Tiga pasal utamanya adalah:
Pertama, pemerintah Republik Indonesia dan Belanda sama-sama menyelenggarakan
berdirinya sebuah negara berdasarkaan federasi, yang diberi nama Indonesia Serikat.
Kedua, Pemerintah Republik Indonesia Serikat akan bekerja sama dengan pemerintah
Belanda membentuk Uni Indonesia-Belanda. Ketiga, Belanda mengakui kedaulatan
de facto Republik Indonesia atas Pulau Jawa, Madura dan Sumatra.2
Setelah naskah Persetujuan Linggajati disahkan muncul reaksi pro dan kontra,
baik dari pihak bangsa Indonesia maupun Belanda. Partai yang menentang
Persetujuan Linggajati di pihak Indonesia yakni, Masyumi, PNI, Partai Wanita,
Angkatan Komunis Muda, Partai Rakyat Indonesia dan Partai Rakyat Jelata. Partai-
Partai yang mendukung adalah PKI, Pesindo, Laskar Rakyat, Partai Buruh dan
Parkindo. Pertentangan pendapat dalam Persetujuan Linggajati terjadi karena
perbedaan penafsiran terhadap pasal-pasal dalam naskah Persetujuan Linggajati.
Pemerintah kemudian mengeluarkan peraturan Presiden No 6/1946 yang bertujuan
untuk meredakan sikap pro dan kontra tersebut melalui penyempurnaan susunan
1 Ide Anak Agung Gde Agung, Pernyataan Roem Van Royen 7 Mei 1949,
(Jakarta:Yayasan Pustaka Nusantara bekerjasama dengan Sebelas Maret University Pess,1995), hlm.152-153
2Rosihan Anwar, Sejarah Kecil “Petite Historire”Indonesia, (Jakarta:Penerbit Buku Kompas,2004), hlm. 183.
61
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).3 Pada tanggal 28 Februari 1947
Mohammad Hatta melantik anggota KNIP yang baru. Dengan dilantiknya anggota
KNIP yang baru, pemerintah berhasil memperoleh dukungan untuk meratifikasi
naskah persetujuan Linggajati dan akhirnya pada tanggal 25 Maret 1947 hasil
Perjanjian Linggajati ditandatangani di Paleis Rijswijk (Istana Negara), Batavia
(Jakarta). Jalannya Perundingan Linggajati tersebut disiarkan oleh RRI (Radio
Repubik Indonesia) dan dipancarkan ke Yogyakarta oleh wartawan Rosihan Anwar.
Setelah persetujuan Linggajati disahkan, secara berturut-turut muncul
pengakuan de facto terhadap Republik Indonesia. Pada tanggal 31 Maret 1947 Inggris
mengakui Indonesia dan tanggal 17 April 1947 Amerika Serikat pun ikut memberi
pengakuan. Kemudian menyusul pengakuan dari India, Australia, Iran, Lebanon,
Suriah, Birma, Saudi Arabia, Yaman dan Uni Soviet. Pengakuan negara-negara
tersebut lebih memperkuat posisi Republik Indonesia di mata internasional sehingga
para pejuang Indonesia bisa lebih leluasa melakukan kerja sama dengan dunia
internasional.
Politik keras Belanda makin nampak nyata ketika pada tanggal 27 Mei 1947
Komisi Jenderal Belanda mengirim nota kepada Syahrir. Nota tersebut menyatakan
bahwa Belanda akan memegang kekuasaan de jure di seluruh wilayah Indonesia dan
polisi Belanda (gendarmerie) boleh masuk ke wilayah Indonesia. Nota ultimatum
3 Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, Sejarah Diplomasi Republik
Indonesia: Dari Masa Ke Masa Periode 1945-1950, (Jakarta: Departemen Luar Negeri RI, 2004), hlm 541-542.
62
Belanda tersebut dijawab oleh Syahrir bahwa Indonesia menyatakan kesediaan untuk
mengakui kedaulatan Belanda selama masa peralihan, tetapi menolak gendarmerie
bersama karena tuntutan Belanda tersebut sama sekali tidak berdasarkan Persetujuan
Linggajati.4
Belanda belum puas dengan jawaban Syahrir. Untuk itu pada tanggal 10 Juli
1947 Perdana Menteri Beel menginstruksikan Komisi Jenderal untuk mendesak
Republik supaya bertindak lebih tegas. Dalam rangka itu van Mook berbicara di
depan radio yang ditujukan kepada Republik. Van Mook mendesak supaya Republik
Indonesia segera menyatakan bersedia menerima seluruh usul yang disampaikan
pemerintah Belanda dalam Nota 27 Mei 1947.5 Hari itu juga Bung Karno
menjawabnya melalui radio di Yogyakarta. Bung Karno menyatakan bahwa Republik
Indonesia sudah memberikan lebih banyak dari yang sudah ditentukan dalam
perjanjian Linggajati. Jawaban Bung Karno yang disampaikan kepada pemerintah
Belanda dianggap terlalu lemah sehingga pada tanggal 25 Juni 1947 van Mook
memberitahukan kepada Deputi Konsulat Inggris di Jakarta, John L.M Mitcheson,
bahwa Indonesia tidak mau lagi menerima butir-butir kesepakatan dalam Perjanjian
Linggajati dan pemimpin Republik tidak sanggup mengendalikan rakyatnya. Atas
4 Gendarmerie yang diusulkan Belanda adalah pasukan kepolisian yang
bertujuan menjaga keamanan dan ketertiban. Pemakaian istilah gandermerie ini memang sejalan dengan “aksi polisionil” yang hendak mereka lakukan sebagai kedok. Kata mereka , polisilah yang bergerak, tetapi “polisi”yang menggunakan tank, panser dan pesawat pembom. Lihat Hamid Algadri, Op. cit., hlm, 13.
5 K.M.L. Tobing,1986, Perjuangan Politik Bangsa Indonesia Linggarjati, PT. Gunung Agung , Jakarta, hlm 81.
63
situasi tersebut Van Mook diberi wewenang oleh pemerintah pusat di Den Haag
untuk mengambil tindakan militer. Untuk merealisasikan wewenangnya, pada tanggal
21 Juli 1947 Van Mook berpidato di radio sebagai berikut:
“… melihat pelanggaran-pelanggaran yang terus-menerus dilakukan pihak Republik, pemerintah Belanda tidak merasa dirinya terikat lagi pada perjanjian Linggarjati dan menyatakan dirinya bebas mengambil tindakan-tindakan yang dipandang perlu”6
Untuk itu Belanda merasa tidak terikat lagi dengan perjanjian Linggajati dan
melakukan agresi militer ke wilayah Republik Indonesia pada tanggal 21 Juli 1947
pukul 00.00. Dalam waktu singkat Belanda berhasil menerobos pertahanan Republik
Indonesia. Kekuatan TNI dengan organisasi dan peralatannya yang sederhana tidak
mampu menahan pukulan musuh yang serba modern.
4.2 Strategi Diplomasi Dalam Perundingan Renville
Agresi Militer Belanda I yang dilakukan di wilayah Indonesia mendapat
sorotan dari dunia internasional. India dan Australia adalah dua negara yang secara
tegas mengecam Agresi Militer Belanda tersebut. Untuk itu mereka membawa
masalah tersebut ke Dewan Keamanan PBB (DK-PBB) agarDK-PBB ikut terlibat
dalam menyelesaikan konflik antara Indonesia-Belanda.
Pada tanggal 1 Agustus 1947 DK-PBB mengeluarkan sebuah resolusi yang
intinya memerintahkan Indonesia dan Belanda supaya menghentikan segala bentuk
6 Ibid, hlm 89.
64
permusuhan dan menganjurkan supaya konflik diselesaikan dengan melibatkan pihak
ketiga sebagai mediatornya.7 Dengan disetujuinya resolusi DK-PBB tersebut maka
dibentuklah Komisi Jasa-Jasa Baik atau lebih dikenal dengan nama Komisi Tiga
Negara (KTN) yang akan bertindak sebagai mediator di dalam perundingan antara
Indonesia dengan Belanda. Untuk itu Indonesia menunjuk Australia, Belanda
menunjuk Belgia, sedangkan Australia (Richard Kirby) dan Belgia (Paul van
Zeeland) menunjuk Amerika Serikat (Prof. Graham) sebagai penengah dalam
perundingan.
Pada tanggal 27 Oktober 1947 delegasi KTN tiba di Jakarta untuk melakukan
survei di lapangan dan ingin mengetahui secara konkret konflik yang terjadi antara
Indonesia dengan Belanda. Sementara itu permasalahan lain pun muncul menyangkut
masalah tempat perundingan. Indonesia tidak mau berunding di daerah kekuasaan
Belanda, begitu pula sebaliknya, sehingga KTN mencari tempat perundingan yang
netral dan disetujui oleh kedua belah pihak. Akhirnya KTN menentukan perundingan
di sebuah kapal pengangkut milik Amerika Serikat yang sedang berlabuh di Tanjung
Priok. Kapal tersebut bernama U.S.S. Renville.
Perundingan Renville dimulai dengan membahas masalah gencatan senjata.
KTN mengusulkan agar gencatan senjata dilakukan sesuai Resolusi DK-PBB 1
November 1947. Belanda tidak setuju usul itu karena Belanda bermaksud untuk
mewujudkan garis Van Mook. Sedangkan komisi dari Indonesia yang diwakili oleh
7 G.Moedjanto, 1989, Indonesia Abad ke -2 jilid II, Kanisius , Yogyakarta,
hlm 16.
65
dr.J. Leimena setuju dengan Resolusi 1 November 1947 dan masalah garis Van Mook
masih dipersebatkan.8
Hingga menjelang Natal 1947 Perundingan Renville belum mencapai
kesepakatan. KTN sebagai penyelenggara perundingan merasa perlu bertindak untuk
segera menyelesaikan masalah tersebut. KTN kemudian mengirim sebuah pesan
kepada Indonesia dan Belanda untuk melanjutkan perundingan. Isi pesan tersebut
dikirim pada tanggal 25 Desember 1947 dan dikenal dengan “pesan Natal” yang
berisi:
1. Diadakan gencatan senjata di sepanjang “garis van Mook”.2. Pasukan Belanda ditarik dari wilayah-wilayah yang dikuasai
selama aksi polisionil pada bulan Juli 1947.3. Dipulihkannya pemerintah Republik Indonesia dari wilyah-
wilayah tersebut.9
Terhadap pesan dari KTN tersebut perwakilan dari Indonesia menyatakan
setuju walaupun Republik menyadari bahwa hal tersebut sangat merugikannya. Sikap
Belanda justru sebaliknya, Belanda masih keberatan dengan pesan dari KTN tersebut.
Dalam balasannya tanggal 2 Januari 1948 Belanda mengajukan 12 pasal yang
dibuatnya sendiri. Pasal-pasal tersebut berisi tuntutan Belanda supaya diadakan
pemungutan suara yang bebas di wilayah yang menjadi kekuasaan de facto Belanda
untuk menentukan wilayah Republik Indonesia Serikat. Selain itu, Belanda menuntut
supaya RIS dijalankan sebagai sebuah negara serikat, di mana Republik Indonesia
8 Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, Op cit, hlm 647.9 Baskara T Wardaya,SJ, 2008, Indonesia Melawan Amerika (Konflik Perang
Dingin 1953-1963) Galang Press, Yogyakarta, hlm 54.
66
hanya menjadi salah satu negara bagiannya. Belanda juga menolak untuk diadakan
penarikan pasukan di wilayah yang telah diduduki oleh Belanda.10 Belanda memberi
waktu 48 jam kepada Indonesia untuk membahas pesannya tersebut dan jika
dilanggar maka Belanda akan “bebas bertindak”.
Sifat Belanda yang sangat keras dan ultimatif membuat perundingan semakin
rumit. Untuk mengatasi kemacetan dalam perundingan KTN membuat enam prinsip
tambahan lagi. Prinsip tambahan tersebut berisi pasal-pasal yang menjamin eksistensi
Indonesia selama melaksanakan perundingan dengan Belanda. Untuk itu Indonesia
percaya dengan jaminan dari KTN tersebut dan setuju untuk menandatangani
kesepakatan tersebut walaupun isi dari Perjanjian Renville sangat menguntungkan
Belanda. Indonesia bersedia menandatangani perjanjian ini karena beberapa alasan,
seperti menipisnya persediaan amunisi perang dan adanya kepastian bahwa penolakan
terhadap perundingan Renville berarti serangan baru dari pihak Belanda terharap
Indonesia secara lebih hebat lagi.11 Akhirnya pada tanggal 17 Januari 1948 diadakan
penandatanganan Perjanjian Renville. Pihak Indonesia diwakili oleh Amir Syarifudin
dan pihak Belanda diwakili oleh Raden Abdoelkadir Widjojoatmodjo.12
Perjanjian Renville yang ditandatangani oleh Amir Syarifudin ternyata
menimbulkan banyak pertentangan dari pemimpin Republik Indonesia. Akibatnya
kabinet Amir Syarifudin jatuh karena tidak mendapat dukungan dari partai-partai
10 Ibid.11 G. Moedjanto, 1992, Op. Cit., hlm 2212 G.Moedjanto, 1989, Op. Cit., hlm 22-23
67
politik. Partai politik tersebut menganggap bahwa Amir Syarifudin telah gagal
mengambil keputusan dalam melaksanakan tugasnya. Pada tangal 23 Januari 1948
Amir Syarifrudin mengembalikan mandatnya kepada Presiden Sukarno.13
Kedudukan Amir Syarifudin sebagai Perdana Menteri, kemudian digantikan
oleh Mohammad Hatta. Selanjuutnya terbentuknya Kabinet Hatta merupakan langkah
awal untuk mencapai perundingan antara RI dan Belanda. Pokok-pokok penting
dalam program Kabinet Hatta adalah melanjutkan perundingan atas dasar
Perundingan Renville dan langkah-langkah yang menuju Negara Indonesia Serikat.14
Akan tetapi perundingan yang dijalankan Mohammad Hatta mengalami kemacetan,
dalam hal ini Indonesia terjepit dalam bidang ekonomi. Belanda melakukan blokade
yang sebenarnya bertentangan dengan Persetujuan Renville. Pada tanggal 11
Desember 1948 Belanda menyatakan bahwa kemungkinan untuk melanjutkan
perundingan tidak ada lagi. Akan tetapi Hatta meminta kepada Merle Cochran agar
perundingan bisa dibuka kembali. Ia menyatakan bahwa Republik Indonesia bersedia
mengakui kedaulatan Belanda selama masa peralihan. RI juga mengakui hak veto
Komisaris Tinggi Mahkota, tetapi hak veto itu harus ditentukan batas-batasnya.15
Empat hari kemudian Belanda memberikan jawaban ultimatum kepada Hatta bahwa
pihak Belanda tetap mempertahankan usulnya yang berhubungan dengan Kekuasaan
13 Ibid, hlm 2314 K.M.L. Tobing, Perjuangan politik Bangsa Indonesia Renville.(Jakarta: PT
Gunung Agung, 1986), hlm 78.15 G. Moedjanto, 1992, Op. Cit., hlm 29
68
Tinggi Mahkota dan Republik Indonesia masuk dalam federasi dengan kedudukan
yang sama dengan negara lainnya. Pemerintah Belanda lalu menuntut agar Republik
Indonesia menyetujui persetujuan tersebut dalam waktu 18 jam.
Bagi pihak Indonesia, waktu 18 jam untuk mempelajari usul dan menyusun
jawaban tersebut terlalu singkat. Sementara itu saluran komunikasi Jakarta-
Yogyakarta diputus oleh Belanda pada tengah malam tanggal 17 Desember 1948.
Akhirnya RI tidak dapat mengirim telegram kepada Dr. L. J. M. Bell di Jakarta untuk
menjawab nota itu. Sementara itu pihak KTN telah mengirim kawat laporan
perkembangan terakhir DK-PBB. Tetapi tidak ada jawaban karena DK-PBB sedang
reses dan baru akan bersidang lagi sesudah Natal.
Pada tanggal 19 Desember 1948 Wakil Tinggi Belanda di Indonesia, Dr. L. J.
M. Beel, mengucapkan pidato di radio bahwa “mulai jam 00.00 WIB Belanda
menyerbu Ibukota Yogyakarta dan menyatakan persetujuan gencatan senjata
Indonesia-Belanda tidak berlaku lagi”.16 Dengan demikian perang kolonial Belanda
yang kedua terhadap Republik Indonesia dimulai.
Dalam aksi itu, Belanda berhasil menguasai Ibukota RI dan menawan
Presiden dan Wakil Presiden. Dilancarkannya Agresi Militer Kedua, dimanfaatkan
oleh Belanda untuk menyatakan dalam sidang Dewan Keamanan PBB pada tanggal
22 Desember 1948 bahwa “tentara Republik telah hancur dan negara Republik telah
16 Pramoedya Ananta Toer, Kronik Revolusi Indonesia jilid IV,(Jakarta:
Kepustakaan Populer Indonesia, 2003), hlm 701-702.
69
tiada. Republik Indonesia ternyata hanya sebuah Republik mikrofon”.17 Selanjutnya
Belanda melakukan operasi-operasi militer dengan tujuan untuk pembersihan
gerombolan-gerombolan bersenjata yang mengganggu keamanan daerah. Selain itu
Belanda juga beranggapan bahwa masalah yang terjadi di Indonesia adalah masalah
dalam negri Hindia Belanda.
Belanda telah membuat kesalahan besar dengan melakukan Agresi Militer
Belanda Kedua di wilayah Republik Indonesia. Belanda mengira akan dapat
memusnahkan Republik Indonesia dan menghancurkan TNI. Padahal pihak Indonesia
telah memperhitungkan penyerangan Belanda tersebut. Strategi perlawanan telah
disusun untuk melumpuhkan tentara Belanda dengan perang gerilya yang dipimpin
oleh Jendral Soedirman. Selain itu Mohammad Hatta juga telah mempersiapkan
Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatra untuk mengantisipasi serangan
Belanda ke Yogyakarta.
4.3 Strategi Diplomasi Dalam Roem-Royen
Agresi Militer Belanda Kedua yang dilancarkan pada tanggal 19 Desember
1948 segera mengundang tanggapan dan reaksi keras dari berbagai pihak. Australia,
sebagai pendukung utama RI di DK-PBB segera melakukan boikot terhadap kapal-
kapal Belanda yang berlabuh di daerahnya. Pemerintah Australia melalui wakilnya,
Kolonel Hodgson dengan pedas menyerang Belanda dengan mengatakan”… apa yang
17 R. Maladi, Perang rakyat Semesta 1948-1949, (Yogyakarta:Balai Kajian
Sejarah,1994), hlm 1.
70
diperbuat Belanda terhadap Indonesia itu adalah lebih buruk dari pada apa yang
diperbuat Hitler terhadap Belanda…”. Pemerintah Amerika juga tidak bisa
membenarkan aksi militer Belanda tersebut dan mengatakan bahwa tindakan Belanda
itu berarti telah mengijak-injak isi Persetujuan Renville. Amerika Serikat bahkan
mengancam akan menghentikan bantuan pembangunan (Tunjangan Marshall Plan)
yang menjadi tumpuan utama dalam negeri Belanda.18 Melihat kenyataan bahwa
Belanda tidak mematuhi anjuran dan resolusi-resolusi DK-PBB maka tanggal 21
Januari 1949, L.N. Palar atas nama Republik Indonesia menyampaikan memorandum
kepada DK-PBB. Kemudian pada tanggal 21 Januari 1949 itu pula DK-PBB kembali
menerima resolusi yang diajukan oleh Amerika, yang didukung oleh China, Kuba,
dan Norwegia yang menyatakan bahwa perlu adanya perubahan dari Komisi Jasa-
Jasa Baik (KTN), yang hanya mempunyai wewenang moral menjadi Komisi PBB
untuk Indonesia yaitu UNCI (United Nations Commission for Indonesia), yang kini
lebih besar wewenangnya.
Pada kesempatan berikutnya, tepatnya tanggal 28 Januari 1949, DK-PBB
kembali menerima resolusi yang diusulkan oleh Kanada, yang didukung oleh
Amerika dan Cina, yang pada dasarnya berseru kepada pihak-pihak yang bersengketa
untuk segera mengakhiri perselisihan itu secepat mungkin.19 Dalam resolusi tersebut
di isyaratkan adanya dua tuntutan pokok yaitu, supaya dihentikan dan supaya para
18 A.H Nasution. 1989, Memenuhi Panggilan Tugas, Jakarta, CV. Haji Masagung, hlm 195
19 Hamid Algadri, Suka Duka Masa Revolusi, (Jakarta: UI Press, 1991), hlm 10
71
pembesar Republik Indonesia segera dibebaskan dan dikembalikan ke Yogyakarta.20
Sementara itu dalam rangka mendukung perjuangan diplomasi Republik Indonesia di
PBB, para pejuang kemerdekaan ingin menunjukkan bahwa RI dan TNI masih ada
dan berfungsi. Akhirnya pada tanggal 1 Maret 1949, TNI dan gerilyawan berhasil
menduduki Yogyakarta selama enam jam melalui Serangan Umum. Berita tentang
Serangan Umum 1 Maret 1949 disiarkan pada pukul 02.00 WIB tanggal 2 Maret
1949, ke seluruh jaringan radio AURI bahkan sampai ke PBB. Berita tersebut
dikirimkan oleh Sersan Basukihardjo, seorang operator stasiun PHB AURI PC-2
Playen dan diterima oleh Sersan Udara Kusnadi operator radio Bidar Alam. Pada
tanggal 3 Maret 1949, berita tersebut dilaporkan oleh Opsir Udara III Dick Tamimi
dan Unsur Said kepada Ketua PDRI Mr. Sjafruddin Prawiranegara. Berita tersebut
segera dikirim ke stasiun-stasiun radio di Tangse dan radio “ZZ” di Kototinggi.
Melalui radio “NBM” Tangse berita dikirim ke stasiun radio “SMN” di Rangoon
kemudian dilanjutkan ke New Delhi dan perwakilan RI di PBB di Washington,
Amerika Serikat. Pejabat perwakilan RI di PBB membeberkan berita itu di depan
sidang Dewan Keamanan PBB pada tanggal 7 Maret 1949.21 Keberhasilan Serangan
20 Setelah resolusi dilaksanakan, dari pihak Belnada menentang rencana
rencana resolusi tersebut, karena dianggap membahayakan kedudukan Belanda sehingga sangat sulit untuk diterima oleh pemerintah Belanda. Setelah resolusi tersebut telah menunjukkan suatu bukti bahwa kemenangan berpihak kepada Indonesia. Hal ini merupakan peristiwa Sejarah yang menunjukkan perkembangan dalam menyelesaikan masalah Indonesia. Baca Ide Anak Angung Gde Agung. 1993, Op. Cit., hlm 218-220
21 Subdisjarah, Peran TNI AU Pada Masa Pemerintah Darurat Indonesia tahun 1948-1949, (Jakarta: PT Bayu Mahardika, 2001), hlm 77-79.
72
Umum 1 Maret tersebut mampu membungkam kebohongan Belanda pada dunia
internasional bahwa RI telah lenyap dan TNI telah hancur. Pada sisi lain, adanya
serangan umum itu makin menguatkan dan meyakinkan negara-negara sahabat serta
dunia internasional untuk lebih intensif mendukung diplomasi dan perjuangan
kemerdekaan Indonesia.
Untuk itu PBB menganjurkan agar Belanda dan Indonesia mengadakan
perundingan dengan bantuan UNCI. Pihak Belanda menolak usul tersebut. Sebagai
tindak lanjut UNCI memberikan ultimatum kepada Belanda. Ultimatum tersebut
berupa pemberian waktu kepada Belanda untuk menarik pasukannya dari wilayah
Indonesia. Apabila ultimatum tersebut tidak dipenuhi, maka Belanda akan dilaporkan
ke Dewan Keamanan PBB.22 Setelah Belanda mendapatkan ultimatum dari UNCI,
Dr. Beel (Wakil Mahkota Kerajaan Belanda di Indonesia) mengajukan usul yang
isinya “mempercepat penyerahan kedaulatan kepada pemerintah federal Indonesia,
mengadakan Konferensi Meja Bundar dan membicarakan Uni Belanda”.23 Sukarno
dan Hatta menerima tawaran Belanda untuk berunding tanpa berkonsultasi dulu
kepada pemimpin PDRI Syafruddin Prawiranegara yang pada waktu itu memegang
kekuasaan yang sah. Pada tanggal 14 April 1949 diadakan perundingan. Delegasi dari
Indonesia diwakili oleh Mr. Moh. Roem dan delegasi dari Belanda diwakili oleh Dr.
22 Ajip Rosidi, Sjafruddin Prawiranegara Lebih Takut Kepada Allah
SWT,(Jakarta: Inti Dayu Press, 1986), hlm. 122.23 Ibid, 123.
73
Van Royen, sedangkan UNCI diwakili oleh Merle Cochran dari Amerika Serikat.
Adapun ketentuan persetujuan Roem-Royen itu adalah:
1. Pengeluaran perintah oleh pihak RI kepada kesatuan-kesatuan bersenjata RI untuk menghentikan perang gerilya, sedangkan pemerintah dan pemimpin-pemimpin RI dipulihkan kembali ke Yogyakarta.
2. Kerja sama dalam pemulihan perdamaian, dan pemeliharaan ketertiban dan keamanan.
3. Belanda akan menyokong RI untuk menjadi Negara bagian dari RIS dengan mempunyai sepertiga suara dalam Perwakilan Federal;
4. Ikut serta dalam KMB di Den Haag untuk mempercepat penyerahan kedaulatan tanpa syarat, nyata dan lengkap.24
Naskah tersebut disetujui pada tanggal 7 Mei 1949, kemudian dikenal
dengan nama ”Roem-Royen Statements”. Hasil dari perundingan Roem-Royen
tersebut mendapatkan penolakan dari pemimpin PDRI Syafruddin Prawiranegara dan
Jendral Sudirman. Mereka menolak karena perundingan dilakukan oleh pemerintah
yang ditawan di Bangka oleh Belanda (Sukarno dan Hatta) bukan kepada
pemerintahan yang sah pada waktu itu (PDRI).
Radio Belanda pada tanggal 16 Mei 1949 Belanda menyiarkan pernyataan
Roem-Royen yang menyatakan bahwa “ketua PDRI telah memberikan persetujuan
atas persetujuan yang diadakan pada tanggal 7 Mei yang baru lalu’’. Syafruddin
mengajukan protes karena ia belum pernah menyatakan setuju atas pernyataan Roem-
Royen.25 Pernyataan Syafruddin Prawiranegara tertulis dalam radiogramnya yang
berjudul “bantahan tentang berita PDRI yang menyetujui Persetujuan van Roem-
24 G.Moedjanto, Op.cit., hlm 53.25 Mestika Zed, Somewhere in the jungle: Pemerintah Darurat Republik
Indonesia, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997), hlm 277.
74
Royen” yang dikirim kepada all Stns (seluruh stasiun radio) pada tanggal 10 Mei
1949.26
Untuk menyelesaikan perselisihan antara pemimpin PDRI dan pemimpin di
Bangka, Mohammad Hatta merasa perlu bertemu dengan ketua PDRI untuk
menjelaskan bahwa para pemimpin di Bangka sama sekali tidak mengabaikan PDRI.
Mohammad Hatta memberikan pengertian dan mengharapkan Syafruddin
Prawiranegara dapat menerima keputusan yang berada di Bangka. Syafruddin
Prawiranegara berpikir bahwa persatuan bangsa merupakan cita-cita tertinggi yang
ingin dicapai. Untuk itu ia menerima keputusan tersebut dan mereka bersedia kembali
ke Yogyakarta untuk mengembalikan mandatnya kepada Presiden Sukarno dan Wakil
Presiden Moh Hatta pada tanggal 13 Juli 1949.27
Adanya pro dan kontra dalam perundingan merupakan hal yang wajar.
Namun, karena tekad yang besar untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia
akhirnya para pemimpin PDRI dapat menerima hasil persetujuan Roem-Royen
meskipun harus melewati proses yang panjang. Perjuangan diplomasi dalam
persetujuan Roem-Royen merupakan jalan untuk mendapatkan kedaulatan Indonesia
kembali.
Keberhasilan pejuang Indonesia dalam bidang politik terutama dalam
perjuangan diplomasi tidak lepas dari peranan radio dalam menyalurkan informasi.
Melalui radio keadaan di Indonesia dapat diketahui dengan cepat oleh dunia
26 Ibid hlm 278.27 Ibid hlm 282-287.
75
internasional sehingga masalah Indonesia dan Belanda dapat segera diselesaikan
dengan bantuan dunia Internasional.
76
BAB V
RADIO SEBAGAI BAGIAN DARI PERJUANGAN KEMERDEKAAN
Sebagaimana telah diungkapkan di bagian depan skripsi ini, upaya Belanda untuk
menguasai kembali wilayah Indonesia terbukti dengan adanya Agresi Militer
Belanda Pertama dan Kedua. Untuk menghadapi upaya Belanda itu para pejuang
kemerdekaan telah menempuh strategi perjuangan dengan mengangkat senjata
maupun strategi diplomasi di meja perundingan. Akan tetapi kedua strategi tersebut
tidak mampu mengatasi kekuatan Belanda. Untuk itu diperlukan cara lain, yakni
menyebar luaskan berita-berita perjuangan kemerdekaan RI melalui radio ke luar
negeri. Radio milik AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia) merupakan salah
satu media komunikasi ke luar negeri yang pada waktu itu bisa digunakan, karena
tidak dikuasai oleh Belanda. Dalam bab ini akan dibahas mengenai radio milik
AURI yang digunakan para pejuang dalam Pemerintahan Darurat Republik
Indonesia (PDRI) sebagai sarana menyampaikan berita-berita tentang perjuangan
kemerdekaan RI ke luar negeri.
5.1 Stasiun Radio PHB (Perhubungan) AURI dan Perannya Dalam Pemerintah
Darurat Republik Indonesia (PDRI)
5.1.1 Radio PHB AURI “UDO” di Bidar Alam
Bidar Alam adalah desa yang terletak di Kabupaten Solok, Sumatra Barat.
Desa tersebut pernah dijadikan sebagai pusat PDRI yang diikuti oleh stasiun radio
PHB “UDO” sebagai alat komunikasi dalam perang gerilya. Untuk melakukan
hubungan komunikasi dengan anggota-anggota AURI, Komodor Udara H. Soejono
sebagai Komandemen AURI di Bukittinggi menggunakan tiga stasiun radio yang
77
dipimpin oleh Opsir Udara III Luhukay, Opsir Udara III Mohamad Sidik Tamimi
dan Opsir Muda Udara I Mohammad Jacoeb.
Dalam Agresi Militer Kedua, selain menyerbu Yogyakarta, Belanda juga
menyerbu Bukittinggi. Rombongan pemerintah sipil, termasuk Mr. Syafruddin
Prawiranegara dan Mr. Teuku Hasan, meninggalkan Bukittinggi untuk seterusnya
mengungsi ke Halaban. Komodor Udara H. Soejono menyerahkan stasiun radio
AURI kepada pemimpin PDRI Syafruddin Prawiranegara sebagai sarana
komunikasi dalam bergerilya. Radio pimpinan Opsir Udara III Mohamad Sidik
Tamimi diperintahkan untuk melayani rombongan ketua PDRI. Sementara itu radio
pimpinan Opsir Muda Udara I Mohammad Jacoeb digunakan untuk melayani
Gubernur Militer Sumatra Barat, sedangkan radio yang dipimpin oleh Opsir Udara
III Luhukay tidak sempat mengudara karena telah sengaja dibumihanguskan
sebelum sampai Halaban agar tidak dipakai oleh Belanda.1
Stasiun radio pimpinan M. Sidik Tamimi dalam menjalankan tugasnya
dibantu oleh sejumlah teknisi dan telegrafis yaitu Sersan Mayor Udara Kusnadi dan
Sersan Mayor Udara R. Udoyo. Selain itu radio Bidar Alam juga dibantu oleh
seorang perwira sandi untuk mempermudah menguraikan sandi yaitu Letnan Muda
Udara III Umar Said Noor. Stasiun radio Bidar Alam diberi nama PHB AURI
1 Subdisjarah , Peran TNI AU Pada Masa Pemerintah Darurat Indonesia
tahun 1948-1949,(Jakarta PT Bayu Mahardika, 2001), hlm 58.
78
“UDO”.2 Kode pangil (Call Sign) stasiun radio PHB “UDO” menggunakan
singkatan nama panggilan telegrafisnya yang bernama Udoyo. Sedangkan alat
pemancar yang digunakan oleh stasiun radio tersebut adalah Type sender MK III 19
Set Halicraft Wireless berukuran 30 x 60 cm dan ketinggian 20 cm.
Perjalanan bergerilya PDRI dimulai pada tanggal 24 Desember 1948 dari
Halaban menuju ke Bangkinang. Rombongan tersebut menggunakan Jeep untuk
mengangkut radio AURI. Pada tanggal 25 Desember 1948 rombongan PDRI tiba di
Bangkinang. Baru satu hari berada di Bangkinang pesawat Belanda menyerbu
daerah tersebut. Beruntung rombongan PDRI bisa selamat dan peralatan stasiun
radio AURI disembunyikan di bawah pohon karet sehingga Belanda tidak
mengetahuinya.3 Perjalanan rombongan PDRI selanjutnya menuju ke Pekan Baru,
Riau. Sebelum sampai ke Pekan Baru, pada pagi hari tanggal 28 Desember 1948 ada
informasi dari Mayor Akil bahwa daerah tersebut tidak aman dan disarankan supaya
rombongan menuju ke darah selatan yaitu ke Teluk sebuah kota kecil di wilayah
Riau. Setelah sampai ke Teluk rombongan PDRI masih sempat ditembaki oleh
pasukan Belanda. Akhirnya perjalanan dilanjutkan menuju ke Sungai Dareh. Pada
tanggal 1 Januari 1949 rombongan PDRI tiba di Sungai Dareh. Rombongan
beristirahat selama dua malam dan stasiun Radio PHB AURI “UDO” yang
2 Umar Said Noor. 1999. Peran Stasiun Radio PHB AUTI Selama Perang
Kemerdekaan RI II 1948, (Jakarta:Pustaka Sinar Harapan,1999), hlm.77-78.3 Ibid, hlm 81.
79
mengikuti rombongan tersebut sempat mengirim radiogram ucapan selamat tahun
baru kepada teman-teman stasiun radio PHB AURI di Sumatra maupun di Jawa.
Setelah beristirahat selama dua hari di Sungai Dareh, Syafruddin dan
rombongan memutuskan untuk menuju ke sebuah desa kecil yaitu Bidar Alam
dengan pertimbangan daerah tersebut cukup aman dan dekat dengan daerah gudang
beras sehingga kebutuhan makanan bagi anggota stasiun radio tidak akan
mengalami kesulitan. Dalam perjalanan menuju Bidar Alam rombongan dibagi
menjadi tiga. Pertama, rombongan Induk, yang dipimpin oleh Syafruddin
Prawiranegara. Rombongan ini menempuh jalur Sungai Batanghari dengan
menggunakan sampan yang digerakkan dengan dayung. Kedua, rombongan
Keuangan yang dipimpin oleh Mr. Loekman Hakim (Menteri Keuangan PDRI)
menuju Muara Tebo dengan naik perahu bermotor, membawa klise Oeang RI Poelo
Sumatera (ORIPS) untuk dicetak di Muaro Bungo. Ketiga, rombongan Stasiun
Radio, dipimpin oleh Wakil PDRI Mr. Teuku Hasan. Rombongan ini mengambil
jalan darat karena mereka takut jika melalui jalur sungai peralatan radio akan
tenggelam untuk itu mereka memutuskan dengan berjalan kaki. Setelah berpisah
kurang lebih dua minggu mereka bertemu kembali di Bidar Alam. Di tempat inilah
pemancar radio Perhubungan PHB AURI “UDO” mengadakan kontak dengan luar
negeri maupun dengan Pulau Jawa. 4
4 Keterangan mengenai ORIPS, Mesin Cetak Uang RI Muaro Bungo dirakit
oleh anggota-anggota AURI dari Jambi, yang dipimpin Opsir Udara III Soejono, dari bekas mesin cetak biasa. Hasil cetakan ORIPS itu diserahkan kepada Mr. Loekman Hakim, Menteri Keuangan PDRI dan dibagi-bagikan kepada pemerintah
80
Peran stasiun radio PHB AURI “UDO” yang mengikuti rombongan PDRI
sangat menentukan langkah PDRI, sebab berita-berita yang berupa warta berita dari
siaran radio dari luar negeri maupun dalam negeri selalu dimonitor oleh radio PHB
AURI “UDO” untuk diinformasikan setiap pagi kepada Ketua Menteri. Selain itu
radio tersebut juga menyampaikan radiogram-radiogram yang diterima khususnya
dari Jawa dan Sumatra, di mana dua menteri PDRI bertempat tinggal. Selanjutnya
radio PHB AURI “UDO” juga bisa memonitor siaran radio luar negeri. Umar Said
Noor seorang ahli sandi yang bekerja di stasiun radio Bidar Alam menjelaskan cara
kerja radio PHB “UDO” di Bidar Alam. Tulisnya:
“...Jadwal siaran biasanya malam hari, tidak pernah siang hari. Kita mulai bekerja sekitar pukul 10.00 malam dan berakhir menjelang 04.00 pagi. Kita mempunyai wewenang untuk mengirim dan menerima berita dalam lingkungan AURI. Sering kali berupa sandi yang perlu diuraikan dahulu. Oleh karena itu kita hanya berhubungan dengan zender-zender AURI saja... Kecuali itu, mengenai berita biasa seperti (siaran) Belanda, BBC dan ABC kita monitor terus. Juga sering menyadap sandi musuh. Sebaliknya tentu kita juga sering disadap mereka. Karena itu kita sering robah bahasanya, seperti pakai bahasa Jawa. Satu dipakai beberapa kali lantas diganti...”5
Dengan fasilitas radio para pejuang Indonesia bisa melakukan hubungan
dengan teman seperjuangan di tempat lain. Sebagaimana ditulis oleh Syafruddin
Prawiranegara “...Di Bidar Alam kami mengadakan hubungan dengan luar, kenang setempat di Muaro Bungo. http://pdri.multiply.com/journal/item/28. Akses tanggal 2 januari 2010.
5 Mestika Zed, Pemerintah Darurat Republik Indonesia (Sebuah Mata Rantai Sejarah Yang Terlupakan), (Jakarta:PT Pustaka Utama Grarafiti, 1997), hlm 129.
81
Syafruddin; membuat instruksi-instruksi, mengkoordinir perjuangan, mengirim
utusan-utusan, kurir-kurir, mengadakan kontak dengan pembesar-pembesar...”.6
PDRI bermarkas di Bidar Alam dari tanggal 7 Januari 1949 sampai dengan
25 April 1949. Mr. Syafruddin Prawiranegara menjadikan rumah penduduk yang
bernama Jama sebagai kantor markas PDRI. Di tempat ini pulalah dilangsungkan
sidang-sidang kabinet. Pada tanggal 23 April 1949 rombongan PDRI meninggalkan
Bidar Alam menuju ke Bukittinggi yang merupakan markas Gubernur Militer
Sumatra Barat yaitu Mr. M Rasyid.7 Hal ini disebabkan oleh adanya berita bahwa
Mr. Nasir dan Leimena akan menjemput ketua PDRI ke Bukittinggi. Pada waktu itu
stasiun radio ”UDO” ditinggalkan di Sinaur, Sampur Kudus, Sumatra Barat. Radio
tersebut ditinggal karena di daerah Kototinggi telah ada radio AURI sebagai sarana
komunikasi.
Pada waktu meninggalkan radio ”UDO” yang selama ini melayaninya
Syafruddin Prawiranegara mengatakan dalam bahasa Belanda:
”Zonder Jullie beteken ik niks (tanpa kalian saya tidak ada artinya apa-apa). Itulah satu-satunya penghargaan bagi kami awak Stasiun Radio PHB AURI ” UDO” yang amat mendalam artinya”.8
6 Ibid, hlm 1307 Rombongan PDRI meninggalkan Bidar alam karena pertimbangan sebagai
berikut, pertama, lokasi Bidar Alam tampaknya telah diketahui Belanda. Kedua, adanya berita-berita gencatan senjata dan adanya rencana perundingan antara Indonesia dengan Belanda. Ketiga, adanya rencana pertemuan antara ketua PDRI dengan Gubernur Militer. Lihat Subdisjarah , Peran TNI AU Pada Masa Pemerintah Darurat Indonesia tahun 1948-1949, (Jakarta: PT Bayu Mahardika, 2001), hlm. 64.
8 Umar Said Noor, Op. Cit., hlm 141-142.
82
Jelaslah bahwa peran radio dalam perjuangan kemerdekaan selain sebagai
sarana komunikasi juga sebagai alat perjuangan yang sangat strategis. Nilai strategis
yang dimiliki radio adalah kemampuannya untuk menjangkau batas-batas yang tidak
dapat ditempuh oleh fisik manusia. Radio juga dapat menembusi blokade-blokade
pasukan musuh serta dapat menangkis propaganda-propaganda yang merugikan
perjuangan Indonesia.
5.1.2 Stasiun Radio PHB AURI “ZZ” di Kototinggi
Kototinggi adalah kota di daerah Sumatra Barat merupakan tempat tinggal
Gubernur Militer Mr. M. Rasjid yang merangkap sebagai Menteri Keamanan dan
Sosial PDRI. Untuk melakukan komunikasi antara pejuang PDRI Gubernur Militer
Mr. M. Rasjid dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh radio milik AURI yang
berada di Kototinggi pimpinan Opsir Muda Udara I Mohammad Jacoub . Radio
PHB di Kototinggi ini merupakan sarana komunikasi yang sangat penting antara
pejuang PDRI karena pada awal Agresi Militer Belanda Kedua, Belanda telah
memutuskan sarana komunikasi antar kota baik di Jawa maupun di Sumatra. Dalam
keadaan seperti itu para pejuang kehilangan kontak satu sama lain. Ditambah lagi
Pesawat terbang AURI yang ada di Jawa dan Sumatra tidak dapat digunakan lagi
karena Bandara di wilayah Indonesia telah dilumpuhkan Belanda. Untuk itu stasiun
83
radio merupakan satu-satunya media komunikasi jarak jauh yang bisa diandalkan
oleh pejuang Indonesia dalam bergerilya.9
Anggota dari stasiun Radio di Kototinggi adalah Opsir Muda Udara I M.
Jacob sebagai pimpinan dengan ahli telegraf antara lain Zainoel Aziz, Soesatyo,
Soegianto, Soeryo. Stasiun Radio di Kototinggi menggunakan pemancar tipe zender
TCS-10 yang terdiri dari pesawat pemancar dan penerima.10 Stasiun radio di
Kototinggi ini diberi nama PHB AURI “ZZ” yang merupakan singkatan dari
telegrafisnya yang bernama Zainoel Aziz. Stasiun radio ini mulai melakukan siaran
pada tanggal 20 Desember 1948 dan siarannya dilakukan hanya pada malam hari
dengan cara mengatur jadwal sedemikian rupa untuk menghindari agar tidak
diketahui oleh Belanda.11
Stasiun PHB AURI “ZZ” dalam melakukan siaran bisa sampai ke radio luar
negeri khususnya India (lampiran 1). Sebagai contoh, pada suatu malam stasiun
radio PHB AURI “ZZ” mencoba melakukan hubungan dengan salah satu stasiun
9 Mestika Zed, Op. Ci.t, hlm 146.10 Alat pemancar ini merupakan barang tukaran dari Singapura yang
diperoleh melalui dr. Sunaryo beberapa tahun sebelumnya. Alat pemancar ini bekerja dengan memakai generator. Generator yang dipakai itu sebetulnya generator alat penerangan desa, yaitu satu mesin power Wagon Dodge yang memakai kopol untuk bisa memutar suatu dinamo. Generator ini berjenis H-1-Z dipasang di satu chasis fondasi besi yang beratnya antara dua setengah sampai tiga ton, yang ditarik dengan menggunakan kayu. Ibid, hlm 48.
11 Alat pemancar PHB AURI ”ZZ” ini semula berasal dari pangkalan udara Gadut/Bukittinggi. Pada tanggal 18 Desember 1948 M. Jacoeb sesuai perintah pimpinan AURI Komando Sumatra memindahkan alat itu ke sebuah bangunan bekas Benteng Fort de Kock abad-19, yang kemudian digunakan sebagai menara air minum untuk penduduk Bukittinggi. Mestika Zed Op. Cit., Hlm 148.
84
udara dan pada saat sedang mencari stasiun yang sedang mengudara, mereka
menemukan pemancar radio Australia sedang mengadakan komunikasi dengan
stasiun radio di India. Kemudian mereka berusaha menyamarkan frekuensi dan
meminta agar stasiun radio India dapat menyampaikan pesan kepada wakil RI di
New Delhi yakni Dr. Soedarsono. Dengan jalan demikian pihak PDRI dapat
menyampaikan berita-berita yang berharga dari perjuangan Republik Indonesia ke
luar negeri sampai ke PBB dengan sukses. Pada tanggal 19 Januari 1949 stasiun
radio PHB AURI “ZZ” mengirimkan berita dari ketua PDRI kepada Dr. Soedarsono
di India yang diteruskan ke Mr. Maramis (Menlu RI). Isi beritanya adalah
pemberitahuan kepada Mr. Maramis supaya dia mewakili Indonesia dalam Inter
Conference di New Delhi.12
Pemancar radio AURI di Kototinggi ini lebih kuat dan lebih jauh
jangkauannya dari pada radio yang di pakai di Bidar Alam. Menurut Zainoel Aziz
“pemancar yang dipakai di Bukit Tinggi pada awalnya dirancang khusus sebagai
alat komunikasi yang dipakai untuk hubungan antar resimen dan antar resimen
batalyon Angkatan Darat Inggris. Sedangkan alat pemancar yang di Kototinggi yaitu
alat yang sebelum Agresi Militer Belanda Kedua dipakai untuk hubungan di
Sumatra ke Jawa dan ke pesawat udara”.13
12 JR. Chaniago, Lintasan Sejarah PDRI 1948-1949,( Naskah Seminar PDRI
25-26 September 1989), Jakarta, 1989 hlm 12-13. 13 Op cit, Subdisjarah, hlm 51.
85
Siaran yang dilakukan oleh radio PHB AURI “ZZ” sangat aktif bahkan
melebihi siaran radio “ UDO” yang di pakai ketua PDRI. Oleh sebab itu Mr. Rasjid
sering ditegur oleh ketua PDRI Syafrudin Prawiranegara supaya jangan terlalu aktif
melakukan siaran mengingat pemancar radio PHB AURI ”ZZ” sangat kuat. Teguran
Syafruddin tersebut tidak dihiraukan oleh Mr. Rasjid. Setelah beberapa minggu
mengudara radio PHB AURI ”ZZ” mulai diincar oleh Belanda. Penyebuan Belanda
ke Bukittinggi dilakukan karena Belanda merasa terganggu oleh siaran radio AURI
yang berhasil merebut perhatian luar negeri. Mendengar pasukan Belanda yang
memasuki Kototinggi, para awak stasiun radio AURI “ZZ” dengan sigap
mengamankan seluruh peralatan pemancar sebelum Belanda datang. Para anggota
PHB AURI bersembunyi dan pasukan Belanda tidak berhasil menemukan pemancar
tersebut. Mereka menyembunyikan pemancar di gubuk dengan cara dikubur di
bawah tanah dan di atasnya ditutup dengan papan. Papan-papan tersebut kemudian
ditutup dengan daun-daun dan sampah serta permukaannya dilumuri dengan kotoran
kerbau, sehingga kelihatan kotor dan bau. Strategi tersebut terbukti berhasil karena
ketika pasukan Belanda tiba dan melihat gubuk kotor itu mereka enggan
membongkar kemudian mereka membiarkan begitu saja. Pasukan Belanda sama
sekali tidak menduga bahwa kandang sapi yang sudah dilewatinya tersebut
menyimpan alat-alat yang mereka inginkan. Padahal alat itu pemancar yang benilai
tinggi bagi perjuangan rakyat Indonesia. Berulang kali pesawat pengintai Belanda
berputar-putar di daerah Suluki dan Kototinggi untuk mencari kedudukan siaran
radio yang akan dihancurkannya dari udara. Pesawat mustang pengintai Belanda
86
agaknya telah berhasil mengidentifikasi kedudukan PDRI, tetapi mereka tidak
pernah mengetahui letak pasti stasiun radio di Kototinggi. Belanda lalu pergi
meninggalkan daerah tersebut.14
Setelah pasukan Belanda meninggalkan Kototinggi, pemancar radio tersebut
segera dipindahkan ke daerah pedalaman lagi yaitu di Sungai Dadok.15 Di Sungai
Dadok stasiun radio PHB AURI “ZZ” hanya bertahan kurang lebih 19 hari. Pada
tanggal 28 Januari 1949, demi keselamatan pemancar itu seluruh petugas dan
masyarakat setempat bekerja keras untuk memindahkan pemancar ke desa Mudik
Dadap. Alasan dipindahkannya pemancar ini karena lokasinya yang berada
beberapa meter saja dari jalan Bidar Alam, sehingga jika ada patroli Belanda akan
cepat ketahuan.
Sebenarnya perjalanan dari Sungai Dadok ke Mudik Dadap tidak terlalu
jauh, akan tetapi jalan desa menuju Mudik Dadap sangat licin dan berbatu sehingga
membutuhkan waktu yang lama untuk sampai ke Mudik Dadap. Pada waktu
pemindahan stasiun radio tersebut ada kejadian yang menyedihkan. Para pemuda
yang membawa set generator yang berjumlah 10 orang terpeleset ketika berjalan di
atas jembatan desa. Tebing sungai cukup tinggi kira-kira 5-6 meter. Opsir Udara M.
Jacoub tidak mau meninggalkan generator yang jatuh itu dan tetap berusaha
mengambil generator yang jatuh tersebut. Pada waktu itu hujan turun dan mengenai
14 Subdisjarah, Op. Cit., hlm 55.15 Pada malam itu pemcar radio dibawa dengan menggunakan truk,
kemudian ditarik ramai-ramai oleh warga kampung Paur Datar. Pada malam hari itu pemcar berhasil dibawa ke tempat yang dituju. Ibid , hlm 55
87
mata Jacoeb sehingga orang menyangka ia menangis. Untuk mengenang peristiwa
itu, jembatan tersebut diberi nama “Jembatan aia mato si Yakuik” (Jembatan air
mata Jacoeb).16 M. Jacoeb berusaha mempertahankan generator tersebut karena
kalau tidak ada generator, otomatis alat pemancarnya tidak bisa bekerja. Oleh
karena itu generator yang jatuh itu secepatnya diangkat supaya kawat dinamonya
tidak rusak. Pada keesokan harinya generator tersebut dapat diangkat. Beruntung
bahwa generator tidak mengalami kerusakan yang berat sehingga dapat diperbaiki
dan dapat difungsikan kembali.
Stasiun radio PHB AURI “ZZ” ini juga pernah melayani Mr. Sjafrudin
Prawiranegara sebelum ia meninggalkan Sumatra untuk menyerahkan mandat
kepada Sukarno pada tanggal 13 Juli 1949. Stasiun radio PHB AURI “ZZ” dan
Stasiun radio PHB AURI “UDO” setelah dipakai sebagai alat komunikasi dalam
Perang Kemerdekaan, sekarang tidak diketahui lagi nasib alat-alat sender dan
generatornya.
5.1.3 Stasiun Radio PHB AURI di Aceh
Perjuangan radio AURI di Aceh memiliki peran yang penting dalam upaya
mempertahankan kemerdekaan Indonesia karena Aceh memiliki pesawat radio
dengan frekuensi yang cukup kuat untuk melakukan komunikasi jarak jauh, baik di
dalam negeri maupun di luar negeri. Aceh mempunyai dua radio PHB AURI,
16 Subdisjarah, Op. Cit., hlm 55.
88
pertama radio AURI Kutaraja yang dioperasikan oleh teknisi Angkatan Udara
Pratikno dan yang kedua radio AURI di Tengse yang dioperasikan oleh Norbaman,
Soepajiono dan Soejoso Harsono. Kedua zender Aceh tersebut sangat membantu
kontak antara pusat PDRI di Sumatra Barat (Bidar Alam dan Bukittinggi), komando
di Jawa dan ke luar negeri seperti di India yang selanjutnya diteruskan ke Amerika
Serikat.17
Pada masa PDRI, Opsir Udara I Soejoso mengerahkan anggotanya secara
maksimal dalam mendukung para perjuangan Indonesia melawan penjajah Belanda.
Beberapa pemancar radio dipasang di pangkalan udara Blang Bintang dan Lok Nga
guna memudahkan komunikasi antar pangkalan-pangkalan di Jawa maupun
Sumatra. Pangkalan Udara Blang Bintang dan Tangse mempunyai pemancar radio
dengan daya pancar 6,4 mc/detik. Sebagai sarana komunikasi para perjuangan,
kedua pemancar radio ini dikoordinasi sebaik mungkin supaya berita-berita yang
masuk dapat segera diketahui dan berita-berita yang keluar dapat
dipertanggungjawabkan. Kedua pemancar radio ini sudah mempunyai tugas masing-
masing dan saling melengkapi. Artinya apabila pemancar radio di Blang Bintang
tidak menangkap berita di Sumatra Tengah, maka pemancar radio di Tangse akan
menyiarkan ke Kutaraja yang selanjutnya akan diteruskan ke Rangoon (Birma).18
Untuk menghadapi Agresi Militer Belanda Kedua Komandan Pangkalan
Udara Blang Bintang Opsir Udara I Soejono Karsono membagi PHB AURI menjadi
17 Mestika Zed, Op. Cit., hlm17118 Ibid , Hlm 67
89
tiga. Pertama, lini di Tangse yang menghubungkan markas dengan daerah
pertempuran. Tugas utama dari perhubungan radio ini aalah menginformasikan
mengenai situasi pertempura, perintah/komando rahasia dan secara rutin
mengadakan hubungan dengan lini ke dua yaitu Kutaraja. Kedua, lini di Kutaraja,
dilengkapi dengan pesawat radio MK 3 yang berkekuatan 15 watt. Pemancar radio
Kutaraja ini berhasil mengadakan hubungan dengan pemancar-pemancar PHB
AURI lainnya di Sumatra Barat, Sumatra Tengah dan Sumatra Selatan. Lebih jauh
lagi pemancar di Kutaraja ini dapat menampung berita dari Jawa yang kemudian
disiarkan ke luar negeri. Ketiga, lini di Bireun yang ditempatkan di Rimba Raya,
dengan tujuan sebagai cadangan PHB AURI apabila Belanda berhasil menduduki
Kutaraja.19 Siaran radio Kutaraja berguna untuk menyiarkan berita ke Burma. Berita
dari perwakilan RI di luar negeri diteruskan melalui pemancar PHB AURI Kutaraja.
PHB AURI Kutaraja telah menampung berita-berita yang dikirim dari tanah air
untuk disebarkan ke luar negeri.
Radio PHB AURI menjadi sarana penghubung antara para pejuang di daerah
pertempuran dengan para politisi di dalam negeri maupun perwakilan di luar negeri.
Semua pemberitaan ke luar negeri tentang situasi dan perkembangan perjuangan
Indonesia dikirim melalui radio Kutaraja (lampiran 2). Usaha lain yang dikerjakan
oleh PHB AURI adalah menetralisasi propaganda Belanda dan menyebarkan berita-
berita tentang politik agresi militer yang dilancarkan Belanda. Dengan demikian
19Ibid, hlm 65-66 .
90
melalui pemberitaan ini dunia luar mengetahui sifat perjuangan Indonesia yang
sebenarnya, berbeda dengan propaganda Belanda yang menyatakan bahwa TNI dan
pemerintah RI telah mati.
Sejak bulan Desember 1948 stasiun Kutaraja mengadakan hubungan dengan
radio PTT (Panglima Tentara Teritorium) di Aceh. Kerjasama tersebut antara lain
dalam bidang telegrafis dan penyiaran. Dalam bidang penyiaran dibentuk siaran
“The Voice of Free Indonesia in Free Territory” dalam bahasa Inggris. Berita yang
disiarkan itu dapat ditangkap sampai ke luar negeri antara lain Singapura, Malaysia
dan Birma.20 Hal tersebut mengundang simpati dan dukungan rakyat dari negara-
negara tersebut terhadap perjuangan rakyat Indonesia yang sedang menghadapi
Agresi Militer Belanda Kedua.21
Kerjasama PHB AURI di Aceh dengan PTT berlangsung hingga penyerahan
kedaulatan ketua PDRI kepada Sukarno. Semua pemeliharaan alat-alat PTT diurus
langsung oleh kepala PHB, sedangkan urusan personel dimasukkan dalam
administrasi AURI. Jawatan Penerangan menerima berita-berita dari luar Sumatra
dan selanjutnya distensil dan disebarkan kepada masyarakat umum. Pada waktu
Kolonel Hidayat dari Komando Teritorial Sumatra mengadakan perundingan
gencatan senjata di Medan pada tanggal 9 Agustus 1949, kepala PHB AURI
Kutaraja ditunjuk untuk menjabat Kepala perhubungan AURI Sumatra Utara yang
20 Disjarahu, Sejarah Perhubungan/Komunikasi dan Elektronika TNI
Angkatan Udara, Jakarta, 1978, hlm7521 Subdisjarah, Op. Cit., 2007, hlm 240-242.
91
berkedudukan di Kutaraja. Setelah penyerahan kedaulatan, susunan pekerjaan radio
di Aceh mulai teratur. PHB AURI Kutaraja menyerahkan kembali wewenang dan
tanggung jawab pekerjaan yang selama ini dijalankan pada jawatan yang berwenang
yaitu PTT.
Radio PHB AURI di Kutaraja setiap hari menyiarkan berita-berita dari
harian Semangat Merdeka kepada pemancar-pemancar di daerah Sumatra. Berita-
berita tersebut berupa laporan cepat (Stenographic) dari siaran berita radio di Jawa.
Dua kali seminggu PHB AURI di Kutaraja melakukan berhubungan dan
menyiarkan berita ke Birma. PHB AURI Birma telah lama beroperasi disana karena
untuk menampung berita-berita yang dikirim dari Indonesia untuk disebarkan ke
luar negeri.
Salah satu hal penting yang juga disiarkan oleh pemancar radio Kutaraja
adalah berita tentang Serangan Umum 1 Maret 1949. Berita tersebut juga dapat
diterima oleh wakil-wakil negara di luar negeri yang diteruskan ke perwakilan di
PBB. Berita seperti itu telah mematahkan propaganda politik Belanda di luar negeri
sekaligus memberikan dampak positif bagi perjuangan RI.
5.1.4 Stasiun Radio PHB AURI “PC-2” di Playen
Playen merupakan sebuah kecamatan di kabupaten Gunung Kidul. Desa
tersebut pada waktu Agresi Militer Belanda Kedua dijadikan tempat bergerilya,
karena kota Yogyakarta telah diduduki oleh pasukan Belanda. Untuk itu segala cara
ditempuh untuk menyelamatkan segala sarana dan prasarana perhubungan supaya
92
tidak jatuh ke tangan Belanda. Agresi Militer Belanda Kedua memaksa
dipindahkannya pemancar radio PHB AURI “PC-2” yang semula berada di daerah
Terban Taman Yogyakarta ke Banaran, Playen, Gunungkidul.22
Ada beberapa alasan pemindahan pemancar radio ke daerah Banaran.
Pertama, Banaran merupakan dusun yang cukup tersembunyi dari incaran Belanda,
sehingga aman untuk mengadakan siaran. Kedua, rasa gotong-royong masyarakat
desa masih sangat tinggi, sehingga faktor ekonomis terutama bantuan makan dan
kebutuhan sehari-hari dapat diperoleh dengan mudah. Peralatan stasiun radio AURI,
dengan call sign PC-2, diletakkan di dapur rumah keluarga petani milik
Pawirosetomo. Pembangkit listrik disembunyikan di tungku tanah dan ditutupi kayu
bakar. Sedangkan antenanya direntangkan pada dua batang pohon kelapa, dipasang
hanya pada malam hari untuk melakukan siaran. Sedangkan pada pagi hari
perlengkapan tersebut disembunyikan agar tidak diketahui Belanda.23
Rencana operasi PHB AURI secara sederhana dimaksudkan untuk tetap
memelihara hubungan radio di mana pun, bagaimana pun, dan dalam keadaan
apapun. Operasi PHB darurat ini dituangkan dalam rangkaian perintah instruksi
kepada semua stasiun secara bertahap, baik lisan sebagai standing-procedure
22Boediarjo, Peranan Perhubungan TNI-AU Dalam Perang kemerdekaan,(Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah Yogyakarta, 1993), Hlm 6-8.
23 Pada waktu itu AURI telah bersepakat menggunakan nama panggilan atau call sign dengan huruf sandi-sandi tertentu untuk menjaga keamanan dan keberhasilan bersama yang biasanya telah dikenal oleh mereka. Biasanya jajaran AURI menggunakan sandi kemudian dirangkaikan dengan singkatan nama telegrafis yang bertugas. Subdisjarah Dispenau, Awal Kedirgantaraan di Indonesia, Perjuangan AURI 1945-1950, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2007, hlm 225
93
maupun tulisan dalam amplop berlapis yang boleh dibuka hanya pada saat Belanda
menyerang tempat pos masing-masing. Perintah operasi PHB darurat meliputi hal-
hal berikut:
a. Langsung “kukut” dengan teratur dan segera menuju ke tempat “evakuasi” yang sebelumnya sudah harus dipilih dan disiapkan secara rahasia.
b. Membumi-hanguskan markas/stasiun radionya.c. Selesai menyiapkan alat perlengkapan di lokasi yang baru, agar
“to lay low” telebih dahulu sebelum mengudara lagi (pura-pura mati).
d. Sementara itu “lapor” pada stasiun tempur yang terdekat akan kehadirannya di lokasi yang baru.
e. Setelah vakum sekitar seminggu sampai 10 hari, supaya mengudara dengan frekwensi yang ditentukan (dalam aplop berlapis) dan mencari hubungan dengan panggilan baru yang telah disepakati yaitu singkatan nama telegrafis yang sudah saling kenal pada jam-jam yang sudah ditentukan.
f. Kalau sudah terjalin hubungan atau jaringan dalam pertukaran berita, selanjutnya menggunakan sistem sandi yang baru, hanya kalau perlu saja.24
Radio PHB AURI “PC-2” mengudara pada malam hari pada pukul 20.00-
04.00 WIB dengan menggunakan frekwensi tidak menentu agar tidak mudah dilacak
pihak Belanda. Kegiatan radio PHB AURI “PC-2” ini menyiarkan usaha-usaha yang
dilakukan para pejuang di Jawa, menginformasikan perjuangan di Sumatra. Stasiun
PHB AURI “PC-2” sangat berjasa dalam menyiarkan keberhasilan Serangan Umum
1 Maret 1949 yang berhasil menguasai kembali Yogyakarta selama 6 jam. Berita
Serangan Umum 1 Maret ini segera disiarkan ke daerah-daerah lain melalui sarana
komunikasi radio. Radiogram Serangan Umum 1 Maret dikirim melalui kurir ke
24 Boediarjo, Op. Cit., hlm 2-3
94
stasiun radio Angkatan Darat di desa Dukuh (3 KM dari Banaran) dibawah
pimpinan Koesoemo Dartojo. Dari sini selanjutnya dikirim ke PHB AURI “PC-2”
di Playen dibawah pimpinan OU. Boediardjo. Aksi berita dari stasiun radio “PC-2”
kemudian dikirim kepada ketua PDRI serta perwakitan RI di luar negeri yang
diterima oleh radio PHB “UDO” pada tanggal 2 Maret 1949. Pada tanggal 3 Maret
berita tersebut dilaporkan oleh OU.III Dick Tamimi kepada ketua PDRI Mr.
Syafruddin Prawiranegara. Berita tersebut segera dikirim ke radio lain yaitu
pemancar radio di Aceh, Kototinggi serta radio gerilya lainnya. Dengan
disiarkannya berita tersebut mau ditunjukkan bahwa TNI masih memiliki kekuatan
yang besar, karena pada waktu itu Belanda telah menyebarkan berita bahwa RI dan
TNI telah mati. Siaran berita tentang Serangan Umum 1 Maret 1949 dilaksanakan
pada pukul 02.00 WIB tanggal 2 Maret 1949, ke seluruh jaringan radio AURI
bahkan sampai ke PBB.25 Berita tersebut dikirimkan oleh Sersan Basuki Hardjo
seorang operator stasiun PHB AURI “PC-2” Playen, dan diterima oleh Sersan Udara
Kusnadi operator radio PHB AURI ”UDO” di Bidar Alam. Keesokan harinya, 3
25 Pada tanggal 1 Maret 1949 TNI melancarkan serangan ke Yogyakarta.
Serangan itu dilakukan atas inisiatif Sri Sulhan Hamangkubuwono ke IX dan dikomandani oleh letkol Suharto dan dikenal dengan serangan umum. Kota Yogyakarta dapat di duduki selama 6 jam yaitu pukul 07.00 dampai pukul 13.00. Kota Yogyakarta dapat diduduki kembali oleh Belanda karena Belanda mendatangkan pasukan dari Gombong, Magelang dan Semarang. TNI melaporkan kejadian itu kepada PDRI di Sumatra, kemudian PDRI meneruskan laporan itu ke wakil Indonesia di New Delhi dan Dr. Sudarsono meneruskan laporan itu ke DK-PBB di New York. Akibat serangan umum tersebut menjadikan pembicaraan DK-PBB dan dunia internasional. Seskoad, Serangan Umum 1 Maret 1949 Latar Belakang dan Pengaruhnya ,(Bandung: Depdikbud), hlm 246-251.
95
Maret 1949, berita tersebut dilaporkan oleh Opsir Udara III Dick Tamimi dan Unsur
Said kepada Ketua PDRI Mr. Sjafruddin Prawiranegara. Berita tersebut segera
dikirim ke stasiun-stasiun radio di Tangse, “ZZ” Bukittinggi. Melalui radio di
Tangse berita dikirim ke stasiun radio di Rangoon, Birma kemudian dilanjutkan ke
New Delhi dan disampaikan ke perwakilan RI untuk PBB di Washington, Amerika
Serikat. Pejabat perwakilan RI di PBB membeberkan berita itu di depan sidang
Dewan Keamanan PBB pada tanggal 7 Maret 1949. Berita tersebut membuat posisi
Belanda semakin tersudutkan dan menyulitkan usaha Belanda untuk kembali
menguasai Indonesia. Belanda merasa terpojok, dan akhirnya mau melakukan
perundingan lagi dengan Indonesia hingga tercapainya Konferensi Meja Bundar.26
Dengan adanya siaran Serangan Umum 1 Maret 1949 tersebut, hampir setiap
hari pesawat Belanda melakukan patroli di daerah Banaran, Playen untuk
mengetahui keberadaan radio PHB “PC-2”. Pada tanggal 10 Maret 1949 Belanda
menerjunkan pasukannya di lapangan Gading, Wonosari dan pada saat itu juga para
pejuang berkemas-kemas untuk melakukan perintah operasi yang pada waktu itu
sudah dirancang. Rombongan dibagi dalam beberapa kelompok kecil, lalu bergerak
menuju ke desa Brosot, sebagai transit untuk selanjutnya menuju ke Wates tempat
MBKD (Markas Besar Kodam Djawa) berada. Akibat serangan Belanda ke stasiun
radio PHB AURI “PC-2” tidak dapat mengudara lagi.
26 Subdisjarah, Op. Cit., hlm 77-79
96
Stasiun radio PHB “PC2” di Banaran, Playen, Gunungkidul sungguh sangat
berjasa besar dan mempunyai arti penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan.
Untuk mengenang peristiwa bersejarah tersebut maka di Banaran didirikan tugu
peringatan Perang Rakyat Semesta. Tugu ini oleh sebagian besar masyarakat sering
disebut “Monumen Stasiun Radio AURI “PC2” (lampiran 3). Pembangunan
monumen tersebut diprakarsai oleh Yayasan 19 Desember dan dikerjakan oleh PT.
Adhi Karya Yogyakarta dan diresmikan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX pada
tanggal 10 Juli 1984.27
5.2 Radio dan Perjuangan Kemerdekaan Setelah PDRI
5.2.1 Pemimpin di Bangka Memprakarsai Perundingan Dengan Belanda
Radio merupakan sarana komunikasi yang paling efektif pada masa Agresi
Militer Belanda Kedua. Hal itu terbukti bahwa siaran radio PHB milik AURI keluar
negeri mampu berperan dalam usaha meyakinkan dunia internasional bahwa RI
masih tetap dalam bentuk PDRI. Hal tersebut segera mengundang simpati dari
negara tetangga terutama India. PM India Pandid Jawaharal Nehru terkejut
mendengar berita tentang agresi Belanda di Indonesia. Tanpa ragu-ragu, Nehru
langsung mengecam agresi Belanda tersebut dan ia berpidato bahwa:
“tak satupun kekuatan yang dapat menghalangi kebangkitan negeri-negeri Asia dan kebijakan luar negeri kita menghendaki agar tidak ada lagi kekuatan asing yang akan menguasai negeri Asia
27 Majalah Kartika, Gunungkidul, tanggal 18 November 1985.
97
manapun juga. Reaksi terhadap tindakan militer Belanda akan segera didengar oleh semua negeri Asia dan kita harus melakukan sesuatu”. 28
Keesokan harinya pers dan media masa di India menyiarkan pidato Nehru
tersebut. Balai Penerangan Indonesia di New Delhi berhasil mengembangkan
kerjasamanya dengan media massa di India yaitu All India Radio (AIR).AIR
menyediakan pelayanan khusus, bukan hanya untuk menyiarkan “suara Indonesia”
di luar negeri, tetapi juga menyampaikan usulan berita mengenai perkembangan
politik Indonesia. AIR dengan sendirinya membuat masalah yang ada di Indonesia
dapat mengundang simpati di luar negeri.29
Dengan bantuan pemancar radio di Jawa Sumatra dan Aceh, informasi
terbaru mengenai perristiwa-peristiwa dan tindakan militer Belanda di Indonesia
dapat dipantau oleh siaran radio dunia, termasuk Dewan Keamanan PBB. Melihat
perlakuan Belanda terhadap Indonesia, maka pada tanggal 20 sampai 23 Januari
1948 diadakan konverensi di New Delhi. Hasil dari konvernasi tersebut adalah
pertama, membebaskan tahanan pemimpin RI tanpa syarat. Kedua, melakukan
gencatan senjata kepada kedua belah pihak dan ketiga mengadakan perundingan
dibawah UNCI.30 Pemerintah Belanda menolak usul konverensi tersebut. Sebagai
tindak lanjut akhirnya UNCI memberikan ultimatum kepada Belanda supaya
28 Mestika Zed, Op. cit, hlm 21829 Ibid, hlm 219.30 Masyarakat Sejarawan Indonesia, PDRI (Pemerintah Darurat Republik
Indonesia) Dikaji ULang), Jakarta, 1990, hlm. 130.
98
menarik pasukannya sampai tanggal 15 Februari 1949 dan apabila ultimatum
tersebut tidak dipenuhi maka akan dilaporkan kepada Dewan Keamanan PBB.
Setelah mendapatkan untimatum dari UNCI, Belanda dengan wakilnya
Dr.Beel mengajukan usul supaya mempercepat penyerahan kedaulatan kepada
pemerintah federal, mengadakan Konferensi Meja Bundar dan membicarakan Uni
Indonesia-Belanda.31 Sifat licik Belanda yang lama rupanya tidak pernah berubah.
Pada saat Belanda mulai terdesak, mereka bersedia berkompromi di meja
perundingan. Selain itu Belanda memilih Sukarno-Hatta untuk diajak berunding
pada hal pada waktu itu pemimpin pemerintahan yang sah adalah Syafruddin. Hal
tersebut disengaja oleh Belanda supaya di Indonesia terjadi perpecahan antara para
pejuang PDRI dan para pemimpin yang diasingkan di Bangka.
Kesediaan para pemimpin di Bangka untuk berunding dengan Belanda
membuat kecewa para pejuang PDRI. Syafrudin Prawiranegara sebagai pemimpin
PDRI secara tegas menolak perundingan tersebut karena menurutnya “perundingan
dilakukan dengan pemerintahan yang ditawan (bukan pemerintah resmi, PDRI),
kurang pahamnya pemimpin di Bangka mengenai kekuatan tentara yang dalam
waktu tidak lama lagi dapat mematahkan kekuatan Belanda”.32 Sementara itu
Panglima Besar Jendral Sudirman sebagai Pemimpin TNI menolak terhadap
perundingan tersebut. Ia mengatakan bahwa :
31 Ajib Rosidi, Sjafruddin Prawiranegara Lebih Takut Kepada Allah SWT,(Jakarta: Inti Dayu Press, 1986), hlm 132.
32 JR. Chaniago, dkk, PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia dalam Khasanah Kearsipan), Jakatra,1989, hlm 29-30.
99
“...Apakah orang-orang yang masih dalam tahanan atau pengawasan Belanda berhak merundingkan, lebih-lebih menentukan sesuatu yang berhubungan dengan politik untuk menentukan suatu negara kita, sedangkan telah ada pemerintah pusat darurat yang telah diresmikan sendiri oleh PYM Presiden ke seluruh dunia pada tanggal 19 Desember 1948...Golongan mana yang benar, hanya sejarahlah yang dapat menentukan, tetapi keadaan semenjak tanggal 19 Desember 48 menjadi bukti yang nyata, bahwa semua perundingan dimasa lampau penderitaan pahit belaka yang tidak dapat dilupakan oleh tiap-tiap orang yang benar-benar berjuang. Dalam menghadapi kemungkinan perundingan yang akan datang, yang merupakan perundingan yang terakhir yang akan menentukan nasib negara dan bangsa kita, kita harus buat sesuatu, teliti dan hati-hati...”33
Kesediaan pemimpin yang di Bangka untuk berunding dengan Belanda
menghasilkan perundingan Roem-Royen. Perundingan tersebut telah dipantau oleh
anggota PDRI dari berbagai sumber, termasuk dari hubungan radiogram dengan
Panglima Besar Jendral Sudirman. Sebagai reaksi dari perundingan Roem-Royen,
Syarifuddin Prawiranegara mengadakan musyawarah besar PDRI yang berlangsung
tanggal 14-17 Mei 1949 di Sampur Kudus. Dalam rapat itu Syarifudin menentang
dan menyesali langkah yang telah diambil oleh Sukarno-Hatta. Sebagai
konsekwensi dari sikap PDRI, Syarifuddin akan mengembalikan mandatnya kepada
Sukarno-Hatta. Hal ini karena Syarifuddin sudah tidak memiliki wewenang untuk
memimpin RI. Hal itu lebih terhormat jika Syarifuddin mengembalikan mandatnya
dari pada mandatnya dicabut.
Hatta sebagai wakil dari perundingan RI dengan Belanda telah berhasil
melaksanakan perundingan. Usaha Hatta selanjutnya adalah bertemu ketua PDRI
33 Mestika Zed, Op. cit., hlm 251.
100
untuk menyampaikan bahwa pemimpin di Bangka tidak mengabaikan PDRI. Selain
itu Hatta juga memberikan pengertian dan mengharapkan Syafruddin Prawiranegara
dapat menerima keputusan dari pemimpin Bangka. Akhirnya Syafruddin Prawira
negara dan para pemimpin lainnya bersedia untuk menerima hasil perundingan
Roem-Royen demi tercapainya persatuan dan kesatuan Indonesia. Untuk
merealisasikan dari hasil perundingan Roem-Royen selanjutnya RI-Belanda
melaksanakan Konferensi Meja Bundar
5.2.2 Konferensi Meja Bundar
Dengan adanya siaran di Radio, posisi Belanda makin terjepit akibat
tekanan dari PBB dan dunia internasional yang ditujukan kepadanya. Akibatnya
tidak ada pilihan lain bagi Belanda kecuali berunding guna menyelesaikan
permasalahannya dengan Indonesia. Hasil perundingan tersebut adalah Perjanjian
Roem-Royen yang ditandatangani tanggal 7 Mei 1947.
Dengan adanya persetujuan Roem-Royen yang telah ditandatangani oleh
Belanda dan Indonesia, selanjutnya kedua pihak sepakat untuk melaksanakan
Konferensi Meja Bundar (KMB). Perundingan KMB dimulai pada tanggal 23
Agustus 1949 di Bangsal Kesatria (Ridderzaal) Den Haag negeri Belanda. Delegasi
Indonesia dipimpin oleh Drs. Mohammad Hatta. Delegasi BFO (Dewan
Permusyawaratan Federal) dipimpin oleh Soeltan Hamid Algadrie II. Sedang
delegasi Belanda dipimpin oleh Menteri Seberang Lautan Mr. Van Maarseveen.
101
Sementara itu delegasi UNCI sebagai penengah dipimpin oleh diplomat Australia,
Chritchley.
KMB menghasilkan naskah dan persetujuan yang lengkap yang mengatur
hubungan antara Indonesia dan Belanda, yang pokoknya adalah: pertama, serah
terima kedaulatan dari pemerintah kolonial Belanda kepada Republik Indonesia
Serikat kecuali Papua bagian barat. Kedua, RIS dan Belanda bersama-sama
membentuk suatu Uni yang dikepalai oleh Raja Belanda untuk mengurus
kepentingan bersama. Ketiga, Belanda menuntut Indonesia untuk membayar hutang
sebesar 1,3 Milyar Dollar AS kepada Belanda 34
Untuk mengadakan segala persiapan berkenaan dengan pengakuan
kedaulatan RIS dan alat kelengkapan negara, pada tanggal 6-14 Desember 1949
KNIP mengadakan sidang untuk membahas hasil-hasil KMB dan selanjutnya
menyepakati Konstitusi RIS. Pada tanggal 16 Desember 1949, Soekarno dipilih
sebagai Presiden RIS dan Mohammad Hatta sebagai wakil presiden RIS yang
selanjutnya dilantik pada tanggal 17 Desember 1949. Kabinet RIS sendiri terbentuk
pada tanggal 20 Desember 1949.35
Setelah kedua belah pihak sepakat dengan hasil persetujuan tersebut
selanjutnya dilaksanakan penyerahan Kedaulatan kepada RIS pada tanggal 27
Desember 1949 di Istana Den Daag, Belanda dari PM Drees kepada PM Hatta. Di
Jakarta juga dilaksanakan upacara serah terima Pemerintah Hindia Belanda yang
34 G. Moedjanto. Ibid, hlm 56-57.35Ibid, hlm 323-325
102
diwakili Lovink kepada delegasi RI yang dipimpin oleh Sri Sultan
Hamengkubuwono IX. Hasil dari KMB sebenarnya tidak memuaskan bagi
Indonesia karena Indonesia harus menerima sebagai negara federasi (RIS), akan
tetapi diterima karena dapat menjadi sumber harapan bagi terbentuknya Indonesia
sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
103
BAB VI
PENUTUP
Usaha Belanda untuk kembali menguasai wilayah Indonesia terbukti dengan
adanya Agresi Militer Belanda Pertama dan Kedua. Dalam menghadapi serangan
Belanda tersebut, para pejuang Indonesia menggunakan strategi perjuangan dengan
mengangkat senjata. Akan tetapi, strategi perjuangan bersenjata saja tidak cukup
karena Indonesia tidak saja kalah dalam persenjataan tetapi juga secara strategi
militer. Untuk itu para pejuang menggunakan strategi diplomasi di meja perundingan.
Meskipun demikian strategi diplomasi tersebut tidak cukup kalau hanya dilakukan di
dalam negeri. Strategi diplomasi harus disertai dengan diplomasi ke luar negeri.
Dalam rangka diplomasi ke luar negeri inilah peran radio sangat penting. Contohnya
adalah ketika RI diserang oleh Belanda dalam Agresi Militer Belanda Kedua, di mana
para pemimpin RI ditangkap oleh Belanda dan Ibukota RI dikuasai oleh Belanda.
Peristiwa tersebut membuat para pejuang RI yang berada di Sumatra mendirikan
PDRI. Kabar tentang berdirinya PDRI tidak beredar sampai ke luar negeri. Untunglah
bahwa pada waktu itu ada radio PHB AURI yang menyiarkan adanya PDRI ke luar
negeri sehingga dunia internasional bisa mengetahui keadaan sebenarnya tentang
yang terjadi di Indonesia.
Contoh peran penting radio PHB AURI yang sangat menonjol adalah terkait
Serangan Umum 1 Maret 1949. Meskipun TNI dan para gerilyawan hanya dapat
menguasai Yogyakarta selama enam jam, namun karena hal itu disiarkan ke luar
104
negeri maka PBB dapat mengetahui bahwa RI dan TNI masih ada. Upaya ini
merupakan bantahan atas propaganda Belanda yang memberitakan bahwa TNI dan RI
telah dihancurkan. Berita tentang Serangan Umum 1 Maret tersebut segera disiarkan
secara estafet oleh stasiun radio AURI “PC 2” melalui radio PHB “UDO” di Bidar
Alam kemudian dilanjutkan ke stasiun radio AURI di Aceh. Dari Aceh berita ini
kemudian diteruskan melalui radio di Birma dan dilanjutkan ke New Delhi untuk
disampaikan ke perwakilan RI untuk PBB yang berada di Washington, Amerika
Serikat. Dengan demikian adanya berita yang disiarkan oleh radio PHB milik AURI
sangat membantu upaya para pejuang Indonesia dalam menggalang opini dunia untuk
mendukung perjuangan kedaulatan RI melawan Belanda.
Saran:
Penulisan sejarah yang ada di Indonesia kebanyakan membahas tentang
politik dan tokoh-tokoh terkenal. Sehingga penulisan sejarah yang membahas
mengenai perjuangan kemerdekaan RI tidak banyak ditulis oleh para sejarawan,
terutama yang berkaitan dengan peran radio Perhubungan (PHB) milik AURI yang
berperan dalam mengirim berita ke luar negeri. Oleh karena itu penulis berharap
kepada para peneliti dan pemerhati sejarah dapat mengembangkan penelitian ini
lebih jauh lagi sehingga akan menjadi sebuah informasi yang lebih lengkap dan dapat
memberikan sumbangan dalam meningkatkan pemahaman sejarah, khususnya yang
terkait dengan peran radio dalam perjuangan kemerdekaan.
.
105
Daftar Pustaka
Agung, Ide Anak Agung Gde, Pernyataan Roem Van Royen 7 Mei 1949, Jakarta:Yayasan Pustaka Nusantara bekerjasama dengan Sebelas Maret University Pess,1995.
Algadri, Hamid , Suka Duka Masa Revolusi, Jakarta: UI Press, 1991.
Anwar, Rosihan, Sejarah Kecil “Petite Historire”Indonesia, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004.
Badan Musyawarah Musea, 1985, Yogya Benteng Proklamasi, Yogyakarta: Badan Musyawarah Musea, 1985.
Boediarjo, Peranan Perhubungan TNI-AU Dalam Perang kemerdekaan, Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah Yogyakarta, 1993.
Chaniago, J.R, Lintasan Sejarah PDRI 1948-1949,(Naskah Seminar PDRI 25-26 September 1989), Jakarta: 1989.
Chidmad, Tataq, Pelurusan Sejarah Serangan Oemoem 1 Maret 1949, Yogyakarta: Media Presindo, 2001.
Departemen Luar negeri, Sejarah Diplomasi Republik Indonesia: Dari Masa Ke Masa Periode 1945-1950, Jakarta: Departemen Luar Negeri RI, 2004.
Depdikbud, Sejarah Kebangkitan Nasional Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,1979.
Djoened, Marwati, Sejarah Nasional Jilid V, Jakarta: Depdibud, 1993.
Dinas Sejarah TNI-AD, Sudirman Prajurit TNI Teladan, diterbitkan oleh Dinas Sejaran TNI-AD Jakarta : Disjarah-AD, 1978.
Disjarah, Sejarah Perhubungan/Komunikasi dan Elektronika TNI Angkatan Udara, Jakarta: 1978.
Onong Uchjana Effendy, Radio Siaran dan Praktek, Bandung: Penerbit Alumni, 1979.
106
Ensiklopedi Nasional Indonesia Jilid 14, Jakarta: P.T Cipta Adi Pustaka, 1990.
Gottschalk, Louis, Mengerti Sejarah, Jakarta: UI-Press,1985.
Kahin, George Mc.Turnan, Nasionalism dan Revolusi Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995.
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Jakarta: Yayasan Bentang Budaya,1995.
T.A. Rousydi Lathief, , Dasar-Dasar Rhetorica Komunikasi dan Informasi, Medan:Firma Rimbow,1989.
Lembaga Pembina Jiwa 4, Indonesia Kini dan Esok, Jakarta: Lembaga Pembimbing Jiwa 45, 1974.
Maladi, R, Perang rakyat Semesta 1948-1949, Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah,1994.
Marsidji, Pemerintah Darurat Republik Indonesia, Jakarta: Tirtamas1982.
Mclelland, Charles A. Ilmu Hubungan Internasional teori dan system, Jakarta:CV Rajawali, 1981.
Moedjanto, G., Indonesia Abd ke -20 jilid I, Yogyakarta: Kanisius, 1989.
___________, Indonesia Abd ke -20 jilid II, Yogyakarta: Kanisius, 1974.
Nasution, A.H., Tjatatan-tjatatan Sekitar Politik Militer Indonesia, Jakarta: Pembimbing, 1954.
Noor, Umar Said, Peran Stasiun Radio PHB AUTI Selama Perang Kemerdekaan RI II 1948, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,1999.
Nur, Johan, Di Bawah Pendudukan Jepang: Kenangan Empat Puluh Dua Orang yang Mengalaminya, Jakarta: ANRI,1988.
Onghokham, Runtuhnya Hindia Belanda, Jakarta: PT. Gramedia, 1789.
Pringgodigo, A.K, Sejarah pergerakan Rakat, Jakarta: Dian Rakyat, 1980.
107
Rosidi, Ayip, Syarrudin Prawiranegara Lebih Takut Kepada Allah SWT, Jakarta: Inti Idayu Press, 1986.
Sagimun .M.D, Perlawanan Rakyt Indonesia Terhadap Fasisme Jepang, Jakarta: Inti Idayu, Press, 1985.
Sanusi, Anwar, Replika sejarah Perjuangan Rakyat YogyakartaI, Yogyakarta: Dinas Propinsi DIT, 1983.
Sardjono dan Marsidji, Pemerintah Darurat Republik Indonesia, Jakarta: Tirtamas, 1982.
Seskoad, Seragan Umum 1 Maret 1949 Latar Belakang dan Pengaruhnya, Bandung: Depdikbud.
Hasan Shadily, Ensiklopedi Indonesia, Jakarta: Ichtiar Baru -Van Hoeve, 1980
Simantupang, T.B, Laporan Dari Banaran; Kisah Pengalaman Seorang Prajurit Selama Mas Perang Kemerdekaan ,Jakarta: PT. Pembangunan, 1960.
Sorensen, George dan Robet Jackson Pengantar Studi Hubungan Internasional,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
Subdisjarah, Peran TNI AU Pada Masa Pemerintah Darurat Indonesia tahun 1948-1949, Jakarta: PT Bayu Mahardika, 2001.
Subdisjarah Dispenau, Awal Kedirgantaraan di Indonesia, Perjuangan AURI 1945-1950, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007.
Abdul Rachman Surjomihardjo, Jr Chaniago, PDRI: Pemerintah Darurat Republik Indonesia Dikaji Ulang, Jakarta: MSI, 1990.
Suhartono, Sejarah Pergerakan nasional, Dari Budi Utomo sampai Proklamasi Kemerdekaan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1994.
Suwarno, P.J., Sejarah Birokrasi Pemerintah Indonesia Dulu dan Sekarang, (Yogyakarta: UAJY, 1989.
Tobing, KML., Perjuangan Politik Bangsa Indonesia, Jakarta: Gunung Agung, 1986.
____________, Perjuangan Politik Bangsa Indonesia Linggarjati, Jakarta: PT. Gunung Agung, 1986.
108
____________, Perjuangan politik Bangsa Indonesia Renville, Jakarta: PT Gunung Agung, 1986.
Toer, Pramoedya Ananta, Kronik Revolusi Indonesia, Jilid IV (1948), Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2002.
Baskara T Wardaya, , Indonesia Melawan Amerika (Konflik Perang Dingin 1953-1963), Yogyakarta: Galang Press,2008
Wild, Colin dan Peter Carey,Gelora Api Revolusi, Jakarta: Gramedia,1986.
Mestika Zed, Some Where in the Jungle: Pemerintah Darurat Republik Indonesia, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997.
30 Tahun Kemerdekaan Indonesia, Mengungkap Kembali Semangat perjuangan 1945, Jakarta: Departemen RI.
50 tahun RRI Yogyakarta Mengudara, Yogyakarta: Aditya Media 1995.
Sumber Majalah
Majalah Kartika, Gunungkidul, tanggal 18 November 1985.
Sumber Internet
http://swaramuslim.net/galery/sejarah. Data di akses tanggal 9 Mei 2009.
http://opensource.telkomspeedy.com/wiki/index.php/Sejarah_Radio_Republik_Indonesia. Akses pada tanggal 23 November 2009.
http://duniaradio.blogspot.com/2008. Akses tanggal 23 November 2009.
http://id.wikipedia.org/wiki/Agresi_Militer_Belanda_I. Akses tanggal 28 Desember 2009.
http://pdri.multiply.com/journal/item/28. Akses tanggal 2 januari 2010.