Upload
sumandari-ardiyanti
View
65
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
peran mahasiswa
Citation preview
awKETIKA MAHASISWA BERGERAK DAN MERUBAH WAJAH
POLITIK 1965
“Kalau rakyat Indonesia terlalu melarat, maka secara ‘natural’ mereka bergerak sendiri. Dan kalau ini terjadi maka akan terjadi
chaos. Lebih baik kalau mahasiswa yang bergerak. Memang karena disiplin kita bersedia untuk menderita, tetapi…to the last point
apakah ABRI akan memihak rakyat yang menderita dan bersedia menunjukkan uung bayonetnya pada koruptor dan kalau perlu
dengan Pemerintah korup ini”(Soe Hok Gie, 2004: 124)
Kalimat yang digunakan sebagai pembuka ini diambil dari catatan harian
seorang tokoh pemuda Indonesia keturunan Tionghoa yang nasionalis, idealis tetapi
juga realistis; Soe Hok Gie. Anak keempat dari lima bersaudara keluarga Soe Lie Piet
alias Salam Sutrawandi yang tinggal di rumah sederhana di kawasan Kebon Jeruk,
sejak kecil gemar membaca, mengarang dan memelihara binatang. Seorang pemuda
biasa yang bisa mewakili gerakan pemuda pasca angkatan ‘45 (angkatan ‘66). Lahir
di Masa Jepang, dewasa pada masa Orde Lama, dan meninggal pada masa Orde Baru.
Walaupun meninggal dalam usia muda, Soe Hok Gie membuktikan bahwa dia
adalah mahasiswa sejati dengan meninggalkan banyak tulisan kritisnya. Di antaranya
berupa catatan harian dan artikel yang dipublikasikan di koran-koran nasional.Tidak
hanya kritis terhadap pemerintahan Sukarno tetapi juga termasuk sebagai orang
pertama yang berani mengkritik pemerintahan Suharto. Meski tidak meninggal dalam
berjuang, seperti halnya Arif Rahman Hakim yang meninggal saat berdemonstrasi
bersama rekan-rekan mahasiswa menentnag pemerintahan Sukarno dan menuntut
Tritura. Namun Soe Hok Gie telah membuktikan bahwa dia sebagai mahasiswa
angkatan ‘66 tetap konsisten terhadap orang-orang malang dan tidak tergiur masuk
dalam lingkar kemunafikan. Seperti sebagian rekan-rekan mahasiswanya dimana
pada saat masih berstatus sebagai mahasiswa, menentang kebijakan pemerintah yang
mencekik leher rakyat namun setelah lulus dan bekerja di pemerintahan bertindak
sama seperti pemerintah sebelumnya. Soe Hok Gie mengenyam bangku sekolah di
SMA Katholik Kanisius, kuliah di bidang Ilmu Sejarah Universitas Indonesia (1961-
1969). Setelah lulus menjadi dosen bagi almamaternya.
Jelas sekali di sini gambaran mahasiswa sebagai kaum intelektual yang kritis
dan berjiwa revolusioner sudah ada sejak masa pergerakan yang membawa bangsa
Indonesia pada kesadaran akan kebangsaan serta memperoleh kemerdekaan. Dan
ketika kemerdekaan dari penjajah telah diperoleh, perjuangan masih terus berlanjut;
yang oleh Sukarno diibaratkan sebagai ‘revolusi tidak pernah berakhir’. Dengan niat
tulus menyalurkan aspirasi rakyat maka terjadilah sejumlah demonstrasi dari
perkumpulan-perkumpulan mahasiswa yang menuntut perubahan politik pada
pemerintah.
“Tak ada asap tanpa api”. Gerakan kepemudaan mahasiswa pada tahun 1966
itu dilatarbelakangi oleh faktor yang multidimensional dan kompleks yang terjadi di
masyarakat yang sangat mempengaruhi para mahasiswa.
Latar Belakang Ekonomi
Masuknya ribuan investasi dari pemodal asing di Indonesia (sejak 1957—
bahkan dengan menasionalisasikan perusahaan-perusahaan asing) yang pada akhirnya
justru menimbulkan suatu sistem penindasan yang sungguh amat sangat luar biasa
sekali bagi rakyat Indonesia. Pembangunan fisik berupa bangunan-bangunan
monumental ramai digalakkan. Sementara itu, kehidupan perekonomian masyarakat
memperlihatkan gejala ‘yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin’ dalam
kasus yang sangat memprihatinkan. Harga sembako membludak, kelaparan terjadi
dimana-mana. Keadaan perekonomian di tanah air kian tidak terkendali sebagai
akibat adanya depresi ekonomi pada sekitar dekade 60-an yang semakin parah saja.
Hal ini menyebabkan pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan baru seperti
pemotongan nilai mata uang (Sanering) yang justru semakin mempersulit kehidupan
rakyat Indonesia. Inflasi meningkat tajam. Mahasiswa juga mengalami tragedi
semacam ini, hanya saja kodratnya sebagai pemuda intelektual menuntut untuk
bertindak lebih realis dan tegas pada pemerintah daripada rakyat yang hanya bisa
diam.
Latar Belakang Sosial-Budaya
Harga sembako membludak, kelaparan terjadi dimana-mana. Kemampuan dan
kesempatan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari kian sulit. Apakah mahasiswa
kala itu akan diam saja, menyaksikan pandangan miris dimana seorang pengemis
yang karena laparnya terpaksa memakan kulit mangga dari tempat sampah, padahal
beberapa ratus meter dari tempatnya berdiri adalah Istana Kepresidenan dimana
segala bentuk kemewahan tersedia, apalagi sekedar makanan.
Tidak seluruh pemuda Indonesia dapat mengenyam pendidikan hingga
perguruan tinggi, terlebih dalam kondisi ekonomi yang cukup sulit seperti tahun 60-
an. Menyadari bahwa mereka adalah selected few yang harusnya bahagia karena
memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan tinggi (yang dapat kuliah) dan
oleh sebab itu mereka melibatkan diri dalam pergerakan menentang pemerintah atas
nama rakyat. Dan kepada rakyat para mahasiswa ingin menunjukkan bahwa mereka
dapat mengharapkan perbaikan-perbaikan dari keadaan yang ada dengan menyatukan
diri di bawah pimpinan ‘patriot-patriot universitas’ dan agent of change.
Situasi Politik dalam Kehidupan Kampus
Karena sifat sistem sebelumnya (Demokrasi Parlementer) sangat liberal maka
kehidupan parlemen didominasi oleh partai-partai politik.1 Bahkan kabinet sering
jatuh bangun. Hal ini terus berlanjut hingga era 60-an (Demokrasi Terpimpin).
Banyak pula mahasiswa yang selain tergabung dalam organisasi kampus juga
menjadi anggota kelompok atau partai di luar kampus. Termasuk ajaran Sukarno
tentang Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunis) sangat menguntungkan PKI
karena menjadikannya sebagai unsur yang sah yang berkaitan dengan pergerakan
bangsa. Kebebasan berpolitik di kampus sangat berkembang.
Jalannya Gerakan Mahasiswa ‘66
Tahun 1966 ketika mahasiswa tumpah ke jalan menuntut Tritura,2 para
mahasiswa saling menggabungkan diri di dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia
(KAMI) dan Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) di barisan paling
1 Empat partai besarnya antara lain; Masyumi, Partai Nasional Indonesia (PNI), Nahdlatul Ulama (NU) serta PKI. Sularto. (2002). Lihat Dialog dengan Sejarah: Soekarno Seratus Tahun. Jakarta: Kompas. hlm. 55.
2 Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat): Bubarkan PKI dan ormas-ormasnya, Bersihkan Kabinet Dwikora dari unsur-unsur PKI, Turunkan harga dan perbaiki ekonomi.
depan. Sebagai bentuk tidak puas terhadap pemerintah. Aksi tersebut dalam sekejap
segera memperolah dukungan dari berbagai partai politik dan organisasi-organisai
massa bahkan militer juga membentuk aliansi mahasiswa-militer.
Perjalanan sejarah umat manusia tidak bisa lepas dari jiwa jaman. Kehidupan
politik dan penguasa yang berlaku saat itu sangat berperan membentuk muka sejarah
bangsa ini. Dekrit 5 Juli 1957 menjadi tonggak Demokrasi Terpimpin “à la Sukarno”
dan dimulailah kekuasaan tunggalnya. Pada suatu waktu PKI dielu-elukan, hubungan
baik dengan negara Komunis sekaliber Cina pun demikian intim. Pasca
Pemberontakan G 30 S pemerintah jijik dan ingin cuci tangan dari segala hal yang
berbau PKI. Tertuduhnya Soekarno ikut terlibat dalam PKI menjadikannya sebagai
tahanan rumah di Istana Bogor hingga pemerintahan berpindah tangan ke suharto
pasca Surat Perintah 11 Maret 1966. Seandainya penulis menjadi mahasiswa tahun
1965/ 1966 penulis tentu tidak dapat berbuat apa-apa kecuali mengikuti arus
pergerakan mahasiswa pada saat itu yang bersatu dan berjuang bersama rekan-rekan
mahasiswa lain demi perubahan yang lebih baik.
Sumber Pendukung
Dake, Antonie C. A. (2005). Berkas-berkas Sukarno 1965-1967: Kronologi Suatu Keruntuhan. (a.b. Loek Pattiradjawane, dkk). Jakarta: Aksara Karunia
Marwati Djoened Poesponegoro. (1993). Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka.
Ricklefs. (2004). Sejarah Indonesia Modern. (a.b. Dharmono Hardjowidjono). Yogyakarta: UGM Press
Soe Hok Gie. (2004). Catatan Seorang Demonstran. Jakarta: LP3ES.Sularto. (2002). Dialog dengan Sejarah: Soekarno Seratus Tahun. Jakarta: Kompas. http://countrystudies.us/indonesia/19.htmartikel
KETIKA MAHASISWA BERGERAK DAN MERUBAH
WAJAH POLITIK 1965
Disusun Guna Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Refleksi Sejarah Indonesia
Bertema ”Peran Mahasiswa dalam Perubahan Politik 1965”
Dosen Pengampu: Prof. A. Daliman, M.Pd
Danar Widiyanta, M.Hum
oleh:
Santi Vera Mulyani (04406241036)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2007