Peran Komunikasi Dalam Penyelesaian Konf

Embed Size (px)

Citation preview

  • 8/17/2019 Peran Komunikasi Dalam Penyelesaian Konf

    1/28

     

    PERAN KOMUNIKASI DALAM PENYELESAIAN

    KONFLIK HORIZONTAL DI INDONESIA 

    Oleh:

     YUHDI FAHRIMAL, S.I.Kom., M.I.Kom(Dosen Prodi Ilmu Komunikasi, Universitas Teuku Umar) 

    Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seoranglaki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-

    bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal,sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah

    ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mendengar.

    (Q.S. Al -Hujarat ; 13)

    Pendahuluan

    Konflik menjadi momok yang menakutkan bagi warga negara. Hal ini karena

    efek yang timbul akibat konflik itu, seperti, kehilangan harta benda, dirampasnya hak

    milik tanah, pendudukan wilayah, bahkan hilangnya nyawa. Konflik sudah ada sejak

    manusia hadir di muka bumi. Pertarungan antara Habil dan Qabil anak Nabi Adam

    a.s. dianggap sebagai konflik dan pembunuhan pertama yang terjadi di bumi. Seiring

    waktu berjalan, sejarah dunia mencatat bahwa tidak ada satu masa pun dalam

    kehidupan manusia lepas dari konflik.

    Bagi ilmuwan sosial, konflik merupakan suatu kewajaran dalam kehidupan

    manusia. Para ilmuwan teori konflik seperti Ralf Dahrendorf mengatakan,

    masyarakat sebenarnya mempunyai unsur-unsur konflik (Haryanto, 2012; 39).

    Dalam pandangan ini berarti juga bahwa manusia dan konflik itu merupakan satu

    kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Konflik muncul akibat adanya kepentingan

    manusia dan upaya pemenuhan kepentingan itu. Kepentingan dalam hal ini dapat

    pula berupa kebutuhannya. Jika mengacu kepada Teori Evolusi Darwin, hanya yang

    mampu beradaptasi yang mampu bertahan hidup. Nyatanya bahwa kemampuan

  • 8/17/2019 Peran Komunikasi Dalam Penyelesaian Konf

    2/28

     

    beradaptasi ini tidak jarang dilakukan melalui cara-cara pertahan diri untuk

    memenuhi kebutuhan. Cara-cara pertahan diri inilah yang cenderung disebut

    sebagai konflik.

    Indonesia sebagai bangsa yang besar dengan keberagaman etnis dan agama,

    menjadi daerah yang rawan terjadi konflik, termasuk konflik horizontal. Laporan dari

    United Nations Support Facilities for Indonesia Recovery   (UNSFIR) yang

    dipublikasikan pada tahun 2004, menunjukkan terdapat 4.720 kasus konflik

    horizontal (komunal) yang terjadi di Indonesia dalam rentang waktu 1999-2003

    dengan jumlah korban tewas 11.160 jiwa (Hasrullah, 2009; 8). Belum lagi data

    infrastruktur yang rusak, seperti, rumah yang dibakar, masjid atau gereja yang

    dibakar, dan lain sebagainya. Melihat angka tersebut tentunya menjadi gambaran

    betapa besarnya dampak yang ditimbulkan oleh konflik, maka banyak orang

    cenderung melihat konflik sebagai sebuah tragedi kemanusiaan  –alih-alih sebagai

    bagian integral dalam kehidupan manusia untuk mencapai tujuan hidupnya.

    Konflik horizontal dapat dimaknai sebagai konflik yang melibatkan gesekan dan

    pertempuran antar masyarakat. Konflik yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia

    menunjukkan antara lain kurangnya kemampuan pemerintah dalam mengatasi

    penyebab terjadinya konflik. Konflik muncul dengan menggunakan simbol-simbol

    etnis, agama, dan ras. Hal ini terjadi akibat adanya akumulasi "tekanan" secara

    mental, spiritual, politik sosial, budaya dan ekonomi yang dirasakan oleh sebagian

    masyarakat. (Lamria, 2004).

    Banyak ilmuwan dan peneliti sosial merinci dan memformulasikan penyebab-

    penyebab konflik horizontal di Indonesia. Meskipun kebanyakan adalah faktor

    ketimpangan ekonomi dan kegagalan akulturasi masyarakat pendatang dengan

    masyarakat pribumi. Namun yang paling penting dan tidak bisa dilupakan begitu saja

  • 8/17/2019 Peran Komunikasi Dalam Penyelesaian Konf

    3/28

     

    adalah faktor komunikasi. Komunikasi selalu menjadi masalah yang melekat pada

    konflik antar etnis. Kalau bukan sebagai penyebab terjadinya konflik, maka ia

    menjadi masalah yang kemudian muncul pasca-konflik. Sayangnya, urgensi

    komunikasi dalam kehidupan tidak dilihat sebagai aspek penting yang perlu dibenahi

    maka yang kemudian terjadi adalah konflik horizontal yang tak kunjung habis dan

    cenderung akan berulang, mengingat negara Indonesia adalah negara multi-etnis

    terbesar di dunia. Komunikasi sebagai pemicu terjadinya konflik dikarenakan

    kemacetan komunikasi yang terjadi baik antara elite politik (pemerintah) dengan

    masyarakat ataupun sesama masyarakat. Komunikasi dapat menjadi trigger  

    (pemicu) terjadinya konflik baik vertikal maupun horizontal. Namun komunikasi juga

    dapat menjadi pencegah terjadinya konflik. Komunikasi dapat pula menjadi sarana

    sebagai jalan keluar dari sebuah konflik.

    Indonesia; Negara Laten Konflik 

    Indonesia merupakan negara yang luasa dan menjadi salah satu negara

    kepulauan terbesar di dunia. Jumlah penduduk Indonesia berdasarkan hasil Sensus

    Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010 adalah 237,641,326 jiwa. Terjadi

    pertumbuhan penduduk sebesar lebih dari 30 juta jiwa selama kurun waktu 10

    (sepuluh) tahun terakhir, yaitu, tahun 2000 penduduk Indonesia hanya 206,264,595

     jiwa (www.bps.go.id, 2010). Dengan jumlah penduduk yang sebesar itu, Indonesia

    masuk ke dalam lima negara dengan penduduk terbesar di dunia.

    Lantas bagaimana dengan jumlah sukubangsa di Indonesia? Mengingat

    Indonesia adalah negara kesatuan yang memiliki kebhinnekaan (keberagaman)

    suku, budaya, etnis, ras, dan agama. Berdasarkan data sensus Badan Pusat

    Statistik (BPS) tercatat ada 1.128 sukubangsa yang hidup di wilayah Indonesia

  • 8/17/2019 Peran Komunikasi Dalam Penyelesaian Konf

    4/28

     

    (www.jpnn.com, 2010). Akan tetapi data ini bukanlah data spesifik karena masih ada

    sukubangsa yang belum terdata. Salah satu kendala dalam melakukan sensus

    suskubangsa ini adalah keberadaan tiap sukubangsa ini yang tersebar bahkan

    berada di daerah-daerah terpencil. Jumlah agama yang dianut oleh masyarakat

    Indonesia dan diakui oleh negara adalah Islam (88%), Kristen Protestan (6%),

    Khatolik Roma (3%), Hindu (2%), Budha (kurang dari 1 %) (Gunawan, 2011; 213).

    Semua etnis dan agama tersebut tersebar di seluruh wilayah Indonesia dan

    terkadang membentuk wilayah masing-masing. Saat globalisasi menerpa Indonesia

    dimana kemajuan di bidang teknologi transportasi dan komunikasi menjadi

    indikatornya, terjadi pula mobilisasi besar-besaran. Satu etnis tidak hanya hidup di

    satu tempat saja melainkan hidup di tempat lain bersama dengan etnis atau suku

    lain. Setiap saat terjadi perpindahan (migrasi) orang-orang dari berbagai suku

    bangsa. Pertemuan-pertemuan ini pula yang menyebabkan terjadinya gesekan

    antara pendatang dengan etnis pribumi. Gesekan ini dapat dimaknai sebagai konflik.

    Pola perpindahan penduduk (lewat transmigrasi dan urbanisasi) membentuk

    kemajemukan yang kompleks di sejumlah daerah, akibatnya konflik komunal tidak

    dapat terhindarkan. Kebijakan transmigrasi yang dicanangkan pemerintah,

    mendistribusikan penduduk (mayoritas etnis Jawa) ke berbagai daerah di Indonesia.

    Mereka bekerja di perkebunan, tambang, atau pertanian di daerah-daerah yang saat

    itu minim pembangunan. Tujuan dari program transmigrasi ini adalah agar terjadi

    pemerataan penduduk dan pemerataan ekonomi. Akan tetapi pada kenyataannya,

    program ini pula yang menjadi pemicu munculnya konflik di tengah masyarakat.

    Sejarah mencatat bahwa Indonesia memiliki identitas nasional seiring lahirnya

    gerakan pemuda Indonesia yang mengikrarkan Sumpah Pemuda pada tahun 1928,

    namun waktu mencatat bahwa persatuan sejati bangsa Indonesia dalam bentuk

  • 8/17/2019 Peran Komunikasi Dalam Penyelesaian Konf

    5/28

     

    identitas nasional tidak pernah sungguh-sungguh ada (Sarwono, seperti dikutip

    Mirawati, 2011; 250). Identitas nasional yang dibangun oleh funding father bangsa

    Indonesia tidak sepenuhnya bisa melahirkan rasa kebangsaan dan kesatuan di

    benak masyarakat. Masyarakat hanya mengerti dan paham jati diri sukubangsa-nya

    tanpa mau peduli dengan kondisi sukubangsa lainnya, meski mereka sama-sama

    hidup di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kondisi ini membuat konflik antar-

    warga selalu terjadi hampir setiap saat. Pada masa Orde baru potensi konflik dapat

    dikendalikan guna menjaga stabilitas nasional untuk menyukseskan pembangunan

    nasional. Pengendalian konflik konflik pada masa Orde Baru pun dominan

    menggunakan kekuatan militer. Ruang gerak masyarakat dikontrol oleh militer,

    bahkan militer masuk ke dalam kerja-kerja sipil seperti menjadi bupati, gubernur,

    anggota DPR, bahkan menteri.

    Keberagaman sukubangsa dan agama yang ada di Indonesia tidak disertai

    dengan kesadaran berbangsa dan bernegara. Sikap toleransi atar sesama

    masyarakat tidak terpupuk dengan baik. Sikap toleransi ini dapat disikapi dengan

    perilaku menghargai perbedaan budaya yang ada. Samovar, Porter, dan McDaniel

    (2010; 490) mengatakan bahwa setiap manusia baik yang memasuki budaya baru

    atau berada dalam lingkungan yang berbeda budaya patut menumbuhkan sikap

    saling menghargai dan bertoleransi terhadap perbedaan budaya. Pendapat ini

    didasari oleh kenyataan bahwa manusia itu adalah berbeda meskipun terlihat sama,

    untuk beberapa hal khusus manusia itu berada dalam sebuah bentuk perbedaan

    yang nyata, seperti, jenis kelamin, umur, pendidikan, dan etnis.

    Negara Indonesia yang multikultural membuat Indonesia berada dalam skala

    negara laten konflik. Negara laten konflik ini maksudnya adalah meskipun di tataran

    luar konflik horizontal di Indonesia dapat dikendalikan bahkan ditekan

  • 8/17/2019 Peran Komunikasi Dalam Penyelesaian Konf

    6/28

     

    kemunculannya, akan tetapi setiap saat konflik tersebut akan terulang kembali.

    Potensi konflik tetap ada dan berkembang di tengah masyarakat, hanya menunggu

    pemicunya saja. Jika pemicunya disulut maka konflik antar masyarakat tidak dapat

    dihindarkan. Kondisi ini sangat memungkinkan terjadi di Indonesia karena belum

    terlaksananya penanganan konflik secara baik oleh pemerintah dan masyarakat,

    meskipun pemerintah baru mengesahkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012

    tentang Penangan Konflik Sosial.

    Kondisi konflik horizontal di Indonesia diperparah oleh kepentingan elite politik

    (pemerintah) yang ikut menjadi pemicu lahirnya konflik di tengah masyarakat. Konflik

    mencuat kepermukaan bukan karena agama atau etnis melainkan karena dipicu

    oleh kepentingan elit dalam perebutan kekuasaan, apakah itu tingkat lurah, camat,

    bupati, samapi level gubernur. Agama dan etnis dimobilisasi menjadi konflik SARA

    sehingga dalam sekejab berubah menjadi perang etnis (Cangara, 2005; 8).

    Salah satu konflik yang melibatkan kepentingan elite politik (pemerintahan)

    sebagai pemicu terjadinya konflik adalah konflik Poso, Sulawesi Tengah.

    Berdasarkan hasil studi Hasrullah (2009; 177-179) menemukan bahwa meskipun

    yang terlihat dipermukaan bahwa konflik Poso merupakan konflik antara dua agama

    yang berbeda (Islam dan Kristen) akan tetapi motif dan latar belakang terjadinya

    konflik diakibatkan oleh perebutan kepentingan politik elite lokal. Perebutan

    kekuasaan ini berimplikasi kepada the winner take all , sehingga elite dari salah satu

    kelompok menjadi dominan. Menurut Jusuf Kalla (dalam Hasrullah, 2009; 26),

    secara historis, Poso didominasi oleh umat Kristen, sementara umat Islam hanya

    kecil jumlahnya (katakanlah 60 persen umat Kristen, 40 persen umat Islam). Pada

    masa Orde Baru distribusi kekuasaan dilakukan secara berimbang. Semua elite

    mewakili kelompok agama masing sehingga konflik cenderung dapat dikendalikan.

  • 8/17/2019 Peran Komunikasi Dalam Penyelesaian Konf

    7/28

     

    Setelah reformasi bergulir dan membawa kepada demokrasi serta terbukanya

    infrastruktur maka jumlah ini terbalik. Umat Islam menjadi lebih banyak dari umat

    Kristen. Setelah Pemilihan Umum (Pemilu) 1998, kelompok Islam menjadi

    pemenang karena mereka mendominasi dengan jumlah yang dominan. Kondisi ini

    dimanfaatkan oleh elite untuk merekrut orang-orang dari kelompok yang sama

    dengannya. Terjadilah disparitas yang tinggi, sehingga kelompok Kristen merasa

    tidak terwakili. Kondisi inilah yang menjadi ihwal awal terjadinya konflik Poso.

    Demikian pula dengan konflik-konflik horizontal lainnya di Indonesia. Agama

    dan etnis hanya menjadi balutan luar konflik. Konflik yang dihembuskan melalui

    embel-embel agama lebih cepat dan efektif dalam menggerakkan massa. Orang

    mau berperang demi membela agamanya sekalipun ia jarang melakukan ritual

    keagamaan. Fanatisme terhadap agama dalam konflik tidak hanya melibatkan

    penduduk lokal, orang-orang dari luar daerah konflik pun akan ikut berperang dan

    membantu saudara-saudaranya se-iman. Saat konflik Poso dan Ambon, terjadi

    pergerakan orang-orang dari luar dua daerah tersebut. Mereka mengatasnamankan

    dirinya sebagai Laskar Jihad yang membantu dan membela saudara-saudara

    muslimnya. Tidak hanya dari sisi muslim, umat Kristen dari luar Poso dan Ambon

    pun ikut membantu saudara-saudaranya yang se-agama. Dampaknya adalah konflik

    cenderung berlangsung lama dan sulit dikendalikan.

    Konflik Horizontal; Pola Konflik “Baru” di Indonesia? 

    Beragamnya etnis yang hidup di Indonesia menjadikan Indonesia sebagai

    negara dengan masyarakat multikultural terbesar di dunia. Usman Pelly (2003)

    menyatakan masyarakat multikultural adalah masyarakat negara, bangsa, daerah,

    bahkan lokasi geografis terbatas seperti kota atau sekolah yang terdiri atas orang-

  • 8/17/2019 Peran Komunikasi Dalam Penyelesaian Konf

    8/28

     

    orang yang memiliki kebudayaan yang berbeda-beda dalam kesederajatan. Pada

    hakikat-nya masyarakat multikultural adalah masyarakat yang terdiri atas berbagai

    macam suku yang masing-masing mempunyai struktur budaya (culture) yang

    berbeda-beda. Dalam hal ini masyarakat multikultural tidak bersifat homogen,

    namun memiliki karakteristik heterogen di mana pola hubungan sosial antarindividu

    di masyarakat bersifat toleran dan harus menerima kenyataan untuk hidup

    berdampingan secara damai ( peace co-exixtence) satu sama lain dengan

    perbedaan yang melekat pada tiap entitas sosial dan politiknya (Gunawan, 2011;

    216).

    Kondisi masyarakat multikultural ini cenderung rawan konflik, khususnya konflik

    horizontal (komunal). Konflik horizontal atau konflik antar-entis, suku, kelompok, dan

    agama di Indonesia sudah ada sejak lama di Indonesia. Bahkan sejak Indonesia

    masih berbentuk kerajaan-kerajaan, perang antar kerajaan dan perebutan

    kekuasaan antar-saudara selalu terjadi. Namun, pola konflik ini dapat ditangani

    dengan berkumpulnya para pemuda Indonesia pada tahun 1928 dan melahirkan

    Sumpah Pemuda, dimana janji para pemuda Indonesia dan seluruh rakyat Indonesia

    untuk berbangsa, bernegara, dan berbahasa satu yaitu Indonesia. Ide dan gagasan

    dari pemuda Indonesia ini akhirnya termanifestasi dalam bentuk proklamasi

    kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno dan

    Mohammad Hatta setelah 3,5 abad dijajah oleh Belanda dan 1,5 abad dijajah oleh

    Jepang. Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia ini menjadi babak baru bagi

    Negara Republik Indonesia sebagai negara dan bangsa yang berdaulat serta

    bermartabat.

    Sebagai negara republik baru, pemerintah Indonesia berupaya untuk

    mencanangkan program kehidupan berbangsa dan bernegara dengan falsafah

  • 8/17/2019 Peran Komunikasi Dalam Penyelesaian Konf

    9/28

     

    Pancasila. Maka dilakukanlah doktrin-doktrin kebangsaan seperti Bhinneka Tunggal

    Ika, “berbeda-beda tapi tetap satu juga”. Doktrin ini dilakukan oleh pemerintah

    mengingat keberagaman etnis di Indonesia. Negara Indonesia yang luas dan besar

    akan sangat sulit dikelola tanpa adanya kesatuan paham kebangsaan guna

    mendukung gerak pembangunan negara ke arah yang lebih baik.

    Kondisi sosial dan perekonomian masyarakat ditata dengan baik guna

    mencapai kesejahteraan. Pemerintahan Indonesia di bawah kendali Orde Lama

    masih belum kuat dengan banyaknya intrik dan politisasi oleh para elite negara.

    Sehingga program-program kesejahteraan masyarakat masih berjalan terseok-seok.

    Masih adanya perang ideologi antara blok barat (Amerika) dan blok timur (Uni

    Soviet) saat itu menjadikan Indonesia harus banyak fokus pada politik luar negeri.

    Sebagai negara-bangsa baru, Indonesia memerlukan dukungan dan relasi yang baik

    dengan negara-negara tetangga. Hal ini guna memantapkan posisi Indonesia

    sebagai negara-bangsa berdaulat di mata dunia.

    Pemerintahan Orde Lama jatuh setelah prosesi Gerakan 30 September Partai

    Komunis Indonesia (G30S/PKI). Oleh kejadian ini, pemerintah Orde Lama tumbang

    dan digantikan oleh pemerintahan Orde Baru di bawah komando Jenderal Soeharto.

    Fokus pemerintahan Orde Baru adalah pada program pembangunan nasional. Guna

    menyukseskan pembangunan nasional diperlukan stabilitas nasional. Untuk

    mencapai itu semua, pemerintah Orde Baru melibatkan peran militer yang besar

    mulai dari jajaran menteri, anggota legislatif tingkat pusat dan daerah, bahkan

    sampai kepada gubernur, bupati, camat, hingga lurah dikuasai oleh militer.

    Dominannya peran militer ini terwujudnya stabilitas keamanan dan ketertiban di

    masyarakat.

  • 8/17/2019 Peran Komunikasi Dalam Penyelesaian Konf

    10/28

     

    Bukan tidak ada insiden yang dapat mengganggu keamanan dan ketertiban.

     Akan tetapi pendekatan militeristik  –meminjam istilah Nye (Djumala, 2013; 3) hard

     power   –menyebabkan insiden-insiden itu dapat dikendalikan. Namun, bukan berarti

    konflik serta merta berakhir hanya karena dominasi militer dan pola represif yang

    dilakukan oleh Orde Baru. Justru ideologi separatisme berkembang pesat di tengah

    masyarakat. Contohnya, Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Republik Maluku Selatan

    (RMS), dan Organisasi Papua Merdeka (OPM) lahir dan berkembang pada masa

    Orde Baru berkuasa. Meskipun gerak mereka masih underground agar tidak

    diketahui militer, namun bukan berarti pergerakan separatisme ini dapat diabaikan

    begitu saja. Inilah menjadi cikal bakal konflik di masa setelah Orde Baru.

    Tidak hanya dominasi peran militer yang menyuburkan ideologi pemberontakan

    di Indonesia. Program transmigrasi pemerintah turut pula menyumbang sumbu

    konflik di masyarakat. Dengan dalil pemerataan ekonomi dan penduduk, pemerintah

    melakukan penyebaran penduduk (mayoritas etnis Jawa) ke beberapa daerah

    terpencil tapi memiliki sumber daya alam yang melimpah. Pola perpindahan

    penduduk ini menjadi kemajemukan yang kompleks bagi masyarakat. Kompleksitas

    itu dapat dilihat melalui realitas bahwa penduduk pendatang cenderung mengalami

    peningkatan ekonomi lebih tinggi dari pada pribumi. Ketimpangan ekonomi ini

    menyebabkan kecemburuan sosial yang selama Orde Baru hanya berada dalam

    tataran “bawah tanah” saja. 

    Bukan hanya ketimpangan ekonomi yang begitu tinggi, kegagalan akulturasi

    pendatang dengan pribumi juga menjadi faktor munculnya benih konflik. Kaum

    pendatang cenderung eksklusif dan tidak mau membaurkan dirinya dengan

    masyarakat setempat. Kondisi ini diperparah oleh stereotip-stereotip yang

    berkembang baik di masyarakat pendatang maupun pribumi. Mirawati dalam Bajari

  • 8/17/2019 Peran Komunikasi Dalam Penyelesaian Konf

    11/28

     

    dan Saragih (2011; 260) mencatat bahwa dalam konflik etnis di Kalimatan Barat

    antara suku Madura dan suku Dayak, turut pula berkembang stereotip sebagai

    berikut;

    Tabel 1. Stereotip  Dalam Konflik di Kalimantan Barat(Suku Dayak dan Suku Madura)

    Suku Dayak Suku Madura

    1. Pemboros 1. Bekulit hitam

    2. Tidak suka bekerja keras 2. Bau badan

    3. Suka mabuk-mabukan 3. Sok jagoan

    Sumber: diolah dari Mirawati dalam Bajari dan Saragih (2011; 60)

    Potensi konflik baik vertikal maupun horizontal dapat dikatakan sudah ditanam

    oleh Orde Baru. Bila dianalogikan seperti sebuah pohon. Orde Baru sebagai pemilik

    menanam pohon dan merawatnya dengan baik. Maka pohon yang tumbuh adalah

    pohon yang indah dan terawat. Jika ada rumput-rumput liar maka sang pemilik (Orde

    Baru) akan membersihkannya. Pohon itu akan sangat indah jika dilihat oleh orang

    lain. Demikian pula kiranya konflik di Indonesia. Pemerintah Orde Baru turut andil

    dalam menanam benih konflik di benak masyarakat.

     Akhir dari pemerintahan Orde Baru pada bulan Mei 1998, menjadi babak baru

    bagi sistem politik, hukum, dan tata negara Indonesia. Keruntuhan Orde Baru yang

    dimulai dari krisis moneter yang melanda Asia Tenggara termasuk Indonesia,

    menyebabkan pemerintah kehilangan kepercayaan oleh masyarakat. Krisis ini

    kemudian berkembang menjadi multi krisis dengan berbagai implikasi, diantaranya

    Pemutusan Hak Kerja (PHK), meningkatnya pengangguran, hengkangnya

    perusahaan asing, terjadinya penjarahan harta benda orang lain, pembakaran,

    hingga pemerkosaan. Konflik terjadi dimana-mana sebagai pelampiasan

    ketidakpuasan atas hasil pembangunan yang tidak mendatangkan keadilan dan

    kesejahteraan (Cangara, 2005; 5).

  • 8/17/2019 Peran Komunikasi Dalam Penyelesaian Konf

    12/28

     

    Tumbangnya rezim Orde Baru yang otoriter dan sentralistik, membuat

    Indonesia masuk ke dalam sistem demokrasi. Para pencetus ide demokrasi bagi

    Indonesia memandang bahwa demokrasi adalah model ideal bagi masyarakat

    Indonesia, dimana masyarakat dilibatkan baik dari segi perencanaan pembangunan

    hingga implementasi. Demokrasi yang dianut oleh Indonesia juga memberikan ruang

    kepada pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah. Daerah diberikan

    wewenang besar untuk membangun dan mengelola diri sendiri.

    Berubahnya tatanan kehidupan sosial, ekonomi, dan politik di masyarakat

    menyebabkan pertentangan-pertentangan dari yang sekedar lisan hingga benturan

    fisik lazim terjadi di tengah masyarakat. Pertanyaannya sekarang adalah apakah

    konflik horizontal (komunal) merupakan pola konflik baru di tengah masyarakat?

    Sejarah mencatat bahwa kekerasan (konflik) dalam masyarakat sudah ada sejak

    dulu. Konflik menjadi bagian dari budaya dan tradisi masyarakat Indonesia

    (Hasrullah, 2009; 46). Berdasarkan pendapat tersebut, dapat dikatakan bahwa

    kekerasan (konflik) komunal dalam masyarakat Indonesia bukanlah hal baru

    melainkan sudah menjadi warisan secara turun temurun dan membudaya. Maka

    akan sangat sulit untuk menghilangkan sama sekali konflik yang ada di tengah

    masyarakat.

    Indonesia tengah berada dalam suatu transisi yang historis. Transisi Indonesia,

    setidaknya, terdiri dari tiga perubahan besar. Pertama adalah transisi dari suatu

    sistem politik dan pemerintahan yang otokratik menuju suatu sistem yang

    demokratis. Kedua, adalah transisi dari sistem ekonomi yang bersifat kapitalisme

    perkoncoan dan patron-klien ( patron-client and crony capitalist ) menuju suatu sistem

    ekonomi pasar yang berdasarkan pada suatu aturan permainan yang jelas ( rules-

    based market economy ). Ketiga adalah transisi dari sistem sosial politik dan

  • 8/17/2019 Peran Komunikasi Dalam Penyelesaian Konf

    13/28

     

    ekonomi yang sentralistik menuju sistem yang terdesentralisasi. Proses transisi itu

    sedang berjalan, namun tidak ada yang bisa memastikan apakah transisi itu akan

    berhasil mencapai keadaan yang diinginkan serta berlangsung mulus. Tidak ada

    pula yang dapat memastikan berapa lama waktu yang akan dibutuhkan untuk

    mencapi suatu keadaan keseimbangan sosial politik yang baru (Tadjoeddin, 2002;

    11).

    Corak dan pola konflik horizontal yang saat ini sering terjadi di Indonesia

    berdampak kepada disintegrasi bangsa. Cita-cita kebangsaan dimana Bhinneka

    Tunggal Ika menjadi sarana pemersatu bangsa tidak akan ampuh lagi. Menurut

    Suparlan (2003; 26) terdapat beberapa indikator yang menjadi penyebab konflik di

    Indonesia, sebagai berikut:

    1. Corak bhinneka tunggal ika sebagai lambang negara yang menekankan

    komposisinya pada keanekaragaman sukubangsa dan kesukubangsaan, dan

    bukannya pada kebudayaan sebagai fokus keanekaragamannya, dan

    keanekaragaman sukubangsa sebagai produk dari keanekaragaman

    kebudayaan tersebut;

    2. Sistem nasional yang otoriter-militeristis dan korup dalam segala aspeknya

    sehingga terjadi berbagai bentuk pemanipulasian hukum dan SARA bagi

    berbagai kepentingan dan keuntungan oknum, yang menyebabkan

    munculnya rasa ketidakadilan hanya dapat diatasi dalam perlindungan

    sukubangsa dan kesukubangsaan; dan

    3. Corak masyarakatnya yang tidak demokratis walau diakui sebagai

    demokratis. Dalam pemerintahan Soeharto, konsep demokrasi diberi embel-

    embel, seperti demokrasi Pancasila, yang hanya menjadi angan-angan

    karena tidak operasional. Karena itu, demokrasi tidak menjadi ideologi dalam

  • 8/17/2019 Peran Komunikasi Dalam Penyelesaian Konf

    14/28

     

    pengertian yang sebenarnya karena hanya lip-service saja. Demokrasi

    Pancasila dalam konteks filsafat dan ideologi menjadi obsolete (Suparlan

    1992) karena tidak universal, dan tidak didukung oleh filsafat dan ideologi

    lainnya, serta tidak menjadi bagian dari kebudayaan dan pranata-pranata

    demokrasi, tetapi menjadi inti dari kebudayaan otoriter-militeristis yang

    berlaku. Produk dari penerapan demokrasi Pancasila selama tiga puluh tahun

    yang mementingkan lip-service ini tidak hilang begitu saja dengan kejatuhan

    pemerintahan Soeharto, karena ia telah menjadi kebudayaan aktual yang

    nyata-nyata ada dalam kehidupan orang Indonesia serta dimanfaatkan untuk

    keselamatan jiwa-raga dan harta benda, untuk keuntungan sosial, ekonomi,

    dan politik.

    Studi yang dilakukan oleh United Nations Support Facility for Indonesia

    Recovery (UNSFIR) pada tahun 2004 dengan melihat statistik insiden konflik yang

    terjadi dan mendata jumlah korban jiwa dari tahun 1990 hingga 2003 menunjukkan;

    sejumlah 10.758 (96,4%) korban tewas akibat kekerasan antar-kelompok di 14

    propinsi, sedangkan sisanya terjadi di 15 propinsi lainnya. Data lengkapnya dapat

    dilihat sebagai berikut:

    Tabel 2. Kekerasan Antar-kelompok di Indonesia

    Propinsi Korban Tewas % Insiden %

    Maluku Utara 2.794 25 72 1,7

    Maluku 2.046 18,3 332 7,8Kalimantan Barat 1.525 13,6 78 1,8

    Jakarta 1.332 11,8 178 4,2

    Kalimantan Tengah 1.284 11,5 62 1,5

    Sulawesi Tengah 669 6 101 2,4

    Jawa Barat 256 2,3 871 20,4

    Jawa Timur 254 2,3 551 5,3

    Jawa Tengah 165 1,5 506 11,9

    Sulawesi Selatan 118 1,1 223 5,2

    Nusa Tenggara Barat 109 1 198 4,6

    Riau 100 0,9 165 3,9

    Nusa Tenggara Timur 89 0,8 55 1,3

    Banten 37 0,3 112 2,6

  • 8/17/2019 Peran Komunikasi Dalam Penyelesaian Konf

    15/28

     

    Total Propinsi 10.758 96,4 3.608 84,5

    Selain 14 propinsi 402 3,6 662 15,5

    Total Keseluruhan 11.160 100 4.270 100Sumber: diolah dari Hasrullah (2009; 9). Data dari hasil studi United Nations Support Facilities for

    Indonesia Recovery (UNSFIR) dipublikasikan pada tahun 2004.

    UNSFIR juga memetakan kategori konflik horizontal di Indonesia. Berdasarkan

    hasil studi UNSFIR tersebut didapatkan bahwa kategori paling tinggi dalam konflik

    horizontal di Indonesia adalah kekerasan ethno-communal  (kelompok etnis) dengan

    korban tewas mencapai 82 persen (9.612 jiwa) dari total keseluruhan data yang ada.

    Kategori lain yang dipetakan oleh UNSFIR adalah state-community, economic, dan

    lain-lain. Data lengkapnya dapat dilihat sebagai berikut:

    Tabel 3. Kategori Kekerasan Kelompok di Indonesia (1990-2003)

    Kategori Meninggal % Insiden %Insiden

    Meninggal%

    Ethno-Communal 9.612 89,3 599 16,6 409 39,4

    State-Community 105 1,0 423 11,7 55 5,3

    Economic 78 0,7 444 12,3 34 3,3

    Others 963 9 2.142 59,4 610 58,8Sumber: diolah dari Hasrullah, 2009; 14. Data dari hasil studi United Nations Support Facilities for

    Indonesia Recovery (UNSFIR) dipublikasikan pada tahun 2004.

    Melihat data yang ada, dapat menjadi gambaran dan acuan kepada kita semua

    bagaimana konflik horizontal menjadi penghancur tatanan kehidupan berbangsa dan

    bernegara. Konflik horizontal bukanlah pola konflik baru di Indonesia karena sejak

    dulu bangsa Indonesia sudah menjadikan konflik horizontal (komunal) sebagai

    bagian dari budayanya, seperti penghakiman para pencuri ayam, pemerkosa, hingga

    perang saudara dalam memperebutkan kekuasaan. Korbannya sudah dapat

    dipastikan adalah rakyat baik korban jiwa hingga korban harta benda. Saat perang

    suku berkecamuk di Sambas dan Sampit, banyak etnis Madura yang mengungsi dan

    keluar dari Kalimantan Barat bahkan mereka cenderung tidak kembali lagi.

    Beberapa tempat di Kalimantan Barat tidak boleh lagi dimasuki oleh etnis Madura.

    Pun demikian dengan Poso dan Ambon. Meskipun sudah ada penyelesaian damai

    melalui Perjanjian Malino I dan Malino II, benih konflik tetap menyala hanya

  • 8/17/2019 Peran Komunikasi Dalam Penyelesaian Konf

    16/28

     

    menunggu pemicunya kembali. Selama ketimpangan ekonomi, stereotip, stigma,

    etnosentrisme, primordialisme, serta kepentingan elite dalam perebutan kekuasaan

    masih terjadi, maka konflik horizontal akan tetap ada. 

    Konflik Dalam Perspektif Komunikasi

    Teori konflik pertama sekali berkembang pada dekade 1950-an hingga 1960-an

    yang berkembang di daratan Eropa lalu dikembang pula oleh ilmuwan sosial di

     Amerika. Teori konflik dikembangkan seiring meredupnya teori struktural fungsional

    yang dikembangkan oleh Talcott Parsons (1983) melalui karyanya The Structure of

    Social Action  (Haryanto, 2012; 11-13). Teori konflik memberikan catatan kritikan

    terhadap teori struktural fungsional karena teori ini cenderung melihat konflik

    sebagai patologis (suatu keabnormalan dalam masyarakat) dan bersifat destruktif

    bagi masyarakat. Sebaliknya teori konflik melihat bahwa masyarakat pada dasarnya

    memiliki unsur-unsur konflik, selain unsur-unsur integratif semisal konsensus sosial

    (Haryanto, 2012; 39). Esensi dari teori konflik sendiri adalah pengakuannya bahwa

    realitas sosial diorganisasikan berdasarkan ketimpangan distribusi nilai dan sumber

    daya, seperti kesejahteraan material, kekuasaan dan prestise serta ketimpangan-

    ketimpangan lain yang secara sistematik meningkatkan tegangan di antara

    kelompok-kelompok masyarakat.

    Berdasarkan esensi dari teori konflik tersebut, para ahli membuat formulasi

    definisi tentang konflik. Pendefinisian konflik ini oleh beberapa ahli disesuaikan

    dengan bidang keilmuannya. Misalnya Darwin dan Maltus membahas dan

    mendefinisikan konflik dari sudut pandang kompetisi untuk mendapatkan sumber

    daya. Sementara Ferrington dan Chertok membahas Marxian Theory   yang

    memandang konflik adalah struktur dasar kondisi masyarakat dan konflik yang

  • 8/17/2019 Peran Komunikasi Dalam Penyelesaian Konf

    17/28

     

    merupakan bagian lazim dalam setiap hubungan manusia (Hasrullah, 2009; 39).

    Dari berbagai definisi yang diberikan oleh para ahli sosial terhadap konflik, pada

    dasarnya mengerucut pada satu pemahaman yaitu konflik merupakan pertentangan

    antara satu/sekelompok orang untuk pemenuhan kepentingannya. Penemuhan

    kepentingan ini dapat dilakukan melalui konflik lisan (dialog atau musyawarah) atau

    konflik fisik (perang, kerusuhan, dan sebagainya).

    Lantas bagaimana komunikasi memandang konflik tersebut. Beberapa fakta

    hasil kajian para peneliti sosial bahwa konflik sebabkan oleh komunikasi. Bahkan

    menurut Myers (1982) konflik terjadi karena adanya interaksi yang disebut

    komunikasi. Hal ini dimaksudkan apabila kita ingin mengetahui konflik berarti kita

    harus mengetahui kemampuan dan perilaku komunikasi. Semua konflik

    mengandung komunikasi, tapi tidak semua konflik berakar pada komunikasi yang

    buruk. Myers berpendapat, jika komunikasi adalah suatu proses transaksi yang

    berupaya mempertemukan perbedaan individu secara bersama-sama untuk mencari

    kesamaan makna, maka dalam proses itu, pasti ada konflik. Konflik pun tidak hanya

    diungkapkan secara verbal tapi juga diungkapkan secara nonverbal seperti dalam

    bentuk raut muka, gerak badan, yang mengekspresikan pertentangan (Stewart &

    Logan, 1993: 341). Konflik tidak selalu diidentifikasikan sebagai terjadinya saling

    baku hantam antara dua pihak yang berseteru, tetapi juga diidentifikasikan sebagai

    „perang dingin‟ antara dua pihak karena tidak diekspresikan langsung melalui kata –

    kata yang mengandung amarah (www.id.wikipedia.org).

    Komunikasi tidak bisa hanya dipandang sebagai pelengkap dalam interaksi

    sosial manusia. Bahkan lebih dari itu bahwa komunikasi menjadi elemen penting

    dalam setiap pola tindakan individu dalam kaitannya sebagai makhluk sosial.

    Komunikasi berfungsi meningkatkan hubungan kemanusiaan di antara pihak-pihak

  • 8/17/2019 Peran Komunikasi Dalam Penyelesaian Konf

    18/28

     

    yang berkomunikasi (Cangara; 2011; 61). Melalui komunikasi setiap manusia dapat

    membangun hubungan yang baik sehingga menghindari dan mengatasi terjadinya

    konflik dalam masyarakat. Komunikasi dapat menjadi cerminan bangsa yang

    beradab dan indikator sebuah negara demokrasi.

    Untuk menyatakan suatu negara menganut prinsip demokrasi, ada 11 pilar

    yang menjadi penyangganya, yaitu, (1) konstitusi yang ditaati, (2) pemilihan umum

    yang demokratis, (3) federalism untuk mendekatkan pemerintah kepada rakyatnya,

    (4) pembuatan undang-undanng oleh legislatif, (5) sistem peradilan yang

    independen, (6) kekuasaan lembaga kepresidenan, (7) peranan media massa yang

    bebas, (8) peranan kelompok-kelompok kepentingan, (9) adanya hak rakyat untuk

    mengetahui, (10) melindungi hak-hak minoritas, dan (11) adanya adanya kontrol sipil

    terhadap militer (Cangara, 2005; 6). Dari 11 indikator negara demokratis tersebut,

    setidaknya terdapat dua indikator (nomor 7 dan 9) yang terkait erat dengan peran

    komunikasi. Artinya, komunikasi menjadi usur urgent  dalam kehidupan masyarakat.

    Komunikasi bisa menjadi pemicu konflik dan perusak tatanan kebangsaan

    apabila terjadi kegagalan komunikasi atau terjadi kemacetan komunikasi. Perlu

    diingat bahwa komunikasi adalah bagian mutlak dari proses budaya yang adab.

    Komunikasi merupakan proses penciptaan kebersamaan dalam makna. Dalam

    masyarakat yang kurang adab dan demokratis, sulit terjadi komunikasi yang wajar

    karena semua makna menjadi hak tafsir si penguasa. Slogannya adalah “sambung

    rasa”, namun rasa-rasanya tidak ada yang nyambung . Siaran berita adalah siaran

    pandangan penguasa. Pers yang bertanggung jawab adalah pers yang harus

    memberikan pertanggungjawaban kepada penguasa yang memberikan izin terbit

    bukan kepada publik. Kementerian Penerangan adalah “Kementerian Kebenaran” 

    (Ministry of Truth). Menggembirakan, dalam kurun waktu setahun terakhir ini telah

  • 8/17/2019 Peran Komunikasi Dalam Penyelesaian Konf

    19/28

     

    terbit secercah harapan akan hidupnya demokrasi pers kita. Demokrasi pers kita

    diharapkan bisa menjadi jembatan tumbuhnya komunikasi interaktif yang wajar

    antara masyarakat dan penguasa.

    Konflik horizontal di Indonesia pun banyak disebabkan oleh komunikasi.

    Temuan dari hasil penelitian Maria Lamria (2004), Yohanes Bahari (2005), dan Ira

    Mirawati (2011) mengindikasikan bahwa konflik sosial, etnis, ras, dan agama antar

    warga (horizontal) disebabkan oleh kegagalan dalam mengelola pesan-pesan verbal

    dan non-verbal. Masyarakat pendatang cenderung menggunakan bahasa yang

    berbeda dengan penduduk lokal meskipun telah ada kesepakatan (tidak tertulis)

    untuk menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu bangsa, akan

    tetapi logat atau aksen yang digunakan oleh masing-masing orang yang berinteraksi

    masih mengikuti logat atau aksen dari sukunya masing-masing. Kondisi ini

    menyebabkan sulitnya menerima pesan yang disampaikan, lalu terjadi kesalahan

    interpretasi, hingga akhirnya memicu konflik.

    Kegagalan pengelolaan pesan tidak hanya terjadi secara verbal (lisan), pesan

    non-verbal juga ikut menyumbang terjadinya konflik antar warga. Mirawati (2011)

    mengatakan bahwa konflik antara Suku Dayak dan Madura di Kalimantan Barat juga

    disebabkan karena gaya berpakaian dan bersosialisasi masyarakat Suku Madura

    yang sering membawa Clurit (senjata khas Madura) dan parang kemanapun mereka

    pergi. Hal ini mengindikasikan bahwa mereka (Suku Madura) merasa dirinya hebat

    dan jagoan. Faktor Emosional pun tidak bisa dilepaskan dari Suku Madura. Mereka

    cenderung akan ringan tangan (membunuh dengan parang atau Clurit) orang yang

    bersengketa dengan mereka, termasuk jika mereka bersengketa dengan orang dari

    Suku Dayak.

  • 8/17/2019 Peran Komunikasi Dalam Penyelesaian Konf

    20/28

     

    Selama konflik Ambon dari tahun 1999 hingga 2002 yang mengakibatkan

    korban jiwa hampir 10 ribu jiwa, ternyata juga menyeret peran media massa dalam

    pusaran konflik (Cangara, 2005; 8-10). Dalam suasana perang (konflik) media dapat

    dibagi secara tegas dalam dua kategori, yaitu, hot media (media “panas”) dan cold

    media  (media “dingin”). Media “panas” terindikasi sebagai media yang cenderung

    memanaskan suasana, selalu mencari titik-titik kerusuhan atau konflik untuk

    selanjutnya disiarkan dengan cara yang bombastis. Media jenis ini cenderung

    mengabaikan etika dalam setiap liputannya. Tujuan dari media seperti ini adalah

    mencari jumlah oplah atau rating  yang tinggi. Media jenis ini yang menjadikan konflik

    tetap bertahan dan menjadi sulit dikendalikan.

    Sedangkan media “dingin” terindikasi sebagai media yang cenderung

    menjalankan teknik-teknik  peace journalism  (jurnalisme damai). Paradigma ini

    dilandaskan bahwa perang atau konflik hanya membawa kepada ke sengsaraan

    bagi masyarakat dan kehancuran bagi peradaban manusia. Dalam setiap liputannya,

    media “dingin” cenderung mengabarkan sisi kemanusiaan yang terenggut oleh

    konflik dan berupaya agar semua masyarakat –yang berkonflik –sadar akan dampak

    buruk yang ditimbulkan konflik. Media jenis ini juga berupaya terciptanya resolusi

    konflik secara tepat dan bermartabat bagi seluruh masyarakat.

    Media massa merupakan sarana komunikasi yang dapat memengaruhi massa

    secara cepat konon lagi dala situasi konflik. Media mass  –mengikuti Hypodhermic

    Needle Theory/Bullet Theory   (teori jarum suntik) (Arifin, 2003; 41-45) -bahwa

    khalayak cenderung menelan mentah-mentah apa yang disampaikan oleh media.

    Tidak ada filterisasi dalam pikiran dan benak khalayak sehingga apa yang

    disampaikan media itulah yang dipahami khalayak sebagai suatu kebenaran.

    Merujuk perdapat tersebut, maka sudah seharusnya media massa mereposisikan

  • 8/17/2019 Peran Komunikasi Dalam Penyelesaian Konf

    21/28

     

    dirinya untuk terlibat aktif dalam upaya perdamaian dan penyelesaian konflik, melalui

    pemberitaan yang tidak melulu mengenai jumlah korban, jumlah rumah yang

    dibakar, serta jumlah tanah yang dirampas melainkan pemberitaan-pemberitaan

    mengenai efek buruk dari konflik.

    Peranan Komunikasi Dalam Penyelesaian Konflik Horizontal 

    Konflik merupakan aspek yang tidak bisa dihindarkan dari setiap hubungan.

    Jika diatur dengan tidak tepat maka konflik dapat mengarah pada masalah yang

    tidak dapat diperbaiki  –disintegrasi bangsa. Ada keterkaitan antara konflik dan

    komunikasi seperti yang dikemukakan oleh Pepper (dalam Samovar, dkk., 2010;

    382) bahwa komunikasi merupakan karakter konflik yang dominan karena berfungsi

    sebagai alat penyebar konflik dan sumber dari manajemen konflik. Komunikasi hadir

    sebagai wujud yang melekat dalam diri masyarakat sosial. Seperti halnya konflik,

    komunikasi hadir seiring dengan kehadiran manusia di muka bumi.

    Komunikasi  –ibarat dua mata pedang  –di satu sisi dapat menjadi pemicu

    lahirnya konflik karena kegagalan cara berkomunikasi yang efektif, di sisi lain

    berperan sebagai pencegah dan penyelesai konflik itu sendiri. Komunikasi bukanlah

     panasea  (obat mujarab) bagi segala konflik dalam kehidupan sosial, namun

    komunikasi dapat berperan sebagai pereduksi potensi munculnya konflik. Peran

    komunikasi dalam pencegahan dan penyelesaian konflik horizontal di Indonesia

    dapat dilaksanakan melalui beberapa bentuk, sebagai berikut:

    1. Menggiatkan seluruh elemen masyarakat untuk terlibat dalam pendidikan

    damai, toleransi, serta kehidupan berbangsa dan bernegara. Program ini

    perlu dilakukan mengingat memudarnya nilai-nilai toleransi di tengah

    masyarakat. Pola pemerintahan yang berubah menjadikan kedamaian di

  • 8/17/2019 Peran Komunikasi Dalam Penyelesaian Konf

    22/28

     

    tengah masyarakat yang pluralis seperti Indonesia ikut terancam. Maka

    pendidikan damai dan toleransi harus kembali digiatkan agar tumbuh rasa

    saling menghargai dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia

    (NKRI).

    2. Mengembangkan sistem pencegahan dan penyelesaian konflik melalui jalan

    damai. Program ini dapat dilaksanakan melalui membentuk Lembaga Adat

    atau Majelis Adat di setiap daerah di Indonesia. Lembaha Adat atau Majelis

     Adat yang ada saat ini di Indonesia hanya dimiliki oleh beberapa daerah

    saja, seperti, Aceh, Ambon, dan Papua. Alangkah lebih bijaknya jika

    pemerintah membentuk lebaga serupa di tiap propinsi guna melakukan

    pendekatan humanis kepada seluruh lapisan masyarakat tentang

    pentingnya menjaga kedamaian dan persatuan antar-sesama manusia.

    3. Meredam potensi konflik melalui program-program seperti; melakukan

    perencanaan dan pelaksanaan pembangunan yang memerhatikan aspirasi

    masyarakat, menerapkan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik,

    melakukan program perdamaian di daerah berpotensi konflik,

    mengintensifkan dialog antar-kelompok masyarakat, dan menegakkan

    hukum tanpa diskriminatif. Dalam negara demokrasi, pola komunikasi yang

    dijalankan adalah dialogis, interaktif, dan transaksional (komunikasi dua

    arah), dimana setiap kebijakan yang akan dikeluarkan pemerintah

    merupakan hasil dari perundingan dengan melibatkan masyarakat.

    4. Pola penyelesaian konflik harus diubah dari hard power   (menggunakan

    kekuatan militer) kepada soft power   (lebih mengedepankan dialog).

    Penyelesaian konflik melalui dialog merupakan pendekatan bermartabat

    karena semua pihak yang terlibat konflik duduk dalam satu meja

  • 8/17/2019 Peran Komunikasi Dalam Penyelesaian Konf

    23/28

     

    memikirkan penyelesaian yang baik bagi kelangsungan kehidupan

    masyarakat. Pola penyelesaian konflik seperti ini sudah dilakukan oleh

    pemerintah dalam menangani konflik Aceh, Ambon, dan Poso. Meskipun

    tidak ada jaminan bahwa konflik tidak terulang lagi, namun dialog menjadi

    contoh ampuh bagi penyelesaian konflik. Dalam dialog tidak berlaku zero

    sum game  (menang-kalah) melainkan win win solution  (secara bersama

    memperoleh keuntungan) sehingga kepentingan dua belah pihak yang

    berkonflik terakomodir.

    5. Meningkatkan peran media massa dalam mendukung program perdamaian

    serta ikut terlibat dalam penyelesaian konflik horizontal. Media massa

    memiliki kekuatan yang besar dalam merekonstruksi perilaku masyarakat.

    Paradigm media massa harus diubah karena selama ini media cenderung

    berideologi war journalism  dalam daerah konflik. Sudah saatnya media

    massa menjalankan  peace journalism  sebagai bentuk tanggung jawab

    sosialnya.

    Tentunya masih banyak peran komunikasi yang dapat dirunut sebagai sarana

    penyelesaian konflik horizontal. Konflik tidak dapat dihilangkan dari interaksi

    masyarakat. Konflik hanya dapat diredam untuk tidak muncul ke permukaan. Kalau

    pun muncul, paling tidak dapat dibendung efek dari konflik tersebut. Komunikasi

    dapat dimanfaatkan sebagai media untuk menciptakan kohesi masyarakat sehingga

    cita-cita bangsa Indonesia menjadi bangsa yang beradab seperti yang diamanahkan

    Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila dapat tercapai.

  • 8/17/2019 Peran Komunikasi Dalam Penyelesaian Konf

    24/28

     

    Kesimpulan 

    Dari pembahasan yang telah dipaparkan, kesimpulan yang dapat ditarik adalah

    sebagai berikut:

    1. Konflik merupakan ancaman bagi keharmonisan kehidupan masyarakat

    bahkan ia menjadi ancaman bagi disintegrasi bangsa. Konsekuensi logis

    dari bangsa yang plural seperti Indonesia adalah tumbuh suburnya konflik

    horizontal di masyarakat. Konon lagi Indonesia baru memasuki era

    demokrasi dimana keterbukaan, aspirasi, dan kebebasan menjadi

    implikasinya.

    2. Konflik horizontal merupakan bentuk ekspresi ketimpangan sosial yang

    diwariskan oleh rezim Orde Baru. Meskipun dalam tataran luar selama Orde

    Baru, konflik nyaris tidak ada dan kondisi keamanan nasional terkendali,

    namun potensi konflik tetap tertanam dan menunggu pemicunya saja.

    3. Ketidakpuasan elite politik terhadap hasil kompetisi yang berlangsung

    menjadi salah satu faktor pendorong terjadinya konflik horizontal sehingga

    cenderung memanfaatkan isu perbedaan etnis, agama, dan SARA sebagai

    pelampiasan kepentingan yang tidak terakomodir.

    4. Banyak faktor yang menyebabkan konflik horizontal dapat terjadi, akan

    tetapi yang paling penting dari semuanya adalah komunikasi. Mengikuti

    sebuah pameo, komunikasi bukanlah segala-galanya namun segala-

    galanya perlu di komunikasikan. Komunikasi dapat menjadi pemicu lahirnya

    konflik, namun komunikasi juga dapat menjadi benteng untuk mencegah

    konflik itu terjadi.

    5. Media massa ikut terlibat dalam pusaran konflik melalui pemberitaan yang

    cenderung memperparah konflik, alih-alih membantu agar konflik cepat

  • 8/17/2019 Peran Komunikasi Dalam Penyelesaian Konf

    25/28

     

    berakhir. Hal ini tidak lebih dikarenakan paradigm lama yang masih dipakai

    oleh insan pers, yaitu, bad news is good news.

    6. Pemerintah cenderung menggunakan pendekatan hard power   (kekuatan

    militer) dalam menyelesaikan konflik horizontal di Indonesia, sedangkan

    masyarakat butuh pendekatan yang lebih humanis (manusiawi) dan

    mengutamakan dignity  (martabat).

    7. Tidak tuntasnya penyelesaian konflik oleh pemerintah sehingga menyisakan

    residu seperti dendam, ketidakadilan, dan lain-lain dimana hal ini akan

    sewaktu-waktu akan muncul sebagai pemicu konflik di masa yang akan

    datang.

    Rekomendasi 

    Hasil kajian ini memberikan rekomendasi sebagai berikut:

    1. Konflik selamanya tidak akan hilang dari kehidupan masyarakat sehingga

    pola penangannya pun harus dilakukan secara sungguh-sungguh.

    Khusunya bagi masyarakat ada beberapa teknik untuk menghindari konflik,

    yaitu, (1) pelajari budaya lain untuk menghilangkan stigma dan stereotip,

    dan (2) kurangi etnosentrisme yaitu anggapan bahwa budaya sendiri jauh

    lebih hebat dari budaya orang lain serta perilaku primordialisme.

    2. Perlu adanya komitmen penuh dari semua pihak (pemerintah dan

    masyarakat) untuk tetap menjaga suasana damai dengan meminimalisir

    disparitas pembangunan dan ekonomi di masyarakat.

    3. Dalam masyarakat yang tingkat heterogenitasnya tinggi perlu diupayakan

    keseimbangan pembagian kekuasaan ( power sharing ) agar tidak muncul

    anggapan the winner take all .

  • 8/17/2019 Peran Komunikasi Dalam Penyelesaian Konf

    26/28

     

    4. Kecerdasan dalam berpolitik perlu diilhami oleh seluruh elite politik

    khususnya elite politik lokal agar tidak menjadikan kepentingan pribadi di

    atas segalanya sehingga mereduksi nilai-nilai kebersamaan sebagai

    masyarakat yang bermartabat.

    5. Pemerintah harus segera mengupayakan sistem penanganan konflik sosial

    terkait dengan pencegahan, penyelesaian, dan pemulihan pasca-konflik.

    Pencegahan dapat dilakukan dengan cara meredam potensi konflik,

    menyiapkan sistem penanganan konflik, dan membangun sistem peringatan

    dini. Sedangkan penyelesaian konflik dapat dilakukan dengan cara

    penghentian kekerasan fisik, penyelesaian konflik melalui komunikasi harus

    dilakukan dengan cara dialog dan perundingan karena lebih mengutamakan

    pendekatan humanis (manusiawi). Peran militer dalam penyelesaian konflik

    perlu dikurangi karena masyarakat sudah trauma setelah hampir 30 tahun

    dikekang dalam rezim militer berbalut demokrasi, penetapan status

    keadaan fisik, serta tindakan darurat dan perlindungan korban. Sementara

    itu untuk pemulihan pasca-konflik dapat dilakukan melalui pembentukan

    Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sebagai lembaga independen

    dalam mencatat jumlah korban jiwa dan infrastruktur yang rusak saat konflik

    serta berupaya merekomendasikan pemenuhan hak korban.

    6. Lembaga Adat atau Majelis Adat perlu segera dibentuk di setiap daerah di

    Indonesia. Lembaga ini nantinya yang menjadi mitra pemerintah dalam

    menjalankan tugas meredam potensi konflik melalui pendidikan

    masyarakat, menjadi penengah saat konflik terjadi melalui proses dialog,

    serta menjadi pengontrol saat proses pemulihan pasca-konflik dilakukan

    agar semua masyarakat yang terkena dampak dari konflik tidak terabaikan

  • 8/17/2019 Peran Komunikasi Dalam Penyelesaian Konf

    27/28

     

    sehingga dendam konflik muncul yang bisa memicu lahirnya konflik di masa

    yang akan datang.

    7. Peran media massa dalam meredam potensi konflik dan mengupayakan

    penyelesaian konflik melalui cara-cara damai harus ditingkatkan. Paradigma

    awak media harus diubah dari war journalism  (jurnalisme perang) kepada

    paradigm peace journalism jurnalisme damai) sehingga fungsi kontrol media

    massa sebagai tanggung jawab dalam iklim bebas bertanggung-jawab

    dapat dilaksanakan dengan baik.

    8. Pemerintah diharapkan dapat memaksimalkan penerapan Undang-Undang

    Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial dan Instruksi

    Presiden Nomor 2 Tahun 2013 tentang Penanganan Gangguan Dalam

    Negeri. Jika kedua aturan ini dioptimalkan pelaksanaannya diharapkan ke

    depan konflik sosial (horizontal) di Indonesia dapat diminimalisir.

    Referensi

     Arifin, Anwar. 2003. Komunikasi Politik; Paradigma, Teori, Aplikasi, Strategi, danKomunikasi Politik di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

    Bahari, Yohanes. 2005. Resolusi Konflik Berbasis Pranata Adat Pamabakang danPati Nyawa pada Masyarakat Dayak Kanayatn di Kalimantan Barat.Disertasi . Bandung: Universitas Padjajaran.

    Cangara, Hafied. 2005. Kebebasan dan Tanggung Jawab Media Massa Indonesia diTengah Reformasi dan Ancaman Disintegrasi Bangsa. Pidato pengukuhan

    Guru Besar dalam Bidang Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Hasanuddin.Makassar.--------------------. 2011. Pengantar Ilmu Komunikasi . Jakarta: RajaGrafindo Perkasa.Djumala, Darmansjah. 2013. Soft Power Untuk Aceh; Resolusi Konflik dan Politik

    Desentralisasi . Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.Gunawan, Ketut. 2011. Manajemen Konflik Atasi Dampak Masyarakat Multikultural

    di Indonesia. Jurnal Mitra Ekonomi dan Manajemen Bisnis, Vol. 2, No. 2, hal.212-224. PDF.

    Haryanto, Sindung. 2012. Spektrum Teori Sosial; Dari Klasik Hingga Postmodern.Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.

    Hasrullah. 2009. Dendam Konflik Poso (Periode 1998-2001); Konflik Poso dari

    Perspektif Komunikasi Politik . Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

  • 8/17/2019 Peran Komunikasi Dalam Penyelesaian Konf

    28/28

     

    Lamria, Maria. Tth. Analisa Terhadap Terjadinya Konflik Horizontal di KalimantanBarat. Jurnal Hukum Humaniter .

    Mirawati, Ira. 2011. Manajemen Komunikasi dan Perdamaian Antaretnis. Dalam Atwar Bajari dan S. Sahala Tua Saragih. “Komunikasi Kontekstual; Teori danPraktik Komunikasi Kontemporer (hal. 247-278).” Bandung: Remaja

    Rosdakarya.Samovar, Larry, Richard E. Porter, dan Edwin R. Mcdaniel. 2010. Komunikasi Lintas

    Budaya; Communication Between Cultures. Indri Margaretha Sidabalok(penj.). Jakarta: Salemba Humanika.

    Suparlan, Parsudi. 2003. Bhinneka Tunggal Ika; Keanekaragaman Sukubangsa atauKebudayaan?. Jurnal Antropologi Indonesia 72 . PDF.

    Suryanto Gono, Joyo Nur. 2001. Resolusi Konflik. Majalah Pengembangan Ilmu-IlmuSosial-FORUM FISIP Undip, Vol. 30, No. 2, hal. 86-90 . PDF.

    Tadjoeddin, Muhammad Zulfan. 2002. Anatomi Kekerasan Sosial Dalam KonteksTransisi; Kasus Indonesia 1990-2001. Working Paper: 02/01-I UnitedNations Support Facility for Indonesian Recovery . Jakarta: UNSFIR. PDF.

    Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Penangangan Konflik Sosial.http://www.bps.go.id/. 2010. Diakses 14 Juni 2013, pukul 22.30 WITa.http://www.jpnm.com/. 2010. Diakses 14 Juni 2013, pukul 22.00 WITa.http://www.id.wikipedia.org/wiki/Konflik. Diakses 15 Juni 2013, pukul 10.00 WITa.