101
PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Gugatan Perdagangan Rokok Indonesia Terhadap Australia Melalui World Trade Organization) Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh: Rachmatsyah Akbar 1111048000038 KONSENTRASI HUKUM BISNIS PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H/2015 M

PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

  • Upload
    others

  • View
    14

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA

PERDAGANGAN INTERNASIONAL

(Studi Kasus Gugatan Perdagangan Rokok Indonesia Terhadap Australia Melalui World Trade Organization)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan untuk

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

Rachmatsyah Akbar

1111048000038

KONSENTRASI HUKUM BISNIS

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1436 H/2015 M

Page 2: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …
Page 3: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …
Page 4: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …
Page 5: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

iv

ABSTRAK

Rachmatsyah Akbar. NIM 1111048000038. Peran Negara Dalam Penyelesaian

Sengketa Perdagangan Internasional (Studi Kasus Gugatan Perdagangan

Rokok Indonesia Terhadap Australia Melalui World Trade Organization).

Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah dan

Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H/2015 M. x

+ 84 halaman + 6 halaman lampiran. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui apa

yang menjadi tugas negara atau peran negara dalam penyelesaian kasus sengketa

perdagangan internasional rokok dengan Australia melalui Dispute Settlement

Body yang berada dibawah naungan World Trade Organization. Skripsi ini juga

bertujuan untuk untuk melihat prospek penyelesaian kedepannya kasus sengketa

ini dililhat dari kasus serupa pada kasus sebelumnya. Kasus serupa yang dimaksud

adalah kasus sengketa rokok antara Indonesia dengan Amerika perihal clove

cigarette. Latar belakang pada skripsi ini adalah gugatan Indonesia terhadap

Australia melalui WTO, dikarenakan Australia telah membuat kebijakan

mengenai Tobacco Plain Packaging Act yang dirasa merugikan Indonesia.

Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini yaitu melalui penelitian

yuridis normatif, dimana penulis mencari fakta-fakta yang akurat dan valid

tentang sebuah peristiwa yang konkrit yang menjadi korelasi objek penelitian.

Metode yang penulis gunakan adalah melalui pendekatan perundang-undangan

dan pendekatan konseptual, dan juga melakukan wawancara dalam hal

memperoleh data. Hasil penelitian dari skripsi penulis adalah peran negara

diperlukan untuk mengambil langkah atau sikap dalam menyelesaikan konflik

dengan negara lain. Peran yang dimaksud disini adalah peran awal atau yang

sering digunakan pertama kali apabila masalah mulai muncul, yaitu melalui

diplomasi. Diplomasi merupakan komunikasi diluar litigasi yang bertujuan untuk

saling berkomunikasi melalui hubungan bilateral. Dalam hasil penelitian ini

penulis juga mencoba untuk melihat prospek kedepan penyelesaian sengketa ini di

WTO, penulis berada pada posisi pro pemerintah Indonesia, dikarenakan ada

berbagai argumentasi yang penulis buat, salah satunya adalah bertentangan

dengan ketentuan hukum internasional.

Kata Kunci : WTO, Penyelesaian Sengketa, Rokok, Diplomasi,

Australia

Pembimbing : 1. Dedy Nursamsi, SH., M.Hum

2. Fitria, SH., MR

Daftar Pustaka : Tahun 1983 s.d. Tahun 2014.

Page 6: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

v

KATA PENGANTAR

حِيمِ حْمنِ الرَّ بِسْمِ اللهِ الرَّ

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang

senantiasa memberikan bimbingan dan petunjuk sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi dengan judul “PERAN NEGARA DALAM

PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL (Studi

Kasus Gugatan Perdagangan Rokok Indonesia Terhadap Australia Melalui World

Trade Organization)”. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada

junjungan kita Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa umat manusia dari

zaman kegelapan ke zaman yang terang benderang ini. Dalam penulisan skripsi

ini, penulis banyak mendapatkan bantuan, arahan, dan bimbingan dari berbagai

pihak, sehingga dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima

kasih kepada:

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Asep Syarifudin Hidayat, SH., MH. selaku ketua Program Studi Ilmu

Hukum dan Abu Tamrin, SH., MH. selaku sekretaris Program Studi Ilmu

Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dedy Nursamsi, SH., M.Hum. dan Fitria, SH., MR., selaku dosen

pembimbing yang telah bersedia menjadi pembimbing dalam penulisan

skripsi ini dengan penuh kesabaran, perhatian, dan ketelitian memberikan

masukan serta meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan

kepada penulis hingga skripsi ini selesai.

Page 7: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

vi

4. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta khususnya Dosen Program Studi Ilmu Hukum yang telah

memberikan ilmu pengetahuan dengan tulus ikhlas, semoga ilmu

pengetahuan yang diajarkan dapat bermanfaat dan menjadi keberkahan

bagi penulis.

5. Kedua orang tua tercinta yaitu Ayahanda H. Zakaria Sarong dan Ibunda

tersayang, Hj. Yumanih. Terima kasih atas kasih sayang, motivasi,

dukungan, doa, perhatian, ilmu pengetahuan, arti kedisiplinan, serta segala

hal yang selalu diberikan dengan tulus sehingga penulis dapat

menyelesaikan pendidikan pada jenjang strata satu Perguruan Tinggi

Negeri. Begitu pula untuk kakak-kakak penulis, terima kasih atas segala

dukungan, perhatian, dan kasih sayang yang telah kalian berikan.

6. Teman-teman seperjuangan Ilmu Hukum angkatan 2011 Nevo Amaba,

Ilyas Aghnini, Fanny Fatwati Putri, Hilda Israa dan yang lainnya, yang

selalu mewarnai kehidupan di bangku perkuliahan selama delapan

semester ini.

7. Terimakasih kepada pihak Kementerian Perdagangan R.I dan Kedutaan

Besar Australia, atas kebersediaannya melakukan wawancara terkait

skripsi penulis.

8. Pihak perpustakaan Kemendag, UI, dan UIN Jakarta, terima kasih karena

telah menyediakan buku-buku yang lengkap sehingga penulis tidak

kebingungan mencari referensi buku yang dibutuhkan.

Page 8: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

vii

9. Terimakasih untuk seluruh pihak Kerukunan Purnakaryawan Kementerian

Luar Negeri R.I atas dukungan moril dan materilnya.

Atas seluruh bantuan dari semua pihak baik material maupun

immaterial, penulis berdoa semoga Allah SWT memberi balasan yang

berlipat. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis

khususnya dan bagi pembaca umumnya.

Jakarta, 23 September 2015

Rachmatsyah Akbar

Page 9: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

viii

DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING.............................................................. i

LEMBAR PENGESAHAN……………………………………....……..... ii

LEMBAR PERNYATAAN………………………………………………. iii

ABSTRAK…………………………………………………........................ iv

KATA PENGANTAR…………………………………………....……...... v

DAFTAR ISI………………………………………………........................ ix

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah…………………………………….......…. 1

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah…………………………........... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……………………………….......... 6

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual..................................................... 7

E. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu................................………....... 10

F. Metode Penelitian............................................…….....……………. 12

G. Sistematika Penulisan....................………………….....………....... 14

BAB II KEDUDUKAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA

INTERNASIONAL

A. Penyelesaian Sengketa Internasional.....................……………….... 17

B. Prinsip-Prinsip Penyelesaian Sengketa Secara Damai....................... 20

C. Bentuk-Bentuk Penyelesaian Sengketa Internasional........................ 25

D. Tanggung Jawab Negara Dalam Penyelesaian Sengketa Internasional

Secara Umum ………………………………………….................... 38

Page 10: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

ix

BAB III WORLD TRADE ORGANIZATION DAN PENYELESAIAN

SENGKETA

A. World Trade Organization…............................................................ 41

1. Sejarah Singkat GATT dan WTO ……………....…................... 41

2. Fungsi WTO ………………………….....………….................. 42

3. Struktur WTO…………........……………………….................. 43

4. Prinsip-Prinsip Dasar WTO.……………………………........... 44

5. Ruang Lingkup Pengaturan WTO ……………………...……50

B. WTO Sebagai Forum Penyelesaian Sengketa ……………..... 51

C. Mekanisme Penyelesaian Sengketa …………………………… 52

1. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Sebagai Bagian dari Pengawasan

Internasional ………………………………………………….52

2. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Dalam WTO ………….54

BAB IV. ANALISIS PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN

SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL STUDI KASUS

GUGATAN PERDAGANGAN ROKOK INDONESIA TERHADAP

AUSTRALIA MELALUI WORLD TRADE ORGANIZATION

A. Peran Diplomasi Indonesia Terhadap Australia…...……………… 60

B. Perbandingan Kasus Sengketa Rokok Indonesia – Amerika Dengan

Indonesia – Australia ……………………………………………… 65

C. Prospek Kedepan Penyelesaian Sengketa Rokok Indonesia............75

Page 11: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

x

BAB V. PENUTUP

A. Kesimpulan………………………………………………….............80

B. Saran……………………………………………….………..............80

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

Page 12: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sebagaimana manusia, negara adalah entitas yang saling membutuhkan.

Kebutuhan negara secara garis besar yaitu kebutuhan ekonomi dan kebutuhan

politik, kedua sektor ini memiliki peranan yang penting demi kemakmuran dan

kemajuan sebuah negara.Kebutuhan ekonomi ditujukan untuk mensejahterakan

rakyat agar dapat memiliki penghasilan yang cukup untuk keberlangsungan

kehidupan mereka sehari-hari. Kemudian kebutuhan politik diperlukan untuk

menjembatani jalannya kebutuhan ekonomi itu sendiri, sebab tidak mungkin

sebuah negara menjalani sistem perekonomiannya dengan sendiri tanpa adanya

bantuan dari negara lain. Negara butuh kerjasama atau hubungan dengan negara

yang lain agar apa yang menjadi kebutuhan di dalam negaranya dapat tercapai.

Salah satu hubungan untuk meningkatkan perekonomian yaitu melalui hubungan

perdagangan yang merupakan sektor paling mumpuni untuk meningkatan

perekonomian, tentu saja apabila neraca perdagangan ekspor dan impor

dijalankan dengan baik dan benar.

Page 13: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

2

Hubungan antar negara merupakan sebuah landasan dari adanya hubungan

perdagangan itu sendiri. Hubungan antar negara disebut juga dengan hubungan

internasional, yaitu interaksi manusia antarbangsa baik secara individu maupun

kelompok, dilakukan baik secara langsung maupun secara tidak langsung dan

dapat berupa persahabatan, persengketaan, permusuhan ataupun peperangan.

Seperti kebanyakan sistem sosial lainnya, hubungan internasional dapat

memiliki keuntungan dan kerugian tertentu bagi para partisipasinya.1 Hubungan

internasional didasarkan atas politik bebas aktif seperti yang tertuang di dalam

pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945. Politik bebas aktif

bukan hanya sekedar dalam ruang lingkup politik saja, melainkan hubungan-

hubungannya yang lain, yaitu ekonomi, sosial, dan budaya. Salah satu praktik

hubungan internasional yaitu dengan melakukan perdagangan antar negara,

setiap negara memiliki kelebihan dan kekurangan dalam sumber dayanya, oleh

sebab itulah mereka saling membutuhkan antara satu sama lain, hal ini dilakukan

dengan cara impor dan ekspor.

Salah satu tujuan dari adanya perdagangan internasional yaitu untuk

meningkatkan pendapatan (income) dalam negeri itu sendiri. Proses

perdagangan internasional ini tidak semata-mata sederhana atau mudah,

melainkan harus ada suatu perjanjian antara negara yang bersangkutan, baik

1 Robert Jackson & George Sorensen, Pengantar Studi Hubungan Internasional

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 2.

Page 14: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

3

dalam lingkup bilateral, multilateral, unilateral, dan maupun regional. Dari proses

pejanjian ini muncul yang namanya kesepakatan-kesepakatan, misalnya traktat,

konvensi, aturan organisasi perserikatan bangsa-bangsa dan lain sebagainya.

Untuk mendapatkan kepastian hukum itu sendiri, munculah hukum

internasional. Hukum internasional merupakan hukum yang berlaku secara

universal sebagai regulasi internasional. Hubungan internasional sudah

berkembang pesat sedemikian rupa sehingga subjek-subjek negara tidaklah

terbatas pada negara saja sebagaimana di awal perkembangan hukum

internasional. Berbagai organisasi internasional, individu, vatikan, belligerency,

merupakan contoh-contoh subjek non negara.

Hukum internasional dan hubungan internasional dilakukan dan

dilaksankan oleh subjek hukum internasional yaitu negara. Negara adalah

persekutuan bangsa dalam satu daerah tertentu batas-batasnya yang diperintah

dan diurus oleh badan pemerintahan yang teratur.2 Negara sebagai suatu subjek

memiliki peranan atau fungsi secara garis besar yaitu membuat Undang-Undang

(legislatif), menjalankan Undang-Undang (eksekutif), dan mengawasi

pemerintah (yudikatif).

Penulis dalam proposal skripsi ini menekankan pada pembahasan peranan

negara dalam penyelesaian sengketa perdagangan internasional. Penulis

2 Muhammad Ali, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Moderen (Jakarta: Pustaka Amani,

2006), h. 267.

Page 15: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

4

mengambil contoh peranan negara terhadap penyelesaian sengketa perdagangan

internasional rokok yang diajukan Indonesia terhadap Australia melalui WTO

(World Trade Organization) / Organisasi Perdagangan Internasional).

Dalam penyelesaian kasus perdagangan internasional ada sebuah lembaga

yang menangani soal sengketa ini, yaitu lembaga yang terdapat di badan World

Trade Organization (WTO) / Organisasi Perdagangan Internasional, yang

bernama Dispute Settlement Body (DSB). Salah satu peranan WTO yaitu sebagai

forum dalam menyelesaikan sengketa dan menyediakan mekanisme konsiliasi

guna mengatasi sengketa perdagangan yang timbul.3

Dalam menjalankan perekonomian nasional dan internasional seyogianya

semua hal yang berkepentingan menyatu secara bersama-sama demi

meningkatkan kesejahteraan rakyat di dalam negeri maupun di luar negeri

(universal). Semua subyek hukum yaitu dalam hal ini negara wajib tunduk

kepada aturan yang ada, aturan yang telah ada tidak boleh dilanggar. Semua

negara yang ikut serta dalam hukum internasional wajib mematuhi regulasi yang

ada. Suatu negara tidak dapat melakukan proteksi ekonominya apabila ia dalam

aturan hukum nasionalnya bertentangan dengan ketentuan hukum internasional

yang sudah ada dan yang sudah disepakati (agreement) secara bersama-sama.

3 Syahmin AK, Hukum Dagang Internasiona l (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006),

h. 246.

Page 16: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

5

Australia diadukan lima negara ke WTO karena dianggap melanggar pasal

XXIII dari General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1994. Australia

dianggap keliru menerapkan kebijakan mewajibkan kemasan polos semua

produk tembakau. Pengaduan ke WTO dilakukan Indonesia bersama Honduras,

Republik Dominika, Ukraina dan Kuba. Kelima negara ini menyampaikan

dokumen pertama kepada Badan Penyelesaian Sengketa WTO yang membuat

argumentasi hukum bahwa kebijakan Australia yang diterapkan sejak 1

Desember 2012 yang mewajibkan kemasan polos untuk semua produk tembakau

merupakan pelanggaran terhadap ketentuan di WTO. Dalam pandangan

Indonesia, kebijakan Australia diatas bertentangan dengan pasal XXIII dari

GATT 1994, serta tiga ketentuan WTO lainnya yakni: understandings on rules

and procedures governing the settlement of dispute; agreement on trade related

aspects of intellectual property rights; dan agreement on technical barriers to

trade. 4

B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Agar masalah yang penulis bahas tidak meluas sehingga dapat

mengakibatkan ketidak jelasan dan ketidak pastian pembahasan masalah

maka penulis dengan ini membatasi masalah yang akan diteliti, antara lain,

4 m.bisnis.com/industri/read/20141014/12/264889/sengketa-rokok-indonesia-resmi-

laporkan-australia-ke-wto, 14:00 WIB, 5-11-14.

Page 17: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

6

membahas peran negara diluar pengadilan, yaitu melalui diplomasi dan

membahas peran negara dalam pengadilan, yaitu melalui panel WTO.

Kemudian prospek penyelesaian kasus ini kedepannya melihat dari kasus

yang serupa yang ada sebelumnya.

2. Perumusan Masalah

Menurut peraturan internasional negara tidak boleh menutup diri

dalam perdagangan internasional, pada praktiknya negara Australia menutup

perdagangan rokok terhadap Indonesia. Rumusan tersebut penulis rinci

dalam pertanyaan sebagai berikut :

a. Bagaimanakah prospek penyelesaian kasus sengketa dagang antara

Indonesia dengan Australia?

b. Bagaimana peranan negara Indonesia dalam kasus sengketa perdagangan

internasional rokok dengan Australia melalui World Trade Organization?

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan penelitian adalah untuk mendalami tentang

permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan dalam perumusan

masalah. Secara khusus tujuan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai

berikut:

Page 18: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

7

a. Untuk mengetahui prospek penyelesaian sengketa perdagangan antara

Indonesia dengan Australia.

b. Untuk mengetahui tugas negara atau peran negara dalam penyelesaian

kasus sengketa perdagangan internasional rokok dengan Australia melalui

Badan Penyelesaian Sengketa WTO.

2. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan untuk menambah ilmu pengetahuan

khususnya bagi pengembangan teori ilmu hukum bisnis, ilmu hukum

internasional, ilmu hukum perdagangan internasional, ilmu hukum tata

negara, ilmu hubungan internasional dan ilmu politik bagi yang membacanya.

Manfaat penelitian ini juga dapat menjadi rujukan bagi pejabat negara agar

dapat berperan aktif dalam meningkatkan mutu kualitas indonesia di mata

dunia internasional. Manfaat penelitian ini juga untuk menambah atau

melengkapi koleksi perbendaharaan dan koleksi karya ilmiah dengan

memberikan kontribusi atau sumbangsih pemikiran bagi penerapan hukum di

Indonesia. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi kerangka acuan dan

landasan bagi peneliti lanjutan.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Page 19: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

8

Demi terciptanya cita-cita suatu negara maka negara harus memiliki

tujuan yang dikehendaki oleh masyarkat di dalamnya. Terdapat sebuah teori

mengenai negara, yaitu teori tujuan negara. Meskipun orang telah lama

memikirkan, tetapi oleh karena tujuan negara itu menentukan segala keadaan

dalam negara, maka orang biasanya menyelipkan pembicaraan tentang

ajaran tujuan negara ini dalam ajaran keseluruhannya untuk menentukan

sifat daripada ajarannya. Pentingnya pembicaraan tentang tujuan negara ini

terutama berhubungan dengan bentuk negara, susunan negara, organ-organ

negara atau badan-badan negara yang harus diadakan, fungsi dan tugas

daripada organ-organ tersebut, serta hubungannya antara organ yang satu

dengan organ yang lain yang selalu harus disesuaikan dengan tujuan negara.

Tujuan negara dalam banyak hal tergantung pada tempat, keadaan,

waktu, serta sifat daripada kekuasaan penguasa. Karena mungkin apa yang

dalam waktu ratusan tahun lalu tidak menjadi tugas negara, dalam zaman

sekarang ini menjadi tugas negara yang amat penting, misalnya soal

ekonomi. Jadi, tujuan negara adalah menyelenggarakan kesejahteraan dan

kebahagiaan rakyatnya, atau menyelenggarakan masyarkat adil dan

makmur.5 Pada sekarang ini tujuan negara lebih menekankan untuk

terciptanya welfare state, demi tercapainya kemaslahatan bersama.

5 Soehino, Ilmu Negara (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2004, Cet.Keenam), h. 148.

Page 20: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

9

2. Kerangka Konseptual

Pada era modern seperti sekarang ini banyak sekali terjadi sebuah

perubahan-perubahan di dalam segala sistem yang ada di muka bumi ini, salah

satunya merupakan proses globalisasi. Globalisasi merupakan perubahan

sebuah tatanan sistem yang ada ke arah tatanan sistem yang baru, artinya

bahwa seiring berjalannya waktu maka dibutuhkan adanya sebuah perubahan,

karena didasarkan pada berubahnya pola atau custom yang ada pada saat ini.

Dengan adanya globalisasi terdapat pula jalinan hubungan antar negara yang

satu dengan negara yang lain, sebab sebuah negara tidak dapat hidup atau

berdiri dengan sendiri-sendiri, negara saling membutuhkan karena di dalam

negara itu sendiri pasti terdapat sebuah kekurangan yang mana ia

membutuhkan negara yang lain untuk melengkapi kekurangan yang ada di

dalam negaranya. Salah satu yang dijalankan dalam hubungan kenegaraan

yaitu adanya sebuah perdagangan internasional. Ada berbagai motif atau

alasan mengapa negara atau subjek hukum (pelaku dalam perdagangan)

melakukan transaksi dagang internasioal. Fakta yang sekarang ini terjadi

adalah perdagangan internasional sudah menjadi tulang punggung bagi negara

untuk menjadi makmur, sejahtera, dan kuat.6 Oleh karena itu dibutuhkan

kerjasama dalam bidang ekonomi yakni hubungan perdagangan antar negara

demi untuk mendapatkan advantage secara bersama-sama.

6 Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,

2005), h. 2.

Page 21: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

10

E. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu

Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian ini, penulis menyertakan

beberapa hasil terdahulu sebagai perbandingan tinjauan kajian materi yang akan

dibahas, sebagai berikut:

Penelitian yang dilakukan oleh Mohammad Kurniawan dari universitas

Jember, tahun 2013, yang berjudul “Penyelesaian Sengketa Perdagangan Rokok

Antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah Amerika Serikat

Melalui World Trade Organization (WTO)”. Penelitian tersebut menjelaskan

tentang prinsip-prinsip hukum yang mendasari pengaturan perdagangan

internasional, mekanisme penyelesaian sengketa dalam World Trade

Organization, penyelesaian sengketa perdagangan rokok antara pemerintah

Republik Indonesia dengan Amerika Serikat melalui World Trade Organization.

Perbedaan disini penulis memfokuskan pada penyelesaian dibawah Badan

Penyelesaian Sengketa, tidak secara universalnya.

Skripsi yang disusun oleh Putri Paramita Soedali dari Universitas Pelita

Harapan, tahun 2013, yang berjudul “Peran WTO Dalam Upaya Penyelesaian

Sengketa Tobacco Control Act Antara Indonesia dan Amerika Serikat Tahun

2009-2012”. Penelitian tersebut menjelaskan tentang latar belakang terjadinya

kasus rokok kretek Indonesia di Amerika Serikat, dampak yang dialami

Indonesia akibat diresmikannya regulasi Tobacco Control Act, peran WTO

Page 22: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

11

dalam upaya penyelesaian sengketa, serta mengetahui apakah implementasi

keputusan WTO yang dilakukan oleh Indonesia dan Amerika Serikat telah sesuai

dengan rekomendasi WTO. Pembeda dengan penulis disini yaitu penulis

mengambil kasus rokok antara Indonesia dengan Australia, dan penulis

mengarahkan pada peran negara, bukan dasar daripada implementasi keputusan

yang diputuskan oleh WTO.

Buku karangan Jhon H Willes yang berjudul “International Business

Law”, diterbitkan oleh McGraw-Hill/Irwin, New York, tahun 2005. Dalam buku

ini hanya membahas dasar daripada penyelesaian sengketa melalui WTO dan

rentang waktu yang dibutuhkan dalam penyelesaian sengketanya. Perbedaan

dengan penulis yaitu penulis lebih merinci penyelesaian sengketa dengan

memfokuskan pada penyelesaian masalah dalam ranah Badan Penyelesaian

Sengketa.

Sebagai perbandingan sekaligus pembeda, pada skripsi ini penulis

menguaraikan tentang peran negara Indonesia dalam penyelesaian kasus

sengketa perdagangan rokok dengan Australia terkait peraturan kemasan polos.

Kemudian penulis juga membahas prospek kasus yang penulis ambil, melihat

dari kasus serupa yang dahulu. Dalam skripsi ini penulis juga menguraikan

mengenai cara penyelesaian sengketa melalui Dispute Settlement Body yang

berada di ranah WTO. Jadi disini terdapat perbedaan pembahasan dan masalah

yang diangkat penulis dengan penelitian-penelitian yang sudah ada sebelumnya.

Page 23: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

12

F. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian

yuridis normatif. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang

memandang hukum sebagai doktrin atau seperangkat aturan yang yang

bersifat normatif (law in book).7 Dimana penulis mencari fakta-fakta yang

akurat dan valid tentang sebuah peristiwa yang konkrit yang menjadi korelasi

objek penelitian. Penelitian ini juga dilakukan dan ditujukan pada peraturan-

peraturan tertulis dan bahan-bahan lain, serta menelaah peraturan perundang-

undangan, perjanjian internasional, konvensi-konvensi internasional yang

berhubungan dengan penulisan skripsi ini. Sedangkan mengenai sifat

penelitian ini yaitu bersifat deskriptif, yaitu menjelaskan suatu hal atau

fenomena dengan rinci agar dapat memperkuat teori yang sudah ada, atau

mecoba membuat suatu rumusan teori yang baru.

2. Pendekatan Penelitian

a. Pendekatan Perundang-Undangan

1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (Hasil

Amandemen)

2) General Agreement on Tarrifs and Trade 1994

7 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,

2008), h. 58.

Page 24: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

13

3) Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights 1996

4) Agreement on Technical Barriers to Trade

b. Pendekatan Konseptual

Negara yang satu dalam hal ini Australia tidak merasa bahwa

aturan yang dibuatnya melanggar ketentuan hukum internasional yang

telah ada, maka dari itu disinilah diperlukan suatu pendekatan konseptual

untuk mencari doktrin atau pendapat yang ada. Dalam hal ini tidak hanya

melihat atau fokus terhadap permasalahan hukumnya, juga harus dilihat

dari segi ekonomi dan politiknya.

3. Data dan Sumber Data

Data yang dipakai dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data

yang tidak diperoleh dari sumber pertama yang bisa diperoleh dari dokumen-

dokumen resmi, buku-buku, hasil penelitian, laporan, buku harian, surat

kabar, makalah, dan lain sebagainya. Data sekunder dalam penelitian ini dapat

dibagi atas tiga kelompok/bagian, yaitu:

a. Bahan hukum primer yang penulis peroleh dari wawancara, peraturan

perundang-undangan dan peraturan internasional lainnya.

b. Bahan hukum sekunder yang penulis peroleh dari buku-buku terkait

perdagangan internasional, badan penyelesaian sengketa organisasi

perdagangan dunia, dan artikel-artikel yang terkait.

Page 25: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

14

c. Bahan hukum tertier yang penulis pergunakan bagi bahan hukum

sekunder seperti Kamus Hukum, Kamus Bahasa Inggris, dan Kamus

Besar Bahasa Indonesia.

4. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang penulis lakukan yaitu dengan cara

wawancara (interview) dan studi dokumen atau kepustakaan (library

research) yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagai sumber

bacaan seperti buku-buku yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa

dagang dan mekanisme penyelesian litigasi maupun non litigasi. Dalam hal

ini informasi yang di update secara terus menerus di situs WTO dalam kaitan

dengan gugatan Indonesia terhadap Australia dalam kasus kemasan rokok.

5. Metode Penulisan

Dalam penyusunan penelitian ini penulis menggunakan metode

penulisan sesuai dengan sistematika penulisan yang ada pada Buku Pedoman

Penulis Skripsi, Fakultas Syari‟ah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, tahun 2012.

G. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan gambaran secara umum atau menyeluruh tentang

isi skripsi, maka penulis memberikan sistematikanya secara garis besar, sebagai

berikut :

Page 26: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

15

Bagian awal skripsi : sampul, lembar berlogo, halaman judul, persetujuan

pembimbing, pengesahan kelulusan, pernyataan, motto dan persembahan,

prakata, abstrak, daftar isi, serta daftar lampiran.

Bagian isi skripsi terdiri atas :

Bab I : Pendahuluan. Diuraikan tentang latar belakang masalah, rumusan

masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika skripsi,

dan metode penelitian.

Bab II : Kedudukan Negara Dalam Penyelesaian Sengketa Internasional.

Membahas dan menguraikan mengenai penyelesaian sengketa dan

juga bentuk-bentuk penyelesaiannya, serta membahas tanggung jawab

negara dalam sengketa internasional secara umum.

Bab III : World Trade Organization dan Penyelesaian Sengketa. Mebahas

WTO sebagai organisasi kerjasama penyelesaian sengketa, ruang

lingkup WTO, dan juga proses atau mekanisme penyelesaian sengketa.

Bab IV : Analisis Peran Negara Dalam Penyelesaian Sengketa Perdagangan

Internasional Studi Kasus Gugatan Perdagangan Rokok Indonesia

Terhadap Australia Melalui World Trade Organization. Membahas

bagaimana sesungguhnya posisi dan peran Indonesia dalam menangani

kasus ini, serta membahas aksi pemerintah dalam penyelesaiannya.

Page 27: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

16

Kemudian dibahas juga mekanisme penyelesaiannya melalui proses

bilateral dan terakhir melihat prospek penyelesaian sengketa di

kedepannya.

Bab V : Penutup. Berisi kesimpulan dan saran

Bagian akhir skripsi, berisi daftar pustaka dan lampiran-lampiran.

Page 28: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

17

BAB II

KEDUDUKAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA

INTERNASIONAL

A. Penyelesaian Sengketa Internasional

Penyelesaian sengketa sama maksudnya dengan pertikaian. Pertikaian atau

sengketa, kedua adalah yang dipergunakan secara bergantian dan merupakan

terjemahan dari dispute.8

Sengketa (dispute)9 menurut Merrilis adalah ketidaksepahaman mengenai

sesuatu. Adapun John Collier dan Vaughan Lowe membedakan antara sengketa

(dispute) dengan konflik (conflict). Sengketa (dispute) adalah:10

a specific disagreement concerning a matter of fact, law or policy in which

a claim or assertion of one party is met with refusal, counter claim or

denial by another.

Sedangkan konflik adalah istilah umum atau genus dari pertikaian

(hostility) antara pihak-pihak yang sering kali tidak fokus. Dengan demikian,

8 Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer (Bandung: PT

Refika Aditama, 2006), h. 174.

9 Sengketa dalam bahasa Arab disebut almutanazi’atu

10

Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011),

Cet.Kedua, h. 322.

17

Page 29: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

18

setiap sengketa adalah konflik, tetapi tidak semua konflik dapat dikategorikan

sebagai sengketa (dispute).

Permasalahan yang disengketakan dalam suatu sengketa internasional

dapat menyangkut banyak hal. Sengketa di European Union menyangkut

kebutuhan integrasi politik yang lebih kuat adalah sengketa menyangkut

kebijakan. Sengketa perbatasan wilayah adalah sengketa tentang legal right.

Disisi lain sengketa juga dapat menyangkut fakta, misalnya posisi kapal negara A

ketika diintersepsi oleh negara B.

Menyangkut substansi sengketa itu, beberapa pakar mencoba untuk

memisahkan antara sengketa hukum (legal dispute) dengan sengketa politik

(political dispute). Friedmann misalnya mengemukakan bahwa karakterisitik

sengketa hukum adalah sebagai berikut:11

1. Capable of being settled by the application of certain principles and

rules of international law

2. Influence vital interest of State such as territorial integrity

3. Implementation of the existing international law enough to raise a

justice decision and support to progressive international relation

4. The dispute related with legal rights and claims to change the existing

rule

Disisi lain Waldock mengemukakan bahwa:

The legal or political character of dispute is ultimately determined by the

objective aimed at or the position adopted by each party in the dispute. If both

parties are demanding what they conceive to be their existing legal rights as, for

11

Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), Cet.Kedua, h. 323.

Page 30: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

19

example, in the Corfu Channel case, the dispute is evidently legal. If both are

demanding the application of standards or factors not rooted in the existing rules

of international law as, for example in a dispute regarding disarmament, the

dispute is evidently political.12

Joshua S. Goldstein dan Jon C. Pevehouse mengemukakan bahwa

bersengketa adalah hal yang lazim dalam hubungan internasional. Definisi

persengketaan menurut Joshua S. Goldstein dan Jon C. Pevehouse adalah suatu

perbedaan atas hasil yang dikehendaki dalam suatu situasi tawar-menawar (....a

difference in preferred outcomes in a bargaining situation).13

Selanjutnya menurut Oppenheim-Kelsen

All dispute have their political aspects by the very fact that they concern relation

between sovereign States. Dispute which according to the distinction, are said to

be legal nature might involve highly important political intersets of the State

concerned, conversely, dispute reputed according to that distinction to be a

political character more often than not concern the application of a principal or

a norm of international law.14

Mahkamah Internasional Permanen dalam sengketa Mavrommatis

Palestine Concessions (Preliminary Objections, 1924) mendefinisikan pengertian

12

Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), Cet.Kedua, h. 323.

13

Rusli Pandika, Sanksi Dagang Unilateral di Bawah Sistem Hukum WTO (Bandung: PT

Alumni, 2010), h.189.

14

Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011),

Cet.Kedua, h. 324.

Page 31: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

20

sengketa sebagai: disagreement on a point of law or fact, a conflict of legal views

or interest between two persons. 15

B. Prinsip-Prinsip Penyelesaian Sengketa Secara Damai

1. Prinsip Iktikad Baik (Good Faith)16

Prinsip iktikad baik dapat dikatakan sebagai prinsip fundamental dan

paling sentral dalam penyelesaian sengketa antarnegara. Prinsip ini

mensyaratkan dan mewajibkan adanya iktikad baik dari para pihak dalam

menyelesaikannya sengketanya. Tidak heran apabila prinsip ini dicantumkan

sebagai prinsip pertama (awal) yang termuat dalam Manila Declaration

(Section 1 paragraph 1).17

Dalam Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia (Bali

Concord 1976), persyaratan iktikad baik juga ditempatkan sebagai syarat

utama. Pasal 13 Bali Concord menyatakan: The high contracting parties shall

have the determination and good faith to prevent disputes from arising.

Dalam penyelesaian sengketa, prinsip ini tercemin dalam dua tahap.

Pertama, prinsip iktikad baik disyaratkan untuk mencegah timbulnya sengketa

15

Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional (Jakarta: Sinar Grafika, 2006),

Cet.Kedua, h. 2.

16

Iktikad baik dalam bahasa Arab disebut hasanu an niyah

17

All States shall act in good faith and in conformity with the purposes and principles

enshrined in the Carter of the United Nations with a view to avoiding disputes among themselves likely

to affect friendly relations among States, thus contributing to the maintenance of international peace

and security. They shall live together in peace with one another as good neighbours and strive for the

adoption of meaningful measures for strengthening international peace and security.

Page 32: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

21

yang dapat memengaruhi hubungan baik antar negara. Kedua, prinsip ini

disyaratkan harus ada ketika para pihak menyelesaikannya sengketanya

melalui cara-cara penyelesaian sengketa yang dikenal dalam hukum

internasional, yaitu negosiasi, mediasi, konsiliasi, arbitrase, pengadilan atau

cara-cara lain yang dipilih para pihak. Dalam kaitan ini, Section 1 paragraph

5 Manila Declaration mensyaratkan adanya prinsip iktikad baik ini dalam

upaya mencapai penyelesaian sengketa secara lebih dini (lebih cepat).18

2. Prinsip Larangan Penggunaan Kekerasan dalam Penyelesaian Sengketa

(mabdau khothori istikhdami al unfi fii halli an-nizaa’aat)

Prinsip inilah yang melarang para pihak untuk menyelesaikan

sengketanya dengan menggunakan senjata (kekerasan). Prinsip ini termuat

antara lain dalam pasal 13 Bali Concord dan preambule ke-4 Manila

Declaration. Pasal 13 Bali Concord antara lain menyatakan :

.... In case of disputes on matters directly affecting them, they shall

refrain from the threat or use of force and shall at all times settle such

disputes among themselves through friendly negotiations.

3. Prinsip Kebebasan Memilih Cara-Cara Penyelesaian Sengketa (mabdau

hurriyati ikhtiyaari subuli halli an nizaa’aat)

18

States shall seek in good faith and in a spirit of cooperation an early and equitable

settlement of their international disputes by any of the following means; negotiation, inquiry,

mediation, conciliation, arbitration, judicial settlement, resort to regional arrangements or agencies

or other peaceful means of their own choice, including good offices. In seeking such a settlement, the

parties shall agree on such peaceful means as may be appropriate to the circumstances and the nature

of their dispute.

Page 33: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

22

Prinsip penting lainnya adalah prinsip dimana para pihak memiliki

kebebasan penuh untuk menentukan dan memilih cara atau mekanisme

bagaimana sengketanya diselesaikan (principle of free choice of means).

Prinsip ini termuat dalam Pasal 33 ayat (1) UN Charter dan Section 1

paragraph 3 dan 10 Manila Declaration dan paragraph ke-5 dari Friendly

Relations Declaration. Instrumen hukum tersebut menegaskan bahwa

penyerahan sengketa dan prosedur penyelesaian sengketa atau cara-cara

penyelesaian sengketa harus didasarkan keinginan bebas para pihak.

Kebebasan ini berlaku baik untuk sengketa yang telah terjadi atau sengketa

yang akan datang.

Prinsip ini juga termuat dalam pasal 7 The UNCITRAL Model Law on

International Commercial Arbitration.19

Pasal ini memuat definisi mengenai

perjanjian arbitrase, yaitu perjanjian penyerahan sengketa kepada arbitrase.

Menurut pasal ini, penyerahan sengketa kepada arbitrase merupakan

kesepakatan atau perjanjian para pihak.20

Artinya, penyerahan suatu sengketa

kebadan arbitrase haruslah berdasarkan pada kebebasan para pihak untuk

memilihnya.

19

“Arbitration agreement” is an agreement by the parties to submit to arbitration all or

certain disputes which have arisen or which may arise between them in respect of a defined legal

relatinship, whether contractual or not. An arbitration agreement may be i the form of an arbitration

clause in a contract or in the form of a separate agreement.

20

Meria Utama, Hukum Ekonomi Internasional (Jakarta: PT Fikahati Aneska, 2012), h. 56.

Page 34: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

23

4. Prinsip Kebebasan Memilih Hukum yang akan Diterapkan terhadap Pokok

Sengketa (mabdau hurriyati ikhtiyaari al qoonuun alladziy sayatimmu

tathbiyquhu fii an nizaa’ar roiysiy)

Prinsip fundamental selanjutnya adalah prinsip kebebasan para

pihak untuk menentukan sendiri hukum apa yang akan diterapkan bila

sengketanya diselesaikan oleh badan peradilan. Kebebasan para pihak untuk

memilih kepatutan dan kelayakan (ex aequo et bono).21

Yang terakhir ini

adalah sumber bagi pengadilan untuk memutus sengketa berdasarkan prinsip

keadilan, kepatutan, atau kelayakan.

Dalam sengketa antarnegara, merupakan hal yang lazim bagi

pengadilan internasional, misalnya Mahkamah Internasional, untuk

menerapkan hukum internasional, meskipun penerapan hukum internasional

ini tidak dinyatakan secara tegas oleh para pihak. Dalam Special Agreement

antara Republik Indonesia – Malaysia mengenai penyerahan sengketa Pulau

Sipadan-Ligitan ke Mahkamah Internasional, para pihak menyatakan:

The principles and rules of international law applicable to the dispute

shall be those recognized in the provisions of Article 38 of the Statute

of the Court .... (Article 4 Special Agreement).

5. Prinsip Kesepakatan Para Pihak yang Bersengketa (mabdau ittifaaqin min

athroofi an nizaa’)

21

Pasal 38 ayat 2 Statuta Mahkamah Internasional: This provision shall not prejudice the

power of the Court to decide a case ex aequo et bono, if the parties agree hereon.

Page 35: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

24

Prinsip kesepakatan para pihak merupakan prinsip fundamental dalam

penyelesaian sengketa internasional. Prinsip inilah yang menjadi dasar bagi

pelaksanaan prinsip ke-3 dan 4 di atas. Prinsip-prinsip kebebasan 3 dan 4

hanya akan bisa dilakukan atau direalisasikan manakala

ada kesepaktan dari para pihak.22

Sebaliknya, prinsip kebebasan 3 dan 4 tidak

akan mungkin berjalan apabila kesepakatannya hanya ada dari salah satu

pihak atau bahkan tidak ada kesepakatan sama sekali dari kedua belah pihak.

6. Prinsip Exhaustion of Local Remedies (almabdau almutaahu)

Komisi Hukum Internasional PBB (International Law Commision)

memuat aturan khusus mengenai prinsip ini dalam pasal 22 mengenai ILC

Draft Articles on States Responsibility.23

Selain itu prinsip ini temuat dalam Section 1 paragraph 10 Manila

Declaration.24

Menurut prinsip ini, sebelum para pihak mengajukan

sengketanya ke pengadilan internasional maka langkah-langkah penyelesaian

22

Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional (Jakarta: Sinar Grafika, 2006),

Cet.Kedua, h. 17.

23

When the conduct of a State has created situation not in conformity with the result required

of it by an international obligation concerning the treatmentto be accorded to aliens, whether natural

or juridical persons, but the obligation allows that this or an equivalent result may nevertheless be

achieved by subsequent conduct of the State, there is a breach of the obligation only if the aliens

concerned have exhausted the effective local remedies available to them without obtaining the

treatment called for by the obligation or, where that is not possible, an equivalent treatment.

24

States should, without prejudice to the right of free choice of means, bear in mind that

direct negotiations are a flexible and effective means of peaceful setllement of their disputes. When

they choose to resort to direct negotiations, States should negotiate meaningfully, in order to arrive at

an early settlement acceptable to the parties. States should be equally prepared to seek the settlement

of their disputes by the other means mentioned in the present Declaration.

Page 36: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

25

sengketa yang tersedia atau diberikan oleh hukum nasional negara harus

terlebih dahulu ditempuh (exhausted). Dalam sengketa Interhandel (1959),

Mahkamah Internasional menegaskan:

Before resort may be had to an international court, the state where the

violation occured should have an opportunity to redress it by its own

means, within the framework of its own domestic legal system.

C. Bentuk-Bentuk Penyelesaian Sengketa Internasional

Secara garis besar penyelesaian sengketa dalam hukum internasional

dibagi menjadi dua ruang lingkup yaitu : secara damai (politik, organisasi

internasional, hukum), dan secara kekerasan atau paksaan.

1. Penyelesaian Sengketa Secara Damai Melalui Jalur Politik (siyasah)

a. Negosiasi (al mufawwadhatu)

Negosiasi adalah fact of life atau keseharian. Setiap orang

melakukan negosiasi dalam kehidupan sehari-hari, seperti mitra dagang

dan kuasa hukum salah satu pihak yang bersengketa. Negosisasi adalah

basic of means untuk mendapatkan apa yang diinginkan dari orang lain.25

Negosiasi adalah “bilateral and multilateral negotiations to resolve

differences between two or more states or between groups of states may

25

Suyud Margono, Alternative Dispute Resolution & Arbitrase Proses Pelembagaan dan

Aspek Hukum (Bogor: Ghalia Indonesia, 2004) Cet. Kedua, h. 49.

Page 37: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

26

be carried out by diplomatic correspondence, face to face encounters by

permanent diplomatic envoys or by specially designated negotiators.”26

Larry L. Teply mengemukakan antara lain:

“the word „negotiate‟, in latin, consists of neg meaning „not‟, and atium,

maning „ease‟. These latin words suggest that one will not be at

easeduring the process or until the agreement is made. Furthermore,

incertain contexts, some individuals are uncomfortable with

compromissing: they consider it an unprincipled „selling out‟.”27

Dalam buku yang berjudul Street Law, pengertian negosiasi adalah

the process by which people involved in a dispute discuss their problem

and try to reach a solution acceptable to all.28

Cara negosiasi merupakan suatu upaya bersama para pihak untuk

mencapai suatu cara penyelesaian yang disepakati bersama dengan

mengelola kembali konflik-konflik pandangan para pihak. Cara ini

ditempuh manakala para pihak berkeyakinan bahwa dengan menempuh

cara ini mereka memperoleh hasil yang positif darpada negatif.

Pada umumnya negosiasi merupakan cara yang pertama kali dan

paling banyak digunakan pihak-pihak bersengketa dalam penyelesaian

sengketa internasional mereka. Hal ini mengingat cara ini diakui sebagai

cara yang paling mudah dibandingkan cara-cara lain. Tidak ada tata cara

26

Thomas Buergenthal dan Harold G Maier, Public International Law (Minnesota: West

Publishing Co, 1990), Edisi Kedua, h. 65.

27

Bambang Sutiyoso, Penyelesaian Sengketa Bisnis (Yogyakarta: Citra Media, 2006), h. 43.

28

Lee Arbetman dan Ed O‟Brien, Street Law A Course in Practical Law (Amerika Serikat:

The McGraw-Hill Companies, 2005), Edisi. Ketujuh, h. 41.

Page 38: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

27

khusus untuk melakukan negosiasi, dapat dilakukan secara bilateral

maupun multilateral, formal maupun informal. Namun demikian, akan

sulit melakukan negosiasi apabila antarpihak yang bersengketa tidak

memiliki hubungan diplomatik atau saling tidak mengakui eksistensi

masing-masing sebagai subjek hukum internasional.

b. Jasa Baik (Good Offices)29

Jasa-jasa baik (good offices) berati intervensi suatu negara ketiga

yang merasa dirinya wajar unuk memantu penyelesaian sengketa yang

terjadi antara dua negara.30

Dalam hal ini, negara ketiga menawarkan

jasa-jasa baiknya. Prosedur jasa-jasa baik ini dapat diminta oleh salah

satu dari kedua negara atau oleh keduan-duanya. Intervensi dalam bentuk

jasa-jasa baik ini adalah campur tangan yang sangat sederhana dari negara

ketiga karena negara tersebut membatasi diri dan hanya memprgunakan

pengaruh moral atau politiknya agar negara-negara yang bersengketa

mengadakan hubungan satu sama lain atau mengadakan hubungan

kembali bila hubungan tersebut telah putus.

Secara prinsip, negara yang menawarkan jasa-jasa baiknya tidak

ikut secara langsung dalam perundingan-perundingan, tetapi hanya

29

Jasa baik dalam bahasa Arab disebut syahratulmahli

30

Boer Maulana, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika

Global (Bandung: PT Alumni, 2011), Edisi Kedua, Cet. 4. H. 198.

Page 39: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

28

menyiapkan dan mengambil langkah-langkah yang perlu agar negara-

negara yang bersengketa bertemu satu sama lain dan merundingkan

sengketanya. Bila pihak-pihak yang bersengketa telah setuju untuk saling

bertemu, berakhir pulalah misi negara yang menawarkan jasa-jasa

baiknya tersebut.

c. Mediasi (wasaathatun)

A voluntary process that is sometimes used when negotiation seems

to be failing is mediation.31

Mediasi merupakan salah satu alternatif dan cara penyelesaian

suatu persengketaan dimana para pihak-pihak yang bersengketa

menyerahkan penyelesaiannya kepada seorang mediator dengan maksud

untuk memperoleh hasil yang adil dan diterima oleh para pihak yang

bersengketa.32

Apabila dibandingkan dengan good offices maka keterlibatan pihak

ketiga dalam mediasi sudah lebih besar. Dalam mediasi, mediator

berperan aktif mendamaikan pihak-pihak bersengketa, memiliki

kewenangan-kewenangan tertentu memimpin jalannya perundingan, juga

mendistribusikan proposal masing-masing pihak bersengketa. Mediator

31

John D. Donnell dkk, Law For Business (Illinois – USA: Richard D. Irwin, INC, 1983),

Edisi Revisi, h. 21.

32

Sophar Maru Hutagalung, Praktik Peradilan Perdata dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

(Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 322.

Page 40: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

29

juga diharapkan bisa memberikan proposal untuk menyelesaikan

sengketa.

Jika usulan oleh mediator tidak diterima, maka mediator masih

dapat melanjutkan fungsi mediasinya dengan membuat usulan-usulan

baru. Karena itu, salah satu fungsi utama mediator adalah mencari

berbagai solusi (penyelesaian), mengidentifikasi hal-hal yang dapat

disepakati oleh para pihak serta membuat usulan-usulan yang dapat

mengakhiri sengketa. Pasal 3 dan 4 the Hague Convention on the

Peaceful Settlement of Disputes (1907) menyatakan bahwa usulan-usulan

yang diberikan mediator janganlah dianggap sebagai suatu tindakan yang

tidak bersahabat terhadap suatu pihak (yang merasa dirugikan).33

Penyelesaian sengketa melalui mediasi menempatkan kedua belah

pihak pada posisi yang sama, tidak ada pihak yang dimenangkan atau

pihak yang dikalahkan (win-win solution).34

33

Article 3: Independently of this recourse, the Contracting Powers deem it expedient and

desirable that one or more Powers, strangers to the dispute, should, on their own initiative and as far

as circumstances may alow, offer their good offices or mediation to the States at variance. Power

strangers to the dispute have the right to offer good offices or mediation even during the course of

hostilities. The exercise of this right can never be regarded by either of the parties in dispute as an

unfriendly act.

Article 4: The part of the mediator consists in reconciling the opposing claims and

appeasing the feelings of resentment which may have arisen between the States at variance.

34

Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum

Nasional (Jakarta: Kencana, 2009), h. 24.

Page 41: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

30

Mediasi hanya dapat terlaksana dalam hal para pihak bersepakat

dan mediator menerima syarat-syarat yang diberikan oleh para pihak yang

bersengketa.35

d. Pencarian Fakta (fact finding/Inquiry)36

Fungsi dari inquiry adalah untuk memfasilitasi penyelesaian

sengketa dengan mencari kebenaran fakta, tidak memihak, melalui

investigasi secara terus menerus sampai fakta yang disampaikan salah

satu pihak dapat diterima oleh pihak yang lain.37

Inquiry dapat

dilaksanakan oleh suatu komisi yang permanen. Individu maupun

organisasi terpilih untuk memberikan expert opinion-nya.

The Hague Convention for the Pacific Settlement of International

Disputes tahun 1907 dengan tegas mengatakan bahwa laporan komisi

(pencarian fakta) sifatnya terbatas mengungkapkan fakta-faktanya saja

dan bukan merupakan suatu keputusan: .... is limited to a statement of

facts and has in no way the character of an award .... (Pasal 35).38

35

Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer (Bandung: PT

Refika Aditama, 2006), h. 227.

36

Pencarian fakta dalam bahasa Arab disebut tahqiqi 37

Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011),

Cet.Kedua, h. 331.

38

Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional (Jakarta: Sinar Grafika, 2006),

Cet.Kedua, h. 21.

Page 42: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

31

e. Konsiliasi (mushaalihat)

Konsiliasi menurut the Institute of International Law melalui the

Regulations on the Procedure of International Conciliation yang

diadopsinya pada tahun 1961 dalam Pasal 1 dinyatakan:

a method for the settlement of international disputes of any nature

according to which a Commission set up by the Parties, either on a

permanent or an ad hoc basis to deal with a dispute proceeds to the

impartial examination of the dispute and attempts to define the

terms of a settlement susceptible of being accepted by them, or of

affording the Parties with a view to its settlement, such aid as they

may have requested.

John Wade dari Bond Universiry Dispute Resolution Center,

Australia memberikan definisi konisliasi sebagai berikut:

“Conciliation is a process by which the parties in a conflict with

assisting of neutral third party (conciliator) identifying the problem,

creating options, consider solution options, and strive to rech

agreement.” 39

Hakim Manly O. Hudson mengatakan bahwa kosiliasi adalah:

“Suatu proses penyusunan usulan-usulan penyelesaian setelah diadakan

penyelidikan mengenai fakta dan suatu upaya untuk mencari titik temu

pendirian-pendirian yang saling bertentangan. Para pihak dalam sengketa

itu tetap bebas menerima atau menolak proposal-proposal yang

dirumuskannya tersebut”.40

39

Arus Akbar Silondae dan Andi Fariana, Aspek Hukum Dalam Ekonomi & Bisnis (Jakarta:

Penerbit Mitra Wacana Media, 2010), h. 93.

40

Oentoeng Wahjoe, Hukum Pidana Internasional Perkembangan Tindak Pidana

Internasional & Proses Penegakannya (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2011), h. 144.

Page 43: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

32

Konsiliasi merupakan metode penyelesaian sengketa secara politik

yang menggabungkan cara-cara inquiry dengan mediasi. Dalam konsiliasi

pihak ketiga melakukan penyelidikan terhadap sengketa yang

dipermasalahkan para pihak dan kemudian memberikan rangkaian usulan

formal penyelesaian sengketanya. Usulan penyelesaian ini bagaimanapun

tidak mengikat disputing parties. Konsiliasi dapat dilakukan oleh

lembaga atau komisi yang permanen maupun ad hoc.

Dalam praktik, perbedaan antara mediasi internasional dan

konsiliasi internasional terkadang masih samar-samar (blurred), tetapi

pusat ide dari konsiliasi itu sendiri yaitu konsiliator (atau badan

konsiliasi) yang diharapkan untuk mengeluarkan keputusan yang tidak

mengikat (is expected to issue a non-binding decision).41

2. Penyelesaian Sengketa Secara Damai Melalui Jalur Organisasi Internasional

a. Penyelesaian Melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (al-umamu al-

muttahidatu)

Seperti termuat dalam pasal 1 Piagam PBB, tujuan utama PBB

(United Nation) adalah menciptakan perdamaian dan keamanan

internasional.42

PBB juga mendorong agar sengketa-sengketa diselesaikan

41

Sean D Murphy, Principles of International Law (Amerika Serikat: Thomson/West, 2006),

h. 116.

42

To maintain international peace and security, and to that end; to take effective collective

measures for the prevention and removal of threats to the peace, and for the suppression of acts of

Page 44: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

33

melalui cara-cara penyelesaian secara damai. Dalam upayanya

menciptakan perdamaian dan keamanan internasional, PBB memiliki lima

kelompok tindakan yaitu:43

Preventive Diplomacy: suatu tindakan untuk mencegah timbulnya

suatu sengketa diantara para pihak, mencegah luasnya suatu sngketa, atau

membatasi perluasan suatu sengketa.

Peace Making: tindakan untuk membawa para pihak yang bersengketa

untuk saling sepakat, khusunya melalui cara-cara damai seperti yang

terdapat dalam BAB VI UN Charter.44

Peace Keeping: tindakan untuk megerahkan kehadiran PBB dalam

pemeliharaan perdamaian dengan kesepakatan para pihak yang

berkepentingan.

Peace Building: tindakan untuk megidentifikasi dan mendukung

struktur yang ada guna memperkuat perdamaian untuk mencegah suatu

konflik yang telah didamaikan berubah kembali menjadi konflik.

aggression or other breaches of the peace, and to bring about by peaceful means, and in conformity

with the principles of justice and international law, adjustment or settlement of international disputes

or situations which might lead to a breach of the peace;

43

Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional (Jakarta: Sinar Grafika, 2006),

Cet.Kedua, h. 95.

44

The parties to any dispute, the continuance of which is likely to endanger the maintenance

of international peace and security, shall first of all, seek a solution by negotiation, enquiry,

mediation, conciliation, arbitration, judicial settlement, resort to regional agencies or arrangements,

or other peaceful means of their own choice.

Page 45: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

34

Peace Enforcement: wewenang Security Council berdasarkan piagam

untuk menentukan adanya suatu tindakan yang merupakan ancaman

terhadap perdamaian

b. Penyelesaian Melalui Organisasi Regional

Pada umumnya organisasi regional memiliki fungsi sebagai good

offices (jasa baik) dan mediasi. Organisasi Regional tersebut antara lain:

Organization of American States (OAS), 30 April 1948. Pasal 1

Piagam menggariskan tujuan pembentukan OAS yaitu: .... to achieve an

order of peace and justice, to promote their solidarity, to strenghten their

collaboration and to defend their sovereignity, their territorial integrity,

and their independence

The Organization of African Unity (OAU), 23 Mei 1963.

European Union (EU)

Association of Southeast Asian Nations (ASEAN)

3. Penyelesaian Sengketa Secara Damai Melalui Jalur Hukum (syariah)

a. Penyelesaian Melalui Arbitrase (tahkim)

Kata arbitrase berasal dari bahasa Latin arbitrare yang artinya

kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut “kebijaksanaan”.45

45

Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia (Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Utama, 2006), h.24.

Page 46: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

35

Arbitration differs from mediation in that the third party to whom

the dispute is submitted decides the outcome.46

Arbitrase adalah salah satu cara atau alternatif penyelesaian

sengketa yang telah dikenal lama dalam hukum internasional. Namun

demikian sampai sekarang belum ada batasan atau definisi resmi

mengenai arbitrase. Sarjana Amerika Latin Podesta Costa dan Ruda

mendeskripsikan badan ini sebagai berikut:

Arbitration is the resolution of international dispute through the

submission, by formal agreement of the parties, to the decision of a

third party who would be one or several persons by means of

contentious proceedings from which the result of definitive judgement

is derived.47

Menurut William H. Gill, arbitrase diartikan sebagai “An arbitration

is the reference of a dispute or difference between not less than two

persons for determination after hearing both sides in judicial manner by

another person or persons, other than a court of competent

jurisdiction.”48

Lawrence S. Clarck, Robert J. Aalberts, dan Peter D. Kinder

mendefinisikan arbitrase sebagai an arrangement in which the parties

46

A. James Barnes dkk, Law for Business (New York: The McGraw-Hill Companies, Inc,

2006), Edisi Kesembilan, h. 30.

47

Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional (Jakarta: Sinar Grafika, 2006),

Cet.Kedua, h. 39.

48

Dijan Widijowati, Hukum Dagang (Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2012), h. 240.

Page 47: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

36

agree to refer a dispute to an impartial third party (the arbitrator) and to

be bound by this determination.49

Penyelesaian sengketa melalui arbitrase menurut Komisi

Hukum Internasional adalah a procedure for the settlement of disputes

between states by a binding award on the basis of law and as a result of

fan undertaking voluntarily accepted.50

Dalam Black‟s Law Dictionary, Arbitration is: “The reference of

dispute to an impartial (third) person chosen by the parties to the dispute

who agree in advance to abide by the arbitrator’s award issued after

hearing at which both parties have an opportunity to be heard. An

arrangement for taking and abiding by the judgement of selected persons

in some disputed matter. Instead of carrying it to establish tribunals of

justice, and is intended to avoid the formalities, the delay, the expense

and vexation of ordinary litigation”.51

Objek perjanjian arbitrase hanyalah sengketa di bidang

perdagangan, yaitu meliputi: perniagaan, perbankan, keuangan,

penanaman modal, industri dan hak milik intelektual.52

49

Lawrence S. Clark, dkk, Law and Business The Regulatory Environment (Amerika Serikat:

McGraw-Hill, Inc, 1994), Edisi. Keempat, h. 25.

50

Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011),

Cet.Kedua, h. 339.

51

Rahayu Hartini, Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia Dualisme Kewenangan

Pengadilan Niaga dan Lembaga Arbitrase (Jakarta: Kencana, 2009), h. 35.

52

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dan AusAID, Panduan Bantuan Hukum di

Indonesia (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2014), h. 37.

Page 48: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

37

Michael B. Metzger mengemukakan pendapat keuntungan

penyelesaian sengketa melalui arbitrase: 53

1. Quicker resolutuion of disputes;

2. Lower costs in time and money to the parties; and

3. The availability of professional who are often expert in the

subject matter of dispute.

Salah satu sifat pokok dari arbitrase adalah suatu prosedur yang

menghasilkan keputusan-keputusan yang mengikat bagi para pihak yang

bersengketa.54

Hakikat arbitrase ialah prosedur penyelesaian sengketa konsensual

dalam arti bahwa penyelesaian sengketa melalui arbitrase hanya dapat

dilakukan dengan persetujuan negara bersengketa yang

bersangkutan.55

Persetujuan itu dapat merupakan persetujuan umum

sebelumnya atau persetujuan khusus untuk sengketa tertentu.

b. Penyelesaian Melalui Mahkamah Internasional (mahkamatul umamu)

Salah satu alternatif penyelesaian sengketa secara hukum atau

judicial settlement dalam hukum internasional adalah penyelesaian

53

Kementrian Perdagangan RI, Telaahan Hukum Forum Arbitrase Sebagai Alternatif

Penanganan Sengketa (Jakarta: Biro Hukum Sekretariat Jenderal, 2011), h. 22.

54

Sumaryo Suryokusumo, Studi Kasus Hukum Internasional (Jakarta: PT Tatanusa, 2007), h.

221.

55

F Sugeng Istanto, Hukum Internasional (Jakarta: Sinar Grafika, 1998), Cet. Kedua. h. 92.

Page 49: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

38

melalui badan peradilan badan internasional (world court/international

court). Dalam hukum internasional, penyelesain secara hukum dewasa ini

dapat ditempuh melalui berbagai cara atau lembaga, yaitu Permanent

Court of International Justice (PCIJ) atau Mahkamah Internasional, The

International Tribunal for The Law of The Sea (Konvensi Hukum Laut

1982), atau International Criminal Court (ICC).56

4. Penyelesaian Sengketa Secara Kekerasan atau Paksaan (iqrah)

Penyelesaian sengketa secara kekerasan atau paksaan berarti dalam hal

ini yaitu perang. Keseluruhan tujuan dari perang adalah untuk menaklukan

negara lawan dan untuk membebankan syarat-syarat penyelesaian dimana

negara yang ditaklukan tersebut tidak memiliki alternatif lain selain

mematuhinya.57

D. Tanggung Jawab Negara dalam Penyelesaian Sengketa Internasional Secara

Umum

Dalam pembagian kekuasaan (seperation of power)58

dibedakan

menjadi tiga sistem yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Setiap sistem

56

Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional (Jakarta: Sinar Grafika, 2006),

Cet.Kedua, h. 58.

57

J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), Cet. Ke Tujuh,

h. 679

58

Pembagian kekuasaan dalam bahasa Arab disebut aqsamul quwah

Page 50: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

39

memiliki peran dan tugasnya masing-masing. Salah satu fungsi dari lembaga

eksekutif perihal diplomasi yaitu melaksanakan hubungan diplomatik dengan

negara-negara lain.59

Negara merupakan subjek internasional, oleh sebab itu segala kekuasaan

dan juga beban tertinggi (penyelesaian sengketa internasional) di tanggung oleh

negara. Negara memiliki tanggung jawab penuh atas penyelesaian sengketanya

melalui wakil di dalam pemerintahannya.

Hal yang paling utama dilakukan negara ketika terjadi sebuah

perselisihan sengketa internasional yaitu negara melalui wakilnya melakukan

upaya diplomasi terlebih dahulu. Upaya diplomasi merupakan cara penyelesaian

jalur damai melalui bilateral, multilateral dan maupun regional. Dunia

internasional selalu memegang prinsipnya untuk melaksanakan world peace, tapi

dewasa ini sulit rasanya untuk menjalankan prinsip tersebut, karena banyaknya

penyelesaian melalui jalan kekerasan atau jalan perang (middle east).

Secara keseluruhan tanggung jawab negara dalam terjadinya sengketa

internasional yaitu selalu mengupayakan cara damai terlebih dahulu. Negara

mengupayakan peran aktifnya agar tidak terjadi impact yang buruk terhadap

negara sendiri misalnya kerugian-kerugian yang tidak diinginkan oleh warga

59

Nomensen Sinamo, Ilmu Negara (Jakarta: Permata Aksara, 2011), h. 157.

Page 51: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

40

negara itu sendiri. Pemerintah harus aktif mulai dari berbagai sektor yang dirasa

dirugikan ketika sebuah sengketa internasional itu dimulai.

Jalan diplomasi memang hal yang paling utama dilakukan karena

langsung berhadapan dengan persoalan yang disengketakan. Apabila tidak

ditemukannya titik terang dalam jalan diplomasi tersebut, maka tanggung jawab

negara dikemudian yaitu melimpahkan atau membawa kasus ini melalui

peradilan internasional yaitu peradilan yang berada dibawah kekuasaan PBB.

Page 52: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

41

BAB III

WORLD TRADE ORGANIZATION DAN PENYELESAIAN SENGKETA

A. World Trade Organization

1. Sejarah Singkat GATT dan WTO

GATT didirikan setelah Perang Dunia II (tahun 1947) bersamaan

dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa, International Monetary Fund (IMF),

dan International Bank for Reconstruction and Development (IBRD/Bank

Dunia).60

Ada dua puluh tiga anggota yang bergabung dalam GATT. Hingga

tahun 1994, ketika Putaran Uruguay telah selesai dan WTO didirikan tanggal

1 Januari 1995. GATT adalah satu-satunya organisasi multilateral yang

membuat peraturan tentang kebijakan perdagangan internasional. WTO saat

ini beranggotakan 161 bangsa di tahun 2015.61

WTO berjanji untuk

mematuhi prinsip-prinsip pengurangan hambatan perdagangan dan distorsi

perdagangan lainnya. Anggota antara lain seluruh negara perdagangan utama

kecuali Cina dan yang dulunya Uni Soviet. GATT dan sekarang WTO,

60

Ratya Anindita & Michael R. Reed, Bisnis dan Perdagangan Internasional (Yogyakarta:

Penerbit ANDI, 2008), h. 67.

61

http://en.m.wikipedia.org/wiki/World_Trade_Organization, diakses pada tanggal 24

Agustus 2015, jam 14:37 WIB

41

Page 53: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

42

merupakan klub negosiasi yang memiliki aturan spesifik untuk memimpin

dan menyelesaikan perdebatan.

2. Fungsi WTO

Final Act dari Putaran Uruguay ditandatangani, bersamaan juga

dengan beberapa dokumen lainnya, pada tanggal 1 Januari 1995. WTO dan

perjanjian-perjanjian yang berkaitan padaa saat sekarang ini mengatur

sekitar 90 persen perdagangan dunia. WTO diadopsi lebih dari 146

pemerintahan.

Fungsi WTO terdapat pada WTO Agreement, yaitu sebagai berikut:62

a) Memperlancar pelaksanaan, administrasi dan operasi, dan

mencapai sasaran-sasaran dari persetujuan ini serta persetujuan

multilateral

b) Menyediakan forum perundingan untuk anggota-anggotanya yang

berhubungan dengan hubungan perdagangan multilateral

c) Mengatur prosedur penyelesaian sengketa

d) Mengatur mekanisme pemantauan kebijaksanaan perdagangan

e) Bekerjasama dengan Dana Moneter Internasional dan dengan Bank

Internasional

62

Perjanjian WTO Pasal III ayat 1-5, Fungsi dari WTO

Page 54: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

43

3. Struktur WTO

Badan-badan yang merupakan kunci dari WTO adalah sebagai berikut:63

a) Ministerial Conference (Pertemuan Tingkat Menteri) – puncak

organisasi WTO organizational membuat keputusan yang sifatnya

hirarki. Pertemuan diadakan paling tidak satu kali dalam dua tahun serta

memiliki tanggung jawab membuat kebijakan-kebijakan yang akan

dilaksanakan oleh WTO.

b) General Council / Dispute Settlement Body & Trade Policy Review

Body (Dewan Umum / Badan Penyelesaian Sengketa & Badan

Peninjauan Kebijakan Perdagangan) – komposisinya merupakan

perwakilan dari setiap anggota WTO dan merupakan pelaksana dari

WTO. Di dalam General Council, pertemuan diadakan secara bulanan.

c) WTO Secretariat (Sekretariat WTO) – pelaksana administratif dan

pelaksana harian.

d) WTO Councils (Dewan WTO) – terdapat dewan-dewan pada setiap

bidang perdagangan, yaitu:

1. Council for Trade in Goods (Dewan Perdagangan dalam Barang)

2. Council for Trade in Services (Dewan Perdagangan dalam Jasa)

3. Council for Trade Related Aspects of Intellectual Property (Dewan

Hak Kekayaan Intelektual)

63

Meria Utama, Hukum Ekonomi Internasional (Jakarta: PT Fikahati Aneska, 2012), h. 42.

Page 55: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

44

e) Committes and Working Parties (Komite dan Kelompok Kerja)

4. Prinsip-Prinsip Dasar WTO

Terdapat 5 prinsip dasar WTO, yaitu:64

a. Non-Discrimination (Non-Diskriminasi)

Prinsip non-discrimination memuat dua aspek. Pertama, konsep Most

Favored Nation (MFN) dan kedua, National Treatment (NT).

Most Favored Nation (Negara Paling Disukai)

Pada tahun 1978 ILC mengajukan kepada UNGA suatu Draft

Articles Most-Favored Nation Clause (Rancangan Artikel Klausul

Negara yang Paling Disukai). Dalam Pasal 5 Draft itu dirumuskan

pengertian Most-Favored Nation treatment sebagai berikut:65

Most Favored Nation treatment is treatment accorded by the granting

State to the beneficiary State, or to persons or things in a determined

relationship with that State, not less favourable than treatment

extended by the granting State to a third State or to persons or things

in the same relationship with that third State.

Konsep MFN merupakan konsep yang fundamental dalam

perdagangan internasional. Konsep ini tidak hanya terbatas pada negara-

negara anggota semata, oleh karenanya jika anggota WTO memberikan

64

Meria Utama, Hukum Ekonomi Internasional (Jakarta: PT Fikahati Aneska, 2012), h. 46.

65

Rusli Pandika, Sanksi Dagang Unilateral di Bawah Sistem Hukum WTO (Bandung: PT

Alumni, 2010), h.132.

Page 56: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

45

perlakuan yang berbeda ke negara yang bukan anggota maka hal itu juga

harus diterapkan bagi negara-negara anggota.

National Treatment (Perlakuan Nasional)

Konsep NT terdapat pada Article III GATT, Pasal VII GATS

dan Article III TRIPS dan telah menjadi artikel yang paling sering

diinterpretasikan baik sebelum maupun sesudah pembe ntukan WTO.

b. Liberalization of Trade (Liberalisasi Perdagangan)

Tujuan dari WTO adalah untuk memberikan stabilitas dan

prediktibilitas yang lebih luas dalam sistem perdagangan internasional.

Liberalisasi merupakan salah satu jalan untuk menghapuskan segala

bentuk pembatasan dalam bidang ekspor dan impor. Juga, dalam hal ini

tidak ada subsidi dan tarif sama sekali. Barangkali hal ini terkesan tidak

realistis untuk dicapai secara global dan mungkin hal ini akan membuat

negara-negara menjadi tidak mendukung keberadaan WTO. Namun

penting untuk mencapai proses keberlanjutan dari liberalisasi.

Perlu dicatat bahwa akan selalu ada pembatasan dari proses

liberalisasi. Dalam WTO agreement, pembatasan ini diwakili dengan

apa yang disebut safeguards, yaitu “a further special agreement on

safeguards and the special case of texttiles”. Intinya, safeguards

membolehkan negara-negara anggota untuk mengambil tindakan

„emergency‟ untuk mencegah akibat yang fatal bagi negara tersebut.

Page 57: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

46

c. No Unfair Trade (Tidak Ada Perdagangan yang Tidak Adil)

Unfair trade merupakan ketidakadilan dalam dunia

perdagangan. Pertama tentang dumping dan kedua mengenai subsidi.

Dumping produk dipandang sebagai sebuah contoh diskriminasi harga

secara internasional. Di pasar yang berbeda terdapat perbedaan harga

untuk barang yang sama. Dumping dipandang juga sebagai predatory

pricing dimana sebuah produsen menjual dibawah harga untuk

mengintimidasi atau menghapuskan saingannya dan dalam jangka waktu

yang panjang harga tersebut akan dinaikan setelah kompetitor tetapi

dapat dihapuskan.

Antidumping diperbolehkan oleh Pasal VI GATT, dengan

pengecualian hanya untuk melindungi perekonomian nasional dalam

menghadapi kompetisi yang tidak fair dan bukan sebagai alat untuk

melindungi perdagangan.

Subsidies (Subsidi)

Dalam Putaran Uruguay (1986-1994) untuk pertama kalinya

subsidi diberikan definisi, yaitu .... a financial contribution by the

government or any public body where the govcernment practice involves

the following :

1) A direct transfer of funds

Page 58: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

47

2) Potential direct transfers of liabilities

3) Government revenue (for instance taxation and payroll duty) that is

otherwise due is foregone

4) Government provisions of goods or services other than general

infrastructure

5) Government payments to a funding mechanism or a direction to a

private body to carry out the above functions

Sebagai aturan umum, subsidi dilarang ketika hal ini menyebabkan

terganggu perdagangan internasional. Jadi bukanlah harga dan kualitas

barang yang sampai ke konsumen, melainkan harga yang ditimbulkan

oleh semata-mata akibat adanya subsidi tersebut dan bukanlah

merupakan hasil dari tekanan kompetisi.

d. Transparency (Transparansi)

Inti daripada transparansi yang diminta aturan-aturan GATT (Pasal X),

GATS (Pasal III), dan TRIPS (Pasal 63) adalah:

1) Publikasi segala jenis hukum dan aturan sebelum dilaksanakan

2) Keseragaman, tidak terpisah dan administrasi yang masuk akal dari

aturan dan hukum tersebut.

3) Judicial Review dari setiap putusan administratif.

Prinsip-prinsip transparansi sangat penting guna kepercayaan para

pebisnis, yang diinginkan adalah sistem hukum domestik

Page 59: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

48

memperlakukan korporasi dan individu asing sama perlakuannya

dengan individu dan korporasi lokal.

e. Exceptions (Pengecualian)

Terdapat pengecualian didalam prinsip WTO, yaitu:

General Exceptions (Pengecualian Umum)

Pengecualian horizontal (The Horizontal Exceptions) dalam

GATT (dan berlaku juga bagi negara-negara anggota WTO) termuat

pada Pasal XX. Pengecualian ini termasuk:

1) Kepentingan untuk melindungi moral masyrakat

2) Kepentingan untuk melindungi manusia, binatang atau kehidupan

planet bumi dan kesehatan.

3) Berkaitan dengan impor atau ekspor emas dan perak

4) Kepentingan atas dasar hukum dan aturan yang tidak sesuai dengan

aturan yang terdapat didalam agreement yang berkaitan dengan:

3.1 Customs enforcement

3.2 Protection of patents, trade marks and copyrights

3.3 Enforcement of monopolies

3.4 Prevention of deceptive practices

5) Produk yang dihasilkan oleh orang yang dipenjara (prison labour)

6) Diterapkan untuk melindungi warisan artistik, sejarah masa lalu dan

yang memiliki nilai arkeologi

Page 60: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

49

7) Konservasi sumber daya alam yang sedikit

8) Diambil dalam rangka kewajiban yang timbul dari perjanjian

komoditi antar pemerintah

9) Melibatkan pembatasan ekspor bahan-bahan domestik yang penting

untuk memastikan kualtias utama bahan tersebut pada proses

industri domestik selama jangka waktu ketika harga domestim dari

bahan tersebut berada diharga bawah dunia, sebagai bagian dari

rencana stabilitas pemerintah yang termasuk dalam subject to the

principle of non discrimination.

10) Berguna untuk mengakuisisi atau mendistribusikan produk sebagai

supply jangka pendek secara umum maupun lokal.

Security Exceptions (Pengecualian dalam Keamanan)

Adalah hak sebuah negara untuk mempertahankan diri dari

serangan pihak luar yang dijamin dalam prinsip dasar hukum

inetrenasional. Karena anggota-anggota WTO adalah negara-negara

yang berdaulat dan bertanggungjawab atas keamanan dalam negerinya,

sulit membayangkan bagaimana WTO dispute settlement body akan

dapat bertindak sebagai hakim pada persoalan ini jika pengecualian

kemanan ini tidak dibuat sejelas mungkin dan ukuran-ukuran keamanan

tersebut ditempatkan dalam artian senyatanya dari diskriminasi

perdagangan dalam rangka produsen domestik. Persoalan ini lebih

Page 61: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

50

sesuai dibahas oleh hukum internasional, hukum perang, dan Dewan

Keamanan PBB.

4. Ruang Lingkup Pengaturan WTO

Ruang lingkup pengaturan WTO adalah:66

1. Pembentukan World Trade Organization (the establishment of WTO)

2. Pengurangan Tarif (Tariff Reduction)

3. Pertanian (Agriculture)

4. Tarif dan Hambatan Non-Tarif (Tariff and Non-Tariff Barriers)

5. Sanitary and Phytosanitary Measures

6. Tekstil dan Pakaian (Textile and Apparel)

7. Safeguards

8. Antidumping

9. Subsidies and Countervailing Measures

10. TRIMs (Trade Related Investment Measures)

11. Jasa (Services)

12. Hak Milik Intelektual (Intellectual Property Rights)

13. Penyelesaian Perselisihan (Dispute Settlement)

14. Pengadaan Pemerintah (Government Procurement)

66

Rusli Pandika, Sanksi Dagang Unilateral di Bawah Sistem Hukum WTO (Bandung: PT

Alumni, 2010), h.132.

Page 62: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

51

15. Ketentuan Perdagangan Lainnya (Other Trade Provisions)

16. Lingkungan (The Environment)

17. Hak-hak Pekerja (Worker Rights)

B. WTO Sebagai Forum Penyelesaian Sengketa

Sebagai suatu forum internasional yang merupakan instrumen untuk

menangani masalah perdagangan dunia, WTO merupakan suatu mekanisme yang

memungkinkan dilakukannya konsultasi antara sesama negara anggota, baik dala

bentuk bilateral, plurilateral, maupun multilateral. Mekanisme yang paling luwes

konsultasi informal yang banyak menyelesaikan masalah sehingga mencegah

terjadinya sengketa yang terlalu sering. Namun ada kalanya timbul masalah yang

menjadi sengketa dalam bentuk yang lebih formal. WTO juga merupakan suatu

forum penyelesaian sengketa antara negara-negara anggota.

Sebagai forum untuk kegiatan penyelesaian sengketa WTO secara

sistematis menyediakan mekanisme yang lebih formal untuk memberi

kesempatan pada negara-negara anggota untuk menyelesaiakan sengketa.

Dengan adanya perjanjian WTO yang merupakan suatu kontrak hak dan

kewajiban, apabila ada sengketa mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hak

dan kewajiban dan pelanggaran yang terjadi, maka WTO sebagai suatu sistem

menyediakan forum yang formal untuk menyelesaikan sengketa.67

67

H. S. Kartadjoemena, GATT DAN WTO Sistem, Forum dan Lembaga Internasional di

Bidang Perdagangan (Jakarta: UI Press, 1996), h. 90.

Page 63: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

52

Konsiliasi, konsultasi dan penyelesaian sengketa merupakan salah satu

aspek yang penting dalam kegiatan WTO sehari-hari. Baik negara kecil maupun

negara besar dapat mengemukakan masalah sengketa perdagangan mereka

seperti tercantum dalam General Agreement dinilainya dilanggar oleh negara

anggota lainnya. Sistem ini disasarkan pada ketentuan yang secara umum

tercantum dalam Pasal XII dan XIII dari General Agreement.

C. Mekanisme Penyelesaian Sengketa

1. Mekanisme Penyelesaian Sengketa sebagai bagian dari Pengawasan

Internasional

Tentang pengawasan (supervision) seorang sarjana memberikan

pengertian sebagai berikut:

“The supervisory function is an essential legal technique. It performs a

function whic is absolutely necessary to the existe nce abd progress of any

society, of any social organization. The main object of this function is to

ensure respect for law and the realization of rules of law as well as the

regular functioning of public service within the limits laid down in these

rules of law. Supervision is an organic function which makes it possible for

errors either in the assesment of a situation or in taking action which might

jeopadize the stability and security of social existence to be rectified. If

therefore serves to ensure public order”.68

68

Hata, Perdagangan Internasional Dalam Sistem GATT DAN WTO Aspek-Aspek Hukum

dan Non Hukum (Bandung: PT Refika Aditama, 2006), h. 181.

Page 64: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

53

Menurut Van Hoof pengawasan internasional mempunyai tiga fungsi: 69

a. Review Function (Fungsi Peninjauan): Pada umumnya, “review” diartikan

sebagai mengukur atau menilai sesuatu berdasarkan tolak ukur tertentu.

Dalam konteks hukum, ini berarti menilai sesuatu perilaku untuk

menentukan kesesuaiannya dengan aturan hukum. Review Function

dalam hubungannya dengan negara dilaksanakan apabila perilaku suatu

negara dinilai menurut hukum internasional oleh suatu lembaga

pengawasan yang mempunyai status internasional. Pengawasan ini

dilakukan oleh satu negara atau lebih atau oleh suatu lembaga yang

dibentuk menurut perjanjian internasional. Hasil dari pengawasan ini

adalah suatu keputusan tentang sesuai tidaknya tindakan negara tersebut

dengan hukum internasional.

b. Correction Function (Fungsi Koreksi): fungsi ini dilaksanakan manakala

telah timbul suatu keadaan yang bertentangan dengan hukum

internasional. Namun demikian, fungsi ini dapat bersifat preventif,

manakala negara-negara menyesuaikan diri pada aturan-aturan hukum

internasional sebagai akibat eksistensi atau ancaman dari mekanisme

koreksi ini. Tujuan akhir dari pengawasan internasional adalah untuk

memastikan kepatuhan terhadap aturan-aturan hukum internasional. Oleh

69

Hata, Perdagangan Internasional Dalam Sistem GATT DAN WTO Aspek-Aspek Hukum

dan Non Hukum (Bandung: PT Refika Aditama, 2006), h. 181.

Page 65: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

54

karena itu pelanggarannya harus diperbaiki. Terlepas dari kasus-kasus

dimana negara yang melakukakan pelanggaran memperbaiki pelanggaran

atas kehendak sendiri, kepatuhan terhadap hukum internasional harus

dipastikan melalui persuasi atau paksaan dari luar. Ini merupakan fungsi

koreksi dari pengawasan internasional, yang bisa juga disebut sebagai

fungsi pemaksa (enforcement function). Satu persoalan yang terkait

dengan hal ini adalah pengenaan sanksi dalam hukum internasional.

c. Creative Function (Fungsi Kreatif): Sekalipun review dan creative

function merupakan bagian pokok dari pengawasan, namun pengawasan

juga dapat berfungsi kreatif, terutama dalam hukum internasional. Hal ini

disebabkan karena tidak adanya semacam lembaga eksekutif dan

yudikatif. Tindakan-tindakan legislatif seringkali abstrak atau tidak jelas.

Oleh karena itu usaha untuk memperjelas norma-norma hukum

internasional ini merupakan bagian dari fungsi pengawasan yaitu fungsi

kreatif. Jadi fungsi kreatuif ini berupa penafsiran atas aturan-aturan

hukum internasional yang belum jelas.

2. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Dalam WTO

Berikut ini adalah tahapan-tahapan dalam penyelesaian sengketa dagang

dalam WTO.70

a. Konsultasi (Consultations)

70

Syahmin AK, Hukum Dagang Internasional (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006), h.

253.

Page 66: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

55

Tujuan dari mekanisme penyelesaian sengketa dagang di WTO

adalah untuk menguatkan solusi yang positif terhadap sengketa. Tahap

pertama adalah kosnultasi para pihak yang bersengketa. Setiap anggota

harus menjawab secara tepat dalam waktu sepuluh hari untuk meminta

diadakan konsultasi dan memasuki periode konsultasi selama tiga puluh

hari setelah waktu permohonan.

Untuk memastikan kejelasannya, setiap permohonan untuk

konsultasi harus diberitahukan kepada DSB (Dispute Settlement Body)

secara tertulis, kemudian disebutkan alasan-alasan permohonan konsultasi

termasuk dasar-dasar hukum untuk pengaduan. Bila konsultasi gagal dan

kedua pihak setuju, masalah ini dapat diajukan ke Direktur Jenderal WTO

yang akan siap menawarkan diadakan good offices, konsiliasi, atau

mediasi dalam menyelesaikan sengketa.

b. Pembentukan Panels (Establishment of Panels)

Jika suatu anggota tidak membverikan jawaban untuk meminta

diadakan konsultasi dalam waktu sepuluh hari atau jika konsultasi gagal

untuk diselesaikan dalam waktu enam puluh hari, penggugat dapat

meminta ke DSB untuk membentuk suatu panel untuk menyelesaikan

masalah pembentukan panel. Prosedur ini menntut DSB untuk segera

membentuk panel, selambat-lambatnya pada sidang kedua dari

permintaan panel. Jika tidak, maka diputuskan secara konsensus. Hal ini

Page 67: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

56

dimaksudkan adalah negara yang digugat tidak boleh menghalangi

pembentukan panel. Dalam hal ini penentuan Term of Reference dan

komposisi panel juga diajukan. Panel harus segera disusun dalam waktu

tiga puluh hari pembentukan.

Sekretariat WTO akan menyarankan tiga orang panelis yang

potsensial pada pihak-pihak sengketa. Jika pihak-pihak tersaebuy tidak

setuju terhadap panelis dalam waktu duapuluh hari dari pembentukan

panel, Direktur Jenderal melakukan konsultasi kepada ketua DSB dan

Ketua Dewan akan menunjuk panelis. Para panelis akan melayani sesuai

dengan kapasitasnya dan tidak beprgang pada instruksi-instruksi dari

negara yang bersangkutan.

c. Prosedur-Prosedur Panel (Panels Procedures)

Pengertian ini menunjukkan bahwa periode dimana panel

melaksanakan pengujian masalah, selanjutnya Term of Reference dan

komposisi panel disetujui, kemudian panel memberikan laporan kepada

para pihak yang bersengketa tidak boleh lebih dari enam bulan. Dalam

hal-hal yang penting, termasuk untuk barang-barang yang mudah rusak,

waktu dapat dipercepat menjadi tiga bulan. Apabila tidak ada masalah,

waktu pembentukan panel ke sirkulasi laporan kepada anggota tidak

boleh lebih dari sembilan bulan.

d. Penerimaan Laporan Panel ke DSB (Adoption of Panels Reports)

Page 68: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

57

Prosedur WTO menunjukkan bahwa laporan panel harus diterima

oleh DSB dalam waktu enam puluh hari dari pengeluaran. Jika tidak, satu

pihak memberitahukan keputusannya untuk menarik atau konsesnsus

terhadap pengesahan laporan. DSB tidak dapat mempertimbangkan

laporan panel lebih cepat dari dua puluh hari setelah laporan tersebut

disirkulasikan kepada para anggota.

Para anggota yang merasa keberatan atas laporan itu diwajibkan

untuk menyatakan alasan-alasan secara tertulis untuk disirkulasikan

sebelum diadakan pertemuan DSB di mana laporan panel akan

dipertimbangkan.

e. Peninjauan Kembali (Appellate Review)

Suatu gambaran baru dari mekanisme penyelesaian sengketa di

WTO memberikan kemungkina penarikan terhadap salah satu pihak

dalam suatu berlangsungnya panel. Semua permohonan akan didengar

oleh suatu badan peninjau (Appellate Body) yang dibentuk oleh DSB.

Badan ini terdiri dari tujuh orang yang merupakan perwakilan dari

keanggotaan WTO yang akan melayani dalam termin empat tahun.

Mereka harus merupakan orang yang ahli di bidang hukum dan

perdagangan internasional, dan tidak berafiliasi dengan negara mana pun.

Tiga orang anggota dari Appellate Body mendengarkan

permohonan-permohonan mereka dapat membela, mengubah, atau

Page 69: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

58

membatalkan hasil kesimpulan panel sesuai aturan, namun pengajuan

permohonan tidak lebih dari 60-90 hari. Tiga puluh hari sesudah

pengeluaran, lapooran dari Appellate Body harus diterima oleh DSB dan

tanpa syarat diterima oleh pihak-pihak yang bersengketa. Jika tidak,

konsensus akan diberlakukan terhadap pengesahan ini.

f. Implementasi (Implementation)

Kebijaksanaan menekankan bahwa peraturan dari DSB sangat

penting agar mencapai resolusi yang efektif dari persengketaan-

persengketaan yang bermanfaat untuk semua anggota. Pada pertemuan

DSB berlangsung dalam waktu tiga puluh hari dari adopsi panel, pihak

yang bersangkutan harus menyatakan niat untuk menghargai

impelementasi dari rekomendasi-rekomendasi. Bila hal itu tidak berguna

untuk segera menyetujui, anggota akan diberikan suatu periode waktu

yang beralasan yang ditentukan oleh Dispute Settlement Body (DSB).

Bila hal itu gagal dalam waktu yang telah ditentukan itu, diwajibkan

untuk mengadakan negosiasi dengan penggugat untuk menentukan

kompensasi yang dapat diterima kedua belah pihak yang bersengketa.

Jika dalam waktu dua puluh hari tidak ada kompensasi yang memuaskan

yang dapat disetuji, penggugat dapat mohon otorisasi dari DSB untuk

menangguhkan konsensi-konsensi atau obligasi-obligasi terhadap pihak

tergugat. Prosedur menentukan bahwa DSB menjamin otorisasi ini dalam

Page 70: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

59

waktu tiga puluh hari dari batas waktu “reasonable period of time”, jika

konsensus akan diberlakukan. Jika anggota yang bersangkutan

menolak/berkeberatan terhadap tingkat suspensi, hal tersebut diteruskan

pada arbitrase. Hal ini akan diselesaikan oleh anggota-anggota panel yang

asli. Bila hal ini tidak mungkin dilakukan oleh arbitrator yang ditunjuk

oleh Direktur Jenderal WTO. Arbitrase harus selesai dalam waktu enam

puluh hari dari batas waktu “reasonable period of time”, dan hasil

keputusan harus diterima oleh pihak-pihak yang bersangkutan sebagai

final, dan tidak diteruskan kepada arbitrase lainnya. DSB selanjutnya

memberi kuasa suspensi dari konsensi-konsensi secara konsisten dari

hasil penyelesaian arbitrator. Jika tidak, maka akan diadakan konsensus.

Page 71: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

60

BAB IV

ANALISIS PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA

PERDAGANGAN INTERNASIONAL STUDI KASUS GUGATAN

PERDAGANGAN ROKOK INDONESIA TERHADAP AUSTRALIA

MELALUI WORLD TRADE ORGANIZATION

A. Peran Diplomasi Indonesia Terhadap Australia

Diplomasi merupakan sarana untuk menyatakan sikap membangun atau

mempertahankan hubungan timbal balik, berkomunikasi antara yang satu dengan

yang lain, atau melakukan transaksi politik atau hukum, dalam setiap kasus

melalui agen resmi mereka.71

Hubungan bilateral memiliki pasang surut, terdapat

berbagai konflik, mulai dari kepentingan politik dan bahkan kepentingan negara

lain. Oleh karena itu diplomasi diperlukan untuk menemukan jalan atau titik

temu bila suatu masalah mulai muncul.

Diplomasi merupakan sarana komunikasi untuk suatu hubungan kerjasama.

Kerjasama yang baik merupakan suatu keberhasilan untuk jangka panjang dan

saling menguntungkan diantara pihak yang bersepakat. Firman Allah SWT dalam

Q.S Al-Mumtahanah ayat 8 :

71

Syahmin AK, Hukum Diplomatik Suatu Pengantar (Bandung: CV. ARMICO, 1998) Cet.3,

h. 13

60

Page 72: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

61

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap

orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula)

mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang

yang berlaku adil”

Adil merupakan contoh sikap yang baik dan bijak, negara yang satu harus

berlaku adil terhadap negara yang lain, tidak boleh dibeda-bedakan, apalagi

dalam masalah perdagangan. Diskriminasi terhadap penerapan kebijakan

perdagangan merupaka pelanggaran dari aturan hukum yang ada, jadi sebuah

negara harus menjungjung tinggi sikap adil terhadap aturan hukum yang mereka

buat.

Diplomasi kadang kalanya ada yang dapat kesepakatan dan adapula yang

tidak, dan sebaiknya diplomasi adalah diplomasi yang mengutamakan

perdamaian sesuai dengan Q.S Al-Anfal ayat 61 :

Page 73: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

62

“Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah

kepadanya dan bertakwakallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang

Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”

Dalam suatu hubungan diplomatik terdapat berbagai perjanjian, banyak

sekali praktik perjanjian di dunia yang dilanggar oleh berbagai negara. Allah

berfirman dalam Q.S At-Tawbah ayat 7 :

“Bagaimana bisa ada perjanjian (aman) dari sisi Allah dan Rasul-Nya

dengan orang-orang musyrikin, kecuali orang-orang yang kamu telah

mengadakan perjanjian (dengan mereka) di dekat Masjidil Haram? Maka

selama mereka berlaku lurus terhadapmu, hendaklah kamu berlaku lurus

(pula) terhadap mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang

bertakwa”

Sebaik-baiknya perjanjian adalah perjanjian yang saling dihormati dan

menghormati antar negara yang bersepakat. Klaim-kalim pelanggaran dari

Indonesia terhadap Australia, menandakan bahwa ada perjanjian yang dilanggar

oleh Australia sehingga Indonesia memliki kewajiban untuk melakukan perannya

Page 74: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

63

demi kembalinya suatu hubungan seperti semula, yang sesuai dengan aturan atau

traktat yang berlaku.

Australia pada tahun 2011 menerapkan kebijakan Tobacco Plain

Packaging Act yang dinilai tidak menguntungkan Indonesia karena bertentangan

dengan hukum Internasional. Indonesia pada bulan Oktober 2013 melakukan

tindakan atau langkah diplomasi melalui Kedutaan Besar Republik Indonesia di

Canbera.72

Langkah diplomasi ini merupakan langkah awal untuk membahas

secara bilateral diantara kedua negara perihal kebijakan Australia yang telah

menerapkan kebijakan Tobacco Plain Packaging Act 2011.

Perlu diketahui industri rokok menyumbang 1,66 persen total Gross

Dosmetic Product (GDP) Indonesia dan devisa negara melalui ekspor ke dunia

yang nilainya pada tahun 2013 mencapai 700 juta dollar AS. Selain itu, industri

rokok juga menjadi sumber penghidupan bagi 6,1 juta orang yang bekerja di

industri rokok secara langsung dn tidak langsung, termasuk 1,8 juta petani

tembakau dan cengkeh.73

Pada diplomasi tersebut Indonesia menanyakan kepada Australia apakah

Australia akan mencabut kebijakan langkah-langkah kemasan rokok polos yang

dibuatnya. Kemasan rokok polos adalah kotak kemasan dengan warna seragam

72

Wawancara dengan Kementrian Perdagangan (Direksi Pengawasan Perdagangan) tanggal 3

Agustus 2015

73

Diakses dari

bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/06/05/111854526/Wajibkan.Kemasan.Rokok.Polos.Indonesia.

Gugat.Asutralia pada tanggal 7 September 2015, pukul 13:08 WIB

Page 75: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

64

disertai dengan peringatan ancaman kesehatan. Dalam kemasan tersebut,

produsen tidak bisa menaruh logo atau jenis huruf khas merek dagang karena

jenis hurufnya telah ditentukan.74

Tanggapan dari Australia adalah bahwa Australia tidak berada di posisi

untuk melakuan hal tersebut (mencabut kebijakan kemasan polos) dikarenakan

kebijakan ini merupakan langkah-langkah terhadap kesehatan masyarakat dan

tidak ada kaitannya dengan masalah perdagangan. Australia menyatakan bahwa

kebijakan yang dibuatnya bukan diarahkan atau ditujukan terhadap Indonesia,

melainkan untuk keseluruhan negara. Australia menambahkan bahwa mereka

hanya mengimpor sedikit tembakau dari Indonesia.75

Dasar hukum Australia

menerapkan kebijakan ini adalah bahwa Australia ingin mengimplementasikan

beberapa obligasi dibawah World Health Organization Framework Convention

on Tobacco Control (WHO FCTC).76

World Health Organization Framework Convention on Tobacco Control

(WHO FCTC) adalah perjanjian internasional yang diadopsi Majelis Kesehatan

Dunia pada tanggal 21 Mei 2003, perjanjian ini mulai berlaku pada 27 Februari

2005. Perjanjian ini merupakan perjanjian supranasional yang bertujuan

74

Diakses dari M.cnnindonesia.com/ekonomi.com/ekonomi/20150703112932-85-

64091/mendag-indonesia-tak-akan-berlakukan-kemasan-rokok-polos/ pada tanggal 7 September 2015,

pukul 14:00 WIB

75

Wawancara dengan Kedutaan Besar Australia di jakarta (Sekretaris I Bidang Ekonomi)

tanggal 31 Agustus 2015 76

Diakses dari

www.aph.gov.au/About_Parliament/Parliamentary_Departments/Parliamentary_Library/FlagPost/2014

/July/WTO_plain_cigarette_packaging_case pada tanggal 7 September 2015, pukul 13:27 WIB

Page 76: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

65

melindungi generasi saat ini dan yang akan datang dari efek merusak konsumsi

temabakau pada kesehatan, sosial, lingkungan, dan ekonomi dan membatasi

penggunannya dalam bentuk apapun di seluruh dunia. Perjanjian ini mengikat

pengaturan produksi, penjualan, distribusi, periklanan, dan perpajakan

tembakau.77

Konsultasi bilateral melalui diplomasi tidak membuahkan hasil atau

kesepakatan dan tidak mendapatkan pemecahan masalah, sehingga Indonesia

pada 3 Maret 2014 menggugat Australia ke Panel WTO.78

Apa yang dilakukan Indonesia sudah tepat, Indonesia mengambil perannya

sebagai suatu negara yang berdaulat untuk menyatakan sikapnya melalui cara

non litigasi yaitu melalui diplomasi terhadap Australia ketika kasus ini mencuat.

Bahkan sebelum ketika Plain Packaging masih merupakan bill (rancangan) pada

29 April 2010 Indonesia selalu aktif melakukan diplomasi terhadap Australia.

Hingga akhirnya pada puncaknya kesepakatan tidak dapat dicapai, maka

Indonesia mengambil langkah secara litigasi, membawa kasus ini ke Panel WTO.

B. Perbandingan Kasus Sengketa Rokok Indonesia – Amerika dengan

Indonesia – Australia

77

Diakses dari

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Konvensi_Kerangka_Kerja_Pengendalian_Tembakau_WHO pada

tanggal 7 September 2015, pukul 13:47 WIB

78

Panel WTO adalah panel yang dibentuk oleh badan penyelesaian sengketa yang terdiri dari

tiga panelis, yang berfungsi untuk melakukan uji terhadap suatu masalah atau sengketa

Page 77: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

66

Indonesia - Amerika

Indonesia merupakan penghasil produk tembakau terbesar keenam dan

penghasil daun ketigabelas di dunia yang menyerap tenaga kerja langsung dan

tidak langsung lebih dari enam juta jiwa.79

Salah satu negara tujuan ekspor rokok

Indonesia yaitu Amerika.

Pada 7 April 2010 Indonesia mengajukan konsultasi dengan Amerika

berkaitan dengan ketentuan Family Smoking Prevention Tobacco Control Act

tahun 2009 (selanjutnya disebut Tobacco Control Act) yang melarang

keberadaan rokok kretek di Amerika.

Indonesia menyatakan Tobacco Control Act tahun 2009 Pasal 907

(a)(1)(A), yang ditandatangi menjadi Undang-Undang pada 22 Juni 2009

tersebut, melarang, antara lain produksi atau penjualan rokok yang mengandung

aditif tertentu, termasuk cengkeh, tapi akan terus mengizinkan produksi dan

penjualan rokok lainnya, termasuk rokok yang mengandung menthol.

Indonesia menyatakan bahwa pasal 907 (a)(1)(A) Tobacco Products

Standards80

tidak konsisten dengan:

79

Diakses dari

Bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/10/14/194623126/Wajibkan.Kemasan.Polos.Australia.Digugat

.5.Negara.kw.WTO pada tanggal 7 September 2015, pukul 13:20 WIB 80

Special rule for cigarettes.--Beginning 3 months after the date of enactment of the Family

Smoking Prevention and Tobacco Control Act, a cigarette or any of its component parts (including the

tobacco, filter, or paper) shall not contain, as a constituent (including a smoke constituent) or

additive, an artificial or natural flavor (other than tobacco or menthol) or an herb or spice, including

Page 78: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

67

1. Technical Barriers to Trade Agreement Pasal:

2.1: Members shall ensure that in respect of technical regulations, products

imported from the territory of any Member shall be accorded

treatment no less favourable than that accorded to like products of

national origin and to like products originating in any other country

2.2: Members shall ensure that technical regulations are not prepared,

adopted or applied with a view to or with the effect of creating

unnecessary obstacles to international trade. For this purpose,

technical regulations shall not be more trade-restrictive than

necessary to fulfil a legitimate objective, taking account of the risks

non-fulfilment would create. Such legitimate objectives are, inter

alia: national security requirements; the prevention of deceptive

practices; protection of human health or safety, animal or plant life

or health, or the environment. In assessing such risks, relevant

elements of consideration are, inter alia: available scientific and

technical information, related processing technology or intended

end-uses of products

2.5: A Member preparing, adopting or applying a technical regulation

which may have a significant effect on trade of other Members shall,

upon the request of another Member, explain the justification for that

technical regulation in terms of the provisions of paragraphs 2 to 4.

Whenever a technical regulation is prepared, adopted or applied for

one of the legitimate objectives explicitly mentioned in paragraph 2,

and is in accordance with relevant international standards, it shall

be rebuttably presumed not to create an unnecessary obstacle to

international trade

2.8: Wherever appropriate, Members shall specify technical regulations

based on product requirements in terms of performance rather than

design or descriptive characteristics

2.9: Whenever a relevant international standard does not exist or the

technical content of a proposed technical regulation is not in

accordance with the technical content of relevant international

standards, and if the technical regulation may have a significant

effect on trade of other Members, Members shall:

2.9.1 publish a notice in a publication at an early appropriate stage, in such

a manner as to enable interested parties in other Members to become

strawberry, grape, orange, clove, cinnamon, pineapple, vanilla, coconut, licorice, cocoa, chocolate,

cherry, or coffee, that is a characterizing flavor of the tobacco product or tobacco smoke. Nothing in

this subparagraph shall be construed to limit the Secretary's authority to take action under this section

or other sections of this Act applicable to menthol or any artificial or natural flavor, herb, or spice not

specified in this subparagraph.

Page 79: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

68

acquainted with it, that they propose to introduce a particular

technical regulation;

2.9.2 notify other Members through the Secretariat of the products to be

covered by the proposed technical regulation, together with a brief

indication of its objective and rationale. Such notifications shall take

place at an early appropriate stage, when amendments can still be

introduced and comments taken into account;

2.9.3 upon request, provide to other Members particulars or copies of the

proposed technical regulation and, whenever possible, identify the

parts which in substance deviate from relevant international

standards;

2.9.4 without discrimination, allow reasonable time for other Members to

make comments in writing, discuss these comments upon request, and

take these written comments and the results of these discussions into

account

2.10: Subject to the provisions in the lead-in to paragraph 9, where urgent

problems of safety, health, environmental protection or national

security arise or threaten to arise for a Member, that Member may

omit such of the steps enumerated in paragraph 9 as it finds

necessary, provided that the Member, upon adoption of a technical

regulation, shall:

2.10.1 notify immediately other Members through the Secretariat of the

particular technical regulation and the products covered, with a brief

indication of the objective and the rationale of the technical

regulation, including the nature of the urgent problems;

2.10.2 upon request, provide other Members with copies of the technical

regulation;

2.10.3 without discrimination, allow other Members to present their

comments in writing, discuss these comments upon request, and take

these written comments and the results of these discussions into

account

2.12: Except in those urgent circumstances referred to in paragraph 10,

Members shall allow a reasonable interval between the publication

of technical regulations and their entry into force in order to allow

time for producers in exporting Members, and particularly in

developing country Members, to adapt their products or methods of

production to the requirements of the importing Member

12.3: Members shall, in the preparation and application of technical

regulations, standards and conformity assessment procedures, take

account of the special development, financial and trade needs of

developing country Members, with a view to ensuring that such

technical regulations, standards and conformity assessment

Page 80: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

69

procedures do not create unnecessary obstacles to exports from

developing country Members

(berdasarkan pasal 2.1-12.3 dapat disimpulkan bahwa produk lokal dengan

produk impor harus disamakan, tidak boleh dibeda-bedakan. Regulasi yang

dibuat suatu negara tidak boleh bertujuan untuk membentuk suatu

hambatan-hambatan bagi negara lain. Negara dalam menerapakan suatu

regulasi yang baru, maka ia harus memberikan penjelsan terhadap

regulasinya tersebut, mempublikasi pemberitahuan dari dini mungkin

mengenai aturan agar negara lain mengetahui bahwa mereka membuat

regulasi baru, memberitahukan kepada sekretariat, tanpa diskriminasi

mengizinkan negara lain untuk menyatakan pendapatnya, memberikan

salinan regulasi apabila diminta oleh anggota. Anggota memberi

pernyataan bahwa regulasi yang baru, tidak memberikan hambatan atau

mempersulit negara yang sedang berkembang. Harus ada selang waktu

tidak kurang dari enam bulan antara publikasi dan berlakunya regulasi

tersebut.)

2. General Agreement on Tariffs and Trade 1994 Pasal 3 National Treatment

on Internal Taxation and Regulation ayat 4 – dan tidak dapat di justifikasi

dibawah pasal XX(b)81

:

The products of the territory of any contracting party imported into the

territory of any other contracting party shall be accorded treatment no less

favourable than that accorded to like products of national origin in respect

81

necessary to protect human, animal or plant life or health

Page 81: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

70

of all laws, regulations and requirements affecting their internal sale,

offering for sale, purchase, transportation, distribution or use. The

provisions of this paragraph shall not prevent the application of

differential internal transportation charges which are based exclusively on

the economic operation of the means of transport and not on the

nationality of the product.

(berdasarkan pasal 3 ayat 4 tersebut dapat disimpulkan bahwa produk

dalam dan luar negeri harus diperlakukan dengan sama tanpa membeda-

bedakan dengan menaati hukum, regulasi, persyaratan penjualan,

penawaran barang, harga, transportasi dan penggunaan distribusi. Tidak

membedakan tarif angkutan perdagangan)

Tobacco Control Act melarang peredaran semua rokok yang mengandung

aroma dan rasa (flavored cigarettes), termasuk rokok kretek di Amerika. Meski

demikian, peraturan tersebut tidak melarang rokok yang mengandung aroma dan

rasa menthol. Argumentasi dari Amerika adalah disahkannya Tobacco Control

Act adalah, untuk mengatasi masalah kesehatan terkait dengan rokok yaitu

dengan mengurangi konsumsi rokok pada anak muda. Undang-Undang tersebut

menyebutkan larangan bagi semua jenis rokok yang mengandung zat aditif

berupa bahan alami, tumbuh-tumbuhan dan rempah-rempah yang menimbulkan

rasa dan aroma tertentu, seperti cengkeh, vanila dan cherry.

Rokok kretek asal Indonesia dianggap mengandung zat aditif, berupa

cengkeh, sehingga turut dilarang. Hasil studi yang dilakukan oleh sebuah institut

Penyalahgunaan Narkoba di Amerika Serikat pada tahun 2006 menyebutkan

Page 82: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

71

bahwa rokok kretek merupakan produk pemula yang menggoda orang sehingga

mereka menjadi terbiasa merokok.82

Argumentasi Indonesia adalah bahwa regulasi teknis yang dibuat oleh

Amerika Serikat telah menghambat kegiatan perdagangan Indonesia, dimana hal

tersebut berpengaruh kepada perekonomian Indonesia. Selain itu prosedur

regulasi teknis seharusnya diberitahukan dulu ke anggota WTO, tetapi Amerika

Serikat tidak menyampaikan sebelumnya, dan hal ini menjadi suatu keberatan

bagi Indonesia.83

Badan Banding WTO, sesuai dengan laporan Panel WTO memutuskan :

1. Mengabulkan gugatan Indonesia atas TBT Agreement Pasal 2.1 :

upholds, albeit for different reasons, the Panle’s finding, in paragraph 7.428

of the Panel Report, that clove cigarettes and menthol cigarettes are “like

products” within the meaning of Article 2.1 of the TBT Agreement;

upholds, albeit for different reasons, the Panels’s finding, in paragraph 7.292

of the Panel Report, that, by banning clove cigarettes while exempting

menthol cigarettes from the ban, Section 907(a)(1)(A) of the FFDCA accords

imported clove cigarettes less favourable treatment than that accorded to

domestic menthol cigarettes, within the meaning of Article 2.1 of the TBT

Agreement

(dengan alasan, bahwa rokok kretek dan rokok mentol merupakan produk

yang serupa (like products). Amerika Serikat juga melanggar atas ketentuan

82

Diakses dari amti.id/ri-amerika-gelar-perundingan-soal-boikot-rokok-kretek-indonesia/

pada tanggal 29 Agustus 2015, 14:40 WIB

83

Diakses dari

Ditjenkpi.kemendag.go.id/website_kpi/index.php?module=news_detail&news_content_id=1004&deta

il=true pada tanggal 29 Agustus 205, 14:45 WIB

Page 83: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

72

pasal 2.1 karena sudah melarang rokok kretek beredar di dalam negeri,

sementara rokok mentol dibiarkan, hal ini melanggar ketentuan tentang

perlakuan tidak menguntungkan).

2. Mengabulkan gugatan Indonesia atas TBT Agreement Pasal 2.12:

upholds, albeit for different reasons, the Panel’s finding, in paragraph 7.595

and 8.1(h) of the Panel Report, that, by failing to allow an interval of not less

than six months between the publication and the entry into force of Section

907(a)(1)(A) of FFDCA, the United States acted inconsistently with Article

2.12 of the TBT Agreement

(dengan alasan, dengan tidak adanya selang waktu tidak kurang dari enam

bulan antara publikasi dan berlakunya Pasal 907 (a)(1)(A) dari Federal Food,

Drug and Cosmetic Act (Family Smoking Prevention Tobacco Control Act)).

3. Conversely, the Panel rejected Indonesia‟s claims under Articles .2, 2.5, 2.8,

2.9, 2.10 and 12.3 of the TBT Agreement

(Menolak gugatan Indonesia atas TBT Agreement Pasal 2.2, 2.5, 2.8, 2.9, 2.10

dan 12.3)

4. The Panel declined to rule on Indonesia‟s alternative claim under Article III:4

of the GATT 1994 and on the United States related defence under Article

XX(b) of the GATT 1994

(Panel menolak GATT 1994 Pasal III ayat 4)

Atas putusan WTO maka Indonesia memenangkan sengketanya dengan

Amerika Serikat pada tanggal 4 April 2012.

Page 84: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

73

Indonesia – Australia

Indonesia menggugat Australia ke Dispute Settlement Body yang berada

dibawah naungan World Trade Organization pada tanggal 3 Maret 2014.

Indonesia menganggap Australia melalui kebijakannya yaitu Tobacco Plain

Packaging 2011 telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Internasional,

sehingga Indonesia menggugat ke WTO atas84

:

1. Technical Barriers to Trade Agreement Pasal 2.1 dan 2.2 (sama dengan

tuntutan terhadap Amerika Serikat)

2. GATT 1994 Pasal III:4 (sama dengan tuntuntan terhadap Amerika Serikat)

3. Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) Pasal :

2.1 : In respect of Parts II, III and IV of this Agreement, Members shall

comply with Articles 1 through 12, and Article 19, of the Paris

Convention (1967)

3.1 : Each Member shall accord to the nationals of other Members

treatment no less favourable than that it accords to its own nationals

with regard to the protection3 of intellectual property, subject to the

exceptions already provided in, respectively, the Paris Convention

(1967), the Berne Convention (1971), the Rome Convention or the

Treaty on Intellectual Property in Respect of Integrated Circuits. In

respect of performers, producers of phonograms and broadcasting

organizations, this obligation only applies in respect of the rights

provided under this Agreement. Any Member availing itself of the

possibilities provided in Article 6 of the Berne Convention (1971) or

paragraph 1(b) of Article 16 of the Rome Convention shall make a

notification as foreseen in those provisions to the Council for TRIPS

15.4: The nature of the goods or services to which a trademark is to be

applied shall in no case form an obstacle to registration of the

trademark.

84

Diakses http://www.wto.org/english/tratop e/dispu e/cases e/ds467 e.htm pada tanggal 5

November 2014, pukul 10:47 WIB

Page 85: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

74

16.1: The owner of a registered trademark shall have the exclusive right to

prevent all third parties not having the owner’s consent from using in

the course of trade identical or similar signs for goods or services

which are identical or similar to those in respect of which the

trademark is registered where such use would result in a likelihood

of confusion. In case of the use of an identical sign for identical

goods or services, a likelihood of confusion shall be presumed. The

rights described above shall not prejudice any existing prior rights,

nor shall they affect the possibility of Members making rights

available on the basis of use.

16.3 : Article 6bis of the Paris Convention (1967) shall apply, mutatis

mutandis, to goods or services which are not similar to those in

respect of which a trademark is registered, provided that use of that

trademark in relation to those goods or services would indicate a

connection between those goods or Page 327 services and the owner

of the registered trademark and provided that the interests of the

owner of the registered trademark are likely to be damaged by such

use

20: The use of a trademark in the course of trade shall not be unjustifiably

encumbered by special requirements, such as use with another

trademark, use in a special form or use in a manner detrimental to its

capability to distinguish the goods or services of one undertaking

from those of other undertakings. This will not preclude a

requirement prescribing the use of the trademark identifying the

undertaking producing the goods or services along with, but without

linking it to, the trademark distinguishing the specific goods or

services in question of that undertaking.

22.2(b) : any use which constitutes an act of unfair competition within the

meaning of Article 10bis of the Paris Convention (1967).

24.3: In implementing this Section, a Member shall not diminish the

protection of geographical indications that existed in that Member

immediately prior to the date of entry into force of the WTO

Agreement.

(berdasarkan pasal 2.1-24.3 dapat disimpulkan bahwa negara harus

menerapkan perlakuan hak kekayaan intelektual yang sama baik dari dalam

dan luar negeri. Merek dagang impor tidak boleh dipersulit di dalam

Page 86: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

75

domestik. Pemegang merek dagang memiliki hak eksklusif untuk

mencegah barang lain memiliki merek yang sama, yang mana nantinya

akan membingungkan. Segala bentuk persaingan harus merupakan

persaingan yang sehat.)

C. Prospek Kedepan Penyelesaian Sengketa Rokok Indonesia

Indonesia menyatakan bahwa Tobacco Plain Packaging Act 2011

(TPPA) membuat regulasi teknis yang melanggar bagian GATT, TBT, dan

TRIPS karena:85

1. memperlakukan tembakau yang diimpor kurang menguntungkan daripada

yang diproduksi di dalam negeri;

2. menciptakan hambatan yang tidak perlu terhadap perdagangan dan membuat

perdagangan lebih ketat dari yang diperlukan untuk memenuhi tujuan yang

sah (memperhitungkan resiko yang pemenuhannya akan tercipta);

3. tidak menyediakan perlindungan yang efektif terhadap persaingan tidak sehat

terhadap nasional negara lain, dan membuat kebingungan antara barang dari

pesaing;

4. gagal untuk melindungi merek dagang terdaftar di negara lain di luar

Australia;

85

Diakses dari

www.aph.gov.au/About_Parliament/Parliamentary_Departments/Parliamentary_Library/FlagPost/2014

/July/WTO_plain_cigarette_packaging_case pada tanggal 31 Agustus 2015, pukul 17:01 WIB

Page 87: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

76

5. menempatkan sitaan yang dibenarkan terhadap pengunaan merek dagang

tembakau;

6. menolak dan membatalkan pendaftaran merek dagang terhadap tembakau.

Sementara itu argumen Australia adalah:86

1. persyaratan kemasan polos tidak diskriminasi, karena mereka berlaku untuk

produk tembakau yang diproduksi secara lokal dan impor dengan hal yang

serupa;

2. kemasan polos merupakan langkah yang perlu dibuat untuk mengejar tujuan

yang sah (perlindungan terhadap kesehatan manusia dan memberikan efek

terhadap Framework Convention on Tobacco Control), membuat kontribusi

materi terhadap tujuan tersebut dan tidak lebih dalam membatasi perdagangan

dari yang diperlukan untuk memenuhi tujuan (memperhitungan resiko non-

pemenuhan);

3. TPPA mengizinkan tembakau untuk memiliki merek/variasi nama pada

kemasan (tunduk pada pembatasan tertentu), bersama dengan deskripsi

barang, diferensiasi merek dan pengakuan masih mungkin dan karenanya

tidak perlu ada kebingungan antara barang dari produsen yang berbeda;

86

Diakses dari

www.aph.gov.au/About_Parliament/Parliamentary_Departments/Parliamentary_Library/FlagPost/2014

/July/WTO_plain_cigarette_packaging_case pada tanggal 31 Agustus 2015, pukul 17:01 WIB

Page 88: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

77

4. menyediakan merek dagang yang dilindungi dengan adanya dan tidak

menyangkal atau membatalkan pendaftaran mereka;

5. TPPA tidak membebani merek dagang dari persyaratan khusus dan walaupun

itu terjadi, karena langkah yang diperlukan maka itu merupakan beban yang

diperlukan.

Selain argumen diatas adapun argumen berikut dari pihak Asutralia:87

6. mengurangi daya tarik dan daya tarik produk tembakau kepada konsumen,

khususnya kaum muda;

7. meningkatkan kemampuan pemberitahuan dan efektifitas pengamandatkan

peringatan kesehatan;

8. mengurangi kemampuan dari kemasan ritel dari produk tembakau untuk

mengelirukan konsumen tentang bahaya merokok;

9. dan untuk mengurangi jumlah perokok.

Kesamaan kasus sengketa rokok dari Amerika Serikat dan Australia

adalah kedua negara sama-sama berusaha untuk mengurangi jumlah perokok

pada negara mereka masing-masing. Amerika menerapkan kebijakan larangan

rokok kretek masuk kenegaranya, sementara Australia menerapkan kebijakan

kemasan polos pada negaranya. Fokus Indonesia terhadap Australia adalah pada

pelanggraan kekayaan intelektualnya. Pada tahap sekarang ini yaitu bulan

87

Wawancara dengan Kedutaan Besar Australia (Asisten Koordinator Demokrasi &

Keadilan) pada tanggal 14 Agustus 2015, pukul 10:57 WIB

Page 89: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

78

Agustus 2015, Indonesia sedang melakukan sidang keduanya dengan Australia di

Jenewa.

Apabila Australia memenangkan sengketa ini dikhawatirkan negara-

negara lain juga akan menerapkan kebijakan hal yang sama. Hal ini akan

mempengaruhi kinerja ekspor produk rokok Indonesia ke negara mitra dagang

yang tentunya akan berimbas kepada tenaga kerja perusahaan produsen rokok

bahkan petani tembakau di Indonesia dan juga akan berimbas pada berkurangnya

daya saing produk rokok khususnya di Indonesia. Dikhawatirkan juga nanti

dikemudian hari akan ada penjualan rokok secara ilegal yang berada di black

market.88

Argumen akhir penulis adalah walaupun Australia telah menandatangani

WHO FCTC pada tanggal 5 Desember 2003 dan meratifikasinya pada tanggal 27

Oktober 2004, bukan berarti Australia bisa memberlakukan Tobacco Plain

Packaging Act terhadap Indonesia dikarenakan Indonesia tidak ikut dalam

perjanjian internasional tersebut.89

Sebagaimana penulis jelaskan diatas bahwa

yang menjadi dasar hukum Australia untuk menerapkan kebijakan Tobacco Plain

Packaging Act adalah merujuk dari treaty WHO yang dibentuk untuk pertama

kalinya pada tahun 2003.

88

Wawancara dengan Kemendag (Subdit Penanganan Hambatan Teknis Perdagangan

Wilayah II – Direktorat Pengamanan Perdagangan) pada tanggal 3 Agustus 2015, pukul 11:40

89

Diakses dari https://treaties.un.org/pages/ViewDetails.aspx?src=TREATY&mtdsg_no=IX-

4&chapter=9&lang=en pada tanggal 14 September 2015, pukul 21:40 WIB

Page 90: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

79

Dengan ketentuan demikian, maka Indonesia berhak untuk tidak tunduk

terhadap aturan rokok yang dibuat oleh Australia. Dan Indonesia berhak untuk

melakukan gugatan di WTO, dikarenakan Australia telah melanggar hukum

internasional melalui pelanggaran terhadap TRIPS, TBT serta GATT.

Berdasarkan argumen penulis diatas maka prospek kedepan penyelesaian

sengketa rokok antara Indonesia dengan Australia, panel WTO akan

memenangkan Indonesia.

Dengan melihat dari berbagai argumentasi penulis diatas, maka

sekiranya WTO memenangkan Indonesia.

Page 91: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

80

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Prospek penyelesaian sengketa dagang antara Indonesia dengan Australia

adalah Indonesia dapat memenangkan gugatan ini dikarenakan Australia

telah melanggar hukum internasional melalui pelanggaran terhadap TRIPS,

TBT serta GATT. Dengan ketentuan demikian, maka Indonesia berhak untuk

tidak tunduk terhadap aturan rokok yang dibuat oleh Australia.

2. Peran negara dalam kasus sengketa perdagangan internasional rokok dengan

Australia melalui World Trade Organization adalah melakukan tugas

diplomasi terhadap Australia, yang mana diplomasi tersebut dilakukan

sebelum dan sesudah regulasi rokok Australia dibuat. Negara juga berperan

aktif untuk mengawasi kasus ini hingga selesai dengan tuntas di WTO.

B. Saran

Saran Penulis adalah :

1. Pemerintah harus bertindak berani dalam mengambil sikap-sikap yang dirasa

telah merugikan kehidupan bangsa Indonesia.

80

Page 92: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

81

2. Indonesia diharapkan dapat terus berperan dan mengambil langkah-langkah

bijak dalam menjalankan hubungan internasional.

3. Pemerintah Indonesia diharapkan agar lebih menyuarakan Charter of

Economic Rights and Duties of State, dimana sebuah negara memiliki hak dan

kewajiban terhadap perekonomiannya, yang mana negara lain tidak boleh

menghambat perekonomian negara yang lainnya.

4. Penulis juga berharap agar WTO sekiranya memenangkan Indonesia dalam

kasus ini, mengingat kasus ini masih berlangsung, dikarenakan Indonesia

tidak meratifikasi dan menandatangani World Health Organization

Framework Convention on Tobacco Control, yang menjadi dasar Australia

untuk menerapkan kebijakan Tobacco Plain Packaging. Sehingga Indonesia

menurut penulis sudah benar melakukan gugatan terhadap Australia atas

TRIPS, TBT dan GATT.

Page 93: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

Daftar Pustaka

BUKU :

Abbas, Syahrizal, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan

Hukum Nasional, Jakarta : Kencana, 2009.

Adolf, Huala, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, Jakarta : CV.

Rajawali, 1991.

Adolf, Huala, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Jakarta : Sinar

Grafika, 2006.

Adolf, Huala, Hukum Perdagangan Internasional, Jakarta : PT. RajaGrafindo

Persada, 2005.

AK, Syahmin, Hukum Diplomatik Suatu Pengantar, Bandung: CV. ARMICO,

1998.

Arbetman, Lee, dan Ed O’Brien, Street Law A Course In Practical Law, Amerika

Serikat : The McGraw-Hill Companies, 2005.

Barnes, A.James, dkk. Law For Business, NewYork : The McGraw-Hill

Companies, Inc, 2006.

Buergenthal, Thomas, dan Harold G. Maier, Public International Law,

Minnesota-USA : West Publishing Co, 1990.

Clark, Lawrence S, Law and Business The Regulatory Eunironment, Amerika

Serikat : McGraw-Hill, Inc, 1994.

Donnell, John D, dkk. Law For Business, Illinois-USA : Richard D. Irwin, INC,

1983.

Hartini, Rahayu, Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia Dualisme

Kewenangan Pengadilan Niaga dan Lembaga Arbitrase, Jakarta :

Kencana, 2009.

Hutagalung, Sophar Maru, Praktik Peradilan Perdata dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa, Jakarta : Sinar Grafika, 2012.

Istanto, F. Sugeng, Hukum Iternasional, Jakarta : Sinar Grafika, 1998.

Jackson, Robert, dan George Sorensen, Pengantar Studi Hubungan Internasional,

Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005.

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta : Kencana Prenada Group,

2008.

Page 94: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

Maulana, Boer, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi Dalam Era

Dinamika Global, Bandung : PT. Alumni, 2011.

Murphy,Sean D, Principles International Law, Amerika Serikat :Thomson/West,

2006.

Pandika, Rusli, Sanksi Dagang Unilateral Di Bawah Sistem Hukum WTO,

Bandung : PT. Alimni, 2010.

Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar, Jakarta : PT. RajaGrafindo

Persada, 2011.

Silondae, Arus Akbar, dan Andi Fariana, Aspek Hukum Dalam Ekonomi dan

Bisnis, Jakarta : Mitra Wacana Media, 2010.

Sinamo, Nomensen, Ilmu Negara, Jakarta : Permata Aksara, 2011.

Soehino, Ilmu Negara, Yogyakarta : Liberty Yogyakarta, 2004.

Soesmartono, Gatot, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, PT. Gramedia Pustaka

Utama, 2006.

Starke, J.G, Pengantar Hukum Internasional, Jakarta : Sinar Grafika, 2008.

Suryokusumo, Sumaryo, Studi Kasus Hukum Internasional, Jakarta : PT.

Tatanusa, 2007.

Thontowi, Jawahir dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer,

Bandung : PT. Refika Aditama, 2006.

Utama, Meria, Hukum Ekonomi Internasional, Jakarta : PT. Fikahati Aneska,

2012.

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dan AusAID, Panduan Bantuan

Hukum di Indonesia, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2014.

Perundang-Undangan :

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (Hasil Amandemen)

General Agreement on Tarrifs and Trade 1994

Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights 1996

Agreement on Technical Barriers to Trade

Page 95: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

Website :

amti.id/ri-amerika-gelar-perundingan-soal-boikot-rokok-kretek-indonesia/ diakses

pada tanggal 29 Agustus 2015

bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/06/05/111854526/Wajibkan.Kemasan.Ro

kok.Polos.Indonesia.Gugat.Asutralia diakses pada tanggal 7 September 2015

Diakses dari

https://treaties.un.org/pages/ViewDetails.aspx?src=TREATY&mtdsg_no=IX-

4&chapter=9&lang=en pada tanggal 14 September 2015, pukul 21:40 WIB

Ditjenkpi.kemendag.go.id/website_kpi/index.php?module=news_detail&news_co

ntent_id=1004&detail=true diakses pada tanggal 29 Agustus 2015

http://en.m.wikipedia.org/wiki/World_Trade_Organization diakses pada tanggal

24 Agustus 2015

http://www.wto.org/english/tratop e/dispu e/cases e/ds467 dikases pada tanggal 5

November 2014

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Konvensi_Kerangka_Kerja_Pengendalian_Temba

kau_WHO diakses pada tanggal 7 September 2015

m.bisnis.com/industri/read/20141014/12/264889/sengketa-rokok-indonesia-resmi-

laporkan-australia-ke-wto diakses pada tanggal 5 November 2014

M.cnnindonesia.com/ekonomi.com/ekonomi/20150703112932-85-

64091/mendag-indonesia-tak-akan-berlakukan-kemasan-rokok-polos/ diakses

pada tanggal 7 September 2015

www.aph.gov.au/About_Parliament/Parliamentary_Departments/Parliamentary_L

ibrary/FlagPost/2014/July/WTO_plain_cigarette_packaging_case dikases pada

tanggal 31 Agustus 2015

Wawancara :

Wawancara dengan pihak Kementrian Perdagangan Republik Indonesia pada

tanggal 3 Agustus 2015

Wawancara dengan pihak Kedutaan Besar Australia di Jakarta pada tanggal 13

Agustus 2015

Page 96: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

DISPUTE SETTLEMENT: DISPUTE DS467

Australia — Certain Measures Concerning Trademarks, Geographical Indications and Other Plain

Packaging Requirements Applicable to Tobacco Products and Packaging

Current status

Panel composed on 5 May 2014

Short title: Australia — Tobacco Plain Packaging (Indonesia)

Complainant: Indonesia

Respondent: Australia

Third Parties: Brazil; Canada; China; Cuba; European Union; Guatemala; Honduras; India; Japan; Korea, Republic of; Malaysia; Mexico; New Zealand; Nicaragua; Norway; Oman; Philippines; Russian Federation; Chinese Taipei; Thailand; Turkey; Ukraine; United States; Uruguay; Zimbabwe; Dominican Republic; Peru; Singapore; Argentina; Chile; Malawi; Nigeria; Ecuador

Agreements cited: (as cited in request for consultations)

Technical Barriers to Trade (TBT): Art. 2.1,2.2 Intellectual Property (TRIPS): Art. 2.1, 3.1,15.4, 16.1, 16.3, 20, 22.2(b), 24.3 GATT 1994: Art. III:4

Request for Consultationsreceived:

20 September 2013

Summary of the dispute to date

The summary below was up-to-date at 30 October 2014

Consultations

Complaint by Indonesia. (See also DS434, DS435, DS441 and DS458)

On 20 September 2013, Indonesia requested consultations with Australia concerning certain

Australian laws and regulations that impose restrictions on trademarks, geographical indications,

and other plain packaging requirements on tobacco products and packaging.

Page 97: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

Indonesia challenges the following measures:

The Tobacco Plain Packaging Act 2011, Act No. 148 of 2011, “An Act to discourage the use of tobacco products, and for related purposes”;

The Tobacco Plain Packaging Regulations 2011 (Select Legislative Instrument 2011, No. 263), as amended by the Tobacco Plain Packaging Amendment Regulation 2012 (No. 1) (Select Legislative Instrument 2012, No. 29);

The Trade Marks Amendment (Tobacco Plain Packaging) Act 2011. Act No. 149 of 2011, “An Act to amend the Trade Marks Act 1995, and for related purposes”; and

Any related measures adopted by Australia, including measures that implement,

complement or add to these laws and regulations, as well as any measures that amend or

replace these laws and regulations.

Indonesia claims that Australia's measures appear to be inconsistent with Australia's obligations

under:

Articles 2.1, 3.1, 15.4, 16.1, 16.3, 20, 22.2(b) and 24.3 of the TRIPS Agreement;

Articles 2.1 and 2.2 of the TBT Agreement; and

Article III:4 of the GATT 1994.

On 26 September 2013, Guatemala requested to join the consultations. On 27 September 2013,

Nicaragua requested to join the consultations. On 30 September 2013, New Zealand requested to

join the consultations. On 1 October 2013, Uruguay requested to join the consultations. On 2

October 2013, Ukraine requested to join the consultations. On 3 October 2013, the European Union

and Honduras requested to join the consultations. On 4 October 2013, Brazil, Canada, the

Dominican Republic and Norway requested to join the consultations. On 11 October 2013, Cuba

requested to join the consultations. Subsequently, Australia informed the DSB that it had accepted

the requests of Brazil, Canada, Cuba, the Dominican Republic, the European Union, Guatemala,

Honduras, New Zealand, Nicaragua, Norway, Ukraine, and Uruguay to join the consultations.

On 3 March 2014, Indonesia requested the establishment of a panel.

Page 98: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …

Panel and Appellate Body proceedings

At its meeting on 26 March 2014, the DSB established a panel. Brazil, Canada, China, Cuba, the

European Union, Guatemala, Honduras, India, Indonesia, Japan, Korea, Malaysia, Mexico,

New Zealand, Nicaragua, Nigeria, Norway, Oman, the Philippines, Russia, Chinese Taipei, Thailand,

Turkey, Ukraine, the United States and Uruguay reserved their third party rights. Subsequently,

Argentina, Chile, the Dominican Republic, Malawi, Peru, Singapore and Zimbabwe reserved their

third party rights. On 23 April 2014, Australia requested the Director-General to compose the panel.

On 5 May 2014, the Director-General composed the panel. On 10 October 2014, the Chair of the

panel informed the DSB that the panel expects to issue its final report to the parties not before the

first half of 2016, in accordance with the timetable adopted by the panel on 17 June 2014 on the

basis of a draft timetable proposed by the parties.

Source : http://www.wto.org/english/tratop_e/dispu_e/cases_e/ds467_e.htm

Jumat, 7 Agustus 2015. 09:23 WIB

Page 99: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …
Page 100: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …
Page 101: PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA …