Upload
dangkhuong
View
215
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
KATA PENGANTAR
Penulis mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang
Maha Esa atas selesainya buku ini sebagai sarana bagi para
mahasiswa untuk belajar mandiri.
Buku ini membahas masalah-masalah yang berkaitan
dengan anak-anak luar biasa, khususnya anak tunanetra
dalam melakukan orientasi dan mobilitas. Buku ini sebagai
materi perkuliahan dan Mobilitas yang disajikan kepada
para mahasiswa, khususnya mahasiswa PLB Bagian A,
karena mereka itulah yang dipersiapkan untuk menangani
anak tunanetra. Maka dengan adanya buku ini diharapkan
dapat membantu mereka apabila mereka telah menjadi guru
SLB/A.
Penyajian materi perkuliahan Orientasi dan Mobilitas
itu tidak terlepaskan dari adanya kekurangan-kekurangan.
Oleh karena itu penulis bersifat terbuka untuk menerima
tegur sapa dan kritik yang membangun dari pihak siapapun
datangnya, dengan penyempurnaan penulisan selanjutnya.
Akhirnya penulis mengharapkan semoga buku ini
bermanfaat bagi para pembaca. Amin.
Tim Penulis.
PENDAHULUAN
- Karena keterbatasan rangsangan visual menyebabkan
anak tunanetra kurang mampu untuk berorientasi
lingkungannya dan akibat lebih lanjut kemampuan
untuk bergerak akan terlambat. Salah satu program
khusus di SLB/A sesuai dengan kurikulum yaitu
ORIENTASI DAN MOBILITAS. Tanpa program
khusus ini dalam pendidikan anak tunanetra mereka
tidak sekaligus tahu bahwa di hadapannya ada sebuah
benda. Bahwa di kelasnya ada berbagai barang, bahwa
di halaman ada tanaman dan bunga-bungaan, bahwa
dilihat dari roman muka guru sedang marah dan lain-
lain. Oleh karena itu penting kiranya pengajar atau
calon pengajar anak tunanetra mendalami
ORIENTASI DAN MOBILITAS ini
- Untuk dapat mempelajari masalah ini dengan baik
diperlukan pengetahuan / ilmu yang mendukungnya
misalnya : latihan sensomotorik anak luar biasa,
identifikasi dan evaluasi anak luar biasa.
- Secara berturut-turut dikemukakan mengenai :
Latar belakang dan problema orientasi dan mobilitas,
Pengertian, tujuan, dan Sejarah Orientasi dan
Mobilitas, Konsep-Konsep dan Komponen-Komponen
Orientasi dan Mobilitas dan yang terakhir adalah
masalah kemampuan dan Teknik-teknik Oriantasi dan
Mobilitas.
Dengan mempelajari buku ini dan buku referensi yang
ditunjuk pembaca akan memahami O.M dengan efektif.
DAFTAR ISI
Halaman
PENDAHULUAN ................................................ i
DAFTAR ISI ......................................................... ii
BAB I LATAR BELAKANG DAN PROBLEMA 1
A. Hubungan Orientasi dan Mobilitas .. 1
B. Tongkat ........................................... 1
C. Personal Guide ................................ 2
D. Problema ......................................... 5
BAB II PENGERTIAN, TUJUAN DAN SEJARAH
PERKEMBANGAN ORIENTASI DAN
MOBILITAS ......................................... 9
A. Pengertian Orientasi dan Mobilitas .. 9
B. Tujuan Orientasi dan Mobilitas ....... 10
C. Sejarah Perkembangan Orientasi dan
Mobilitas ......................................... 11
BAB III KONSEP-KONSEP DAN KOMPONEN-
KOMPONEN ORIENTASI DAN
MOBILITAS ......................................... 14
A. Konsep-Konsep Orientasi dan
Mobilitas ......................................... 14
B. Komponen-komponen Orientasi dan
Mobilitas ......................................... 18
BAB IV KEMAMPUAN DAN TEKINK
ORIENTASI DAN MOBILITAS .......... 23
A. SIGHTED-GUIDE .......................... 23
B. Independent-Travel .......................... 33
C. Dog-Guide ....................................... 38
D. Teknik Pemakaian Tongkat ............. 39
E. Teknik Penggunaan Alat-alat
Mobilitas Elektronik ........................ 52
DAFTAR PUSTAKA ........................................... 55
BAB I
LATAR BELAKANG DAN PROBLEMA O.M
Orientasi dan mobilitas termasuk dalam kurikulum
SLB/A. Seperti kita ketahui setiap penderita tunetra
gangguan yang paling dirasakan yaitu hilangnya
kemampuan untuk bergerak dengan bebas dari suatu tempat
ke tempat lain. Selama gangguan ini belum teratasi mereka
akan merasa tak berdaya dan menggantungkan dirinya
kepada orang lain. Keadaan seperti itu sudah barang tentu
menghambat kegiatan pendidikan dan kegiatan lain di
samping berpengaruh pada kehidupan mental yang kurang
sehat. Untuk itu berikut ini diuraikan persoalan-persoalan
pokok berkenaan dengan Orientasi dan Mobilitas.
A. HUBUNGAN ORIENTASI DAN MOBILITAS
Alat yang paling efisien untuk mengadakan orientasi
yaitu mata. Orang awas dengan matanya mudah mengenal
segala sesuatu yang berada di sekitarnya lebih jelas
dibandingkan dengan penderita tunanetra. Di samping itu
orang awas mudah bergerak dari sesuatu tempat ke tempat
yang lain. Jadi mata adalah salah satu alat utama dalam
orientasi.
Gangguan orientasi bagi penderita tunanetra berakibat
terganggunya mobilitas mereka. Sebagai gantinya maka
orientasi tunanetra dilakukan dengan mengonsentrasikan
dirinya lewat: pendengaran, perasaan, ingatan dan bahkan
penciumannya atau dengan tingkat sensori-motoriknya.
Dengan modal keberanian dan keuletan serta ketekunannya
untuk menguasai cara-cara tertentu untuk bergerak
(mobilitas) sampailah mereka ke tempat tujuannya. Untuk
ini perlu ada latihan dengan seksama.
B. TONGKAT
Tongkat berwarna (barcat) putih adalah tongkat khas
bagi tunanetra. Warna tongkat yang demikian itu sudah
menjadi lambang tongkat kaum tunanetra yang diakui
secara internasional baik di Amerika, Eropa, Asia maupun
di Indonesia sendiri. Bagian tengah tongkat putih tersebut
dicat merah selebar 3 cm warna ini sebenarnya merupakan
tanda khusus bagi pemakainya yaitu : tunanetra sebagaian
“atau , , partially blind” sedang bagi tunanetra yang
tergolong tunanetra total “atau , , totally blind” seharusnya
menggunakan tongkat berwana putih polos. Akan tetapi
tongkat putih dengan tanda merah ditengahnya itulah yang
umum digunakan oleh para tunanetra. Warna putih dan
merah tersebut mudah terlihat dari jarak jauh bagi orang
lain (masyarakat ramai) sehingga sangat menolong dalam
perjalanannya. Bagi sopir-sopir kendaraan umum maupun
polisi pengatur lalu lintas mudah mengenal bahwa
pemakainya adalah penderita tunanetra yang perlu
dimaklumi. Berjalan dengan tongkat paling penting bagi
tunanetra karena dengan tongkat itu akan merasa bebas
tidak terganggu demi keselamatannya di samping
menambah kepercayaan dirinya. Oleh karena itu di SLB/A
dimaksudkan latihan mobilitas dengan tongkat dalam
kurikulumnya dengan teknik-teknik yang disempurnakan.
Adapun tongkat yang baik menurut Richard, E,Hoover
penjang ± 46 inci dengan garis tengah 0,5 inci besi tipis
ukuran 0,016 inci dengan berat kurang lebih 6 ons. Bagian
pegangan (atas) harus melengkung sebagai perlindungan
badan bila sewaktu-waktu terbentur di perlajanan di
samping menghindari kemungkinan-kemungkinan lain.
Ujung tongkat (bawah ) sebaiknya memakai lapisan karet,
agar tidak lekas aus dan tidak merusak ataupun permadani
bila masuk di rumah.
C. PERSONAL GUIDE
Personal guide atau manusia penuntun adalah alat
mobilitas tunanetra yang tertua dan masih digunakan
sampai dewasa ini. Walaupun tunanetra sudah mahir
menggunakan tongkat putih sekali waktu masih
memerlukan personal guide terutama bila ia ke suatu
tempat untuk pertama kalinya, tempat yang terlalu ramai,
tempat yang ada benda-bendanya berbahaya ataupun ke
tempat-tempat pertemuan yang susunannya sulit. Oleh
karena itu walaupun tidak termasuk dalam kurikulum
SLB/A kiranya calon guru dan pekerja sosial perlu
mengenal terutama teknik dan etikanya. Berituk ini
dikemukakan teknik dan etika personal guide.
1. Jika anda menawarkan bantuan kerjakan dengan
segara dan nyatakan kepada , , Bolehkan saya
menolong anda? “Berkatalah dengan nada biasa
dan langsung kepadanya. Hal ini akan menolong
mengetahui di mana anda berada.
2. Dalam membimbing perkenankanlah memang
tangan anda. Cara yang sebaik-baiknya dengan
menawarkan tangan dan berkata : , , Inilah tangan
kiri saya. “. Atau tangan kanan anda bila perlu.
Dengan demikian ia akan mengetahui bagaimana
memang tangan anda dan mengikuti gerakan anda
bagaikan seorang penari mengikuti patnernya.
Jangan mengacau tangan orang buta itu, karena
tidak akan mengikuti gerakan anda.
3. Pada saat berjalanlah dengan kecepatan biasa
berbuathlah seperti agak ragu-ragu pada saat akan
melangkahkan kaki naik atau turun. Janganlah dia
anda seret pada saat melampaui belokan jalan dan
lain-lain. Setelah menyeberang jalan perhatikan
apakah ia telah mengarah kearah jalan yang telah
ditujukannya dan peringatkanlah dia apabila di
muka ada rintangan-rintangan yang tidak biasa ada
di situ.
4. Pada saat memberikan petunjuk arah jangan
menunjuk. Berkatalah tiga blok ke muka
seberangilah perempatan yang ke tiga, belok kiri
dua setengat blok, dan gedung itu ada di sebelah
kanan anda.
Jangan menunjukkan persilangan-persilangan jalan
dengan nama jalan-jalan itu ia tak mungkin
membacanya. Jangan menyebutkan : , , gedung
putih yang tinggi, ia tak akan melihatnya.
5. Pada saat membimbing untuk duduk di kursi
letakkan tangannya pada sandaran kursi itu dan
jangan didorong duduk di kursi tersebut. Dengan
rabaan tangannya ia akan mengetahui jenis, lebar
dan tinggi kursi itu.
6. Jika anda sebagai pelayan rumah makan dan
melayani orang buta tanpa teman, bacakan daftar
harga makanan yang tersedia. Pada saat
menghidangkan katakanlah kepadanya; misalnya :
“Ini air minum buat anda”. Bila ia akan memotong
makanan atau mengambilnya dari besi tentu ia
akan minta bantuan nada. Walaupun demikian
baiklah anda tawarkan bantuan itu sebelumnya.
7. Bila anda bercakap-cakap kepada orang buta,
pergunakan nada dan istilah yang biasa. Mungkin
ia akan memberikan penghormatan dengan
mengatakan: “Mudah-mudahan kita berjumpa
kembali”. Dapatkanlah dengan menghadap
langsung kepadanya. Jika anda menghadap ke
tempat lain suara anda akan mengikuti arah itu
dan akan menyinggung perasaan orang buta
lawan bicara anda, di samping pembicaraan itu
tidak ditangkap.
8. Jika anda menukar uang kepada orang buta lebih
dari selambar, berikan lembaran itu satu persatu
dan katakanlah harga masing-masing kepadanya.
Dengan rabaan ia akan mengetahui harga uang-
uang kertas itu.
9. Jika anda seorang anggota tertentu misalnya
polisis, tunjukkan diri anda itu. Mungkin orang
buta itu akan meninta bantuan mengetahui hal-hal
yang tidak akan dimintanya dari orang lain.
10. Dan yang terakhir lebih penting jangan
menganggap dia orang yang perlu dikasiani.
Beribu-ribu dari orang-orang buta banyak yang
berhasil mencapai kemampuan diri tanpa bantuan
orang lain terutama di AS lewat program
rehabilitasi kejuruan.
D. PROBLEMA
Problema-problema yang berkaitan dengan mobilitas
dapat dikemukakan berukut ini :
1. Sikap tunanetra
a. Sebagai akibat ketunaanya anak tunanetra kurang
percaya pada diri sendiri. Perasaan ini berpengaruh
pula terhadap kemampuan mobilitasnya sehingga
akan selalu diliputi perasaan was-was akan
kemungkinan tertumbuk pada benda, terperosok ke
selokan dan sebagainya. Sikap demikian dalam
mobilitas terang tidak menguntungkan karena ia
akan selalu ragu-ragu dan terlalu berhati-hati.
b. Adanya keengganan dari sementara tunanetra untuk
menerima dan mengubah kebiasaan-kebiasaan lama
dalam menggunakan tongkat cara yang lebih baik
sebagai pengganti personal guide.
c. Sikap tidak ingin terlalu direpotkan oleh tongkat
terutama untuk mobilitas di ruang-ruang yang
sangat familiar seperti di rumah sendiri atau di
kantor.
2. Sarana
Masalah yang berkenaan dengan sarana dapat
dibedakan menjadi dua yaitu pengadaan dan penggunaan.
Masalah pengadaan yang sesuai dengan kondisi orang
Indonesia menyangkut panjangnya, beratnya, tahan
lamanya dan harga yang cukup murah dan terjangkau oleh
semua tunanetra. Masalah penggunaan ada tendensi
ujungnya masuk ke tanah yang tidak keras hal ini dapat
berakibat jalannya tersentak-sentak dan menimbulkan
kekesalan. Hal ini jelas menghambat mobilitas.
3. Situasi
Kesulitan yang menghambat mobilitas berkanaan
dengan situasi ini menyangkut :
a. Penguasaan situasi medan dan orientasi diri. Bila
tunanetra belum menguasai situasi medan maka
mobilitas akan sangat terhambat. Misalnya dalam
gerak maju ia secara otomatis akan memperlambat
langkah sambil merabakan tongkatnya dengan
konsentrasi penuh. Konsentrasi ini setalah beberapa
lama akan meminatkan dan pada gilirannya akan
mengurangi kesigapan mobilitas lebih lanjut. Untuk
ini maka perlu diberi gambaran situasi medan
secara global misalnya :
- dalam gedung/ruang : letak pintu dan jendela,
perabotan dan jarak relatif antara yang satu
dengan lainnya.
- dalam medan yang terbuka dan terbatas :
membujurnya jalan, parit, selokan dan
persimpangan, pohan-pohon tertentu atau
tamanan khas, dataran rendah dan lain-lain.
b. Situasi khusus yang tak mungkin teraba oleh
tongkat. Misalnya : dahan yang menjorok rendah
dipinggir jalan, bagaian perabotan yang menonjol
dan lain-lain. Kalau peniadaan tidak mungkin maka
perlu diberi tahu sebelumnya sebelum tunanetra itu
mendekat obyek tersebut.
4. Peraturan lalu lintas:
Belum adanya peraturan-peraturan lalu lintas yang
menjamin/memberikan kemudahan serta perlindungan
hukum bagi tunanetra yang sedang mempergunakan jalan
umum. Misalnya ;
- Peratuaran yang mengharuskan semua
kendarakan untuk berhenti bagi tunanetra yang
membawa tongkat putih.
- Peraturan yang memberikan kelonggaran bagi
tunanetra untuk bebas menyeberang jalan.
- Peraturan yang memberikan sangsi bagi
pengendara yang melanggar seorang tunanetra
yang dengan tongkat putih di jalan umum.
- Belum ada peraturan yang menjamin secara
melembaga yang memberi kemudahan bagi
tunanetra mempergunakan sarana transportasi
umum.
5. Masyarakat
Masih ada sebagaian anggota masyarakat luas yang
belum menyadari kesukaran obyektif dari tunanetra dalam
membina dan mempertahankan mobilitasnya khususnya
sistematik mobilitas. Termasuk kesadaran akan adanya
sistematika tertentu dalam mobilitas tunanetra adalah tidak
dirubahnya letak obyek-obyek/benda-benda dari suatu
ruangan atau lingkungan terbatas tanpa memberi tahu lebih
dahulu kepadanya. Seperti kita maklumi seorang tunanetra
sudah mempunyai gambaran mental tertentu terhadap
setiap ruangan di rumah atau di kantor. Bila sewaktu-waktu
ada perabotan yang ada dipindah tanpa diberitahu akan
mengganggu orientasi dan juga mobilitasnya.
6.Tongkat
Tongakt selain berfungsi sebagai pengganti tangan
untuk meraba, sebagai penimbul suara, sebagai alat
pelindung dari segala rintangan juga sebagai pengganti
polisi lalu lintas untuk menghentikan kendarakan pada
waktu menyeberang.
Di beberapa Negara tongkat ini dilindungi oleh hukum
serta gambar tongkat bersetrip merah putih telah
dicantumkan dalam papan rambu lalu lintas artinya bila
rambu itu dipasang di suatu tempat di situ terdapat sekolah
anak tunanetra.
Di Indonesia tongkat dapat dibuat dari rotan yang
diluruskan, di ujungnya diberi bahan dari besi yang tumpul
dengan maksud bila ditekukkan tidak menusuk tanah
terlalu dalam dan bila diketukkan dapat menimbulkan suara
yang keras.
BAB II
PENGERTIAN, TUJUAN DAN SEJARAH ORIENTASI
DAN MOBILITAS
A. PENGERTIAN ORIENTASI DAN MOBILITAS
Pada Bab I telah banyak dikemukakan kata orientasi
dan mobilitas. Kedua kata tersebut apabila kita pahami
secara etimologis mempunyai pengertian sebagai berikut:
Orientasi (orientation) berarti mudah
bergerak/pedoman.
Mobilitas (mobility) berarti mudah
bergerak/dipindahkan.
Jadi keduannya berarti mencari arah/pedoman dengan
jalan bergerak/berpindah.
Secara terminologis pengertian dari kedua kata itu dapat
dirumuskan sebagai berikut:
Orientasi ialah proses pemanfaatan/penggunaan indra
yang masih berfungsi untuk menentukan posisi diri serta
hubungannya dengan lingkungan sekitar.
Mobilitas ialah kemampuan bergerak dari suatu
tempat ke tempat lain yang diinginkan dengan cepat, tepat
dan aman.
Pendapat lain pada dasarnya sama dan hanya berbeda
pada perumusannya, yaitu sebagai berikut:
Orientasi ialah proses menggunakan indra-indra
lainnya yang masih mempunyai untuk menentukan posisi
diri dalam hubungannya dengan semua obyek-obyek
penting di lingkungan itu.
Mobilitas ialah kemampuan untuk bergerak dari suatu
posisi tetap menuju posisi yang diinginkan di bagian lain
dari lingkungan yang sama.
Dari pengertian-pengertian tersebut, maka jelaslah
bahwa orientasi dan mobilitas merupakan kemampuan yang
berkaitan bahkan harus dimiliki oleh seorang tunanetra,
agar dengan demikian ia dapat mencapai kebutuhannya
dengan cepat, tepat dan aman. Dia dituntut untuk berusaha
mengatasi kekurangannya dengan cara yang tepat dan
efektif dan tidak bisa tergantung lagi pada penglihatannya
untuk mencapai tujuannya. Indra-indranya yang masih
normal itulah yang harus mengambil alih fungsi matanya.
Dengan indra pendengarannya, penciumannya dan perasaan
yang peka, ia dapat mengetahui di mana ia berada, dan
dapat memiliki orientasi tentang lingkungannya.
Bila kemampuan berorientasi telah dimiliki
kemampuan selanjutnya yang harus dimiliki ialah
bagaimana ia harus menuju/memperoleh sesuatu yang
diingini.
Sudah barang tentu hal ini memerlukan gerak yang baik,
yang didukung oleh sikap tubuh (posture) yang baik, gaya
langkah yang baik, serta keseimbangan dan sebagainya.
Karena itu orientasi dan mobilitas, selalu harus dipamani
sebagai konsep, dan tidak bisa dipisah-pisahkan.
B. TUJUAN ORIENTASI DAN MOBILITAS
Orientasi dan mobilitas sebagai salah satu program
rehabilitasi khusus untuk para tunanetra bertujuan sebagai
berikut:
1. Memberikan kelengkapan sarana bagi anak di
dalam melakukan kegiatan-kegiatan setiap hari,
baik dalam melaksanakan studinya maupun yang
lain, agar mereka dapat berdiri sendiri tanpa
bergantung kepada orang lain.
2. Mempertajam indra-indra lain yang masih normal
secara efektif, seperti indra pendengaran, indar
penciuman, perasa dan sebagainya agar tangan
demikian mereka lebih yakin bahwa dirinya
mampu untuk memenuhi kebutuhannya tanpa
menggunakan indra penglihatan.
Kedua macam tujuan tersebut dapat dicapai melalui
latihan-latihan yang baik disertai dengan orientasi yang
benar tentang lingkungannya. Apabila hal tersebut berhasil
dipenuhi, maka sorang tunanetra akan berhasil memasuki
setiap lingkungan baik yang biasa dikenal, yang telah
dikenal maupun yang baru (asing) baginya dengan selamat
(tanpa adanya gangguan atau hambatan), efisien, lincah,
gerakan dan tingkah lakunya wajar/normal tanpa
dipengaruhi oleh kelainnya dengan mempraktekkan
kombinasi dari dua keahlian tadi (orientasi dan mobilitas).
C. SEJARAH PERKEMBANGAN ORIENTASI DAN
MOBILITAS
Istilah orientasi dan mobilitas secara formal tidak
begitu jelas kapan digunakan orang. Namun kegiatannya
sudah cukup tua, yaitu dimulai sejak Masa Perjuangan
Dunia I di Eropa. Pada saat itu di Eropa tepatnya di Jerman
telah dimulai latihan Orientasi dan Mobilitas dengan
melatih anjing-anjing khusus untuk dapat melakukan tugas
dalam peperangan.
Sekitar tahun 1923 didirikan Pusat Latihan Anjing,
juga Pusat Latihan Tunanetra yang akan menggunakan.
Dari sana mulailah berkembang ke negara-negara lain
seperti Amerika, Inggris dan lain-lain.
Dari Amerika perkembangan orientasi dan mobilitas
berkembang dengan pesat, terbukti dengan adanya sejarah
perkembangan para pelatih orientasi dan mobilitas yang
berawal pada tahap permulaan Perang Dunia II, tatkala para
korban mulai tiba dari medan perang. Di antara korban-
korban itu terdapat sekelompok kecil yang sangat
memerlukan perhatiannya, yaitu kelompok orang-orang
yang penglihatnya telah rusak sebagian atau total. Ketika
itu disadari bahwa di samping pengobatan ada kebutuhan
yang tidak kalah pentingnya, yaitu perlu dilancarkannya
program rehabilitas untuk para tunanetra, yaitu program
orientasi dan mobilitas. Program tersebut dilancarkan, oleh
Angkatan Perang Amerika, yang kemudian diserahkan
pada Veterans Administrations Hospitals di Amerika.
Masalah yang timbul di kala itu ialah, siapakah yang harus
melatih orientasi dan mobilitas? Jenis pendidikan apa yang
diperlukan bagi mereka?
Permasalahan tersebut dapat diatasi, yaitu dengan
adanya program latihan yang disebut “Orientors”. Mereka
adalah orang-orang awas yang memiliki pengalamanan
sebagai petugas medis di dalam perang dunia II yang telah
diseleksi dan mandapat indoktrinasi dan latihan di bawah
pengawasan para ahli.
Sebagian besar dari latihan-lathan tersebut dilakukan
dengan mata tertutup untuk memperoleh pengertian tentang
masalah sehari-hari yang dihadapi para tunanetra. Semua
orientasi mempelajari teknik orientasi dan mobilitas,
mengalami dan melakukan jalan dengan tongkat, baik di
medan tertutup (gedung, ruangan) maupun di medan
terbuka, yang juga meliputi cara menyeberang di jalan.
Jadi mereka diindoktrinir mengenai segala sesuatu
yang dilakukan orang buta, menetapkan cara melakukan
sesuatu yang paling efektif, memperbaiki konsep pribadi
mereka dan meninjau kembali mengenai alat bantu khusus
dan kadang-kadang membuat alat Bantu sendiri.
Boston Collage di Amerika mulai dengan
penyelenggaraan kursus untuk melatih para instruktor
orientasi dan mobilitas di dalam tahun1960, dan tidak lama
kemudian disusul oleh Estern Michigan University dan
oleh institute yang lain. Negara-negara seperti Australia,
India, Jepang, Malaysia, Korea, Srilangka, Afrika Selatan,
dan Vietnam telah mengikuti usaha-usaha itu dan telah
mempu memberikan pelayanan yang sangat diperlukan
oleh para tunanetra.
Di Indonesia program orientasi dan mobilitas secara
sistematis dimulia sejak tahun 1978, yaitu dengan
dimulainya program kerjasama antara Helen Keller
Internasional New York dengan Departemen P dan K
Republik Indonesia yang meliputi juga program
pengembangan pelajaran orientasi dan mobilitas.
Program dimulai dengan melalui penataran
instruktur/guru orientasi dan mobilitas, yang lamanya 4
bulan untuk setiap angkatan. Di samping kursus tentang
pelajaran tersebut, ratusan guru dan petugas rehabilitasi
mendapat penataraan juga mengenai aspek-aspek kebutaan.
Lokasi penataran di IKIP Bandung, sedangkan kegiatan
praktek dilaksanakan di lokasi IKIP Bnadung yaitu di suatu
persawahan, dengan tenaga pengajar sampai angkatan VI
yang terakhir tanggal 5 Mei 1981. Sejak saat itu,
penanganan program orientasi dan mobilitas di Indonesia
secara keseluruhan, termasuk program penataran, langsung
ditangani oleh tenaga ahli dari Indonesia sendiri.
Tugas para lulusan hasil penataran, selain mengajar di
sekolah-sekolah terpadu di Bandung dan Yogyakarta, juga
memberikan pelayanan orientasi dan mobilitas kepada
klien-klien tunanetra di luar panti atau di luar lembaga.
Perkembangan program orientasi dan mobilitas di
Negara kita cukup menggembirakan, yaitu dengan adanya
kerjasama antara Badan Penelitian dan Pengembangan
Pendidikan dan Kebudayaan (BP3K). Direktorat Jenderal
Pendidikan Dasar dan Menengah dan IKIP Bandung telah
memulai program pelajaran orientasi dan mobilitas di
sekolah-sekolah Luar Biasa, SD terpadu dan di Pantai-
pantai Rehabilitasi Tunanetra dan sebagainya.
BAB III
KONSEP-KONSEP DAN KOMPONEN-KOMPONEN
ORIENTASI DAN MOBILITAS
Sebagaimana kita ketahui bahwa latihan bergerak dan
berorientasi bagi setiap manusia sudah dimulai sejak kecil,
terutama sejak ia bisa berjalan. Bahkan secara naluri, anak
yang beberapa minggu dilahirkan sudah berusaha
berorintasi. Misalnya bila ia mendengar suara ibunya, ia
menengok kearah sumber suara tadi. Usaha mengetahui
sumber suara (Sound Clue) ini merupakan salah satu bagian
dari prisip orientasi. Makin meningkat usia si anak, makin
mampu bergerak dan berorientasi. Demikian juga anak-
anak tunanetra, merekapun juga belajar berorientadi dan
bergerak sesuai dengan kondisi dan kemampuannya.
Hal ini menjukkan, baik anak/orang normal maupun
anak/orang tunanetra memerlukan kemampuan berorientasi
dan kemampuan bermobilitas dalam mencapai sesuatu yang
diinginkan. Tetapi karena anak/orang tunanetra mempunyai
kelainan, maka masalah yang dihadapi akan berbeda pula
dengan anak/orang normal. Sehubungan dengan hal
tersebut, pada Bab ini akan dibahas masalah-masalah
orientasi dan mobilitas yang perlu diperhatikan baik bagi
para instruktur maupun para tunanetra, yaitu mengenai
konsep-konsep orientasi dan mobilitas dan komponen-
komponennya.
Kedua maslah tersebut penjelasannya sebagai berikut:
A. KONSEP-KONSEP DAN KOMPONEN-
KOMPONEN ORIENTASI DAN MOBILITAS
Adanya sejumlah konsep dan mobilitas, yaitu :
1.` Kemampuan orientasi dan mobilitas begitu erat
hubungannya, sehingga untuk menjadi seorang pejalan
yang baik, ia harus menguasai kedua bidang ini.
Konsep tersebut mengandung pengertian bahwa
kemampuan berorientasi dan kemampuan
bermobilitas, keduanya tidak bisa dipisahkan. Seorang
tunanetra yang mempunyai kemampuan berorientasi
yang baik tidak ada artinya, apabila tidak ditunjang
oleh kemampuan bermobilitas yang baik pula.
Sebaliknya, kemampuan bermobilitas dan ketrampilan
tertentu, juga belum menjamin seorang tunanetra
dapat bergerak/berjalan dengan cepat, tepat dan aman,
sampai kepada tujuannya. Kalau tidak disertai dengan
orientasi yang benar dan latihan-latihan yang baik.
Oleh karena itulah untuk menjadi seorang pejalan
yang baik, seorang tunanetra harus menguasai kedua
keahlian itu.
2.` Orientasi seharusnya dipadukan dengan latihan
mobilitas sejak permulaan.
Hal ini selain alasan bahwa kedua keahlian tersebut
sangat erat hubungannya, juga untuk membiasakan
anak/orang tunanetra trampil menggunakan kedua
keahlian tersebut.
Sebab menurut penelitian banyak anak tunanetra yang
telah memperoleh latihan/pelajaran orientasi dan
mobilitas, mereka tidak mau menggunakannya, atau
kalau mau menggunakan mereka menggunakannya
dengan cara yang kurang benar. Maka dengan
dipadukannya kedua keahlian itu dalam suatu latihan
sejak permulaannya, sikap tunanetra yang demikian
itu dapat diatasi.
3. Sebelum mengorientasikan diri pada lingkungan,
seorang tunanetra harus mempunyai konsep tentang
dirinya (konsep ini disebut body – image), sadar dan
mengerti akan bagian-bagian tubuh, gerakan-gerakan
dan kegunaan-kegunaannya (fungsi masing-masing
bagian) serta hubungannya dengan lingkungan orang
itu. Baru setelah itu, ia belajar mengenal/memahami
lingkungan dalam hubungannya dengan lingkungan
lain dengan cara (gerakan) yang berfungsi.
Jadi jelaslah bahwa penguasaan tingkah laku motoris
yang efektif, mempersyaratkan orang tunanetra untuk
mempunyai konsepsi yang tepat mengenai gambaran
tubuh dan orientasi ruang.
4. Sebaiknya seorang tunanetra bergerak dari pengertian
konkrit tentang prinsip-prinsip orientasi ke tahap
penggunaan, dan akhirnya kepada tahap abstrak,
dimana ia akan mampu berfungsi secara efektif dalam
lingkungan yang tidak dikenalnya.
Maksud dari pada konsep ini ialah ketika anak
mengenal sesuatu yang ada dilingkungan sekitar, dia
menjalani proses belajar yang bergerak melalui tiga
tahapan:
a. Tahap Konkrit :
Pada tahap ini dia mempelajari benda-benda yang
bersifat tetap, dan saling berbeda satu sama lain. Ketika dia
bertambah besar, pengalaman dan pengenalannya dengan
obyek bertambah pula, dia mulai mengenal obyek itu pada
tahap berikutnya yaitu tahap fungsional.
b. Tahap Fungsional :
Pada tahap ini seorang tunanetra mulai mengenal apa
yang dilakukan oleh suatu obyek, misalnya berjalan, lari,
dan sebagainya, atau apa yang dilakukan manusia terhadap
obyek misalnya memukulnya, melemparkannya,
menandangnya dan sebagainya.
c. Tahap Abstraksi :
Biasanya tunanetra mendapat kesukaran untuk terus
maju ke tahap abstraksi karena tidak adanya penglihatan.
Namaun melalui indra-indranya yang lain dia dapat
mencapai tahap terrsebut, yaitu dengan melakukan
abstraksi mengenai unsur-unsur yang sama dengan
beberapa pengalaman tensorinya dan menggunakan
abstraksi ini sebagai batasan untuk satu kelompok benda.
Melalui cari ini hal-hal yang berkaitan dengan posisi,
lokasi, arah, konsep-konsep, jarak dan ukuran, warna, nilai
uang dan sebagainya dapat dikenal oleh para tunanetra.
5. Tingkat Kesiapan Mental dan Fisik
Harus diperhatikan apakah siswa siap atau mampu
untuk mempelajari informasi yang kompleks atau belum.
Anak yang mempunyai kesulitan mental, gagar otak,
penyakit atau kesulitan lain tentu mengalami kesukaran
untuk mempelajari informasi yang kompleks.
Dikatakan demikian karena kesiapan mental
merupakan proses kognitif (berfikir) yang tahap-tahapnya
sebagai berikut :
a. Perception yaitu proses mengasimilasi lingkungan
dengan indera-indera yang ada.
b. Analysis yaitu porses menyusun dan
memperhitungkan data yang telah diterima dengan
katagori-katagori menurut konsistensinya,
ketergantungannya, keterbiasaan, sumber, jenis dan
insensitasnya.
c. Selection yaitu proses memilih data yang sudah
dianalisa dan yang paling memenuhi kebutuhan-
kebutuhan orientasi dalam situasi lingkungan waktu
itu
d. Plan yaitu proses penentuan bentuk tingkah laku
berdasarkan data yang telah terpilih dan yang paling
relevant dengan situasi lingkungan waktu itu.
e. Execution yaitu proses menjalankan bentuk tingkah
laku yang direncanakan. Apabila proses tersebut
berjalan secara wajar, tanpa adanya hambatan-
hambatan seperti gagar otak, sakit dan sebagainya,
maka akan diperoleh tingkat kesiapan mental yang
tinggi. Dengan demikian jelaslah bahwa tingkat,
kesiapan mental berbeda-beda antara orang yang
satu dengan yang lain. Tingkat kesiapan fisikpun
demikian juga. Karena penyakit diabetes, banyak
problem dapat mempengaruhi penampilan siswa
dalam teknik apapun yang diajarkan oleh guru.
6. Tujuan akhir orientasi dan mobilitas adalah membuat
seorang tunanetra mampu memasuki setiap lingkungan
yang dikenal ataupun tidak, dan mampu bergerak dengan
selamat, efisien, lincah, tanpa bantuan dengan
mempraktekkan kombinasi dari kedua keahlian itu
(orientasi dan mobilitas)
B. KOMPONEN-KOMPONEN DAN MOBILITAS
Baik orientasi maupun mobilitas mempunyai
komponen-komponen. Komponen dari pada orientasi
meliputi :
1. Petunjuk-petunjuk tempat
2. Tanda-tanda/petunjuk
3. Sistem penomoran
4. Ukuran
5. Mata angin
6. Pengendalian diri
Sedang komponen dari pada mobilitas ialah :
1. Orientasi mental
2. Gerakan fisik
Komponen-kompoonen tersebut penjelasan lebih
lanjut sebagai berikut:
Komponen Orientasi :
ad.1. Petunjuk-petunjuk tempat
Pada tempat kita berpijak atau tempat kita berjalan
terdapat macam-macam keadaan yang dapat kita temui.
Macam keadaan ini berupa jalan raya, selokan, toko, pasar,
sekolahan, masjid, gereja dan sebagainya. Demikian juga
tanda-tanda yang berbentuk suara, bau, suhu atau rabaan
yang dapat dipakai sebagai petunjuk yang mudah dikenal
dan mempunyai tempat yang pasti / permanent
dilingkungan itu dapat dipakai petunjuk tempat / obyek
yang berada disekitarnya.
ad.2. Tanda-tanda/petunjuk
Termasuk tanda-tanda/petunjuk ialah semua bunyi,
abu, suhu, rangsangan taktual, rangsangan visual yang
mengenai indera dan yang segera dapat diubah menjadi
petunjuk didalam menetapkan posisi atau arah.
Dari sekitar banyak ada sebuah petunjuk yang paling
memenuhi kebutuhan akan informasi yang diperlukan
waktu itu, hal ini dinamakan dominant – clue (Petunjuk
dominana). Ciri khusus suatu tempat atau suatu obyek
adalah merupakan dominant – clue.
ad.3. Sistem penomaran
Sistem ini dipakai untuk membedakan medan/situasi
yang sama atau hampir sama, baik yang diberikan oleh
orang dewasa awas maupun oleh para tunanetra. Dengan
sistem ini berarti tiap medan/benda/ruang telah diberi ciri
sendiri-sendiri sehingga memudahkan para tunanetra untuk
mengadakan orientasi.
Penggunaan sistem nomor ini ada dua macam, yaitu
didalam ruangan dan di luar ruangan. Untuk pemberian
nomor didalam ruang diperlukan penelitian untuk
membedakan benda yang banyak dengan berbagai situasi,
sedang pemberian nomor di luar ruangang menuntut anak
menggunakan teknik berjalan lainnya, karena anak
menghadapi berbagai bentuk medan, seperti teras, tembok,
tangga dan sebagainya.
ad.4. Ukuran
Adanya komponen ini dimaksudkan agar anak/orang
tunanetra mengetahui ukuran, bentuk, sifat dan dimensi
dari suatu medan, atau benda atau ruangan. Sekaligus
bertujuan agar anak/orang tunanetra dapat mengukur
walaupun masih dalam taraf sederhana atau
memperkirakannya dalam suatu proses orientasi.
Misal, untuk memperoleh pengertian lingkaran, bulat dan
derajat, maka dapat melalui proses sebagai berikut:
a. Siswa diberi pelajaran mulai dari yang diketahui,
kemudian pada arti-arti konkrit dari istilah-istilah
diatas (lingkaran, bulatan dan derajat) yang dipakai
dalam mobilitas. Misal, siswa diajak untuk
memperhatikan benda-benda bulat dalam ruangan, jam
tangan, bentuk dasar tempat sampah, bola dan
sebagainya. Suruh anak-anak menyebut benda-benda
bulat dirumahnya.
b. Dari lingkaran kemudian diajarkan kata sifat, seperti
bulat, menerangkan bentuk lingkaran dan sebagainya.
Setalah itu diajarkan kata “mengelilingi”.
c. Untuk mengajarkan konsep derajat, bisa diajarkan
dengan cara menyuruh anak membagi meja bulat
menjadi empat bagian dengan sudut 90˚, dari titik
tengah kekiri atau kekanan. Dari sini anak dapat
disuruh membuat lingkaran di atas tanah, kemudian
bagi menjadi beberapa bagian.
d. Korsel berbentuk bulat dengan alat pegangan
berbentuk bulat dan berputar melingkar. Suruhlah
anak mengamatinya. Letaknya tangan pada bola, dan
kemudian letakkan dua tangan menggambarkan
sebuah lingkaran. Cicin juga bulat, suruh anak
merasakan, bentuk ini, lalu memasukkan pada jarinya.
e. Kita bisa membuat derajat-derajat dengan berputar
belok kanan (90˚), dua kali belok kanan (180˚).
Bagaimanakah ketepatan anak? Apakah ia mengerti
perbedaan berputar 90˚ dan 180˚?
AD.5. Mata Angin
Untuk menanamkan pengertian tentang mata angin bisa
digunakan balok lurus persegi yang ditempatkan pada suatu
ruangan, kemudian menempuh prosedur berikut ini :
a. Orientasikan anak-anak akan arah-arah mata angin
yang terpenting (Utara, Timur, dan Barat) dari suatu
ruangan.
b. Tetapkan pengenalan arah mata angin tadi pada
pinggiran balok.
c. Suruh anak mendemonstrasikan pengertian mereka
akan pinggiran balok.
d. Tentukan titik-titik penjuru (Timur Laut, Barat Laut,
Tenggara, Barat Daya) dengan sudut-sudut balok
sesuai dengan titik-titik tadi.
e. Latihlah anak itu dalam titik-titik arah mata angin
yang kedelapan itu.
f. Terapkan pengertian mereka itu dengan berjalan dari
satu titik penjuru ke titik penjuru yang lain sampai
kedelapan titik penjuru itu telah selesai dijelajahi.
g. Latihan konsep ini dengan menyuruh anak-anak
merambat tembok, supaya mereka mengerti hubungan
balok dan tembok.
h. Suruhlah anak berlajan mengelilingi tembok.
ad.6. Pengenalan diri
Yang dimaksud disini ialah mengenalkan diri terhadap
ruangan, agar anak memperoleh satu cara untuk
mengetahui cirri-ciri ruangan, sehingga ia bisa bergerak
dengan selamat dan efisien.
Adapun tekniknya adalah sebagai berikut :
a. Suruhlah anak menggunakan pintu masuk ruangan
atau ciri medan penting lainnya sebagai patokan dari
mana ia mulai mengorientasikan dirinya terhadap
ruangan.
b. Dianjurkan kepada anak untuk memanfaatkan perabot-
perabot dan gambar-gambar yang ada dalam ruangan
sebagai ciri medan, agar dengan demikian ia dapat
lebih mudah untuk melokalisir benda-benda yang
sejajar atau tegak lurus.
c. Suruhlah anak memulai merambat sekeliling ruangan
dengan mengkombinasikan teknik lengan menyilang
ke bawah dan merambat (trailing) hingga ia
mendapatkan ide tentang panjang lebar ruangan dan
segala sesuatu yang ada didalamnya.
Demikianlah penjelasan komponen-komponen
orientasi. Adapun mengenai komponen-komponen
dalam mobilitas penjelasannya secara ringkas sebagai
berikut :
ad.1. Orientasi Mental
Yang dimaksud disini ialah seorang tunanetra sebelum
melakukan tingkah laku motoris, terlebih dahulu harus
mempunyai konsep yang tepat mengenai hal-hal yang ada
disekelilingnya dalam hubungannya dengan dirinya sendiri.
Sebab bagaimanapun juga kemampuan dibidang ini akan
sangat menetukan kemampuan bermobilitas bagi seorang
tunanetra. Apalagi kalau kita mengingat bahwa problem
yang pertama bagi para tunanetra adalah berjalan.
Mereka harus menghadapi serangkaian masalah dan
rintangan. Oleh karena itu tanpa di tunjang dengan
kemampuan berorientasi, maka masalah dan rintangan itu
selamanya tidak akan dapat dikurangi atau diatasi.
ad.2. Gerakan Fisik
Yang dimaksudkan ialah kemampuan bergerak dari
suatu tempat ke tempat lain dengan cara gerakan fisik.
Kemempuan tersebut perlu ditunjang dengan kemampuan
yang lain, yaitu kemampuan menapak, menyepak
(kesamping), sekaligus bagaimana menggerakkan tumit,
jari-jari, pengontrolan gerak gravitas badan (gaya berat)
mendeteksi naik-turun atau maju-mundurnya langkah kaki.
Jadi jelaslah bahwa berjalan tidaklah sekedar
berpindah tempat, tetapi mempunyai arti yang lebih luas
dari pada itu, yaitu memfungsi sebaik-baikya organ-organ
tubuh yang terkait dalam aktivitas berjalan, agar dengan
demikian diperoleh kemampuan bermobilitas yang tinggi.
BAB IV
KEMAMPUAN DAN TEKNIK-TEKNIK MOBILITAS
Kita telah mengetahui bahwa mobilitas adalah
kemampuan untuk bergerak atau berjalan, dari suatu posisi
tetap menuju posisi lainnya yang diinginkan. Batasan ini
sebenarnya ingin menunjukkan bahwa bergerak atau
berjalan menuju ke tempat lain sebagai tujuan, merupakan
kemampuan tersendiri yang didukung oleh teknik-teknik
tertentu. Hal ini lebih jelas dan lebih dirasakan oleh para
tunanetra. Bagi mereka untuk berjalan mencapai sesuai
yang diinginkan, di samping mereka harus mempunyai
kemampuan berorientasi yang baik, juga dituntut untuk
depat menggunakan teknik-teknik mobilitas. Oleh karena
itu seorang instruktur / guru SLB/A dituntut pula
memahami teknik-teknik mobilitas. Adapun teknik-teknik
yang dimakdus di sini adalah:
A. SIGHTED-GUIDE
B. INDEBENDENT TRAVEL
C. GOG-GUIDE
D. TEKNIK PEMAKAIAN TONGKAT
E. TEKNIK PENGGUNAAN ALAT-ALAT
MOBILITAS ELEKTRONIK
A. SIGHTED-GUIDE
Seorang penuntun awas di dalam membimbing
tunanetra perlu memahami teknik-teknik tertentu. Cara
membimbing tunanetra dengan jalan menangkap lengan
orang tunanetra, lalu menuntunnya adalah merupakan cara-
cara yang menyulitkan bagi kedua belah pihak. Oleh karena
itu sekarang dikembangkan teknik (cara-cara) baru, yang
dipandang paling aman, mudah dan enak baik bagi para
tunanetra sendiri maupun bagi para pendamping awas
dalam berjalan, yaitu dengan jalan memegang atas sikut
pendamping awas dan mendapatkan orang tunanetra pada
posisi untuk mengikuti pendamping itu dan merasakan
gerakan-gerakannya.
Teknik-teknik ini bervariasi, tergantung apakah yang
dibimbing itu anak-anak, orang tua (dewasa) ataukah orang
yang sudah tua sekali dan tergantung pula kepada medan
yang akan dilaluinya.
Hal-hal di bawah ini dapat membantu pendamping
awas dalam membimbing seorang tunanetra:
1. Teknik dasar untuk pendamping awas:
a. Untuk membuat kontak seorang tunanetra
(mengajak siswa), pendamping menyentuhkan
punggung tangannya kepada siswa atau siswa
mengajak kapada pendamping, baik dengan
sentuhan tangan atau dengan lesan.
b. Siswa segera memegang dengan “erat” lengan
pendamping di atas sikut.
c. Ibu jari siswa berada di sebelah luar lengang
pendamping, dan jari-jari yang lain di sebelah
dalam.
d. Dengan siswa lentur pada sikut, sedangkan lengan
atas siswa tetap rapat pada badannya.
e. Siswa harus berposisi setengah langkah di belakang
pendamping dan berada di samping pendamping,
dengan bahu lurus sejajar di belakang bahu
pendamping.
Dari gerakan badan pendamping awas, tunanetra itu
dapat mengetahui apakah dia berjalan lurus atau menurut
belokan yang lebar. Gerakan tubuh pendamping awas ke
atas atau ke bawah akan mennunjukkan pada tunanetra
apakah mereka mendaki atau menurun. Jika pendekatan
atau penurunan itu selesai, tunanetra akan merasa lengan
pendamping awas itu mendatar, dan hal ini memberikan
kepadanya bahwa mereka akan tiba pada puncak atau dasar
tangga.
Dalam hal ini yang terpenting bagi mereka ialah agar
mereka menjaga lengan atas tetap rapat dengan badannya,
terutama ke tika berbelok ke kiri atau ke kanan, maupun di
waktu kembali (terbalik). Dengan cara seperti ini maka
gerakan yang berlebihan dari pendamping awas dapat
dihindari.
2. Melewati jalan sempit
Teknik melewati jalan sempit ini ada dua macam,
yaitu jika jalan itu tidak begitu sempit dan jika itu sangat
sempit (hanya cukup dilewati satu orang saja).
Jika melewati jalan tidak begitu sempit, cukuplah
pendamping awas itu merapatkan tangannya ke badannya,
kemudian di ikuti oleh tunanetra yang dibimbingnya.
Tetapi jika jalan itu sangat sempit, maka teknik yang
ditempuh adalah sebagai berikut:
a. Pendamping menarik lengannya ke balakang ke
sebelah dalam.
b. Siswa (tunanetra) memberi respons dengan
meluruskan tangannya, sehingga posisi badan siswa
berada tepat di belakang pendamping, dengan jarak
satu langkah penuh.
c. Apabila pendamping kembali pada posisi yang
normal, yaitu mengembalikan lengannya seperti
biasa, maka siswa kembali pada posisi semula dan
berada di samping pendamping dengan jarak
langkah di belakang pendamping.
Jadi pada saat melewati jalan yang sangat sempit,
siswa harus benar-benar berada satu langkan penuh
di belakang pendamping.
3. Melewati pintu tertutup
Untuk melewati pintu tertutup dengan tipe pintu yang
bervariasi itu mempunyai cara tersendiri, seperti pintu
yang:
a. Membuka menjauh dari kita, ke sebelah kanan
b. Membuka kearah kita ke sebelah kanan
c. Membuka menjauh dari kita ke sebelah kiri
d. Membuka kearah kita ke sebelah kiri
Dalam hal tersebut perlu diperhatikan ialah cara
melewati membuka dan menutupnya. Ada dua
kemungkinan dalam melewati pintu tertutup hubungangnya
dengan posisi dan kedudukan siswa dengan pendamping.
a. Siswa berada di samping pendamping dan searah
dengan membukanya pintu (siswa berada di
samping kanan pintu membukanya ke kanan).
Cara melewati pintu tersebut ialah:
1. Setelah samping di depan pintu itu, pendamping
berhenti sejenak sambil memberikan penjelasan
kepada siswa kearah mana pintu itu terbuka. Kalau
ada ciri-ciri khusus yang berkenaan dengan
keselamatan atau ada alasan lain, maka pendamping
memberikan gambaran tenteng keadaan atau
memberikan orientasi mengenai ke khususan pintu
itu kepada siswa.
2. Melalui pegangan (kalau ada) pendamping
membuka pintu, bersamaan dengan terbukanya
pintu itu siswa menghadapkan tangan bebasnya
mencari pegangan pintu. Dengan memanfaatkan
tangan pendamping yang memegang pegangan
pintu, siswa akan mudah melekalisir di mana
pegangan pintu itu berada.
3. Setelah siswa memegang pegangan pintu,
pendamping melapaskan pegangan tersebut sambil
bergerak maju, pendamping harus memberi
kesempatan pada siswa untuk menutup pintu
kembali dengan baik.
b. Siswa berada di samping pendamping tidak searah
dengan membukanya pintu (siswa berada di
samping kanan pintu membuka ke kiri atau
sebaliknya).
Dalam posisi siswa demikian, ada dua cara:
1. Cara pertama :
Setelah sampai di depan pintu, pendamping
menjelaskan ke mana pintu itu terbuka, maka siswa
langsung pindah pegangan (lihat teknik pindah pegangan)
sehingga siswa berada searah dengan membukanya pintu.
Setalah itu caranya sama dengan cara-cara di atas.
a. Cara kedua:
Setelah pendamping menjelaskan ke mana pintu itu
terbuka, pendamping membuka pintu dan bersamaa
dengan itu pula siswa menggeser ke samping
sehingga siswa tepat berada di belakang
pendamping dan tangan siswa yang bebas
memegang tangan pendamping, setelah itu siswa
melepaskan / membebaskan tangan yang memegang
pertama.
Tangan siswa yang bebas dikedepankan untuk
menangkap pintu atau memengan pegangan pintu.
Setelah hal ini dilakukan siswa pendamping
bergerak maju sambil melepaskan tangannya dari
pegangan pintu. Dalam bergerak maju pendamping
harus memberi kesempatan pada siswa untuk
menutup pintu kembali dengan baik. Disarankan
kepada pemdamping untuk membuka pintu dengan
tangan yang searah dengan membukanya pintu
(pintu membuka ke kiri, dibuka dengan tangan kiri
dan sebaliknya). Hal ini akan mempermudah bagi
siswa untuk melokalisir pintu dan memegangnya.
4. Teknik naik dan turun tangga
a. Cara menuruni tangga dengan pendamping awas
adalah sebagai berikut:
1. Pendamping mendekati tangga dan berhenti
ketika kakinya sampai pada sisi tangga, siswa
tetap berada setengah langkah di belakang
pendamping.
2. Sewaktu pendamping bergerak menuruni anak
tangga siswa tetap berada setengah langkah di
belakang pendamping sampai ia merasa gerakan
turun dari lengan pendamping atau merasakan
tepi tangga itu.
Selama siswa masih dalam proses belajar
disarankan pada pendamping untuk berhenti
sejenak sebelum melangkah menuruni atau
menaiki tangga. Jelaskan bahwa kita akan
menuruni atau naiki tangga. Berhenti sejenak
apabila sudah sampai di puncak tangga atau
sehabis menuruni tangga. Jelaskan pada siswa
dan berilah pengertian bahwa kedudukan lengan
pendamping ada hubungannya dengan
permukaan jalan yang dilalui. Apabila tangga
mempunyai pegangan, hendaknya pegangan
tersebut digunakan untuk menjaga
keseimbangan kedua belah pihak. Apabila
melewati tangga yang melingkar, tempatkan
siswa pada posisi di mana injakan tangga
mempunyai ruang yang lebih luas.
3. Siswa harus menjaga posisi tegak, dengan titik
pusat berat badan jatuh ditumitnya. Hal ini
terutama untuk menjaga keseimbangan
badannya.
4. Ketika pendamping sampai pada tempat yang
datar, lengan akan merasa seimbang dan rata.
b. Cara menaiki tangga dengan pendamping awas adalah
sebagai berikut:
1. Pendamping mendekati pinggiran tangga dan
berhenti ketika ia sampai pada pinggiran tangga itu,
siswa berada setengah langkah di belakangnya.
2. Pendamping melangkah naik, siswa maju setengah
langkah untuk menemukan tangga dan kemudian
melangkah naik.
3. Berat badan siswa harus bertumpu pada ujung
kakinya.
4. Siswa tetap berada satu tangga di belakang
pendamping selama naik tangga tersebut.
5. Setelah sampai di tempat datar, pendamping
mengambil posisi beberapa langkah ke dapan,
kemudian berhenti sebentar dan menerangkan
kepada siswa bahwa ia telah sampai di puncak
tangga. Hal ini untuk manjaga agar jangan terjadi
salah langkah dari siswa tersebut.
5. Teknik duduk
Satu di antara situasi pengaturan, duduk siswa dari
pendamping awas, sering tidak sempurna, sehingga terjadi
kecanggungan di waktu duduk. Hal yang penting mengenai
duduk ialah meyakinkan bentuk ukuran dan kondisi kursi,
apakah kursi itu kosong, stabil, cukup kuat, ada benda di
atasnya atau tidak dan sebagainya.
Dalam hubungan dengan teknik duduk ada 3 hal yang perlu
dilatihkan kepada mereka, yaitu:
a. Cara duduk dari depan kursi
1. Pendamping membawa siswa sejauh setengan
langkah dari bagian depan kursi dan
menerangkan posisi kursi serta jaraknya.
2. Ssiwa maju ke depan sampai tulang kering
kakinya menyentuh kursi.
3. Siswa memeriksa kursi dengan menyapukan
tangannya, baik vertikal maupun horizontal,
sandaran dan tempat duduknya.
4. Siswa berdiri di depan kursi dengan meluruskan
atau menyentuhkan bagian pahanya ke bagian
kursi, barulah duduk.
5. Siswa harus mengerti sendiri, kursi itu
hubungan dengan berat badannya, baik dengan
meraba tangan kursi maupun pinggiran kursi itu.
b. Cara duduk dari belakang kursi:
Kalau siswa mendekati kursi dari bagian belakang,
maka ia harus dirabakan ke bagian belakang kursi
dengan jarak setengah langkah dari kursi.
Merabanya dimulai dari bagian belakang sandaran
kursi dan seterusnya ke bagian kaki dan mengontrol
bagian tempat duduknya, dengan tidak melepaskan
tangan yang memegang sandaran kursi. Selanjutnya
cara duduk siswa sama dengan cara duduk dari
depan kursi.
c. Cara duduk dengan kursi bermeja:
Apabila siswa akan duduk di kursi yang memakai
meja, caranya sama saja dengan cara mendekati
kursi dari belakang. Yang penting hanyalah
bagaimana hubungan kursi itu dengan meja, dan
bagaimana posisi siswa di depan meja tersebut.
Apakah sudah lurus dengan meja atau cukup enak
duduknya dan sebagainya.
Untuk mengontrol hal tersebut, caranya adalah:
1. Rentangkan tangan ke dapan dan meraba bagian
pinggir meja, tangan satunya memegang bagian
belakang kursi dan menarik kursi agar jangan
rapat dengan meja.
2. Tangan yang memegang bagian belakang kursi
mengecek tempat duduk tersebut sambil tidak
melepaskan tangan yang memegang pinggir
meja itu. Bila ternyata kursi itu kosong dan
keadaannya baik, siswa langsung duduk.
3. Setelah siswa duduk, maka siswa mengecek
posisi duduknya sehingga posisi duduknya lurus
dengan kedua tengannya memegang pinggiran
meja. Dengan demikian siswa akan mengetahui
posisi duduknya dengan meja.
4. Sebaiknya jarak badan dengan pinggiran meja
sejauh selebar tangan atau lebih sedikit.
6. Teknik memasuki mobil
Memasuki mobil sehingga tidak mengalami benturan
caranya sebagai berikut:
a. Setelah sampai di depan pintu mobil, pendamping
menjelaskan bagaimana posisi pintu, membuka ke
sebelah kanan atau kiri dari badan kita.
b. Tangan siswa ditunjukkan ke pegangan pintu mobil
dan memegangnya, setelah itu barulah pintu dibuka.
c. Setelah pintu terbuka, tangan yang satunya
dipegannya ke pinggiran pintu mobil sebelah atas,
setelah selesai merabai pinggiran pintu mobil,
langsung meraba tempat duduk. Tujuan ialah untuk
mengetahui posisi tempat duduk, juga untuk
mengontrol apakah ada sisinya atau benda lain di
atasnya.
d. Setelah hal itu dilakukan, barulah masuk ke mobil
dengan tidak melepaskan kontak tangan dengan
tempat duduk mobil tersebut.
7. Memindahkan pegangan tangan
Memindahkan pegangan tangan ini dimaksudkan, bila
siswa merasa capek/pegal karena sudah lama berpegangan
atau oleh karena hendak pendamping atau karena akan
memasuki pintu yang membuka ke kiri/kanan, agar searah
dengan membukanya pintu. Tangan di sini yaitu tangan
siswa yang dipakai memegang tangan pendamping.
Adapun caranya adalah:
a. Tangan siswa yang bebas memegang tangan
pendamping
b. Tangan yang memegang pertama kali dilepaskan
sambil menggeser posisi badan, dan tangan siswa
pertama tersebut memegang lengan yang bebas dari
pendamping.
c. Tangan pemegang kedua dipindahkan ke lengan
pendamping yang dipegang oleh tanggan siswa
pertama
d. Setelah itu tangan siswa pertama dilepaskan hingga
tangan pemegang kedua berada atau memegang
tangan pendamping kedua.
8. Berbalik arah
Apabila kita melalui jalan buntu atau kembali arah
dalam berjalan, baik karena kehendak siswa atau
pendampingnya, maka caranya adalah sebagai berikut:
a. Pendamping berhenti sebentar, kemudian berputar
45˚ dari posisi semula, dan diikuti oleh siswa
sehingga posis keduanya berharapnya.
b. Tangan siswa yang bebas memegang tangan
pendamping yang bebas pula.
c. Sambil pendamping berjalan kearah yang
berlawanan dengan arah semula, siswa melepaskan
tangan yang pertama kali memegang tangan
pendamping.
d. Setelah itu berjalan seperti biasa.
9. Menerima atau menolak ajakan untuk didampingi orang
awas
Menolak atau menerima ajakan seorang yang ingin
mendampingi tunanetra mempunyai teknik tersendiri.
Apabila yang mengajak itu tidak mengetahui caranya
sehingga ia mengajak dengan sembarangan yang
memungkinkan akan terjadinya hambatan atau kecelakaan.
Biasanya seorang yang tidak tahu cara mendampingi
tunanetra langsung menarik tanganya dari belakang ke
dapan dan kadang-kadang si tunanetra berada di depan
pendamping dalam berjalan. Cara yang demikian adalah
tidak menguntungkan. Oleh karena itu perlu dibetulkan.
Cara yang seharusnya dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Cara menerima ajakan
Melepaskan tangan pegangan penolong dengan
tangan bebasnya, kemudian tangan tunanetra yang
dipegang penolong tadi memegang lengan penolong
di atas sikut, baru berjalan kearah tujuan.
b. Cara menolak ajakan
Melepaskan perangan tangan penolong yang salah
dengan tangan siswa yang bebas sambil mendorong
ke depan dan menjelaskan bahwa ia tidak
memerlukan pertolongan.
B. INDEPENDENT-TRAVEL
Seorang instruktur rehabilitas tunanetra harus dibekali
pengetahui untuk melatih orang yang tunanetra, cara
bepergian sendiri dengan selamat dan efisien dalam
lingkungan yang sudah terbiasa (dikenal). Ini meliputi
mengajar teknik bagaimana ia sampai ke tujuan selancar
mungkin, tanpa menabrak benda yang ada di depannya,
tersandung atau terluka.
Lebih khusus lagi, tunanetra akan mendapatkan teknik-
teknik bagaimana mengikuti garis pembimbing, berjalan
lurus dan mengetahui segala sesuatu yang ada di depannya,
dan untuk melindungi dirinya sendiri.
Teknik mengikuti garis pembimbing disebut trailing,
untuk meluruskan arah digunakan teknik directiontaking
atau squaring-aff. Sedang teknik untuk mendapatkan
informasi benda-benda di depan dan untuk melindungi
badan digunakan teknik upper and lower fore arm.
Teknik-teknik tersebut biasanya digunakan untuk
mengadakan pengenalan terhadap ruangan dan obyek.
Adapun tekniknya adalah sebagai berikut:
Dalam pengenalan ruangan dan obyek perlu sekali
untuk menentukan / menetapkan titik tolak (vocal-point).
Titik tolak yang dianggap paling tepat dalam sebuah
ruangan ialah pintu, karena pintu tidak akan berubah
tempat. Di samping menentukan titik tolak, tunanetra harus
berdiri dengan sikap yang sesempurna mungkin untuk
menetukan tujuan (arah) yang pasti. Untuk keperluan
tersebut maka dilaksanakanlah teknik squaring-off, yaitu
sikap berdiri lurus sesempurna mungkin, dengan
menggerakkan tangan ke samping menjauhi tubuh hingga
bagian belakang tangan menyentuh bagian tembok (daun
pintu).
Pada saat tersebut pembimbing harus segera
menerangkan ruangan itu, yaitu mengenai jenis ruangan:
ruang depan, kamar tidur, kamar belajar dan lain-lain dan
mengenai landmark (segala sesuatu yang bisa dijadikan
tanda yang mempunyai sifat permanent) seperti : letak
tombol lampu, semua perabot dan benda-benda yang
diletakkan di atasnya seperti lampu, mesin ketik, dan lain-
lain, jendela, kain jendela, kerai dan sebagainya.
Untuk mendapatkan informasi yang lebih jelas tentang
bentuk dan ukuran ruangan, serta benda-benda yang
terdapat di dalam ruangan, maka langkah-langkahnya
adalah sebagai berikut :
1. Upper hand and fore arm (Tangan menyilang badan
sejajar pundak).
Teknik ini memberi perlindungan pada dada dan kepala
dari kemungkinan terbentur pada rintangan yang ada di
depan. Penggunaan teknik ini adalah sebagaimana
teknik independent lainnya, yaitu digunakan pada
tempat yang sudah dikenal. Bila dianggap perlu dalam
pelaksanaannya dapat dikombinasikan dengan teknik
yang lain.
Adapun caranya ialah:
Tangan kanan atau kiri diangkat ke depan setinggi
bahu/dada menyilang badan, sikut membentuk sudut
kira-kira 120˚, telapak tangan menghadap ke dapan
dengan ujung-ujung jari berlawanan dengan bahu dan
gerakannya bervariasi vertikal ( ke atas-ke bawah).
2. Lower hand and fore arm (tangan menyilang badan ke
arah depan).
Teknik ini memberi perlindungan pada badan bagian
bawah, yaitu daerah perut dan selakangan, dari
kemungkinan terbentur pada rintangan yang ada di
depannya.
Adapun caranya ialah:
Tangan kanan atau kiri disilangkan di muka badan
mengarah ke bawah (selangkangan) dengan telapak
tangan menghadap ke badan, dan dengan variasi
gerakkan vertikal.
3. Trailing (merambat)
Teknik ini dimaksudkan sebagai suatu teknik berjalan
dengan cara meraba/merambat dinding, pinggir meja
dan sebagainya sebagai pedoman arah.
Caranya adalah:
Lengan kanan atau kiri diluruskan mendekati tembok
dengan jari-jari dibengkokkan lemas, dan jari
kelingking serta jari manis menempel pada tembok.
Badan, dada dan muka menghadap kearah depan, yang
akan dijutu sebagai obyek. Gerakan dalam trailing
adalah mengikuti arah jarum jam, sebagai pola latihan
yang pertama dan untuk selanjutnya dapat dilaksanakan
kea rah samping kiri ataupun kanan
4. Transfering open doorway (melalui pintu terbuka)
Teknik berjalan dengan melalui pintu terbuka,
bertujuan agar berjalan tepat pada arah yang benar dan
kepala terlindungi dari kemungkinan terbentur dengan
daun pintu.
Adapun caranya adalah:
Salah satu tangan tetap melakukan cara berjalan dengan
trailing, sedangkan tangan yang lainnya melakukan cara
upper hand and fore arm.
5. Direction taking (menggunakan garis pengarah)
Teknik ini digunakan untuk menuju suatu sasaran
dengan memanfaatkan/menggunakan garis pengarahan
yang ada, misalnya pinggir meja, pinggir tempat tidur
dan sebagainya, agar sampai ke tempat tujuan dengan
tepat. Adapun cara yang digunakan disesuaikan dengan
keadaan, bisa dengan Trailing Upper Hand atau Lower
Hand dan Fore Arm, bahkan mungkin saja cara-cara
tadi dikombinasikan.
Caranya ialah:
Kita merapat ke dinding, sehingga kaki dan lengannya
menyentuh dinding. Untuk mengetahui posisinya,
tangan yang dekat ke dinding dapat diayun ke depan
dan ke belakang. Kemudian kita dapat menjauh dari
dinding dan terus berjalan menuju ke tempat tujuan
sepanjang pengarah.
6. Search-Patterns (Pengenalan Ruangan)
Cara mengenal ruangan ini telah dibicarakan di muka.
Sedangkan yang akan dibicarakan di sini ialah
bagaimana kita dapat mengetahui keadaan suatu
ruangan dengan mendetail dan menyeluruh, mengetahui
berapa kira-kira luas ruangan tersebut, dan apa saja
yang ada di ruangan itu,
Teknik yang digunakan ada dua cara, ialah:
a. Perimeter method (mengelilingi ruangan)
Untuk mengetahui berapa kira-kira luas ruangan itu.
Caranya ialah:
Pertama kita tentukan dulu titik tolak (vocal point),
misalnya pintu, sehingga setiap gerakan bertitik tolak
pada pintu tadi. Kita berdiri tegak pada vocal-point,
dan selanjutnya dengan Trailing kita mengelilingi
ruang mengikuti arah jarum jam sampai kembali lagi
ke vocal-point.
b. Grid-system (menjelajahi ruangan)
Setelah mengelilingi ruangan, kemudian seluruh
ruangan kita jelajahi dengan tujuan agar kita dapat
mengetahui keadaan ruangan tersebut secara
menyeluruh.
Caranya ialah:
1. Kita berjalan dari sudut menyilang ke sudut yang
lain.
2. Berjalan menyeberang dari dinding yang satu ke
dinding yang lain, sehingga seluruh ruangan kita
jelajahi.
Teknik berjalan yang digunakan bisa dengan
Upper Hand and Fore Arm atau kombinasi dari
keduannya.
3. Apabila ruangan yang kita jelajahi luas, maka
bisa kita lakukan sebagaian-sebagian.
7. Dropped-objects (mengambil benda yang jatuh)
Agar seorang tunanetra dapat menemukan kembali
sesuatu yang terjatuh (tercecer), dalam pengambilannya
ada dua cara. Yang terpenting dan yang harus
diperhatikan sebelumnya ialah mendengarkan bunyi
jatuhnya benda tadi sampai suara terakhir terdengar,
kemudian mengajarkan badan kearah suara terakhir.
Adapun dua cara yang dimaksudkan ialah:
a. Bungkukkan badan kearah benda dengan sikap tangan
melindungi badan bagian atas, dengan teknik upper
hand yang disesuaikan dengan situasi. Tangan yang
lain meraba-raba ke tempat benda yang jatuh, mulai
dari lingkungan kecil yang semakin seluas sehingga
dapat mengetumukan benda/sesuatu yang jatuh tadi.
b. Ambillah sesuatu yang terjatuh tadi dengan jalan
berjongkok lurus dengan menggunakan teknik dan cara-
cara sebagaimana tersebut di atas.
Cara mengembil sesuatu yang terjatuh seperti ini
dimaksudkan agar kepala terhidar dari benturan pada
benda yang mungkin ada.
8. Sheking-Hand (jembatan tangan)
Pada kenyataannya sering terjadi kesulitan bila seorang
tunanetra bermaksud melakukan jabatan tangan dengan
pihak lain, baik dengan sesama tunanetra maupun
dengan orang awas, sebab ia tidak dapat melihat
gerakan tangan dari pihak lainnya. Karena itu perlu
adanya teknik tersendiri untuk mengatasi kesulitan
tersebut.
Teknik untuk melakukan jabatan tangan ialah:
Pertama-tama sentuhlah belakang tangan tunanetra tadi
dengan telapak tangan kita, selanjutnya baru berjabat
tangan. Apabila yang berjabat tangan adalah sesama
tunanetra, maka salah seorang atau keduanya harus
mengambil inisiatif menggerakkan tangan kanan di
bawah dada sendikit, dari arah kiri kearah kanan atau
sebaliknya. Bila kedua punggung telapak tangan sudah
bersentuhan, barulah berjabat tangan.
C. DOG-GUIDE
Dalam sejarah kita diketahui bahwa sejak Perang Dunia
pertama di Jerman telah banyak dilatih anjing-anjing
khusus untuk melakukan tugas dalam peperangan, yaitu
menuntun para veteran perang yang cedera matanya atau
yang menjadi buta. Cara tersebut ternyata banyak
menolong para tunanetra untuk bergerak/berjalan sendiri,
karenanya tidak mengherankan kelau pada saat itu Jerman
didirikan Pusat Latihan Anjing.
Penggunaan anjing penuntun sudah barang tentu tidak
bisa terlepas dari masalah orientasi. Seorang tunanetra yang
ingin menggunakan, dituntut pula mempunyai kemampuan
berorientasi yang baik. Dengan kemampuannya itu, maka
dia dapat memberikan perintah kepada anjing untuk
bergerak/berjalan menuju ke tempat lain yang diinginkan.
Untuk keperluan tersebut maka pihak sekolah berkewajiban
memberikan informasi yang lengkap mengenai metode
yang dipergunakan, termasuk pula informasi mengenai
tempat didirikan sekolah anjing penuntun. Adapun
keputusan untuk menggunakan anjing penuntun atau tidak,
bukanlah terletak pada guru (instruktur) melainkan
sepenuhnya terletak pada si tunanetra itu sendiri.
D. TEKNIK PEMAKAIAN TINGKAT
Seorang tunanetra karena kehilangan indra penglihatan,
maka kemampuan bergeraknya, baik dalam ruangan rumah
maupun di luar ruangan rumah sangat terbatas. Akibatnya
seorang tunanetra berusaha mengatasi kekurangannya itu
dengan lebih memfungsikan indra-indra yang lain dalam
bergerak/berjalan, seperti indra pendengaran, indra
penciumana, indar peraba, perasaan dan sebagainya.
Walaupun demikian hal ini tidak selalu dapat membantu
mereka dalam bergerak/berlajan. Oleh karena itu adanya
alat bantu yang lain.
Salah satu alat bantu yang mudah penggunaannya,
murah, sederhana tetapi aman, ialah tongkat. Agar sesuai
dengan harapan, maka seorang tunanetra maupun para
instruktur (guru) harus mengetahui teknik-teknik
pemakainnya.
Adapun teknik-tekniknya adalah sebagai berikut:
1. Cara memegang tongkat
Cara memegang tongkat ada dua macam,
a. Metode Amerika
Siku membengkok dan kepalan tangan berada di
depan perut. Ini berarti pula bahwa ujung tongkat
yang dipegang berada di depan perut. Ujung tongkat
yang dipegang terletak di tengah telapak tangan dan
dijepit oleh jari kelingking, jari manis dan jari
tengah. Sedang ibu jari menumpang atas dan jari
telunjuk menempel di bagian luar dan menjurus /
menunjuk ke ujung tongkat bawah. Posisi yang
demikian sangat memudahkan bagi pergelangan
untuk bergerak, sedang sikut tetap tinggal tenang.
Metode ini mempunyai kebaikan dan keburukan.
Kebaikannya ialah cocok untuk jalan yang ramai,
untuk jalan yang banyak rintangan dan jalanan yang
belum dikenal.
Adapun keburukan ialah tidak mempunyai tanda-
tanda untuk menyeberang, sangat melelahkan,
berbahaya bagi perut kalau ujung tongkat menusuk
tanah, kalau kita berjalan terlalu cepat susah untuk
menggerakkan tongkat sesuai dengan cepatnya
langkah, tidak ada variasi untuk bermacam-macam
keadaan, tongkat melindungi badan sedikit saja dan
kontak sangat sedikit.
b. Metode Belanda
Cara memegang tongkat dengan metode ini sama
dengan cara memegang pada metode Amerika.
Bedanya, pada metode Amerika, cara memegang
tongkat dengan siku bengkok dan kepalan tangan
(ujung tongkat) berada di depan perut.
Sedangkan pada metode Belanda, cara memegang
tongkat dengan meluruskan siku dan tergantung
lepas, sehingga kepalan tangan berada di samping
paha. Maka cara memegang yang demikian tidak
membahayakan bagi perut kalau ujung tongkat
menusuk tanah. Di samping itu cara demikian tidak
meletihkan, bentuk badan tidak bengkok dan cara ini
banyak melindungi badan.
2. Cara mengayunkan tongkat
Cara mengayunkan tongkat ada tempat macam, yaitu:
a. Metode A
Cara mengayunkan tongkat menurut metode ini adalah
seperti pada cara Amerika, setiap ayunan kaki begitu pula
tongkat diketikan. Cara memulainya ialah kaki sejajar dan
kalau tongkat berada di tangan kanan, maka ujung tongkat
terletak di depan kaki kanan.
Ini berarti bahwa kita telah mengetahui di depan kaki
kanan kita aman untuk dilangkahkan. Kaki melangkah dan
tongkat diayunkan ke kiri. Demikian seterusnya dalam
perjalanan.
Cara ini baik sekali dipergunakan bila jalanan terlalu
ramai, banyak rintangan, tidak dikenal, banyak lubang.
b. Metode B
Cara mengayunkan tongkat menurut metode B sama
seperti metode A, demikian pula sikap permulaannya.
Hanya cara mengayunkan yang berlainan. Kaki kanan
melangkah, tongkat mengayun ke kiri, tetapi masih belum
diketikkan. Kaki kiri melangkah, tongkat masih menunjuk
kekiri dan bukannya diseret, melainkan diangkat setinggi 5
sampai dengan 10 cm di atas tahan. Sekarang kaki kanan
melangkah dan begitu pula tongkat diketikkan ke kanan
dan segara kembali ke posisi kiri, tetapi masih belum
diketikkan ke tanah, menunggu sampai kaki kanan
dilangkahkan kembali. Dan demikian seterusnya.
Latihan ini dapat dibantu oleh guru, yaitu dengan ikut
memegang tongkatnya dan mengayunkan ke kiri dan ke
kanan sambil berjalan serta memberi irama. Dengan
demikian anak akan ikut merasakan.
Jadi ternyata di sini bahwa setiap kaki kanan
melangkah, tongkat diketikkan (setiap dua langkah).
Sebaliknya demikian pula, kalau tongkat kita pegang di
tangan kiri (gislynnya di sebelah kanan). Di samping itu
kedudukan tongkat selalu serong kiri (kalau tongkat di
tangan kanan). Cara-cara ini berfungsi untuk melindungi
diri.
Cara mengayunkan tongkat dengan metode ini
dipergunakan:
1. Bila metode A tidak mungkin untuk dipergunakan lagi,
misalnya untuk berjalan cepat.
2. Bila jalan sudah dikenal
3. Jalan dirasa aman, rata dan tidak ada
rintangan/penghalang
4. Bila kita ingin berjalan cepat
c. Metode C
Cara memegang tongkat tetap sama, sedang cara
mengayunkan yang berlainan dari metode A dan B.
Kedudukan tongkat dapat selalu serong ke kanan atau ke
kiri saja. Jadi tidak diayunkan dan pengetikkannya dapat
setiap langkah atau dua langkah.
Metode ini dapat dikombinasikan dengan metode B,
untuk merasakan lebih aman.
Metode ini dipergunakan bila:
1. Ketika akan mencari gidslyn (gairs petunjuk, pagar
dan sebagainya)
2. Se konyong-konyong gidslyn hilang, misalnya ada
tikungan
3. Jalan sangat dikenal, sunyi, tanpa rintangan dan
menggunakan (ada) gidslyn yang rendah
4. Ada rintangan
d. Metode D
Cara memang tongkat berlainan. Tangan menyilang di
depan badan sehingga kepalan tangan kanan (kalau tongkat
dipegang tangan kanan) berada di depan lengan kiri atau
sebaliknya. Cara memegang tongkat mengarah ke
belakang, kemudian kita menyeret tongkat serta kita
tempelkan kepada gidslyn. Dengan menyeret tongkat kea
rah belakang pada gidslyn tersebut maka anak menjadi
aman, oleh karena bila gidslyn berupa pagar besi atau pagar
kawat, dan bila mengarahkan tongkat ke depan, ada
kemungkinan tongkat akan masuk gidslyn. Hal ini akan
menyulitkan jalan kita dan kemungkinan tongkat akan
patah.
Metode ini kita gunakan bila kita sampai pada gidslyn
yang melengkung, misalnya pada tikungan, serta bila kita
bermaksud membelok. Gidslyn ini dapat berupa pagar,
tembok, teralis, kawat atau tumbuh-tumbuhan.
Pemakaian tongkat dengan metode-metode seperti
tersebut di atas akan lebih berhasil dalam suatu latihan
yang cermat pada usia muda. Tetapi juga perlu di ketahui
bahwa ada anak yang berhasil dilatih pada umur sebelas
tahun, sementara yang lain ada yang tidak menunjukkan
kesiapan sebelas umur lima belas tahun.
Perlu juga diketahui bahwa latihan untuk memperoleh
kecakapan dan gerakan luwas dengan tongkat diberikan
dalam suatu kursus untuk menanamkan kecakapan
bergerak, sendiri dalam berbagai macam situasi dan setting
(lingkungan). Dimulai dengan berjalan di daerah tempat
tinggal yang tenang, dilanjutkan ke daerah yang lalu
lintasnya lebih ramai.
Setelah ketrampilannya meningkat, ia dilatih dengan
tiba-tiba dilepas di suatu daerah yang sudah dikenalnya.
Dalam latihan ini ia dibawa ke suatu daerah yang pernah
dijalani dengan ciri medan, pola lalu lintas, toko-toko yang
sudah dikenalnya, kemudian dilepas tanpa memberitahukan
tempatnya dan dilarang meminta informasi. Baru kemudian
instruktur memberi petunjuk bagaimana mendapatkan dan
mengenal lokasi itu. Untuk siswa yang cerdas latihan itu
tidak sukar seperti yang dibayangkan. Nilai positif dari
pengalaman itu ialah menghilangkan rasa bimbang dan
takut sesat, kalau salah belok. Latihan yang diselesaikan
akan sukses bila siswa pandai mendapatkan atau
menemukan petunjuk dan ciri-ciri medan yang sudah
dikenalnya dan secara menentukan posisi seseorang di
suatu tempat. Kita telah mengetahui bahwa matahari
membantu siswa menetukan jalan yang membujur timur –
barat, jalan satu arah memudahkan penyelesaiannya.
Teknik tongkat harus diajarkan oleh seorang instruktur
terlatih dan berwenang, yang menggarap tidak hanya
masalah fisik saja, tetapi juga paham akan hal-hal yang
dapat menimbulkan problem emosi.
Pemakaian tongkat beserta pola latihan seperti tersebut
di atas, kemungkinan sekali akan diterapkan untuk
menyeberangi jalan ramai. Adapun caranya adalah sebagai
berikut:
- Untuk mencari tempat penyeberangan yang aman
1. Menggunakan gidslyn (garis
petunjuk/pembimbing). Apakah gidslyn di sebelah
kanan, sewaktu kita gunakan sekonyong-konyong
hilang dan kita mendengar lalu lintas di depan kita
arah kiri-kanan, maka kita harus mengadakan
kontak terus menerus dengan gidslyn (kanan) kira-
kira hanya 110 m. Kemudian punggung menyadar
pada gidslyn dan selanjutnya kita mencari pinggir
trotoir, siap untuk menyeberang.
Bila kita tidak menggunakan gidslyn, sekonyong-
konyong tongkat turun ke jalan dan kadang-kadang
kita juga ikut terlompat ke jalan, maka kita harus
segera secapat mungkin melangkah/mundur
kembali trotior supaya aman, kemudian kembali
mencari gidslyn dan mencari tempat penyeberangan
seperti di atas.
2. Mencari tempat menyeberang
Untuk mencari tempat penyeberangan kita dapat
menggunakan 3 macam:
a. Setelah kita terlompat ke jalan, kita mundur dan
tetap berada di pinggir trotoir, tongkat pindah ke
tengah kanan dan kita membelok ke kanan
mengikuti tepi trotoir sebagai gidslyn di sebelah
kiri kita.
Kita menggunakan metode C yang diseret pada
tepi trotoir sambil sebentar-bentar diayun ke
kanan kalau-kalau ada tiang listrik, berjalan kira-
kira 10 m, kemudian menentukan titik untuk
menyeberang.
b. Setelah kita terlompat ke jalan, kita kembali ke
trotoir dan mencari gidslyn, selanjutnya memakai
cara seperti tersebut di atas.
c. Setelah kita terlompat ke jalan, kita segera
kembali ke trotoir dan di situ pula kita
mengambil titik untuk menyeberang. Hal ini bisa
dilakukam kalau jalan dikenal, sunyi dan aman.
Cara seperti itu mempunyai kelemahan, yaitu:
a. Di tempat yang ramai sangat berbahaya
b. Jika tepi trotoir pada perempatan itu merupakan
suatu lingkungan, maka apabila kita berdiri
menghadap tegak lurus ke jalan, kita akan
menghadap ke tengah-tengah perempatan dan
sangat berbahaya utnuk menyeberang.
Gambar:
c. Bila trotoir di seberang lain tidak segaris dengan
trotoir yang sedang kita injak/jalani. Misalnya jalan
di seberang “sana” jauh lebih lebar daripada jalan
sebelah “sini”, Maka bila kita langsung
menyeberang, kita tidak akan menemukan trotoir
dan berjalan di jalan mobil.
Gambar:
d. Bila anak mempunyai penyimpangan ke kiri atau ke
kanan. Kita ambil contoh misalnya anak
mempunyai penyimpangan ke kiri, maka ia akan
menyeberang ke tengah-tengah perempatan jalan
yang sangat berbahaya. Untuk mengatasi hal-hal
tersebut di atas ini kita harus mengetahui
penyimpangan kearah mana yang dipunyai anak dan
bila kita berjalan di sebelah kanan, maka pada
waktu berjalan menyeberang, sedapat-dapatnya kita
lebih banyak berjalan serong ke kanan agar tidak
masuk perempatan di sebelah diri kita. Juga
sebaliknya kalau kita berjalan di trotoir di sebelah
kiri.
Gambar:
e. Menyeberang harus sedikit ke kanan kira-kira 10 m.
Hal ini dilakukan dengan alasan:
1. Kalau kita menyeberang pada / dekat
perempatan, maka kita akan mendengar suara-
suara kendarakan dari 4 jurusan, sedangkan
kalau kita menjauh kira-kira 10m dari
perempatan, maka kita akan mendengarkan
hanya suaru kendaraan dari arah kiri dan kanan
saja.
2. Untuk menghindari penyimpangan-
penyimpangan :
Selain cara-cara di atas ada hal-hal yang perlu
diperhatikan di waktu kita menyeberang, yaitu:
1. Disamping kita mendengar suara lalu lintas
di sebelah kiri atau kanan kita yang
sejurusan dengan langkah kita, sekonyong-
konyong terdengar suara lalu lintas lain di
depan kita yang bergerak dari kiri ke kanan
atau sebaliknya.
2. Kalau kita berjalan di depan toko-toko,
sekonyong-konyong kita mendapat cahaya
matahari, atau tubuh kita tersentuh oleh
angin dari jurusan kiri atau kanan
3. Echo yang dipantulkan oleh gidslyn
sekonyong-konyong hilang.
4. Ada perubahan tinggi rendah pada trotoir.
Mula-mula trotoir miring ke kiri/ ke kanan,
tiba-tiba menurun ke depan. Ada
kemungkinan yang kita ketemukan ialah
lorong antara dua tokokyang tidak pernah
dilewati mobil atau hanya dilewati sepada
dan becak.
Permasalahn lain yang berhubungan dengan masalah
menyeberang jalan ini ialah bagaimana kita menyeberangi
jalan. Hal ini tergantung pada tempat penyeberangan yang
kita lalui.
Ada 3 macam tempat penyeberangan, yaitu:
a. Menyeberang pada sembarang tempat
b. Menyeberang pada zebra-cross
c. Menyeberang pada zebra-cross yang memakai lampu
tanda menyeberang bagi orang yang berjalan
ad a. Menyeberang pada sembarang tempat
Misalnya bila kita ingin menyeberang karena rumah
atau toko ada di seberang lain dan pada tempat yang tidak
terlarang oleh peraturan lalu lintas.
Caranya ialah:
1. Setelah kita menemukan tepi trotoir, pertama kita
harus meletakkan telapakan kaki tepat di pinggir
trotior (dengan meraba dengan tongkat).
2. Kita sentuhkan unjung tongkat ke pinggir trotoir di
sebelah kanan dan kiri kaki kita, untuk
menentukan apakah kita benar-benar berdiri di
pinggir trotoir dan posisi kita tegak lurus
menghadap ke jalan.
3. Tudingkan ujung tongkat ke aspal di depan kita
sehingga tongkat dan tangan merupakan satu garis
yang lurus.
Ini merupakan tanda yang pertama bagi lalu lintas
bahwa kita akan menyeberang. Kemudian
suruhlah anak mendengarkan/memperhatikan
dengan baik-baik, apakah ada suara mobil atau
kendaraan lain yang datang.
4. Tanda kedua yang harus kita ambil ialah
mengangkat tongkat dan tangan yang masih
membentuk garis lurus, sehingga semuanya
horizontal.
Antar ujung tongkat dan bahu kita, adalah daerah
yang aman bagi kita. Setelah ± 5 detik kita
memberi tanda tersebut (setelan semua pengendara
melihat adanya tanda yang kita berikan), maka
berjalanlah kita lurus-lurus ke depan tanpa ragu-
ragu dan tidak boleh meundur kembali.
5. Setelah lima langkah kita berjalan menyeberang,
tongkat tongkat diturunkan kembali seperti tanda
pertama, kemudian diayunkan sedikit serong ke
kiri dan ketikkan dengan menggunakan metode C
untuk mencari trotoir di depan kita. Setelah trotoir
dikemukakan, maka usaha kita selanjutnya ialah
mencari gidslyn.
Ad b. Menyeberang pada zebra-cross
Apabila kita berada tidak lebih dari 30 m dari zebra-
cross dan ingin menyeberang, maka hendaknya melalui
zebra-cross.
Tanda tersebut biasanya kita temukan pada
perempatan jalan yang lebar dan jaraknya sekitat 5 sampai
10 m dari perempatan. Bagi seorang tunanetra dapat
mengetahui adanya zebra-cross dengan jalan memperlajari
stocklopen (lampu untuk menyeberang), atau mendengar
banyak orang yang akan menyeberang, atau menemukan
sendiri bahwa di situ ada tempat untuk menyeberang.
Adapun caranya ialah:
1. Mencari trotoir, caranya sama dengan cara diatas.
2. Memberikan tanda untuk menyeberang sambil
mendengarkan suara.
3. Sekiranya aman, barulah kita menyeberang dengan
menggunakan metode C.
Dalam hal ini kita tidak menggunakan tanda kedua
untuk menyeberang (horizontal), karena setelah kaki
kita menginjak zebra-cross, otomatis (seharusnya)
semua kendaraan berhenti.
4. Mencari gidslyn, setelah kita berhasil menemukan
trotoir.
Kalau dalam nenyeberang tersebut ada orang lain
menawarkan diri untuk menentu diri kita, dengan rasa
hormat dan terima kasih kita menerimanya. Tetapi
bagaimana cara yang baikuntuk menuntun orang
tunanetra menyeberang? Hal inilah yang menjadi
masalah. Pada umunya orang akan segara memegang
lengan si tunanetra, sehingga kedudukan si tunanetra
berada sedikit di depan orang yang menuntunnya dan
sambil mendorong/membawa si tunanetra
menyeberang.
Sebenarnya cara ini adalah cara yang salah, karena
kalau sekonyong-konyong ada pengendara mobil yang
tidak tahu diri dan menyelonong lari di depan kita
(mereka), maka seorang penolong akan menarik lengan
si tunanetra, tetapi kedudukan si tunanetra tetap
disambar mobil. Untuk menghadapi hal semacam ini,
ajarkanlah kepada siswa untuk mengucapkan “maaf
pak/bu dan sebagainya, bolehkah saya memegang
lengan Bapak/Ibu dan sebagainya? Maka jika
permohonan siswa ini terpenuhi, kedudukan dia seditik
di belakang si penolong dan apabila si penolong se-
konyong-konyong berhenti karena ada sesuatu
didepannya, maka si tunanetra otomatis dapat
merasakan gerakannya itu dan kemudian ikut berhenti.
Dalam hal ini tongkat dapat dikepit dibawah lengan
atau diajukan dengan menggunakan metode C secara
rendah dan jauh didepan kaki si penolong supaya tidak
menghalangi jalannya/langkahnya.
ad. C Menyeberang di zebra-cross yang memakai lampu
menyeberang. Biasanya ditempat yang ramaikan
dan banyak lalu lintas sehingga banyak orang
menyeberangi tidak memperoleh kesempatan untuk
menyeberang. Maka disediakan tempat
menyeberang (zebra-cross) yang memakai lampu
merah dan hijau sebagai tanda boleh menyeberang
atau tidak. Cara menyeberang juga sama dengan
yang tersebut diatas. Biasanya ditempat tersebut
terlalu banyak orang yang menunggu tanda boleh
berjalan untuk menyeberang, sehingga siswa susah
untuk menemukan pinggir trotoir. Maka usaha
selanjutnya apabila semua orang mulai bergerak
utnuk menyeberang, ia harus mengikuti dibelakang
mereka dan menggunakan metode A yang
digeserkan diatas trotoir, kekanan dan kekiri untuk
mencari pinggir trotoir dan langsung melangkahkan
kaki ke aspal.
Disini tidak usaha digunakan tanda pertama dan
kedua untuk menyeberang, tetapi langsung
menggunakan metode C. Jika pada waktu
menyeberang dihadapan kita terdapat mobil yang
diparkir, maka usaha kita yang pertama ialah
mendari belakang mobil dan berjalan ketempat agak
kebelakang sedikit. Hal ini kita lakukan karena yang
mula-mula kita hadapi ialah kendaraan-kendaraan
yang datangnya dari arah belakang mobil itu.
Dengan demikian semua pengendara yang
datangnya dari arah belakang mobil yang diparkir
itu akan segara melihat kita dan tahu bahwa kita
akan menyeberang. Kalau kita berada didepan
mobil yang diparkir, ada kemungkinan mobil itu
akan berjalan agak kelewatan ada kemungkinan
disambar kendaraan.
E. TEKNIK PENGGUNAAN ALAT-ALAT
MOBILITAS ELEKTRONIK
Alat bantu mobilitas elektronik penggunaanya telah
dirancang sedemikian rupa, sehingga penggunaannya sudah
tidak memerlukan proses yang rumit dan kompleks seperti
alat bantu mobilitas yang lain. Bahkan diciptakan alat bantu
tersebut adalah dalam rangka mengetasi segala kelemahan
alat bantu mobilitas yang lain dan mempermudah tunanetra
dalam melakukan mobilitas. Karenanya penggunaanya
dirangcang pula seperti alat-alat elektronik pada umumnya.
Sudah barang tentu untuk pertama kalinya, mereka harus
diperkenalkan cara-cara penggunaanya yang sesuai dengan
petunjuk-petunjuk yang ada pada alat bantu mobilitas
tersebut.
Sebenarnya alat Bantu tersebut sudah mulai dibuat
manusia sejak Perang Dunia II. Pada saat itu National
Reseach Council diminta untuk mengedakan riset membuat
suatu alat elektronis yang dapat menolong tunanetra dalam
perjalanan. Sejak saat itu kira-kira 44 buah alat elektronik
telah dibuat. Namun hanya sedikit yang dicobakan
dipasarkan.
Mula-mula memang ada maksud untuk membuat suatu
alat bantu mobilitas yang tepat memecahkan semua aspek
perjalanan. Beberapa waktu kemudian pemikirannya
berubah dan kegiatannya dipusatkan kepada pembuatan
alat-alat dengan fungsi tertentu.
Adapun alat-alat bantu mobilitas itu ialah:
1. Sensory Enchoncement Devices, yaitu alat bantu
mobilitas yang dibuat utnuk meningkatkan daya
pendangan.
2. Stepdown Detectors, yaitu alat bantu mobilitas yang
berfungsi untuk mendeteksi lungang-lubang dan
jenjang turun.
3. Object Detectors, yaitu alat bantu mobilitas yang
berfungsi untuk mendeteksi benda-benda dijalan yang
dilalui pemakai. Alat ini tidak dapat digunakan untuk
mendeteksi adanya lubang atau jenjang turun disekitar
jalan yang dilalui pemakai.
4. Linear Walking Devices, yaitu alat bantu mobilitas
yang berfungsi untuk membantu seorang tunanetra agar
dapat berjalan lurus.
5. Sound Beicons, yaitu alat bantu yang dapat
mengeluarkan bunyi yang pereodik dan dapat
menunjukkan tempat tertentu dalam lingkungan
6. Combination Mobility Devices, ialah alat bantu
mobilitas yang menggunakan tiga pancaran, yaitu untuk
mendeteksi penurunan dan jenjang turun, benda-benda
yang menghalangi perjalanan dan rintangan diatas
setinggi kepala.
Alat-alat yang memberikan harapan kepada tunanetra
beredar di pasaran ialah:
7 Uttrasonic Torch atau Kay Device
Beberapa orang menganggap alat ini memenuhi
kebutuhan mobilitas total, sedangkan yang lain marasa
bahwa penggunaanya terbatas pada penyensor
lingkungan dan dipakai bersama-sama dengan tongkat.
8. The Russell Travelpath Sounder
Alat ini dibuat untuk mendeteksi penghalang jalan dari
pinggang ke atas. Para pencipta menandaskan bahwa
alat itu digunakan bersama-sama dengan tongkat
panjang.
9. Laser Cane
Alat ini berbentuk tongkat panjang, mengandung tiga
sinar laser. Yang atas mendeteksi benda-benda di atas
dan sekitar kepala dengan mengeluarkan bunyi, bernada
tinggi.
Sinar horizontal, mendeteksi benda-benda penghalang
di tanah dan sinar bawah mendeteksi segala sesuatu
yang ada di bawah permukaan ataupun jenjang turun
dengan mengeluarkan bunyi nada rendah.
Dengan beberapa medote / teknik mobilitas di atas,
perlu ditegaskan bahwa tidak ada satupun yang sanggup
mengatasi kebutuhan setiap orang. Penggunaan salah
satu metode adalah pilihan pribadi. Metode manapun
yang dipilih, keaktifan pemakai tidak kalah pentingnya
dengan kemampuan mobilitas. Oleh karena itu setiap
guru (instruktur) memikul tanggung jawab untuk
mengembangkan kemampuan mobilitas sedini
mungkin.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Ali, Drs.dkk., Pedoman Pelaksanaan Orientasi dan
Mobilitas. Depdikbud,1983/1984.
Blair, T.J, Orientasi dan Mobilitas, Makalah Disampaikan
Dalam Penataran Guru-Guru SLB Bagian C tahun
1978/1979 di Bandung.
“Brosur Kursus Orientasi dan Mobilitas Untuk Para
Tunanetra”, PLB IKIP Bandung 1978.
Depdikbud, Pendidikan Anak-Anak Tunanetra.
Depdikbud, Petunjuk Praktis Penyelenggaraan Sekolah
Luar Biasa, Bagian A/Tunanetra.
Habib Damain, Drs. Orientasi dan Mobilitas Untuk Para
Tunanetra, PLB FIP Surakarta.
Lydon, T.William dan M.Loretta Mc.Graw, Pengembangan
Konsepsi Untuk Anak-Anak Buta, sebuah Tuntunan
Untuk Para Guru dan Para Ahli Lainnya yang Bekerja
Dalam Lingkungan Pendidikan, Terjemahan John
Daniels, Depertemen P dan K Jakarta,1978.
Mohmudi, BA,dkk, Orientasi dan Mobilitas Untuk Para
Tunanetra,Pedoman Bagi Para Guru,Petugas
Rehabilitasi, Instruktur dan Orang-orang yang
Berhubungan dengan Para Tunanetra, PLB IKIP
Bandung, 1978.
Rajiyo Siswaatmojo, Drs. Dkk, Pedoman Ringkas
Pendidikan Olah Raga, Kesehatan, Orientasi dan
Mobilitas Untuk Para Tunanetra, Proyek Pendidikan
Olah Raga pada penataran Dosen IKIP & SGPLB se
Indonesia Dalam Rangka Kerja sama HKI & BP3K
April-Juni 1978, Bandung,1978.
Soekini Pradopo, Ts,Dra,dkk, Teknik Brejalan dengan
Tongkat Putih Untuk Para Tunanetra,
Depdikbud,Dikmenum, 1974/1975.