Penjelasan Sejarah Dan Histografi

  • Upload
    dikum

  • View
    466

  • Download
    2

Embed Size (px)

Citation preview

Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content Development Tema B1

Tim Penyusun Didik Pradjoko, M.Hum (Koordinator)) Kasijanto, M.Hum (Anggota) Dr. Suharto (Anggota) Yuda B. Tangkilisan, M.Hum (Anggota) Sudarini MA (Anggota) Dra. MPB. Manus (Anggota) Raisye Soleh Haghia (Pendukung) Fathul Bari (Pendukung)

Program Hibah Kompetisi Berbasis Institusi (PHK-I) Universitas Indonesia Tahun 2008 DIPA Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Nasional

UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK 2008

1

Bab 1 BEBERAPA PENGERTIAN TENTANG SEJARAH

1.1. Pengertian Sejarah dan Ilmu Sejarah Kata sejarah yang dikenal dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab, syajaratun yang berarti pohon, syajarah an-nasab berarti pohon silsilah. Oleh karena itu tidak terlalu dapat dipersalahkan jika banyak buku sejarah di masa lampau, yang lebih banyak mengungkapkan riwayat seseorang atau satu keluarga daripada mengungkapkan perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat dan Negara. Dalam bahasa Indonesia terdapat juga kata-kata lain yang merupakan kata serapan dari bahasa lain yang dipergunakan untuk mengkaji masa lampau seperti: silsilah yang menunjuk pada asalusul keluarga atau nenek moyang; hikayat yang banyak dipergunakan untuk mengisahkan seseorang; babad dan carita atau cerita yang dipergunakan mengisahkan kejadian-kejadian tertentu; dan masih aada kata-kata lainnya yang menjadi kebudayaan daerah tertentu seperti tambo (Minangkabau) dan tutur teteek (Roti). Apabila dilihat dari pemaknaan kata sejarah yang kita pahami baik sebagai masa lampau maupun sebagai ilmu, kata sejarah itu lebih dekat dengan pengertian yang terkandung pada kata historia - berasal dari ilmu kedokteran Yunani- yang berarti ilmu (istor artinya orang pandai); dalam bahasa Inggris menjadi history yang mengandung arti masa lampau manusia, dan dalam bahasa Jerman disebut gesischte yang artinya sudah terjadi. Kata-kata lainnya yang juga dipergunakan untuk menunjukkan kajian masa lampau antara lain: chronicle (kronika), geneology (keturunan), annals (tarikh), dan epic (kepahlawanan). Jika sejarah itu adalah masa lampau, maka apa yang terjadi pada pagi hari telah menjadi sejarah pada siang harinya. Secara logika pernyataan seperti itu dapat dibenarkan. Namun cara berpikir seperti itu membuat masa lampau itu menjadi bentangan yang tidak terbatasnya mulai dari detik-detik yang baru saja kita lewati sampai jauh ke belakang, entah kapan dan di mana sejarah dapat mengungkapkannya. Apa saja yang harus dimasukkan ke dalam masa lampau yang demikian panjang itu?

2

Perampokan? Gempa Bumi? Kerusuhan? Genocide? Krisis Moneter? Perang? Revolusi? Perdamaian? Kesejahteraan? dan apa lagi? Dari pertanyaan-pertanyaan semacam itu terlihat bahwa konsep masa lampau dalam arti sejarah, akan mempunyai arti jika pembatasan telah dilakukan. Pembatasan yang paling awal adalah menyangkut dimensi waktu kapan sampai apabila. Salah satu konsensus yang dicapai adalah bahwa sejarah satu bangsa atau etnis tertentu dimulai manakala bukti-bukti tertulis mengenai bangsa atau etnis tersebut telah ditemukan. Atas dasar kesepakatan itu maka zaman (periode) sejarah pun mulai bergulir. Adapun zaman yang belum ditemukan bukti-bukti tertulis disebut zaman prasejarah, meskipun dari zaman ini pun ditemukan jejak-jejak peradaban manusia, seperti seni pahat atau seni patung. Penulisan tentang masa lampau manusia dapat dikatakan berawal di Yunani sekitar 500 tahun sebelum Masehi. Pada waktu itu penulisan sejarah atau historiografi masih merupakan perpaduan antara ilmu kedokteran dan ilmu hukum. Dari ilmu kedokteran misalnya, historiografi Yunani mendapat pengaruh untuk mencari sebabmusabab dari suatu kondisi atau kasus. Dalam menjelaskan sebab-musabab itu dilakukan melalui suatu argumentasi yang lazim dilakukan oleh ilmu hukum (retorika), seperti dilakukan seorang jaksa penuntut untuk membuktikan kesalahan terdakwa dan pengacara yang berusaha membuktikan bahwa terdakwa tidak bersalah. Ungkapan retorika seperti itu tidak semata-mata untuk membuktikan kebenaran, tetapi juga menciptakan makna atas kebenaran itu. Sejarawan Yunani pertama yang melakukan pembuktian semacam itu adalah Herodotus (ca. 484-425 SM) dalam karyanya tentang Perang Yunani-Persia tahun 478 SM yang dilukiskan sebagai perang peradaban antara peradaban Hellenic dan Perisa (Timur). Dalam menyusun karyanya itu ia berusaha bertindak obyektif (dalam arti netral sehingga dianggap kurang patriotik) dengan menggunakan sumber data dari kedua belah pihak. Oleh karena itu dia dianggap sebagai bapak sejarah. Meskipun demikian karyanya masih mempunyai dua kelemahan, yaitu kurang akurat dalam menyajikan data, dan masih terbelenggu oleh kerangka pemikiran budaya itu, yaitu sebab-musabab supernatural. Artinya perang itu terjadi karena kehendak para dewa.

3

Tulisan pertama dari sejarawan Yunani yang dinilai mampu melepaskan diri dari sebab-musabab supernatural adalah Thucydides (ca. 456-396 SM). Ia menulis tentang perang antara Athena dan Sparta yang disebut sebagai Perang Peloponnesos (431-404). Dalam karyanya itu, Thucydides sebagai seorang jenderal dan politisi, mampu menghindari penjelasan supernatural. Secara akurat ia mempu merekonstruksi perang tersebut berdasarkan data-data yang diperolehnya dari kedua belah pihak, sekaligus mampu menunjukkan bahwa sebab-musabab perang bukan karena kehendak para dewa, melainkan karena ulah manusia. Perang itu terjadi karena didorong oleh persaingan antara kedua belah pihak untuk menjadi nomor satu di wilayah Yunani. Dari uraian di atas, khususnya dua contoh karya Herodotus dan Thucydides, dapat didefinisikan di sini bahwa sejarah adalah rekonstruksi masa lampau manusia atau masa lalu manusia. Meskipun Herodotus dan Thucydides sudah mengawali penulisan sejarah berdasarkan sumber data, akan tetapi cara pembuktian para sejarawan Yunani waktu itu pada dasarnya tidak menggunakan bukti (evidensi) seperti dokumen yang menjadi baku dalam metode sejarah masa kini. Dokumen dalam arti naskah-naskah lebih banyak digeluti oleh para ahli naskah atau filolog, yang membanding-bandingkan dua dokumen atau lebih untuk mencari mana yang otentik (asli) dan mana yang tidak otentik (cara kerja ini kemudian dikenal dengan sebutan kritik ekstern). Tradisi sejarawan seperti yang dilakukan para sejarawan Yunani itu berlangsung sampai sekitar abad ke-18. Pada tahun 1776 terbit buku The History of the Decline and Fall of the Roman Empire karya Edward Gibbon (1737-1794). Dalam karyanya itu Gibbon tidak lagi bersandar pada retorika yang meyakinkan untuk membuktikan kebenaran sejarah, melainkan pada dokumen-dokumen (bukti-bukti terturlis). Untuk mencari kebenaran sejarah, dia tidak saja memanfaatkan kritik ekstern seperti yang dilakukan para filolog tetapi juga kritik intern yang dikembangkan oleh para sejarawan. Gibbon dapat dikatakan merupakan sejarawan pertama yang menggunakan cara kerja ilmiah. Meskipun yang menerapkan cara kerja ilmiah dalam pembuktian sejarah adalah Gibbon, akan tetapi yang kemudian dikenal oleh masyarakat sejarawan sebagai bapak sejarah ilmiah (science historian) atau sejarah kritis adalah sejawan Jerman, Leopold von

4

Ranke (1795-1886). Dia dinilai sebagai peletak dasar dari metode sejarah yang bersifat ilmiah. Ia memperkenalkan cara-cara menguji isi dokumen dan menetapkan fakta sejarah yang benar. Metode sejarahnya itu diuraikannya dalam bukunya History of Romance and Germanic Peoples, 1495-1535 yang terbit pada tahun 1824. Selain itu Ranke menekankan pentingnya obyektivitas dalam penelitian sejarah. Ia menganjurkan supaya menulis sejarah apa adanya dalam arti apa yang sebenarnya terjadi, wie es eigentlich gewesen, sebab setiap periode sejarah akan dipengaruhi oleh semangat zamannya (zeitgeist). Dalam bahasa Inggris kata eigentlich diartikan dalam dua kata, really (atau essentially) dan actuality. Para sejarawan yang menerima actuality terjemahan eigentlich berpendapat bahwa yang dimaksud oleh Ranke adalah menentukan fakta sejarah seperti apa adanya tanpa diembel-embeli ide-ide tertentu sebagai pendorongnya. Sementara yang menerima kata essentially atau really berpendapat bahwa Ranke mengakui bahwa ide-ide tertentu menjadi faktor pendorong sejarah. Artinya ia mengakui pula bahwa ilmu sejarah mempunyai keterkaitan dengan falsafah sejarah. Langkah-langkah yang ditempuh Ranke bukan semata-mata pembuktian terhadap kebenaran fakta sejarah, melainkan juga untuk menjadikan sejarah sebagai disiplin ilmu atau cabang ilmu yang otonom sederajat dengan cabang-cabang ilmu lainnya. Langkahnya itu kemudian diikuti oleh para sejarawan lainnya, sehingga akhirnya sejarah diakui sebagai salah satu cabang ilmu yang mandiri. Sesuai dengan ketentuan sebagai cabang ilmu (ilmiah) harus mempunyai metode serta obyek penelitiannya, maka ilmu sejarah juga mempunyai metode penelitiannya yaitu metode sejarah serta obyek penelitiannya yaitu masa lampau manusia dan struktur sosialnya. Jika sejarah adalah rekonstruksi manusia, maka ilmu sejarah adalah ilmu yang mempelajari sejarah dalam arti bagaimana merekonstruksi semua data-data atau unsur-unsur masa lampau terkait dalam sesuatu deskripsi. 1.2. Pembabakan Sejarah (Indonesia) Pada hakekatnya masalah pembabakan atau periodesasi sejarah bukanlah sekedar menentukan batas awal dan batas akhir, atau pembagian babak satu, dua dan tiga; melainkan juga harus menjelaskan alasan-alasan rasional, yang berkaitan erat konsep pemenggalan waktu tersebut, termasuk konsep ruang (spatial) dan waktu (temporal).

5

Artinya harus jelas tempat atau ruang di mana peristiwa itu terjadi dan kapan terjadinya. Kalau konsep serta argumentasinya tidak jelas, maka akan terjadi kerancuan, bahkan kekacauan. Pada awalnya pembabakan Sejarah Indonesia disusun mengikuti pembabakan yang telah dibuat oleh para sejarawan Kolonial Belanda, khususnya buku Geschiedenis van Nederlandsch-Indi (terbit pertama kali tahun 1939) karya Stapel dkk. Ternyata pembabakan tiruan itu selain banyak mengundang kritikan karena dinilai tidak cocok dengan semangat Indonesia Sentris yang berkembang waktu itu. Masalah pembabakan itu kemudian dibawa ke dalam Kongres Nasional Sejarah pada tahun 1957 yang kemudian dibicarakana lagi pada Seminar Nasional Sejarah ke-2 tahun 1970. Salah satu keputusan dari Seminar Nasional Sejarah yang kedua itu adalah penulisan Sejarah Nasional Indonesia yang diharapkan nantinya menjadi semacam buku baboon sejarah Indonesia. Berdasarkan keputusan akhirnya pada pertengahan dekade 1970-an terbit buku Sejarah Nasional Indonesia terdiri dari enam jilid, yang diterbitkan oleh Balai PustakaDepartemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Pada cetakan pertama, duduk sebagai editor umum adalah Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Dalam pemutakhiran yang dilakukan pada tahun 1984, susunan editornya berubah menjadi Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Ada pun susunan pembabakannya berdasarkan cetakan kedelapan tahun 1993 adalah sebagai berikut: Jilid I Jaman Prasejarah di Indonesia Jilid II Jaman Kuno (awal M 1500 M) Jilid III Jaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia (1500-1800) Jilid IV Abad Kesembilanbelas ( 1800-1900) Jilid V Jaman Kebangkitan Nasional dan Masa Akhir Hindia Belanda (1900-1942) Jilid VI Jaman Jepang dan Jaman Republik Indonesia (1942-1984

6

Ternyata terbitnya buku Sejarah Nasional Indonesia tidak menyelesaikan permasalahan yang ada. Selain banyak yang pro dan kotra terhadap buku tersebut, juga dalam praktiknya masaih banyak buku ajar sejarah, terutama untuk sekolah-sekolah menengah yang terpengaruh oleh tulisan Stapel dkk, atau tidak jelas dalam pembabakaannya. Sebagai contoh kesalahan dalam membuat pembabakan itu nampak pada buku ajar Sejarah Indonesia untuk SMU yang diterbitkan oleh penerbit Bumi Aksara. Penulis buku itu membagi periodisasi Sejarah Indonesia sebagai berikut: I. Zaman Prasejarah, yaitu zaman ketika orang belum mengenal tulisan yang diakhir pada abad ke-4 Masehi II. Zaman Proto Sejarah yaitu zaman ambang sejarah. Pasa zaman ini sudah ada tulisan-tulisan, tetapi sumber tulisan itu dari luar negeri dan beritanya samarsamar. III. Zaman Sejarah, yaitu zaman di mana orang sudah mengenal tulisan, yang memberi keterangan tetang peristiwa-peristiwa masa lampau. a. Indonesia abad ke-1 s/d abad ke-14 disebut Zaman Kuno yang membicarakan masa berkembangnya kebudayaan Indonesia yang

dipengaruhi agama Hindu dan Buda b. Indonesia abad ke-15 s/d abad ke -18 disebut Zaman Baru yang membicarakan masa berkembangnya budaya Islam sampai jatuhnya Mataram dan Banten ke tangan imperialis Belanda c. Indonesia sesudah abad18 disebut Zaman Modern Dari contoh ini terlihat penulis buku tidak konsisten dengan konsep yang dibuatnya dalam menentukan periodisasi. Dia menyebutkan bahwa sejarah Indonesia dimulai sejak abad ke-4 Masehi, yaitu dengan ditemukannya tulisan (hal yang sudah menjadi kesepakatan umum). Jadi dasar pembabakannya itu jelas adalah adanya bukti tertulis atau budaya aksara. Pada babak ke-1 Zaman Prasejarah konsep itu tercermin cukup jelas. Namun pada babak ke-2 Zaman Proto Sejarah konsepnya itu menjadi kabur. Babak kedua ini tidak lagi didasarkan pada keberadaan bukti tertulis itu sendiri melainkan atas dasar asal bukti tertulis tersebut, yaitu dalam negeri (kepulauan Indonesia)

7

dan luar negeri (luar kepulauan Indonesia). Ketidak jelasan itu juga terlihat pada babak ke-3 Zaman Sejarah. Meskipun zaman ini disebutkan dimulai sejak abad ke-4 M, namun dalam sub a yang diberi nama Zaman Kuno, dia menyebutkan bahwa zaman kuno yang nota bene tercakup dalam zaman sejarah, diawali pada abad pertama Masehi (kemungkinan besar kesalahan ini karena dia mengutip begitu saja pembabakan yang ada dalam buku Sejarah Nasional Indonesia). Terlepas dari masih adanya polemic sekitar buku Sejarah Nasional Indonesia yang enam jilid, pembabakan dalam tulisan sejarah pada hakekatnya dapat disusun berdasarkan kronologis atau tematis. Susunan secara kronologis artinya setiap babak disusun berdasarkan penggalan-penggalan waktu kejadian sebenarnya. Pembabakan secara kronologis ini terutama sangat membantu untuk penulisan sejarah yang mencakup kurun waktu yang panjang seperti sejarah umum, sejarah nasional atau sejarah dunia. Misalnya Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 karya M.C. Ricklefs yang diterbitkan oleh Serambi tahun 2005. Struktur tulisannya adalah sebagai berikut: I. II. III. IV. V. VI. Lahirnya Zaman Modern Perjuangan Merebut Hegemoni, 1630-1800 Pembentukan Negara Jajahan, 1800-1910 Munculnya Konsepsi Indonesia 1900-42 Runtuhnya Negara Jajahan 1942-50 Indonesia Merdeka

Sedangkan pembabakan secara tematis akan sangat membantu jika tulisan sejarah itu semacam studi kasus atau kajian khusus yang durasinya relative singkat namun permasalahannya cukup rumit dan mendalam. Contoh tulisan itu antara lain Pemberontakan Petani Banten 1888 karya Sartono Kartodirdjo yang diterbitkan oleh penerbit Pustaka Jaya tahun 1984. Ada pun struktur penulisannya adalah sebagai berikut: Bab I Pengantar Bab II Latar Belakang Sosio-Ekonomis Bab III Perkembangan Politik

8

Bab IV Keresahan Sosial Bab V Kebangunan Agama Bab VI Gerakan Pemberontakan Bab VII Pemberontakan Dimulai Bab VIII Penumpasan Pemberontakan dan Kelanjutannya Bab IX Kelanjutan Pemberontakan Bab X Akhir Kata

1.3. Metodologi Sejarah Pada dasarnya untuk mengetahui masa lampau manusia adalah dengan cara mempelajari peninggalan-peninggalannya, baik berupa dokumen, artefak, maupun keterangan lisan. Untuk mendapatkan hasil yang baik, diperlukan suatu metode yang baik pula serta (kalau perlu) teori-teori tertentu yang tepat guna. Metode penelitian dalam ilmu sejarah disebut metode sejarah, yang cara kerja mempunyai cirri yang berbeda dengan metode penelitian bidang ilmu lain. Metode Sejarah merupakan suatu cara untuk mengetahui otensitas tidaknya satu dokumen, benar atau tidaknya isi dokumen, serta relevan tidaknya dengan permasalahan yang hendak dituliskan sebagai karya sejarah. Dalam proses kerjanya memperlihatkan tahap-tahap mulai dari yang teoritis sampai pada pelaksanaan teknis yang diterapkan dalam penelitian dan penulisan sejarah. 1.3.1. Metode Sejarah Dalam proses kerjanya, metode sejarah memiliki pentahapan yang sebaiknya diikuti dengan baik. Ada pun tahap-tahap penelitiannya itu adalah sebagai berikut: heuristik, yaitu suatu kegiatan yang berkaitan dengan upaya mencari dan menemukan data-data mentah (raw material) sesuai dengan tujuan dari penelitian itu yang tertera dalam proposal atau outline penelitian yang telah disusun sebelumnya. Bentuk sumber sejarah adalah: tekstual (dokumen,

9

Koran, majalah dan bentuk teks lainnya) dan nontekstual (foto, gambar, peta, karikatur sezaman), lisan, kebendaan, dan audiovisual. Verifikasi, yaitu mencakup kritik ekstern dan intern sumber sejarah. Dalam tahap ini peneliti melakukan penyeleksian data yang ditemukannya melalui suatu proses pengujian terhadap data-data tersebut, baik dari segi materi maupun isinya. Jika yang diuji itu arsip atau dokumen, maka yang dimaksud materi di sini adalah jenis kertasnya dan tintanya. Apakah benar kertas atau tintanya berasal dari zamannya. Jika sumber sejarah itu merupakan sumber lisan, maka yang diuji adalah orangnya, apakah orang tersebut betul pelaku atau orang yang menyaksikan langsung, serta cukup sehatkah untuk diwawancara. Setelah data-data tersebut teruji, kemudian dinilai apakah datadata itu relevan dengan permasalahan yang hendak ditulis, baik dari segi tema, maupun periodenya. Data-data yang telah teruji dan terpilih inilah yang kemudian disebut sebagai fakta sejarah. Interpretasi atau eksplanasi yaitu proses menafsirkan atau pemberian makna serta merangkaikan unsur-unsur yang telah diperoleh dari tahap-tahap sebelumnya, dengan tujuan untuk memperoleh kumpulan fakta yang memiliki arti (fact of meaning). Berkaitan dengan masalah interpretasi dan eksplanasi ini ada berbagai metode atau pendekatan yang dapat dipergunakan, seperti metode naratif (history of event), struktural, dan strukturistik. Keberhasilan penggunaan ketiga metode ini pada dasarnya sangat tergantung dari sifat obyek penelitiannya. Historiografi yaitu proses penulisan sejarah yang bertolak dari fakta-fakta yang telah teruji dan terangkai tadi. Dalam proses penulisan ini, penguasaan sang sejarawan atas teori dan metodologi sedikit banyak ikut mempengaruhi mutu karya yang dihasilkannya. 1.3.2. Teori Sejarah Pokok masalah dalam teori sejarah adalah kebenaran dari pengetahuan yang dihasilkan oleh para ahli sejarah yang dilandasi oleh berbagai bentuk eksplanasi. Secara

10

umum teori sejarah dapat dibagi dua bagian, yaitu teori sejarah spekulatif dan kritis. Sejarah spekulatif umumnya dianut oleh para sejarawan yang menyatukan sejarah dengan filsafat. Dalam hal ini sejarah merupakan ungkapan dari suatu pandangan filsafah mengenai perkembangan ummat manusia. Paling tidak ada tiga macam pertanyaan yang umum diajukan oleh para penulis sejarah spekulatif, yaitu : 1. Pola macam apa yang perlu diamati dalam proses sejarah 2. Mana motor yang menggerakkan sejarah 3. Apa dan bagaimana sasaran terakhir yang dituju oleh proses sejarah. Para sejarawan Marxis dapat dikatakan merupakan salah satu contoh model sejarah spekulatif. Mereka melihat faktor pertentangan kelas menjadi motor dari proses sejarah. Penganut lainnya adalah Hegel, Spengler, dan Toynbee (Ankersmit, 1987: 17). Bertolak dari tiga pertanyaan itu mereka membahas proses sejarah tidak sekedar apa yang telah terjadi di masa lalu, tetapi seringkali juga mengungkapkan semacam prediksi, apa yang harus terjadi. Seperti tercermin dalam ketiga macam pertanyaan tadi, nampak bahwa sistem sejarah spekulatif sering membicarakan masa depan. Adapun sejarah analitis justru memisahkan antara sejarah dan falsafah. Aliran ini terutama berkembang pada sejarawan empirik. Bagi kalangan ini, ilmu sejarah adalah kaidah-kaidah ilmiah untuk membuktikan adanya masa lampau. Mereka menolak anggapan bahwa tugas sejarawan adalah mengungkapkan masa lampau sesuai dengan falsafah tertentu. Bagaimana membuktikan adanya masa lampau melalui berbagai peninggalan masa yang bersangkutan itulah yang menjadi inti persoalan teori sejarah. Oleh karena banyak cara yang diajukan, maka tidak mengherankan jika sampai sekarang berkembang pula teori-teori sejarah. Salah seorang filsuf sejarah membedakan empat teori pokok yang sampai sekarang muncul di kalangan sejarawan, yaitu narrativisme, hermeneutika, kasualitas dan covering law model (Ankersmith, 1987). Meskipun pada dasarnya keempat teori tersebut bersandar pula pada suatu pandangan tertentu, namun keempatnya dapat diterima sebagai patokan kerja. Para sejarawan menyadari pula bahwa dari keempat teori itu telah berkembang berbagai kombinasi, terutama antara teori yang disebut

11

pertama sampai ketiga. Kombinasi-kombinasi itu merupakan terobosan-terobosan yang diupayakan untuk menembus berbagai kendala yang masih menyelimuti masa lampau manusia yang diakibatkan oleh lemahnya atau terbatasnya data-data dari masa lampau. 1.3.3. Subyektivitas dan Obyektivitas Sejarah Salah satu perbedaan pokok yang sering mencuat di kalangan sejarawan, terlepas apakah ia menggunakan teori baku seperti kasualitas, narrative, atau kombinasikombinasinya, adalah masalah obyektivitas dan subyektivitas. Ada yang berpendapat bahwa pengetahuan kita tentang masa lampau adalah subyektif dan ada pula yang menilainya obyektif. Perbedaan ini muncul terutama karena adanya pandangan yang berbada mengenai sifat-sifat peninggalan masa lampau. Kelompok yang berpandangan subyektif adalah yang menganggap bahwa peninggalan itu hanya sekedar lambang atau wakil dari masa lampau, yang tidak mempunyai nilai obyektif sendiri. Artinya peninggalan tersebut tidak dapat mengatakan kepada kita yang hidup di masa kini mengenai apa yang terjadi pada masa lampau. Dengan kata lain fakta-fakta itu hanya terdapat dalam alam pikiran para sejarawan yang menelitinya. Para sejarawanlah yang membuat peninggal-peninggalan masa lampau itu berbicara. Sementara itu kelompok sejarawan yang berpandangan obyektif menganggap bahwa peninggalan-peninggalan itu sudah merupakan kenyataan dari masa lampau. Artinya peninggalan-peninggalan itu sudah berbicara tentang masa lampau. Oleh karena itu fakta-fakta yang ditampilkan merupakan evidensi itu sendiri, bukan hasil rekayasa para sejarawan dan selalu mengacu ke masa silam. Dalam praktek, pengertian subyektif dan obyektif dapat disamakan dengan terpengaruh atau tidaknya sejarawan oleh nilai-nilai tertentu dari obyek yang ditelitinya. Bila seorang sejarawan membiarkan keyakinan politik atau etisnya turut berperan sehingga terlihat dalam karya sejarahnya, maka pelukisan sejarahnya disebut subyektif. Sebaliknya bila seorang sejarawan mampu menjaga jarak dari obyek yang ditelitinya sehingga nilai-nilai politik dan etisnya tidak larut dalam eksplanasi karyanya, maka pelukisan sejarahnya itu disebut subyektif.

12

Golongan obyektivitas menganut pandangan realis mengenai sejarah dan mengggap peninggalan masa lampau sebagai sumber sejarah. Sedangkan golongan subyektif menganut pandangan idealis mengenai sejarah dan menganggap peninggalan masa lampau sebagai evidensi sejarah (barang bukti). Dengan adanya dua sudut pandang ini, ditambah dengan adanya perkembangan teori dan metodologi sejarah, maka penulisan sejarahpun semakin berkembang dan bervariasi pula. Jika pada abad ke-19 dan sebelumnya jenis sejarah politik seakan-akan satu-satunya karya sejarah yang absah, maka sejak awal abad ke-20 berbagai tema sejarah sebagai alternatif dalam mengungkapkan masa lampau manusia seperti sejarah sosial, sejarah petani, sejarah ekonomi, sejarah mentalitas dll.

1.4. Historiografi 1.4.1. Zaman Yunani-Romawi. Dalam masalah sejarah penulisan sejarah (historiografi), para pakar sejarah umumnya melihat kepada historiografi Eropa karena dari wilayah inilah bermula munculnya tradisi penulisan sejarah, khususnya sejarah sebagai kajian ilmiah. Di Yunani tradisi penulisan itu sudah dimulai yang disusun dalam bentuk puisi, misalnya karya Homer, yaitu Illiad-Odessy yang menceritakan kehancuran kerajaan Troya tahun 1200 SM. Meskipun karya ini bertolak dari suatu kenyataan masa lampau, namun budaya zaman yang hidup waktu itu telah membuat karya lebih menyerupai mitologi daripada karya sejarah. Banyak aspek supernatural dipergunakan sebagai dasar penjelasannya mengenai sebab-musabab terjadinya suatu peristiwa. Seperti telah disinggung di atas, penulisan sejarah yang lebih rasional baru muncul sekitar abad ke-5 SM, yaitu dengan terbitnya karya Herodotus yang disusul oleh karya Thucydides. Tradisi Yunani itu kemudian dijadikan model oleh para sejarawan Romawi, antara lain oleh Polybius (orang Yunani yang dibesarkan di Roma). Ia banyak menulis tentang masa akhir Yunani sampai awal berdirinya Romawi. Penulis Romawi sendiri antara lain: Julius Caesar (100-44 SM), Gaius Sallustius Crispus (ca. 86-34 SM), Titus Livius (59 SM-17 M), dan Pablius Cornelius Tacitus (ca. 55-120 M).

13

Julius Caesar adalah seorang jenderal yang kemudian menjadi kaisar, menulis Commentaries on Gallic War, yang merupakan memoir tentang suku Gallia, dan civil War yang merupakan penjelasan mengenai sebab-musabab terjadinya perang Gallia, sekaaligus tentang adat-istiadat suku tersebut. Sallustius terkenal dengan monografi dan biografinya. Bentuk karya yang disebut terakhir sekaligus menjadi salah satu 14irri bagi penulisan sejarah era Romawi. Ia menulis history of Rome, Conspiracy of Catiline, Jugurtbine War. Analisanya dinilai cukup netral, namun saying dia ceroboh dalam masalah kronologi dan geografi sehingga mengurangi nilai karyanya itu. Livius merupakan salah satu contoh penulis yang hampir sepenuhnya menggunakan model Yunani. Dalam pembuktiannya ia lebih banyak mengemukakan retorika sehingga mengorbankan kebenaran sejarah. Karyanya tentang berdirinya kota Roma merupakan campuran antara data factual dan fantasi. Tacitus menulis Annals, Histories, dan Germania. Karyanya itu merupakan paduan antara karya Livius yang cenderung pada retorika dan Polybius yang cenderung pada sejarah. Ia tercatat sebagai orang pertama yang melukiskan sebab moral runtuhnya kekaisaran Romawi.

1.4.2. Zaman Abad Pertengahan. Tradisi Yunani yang dilanjutkan oleh Romawi itu kemudian terhenti oleh kemenangan Kristen di Eropa. Kebudayaan Yunani-Romawi yang bertumpu kepada kekuatan akal dianggap sebagai hasil setan karenanya harus ditolak dan digantikan dengan kebudayaan Kristen yang bertumpu pada agama dan supernatural. Menurut pandangan yang disebut terakhir, sejarah tidak bisa dipisahkan dari teologi atau agama. Sebagai contoh dalam periodisasi atau pembabakan sejarah disesuaikan dengan ajaran yang ada pada kitab Injil (Perjanjian Baru). Sebagai contoh adalah skema periodesasi yang disusun Augustine: --O------- 1 ----0------ 2 -------0------ 3------0------- 4 -----0---- 5 -------0---- 6 ------0-------Adam----------Nuh--------Ibrahim-------- Daud ---------Babylonia ----Jesus----- kedatangan

14

Jesus ke-2 The City of God adalah karya Augustine (ca. 354-430 M) yang merupakan filsafat sejarah Kristen yang cukup berpengaruh, khususnya pada abad pertengahan yang sering dikenal dengan sebutan Abad Kegelapan (The Dark Ages) yang melahirkan struktur masyarakat feudal di Eropa. Menurut pandangan Kristen orang harus memilih antara Tuhan dan setan. Orang yang terlibat dalam sejarah suci akan dimenangkan oleh Tuhan. Pada masa ini pusat penulisan sejarah terdapat di gereja dan Negara dengan pendeta dan raja sebagai pelaku utama. Tinjauan kritis dan netral yang didukung oleh data-data faktual tidak terlihat pada zaman Kristen di Abad Pertengahan ini. Karya-karya yang lahir pada abad-abad ini antara lain: Chronographia karya Sextus Julius Africanus (ca. 180-250 M) yang mengungkapkan bahwa dunia diciptakan Tuhan pada 5499 SM; Seven Books Against the Pagan karya Paulus Orosius (ca. 380-420 M) murid Augustine, yang menguangkapkan pembelaannya atas peradaban Kristen yang dituduh sebagai penyebab runtuhnya Romawi (Barat) pada abad ke-5 M. Dalam karyanya itu itu Orosius mengatakan bahwa keruntuhan paganisme sudah menjadi kehendak Tuhan, karena orang-orang kafir itu akan runtuh.

1.4.3. Zaman Renaissance, Reformasi dan Kontra Reformasi. Sejalan dengan semakin pulihnya keamanan dan perdagangan di Eropa, sekaligus sebagai pertanda berakhirnya Abad Pertengahan pada abad ke-15, untuk memasuki era Renaissance. Pada era ini semangat paga dan kebudayaan klasik Yunani-Romawi menjadi model. Corak penulisan sejarah pun kembali mengalami perubahan. Pembuktian kebenaran sejarah tidak lagi bersandar pada wahyu melainkan pada akal, teologi yang dogmatis diganti dengan ilmu. Hal ini antara lain tercermin dari karya Lorenzo Valla (1407-1457) yang menulis The History of Ferdinand I of Aragon, The History of Ferdinand I of Aragon, yang berupaya membuktikan bahwa berita kaisar Konstantinus (memerintah 305-337) telah memberikan hak politik kepada paus adalah tidak palsu. Meskipun kebenaran yang dikemukakannya juga dapat disangkal oleh yang lain, namun keberaniannya dalam melakukan kritik merupakan satu langkah yang maju waktu itu.

15

Dekonstruksi terhadap historiografi Abad Pertengahan berlanjut pada masa Reformasi. Hal ini antara lain tercermin dari karya lacich Illyricus (1520-1575), Magdeburg Centuries yang merupakan sejarah polemik. Dalam bukunya itu ia banyak menyerang institusi kepausan dari segi hukum dan konstitusi. Buku ini benyak dikecam oleh gerakan kontra Reformasi yang berupaya menegakkan kembali kewibawaan gereja Katholik yang dinilai telah dirusak oleh gerakan Reformasi. Cardinal Caesar Baronius (1538-1607) misalnya menulis buku Ecclesistical Annals yang merupakan jawaban langsung terhadap tuduhan dari buku Magdeburg Centuries. Tulisannya itu jelas merupakan karya yang memihak dan apologetis, yang banyak mengalihkan isu yang penting ke isu sekunder yang tidak relevan. Meskipun demikian nilai buku itu cukup tinggi, terutama dalam penggunaan sumber datanya.

1.4.4. Dari Rasionalisme ke Liberalisme. Seperti telah disinggung di atas, dari segi pengungkapan kebenaran sejarah, model Yunani dengan retorikanya masih cukup Nampak pada abad ke-17 dan ke-18. Abad ini yang sering disebut sebagai Abad Rasionalisme-Pencerahan telah melahirkan banyak karya, misalnya: Essay on the manners and spirit of the Nation karya Voltaire (16971778) yang terbir pada tahun 1756. Buku ini merupakan sejarah umum yang membeberkan sumbangan bangsa-bangsa Timur dan Islam terhadap peradaban dunia dan Eropa; History of England from the Invasion of Julius Caesar to the Revolution of 1698 karya David Hume (1711-1776); dan The History of the Decline and Fall of the Roman Empire karya Edward Gibbon yang terbit pada tahun 1776. Seperti telah disinggung di atas, Gibbon merupakan sejarawan pertama yang menggunakan eviden (dokumen) untuk pembuktian kebenaran sejarah. Selain gayanya yng berbeda, akurasinya dalam penulisan yang didukung dengan bukti-bukti membuat karyanya menjadi penting dan abadi dalam historiografi dunia. Meskipun ia tergolong sejarawaan rasionalis, namun dalam menulis tentang kemunculan agama Kristen di dunia Barat cukup obyektif, demikian pula mengenai sumbangan Islam pada peradaban dunia. Historiografi pada abad ke-19 ditandai dengan beberapa cirri yang cukup menonjol, antara lain: (1) penghargaan kembali pada Abad Pertengahan, (2) munculnya

16

liberalism, (3) munculnya filsafat sejarah, dan (4) nasionalisme. Sejarah yang bersifat nasionalistis misalnya Address to the German Nation karya Johann Gottlieb Fitchte (1762-1814). Dalam buku ini ia mengemukakan perbedaan antara orang-orang Jerman yang disebutnya Urvolk alias bangsa yang masih murni dan orang-orang Eropa selatan yang disebutnya Mischvolk alias bangsa campuran yang sedang mengalami keruntuhan. Tulisannya itu telah member dorongan timbulnya nasionalisme Jerman. Abad 19 selain melahirkan Leopold von Ranke yang dianggap sebagai bapak sejarah science, juga melahirkan banyak pemikir-pemikir sejarah (filsafat sejarah) yang berpengaruh pada perkembangan teori dan metode sejarah pada tahun-tahun berikutnya. Misalnya: Georg Wilhelm Friederich Hegel (1770-1831) yang menulis buku Philosophy of History. Dalam bukunya itu ia berpendapat bahwa sejarah itu naju dengan cara dialeksis. Diawali dengan tesis yang mendapat perlawanan dari satu kekuatan yang disebut anti-tesis. Dari pertarungannya itu melahirkan sintesis sebagai tujuan akhir. Pada gilirannya nanti sintesis ini akan berubah menjadi tesis baru, yang kemudian berproses sampai menghasilkan sintesa baru, dst. Heinrich Karl Marx (1818-1883) memakai dialektika Hegel, dengan proletariat sebagai sarana pembebasan manusia. Pengaruh filsafat sejarah Hegel ini antara lain nampak pada karya Francis Fukuyama, The End of History and The Last Man yang terbit pertama kali pada tahun 1992. Dalam karyanya itu Fukuyama menginterpretasikan perkembangan masyarakat dunia (masa kontemporer) didorong oleh dua faktor, yaitu (1) perkembangan ekonomi yang didorong oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan (2) keinginan untuk diakui, dihargai, dan persamaan hak. Kedua faktor inilah yang sering digugat oleh sistem komunis yang dapat dinilai sebagai kekuatan anti-tesis yang kemudian menghasilkan tujuan akhir sejarah manusia, yaitu masyarakat kapitalis dengan sistem politik demokrasi liberalnya. Menjelang akhir abad ke-19 kebenaran yang dikemukakan oleh Ranke mulai diragukan, sebab menulis sejarah sebagaimana yang terjadi dinilai bertentangan dengan psikologi. Sadar atau tidak, setiap orang yang menulis pasti mempunyai maksud dan tujuan tertentu. Fakta sejarah bukanlah batu bata yang tinggal dipasang saja, melainkan fakta yang dipilih dengan sengaja oleh sejarawan. Seperti dikemukakan oleh Carl L.

17

Becker (1873-1945), pemujaan terhadap fakta hanyalah ilusi. Sementara itu James Harvey Robinson (1863-1936) mengatakan bahwa sejarah kritis kita hanya dapat menangkap permukaan, tidak dapat menangkap realitas di bawah dan tidak dapat memahami perilaku manusia. Atas dasar pemikiran itu maka muncul gagasan baru tentang perlunya sejarah baru atau new perpective on historical writing. Berbeda dengan historiografi modern yang dipelopori Ranke yang menekankan kritik, maka sejarah baru menekankan perlunya penggunaan ilmu-ilmu sosial, sekaligus mendekatkan kembali ilmu sejarah dengan ilmu-ilmu sosial, sehingga seringkali sejarah baru itu disebut sebagai sejarah sosial.

1.4.5. Historiografi Indonesia. Penulisan sejarah di Indonesia sebenarnya sudah ada sejak masa kerajaan HinduBuddha berkembang di kepulauan Indonesia, misalnya Pararaton, Negara

Kertagama, dan Carita Parahiyangan. Demikian pula era kesultanan atau kesunanan yang bercorak Islam, terbit misalnya; Hikayat Tanah Hitu, Tuhfat al Nafis, Babad Tanah Jawi, dan Babad Kraton. Akan tetapi karya-karya para sejarawan atau tepat para pujangga dinilai kurang bernilai sejarah karena sarat dengan mitos-mitos seperti halnya historiografi Abad Pertengahan di Eropa. Sifatnya primordial atau istana sentries, legitimasi, anakronis, dengan sumber data yang seringkali sulit dilacak serta analisa sebab-musabab supernaturalnya. Oleh karena itu pada awalnya tidak sedikit sejarawan akademik yang menilai karya-karya seperti itu tidak patut dijadikan sebagai referensi penelitian sejarah ilmiah. Salah satu pujangga istana Surakarta, Yasadipura (1729-1805) barangkali dapat disebut sebagai sejarawan yang mulai mengkaji kembali karya-karya historiografi tradisional Indonesia. Ia menulis Babad Giyanti yang merupakan penafsiran kembali karya-karya yang lebih tua, yang disesuaikan dengan kebutuhan zamannya. Kemudian pada abad ke-19 beberapa pelaku sejarah juga menuliskan sejarahnya, seperti Pangeran Dipenogoro menulis Babad Dipenogoro, yang ditulisnya pada tahun 1835, semasa dia berada di pengasingan. Mungkin saja masih banyak pujangga dan pelaku sejarah

18

Indonesia yang menulis, namun sejalan dengan perkembangan dunia kolonial, penelitian, pengumpulan data dan komunikasi pemikiran sejarah pada abad ke-19 hampir sepenuhnya berada di tangan orang-orang Belanda/Barat. Selain itu mereka mempunyai tradisi dalam historiografi kolonial yang cukup lama Oleh karena itu pada masa kolonial, sejarah dianggap benar dan penting-bahkan oleh orang-orang Indonesia berpendidikanadalah babad londo dengan tokoh-tokohnya yang berkuasa seperti gubernur jenderal dan para residennya, bukan sultan, susuhunan, kiai atau pemimpin Indonesia lainnya. Awal abad ke-20 perkembangan historiografi Indonesia dimulai dengan munculnya studi sejarah yang kritis. Husein Djajadiningrat dapat dikatakan sebagai orang Indonesia pertama yang melakukan prinsip-prinsip metode kritis sejarah. Karyanya, Critische Beschouwingen van de Sejarah Banten (1913) sebenarnya merupakan studi filologis yang menggunakan historiografi tradisional sebagai obyeknya. Kemudian pada tahun 1936 giliran saudaranya, Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat yang menerbitkan karya biografinya, Kenang-kenangan Pangran Aria Achmad Djajadiningrat

(Herrineringen van Pangran Aria Achmad Djajadiningrat) dalam dua bahasa, Indonesia dan Belanda. Sejalan dengan berkembangnya metode kritis, perkembangan nasionalisme Indonesia yang berkembang sejak awal tahun 1920-an, membutuhan pula sejarah yang dapat menunjukkan identitas dan simbol keindonesiaan. Semangat inilah yang mendorong penulisan sejarah dengan pendekatan Indonesia sentries menggantikan sudut pandang Eropa sentries atau Belanda sentries yang berkembang waktu itu. Namun seperti dikemukakan oleh Coolhaas bahwa harapan penulisan sejarah Indonesia akan sulit berkembang mengingat orang-orang Indonesia masih sedikit yang terlibat secara aktif dalam politik. Kenyataannya memang demikian, sampai meletusnya Perang Dunia II karya-karya sejarah kolonial masih mendominasi, di antaranya karya FW Stapel dkk, Geschiedenis van Nederlandsch-Indi, yang mempunyai pengaruh besar terhadap penulisan sejarah Indonesia kemudian, terutama buku-buku ajar sejarah pada tingkat sekolah menengah. Setelah proklamasi kemerdekaan literatur sejarah Indonesia mengalami

booming. Semangat nasionalisme yang berkobar-kobar dalam periode post kolonial

19

telah mendorong diterbitkannya buku-buku sejarah yang Indonesia Sentris. Oleh karena itu pada periode post revolusi ini banyak diterbitkan biografi tokoh-tokoh maupun pahlawan nasional seperti: Teuku Umar, Imam Bonjol, Pattimura, Nuku dan Diponegoro karena obyek-obyek penulisan seperti ini yang mampu menunjukkan identitas dan symbol keindonesiaan. Demikian pula sejarah perlawanan terhadap penjajah, seperti Perang Dipenogoro, Perang Aceh, Perang Padri, pergerakan nasional dan sebagainya menempati posisi yang sama seperti biografi para tokoh tadi. Tidak sedikit politisi aktif yang ikut menulis sejarah seperti Mr. Muhammad Yamin menghasilkan beberapa karya sejarah, antara lain 6000 Tahun Sang Merah Putih, atau menuliskan memoarnya, seperti TB Simatupang menulis Laporan dari Banaran (1960) Semangat patriotisme yang berkobar-kobar namun tidak disertai dengan penguasaan metode sejarah teknis membuat banyak karya sejarah terbit pada periode ini sulit dipertanggungjawabkan dengan metode kritis. Dapat dikatakan sebagian besar karya sejarah waktu itu tidak lebih dari sejarah kolonial yang diputar balik peranan pelakunya, dari pemberontak menjadi pahlawan, dari jahat menjadi baik, dari pemberontak Diponegoro menjadi pahlawan Diponeogoro dan seterusnya. Karena itu pula banyak kritik terhadap karya seperti itu. Tidak sedikit pula sejarawan asing yang pesimistis terhadap obyektivitas sejarah yang Indonesia sentries. Pesimistis yang sempat berkembang itu kemudian menghilang sejalan dengan dibukanya kembali program studi sejarah di beberapa perguruan tinggi Indonesia. Pada tahun 1966 terbit buku The Peasants Revolt of Banten in 1888: Its Conditions, Course and Sequel (terjemahannya, Pemberontakan Petani Banten 1888 terbit pada tahun 1984) karya Sartono Kartodirdjo. Dengan karyanya ini, yang disusul oleh karyanya yang lain seperti Protest Movement in Rural Java (1973), Sartono menawarkan alternatife dan perspektif baru dalam penulisan sejarah Indonesia, yang kemudian dikenal sebagai sejarah sosial. Meskipun sudah muncul alternatif baru dengan multidimensinya, namun sampai sampai dekade 1970-an, sejarah politik-khususnya masa pendudukan Jepang dan revolusi kemerdekaan- masih cukup dominan. Pada tahun 1977-1979 terbit secara bertahap karya monumental AH Nasution Sekitar Perang Kemerdekaan Kemerdekaan Indonesia yang

20

terdiri dari 11 jilid. Buku ini banyak memberikan informasi tentang jalannya perang pada periode 1945-1949, Namun buku yang cukup tebal ini mempunyai satu kelemahan yang cukup mendasar, yaitu dalam masalah sumber data. Dalam waktu yang hampir sama terbit kumpulan biografi singkat dari berbagai tokoh yaitu Manusia Dalam Kemelut Sejarah (1978). Buku ini semula adalah artikel-artikel yang dimuat dalam majalah Prisma No.8 tahun 1977. Setelah itu pada tahun 1979 terbit buku Tentara Peta pada jaman pendudukan Jepang di Indonesia (1979) karya Nugroho Notosusanto yang merupakan studi akademik pertama tentang masa pendudukan Jepang yang dikalakukan oleh orang Indonesia. Meskipun ada perkembangan dalam penulisan sejarah Indonesia, namun banyak orang Indonesia yang menilai penulis-penulis asing masih lebih baik dalam tulisan sejarah yang bertema perang kemerdekaan Indonesia, misalnya Nationalism and Revolution in Indonesia (1970) karya George Mc T Kahin dan Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance 1944-1946 (1972) karya BROG Anderson. Demikian pula dengan sejarah sosial Indonesia, sampai akhir dekade 1970-an masih lebih banyak ditulis oleh peneliti asing, di samping beberapa orang Indonesia dalam bentuk disertasi, misalnya Onghokham (1975) yang menulis tentang Madiun pada abad ke-19, yang sampai akhir hayatnya belum sempat diterbitkan. Selain itu, dalam dekade 1970-an, tepatnya tahun 1977 terbit buku Sejarah Nasional Indonesia (SNI) yang terdiri dari 6 jilid yang diterbitkan oleh Balai PustakaDepartemen Pendidikan dan Kebudayaan. Buku ini merupakan karya bersama sejarawan Indonesia waktu itu dalam upaya mewujudkan sejarah nasional. Duduk sebagai editor umumnya adalah Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Di satu pihak kehadiran buku SNI berhasil menjawab kebutuhan akan adanya buku sejarah Indonesia yang nasionalistis; namun di pihak lainnya telah mengundang polemik dan keprihatinan dari beberapa sejarawan lainnya. Buku SNI dinilai masih mengandung banyak kelemahan, baik dari segi metode maupun data faktualnya.. Keprihatinan inilah antara lain yang menjadi salah satu faktor untuk menulis buku sejarah nasional sejenis yang lebih baik. Upaya itu mulai dirintis sejak penghujung abad ke-21. Para sejarawan yang dimotori oleh Prof. Dr. Taufik Abdullah dan Prof. Dr.

21

A.B. Lapian yang bertindak sebagai editor umum, merencanakan untuk menulis sejarah Indonesia yang nantinya terdiri dari 8 jilid (plus satu jilid tambahan). Di luar keprihatinan itu, sebenarnya perkembangan historiografi Indonesia tidaklah sesuram itu. Justru sejak akhir abad ke-20 telah berkembang pula penulisan sejarah dengan pendekatan baru. Namun perkembangan itu luput dari pengamatan para pakar sejarah, karena sebagian besar lebih tertarik untuk mengamati dan mendekonstruksi sejarah politik masa Orde Baru, khususnya yang menyangkut tema sekitar Gerakan September Tiga Puluh atau G-30-S PKI. Metode baru itu, yaitu metode strukturistik, dapat dikatakan semacam jembatan antara metode naratif dengan metode struktural. Perintis pendekatan strukturistik di Indonesia adalah R.Z. Leirissa dari Universitas Indonesia. Penggunaan metode strukturistik itu terlihat dalam beberapa karyanya seperti Halmahera Timur dan Raja Jailolo (1996) dan Kekuatan Ketiga Dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia (2006).

22

1.5. Rangkuman Sejarah adalah rekonstruksi masa lampau manusia yang dibatasi oleh ruang dan waktu. Penguasaan teori dan metodologi sangat berpengaruh terhadap mutu penulisan sejarah Historiografi Indonesia modern mulai berkembang sejak awal abad ke-20 yang ditandai dengan terbitnya karya Husein Djajadinigrat, Critische Beschouwingen van de Sejarah Banten (1913) dan semakin berkembang sejalan dengan dibukanya program-program studi sejarah pada beberapa perguruan tinggi di Indonesia. 1.6.Latihan 1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan ilmu sejarah 2. Tunjukkan bentuk sejarah tekstual dan nontekstual 3. Buatlah laporan sebuah biografi pahlawan Indonesia 1.6.1.Tes Formatif a. Jelaskan apa yang dimaksud dengan zeitgeist? b. Jelaskan bagaimana cara pembuktian kebenaran sejarawan Yunani dibandingkan sejarawan masa kini? c. Mengapa Leopold von Ranke diberi gelar bapak sejarah akademik (father of historical science)? d. Jelaskan bagaimana cara kerja filsafat Hegel dalam membuktikan kebenaran sejarah? e. Jelaskan mengapa historiografi tradisional Indonesia dinilai tidak patut dijadikan sebagai sumber data atau bahan referensi sejarah? f. Coba sebutkan beberapa buku sejarah Indonesia yang ditulis oleh sejarawan Indonesia, yang bertemakan perang kemerdekaan atau revolusi Indonesia?

23

Daftar Sumber Abdulah, Taufik, Aswab Mahasin, dan Daniel Dhakidae (red), Manusia Dalam Kemelut Sejarah. Jakarta: LP3ES, 1978. Barraclough, Geoffrey, Main Trends in History. New York-London: Holmes & Meier, 1991. Bentley, Michael, Modern Historiography An Introduction. London-New York: Routledge, 2006. Breisach, Ernst, Historiography: Ancient, Medievel, & Modern.Chicago-London: The University of Chicago Press, 1983. Frederick, William H., Soeri Soeroto (peny.), Pemahaman Sejarah Indonesia: Sebelum dan Sesudah Revolusi. Jakarta: LP3ES, 1982. Fukuyama, Francis, The End of History and The Last Man: Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal. (Terjemahan oleh H.M. Amarullah) Yogyakarta: Qalam, 2004. Gottschalk, Louis, Mengerti Sejarah. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2006. Kahin, Goerge Mc T., Nationalism and Revolution in Indonesia. Ithaca-London: Cornell University Press, 1970. Kartodirdjo, Sartono, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia: Suatu Alternatif. Jakarta: Gramedia, 1982. ---------------, Pemberontakan Petani Banten 1888: Kondisi, Jalan Peristiwa, dan Kelanjutannya. (terjemahan oleh: Hasan Basari) Jakarta: Pustaka Jaya, 1984. ---------------, Protest Meovement in Rural Java. Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang, 1995. Leirissa, R.Z.,Halmahera Timur dan Raja Jailolo. Jakarta: Balai Pustaka, 1996. ---------------, Kekuatan Ketiga Dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia. Jakarta: Pustaka Sejarah, 2006. Lloyd, Christopher, The Structures of History. Oxford-Cambridge: Blacwell, 1993. Notosusanto, Nugroho, Tentara Peta pada jaman pendudukan Jepang di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia, 1979. Ricklefs, M.C., Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi, 2005.

24

BAB II PEMBENTUKAN BANGSA INDONESIA

2 .1. Pendahuluan

2.1.1. Deskripsi Singkat Pertemuan ini akan memberikan bekal kepada mahasiswa untuk dapat memahami proses pembentukan bangsa Indonesia. Uraian dimulai sejak pra-Indonesia, sejak adanya kerajaan-kerajaan kuna pada abad ke-5 Masehi hingga tahun 1945 ketika bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan. Di sini juga dikemukakan nama Indonesia yang diciptakan oleh J.R. Logan pada pertengahan abad ke-19 dan nama atau Indonesia sebagai konsep ketatanegaraan yang dibuat Perhimpunan Indonesia.

2.1.2. Manfaat Manfaat utama bagi mahasiswa setelah mempelajari bab ini adalah agar mereka memahami bagaimana proses terbentuknya bangsa dan negara memakan waktu panjang. Indonesia yang

2.1.3. Tujuan Instruksional Khusus Pada akhir pertemuan ini mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan: 1. Tumbuh dan berkembangnya kerajaan-kerajaan di Indonesia 2. Memahami penciptaan nama Indonesia dan konsep Indonesia sebagai konsep ketatanegaraan. 3. Lahir dan perkembangan nasionalisme Indonesia 4. Terbentuknya bangsa dan negara Indonesia

25

2.2. Pra-Indonesia Tanggal 17 Agustus 1945 bangsa dan negara Indonesia resmi terbentuk sebagaimana disebut dalam UUD 1945. Pembentukan bangsa dan negara Indonesia melalui suatu proses yang panjang, mulai 1908, sejak bangkitnya nasionalisme Indonesia yang ditandai dengan lahirnya Budi Utomo (BU), organisasi pertama bangsa Indonesia. Sebelum 1908 merupakan masa pra-Indonesia yang sejarahnya dimulai sejak adanya kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha pada Abad ke-5 Masehi. Adanya perang-perang antara raja-raja dan pemimpin rakyat melawan penguasa asing yang berlangsung sejak abad ke17 hingga abad ke-19 menunjukkan adanya proto nasionalisme di kalangan mereka. Walaupun perang-perang itu hanya meliputi suatu wilayah tertentu, namun karena perang itu karena adanya keinginan untuk mengusir penguasa asing dari wilayah mereka, dapat dikatakan bahwa mereka telah mempunyai rasa nasionalisme dalam bentuk awal (proto nasionalisme). Sejarah kerajaan-kerajaan Hindu, Buddha, kemudian Islam yang ada di wilayah Indonesia, berada pada masa pra-Indonesia. Dua kerajaan yaitu Sriwijaya di Sumatra Selatan dan Majapahit di Jawa Timur, oleh Sukarno dan Muhammad Yamin masingmasing kerajaan tersebut merupakan negara kebangsaan (nationale staat) pertama dan kedua. Muhammad Yamin juga menyebut Negara Republik Indonesia yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945 sebagai Negara Kebangsaan ketiga.

2.2.1. Pra-Indonesia: Kerajaan-kerajaan Hindu-Budha Masa pra-Indonesia dimulai sejak adanya kerajaan-kerajaan tertua, yaitu Kutai di Kalimantan Timur dan Tarumanagara di Bogor, Jawa Barat, keduanya berdiri pada abad ke-5 Masehi. Kerajaan Hindu Kutai diperintah berturut-turut oleh Kundungga, Aswawarman, dan Mulawarman, sedangkan kerajaan Tarumanagara diperintah oleh Purnawarman. Pada abad ke-7 Masehi, kedua kerajaan tersebut tidak terdengar lagi beritanya. Selanjutnya, pada abad ke-7 Masehi di pantai timur Sumatra bagian selatan berdiri dua kerajaan Buddha yaitu Sriwijaya dan Malayu. Kerajaan Sriwijaya kemudian dapat mengalahkan kerajaan Malayu dan penguasa-penguasa daerah lainnya, sehingga daerah kekuasaannya meliputi seluruh pulau Sumatra dan pulau-pulau di sebelah

26

timurnya,

Semenanjung Malayu, dan sebagian Jawa Barat. Kerajaan Sriwijaya

menguasai jalar lalu lintas perdagangan antara India dan Cina dan menjamin keamanannya dari ancaman bajak laut. Sriwijaya merupakan pusat pengajaran agama Buddha yang bertaraf internasional. Seorang pendeta agama Buddha yang mau belajar ke India dapat belajar lebih dahulu di Sriwijaya, kemudian baru belajar ke India. Mengenai pusat pemerintahan Sriwijaya, sampai sekarang masih diperdebatkan, namun pendapat yang kuat berada di Palembang. Pada waktu yang relatif bersamaan, di Jawa Tengah berdiri kerajaan Holing atau Kalingga. Salah seorang rajanya yang terkenal adalah Ratu Hsi-mo atau Sima, ratu yang memerintah secara adil. Putra mahkota sendiri yang tidak sengaja telah menginjak

pundi-pundi berisi emas yang ditaruh di jalan, dihukum dengan memotong jari-jari kakinya untuk pelajaran terhadap rakyatnya. Setelah Kalingga, pada awal abad ke-8 di Jawa Tengah berdiri kerajaan Mataram yang beribukota di Medang. Raja pertama, Sanjaya, menaklukkan raja-raja di sekitarnya. Penggantinya, Rakai Panangkaran, menamakan dirinya sebagai permata wangsa Sailendra. Ia mendirikan candi Kalasan dan Sewu. Penggantinya lagi, Samarattungga, mendirikan candi Borobudur, Pawon, dan Mendut. Waktu pemerintahan Mpu Sindok, pusat pemerintahan Mataram dipindahkan ke Jawa Timur. Ada beberapa kemungkinan alasan kepindahannya, antara lain karena bencana alam, mungkin juga karena kerajaan tidak dapat hidup hanya dari hasil pertanian, melainkan perlu juga dari hasil perdagangan, dan Jawa Timur memenuhi tuntutan itu. Mpu Sindok menamakan dirinya Sri Isanawikrama mendirikan wangsa Isana yang menurunkan raja-raja di Jawa Timur sampai tahun 1222. Setelah pemerintahan Mpu Sindok, ada masa yang gelap, kemudian ada seorang raja bernama Dharmawangsa. Pada tahun 1017 ketika ia merayakan pernikahan putrinya dengan Airlangga, istana diserang, dibakar, dan ia terbunuh. Airlangga sebagai menantunya berhak naik tahta menggantikan mertuanya. Tahun 1019 Airlangga naik tahta, kemudian mengalahkan kerajaan-kerajaan di sekitarnya satu per satu. Wilayah kerajaannya meliputi Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, dan beberapa pulau di Nusa Tenggara. Pada masa pemerintahannya ditulis kekawin Arjunawiwaha oleh Mpu Kanwa. Untuk menghindari perang saudara, sebelum ia meninggal kerajaan dibagi dua.

27

Pembagian kerajaan dilakukan oleh Mpu Barada. Setelah Airlangga meninggal, kerajaan pecah dua, sebelah timur dinamakan kerajaan Jenggala dan sebelah barat kerajaan Panjalu yang kemudian terkenal dengan nama Daha atau Kediri. Kerajaan Jenggala akhirnya lenyap, sedangkan kerajaan Kediri tumbuh dan berkembang. Di antara raja-raja Kediri yang terkenal karena ramalan-ramalannya adalah Jayabaya. Pada masa pemerintahannya ditulis kitab Bhratayuddha oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh. Raja Kediri terakhir, Kertajaya, tahun 1222 dikalahkan oleh Ken Arok, penguasa bawahannya di Tumapel setelah membunuh Tunggul Ametung. Kediri

dikuasai, dan lahirlah kerajaan baru, Singhasari. Ken Arok naik tahta dan menamakan dirinya Rajasa, mendirikan wangsa Rajasa yang memerintah di kerajaan Singhasari dan Majapahit. Setelah Ken Arok, penggantinya berturut-turut adalah Anusapati, Tohjaya, Ranggawuni, dan raja terakhir adalah Kertanegara. Ia dikalahkan oleh Jayakatwang, raja bawahannya, Kediri. Jayakatwang kemudian dikalahkan oleh pasukan Kubilai Khan yang sesungguhnya datang untuk menyerang Kertanegara yang telah menyakiti utusannya. Pasukan Kubilai Khan kemudian dapat dikalahkan oleh R. Wijaya, keturunan Singhasari. Tahun 1293 berdiri kerajaan Majapahit, R. Wijaya menobatkan diri menjadi raja pertama dengan gelar Kertarajasa Jayawardhana. Ia kemudian digantikan oleh putranya, Jayanegara. Setelah Jayanegara meninggal, penggantinya adalah adiknya perempuan yang bergelar Tribhuwanattunggadewi Jayawisnuwardhani. Puncak kebesaran atau zaman keemasan Majapahit ada di bawah pemerintahan raja Hayam Wuruk yang didampingi oleh patihnya, Gajah Mada. Ia mengucapkan sumpah palapa di hadapan raja dan para pembesar Majapahit dalam rangka melaksanakan politik nusantaranya. Dalam rangka melaksanakan politik tersebut ia menundukkan daerah-daerah yang belum bernaung di bawah Majapahit. Daerah kekuasaan Majapahit, luas, meliputi hampir seluas wilayah Indonesia sekarang, meliputi Sumatera di bagian barat sampai daerah Maluku dan Irian di bagian timur, bahkan pengaruhnya sampai ke beberapa negara tetangga di Asia Tenggara. Politik untuk menguasai seluruh nusantara berakhir tahun 1357

28

sehubungan dengan terjadinya peristiwa di Bubat.1 Negarakertagama oleh Mpu Prapanca.

Pada masa itu ditulis kitab

Setelah Hayam Wuruk meninggal, terjadi perang-perang saudara, tidak ada raja yang kuat. Kerajaan Majapahit runtuh sekitar tahun 1527 dikalahkan oleh Demak.2 Bagaimana penaklukan Majapahit oleh Demak, dan bagaimana nasib para penguasa Majapahit sesudah penaklukan, tidak diketahui secara pasti.3 Di Bali, pada abad ke-9 terdapat kerajaan Singhamandawa, diperkirakan terletak di sekitar Tampaksiring. Nama raja yang memerintah antara lain Ratu Sri Ugrasena, sesudah itu raja yang memerintah memakai gelar Warmadewa. Salah seorang rajanya bernama Dharma Udayana Warmadewa yang memerintah pada akhir abad ke-10. Salah seorang putra Udayana adalah Airlangga yang menjadi raja di Jawa Timur. Kerajaan tersebut kemudian dikalahkan oleh Majapahit, selanjutnya kerajaan dikuasai oleh keluarga raja Jawa. Selain itu di Bali berdiri kerajaan-kerajaan lain seperti Gianyar, Mengwi, Tabanan, Karangasem, dan Buleleng. Di Jawa Barat, setelah Tarumanagara runtuh menjelang akhir abad ke-7, terdapat satu kerajaan Hindu-Buddha bernama Kerajaan Sunda. Menurut sumber asing, pusat pemerintahannya berpindah-pindah. Menurut sumber lokal/asli, di Jawa Barat ada beberapa kerajaan, namanya sesuai dengan pusat pemerintahannya. Kerajaan-kerajaan itu adalah kerajaan Galuh, Prahajyan Sunda, Kawali, dan yang sangat terkenal adalah kerajaan Pakwan Pajajaran. Selain itu di Jawa Barat ada kerajaan-kerajaan kecil, yaitu kerajaan Kuningan dan Saunggalah. Kerajaan Sunda pada masa pemerintahan raja terakhir, Nusiya Mulya, tahun 1579 dikalahkan oleh kerajaan Islam. 41

Peristiwa atau perang di Bubat terjadi ketika Raja Kerajaan Sunda bersama putrinya, Dyah Pitaloka, beserta para pembesar kerajaan dan pengiringnya sampai di Majapahit. Rombongan raja Sunda itu datang untuk mengawinkan putrinya dengan Hayam Wuruk sebagai permaisuri. Perselisihan terjadi ketika Gajah Mada tidak menghendaki jika perkawinan itu dilangsungkan begitu saja. Ia menghendaki agar putri itu dipersembahkan oleh raja Sunda kepada raja Majapahit sebagai tanda tunduk terhadap kerajaan Majapahit. Para pembesar tidak setuju dengan sikap Gajah Mada, terjadilah perang di Bubat. Semua orang Sunda termasuk Dyah Pitaloka gugur.. Hayam Wuruk kemudian menikah dengan Paduka Sori, anak Bhre Wengker Wijayarajasa. 2 Ricklefs, H.C., Sejarah Indonesia Modern, (Terj. Drs. Dharmono Hardjowidjono), Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991. hlm. 26. 3 Sumber utama tentang kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha adalah karya Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (Editor Umum) berjudul Sejarah Nasional Indonesia, Jilid II, Edisi Pemutakhiran, Jakarta: Bali Pustaka, 2008. 4 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (Editor Umum), Sejarah Nasional Indonesia, Edisi Pemutakhiran, Jilid II, hlm. 400.

29

Di Kalimantan ada kerajaan-kerajaan Hindu yaitu kerajaan Negara Dipa, Daha, dan Kahuripan yang berpusat di daerah hulu Sungai Nagara di Amuntai sekarang. Kerajaan Negara Dipa pernah mengadakan hubungan dengan kerajaan Majapahit, karena itu pengaruh Majapahit sampai di sana. Di Kalimantan Timur, terutama Kutai, ada kerajaan Kutai yang beragama Hindu. Kerajaan tersebut selalu mengadakan hubungan dengan kerajaan Majapahit. Salah seorang rajanya, Raja Mahkota, kemudian masuk Islam setelah kalah bertanding kesaktian dengan mubaligh yang menyebarkan Islam ke sana.

2.2.2. Pra-Indonesia: Kerajaan-kerajaan Islam Setelah agama Islam masuk ke Indonesia, muncul kerajaan-kerajaan baru yang menganut agama Islam. Kerajaan-kerajaan itu ada di Sumatra, Jawa, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi Selatan, dan Maluku. Di Sumatra, banyak kerajaan, terutama ada di sepanjang pesisir Selat Malaka dan pesisir barat.5 Di Jawa, terdapat kerajaan Demak, Pajang, Mataram, Banten, dan Cirebon. Di Nusa Tenggara terdapat kerajaan Lombok, Sumbawa, Bima, Tambora, Kalongkong, dan Dompu. Di Kalimantan terdapat kerajaan Banjar, Kutai, dan Pontianak. Di Sulawesi terdapat kerajaan Gowa-Tallo, Bone, Wajo, Soppeng, dan Luwu. Di Maluku terdapat kerajaan Ternate dan Tidore. Kerajaan Samudra Pasai di Sumatra bagian utara tumbuh pada pertengahan abad ke-13, raja pertama bergelar Sultan Malik As-Shaleh. Kerajaan ini sudah menggunakan mata uang yang terbuat dari emas yang disebut dramas. Kerajaan mengadakan hubungan pernikahan dengan kerajaan Malaka di Malaysia. Kerajaan Aceh Darussalam tumbuh dan berkembang pada abad ke-16. Raja pertama adalah Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1530). Di bawah pemerintahannya Aceh menaklukkan Samudra Pasai dan Pedir. Kemudian salah seorang raja penggantinya mengalahkan beberapa kerajaan seperti Batak, Aru, dan Barus. Kerajaan juga pernah mengadakan hubungan dengan kerajaan-kerajaan di Timar Tengah. Kerajaan ini mengalami puncak kekuasaan atau zaman keemasan di bawah Sultan Iskandar Muda5

Kerajaan-kerajaan di Sumatera banyak sekali, yaitu kerajaan Samudra Pasai, Aceh Darussalam, Aru, Pedir, Jambi, Bican, Lambri atau Lamaru atau Tamni, Pirada, Pase, Arcat, Rupat, Siak, Kampar, Tongkal, Indragiri, Jambi, Palembang, Andalas, Pariaman, Minangkabau, Tiku, Panchur, Daya, Batak, dan Barus.

30

(1607-1636). Di bawah pemerintahannya Aceh menjadi negara yang paling kuat di Nusantara bagian barat. Ia menaklukkan kerajaan-kerajaan di pesisir timur dan barat Sumatra, Johor di Malaysia, mengalahkan armada Portugis di Bintan, merebut Pahang, dan Nias. Setelah pemerintahannya, Aceh memasuki masa perpecahan yang panjang. Pada tahun 1873-1904 kerajaan ini berperang melawan Belanda. Para pimpinan perang di antaranya Panglima Polem, Teuku Cik Di Tiro, Teuku Umar dan Cut Nyak Din. Perang diakhiri dengan kalahnya Aceh pada tahun 1904. Di pantai timur Sumatra ada kerajaan-kerajaan Islam Siak atau Siak Sri Indrapura, Kampar, dan Indragiri yang berdiri pada abad ke-15. Di Jambi kerajaan Islam berdiri pada sekitar tahun 1500 di bawah pemerintahan Sultan Orang Kayo Hitam. Sumatra bagian selatan, Palembang, pada abad ke-16 berada di bawah kekuasaan Kerajaan Demak. Raja pertama kesultanan Palembang bergelar Abdurrakhman Khalifat al-Mukminan Sayidil Iman atau Pangeran Kusumo Abdurrakhman. Antara tahun 16591706 Kesultanan Palembang diperintah oleh sebelas orang sultan. Pada waktu pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin II tahun 1819 kerajaan diserang Belanda. Dalam serangan Belanda kedua, Sultan Mahmud Badaruddin ditangkap lalu dibuang ke Ternate. Sejak 1823 Kesultanan Palembang dihapuskan, daerahnya langsung dikuasai oleh pemerintah Hindia Belanda. Di Sumatra Barat, agama Islam baru masuk pada akhir abad ke-14 atau awal abad ke-15. Sedangkan agama Islam masuk ke Minangkabau sekitar akhir abad ke-15. Di Minangkabau, raja berkedudukan di Pagaruyung, raja sebagai lambang negara, sedangkan kekuasaan ada di tangan para penghulu yang tergabung dalam Dewan Penghulu atau Dewan Nagari. Di Minangkabau antara tahun 1821-1838 terjadi perang Paderi, perang antara kaum Paderi melawan kaum Adat yang dibantu oleh Belanda. Perang berlangsung dua babak, pertama antara tahun 1821-1825 dan kedua antara tahun 1830-1938. Kaum Padri akhirnya kalah, akibatnya Belanda berhasil mengukuhkan kekuasaan politik dan ekonominya di Minangkabau atau Sumatra Barat. Pemimpin Kaum Padri antara lain Tuanku Imam Bonjol tertangkap, kemudian diasingkan ke Cianjur, dari sana dipindahkan ke Ambon, lalu dipindah lagi ke Manado dan meninggal di sana tahun 1864.

31

Di Jawa berdiri kerajaan-kerajaan baru yang menganut agama Islam yaitu Demak, Pajang, kemudian Mataram di Jawa Tengah, Banten dan Cirebon di Jawa Barat, dan Surabaya di Jawa Timur. Demak didirikan pada perempat terakhir abad ke-15 oleh seorang asing yang beragama Islam. Sultan Demak pertama, Raden Patah, adalah putra Prabu Brawijaya Kertabhumi, raja Majapahit terakhir. Setelah Raden Patah, raja berikutnya adalah Pati Unus (1518-1521), dan berikutnya lagi Sultan Trenggono. Di bawah pemerintahan Sultan Trenggono Demak mengalami zaman keemasan. Wilayah Demak meliputi daerah Jawa Timur dan Jawa Barat. Sultan Trenggono mengalahkan penguasa-penguasa Tuban, Lamongan, Surabaya, Pasuruan, Panarukan, Madiun, dan Blitar. Demak di bawah Sultan Trenggono merupakan zaman keemasannya. Sultan Trenggono terbunuh ketika melakukan ekspedisi melawan Panarukan tahun 1546. Raja-raja Demak terkenal sebagai pelindung agama. Antara raja-raja dan ulama erat berhubungan, terutama dengan Wali Sanga. Pendirian Mesjid Agung Demak oleh para wali dengan arsiteknya Sunan Kali Jaga merupakan pusat dakwah para wali.

Termasuk Wali Sanga adalah: Sunan Ampel, Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, Sunan Muria, Sunan Bonang, Sunan Kali Jaga, Sunan Drajat, Sunan Giri, dan Syeh Lemah Abang atau Syeh Siti Jenar. Setelah Sultan Trenggono meninggal tahun 1546, terjadi perebutan kekuasaan di kalangan keluarga. Berturut-turut raja-raja yang memerintah sesudahnya adalah Sultan Prawoto, Arya Penangsang, dan kemudian Jaka Tingkir yang menobatkan dirinya sebagai Sultan Pajang dengan gelar Sultan Hadiwijaya. 6 Kerajaan Pajang yang ada di pedalaman Jawa Tengah, merupakan pengganti Demak. Kemudian pengganti Kerajaan Pajang adalah kerajaan Mataram yang pusatnya di kota Surakarta dan Yogyakarta. Daerah Mataram yang termasuk wilayah kerajaan Pajang, dihadiahkan Sultan Pajang kepada Kyai Gede (Ageng) Pemanahan yang merupakan keturunan raja Majapahit terakhir. Wilayah itu pertama kali diperintah olehnya pada tahun 1578. Setelah ia

meninggal, tahun 1484 pemerintahan dipegang oleh anaknya, Senopati ing Alogo Sayidin Panotogomo (1584-1601). Ia menantu Sultan Pajang Hadiwijoyo yang meninggal tahun 1587. (Setelah Hadiwijoyo, pemerintahan Pajang di tangan Pangeran Banowo). Di bawah pemerintahannya, kerajaan Mataram dikembangkan ke daerah pesisir utara Jawa Tengah,6

Rikleft, hlm. 56.

32

Jawa Timur, dan Jawa Barat. Setelah merasa kuat, Senopati melepaskan diri sebagai vasal kerajaan Pajang dan kemudian mengalahkan Pajang sekitar tahun 1587-1588. Benda-benda kerajaan yang keramat seperti pusaka yang merupakan simbul dan hiasan supra natural, dibawa ke Mataram. Selanjutnya, Senopati meluaskan kekuasaannya, menaklukkan Demak, Kedu, Bagelen, Madiun, Kediri, Ponorogo, Tuban, dan Pasuruhan. Setelah Senopati meninggal, kedudukannya digantikan oleh Raden Mas Jolang (16011613). Mas Jolang tahun 1613 meninggal di Krapyak, tahun 1613, kemudian namanya sebagai Panembahan Seda ing Krapyak. Ia kemudian digantikan lagi oleh Sultan Agung, raja terbesar Mataram (1613-1646). Sultan Agung kembali menyerang Surabaya tahun 1625, Pati, Giri, dan Blambangan. Sultan Agung mau menusir VOC dari Batavia. Tahun 1628 ia mengirim pasukannya ke Batavia tetapi tapi gagal. Pengiriman pasukan diulangi lagi tahun 1629, juga gagal. Mataram di bawah Sultan Agung selain bersifat agraris juga mengembangkan perdagangan ekspor dan impor melalui pelabuhan di pesisir utara Jawa seperti Jepara, Kendal, dan Tegal. Mataram di bawah pemerintahannya mengalami puncak kejayaannya. Tahun 1645 ia sakit dan meninggal. Setelah Sultan Agung

meninggal, digantikan oleh anaknya yang bergelar Susuhunan Amangkurat I (16471677). Ia memindahkan kraton dari Kota Gede ke Plered. Ia lebih dekat dengan VOC dan mengadakan perjanjian dengan VOC, Mataram mengakui kekuasaan VOC. Waktu mau minta bantuan pada VOC karena pemberontakan Trunajaya, tahun 1677 ia jatuh sakit di Wanayasa. Jenazahnya dimakamkan di Tegal Arum, Tegal. Ia digantikan oleh

Amangkurat II. Tahun 1755 melalui Perjanjian Gianti, Mataram dibagi dua yaitu Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kasunanan Surabarta. Di Jawa Barat berdiri kerajaan Banten. Mula-mula Banten sebelum 1525/1526 merupakan kadipaten dari Kerajaan Pajajaran yang beragama Hindu, berpusat di Banten Girang yang diperintah oleh Pucuk Umun. Banten kemudian dikalahkan oleh Sunan Gunungjati, suami saudara perempuan Sultan Trenggono, pusat kerajaan dipindahkan ke Surasowan di teluk Banten. Banten kemudian diperintah oleh Gunungjati sebagai vasal Demak. Tahun 1552 Sunan Gunungjati pindah ke Cirebon, pemerintahan diserahkan kepada anaknya Sultan Hasanuddin (1552-1570). Sultan meluaskan wilayah

kekuasaannya ke Lampung. Kemudian Hasanuddin digantikan oleh Molama Yusuf (1570-1580) yang berhasil menaklukkan kerajaan Pajajaran tahun 1579. Kalahnya

33

Pajajaran berarti lenyaplan kerajaan besar yang menganut agama Hindu-Buddha di Jawa. Setelah Pajajaran dikalahkan, kalangan elite Sunda memeluk agama Islam. Kesultanan Banten mencapai puncaknya di bawah pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa. Raja ini melakukan perlawanan dengan putranya, sultan Haji yang dibantu VOC. Sultan Ageng Tirtayasa kalah. Cirebon semula menjadi pelabuhan kerajaan Sunda Pajajaran. Diperkirakan tahun 1470 agama Islam masuk Cirebon dibawa oleh Syarif Hidayatullah salah seorang wali sanga yang kemudian terkenal dengan nama Sunan Gunung Jati. Tahun 1513 Cirebon di bawah kekuasaan Lebe Usa dikuasai Raden Patah dari Demak. Tahun 1479 Syarif Hidayatullah menggantikan mertuanya sebagai penguasa Cirebon. Ia mendirikan keraton yang diberi nama Pakungwati, sebelah timar Keraton Kasepuhan. Syarif Hidayatullah terkenal juga dengan gelar Sunan Gunung Jati, salah seorang Wali Sanga. Ia menghentikan memberi upeti ke pusat kerajaan Pajajaran di Pakuan. Pada masa pemerintahan Sunan Gunung Jati, Islam disebarkan, antara lain ke Kuningan, Talaga, dan Galuh sekitar tahun 1528-1530 dan ke daerah Banten7

bersama putranya Maulana

Hasanuddin tahun 1525-1526. Sunan Gunung Jati meninggal tahun 1568 Surabaya merupakan pelabuhan perdagangan yang besar pada awal abad ke-16, tetapi baru pada awal abad ke- 17 Surabaya muncul sebagai kekuatan pantai yang terkemuka. Surabaya dikuasai Sultan Agung tahun 1625. Di Kalimantan ada beberapa kerajaan Islam baik yang besar maupun kecil. Kerajaan-kerajaan Islam di Kalimantan adalah kerajaan Banjar atau Banjarmasin di Kalimantan Selatan, Kutai di Kalimantan Timur, dan Pontianak di Kalimantan Barat. Agama Islam masuk ke kerajaan Banjar karena dibawa Demak tahun 1550. Kerajaan Banjar dibawah Sultan Surnyanullah meluaskan kekuasaannya ke Sambas, Batanglawai, Sukadana, Kotawaringin, Sampit, Madawi, dan Sambangan. Kerajaan Banjar

mengirimkan upeti pada keraaan Demak, kemudian Pajang. Ketika diperintah raja Sultan Mustain Billah, awal abad ke-17 ibu kota kerajaan dipindahkan ke Amuntai. Kerajaan dapat menguasai Kalimantan Timur Tenggara, Tengah, dan Barat. Dia juga kemudian memindahkan lagi ibu kotanya ke Kayu Tangi. Sejak pengaruh Belanda7

masuk ke

Sumber utama tentang kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia diambil dari karangan Marwati Djoened Poesponegooro dan Nugroho Notosusanto (Editor Umum) berjudul Sejarah Nasional Indoensia, Jilid III, Edisi Pemutakhiran, Jakarta: Balai Pustaka, 2008.

34

Kalimantan Selatan, perselisihan-perselisihan terjadi baik dengan Belanda maupun lingkungan kerajaan. Setelah Sultan Adam meninggal 1857, terjadi perlawanan terhadap Belanda antara 1859-1863. Perlawanan dari pihak kerajaan Banjar di antaranya dipimpin oleh Pangeran Antasari. Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur, pada masa pemerintahan Raja Mahkota datang dua mubalig Islam, Dato`ri Bandang dan Tunggang Parangan setelah mengIslamkan makassar. Setelah beadu kesaktian antara mubalig dengan dengan Raja Mahkota, raja kalah dan masuk Islam, waktunya diperkirakan tahun 1575. Selanjutnya kerajaan Kutai menyebarkan agama Islam ke daerah sekitarnya. Di Kalimantan Barat antara lain ada kerajaan Tanjungpura dan Lawe (daerah Sukadana). Diperkirakan Islam masuk ke sana pada sekitar abad ke-14-15. Kedua kerajaan itu diperintah oleh Pate atau mungkin Adipati, tunduk pada Pate Unus dari Demak. Pada abad ke-17 kedua kerajaan itu ada di bawah epngaruh kerajaan Mataram. Peng-Islaman di Pontianak dilakukan oleh Habib Husein Al-Gadri pendakwah dari Hadramaut. Setelah meninggal, digantikan oleh outranya, Pangeran Sayid Abdurrahman Nurul Alam yang mendirikan keraton dan mesjid di Pontianak. Ia memerintah tahun 1773-1808. selanjutnya sultan-sultannya diperintah oleh sultan-sultan keluarga Habib alGadri. Di Sulawesi Selatan terdapat lima kerajaan Islam, yaitu Gowa-Tallo, Bone, Wajo, Soppeng, dan Luwu. Islamisasi di Sulawesi Selatan oleh tiga mubalig yang disebut Dalto Tallu ketiganya bersaudara dan berasal dari Koto Tengah, Minangkabau. Para mubalig itu yang mengislaamkan raja Luwu tahun 1605, raja Tallo tahun 1605, raja tahun 1607. Kerajaan Gowa-Tallo mengalahkan kerajaan Wajo tahun 1610 dan Bone tahun 1611. Karena adanya ancaman dari VOC, kerajaan Gowa-Tallo mengadakan hubungan baik dengan Portugis. Sejak tahun 1616 antara kerajaan Gowa dan VOC terjadi permusuhan. Perang besar-besaran terjadi tahun 1654-1655. Tahun 1656 ada perjanjian perdamaian, tetapi kemudian terjadi peperangan antara kerajaan Gowa di bawah Sultan Hasanuddin melawan VOC yang dibantu tentara Bugis di bawah Arung Palaka. Perang berakhir melalui Perjanjian Bongaya tahun 1667, kerajaan Gowa diseahkan kepada VOC. Tahun 1670 kerajaan Wajo diserang VOC bersama tentara Bone. Kerajaan wajo menyerah, kerajaan diserahkan kepada VOC.

35

Di Nusa Tenggara, masuknya agama Islam ke Lombok diperkirakan pada abad ke-16 yang diperkenalkan oleh Sunan Perapen, putra Sunan Giri. Akan tetapi, Islam masuk ke Sumbawa mungkin melalui Sulawesi, melalui para mubaligh dari Makassar antara tahun 1540-1550. Pusat kerajaan Lombok di Selaparang di bawah pemerintahan prabu Rangkesari mengalami zaman keemasan. Kerajaan Lombok dan kerajaan-kerajaan di Sumbawa dikuasai kerajaan Gowa. Setelah terjadi perjanjian Bongaya, kerajaankerajaan di Nusa Tenggara ditekan VOC. Kerajaan Lombok dan Sumbawa akhirnya dikuasai VOC. Di Nusa Tenggara ada juga kerajaan Bima dengan raja pertama Ruma Ta Ma Bata Wada yang bergelar Sultan Bima I atau Sultan Abdul Kahir. Kerajaan Bima akhirnya dikuasai oleh VOC. Di Maluku, kerajaan Islam yang menonjol adalah kerajaan Ternate dan Tidore. Islam memasuki Maluku antara tahun 1460-1465. Ternate di bawah Sultan Hairun berhasil mempersatukan daerah-daerah di Maluku Utara di bawah Ternate.Akan tetapi persatuan itu pecah lagi setelah kedatangan orang Portugis dan Spanyol ke Tidore. Portugia memusatkan perhatiannya ke Ternate, Spanyol ke Tidore. Tahun 1565 Sultan Khairun menyerang Portugis, tahun 1570 sultan ini dibunuh Portugis. Putranya, Sultan Baabullah, meneruskan perlawanan dan dapat mengusir Portugis dari Ternate. Akan tetapi setalah Baabullah meninggal, Ternate diserang orang Spanyol. Rajanya ditangkap dan diasingkan ke Manila. Dari uraian di atas tampak bahwa di Indonesia sebelum berdiri Negara Kesatuan RI tahun 1945, terdapat banyak sekali penguasa-penguasa daerah atau wilayah yang dinamakan kerajaan atau kesultanan atau lainnya. Setiap penguasa bebas untuk melakukan ekspansi ke wilayah penguasa lain dalam rangka untuk memperluas wilayah dan memperbesar kekuasaan mereka, asal mereka kuat. Siapa yang kuat, dia yang mempunyai kekuasaan luas dan besar. Suatu kerajaan atau kesultanan setelah berdiri kemudian tumbuh, berkembang dalam waktu lama, namun bisa juga menjadi kecil kembali bahkan mati karena dikalahkan oleh penguasa lain. Besar kecilnya kerajaan tergantung pada raja yang memerintah. Keadaan seperti itu terjadi terus silih berganti. Waktu itu, di wilayah Indonesia tidak ada satu kekuatan yang tetap yang menjadi super power. Setiap kerajaan atau kesultanan melakukan ekspansi untuk bisa menjadi maharaja

36

atau super power. Ada dua kerajaan yang besar yang oleh Sukarno dan Muhammad yamin sebagai Nationale Staat yaitu Sriwijaya dan Majapahit. Selain banyaknya kerajaan atau kesultanan, dalam hal pergantian raja atau sultan sering terjadi kericuhan di antara keluarga atau bahkan terjadi pembunuhan terhadap raja yang berkuasa, meskipun telah ada semacam aturan. Pelanggaran terhadap aturan dan adanya ambisi untuk menggantikan raja sebelumnya sering memicu adanya perangperang. Setelah datang bangsa Barat khususnya Belanda dengan VOC-nya, muncul kekuatan baru di Indonesia di samping kerajaan-kerajaan. Kekuatan baru ini pun berusaha untuk mengembangkan usahanya. Dalam rangka itu, sering terjadi bentrokanbentrokan dan peperangan-peperangan dengan kerajaan-kerajaan tersebut. Politik devide et impera dilakukan Belanda untuk memperluas wilayah dan memperbesar

kekuasaannya. Perang-perang terhadap Belanda selalu diakhiri dengan perjanjian yang selalu merugikan pihak kerajaan. Dalam suatu perjanjian paling sedikit Belanda mendapat hak monopoli dalam perdagangan, lebih dari itu Belanda memperoleh sebagian bahkan bisa seluruh wilayah suatu kerajaan, dan Belanda diakui sebagai penguasa di atasnya. Usaha dari phak kerajaan maupun rakyat untuk mengusir Belanda dari wilayah suatu kerajaan karena dirasa sangat menekan dan merugikan, sering terjadi yang dilakukan oleh seorang raja dan atau keluarga raja. Perang-perang itu dilakukan sejak abad ke-17 hingga awal abad ke-20. Perlawanan-perlawanan itu antara lain perlawanan oleh Sultan Hasanuddin dari Sulawesi Selatan, Sultan Agung dari Mataram, Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten, Diponegoro dari Jawa Tengah, Pangeran Antasari dari Banjar, Imam Bonjol dari Sumatra Barat, dan Teuku Umar dari Aceh. Perang-perang itu yang masih bersifat kedaerahan dapat disebut sebagai rasa proto nasionlisme di kalangan mereka. Mereka bersatu untuk bersama-sama melawan Belanda, bahkan sering terjadi di antara kerajaan-kerajan digunakan oleh Belanda untuk bersamanya melawan suatu kerajaan. Karena kalahnya persenjataan pihak kerajaan, dan karena taktik dan politik devide et impera Belanda, maka kerajaan-kerajaan yang mengadakan perlawanan mengalami kekalahan. Akhirnya semua kerajaan di Indonesia setelah kalahnya Aceh pada tahun 1904 berada di bawah kekuasaan Belanda. Tahun 1905 Belanda

37

mencanangkan Pax Neerlandica, bahwa seluruh wilayah Nusantara sebagai wilayah Hindia Belanda menjadi satu pengawasan keamanan oleh Belanda.

2.3.

Konsep Indonesia Dalam membicarakan Pembentukan bangsa Indonesia, perlu dikemukakan

tentang kata atau nama Indonesia. Kata atau nama tersebut diusulkan oleh J.R. Logan, seorang etnolog Inggris di Pinang yang menjadi redaktur Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia. Pada tahun 1850 ia melalui artikelnya berjudul The Ethnology of the Indian Archipelago: Embracing inquires into the continental relation of the Indo-Pacific Inlanders mengusulkan istilah atau kata Indonesia untuk nama pulaupulau atau kepulauan Hindia dan penduduknya. Akan tetapi sebelumnya, seorang etnolog Inggris lainnya, G. Windsor(?) Winsdor(?) Earl dalam majalah yang sama menulis tentang ciri-ciri utama penduduk Irian, penduduk asli Australia, dan Melayu-Polinesia. Ia mengusulkan digunakannya istilah Indus-nesians dan Melayu-nesians bagi penduduk kepulauan Hindia. Ia memberi pertimbangan bahwa istilah penduduk Hindia sebagai kelompok pulau-pulau, tidak memberikan pengertian tepat dan jelas bagi penduduk pribumi. Earl lebih suka pada pemakaian istilah Melayu-nesians karena istilah Indu-nesians terlalu luas karena termasuk di dalamnya penduduk Sailon, Kepulauan Maladiva, dan Lakadiva. Adolf Bastian, sarjana Jerman, kemudian menggunakan kata Indonesien sebagai judul bukunya yaitu Indonesien onder die Insln des Malayischen Archipels yang terbit tahun 1884. Adapun yang dimaksud oleh A. Bastian dengan istilah tersebut adalah istilah di bidang etnografi. Sejak itu istilah tersebut dipakai dalam ilmu etnologi, hukum adat, dan ilmu bahasa. Para guru besar Universitas Leiden seperti R.A. Kern, Snouck Horgronye, dan Prof. Van Vollenhoven menyebarluaskan pemakaian iastilah Indonesi, Indonesir, dan ajektif Indonesisch dalam karya mereka. Kemudian para mahasiswa Indonesia di Negeri Belanda yang tergabung Perhimpunan Indonesia (PI) mengetahui istilah-istilah tersebut. Pada tahun 1913 Suwardi Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantara ketika menjalani pembuangan di Nederland memberikan nama biro pers yang didirikannya dengan Indonesisch Persbureau. Nama organisasi mahasiswa Indonesia yang semula bernama

38

Indische Vereeniging tahun 1922 diganti menjadi Indonesische Vereeniging dan tahun 1924 nama Indonesische Vereeniging diganti menjadi Perhimpunan Indonesia. Nama majalahnya yang semula bernama Hindia Putera pada tahun 1922 diganti dengan Indonesia Merdeka. Perhimpunan Indonesia menggunakan nama Indonesia dalam pengertian politik ketatanegaraan yang artinya sama dengan Nederlandsch-Indi. J.Th. Petrus Blumberger, penulis buku De Nationalistische Beweging in Nederlandsch Indi yang terbit tahun 1931 menyatakan bahwa sekitar tahun 1925 banyak organisasi yang berwawasan nasional memakai namaIndonesia sebagai pengganti Nederlandsch-Indi.8

2.4.

Pembentukan Bangsa dan Negara Indonesia Memasuki tahun 1901, Ratu Wilhelmina mengumumkan di depan Parlemen

Belanda program pemerintah. Ia mengakui bahwa pemerintah Belanda telah mengeruk keuntungan yang besar sekali dari Hindia Belanda, sementara penduduknya semakin miskin. Dikatakan bahwa pada masa datang, pemerintah akan memperbaiki kesejahteraan rakyat. Diakuinya bahwa Belanda telah berhutang budi kepada rakyat Indonesia, karena itu Pemerintah Belanda akan membalasnya dengan melaksanakan politik etika. Dalam kaitan politik itu pemerintah akan memperluas pendidikan Barat bagi anak Indonesia khususnya anak-anak kalangan atas. Garis politik pemerintah Hindia Belanda yang seperti itu pertama kali dikemukakan oleh anggota Parlemen Belanda Van Dedem tahun 1891. Perjuangan melancarkan politik kolonial yang baru itu kemudian diteruskan oleh Van Kol, C. Th. Van Deventer, dan P. Brooschooft, pemimpin redaksi surat kabar De Locomotief. Van Deventer, pemimpin kaum liberal, tahun 1899 menulis karangan di Jurnal De Gids berjudul Een Eereschuld (Hutang Budi). Dalam karangannya ia mengecam politik pemerintah Belanda yang tidak memisahkan keuangan negera Belanda dengan daerah jajahan, Hindia Belanda. Menurut Kielstra berdasarkan hasil surveinya bahwa sejak tahun 1816 uang yang disedot pemerintah Belanda dari Indonesia sebesar 832 juta gulden. Tulisan Van Deventer tersebut berpengaruh terhadap perubahan politik kolonial di Hindia Belanda.

8

Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Poesponegoro, dan Nugroho Notosusanto, Sejarah nasional Indonesia, Jilid V, Yakarta: Departemen P dan K, 1976, 290.

39

Politik etika yang dilaksanakan mulai tahun 1901 mempunyai dua tujuan yaitu pertama, meningkatkan kesejahteraan penduduk pribumi; dan kedua, berangsur-angsur menumbuhkan otonomi dan desentralisasi politik di Hindia Belanda. Akan tetapi, dalam kenyataannya, peralihan kekuasaan dari Negeri Belanda ke Hindia Belanda tidak pernah dilaksanakan, kecuali untuk beberapa tahun pada waktu pecah Perang Dunia I ketika komunikasi antara negeri Belanda dan Hindia Belanda terputus. Sementara itu, di luar Indonesia pada awal abad ke-20 terjadi peristiwa-peristiwa penting yang berdampak terhadap bangsa Asia, khususnya Indonesia. Peristiwa

kemenangan Jepang terhadap Rusia tahun 1905 menunjukkan bahwa bangsa Barat dapat dikalahkan oleh bangsa Timur. Kemenangan Jepang tersebut merupakan Kebangkitan Asia menimbulkan gelombang antusiasme di Asia. Di Turki muncul gerakan Turki Muda untuk mencapai perbaikan nasib, yang akhirnya tahun 1908 muncul revolusi anti kaum kolot. Kejadian-kejadian tersebut secara tidak langsung berpengaruh terhadap munculnya gerakan nasional di Indonesia. Sejalan dengan perubahan politik pemerintah kolonial yang hendak memajukan bidang pendidikan, dokter Wahidin Sudirohusodo yang sejak tahun 1901 menjadi redaktur majalah Retnodhumilah, melalui majalahnya ia mempropagandakan pentingnya pendidikan. Menurut pendapatnya bahwa pendidikan merupakan kunci kemajuan, diperlukan pendidikan secukupnya bagi kalangan luas orang pribumi. Ia

mempropagandakan tentang pemberian beasiswa bagi pemuda-pemuda yang pandai tetapi tidak mampu. Kemudian, karena cara tersebut dinilai kurang efektif, ia meletakkan jabatan sebagai redaktur Retnodhumilah karena alasan kesehatan. Selanjutnya sejak bulan November 1906, ia melakukan perjalanan keliling pulau Jawa untuk mempropagandakan cita-citanya. Ia yang didampingi Pangeran Noto Dirojo, putra Paku Alam V, mula-mula mendekati para priyayi yang lebih tua dan lebih tinggi, khususnya bupati yang kaya dan berpengaruh. Pada akhir tahun 1907 dalam perjalannya yang jauh, ia berhenti dan beristirahat di Jakarta. Ketika berada di Jakarta, ia diundang Sutomo dan Suraji ke sekolah STOVIA (School tot Opleiding voor Inlandsche Artsen) untuk mendengarkan gagasan-gagasannya. Maksud Wahidin untuk mendirikan Dana Belajar itu dibicarakan oleh Sutomo dengan teman-temannya di STOVIA. Tujuan untuk mendirikan suatu Dana Belajar itu diperluas jangkauannya. Demikianlah pada tanggal 20 Mei 1908 di sekolah

40

STOVIA oleh pelajar-pelajar STOVIA didirikan organisasi bernama Budi Utomo dan Sutomo ditunjuk sebagai ketua. Budi Utomo merupakan organisasi pribumi pertama menurut model Barat, suatu organisasi yang pengurusnya secara periodik dipilih, mempunyai Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, mempunyai program, mengadakan rapat-rapat, kongres, dan anggotanya mempunyai hak suara. Lahirnya BU oleh Akira Nagazumi sebagai bangkitnya nasionalisme Indonesia. Setelah itu, mahasiswa Indonesia yang belajar di Negeri Belanda pada tahun yang sama mendirikan organisasi bernama Indische Vereeniging (IV) yang bergerak di bidang sosial dan kebudayaan. Pada tahun-tahun belasan, karena mengikuti jejak BU di satu pihak dan karena adanya pengaruh dari luar Indonesia, bermunculan berbagai macam organisasi. 9 Secara khronologis, tahun 1911 di Solo, Jawa Tengah berdiri organisasi Sarekat Dagang Islam (SDI) oleh H. Samanhudi yang bergerak di bidang social ekonomi. Organisasi itu didirikan untuk menghadapi pedagang-pedagang Cina di kota itu yang telah mempermainkan harga bahan batik. Setahun kemudian, namanya diganti menjadi Sarekat Islam (SI) agar lebih banyak orang-orang Islam dapat masuk menjadi anggota. Di Yogyakarta tahun 1912 K.H. Ahmad Dahlan mendirikan organisasi sosial keagamaan bernama Muhammadiyah. Pada tahun 1912 E.F.E. Douwes Dekker di Bandung mendirikan organisasi politik Indische Partij, statu organisasi yang pertama kali memakai nama partai yang mempunyai konsep nasionalisme Hindia (Indisch Nationalism). Organisasi ini yang menerima berbagai etnik yaitu kaum Indo-Eropa dan pribumi, radikal, menuntut kemerdekaan Hindia. H.J.F.M. Sneevliet tahun 1914 di Semarang mendirikan Indische Social Democratische Vereeniging (ISDV), suatu organisasi yang bersifat internasional menyebarkan ideologi sosialisme. Dalam perkembangannya, karena pengaruh revolusi Rusia, organisasi ini tahun 1923 berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Selain organisasi politik, berdiri juga sarekat-sarekat sekerja, organisasi pemuda,9

perempuan,

dan kepanduan.

Organisasi-organisasi tersebut

Kejadian-kejadian di luar Indonesia yang menambah kemauan mendirikan organisasi di Indonesia adalah Revolusi di Tiongkok tahun 1911 yang menggulingkan pemerintahan Dinasti Manchu dan berdirinya Republik Tiongkok; pan-Islamisme, menyebarnya ajaran Marxismo (sosialisme dan sesudah revolusi di Rusia juga komunisme), azas-azas Perjanjian Versailles yang tidak dijalankan (hak bangsa untuk mengatur diri sendiri), berdirinya Volkenbond dan Labour office, gerakan di Irlandia, gerakan di India ; empat belas Pasal Presiden Woodrow Wilson dari Amerika Serikat, khususnya hak menentukan nasib sendiri bangsabangsa.

41

merupakan organisasi gerakan nasional yang tujuan akhirnya adalah kemerdekaan Indonesia. Mahasiswa Indonesia di Negri Belanda yang datang ke sana setelah Perang Dunia Kedua, lebih banyak kesadaran politiknya dari pada angkatan-angkatan sebelumnya. Sebabnya karena mereka sebelum berangkat ke Negeri Belanda telah memasuki berbagai gerakan kebangsaan. Mereka terus bergabung dalam organisasi mahasiswa Indonesia Indische Vereeniging (IV) yang didirikan tahun 1908. Pada tahun 1920-an peran sosial dan kebudayaan dari IV masih ada, tetapi yang utama adalah bidang politik. Pada tahun 1922 namanya diubah menjadi Indonesische Vereeniging10 dan nama majalahnya yang semula bernama Hindia Poetera diganti menjadi Indonesia Merdeka.11 Pada tahun 1924 keterangan dasar IV adalah sebagai berikut: (1) Hanya Indonesia yang bersatu, dengan menyingkirkan perbedaan-perbedaan golongan, dapat mematahkan kekuasaan

penjajahan; (2) Tujuan bersama memerdekakan Indonesia menghendaki adanya suatu aksi massa nasional yang insyaf dan berdasar kepada tenaga sendiri; (3) Melihat dua macam penjajahan, politik dan ekonomi, aksi itu adalah suatu persediaan bagi kemerdekaan politik dan satu sikap menentang kapital asing yang menyedot kekayaan Indonesia. Ketua IV Nazir Pamoncak menegaskan politik nonkoperasi sebagai sendi perjuangan rakyat Indonesia. Kerjasama dengan si penjajah untuk mencapai cita-cita kemerdekaan Indonesia, tidak lain dari menipu diri sendiri. Kerjasama hanya mungkin antara dua golongan yang sama hak, kewajibannya, dan kepentingannya. Apabila syarat ini tidak dipenuhi, maka kerja sama berarti mempermainkan yang lemah oleh yang kuat, memperlakukan yang lemah sebagai alat untuk kepentingannya sendiri. Sebab itu PI menolak kerjasama dan tetap menuju tujuan sendiri. 12 Sejak 8 Februari 1925 nama organisasi diganti menjadi Perhimpunan Indonesia (PI),13 dan organisasai dikembangkan

10 11

Mohammad Hatta, Memoir, hlm. 126. PI adalah organisasi pertama yang pertama kali menggunakan Istilah Indonesia sebagai nama organisasinya. 12 Mohammad Hatta, Memoir, hlm. 156 dan 158. 13 Mohammad Hatta, Memoir, hlm. 171.

42

menjadi organisasi yang mengutakan masalah-masalah politik sebagai bagian dari identitas nasional yang baru.14 Perkembangan PI menjadi organisasi politik terutama merupakan hasil usaha Mohammad Hatta. Kegiatan PI diarahkan untuk mencapai tiga tujuan, pertama, menyadarkan mahasiswa agar semakin percaya merasa diri sebagai orang Indonesia. Kedua, PI harus berusaha menghapuskan gambaran tentang Indonesia yang diciptakan oleh pemerintah Belanda. Ketiga, yang terpenting adalah mereka harus mengembangkan ideologi yang kuat dan bebas dari pembatasan-pembatasan Islam dan komunisme.15 Para anggota PI dari Negeri Belanda mengamati gerakan nasional di Indonesia. Mereka kecewa terhadap semangat partai-partai politik dan terhadap kegagalan mereka menciptakan suatu organisasi massa yang kuat untuk melawan Belanda. Oleh karena itu mereka membuat ideologi baru sebagai langkah pertama untuk menyusun gerakan kebangsaan jika mereka kembali ke tanah air. Ada empat pikiran pokok dalam ideologi PI yang dikembangkan sejak tahun 1925. Ideologi PI menempatkan kemerdekaan