2
Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan I ndustri manufaktur di Indonesia mengalami pertumbuhan yang nggi pada periode akhir 1980-an hingga akhir tahun 1997 sebagai dampak kebijakan di sektor industri yang bersifat outward looking. Kebijakan yang bertujuan mendorong industri berorientasi ekspor ini (outward looking) dimulai sejak tahun 1985 melalui reformasi kepabeanan yang telah mengurangi clearing me dan biaya impor untuk bahan baku. Pemerintah juga membentuk Pusat Pengelolaan Pembebasan dan Pengembalian Bea Masuk (P4BM) yang memberikan fasilitas pengembalian pajak dan pengecualian tarif bagi perusahaan yang melakukan ekspor. Selain itu deregulasi investasi juga dilakukan untuk menarik Foreign Direct Investment (FDI). Kebijakan tersebut telah berhasil meningkatkan FDI Indonesia dari USD 1,7 pada tahun 1986 menjadi USD 12,5 pada tahun 1991 (ADB, 2014). Berbagai paket kebijakan pemerintah telah berhasil meningkatkan ekspor manufaktur Indonesia dari hanya 7% menjadi 50% dari total ekspor pada tahun 1997. Dalam arkel Asian Development Bank (ADB) tahun 2014 menyebutkan bahwa keberhasilan Indonesia dalam meningkatkan industri yang berorientasi ekspor merupakan hasil dari berbagai macam reformasi yang memiliki dampak beragam terhadap industri dan antar sektor. Pada periode emas industrialisasi Indonesia, produk hasil olahan sumber daya alam Indonesia mengalami peningkatan daya saing di pasar internasional seper produk kayu olahan dan industri kertas. Produk teksl, pakaian jadi, sepatu dan elektronik juga masih menjadi produk ekspor utama Indonesia hingga sekarang. Ekspor manufaktur Indonesia juga terus mengalami diversifikasi dengan produk manufaktur yang semakin beragam. Indonesia kemudian muncul sebagai negara eksporr untuk produk manufaktur yang cukup signifikan di dunia (UNIDO, 2010). Keberhasilan Indonesia dalam membangun industri manufaktur dalam mendorong ekspor juga diiku oleh pesaing Indonesia seper Thailand, Filipina, India, Pakistan, Malaysia, dan Singapura. Bahkan, Vietnam muncul sebagai negara industri baru di mana kontribusi manufaktur terhadap total ekspor meningkat pesat dari hanya 63% tahun 2000 menjadi 86% tahun 2013 (UNIDO, 2010). PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI MANUFAKTUR INDONESIA, MUNGKINKAH? Indikator daya saing (Revealed Comparave Advantage/RCA) menunjukkan bahwa Indonesia masih menspesialisasikan ekspor manufakturnya pada industri berbasis sumber daya alam (NRI) dan padat karya (ULI). Hal ini menunjukkan industri manufaktur Indonesia masih terkonsentrasi pada industri dengan nilai tambah yang kecil. dapat lebih cepat untuk turut serta dalam GVC karena spesialisasi pada suatu proses produksi tertentu berdasarkan faktor produksi yang dimiliki. Selain itu negara berkembang lain juga akf dalam melakukan kerjasama perdagangan untuk mengurangi hambatan perdagangan sehingga arus barang menjadi lebih lancar. Pemanfaatan Global Value Chain Indikator daya saing (RCA) menunjukkan bahwa Indonesia masih menspesialisasikan ekspor manufakturnya pada industri berbasis sumber daya alam (NRI) dan padat karya (ULI). Nilai RCA untuk kedua industri tersebut sebesar 0,39 masih relaf lebih nggi dibandingkan kelompok industri lainnya seper HCI -0,44; PCI dan TI sebesar -0.45. Walaupun demikian indikator RCA untuk HCI, PCI, dan TI mengalami peningkatan namun masih ternggal dari sesama negara berkembang lainnya. Spesialisasi ekspor manufaktur Indonesia pada NRI dan ULI menunjukkan industri manufaktur Indonesia masih terkonsentrasi pada industri dengan nilai tambah yang kecil. Daya saing untuk NRI didorong oleh kekayaan sumber daya alam Indonesia, sementara daya saing industri ULI didukung oleh kebijakan upah yang relaf rendah. Hal yang juga perlu menjadi perhaan adalah permintaan dunia untuk kedua kelompok industri ini cenderung melambat dibandingkan dengan kelompok industri HCI, PCI, dan TI. Dari nilai indikator RCA untuk HCI, PCI, dan TI yang masih dibawah nol menunjukkan bahwa Indonesia belum berhasil dalam meningkatkan struktur ekspor ke arah industri yang lebih produkf. Kenyataanya, perdagangan dunia untuk kelompok industri ini terus meningkat. Kondisi seper ini jika berlanjut terus akan menjadi hambatan dalam mempertahankan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Indonesia harus lebih menekankan perkembangan industri manufakturnya untuk meningkatkan kualitas struktur ekspor dengan memfasilitasi pengembangan industri manufaktur yang lebih bernilai tambah. Selain itu, seper yang telah digambarkan pada Gambar 7, perdagangan intra-industri Indonesia dibandingkan dengan negara lainnya masih relaf kecil. Hal tersebut menjadi salah satu indikator bahwa perdagangan pada industri manufaktur Indonesia kurang memanfaatkan Global Value Chain (GVC) dibandingkan negara berkembang lainnya. Dengan meningkatnya perdagangan dalam rangkaian GVC di dunia, sudah saatnya Indonesia menentukan strategi industri dan perdagangan yang berorientasi pada pemanfaatan GVC secara opmal. (Endah Ayu Ningsih & Rizky Eka Putri) Intra-Industry Trade Tren perekonomian global saat ini dengan adanya liberalisasi yang dilakukan oleh hampir semua negara di dunia telah mengurangi hambatan dalam perdagangan secara signifikan. Dampak yang paling besar adalah peningkatan perdagangan pada industri manufaktur. Liberalisasi telah meningkatkan ketergantungan suatu negara terhadap barang impor dalam menopang produksi dan mendorong ekspor. Ketergantungan industri terhadap impor tersebut menciptakan perdagangan yang bersifat intra- industri (Intra-Industry Trade). Data dalam Gambar 7 di bawah menunjukkan bahwa 70% dari total negara mengalami peningkatan perdagangan intra industri dalam sepuluh tahun terakhir. Banyak penelian yang mengungkapkan bahwa akfitas dalam Global Value Chain (GCV) merupakan faktor utama dalam peningkatan perdagangan intra-industri. Global Value Chain dapat diarkan sebagai pembagian rantai produksi suatu barang ke beberapa negara sehingga proses pembuatan suatu barang dari barang mentah hingga barang jadi dak harus berada di satu negara. GVC mendorong perdagangan intra-industri karena dalam proses produksi barang intermediate diperdagangankan antara negara dalam beberapa kali sampai menjadi barang jadi. Sumber: COMTRADE (2015), diolah Gambar 7. Intra-Industry Trade (IIT). Perdagangan intra industri Indonesia seper yang ditunjukkan pada Gambar 7 berada di angka 47,52 pada tahun 2000 dan 55,9 pada tahun 2013. Angka pada tahun 2013 ini relaf lebih rendah dibandingkan negara tetangga di Asia Tenggara dan juga lebih rendah dibandingkan negara- negara di Asia Timur dan Amerika Lan. Negara-negara berkembang lainnya

PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Peningkatan...Pada periode emas industrialisasi Indonesia, produk hasil olahan sumber daya alam Indonesia

  • Upload
    vantram

  • View
    224

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Peningkatan...Pada periode emas industrialisasi Indonesia, produk hasil olahan sumber daya alam Indonesia

Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan

Industri manufaktur di Indonesia mengalami pertumbuhan yang tinggi pada periode akhir 1980-an hingga akhir tahun 1997 sebagai

dampak kebijakan di sektor industri yang bersifat outward looking. Kebijakan yang bertujuan mendorong industri berorientasi ekspor ini (outward looking) dimulai sejak tahun 1985 melalui reformasi kepabeanan yang telah mengurangi clearing time dan biaya impor untuk bahan baku. Pemerintah juga membentuk Pusat Pengelolaan Pembebasan dan Pengembalian Bea Masuk (P4BM) yang memberikan fasilitas pengembalian pajak dan pengecualian tarif bagi perusahaan yang melakukan ekspor. Selain itu deregulasi investasi juga dilakukan untuk menarik Foreign Direct Investment (FDI). Kebijakan tersebut telah berhasil meningkatkan FDI Indonesia dari USD 1,7 pada tahun 1986 menjadi USD 12,5 pada tahun 1991 (ADB, 2014). Berbagai paket kebijakan pemerintah telah berhasil meningkatkan ekspor manufaktur Indonesia dari hanya 7% menjadi 50% dari total ekspor pada tahun 1997. Dalam artikel Asian Development Bank (ADB) tahun 2014 menyebutkan bahwa keberhasilan Indonesia dalam meningkatkan industri yang berorientasi ekspor merupakan hasil dari berbagai macam reformasi yang memiliki dampak beragam terhadap industri dan antar sektor.

Pada periode emas industrialisasi Indonesia, produk hasil olahan sumber daya alam Indonesia mengalami peningkatan daya saing di pasar internasional seperti produk kayu olahan dan industri kertas. Produk tekstil, pakaian jadi, sepatu dan elektronik juga masih menjadi produk ekspor utama Indonesia hingga sekarang. Ekspor manufaktur Indonesia juga terus mengalami diversifikasi dengan produk manufaktur yang semakin beragam. Indonesia kemudian muncul sebagai negara eksportir untuk produk manufaktur yang cukup signifikan di dunia (UNIDO, 2010). Keberhasilan Indonesia dalam membangun industri manufaktur dalam mendorong ekspor juga diikuti oleh pesaing Indonesia seperti Thailand, Filipina, India, Pakistan, Malaysia, dan Singapura. Bahkan, Vietnam muncul sebagai negara industri baru di mana kontribusi manufaktur terhadap total ekspor meningkat pesat dari hanya 63% tahun 2000 menjadi 86% tahun 2013 (UNIDO, 2010).

PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI MANUFAKTUR INDONESIA, MUNGKINKAH?

Indikator daya saing (Revealed Comparative Advantage/RCA) menunjukkan bahwa Indonesia masih menspesialisasikan ekspor manufakturnya pada industri berbasis sumber daya alam (NRI) dan padat karya (ULI). Hal ini menunjukkan industri manufaktur Indonesia masih terkonsentrasi pada industri dengan nilai tambah yang kecil.

dapat lebih cepat untuk turut serta dalam GVC karena spesialisasi pada suatu proses produksi tertentu berdasarkan faktor produksi yang dimiliki. Selain itu negara berkembang lain juga aktif dalam melakukan kerjasama perdagangan untuk mengurangi hambatan perdagangan sehingga arus barang menjadi lebih lancar.

Pemanfaatan Global Value ChainIndikator daya saing (RCA) menunjukkan bahwa Indonesia masih

menspesialisasikan ekspor manufakturnya pada industri berbasis sumber daya alam (NRI) dan padat karya (ULI). Nilai RCA untuk kedua industri tersebut sebesar 0,39 masih relatif lebih tinggi dibandingkan kelompok industri lainnya seperti HCI -0,44; PCI dan TI sebesar -0.45. Walaupun demikian indikator RCA untuk HCI, PCI, dan TI mengalami peningkatan namun masih tertinggal dari sesama negara berkembang lainnya. Spesialisasi ekspor manufaktur Indonesia pada NRI dan ULI menunjukkan industri manufaktur Indonesia masih terkonsentrasi pada industri dengan nilai tambah yang kecil. Daya saing untuk NRI didorong oleh kekayaan sumber daya alam Indonesia, sementara daya saing industri ULI didukung oleh kebijakan upah yang relatif rendah. Hal yang juga perlu menjadi perhatian adalah permintaan dunia untuk kedua kelompok industri ini cenderung melambat dibandingkan dengan kelompok industri HCI, PCI, dan TI.

Dari nilai indikator RCA untuk HCI, PCI, dan TI yang masih dibawah nol menunjukkan bahwa Indonesia belum berhasil dalam meningkatkan struktur ekspor ke arah industri yang lebih produktif. Kenyataanya, perdagangan dunia untuk kelompok industri ini terus meningkat. Kondisi seperti ini jika berlanjut terus akan menjadi hambatan dalam mempertahankan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Indonesia harus lebih menekankan perkembangan industri manufakturnya untuk meningkatkan kualitas struktur ekspor dengan memfasilitasi pengembangan industri manufaktur yang lebih bernilai tambah.

Selain itu, seperti yang telah digambarkan pada Gambar 7, perdagangan intra-industri Indonesia dibandingkan dengan negara lainnya masih relatif kecil. Hal tersebut menjadi salah satu indikator bahwa perdagangan pada industri manufaktur Indonesia kurang memanfaatkan Global Value Chain (GVC) dibandingkan negara berkembang lainnya. Dengan meningkatnya perdagangan dalam rangkaian GVC di dunia, sudah saatnya Indonesia menentukan strategi industri dan perdagangan yang berorientasi pada pemanfaatan GVC secara optimal. (Endah Ayu Ningsih & Rizky Eka Putri)

Intra-Industry TradeTren perekonomian global saat ini dengan adanya liberalisasi yang

dilakukan oleh hampir semua negara di dunia telah mengurangi hambatan dalam perdagangan secara signifikan. Dampak yang paling besar adalah peningkatan perdagangan pada industri manufaktur. Liberalisasi telah meningkatkan ketergantungan suatu negara terhadap barang impor dalam menopang produksi dan mendorong ekspor. Ketergantungan industri terhadap impor tersebut menciptakan perdagangan yang bersifat intra-industri (Intra-Industry Trade).

Data dalam Gambar 7 di bawah menunjukkan bahwa 70% dari total negara mengalami peningkatan perdagangan intra industri dalam sepuluh tahun terakhir. Banyak penelitian yang mengungkapkan bahwa aktifitas dalam Global Value Chain (GCV) merupakan faktor utama dalam peningkatan perdagangan intra-industri. Global Value Chain dapat diartikan sebagai pembagian rantai produksi suatu barang ke beberapa negara sehingga proses pembuatan suatu barang dari barang mentah hingga barang jadi tidak harus berada di satu negara. GVC mendorong perdagangan intra-industri karena dalam proses produksi barang intermediate diperdagangankan antara negara dalam beberapa kali sampai menjadi barang jadi.

Sumber: COMTRADE (2015), diolahGambar 7. Intra-Industry Trade (IIT).

Perdagangan intra industri Indonesia seperti yang ditunjukkan pada Gambar 7 berada di angka 47,52 pada tahun 2000 dan 55,9 pada tahun 2013. Angka pada tahun 2013 ini relatif lebih rendah dibandingkan negara tetangga di Asia Tenggara dan juga lebih rendah dibandingkan negara-negara di Asia Timur dan Amerika Latin. Negara-negara berkembang lainnya

Page 2: PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Peningkatan...Pada periode emas industrialisasi Indonesia, produk hasil olahan sumber daya alam Indonesia

Gambar 1. Ekspor Industri Manufaktur sebagai Persentase dari GDP.Sumber: COMTRADE (2015), diolah

Manufaktur memberikan kontribusi sebesar 70,9% terhadap total ekspor Indonesia pada tahun 2000 (Gambar 1). Nilai tersebut relatif masih rendah jika dibandingkan kontribusi sektor ini di negara berkembang lainnya. Thailand, Malaysia, dan Filipina pada tahun 2000 telah menggantungkan perdagangannya pada sektor manufaktur dimana 90% lebih ekspornya disumbang oleh sektor tersebut. Sementara itu negara berkembang Asia lainnya seperti Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan India juga menjadikan manufaktur sebagai sektor andalan yang mendorong ekspor. Tren yang terjadi saat ini adalah banyak negara yang mulai mengurangi ketergantungan pada sektor manufaktur dalam total ekspornya. Negara seperti Thailand misalnya, persentase ekspor manufaktur dibandingkan ekspor produk lain di tahun 2000 adalah sebesar 95,06%. Jumlah ini kemudian menurun di tahun 2013 menjadi sebesar 93,43%. Negara lain juga mengalami penurunan seperti Filipina, dari angka 97,3% menjadi 89,23%. Walaupun begitu, seperti yang terlihat dalam Gambar 1, Indonesia merupakan negara yang mengalami penurunan persentase ekspor paling banyak yaitu 70,87% di tahun 2000 menjadi 60,54% di tahun 2013.

Daya Saing Industri ManufakturDalam melihat daya saing industri manufaktur, tulisan ini melihatnya

dari indikator RCA yang dikaitkan dengan industri manufaktur berdasarkan pada ekspor terkait tahapan perkembangannya. Ekspor terkait dengan tingkat perkembangan industri suatu negara dapat digolongkan menjadi lima kategori. Tahap pertama adalah industri yang berbasis sumber daya

alam (Natural Resource Intensive/NRI), tahap kedua adalah tahap industri padat karya (Unskill-Labour Intensive/ULI) yang dicirikan sebagai industri padat karya. Tahap ketiga adalah industri padat karya yang membutuhkan tingkat keterampilan yang lebih tinggi (Human Capital Intensive/HCI). Pada tahap ke empat, industri berkembang menjadi industri yang padat modal (Phisical Capital Intensive/PCI). Tahap akhir adalah industri yang berbasis teknologi dan ilmu pengetahuan (Technology Intensive/TI).

Daya saing ekspor dapat diukur dengan menggunakan indeks Revealed Comparative Advantage (RCA). RCA digunakan dalam konteks perdagangan internasional untuk mengukur keunggulan dan ketidakunggulan relatif dari suatu negara dalam perdagangan barang jasa dengan menggunakan data perdagangan yang telah ada. RCA pada dasarnya merupakan besaran relatif antara share ekspor suatu barang dalam total ekspor suatu negara terhadap share ekspor untuk barang tersebut di dunia. Misalnya untuk produk elektronik, jika share ekspor elektronik dalam total ekspor Indonesia lebih besar dari share ekspor elektronik dalam perdagangan dunia (total seluruh negara yang mengekspor produk elektronik), maka Indonesia dikatakan memiliki keunggulan komparatif dalam produk elektronik. Dalam menjelaskan daya saing, Gambar 2 sampai Gambar 6 menggunakan RCA simetris di mana nilai nol menandakan batas antara keunggulan komparatif (nilai RCA positif) dengan ketidakunggulan komparatif (nilai RCA negatif).

Seperti negara berkembang lainnya, Indonesia juga mengalami penurunan daya saing dalam industri padat karya dan industri berbasis sumber daya alam (Gambar 2 dan Gambar 3). Untuk industri padat karya Indonesia mengalami penurunan daya saing yang signifikan jika dibandingkan negara-negara Asia lainnya, terutama Vietnam yang justru mengalami peningkatan daya saing dalam industri ini.

Gambar 2.Daya Saing Natural Resource Industry.

Gambar 3.Daya Saing Unskill Labour Industry.

Sumber: COMTRADE (2015), diolah

Secara umum daya saing untuk industri berbasis sumber daya alam (NRI) dan ekspor padat karya (ULI) menurun untuk hampir semua negara-negara yang melakukan diversifikasi industri ke industri yang padat modal (PCI). Bersama dengan negara-negara Asia lainnya, daya saing Indonesia untuk industri ini masih rendah jika dibandingkan negara berkembang di kawasan Afrika, Eropa dan Amerika.

Gambar 4.Daya Saing Physical Capital Intensive.

Gambar 5.Daya Saing High Capital Intensive.

Sumber: COMTRADE (2015), diolah

Sementara itu, daya saing Indonesia untuk industri Technology Intensive (TI) tidak jauh berbeda dengan negara Asia lainnya seperti Malaysia dan Thailand, namun masih tertinggal dibanding India dan RRT (Gambar 6). Vietnam dengan pertumbuhan industri manufaktur yang pesat dalam satu dekade terakhir telah mampu meningkatkan daya saing pada industri berbasis teknologi ini.

Gambar 6.Daya Saing Technological Intensive.Sumber: COMTRADE (2015), diolah