Upload
cynthiakaramina
View
77
Download
7
Embed Size (px)
PENGOBATAN TUBERKULOSIS
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan)
dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat
utama dan tambahan.\
A. OBAT ANTI TUBERKULOSIS (OAT)
Obat yang dipakai:
1. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah:
· Rifampisin
· INH
· Pirazinamid
· Streptomisin
· Etambutol
2. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)
· Kanamisin
· Amikasin
· Kuinolon
· Obat lain masih dalam penelitian ; makrolid, amoksilin + asam klavulanat
· Beberapa obat berikut ini belum tersedia di Indonesia antara lain :
o Kapreomisin
o Sikloserino PAS (dulu tersedia)
o Derivat rifampisin dan INH
o Thioamides (ethionamide dan prothionamide)
Kemasan
· Obat tunggal,
Obat disajikan secara terpisah, masing-masing INH, Rifampisin, Pirazinamid dan
Etambutol.
· Obat kombinasi dosis tetap (Fixed Dose Combination – FDC)
Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari 3 atau 4 obat dalam satu tablet
Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang penting
untuk menyembuhkan pasien dan menghindari MDR TB (multidrug resistant
tuberculosis). Pengembangan strategi DOTS untuk mengontrol epidemi TB merupakan
prioriti utama WHO. International Union Against Tuberculosis and Lung Disease
(IUALTD) dan WHO menyarakan untuk menggantikan paduan obat tunggal dengan
kombinasi dosis tetap dalam pengobatan TB primer pada tahun 1998. Dosis obat
tuberkulosis kombinasi dosis tetap berdasarkan WHO seperti terlihat pada tabel 3.
Keuntungan kombinasi dosis tetap antara lain:
1. Penatalaksanaan sederhana dengan kesalahan pembuatan resep minimal
2. Peningkatan kepatuhan dan penerimaan pasien dengan penurunan kesalahan
pengobatan yang tidak disengaja
3. Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan yang benar
dan standar
4. Perbaikan manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit
5. Menurunkan risiko penyalahgunaan obat tunggal dan MDR akibat penurunan
penggunaan monoterapi
Penentuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan rentang dosis
yang telah ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang efektif atau masih termasuk
dalam batas dosis terapi dan non toksik. Pada kasus yang mendapat obat kombinasi
dosis tetap tersebut, bila mengalami efek samping serius harus dirujuk ke rumah sakit /
dokter spesialis paru / fasiliti yang mampu menanganinya.
Efek Samping OAT :
Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek
samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu
pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama
pengobatan. Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat (terlihat pada tabel 4 &
5), bila efek samping ringan dan dapat diatasi dengan obat simtomatik maka pemberian
OAT dapat dilanjutkan.
1. Isoniazid (INH)
Efek samping ringan dapat berupa tanda-tanda keracunan pada syaraf tepi, kesemutan,
rasa terbakar di kaki dan nyeri otot. Efek ini dapat dikurangi dengan pemberian
piridoksin dengan dosis 100 mg perhari atau dengan vitamin B kompleks. Pada
keadaan tersebut pengobatan dapat diteruskan. Kelainan lain ialah menyerupai
defisiensi piridoksin (syndrom pellagra).
Efek samping berat dapat berupa hepatitis imbas obat yang dapat timbul pada
kurang lebih 0,5% pasien. Bila terjadi Drug Induced Hepatitis atau ikterik, hentikan OAT
dan pengobatan sesuai dengan pedoman TB pada keadaan khusus.
2. Rifampisin
· Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan
simtomatik ialah :
- Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang
- Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah kadang-kadang
diare
- Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan
· Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi ialah :
- Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT harus distop dulu dan
penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus
- Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah satu dari gejala
ini terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan lagi walaupun
gejalanya telah menghilang
- Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas
Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air mata, air liur.
Warna merah tersebut terjadi karena proses metabolisme obat dan tidak berbahaya.
Hal ini harus diberitahukan kepada pasien agar dimengerti dan tidak perlu khawatir.
3. Pirazinamid
Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai pedoman TB
pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri aspirin) dan kadang-kadang
dapat menyebabkan serangan arthritis Gout, hal ini kemungkinan disebabkan
berkurangnya ekskresi dan penimbunan asam urat. Kadang-kadang terjadi reaksi
demam, mual, kemerahan dan reaksi kulit yang lain.
4. Etambutol
Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya ketajaman,
buta warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun demikian keracunan okuler
tersebut tergantung pada dosis yang dipakai, jarang sekali terjadi bila dosisnya 15-25
mg/kg BB perhari atau 30 mg/kg BB yang diberikan 3 kali seminggu. Gangguan
penglihatan akan kembali normal dalam beberapa minggu setelah obat dihentikan.
Sebaiknya etambutol tidak diberikan pada anak karena risiko kerusakan okuler sulit
untuk dideteksi.
5. Streptomisin
Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan dengan
keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut akan meningkat seiring
dengan peningkatan dosis yang digunakan dan umur pasien. Risiko tersebut akan
meningkat pada pasien dengan gangguan fungsi ekskresi ginjal.
Gejala efek samping yang terlihat ialah telinga mendenging (tinitus), pusing dan
kehilangan keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera dihentikan
atau dosisnya dikurangi 0,25gr. Jika pengobatan diteruskan maka kerusakan alat
keseimbangan makin parah dan menetap (kehilangan keseimbangan dan tuli).
Reaksi hipersensitiviti kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba disertai sakit
kepala, muntah dan eritema pada kulit. Efek samping sementara dan ringan (jarang
terjadi) seperti kesemutan sekitar mulut dan telinga yang mendenging dapat terjadi
segera setelah suntikan. Bila reaksi ini mengganggu maka dosis dapat dikurangi 0,25gr
Streptomisin dapat menembus barrier plasenta sehingga tidak boleh diberikan pada
wanita hamil sebab dapat merusak syaraf pendengaran janin.
Tabel 5, Efek samping OAT dan Penatalaksanaannya
Catatan : Penatalaksanaan efek samping obat:
· Efek samping yang ringan seperti gangguan lambung yang dapat diatasi secara
simptomatik
· Pasien dengan reaksi hipersensitif seperti timbulnya rash pada kulit, umumnya
disebabkan oleh INH dan rifampisin. Dalam hal ini dapat dilakukan pemberian dosis
rendah dan desensitsasi dengan pemberian dosis yang ditingkatkan perlahan-lahan
dengan pengawasan yang ketat. Desensitisasi ini tidak bias dilakukan terhadap obat
lainnya
· Kelainan yang harus dihentikan pengobatannya adalah trombositopenia, syok atau
gagal ginjal karena rifampisin, gangguan penglihatan karena etambutol, gangguan
nervus VIll karena streptomisin dan dermatitis exfoliative dan agranulositosis karena
thiacetazon
· Bila suatu obat harus diganti, maka paduan obat harus diubah hingga jangka waktu
pengobatan perlu dipertimbangkan kembali dengan baik.
B. PADUAN OBAT ANTI TUBERKULOSIS
Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi:
· TB paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto toraks: lesi luas
Paduan obat yang dianjurkan : 2 RHZE / 4 RH
atau
: 2 RHZE / 4R3H3
atau
2 RHZE/ 6HE
Paduan ini dianjurkan untuk
a. TB paru BTA (+), kasus baru
b. TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologik lesi luas (termasuk luluh paru)
Pada evaluasi hasil akhir pengobatan, bila dipertimbangkan untuk memperpanjang fase
lanjutan, dapat diberikan lebih
lama dari waktu yang ditentukan. (Bila perlu dapat dirujuk ke ahli paru)
Bila ada fasiliti biakan dan uji resistensi, pengobatan disesuaikan dengan hasil uji
resistensi
· TB Paru (kasus baru), BTA negatif, pada foto toraks: lesi minimal
Paduan obat yang dianjurkan : 2 RHZ / 4 RH atau
: 2 RHZ/ 4R3H3 atau
6 RHE
· TB paru kasus kambuh
Pada TB paru kasus kambuh menggunakan 5 macam OAT pada fase intensif selama 3
bulan (bila ada hasil uji
resistensi dapat diberikan obat sesuai
hasil uji resistensi). Lama pengobatan fase lanjutan 5 bulan atau lebih, sehingga
paduan obat yang diberikan : 2 RHZES / 1 RHZE / 5 RHE. Bila diperlukan pengobatan
dapat diberikan lebih lama tergantung dari perkembangan penyakit.
Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan paduan obat : 2
RHZES/1 RHZE/5 R3H3E3 (P2 TB).
· TB Paru kasus gagal pengobatan
Pengobatan sebaiknya berdasarkan hasil uji resistensi dengan menggunakan minimal 5
OAT (minimal 3 OAT yang masih sensitif), seandainya H resisten tetap diberikan. Lama
pengobatan minimal selama 1 - 2 tahun. Sambil menunggu hasil uji resistensi dapat
diberikan obat 2 RHZES, untuk kemudian dilanjutkan sesuai uji resistensi
- Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan paduan obat : 2
RHZES/1 RHZE/5 H3R3E3 (P2TB)
- Dapat pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan hasil yang optimal
- Sebaiknya kasus gagal pengobatan dirujuk ke ahli paru
· TB Paru kasus putus berobat
Pasien TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali sesuai dengan
kriteria sebagai berikut :
- Pasien yang menghentikan pengobatannya < 2 bulan, pengobatan OAT dilanjutkan
sesuai jadual
- Pasien menghentikan pengobatannya ³ 2 bulan:
1) Berobat ³ 4 bulan, BTA saat ini negatif , klinik dan radiologik tidak aktif / perbaikan,
pengobatan OAT STOP. Bila gambaran radiologik aktif, lakukan analisis lebih lanjut
untuk memastikan diagnosis TB dengan mempertimbangkan juga kemungkinan
penyakit paru lain. Bila terbukti TB maka pengobatan dimulai dari awal dengan paduan
obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama. Jika telah diobati
dengan kategori II maka pengobatan kategori II diulang dari awal
2) Berobat > 4 bulan, BTA saat ini positif : pengobatan dimulai dari awal dengan
paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama. Jika telah
diobati dengan kategori II maka pengobatan kategori II diulang dari awal
3) Berobat < 4 bulan, BTA saat ini positif atau negatif dengan klinik dan radiologik
positif: pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang sama. Jika
memungkinkan sebaiknya diperiksa uji kepekaan (kultur resistensi) terhadap OAT.
· TB Paru kasus kronik
- Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi, berikan RHZES.
Jika telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan hasil uji resistensi (minimal
terdapat 3 macam OAT yang masih sensitif dengan H tetap diberikan walaupun
resisten) ditambah dengan obat lini 2 seperti kuinolon, betalaktam, makrolid
- Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup
- Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan penyembuhan
- Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke ahli paru
Catatan : TB diluar paru lihat TB dalam keadaan khusus
Tabel 6. Ringkasan paduan obat
C. PENGOBATAN SUPORTIF / SIMPTOMATIK
Pada pengobatan pasien TB perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila keadaan klinis
baik dan tidak ada indikasi
rawat, pasien dapat dibeikan rawat jalan. Selain OAT kadang perlu pengobatan
tambahan atau suportif/simtomatik
untuk meningkatkan daya tahan tubuh atau mengatasi gejala/keluhan.
1. Pasien rawat jalan
a. Makan makanan yang bergizi, bila dianggap perlu dapat diberikan vitamin tambahan
(pada prinsipnya tidak ada larangan makanan untuk pasien tuberkulosis, kecuali untuk
penyakit komorbidnya)
b. Bila demam dapat diberikan obat penurun panas/demam
c. Bila perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak napas atau
keluhan lain.
2. Pasien rawat inap
Indikasi rawat inap :
TB paru disertai keadaan/komplikasi sbb :
- Batuk darah (profus)
- Keadaan umum buruk
- Pneumotoraks
- Empiema
- Efusi pleura masif / bilateral
- Sesak napas berat (bukan karena efusi pleura)
TB di luar paru yang mengancam jiwa :
- TB paru milier
- Meningitis TB
Pengobatan suportif / simtomatik yang diberikan sesuai dengan keadaan klinis dan
indikasi rawat
D. TERAPI PEMBEDAHAN
lndikasi operasi
1. Indikasi mutlak
a. Semua pasien yang telah mendapat OAT adekuat tetetapi dahak tetap positif
b. Pasien batuk darah yang masif tidak dapat diatasi dengan cara konservatif
c. Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi secara
konservatif
2. lndikasi relatif
a. Pasien dengan dahak negatif dengan batuk darah berulang
b. Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhan
c. Sisa kaviti yang menetap.
Tindakan Invasif (Selain Pembedahan)
· Bronkoskopi
· Punksi pleura
· Pemasangan WSD (Water Sealed Drainage)
Kriteria Sembuh
· BTA mikroskopik negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan akhir pengobatan) dan
telah mendapatkan
pengobatan yang adekuat
· Pada foto toraks, gambaran radiologik serial tetap sama/ perbaikan
· Bila ada fasiliti biakan, maka kriteria ditambah biakan negative
E. EVALUASI PENGOBATAN
Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinik, bakteriologik, radiologik, dan efek samping
obat, serta evaluasi keteraturan berobat.
Evaluasi klinik
· Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan selanjutnya
setiap 1 bulan
· Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada
tidaknya komplikasi penyakit
· Evaluasi klinik meliputi keluhan , berat badan, pemeriksaan fisik.
Evaluasi bakteriologik (0 - 2 - 6 /9 bulan pengobatan)
· Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak
· Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik
- Sebelum pengobatan dimulai
- Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)
- Pada akhir pengobatan
· Bila ada fasiliti biakan : dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi
Evaluasi radiologik (0 - 2 – 6/9 bulan pengobatan)
Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:
· Sebelum pengobatan
· Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan kemungkinan
keganasan dapat dilakukan 1 bulan pengobatan)
· Pada akhir pengobatan
Evaluasi efek samping secara klinik
· Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal dan darah lengkap
· Fungsi hati; SGOT,SGPT, bilirubin, fungsi ginjal : ureum, kreatinin, dan gula darah ,
serta asam urat untuk data dasar penyakit penyerta atau efek samping pengobatan
· Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid
· Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol (bila ada keluhan)
· Pasien yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji keseimbangan dan audiometri
(bila ada keluhan)
· Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan awal tersebut.
Yang paling penting adalah evaluasi klinik kemungkinan terjadi efek samping obat. Bila
pada evaluasi klinik dicurigai terdapat efek samping, maka dilakukan pemeriksaan
laboratorium untuk memastikannya dan penanganan efek samping obat sesuai
pedoman
Evalusi keteraturan berobat
· Yang tidak kalah pentingnya adalah evaluasi keteraturan berobat dan diminum /
tidaknya obat tersebut. Dalam hal ini maka sangat penting penyuluhan atau pendidikan
mengenai penyakit dan keteraturan berobat. Penyuluhan atau pendidikan dapat
diberikan kepada pasien, keluarga dan lingkungannya.
· Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah resistensi.
Evaluasi pasien yang telah sembuh
Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh tetap dievaluasi minimal dalam 2 tahun
pertama setelah sembuh, hal ini dimaksudkan untuk mengetahui kekambuhan. Hal
yang dievaluasi adalah mikroskopik BTA dahak dan foto toraks.
Mikroskopik BTA dahak 3,6,12 dan 24 bulan (sesuai indikasi/bila ada gejala) setelah
dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks 6, 12, 24 bulan setelah dinyatakan sembuh.
F. STRATEGI DOTS
DOTS (Directly Observed Treatment Short Course) merupakan strategi pemerintah
yang dilaksanakan di pelayanan kesehatan dasar untuk mendeteksi dan
menyembuhkan pasien TBC.
Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen, yaitu :
1. Adanya komitmen politis dari pemerintah untuk bersungguh-sungguh
menanggulangi TBC.
2. Diagnosis penyakit TBC melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopis
3. Pengobatan TBC dengan paduan obat anti-TBC jangka pendek, diawasi secara
langsung oleh PMO (Pengawas Menelan Obat).
4. Tersedianya paduan obat anti-TBC jangka pendek secara konsisten.
5. Pencatatan dan pelaporan mengenai penderita TBC sesuai standar.
Pemberian obat dilakukan dalam jangka waktu yang pendek di bawah
pengawasan langsung PMO (Pengawas Minum Obat)
Persyaratan dan tugas PMO, antara lain:
-bersedia membantu dengan sukarela penderita TBC selama 6 bulan
-ditetapkan sebelum pelaksanaan DOT dilakukan, dan harus hadir di pusat
pelayanankesehatan untuk mendapatkan pelatihan singkat tentang DOT.
-mengantar jemput OAT 1x/2x seminggu bila pasien tidak dapat datang untuk
mengambilnya
- mengantar jemput pemeriksaan ulang dahak pada bulan 2, 5, dan 6 pengobatan
- merujuk bila ada efek samping obat
- memastikan pasien TBC minum obat secara teratur