Upload
anissa-elendra
View
324
Download
13
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
LANDASAN TEORI
A. PEMANFAATAN LAYANAN VOLUNTARY COUNSELING TEST
(VCT)
A.1. Layanan Voluntary Counseling Test (VCT)
A.1.1. Definisi Konseling dalam Voluntary Counseling and Testing (VCT)
Konseling dalam VCT adalah kegiatan konseling yang menyediakan
dukungan psikologis, informasi dan pengetahuan HIV/AIDS, mencegah penularan
HIV, mempromosikan perubahan perilaku yang bertanggungjawab, pengobatan
antiretroviral (ARV) dan memastikan pemecahan berbagai masalah terkait dengan
HIV/AIDS yang bertujuan untuk perubahan perilaku ke arah perilaku lebih sehat
dan lebih aman (Pedoman Pelayanan VCT, 2006).
A.1.2. Prinsip Layanan Voluntary Counseling and Testing (VCT)
VCT merupakan salah satu strategi kesehatan masyarakat dan sebagai
pintu masuk ke seluruh layanan kesehatan HIV/AIDS berkelanjutan yang
berdasarkan prinsip:.
- Sukarela dalam melaksanakan testing HIV
Pemeriksaan HIV hanya dilaksanakan atas dasar kerelaan klien tanpa paksaan
dan tanpa tekanan. Keputusan untuk melakukan pemeriksaan terletak ditangan
klien. Testing dalam VCT bersifat sukarela sehingga tidak direkomendasikan
untuk testing wajib pada pasangan yang akan menikah, pekerja seksual,
Universitas Sumatera Utara
Injecting Drug User (IDU), rekrutmen pegawai / tenaga kerja Indonesia dan
asuransi kesehatan.
- Saling mempercayai dan terjaminnya konfidensialitas.
Layanan harus bersifat profesional, menghargai hak dan martabat semua klien.
Semua informasi yang disampaikan klien harus dijaga kerahasiaannya oleh
konselor dan petugas kesehatan, tidak diperkenankan didiskusikan diluar
konteks kunjungan klien. Semua informasi tertulis harus disimpan dalam
tempat yang tidak dapat dijangkau oleh mereka yang tidak berhak. Untuk
penanganan kasus klien selanjutnya dengan seijin klien maka informasi kasus
dari diri klien dapat diketahui.
- Mempertahankan hubungan relasi konselor dan klien yang efektif
Konselor mendukung klien untuk kembali mengambil hasil testing dan
mengikuti pertemuan konseling pasca testing untuk mengurangi prilaku
beresiko. Dalam VCT dibicarakan juga respon dan perasaan klien dalam
menerima hasil testing dan tahapan penerimaan hasil testing positif.
- Testing merupakan salah satu komponen dari VCT.
WHO dan Departemen Kesehatan RI telah memberikan pedoman yang dapat
digunakan untuk melakukan testing HIV. Penerimaan hasil testing senantiasa
diikuti oleh konseling pasca testing oleh konselor yang sama atau konselor
lain yang disetujui oleh klien.
Universitas Sumatera Utara
A.1.3. Model Layanan Voluntary Counseling and Testing (VCT)
Pelayanan VCT dapat dikembangkan diberbagai layanan terkait yang
dibutuhkan, misalnya klinik Infeksi Menular Seksual (IMS), klinik Tuberkulosa
(TB), Klinik Tumbuh Kembang Anak dan sebagainya. Lokasi layanan VCT
hendaknya perlu petunjuk atau tanda yang jelas hingga mudah diakses dan mudah
diketahui oleh klien VCT. Namun klinik cukup mudah dimengerti sesuai dengan
etika dan budaya setempat dimana pemberian nama tidak mengundang stigma dan
diskriminasi. Model layanan VCT terdiri atas :
- Mobile VCT (Penjangkauan dan keliling)
Mobile VCT adalah model layanan dengan penjangkauan dan keliling yan
dapat dilaksanakan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau layanan
kesehatan yang langsung mengunjungi sasaran kelompok masyarakat yang
memiliki perilaku berisiko atau berisiko tertular HIV/AIDS di wilayah
tertentu. Layanan ini diawali dengan survei atau penelitian atas kelompok
masyarakat di wilayah tersebut dan survei tentang layanan kesehatan dan
layanan dukungan lainnya di daerah setempat.
- Statis VCT (Klinik VCT tetap)
Statis VCT adalah sifatnya terintegrasi dalam sarana kesehatan dan sarana
kesehatan lainnya, artinya bertempat dan menjadi bagian dari layanan
kesehatan yang telah ada. Sarana kesehatan dan sarana kesehatan lainnya
harus memiliki kemampuan memenuhi kebutuhan masyarakat akan VCT,
layanan pencegahan, perawatan, dukungan dan pengobatan terkait dengan
HIV/AIDS.
Universitas Sumatera Utara
A.1.4. Tahapan Layanan Voluntary Counseling and Testing (VCT)
a. Pre-test counseling
Pre-test counseling adalah diskusi antara klien dan konselor yang
bertujuan untuk menyiapkan klien untuk testing, memberikan pengetahuan pada
klien tentang HIV/AIDS. Isi diskusi yang disampaikan adalah klarifikasi
pengetahuan klien tentang HIV/AIDS, menyampaikan prosedur tes dan
pengelolaan diri setelah menerima hasil tes, menyiapkan klien menghadapi hari
depan, membantu klien memutuskan akan tes atau tidak, mempersiapkan
informed consent dan konseling seks yang aman.
Gambar 1. Alur Pre-test Counseling (VCT Toolkit : HIV Voluntary Counseling
and Testing 2004)
Pada beberapa setting (misalnya penyuluhan kesehatan secara umum)
Konselor memberikan penyuluhan informasi umum tentang HIV/AIDS, VCT dan Mother
to child transmission (MTCT)
Di masyarakat
Klien menerima informasi dan memutuskan untuk pergi ke klinik VCT
Di klinik VCT
Klien diberi informasi mengenai prosedur termasuk pilihan untuk menunggu selama
2 jam dan menerima hasil tes pada hari yang sama
Klien diajak berdiskusi mengenai keyakinan menjalani tes
Klien menerima informasi tentang HIV/AIDS
Adanya biaya yang dikeluarkan
Klien terdaftar tanpa nama/rahasia
Universitas Sumatera Utara
Jika klien banyak :
Konselor melakukan pre tes secara
berkelompok bagi yang membutuhkan VCT
Syarat untuk pre-tes kelompok :
Pernyataan kesediaan untuk menjalani tes
kelompok.
Kerahasiaan terjaga.
Tidak lebih dari 6 orang per kelompok.
Bila mungkin, anggota kelompok pada usia
dan jenis kelamin yang sama.
Diberikan informasi pre-tes yang sama
seperti konseling pada individu
Lengkapi data VCT pada setiap anggota
kelompok.
Mendapatkan inform consent jika klien memutuskan untuk melakukan tes HIV
Melakukan pengambilan darah
Selama proses pemeriksaan sampel dilakukan diskusi dan demonstrasi penggunaan
kondom
Melakukan penilaian tentang :
Kesiapan klien mengetahui status HIV
Rencana klien setelah mengetahui status HIV.
Hambatan untuk mengubah perilaku.
Rencana dan cara mengatasi jika klien HIV positif.
Dukungan dari keluarga dan teman
Jika klien sedikit :
Konselor melakukan pre tes secara individu
bagi yang membutuhkan VCT
Syarat untuk pre-tes :
Informasi dasar mengenai infeksi HIV dan
AIDS.
Arti tes HIV termasuk window period
Prosedur tes dan kebijakan dalam
menyampaikan hasil tes.
Pre-test counseling termasuk penilaian
resiko individu dan rencana pengurangan
resiko.
Formulir VCT
Universitas Sumatera Utara
b. HIV testing
Pada umumnya, tes HIV dilakukan dengan cara mendeteksi antibodi
dalam darah seseorang. Jika HIV telah memasuki tubuh seseorang, maka di dalam
darah akan terbentuk protein khusus yang disebut antibodi. Antibodi adalah suatu
zat yang dihasilkan sistem kekebalan tubuh manusia sebagai reaksi untuk
membendung serangan bibit penyakit yang masuk. Pada umumnya antibodi
terbentuk di dalam darah seseorang memerlukan waktu 6 minggu sampai 3 bulan
tetapi ada juga sampai 6 bulan bahkan lebih. Jika seseorang memiliki antibodi
terhadap HIV di dalam darahnya, hal ini berarti orang itu telah terinfeksi HIV.
Tes HIV yang umumnya digunakan adalah Enzyme Linked Imunosorbent
Assay (ELISA), Rapid Test dan Western Immunblot Test. Setiap tes HIV ini
memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang berbeda. Sensitivitas adalah
kemampuan tes untuk mendeteksi adanya antibodi HIV dalam darah sedangkan
spesifisitas adalah kemampuan tes untuk mendeteksi antibodi protein HIV yang
sangat spesifik.
- Enzyme Linked Imunosorbent Assay (ELISA)
Tes ini digunakan untuk mendeteksi antibodi yang dibuat tubuh terhadap virus
HIV. Tes ELISA ini dapat dilakukan dengan sampel darah vena, air liur, atau
air kencing. Hasil positif pada ELISA belum dapat dipastikan bahwa orang
yang diperiksa telah terinfeksi HIV karena tes ini mempunyai sensitivitas
tinggi tetapi spesifisitas rendah. Oleh karena itu masih diperlukan tes
pemeriksaan lain untuk mengkonfirmasi hasil pemeriksaan ELISA ini. Jadi
walaupun ELISA menunjukkan hasil positif, masih ada dua kemungkinan,
Universitas Sumatera Utara
orang tersebut sebenarnya tidak terinfeksi HIV atau betul-betul telah terinfeksi
HIV.
- Rapid Test
Penggunaan dengan metode rapid test memungkinkan klien mendapatkan
hasil tes pada hari yang sama dimana pemeriksaan tes hanya membutuhkan
waktu 10 menit. Metode pemeriksaan dengan menggunakan sampel darah jari
dan air liur. Tes ini mempunyai sensitivitas tinggi (mendekati 100%) dan
spesifisitas (>99%). Hasil positif pada tes ini belum dapat dipastikan apakah
dia terinfeksi HIV. Oleh karena itu diperlukan pemeriksaan tes lain untuk
mengkonfirmasi hasil tes ini.
- Western Immunoblot Test
Sama halnya dengan ELISA, Western Blot juga mendeteksi antibodi terhadap
HIV. Western blot digunakan sebagai tes konfirmasi untuk tes HIV lainnya
karena mempunyai spesifisitas yang lebih tinggi untuk memastikan apakah
terinfeksi HIV atau tidak.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2. Alur Strategi Tes HIV ((VCT Toolkit : HIV Voluntary Counseling
and Testing 2004)
HIV negatif
(dilaporkan negatif)
HIV positif
(dilaporkan positif)
HIV negatif
HIV positif
(laporkan positif)
HIV negatif
(dilaporkan
intermediate/tidak
dapat ditentukan)
Tes C
Tes B
HIV positif
Tes A
Universitas Sumatera Utara
c. Post-test counseling
Post-test counseling adalah diskusi antara konselor dengan klien yang
bertujuan menyampaikan hasil tes HIV klien, membantu klien beradaptasi dengan
hasil tes, menyampaikan hasil secara jelas, menilai pemahaman mental emosional
klien, membuat rencana dengan menyertakan orang lain yang bermakna dalam
kehidupan klien, menjawab, menyusun rencana tentang kehidupan yang mesti
dijalani dengan menurunkan perilaku berisiko dan perawatan, dan membuat
perencanaan dukungan.
Gambar 3. Alur Post-test Counseling (VCT Toolkit : HIV Voluntary Counseling
and Testing 2004)
Menyampaikan hasil tes
memberikan hasil tes dengan situasi yang tenang dalam ruangan yang tertutup
menyampaikan hasil pada klien sesegera mungkin
memberikan kesempatan pada klien untuk mengekspresikan perasaannya tentang hasil tes dan
lainnya
memberikan waktu pada klien untuk bertanya
menawarkan konseling individu atau konseling bersama pasangan tergantung pada keinginan
klien.
Atas permintaan klien, anggota keluarga, teman atau orang yang diminta klien diizinkan masuk
ke ruangan pada saat hasil diberikan.
Untuk hasil tes HIV positif
Memberikan konseling untuk hidup positif yang
meliputi :
menjaga sikap positif
menghindari paparan tambahan terhadap virus
HIV dan infeksi menular seks (IMS) lain.
Memberikan rujukan pelayanan medis.
Menjaga berat badan dengan makanan yang
bergizi dan menghindari diare.
Bergabung dengan kelompok Orang dengan
HIV/AIDS (ODHA) dan kelompok dukungan
sosial lainnya.
Untuk hasil tes HIV negatif
Menyarankan kepada klien yang mempunyai
perilaku beresiko untuk kembali melakukan
VCT sesudah 3 bulan, karena mereka mungkin
sekarang sedang berada dalam periode jendela.
Menyarankan pada klien yang berada pada
window period untuk mengurangi perilaku
beresiko.
Klien dengan hasil tes HIV negatif dan tidak
memiliki kemungkinan terpapar HIV, tidak
perlu melakukan confimatory testing.
Untuk hasil tes positif dan negatif
Mendorong klien untuk memberitahu hasil tes kepada pasangannya (mengetahui hasil tes
bersama adalah cara yang paling baik).
Memberikan pendidikan dan konseling mengenai keluarga berencana.
Memberikan pendidikan dan demonstrasi pemakaian kondom dan menyediakan kondom bagi
klien yang ingin memakai kondom (dengan tidak memaksa klien).
Memberikan informasi konseling dan dukungan tambahan.
Memberikan rujukan sesuai dengan keinginan klien. Universitas Sumatera Utara
A.2. Pemanfaatan Layanan Voluntary Counseling and Testing (VCT)
Menurut kamus pintar Bahasa Indonesia (1995), pemanfaatan berasal dari
kata dasar manfaat yang artinya guna atau faedah. Dengan demikian kata
pemanfaatan berarti menggunakan sesuatu dengan tujuan untuk mendapatkan
kegunaan atau faedah dari objek tersebut.
Layanan VCT adalah suatu prosedur diskusi pembelajaran antara konselor
dan klien untuk memahami HIV/AIDS beserta resiko dan konsekuensi terhadap
diri, pasangan, keluarga dan orang di sekitarnya dengan tujuan utama adalah
perubahan perilaku ke arah perilaku yang lebih sehat dan lebih aman (Pedoman
Pelayanan VCT, 2006).
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa individu dikatakan
memanfaatkan layanan VCT jika dia tahu informasi mengenai layanan VCT dan
mau menggunakan layanan VCT untuk tujuan yang bermanfaat. Dengan demikian
pemanfaatan layanan VCT adalah sejauh mana orang yang pernah melakukan
perilaku beresiko tinggi tertular HIV/AIDS merasa perlu menggunakan layanan
VCT untuk mengatasi masalah kesehatannya, untuk mengurangi perilaku beresiko
dan merencanakan perubahan perilaku sehat.
B. HEALTH BELIEF MODEL
B.1. Definisi Health Belief Model
Health belief model menurut Becker & Rosenstock (dalam Sarafino, 2006)
adalah individu mau melakukan perilaku pencegahan yaitu dalam bentuk perilaku
Universitas Sumatera Utara
sehat tergantung pada dua penilaian yaitu perceived threat (perceived seriousness,
perceived susceptibility, cues to action) dan perceived benefits and barriers.
Rosenstock pada tahun 1966 dan Becker & koleganya (dalam Odgen,
2004) menjelaskan bahwa health belief model digunakan untuk memprediksi
perilaku preventif dalam bentuk perilaku sehat dan juga respon perilaku terhadap
pengobatan yang akan dilakukan. Health belief model juga memprediksi bahwa
munculnya suatu perilaku merupakan kumpulan dari core belief yaitu persepsi
individu yang berkaitan dengan susceptibility to illness, the severity of the illness,
the cost involved in carrying out the behavior, the benefit involved in carrying out
the behavior dan cues to action.
Rosenstock, Strecher dan Becker (dalam Family Health International,
2004) menyatakan bahwa health belief model adalah model kognitif yang yang
menjelaskan dan memprediksi perilaku sehat dengan fokus pada sikap dan belief
pada individu.
Hocbaum pada tahun 1958 dan Rosenstock (dalam Taylor 2009)
menyatakan bahwa salah satu teori sikap yang paling berpengaruh dalam
menjelaskan mengapa individu melakukan perilaku sehat adalah health belief
model. Individu melakukan perilaku sehat tertentu tergantung pada dua faktor
yaitu apakah individu tersebut merasakan ancaman kesehatan dan apakah individu
meyakini bahwa perilaku sehat tertentu secara efektif dapat mengurangi ancaman
yang dirasakan.
Berdasarkan definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa health belief model
adalah model kognitif yang menjelaskan dan memprediksi health behavior apa
Universitas Sumatera Utara
yang akan dilakukan dengan fokus pada belief individu akan perceived
seriousness, perceived susceptibility, cues to action dan perceived benefits and
barriers.
B.2. Komponen Health Belief Model
Becker & Rosenstock (dalam Sarafino, 2006) menyatakan ada dua
komponen :
1. Perceived threat adalah penilaian individu mengenai ancaman yang dirasakan
yang berkaitan dengan masalah kesehatan. Ada tiga faktor yang
mempengaruhi perceived threat yaitu:
a. Perceived seriousness of the health problem
Individu mempertimbangkan seberapa parah konsekuensi organik dan
sosial yang akan terjadi jika terus membiarkan masalah kesehatan yang
dialami berkembang tanpa diberi penanganan dari praktisi kesehatan.
Semakin individu percaya bahwa suatu konsekuensi yang terjadi akan
semakin memburuk, maka mereka akan merasakan hal tersebut sebagai
ancaman dan mengambil tindakan preventif.
b. Perceived suspectibility to the health problem
Individu akan mengevaluasi kemungkinan masalah-masalah kesehatan lain
yang akan berkembang. Semakin individu mempersepsikan bahwa
penyakit yang dialami beresiko, maka akan membuat individu itu
mempersepsikannya sebagai ancaman dan melakukan tindakan
pengobatan.
Universitas Sumatera Utara
c. Cues to action
Peringatan mengenai masalah kesehatan yang berpotensi dapat
meningkatkan kecenderungan individu untuk mempersepsikannya sebagai
ancaman dan melakukan tindakan. Cues to action meliputi berbagai
macam bentuk seperti iklan layanan masyarakat tentang bahaya merokok,
artikel di koran, dan lain-lain.
2. Perceived benefits and barriers berkaitan dengan keuntungan dan hambatan
yang diperoleh individu ketika melakukan tindakan preventif tertentu. Dalam
perceived benefits, individu menilai bahwa dia akan memperoleh keuntungan
ketika smemperoleh layanan kesehatan tertentu, misalnya semakin sehat dan
dapat mengurangi resiko yang dirasakan, sedangkan perceived barriers yaitu
individu merasakan hambatan ketika memperoleh layanan kesehatan tertentu
misalnya dalam hal pertimbangan biaya, konsekuensi psikologis (misalnya,
takut dikatakan semakin tua jika melakukan cek-up), pertimbangan fisik
(misalnya, jarak rumah sakit yang jauh sehingga sulit untuk mencapainya.
Sum dilihat sebagai keuntungan yang diperoleh setelah dikurangi hambatan
yang akan diterima. Sum yaitu sejauh mana tindakan yang diambil akan
mendatangkan keuntungan dibandingkan jika tidak melakukannya.
C. HIV/AIDS
C.1. Definisi HIV/AIDS
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyerang
kekebalan tubuh manusia. HIV ini menyerang sel-sel darah putih yang berfungsi
Universitas Sumatera Utara
untuk melindungi tubuh dari serangan penyakit. Salah satu unsur yang penting
dalam sistem kekebalan tubuh adalah sel CD4 yang merupakan salah satu jenis sel
darah putih. Namun sel CD4 dibunuh ketika HIV menggandakan diri dalam
darah. Semakin lama individu terinfeksi HIV maka semakin banyak sel CD4
dibunuh sehingga jumlah sel semakin rendah dan kemampuan sistem kekebalan
tubuh untuk melindungi diri dari infeksi semakin rendah. Seseorang yang
terinfeksi HIV tetapi tanpa gejala disebut HIV positif dan ketika gejala seperti
infeksi oportunistik yang lain muncul maka individu tersebut memasuki fase
AIDS.
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan
gejala penyakit yang disertai oleh infeksi HIV. Gejala-gejala tersebut tergantung
dari infeksi oportunistik yang menyertainya. Infeksi oportunistik terjadi karena
menurunnya daya tahan tubuh yang disebabkan rusaknya imun tubuh akibat
infeksi HIV tersebut (Pegangan Konselor HIV/AIDS, 2003). Individu yang
terinfeksi HIV dinyatakan sebagai penderita AIDS ketika menunjukkan gejala
atau penyakit tertentu akibat penurunan daya tahan tubuh yang disebabkan oleh
HIV. Kerusakan sistem kekebalan tubuh terjadi secara bertahap yaitu mula-mula
tidak ada gejala, kemudian diikuti oleh gejala seperti pembesaran kelenjar getah
bening, diare, penurunan berat badan dan sariawan. Gambaran klinik yang berat
mulai timbul ketika jumlah limfosit CD4 kurang dari 200 per mm3 (Djoerban,
2000).
Universitas Sumatera Utara
C.2. Cara Penularan HIV/AIDS
HIV tidak dapat tersebar dengan sendirinya atau bertahan lama diluar
tubuh manusia. Virus tersebut membutuhkan cairan tubuh manusia untuk bisa
hidup, bereproduksi dan mampu menularkan ke orang lain. Virus tersebut
ditularkan melalui darah, air mani, cairan vagina, dan air susu ibu dari pengidap
HIV. Widjajanti (2009) mengatakan ada tiga metode penyebaran virus HIV
tersebut, yakni:
1. Hubungan seks tidak aman
Hubungan seks melalui vagina, anal, dan oral dengan pengidap HIV atau
penderita AIDS merupakan cara yang banyak terjadi pada penularan HIV dan
AIDS.
2. Melalui Darah yang Tercemar HIV
Penyebaran virus HIV juga terjadi ketika orang menggunakan jarum suntik
atau alat injeksi yang tidak steril secara bersama, biasanya terjadi di kalangan
para pengguna narkoba yang di antara mereka ada yang mengidap HIV.
Penyebaran juga terjadi di beberapa tempat-tempat perawatan kesehatan yang
tidak memenuhi standar atau melalui transfusi darah yang belum dilakukan
screening terhadap HIV. Penggunaan peralatan tato dan alat tindik yang tidak
steril dapat juga menyebarkan virus HIV.
3. Melalui Ibu kepada Anaknya
Seorang wanita yang mengidap HIV dapat menularkan virus HIV kepada
anaknya pada saat kehamilan, kelahiran atau pada masa menyusui.
Universitas Sumatera Utara
C.3. Aspek Klinik HIV/AIDS
Global Programme on AIDS dari WHO (dalam Djoerban, 2000) membagi
tingkat klinik infeksi HIV menjadi empat yaitu:
Tingkat klinik 1 (Asimptomatik)
Pada tingkat ini terjadi pembesaran kelenjar getah bening di beberapa tempat
yang menetap namin belum tampak gejala sama sekali dan masih dapat
melakukan aktivitas secara normal.
Tingkat klinik II (Dini)
Pada tingkat ini, pasien sudah menunjukkan gejala seperti penurunan berat
badan kurang dari 10%, kelainan mulut dan kulit yang ringan misalnya
dermatitis, seboroika, prurigo, infeksi jamur pada kuku, ulkus pada mulut
berulang dan cheilitis angularis dan infeksi saluran pernafasan misalnya
sinusitis tetapi aktivitas tetap normal.
Tingkat klinis III (Menengah)
Pada tingkat ini, penderita biasanya mengalami gejala-gejala seperti
penurunan berat badan lebih dari 10%, diare kronik lebih dari 1 bulan dan
penyebab tidak diketahui, panas yang tidak diketahui sebabnya selama lebih
dari 1 bulan, hilang timbul maupun terus menerus, kandidiasis di mulut,
bercak putih berambut di mulut, tuberkulosis paru setahun terakhir, infeksi
bakteriil yang berat misalnya pneumonia dan lebih banyak berbaring di tempat
tidur lebih dari 12 jam sehari selama sebulan lebih.
Universitas Sumatera Utara
Tingkat klinik IV (Lanjutan)
Pada tingkat ini badan menjadi kurus dimana berat badan turun lebih dari 10%
dan mengalami diare kronik tanpa diketahui sebabnya selama lebih dari satu
bulan atau kelemahan kronik dan panas tanpa diketahui sebabnya selama lebih
dari satu bulan.
- Pneumonia Pneumosistis Karinii
- Toksoplasmosis otak
- Kriptosporidiosis dengan diare lebih dari 1 bulan
- Kriptokokosis di luar paru
- Penyakit virus sitomegalo pada organ tubuh kecuali di limpa hati atau
kelenjar getah bening
- Infeksi virus herpes simpleks di mukokutan lebih dari 1 bulan atau di alat
dalam lamanya tidak dibatasi
- Leukoensefalopati mutifokal progesif
- Mikosis (infeksi jamur) apa saja yang endemik yang menyerang banyak
organ tubuh
- Kandidiasis esophagus, trakea, bronkus atau paru.
- Mikobakteriosis atipik, disseminate
- Septikemia salmonella non tifoid
- Tuberkulosis di luar paru
- Limfoma
- Sarkoma Kaposi
Universitas Sumatera Utara
- Ensefalopati HIV yaitu gangguan kognitif yang mengganggu aktivitas
sehari-hari, progresif sesudah beberapa minggu atau beberapa bulan tanpa
dapat ditemukan penyebabnya selain HIV.
C.4. Reaksi psikologis orang yang terinfeksi HIV/AIDS
Kubler Ross (dalam Sarafino 2006) menyatakan ada lima tahapan reaksi
psikologis dalam menghadapi kematian pada pasien-pasien terminal illness yaitu
1. Denial
Reaksi pertama ketika menghadapi kematian adalah menyangkal kematian
itu. Pasien terminal illness mengatakan “Tidak, itu tidak benar atau ada
kesalahan pada hasil yang diberikan”. Penyangkalan seperti ini merupakan
reaksi pertama yang ditunjukkan pasien. Menurut Kubler Ross,
penyangkalan akan hilang dengan segera dan berganti dengan kemarahan.
2. Anger
Kemudian pasien menyadari “ Ya, ini terjadi pada saya dan tidak salah”.
Pasien bertanya dalam hati “Mengapa ini terjadi pada saya” Pasien
menyalahkan orang-orang yang sehat dan marah kepada setiap orang
termasuk perawat, dokter dan keluarganya.
3. Bargaining
Pada tahap ini, seseorang mengubah strategi dengan melakukan tawar-
menawar atau negoisasi dengan Tuhan. Misalnya “ Tuhan, saya berjanji
untuk menjadi orang yang lebih baik jika Engkau menyembuhkan
penyakit ini.
Universitas Sumatera Utara
4. Depression
Ketika strategi tawar-menawar tidak membantu dan pasien merasa
hidupnya tinggal sebentar lagi maka depresi terjadi. Mereka menangisi
akan apa yang terjadi pada masa lalu dan kehilangan masa depan. Menurut
Kubler Ross, depresi yang terjadi dalam waktu yang lama membuat pasien
melepaskan kesedihan itu dengan menerima apa yang terjadi.
5. Acceptance
Pasien yang sudah cukup lama menjalani hidupnya mencapai tahap
terakhir dimana mereka tidak merasa depresi lagi tetapi sudah merasa agak
tenang dan siap menerima kematian.
D. PERILAKU BERESIKO TINGGI TERTULAR HIV/AIDS
Perilaku beresiko tinggi tertular HIV/AIDS adalah melakukan sesuatu
yang membawa resiko tinggi terkena infeksi pada dirinya atau orang lain baik
melalui hubungan seks yang tidak aman di dalam dan di luar nikah dengan
pasangan yang berganti-ganti, menerima transfusi darah yang terinfeksi dan
memakai jarum suntik secara bersama-sama secara bergiliran dan bergantian
(Harahap, 2007).
Universitas Sumatera Utara
E. GAMBARAN PEMANFAATAN LAYANAN VCT PADA ORANG
DENGAN PERILAKU BERESIKO TINGGI TERTULAR HIV/AIDS
DITINJAU DARI HEALTH BELIEF MODEL
VCT adalah salah satu sarana pelayanan kesehatan dalam upaya
menanggulangi HIV/AIDS. VCT ini diperlukan karena orang yang positif HIV
dengan orang yang sehat itu tidak bisa dibedakan hanya dari penampilan luarnya
saja. Oleh karena itu untuk mengetahui seseorang negatif atau positif tertular HIV
hanya bisa dilakukan lewat tes HIV. Memeriksakan diri untuk tes HIV merupakan
langkah yang penting dalam kehidupan seseorang terutama mereka yang pernah
melakukan perilaku beresiko tinggi tertular HIV/AIDS.
Namun demikian pemeriksaan tersebut harus selalu disertai dengan
konseling baik sebelum dan sesudah tes HIV. Oleh karena itu sangat dianjurkan
bagi individu yang pernah melakukan perilaku beresiko tinggi tertular HIV/AIDS
agar mau melakukan VCT sehingga mereka dapat lebih yakin mengetahui apakah
terinfeksi virus HIV atau tidak karena semakin dini individu mendapatkan
pengobatan maka semakin besar kemungkinan bahwa pengobatannya akan efektif
(Pedoman Pelayanan VCT, 2006).
Pada kenyataannya untuk mengetahui apakah individu terinfeksi
HIV/AIDS atau tidak melalui VCT bukanlah sesuatu yang mudah seperti
pemeriksaan pada penyakit lain. Adapun faktor penyebabnya karena masyarakat
kurang menyadari bahwa HIV/AIDS sebetulnya mengancam kita semua sehingga
mereka tidak ada keinginan untuk memanfaatkan layanan VCT tersebut. Selain
itu, sistem pelayanan kesehatan dapat mempengaruhi individu dalam
Universitas Sumatera Utara
memanfaatkan layanan VCT. Baik dari petugas kesehatan, fasilitas pelayanan,
cara pelayanan, maupun obat-obatan yang diberikan.
Stigma dan diskriminasi yang ditujukan kepada penderita HIV/AIDS
membuat mereka tidak mau melakukan pemeriksaan VCT. Sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Meiberg dkk (2008) di Afrika Selatan
menunjukkan bahwa ketakutan untuk menerima stigma dan ketakutan untuk
mengetahui status HIV positif merupakan penghambat utama seseorang
melakukan tes HIV. Kondisi seperti ini membawa konsekuensi negatif terhadap
tindakan pencegahan dan pengobatan HIV/AIDS. Akibatnya sebagian masyarakat
terutama mereka yang pernah melakukan perilaku beresiko tinggi tertular
HIV/AIDS masih enggan untuk memeriksakan dirinya ke klinik VCT karena
merasa takut mendapatkan hasil yang positif.
Setiap individu mempunyai cara yang berbeda dalam mengambil tindakan
penyembuhan atau pencegahan untuk mengatasi gangguan kesehatan yang
dirasakan. Semua itu tergantung pada belief masing-masing individu apakah dia
mau mengakses layanan kesehatan yang ada atau tidak. Belief yang dimaksud
berkaitan dengan kognitif seperti pengetahuan tentang masalah kesehatan dan
persepsi individu mengenai simptom penyakit yang dirasakan (Sarafino, 2006).
Persepsi individu terhadap suatu penyakit dibahas dalam health belief
model yang melibatkan dua penilaian yaitu perceived threat dan perceived benefit
dan barriers. Perceived threat yaitu ancaman yang dirasakan individu terhadap
simptom penyakit yang dialami. Semakin individu merasa terancam dengan
simptom penyakit yang ia alami maka semakin cepat individu mencari
Universitas Sumatera Utara
pertolongan medis. Perceived benefits yaitu penilaian individu mengenai
keuntungan yang didapat ketika mengadopsi perilaku kesehatan yang disarankan
dan perceived barriers yaitu penilaian individu mengenai hambatan yang
diperoleh ketika mengadopsi perilaku kesehatan yang disarankan. (Becker &
Rosenstock dalam Sarafino,2006).
Belief yang dimiliki oleh masing-masing individu terhadap masalah
kesehatan yang dirasakan akan menentukan bagaimana individu memanfaatkan
pelayanan kesehatan yang ada. Jika dikaitkan dengan kasus HIV/AIDS,
pengetahuan individu mengenai cara-cara penularan HIV, perilaku beresiko apa
yang dapat menularkan HIV dan persepsi individu mengenai masalah HIV/AIDS
akan mempengaruhi bagaimana pemanfaatan layanan VCT yang akan dilakukan.
Jika individu merasa dengan melakukan VCT dapat mengurangi tingkat
keparahan penyakit, mengurangi kerentanan tertular HIV, memperoleh
manfaat/keuntungan yang lebih besar daripada hambatan/kerugian maka individu
tersebut akan memanfatkan layanan VCT yang ada untuk mengatasi masalah yang
dirasakan, mengurangi perilaku beresiko, merencanakan perubahaan perilaku
sehat dan demikian pula dengan sebaliknya.
Universitas Sumatera Utara
F. PARADIGMA PENELITIAN
persoalan informasi
petugas kesehatan
fasilitas kesehatan
stigma dan diskriminasi
Perilaku Beresiko Tinggi
Tertular HIV/AIDS
HIV/AIDS
Memanfaatkan Layanan
VCT
(sarana pelayanan
kesehatan yang
merupakan pintu masuk
ke seluruh layanan
HIV/AIDS yang
berkelanjutan dan
merupakan tempat untuk
bertanya, belajar dan
menerima status HIV
seseorang)
Tidak Memanfaatkan
Layanan VCT
(sarana pelayanan
kesehatan yang
merupakan pintu masuk
ke seluruh layanan
HIV/AIDS yang
berkelanjutan dan
merupakan tempat untuk
bertanya, belajar dan
menerima status HIV
seseorang)
P
ersoala
n
informa
si
P
etugas
kesehat
an
F
asilitas
kesehat
an
S
tigma
dan n
diskrim
inasisia
p
ep
HEALTH BELIEF MODEL
- Perceived threat
Perceived seriousness of the health problems
Perceived susceptibility of the health problems
Cues to action
- Perceived benefits and barriers
Universitas Sumatera Utara