Upload
others
View
5
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
1
PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUI
PENERAPAN TEKNOLOGI PARTISIPATIF
Pantjar Simatupang1 dan Nizwar Syafa’at
2
Kepala Pusat1 dan Kepala Bidang Program dan Evaluasi2, Puslitbang Sosial Ekonorni Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
PENDAHULUAN
1. Pembangunan pertanian memasuki milenium ketiga dihadapkan kepada perubahan lingkungan
strategis baik yang bersifat eksternal (globalisasi) maupun internal. Kemampuan produk pertanian
domestik di pasar global menghadapi tantangan yang semakin komplek, karena landasan
pembangunan ekonomi yang dibangun selama ini mengalami kemunduran akibat dari adanya krisis
yang berkepanjangan.
2. Perubahan lingkungan strategis global ini mengarah kepada semakin kuatnya liberalisasi
perdagangan dan membawa berbagai konsekuensi terhadap pasar komoditas pertanian Indonesia.
Sementara itu tekanan internal, antara lain jumlah penduduk yang terus meningkat, mempengaruhi
penawaran tenaga kerja dan permintaan terhadap produk pertanian serta meningkatnya tekanan
terhadap sumberdaya pertanian, seperti antara lain sumberdaya lahan, sumberdaya air dan plasma
nutfah.
3. Pemberlakuan UU No. 29/1999 dan UU No. 25/1999 memberikan implikasi yang sangat strategis
yaitu ―pendaerahan‖ manajemen pembangunan termasuk di dalamnya pembangunan pertanian.
Dengan memberikan hak, wewenang dan tanggung jawab kepada daerah, maka pembangunan
mendatang harus sangat didasarkan kepada potensi dan peluang yang tersedia di masing-masing
daerah. OIeh karena itu daerah harus lebih mampu memberdayakan dan melibatkan secara penuh
komunitas dan unit-unit kelembagaan masyarakat yang ada di masing-masing wilayah yang
bersangkutan.
4. Penerapan inovasi teknologi merupakan salah satu kunci utama dalam pemanfaatan sumberdaya
petani yang terbatas sesuai kondisinya masing-masing. Dengan penerapan inovasi teknologi tepat
guna diharapkan dapat dicapai peningkatan produksi, produktivitas, peningkatan efisiensi dan mutu
produk yang selanjutnya akan membawa kepada peningkatan nilai tambah agribisnis bagi
kesejahteraan masyarakat. Sistem agribisnis dimaksud mencakup empat subsistem utama, yaitu (1)
subsistem hulu (pengadaan sarana); (2) subsistembudidaya pertanian (on-farm); (3) subsistem hilir
(pengolahan hasil dan pemasaran); serta (4) subsistem pendukung (prasarana dan fasilitasi).
Pengembangan setiap subsistem agribisnis memerlukan rekayasa don adopsi teknologi untuk
meningkatkan produktivitas, efisiensi dan mutu produk, sehingga berdaya saing tinggi. Inovasi
teknologi mutlak diperlukan dalarn pengembangan potensi sumberdaya petani bagi peningkatan
kesejahteraan mereka.
POTENSI SUMBERDAYA PETANI
1. Sumber Alam
5. Sumberdaya alam di bidang pertanian mencakup sumberdaya tanah, air, iklim, kelautan dan hayati.
Diantara sumberdaya alam tersebut tanah dan air mendapat tekanan sangat berat akibat dari
perubahan dinamika ekonomi. Dilain pihak sumberdaya kelautan dan hayati belum cukup
dimanfaatkan secara optimal untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Upaya menahan laju
konversi lahan pertanian subur menjadi sangat penting, khususnya sawah beririgasi teknis, termasuk
meningkatkan intensitas pemanfataan dan produktivitasnya secara lestari dengan merehabilitasi
sarana pengairan, sehingga memungkinkan peningkatan intensitas tanam dan diversifikasi pertanian
berskala luas. Konversi penggunaan untuk kegiatan luar sektor pertanian telah menekan penggunaan
lahan untuk pertanian.
6. Indonesia diakui oleh dunia sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang
sangat besar mencakup plasma nutfah tanaman pangan, hortikultura, tanaman industri, perkebunan,
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
2
perikanan dan peternakan. Namun demikian keanekaragaman hayati tersebut bersifat semu karena
masih berupa potensi. Kemampuan untuk menggali, rnemanfaatkan dan mengembangkannya belum
optimal. Melalui rekayasa teknologi, plasma nutfah dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan
penyediaan pangan, sandang, papan dan farmasi serta produk bio-kimia lainnya.
7. Salah satu strategi dasar dalam pengembangan agribisnis yang merupakan program utama
pembangunan pertanian adalah pemanfaatan dan perluasan spektrum pertanian yang bertitik tolak
dari potensi dan keragaman sumberdaya alam serta kondisi sosial ekonomi, dengan tetap
memperhatikan kelestarian sumberdaya dan lingkungannya. Pembangunan pertanian harus
didasarkan atas potensi lahan yang keberhasilannya tergantung pada pilihan komoditas serta sistem
usaha yang sesuai dengan karakteristik potensi tersebut. Berbagai langkah perlu diambil dalam
rangka pengembangan sumberdaya alam secara optimal antara lain, adalah:
a. Pengenalan sifat dan karakteristik lahan antara lain iklim, tanah, air, topografi, veqetasi dan
penggunaan tanah;
b. Menetapkan kesesuaian lahan dengan melakukan analisis kesesuaian antara kualitas dan
karakteristik lahan dengan persyaratan penggunaan lahan;
c. Menetapkan tingkat manajemen yang diperlukan untuk setiap penggunaan lahan. Berbagai
tingkat pengelolaan diperlukan sesuai dengan sifat dan karakteristik lahan tersebut;
d. Menilai kesesuaian lahan bagi pengembangan berbagai komoditas tanaman dan peternakan;
e. Menentukan pilihan komoditas atau tipe penggunaan lahan tertentu yang secara fisik sesuai dan
secara ekonomis menguntungkan.
2. Sumberdaya Sosial-Ekonomi
8. Pada periode tahun 1980-1998 angkatan kerja di Indonesia meningkat dari 51,2 juta menjadi 87,0
juta orang, atau peningkatan laju 4% per tahun. Sektor pertanian berperan besar dalam penyerapan
angkatan kerja/kesempatan kerja tersebut. Dalam tahun 1980 kesempatan kerja di pertanian
mencapai 27,3 juta orang (66,2% angkatan kerja) rnenjadi 33,5 juta orang (58,3% angkatan keja) di
tahun 1998. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk desa masih
menggantungkan hidupnya pada usaha pertanian. Kemampuan dalam penyerapan tenaga kerja yang
besar tersebut menjadikan sektor pertanian sangat penting dan menonjol dalam perekonomian
nasional.
9. Dari aspek kuantitas, sumberdaya manusia yang bekerja di pertanian lebih besar dibandingkan sektor
lainnya. Namun secara kualitas, sebagian besar sumberdaya manusia tersebut dinilai rendah apabila
diukur dengan tingkat pendidikannya. Dalam tahun 1998 sejumlah 14,34% tenaga kerja yang bekerja
di pertanian tidak sekolah, 26,25% tidak tamat SD, 43% berpendidikan SD tamat, 10,38%
berpendidikan SLTP, 4 SLTA dan sisanya yang pernah menempuh pendidikan tinggi hanya sekitar
0,30%. Kenyataan menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan berkorelasi negatif
dengan keinginan mereka bekeria di sektor pertanian, terutama dibidang budidaya pertanian. Upaya-
upaya untuk menciptakan kondisi yang membuat citra usaha pertanian menjadi suatu sektor usaha
yang prospektif dan nyaman, harus ditingkatkan untuk menarik SDM berpendidikan lebih tinggi
berkiprah di pertanian. Salah satu kebijaksanaan yang harus ditempuh adalah dengan
rnengembangkan agribisnis dengan kandungan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tinggi.
10. SDM di pedesaan relatif besar berpotensi tinggi untuk membangun pedesaan dalam pengembangan
agribisnis. SDM ini, terutama golongan muda cukup responsif terhadap sentuhan inovasi untuk
meningkatkan profesionalisme mereka dalam mendukung pengembangan agribisnis yang berdaya
saing tinggi. Budaya masyarakat pedesaan menghargai tata nilai yang mencirikan kemajuan, seperti
kerja keras, rajin, hidup hemat dan daya empati tinggi. Hal ini merupakan salah satu potensi besar
untuk dijadikan penggerak kemajuan agribisnis setempat. Solidaritas masyarakat pedesaan, terutama
tingkat ―kampung‖ relatif sangat tinggi. Hal ini merupakan potensi besar untuk membangun
agribisnis dengan basis kolektivitas masyarakat setempat. Nilai harmoni yang dijunjung tinggi oleh
umumnya masyarakat pedesaan memberikan andil yang besar terhadap penguatan solidaritas
seternpat.
11. Struktur masyarakat di tingkat bawah relatif egaliter. Hal ini merupakan basis yang kuat untuk
menerapkan prinsip-prinsip obyektif dan rasional dalam rangka pengembangan kelompok-kelompok
agribisnis di pedesaan. Kepemimpinan lokal umumnya didasarkan pada apresiasi masyarakat
setempat dan faktor kepemimpinan ini masih sangat efektif untuk menggerakan masyarakat
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
3
pedesaan. Dengan semakin tingginya apresiasi pemimpin lokal terhadap inovasi di bidang agribisnis,
peran pemimpin lokal ini akan memberikan andil yang besar terhadap pengembangan agribisnis di
pedesaan. Potensi sumberdaya sosial dapat dijadikan penggerak kemajuan ekonomi pedesaan dan
sekaligus penghela kesejahteraan (dan keadilan) masyarakat petani
12. Usaha agribisnis dipedesaan didominasi oleh usaha rumah tangga pertanian, yang sebagian besar
niemiliki dan/atau menguasai lahan sempit dan berpendapatan rendah. Secara nasional 51% petani
mengusahakan tanah lebih kecil dari 0,5 ha. Akses kepada permodalan juga sangat lemah, dan
sebagal akibatnya usaha mereka tidak dapat berkembang, untuk memungkinkan dihasilkannya
produk-produk berdaya saing tinggi dan selanjutnya memperoleh pendapatan yang layak. Usaha
mereka pada umumnya bertitik berat kepada budidaya pertanian, sehingga kurang menikmati nilai
tambah dari keseluruhan proses agnibisnis.
MEMBANGUN AGRIBISNIS DI PEDESAAN
13. Agribisnis didefinisikan pertama kali oleh David dan Golberg (1957) sebagai berikut ―Agribusiness
is the sum total of all operations involved in the manufacture and all distribution of farm supplies;
production activities on the farm; and the storage, processing and distribution of farm commodities
and items made from them‖.
14. Dari definisi tersebut dapat ditarik beberapa pengertian tentang agnibisnis pertanian dalam arti luas;
Pertama, jenis kegiatan usaha, yaitu yang berkaitan dengan pertanian. Agribisnis mencakup kegiatan
produksi pertanian primer atau umum dikenal sebagai kegiatan usahatani, serta kegiatan terkait dalam
pertanian luas, yaitu produksi dan distribusi input pertanian, penyimpanan, pengolahan dan distribusi
komoditi pertanian berikut produk-produk turunannya serta pembiayaan usaha-usaha tersebut.
Namun kiranya patut dicatat bahwa usaha inti dari setiap bidang usaha agribisnis tersebut ialah usaha
produk pertanian primer atau usahatani. Pabrik pupuk ada karena ada usahatani yang membutuhkan
pupuk. Agroindustni ada karena ada produk pertanian yang menghasilkan bahan baku pabrik
agroindustri tersebut. Agribisnis dapat pula disebut sebagai usaha pertanian, kegiatan usaha
berkaitan dengan pertanian.
15. Kedua, agribisnis mengacu pada sifat atau orientasi usaha pertanian sebagai usaha komersial yang
mengejar laba. Usaha pertanian berorientasi pasar. Usaha pertanian yang bersifat subsisten
(memenuhi kebutuhan sendiri) atau hobi tidak termasuk agribisnis. Usahatani, termasuk usahatani
keluarga, skala kecil, tidak berorientasi memaksimalkan volume produksi, tetapi mengoptimalkan
perolehan laba. Tambahan laba merupakan motivasi utama dalam mengadopsi suatu teknologi baru.
Oleh karena itu, tambahan laba marjinal (benefit) dan penurunan biaya (marjinal cost) merupakan
dua kriteria ekonomi teknologi unggul.
16. Ketiga, usaha agribisnis bersifat otonom. Sebagai suatu perusahaan komersial, agribisnis dikelola
secara bebas oleh pemiliknya dan dan sebesar-besarnya untuk kepentingan pemilik tersebut. Petani,
misalnya, bebas dalam memilih komoditas, teknologi dan periggunaan sarana maupun prasarana
usahatani yang digunakan. Prinsip ini merupakan syarat mutlak bagi suatu perusahaan komersial
privat. Di Indonesia, kebebasan petani telah dikukuhkan secara yuridis, yaitu melalui Undang-
undang Sistem Budidaya Tanaman. ini berarti, pemerintah atau pihak manapun tidak boleh memaksa
petani untuk menanam komoditas tertentu atau menggunakan input maupun teknologi tertentu,
sepanjang hal itu tidak dilarang oleh peraturan hukum. Jika demi kepentingan umum, pemerintah
mengharuskan petani rnenanam komoditas tertentu atau rnenggunakan teknologi tertentu, maka
petani boleh memperoleh kompensasi atas kerugian yang ditimbulkannya.
17. Keempat, masalah usahatani bersifat sistemik, tidak hanya terletak pada usahatani (on-farm)
melainkan juga bahkan kerap lebih banyak di luar usahatani (off-farm). Masalah pembangunan
pertanian haruslah didiagnosa dan diatasi berdasarkan pendekatan sistem. Usahatani hendaklah
dipandang sebagai Inti dari suatu sistem agnibisnis berbasis komoditas yang dihasilkan oleh
usahatani tersebut. Setiap komponen usaha dalam sistim agribisnis tersebut turut berpengaruh
terhadap keragaan usahatani. Sebagai contoh, gejala perlambatan perkembangan usahatani padi,
boleh jadi merupakan akibat dari gejala saturasi inovasi teknologi usahatani padi yang merupakan
fungsi dari komponen Litbang Pertanian. Dari contoh ini jelas kiranya bahwa fungsi Litbang
teknologi Pertanian merupakan salah satu esensi sistem agribisnis.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
4
18. Kelima, agribisnis sebagai paradigma pembangunan. Setiap komponen agribisnis dipandang sebagai
sebuah sistem yang terpadu secara vertikal mulai dari pengadaan input pertanian sampai dengan
distnibusi produk-produk pertanian ke tangan konsumen akhir. Dengan kata lain, agribisnis harus
dikelola secara ―integratif‖. ini merupakan sebuah paradigma baru dalam pembangunan sektor
pertanian di Jndonesia. Sebagai faktor pemadu (the coordinating factor) adalah pasar. Sebagaimana
dikemukakan oleh Mosher (1966), adanya pasar bagi produk-produk pertanian merupakan syarat
pertama yang harus dipenuhi agar pembangunan pertanian dapat berjalan. Oleh karena itu, semua
kegiatan agribisnis mulai dari yang paling hilir sampai dengan yang paling hulu harus diarahkan
untuk memenuhi permintaan pasar, baik dari segi ketepatan kuantitas, kualitas maupun waktu.
19. Agar sistem agribisnis secara keseluruhan mampu berkembang dan berkelanjutan (sustainable),
semua unit kegiatan agribisnis secara ekonorni harus mampu hidup (economically viable), Untuk itu,
unit-unit usaha dalam struktur vertikal agribisnis harus ―mampu menciptakan laba‘ (profit making
enterprise). Minimal ada dua kondisi yang diperlukan untuk mendukung hal itu. Salah satunya
adalah bahwa semua unit usaha agribisnis secara vertikal mulai da hulu sampai hilir harus saling
mendukung dan mennperkuat satu sama lain (mutually supportive and reinforcing). Semua unit
usaha secara vertikal tidak boleh bersaing dan saling mematikan. Persaingan boleh terjadi hanya
secara horizontal yang rnengarah pada meningkatnya efisiensi. Kondisi lainnya ada bahwa unit
usaha di masing masing simpul vertikal agribisnis harus bekerja efisien, yaitu mampu
mengalokasikan sumberdaya ekonomi yang dimilikinya secara optimal. ini hanya dapat dilakukan
oleh surnberdaya rnanusia (manajer dan pekerja) yang mempunyai tingkat kecakapan tinggi
(profesional).
20. Kegiatan agribisnis dapat dipengaruhi oleh keputusan atau tindakan koordinator agribisnis, yang
terdiri dari pemerintah, manajer agribisnis (termasuk asosiasi bisnis), pendidik dan peneliti.
Pemenintah seringkali sangat menentukan arah perkembangan agribisnis melalui berbagai kebijakan
dan program yang ditetapkannya. Kebijakan dan program tersebut mencakup berbagai bidang, antara
lain intensifikasi, ekstensifikasi, rehabilitasi, irigasi, transportasi, distribusi sarana produksi, energi,
pemasaran hasil pertanian, harga-harga, penanaman modal, pewilayahan komoditi, fiskal dan
moneter. Peran utama pemerintah adalah sebagai regulator, fasilitator dan dinamisator, sehingga
koordinasi vertikal kegiatan sistem agribisnis dan unit-unit usaha yang terlibat di dalamnya secara
keseluruhan dapat berjalan secara terpadu dan terkoordinasi secara baik dengan memperhatikan
secara seksama lingkungan strategis (sumberdaya alam, sosial, ekonomi, politik) yang terus bergerak
secara dinamis sehingga sistem agribisnis secara keseluruhan mampu terus berkembang dan
berkelanjutan.
21. Para manajer agribisnis (termasuk asosiasi bisnis) juga menentukan keberhasilan kegiatan
agribisnisnya. Informasi yang lengkap tentang semua kegiatan agribisnis, kebijakan dan program
baru pemerintah, teknologi, hasil-hasil penelitian serta perkembangan lingkungan strategis perlu
dikuasai untuk dapat membuat keputusan bisnis secara lebih tepat (bagi perusahaan) maupun untuk
merumuskan program dan kebijakan pembangunan agribisnis yang efektif dan efisien (bagi
pemerintah).
22 Para pendidik di bidang pertanian dan sosial ekonomi mempunyai kontribusi besar dalam
pengembangan agribisnis. Dunia pendidikan formal yang menciptakan manusia terampil dan
berpengetahuan luas yang diperlukan oleh pemerintah dan perusahaan, maupun pendidikan non-
formal yang memberikan bekal ketrampilan dan pengetahuan kepada para petani dan pelaku
agribisnis lainnya sangat dibutuhkan. Dengan meningkatnya kompetisi antar pelaku bisnis dan antar
negara, produk-produk yang dihasilkan tidak hanya didasarkan atas sumberdaya yang ada (resource
base), tetapi yang lebih penting didasarkan atas ilmu pengetahuan (knowledge base). Kegiatan
pendidikan dapat dilaksanakan oleh pemerintah dan swasta, termasuk LSM.
23. Kegiatan penelitian juga sangat diperlukan untuk pengembangan agribisnis. Lingkup kegiatan
penelitian yang diperlukan tidak hanya menghasilkan pembaharuan atau temuan-temuan teknologi di
bidang budidaya saja, tetapi juga teknologi di bidang pengolahan, penyimpanan dan transportasi hasil
pertanian. Evaluasi yang sifatnya komprehensif tentang efek sosial dan ekonomi dari kebijaksanaan
dan program pemerintah terhadap perkembangan agribisnis juga menjadi bagian sangat vital dalam
kegiatan penelitian. Teknologi yang senantiasa berubah merupakan salah satu syarat mutlak bagi
pembangunan pertanian. Penelitian dan pengembangan pertanian merupakan salah satu simpul kritis
dalam sistem agribisnis.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
5
24. Visi yang dimainkan diataslah yang menjadi dasar kenapa pemerintah, saat ini mengadopsi strategi
pembangunan sistem dari usaha guna memacu pembangunan pertanian. Strategi baru ini jelas
membutuhkan kerjasama sernua pihak. Pembangunan pertanian tidak hanya tanggung jawab
Departemen Pertanian saja melainkan tanggung jawab semua pihak yang mandat kerjanya termasuk
dalam sistem agribisnis.
25. Di dalam struktur perekonomian Indonesia, agribisnis mempunyai spektrum yang sangat luas, yaitu
dari usaha yang dikelola oleh keluarga-keluarga dengan sumberdaya yang sangat terbatas, sampai
dengan tingkatan perusahaan yang bersifat supranasional. Luasnya spektrum pengembangan
agribisnis tersebut menghendaki perencanaan yang seksama dalam melakukan pilihan, seperti
mampu rnemanfaatkan semua sumberdaya potensial secara optimal, mampu mengatasi segala
hambatan dan tantangan yang dihadapi, mampu menyesuaikan diri dalam pola struktur produksi
terhadap perubahan baik teknologi maupun permintaan serta mampu berperan positif di dalam
pembangunan pedesaan, wilayah rnaupun nasional.
26. Agribisnis rnerupakan sektor ekonomi terbesar dan terpenting dalam perekonornian nasional.
Peranan sektor agribisnis yang demikian besar dalam perekonomian nasional memiliki implikasi
penting dalam pembangunan ekonomi nasional kedepan. Besarnya keterkaitan dengan
berkembangnya sektor agribisnis ini terhadap sektor-sektor ekonomi lainnya dapat diindikasikan dari
multiplier effect yang ditimbulkan. Hal ini disebabkan, karena karakteristik agribisnis memiliki
kelebihan yaitu: (a) memiliki keterkaitan yang kuat antara hulu dan hilir, (b) menggunakan
sumberdaya alam yang ada dan dapat diperbaharui, hal ini menjadi penting dalam kerangka
pelestarian sumberdaya alam dan daya dukung lingkungan terhadap kehidupan, (c) memiliki
keunggulan komparatif dan kompetitif baik di pasar domestik maupun di pasar internasional, (d)
dapat menampung tenaga kerja dalam jumlah besar, dan (e) produknya pada umumnya bersifat cukup
elastis, sehingga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat yang berdampak semakin luasnya
pasar.
27. Agribisnis mengimplikasikan perubahan kebijaksanaan di sektor pertanian, Pertama, produksi sektor
pertanian harus lebih berorientasi kepada permintaan pasar, tidak saja pasar domestik tapi juga pasar
luar negeri. Kedua, pola pertanian harus rnengalami transforrnasi dari sistem pertanian subsistem
yang berskala kecil ke usahatani dalam skala ekonomi efisien. Hal ini merupakan keharusan, jika
produk pertanian harus dijual di pasar bebas dan jika sektor pertanian harus menyediakan bahan-
bahan baku bagi sektor industri. Bagi negara yang memiliki potensi yang besar di sektor pertanian
dan memiliki keunggulan komparatif, pembangunan harus bersifat resource based atau agrobased.
28. Agribisnis merupakan suatu sistem sejak dari kegiatan hulu, budidaya, hilir dan pendukung. Sebagai
suatu sistem, kegiatan agribisnis tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya dan saling terkait.
Beberapa pengembangan agribisnis adalah: (a) berorientasi pasar (market oriented), yaitu
menempatkan pendekatan supply-demand sebagai pertimbangan utama, (b) menerapkan konsep
pembangunan yang berkesinambungan (sustainable development), yaitu dengan memperhitungkan
kesinambungan supply, demand dan sistem produksi jangka panjang, (c) keterkaitan subsistem
budidaya dan subsistem lainnya perlu dijaga dan diseimbangkan, dan (d) dukungan sistem informasi,
adanya data yang akurat dan mudah didapat setiap waktu mengenai produksi, permintaan, dan harga.
29. Beberapa langkah strategis yang harus ditempuh untuk memposisikan agribisnis sebagai andalan
pembangunan pedesaan antara lain adalah sebagai berikut:
a. Kegiatan agribisnis dipandang sebagai suatu jaringan kegiatan ekonomi utuh, tidak tersekat-
sekat, sehingga responsif terhadap dinamika pasar, inovasi teknologi dan permodalan. Dengan
cara pandang demikian fungsi agribisnis sebagal penggerak perekonomian bisa lebih
ditonjolkan.
b. Pengembangan agribisnis disesuaikan dengan keunikan lokasi. Hubungan kemajuan antar lokasi
pengembangan agribisnis lebih bersifat saling melengkapi (komplementer). Selain itu, langkah
ini memungkinkan keunggulan/kekhasan sumberdaya setempat dijadikan penggerak agribisnis
yang khas pula.
c. Pengelolaan agribisnis dibangun secara konsolidatif (baik vertikal maupun horizontal). Dengan
cara demikian, asas efisiensi atau MES (Minimum Economic of Scale) dapat diterapkan termasuk
dalam kaitannya dengan penggunaan teknologi dan penyehatan ekosistem setempat.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
6
30. Untuk lebih mendorong kegiatan di atas, diperlukan pengembangan (pola) kemitraan agribisnis
konsolidatif yang diarahkan untuk menggantikan pola kemitraan yang berciri patronase. Dengan
pola ini tidak dikenal lagi eksploitasi antar pelaku agribisnis, dalam suatu jaringan kegiatan
agribisnis, baik secara terselubung, legal dan terbuka. Beberapa ciri dari pola ini adalah: (i) peran
terbesar kegiatan agribisnis adalah petani, (ii) kegiatan agribisnis bersifat integratif, sehingga friksi
antar kegiatan agribisnis dapat dieliminir, (iii) output suatu kegiatan agribisnis bersifat stabil, bernilal
tambah tinggi, dan berstandar mutu tinggi, (iv) spesialisasi kerja dan rasionalisasi ekonomi dapat
diharmonisasikan dengan cara pengelolaan agribisnis yang kooperatif, dengan koperasi sebagai
lembaga ekonomi andalannya, dan (v) mudah diintegrasikan dengan pengembangan perekonomian
pedesaan.
31. Pada waktu lalu, pelaksanaan pembangunan menghadapi persoalan, yang berkaitan dengan
rendahnya partisipasi masyarakat dan tidak cukup berlanjutnya program-program yang diintroduksi.
Sejumlah proyek yang sudah dilaksanakan tidak berkelanjutan, dalam arti tidak dilaksanakan lagi
setelah ditinggalkan pelaksana proyek. Penyebab utama dari kondisi ini adalah akibat
penyelenggaraan pembangunan yang cenderung sentralistik, dan kurangnya upaya ke arah
pemberdayaan masyarakat sasaran. Petani lebih banyak hanya ditempatkan sebagai obyek dari
kegiatan pembangunan dan pelaksanaan kegiatan cenderung dibuat seragam tanpa banyak melihat
tingkat perkembangan kapasitas kelembagaan petani.
32. Pada masa yang akan datang, sejalan dengan semangat desentralisasi perlu dilakukan berbagai
penyesuaian dengan menjadikan masyarakat petani sebagai subyek atau pelaku utama pembangunan,
melalui paradigma yang bersifat people-centered, particioatory, empowering, and sustainable.
Dalam bentuk yang lebih sederhana, keempat sifat tersebut dapat diramu menjadi dua kata kunci,
yaitu pemberdayaan dan partisipasi rnasyarakat. Pemberdayaan terkandung makna keberpihakan.
Artinya kekuatan (daya) yang berasal dari dan dimiliki masyarakat dicoba diperkuat dangan unsur-
unsur dari luar, sehingga dihasilkan kekuatan yang lebih besar untuk mencapai sesuatu yang
dikehendaki. Pengembangan masyarakat melibatkan unsur norma dan perilaku orang-orang, maka
sebenarnya sisi yang hendak dicapai adalah pengembangan kelembagaan yang terdiri dari dua bagian
besar yaitu organisasi dan aturan main.
33. Pengembangan kelembagaan berarti suatu proses menuju ke arah perbaikan aturan hubungan antara
orang-orang dalann rnasyarakat, yang pada gilirannya dapat membentuk kelembagaan yang
dikehendaki. Karena proses tersebut melibatkan unsur norma dan perilaku manusia, maka proses
tersebut akan memerlukan waktu. Dengan demikian pengembangaan kelembagaan akan berisi
program-program untuk menangani berbagai masalah secara sistematis dan terencana.
34. Dalam pembangunan berbasis komunitas, sumberdaya yang tersedia di masyarakat, baik sumberdaya
fisik maupun non fisik harus mampu dimanfaatkan menurut kebutuhan setempat. Hal ini
dimungkinkan karena program pembangunan dapat diprioritaskan sesuai dengan kebutuhan riil.
Komunitas atau masyarakat lokal yang diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan dan
implementasinya akan lebih responsif untuk turut memikul tanggung jawab pengelolaan pelaksanaan
kegiatan. Hal ini akan membantu mengurangi biaya yang perlu disediakan pihak pemerintah.
Disamping itu pengetahuan dan ketrampilan lokal (ind, technical know-how) mampu diadaptasikan
untuk membantu penghematan biaya dan peningkatan keuntungan. Pemikiran di atas secara eksplisit
menggambarkan keikutsertaan masyarakat sebagai mitra pembangunan, dan bukan lagi sebagai
kelompok sasaran. Dalam kegiatan ini partisipasi masyarakat sangat dibutuhkan, terutama dalam
bentuk partisipasi yang bersifat mobilisasi spontan yang diartikan secara positif.
REKAYASA DAN PENERAPAN TEKNOLOGI PARTISIPAT1F
A. Peran Inovasi Teknologi Dalam Perkembangan Agribisnis
35. Keunggulan bersaing merupakan salah satu syarat mutlak bagi eksistensi dan pertumbuhan
berkelanjutan suatu usaha agribisnis dalam tatanan pasar persaingan bebas era globalisasi. Saat ini
daya saing pada dasarnya ialah kemampuan lebih baik dari pesaing dalam hal menghasilkan barang
dan jasa sesuai preferensi konsumen. Preferensi konsumen dicerminkan oleh atribut produk seperti
jenis, mutu, volume, waktu dan harga. Semua ini sangat ditentukan oleh basis kegiatan produksi.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
7
Basis keunggulan kompetitif agribisnis dapat dikelompokkan menjadi:
1. Keunggulan komparatif limpahan sumberdaya lahan dan air
2. Keunggulan komparatif limpahan tenaga kerja
3. Keunikan agroekosistem lahan
4. Keunggulan teknologi
5. Keunggulan manajemen
Keunggulan (1) - (3) termasuk kategori keunggulan komparatif berbasis alamiah (natural resource
base) yang lebih ditentukan oleh karunia Ilahi. Namun, agribisnis tetap memerlukan inovasi
teknologi dan manajemen, sebagai komplemen guna mengubah keunggulan komparatif menjadi
keunggulan kompetitif. Agribisnis modern lebih banyak mengandalkan keunggulan teknologi dan
manajemen sebagai basis keunggulan kompetitifnya. Inovasi teknologi dan manajemen, termasuk
pada tingkat perusahaan dan pemerintahan, merupakan produk dan penelitian dan pengembangan.
Oleh karena itulah penelitian teknologi pertanian merupakan salah satu komponen utama sistem
agribisnis progresif.
36. Dalam era globalisasi ekonomi dan perdagangan seperti sekarang ini dan juga di masa datang,
dimana ekonomi pedesaan dan nasional sudah terintegrasi dengan ekonomi global, isu yang paling
utama dalam dunia bisnis adalah memenangkan persaingan global. Dalam hal ini, kemajuan
teknologi diharapkan mampu memberikan sumbangan besar dalam peningkatan daya saing produk
agribisnis. Daya saing dapat ditingkatkan melalui penggunaan teknologi yang dapat menurunkan
biaya per unit output (unit-output cost = UOC), meningkatkan volume, dan menyesuaikan
karakteristik kualitas produk dengan preferensi konsumen.. Dengan turunnya UOC, komoditas
pertanian Indonesia akan mempunyai keunggulan biaya (cost advantage) dibanding komoditas yang
sama yang diproduksi di negara lain. Jika dikombinasikan dengan kesesuaian volume dan kualitas
produk, maka daya saing komoditas pertanian primer atau produk agribisnis Indonesia dapat
ditingkatkan sehingga kemampuan untuk menembus pasar ekspor atau membendung arus impor
makin tinggi. Oleh karena itu, teknologi di masing-masing simpul agribisnis, mulai dari bidang
produksi sampai dengan pemasaran hasil, harus terus berkembang.
B. Teknologi untuk Meningkatkan Kapasitas Produksi
37. Teknologi untuk meningkatkan kapasitas produksi ialah yang meningkatkan perolehan volume
produksi dari satu unit faktor produksi yang menjadi pembatas (the limiting factor of production).
Kalau yang menjadi faktor pembatas ialah lahan maka teknologi tergolong kategori ini meliputi yang
mampu meningkatkan produktivitas lahan per satuan luas per satuan waktu (land management
technology). Termasuk dalam hal ini ialah teknologi yang meningkatkan produkttvitas lahan per
panen dan frekuensi panen per tahun (intensitas pertanaman). Contoh teknologi semacam ini ialah
benih unggul hasil (high yield) dan benih unggul umur genjah (short maturnity) atau kombinasi
keduanya.
38. Jika usahatani didominasi oleh usaha keluarga, seperti yang berlaku di Indonesia, seringkali yang
menjadi faktor pembatas ialah ketersediaan tenaga kerja keluarga atau tenaga pengelola usahatani.
Dalam kondisi demikian, kapasitas produksi dapat ditingkatkan dengan mengadopsi teknologi yang
mampu mengurangi kebutuhan tenaga kerja keluarga untuk manajemen seperti mekanisasi pertanian.
Dengan mekanisasi pertanian maka skala usahatani yang dapat dikelola keluarga dapat ditingkatkan.
39. Peningkatan kapasitas produksi pada dasarnya berfungsi untuk meningkatkan efisiensi teknis faktor
produksi maupun efisiensi skala usaha. Efisiensi teknis dan skala usaha rnerupakan elemen penentu
utama efisiensi ekonomi yang menjadi penentu daya saing harga jual produk agribisnis. Oleh karena
itu, teknologi yang mampu meningkatkan kapasitas produksi agribisnis sangatlah penting untuk
meningkatkan pendapatan pelaku agribisnis maupun untuk peningkatan daya saing agribisnis
domestik.
40. Dalam konteks nasional (agregat), peningkatan kapasitas produksi merupakan salah satu sumber
pertumbuhan produksi. Volume produksi agregat yang cukup besar merupakan faktor kunci bagi
tumbuh kernbangnya komponen usaha agribisnis terkait. Agroindustri, misa!nya hanya dapat
berkembang jika skala produksi usahatani primer cukup besar dan kontinu menurut waktu. Volume
produksi agregat juga bermanfaat untuk meningkatkan efisiensi pemasaran melalui ‖precuriary
economics”. Semakin besar volume pasar (thick market) semakin murah ongkos transaksi pasar.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
8
C. Teknologi untuk Menurunkan Biaya Pokok Produksi
41. Ada dua kelompok teknologi yang dapat digunakan untuk menurunkan biaya pokok produksi, yaitu
(a) teknologi yang dapat meningkatkan kapasitas produksi (capacity development), dan (b) teknologi
yang dapat menurunkan jumlah biaya (cost reduction). Prinsip jenis teknologi pertama adalah
menggunakan jumlah input (atau jumlah biaya) yang relatif sama untuk rnenghasilkan jumlah output
jauh lebih besar.
42. Teknologi yang berfungsi untuk meningkatkan kapasitas produksi sudah dibahas sebelumnya.
Contoh konkrit berikut hanyalah untuk lebih rnemperjelas. Jenis teknologi ini yang paling populer
adalah penggunan benih unggul baru. Ciri utama benih unggul baru adalah sangat responsif terhadap
input yang diberikan sehingga jumlah produksi dapat dinaikkan berlipat-ganda dalam waktu lebih
pendek sehingga UOC menjadi jauh lebih rendah. Penelitian ―bio-teknologi‖ dapat menghasilkan
berbagai benih unggul baru. Beberapa contoh antara lain adalah varietas IR untuk padi, varietas
Pioneer dan CPI untuk jagung, klon GT1 untuk karet, jenis Simmental untuk sapi potong, Friesch
Holstein (FH) untuk sapi perah, Etawa untuk kambing, Alabio untuk itik, dan ayam ras untuk
pedaging dan petelur, dan masih banyak contoh-contoh lainnya, baik untuk tanaman pangan, sayuran,
buab-buahan, perkebunan maupun peternakan. Penggunaan benih unggul tersebut perlu
dikombinasikan dengan teknik budidaya yang baik, antara lain adalah penggunaan pupuk pabrik
secara berimbang, air irigasi, pengaturan jarak tanam dan pengendalian organisme pengganggu
tanaman untuk tanaman, dan penggunaan pakan berkualitas dan vaksin untuk hewan.
43. Kelompok teknologi kedua adalah penggunaan alat dan mesin pertanian (alsintan). Prinsip
penggunaan alsintan adalah menurunkan jumlah biaya untuk rnenghasilkan jumlah produksi yang
sama. Contohnya adalah traktor untuk mengolah tanah, sabit untuk panen padi, mesin perontok
gabah, mesin pemipil jagung, mesin pengupas kopi, dan lain-lain. Penggunaan alsintan, selain dapat
menurunkan jumlah penggunaan tenaga kerja manusia, juga dapat mempercepat waktu kerja dengan
kualitas hasil kerja lebih baik. Penggabungan penggunaan kedua kelompok teknologi tersebut akan
dapat menurunkan UOC lebih besar lagi.
44. Prinsip peningkatan kapasitas produksi dan penurunan biaya produksi tidak hanya diterapkan di
bidang produksi pertanian primer saja, tetapi juga di semua simpul sistem agribisnis. Penggunaan
rnesin-mesin otomatis dengan sistem ban berjalan di bidang pengolahan hasil akan mampu
melakukan pengolahan hasil dalam jumlah jauh lebih besar dibanding mesin-mesin konvensional per
satuan waktu. Dengan menggunakan mesin demikian, banyak simpul-simpul kegiatan kurang
produktif yang dapat dipotong sehingga UOC menurun.
45. Demikian pula dalam transportasi hasil, penggunaan kendaraan bermotor dengan kapasitas besar
dapat meningkatkan daya angkut, daya jangkau dan mempercepat waktu angkut, jika dibandingkan
dengan rnenggunakan cikar, delman, gerobak, becak, dan lain-lain. Efeknya adalah menurunkan
biaya angkut per unit output Penggunaan gerbong kereta api di wilayah-wilayah tertentu untuk
mengangkut barang secara massal akan lebih efisien dibanding menggunakan truk.
D. Teknologi untuk Meningkatkan/Memelihara Kualitas Produksi
46. Kualitas produk dapat diperbaiki atau dipertahankan dengan menggunakan teknologi tertentu.
Kualitas produk sangat penting dilihat dari segi pemenuhan selera konsumen akhir. Di bidang
produksi pertanian primer, varietas sangat menentukan kualitas hasil. Banyak sekali contoh yang
dapat diambil, yang beberapa diantaranya adalah Rojo Lele atau Cianjur untuk beras (gurih dan
harum), Manalagi untuk mangga (manis), Keprok untuk jeruk (segar dan manis), Arabica untuk kopi
(nikmat), dan Brahman untuk sapi (empuk dan kurang berlemak). Produksi dari verietas-varietas
tersebut mempunyai harga lebih tinggi dibanding varietas-varietas biasa.
47. Di bidang pengolahan hasil, kualitas produk dapat ditingkatkan dengan menggunakan teknologi
pengawetan, penambahan bahan baru, dan pengemasan. Beberapa contoh teknologi pengawetan
adalah pengeringan dan pengalengan. Penambahan bahan baru dapat memperkaya kandungan kalori,
mineral, vitamin, protein dan rasa, atau mengurangi kandungan unsur-unsur merugikan seperti lemak,
kolesterol, asam urat, residu pestisida, dan lain-lain. Produk-produk dengan karakteristik demikian
akan lebih disukai konsumen. Bentuk kemasan yang memudahkan dalam penggunaannya (usage
ease) akan meningkatkan utilitas produk dan akan makin menarik bagi konsumen.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
9
48. Kualitas produk dapat dipertahankan dengan menggunakan teknologi pengawetan sebagaimana telah
disebutkan di atas, ditambah dengan teknologi panen, pengangkutan dan penyimpanan. Penggunaan
teknologi panen yang baik akan dapat mencegah terjadinya kerugian karena kerusakan hasil.
E. Teknologi untuk Pengembangan Produksi
49. Selera konsumen terus berubah karena membaiknya tingkat pendidikan dan makin cangggihnya
teknologi informasi. Perubahan selera tersebut menuntut disediakannya produk-produk baru yang
lebih menarik bagi mereka. Produk-produk lama akan ditinggalkan konsumen dan akan mengalami
kejenuhan pasar. Demikian pula, komoditi pertanian yang kapasitas produksinya sudah lama
mengalami stagnasi akan mengalami penurunan daya saing karena peluang untuk menurunkan UOC
sudah tidak ada lagi. Oleh karena itu, diperlukan pengembangan produk-produk baru agribisnis
(product development) yang mempunyai kapasitas produksi lebih besar atau kualitas hasil lebih baik.
50. Di bidang produksi primer, penelitian di bidang rekayasa genetika (genetic engineering) sangat
diperlukan. Penciptaan varietas-varietas baru yang mempunyai kapasitas produksi makin tinggi atau
mempunyal kualitas lebih baik akan merupakan langkah sangat penting. Tanpa perubahan teknologi
secara terus-menerus, pembangunan pertanian akan terhambat. Di bidang pengolahan hasil,
pengembangan produk umumnya lebih mudah karena tidak berhadapan dengan masalah genetik yang
sulit inntervensi, tetapi lebih pada sifat-sifat fisika dan kimia komoditi pertanian yang lebih mudah
dimodifikasi dengan teknologi tertentu.
F. Manajemen Usaha untuk Meningkatkan Efisiensi
51. Dengan menggunakan teknologi yang ada, efisiensi produksi dapat ditingkatkan melalul lima cara,
yaitu (a) pengalokasian input secara optimal berdasarkan harga input dan output; (b)
pengkombinasian input berdasarkan harga masing masing input dan harga output untuk jenis
komoditas yang sama, (c) pengkombinasian output berdasarkan harga masing-masing output untuk
jenis komoditas berbeda; (d) penggunaan ukuran usaha paling efisien; dan (e) penggunaan lingkup
usaha paling efisien.
52. Cara pertama, dikenal dengan strategi efisiensi alokatif pada hubungan input- output (input-output
relation) dengan tujuan untuk memperoleh biaya produksi paling rendah atau keuntungan maksimal
sepanjang fungsi produksi atau teknologi yang ada. Makin tinggi rasio harga input terhadap harga
output, maka penggunaan input akan makin kecil, produksi akan turun dan laba maksimum akan
berkurang, ceteris paribus. Sebaliknya, makin rendah rasio harga tersebut, maka penggunaan input
akan makin banyak (tetapi ada batas maksimumnya), produksi akan meningkat dan laba maksimum
akan makin besar. Di bidang pertanian, jenis input yang harganya sangat berpengaruh adalah pupuk
pabrik (Urea, ZA,TSP, KCl, NPK, dll) dan obatan-obatan (pestisida).
53. Cara kedua, dikenal sebagai strategi kombinasi input (input-input combination), yaitu kombinasi
jenis input tergantung pada tingkat substitusi (substitutability) antar input variabel. Tingkat
penggunaan input dipengaruhi oleh rasio antar harga input yang bersangkutan dan terhadap harga
output. Biasanya, substitusi input terjadi antara tenaga kerja dan modal, misalnya pemberantasan
gulma dengan tenaga manusia diganti dengan herbisida.
54. Cara ketiga dikenal sebagai strategi kombinasi output (output-output combination) sepanjang kurva
kemungkinan produksi (production possibility curve) pada masing-masing komoditi untuk
menentukan commodity basket yang dapat memaksimumkan jumlah penerimaan total berdasarkan
harga output masing-masing komoditi. Pertanian campuran (mix farming) sayuran dengan sapi
perah, atau perikanan kolam dengan ternak ayam, adalah contoh-contoh klasik. Demikian pula
tumpang-sari (mix cropping) antara jagung dan cabai merah adalah contoh yang banyak diterapkan
petani.
55. Cara keempat, yaitu penggunaan ukuran usaha paling efisien, didasarkan atas total biaya per unit
output paling rendah. Dalam hal ini, biaya terdiri dari dua komponen utama, yaitu biaya variabel
(variable cost) dan biaya tetap (fixed cost). Skala usaha dapat terus ditingkatkan selama total biaya
rata-rata (average total cost) masih terus menurun hingga niencapai total biaya rata-rata mencapai
titik paling rendah (masih terjadi economies of size). Jika rata-rata total biaya sudah mencapai titik
paling rendah, maka peningkatan skala usaha akan rneningkatkan rata-rata total biaya (terjadi
diseconomies of size).
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
10
56. Cara kelima, yaitu penggunaan lingkup usaha paling efisien, didasarkan atas penggabungan berbagai
jenis komoditi atau usaha ke dalam satu manajemen (economies of scope). Hal ini dapat terjadi
melalui integrasi vertikal atau integrasi horizontal. Dengan cara ini struktur organisasi bisa menjadi
lebih sederhana sehingga jumlah biaya-tetap (fixed cost), utamanya gaji direksi, bangunan (kantor,
perumahan), peralatan (mesin pabrik dan kendaraan) dan perlengkapan lainnya dapat ditekan.
57. Penggabungan kelima cara tersebut di atas akan dapat mengurangi biaya produksi per unit output
(UOC) secara lebih signifikan. Namun yang lebih penting bukan sekedar penurunan produksi,
melainkan keungulan biaya (cost advantage). Yang dimaksud keunggutan biaya ada UOC agribisnis
di Indonesia lebih rendah dibanding agribisnis di negara pesaing untuk setiap jenis komoditi.
Bahayanya jika hanya sekedar bertujuan rneminimalkan UOC adalah terhambatnya inovasi teknologi
baru yang menggunakan alat dan mesin-mesin yang harganya mahal sehingga perbaikan kualitas dan
pengembangan produk yang makin diminati oleh pasar akan terhambat. Dengan prinsip keunggulan
biaya, UOC boleh ditingkatkan dengan inovasi teknologi baru yang menghasilkan produk-produk
baru yang diminta oleh pasar, namun UOC tersebut masih lebih rendah dibanding dengan negara
pesaing, sehingga daya saing produk agribisnis Indonesia tetap tinggi.
G. Rekayasa Teknologi Partisipatif
58. Strategi pembangunan pedesaan adalah meletakkan pembangunan pertanian (dalam konteks
pengembangan agribisnis), sebagai lokomotif penggerak perekonomian pedesaan. Usaha pertanian
harus mampu tumbuh dan berkembang secara proposional. Dengan sumberdaya yang terbatas dalam
tatanan pasar yang sangat kompetitif, inovasi teknologi menjadi sumber pertumbuhan yang sangat
menentukan. Inovasi teknologi bermanfaat dalam meningkatkan kapasitas produksi, produktivitas,
mutu, diversifikasi, produk, transformasi produk sesuai preferensi konsumen dan nilai tambah. Hal
tersebut akan sangat menentukan keberhasilan upaya meningkatkan pendapatan para petani kita.
59. Inovasi teknologi partisipatif merupakan hasil proses litbang pertanian yang di lakukan
berkomunikasi dan bekerjasama dengan penggunanya, sejak dari proses perencanaan sampai dengan
adopsinya. Hal tersebut sesuai dengan paradigma Badan Litbang Pertanian, bahwa Litbang berawal
dari petani/pengguna dan berakhir pada petani/pengguna teknologi. Untuk memperkuat
partisipasi pengguna/petani dalam proses litbang pertanian, maka di Lingkungan Badan Litbang
Pertanian, telah dibentuk Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) di setiap Propinsi. Unit kerja
ini harus proaktif dalam menghasilkan inovasi teknologi yang mampu meningkatkan kesejahteraan
masyarakat petani. Kegiatan litbang pertanian dilakukan dengan mengikut-sertakan secara aktif
berbagai pihak yang berkepentingan dengan inovasi teknologi pertanian.
60. Sebagai aset pelayanan IPTEK di propinsi sesuai UU 22/1999, BPTP ini memiliki pula kemampuan
dalam bidang penyiapan materi untuk penyuluhan. Keberadaannya pada propinsi yang bersangkutan
diharapkan akan memberi arti penting bagi program pembangunan pertanian di wilayah tersebut.
Hubungan sinergi antara BPTP, Pemerintah Daerah, Instansi terkait dan masyarakat masih harus
lebih dikembangkan pada waktu yang akan datang. BPTP pada saat ini masih dalam proses
pengembangan, baik dilihat dari pengembangan sumberdaya manusia, fasilitas maupun sistem
manajemen risetnya.
61. Dalam rangka mendorong pendekatan partisipatif dan sejalan dengan desentralisasi pembangunan
pertanian, telah dilakukan reorientasi kebijaksanaan bidang penelitian dan pengembangan yaitu (1)
dan perencanaan yang sentralisasi menjadi desentralisasi; (2) dad pendekatan komoditas menjadi
pendekatan sumberdaya melalui sistem usaha pertanian (sistem agribisnis) (3) dan penelitian yang
terfokus pada teknologi budidaya menjadi penelitian berimbang antara penelitian strategis (terapan)
dan penelitian adaptif; (4) dan cara pandang yang umum menjadi spesifik lokasi; dan (5) dan
prionitas yang didasarkan pada produksi menjadi prioritas yang didasarkan atas dinamika pasar.
62. Kerangka pikir yang menjadi landasan reorientasi kebijakan strategis litbang pertanian adalah sebagai
benikut
a. Penciptaan inovasi-inovasi teknologi harus menjawab tantangan pembangunan pertanian dan
sekaligus merupakan bagian integral dari sistem inovasi nasional;
b. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan pertanian diarahkan untuk meningkatkan mutu
dan nilai tambah agribisnis;
c. Pemanfaatan, pengembangan dan penguasaan IPTEK di bidang pertanian diarahkan juga pada
peningkatan daya inovasi untuk meningkatkan daya saing ekonomi;
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
11
d. Pengembangan sinergi, baik antar lembaga maupun dengan pengguna dalam melaksanakan
berbagai proses IPTEK dibidang pertanian termasuk diseminasi dan proses adopsi inovasi
teknologi.
63. Usaha pertanian di Indonesia didominasi oleh usaha keluarga skala kecil yang sangat lemah dalam
berbagai bidang, seperti keterbatasan asset produktif, daya tawar, kekuatan ekonomi sehingga tidak
mampu berkembang mandiri dinamis. Para petani banyak tergantung kepada ―orang kaya atau
pedagang‖ dalam memperoleh asset produktif, sarana produksi, pengolahan dan pemasaran hasil.
Hal di atas sangat mempengaruhi daya adopsi inovasi teknologi. Pemberdayaan petani merupakan
langkah kunci mewujudkan pembangunan agribisnis berbasis komoditas di pedesaan.
64. Pengembangan kelembagaan petani (antara lain kelompok tani, asosiasi petani dan usaha bersama
agribisnis) oleh petani sendiri diharapkan akan memperkuat kemampuan dalam mengadopsi
teknologi inovasi yang diperlukan. Mereka dapat bersama-sama memilih inovasi teknologi yang
sesuai dengan kebutuhannya. Dalam memilih teknologi bagi usahanya, sekaligus telah
dipertimbangkan berbagai aspek antara lain kerjasama dalam pengadaan input, proses budidaya,
pengolahan dan pemasaran hasil. Dengan demikian diharapkan dapat diperoleh nilai tambah yang
lebih besar dari usahanya.
65. Adopsi teknologi sebagai salah satu faktor penting dalam mengembangkan agribisnis berbasis
komunitas di pedesaan membutuhkan fasilitasi dari pemerintah antara lain dalam penyediaan
prasarana, akses kepada input dan pasar serta kebijaksanaan insentif lainnya. Salah satu agenda
kebijaksanaan pemerintah yang diperlukan adalah rnencegah penurunan nilai tukar pertanian.
Kebijaksanaan harga, perdagangan, fiskal dan moneter agar mampu diarahkan untuk memacu
pertumbuhan agribisnis di pedesaan. Masyarakat pertanian di pedesaan harus dilindungi dari dampak
negatif kebijakan negara lain dan tindakan merugikan yang mungkin dilakukan oleh ‖usaha
agribisnis lebih besar‖.
PENUTUP
66. Partisipasi aktif para petani dan pengguna lainnya dalam rekayasa teknologi akan lebih meningkatkan
daya adopsi dari inovasi teknologi tersebut. Proses rekayasa inovasi diharapkan telah
mengakomodasi dengan baik kondisi dan kebutuhan petani sesuai dengan potensi sumberdaya yang
dikuasainya bagi pengembangan usaha agribisnisnya. Pemanfaatan inovasi tersebut harus mampu
membawa kepada peningkatan nilai tambah agribisnis bagi kesejahteraan petani khususnya dan
masyarakat pada umumnya
DAFTAR PUSTAKA
Badan Litbang Pertanian, 2000; Pembangunan Ekonorni Pedesaan Berlandasan Agribisnis, Deperteman Pertanian.
Badan Litbang Pertanian, 2000; Perspektif Pembangunan Pertanian tahun 2000 — 2004, Departemen Pertanian.
Badan Litbang Pertanian, 2001; Rencana Strategis Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian 2001-2004,
Departemen Pertanian.
Departemen Pertanian 2001; Pembangunan Sistem Agribisnis Sebagai Penggerak Ekonomi Nasional.
Joko Budianto, 2000; Optimalisasi Pengembangan Sumberdaya Lokal dalam Rangka Desentralisasi Pembangunan
Pertanian. Makalah pada Apresiasi Kebijaksanaan Pembangunan Pertanian dan Kehutanan, Pekanbaru,
November 2000.
DISKUSI
Pertanyaan :
1. Implikasi dengan kondisi petani saat ini maka pemerintah harus lebih komitmen terhadap petani
(Pemerintah lebih perhatian terhadap petani).
2. BPTP harus meneliti yang pokok-pokok terlebih dahulu (Bibit/Pembenihan).
3. Kelembagaan juga penting ditangani oleh BPTP
4. Kenapa Bapak mengatakan bahwa pemberian dana langsung ke petani tidak baik.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
12
5. Orientasi petani (adakah teknologi dari BPTP untuk menanggulangi pemasaran bawang putih di
Sembalun).
6. Partisipatif petani masih pasif (perlu diaktifkan)
Jawab :
1. Peran pemerintah lebih besar terhadap petani sudah diupayakan contohnya: (untuk menaikkan harga
gabah dari 1.500 s/d 1.700 tantangannya luar biasa) tetapi banyak sekali kendala-kendala yang
dihadapi pemerintah dalam upaya tersebut, disini ada politik pasar.
2. Informasi mengenai bibit, untuk BPTP masih mempunyai masalah untuk saat ini karena BPTP belum
mempunyai wewenang untuk itu.
3. Saya tidak mengatakan bahwa pemberian bantuan secara langsung tidak baik, bantuan langsung pada
masyarakat yang belum siap memang cukup riskan/berbahaya.
4. Mengaktifkan partisipatif masyarakat membutuhkan waktu yang cukup lama dan membutuhkan
kesabaran.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
13
OPTIMASI PENERAPAN TEKNOLOGI
PADA USAHATANI UNTUK MENINGKATKAN PENDAPATAN PETANI
Sri Widodo
Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada
PENDAHULUAN
Runtuhnya sektor industri modern sebagai akibat krisis ekonomi menyentuh pemikiran
masyarakat untuk mereformasi paradigma lama kearah paradigma baru dengan menerapkan sistem
ekonomi kerakyatan, yaitu sistem ekonomi yang berbasis pada kekuatan ekonomi rakyat. Sektor pertanian
berasas ekonomi kerakyatan berperan sebagai buffer terhadap berbagai goncangan ekonomi, mampu
tumbuh positif dalam krisis ekonomi, sehingga dapat dijadikan modal peningkatan ketahanan ekonomi
nasional.
Salah satu paradigma baru dalam pembangunan pertanian adalah dengan pendekatan sistem
agribisnis, yang terdiri atas subsistem usaha produksi primer di usahatani (on-farm), subsistem off-farm
hulu (upstream, berhubungan dengan input) subsistem off-farm hilir (downstream, berbubungan dengan
produk), dan subsistem penunjang/pelayanan seperti lembaga keuangan penelitian (penyedia teknologi
baru), dan penyuluhan. Subsistem usaha produksi primer usahatani kecil sudah membuktikan sebagai
sektor yang tahan terhadap krisis ekonomi. Dengan demikian ekonomi rakyat mempunyai potensi besar
untuk memperkokoh ekonomi nasional dalam menghadapi tantangan globalisasi sekaligus sebagai dasar
kuat untuk desentralisasi dan otonomisasi.
Dalam sistem agribisnis upaya pengembangan bisnis petani kecil merupakan tantangan yang
berat mengingat adanya keterbatasan dalam hal-hal sifat subsisten dan semi subsisten, cara budidaya
tradisional, keterbatasan sumberdaya lahan, pendidikan, usahatani bukan merupakan usaha melainkan
sebagal way of life yang dilakukan dari generasi ke generasi. Namun, perkembangan penggunaan
teknologi modern dan masuknya ekonomi uang di pedesaan mulai merubah orientasi petani kecil kearah
bisnis, sehingga petani lebih dinamis, telah mengenal teknologi baru dan tanaman bernilai ekonomi tinggi
(Widodo, 1998; Widodo, 1999). Masuknya ekonomi uang di pedesaan menyebabkan berbagai kerjasama
non cash seperti berbagai bentuk gotong royong semakin luntur digantikan dengan sistem pengupahan
komersial (Hartono, 2002). Hal ni konsisten dengan hasil penelitian lain, baik di Filipina maupun di
Indonesia (Hayami, 1978; Widodo, 1989; Widodo, 1997) yang mengemukakan terjadinya pertukaran
tenaga kerja dengan upah (exchange labor with wage) di pedesaan yang padat penduduknya.
PERKEMBANGAN DAN PERAN PETANI KECIL
Perkembangan usahatani kecil yang positif kearah orientasi bisnis ini tidak menutup adanya
kenyataan tentang kecendrungan luas lahan usahatani yang semakin sempit, fragmentasi lahan,
pergeseran penguasaan lahan kearah sewa, sistem sakap yang makin memberatkan penggarap,
pertumbuhan jumlah buruh tani yang tinggi, pendidikan petani yang rendah dan sebagainya (Hartono,
2002; Widodo, 1997).
Bagaimanapun juga sampai sekarang, peran sektor pertanian dalam perekonomian masih cukup
besar, apalagi kalau diperhitungkan sebagai sektor agribisnis, yaitu dalam menyumbang PDB,
kesempatan kerja, sumber devisa, dan ketahanan pangan. Kecilnya usahatani menyebabkan petani
berupaya menambah pendapatan dan kegiatan di luar usahatani sehingga peran off-farm employment dan
off-farm income makin besar di daerah padat penduduk. Dengan demikian petani tidak hanya terlibat
dalam usaha produksi primer sebagai penghasil bahan baku saja. Usaha produksi sekunder dalam
rumahtangga tani dan off-farm activitfes juga merupakan peluang bagi petani untuk meningkatkan
pendapatannya, bukan hanya dari tambahan pendapatan yang dapat menambah konsumsi melainkan juga
dapat mengakibatkan petani menjadi lebih mampu membiayai usahataninya dan access terhadap
informasi menjadi lebih luas. Part-time farmers di Asia Timur terbukti dapat lebih memajukan pertanian.
Dari uraian tersebut dapat dsimpulkan bahwa kebijakan pembangunan yang lebih mengarah ke
pedesaan akan meningkatkan kemampuan pertanian untuk menjadi basis pengembangan agrobased
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
14
industry yang dapat memenuhi kebutuhan domestik dan substitusi impor, mengembangkan kemitraan
usaha kecil dan besar untuk ekspor.
PENDAPATAN PETANI
Petani merupakan bagian masyarakaat yang selalu mengalami tekanan pendapatan yang rendah
karena tekanan harga, baik pada waktu produktivitas pertanian rendah rnaupun waktu produktivitas
pertanian tinggi. Lebih lebih di daerah padat penduduk dengan lahan sempit, sehingga pendapatan petani
bukan dari hasil usahataninya saja, melainkan juga dari luar usahatani dan usaha non pertanian di
rumahtangganya. Dengan demikian untuk meningkatkan pendapatan petani dapat dengan meningkatkan
pendapatan usahatani dan meningkatkan pendapatan dari kegiatan di luar usahatani, serta kegiatan non
pertanian yang dilakukan oleh anggota keluarga di rumahtangganya. Jadi pendapatan petani ini tidak
dapat dipisahkan dengan pendapatan rumahtangga tani.
Ekonomi rumahtangga tani telah banyak dipelajari yang menghasilkan model pendekatan farm
household yang mencakup proses produksi dan konsumsi dalam suatu kesatuan ekonomi rumahtangga
yang maximizing utillity dengan kendala sumberdaya dan teknologi yang dimulai dengan model alokasi
tenaga keluarga tani dari Nakajima (1969). Penerapan teknologi seperti pada tema seminar ini, meskipun
hanya menyangkut budadaya yang mempengaruhi pendapatan usahatani, tetapi berdampak pada sistem
usahatani rumahtangga keseluruhan. Sedangkan penerapan teknologi hasil penelitian pada lahan
usahatanipun bukan tanpa masalah.
OPTIMASI USAHATANI
Optimum merupakan keadaan terbaik. Masalahnya adalah terbaik untuk siapa. Terbaik untuk
keberhasilan program pemerintah tidak sama dengan terbaik bagi petani yang mengusahakan usahatani
dan yang memperhitungkan nilai produksi dan biaya produksi. Program intensifikasi berkepentingan pada
produksi maksimum sedangkan petani berkepentingan pada pendapatan maksimum. Schultz (1964)
berperan besar dalam mengalihkan orientasi pembangunan pertanian ke petani kecil sewaktu dia
menyatakan bahwa dari sejumlah kajian petani kecil yang miskin bersifat rasional dan efisien dalam
mengalokasikan sumberdaya yang terbatas pada tingkat pengetahuan dan teknologi yang tersedia.
Herdt dan Wickham (1987) mengemukakan bahwa masalah hasil penelitian di stasiun percobaan
dapat diringkas secara garis besar sebagai berikut:
(1) Dalam rancangan percobaan yang biasanya ditujukan untuk mencapai hasil (yield) maksimum
pada umumnya tidak menghasilkan penerimaan bersih yang maksimum.
(2) Perlakuan tingkat input yang paling menguntungkan sering dicapai pada tingkat input yang
moderat dengan basil sedikit dibawah basil maksimum.
(3) Penggunaan input tingkat rendah akan mendekati keuntungan maksimum. Kesulitan lebih lanjut
timbul karena tingkat dan kombinasi yang sebaiknya diterapkan tidak diketahui. Banyak
percobaan hanya menghubungkan satu macam input dengan output dan biasanya input lain
diperlakukan tetap pada tingkat yang diperlukan untuk basil maksimum. Padahal petani perlu
mengetahui kombinasi input optimum.
KESENJANGAN HASIL (YIELD GAP)
Stasiun percobaan dibangun untuk menghasilkan teknologi produksi yang unggul atau untuk
mengkaji alih teknologi dari negara lain. Beberapa penelitian dilaksanakan terisolasi dari petani dan
jarang dapat menghasilkan rekomendasi yang sesuai untuk berbagai keadaan yang mempengaruhi petani.
Pada dasa-warsa 1970-an penelitian di stasiun percobaan di IRRI pada padi tidak menggambarkan
keadaan di usahatani. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan lingkungan yang tidak dapat dialihkan, serta
keadaan faktor biologi dan sosioekonomi yang berbeda (de Detta et al., 1978)
Gomez et al. (1979) menyatakan bahwa kesenjangan hasil (yield gap) antara hasil aktual di usahatani
(actual farm yield) dan hasil di stasiun percobaan (experiment station yield) dapat dibagi dua bagian,
yaitu: kesenjangan hasil I, perbedaan antara hasil di stasiun percobaan dan hasil potensial di usahatani,
dan kesenjangan hasil II, perbedaan antara hasil potensial den hasil aktual di usahatani.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
15
P
WXbXbb
X
QMP 1
25131
1
1 2
215
2
24
2
1322110 XXbXbXbXbXbbQ
P
WXbXbb
X
QMP 2
15242
2
2 2
11
25132 bP
WXbXb
22
2415 2 bP
WXbXb
Kesenjangan hasil I terutama disebabkan oleh perbedaan lingkungan antara stasiun percobaan
dan lahan usahatani yang dapat menyebabkan teknologi tidak teralihkan (transferable). Kesenjangan II
disebabkan oleh perbedaan tingkat penggunaan input dan cara-cara bercocok tanam. Hal ini berhubungan
dengan kendala biologi dan sosioekonomi.
Maximum possible yield dari suatu varietas adalah hasil tertinggi suatu varietas yang dicapai
pada suatu stasiun percobaan pada suatu musim. Informasi semacam ini mempunyai arti yang sangat
terbatas dalam upaya meningkatkan produksi di usahatani (Barker, 1979). Average yield dari hasil bila
ditanam pada cara budidaya terbaik dengan input maksimum pada beberapa tahun.
Barker (1979) menyatakan bahwa kesenjangan hasil dapat dibagi menjadi tiga bagian: (1) karena
profit seeking behavior, (2) inefisiensi harga atau inefisiensi alokatif (price or allocative inefficiency)
yaitu kegagalan dalam mencapai keuntungan maksimum, dan (3) inefisiensi teknis (technical inefficiency)
yaitu kegagalan dalam memproduksi pada fungsi produksi yang paling efisien. Kesenjangan hasil 1 tidak
berarti bagi petani.
PENDEKATAN ON - FARM
Dalam perkembangannya apresiasi pada sistem produksi usahatani kecil makin meningkat
banyak praktek budidaya petani kecil seperti tumpangsari lebih sesuai dari pada rekomendasi hasil
percobaan. Berdasar hal-hal tesebut dikembangkan beberapa asas untuk meningkatkan efisiensi
sumberdaya penelitian. Salah satunya adalah meningkatkan penawaran atau ketersediaan teknologi asas
utama adalah bahwa teknologi perlu sesuai pada keadaan lingkungan teknis usahatani (on-fam) melallui
percobaan di lahan usahatani, dan juga dapat sekaligus dalam sistem usahatani yang ada dengan
mempertimbangkan pengetahuan teknis petani setempat (Barker dan Norman, 1990).
Pertanian berkelanjutan akan selalu dihubungkan dengan lingkungan yang rnungkin dapat rusak
karena penggunaan input kimiawi yang berlebihan. Sistem usahatani masukan rendah adalah suatu
kombinasi teknologi hemat input yang terintegrasi dalam pengelolaan usahatani. Hal ini mencakup
berbagai cara yang mungkin sudah diadopsi secara luas oleh petani komersial (Maden dan Dobbs, 1990).
Oleh karena itu introduksi salah satu komponen teknologi dalam usahatani selalu harus
mempertimbangkan sistem usahatani yang ada. Disinilah pentingnya pendekatan sistem usahatani
(farming system approach).
KOMBINASI INPUT OPTIMUM
Dalam suatu percobaan untuk mengetahui pengaruh pupuk pada produksi ada analisis regresi
kwadratis untuk mernperoleh respons surface
Q adalah produksi per hektar, X1 dan X2 adalah input yang diperlakukan. Hal penting dalam evaluasi
ekonomi dari respons surface, atau fungsi produksi dalam ekonomika, adalah bagaimana dengan tingkat
optimum penggunaan input ini untuk memperoleh tingkat penggunaan input yang paling menguntungkan.
Dalam teori ekonomika produksi syarat yang diperlukan untuk optimum apabila produksi
marginal untuk tiap input sama dengan perbandingan harga input dan output.
Dimana MP1 dan MP2 adalah produksi marjinal input pertama dan kedua, W1 dan W2 harga input, dan P
harga output. Selanjutnya dapat dituliskan.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
16
2
1
2
1
45
53
2
2
2
2
b
b
X
X
bb
bb
P
W
P
W
2
543
25411
14
2 21
bbb
bbbb
A
AX P
W
P
W
2
543
15232
24
2 12
bbb
bbbb
A
AX P
W
P
W
i
i
ri
MPAMP
rMPrMPrMPMPAMP
14
4
14
11
4
21
4
3 321
in
i
rn
inMPAMP 1
1
0
Dalam bentuk persamaan matrik
Pemecahan dengan menggunakan cara Cramer
Jadi tingkat penggunaan input optimum dapat dicari. Pemecahan semacam ini cukup memadai
untuk pupuk N dan P misalnya dengan asumsi pengaruhnya pada produksi hanya terbatas pada sekali
tanam. Akan tetapi untuk amelioran, seperti pemberian kapur atau pupuk organik, pengaruhnya meliputi
beberapa tahun, meskipun tidak pada tingkat yang sama menurun terus, maka produk marjinalnya akan
sama dengan jumlah nilai kini selama empat tahun yang diperkirakan dengan discount factor.
Dimana AMP ameliorant marginal product MP marginal product diukur pada tahun pertama, r
discount rate.
Secara umum untuk n tahun menurun lurus
Dengan cara yang sama kita dapat mencari kombinasi input optimum termasuk amelioran
dengan cara Cramer Rule (Widodo, 1987).
PENGEMBANGAN PENELITIAN PERTANIAN
Penelitian menyajikan berbagai alternatif teknologi yang dapat dipergunakan petani dan pelaku
agribisnis dan dapat mengembangkan agribisnis, baik pada usaha produk primer di usahatani maupun
penemuan output dan alat baru serta pemasaran dan pengelo hasil pertanian kearah produk yang siap
konsumsi dan ekspor. Berbagai hasil penelitian yang dengan cepat diadopsi di dunia usaha merupakan
teknologi tepat guna yang perlu dikembangkan. Di samping itu tidak kalah pentingnya penelitian ilmu
murni (pure science) yang mendasari berbagai penelitian terapan dan penelitian pengembangan.
Alokasi dana pemerintah yang kecil untuk R dan D (research and development) merupakan
salah satu kendala yang sering dikambinghitamkan. Berbagai potensi dana altematif masih banyak yang
belum dimanfaatkan secara optimal. Potensi penelitian skripsi, tesis dan disertasi dapat merupakan
potensi besar kalau diarahkan pada penemuan teknologi dan pemecahan masalah dalam agribisnis.
Penelitian pertanian umumnya dilakukan oleh sektor publik, kecuali beberapa penelitian yang
dibiayai sendiri oleh sektor swasta yang merupakan perusahaan besar. Usaha kecil dipandang tidak layak
membiayai dan melakukan penelitian. Hasil penelitian oleh sektor publik tidak selalu sesuai dengan
keadaan petani kecil. Oleh karena itu terjadi perubahan paradigma dalam sejarah penelitian pertanian
yang berkembang kembali pada masa sebelum adanya spesialisasi ilmu pertanian yang lanjut (Prayitno,
2002).
Penelitian komponen usahatani berubah ke pendekatan penelitian di lahan usahatani dengan
mempertimbangkan segala keterbatasan dan pengetahuan teknis petani, kemudian berkembang lagi
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
17
dengan pendekatan sistem usahatani (farming system approach) dengan melihat usahatani sebagai suatu
sistem dengan berbagai subsistem usaha berbagai komoditi dan keterbatasan sumberdaya tenaga, modal.
Pendekatan terbaru kearah self directed learning dengan menggunakan metode PRA (participatory rural
assessment) dan RRA (rapid rural appraisal) yang mendorong petani dan peneliti melakukan identifikasi
masalah dan melakukan percobaan sesuai dengan interest prioritas serta sumberdaya yang dimiliki petani.
Sastrosoedarjo (2002) mengembangkan cara usahatani organik terpadu di daratan tinggi di
lereng Merapi. Sebagai contoh teknologi budidaya usahatani di dataran tinggi berwawasan lingkungan.
Zaenudin menekankan adanya orientasi pasar sebagai dasar arah penelitian dan pendidikan pertanian
untuk mengantisipasi globalisasi dan adanya perubahan preferensi. Demikian pula pentingnya kemitraan
dengan pelaku agribisnis dalam penelitian.
Fakultas Pertanian UGM sudah banyak melakukan penelitian dan sejumlah hasil penelitian
sempat tersebar pada zamannya sesuai dengan masalah yang dihadapi, seperti varietas unggul padi lahan
kering, azolla, legin, dan konsep program Bimas yang disempurnakan dengan BUUD/KUD. Penelitian
tentang pupuk hayati dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi (Kabirun 2002) tentang mikrobia
penambah nitrogen simbiotik dan non simbiotik, pelarut fosfat, simbiosis ganda Legum-Rhizobium
Mikoriza, dan jamur pendegradasi selulosa untuk inokulum kompos. Demikian pula tentunya fakultas lain
dan perguruan tinggi lain yang jumlahnya sangat banyak dapat diharapkan adanya sejumlah besar hasil
penelitian dan inovasi yang dapat dimanfaatkan untuk memajukan agribisnis kecil dan menengah ataupun
yang besar. Kemitraan antara perguruan tinggi dan lembaga penelitian dengan dunia usaha agribisnis
berpotensi besar untuk memajukan agribisnis. Demikian juga jaringan komunikasi dan kerjasama
penelitian delam negeri dan internasional memungkinkan untuk lebih mampu menggali potensi.
PERANAN PEMERINTAH
Pembangunan pertanian merupakan proses menuju kearah kemajuan yang dikehendaki oleh
berbagai fihak, termasuk masyarakat tani, pemerintah dan masyarakat pada umumnya yang peduli akan
kesejahteraan masyarakat. Pelaku kegiatan ekonomi, termasuk sektor pertanian dengan semua usaha yang
terkait dalam suatu sistem agribisnis, adalah swasta dan perseorangan. Pemerintah bukan pelaku ekonomi
pada sistem ekonomi pasar, kecuali pada usaha yang tidak dapat dilakukan oleh swasta secara
menguntungkan.
Kedudukan pemerintah tetap bertanggungjawab pada sektor publik dengan kebijakan publiknya.
Kebijakan publik dalam proses pembangunan pertanian meliputi upaya mendorong kemajuan teknologi
budidaya tanaman dan hewan dalam suatu rangkaian sistem agribisnis dan kegiatan pendukung lainnya
seperti pendidikan dan penyuluhan, pelayanan, kebijakan harga dan prasarana fisik dan kelembagaan.
Penyediaan hasil penelitian yang berupa teknologi berorientasi pada bisnis petani yang sesuai dengan
tujuan usahatani. Usahatani kecil di Indonesia bersifat komplek dalam sistem usahataninya. Dengan
kombinasi berbagai usaha tanaman, ternak dan ikan. Sehingga optimalisasi usahatani bukan hanya
menyangkut tingkat optimum berbagai input untuk satu tanaman (padi misalnya) melainkan juga
bagaimana alokasi optimum sumberdaya yang tersedia untuk berbagai usaha tanaman, ternak dan ikan,
bahkan juga usaha nonfarm dirumah tangga tani (kerajinan) dan pekerjaan off farm (diluar usahatani).
Perlu ada pendekatan sistem usahatani (system approach) (Widodo, 1998).
PUSTAKA
Baker, D.C.& DW. Norman, 1990. The Farming System Research and Extension Approach to Small Farmer Development. Dalam: MA. Alteri & SB. Hechi (eds), Agroecology and Small Farm Development.
Barker, R., 1979. Adopsion and Production Impact of New Rice Technology. Yield Constraint Problem. Dalam: IRRI
Farm Level Constraints to High Rice Yields in Asia: 1974-77. Los Banos. Philippines:1-26.
de Datta, S.A., KA. Gomez, R.W. Herdt & R. Barker, 1978. A Handbook on the Methodology for an Integrated Experiment Survey on Rice Yield Contranits. IRRI.Los Banos. Philippines.
Gomez, KA., R.W. Herdt, R. Barker & S.K. de Datta, 1979, A Methodology for Identifying Constraints to Higher
Rice Yield on Farmer Fields. Dalam: IRRI, Farm Level Constraints to High Rice Yields in Asia: 1974-
77. Los Banos. Philippines: 27-48
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
18
Hartono, S., 2002. Pengembangan Bisnis Petani Kecil. Seminar Nasional Sapta Windu Fakultas Pertanian UGM. Yogyakarta 28 September 2002.
Hayami, V.1978. Anatomy of a Peasant Economy. IRRI Los Banos Philipines.
Herdt, R.W. dan T.H. Wickham, 1978. Exploring the Gap Between Potential and Actual Rice Yields: the Philippines
Case. Dalam: IRRI, Economic Consequences of the New Rice Tecnology. Los Banos Phflippines: 3-34.
Kabirun, S., 2002. Pengembangan Pupuk Hayati di Fakultas Pertanian UGM. Seminar Nasional Sapta Windu
Fakultas Pertanian UGM. Yogyakarta 28 September 2002.
Madden, J.P. dan T.L. Dobbs, 1990. The Role of Economics in Sustainable Agricultural Systems. Dalam: C.A.E.R.
LoI, JR. Madden, RH. Miller dan C. House (eds), Sustainable Agricultural Systems. Soil and Water Conservation Society. Iowa: 478-94.
Nakajima, Chihiro, 1969. Subsistence and Commercial Family Farms: SomeTheoretical Models of Subjective
Equillibrium. In CR. Wharton Jr (ed). Subsistence Agriculture and Economic Development. Aldine
Publisting Co. Chicago. USA: 165-85.
Prajitno, Djoko, 2002. Pengembangan Penelitian dengan Penghampiran Sistem dan Partisipasi Petani. Seminar
Nasional Sapta Windu Fakultas Pertanian UGM. Yogyakarta 28 September 2002.
Sastrosoedarjo, Soemantri, 2002. Penelitian Usahatani Terpadu Berorientasi Agribisnis. Seminar Nasional Sapta
Windu Fakultas Pertanian UGM. Yogyakarta 28 September 2002.
Schultz, Theoder W., 1964. Transforming Traditional Agriculture. Yale University Press.
Widodo, Sri, 1998. Entrepreneurial Development of Small Farms in Indonesia. International Seminar on
Development of Agribisnis and Its Inpact on Agricultural Production in Southeast Asia (DABIA III).
Tokyo, Nov. 14-19, 1998.
_______ 1999. Reorientasi Kebijakan Pembangunan Pertanian. Dalam: Sri Widodo dan Suyitno (eds).
Pemberdayaan Pertanian Menuju Pemulihan Ekonomi Indonesia. Aditya Media. Yogyakarta: 13-21.
_______ 1989. Production Efficiency of Rice Farmer in Java, Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
_______ 1997, Beban Sektor Pertanian di NTB. Agroteksos.
_______, 1987. The Economics of Component Research. Agroeconomic Note 1. Swamp II Project. AARD-World
Bank.
DISKUSI
Pertanyaan :
1. Masalah modal yang menyebabkan tidak bisa/tidak tercapainya optimasi usahatani.
2. Setuju, bahwa pengembangan dalam skala luas, masalah ada pada kondisi
3. Pendekan modeling dan PRA, bisakah bapak memberikan contoh bagaimana cara mencocokkan hasil
komputer dengan hasil PRA
Jawab :
1. Pertanian dipandang sebagai agribisnis dengan memandang industri tidak lepas dari bidang
pertanian.
2. Kita harus bisa menyesuaikan kondisi petani dengan teknologi yang akan diterapkan, sehingga
optimasi pendapatan petani dapat tercapai.
3. Model harus disesuikan dengan kondisi lapangan
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
19
STRATEGI OPTIMASI PEMANFAATAN SUMBRDAYA DAN TEKNOLOGI
TEPAT GUNA PERTANIAN UNTUK MENINGKATKAN PENDAPATAN
PETERNAK SAPI POTONG
Hendrawan Soetanto
Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya, Malang
ABSTRAK
Peningkatan permintaan daging sapi diprediksi akan terus meningkat seiring dengan meningkatnya populasi
penduduk di Indonesia. Sementara itu kemampuan peternak sapi potong untuk memenuhi permintaan daging sangat
terbatas terutama karena tingkat produktivitas ternak masih rendah sebagai akibat interaksi antara faktor genetis dan lingkungan yang kurang mendukung terhadap optimalisasi penampilan potensi genetik sapi potong. Karakteristik
iklim tropis basah menimbulkan konsekuensi produksi biomasa hijauan relatif tingi namun berkualitas rendah karena
tanaman akan cepat berbunga sehingga menurunkan kadar protein dan meningkatkan kadar serat kasar. Dalam
kondisi ini ternak sapi potong akan mengalami defisiensi bakalan glukosa yang diperlukan untuk memanfaatkan asam asetat sebagai sumber enersi efisien. Akibatnya asam asetat akan mengalami futile cycle dan apabila kondisi cuaca
mengandung uap air cukup tinggi maka kemampuan ternak untuk melepas panas tubuh menjadi faktor pembatas
produksi. Selain itu infestasi parasit saluran pencernakan menjadi beban tambahan bagi ternak karena serapan protein
menjadi berkurang untuk digunakan oleh ternak yang bersangkutan. Untuk mengatasi problematik tersebut perlu diaplikasikan suatu teknologi tepat guna yang bersumber dari produk lokal agar dapat meningkatkan pendapatan
peternak sapi potong secara optimal. Dalam makalah ini didiskusikan beberapa pilihan strategi optimasi sumberdaya
dan teknologi tepat guna yang terkait dengan kondisi di Indonesia pada umumnya dan kondisi NTB pada khususnya.
Pertanyaan kunci yang perlu segera dijawab ialah siapkah kita bersaing di era pasar global dalam kondisi produktivitas sapi potong seperti sekarang ini?. Jika belum siap, strategi apakah yang dapat kita tempuh agar peternak
sapi potong tidak gulung tikar dan sebaliknya mampu memainkan peran aktip dalam pasar global nanti?
Kata kunci: strategi optimasi, teknologi tepat guna, sapi potong, pendapatan peternak.
PENDAHULUAN
Masalah kemiskinan di Indonesia telah menjadi perhatian kalangan internasional. Laporan Bank
Dunia (2001) menunjukkan bahwa dalam kurun waktu antara 1990 dan 1999 telah terjadi peningkatan
jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan dan 27,2 juta menjadi 48,4 juta orang. Masa
krisis ekonomi yang berlangsung sejak pertengahan tahun 1997 sampai kini masih dirasakan akibatnya.
Selama masa krisis telah terjadi kompresi pendapatan antara 6-13% yang berakibat pula terhadap
kompresi permintaan hasil ternak. Penyebab utama terjadi kompresi tersebut ialah terjadinya penurunan
nilai tukar antara rupiah dengan dolar Amerika hingga 300%. Hal ini menimbulkan kekhawatiran dari
banyak kalangan akan masa depan perekonomian kita terutama jika dikaitkan dengan segera berlakunya
era pasar bebas (AFTA) tahun depan untuk kawasan Asia dan kawasan Asia Pasifik beberapa tahun
kemudian.
Berkaitan dengan sektor pertanian, produktivitas hasil pertanian saat ini dilaporkan oleh
Arintadisastra (2002) masih relatif rendah jika dibandingkan dengan negara lain, yaitu untuk padi masih
sebesar 4,4 ton/ha, jagung 2,9 ton/ha, kedelai 1,2 ton/ha dan kacang tanah 1,1 ton/ha. Salah satu penyebab
rendahnya produktivitas ini antara lain karena upaya yang diperlukan agar tanaman tumbuh dengan subur
masih belum optimal dilakukan seperti, pengolahan lahan, pemberian pupuk organik, serta sistem irigasi
yang memadai. Sebagian besar lahan pertanian kita masih bergantung pada air hujan dan diabaikannya
penggunaan pupuk organik sebagai bagian integral dari upaya mewujudkan pertanian yang berkelanjutan
(sustainable agriculture).
Unjuk kerja ternak di Indonesia juga relatif rendah, terutama untuk sapi potong dan sapi perah.
Apabila kita bandingkan antara potensi sapi potong domestik dengan kawasan Asia, populasi sapi potong
kita baru mencapai sekitar 11 juta ekor dan sekitar 30% terdapat di Jawa Timur. Sementara itu
Bangladesh telah memiliki sapi potong hingga 25 juta ekor. China hingga tahun 1999 telah menghasilkan
produksi daging sapi sebesar 4,68 juta ton atau setara dengan pemotongan 4.680.000 ekor sapi dengan
rataan bobot hidup sebesar 300 kg. Padahal pada tahun 1980-an produksi dagin sapi baru berkisar antara
seperempat juta ton dengan total populasi sekitar 70 juta ekor (Bingsheng, 2001).
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
20
Meskipun secara kuantitas Indonesia masih lebih unggul jika dibandingkan dengan populasi sapi
potong di Filipina, Thailand dan Viet Nam pada kenyataannya laju pertambahan bobot badan (PBB) sapi
di Indonesia masih jauh di bawah sapi di Filipina. Bingsheng (2001) melaporkan bahwa Filipina telah
mencapai tingkat produk daging sebesar 79 kg/ekor/th; berarti terjadi PBB setiap hari setara dengan = (79
kg x l00/30)/365 = 721,5 g/ekorlhari, dengan asumsi taksiran produksi daging adalah sebesar 30% dari
bobot badan. Sedangkan rataan PBB sapi potong di Indonesia baru berkisar 365,3 g/ ekor/hari atau baru
separuh dari capaian PBB sapi potong di Filipina.
Rendahnya tingkat produksi daging menunjukkan bahwa masih banyak faktor pembatas yang
dijumpai di beberapa negara seperti Indonesia, Bangladesh, Thailand dan Viet Nam terutama dalam
memperoleh pakan yang cukup secara kuantitas maupun kualitasnya. Selain itu sebagian besar sapi
potong di Indonesia berada dalam penguasaan peternak kecil yang tidak memiliki lahan cukup serta
modal usaha memadai, sehingga manajemen pemeliharaan lebih ditekankan kepada upaya
mempertahankan ternak sebagai fungsi sosial dan tabungan tunai (cash bank) yang dapat dicairkan
sewaktu-waktu diperlukan.
Masalah kebutuhan daging, khususnya daging sapi telah menjadi topik utama di berbagai media
massa sejak lima tahun terakhir. Untuk mencukupi kebutuhan daging dalam negeri telah lama dilakukan
impor sapi bakalan maupun daging beku daari negara tetangga Australia oleh pemerintah Indonesia.
Devisa negara yang terkuras untuk impor sapi bakalan maupun daging beku masing-masing adalah
sebesar (ribu USD) 115.129 dan 32.434 pada tahun 1996. Jika ditilik dari trend perkembangan nilai
impor, untuk sapi bakalan dan daging sapi sejak tahun 1994 masing-masing telah mencapai angka 45%
dan 81,88%. Bahkan pada tahun 1997 sebelum resesi nilai keseluruhan impor kita untuk sapi dan daging
telah mencapai Rp. 1.152,5 triliun belum terhitung impor ternak dan daging lainnya. Oleh karena itu
Indonesia dipandang sebagai pasar potensial bagi negara-negara penghasil ternak dalam era pasar bebas
yang telah berada di depan pintu kita.
Terdapat empat pertanyaan kunci yang perlu saya ajukan di awal makalah ini yaitu: pertama,
dapatkah Propinsi NTB menjadi salah satu sumber bibit sapi potong nasional?; kedua, strategi apakah
yang layak diterapkan?; ketiga, bagaimanakah operasionalisasi pengembangan pembibitan tersebut?, dan
keempat, bagaimanakah dampak ekonomi maupun sosial bagi masyarakat Propinsi NTB?.
SISTEM PERTAN IAN UTAMA DI ASIA TENGGARA
Sistem pertanian yang diterapkan di kawasan Asia Tenggara ialah sistem pertanian terpadu.
Harnpir tidak pernah dijumpai adanya sistem pertanian dengan menggunakan mono komoditas sebagai
bagian dari usahatani. Sebaliknya hampir semua petani melakukan strategi sistem pertanian terpadu.
Secara garis besar sistem pertanian di Asia Timur dan wilayah Pasifik dapat dikelompokkan
menjadi 11 macam yaitu mulai dari pertanian padi sawah hingga daerah perkotaan (urban based) dimana
keterkaitan ternak pada setiap sistem pertanian sangat beragam (Tabel 1). Selain itu dapat pula dilihat
adanya keterkaitan antara komoditas utama yang diusahakan dengan tingkat kemiskinan di wilayah yang
bersangkutan.
Diantara sistem pertanian yang tercantum pada Tabel 1 di bawah ini, peranan ternak ruminansia
paling menonjol pada sistem pertanian lahan kering dimana sekitar 52 juta ruminansia besar serta 49 juta
ruminansia kecil terlibat dalam sistem pertanian di wilayah Asia Timur dan Pasifik.
Tabel 1. Sistem Pertanian Utama di Asia Timur dan Wilayah Pasifik (FAO, 2002)
Sistem
pertanian
Luas lahan
(% wilayah)
Populasi
pertanian
(% wilayah)
Komoditas utama Tingkat
kemiskinan
1 2 3 4 5
Padi sawah 12 42 Padi, jagung, kecang-kacangan, tebu,
biji-bijian untuk minyak, sayuran, ternak,
perikanan, pekerjaan sampingan (off farm
work)
Moderat
Kombinasi
tanaman pohon
5 3 Karet, kelapa sawit, kelapa, kopi, teh,
coklat, rempah-rempah, padi, ternak,
pekerjaan sampingan (off farm work)
Moderat
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
21
1 2 3 4 5
Umbi-umbian 2 < 1 Umbi-umbian, (yam, taro, ubi jalar),
sayuran, buah-buahan, ternak (babi dan sapi), pekerjaan sampingan (off farm
work)
Terbatas
Campuran
tanaman
tegal/lahan
kering intesif
19 27 Padi, kacang-kacangan, jagung, tebu,
biji-bijian untuk minyak, buah, sayuran,
ternak, pekerjaan sampingan (off farm
work)
Ekstensip
Campuran
tanaman dataran tinggi intensif
5 4 Padi dataran tinggi, kacang-kacangan,
jagung, bijian-bijian untuk minyak, buah, produk hutan, pekerjaan sampingan (off
farm work)
Moderat
Campuran
tanaman sub-
tropis
6 14 Gamdum, jagung, kacang-kacangan,
tanaman minyak, ternak, pekerjaan
sampingan (off farm work)
Moderat
Pastoral 20 4 Ternak dengan tanaman pertanian irigasi
di wilayah yang memungkinkan
Moderat
Hutan 10 1 Berburu, berkumpul dan pekerjaan
sampingan (off farm work)
Moderat
Wilayah Arid
(Sparse)
20 2 Penggembalaan lokal jika tersedia air,
pekerjaan sampingan (off farm work)
Ekstensip
Coastal
Artisanal fishing
1 2 Menangkap ikan, kelapa, pertanian
campuran, pekerjaan sampingan (off farm
work)
Moderat
Urban based < 1 1 Hortikultura, sapi perah, unggas,
pekerjaan sampingan (off farm work)
Terbatas
Catatan: Tingkat kemiskinan lebih mengarah pada jumlah dan bukan kedalaman kemiskinan di wilayah survey
Tingkat kontribusi ternak, khususnya ruminansia pada daerah lahan kering tersebut di atas juga
selaras dengan laporan Ifar Subagyo (1996) bahwa dengan sampel dua desa di wilayah lahan kapur
Malang Selatan, kontribusi tanaman pangan terhadap petani adalah sebesar 51%, sedangkan peranan
ternak ruminansia hanya sebagai suplemen penghasilan disebabkan oleh keterbatasan lahan untuk diolah
sebagai sumber pakan. Oleh karena itu strategi yang dilakukan oleh petani di daerah tersebut ialah
melalui mencari tambahan penghasilan dari aktivitas di luar sektor pertanian (off farm activities).
Hasil penelitian tim Universitas Brawijaya Malang bekerjasama dengan Masyarakat Ekonomi
Eropa (Anonymous, 1998) di Desa Sono Ageng, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur menunjukkan bahwa
peternak sapi potong di daerah tersebut tidak ada yang menggantungkan sumber pendapatannya dari
mono aktivitas, melainkan dari berbagai macam sumber, yaitu 46% berasal dari pendapatan di sektor
pertanian, 7% berasal dan upah buruh tani dan 13% dari usaha sapi potong. Meskipun relatif kecil
kontribusinya, sekitar 2/3 penduduk desa Sono Ageng (termasuk mereka yang tidak memiliki lahan)
umumnya memelihara sapi potong dengah tujuan utama memperoleh pedet dibandingkan untuk
penggemukan. Oleh karena itu pemberian pakan dengan kuantitas serta kualitas yang memadai untuk sapi
potong induk jarang diperhatikan. Akibatnya skor kondisi tubuh induk menjadi buruk (skor kondisi tubuh
1-2) hingga pedet disapih serta jarak beranak menjadi relatif panjang (50% induk kembali oestrus setelah
lebih dari 200 hari pasca melahirkan). Sebaliknya kondisi tubuh pedet sangat bagus karena selain
memperoleh susu dari induk hingga masa enam bulan juga acapkali peternak memberikan pakan
konsentrat untuk pedet tersebut.
Merujuk kondisi yang ada di Indonesia, Soehadji (1995) membagi tipologi usaha ternak di
Indonesia berdasarkan skala usahanya menjadi empat yaitu: pertama, usaha ternak sebagai sambilan
dengan pilihan komoditas pendukung pertanian (kungtan), kedua usaha ternak sebagai cabang usaha
dengan pilihan komoditas campuran, ketiga usaha ternak sebagai usaha pokok dengan pilihan komoditas
tunggal berupa ternak, dan keempat usaha ternak sebagai industri dengan pilihan komoditas 100%
merupakan pilihan yang dianggap secara bisnis menguntungkan. Oleh karena itu berdasarkan tipologi
usaha tersebut tingkat pendapatan yang diperoleh oleh petani juga menjadi beragam sebagaimana terlihat
pada Gambar 1 di bawah ini.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
22
30-70% 100%
30% 70-100%
Peranan pemerintah
(Sbg. `Regulator,
fasilitator, dinamisator
Pilihan Komoditi KungTan (Campuran) Tugal Pilihan
sbr.: Soehadji (1995)
Kondisi tersebut umumnya juga dijumpai di wilayah lain di Indonesia, sehingga upaya untuk
meningkatkan produktivitas sapi potong juga memerlukan strategi yang tepat tidak hanya menyangkut
penerapan teknologinya namun juga perlu dipikirkan suatu rekayasa sosial yang sesuai dengan kondisi
sosial serta budaya setempat.
FAKTOR PEMBATAS TEKNIS PENINGKATAN PRODUKTIVITAS SAPI POTONG DI
INDONESIA
Bibit Sapi Potong
Isu tentang menurunnya mutu genetis sapi potong asli Indonesia seperti sapi Bali dan sapi
Madura telah lama terdengar akibat pengurasan sapi bibit karena semata-mata untuk memenuhi
permintaan pasar yang semakin meningkat, tanpa diikuti dengan program pengembangan pembibitan
yang memadai. Program village breeding centre (VBC) di P. Madura sebenarnya cukup berhasil dalam
hal perbaikan mutu genetis sapi Madura. Namun demikian laju permintaan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan peningkatan populasi secara alamiah, mendorong pengurasan sumber bibit untuk
dijadikan sebagai penghasil daging.
Selain itu masalah manajemen pemeliharaan serta penguasaan IPTEK yang belum memadai
merupakan faktor penyebab pula terhadap merosotnya mutu genetis sapi-sapi tersebut. Sebagai teladan,
sapi Bali dan sapi Madura yang lelah layak dipasarkan pada era 30 tahun yang lalu mampu mencapai
bobot badan 300 kg. Akan tetapi saat ini sulit untuk memperoleh bobot sebesar itu untuk sapi Bali
maupun sapi Madura.
Secara langsung saya pernah menemukan pedet sapi Bali umur hampir dua tahun dengan ukuran
tubuh pedet usia 8 - 10 bulan di NTT sebagai salah satu sumber sapi Bali di Indonesia. Laporan
Komarudin Ma‘sum (menyebutkan bahwa rataan usia serta bobot badan sapi Madura yang paling banyak
dipotong di RPH Surabaya adalah berumur 2,5 - 3,0 tahun (PI2) dengan bobot badan 224,8 kg. Sementara
itu dengan sistem pemeliharaan yang intensip, sapi Madura jenis sapi sonok mampu mencapai bobot
badan hingga 295 kg pada umur yang sama yaitu PI2 (Ainur Rasyid dan Uum Umiyasih, 1993).
Introduksi jenis bibit sapi potong impor semacam Limousine, Silangan Brahman atau Angus
menjadi fenomena baru di bidang bisnis sapi potong di beberapa wilayah tanah air. Laju pertumbuhan
sapi impor yang relative lebih tinggi jika dibandingkan dengan sapi lokal telah mendorong meningkatnya
permintaan akan bibit sapi potong Limousine dan Silangan Brahman, khususnya dikalangan peternak di
P. Jawa. Meskipun demikian dari pengamatan penulis, kebutuhan pakan jenis sapi tersebut juga lebih
TIPOLOGI USPET
Tingkat
Ekonomi
Usaha
Idustri
Usaha Pokok
Cabang Usaha
Sambilan
Pendapatan &
Pilihan komoditi
Peranan
masy./swasta
Pendapatan
Gambar 1. Tipologi Usaha Peternakan dan Tingkat Pendapatan
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
23
banyak dibandingkan dengan sapi lokal sehingga jika dilakukan telaah ekonomis lebih dalam belum
lentu akan menghasilkan keuntungan yang memadai, mengingat harga beli pedet saat ini jauh lebih tinggi
(hingga dua kali lipat) dari harga pedet sapi lokal. Sementara itu harga jual sapi potong umumnya ditaksir
berdasarkan harga per kg daging yang relatif tidak jauh berbeda antara sapi impor dan sapi potong.
Program peningkatan produktivitas ternak acapkali dimulai dengan melakukan introduksi jenis
sapi eksotik yang sudah barang tentu memerlukan input eksotik, seperti pakan yang memadai secara
kuantitas dan kualitas, pencegahan penyakit serta lingkungan yang memadai agar dapat menampilkan
potensi genetiknya. Tidak jarang program semacam ini akhirnya mengalami kegagalan karena ketidak
mampuan kita dalam menyediakan input eksotik tersebut (lihat Ørskov, 1993). Contoh konkrit kegagalan
program tersebut ialah pengembangan sapi perah di P. Jawa dimana saat ini tingkat produksi susu rataan
hanya mencapai antara 8 - 10 lt/ekor/hari untuk sapi PFH, padahal semula diproyeksikan mampu
menghasilkan susu hingga 15 lt/ekor/hari. Contoh lain adalah kegagalan program perbaikan genetik sapi
Madura dengan menggunakan sapi Santa Gertrudis beberapa tahun yang lalu, atau program Brangusisasi
di NTB yang merupakan pelajaran berharga bagi kita semua dalam rangka meningkatkan produktivitas
sapi potong di Indonesia
Pertanyaan yang dapat diajukan adalah mengapa program-program tersebut mengalami
kegagalan?. Bukankah sebelum dilaksanakan program tersebut telah mengalami pengkajian yang
mendalam? Ataukah ada faktor lain yang mendorong proses pengambilan keputusan tergesa-gesa
tersebut?
Pakan
Produktivitas ternak merupakan refleksi interaksi antara faktor genetis dan lingkungan. Cekaman
panas yang disertai dengan kelembaban udara tinggi memerlukan metabolit tertentu seperti glukosa,
elektrolit (antara lain Na+, K
+, Cl¯ serta air dalam jumlah memadai untuk melawan cekaman (stres). Akan
tetapi justru di daerah tropis basah seperti Indonesia, tanaman sebagai sumber hijauan akan lebih cepat
menurun kualitasnya sehingga selama proses fermentasi di dalam rumen hijauan akan lebih banyak
menghasilkan asam asetat yang secara teoritis sesungguhnya merupakan sumber enersi potensial bagi
ternak. Bersama dengan asam lemak terbang (VFA) lainnya (asam propionat dan butirat), asam asetat
mampu memasok hingga 80 % kebutuhan kalori ternak ruminansia. Akan tetapi efisiensi penggunaannya
sangat tergantung pada ketersediaan koensim tereduksi NADPH yang disintesis melalui produk hasil
metabolisme glukosa.
Oleh karena itu apabila ternak ruminansia hanya diberi pakan sumber hijauan berkualitas rendah,
misalnya jerami padi atau sumber hijauan dari limbah pertanian lainnya yang berkualitas rendah dan tidak
mampu memasok glukosa atau bakalannya dalam jumlah memadai, maka ternak tersebut sulit untuk
meningkat atau bahkan mempertahankan bobot badannya. Dalam kondisi ini asam asetat yang diserap
akan mengalami metabolisme melalui jalur futile cycle dan akan menyebabkan kehilangan panas yang
amat berlebihan. Kondisi ini akan memperparah cekaman pada ternak terutama jika selain suhu udara luar
panas juga diikuti dengan kelembaban udara tinggi, sehingga potensi enersi yang dimiliki oleh asam
asetat menjadi terbuang sebagai panas yang dilepaskan (heat dissipation) atau bahkan panas justru tidak
dapat dilepaskan sehingga produktivitas ternak menjadi menurun karena enersi yang tersedia lebih
banyak digunakan untuk melawan cekaman panas tersebut. Telaah teoritis tentang hubungan antara
proses metabolisme ternak ruminansia yang diberikan hijauan berkualitas rendah dalam hubungannya
dengan metabolisme glukosa telah dilakukan oleh beberapa penulis antara lain Soetanto (1991).
Memperhatikan uraian di atas maka problem utama di bidang pakan adalah pasok pakan yang
tidak memadai baik dalam hal kualitas maupun kuantitas.
Manajemen Pemeliharaan
Selain faktor pakan, manajemen pemeliharaan yang dilakukan oleh peternak sapi potong saat ini
acapkali masih kurang memadai Bentuk kandang yang umumnya tidak dilengkapi dengan tempat minum
merupakan salah satu contoh kurangnya pemahaman peternak akan arti penting air sebagai komponen
gizi yang sangat diperlukan ternak untuk daerah tropis basah. Bahkan peternak sapi perah juga tidak
menyediakan air minum sepanjang hari (ad libitum) melainkan hanya diberikan dua kali sehari bersama
dengan pemberian konsentrat. Padahal dengan menyediakan air secara ad libitum, produksi susu dapat
ditingkatkan hingga 2 lt/ekon/hari tanpa harus menambahkan pakan suplemen. Hal ini telah dipraktekan
oleh peternak sapi perah di Thailand.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
24
Kebersihan kandang sapi potong yang dimiliki oleh peternak kecil umumnya tidak memiliki
sumber air yang cukup untuk membersihkan kotoran ternak, sehingga semakin menambah potensi infeksi
cacing parasit. Selain itu program pencegahan penyakit termasuk di dalamnya kontrol terhadap infestasi
cacing parasit saluran pencernakan yang kurang intensip dilakukan oleh peternak juga menjadi salah satu
faktor penyebab rendahnya produktivitas sapi potong saat ini. Hampir 80 % pedet sapi potong di desa
Sono Ageng, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur terserang cacing Toxocara vitolorum (Anonymous, 1998)
yang menjadi petunjuk masih lemahnya perhatian peternak terhadap kerugian yang ditimbulkan oleh
gangguan cacing parasit terhadap produktivitas temak.
Walkden-Brown dan Khan (2002) menyatakan bahwa pengaruh cacing parasit saluran
pencernakan ini lebih memiliki implikasi terhadap penurunan serapan protein, sehingga acapkali
konsekuensinya justru berakibat pada menurunnya konsumsi pakan serta penurunan bobot badan.
Tengarah ini dapat dibuktikan melalui infus casein langsung pada abomasum yang akan dapat
menghilangkan gejala menurunnya konsumsi maupun penurunan bobot badan ternak yang menderita
infeksi cacing parasit saluran pencernakan. Hal ini berarti secara aplikatip dapat dilakukan suatu strategi
suplementasi dengan menggunakan protein by-pass, baik menggunakan pelindung kimiawi buatan
misalnya dengan formaldehida atau memilih sumber protein yang memiliki pelindung kimiawi alamiah
semisal hijauan leguminosa yang mengandung senyawa tannin.
Kaasschieter et at. (1992) menyatakan bahwa program pengembangan ternak serta kesehatan
ternak di negara sedang berkembang acapkali tidak dapat meningkatkan produktivitas ternak karena
seringkali hanya berorientasi kepada eradikasi penyakit semata. Sebagai contoh program pemberantasan
penyakit mulut dan kuku dilakukan tanpa ada pertimbangan pendekatan orientasi produksi. Disamping itu
keterbatasan sarana serta fungsi petugas kesehatan hewan, keterbatasan dalam hal jaringan distribusi obat-
obatan serta mengabaikan benefit/cost ratio juga merupakan fenomena yang banyak dijumpai di negara
sedang berkembang. Pendekatan monodisiplin ini berakibat kepada pemahaman yang kurang menyeluruh
terhadap masalah yang dihadapi peternak. Padahal sebagaimana telah disampaikan di muka bahwa sub-
sektor peternakan merupakan suatu system produksi multiguna dan memiliki hubungan yang kompleks
antara faktor produksi satu dengan lainnya. Mispersepsi ini merupakan salah satu faktor penghambat
pengembangan peternakan yang berkelanjutan di negara yang sedang berkembang.
KETERSEDIAAN IPTEK TEPAT GUNA DI BIDANG SAPI POTONG
Sejak satu dekade terakhir ini begitu banyak seminar, lokakarya atau sejenisnya yang telah
dilakukan di Indonesia dalam rangka menghimpun teknologi yang tersedia di bidang produksi sapi
potong. Dalam lokakarya nasional I Bioteknologi Peternakan di Ciawi pada tangga! 22 - 23 Januari 1995
telah dikupas berbagai perkembangan biotekonologi reproduksi ternak, bioteknologi pakan, bioteknologi
kesehatan hewan serta aspek keamanan ternak dan konsumen sehubungan dengan perkembangan
bioteknologi tersebut.
Teknik transfer embrio saat ini telah diaplikasikan pada skala demoplot di peternak di beberapa
daerah melalui program IPTEKDA terpadu LIPI. Namun selalu timbul pertanyaan apakah inovasi
teknologi ini akan berkelanjutan? dan berapa banyak peternak yang mau dan mampu mengadopsinya?.
Sementara itu teknologi yang relatip sederhana seperti inseminasi buatan masih pula banyak dijumpai
kendala pelaksanaannya di lapang.
Contoh lain adalah teknologi suplementasi UMMB yang dikembangkan oleh BATAN telah
diaplikasikan di berbagai wilayah di Indonesia, namun seringkali terbentur pada proses adopsi karena
inovasi teknologi tersebut tidak segera diikuti dengan inovasi baru untuk mengganti molasses sebagai
komponen utama dengan sumber pakan lainnya. Akibatnya ketika proyek selesai, selesai pulalah proses
adopsi oleh peternak dengan berbagai alasan.
Para ilmuwan sekarang ini telah nampu melakukan rekayasa genetika dengan teknik kloning
sehingga dapat dihasilkan jenis ternak yang diinginkan untuk masa mendatang. Teknik pemisahan sperma
yang dikembangkan oleh sejawad saya di Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang telah
berlangsung cukup intensip sejak 6 tahun terakhir, namun selalu kita berhadapan dengan belum adanya
bukti konkrit di lapang akan manfaat pemisahan semen tersebut secara ekonomis. Demikian pula
perkembangan inovasi teknologi pakan serta kesehatan hewan telalu banyak dikemukakan oleh berbagai
pakar yang dapat dijumpai di berbagai pustaka saat ini.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
25
Sebagai contoh, meskipun inovasi teknologi pengolahan limbah pertanian dengan teknik
amoniasi telah menjadi proyek dunia, namun berakhir dengan kegagalan adopsi oleh peternak kecil.
Contoh menarik adalah yang terjadi di Nepal, bahwa ternyata teknologi amoniasi justru menyusahkan
peternak gurem karena persediaan jerami yang semula mampu digunakan selama empat bulan menjadi
cukup hanya dua bulan akibat meningkatnya kecernakan pakan yang diikuti meningkatnya konsumsi
(Shrestha, 1991). Program inovasi teknologi yang telah dikembangkan melalui berbagai proyek di
Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Pertanian, BPTP atau melalui program IPTEKDA baik
yang dilansir oleh BATAN, LIPI sampai saat ini belum mampu mendongkrak produktivitas sapi potong
secara signifikan, karena baru pada tataran forum seminar. Kondisi ini justru seringkali dimanfaatkan oleh
beberapa ‖pengusaha nakal‖ dengan cara memasarkan produk dengan publikasi menarik semisal
‖Bossdext‖ yang dinyatakan oleh produsennya mampu meningkatkan PBB sapi antara 3,5 – 5,0 kg/hari/
ekor.
Memperhatikan perkembangan IPTEK di bidang sapi potong di Indonesia saat ini, tampaknya
masih belum banyak alternatif pilihan yang dapat dikemukakan. Pada tingkat peternak gurem tujuan
utama pemeliharaan adalah untuk keperluan status sosial, tabungan hidup, sumber tenaga kerja atau
pupuk. Sehingga ragam input yang diberikan juga relatip terbatas hanya pada ketersidaan sumberdaya
pakan disekitarnya yang dapat diakses tanpa biaya.
Kegagalan peneliti dalam memahami persepsi peternak menjadi salah satu faktor dominan
kegagalan adopsi inovasi teknologi betapapun menurut peneliti bahwa teknologi tersebut telah dipandang
sebagai teknologi tepat guna untuk meningkatkan produksi ternak. Untuk lebih menjelaskan masalah
tersebut berikut ini dipaparkan pendapat Ibrahim (1994) sebagaimana tercantum pada Tabel 2 berikut ini.
Tabel 2. Perhedaan persepsi antara peneliti dan peternak (Ibrahim, 1994)
Kriteria Peneliti Peternak
Sapi perah adalah sumber
Semakin banyak ternak dipandang
Menyapih pedet
Kriteria untuk evaluasi pakan
Alasan tidak diadopsi
Air susu
Menimbulakan masalah
Baik
Kadar protein & energi
Peternak kurang peduli
Pedet
Simbol kemakmuran
Tidak baik
Biaya pakan
Manfaatnya thp. produksi ternak
Teknologi tidak aplikatip
Padang rumput
Pakan jerami
Jerami amoniasi
Biogas
Silase
Molasses Urea Block1
Mengurangi pakan
konsentrat
Dapat diberikan jika kekurangan hijauan
Teknologi sederhana
Untuk masak &
penerangan
Pakan untuk musim kemarau
Meningkatkan produksi
Tidak memiliki lahan khusus, prioritas
untuk tanaman pangan
Jerami untuk ternak kerja, tidak punya jerami dlsb.
Tidak ada waktu, input, dlsb
Faeces untuk pupuk, mahal dsb
Tidak punya cukup rumput, tidak ada waktu
Tidak ada biaya
1 Soetanto dkk (2000) Aplikasi Molasses Urea Block untuk Sapi Perah di Pos Penampungan Susu Ngeprih, Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang (Laporan tidak dipublikasikan)
Pertanyaan yang patut diajukan dalam forum seminar kali ini ialah ―mengapa kita belum mampu
menghasilkan inovasi teknologi terapan di bidang sapi potong ?―. Jawaban yang dapat saya kemukakan
ialah:
1. Orientasi penelitian kita masih bersifat parsial dan sering tidak berkelanjutan
2. Topik penelitian lebih banyak bersifat monodisiplin
3. Persepsi antara peneliti dengan peternak seringkali berbeda dalam hal memandang tolok ukur
komoditas sehingga adopsi teknologi relative rendah
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
26
4. Kerangka dasar penelitian seringkali berorientasi pada kondisi daerah sub-tropis yang tidak memiliki
keterkaitan dengan ternak di daerah tropis
5. Masih lemahnya koordinasi lintas disiplin dan lintas departemen walaupun di atas kertas terjalin
kerjasama
6. Benarkah para stakeholder usaha sapi potong telah bersungguh-sunguh dalam hal komitmen untuk
berupaya meningkatkan produktivitas ternak.
MENCARI TEKNOLOGI TEPAT GUNA YANG APLIKATIP
Menurut pendapat saya suatu teknologi tepat guna ialah teknologi yang dapat diterapkan oleh
pengguna dengan mudah dan berdaya guna sehingga dapat mendorong tercapainya tujuan berusaha. Oleh
karena itu tentu persepsi seorang peneliti akan berbeda dengan petani karena adanya perbedaan tujuan
berusaha tersebut. Persoalan yang lebih penting adalah bagaimana para peneliti dapat meruntuhkan
egonya agar sesuai dengan tujuan peternak dalam mengusahakan bisnisnya.
Teknologi untuk produksi sapi potong dapat dikelompokkan menjadi tiga komponen utama
yaitu: (1) teknologi reproduksi dan breeding; (2) teknologi pakan; dan (3) teknologi manajemen
pemeliharaan. Di luar ketiga teknologi tersebut masih perlu pula dikembangkan teknologi pasca panen
bagi produk hasil ternak yang berorientasi pasar.
Teknologi Reproduksi dan breeding
Hingga saat ini telah banyak saran dikemukakan oleh para pakar di bidang pemuliaan ternak
untuk mengatasi kelangkaan bibit sapi potong, namun tampaknya antara konsep dan pelaksanaan di
lapang banyak terjadi penyimpangan terbukti laju permintaan daging sapi dengan kemampuan memasok
semakin hari semakin bertolak belakang. Pokok permasalahan yang ada karena usaha sapi potong di
Indonesia saat ini bertumpu pada peternakan rakyat (99%, menurut Djarsanto, 1998) dengan skala
pemilikan yang sangat kecil, sehingga sulit menerapkan konsep yang ada karena dorongan kebutuhan
ekonomis acapkali menyebabkan peternak harus melepas bibit sapi potong unggul yang dimilikinya
sebelum menghasilkan turunan untuk disebarkan. Secara rinci pilihan teknologi reproduksi dan pemuliaan
untuk menghasilkan bibit sapi potong sudah dikemukakan oleh Wartomo Hardjosubroto (1994), Kusumo
Diwyanto dan Subandryo Tappa (1995) maupun penulis lainnya yang memiliki keahlian dalam bidang
sejenis.
Untuk tujuan jangka pendek, rekayasa teknologi yang dapat dijadikan pilihan adalah penerapan
teknologi reproduksi yang mampu untuk memberikan nilai tambah dalam hal:
Meningkatkan fertilitas sapi betina maupun jantan :
Memperpercepat timbulnya oestrus post partum
Meningkatkan angka konsepsi
Menurunkan angka kematian embrio/abortus -
Meningkatkan angka kelahiran.
Dalam uraian Nicholas (1996) dijelaskan bahwa pengaruh mendasar dari teknologi reproduksi
adalah meningkatkan potensi reproduksi ternak. Hal ini berarti semakin sedikit induk yang diperlukan
untuk menghasilkan sejumlah anak jika dibandingkan dengan menggunakan perkawinan alam. Sebagai
akibat akan terjadi seleksi secara intensip dengan hasil meningkatnya rataan mutu genetik turunannya.
Jika teknologi reproduksi digunakan dalam suatu populasi tertutup, maka akan terjadi laju peningkatan
mutu genetik di dalam populasi tersebut. Inilah keuntungan yang diberikan oleh teknologi reproduksi saat
ini.
Meskipun demikian terdapat pula segi kelemahan dari penggunaan teknologi reproduksi karena
adanya peluang inbreeding serta adanya keragaman yang besar dalam hal respon ternak terhadap
teknologi yang diterapkan. Masalah ini merupakan dilema antara teknologi reproduksi dengan tujuan
breeding sehingga diperlukan kecermatan seksama dalam hal pemilihan teknologi yang hendak
digunakan. Teknologi reproduksi yang dapat dipilih sesuai dengan kondisi setempat adalah: (a)
inseminasi buatan, (b) MOEF, (c) semen sexing, (d) embryo sexing, (e) cryopreservasi semen, ova dan
embrio, (f) produksi embrio in vitro dan (g) embrio kloning (Nicholas, 1996).
Berkaitan dengan program pembibitan sapi potong ada tiga pertanyaan pokok yang harus
dijawab sebelum melakukan kegiatan tersebut, yaitu:
Apakah tujuan program pembibitan ?;
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
27
Bangsa ternak apa yang akan digunakan untuk mencapai tujuan ?;
Sistem pembibitan apa yang akan diterapkan ?
Pertanyaan pertama berkaitan dengan tujuan umum yaitu meningkatkan produksi sapi potong per
induk dan per satuan luas lahan. Untuk lebih spesifik, tujuan tersebut dapat dijabarkan sebagai upaya
untuk memperoleh:
Fertilitas optimum
Daya tahan optimum pedet hingga saat disapih
Pertumbuhan optimum
Komposisi karkas optimum
Keuntungan optimum tiap induk atau tiap luasan lahan
Bagi Propinsi NTB tujuan pembibitan sapi potong adalah untuk mewujudkan visi Propinsi NTB
sebagai salah satu sumber bibit sapi potong di Indonesia. Oleh karena itu pilihan bangsa sapi potong yang
dapat memenuhi tujuan tersebut haruslah dipilih bagsa sapi yang mampu beradaptasi dengan kondisi
lingkungan di Propinsi NIB serta dapat memenuhi tujuan pembibitan tersebut. Kita memiliki bangsa sapi
lokal yaitu, sapi Bali, sapi Madura dan P.O disamping sapi Aceh. Sapi Bali terkenal memiliki fertilitas
tinggi, tahan panas dan serangan parasit kulit namun PBB relatif rendah jika dibandingkan dengan bangsa
sapi lainnya. Hingga saat ini sulit dijumpai sapi Bali maupun sapi Madura yang mampu tumbuh setiap
hari hingga mencapai 1 kg/ekor pada tingkat peternakan rakyat. Selain itu sejak tahun 1998 permintaan
bibit sapi Bali sudah tidak dapat dipenuhi (Djarsanto, 1998). Para feedlotter yang banyak terdapat di
Propinsi Lampung maupun di pulau Jawa umumnya lebih menyukai sapi persilangan jenis Brahman yang
mampu tumbuh di atas 1 kg/ekor/hari jika kualitas dan kuantitas pakan memadai.
Teknologi pakan
Teknologi pakan seringkali diabaikan dalam rangka pengembangan bibit ternak ruminansia besar
Padahal sebesar apapun potensi genetis ternak tanpa memperoleh pasok pakan yang memadai akan tidak
dapat menampilkan potensi genetiknya. Pada skala peternakan rakyat, pemberian pakan sapi potong
belum memadai dalam hal kualitas mapun kuantitas. Pengalaman penulis melakukan penelitian selama
dua tahun di Kabupaten Nganjuk, Propinsi Jawa Timur yang merupakan salah satu kabupaten dengan
populasi sapi potong padat, mencatat bahwa pemberian pakan sapi potong hanya dilakukan dengan
memberi jerami padi, rumput lapangan dan dedak padi dalam jumlah yang sangat kurang dari kebutuhan
setiap stadia fisiologis ternak kecuali untuk pedet. Praktik penyapihan pedet hingga 6 bulan membawa
konsekuensi panjangnya interval beranak hingga melebihi 18 bulan, kendatipun skor kondisi tubuh pedet
sangat bagus karena memperoleh susu induk secara ad libitum. Sebaliknya skor kondisi induk sangat
rendah sebagai akibat adanya pengurasan cadangan protein dan lemak tubuh. Sehingga rataan service per
conception juga lebih dari 2 (Soetanto dkk., 1996 Laporan Penelitian tidak dipublikasikan). Melalui
serangkaian analisis dapat ditemukan akar permasalahan yaitu terbatasnya potensi daerah tersebut untuk
memasok pakan sesuai dengan kebutuhan. Sehingga jika efiseinsi reproduksi ditingkatkan untuk
memperpendek interval beranak maka dapat dipastikan inovasi suplementasi tidak akan diadopsi dan
tidak berkelanjutan.
Berbeda dengan kondisi di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur, Propinsi NTB (khususnya
Sumbawa) justru memiliki potensi daya dukung pakan yang relatip besar serta populasi sapi relatif
rendah, Oleh karena itu untuk menekan biaya produksi maka selayaknya juga skala usaha untuk
peternakan rakyat dapat diberikan minimal 5 ha/keluarga sehingga teknologi semi padang penggembalaan
dapat diterapkan atau paling tidak meskipun dengan sistem cut and carry, biaya pakan dapat lebih ditekan
karena kebutuhan konsentrat dan bahan butiran dapat disubstitusi dengan leguminosa pohon.
Pilihan teknologi pakan yang dapat dianjurkan ialah:
Padang penggembalaan dengan tanaman campuran antara rumput dan leguminosa merayap (misalnya
rumput bintang dengan Stylosanthes, Centrosema, atau Desmodium).
Penanaman rumput unggul (misalnya rumput Taiwan) untuk digunakan dalam sistem cut and carry
atau leguminosa pohon sebagai sumber protein, misalnya lamtoro, gliricidia, kelor (Moringa oleifera,
Limm) atau mulberry (Murus alba). Tanaman kelor merupakan tanaman sumber protein masa depan
karena kandungan asam aminonya yang seimbang serta melebihi kebutuhan untuk anak balita sesuai
standar FAO (Makkar and Becker, 1996). Sedangkan daun mulberry dilaporkan mampu
menggantikan separuh dari nilai nutrisi bungkil biji rape (rape seed meal) pada domba (Liu et al..,
2000).
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
28
Teknologi suplementasi dengan menggunakan limbah pentanian untuk memenuhi kebutuhan protein,
enersi atau mineral dalam rangka meningkatkan reproduksi ternak. Untuk Pulau Lombok dan
Sumbawa (Propinsi NIB) penggunaan hijauan leguminosa yang berpotensi sebagai protein by-pass
dapat dianjurkan jika harganya layak secara ekonomis. Manfaat suplementasi dengan sumber protein
by-pass dalam neningkatkan efisiensi produksi karena protein by-pass dapat meningkatkan konsumsi
ternak serta memasok kebutuhan glucosa. Ilustrasi akan manfaat suplementasi protein by-pass
disajikan pada Gambar 2 dan 3.
Manipulasi fermentasi rumen dengan menggunakan rumen modifyers seperti lasalocid, monensin
untuk tujuan fattening dengan kualitas karkas tertentu.
Teknologi pengawetan hijauan segar (silase) maupun kering (hay) sehingga dapat dibuat program
jangka panjang terhadap kemampuan memasok pakan untuk populasi sapi yang terdapat di wilayag
tersebut, terutama ketika musim kering tiba.
Segi penting nutrisi untuk reproduksi ternak telah banyak dibahas oleh para pakar. Menurut
Robinson (1996) defisiensi nutrisi selama kehidupan janin dan neonatal akan mempengaruhi lifter size..
Selain itu defisiensi mineral Co pada kebuntingan awal berpengaruh terhadap vigoritas pedet pada saat
kelahiran serta menyebabkan depresi terhadap imunitas pasip ternak yang bersangkutan. Pengaruh pakan
juga dapat mengganggu pubertas, jumlah ovulasi, keselamatan embrio, skor kondisi tubuh saat beranak
yang akan berpengaruh terhadap lama waktu timbulnya berahi kembali post partum, berpengaruh
terhadap metabolisme pedet fase neontal, dan berpengaruh terhadap reproduksi pejantan.
Gambar 2. Respon pedet yang diberi pakan basal kualitas rendah terhadap pertambahan suptemen
protein by-pass (Leng ,2002).
Catatan: Y axis menunjukkan peningkatan bobot badan di atas pertambahan bobot badan kelompok
ternak yang tidak diberi suplemen.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
29
Gambar 3. Respon sapi muda yang diberi pakan basal kualitas rendah terhadap sumber protein by-pass
dengan memperhatikan dua tingkat suplementasi: (1) antara 0 - 1 g/kgBB dan (2) antara 1 – 6
g/kgBB (Leng, 2002)
Teknologi Manajemen Pemeliharaan
Program untuk meningkatkan produksi sapi potong dapat dilakukan melalui perbaikan teknik
manajemen sebagai berikut:
Bull soundness evaluation (evaluasi berdasarkan kelayakan sifat pejantan sesuai dengan karakter
ekonomis yang dikehendaki)
Seleksi genetik
Program manajemen sapi betina induk
Program manajemen sapi dara
Kontrol terhadap perkawinan
Diagnosis kebuntingan
Pemberian pakan suplemen sesuai dengan fase fisiologis ternak
Program kesehatan ternak
Impilikasi ekonomis terhadap pilihan teknologi yang digunakan
PENUTUP
Uraian yang telah dikemukakan di atas merupakan konsep ideal yang masih harus dijabarkan
secara operasiona! di lapang. Apabila hal tersebut dapat diterapkan maka keempat pertanyaan kunci yang
saya ajukan di awal makalah ini, yaitu: pertama, dapatkah Propinsi NTB menjadi sala satu sumber bibit
sapi potong nasional? kedua, strategi apakah yang layak diterapkan?; ketiga, bagaimanakah
operasionalisasi pengembangan pembibitan tersebut?, dan keempat, bagaimanakah dampak ekonomi
maupun sosial bagi masyarakat Propinsi NTB? sangat memungkinkan untuk terjawab.
Memperhatikan potensi wilayah Propinsi NTB serta kekuatan lain yang telah banyak
dikemukakan kiranya dapat dijawab pertanyaan pertama, hahwa potensi sebagai salah satu sumber bibit
sapi potong di masa mendatang dapat diwujudkan,
Strategi yang dapat diterapkan perlu dikelompokkan menjadi strategi jangka pendek, yaitu: (1)
industri hulu dikelola o]eh institusi dengan skala penguasaan lahan antara 100 - 500 ha dengan pemilikan
sapi potong minimal 500 ekor; (2) menjamin tersedianya semen beku di daerah (3) menerapkan strategi
VBC untuk wilayah terpilih; (4) memperbesar penguasaan lahan peternakan rakyat menjadi minimal 5 ha
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
30
per peternak; (5) memberikan bantuan modal usaha dengan syarat lunak kepada peternak rakyat maupun
investor skala menengah; (6) menata kelembagaan usaha sapi potong sehingga akan memperlancar
interaksi antara industri hulu dengan industri hilir maupun idustri diantaranya; (7) melakukan pencegahan
dan pengobatan terhadap penyakit sapi potong yang dapat mengganggu program pembibitan; dan (8)
peningkatan mutu SDM. Stragi jangka panjang yang dianjurkan ialah; (1) meningkatkan peran Lembaga
R & D yang melibatkan para pakar di bidang peternakan sapi potong untuk memperoleh bibit sapi potong
yang sesuai untuk kondisi daerah tropis basah dengan mengembangkan karakter ekonomis semisal;
fertilitas tinggi, angka distokia rendah, produksi susu memadai, berat sapih tinggi, potensi pertambahan
bobot badan tinggi, sifat jinak, komposisi karkas ideal dlsb; (2) penerapan teknologi canggih
(bioteknologi) di hidang reproduksi, pakan dan kesehatan veteriner yang dapat diperankan oleh suatu
institusi.
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous 1998. Increasing productivity of tropical Crop Livestock Sustems By Optimal Utilisation of Crop Residues and Supplementary Feeds. Summary Reports of European Comission Supported STD3-projects
(1992-1995). Technical Centre for Agricultural and Rural Cooperation ACP-EU, pp. 216 - 218.
Ainur Rasyid dan Uum Umiyasih, 1993. Studi Tentang Prestasi Berat Badan dan Ukuran Tubuh Sapi Sonok.
Procceding : Pertemuan Ilmiah Hasil Penelitian dan Pengembangan Sapi Madura di Sumenep 11 – 12 Oktober 1992. Penyunting Komarudin Ma‘sum Ali Yusran dan Marwan Rangkuti. Sub Balai Penelitian
Ternak Grati , Balai Penelitian Ternak, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, halaman: 236 - 240.
Arintadisastra, S. (2002) Indonesia Mampu Meningkatkan Produksi Pertanian dengan ―Empat Entry Point‖. Sinar Tani Edisi 23 – 29 Oktober 2002
Bingsheng, K. E. 2001 Perpectives and Strategies for Asian Livestock Sector In The Next Three Decades: Sub-
Regional Report China. Agricultural and Natural Resource Economics Discussion Paper 02/2001. School
of Natural and Rural System, University of Queensland, St. Lucia 4072, Australia
Djarsanto , 1998. Kebijakan Pengembangan Pembibitan Khususnya Sapi Potong. Makalh disampaikan pada
Workshop UMMB, Batan di Blora, 16 Juni 1998
FAO. (2002). http\\www.fao.org.\Farming System and Poverty- Full text.html
Hoffman, D. 1999. Asia Livestock to The Year 2000 and Beyond . Working Paper Series ½. FAO Regional Office for Asia and the Pasific, Bangkok, September 1999
Ibrahim, N.M.N. 1994. Livestock Development Programmes and Their Impact On Small Scale Dairy Farming In Sri
Lanka, In : Constraints and Opportunities For Increasing The Productivity Of Catlle In Small Scale Crop
Livestock System. Proccedings of an internal mid-term workshop, CEC. Research Project TS3 – CT92-0120, pp. 146 – 152 Eds. G. Zemmelink et. al. Held in The Institute of Continuing Education (ICE)
Department of Animal Production & Helath, Perdeniya, Sri Lanka, November 14 - 19 1994
Ifar Subagiyo, 1996. Relevance of Ruminants In Upland Mixed-Farming System In East Java, Indonesia Ph.D
Thesis. Agricultural University of Wageningen, Tehe Netherlands.
Kaaschieter, G.A. de jong, R. Schiere, J.B. and Zwart, D. 1992. Towards Sustainable Livestock Production In
Developing Countries And The Importance Of Animal Health Strategy Therein. The Veterenary Quarterly,
Vo.14, No.2 : 66-75
Komarudin Ma‘sum, 1993. Hasil-hasil Penelitian Sapi Madura di Sub-Balai Penelitian Grati – Pasuruan.
Proccedings : Pertemuan Ilmiah Hasil Penelitian dan Pengembangan Sapi Madura di Sumenep 11 – 12
Oktober 1992. Penyunting Komarudin Ma‘sumAli Yusran, dan Marwan Rangkuti. Sub-Balai Penelitian
Ternak Grati, Balai Penelitian Ternak, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian . halaman : 45 – 52.
Leng, R. A. , 2002, Future Direction Of Animal Protein Production In A Fossil Fuel Hungry World. Livestock
Research for Rural Development 14 (5).
Makkar, H.S.P. and Becker, K, 1996. Nutritional Value and Antinutritional Components Of Whole And Extracted
Moringa Oleifera Leaves. Anim. Feed. Sci. Tech. 63 : 211 - 228
Nicholas, F.W. ,1996. Genetice Improvement Through Reproductive Technology. Anim. Repro. Sci. 42 : 205 - 214
Orskov, E.R. , 1993 Reality Of Rural Development Aid With Emphasis On Livestock. Published by Rowett
Research Services Ltd. Aberdeen. U.K.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
31
Robinson, J.J. , 1996. Nutritional And Reproduction. Anim. Repro. Sci. 42 : 25 - 34
Soehadji, 1995. Pengembaangan Bioteknologi Peternakan : Keterkaitan Penelitian, Pengkajian dan Aplikasi.
Procceding : Lokakarya Bioteknologi Peternakan. Departemen Peternakan dan Kantor Menteri Negara
Riset dan Teknologi, Koordinator Jaringan Kerja, Pengembangan Bioteknologi Peternakan, Ciawi 23 – 24
Januari 1995. halaman 43 – 105.
Soetanto, H. , 1991. Glucose Metabolism In Ruminants Consuming Low Quality Straw . Ph.D. Thesis University of
Queensland, Australia.
Shrestha, N.P. , 1991. Potential and Prospects od Straw Feeding In Ruminant Production System In The Eastern
Hills of Nepal. Procceding : Utisation of Straw In Ruminant Production System. A Workshop Held at The Malaysian Agriculture Research And Development Institute, NR! Overseas Development Administration.,
pp : 87 – 100.
World Bank, 2001. Indonesia : The Impertive For Reform. Brief for the Consultative Group on Indonesia. Report
No. 23092-IND
DISKUSI
Pertanyaan:
1. Ternak sapi ini memang bisa bersaing secara komperatif dan kompetitif ini dari hasil analisa kami di
PSE
2. Ternak kita punya keunggulan komperatif dan kompetitif menjadi sapi perah sehingga impor susu
ada.
3. Klasifikasi mengenai paha ayam, dinaikan bea 100% karena untuk melindungi peternak dari
keunggulan komperatif dan yang penting kesehatan produksi.
4. Di Bali sapi jantan hanya di ternak saja dan sistem feedingnya, perhitunganya sangat sederhana.
5. Dengan menjaga kemurnian genetik apa tidak akan mengebiri sapi tersebut (Bali dan Madura)
Tanggapan :
1. Keunggulan komperatif dan kompetitif untuk ternak kita, datanya sudah saya lihat tapi itu data sudah
lama.
2. Tarif bea masuk itu melanggar peraturan WTO dan memang setiap negara punya proteksi sendiri tapi
bukan melalui bea tinggi (100%)
3. Semua lahan yang bisa ditanami, ditanami maka akan dapat mensuplay pakan. Masalahnya memang
harus tersedia lahan yang cukup.
4. Mengebiri sesungguhnya tidak dicoba di Madura, maksudnya di sini sapi-sapi ini akan dijadikan
sumber plasma nutfah, tapi kalau tidak ada maka lambat laun gen tersebut akan hilang, dan ini perlu
kita lakukan untuk melestarikan plasma nutfah.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
32
AGRIBISNIS LAHAN KERING DAN PEMBERDAYAAN
MASYARAKAT PETANI DI PEDESAAN,
PENGALAMAN DI NUSA TENGGARA TIMUR
Iwan Santoso
Praktisi, Fasilitator UKM dan Konsultan Agribisnis Lahan Kering, Kupang - NTT
PENGANTAR
Tulisan ini menyangkut pengalaman penulis dalam kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan
agribisnis lahan kering dan pembinaan kelompok tani di Nusa Tenggara Timur selama berkiprah sebagai
pedagang buah-buahan, sebagai konsultan Pertanian Lahan Kering, dan sebagai pembina kelompok tani.
Kondisi lahan di NTT‘ yang sebagian besar berupa lahan kering berbatu dengan curah hujan
yang kecil dan distribusi tidak merata memerlukan penanganan secara khusus. Berdasarkan pengamatan
penulis, masyarakat NTT adalah masyarakat yang sulit mengadopsi teknologi yang menyangkut usaha
tani lebih-lebih jika pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan penyuluhan yang bersifat oral, tanpa
diiringi dengan praktik-praktik nyata yang dapat dilihat dan dilakukan langsung oleh petani. Selain itu
pendekatan yang selama ini dilakukan cenderung tidak menunjukkan keberlanjutan karena dilakukan
dengan pendekatan proyek yang secara intrinsik mempunyai batas waktu pelaksanaan. Adopsi teknologi
oleh petani memerlukan kesabaran dan upaya sistematis dengan perencanaan yang matang sesuai dengan
kebutuhan petani. Kegiatan-kegiatan pelatihan dan penyuluhan yang dilakukan sebagian besar tidak
mencapai sasaran karena ketidaksesuaian antara waktu kegiatan dengan kebutuhan informasi di tingkat
petani.
Pendekatan yang dilakukan oleh penulis adalah pendekatan contoh dengan praktik-praktik nyata.
sehingga petani lain dapat meniru hal-hal yang penulis lakukan.
PENGALAMAN DALAM PERTANIAN LAHAN KERING
Usaha agribisnis lahan kering dimulai dengan membuka lahan berbatu seluas 1 ha di Desa Belo
kecamatan Maulafa, Kota Kupang. Dari lahan seluas 1 ha ini penulis dapat menjual batu karang,
sehingga dapat memulai mengembangkan usaha tani di tempat ini. Pada musim hujan 1998, penulis
memulainya dengan menanam agung hibrida Pionir F1 di sela-sela batu dengan luasan sekitar 0,5 ha.
Panen yang cukup berhasil dilakukan pada bulan Februari 1999, dan hasil panen sebesar Rp. 2.500.000,-
Keberhasilan ini mendapat tanggapan positif dari pemerintah. tetapi tidak disertai dengan tindak lanjut
yang jelas.
Setelah mengikuti kegiatan-kegiatan pelatihan di Singaraja penulis mendapat banyak
pengetahuan dan keterampilan terutama yang menyangkut pemanfaatan sumberdaya alam, misalnya
pembuatan bokashi, pembuatan pestisida botani dan pemanfaatan air limbah. Bebekal pengetahuan dan
keterampilan penulis mulai mengembangkan lahan yang telah dimiliki dengan membuat bak-bak
pengomposan dan bak penyaringan air limbah. Di lahan ini penulis mulai dengan penanaman pepaya Red
Lady (diindikasikan sebagai pepaya yang tahan kering) dan mulai rnenghasilkan setelah satu tahun. Hasil
panen pepaya digunakan untuk memperbanyak jenis tanaman, sehingga meliputi mangga, jeruk (keprok.
nipis limau), srikaya dan jambu. Setelah tanaman buah mulai tumbuh lahan di lengkapi dengan
pemeliharaan/penggemukan sapi, yang selain untuk rnendapatkan tambahan penghasilan malalui hasil
jual hewan tersebut juga untuk memperoleh pupuk kandang bagi tanaman. Tanaman-tanaman lain seperti
turi dan lamtoro juga di tanam sebagi tanaman-tanaman yang ada di lahan ini sebagai tanaman pelindung
yang daunnya dapat dimanfaatkan sebagai pakan sapi.
Usaha tani lahan kering ini sekarang sudah mulai memberikan hasil, baik dari tanaman semusim
seperti tomat dan labu, maupun dari pohon seperti pepaya, jeruk nipis dan sirsak. Memang dari segi
agribisnis usaha ini belum memberikan keuntungan yang nyata, tetapi keberhasilan yang ada sekarang
diharapkan dapat menjadi contoh bahwa dengan keadaan lahan yang sangat marginalpun usaha pertanian
yang berhasil dapat dilakukan
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
33
PENINGKATAN MANAJEMEN PEMASARAN JERUK SoE
Berawal pada tahun 1997 dengan sponsor dari Windrock International, penulis melakukan
survey pemasaran jeruk di beberapa pasar tradisional dan swalayan di Denpasar Bali. Hasil survey
menunjukkan bahwa kualitas jeruk Keprok SoE tidak kalah dengan kualitas jeruk-jeruk impor, seperti
Imperial (Australia), Kino (Pakistan) dan, Mandarin (Cina). Pada saat itu harga jeruk impor di Bali
berkisar antara Rp. 7500,- dan Rp. 9000,- per kilogram. Sementara itu harga jeruk keprok SoE di Kupang
hanya berkisar antara Rp. 2500,- dan Rp. 3500,- per kilogram ini. Perbedaan yang besar ini memberikan
peluang pemasaran jeruk SoE di Bali, karena mutu buah jeruk Keprok SoE tidak kalah dengan jeruk
impor tersebut. Namun demikian, kekurangan pada jeruk Keprok SoE terletak pada kurangnya
pengetahuan masyarakat di luar NTT mengenai keberadaan jeruk Keprok SoE.
Belajar dari hasil survey tahun 1997 itu, penulis mencoba mempromosikan jeruk Keprok SoE di
Bali. Jeruk tersebut di beri label dan dipak dalam kotak-kotak berlabel (seperti yang dilakukan terhadap
jeruk impor) dengan kapasitas 10 kg per kotak. Pada awal awal masa pengenalan, jeruk Keprok SoE
sudah mendapatkan harga Rp. 6500,- per kilogram. Harga ini memang lebih rendah daripada harga jeruk
impor, tetapi jauh lebih tinggi daripada harga di Kupang yang hanya sekitar Rp. 3000,-. Harga tertinggi
yang dicapai oleh jeruk Keprok SoE adalah Rp. 9000,- pada tahun 1999 sementara harga tertinggi yang
dapat diperoleh di Kupang adalah Rp. 6500,-.
Masalah-masalah yang dihadapi berkaitan dengan pemasaran jeruk Keprok SoE. adalah sebagai
berikut:
1. Cara panen dan penanganan pasca panen
Petani pada umumnnya melakukan pemanenan dengan cara rampasan, tanpa menggunakan
gunting. Akibatnya banyak buah yang mengalami kerusakan karena robeknya kulit pada bagian tangkai
buah atau buah menjadi busuk karena jatuh. Untuk rnengatasi hal ini, anggota kelompok diberikan
bantuan gunting pangkas sehingga mereka dapat mengurangi resiko kerusakan buah.
2. Ijon dan spekulan
Sistem ijon sampai saat ini masih marak di kalangan petani jeruk di SoE. Petani biasanya
menerima ijon dua bulan menjelang panen, dengan nilai separuh dari nilai jual buah pada saat panen.
Sistem ijon ini sangat merugikan petani dalam dua hal. Pertama pendapatan petani akan berkurang
akibat rendahnya nilai jual hasil jeruk. Yang kedua para pemberi ijon biasanya akan memetik buah jeruk
setelah lewat masa panen karena menunggu harga. Tanaman jeruk yang buahnya dibiarkan sampai
melewati masa panen akan mengalami penurunan hasil pada musim panen berikutnya. Akibatnya volume
produksi yang dapat dipasarkan dari tahun ke tahun menjadi tidak stabil.
Jika tidak dilakukan penjualan dengan sistem ijon, penjualan buah jeruk oleh petani biasanya
dilakukan dengan cara borongan di pohon. Ini dilakukan karena kurangnya informasi harga per kilo.
Seringkali pohon yang dapat menghasilkan 60 - 70 kg per pohon hanya dinilai dengan harga sekitar Rp.
100.000,- - Rp. 125000,-.
Masalah ijon masih belum dapat diatasi secara baik. Masalah spekulan sedang diupayakan
rnengatasinya dengan cara:
a. Menyediakan informasi harga kepada petani, sehingga mereka dapat memperkirakan harga yang harus
mereka sepakati dengan pedagang pengumpul.
b. Membina petani agar petani melakukan penjualan secara berkelompok.
c. Mendidik petani untuk melakukan pengkelasan buah berdasarkan standar yang disepakati kelompok,
sehingga terdapat keseragaman harga antar anggota kelompok untuk setiap kelas buah.
3. Transportasi
Pengangkutan dari kebun kejalan utama masih menggunakan karung-karung yang ditumpangkan
di punggung kuda, sehingga seringkali dijumpai buah menjadi rusak setelah sarnpai di jalan utama.
Masalah ini sudah mulai diatasi dengan perbaikan jalan-jalan yang menuju ke kebun-kebun petani.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
34
PEMBINAAN KELOMPOK USAHA PENGOLAHAN MINYAK KELAPA TRADISIONAL
Kegiatan ini dipusatkan di desa Ponaen, wilayah kecamatan Amarasi Kabupaten Kupang NTT.
Di desa ini terdapat sekitar 150 KK pengrajin minyak kelapa secara tradisional.
Kegiatan kelompok diawali dengan peninjauan oleh tim LIPI tahun 1998. Sebagai tindak lanjut
tim LIPI rnemberikan dana bantuan untuk pengembangan pemberdayaan masayarakat desa, berupa
pinjaman bergulir dengan bunga pinjaman 1 % per bulan. Pemberian ini diberikan secara bertahap,
dengan pinjaman tahap awal sebesar Rp. 2.500,000,-. Setiap 6 bulan, pinjaman ini ditambah sejumlah
yang sama sampai total pinjaman berjumlah Rp. 10.000.000,-. Pengembalian pinjaman ini akan berakhir
pada bulan Desember 2002. Walaupun periode pengembalian dana dari LIPI ini belum berakhir, melihat
keberhasilan dari kelompok ini diperoleh lagi dana pinjaman tambahan dari Departemen Koperasi. Dana
pinjaman ini berjumlah Rp. 50.000.000,- harus dikembalikan setelah 4 tahun, dan mulai digulirkan sejak
Februari 2002 kepada 20 orang anggota kelompok yang diberi nama Kelompok Iwan Santoso. Kelompok
ini bergerak dalam usaha pengolahan minyak kelapa dan penggemukan sapi Bali. Masing-masing
anggota memperoleh dana pinjaman dana sebesar Rp. 2.500.000,- yang harus dikembalikan dalam waktu
24 bulan, dengan cicilan sebesar Rp. 145.000,- per bulan. Dalam waktu lima bulan, yaitu pada bulan Juli
2002, kelompok ini sudah mengembalikan bunga dan pokok pinjaman sebesar Rp. 12.500.000,-. Dari
jumlah ini bunga pinjaman sebesar Rp. 2.500.000,- dikembalikan kepada Departemen Koperasi melalui
Bank Bukopin, sedangkan dana sejumlah Rp. 10.000.000,- digulirkan kepada kelompok angkatan kedua
sebanyak 4 orang dengan masing-masing jumlah pinjaman yang sama dengan anggotasebelumnya,yaitu
Rp. 2.500.000,-. Dana sejumlah yang sama akan digulirkan lagi kepada 4 orang anggota baru pada
kelompok angkatan kedua ini pada bulan kesepuluh, sehingga jumlah anggota angkatan kedua ini menjadi
8 orang. Dengan demikian dalam waktu sepuluh bulan pertama dana pinjaman awal sebesar Rp.
50.000.000,-yang dipinjamkan kepada 20 orang akan bertambah menjadi 28 orang. Dengan mekanisme
seperti ini dalam waktu 15 bulan terhitung sejak Januari 2003, akan tercakup 40 orang penerima
pinjaman. Proyeksi jumlah anggota yang akan dapat menerima pinjaman dalam periode 4 tahun masa
pinjaman menjadi 54 orang dengan total jumlah dana bergulir sebesar Rp. 274.050.000,-. Setelah
dikurangi pinjaman dan bunga, maka keuntungan bersih kelompok selama periode 4 tahun adalah sebesar
Rp. 52.175.000,-.
Dana pinjaman sebesar Rp 2.500.000,- di atas digunakan selain untuk usaha kerajinan minyak
kelapa juga digunakan untuk usaha penggemukan sapi Bali. Penggemukan dilaksanakan selama periode
4 - 5 bulan, dengan keuntungan per ekor sapi sekitar Rp. 600.000,- - 700.000,-
PENUTUP
Berdasarkan pengalaman ini, ternyata usaha apapun yang dilakukan harus didasari dengan
motivasi dan kesungguhan yang besar. Dengan memanfaatkan teknologi yang berkembang sakarang,
sebenarnya banyak lahan-lahan yang tidak produktif dapat ditingkatkan menjadi lahan-lahan yang lebih
produktif. Untuk itu. Upaya-upaya membina petani untuk meningkatkan pendapatan mereka tidak cukup
dengan pendekatan wacana, seperti yang sering dilakukan selama ini, tetapi harus dengan upaya-upaya
kongkrit yang dapat diterapkan oleh petani lahan-lahan kering seperti yang dijumpai di NTT dan NTB
hanya akan memberikan hasil optimal jika digarap dengan prinsip diversifikasi, yang melibatkan usaha
pertanian tanaman (semusim maupun tahunan) dan ternak, dibarengi dengan upaya-upaya ke arah
konservasi lahan. Selanjutnya, pembinaan kelompok petani akan berhasil dengan baik jika dilakukan
dengan pendekatan yang didasarkan pada analisis kebutuhan.
DISKUSI
Pertanyaan :
1. Kalau ingin tumbuhkan pohon diatas batu dimana masyarakat etos kerjanya kurang, apa yang akan
dilakukan?
2. Pada fhoto tadi saya tidak melihat tanaman semusim di bawahnya.
3. Apakah dalam kegiatan pertanian itu kompos dimanfaatkan? Apa di proses lebih lanjut jadi kompos?
4. Limbah-limbah pertanian/pakan ternak dimanfaatkan? ampas industri minyak kelapa juga
dimanfaatkan?
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
35
5. Informasi dari kenaikan bobot badan tidak ada dan untung cukup besar?
6. Belum saya lihat keuntungan berapa % dari hasil tersebut untuk kelompok dan untuk petani.
7. Kelompok yang dibina Bapak apa yang sudah ada?
8. Binaan Pak Iwan orangnya seperti apa sebelumnya?
9. Eksistensi Bapak selama ini bagaimana memilih teman sebagai staf?
10. Sumber dana?
Tanggapan :
1. Kami bekerja dengan memberikan contoh-contoh yang kongkrit pada masyarakat. Dengan membeli
hasil panen dari anggota dan memasarkan sendiri. Hasil penjualan dibagi langsung dengan anggota
tidak ada kebohongan.
2. Kalau kotoran sapi bekerja sama dengan Perguruan Tinggi dan pupuk anorganik juga diberikan
limbah lainyapun dimanfaatkan.
3. Setiap bulan anggota kelompok dikunjungi dan ditanya permasalahan yang ada, setiap Minggu
(Jum‘at) kelompok menyetor kreditnya. Setiap dana kelompok yang sudah lunas, kembali digulirkan
kepetani lain yang bersedia menjadi anggota.
4. Tanaman sela sejenis kacang-kacangan.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
36
STRATEGI PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERTANIAN
LAHAN KERING BERWAWASAN LINGKUNGAN
DI NUSA TENGGARA BARAT
Mansur Ma`shum, Lolita E.S., dan Sukartono
Universitas Mataram Jl. Pendidikan Mataram, Telp 0370-628143
PENDAHULUAN
Pengembangan pertanian lahan kering merupakan alternatif yang sangat penting untuk
mengalihkan paradigma lahan sawah sebagai tulang punggung pertanian dan sebagai pemenuhan utama
produksi pangan nasional. Hal ini sangat beralasan karena lahan-lahan persawahan di Indonesia
umumnya telah banyak mengalami alih fungsi menjadi lahan nirpertanian. Tantangan lain dari lahan
pertanian sawah adalah kemunduran produktivitas karena intervensi manusia yang sangat intensif.
Dengan demikian pertanian lahan kering diharapkan mampu memiliki andil yang signifikan terhadap
pengembangan potensi wilayah di kawasan timur Indonesia.
Meskipun potensi pemanfaatan lahan kering untuk pengembangan pertanian sangat besar, perlu
dicermati pula bahwa ciri khas agroekosistem lahan kering relatif rentan terhadap degradasi sehingga
dalam pengelolaan jangka panjang harus lebih berhati-hati dengan tetap memperhatikan aspek
kelesatarian dan kesinambungan produktivitas lahan (dryland sustainable agriculture). Tidak sekedar
masalah biofisik lahan yang lemah, lahan kering juga memiliki masalah social-ekonomi yang cukup
kompleks. Pendekatan dalam pengelolaan pertanian lahan kering tampaknya harus berorientasi pada
pendekatan agroekosistem wilayah dengan tetap memperhatikan aspek sosial budaya spesifik daerah
sebagai komponen pendekatan wilayah.
Manipulasi terhadap biofisik lahan untuk meningkatkan ketangguhan agroekosistem: seperti
pembuatan tampungan air permukaan (embung/dam pemanen aliran permukaan) dipadukan dengan paket
teknologi budidaya berwawasan lingkungan menjadi esensial untuk pengelolaan pertanian lahan
berkelanjutan. Teknologi budidaya lahan kering harus bersifat adaptif untuk suatu wilayah dalam arti
paket teknologi tersebut berwawasan lingkungan dan cocok untuk kondisi agroekosistem wilayah, secara
teknis dan social dapat diterapkan oleh masyarakat setempat serta berimplikasi ekonomi dalam
keberlanjutan peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani.
Makalah ini akan mencoba mendiskusikan beberapa gatra penting yang terkait dengan strategi
pengelolaan pertanian di lahan kering dengan pendekatan kewilayahan. Managemen praktis dari
pendekatan ini merupakan iptek yang berwawasan lingkungan dengan penerapan paket teknologi
budidaya tepat guna, termasuk didalamnya upaya konservasi air guna pengembangan pertanian lahan
kering jangka panjang.
PROFIL DAN PERMASALAHAN LAHAN KERING NTB
1. Profil Lahan Kering di Nusa Tenggara Barat
Propinsi Nusa Tenggara Barat memiliki lahan seluas 2.015.315 Ha dengan rincian seperempat
bagian tersebar di Pulau Lombok (473.867 Ha) dan tiga perempat bagian tersebar di Pulau Sumbawa
(1.541.448 Ha) dan paling kurang 60% dari luasan tersebut berupa kawasan lahan kering (Tabel 1).
Tabel 1. Luas Lahan (Ha) Berdasarkan Jenis Penggunaannya di NTB
Jenis Penggunaan Luas Lahan (Ha) Persen (%)
1 2 3
Pemukiman 26.066,352 1,3
Sawah : a. Irigasi
b. Tadah hujan c. Tegalan
d. Ladang
94.741,477
131.981,840 149.555,652
12.238,500
4,7
6,5 7,4
0,6
Kebun
Perkebunan
55.250,137
46.090,578
2,7
2,3
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
37
1 2 3
Hutan Lebat
Hutan Sejenis
Belukar
832.758,270
65.255,270
364.890,866
41,3
3,2
18,1
Danau
Rawa
Embung/Waduk
1.755
12
4.321,940
0,09
0,0006
0,2
Lain-lain 28.693,073 1,4
JUMLAH 2.015.315 100
Sumber : Bappeda NTB, 2000.
Biro Pusat Statistik NTB (1997) melaporkan bahwa luasan lahan kering yang potensial untuk
dikembangkan mencapai sekitar 162.033,313 Ha dengan sebaran 66% di Sumbawa dan 34% di Pulau
Lombok. Biofisik lahan kering di Nusa Tenggara Barat memiliki karakteristik khas yakni fisiografi lahan
yang sangat beragam dari berombak, bergelombang hingga berbukit atau berlereng dengan jenis tanah
yang didominasi oleh tiga ordo yakni Entisols, Inceptisols dan Vertisols. Secara inherent kesuburan tanah
lahan kering di NTB sangat rendah dicirikan oleh rendahnya kandungan bahan organik tanah (Ma`shum,
1990), agregat tanah yang kurang mantap (Tarudi, dkk., 1989) terutama pada lahan-lahan miring/berbukit
dengan tipe tanah Entisols dan Inceptisols, peka terhadap fenomena kerusakan lahan terutama akibat
erosi, kandungan hara utama (N, P, dan K) yang relatif rendah (Ma`shum, Lolita, dan Sukartono, 2000).
Intergrasi dari sifat inherent tanah tersebut dan adanya keterbatasan ketersedisaan sumberdaya air sebagai
salah satu faktor utama pertumbuhan tanaman membawa konsekwensi rendahnya produktivitas lahan.
Lahan kering NTB memilki iklim kering yaitu: tipe iklim D3 (3-4 bulan basah dan 4-6 bulan
kering), tipe iklim D4 (3-4 bulan basah dan >6 bulan kering), tipe iklim E3 (<3 bulan basah, 4-6 bulan
kering) dan tipe iklim E4 (<3 bula basah dan > 6 bulan kering) (Oldeman, 1981). Distribusi dan intensitas
curah hujan di wilayah lahan kering NTB tidak merata dan tidak menentu (erratic) sehingga kerap kali
kegagalan panen terjadi sebagai akibat keterbatasan ketersediaan air. Surplus air hanya terjadi pada
bulan-bulan basah (Desember, Januari/Februari) dan selebihnya merupakan bulan-bulan defisit air
(Gambar 1). Informasi keadaan iklim bulanan wilayah lahan kering lain di NTB disajikan pada Tabel 2.
Keadaan curah hujan umumnya berlangsung dengan durasi yang pendek, disertai intensitas dan distribusi
yang ―erratic‖ serta sulit ditaksir (unpredictabel), sehingga seringkali menyebabkan kegagalan panen.
Table 2. Data Iklim Rata-rata Bulanan Stasiun Kopang, Lombok Tengah
Year 98 Jumlah dan
Rata-rata
Kelembaban
(%) Suhu (oC)
Hujan harian
(mm)
Evaporasi
(mm)
Kec. Angin
(km/jam)
1 2 3 4 5 6 7
Jan Jumlah 3037,00 867,50 222,40 134,60 1543,20
Rata-rata 97,97 27,98 7,17 4,34 49,78
Feb Jumlah 2738,00 787,00 433,10 109,30 610,80
Rata-rata 97,79 28,11 15,47 4,75 21,81
Mar Jumlah 3023,00 877,10 577,10 109,10 734,70
Rata-rata 97,52 28,29 18,62 3,76 23,70
Apr Jumlah 2932,00 862,50 139,50 100,40 852,40
Rata-rata 97,73 28,75 4,65 3,35 28,41
Mei Jumlah 3029,00 890,00 46,60 75,10 822,20
Rata-rata 97,71 28,71 1,50 2,42 26,52
Jun Jumlah 2930,00 836,60 62,80 68,30 703,40
Rata-rata 97,67 27,89 2,09 2,28 23,45
Jul Jumlah 3026,00 854,20 75,90 66,10 888,30
Rata-rata 97,61 27,55 2,45 2,13 28,65
Aug Jumlah 3030.00 844,00 42,30 131,80 1841,40
Rata-rata 97,74 27,23 1,36 4,25 59,40
Sep Jumlah 2937,00 821,50 312,50 137,00 1253,00
Rata-rata 97,90 27,38 10,42 4,57 41,77
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
38
1 2 3 4 5 6 7
Okt Jumlah 3034,00 878,00 208,30 123,30 985,50
Rata-rata 97,87 28,32 6,72 3,98 31,79
Nov Jumlan 2934,00 837,70 235,80 102,10 1122,10
Rata-rata 97,80 27,92 7,86 3,65 37,40
Des Jumlah 3027,00 832,50 204,00 121,20 2063,70
Rata-rata 97,65 26,85 6,58 4,04 66,57
Catchment area : Renggung
Altitude : 8o 37' 17" LS/116o 21' 50"
Latitude : 352 m
Sumber : Stasiun Kopang N0. 521005
Gambar 1. Kurva neraca air wilayah lahan kering Pringgabaya Lombok Timur(Data sekunder
diolah)
Keterngan: P-Curahhujan; PE-Evapotranspirasi potensial; AE- Evapotranspirasi actual; D- Defisit; S-
Surplus
2. Permasalahan Agroekosistem dan Sosial Ekonomi Masyarakat
Keadaan biofisik lahan kering di Nusa Tenggara Barat umumnya diasosiasikan sebagai lahan-
lahan kritis dengan petunjuk relatif rentan terhadap fenomena kerusakan lahan akibat erosi, kesuburan
serta produktivitas tanah yang relatif rendah, keadaan iklim yang kurang menguntungkan. Keterbatasan
air tahunan merupakan kendala yang membatasi pola pertanaman yang ada di daerah lahan kering.
Fluktuasi lengas tanah pada sistem pertanaman lahan kering sangat tergantung pada pasokan air hujan
(Sukartono, dkk., 2001). Degradasi lahan yang muncul adalah erosi pada lahan perbukitan dan atau
lahan miring, makin menurunnya kualitas kesuburan tanah (lapisan tanah menipis, agregat tanah tidak
stabil), aliran permukaan yang terjadi musim hujan lebih dari 70% hilang menuju ke laut (Yasin , 2000),
menurunnya kualitas DAS seperti DAS Dodokan dan DAS Jelateng di Lombok sebagai intensifnya
intervensi manusia di lahan kering bagian tengah dan hulu DAS (Rapat Teknis Bapedalda, 2000).
Pengelolaan sistem pertanaman (cropping system) dan pengelolaan tanah dan air dalam arti luas di
tingkat petani masih belum memadai baik dari aspek kelestarian sumberdaya alam (berwawasan
lingkungan) dan keberlanjutan pendapatan (berwawasan agribisnis). Hal ini sangat terkait dengan
penguasaan petani di wilayah pedesaan lahan kering terhadap teknologi budidaya dan konservasi air
yang masih jauh dari memadai. Implikasi keadaan tersebut tercermin dari rata-rata pendapatan petani
pedesaan di wilayah lahan kering NTB masih tergolong sangat rendah.
0
50
100
150
200
250
300
J F M A M J J A S O N D
Bulan
Tin
gg
i a
ir (
mm
)
P
PE
AES
D
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
39
Lebih dari sekedar persoalan alami biofisik lahan, masyarakat pedesaan di lahan kering NTB
umumnya merupakan masyarakat miskin baik secara ekonomi maupun tingkat pendidikan. Infrastruktur
ekonomi di wilayah pedesaan lahan kering masih terbatas dibandingkan daerah-daerah pertanian intensif
(lahan persawahan) sehingga aksesibilitas petani terhadap pasar umumnya relatif terbatas. Dengan
berbagai permasalahan agroekosistem lahan kering seperti ini maka strategi pengelolaan pertanian lahan
kering harus berorientasi pada peningkatan kualitas lahan dan produktuvitas tanah (kelestarian
sumberdaya alam berwawasan lingkungan) dan keberlanjutan pendapatan petani (berwawasan
agribisnis).
Dari segi kebijakan pemerintah, paradigma pengembangan pertanian lahan kering khususnya di
Nusa Tenggara Barat maupun nasional baru mulai mendapatkan perhatian yang serius sejak krisis
ekonomi melanda tanah air (1997/1998).
STRATEGI PENGELOLAAN PERTANIAN LAHAN KERING BERWAWASAN
LINGKUNGAN DI NUSA TENGGARA BARAT
Pengelolaan lahan kering di NTB sebagai lahan produktif merupakan salah satu alternatif yang
prospektif mengingat potensi luas arealnya sangat besar dan potensi produktivitas lahannya masih sangat
terbuka untuk ditingkatkan. Pengelolaan pertanian lahan kering sesungguhnya tidak mudah, karena
sangat berkaitan dengan permasalahan lahan kering yang cukup kompleks baik dari sumber daya
lahannya dan/atau sumber daya manusianya. Karena itu dalam pencarian strategi pengelolaan yang tepat,
dalam memfungsikan lahan kering sebagai lahan produktif diperlukan pendekatan holistik dengan
mengenali secara seksama tipe agroekosistem lahan kering yang bersifat spesifik lokasi dengan tidak
meninggalkan ciri-ciri alamiahnya serta kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat setempat.
Beberapa aspek penting yang merupakan prasyarat terwujudnya sistem pengelolaan lahan kering
tepat guna meliputi: (i) aspek biofisik; (ii) aspek ekonomi; (iii) aspek sosial budaya dan (iv) aspek
kelembagaan yang ditunjang dengan kebijakan-kebijakan yang memadai. Keempat aspek tersebut secara
bersama menentukan terwujudnya sistem pengelolaan yang tepat guna pada usaha tani lahan kering yang
berkelanjutan dan berwawasan agribisnis.
Strategi pengelolaan lahan kering dari aspek biofisik
Aspek biofisik pada suatu sistem pengelolaan pertanian lahan kering meliputi faktor-faktor yang
berkaitan dengan kemampuan dan kesesuaian lahan serta peningkatan kualitas dan produktivitas lahan.
Paket teknologi alternatif yang akan diterapkan dalam rangka peningkatan kualitas dan produktivitas
lahan haruslah dapat memberikan kompensasi keterbatasan kemampuan alamiah lahan tersebut. Dalam
hal ini teknologi yang sesuai adalah teknologi tepat guna yang mengutamakan daya dukung lahan, baik
dilihat dari upaya mengeliminasi pengaruh erosi maupun faktor-faktor pembatas kesuburan tanah dan
keterbatasan ketersediaan air.
Penerapan teknologi tersebut dapat berbeda antara wilayah tangkapan hujan (pluvial), wilayah
konservasi air dan wilayah pengguna air.
Bagi wilayah tangkapan hujan, penerapan teknologinya ditujukan untuk:
(i) Memperbesar infiltrasi dan perkolasi untuk memperkaya air tanah dan debit sumber-sumber arteris.
(ii) Mempertinggi daya simpan air tanah melalui penghijauan dan reboisasi (Justika, dkk. 1997)
Pada wilayah konservasi air (freatik) difokuskan pada upaya berikut:
(i) Mencegah erosi lapisan tanah melalui penerapan sistem olah tanah konservasi, pemberian mulsa
organik, pembuatan terassaring dan pertanaman menurut kontur, system budidaya tanaman lorong
(Alley cropping).
(ii) Memperbesar daya tampungan air hujan dan air permukaan melalui pembuatan tandon air,
bendungan dan embung. Hasil penelitian Ma`shum, Lolita, Sukartono, dan Soemeinaboedhy (2000)
mengungkapkan bahwa hasil panenan air hujan di wilayah lahan kering Pringgabaya Lombok Timur
(6m3 air/100m
2 areal tangkapan) dapat dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan air paska musim
hujan.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
40
Sedangkan implimentasi teknologi di wilayah pengguna air diarahkan pada tindakan :
(i) Meningkatkan efisiensi pemanfaatan air melalui pemilihan varietas komoditas tanaman pangan yang
toleran terhadap kekeringan, pengembangan pola pertanaman campuran pangan - legum serta rotasi
tanaman (Ma‘shum, dkk, 2002)
(ii) Merawat kesuburan tanah melalui konsep pengelolaan pertanian organik yang ramah lingkungan
dan sistem olah tanah konservasi. Teknologi budidaya yang memadukan konsep efisiensi
pemanfaatan air dan perawatan kesuburan tanah di lahan kering telah banyak tersedia. Hasil
penelitian Ma`shum, Lolita, dan Sukartono selama tiga tahun (1999-2002) di lahan kering
Pringgabaya mengungkapkan bahwa pengaturan rotasi tanaman (Crop sequence) tumpang sari
kedelai/jagung – komak dengan penerapan paket pemupukan kombinasi (anorganik + organik +
hayati) mampu meningkatkan kualitas kesuburan tanah dan produktivitas lahan (Lampiran 1, 2, 3,
dan 4)
Strategi pengelolaan lahan kering dari aspek ekonomi
Tinjauan aspek ekonomi dalam kaitannya dengan pengembangan lahan kering sebagai lahan
produktif meliputi: (i) manfaat finansial dan ekonomi bagi unit pelaku usaha, dan (ii) manfaat secara
luas bagi pengembangan ekonomi wilayah. Untuk itu diperlukan analisis kelayakan usaha ditinjau dari
sudut kepentingan pelaku usaha dan kelayakan dari sudut kepentingan sosial ekonomi secara keseluruhan.
Salah satu contohnya adalah introduksi teknologi budidaya konservasif di lahan kering Pringgabaya
melalui pengaturan pola tanam tumpang gilir legum- tanaman pangan disertai aplikasi kesimbangan
pupuk anorganik-organik dan hayati dan pemanenan air hujan (Ma`shum, dkk., 2000-2002). Dengan
demikian, strategi pengelolaan pertanian lahan kering tidak hanya sekedar berorientasi pada
peningkatan produktivitas lahan tetapi harus merupakan strategi jangka panjang untuk memperbaiki dan
meningkatkan kualitas tanah/lingkungan (pelestarian sumber daya alam berwawasan lingkungan) dan
keberlanjutan pendapatan petani (wawasan agribisnis). Kesinambungan pemanfaatan pertanian lahan
kering sebagai sumber ekonomi wilayah perlu didukung oleh pembangunan infrastruktur untuk
memperlancar aksesibilitas masyarakat terhadap pasar dan pusat-pusat perekonomian lainya.
Strategi pengelolaan lahan kering dari aspek sosial-budaya
(i). Aspek sosial-budaya yang menjadi prasyarat penting dalam pengembangan lahan kering adalah peran
aktif masyarakat. Terkait dengan aspek ini, strategi pengelolaan lahan kering yang seyoganya
diterapkan harus mampu menumbuh kembangkan partisipasi masyarakat dalam berbagai kegiatan
pertanian seperti. Dalam hal ini diperlukan pelibatan berbagai pihak, pemerintah, LSM, investor dan
tokoh informal masyarakat sebagai dinamisator. Bentuk-bentuk kegiatan yang berkaitan dengan
pembinaan SDM dapat dilakukan melalui penyuluhan, pelatihan, ataupun penyampaian informasi
lain yang dibutuhkan masyarakat. Dalam hubungannya dengan pencapian tujuan dari pengembangan
lahan kering, hendaknya kegiatan penyuluhan ìni, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi dan
pengawasan serta pengendalian.
(ii). Pelaksanaan, pemantauan, evaluasi dan pengawasan serta pengendalian.
(iii). Pembinaan dan pengembangan sumberdaya manusia di NTB untuk mendukung pengembangan
kelembagaan.
(iv). Penataan keterkaitan sosial dan ekonomi antara masyarakat daerah hulu dan hilir, antara masyarakat
perkotaan dan pedesaan.
(v). Penegakan hukum (law enforcement) yang mengatur pemanfaatan sumberdaya lahan.
(vi). Pola pengembangan pertanian lahan kering seharusnya teragenda di dalam RENSTRA Pemerintah
Daerah.
PENUTUP
Keberpalingan terhadap pengembangan pertanian lahan kering harus segera diwujudkan, seiring
dengan pergeseran paradigma pengembangan pertanian intensif di lahan basah sebagai penopang utama
kebutuhan pangan nasional. Mengingat rentannya lahan kering baik dari segi biofisik lahan dan sosial
ekonomi masyarakat, maka pengelolaan lahan kering yang tepat guna di Nusa Tenggara Barat harus
berazas wawasan lingkungan, yaitu dengan pemahami secara paripurna sifat dan ciri agroekosistem
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
41
wilayah serta karakteristik sosial-ekonomi dan budaya masyarakat wilayah sasaran. Hal ini penting
untuk menghantarkan capaian pengelolaan pertanian lahan kering yang tidak hanya sekedar
meningkatkan kualitas biofisik lahan dan produktivitasnya (kesinambungan sumberdaya alam) tetapi
juga harus berimplikasi terhadap kesinambungan peningkatan pendapatan dengan wawasan agribisnis
dan didukung oleh pembangunan infrastruktur ekonomi. Masukan teknologi budidaya dan konservasi
air, serta prioritas diversifikasi komoditi unggulan lahan kering harus sesuai dengan kondisi
agroekosistem wilayah, dapat diterima oleh masyarakat setempat dan memberikan nilai tambah bagi
pendapatan usaha tani. Pola pengembangan lahan kering secara terstruktur seyogyanya menjadi agenda
RENSTRA Pemerintah Daerah. Koordinasi harmonis antara sektor pelaku pembangunan pertanian lahan
kering dengan masyarakat petani dalam pembinaan SDM dan kelembagaan harus dikembangkan
dengan tetap mengacu pada aspek pemberdayaan masyarakat.
Ke depan pengelolaan pertanian lahan kering di NTB sedapat mungkin juga dikembangkan
sebagai salah satu asset wisata alam (Agro ecotourism) sehingga nilai tambah pertanian lahan kering
dapat meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Akhirnya semoga sekelumit konsep pemikiran ini
tidak sekedar angan-angan belaka tetapi merupakan komitmen yang perlu segera diwujudkan.
DAFTAR PUSTAKA
Justika, S.B, dkk., 1997. Konsepsi dan Teknologi Konservasi Air pada Lahan Berlereng. Dalam Sumberdaya Air dan Iklim dalam Mewujudkan Pertanian yang efisien. PERHIMPI
Ma`shum, M., 1990. Studi Tahana Bahan Organik Tanah di P. Lombok. Laporan Hasil Penelitian, Fakultas Pertanian
UNRAM
Ma`shum, M., Mahrup, Sukartono, dan Lollita, E.S. (1994). Perilaku Hara Kalium Akibat Pemberian Pupuk Kandang pada Pertanaman Padi Gogo Lahan Kering Lombok Utara. Laporan Penelitian ARMP, Fakultas
Pertanian UNRAM
Ma`shum, M., Lolita, E.S., Sukartono, dan Soemeinaboedhy, I.N., 2000. Teknik Pemanenan Aliran Permukaan di
lahan Kering Pringgabaya Lombok Timur. Journa Agroteksos, Vol 11-3, 2000.
Ma`shum, M., Lolita, E.S., Sukartono, dan Kunto, K., 2002. Optimasi Pemanfaatan Sumberdaya Lahan Kering untuk
Pengembangan Budidaya Kedelai dan Jagung Melalui Pendekatan Biologi dan Pemanenan Air
Hujan Menuju Pertanian Perkelanjutan. Laporan Penelitian RUT VIII.2. Tahun 2002.
Sukartono, Ma`shum, M., dan Lolita, E.S., 2001. Fluktuasi lengas tanah pada system pertanaman kedelai-jagung dengan menerapkan pupuk kombinasi (organic + anorganik + hayati) di lahan kering Pringgabaya
Lombok Timur. Makalah Seminar Nasional Pengembangan Teknologi Pertanian . Mataram, 30-31
Oktober 2001.
Tarudi, H.M., Sukartono, Suwardji, dan Kusnarta, I.G.M., 1989. Kemantapan Agregat Tanah Lahan Kering di Pulau Lombok. Laporan Hasil Penelitian, Matching Grand-DIKTI, 1989. Fakultas Pertanian UNRAM
Utomo, M., 2000. Teknologi Olah Tanah Konservasi sebagai Pilar Pertanian Berkelanjutan . Pemberdayaan Petani ,
Sebuah Agenda Penguatan Masyarakat Warga DPP HKTI.
Yasin, I., 2000. Aplikasi Prakiraan Curah Hujan Musiman untuk Menentukan Strategi Tanam dan Pengelolaan Sumberdaya Air di Pulau Lombok. Makalah pada Workshop: Capturing Benefit of Seasonal
Climate Forcasting in Agricultural management. Mataram, 9 Maret 2000.
DISKUSI
Pertanyaan :
1. Lahan Kering di NTB cukup luas bagaimana cara pengembangannya?
2. Lahan kering banyak di Ponpes, sebaiknya sering didatangi pakar
3. Adakah usaha memberdayakan masyarakat dalam memperbaiki kondisi lahan kering.
4. Konservasi air,sejauh mana bisa diterapkan pada tanaman lain seperti buah-buahan karena lebih
untung dibanding palawija seperti yang dilakukan.
5. Berapa lama air yang ditangkap bisa digunakan untuk tanaman tertentu
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
42
Tanggapan :
1. Sudah kami rencanakan untuk kerjasama dengan pihak pondok pesantren (di Aikmel),seperti pondok
pesantren ―At Tohiriah‖.
2. Kami telah mengundang petani dari Kawo untuk melihat teknologi yang sedang dikembangkan.
3. Sangat mungkin menanam Multiple Crop, dalam waktu dekat kami mencoba tanaman yang memiliki
residu rendah.
4. Setiap tanaman memiliki kebutuhan air yang berbeda, problem yang ada adalah kesediaan air.
5. Kearifan lokal telah dimasukkan dalam kegiatan ini.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
43
PENGEMBANGAN PROGRAM PENINGKATAN PRODUKTIVITAS PADI TERPADU
(P3T) UNTUK MENINGKATAN PENDAPATAN PETANI
DI NUSA TENGGARA BARAT
Mashur, Dwi Praptomo, L.Wirajaswadi dan A. Muzani
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat
Jl. Raya Peninjauan Narmada Po. Box 1017 Mataram
LATAR BELAKANG
Swasembada pangan khususnya beras yang telah dicapai Indonesia pada tahun 1984, sekarang
sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Indonesia kini telah menjadi negara pengimpor beras yang
potensial. Produksi padi nasional yang tidak dapat dipertahankan ini dikarenakan pertumbuhan produksi
yang semakin menurun yang tidak dapat memenuhi kebutuhan penduduk yang justeru semakin
meningkat.
Beberapa faktor lain yang juga menjadi kendala dalam peningkatan produksi padi nasional
adalah: (1) dicabutnya subsidi sarana produksi menyebabkan semakin meningkatnya biaya produksi dan
membatasi penggunaan sarana produksi seperti benih bermutu dan pupuk, (2) dari segi biofisik telah
terjadi perubahan fisik-kimia tanah yang disebabkan oleh eksploitasi berlebihan akibat kegiatan
intensifikasi secara terus menerus dan (3) setelah periode revolusi hijau belum ada terobosan teknologi,
antara lain karena terbatasnya potensi genetik varitas padi yang ditanam (BPTP NTB, 2002).
Upaya peningkatan produktivitas padi, efisiensi usahatani dan peningkatan pendapatan perlu kita
lakukan secara sinergis karena peningkatan produksi tidak selalu menguntungkan petani apabila tidak
diikuti dengan efisiensi penggunaan biaya produksi. Dewasa ini, kecenderungan biaya sarana produksi
seperti pupuk, benih, obat-obatan dan ongkos tenaga kerja terus meningkat tidak sebanding dengan
peningkatan produksi dan harga, sehingga pendapatan petani juga tidak selalu meningkat. Di samping itu,
apabila kita memperhatikan kondisi lahan sawah irigasi terutama di sentra-sentra produksi maka
berdasarkan hasil penelitian ternyata berada dalam kondisi “sakit” karena hampir 90% lahan sawah
irigasi tersebut kandungan bahan organiknya kurang dari 1%. Dampak yang ditimbulkan adalah terjadi
penurunan produktivitas. Indikasi ini dapat kita lihat bahwa dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini
produktivitas padi di NTB menurun rata-rata 16,25kg/ha (BPS NTB, 1999). Oleh karena itu, upaya
peningkatan produktivitas padi, peningkatan efisiensi dan peningkatan pendapatan petani perlu dilakukan
guna mempertahankan predikat NTB sebagai salah satu propinsi penghasil beras nasional dan sekaligus
mempertahankan swasembada beras yang telah kita raih selama ini.
Propinsi Nusa Tenggara Barat juga dikenal sebagai gudang ternak karena mampu memasok
ternak ke propinsi lainnya terutama Jakarta, Jawa Barat dan Kalimantan Barat. Pemeliharaan ternak sapi
oleh masyarakat masih merupakan usaha sampingan, tabungan keluarga yang sewaktu-waktu dapat dijual
serta dipergunakan sebagai tenaga kerja. Pemotongan ternak (sapi) di NTB tahun 1996 tercatat sebanyak
30.587 ekor dan tahun 2000 sebanyak 40.723 ekor atau meningkat 33%, dilain pihak populasi sapi
menurun dari 450.142 ekor pada tahun 1996 menjadi 376.526 ekor pada tahun 2000 atau menurun
16,35%. Penurunan tersebut terjadi karena tingkat kelahirannya yang rendah di lain pihak pemotongan
dan pengeluaran ternak terus meningkat. Untuk meningkatkan produktivitas ternak diperlukan
ketersediaan pakan yang cukup, baik kualitas maupun kuantitasnya di samping faktor perbaikan mutu
genetis, perkandangan dan manajemen reproduksi. Potensi pakan yang cukup besar pada lahan irigasi
yang pemanfaatanya belum optimal adalah jerami padi.
Apabila dua persoalan pokok tersebut yaitu penurunan produktivitas padi di satu pihak dan dan
penurunan populasi ternak sapi di pihak lain di NTB ditangani secara terpadu akan dapat meningkatkan
efisiensi produksi yang pada akhirnya meningkatkan pendapatan petani. Sebagai implementasi dari upaya
tersebut Departemen Pertanian mulai tahun 2002 mengembangkan program peningkatan produktivitas
padi terpadu (P3T) pada 14 propinsi di Indonedia termasuk di NTB. Kegiatan P3T di Propinsi NTB
dilaksanakan di dua kabupaten yaitu Kabupaten Lombok Barat dan Kabupaten Bima. Di Kabupaten
Lombok Barat, lokasi yang dipilih adalah Desa Jenggala, Kecamatan Tanjung, sedangkan di Kabupaten
Bima, di Desa Rade Kecamatan Madapangga. Petani kooperator di Desa Jenggala sebanyak 197 orang
berasal dari kelompoktani Langgemsari, Kleang I, Jebak Jenggala dan Seruni dengan luas areal mencapai
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
44
100 ha. Petani kooperator di Desa Rade berjumlah 272 orang berasal dari kelompoktani Bolo Utama,
Kelate Nggapi, Tani Utama dan Cinta Manis dengan hamparan sawah seluas 100 ha (BPTP NTB, 2002).
Program P3T pada dasarnya mencakup tiga kegiatan pokok, yaitu: (1) Pengelolaan Tanaman
Terpadu (PTT), (2) Sistem Integrasi Padi-Ternak (SIPT) dan (3) penguatan kelembagaan tani melalui
penguatan Kelompok Usaha Agribisnis Terpadu (KUAT). Tujuan utama kegiatan Pengelolaan Tanaman
Terpadu (PTT) adalah: (1) meningkatkan produktivitas padi minimal 0,5 ton/ha, (2) memperbaiki struktur
tanah dengan penggunaan pupuk organik, (3) meningkatkan pendapatan petani melalui efisiensi
penggunaan input, (4) memperkuat kelembagaan tani, khususnya dalam aspek agribisnis dan (5)
mempercepat diseminasi teknologi inovatif.
PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (PTT)
Kegiatan PTT di NTB dimulai pada tahun 2001 dilaksanakan sebagai salah satu bentuk
penelitian dan pengkajian (litkaji) oleh BPTP NTB yang melibatkan para peneliti dan penyuluh BPTP
NTB dan peneliti dari Balai Penelitian Padi (Balitpa) Sukamandi dan petani sebagai koperator. Kegiatan
ini dimulai dengan melaksanakan PRA (Participatory Rural Appraisal), yaitu suatu metode penelitian
berdasarkan pendekatan partisipatif, dengan menggali permasalahan yang dihadapi petani secara
mendalam dan mencoba mencarikan jalan keluarnya secara bersama-sama dengan petani.
Teknologi yang diterapkan pada kajian PTT disesuaikan dengan rakitan teknologi yang
dirumuskan bersama-sama dengan petani dan PPL pada saat PRA. Paket teknologi didasarkan kepada
ketersediaan sumberdaya, permasalahan yang dihadapi dan kebiasaan petani. Komponen teknologi yang
dianggap baru adalah umur bibit dan jumlah bibit per rumpun. Deskripsi teknologi PTT dibanding
teknologi petani di sajikan pada Tabel 1.
Paling tidak ada lima komponen teknologi yang secara terpadu dapat diterapkan untuk mengatasi
masalah tersebut, yaitu penggunaan benih unggul 15 kg/ha, bibit ditanam umur muda (15 hari),
penggunaan pupuk organik (kompos), penggunaan bagan warna daun (BWD), penggunaan pupuk P dan
K didasarkan pada status hara dan penggunaan air secara intermitten. Setiap komponen teknologi
mempunyai keunggulan masing-masing. Selama ini, petani di NTB menggunakan benih padi antara 50
kg/ha (di Desa Jenggala Lombok Barat) hingga 120 kg/ha (di Desa Rade Bima).
Tabel 1. Teknologi PTT vs teknologi petani di Desa Jenggala, Lobar dan Desa Rade, Bima. MK. 2001.
Variabel Teknologi
PTT
Teknologi Petani
Jenggala Rade
Pengolahan tanah Sempurna Sempurna Sempurna
Mutu benih Sertifikat Sertifikat Tidak sertifikat
Kebutuhan benih 15 kg/ha 60 kg/ha 100 – 120 kg/ha
Umur bibit 15 hari 25 hari 25 – 30 hari
Bibit/rumpun 1 batang 5 – 7 batang 10 – 15 batang
Jarak tanam 20 x 20 cm Tdk teratur Tdk teratur
Pupuk :
Urea
SP-36 (analisa tanah)
Organik
BWD (250 kg/ha)
75 kg/ha 3 t/ha
400 – 500 kg/ha
100 kg/ha 0
300 kg/ha
50 – 100 kg/ha 0
Pengendalian gulma Manual Manual Herbisida/manual
Pengendalian H/P PHT Tanpa acuan Tanpa acuan
Sumber: L. Wirajaswadi, dkk. (2002)
Dengan teknologi tanam bibit satu-satu dapat mengurangi jumlah benih yang dibutuhkan antara
35-105 kg/ha. Apabila rata-rata penggunaan benih padi 50 kg/ha (standar terendah) maka dengan luas
lahan sawah irigasi di NTB 150.000 ha yang dapat ditanami padi dua kali setahun maka luas tanam setiap
tahun 300.000 ha. Dengan harga benih padi unggul Rp.3000/kg maka jumlah biaya produksi yang dapat
dihemat untuk membeli benih sebanyak Rp.31,5 - 94,5 M,-per tahun. Biasanya petani menanam benih
umur 21-30 hari, tetapi dengan teknologi tanam bibit muda umur 15 hari dapat memberi manfaat
mempercepat tumbuhnya anakan dan waktu panen. Jumlah anakan produktif dengan teknologi ini rata-
rata 18 batang per rumpun bergantung varitas padi yang ditanam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
tidak terdapat perbedaan yang nyata terhadap jumlah anakan produktif antara umur bibit 15 hari dengan
umur 21 hari. Di samping itu, penggunaan bahan organik (kompos) dapat meningkatkan efisiensi
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
45
penggunaan pupuk kimia (N, P dan K) hingga ½ dosis rekomendasi atau dapat mengurangi biaya untuk
membeli pupuk kimia Rp.475.000,-/ha, karena kompos tidak hanya dapat memperbaiki sifat fisik, kimia
dan biologi tanah tetapi juga dapat mensubsitusi hara bagi tanaman. Dengan menggunakan bagan warna
daun (BWD) petani dapat mengurangi jumlah pupuk Urea yang digunakan hingga 30-50% karena
penggunaan pupuk N akan disesuai dengan kebutuhan tanaman (Jaswadi, dkk., 2002). Penggunaan BWD
memberikan petunjuk takaran pupuk N yang akan diberikan kepada tanaman, artinya apabila BWD
menunjukkan warna daun padi sudah cukup pupuk N maka tidak perlu diberikan pupuk Urea. Selain itu,
penggunaan pupuk P dan K yang efisien juga didasarkan pada status haranya. Bila status hara P dan K
tinggi maka tidak perlu lagi diberikan pupuk P dan K atau dosis pemupukannya dikurangi. Di samping
teknologi produksi, komponen teknologi lain yang tak kalah pentingnya adalah sistem pengairan
intermitten, yaitu pemberian air pada tanaman padi secara terputus-putus artinya tanaman diberikan air
sesuai dengan kebutuhannya dengan memberikan air secara periodik yang diselingi dengan pengeringan.
Teknologi ini sangat sesuai dalam rangka efisiensi penggunaan air.
Produksi padi dengan teknologi tanam bibit satu-satu tidak berbeda nyata dibandingkan dengan
cara tanam 2, 3, 4 atau 5 bibit tanaman per lobang tanam. Hasil riel yang diperoleh dengan menerapkan
teknologi tanam bibit satu-satu pada MH.2002 di Desa Jenggala Kecamatan Tanjung Kabupaten Lombok
Barat rata-rata 7,1 ton/ha sedangkan dengan teknologi petani 5 ton/ha. Pendapatan bersih yang diperoleh
petani dengan teknologi ini sebesar Rp. 5.561.000,/ha/musim, sedangkan petani yang tidak mengunakan
teknologi ini (pembanding) mendapat keuntungan bersih Rp. 4.608.000,-/ha/musim. Dengan keberhasilan
teknologi ini sekarang telah diikuti oleh petani lainnya di Kabupaten Bima (Kecamatan Madapangga),
Kabupaten Lombok Tengah (Desa Sepakek) dan Kabupaten Lombok Barat (Kecamatan Tanjung) dengan
areal yang cukup luas. Varietas yang digunakan hendaknya tahan tungro (Bondoyudo dan Kalimas)
bersertifikat, minimal label biru dengan takaran 15 kg/ha. Pergiliran benih dilakukan sebaiknya setiap
musim tanam. Perlakuan benih dengan air abu (Jaswadi dkk., 2002).
Pengolahan tanah dilakukan sebaik mungkin (pengolahan sempurna). Persemaian dibuatkan
seluas 4% dari rencana tanam. Untuk mendapatkan bibit yang sehat, persemaian dipupuk dengan Urea
dan SP 36 masing-masing 10 g/m2, pada saat berumur 5 hari. Tidak dianjurkan membuat persemaian
dekat dengan lampu untuk menghindari serangan virus tungro, dan berjarak minimal 250 m dari sumber
inokulum. Manajemen persemaian pada luasan 100 ha, dianjurkan secara kolektif tiap kelompok untuk
lahan seluas 5 ha. Waktu persemaian antara kelompok perlu diatur untuk tidak melakukan waktu
persemaian secara serentak untuk menjaga kekurangan regu tanam, dan menjamin waktu tanam serempak
dalam suatu hamparan .
Untuk mendapatkan populasi tanaman optimal dan memudahkan pemeliharaan, penanaman
dengan tandur jajar 20 x 20 cm. Bibit ditanam pada umur 15 HSS, satu bibit setiap rumpun. Hal ini
dimaksudkan agar tanaman dapat memperlihatkan potensi genetiknya. Bibit muda akan tumbuh dan
berkembang lebih baik, sistem perakaran lebih intensif, anakan lebih banyak, dan lebih mampu
beradaptasi dengan lingkungan dibandingkan dengan bibit tua. Setelah tanam air petakan dipertahankan
dalam kondisi macak-macak (BPTP NTB, 2002).
Teknologi pemupukan diintroduksikan penggunaan pupuk organik berupa kompos 2 t/ha
diberikan sebelum pengolahan tanah kedua pada berbagai musim tanam dan varietas padi seperti
ditampilkan pada Tabel 2. Pemupukan nitrogen (N) berupa pupuk dasar dengan takaran 23 kg N/ha (50
kg Urea/ha) pada umur 5 HST. Pupuk N selanjutnya diberikan menurut hasil pembacaan Bagan Warna
Daun (BWD) pada titik kritis 4. Cara penggunaan bagan warna daun (BWD). Pemupukan P berdasarkan
hasil analisa status hara tanah. Pengendalian gulma dilakukan secara terpadu, demikian juga pengendalian
hama dan penyakit. Pengaturan air dilakukan secara terputus (intermitten).
Tabel 2. Produktivitas padi pada berbagai musim tanam dan varietas padi dengan teknologi PTT.
MT Varietas Kompos Tanpa Kompos
MK I 2001 IR 64 5,90 ton/ha 5,20 ton/ha
MH 2001 / 2002 Ciherang (Tanjung) 7,14 ton/ha 5.56 ton/ha
MK I 2002 Widas (Sepakek) 7,24 ton/ha 6,06 ton/ha
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
46
SISTEM INTEGRASI PADI TERNAK (SIPT)
Penerapan teknologi sistem integrasi padi ternak mencakup beberapa kegiatannya antara lain: (1)
penggunaan kandang kolektif, (2) sinkronisasi birahi, (3) pembuatan jerami fermentasi, (4) pemberian
jerami fermentasi pada ternak sapi, (5). pengolahan limbah peternakan (kotoran sapi) menjadi kompos,
(6) manajemen perkawinan, dan (7) pemanfaatan kompos untuk tanaman.
Hasil pengkajian menunjukkan bahwa: (1) introduksi kandang kolektif dapat mencegah
pencurian ternak sehingga pemilikan ternak meningkat, memudahkan dalam pengumpulan kotoran ternak
menjadi kompos sehingga kesehatan lingkungan dan masyarakat semakin meningkat, mengurangi
penggunaan pupuk kimia karena penggunaan kompos dan sebagian kompos dijual untuk meningkatkan
pendapatan petani, (2) sinkronisasi birahi mengunakan hormon Medroxy Progesteron Acetat (MPA)
dengan dosis 350 mg dan 450 mg memberikan respons dan tingkat birahi yang tinggi (100%) dengan
tingkat kebuntingan 33,3%, (3) pengolahan jerami menjadi jerami fermentasi meningkatkan kadar protein
kasar menjadi 11,25%, (4) pemberian jerami fermentasi memberikan hasil terbaik dengan peningkatan
bobot badan rata-rata 194,87 g/ekor/hari, (5) kompos yang sudah diproduksi oleh kelompok tani sampai
saat ini sebanyak 100 ton dengan rincian 60 ton telah dijual di wilayah NTB dengan harga Rp. 300/kg dan
40 ton dipergunakan sendiri oleh kelompok, (6) pemanfaatan kompos pada tanaman (padi dan kacang
tanah) dapat meningkatkan produktivitas dan mengurangi biaya pemupukandan (7) dengan manajemen
perkawinan yang baik akan menghasilkan anak setiap tahun (Gambar 1).
Manajemen pembiakan yaitu pengaturan saat musim kawin, beranak dan penyapihan disesuaikan
dengan kondisi pakan dan saat tenaga kerja ternak dibutuhkan untuk mengolah tanah, sehingga produksi
ternak dapat optimal. Selama ini, ternak sapi yang berada di lokasi pengkajian (Desa Sepakek dan Desa
Kelebuh) proses pembiakan terjadi secara alami. Suatu saat terjadi kekurangan pakan terutama pada
musim kemarau. Masa kekurangan pakan ini berlangsung selama sekitar 3-4 bulan yaitu pada bulan Juli-
Oktober. Dalam kondisi demikian, bobot badan induk menurun dan tingkat kematian anak meningkat.
Untuk mengatasi kondisi kekurangan pakan ini, dapat ditempuh dua cara yaitu: (1) pengembangan
hijauan pakan ternak unggul dan (2) manajemen pembiakan. Cara pertama memerlukan waktu dan biaya
yang cukup besar sehingga pilihan pada cara kedua. Dengan menerapkan manajemen pembiakan dengan
baik maka akan diperoleh manfaat: (1) musim melahirkan saat pakan cukup tersedia sehingga tingkat
kematian anak dapat dikurangi dan pertumbuhan tinggi dan (2) manajemen pemeliharaan lebih mudah
karena kondisi ternak seragam, sehingga program pemasaran juga akan lebih terencana.
Keterangan :
Dikawinkan bulan Juni – Desember
Pedet lahir pada Maret – Agustus
Sapih Agustus – Nopember
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
47
KELOMPOK USAHA AGRIBISNIS TERPADU (KUAT)
Aspek lain yang dikembangkan dalam P3T adalah penguatan kelembagaan tani dengan
membangun kelembagaan KUAT (Kelompok Usaha Agribisnis Terpadu). Kelembagaan KUAT ini
diharapkan sebagai pusat pengelolaan usahatani, kelompok dan rumahtangga tani di lokasi P3T yang
nantinya akan dikembangkan lebih luas lagi. Dalam kelembagaan KUAT ini, disiapkan kredit usahatani
berupa saprodi untuk program PTT, kredit ternak sapi dan kandang kolektif untuk program SIPT, dan
kredit KUM untuk ibu tani.
Untuk jangka panjang kelembagaan KUAT ini diharapkan menjadi kelembagaan yang dapat
mengelola usahatani secara komersial dan dapat dimanfaatkan oleh anggotanya secara optimal. Dari
aspek pengembangan kelembagaan, para ibu tani telah diberikan fasilitas kredit pola KUM (Karya Usaha
Mandiri), dengan plafon sekitar Rp 200.000,- s/d Rp 250.000,- per orang selama enam bulan. Bunga
berkisar antara 1,5-2% per bulan. Kelembagaan KUAT selama ini belum tumbuh baik, karena masih
dikelola oleh petugas lapangan (KCD atau PPL). Diharapkan untuk masa mendatang, kelembagaan
KUAT dapat berkembang mandiri dan dikelola oleh petani sendiri dan tumbuh menjadi bank-bank petani
di desa.
KESIMPULAN
Berdasarkan kajian yang selama ini telah dilakukan oleh BPTP NTB maka pengembangan
program peningkatan produktivitas padi terpadu (P3T) apabila diterapkan dengan baik berdasarkan
petunjuk teknis dapat disimpulkan:
1. PTT tidak hanya dapat meningkatkan produktivitas padi 1-1,5 ton/ha melebihi target yang
ditetapkan 0,5 t/ha, tetapi juga meningkatkan efisiensi pengggunaan sarana produksi (benih dan
pupuk) dan sekaligus meningkatkan pendapatan petani.
2. Bagi petani yang mengikuti program ISPT tidak hanya dapat memperoleh tambahan pendapatan
dari hasil ternaknya tetapi juga dapat menghasilkan kompos yang dapat digunakan langsung untuk
meningkatkan kesuburan lahan dan dapat dijual sebagai sumber tambahan pendapatan baru.
3. Keberadaan KUM/KUAT selain dapat membantu petani dalam penyediaan sarana produksi tetapi
juga dapat menyediakan modal usaha bagi ibu-ibu tani dalam mendukung pengembangan
usahatani di pedesaan.
TAR PUSTAKA
BPS NTB.1999. Nusa Tenggara Barat dalam Angka. 1998.
BPTP NTB. 2002. Peningkatan Produktivitas Padi Terpadu (P3T) Propinsi NTB. Petunjuk Teknis.
Wirajaswadi L, Awaludin H, dan Mashur. 2002. Pengelolaan Tanaman Terpadu Budidaya Padi Sawah di Nusa Tenggara Barat. Makalah workshop PTT di Sukamandi Jawa Barat.
DISKUSI
Pertanyaan :
1. Invetarisasi teknologi yang ada di BPTP apa saja?
2. Kalau teknologi PTT dikembangkan diharapkan paket teknologi yang akan disebarkan harus
dikoordinasikan dengan petugas lapangan sehingga saat akan dikembangkan dilokasi lain petugas
lapangan sudah mengetahui.
3. Bagaimana penerapan teknologinya.
4. Dalam sistem integrasi, berapa persen pakan itu bisa dipenuhi.
5. Beberapa ekor sapi yang bisa dipelihara dalam luasan tertentu.
Tanggapan:
1. Kami memiliki 112 paket teknologi, 20 diantaranya telah direkomendasikan.
2. Proses adopsi teknologi tidaklah mudah, harapannya dinas sebagai stake holder dapat bekerja sama
dalam rangka proses adopsi teknologi.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
48
3. Mengenai BWD sebelum disebarkan kemasyarakat telah disebarkan terlebih dahulu pada para
petugas lapangan.
4. Mengenai pemberian jerami yang telah dicoba adalah 45% jerami + 50% rumput lapangan.
5. Dalam penelitian kami menggunakan pendekatan secara partisipatif, yang melakukan, mengevaluasi
dan menilai adalah petani sendiri.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
49
OPTIMALISASI PEMANFAATAN LAHAN INTERSEKTORAL
DAN DALAM SEKTOR PERTANIAN
I Wayan Rusastra, Saptana dan Supriyati
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor
ABSTRAK
Penataan penggunaan lahan perlu dilakukan secara integratif dengan sasaran sinergi pembangunan
intersektoral, namun tetap memberikan penekanan pada urgensi pembangunan pertanian. Paper ini secara deskriptif mengungkap konsepsi penataan lahan, keragaan struktur dan konversi lahan pertanian, dan perencanaan strategis
penataan lahan dalam sektor pertanian. Secara normatif optimalisasi penataan lahan intersektoral dan dalam sektor
pertanian perlu dibangun berdasarkan pada tata ruang dan kelas kemampuan lahan, yang selanjutnya difasilitasi
dengan pengembangan infrastruktur secara berencana. Permasalahan faktual penataan lahan saat ini adalah konversi lahan pertanian produktif yang berdampak negatif terhadap ketersediaan pangan dan marginalisasi petani paska
konversi. Dalam penanganannya, kebijakan antisipatif yang perlu dipertimbangkan diantaranya adalah: (a)
Pengembangan SDM petani dalam pengelolaan dana hasil konversi dan aksesibilitas terhadap kesempatan kerja baru;
(b) Peningkatan kapasitas kemampuan lahan dan efektivitas sarana dan prasarana irigasi yang ada; (c) Percepatan pencetakan sawah dan peningkatan kemampuan dan perluasan sistim irigasi secara berjenjang dan partisipatif; dan (d)
Pelaksanaan penegakan hukum (law enforcement) melalui penetapan, pemantapan, dan pengamanan sentra produksi
pertanian strategis. Optimalisasi penataan sektor pertanian perlu mempertimbangkan beberapa faktor, yaitu pemetaan
AEZ sebagai basis perencanaan, penciptaan teknologi introduksi spesifik lokasi, program dan kebijakan pendukung pengembangan, ketersediaan pendanaan dan mobilitas tenaga kerja pertanian, dan ketersediaan pasar input-output
pertanian serta kebutuhan konsumsi masyarakat. Dalam operasionalnya perlu difasilitasi oleh program konsolidasi
lahan melalui pengembangan kelembagaan kemitraan agribisnis.
PENDAHULUAN
Penataan penggunaan lahan antar sektor dan dalam sektor pertanian perlu dilakukan secara
integratif dalam rangka pencapaian sasaran pembangunan ekonomi wilayah dengan tetap memberikan
prioritas pada pembangunan pertanian. Permasalahan paling komplek saat ini adalah penyimpangan
pemanfaatan lahan sesuai dengan acuan RUTR yang diindikasikan oleh alih fungsi lahan pertanian
produktif. Kompleksitas konversi lahan mencakup aspek struktur fisik dan penguasaan lahan, dampak
ekonomi dan kelembagaan, dan aspek penegakan hukum.
Permasalahan mendasar penataan lahan di dalam sektor pertanian adalah relatif masih
terbatasnya hasil penelitian karakterisasi dan pemetaan potensi lahan sebagai basis perencanaan
pembangunan pertanian. Pemetaan AEZ juga perlu didukung oleh penyediaan teknologi introduksi
spesifik lokasi untuk berbagai jenis komoditas unggulan yang difasilitasi oleh program serta faktor
pendukung pengembangannya. Keberhasilan realisasinya di lapangan sangat ditentukan oleh koordinasi
dan konsolidasi lembaga riset daerah dan dinas teknis terkait dalam pengembangannya. Pada tingkat
wilayah (zonasi pengembangan) dan rumah tangga tani, disamping kebutuhan akan teknologi spesifik
lokasi sebagai basis perumusan aktivitas usahatani dengan potensi teknologi yang lebih tinggi, juga
diperlukan identifikasi kendala sumberdaya dan subyektif yang dihadapi. Semua elemen tersebut
dibutuhkan dalam proses realokasi sumberdaya (khususnya lahan) dalam rangka maksimisasi
pengembangan ekonomi wilayah dan pendapatan petani.
Berdasarkan pada latar belakang tersebut di atas, maka tujuan penelitian paper ini adalah: (1)
Mengungkap konsepsi penataan lahan inter sektoral dan dalam sektor pertanian; (2) Membahas keragaan
struktur penguasaan lahan dan konversi lahan pertanian serta kebijakan antisipatif dalam
penanggulangannya; (3) Mengungkap perencanaan strategis penataan lahan dalam sektor pertanian pada
tingkat wilayah dan rumah tangga petani dengan sasaran pengembangan ekonomi wilayah dan
kesejahteraan petani.
KONSEPSI OPTIMALISASI PENATAAN LAHAN
Lahan bersifat langka sehingga harus dimanfaatkan secara efisien dan optimal. Lahan memiliki
peranan penting dan semua aktivitas ekonomi membutuhkan lahan, walaupun dengan derajat kebutuhan
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
50
dari segi luas secara relatif berbeda. Dari berbagai jenis lahan yang menyebar secara spasial dengan
kwalitas yang beragam perlu dialokasikan secara optimal dalam mendukung kegiatan ekonomi nasional
dengan sasaran memberikan manfaat yang maksimal.
Dalam konteks ini perlu dipertimbangkan dua cakupan pokok, yaitu optimalisasi pemanfaatan
lahan intersektoral dan penataan dalam sektor pertanian sendiri. Kebutuhan lahan di luar sektor pertanian
(non-land based industries) mempunyai kharakteristik tersendiri dilihat dari segi kwalitas lahan, lokasi,
dan dukungan infrastrukturnya. Kebutuhan lahan untuk sektor pertanian juga relatif bervariasi antar sub-
sektor (tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, dan perikanan) yang pada dasarnya juga
membutuhkan kwalifikasi lahan yang berbeda dari segi kwalitas, pewilayahan, dan dukungan
infrastruktur.
Dengan demikian dalam perancangan optimalisasi penataan lahan hal yang paling utama dan
terpenting (the first and foremost) adalah pengklasifikasian lahan menurut jenis dan kwalitas dikaitkan
dengan kepentingan dan penggunaannya menurut sektor dan subsektor secara detail dan seksama.
Optimalisasi pemanfaatan dengan sasaran maksimisasi manfaat ekonomi harus didasarkan pada
klasifikasi lahan secara rinci dengan memperhatikan sejumlah aktivitas ekonomi (pertanian dan non
pertanian). Kesemuanya ini dapat diwujudkan dalam bentuk rumusan Rencana Umum Tata Ruang
pemanfaatan/penataan lahan. Infrastruktur pendukung secara normatif tentunya harus dibangun
berdasarkan pada perencanaan optimalisasi penataan lahan menurut kepentingan intersektoral dan dalam
sektor pertanian sendiri.
PENATAAN LAHAN INTERSEKTORAL
Konsepsi optimalisasi penataan lahan adalah bersifat normatif atau bahkan bersifat idealis
normatif. Konsepsi normatif ini hanya bisa diaplikasikan pada wilayah pengembangan baru,dan bukan
pada kenyataan empirik pada suatu wilayah yang sudah dikembangkan. Dengan demikian bahasan
tentang optimalisasi penataan lahan secara optimal serta faktor-faktor yang mempengaruhinya
membutuhkan pembuktian terbalik. Dalam kenyataan empirik penataan/pemanfaatan lahan antar sektor
dapat dilakukan melalui pembahasan isu sentral tentang aspek ini dan faktor determinan terkait. Isu
sentral tersebut adalah masalah konversi lahan pertanian. Melalui pembahasan masalah konversi lahan
pertanian dan aspek terkait diharapkan dapat dirumuskan antisipasi penanggulangannya yang pada
hakekatnya diarahkan untuk pembangunan sektor pertanian, tanpa mengabaikan penataan lahan secara
optimal untuk sektor pembangunan lainnya.
Bahasan konversi lahan pertanian akan menampilkan tiga aspek, yaitu: (1) Keragaan makro dan
mikro konversi lahan; (2) Struktur pemilikan lahan dan kesejahteraan petani; dan (3) Dampak konversi
dan antisipasi penanggulangannya. Keragaan makro konversi lahan menampilkan kondisi konversi lahan
pertanian selama dua periode Sensus Pertanian terakhir (1983-1993), sedangkan aspek mikro merupakan
review studi empirik yang dilakukan beberapa pihak. Struktur pemilikan lahan dan kesejahteraan petani
memiliki keterkaitan yang sangat kuat, dan mempunyai korelasi kuat terhadap kemungkinan konversi
lahan kaitannya dengan ketersediaan peluang kesempatan kerja di luar sektor pertanian. Dampak
konversi memiliki cakupan yang luas yang diperoleh melalui review berbagai studi. Dari ketiga aspek
bahasan ini diharapkan dapat ditarik antisipasi penanggulangan dampak dan kebijakan strategis dengan
sasaran optimalisasi pemanfaatan lahan, tanpa harus mengorbankan kepentingan pemanfaatan lahan bagi
pembangunan sektor pertanian.
1. Keragaan Makro dan Mikro Konversi Lahan
Dalam periode 10 tahun terakhir (1983-1993), total konversi lahan pertanian di Indonesia
mencapai 1,28 juta hektar, dimana 79,3 persen atau seluas 1,02 juta hektar terjadi di Jawa (Rusastra dan
Budhi, 1997). Di luar Jawa daerah yang mengalami konversi lahan yang cukup besar adalah Lampung,
Jambi, dan Bali/Nusa Tenggara, masing-masing seluas 642 ribu hektar, 415 ribu hektar, dan 148 ribu
hektar. Konversi lahan pertanian menjadi isu sentral karena sebagian besar terjadi di Jawa dan
memanfaatkan lahan pertanian subur dengan tingkat produktivitas yang tinggi. Dengan demikian
konversi lahan yang besar di Jawa akan membawa dampak yang serius terhadap persediaan pangan
nasional.
Dari total konversi lahan pertanian secara nasional, 68,3 persen adalah lahan sawah. Hasil kajian
empirik menunjukkan bahwa di Jawa Timur dari luasan total konversi lahan sebesar 38.100 hektar (1989-
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
51
1991), sekitar 70,80 persen adalah sawah beririgasi dan hanya 29,20 persen sawah tadah hujan
(Sumaryanto, et.al., 1995). Dilihat dari penggunaannya, lebih dari 55 persen lahan sawah yang
mengalami konversi di Jawa beralih fungsi menjadi pemukiman, kawasan industri, dan prasarana
ekonomi lainnya. Kawasan Pantura-Jawa sebagai lumbung beras nasional ternyata sangat rawan terhadap
konversi lahan kepenggunaan non-pertanian. Nampak bahwa konversi lahan tidak sejalan dengan
perencanaan tata ruang dan nampaknya bukan pilihan yang tepat dan efisien dari aspek ekonomi dan
lingkungan dalam jangka panjang.
Pengamatan empiris di lapangan menunjukkan bahwa konversi lahan untuk tujuan pemukiman
dan prasarana sosial ekonomi, khususnya di wilayah urban tidak dapat dihindari, baik di Jawa maupun di
luar Jawa. Perluasan pemukiman yang dilakukan secara individual di wilayah urban cenderung melebar
melebihi batas aturan baku yang ditetapkan Pemerintah Daerah dalam RUTR (Rencana Umum Tata
Ruang). Konversi lahan pertanian menjadi kawasan pemukiman memberi konsekwensi besar terhadap
kemungkinan meluasnya alih fungsi lahan di kemudian hari. Hal ini disebabkan oleh adanya gangguan
hama tanaman, kurangnya penyinaran, terganggunya tata air persawahan, dan gangguan lingkungan
lainnya yang tidak memungkinkan lahan pertanian yang masih tersisa dapat diusahakan secara baik.
Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi dan kinerja konversi lahan di tingkat petani (mikro)
telah dilakukan oleh Syafa‘at, et al. (1995) dan Rusastra et al. (1997). Alasan utama petani melakukan
konversi lahan sawah di Jawa dan instrumen kebijakan dalam penanggulangannya, adalah: (1) Alasan
konversi lahan adalah karena kebutuhan, lahan berada dalam kawasan industri, serta harga lahan yang
menarik; (2) Harga dan pajak lahan yang tinggi cenderung mendorong petani untuk melakukan konversi
lahan; (3) Rasio pendapatan non-pertanian terhadap pendapatan total yang tinggi cenderung menghambat
petani untuk melakukan konversi; (4) Faktor pendorong penting lainnya adalah adanya kesempatan untuk
membeli lahan di tempat lain dengan harga yang lebih murah; dan (5) Terdapat tiga faktor penentu proses
konversi yaitu pendapatan, harga, dan pajak lahan yang dapat dijadikan instrumen kebijakan dalam
mengontrol proses transaksi lahan.
Di luar Jawa (kasus Kalimantan Selatan), alasan dan kinerja konversi lahan pertanian adalah
sebagai berikut: (1) Alasan utama petani adalah karena kebutuhan dan harga lahan tinggi, skala usaha
yang kurang efisien untuk diusahakan bila dilakukan pembagian warisan, dan sangat jarang karena alasan
terpaksa; (2) Alasan terakhir ini (karena terpaksa) sangat dimungkinkan dapat terjadi di masa depan
karena alasan gangguan agroekologis dengan terkonversinya lahan sekitar miliknya, sehingga lahan yang
ada tidak produktif; (3) Posisi tawar-menawar petani dalam proses alih-fungsi lahan yang sifatnya
individual (sporadis) berjalan sangat baik, dimana harga yang diterima petani dinilai tinggi dan
menguntungkan; (4) Pada penggunaan lahan untuk kepentingan umum (kawasan industri, prasarana jalan
negara, dan lain-lain) penetapan harga dinilai tidak sejalan dengan harapan petani, dimana harga yang
diterima petani dinilai jauh lebih rendah dibandingkan dengan alih fungsi secara individual.
Mengacu pada alasan dan kinerja konversi lahan tersebut, pemerintah dapat menetapkan
kebijaksanaan diferensiasi pajak lahan untuk mengontrol konversi lahan. Pada daerah tertentu yang
rentan terhadap alih fungsi, namun ingin tetap dipertahankan sebagai kawasan pertanian perlu diberikan
keringanan pembayaran pajak lahan. Dalam operasionalnya pelaksanaan kebijakan ini dapat dilimpahkan
kewenangan-nya pada otonomisasi pemerintah daerah. Di lain pihak, pengontrolan transaksi lahan
melalui kebijakan harga mungkin sulit dilakukan, karena keterbatasan dana untuk menjaga kestabilan
harga.
Hal yang menarik untuk diungkapkan di sini adalah pemanfaatan dana hasil konversi lahan yang
ternyata berbeda antara Jawa dan luar Jawa. Di Jawa sebagian besar hasil konversi dimanfaatkan kembali
untuk membeli lahan sawah, dan sisanya dimanfaatkan untuk tujuan lain seperti untuk biaya pendidikan,
perbaikan rumah dan membeli aset lainnya. Di luar Jawa (Kalimantan), dana hasil konversi dibagikan
kepada ahli warisnya yang umumnya dimanfaatkan untuk naik haji, membangun rumah, membeli aset
lancar, dan modal usaha. Tidak diperoleh informasi penggunaan dana konversi untuk membeli lahan
sawah. Hal ini dimungkinkan karena konversi umumnya terjadi di daerah urban, sehingga peluang
kesempatan kerja non-pertanian relatif terbuka dan lebih prospektif dibandingkan dengan membeli lahan
sawah yang hanya ditanami setahun sekali. Namun demikian, sebagian besar terjadi marginalisasi petani
konversi karena mereka umumnya bekeja di sektor informal yang dinilai tidak prospektif.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
52
2. Struktur Penguasaan Lahan dan Kesejahteraan Petani
Menurut Sensus Pertanian 1993 lebih dari 87 persen rumah tangga pertanian pengguna lahan
adalah petani tanaman pangan (padi dan atau palawija), 32 persen mengusahakan lahan perkebunan, 26
persen ternak, dan 24 persen tanaman hortikultura. Dominasi usahatani tanaman pangan di wilayah yang
sangat padat penduduknya (Jawa) lebih tinggi dari pada di luar Jawa (90% vs 84%). Sebaliknya peranan
usahatani tanaman perkebunan lebih tinggi di luar Jawa (43% vs 22%). Peranan usaha perikanan
budidaya (air tawar/tambak/air payau) masih sangat kecil.
Struktur pemilikan tanah pertanian cukup timpang. Hampir dua per tiga bagian tergolong dalam
kelompok penguasaan tanah kurang dari satu hektar, dengan perincian sebagai berikut: (a) Sekitar 26
persen termasuk dalam katagori kurang dari seperempat hektar dengan rataan pemilikan tanah hanya 0,12
hektar; (b) Sekitar 22 persen termasuk dalam kelompok penguasaan 0,25 – 0,49 hektar dengan rataan luas
pemilikan 0,3 hektar; (c) Sekitar 22 persen termasuk dalam kelompok 0,50 – 1,00 hektar dengan luas
pemilikan 0,59 hektar per rumah tangga. Untuk kelompok-kelompok penguasaan lebih dari satu hektar,
proporsi terbesar berada pada segmen 1,00 – 1,99 hektar (12%) dan 2,00 – 2,99 hektar (13%) dengan
rataan luas pemilikan 1,05 hektar dan 1,88 hektar.
Dengan mengasumsikan profil penguasaan lahan rumah tangga pertanian tanaman pangan
mencerminkan populasi rumah tangga pertanian pengguna lahan, maka karakteristik struktur penguasaan
lahan pertanian adalah sebagai berikut (Sumaryanto dan Rusastra, 2000): (a) Secara agregat rataan luas
penguasaan lahan per rumah tangga mengalami penurunan sebesar 10 persen selama periode 1983 –
1993, yaitu dari 1,05 hektar menjadi 0,86 hektar; (b) Kondisi 1993 menunjukkan hampir separuh rumah
tangga termasuk dalam golongan penguasaan lahan kurang dari 0,50 hektar dengan rataan penguasaan
kurang dari seperempat hektar; (c) Terjadi kecenderungan penurunan propoporsi rumah tangga dengan
kategori penguasaan lahan 0,5 hektar ke atas, dengan rataan luas penguasaan yang bervariasi; (d) Pada
golongan penguasaan 15 hektar ke atas terjadi penurunan proporsi secara drastis dari 0,19 persen menjadi
0,06 persen, namun rataan luas penguasaannya meningkat cukup besar yaitu dari 20,7 hektar menjadi
22,2 hektar; dan (e) Dalam periode 1983 – 1993 telah terjadi perubahan struktur penguasaan lahan yang
signifikan yang diindikasikan oleh peningkatan populasi petani gurem dengan luas penguasaan yang
semakin sempit, dan di lain pihak terjadi indikasi polarisasi penguasaan pada sebagian kecil rumah tangga
berlahan luas.
Berdasarkan pada permasalahan strutkur penguasaan lahan tersebut di atas terdapat beberapa
instrumen kebijakan yang perlu dipertimbangkan dalam upaya peningkatan pendapatan rumah tangga tani
dan kesejahteraan masyarakat pedesaan (Sumaryanto dan Rusastra, 2000) sebagai berikut: (1) Perbaikan
distribusi dan struktur penguasaan lahan; (2) Perbaikan tingkat upah dan kesejahteraan buruh tani di
pedesaan; dan (3) Mempertahankan dan meningkatkan luasan dan kwalitas lahan pertanian. Ketiga aspek
ini perlu dilaksanakan secara serentak dan paralel dan bersifat komplementer (inklusif) satu dengan
lainnya.
Perbaikan distribusi dan struktur penguasaan tanah merupakan permasalahan paling strategis dan
paling sulit. Beberapa langkah operasional yang perlu dipertimbangkan di dalam memecahkan
permasalahan ini diantaranya adalah: (a) Perbaikan sitem dokumentasi dan administrasi pertanahan; (b)
Penegakan hukum di bidang pertanahan sebagaimana tertuang dalam UUPA secara konsisten dan
konsekwen; (c) Pengaturan sistem pewarisan yang mengarah pada fragmentasi penguasaan lahan yang
akhirnya berdampak pada efektivitas penanganan usaha pertanian; (d) Pengendalian sistem transaksi
lahan dengan motif lahan sebagai komoditas dan tujuan spekulatif yang memperburuk produktivitas dan
pemanfaatan lahan pertanian; (e) Pengendalian konversi lahan pertanian ke non-pertanian yang
berdampak pada penyempitan luasan penguasaan lahan dan menyebabkan lahan pada kawasan yang
terkonversi menjadi tidak kondusif untuk kegiatan sektor pertanian; dan (f) Perbaikan penyebaran
penduduk melalui program transmigrasi dengan harapan bukan saja mampu memacu dan memotivasi
pertumbuhan ekonomi baru, tetapi mampu menciptakan harmoni dan kesejahteraan masyarakat setempat.
Perbaikan kesejahteraan buruh tani menjadi sangat penting dalam kondisi adanya indikasi
penurunan jumlah permintaan tenaga kerja per unit luas usahatani dan adanya penurunan pendapatan
(tingkat upah) riil buruh tani di pedesaan. Penurunan permintaan tenaga kerja ini terkait dengan semakin
meluasnya penggunaan mekanisasi pertanian, penggunaan herbisida dalam kegiatan penyiangan, dan
maksimisasi pemanfaatan tenaga kerja dalam keluarga. Perbaikan kesejahteraan buruh tani diantaranya
dapat diwujudkan melalui peningkatan intensitas atau luas lahan garapan usahatani, penciptaan
kesempatan kerja dalam pengembangan produk pertanian, peningkatan mobilitas tenaga kerja antar
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
53
wilayah dan sektor melalui pengembangan infrastruktur fisik dan kelembagaan jasa informasi tenaga
kerja, dan perluasan kesempatan kerja non-pertanian.
Berkenaan dengan mempertahankan dan meningkatkan luasan atau kualitas lahan pertanian,
beberapa hal berikut perlu mendapatkan pertimbangan: (a) Kegagalan program reboisasi hutan dalam
rangka peningkatan kualitas lahan dan penyediaan air, maka perlu dipertimbang-kan model reboisasi
dengan sistem bagi hasil yang dinilai lebih kondusif; (b) Mengingat luas hutan yang tersisa, perluasan
lahan pertanian hanya dapat dilakukan di luar pulau Jawa, terutama di beberapa lokasi di Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya; (c) Peningkatan intensitas penggarapan lahan di daerah pemukiman
baru (transmigrasi) yang eksistensi kegiatan pertaniannya telah berjalan dengan baik; dan (d)
Pemasyarakatan dan peningkatan pemanfaatan pupuk organik pada kawasan dengan tingkat eksploitasi
lahan yang intensif (pemanfaatan pupuk anorganik yang tinggi dalam jangka panjang) dengan indikasi
degradasi kwalitas lahan.
3. Dampak Konversi dan Antisipasi Penanggulangannya
Dampak makro konversi lahan yang dinilai paling serius adalah hilangnya lahan produktif yang
pada akhirnya menambah beban permasalahan swasembada pangan. Konversi lahan sawah di Jawa
cenderung mengabaikan aspek tata ruang, ekonomi, dan lingkungan (Rusastra dan Budhi, 1997).
Konversi lahan sawah ke penggunaan non-pertanian cenderung mengabaikan nilai oportunitas sawah
yang sangat tinggi, dan investasi pengembangan struktur sosial kelembagaan kelompok tani sebagai
andalan sistem produksi beras nasional. Konversi telah mengabaikan dan menyimpang dari acuan
pembangunan kawasan industri, yang tidak boleh di atas lahan pertanian produktif, apalagi lahan sawah
beririgasi teknis.
Dampak konversi lahan sawah terhadap degradasi sumberdaya air secara potensial memiliki
kontribusi yang tidak kecil. Terdapat keterkaitan kuat antara konversi lahan sawah dengan meningkatnya
pencemaran lingkungan. Konversi lahan sawah diakui memberi sumbangan terhadap peningkatan
penyerapan tenaga kerja, namun penduduk pedesaan sangat minimal dalam perolehan manfaat ini.
Dampaknya bagi kawasan terkonversi adalah nyata dalam bentuk peningkatan ketunakismaan dan
penyempitan rataan pemilikan lahan. Buruh tani dan petani kecil setempat adalah golongan yang sangat
rentan terhadap dampak negatif konversi lahan.
Bagi petani yang mempunyai kemampuan ekonomi tinggi dan pemilikan lahan luas, konversi
lahan sawah cenderung berdampak positip dimana pemilikan sawah dan sumber pendapatan akan
meningkat setelah konversi. Mereka melakukan ekspansi pembelian lahan dan mendesak eksistensi
petani gurem. Pola konversi lahan untuk kepentingan industri, sarana dan prasarana, dan pemukiman
cenderung bersifat masal sehingga peran birokrasi sangat dominan baik dalam penentuan harga, cara
tawar-menawar, dan waktu pembayaran. Dalam kondisi ini, petani berada dalam posisi yang lemah dan
proses konversi cenderung merugikan petani.
Beberapa strategi antisipatif yang perlu dipertimbangkan dalam penanggulangan dampak
konversi lahan diantaranya adalah (Rusastra dan Budhi, 1997): (1) Dalam jangka pendek perlu
peningkatan kapasitas kemampuan lahan yang ada dan daya guna sarana dan prasarana irigasi yang telah
dibangun, peningkatan efisiensi pemanfaatan dana pembangu-nan, efektivitas program dan pelibatan
masyarakat tani secara langsung dalam pelaksanaan kegiatan; (2) Percepatan pencetakan sawah baru
dalam prospektif pemanfaatan dan pendayagunaan investasi irigasi melalui pembenahan daerah irigasi
yang sedang dibangun; (3) Meningkatkan kemampuan sistem irigasi sesuai dengan tahapan
perkembangannya (irigasi tahap dini – maju – responsif) sehingga terjadi peningkatan efektivitas
investasi yang telah dibangun; (4) Perluasan irigasi dengan memberikan prioritas pada usaha-usaha yang
telah dirintis oleh masyarakat petani seperti pengembangan sawah tadah hujan dari pada membuka daerah
baru (non-pertanian); (5) Pemberdayaan kelembagaan informal pedesaan dan aspek penegakan hukum
melalui penyaluran aspirasi masyarakat, baik dalam proses pengambilan keputusan maupun dalam
penyelesaian konflik sebagai akibat dari alih fungsi lahan pertanian.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
54
PENATAAN LAHAN DALAM SEKTOR PERTANIAN
Bahasan penataan lahan intersektoral dengan sasaran antisipatif pemanfaatan lahan untuk
kepentingan berbagai sektor, perlu dikomplemen dengan penataan lahan dalam sektor pertanian sendiri
untuk mendapatkan optimasi penataan lahan secara holistik dan komprehensif. Fokus bahasan penataan
lahan intersektoral adalah melalui pengungkapan keragaan dan antisipasi penanggulangan dampak
konversi, maka bahasan optimasi penataan lahan sektor pertanian akan mencakup pengungkapan
beberapa faktor diterminan utama, yaitu: (a) Karakterisasi dan zonasi pewilayahan pengembangan
berbagai komoditas pertanian melalui penelitian dan pemetaan AEZ (Agro-Ekological Zone); (b)
Penelitian, pengkajian, dan pngembangan teknologi spesifik lokasi dan program pendukung
pengembangannya; dan (c) Konsolidasi lahan dalam perspektif mendukung pengembangan agribisnis.
Ketiga aspek tersebut perlu dilakukan secara simultan agar pemanfaatan lahan dapat digunakan secara
optimal sesuai dengan potensinya dengan sasaran maksimisasi pendapatan petani dan pengembangan
ekonomi wilayah.
Karakterisasi dan zonasi pewilayahan pertanian melalui pembuatan peta AEZ merupakan basis
bagi optimasi penataan lahan. Pembuatan peta AEZ perlu mempertimbangkan aspek teknis dan ekonomis
sehingga memiliki relevansi faktual sebagai basis pengembangan komoditas. Komoditas yang
dikembangkan disamping memenuhi persyaratan teknis pengembangan juga telah memperhatikan potensi
pasar, sehingga diperoleh sinergi dan keberlanjutan produksi dan pendapatan petani. Peta AEZ
hendaknya mampu memberikan beberapa informasi kunci sebagai berikut: (a) Batasan wilayah secara
spasial yang menunjukkan karakteristik dan potensi kemampuan lahan; (b) Pilihan komoditas prioritas
yang dapat dikembangkan; dan (c) Indikasi kebutuhan teknologi bagi pengembangan setiap komoditas.
BPTP di seluruh Indonesia dengan pendampingan Puslit Tanah dan Agroklimat telah memiliki
kemampuan memadai dalam pembuatan peta AEZ ini. Pemerintah daerah dapat bekerja sama dengan
BPTP dalam pembuatan peta AEZ yang dinilai sangat penting dalam perumusan perencanaan strategis
pengembangan agribisnis. Dalam konteks desentralisasi pembangunan di tingkat kabupaten, pembuatan
peta AEZ skala 1 : 50.000 dinilai sangat memadai dalam perumusan perencanaan pembangunan pertanian
di tingkat kabupaten. Peta AEZ diharapkan mampu menampilkan keunggulan komparatif dan kompetitif
komoditas yang diindikasikan oleh tingkat produktivitas dan efisiensi penggunaan masukan yang tinggi.
Optimasi pemanfaatan lahan dengan sasaran pengembangan pendapatan petani dan ekonomi
wilayah perlu difasilitasi dengan sejumlah alternatif teknologi introduksi pengembangan komoditas
prioritas. Perencana pembangunan pertanian atau petani akan mempertimbangkan sejumlah aktivitas
usahatani dalam upaya maksimisasi pendapatan. Pengembangan teknologi spesifik lokasi komoditas
prioritas/unggulan daerah akan memberikan sejumlah opsi dengan kapasitas produksi dan peningkatan
pendapatan yang lebih besar. Teknologi introduksi yang ditawarkan dapat berupa paket teknologi untuk
komoditas unggulan atau rakitan/sintesa teknologi dalam pola tanam dalam setahun. Fasilitasi lain yang
diperlukan adalah dukungan permodalan, mobilitas tenaga kerja, kelancaran arus barang dan perdagangan
input-output serta kebutuhan konsumsi lainnya.
BPTP propinsi mempunyai mandat untuk mengadaptasikan dan mengkaji komponen teknologi
matang yang dihasilkan oleh Balit komoditas dan mendiseminasikannya kepada pengguna teknologi
spesifik lokasi di daerah. Basis penciptaan teknologi itu adalah peta pewilayahan komoditas (AEZ) yang
dilakukan secara sekuensial (studi adaptif-SUT-SUP) dan tuntas dalam kerangka waktu (time frame)
tertentu dan diakhiri dengan kegiatan diseminasi. Teknologi potensial spesifik lokasi juga perlu
difasilitasi dengan kebijakan pendukung yang diturunkan dari hasil studi tematik dan analisis kebijakan
dengan sasaran bukan saja dapat meningkatkan produksi, tetapi juga meningkatkan pendapatan dan
pertumbuhan ekonomi wilayah secara berkelanjutan.
Dalam tataran operasional, optimasi penataan lahan akan ditentukan oleh pelaksanaan program
konsolidasi lahan pada tingkat mikro dan makro di lapangan (Rusastra et al., 2001). Secara mikro,
konsolidasi lahan di tingkat petani diindikasikan oleh adanya pergeseran proporsi rumah tangga dengan
status garapan non-milik (sakap atau sewa). Konsolidasi mikro ini didorong oleh adanya fragmentasi
lahan dan daya tarik serta aksesibilitas pada kegiatan di luar sektor pertanian. Perkembangan teknologi di
sektor pertanian (perbaikan kesuburan lahan dan produktivitas usahatani) tidak perlu dikhawatirkan
sebagai penghambat pelaksanaan konsolidasi lahan sejauh dapat diciptakan kesempatan kerja atau
program kondusif lainnya (industrialisasi dan transmigrasi). Konsolidasi lahan akan berjalan sukses
dalam meningkatkan produktivitas usahatani dan kesejahteraan masyarakat petani dan pengembangan
ekonomi wilayah, bila pembangunan pertanian dan non-pertanian berhasil baik.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
55
Konsolidasi mikro di tingkat petani (sakap, sewa/gadai, dan pembelian lahan) diawali oleh
adanya migrasi sebagian petani karena adanya aksesibilitas fisik dan ekonomi terhadap kesempatan kerja
di luar sektor pertanian. Karena keterbatasan kemampuan pengelolaan, sebagian lahan hasil pembelian
petani kaya disakapkan atau disewakan kepada petani lainnya. Untuk lebih meningkatkan kinerja
konsolidasi lahan, perlu dirumuskan kelembagaan sistem sakap yang kondusif bagi pencapaian sasaran
pembangunan pertanian dan peningkatan kesejahteraan petani. Konsolidasi lahan ini juga perlu difasilitasi
oleh sistem kelembagaan dimana petani tidak kehilangan haknya atas tanah, namun tetap dapat akses
terhadap kegiatan di luar sektor pertanian.
Konsolidasi mikro di tingkat petani baru memperbaiki salah satu aspek dari struktur penguasaan
lahan yaitu adanya perluasan lahan garapan. Dampak konsolidasi lahan terhadap perbaikan adopsi
teknologi, peningkatan produktivitas, efisiensi usahatani, dan peningkatan pendapatan petani dapat
berhasil baik bila terdapat perbaikan struktur penguasaan lahan secara komprehensif yang mencakup
penanganan fragmentasi pemilikan, fisik hamparan, dan jarak antar persil.
Analisis kasus kemitraan agribisnis, tampaknya berjalan secara parsial (sub-optimal) sehingga
efisiensi tidak maksimal (Rusastra, et al., 2001). Perlu didorong munculnya kemitraan agribisnis yang
bersifat integratif melalui pengembangan kendali manajemen terpusat dan koordinatif sehingga diperoleh
efisiensi yang maksimal melalui pemantapan kelembagaan pengadaan dan pasar input, organisasi
produksi, dan pasar output. Kinerja konsolidasi kemitraan agribisnis ini nampaknya memiliki variasi
yang luas tergantung pada jenis komoditas, tingkat aplikasi teknologi, dan orientasi pengembangan
produk yang dihasilkan. Kesemuanya ini membutuhkan rumusan perencanaan dan kelembagaan yang
bersifat spesifik dalam pengembangannya. Penelitian dan pengkajian konsolidasi lahan ke depan melalui
pengembangan kemitraan agribisnis perlu diarahkan pada aspek tersebut dengan mempertimbangkan
keragaman faktor yang mempengaruhinya.
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
1. Secara normatif optimalisasi penataan lahan intersektoral dan dalam sektor pertanian perlu dibangun
berdasarkan pada tata-ruang dan kelas kemampuan lahan. Perencanaan ini perlu didukung oleh
pengembangan infrastruktur dengan karakteristik yang berbeda antar sektor/sub sektor dengan tetap
mempertimbangkan konsep pembangunan wilayah secara terpadu. Perencanaan normatif ini hanya
relevan untuk kawasan pengembangan baru, dan nampaknya tidak sepenuhnya operasional bagi
wilayah yang sudah berkembang. Pada kawasan terakhir ini permasalahan yang perlu dipecahkan
adalah mencegah konversi lahan pertanian produktif yang dapat mengancam investasi dan
kelembagaan pertanian yang telah lama dibangun yang akhirnya berdampak buruk terhadap
ketersediaan dan ketahanan pangan nasional.
2. Dampak makro konversi lahan yang dinilai paling serius adalah hilangnya lahan pertanian produktif,
melemahnya ketahanan pangan, dan marginalisasi petani paska konversi. Kebijakan mikro seperti
harga dan pajak lahan serta pendapatan dinilai kurang efektif dalam mencegah proses konversi lahan.
Perlu pembinaan dan pengembangan SDM petani paska konversi, sehingga dapat memanfaatkan
secara efektif dana hasil konversi dan juga memiliki aksesibilitas terhadap kesempatan kerja baru di
luar sektor pertanian. Perlu reorientasi pembangunan pertanian di Jawa dan penekanan pada
manajemen dan teknologi komoditas bernilai tinggi, dan percepatan pembangunan di luar Jawa.
3. Kebijakan strategis antisipatif penanggulangan dampak konversi perlu mempertimbangkan langkah
strategi jangka pendek seperti: (a) peningkatan kapasitas kemampuan lahan dan peningkatan daya
guna sarana dan prasarana irigasi aktual; (b) percepatan pencetakan sawah dan peningkatan
kemampuan sistem irigasi secara berjenjang sesuai dengan tahap perkembangannya (dini – maju –
responsif); (c) perluasan irigasi dikaitkan dengan usaha-usaha yang telah dirintis oleh masyarakat
seperti pengembangan sawah tadah hujan dan pembukaan areal pertanian baru; dan (d) pelaksanaan
penegakan hukum melalui penetapan, pemantapan, dan pengamanan sentra produksi pertanian
strategis.
4. Optimalisasi pemanfaatan lahan dalam sektor pertanian perlu diinisiasi melalui identifikasi
karakterisasi dan pemetaan AEZ sebagai basis perencanaan pembangunan dan pewilayahan
komoditas pertanian. Dalam operasionalnya perlu didukung dengan penciptaan teknologi introduksi
spesifik lokasi, program dan kebijakan pendukung pengembangan, ketersediaan modal/pendanaan
dan mobilitas tenaga kerja pertanian, dan ketersediaan pasar input-output pertanian serta kebutuhan
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
56
konsumsi masyarakat. Strategi ini juga perlu difasilitasi dengan program konsolidasi lahan pertanian
dengan mengembangkan pertanian dengan basis komoditas tertentu dan berwawasan agribisnis.
Konsolidasi dapat diwujudkan melalui kerjasama kemitraan antara investor agribisnis dan petani
dalam suatu kawasan agroekosistem. Strategi konsolidasi lahan ini disamping berperan dalam
optimalisasi pemanfaatan lahan, juga mencegah alih fungsi lahan melalui pelaksanaan program
kemitraan atau kooperatif farming yang sejalan dengan dorongan permintaan pasar yang menuntut
adanya peningkatan efisiensi melalui perbaikan skala usaha pertanian.
DAFTAR PUSTAKA
Rusastra, I W., G.S. Budhi, S. Bahri, K.M. Noekman, M.S.M. Tambunan, Sunarsih, dan T. Sudaryanto. 1997. Perubahan Struktur Ekonomi Pedesaan. Analisis Sensus Pertanian 1983 dan 1993. Pusat Penelitian Sosial
Ekonomi Pertanian, Bogor.
Rusastra, I W. dan G.S. Budhi. 1997. Konversi Lahan Pertanian dan Strategi Antisipatif Dalam
Penanggulangannya.Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Vol.XVI. No.4, Oktober 1997, Badan Litbang Pertanian, Jakarta.
Rusastra, I W., S.K. Darmoredjo, Wahida, dan A. Setiyanto. 2001. Konsoli-dasi Lahan Untuk Mendukung
Pengembangan Agribisnis. Perspektif Pembangunan Pertanian dan Kehutanan Tahun 2001 ke Depan. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
Syafa‘at, N., H. P. Saliem, dan K.D. Saktyanu. 1995. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan di Tingkat
Petani. Prosiding Pengembangan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
Sumaryanto, A. Pakpahan, dan S. Friyatno. 1995. Keragaan Konversi Lahan Sawah Ke Penggunaan Non-Pertanian.
Prosiding Pengemba-ngan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
Sumaryanto dan I W. Rusastra. 2000. Struktur Penguasaan Tanah dan Hubungannya dengan Kesejahteraan Petani.
Prospektif Pembangu-nan Pertanian dan Pedesaan dalam Era Otonomi Daerah. Pusat Penelitian Sosial
Ekonomi Pertanian, Bogor.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
57
MICRO-FINANCE FOR AGRICULTURAL PRODUCERS
IN WEST NUSA TENGGARA (WNT) PROVINCE - INDONESIA
Issues and Opportunities for a Sustainable Financial Intermediary System
Muktasam, Rosiady Sayuti, Anas Zaini, I Wayan Suadnya, I Made Mantra,
Ignatius Suwardi,Dwi Praptomo Sudjatmiko, Matsyukur
ABSTRACT
There have been various systems/schemes implemented by the Indonesian authorities to deliver financial
assistance to farmers. However, the performance of delivery systems was still far from satisfactory with respect to
credit access, credit use, credit repayment and the sustainability of the delivery system. On the basis of these issues,
the project is carried out to (1) identify issues and opportunities of the existing credit system, (2) develop a sound model of Micro Finance Institutions as an intermediary delivery system. The research methodology used for this
study consists of three phases. The first phase, identification of issues and opportunities of micro-finance system.
The second phase, implementation of agreed model of micro-finance system. The final phase, replication of the
model in wider areas. Results of the study indicate some issues regarding credit for agricultural producers such as ineffective and poor performance of micro finance institutions due to lack of supervision, loan performance very low,
complex credit procedures, mistargetted, ineffective partners, project and target approaches, unclear mechanism for
monitoring and evaluation, ineffective use of credit and lack of commitment, ineffective and sustainable groups. A
sound model was generated to address those issues follows a ―one-gate‖ approach.
INTRODUCTION
Micro-finance for agricultural producers in Indonesia is provided by the government through a
delivery system that performed unsatisfactorily, with respect to several indicators such as credit access,
credit use, credit repayment and the sustainability of the delivery system. Therefore, a research and
development project that attempts to develop the delivery system of micro-finance for the agricultural
producers in Indonesia is necessary.
There have been various systems implemented by the Indenesian authorities to deliver financial
assistance to the agricultural producers. For example, in the early stage of its rice intensification program,
an Authority set up a costly nationwide network of the state bank‘s units1 and of village cooperative unit
2
specifically to deliver the financial assistance. More recently, the Authority implemented systems that
incorporated group lending, saving services, and involvement of Non Government Organizations
(NGOs). However, performance of delivery systems was still far from satisfactory with respect to credit
access, credit use, credit repayment and the sustainability of the delivery system. This was due to various
factors, ranging from social, cultural, economic, and political factors of the producers, to the design of the
delivery systems.
The systems were solely designed to channel credit, ignoring the saving capacity of the
agricultural producers. This approach is contradictory to the approach suggested by the new paradigms in
micro-finance, the Financial Market Paradigms (FMP), which argues that credit only programs can not
become financially sustainable. In other words, only a financial system or institution that acts as a
financial intermediary between savers and borrower can be financially sustainable.
The liberalisation measure introduced in 1988 has brought a number of new rural banks into
operation in the Indonesian rural financial system. However, these institutions are mainly concerned with
non-agricultural producers (e.g., small off farm enterprises). Hence, the agricultural producers have no
options other than the government credit programs for financial assistance.
In the long term, the goal of the proposed project is to develop a sustainable micro-finance
system for the agricultural producers in the West Nusa Tenggara Province of Indonesia. The objectives
of this proposed project are, as follows.
To identify issues and opportunities for developing a sustainable micro-finance system for the
agricultural producers in WNT Province.
To develop an innovative micro-finance system for the agricultural producers in WNT Province.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
58
RESEARCH METHOD
The research methodology used for this study involving the key stakeholders of the micro-
finance system and consists of three phases. The first phase involves the identification of the relevant
issues and opportunities for building a sustainable micro-finance system. This includes performance of
the existing system, training and action learning needs using informal interviews, case studies and focus
group studies. The second phase is the implementation (pilot project) of the innovative designs of the
micro-finance system, and to perform the identified training needs (e.g., in-country short course and in
Australia) and the action learning programs. The final phase is an evaluation of the activities in the
second phase, and summarising findings and making recommendations for possible further development.
In this last phase, the performance of the pilot micro-finance systems will be assessed. The review will
address credit ‗need-award‘ suitability, credit access among socio-economic groups, institution borrower
transaction cost, and credit repayment.
In depth informal interview and Focus Group Discussion were carried out in Bima & West
Lombok districts to get more insight of the ten schemes, especially those focused on agricultural
producers - rice and non-rice farmers. Informal interviews More than 40 respondents were interviewed
consist of farmers, staff of rural cooperatives, LSM, Banks (BRI and BPD), district and provincial
government, and staff of Central Bank (Bank of Indonesia). In addition to these respondents, farmers and
field agents of the ten stakeholders involved in the previous activities were interviewed using ―Interview
guides‖ were used for this informal interview (either for farmers and agencies) focusing on the following
issues:
The performance of the existing schemes,
Causes for non-performance,
Opportunities for improvement
Focus Group approach was taken for the following objectives:
Gain confirmation from stakeholders regarding the issues and opportunities of the existing
performance of the schemes.
To gather additional information of the issues and opportunities of the existing performance of the
schemes.
Identifying the best measures for improving the existing scheme delivery systems & sustainability
(training for ―pendamping‖, ―groups‖, and ―petugas‖).
Focus group studies involved six groups of stakeholders, namely, two groups of farmers, one
group of government representatives (field extension agents; district staff of Department of Agriculture;
Cooperative office, one group of bank representatives (BRI and BPD), one group of cooperative
representatives (KUD), and one group of NGO representatives.
Focused group studies were carried out in Bima and West Lombok districts from December
2001 to January 2002. Through facilitation and brainstorming techniques, FGD helped the stakeholders
to generate ideas and information about at least four major points (1) issues or problems of KUT and
other schemes, (2) solutions to these issues or problems, (3) sustainability of the schemes, and (4)
preferable micro institutions which may help promote effective credit/schemes to rural communities.
Results of these focus group studies are presented in the following section.
RESULTS
1. Case Study Results
Effective schemes should be seen from different perspectives such as food crops, forestry,
cash/estate crops, and others. As there are many schemes from different sources with different
characteristics and approaches to farmers in the village, stakeholders perceived there should be one
general institution at village level to converging and diverging all schemes. Effective schemes required
effective partners (pendamping) - who meet the following criteria: professional, high commitment, should
be paid by the community from productive activities, stay at local level. Almost all stakeholders concern
for ―sustainability‖ of the schemes; Several stakeholders have taken steps to prepare for ―after project‖
sustainability such as done by NTAADP (empowering local institution - IMS), P4K (LKM), IFAD. Most
schemes were fail such as KUT/KKP, KUK-DAS, KKPA, KUHR, and KUKESRA. These schemes found
some problems, especially in the following areas:
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
59
Lack of supervision
Repayment rate very low - debt very high
Complex credit procedure
Mistarget
Ineffective partners
Project and target approaches
Unclear mechanism for monitoring and evaluation
Ineffective use of credit and lack of commitment
The more success schemes and sustainable micro-finance required strategic steps to prepare local
community/groups to be independent.
2. Interview Results
As stated in the previous section, the focus of in-depth interview was on the performance of food
crops schemes especially Kredit Usaha tani (KUT) and cash crops schemes (P2WRT - IFAD). In regard
to KUT, interviews with all stakeholders (respondents) indicate a general perception of KUT
performance, causes for the performance and possible as well as opportunities to improve the future
schemes. According to the respondents, KUT performance was very bad which indicated by low
repayment rate and even debt. Several expression and term used by respondents to describe the
performance of KUT such as ―KUT hancur‖, ―KUT had disappeared‖, ―We knew all our bed experience
with KUT‖, and ―Just buried KUT - Kambojakan KUT‖.
There are several explanations given by respondents for bad performance of KUT such as (1)
negative perceptions of farmers toward ―credit as a gift from the government‖, used of reference groups,
either at village level or national level ―why should I repay the credit while the others did not‖ (they refer
to other farmers and national cases of credit malpractice - Tommy, Edi Tansil, Gus Dur); (2) ineffective
use of the credit - especially for consumption which led to failure to generate income, (3) corrupted by
LSM, (4) lack of commitment - mental states - either from farmers and field agents as well as other
district staff, (5) fictive or data manipulation - unreal proposal, (6) low productivity - harvest failure
(Results of in-depth interviews are summarised in Table 1).
To improve - whatever the schemes are - several options were raised by the respondents such as
(1) develop a procedures where farmers will feel that they get the credit from the bank and not from the
―government‖, (2) effective supervision by field agents and the bank, either at the first stage when farmers
propose their plan to ensure that the ―name of farmers are correct‖, ―the size of land is OK‖, and ―the
amount of their credit is OK‖. (3) at village level there should be an institution - acts as an
umbrella/development lens - where any schemes directed to the village take a consistent step to avoid
negative image of credit. (4) Professional field agents who can help farmers to improve their knowledge
and skills in running their business either in agriculture or non-agriculture. These field agents should be
paid by the government (in the first stage) or by the farmers or farmer groups (later once the group
developed).
Farmers rejected to repay their credit. In respond to this problem, government had introduced
another new scheme to replace KUT called Kredit Ketahanan Pangan (KKP) that again failed to be
implemented in Bima.
3. Focus Group Studies Results
Field agents
Could you mention several schemes you have experienced so far?
KUT, P4K, Pemberdayaan Ketahanan Pangan - PKP (2000), Pemberdayaan Ketahanan
Pangan Pedesaan - PKPP (2001), and PPA (Agribisniss). KUT has been a considered a failure story of
credit given to farmers. ―KUT hancur‖ and have left a very bad story, especially during the last
period...the case has brought LSM staff to jail and the case still in the court‖. ―LSM staff in the early
stage claimed that KUT was the right of farming communities..., ironically these strongest voice
disappeared as the LSM manipulation take place‖ (stated by cooperative partners, Bima & Mataram). In
1998/1999 about 80 % credits could be repaid while in 1999/2000 the credit was returned only 10 %.
Total KUT debt almost 10 billion rupiahs.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
60
In case of PKP and PKPP, the groups were established up to eight and one group in each village
respectively. There are several issues in the implementation of these schemes such as (1) nepotism, where
village leaders used their families‘ name as group members while the credit was received by the village
leaders, (2) lack of field agents participation, (3) strong intervention from the government.
Which one do you think the best scheme you have experienced?
P4K for the following reasons:
The total members of the groups are small (ten farmers)
Groups in P4K have rules
Focused on the groups‘ ability to promote group saving (with account balance or minimum Rp.
150,000.
Group pressure and responsibility (in case one member of the group fail to repay his/her credit, the
group would get negative reward - the future credit will not be given until all group members
returned their credit).
Self-selection of group members (group would select those more credible members - who would
repay their credit on time).
Most group members are woman
Group members have productive or economic activities (off-farm such as trading - dagang bakulan
and kiosk who represent 90 percent of members).
Total credit was Rp. 300,000.00 per group member or three million rupiah per group (in special case,
a member of P4K group may propose one half million rupiahs. The amount of credit is relatively
manageable.
Credit disbursement is directly from Bank to Farmers (there is no intermediates and no provision and
transaction costs), and no cut!
What are the major issues you found in KUT?
In respond to this question, the following issues were given:
Credit disbursement was not on time (it was delivered when farmers had finished their activities -
such as seeds, pesticides, fertilisers and others).
Cost for seeds was very high while the price of products was very low.
It would be better if non-governmental organisation (LSM) not involved.
Farmers develop negative image or perception of ―credit‖ and ―other development efforts, especially
when the project involving monetary support‖ - they perceived ―credit‖ as a kind of ―gift‖ from the
government!
Lack of effort and activities taken by the group leaders to supervise, to help group members as well
as to collect the credit from group members.
Some group members used ―reference group‖ for developing negative behaviors (why should I return
the credit while the other group members did not repay theirs?)
In the last few years, this negative image getting stronger due to negative impact on TV News.
Almost everyday the national TVs cover some malpractice and critical cases of ―credit‖ involving
some outstanding leaders such as the former presidents (Soeharto and Abdurrahman Wahid) as well
as the case of Tommy (Soeharto‘s son).
How KUT could be improved for its sustainability?
Group should be small
Tax receit should be used to avoid manipulation of data (fictive)
The group leaders should active
Use of agreement (contract documents)
If the group members fail to repay their credit, ―agunan‖ will be taken
Credit disbursement should be on time
Groups‘ plan should be developed properly - under field extension agent assistance
Incentive for field agents should be given
Clear proposal - the amount of credit proposed by group members has to be consistent with the group
members‘ land size and real needs
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
61
The need to change farmers‘ negative perception on credit and development schemes - preliminary
stages should be taken to achieve this change, otherwise the existing image and behavior will
continue
Direct agreement and contact between farmers and banks - the best performance of credit or schemes
was achieved when farmers developed direct contact with bank, which help create ―sense of
responsibility - debt must be repaid‖.
Farmers
Four groups of farmers were involved in the focus group discussion - in Bima and West Lombok
(two in each district). Their perceptions of KUT and other schemes are summarised in the following box.
West Lombok Farmers:
Could you explain KUT procedures you have experienced with and which one you like most?
Two models of KUT were experienced by farmers in West Lombok district. First, farmers through
groups developed their group plan (in October) and then proposed to the bank through Rural Cooperative
Units (November). In about early December, the group got their credit. Second, farmers formed farmer
cooperative and through their cooperative developed their plan and proposed directly to the bank (BPD).
The bank processed the proposal for about two weeks until the credit was released. The second process
was the better.
Learning from your experience, what are the issues you found in KUT scheme?
The following issues were identified:
Most farmers failed to repay their credit
Groups did not work effectively (they exist just to get the credit, there was no meeting, no activities,
no decision making was made, lack of knowledge of the important of groups, no groups‘ rules, lack
of sense of belonging to the groups, ―kelompok dadakan‖, ―kelompok tidak jelas‖).
Lack of sense of responsibility or repay the credit - lack of commitment.
Perception that credit as a gift from the government
Low price of products
Name of group members was manipulated
The conditions required in the latest KUT (KKP) are very hard to be fulfilled - as a result, there is no
farmers want to get the credit. These conditions such as land certificate, no-debt for the previous
credit or KUT.
In contras, there are several cases where farmers and groups repaid their credit on time. Several factors
were raised during FGD such as:
Farmers‘ belief that ―utang‖ should be ―repaid‖ otherwise it is a guilty and disobeying Allah
recommends - would get punishment in the hereafter.
Groups exist and effective (see Figure!)
Incentive to the groups on the basis of group fees from the amount of credit they distributed (e.g.
seven rupiah per kg distributed fertilisers).
Another incentive to the group was related to the continuity of the credit. The government promised
that if a group could return their credit on time, then the group would get another credit (however in
fact it was not the case).
Exist of ―feeling guilty‖ of ―shyness‖ among group members when they failed to repay their credit.
The power of group pressure - social pressure - was likely stung enough to motivate member to
return the credit on time.
The successful group in west Lombok district has developed a supporting structure for
successful KUT as it is depicted in Figure 1. The group has the group leaders, which consist of head,
secretary and treasure while to support group activities ten sub-groups were established. These sub-
groups consisted of six to 10 members. Through this structure, the group has not only developed
effective communication process, but also help the group to get their credit paid on time. The leaders of
the sub-group had helped the group significantly. The way how the group works is consistent with
Chamala‘s Participative Action Management (PAM) model in which the group acts as a ―development
lens‖. All resources and supports, especially monetary support, are converged and diverged by the group.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
62
This group - farmer cooperative - may be developed further toward a Micro Finance Institution similar to
the Rarang ―Karya Terpadu‖ micro finance agency (see the other section).
Figure 1. The Model of “Wire Singe” Farmer Cooperative – Batu Kuta Village, West Lombok Indonesia
Bima Farmers:
Farmers expressed a very strong negative perception of KUT. They showed like ―no guilty
feeling‖ toward KUT. The following points were raised during FGD with farmers.
What are the issues of KUT in your area?
They explained that KUT has gone and it was a bad story. Most farmers did not repay the credit
for the following reasons:
No point to return KUT while others did not repay it (used others as reference)
Lack of farmers‘ commitment to repay their credit - although they have money, they did not repay it.
It is also influenced by their negative image of credit. ―Do not come to us for this small amount of
money, look to those who had taken away our money - refer to Tommy and the President of
Indonesia.
Manipulation of name and land size
Village leaders used farmers‘ name for their own benefit - farmers even did not realise that their
name were included in the group plan and proposal. Once the credit was released, the leaders ―cached
the money‖.
No field extension agents helped them in improving knowledge and using the credit
Field extension agents and other agents never came to farmers to collect the credit - KUD staff never
though to help the bank collect the credit - there was no incentive while at the same time the rural
cooperative staff did not feel for having the credit (the credit just passed from Bank to farmers. We
only found one ―good‖ field extension agent more than ten years ago.
Lack of commitment of LSM to help farmers - did not work well and professional.
KUT like other programs or projects (e.g. poverty alleviation) was a grant, therefore no need to return
it.
Farmers hope the government to ―clear‖ KUT - ―Pemutihan‖ or ―Just forget it‖ or ―dikambojakan‖.
This may have developed through a repeated experience not only in other areas such as IDT, but in
KUT it self (three times of ―pemutihan‖ had been experienced by farmers).
The group - farmer groups - did not work (the group just exist for the credit, only on the paper).
There was no control and supervision.
What can we do to promote effective and sustainable KUT?
Effective groups should be established
Field agents have to work closely with farmers and be professional
Control mechanism should be promoted to avoid manipulation and proper use of credit.
Credit or debt collectors should perform their task - to motivate farmers to return the credit.
There is a need to develop correct perception toward the credit. The credit should be repaid -
educating the people.
Direct contact between farmers and bank - to develop and create emotional link and the feeling or
responsibility (Micro finance institution at village level is considered as an option - with this, farmers
may not only develop feeling and sense of responsibility but also importantly sense of belonging).
Effective control has to be developed during the planning stage, bank processing, and credit
disbursement (released).
Sub-groups
Group
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
63
Banks
Two ―Focus Group Discussion‖ were conducted with the bank - in Bima and Mataram,
involving credit staff of BRI and BPD. The results of these FGDs are summarised in the following
section.
In general how do you perceive the KUT experience - performance?
We all knew already that the pass experience with KUT was very bad. Debt on KUT was very
high - billions and most farmers failed to repay the credit. It was a ―program credit or scheme‖. We are as
a channeling agents and one important point was that ―we could not apply the careful principles‖ to
guarantee the credit release and repayment. Decision was made at Cooperative Office while we just
served farmers with credit realisation.
If that was the case, could you mention why the KUT performance was bad?
There are several major issues, which may be used to explain KUT performance such as:
Lack of support from related Department - especially in supervision activities
Lack of farmers‘ commitment
Lack of knowledge
The use of other groups as reference
Negative perception of credit - ―it was a gift - grant‖
Groups did not work
Lack of sense of responsibility
To long chain in procedure
Data manipulation
Difficult to check the proposal/group plan in the field
KUT was not on time - too many proposal to be proceed
While the ―target‖ should be achieved
Negative effect of TV news - corruption cases
Negative image of credit
Field agents did not work well -‖ never visited farmers
What can be done to improve credit performance?
Local specific need to be considered
Individual responsibility/approach may be better in case the groups did not work
Group performance need to be improved
Support for field agents should be increased
Need for professional agents and more integrated support
Promote direct contact between bank and farmers
Other departments should drop their monetary support to the bank - the bank then contact with
farmers
To develop positive image of credit
Do not use term ―project or program‖
Groups have to be small and effective (self-selected members)
Effective control mechanism should be developed to avoid manipulation and corruption
―Fairness‖ and ―commitment for work‖ are essential (kejujuran & ada usaha)
Cooperative and Department of Agriculture
In respond to a question “how would you explain KUT?”, district staff of the Department of
Agriculture (three participants) and Cooperative (four participants) stated: ―You knew already how worse
KUT‖ , ―KUT was not returned almost 10 billion‖, and ―KUT has brought one director of NGO to the
court and jail‖. This statement is clearly indicating their perception of KUT in that ―KUT was fail‖. Some
reasons for this failure are:
Farmers have developed negative perception toward credit, development ―project‖ and ―programs‖.
This perception has had significant impact on the low level of credit repayment rate. Once they
perceived ―credit as a part of project‖ that may mean that the government ―distribute money as a gift‖
or ―grant‖ or ―something that farmers would not need to return‖.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
64
The use of reference groups - farmers compare themselves with others. If the other farmers did not
pay their credit, these farmers would not pay their credit too.
Farmers‘ mentality is bad.
Most groups involved in KUT did not effective. The group exists only for delivering credit or for
project only.
Data manipulation - at farmers and LSM levels
Lack of field agents‘ commitment - limited control and supervision, lack of operational and
supervision cost, lack of knowledge and skills
Lack of preparation at groups and agency levels
LSM was not effective - manipulation and corruption (LSM coordinator is now in court
―Farmers nowadays more clever‖ - they compare themselves with other cases such as Edy Tanzil,
Tommy - whom have huge debt, and Gus Dur (the use of government budget)
―Perception of credit as grant‖ or ―gift‖
KUT released was not on time - then used by group leaders or LSM - could not be returned
Lack of supervision and control from field agents and other institutions such as bank (which is
different from P4K for example, where field agents get incentive and supervise groups consistently).
Lack of support for field agents (there was no monetary incentives or facilities)
The FGD participants suggested several options to address these issues such as:
Groups have to be established properly - not just for project or credit
Control and cross check must be performed
Develop positive perceptions for credit
Professional field agents
Direct contact with cooperative and bank
Change farmers‘ behaviours especially their attitudes and mentality toward credit
Short out the procedures - involved agency (no need for LSM)
Professional field agents
Needs for support (facilities, incentives, costs)
The need for legislation (perda)
Continuous supervision and control
Group should be small to organise
FGDs in Cash Crop Field Agents
Two Focus Group Discussions were carried out with cash crop field agents - located at Bayan
(West Lombok) and Sanggar (Bima) sub-districts. Field agents participated in these FGDs are involved in
IFAD project called P2RWTI, a project designed to improve cash crop farmers‘ income. Several common
issues found in the FGDs are:
What are some issues in the IFAD scheme?
The project establishment purely dominated by ―top-down‖ approach.
Lack of community participation
The project mostly focused on ―transfer of technology‖ (the project had had some options of
solutions technologies to be implemented in farmers‘ land. The project offered to farmers who want
to joint in the project and those who interested should make an application to the project
management).
The project offered incentives such as ―grant‖ and ―land certificate‖ in the early stage of
implementation, which to some extent may have a great impact on community participation and
project sustainability.
Ideas on establishing or initiating ―micro finance institutions‖ at the local level have not been
considered to support project sustainability.
In spite of the above issues, the FGDs outcomes indicate several critical points that are
considered to be important to the project success in credit repayment rate, such as:
Clear initial process of participant recruitment, where farmers were encouraged to apply to the
project
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
65
Farmers‘ assets such as household items as well as land (size and location) were assessed in the early
process. This process helped reducing manipulation of data on land size such as those happened in
KUT. Early assessment also helped in giving benchmark data that would be used to identify project
progress and success.
Establishing direct contact between bank and farmers has led to better farmers‘ commitment in
repaying the credit (farmers have their own account number in the bank and they have a wide access
to their own account for checking).
Lesson Learned from Micro Finance Institution - LKM - P4K Rarang Village East Lombok
District Rarang Micro Finance Institution: Formation and development
This institution started with 25 small groups of farmers (with average 10 members), in 1990,
which were involved in small farmers income generating project (P4K). Formerly the groups work
separately to serve their members especially in saving activities and others supported by field extension
agents. At one stage the members of those group found several issues and problems in developing their
productive activities such as:
Getting 750,000 rupiahs from P4K project was too small (and once a year)
Limited access to banks
It took time to get the credit, and
The process seems too complicated
On the basis of these considerations, then in 1993, 13 out of 25 groups got together to form an
association called ―Asosiasi Karya Terpadu‖ with total members 122 - all female. With group member
contribution Rp. 1500 in the first stage, the association facilitate saving and loan activities. With wide
range of supports, the association developed significantly within the last few years and in Oct. 2001 the
association has had Rp. 511,190,270. (About 80 % members‘ contribution, while the rest from
government).
The association has the following activities:
Saving and loan
Trade (shops)
Electricity account
Marketing of group members‘ product
Service - chair rental
Credit service for ―motor cycle‖
Driving license for the community
Social services (health support, etc).
Farmer
Groups
- ―Micro Finance Institutions -LKM
―Association‖
Women
groups Handy craft
groups
Monetary support to rural communities
Village boundary
Figure 2. The Model of “Karya Terpadu” Micro Finance Institution – Rarang Village, East
Lombok Indonesia
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
66
REFLECTIVE SUMMARY AND IMPLI CATION
1. Alternative Models
Based on the above results, a tentative model of micro finance institutions is developed, as it is
depicted in figure 3. This model shows a strategies position of the micro finance institutions within the
whole system of development (farmers or rural communities and their groups, government and non-
governmental agencies).
Figure 3. A Conceptual Model of the Micro Finance Institution (Draft)
2. Strategic Roles of the Micro Finance Institutions: addressing the existing issues
Figure 3 indicates a central position of micro finance institutions within the whole system of
rural development (financial system). From financial perspective, farmers either individually or through
groups develop their strong relationship with micro finance institutions that should be located at village
level. The establishment of micro finance institutions at village level may address several issues found in
the existing schemes - especially in term of time and space as well as other sociological and psychological
aspects. First, financial institutions such as Rural cooperative as well as banks (BPD and BRI) far away
from farmers - usually located at district or sub-district level - that lead to farmers‘ lack of access and
exposure to the banks‘ products. With this model, farmers or farmer groups may develop effective
communication and intensive contact with the micro finance institutions. On the other hand, control
toward farmers behaviour become more effective and intense. Issues found in most of the previous
schemes such as ―the credit was release not on time‖, ―lack of control either from financial institutions or
related agencies‖, ―manipulation of data on land size and farmers‘ name‖ will be addressed in this model.
GOs and NGOs Agencies (including banks)
TEAM - Development Lens
Rural Communities
Farmer
Groups
- ―Micro Finance Institutions -LKM
―Association‖
Women
groups Handy craft
groups
MONETARY SUPPORT
Village
boundary
Technical
Supports
Technical
Supports
Coordination Coordination
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
67
Second, Through a participatory approach in establishing micro finance institutions at the village level,
the proposed model may strongly promoted communities‘ sense of belonging to the institutions which in
turn lead to high responsibility and commitment - in particular to repay their credit. This study found that
monetary support given and channeled by related government institutions or banks had been perceived as
―gift‖ or ―grant‖. As a result, farmers‘ commitment to repay the credit was very low. The proposed
model will also address these issues. Third, the proposed model of the micro finance institutions may
help in converging and diverging all resources directed toward village development - especially in term of
monetary flows. Development experience indicated that many cases of development failures were due to
parallel approach to rural development. Every department and agencies took its own action and
approaches to rural areas and this has led to inefficiency and ineffectiveness (overlapping of resources
and efforts). To some extent the approaches have been claimed for participatory decline in rural areas.
Through the proposed model, these issues will be address as indicated in Figure - the micro finance
institutions act as ―development lens‖ (term ―one-gate‖ approach was raised in the case studies) in the
areas of monetary flows/support. Through converging and diverging functions, the micro finance
institutions will enhance monetary support effectiveness in particular and rural development in general.
Forth, the establishment of micro finance institutions at village level may strongly support local or village
development the profits gain by the micro finance institutions will stay at local level and this will help in
increasing capital formation, which is needed in the rural development. Saving and lending activities may
be increased and economic development then may progress and communities‘ income and welfare status
may be increased.
3. Group Approaches: A need for group effectiveness and sustainability
The proposed model highlights strategic roles of groups in supporting micro finance institution
effectiveness and sustainability. However, the groups should be effective and sustainable. Effective and
sustainable groups should meet criteria such as; the group size has to be small (e.g. about 10 in P4K),
effective leadership, homogeneity, participatory in group formation and action, cohesive and effective
rules. The study suggests that once groups develop to a certain stage, then they would find a need for
micro finance institutions to serve various group needs.
Groups are critical to an effective and sustainable micro finance institution. For this reason, the
groups should develop the following roles:
Mobilising group members saving and lending activities
Developing group members‘ sense of belonging and responsibility toward groups as well as toward
the micro finance institution
Facilitating learning process to change knowledge, skills, and attitudes
Helping group members in developing individual planning
Promoting effective participation
Helping the micro finance institution in every aspect of credit delivery and repayment.
This study found that most groups involved in the ten schemes did not effective and sustainable
(see interview and FGD results). Several issues raised during the interviews and FGDs are: the group just
exist for getting credit and for project, manipulation of group members‘ identity and data (group
members‘ name were used by group leaders to get credit without any permission; data on land size were
manipulated), failed to return their credit, negative cohesion (group members togetherness in not repaying
their credit by referring to other groups or individuals‘ behaviors - ―why should we return the credit while
the others did not?‖).
These issues will be addressed with the proposed model. Effective approaches to group
formation and activities should be taken - participatory and integrated approaches. External factors of
groups should also support the group environment and effectiveness. Field agents‘ professionalism and
commitment are required.
The successful credit repayment demonstrated by one of the following factors:
Group members are female
Group members have off-farm activities
Faith or believe that ―credit should be repaid‖ - Religious believe.
Based on these findings, the groups under this model should consider that these factors are
critical to groups as well as their micro finance institutions‘ effectiveness and sustainability.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
68
4. GO, NGOs and Banks: the need for participatory, integration and effective coordination
Failures in schemes/rural credit partly due to ineffective approaches taken by government as well
as non-governmental organisations. As it was found in the interviews and FGD several issues in regard to
GO and NGOs are; lack of coordination, top-down process, the use of unrealistic targets, lack of control
and supervision, lack of commitment, lack of support and facilities provided to field agents. These issues
would be addressed in the proposed model through development of better understanding among agencies
(GO and NGOs) about the need for participatory and integrated approaches. Fail to do so may lead to
groups as well as micro finance institution ineffectiveness.
With the proposed model, all stakeholders of rural development should realised that all forms of
monetary supports to rural development (loan, grant, subsidies) flow through ―micro finance institutions‖.
This approach may shift the existing negative image of development from ―development as delivering
credit as a gift or grant‖ to ―development as empowering process‖. Monetary support should not be
exposed directly to the rural community as given by the agencies, but let their micro finance institutions
to have the voice (e.g. explaining to their members that the institution has allocated a certain amount of
money to support certain development programs).
Development agencies should make agreements with the micro finance institutions, for instance
in aspects of ―reasonable interest rate‖, ―profit margins‖, ―transaction costs‖, ―period of credit‖ and
―whether the micro finance institution act as executing or channeling agent?‖
5. Effective and Professional Field Agents
The proposed model requires also professional and effective field agents to help groups as well
as micro finance institutions. Their jobs to work closely with these two types of institutions. To be
professional and effective, adequate supports, facilities, training and reward should be provided to the
field agents.
6. Expected Outcomes
The proposed model will lead to the development of:
Sense of belonging (to the groups as well as the micro finance institutions)
Sense of credit
Sense of responsibility
Strong commitment to repay the credit
Direct relation between financial institutions and farmers/rural communities
Strong control
Resource convergence and divergence
Effective coordination and collaboration
New perception of development - it is no longer development as ―giving credit as a gift or grant‖
Some conditions required achieving effective and sustainable micro finance institutions are
summarised in the following table.
Components Conditions
Farmer groups Must be established through participatory approach, small in size, homogen in membership, members should have off-farm activities, effective leadership,
follows Participatory Action Management model (Chamala, 1995), get technical
assistance from field agents, established not for project but for community
empowerment, have clear objectives, high positive cohesiveness Field agents Must be professional, high commitment, get incentives (monetary and or
facilities), clear job description and responsibility, stay close to groups or micro
finance institutions, effective coordination with other agents, no role conflict
Micro finance institutions Established based on the felt need, participatory approaches, covering several community groups, at village level, promoting communities‘ sense of belonging
and responsibility, develop effective up-ward, down-ward and horizontal
relationships, applying PAM model principles and philosophy, develop social,
economic and cultural approaches, involving female, interest rate should be competitive (less than applied by informal money lender), groups or members
should develop or have off-farm activities (which shows strong support to high
repayment rate in credit), mobilising saving and lending activities, develop
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
69
agreement with bank and other related agencies, promote effective coordination and conducive environment with groups and members
GO and NGOs (include banks) Better understanding of development approaches (empowering approaches),
effective coordination, better understanding of ―development lens‖ (―one-gate‖
system), the need for paradigm shift, use of PAM model philosophy and principles, follow action-learning process.
7. The Need for Training and Action Lerning
On the basis of the findings as well as the proposed model, some training activities and programs
are required and designed. These trainings involving wide ranges of participants, from farmers to
development agencies (GO and NGO and bank). Training subjects for every stakeholders or components
of the micro finance system are presented in the following section.
Farmers and Farmer Groups (at village level)
Groups and development
Development, participation and empowerment
Why do we need groups
How to establish effective and sustainable groups
Groups and the for Micro Finance institutions
Effective and sustainable micro finance institutions
Micro Finance Institutions (MFI)
The existing MFI:
New roles of MFI toward its effectiveness and sustainability
How to promote effective relations with groups and agencies
Effective model of MFI
Empowering groups and MFI
The needs to change community image and perceptions
The new establishing MFI (facilitating the existing effective groups):
Groups and the for Micro Finance institutions
Effective and sustainable micro finance institutions
New roles of MFI toward its effectiveness and sustainability
How to promote effective relations with groups and agencies
Effective model of MFI
Empowering groups and MFI
The needs to change community image and perceptions
GO, NGOs and Field Agents or Group Partners
Groups and development
Development, participation and empowerment
Why do we need groups
How to establish effective and sustainable groups
Groups and Micro Finance institutions
Effective and sustainable micro finance institutions
Appendices:
Table 1. Respondents’ Perceptions of KUT Performance, Factors Associated with poor performance and possible
interventions - Bima & West Lombok districts
Respondents
Variables
Credit
performance Causes for performance Possible interventions
1 2 3 4
Farmers -
contact and
ordinary
farmers (14 farmers)
Worse Lack of awareness to return the
credit even they could (they have
the cash).
Change farmers‘ behaviour and
improve their commitment
Effective support by field agents
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
70
1 2 3 4
There was no support from field
agents to use the credit
Groups did not work (most groups
just exist on the paper for the
credit purpose, membership did
not clear)
Field agents did not collect the
credit/did not visit their farmers -
lack of technical assistance
Lack of cash - production failure
Credit was corrupted by group
leaders (farmers‘ name were used
for group leaders‘ interest).
Data manipulation
The use of reference groups ―Other
farmers did not repay their credit,
why should I?‖
Credit was not on time (after the
planting)
Technical assistance is crucial
There is a need to change farmers‘
perception of credit - by creating
―direct contact‖ between the bank
and farmers‖ (creating a feeling
that the credit is really a credits
that should be returned, and not a
gift from the government)
Effective control should be done
to avoid data manipulation
(farmers‘ name and land size) and ―farmers with multiple credit on
the same piece of land‖
Effective group have to be
established/promoted
LSM KUT fail Lack of farmers‘ commitment
Negative image of credit
LSM staff‘s behaviours
―We were not ready to do the task
properly‖
Groups could not help
Lack of field agent support
Credit was not released on time
(decision was late from the cooperative office)
Lack of coordination
Improve farmers‘ commitment
and image toward the credit
Effective preparation prior to
credit release
Effective control is needed
Adequate support for field agents
Create effective coordination
among the stakeholders
Help to promote effective farmer
groups
Rural
Cooperatives
(6 respondents)
―KUT
hancur‖...‖Yo
u knew it already‖
―Due to KUT,
the
cooperation should take
responsibility
‖ - but we do not want to
take any form
of
responsibility - the credit
just pass
through KUD.
We never got it!
―Because they said it is credit,...for
farmers or saving and lending
activities or from the government‖
-. This would not be returned
Lack of coordination between
agencies and KUD
Agencies‘ language different from
our language (used our language
and not yours)
Farmers‘ mentality‖ - it is their
opportunity (for corruption and
manipulation, enjoying the credit)
since the more than 30 years of the
new order regime (whereas government elite corrupted ―our
money‖)
There is no clear cut between
development programs and project
with political interest
Use of reference groups
(especially Gus Dur & Alwi Sihab
- no one doubt about their
religiousity, but why their
bahaviour did not reflect their knowledge? Why should we?)
Negative impacts of TV news
Farmer groups did not effective
Data manipulation
LSM did not work well
(corruption)
―We have experienced three times
‗pemutihan‘, the key point is the
important of religious language‖
Do not say credit from government or project or programs
(no different between project and
program - all about ―gift for
farmers‖
Give us
accountability/responsibility (do
not go to farmers and say ―the
budget from us - government‖)
The need for better coordination
and integrated effort
Need for system approach
Need for effective Law - ―if wrong
or stubent take them to the court‖
Give farmers price subsidy - so
they can repay the credit
Give us the budget, we will
organise and manage the credit -
agencies could discuss with us behind the screen
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
71
1 2 3 4
District staff
of
Cooperative
(4 respondents)
―You
knew
already
how worse
KUT‖
―KUT
macet
almost 10
billion‖
Group did not work well (for
project only)
Data manipulation - at farmers and
LSM levels
Negative perception of credit and
development programs - farmers‘
perception
Lack of field agents‘ commitment
- limited control and supervision,
lack of operational and supervision
cost, lack of knowledge and skills
The use of reference groups
Lack of preparation at groups and
agency levels
Groups have to be established
properly - not just for project or
credit
Control and cross check have to be
performed
Develop positive perceptions for
credit
Professional field agents
Direct contact with cooperative or
bank
District staff
of Dept. of Agriculture (4
respondents)
―Very bad‖
―KUT Kaco‖ Farmers‘ mentality is bad‖
LSM was not effective - corrupt
and manipulation (LSM
coordinator is now in court
Farmers nowadays more clever -
they compare themselves with
other cases such as Edy Tanzil,
Tommy - whom have huge debt, and Gus Dur (the use of
government budget)
―Perception credit as grant‖ or
―gift‖
KUT disbursement was not on
time - then used by group leaders or LSM - could not be returned
Lack of supervision and control
Lack of support to field agents
Credit sustainability is very low.
Farmers‘ internal states need to be
changed
Short out the procedures - involved agency (no need for
LSM)
Professional field agents
Needs for support (facilities,
incentives, costs)
The need for legislation (perda)
Continuous supervision and
control
Group should be small to organise
BPD (2
respondents)
―Failure‖ Lack of support from related
Department
Lack of farmers‘ commitment
Lack of knowledge
The use of other groups as
reference
Negative perception of credit - ―it
was a gift - grant‖
Groups did not work
Local specific need to be
considered
Individual responsibility/approach
may be better in case the groups
did not work
Group performance need to be
improved
Support for field agents should be
increased
BRI (2
respondent) ―KUT
performan
ce was worse‖
KUT since
the early
period -
Bimas - has always
the
problems
Tunggaka
n KUT in Bima
almost 10
billion
Lack of support from related
institution
Lack of sense of responsibility
To long chain in procedure
Data manipulation
Difficult to check the
proposal/group plan in the field
KUT was not on time - too many
proposal to be proceed
While the ―target‖ should be
achieved
Negative effect of TV news -
corruption cases
Negative image of credit
Field agents did not work well -‖
never visited farmers‖
Need for professional agents and
more integrated support
Promote direct contact between
bank and farmers
Other department should drop
their monetary support to the bank
- the bank then contact with
farmers
To develop positive image of
credit
Do not use term ―project or
program‖
Group have to be small and
effective (self-selected members)
―Fairness‖ and ―commitment for
work‖ are essentials (kejujuran & ada usaha)
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
72
PENGEMBANGAN WILAYAH LAHAN KERING DI PROPINSI NTB
UNTUK MENDUKUNG OTONOMI DAERAH
Suwardji dan Tejowulan
Peneliti Pada Pusat Pengkajian Lahan Kering dan Rehabilitasi Lahan Fakultas Pertanian UNRAM, Jalan Pendidikan Mataram, Telp 0370-628143
PENGANTAR
Dalam undang-undang otonomi daerah menjelaskan bahwa pelaksanaan pembangunan ekonomi
daerah berada dalam kewenangan penuh daerah, baik dalam pengambilan keputusan pelaksanaan
pembangunan melalui pemilihan pola dan bentuk kawasan/wilayah yang akan diandalkan dan
dikembangkan maupun pemilihan produk-produk yang berpotensi diunggulkan untuk mendukung
otonomi daerah.
Selain itu otonomi daerah mempunyai tujuan murni mencapai peningkatan kesejahteraan
masyarakat secara langsung dan peningkatan kemandirian daerah dalam pengelolaan potensi unggulan
daerah yang secara bersama-sama mendukung program pembangunan ekonomi daerah.
Dipihak lain globalisasi yang terus bergulir mengharuskan kita patuh pada berbagai kesepakatan
internasional yang tidak dapat dihindari dan telah menempatkan pemerintah daerah pada posisi terdepan
pada berbagai potensi dan produk unggulannya untuk dapat bersaing bebas dengan negara lain.
Implikasi dari beberapa hal yang telah diuraikan di atas adalah bahwa perkembangan ekonomi
daerah dapat dipercepat melalui pengembangan potensi , andalan dan unggulan daerah agar tidak
tertinggal dalam persaingan pasar bebas, namum hal ini tentu tidak melupakan tujuan murni otonomi
daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Melihat potensi, andalan dan unggulan yang dimiliki oleh Propinsi NTB, pertanian lahan kering
mempunyai prospek yang besar untuk dikembangkan agar dapat mempercepat laju pembangunan daerah.
Lahan kering yang dimiliki Provinsi NTB cukup luas (> 1,8 juta hektar) dan mempunyai potensi
keanekaragaman komoditi yang dapat dikembangkan serta merupakan komoditi-komoditi unggulan yang
banyak diminta oleh pasar. Jika potensi ini digarap sungguh-sungguh akan merupakan keunggulan
kopartatif daerah yang dapat menjadi andalan dalam memacu pembangunan daerah.
Namun dalam pengembangan pertanian lahan kering menghadapi berbagai masalah baik biofisik,
sosial ekonomi dan kelembagaan. Berbagai kendala yang sering dihadapi adalah (a) kondisi biofisik dan
lingkungan yang rentan terhadap degradasi (b) infrastruktur ekonomi di wilayah lahan kering yang sangat
terbatas, (c) kurangnya teknologi tepat guna yang terjangkau oleh petani (d) kemampuan pemerintah
daerah dan masyarakat dalam pengembangan pertanian lahan kering yang relatif terbatas, dan (e)
partisipasi berbagai stakeholder utamanya pengusaha swasta dalam pengembangan wilayah lahan kering
yang masih kurang.
Melihat potensi besar pertanian lahan kering yang dimiliki Provinsi NTB serta berbagai
permasalahan yang sangat komplek, dalam pengembangannya diperlukan komitmen yang sungguh-
sungguh dari berbagai pihak baik dunia usaha maupun pemerintah serta masyarakat secara terpadu untuk
mewujudkan tercapainya peningkatkan kesejahteraan masyarakat secara luas. Makalah ini akan
membahas berbagai aspek tersebut di atas secara ringkas.
BATASAN DAN BEBERAPA PENGERTIAN
Wilayah secara umum adalah unit geografis (ruang) yang dibatasi oleh ciri-ciri tertentu yang bagian-
bagiannya tergantung secara internal, serta sekaligus menjadi media bagi segala sesuatu untuk berlokasi
dan berinteraksi. Menurut UU No 24/1992 tentang ―Penataan Ruang‖, wilayah adalah ruang yang
merupakan kesatuan geografis beserta unsur terkait padanya yang batas dan sistimnya ditentukan
berdasarkan aspek administratif dan aspek fungsional.
Pengembangan wilayah adalah segala upaya perbaikan suatu atau beberapa jenis wilayah agar semua
komponen yang ada di wilayah tersebut dapat berfungsi dan menjalankan kehidupan secara normal.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
73
Pembangunan wilayah ditopang oleh empat pilar yaitu (1) sumberdaya alam/fisik-lingkungan (2)
sumberdaya buatan/ekonomi (3) sumberdaya manusia, dan (4) sumberdaya sosial-kelembagaan.
Lahan kering adalah hamparan lahan yang didayagunakan tanpa penggenangan air dalam kurun waktu
tertentu, baik secara permanen maupun musiman dengan sumber air berupa hujan atau air irigasi.
Menurut hasil rumusan Seminar Nasional Pengembangan Wilayah Lahan Kering di Mataram bulan
Mei 2002, wilayah lahan kering mencakup : sawah tadah hujan, tegalan, ladang, kebun campuran,
perkebunan, hutan,semak, padang rumput, dan padang penggembalaan.
PERLUNYA RE-ORIENTASI KEBIJAKAN DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN
PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT
Dimasa mendatang sektor pertanian dan agroindustri tampaknya merupakan sektor andalan utama
propinsi NTB, dengan rentannya sektor pariwisata terhadap gejolak sosial dan politik nasional maupun
internasional. Sektor pertanian dan agroindustri di masa mendatang mempunyai misi ganda harus mampu
mampu menyediakan pangan nasional dan juga harus mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat
tani serta memacu pertumbuhan ekonomi nasional untuk bangkit dari kondisi krisis ekonomi yang
berkepanjangan.
Tugas berat ini mengharuskan kita untuk mengubah paradigma lama pembangunan pertanian
yang bertumpu pada lahan basah dengan mengembangkan potensi andalan lahan kering yang belum
digarap dengan sungguh-sungguh. Lahan kering lebih menguntungkan karena areal yang dapat
dimanfaatkan lebih luas, prasarana/infrastruktur relatif lebih mendukung, dan teknologi serta sumberdaya
petani juga sudah cukup tersedia. Dengan pembangunan lahan kering berwawasan agribisnis diharapkan
ketersediaan pangan nasional, kesejahteraan petani dan kelestarian sumberdaya pertanian secara seimbang
dapat diwujudkan.
Selanjutnya pembangunan wilayah lahan kering harus diarahkan pada pertanian yang tangguh
modern dan berbasis agribisnis pedesaan sehingga mampu bersaing dalam persaingan global.
Pembangunan pertanian yang tangguh tersebut harus dilakanakan secara berkelanjutan (sustainable)
sehingga produktivitas, efisiensi dan kelestarian lingkungan menjadi variabel yang secara bersamaan
harus menjadi tujuan, melalui pendekatan pemberdayaan petani dan sumberdaya lokal padesaan. Agar
sektor pertanian dapat menjadi motor perekonomian nasional, pengembangan pertanian secara horisontal
(deversifikasi komoditi unggulan) dan vertikal (deversifikasi teknologi hulu-hilir) yang dikelola secara
agribisnis berwawasan lingkungan dan sudah harus menjadi agenda pembangunan wilayah lahan kering
di masa mendatang. Kegiatan pertanian yang dikelola secara agribisnis mempunyai spektrum luas yaitu
dari kegiatan hulu seperti penyediaan saprodi, dan teknik budidaya, sampai kegiatan hilir seperti
agroindustri, distribusi dan pemasaran hasil (Solahudin, 1999). Semua kegiatan tersebut harus mampu
meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani serta mampu melestarikan lingkungan. Pembangunan
sektor pertanian berkelanjutan berbasis agribisnis tersebut diarahkan pada upaya peningkatan ketahanan
pangan, pemberdayaan usaha kecil dan menengah, meningkatkan ekspor, dan memacu pertumbuhan
perekonomian nasional dengan tanpa mengurangi daya dukung lingkungan.
Lahan kering lebih menguntungkan karena areal yang dapat dimanfaatkan lebih luas,
prasarana/infrastruktur relatif lebih mendukung, dan teknologi serta sumberdaya petani juga sudah cukup
tersedia. Dengan pembangunan lahan kering berkelanjutan berwawasan agribisnis diharapkan
ketersediaan pangan nasional, kesejahteraan petani dan kelestarian sumberdaya pertanian secara seimbang
dapat diwujudkan.
Isue yang disinyalir dengan menurunnya ketersediaan air pada musim tanam saat kemaru di satu
pihak, dan melimpahnya air pada musim hujan di pihak lain, menunjukkan kurang efisiennya menejemen
air selama ini. Saat ini, hampir semua air irigasi maupun air hujan setelah digunakan untuk pertanian
terus hilang keluar tanpa adanya upaya mandaur ulang. Sudah waktunya air hujan maupun air irigasi yang
digunakan maupun yang belum digunakan diupayakan untuk tidak terbuang ke laut. Untuk itu diperlukan
reorientasi menejemen air dari sistem terbuka yang selama ini diacu menjadi sistem tertutup.
Implementasi dan konsep menejemen tertutup dilakukan dengan membangun embung-embung untuk
lahan kering dan reservoir ke laut. Di tingkat lapang, menejemen hemat air perlu terus
diimplementasikan, dengan cara ini masalah air musim kemarau diharapkan dapat ditanggulangi.
Penerapan teknologi irigasi tetes yang dikembangkan Hamzah (Bsappeda Provinsi NTB, 2002) telah
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
74
terbukti dapat digunakan untuk mengembangkan tanaman hortikultura seperti mangga, cabe, jeruk dan
anggur dan ini merupakan peluang bisnis besar untuk propinsi NTB.
PENGEMBANGAN LAHAN KERING YANG BERKELANJUTAN
Konsep pengembangan sistim pertanian yang berkelanjutan menjadi isu global muncul pada tahun
delapan puluhan, setelah terbukti pertanian sebagai suatu sistem produksi ternyata juga sebagai sumber
pencemar sumberdaya lahan dan air. Pertanian bukan hanya penyebab degradasi lahan in situ, tetapi juga
penyebab degradasi lingkungan ex situ. Meluasnya lahan-lahan marjinal dan pendangkalan perairan
dihilir merupakan bukti bahwa pertanian yang tidak dikelola secara berkelanjutan telah menurunkan mutu
sumberdaya pembangunan. Oleh karena itu, tantangan pertanian saat ini dan masa depan adalah
bagaimana pertanian dapat mamasok kebutuhan hidup manusia secara a secara berlanjut tanpa banyak
menimbulkan degradasi sumberdaya alam.
Konsep pengembangan sistim pertanian yang berkelanjutan sendiri diturunkan dari konsep dasar
pembangunan berkelanjutan, yaitu kebutuhan hidup manusia saat ini dapat dipenuhi dengan tanpa
mengorbankan kemampuan memenuhi kebutuhan hidup generasi berikutnya. Artinya, sebagai subsistem,
pertanian berkelanjutan harus mampu memanfaatkan sumberdaya secara efisien dan berinteraksi secara
sinergis dengan subsistem pembangunan berkelanjutan lainnya. Batasan sistim pertanian berkelanjutan
sangat beragam, tetapi benang merah yang menjadi dasar adalah bahwa (1) pertanian harus lebih
produktif dan efisien, (2) proses biologi in situ harus lebih berperan, dan (3) daur ulang hara internal lebih
diprioritaskan. Atas dasar ini Tehnical Advisory Commitee TAC) dan FAO (1995) mendefinisikan sistim
pertanian berkelanjutan (SPB) sebagai budidaya pertanian yang mengandalkan menejemen
sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia tanpa menurunkan mutu lingkungan dan
mutu sumberdaya alam. Selain itu, SPB juga harus layak secara lingkungan, teknis, ekonomi dan sosial.
Dengan perkataan lain SPB bukan hanya berbasis produksi dan lingkungan, tetapi juga berbasis
agribisnis.
Dari uraian di atas, batasan berkelanjutan (sustainability) mengandung pengertian berkelanjutan
pendapatan (berwawasan agribisnis) dan kelestarian sumberdaya alam (berwawasan lingkungan).
Secara sederhana batasan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut (Utomo, 2001):
Keberlanjutan = Produksi (pendapatan) + Konservasi Sumberdaya
PRINSIP-PRINSIP DASAR PENGELOLAAN EKOSISTIM PERTANIAN DAN AKTIVITAS
MANUSIA
Telah lama disadari oleh ahli pertanian, ahli ilmu sosial ekonomi, dan ahli lingkungan bahwa
pemecahan masalah tentang penggunaan dan pelestarian sumber daya lahan memerlukan suatu
pendekatan secara terpadu (Lee dkk.,1992). Menurut Wood (1994) pengelolaan ekosistim adalah
memadukan prinsip-prinsip ekologi, ekonomi dan sosial ekonomi untuk dapat mengelola sistim biologi
dan fisik dengan cara yang dapat menyelamatkan kesinambungan ekologi, keanekaragaman hayati, dan
produktivitas lahan. Sehingga pengelolaan ekosistim pertanian sebenarnya adalah mengelola aktivitas
manusia dalam mengelola lahan, tanaman, rerumputan, ternak, air dan biota lain (Chistensen dkk. 1996).
Disadari atau tidak kita telah banyak melakukan berbagai kesalahan dalam pengelolaan
ekosistim lahan kering yang ada. Dalam pengelolaan lahan kering, kita telah mengabaikan prinsip-prinsip
keseimbangan alami untuk dapat memperoleh keseimbangn ekosistim pertanian yang mantap.
Pemahaman kita tentang prinsip-prisip dasar pengetahuan pertanian lahan kering di bagian atas tanah
(above ground) cukup memadai, namun pemahaman kita masih sangat terbatas pada berbagai proses yang
berlangsung di dalam tanah.
Manusia telah banyak melakukan perubahan-perubahan pada ekosistim lahan kering. Perubahan
yang sangat cepat yang terjadi dengan berbagai aktivitas manusia seperti : pengolahan tanah, masukan
bahan kimia, dan introduksi jenis-jenis tanaman dan rumput makanan ternak dengan produksi tingggi,
merupakan tantangan yang menuntut kemampuan yang tinggi dalam mengelola ekosistim secara
berkesinamabungan (Chistensen dkk., 1996). Konsep pertanian lahan kering yang kurang memahami
bagaimana sebaiknya kita berdampingan dengan alam secara ramah dan berkeseimbangan adalah suatu
kesalahan besar yang merupakan sumber utama bencana. Untuk itu diperlukan pembenahan mendasar
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
75
dalam konsep pengelolaan lahan untuk mencapai sistim pengelolaan pertanian lahan kering yang
berkelanjutan. Kerusakan yang paling penting yang terjadi pada sistim pertanian di lahan kering adalah
hilangnya sebagian besar vegetasi alami yang selanjutnya berdampak pada menurunnya keanekaragaman
hayati (Sounder, 1990). Pengrusakan berat yang terus menerus dilakukan terhadap tanah, vegetasi, dan air
yang menghasilkan kerusakan terhadap struktur tanah dan perubahan terhadap sifat kimia tanah, dan
meningkatnya invasi gulma yang secara keseluruhan berpengaruh langsung terhadap produksi pertanian
di lahan kering (Chan dan Prateley, 1998)
BERBAGAI USAHA-USAHA YANG PERLU DILAKUKAN UNTUK MENUJU SISTEM
PERTANIAN LAHAN KERING YANG BEKELANJUTAN
Berbagai pihak perlu ambil bagian secara aktif untuk merumuskan sistim pertanian lahan kering
yang berkelanjutan. Perlu upaya pemecahan berbagai pemasalahan penting yang ada di tingkat petani,
peneliti dan pemerintah. serta diperlukan pentingnya aksi tindak.
1. Petani dan masyarakat
Secara umum dapat dikatakan cukup tersedia teknologi sistim pertanian lahan kering yang
berkelanjutan walaupun masih memerlukan validasi dan modifikasi sesuai dengan kebutuhan lokal. Ada
sebagian petani yang cukup adoptif dengan teknologi, tetapi sebagian besar lainnya bersikap masa bodoh
atupun tidak tahu adanya penurunan kualitas lingkungan (Vanclay, 1994). Sistim penyuluhan tradisional
belum mampu sepenuhnya mengajak petani dalam adopsi teknologi yang ramah lingkungan (Vanclay,
1994). Dipelukan perubahan mendasar perilaku petani untuk dapat mengelola lahan kering secara
berkelanjutan.
Orientasi keuntungan jangka pendek merupakan pembatas utama untuk adopsi teknologi lahan
kering. Perlu perbaikan infrastruktur ekonomi dan kemitraan yang sinergis untuk menjamin harga produk
lahan kering yang cukup baik dan memadai, dan diperlukan bantuan keuangan untuk adopsi teknologi
lahan kering yang berkelanjutan. Untuk dapat meningkatkan keuntungan petani lahan kering memerlukan
akses informasi yang cepat tentang apa yang terjadi di pasaran dan tersedianya teknologi pertanian lahan
kering yang dapat terjangkau petani dan ramah lingkungan.
Rendahnya pendidikan, merupakan penyebab lain rendahnya adopsi teknologi lahan kering.
Belajar berkelompok sering menjadi perilaku dominan dan petani mempunyai watak dan perilaku yang
berbeda (Vanclay, 1997). Pelatihan yang memadai sangat diperlukan untuk dapat tercapainya perubahan
sikap dan perilaku mereka dalam adopsi teknologi lahan kering. Pengalaman selama tiga puluh tahun
yang lampau menunjukkan petani selalu dijadikan suatu target kebijakan dan obyek kegiatan dengan
pendekatan top-down. Sudah saatnya petani perlu dilibatkan secara aktif sebagai partisipator (Vanclay,
1997). Diperlukan kerja sama kemitraan antara petani, peneliti, mitra usaha, dan pemerintah dalam
memahami perilaku lahan kering dan mengembangkan teknologi lahan kering yang tepat guna yang
terjangkau oleh petani dan ramah lingkungan.
2. Peneliti
Banyak peneliti di bidang ilmu-ilmu pertanian yang telah melakukan peneltian yang sangat baik
dalam aspek spesifik di bidangnya masing-masing dan ahli ekologi telah banyak melakukan penelitian di
bidang konservasi pertanian. Namum mereka belum secara terpadu bekerja sama untuk memahami
proses-proses ekologi pada lahan kering (Carroll dkk., 1990). Karena sistim pertanian merupakan sistim
yang bergatra ganda dan bekelakuan stokastik, maka berbagai masalah yang ada perlu ditangani dengan
penghampiran sistim (Notohadiprawiro, 1980) dengan melibatkan multi-disiplin. Penghampiran khusus
(partial) memang cocok untuk menyelesaikan masalah terbatas yang terperikan secara rinci. Namum
pendekatan semacam ini mempunyai kelemahan, yaitu penanganan masalah bagian demi bagian sering
tidak memiliki keeratan hubungan antara satu bagian dengan bagian yang lain dalam sistim
(Notohadiprawiro, 1980). Di samping itu, pemecahan masalah secara partial ini mungkin akan
menimbulkan permasalahan baru yang sulit dipecahkan. Oleh karena itu diperlukan penelitian
multidisiplin dengan pendekatan agroekosistim (agroekosystem approach) (Paterson dkk., 1993).
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
76
3. Pemerintah
Pemerintah mempunyai peran yang besar dalam pengembangan pertanian untuk menuju cara-
cara produksi pertanian lahan kering yang berkelanjutan. Pemerintah diharapkan mempunyai komitmen
yang kuat sebagai fasilitator, activator dan mediator dari berbagai pihak dalam rangka pengembangan
wilayah lahan kering. Bentuk komitmen tersebut hendaknya dituangkan dalam kebijakan yang nyata
dalam seperti propeda maupun rencana strategis pengembangan lahan kering yang kemudian diikuti
dengan bentuk-bentuk nyata dukungannya dalam aksi tindak yang berkelanjutan.
4. Program aksi (Action Plan)
Agar sekenario pengelolaan lahan kering berkelanjutan dapat diwujudkan, diperlukan program aksi
dari tingkat perencanaan sampai pada tingkat lapangan. Apalagi dalam menghadapi pelaksanaan otonomi
daerah dimana di satu sisi daerah harus mampu meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), di pihak
lain kelestarian sumberdaya lingkungan juga perlu wujudkan. Oleh karena itu, daerah harus mampu
mencari pola pembangunan yang dapat menjawab kebutuhan ekonomi, sosial dan lingkungan sekaligus.
Sesuai dengan daya dukung, peluang pasar dan potensi sumberdaya lokal, diharapkan lahan kering akan
menjadi wilayah yang mempunyai daya saing tinggi. Secara ringkas program aksi tersebut dapat
diuraikan seperti berikut:
a. Perubahan paradigma kebijakan
Agar lahan kering dapat diberdayakan secara berkelanjutan, diperlukan perubahan
paradigma kebijakan pemerintah baik dari pusat sampai ke daerah tentang peran lahan kering dalam
pembangunan pertanian berkelanjutan. Sampai saat ini kebijakan nasional yang secara eksplisit
tertuang baru dalam GBHN yaitu pembangunan berkelanjutan. Komitmen nasional tersebut harus
diimplementasikan dalam bentuk kebijakan daerah (Propeda). Untuk propinsi NTB sebanarnya
secara formal Pola Dasar Pembangunannya telah mempunyai prioritas utama dalam pembangunan
pertanian. Kemudian lebih lanjut selayaknya perlu dijabarkan dalam rencana strategis pengembangan
lahan kering yang berkelanjutan. Secara rinci tentu dilanjutkan adanya aksi tindak dalam kebijakan
operasional termasuk insentif, dukungan dana untuk pengembangan dan kebijakan lain yang berpihak
kepada pemberdayaan masyarakat wilayah lahan kering. Untuk itulah payung besar dalam rencana
strategi pengembangan lahan kering propinsi NTB menjadi sangat mendesak dimiliki oleh Propinsi
NTB, sehingga dapat menjadi entry point bagi berbagai pihak baik dari dalam maupun luar NTB
yang ingin ikut berpartisipasi dalam pengembangan wilayah lahan kering di NTB. Adanya paying
yang jelas dapat mendorong keterlibatan berbagai pihak (multistakeholders) baik pemerintah, swasta
dan masyarakat lain.
b. Tata ruang terintegrasi
Agar pengelolaan lahan kering dapat dilaksanakan secara berkelanjutan, maka perencanaan
penggunaan lahan kering berkelanjutan (sustainable land use) perlu secara eksplisit masuk dalam tata
ruang terintegrasi. Kegiatan tata ruang terintegrasi merupakan kegiatan perencanaan yang mengacu
pada kemampuan dan kesesuaian lahan, potensi pengembangan ekonomi, kependudukan dan kondisi
fisik lingkungan yang kesemuanya dilakukan dengan pendekatan sosiologis dan dengan dukungan
perangkat perundang-undangan yang handal. Keterlibatan masyarakat (tokoh dan pakar) dalam
penyusunan tata ruang dimulai sejak perencanaan, penyusunan sampai pada pengawasan. Apabila
tata ruang terintegrasi sudah menjadi kesepakatan (sudah diundangkan), maka Pemda harus
melaksanakannya secara konsisten minimal sampai ke tingkat kecamatan. Pelanggaran terhadap tata
ruang harus dikenai sanksi hukum. Masalah implementasi tata ruang merupakan masalah paling sulit.
Untuk mendukung tata ruang terintegrasi diperlukan kebijakan pemerintah yang berpihak pada
pembangunan pertanian berkelanjutan pada umumnya dan pertanian lahan kering berkelanjutan pada
khususnya.
c. Teknologi berkelanjutan
Teknologi berkelanjutan merupakan teknologi yang bukan hanya mampu meningkatkan
produktivitas lahan dan pendapatan petani, secara sosial diterima karena murah, tetapi juga mampu
menekan degradasi lingkungan in situ dan ex situ (Gambar 2). Teknologi berkelanjutan bukan hanya
teknologi konservasi saja, tetapi termasuk teknologi pengelolaan lahan lainnya yang berwawasan
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
77
agribisnis dan berbasis iptek lokal (local knowledge based) yang diramu dengan sentuhan ilmu
pengetahuan maju. Di daerah hulu wilayah lahan kering, teknologi untuk pengelolaan lahan
berkelanjutan selain bertujuan untuk meningkatkan pendapatan petani, juga harus mampu menekan
laju degradasi tanah dan mengawetkan air. Hal ini mengingat lahan kering di bagian hulu masalah
utamanya adalah degradasi tanah, kelangkaan air dan kemiskinan. Beberapa contoh teknologi
pengelolaan lahan berkelanjutan antara lain olah tanah konservasi (OTK), teras, strip filter, embung,
tanaman penutup tanah., alley cropping dan wana tani (termasuk agrosilvipasture). Agar efisiensinya
dapat ditingkatkan, teknologi tersebut dapat berinteraksi satu sama lainnya secara sinergis.
d. Pemberdayaan masyarakat
Pengalaman intensifikasi pertanian selama 32 tahun yang sentralistik (top down)
menunjukkan adanya inefisiensi manajemen. Oleh karena itu, agar upaya pembangunan pertanian
berkelanjutan pada umumnya dan pengelolaan lahan kering berkelanjutan pada khususnya dapat
berhasil, diperlukan pendekatan bottom up melalui pemberdayaan masyarakat sejak perencanaan
sampai pelaksanaan program aksi. Teknologi yang akan diterapkan di suatu wilayah lahan kering
harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat lokal dan daya dukung lahan setempat. Pengelolaan lahan
berkelanjutan dalam bentuk program aksi seperti landcare yang melibatkan masyarakat tani dan
stakeholder lainnya dengan pendekatan partisipatif saat ini sudah sangat mendesak.
KESIMPULAN
Walaupun lahan kering mempunyai berbagai permasalahan baik biofisik maupun sosial
ekonomi, namun atas dasar potensi wilayah dan kesiapan teknologinya, dan dalam rangka menyongsong
pelaksanaan otonomi daerah, wilayah ini tampaknya dapat menjadi unggulan pembangunan propinsi NTB
untuk dapat mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Untuk memberdayakan lahan kering secara berkelanjutan, diperlukan perubahan paradigma
kebijakan pemerintah dari tingkat nasional sampai ke daerah, teknologi berkelnjutan berbasis agribisnis,
pemberdayaan masyarakat lokal, dan kemauan serta kebersamaan setiap stakeholder untuk menjadikan
lahan kering lebih kompetitif. Disini diperlukan komitmen dari berbagai stakeholder baik pemerintah
maupun dunia usaha secara luas untuk dapat mengembangkan pertanian lahan kering yang berbasis
agribisnis dan berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
Carroll, C.R. Vandermeer, J.H., Rosset, P.M. (1990). Agroecology. Mc-Graw Hill, New York.
Chistinesen, N.L. dkk. (1996). The report of the Ecological Society of America Committee on the Scintific Basis for
Ecosystem Management. Ecological Applications: 6: 665-691.
Conway, G.R., and E.B. Barbier. 1990. After the green revolution; Sustainable for Agriculture. Earhscan
Publications.
Edwards, C.E, R. Lal, P. Madden, R.H. Miller, and G. Hause, 1990.Sustainable Agricultural systems. SACS, Iowa.
Lee, R.G dkk., (1992). Ecologically effective social organization as a requirement for sustaining watershed ecosystem. Watershed Management, pp. 73-90.
Notohadiprawiro, T. (1980). Kepentingan penghampiran sistim untuk kemajuan pertanian. Seminar Pulang Kandang,
Fakultas Pertanian UGM
Paterson, G.A., Westfall, D.G., dan Cole, C.V. (1993). Agroecosystem approach to soil and crop management research. Soil Science Sosiety of America Journal., 57 :1354-1360.
Solahuddin, S. 1999. Visi pembangunan pertanian, IPB, Bogor.
Sounders, D.A. (1990). Australian ecosystem: 200 years of Utilisation, Degradation and Reconstruction. Proceedings
of the Ecological Society of Australia, 16
Utomo, M. 1995. Sistem pengolahan tanah konservasi dan pertanian berkelanjutan. Sarasehan tentang Kebijakan
Pertanian Berkelanjutan. Kantor Menteri Lingkungan Hidup. Jakarta. 9 Maret 1995.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
78
Utomo, M. 1999. Reorientasi Paradigma Pembangunan Pertanian. LKMM Mahasiswa Pertanian se Indonesia. Bandar Lampung, 21-28 Februari 1999.
Vanclay, F. (1994). Land degradation and land management in central NSW. Centre for Rural Social Studies, Charles
Sturt University-Australia.
Vanclay, F. (1997). The sociological context of environmental management in agriculture. Centre for Rural Social Studies, Charles Sturt University-Australia.
Walker, K.J. dan Reuter, D.J. (1996). Indicators of catchment health. Technical Perspective. CSIRO Publishing,
Melbourne.
DISKUSI
Pertanyaan:
1. Bagaimana cara mengembangkan tipologi (model-model yang ada).
2. Perlu ditampilkan model-model kesesuaian lahan untuk lahan kering dan bagaimana cara
mengembangkannya.
3. Bagaimana cara meramu teknologi-teknologi lahan kering itu untuk bisa menjadi suatu model.
4. Bagaiman cara mendapatkan sumber-sumber mata air, karena sumber mata air banyak yang sudah
hilang.
5. Sebelum disosialisasikan maka saya harapkan teknologi-teknologi yang dihasilkan di lahan kering
ini.
6. Perlu adanya suatu model dengan pendekatan sistem terutama masalah sosial budaya masyarakat, ini
yang perlu dikaji dahulu sebelum dilakukan program.
7. Bagaimana kondisi kesejahteraan mereka, karena tidak mungkin teknologi/program dapat berjalan
baik apabila kebutuhan pangan mereka belum tercukupi.
8. Sejauh mana kajian lahan kering ini sudah dilakukan.
9. Perlu tambahan teknologi Pasca Panen.
Tanggapan:
1. Kita perlu melihat model-model yang sudah diterapkan petani, tinggal kita modofikasi menjadi
teknologi tepat guna.
2. Sangat setuju dengan sarannya untuk dipikirkan model-model pengembangannya di lahan kering
3. Memang perlu dipikirkan daerah-daerah tertentu yang perlu diamankan (pembagian zona-zona untuk
daerah yang berpotensi sebagai sumber air).
4. Teknologi pasca panen memang perlu untuk meningkatkan nilai tambah.
5. Memang betul bahwa kita kita harus mengembangkan tanaman yang sudah banyak berkembang di
daerah tersebut.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
79
PENGGUNAAN FLOWCAST UNTUK MENENTUKAN AWAL MUSIM HUJAN DAN
MENYUSUN STRATEGI TANAM DI LAHAN SAWAH TADAH HUJAN
DI PULAU LOMBOK
Ismail Yasin 1, Mansur Ma’shum
1, Yahya Abawi
2 and Lia Hadiahwaty
3
1. Fakultas Pertanian UNRAM
2. Dept of Natural Resource and Mining. Toowoomba QLD Australia;
3. Kantor Kerjasama ACIAR – UNRAM
ABSTRAK
El Niño Osilasi Selatan (ENOS) mempunyai dampak yang nyata pada sistem pertanian di Indonesia.
Kuatnya pengaruh ENOS itu dapat dilihat dari kejadian kemarau panjang dan kekeringan di wilayah Indonesia yang bertepatan dengan kejadian El Niño. Kekeringan 1997/1998 ENOS di NTB dilaporkan menyebabkan 8400 ha tanaman
padi mengalami kekeringan berat dan lebih kurang 2000 ha diantaranya mengalami puso (BPTPH, 1999). Meskipun
demikian pemahaman kita tentang fenomena ENOS tersebut masih rendah dan sering salah kaprah. Tulisan ini
menjelaskan hubungan antara ENOS dan curah hujan, serta bagaimana kita memanfaatkan informasi fenomena tersebut untuk memprakirakan awal musim hujan dan sekaligus menyusun strategi tanam atau memilih jenis tanaman
yang tepat untuk sistem lahan sawah tadah hujan sehingga terhindar dari bahaya kekeringan. Bagian akhir dari
tulisan ini mendemonstrasikan prakiraan awal musim tanam dan prospek curah hujan sepanjang musim tanam
2002/2003 dengan menggunakan Flowcast di pulau Lombok. Demontrasi ini diharapkan dapat menjadi bahan
pertimbangan para pengambil kebijakan dalam pemanfaatan Flowcast untuk menentukan awal musim hujan dan jenis tanaman di lahan sawah tadah hujan dengan mempertimbagkan prospek air tersedia dari curah hujan dan
kebutuhan air untuk pertumbuhan tanaman.
PENDAHULUAN
Variasi iklim musiman merupakan penyebab utama menurunnya produksi tanaman pangan di
Indonesia. Kemarau panjang dan kekeringan menyebabkan gagal panen dan kekurangan pangan yang
pada gilirannya mempengaruhi mutu kehidupan di suatu negara. Variasi iklim yang tak beraturan itu
ternyata berkaitan erat dengan kejadian El Niño Osilasi Selatan (ENOS). Sepanjang sejarah rakyat di
pulau Lombok beberapa kali mengalami kejadian kelaparan yang parah. Misalnya kelaparan tahun 1954
dan 1966 dicatat sebagai peristiwa yang menyebabkan ribuan orang mati kelaparan di Lombok bagian
selatan (Team ITB, 1869). Terbukti di Lombok bahwa kejadian kekeringan atau kemarau panjang itu
bertepatan terjadinya dengan peristiwa El Niño. Kemarau panjang dan kekeringan yang terjadi pada tahun-
tahun tersebut ternyata berkaitan dengan signal IOS negatif yang kuat di lautan Pasifik. Kejadian El Niño
terakhir, tahun 1997/1998 di Nusa Tenggara Barat (NTB) menyebabkan 8.400 ha tanaman padi mengalami
cekaman air dan 1.400 ha diantaranya mengalami puso (BPTPH, 1999).
Apabila terjadi kekeringan atau kemarau panjang maka tanaman yang paling parah mengalami
cekaman air adalah tanaman yang ditanam di lahan tadah hujan (Rosiady, 2001). Dampak kekurangan air
dari tanaman lahan tadah hujan ini kelihatan nyata dengan membandingkan hasil tanaman tadah hujan
dengan tanaman beririgasi. Berdasarkan catatan dalam NTB dalam angka (BPS, 2000) hasil rata-rata
tanaman padi sawah tadah hujan berkisar antara 2 – 3.5 ton ha-1
, sementara padi di lahan beririgasi dapat
memberi hasil antara 4.5 sampai 5.5 ton ha-1
.
Di Pulau Lombok jumlah lahan tadah hujan berupa sawah adalah 15.000 ha atau sekitar 14%
dari keseluruhan sawah yang ada. Meskipun di pulau Lombok sekitar 86% lahan sawah sudah
mempunyai sistem irigasi, hanya bagian hulu (sekitar 52%) yang dapat melayani dua kali tanam dan 48%
merupakan sawah yang dilayani irigasi hanya pada musim hujan (BPS, 1997). Bila persediaan air irigasi
dalam keadaan kritis, misalnya karena terjadinya kekeringan atau hujan yang datang terlambat maka
daerah irigasi hilir ini tidak akan memperoleh air irigasi. Oleh karena itu, resiko bercocok tanam di lahan
irigasi bagian hilir ini tidak jauh berbeda dengan resiko bercocok tanam pada lahan sawah tadah hujan.
Di lahan tadah hujan gagal panen dan gagal tanam merupakan hal yang sangat lumrah dialami
oleh petani. Acap kali petani gogo rancah, misalnya, menugal pada saat kondisi lengas tanah sangat
rendah dengan keyakinan besok atau lusa akan turun hujan yang cukup untuk memulai pertumbuhan padi
di sawahnya. Akan tetapi apabila prakiraan mereka meleset maka benih yang ditugal tidak akan tumbuh
atau bibit yang baru saja tumbuh segera mati karena kekeringan (Pramudia et al, 1991). Hal ini
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
80
menyebabkan mereka harus menugal ulang dan membeli benih lagi sehingga membuat sistem pertanian
gogo rancah di lahan tadah hujan sering tidak efisien.
Untuk memperkecil resiko gagal tanam dan gagal panen serta menjamin produktivitas lahan
tadah hujan perlu dikembangkan suatu sistem peramalan yang memanfaatkan informasi iklim, terutama
hubungan antara IOS dan curah hujan. Prakiraan sifat hujan yang dikorelasikan dengan fenomena ENOS
telah dicoba di beberapa stasiun curah hujan di pulau Lombok. Sebuah program aplikasi komputer yang
disebut Flowcast telah dikembangkan oleh McClemont dan Abawi (2000) berkaitan dengan proyek
ACIAR kerjasama DNRM Australia dengan Universitas Mataram yang berjudul ―Capturing Benefit of
Seaonal Climate Forecast in Agricultural Management‖ Prakiraan dari analisis komputer menunjukkan
bahwa curah hujan di pulau Lombok mempunyai korelasi yang erat dengan fenomena ENOS di Lautan
Pasifik (McClemont dan Abawi, 2000; Yasin dan Abawi, 2002).
Prakiraan jatuhnya awal musim hujan (curah hujan > 180 mm per bulan) merupakan hal yang
sangat penting pada sistem lahan tadah hujan. Prakiraan ini akan membuahkan perkiraan jumlah air
tersedia pada suatu periode tertentu yang lebih akurat. Hal ini bila dibarengi dengan seleksi jenis tanaman
yang kebutuhan airnya sesuai dengan irama ketersediaan air maka kejadian cekaman air pada tanaman
dapat ditekan sekecil mungkin. Misalnya, jenis tanaman pilihan jatuhnya pada tanaman palawija yang
kurang menguntungkan dibanding tanaman padi, akan tetapi karena kondisi curah hujan yang kurang
tidak memungkinkan untuk mencapai hasil padi optimal; sebaliknya bagi tanaman palawija kondisi curah
hujan sepanjang musim tanam mungkin sangat ideal dan mendorong produktivitas tanaman palawija
mencapai titik optimumnya. Pilihan jenis tanaman berdasarkan kesesuaian dinamika curah hujan seperti
itu makin mendesak untuk diterapkan guna pertanian yang efisien dan mencegah timbulnya kerawanan
sosial akibat gagal panen.
Di lahan tadah hujan, dimana irigasi tidak dimungkinkan, penggunaan prakiraan jatuh awal
musim hujan dan sifat hujan sepanjang musim tanam bukan saja untuk untuk menyeleksi jenis tanaman
yang cocok dengan panjangnya musim hujan, tetapi juga untuk menentukan saat tanam atau saat tugal
yang tepat sehingga tanaman yang baru tumbuh tidak mati karena kekeringan atau justru membusuk
karena terlalu banyak hujan. Informasi tentang awal musim hujan dan sifat hujan selama musim tanam
yang diperoleh dari sistem prakiraan iklim musiman akan menjadi dasar pemilihan tanaman yang sesuai
dengan kondisi musim yang diprediksi, sedangkan bila kita masukkan informasi yang berkaitan dengan
pemasaran dari hasil tanaman yang dipilih maka akan diperoleh kombinasi tanaman yang bukan saja
unggul dari segi kemampuan berproduksi, tetapi juga unggul dari segi pendapatan atau laba usahatani.
Sampai saat ini penggunaan informasi iklim, terutama IOS untuk prakiraan awal musim hujan
maupun sifat hujan musiman di Indonesia masih sangat langka. Di lain pihak penerapan metode
parkiraan iklim musiman yang lebih sceintific seperti di atas makin diperlukan guna memahami lebih
komprehensif mengenai sifat hujan di daerah kita yang pada gilirannya mendorong kita lebih arif dalam
memilih jenis tanaman dan komoditi yang dikembangkan di suatu musim tertentu.
DAMPAK ENOS PADA IKLIM PULAU LOMBOK
Keberadaan pulau Lombok yang berada di daerah khatulistiwa dan diapit oleh dua benua (Asia dan
Australia) dan dua samudera (S. India dan S. Pasifik) menyebabkan pulau ini dipengaruhi oleh iklim musiman
(moonsonal climate); sedangkan keberadaannya di antara dua samudera dan pada sabuk khatulistiwa
menyebabkan pulau Lombok dipengaruhi angin pasat timur (easterly trade winds) yang datang dari Samudera
Pasifik. Dalam hal ini, angin dingin dari belahan bumi utara dan selatan akan berhembus ke arah daerah yang
lebih hangat (khatulistiwa) karena gaya korriolis angin ini mengalami konvergensi dan bergerak ke arah barat
sambil membawa uap air (McDonald and Co, 1985; Martyn, 1992).
Dalam kondisi normal musim hujan Indonesia, pulau Lombok khususnya dipengaruhi oleh angin
yang berada pada lajur khatulistiwa. Lajur angin ini dinamakan zona konvergensi inter tropika (the inter
tropical convergence zone/ITCZ) yang pada musim hujan berada lebih utara, yaitu berada di antara 17º dan 8º
LS (Coll and Whitaker, 1990). Selama musim panas di belahan bumi bagian selatan (Desember s/d.
Februari). Pemanasan daratan Australia menyebabkan berkembangnya pusat tekanan rendah yang pada
gilirannya menarik udara dari daerah tropika ke arah Australia. Angin passat timur yang kaya uap air dari
Samudera Pasifik berbelok ke arah Benua Australia menjadi angin barat laut (north westerly winds) dan
menyebabkan musim hujan di sebagian besar kepulauan Indonesia.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
81
Namun curah hujan selama musim hujan tidak sama dan bervariasi tergantung gradien tekanan yang
mendorong gerakan angin passat timur. Angin passat timur di Pasifik bagian tengah yang biasanya
berhembus ke barat kadamg-kadang berhenti bahkan arahnya berbalik ke arah timur (Kuhnel et al, 1990).
Perubahan arah angin passat ke timur menimbulkan pengantian secara besar-besaran rezim curah hujan di
daerah tropika, yang menghasilkan perubahan yang besar dalam sirkulasi atmosfir global yang pada
gilirannya memaksa perubahan cuaca di wilayah Pasifik tropika Kondisi inilah yang disebut fenomena El
Niño (Coll and Whitaker, 1990; Musk, 1988).
Para pakar iklim dan hidrologi di Australia, percaya bahwa kejadian hujan di Australia sangat
erat hubungannya dengan kejadian ENOS (Nicholl, 1991). Karena itu indeks osilasi selatan (IOS)
biasanya digunakan untuk mengukur peluang kejadian hujan. Nilai negatif dari IOS ini menunjukkan
adanya tekanan udara di atas permukaan laut yang lebih tinggi di Darwin dibandingkan dengan dengan di
Tahiti dan mecerminkan curah hujan di Indonesia berada di bawah normal. Nilai ekstrem dari osilasi ini
dicapai bilamana tekanan udara permukaan laut di Pasifik tengah lebih rendah dari normal maka tekanan
udara permukaan laut di Darwin cenderung di atas normal. Penyimpangan tekanan ini berkaitan dengan
peningkatan suhu permukaan laut di Pasifik tengah dan timur dan penurunan suhu permukaan laut di
Samudera Pasifik bagian barat dan Samudera India. Pasangan suhu permukaan laut (SPL) yang hangat dan
osilasi selatan (OS) biasanya diacu sebagai kejadian ENOS (Hammer and Nicolls, 1996; Allan et al, 1996)
Pengaruh ENOS di Australia telah dijelaskan dengan baik oleh beberapa peneliti sebelumnya.
(Abawi and Dutta, 1999; Clewett, et al., 1991; Nichols, 1991). McBride and Nichols (1983) menguji
secara simultan korelasi antara IOS dan curah hujan bulanan di 107 station curah hujan di Australia.
Hujan musiman di beberapa tempat di Australia dipengaruhi secara nyata oleh keadaan IOS musim
sebelumnya. Korelasi terkuat diperlihatkan pada kejadian hujan bulan Januari, Februari dan Maret yang
dihubungkan dengan nilai IOS bulan Oktober s/d Desember. Sedangkan hujan bulan September s/d
Desember diprediksi dari nilai IOS bulan Juni s/d Agustus. Di beberapa tempat menunjukkan hubungan
yang dekat antara kejadian hujan dengan nilai IOS enam bulan sebelumnya.
Di Indonesia, penelitian yang konprehensif mengenai dampak ENOS pada sumber daya air dewasa
ini telah dilakukan oleh Tim peneliti DNR Australia bekerjasama dengan Tim peneliti dari Universitas
Mataram. Hasil yang diperoleh menunjukkan adanya keterkaitan yang erat dari nilai IOS dengan
kejadian hujan di pulau Lombok (Yasin et al, 2001). Pada tahun-tahun El Nino (IOS secara konsistent
negatif) umumnya curah hujan berada jauh di bawah rata-rata dan menyebabkan kekeringan dan panen
padi tidak memuaskan. Sebaliknya, pada tahun-tahun La Niña curah hujan dapat sangat berlebihan dan
dapat menimbulkan banjir dan berpotensi menggagalkan panen terutama tanaman non padi.
Ket: Tanda belah ketupat berwarna merah pada gambar adalah periode dimana terjadinya fenomena El Nino
Gambar 1. Variasi hujan tahunan di Lombok bagian selatan selama periode 1950-1998
Gambar di atas memperlihatkan bahwa dari tahun 1950 – 1998 telah terjadi 10 kali fenomena El
Niño, Sementara itu, curah hujan di pulau Lombok bagian selatan berada di bawah rata-rata hampir pada
setiap kejadian fenomena tersebut.
Dampak ENOS pada sistem pertanian di Indonesia terlihat dari menurunnya produksi padi di
Indonesia pada setiap kejadian El Niño. Data yang diolah Amien (2001) dan Yasin et al (2001)
menunjukkan terjadinya bencana kekeringan yang menyebabkan penurunan produksi padi pada tingkat
nasional di Indonesia. Sementara itu di Nusa Tenggara Barat juga terlihat adanya trend penurunan
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
82
produksi atau luas panen pada hampir semua kejadian El Niño. Pada Gambar 2 diperlihatkan bahwa
penurunan areal panen terjadi 4 tahun berturut-turut selama dekade 1990 bertepatan dengan fenomena El
Niño pada dekade tersebut.
Gambar 2. Trend penurunan dan peningkatan produksi padi tahunan di NTB sebagai akibat kejadian El
Niño
Dengan membandingkan produksi padi pada musim tanam I dan II terlihat bahwa pada setiap
kejadian El Niño produksi padi musim tanam I menurun lebih kurang 20% akan tetapi penurunan
produksi itu dikonpensasi dengan penambahan areal tanaman padi pada musim tanam kedua. Hal ini
dimungkinkan karena fase El Niño biasanya mulai menjelang musim hujan dan mempengaruhi panen
musim tanam I. Setelah itu, fase El Niño biasanya diikuti oleh fase La Niña yang mulai pada musim
kemarau. Hal ini diperkirakan menyebabkan peningkatan produksi padi pada musim tanam II.
INDEKS OSILASI SELATAN
Cara yang paling umum dilakukan untuk mengukur besarnya pengaruh ENOS pada kejadian
curah hujan adalah dengan menggunakan indeks osilasi selatan (IOS). Indeks ini merupakan selisih dari
anomali tekanan atmosfer permukaan laut di Tahiti (17º S,150 W) dan Darwin (12º S, 131 W),
distandarisasi pada rerata nol dan 10 kali simapangan baku (normalised Z-score kali 10) (Abawi and
Dutta, 1998, Allan et al., 1996b).
10)( xPPIOS DT
dimana PT and PD adalah anomali tekanan atmosfer (simapangan dari rerata) di Tahiti dan Darwin; sedangkan
adalah standar deviatasi (SD) dari selisih tekanan. Sering muncul pertanyaan bernada keberatan, mengapa
harus Darwin and Tahiti; apakah bisa kedua titik tersebut mewakili keadaan iklim di Indonesia; mengapa
tidak Jakarta atau Denpasar. Hal ini harus dimengerti oleh calon pengguna program ini bahwa ditetapkannya
Darwin and Tahiti untuk mengukur IOS merupakan konvensi internasional karena kedua lokasi tersebut
mempunyai letak yang strategis yang menghubungkan Samudera India di sebelah barat dan Samudera Pasifik
di sebelah timur (Abawi, 1990). Hal yang lain menjadi pertimbangan bahwa kedua titik tersebut mempunyai
data iklim yang lengkap lebih kurang 200 tahun. Clarkson, et al., 1992 mengatakan bahwa Posisi Darwin
boleh saja diganti Jakarta atau Denpasar dan posisi Tahiti diganti Buenos Aires sepanjang titik-titik penganti
tersebut mempunyai rekaman data yang cukup.
Data takanan permukaan laut diukur harian; akan tetapi indeks biasanya dihitung bulanan. Suatu
nilai IOS negatif berarti tekanan permukaan laut lebih besar atau suhu laut lebih dingin di Darwin
dibandingkan dengan di Tahiti. Sebaliknya nilai IOS positif menunjukkan tekanan permukaan laut lebih
besar atau suhu air laut lebih dingin di Tahiti dibandingkan dengan di Darwin
Data IOS bulanan tersedia di berbagai situs iklim di internet, misalnya di situs www.bom.gov.au
milik Biro Meteorologi Australia. IOS bulanan tahun 1997 s/d 2002 ditampilkan dalam grafik berikut
(Gambar 3):
1974
1975
1976 19
77
1978
1979
1980
1981 19
82
1983
1984
1985
1986
1987
1988
1989 19
90
1991
1992 1993 19
94
1995
1996 1997
1998
-40
-30
-20
-10
0
10
20
30
Dev
iasi
luas
pan
en (x
1000
ha)
0
3000
6000
9000
12000
15000
18000
Cura
h hu
jan,
mm
El Niño La Niña
Non-ENSO CH Tahunan
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
83
Gambar 3. Nilai IOS bulanan tahun 1997 sampai dengan 2002 yang didokumentasi oleh biro meteorologi
Australia.
Di Indonesia informasi IOS belum digunakan sebagai alat prakiraan curah hujan, meskipun
terdapat korelasi yang kuat antara IOS dengan curah hujan kita. Kirono (2000) melaporkan bahwa secara
umum potensi penggunaan IOS sebagai alat peramal (prediktor) curah hujan di Indonesia sangat baik.,
meskipun intensitas pengaruh ENOS tidak seragam, melainkan bervariasi dari waktu ke waktu dan dari
tempat ke tempat. di setiap bagian wilayah Oleh karena itu hasil prakiraan akan lebih baik bila diterapkan
dalam cakupan yang tidak terlalu luas melainkan di wilayah demi wilayah yang mempunyai kondisi fisik
relatif seragam.
Boer (2001) menegaskan adanya perbedaan dalam intensitas pengaruh dari setiap kejadian El
Niño event. Dia menyatakan bahwa El Niño 1982/1983 menyebabkan musim kemarau jatuh 20 hari lebih
awal dan musim hujan jatuh 30 s/d 40 lebih lambat dari biasanya. Pada El Niño 1997/98 musim kemarau
bertahan sampai beberapa bulan menjelang akhir 1997 sementara permulaan musim hujan tertunda
hingga 2 bulan dari biasanya.
Boer (2001) juga melaporkan adanya variasi spasial dari pengaruh El Niño. Pengaruh El Niño
biasanya kuat di daerah yang dipengaruhi iklim musim (monsoon), dan lemah di daerah sekitar
khatulistiwa dan daerah yang iklimnya di pengaruhi angin lokal. Di daerah sekitar garis khatulistiwa
curah hujan biasanya bersifat berpuncak ganda (bimodal). Puncak curah hujan pertama biasanya terjadi
bulan Maret dan yang kedua terjadi bulan Oktober. Berbeda halnya dengan curah hujan di daerah yang
dipengaruhi kuat oleh iklim musim yang mempunyai curah hujan berpuncak tunggal (unimodal), yang
biasanya terjadi sekitar Desember - Januari. Di daerah yang dipengaruhi oleh iklim lokal sebenarnya
mempunyai curah hujan berpuncak tunggal; akan tetapi pola curah hujan biasanya berlawanan dengan
tipe iklim musim.
Di Lombok Yasin et al (2002) menganalisa rekaman curah hujan jangka panjang ( 50 tahun)
dari lebih dari 20 stasiun curah hujan. Secara umum disimpulkan bahwa sekitar 60% dari kejadian
kekeringan terjadi berkaitan dengan fenomena El Niño. Hal ini dapat dibuktikan dengan memplotkan
IOS rata-rata bulan Agustus – Oktober dengan indeks curah hujan (ICH) bulan November – Februari.
Secara umum terlihat bahwa IOS positif diikuti dengan ICH positif dan IOS negatif diikuti dengan ICH
negatif.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
84
Keterangan: SD
xCHCHICH i 10)(
,
CHi = curah hujan bula ke i dan CH = rata-rata curah hujan pada bulan ke i tersebut.
Gambar 3. Hubungan indek curah hujan dengan IOS selama musim hujan dan musim kemarau di Lombok bagian
selatan
Seperti ditunjukkan pada Gambar 4 musim dengan IOS negatif kuat (biru) biasanya diikuti
dengan indeks curah hujan yang juga negatif. (merah). Sebaliknya IOS positif kuat biasanya diikuti
dengan indeks curah hujan positif. Meski tidak semua IOS dan ICH bersesuaian lebih kurang 70%
daripadanya menunjukkan kesesuaian.
PENGGUNAAN INDEKS OSILASI SELATAN UNTUK PRAKIRAAN SIFAT HUJAN
Bey et al, (1997) mengusulkan tiga pendekatan untuk menyesuaikan sistem usahatani dengan
sifat iklim dan cuaca, yaitu (1) pendekatan strategis, (2) pendekatan taktis dan (3) pendekatan operasional.
Yang dimaksudkan dengan pendekatan strategis adalah analisis data iklim yang bersifat rata-rata dengan
menggunakan data historik. Pendekatan taktis dilakukan melalui pengembangan metode dan teknik
ramalan musim yang handal, melalui penerapan berbagai model dan ragam data. Pendekatan operational
dilakukan untuk mitigasi bencana akibat iklim yang tidak menguntungkan.
Analisis data iklim, curah hujan, temperatur, kelembaban udara rata-rata telah banyak dilakukan
oleh para pengguna, perencana proyek. Data curah hujan rata-rata juga disajikan dalam berbagai laporan
kegiatan proyek pemerintah. Akan tetapi analisis atau prakiraan iklim musiman yang merupakan
pendekatan taktis sangat langka dilakukan di Indonesia. Meskipun Badan Meteorologi dan Geofisika
(BMG) Pusat menerbitkan prakiraan sifat curah hujan untuk 3 bulan ke depan, gema dari kegiatan itu
hanya diketahui oleh kalangan terbatas. Dalam arti banyak lembaga-lembaga pemerintahan yang
seharusnya berkepentingan dengan data tersebut tidak mengetahui atau kurang sekali menaruh perhatian
pada kegiatan itu.
Menurut Bey et al., (1997) ramalan cuaca sampai saat ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu pendekatan taktis dengan model simulasi mampu menganalisis dan memadukan berbagai
faktor atau skenario untuk menghasilkan suatu kesimpulan akhir dengan berbagai kemungkinannya.
Sebagai contoh pendekatan ini adalah penggunaan data IOS untuk meramalkan kejadian hujan 2 atau 3
bulan mendatang. Pengalaman di Australia menunjukkan adanya korelasi yang cukup erat antara nilai
IOS dengan kejadian hujan beberapa bulan mendatang; dengan demikian perencanaan pola tanam,
strategi tanam dan penggunaan lahan dapat dilakukan lebih akurat dan dengan risiko yang lebih kecil.
Prakiraan curah hujan bulanan dan musiman dengan IOS yang dikemas dalam suatu paket
aplikasi komputer (Flowcast ) telah dicoba untuk beberapa data curah hujan di pulau Lombok. Secara
umum diperoleh indikasi bahwa curah hujan bulanan yakni curah hujan bulan Oktober dan November
memperlihatkan perbedaan yang tegas bila diprakirakan dengan rata-rata IOS tiga bulan sebelumnya.
Demikian pula pengunaan rata-rata IOS Juni, Juli Agustus dan September (JJAS) atau IOS Juli, Agustus,
September dan Oktober (JASO) untuk memprakirakan curah hujan musim tanam pertama (November,
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
85
Desember, Januari dan Februari (NDJF)) juga memperlihatkan beda yang tegas (lihat Tabel 1). Terdapat
selisih berkisar antara 200 – 400 mm per musim (4 bulan) bila SOI dibawah <–5 dibandingkan dengan
bila SOI >5. Perbedaan tersebut makin tampak di stasiun curah hujan yang jauh dari pantai dibandingkan
dengan stasiun curah hujan yang dekat dengan pantai.
Tabel 1. Prakiraan curah hujan (CH) musiman dan awal jatuhnya musim hujan pada kondisi El Niño (IOS <-5) dan La Niña (IOS >+5
Lokasi Stasiun
Curah Hujan
NDJF Oktober November
IOS <-5 IOS>5 IOS <-5 IOS>5 IOS <-5 IOS>5
Mataram 665 860 7 100 110 140 Sesaot 980 1130 55 230 160 330
Jurangsate 950 1020 20 100 135 235
Barabali 900 1150 30 170 60 290
Kopang 850 1120 0 65 90 260
Praya 850 1127 0 80 50 230
Penujak 700 1000 0 70 70 120
Mujur 680 875 0 50 20 125
Sengkol 800 1110 0 75 30 125
Sakra-swangi No Skill No Skill 0 50 30 140
Keruak 573 620 0 3 15 90
Tabel 1. merupakan curah hujan yang diharapkan selama musim tanam I bulan November,
Desember, Januari dan Februari (NDJF) dan bulan Oktober dan November pada peluang 70% pada
kondisi signal IOS rata-rata bulan Juni s/d September di bawah -5, dan di atas +5. Pada kondisi El Niño
curah hujan selama musim tanam umumnya lebih rendah daripada kebutuhan tanaman padi yang
membutuhkan sekira 1000 mm (Sys, 1993). Oleh karena itu tanaman padi kemungkinan akan mengalami
cekaman sekali atau beberapa kali selama musim tanam. Cekaman yang dialami pada fase vegetatif
biasanya dapat disembuhkan dengan tanam ulang atau menyisip akan tetapi apabila cekaman itu dialami
pada fase reproduktif maka efeknya biasanya tak dapat balik atau tak terobati. Dalam hal ini El Niño
sering kali menyebabkan cekaman air pada fase vegetatif; akan tetapi tidak menutup kemungkinan
menyebabkan tanaman mengalami cekaman air di kedua fase tersebut sehingga menyebabkan gagal
panen. Sebaliknya pada kondisi La Niña (IOS di atas 5) curah hujan secara umum berada dalam keadaan
cukup untuk memenuhi kebutuhan tanaman padi di lahan sawah tadah hujan. Akan tetapi perlu
diwaspadai bahwa curah hujan di atas 200 di bulan November dapat mengganggu pertumbuhan awal padi
gogorancah dan memaksa terjadinya penggenangan dini.
Guna menetapkan awal musim hujan maka (awal tanam) pada kondisi El Niño dan La Niña
digunakan ketentuan sebagai berikut :
Minimum terdapat curah hujan 60 mm pada bulan yang ditinjau diikuti dengan curah hujan 180 mm
pada bulan berikutnya
Apabila curah hujan antara 60 –120 mm maka diasumsikan musim hujan jatuhnya pada dasarian
ketiga
Apabila curah hujan antara 120 –180 mm maka diasumsikan musim hujan jatuhnya pada dasarian
kedua
Apabila curah hujan 180 mm maka diasumsikan musim hujan jatuhnya pada dasarian pertama
Dengan menggunakan ketentuan di atas maka dapat dikatakan bahwa pada tahun El Niño awal
jatuhnya musim hujan adalah pada pertengahan November di daerah utara dan di bulan Desember di
Lombok bagian selatan. Hal ini di tandai dengan curah hujan yang masih di bawah 60 mm pada bulan
November. Sebaliknya pada tahun La Niña bulan basah jatuh pada awal bulan Oktober di daerah
Lombok bagian utara dan pada pertengahan Oktober sampai dengan awal November di daerah Lombok
bagian selatan.
PRAKIRAAN SIFAT HUJAN MUSIM TANAM I TAHUN 2001/2002
Di muka (Tabel 1) telah diperlihatkan variasi curah hujan musiman dan bulanan di 11 stasiun
curah hujan selama fenomena ENSO (IOS <-5 dan >+5) Harapan curah hujan di atas bersifat fenomenal
artinya curah hujan sebesar itu diramalkan akan terjadi bila IOS di bawah -5 atau bila IOS (di atas +5; dan
tidak menjelaskan sifat hujan pada tahun atau musim yang kita ingin ramal.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
86
Untuk memprakirakan curah hujan pada tahun atau musim tertentu maka terlebih dahulu melihat
nilai IOS yang akan digunakan sebagai alat peramal. Dalam hal ini dihitung rata-rata IOS JJAS (Juni Juli,
Agustus dan September) yang digunakan untuk meramal curah hujan NDJF (November, Desember,
Januari dan Februari). Pada tahun 2002 ini terutama sejak bulan Mei nilai IOS terus negatif di bawah –5.
Seperti ditunjukkan pada Tabel 2 bahwa nilai rata-rata IOS dari Mei s/d Oktober adalah -6.67, sedang
nilai rata-rata IOS dari bulan Juni s/d September (JJAS) yang digunakan untuk memprakirakan sifat hujan
sepanjang MT I (NDJF) dan sifat hujan bulanan (Oktober, November dan Desember) adalah -9.03
Tabel 2. Nilai IOS bulanan selama tahun 2002
Bln Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Agst Sept Okt Mei-
Okt JJAS
2002 2,7 7,7 -5,2 -3,8 -14,5 -6,3 -7,6 -14,6 -7,6 -7,4 -9,87 -9,03
Prakiraan sifat hujan MT 1 (NDJF) dan sifat hujan bulanan untuk menentukan awal bulan basah
tahun 2002/2003 ini diberikan pada Tabel 3 di bawah.
Tabel 3. Prakiraan sifat hujan sepanjang MT 1 (NDJF) dan jatuhnya awal musim hujan tahun 2002/2003.
Stasiun Curah
Hujan
Rata-rata
SOI JJS
Curah Hujan (mm)
Nov-Feb Oktober November Desember
Mataram* -9.025 777 20 130 190
Sesaot -9.025 1050 70 180 205
Jurangsate -9.025 1025 35 155 227
Barabali -9.025 990 36 165 260
Kopang -9.025 930 10 110 210
Praya -9.025 900 0 65 230
Penujak -9.025 700 0 80 180
Mangkung -9.025 718 0 50 175
Mujur -9.025 680 0 15 200
Sengkol -9.025 800 0 50 340
Sakra -9.025
730 23 78 197
Keruak -9.025
573 0 20 130
Dengan mengambil patokan IOS <-5 maka sifat hujan sepanjang musim tanam MT I tahun
2002/2003 diprakirakan dalam keadaan hampir cukup sampai kurang. Daerah utara (Sesaot, Jurang Sate,
Barabali dan Kopang) diprakirakan mempunyai curah hujan lebih dari 900 mm selama musim tanam;
sebaliknya daerah bagian selatan diprakirakan memperoleh hujan berkisar 500- 800 mm. Kebutuhan
optimum tanaman padi untuk masing-masing daerah berbeda-beda tergantung jenis tanahnya. Perkiraan
kebutuhan tanaman padi dan palawija pada masing-masing jenis tanah adalah seperti diperlihatkan pada
Tabel 4 (Abawi et al, 2002).
Tabel 4. Kebutuhan air bruto untuk tanaman padi dan palawija di beberapa jenis tanah di Lombok
Jenis
tanaman Jenis Tanah
ET Perkolasi Keb. Air bruto
(mm)
Padi Vertisol 645 299 944
Padi Vertisols+Alfisols 645 365 1010
Padi Tanah lainnya 645 610 1255
Palawija Semua jenis tanah 466 0 466
Sumber : Abawi et al. (2002)
Membandingkan besarnya curah hujan yang diramal dengan kebutuhan air optimal untuk
tanaman padi dapat disimpulkan bahwa pada kondisi El Niño (IOS <-5) jumlah air tersedia dari curah
hujan tidak cukup untuk membuat hasil menjadi optimum.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
87
Pada kondisi tahun El Niño tahun 2002/2003 ini maka awal bulan basah dari masing-masing
daerah bervariasi sebagai berikut:
Daerah Sesaot pada bulan Oktober mempunyai curah hujan 70 mm diikuti dengan CH 180 mm pada
bulan November sehingga awal musim hujannya jatuh pada dasarian ketiga bulan Oktober
Daerah Mataram, Kopang dan Barabali pada awal musim hujannya jatuh pada dasarian kedua bulan
November
Daerah Praya, Penujak dan Sakra awal musim hujannya jatuh pada dasarian ketiga bulan November
Daerah Sengkol dan Mujur awal musim hujannya jatuh pada dasarian pertama bulan Desember
Daerah Keruak dan Mangkung awal musim hujannya jatuh pada dasarian kedua bulan Desember
KESIMPULAN
Secara umum hubungan IOS dan curah hujan musiman dapat dijelaskan sebagai berikut:
Parkiraan sifat hujan musiman dan bulanan dengan menggunakan informasi IOS memperlihatkan
skill yang tegas. Dengan demikian program aplikasi komputer untuk prakiraan iklim berbasis
informasi IOS seperti Flowcast sangat potensial digunakan oleh pengambil kebijakan dalam bidang
pertanian sebagai suatu alat bantu dalam pengambilan keputusan.
Sifat hujan sepanjang MT I (November s/d Februari) dan sifat hujan bulanan yaitu Oktober,
November dan Desember sebaiknya diprakirakan dengan menggunakan rata-rata IOS Juni sampai
September.
Prakiraan curah hujan bulanan O, N dan D dengan rata-rata IOS JJAS memperlihatkan skill yang
tegas, dengan demikian prakiraan jatuhnya awal musim hujan (CH 180 mm per bulan) dapat
dilakukan dengan baik.
Secara spasial wilayah yang dekat dengan pegunungan Rinjani seperti Sesaot, Jurangsate, Barabali
dan Kopang umumnya mempunyai curah hujan yang lebih besar daripada daerah di bagian
selatannya.
Pada tahun El Niño awal musim hujan diprakirakan jatuh pada pertengahan November di daerah
utara dan di bulan Desember di Lombok bagian selatan. Sebaliknya pada tahun La Niña bulan basah
jatuh pada awal bulan Oktober di daerah Lombok bagian utara dan pada pertengahan Oktober sampai
dengan awal November di daerah Lombok bagian selatan.
MT I tahun 2002/2003 ditandai dengan IOS dari bulan Mei sampai November terus negatif (IOS rata-
rata –9). Maka dengan dengan mengambill ketentuan pada butir di atas kondisi curah di daerah utara
(Sesaot, Jurangsate Kopang) diprakirakan sekitar 900 mm selama musim tanam; sebaliknya daerah
bagian selatan diprakirakan sekitar 700 mm
Daerah Sesaot, Mataram, Kopang, Barabali dan sekitarnya awal musim hujannya jatuh pada akhir
Oktober sampai dengan pertengahan November
Daerah Praya, Penujak, sengkol, Mujur, Sakra dan sekitarnya awal musim hujannya jatuh pada akhir
November sampai awal Desember
Daerah Lombok bagian selatan awal musim hujannya jatuh pada pertengahan Desember
DAFTAR PUSTAKA
Abawi; G.Y. and S. C. Dutta, 1998. Forecasting of streamflows in NE-Australia based on the Southern Oscillation
Index. DNR. Australia.
Allan, R. J. Lindesday, D. Parker. 1996a. Southern Oscillation and Climatic Variability. CSIRO. Australia.
Allan, R.J. G.S. Beard, A. Close, A.L. Herczeg, P.D. Jones and H.J. Simpson. 1996B. Mean Sea Level Pressure Indices of the El Nino-Southern Oscillation: Relevance to Stream Discharge in South-Eastern Australia.
Amien,I, Rejekiningrum, Pramudia, A. and E. Susanti (1996). Effects of interannual climate variability and climate
change on rice yields in Java, Indonesia. Water, Air and Soil Pollution 92:29-39.
Bey, A., I. Amien., R. Boer., Hondok,. I. Las dan H. Pawitan. 1997. Pengembangan Metode Analisis Data Iklim dan Pewilayahan Agroklimat dalam Menunjang Usahatani yang Prosfektif. Dalam Baharsyah et al., (1997).
Sumberdaya Air dan Iklim dalam Mewujudkan Pertanian Efisien. Deptan dan PERHIMPI. Pp 171 – 193.
Biro pusat Statistik (BPS). 1982 – 2000. Nusa Tenggara Barat Dalam Angka. Kerjasama BPS Prop. NTB dengan
Bappeda NTB.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
88
Boer. R. 2001. Strategy to Anticipate Climate Extreme Event. Presented at the Training Institute on Climate and Society in the Asia Pacific region, 2 – 23 February 2001. Honolulu. USA.
BPTPH VII. 1999. Laporan Evaluasi Kegiatan Perlindungan Tanaman Tahun Anggaran 1998/1999. Direktorat
Jenderal Tanaman pangan dan Hortikultura.
Coll K. and R. Whitaker, 1990. The Australian Weather Book: Understanding our climate and how it affect us. NSW Bureau of Meterology.
Coll K. and R. Whitaker, 1990. The Australian Weather Book: Understanding our climate and how it.
Clewett, J.F., P.G. Smith, I.J. Partridge, D.A. George, and A. Peacock. 2001. Australian Rainman. Rainfall
information for better management. QDPI. Brisbane. QLD.
Clarkson, N.M., D.T. Owens. 1992. Rainman: Rainfall Information for Better Management, Department of Primary
Industries, Brisbane.
Hammer, G.L. and Nicholls, N. 1996. Managing for climate variability - The role of seasonal climate forecasting in
improving agricultural systems. Proc. Second Australian Conference on Agricultural Meteorology. Bureau of Meteorology, Commonwealth of Australia, Melbourne. pp. 19-27.
Kirono, D.G.C., 2000. Indonesian Seasonal Rainfall Variability, Link to El Nino Southern Oscillation and
Agricultural Impacts. Ph.D Dissertation. Monash Univ. Vic. Australia.
Kuhnel I, T A McMahon, B.L. Finlayson , A. Haines , P.H. Whetton and T.T. Gibson. 1990. Climatic influences on streamflow variability: a comparison between south-eastern Australia and United States of America,
Wat. Resour. Res., Vol. 26: 2483-2496
Martyn. D. 1992. Climate of the world. Development in Atmospheric Science. Elsevier Amsterdam London, N.Y.
435 p.
McBride, J.L. and N. Nicholls. 1983. Seasonal Relationship Between Australia Rainfall and The Southern
Oscillation. Monthly Weather review. Vol. 111: 1998-2004.
McClaymont, D., Y. Abawi., T. Harris., J. Ritchi and S. Dutta. 2000. Flowcast : A new Generation DSS for Climate
Researcher, Water users and Policy Makers. Poster. DNR. MDB Comm. QCCA. Australia.
McDonald and Partners Asia. 1985. West Nusa Tenggara Irrigation Study : Pandanduri – Swangi Pre-feasibility
Report.
Musk, L.F. 1988. Weather Systems. Cambridge University Press. Cambridge.
Nicholls, N. 1991. The El Nino/Southern Oscillation and Australian Vegetation. In “Vegetation and Climate interaction in Semi Arid Regions‖. (eds. A. Henderson-Sellers and A.J. Pitman) Vegetation, 91: 23-36.
Pramudia, A., Nasrullah dan Alemina, E., 1991. Sumber Daya Iklim Sebagai Dasar Analisis Perencanaan Pertanian Di
Pulau Lombok. Simposium Perhimpi III Malang, 20 - 22 Agustus 1991.
Sayuti, R., Y. Abawi., W. Karyadi., I. Yasin. 2001. Factor Affecting the Use of Climate Forecast in Agriculture : A case Study of Lombok island. Indonesia. Aciar papper. Mataram. 13 p.
Team ITB. 1969. Survey Pengenbangan Sunber Daya Air di Pulau Lombok. Report ITB.
Yasin, I., Y. Abawi. 2002. Impacts of ENSO Phenomenon on Water Resources and Crop Production in Lombok.
Presented at National Seminar of Indonesian Soil Science Association 25 May 2002 at University of Mataram. Indonesia.
Yasin, I., Y. Abawi. 2001. Capturing the Benefits of Seasonal Climate Forecast for Water and Crop Management in
Lombok. Aciar Papper. Mataram.
Yasin, I M. Ma‘shum and Y. Abawi. 2002. Impacts of ENSO Phenomenon on Water Resources and Crop Production in Lombok. Presented at National Seminar of Indonesian Soil Science Association on 25 May 2002 in
Mataram
Yasin, I., Y. Abawi., M. Ma‘shum. 2002. The Application of Linier Programming Model for Improving Irrigation
and Cropping Management in Lombok, Indonesia. Part Final Report on Capturing the Benefits of
Seasonal Climate Forecast in Agricultural Management submitted to Aciar. Australia.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
89
DISKUSI
Pertanyaan :
1. Ada keterkaitan antara cara tradisional dengan cara flowcast.
2. Berdasarkan prilaku flowcast, kapan kita harus menanam gora (bulan apa).
3. Kalau nanti flowcast menjadi suatu paket, tolong disederhanakan bentuknya.
4. Apakah ada kaitan fenomena gundulnya hutan di Bima dengan curah hujan yang kurang.
Tanggapan :
1. Sistem yang kita gunakan memang harus membutuhkan data curah hujan beberapa tahun.
2. Tidak selalu curah hujan besar akan menyebabkan banjir, tergantung letak tofografi.
3. Peralatan-peralatan tradisional untuk mengetahui saat hujan ini sulit kita ketahui alat ukurnya, tetapi
kita juga akan tetap melakukan kajian selanjutnya.
4. Jatuhnya hujan bulan Desember untuk bertanam Gora tahun 2002
5. Flowcast ini memang diperuntukkan untuk kalangan ilmiah, sedangkan di luar itu akan disajikan
dalam bentuk informasi-informasi yang lebih sederhana.
6. Data base belum punya untuk Bima untuk diakses ke program flowcast.
7. Elnino pengaruhnya global, jadi lahan kering di Lombok sangat tidak mungkin di Bima akan basah.
8. Sulit mencari indikasi alat ukur dan pranata mangsa. Sehingga dimasa depan akan diusahakan
pengembangan kedua metode tersebut.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
90
SISTEM EKOLOGI DAN MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI
Tejowulan, R.S. dan Suwardji
Pusat Pengkajian Lahan Kering dan Rehabilitasi Lahan (P2LKRL),
Fakultas Pertanian Universitas Mataram
ABSTRAK
Daerah Aliran Sungai atau DAS adalah hamparan pada permukaan bumi yang dibatasi oleh punggungan
perbukitan atau pegunungan di hulu sungai ke arah lembah di hilir. DAS oleh karenanya merupakan satu kesatuan
sumberdaya darat tempat manusia beraktivitas untuk mendapatkan manfaat darinya. Agar manfaat DAS dapat
diperoleh secara optimal dan berkelanjutan maka pengelolaan DAS harus direncanakan dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Makalah ini secara singkat menyajikan pokok-pokok pikiran tentang sistim ekologi dan filosofi DAS
untuk mencapai pengelolaan DAS yang berkelanjutan dan menguntungkan.
PENDAHULUAN
Pengertian daerah aliran sungai (DAS) adalah keseluruhan daerah kuasa (regime) sungai yang
menjadi alur pengatus (drainage) utama. Pengertian DAS sepadan dengan istilah dalam bahasa inggris
drainage basin, drainage area, atau river basin. Sehingga batas DAS merupakan garis bayangan
sepanjang punggung pegunungan atau tebing/bukit yang memisahkan sistim aliran yang satu dari yang
lainnya. Dari pengertian ini suatu DAS terdiri atas dua bagian utama daerah tadah (catchment area) yang
membentuk daerah hulu dan daerah penyaluran air yang berada di bawah daerah tadah.
Dalam pengelolaannya, DAS hendaknya dipandang sebagai suatu kesatuan sumberdaya darat.
Sehingga pengelolaan DAS yang bijak hendaklah didasarkan pada hubungan antara kebutuhan manusia
dan ketersediaan sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan manusia tersebut.
Pengelolan sumberdaya biasanya sudah menjadi keharusan manakala sumberdaya tersebut tidak
lagi mencukupi kebutuhan manusia maupun ketersediaannya melimpah. Pada kondisi dimana sumberdaya
tidak mencukupi kebutuhan manusia pengelolaan DAS dimaksudkan untuk mendapatkan manfaat sebaik-
baiknya dari segi ukuran fisik, teknik, ekonomi, sosial budaya maupun keamanan-kemantapan nasional.
Sedangkan pada kondisi dimana sumberdaya DAS melimpah, pengelolaan dimaksudkan untuk mencegah
pemborosan.
Dalam makalah ini akan dibahas (1) Pengertian DAS dan DAS sebagai Sistem Ekologi, (2)
Hakekat DAS sebagai dasar dalam pengelolaannya, (3) Hakekat DAS sebagai dasar dalam
pengelolaannya, (4) Dasar-dasar pengelolaan DAS, dan (5) Data dasar yang diperlukan untuk
merencanakan pengelolaan DAS.
PENGERTIAN DAS DAN DAS SEBAGAI SISTIM EKOLOGI
Banyak definisi tentang sumberdaya (resource) seperti obtainable reserve supply of desirable
thing (suatu persediaan barang yang diperlukan, berupa suatu cadangan yang dapat diperoleh)
(Menard,1974). Pengetian sumberdaya selalu menyangkut manusia dan kebutuhannya serta usaha atau
biaya untuk memperolehnya. Oleh karena berkaitan dengan kebutuhan manusia, maka sumberdaya
mempunyai arti nisbi (relative).
Atas dasar kehadirannya, sumberdaya dapat dipilahkan ke dalam dua kelompok (1) sumberdaya
alam dan (2) sumberdaya buatan manusia. Ada juga yang menggolongkan sumberdaya atas dasar
kemantapannya terhadap kegiatan manusia : (1) sumberdaya yang sangat mantap, (2) sumberdaya yang
cukup mantap dan (3) sumberdaya yang tidak mantap. Suatu sumberdaya tertentu dapat mempunyai nilai
kemantapan beragam, tergantung dari gatranya yang diperhatikan. Misalnya, tanah sebagai tubuh alam
mempuyai nilai kemantapan daripada kesuburannya. Mutu air jauh lebih mudah goyah daripada
jumlahnya. Manusia secara jelas tidak dapat mengubah volume udara dalam atmosfer akan tetapi dia
secara nisbi mudah mencemarkannya.
Selain itu, ada yang menggolongkan sumberdaya atas kemampuannya untuk memperbaiki diri
(self restoring). Dalam hal ini sumberdaya dibagi ke dalam dua kategori: (1) terbarukan (renewable),
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
91
seperti udara, air tanah, hutan dan ikan. Memang ditinjau secara local atau setempat, air tanah, hutan, dan
ikan dapat menyusut atau habis. Akan tetapi secara keseluruhan, mereka itu tidak akan habis selama
faktor-faktor pembentuknya masih tetap berfungsi. Bahkan yang habis di suatu tempat akan dapat timbul
kembali jika diberi kesempatan cukup. (2) Tak-terbarukan (non-renewable), seperti minyak bumi, panas
dan cebakan mineral.
DAS merupakan gabungan sejumlah sumberdaya darat, yang saling berkaitan dalam suatu
hubungan interaksi atau saling tukar (interchange). DAS dapat disebut suatu sistem dan tiap-tiap
sumberdaya penyusunnya menjadi anak-sistemnya (subsystem) atau anasirnya (component). Kalau kita
menerima DAS sebagai suatu sistem maka ini berarti, bahwa sifat dan kelakuan DAS ditentukan bersama
oleh sifat dan kelakuan semua anasirnya secara terpadu (integrated). Arti ―terpadu‖ di sini ialah bahwa
keadaan suatu anasir ditentukan oleh dan menentukan keadaan anasir-anasir yang lain.
Yang dinamakan ―sistem‖ ialah suatu perangkat rumit yang terdiri atas anasir-anasir yang saling
berhubungan di dalam suatu kerangka otonom, sehingga berkelakuan sebagai suatu keseluruhan dalam
menghadapi dan menanggapi rangsangan pada bagian manapun (Dent dkk. 1979; Spedding, 1979).
Disamping memiliki ciri penting berupa ``organisasi dalam`` (internal organization), atau disebut pula
dengan ``struktur fungsi`` (fungtional structure), suatu sistem dipisahkan ``batas system`` dari sistem
yang lain. Batas ini memisahkan sistem dari lingkungannya, atau memisahkan sistem yang satu dari yang
lain. ―Lingkungan‖ ialah keseluruhan keadaan dan pengaruh luar (external), yang berdaya (affect) batas
hidup, perkembngan dan ketahanan hidup (survival) suatu sistem (De Santo,1978).
Anasir-anasir DAS ialah iklim hayati (bioclimate), relief, geologi, atau sumberdaya mineral,
tanah, air (air permukaan dan air tanah), tetumbuhan (flora), hewan (fauna), manusia dan berbagai
sumberdaya budaya seperti sawah, ladang, kebun, hutan kemasyarakatan (HKm), dan sebagainya.
Berbagai anasir-anasir DAS yang telah disebutkan di atas sangat mempengaruhi berbagai aspek dalam
sistim DAS. Sebagai contoh, relief dapat mempengaruhi distribusi lengas tanah dan lama penyinaran
matahari. Tanah dan relief mempengaruhi keadaan hidrologi permukaan, keadaan vegetasi dan keadaan
sumberdaya budaya. Iklim ikut mengendalikan keadaan vegetasi dan sumberdaya budaya.
DAS merupakan sumberdaya darat yang sangat komplek dan dapat dimanfaatkan oleh manusia
untuk berbagai peruntukan. Setiap anasir dalam DAS memerlukan cara penanganan yang berbeda-beda
tergantung pada watak, kelakuan dan kegunaan masing-masing. Sebagai contoh, ketrampilan dan
pengetahuan anasir manusia dapat menyuburkan tanah yang tadinya gersang. Namun karena berlainan
kepentingan, maka dapat terjadi bahwa suatu tindakan yang baik untuk suatu anasir DAS tertentu justru
akan merugikan jika diterapkan pada anasir DAS yang lain. Sebagai contoh, penanaman jalur hijau untuk
melindungi tebing aliran terhadap pengikisan atau longsoran, dapat mendatangkan kerugian atas
pengawetan sumberdaya air karena meningkatkan transpirasi yang membuang sebagian air yang
dialirkan. Hal ini menunjukkan bahwa perencanaan pemanfaatan DAS harus bersifat komprehensif, yang
lebih mementingkan pengoptimuman kombinasi keluaran (optimization of the combined output) dari pada
pemaksimuman salah satu keluaran saja.
DAS yang mempunyai gatra ruang (space) atau luas (size), bentuk (form), ketercapaian
(accessibility) dan keterlintasan (trafficability). Gatra-gatra ini menyangkut nilai ekonomi penggunaan
DAS, karena menentukan tingkat peluang berusaha dalam DAS, nilai hasil usaha dan kedudukan nisbi
DAS selaku sumberdaya dibanding dengan DAS yang lain. Gatra-gatra ruang, bentuk, ketercapaian dan
keterlintasan bersama-sama dengan harkat anasir-anasir DAS yang telah disebutkan di atas, menentukan
kedudukan DAS dalam urutan prioritas pengembangan,. Keunikan dan keberagaman DAS menimbulkan
berbagai pertimbangan dalam penggunaan alternatif menurut kepentingan yang berubah sejalan dengan
perkembangan kebutuhan dan keinginan. Macam dan jumlah kebutuhan serta keinginan merupakan
fungsi waktu dan tempat. Maka dari itu pengertian tentang makna waktu dan tempat sangat menentukan
ketepatan perencanaan tataguna DAS. Tanpa perencanaan tataguna yang memadai, penggunaan DAS
dapat menjurus ke arah persaingan antar berbagai kepentingan, yang akhirnya hanya akan saling
merugikan, dan pada gilirannya akan menimbulkan degradasi sumberdaya DAS yang tidak terkendalikan.
HAKEKAT DAS SEBAGAI DASAR DALAM PENGELOLAANNYA
Pada dasarnya DAS merupakan satu kesatuan hidrologi. DAS penampung air, mendistribusikan
air yang tertampung lewat suatu sistem saluran dari hulu ke hilir, dan berakhir di suatu tubuh air berupa
danau atau laut. Barsama dengan atmosfir dan laut (atau danau), DAS menjadi tempat kelangsungan daur
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
92
hidrologi. Hubungan hidrologi antara atmosfir dan tubuh air bumi dapat berjalan secara langsung, atau
lewat peranan DAS. Terjadi pula hubungan hidrologi lansung antara DAS dan atmosfir. Hubungan
hidrologi segitiga antara atmosfir, DAS dan tubuh air bumi (laut) disajikan pada Gambar 1. Bagan ini
memperlihatkan peranan DAS sebagai penghubung dua waduk air alam utama, yaitu atmosfir dan laut.
Ini menjadi dasar pertama dalam pengelolaan DAS.
Selaku suatu wilayah kegiatan pendauran air maka DAS merupakan suatu satuan fisik yang
cocok bagi penelaahan proses-proses yang menentukan pembentukan bentang lahan (landscape) khas di
berbagai wilayah bumi. Proses-proses yang berlangsung di dalam DAS dapat dikaji berdasar pertukaran
bahan dan energi (Leopold dkk, 1964). Hal ini menjadi dasar kedua dalam pengelolaan DAS. Gambar 2
merupakan acuan DAS sebagai suatu system yang bertopang pada proses pertukaran bahan dan energi.
Atmosfir
DAS Tubuh Air Bumi
(laut atau danau)
hubungan erat
hubungan terbatas
Gambar 1. Hubungan hidrologi yang disederhanakan antara atmosfir, DAS, dan tubuh air bumi.
Gambar 2. Acuan DAS sebagai suatu system yang bertopang pada proses pertukaran bahan dan energi.
Setiap DAS cenderung memperluas diri, baik dengan jalan erosi mundur dan/atau menyamping
di daerah hulu, maupun dengan jalan pengendapan di daerah hilir, termasuk pembentukan jalur berkelok
(meander) di dataran pantai dan pembentukan delta di depan kuala. Dilihat dari segi ini maka DAS
merupakan suatu satuan geomorfologi yang bersifat sangat dinamik, dibentuk oleh proses- proses fluvial
dan memperoleh corak dan cirinya dari paduan dua proses yang saling berlawanan. Proses yang satu ialah
degradasi (penurunan) di daerah hulu dan proses yang lain ialah agradasi (peningkatan) di daerah hilir.
Dengan demikian ada proses perpindahan material dari hulu ke hilir. Salah satu hasil morfogenesa
penting semacam ini adalah pembentukan bentang tanah atau pola agihan tanah yang khas di tiap-tiap
DAS. Keadaan ini merupakan dasar ketiga dalam pengelolaan DAS.
Di depan telah diuraikan tentang berbagai gatra dan keaneka ragaman pemanfaatan DAS. Hal
ini merupakan dasar keempat dalam pengelolaan DAS.
Dari dasar pengelolaan pertama dan kedua mengandung suatu pengertian penting, bahwa DAS
merupakan suatu sistem yang terbuka (open system). Hal ini dapat dilihat dari berfungsinya interaksi luar
Atmosfir
Air Vegetasi
Tanah
Bahan
geologi Timbunan
Manusia
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
93
(functioning of external interactions), yang menurut De Santo (1978) merupakan kategori kedua yang
membentuk hakekat kehadiran suatu sistem. Dasar pengelolaan kedua, ketiga dan keempat menunjuk
kepada suatu pengertian penting berikutnya, bahwa DAS merupakan suatu sistem peubah energi (energy
transformer). Hal ini dapat dipandang adanya interaksi berfungsinya faktor-faktor internal (functioning of
internal interactions). Yang menurut De Santo (1978) merupakan kategori pertama yang membentuk
hakekat kehadiran suatu sistem.
DASAR-DASAR PENGELOLAAN DAS
Pengelolaan DAS biasanya mengacu pada pengelolaan dua anasirnya (component) yang dianggap
terpenting, yaitu sumberdaya tanah dan air. Adapun anasir yang lain, seperti iklim, vegetasi, relief dan
manusia, diperlukan sebagai faktor-faktor dalam pengelolaan.
Maksud pengelolaan DAS ialah mendapatkan manfaat lengkap yang sebaik-baiknya dari DAS
sesuai dengan kemampuanya, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang beraneka ragam dan yang
berkembang menurut waktu. Dalam ungkapan ―sesuai dengan kemampuannya‖ tersirat pengertian selaras
dan lestari. Ungkapan ―manfaat lengkap‖ dan ―kebutuhan masyarakat yang beraneka ragam dan yang
berkembang menurut waktu‖ mengisyaratkan bahwa (1) hasil keluaran DAS tidak boleh hanya bermacam
tunggal, akan tetapi harus terdiri atas berbagai hasil keluaran yang berkombinasi secara optimum, dan (2)
rencana pengelolaan harus bersifat lentur (flexible) yang berisi sejumlah alternatif.
Untuk mengarahkan pengelolaan, diperlukan tiga unsur pengarah. Yang pertama diperlukan
ialah variable-variabel keputusan (decision variables), yang menjadi sumber pembuatan alternatif. Yang
kedua diperlukan ialah maksud dan tujuan (objectives), ini dapat sebuah atau lebih. Yang ketiga ialah
kendala (constraint), yang membatasi gerak variabel-variabel keputusan dalam membuat alternatif-
alternatif untuk mencapai maksud dan tujuan yang ditetapkan. Khusus mengenai pengelolaan DAS, yang
dapat dipakai sebagai variebel-variabel keputusan ialah (1) keempat dasar untuk pengelolaan DAS yang
telah disebutkan terdahulu (DAS selaku penghubung dua waduk air alam utama, kehadiran DAS
didukung oleh kegiatan pertukaran bahan dan energi, DAS berkembang melalui proses perubahan dalam
dan DAS bergatra ganda yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai peruntukan), (2) pemanfaatan DAS
harus dapat menimbulkan pemerataan manfaat antara daerah hulu dan hilir, dan (3) pengembangan DAS
harus dapat memberikan sumbangan bagi kepentingan regional dan atau nasional. Maksud atau tujuan
pengelolaan DAS telah disebutkan di atas. Yang dapat ditunjuk sebagai kendala terhadap perkembangan
DAS ialah iklim, relief, tanah, air, sumberdaya mineral, vegetasi, beberapa gatra tertentu manusia,
ruang/luas, bentuk, ketercapaian dan keterlindasan. Pendek kata semua anasir DAS yang dikenai atau
terlibat dalam pengelolaan.
Dalam rencana pengelolaannya, DAS dibagi menjadi dua satuan pengelolaan. Satuan
pengelolaan hulu mencakup seluruh daerah tadah atau daerah kepala sungai. Satuan pengelolaan hilir
mencakup seluruh daerah penyaluran air atau daerah bawahan. Oleh Ray dan Arora (1973) istilah
―watershed‖ digunakan secara terbatas untuk menamai daerah tadah, sedang daerah bawahan mereka
namakan dengan istilah ―commanded area‖. Yang dinamakan ―commended area‖ ialah daerah-daerah
yang secara potensial berpengairan. Di DAS yang dapat dibangun suatu bendungan atau waduk maka
seluruh daerah yang terkuasai oleh bangunan tersebut (daerah yang terletak dibawah garis tinggi pintu
bendungan atau waduk) merupakan ―commended area‖.
Pengelolaan daerah tadah ditujukan untuk mencapai hal-hal berikut ini (Roy &Arora, 1973): (1)
Pengendalian aliran permukaan tanah (excess) yang merusak, sebagai usaha mengendalikan banjir, (2)
Memperlancar infiltrasi air kedalam tanah. (3) Mengusahakan pemanfaatan aliran permukaan untuk
maksud-maksud yang berguna, (4) Mengusahakan semua sumberdaya tanah dan air untuk
memaksimumkan produksi.
Faktor-faktor yang berdaya (affect) atas program pengelolaan daerah tadahan atau DAS hulu
ialah (Roy & Arora, 1973): (1) Bentuk dan luas daerah tadahan, (2) Lereng dan timbulan makro (3)
Keadaan tanah, termasuk fisiografi dan hidrologi tanah, (4) Intensitas, jangka waktu dan agihan curah
hujan (5) Rupa dan mutu vegetasi penutup, (6) Penggunaan lahan terkini.
Tujuan pengelolaan DAS hilir dapat diringkas sebagai berikut: (1) Mencegah atau
mengendalikan banjir dan sedimentasi yang merugikan, sehingga tidak merusak dan menurunkan
kemampuan lahan.(2) Memperbaiki pengatusan (drainage) lahan untuk meningkatkan kemampuannya.
(3) Meningkatkan dayaguna air dari sumber-sumber air tersediakan. (4) Meliorasi tanah, termasuk
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
94
memperbaiki daya tanggap tanah terhadap pengairan, dan kalau perlu juga reklamasi tanah atas tanah-
tanah garaman, alkali, sulfat masam, gambut tebal, dan mineral mentah.
Faktor-faktor pokok yang berdaya atas program pengelolaan daerah hilir ialah: (1) Bentuk
daerah hilir dan perbandingan luasnya dengan luas daerah tadahan.(2) Perbedaan landaian (gradient)
lereng umum daerah hilir terhadap landaian lereng umum daerah tadahan. (3) Timbulan makro,
ketinggian muka lahan pukul rata, jeluk (depth) pukul rata air tanah, dan keadaan tanah. (4) Intensitas,
jangka waktu dan agihan curah hujan.(5) Rupa dan vegetasi penutup. (6) Penggunaan lahan kini.
Perlakuan terhadap DAS hulu merupakan bagian terpenting dari keseluruhan pengelolaan DAS,
karena hal itu akan menentukan keuntungan yang dapat diperoleh, atau kesempatan yang terbuka, dalam
pengelolaan DAS hilir. Pengelolaan DAS hilir menentukan seberapa besar keuntungan yang secara
potensial dapat diperoleh karena pengelolaan DAS hulu benar-benar terwujudkan. Dengan kata lain,
pengelolaan DAS hilir bertujuan meningkatkan daya tanggapnya terhadap dampak pengelolaan DAS
hulu.
Hubungan ini dapat digambarkan pada Gambar 3. Dari bagian ini tampak, bahwa pengelolaan
DAS hulu bertujuan rangkap: (1) meningkatkan harkatnya sebagai lahan usaha dan atau lahan
permukiman, dan (2) memperbaiki dampaknya atas DAS hilir untuk memperluas peluang memperbaiki
keadaan DAS hilir. Pengelolaan DAS hilir berperanan melipatkan pengaruh perbaikan yang telah dicapai
di DAS hulu. Menurut pandangan ekologi maka daerah hulu dikelola sebagai daerah penyumbang
(donor) bahan dan energi, atau boleh juga disebut sebagai lingkungan pengendali (conditioning
environtment). Sementara itu, daerah hilir merupakan daerah penerima (acceptor) bahan dan energi, atau
lingkungan konsumsi atau lingkungan yang dikendalikan (commanded environment). Dengan demikian
pengelolaan DAS harus bersifat menyeluruh dan dapat memadukan bagian hulu dan hilir menjadi satu
sistem.
DAS hulu semula DAS hulu terbenahi
Harkat meningkat
Pengelolaan
Dampak menguntungkan
DAS hilir semula DAS hilir terbenahi Harkat meningkat
Harkat berlipat
Gambar 3. Bagan hubungan antara pengelolaan DAS hulu dan hilir dalam pengelolaan DAS terpadu
DATA DASAR YANG DIPERLUKAN DALAM PENGELOLAAN DAS
Penanganan sumberdaya untuk pemanfaatannya memerlukan data dasar sebagai pangkal otak.
Demikian pula halnya dengan pengelolaan DAS. Data dasar (baseline data) ialah sekumpulan keterangan
hakiki tentang suatu masalah (matter) yang relevan dengan watak (nature) masalah itu. Data itu dapat
berupa ciri (characteristic) atau terukur (measureable). Mutu tidak dapat diamati atau diukur secara
langsung, karena ditentukan oleh saling tindak sejumlah sifat, dan hanya dapat diketahui, dirasakan atau
dinilai dari akibat atau perwujudan (manifestation) yang ditimbulkan. Yang dimaksud dengan akibat atau
perwujudan ialah tindakannya dalam mempengaruhi kecocokan sumberdaya (DAS, lahan) bagi suatu
penggunaan tertentu. Taraf kepentingan nisbi tiap sifat yang menentukan suatu mutu tertentu, bergantung
pada keadaan lingkungan (Brinkman dan Smyth, 1973). Misalnya, erodibilitas tanah sebagai mutu
ditentukan bersama oleh faktor-faktor kemiringan dan panjang lereng, permeabilitas tanah, dan
kemantapan struktur tanah. Taraf kepentingan nisbi permeabilitas tanah menjadi menonjol dalam
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
95
lingkungan iklim basah. Dalam lingkungan iklim kering, yang mana erosi angin menjadi bentuk erosi
pokok, tinggal kemantapan struktur tanahlah yang menjadi faktor yang menonjol. Erosivitas hujan
bersama dengan erodibilitas tanah menentukan mutu lahan yang disebut kerentanan lahan terhadap erosi
air. Macam mutu yang lain antara lain kesuburan tanah, iklim, kebersihan air, keterlindasan
(trafficability), dan keramah tamahan penduduk. Mutu dapat diharkatkan dengan sebutan (buruk, sedang,
baik) atau dengan nilai tertentu (scoring).
Data dasar untuk pengelolaan DAS terdiri atas ciri dan mutu semua anasir atau gatra DAS yang
penting dalam menentukan kemampuan (capability) DAS. Macam data yang sekurang-kurangnya harus
dikumpulkan ialah:
(1) Neraca air makro (menurut iklim) dan neraca mikro (atau neraca lengas tanah menurut hidrologi
lahan).
(2) Erosivitas hujan dan erodibilitas tanah, untuk daerah-daerah beriklim kering, erosivitas hujan diganti
dengan erosivitas angin.
(3) Keadaan iklim hayati, yang mencakup agihannya menurut tinggi tempat dan kedudukan topografi.
(4) Proses fluvial dalam geomorfologi (erosi, sedimentasi, hidrolika sungai, pembentukan delta, dataran
banjir, dataran interfluvial, dataran estuarin, bentukan morfologi destruktif, seperti lembah,
peneplain, morfologi karst, dsb).
(5) Kemampuan lahan untuk pertanian, baik produktivitas maupun potensialitasnya.
(6) Tataguna lahan kini dan produktivitasnya, termasuk tataguna sumberdaya air kini.
(7) Ketercapaian wilayah dan keterlintasan.
(8) Kerapatan dan distribusi penduduk, laju pertambahan penduduk, mata pencaharian, kemampuan
usaha, tingkat pendapatan dan kekayaan keluarga, tingkat kesehatan, dan mobilitas penduduk.
(9) Rata-rata dan distribusi luas lahan milik atau garapan dan tingkat penerapan teknologi.
Dari analisa dan penilaian data dasar akan diperoleh pengetahuan, kesimpulan atau petunjuk
tentang :
(1) Tingkat peluang dan prospek pengembangan.
(2) Beberapa alternatif arah dan bentuk pengembangan, termasuk pertimbangan kerjasama dengan DAS
tetangga dengan maksud saling mengisi.
(3) Macam dan jumlah masukan yang diperlukan.
(4) Prioritas penanganan segi-segi persoalan, baik untuk menyiapkan keadaan dan suasana yang serasi
bagi memulakan (start) pembangunan yang sebenarnya, maupun untuk pentahapan pembangunan
secara bernalar menurut tempat dan waktu.
Dari macam ragam data dasar yang diperlukan dapat disimpulkan bahwa pengelolaan DAS harus
dikerjakan secara multidisiplin. Yang diartikan dengan multidisiplin ialah suatu titik tolak pandangan atau
sikap, atau kerangka pendekatan, yang memadukan berbagai bidang pengetahuan yang relevan dengan
watak dan kelakuan masalah, menjadi satu sistem analitik. Agar supaya sistem analitik ini dapat berfungsi
efektif, tiap-tiap bidang pengetahuan yang menjadi unsur-unsurnya diberi kedudukan tertentu di dalam
kerangka kerja. Unsur-unsur tersebut dapat diurutkan pada garis gerak analisa sesuai dengan
pertimbangan hirarki tertentu. Dengan jalan ini suatu unsur memperoleh masukan dari unsur lain yang
berkedudukan hirarki lebih tinggi dan pada gilirannya, unsur yang tersebut pertama tadi memberikan
masukan kepada unsur berikutnya yang berkedudukan hirarki lebih rendah.
Sistem analitik seperti ini mempunyai struktur bertingkat. Biasanya pengumpulan data dasar dan
analisa kualitatif fisik berada pada tingkat atas (langkah kerja pertama), dan memberikan masukan kepada
analisa sosial-ekonomi dan pengharkatan kuantitatif yang berada pada tingkat bawah (langkah kerja
kedua). Maka system analisa seperti ini disebut pula ―pendekatan bertingkat dua‖. Dapat pula analisa
semua gatra dikerjakan secara berdampingan (hirarki tunggal), dan sistemnya dinamakan ―pendekatan
sejajar‖ (ILRI, 1977).
Kedua macam pendekatan itu masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan.
Pendekatan bertingkat atau bertahap bersifat lebih terarah, memiliki urutan kegiatan yang jelas tanpa
langkah-langkah yang saling berhimpitan. Dengan demikian ia bersifat lebih fleksibel dalam hal
penganggaran penghasilan kegiatan survai dan pengumpulan data pada hal-hal yang langsung diperlukan
untuk analisa dan pengharkatan. Penghampiran sejajar sering menghambat analisa tuntas mengenai
kemampuan menyeluruh (ultimate capability) suatu sumberdaya, karena terjerat dalam pertimbangan
sosial-ekonomi yang membuat batasan tempat dan waktu. Dengan demikian prospek mutlak suatu
sumberdaya tidak terungkapkan. Untuk keperluan pengharkatan lahan, FAO dan International Institute
for Land Reclamation and Improvement (ILRI), memilih pendekatan bertahap (ILRI, 1977). Penulis juga
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
96
memperoleh pengalaman yang memuaskan dalam menerapkan penghampiran bertahap ini. Bidang
sosial-ekonomi boleh saja ditangani pada tahap pertama kegiatan bersama-sama dengan bidang fisik, asal
saja terbatas pada pengumpulan data dasar.
Dalam menghubungkan asas kepaduan disiplin dengan pengelolaan DAS, Martin (1970) dalam
kata pengantarnya untuk Symposium on The Interdisciplinary Aspects of Watershed Management di
Montana State University mengemukakan bahwa “…professional from the many different disciplines will
… work in concert to bring about total watershed managenent”.
PENUTUP
Maksud pengelolaan DAS adalah untuk mendapatkan manfaat lengkap yang sebaik-baiknya dari
DAS sesuai dengan kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang beraneka ragam dan
yang berkembang menurut waktu. Mengingat bahwa DAS merupakan suatu system yang terbentuk dari
gabungan sumberdaya yang saling berkaitan dan berinteraksi, maka dalam pengelolaannya harus
memperhatikan semua anasir-anasir penyusunnya. Karena DAS merupakan sumberdaya darat yang
sangat komplek maka pemanfaatan DAS harus bersifat komprehensif yang lebih mementingkan
pengoptimuman kombinasi keluaran daripada pemaksimuman salah satu keluaran saja. Oleh karena itu,
pengelolaan DAS harus dilaksanakan secara terpadu, terencana, dan berkesinambungan guna
mendapatkan manfaat sebaik-baiknya. Dengan memahami DAS sebagai suatu system ekologi, diharapkan
pengelolaan DAS akan dapat lebih terarah, bermanfaat, dan berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
Brinkman, R. dan Smith, A.J. (1979). Land evaluation for rural purpose. ILRI Publ. No. 17. Wageningen.
Dawes, J.H. (1970). Influence of soil on water yield. Proc. Symp. Interdisc. Aspects Watershed Management. Mon.
State University.
Dent, J.B., Blackie, M.J. & Harrison, S.R.(1979). System simulation in agriculture. Appl. Sci. Publ. Ltd. London.
De Santo. R.S. (1978). Concept of applied ecology. Springer-Verlag, New York.
ILRI. (1977). Framework for land evaluation. Inter. Land Recl. Improv. Wageningen
Leopold, L.B., Wolman, MG. Dan Miller, J.P. (1964). Fluvial processes in geomorphology. WH. Freeman and Co. San Fransisco.
Martin, G.L. 1970. Introduction. Proc. Symp. Interdisc. Ascept Watershed Man. Mon. State Univ. h. 1-2. Amer. Soc.
Civ. E. New York.
Meinzer, O.E. 1942. Ground Water. Dalam: Meinzer, O.E., Editor, Hydrology. Ch. XA. Dover Publ. Inc. New York.
Menard, H.W. 1974. Geology. resources, and society. W. H. Freeman and Co. San Francisco.
Michigan State Univ. 1976. Design and management of rural ecosystems. ASRA Information Resosurces, National
Science Foundation. Wasington, D. C.
Morgan, R. P. C. 1979. Soil erosion. Logman. London.
Nelson, A. & Nelson, K. D. 1973. Dictionary of water and water engineering Butterwarths & Co, Ltd. London.
Notohadiprawiro, T. 1977. Suatu cara pengharkatan cepat tapak darat (land site) bagipendirian pemukiman baru.
Kongres Nasional Ilmu Tanah II. Himpunan Ilmu Tanah Indonesia. Yogyakarta.
_______________ 1980. Penghijauan : kontroversi yang berkepanjangan. Seminar Penghijauan P. I. P. R. / R. S. D. C. Yogyakarta.
___________, & Drajad, M. 1980. Rancangan klasifikasi kemampuan lahan untuk permukiman ketanian. Rancangan
pertama. Dep. I. Tanah. Fak. Pert. UGM. Belum diterbitkan.
___________, Sukodarmodjo, S., & Drajad, M. 1980. Beberapa fakta dan angka tentang lingkungan fisik waduk Wonogiri dan kepentingannya sebagai dasar pengelolaan. Lokakarya Pengembangan dan Pelestarian
Wilayah Waduk Wonogiri. Tawangmangu.
Oldeman, R. A. A. 1979. Blueprints for a new tropical agroforestry tradition. Proc. 50th Symp. Trop. Agr. Bull. 303.
Kon. Inst. Tropen. Amsterdam. H. 25-34.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
97
Rqy, K. & Arora, D.R. 1973. Technology of agricultural land development and water management. Satya pakashan. Tech. India Publ. New Delhi.
Soepraptohardjo, M. & Robinson, G. H., editors. 1975. A proposed land capability appraisal system for agricultural
uses in Indonesia. Soil. Inst. Bogor.
Steele, J. G. 1967. Soil suvey interpretation and iats use. Fao Soil Bull. No. 8.
Storie, R. E. 1964. Handbook of soil evaluation. Assoc. Students Store. Univ. Calif. Berkeley.
Spedding, C. R. W. 1979. An introduction to agricultural systems. Appl. Sci. Publ. Ltd. London.
Wassink, J. T. 1979. Agroforestry, een samenspel van land- en bosbouw ten behoeve van de mens en zijn milieu. 67e
Jaarverslag Kon. Inst. Tropen Amsterdam.
DISKUSI
Pertanyaan :
1. Pada kenyataanya sulit sekali pengelolaan DAS didasarkan pada batas-batas administrasi. Dengan
adanya Otonomi Daerah maka ada bentrok antara DAS hulu dengan DAS hilir.
2. Saran (Masyarakat yang berada di hilir membayar ke daerah hulu).
3. Yang diuraikan tadi hanya masih dalam teori-teori DAS saja, tetapi aplikasinya belum.
4. Karakteristik aliran sungai akan kita angkat sebagai variable utama.
Tanggapan :
1. Memang benar, bahwa yang disampaikan hanya bersifat teoritis, tetapi ini berfungsi untuk
meningkatkan kesadaran kita.
2. Saran-saran kami terima untuk dipertimbangkan.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
98
KAJIAN PEREDARAN DAN KUALITAS
PUPUK ALTERNATIF DI NTB
Awaludin Hipi1, A. Suriadi
1, M. Sofyan Souri
1, Sudjudi
1, Mashur
1, dan Didi Ardi S
2
1. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Nusa Tenggara Barat 2. Puslitbagtanak Bogor
ABSTRAK
Penghapusan subsidi pupuk pada akhir tahun 1998 mengakibatkan harga pupuk meningkat tajam serta terjadi kelangkaan pupuk terutama pupuk tunggal (Urea, SP-36,dan KCl) untuk tanaman pangan. Untuk mengatasi
hal tersebut, maka pemerintah mengupayakan adanya iklim yang kondusif bagi peredaran pupuk di lapangan melalui
kebijakan pintu terbuka untuk peredaran pupuk alternatif. Dengan diterapkannya kebijakan pintu terbuka bagi
peredaran pupuk, telah mendorong berkembang dan beredarnya berbagai pupuk alternatif termasuk di NTB. Dari hasil penelitian dan pemantauan yang dilakukan ternyata banyak dari pupuk yang beredar kandungan hara dan
mutunya tidak sesuai dengan yang tercantum pada label atau kemasan dan kurang efektif dalam meningkatkan
produksi tanaman. Bertolak dari hal tersebut perlu dilakukan pengujian terhadap pupuk alternatif yang beredar di
pasaran. Pengkajian ini bertujuan untuk menginventarisasi, mengidentifikasi pupuk alternatif yang beredar di NTB dan menguji kandungan dan kadar hara dari pupuk alternatif. Survai inventarisasi dan identifikasi dilaksanakan
pada toko/kios penjual pupuk alternatif yang ada di Kabupaten/Kotamadya di NTB. Cara pengambilan sampel
ditentukan secara proporsional. Kandungan dan kadar hara yang dianalisis adalah N, P, dan K. Metode analisis yang
digunakan untuk kandungan N adalah kjedhal, sedang untuk P dan K menggunakan triple acid. Untuk kandungan hara tanah analisis dilakukan terhadap N,P, dan K dengan metoda analisis N dengan kjedhal, P dan K dengan HCl
25 %. Dari hasil survai terinventarisir 105 jenis pupuk alternatif yang di perdagangkan di NTB. Hasil uji
laboratorium terhadap 55 merk pupuk menunjukkan bahwa hanya terdapat 25 % yang kandungan dan kadar hara
NPK nya relatif sama dengan yang tertera pada label kemasan. Jika diklasifikasi sesuai kriteria pupuk alternatif, terdapat 4 merk yang kandungan hara N, P, dan K lebih dari 10 persen, 2 merk kandungan N dan P sama dengan atau
lebih besar 10 persen, 4 merk kandungan N dan K lebih besar dari 10 persen, 4 merk kandungan P dan K lebih besar
dari 10 persen, dan 7 merk hanya kandungan unsur N saja yang sama atau lebih besar dari 10 persen. Diperlukan
sosialisasi ditingkat petani, agar dapat dijadikan acuan dalam menilai kualitas pupuk alternatif. Diperlukan pengawasan terhadap peredaran pupuk alternatif, agar tidak merugikan konsumen.
Kata kunci : peredaran , kualitas, pupuk alternatif, NTB
ABSTRACT
Omission of fertilizer subsidies in the end of 1998 caused price of fertilizers sharply increased and scarced
in field especially single fertilizer (urea, SP-36 and KCl) for plant. To coop those problems, the government has
attempted regulation of equally chance for fertilizer alternatives to be distributed. However, the regulation has caused
many of alternative fertilizers distribute in NTB. Results of previous survey and monitor of alternative fertilizers show that many of nutrient contents and qualities of those fertilizers are not similar with written in label and
effectiveness in increasing plant production is less. For that reason, assessment of alternative fertilizer distribution in
market was conducted. The aims of the assessment were to inventories and identifies of distributed fertilizer in NTB
and to asses nutrient quantity of alternative fertilizers. Proportional sampling method of survey was conducted on alternatives fertilizer shop over districts in NTB. Value of N, P and K nutrients were analyzed for each fertilizer by
using kjedhal method for N and P and K by using triple acid method, while for soil sample, P and K were analyzed
by using HCl 25% extract and for N similar as fertilizer method. Result of survey show that there are 105 kind of
alternative fertilizers were collected that have been soled in NTB province. Result of laboratory analysis shows that from 55 kind of alternative fertilizers analyzed, only 25% of NPK content were similar to its written in labels.
According to fertilizer alternative criteria, there are 4 kind of alternative fertilizers contain NPK over 10% from its
written in label, 2 kind contain N and P similar or over 10%, 4 kind contain of N and K over 10%, 4 kind contain of P
and K over 10% and 7 kind contain N similar or over 10% from its written on label. Socialization the results of this assessment to farmer level is needed as a reference to asses the alternative fertilizers.
Key words : distributed, qualities, alternative fertilizier, west Nusa Tenggara.
LATAR BELAKANG
Pupuk merupakan masukan utama dalam sistem usahatani. Penggunaan pupuk yang tepat dan
benar (jenis, takaran, waktu, dan cara pemberiannya) merupakan salah satu cara untuk meningkatkan
kuantitas dan kualitas hasil usahatani dalam sistem pertanian yang maju dan berorientasi agribisnis.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
99
Menurut Muljadi, 1997, penggunaan pupuk secara rasional dan berimbang adalah salah satu faktor kunci
untuk memperbaiki dan meningkatkan produktivitas lahan pertanian, khususnya di daerah tropic di mana
tersedianya unsure hara yang cukup merupakan salah satu faktor pembatas.
Penghapusan subsidi pupuk pada akhir tahun 1998 telah mengakibatkan harga pupuk terutama
SP-36 dan KCl meningkat tajam serta telah terjadi kelangkaan pupuk terutama untuk tanaman pangan.
Untuk mengatasi hal tersebut, maka pemerintah mengupayakan adanya iklim yang kondusif bagi
peredaran pupuk di lapangan melalui kebijakan pintu terbuka untuk peredaran pupuk alternatif.
Dewasa ini telah beredar berbagai macam pupuk baru hasil rekayasa teknologi yang dihasilkan
oleh perusahaan besar maupun kecil baik di dalam negeri, maupun impor. Menurut Dirjen Tanaman
Pangan dan Hortikultura (1999) telah didaftarkan pupuk alternatif sebanyak 523 merk dari 200
perusahaan, sedangkan yang belum terdaftar diperkirakan 3 – 4 kali lipat. Sementara Dirjen Prasarana
dan Sarana Pertanian (2000), menyatakan bahwa jumlah pupuk alternatif yang terdaftar pada tahun 2000
sebanyak 636 merk dagang dari 318 perusahaan, padahal pada tahun 1989 baru berjumlah 25 merk dari
16 perusahaan.
Peredaran pupuk alternatif disatu sisi dapat menguntungkan petani karena banyak pilihan selain
pupuk konvensional, namun dikhawatirkan akan terjadi penurunan tingkat produksi pertanian karena
penggunaan pupuk yang mutunya rendah atau isinya tidak sesuai dengan yang tertera dalam kemasannya.
Hasil penelitian Puslittanak terhadap beberapa pupuk alternatif menunjukkan hasil yang kurang
memuaskan dibandingkan pupuk utama makro N, P, dan K (Hartatik et al (1986); Setyorini et al (1995);
Sofyan et al (1999). Selanjutnya Mursidi et al. (2000), melaporkan bahwa dari penelitian terhadap 165
contoh ‗pupuk‖ yang diambil secara acak dari Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur,
sebanyak 86 persen kandungan haranya tidak sesuai dengan yang tertera pada label. Hal yang sama juga
telah dilaksanakan oleh Tim Pupuk NTB pada tahun 1999 terhadap pupuk alternatif yang beredar di NTB,
menunjukkan bahwa banyak merk pupuk alternatif yang kualitasnya tidak sesuai dengan yang tertera
pada label.
Penggunaan pupuk yang tidak tepat (mutu dan jumlah), selain dapat merugikan secara ekonomi,
juga dapat menyebabkan terjadinya penurunan hasil dan pencemaran lingkungan. Untuk menjaga agar
konsumen khususnya petani terhindar dari kerugian akibat penggunaan pupuk yang tidak jelas kualitas
dan efektivitasnya serta mendorong perusahaan untuk memproduksi pupuk alternatif yang berkualitas,
maka diperlukan kajian dan pengawasan secara berkala terhadap peredaran dan penggunaan pupuk
alternatif.
Peredaran dan penggunaan pupuk alternatif di NTB akhir-akhir ini makin meningkat. Hal ini
diduga disebabkan karena meningkatnya harga pupuk di lapang sebagai akibat dihapusnya kebijakan
subsidi pupuk (urea, Sp-36, ZA, dan KCl) pada bulan Desember 1998. Selain itu dengan diterapkannya
kebijakan pintu terbuka terhadap peredaran pupuk alternatif, serta kenyataan bahwa petani seringkali sulit
untuk memperoleh pupuk tunggal, tampaknya telah mendorong meningkatnya penggunaan pupuk
alternatif.
Dewasa ini cukup banyak jenis pupuk alternatif dengan berbagai merek dagang yang
diperdagangkan di NTB. Sembiring (2000), melaporkan bahwa dari hasil pemantauan yang dilakukan
oleh Tim Pemantau Pupuk Propinsi NTB menunjukkan bahwa 90 persen dari 33 merek dagang dari
berbagai jenis pupuk alternatif yang telah diuji di laboratorium memberikan indikasi kandungan haranya
tidak sesuai dengan yang tercantum pada label.
Pupuk alternatif banyak digunakan petani untuk tanaman padi, palawija, dan terutama untuk
tanaman hortikultura (sayuran dan buah-buahan). Agar petani terhidar dari kerugian akibat penggunaan
pupuk alternatif yang tidak jelas mutu dan efektivitasnya, diperlukan adanya pengawasan terhadap
pengadaan dan penyaluran pupuk alternatif. Penggunaan pupuk yang tidak tepat selain dapat merugikan
secara ekonomis, juga dapat menyebabkan terjadinya penurunan hasil, serta menyebabkan terjadinya
pencemaran lingkungan.
Bertolak dari permasalahan tersebut, maka perlu adanya pengujian terhadap mutu dan efektivitas
dari pupuk alternatif, sehingga pupuk yang digunakan oleh petani adalah pupuk yang telah diketahui
kualitasnya dan telah teruji efektivitasnya dalam meningkatkan produksi pertanian. Tujuan dari
pengkajian ini adalah untuk menginventarisasi dan mengidentifikasi pupuk alternatif yang beredar di
NTB serta menguji kandungan dan kadar hara pupuk alternatif.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
100
METODOLOGI
Pelaksanaan pengujian pupuk alternatif terdiri atas 3 kegiatan yaitu :
Survey identifikasi dan pengambilan sampel pupuk alternatif di lapang
Analisis kandungan dan kadar hara
Percobaan lapang untuk mengetahui efektivitas pupuk alternatif
Survey identifikasi dan pengambilan sampel pupuk dilaksanakan di seluruh
kabupaten/kotamadya di NTB. Sampel lokasi survey ditentukan secara proporsional dengan
mempertimbangkan jumlah kios/toko pengecer dan jarak dari ibukota kabupaten. Pupuk alternatif yang
akan diambil sampel adalah pupuk alternatif makro anorganik. Contoh pupuk diperoleh dengan cara
membeli pada setiap pedagang sampel, dengan prioritas pupuk alternatif yang beredar dalam kurun waktu
5 tahun terakhir. Jumlah dan volume pupuk alternatif yang diambil sebagai contoh disesuaikan dengan
bentuk dan kemasan pupuk. Pupuk yang berbentuk butiran/tepung bila diperdagangkan dalam bentuk
kemasan lebih dari 50 kg, maka pupuk yang diambil sebagai contoh/sampel sebanyak 1 kg dan bila
diperdagangkan dalam bentuk kemasan 5 kg atau kurang maka seluruhnya diambil sebagai pupuk contoh.
Pupuk berbentuk cairan yang diperdagangkan dalam kemasan botol kecil seluruhnya diambil sebagai
contoh.
Contoh pupuk yang terkumpul selanjutnya dianalisis mutu atau kandungan haranya di
laboratorium BPTP NTB. Kandungan hara yang dianalisis adalah N, P, dan K. Bila dari beberapa lokasi
sampel diperoleh contoh pupuk yang sama, maka analisis dilakukan terhadap contoh komposit.
Jenis data yang dikumpulkan mencakup nama produk, kandungan dan kadar hara pada label,
karakteristik pupuk, pupuk alternatif yang banyak dibeli petani dan hasil analisis laboratorium.
METODE ANALISIS
Kandungan dan kadar hara yang dianalisis adalah N, P, dan K. Metode analisis yang digunakan
untuk kandungan N adalah kjedhal, sedang untuk P dan K menggunakan triple acid. Untuk kandungan
hara tanah analisis dilakukan terhadap N,P, dan K dengan metoda analisis N dengan kjedhal, P dan K
dengan HCl 25 persen.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pupuk alternatif yang beredar
Dari hasil survey di kabupaten/kotamadaya yang ada di NTB, terinventarisir 105 merk pupuk
alternatif yang beredar. Dari 105 merk pupuk alternatif yang diperdagangkan, teridentifikasi bahwa
pupuk-pupuk yang banyak diperjual belikan adalah merk Seprint sebanyak 58 persen, Gandasil B dan
Gandasil D masing-masing 46 dan 44 persen, Alami 38 persen, NPK Grand S-15 sebanyak 35 persen,
Green tonic 32 persen, Indofloor 30 persen, Sampurna B dan Sampurna D masing masing sebanyak 29
persen.
Walaupun pupuk alternatif yang beredar cukup banyak, namun masih lebih banyak lagi yang
tidak berlabel yang beredar di kios-kios. Seringkali pedagang juga mencampur pupuk tersebut, sehingga
tidak jelas hasil, kualitas dan kandungannya.
Tabel 1. Inventarisasi nama/merek pupuk alternatif yang beredar di NTB. 2002.
No. Nama/Merek Pupuk
Toko/Pedagang
sampel *) No. Nama/Merek Pupuk
Toko/Pedagang
sampel *)
Jumlah persen Jumlah persen
1 2 3 4 5 6 7 8
1. Adaptor 5 9,09 54. NPK Scubmofe 4 7,27
2. Alami 21 38,18 55. NPK Organik 1 1,82
3. Agro-88 14 25,45 56. NPK Nugrasari 4 7,27
4. Agrosilvic 2 3,64 57. NPK Prima Denta 4 7,27
5. Atonic 1 1,82 58. NPK Fertilizer Kencana 2 3,64
6. Bayfolan 5 9,09 59. NPK Organik Gajah Mas 1 1,82
7. B1 Cons 9000 2 3,64 60. NPK Dharmatani 1 1,82
8. Bambu Ijo 2 3,64 61. NPK Cap Pak Tani 3 5,45
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
101
1 2 3 4 5 6 7 8
9. Complesal hijau 11 20,00 62. NPK BASF 4 7,27
10. Complesal merah 4 7,27 63. NPG 3 5,45
11. Catoni 4 7,27 64. Phonska 4 7,27
12. CPN Pak Tani 3 5,45 65. Petrovita 7 12,73
13. DAP 13 23,64 66. Phospel 1 1,82
14. Dosdet 1 1,82 67. Pupuk pacul 2 3,64
15. Dica Grow 2 3,64 68. Ppk. Pengebut 2 3,64
16. Emvilon 1 1,82 69. Ppk. Penyubur 2 3,64
17. Etonic 1 1,82 70. Ppk Rimbun 1 1,82
18. E 2001 2 3,64 71. Potasium Nitrat 2 3,64
19. Fofert 1 1,82 72. Plant catalis 1 1,82
20. Fosfo N 8 14,55 73. Ronsae super 1 1,82
21. Fitamic 1 1,82 74. Super oerstind 1 1,82
22. Fertila 1 1,82 75. Sampurna B 16 29,09
23. Gandasil B 25 45,45 76. Sampurna D 16 29,09
24. Gandasil D 24 43,64 77. Super king 1 1,82
25. Gaedena B 4 7,27 78. Supermes 1 1,82
26. Gardena D 3 5,45 79. Seprint 32 58,18
27. Green tonic hijau 18 32,73 80. Sulfomag Plus 1 1,82
28. Green tonic merah 4 7,27 81. Sulfomag 1 1,82
29. Green stant 5 9,09 82. Super Bionic 4 7,27
30. Green Tama 1 1,82 83. Super Flora 2 3,64
31. Green Vitanic 2 3,64 84. SP-35 Cap Kambing 2 3,64
32. Grow More 2 3,64 85. SP-30 2 3,64
33. Grow Win 2 3,64 86. Saprodap 4 7,27
34. Grand K 1 1,82 87. Saprodap Bara 1 1,82
35. Indomess 3 5,45 88. Sprint 5 9,09
36. Indofloor 17 30,91 89. TCP-36 4 7,27
37. Indofertil 2 3,64 90. TCP-46 1 1,82
38. KNO3 (Keno Telu) 9 16,36 91. Topsil B 1 1,82
39. KNO3 Kali Chili 2 3,64 92. Ureum 2 3,64
40. Mamigro Super N 5 9,09 93. Ultra Chili K 1 1,82
41. Mamigro Super P 1 1,82 94. Vitabloom D 3 5,45
42. Mbakomas 2 3,64 95. Vitabloom B 1 1,82
43. Mitra Flora 8 14,55 96. Vitamic 4 7,27
44. MOP KCl 4 7,27 97. Venix 1 1,82
45. MOP KCL Kallan 1 1,82 98. Vitagrow B 2 3,64
46. Multi K Duclos 1 1,82 99. Vitagrow D 3 5,45
47. Mutiara Super 1 1,82 100. 88 Spalding 4 7,27
48. MKP Cap Traktor Pak Tani 1 1,82 101. SZP – 26 1 1,82
49. NPK Grand –S15 19 34,55 102. ZK 1 1,82
50. NPK Granular 6 10,91 103. Wonder KCl Cair 2 3,64
51. NPK Libkapor 1 1,82 104. Wonder Phosphorus 36 1 1,82
52. NPK Prima 3 5,45 105. ZK Plus 1 1,82
53. NPK Ikan Mas 2 3,64
Ket : *) pedagang sampel toko/kios = 55
Karakteristik dan kualitas pupuk alternatif yang beredar
Kualitas unsur hara pupuk alternatif yang beredar sangat beragam. Umumnya menyatakan lebih
dari satu unsur. Pupuk alternatif yang beredar, umumnya terdiri atas dua bentuk yaitu padat (butiran dan
tepung), dan cair. Warna dan kemasannya juga bervariasi.
Kriteria yang ditetapkan oleh Puslittanak (1999) bahwa pupuk alternatif yang tergolong pada
pupuk makro anorganik adalah pupuk yang merupakan sumber hara N, P, dan K dengan kandungan N, P
dan K masing-masing minimal 10 persen.
Dari hasil identifikasi terhadap 55 merk pupuk, 12 merk diantaranya mencantumkan kandungan
dari setiap unsur N, P dan K lebih dari 10 persen, 5 merk mempunyai kandungan N dan P lebih dari 10
persen, 6 merk mencantumkan kadungan N dan K sama atau lebih besar dari 10 persen, dan hanya 1 merk
yang mencantumkan kandungan P dan K lebih besar dari 10 persen. Tetapi dari hasil pengujian kualitas
di laboratorium menunjukkan bahwa 4 merk kandungan unsur (N, P, dan K) sama dengan atau lebih besar
dari 10 persen, 2 merk kandungan N dan P sama dengan atau lebih besar 10 persen, 4 merk kandungan N
dan K lebih besar dari 10 persen, 4 merk kandungan P dan K lebih besar dari 10 persen, dan 7 merk hanya
kandungan unsur N saja yang sama atau lebih besar dari 10 persen.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
102
Hasil analisis terhadap 55 merk pupuk menunjukkan bahwa 16 merk memiliki kandungan N di
atas 10 persen, 17 merk memiliki kandungan P diatas 10 persen, dan 18 merk memiliki kandungan K
lebih dari 10 persen, dan selebihnya kandungan hara N, P, dan K pada label dan hasil pengujian
laboratorium menunjukkan angka di bawah 10 persen. Hanya terdapat 4 merk yang memenuhi kriteria
sebagai pupuk alternatif (kandungan N, P, dan K lebih dari 10 persen).
Tabel 2. Kandungan hara N, P, dan K pada label dan hasil analisa laboratorium, dan karakteristik pupuk alternatif
yang beredar di NTB. 2002.
No. Nama Pupuk
Kadar Unsur Hara (persen) Karakteristik
Analisa Lab. Label Kemasan
N P2O5 K2O N P2O5 K2O Bentuk Warna
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)
1. Agro 88 - 0.40 0.85 3.39 6.16 11.36 Butiran Krem
2. Bayfolan 6.12 5.4 6.83 11 8 6 Cair Hijau
3. Complesal 19.32 14.33 13.00 27 18 9 Tepung Hijau tua
4. CPN Pak Tani 15.7 0.06 0.45 13 - 45 Butiran Merah muda
5. DAP (abu-abu) - 3.86 0.57 - - - Butiran Bu-abu
6. DAP (krem) 1.86 36.96 0.09 - - - Butiran Krem
7. Dosdet 3.53 0.10 2.05 3.42 63.73 2.59 Tepung Putih
8. Indomess 0.42 2.82 0.73 2.60 0.79 1.29 Cair Biru tua
9. Fofert 1.12 41.05 14.41 7.5 7.5 12.5 Cair Coklat
10. Gardena D 25.34 9.71 7.54 30.01 12.31 10.13 Tepung Kuning telur
11. Gandasil B 6.02 18.51 36.68 6 20 30 Tepung Merah muda
12. Gandasil D 18.62 15.51 21.21 14 12 14 Tepung Putih kebiruan
13. Grow More 5.93 42.66 7.68 10 55 10 Tepung Biru langit
14. KNO3 Cap Pak Tani 12.13 - 11.01 15 14 18 Butiran Merah muda
15. KNO3 Ultra Chili 13.3 - 51.36 15 0 14 Butiran Putih
16. KNO3 Kali Chili 14.46 - 19.87 15 0 14 Butiran
17. Mbakomas 5.93 8.12 17.61 7.39 6.29 10.35 Cair Hijau
18. MOP KCL - - 69.92 - - >60 Butiran Merah bata
19. MOP KCL Kallan - - 0.68 - - 60 Butiran Merah bata
20. MKP Cap Traktor
Pak Tani - 47.41 34.75 - 52 34
Tepung Putih
21. NPK Granular (abu-
abu) 0.7 0.24 0.80 4.05 3.37 7.74
Butiran Abu-abu
22. NPK Grand S - 15 11.76 14.45 14.69 15 15 15 Butiran Merah bata
23. NPK Scubmofe 2.8 0.14 1.23 11.08 4.5 21.78 Butiran Merah jambu
24. NPK Nugrasari 23.55 0.17 0.22 16.33 1.82 5.81 Butiran Merah jambu
25. NPK Cap Pak Tani 15.89 15.39 0.54 16 16 8 Butiran Krem
26. NPK Prima Denta 21.81 0.50 0.48 23.47 10.03 6.68 Tepung Merah muda
27. NPK Fertilizer 12.65 7.70 8.86 16 16 16 Butiran Merah bata
28. NPK Organik Cap
Gajah Mas 0.21 2.08 0.45 0.68 3.21 0.20
Butiran Abu-abu
29. NPK BASF 5.94 19.51 21.90 15 15 15 Butiran Merah bata
30. NPK Cap Ikan
Mas 8.20 25.27 19.10 15 15 15
Butiran Merah muda
31. NPK Prima (Grand) 0.44 0.13 0.31 - - - Butiran Merah muda
32. NPK Granular hitam 2.24 3.24 3.07 4.05 3.37 8.74 Butiran Hitam
33. NPK Fertilizer
Kencana 0.66 6.54 5.14 15 15 15
Butiran Merah bata
34. NPG 4.2 0.22 - 0,38 2,95 0,38 Butiran Abu-abu
35. Ppk. Pengebut 0.25 0.14 24.49 5.92 0.07 43.07 Tepung Coklat Muda
36. Ppk. Rimbun 0.37 1.50 29.43 10.27 0.58 10.03 Tepung Coklat Muda
37. Pupuk Penyubur 3.55 0.82 7.52 - - - Tepung Coklat muda
38. Phonska 13.0 17.80 18.34 15 15 15 Butiran Merah Bata
39. Phospel - 0.13 0.45 - - - Tepung Hijau muda
40. PN (Potassium
Nitrate) 14.46 0 55.78 13 - 45
Butiran Putih
41. Phosfat 35 Kambing - 0.24 - - - - Butiran Abu-abu
42. Sulfomag Plus - 0.40 0.75 - - - Tepung Krem
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
103
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)
43. Sulfomag - 13.72 0.31 - 20 - Butiran Abu-abu
44. Sampurna B 15.35 0.11 2.22 16 30 19 Tepung Merah muda
45. Sampurna D 20.77 0.10 0.10 28 19 11 Tepung Putih
46. Saprodap Bara 18.25 36.22 - 16 30 - Butiran Putih
47. Saprodap 15.37 18.20 - 16 30 - Butiran Coklat muda
48. Seprint 6.53 0.13 2.88 9.6 0.67 2.11 Cair Hijau muda
49. SP - 35 Sheep - 0.60 - - - - Butiran Abu kehitaman
50. SP - 30 - 0.22 - - 30 - Butiran Abu-abu
51. Super Flora 1.63 6.09 1.03 10.6 2.20 3.50 Cair Biru muda
52. TCP - 36 - 1.34 - - 036 - Butiran Abu-abu
53. TCP - 46 - 0.58 - - 046 - Butiran Abu-abu
54. ZK (putih) 0.14 - 58.08 - - - Tepung Putih
55. ZK Plus 0.55 1.13 43.17 - - 40 Tepung Abu-abu tua
Implikasinya, peredaran dan penggunaan pupuk perlu diawasi dengan memberikan beberapa
syarat tertentu. Strategi yang harus ditempuh adalah setiap pupuk yang masuk harus mendaftar dan
kemudian dianalisis. Hasil analisis laboratorium perlu diuji efektivitasnya dilapang, kemudian boleh
diperdagangkan secara bebas.
Pupuk alternatif yang banyak dibeli petani
Dari 105 merk pupuk alternatif yang terinventarisir, 28 merk diantaranya yang banyak dibeli
oleh petani, dan merk yang paling banyak dibeli adalah Seprint (29 persen), NPK Grand S-15 (22 persen),
Gandasil B dan D masing-masing 15 persen. Dari 28 merk pupuk tersebut, 21 merk diantaranya telah
dilakukan uji mutu di laboratorium. Hasil analisis menunjukkan bahwa, 4 merk pupuk alternatif yang
memiliki kandungan hara dari setiap unsur N, P, dan K sesuai label dan memenuhi kriteria sebagai pupuk
alternatif (lebih 10 persen), 3 merk memiliki kandungan 2 unsur lebih dari 10persen, sedangkan 9 merk
lainnya hanya memiliki kandungan 1 unsur. Sedangkan 7 merk lainnya memiliki kandungan N, P, dan K
di bawah 10 persen. Dari 7 merk tersebut, hanya 2 merk memiliki 1 unsur yang sesuai label, sedangkan
lainnya memiliki kandungan hara N, P, dan K dibawah label.
Tabel. 3. Pupuk alternatif yang banyak di beli oleh petani di NTB. 2002.
No. Nama/Merek Pupuk Toko/Pedagang sampel *)
Jumlah persen
1 2 3 4
1. Seprint 16 29,09
2. NPK Grand –S15 12 21,82
3. Gandasil B 8 14,55
4. Gandasil D 8 14,55
5. Indofloor 5 9,09
6. NPK Prima Denta 4 7,27
7. Sampurna D 4 7,27
8. Sampurna B 3 5,45
9. NPK Granular 3 5,45
10. Adaptor 3 5,45
11. NPK Nugrasari 3 5,45
12. NPK Prima 3 5,45
13. Phonska 3 5,45
14. Alami 2 3,64
15. DAP 2 3,64
16. Dica Grow 2 3,64
17. Fosfo N 2 3,64
18. Green tonic hijau 2 3,64
19. NPK Ikan Mas 2 3,64
20. NPK Scubmofe 2 3,64
21. NPK Organik 1 1,82
22. KNO3 Kali Chili 1 1,82
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
104
1 2 3 4
23. NPK BASF 1 1,82
24. NPG 1 1,82
25. Ppk. Pengebut 1 1,82
26. Ppk. Penyubur 1 1,82
27. Potasium Nitrat 1 1,82
28. SP-35 Cap Kambing 1 1,82
Ket : *) pedagang sampel toko/kios = 55
KESIMPULAN DAN SARAN
Dari data hasil survey terhadap peredaran dan hasil analisis mutu pupuk di laboratorium, maka
dapat disimpulkan antara lain :
1. Jumlah pupuk alternatif yang beredar dan diperdagangkan di NTB lebih dari 105 merk, dimana 28
merk diantaranya banyak digunakan oleh petani.
2. Hasil uji laboratorium terhadap 55 merk pupuk alternatif menunjukkan bahwa hanya 25 % yang
kandungan unsur hara N, P, dan K sesuai atau lebih besar dari yang tercantum dalam label kemasan.
3. Berdasarkan klasifikasi pupuk alternatif, hanya terdapat 4 merk yang kandungan hara N, P, dan K
lebih dari 10 persen dan memenuhi kriteria sebagai pupuk alternatif makro anorganik.
4. Diperlukan sosialisasi ditingkat petani, agar dapat dijadikan acuan dalam memilih pupuk alternatif
yang akan digunakan.
5. Diperlukan pengawasan terhadap peredaran pupuk alternatif, agar tidak merugikan konsumen.
DAFTAR PUSTAKA
Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian. 2000. Surat keputusan tentang tatalaksana penanganan pupuk untuk
keperluan pertanian.
Dirjen Tanaman Pangan dan Hortikultura. 1999. Pedoman umum penerapan pupuk alternatif pada tanaman pangan dan hortikultura. Petunjuk teknis operasional penerapan pupuk alternatif pada tanaman pangan dan
hortikultura. Disampaikan dalam Forum koordinasi dan konsultasi pemanfaatan pupuk alternatif dalam
mendukung Gema Palagung 2001.
Hartatik, W. 1986. Pembandingan beberapa jenis pupuk Nitrogen pada tanaman padi gogo dan jagung. Laporan Puslittanak. Tidak dipublikasikan.
Moersidi, S., I. Nasution, E. Santoso, dan Nurjaya. 2000. Monitoring kualitas pupuk. Laporan intern Puslittanak.
Badan Litbang Pertanian. Tidak diterbitkan.
Puslittanak, 1999. Petunjuk teknis uji mutu dan efektivitas pupuk alternatif. Badan Litbang Pertanian. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor.
Setyorini, D., A. Kasno, dan J. Sri Adiningsih. 1995. Pengaruh pupuk majemuk lengkap tablet (PMLT) terhadap
hasil jagung pada tanah Inceptisol dan Ultisol dalam Prosiding Pertemuan Pembahasan dn Komunikasi
Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat. Cisarua, 26 – 28 September 1995. hal : 1 – 12.
Sofyan , A., J. Sri Adiningsih, dan A. Abdurachman. 1999. Pengaruh Pemupukan Sipramin selama tiga musim
terhadap tanaman pangan dn dampaknya terhadap sifat kimia tanah. Seminar hasil penelitian/pengkajian
penggunaan pupuk cair Sipramin. Malang, 6 – 7 Januari 1999.
DISKUSI
Pertanyaan :
1. Apakah bisa dijadikan sebagai rekomendasi penggunaan pupuk.
2. Data ini sangat perlu untuk disosialisasikan di tingkat petani.
3. Kenapa bapak tertarik masalah peredaran pupuk alternatif.
4. Kenapa tidak diidentifikasi semua kotoran-kotoran ternak, untuk dibuat alternatif pupuk kompos.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
105
Tanggapan :
1. Pengkajian ini untuk mendukung tim pengawas pupuk dan pestisida yang ada di Propinsi dan
kabupaten sebagai acuan untuk direkomendasikan. Jadi rekomendasi adalah tergantung dari tim
tersebut.
2. Sosialisasi di tingkat petani terbatas pada hasil kajian yang dilaksanakan.
3. Kajian peredaran pupuk alternatif ini dipandang perlu untuk mengetahui kualitas pupuk alternatif
yang beredar dan untuk melindungi petani dari penggunaan pupuk yang tidak jelas efektivitasnya.
4. Kompos merupakan salah satu pupuk alternatif, dan sudah banyak dikaji.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
106
THE USE OF BIO- AND CHEMO- RATIONAL APPROACH IN SEARCHING
BIOACTIVE COMPOUNDS FOR PESTICIDES: ALKALOID COMPOUNDS
FROM KUMBI (Voacanga foetida (Bl.) Rolfe)
Penggunaan ‘Bio- and Chemo-Rational Approach’ dalam pencarian Bahan Aktif Pestisida: Senyawa
Alkaloid dari Tanaman Kumbi (Voacanga foetida (Bl.) Rolfe)
Surya Hadi
Fakultas Pertanian Universitas Mataram, Jl. Pendidikan 37 Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat, Indonesia,
ABSTRACT
A serious problem faced to improve crop production is a yield loss as result of attack of insects and
pathogens. Another further consequence of this problem is the needs of additional cost for pesticides. An alternative to reduce the cost is by the use of local plants that can be utilized as source of pesticides. A way in searching plant
species for that purposes is by introducing a combined bio- and chemo-rational approach based on medicinal plants
and alkaloids respectively. A plant species selected by the use of such approach was Voacanga foetida (Bl.) Rolfe.
Chemical analysis from the bark of this species resulted a new alkaloid compound, lombine (1), was active against gram positive and negative bacteria. Other known alkaloid isolated from this part was voacangine (2) that also has
antibacterial properties.
Key words: approach, alkaloid, kumbi, Voacanga foetida
ABSTRAK
Salah satu permasalahan yang dihadapi dalam peningkatan produksi tanaman adalah kehilangan produksi
akibat serangan hama dan penyakit yang berakibat pada peningkatan biaya produksi untuk pengendaliannya. Salah
satu usaha guna menekan biaya produksi tersebut adalah melalui pemanfaatan tanaman lokal yang dapat dijadikan sebagai sumber bahan aktif pembuatan pestisida. Guna mendapatkan jenis tanaman tersebut, salah satu pendekatan
yang dapat dilakukan melalui ‗bio- and chemo-rational approach‘ berbasis pada tanaman obat dan senyawa alkaloid.
Salah satu jenis tanaman yang berpotensi sebagai penyedia bahan aktif pestisida yang diperoleh dengan menggunakan
pendekatan tersebut adalah tanaman kumbi. Analisis kimia kulit batang dari tanaman tersebut menghasilkan senyawa baru lombine (1) yang terbuksi menghambat petumbuhan bakteri gram positif dan negatif. Senyawa alkaloid lain
yang diperoleh dari tanaman ini yang memiliki aktivitas antibakteri adalah voacangine (2)
Kata kunci: pendekatan, alkaloid, kumbi, Voacanga foetida
INTRODUCTION
As microbial resistance to current pesticides increases in the present day, there has developed an
urgent need to discover new pesticides for agricultural uses. It is perhaps readily apparent that the
introduction of pesticide agents, some of which are secondary metabolites (i.e., natural products), has
contributed significantly to reducing loss of crop production. However, as pesticide industries have
created newer pesticides, insects and pathogens have developed mechanisms to overcome the effects of
these potent agents.1,2
The identification of structurally novel natural products with antimicrobial activity might be
adopted as a way of tackling this problem. While various approaches to locating such natural products
have been undertaken, researchers within the author‘s group have introduced a combined chemo- and bio-
rational strategy based on alkaloids extracted from medicinal plants previously used in searching
antibiotics and antimalarials.10
By targeting alkaloid-containing medicinal plants, it was hoped that novel
compounds with the required bioactivity would be found and isolated more efficiently. Such an approach
would also eliminate widely distributed tannins and polyphenolics, which often show some biological
activity, from consideration.
Alkaloids were defined initially as basic compounds containing at least one nitrogen atom in
their structure. However, as the actual structure and biogenetic origin of alkaloids emerged, the notion
that they were largely derived from amino acids and the constraint that the nitrogen was situated in a
heterocyclic ring were added. Alkaloids have a diverse range of structures and many show an array of
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
107
pharmacological activities including antimicrobial properties.3,4
They are also normally readily separable
from other plant metabolites as a result of their basicity. A further positive feature of alkaloids is that the
nitrogen site (or sites) can be used for further derivatisation and analogue development.
METHODOLOGY
1. Plant Collection
A hundred candidate plant species were investigated on the basis of their possibility of indicative
antimicrobial activities based on their local uses as remedies for wounds, malaria, or fever. The required
field information was gathered by interviewing the local people living where the plants were collected.
There were thirteen villages involved in this investigation throughout Lombok island, which is
divided administratively into three regions: western, central, and eastern Lombok. The villages of
Narmada, Suranadi, Ampenan, Kekait, and Mataram are located in the western region, while the villages
of Puyung, Kopang, Mantang, and Sepakek are in the central region. The rest of the villages (Masbagik,
Tetebatu, Kotaraja, and Pancor) are in east Lombok.
2. Alkaloid Screening
Semi-quantitative alkaloid testing was carried out either in the field or in the laboratory
according to the procedure described by Culvenor and Fitzgerald,5 and Bick et al.
6 A sample of the plant
part (~ 5 g) was ground in a mortar with a small amount of acid-washed sand, or the sample was pre-
ground in a coffee grinder. Ammoniacal CH2Cl2 (10.0 ml) was added and the mixture was stirred for
about one minute before filtering the CH2Cl2 into a small tube. Sufficient recovery of the solvent was
obtained by pressing the material in the filter with a cork. Dilute H2SO4 (1.0 M, 0.5 ml) was then added
and the test tube was sealed with a cork and shaken, and the phases allowed separating. The aqueous
phase was removed with a dropper, the tip of which was fitted with a cotton wool plug. Three drops of
aqueous solution were then placed in a small rimless tube for testing with Mayer‘s reagent (K2HgI4). The
density of the diagnostic precipitate formed was finally assessed on a + to ++++ scale, a + result was
indicated by a milky turbidity, and ++++ by a heavy white to cream precipitate.
Ammoniacal CH2Cl2 was made up by adding three drops of concentrated aqueous ammonia
solution in CH2Cl2 (10 ml) and the mixture was shaken. Excess water was removed with anhydrous
Na2SO4. Dilute H2SO4 (1.0 M) was prepared by diluting concentrated H2SO4 (10.0 ml) in a 100 ml
volumetric flask with water. Mayer‘s reagent was freshly made up by dissolving a mixture of mercuric
chloride (1.36 g) and of potassium iodide (5.00 g) in water (100.0 ml).
3. Alkaloid Isolation Procedure
Before extraction, parts of the plants were prepared by air-drying in the shade at room
temperature (ca. 27oC) followed by grinding separately in a coffee grinder. The procedure for extraction
of the alkaloid from the five plants selected is as follows. Ground plant material was extracted with cold
distilled MeOH with occasional swirling. Methanol extraction was continued until the plant material gave
a negative alkaloid test (Culvenor and Fitzgerald Procedure5). After filtration, the solvent was removed
under reduced pressure at 40oC, to minimise any thermal degradation of the alkaloids.
The crude alkaloid mixture was then separated from neutral and acidic materials, and water-
soluble materials, by initial extraction with aqueous acetic acid (CH3CO2H) followed by dichloromethane
(CH2Cl2) extraction and then basification of the aqueous solution and further CH2Cl2 extraction.
4. Antibacterial Test Procedure
The crude alkaloid extracts and isolated alkaloidal compounds were tested using the FDA assay
described by Chand and co-wokers.7,8
The microorganisms, cultured overnight, were diluted to an
absorbance of 0.12 at 600 nm and grown (37oC, 30 min) to absorbance of 0.18. The culture (175.0 l)
was filled to wells of tissue culture plates. A solution of the test substance (20.0 l) or appropriate control
was added to each well in triplicate. Before FDA (5.0 l, 0.2% solution in acetone) was added, the
microtitre plate was incubated at 37oC for 30 min. The incubation was then continued for three hours or
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
108
until fluorescence was easily observed under UV light ( 254 nm). The results were recorded as positive
(+ to ++) or negative according to the fluorescence detected.
To determine any possible effect of acetone on the viability of the cells, three replications of
controls consisting of acetone (20.0 l) with FDA were added to each test plate. Additional controls to
ascertain whether the tested compound hydrolysed FDA were made by including tested compounds in
broth solution (175.0 l) with FDA.
After the FDA assay was completed, the culture (20.0 l, in triplicate) from all the wells that did
not show fluorescence, were spread on to agar to observe whether the cells were able to recover. The
plates were then incubated (overnight, 37oC). The visibly growing colonies were counted and compared
to a dilution series of a control culture from the FDA plate containing acetone.
RESULTS AND DISCUSSION
Plant Collection
The plants collected were widely distributed in 49 families and 80 genera, giving some
indication of the variety of medicinal plants growing on Lombok. Of these plants, twenty-three species
(23%) contained alkaloids (Table 1). In a survey of plants of Tasmania, Australia, focussing mainly on
endemic species in this cool temperate environment,6 15 % of the plant species gave positive alkaloid
tests. However, in a similar alkaloid survey in Queensland, Australia, with many tropical and sub-tropical
species, 20% of species were positive.9 There are a great potency for those plants to be intensively studied
for pesticides, since they have indications having antimicrobial properties on the basis of medicinal uses
and alkaloid containing.
Table 1. Lombok medicinal plant species giving a positive test for alkaloids
Family Species Localitya
Collection
Code
Diseases/
Conditions
Treatedb
Part testedc (Result)
d
1 2 3 4 5 6
Amaryllidaceae Crinum
asiaticum L.
Masbagik, EL MEL03 Wounds,
abscesses
Lf(++), bl(++)
Annonaceae Annona
squamosa L.
Kotaraja, EL KEL13 Fever Lf(+), bk(++), rt(++)
Apocynaceae Alstonia
scholaris R.Br.
Kotaraja,EL KEL3 Malaria Lf(+++), bk(+++),
rt(+++)
Voacanga foetida
(Bl.) Rolfe
Kekait, WL KWL01 Almost all skin
diseases
Lf(+++), bk(++++),
fr(+++), sd(+++)
Caesalpiniaceae Cassia siamea Kotaraja,EL KEL02 Malaria Lf(+++), bk(++), rt(++)
Caricaceae Carica papaya L. Narmada, WL NWL04 Malaria, Ulcers Lf(++), st(-), rt(-), fr(-)
Convolvulaceae Ipomoea batatas
Polr.
Narmada, WL NWL03 Wounds Lf(+),
rh(-)
Cucurbitaceae Momordica
charantia L.
Pancor, EL PEL07 Malaria Lf(++), st(++), fr(+)
M. bicolour Bl. Narmada, WL NWL10 Malaria Lf(++), st(++), rt (+)
Euphorbiaceae Jatropha
multifida L.
Ampenan, WL AWL03 Swellings,
wounds
Lf (-), bk(-), sd(+)
Lamiaceae Drysophylla
auricularia (L.) Bl.
Masbagik, EL MEL05 Fever Lf(++), St(++), rt(+)
Loganiaceae Strychnos
ligustrina Bl.
Masbagik, MEL MEL12 Malaria Lf(-), bk(+++), rt(++)
Magnoliaceae Michelia
champaca L.
Mataram, WL MWL06 Fever, wounds Lf(+++), bk(+++),
rt(++)
M. alba DC. Narmada, WL NWL07 Malaria Lf(++), bk(++), rt(++)
Meliaceae Azadirachta
indica Juss.
Kopang, EL KCL02 Dysentery malaria Lf(++), bk(++), rt(+)
Mimosaceae Crotalaria
retusa L.
Kotaraja, EL KEL14 Fever, wounds Lf(++), st(+), rt(++),
fr(-)
Moraceae Ficus septica Mataram, WL MWL05 Wounds Lf(+++), bk(+++),
rt(+++)
Moringaceae Moringa
oleifera Lamk.
Mataram, WL MWL08 Fever, Wounds Lf (++), bk (++), rt (++)
Rubiaceae Psychotria
malayana Jack. Suranadi, WL SWL04 Wounds, skin
diseases
Lf(++), bk(++), rt(-),
fr(-)
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
109
1 2 3 4 5 6
Sterculiaceae Sterculia
foetida Linn.
Kotaraja, EL KEL01 Fever, malaria Lf(++), bk(+++),
(rt(+++)
Verbenaceae Clerodendron
calamitosum L.
Kotaraja, EL KEL12 Malaria, wounds Lf (++)
C. paniculatum L. Narmada, WL NWL06 Sore eyes Lf(-), fl(++), rt(-)
Zingiberaceae Curcuma
xanthorrhiza Roxb.
Mataram, WL MWL02 Diarrhoea, malaria Lf (+), rh (+)
a WL(West Lombok), CL(Central Lombok), EL(East Lombok); b Information gathered by interviewing local people
and confirmed by Perry.63 c bk (bark), st (stem), rt (root), bl (bulb), rh (rhizome), fl (flower), fr (fruit), sd (seed); plant
parts printed in bold are those used medicinally; d A result of (++++) indicates a very heavy precipitate with Mayer’s Reagent, (+++) a moderate precipitate, (++) a light precipitate, and (+) a milkiness in the solution
A combined chemo- and bio-rational Approach and Alkaloids from Kumbi (Voacanga foetida (Bl.)
Rolfe)
A combined chemo- and bio-rational strategy, based on alkaloids and medicinal plants
respectively, was demonstrated to be an effective and efficient approach in finding new biologically
active components from nature. By targeting alkaloid compounds, many of which are known to have
biological activity, and a plant selection guided by information of traditional medicinal uses, several new
and known antimicrobial alkaloids were isolated.10
Some of these could be useful for pesticides as they
were active against pathogenic bacteria. However, due to limited studies on antimicrobial properties of
isolated compounds carried out, further work is necessary.
The following is to discuss a plant species Voacanga foetida (Bl.) Rolfe, locally called kumbi,
which was selected by the use of above approach.
Through the steps of extraction, isolation, purification, and structure elucidation, a new optically
active indole alkaloid lombine (major) and the known alkaloid voacangine (minor) were isolated and
identified from the bark of Voacanga foetida (Bl.) Rolfe, used ethnomedically on Lombok for the
treatment of wounds, itches, and swellings. The structure elucidation of those compounds will be
published elsewhere.
The antibacterial testing of the crude alkaloidal extracts used the Fluorescein Diacetate Assay
(FDA) procedure presented by Chand et al.7 and Benkendorff et al.
8 The crude alkaloidal extracts from
bark of the plant V. foetida, bark, were found to inhibit the hydrolysis of FDA by bacteria at a
concentration of 5 mg/ml (Table 2).
The crude alkaloidal extract from the bark inhibited the growth of the Gram-positive bacterium,
Staphylococcus aureus, and the Gram-negative bacterium, Escherichia coli, at a concentration of 5
mg/ml. Partial growth inhibition was also displayed by the crude extract at a lower concentration (0.5
mg/ml). It was found that the new compound lombine (1), a major compound isolated from the bark, was
active against both S. aureus and E. coli. The antibacterial activity of lombine (1) was substantially
greater than the crude extract, with complete growth inhibition occurring at 0.5 mg/ml for both bacteria.
At a concentration 0.05 mg/ml, lombine (1) displayed partial growth inhibition. Bactericidal activity was
assessed via replating on agar and undertaking associated dilution studies. Lombine (1) exhibited
bactericidal activity against S. aureus and E. coli causing 94% and 95% cell death respectively at a
concentration of 0.5 mg/ml when compared to control cultures. Lombine (1) thus has modest bactericidal
potency and could form a useful lead for further antibacterial development. Voacangine (2), the minor
component in the bark, at a concentration of 1.0 mg/ml showed bacteriostatic activity against S. aureus,
killing 87% of the bacterial cells.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
110
Table 2. Bacteriostatic activity of samples from bark of Voacanga foetida (Bl.) Rolfe
Sample Concentration (mg/ml) Bacteriostatic activity
S. aureus** E. coli**
CEA* of bark 5.0 ++ ++
0.5 + +
Lombine 0.5 ++ ++
0.05 + +
Voacangine 1.0 ++ -
0.1 + -
* CEA = crude extract of alkaloids; ** (++: Complete suppression of FDA hydrolysis; +: partial FDA hydrolysis; -:
no antimicrobial properties)
NH
N
H
O
MeOOC
NH
N
H
COOMe
HMeO
Lombine (1) Voacangine (2)
From the above observations, it appears that the alkaloid lombine (1) had a broader spectrum of
activity compared to voacangine (2), since it killed both Gram positive and Gram negative bacteria. This
initial result indicated that from the bark of Voacanga foetida is able to develop bactericide agents having
broad and specific target of pathogens. However, further studies have to be done to confirm further this
evidence.
CONCLUSIONS AND FUTURE WORK
A combined chemo- and bio-rational strategy, based on alkaloids and medicinal plants
respectively, was a effective strategy to be used in finding new pesticides from nature. By following the
steps of extraction, isolation, purification, and structure elucidation, a new optically active indole alkaloid
lombine (major) and the known alkaloid voacangine (minor) were isolated and identified from the bark of
Voacanga foetida (Bl.) Rolfe, used ethnomedically on Lombok for the treatment of wounds, itches, and
swellings. Initial antibacterial testing of the crude alkaloid extract from V. foetida (Bl.) Rolfe (bark )
showed activity against both Gram-positive (Staphylococcus aureus) bacteria and Gram-negative
(Escherichia coli) bacteria. The new alkaloid lombine and the known compound voacangine were found
to have antibacterial properties.
Future work should be focussed on the synthesis of the new alkaloid lombine (obtained from V.
foetida), designing and preparing derivatives, and investigating the mode of action against
Staphylococcus aureus and Escherichia coli. Testing against other pathogenic strains should also be
carried out. Further work could also examine synergistic and antagonistic mechanisms between alkaloid
components from the plant V. foetida.
ACKNOWLEDGMENTS
I would like to give my sincere thanks to my supervisor, Prof. John B. Bremner for his
continuous guidance and support during the course of this study. Thanks are extended to AusAid for the
scholarship and to the Institute for Biomolecular Science in providing extra funds to assist this project.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
111
REFERENCES
(1) Acar, J. F.; Goldstein, F. W. Consequences of increasing resistance to antimicrobial agents. Clin. Infect. Dis.
1998, 27, S125-S130.
(2) Lister, P. D. Antibacterial resistance. Infectious Disease and Therapy 2002, 28, 327-365.
(3) Cordell, G. A.; Quinn-Beattie, M. L.; Farnsworth, N. R. The potential of alkaloids in drug discovery.
Phytotherapy Research 2001, 15, 183-205.
(4) Hadi, S.; Bremner, J. B. Initial studies on alkaloids from Lombok medicinal plants. Molecules [online computer
file] 2001, 6, 117-129.
(5) Culvenor, C. C. J.; Fitzgerald, J. S. A field method for alkaloid screening of plants. J. Pharm. Sci. 1963, 52,
303-304.
(6) Bick, I. R. C. B., J.B.; Paano, A.M.C.; and Preston, N.W. A Survey of Tasmanian Plants for Alkaloids;
University of Wollongong, 1996; pp 4-37.
(7) Chand, S.; Lusunzi, I.; Veal, D. A.; Williams, L. R.; Karuso, P. Rapid screening of the antimicrobial activity of
extracts and natural products. J. Antibiot. 1994, 47, 1295-1304.
(8) Benkendorff, K.; Davis, A. R.; Bremner, J. B. Chemical defense in the egg masses of benthic invertebrates: an
assessment of antibacterial activity in 39 mollusks and 4 polychaetes. Journal of Invertebrate Pathology 2001, 78, 109-118.
(9) Webb, L. J. An Australian phytochemical survey. I. Alkaloids and cyanogenetic compounds in Queensland
plants. Australia, Commonwealth Sci. Ind. Research Organ., Bull. 1949, No. 241, 56 pp.
(10) Hadi, Surya. Bioactive Alkaloids from Medicinal Plants of Lombok. Department of Chemistry, University of Wollongong (PhD thesis). 2002, 260 pp.
DISKUSI
Pertanyaan :
1. Kalau ini diaplikasikan dikhawatirkan akan mengurangi kesuburan tanah (karena sfektrumnya luas
sekali) atau lebih spesifik lagi mengenai bakteri-bakterinya.
2. Bagaimana spesifikasi tentang kumbi terhadap senyawa.
3. Kalau mungkin diaplikasikan petani, berapa efesiensinya.
Tanggapan :
1. Apa yang Ibu uraikan tadi akan menjadi bahan pertimbangan kami untuk penyempurnaan
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
112
PENGARUH WAKTU PEMBERIAN PAKLOBUTRAZOL
DALAM MENGATUR WAKTU PEMBUAHAN MANGGA
DI KECAMATAN BAYAN, KABUPATEN LOMBOK BARAT
Muji Rahayu dan Mashur
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat
ABSTRAK
Musim panen mangga di Kecamatan Bayan relatif singkat yaitu terjadi pada bulan November - Januari.
Untuk mempercepat waktu pembuahan, telah dilakukan penelitian penggunaan Paklobutrazol 3750 ppm dan
pemupukan NPK 4 kg/pohon. Perlakuan yang diuji-cobakan adalah waktu aplikasi Paklobutrazol yaitu T1 = pada bulan Pebruari, T2 = pada bulan Maret, T3 = pada bulan April dan T4 = Kontrol (tanpa Paklobutrazol). Penelitian
dilakukan pada 6 unit lahan petani kooperator di Desa Anyar, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Barat pada
bulan Januari - Nopember 2002. Pohon uji yang dipergunakan adalah mangga Arumanis umur + 15 tahun sebanyak
120 pohon. Penelitian disusun dalam Rancangan Acak Kelompok dengan 6 kali ulangan, dimana petani kooperator sebagai ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi Paklobutrazol pada bulan Pebruari (T1) dapat
memajukan pembungaan 58 hari atau waktu panen 61 hari lebih awal dan berbeda nyata dibanding kontrol,
sedangkan aplikasi pada bulan Maret (T2) dapat memajukan waktu panen 40 hari dan aplikasi bulan April (T3) tidak
berbeda nyata dengan kontrol. Dari pengamatan hasil (produksi/pohon) tampak bahwa perlakuan paklobutrazol (T1,T2 dan T3) berbeda nyata dengan kontrol (T4). Hasil terbaik adalah pada perlakuan T2 yaitu 154,80 kg/pohon
disusul oleh perlakuan T3 = 148,40 kg/pohon, T1 = 110,90 kg/tan dan kontrol sebesar 96,12 kg/pohon. Hasil analisis
ekonomi tampak bahwa pendapatan bersih T1 adalah paling tinggi yaitu sebesar Rp. 192.400,- dibanding kontrol
sebesar Rp. 69.720,- per pohon. Perbedaan pendapatan selain disebabkan oleh selisih produksi/tanaman juga disebabkan selisih harga yang cukup jauh, pada saat off season dan on season. Hasil pengkajian ini dapat
menyediakan kontinuitas hasil mangga sekitar enam bulan, dari bulan Agustus sampai Januari.
Kata kunci : mangga, produksi, kontinuitas, off season
PENDAHULUAN
Perkembangan pertanian di Nusa Tenggara Barat (NTB) sampai saat ini masih diprioritaskan
pada upaya swasembada pangan khususnya beras sehingga pengembangan komoditas pangan lainnya
misalnya buah-buahan masih belum banyak dilakukan.
Buah-buahan mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan masyarakat. Pengembangan
komoditas buah-buahan diharapkan mampu memberi nilai tambah bagi produsen dan industri pengguna,
sedangkan bagi konsumen akan sangat bermanfaat untuk memperbaiki perimbangan gizi dalam pola
makannya.
Melalui penetapan kawasan sentra produksi (KSP) buah, maka dukungan teknologi spesifikasi
lokasi dan teknologi hulu sampai akhir (pembibitan sampai pasca panen) harus disiapkan, antara lain
teknologi pembuahan di luar musim. Teknologi tersebut merupakan alternatif pemecahan masalah dalam
menanggulangi musim raya buah yang berdampak pada merosotnya harga jual produksi. Teknologi
pembuahan buah yang telah diadaptasikan oleh Balai Pengkajian dan Penerapan Teknologi Pertanian
(BPTP) adalah pada komoditas mangga.
Produksi mangga yang dihasilkan dari berbagai kabupaten di Nusa Tenggara barat (NTB)
mempunyai potensi diperdagangkan ke luar daerah atau ekspor. Hasil pemantauan di lapangan, misalnya
produksi mangga di Kecamatan Bayan Lombok Barat sebagian besar di pasarkan ke luar daerah (Pulau
Jawa), tetapi berganti merek menjadi ― Mangga Probolinggo ― sampai di konsumen. Masa Panen mangga
di daerah ini cukup singkat yaitu sekitar tiga bulan (November – Januari). Di luar waktu tersebut jarang
dijumpai kecuali untuk mangga madu yang tidak mengikuti pola musim seperti jenis mangga lainnya.
Untuk memperpanjang masa panen dan ketersediaan mangga di kawasan sentra produksi, maka
dapat dilakukan dengan cara mengatur waktu pembungaannya. Cara tersebut dengan memanipulasi
fisiologi tanaman dengan menggunakan zat pengatur tumbuh Paklobutrazol (Wieland, et al., 1985). Zat
tersebut mampu memacu tanaman untuk berbunga lebih awal dari biasanya. Penggunaan Paklobutrazol
3750 ppm yang diimbangi dengan NPK 2 kg/pohon pada tanaman mangga berumur 15 tahun mampu
memacu pembungaan mangga 2 kali setahun dan meningkatkan produksi 43,82 % (Tegopati, et al, 1994;
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
113
Parmono dan Prahardini, 1994). Pada saat pemberian zat pengatur tumbuh tersebut sampai dengan
keluarnya bunga memerlukan waktu 2 – 3 bulan, sedangkan dari saat berbunga sampai panen
memerlukan waktu 3 – 4 bulan, sehingga total waktu yang diperlukan dari saat pemberian Paklobutrazol
sampai panen memerlukan waktu 5 – 6 bulan (Kusumo, S, dkk., 1975).
Dengan pemacuan tersebut diperoleh panen buah mangga yang lebih awal atau panen di luar
musim. Keberhasilan teknologi tersebut telah banyak diterapkan oleh perkebunan mangga di Jawa
Timur.
Penelitian bertujuan untuk memperoleh waktu panen lebih awal dan peningkatan produksi.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilakukan di lahan petani Desa Anyar Kecamatan Bayan Kabupaten Lombok barat,
sejak bulan Januari sampai November 2002. Tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah
mangga Arumanis umur + 15 tahun sebanyak 120 pohon. Zat pengatur tumbuh yang digunakan adalah
Paklobutrazol 3750 ppm atau setara dengan 7,5 cc Cultar/1 liter air yang diimbangi pupuk NPK 4
kg/pohon.
Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan enam ulangan.
Pemupukan pertama diberikan pada saat satu bulan setelah panen Bulan Desember 2001 (setelah
kegiatan pemangkasan), sedangkan pemupukan kedua diberikan saat tanaman mulai berbunga.
Paklobutrazol diberikan setelah pupus keempat (Pebruari, Maret dan April 2002). Pupuk NPK,
Paklobutrazol dan pengairan diberikan melalui tanah di bawah tajuk tanaman.
Tolok ukur yang dipakai untuk menduga pengaruh zat pengatur tumbuh dan pupuk terhadap
pembungaan dan pembuahan adalah perubahan morfologis ranting tanaman.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Saat Pembungaan.
Pembungaan periode pertama pada T1 sejumlah 1,4 % terjadi pada saat 51 hari setelah aplikasi
Paklobutrasol pertama, kemudian 6 hari berturut-turut tunas-tunas pucuk mulai muncul bunga.
Pembungaan periode pertama berhenti pada hari ke 82, yaitu sebesar 25,4 %. Demikian pula dengan
pembungaan pada T2, bunga muncul pertama pada selang sekitar empat minggu dari awal pembungaan
pada T1 dan berakhir pada hari ke 115 dengan persentase ranting bunga sebesar 28,8 %. Keadaan ini
berbeda pada tanaman kontrol, yang awal berbunganya terjadi pada hari ke 115 dan berakhir pada hari ke
139 dengan persentase ranting berbunga 11,4 %. Dengan demikian pengaruh Paklobutrazol dapat
memajukan saat pembungaan mangga berkisar 58 hari pada T1, 40 hari pada T2 dan tidak ada beda nyata
antara T3 dan T4 (Kontrol).
Tabel 1. Persentase Perkembangan Jumlah Ranting Produktif pada Pembungaan Mangga Periode Pertama
Perlk. Hari setelah aplikasi Paklobutrazol pada T1
51 57 63 69 75 81 87 93 109 115 121 127 133 139
T1 1,4 6,4 18,2 20,4 25,4 0
T2 0 0 0 0 2,2 6,8 10,8 19,8 22,4 28,8 0
T3 0 0 0 0 0 0 0 0 1,6 5,4 11,4 16,2 19,2 0
Kontrol 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0,7 1,8 8,6 10,2 11,4
Sumber: Data primer diolah
Persentase ranting berbunga pada pembungaan periode kedua lebih besar daripada periode
pertama, yaitu pada T1 = 40,5 %, T2 = 92,6 %, T3 = 85,28 %, dan T4 = 48,8 %. Awal pembungaan pada
periode ini terjadi sekitar tujuh minggu dari periode pertama dengan interval waktu berbunga pada
masing-masing perlakuan hampir sama dengan periode pertama.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
114
Tabel 2. Persentase Perkembangan Jumlah Ranting Produktif pada Pembungaan Periode kedua
Perlk Hari setelah aplikasi Paklobutrazol pada T1
127 133 139 145 151 156 162 168 174 182 188 194 206 212
T1 2,8 14,2 20,6 30,2 40,5 85,9 0
T2 0 0 0 0 2,6 26,2 50,6 85,4 92,6 0
T3 0 0 0 0 0 0 0 4,6 14,2 20,4 40,8 60,2 85,3 0
Kontrol 0 0 0 0 0 0 0 1,8 6,4 18,8 26,8 30,6 32,4 48,8
Sumber: Data primer diolah
2. Hasil dan Komponen Hasil
Pengaruh Paklobutrazol dan waktu aplikasinya terhadap hasil dan komponen hasil mangga
disajikan pada Tabel 3 berikut.
Tabel 3. Pengaruh Paklobutrazol dan Waktu Aplikasinya Terhadap Hasil dan Komponen Hasil Mangga
Perlakuan
% Ranting
Produktif
(Periode 1)
% Ranting
Produktif
(Periode 2)
Bakal Buah
(Periode 1)
Bakal Buah
(Periode 2)
Produksi
(kg/ph)
T1 25,42 ab 85,92 ab 10,42 b 40,52 b 110,90 b
T2 28,20 a 92,60 a 20,80 a 58,68 a 154,80 ab
T3 19,20 b 85,28 ab 15,10 ab 50,18 ab 148,40 ab
T4/Kontrol 11,40 b 48,86 b 2,32 c 38,34 c 90,12 c
Sumber: Data primer diolah
Tabel 3. menunjukkan bahwa aplikasi Paklobutrazol pada bula Pebruari (T1) jumlah ranting
produktif pada pembungaan periode pertama dan kedua persentase untuk menjadi bakal buah (fruit set)
sangat rendah, hal ini disebabkan karena pada kondisi tersebut banyak hujan yang menyebabkan banyak
bunga yang gugur. Keadaan ini berbeda pada aplikasi sesudahnya yaitu pada bulan Maret dan April.
Hasil analisis tampak bahwa produksi total per pohon sangat bervariasi. Produksi tertinggi
dicapai pada T2 (aplikasi Bulan Maret) yaitu sebesar 154,80 kg/ph, diikuti oleh T3 = 148,40 kg/ph, T1 =
110,9 kg/ph, dan berbeda nyata dengan kontrol atau tanaman tanpa perlakuan dengan paklobutrazol yang
hanya menghasilkan 90,12 kg/ph.
3. Analisis Usahatani
Tabel 4. Biaya Tambahan dati Teknologi Pengaturan Waktu Panen Mangga dengan Paklobutrazol
Uraian T1 T2 T3 T4
Bahan :
Paklobutrazol
Pupuk
5.400
14.000
5.400
14.000
5.400
14.000
0
14.000
Tenaga Kerja 8.000 8.000 8.000 8.000
Pengairan 2.000 2.000 2.000 2.000
Total Pengeluaran (Rp) 29.400 29.400 29.400 29.400
Produksi (kg/ph)
Harga (Rp/kg)
Penerimaan kotor (Rp/ph)
110,90
2.000
221.800
154,80
1.250
193.500
148,40
1.000
148.400
90,12
1.000
90.120
Tabel 4 menunjukkan bahwa dengan penambahan input yang berupa Paklobutrazol 3750 ppm
perpohon atau senilai Rp. 5400,-/pohon maka dapat meningkatkan pendapatan pada T1, T2 dan T3.
Pendapatan tertinggi dicapai pada T1 (aplikasi Paklobutrazol pada bulan Pebruari) yaitu mencapai Rp.
192.400,-/ pohon dan mendapatkan kenaikan pendapatan sebesar Rp. 122.680,- atau mencapai kenaikan
175,96 % dibanding tanpa pemberian Paklobutrazol. Pendapatan tertinggi yang dicapai T1 (panen bulan
Agustus) disebabkan oleh tingginya harga jual mangga yang mencapai Rp. 2000,-/kg pada saat panen,
sedangkan harga jual mangga pada saat panen T2 (panen bulan September) mencapai Rp. 1250,-/kg dan
T3 serta T4 (panen bulan November) hanya Rp. 1000,-/kg.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
115
KESIMPULAN
Pemberian Paklobutrazol pada bulan Pebruari (T1) dapat mempercepat pembungaan 58 hari lebih
awal atau sekitar 61 hari lebih awal saat panen dibandingan dengan kontrol (T4).
Produksi teringgi terjadi pada perlakuan T2 (aplikasi Paklobutrazol pada bulan Maret) yaitu
sebesar 154,80 kg/ph dengan persentase bakal buah paling banyak yaitu 20,80 % pada periode pertama
dan 58,68 % pada periode kedua. Produksi tertinggi diikuti oleh perlakuan T3 = 48,40 kg/ph, T1 =
110,90 kg/ph, sedangkan kontrol (T4) = 90,12 kg/ph.
Pendapatan tertinggi diperoleh pada perlakuan T1, meskipun dari segi produksi lebih rendah dari
T2 dan T3, tetapi faktor harga jual yang mencapai Rp 2.000/kg saat panen sangat menentukan di dalam
pencapaian pendapatan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Purnomo, S dan P.E.R. Prahardini, 1989. Perangsangan Pembungaan dengan Paklobutrazol dan Pengaruhnya
terhadap Hasil Buah Mangga ( Mangifera indica,L) Hortikultura 7 : 16-24
Kusumo, S., R. Soehendro, S. Purnomo dan Suminto, Tj., 1975. Mangga (Mangifera indica, L). Lembaga Penelitian Hortikultura. Pasar Minggu. Jakarta.
Purbiati,T., B. Pikukuh, Yuniarti dan P. Santoso. 1988. Rakitan Teknologi Budidaya Mangga. Monograf Rakitan
Teknologi. BPTP Karangploso Malang
Wieland, W.F. and R.L. Wampe., 1985. Efects of Paklobutrazol on growt, photosyntesis and carbohydrate content of delicious apples. Sci. Hort. 20 : 139 – 147.
DISKUSI
Pertanyaan:
1. Bagaimana cara pemberian/aplikasi di tingkat lapangan.
2. Apakah pada bulan Pebruari silkus pembungaan mangga masih ada.
3. Saya tidak melihat lebih jelas analisis.
4. ZPT dikombinasikan dengan NPK (apakah yang memacu pembungaan itu adalah ZPT tersebut/
pupuk yang diberikan)
Jawaban :
1. Paklobutrazol diaplikasikan pada sore hari.
2. Dari hasil analisis ekonomi, yang terbaik pada aplikasi bulan Februari.
3. Siklus pembungaan bulan Juli Mangga berbunga 2 periode pembungaan
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
116
PENGELOLAAN PUPUK NITROGEN PADA TANAMAN JAGUNG
DENGAN ALAT PANDU BAGAN WARNA DAUN
Awaludin Hipi, B. Tri Ratna Erawati, M. Lutfhi dan Sudarto
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat P.O. Box. 1017. Mataram NTB
ABSTRAK
Strategi pengelolaan pupuk N yang optimal ditujukan kepada pemupukan N yang sesuai dengan kebutuhan
tanaman, sehingga diharapkan dapat mengurangi kehilangan N dan dapat meningkatkan serapan N oleh tanaman.
Untuk mendeteksi kapan pemberian N sesuai dengan kebutuhan tanaman, maka strategi pengelolaan N diarahkan
dengan menggunakan alat pandu Bagan Warna Daun (BWD). Tujuan dari pengkajian ini adalah: 1) Mengetahui nilai skala warna daun sebagai batas kritis untuk pemupukan jagung hibrida; 2) Mengetahui jumlah penggunaan pupuk N
yang tepat dengan alat pandu bagan warna daun. Pengujian dilaksanakan di Desa Peresak, Kecamatan Narmada,
Kabupaten Lombok Barat, pada MK II 2001. Lokasi pengujian merupakan lahan sawah beririgasi teknis dengan
jenis tanah Regosol. Perlakuan yang diuji terdiri atas : A) Skala Warna Daun 3 @ 11,5 kg N/ha; B) Skala Warna Daun 3 @ 23 kg N/ha; C)Skala Warna Daun 4 @ 11,5 kg N/ha; D) Skala Warna Daun 4 @ 23 kg N/ha; E) Skala
Warna Daun 5 @ 11,5 kg N/ha; F) Skala Warna Daun 5 @ 23 kg N/ha; G) Rekomendasi (138 kg N/ha); H) Kontrol
(tanpa pupuk). Hasil pengkajian menunjukkan bahwa penggunaan pupuk N dengan alat pandu BWD pada skala 5 @
23 kg/aplikasi, secara agronomis dan ekonomis layak untuk diterapkan dan dapat dipertimbangkan sebagai acuan komponen teknologi pemupukan nitrogen (N) pada tanaman jagung hibrida.
Kata kunci: Efisiensi, pupuk N,, tanaman jagung, sawah irigasi,BWD, produktivitas
ABSTRACT
Optimalization of nitrogen (N) fertilizer management strategy is aimed to fertilization of N according to
need of plant; thus the lost of N could be reduced and N sorption by plant would be increased. To know when
application of N according to plant need, the strategy of N management is guided by using leaf colour chart (LCC).
The aims of this assessment are 1) to know the value colour chart as the critical threshold for fertilization of N in hybrid maize; 2) to know amount of N fertilizer according to plant need. Assessment was conducted on Inceptisols
of irrigated field in Peresak village, Narmada sub-district and Lombok Barat district (DS II 2001). The treatments
were consisted of: A) LCC of 3 @ 11,5 kg N/ha; B) LCC 3 @ 23 kg N/ha; C) LCC 4 11,5 kg N/ha; D) LCC 4 @ 23
kg N/ha; E) LCC 5 @ 11,5 kg/ha; F) LCC 5 @ 23 kg/ha; G) local recommendation (138 kg N/ha); H) control (without fertilizer). Result of assessment show that agronomically and economically using N fertilizer with LCC 5
(23 kg N/ha) is recommended to apply and as a component reference of N fertilizer technology for hybrid maize.
Key words: Eficiency, N fertilizier, maize, low land,LCC, productivity
PENDAHULUAN
Pupuk nitrogen (N) merupakan masukan utama dalam Sitem Usahatani (SUT). Kekurangan atau
ketidaktepatan pemberian pupuk N sangat merugikan bagi tanaman dan lingkungan (FFTC, 1994).
Secara umum pupuk N dapat meningkatkan produksi jagung. Nitrogen diperlukan oleh tanaman jagung
sepanjang pertumbuhannya. Pada awal pertumbuhannya akumulasi N dalam tanaman relatif lambat dan
setelah tanaman berumur 4 minggu akumulasi N berlangsung sangat cepat. Pada saat pembungaan
(bunga jantan muncul) tanaman jagung telah mengabsorbsi N sebanyak 50% dari seluruh kebutuhannya
(Sutoro, et al, 1988). Oleh karena itu, untuk memperoleh hasil jagung yang baik, unsur hara N dalam
tanah harus cukup tersedia pada fase pertumbuhan tersebut.
Percobaan Pian (1981) menunjukkan bahan vigor benih jagung meningkat sejalan dengan
meningkatnya jumlah takaran N (nitrogen) yang digunakan. Pemupukan N akan meningkatkan
kandungan protein kasar dalam biji sehingga berat jenis biji akan meningkat. Peningkatan berat jenis
tersebut akan menaikkan mutu benih yang diukur berdasarkan daya kecambah dan kekuatan tumbuhnya.
Defisiensi N pada tanaman jagung akan memperlihatkan gejala pertumbuhan yang kerdil dan
daun tanaman berwarna hijau kekuning-kuningan yang berbentuk huruf V dari ujung daun menuju tulang
daun dan dimulai dari daun bagian bawah. Selain itu tongkol jagung menjadi kecil dan kandungan
protein dalam biji rendah.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
117
Pemberian pupuk yang tepat selama pertumbuhan tanaman jagung dapat meningkatkan efisiensi
penggunaan pupuk. Karena sifat pupuk N yang umumnya mobile, maka untuk mengurangi kehilangan N
karena pencucian maupun penguapan, sebaiknya N diberikan secara bertahap. Percobaan Iskandar et al,
(1980) pada lahan tegalan di Bogor menunjukkan bahwa pemberian N sekaligus akan memberikan hasil
lebih rendah dari pada pemberian secara bertahap pada takaran yang sama.
Strategi pengelolaan pupuk N yang optimal ditujukan kepada pemupukan N yang sesuai dengan
kebutuhan tanaman, sehingga dapat mengurangi kehilangan N dan dapat meningkatkan serapan N oleh
tanaman.
Untuk mendeteksi kapan pemberian N sesuai dengan kebutuhan tanaman, maka strategi
pengelolaan N diarahkan dengan menggunakan Bagan Warna Daun (BWD). BWD terdiri atas 6 skala
warna , mulai dari warna hijau muda/kekuningan (No.1) sampai hijau tua gelap (No. 6). Batas kritis
pemupukan N berkisar dari 3 sampai 5 tergantung populasi tanaman dan varietas. Bila warna daun
tanaman berada pada nilai kritis berarti tanaman kekurangan N, dan bila tidak segera dilakukan
pemupukan N dapat menurunkan hasil (IRRI-CREMNET, 1998).
Tujuan dari penelilitian ini adalah untuk 1) mengetahui nilai skala warna daun sebagai batas
kritis untuk pemupukan jagung hibrida dan 2) mengetahui waktu dan jumlah penggunaan pupuk N yang
tepat dengan alat pandu bagan warna daun.
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu pelaksanaan
Pengujian dilaksanakan di Desa Peresak, Kecamatan Narmada, Kabupaten Lombok Barat, pada
MK II. 2001. Lokasi pengujian merupakan lahan sawah beririgasi teknis, dengan jenis tanah Regosol.
Pola tanam yang umum digunakan adalah padi – padi – palawija.
Perlakuan
Perlakuan ditata secara acak kelompok lengkap (Randomized Completely Blok Design, RCBD).
Perlakuan yang diuji adalah sebanyak 7 (tujuh) perlakuan. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 4
(empat) kali. Masing-masing petak perlakuan berukuran 5 x 6 m dengan jarak 80 x 40 cm. Varietas yang
digunakan adalah hibrida C-7.
Perlakuan BWD (skala warna daun ) terdiri dari :
A. Skala Warna Daun 3 @ 11,5 kg N/ha
B. Skala Warna Daun 3 @ 23 kg N/ha
C. Skala Warna Daun 4 @ 11,5 kg N/ha
D. Skala Warna Daun 4 @ 23 kg N/ha
E. Skala Warna Daun 5 @ 11,5 kg N/ha
F. Skala Warna Daun 5 @ 23 kg N/ha
G. Rekomendasi (138 kg N/ha)
H. Tanpa pupuk (kontrol)
Pelaksanaan
Pengolahan tanah
Tanah diolah dengan cara membalik lapisan bawah dengan menggunakan bajak/ singkal
dengan tenaga traktor. Kemudian digemburkan atau diperkecil gumpalan-gumpalan tanah sehingga
tanah kelihatan lebih halus dengan menggunakan cangkul.
Penanaman
Benih ditanam 2 –3 biji/lubang dengan jarak tanam 75 x 40 cm pada kedalaman 3 - 5 cm.
Sebelum tanam, lahan diairi sedikit sehingga memudahkan penugalan. Setiap lubang tanam diberi
furan dengan dosis 4 kg/ha yang diberikan saat tanam. Setelah berumur 7 hari, tanaman dijarangkan
dan dipertahankan 2 tanaman per rumpun.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
118
Penyiangan
Penyiangan dilakukan 2 (dua) kali yaitu pada saat tanaman berumur 15 hari setelah tanam (HST) dan
30 HST dan sekaligus dilakukan pembumbunan.
Pemupukan
Pupuk dasar (I)
o Untuk perlakuan A, B, C, D, E dan F, pupuk dasar diberikan sebanyak 23 kg N/ha + 36 kg
P2O5/ha + 30 kg K2O/ha, diberikan juga pada umur tanaman 7 HST.
o Untuk perlakuan G, pupuk dasar diberikan ½ bagian N dan seluruh bagian P2O5 dan K2O.
Masing-masing dengan dosis 69 kg N/ha + 36 kg P2O5/ha + 30 kg K2O/ha. Pupuk dasar
diberikan pada umur tanaman 7 HST. Pupuk ditugal 7 cm dari lubang tanam dengan kedalaman
10 cm, kemudian ditutup kembali.
Pupuk susulan (II)
o Untuk perlakuan A, B, C, D, E dan F disesuaikan dengan hasil pembacaan/pengukuran BWD
(skala warna daun). Jika BWD (skala warn daun) menunjukkan warna sesuai dengan perlakuan,
maka penambahan pupuk dilakukan sebanyak dosis dalam perlakuan, setiap pembacaan BWD
(skala warna daun). Pengukuran BWD dimulai pada saat tanaman berumur 14 HST atau 7 hari
setelah aplikasi pupuk dasar. Pengukuran dengan BWD dihentikan pada saat keluar bunga
jantan.
o Untuk perlakuan G, pemupukan N yaitu ½ bagian sisanya diberikan pada tanaman berumur 30
HST. Pupuk dituggal 15 cm dari tanaman sedalam 10 cm.
Panen dan pasca panen
Panen dilakukan pada saat biji masak fisiologis, dengan tanda-tanda kelobot sudah mengering
berwarna kuning kecoklatan, bijinya keras dan mengkilap. Setelah dilakukan pengupasan dan
pemipilan, biji jagung dijemur hingga kadar air mencapai 14%.
Variabel yang diamati
a. Tinggi tanaman saat panen dan tinggi letak tongkol.
b. Produktivitas dan bobot biomas
b. Komponen hasil berupa :
Panjang tongkol
Jumlah baris/tongkol
Berat tongkol/plot
Bobot kelobot
Analisis data
Data agronomis dianalisis dengan menggunakan Analysis of Variance (AOV) dan dilanjutkan dengan
uji jarak berganda Duncan (DMRT 0.05)
Untuk mengetahui Agronomic efficecy for N (AEN) dan PFP-N (Partial Factor Productivity for
Applied N) dilakukan dengan analisis tabelaris.
Untuk mengetahui kelayakan ekonomi dilakukan analisis anggaran parsial (Malian, 1995).
Untuk mengetahui tingkat keuntungan data dianalisis dengan B/C ratio.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keragaan agronomis
Pengamatan terhadap keragaan agronomis berupa tinggi tanaman, panjang tongkol, dan jumlah
baris/tongkol disajikan pada Tabel 1.
Rata-rata tinggi tanaman dari beberapa perlakuan yang diuji terlihat bahwa perlakuan BWD 5 @
11,5 N/aplikasi mencapai tanaman tertinggi yaitu 181,40 cm. Terlihat bahwa penggunaan pupuk N yang
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
119
berbeda dapat mempengaruhi tinggi tanaman. Untuk parameter panjang tongkol dan lingkar tongkol
didapatkan bahwa pemupukan nitrogen BWD 5 @ 23 N/aplikasi mencapai tongkol terpanjang dan lingkar
tongkol terlebar yaitu berturut–turut 16,9 cm dan 14,18 cm, tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan
dosis N rekomendasi, sedang terpendek tanpa pupuk N (kontrol). Terlihat bahwa pemberian pupuk N
dengan jumlah dan waktu yang tepat berpengaruh terhadap komponen hasil (panjang tongkol dan lingkar
tongkol). Dimana pemberian pupuk pada perlakuan BWD 5 @ 23 N/aplikasi paling sesuai dengan
kebutuhan untuk pertumbuhan tanaman (Tabel 1).
Pemberian pupuk N yang berbeda dapat mempengaruhi bobot biomas dan bobot kelobot jagung.
Perlakuan BWD 5 @ 11,5 N/aplikasi dapat mencapai bobot biomas tertinggi yaitu 15,18 t/ha, tapi tidak
berbeda nyata dengan perlakuan lain kecuali dengan perlakuan tanpa pupuk N, sedang bobot kelobot
tertinggi dicapai pada perlakuan BWD 5 @ 23 N/aplikasi yaitu 2,36 t/ha. Ini menunjukkan bahwa
pemberian pupuk harus dalam jumlah dan waktu yang tepat sesuai dengan stadia pertumbuhan tanaman
karean setiap stadia akan mempangaruhi stadia yang lain (Tabel 2).
Tabel 1. Rata-rata tinggi tanaman, panjang tongkol, dan lingkar tongkol pada pengkajian pengelolaan nitrogen pada
tanaman jagung dengan alat pandu bagan warna daun. Peresak. Lombok Barat. MK II. 2001.
Perlakuan Tinggi tanaman (cm) Panjang tongkol (cm) Lingkar tongkol (cm)
BWD 3 @ 11,5 N 163,63 a *) 13,20 ab *) 13,98 bc *)
BWD 3 @ 23 N 173,75 bc 13,48 ab 13,60 ab
BWD 4 @ 11,5 N 167,30 a 14,58 bc 14,38 cde
BWD 4 @ 23 N 174,30 bc 14,80 bc 14,23 cd
BWD 5 @ 11,5 N 181,40 c 14,58 bc 14,63 de
BWD 5 @ 23 N 179,80 c 16,90 d 14,85 e
Dosis Rekomendasi 175,55 bc 15,93 cd 14,75 de
Kontrol 158,40 a 12,18 a 13,10 a
C.V (%) 5,3 7.1 14,19
Ket : *) Angka diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak
berganda Duncan .05. tn = tidak berbeda nyata
Pengamatan terhadap rata-rata produktivitas, terlihat bahwa pemberian pupuk N yang berbeda
dapat mempengaruhi produktivitas. Dari hasil analisis didapatkan bahwa perlakuan BWD 5 @ 23
N/aplikasi dengan total penggunaan N 92 kg/ha mencapai produktivitas tertinggi yaitu 9,72 t/ha, tidak
berbeda nyata dengan perlakuan dosis rekomendasi.
Tabel 2. Rata-rata bobot brangkasan, bobot kelobot, dan produktivitas jagung pada pengkajian pengelolaan nitrogen
pada tanaman jagung dengan alat pandu skala warna daun. Peresak. Lombok Barat. MK II. 2001.
Perlakuan Bobot Biomas (t/ha) Bobot kelobot (t/ha) Produktivitas (t/ha)
BWD 3 @ 11,5 N 10,73 ab *) 1,20 ab *) 5,56 ab *)
BWD 3 @ 23 N 11,22 ab 1,68 abc 6,08 abc
BWD 4 @ 11,5 N 12,94 ab 1,84 bc 7,20 bc
BWD 4 @ 23 N 12,13 ab 1,88 bc 7,64 cd
BWD 5 @ 11,5 N 15,18 b 2,20 c 7,76 cd
BWD 5 @ 23 N 14,52 b 2,36 c 9,72 e
Dosis Rekomendasi 13,92 b 2,40 c 9,28 de
Kontrol 8,93 a 0,96 a 4,52 a
C.V (%) 24,2 30,1 16,3
Ket : *) Angka diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak
berganda Duncan .05.
Dilihat dari efisiensi agronomis (AEN), BWD 5 @ 23 kg N/aplikasi memiliki AEN tertinggi
yaitu sebesar 56,52, dapat menghemat penggunaan pupuk N sebesar 46 kg/ha dan meningkatkan hasil
sebesar 0,44 t/ha dibanding dosis rekomendasi (Tabel 3).
Nilai imbangan penggunaan 1 kg N untuk setiap perlakuan akan berbeda karena produktivitas
dan jumlah penggunaan pupuk yang berbeda. Perlakuan BWD 3 @ 11,5 N/aplikasi memiliki nilai
imbangan (PFP) yang besar, akan tetapi produktivitas yang dicapai tidak maksimum. Sebaliknya
perlakuan dengan jumlah penggunaan pupuk N yang banyak, akan memperoleh nilai imbangan (PFP)
yang kecil, tetapi produktivitas yang dicapai relatif tinggi.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
120
Tabel 3. Rata-rata jumlah penggunaan N, produktivitas, AEN dan PFP N pada pengkajian pengelolaan pupuk N pada tanaman jagung dengan alat pandu bagan warna daun. Peresak. Lombok Barat. MK II. 2001.
Perlakuan Jumlah pemakaian N (kg/ha) Produktivitas (t/ha) AEN PFP N
BWD 3 @ 11,5 N 34,5 5,56 30,14 161,16
BWD 3 @ 23 N 46 6,08 33,91 132,17
BWD 4 @ 11,5 N 57,5 7,20 46,61 125,22
BWD 4 @ 23 N 92 7,64 33,91 83,04
BWD 5 @ 11,5 N 80,5 7,76 40,25 96,40
BWD 5 @ 23 N 92 9,72 56,52 105,65
Rekomendasi 138 9,28 34,49 67,25
Kontrol 0 4,52 0 0
Ket : AEN = Agronomis efisiensi; PFP = partial factor productivity for applied N
Keragaan ekonomis
Analisis Anggaran Parsial (partial budget analysis) merupakan analisis sederhana yang berguna
untuk menentukan pilihan alternatif teknologi yang layak dapat diterima berdasarkan pertimbangan
besarnya tambahan biaya dan tambahan keuntungan yang relatif kecil (margin) yang diperoleh sebagai
akibat perubahan input teknologi (input pupuk nitrogen). Prinsip dalam menggunakan analisis ini adalah
bahwa hanya faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan teknologi saja yang dimasukan dalam
perhitungan. Sedangkan penggunaan dan biaya sarana produksi yang tidak berubah, tidak disertakan
dalam perhitungan (Malian, 1995).
Hasil analisis ekonomi menunjukkan bahwa respon penambahan penggunaan nitrogen (N) pada
tanaman jagung dengan pupuk P dan K konstan, cenderung semakin tinggi penerimaan yang di peroleh.
Rata-rata penerimaan bersih tertinggi dicapai pada perlakuan 6 (BWD 5, 50 kg/aplikasi) yaitu sebesar
Rp.7.960.600/ha (Tabel 4.). Perlakuan ini dapat meningkatkan pendapatan bersih sebesar 6,1 % dari
perlakuan dosis rekomendasi, dan 106 % dibanding perlakuan tanpa pupuk.
Tabel 4. Analisis anggaran parsial pada pengkajian pengelolaan nitrogen pada tanaman jagung dengan alat pandu
skala warna daun. Peresak Lombok Barat MK II. 2001.(Rp x 1.000)
Uraian Dosis pupuk N (kg/ha)
34,5 46 57,5 69 80,5 92 138 0
1. Rata-rata hasil (t/ha) 5,560 6,080 7,200 7,640 7,760 9,720 9,280 4,520
2. Hasil bersih (t/ha)* 5,282 5,776 6,840 7,258 7,372 9,234 8,816 4,294
3. Penerimaan kotor (Rp/ha) 4753,8 5198,4 6156,0 6532,2 6634,8 8310,6 7934,4 3864,6
4. Harga pupuk N (Rp/ha) 86,25 115 143,75 172,5 201,25 230 345 0
5. Frekwensi aplikasi 2 2 4 3 6 4 2 -
6. Total biaya aplikasi (Rp/ha) 60 60 120 90 180 120 60 0
7. Total biaya variabel (Rp/ha) 146,25 175 263,75 262,5 381,25 350 435 0
8.Penerimaan bersih (Rp/ha) 4607,55 5023,4 5893,5 6269,7 6253,55 7960,6 7499,4 3864,6
Keterangan: * Diasumsikan bahwa kehilangan hasil pada saat panen dan prosesing serta saat penyimpanan diperkirakan sebesar
5 %.
Tabel 5. Analisa usahatani pengkajian efisiensi pupuk nitrogen pada tanaman jagung hibrida. Peresak. Lombok Barat. MK.II 2001.(x Rp.1000)
Uraian Dosis pupuk N (kg/ha)
34,5 46 57,5 69 80,5 92 138 0
1. Rata-rata hasil (t/ha) 5,560 6,080 7,200 7,640 7,760 9,720 9,280 4,520
2. Hasil bersih (t/ha)* 5,282 5,776 6,840 7,258 7,372 9,234 8,816 4,294
3. Harga pupuk N (Rp/ha) 86,25 115 143,75 172,5 201,25 230 345 0
4. Biaya aplikasi N (Rp/ha) 60 60 120 90 180 120 60 0
5. Total biaya variabel (Rp/ha) 146,25 175 263,75 262,5 381,25 350 435 0
6. Total biaya tetap 2163.75 2135 2046.25 2047.5 1928.75 1960 1875 1875
7. Penerimaan bersih (Rp/ha) 2972 3466 4530 4948 5062 6924 6506 2419
8. B/C ratio 1.28 1.5 1.96 2.14 2.19 2.997 2.82 1.29
Keterangan: * Diasumsikan bahwa kehilangan hasil pada saat panen dan prosesing serta saat penyimpanan diperkirakan sebesar
5 %.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
121
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Efisiensi penggunaan pupuk N pada tanaman jagung dapat dicapai dengan menggunakan alat pandu
bagan warna daun.
Keragaan agronomis menunjukkan bahwa perlakuan BWD 5 @ 23 kg N/aplikasi mencapai
produktivitas dan efisiensi agronomis tertinggi yaitu masing-masing 9,72 t/ha, dan 56,52.
Berdasarkan analisis ekonomi, bahwa pemupukan nitrogen dosis 92 kg/ha, 23 kg/aplikasi dengan alat
pandu BWD skala 5, memperoleh penerimaan bersih tertinggi yaitu Rp. 7.960.600,-.
Penggunaan pupuk N dengan alat pandu BWD pada skala 5 @ 23 kg/aplikasi, secara agronomis dan
ekonomis layak untuk dikembangkan dan dapat dipertimbangkan sebagai acuan komponen teknologi
pemupukan nitrogen (N) untuk tanaman jagung hibrida.
Saran
Pengkajian perlu dilanjutkan pada lokasi yang berbeda guna memperoleh keragaman hasil yang akan
digunakan sebagai acuan teknologi pemupukan nitrogen (N) yang spesifik lokasi.
DAFTAR PUSTAKA
Affandi, A. 1986. Pembangunan Pertanian di Indonesia. Departemen Pertanian Repeblik Indonesia. 53 P.
FFTC (Food and Feertilizier Technology Center). 1994. Fertlizier Use and Sustainable Food Production. Food and
Fertilizier Technology Center for The Asian and Pasific Center Region. Taipe. Taiwan. FFTC. Newsletter 104 (june 1994). 4-5.
IRRI-CREMNET (International Rice Research Institute- Crop and Resource Management Network), 1998. Progress
Report for 1997. IRRI, Los Banos, Philippines.
Iskandar, S. dan A. Kodir. 1980. Pengaruh Waktu Pemberian N Terhadap Hasil Jagung dalam Penelitian dan Teknologi Peningkatan Produksi Jagung di Indonesia. Puslitbangtan Bogor.
Malian,. A.H. 1995. Analisis Ekonomi Usahatani untuk Petani Kecil. Makalah Pelatihan Analisis Ekonomi
Sistem Usahatani. Kupang 18 – 23 Desember 1997.
Pian, Z. A. 1981. Pengaruh Uap Etil Terhadap Viabilitas Benih Jagung (Zea mays L.) dan Simpan IPB Bogor 279P
Utoro, Toyo Soelaeman, dan Iskandar. 1988. Budidaya Tanaman Jagung dalam Jagung. Badan Litbang Pertanian.
Puslitbangtan Bogor.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
122
UJI ADAPTASI TEKNOLOGI PEMBENIHAN KAPAS DENGAN
PENAMBAHAN UNSUR HARA N DAN PEMANGKASAN
Sudarto, Irianto B, Awaludin Hipi dan Arif Surahman
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat P.O. Box. 1017. Mataram NTB
ABSTRAK
Tanaman kapas telah lama diperkenalkan di Nusa Tenggara Barat, namun perkembangan tanaman tersebut kurang memenuhi harapan, hal ini dikarenakan petani kapas kurang respon terhadap komoditas tersebut. Untuk
menjawab tantangan tersebut Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat mencoba mengguggah
kembali minat petani kapas. Pengkajian telah dilaksanakan didesa Leneng, kecamatan Praya, kabupaten Lombok
Tengah pada bulan Mei sampai dengan bulan September 2002 setelah tanaman padi atau pada musim kemarau pertama (MK. I). Rancangan yang dipergunakan dalam pengkajian tersebut adalah Rancangan Acak Kelompok yang
disusun secara faktorial 3 x 2 dengan 3 kali ulangan. Faktor pertama adalah penambahan susulan unsur hara N yang
terdiri atas 3 level yakni P1: dosis 50 kg urea/ha, P2: dosis 100 kg urea/ha dan P3 : dosis 150 kg urea/ha. Faktor
kedua yakni pemangkasan pucuk yang terdiri atas 2 level yakni A1 (dipangkas) dan A2 (tidak dipangkas). Hasil pengkajian menunjukkan bahwa hasil analisis terhadap parameter tinggi tanaman umur 7 minggu setelah tanam
(MST) sampai dengan umur 10 minggu setelah tanam (MST), jumlah cabang umur 7 MST sampai dengan 10 MST,
berat 100 biji dan daya kecambahnya tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Sedangkan hasil analisis terhadap
jumlah buah per tanaman, produksi kapas berbiji dan produksi biji menunjukkan perbedaan yang nyata. Hasil terbaik diperoleh pada perlakuan pemupukan susulan 150 kg urea/ha (P3) yakni masing-masing 14,500 buah kapas ; 940,37
kg kapas berbiji/ha dan 564,25 kg biji/ha.
Kata kunci: adaptasi, pembenihan, kapas, hara N, pemangkasan, NTB
PENDAHULUAN
Nusa Tenggara Barat merupakan salah satu propinsi yang cocok untuk pengembangan kapas.
Sejarah panjang tentang pengembangan tanaman kapas mewarnai pengelolaan dan pengembangan
tanaman kapas dengan pasang surutnya sejak tahun 1978 sampai sekarang. Telah banyak dilakukan
upaya untuk hal tersebut diantaranya Program Intensifikasi Kapas Rakyat (IKR) yang dimulai tahun
1978/1979 dan Proyek Pengembangan Perkebunan Wilayah Khusus (P2WK) yang diarahkan untuk
meningkatkan produksi kapas sekaligus meningkatkan pendapatan petani (Ditjenbun, 1993, Wahyuni
et.al, 1993)
Dari program IKR pertahun selama empat pelita rata-rata produksi kapas berbiji cenderung
menurun sebagai akibat menurunnya luas areal tanam, yakni: pelita III luas areal 22.207 ha dengan
produksi 10.717 ton , pelita IV luas areal 36.047 ha dengan produksi 18.413 ton, pelita V luas areal
22.232 ha dengan produksi 11.547 ton dan pelita VI luas areal 15.170 ha dengan produksi 7.501 ton
(Ditjenbun, 1999).
Produksi kapas disamping dipengaruhi penurunan areal pengembangan juga dipengaruhi oleh
rendahnya produktivitas. Secara umum tingkat produktivitas kapas ditingkat petani relatif rendah yaitu
0,48 – 0,52 ton/ha, dilain pihak hasil penelitian dapat mencapai 1,50 – 2,80 ton/ha kapas berbiji (Sahid
dan Wahyuni,2001). Sedangkan Machfud et.al., (1995) juga menyatakan bahwa hasil-hasil penelitian
kapas yang ditanam secara monokultur sesudah padi dan didukung pengairan yang optimal dapat
mencapai hasil 2,6 – 2,8 ton/ha. Selanjutnya dikatakan pula rendahnya produktivitas ditingkat petani
disebabkan oleh beberapa masalah, antara lain masalah fisik, ekonomi, sosial dan mutu benih. Masalah
fisik mencangkup iklim, pengusahaan kapas dilakukan pada lahan-lahan marginal serta beragamnya
serangan hama dan penyakit. Masalah ekonomi mencangkup tingkat harga kapas yang statis dibanding
harga komoditas yang lain, tingginya biaya produksi dengan dihapuskannya subsidi pupuk dan obat-
obatan. Masalah sosial mencangkup aspek psikologis dimana petani akan mengusahakan kapas bila
kebutuhan pangannya telah terpenuhi. Sebagian besar petani mempunyai persepsi komoditas kapas
kurang menjamin dalam peningkatan pendapatan serta kerja sama antar lembaga yang terkait belum
maksimal. Sedangkan masalah mutu benih menurut Faisal Kasryno et.al., (1998) kebanyakan benih yang
disalurkan kepetani bukanlah benih hasil penangkaran yang teratur tetapi biji dari produksi serat.
Untuk meningkatkan mutu benih hal-hal yang perlu diperhatikan selain kebutuhan akan unsur
hara, waktu dan cara panen juga pengendalian pertumbuhan vegetatifnya. Tujuan utama penambahan
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
123
unsur hara N adalah untuk meningkatkan produksi termasuk diantaranya peningkatan mutu benih, karena
ketersediaan N yang cukup sangat penting untuk memperoleh hasil kapas yang optimum (Muchamad
Yusron et.al, 1998). Begitu pula saat panen yang tepat merupakan hal yang penting dalam
mempertahankan mutu benih. Sumber benih terbaik yakni yang berasal dari hasil panen pertama dan
kedua dan berasal dari cabang kedua sampai cabang kedelapan yang sempurna masak dan tidak terserang
hama penyakit (Siwi Sumartini dan Hasnam, 2001). Benih yang bermutu rendah dan rentan terhadap
lingkungan yang kurang menguntungkan merupakan faktor utama yang menyebabkan pertumbuhan
tanaman kapas tidak seragam (Delouche, 1981 dalam Siwi Sumartini 1998). Selajutnya dikatakan pula
bahwa pertumbuhan tanaman yang tidak seragam akan berpengaruh pada populasi dan derajat serangan
hama penyakit pada tanaman kapas (Soebandrijo et.al 1989 dalam Siwi Sumartini, 1998).
Pertumbuan vegetatif kapas bisa dikatakan lebih dominan dibanding dengan pertumbuhan
generatif. Kondisi yang demikian menyebabkan habitus tanaman menjadi rimbun, energi yang semula
untuk pembentukan bunga dan perkembangan buah digunakan untuk pertumbuhan tunas pucuk dan tunas
cabang vegetatif akibatnya hasil kapas berbiji menurun. Untuk menekan pertumbuhan vegetatif dapat
dilakukan secara mekanis yakni dengan cara memangkas pucuk batang maupun ujung cabang vegetatif
(Adji Sastrosupadi dan Moch. Sahid, 2001).
Tujuan dari pengkajian adalah menguji daya adaptasi komponen teknologi penambahan unsur
hara N serta pemangkasan pucuk terhadap produksi benih kapas.
BAHAN DAN METODE
Pengkajian dilaksanakan pada lahan milik Dinas Perkebunan TK. I propinsi Nusa Tenggara
Barat di desa Leneng, kecamatan Praya, kabupaten Lombok Tengah dari bulan Mei sampai dengan bulan
September 2002 setelah tanaman padi (MK. I). Dalam pengkajian ini digunakan benih kapas delinted
varietas Kanesia 5.
Perlakuan disusun dalam Rancangan Acak Kelompok secara faktorial 3 X 2 dengan 3 kali
ulangan. Faktor pertama adalah penambahan susulan unsur hara N yang terdiri atas 3 level: dosis 50 kg
urea/ha (P1), dosis 100 kg urea/ha (P2) dan dosis 150 kg urea/ha. Pemberian pupuk dasar (100 kg urea/ha
dan 100 kg SP-36/ha) diberikan 1/3 dosis urea dan SP36 seluruhnya, kemudian pada umur 14 hari atau
setelah dilakukan penjarangan diberikan sisa pupuk urea dengan dosis 2/3. Pupuk susulan (perlakuan)
yakni pada perlakuan P1, P2 dan P3 diberikan pada tanaman berumur 35 hari setelah tanam (HST).
Sedangkan faktor kedua adalah pemangkasan pucuk yang terdiri atas 2 level: dipangkas (A1)
dan tidak dipangkas (A2).
Ukuran petak 3 x 17 meter, jarak tanam kapas 100 cm X 40 cm. Sebagai tanaman perangkap
hama H. armigera ditanam tanaman jagung dengan jarak tanam 100 cm X 150 cm.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil analisis statistik pada pertumbuhan vegetatif tanaman kapas (tinggi tanaman dan jumlah
cabang) umur 7 sampai dengan 10 minggu setelah tanam (MST) umumnya tidak menunjukkan perbedaan
yang nyata. Hasil yang diperoleh terhadap berat 100 biji berdasarkan analisis statistik juga tidak berbeda
nyata. Untuk mengetahui hasil rata-rata dari parameter tersebut di atas disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Pengaruh penambahan pupuk N dan pemangkasan terhadap tinggi tanaman (cm), jumlah cabang, berat 100 biji (g) dan
daya kecambah
Perlakuan
Umar Tanaman Berat
100 biji
Daya
kecambah 7 MST 8 MST 9MST 10MST
Tinggi
tan
Jml
cab
Tinggi
tan
Jml
cab
Tinggi
tan
Jml
cab
Tinggi
tan
Jml
cab
P1A1 46,033 7,067 58,633 8,767 70,067 10,167 85,867 11,233 10,947 72,383
P2A1 47,133 7,267 59,767 8,233 72,900 9,733 90,967 11,500 10,933 72,197
P3A1 44,800 6,900 58,533 8,333 69,467 9,667 90,167 11,800 10,917 72,183
P1A2 46,767 6,967 63,633 8,767 76,733 10,000 91,400 11,767 10,850 71,717
P2A2 45,400 6,967 58,267 8,400 68,400 10,100 87,933 11,933 10,737 72,260
P3A2 48,633 7,967 65,467 9,333 73,800 10,133 93,867 12,233 11,533 72,180
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
124
Tabel 1 terlihat bahwa perlakuan penambahan unsur hara N dari dosis 50 kg/ha urea (P1), 100
kg/ha urea (P2) dan penambhan 150 kg/ha urea (P3) tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan
vegetatif (tinggi tanaman) sampai umur 10 minggu setelah tanam, hal ini disebabkan adanya faktor air
yang sulit dikendalikan, artinya selama masa pertumbuhan atau setelah aplikasi penambahan N, air yang
diperlukan untuk membantu proses absorbsi sangat kurang sehingga diduga unsur N tersebut
menguap/kelarutan pupuk N berkurang akibat kondisi lahan yang kurang mendukung. Sehingga
penambahan N yang ditujukan untuk menyediakan unsur hara N dalam jumlah tertentu dan waktu yang
tepat untuk memenuhi kebutuhan tanaman tidak dapat terpenuhi yang disebabkan oleh keadaan lapang
yang kurang mendukung. Seperti kita ketahui dalam pengkajian ini tanaman kapas tersebut ditanam
setelah tanaman padi yakni pada musim kemarau pertama (MK I). Pada musim kemarau pertama (MK I)
dilokasi pengkjian hujan sudah berhenti dan hanya berharap mendapat pengairan dari air irigasi, sehingga
beresiko menunggu giliran mendapat air. Muchamad Yusron et. al., (1998) menyatakan banyak faktor
yang mempengaruhi respon kapas terhadap pemupukan N, antara lain kekeringan, serangan penyakit atau
air yang berlebihan/kekurangan air sehingga sulit dikelola.
Sedangkan penambahan unsur hara N berdasarkan hasil analisa menunjukkan perbedaan yang
nyata terhadap parameter jumlah buah per tanaman, produksi kapas berbiji dan produksi benih. Untuk
mengetahui hasil rata-rata dari parameter di atas dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Pengaruh penambahan pupuk N terhadap jumlah buah/tanaman, produksi kapas berbiji dan produksi biji.
Perlakuan Jumlah buah Prod. Kapas berbiji
(kg/ha) Prod. Biji (kg/ha)
P1 13,167a 932,05
a 559,22
a
P2 13,500a 935,52
a 561,31
a
P3 14,500b 940,37
b 564,25
b
Ket: Angka-angka dengan superscrip sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji LSD 5%
Tabel 2 memperlihatkan bahwa pemberian N memberi pengaruh terhadap komponen hasil.
Hasil terbaik diperoleh pada perlakuan P3 yakni dengan dosis pemupukan urea 150 kg/ha. Hal ini diduga
dengan kondisi lahan yang kekurangan air pemberian unsur hara N dengan dosis yang lebih tinggi dapat
terserap dengan baik oleh tanaman, sehingga komponen hasil seperti jumlah buah per tanaman, produksi
kapas berbiji, dan produksi benih dapat meningkat. Kadarwati et. al., (1993) menyatakan bahwa sumber
dan dosis pupuk N secara nyata mempengaruhi hasil kapas. Hasil terbaik pada parameter jumlah buah
per tanaman 14,500; produksi kapas berbiji 940,37 kg/ha dan produksi biji 564,25 kg/ha. Perlakuan
pemangkasan pucuk dan interaksi antar kedua perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata.
KESIMPULAN
Perlakuan penambahan susulan unsur hara N (P1,P2 dan P3) dan pemangkasan pucuk (A1 dan
A2) tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap parameter tinggi tanaman berumur 7 minggu
setelah tanam (MST) sampai dengan 10 minggu setelah tanam (MST), begitu pula terhadap parameter
jumlah cabangnya serta bobot 100 biji dan daya kecambah.
Perlakuan penambahan susulan unsur hara N berdasarkan hasil analisis menunjukkan perbedaan
yang nyata terhadap parameter jumlah buah per tanaman, produksi kapas berbiji dan produksi biji dan
hasil terbaik ditunjukkan pada perlakuan P3 yakni masing-masing 14,500 buah kapas; 940,37 kg kapas
berbiji/ha dan 564,25 kg biji/ha.
DAFTAR PUSTAKA
Adji Sastrosupadi dan Moch. Sahid. 2001. Pengendalian pertumbuhan vegetatif pada tanaman kapas. Prosiding Diskusi Kapas Nasional. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Industri. Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat. Malang.
Delouche,J.C. 1981. Harvest and Post Harvest Factors Affecting the Quality of Cotton Planting Seed and Seed
Quality Evaluation. Beltwild Cotton Production Research Conference Proceding (Reprinted) :9 p.
Ditjenbun. 1993. Evaluasi pelaksanaan program pengembangan kapas. Makalah disajikan pada pertemuan teknis
kapas tanggal 28 Juni 1993. Ujung Pandang.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
125
Ditjenbun. 1999. Pengarahan Direktur Jenderal Perkebunan pada pertemuan teknis IKR tahun 1999 di Surabaya, tanggal 17 September 1999.
Faisal kasryno, Tahlim Sudaryanto dan Hasnam. 1998. Peranan penelitian dalam mendukung peningkatan produksi
kapas nasional. Prosiding Diskusi Kapas nasional. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Tanaman Serat. Malang.
Kadarwati, F. T., M. Sahid dan M. Yusron. 1993. Kajian Paket Pemupukan dan Teknik Pemberiannya pada Sistem
Tumpang Sari Kapas + Kedelai di Lahan Sawah sesudah Padi. Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan
Serat, Malang.
Machfud,M., Hasnam, R. Mardjono dan B. Hariyono. 1995. Respon varietas genjah kapas pada sistem tanam pindah.
Laporan hasil penelitian. Bagian proyek Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat. Malang. TA. 1994/1995.
Moch. Sahid dan S.A. Wahyuni. 2001. Keragaan dan konsep perbaikan pengembangan kapas di Indonesia. Kapas.
Buku I. Monograf Balittas No. 7. Departemen Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Balai Penelitian Tanaman tembakau dan Serat. Malang.
Muchamad Yusron, B. hariyono dan M. Cholid. 1998. Variasi respon kapas terhadap pemupukan nitrogen. Prosiding
Diskusi Kapas nasional. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat penelitian dan
Pengembangan Tanaman Industri. Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat. Malang.
Siwi Sumartini. 1998. Pengaruh beberapa konsentrasi asam sulfat pada proses delinting terhadap mutu benih kapas.
Prosiding Diskusi Kapas Nasional. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Industri. Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat. Malang.
Siwi Sumartini dan Hasnam. 2001. Teknik produksi benih kapas bersertifikat. Kapas. Buku I. Monograf Balittas No. 7. Departemen Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Perkebunan. Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat. Malang.
Soebandrijo, IG.A.A. Idrayani, Nurindah, Subiyakto, B. Hariyono, E. Sunaryo, O.S. Bindra dan J. Turner. 1989.
Pengendalian terpadu jasad pengganggu kapas. Prosiding Lokakarya Teknologi Kapas Tepat Guna. Balai Penelitian Tanaman tembakau dan Serat. Malang.
Wahyuni, S.A., Soebandrijo dan S.H. Isdijoso. 1993. Penerapan teknologi kapas tepat guna pada lahan petani di
Boyolali. Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat. Malang.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
126
PENGKAJIAN CARA, DOSIS DAN SUMBER PEMUPUKAN PHOSFOR
DAN RESIDUNYA PADA ALFISOL DI KABUPATEN SUMBAWA
Hasil Sembiring, L.Wirajaswadi, Awaludin Hipi
1 dan Paulina Evy R. Prahardini
2
1. Peneliti pada BPTP Nusa Tenggara Barat
2. Peneliti pada BPTP Jawa Timur
ABSTRAK
Informasi status hara dan arahan pemupukan P di Kabupaten Sumbawa sangat terbatas, sehingga
rekomendasi teknologi pemupukan P sangat diperlukan. Tujuan pengkajian adalah mengevaluasi rekomendasi
pemupukan P, dosis, sumber dan cara pemupukan P dan residunya. Pengkajian telah dilakukan pada MH 1999/2000 dan MK. 2000 di Desa Maronge Kecamatan Plampang Kabupaten Sumbawa di lahan sawah milik petani. Perlakuan
yang diuji adalah 11 perlakuan meliputi: T1 (27 kg P2O5/ha), T2 (18 kg P2O5/ha), (Kontrol), T4 (18 kg P2O5/ha + E
2001), T5 (E 2001), T6 (25 kg P2O5/ha akar celup), T7 (45 kg K2O/ha), T8 (27 kg P2O5 + 45 kg K2O/ha), T9 (27 kg
P2O5 + 5 t pupuk kandang/ha), T10 (5 t pupuk kandang/ha), T11 (45 kg P2O5/ha). Pengkajian residu P dilaksanakan
pada musim berikut (MK) dengan membagi petak percobaan pertama menjadi 2 bagian yang sama dimana petak
pertama diperlakukan sama dengan perlakuan tahun sebelumnya sedangkan petak kedua tidak diberi perlakuan.
Variabel yang diamati adalah jumlah malai, panjang malai, jumlah gabah isi, bobot 1000 biji, bobot jerami basah dan
hasil. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak kelompok dengan 3 ulangan. Hasil kajian menunjukkan bahwa pemupukan Phosphor (P) pada padi musim kedua tidak berpengaruh terhadap hasil. Ini berarti
bahwa residu P dalam tanah cukup memenuhi kebutuhan P tanam padi sawah. Untuk efisiensi dan mempertahankan
status P di Sumbawa, pemupukan P2O5 dapat dilakukan sekali dalam dua musim tanam dengan takaran 18 kg/ha.
Sumber dan cara pemberian pupuk tidak berbeda nyata, sehingga pencelupan dengan 25 kg P2O5/ha tidak ada pengaruhnya dibandingkan dgn cara normal (cara yang biasa dilakukan petani).
Kata kunci: phosphor, residu, padi sawah, Kabupaten Sumbawa
ABSTRACT
Limited information for used P fertilizier at Sumbawa district, more needed a recomendation of tecnology
for P fertilizier. The objective of assesment was to evaluated recomendation P fertilizier, dosage, and residu. The
assesment was conducted in farmers lowland in Maronge, Plampang, Sumbawa, at WS. 1999/2000 and DS. I. 2000.
The eleven treatments on test i.e : T1 (27 kg P2O5/ha), (T2 (18 kg P2O5/ha), (control), T4 (18 kg P2O5/ha + E- 2001), T5 (E-2001), T6 (25 kg P2O5/ha), T7 (45 kg K2O/ha), T8 (27 kg P2O5 + 45 kg K2O/ha), T9 (27 kg P2O5 + 5 t
organik matter /ha), T10 (5 t organik matter/ha), T11 (45 kg P2O5/ha). All of treatments using 115 kg N/ha.
Assesment of residu P was conducted at DS. I. The result indicated that phosphor fertilizier at the second season
(DS. I) not significant difeerent from residu for yield. This indicated that residu P still enaught for growth rice in lowland. Applicated P at Sumbawa could be conduct once times for two planting season with dosage 18 kg/ha.
Key words: phosphor, residu, low land rice, Sumbawa district
PENDAHULUAN
Produktivitas padi di Kabupaten Sumbawa bervariasi dengan rata-rata 4,42 t/ha, sedangkan rata-
rata produktivitas tingkat Propinsi adalah 4,61 t/ha (BPS, 1998). Hal ini menggambarkan bahwa
produktivitas padi di Kabupaten Sumbawa masih memiliki potensi untuk ditingkatkan. Upaya
meningkatkan produktivitas, harus diikuti dengan usaha peningkatan pendapatan petani tanpa merusak
lingkungan. Salah satu faktor yang mempengaruhi peningkatan produksi adalah pemberian pupuk antara
lain pupuk fosfor (P). Dengan pemberian pupuk yang tepat, diharapkan petani memperoleh peningkatan
hasil yang menguntungkan.
Ketersediaan hara P dipengaruhi oleh banyak faktor, sehingga pemberian dosis pupuk yang
tepat memerlukan pemahaman tentang informasi dasar seperti status hara tanah, sifat fisik, kimia dan latar
belakang penggunaan lahan. Masalah ini mengakibatkan pemberian pupuk yang tidak efisien, yang
ditunjukkan dengan meningkatnya pemakaian pupuk P secara terus menerus, tetapi tidak diikuti
peningkatan produksi yang memadai. Kondisi seperti ini menyebabkan biaya produksi tinggi dan
mengganggu keseimbangan lingkungan.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
127
Upaya-upaya untuk meningkatkan efisiensi pemberian pupuk antara lain melalui dosis
pemberian pupuk, saat pemberian pupuk, cara pemberian dan bentuk pupuk yang digunakan secara tepat
(Landon, 1984). Lebih lanjut Bastari (1996) mengemukakan bahwa penggunan pupuk yang berupa unsur
makro N, P, dan K perlu diimbangi dengan pemberian bahan organik untuk mendukung hasil panen yang
tinggi. Bahan organik yang diberikan dapat berupa jerami, pupuk hijau sesbania dan pupuk kandang yang
berperan mengembalikan unsur hara yang telah diserap oleh tanaman dari dalam tanah. Pengaruh
pemberian pupuk organik berupa pupuk kandang 5000 kg/ha tampak peranannya dalam waktu panjang
lebih kurang dalam tiga musim tanam berikutnya (Basyir, 1993). Bahan organik tersebut berperan dalam
memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah yang mendukung ketersediaan unsur hara N dan P
(Soepardi, 1979).
Penanaman padi sawah di Kabupaten Sumbawa menyebar di 14 kecamatan dengan kisaran luas
panen antara 1.708 sampai 8.981 ha. Berdasarkan luasan panen terlihat kecamatan Plampang (8.981 ha)
mempunyai luasan tertinggi diikuti kecamatan Taliwang (6.978 ha), kecamatan Lape Lopok (6.776 ha),
kecamatan Alas (5.217 ha) dan kecamatan Moyo Hilir (4.704 ha), sedangkan kecamatan - kecamatan lain
seluas 1.708 - 3.710 ha (Anonimous, 1997). Berdasarkan jenis tanahnya, kabupaten Sumbawa
khususnya kecamatan Plampang termasuk jenis tanah Vertisol. Pengelolaan tanah vertisol dengan bahan
organik mampu meningkatkan efisiensi pupuk Urea sebesar 18,01 % dengan masukan organik jerami
kedelai dengan takaran 20 ton/ha (Prijatno, Kusuma, dan Idris, 1997). Hal ini menunjukkan bahwa
pemberian bahan organik pada tanah vertisol mampu meningkatkan efisiensi pemberian pupuk.
Hasil penelitian Baharuddin (1996) menyatakan bahwa di kecamatan Lape Lopok dan Moyo
Hilir yang termasuk daerah irigasi Mamak Kakiang mempunyai kandungan P dan K yang cukup,
sedangkan kecamatan yang lain masih belum diketahui status unsur haranya. Rekomendasi pemupukan
padi sawah di Kecamatan Lape Lopok telah ditentukan sebanyak 115 kg N/ha + 27 - 36 kg P2O5/ha dan
tanpa K2O, Kecamatan Moyo Hilir sebanyak 115 kg N/ha + 18 kg P2O5/ha dan tanpa K2O, sedangkan
kecamatan lain di pulau Sumbawa direkomendasikan sebanyak 92 kg N/ha + 27 kg P2O5/ ha dan tanpa
K2O (SPH Bimas Propinsi NTB, 1996). Pemberian pupuk untuk kecamatan lain di pulau Sumbawa perlu
disesuaikan dengan status hara tanah di setiap kecamatan. Hal ini untuk mendapatkan efisiensi
pemupukan dengan modifikasi yang tepat. Di sisi lain, diduga keras bahwa dengan program intensifikasi
padi selama lebih dari 20 tahun terakhir ini, dimana pemupukan P diberikan pada setiap musim,
sedangkan hara P yang diberikan dalam bentuk pupuk P tidak seluruhnya diserap oleh tanaman (hanya +
20%) dan selebihnya stabil dan terakumulasi dalam tanah. Oleh sebab itu, diperkirakan hara P dalam
tanah, sehingga pengaruh residu P perlu diteliti. Tujuan pengkajian adalah mengkaji dosis, cara dan
memverifikasi rekomendasi pupuk serta mengidentifikasi pengaruh residu pupuk P dari penelitian tahun
pertama di Kecamatan Plampang Sumbawa.
BAHAN DAN METODE
Pengkajian dilaksanakan di Desa Maronge, Kecamatan Plampang Sumbawa selama 2 musim
yaitu pada MH. 1999/2000 (Desember 1999 s/d Maret 2000) dan MK. 2000. Tahun pertama ditujukan
untuk melihat pengaruh perlakuan terhadap produksi padi, sedangkan pada musim kedua adalah untuk
melihat pengaruh pemupukan pada musim pertama terhadap produksi padi.
Perlakuan yang diuji adalah cara (celup dan tidak celup), dosis P (0, 9, 18, 27 dan 45 kg
P2O5/ha), K2O, E-2001 dan pupuk kandang. Kombinasi dosis, cara dan sumber pupuk P disajikan pada
Tabel 1.
Tabel 1. Perlakuan pengaruh residu pupuk phospor. Plampang. MK I. 2000
Perlakuan P2O5
(kg/ha)
K2O
(kg/ha)
E-2001 1)
(lt/ha)
N
(kg/ha)
Pupuk kandang
(t/ha)
1 2 3 4 5 6
T1 27 0 0 115 0
T1A (Residu T1) 0 0 0 115 0
T2 18 0 0 115 0
T2A (Residu T2) 0 0 0 115 0
T3 (Kontrol) 0 0 0 115 0
T3A (Kontrol) 0 0 0 115 0
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
128
1 2 3 4 5 6
T4 18 0 1 115 0
T4A (Residu T4) 0 0 0 115 0
T5 0 0 1 115 0
T5A (Residu T5) 0 0 0 115 0
T6 (Akar celup) 9 0 0 115 0
T6A (Residu T6) 0 0 0 115 0
T7 0 45 0 115 0
T7A (Residu T7) 0 0 0 115 0
T8 27 45 0 115 0
T8A (Residu T8) 0 0 0 115 0
T9 27 0 0 115 5
T9A (Residu T9) 0 0 0 115 0
T10 0 0 0 115 5
T10A (Residu T10) 0 0 0 115 0
T11 45 0 0 115 0
T11A (Residu T11) 0 0 0 115 0
Sawah yang digunakan adalah sawah dengan irigasi teknis. Jenis tanah adalah alfisol. Tanah
diolah secara sempurna dengan kedalaman olah 15 - 20 cm. Penanaman secara tanam pindah dengan
jarak 20 x 20 cm. Pengendalian gulma, hama dan penyakit disesuaikan dengan kondisi pertanaman.
Varietas yang digunakan adalah IR-64.
Pupuk P, K, dan pupuk kandang (pakan) diberikan sebelum tanam. Pupuk N diberikan
sebanyak 3 kali masing-masing 1/3 dosis sesuai perlakuan, yang diberikan pada saat seminggu setelah
tanam, saat anakan aktif dan saat primordia bunga.
Pemberian pupuk P pada perlakuan akar dicelup, dengan menggunakan konsentrasi 3,6 gr
P2O5/liter direndam selama 12 jam sebelum tanam dengan dosis 2500 liter larutan/ha yang setara dengan
9 kg P2O5/ha.
Percobaan menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan tiga ulangan masing- masing plot
perlakuan berukuran 5 m x 4 m.
Variabel yang diamati meliputi tinggi tanaman, jumlah anakan maksimum, jumlah malai/anakan
produktif, jumlah gabah isi dan gabah hampa, bobot 1000 biji gabah berisi dan hasil GKG. Data yang
dikumpulkan kemudian dianalisis dengan analisis sidik ragam (AOV). Untuk mengetahui tingkat
keragaman antara perlakuan yang diuji, analisis dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan (DMRT).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil percobaan efisiensi P (tahun pertama) disajikan pada Tabel 2 dan 3, sedangkan pengkajian
residu P disajikan pada Tabel 4.
Efisiensi penggunaan pupuk P (Tahun Pertama)
Pengaruh P terhadap jumlah malai per rumpun, panjang malai dan produksi sangat nyata pada
berbagai keadaan (Tabel 2 dan 3). Tanpa P, penampilan tanaman lebih buruk terhadap jumlah malai dan
produksi. Pengaruh pencelupan akar dengan larutan P terhadap produksi juga tidak terlihat (T5 vs T6).
Bahkan (T3 vs T6) produksi tanpa P tidak berbeda nyata dengan yang dicelupkan P serta
penambahan E-2001. Produksi terlihat cukup dengan dosis 18 kg P2O5/ha. (T1vs T2 vs T3 vs T4). Hal
ini diduga disebabkan kandungan P tanah masih cukup tinggi seperti hasil yang dinyatakan (Adiningsih
dan Soepartini, 1995).
Pengaruh pupuk E-2001 terhadap komponen hasil dan produksi tidak nyata. Pada berbagai tingkat
dosis P perbandingan antara yang diberikan E-001 dengan tanpa E-2001 memberikan hasil yang tidak
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
129
berbeda. Terlihat bahwa kalau tidak diberi P maka produksi cenderung menurun. Demikian juga dengan
penambahan K tidak memberikan hasil nyata (T7 vs T5).
Pengaruh pupuk kandang tidak terlihat langsung berpengaruh terhadap peningkatan produksi.
Disamping itu, penambahan dosis P tidak meningkatkan hasil yang berbeda. Disamping pemberian
pupuk kandang dan K (T9 vs T8 vs T1) tidak menunjukkan manfaat terhadap peningkatan produksi.
Tabel 2. Rata-rata jumlah malai/rumpun, panjang malai, jumlah gabah bernas, dan jumlah gabah hampa pada uji
adaptasi efisiensi penggunaan pupuk P di kecamatan Plampang. MH. 1999/2000.
Kode Perlakuan Jumlah malai/
rumpun
Panjang malai
(cm)
Jumlah gabah
bernas (butir)
Jumlah gabah
hampa (butir)
T1 (115 - 27 – 0 – 0) 12,77 c*) 30,28 b*) 128,97 tn 8,43 tn
T2 (115 -18 – 0 – 0) 12,37 bc 29,45 ab 126,77 8,03
T3 (115 -0 – 0 – 0 ) 10,90 ab 29,42 ab 126,20 7,07
T4 (115 –18 – 0 – E-2001) 11,53 abc 29,37 ab 121,37 7,00
T5 (115 – 0 – 0 - E-2001) 10,40 a 29,33 ab 120,33 6,90
T6 (115 - 25 – 0 - E-2001) **) 12,18 bc 29,22 ab 119,43 6,80
T7 (115 - 0 – 45 - E-2001) 11,57 abc 29,18 ab 117,67 6,47
T8 (115 - 27 – 45) 11,63 abc 28,83 ab 116,70 6,03
T9 (115 –27 – 0 – p.kdg 5000) 12,57 bc 28,62 ab 113,13 5,97
T10 (115 – 18 – 0 – p.kdg 5000) 12,40 bc 27,95 a 110,40 5,67
T11 (115 – 45 – 0 – 0) 13,33 c 27,90 a 107,40 5,63
Rata-rata 11,99 29,05 118,94 6,73
K.K (%) 7,8 3,60 9,25 27,70
Ket : *) = Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama, tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT (.05); tn =
Tidak berbeda nyata ;**) = perlakuan celup akar
Tabel 3. Rata-rata bobot 1000 biji, bobot jerami, dan hasil GKG pada uji adaptasi efisiensi penggunaan pupuk P di
kecamatan Plampang. MH. 1999/2000.
Kode Perlakuan Bobot 1000 biji (gram) Bobot jerami (t/ha) Hasil GKG (t/ha)
T1 (115 -27 – 0 – 0) 34,08 tn 16,07 ab *) 6,11 a*)
T2 (115 -18 – 0 – 0) 33,38 16,57 a 5,68 ab
T3 (115 -0 – 0 – 0 ) 32,79 13,80 ab 4,59 cd
T4 (115 –18 – 0 – E-2001) 32,19 13,83 ab 5,52 abc
T5 (115 – 0 – 0 - E-2001) 32,15 13,57 ab 4,90 bcd
T6 (115 - 25 – 0 - E-2001) **) 31,68 13,27 ab 4,92 bcd
T7 (115 - 0 – 45 - E-2001) 31,57 12,83 b 4,29 d
T8 (115 - 27 – 45) 31,55 14,49 ab 5,31 abc
T9 (115 –27 – 0 – p.kdg 5000) 31,48 14,67 ab 5,51 abc
T10 (115 – 18 – 0 – p.kdg 5000) 31,29 15,51 ab 5,62 ab
T11 (115 – 45 – 0 – 0) 31,02 16,31 ab 5,98 a
Rata-rata 32,11 14,63 5,31
K.K (%) 6,75 12,2 9,6
Ket : *) = Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama, tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT (.05); tn =
Tidak berbeda nyata; **) = perlakuan celup akar
Uji Residu Pupuk Phosphor (P)
Pemupukan P pada pertanaman padi MK I yang pada MH mendapatkan pemupukan P, tidak
berpengaruh terhadap hasil dan jumlah biji berisi/malai, tetapi berpengaruh pada jumlah anakan
produktif/rumpun (Tabel 4). Implikasinya adalah residu P dari pemupukan musim sebelumnya tersedia
dalam jumlah yang cukup sehingga penambahan pupuk P tidak meningkatkan hasil.
Data pada Tabel 4. menunjukkan bahwa perbedaan nyata pada jumlah anakan produktif/rumpun
tidak menimbulkan perbedaan pada hasil gabah. Hal ini diduga karena anakan produktif yang banyak
tidak selalu meningkatkan jumlah biji/malai. Kenyataan ini didukung penelitian Yoshida (1981) yang
melaporkan bahwa jumlah biji/malai berbanding terbalik dengan jumlah anakan produktif.
Hal penting yang diperoleh dari pengkajian ini adalah petak dipupuk dengan P memberikan hasil
yang tidak berbeda dengan petak yang tidak diberi pupuk P. Hal ini berarti pemupukan P pada padi
kedua yang mendapatkan pupuk pada padi pertama tidak perlu dilakukan.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
130
Tabel 4. Pengaruh residu pupuk P dari berbagai takaran pupuk P musim sebelumnya terhadap komponen hasil dan hasil padi Maronge Sumbawa MK I 2000.
No. Perlakuan Anakan prod./rumpun
(batang)
Biji isi/malai
(butir)
Hasil GKG
(t/ha)
1. T1 (75 kg P2O5/ha) 13,06 a-d 78,71 tn 5,74 tn
2. T1A (Residu T1) 12,60 a-d 75,57 5,91
3. T2 (18 kg P2O5/ha) 11,70 cd 72,06 5,09
4. T2A (Residu T2) 12,46 a-d 76,86 5,04
5. T3 (Kontrol) 12,16 bcd 79,06 5,45
6. T3A (Kontrol) 13,33 ab 83,24 5,78
7. T4 (18 kg P2O5/ha + E 2001) 12,00 bcd 71,72 5,62
8. T4A (Residu T4) 13,26 ab 75,82 6,09
9. T5 (E 2001) 11,60 d 78,18 5,08
10. T5A (Residu T5) 12,33 bcd 74,02 5,13
11. T6 (25 kg P2O5/ha akar celup) 12,26 bcd 74,97 5,41
12. T6A (Residu T6) 13,40 ab 78,25 6,06
13. T7 (75 kg K2O/ha) 12,80 a-d 79,98 6,02
14. T7A (Residu T7) 12,40 a-d 78,33 5,39
15. T8 (75 kg P2O5 + 75 kg K2O/ha) 13,13 abc 85,45 6,26
16. T8A (Residu T8) 13,46 ab 72,65 5,34
17. T9 (75 kg P2O5 + 5 t pupuk kandang/ha) 12,76 a-d 77,65 5,49
18. T9A (Residu T9) 13,20 abc 71,40 5,07
19. T10 (5 t pupuk kandang/ha) 13,33 ab 80,17 5,84
20. T10A (Residu T10) 12,26 bcd 74,24 5,82
21. T11 (45 kg P2O5/ha) 13,40 ab 86,26 6,28
22. T11A (Residu T11) 13,90 a 77,79 5,79
CV (%) 1,91 10,7 16,5
Ket : *) = Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama, tidak berbeda nyata berdasarkan
DMRT (.05); tn = Tidak berbeda nyata
ESIMPULAN DAN SARAN
Pemupukan Phosphor (P) tidak berpengaruh terhadap hasil gabah, walaupun pengaruh
pemupukan P nampak pada komponen hasil.
Pemupukan Phosphor (P) pada padi musim kedua setelah dilakukan pemupukan P pada padi musim
pertama tidak berpengaruh terhadap hasil. Ini berarti bahwa residu P dalam tanah cukup memenuhi
kebutuhan P tanaman padi sawah.
Memperhatikan kriteria 4 dan 5, maka untuk efisiensi dan mempertahankan status P di Sumbawa,
Dompu dan Bima pemupukan P dilakukan sekali dalam dua musim tanam dengan takaran 18 kg/ha.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous. 1997. Kabupaten Sumbawa Dalam Angka. Kerjasama BPS Kabupaten Sumbawa dengan Bappeda Kabupaten Sumbawa. hal. 7 - 265.
Baharudhin, AB. 1996. Rangkuman Laporan Penelitian Kajian Pemupukan Berimbang Pada Lahan/ Daerah Irigasi
Mamak Kakiang Sumbawa NTB Menunjang Pelestarian Swasembada Pangan. Fakultas Pertanian Unram. 48
hal.
Baharuddin, AB. dan J. Priyono. 1995. Penerapan pemupukan berimbang pada lahan irigasi Mamak dan Kakiang
Sumbawa. Makalah disampaikan pada Seminar Sehari Bidang Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Unram.
Fakultas Pertanian UNRAM, Mataram.
Basyir, A. 1993. Pemupukan Jangka Panjang Padi Sawah. Risalah Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan Tahun 1992. Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang. hal. 222 - 228.
Bastari, T. 1996. Penerapan Anjuran Teknologi Untuk Meningkatkan Efisiensi Penggunaan Pupuk. Pusat Penelitian
Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang Pertanian Deptan. hal. 7 - 36.
BPS. 1998. Nusa Tenggara Dalam Angka 1997. Biro Pusat Statistik Propinsi Nusa Tenggara Barat.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
131
Fagi, A.M. 1996. Status Pengetahuan Teknik Pemupukan Pada Padi Sawah. Pusat dan Penelitian Tanah dan Agoklimat. Badan Litbang Pertanian Deptan. hal. 37 - 60.
Jones, U.S. 1979. Fertilizers and Soil Fertility. Reston Publishing Company. USA. p 29 - 145.
Landon, J.R. 1984. Booker Tropical Soil Manual. Booker Agriculture Internati0nal Limited. P. 106 - 144.
0‘Neill, M.E. 1997. Anintermediate Biometry Course Manual. Schoool of Crop Sceinces, The University 0f Sidney. P 114 - 159.
Prijatna, S, B.H. Kusuma dan M. H. Idris. 1997. Laporan Penelitian Pengkajian Pengaruh Masukan Organik
Terhadap Ketersediaan N dan Efisiensi Pupuk Urea Pada Tanaman Jagung di Tanah Vertisol. 18 hal.
Sekertariat Pembina Harian Bimas NTB. 1996. Rekomendasi Pemupukan di Wilayah NTB. Mataram 12 hal.
Setiyono, S. 1986. Kesuburan Tanah dan Nuheisi Tanaman PPS. Unibraw. Malang 55 hal.
Soepardi, G. 1979. Sifat dan Ciri Tanah. Dep. Ilmu Tanah Fakultas Pertanian IPB Bogor. 872 hal.
Soepartini, M., Nurjaya, A. Kasno, Supardi, Ardjakusuma, Moersidi, S. dan J. Sri Adiningsih. 1994. Status hara P
dan K serta sifat-sifat tanah sebagai penduga kebutuhan pupuk padi sawah di pulau Lombok. Pemberitaan Penelitan Tanah dan Pupuk No. 12, 1994, p.23-35.
Subandi. 1995. Pemupukan kalium bagi upaya meningkatkan produksi padi di Nusa Tenggara Barat. Makalah
disampaikan pada Temu Aplikasi Paket Teknologi di IPPTP Mataram, 17-19 Desember 1995.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
132
PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU BUDIDAYA PADI SAWAH
DI KABUPATEN LOMBOK BARAT
Hasil Sembiring, L. Wirajaswadi, Awaludin Hipi, Sirajuddin1 dan Husen M. Toha
2
1. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Nusa Tenggara Barat 2. Peneliti pada Balitpa Sukamandi
ABSTRAK
Pengelolaan tanaman padi sawah terpadu (PTT) merupakan pendekatan yang mengutamakan kesinergisan atas komponen-komponen produksi seperti umur bibit, pemupukan dan lain-lain mulai dari pra produksi sampai
kepada produksi dan pengelolaan kelompok. Tujuan Pengkajian adalah mengevaluasi pendekatan ini terhadap
peningkatan produksi padi sawah spesifik lokasi dilahan irigasi yang efisien dan kemungkinan pengembangannya di
NTB. Pengkajian dilaksanakan di Desa Jenggala Kecamatan Tanjung Kabupaten Lombok Barat pada MK. I. 2001. Pengkajian dimulai dengan melaksanakan PRA dan kemudian diikuti dengan perumusan paket teknologi serta
penerapannya di lapangan. Pengkajian ini terdiri dari dua kegiatan utama yaitu demonstrasi teknologi dan
superimposed. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa teknologi PTT memberikan keuntungan rata-rata Rp
1.754.599, sedangkan teknologi petani sebesar Rp 1.144.283,-. Hasil riel pada teknologi PTT sekitar 5,92 t/ha; sedangkan teknologi petani rata-rata 5,21 t/ha. Penerapan teknologi dengan pendekatan PTT dapat meningkatkan
produksi dan memiliki prospek untuk menekan biaya usahatani padi yang pada akhirnya dapat meningkatkan
pendapatan bersih petani di NTB.
Kata kunci : pengelolaan tanaman terpadu, sawah irigasi, padi, produktivitas
PENDAHULUAN
Nusa Tenggara Barat sebagai salah satu penghasil padi nasional memiliki lahan sawah irigasi
seluas 207.852 ha. Hampir seluruhnya dapat ditanami padi dua kali setahun dalam pola tanam padi–padi–
palawija dengan intensitas 250–300%/tahun. Terobosan melalui intensifikasi mampu meningkatkan
produktivitas padi di NTB secara menyolok dan menciptakan swasembada sejak tahun 1981, dengan
produksi padi sebesar 913.331 ton GKG. Pada perkembangan selanjutnya ternyata peningkatan
produktivitas mengalami pelandaian. Jika pada pelita III produktivitas padi mencapai kenaikan rata-rata
283 kg/ha. Pada pelita IV turun drastis menjadi 21,25 kg/ha. Kondisi lebih memprihatinkan terjadi
dalam kurun waktu 5 tahun terakhir dimana pertumbuhan produktivitas rata-rata mengalami negatif
(-16,25 kg/ha) (BPS NTB 1999; Kanwil Deptan, 2000). Kecenderungan ini cukup mengkhawatirkan
karena kenaikan produktivitas padi jauh lebih rendah dari pada kenaikan jumlah penduduk yakni
sebesar 2,34%.
Sistem produksi input eksternal tinggi sangat tergantung pada input kimia buatan (pupuk,
pestisida), benih hibrida, mekanisasi dengan bahan bakar minyak dan irigasi (Reijntjes et al, 1992).
Sistem pertanian ini mengkonsumsi sumber-sumber yang tak dapat diperbaharui. Pemanfaatan input
buatan yang berlebihan dan tidak seimbang dapat menimbulkan dampak besar terhadap ekologi, ekonomi,
dan sosial politik.
Bagi daerah NTB degradasi kemampuan lahan sebagai media tumbuh tanaman sudah nampak, hal
ini terlihat dari kecenderungan penurunan produktivitas padi yang terus melaju. Dalam 5 tahun terakhir
penggunaan pupuk Urea meningkat sebesar rata-rata 2277,75 ton/tahun (2,88%) tetapi produktivitas padi
menurun seperti telah dikemukakan di atas.
Apabila kondisi ini tidak mendapat penanganan serius, dikhawatirkan produktivitas padi masa
mendatang terus menurun. Salah satu cara untuk mengatasi masalah tersebut diatas dengan pengelolaan
tanaman dan sumberdaya terpadu (PTT). Konsep ini mengharuskan pengelolaan secara terpadu antara
tanaman dan sumberdaya. Pada prinsipnya adalah melakukan pengelolaan dengan menyediakan
lingkungan produksi yang kondusif bagi pertumbuhan tanaman sesuai dengan sumberdaya tersedia secara
lokal spesifik (Badan Litbang, 2000). Dengan pendekatan ini diupayakan menciptakan hubungan
sinergisme antara komponen-komponen produksi dan mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya tersedia
dengan lebih banyak memanfaatkan internal input tanpa merusak lingkungan.
Filosofi pengelolaan tanaman terpadu adalah pemanfaatan sumberdaya pertanian secara optimal
sehingga petani memperoleh keuntungan maksimum secara berkelanjutan dalam sistem produksi yang
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
133
memadukan komponen teknologi sesuai kapasitas lahan. Kata kunci dari pengelolaan tanaman terpadu
adalah sinergis. Setiap komponen teknologi sumberdaya alam, dan kondisi sosial ekonomi memiliki
kemampuan untuk berinteraksi satu sama lain. Dengan demikian akan tercipta suatu keseimbangan dan
keserasian antara aspek lingkungan dan aspek ekonomi untuk keberlanjutan sistem produksi. Indikator
keberhasilan pengelolaan tanaman terpadu yang paling penting adalah rendahnya biaya produksi,
penggunaan sumberdaya pertanian secara efisien dan pendapatan petani meningkat tanpa merusak
lingkungan (Kartaatmadja, 2000).
Pengelolaan pertanian terpadu memiliki potensi dan prospek cukup baik untuk mempertahankan
produktivitas yang berkelanjutan dengan memperhatikan kelestarian sumberdaya alam dan pada
gilirannya akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani. Tujuan pengkajian ini adalah : (1)
Mendapatkan model pengelolaan tanaman terpadu budidaya padi sawah spesifik lokasi di lahan irigasi,
(2) Meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani.
METODOLOGI PENELITIAN
Pengkajian dilaksanakan di 2 lokasi yaitu di Desa Jenggala, Kecamatan Tanjung Lombok
Barat pada MK I. 2001. Lokasi kegiatan adalah lahan sawah irigasi yang menerapkan pola tanam padi –
padi – kacang tanah.
Pada setiap lokasi percobaan terdapat 2 kegiatan yaitu demonstrasi teknologi PTT dan percobaan
superimposed. Percobaan super imposed diharapkan dapat menjawab teknologi yang masih diragukan
petani. Ada dua issue yang dikaji pada super imposed yaitu jumlah dan umur bibit dan kajian pemupukan
(dosis, jenis, dan LCC)
Percobaan super imposed dirancang menurut kaidah penelitian, dan data agronomis dianalisis
secara statistik. Sedang pada demonstrasi dianalisis secara ekonomis dan untuk mengetahui respons
petani dilakukan wawancara secara semi struktural. Ringkasan kegiatan yang dilakukan pada kedua
lokasi pengkajian adalah sebagai berikut :
Tabel 1. Karakteristik kegiatan pengkajian PTT di desa Jenggala. Tanjung. Lobar. MK. I. 2001
Variabel Jenggala (Lobar)
PRA Februari – Maret 2001
Kelompoktani Mentani
Jumlah petani 7 orang
Luas hamparan 4,6 ha
Waktu tanam MGG II Mei
Varietas IR-64, Tukad Petanu
Kendala/hambatan Keong emas, tungro, penggerek batang, petani masih ragu dengan teknologi
Teknologi yang diterapkan pada kajian PTT disesuaikan dengan rakitan teknologi yang
dirumuskan bersama-sama dengan petani dan PPL pada saat PRA. Paket teknologi didasarkan kepada
ketersediaan sumberdaya, permasalahan yang dihadapi dan kebiasaan petani. Komponen teknologi yang
dianggap baru adalah umur bibit dan jumlah bibit per rumpun. Deskripsi teknologi PTT dibanding
teknologi petani di sajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Teknologi PTT vs teknologi petani di Desa Jenggala Lobar pada kajian PTT. 2001.
Variabel Teknologi PTT Teknologi Petani
1 2 3
Pengolahan tanah Sempurna Sempurna
Mutu benih Sertifikat Sertifikat
Kebutuhan benih 15 kg/ha 60 kg/ha
Umur bibit 15 hari 25 hari
Bibit/rumpun 1 batang 5 – 7 batang
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
134
1 2 3
Jarak tanam 20 x 20 cm Tdk teratur
Pupuk :
Urea
SP-36 (analisa tanah)
Organik
BWD (250 kg/ha)
75 kg/ha 3 t/ha
400 – 500 kg/ha
100 kg/ha 0
Pengendalian gulma Manual Manual
Pengendalian H/P PHT Tanpa acuan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kajian OFR (demonstrasi)
Penampilan tanaman dan produksinya pada kegiatan on farm demonstrasi disajikan pada Tabel
3. Tinggi tanaman tidak menunjukkan perbedaaan yang menyolok antara yang dikelola petani kooperator
dengan non kooperator. Rata-rata produktivitas pada petani kooperator lebih tinggi dibandingkan dengan
non kooperator. Lebarnya range baik pada petani kooperator dan non kooperator disebabkan oleh
tingginya gangguan hama dan penyakit (tungro dan penggerek batang). Adanya perbedaan produksi
menunjukkan bahwa efisiensi teknologi PTT dapat diandalkan.
Tabel 3. Keragaan agronomis dan produktivitas padi pada petani kooperator dan non kooperator Jenggala,
Tanjung. MKI. 2001
Variabel Unit Kooperator (n = 7) Non kooperator (n =6)
Kisaran Rerata Kisaran Rerata
Tinggi tanaman 4 MST cm 40.4 – 51.7 48.5 - -
Tinggi tanaman saat panen cm 74.9 – 91.5 84.0 75.1 – 94.9 83.3
Jumlah anakan 15 HST btg 2.2 – 3.5 2.8 - -
Jumlah anakan 30 HST btg 9.9 – 17.6 15.6 - -
Anakan maksimum btg 16.4 – 18.4 17.70 - -
Anakan produktif btg 15.6 - 18.2 16.57 16.0 – 20.3 18.2
Prod. riel (GKP) t/ha 4.35 – 6.73 5.92 4.39 – 5.68 5.21
Prod. ubinan (GKP) t/ha 5.38 –8.55 6.28 5.20 - 6.52 5.97
Analisis ekonomi yang yang berkaitan dengan tingkat pengeluaran pada sejumlah komponen
pembiayaan, pendapatan kotor, dan pendapatan bersih petani kooperator dibanding dengan non
kooperator disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Perbandingan tingkat pengeluaran pada sejumlah komponen pembiayan, pendapatan kotor dan pendapatan
bersih petani dengan teknologi PTT (kooperator) dan petani pembanding (non kooperator) Tanjung, MK I
2001
Uraian Kooperator (Rp/ha) Non Kooperator, (Rp/ha)
Kisaran Rerata Kisaran Rerata
1 2 3 4 5
Benih 22.500 – 41.667 35.123 138.889 - 178.571 153.743
Pupuk organik 138.889 – 153.846 147.928 - -
Pupuk SP36 109.091 – 125.217 119.629 97.222 – 190.476 160.542
Pupuk Urea 292.174 – 333.333 309.505 466.667 – 693.333 577.831
Pestisida 358.889 – 509.091 420.051 21.429 – 270.000 103.975
Pengolahan tanah 333.333 – 365.217 351.250 340.000 – 357.143 352.302
Penanaman 333.333 – 375.000 362.468 255.556 – 388.889 327.444
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
135
1 2 3 4 5
Penyiangan 100.000 – 444.444 231.856 106.667 – 186.667 150.116
Biaya total 3.662.125 – 4.689.773 4.165.401 3.671.667 – 4.402.000 4.065.717
Pendapatan kotor 4.358.750 – 6.727.273 5.920.000 4.400.000 – 5.666.667 5.210.000
Pendapatan bersih 696.625 – 2.270.653 1.754.599 726.111 – 1.587.778 1.144.283
R/C 1.42 1.28
Ditinjau dari total biaya antara teknologi PTT dengan teknologi petani nampak tidak jauh
berbeda yaitu rata-rata Rp. 4.165.401 berbanding Rp. 4.065.717. Hal ini disebabkan tingginya biaya pada
pengendalian virus tungro dengan menggunakan insektisida confidor dan pengendalian hama penggerek
batang menggunakan carbofuran dengan rata-rata pengeluaran sebesar Rp. 420.051/ha dibanding
teknologi petani yang hanya mengeluarkan biaya pestisida sebesar Rp. 103.979. Selisih biaya lainnya
terlihat pada penggunaan pupuk kandang pada PTT dengan rata-rata Rp. 147.928/ha sedangkan teknologi
petani tidak menggunakan pupuk kandang.
Pada pengendalian gulma, teknologi PTT ternyata membutuhkan biaya hampir dua kali lipat
teknologi petani yaitu : Rp. 231.856 berbanding Rp. 150.166. Hal ini diduga karena pada teknologi PTT
pengendalian gulma dilakukan secara intensif yaitu dengan dua kali penyiangan. Disisi lain, teknologi
petani mengeluarkan biaya lebih tinggi untuk benih yaitu sebesar Rp. 153.743 (61,5 kg/ha)
berbanding Rp. 35.123 (14,10 kg/ha).
Pengeluaran biaya dengan selisih yang cukup besar terlihat pada penggunaan pupuk Urea.
Teknologi petani mengeluarkan biaya sebesar Rp. 577.831 (478,44 kg/ha) berbanding Rp. 309.505
(257,92 kg/ha). Efisiensi penggunaan pupuk Urea tersebut tidak terlepas dari penggunaan alat bantu
Bagan Warna Daun yang dapat menghemat pupuk Urea sebesar 53%.
Walaupun total biaya teknologi PTT lebih tinggi dibanding teknologi petani, secara ekonomis
tetap lebih menguntungkan. Hal ini terlihat dari pendapatan bersih pada teknologi PTT sebesar Rp.
1.754.599 berbanding Rp. 1.144.283 pada teknologi petani. Selisih pendapatan sebesar Rp. 610.316 ini
sebagian besar berasal dari selisih hasil gabah. Teknologi PTT memberikan hasil gabah sebesar 5920
kg/ha sedangkan teknologi petani 5210 kg/ha.
Secara umum efisiensi biaya teknologi PTT nyata terlihat pada penggunaan pupuk Urea dan
benih. Tetapi akibat serangan penyakit virus tungro dan penggerek batang yang cukup menghawatirkan
diperlukan pengendalian menggunakan pestisida dengan nilai cukup tinggi sehingga efisiensi dari pupuk
Urea dan benih tersebut tidak nampak.
Kajian Super Imposed
1. Pupuk (Jumlah dan jenis pupuk)
Hasil Pengkajian terhadap pupuk dan jenisnya pada pengkajian yang dikelola petani disajikan
pada Tabel 5; sedangkan yang dikelola peneliti disajikan pada Tabel 6.
Jumlah anakan sejak berumur 15 HST sampai 45 HST tidak berbeda nyata antar perlakuan pada
percobaan yang dikelola petani. Hal yang sama juga terlihat pada percobaan yang dikelola peneliti
sampai berumur 30 HST. Perlakuan berpengaruh nyata terhadap jumlah anakan pada umur 45 HST dan
anakan produktif pada percobaan yang dikelola peneliti.
Anakan 45 HST dan AP tertinggi (24,25 dan 22,07) ditunjukkan oleh perlakuan 6 sama dengan
perlakuan 4 keduanya menggunakan Urea 400 kg/ha. Khusus untuk AP, jumlah tertinggi ditunjukkan
oleh perlakuan 6 sama dengan perlakuan 4 dan berbeda dengan perlakuan 1, 2, 3 dan 5 yang semuanya
menggunakan Urea 250 kg/ha. Implikasinya adalah penggunaan pupuk Urea 250 kg/ha sesuai
rekomendasi Bimas dan penggunaan Bagan Warna Daun titik kritis 4 dengan takaran Urea 50 kg/ha
setiap aplikasi belum cukup untuk mendapatkan anakan produktif yang sama dengan pertanaman petani
yang menggunakan Urea 400 kg/ha atau anakan produktif optimum. Kebutuhan N tertinggi pada tanam
padi terjadi pada fase pembentukan anakan maksimum.
Kombinasi pemupukan berpengaruh nyata terhadap hasil gabah GKP maupun GKG. Hasil
tertinggi diperoleh pada perlakuan 4 (400 Urea + 75 SP36) tidak berbeda dengan perlakuan 3 (LCC +
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
136
SP36) dan perlakuan 6 (400 Urea + 125 SP36). Perlakuan 4 berbeda dengan perlakuan 1 (250 Urea + 75
SP36 + 3 t pupuk kandang), perlakuan 2 (250 Urea + 75 SP36 + 50 KCl) dan perlakuan 5 (250 Urea + 75
SP36 = rekomendasi setempat). Rendahnya hasil pada perlakuan dengan 3 ton pupuk kandang diduga
karena pupuk kandang belum memberi pengaruh nyata pada musim pertama. Pengaruh pupuk kandang
baru terlihat pada musim kedua keatas.
Penggunaan pupuk K tidak berpengaruh terhadap hasil padi, hal ini karena hara K sudah cukup
tersedia di lokasi pengujian sesuai hasil analisa tanah (data status K). Untuk efisiensi penggunaan pupuk
Urea, penggunaan Bagan Warna Daun dapat dianjurkan karena Urea yang dipergunakan hanya 250 kg/ha
dan hasilnya sama dengan penggunaan Urea 400 kg/ha. Perbedaan hasil antar perlakuan diduga karena
adanya perbedaan pada jumlah gabah berisi dan gabah hampa/malai.
Tabel 5. Penampilan agronomi dan hasil percobaan pemupukan di Jenggala, Tanjung, Lobar, MK.I. 2001.
Perlakuan A15 A30 A45 AP TT45 GKP GKG
250 Urea + 75 SP + KP 3 ton 3.15 a 14.3 a 22.9 ab 19.62 b 49.5 a 7.23 cb 6.54 abc
250 Urea + 75 SP + 50 KCl 3.15 a 13.95 a 22.05 ab 18.95 bc 47.0 a 7.02 c 6.35 c
LCC (3 X ; SP36 + 250 Urea) 2.85 a 16.3 a 19.72 c 16.62 c 49.9 a 7.38 abc 6.62 abc
400 Urea + 75 SP 3.2 a 16.85 a 23.38 ab 21.03 ab 49.1 a 8.06 a 7.20 a
250 Urea + 75 SP 36 3.2 a 15.15 a 21.32 bc 18.72 bc 48.9 a 7.02 c 6.37 bc
400 Urea + 125 SP 36 2.85 a 16.65 a 24.25 a 22.07 a 49.9 a 7.84 ab 7.07 ab
CV (%) 9.9 17.6 6.29 7.84 5.5 6.2 6.5
A15 = anakan pada umur 15 HST ;A30 = anakan pada umur 30 HST;
A45 = anakan pada umur 45 HST; TT 45 = tinggi tanaman pada umur 45 HST;
AP = Anakan produktif ; GKP = gabah kering panen; GKG = gabah kering giling
2. Jumlah dan Umur Bibit
Hasil pengkajian jumlah dan umur bibit disajikan pada Tabel 6. Hasil pengkajian menunjukkan
bahwa tidak ada interaksi antara umur bibit dan jumlah bibit pada semua variabel yang diamati.
Jumlah bibit berpengaruh terhadap jumlah anakan. Pada umur 15 HST, jumlah bibit 3 batang
mempunyai jumlah anakan lebih rendah, tetapi pada umur 30 HST jumlah anakannya sama. Ini
menunjukkan bahwa perkembangan anakan dengan jumlah bibit 1 batang dapat lebih cepat. Jumlah bibit
3 buah mempunyai jumlah anakan yang sama dengan jumlah bibit 5 batang. Jumlah bibit tidak
berpengaruh nyata terhadap produksi GKP dan GKG. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan bibit 1
batang per rumpun dapat dianjurkan.
Umur bibit berpengaruh terhadap perkembangan anakan sampai pada umur 15 hari, tetapi
setelah itu jumlah anakan tidak nyata. Ini menunjukkan bahwa umur bibit tidak mempengaruhi jumlah
anakan.
Umur bibit tidak berpengaruh terhadap hasil baik GKP dan GKG. Ini menunjukkan bahwa
umur bibit muda (15 hari) dapat dianjurkan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa umur bibit muda
dipanen lebih awal (sekitar 1 minggu) dibandingkan dengan umur bibit 21 atau 25 hari. Umur panen
pada bibit 15 hari sekitar 105-108 hari.
Tabel 6. Ringkasan pengkajian pengaruh jumlah bibit dan umur Bibit terhadap keragaan agronomis dan produksi padi di Jenggala, Tanjung. 2001.
Sumber A15 A30 A45 Amax AP TT45 GKP GKG
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Rep ** ns ** ** ns ns *** ***
UB *** ns ** ns ns ns ns ns
JB *** ns * ** ** ns ns ns
UB * JB ns ns ns ns ns ns ns ns
Contrast:
15 VS 21 *** ns ** ns ns ns ns ns
1 VS 3 *** ns * * * ns ns ns
1 VS 5 *** ns ** ** ** ns ns ns
1 VS 3+5 *** ns ** ** ** ns ns ns
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
137
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Umur bibit
15 7.2b 21.3a 21.7a 21.7a 20.2a 85.7a 8.5a 7.6a
21 9.0a 20.0a 24.3b 20.9a 19.3a 87.3a 8.4a 7.4a
Jumlah bibit
1 4.3a 18.8a 21.5a 19.8a 18.1a 86.6a 8.5a 7.5a
3 8.6b 21.2a 23.3b 21.5b 20.0b 86.5a 8.4a 7.5a
5 11.3c 21.9a 24.2b 22.5b 21.1b 86.3a 8.4a 7.6a
CV% 13.1 19.1 7.7 7.5 9.4 2.8 6.9 7.3
ns = not significant; *, **, *** = significant pada taraf 5%, 1%;
UB = umur bibit ; JB = jumlah bibit ; A15 = anakan pada umur 15 HST ; A30 = anakan pada umur 30 HST; A45 = anakan pada umur 45 HST;
Amax = anakan maksimum; AP = anakan produktif ; TT 45 = tinggi tanamman pada umur 45 HST
Persepsi Petani
Rekaman tanggapan/kesan petani terhadap teknologi PTT Tanjung MK I 2001 disajikan pada
Tabel 7.
Tabel 7. Tanggapan petani terhadap teknologi PTT Tanjung MK I 2001.
Variabel Komentar Petani
Bibit umur muda Bisa menerima sebab lebih cepat hidup (Lambih, Kt. Tani, Rajab, Kartep);
sedangkan Nyoman takut mudah kena penyakit.
Tanam 1 batang/rumpun Lebih cepat beranak, tapi karena banyak keong resikonya banyak nyulam.
Kalau boleh 2 –3 batang per rumpun. (Kartep, Kt. Tani, Nyoman, Rajab,
Wayan Dapat, Lambih).
Tanaman tandur jajar Semua petani lebih baik, sebab hasil lebih tinggi dan tanaman lebih sehat.
Kendalanya adalah tenaga belum ada yang trampil dan alat terbatas, tentunya
biaya tanam jauh lebih tinggi.
Pupuk SP-36 Harus diberikan sebab tanaman lebih sehat dan gabah lebih berat (Ketut Tani,
Lambih, Kartep, Rajab, Nyoman).
Penggunaan LCC Dirasa masih sulit sebab penglihatan kurang bagus; sehingga persepsi terhadap
warna berbeda-beda (Wy. Dapat, Lambih, Kt. Tani, Nyoman)
Harus mencatat/menulis angka (semua petani)
Dosis pupuk Urea 50
kg/aplikasi
Dirasa kurang, sebab sulit merata sehingga dampak perubahan warna kurang
nyata (semua petani)
Alat siang Gosrok Sangat bagus, rumput bersih sekali dan tanah gembur, kesulitannya, buruh tani
terbiasa pakai kis-kis bila disuruh mencoba alat tersebut kemungkinan tidak
bersedia. (Kt. Tani, Wayan Dapat, Rajab, Kartep, Lambih).
Insektisida Convidor Sangat efektif untuk tungro/wereng hijau, walaupun awalnya ragu. (Kt. Tani,
Wy. Dapat, Kartep, Nyoman, Lambih).
Selama kegiatan PTT partisipasi petani kooperator cukup tinggi hal ini terbukti dari kehadiran
petani di lahan usahatani hampir setiap hari pagi dan sore untuk mengontrol perkembangan tanaman,
sehingga kalau terjadi masalah segera dapat dipecahkan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Hasil pengkajian PTT memberikan keuntungan rata-rata Rp 1.754.799, sedangkan teknologi
petani sebesar Rp 1.144.283,- dengan R/C ratio masing-masing 1.42 dan 1.28. Hasil riel pada teknologi
PTT sekitar 5.92 t/ha; sedangkan teknologi petani rata-rata 5.21 t/ha. Penerapan teknologi dengan
pendekatan PTT dapat meningkatkan hasil dan memiliki prospek untuk menekan biaya usahatani padi
yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan bersih petani di NTB.
Penggunaan bibit tunggal dapat mengefisienkan penggunaan benih, sedang penanaman umur
muda dapat mempercepat waktu panen. Penggunaan Bagan Warna Daun sebagai alat bantu dalam
menentukan pemupukan Urea, dapat menghemat 53 % dari total Urea yang biasa digunakan petani.
Teknologi PTT ini dapat digunakan sebagai acuan dalam rangka efisiensi input pada budidaya
padi sawah.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
138
DAFTAR PUSTAKA
Badan Litbang Pertanian. 2000. Pengkajian dan pengembangan intensifikasi padi pada lahan irigasi berdasarkan
pengelolaan tanaman dan sumberdaya terpadu. Mak. Lak. Sinkronisasi Litkaji Balit, dan BPTP.
Bogor 28-29 September 2000.
BPS NTB. 1999. Nusa Tenggara Barat Dalam Angka 1998. Biro Pusat Statistik Propinsi Nusa Tenggara Barat.
Kanwil Deptan - NTB 2000. Evaluasi program tahun 1999 dan kebijaksanaan pangan Tahun 2000. Makalah Rakor
pangan, Mataram 28 Maret 2000.
Kartaatmadja, S., A.K. Makarin and A.M.Fagi.2000. Integrated crop management : an approach for sustainable rice production. Balitpa Sukamandi.
Reijntjes, C., B. Haverkort and A.W. bayer.1992. an infroduction to low-external input and sustainable agriculture.
The Macmillan Press Ltd. London and Basingstoke.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
139
INTEGRASI TANAMAN DENGAN TERNAK (CROP-LIVESTOCK SYSTEM)
DALAM RANGKA MENUJU PERTANIAN BERKELANJUTAN
Integration of Crop and Livestock (Crop-Livestock System) to Develop Sustainable
Agriculture
Soekardono
Fakultas Peternakan Universitas Mataram
ABSTRAK
Sektor pertanian mempunyai peranan yang luas bagi pembangunan sosial-ekonomi Indonesia. Peranan
yang penting adalah (1) penyediaan pangan, bahan baku industri, dan kontribusi terhadap PDB, (2) menyediakan
kesempatan kerja dan pendapatan bagi penduduk pedesaan, dan (3) memberikan kontribusi dalam pengentasan
kemiskinan dan peningkatan status gizi. Namun, pertanian kita memiliki masalah, yaitu: (1) pemilikan lahan per petani sempit, rata-rata kurang dari 0,50 ha; (2) kualitas lahan terus menurun; (3) harga produk relatif rendah; dan (4)
sebagian besar petani masih mengandalkan usahatani padi dan palawija. Hal ini bermuara pada rendahnya
pendapatan petani. Untuk mengatasi masalah ini, integrasi tanaman dan ternak (crop-livestock system) perlu
dikembangkan dalam rangka menuju pertanian berkelanjutan. Dengan integrasi tanaman dengan ternak, suatu usahatani dapat menjadi lebih efisien karena dapat menggunakan input dalam (internal input) yang berarti
mengurangi penggunaan input luar (external input) yang harus dibeli. Dengan demikian integrasi tanaman dengan
ternak dapat digolongkan ke dalam sistem pertanian berkelanjutan dengan input luar rendah atau dikenal dengan
LEISA (Low External Input Sustainable Agriculture). Sebagai contoh, integrasi tanaman padi dengan sapi potong, dapat meningkatkan pendapatan petani hingga 100%. Sekitar 40% dari pendapatan tersebut berasal dari pupuk
organik yang dihasilkan ternak. Jadi, dalam integrasi ini, usaha tanaman padi dapat memanfaatkan pupuk kandang
sebagai pengganti sebagian pupuk buatan, sedangkan usaha sapi potong dapat memanfaatkan jerami padi sebagai
pakan.
Kata kunci: Pertanian berkelanjutan, integrasi tanaman dengan ternak, LEISA, pendapatan petani.
ABSTARCT
Agricultural sector has strategic roles in national development. Its most important roles are (1) to provide food for the growing population, raw materials for industries, and contribute to PDB, (2) to provide employment
opportunity and to improve incomes of people in the village and (3) to contribute in the alleviation of poverty and
malnutrition. However, the Indonesian agriculture has many constraints i.e. (1) land holding is very small with an
average of less than 0.50 Ha per household, (2) soil quality tends to decline with time (3) price of products relatively low and (4) most farmers still rely on rice and seasonal crops. As a result, the income of the majority of farmers is
low. To overcome this problem, integration of crop and livestock in the Crop-Livestock System needs to be
developed in the framework of sustainable development. By integrating crop and livestock, farming system can be
more efficient by optimizing the use of internal input which means minimizing the cost of using external inputs. Crop –Livestock System can thus be categorized as sustainable farming system which is known as Low External Input
Sustainable Agriculture (LEISA). As an example, integration of beef cattle in rice production system can improve
income up to 100%. Around 40% of that income comes from selling of organic fertilizers from cattle manure. In this
system, cattle manure can be used to fertilize the rice field and beef cattle can utilize rice straw as part of its feeds.
Key words: Sustainable agriculture, crop-livestock integration, LEISA, farmer’s income
PENDAHULUAN
Di suatu negara di mana tahap-tahap pembangunan sedang berlangsung, seperti di Indonesia,
sektor pertanian mempunyai peranan yang luas bagi pembangunan sosial-ekonomi. Pertama, harus
berkontribusi pada Produk Domestik Bruto (PDB) dan penyedia pangan bagi penduduk yang sedang
tumbuh serta bahan baku industri. Kedua, harus menyediakan kesempatan kerja tenaga produktif dan
pendapatan bagi penduduk pedesaan yang jumlahnya cukup besar. Ketiga, harus berperan di dalam
pengentasan kemiskinan dan perbaikan status gizi melalui struktur dan bentuk produksi dengan tetap
menjaga petani gurem dan buruh tani agar dapat memperoleh bagian benefit pertumbuhan pertanian.
Terakhir, harus mendorong berkembangnya neraca pembayaran melalui peningkatan ekspor, substitusi
impor, dan mengurangi ketergantungan ekonomi pada pasokan (makanan) luar negeri (Thorbecke dan
Pluijm, 1993).
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
140
Sumbangan sektor pertanian terhadap PDB Indonesia secara relatif cenderung menurun dari
tahun ke tahun tetapi tetap penting dalam penyediaan lapangan kerja. Selama 30 tahun terakhir kontribusi
sektor pertanian terhadap PDB menurun dari sekitar 39% menjadi sekitar 15%, namun terhadap
penyerapan tenaga kerja tidak banyak berubah. Dari sekitar 80 juta angkatan kerja, 50% diantaranya
masih bekerja pada sektor pertanian. Kondisi ini tidak banyak berubah dari 30 tahun yang lalu. Ini
menunjukkan bahwa sektor pertanian di Indonesia masih didominasi oleh pertanian rakyat dengan jumlah
petani yang begitu banyak tetapi output per unit usaha relatif kecil dibandingkan dengan pasar (Pakpahan,
2000).
Pertanian rakyat sebagian besar dilakukan oleh rumah tangga pertanian di pedesaan. Menurut
Sensus Pertanian (1993) dalam BPS (1996), dari 21,74 juta rumah tangga pertanian (RTP) di Indonesia,
20,33 juta atau 93% diantaranya tinggal di pedesaan dan sisanya sebanyak 1,4 juta atau 7% tinggal
diperkotaan. Sebagian besar (54,46%) dari RTP Indonesia tersebut berdomisili di Jawa, selebihnya
22,45% di Sumatra, 8,02% di Sulawesi, 6,84% di Bali dan Nusa Tenggara, 5,81% di Kalimantan, dan
2,42% di Maluku dan Irian Jaya. Dari 11,56 juta RTP di Jawa, 8,067 juta atau 69% menguasai lahan <
0,50 ha dan 3,497 juta lainnya atau 31% menguasai lahan > 0,50ha. Sebaliknya di luar Jawa sebagian
besar (70%) menguasai lahan lebih dari 0,50 ha dan 30% sisanya menguasai lahan < 0,50ha.
Rumah tangga pertanian di Indonesia sebagian besar merupakan rumah tangga usaha tanaman
pangan (padi dan palawija). Pada tahun 1993, rumah tangga tanaman padi dan palawija tercatat 18,094
juta, rumah tangga hortikultura 5,044 juta, rumah tangga perkebunan 6,376 juta, rumah tangga usaha
ternak sapi 3,074 juta, rumah tangga usaha kerbau 489 ribu, rumah tangga usaha kambing/domba 581
ribu, rumah tangga usaha ayam buras 480 ribu. Sebagian besar (10,157 juta atau 56%) RTP usaha
tanaman pangan tersebut berada di Jawa. Demikian pula RTP usaha ternak, usaha ternak sapi misalnya,
sekitar 61% berada di Jawa.
Data diatas menunjukkan bahwa pasokan pangan baik beras maupun pangan asal ternak sebagian
besar berasal dari Jawa. Hal ini kontradiksi dengan potensi sumberdaya lahan yang tersedia. Sawah yang
tersedia di Jawa hanya 2,388 juta ha dan telah terpakai seluruhnya, sedangkan di luar Jawa 11,617 juta ha
dan baru terpakai 4,905 juta ha atau 42 persen ( Amien, 1995a
dan Amien, 1995b dalam Karama dan
Sofyan, 1997). Dengan demikian jika luas lahan yang tersedia ini dibandingkan dengan jumlah RTP
maka kondisi usaha tanaman pangan di Jawa cukup memprihatinkan. Luas lahan yang sempit, yaitu rata-
rata kurang dari 0,50 ha, mengakibatkan pendapatan petani rendah. Dengan lahan yang sempit dan
pendapatan yang rendah, petani terpaksa mengeksploitir lahan untuk memaksimumkan pendapatannya.
Akibatnya produktivitas lahan cenderung menurun dari tahun ke tahun. Hal ini sesuai dengan apa yang
dikemukakan oleh Dillon dkk. (1999) dalam Sawit (2000), bahwa stagnasi produksi padi disebabkan oleh
beberapa faktor, (1) stagnasi dan degradasi teknologi, (2) kesuburan tanah semakin merosot, (3)
kejenuhan intensitas tanam, (4) rendemen penggilingan yang semakin menurun, (5) serangan hama dan
penyakit, dan (6) ilkim yang tidak normal. Karama dan Sofyan (1996) juga menyatakan bahwa kualitas
lahan sawah cenderung menurun. Sekitar 65% areal sawah mempunyai kandungan C-organik kurang dari
1%.
Berdasarkan konsep sistem pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture), maka pertanian di
Indonesia seperti yang digambarkan diatas dapat dikatakan bermasalah, karena secara ekonomi dan
lingkungan kurang dapat memberikan benefit yang berkelanjutan. Oleh karenanya perlu dilakukan upaya
penanggulangan, salah satunya dengan integrasi tanaman dengan ternak (crop-livestock system).
KONSEP PERTANIAN BERKELANJUTAN
Menurut Lockeretz (1988) dalam Singh et al. (1990), pertanian berkelanjutan secara luas dapat
diartikan sebagai istilah yang mencakup beberapa strategi yang ditujukan untuk memecahkan masalah-
masalah yang menyebabkan ―sakitnya‖ pertanian di Amerika Serikat dan pertanian di dunia. Masalah-
masalah tersebut adalah menurunnya produktivitas tanah karena erosi dan menurunnya kandungan nutrisi;
polusi pada permukaan air dan air tanah karena pestisida, pupuk, dan sedimen; menurunnya sumberdaya
yang tak dapat diperbarui (nonrenewable resources) di masa depan; dan rendahnya pendapatan usahatani
karena tekanan harga komoditi dan tingginya biaya produksi. Selanjutnya, ―keberlanjutan‖ mengandung
pengertian dimensi waktu dan kapasitas sistem usahatani yang berlangsung terus-menerus dalam jangka
waktu yang tak terbatas.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
141
Dua inisiatif pemerintah Amerika Serikat di dalam menindaklanjuti konsep dan pemahaman
tentang pertanian berkelanjutan tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, melalui Program Riset dan
Pendidikan untuk mempromosikan sistem usahatani berkelanjutan/input rendah (USDA, 1988) dan yang
kedua, melalui buku ―Pertanian Alternatif‖ yang mendiskusikan peranan metode usahatani alternatif di
dalam pertanian modern (National Research Council, 1989). Konsep ini diilustrasikan dalam Gb. 2.1.
yang diadopsi dari Schaller, USDA-CSRS .
Tujuan utama atau akhir dari pertanian berkelanjutan adalah membangun sistem usahatani yang
produktif dan menguntungkan, mengkonservasi basis sumberdaya alam, melindungi lingkungan, dan
meningkatkan kesehatan dan keselamatan, dan kegiatan ini harus berlangsung dalam jangka panjang.
Alat untuk mencapai tujuan ini adalah metode input rendah (low-input) dan managemen terampil (skilled
management), yaitu mencari manajemen dan penggunaan input internal (sumberdaya on-farm) yang
optimal yang memberikan tingkat produksi tanaman dan ternak berkelanjutan (sustainable). Pendekatan
ini menekankan pada budaya dan praktek manajemen tentang rotasi tanaman, daur ulang kotoran ternak,
dan konservasi dengan pengolahan tanah untuk mengontrol erosi tanah dan kehilangan nutrisi, dan
memelihara atau meningkatkan produktivitas. Sistem usahatani input rendah bertujuan meminimalisasi
penggunaan input eksternal (sumberdaya off-farm), seperti pupuk dan pestisida yang harus dibeli;
menurunkan biaya produksi; menghindari polusi permukaan air dan air tanah; mengurangi residu
pestidida dalam makanan; mengurangi resiko petani; dan meningkatkan keuntungan usahatani baik
jangka pendek maupun jangka panjang ( Parr et al., 1989, 1990; dan Parr dan Hornick, 1990) dalam
Singh et al. (1990).
PERTANIAN BERKELANJUTAN
SUATU PERTANIAN YANG …
Gambar. 2.1. Konsep Pertanian Berkelanjutan di Amerika Serikat yang Menunjukkan Tujuan dan Alat
untuk Mencapainya Melalui Metode Input Rendah dan Managemen Terampil.
Produktif dan
Menguntungkan
Mengkonservasi
Sumberdaya dan
Melindungi
Lingkungan
Meningkatkan
Kesehatan dan
Keselamatan
T
U
J
U
A
N
Metode Input-Rendah dan Managemen Terampil
Mengurangi
penggunaan input
kimia sistetis
Mengadakan
konservasi tanah
dan air
Rotasi tanaman
Kontrol Penyakit
(Pest) Biologis
Bercocok tanam
mekanik
Diversifikasi
Tanaman-Ternak
Menggunakan
Limbah Organik
Proses Alami
Menggunakan pupuk
kandang dan pupuk
hijau Bioteknologi
A
L
A
T
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
142
Alasan lain mengapa memfokuskan sistem usahatani input rendah, karena sistem input tinggi
(high-input), cepat atau lambat, kemungkinan akan gagal karena mereka tidak berlanjut (sustainable) baik
secara ekonomi maupun lingkungan dalam jangka panjang. Bagaimana mencapai tujuan tersebut
tergantung pada kreasi dan inovasi konservasi dan praktek produksi yang memberikan kepada petani
alternatif atau opsi di dalam sistem usahataninya.
Menurut Reijntjes et al. (1999), keberlanjutan dapat diartikan sebagai ―menjaga agar suatu upaya
terus berlangsung‖, ―kemampuan untuk bertahan dan menjaga agar tidak merosot‖. Dalam konteks
pertanian, keberlanjutan pada dasarnya berarti kemampuan untuk tetap produktif sekaligus tetap
mempertahankan basis sumberdaya. Misalnya, Technical Advisory Committee of the CGIAR (TAC/
CGIAR, 1988) menyatakan, ―Pertanian berkelanjutan adalah pengelolaan sumberdaya yang berhasil
untuk usaha pertanian guna membantu kebutuhan manusia yang berubah sekaligus mempertahankan atau
meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan sumberdaya alam‖.
Namun demikian, banyak orang menggunakan definisi yang lebih luas dan menilai pertanian
bisa dikatakan pertanian berkelanjutan jika mencakup hal-hal sebagai berikut:
Mantap secara ekologis, yang berarti bahwa kualitas sumberdaya alam dipertahankan dan
kemampuan agroekosistem secara keseluruhan – dari manusia, tanaman, dan hewan sampai
organisme tanah – ditingkatkan. Kedua hal ini akan terpenuhi jika tanah dikelola dan kesehatan
tanaman, hewan serta masyarakat dipertahankan melalui proses biologis (regulasi sendiri).
Sumberdaya lokal dipergunakan sedemikian rupa sehingga kehilangan unsur hara, biomassa, dan
energi bisa ditekan serendah mungkin serta mampu mencegah pencemaran. Tekanannya adalah pada
penggunaan sumberdaya yang bisa diperbarui.
Bisa berlanjut secara ekonomis, yang berarti bahwa petani bisa cukup menghasilkan untuk
pemenuhan kebutuhan dan/atau pendapatan sendiri, serta mendapatkan penghasilan yang mencukupi
untuk mengembalikan tenaga dan biaya yang dikeluarkan. Keberlanjutan ekonomi ini bisa diukur
bukan hanya dalam hal produk usahatani yang langsung namun juga dalam hal fungsi seperti
melestarikan sumberdaya alam dan meminimalkan resiko.
Adil, yang berarti bahwa sumberdaya dan kekuasaan didistribusikan sedemikian rupa sehingga
kebutuhan dasar semua anggota masyarakat terpenuhi dan hak-hak mereka dalam penggunaan lahan,
modal yang memadai, bantuan teknis serta peluang pemasaran terjamin. Semua orang memiliki
kesempatan untuk berperan serta dalam pengambilan keputusan, baik di lapangan maupun di dalam
masyarakat. Kerusuhan sosial bisa mengancam sistem sosial secara keseluruhan, termasuk sistem
pertaniannya.
Manusiawi, yang berarti bahwa semua bentuk kehidupan (tanaman, hewan, dan manusia) dihargai.
Martabat dasar semua makhluk hidup dihormati, dan hubungan serta institusi menggabungkan nilai
kemanusiaan yang mendasar, seperti kepercayaan, kejujuran, harga diri, kerja sama dan rasa sayang.
Integritas budaya dan spiritual masyarakat dijaga dipelihara.
Luwes, yang berarti bahwa masyarakat pedesaan mampu menyesuaikan diri dengan perubahan
kondisi usahatani yang berlangsung terus, misalnya pertambahan jumlah penduduk, kebijakan,
permintaan pasar, dan lain-lain. Hal ini meliputi bukan hanya pengembangan teknologi yang baru
dan sesuai, namun juga inovasi dalam arti sosial dan budaya.
INTEGRASI TANAMAN DENGAN TERNAK (CROP-LIVESTOCK SYSTEM)
DALAM SISTEM USAHATANI
Sebagian besar peternak di negara sedang berkembang adalah peternak rakyat, peternak
subsisten atau peternak backyard. Mereka berlahan sempit, jumlah ternak relatif kecil, input teknologi
rendah, terkait dengan usaha tanaman pangan dan secara umum produktivitasnya rendah
(Prawirokusumo, 1994). Kaitan antara tanaman dan ternak dalam sistem integrasi usahatani dapat
digambarkan sebagai berikut (Gb.3.1). Menurut Devendra (1993) dalam Diwyanto (2001), ada delapan
keuntungan dari penerapan integrasi usaha tanaman dan ternak (crop-livestock system), yaitu (1)
diversifikasi penggunaan sumberdaya produksi, (2) mengurangi terjadinya resiko, (3) efisiensi
penggunaan tenaga kerja, (4) efisiensi penggunaan komponen produksi, (5) mengurangi ketergantungan
energi kimia dan energi biologi serta masukan sumberdaya lainnya dari luar, (6) sistem ekologi lebih
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
143
lestari dan tidak menimbulkan polusi sehingga melindungi lingkungan hidup, (7) meningkatkan output,
dan (8) mengembangkan rumah tangga petani yang lebih stabil.
Gambar. 3.1. Hubungan tanaman dan ternak dalam sistem integrasi rumah tangga usahatani (Khan et
al., 1990 dalam Prawirokusumo, 1994)
Rangnekar, et. al. (1995) menyatakan di India usahatani terpadu (mixed farming) dilakukan oleh
sebagian besar petani dan ternak mempunyai peranan komplementer dan juga suplementer di dalam
produksi pertanian. Ternak menjadi sarana penting untuk mengatasi resiko dan daur ulang biomasa. Jadi,
ternak dapat berintegrasi secara baik dengan berbagai sistem tanaman. Devendra (1993) dalam Bruchem
dan Zemmelink (1995) menyatakan bahwa di dalam skala kecil usahatani terpadu di Asia Tenggara,
ternak ruminansia lebih berperan penting dari pada yang lain karena mampu memanfaatkan serat kasar
dari residu tanaman. Pakan ternak dari bahan ini, walaupun berkualitas rendah, sering menjadi pakan
utama terutama pada musim kering. Ternak ruminansia mempunyai kegunaan ganda. Selain
memproduksi daging dan susu, ternak dapat menghasilkan kulit untuk pakaian dan input utama usahatani,
seperti kotoran ternak. Ternak juga menjadi sumber uang tunai yang strategis dalam masa kritis setiap
tahun. Ternak juga signifikan menyumbang pendapatan rumah tangga petani sehingga membantu
mengatasi kemiskinan dan meningkatkan ketahanan pangan rumah tangga.
Beberapa hasil penelitian di Indonesia mengenai integrasi tanaman dan ternak dapat dilaporkan
sebagai berikut. Diwyanto dan Haryanto (2001) melaporkan bahwa sistem ini dapat meningkatkan
pendapatan petani hingga 100% apabila dibandingkan dengan pola tanam padi tanpa ternak. Sekitar 40%
dari pendapatan tersebut berasal dari pupuk organik yang dihasilkan oleh ternak. Teguh Prasetyo, dkk.
(2001) melaporkan hasil penelitiannya di Kabupaten Grobogan, bahwa untuk pola tanam padi – padi –
jagung, produksi jerami padi pada musim tanam I adalah 6050 kg per ha, pada musim tanam II 5280 kg
per ha, dan jerami jagung sebesar 300 kg per ha. Produksi pupuk kandang sekitar 1.413,9 kg per ekor per
Ternak Pakan Ternak
Produk Kotoran Tenaga
Produksi
Tanaman
Residu (Straw)
Limbah (Bran)
Angkutan Bahan Bakar
Pengolahan Domestik
Pasar
Susu
Daging
Telur
Tunai Beli Input Produksi
Tanaman
Pengeluaran
Rumah Tangga
Lainnya Nutrisi dan
Perlindungan Rumah
Tangga
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
144
tahun. Apabila pupuk kandang mengandung unsur N 1,65% maka produksi pupuk kandang tersebut dapat
menyumbang N sebanyak 23,32 kg. Merkens (1925), melaporkan hasil penelitiannya terhadap produksi
pupuk kandang dan rumput yang dikonsumsi ternak, yaitu dari 2 ekor sapi Bali selama 20 hari
menghasilkan 236 kg pupuk kandang dan menghabiskan rumput 600 kg, dari 2 ekor sapi Hisar
menghasilkan pupuk kandang 251 kg dan menghabiskan rumput 600 kg, dan 2 ekor kerbau menghasilkan
pupuk kandang 468,5 kg dan menghabiskan rumput 1300 kg. Dari hasil penelitian itu dapat diperkirakan
bahwa produksi pupuk kandang untuk sapi Bali adalah 2.153,5 kg per ekor per tahun atau 5,9 kg per ekor
per hari, untuk sapi Hisar adalah 2.290,4 kg per ekor per tahun atau 6,3 kg per ekor per hari, dan untuk
kerbau adalah 4.275 kg per ekor per tahun atau 11,7 kg per ekor per hari.
INTEGRASI TANAMAN DENGAN TERNAK MENUJU PERTANIAN BERKELANJUTAN DI
INDONESIA
Tujuan akhir dari usahatani adalah kesejahteraan keluarga petani yang berkelanjutan.
Kesejahteraan ini terutama ditentukan oleh besarnya pendapatan usahatani. Disamping dari usahatani,
pendapatan juga dapat diperoleh dari usaha di luar usahatani. Sebagian dari pendapatan keluarga petani
ini digunakan untuk modal usahataninya. Usahatani yang dapat memberikan pendapatan secara
berkelanjutan adalah usahatani yang menggunakan prinsip-prinsip pertanian berkelanjutan.
Sesuai pendapat Parr (1990) dan Reijntjes et al. (1999), indikator penting dalam pertanian
berkelanjutan adalah indikator ekonomis dan ekologis. Indikator ekonomis meliputi produksi dan
pendapatan usahatani yang cukup, dapat melestarikan sumberdaya alam, dan meminimalkan resiko.
Indikator ekologis meliputi kualitas sumberdaya alam dan meningkatnya kemampuan agroekosistem
secara keseluruhan.
Sebagaimana telah dibahas pada bab-bab diatas, hakekat masalah pertanian di Indonesia adalah:
(1) penguasaan lahan per petani kecil, rata-rata kurang dari 0,50 ha, sehingga tidak efisien, (2) kualitas
lahan cenderung menurun akibat tingginya intensitas tanam dan tidak disertai upaya pelestarian lahan
yang memadai, (3) harga produk relatif rendah dan fluktuatif dibanding harga input luar, (4) petani lebih
banyak mengandalkan usahatani padi dan palawija sebagai sumber pendapatan utama. Masalah-masalah
ini menyebabkan pendapatan keluarga petani dari usahatani rendah dan cenderung menurun (tidak stabil)
sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari secara layak. Untuk menutupi kekurangan
tersebut, keluarga petani umumnya berusaha bekerja di luar usahatani seperti industri rumah tangga,
berdagang kecil-kecilan, buruh bangunan, tukang bangunan, dan sebagainya. Namun, dalam pekerjaan di
luar usahatani ini mereka juga mengalami kendala diantaranya adalah (1) kesempatan kerja yang terbatas,
(2) tingkat upah relatif rendah, (3) produktivitas di bidang industri rumah tangga rendah, (4) keterbatasan
modal untuk usaha dagang, dan (5) pengetahuan dan ketrampilan kerja di bidang luar usahatani terbatas.
Oleh karena itu, salah satu alternatif untuk mengatasi masalah yang dihadapi rumah tangga
petani di Indonesia dalam rangka membangun pertanian berkelanjutan adalah menggalakkan sistem
pertanian terpadu, yaitu integrasi tanaman dengan ternak, baik di lahan kering maupun di lahan sawah.
Untuk lahan sawah, integrasi usaha tanaman padi dan ternak sapi potong sangat relevan diterapkan.
Sistem integrasi ini akan meningkatkan efisiensi usahatani karena bisa memanfaatkan input dalam
(internal input) yang berarti akan mengurangi penggunaan input luar (external input) yang harus dibeli.
Usaha ternak sapi dapat menghasilkan pupuk kandang yang dapat menjadi input pada usaha tanaman
padi. Sebaliknya, usaha tanaman padi akan menghasilkan jerami padi dan dedak yang dapat menjadi
pakan utama ternak sapi. Penggunaan pupuk kandang, sesuai pendapat Singh (2000) diatas, merupakan
salah satu komponen alat untuk mencapai pertanian berkelanjutan, karena dapat memperbaiki struktur
tanah. Hal yang lebih penting dari sistem integrasi ini adalah bahwa usaha ternak sapi potong dapat
menambah pendapatan rumah tangga petani, bahkan bisa menjadi sumber pendapatan baru, tanpa harus
bersaing dalam penggunaan lahan. Disamping itu ternak sapi dapat berfungsi sebagai tabungan, yang
dapat dengan mudah diuangkan pada waktu diperlukan, termasuk apabila terjadi kegagalan panen usaha
tanamannya. Dengan demikian, usaha ternak dapat berperan dalam ketahanan ekonomi rumah tangga
petani, seperti yang dinyatakan oleh Khan et al. (1990) dalam Prawirokusumo (1994).
Pada lahan kering, integrasi usaha tanaman dan ternak mempunyai peranan lebih penting dalam
membangun pertanian berkelanjutan dibanding pada lahan sawah. Hal ini, pertama, karena pendapatan
petani lahan kering lebih kecil dari pada petani lahan sawah, kira-kira 1 ha sawah setara dengan 1,5 ha
lahan kering dan kedua, kualitas lahan kering lebih rendah dari pada lahan sawah, terutama karena
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
145
rendahnya kandungan unsur hara P. Menurut Wigena dkk. (1994) bahwa pengelolaan pupuk P yang
disertai dengan pemberian bahan organik berupa pupuk kandang, sisa panen ataupun pangkasan tanaman
pagar pada sistem alley cropping pada tanah Podsolik Merah Kuning di Jambi menunjukkan peningkatan
efisiensi pemupukan yang baik ( Tabel 4.1).
Tabel 4.1. Pengaruh pengelolaan pupuk P pada beberapa dosis bahan organik terhadap hasil jagung pada tanah Podsolik Merah Kuning di Jambi.
Bahan Organik
(ton/ha)
Hasil jagung pipilan kering (ton/ha)
0 (kgP/ha) 20 (kgP/ha) 40 (kaP/ha) 60 (kgP/ha)
0 1.30 2.10 2.27 2.25
2.5 1.50 2.15 2.50 2.38
5.0 1.55 2.31 2.65 2.50
7.5 1.70 2.50 2.80 2.68
10.0 1.60 2.35 2.70 2.56
Sumber : Rochayati et al., 1988.
Hasil jagung tertinggi diperoleh pada pemberian 40 kg P dan 7.5 ton bahan organik per ha yaitu
sebanyak 2.8 ton jagung pipilan kering per ha dan terendah pada perlakuan kontrol (tanpa P dan bahan
organik yaitu sebanyak 1.3 ton jagung pipilan kering per ha).
Jadi, integrasi tanaman dan ternak dalam sistem usahatani dapat digolongkan ke dalam pertanian
berkelanjutan dengan input luar rendah (LEISA = Low External Input Sustainable Agriculture). LEISA
merupakan pilihan yang layak bagi banyak petani di Indonesia, lebih-lebih dalam kondisi sekarang di
mana harga-harga input luar seperti pupuk dan pestisida cenderung terus meningkat tanpa diimbangi
kenaikan harga produk. Menurut Rejntjes (1999) LEISA mengacu pada bentuk-bentuk pertanian sebagai
berikut:
Berusaha mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lokal yang ada dengan mengkombinasikan
berbagai macam komponen sistem usahatani, yaitu tanaman, hewan, tanah, air, iklim, dan manusia
sehingga saling melengkapi dan memberikan efek sinergi yang paling besar.
Berusaha mencari cara pemanfaatan input luar hanya bila diperlukan untuk melengkapi unsur-unsur
yang kurang dalam ekosistem dan meningkatkan sumberdaya biologi, fisik, dan manusia. Dalam
memanfaatkan input luar, perhatian utama diberikan pada maksimalisasi daur ulang dan minimalisasi
kerusakan lingkungan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Dari bahasan diatas, dapat disimpulkan hal-hal yang berkaitan dengan peranan integrasi tanaman
dengan ternak dalam sistem pertanian berkelanjutan di Indonesia, sebagai berikut:
1) Mengingat begitu pentingnya sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi nasional, maka
pembangunan pertanian harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip pertanian berkelanjutan.
2) Oleh karena pertanian di Indonesia didominasi oleh pertanian rakyat, maka pembangunan pertanian
harus ditujukan untuk peningkatkan kesejahteraan rumah tangga petani di pedesaan melalui
pengelolaan usahatani yang produktif dan menguntungkan serta dibarengi dengan upaya konservasi
sumberdaya lahan dan pelestarian lingkungan. Program yang sesuai dengan tujuan ini adalah LEISA.
3) Integrasi usaha tanaman dan ternak adalah alternatif yang sangat relevan untuk diterapkan sebagai
sistem usahatani berwawasan pertanian berkelanjutan. Integrasi tanaman dengan ternak selain dapat
meningkatkan pendapatan usahatani, sekaligus dapat memperbaiki struktur lahan melalui
penggunaan pupuk kandang. Untuk lahan sawah, usaha ternak sapi potong adalah pilihan terbaik
untuk diintegrasikan dengan usaha tanaman padi. Untuk lahan kering, usaha ternak sapi atau
kambing/domba dapat diintegrasikan dengan tanaman pangan atau perkebunan.
4) Mengingat keterbatasan sumberdaya petani, pemerintah perlu memberikan kebijakan-kebijakan yang
dapat memberdayakan petani. Kebijakan-kebijakan yang diperlukan antara lain, kebijakan kredit
murah, mudah, dan tepat waktu; kebijakan harga input dan output; teknologi; penyuluhan; dan
pemasaran.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
146
DAFTAR PUSTAKA
Bruchem, J.V. dan G. Zemmelink. 1995. Towards Sustainable Ruminant Livestock Production in Tropics
Opportunities and Limitations of Rice Straw Based Systems. Buletin Peternakan. Edisi Spesial, Fakultas
Peternakan, UGM, Yogyakarta; h: 39 – 51.
BPS. 1996. Sensus Pertanian 1993: Ringkasan Hasil. BPS-Jakarta.
Dillon, J.L. dan B.J. Hardaker. 1993. Farm Management Research For Small Farmer Development. F.A.O., Roma.
Dillon dkk. (1999) dalam Sawit (2000). Arah Kebijakan Distribusi/Perdagangan Beras Dalam mendukung Ketahanan
Pangan: Perdagangan Dalam Negeri. Pembangunan Pertanian Ke Depan: Bunga Rampai Pemikiran Menuju Ketahanan Pangan. Editor: Rudi Wibowo, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta; h: 221- 242.
Diwyanto, K. 2001. Model Perencanaan Terpadu: Integrasi Tanaman-ternak (Crop-Livestock System). Makalah
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Auditorium Balai Penelitian Veteriner Bogor, 17-18
September 2001.
Karama, A. S. dan A. Sofyan. 1997. Strategi Pemanfaatan Sumberdaya Pertanian Untuk Meningkatkan Daya Saing
Pertanian. MEMBANGUN KEMANDIRIAN DAN DAYA SAING PERTANIAN NASIONAL DALAM
MENGHADAPI ERA INDUSTRIALISASI DAN PERDAGANGAN BEBAS. Prosiding Konferensi Nasional XII
PERHEPI, PERHEPI, Jakarta ; h 57-73.
Merkens, J. 1925. Bijdrage Tot De Kennis Van Den Karbaow En De Karbowenteelt In Nederlandsch Oost-Indie.
Pengembangan Peternakan Sapi dan Kerbau di Indonesia. SDE 97, LBN L5, LIPI, Desember 1983; h: 25-
188.
Napitupulu, T. E. M. 2000. Pembangunan Pertanian dan Pembangunan Agroindustri. Pembangunan Pertanian Ke Depan: Bunga Rampai Pemikiran Menuju Ketahanan Pangan. Editor: Rudi Wibowo, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta; h: 51-67.
Pakpahan, A. 2000. Membangun Pertanian Indonesia Masa Depan. Pembangunan Pertanian Ke Depan: Bunga
Rampai Pemikiran Menuju Ketahanan Pangan. Editor: Rudi Wibowo, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta; h: 69-81.
Parr, J.F., B.A. Stewart, S.B. Hornick, dan R.P. Singh. 1990. Improving the Sustainability of Dryland Farming
System: A Global Perspective. Dalam Singh, R.P., J.F. Parr, dan B.A. Stewart. Dryland Agriculture:
Strategies for Sustainability. Advances in Soil Science, Volume 13, Springer-Verlag New York Inc., hal. 1-8.
Rangnekar, D.V., M.S. Sharma dan O.P. Gahlot. 1995. Towards Sustainable Ruminant Livestock Production in
Tropics Opportunities and Limitations of Rice Straw Based Systems. Buletin Peternakan. Edisi Spesial,
Fakultas Peternakan,UGM, Yogyakarta; h: 33-37.
Reijntjes, C., B. Haverkort dan A. Waters-Bayer. 1999. Pertanian Masa Depan: Pengantar untuk Pertanian
Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah. Edisi Indonesia, Terjemahan Sukoco, Penerbit Kanisius,
Yogyakarta.
Sri Hartoyo. 2000. Arah Kebijakan Produksi Beras Untuk Mencapai Ketahanan Pangan Dilihat Dari Aspek Sosial Ekonomi/Kesejahteraan Petani. Pembangunan Pertanian Ke Depan: Bunga Rampai Pemikiran Menuju
Ketahanan Pangan. Editor: Rudi Wibowo, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta; h: 173-187.
Teguh Prasetyo, Joko Handoyo, Joko Pramono, dan Cahyati Setiani. 2001. Integrasi Tanaman-Ternak Pada Sistem
Usahatani Di Lahan Irigasi. Makalah Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Auditorium Balai Penelitian Veteriner Bogor, 17-18 September 2001.
Thorbecke, E. dan T.v.d. Pluijm. 1993. RURAL INDONSIA: Socio-Economic Development In A Changing
Environment. International Fund for Agricultural Development by New York University Press.
Wigena, I G P., Sugeng, W., dan Joko, P. 1994. Kendala dan Kemungkinan Pemecahannya Dalam Mempertahankan dan Meningkatkan Kesuburan Lahan Kering Marginal. Makalah dalam rangka Penanganan Lahan Kering
Marginal Melalui Pola Usahatani Terpadu, Kerjasama Tim REL Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian dengan Dinas-Dinas Pertanian Propinsi Jambi dengan Balai Informasi Pertanian Jambi.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
147
Lampiran 1. Luas Sawah dan Bukan Sawah di Indonesia tahun 2000
Wilayah Sawah
(ha)
Non Sawah
(ha)
Jumlah
(ha)
Jawa 2.583.528 6.248.136 8.831.664
Luar Jawa 2.285.249 54.441.692 56.726.941
Indonesia 4.486.777 60.689.828 65.176.605
Sumber: Katalog BPS : 5232, BPS-Jakarta (2000)
Lampiran 2. Jumlah RTP dan Rata-Rata Luas Pemilikan Lahan di Jawa dan Luar Jawa.
Item 1963 1973 1983 1993
Jawa
Jumlah RTP (juta)
Luas Lahan (ha/RTP)
7,9
0,67
8,6
0,64
10,1
0,63
11,564
0,47
Luar Jawa
Jumlah RTP (juta)
Luas Lahan (ha/RTP)
4,2
1,72
5,7
1,57
7,5
1,69
9,598
1,29
Indonesia
Jumlah RTP (juta) Luas Lahan (ha/RTP)
12,1 1,03
14,3 0,99
17,6 1,08
21,162 0,83
Sumber: Sensus Pertanian 1963, 1973, 1983, 1993.
Lampiran 3. Banyaknya Rumah Tangga PPL Menurut Luas Lahan Yang Dikuasai, 1993
Wilayah <0,50 ha >0,50ha Jumlah
Jawa 8.067 3.497 11.564
Luar Jawa 2.839 6.759 9.598
Indonesia 10.906 10.256 21.162
Sumber: SP’93 dalam BPS (1993)
Catatan: RTP = rumah tangga pertanian
PPL = petani pengguna lahan
DISKUSI
Pertanyaan: 1. Produksi kotoran dari sapi untk dapat menghasilkan pupuk kandang
2. Apakah CLS sama dengan tiga strata
3. Bagaimana mengembalikan integrasi di pula Lombok
Jawaban:
1. Seekor sapi dapat menghasilkan 1.5 ton/ha
2. CLS mirip dengan tiga strata yang penting dapat endukung pakan ternak dan kotoraqn ternak dapat
dimanfaatkan oleh tanaman
3. Integrasi tanaman ternak di Lombok sudah ada, tetapi perlu perbaikan manajemen
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
148
OPTIMALISASI PENGGUNAAN DAUN TURI (Sesbania grandiflora)
SEBAGAI PAKAN TERNAK KAMBING
OPTIMIZING THE USE OF Sesbania grandiflora AS GOAT FEED
Dahlanuddin1)
, L. A. Zaenuri1)
, Mashur2)
, Tanda Panjaitan2)
dan Muzani2)
1)Fakultas Peternakan Universitas Mataram 2) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) NTB
ABSTRAK
Karena peternakan kambing di Indonesia umumnya adalah peternakan tradisional dengan skala kecil,
tujuan beternak kambing lebih sebagai tabungan dibandingkan untuk mendapatkan profit. Pada kondisi seperti ini,
teknologi pakan yang membutuhkan biaya dan / atau input dari luar sistim usahatani sulit diterapkan. Oleh sebab itu, upaya meningkatkan produktivitas ternak kambing melalui perbaikan manajemen pakan sebaiknya didasarkan pada
pengembangan manajemen pakan yang sudah ada di masyarakat. Salah satu sistim yang sudah diterapkan oleh
masyarakat, terutama di bagian selatan Pulau Lombok, adalah penggunaan daun turi sebagai pakan kambing. Turi,
yang umumnya ditanam di pematang sawah, digemari masyarakat setempat karena tanaman ini bersifat multi fungsi (daun sebagai pakan ternak dan sayuran, batang untuk bahan bangunan) dan tidak mengurangi, bahkan meningkatkan
kesuburan tanah. Hasil dari berbagai penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa penggunaan daun turi
dapat meningkatkan produktivitas ternak kambing secara signifikan. Pengembangan dan pemanfaatan turi untuk
meningkatkan produksi ternak kambing yang sudah memasyarakat di Lombok Selatan perlu diperluas ke daerah lain. Untuk meningkatkan efisiensi penggunaannya, daun turi sebaiknya diberikan pada saat kebutuhan zat-zat makanan
meningkat secara drastis, terutama pada akhir kebuntingan dan awal laktasi. Hal ini dimaksudkan agar angka
kematian anak dapat dicegah dan pertumbuhan anak lebih cepat.
Kata Kunci: Daun turi, Kambing, Bunting,Laktasi, Pertambahan berat badan
ABSTRACT
Because the small-scale traditional goat production system in Indonesia is not profit oriented, feed
technologies that rely on external inputs are difficult to be adopted by the farmers. Consequently, improving goat productivity should be focused on the development of existing and community based feeding management systems.
One of the existing systems which is has long been applied, especially in the southern part of Lombok, is the
intensive use of Sesbania grandiflora as goat feed. Sesbania, which is commonly planted on the rice field bunds, is
used by farmers because of its multi-functions and its ability to conserve and even improve soil fertility. More importantly, results of various studies have proved that sesbania can significantly improve goat productivity. The
development and the use of sesbania as goat feed in South Lombok should be extended to other regions to improve
goat production. To improve the efficiency of feed utilization, feeding sesbania should be prioritized to goats at the
stages of late gestation and early lactation to minimize kid mortality and to improve growth rate of the kids.
Key words: Sesbania grandiflora, Goats, Pregnancy, Lactation, Growth
PENDAHULUAN
Sebagian besar populasi kambing di dunia dimiliki oleh peternak tradisional dengan skala kecil
(small holder farming) (Sibanda et al., 1999), dan produktivitasnya relatif rendah, yang ditunjukkan oleh
tingginya angka kematian dan rendahnya pertambahan berat badan, berat sapih dan berat dewasa
(Johnson et al., (1986). Hasil survey yang dilaksanakan di Pulau Lombok (Dahlanuddin, 2001)
menunjukkan bahwa pemilikan ternak kambing sangat kecil, yaitu 4 – 5 ekor ternak per KK. Sebagian
besar peternak kambing yang disurvey tidak memiliki lahan, sedangkan sisanya sebagian besar memiliki
lahan antara 0.1 – 0.5 Ha.
Dengan terbatasnya sumberdaya (modal dan lahan) yang dimiliki peternak, maka tidak
mengherankan kalau skala usaha dan produktivitas ternak kambing menjadi rendah. Peternakan kambing
seperti ini tidak berorientasi pada profit namun lebih berorientasi pada tabungan untuk mendapatkan uang
tunai pada saat diperlukan. Pada kondisi seperti ini, peternak akan terlebih dahulu memikirkan resiko
yang akan ditimbulkan daripada keuntungan yang akan diperoleh dari penerapan teknologi yang
ditawarkan. Atas dasar pemikiran ini, upaya Peningkatan produktivitas ternak kambing melalui
perbaikan manajemen pakan sebaiknya didasarkan pada pengembangan manajemen pakan yang sudah
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
149
ada di masyarakat. Salah satu sistim yang sudah diterapkan oleh masyarakat, terutama di bagian selatan
Pulau Lombok, adalah penggunaan daun turi sebagai pakan kambing. Turi, yang umumnya ditanam di
pematang sawah, digemari masyarakat setempat karena tanaman ini bersifat multi fungsi (daun sebagai
pakan ternak dan sayuran, batang untuk bahan bangunan) dan tidak mengurangi, bahkan meningkatkan
kesuburan tanah.
Dalam makalah ini disajikan hasil beberapa penelitian yang dilakukan di Pulau Lombok sejak
tahun 1998 tentang peranan daun turi dalam sistim peternakan kambing, evaluasi nilai nutrisi dan
pengaruh pemberian daun turi terhadap produktivitas ternak kambing. Hasil-hasil penelitian tersebut
didiskusikan untuk meningkatkan efisiensi manajemen pakan yang sudah ada untuk selanjutnya
dikembalikan kepada peternak dan dikembangkan dalam skala yang lebih luas. Hal ini dimaksudkan
untuk memberikan penekanan khusus pada potensi pakan lokal dalam rangka program peningkatan
produktivitas secara strategis dan berkelanjutan.
PENGGUNAAN DAUN TURI SEBAGAI PAKAN KAMBING
Di Indonesia, kualitas pakan ternak ruminansia sangat rendah, dimana ternak ruminansia
umumnya diberikan rumput lapangan dan limbah pertanian sebagai komponen utama ransumnya (Bakrie,
1996). Upaya memanfaatkan limbah pertanian dengan penerapan teknologi pakan untuk meningkatkan
kualitasnya telah banyak dilakukan, namun tingkat adopsi dari masyarakat sangat rendah. Sebagai contoh,
teknologi pengawetan dan peningkatan kualitas pakan yang berasal limbah pertanian melalui amoniasi
atau suplementasi dengan urea dan konsentrat yang kaya protein yang sudah diperkenalkan sejak tahun
1980an belum banyak diterapkan oleh petani pada sistim pemeliharaan tradisional.
Berdasarkan hasil survey komposisi botani pakan yang diberikan kepada ternak kambing di
Pulau Lombok pada musim kemarau dan musim hujan tahun 1998 (Tabel 1 dan 2), tidak ada satupun
peternak kambing yang menerapkan teknologi ini. Hal ini mungkin disebabkan antara lain karena
teknologi yang ditawarkan tidak didasarkan atas kondisi dan kebiasaan peternak serta membutuhkan input
dari luar sistim seperti urea dan konsentrat. Dengan pemilikan ternak kambing yang sangat kecil dan
dipelihara secara tradisional, petani lebih cenderung mengandalkan bahan pakan yang disukai oleh
ternaknya tanpa mau mengambil resiko untuk mencoba memanfaatkan jerami padi atau limbah yang lain
yang harus diolah terlebih dahulu. Pengolahan tersebut disamping membutuhkan biaya juga waktu yang
bisa menggangu kegiatan lain.
Pada tabel 1 dan 2 nampak bahwa pakan yang umum diberikan pada ternak kambing adalah
campuran daun-daunan seperti turi dan semak dengan rumput lapangan. Banyak peternak memberikan
daun-daunan dengan kandungan protein tinggi seperti turi dan leguminosa pohon lainnya sebagai pakan
tunggal. Meskipun demikian, sebagian peternak memberikan rumput sebagai satu-satunya komponen
ransum (pakan tunggal), sehingga pada saat-saat tertentu, ternak mendapatkan pakan yang kandungan
proteinnya melebihi kebutuhan namun disaat lain ternak kekurangan protein.
Tabel 1. Pakan yang umum diberikan pada ternak kambing pada musim kemarau 1998 di Pulau Lombok 1998;
angka menunjukkan jumlah observasi (Dahlanuddin, 2001).
Jenis pakan Sebagai pakan tunggal Sebagai komponen
ransum Total
1 2 3 4
Daun turi 310 208 518
Rumput lapangan 101 169 270
Daun lamtoro 43 60 103
Daun ubi jalar 31 69 100
Daun banten 4 53 57
Daun gamal 15 32 47
Semak 3 38 41
Daun nangka 3 27 30
Jerami kacang tanah 9 18 27
Daun waru 3 22 25
Daun pisang 5 15 20
Kangkung 2 18 20
Daun komak 2 14 16
Jerami kacang hijau 9 6 15
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
150
1 2 3 4
Daun maja 0 14 14
Daun Gasingan 2 10 12
Daun kacang panjang 1 10 11
Centrosema spp 0 11 11
Jerami kacang kedelai 0 10 10
Kulit singkong 1 8 9
Daun Randu 0 8 8
Dedak padi 0 8 8
King grass 3 4 7
Kulit pisang 0 7 7
Jerami jagung 0 5 5
Daun are 2 3 5
Daun Bikan 0 5 5
Total 549 852 1401
Tabel 2. Pakan yang umum diberikan pada ternak kambing pada musim hujan 1998 di Pulau Lombok 1998; angka
menunjukkan jumlah observasi (Dahlanuddin, 2001).
Jenis pakan Sebagai pakan tunggal Sebagai komponen ransum Total
Rumput lapangan 69 208 277
Daun turi 43 230 273
Daun banten 1 86 87
Semak 0 72 72
Daun nangka 0 65 65
Daun lamtoro 1 62 63
Daun waru 0 45 45
Daun pisang 0 30 30
Daun gamal 0 23 23
Daun randu 0 20 20
Daun dadap 0 18 18
Daun singkong 0 17 17
Kangkung 0 14 14
Daun Maja 0 6 12
Jerami jagung 0 11 11
Daun ubi jalar 0 11 11
Daun Ketapang 0 10 10
Jerami kacang tanah 2 8 10
Daun komak 1 4 8
Daun mangga 0 7 7
Jerami kacang kedelai 0 7 7
Daun Kesambi 0 6 6
King grass 0 5 5
Daun kacang panjang 0 5 5
Jerami kacang hijau 0 5 5
Daun jarak 0 4 4
Daun Are 0 4 4
Daun Ancak 0 3 3
Daun Beringin 0 3 3
Daun Oles 0 3 3
Jerami padi 0 3 3
Kulit jagung 0 2 2
Daun Gatep 0 2 2
Daun Seropan 0 2 2
Kulit singkong 0 2 2
Daun Kelor 0 1 1
Daun asam 0 1 1
Daun Beluntas 0 1 1
Daun Jambu 0 1 1
Dedak padi 0 1 1
Total 117 1017 1134
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
151
NILAI NUTRISI DAUN TURI
Hasil evaluasi secara in vivo dari 10 jenis pakan yang paling sering diberikan pada ternak
kambing menunjukkan bahwa turi memberikan suplai nutrien (protein mikroba dan energi metabolis
(ME) yang paling tinggi, diikuti oleh gamal dan lamtoro (Tabel 3).
Tabel 3. Konsumsi bahan kering (BK), kecernaan bahan kering, suplai protein mikroba dan konsumsi energi (ME) 10 jenis pakan yang diberikan sebagai pakan tunggal pada ternak kambing (Dahlanuddin et al, 2001).
Jenis Hijauan Konsumsi BK
(g/ekor/hari)
Kecernaan BK
(%)
Suplai Prot Mikroba
(mg/W 0.75)
Konsumsi ME
(MJ/ekor/hari)
Daun Turi 1070 86.0 78 5.4 979.3 222.8c 11.4 0.60
Daun Gamal 859 81.0 73 1.9 835.5 298.6bc 8.5 0.77
Daun Lamtoro 826 15.7 68 2.6 824.3 89.7bc 7.5 0.39
Daun Dadap 496 30.3 47 6.5 640.1 135.5abc 2.8 0.58
Daun Waru 485 114.2 48 18.2 637.1 24.7bc 3.1 1.69
Daun Singkong 375 74.3 49 16.7 549.8 141.7ab 2.4 1.26
Rumput lapangan 692 56.0 72 4.2 533.0 122.0ab 6.7 0.71
Daun nangka 842 62.3 62 6.6 530.9 68.8ab 6.9 1.35
Daun pisang 376 24.4 58 5.3 380.5 97.3ab 2.8 0.19
Daun Banten 552 26.2 64 3.5 274.6 85.3a 4.6 0.42
Superskrip yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05)
PENGARUH PEMBERIAN DAUN TURI TERHADAP PRODUKTIVITAS
Hasil penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian berbagai hijauan yang
umum diberikan pada kambing di P. Lombok dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2 dibawah ini. Kambing
yang diberikan rumput lapangan sebagai satu-satunya komponen ransum yang diberikan secara ad libitum
hanya dapat mempertahankan atau bahkan kehilangan berat badan, sedangkan yang diberikan campuran
rumput dan daun-daunan dapat meningkatkan berat badan sekitar 25 - 38 g/hari. Kambing yang diberikan
daun turi sebagai pakan tunggal mampu meningkatkan berat badannya rata-rata 86 g/hari (Gambar 1).
Hasil penelitian berikutnya (Gambar 2), menunjukkan bahwa pertambahan berat badan kambing yang
diberikan 50% turi dan 50% lamtoro mencapai 106 g/hari. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa
daun turi dan lamtoro dapat meningkatkan berat badan kambing lebih tinggi dari rata-rata pertambahan
berat badan kambing yang umum diamati di Indonesia seperti yang dilaporkan oleh Johnson dan
Djajanegara (1989).
Gambar 1. Pertambahan berat badan kambing jantan yang diberikan berbagai jenis hijauan: A = 100%
Rumput, B = 100% turi, C = 50% rumput + 50% turi, D = 33.3% rumput + 33.3% lamtoro
+ 33.3% banten, E = 3 3.3% turi, 3.3% lamtoro + 33.3% banten, F = 25% rumput +
25%turi + 25% lamtoro + 25% banten (Dahlanuddin, 2000a)
-1
0
1
2
3
4
5
6
7
8
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Weeks
Wei
ght C
hang
e (K
g)
A
B
C
D
E
F
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
152
Gambar 2. Pertambahan berat badan kambing jantan yang diberikan berbagai jenis hijauan: A = 100%
lamtoro, B = 100% gamal, C = 50% lamtoro + 50% gamal, D = 50% lamtoro + 50% turi, E
= 33.3% lamtoro, 33.3% gamal + 33.3% waru, F = 3 3.3% gamal, 3.3% waru + 33.3%
dadap (Dahlanuddin, 2000b)
Hasil penelitian yang sedang dilaksanakan (Dahlanuddin, 2002) menunjukkan bahwa pemberian
kombinasi daun turi, gamal dan lamtoro (masing-masing 1/3 bagian) pada akhir kebuntingan dan awal
laktasi (sekitar 6 minggu sebelum melahirkan dan 6 minggu sesudah melahirkan) dapat mempercepat
pertumbuhan anak. Sebaliknya, pemberian rumput lapangan selama kebuntingan dan laktasi menyebab
kan lambatnya pertumbuhan anak dan tingginya resiko kematian anak yang baru lahir. Hal ini disebab
kan oleh tidak tercukupinya kebutuhan nutrien untuk pertumbuhan fetus terutama pada 1/3 terakhir
kebuntingan dan rendahnya produksi susu pada masa laktasi (lihat Gambar 3).
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
7000
8000
0 1 2 3 4 5 6 7 8
Age (weeks)
Weig
ht
(g)
A B C
Gambar 3. Pengaruh suplementasi dengan leguminosa pohon (A = tanpa suplemen / 100% rumput, B =
50% rumput + 50% (turi + lamtoro + gamal) dan C = 100% (turi + lamtoro + gamal) pada
induk kambing pada akhir kebuntingan dan awal laktasi terhadap laju pertumbuhan anak
(Dahlanuddin, 2002).
-1
0
1
2
3
4
5
6
7
8
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Weeks
Wei
ght C
hang
e (g
/d) A
B
C
D
E
F
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
153
PRODUKTIVITAS TANAMAN TURI
Salah satu kendala penggunaan daun turi sebagai pakan ternak adalah rendahnya produksi
biomass dan tidak tahan terhadap pemangkasan. Akan tetapi, turi relatif tahan terhadap kekeringan
sehingga sangat bermanfaat sebagai sumber pakan kambing pada musim kemarau.
Pada musim kemarau, dimana rumput sangat sulit didapatkan, turi masih tumbuh subur dan
berproduksi dengan baik. Hasil sampling yang dilakukan secara partisipatif oleh peternak responden
dalam periode ahir Oktober sampai awal Nopember 2002, diperoleh rata-rata produksi daun turi sebesar
1.7 kg per pohon. Karena umur turi yang bervariasi maka produksi per pohon berkisar antara 0.2 kg
sampai 5.5 kg. Pemetikan daun turi tidak dilakukan secara total, namun dipetik sebagian besar daunnya
dan menyisakan daun pada pucuknya agar pohon turi tidak mati.
Tebel 4. Produktivitas turi yang ditanam di pematang sawah pada musim kemarau (Dahlanuddin dkk, 2002).
No.
Sampel
Jlh turi yang dipetik
(pohon)
Total daun turi yang dihasilkan
(kg) Rata-rata produksi (kg/pohon)
1 8 15 1.88
2 36 21 0.58
3 50 22 0.44
4 21 11 0.52
5 4 10 2.50
6 4 12 3.00
7 5 19 3.80
8 21 15 0.71
9 41 8 0.20
10 15 10 0.67
11 12 8 0.67
12 11 19 1.73
13 12 17 1.42
14 40 15 0.38
15 18 28 1.56
16 15 32 2.13
17 2 11 5.50
18 20 50 2.50
19 15 25 1.67
20 4 7.5 1.88
Rata-rata 1.69
Std deviasi 1.33
PENGATURAN PEMBERIAN PAKAN SESUAI DENGAN STATUS FISIOLOGI TERNAK
Untuk meningkatkan efisiensi penggunaan daun turi dan produktivitas ternak maka perlu diatur
proporsi daun turi dalam ransum sesuai dengan status fisiologis ternak.
Tabel 5. Rekomendasi pemberian daun turi pada ternak kambing dengan kondisi fisiologis berbeda dan perkiraan
jumlah maksimum (segar) yang dibutuhkan seekor kambing per hari.
Katagori ternak Perkiraan BB Kons BK % Turi Jlh Turi / ekor
kg pohon
Kambing dewasa (umur 1 thn keatas, induk tdk
bunting/laktasi) 20 0.6 0 - 25 0.6 0.35
Pejantan dan induk masa kawin (sekitar 2 minggu
sebelum kawin) 20 0.6 50 - 100 2.4 1.41
Induk awal kebuntingan (sampai 3.5 bulan setelah kawin) 22 0.66 10 -30 0.79 0.46
Induk bunting tua dan laktasi (1.5 bln sebelum dan
setelah melahirkan) 26 0.78 50 - 100 3.12 1.83
Anak lepas sapih (3 bulan keatas) 10 0.3 50 - 100 1.2 0.712
Penggemukan, pejantan tidak kawin 20 0.6 25 - 50 1.2 0.71
Asumsi : Prod. Turi = 1.7 kg per pohon, Keb. BK sekitar 3% dari berat badan
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
154
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan dan kebiasaan sebagian peternak responden
yang memberikan turi sampai dengan 100% dari total ransum maka dapat diusulkan suatu rekomendasi
penggunaan daun turi pada ternak kambing seperti tertera pada tabel 5.
STRATEGI UNTUK MENINGKATKAN PRODUKSI DAUN TURI – TURINISASI ?
Van Soest (1994) menyatakan bahwa secara ekonomis, pemberian pakan hijauan yang
berkualitas tinggi lebih efisien dibandingkan dengan pemberian pakan berkualitas rendah yang
disuplementasikan dengan konsentrat dalam jumlah yang cukup besar. Oleh sebab itu, penanaman pohon
turi dan leguminosa pohon yang lain harus ditingkatkan sehingga produktivitas ternak kambing dapat
ditingkatkan.
Kendala utama untuk menanam turi adalah terbatasnya ketersediaan lahan. Hasil survey yang
dilakukan di Pulau Lombok pada tahun 1998 (Dahlanuddin, 2001) menunjukkan bahwa sebagian besar
(64%) peternak kambing yang diwawancara tidak memiliki lahan. Dari 36% responden yang memiliki
lahan, 47% diantaranya memiliki lahan 0.1 - 0.25 Ha, 35% memiliki 0.25 - 0.50 Ha, 12.8% memiliki
0.50-1.00 dan hanya 5.1 % yang memiliki lahan lebih dari 1 Ha.
Meskipun demikian, hasil penelitian pada kelompok peternak Bareng Maju Desa Darek, Praya
Barat Daya, Lombok Tengah (Dahlanuddin dkk, 2002) menunjukkan bahwa meskipun tidak semua
peternak memiliki atau menyewa lahan untuk menanam turi, semua responden dapat memberikan daun
turi kepada ternak mereka dalam jumlah yang cukup. Karena peternak sangat menyadari manfaat daun
turi bagi produktivitas ternak kambing, daun turi diperoleh dengan beberapa cara sebagai berikut :
1. Turi ditanam di lahan sendiri atau lahan yang disakap/gadai sehingga daun turi dapat diambil sesuai
dengan kebutuhan
2. Turi ditanam di lahan orang lain dengan perjanjian: daun turi diambil oleh peternak sedangkan
batang turi setelah tua diambil oleh pemilik lahan.
3. Turi ditanam di lahan orang lain dengan perjanjian: daun turi dan batang turi (setelah tua) dibagi dua
antara pemilik lahan dan peternak.
4. Pemilik lahan menanam turi dan daunnya dijual kepada peternak yang membutuhkannya. Daun turi
ini dijual dengan harga relatif murah karena pemilik lahan dapat memanfaatkan batang turi yang
cukup diminati oleh masyarakat sebagai bahan bangunan.
Apabila hal ini dapat dikembangkan didaerah lain, maka produksi daun turi akan sangat
berlimpah dan produktivitas serta populasi kambing dan ternak ruminansia pada umumnya dapat
ditingkatkan. Agar hal ini dapat dilakukan, maka peranan pemerintah seperti gerakan turinisasi yang
sudah berhasil di daerah Lombok Selatan perlu dilakukan di daerah lain dengan skala yang lebih luas.
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian diatas, upaya untuk meningkatkan produksi ternak kambing dengan cara
meningkatkan ketersediaan pakan yang berkualitas baik dan disukai kambing seperti daun turi, lebih
efisien dibandingkan dengan meningkatkan ―kualitas‖ pakan yang berasal dari limbah pertanian. Bagi
peternak yang tidak memiliki lahan, turi dapat ditanam di lahan orang lain dengan sistim sewa atau bagi
hasil, yang telah dilakukan oleh sebagian peternak kambing di Lombok Selatan. Mengingat produksi
biomass daun turi yang relatif rendah, penggunaan daun turi sebagai pakan kambing harus disesuaikan
dengan status fisiologis ternak sehingga jumlah ternak yang dipelihara dan produktivitasnya dapat
ditingkatkan.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
155
DAFTAR PUSTAKA
Bakrie, B. 1996. Feeding management of ruminant livestock in Indonesia. In. Ruminant Nutrition and Production in
the Tropics and Subtropics. (B. Bakrie, J. Hogan, J. B. Liang, A. M. M. Tareque and R. C. Upadhyay).
Monograph No. 36. ACIAR Canberra.
Dahlanuddin 2000a. The significance of Sesbania grandiflora in goat production system on Lombok Islans,
Indonesia. Proceedings of the AAAP / ASAP Animal Science Congress. Sydney 2-7 July 2000.
Dahlanuddin 2000b. Performance of goats fed commonly available fodder trees during dry season on Lombok Island,
Indonesia. Proceedings of the AAAP / ASAP Animal Science Congress. Sydney 2-7 July 2000.
Dahlanuddin 2001. Forages commonly available to goats under farm conditions on Lombok Island, Indonesia.
Livestock Research for Rural Development
(13)1. (http://www.cipav.org.co/lrrd/lrrd13/1/dahl131.htm)
Dahlanuddin 2002. Development of goat feeding systems based on locally available resources on Lombok, Indonesia. 2. Meeting nutrient requirements during pregnancy, lactation and growth. Draft Laporan Penelitian.
International Foundation for Science (IFS).
Dahlanuddin, Mashur, Zaenuri, L. A, Panjaitan, T. S., dan Muzani, A 2002. Pengembangan model peternakan
kambing berbasis tanaman turi (Sesbania grandiflora). Laporan Penelitian BPTP NTB.
Dahlanuddin, Suhubdy, O. Yanuarianto dan Hasyim 2001. Evaluation of locally available goat feeds based on
potential intake of nutrients, products of rumen fermentation, microbial protein supply and degradability of
protein. Laporan penelitian. DCRG/URGE Project, DIKTI.
Johnson, W. L. and Djajanegara, A. 1989. A pragmatic approach to improving small ruminant diets in the Indonesian humid tropics. J. Anim. Sci. 67:30683079.
Sibanda, L.M., L. R. Ndlovu and M. J. Bryant. 1999. Effects of a low plane of nutrition during pregnancy and
lactation on the performance of Matebele does and their kids. Small Ruminant Research 32:243-250.
Van Soest, P. J. 1994. Nutritional Ecology of Ruminants. 2nd ed. Comstock Publishing Associate. Ithaca.
DISKUSI
Pertanyaan:
1. Berapa jumlah kambing yang perlu dipelihara, jumlah turi yang diberikan dan berapa lama kambing
itu dipelihara agar menguntungkan?
2. Kapan waktu penanaman yang tepat, berapa produksi dari hijauan turi untuk mencukupi kebutuhan
3. Bagaimana kemungkinan pengembangan kambing di kawasan hutan
4. Apakah ada teknologi manipulasi untuk memodifikasi isi rumen sebagai pakan ternak
5. Pada ternak unggas sudah ada ayam broiler yang pada umur 8 minggu sudah dapat dipanen, apakah
ada upaya demikian pada ternak ruminansia?
Jawaban:
1. Jumlah kambing yang dipelihara tergantung dari kondisi setempat. Dari hasil suatu penelitian
pemeliharaan 8-12 ekor dengan diberikan pakan turi 25% dari berat badan masih dapat memberikan
keuntungan. Lama pemeliharaan tergantung dari tujuan peternak, misalnya penggemukan ± 4 bulan.
2. Penanaman turi sebaiknya dilakukan pada awal musim hujan. Produksi perpohon berkisar antara 5-7
Kg, dapat memenuhi kebutuhan satu ekor kambing.
3. Pengembangan kambing di hutan dapat saja dilakukan mengingat kambing adalah pemakan
tanman/daun-daunan yang banyak terdapat dihutan dan mutunya lebih baik.
4. Sudah ada antara lain probiotik, namun demikian perlu diuji secara seksama untuki memastikan
apakah hal tersebut memang bermanfaat.
5. Sudah dilaakauakan dengan persilangan sapi Lombok dengan pejantan Brangus yang lebih dikenal
dengan brangusisasi yang diharapkan dapat enghasilkn sapi-sapi besar. Akan tetapi perlu
diperhatikan bahwa ternak dengan pertumbuhan cepat butuh pakan yang lebih banyak dan
lingkungan yang lebih kondusif.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
156
INSEMINASI BUATAN PADA RUSA INDONESIA
(ARTIFICIAL INSEMINATION OF INDONESIAN DEER)
Adji Santoso Dradjat
Laboratorium Reproduksi Ternak. Fakultas Peternakan, Universitas Mataram. E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah pelaksanaan teknologi inseminasi buatan menggunakan semen beku pada rusa Sambar (Cervus unicolor), rusa Timor (Cervus timorensis) dan rusa Bawean (Axis kuhlii). Dengan terbatasnya materi
rusa betina yang digunakan adalah Sambar, Rusa Timor, Rusa Bawean masing masing 12, 5 dan 3 ekor. Penanganan
untuk inseminasi dilakukan dengan menggunakan kandang jepit khusus atau dengan anastesi umum. Anastesi
dilakukan dengan menggunakan kombinasi obat anastesi xylazyne dan ketamine dengan dosis masing-masing 1 mg/kg berat badan. Dengan menggunakan spekulum, pipet inseminasi dimasukkan ke serviks sedalam mungkin dan
spermatozoa dideposisikan dengan jumlah 60x106 spermatozoa. Inseminasi yang dilakukan pada Rusa Sambar, Rusa
Timor, Rusa Bawean masing masing menghasilkan kebuntingan berturut-turut sejumlah 4 ekor (25%), 2 ekor (40%)
dan 1 ekor (33%). Keberhasilan inseminasi buatan menggunakan semen beku memungkinkan transport spermatozoa dilaksanakan antar propinsi atau antar negara, untuk trasfer materi genetik untuk menghindarkan inbreeding pada rusa
yang dipelihara dengan populasi kecil. Transfer materi genetik ini juga dapat digunakan untuk meningkatkan
produksi daging dan produksi ranggah pada peternakan rusa Indonesia mendatang.
Kata kunci: Rusa Indonseia, Semen beku, Inseminasi buatan
ABSTRACT
The aim of the present study was to evaluate technology of artificial insemination using frozen thawed
semen in three species of Indonesian deer; Sambar (Cervus unicolor), rusa Timor (Cervus timorensis) and Bawean (Axis kuhlii). Because of limitation of the deer only 12 hinds of Sambar, 5 hinds of rusa Timor and 3 hinds Bawean
were used in the present study. Physical restraint using deer crush and chemical restrain using combination of
xylazyne and ketamine each of 1 mg/kg body weight were used for handling and restraining deer. By using
speculum, insemination pipette was inserted as deep as possible through cervix and frozen-thawed spermatozoa of 60x106 live spermatozoa was deposited. Insemination performed in Sambar, Rusa Timor and Bawean deer produced
4 (25%), 2 (40%) and 1 (33%) pregnancies. Success of artificial insemination using frozen-thawed spermatozoa
would be able to facilitate transportation of genetic materials between provinces and countries beyond national
boundaries in order to prevent in breeding and to facilitate meta population‘s management. Transfer genetics materials may also be used to increases meat production and velvet production of the future Indonesian deer farming.
Key Words: Indonesian deer, frozen semen, artificial insemination.
PENDAHULUAN
Inseminasi buatan telah dilaksanakan pada hewan ternak diseluruh dunia baik pada negara yang
sedang berkembang maupun pada negara maju, untuk meningkatkan kualitas ternak. (Holt, 1989; 1992,
Dradjat 1999; 2001). Inseminasi buatan telah dilaksanakan pada berbagai spesies rusa yaitu pada rusa
fallow (Mulley, 1988; Asher et al, 1990; Mylrea, 1991; 1992; Jabour et al, 1992; 1993), rusa merah
(Fennessy dan Mackintosh, 1988; Fennessy et al., 1990; Asher et al., 1991; Haigh dan Bowen, 1991),
rusa chital (Mylrea, 1992; Dradjat 1996), rusa Eld‘s (Monfort et al., 1993) namun informasi tentang
inseminasi buatan pada rusa Indonesia belum tersedia.
Pada negara dimana peternakan rusa telah berkembang, Inseminasi buatan telah dilaksanakan
pada beberapa spesies rusa untuk meningkatkan kenaikan berat badan dan meningkatkan berat ranggah
muda. Sedangkan negara seperti Indonesia peternakan rusa boleh dikatakan belum dimulai, bahkan rusa
masih diangap hewan liar yang pemanfaatannya sangat dibatasi oleh peraturan perundang-undangan.
Kecenderungan kepunahan hewan liar di dunia, termasuk di Indonesia berlangsung secara cepat sejak
tahun 1960 (Mace et al., 1992). Laporan IUCN tahun 1994, menyatakan bahwa Indonesia adalah negara
yang menempati urutan teratas di dunia dalam jumlah hewan yang terancam kepunahan
(Groombrige,1993).
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
157
Akhir-akhir ini perubahan dan perusakan lingkungan berlangsung dengan cepat akibat dari
peningkatan populasi penduduk dunia yang berlangsung sangat cepat. Peningkatan jumlah penduduk
tersebut tidak akan berhenti sampai abad 21 (Klein, 1992; English, 1994). Perusakan lingkungan ini
menyebabkan perubahan habitat, sehingga tidak sesuai dengan habitat hewan tersebut. Keadaan ini
menyebabkan penurunan populasi hewan, termasuk rusa Indonesia. Bila hewan dalam jumlah yang kecil
perkawinan keluarga (inbreeding) tidak akan terhindarkan. Peristiwa ini dapat menyebabkan kesuburan
menurun, kematian anak meningkat, hewan peka terhadap penyakit. Kejadian inbreeding ini telah diteliti
pada hewan berkuku satu (Ralls et al., 1979). Bila hal ini terjadi jumlah hewan liar akan turun dari tahun
ke tahun yang akan berakhir dengan kepunahan. Sebagai contoh dari 40 spesies rusa yang ada di Dunia,
pada tahun 1077 sebanyak 17 spesies terancam punah (Whitehead, 1977) dan meningkat menjadi 21
spesies pada tahun 1994 (Groombrige,1993). Indonesia mempunyai 4 spesies rusa (yaitu rusa Sambar,
rusa Timor, rusa Bawean dan Muncak), rusa Bawean termasuk hewan yang terancam punah.
Teknologi perkembang biakan telah berkembang dengan cepat pada hewan ternak, bila teknologi
ini dapat dimanfaatkan pada hewan liar maka kejadian inbreeding dapat dicegah dengan memperkenalkan
materi genetik dari hewan diluar kawasan. Cara penukaran materi genetik dapat dilakukan dengan cara
inseminasi buatan. Dengan inseminasi menggunakan semen beku ini, materi genetik dapat ditransfer
antar daerah konservasi, antar negara. Dalam tulisan ini di laporkan Inseminasi buatan menggunakan
semen beku telah dilaksanakan pada rusa Sambar (Cervus unicolor), rusa Timor (Cervus timorensis) dan
rusa Bawean (Axis kuhlii).
MATERI DAN METODE
Rusa Sambar, rusa Timor dan rusa Bawean digunakan dalam penelitian ini. Penanganan rusa
dilakukan dengan menggunakan kandang jepit khusus atau dengan anastesi umum. Anastesi dilakukan
dengan menggunakan kombinasi obat anastesi xylazyne dan ketamine dengan dosis masing-masing 1
mg/kg berat badan.
Pengambilan spermatozoa dilakukan pada tiga spesies rusa ini menggunakan elektro-ejakulator.
Rusa jantan yang telah teranastesi ditempatkan pada posisi terbaring pada sisi kiri atau kanan. Penis rusa
dikeluarkan dari preputium dengan cara mendorong kaki belakang kearah depan. Setelah penis keluar
dari prepotium, kain perban dengan lebar 2 cm dan panjang 15 sampai 20 cm diikatkan pada penis tidak
terlalu keras, sebanyak dua atau tiga kali lilit untuk mencegah penis masuk kembali kedalam prepotium.
Tabung gelas penampung yang mempunyai skala ukuran volume steril dipegang dengan tangan agar
temperatur gelas penampung meningkat mendekati temperatur tubuh. Berikutnya ujung penis
ditempatkan di tengah tabung gelas penampung. Ujung elektro ejakulator (probe) yang telah diberi
pelicin (vaselin) dimasukkan kedalam rektum sedalam 10 sampai 15 cm dengan elektroda elektro
ejakulator ditempatkan menghadap ke bagian ventral pelvis. Stimulasi listrik dilakukan dengan memutar
voltase selama 5 detik dan dihentikan selama 5 detik yang dilakukan secara berulang-ulang hingga
spermatozoa di hasilkan. Stimulasi listrik dihentikan segera setelah spermatozoa didapatkan atau
dihentikan setelah stimulasi dilakukan selama 2 menit walaupun spermatozoa belum di dapatkan. Rusa
yang telah diambil spermatozoanya ditempatkan pada tempat yang teduh dengan posisi duduk untuk
mencegah regurgitasi.
Ejakulat yang telah didapatkan di evaluasi kualitasnya dengan memeriksa volume, warna,
konsentrasi, gerak gelombang, hidup, mati, normal, abnormalitas spermatozoa. Volume, ejakulat atau
semen diukur dengan melihat ukuran gelas penampung dengan ukuran garis terkecil 0,1 ml. Warna
semen dilihat dengan mata telanjang apakah semen mempunyai warna tertentu, disamping itu juga
dievaluasi apakah semen tersebut seperti krim pekat, seperti krim, seperti air susu, seperti berawan/kabut
atau encer seperti air. Gerak gelombang spermatozoa diamati dengan menempatkan satu tetes semen pada
gelas benda yang telah dihangatkan (36 C) dan ditempatkan dibawah mikroskop dengan perbesaran 40
kali. Motilitas atau gerak gelombang diberi skor antara 0 yaitu tanpa gerakan dan skor 5 dengan gerakan
gelombang yang keras (Haigh et al., 1993).
Penghitungan jumlah spermatozoa per ml semen dilakukan dengan menggunakan
haemositometer. Semen dihisap menggunakan penghisap hemositometer sampai angka 0,05 (bergaris-
garis) berikutnya dihisap cairan hipertonis sampai angka 101. Cairan hipertonis tersebut terbuat dari
aquadest 50 ml, 1 ml 2% eosin dan 1 ml 3% cairan NaCl. Setelah itu kedua ujung tabung thoma ditutup
dengan ibu jari dan telunjuk untuk menggoyang-goyangkan tabung, guna mencampurkan antara semen
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
158
dengan cairan hipertonik. Setelah tercampur rata, 4 sampai 5 tetes di teteskan pada kertas tisue dan ujung
pipet thoma disentuhkan pada tepi bilik hitung (counting chamber) dan ditutup dengan gelas penutup.
Setelah didiamkan beberapa detik agar cairan yang berisi spermatozoa tidak bergerak atau mengalir, bilik
hitung ditempatkan di bawah mikroskop. Jumlah total spermatozoa yang mengisi 5 kotak dihitung dan
konsentrasi spermatozoa dihitung dengan merata-ratakan hasil hitungan 5 kotak dan mengalikan dengan
107.
Morfologi atau abnormalitas spermatozoa diperkirakan dengan cara menghitung persentase
spermatozoa muda (cytoplasmic droplet), abnormalitas selama spermatogenesis (abnormalitas kepala)
dan setelah spermatogenesis. Pemeriksaan ini dilakukan dengan menempatkan 10 l cat nigrosin eosin
(Tamuli dan Watson, 1994) dengan temperatur 36 C pada kaca benda yang hangat (36 C) dan diberi 2 l
semen dicampur dan diulaskan pada kaca benda dan di biarkan sampai kering. Preparat ulas yang telah
kering diletakkan di bawah mikroskop dengan perbesaran 125 kali dengan minyak emersi, dihitung
jumlah abnormalitas spermatozoa.
Persentase spermatozoa yang hidup dan yang mati dilaksanakan menggunakan preparat ulas
pengecatan nigrosin eosin, spermatozoa yang acrosomanya berwarna gelap dikategorikan spermatozoa
mati, sedangkan yang berwarna terang adalah spermatozoa yang masih hidup pada saat pengecatan.
Spermatozoa yang mati akan menyerap warna cat nigrosin eosin sedangkan spermatozoa yang masih
hidup pada saat pengecatan tidak menyerap warna. Evaluasi ini digunakan untuk mengetahui kualitas
spermatozoa yang selanjutnya dapat dilakukan estimasi pengenceran spermatozoa guna penyimpanan
lebih lanjut.
Penyimpanan spermatozoa ke tiga spesies rusa ini dalam bentuk beku dilakukan setelah
pengambilan dan evaluasi kualitas spermatozoa yang telah diuraikan sebelumnya. Pengenceran
spermatozoa dilakukan dengan menghitung spermatozoa untuk memperkirakan bahwa jumlah
spermatozoa per straw (0,25 ml) mengandung 100 x 106. Extender yang digunakan yaitu extender
kambing (Evans dan Maxwell, 1987) yang terdiri dari Tris (OCH3) aminomethane 3,786 gr, Kuning telur
2,5 ml, Citric Acid Monohidrate 2,172 gr. Glucose 0,625 gr, Glycerol 5 ml, Sodium Penicilin G 100,000
IU, Streptomycin 100 mg, Air destilasi sampai 100 ml. Kuning telur dipisahkan dengan putih telur
(albumin) dengan memutarkan kuning telur pada kertas saring dan hanya kuning telur yang segar
digunakan untuk bahan pengencer.
Segera setelah pengenceran semen didinginkan dari 36 C sampai 4 C selama 1,5 sampai 2 jam.
Dilakukan dengan memasukkan tabung reaksi yang berisi semen yang telah diencerkan kedalam tabung
yang berisi air dengan temperatur 36 C dan diletakkan di dalam lemari pendingin 4 C. Berikutnya semen
dimasukkan ke dalam straw (IMV, L'aigle Cedex, France) dan isi straw dibuang sedikit, selanjutnya ujung
straw disumbat menggunakan serbuk polyvinil alcohol. Straw yang telah berada pada temperatur 4 C
diletakkan 4 cm di atas nitrogen cair selama 20 menit sebelum dimasukkan kedalam nitrogen cair
(Foxworth et al., 1989). Spermatozoa yang telah dibekukan dicairkan kembali dengan cara memasukkan
straw beku kedalam tabung yang berisi air dengan temperatur 36 C selama 30 detik sampai 1 menit,
setelah itu spermatozoa dapat digunakan untuk inseminasi.
Sinkronisasi birahi pada rusa dilakukan dengan memasang Controlled Internal Drugs Release
(easi-breed CIDR, sheep and goat device, Heriot AgVet Pty Ltd, 8 Mosrael Place, Rowville, Victoria
3178) selama 11 hari. CIDR berisi progesterone sebanyak 0,3 gr progesteron dan CIDR akan melepaskan
progesteron ke vagina yang selanjutnya progesteron tersebut akan terserap dan masuk dalam aliran darah.
Cara memasang CIDR pada rusa berbeda dengan pada kambing, setelah rusa ditempatkan pada kandang
jepit, CIDR dimasukkan pada applikator dan ekor CIDR dilipat hingga terjepit oleh sayap CIDR.
Berikutnya ujung aplikator diberi pelicin dan dimasukkan ke vagina rusa setelah badan aplikator berada
didalam vagina pegangan aplikator ditekan, sehingga CIDR akan tertinggal di dalam. Dengan menekuk
ekor CIDR tali CIDR tidak keluar dari vagina, ini dimaksudkan untuk menghindari agar rusa tidak
menggigit dan menarik tali CIDR.
Inseminasi buatan adalah memasukkan spermatozoa ke dalam alat reproduksi betina sehingga
dapat terjadi kebuntingan. Inseminasi pada rusa dilakukan 36 jam setelah CIDR diambil. Setelah rusa
tertidur, dengan anastesi umum rusa ditempatkan pada tempat inseminasi dengan bagian belakang lebih
tinggi dibanding bagian depan. Berikutnya semen beku diencerkan kembali dengan memasukkan straw
semen beku pada kontainer yang berisi air dengan temperatur 36 C selama satu menit. Setelah itu ujung
straw dipotong, semen dimasukkan ke dalam pipet inseminasi. Dengan menggunakan spekulum, pipet
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
159
inseminasi dimasukkan ke serviks sedalam mungkin dan spermatozoa dideposisikan dengan jumlah 60 x
106 spermatozoa. Selanjutnya rusa ditempatkan pada tempat yang teduh dengan posisi duduk untuk
menunggu bangun kembali. Rusa rusa tersebut dipelihara dengan baik hingga melahirkan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari hasil penelitian ini ternyata kebuntingan dihasilkan mencapai 25% hingga 40% rusa yang
diinseminasi menggunakan cara servical. Selain tergantung pada spesies rusa, terdapat beberapa faktor
yang dapat mempengaruhi hasil kebuntingan antara lain: tingkat keserentakan hasil sinkronisasi birahi,
waktu inseminasi dan jumlah spermatozoa hidup yang dideposisikan ke alat perkembang biakan betina
(Asher et al., 1991).
Karena rusa tidak menampakkan tingkah laku birahi, maka pada penelitian ini inseminasi
dilakukan tanpa dilakukan deteksi birahi. Telah dilaporkan pada rusa merah bahwa inseminasi yang
dilakukan setelah rusa terdeteksi birahi dapat meningkatkan angka kebuntingan antara 15 sampai 20%
dibanding dengan teknik inseminasi fixed time (Bowen, 1989), yaitu dari angka kebuntingan 55% dapat
menjadi 70% sampai 75% (Bowen, 1992). Rendahnya tingkat kebuntingan disebabkan oleh sebagian rusa
tidak terstimulasi birahi atau tidak mengalami ovulasi (Fennessy et al., 1990). Pada penelitian yang
dilakukan ini dengan jumlah rusa yang relatif sedikit, sehingga persentase hasil penelitian belum
mencerminkan distribusi normalnya.
Tabel 1: Hasil inseminasi buatan pada 3 spesies rusa
No Spesies Jumlahbetina Bunting/Melahirkan (%)
1 Rusa Sambar (Cervus unicolor) 12 4 (25%)
2 Rusa Timor (Cervus timorensis) 5 2 (40%)
3 Rusa Bawean (Axis kuhlii) 3 1 (33%)
Tingkat keserentakan birahi pada rusa sulit untuk dievaluasi karena rusa adalah hewan yang
berusaha menghindar bila akan diobservasi dari jarak dekat, waktu birahinya sangat pendek (Asher et al.,
1991), tidak menunjukkan tingkah laku yang jelas (Guiness et al., 1971; Veltman, 1985) seperti
ruminansia lainnya.
Faktor lain yang menentukan persentase kebuntingan adalah waktu yang tepat untuk pelaksanaan
inseminasi. Hasil penelitian pada rusa chital menunjukkan bahwa inseminasi dilakukan 60 jam setelah
CIDR diambil menggunakan semen segar dan semen cair menghasilkan kebuntingan 8% dan 50%,
sedangkan pelanksanaan inseminasi 70 jam setelah CIDR diambil menggunakan semen segar dan semen
beku masing-masing menghasilkan 25% kebuntingan (Dradjat, 1996).
Faktor yang mempengaruhi tingkat kebuntingan yaitu jumlah spermatozoa yang dideposisikan
pada alat perkembang biakan betina. Dilaporkan pada rusa merah bahwa inseminasi menggunakan 40
juta spermatozoa hidup menghasilkan kebuntingan 44,6%, sedangkan penggunaan 30 juta spermatozoa
hidup per inseminasi menghasilkan kebuntingan 23% (Bowen, 1990). Dilaporkan pada fallow deer
inseminasi menggunakan semen segar dengan jumlah spermatozoa 12,5 juta per inseminasi dapat
menghasilkan 76,3% kebuntingan (Jabbour et al., 1992).
Disamping itu faktor lain yang dapat mempengaruhi hasil kebuntingan yaitu cekaman yang
dialami oleh rusa selama program inseminasi yaitu dalam penanganan dan anastesi rusa, merupakan
faktor yang sangat berpotensi dapat menekan hasil sinkronisasi dan menghambat ovulasi (Asher et al.,
1986; Haigh dan Bowen, 1991).
Inseminasi pada rusa telah dilaporkan pada rusa sub tropik yaitu pada rusa merah (Krzywinsky
dan Jaczewsky, 1978), pada wapiti (Haigh et al., 1986; Haigh dan Bowen, 1991), pada rusa fallow
(Mulley et al., 1988; Asher et al., 1992), sedangkan pada rusa tropik yang dipelihara di daerah sub tropik
yaitu pada rusa chital (Mylrea, 1992; Dradjat 1996).
Penggunaan inseminasi buatan dengan membawa semen beku melewati batas internasional telah
dilaksanakan pada rusa merah dari Canada ke New Zealand (Haigh dan Bowen, 1991), pada rusa Fallow
dari New Zealand ke Australia (Mylrea et al., 1991) dan dari New Zealand ke USA (Asher et al., 1990)
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
160
KESIMPULAN DAN SARAN
Inseminasi buatan menggunakan semen beku telah dilaksanakan pada rusa Sambar (Cervus
unicolor), rusa Timor (Cervus timorensis) dan rusa Bawean (Axis kuhlii). Penanganan untuk inseminasi
dilakukan dengan menggunakan kandang jepit khusus atau dengan anastesi umum. Anastesi dilakukan
dengan menggunakan kombinasi obat anastesi xylazyne dan ketamine dengan dosis masing-masing 1
mg/kg berat badan.
Inseminasi buatan pada Rusa Sambar, Rusa Timor, Rusa Bawean, dengan menggunakan
spekulum, pipet inseminasi dimasukkan ke serviks sedalam mungkin dan spermatozoa dideposisikan
dengan jumlah 60x 106, menghasilkan kebuntingan berturut-turut sejumlah 4 ekor (25%), 2 ekor (40%)
dan 1 ekor (33%).
Keberhasilan inseminasi buatan menggunakan semen beku memungkinkan transport
spermatozoa dilaksanakan antar propinsi atau antar negara, untuk trasfer materi genetik untuk
menghindarkan inbreeding pada rusa yang dipelihara dengan populasi kecil. Transfer materi genetik ini
juga dapat digunakan untuk meningkatkan produksi daging dan produksi ranggah pada peternakan rusa
Indonesia mendatang.
KEPUSTAKAAN
Asher G. W, Kraemer D.C., Magyar S.J., Brunner M., Moerbe R. and Giaquinto M. 1990. Intrauterine insemination of farmed fallow deer (Dama dama) with frozen-thawed semen via laparoscopy. Theriogenology. 34:569-
577
Asher G.W. and Jabbour N.H. 1992. Techniques of oestrus synchronisation and artificial insemination of farmed fallow
deer and red deer. Australian deer farming, 3:9-16.
Asher G.W., Barrell G.K. and Peterson A.J. 1986. Hormonal changes around oestrus of farmed fallow deer, Dama dama.
Journal of Reproduction and Fertility. 78:487-496.
Asher G.W., Jabbour H.N., Berg D.K., Fisher M.W., Fennessy P.F. and Morrow C.J.1991. Artificial insemination,
embryo transfer and gamete manipulation of farmed red deer and fallow deer. Proceeding of a Deer Course for Veterinarians. Deer Branch (N.Z.V.A.) No 8:275-306.
Bowen G. 1990. New A.I. Technology collecting, Proceedings of a Deer Course for Veterinarians, New Zealand
Veterinary Association. no 7:167-170.
Bowen G. 1992. Insemination of red deer -programme options. Abstract of papers conference programme 52 nd Annual conference. Proceedings of the New Zealand Society of Animal production. Abstract no 40.
Bowen G.1989. Artificial insemination of deer: cervical and laparoscopic techniques, Proceedings of a Deer Course for
Veterinarians (N.Z.V.A.) no 6:8-10.
Dradjat A.S. 1996a. Artificial breeding and reproductive management in chital deer. Ph.D Thesis. The University of Sydney.
Dradjat A.S. 1996b Deer as a potential husbandry in Eastern Part of Indonesia. Lokakarya Pengembangan
Peternakan terpadu dengan intensifikasi tinggi di Kawasan Timur Indonesia. Mataram, NTB.
Dradjat A.S. 1998. Utilisation of sustainable deer husbandry. Prosiding Seminar Prospek pengambangan puspa dan satwa potensial di NTB. Yayasan KEHATI Mataram 11 Nopember 1998
Dradjat A.S. 1999. Penggunaan semen beku sapi Friesian, Angus, Brangus dan Bali untuk IB di NTB (Bovine, Vol.:
8, No.: 18, Desember 1999)
Dradjat A.S. 2001. Tatalaksana inseminasi buatan pada sapi Bali dalam menghadapi millenium ke 3. Seminar Nasional Ruminansia. Jurnal Pengembangan Peternakan Tropis. Special edition 2001Semarang 10 April
2001
English A.W. 1994b. The role of veterinarian in the preservation of biodiversity. Proceedings of the 1994 annual
conference of the australian association of veterinary conservation biologist. Canberra: 5-9.
Evans, G. and Maxwell, W.M.C. 1987. Salamon's artificial insemination of sheep and goat, Butterworths. Sydney: 127
Fennessy P., Beatson N. and Mackintosh C. 1987. Artificial insemination. Proceedings of a Deer Course for
Veterinarians. Deer Branch (N.Z.V.A.) no 4:33-37
Fennessy P.F. and Mackintosh G. C. and Shackell G.H. 1990. Artificial insemination of farmed red deer (Cervus elaphus). Journal of Animal Production. 51:613-621
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
161
Fennessy P.F. and Mackintosh G.C. 1988. Artificial insemination in red deer, Proceedings of a Deer Course for Veterinarians. Deer Branch (N.Z.V.A.) no 5:8-16.
Foxworth W.B., Wolfe B.A., Loskutoff N.M., Nemec L.A., Huntress D.L., Raphael B.L., Jensen J.M., Williams B.W.,
Howard J.G. and Kraemer D.C. 1989. Post-thaw motility parameters of frozen semen from scimitar- horned
oryx (Oryx dammah): effects of freezing method, extender and rate of thawing. Theriogenology 31:193.
Groombridge B. 1994 IUCN Red List of Threatened Animals. IUCN- The World Conservation Union. 25-26.
Guinness F., Lincoln G.A. and Short R.V. 1971. The reproductive cycle of the female red deer, Cervus elaphus. Journal
of Reproduction and Fertility. 27:427-438.
Haigh J.C. and Bowen G 1991. Artificial insemination of red deer (Cervus elaphus) with frozen-thawed wapiti semen. Journal of Reproduction and Fertility. 93:119-123
Haigh J.C., Barth A.D. and Bowman P.A. 1986 An evaluation of extenders for Wapiti, Cervus elaphus, semen. Journal of
Zoo and Animal Medicine. 17:129-132.
Haigh J.C., Dradjat A.S. and English A.W. 1993. Comparison of two extenders for the cryopreservation of Chital (Axis- axis) semen. Journal of Zoo and Wildlife Medicine. 24:454-458.
Heyward E.R.J. 1993. Practical aspects of sheep embryo transfer. Animal Health and Production for 21 st Century. Editor:
K.J. Beh. CSIRO, Australia :41-42
Holt N.A. 1989. Advances Synchronisation of oestrus, Cattle, Cattle, Sheep & Goats. Proceedings 127, Refresher Course for Veterinarians in Embryo transfer in goats and sheep. Post Graduate Committee in Veterinary Science.
University of Sydney : 63-84.
Holt W.V. 1992. Advances in artificial insemination and semen freezing in mammals. Symposia Zoological Society of
London. 64:19-35
Hunter R.H.F. and Nichol R. 1983. Transport of spermatozoa in the sheep oviduct: Preovulatory sequestering of cells in
the caudal isthmus. The journal of experimental zoology. 228:121-128
Jabbour H.N., Marshall V., Argo C., Hooton J. and Loudon A.S.I. 1993. Superovulation, artificial insemination and
successful embryo transfer in fallow deer (Dama-dama). Journal Reproduction and Fertility.(Abstract series) 11: 68
Jabbour H.N., Veldhuizen F.A and Asher G.W. 1992. Effect of oestrus synchronisation on fertility of fallow deer
following cervical insemination with fresh or frozen-thawed spermatozoa. Journal Reproduction and Fertility.
(Abstract series) 9:31
Klein D.R. 1992 The status of deer in a changing world environment. Proceedings of the International symposium on
biology of deer, editor: Brown R.D. Springer-Verlag New York Inc. :3-12.
Krzywinsky A. and Jaczewski Z. 1978. Observation on the artificial breeding of red deer, Symposia of the Zoological
Society of London. No.43:271-287.
Mace G.M., Pemberton J.M. and Stanley H.F. 1992. Conserving genetic diversity with the help of biotechnology-desert
antelopes as an example. Biotechnology and the conservation of genetic diversity. Symposia of the Zoological
Society of London. no 64:123-134.
Maxwell W.M.C 1986. Artificial insemination of ewes with frozen-thawed semen at a synchronised oestrus.1. effect of time of onset of oestrus, ovulation and insemination on fertility. Animal Reproduction Science. 10:301-308
Monfort S.L., Asher G.W., Wild D.E., Wood T.C., Schiewe M.C., Williamson L.R., Bush M. and Rall W.F. 1993.
Successful intrauterine insemination of Eld's deer (Cervus eldi thamin) with frozen-thawed spermatozoa.
Journal of Reproduction and Fertility. 99:459-465
Mulley R.C., Moore N.W and English A.W. 1988. Successful uterine insemination of fallow deer with fresh and frozen
semen, Theriogenology, 29(5):1149-1153
Mylrea G.E. 1992. Natural and artificial breeding of farmed chital deer (Axis-axis) in Australia. PhD. Thesis, Sydney
University.
Mylrea G.E., Evans G. and English A.W, 1991. Conception rates in european fallow does (Dama dama dama) following
intrauterine insemination with frozen-thawed semen from mesopotamian fallow (Dama dama mesopotamica)
and crossbred (Dama dama dama x Dama dama mesopotamica) bucks, Australian Veterinary Journal.
68(9):294-295.
Ralls K., Brugger K. and Ballou J. 1979. Inbreeding and juvenile mortality in small population of ungulates, Science,
206:1101-1103.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
162
Tamuli M.K. and Watson P.F. 1994. Use of simple staining technique to distinguish acrosomal changes in the live sperm sub-population. Animal Reproduction Science. 35:247-254.
Veltman C.J. 1985. The mating behaviour of red deer. Proceedings of a Deer Course for Veterinarians. New Zealand
Veterinary Association. No 2: 135-142.
Whitehead G.K. 1977. Endangered deer. The world of wildlife. Editor: N Sitwell. The Hanlyn publishing group Ltd. :32-41.
DISKUSI
Pertanyaan:
1. Apa perbedaan Inseminasi Buatan dan Embrio Transfer?
2. Bagaimana menstransfer teknologi pemeliharaan rusa kepada petani?
3. Bagaimana kemungkinan mass production pada rusa.
4. Adakah keunggulan dari daging rusa sehingga hewan ini perlu dikembangkan sebagai salah satu jenis
hewan yang perlu diternakkan.
Jawaban:
1. Inseminasi Buatan berbeda dengan Embrio Transfer tergantung dari tujuan pemeliharaan ternak
tersebut. Sementara ini kduanya bertujuan untuk mempertahankan dan mengembangkan plasma
nutfah
2. Teknologi pemeliharaan rusa untuk tingkat petani saat ini sedang dibicarakan
3. Penangkaran rusa dapat dilakukan dengan kawin alam saja
4. Mengenai mutu daging belum ada data khusus mengenai karakteristik daging rusa, namun rusa
memiliki rasa spesifik tergantung selera dan karena rusa tidak memiliki kantung empedu maka rasa
dagingnya enak.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
163
PRODUKSI MASAL ANAK SAPI BALI JENIS KELAMIN TERTENTU
MELALUI IB DENGAN SPERMA SEKSING
Enny Yuliani
Laboratorium Reproduksi Ternak. Fakultas Peternakan Universitas Mataram E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Sejak sepuluh tahun yang lalu, peternakan sapi di Nusa Tenggara Barat mengalami penurunan baik populasi maupun kualitasnya. Hal tersebut disebabkan oleh meningkatnya konsumsi daging per kapita,
meningkatnya jumlah ternak yang dipotong untuk kebutuhan lokal dan meningkatnya ekspor antar pulau di
Indonesia. Menurunnya kualitas daging per unit ternak merupakan permasalahan inbreeding pada sapi lokal (sapi
Bali). Untuk meningkatkan produktivitas, pemerintah NTB berupaya meningkatkan efisiensi produksi melalui perbaikan genetik. Manipulasi semen untuk seksing merupakan salah satu cara utama untuk memperoleh anak
dengan jenis kelamin tertentu. Semen dari spesies ternak dapat dipisahkan dari populasi sperma X atau Y sebelum
digunakan inseminasi intra-tubal, inseminasi uterine atau fertilisasi in vitro dapat menghasilkan anak dengan jenis
kelamin tertentu. Sperma seksing digunakan untuk Inseminasi Buatan (IB) dapat menghasilkan perolehan ternak dari jenis kelamin yang dikehendaki dengan genetik tertentu. Disamping itu peningkatan genetik dalam kelompok ternak
dapat menjadi lebih cepat. Teknik Swim up (renang atas) atau percoll dua tingkat memungkinkan untuk
meningkatkan perolehan sapi Bali jantan atau betina melalui teknik IB atau Transfer Embrio. Dengan demikian
kemampuan preseleksi jenis kelamin keturunan mempunyai pengaruh nyata terhadap genetik dan ekonomi produksi ternak. Perbaikan dalam sektor ternak melalui peningkatan angka kelahiran, mutu ternak dan peningkatan
produktivitas ternak pada akhirnya bermuara pada peningkatan pendapatan peternak.
Kata kunci: Sapi Bali, Inseminasi Buatan, Sperma Seksing, sentrifugasi Gradien Densitas Kolom Percoll.
ABSTRACT
During the last ten years, cattle industry in West Nusa Tenggara (NTB) has been declining in both
population and beef quality. This was brought about by increased meat consumption per capita, the increased number
of cattle slaughtered for local demand, and as a result of increased cattle export to other islands of Indonesia. Decreased in beef quality per unit animal was due to problems of inbreeding in local cattle (Bali cattle). To address
productivity issues, the government of NTB has been attempting to increase production efficiency and to increase
profitability and market specification compliance by increasing carcass weight using genetic improvement. The
possibility of manipulation of semen for sexing seems to be one of the most important ways to find out sex predetermination. Semen from most livestock species can now be successfully separated into predominantly X or Y
sperm populations before their use for intra-tube insemination, deep-uterine insemination or for in vitro fertilization
to produce sexed offspring. Sex-specific sperm for use in Artificial Insemination (AI) will enable producers to pre-
determine the sex of calves from specific genetic mating, resulting in faster genetic gain within herds. Swim up or percoll two gradients column technique might be possible to increase male or female Bali cattle population through
AI or Embryo Transfer technique. The ability to preselect the sex of offspring of agriculturally important animal
would have a significant impact on the genetics and economic of livestock production. Livestock improvement
increase birth rate, quality and the productivities of the livestock; achieve self-sufficiency in livestock product, particularly in meat; accelerate the national GNP (gross national product), which in turn will alleviate poverty of the
peasant in NTB.
Key word: Bali Cattle, Artificial Insemination, Sexed Sperm, Swim up, Gradient Percoll density Centrifugation
PENDAHULUAN
Propinsi Nusa Tenggara Barat dalam peta perekonomian Nasional sampai saat ini dikenal
sebagai propinsi pemasok ternak, khususnya ternak sapi potong. Potensi tersebut sekaligus telah
menempatkan sub sektor peternakan di daerah ini memegang peran penting dan strategis dalam rangka
mendorong maju perekonomian daerah. Potensi ternak terpenting adalah sapi Bali yang merupakan
komoditi ternak andalan utama sebagai ternak potong maupun sebagai ternak bibit. Namun akhir-akhir
ini ada indikasi terjadinya penurunan populasi dan produktivitas baik sebagai ternak potong maupun
sebagai sapi bibit.
Dwipa dkk (1989) melaporkan adanya penurunan bobot badan pada sapi jantan yang
diantarpulaukan. Bobot badan merupakan parameter pokok dalam menilai mutu ternak dan aspek penting
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
164
dalam pemilihan stok untuk bibit. Khususnya pada sapi jantan, biasanya yang dijual adalah hewan yang
memenuhi kualifikasi mutu tertentu yaitu yang memiliki berat badan di atas 300 kg, sedangkan hewan
jantan dengan berat badan tersebut di atas sudah mulai langka. Dengan demikian terjadilah seleksi
negatif karena yang tertinggal hanyalah hewan-hewan jantan yang kecil dan bermutu rendah.
Upaya peningkatan produktivitas sapi Bali tidak dapat dilepaskan dari upaya pengaturan
dinamika populasi seperti tingkat kelahiran, pemotongan dan penekanan kematian. Hal ini mempunyai
kaitan yang kuat dengan sistem pengelolaan usaha peternakan yang dilakukan oleh peternak. Untuk itu
usaha peternakan rakyat di NTB baik yang bersifat intensif maupun ekstensif perlu dikembangkan
bioteknologi reproduksi. Secara umum bioteknologi reproduksi merupakan teknologi unggulan dalam
memproduksi dan meningkatkan produktivitas peternakan. Terkandung di dalamnya pemanfaatan proses
rekayasa fungsi reproduksi dan genetika dalam upaya meningkatkan mutu dan jumlah produksi serta akan
menjadi titik tolak bagi pengembangan industri ternak masa datang.
Produksi bakalan atau anak sapi secara massal dapat dilakukan dengan teknik Inseminasi Buatan
(IB) menggunakan pejantan unggul. Teknologi ini akan lebih berdaya guna, apabila anak yang dihasilkan
berjenis kelamin sesuai dengan yang dikehendaki. Hal ini sangat mendukung program breeding dalam
pemilihan bibit unggul dan menunjang efisiensi pada peternakan sapi potong. Salah satu upaya untuk
menghasilkan anak sesuai harapan dapat dilakukan dengan cara seksing spermatozoa berkromosom X
atau Y sebelum dilakukan program Inseminasi Buatan. Inseminasi dengan semen pembawa kromosom X
akan didapatkan pedet betina penerus keturunan dengan kualitas yang baik. Sedangkan inseminasi
dengan spermatozoa pembawa kromosom Y akan didapatkan pedet jantan yang lebih menguntungkan.
Sapi jantan tumbuh lebih cepat dan karkasnya lebih tinggi dari pada sapi betina, sehingga meningkatnya
jumlah anak jantan dapat berarti memperbaiki penampilan pertumbuhan dan meningkatkan berat potong.
Berdasarkan perbedaan tujuan usaha tersebut, maka pengaturan jenis kelamin dapat menekan perolehan
ternak dari jenis kelamin yang kurang dibutuhkan. Dengan demikian apabila semen sapi yang sudah
dipisahkan berdasarkan jenis kelaminnya dipakai untuk Inseminasi Buatan, maka efisiensi reproduksi
akan dapat ditingkatkan secara efektif.
Aplikasi teknologi IB dengan mengunakan semen pejantan unggul yang telah diseksing untuk
produksi bibit sapi unggul diharapkan dapat meningkatkan produktivitas sapi lokal yang berlipat ganda
dalam waktu relatif singkat. Di samping itu aplikasi teknologi ini tidak hanya meningkatkan populasi
ternak dan perbaikan mutu genetik, tetapi juga sekaligus dapat dikelola dalam skala usaha sehingga
mampu meningkatkan penghasilan peternak.
Manfaat Praktis :
1. Penyimpanan spermatozoa berkromosom X atau Y (bank spermatozoa berkromosom X atau Y).
Digunakan untuk pengembangan plasma nutfah ternak asli Indonesia tanpa mengabaikan kelestarian
kemurniannya.
2. Mengoptimalkan efisiensi reproduksi dengan cara meningkatkan perolehan ternak dari jenis kelamin
yang dikehendaki, sehingga dapat membantu program breeding dalam mempercepat perbaikan mutu
dan peningkatan populasi.
3. Aplikasi rekayasa bioteknologi reproduksi menggunakan spermatozoa berkromosom X atau Y dalam
fertilisasi in vivo dan in vitro dapat menunjang program IB dan Transfer Embrio (TE). Memberikan
kontribusi dalam pengembangan inseminasi buatan dengan kelahiran anak jantan atau betina secara
masal dan seragam tergantung dari struktur populasi yang diharapkan.
4. Keuntungan lain dalam pengaturan rasio seks pada produksi sapi potong secara komersial adalah :
a. anak jantan yang dilahirkan dipersiapkan untuk program penggemukan ternak jantan (produksi
daging ).
b. kepastian progeny jantan pada perkawinan antara pejantan potensial yang berasal dari betina
terbaik.
c. mencegah kelahiran freemartin dalam kelahiran kembar.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
165
METODE
1. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan secara eksperimental di Laboratorium Reproduksi Fakultas Kedokteran
Hewan Universitas Airlangga dan Unit Pelaksana Penelitian Ternak Grati Pasuruan Jawa Timur.
2. Prosedur Penelitian
1. Penampungan semen
2. Penilaian semen
3. Pemisahan spermatozoa
a. Metode Swim up untuk menghasilkan anak jantan
b. Metode Sentrifugasi gradien densitas percoll untuk menghasilkan anak betina
4. Pemeriksaan kualitas spermatozoa hasil pemisahan (konsentrasi, motilitas, morfologi dan
recovery)
5. Inseminasi Buatan
Kegiatan IB meliputi: (1) seleksi pejantan dan betina ; (2) Sinkronisasi estrus dengan hormon
prostaglandin; (3) Inseminasi Buatan dengan semen seksing
6. Angka Konsepsi (pemeriksaan dilakukan 40-60 setelah IB)
7. Rasio jenis kelamin anak yang lahir
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada dasarnya tujuan awal dari pemisahan spermatozoa manusia adalah untuk mengurangi
kejadian gangguan genetik yang terkait dengan jenis kelamin (sex linked genetic disorders) yaitu
gangguan resesif terkait X yang cenderung berpengaruh pada keturunan laki-laki. Kemudian usaha
pemisahan spermatozoa berkembang pada hewan domestik untuk mendapatkan produksi ternak yang
maksimal dari jenis kelamin yang dibutuhkan (Windsor, et al., 1993; Abeydeera et al., 1998).
Proses pembentukan spermatozoa menghasilkan 2 tipe sel spermatozoa yang berbeda dalam
jumlah yang sama banyaknya yaitu 50 % spermatozoa X dan 50 % spermatozoa Y (1:1). Kenyataan
bahwa pada mamalia, fertilisasi oleh spermatozoa pembawa kromosom X menghasilkan keturunan betina
dan spermatozoa pembawa kromosom Y menghasilkan keturunan jantan. Hal tersebut menimbulkan
berbagai usaha untuk melakukan seleksi jenis kelamin sebelum konsepsi untuk mengubah rasio X : Y
dalam populasi spermatozoa.
Menurut Windsor et al (1993), Keberhasilan pemisahan spermatozoa pembawa kromosom X dan
Y tergantung dari adanya beberapa perbedaan dasar antara kedua tipe sel tersebut antara lain perbedaan
morfologi nukleus dan kepala, karakter pergerakan/motilitas, dan kandungan DNA. Kromosom seks Y
pada sapi mempunyai ukuran lebih kecil dibandingkan dengan kromosom X. Hal ini merupakan suatu
petunjuk bahwa spermatozoa pembawa kromosom X dan spermatozoa pembawa kromosom Y dapat
dibedakan berdasarkan jumlah kandungan DNA. Spermatozoa pembawa kromosom X mengandung 2,8 –
7,5 persen lebih banyak DNA dari pada spermatozoa berkromosom Y (Gordon 1997).
Berdasarkan perbedaan tersebut telah dikembangkan teknologi pemisahan spermatozoa. Pada
negara maju, seksing sperma dilakukan melalui cell sorting dengan Flow Cytometry, namun harganya
relatif mahal, sehingga tidak sesuai dengan kondisi peternak kita. Oleh karena itu kebutuhan prosedur
pemisahan yang sederhana, murah , tepat dan cepat sangat diperlukan.
Pemisahan spermatozoa dengan metode sentrifugasi gradien densitas percoll dan metode Swim
Up dapat mengatasi kebutuhan tersebut. Percoll merupakan medium yang terdiri dari partikel silica
colloidal dengan lapisan polyvinyl-pyrrolidone, dapat dijadikan dasar untuk mengisolasi spermatozoa
motil, terbebas dari kontaminasi dari berbagai komponen seminal (Mc Clure, et al., 1989). Penggunaan
percoll untuk tujuan pemisahan spermatozoa dinilai memenuhi syarat yang diperlukan.
Swim up bertujuan untuk menganalisis spermatozoa dengan memisahkan spermatozoa motil dari
non-motil, celluler debris dan menyingkirkan komponen seminal plasma yang mempengaruhi kualitas
spermatozoa (Mc Clure, et al., 1989). Pengembangan metode Swim up dengan berbagai modifikasi,
berpengaruh terhadap jenis kelamin anak yang dilahirkan (Aitken, 1987; Han et al., 1993; Check et al.,
1994; dan De Jonge et al., 1997). Pemisahan jenis kelamin dengan cara ini, mendasarkan diri pada
perbedaan karakter pergerakan spermatozoa. Spermatozoa berkromosom Y bergerak lebih cepat ke
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
166
permukaaan media dibandingkan spermatozoa berkromosom X. Spermatozoa yang berada pada lapisan
atas setelah inkubasi mengandung populasi spermatozoa berkromosom Y. Kondisi tersebut ditegaskan
pula oleh Schilling dan Thormahlen (1976), bahwa spermatozoa berkromosom Y mempunyai
kemampuan bermigrasi lebih cepat dibandingkan spermatozoa berkromosom X, sehingga apabila
dilakukan sentrifugasi spermatozoa berkromosom X cenderung lebih cepat membentuk endapan (Mohri,
et al., 1987).
Untuk memperoleh kejelasan baik kualitas spermatozoa, angka konsepsi, maupun perbandingan
jenis kelamin anak yang lahir dari IB dengan menggunakan spermatozoa hasil pemisahan sentrifugasi
gradien densitas percoll dan Swim up, maka data dianalisis dan diperoleh hasil sebagai berikut :
1. Konsentrasi
Konsentrasi adalah jumlah sel spermatozoa per ml sperma. Dari hasil penelitian menunjukkan
bahwa, konsentrasi pada kelompok kontrol (K) nyata lebih tinggi (P<0,05) konsentrasinya (1670,63 x
106/ml sperma) dibandingkan dengan kelompok perlakuan sentrifugasi gradien densitas percoll (1252,98
x 106/ml sperma) dan
perlakuan Swim Up. (835,31 x 10
6/ml sperma) konsentrasi kolom percoll kepadatan
penyaringannya masih dapat ditembus oleh spermatozoa sapi Bali dengan ukuran kepala berkisar antara
37- 44 µm (Yuliani, 2000). Sekaligus membuktikan keterandalan percoll sebagai medium seleksi sperma
sapi Bali. Percoll bersifat isotonik terhadap sel spermatozoa, tidak toksik, tidak dapat menembus dan
merusak membran sel, kompatibel dengan sistem biologis, dan tidak mempunyai efek yang berlawanan
terhadap proses seleksi (Mohri, et al., 1987). Sehingga dalam proses pemisahan spermatozoa diperoleh
konsentrasi spermatozoa per ml sperma dalam jumlah yang cukup tinggi.
Rendahnya konsentrasi pada metode Swim up, diduga hanya 1/3 bagian atas yang diambil dari
medium yang digunakan. Metode ini mengandalkan kemampuan motilitas spermatozoa untuk bermigrasi
ke atas permukaan medium. Sementara sperma motil yang tidak mampu keluar dari seminal plasma tidak
ikut terambil, sehingga diperoleh konsentrasi yang lebih rendah.
2. Motilitas
Dari hasil pemisahan terlihat bahwa motilitas dengan pergerakan sangat progresif dan
pergerakan progresif cenderung meningkat, pada perlakuan sentrifugasi gradien densitas percoll (78,10 ±
4,18 %) dan Swim up (80,30 ± 4,27%) dibandingkan dengan kelompok kontrol (K= 75,63 ± 5,13 %)
meskipun secara statistik tidak berbeda secara bermakna (P>0,05). Kecenderungan tingginya persentase
rata-rata spermatozoa motil pada perlakuan Swim up disebabkan efek kapasitasi akibat penginkubasian
selama 30 menit pada suhu 37 0C dan kapasitasi dapat menyebabkan terjadinya perubahan motilitas dalam
bentuk hiperaktivasi spermatozoa (Calvo, et al., 1989).
3. Morfologi
Morfologi spermatozoa hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan hanya memperlihatkan
pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) pada kategori kelainan kepala. Perlakuan P1(2,3117± 0,84) lebih
rendah dibanding dengan kelompok kontrol (K= 11,12 ± 1,58 %) tetapi tidak berbeda nyata (P> 0,05)
dibanding dengan Swim up (4,53 ± 0,89 %). Hal ini membuktikan bahwa perlakuan sentrifugasi gradien
densitas percoll dapat menyaring dengan baik spermatozoa dengan kepala abnormal. Sedangkan adanya
kepala abnormal yang masih diperoleh diduga sebagai spermatozoa kelainan bentuk kepala dengan
diameter normal. Pada perlakuan Swim up hanya spermatozoa yang mempunyai morfologi normal yang
dapat bermigrasi keluar seminal plasma dan masuk kedalam medium yang ada di atasnya, sehingga
jumlah spermatozoa yang mengalami kelainan bentuk kepala sedikit. Hasil ini membuktikan bahwa
pemisahan sperma sapi Bali dengan metode sentrifugasi gradien densitas percoll dan Swim up tidak
merusak konsistensi morfologi spermatozoa.
3. Recovery
Pengukuran recovery dimaksudkan untuk mengevaluasi motilitas spermatozoa akibat pengaruh
pemisahan terhadap kelangsungan hidupnya sekaligus mencerminkan kemampuan fertilisasinya.
Pemisahan sperma dengan metode sentrifugasi gradien densitas kolom percoll mempunyai persentase
recovery yang tinggi (86,78 % ± 5,55) dibandingkan dengan metode Swim up (62,38 % ± 8,44).
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
167
4. Angka Konsepsi
Angka konsepsi pada IB dengan menggunakan sperma seksing menunjukkan bahwa perlakuan
sentrifugasi gradien densitas kolom percoll dan Swim up masing2 (90,0 %) lebih tinggi dari kontrol
(K=60,0%). Hal ini membuktikan bahwa pemisahan sperma dengan metode sentrifugasi gradien densitas
kolom percoll dan metode Swim up mempunyai kemampuan fertilisasi yang tinggi setelah pemisahan.
Kedua metode tersebut dapat pula memisahkan komponen dekapasitasi yang terdapat pada permukaan
spermatozoa selama dalam seminal plasma (Zaneveld, et al., 1991) yang sekaligus menyingkirkan dan
meminimumkan adanya spermatozoa yang mengalami aglutinasi. Dengan demikian memungkinkan
spermatozoa lebih mampu dan lebih progresif menelusuri saluran reproduksi betina menuju tuba falopii
yang memungkinkan bertemu dengan sel telur pada saat yang tepat untuk terjadinya fertilisasi. Metode
pemisahan tidak merusak tudung akrosom dan tidak menurunkan kemampuan spermatozoa untuk
membuahi. Oleh karena itu proses perubahan biokimia dan fisiologi spermatozoa pada kapasitasi serta
reaksi akrosom dapat berlangsung dengan baik, yang ditandai dengan tingginya angka konsepsi. Media
resuspensi yang digunakan untuk spermatozoa hasil pemisahan sangat mendukung kehidupan
spermatozoa. Media EBSS dengan kandungan cairan garam yang seimbang dengan konsentrasi elektrolit
yang tepat, sumber energi metabolis, dan serum albumin sebagai protein tambahan. Protein khusus yang
memenuhi syarat sebagai media kapasitasi adalah albumin, selain menambah pengikatan dan fungsi
transpor (Kragh-Hansen, 1985) albumin juga dapat sebagai media efflux sterol pada kultur sel. Juga akibat
adanya keseimbangan ion anorganik dan ion organik dalam medium percoll dalam bentuk sodium
bikarbonat (WHO, 1922), sodium merupakan salah satu ion organik esensial dan bikarbonat merupakan
ion organik yang substansial dalam seminal plasma (Bearden dan Fuquay, 1992) yang memungkinkan
viabilitas dan integritas membran sel spermatozoa tetap terjaga. Pada akhirnya fertilitas spermatozoa sapi
Bali tetap tinggi untuk membuahi sel telur.
5. Rasio Seks
Penggunaan spermatozoa hasil pemisahan pada metode sentrifugasi gradien densitas percoll
percol Swim Up untuk IB mempunyai peluang yang tinggi untuk memperoleh anak yang lahir dengan
dominasi salah satu jenis kelamin dibandingkan dengan penggunaan spermatozoa tanpa perlakuan.
Perlakuan sentrifugasi gradien densitas kolom percoll dari 9 ekor anak yang lahir, terdapat 8 ekor anak
betina (88,80%) dan hanya seekor anak lahir jantan (11,20 %). Metode ini dapat digunakan untuk
pemisahan spermatozoa X dan Y, dengan persentase spermatozoa X yang diperoleh pada endapan
berbentuk pellet pada densitas percoll yang terbawah (90%) adalah lebih tinggi dari persentase
spermatozoa Y, jika diasumsikan atas dasar persentase jenis kelamin anak yang lahir. Tingginya
spermatozoa X yang diperoleh, disebabkan berat dan ukuran spermatozoa X yang lebih besar serta
kandungan DNA pada kepala spermatozoa X 3-4 % lebih besar dari pada spermatozoa Y (Mohri, et al.,
1987; Krzyzaniak dan Hafez ,1987)
Hasil yang diperoleh dari metode Swim up, dari 9 ekor anak yang lahir 8 ekor anak jantan (89 %)
dan 1 ekor anak betina (11 %). Hasil jenis kelamin kelahiran sebagai dasar untuk memperkirakan
persentase spermatozoa X dan Y yang terdapat dalam populasi spermatozoa, maka pemisahan antara
spermatozoa X dan Y dengan metode Swim up didapatkan persentase spermatozoa Y yang lebih banyak.
Dalam usaha meningkatkan produktifitas sapi Bali, teknologi reproduksi unggulan dapat
diterapkan. Kemajuan bioteknologi dibidang reproduksi memungkinkan populasi spermatozoa X dapat
dipisahkan dari spermatozoa Y. Program IB terpadu dengan menggunakan semen seksing dilakukan agar
inseminasi dapat dilaksanakan lebih efisien. Produksi anak sapi secara IB dengan populasi spermatozoa
berkromosom X atau Y sesuai kebutuhan, akan menjanjikan peningkatan jumlah kelahiran anak sapi
dengan jenis kelamin sesuai harapan dapat dilakukan dalam waktu yang relatif singkat.
KESIMPULAN
Metode sentrifugasi gradien densitas percoll dan metode Swim Up dapat dijadikan metode
pemisahan spermatozoa X dan Y pada spermatozoa sapi Bali. Persentase anak betina lebih banyak
diperoleh dari hasil IB dengan menggunakan spermatozoa hasil pemisahan sentrifugasi gradien densitas
kolom percoll. Persentase anak jantan yang lebih banyak diperoleh dari spermatozoa yang dipisahkan
dengan metode Swim up.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
168
DAFTAR PUSTAKA
Abeydeera, L.R; L.A. Johnson; G.R. Welch; W.H. Wang; A.C. Boquest; T.C. Cantley; A. Rieke and B.N Day. 1998.
Birth of piglets for gender following in vitro fertilization of in vitro matured pig oocytes by X and Y
chromosome bearing spermatozoa sorted by high speed flow cytometry. Theriogenology 50:981-988.
Avery, B and T. Greve. 1995. Impact of percoll in bovine spermatozoa used for in vitro Insemination.
Theriogenology 44 : 871-878.
Bhattacharya, B.C; P. Shome, P and A.H. Gunther. Semen l separation technique monitored with greater accuracy by
B-body test. International Journal of Fertility 24:256-259.
Cran. D. G; L. A. Johnson and C. Polge. 1995. Sex preselection in cattle: a field trial. Vet. Rec 136:495-496.
Drobnis E.Z, C.Q. Zhoong, and W. Overstreet. 1991. Separation of cryopreserved human semen using sephadex
collums, washing or percoll gradient. J. Androl 12:201-208.
Ericcson R. T. 1973. Isolation and storage of progressively motile human sperm. J. Androl 9: 111.
Garner, D.L and E.S.E. Hafez. 1993. Spermatozoa and seminal plasma. In : Reproduction in farm animal. 6 th Ed.
E.S.E. Hafez (Editor). Lea and Febiger. Philadelphia. 165-187.
Gordon, I. 1994. Laboratory production of cattle embryos. Biotechnology in Agriculture, 11.I. Gordon (Editor) CAB
International. Wallingford.
Guernsey, M.P; L.J. Hagemann and R.A.S Welch. 1994. Preliminary results from the use of FACS-sorted bull
sperma in an invivo embryo production system. Theriogenology 41,210.
Hafez, E.S.E. 1993. Techniques for Improving Reproduction Efficiency: semen evaluation. In.: Reproduction in Farm
Animal. Hafez, E.S.E. (ed) sixth Ed. Lea & Febiger. Philadelphia.
Harris, S.J; M.P. Milligen and K.J. Dennis. 1981. Improved separation of motile sperm in asthenospermia and its
application to artificial insemination homologous. J. Fertil Steril 36:219-221
Iritani A, Kasai M, Niwa K and Song H B. 1984. Fertilization in vitro of cattle follicular with ejaculated
spermatozoa capacitated in a chemically defined medium. J. Reprod. Fertil., 70:487-492.
Yuliani, E. 2000. Pemisahan spermatozoa dengan metode Swim up dan kombinasi Swim up dengan Aside migration
pengaruhnya terhadap rasio kromosom seks (Studi eksperimental untuk menghasilkan embrio sapi Bali
jantan). (Disertasi). Program Pascasarjana Universitas Airlangga. Surabaya.
Johnson, L. A. 1996. Gender preselection in mammals: an overview. DTW Dtsch Tierarztl Wochenschr 103: 288-291.
Mahaputra, L, Wurlina, Sulistiyati dan S. Mulyati. 1989. Pemisahan sel spermatozoa domba dengan sephadex
coulomn G-200. Media Kedokteran Hewan. FKH Unair 5:31-37.
Mahaputra, L. 1996. Teknik pembuatan embrio beku, kembar identik dan viabilitasnya, dalam upaya merintis pembangunan bank embrio sapi perah. Laporan Penelitian Hibah Bersaing II/3.
Macler. A; O. Murillo; G. Huszar; B. Tarlatzis; A. DeCherney and F. Naftolin. 1984. Improved tecniques for
separating motile spermatozoa from human semen. II. An automatic centrifugation method. J. Androl 7:71.
Mc. Clure; R.D.L Nunes and R. Tom.1989. Semen manipulation: improved sperm recovery and function with two layer percoll gradient. Fertil. Steril 51:5.
Parrish, J.J; J.L. Susko-Parrish; M.L. Liebfried-Rutledge; N.S. Crister; W.H. Eyestone and N.L. First. 1986. Bovine
in vitro fertilization with frozen-thawed semen. Theriogenology 25: 591-600.
Seidel. G.E. 1999. Commercializing reproductive biotecnology- the approach used by xy, inc. J. Theriogenology
51:5.
WHO. 1992. Laboratory manual for the examination of human semen and sperm cervical mucus interaction. 1992
Cambridge University Press. New York. USA . Hal 12.
Zavos, P M. 1995. Preparation of human frozen-thawed seminal speciments using the Sperm Prep filtration methode improvements over the conventional swim-up method. J. Fertil. Steril, 57:1326-1330
DISKUSI
Pertanyaan:
1. Apa perbedaan dan keunggulan dari embrio transfer dan seksing sperma?
2. Bagaimana kemungkinan pemanfaatannya secara mass production?
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
169
3. Bagaimana kiat mentransfer teknologi kepada petani agar tidak lagi memiliki ketergantungan
terhadap keahlian dari pada para tenaga ahli atau expert?
4. Bagaimana sentrifuse bisa berhasil dan tidak menyebabkan stress pada sperma.
Jawaban:
1. Perbandingan sperma X dan Y yang dihasilkan memiliki perbandingan yang sama. Seksing sperma
adalah untuk memilih agar anak yang dilahirkan memiliki jenis kelamin tertentu yang diharapkan.
Seleksi sperma dilakukan berdasarkan karakter yang dimiliki oleh spermatozoa X dan Y.
2. Diharapkan kedepan perlu adanya tim untuk mengkaji teknologi ini yang terdiri dari tenaga ahli,
pemerintah daerah dan balai penelitian.
3. Transfer teknologi kepada petani masih belum dapat dilakukan karena peralatan yang digunakan
cukup mahal dan penggunaannya membutuhkan pengetahuan dan ketrampilan yang tinggi.
4. Pemisahan dengan sentrifugal tidak akan merusak sperma karena menggunakan media cairan.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
170
STUDY AWAL EMBRIO TRANSFER PADA RUSA BAWEAN (Axis kuhlii) PRELIMINARY STUDY ON EMBRYO TRANSFER OF BAWEAN DEER (Axis kuhlii)]
Adji Santoso Dradjat
Laboratorium Reproduksi Ternak. Fakultas Peternakan, Universitas Mataram
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini yaitu penerapan teknologi embrio transfer pada rusa langka yaitu rusa Bawean, yang
termasuk dalam kelompok hewan yang terancam punah. Dua ekor rusa digunakan sebagai donor dan dua ekor lagi digunakan sebagai resipien. Sinkronisasi birahi dan induksi multipel ovulasi dilakukan dengan menggunakan
Controlled internal drug release (CIDR) secara intravaginal selama 11 hari, berikutnya 300 IU hormon Pregnant Mare
Serum Gonadotropin (PMSG/Folligon) diinjeksikan secara i.m. pada hari ke 9 pada pagi hari dan dosis kecil Folllicle
Stimulating hormon (FSH/ Folltropin) yaitu total 25 mg diinjeksikan secara i.m. lima kali dengan dosis menurun yaitu 3, 3, 2, 2, 1 bagian masing masing diinjeksikan pada hari ke 9 pagi dan sore, hari ke 10 pagi dan sore dan pada
hari ke 11 diberikan pada pagi hari bersamaan dengan pengambilan CIDR. Dengan kawin alam kedua donor betina
rusa Bawean tersebut di kawini oleh rusa jantan, dan pada saat pemeriksaan ovarium total ovulasi masing masing
adalah 5 ovulasi dan 2 ovulasi. Dari 7 ovulasi hanya didapatkan 3 embrio yang berada pada stadium morula. Berikutnya dua embrio di transfer pada dua rusa betina resipien dan menghasilkan satu kebuntingan.
Kata kunci: embrio transfer, rusa Bawean
ABSTRACT
The objective of the present study was to assess embryo transfer technique in Bawean deer. These deer
were categorized as endangered animal of extinction. Two Bawean hinds were used as donors while another two
were used as recipients. Estrous synchronization and multiple ovulation induction were performed by inserting
Controlled Internal Drug Release (CIDR) intravaginally for 11 days. Then 300 IU Pregnant Mare Serum Gonadotropin (PMSG/ Folligon) was injected i.m. on day 9th. at 6.00 am, and small doses Follicle Stimulating
Hormone (FSH/ Folltropin) total of 25 mg was injected i.m. in five injections with decreasing doses twice daily with
3, 3, 2, 2, 1 portions. These serial injections began on day 9th, 10th and 11th. The last injection was given at the same
time as CIDR removal and injections were given 12 days apart. With natural mating, stags mated donors and following embryo collection donors were detected ovulated 7 and 2 oocytes. From a total of 7 ovulations 3 embryos
were collected and the embryos were evaluated in early morulla stages. Finally two embryos were transferred into
recipients and one of them was detected to be pregnant.
Key words: embryo transfer, Bawean deer
PENDAHULUAN
Akhir-akhir ini perubahan dan perusakan lingkungan berlangsung dengan cepat akibat dari
peningkatan populasi penduduk. Peningkatan jumlah penduduk tersebut diramalkan tidak akan berhenti
sampai abad 21 (Klein, 1992; English, 1994). Perusakan lingkungan ini menyebabkan perubahan habitat,
yang akhirnya menyebabkan penurunan populasi hewan liar. Disamping itu dengan bertambahnya
penduduk, kebutuhan akan makanan juga meningkat yang mengakibatkan meningkatnya perburuan liar.
Kecenderungan kepunahan hewan liar di dunia, termasuk di Indonesia berlangsung sejak tahun 1960
(Mace et al., 1992). Laporan IUCN tahun 1994, menyatakan bahwa Indonesia adalah negara yang
menempati urutan teratas di dunia dalam jumlah hewan yang terancam kepunahan (Groombrige,1993).
Bila populasi hewan sedikit maka perkawinan keluarga (inbreeding) tidak akan terhindarkan dan
dapat berdampak buruk terhadap kesuburan hewan, kematian anak meningkat dan rentan terhadap
berbagai penyakit. Kejadian inbreeding ini telah diteliti pada hewan berkuku satu (Ralls et al., 1979).
Bila hal ini terjadi jumlah hewan liar akan turun dari tahun ke tahun yang akan berakhir dengan
kepunahan (Whitehead, 1977; Groombrige, 1993). Kejadian inbreeding dapat dicegah dengan
memperkenalkan materi genetik dari hewan diluar kawasan dengan menggunakan teknologi embrio
transfer telah berkembang pada bebrapa spesies hewan (Fennessy et al., 1994).
Di Indonesia terdapat 4 spesies rusa asli (indigenous species), satu diantaranya, yaitu rusa
Bawean termasuk dalam hewan yang terancam kepunahan (Blouch dan Atmosoedirdjo, 1987). Dengan
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
171
stimulasi multipel ovulasi maka rusa betina dapat menghasilkan ovum melampaui jumlah normalnya, bila
telur-telur dapat dibuahi akan dapat menghasilkan embrio dalam jumlah banyak. Bila embrio-embrio
yang dihasilkan dapat ditransfer pada penerima akan dapat mempercepat dan memperbanyak
kebuntingan. Tujuan penelitian ini yaitu penerapan teknologi embrio transfer pada rusa langka yaitu rusa
Bawean.
MATERI DAN METODE
Empat ekor rusa Bawean digunakan dalam penelitian ini, dua ekor dipersiapkan sebagai donor
dan sisanya dua ekor sebagai penerima. Pelaksanaan kegiatan ini dilakukan seperti yang tercantum pada
(Tabel 1), induksi multipel ovulasi dilakukan pada donor sedangkan penerima dilakukan sinkronisasi
birahi.
Untuk itu rusa donor dilakukan induksi birahi dan induksi multipel ovulasi untuk menghasilkan
ovulasi lebih dari satu oosit dan untuk mencapai fertilitas yang optimum rusa dicampur dengan rusa
jantan. Ovum yang telah dibuahi (embrio) diambil secara laparotomi dan ditransplantasikan kepada
resipien yang telah disiapkan, dengan penjadwalan kerja seperti pada Tabel 1.
Induksi multipel ovulasi dilakukan pada donor dengan cara sinkronisasi menggunakan CIDR
yang dimasukkan secara intravaginal selama 11 hari dan pada hari ke 9 di injeksi dengan PMSG
(Folligon) sebanyak 300 IU dan selama 3 hari diberikan kali injeksi FSH (Folltropin) dengan dosis total
16 mg. Pada hari ke 9 , 3 bagian pagi dan 3 bagian sore, pada hari ke 10, 2 bagian pagi dan 2 bagian sore
dan pada hari ke 10, 1 bagian pagi bersamaan dengan pengambilan CIDR. Birahi diamati mulai hari ke
12-15.
Tabel 1. Jadwal pelaksanaan Embrio transfer
Hari Donor Resipien Keterangan
1 Pemasangan CIDR
2 Pemasangan CIDR
9 Injeksi 300 IU PMSG* Injeksi 4.3 mg FSH*
Injeksi 4,3 mg FSH**
*pada pagi hari (jam 6 pagi) ** pada sore hari (jam 6 sore)
10 Injeksi 2.9 mg FSH* Injeksi 2,9mg FSH**
CIDR diambil
CIDR resipien diambil 12 jam lebih awal
11 Injeksi 1,5 mg FSH*
CIDR diambil*
13-16 Deteksi birahi
dan kawin alam
Deteksi birahi Menggunakan jantan vasektomi
19 Koleksi embrio Transplantasi embrio
Pengambilan embrio dilakukan pada donor dan setelah embrio didapatkan, embrio di
transplantasikan pada resipien. Pengambilan embrio dilakukan dengan menggunakan teknik seperti yang
dilaporkan oleh Heywood, (1993). Setelah rusa teranastesi rusa ditempatkan pada meja khusus. Daerah
bagian depan kelenjar susu sejauh 6 sampai 7 cm dibersihkan, bulu dicukur, dicuci dan diberi antiseptik
yaitu alkohol dan Betadine. Berikutnya kulit diiris sepanjang 5 cm pada linea alba selanjutnya dinding
dan otot perut dibedah dan uterus dikeluarkan dari rongga perut menggunakan jari tangan. Ovarium
kanan dan kiri dikembalikan ke rongga perut setelah dihitung jumlah corpora lutea dan folikel yang ada.
Berikutnya uterus yang berada diluar tubuh di basahi dengan cairan fisiologis. Melalui rongga yang
dibuat menggunakan ujung tumpul Folley catheter no 10 (Sherwood medical, St Louis USA) dimasukkan
dan ditiup, sehingga menutupi basal uterus. Ujung kornu uteri di aliri dengan cairan fosfat buffer
sebanyak 5 sampai 10 ml yang ditambahkan 10% Bovine Serum Albumin (BSA) yang diinjeksikan pada
utero tubal junction menggunakan jarum tumpul. Cairan fosfat bufer yang keluar dari basal kateter
ditampung pada cawan petri steril. Setelah cairan didapatkan, udara pada balon Folley catheter
dikeluarkan dan kateter di lepas, berikutnya hal yang sama dilakukan pada uterus yang satunya. Lubang
pada uterus ditutup dengan satu jahitan menggunakan Cat gut (1,0 vicryl, Ethicon NY USA). Sebelum
uterus dimasukkan ke dalam perut dicuci dulu dengan cairan fisiologis steril. Berikutnya dinding perut
ditutup dengan menjahit 3 lapis dinding perut dengan jahitan matras menggunakan Cat gut (1,0 vicryl,
Ethicon NY USA), selanjutnya kulit ditutup dengan jahitan matras menggunakan benang nilon (Ethicon.
Monofilament. Australia) dan rusa di injeksi dengan antibiotik long acting. Berikutnya embrio yang
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
172
terdapat pada fosfat bufer di evaluasi dibawah mikroskop menggunakan cara yang dilaporkan oleh
Wagner, (1987).
Teknik transplantasi embrio, dilakukan dengan mempersiapkan resipien seperti pada Tabel 1.
Setelah rusa resipien ditidurkan menggunakan anastesi umum, bagian depan kelenjar mamae dibersihkan,
dicukur dan diberi antiseptik. Dibuat insisi 0.5 cm di bagian kiri untuk memasukkan trokar dan teleskop
laparoskop, sedang insisi 1,5 cm dibuat di mid line untuk memasukkan forsep Babcock. Setelah ovarium
terevaluasi yaitu yang mengalami ovulasi, uterus pada bagian tersebut ditarik melalui insisi 1,5 cm
menggunakan forsep Babcock. Selanjutnya melalui luka jarum tumpul embrio diinjeksikan ke dalam
uterus dan uterus dikembalikan kedalam perut. Berikutnya alat laparoskop diangkat dari perut udara yang
ada didalam perut dikeluarkan dan bekas luka dijahit dan diinjeksi antibiotik long acting.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Embrio transfer pada rusa masih dalam tahap awal perkembangan, dengan menggunakan
modifikasi metode yang digunakan pada kambing dan domba (Dixon, 1986; Bringans, 1989; Joubert and
Kidd, 1991). Dengan berkembangnya industri peternakan rusa di New Zealand dan Australia, embrio
transfer telah dikembangkan pada rusa sub tropik seperti rusa merah (Dixon, 1986; Bringans, 1989), pada
rusa fallow (Joubert dan Kidd, 1991; Jabbour et al., 1994; Morrow et al., 1994) dan dalam usaha untuk
preservasi rusa langka telah dilakukan pada rusa ekor putih (Waldhalm et al., 1989). Embrio transfer
teknologi ini dapat digunakan untuk konservasi rusa langka untuk memindahkan materi genetik
melampaui batas internasional. Keberhasilan embrio transfer ini sangat tergantung dari keberhasilan
sinkronisasi birahi, multipel ovulasi, pengambilan embrio pada donor dan sinkronisasi birahi dan
transplantasi embrio pada hewan penerima.
Dalam melaksanakan embrio transfer terdapat dua teknik utama yaitu induksi multipel ovulasi
dan teknik pengumpulan selanjutnya transplantasi embrio. Pada rusa multipel ovulasi telah dilaporkan
pada Fallow deer (Asher et al., 1991; Jabbour et al., 1992, 1994), Red deer (Asher et al., 1992), Pere
Davids deer (Argo et al , 1992) dan pada White tailled deer (Waldhalm et al., 1989) bahwa respons
multipel ovulasi pada rusa tidak selalu berhasil (Magyar et al., 1992; Mylrea 1992). Keberhasilan induksi
multipel ovulasi sangat penting karena merupakan syarat untuk pelaksanaan transfer embrio. Pada Tabel
2 dapat dilihat bahwa rusa bawean dapat memberikan respons yang baik terhadap hormon Pregnant Mare
Serum Gonadotropin (PMSG) dan dosis kecil Folllicle Stimulating Hormon (FSH) diberikan secara seri
secara menurun. Kedua donor betina yang digunakan dalam penelitian tersebut di kawini oleh rusa
jantan, dan pada saat pemeriksaan ovarium total ovulasi masing masing adalah 5 ovulasi dan 2 ovulasi.
Tabel 2. Hasil induksi multipel ovulasi rusa Bawean
No Ovarium kiri Ovarium kanan
Total ovulasi Ovulasi Folikel Ovulasi Foloikel
340 4 1 1 1 5
303 2 1 0 0 2
Telah dilaporkan bahwa hasil multipel ovulasi mempunyai respons yang sangat luas (Asher et
al., 1991). Variasi yang luas hasil tersebut dilaporkan pada Fallow deer antara 3 sampai 24 (Jabbour et
al., 1994); antara 0 sampai 15 (Morrow et al., 1994), pada Pere David deer menghasilkan 1 sampai 8
ovulasi dan pada Red deer 4 sampai 23 ovulasi (Argo et al., 1992), pada White tailled deer menghasilkan
1 sampai 8 ovulasi (Waldhalm et al., 1989).
Tabel 3. Hasil pengumpulan embrio rusa Bawean
No Total ovulasi Hasil pengumpulan embrio
340 5 3
303 2 0
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa setelah diamati dibawah mikroskop cairan yang didapat
pada pengambilan embrio rusa No 303 tidak didapatkan embrio sama sekali (Tabel 3). Pada rusa No. 340
didapatkan 3 embrio yang berada pada stadium morulla. Berikutnya dua embrio di transfer pada dua rusa
betina resipien dan menghasilkan satu kebuntingan. Keberhasilan pelaksanaan embrio transfer pada rusa
bermanfaat untuk konservasi rusa langka yang berasal dari daerah tropik. Pada penelitian in problem
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
173
utama pelaksanaan embrio transfer ini ialah rendahnya recovery rate embrio yang memenuhi kriteria
untuk dapat di transfer (Morrow et al., 1994) tidak ditemui.
KESIMPULAN DAN SARAN
Rusa bawean memberikan respons yang baik terhadap program multipel ovulasi menggunakan
kombinasi hormon Pregnant Mare Serum Gonadotropin (PMSG) dan dosis kecil Folllicle Stimulating
Hormon (FSH) diberikan secara seri secara menurun. Dengan kawin alam kedua donor betina rusa
Bawean tersebut di kawini oleh rusa jantan, dan pada saat pemeriksaan ovarium total ovulasi masing
masing adalah 5 ovulasi dan 2 ovulasi. Dari 7 ovulasi hanya didapatkan 3 embrio yang berada pada
stadium morula. Berikutnya dua embrio di transfer pada dua rusa betina resipien dan menghasilkan satu
kebuntingan.
Karena keterbatasan jumlah rusa, diperlukan studi lebih lanjut untuk mendapatkan hasil yang
lebih representatif.
DAFTAR PUSTAKA
Argo C. Mc. G., Jabbour H.N., Webb R. and Loudon A.S.I. 1992. Endocrine and ovarian responses in red and Pere
David's deer following superovulation with PMSG and FSH. Journal of Reproduction and Fertility. :31.
Asher G.W., Fisher M.W., Jabbour H.N., Smith J.F., Mulley R.C., Morrow C.J., Veldhuizen F.A and Langridge M. 1992a Relationship between the onset of oestrus, preovulatory surge in luteinizing hormone and ovulation following
oestrus synchronisation and superovulation of farmed deer (Cervus elaphus). Journal of Reproduction and
Fertility. 96:261-273.
Asher G.W., Jabbour H.N., Berg D.K., Fisher M.W, Fennessy P.F. and Morrow C.J. 1991. Artificial insemination, embryo transfer and gamete manipulation of farmed red deer and fallow deer. Proceedings of a deer course for
veterinarians, New Zealand Veterinary Assoc, no 8:275-306.
Blouch R. dan Atmosoedirdjo S. 1987. Biology of the Bawean deer and prospects for its management. Biology and
Management of the cervidae. Smithsonian Instutute Press. Washington DC.:320-327.
Bringans M.J. 1989. Embryo transfer in deer: an update. Proceedings of a Deer Course for Veterinarians. New Zealand
Veterinary Association. no 6:21-28.
Dixon T.E. 1986. Embryo transfer in deer- the state of art. Proceedings of a Deer Course for Veterinarians. New Zealand
Veterinary Association. no 3:96-103.
Dradjat A.S. 1996. Artificial breeding and reproductive management in chital deer. Ph.D Thesis. The University of
Sydney.
English A.W. 1994b The role of veterinarian in the preservation of biodiversity. Proceedings of the 1994 annual
conference of the australian association of veterinary conservation biologist. Canberra: 5-9.
Fennessy P.F., Asher G.W., Beatson N.S., Dixon T.E., Hunter J.W. dan Bringans M.J. 1994. Embryo Transfer in
deer. Theriogenology. 41:133-138.
Groombridge B. 1993. 1994 IUCN Red list of threatened Animals. IUCN-The World Conservation Union. 25-26.
Heywood E.R. 1993 Embryo transfer in sheep. Embryo transfer in sheep and goats. Post graduate committee in Veterinary Sci. Sydney University. Proc. No 215 :69-75.
Jabbour H.N., Marshall V., Argo C., Hooton J. and Loudon A.S.I. 1994. Successful embryo transfer following artificial
insemination of superovulated fallow deer (Dama-dama). Reproduction, Fertility and Development. 6:181-185.
Jabbour H.N., Veldhuizen F.A and Asher G.W. 1992. Effect of oestrus synchronisation on fertility of fallow deer following cervical insemination with fresh or frozen-thawed spermatozoa. Journal of Reproduction and
Fertility. (Abstract series) 9:31.
Joubert S.M. and Kidd G.N., 1991. Field trials with superovulation, artificial insemination and embryo transfer in fallow
deer (Dama dama dama) in Western Australia. Proceedings of a Deer Course for Veterinarians. (N.Z.V.A.) no 8:243-248.
Klein D.R. 1992. The status of deer in a changing world environment. Proceedings of the International symposium on
biology of deer, editor: Brown R.D. Springer-Verlag New York Inc. :3-12.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
174
Mace G.M., Pemberton J.M. and Stanley H.F. 1992. Conserving genetic diversity with the help of biotechnology-desert antelopes as an example. Biotechnology and the conservation of genetic diversity. Symposia of the Zoological
Society of London. no 64:123-134.
Magyar S.J. 1992. Synchronisation of oestrus, superovulation and embryo transfer in captive white-tailed deer. PhD
Thesis, Texas A&M University.
Morrow C.J., Asher G.W., Berg D.K., Tervit H.R., Pugh P.A., McMillan W.H., Beaumont S., Hall D.R.H. and Bell
A.C.S. 1994. Embryo transfer in fallow deer (Dama dama): Superovulation, embryo recovery and
laparoscopic transfer of fresh and cryopreserved embryos. Theriogenology. 42:579-590.
Mylrea G.E. 1992. Natural and artificial breeding of farmed chital deer (Axis-axis) in Australia. PhD. Thesis, Sydney University.
Ralls K., Brugger K. and Ballou J. 1979. Inbreeding and juvenile mortality in small population of ungulates, Science,
206:1101-1103.
Wagner H.G.R. 1987. Present status of embryo transfer in cattle. World Animal Review. 64: 2-11.
Waldhalm S.J., Jacobson H.A., Dhungel S.K. and Bearden H.J. 1989. Embryo transfer in the white-tailed deer: a
reproductive model for endangered deer species of the world. Theriogenology. 31:437-450.
Whitehead G.K. 1977. Endangered deer. The world of wildlife. Editor: N Sitwell. The Hanlyn publishing group Ltd. :32-
41.
DISKUSI
Pertanyaan:
1. Apa perbedaan Inseminasi Buatan dan Embrio Transfer?
2. Apakah embrio transfer dapat dilakukan tanpa pembedahan?
Jawaban :
1. Inseminasi Buatan berbeda dengan Embrio Transfer tergantung dari tujuan pemeliharaan ternak
tersebut. Sementara ini kduanya bertujuan untuk mempertahankan dan mengembangkan plasma
nutfah.
2. Pembedahan dilakukan pada transfer embrio, namun transfer embrio dapat dilakukan tanpa
pembedahan hanya saja diperlukan penelitian dan pengkajian lebih lanjut.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
175
KASUS PENYAKIT INFEKSI BAKTERI PADA IKAN KERAPU
DI KERAMBA JARING APUNG TELUK EKAS,
KABUPATEN LOMBOK TIMUR, NUSA TENGGARA BARAT
Fris Johnny 1, Prisdiminggo
2 dan Des Roza
1
1Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol, Bali PO BOX 140, Singaraja 81101, Bali 2Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, NTB PO BOX 1017 Mataram 87010 Mataram
ABSTRACT
The groupers cultured on net cages as develop at Ekas Bay, Kabupaten Lombok Timur, NTB by Institute
Research Technology for Agriculture, NTB. Groupers culture as humpback grouper, Cromileptes altivelis, tiger grouper, Epinephelus fuscoguttatus, and orangespotted grouper, Epinephelus coioides. Groupers showed clinical
signs furuncles or hemorrhagic ulcers on body surface and the lesions develop to erosion with hemorrhages on fin.
An experiment was aimed to isolate and characterize bacteria from infected groupers. Bacteria isolate from ulcers and
finrot of diseased fish grew well at Thiosulphate Citrate Bile Salt Sucrose Agar (TCBSA) giving yellow colony. The bacteria was identified as Vibrio sp.
Keywords : bacterial diseases, groupers, net cage, Ekas Bay
ABSTRAK
Budidaya ikan kerapu di dalam keramba jaring apung (KJA) telah dikembangkan oleh Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian, NTB di Teluk Ekas, Kabupaten Lombok Timur, NTB. Ikan kerapu yang telah dibudidayakan
adalah jenis ikan kerapu bebek, Cromileptes altivelis, ikan kerapu macan, Epinephelus fuscoguttatus,dan ikan kerapu
lumpur, Epinephelus coioides. Pada budidaya ikan kerapu tersebut ditemukan ikan sakit dengan gejala klinis borok pada bagian tubuh dan sirip busuk. Dari gejala klinis tersebut diduga ikan kerapu terserang penyakit infeksi bakteri.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis bakteri penyebab penyakit pada ikan kerapu budidaya. Di
Laboratorium Patologi Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol, Bali, ikan kerapu bebek, ikan kerapu
macan dan ikan kerapu lumpur yang sakit telah diisolasi isolat bakteri dari borok dan sirip yang busuk. Isolat tersebut dapat tumbuh baik pada media ―thiosulphate citrate bile salt sucrose agar‖ (TCBSA) dengan warna koloni kuning
Bakteri ini diklasifikasikan ke dalam genus Vibrio sp.
Kata kunci : penyakit infeksi, bakteri, ikan kerapu, keramba jaring apung, Teluk Ekas
PENDAHULUAN
Budidaya ikan kerapu pada beberapa lokasi di Indonesia sudah semakin berkembang, terutama
budidaya ikan kerapu di keramba jaring apung (KJA). Hal ini disebabkan karena semakin tersedianya
benih secara teratur, baik dalam jumlah maupun ukuran. Panti benih di Gondol, Bali bagian utara telah
semakin berkembang dan mampu menjamin pasokan benih. Tadinya benih ikan kerapu sangat
mengandalkan pasokan alam yang jumlahnya sangat terbatas dan waktu pasok yang tidak menentu.
Karena itu pemerintah mendorong segala upaya yang mengarah kepada kegiatan budidaya ikan kerapu
khususnya melalui jaring apung di laut (Subiyanto et al., 2001).
Usaha budidaya laut merupakan salah satu usaha yang dapat memberikan alternatif sumber
penghasilan untuk meningkatkan pendapatan bagi nelayan. Apabila usaha budidaya berkembang, maka
produksi dapat ditingkatkan baik jumlah maupun mutunya. Dampak lebih lanjut dari usaha ini adalah
kesejahteraan masyarakat nelayan mengalami peningkatan (Akbar, 2001).
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, NTB telah mencoba mengembangkan keramba jaring
apung di Teluk Ekas, Desa Batunampar, Lombok Timur, NTB. Usaha budidaya ikan kerapu di keramba
jaring apung yang dikembangkan adalah jenis kerapu bebek (Cromileptes altivelis), kerapu macan
(Epinephelus fuscoguttatus), dan kerapu lumpur (Epinephelus coioides). Pengembangan usaha budidaya
ikan kerapu di keramba jaring apung mempunyai kelebihan antara lain rendahnya biaya operasional
dibandingkan dengan nilai ekonomi yang dihasilkan serta teknologi budidayanya yang sederhana dan
mudah diadaptasikan di masyarakat petani nelayan secara luas.
Permasalahan yang timbul pada budidaya ikan kerapu di keramba jaring apung adalah terjadinya
penyakit. Salah satu penyakit yang ditemukan pada ikan kerapu adalah penyakit infeksi bakteri dengan
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
176
gejala klinis adanya borok pada bagian tubuh, dan sirip yang busuk (Koesharyani & Zafran, 1997; Zafran
et al., 1998; Koesharyani et al., 2001; Wijayati & Djunaidah, 2001; Johnny & Roza, 2002; Johnny &
Prisdiminggo, 2002).
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi bakteri yang menginfeksi ikan kerapu di keramba
jaring apung.
METODE
Ikan Uji
Dari keramba jaring apung dikoleksi ikan uji dari ikan kerapu bebek, Cromileptes altivelis, ikan
kerapu macan, Epinephelus fuscoguttatus, dan ikan kerapu lumpur. Epinephelus coioides. Ikan uji yang
digunakan adalah dari kelompok ikan yeng terlihat sakit dengan memperlihatkan gejala klinis. Setiap
ikan uji dari masing-masing kelompok diamati gejala klinis yang terlihat, seperti perubahan warna kulit,
luka-luka erosi disertai pendarahan, dan pembusukan pada sirip.
Isolasi dan Identifikasi Bakteri
Koleksi isolat bakteri diambil dari borok pada bagian tubuh ikan kerapu, dan bagian sirip yang
busuk. Isolasi dilakukan pada media penumbuh”tryptone soya agar‖ (TSA), media ―thiosulphate citrate
bile salt sucrose agar‖ (TCBSA), kemudian diinkubasi pada suhu 25-280C selama 24-48 jam. Pemurnian
terhadap bakteri yang tumbuh dominan pada media TSA dan TCBSA dilakukan dengan menggunakan
media ―marine agar‖ (MA). Hasil pemurnian bakteri ini selanjutnya digunakan sebagai bahan uji.
Identifikasi isolat bakteri dilakukan berdasarkan acuan (Holt et al., 1994).
Isolasi Ulang Bakteri
Isolat bakteri uji dibiakkan dalam media MA yang diinkubasikan selama 24-48 jam pada suhu
260C, kemudian dipanen menggunakan air laut steril. Kepadatan bakteri 10
8 cfu/mL ditentukan
berdasarkan McFarland “equivalence turbidity standard 1.0” setara dengan kepadatan bakteri 108
cfu/mL. Selanjutnya isolat bakteri tersebut digunakan sebagai bahan infeksi buatan dengan cara
menyuntikkan intraperitoneal sebanyak 0,1 mL/individu. Ikan kontrol disuntik menggunakan NaCl
fisiologis dengan dosis yang sama. Ikan uji yang digunakan adalah juvenil ikan kerapu bebek, ikan
kerapu macan, dan ikan kerapu lumpur, bobot antara 8-19 gram, panjang total antara 5-9 cm masing-
masing 10 ekor untuk setiap kelompok. Pengamatan dilakukan terhadap gejala klinis dan mortalitas ikan
uji, dan melakukan isolasi ulang bakteri dari organ ginjal dan luka erosi.
Uji Sensitivitas terhadap Antibiotik
Dari isolat bakteri yang diperoleh dilakukan uji sensitivitas terhadap antibiotik dilakukan secara
in-vitro. Bakteri uji dioleskan secara merata pada lempengan media agar, selanjutnya pada bagian
permukaan diletakkan lempeng antibiotik yang sudah mengandung antibiotik yang akan diuji, yaitu
eritromisin (15 g), ampisilin (10 g), klorampenikol (30 g), dan oksitetrasiklin (30 g), produksi Oxoid
Unipath Limited, Besingstoke, Hampshire, UK. Kemudian diinkubasikan pada suhu 26 0C selama 24
jam. Tingkat sensitivitas ditentukan melalui pengukuran zona penghambatan yang diakibatkan oleh
masing-masing antibiotik uji.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Isolasi dan Identifikasi Bakteri
Isolat bakteri dominan diisolasi dari luka erosi atau borok dan sirip busuk pada ikan kerapu
bebek, ikan kerapu macan, dan ikan kerapu lumpur yang sakit, berasal dari keramba jaring apung di
daerah Teluk Ekas, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Dari isolat dominan yang diperoleh
selanjutnya diberi kode LG-1802, LG-2802, LG-3802, LG-4802, LG-5802, LG-6802, dan LG-7802,
selanjutnya digunakan dalam penelitian ini (Tabel 1).
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
177
Tabel 1. Pertumbuhan bakteri yang diisolasi dari borok dan sirip busuk pada media tumbuh bakteri
Organ Media bakteri
TSA TCBSA
Borok + +
Sirip busuk + +
Tabel 1, menunjukkan bahwa isolat bakteri yang dimurnikan pada media MA adalah isolat yang
tumbuh pada media TSA dan TCBSA. Pada media TSA hampir semua jenis bakteri tumbuh dan tidak
spesifik untuk satu bakteri. Sedangkan pada media TCBSA bakteri yang tumbuh adalah spesifik untuk
bakteri dari genus vibrio.
Dengan berpedoman kepada Holt et al. (1994) isolat bakteri LG-2802, LG-5802 dan LG-7802
diidentifikasikan sebagai genus vibrio. Tabel 2 menunjukkan karakter dari isolat tersebut antara lain
gram negatif, sitokrom oksidase positif, dan sensitif terhadap agen vibrio statik 0/129 150 mg. Bakteri
vibrio dapat bersifat patogen terhadap ikan, seperti Vibrio harveyi yang ditemukan sebagai penyebab
penyakit mata pada ikan bandeng, Chanos chanos di Filipina (Muroga et al., 1984), kasus infeksi mata
ikan common snook, Centropomus undecemalis (Kraxberger et al., 1990).
Gambar 1. Penyakit borok pada ikan kerapu
Di Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol, Bali kasus penyakit borok pada ikan
kerapu merupakan salah satu penyakit penting pada budidaya ikan kerapu di dalam keramba jaring apung.
Penyakit ini dapat menyebabkan kematian masal seperti halnya infeksi iridovirus. Sampai sekarang
penyakit ini ditemukan pada calon induk kerapu lumpur dan fingerling kerapu macan. Pada fingerling
kerapu macan, penyakit ini terjadi 1 minggu setelah ikan dipelihara di dalam keramba jaring apung.
Mortalitas dari masing-masing kasus dapat mencapai 10-20% meskipun telah diterapi dengan antibiotik.
Pada kasus penyakit borok pada ikan kerapu (Gambar 1), ikan yang mengalami kematian secara akut
memperlihatkan beberapa gejala eksternal, sedangkan pada kasus kronis terlihat pembengkakan atau luka-
luka kemerahan yang merupakan ciri khas yang dapat diamati pada permukaan tubuh. Bakteri penyebab
infeksi ini termasuk ke dalam genus Vibrio dan di Gondol telah diidentifikasi sebagai Vibrio alginolyticus
(Koesharyani et al., 2001).
Kasus penyakit sirip busuk pada ikan kerapu, penyebab utama adalah jenis bakteri Flexibacter
yang menyerang ikan kerapu bebek. Pada ikan kerapu bebek yang dibudidayakan di panti benih sering
Gambar 2. Penyakit sirip busuk pada ikan kerapu
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
178
ditemukan adanya sirip busuk dengan luka kemerahan (Gambar 2). Dari luka-luka ini, satu jenis bakteri
telah diisolasi dan diidentifikasikan sebagai bakteri Flexibacter maritimus. Meskipun bakteri ini bukan
penyebab dari sistemik septikemia, jika pengobatan tidak dilakukan, maka kondisi ikan akan semakin
buruk dengan infeksi sekunder oleh vibrio (Koesharyani et al., 2001; Johnny & Roza, 2002; Johnny &
Prisdiminggo, 2002).
Dalam percobaan ini bakteri Flexibacter maritimus sebagai infeksi primer tidak dapat diisolasi
dan diidentifikasi, diduga bakteri vibrio sebagai infeksi sekunder sudah sangat dominan. Kasus sirip
busuk pada ikan kerapu menunjukkan bakteri vibrio hanya berperan dalam infeksi sekunder yang dapat
timbul setiap waktu tergantung pada faktor lingkungan serta faktor lainnya (Saeed, 1995).
Bakteri vibrio diketahui sebagai bakteri oportunistik dan merupakan bakteri yang sangat ganas
dan berbahaya pada budidaya ikan kerapu karena dapat bertindak sebagai patogen primer dan sekunder.
Sebagai patogen primer bakteri masuk tubuh ikan melalui kontak langsung, sedangkan sebagai patogen
sekunder bakteri menginfeksi ikan yang telah terserang penyakit lain, misalnya oleh parasit (Post, 1987).
Ikan kerapu di alam merupakan ikan karang dengan habitat asli di daerah terumbu karang di laut
dalam yang jernih dan bersih. Berkembangnya bakteri vibrio di suatu perairan merupakan indikator
perairan yang kurang menguntungkan bagi ikan dengan kandungan nutrien yang tinggi (Andrews et al.,
1988).
Penyakit yang disebabkan oleh vibrio juga merupakan masalah yang sangat serius dan umum
menyerang ikan-ikan budidaya laut dan payau. Penularannya dapat melalui air atau kontak langsung
antar ikan dan menyebar sangat cepat pada ikan-ikan yang dipelihara dengan kepadatan tinggi. Bakteri
vibrio yang menginfeksi ikan kerapu stadia juvenil selain lemah, berwarna kusam kehitaman, dan
produksi lendir berlebihan. Pada tingkat parah, sirip punggung dan sirip ekor gripis dengan permukaan
kulit menghitam seperti terbakar (Schubert, 1987).
Isolasi Ulang Bakteri
Isolat LG-2802, LG-5802 dan LG-7802 dilakukan uji patogenisitas bakteri terhadap ikan kerapu
sehat. Dari hasil pengamatan ternyata bakteri LG-2802, LG-5802 dan LG-7802 pada kepadatan 108
cfu/ml dalam 24 jam setelah penyuntikan secara intra muscular memperlihatkan gejala klinis luka
kemerahan pada tempat penyuntikan. Hasil isolasi ulang bakteri dari organ ginjal dan luka pada lokasi
penyuntikan ikan uji ternyata didapat bakteri jenis yang sama. Adanya bakteri yang sama pada ginjal
membuktikan bahwa ginjal mempunyai fungsi retikulo-endotelial, yaitu kemampuan suatu organ untuk
menyerap bakteri dari darah, dimana akumulasi bakteri yang diinjeksikan secara intramuskular lebih
banyak ditemukan pada organ ginjal dan limpa daripada dalam organ hati (Saeed, 1995).
Tabel 2. Karakteristik dari bakteri isolat LG-2802, LG-5802 dan LG-7802 yang diisolasi dari borok dan sirip busuk ikan kerapu
bebek, Cromileptes altivelis, ikan kerapu macan, Epinephelus fuscoguttatus, dan ikan kerapu Lumpur, Epinephelus
coioides.
Karakteristik Isolat LG-2802, LG-5802 dan
LG-7802
Holt et al.
(1994)
Isolasi ulang dari ginjal dan
luka erosi
Pewarnaan Gram - - -
Sitokrom oksidase + + +
Katalase + Nt +
Cahaya - D -
Gerakan D D D
Pertumbuhan pada TCBSA Y Y/G Y
Pertumbuhan pada NaCl :
0 % - - -
3 % + + +
6 % + + +
10 % - Nt -
L - Arginin - D -
L - Lysin + D +
L - Ornithin + D +
Hugh - Leifson (O-F) F F F
Peka terhadap 150 mg
agen vibriotik 0/129
S
S
S
Sumber : Holt et al. (1994)
D = Karakter berbeda antar spesies, Y = Kuning, F = Fermentatif, S = Peka, Nt = Tidak diuji, G = Hijau
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
179
Sensitivitas Bakteri terhadap Antibiotik
Pengujian dilakukan dengan menggunakan lempeng antibiotik untuk mengetahui jenis antibiotik
yang dapat digunakan sebagai alternatif pengendalian infeksi bakteri baik melalui pakan maupun
perendaman. Tabel 3 menunjukkan bahwa bakteri LG-2802, LG-5802 dan LG-7802 sensitif terhadap
antibiotik kloramfenikol (30 g) dan oksitetrasiklin (30 g) dan tahan terhadap antibiotik ampisilin (10
g) dan eritromisin (15 g) yaitu dengan melihat diameter zona penghambatannya.
Daya hambat antibiotik kloramfenikol terlihat lebih tinggi, akan tetapi untuk upaya pengendalian
infeksi bakteri vibrio tidak dapat diaplikasikan, karena antibiotik tersebut berbahaya bagi manusia serta
dapat menimbulkan resistensi terhadap bakteri. Koesharyani et al., (2001) menyatakan bahwa
pengendalian infeksi bakteri seperti penyakit finrot efektif menggunakan nifurpirinol 10,0% dengan dosis
1-2 ppm selama 24 jam. Namun terhadap ikan kerapu macan yang telah kehilangan sirip ekor tidak dapat
disembuhkan.
Tabel 3. Sensitivitas bakteri LG-2802, LG-5802 dan LG-7802 terhadap beberapa antibiotik secara invitro
Jenis Lempeng Antibiotik Konsentrasi Zona Penghambatan
Eritromisin 15 g 12 mm
Ampisilin 10 g 8 mm
Kloramfenikol 30 g 39 mm
Oksitetrasiklin 30 g 33 mm
KESIMPULAN
Bakteri penyebab penyakit borok dan sirip busuk pada ikan kerapu di dalam keramba jaring
apung adalah bakteri dari genus Vibrio sp.
SARAN
Upaya pengendalian penyakit borok dan sirip busuk pada ikan kerapu tidak disarankan
menggunakan antibiotik kloramfenikol, karena mempunyai efek negatif pada manusia dan dapat
menyebabkan bakteri menjadi resisten. Sebagai alternatif, disarankan menggunakan Nifurpirinol 10%
dengan dosis 1-2 ppm selama 24 jam.
DAFTAR PUSTAKA
Akbar, S. 2001. Pembesaran Ikan Kerapu Bebek (Cromileptes altivelis) dan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) di Karamba Jaring Apung. (In) Aliah et al., (Eds) Prosiding Lokakarya Nasional
Pengembangan Agribisnis Kerapu, Jakarta, 28-29 Agustus 2001. Hal. 141-148.
Andrews, C., A. Exell and N. Carrington. 1988. The Manual of Fish Health. Salamander Books Limited. London.
New York. 208pp.
Holt, J.G., N.R. Krieg, P.H.A. Sneath, J.T. Staley and S.T. Williams. 1994. Bergey‘s Manual of Determinative
Bacteriology. Ninth Edition. Williams & Wilkins. Baltimore. USA. pp.
Johnny, F. dan D. Roza. 2002. Kejadian Penyakit pada Budidaya Ikan Kerapu dan Upaya Pengendaliannya.
Laporan Hasil Penelitian Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol, Bali. 14 hal.
Johnny, F., dan Prisdiminggo. 2002. Studi Kasus Penyakit Fin Rot Pada Ikan Kerapu Macan, Epinephelus
Fuscoguttatus Di Karamba Jaring Apung Teluk Ekas, Desa Batunampar, Lombok Timur, NTB. Laporan
Hasil Penelitian Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol, Bali. 9 hal.
Kraxberger-Beatty, T., D.J. Mc. Garey, H.J. Grier and D.V. Lim. 1990. Vibrio harveyi an Opportunistic Pathogen of Common Snook, Centropomus undecimalis (Bloch), Held in Captivity. Journal Fish Diseases. 13:557-
560.
Koesharyani, I. and Zafran. 1997. Studi Tentang Penyakit Bacterial Pada Ikan Kerapu. Jur. Pen. Perikanan
Indonesia. III(4):35-39.
Koesharyani, I., D. Roza, K. Mahardika, F. Johnny, Zafran and K. Yuasa. 2001. Marine Fish and Crustaceans Diseases
in Indonesia In Manual for Fish Diseases Diagnosis II (Ed. by K. Sugama, K. Hatai and T. Nakai). 49 p.
Gondol Research Station for Coastal Fisheries, CRIFI and Japan International Cooperation Agency.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
180
Muroga, K., Gilda Lio-Po, C. Pitogo and R. Imada. 1984. Vibrio sp. isolated from Milkfish (Chanos chanos) With Opaque Eyes. Fish Pathology. 19(2):81-87.
Post, G. 1987. Texbook of Fish Health. T.F.H. Publications Inc. USA. 288 pp.
Saeed, O. 1995. Association of Vibrio harveyi With Mortalities in Cultured Marine Fish in Kuwait. Aquaculture.
136:21-29.
Schubert, G. 1987. Fish Diseases a Complete Introduction. T.F.H. Publications Inc. USA. 125 pp.
Subiyanto, I. Adisuko, S. Anwar, N. Yustiningsih, S. Prayitno, dan P. Sumardika. 2001. Pengkajian dan
Pengembangan Usaha Budidaya Ikan Kerapu Nasional. (In) Aliah et al., (Eds) Prosiding Lokakarya
Nasional Pengembangan Agribisnis Kerapu, Jakarta, 28-29 Agustus 2001. Hal. 61-67.
Wijayati, A. dan I.S. Djunaidah. 2001. Identifikasi Patogen Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) Pada
Berbagai Stadia Pemeliharaan. (In) Aliah et al., (Eds) Prosiding Lokakarya Nasional Pengembangan
Agribisnis Kerapu, Jakarta, 28-29 Agustus 2001. Hal. 81-88.
Zafran, D. Roza, I. Koesharyani, F. Johnny and K. Yuasa. 1998. Marine Fish and Crustaceans Diseases in Indonesia In Manual for Fish Diseases Diagnosis (Ed. by K. Sugama, H. Ikenoue and K. Hatai). 44 p. Gondol Research
Station for Coastal Fisheries, CRIFI and Japan International Cooperation Agency.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
181
KEJADIAN PENYAKIT INFEKSI PARASIT PADA IKAN KERAPU
DI KERAMBA JARING APUNG TELUK EKAS,
KABUPATEN LOMBOK TIMUR, NUSA TENGGARA BARAT
Fris Johnny1)
, Des Roza1)
dan Prisdiminggo2)
1) Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol, Bali PO BOX 140, Singaraja 81101, Bali 2) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat PO BOX 1017 Mataram 87010 Mataram
ABSTRACT
The groupers cultured on net cages have developed at Ekas Bay, District Lombok Timur, NTB by Research
Institute for Technology Agricultured NTB. Groupers culture as humpback grouper, Cromileptes altivelis, tiger grouper, Epinephelus fuscoguttatus, and orangespotted grouper, Epinephelus coioides. An experiment to identify
some parasites that commonly infest on groupers has been conducted at net cage by Patology Laboratory of Institute
Research for Mariculture, Gondol. Parasites were identified microscopically. Results showed that common parasites
infest on groupers were Neobenedenia, Diplectanum and Haliotrema.
Keywords: parasitic diseases, groupers, net cage, Ekas Bay
ABSTRAK
Upaya budidaya ikan kerapu di keramba jaring apung telah dikembangkan oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, NTB di Teluk Ekas, Kabupaten Lombok Timur, NTB. Ikan kerapu yang telah dibudidayakan adalah jenis
ikan kerapu bebek, Cromileptes altivelis, ikan kerapu macan, Epinephelus fuscoguttatus,dan ikan kerapu lumpur,
Epinephelus coioides. Penelitian untuk mengetahui jenis parasit yang menginfeksi ikan kerapu di keramba jaring
apung telah dilakukan di Laboratorium Patologi Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol, Bali. Sampel parasit diidentifikasi dengan pengamatan langsung secara mikroskopis terhadap preparat segar dari insang dan parasit
yang diperoleh melalui perendaman ikan dalam air tawar. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa parasit yang
menginfeksi ikan kerapu adalah Neobenedenia, Diplectanum dan Haliotrema.
Kata kunci: penyakit infeksi, parasit, ikan kerapu, keramba jaring apung, Teluk Ekas
PENDAHULUAN
Budidaya ikan kerapu pada beberapa lokasi di Indonesia semakin berkembang, terutama
budidaya ikan kerapu di keramba jaring apung (KJA). Hal ini disebabkan karena semakin tersedianya
benih secara teratur, baik dalam jumlah maupun ukuran. Panti benih di Gondol, Bali bagian utara telah
semakin berkembang dan mampu menjamin pasokan benih. Pada awalnya benih ikan kerapu sangat
mengandalkan pasokan alam yang jumlahnya sangat terbatas dan waktu pasok yang tidak menentu.
Karena itu pemerintah mendorong segala upaya yang mengarah kepada kegiatan budidaya ikan kerapu
khususnya melalui jaring apung di laut (Subiyanto et al., 2001).
Usaha budidaya laut merupakan salah satu usaha yang dapat memberikan alternatif sumber
penghasilan untuk meningkatkan pendapatan bagi nelayan. Apabila usaha budidaya berkembang, maka
produksi ikan dapat ditingkatkan baik jumlah maupun mutunya. Dampak lebih lanjut dari usaha ini
adalah kesejahteraan masyarakat nelayan mengalami peningkatan (Akbar, 2001).
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, NTB telah mencoba mengembangkan keramba jaring
apung di Teluk Ekas, Desa Batunampar, Lombok Timur, NTB. Usaha budidaya ikan kerapu di keramba
jaring apung yang dikembangkan adalah jenis ikan kerapu bebek, Cromileptes altivelis, ikan kerapu
macan, Epinephelus fuscoguttatus, dan ikan kerapu Lumpur, Epinephelus coioides. Pengembangan usaha
budidaya ikan kerapu di keramba jaring apung mempunyai kelebihan antara lain rendahnya biaya
operasional dibandingkan dengan nilai ekonomi yang dihasilkan serta teknologi budidayanya yang relatif
sederhana dan mudah diadaptasikan di masyarakat petani nelayan secara luas.
Salah satu permasalahan yang timbul pada budidaya ikan kerapu di keramba jaring apung adalah
terjadinya penyakit. Kematian ikan kerapu di keramba jaring apung dan induk ikan kerapu di panti
benih merupakan kendala yang sering dihadapi. Pada ikan kerapu yang mati biasanya banyak ditemukan
parasit, baik pada insang, kulit, maupun mata. Ikan kerapu yang dibudidayakan pada keramba jaring
apung pada kondisi kepadatan tinggi, dan jaring kotor serta jarang diganti dan dibersihkan, memacu
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
182
kecepatan perkembangbiakan organisme parasit dan penyakit sehingga dapat merugikan inang, bahkan
dapat menyebabkan kematian.
Leong (1994) melaporkan infeksi parasit pada ikan kerapu dan ikan kakap telah dilaporkan oleh
di Malaysia dari spesies Benedenia. Di Indonesia infeksi oleh parasit Benedenia, Neobedenia,
Diplectanum, Pseudorhabdosynochus, Haliotrema, Trichodina, Lepeophtheirus, dan Cryptocaryon
irritans pada ikan kerapu dilaporkan Zafran et al. (1997). Dari pengamatan parasit pada ikan kerapu di
Gondol, Neobedenia lebih dominan dibanding Benedenia dan ukurannyapun terlihat lebih besar (Zafran
et al., 1997). Parasit Neobedenia girellae ditemukan di Jepang pertama kali pada tahun 1991, parasit ini
sekarang termasuk patogen yang penting di Jepang, sebab dapat mematikan inang, tingkat spesifik inang
yang rendah, dan tersebar luas (Ogawa et al., 1995). Parasit ini terutama ditemukan di daerah tropis
(Bondad-Reantaso et al., 1995). Parasit Diplectanum dilaporkan menyerang ikan laut budidaya pada
keramba jaring apung di Singapura, dan parasit Haliotrema menginfeksi ikan kakap, Lutjanus johni
(Leong, 1994).
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi bakteri yang menginfeksi ikan kerapu di keramba
jaring apung.
METODE
Ikan Uji
Ikan uji adalah ikan kerapu yang dibudidayakan di dalam keramba jaring apung di Teluk Ekas,
Lombok Timur, NTB. Jenis ikan kerapu yang diuji yaitu; ikan kerapu bebek, Cromileptes altivelis, ikan
kerapu macan, Epinephelus fuscoguttatus, dan ikan kerapu Lumpur, Epinephelus coioides dengan bobot
antara 80 – 240 gram.
Identifikasi Parasit
Pertama, dilakukan pemotongan sedikit lamella insang, diletakkan pada kaca slide dan diamati
serta diidentifikasi secara langsung dengan menggunakan mikroskop. Kedua, sampel parasit diperoleh
dengan cara merendam ikan kerapu dalam air tawar selama 10-15 menit sampai parasit yang menempel
pada ikan terlepas. Parasit yang terlepas selanjutnya dikumpulkan dalam botol, sebagian diamati dan
diidentifikasi secara langsung melalui mikroskop, sebagian sampel diawetkan dalam buffer formalin.
Identifikasi parasit dilakukan secara mikroskopis terhadap preparat segar dan preparat awetan
berdasarkan Grabda (1991).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari ikan kerapu yang dibudidayakan di dalam keramba jaring apung di Teluk Ekas, Lombok
Timur, NTB, parasit yang umum ditemukan menginfeksi ikan kerapu adalah dari klas Trematoda
Monogenea yaitu; Neobenedenia, Diplectanum, dan Haliotrema.
Parasit Neobenedenia
Dari ikan kerapu yang direndam dengan air tawar selama 10-15 menit setelah diidentifikasi
sesuai dengan metoda Grabda (1991) ditemukan parasit Neobenedenia (Gambar 1). Parasit ini termasuk
Ordo Dactylogyridea, Famili Capsilidae. Monogenean Capsalid dikenal sebagai cacing kulit dan
merupakan parasit eksternal yang paling umum pada budidaya ikan laut. Capsalid meliputi beberapa
spesies dan mempunyai kesamaan morphologi yaitu berbentuk oval (lonjong) dan gepeng dengan
sepasang sucker bulat (anterior sucker) pada tepi bagian depan dan sebuah haptor besar (opisthapthor)
pada tepi bagian belakang. Di Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol, telah ditemukan
beberapa jenis Capsalid yang didapat dari induk ikan-ikan kerapu, ikan napoleon dan ikan kakap.
Capsalid yang ditemukan pada ikan kerapu bebek telah diidentifikasi sebagai Neobenedenia girellae dan
Benedenia epinepheli. Neobenedenia girellae mempunyai tingkat patogenisitas yang lebih tinggi
dibandingkan dengan Benedenia epinepheli, karena Neobenedenia girellae selain dapat menginfeksi kulit
juga menyerang mata yang menyebabkan kebutaan. Ikan kerapu yang terinfeksi Neobenedenia girellae
memperlihatkan gejala klinis; kehilangan nafsu makan, tingkah laku berenangnya lemah dan adanya
perlukaan karena infeksi sekunder bakteri. Secara spesifik terlihat adanya mata putih keruh, yang
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
183
menimbulkan kebutaan yang disebabkan oleh infeksi bakteri. Sebaliknya jenis Capsalid yang lain tidak
meyebabkan mata putih keruh pada ikan yang teinfeksi. Capsalid merupakan parasit yang tidak berwarna
yang ada di permukaan badan ikan, sehingga sangat sulit untuk mengetahui adanya infeksi parasit. Untuk
itu, merendamkan ikan beberapa menit dalam air tawar adalah cara yang sangat mudah untuk mengetahui
adanya infeksi karena parasit akan segera berubah warna menjadi putih didalam air tawar tersebut. Upaya
pengendalian terhadap infeksi parasit ini, dianjurkan merendam dalam air tawar selama 10-15 menit atau
dalam H2O2 150 ppm selama 30 menit (Zafran et al., 1997; Zafran et al., 1998; Koesharyani et al., 2001).
Gambar 1. Parasit Neobedenia yang menginfeksi ikan kerapu
Parasit Diplectanum
Dari pengamatan secara mikroskopis terhadap sayatan segar lamella insang ikan kerapu
menggunakan mikroskop, setelah diidentifikasi parasit pada insang ikan kerapu tersebut diketahui sebagai
Diplectanum (Gambar 2). Parasit Diplectanum termasuk Ordo Dactylogyridea, Famili Diplectanidae
dan dikenal sebagai parasit Monogenetik trematoda insang. Parasit Diplectanum disebut juga cacing
insang, merupakan parasit yang cukup berbahaya dan sering ditemukan pada ikan laut. Beberapa jenis
parasit insang dapat menyebabkan kematian yang cukup serius pada ikan yang dibudidaya . Parasit
Diplectanum mempunyai kekhasan yang membedakannya dari spesies lain dalam Ordo Dactylogyridea
yaitu mempunyai squamodisc (satu di ventral dan satu di dorsal), dan sepasang jangkar yang terletak
berjauhan (Zafran et al., 1997). Parasit Diplectanum adalah parasit yang hidup pada insang ikan. Ikan
kerapu yang terinfeksi Diplectanum terlihat bernapas lebih cepat dengan tutup insang yang selalu
terbuka. Infeksi Diplectanum mempunyai hubungan erat dengan penyakit sistemik seperti vibriosis.
Insang yang terinfeksi biasanya berwarna pucat dan produksi lendirnya berlebihan (Chong & Chao,
1986). Ikan kerapu yang terinfeksi memperlihatkan gejala klinis; menurunnya nafsu makan, tingkah laku
berenang yang abnormal pada permukaan air, warna tubuh berubah menjadi pucat. Serangan berat dari
parasit ini dapat merusak filamen insang dan kadang-kadang dapat menimbulkan kematian karena adanya
gangguan pernapasan. Warna insang ikan kerapu yang terinfeksi terlihat pucat. Upaya pengendaliannya
dapat dilakukan dengan perendaman 250 ppm formalin selama 1 jam atau perendaman dalam air laut
salinitas tinggi yaitu 60 ppt selama 15 menit (Zafran et al., 1998; Koesharyani et al., 2001).
Gambar 2. Parasit Diplectanum
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
184
Parasit Haliotrema
Parasit ini termasuk Ordo Dactylogyridea, Famili Diplectanidae dan dikenal sebagai parasit
Monogenetik trematoda insang. Parasit Haliotrema (Gambar 3) disebut juga cacing insang, merupakan
parasit yang cukup berbahaya dan sering ditemukan pada ikan laut. Seperti parasit Diplectanum, parasit
ini juga diidentifikasi dari preparat segar insang secara mikroskopis menggunakan mikroskop. Parasit ini
dapat diidentifikasikan berdasarkan bentuk karakteristik morfologinya. Di Balai Besar Riset Perikanan
Budidaya Laut Gondol, jenis Haliotrema sp., adalah salah satu jenis parasit insang penyebab kematian
masal pada ikan kerapu bebek (Zafran et al., 1998). Ikan kerapu yang terinfeksi memperlihatkan gejala
klinis; menurunnya nafsu makan, tingkah laku berenang yang abnormal pada permukaan air, warna tubuh
berubah menjadi pucat. Serangan berat dari parasit ini dapat merusak filamen insang dan kadang-kadang
dapat menimbulkan kematian karena adanya gangguan pernapasan. Warna insang ikan kerapu yang
terinfeksi terlihat pucat. Upaya pengendaliannya dapat dilakukan dengan perendaman 250 ppm formalin
selama 1 jam atau perendaman dalam air laut salinitas tinggi yaitu 60 ppt selama 15 menit (Zafran et al.,
1998; Koesharyani et al., 2001).
Gambar 3. Infeksi parasit Haliotrema pada filamen insang.
Siklus hidup parasit Monogenea, Neobenedenia, Diplectanum, dan Haliotrema adalah dengan
menghasilkan telur yang dilengkapi dengan filamen panjang yang berfungsi untuk menempel pada
substrat. Dalam waktu sekitar lima hari telur akan matang dan menetas menghasilkan onkomirasidia
yang mempunyai bulu getar dan berfungsi aktif sebagai alat renang untuk mencari inang. Kalau sudah
menemukan inang maka silia tersebut akan hilang dan onkomirasidium akan berkembang jadi dewasa.
Dari semua parasit yang ditemukan tersebut yang berbahaya terhadap ikan kerapu terutama adalah parasit
insang Diplectanum dan Haliotrema. Parasit Neobenedenia bila terdapat dalam jumlah banyak dan
menyerang mata dapat menimbulkan kebutaan dan akhirnya kematian (Zafran et al., 1997).
KESIMPULAN
Jenis parasit yang ditemukan menginfeksi ikan kerapu budidaya pada keramba jaring apung di
Teluk Ekas, Lombok Timur, NTB adalah Neobenedenia, Diplectanum, dan Haliotrema.
DAFTAR PUSTAKA
Akbar, S. 2001. Pembesaran Ikan Kerapu Bebek (Cromileptes altivelis) dan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) di Karamba Jaring Apung. (In) Aliah et al., (Eds) Prosiding Lokakarya Nasional
Pengembangan Agribisnis Kerapu, Jakarta, 28-29 Agustus 2001. Hal. 141-148.
Bondad-Reantaso, M.G., K. Ogawa, M. Fukudome, and H. Wakabayashi. 1995. Reproduction and Growth of
Neobenedenia girellae (Monogenea: Capsalidae), a Skin Parasite of Cultured Marine Fishes of Japan. Fish Pathology, 30(3):227-231.
Chong, Y.C. and T.M. Chao. 1986. Common Diseases of Marine Foodfish. Fisheries Handbook No. 2. Primary
Production Departement. Ministry of National Development. Republic of Singapore. 33p.
Grabda, J. 1991. Marine Fish Parasitology. Polish Scientific Publisher. Warsawa. 306p.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
185
Koesharyani, I., D. Roza, K. Mahardika, F. Johnny, Zafran and K. Yuasa. 2001. Marine Fish and Crustaceans Diseases in Indonesia In Manual for Fish Diseases Diagnosis II (Ed. by K. Sugama, K. Hatai and T. Nakai). 49 p.
Gondol Research Station for Coastal Fisheries, CRIFI and Japan International Cooperation Agency.
Leong, T.S. 1994. Parasites and Diseases of Cultured Marine Finfish in South East Asia. School of Biological Science.
University Sains Malaysia. 25p.
Ogawa, K.M., M.G. Bondad-Reantaso, M. Fukudome and H. Wakabayashi. 1995. Neobenedenia girellae (Hargis,
1955) Yamaguti, 1963 (Monogenea: Capsalidae) From Cultured Marine Fishes of Japan. J. Parasitology.
81(2):223-227.
Subiyanto, I. Adisuko, S. Anwar, N. Yustiningsih, S. Prayitno, dan P. Sumardika. 2001. Pengkajian dan Pengembangan Usaha Budidaya Ikan Kerapu Nasional. (In) Aliah et al., (Eds) Prosiding Lokakarya
Nasional Pengembangan Agribisnis Kerapu, Jakarta, 28-29 Agustus 2001. Hal. 61-67.
Zafran, I. Koesharyani dan K. Yuasa. 1997. Parasit Pada Ikan Kerapu di Panti Benih dan Upaya Penanggulangannya.
Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Vol. III(4):16-23.
Zafran, D. Roza, I. Koesharyani, F. Johnny and K. Yuasa. 1998. Marine Fish and Crustaceans Diseases in Indonesia In
Manual for Fish Diseases Diagnosis (Ed. by K. Sugama, H. Ikenoue and K. Hatai). 44 p. Gondol Research
Station for Coastal Fisheries, CRIFI and Japan International Cooperation Agency.
DISKUSI
Pertanyaan:
1. Dimana penentuan jenis penyakit pada ikan kerapu bisa dianalisa?
2. Bagaimana mengatasi penyakit virus pada budidaya ikan kerapu dalam KJA
Tanggapan :
1. Untuk analisa penyakit bisa dilakukan di laboratorium BBRBP Gondol, BBAP Situbondo, dan Loka
Budidaya Laut Gerupuk.
2. Virus belum ada obatnya sementara hanya pencegahan saja.
- VNN bisa di treat dengan OTC.
- Irridovirus belum terlihat di Ekas.
3. Usaha-usaha yang dilakukan
- Penerbitan leaflet tentang panduan pengendalian penyakit virus dengan bahasa yang mudah
dipahami nelayan.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
186
RESPON DAN PERSEPSI NELAYAN TERHADAP INTRODUKSI TEKNOLOGI
BUDIDAYA IKAN KERAPU DAN LOBSTER DALAM KERAMBA JARING APUNG
DI DESA BATUNAMPAR KABUPATEN. LOMBOK TIMUR
Arif Surahman, Mashur dan Prisdiminggo
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat
Jl. Peninjauan Narmada, Po Box 1017 Mataram
ABSTRAK
Potensi areal budidaya laut di provinsi Nusa Tenggara Barat sekitar 23.245 ha, dari potensi tersebut 1.445
ha merupakan potensi areal budidaya kerapu. BPTP Mataram sebagai Balai Pengkajian di Nusa Tenggara Barat mengintroduksikan teknologi budidaya ikan kerapu di KJA dalam pengkajian yang dilakukan sejak tahun 2000 di
Desa Batunampar Kec. Jerowaru Kab. Lombok Timur. Dalam pengkajian ini diperkenalkan kepada masyarakat
tentang teknologi budidaya pembesaran ikan kerapu dalam KJA. Disamping kerapu, lobster juga merupakan
komoditas penting yang bisa dikembangkan di Desa Batunampar. Dari Hasil pengkajian didapatkan data bahwa udang karang jenis Panulirus humarus dan Panulirus ornatus dapat dikembangkan dalam KJA. Minat nelayan untuk
membudidayakan ikan dalam karamba sudah mulai muncul pada bulan keenam pengkajian berlangsung. Sekarang
tercatat 60 nelayan sudah mengadopsi Teknologi budidaya ikan kerapu dan lobster dalam KJA. Pada awal pengkajian
banyak nelayan yang menganggap bahwa teknologi KJA yang diintroduksikan merupakan teknologi yang padat modal dan sulit diterapkan dalam tingkat nelayan yang mempunyai modal terbatas. Namun dalam perkembangan
banyak nelayan yang kemudian mengikuti teknologi introduksi setelah melihat keberhasilan pengkajian. Keberhasilan
proses diseminasi teknologi mengakibatkan sebagian besar responden non kooperator mengetahui teknologi unggulan
BPTP namun belum mengadopsi karena tingginya modal yang mereka butuhkan untuk budidaya dalan KJA.
Kata kunci: respon; persepsi; introduksi; teknologi
ABSTRACT
Potency of marine culture area in West Nusa Tenggara is 23,245 ha. From this area 1,445 ha can be used for grouper cage culture. BPTP Mataram as an assessment agency introduced grouper cage culture technology from
2000 year in Batunampar village. Beside grouper, lobster is also the important commodity, which can be cultured in
Batunampar village. Two species of spiny lobster, Panulirus homarus and Panulirus ornatus can be cultured in the
cage. Fishermen respond have been started from sixth month of the assessment. 60 fishermen have been already adopted grouper and lobster cage culture technology. In the beginning of this assessment, farmer thought that this
technology was difficult to implement in fisherman level that have capital limitation. Fishermen adopted this
technology after they knew the successful of this assessment. Most of non-cooperator fishermen knew the BPTP
technology because of the successfully of dissemination but this technology is too expensive for them.
Key word: respond; perception; technology; introduction
PENDAHULUAN
Ikan kerapu merupakan salah satu jenis ikan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Harga jual
ikan ini khususnya kerapu bebek di NTB sangat tinggi yaitu Rp. 270.000,- - Rp. 280.000,- untuk ukuran
500 g per ekor. Tingginya harga ikan kerapu bebek ini karena ikan ini merupakan komoditas ekspor
dalam bentuk hidup ke Singapura, Hongkong, Jepang dan Cina. Tingginya harga dan banyaknya
permintaan akan ikan ini menyebabkan intensitas penangkapan semakin meningkat sehingga
dikhawatirkan populasi ikan ini di alam terancam punah.
Salah satu cara untuk menjamin kelestarian jenis ikan kerapu tersebut perlu dilakukan usaha
budidaya. Usaha budidaya ikan kerapu ini diharapkan akan dapat memenuhi kebutuhan pasar dan
sekaligus mengurangi intensitas penangkapan dari alam. Budidaya ikan kerapu merupakan aktivitas yang
belum banyak berkembang dan relatif masih baru. Padahal potensi sumberdaya alam untuk budidaya ikan
kerapu sangat mendukung seperti banyaknya teluk dan selat yang tersebar di wilayah perairan Indonesia.
Propinsi Nusa Tenggara Barat terdiri atas dua pulau besar yaitu pulau Lombok dan Sumbawa,
serta memiliki wilayah peraian laut yang meliputi perairan pantai dan lepas pantai seluas 31.148 km2
dengan panjang pantai 2.900 km. Potensi areal budidaya laut di provinsi Nusa Tenggara Barat sekitar
23.245 ha, dari potensi tersebut 1.445 ha merupakan potensi areal budidaya kerapu, dan 1.200 ha
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
187
diantaranya berada di pulau Sumbawa. Potensi areal budidaya kerapu baru dimanfaatkan 11,05 ha
(0,75%) yang tersebar di Kabupaten Lombok Timur 11,00 ha dan Kab. Bima 0.05 ha (Dinas Perikanan
dan Kelautan NTB, 2002).
BPTP Mataram sebagai Balai Pengkajian di Nusa Tenggara Barat mengintroduksikan teknologi
budidaya ikan kerapu di KJA dalam pengkajian yang dilakukan sejak tahun 2000 di Desa Batunampar
Kec. Jerowaru Kab. Lombok Timur. Dalam pengkajian ini diperkenalkan kepada masyarakat tentang
teknologi budidaya pembesaran ikan kerapu dalam KJA. Ikan kerapu yang digunakan dalam pengkajian
ini adalah jenis kerapu bebek (Cromileptes altivelis). Pakan yang digunakan dalam pengkajian ini adalah
ikan rucah dan mencoba mengintroduksikan pakan buatan berupa pellet yang berasal dari Gondol, Bali.
Dari pengkajian tersebut dapat disimpulkan bahwa ikan kerapu dapat dipelihara dalam KJA dengan
pemberian pakan alami berupa ikan rucah dan pakan buatan berupa pellet. Pemberian pakan alami berupa
ikan rucah lebih baik dari pada pakan buatan, hal ini dapat dilihat dari pertumbuhan ikan budidaya. Ikan
kerapu yang diberikan pakan ikan rucah mempunyai pertambahan berat mutlak sebesar 558,70 g/individu
sedangkan yang diberikan pakan buatan berupa pellet hanya sebesar 356,95 g/individu.(Nazam et al.,
2000).
Disamping kerapu, lobster juga merupakan komoditas penting yang bisa dikembangkan di Desa
Batunampar. Pengkajian ini bermula dari ketidaksengajaan pada saat berlangsungnya pengkajian
budidaya kerapu. Pada saat pembersihan jaring banyak dijumpai benih lobster yang menempel pada
jaring dan pelampung. Dari Hasil pengkajian didapatkan data bahwa udang karang jenis Panulirus
humarus dan Panulirus ornatus dapat dikembangkan dalam KJA.
Pada awal pengkajian nelayan belum merespon teknologi yang diintroduksikan, bahkan sebagian
nelayan berpendapat bahwa teknologi KJA merupakan teknologi padat modal dan sulit diterapkan oleh
nelayan. Namun pada bulan keenam pengkajian, minat nelayan untuk menerapkan teknologi KJA mulai
muncul. Hal ini disebabkan petani kooperator mulai menjual hasil panen dari KJA berupa udang karang
yang dipelihara secara sambilam dalam KJA. Satu persatu nelayan mulai ikut budidaya ikan dan udang
dalam KJA. Teknologi pembuatan KJA oleh nelayan sangat beragam baik ukuran maupun bahan yang
digunakan, bahkan ada sebagian nelayan yang menggunakan bahan kerangka bambu bekas bagan dan
jaring yang digunakan berupa waring yang biasa digunakan untuk bagan pula.
TUJUAN
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui respon dan persepsi nelayan terhadap introduksi
teknologi budiaya ikan kerapu dan lobster dalam KJA di Desa Batunampar Kecamatan Jerowaru,
Kabupaten Lombok Timur.
METODOLOGI
Penelitian ini mengambil tempat di Desa Batunampar, Kecamatan Jerowaru, Kabupaten Lombok
Timur dimana pengkajian teknologi budiaya ikan kerapu dan lobster dilaksanakan.
Penelitian ini menggunakan metoda survey dengan wawancara semi-terstruktur dengan kuisener
pada nelayan kooperator dan non kooperator sebagai responden. Nelayan kooperator adalah nelayan yang
sudah mengadopsi teknologi introduksi dan mendapat bimbingan dari BPTP mataram dalam proses
budidaya dalam KJA sedangkan nelayan non kooperator adalah nelayan yang berada di sekitar pengkajian
namun tidak atau belum mengadopsi teknologi introduksi.
Jumlah responden adalah 16 nelayan kooperator dan 16 nelayan non kooperator. Data yang
diperoleh dalam penelitian ini dianalisa secara diskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Respon Nelayan
Minat nelayan untuk membudidayakan ikan dalam karamba sudah mulai muncul pada bulan
keenam pengkajian berlangsung. Sekarang tercatat 60 nelayan sudah mengadopsi Teknologi budidaya
ikan kerapu dan lobster dalam KJA. Hal ini didukung dengan bantuan Gubernur NTB berupa 1.000 benih
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
188
ikan kerapu bebek untuk 10 kelompok (50 orang). Dari 16 responden nelayan kooperator 6,25% nelayan
sudah mengadopsi teknologi KJA selama 3 tahun, 50% sudah mengadopsi teknologi selama 2 tahun
sedang 37,5% nelayan mulai mengadopsi setahun terakhir (gambar 1). 75% nelayan mengadopsi
teknologi atas kemauan sendiri sedang 18,75% karena diminta dan diajak orang lain untuk mengadosi
teknologi tersebut (gambar 2). Dalam keterlibatannya di litkaji, 37,5% responden terlibat secara langsung
dalam litkaji, 25% sebagai penyedia lahan dan 32,5% terlibat secara tidak langsung namum mendapat
bimbingan dalam proses budidaya ikan dalam KJA (gambar 3). Meningkatnya respon petani terhadap
teknologi introduksi karena sebagian besar responden menganggap bahwa teknologi yang mereka adopsi
memenuhi kebutuhan petani. Kepercayaan nelayan terhadap teknologi tersebut tiak dapat diabaikan
begitu saja namun harus tetap dijaga oleh BPTP Mataram. Salah satu usaha yang dilakukan adalah selalu
memberikan bimbingan terhadap usaha budiaya ikan dan lobster dalam karamba dan juga memfasilitasi
pembelian benih dari Gondol karena saat ini BPTP Mataram menjalin kerjasama penelitian dengan Balai
Besar Riset Budidaya Laut Gondol tentang budidaya ikan kerapu.
Gambar 1: Lamanya keikutsertaan nelayan reponden sebagai kooperator
Gambar 2: Dorongan nelayan responden untuk menjadi kooperator
Keterlibatan dlm litkaji
37.50%
25.00%
31.25%
6.25%Dilibatkan
Penyedia lahan
Lainnya
Tidak tahu
Gambar 3. Keterlibatan nelayan responden dalam litkaji
Keikutsertaan sbg kooperator
37.50%
50.00%
0.00% 6.25%
6.25%
1 tahun 2 tahun 3 tahun > 3 tahun tdk tahu
Dorongan sbg kooperator
75.00%
0.00%
18.75%
6.25%
Inisiatif sendiri
Diminta
Lainnya
Tidak tahu
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
189
Persepsi Nelayan
Nelayan Kooperator
Pada awal pengkajian banyak nelayan yang menganggap bahwa teknologi KJA yang
diintroduksikan merupakan teknologi yang padat modal dan sulit diterapkan dalam tingkat nelayan yang
mempunyai modal terbatas. Namun dalam perkembangan 50% nelayan reponden berpendapat bahwa
100% teknologi dapat diterapkan, 6,25% berpendapat 75 – 100% dapat diaplikasikan, 25% responden
menganggap teknologi dapat diterapkan antara 50 – 75% dan hanya 12,5% menganggap teknologi dapat
diterapkan antara 10 – 50% (gambar 4). 68,75% nelayan responden menilai bahwa teknologi tersebut
baru dan 68,75% nelayan responden juga menilai teknologi introduksi sangat baik. Berkaitan dengan
manfaat adanya teknologi introduksi, 62,5% nelayan berpendapat sangat bermanfaat dan hanya 6,25%
menganggap teknologi tersebut kurang bermanfaat. Hal ini menunjukan bahwa mereka menganggap
teknologi yang mereka adopsi dan gunakan sekarang ini merupakan teknologi yang sudah teruji dan dapat
diplikasikan di daerah perairan Teluk Ekas khususnya Desa Batunampar dan sangat bermanfaat bagi
mereka. Sebagian besar responden menganggap teknologi introduksi tersebut sesuai dengan kebutuhan
petani.
Tambahan produksi yang diterima oleh nelayan kooperator setelah menerapkan teknologi
introduksi adalah sangat memadai. 41,67% responden menyatakan bahwa tambahan produksi yang
mereka terima adalah lebih dari 75%, sedangkan 16,67% responden mempunyai tambahan hasil sebesar
50 – 75%, responden yang mempunyai tambahan produksi 25 – 50% dan 10 – 25% adalah masing-
masing 8,3% dan 25% responden belum bisa menghitung tambahan produksi yang mereka dapatkan
dengan alasan bahwa petani tersebut belum panen (gambar 5). Tambahan produksi yang diterima petani
akan membawa konsekuesi tambahan pendapatan yang akan diterima. 33.33% responden mendapatkan
tambahan pendapatan lebih dari 75%, 20% responden pendapatannya meningkat sebesar 25 – 50% dan
26,67% responden meningkat 10 – 25% sedangkan yang mendapatkan tambahan penghasilan kurang dari
10% hanya 6,67% responden (gambar 6). Tambahan hasil yang sangat besar ini disebabkan oleh
komoditas yang mereka budidayakan adalah komoditas yang mempunyai nilai ekonomis tinggi
khususnya ikan kerapu.
Gambar 4: Persepsi nelayan responden tentang penerapan teknologi introduksi
Gambar 5: Tambahan produksi yang didapatkan nelayan responden
Tambahan produksi petani
41.67%
16.67%8.33%
25.00%
8.33%
0.00%
> 75%
50 - 75%
25 - 50 %
10 - 25%
< 10%
Tidak tahu
Penerapan teknologi introduksi
6.25%
12.50%0.00%
25.00%
6.25%
50.00%
100% dpt
diterapkan75 - 100%
50 - 75%
10 - 50%
< 10%
Tidak tahu
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
190
Gambar 6: Tambahan pendapatan yang diterma nelayan responden
Nelayan non kooperator
Nelayan non kooperator adalah nelayan yang berdomisili disekitar tempat pengkajian yang
belum mengadopsi dan belum mendapatkan bimbingan dari BPTP Mataram dalam usaha budidaya ikan
yang mereka lakukan. Namun demikian sebagian besar dari mereka (62,5%) menganggap bahwa BPTP
Mataram merupakan sumber teknologi (gambar 7). Ini membuktikan bahwa mereka sudah mengenal
BPTP. Dari responden yang ada 6,25% sudah mengenal BPTP selama 3 tahun, 37,5% sudah 2 tahun
mengenal BPTP dan 25% dari mereka sudah mengenal BPTP namun 32,5% responden belum tahu
tentang BPTP (gambar 8). Pengenalan tentang BPTP baik itu fungsi, misi dan peran BPTP kepada
nelayan disekitar tempat pengkajian dilakukan secara formal dan informal. Secara formal dillakukan
melalui temu lapang yang mengundang nelayan sekitarnya. Sedang untuk informal dapat dilakukan
melalui diskusi ataupun pembicaraan dengan nelayan disekitar tempat pengkajian.
Keberhasilan usaha diseminasi hasil pengkajian dapat dirasakan karena sebagian besar
responden non kooperator (93,75%) mengetahui teknologi unggulan BPTP (gambar 9). Namun mereka
belum menerapkan teknologi tersebut karena mereka menganggap bahwa teknologi tersebut tidak
terjangkau harganya oleh mereka.
Gambar 7: Pendapat responden non kooperator tentang BPTP sebagai sumber teknologi
Tambahan pendapatan petani
33.33%
0.00%
20.00%
26.67%
6.67%
13.33%> 75%
50 - 75%
25 - 50%
10 - 25%
< 10%
Tidak tahu
Kapan mengenal BPTP
25.00%
37.50%6.25%
31.25%
0.00%
1 tahun
2 tahun
3 tahun
>3 tahun
Tidak tahu
Pendapat ttg BPTP sbg Sumber
Teknologi
62.50%
37.50%Ya
Tidak
Gambar 8: Lamanya waktu mengenal BPTP oleh responden non kooperator
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
191
Gambar 9: Pengetahuan responden non kooperator tentang teknologi unggulan BPTP.
KESIMPULAN
Respon nelayan terhadap introduksi teknologi sangat baik, hal ini terbukti dengan bertambahnya
jumlah nelayan yang mengikuti teknologi introduksi tersebut. Sebagian besar nelayan juga menganggap
teknologi introduksi tersebut sangat bermanfaat dan dapat meningkatkan produksi maupun pendapatan
mereka.
Proses diseminasi juga berhasil terbukti dengan sebagian besar responden non kooperator yang
sudah mengenal teknologi unggulan dari BPTP walaupun sebagian mereka belum bisa menerapkan
dengan alasan harganya tidak terjangkau oleh mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Basyarie A. 2001. Teknologi Pembesaran Ikan Kerapu (Ephinephelus spp). Prosiding Teknologi Budidaya Laut dan
Pengembangan Sea Farming di Indonesia. Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta. 112 – 117p.
Dinas Perikanan dan Kelautan NTB. 2000. Pemutakhiran Data Potensi Sumberdaya Perikanan di Nusa Tenggara Barat. Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Nusa Tenggara Barat.
Nazam M, Prisdiminggo, A. Surahman dan Sudjudi. 2000. Laporan Hasil Pengkajian Uji Adaptasi Pemeliharaan
Kerapu Bebek dalam KJA di Teluk Ekas. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat.
Nurjana M. L. 2001 Prospek Sea Farming di Indonesia. Prosiding Teknologi Budidaya Laut dan Pengembangan Sea Farming di Indonesia. Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta. 1 – 9p.
Prisdiminggo, M. Nazam, A. S. Wahid, S. Sisca dan Sudjudi. 1998. Uji Adaptasi Waktu Tanam terhadap
Produktivitas Rumput Laut (Eucheuma cottoni) di Teluk Ekas dusun Batunampar, Lombok Timur.
Prosiding Seminar Penyuluh, Peneliti dan Petugas Terkait Propinsi Nusa Tenggara Barat . Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Mataram, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian.
Redjeki. S, A. Supriaatna, S. Diani, A. Ismail dan PT. Imanto. 1995. Prospek Budidaya Udang Karang. Makalah.
Pusat Litbang Perikanan. Balai Penelitian Perikanan Budidaya Pantai. Sub Balai Penelitian Perikanan Budidaya Pantai Bojonegara. Serang.
Sayaka B. 1994. Farm Level Impact Analysis of the Adoption of the Package of Technologies Introduced under the
Soybean Yield Gap Analysis Project. Jurnal Agro Ekonomi. Vol. 13, No. 1. 1 – 26p.
Slamet, B. Dan P.T. Imanto. 1998. Pengamatan Pemeliharaan Udang Karang (Panulirus humarus) di Laboratorium. Jurnal Penelitian Pantai vol 5 No.2. Badan Litbang Pertanian. Balai Penelitian Perikanan Budidaya
Pantai. Maros. 52-60p.
Tridjoko, B. Slamet, A. Prijono dan I. Koesharyani. 1996. Pembenihan Ikan Kerapu. Prosiding Rapat Kerja Teknis,
Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Serpong, 19 – 20 November. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. 112 –
118p.
Mengetahui Tek.Unggulan BPTP
93.75%
0.00%6.25%
Ya
Tidak
Tidak tahu
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
192
PRODUKSI BENIH IKAN KERAPU HASIL PEMBENIHAN DI BALI
Bejo Slamet, Suko Ismi dan Titiek Aslianti
Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut, Gondol, PO Box 140, Singaraja 81101, Bali.
ABSTRAK
Pengamatan perkembangan produksi benih kerapu telah dilakukan pada petani pembenihan dan pendederan
kerapu di Bali yang bertujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan, kelayakan dan prospek pengembangannya.
Jenis kerapu yang diamati meliputi kerapu bebek (Cromileptes altivelis) dan kerapu macan (Epinephelus
fuscoguttatus), kedua jenis ini mempunyai nilai ekonomis yang paling tinggi. Hasil pengamatan menunjukan bahwa pembenihan kerapu bebek dan kerapu macan di Bali Utara cukup berkembang. Produksi benih kerapu bebek dan
kerapu macan di daerah ini per bulan masing-masing berkisar 50.000 - 250.000 ekor dan 150.000 - 400.000 ekor.
Tingkat kelangsungan hidupnya bervariasi yaitu 0-40% dengan rataan 5%. Kegagalan/kematian massal biasanya
terjadi umur 15-50 hari. Lama waktu pendederan benih kerapu bebek di bak beton dari ukuran 4 cm (lepas dari hatcheri) sampai ukuran 10 cm (siap tebar) berkisar 40-75 hari, dengan kelangsungan hidup 70-95%. Pendederan
kerapu macan dari ukuran 2 cm (lepas hatcheri) sampai 7 cm (siap tebar) memerlukan waktu 30-40 hari dan
kelangsungan hidupnya berbeda dengan perbedaan sistem/jenis pakannya. Dengan pemberian pakan pellet
kelangsungan hidupnya berkisar 20-40% sedangkan dengan kombinasi pakan hidup (udang kecil) dengan daging ikan rucah menghasilkan kelangsungan hidup 60-75%.
Kata kunci : Kerapu, pembenihan, pendederan, pembesaran.
PENDAHULUAN
Ikan kerapu merupakan komoditas eksport yang bernilai ekonomis tinggi di pasar Asia terutama
Hongkong dan Singapura. Produksi ikan kerapu saat ini sebagian besar merupakan hasil dari
penangkapan dari alam . Cara penangkapan ikan kerapu kadang-kadang menggunakan racun potassium
sianida yang dapat merusak karang dan biota di sekitarnya. Beberapa jenis ikan kerapu (Epinephelus spp)
telah diujicobakan pembesarannya di Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand dan Hongkong mulai
tahun 1979 (Sugama, et al., 1986), namun karena keterbatasaan benih sehingga budidaya ikan tersebut
sulit berkembang.
Usaha penyediaan benih ikan kerapu mulai diteliti beberapa tahun yang lalu antara lain pada
kerapu Lumpur (Epinephelus tauvina) (Chen, et al., 1977), E. akaara (Tseng dan Ho, 1988), kerapu
macan E. fuscoguttatus (Mayunar et al., 1991; Slamet, 1993), kerapu bebek Cromileptes altivelis (Slamet
et al., 1996). Di Indonesia kerapu macan mulai dapat dipijahkan tahun 1987, kerapu bebek mulai
tahun 1997, keberhasilan pemijahan ikan tersebut mulai dicapai tahun 1998.
Perairan Indonesia memiliki lahan pantai yang potensial seluas 3.385 ha untuk budidaya ikan
kerapu di keramba jaring apung (Anonimous, 1988). Perairan Indonesia memiliki berbagai jenis ikan
kerapu dengan nilai ekonomis tinggi, di antaranya jenis kerapu lumpur (Epinephelus suilus, E.
malabaricus), kerapu macan (E. fuscoguttatus), kerapu batu (E. fasciatus), kerapu merah (Chephalopolis
sp.), kerapu sunuk (Plectropoma spp.), dan kerapu tikus (Cromileptes altivelis). Letak geografis
Indonesia sangat menguntungkan untuk agribisnis kerapu karena berada pada lintas perdagangan ikan
hidup (Singapura-Hongkong) maupun ikan segar (Singapura-Hongkong-Jepang). Sebagai bagian dari
perairan tropis, Indonesia kaya akan jenis ikan dan beberapa di antaranya merupakan golongan ikan rucah
dengan nilai ekonomis rendah sehingga dapat dieksploitasi untuk sumber pakan alami bagi
pengembangan budidaya ikan laut. Dalam makalah ini akan dibahas dua jenis ikan kerapu yaitu kerapu
bebek (Cromileptes altivelis) dan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus). Kedua jenis ikan ini
mempunyai nilai ekonomis yang paling tinggi dan pembenihannya sudah berkembang.
METODE
Pengamatan yang dilakukan meliputi, sistem pemeliharaan, kelangsungan hidup dan
pertumbuhan benih kerapu di hatchery skala rumah tangga dan pendederan kerapu di Bali. Pengamatan
dilakukan terhadap 2 jenis kerapu kerapu yaitu kerapu bebek dan kerapu macan. Kedua jenis ini
mempunyai nilai ekonomis yang paling tinggi. Methoda pengamatan dengan melakukan monitoring
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
193
seminggu sekali terhadap sistem pemeliharaan, perkembangan dan kelangsungan hidup benih, volume
produsi, mortalitas dan penyakit. Lama pengamatan 2 tahun yaitu dari tahun 2001 sampai 2002.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Managemen Pemeliharaan Larva
Hasil pengamatan sistem manajemen pemeliharaan larva ikan kerapu pada 52 hatchery skala
rumah tangga di Bali Utara, secara umum digolongkan menjadi 2 sistem :
1. Sistem pemberian pakan hanya dengan pakan hidup (pakan alami) yang disebut sistem 1 (Gambar
2).
2. Sistem pemberian pakan dengan kombinasi pakan hidup (pakan alami) dan buatan (mikro pellet)
yang disebut sistem 2 (Gambar 2).
Pada pemeliharaan larva kerapu bebek biasanya banyak menggunakan sistem (1), sedangkan
pada kerapu macan lebih banyak menggukanan sistem (2). Hal ini disebabkan larva kerapu macan
mempunyai sifat kanibalisme yang lebih kuat dibanding kerapu bebek. Sistem (2) dapat menekan
kanibalisme kerapu macan. Dari hal tersebut, petani lebih tertarik melihara larva kerapu bebek dibanding
kerapu macan disamping sistem (2) memerlukan kerja yang ekstra keras dan biaya tinggi untuk
penyediaan udang jembret sebagai pakan. Karena keterbatasan produksi telur kerapu bebek dan harganya
lebih mahal (Rp 2,5/ butir) dan mudahnya untuk membeli telur kerapu macan dan lebih murah (Rp 1,0/
butir) maka petani memilih memelihara larva kerapu macan walaupun harus bekerja ekstra keras.
Pakan
dan
pergantian air
Umur larva (hari setelah menetas)
0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30 33 36 39 42 45 48 51 54
Nanno
chloropsis
Rotifer
Artemia
Copepoda
Jembret Daging ikan
yang digiling
Pergantian air
==============
=============================
==============================
=============================
======================== ==========
0% 10-20% 25-30% 35-40% 45-100% ======== ======= ========= ============ ==================
Gambar 1. Skema pemberian pakan dan pergantian air pada pemeliharaan larva kerapu pada system dengan pakan
alami.
Pakan
dan
pergantian air
Hari setelah menetas
0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30 33 36 39 42 45 48 51 54
Nanno
chloropsis
Rotifer
Artemia
Mikro pellet
Pergantian air
==============
=============================
=======================
140-410 um (LL2) 315-580 (LL3) 479-800 (LL4) ================ ========== =============
10-20% 20-80% 100-300% 300-400% 400-500%
====== ========== ========== =========== ===========
Gambar 2. Skema pemberian pakan dan pergantian air pada pemeliharaan larva kerapu pada system dengan
campuran pakan alami dan buatan (mikro pellet).
Keterangan : LL2 = Love Larva no. 2 (buatan jepang) (diameter 0,20-0,31 mm) LL3 = Love Larva no. 3 (buatan jepang) (diameter 0,31-0,48 mm)
LL4 = Love Larva no. 4 (buatan jepang) (diameter 0,48-0,63 mm)
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
194
Perkembangan produksi benih kerapu di hatcheri di Bali
Pembenihan ikan kerapu bebek berhasil dikembangkan di tingkat petani hatchery skala rumah
tangga (HSRT). Pada tahun 1997 hanya satu orang petani yang berminat membenihkan ikan kerapu
bebek, dalam 1 tahun hanya 1 siklus yang berhasil dengan jumlah produksi 8500 ekor (saat itu harganya
Rp 12.500,- per ekor ukuran 5 cm). Pada tahun 1998 tidak ada petani HSRT yang memproduksi kerapu
karena harga nener tinggi (Rp 20,--60,- per ekor). Pada tahun 1999 Balai Besar Riset Perikanan Budidaya
Laut yang waktu itu bernama Loka Penelitian Perikanan Pantai melalui program ekstensi membimbing
dan memberi telur kerapu bebek cuma-cuma kepada 12 petani HSRT. Pada program ini siklus pertama
semua gagal karena saat itu belum ada filter dan dilakukan saat musim penghujan sehingga air lautnya
keruh. Kemudian dengan mewajibkan pembuatan filter kepada petani peserta program ini ternyata
sebagian besar berhasil memproduksi benih dengan tingkat kelangsungan hidup mencapai 5% walaupun
pada tahun 1999 hanya 1 siklus yang berhasil memproduksi benih dengan jumlah produksi benih
mencapai 40.000 ekor. Tahun 2000 sudah berkembang dengan baik dan petani mampu membeli telur
kerapu bebek dari Loka Gondol dan dari hatcheri swasta dengan harga telur Rp 2,5 per butir. Pada tahun
2000 hampir setiap bulan dapat memproduksi benih kerapu bebek sebanyak 10.000-100.000 ekor benih
(ukuran 4-6 cm) per bulan dengan total produksi per tahun mencapai sekitar 500.000 ekor. Pada tahun
2001 sampai pertengahan tahun 2002 produksi benih di petani HSRT berjalan lancar walaupun masih
sering terjadi kematian massal benih oleh serangan VNN. Pada tahun ini produksi benih per bulan
berkisar antara 50.000 sampai 250.000 ekor benih kerapu bebek, dengan total produksi per tahun
mencapai 1.500.000 benih (Gambar 3).
Gambar 3. Produksi benih ikan kerapu bebek di hatcheri skala rumah tangga (HSRT) di Bali dari tahun
1997 sampai tahun 2002.
Produksi benih kerapu macan di tingkat petani berhasil baik sejak tahun 2000; dengan volume
produksi benih melebihi produksi benih kerapu bebek. Kadang-kadang terjadi over produksi yang
menyebabkan harga merosot. Pada tahun 2001 setiap bulan diproduksi sebanyak 10.000-400.000 ekor
dengan total produksi benih per tahun mencapai 2.000.000 benih (Gambar 4). Pada awal tahun 2001
kegiatan produksi benih berhenti karena sebelumnya petani pernah rugi akibat terlalu lama menahan
benih yang tidak terjual. Sebagian besar petani pembenih kerapu macan ingin menjual benihnya saat
mencapai ukuran 2 cm karena pada ukuran 2,5-5 cm kanibalisme sangat tinggi, di sisi lain petani KJA
menginginkan benih ukuran > 8 cm agar lebih aman di KJA. Pada akhir tahun 2001 sampai sekarang
(pertengahan tahun 2002) petani HSRT kembali bangkit untuk melakukan pembenihan ikan kerapu
macan menggunakan sistem pemeliharaan benih ukuran 1,5-5 cm dengan pemberian pakan berupa udang
jembret/rebon kecil/ grago dengan jumlah yang berlebih. Saat ini mudah mendapatkan udang jembret
karena banyak pedagang yang sengaja mencari jembret di tambak-tambak udang di Jawa Timur
0
50000
100000
150000
200000
250000
Pro
du
ks
i b
en
ih
Jan Mar Mei Jul Sep Nop
Bulan
2001
2002
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
195
(Banyuwangi dan Situbondo). Pekembangan produksi benih kerapu macan dari tahun 2000 sampai 2002
dapat dilihat pada Gambar 4. Pada tahun (2002) produksi benih kerapu macan di petani HSRT di Bali
setiap bulan mencapai 150.000-400.000 dengan total produksi per tahun mencapai 3.000.000 ekor.
Jumlah ini akan meningkat bila kebutuhan pasar meningkat pula.
Tingkat kelangsungan hidupnya bervariasi dari 0-40% dengan rata-rata 5% untuk kerapu bebek
dan 7% untuk kerapu macan. Kegagalan/kematian massal biasanya terjadi umur 15-50 hari. Kegagalan
dalam produksi benih kerapu di Bali sebagian besar terjadi pada puncak musim penghujan. Hal ini karena
pada saat ini sulit didapatkan air laut yang jernih dan sulit memproduksi fitoplankton (Nannochloropsis)
yang bermutu baik, sehingga larva mudah stress dan mudah terserang VNN (Virus nervous neucrosis)
yang berakibat kematian massal.
Gambar 4. Produksi benih ikan kerapu macan di hatcheri skala rumah tangga (HSRT) di Bali dari tahun
2000 sampai tahun 2002.
PENDEDERAN (PENGGLONDONGAN)
Lama pendederan benih di bak beton untuk kerapu bebek dari ukuran 4 cm (lepas dari hatcheri)
menjadi ukuran 10 cm (siap tebar) berkisar 40-75 hari, dengan kelangsungan hidup 70-95%. Pada kerapu
macan pendederan dari ukuran 2 cm (lepas hatcheri) menjadi 7 cm (siap tebar) memerlukan waktu 30-40
hari dan kelangsungan hidupnya berbeda dengan perbedaan sistem/jenis pakannya. Dengan pemberian
pakan pellet kelangsungan hidupnya berkisar 20-40% sedangkan dengan pakan hidup berupa jembret
(udang kecil) yang dikombinasikan dengan daging ikan rucah menghasilkan kelangsungan hidup 60-75%
karena tingkat kanibalisme dapat ditekan. Hasil pengamatan ukuran pakan yang diberikan, frekuensi
pemberian pakan dan lama pemeliharaan pada pendederan kerapu bebek dan kerapu macan di Bali secara
rinci dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Ukuran pakan yang diberikan, frekuensi dan lama pemeliharaan pada pendederan kerapu.bebek dan kerapu macan.
Ukuran
panjang total
benih
Ukuran diameter pakan
buatan yang diberikan
Frekuensi
pemberian
pakan per hari
Lama pemeliharaan
(kerapu macan
Lama pemeliharaan
(kerapu bebek)
2 ke 3 cm 1,5-2,0 mm 10 kali (10-12 hari) 12-16 hari
3 ke 4 cm 2,5-3,0 mm 8 kali (10-13 hari) 14-17 hari
4 ke 6 cm 3,0-3,5 mm 6 kali (10-15 hari) 15-20 hari
6 ke 8 cm 3,5-4,0 mm 6 kali (10-15 hari) 15-20 hari
8 ke10 cm 4,0-4,5 mm 6 kali (10-15 hari) 15-20 hari
0
50000
100000
150000
200000
250000
300000
350000
400000
450000
500000
ben
ih
Jan Mar Mei Jul Sep Nop
Bulan
2001
2002
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
196
KESIMPULAN
1. Usaha pembenihan ikan kerapu bebek dan kerapu macan telah berkembang di Bali Utara. Produksi
benih dapat berlangsung hampir sepanjang tahun dengan volume produksi per bulan mencapai
50.000 – 250.000 ekor untuk kerapu bebek dan 150.000 – 400.000 ekor untuk kerapu macan
2. Tingkat kelangsungan hidup benih berkisar 0-40% atau rata-rata mecapai 4%.
3. Pembenihan dilakukan dengan dua sistem yaitu pemberian pakan alami dan kombinasi pakan alami
dengan pakan buatan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimus, 1988. Training Manual on Marine Finfish Net Cage Culture in Singapore. Revered for the Marine Finfish Net Cage Training Course. Conducted by Primary Production Department (Republic of Singapore) and
Organized RAS/86/024 cooperation with RAS /84/016.
Chen, F.Y., M. Chow, T.M. Chow and R. Lim, 1977. Artificial Spawning and Larval Rearing of the Groupe,
Epinephelus tauvina (Forskal) in Singapore. Singapore J. Pri. Ind. 5(1):1-21.
Mayunar, P.T. Imanto, S. Diani dan T. Yokokawa, 1991. Pemijahan Ikan Kerapu Macan, Epinephelus fuscoguttatus.
Bull. Pen. Perikanan Spec. Edi. No. 2:15-22.
Slamet, B. 1993. Pengaruh Penurunan Suhu Media Terhadap Penundaan Penetasan dan Peningkatan Optimasi
Kepadatan pada Transportasi Telur Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) J. Pen. Budidaya Pantai, Terbitan Khusus, Vol.9 No.5 : 30-36.
Slamet, B., Tridjoko, Agus P., Tony S. dan K. Sugama. 1996. Penyerapam Nutrisi Endogen, Tabiat Makan dan
Perkembangan Morphology Larva Kerapu Bebek (Cromileptes altivelis). J. Pen. Perikanan Indonesia,
Vol.2 No.2 : 13-21.
Sugama, K., Waspada dan H. Tanaka. 1986. Perbandingan Laju Pertumbuhan Beberapa Jenis Kerapu, Epinephelus
spp. dalam Kurung-kurung Apung.Scientific Report of Mariculture Research and Development Project
(ATA-192) in Indonesia: 211-219.
Tseng dan Ho, SK, (1988). The Biology and Culture of Red Grrouper. Chien Cheng Publisher Koahsiung, R.OC. Hongkong. 134 pp.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
197
TRANSPORTASI BENIH IKAN KERAPU BEBEK, Cromileptes altivelis
HASIL PEMBENIHAN DI BALI
Bejo Slamet, Suko Ismi dan Titiek Aslianti
Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut, Gondol PO Box 140, Singaraja 81101, Bali.
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh kepadatan optimal pada transportasi benih ikan kerapu bebek
dengan lama watu dan ukuran benih serta sistem transportasi yang berbeda. Benih ikan kerapu bebek yang dipakai sebagai hewan uji berukuran panjang total 4-8 cm. Wadah digunakan kantong plastik ukuran 30 x 50 cm yang diisi 2
liter air laut dan ukuran 35 x 60 cm yang diisi 3 liter air laut. Ratio antara air dan gas oksigen adalah 1 : 3. Perlakuan
kepadatan benih perkantong plastik disesuaikan dengan ukuran benih dan lama waktu transportasi. Hasil penelitian
menunjukan bahwa kepadatan maksimal per kantong plastik yang tingkat kelangsungan hidup tinggi (95-99%) untuk ukuran benih 4-5 cm pada lama waktu 12 jam dan 22 jam adalah masing-masing 30 ekor dan 25 ekor; pada ukuran
benih 5-6 cm pada lama waktu 12 jam dan 22 jam adalah masing-masing 25 ekor dan 20 ekor, sedangkan pada
ukuran benih 7-8 cm adalah masing-masing 15 dan 12 ekor. Pada transportasi dengan sistem tertutup semuanya
menghasilkan kelangsungan hidup yang sangat tinggi (lebih dari 99%).
Kata kunci : Transportasi, kerapu bebek, ukuran benih, kepadatan.
ABSTRACT
The experiment was aimed to reveal optimum density of the live humpback grouper seed transportation with different of densities, size of seed, duration and transportation sistem. The total length of seed range from 4 to 8
cm. The plastic bag size 30 x 50 cm filled with 2 liter seawater size 30 x 50 cm filled with 2 liter seawater and size of
35 x 60 cm filled with 4 liter seawater and the ratio of water and oxygen was 1: 3. The treatments of stock density of
seed is depended of size of seed and transport durations. The results showed that the optimal densities per plastic for seed with total length 4-5 cm and duration 12 hours and 22 hours are 25 and 30 per bag repectively; on seed with total
length 5-6 cm with duration 12 and 22 h are 25 and 20 fish per bag respectively and on 7-8 cm total length 15 and
12 fish per bag respectively. Survival rate on transportation with open sitem using truk with fiberglass tank and pure
oxigen is very high (more than 99%).
Keyword: Transportation, densities, duration, seed size, survival rate. humpback grouper seed
PENDAHULUAN
Ikan kerapu bebek, Cromileptes altivelis merupakan komoditas ekspor yang bernilai ekonomis
tunggi di pasar Asia seperti Hongkong dan Singapura. Saat ini harga ikan kerapu bebek di Denpasar dan
Jakarta berkisar antara Rp. 300.000-350.000 per kg hidup. Selain itu kerapu bebek mempunyai bentuk
yang indah dari kerapu lainnya sehingga waktu kecil bisa dijual sebagai ikan hias dengan harga yang
cukup mahal. Pembenihan ikan kerapu bebek sudah diteliti mulai tahun 1996 (Trijoko et al., 199) dan di
tingkat petani hatchery skala rumah tangga (HSRT) mulai tahun 1997, namun baru berkembang sejak
tahun 1999 di HSRT di Bali. Usaha pembenihan ikan kerapu bebek sudah dirintis di berbagai daerah
seperti Lampung, Jawa barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, kep. Seribu, kep. Riau, Sulawesi Selatan, NTB,
dan NTT; namun hanya di Bali yang dapat berkembang baik. Hal ini disebabkan oleh sudah terdapat
sekitar 3.000 petani HSRT bandeng yang sekitar sepuluh persennya berusaha memproduksi benih kerapu
bebek sebagai usaha sambilan, sehingga setiap bulan selalu ada yang berhasil menghasilkan benih kerapu
bebek di Bali.
Keberhasilan transportasi benih akan mendukung pengembangan kegiatan budidaya pembesaran
ikan kerapu khususnya dalam mengupayakan keselamatan dan kesehatan benih yang diangkut dari unit
perbenihan sampai ke lokasi budidaya/ pembesaran. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis
kemampuan daya tahan tubuh serta menganalisis kesehatan benih ikan kerapu bebek yang sedang
diangkut pada berbagai kepadatan, selain itu sasaran lebih lanjut adalah untuk menganalisis kemungkinan
peningkatan efesiensi biaya transportasi dengan meningkatkan kepadatan pengangkutan dengan
memperhatikan faktor kesehatan dan sintasan benih ikan kerapu bebek.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
198
BAHAN DAN METODE
Studi transportasi benih ikan kerapu bebek sistim tertutup dan terbuka dilakukan dengan
menggunakan benih hasil produksi petani pembenihan di Bali. Ikan uji berupa benih ikan kerapu bebek
dengan panjang total 4 – 5 cm dan bobot tubuh 3-10 gram. Pada sistem tarnsportasi tertutup benih ikan uji
tersebut sebelum dikemas kedalam kantong plastik dipuasakan selama 24 jam. Wadah menggunakan
kantong plastik yang berukuran 30 x 50 cm diisi air laut yang telah diaerasi sebanyak 2 liter dan 35 x 60
cm diisi air laut 3 liter.
Kantong plastik yang telah berisi benih kemudian diisi oksigen murni dengan tekanan 100
kg/cm2, ratio antara gas oksigen dan air 3 : 1. Kantong plastik yang berisi benih ikan selanjutnya
dimasukan kedalam box streofoam, dan didinginkan dengan menambahkan es batu sebanyak 0,5 kg per
box. Parameter yang diamati dalam kegiatan ini adalah kelangsungan hidup, dan kualitas air media pada
saat berangkat dan sampai tujuan yang meliputi oksigen terlarut, pH, suhu, salinitas, ammonia dan karbon
dioksida dilakukan secara simulasi transportasi.
Pada pengangkutan dengan sistem tertutup menggunakan kendaraan berupa truk yang dilengkapi
dengan 2 buah bak fiber glass volume masing-masing 2 m3 yang dilengkapi dengan aersi dengan oksigen
murni. Kecepatan aerasi oksigen murni diatur sedemikian sehingga 1 tabung dapat digunakan selama 6-8
jam. Selama perjalanan dilakukan penggantian air sebanyak 70-80% setiap 6-8 jam sekali.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Data kelangsungan hidup benih kerapu bebek pada transportasi sistem tertutup secara rinci
disajikan pada Tabel 1.
Kelangsungan Hidup Benih Kerapu pada Transportasi Sistem Tertutup
Tabel 1 dapat dilihat bahwa pada transportasi sistem tertutup untuk benih ukuran 4 – 5 cm
kepadatan yang optimum dengan kantong ukuran 30 x 50 cm pada lama waktu trtansportasi 12 jam
adalah 30 ekor per kantong dengan kelangsungan hidup (SR) 95-99%; sedang selama 22 jam adalah 25
ekor per kantong (97-99%). Untuk benih ukuran 5 – 6 cm kepadatan yang optimum dengan kantong
ukuran 30 x 50 cm pada lama waktu trtansportasi 12 jam adalah 25 ekor per kantong dengan
kelangsungan hidup (SR) 98-99%; sedang selama 22 jam adalah 20 ekor per kantong (96-99%). Untuk
benih ukuran 6–7 cm dan 7-8 cm sering mengalami kendala kantong plastik yang bocor dan kempes
karena tertusuk tulang sirip punggung. Pada transportasi selama 12 jam kendala palstik kempes masih
tidak terlalu fatal, terutama pada transportasi darat walaupun plasti kempes benih masih dapat tertolong
oleh goncangan yang mempercepat difusi oksigen.
Tabel 1. Kepadatan,ukuran ikan. lama pengangkutan dan persen sintasan dalam transportasi benih ikan kerapu
bebek dengan sistem tertutup dari Bali ke perbagai kota tujuan
Ukuran
panjang
total
benih
(cm)
Ukuran
kantong
(cm)/
volume air
(liter)
Kepadatan
benih per
kantong
(ekor)
Lama
transpor
tasi
(jam)
Kota
tujuan
Alat
angkut Sintasan
(%)
Keterangan
(ada/tidak
kantong
plastik yang
kempes
1 2 3 4 5 6 7 8
4,0-5,0 30 / 2 30 12 Jakarta Pesawat 93-95 Tidak
4,0-5,0 30 / 2 25 12 Jakarta Pesawat 98-99 Tidak
4,0-4,5 30 / 2 30 22 Bengkulu Pesawat 90-93 Tidak
4,0-5,0 30 / 2 25 22 Bengkulu Pesawat 97-98 Tidak
5,0-6,0 30 / 2 20 12 Jakarta Pesawat 98-99 Tidak
5,0-6,0 30 / 2 17 12 Bengkulu Pesawat 98-99 Tidak
5,0-6,0 30 / 2 20 12 U.Pandang Pesawat 98-99 Tidak
6,0-7,0 30 / 2 15 12 Bengkulu Pesawat 92-93 ada
6,0-7,0 30 / 2 20 12 Jakarta Pesawat 92-93 ada
6,0-7,0 30 / 2 25 12 Lombok Darat 98-99 ada
6,0-7,0 35 / 4 35 12 Lombok Darat 97-99 ada
7,0-8,0 30 / 2 25 12 Lombok Darat 92-93 ada
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
199
1 2 3 4 5 6 7 8
7,0-8,0 35 / 4 25 12 Lombok Darat 98-99 ada
5,0-6,0 30 / 2 15 18 Batam Pesawat 98-99 Tidak
4,0-4,5 30 / 2 20 18 Batam Pesawat 98-99 Tidak
7,0-8,0 30 / 2 15 12 Lombok Darat 98-99 ada
Kelangsungan Hidup Benih Kerapu pada Transportasi Sistem Terbuka
Pada transportasi terbuka semua pelakuan menghasilkan kelangsungan hidup yang sangat tinggi
(>99%). Hal ini karena kodisi kualitas air relatif stabil terutama kadar oksigen dan amoniak terlarut oleh
pemberian aerasi oksigen murni dan penggantin 70-80% air laut setiap 6-8 jam (Tabel 2).
Tabel 2. Kepadatan,ukuran ikan. lama pengangkutan dan persen sintasan dalam transportasi benih ikan kerapu
bebek dengan sistem terbuka dari Bali ke perbagai kota tujuan
Ukuran
panjang
total benih
(cm)
Volume
Bak
(m3)
Alat
angkut
Jumlah
benih yang
diangkut
(ekor)
Lama
transportas
i (jam)
Tujuan
Frekuensi
Penggan
tian air
(kali)
Kelang
sungan
hidup
benih
(%)
5,0-6,0 4,0 Truk 6.000 15,0 Lombok 1,0 100,0
10,0-12,0 2,0 Truk 2.000 15,0 Lombok 1,0 100,0
12,0-19,0 2,0 Truk 900 15,0 Lombok 1,0 100,0
5,0-7,0 4,0 Truk 4.000 15,0 Lombok 1,0 100,0
15,0-17,0 4,0 Truk 2.000 72,0 Larantuka 6,0 99,5
8,0-9,0 4,0 Truk 6.000 48,0 Lampung 4,0 99,5
6,0-7,0 4,0 Truk 4.000 60,0 Lb.Bajo 4,0 99,5
8,0-9,0 4,0 Truk 4.000 24,0 Dompu 2,0 99,5
Keberhasilan transportasi ikan hidup selalu dipengaruhi sifat fisiologi ikan sendiri, ukuran ikan,
kebugaran/mutu ikan menjelang transportasi, mutu air selama transportasi (suhu media DO, pH, CO2. dan
ammonia), kepadatan ikan dalam wadah, teknik mobilitasi dengan menggunakan suhu rendah atau bahan
kimia serta metabolit alam dan lama penggangkutan (Suryaningrum et al., 2001; Pipet et. al 1982;
Basyarie, 1990; Subangsinghe, 1972; Prorent, 1990; Frose. R. 1997). Pada kenyataan dalam melakukan
kegiatan transportasi ikan hidup selalu terjadi kompetisi penggunaan ruang dan pemanfaatan oksigen
yang tersedia. Pengangkutan dengan sistim tertutup menggunakan kantong plastik, nilai oksigen
merupakan parameter penentu pada transportasi ikan hidup ( Berka, 1986).
Peningkatan kepadatan menyebabkan penurunan mutu air selama transportasi. Hal ini terlihat
dari kondisi visual air selama pengangkutan air media agak keruh, berlendir dan Respon ikan terhadap
perubahan lingkungan suhu, oksigen terlarut, serta peningkatan metabolik ikan ditunjukkan oleh
perubahan warna (Utomo dalam Suryaningrum, 2000). Pada kondisi stress, ikan berubah menjadi pucat,
warna menjadi keputihan dan pola warna hilang. Jika ikan mudah dapat beradaptasi dengan kondisi
lingkungannya pola warna tersebut dengan cepat akan normal kembali.
Pada dasarnya keberhasilan kegiatan pengangkutan benih ikan kerapu bebek tidak terlepas
kaitannya dari cara penanganan benih ikan sejak sebelum dikemas hingga sampai tempat tujuan, tetapi
yang lebih penting lagi dari semuanya itu adalah cara mempertahankan agar kualitas fisiko-kimia air
media selama pengangkutan agar lebih stabil sehingga diharapkan dapat mendukung dan menjaga
kesehatan benih yang sedang diangkut.
Hasil pengamatan terhadap suhu media selama pengangkutan terlihat peningkatan pada suhu air
akhir pengangkutan berkisar antara 24-25oC. Dalam transportasi ikan hidup suhu memegang peranan
penting didalam mengendalikan tingkat metabolisme ikan, pada suhu tinggi aktivitas dan metabolisme
ikan meningkat. Oleh karena itu suhu rendah dipertahankan selama mungkin untuk menekan metabolisme
dan aktifitas ikan selama transportasi. Sehingga ikan dapat diangkut selama mungkin. Menurut Utomo
dalam Suryaningrum et al. (2000) suhu ideal yang berpeluang untuk transportasi ikan kerapu berkisar
antara 17 – 21oC. Tabel 3 menunjukkan bahwa suhu setelah pengangkutan selama 18 jam transportasi
suhu media rata-rata 25oC. Menurut Wibowo et al. (1997) pada suhu 21-27oC cenderung terjadi
peningkatan metabolisme sehingga respirasi meningkatkan ekskresi ammonia.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
200
Kandungan oksigen terlarut menunjukan penurunan dengan makin meningkatnya tingkat
kepadatan dan lama waktu transportasi. Hal ini membuktikan bahwa tingkat konsumsi oksigen sangat
dipengaruhi oleh faktor kepadatan sehingga dari kajian tersebut dapat disimpulkan bahwa peranan faktor
kepadatan mempunyai korelasi positif terhadap tingkat pemanfaatan oksigen, artinya semakin tinggi
kepadatan tingkat konsumsi oksigen akan menjadi lebih tinggi demikian sebaliknya.
Kelarutan oksigen pada saat pengepakan yaitu 6,2 mgO2,/liter, selanjutnya pada adalah 3-4
mgO2/liter, ini berpengaruh terhadap aktivitas fisiologi ikan. Menurut Rammerswaal (1993) kelarutan
oksigen yang rendah didalam air akan menyebabkan warna ikan menjadi pucat, aktivitas ikan lamban,
kadang-kadang ikan naik kepermukaan. Lebih lanjut Utomo dalam. Suryaningrum et al. (2000) dalam
penelitianya menyatakan bahwa kelarutan oksigen sebesar 3,47 mg O2/liter menyebabkan ikan gelisah,
warna menjadi pucat, aktifitas lamban.
Kandungan amonia setelah transportasi meningkat dengan meningkatnya kepadatan. Kandungan
amonia pada akhir transportasi berkisar 8-11 mg/liter, namun kandungan NH3 amonia tersebut belum
bersifat racun atau mematikan ikan terlihat dari sintasa ikan masih tinggi. Hal ini karena ammonia yang
dianalisa dalam bentuk amonium (NH4+), sehingga daya racun tidak begiru kuat. Meningkatnya
kandungan amonia dalam air ini dapat berasal dari hasil metabolisme pemecahan protein menjadi amonia
oleh bakteri (Remmarswaal, 1993). Tingginya kandungan amonia dalam air menyebabkan pengeluaran
amonia dalam darah dan jaringan tinggi. Hal ini menyebabkan pH dalam darah naik. Keadaan ini
menyebabkan meningkatnya konsumsi oksigen oleh ikan, sementara kelarutan oksigen dalam media
semakin menurun, sehingga akhirnya menyebkan kematian ikan.
KESIMPULAN
1. Kepadatan maksimal per kantong plastik yang masih menghasilkan kelangsungan hidup tinggi (95-
99%) untuk ukuran benih 4--5 cm pada lama waktu 12 jam dan 22 jam adalah masing-masing 30
ekor dan 25 ekor; pada ukuran benih 5-6 cm pada lama waktu 12 jam dan 22 jam adalah masing-
masing 25 ekor dan 20 ekor, sedangkan pada ukuran benih 7-8 cm adalah masing-masing 15 dan 12
ekor.
2. Pada transportasi dengan sistem tertutup semuanya menghasilkan kelangsungan hidup yang sangat
tinggi.(lebih dari 99%).
DAFTAR PUSTAKA.
Basyarie. A (1990). Transportasi Ikan Hidup. Traning Penangkapan Aklimatisasi dan Peyimpanan Ikan Hias Laut.
Jakarta 4 - 18 Desember 1990.
Berka. R. 1986. The transport of live fish EIFAC Tech. Pap. No. 48. p.52
Froces. R 1997. How to Transport live Fish in Plastic Bags. FAO. Technical Paper. Roma.
Piper. G.R, IBMc. Elwain, L.E. Ormen, J.P.Mc. Caren, L.G. Fowler and I.R. Leonard. 1982. Hatchery Management.
Washington DC, US. Report of Interior, Fish
Proseno, D 1990. Cara Transportasi Ikan Dalam Keadaan Kidup. Makalah disajikan pada Acara Temu Penelitian , Paket Teknologi 29 – 31 Oktober 1990.
Rammerwaal . 1993 Recirculating Aquaculture System. Info fish international 2 p 39 – 193.
Subangsing. S 1997. Live Handling and Transpotation. Infofish International 2p. 39 – 43
Sugama, K., Wardoyo, Rohaniawan, dan Masuda, H. 1998. Tenologi Pembenihan Ikan Kerapu Bebek (Cromileptes altivelis). Dalam Proseding Seminar Teknologi Perikanan Pantai Bali, 8-7 Agustus 1998. Loka
Penelitian Perikanan Pantai Gondol – JICA (ATA-379) p 80 – 88.
Suryaningrum, T.D., Abdul Sari dan Ninoek Indiarti (2000). Pengaruh Kapasitas Angkut Terhadap Sintasan dan
Kondosi Ikan pada Transportasi Kerapu Hidup Sistim Basah. Dalam Proseding Seminar Hasil Penelitian Perikanan 1999/2000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Eksplorasi Laut dan Perikanan
Jakarta. P; 259-268.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
201
Tridjoko, Slamet, B, Makatutu ,D dan Sugama,K. 1996. Pengamatan Pemijahan dan Perkembangan Telur Ikan Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis) secara Terkontrol. Jurnal. Penelitian Perikanan Indonesia. 2 (2)
: 55-62.
Wibowo, S, Utomo, B S.V. and Suryaningrum, T.D. 1987. Kajian Sifat Fisiologi Ikan Sebagai Dasar Dalam
Pengembangan Transportasi Ikan Kerapu Lumpur (Epinephelus tauvina) Hidup untuk Eksport. Makalah disampaikan sebagai penelitian unggulan Puslitbang Perikanan.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
202
PEMBERDAYAAN NELAYAN PESISIR MELALUI BUDIDAYA
SOTONG BULUH (Sepioteuthis lessoniana, LESSON)
DI TELUK NARE, LOMBOK BARAT
M.S. Hamzah
UPT. Loka Pengembangan Bio Industri Laut, P2O – LIPI Lombok
ABSTRAK
Pemberdayaan nelayan pesisir melalui budidaya sotong buluh (Sepioteulus lessoniana) telah dilakukan
padaTahun Anggaran 2001, kerjasama Pusat Penelitian dan Pengembangan Pedesaan (P3P) Unram dan BAPPEDA
Propinsi NTB serta Staf UPT. Loka Pengembangan Bio Industri Laut, P2O – LIPI Lombok sebagai pembina teknis lapangan. Pembinaan lebih serius dan sekaligus alih teknologi budidaya pembesaran dimantapkan pada Anggaran
Tahun 2002, melalui Proyek Pemanfaatan Diseminasi Iptek Kelautan . Penelitian pada Tahun Anggaran 2001
dikosentrasikan pada studi laju pertum-buhan dan kelangsungan hidup dengan penebaran kepadatan yang berbeda
dan diberi pakan 2 kali sehari Sementara Anggran Proyek Tahun 2002 beracuh pada hasil penelitian tahun lalu, dengan meningkatkan kepadatan dan diberi pakan 3 kali sehari. Tujuan penelitian ini adalah membina nelayan pesisir
agar menguasai teknologi pembesaran dengan mengamati variabel pertumbuhan dan kelangsungan hidup. Hasil
penelitian ini cukup penting artinya dalam mengetahui gambaran tebaran kepadatan per-satuan luas, sehingga aplikasi
pengembangan budidayanya dapat diketahui secara pasti. Hasil penelitian dari dua kali tahapan pengamatan memperlihatkan bahwa tebaran kepadatan yang cocok untuk luas kejapung 2,35 x 2,35 m dengan kedalaman 3 m
adalah 120 – 140 ekor dengan frekuensi pemberian pakan 3 kali/hari, dan lebih menguntungkan dibanding dengan
padat tebar rendah dengan pemberian pakan 2 kali/hari. Laju pertumbuhan panjang mantel tertinggi tercatat pada
perlakuan dengan pemberian pakan 3 kali sehari yaitu mencapai 10,23 cm dengan bobot berat 480,10 gr, sementara 2 kali sehari hanya mencapai 4,23 cm dengan bobot berat 295,39 gr. Penurunan kelangsungan hidup lebih cenderung
diakibatkan oleh sifat kanibal, dan dapat dikurangi dengan cara penebaran kepadatan yang memiliki ukuran panjang
mantel yang hampir sama atau rengs perbedaan tidak lebih dari 2,5 cm. Pemijahan dan periode waktu inkubasi telur
serta pemulihan (restocking) ke laut turut dikaji dalam tulisan ini.
PENDAHULUAN
Stabilitas perekonomian masyarakat hingga sekarang masih mengalami fluktuasi yang cukup
memburuk dan cenderung rugi, yang diakibatkan oleh dampak krisis moneter yang berkepanjangan
melanda negara Indonesia. Namun keadaan ini, khususnya bagi nelayan yang mendiami daerah Kawasan
Timur maupun Tengah Indonesia termasuk Nusa Tenggara Barat justru memberi peluang yang besar
dengan meningkatnya transaksi harga produk hasil laut yang menggiurkan baik ekspor maupun pasar
lokal.
Perairan pantai Lombok Barat umumnya memiliki ekosistem batu karang, dan sedikit lamun
yang hidup dibentangan antara daerah tubir dan batas pantai basah. Struktur ekosistem semacam ini,
merupakan salah satu indikator daerah sebaran sotong buluh (Sepioteulus lessoniana). Hal ini terbukti
cukup banyak nelayan menangkap sotong tersebut terutama pada periode bulan terang dengan
menggunakan lambayan yang terbuat dari udang palsu. Sehingga dimungkinkan sumberdaya sotong
buluh dapat dijadikan sebagai salah satu mata pencaharian nelayan, karena memiliki harga yang cukup
tinggi di pasaran lokal maupun restauran. Dengan demikian bila ditinjau dari segi ekosistem perairan
pantainya dan permintaan pasar cukup menjajikan masa depan terutama bagi nelayan.
Sotong buluh (S. lessoniana) termasuk hewan laut yang tergolong dalam phylum muluska. Jenis
hewan ini umumnya senang hidup bergerombol dan terkonsentrasi di perairan pantai yang memiliki
ekosistem lamun dan karang (Roper et. el, 1984; Hamzah, 1997). Penyebaran sotong buluh meliputi
perairan Indo-Pasifik termasuk perairan Indoneisa. Aplikasi pengembangan budidaya pembesaran baik
yang berawal dari stadia jevenil maupun anakan khusus untuk sotong buluh belum banyak dilakukan.
Partisipan dalam budidaya sotong buluh (S. lessoniana) yang berawal dari stadia juvenil dan anakan telah
dilakukan oleh staf peneliti Balitkanta, Maros, BPTP, Bojonegara dan LIPI Ambon, berhasil dengan baik
dan dapat dijadikan sebagai acuan untuk pengembangan lebih lanjut. Luaran hasil penelitian sotong buluh
Tahun Anggaran 2001 di perairan Lombok Barat – NTB telah dikembangkan oleh kelompok nelayan
Dusun Teluk Kombal, Kec. Pemenang Barat melalui bimbingan dan pelatihan teknis dari Staf Peneliti
LIPI Lombok, kerjsama Pusat Penelitian dan Pengembangan Pedesaan (P3P) UNRAM dan BAPPEDA
Propinsi NTB (sesuai surat No. 664/J18.P3P/2001). Kelompok nelayan binaan berjumlah 4 kelompok
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
203
yang terdiri 4 orang/kelompok dan semuanya diambil dari nelayan pesisir yang bermukim di Dusun Teluk
Kombal
Jenis sotong ini, sangat digemari oleh lapisan masyarakat umumnya, karena rasanya enak dan
mengandung protein cukup tinggi. Hewan ini dapat dipasarkan dalam bentuk segar maupun kering
dengan harga yang cukup menjanjikan yakni harga per-kilogram basah bervariasi antara Rp.17.500, -
Rp.20.000,.
Kegiatan ini, bertujuan memberi keterampilan bagi nelayan melalui desiminasi pembuatan
prototipe pembesaran sotong buluh dengan sasaran akhir memacu pendapatan ekonomi masyarakat
nelayan pesisir.
METODOLOGI
1. Keramba Jaring Apung, Bagan dan Rumahjaga
Lokasi peletakan keramba jaring apung di Teluk Nare (Gambar 1) memiliki syarat yang sesuai
dengan indikator kehidupan sebaran sotong buluh yaitu pada daerah ekosistem batu karang yang letaknya
kurang lebih 30 m dari batas tubir dengan kedalaman dasar perairan diperkirakan antara 20 - 25 m.
Keramba jaring apung terbuat dari konstruksi kayu dan bambu petung sebanyak 2 unit terdiri atas (1). 6
kotak/unit dengan luas (P x L) : 2,50 x 2,50 m dengan kedalaman 2,75 m, dan (2). 4 kotak/unit dengan
luas 2,5 m x 1,5 m dengan kedalaman dasar keramba 2,75 m. Sementara jaringnya terbuat dari karoro
(warring) dengan ukuran mata jaring 0,5 cm, sehingga tebaran anak ikan teri hidup sebagai makanan
kegemaran sotong tidak lolos dari kepungan jaring. (Gambar 2 dan 3). Demikian juga bagan dan rumah
jaga terbuat dari konstruksi kayu dan saling berdampingan, sehingga tidak mengganggu kehidupan sotong
buluh yang ada dalam kepungan keramba jaring apung. Luas bagan (P x L) : 7 x 12 m dengan kedalaman
karoro 5 m, sementara luas rumah jaga (P x L) : 3 x 2 m. Sebagai bahan apung khususnya untuk keramba
jaring apung terbuat dari serofoam yang daya apungnya cukup tinggi dan tahan lama.
Gambar 2. Keramba Jaring Apung
Gambar 3. Sosialisasi Kelompok Nelayan Binaan
Dusun Teluk Kombal Kec. Pemenang Lombok barat
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
204
2. Tebaran kepadatan
Pengisian benih sotong buluh dengan padat tebar yang berbeda yaitu 100 ekor, 120 ekor dan 140
ekor dan diulang 2 kali. Benih ini dibeli dari kelompok nelayan yang menggunakan jaring jala yang
beroperasi tidak jauh dari lokasi budidaya. Benih yang didapat sebelum ditebar dalam kejapung diukur
panjang mantel dan beratnya serta seleksi ukuran yang hampir sama dikelompokan dalam satu kotak
kejapung. Hal ini, menghindari terjadinya sifat kanibal antar ukuran yang besar terhadap yang ukuran
kecil.
3. Pakan
Sotong buluh (S. lessoniana) merupakan salah satu jenis hewan laut yang memiliki sifat
kanibalisme, dengan demikian tebaran dalam keramba jaring apung harus dalam ukuran besar yang
hampir sama atau tidak jauh berbeda (Hamzah, 2002). Demikian pula dijelaskan bahwa jenis hewan ini,
lebih respons memakan makanan yang hidup terutama pada ukuran anakan, antara lain jenis udang
jembret (Mesopodopsis sp) dan ikan teri dalam keadaan hidup. Sementara jenis ikan teri dalam kedaan
mati juga dapat diberikan, namun responsnya tidak sebaik ikan teri yang masih hidup. Pemberian pakan
dilakukan 3 kali sehari yaitu pagi, siang dan sore hari dengan estimasi perbandingan 10 % dari bobot
berat badan sotong. Bersamaan dengan ini, dilakukan pengukuran kondisi oseanografi antara lain suhu,
salinitas, pH dan kecerahan air.
HASIL DAN BAHASAN
1. Budidaya Pembesaran Sotong buluh (S. lessoniana)
Hasil budidaya sotong buluh berdasarkan tingkat kepadatan yang berbeda terlihat pada Tabel 1
dan Gambar 4. Pada tabel ini tampak bahwa laju pertumbuhan panjang mantel rerata cenderung lebih
baik tercatat pada padat tebar yang tinggi seperti tercatat pada kotak C1 dan C2 yaitu 8,45 cm dan 10,23
cm dengan laju pertumbuhan berat 250,00 gr dan 480,10 gr. Sementara pada Gambar tersebut, terlihat
bahwa tingkat mortalitas dari ketiga perlakuan hampir tidak jauh berbeda, namun bila dikaji berdasarkan
persentase padat tebar tercatat padat tebar 120 ekor dan 140 ekor masih bisa direkomondasikan untuk
dijadikan acuan yang cocok dikembangkan. Hasil penelitian ini bila dibandingkan dengan data tahun lalu
yaitu padat tebar rendah dan diberi pakan 2 kali sehari (Tabel 2) dan Gambar 5, memperlihatkan bahwa
pemberian pakan 3 kali sehari lebih menguntungkan baik dari segi pertumbuhan maupun tingkat
mortlitasnya (jauh lebih rendah). Nilai laju pertumbuhan panjang mantel bulanan yang diberi pakan 3
kali/hari bervariasi antara 5,28 cm – 10,23 cm dengan bobot berat antara 135,10 gr – 480,10 gr. Laju
pertumbuhan tertinggi tercatat pada perlakuan C2 (padat tebar 140 ekor) dan terendah pada B1 (120
ekor), namun bila dibandingkan dengan perlakuan padat tebar 100 ekor (A) tidak menunjukkan perbedaan
yang nyata. Sementara pemberian pakan 2 kali/hari mencapai nilai pertumbuhan panjang mantel bulanan
cukup rendah yaitu bervariasi antara 2,64 cm – 4,23 cm dengan bobot berat antara 122,02 gr – 295,39 gr.
Pada tabel ini terlihat bahwa laju pertumbuhan tertinggi tercatat pada perlakuan A1 (padat tebar 100 ekor)
yang memiliki ukuran panjang mantel awal 14 – 25 cm, dan terlihat bahwa kecenderungan semakin
kecilnya variasi ukuran tebar semakin lebih rendah laju pertumbuhan baik ukuran panjang mantel maupun
berat. Demikian juga tingkat mor-talitas, bila dikaji kedua tabel dan gamabr tersebut diperoleh bahwa
mortalitas terendah cenderung tercatat pada padat tebar yang memiliki ukuran panjang mantel yang besar.
Kajian ini identik dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hamzah (2002) bahwa padat tebar yang
memiliki variasi ukuran panjang mantel yang hampir sama atau tidak jauh berbeda cenderung
menghasilkan laju pertumbuhan dan kelangsungan hidup yang tinggi. Lebih jauh dijelaskan pula bahwa
kesamaan ukuran padat tebar, dapat menghindari tingkat kanibal antar sesamanya.
2. Pemijahan dan Pemulihan (Restocking)
Pemijahan mulai terjadi setelah seminggu kemudian dalam kejapung terutama pada ukuran
besar. Jumlah kapsul telur yang diperoleh selama periode pengamatan tecatat kurang lebih 2.775 kapsul
(11.100 butir) dengan variasi inti butiran per-kapsul antara 1 – 6 inti (Tabel 1), sementara pada Tabel 2
tercatat jumlah telur yang bakal menetas sebanyak 81.963 butir. Telur diinkubasikan dalam kejapung
selama 2 minggu kemudian menetas dan dilepaskan kelaut (restocking) sebanyak 93.063 ekor (stadia
juvenil)(Gambar 7)
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
205
3. Pasca Panen
Panen I : (Proyek 2001) dari tiga kali pemebesaran diperoleh hasil sebanyak 62,5 kg dengan harga
Rp.17.500.-/kg diperoleh hasil penjualan sebesar Rp 1.093.700.-
Panen II : (Proyek 2002) dari dua kali panen diperoleh hasil 113,6 kg dengan harga Rp.20.000.-/ kg
diperoleh hasil penjualan sebesar Rp.2.272.000.-
Demontrasi pasca panen dilakukan oleh Ketua LIPI dan Deputi Ilmu Kebumian bertepatan
kunjungan kerja di UPT. Loka Pengembangan Bio Industri Laut, P2O – LIPI Lombok (Gambar 8).
Gambar 4. Grafik mortalitas dan Kelangsungan hidup (sintasan) dengan padat tebar berbeda serta
diberi pakan 3 kali/hari
Ket. A100 ….dst. = padat tebar
Sotong buluh (S. lessoniana )
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
A1(100)
A2(100)
B1(120)
B2(120)
C1(140)
C2(140)
Kepadatan Tebar (ekor)
Mo
r. &
Sin
tasa
n (e
kor
)
M (ekor)
S (ekor)
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
206
Gambar 5. Grafik sintasan, mortalitas dengan padat tebar berbeda dan sama diberi pakan 2 kali/hari.
Ket. Nilai ( ) = selisih ukuran panjang mantel, A40 …dst. = padat tebar
Gambar 6. Hasil Budidaya Pembesaran Sotong buluh (S. lessoniana) berdasarkan padat tebar yang
berbeda.
Kondisi Lingkungan
Suhu air (ºC).
Kondisi suhu air pada kedalaman 2 m sampai kedalaman 12 m hampir tidak jauh berbeda yaitu
bervariasi antara 26,8 – 27,5 0C. Suhu terendah tercatat pada bulan Agustus dan tertinggi pada bulan
September. Umumnya kisaran suhu terendah dapat menyebabkan kematian anakan kerang mutiara.
Salinitas (%o)
Salinitas air pada kedalaman 2 m dan 12 m tidak jauh berbeda yaitu bervariasi antara 31 – 32
%o. Kisaran salinitas ini masih ambang toleransi kehidupan kerang mutiara.
Derajat Keasaman (pH)
Derajat keasaman air laut kedalaman 2 m hingga 12 m berada dalam kondisi stabil yaitu nilai
rerata pH = 7
Sotong buluh (S. lessoniana )
0
10
20
30
40
50
60
70
80
A40
(11)
A40
(3.5
)
B60
(2.5
)
B60
(3.5
)
C80
(4)
C80
(4.5
)
A10
0(2)
A10
0(3.
7)
B10
0(4.
5)
B10
0(7)
C10
0(4.
5)
C10
0(5.
5)
Kepadatan Tebar (ekor)
Sin
tasan
& M
ort
alita
s (
eko
r)S (ekor)
M (ekor)
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
207
Kecerahan (m)
Kecerahan air laut selama periode pengamatan tercatat antara 13 - 16,25 m.
Gambar 7. Inkubasi dan penetasan telur sotong buluh untuk pemulihan (restocking)
Gambar 8. Pasca Panen Hasil Budidaya Pembesaran sotong buluh
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
208
Tabel 1. Laju Pertumbuhan, Kelangsungan hidup dan Pemijahan sotong buluh (S. lesoniana) dalam Kejapung dengan padat tebar berbeda serta diberi pakan 3 kali/hari
Keterangan : PM = Panjang Mantel
LP = Laju Pertumbuhan Kisaran kapsul Telur bervariasi antara 1 – 6 inti telur
Tabel 2. Pertumbuhan, kelangsungan hidup (SR) dan pemijahan sotong buluh (S. lessoniana) dalam kejapung
berdasarkan kepadatan berbeda serta diberikan pakan 2 kali/hari
Kotak Variabel Pengamatan
Hewan Uji Agustus September
Laju
pertum SR
1 2 3 4 5 6
A1 (40) Kisar & selisih PM (cm) 14-25=11 21-30,5 =8,5
Kisaran berat (gr) 200-800,00 400-1100,00
Panjang rerata (cm) 19,63 23,86 4,23
Berat rerata (gr) 383,18 678,57 295,39
Jumlah (ekor) 40,00 30,00 30,00
Pijahan (butiran telur) 21.037 30.362 88,16% x51.399 =
45.313,00
A2 (40) Kisar & selisih PM (cm) 9-12,5=3,5 10-17 =7
Kisaran berat (gr) 50-120,00 120-350,00
Panjang rerata (cm) 11,72 14,98 3,26
Berat rerata (gr) 65,00 220,41 155,41
Jumlah (ekor) 40,00 35,00 35,00
Pijahan (butiran telur) - 6.539 (88,16%x6.539)
= 5.765,00
Kotak Variabel Pengamatan Juli September LP Mortalitas Jumlah
I1 (100) PM rerata (cm) 5,25 11,75 6,5
Berat rerata (gr) 15,50 150,60 135,1
Padat tebar (ekor) 100,00 85,00 - 15,00
Pijahan (kapsul) - 25,00 25,00
I2 (100) PM rerata (cm) 5,15 12,11 6,95
Berat rerata (gr) 15,25 160,35 145,1
Padat tebar (ekor) 100,00 80,00 - 20,00
Pijahan (kapsul) - 57,00 57,00
II1 (120) PM rerata (cm) 10,16 16,42 6,26
Berat rerata (gr) 85,00 250,00 165,00
Padat tebar (ekor) 120,00 95,00 - 25,00
Pijahan (kapsul) 55,00 250,00 305,00
II2 (120) PM rerata (cm) 9,75 14,53 5,28
Berat rerata (gr) 70,00 193,50 123,50
Padat tebar (ekor) 120,00 93,00 27,00
Pijahan (kapsul) 50,00 650,00 700,00
III1 (140) PM rerata (cm) 15,12 23,57 8,45
Berat rerata (gr) 250,75 500,75 250
Padat tebar (ekor) 140,00 95,00 45,00
Pijahan (kapsul) 113,00 750,00 863,00
III2 (140) PM rerata (cm) 16,50 25,73 10,23
Berat rerata (gr) 270,15 750,25 480,10
Padat tebar (ekor) 140,00 93,00 47,00
Pijahan (kapsul) 150,00 675,00 825,00
Jumlah 2.775,00
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
209
1 2 3 4 5 6
B1 (60) Kisar & selisih PM (cm) 11-13,5 =2,5 13-19,5 =6,5
Kisaran berat (gr) 50-200,00 190-350,00
Panjang rerata (cm) 13,14 16,27 3,13
Berat rerata (gr) 139,27 278,18 138,91
Jumlah (ekor) 60,00 55,00 55,00
Pijahan (butiran telur) - -
B2 (60) Kisar & selisihPM (cm) 7,5-11=3,5 11-17 =6
Kisaran berat (gr) 40-100,00 100-280,00
Panjang rerata (cm) 10,88 14,33 3,45
Berat rerata (gr) 63,09 150,60 87,51
Jumlah (ekor) 60,00 51,00 51,00
Pijahan (butiran telur) - -
C1 (80) Kisar & selisih PM (cm) 4-8 =4 6-15 =9
Kisaran berat (gr) 10-40 35-250
Panjang rerata (cm) 8,00 11,22 3,22
Berat rerata (gr) 16,00 128,54 112,54
Jumlah dan SR (ekor) 80,00 55,00 55,00
Pijahan (butitan telur) - -
C2 (80) Kisar & selisih PM (cm) 11-15,5=4,5 14-20 =6
Kisaran berat (gr) 140-250,00 150-400
Panjang rerata (cm) 14,600 17,24 2,64
Berat rerata (gr) 187,50 309,52 122,02
Jumlah dan SR (ekor) 80,00 54,00 54,00
Pijahan (butiran telur) - 35.033,00 (88,16%x35.033) = 30.885,00
Jumlah SR butiran telur 81.963,00
Ket : PM = Panjang Mantel; A1,A2,B1,B2, C1,C2 = Kotak kejapung dengan tebaran
kepadatan sotong buluh 40, 60 dan 80 ekor masing-masing diulang 2 kali
SR = Kelangsungan Hidup, Pertum = Pertumbuhan, dan angka garis tebal bawah = selisih PM.
KESIMPULAN
Dari hasil bahasan dapat ditarik beberapa kesimpula sebagai berikut :
1. Laju pertumbuhan budidaya sotong buluh ternyata padat tebar yang tinggi dan berukuran besar
cenderung lebih cepat dibandingkan dengan padat tebar yang rendah yang berukuran kecil.
Sementara tingkat kelangsungan hidupnya hampir sama atau tidak jauh berbeda
2. Tebaran kepadatan sotong buluh yang dapat direkomendasikan dengan luas keramba 2,50 x 2,50
m dengan kedalaman dasarnya 2,75 m adalah pada kepadatan tebar 120 ekor hingga 140 ekor
dengan syarat ukuran besarnya tidak jauh berbeda atau hampir sama
3. Selisih ukuran tebaran panjang mantel awal antar spesimen sotong buluh untuk menghindari sifat
kanibal adalah bervariasi antara 2 – 2,5 cm, semakin kecil dari kisaran panjang tersebut semakin
baik, dan diperoleh kelangsungan hidup semakin besar
4. Perbandingan laju pertumbuhan sotong buluh yang diberikan pakan 3 kali/hari cenderung lebih
cepat pertumbuhannya dibandingkan dengan pemberian 2 kali/hari
5. Kondisi perairan selama periode pengamatan berkiar pada ambang toleransi sebaran kehidupan
sotong buluh
SARAN
1. Pemberdayaan nelayan melalui budidaya sotong buluh mudah dipahami tergantung dari pada
tingkat keseriusan terutama rutinitas pemberian pakan dan pembersihan kejapung dari kotaran
sisa-sisa pakan maupun kotaran jaring akibat lama terendam. Keterlambatan pemberian pakan
menyebabkan terjadinya sifat kanibal antar sotong yang berukuran besar terhadap yang kecil
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
210
2. Permukaan kejapung perlu ditutup dengan daun kelapa secukupnya setelah benih sotong buluh
ditebar ke dalamnya. Tujuannya adalah selain menghindari penyinaran cahaya matahari yang
terlalu besar, juga menghalangi loncatan sotong untuk keluar dari kejapung dengan
mempergunakan kekuatan penyemrotan air melalui rongga mantelnya
3. Untuk menghindari factor pembusukan akibat sisa-sisa pakan yang mengendap di dasar
kejapung perlu dibersihkan setiap hari, atau bila menyulitkan maka disarankan agar ukuran mata
jaring dasar kejapung agak sedikit besar dari pada dindingnya, sehingga sisa-sisa pakan yang
sudah terpotong atau hancur bisa lolos
4. Penelitian ini, perlu dilanjutkan terutama untuk mengamati perkembangan dan kelangsungan
hidup juvenil sotong buluh hingga dewasa, sehingga ketergantungan penangkapan di alam dapat
dikurangi.
DAFTAR PUSTAKA
Hamzah, M.S., 1997. Studi Perkembangan Embrio dan Daya Tetas Telur Sotong Buluh (Sepioteuthis lessoniana, LESSON) pada Kondisi Suhu dan Salinitas yang Berbeda. Tesis. Program studi Sistem-Sistem Pertanian
Kajian Perikanan, Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin Unjung Pandang : 79 hal.
Hamzah, M.S., 2002. Studi Laju Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Sotong Buluh (Sepioteuthis lessoniana,
LESSON) dengan Keramba Apung pada Kepadatan Berbeda di Teluk Kombal,Lombok Barat – NTB. Makalah dipresentasikan dalam Kongres Nasional III, di Bali 21 – 24 Mei 2002: 17 hal. ( in Pres)
Roper, C.F.E.; M.J. Swenney and C.E. Nauen, 1984. Cephalopods of the World. FAO Species catalogue of interest
to fisheries , FAO Fish. Synop., 3 (125) : 277.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
211
PENGEMBANGAN DESA BATUNAMPAR SEBAGAI DESA PANTAI BERBASIS
BUDIDAYA LAUT
Arif Surahman dan Prisdiminggo
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Mataram Nusa Tenggara Barat. Jl. Peninjauan Narmada Po Box 1017 Mataram
ABSTRAK
Pengembangan desa pantai sangat penting artinya mengingat profil desa pantai mencirikan keterbelakangan bahkan kemiskinan yang turun temurun. Agribisnis perikanan merupakan suatu bentuk keterpaduan pengembangan
desa pantai. Agribisnis merupakan kegiatan yang dimulai dari pengadaan sarana produksi, proses produksi,
penenganan pasca panen dan pengolahan serta pemasaran produksi. Kondisi hidrooceaografi dan sosial ekonomi
Desa Batunampar mendukung untuk pengembangan budidaya laut. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Nusa Tenggara Barat telah melakukan pengkajian budidaya laut di desa Batunampar yang meliputi budidya rumput
laut, budidaya kerapu dan lobster dalam KJA. Hasil pengkajian menunjukan bahwa potensi sumberdaya budiaya laut
sangat baik dan perlu untuk dikembangkan. Budiaya kerapu dalam karamba diharapkan menjadi fokus utama dalam
pengembangan desa Batunampar dengan didukung oleh penyediaan pakan alami berupa ikan rucah dan pemasaran maupun penyediaan benih yang kontinyu dan berkualitas.
Kata kunci: desa pantai; budiaya laut
ABSTRACT
Development of coastal village is important because coastal village always illustrate the undeveloped and
poorly region. Fisheries agribusiness is the integrated method for development of coastal village. Agribusiness is the
activities, which consist of production input supply, production process and post harvest handling.
Hidrooceanography condition of Batunampar village is suitable for marine culture activities. BPTP Mataram has been done marine culture assessments in Batunampar village. These assessments consist of seaweed culture and grouper
and spiny lobster cage culture. The assessment result showed that this location was good place marine culture and
need to be developed. Grouper cage culture is the main focus for Batunampar village development, which have to be
supported by trash fish supply for grouper feed and good quality and continue seed supply.
Key word: coastal village; development; marine culture
LATAR BELAKANG
Pengembangan desa pantai sangat penting artinya mengingat profil desa pantai mencirikan
keterbelakangan bahkan kemiskinan yang turun temurun. Padahal desa pantai mempunyai prospek
sebagai pemasok utama pangan hewani dimasa datang mengingat potensi sumberdaya alam yang sangat
mendukung. Desa pantai menghasilkan berbagai jenis produk perikanan baik untuk memenuhi kebutuhan
domestik maupun ekspor.
Upaya pengembangan desa pantai bertolak dari pemikiran bahwa mensejahterakan masyarakat
pantai bukanlah tanggung jawab satu instansi saja melainkan tanggung jawab berbagai instansi dan
lembaga dan masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu pengembangan desa pantai berarti pengembangan
yang terpadu dari berbagai instansi/lembaga dan masyarakat itu sendiri secara terpadu dengan tugas dan
fungsi yang berbeda-beda tetapi menuju pada satu tujuan yaitu masyarakat pantai yang sejahtera. Bertolak
pada kenyataan bahwa sebagian besar penduduk desa pantai adalah nelayan kecil maka pengembangan
desa pantai adalah pengembangan masyarakat perikanan dengan didukung sektor lain.
Agribisnis perikanan merupakan suatu bentuk keterpaduan pengembangan desa pantai.
Agribisnis merupakan kegiatan yang dimulai dari pengadaan sarana produksi, proses produksi,
penenganan pasca panen dan pengolahan serta pemasaran produksi. Penerapan agribisnis secara utuh dan
terpadu mengakibatkan produk dapat dipasarkan dengan baik sehingga nelayan dan pembudidaya ikan
mendapatkan imbalan yang sebesar-besarnya.
Dalam pengembangan desa pantai, pemanfaatan sumberdaya harus dirancang secara optimal dan
berkelanjutan. Pengelolaan yang baik dan bijaksana akan berdampak pada kelestarian dan keberlanjutan
sumberdaya alam sebagai faktor utama pendukung produksi perikanan pesisir. Sebaliknya pengelolaan
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
212
yang ceroboh dan gegabah akan mengakibatkan kerusakan sumberdaya alam yang pada akhirnya daya
dukungnya pada produksi perikanan pesisir akan menurun.
Propinsi Nusa Tenggara Barat yang memiliki luas wilayah peraian laut (perairan pantai dan lepas
pantai) mencapai 31.148 km2 dengan panjang pantai 2.900 km mempunyai potensi yang bagus untuk
pengembangan budidaya ikan kerapu dalam karamba jaring apung. Potensi areal untuk budidaya kerapu
di NTB adalah 1.445 ha dengan 1.200 ha berada di Sumbawa. Dari potensi areal tesebut baru dapat
dimanfaatkan 11 ha di Kab. Lombok timur dan 0,05 ha di Kab. Bima (Anonimous, 2002).
Desa Batunampar yang terletak di teluk Ekas, kab. Lotim sejak lama dikenal sebagai sentra
produksi rumput laut. Jumlah penduduk Dusun Batunampar sebanyak 980 jiwa (210 KK) yang sebagian
besar bekerja sebagai nelayan kecil, petani rumput laut dan pedagang hasil produksi pertanian/sarana
keperluan nelayan dan sebagian kecil bekerja di sektor jasa dan pegawai swasta/negeri.
POTENSI SUMBERDAYA DESA BATU NAMPAR
Teluk Ekas yang berada di bagian selatan Pulau Lombok, secara administratif merupakan
wilayah kabupaten Lombok Tengah dan Lombok Timur. Lokasi teluk terlindung dari arus dan gelombang
besar, karena adanya daerah karang di mulut teluk yang dapat berfungsi sebagai pemecah gelombang.
Dasar perairan sebagian besar berupa karang mati dengan pasir dan sebagian kecil berupa lumpur. Suhu
udara rata-rata 24 – 31,3o C, suhu air 25,6 – 28.8
oC, salinitas air laut 33 – 35 ppt, pH 7,8 – 8,9 dan
kecerahan antara 3 – 5 m. Kedalamam air bevariasi antara 10 –15 m karena adanya lagun/ruang yang
dibatasi oleh hamparan karang (Prisdiminggo et al., 2002)
Batunampar merupakan salah satu desa yang terletak di pesisir bagian barat teluk Ekas.
Transportasi menuju desa Batunampar sangat lancar dengan jarak dengan ibukota propinsi adalah 60 km,
jarak dengan ibukota kabupaten 50 km dan jarak dengan ibukota kecamatan adalah 25 km. Sarana
penerangan listrik sudah masuk ke lokasi namum sarana air bersih masih sulit. Untuk mendapatkan air
masyarakat harus membeli seharga Rp. 1.000,- /ember.
Sebagian besar penduduk desa Batunampar adalah nelayan penangkap ikan. Aktivitas
penangkapan hanya terbatas di sekitar perairan teluk, karena menggunakan sampan ukuran kecil dengan
penggerak motor tempel. Alat tangkap yang digunakan adalah berbagai jenis jaring dan pancing yang
masih sederhana. Sebagian nelayan mempunyai bagan tancap/apung yang digunakan untuk penangkapan
ikan pada malam hari dengan memanfaatkan lampu petromak.
Hasil tangkapan nelayan cukup beragam, baik jenis maupun ukuran. Ikan ukuran kecil yang
tertangkap dikategorikan sebagai ikan rucah, harga jualnya berkisar Rp. 2000,- - Rp. 4.000,-/kg. Ikan-
ikan ekonomis penting seperti kerapu, kakap dan lobster juga sering tertangkap di perairan tersebut
namun harga jual untuk ikan tersebut masih sangat rendah karena digolongkan sama dengan ikan hasil
tangkapan lainnya.
POTENSI BUDIDAYA LAUT
Usaha budidaya rumput laut yang merupakan awal proses budidaya laut di desa Batunampar
dimulai sejak tahun 1986 dan mencapai puncaknya pada tahun 1995 dengan jumlah rakit mencapai 3.000
unit. Metoda yang digunakan adalah metoda rakit terapung dengan ukuran rakit 10 x 10 m. Rata-rata
produksi selalu berfluktuasi dari tahun ke tahun hal ini disebabkan karena harga jual rumput laut selalu
berfluktuasi. Aktivitas petani dalam usaha budidaya rumput laut tidak berlangsung sepanjang tahun.
Petani umumnya menanam rumput laut pada awal bulan April sampai dengan pertengahan September.
Pada bulan Oktober sampai Februari merekan tidak menanam rumput laut karena mereka beralasan
tingginya intensitas serangan penyakit rumput laut yaitu ice-ice pada bulan tersebut.
BPTP Mataram yang pada waktu itu masih berbentu instalasi mengadakan kajian rumput laut di
Desa Batunampar pada tahun 1997. Dari Kajian tersebut didapatkan hasil waktu tanam rumput laut
sebaiknya dimulai pada bulan April dan berakhir pada bulan September namun periode tanam antara
bulan Mei – Agustus memberikan keuntungan yang lebih besar (Prisdimiggo et al., 1998)
Berdasarkan pengamatan di lokasi selama penelitian rumput laut, banyak sekali tertangkap oleh
nelayan ikan-ikan ekonomis penting di daerah tersebut seperti kakap, kerapu dan lobster. Dengan melihat
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
213
dasar perairan yang berupa karang dimungkinkan daerah tersebut merupakan habitat untuk ikan-ikan
karang yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Melihat fenomena tersebut BPTP Mataram mengadakan
uji adaptasi pemeliharaan ikan kerapu dalam KJA. Jenis ikan yang digunakan adalah ikan kerapu bebek
(Cromileptes altivelis). Jenis ini mempunyai harga yang sangat tinggi dan mempunyai pasaran ekspor di
Hongkong. Dari Kajian ini didapatkan hasil bahwa jenis ikan ini dapat dibudidayakan dalam KJA dengan
masa pemeliharaan 17 bulan dan berdasarkan analisa usaha didapatkan keuntungan sebesar Rp.
19.953.645,- (Prisdiminggo et al., 2002)
Dalam Kajian ini juga dilakukan ujicoba pemeliharaan udang karang (Panulirus sp) dalam
karamba dan didapatkan hasil yang sangat memuaskan dengan SR 73,33% dan pertambahan berat 62,67 g
selama 1,5 bulan. Udang karang jenis lain seperti udang karang jenis mutiara dan pasir juga memberikan
respon yang sangat baik dipelihara dalam karamba (Prisdiminggo et al., 2002).
KONSEP PENGEMBANGAN DESA BATUNAMPAR BERBASIS BUDIDAYA LAUT
Melihat potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia serta potensi budidaya yang terdapat
di desa Batunampar, maka daerah tersebut dapat dikembangkan menjadi daerah pantai yang mempunyai
basis budidaya laut. Hal-hal yang menjadi dasar pemikiran pengembangan budidaya laut adalah :
1. Teluk Ekas memenuhi persyaratan sebagai lokasi untuk budidaya laut seperti: terlindung dari
pengaruh arus yang kuat, gelombang besar serta angin yang kencang serta bebas dari cemaran.
2. Dasar perairan yang berupa karang dimungkinkan sebagai habitat alami untuk ikan-kan karang
ekonomis penting sehingga tidak akan kesulitan untuk mendapatkan pasok benih dari alam.
3. Keberhasilan pengkajian yang dilakukan BPTP NTB menunjukkan bahwa perairan ini memang
cocok untuk lokasi budiaya laut seperti rumput laut dalam rakit terapung, kerapu dalam KJA dan
lobster dalam KJA.
4. Sebagian besar penduduk berprofesi sebagai nelayan kecil yang menghasilkan ikan rucah sebagai
hasil tangkapannya, merupakan potensi untuk pemenuhan kebutuhan pakan ikan dalam budidaya
dalan KJA.
Konsep pengembangan terpadu mutlak diperlukan dalam pengembangan desa Batunampar
mengingat adanya beberapa aspek budidaya dan penangkapan ikan yang selama ini sudah dilakukan oleh
sebagian masyarakat.
Ikan kerapu merupakan komoditas penting yang diharapkan dapat meningkatkan taraf hidup dan
pendapatan nelayan di desa Batunampar. Ikan kerapu khususnya jenis kerapu bebek mempunyai harga
jual yang sangat tinggi. Pengkajian ikan kerapu yang dilakukan oleh BPTP NTB, sangat direspon oleh
masyarakat. Hal ini terbukti dengan banyaknya masyarakat yang kemudian ikut mencoba budiaya ikan
kerapu dalam karamba. Teknologi budidaya yang diintroduksikan oleh BPTP Mataram sangat sederhana
sehingga petani dapat menirunya tanpa kesulitan. Modal yang diperlukan sangat murah karena
konstruksinya bisa dibangun dengan bahan yang tersedia disekitar petani dan tidak asing bagi mereka
misalnya bambu, pelampung dan jaring. Metoda budidayanya juga sangat sederhana sehingga dapat
diaplikasikan oleh petani. Untuk memenuhi kebutuhan pakan ikan berupa ikan rucah masyarakat tidak
mengalami kesulitan karena terdapat banyak bagan apung dan tancap yang dapt mensuplai kebutuhan
ikan rucah setiap hari. Komoditas lain yang bias dibudiayakan dalam KJA ini adalah lobster. Lobster juga
merupakan komoditas yang penting karena harganya juga sangat baik, bias mencapai Rp. 160.000,- – Rp.
180.000.-. Lobster merupakan salah satu marga dari Crustacea laut yang mempunyai potensi ekonomis
penting. Budidaya udang karang di Indonesia bulum banyak diusahakan, bahkan hanya terbatas pada
usaha penangkapan. Pada umumnya udang karang diperdagangkan baik untuk kebutuhan konsumsi
dalam negeri maupun untuk ekspor. Di Indonesia dikenal adanya enam jenis udang karang dari marga
Panulirus yaitu: P. homarus, P. Longipes, P. ornatus, P. peniculatus, P. penicillatus, P. polyphyagus dan
P. versicolor (Moosa dan Aswandy, 1984). Ke enam jenis udang karang ini mempunyai sebaran yang
berbeda dan beberapa diantaranya hidup pada habitat yang berbeda pula. Pengkajian udang karang yang
dilakukan oleh BPTP NTB bermula dari ketidaksengajaan pada saat berlangsungnya pengkajian
pemeliharaan kerapu. Waktu pengamatan dan pembersihan jaring banyak ditemui benih udang karang
menempel pada jaring dan pelampung, bahkan ditemui masuk ke dalam jaring (KJA) dan tumbuh seperti
ikan lainnya.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
214
Mengingat lamanya masa pemeliharaan ikan kerapu dalam KJA yaitu sekitar 17 bulan untuk satu
siklus pemeliharaan sehingga petani masih mempunyai banyak waktu luang yang bisa dimanfaatkan
untuk kegiatan lain seperti budidaya rumput laut. Budiaya rumput laut yang sudah lama dikerjakan oleh
petani perlu dikembangkan lagi mengingat metoda budidayanya sangat mudah. Berdasarkan hasil kajian
dari BPTP NTB metoda budidaya yang dapat digunakan untuk budidaya rumput laut di Desa Batunampar
adalah metoda rakit dengan ukuran rakit 10 x 10 m.
Penangkapan ikan yang merupakan sumber utama mata pencaharian masyarakat disana
diharapkan dapat dapat terus dilaksanakan dengan tujuan untuk menunjang budidaya ikan. Ikan rucah
hasil tangkapan nelayan dapat digunakan sebagai pakan untuk ikan yang dibudidayakan. Demikian juga
ikan hasil tangkapan dari bagan tancap maupun bagan apung dapat digunakan sebagai pemasok pakan
alami untuk karamba.
Kebutuhan benih ikan di karamba biasanya juga dapat dipenuhi dari bagan tancap/apung. Ikan-
ikan kecil yang tertangkap biasanya terdapat juga jenis ikan karang seperti kerapu, kakap, beronang dll.
Ikan-ikan ini kemudian ditampung untuk kemudian pada pagi hari dipindahkan ke KJA untuk
dibudidayakan.
Untuk mengantisipasi ketergantungan benih alam maka kelestarian ekosistem di daerah habitat
benih ikan-ikan karang perlu di jaga. Hal ini dapat dilakukan dengan melaksanakan kegiatan penyuluhan
kepada masyarakat tentang arti penting kelestarian sumberdaya alam dalam mendukung proses budidaya
ikan yang mereka lakukan. Termasuk juga kerugian-kerugian yang dapat ditimbulkan dari penangkapan
ikan yang tidak bijaksana misalnya dengan menggunakan bahan-bahan kimia dan bahan peledak.
Penggunaan bahan-bahan kimia dan bahan peledak akan mengakibatkan kerusakan terumbu karang yang
merupakan habitat alami bagi ikan-ikan ekonomis penting seperti kerapu, kakap, lobster dll.
Aspek pemasaran untuk ikan kerapu tidak menjadi masalah dengan datangnya PT. MINAUT
yang bergerak dalam pembelian ikan kerapu bebek dari para petani. Saat ini kebutuhan ikan kerapu bebek
hanya dapat dipenuhi dari tangkapan dari alam seperti dari bagan tancap dan bagan apung nelayan.
Tingginya permintaan kerapu dari PT. MINAUT diharapkan dapat dipenuhi oleh budidaya ikan kerapu
bebek dalam KJA oleh petani.
Dalam jangka panjang perusahaan ini akan bergerak pula dalam bidang pembenihan dan akan
bermitra dengan petani dengan cara mensuplai kebutuhan benih dan akan menampung dan memasarkan
hasil panennya. Pembangunan hatchery mutlak diperlukan untuk mengantisipasi lonjakan permintaan
benih seiring dengan perkembangan budidaya ikan kerapu dalam KJA karena benih hatchery saat ini
masih didatangkan dari Gondol Bali yaitu jenis kerapu bebek.
PENUTUP
Potensi sumberdaya alam Desa Batunampar untuk pengembangan budidaya laut perlu sekali
diimplemntasikan dengan pengembangan Desa Batunampar berbasis budidaya laut. Budidaya laut yang
dapat dikembangkan antara lain budidaya ikan kerapu dalam KJA, budidaya lobster dalam KJA dan
budidaya rumput laut. Suplai pakan ikan rucah untuk budidaya tersebut dapat dipenuhi dari hasil
tangkapan bagan tancap dan bagan apung yang dilakukan nelayan setempat. Ketergantungan benih alam
untuk budidaya perlu diimbangi dengan upaya menjaga kelestarian ekosistem sebagai habitat alami ikan-
ikan tersebut. Usaha hatchery benih perlu dilakukan untuk mengantisipasi permintaan benih yang
melonjak. Untuk pemasaran dan kebutuhan benih perlu adanya pola kemitraan dengan perusahaan yang
bergerak dalam ekspor ikan kerapu misalnya PT. MINAUT yang saat ini sudah bergerak di desa
Batunampar dan akan membangun pula hatchey untuk ikan kerapu bebek.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
215
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, T., A. Mustafa dan A. Hanafi. 1997. Konsep Pengembangan Desa Pantai Mendukung Keberlanjutan
Produksi Perikanan Pesisir. Prosiding Rapat Kerja Teknis, Pusat Penelitian dan Pengembangan
Perikanan. Serpong, 19 – 20 November. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. 91 – 106p.
Ismail, W dan E. Pratiwi. 1997. Sistem Usaha Tani Berbasis Budidaya Laut untuk Pengembangan Desa Pantai. Warta
Penelitian Perikanan. Vol. III No. 4. 2 – 6p.
Ismail, W, S.E. Wardoyo, B. Priono, P.T. Imanto. 1998. Penelitian Pasok Benih Alam Kerapu (Epinephelus spp) melalui Pemeliharaan Induk pada Keramba Jaring Apung Sebagai Reservat Buatan. Jurnal Penelitian
Perikanan Indonesia, vol IV no. 1. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. 96 – 108p.
Nazam. M., Prisdiminggo. A. Surahman dan Sudjudi. 2000. Laporan Hasil Pengkajian Uji Adaptasi Pemeliharaan
Kerapu Bebek dalam KJA di Teluk Ekas. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat.
Prisdiminggo, M. Nazam, A. S. Wahid, S. Sisca dan Sudjudi. 1998. Uji Adaptasi Waktu Tanam terhadap
Produktivitas Rumput Laut (Eucheuma cottoni) di teluk Ekas dusun Batunampar, Lombok Timur.
Prosiding Seminar Penyuluh, Peneliti dan Petugas Terkait Propinsi Nusa Tenggara Barat. Instalasi
Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Mataram, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.
Prisdiminggo, Mashur, M. Nazam, L. Wirajaswadi. 2002. Budidaya Ikan Kerapu Bebek (Cromileptes altivelis) dan
Lobster (Panulirus sp) dalam Karamba Jaring Apung (KJA) di Teluk Ekas, Lombok Timur. Makalah
disampaikan pada Lokakarya Nasional dan Pameran Pembangunan Agribisnis Kerapu II di Jakarta tanggal 8 – 9 Oktober.
Redjeki. S, A. Supriaatna, S. Diani, A. Ismail dan PT. Imanto. 1995. Prospek Budidaya Udang Karang. Makalah.
Pusat Litbang Perikanan. Balai Penelitian Perikanan Budidaya Pantai. Sub Balai Penelitian Perikanan
Budidaya Pantai Bojonegara. Serang.
Slamet, B. Dan P.T. Imanto. 1998. Pengamatan Pemeliharaan Udang Karang (Panulirus humarus) di Laboratorium.
Jurnal Penelitian Pantai vol 5 No.2. Badan Litbang Pertanian. Balai Penelitian Perikanan Budidaya
Pantai. Maros. 52-60p.
Tridjoko, B. Slamet, A. Prijono dan I. Koesharyani. 1996. Pembenihan Ikan Kerapu. Prosiding Rapat Kerja Teknis, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Serpong, 19 – 20 November. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Perikanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. 112
– 118p.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
216
UPAYA PENINGKATAN PERFORMANCE PEMIJAHAN
INDUK KERAPU (Epinephelus Sp) SECARA TERKONTROL
Agus Priyono
Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut-Gondol Po Box 140 Singaraja, Bali
ABSTRAK
Ikan kerapu, Epinephelus sp termasuk dalam famili Seranidae, hidup di perairan yang berkarang. Beberapa
jenis kerapu yang dibudidayakan seperti kerapu bebek, kerapu macan, kerapu lumpurdan kerapu sunu umumnya menggunakan benih alam. Namun akhir-akhir ini benih yang diinginkan baik kualitas, kuantitas maupun jenisnya
tidak sesuai dengan yang diinginkan. Dalam proses pembenihan, diperlukan induk yang bermutu baik. Oleh
karenanya induk sebagai modal dasar pembenihan harus ditingkatkan mutunya melalui pakan yang berprotein,
penambahan vitamin pakannya maupun secara hormonal. Hasil yang diperoleh menunjukan bahwa induk kerapu yang diberi pakan dengan kandungan protein 40%, penambahan vitamin C sebanyak 1000 mg/kg pakan serta implan
hormon LHRH analog dapat meningkatkan keragaan pemijahan terutama kualitas telur meningkat hingga 82 %,
frekuensi memijah bulanan hingga 8-10 kali dan kuantitas telur harian mencapai 1.3 juta butir.
Kata kunci: Kerapu, pakan, vitamin, hormon.
ABSTRACT
Epinephelus sp is the Seranidae familie, life in the coral area. In general, seed of the grouper for cultured (Cromileptes altivelis, tiger grouper, mud grouper, coral grouper etc) come from wild capture. The seed quality and
quantity from wild capture was not sufficient. In the seedling process, are necessary of the best quality broodstock.
The broodstock is the importance for seedling must be improving true the protein level, vitamin, or hormonal. The
result showed that the broodstock of grouper with fed protein contain 40%, vitamin C with dosage 1000 mg/kg feed and implant hormone LHRH analog was increased for spawning performance i.e increased egg quality up to 82%,
spawned frequency was 8-10 times and quantity ofegg until 1,3 million per day.
Key Word: Epinephelus sp, feed, vitamin, hormone.
PENDAHULUAN
Ikan kerapu termasuk famili Serranidae, dengan daerah penyebaran meliputi daerah tropik dan
subtropik (Randall dan Ben-Tuvia, 1983). Secara umum jenis-jenis ikan kerapu termasuk dalam golongan
ikan protogynous hermaprodit, yaitu perubahan kelamin dari betina dewasa akan mengalami perubahan
kelamin menjadi jantan. Jenis-jenis ikan kerapu tersebut (Epinephelus sp) adalah jenis ikan yang
hidupnya di karang, pada kedalaman yang bervariasi tergantung dari spesies ikannya.
Di Indonesia jenis-jenis ikan kerapu banyak diburu orang karena mempunyai nilai ekonomi cukup
tinggi di pasar-pasar lokal dalam negeri maupun untuk eksport. Besarnya permintaan ikan terutama ikan
kerapu hidup menimbulkan dampak pada turunnya jumlah tangkap, jenis, maupun ukurannya.
Padahal beberapa jenis kerapu yang sudah dikembangbiakkan sampai mencapai ukuran benih
atau juvenil adalah kerapu bebek, Cromileptis altivelis (Tridjoko dkk., 1997), kerapu macan, Epinephelus
fuscoguttatus (Mucharie et al., 1991; Mayunar et al., 1991), kerapu batik, Epinephelus microdon (Slamet
dan Tridjoko, 1999), kerapu lumpur, Epinephelus malabaricus, Epinephelus coioides (Mayunar, 1992;
Prijono dkk, 2000). Hal ini menyebabkan kebutuhan induk dalam proses pembenihan sangat diperlukan.
Umumnya induk-induk yang digunakan untuk pembenihan berasal dari tangkapan di alam dan belum
banyak yang berusaha memproduksi induk yang berasal dari hasil pembenihan buatan (hatchery). Untuk
menghindari kegagalan dalam pembenihan biasanya induk-induk kerapu didatangkan dari daerah yang
cukup jauh sehingga sistim penangkapan dan transportasi menjadi perhatian yang besar. Karena
kesalahan penangkapan (menggunakan sianida, dll) serta transportasi yang kurang tepat dapat
menyebabkan sistim pemulihan tubuh menjadi sangat lamban bahkan menyebabkan kematian sesaat
setelah ikan didomestikasi, sehingga perlu perhatian khusus
Untuk menghindari kegagalan selama proses reproduksi, tentunya diperlukan induk-induk
kerapu yang berkualitas baik dengan indikator ukuran, umur maupun manajemen pemeliharaannya.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
217
Dalam pemeliharaan induk kerapu faktor-faktor yang menentukan produksi telur baik kuantitas maupun
kualitas, maka peran nutrisi pakan, penambahan vitamin serta pengaruh hormonal menjadi hal penting.
Tujuan
Menformulasikan cara meningkatkan keragaan (performance) induk kerapu hubungannya
dengan perbaikan mutu induk untuk pemijahan secara terkontrol.
BAHAN DAN METODE
Induk Kerapu
Induk ikan diperoleh dari hasil tangkapan nelayan di laut, ditampung di karamba apung atau
tambak pasang surut, kemudian diseleksi ukuran, berat dan kesehatannya. Ikan diangkut dengan
menggunakan tangki fiberglas yang dilengkapi aerasi oksigen dan pengaturan suhu. Selanjutnya ikan
dipelihara dalam bak beton volume 100 m3 dengan kepadatan 20-25 ekor dengan kondisi air mengalir
(flowtrue sistem).
Pengelolaan Air dan Aerasi
Air laut yang digunakan diambil dengan menggunakan pompa yang didistribusikan melalui pipa-
pipa PVC ke masing-masing unit bak pemeliharaan induk. Jumlah pergantian air selama pemeliharaan
sedikitnya 200% per hari. Untuk suplai oksigen digunakan blower /Hiblow diatur dengan penggunakan
stop kran dan slang aerasi yang dihubungkan ke masing-masing batu aerasi. Untuk mengurangi jumlah
ekresi yang ditimbulkan dari induk, setiap satu atau dua minggu sekali dilakukan pembersihan dasar bak
dengan cara menyipon. Sebagai triger pematangan gonad dan pemijahan bisa juga dilakukan dengan cara
menurunkan sebagian volume air pemeliharaan hingga 60-80% per hari pada pagi hingga siang hari.
Pengelolaan Pakan
Jenis pakan yang diberikan berupa ikan tongkol kecil, tembang, lemuru sebanyak 2-3% dari total
bobot ikan per hari, diberikan bergantian pagi dan sore. Sedangkan cumi-cumi diberikan menjelang
pemijahan alami 10 hari sebelumnya secara ad libitum (sampai kenyang). Perlakuan pemberian pakan
dengan pengaturan kandungan protein 40% (Tabel 1), lemak maupun vitamin C dosis 100 mg/kg berat
ikan dicampur dengan pakan moist pelet yang dimasukkan kedalam cumi-cumi. Jumlah pakan moist pelet
yang diberikan sebanyak 2% dari total bobot tubuh ikan perhari.
Tabel 1. Komposisi moist pelet yang digunakan untuk meningkatkan keragaan pemijahan induk kerapu dengan
kandungan protein 40%, dan vitamin C dosis 100 mg
Ingredient Diet 1
Fish meal 40.0 Squid liver meal 24.0
Fish oil 14.0
Starch 8.0
Vitamin premix 1.0 Vitamin C 10.0
Mineral premix 1.5
Binder 1.0
Cellulose 0.5 Total 100,0
Crude protein 40,0
Crude fat 22.6
Crude sugar 8,0 Crude ash -
DE (kcal/kg diet) 3.692,0
C/P ratio 94,0
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
218
Pengelolaan Hormon
Hormon yang digunakan adalah LHRH-a kristal yang dikemas dalam bentuk pelet berukuran
panjang 5 mm dan diameter 15-25 mm. Pelet hormon merupakan campuran beberapa bahan antara lain
colesterol, cocobutter, alkohol dan bahan kristal hormon yang dihaluskan dan dikemas dalam bentuk pelet
yang siap diimplantasikan pada induk secara intramuscular. Dosis hormon yang diberikan sebanyak 50
g/kg berat ikan, dan diimplan tiap bulan dengan frekuensi 2-3 kali.
Pengamatan
Pengamatan perkembangan gonad dilakukan setiap bulan dengan menggunakan kanula yang
dimasukan kedalam lubang pelepasan telur. Sedangkan perkembangan sperma diamati dengan melakukan
striping pada induk jantan. Pengelompokan perkembangan telur dan sperma didasarkan pada penelitian
(Priyono et al., 1993). Pengamatan pemijahan dilakukan dengan mengetahui telur yang dihasilkan pada
masing-masing bak pemijahan. Telur diambil sebagian untuk diamati kualitasnya meliputi daya
pembuahan, penetasan, jumlah telur yang dihasilkan, serta frekuensi pemijahan bulanan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kandungan Protein Pakan
Tepung ikan sebagai sumber protein pakan secara umum sering digunakan sebagai sumber
protein utama, mengingat sumber protein dari ikan mudah diperoleh dan harganya relatif lebih murah
dibandingkan jenis lainnya (tepung cumi, tuna dll). Hasil percobaan penggunaan pakan untuk pemijahan
kerapu batik dengan sumber protein tepung cumi nampaknya lebih baik, yaitu masa produksi telur lebih
lama dari kondisi biasa yang tergantung musim hujan (Nopember-April) (Giri et al., 2001). Dengan
pemberian cumi segar sebanyak 50% dari jumlah pakan ikan segar yang diberikan terbukti dapat
meningkatkan kualitas telur yaitu telur mengapung (dibuahi) sekitar 81% dan produksi telur mencapai 14
juta butir (Giri et al., 2001). Tabel 2 menunjukkan bahwa induk kerapu Lumpur yang diberi pelet
kandungan protein 40% dengan bahan dasar protein dari tepung ikan menunjukkan kualitas telur yang
baik dengan indikator daya pembuahan mencapai 90 % dan daya tetas antara 10-98%, hasilnya hampir
sama pada kerapu batik yang diberi pakan dari sumber protein tepung cumi dan kerapu macan yang diberi
pakan ikan segar.
Hasil pengamatan pemeliharaan induk kerapu macan yang diberi pakan ikan tembang dan ikan
sardin segar diketahui induk bertelur setiap bulan dengan variasi jumlah telur antara 7 juta sampai 12 juta
butir dan daya tetasnya antara 55-85% (Setiadharma et al., 2001). Nampaknya kebutuhan protein pakan
pada ikan kerapu yang berasal dari ikan segar maupun dari tepung ikan untuk formula pelet sangat
penting untuk memperbaiki kualitas gonad induk.
Sebagai ikan karnivora, nampaknya kebutuhan protein cukup tinggi untuk mendukung pertumbuhan dan
kelangsungan hidupnya. Kebutuhan yang tinggi kemungkinan disebabkan oleh rendahnya ketersediaan
karbohidrat sebagai sumber energi, sehingga sebagian dari protein digunakan hanya untuk memenuhi
kebutuhan energi (Watanabe, 1988).
Tabel 2. Pengamatan ukuran induk, jumlah telur, telur yang dibuahi dan daya tetas serta indek kehidupan larva pada
beberapa induk kerapu.
Parameter Satuan Kerapu (Epinephelus)
Lumpur Batik Macan
Berat ikan betina
Berat ikan jantan
Panjang total betina
Panjang total jantan Jumlah telur
Telur yang mengapung
Telur yang tenggelam
Telur yang dibuahi Daya tetas
Indek kehidupan larva
(kg)
(kg)
(cm)
(cm) (000 bt)
(butir)
(butir)
(%) (%)
2,80 - 9,62
11,58 - 17,56
52,00 – 80,00
82,00 – 92,00 100,00 - 1.597,00
8,75 - 810,00
15,00 - 987,60
45,30 – 90,47 10,00 - 98,40
1,57 – 5,56
1,10
lebih dari 2,00
35,00 - 38,00
42,00 -45,00 >14.000,00
90 5
4 1 -
35,00 - 55,50
-
3,50 - 8,00
lebih dari 10,00
56,00 – 81,00
lehih dari 85,00 7.300,00 -12.400,00
5.600,00 - 9.500,00
1.300,00 - 4.500,00
56,87 - 82,02 55,00 - 85,00
-
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
219
Selanjutnya dikemukakan bahwa faktor lainnya adalah suhu, feeding rate, ketersediaan dan
kualitas pakan alami dan tingkat kecernaan pakan (Watanabe, 1988). Dari beberapa penelitian dilaporkan
bahwa kebutuhan protein ikan kerapu berkisar antara 47-60%. Perbedaan kebutuhan protein disebabkan
oleh beberapa hal antara lain perbedaan spesies, stadia, ukuran ikan serta sumber protein yang digunakan.
Namun Wilson (1985) mengemukakan bahwa tidak ada kebutuhan protein yang mutlak bagi ikan, akan
tetapi ditentukan oleh pola ketersediaan asam amino yang seimbang. Oleh karenanya, jenis dan komposisi
asam amino dari suatu bahan menjadi faktor penentu kualitas protein dari bahan yang bersangkutan
(Kusnendar et.al., 2001).Teng et al (1978) dalam (Kusnendar et a. 2001), melaporkan bahwa
pertumbuhan ikan kerapu Lumpur (Epinephelus tauvina) akan maksimum jika diberi pakan dengan
kandungan protein 50%, namun mereka mendapatkan bahwa kadar protein pakan 40% adalah yang paling
ekonomis.
Selain kebutuhan protein, nampaknya lemak juga berperan sebagai sumber energi dan sumber
asam lemak esensial bagi ikan. Telah dibuktikan bahwa asam lemak tidak jenuh berantai panjang (HUFA)
terutama kelompok n-3 HUFA (EPA: 20-5n3 dan DHA: 22-6n3) merupakan nutrien esensial bagi larva
ikan laut dalam menyediakan energi metabolisme bagi perkembangan telur dan larva. New (1987) dalam
Giri et al. (2001) melaporkan bahwa kebutuhan lipid bagi ikan kerapu berkisar 14%, sementara
kandungan lemak yang digunakan selama percobaan sebesar 24%. Tingginya nilai lemak mungkin masih
ditolerir oleh induk, sehingga induk kerpu dapat bertelur secara spontan dalam bak pemeliharaan setiap
menjelang pemijahan alami.
Kandungan Vitamin C dalam Pakan
Pada beberapa penelitian tentang penggunaan vitamin C untuk reproduksi ikan telah diujicoba
terutama pada ikan trout (Sandnes et al., 1984). Hasilnya memperlihatkan bahwa ikan yang mendapat
pakan dengan suplemen vitamin C sebanyak 1000 mg/kg pakan dapat memproduksi telur lebih banyak
dibandingkan tanpa penambahan vitamin C. Seperti halnya pada kerapu Lumpur (Epinephelus coiodes)
yang diberi tambahan pakan yang mengandung vitamin C dosis yang sama memperlihatkan pertumbuhan
gonad yang cepat disusul dengan pemijahan setiap bulannya menunjukkan meningkat dari sekitar 3 juta
telur menjadi 7 juta pada akhir pengamatan bulan Oktober dengan frekuensi pemijahan sebanyak 10 kali
(Tabel 3). Untuk spesies kerapu lainya (Epinephelus tauvina) dicoba dengan kandungan vitamin C sekitar
30 mg/kg pakan (Boonyaratpalin et al,. 1993). Hasil yang sama telah dilaporkan Giri dkk. (1999) pada
percobaan menggunakan juwana ikan kerapu tikus (berat 13,5 0,9 g). Selanjutnya Phromkunthong et al.
(1993) menyatakan bahwa kerapu Lumpur (E. malabaricus) yang diberi pakan tanpa penambahan vitamin
C menunjukkan gejala sakit pada operculum dan sirip ekor.
Tabel 3. Pengamatan jumlah telur, kualitas telur, frekuensi pemijahan pada induk ikan yang diberi tambahan vitamin
mulai bulan Mei s/d Oktober 2002
No Bulan Code
Bak
Juml.
Telur
(000)
Pembuahan
(%) Penetasan (%)
Frekuensi
pemijahan
Jumlah Induk
betina
1. Mei A-1 - - - - 15 ekor
2. Juni A-1 3.912 27,3-87,4 15,5-50,5 8 kali 15 ekor
3. Juli A-1 3.980 31,2-65,5 10,5-82,5 6 kali 14 ekor
4. Agustus A-1 6.753 35,5-87,3 20,5-39,7 6 kali 14 ekor
5. Sept A-1 5.980 38,0-76,9 15,9-78,0 8 kali 12 ekor
6. Okt A-1 7.260 42,3-93,7 38,0-84,5 10 kali 12 ekor
Keterangan: A-1= volume tangki 100 ton
Hasil pengamatan terhadap derajat pembuahan tiap bulan pada induk kerapu Lumpur yang diberi
tambahan vitamin C cenderung meningkat dari 27,3 menjadi 93,7 %. dan daya tetasnya meningkat
mencapai 84,5% (Tabel 3). Demikian pula yang terjadi pada induk kerapu macan (Epinephelus
fuscoguttatus) yang diberi tambahan vitamin C dosis 1000 mg/kg pakan dapat bertelur dibandingkan
dosis yang lebih rendah (Tony Setiadharma, komunikasi pribadi). Dilaporkan oleh Soliman et al. (1986)
bahwa induk ikan nila dapat memijah lebih cepat dua minggu dibandingkan tanpa penambahan vitamin C.
Penelitian Ishibasi et al. (1994) pada ikan laut Japanese parrot memperlihatkan bahwa perkembangan
ovarium induk dengan penambahan vitamin C sebanyak 1000 mg/kg pakan jauh lebih cepat dibandingkan
tanpa penambahan vitamin C. Beberapa peneliti melaporkan bahwa pentingnya vitamin C dalam pakan
terutama untuk meningkatkan ketahanan terhadap stress karena secara alami hewan terutama ikan tidak
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
220
mampu mensintesis vitamin C di dalam tubuhnya. Sehingga kebutuhannya mutlak diperlukan sehubungan
dengan sistem metabolisme enzim bagi ikan terutama pada juvenil ikan kerapu (Subyakto dkk., 2001).
Aplikasi Hormon untuk Stimulasi Reproduksi
Pada umumnya fungsi hormon reproduksi di dalam tubuh ikan berkembang sesaat setelah ikan
dewasa. Tingkat kedewasaan ikan sangat berlainan tergantung spesies dan lingkungan hidupnya.
Beberapa spesies ikan kerapu tingkat kedewasaan umumnya diketahui dari ukurannya. Misalnya ikan
kerapu macan, akan mulai dewasa (betina) dengan ukuran panjang lebih dari 56 cm dan yang jantan lebih
dari 85 cm (Tony Setiadharma et al., 2001). Kerapu batik mulai dewasa (betina) ukuran 35 cm dan yang
jantan lebih dari 42 cm (Giri et al., 2001), sementara ikan kerapu Lumpur mulai dewasa (betina) dengan
panjang 52 cm dan yang jantan lebih dari 82 cm (Priyono et al., 2001). Pada ikan kerapu bebek tingkat
kedewasaan betina terjadi mulai panjang 30 cm dan jantan mulai panjang 42 cm (Tridjoko et al., 2001;
Slamet et al., 1999). Berdasarkan tingkat kedewasaan tersebut ikan bisa diperlakukan pemberian hormon
dengan mempertimbangkan materi hormon maupun metode pemberiannya, yaitu bisa dengan teknik
injeksi maupun implantasi pelet hormon. Pada metode injeksi yang dikenal dengan metode akut hormon
bertujuan untuk mempercepat proses pemijahan induk, karena pada proses hormonal akan mempercepat
meningkatkan kandungan hormon dalam sistim sirkulasi darah, yang selanjutnya akan cepat menurun
kadarnya ke batas basal. Sedangkan dengan metode kronik (sistim implan pelet hormon), dalam
aplikasinya tidak menimbulkan peningkatan yang cepat terhadap kadar hormon dalam darah, namun
terjadi secara bertahap dan berkesinambungan.
Kecepatan pelepasan hormon kedalam darah diatur oleh sirkulasi darah ikan yang membawa
materi hormon yang terikat oleh senyawa lainnya. Metode kronik umumnya dilakukan pada ikan yang
gonadnya susah berkembang pada fase awal (Azwar dan Ruchimat, 1999)
Berdasarkan kriteria di atas, maka ujicoba penggunaan hormon bentuk pellet yang
dimplantasikan pada kerapu macan yang dipelihara secara terkontrol dalam tangki dengan kepadatan 5
ekor (4 betina dan 1 jantan) menunjukkan perubahan perkembangan gonad dan bahkan induk dapat
memijah relatif lebih cepat dari pada tanpa hormon. Diketahui induk yang diimplan dengan pelet hormon
LHRH-a dosis 50 g/kg berat ikan, gonad dapat berkembang dan diameter telur mencapai 450 m setelah
1 kali implan. Pada bulan ke tiga induk dapat memijah berturut-turut dengan frekuensi pemijahan
mencapai 2-4 kali, sementara kerapu batik yang diimplan dengan dosis pelet hormon yang sama, gonad
berkembang setelah 2 kali implan dan oosit berkembang menjadi 350-425 m dan dapat memijah 2-3 kali
menjelang musim pemijahan. Hasil pengamatan implan hormon pada kerapu Lumpur menunjukkan
perubahan yang mencolok pada pertumbuhan oosit dan sperma setelah satu kali implantasi. Oosit tumbuh
dari ukuran 250 m menjadi 400 dan bahkan 500 m dan jantan stadia awal negatip menjadi positip satu
maupun positip 2 (siap membuahi) setelah 2 kali implantasi (Tabel 4). Demikian pula implantasi pelet
hormon pada ikan kerapu bebek yang dikombinasikan dengan pemberian pakan mengandung vitamin C
dan pakan ikan rucah serta cumi-cumi memperlihatkan pemijahan tahunan yang relatif lebih lama (lebih
dari 6 bulan) (Tridjoko et al ., 2001)
Tabel 4. Data pemijahan induk kerapu (Epinephelus sp) yang diimplan dengan kronik pelet hormon LHRH-a dosis
50 g/kg berat ikan
Kriteria Jenis kerapu
Keterangan Kerapu macan Kerapu batik Kerapu lumpur
Perkemb. Oosit 300 - 450 m 300 - 400 m 400 - 500 m Metode kanulasi
Perkemb sperma Positip 1 - 2 Positip 1 Positip 1 - 2 Metode striping
Periode implan 1 kali 2 kali 2 kali -
Frekuensi
pemijahan 2 - 4 kali/ bulan 2 - 3 kali/bulan 6 - 10 kali/bulan -
Produksi telur
harian 350.000 - 2.200.000 50.000 - 200.000 150.000 - 1.700.000
Waktu pemijahan Sebelum dan sesudah
gelap bulan
Sebelum dan sesudah
gelap bulan
Sebelum dan sesudah
gelap bulan -
Tabel 4. menunjukkan bahwa efektivitas pelet hormon untuk mempercepat pemijahan dapat
diketahui setelah 1-2 kali implantasi. Namun berdasarkan hasil percobaan Lee et. al (1986) telah
diketahui bahwa induk induk yang diberi hormon dengan teknik implan memijah setelah 48 jam
penyuntikan. Berarti efektivitas pellet hormon juga tergantung dari tingkat kematangan gonad induk.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
221
Induk-induk kerapu yang berada pada tingkat perkembangan gonad awal, memungkinkan perubahan
perkembangan oosit terjadi setelah 1 sampai 2 bulan masa pemberian pellet hormon, namun bagi induk
yang ukuran oositnya besar yaitu lebih dari 400 m, maka pemberian hormon secara implan dapat
mempercepat gonad berkembang dan bahkan dapat memijah sekitar 24-48 jam setelah implan. Hal ini
hampir sama terjadi pada penggunaan pellet hormon LHRH-a pada induk ikan bandeng yang diketahui
oositnya sebesar 650 m dapat memijah spontan antara 30-40 jam setelah implantasi (Prijono et al.,
1990).
KESIMPULAN
1. Induk yang digunakan dalam proses reproduksi adalah yang sudah dewasa dengan ukuran yang
standart berdasarkan spesies/jenis ikan.
2. Induk kerapu yang dipelihara secara terkontrol dapat diperbaiki keragaan (performance)
pemijahannya melalui perbaikan pakan dengan kandungan protein 40%, vitamin C dosis 1000mg/kg
pakan dan hormon dalam bentuk pellet dengan dosis 50 g/kg berat ikan.
3. Keragaan pemijahan terutama kualitas telur meningkat hingga 82%, frekuensi memijah bulanan
hingga 8-10 kali dan kuantitas telur harian mencapai 1,3 juta butir.
DAFTAR PUSTAKA
Azwar, Z.I dan T. Ruchimat. 1999. Aplikasi Hormonal untuk Reproduksi Ikan dalam Menunjang Upaya pemuliaan.
Pros. Simposium V PERIPI dalam Akselerasi Pemuliaan Mewujudkan Pertanian Tangguh di Era Globalisasi. Hal: 311-321.
Boonyaratpalin, M., Wannagowat, J., and Burisut, C., 1993. L-ascorbyl-2-phosphate-Mg as a Dietary Vitamin C
Source For Grouper. Grouper Culture, National Institute of Coastal Aquaculture and Japan International
Cooperation Agency. Pp 56-59.
Giri, N.A., B. Slamet, and Tridjoko. 1999. Pematangan Gonad dan Pemijahan Induk Ikan Kerapu Batik, Epinephelus
microdon dengan Perbaikan Mutu Pakan, pp. 179-183. Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Diseminasi
Teknologi Budidaya Laut dan Pantai. Jakarta, 2 Desember 1999.
Giri., N.A., T. Setiadharma, K.M. Setiawati dan Wardoyo. 2001. Pembenihan Ikan Kerapu Batik, Epinephelus microdon: Spesies Kandidat Untuk Menunjang Pengembangan Budidaya Laut. Pros. Lokakarya Nasional
Pengembangan Agribisnis Kerapu hal: 157-164. Jakarta, 28-29 Agustus 2001.
Ishibasi, Y., Kato, K., and Iked, S. 1994. Effect of Eietary Ascorbic Acid Supllementation on Gonadal Maturation in
Japanese Parrotifish. Suisanzoshoku. 42 (2): 279-285.
Kusnendar, E., Ing Mokoginta., Bambang Widigdo., Dedy Yaniharto., Nyoman Adiasmara Giri dan Fifi Widjaja.,
2001. Penerapan Teknologi Nutrisi dan Pakan Pada Pengembangan Budidaya Ikan Kerapu Tikus (Cromileptis
altivelis) Pros. Lokakarya Nasional Pengembangan Agribisnis Kerapu hal: 37-48. Jakarta, 28-29 Agustus
2001.
Lee, C.S., C.S.Tamaru., C.D. Kelley., and J.E. Banno. 1986. Induce Spawning of Milkfish, Chanos chanos, by a
Single Application of LHRH Analoque. Aquaculture 58: 87-98.
Mayunar., P.T. Imanto., S. Diani dan T. Yokokawa. 1991. Pemijahan Ikan Kerapu Macan, Epinephelus fuscoguttatus.
Bull. Pen. Perikanan. Spesial Edisi. 2: 15-22.
Mayunar. 1992. Pijah rangsang dan pemeliharaan larva kerapu lumpur Epinephelus tauvina Oceana. Vol XVII, 2: 69-
82.
Muchari, A. Supriatna, R. Purba., T. Ahmad dan H, Kohno. 1991. Pemeliharaan larva kerapu macan, Epinep[helus
fuscoguttatus. Bull. Pen. Perikanan. Spesial Edisi: 2: 43-52.
Priyono, A., G. Sumiarsa., Azwar, Z.I. 1990. Implantasi Hormon LHRH-a dan 17 Methyltestosterone untuk Pematangan Gonad Calon Induk Bandeng (Chanos chanos Forskal). J. Penelitian Budidaya Pantai 6(1): 20-
23.
Priyono, A., Taufik.A., dan T. Setiadharma., 1993. Pengaruh Penambahan Nutrisi Pakan Terhadap Perkembangan
Gonad Ikan Bandeng. J. Penelitian. Budidaya Pantai 9(1): 51-57.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
222
Priyono, A., T. Setiadharma., T. Sutarmat. 2001. Pematangan Gonad dan Pemijahan Induk Kerapu Lumpur (E. coioides) dengan Pemberian Protein Pakan Berbeda. Laporan Teknis Balai Besar Riset Perikanan Budidaya
laut Gondol, 9 hal.
Promkunthong, M., M. Boonyaratpalin, and Stock.V., 1993. Effect of Variying Forms of Dietary Ascorbic Acid on
the Nutrition, Histology and Ultrastructure of the Gills of Grouper. In: Grouper Gulture, National Institute of Coastal Aquaculture and Japan International Cooperation Agency, pp 60-62.
Randall, J.E. and A. Ben Tuvia., 1983. A review of the Grouper (Pisces: Serranidae; Epinephelinae) of the Red Sea,
with Discription of new Spesies of Cephalopholis. Bull. Mar Sci. 33 (2): 373-426.
Sandnes, K., Ulgenes, Y., Braekkan,O.R., and Utne,F. 1984. The Effect Ascorbic Acid Supplementation in Broodstock Feed on Reproduction of Rainbow Trout (Onshorhyncus mykiss). Aquaculture 43: 167-177.
Setiadharma, T., Nyoman Adiasmara Giri, Wardoyo dan A. Prijono., 2001). Pembenihan Ikan Kerapu Macan
(Epinephelus fuscoguttatus) ). Pros. Lokakarya Nasional Pengembangan Agribisnis Kerapu hal 165-174.
Jakarta 28-29 Agustus 2001.
Slamet, B. dan Tridjoko. 1999. Pematangan dan Pemijahan Induk Kerapu Sunu, Plectropoma leopardus dan Kerapu
Batik, Epinephelus microdon dalam Rangka Usaha Pemuliaannya.
Soliman, A.K., Jauncey, K., and Robert, R.J. 1986. The Effect Dietary Ascorbic Acid Supplementation on
Hatchability, Survival Rate and Fry Performance in Oreochromis mossambicus (Petter). Aquaculture 59: 197-208.
Subyakto, S., Ing Mokoginta, Dedi Jusadi dan Enang Harris., 2001. Pengaruh L-ascorbyl-2-phosphat (APM) Pakan
Terhadap Kadar Vitamin C Hati, Asam Lemak Omega-6 dan Omega –3, Rasio Hydroksiprolin/prolin Tubuh
dan Kinerja Pertumbuhan Serta Respon Stress Juvenil Ikan Kerapu Tikus (C. altivelis). Pros. Lokakarya Nasional Pengembangan Agribisnis Kerapu hal: 213-227. Jakarta, 28-29 Agustus 2001.
Suwirya, K., M. Marzuqi dan N.A.Giri., 2001. Kebutuhan Nutrisi dan Pengembangan Pakan Ikan Kerapu. Pros.
Lokakarya Nasional Pengembangan Agribisnis Kerapu hal 197-204. Jakarta 28-29 Agustus 2001.
Tridjoko, B. Slamet dan D. Makatutu. 1977. Pematangan Induk Ikan Kerapu Bebek dengan Rangsangan Suntikan LHRH-a dan 17 alpha methyltestosterone. J. Penelitian Perikanan Indonesia, edisi khusus 1: 55-62.
Tridjoko., Eri Setiadi., dan I.N.A. Giri. 2001. Peningkatan Frekuensi Pemijahan dan Mutu Telur Ikan Kerapu Bebek
dengan Perbaikan Jenis Pakan, Hormon dan Lingkungan Pemeliharaan. Teknologi Budidaya Laut dan
Pengembangan Sea farming di Indonesia. Hal 276-284.
Watanabe, T. 1988. Fish Nutrition and Marieculture: JICA Textbook-The General Aquaculture Course. Department
of Aquatic Bioscience, Tokyo Univ. of Fisheries, Japan.
Wilson, R.P., 1985. Amino Acid and Protein Requirement of fish. In: Nutrition and Feeding in Fish (Cowey, C.B., et
al., eds). Academic Press, New York. pp: 281-291.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
223
APLIKASI BUDIDAYA KERAPU BEBEK, Cromileptes altivelis
DI TELUK EKAS KABUPATEN LOMBOK TIMUR
Titiek Aslianti, 1)
Bedjo Slamet dan 1)
Gegar Sapta Prasetya2)
1)Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol PO Box. 140. Singaraja 81101, Bali 2)Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Jakarta
ABSTRAK
Ikan kerapu merupakan satu diantara komoditas ekspor yang banyak diusahakan di beberapa wilayah Indonesia melalui budidaya dengan sistim keramba jaring apung (KJA) seperti kerapu bebek (Cromileptes altivelis),
kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus), kerapu sunu (Plectropomus leopardus) dan kerapu lumpur (Epinephelus
coioides). Berdasarkan data oceanografi, Teluk Ekas dinilai cukup potensi untuk pengembangan budidaya kerapu.
Penelitian ini dilakukan melaui uji coba pembesaran benih kerapu bebek di KJA dengan berbagai ukuran dan padat penebaran yang bertujuan untuk mengkaji lebih lanjut kelayakan budidayanya. Hasil uji coba menunjukkan bahwa
dalam waktu 4 bulan benih yang berukuran 100 gram menghasilkan tingkat kelangsungan hidup lebih tinggi
dan.padat penebaran benih yang melebihi kepadatan optimal berdampak negatif terhadap vitalitas ikan, yang ditandai
dengan menurunnya daya tahan ikan terhadap serangan penyakit sehingga dapat mengakibatkan kematian masal.
Hasil deteksi melalui RT-PCR menunjukkan bahwa jenis penyakit yang menyerang ikan kerapu tergolong virus VNN
(Viral Nervous Necrosis).
Kata kunci : Kerapu bebek, pembesaran, KJA.
ABSTRACT
The grouper is one of export commodity and many culturing in some of Indonesia coastal area by floating net cage system, such as polka dot grouper (Cromileptes altivelis), brown marbled grouper (Epinephelus
fuscoguttatus), leopard corral trout (Plectropomus leopardus) and orange spotted grouper (Epinephelus coioides). The
data base of Ekas bay oceanography showed that the Ekas bay is potencial area for grouper culture development.
Therefore, it is necessary to carryout a research to know the degree of land suitability for fish culture in the floating cages using different size and densities of the fry. The result showed that the highest survival rate of the fry during 4
months reared in the floating cage is the fry with initial body weight ± 100 g, and if the density of fry overing than
optimal density, it could be down vitalities and could be mass mortalities. Detection by RT-PCR showed that mass
mortalities by VNN (Viral Nervous Necrosis).
Key Words : Polka dot grouper, fry culture, Floating net cage.
PENDAHULUAN
Peranan budidaya pantai dewasa ini semakin meningkat sejalan dengan besarnya potensi
pengembangannya baik sumberdaya lahan maupun jenis komoditas. Kegiatan perikanan yang
memanfaatkan kawasan pantai telah memberikan kontribusi nyata bagi pembangunan nasional, tidak saja
dalam pemenuhan kebutuhan protein hewani tetapi juga sebagai sektor penghasil devisa dan mampu
menciptakan lapangan kerja baru di wilayah desa pantai. Pertambahan jumlah penduduk dan
meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya makanan sehat asal laut mengakibatkan jumlah
permintaan jenis-jenis ikan laut dari tahun ke tahun mengalami peningkatan.
Potensi perairan laut yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan usaha budidaya ikan-ikan
bersirip diperkirakan 3 juta Ha (Sunaryanto, et al, 2001). Upaya budidaya selain bertujuan meningkatkan
produksi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi ikan per kapita, juga untuk memenuhi permintaan pasar
dunia serta memanfaatkan potensi sumberdaya alam yang tersedia dengan cara-cara yang ramah
lingkungan dalam upaya pelestariannya di alam baik terhadap ruaya hidupnya maupun terhadap
kelestarian jenis-jenisnya.
Ikan kerapu tersebar luas di perairan pantai baik di daerah tropis maupun sub tropis, dan
termasuk jenis ikan yang hidup di perairan berkarang sehingga sering dikenal sebagai ikan karang (coral
reef fish). Beberapa jenis ikan kerapu yang banyak terdapat di Indonesia seperti kerapu bebek atau tikus
(Cromileptes altivelis), kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus), kerapu sunu (Plectropomus
leopardus), kerapu lumpur (Epinephelus coioides), kerapu malabar (Epinephelus malabaricus), dan
kerapu bintik atau batik (Epinephelus bleekeri), merupakan komoditas andalan untuk dibudidayakan
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
224
karena selain memiliki nilai jual yang tinggi juga dalam proses produksinya lebih banyak memanfaatkan
sumber daya laut yang ada dan menggunakan komponen lokal cukup besar, sementara hasil dari usaha
budidayanya mempunyai pangsa pasar yang luas sehingga sangat potensial untuk dikembangkan yang
pada gilirannya dapat meningkatkan devisa negara,
Sumberdaya pesisir dan laut di wilayah perairan laut NTB mempunyai potensi yang cukup besar
untuk dikembangkan. Berdasarkan data potensi lestari (Maximum Sustainable Yield / MSY) perikanan laut
NTB sekitar 428.439 ton, sementara tingkat pemanfaatannya relatif masih rendah sekitar 16,0%
(Samodra, 2000), sehingga perlu alternatif untuk mengoptimalkan pemanfaatannya melalui peningkatan
sistem pengelolaan potensi sumberdaya kelautan dengan mengembangkan budidaya laut (mariculture).
Dengan mengacu pada UU no 22 tahun 1999, tentang penataan pemanfaatan ruang budidaya dan
berdasarkan data oceanografi seperti lokasi yang terlindung dari gelombang besar, kondisi perairan yang
tenang, dasar perairan yang terdiri dari gugusan karang, kedalaman perairan pada saat surut berkiar 15-30
meter dan mempunyai pola sirkulasi masa air (arus) yang baik, karakteristik biota laut memadai,
karakteristik data sedimen serta pola sosial ekonominya, maka Teluk Ekas merupakan lokasi yang cocok
untuk pengembangan budidaya kerapu. Teluk Ekas juga kaya akan sumberdaya pakan ikan berupa ikan
rucah serta potensi benih lobster yang memadai.
Kerapu bebek termasuk satu diantara jenis kerapu yang paling banyak diminati konsumen baik
sebagai ikan hias (pada ukuran juvenil 3-5 cm) yang dikenal dengan nama Grace Kelly atau Polka dot
Grouper, maupun sebagai pasok restoran ―sea food‖ (pada ukuran konsumsi 400-800 gram) (Aslianti,
1996). Ketersediaan benih telah berhasil diproduksi secara massal di Hatchery Skala Rumah Tangga
(HSRT) di Bali dengan ukuran yang relatif seragam, jumlah yang cukup serta kualitas yang terjamin
sehingga dapat diandalkan sebagai sumber pasok benih yang kontinyu tanpa dipengaruhi musim
(Anonimous, 1998), bahkan HSRT telah mampu menembus pasar luar negeri. Dengan demikian sumber
benih relatif berdekatan dengan lokasi pembesaran di Teluk Ekas. Demikian juga hasil budidayanya akan
sangat mudah dipasarkan karena propinsi Bali merupakan pelabuhan internasional sehingga peluang
ekspor ikan hidup ke pasar internasional seperti Hongkong, Singapura, Jepang, Taiwan dan Thailand akan
sangat mudah (Aslianti, 1996).
Salah satu kendala yang dihadapi dalam pengembangan usaha budidaya ikan kerapu dalam
proses pembesarannya adalah tingginya tingkat kematian. Hal ini terutama disebabkan karena belum
dikuasainya tehnologi pembesaran secara baku, baik ditinjau dari kondisi lingkungan perairan yang
kurang mendukung maupun dari segi standar operasional (ukuran KJA, ukuran benih pada saat tebar,
padat penebaran dalam pemeliharaan, pola pemberian pakan, dll). Berdasarkan hal tersebut, perlu
dilakukan penelitian tentang pembesaran kerapu di Teluk Ekas dengan mengacu pada aspek-aspek
kendala budidaya, dengan tujuan untuk mengkaji lebih lanjut kelayakan sistim budidayanya sehingga
dapat meningkatkan kapasitas pemeliharaan (carryng capacity) dan meningkatkan jumlah produksi yang
akhirnya dapat diperoleh suatu type budidaya kerapu yang dapat diaplikasikan pada pengguna tidak saja
di Teluk Ekas tetapi di seluruh wilayah perairan Indonesia.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini diawali dengan pembuatan keramba jaring apung (KJA) dengan kerangka dari
bahan kayu dan pelampung (sterofoam). KJA terdiri dari 10 petak/lubang dan setiap petak dipasang
jaring berbentuk kurungan berukuran 2x2x2 meter. Ukuran mata jaring disesuaikan dengan ukuran hewan
uji yaitu 0,50; 0,75 dan 1,00 inci. KJA dipasang di lokasi sesuai hasil survey tepatnya di desa Batu
Nampar, Kecamatan Jero Waru, Kabupaten Lombok Timur. Benih kerapu bebek sebagai hewan uji
terdiri dari 4 ukuran yang berbeda yaitu K-1: ± 5,00 gr (4-5,00 cm); K-2 : ± 8,00 gr (6-7,00cm); B-1: ±
10,00 gr (8-10 cm) dan B-2 : ± 100,00 gr (15-20,00 cm). Kelompok ukuran K-1 sebanyak 6.000 ekor
yang dibagi dalam 6 petak sehingga kepadatan per petak adalah 1.000 ekor. Kelompok ukuran K-2
sebanyak 1200 ekor ditebar dalam satu petak, demikian juga untuk kelompok ukuran B-1 dan B-2
masing-masing ditebar dalam satu petak dengan kepadatan 600 dan 300 ekor. Pada saat awal penebaran
dalam KJA dilakukan secara hati-hati mengingat sifat kerapu bebek sangat sensitive dan mudah stress
dibanding dengan kerapu Macan ataupun kerapu Lumpur. Pakan berupa pellet yang berukuran sesuai
dengan ukuran hewan uji diberikan 2-3 kali per hari sebanyak 2-3% dari bobot tubuh dan diberikan
sampai kenyang/ikan tidak respon lagi terhadap pakan. Jumlah pakan yang dikonsumsi setiap hari
diketahui dengan cara menimbang sisa pakan yang disediakan. Hal ini untuk mengetahui tingkat
efektivitas pakan terhadap pertumbuhan ikan (nilai konversi pakan). Pengamatan pertumbuhan (panjang
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
225
dan bobot tubuh) dilakukan setiap 15-20 hari, pengamatan visual terhadap kesehatan ikan dilakukan
setiap hari, dan kelangsungan hidup diamati setiap bulan. Pengamatan laboratorium dilakukan terhadap
hewan uji yang menunjukkan gejala tidak sehat dengan cara mengambil bagian tubuh ikan (otak dan
mata) dan disimpan sementara dalam botol sampel yang telah berisi alcohol absolut, selanjutnya dianalisa
di laboratorium dengan menggunakan metode RT-PCR (Reverse Transcription Polymerase Chain
Reaction) terutama untuk mendeteksi jenis penyakit yang disebabkan oleh virus.
HASIL DAN BAHASAN
Pada awal penebaran, ikan belum tampak respon terhadap pakan. Keadaan ini merupakan masa
adaptasi ikan terhadap lingkungan yang baru setelah ikan mengalami pengangkutan selama ± 12 jam.
Parameter lingkungan yang sangat berpengaruh pada masa adaptasi adalah faktor suhu, salinitas, pH dan
kondisi arus saat ikan ditebar. Masa adaptasi biasanya berlangsung sampai 2-3 hari dan selanjutnya ikan
sudah mulai respon terhadap pakan. Hasil pengamatan yang dilakukan setiap 15-20 hari terhadap
pertumbuhan panjang dan bobot tubuh selama 4 bulan pemeliharaan secara rinci disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Pertumbuhan (panjang dan bobot tubuh) benih kerapu bebek, Cromileptes altivelis yang dipelihara di KJA
di Teluk Ekas
Parameter P e n g a m a t a n
1 2 3 4 5 6
K-1
TL (cm)
BW (gr)
4,50
± 5,00
7,40
7,00
8,30
10,00
8,85
10,50
9,98
17,83
11,99
27,17
K-2
TL (cm) BW (gr)
6,50 ± 8,00
9,40 17,0
10,06 22,73
10,62 19,33
12,19 28,00
13,84 45,00
B-1 TL (cm)
BW (gr)
9,00
± 10,00
11,20
26,00
12,36
30,00
12,92
32,66
14,58
46,00
15,67
65,00
B-2
TL (cm)
BW (gr)
17,5
± 100,0
20,30
138,00
19,84
143,00
20,72
140,0
20,96
160,00
21,62
222,50
Pada masa pemeliharaan sampai 40 hari sejak hewan uji ditebar, peningkatan pertumbuhan
panjang (Gambar 1) dan bobot tubuh ikan (Gambar 2) pada semua kelompok ukuran menunjukkan
pertumbuhan yang cukup baik, demikian juga berdasarkan pengamatan secara visual ikan tampak sangat
respon terhadap pakan yang diberikan terlihat dari gerak renang yang agresif. Ditinjau dari pertumbuhan
panjang dan bobot tubuh ikan selama penelitian dapat dikatakan cukup baik.
Gambar 1. Pertumbuhan panjang tubuh kerapu bebek selama 4 bulan pemeliharaan di KJA.
0
5
10
15
20
25
Pan
jan
g T
ub
uh
(cm
)
1 2 3 4 5 6
Pengamatan ke-
K-1 K-2 B-1 B-2
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
226
Namun pada pengamatan bulan berikutnya baik pada ikan kelompok kecil (K) maupun
kelompok besar (B) tidak menunjukkan kenaikkan pertumbuhan yang berarti. Peningkatan pertumbuhan
panjang dan bobot tubuh dari semua perlakuan nampak lebih lambat bila dibandingkan dengan
pertumbuhan jenis-jenis ikan kerapu lain. Hal ini disebabkan selain proses pemanfaatan pakan pellet
dalam pencernaan memerlukan waktu lebih lama dibanding ikan rucah juga sifat genetis, selektif dalam
memilih pakan dan kepekaan terhadap perubahan lingkungan dapat mempengaruhi kecepatan
pertumbuhannya. Disamping itu dengan bertambahnya ukuran ikan kerapu, sifat alaminya sebagaimana
hidupnya di alam semakin tampak yaitu termasuk jenis ikan yang pasif (Thobaity and James, 1996).
Heemstra and Randall, (1993) mengatakan bahwa pada batas ukuran tertentu pertumbuhan kerapu bebek
cenderung lambat. Dikatakan oleh Djajasewaka (1985) bahwa fungsi utama pakan adalah untuk
kelangsungan hidup, apabila ada kelebihan akan dimanfaatkan untuk pertumbuhan.
Gambar 2. Pertumbuhan bobot tubuh kerapu bebek selama pemeliharaan 4 bulan di KJA.
Tingkat kelangsungan hidup ikan pada masa pemeliharaan sampai 5 minggu pertama setelah
penebaran, menunjukkan hasil sangat baik (Gambar 3), yang berarti ikan telah dapat beradaptasi dengan
lingkungan setempat. Tetapi berdasarkan pengamatan secara visual pada awal minggu ke-6 ikan tampak
kurang sehat, seperti tingkah laku berenang yang tidak beraturan, posisi berenang sering tengadah, gerak
renang yang pasif, warna pucat dan nafsu makan menurun. Kondisi ikan yang demikian menunjukkan
gejala bahwa ikan mulai terserang penyakit dan berlangsung sampai minggu ke-8. Dari hasil deteksi
melalui metode RT-PCR (Reverse Transcription-Polymerase Chain Reaction) diketahui bahwa ikan-ikan
tersebut telah terserang virus VNN (Viral Nervous Necrosis). Terserangnya hewan uji oleh VNN diduga
disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya adalah kondisi lingkungan yang tidak mendukung akibat
terjadinya angin kencang pada awal bulan September (minggu ke-6) menyebabkan gelombang air cukup
besar dan menimbulkan pengadukan sehingga air menjadi keruh diduga kualitas air tidak mendukung
kehidupan ikan. Air yang keruh banyak mengandung partikel-partikel air laut yang dapat menyumbat
insang ikan, mengganggu pernafasan dan berlanjut dengan kematian. Selain itu kondisi perairan dengan
pola arus yang tidak tenang dapat mengakibatkan ikan stress sehingga tidak mempunyai nafsu makan. Hal
ini berdampak negatif terhadap vitalitas tubuh ikan yang menjadi lemah. Disamping itu kepadatan ikan
yang cukup tinggi sementara kedalaman jaring tidak sesuai/mencukupi (2 meter), sehingga ikan yang
berada di dasar jaring apabila terkena goncangan gelombang sering terlipat dan terperangkap serta terjadi
benturan diantara sesama ikan yang dapat mengakibatkan luka. Ikan yang luka dan dalam kondisi lemah
akibat stress akan mudah diserang penyakit dan berlanjut dengan kematian dalam jumlah yang cukup
tinggi. Ikan yang terserang VNN tidak dapat diobati karena VNN tergolong virus yang menyerang syaraf.
Dengan terserangnya syaraf (otak dan mata) menyebabkan gerak renang yang tidak normal.
Mengantisipasi terjadinya kemungkinan kematian total, telah dilakukan penanganan dengan pemberian
antibiotik berupa OTC (Oxy Tetra Cyklin) yang dicampurkan pada pakan setiap kali pemberian pakan.
Pada pengamatan minggu ke-9 keadaan ikan sudah kembali sehat yang ditunjukkan dengan respon positif
terhadap pakan dan gerak renang yang normal sehingga tingkat kelangsungan hidup ikan stabil sampai
minggu ke 14.
0
50
100
150
200
250
Bo
bo
t tu
bu
h (
gr)
1 2 3 4 5 6
Pengamatan ke-
K-1 K-2 B-1 B-2
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
227
0
20
40
60
80
100
Kel
an
gsu
ng
an
hid
up
(%
)
mg1 mg3 mg5 mg7 mg9 mg11 mg13
Waktu pemeliharaan (minggu)
K-1 K-2 B-1 B-2
Gambar 3. Tingkat kelangsungan hidup kerapu bebek selama pemeliharaan 4 bulan di KJA.
Berdasarkan analisis data yang tertera pada Tabel 2. menunjukkan bahwa ukuran awal hewan uji
sebagai benih pembesaran di KJA (K-1; K-2 dan B-1; B-2) memberikan perbedaan yang nyata (p<0.05)
baik terhadap nilai laju tumbuh harian, rasio konversi pakan harian maupun terhadap rasio konversi pakan
pada akhir penelitian.
Tabel 2. Nilai laju pertumbuhan harian, rasio konversi pakan harian dan rasio konversi pakan pada akhir penelitian
(minggu ke-14) dari masing-masing ukuran hewan uji
Variabel K-1 K-2 B-1 B-2
Panjang total awal (cm)
Panjang total akhir (cm)
Bobot tubuh awal (gr)
Bobot tubuh akhir (gr) Laju tumbuh harian (%)
Rasio konversi pakan harian (%)
Rasio konversi pakan akhir (%)
4,50
11,99
5,0
27,17 2,70
2,32
0,86
6,50
13,84
6,0
45,0 2,26
2,20
0,97
9,0
15,67
10,5
65,0 1,14
1,44
1,21
19,5
21,62
100
222,5 1,05
1,38
1,36
Disimak dari Tabel 2. bahwa ikan yang berukuran kecil (K-1 dan K-2) menghasilkan nilai laju
tumbuh harian lebih besar dari pada ikan yang berukuran besar (B-1 dan B-2). Hal ini membuktikan
bahwa ikan uji yang berukuran kecil cenderung tumbuh lebih cepat dari pada ikan yang berukuran besar.
Sesuai dengan pendapat Legler (1979) dalam Sunyoto dan Muslikh (1991) bahwa semakin kecil ukuran
ikan akan menghasilkan laju pertumbuhan yang semakin tinggi dan konversi pakan yang semakin rendah.
Namun tingkat kelangsungan hidupnya lebih kecil dari pada ikan yang berukuran lebih besar. Dengan
mengetahui rasio konversi pakan dapat diperkirakan bobot ikan hingga mencapai ukuran konsumsi
sehingga dapat ditentukan waktu panen.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ikan kerapu yang berukuran 4 - 5 cm (± 5
gram) dapat digunakan sebagai benih pembesaran di KJA dengan terlebih dulu dipelihara dalam waring
yang dilapisi jaring pengaman, hal ini untuk menghindari ancaman predator (ikan liar), dan secara
bertahap dilakukan seleksi dan penjarangan. Namun ikan yang berukuran lebih dari 8 cm menghasilkan
tingkat kelangsungan hidup yang lebih tinggi. Kepadatan penebaran ikan optimal untuk ukuran jaring
2x2x2 m adalah 300-500 ekor, tetapi sebaiknya kedalaman jaring minimal 3 meter. Dengan melalui
berbagai penelitian yang bersifat kajian kelayakan wilayah untuk budidaya, akan semakin meningkatkan
produktivitas daerah yang pada gilirannya dapat meningkatkan devisa negara juga meningkatkan taraf
hidup nelayan setempat.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
228
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous. 1998. Prospek Budidaya Ikan Kerapu Dalam KJA di Sumatra Utara. Lembar Informasi Pertanian
(Liptan). No. 05/1997/1998. BPTP Gedong Johor Medan, Sumatra Utara.
Aslianti, T. 1996. Pemeliharaan Larva Kerapu Bebek, Cromileptes altivelis Dengan Padat Tebar Berbeda. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia II(2):6-12. Edisi Khusus.
Djajasewaka, H. 1985. Pakan Ikan (Makanan Ikan). Cetakan-I. Penerbit Yasaguna. Jakarta. 47 hal.
Heemstra, P.C. and J.E. Randall. 1993. Groupers of The World. FAO Species Cataloque. Food and Agriculture
Organization of The United Nations. 416p.
Sunaryanto, Sulistyo, I. Chaidir, dan Sudjiharno. 2001. Pengembangan Teknologi Budidaya Kerapu : Permasalahan
dan Kebijakan. Prosiding Lokakarya Nasional. Pengembangan Agribisnis Kerapu. Peningkatan Daya Saing
Agribisnis Kerapu yang Berkelanjutan Melalui Penerapan IPTEK. Jakarta, 28-29 Agustus 2001. Hal.1-16.
Sunyoto, P. dan M. Muslikh. 1991. Pembesaran Ikan Kerapu Lumpur, Epinephelus suillus di Keramba Jaring Apung. Jurnal Penelitian Budidaya Pantai. 7(2):117-121.
Thobaity, S., and C.M. James. 1996. Developments In Grouper Culture In Saudi Arabia. Aquaculture. Infofish
International 1/96. January/February.p22-28.
DISKUSI
Pertanyaan :
1. Bagaimana metode pengukuran panjang dan berat ikan kerapu didalam KJA
2. Kepadatan tinggi dalam budidaya ikan kerapu menyebabkan kanibal.
3. Upaya apa yang dilakukan untuk mencegah penyebaran penyakit ?
4. Jenis pelet yang dipergunakan sebagai pakan dalam budidaya ikan kerapu apa?
5. Apakah ada perbedaan konversi pakan pada ikan ukuran kecil dan besar
Tanggapan:
1. Cara pengukurannya dengan metode sampling, metode ini dapat mengurangi stress pada ikan kerapu
2. Kanibalisme merupakan sifat alami ikan kerapu
3. Hal tersebut dapat diantisipasi dengan cara antara lain: pemberian pakan 2 kali sehari sampai tidak
ada respon, dan diberikan saat matahari condong ke barat
4. Pengwasan dini terhadap ikan yang dibudidayakan
5. Ikan-ikan yang geraknya berkurang diambil dan diamati, kemudian dipisahkan dari lainya untuk
diobati.
6. Pelet yang digunakan adalah pelet komersial yag sudah beredar di pasaran.
7. Ukuran kecil akan mempunyai laju tumbuh yang cepat sehingga konversi pakan lebih kecil.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
229
FORMULASI PAKAN LARVA BANDENG (Chanos chanos)
DENGAN BAHAN BAKU LOKAL
Ketut Suwirya, Nyoman Adiasmara Giri dan M. Marzuqi
Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut, Gondol
P.O. Box 140 Singaraja, Bali
ABSTRAK
Perbenihan bandeng sudah berkembang cukup pesat di masyarakat, baik berupa hatcheri lengkap (HL)
maupun hatcheri skala rumah tangga (HSRT). Penggunaan pakan buatan berupa pakan mikro terbukti dapat
meningkatkan kelangsungan hidup dan vitalitas larva bandeng serta mengefisienkan sistem produksi benih. Percobaan dirancang menggunakan rancangan acak lengkap dengan 5 (lima) perlakuan yaitu 3 (tiga) formulasi pakan
mikro dari bahan lokal, satu dari pakan komersial, dan satu pakan alami dengan 3 ulangan, dan berlangsung sampai
larva mencapai umur 25 hari. Hasil percobaan menunjukkan bahwa larva bandeng dapat diberi pakan mikro yang
diformulasi dari bahan baku local, dan tumbuh dengan baik. Di samping itu larva yang diberi pakan percobaan, pakan komersial, dan pakan alami tidak berbeda nyata untuk pertumbuhan, sintasan, dan vitalitasnya..
Kata kunci: larva bandeng, bahan baku, pakan
ABSTRACT: Microdiet formulation for rearing of milkfish larvae using local feed ingredients by
Ketut Suwirya, Nyoman Adiasmara Giri, and Marzuqi
Hatchery for seed production of milkfish have been developed well. There are two types of hatchery, i.e.,
complete hatchery (HL) and backyard hatchery (HSRT). Survival rate and vitality of larvae improve by feeding artificial diet during the rearing period. Also by this system the efficiency of seed production could be improved. The
experiment on rearing of milkfish larvae with artificial diet that formulated using local ingredients have been
conducted. The result of this experiment was then compared to the larvae fed only live food or fed a commercial
artificial diet. The experiment was conducted for 25 days. The result of the experiment showed that larvae of milkfish accepted microdiet and grow well. No different on growth, survival, and vitality of the larvae was found among the
larvae fed prepared artificial diet, commercial artificial diet, and live food.
Key word: milkfish lavae, ingredient, diet.
PENDAHULUAN
Perbenihan bandeng sudah berkembang cukup pesat di masyarakat, baik berupa hatcheri lengkap
(HL) maupun hatcheri skala rumah tangga (HSRT). Sampai saat ini terdapat sekitar 12 unit HL dan
sekitar 2000 unit HSRT yang tersebar di Bali Utara. Pada pemeliharaan larva bandeng, pengelola hatcheri
masih sangat tergantung dari pakan hidup berupa rotifer. Teknologi ini membutuhkan banyak investasi
dalam pembangunan fasilitas dan pemeliharaan untuk memproduksi pakan alami sesuai dengan
kebutuhan. Produksi pakan alami sangat dipengaruhi oleh kondisi alam, dan kekurangan nutrisi akan
menyebabkan mortalitas yang tinggi dan bentuk yang tidak sempurna dari benih yang dihasilkan. Oleh
karena itu pakan buatan untuk larva penting sebagai substitusi pakan alami untuk meningkatkan produksi
benih yang digunakan dalam budidaya dan meningkatkan kualitas benih yang dihasilkan.
Secara umum, protein yang mempunyai komposisi asam amino yang sama dengan tubuh ikan
mempunyai nilai nutrisi yang tinggi. Dalam pembuatan pakan dapat diformulasi dari beberapa sumber
protein untuk mensimulasi komposisi asam amino yang sesuai asam amino tubuh ikan. Untuk
menunjang kesinambungan industri pembenihan ini perlu dikembangkan pakan buatan untuk larva secara
terus menerus, sehingga diperoleh jenis pakan yang cocok, relatif murah dan mudah diformulasi dari
bahan-bahan yang didapat di sekitar dimana pembenihan tersebut di bangun..
Perbaikan metode pemeliharaan larva dengan penambahan pakan buatan terbukti dapat
meningkatkan kelangsungan hidup dan vitalitas larva pada beberapa species ikan serta mengurangi
penggunaan pakan hidup, seperti pada ikan red sea bream (Kanazawa et al., 1982), sea bass (Walford and
Lam, 1991; Walford et al., 1991; Devresse et al., 1991), flounder (Kanazawa et al., 1989), dan juga
milkfish (Duray and Bagarinao, 1984; Marte and Duray, 1991, Suwirya et al., 1999). Hal ini
diperkirakan karena pakan buatan mempunyai nilai nutrisi yang lebih baik dibandingkan dengan pakan
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
230
alami pada musim-musim tertentu. Dari laporan terdahulu ternyata asam dokosaeksanoat (DHA) adalah
lebih efektif daripada asam eikosapentanoat (EPA) sebagai asam lemak esential (Takauchi atal. (1992).
Namun akhir-akhir ini harga pakan buatan berupa pakan mikro yang semuanya berasal dari
impor melonjak sangat tinggi berkaitan dengan melemahnya nilai tukar rupiah. Hal ini sangat
memberatkan pengelola pembenihan bandeng. Penggunaan pakan buatan dengan bahan baku lokal
merupakan salah satu alternatif untuk mengatasi keterbatasan dan tingginya pakan impor. Untuk itu pada
penelitian ini akan dilakukan inventarisasi ketersediaan bahan baku lokal yang berpotensi dapat
dimanfaatkan untuk pembuatan pakan larva, serta pembuatan formulasi pakan yang sesuai untuk larva
bandeng.
Penggunaan pakan buatan berupa pakan mikro terbukti dapat meningkatkan kelangsungan hidup
dan vitalitas larva bandeng serta mengefisienkan sistem produksi benih. Namun demikian
ketergantungan akan pakan buatan yang seluruhnya berasal dari impor dengan harga yang tinggi sangat
memberatkan pengelola pembenihan bandeng. Dengan demikian penyediaan pakan lokal sebagai
substitusi pakan impor merupakan salah satu alternatif yang tepat.
BAHAN DAN METODA
Komponen yang paling tinggi dalam formulasi pakan mikro adalah sumber protein. Oleh karena
itu pada penelitian ini menggunakan beberapa sumber protein seperti tepung ikan, tepung teri, dan tepung
kepala udang yang semuanya dapat diproduksi secara lokal. Sebagai pakan percobaan dibuat 3 macam
formula pakan dengan kombinasi sumber protein yang berbeda seperti pada Tabel 1. Pakan dibuat dalam
bentuk "microbounded diet" dengan zein (protein jagung) sebagai bahan perekatnya. Pakan dikeringkan
dengan "freeze dryer" dan diayak untuk mendapatkan ukuran yang sesuai.
Larva bandeng dipelihara dalam bak volume 1000 liter dengan diberi rotifer sebagai pakan awal
sampai siap digunakan untuk percobaan. Pada saat larva mencapai umur 10 hari, ketiga pakan percobaan
dan satu pakan komersial yang berasal dari impor akan diujicobakan terhadap larva bandeng. Pakan
diberikan 5 kali dan jumlahnya sesuai dengan percobaan Suwirya et al. (1999). Percobaan dirancang
menggunakan rancangan acak lengkap dengan 5 perlakuan yaitu 3 formulasi pakan mikro dari bahan
lokal (Tabel 1), satu dari pakan komersial, dan satu pakan alami dengan 3 ulangan, dan berlangsung
sampai larva mencapai umur 25 hari
Tabel 1. Formulasi pakan mikro dari bahan lokal untuk larva bandeng
Bahan Pakan 1 Pakan 2 Pakan 3
Tepung ikan
Tepung kepela udang
Tepung teri
Dedak Tepung artemia
Minyak ikan
Vitamin mix
Mineral mix Tepung beras
Zien
62.0
0.0
0.0
2.0 10.0
6.0
2.0
3.0 9.0
6.0
44.0
20.0
0.0
0.0 10.0
6.0
2.0
3.0 9.0
6.0
38.0
0.0
20.0
6.0 10.0
6.0
2.0
3.0 9.0
6.0
Data pertumbuhan, kelangsungan hidup, dan vitalitas larva akan dianalisa menggunakan sidik
ragam. Beda antar perlakuan menggunakan uji LSD tada taraf nyata 95%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil analisis proksimat dari semua pakan buatan yang digunakan dalam percobaan ini disajikan
pada Tabel 2. Dari Tabel 2 terlihat bahwa protein dan lemak pakan yang formulasi dari bahan local
mempunyai kandungan yang sama dengan pakan komersial.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
231
Tabel 2 Hasil analisis pakan buatan yang digunakan dalam percobaan
Parameters Kandungan dalam pakan (%)
Pakan 1 Pakan 2 Pakan 3 Pakan import
Protein 39.2 40.55 40.70 40.49 Lemak/lipid 9.53 9.47 9.61 9.52
Abu/ash 8.23 8.13 7.96 7.97
Serat/fibre 1.70 2.15 1.58 2.19
Kadar air/moisture 3.92 3.84 4.38 3.82
Hasil pengamatan terhadap sintasan, pertumbuhan, dan vitalitas seperti pada Tabel 3. Sintasan
larva yang diberi pakan percobaan-1, 2, 3, pakan komesial, dan pakan alami berturut-turut adalah 28.35
%, 30.82 %, 27.80 %, 25.93%, dan 24.54 %. Hasil percobaan ini, jenis pakan yang diberikan dalam
pemeliharaan larva tampaknya tidak berpengaruh terhadap sintasan larva (P<0.05). Pakan mikro dengan
bahan baku lokal dapat digunakan dalam pemeliharaan larva bandeng.
Tabel 3. Sintasan (%), pertumbuhan (%), dan vitalitas (%) larva bandeng pada akhir percobaan
Perlakuan Sintasan (%) Pertumbuhan (%) Vitalitas (%)
Pakan percobaan-1 Pakan Percobaan-2
Pakan Percobaan-3
Pakan Komersial
Pakan alami
28.35a 30.82a
27.80 a
25.93 a
24.54 a
240.8 a 251.0 a
245.1 a
270.3 a
280.3 a
30.5 a 28.0 a
35.9 a
37.9 a
36.1 a
Pertumbuhan larva bandeng yang diberi pakan buatan yaitu pakan percobaan 1,2,3 dan pakan
komersial tidak berbeda nyata dengan pakan alami (P<0.05). Hasil pengamatan pertumbuhan larva
bandeng yang diberi pakan percobaan-1, 2, 3, pakan komersial, dan pakan alami berturut-turut adalah
240.8 %, 251.0%, 245.1%, 270,3%, dan 280.3% (Tabel 3). Hal ini juga mendukung bahwa pakan dengan
formulasi dari bahan baku lokal dapat diharapkan membantu pada saat kekurangan pakan alami dan
pakan mikro dapat disimpan dan digunakan pada saat yang diperlukan. Pakan mikro dapat diformulasi
sesuai dengan kebutuhan larva ikan yang akan diberikan.
Disamping kedua peubah diatas, vitalitas larva juga memegang peranan penting. Vitalitas larva
menunjukkan kualitas dari larva. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa larva yang dipelihara dengan
pakan mikro dengan formulasi dari bahan baku lokal memberikan vitalitas yang cukup baik. Larva yang
diberi pakan percobaan-1,2,3, pakan komersial, dan pakan alami berturut-turut adalah 30.5%, 28.0%,
35.9%, 37.9%, dan 36.1%. Hal ini sesuai dengan hasil percobaan pada ikan red sea bream (Kanazawa et
al., 1982), sea bass (Walford and Lam, 1991; Walford et al., 1991; Devresse et al., 1991), flounder
(Kanazawa et al., 1989), dan juga milkfish (Duray and Bagarinao, 1984; Marte and Duray, 1991, Suwirya
et al., 1999).
Secara umum, protein yang mempunyai komposisi asam amino yang sama dengan tubuh ikan
mempunyai nilai nutrisi yang tinggi. Dalam pembuatan pakan dapat diformulasi dari bebrapa sumber
protein untuk mensimulasi komposisi asam amino yang sesuai asam amino tubuh ikan. Untuk larva ikan
bandeng, pakan mikro dapat diformulasi dari satu macam sumber protein bahan baku lokal yaitu tepung
ikan. Hal ini dapat dilihat dari hasil percobaan yaitu larva yang diberi pakan percobaan 1 (Tabel 1)
memberikan pertumbuhan dan kelangsungan hidup yang sama dengan pakan percobaan 2 dan pakan
percobaan 3. Percobaan ini menunjukkan bahwa pakan larva bandeng dapat dengan mudah diformulasi
dari sediaan bahan baku yang tersedia di suatu daerah.
Dalam pemilihan bahan pakan lokal yang harus mendapat perhatian adalah kualitas bahan.
Kualitas bahan dapat dilihat secara fisik dan kimiawi. Sifat fisik bahan terutama tepung ikan yang baik
antara lain warna tepung ikan cerah, bau gurih atau tidak tengik, partikel bahan sesuai dengan ukuran
yang diharapkan, dan bahan tidak bercampur dengan bahan-bahan lain seperti kerikil, serpihan kayu dan
lain-lainnya.
Kualitas bahan terutama tepung ikan dapat juga dilihat dari sifat kimia bahan antara lain
kandungan protein, lemak, serat kasar dan abu dari bahan. Tepung ikan yang baik kandungan proteinya
berkisar 60-70%, lemak 6-9%, serat 1-3%, dan abu 4-6%. Kandungan protein tepung ikan yang rendah
kemungkinan diproses dari bahan sisa seperti kepala ikan sisa dari pengalengan dan menyebabkan
kandungan abu dari tepung ikan akan meningkat atau dari ikan yang sudah busuk. Lemak tepung ikan
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
232
sebaiknya rendah karena lemak ini mudah teroksidasi yang akan menyebabkan tepung ikan akan menjadi
tengik, disamping itu lemak yang rendah memudahkan dalam membuat partikel kecil.
Partikel pakan mikro yang digunakan dalam percobaan ini adalah ukuran lebih kecil dari 125
mikron untuk larva umur 10 – 15 hari, 125-250 mikron untuk larva umur 14-18 hari, dan 250-350 mikron
untuk larva 17- 22 hari. Oleh karena itu partikel pakan mikro cukup kecil maka ukuran partikel bahan
juga harus lebih kecil dari 100 mikron.
KESIMPULAN
Larva bandeng umur 10 hari dapat diberi pakan mikro dan pakan alami (rotifer) dapat
disubstitusi dengan pakan mikro. Pakan mikro dapat diformulasi dari bahan baku lokal, namun kualitas
bahan tetap menjadi perhatian.
DAFTAR PUSTAKA
Devresse, B., P. Candreva, Ph. Leger, and P. Sorgeloos. 1991. A new artificial diet for the early weaning of seabass
(Dicentrarchus labrax) larvae, pp.178-182. Larvi '91. European Aquacult. Soc., Special Publ. No. 15.
Gent, Belgium.
Kanazawa, A., S. Koshio, and S, Teshima. 1989. Growth and survival of larval red sea bream Pagrus major and Japanese flounder Faralichthys olivaceus fed mirobound diets. J. World Aquacult. Soc., 20 :31-37.
Kanazawa, A., S. Teshima, S. Inamori, S. Sumida, and T, Iwashita. 1982. Rearing of larval red sea bream and ayu
with artificial diets. Memoirs of Faculty of Fisheries, Kagoshima University, 31 : 185-192.
Marte, C.L. and M.N. Duray. 1991. Microbound larval feed as supplement to live food for milkfish larva, pp.175-177. Larvi '91. European Aquacult. Soc., Special Publ. No. 15. Gent, Belgium.
Suwirya, K., Marzuqi, dan Hersapto, dan Agus Prijono. 1999. Sintasan, pertumbuhan, dan vitalitas larva ikan
bandeng (Chanos chanos) yang diberi pakan mikro. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, 5(2): 23-27.
Takeuchi, T., T. Arakawa, S. Satoh and T. Watanabe. 1992. Supplemental effect of phospholipid and requirement of eicosapentaenoic acid and docosahexaenoic acid of juvenile striped jack. Noppon Suisan Gakkaishi.
58:707-713.
Walford, J. and T.J. Lam. 1991. Growth and survival of seabass (Lates calcarifer) larvae fed microencapsulated diets
alone or together with live food, pp.184-187. Larvi '91. European Aquacult. Soc., Special Publ. No. 15. Gent, Belgium.
Walford, J., T.M. Lim, and T.J. Lam. 1991. Replacing live foods with microencapsulated diets in the rearing of
seabass (Lates calcarifer) larvae: do the larvae ingest and digest protein-membrane microcapsules.
Aquaculture, 92 : 225-235.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
233
INFORMASI NUTRISI IKAN UNTUK MENUNJANG PENGEMBANGAN
BUDIDAYA LAUT
1)Ketut Suwirya,
1)Marzuqi, dan
1)Nyoman Adiasmara Giri
1)Balai Basar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol P. O. Box 140 Singaraja
ABSTRAK
Dewasa ini budidaya laut terutama budidaya kerapu sudah berkembang di Indonesia antara lain: di Batam, Lampung, Riau, Kepulauan Seribu, kerena kesediaan benih yang dihasilkan oleh panti benih sudah memadai.. Akhir-
akhir ini aspek nutrisi budidaya kerapu mulai memperoleh banyak perhatian para pakar dan juga usahawan. Untuk
memenuhi semua nutrien yang dibutuhkan ikan maka harus dibuat formula pakan yang tepat. Sementara itu pada
stadia larva nutrien yang esensial adalah n-3 HUFA. Budidaya ikan pada keramba jaring apung (KJA) di laut sampai saat ini masih menggunakan ikan rucah sebagai pakan utama. Kendala memanfaatkan ikan rucah sebagai sumber
pakan yaitu musim, distribusi, dan kualitas dari ikan rucah. Untuk memecahkan kendala tersebut pakan buatan dapat
dikembangkan berdasarkan informasi dari nutrisi ikan.
Kata kunci: Nutrisi ikan, Budidaya laut.
ABSTRACT
At present, mariculture in Indonesia has been developed such as Batam, Lampung, Riau, Seribu Inlands, and so on
specially grouper culture, because fry source is produced by hatchery. In early time, fish nutrition aspect is concerned by experts and businessmen. The feed have to be formulated to get a good feed for fish that is cultured.
Essential nutrient for larvae stage is n-3 HUFA. Until now, fish culture in the floating cage in the sea still use trash
fish for the mean feed. To used trash fish have some problems such as season, distribution, and quality of trash fish.
To solve this problem can be developed artificial feed base on fish nutrition information.
Key words: fish nutrition, mariculture.
PENDAHULUAN
Budidaya laut dewasa ini berkembang dengan pesat di Indonesia seperti di Batam, Lampung,
Riau, Kepulauan Seribu, dan sebagainya; terutama budidaya kerapu kerena kesediaan benih yang
dihasilkan oleh panti benih sudah memadai. Sampai saat ini budidaya ikan-ikan laut masih
mengandalkan ikan rucah sebagai pakan utama. Namun ikan rucah tersebut merupakan sumber protein
hewani bagi sebagian masyarakat Indonesia, di samping ketersediaannya sangat bergantung pada musim.
Penanganan ikan rucah perlu mendapat perhatian untuk menjaga kualitas pakan yang diberikan pada ikan
yang dipelihara.
Pakan merupakan salah satu input penting dalam budidaya ikan, termasuk dalam kegiatan
pembenihannya. Oleh karenanya, akhir-akhir ini aspek nutrisi mulai memperoleh banyak perhatian para
pakar dan usahawan. Agar pakan yang diberikan pada ikan dapat memenuhi semua nutrien yang
dibutuhkan ikan, maka harus dibuat formula pakan yang tepat. Untuk itu diperlukan data mengenai
kebutuhan nutrien pakan ikan dan juga pengetahuan mengenai kemampuan ikan untuk mengasimilasi
bahan pakan.
Penelitian rinci mengenai kebutuhan nutrien untuk ikan dimulai sejak sekitar 40 tahun yang lalu,
sedangkan penelitian tersebut pada ternak telah dimulai sekitar 80 tahun lalu (Kompiang dan Ilyas, 1988).
Dengan demikian masih sangat banyak aspek nutrisi dan pakan yang belum diketahui. Data yang ada
menunjukkan bahwa penelitian aspek nutrisi dan kebutuhan nutrien ikan kebanyakan memgenai ikan
salmon, catfish, carp, tilapia, dan sea bream. Sementara itu penelitian aspek nutrisi untuk ikan-ikan
lainnya, khususnya ikan karnivor seperti kerapu relatif terbatas.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
234
PAKAN UNTUK LARVA IKAN
Keberhasilan dalam memijahkan beberapa species ikan sering kali tidak segera diikuti oleh
keberhasilan dalam pengembangan teknologi pemeliharaan larvanya sampai menghasilkan benih. Secara
umum larva ikan-ikan laut berukuran sangat kecil dengan ukuran mulut yang kecil pula, termasuk ikan
kerapu (Kohno et al., 1997). Secara fisik diperlukan pakan berukuran kecil, seperti rotifer tipe-SS.
Keadaan ini menyulitkan dalam manajemen pakan. Rotifer dewasa tipe-S dan tipe-L masih terlalu besar
untuk stadia awal larva dari kebanyakan species ikan kerapu (Lim, 1993).
Sementara itu pada stadia awal dari larva dibutuhkan nutrien pakan yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan energinya dan untuk mendapatkan nutrien esensial. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
ikan laut membutuhkan asam lemak n-3 rantai panjang (n-3 HUFA) sebagai asam lemak esensialnya
(Izquierdo et al., 1989; Webster and Lovell, 1990). Kebanyakan larva ikan laut hanya mempunyai
kemampuan yang sangat terbatas untuk mensintesa n-3 HUFA dari asam lemak n-3 rantai karbon yang
lebih pendek (Kanazawa et al., 1979; Ostrowski and Divakaran, 1990). Henderson and Sargent (1985)
menemukan bahwa kebutuhan n-3 HUFA meningkat pada stadia awal perkembangan larva karena banyak
yang digunakan pada pembentukan membran. Izquierdo et al. (1989) melaporkan bahwa dibutuhkan
3,00% n-3 HUFA (berat kering) pada nauplii Artemia atau 3,48% n-3 HUFA (berat kering) pada rotifer
untuk memenuhi kebutuhan asam lemak n-3 HUFA dari larva red sea bream. Pertumbuhan larva gilthead
sea bream (Sparus aurata) yang diberi pakan rotifer yang mengandung 0,40% n-3 HUFA (berat kering)
meningkat 250,00% dibandingkan dengan yang hanya diberi pakan dengan kandungan n-3 HUFA 0,08%
sampai hari ke-22. Kekurangan n-3 HUFA mengakibatkan tingkat kematian larva yang tinggi dan
pertumbuhan yang lambat, serta tidak sempurnanya pembentukan dan fungsi gelembung renang pada
larva ikan (Sorgeloos et al., 1988; Webster and Lovell, 1990; Koven et al., 1990). Salhi et al. (1994)
melaporkan kandungan n-3 HUFA 2,05 - 2,16% dalam pakan mikro menghasilkan kelangsungan hidup
gilthead sea brean (Sparus aurata) terbaik dibandingkan dengan yang diberikan pakan mengandung 0,82
- 0,74% n-3 HUFA, dan kebutuhan n-3 HUFA tidak menurun dengan menurunnya kandungan total lemak
pakan.
Tabel 1. Komposisi asam lemak beberapa species phytoplankton
Asam lemak Chlorella
(Malaysia)1)
Chlorella
vulgaris2)
Chlorella
minutissima2)
Nannochloropsis
oculata3)
16 : 0 9,3 20,2 20,6 16,54
18 : 1 8,8 8,6 2,5 2,04 18 : 2n-6 13,0 4,1 3,6 3,32
18 : 3n-3 9,2 - 0,1 -
20 : 5n-3 0,10 26,6 27,3 30,51
22 : 6n-3 - - -
1) % total lipid (Teshima et al., 1991)
2) % total lipid (Watanabe et al., 1983b)
3). % total lipid (Okauchi et al., 1990)
Kenyataan pentingnya peranan asam lemak bagi larva ikan laut tidak selalu ditunjang oleh
tersedianya pakan hidup dengan kandungan asam lemak esensial yang cukup. Komposisi asam lemak
pakan hidup yang umum digunakan pada pembenihan ikan di sajikan pada Tabel 1, 2, dan 3.
Pada Tabel 2 terlihat adanya variasi kandungan asam lemak Brachionus dengan metode kultur yang
berbeda. Kandungan EPA rotifer yang dikultur dengan Chlorella minutissima dan Nannochloropsis jauh
lebih tinggi dibandingkan dengan yang dikultur pada Chlorella regularis. Demikian juga terdapat variasi
kandungan asam lemak nauplii Artamia dan Acartia clausi dari beberapa contoh yang dianalisa (Tabel 3).
Untuk menyesuaikan kandungan asam lemak pakan hidup sehingga dapat memenuhi kebutuhan larva
ikan telah dikembangkan metode pengkayaan, baik dengan menggunakan plankton, pakan buatan, atau
langsung dengan emulsi minyak yang mempunyai kandungan asam lemak esensial tinggi (Teshima et al.,
1981; Baclay and Zeller, 1996). Kebutuhan asam lemak n-3 HUFA beberapa larva ikan laut adalah diatas
3,0% dan nampak untuk ikan red seabream dan yellowtail peran DHA lebih besar daripada EPA.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
235
Tabel 2. Komposisi asam lemak rotifer (Brachionus plicatilis) yang dikultur dengan pakan yang berbeda (% area)
Asam lemak Chlorella regularis
(air tawar)
Chlorella minutissima
(laut) Yeast Nannochloropsis
16 : 0 9,3 16,8 6,7 11,1
18 : 1n-9 22,4 10,1 31,2 3,5 18 : 2n-6 18,5 3,2 5,9 2,5
18 : 3n-3 3,7 0,4 0,6 0,1
20 : 5n-3 1,9 24,1 - 37,8
22 : 6n-3 - - - -
Sumber: Watanabe et al. (1983b)
Tabel 3. Komposisi asam lemak nauplii Artemia salina dan Acartia clausi
Asam lemak Nauplii Artemia
1) Acartia clausi
2)
I II III I II III
16 : 0 9,2 11,0 12,2 16,9 16,5 18,3
18 : 1 19,1 26,7 34,9 4,1 3,6 5,4
18 : 2n-6 8,3 8,9 6,6 1,1 0,6 1,1
18 : 3n-3 5,4 27,6 17,2 1,1 0,7 1,0 20 : 5n-3 6,8 0,3 3,5 20,1 29,2 16,6
22 : 6n-3 0,2 - - 28,6 27,2 12,3
n-3 HUFA 7,3 1,2 3,8 49,8 58,0 30,1
1) % total lipid (Watanabe et al., 1978)
2) % area (Watanabe et al.,1983b)
Table 4. Kebutuhan asam lemak n-3 HUFA beberapa species larva ikan laut
Species ikan dan
jenis pakan
Kebutuhan
(berat kering) Peranannya
Red seabream
(Pagrus major)
Rotifer n-3 HUFA 3,5% DHA > EPA
Artemia n-3 HUFA 3,0% DHA > EPA
Yellowtail
(Seriola quinqueradiata) Artemia
n-3 HUFA > 3,9%
DHA > EPA
Striped knifejaw
(Oplegnathus fasciatus)
Rotifer n-3 HUFA > 3,0%
Artemia n-3 HUFA > 3,0%
Flounder
(Paralichthys olivaceus) Artemia
n-3 HUFA > 3,5%
Sumber: Watanabe (1993)
PAKAN UNTUK PEMBESARAN
Ikan Rucah
Budidaya ikan pada keramba jarring apung (KJA) di laut sampai saat ini masih menggunakan
ikan rucah sebagai pakan utama. Ikan rucah termasuk bahan pakan yang cepat kualitasnya menurun
terutama pada iklim tropis seperti Indonesia. Oleh karena itu, ikan rucah memerlukan penanganan yang
memadai agar kualitasnya tetap baik untuk menghambat penurunan mutu ikan rucah dapat dilakukan
dengan penurunan suhu atau pembekuan.
Ikan mengandung lemak/asam lemak ikatan rangkap yang cukup tinggi sehingga mudah
teroksidasi dan mudah tengik. Lemak dalam pakan berfungsi sebagai sumber energi bagi ikan dan
sumber asam lemak esensial. Asam lemak esensial bagi ikan-ikan laut adalah kelompok n-3 HUFA.
Asam lemak tersebut sangat mudah teroksidasi. Penurunan kualitas lemak ikan rucah dapat dihambat
dengan penyimpanan pada suhu rendah, hal ini dapat dilihat dari hasil analisis yang dilakukan di Balai
Besar Perikanan Budidaya Laut Gondol (Tabel 5). Tabel 5 menunjukkan bahwa kadar n-3 HUFA lemak
ikan rucah lebih cepat menurun pada suhu ruangan (29 – 32oC) dibandingkan dengan pada kondisi dingin.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
236
Tabel 5 Penurunan n-3 HUFA pada lemak ikan rucah pada suhu berbeda
Kondisi Lama penyimpanan (jam)
0 8 24
Suhu kamar (29-30oC) 0,0% 30,0% 64,0%
Ikan di es (3 – 0oC) 0,0% 10,0% 20,0%
Jenis-jenis vitamin yang terdapat dalam ikan rucah juga mengalami penurunan sejalan
dengan berjalannya proses pembusukan yang terjadi pada ikan rucah. Vitamin merupakan
bahan-bahan mikro yang sangat dibutuhkan oleh tubuh. Jenis vitamin yang larut dalam air
sangat mudah rusak kalau disimpan dalam kondisi basah atau kadar air yang cukup tinggi.
Namun penurunan kadar vitamin dalam ikan rucah tersebut juga dapat dihambat dengan
menurunkan suhu penyimpanan ikan rucah. Hal ini dapat dilihat dari analisa vitamin C yang
dilakukan pada ikan rucah yang disimpan pada suhu kamar dan diberi es (Tabel 6).
Tabel 6. Penurunan Vitamin C pada ikan rucah yang disimpan pada suhu berbeda
Kondisi Lama penyimpanan (jam)
0 12 24
Suhu kamar (29-30oC) 0,0% 30,0% 71,0%
Ikan di es (3-0oC) 0,0% 9,0% 15,7%
Vitamin ini dibutuhkan tubuh untuk meningkatkan metabolisme, daya tahan terhadap perubahan
lingkungan dan penyakit. Pada ikan kerapu bebek kekurangan vitamin C akan menyebabkan tulang
belakang bengkok, insang terbuka, menurunnya kandungan hemoglobin (Hb) darah, vitalitas dan daya
tahan tubuh ikan menurun. Hal yang sama dijumpai pada ikan kerapu bebek yang kekurangan vitamin B.
Fenomena yang sangat menonjol pada ikan kerapu bebek yang kekurangan vitamin B adalah selera
makan sangat menurun disamping itu tubuh ikan lemah dan bergetar.
Oleh karena itu penggunaan ikan rucah dalam budidaya perlu ditambah dengan vitamin mix agar
ikan yang dibudidayakan tidak menunjukkan gejala-gejala kekurangan vitamin. Di samping itu, perlu
dicoba dan dikembangkan pakan buatan sebagai alternatif untuk menjaga perkembangan dan
kesinambungan usaha budidaya laut.
Penanganan dan Penyimpanan Ikan Rucah
Untuk menjaga kualitas ikan rucah yang digunakan sebagai pakan dalam budidaya laut maka
ikan rucah perlu mendapatkan penanganan yang baik. Ikan rucah yang baru ditangkap secepat mungkin
diberi es, dan tidak terlalu lama di dalam palkah kapal. Pemberian es pada ikan rucah tersebut hanyalah
memperlambat proses penurunan mutu. Begitu ikan rucah sampai di darat sebaiknya langsung dicuci dan
disimpan dalam freezer. Ketersediaan ikan rucah sangat dipengaruhi oleh musim, sehingga perlu tempat
penyimpanan yang memadai agar pemberian pakan tidak terputus.
Pakan Buatan
Ikan kerapu adalah jenis ikan karnivora oleh karena itu jenis ikan ini memerlukan pakan dengan
kandungan protein yang cukup tinggi. Beberapa jenis ikan kerapu yang telah diketahui kebutuhan
proteinnya (Tabel 7). Kebutuahan protein ikan kerapu berkisar antara 47,8% sampai 60,0%.
Nutrien yang tidak kalah penting dalam pakan adalah lemak. Lemak pakan dapat sebagai
sumber energi dan sebagai sumber asam lemak esensial. Asam lemak esensial bagi ikan kerapu adalah n-
HUFA. Kebutuhan lemak untuk ikan kerapu bebek mencapai 9,0-12,0% (Giri, 1999), dan asam lemak
essensial (n-3 HUFA) adalah 1,4% (Suwirya, 2001).
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
237
Table 7. Kebutuhan protein pakan beberapa jenis ikan kerapu
Jenis ikan kerapu Kadar protein (%) Sumber
Kerapu Lumpur (E. salmoides) 50 Teng, et al. (1978)
Lumpur mata kucing (E. Striatus) >55 Ellis, et al. (1996)
Lumpur malabar (E. malabaricus) 47,8 Chen & Tsai (1994)
Lumpur sirip panjang (E. aerolatus) 60 Chu, et al. (1996)
Kerapu akaara (E. akaara) 49,5 Chen, et al. (1995)
Kerapu bebek (C. altivelis) 54,2 Giri, et al. (1999)
Vitamin dibutuhkan untuk pertumbuhan, pemeliharaan tubuh, dan reproduksi. Vitamin dibagi
menjadi dua yaitu yang larut dalam lemak (vitamin A,D, E, dan K) dan vitamin yang larut dalam air
seperti riboflavin, vitamin C, thiamin, dan lain-lain. Salah satu vitamin yang cukup penting diperhatikan
adalah vitamin C. Kekekurangan vitain C menampakkan gejala bengkok tulang, insang terbuka, rentan
terhadap penyakit, dan aktivitas ikan menurun. Kebutuhan vitamin C dalam pakan untuk ikan kerapu
bebek adalah 3,0 mg/100 gram pakan (Giri et al., 1999).
Berdasarkan informasi di atas Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol telah
mengembangkan pakan kerapu. Pakan tersebut telah diujicobakan pada ikan juvenil dan pembesaran ikan
kerapu bebek. Hasil uji coba pada menunjukkan pertumbuhan dan efisiensi pakan yang baik serta tidak
tampaknya gejala-gejala kekurangan nutrien (Tabel 8).
Pakan kering dapat disimpan dalam jangka panjang. Penyimpanan pakan kering dapat dilakukan
dalam ruang yang kelembabannya rendah dan terhindar dari sinar matahari.
Tabel 8. Hasil uji coba pakan buatan dan ikan rucah pada ikan kerapu bebek selama 4 bulan pemeliharaan di Balai
Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol
Parameter Pakan Uji
Pakan Gondol Pakan Uji Ikan Rucah
Bobot awal (gram) 36,0 36,0 36,0
Bobot akhir (gram) 147,6 132,8 133,4
Kelangsungan hidup (%) 98,7 98,0 95,1
FCR 1,39 1,54 5,82
Harga pakan - 15.400 14.550
Hematokrit (%) 37,3 38,2 24,2
KESIMPULAN
Pemberian pakan buatan (pelet) dapat diaplikasdikan utuk budidaya ikan kerapu karena
menunjukkan pertumbuhan pertumbuhan dan efisiensi pakan yang baik serta tidak menunjukkan gejala
kekurangan nutrien. Selain itu pakan buatan dapat disimpan dalam jangka waktu yang panjang.
DAFTAR PUSTAKA
Barclay, W. and S. Zeller. 1996. Nutritional Enhancement of n-3 and n-6 Fatty Acids in Rotifers and Artemia nauplii by Feeding Spray-dried Schizochytrium sp. J. World Aquacult. Soc., 27: 314-322.
Dhert, P., L.C. Lim, P. Lavens, T.M. Chao, R. Chuo,and P. Sorgeloos. 1991. Effects of Dietary Essential Fatty Acids
on Eggs Quality and Larviculture Success of the Greasy Grouper (Epinephelus tauvina F.) : preliminary
results. pp.58-62 in P. Lavens, P. Sorgeloos, E. Jaspers, and F Ollevier (Eds.). Larvi ‗91 Fish & Crustacean Larviculture Symposium. Special Publ. No. 15. European Aquaculture Society. Ghent, Belgium.
Henderson, R.J. and J.R. Sargent. 1985. Fatty Acid Metabolism in Fish. pp. 349-364 in C.B. Cowey, A. M. Mackie
and J. G. Bell (eds.). Nutrition and Feeding in fish. Academic Press, London, England.
Giri, N.A., K. Suwirya, dan M. Marzuqi. 1999. Kebutuhan Protein, Lemak, dan Vitamin C Yuwana Kerapu bebek, Cromileptes altivelis. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, 5(3): 38-44.
Izquierdo, M.S., T. Watanabe, T. Takeuchi, T. Arakawa, and C. Kitajima. 1989. Requirement of Larval Red Sea
bream Pagrus major for Essential Fatty Acids. Nippon Suisan Gakkaishi, 55: 859-867.
Kanazawa, A., S. Teshima, and K. Ono. 1979. Conversion of Linoleic Acid to n-3 Highly Unsaturated Fatty Acids in Marine Fishes and Rainbow Trout. Bull. Jpn. Soc. Sci. Fish.,, 46: 1231-1233.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
238
Kohno, H., R.S.O. Anguilar, A. Ohno, and Y. Taki. 1997. Why is Grouper Larval Rearing Dificult? : An approach from the development of the feeding apparatus in early stage larvae of the grouper, Epinephelus coioides.
Ichthyol. Res., 44 : 267-274.
Kompiang, I.P. dan S. Ilyas. 1988. Nutrisi Ikan/Udang : Relevansi untuk Larva dan Induk. Proc. Seminar Nasional
Pembenihan Ikan dan Udang. Bandung, 5 - 7 Juli 1988.
Koven, W.M., A. Tandler, G.W. Kissil, D. Sklan, O. Friezlander, and M. Harel. 1990. The Effect of Dietary (n-3)
Polyunsaturated Fatty Acids on Growth, Survival and Swim Bladder Development in Sparus aurata Larvae.
Aquaculture, 91: 131-141.
Lim, C.L. 1993. Larviculture of the Grouper Epinephelus tauvina F. and the Brown-murble Grouper Epinephelus fuscogutatus in Singapore. J. World Aquacult. Soc., 42 : 262-274.
Okauchi, M., W. Zhou, and W. Zou. 1990. Difference in Nutritive Value of a Micro Alga Nannochloropsis oculata at
Various Growth Phases. Nippon Suisan Gakkaishi, 56: 1293-1298.
Ostrowski, A.C. and S. Divakaran. 1990. Survival and Bioconversion of n-3 Fatty Acids During Early Development of Dolpin (Coryphaena hippurus) Larvae Fed Oil-Enriched Rotifers. Aquaculture, 89: 273-285.
Sahli, M., M.S. Izquierdo, C.M. Hernandez-Cruz, M. Gonzalez, and H. Fernandez-Palacios. 1994. Effect of Lipid
and n-3 HUFA Levels in Microdiets on Growth, Survival and Fatty Acid Composition of Larval Gilthead Sea
Bream (Sparus aurata). Aquaculture, 124 : 275-282.
Sorgeloos, P., P. Leger, and P. Lavens. 1988. Improved Larval Rearing of European and Asian Seabass, Seabream,
Mahi-mahi, Siganid and Milkfish Using Enrichment Diets for Brachionus and Artemia. World Aquacult., 19:
78-79.
Suwirya, K., N.A. Giri, dan M. Marzuqi. Suwirya, K., N.A. Giri, dan M. Marzuqi 2001. Pengaruh n-3 HUFA Terhadap Pertumbuhan dan Efisiensi Pakan Yuwana Ikan Kerapu Bebek, Cromileptes altivelis. pp 201-206.
In Sudradjat, A., E.S. Heruwati, A. Poernomo, A. Rukyani, J. Widodo, dan E. Danakusuma (Eds) Teknologi
Budi Daya Laut dan Pengembangan sea Farming di Indonesia, Depertement Kelautan dan Perikanan.
Teshima, S., A. Kanazawa, and M. Sakamoto. 1981. Attempt to Culture the Rotifers with Micro Encapsulated Diets. Bull. Jpn. Soc. Sci. Fish.,, 47: 1575-1578.
Teshima, S., S. Yamasaki, A. Kanazawa, S. Koshio, and H. Hirata. 1991. Fatty Acid Composition of Malaysian
Marine Chlorella. Nippon Suisan Gakkaishi, 57: 1985-1985.
Watanabe, T., F. Oowa, C. Kitajima, and S. Fujita. 1978. Nutritional Quality of Brine Shrimp, Artemia salina, as a Living Feed from the Viewpoint of Essential Fatty Acids for Fish. Bull. Jpn. Soc. Sci. Fish., 44: 1115-1121.
Watanabe, T., C. Kitajima, and S. Fujita. 1983b. Nutritional Values of Live Organisms Used in Japan for Mass
Propagation of Fish : a Review. Aquaculture, 34: 115-143.
Watanabe, T. 1993. Importance of Docosahexaenoic acid in Marine Larval Fish. J. World Aquacult. Soc., 24: 152-
161.
Webster, C.D. and R.T. Lovell. 1990. Response of Striped Bass Larvae Fed Brine Shrimp from Different Sources
Containing Different Fatty Acid Composition. Aquaculture, 90: 49-61.
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
239
P A R T I S I P A N
NO. N A M A I N S T A N S I
1. Harun Al- Rasyid Gubernur NTB
2. Nanang Samodra Ka. Bappeda Prop. NTB
3. Mansur Ma‘sum Rektor UNRAM
4. Syarifudin Bag. Eknomi Setda NTB
5. Robert Ratu Raja Pemda NTB
6. Rudi N. Hansyal Pemda NTB
7. Nizwar Syafaat Puslitbangtan Sosek Bogor
8. I Wayan Mirza Puslitbangtan Sosek Bogor
9. Muzani Mirza Distan Prop. NTB
10. Christian W. Disnak NTB
11. Hj. Siti Choiriyah Diperta
12. Theodora Junita H. Distanak Lotim
13. N. Sutardi Diperta Kota Mataram
14. Hasanudin Diperta Loteng
15. L. Darmali Diperta NTB
16. Nurhani Hm. Disbun NTB
17. Azhar Dishut NTB
18. Syafi‘i Dishutbun Lotim
19. M. Saleh Ashady Dipertanak Lobar
20. M. Akhsan Hadi Dipertanak Loteng
21. Kurnia Agustini Dipertanak Loteng
22. Hasanuddin Dipertanak Loteng
23. Abdillah Anshori Diskan Kota Mataram
24. Supardi DKP Lotim
25. Anwar DKP Loteng
26. Hendrawan S. Univ. Brawijaya
27. Sri Widodo Univ. Gajah Mada
28. Iwan Santoso NTT
29. Yahya Mungis LSM
30. Joko T. RRI Mataram
31. M. S. Hamsah LIPI
32. Oky M. LSM
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
240
33. H. M. Nasir LSM
34. Kama Bappeda
35. Jaffar Abdulgani Bappeda Kab. Bima
36. Marsudin Bappeda NTB
37. Joko Tengan BUKPD
38. Joko R. BUKPD
39. Ma‘shum Biro Humas
40. Suwati Unmuh Mataram
41. Marianah Unmuh Mataram
42. Sahdan Univ. 45 Mataram
43. Yasin Said Biro Ekonomi Lobar
44. Ridwan Biro Ekonomi Lotim
45. Arifuddin BPSB NTB
46. Yuni Wahyuni BPTPH NTB
47. Bejo Slamet BBRBL Gondol
48. Titiek Aslianti BBRBL Gondol
49. Agus Priyono BBRBL Gondol
50. Fris Johny BBRBL Gondol
51. Ketut Suwirya BBRBL Gondol
52. Ribut Suryanto Balai Diklat NTB
53. Theresia S. C. Unmas Mataram
54. Chairussyuhur Arman UNRAM
55. Baharuddin AB. UNRAM
56. Herman Suheri UNRAM
57. Dahlanuddin UNRAM
58. Made Suma Wedastra UNRAM
59. Candra Ayu UNRAM
60. Adji S. Drajat UNRAM
61. Rodiah UNRAM
62. Lolita UNRAM
63. Syamsuhaidi UNRAM
64. Enny Yuliani UNRAM
65. Mahrup UNRAM
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
241
66. Eko Basuki UNRAM
67. Rosiady UNRAM
68. Muktasam UNRAM
69. Suwardji UNRAM
70. M. Zubair UNRAM
71. Ismail Yasin UNRAM
72. Sukartono UNRAM
73. Joko Triyono R. UNRAM
74. Sugeng Prasetyo UNRAM
75. Yahya Mugiono UNRAM
76. Imran UNRAM
77. Tejowulan UNRAM
78. Surya Hadi UNRAM
79. Sukardono UNRAM
80. Abdul Faruk UNRAM
81. Zulkarnaen UNRAM
82. Choiril Huda UNRAM
83. M. Qasuni UNRAM
84. Akhmad Jufri UNRAM
85. Meidiwarman P3SDH UNRAM
86. I Wayan Sudya P3P UNRAM
87. Sabarudin Kontak tani
88. Amirudin Pohan BPTP NTT
89. Mashur BPTP NTB
90. Ketut Puspadi BPTP NTB
91. Dwi Praptomo S BPTP NTB
92. M. Sofyan Souri BPTP NTB
93. M. Luthfi BPTP NTB
94. Z. A. Wancik BPTP NTB
95. Sudjudi BPTP NTB
96. M. Zairin BPTP NTB
97. Muji Rahayu BPTP NTB
98. B. Tri Ratna E. BPTP NTB
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
242
99. Wildan Arief BPTP NTB
100. H. Ahmad Suriadi BPTP NTB
101. Noor Inggah BPTP NTB
102. Awaludin Hipi BPTP NTB
103. H. Sahram BPTP NTB
104. Tanda S. Panjaitan BPTP NTB
105. Farida Sukmawati BPTP NTB
106. Andri Nurwati BPTP NTB
107. Kunto Kumoro BPTP NTB
108. Akhmad Muzani BPTP NTB
109. Prisdiminggo BPTP NTB
110. Arief Surachman BPTP NTB
111. Nurul Agustini BPTP NTB
112. Rayunah BPTP NTB
113. Sudarto BPTP NTB
114. Akhmad Sauki BPTP NTB
115. Syarifuddin Achmady BPTP NTB
116. Hj. Siti Marlinda BPTP NTB
117. Sasongko Wr. BPTP NTB
118. Abd. Hamid Nurtika BPTP NTB
119. Ismail Achmad BPTP NTB