Pengelolaan Perbatasan Indonesia Timor Leste Dalam Perspektif Kebijakan Publik

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Pengelolaan Perbatasan Indonesia Timor Leste Dalam Perspektif Kebijakan Publik

Citation preview

  • 1Pengelolaan Perbatasan RI - RTDL......

    PENGELOLAAN PERBATASAN INDONESIA (RI)TIMOR LESTE (RDTL)DALAM PERSPEKTIF KEBIJAKAN PUBLIK1

    Hariyadi**

    A b s t r a c t

    East Timors independence gave a direct impact on bordermanagement with Indonesia, which has significant political and legalpolitical aspects, not only in term of security but also the interest tomake the border as the front yard of the country. Indonesias effortto develop economic relations with East Timor through the borderwill help the country improve its international image after it wascornered by cases of human rights violation occurred when EastTimor was an Indonesias province. Though the border agreement isnearly to accomplish, problems remained, for instance, East Timorhas to increase its capacity to realize its political commitment. Thewriter argues that both countries have to accomplish the borderagreement based on equal basis which considered historical andactual matters to be able to reach common interest.

    Kata kunci: Perbatasan RI-RDTL, kebijakan pengelolaan, kesejahteraanmasyarakat perbatasan, kerja sama pengelolaan perbatasan.

    I. Pendahuluan

    A. Latar Belakang

    Referendum rakyat Timor Timur yang difasilitasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada bulan Agustus 1999 telah mengantarkan bekas Provinsike-27 RI menjadi negara merdeka pada 20 Mei 2002. Sebagai negara merdekayang telah memenuhi sejumlah persyaratan konstitutif dan deklaratif, RepublikDemokratik Timor-Leste (RDTL) atau Republica Democratica de Timor-Leste/

    *Laporan Penelitian tentang Perbatasan RI-Timor Leste yang dilakukan Tim HubunganInternasional, P3DI Setjen DPR-RI, Jakarta, 2007.**Peneliti Muda Bid. Kebijakan Publik, P3DI Setjen DPR-RI. Email: [email protected].

  • 2 Kajian, Vol 13, No. 3, September 2008

    1KBRI Dili, Hubungan Bilateral Indonesia dan Timor Leste, dalam www.kbridili.org/, diakses 4Desember 2007.

    The Democratic Republic of East Timor pun secara hukum dan politik terpisahdari wilayah RI. Oleh karena itu, kedua negara memiliki titik singgung kepentinganyang sama dalam mengelola serangkaian wilayah perbatasan dan sejumlahkepentingan sosial, ekonomi, politik, dan pertahanan.

    Berdasarkan Tap MPR No. V/MPR/1999 tentang Penentuan Pendapat diTimor Timur, Indonesia telah mengakui hasil pelaksanaan penentuan pendapatyang diselenggarakan oleh PBB di Timor Timur tanggal 30 Agustus 1999. Sejalandengan itu, hubungan bilateral kedua negara telah terjalin sejak berdirinya negaraitu, ditandai dengan hadirnya Presiden Megawati Soekarnoputri pada upacaraKemerdekaan Timor-Leste yang dikenal sebagai the Restoration of Independencepada tanggal 20 Mei 2002. Kehadiran Presiden Megawati tersebut segera diikutidengan kunjungan resmi Presiden Xanana Gusmao ke Indonesia pada bulanJuli 2002. Selama kunjungan Presiden Xanana Gusmao, Pemerintah keduanegara menandatangani dua persetujuan penting yang menandai awal kerjasamayang lebih erat, yakni:1

    (1) Joint Communique concerning Diplomatic Relations between theRepublic of Indonesia and the Democratic Republic of Timor Leste;

    (2) Memorandum of Understanding between the Government of theRepublic of Indonesia and the Government of the DemocraticRepublic of Timor-Leste on the Establishment of a Commision forBilateral Cooperation.

    Konsolidasi ke arah peningkatan hubungan bilateral kedua negara terusberjalan, ditandai dengan kunjungan resmi kenegaraan Presiden Susilo BambangYudhoyono ke Dili pada tanggal 8-9 April 2005. Dalam kesempatan ituditegaskan kembali bahwa Pemerintah RI sepenuhnya mengakui kedaulatanRDTL. Komitmen politik kedua kepala pemerintahan yang juga penting dalamkesempatan itu adalah kedua negara telah memutuskan untuk menjalankankebijakan rekonsiliasi dan membangun kerja sama dalam rangka memenuhikepentingan nasional masing-masing negara.

    Secara umum, hubungan bilateral kedua negara terutama dalam hubunganperdagangan dan ekonomi terus mengalami perkembangan positif. Berdasarkandata statistik perdagangan Timor-Leste pada tahun 2004 misalnya, Indonesiamerupakan negara pengekspor terbesar ke RDTL, mencapai 60,2 juta dolar

  • 3Pengelolaan Perbatasan RI - RTDL......

    AS. Sementara itu, nilai impor Indonesia ke RDTL terutama kopi mencapai99%, senilai 1,3 juta dolar AS, dan menempatkan Indonesia sebagai negaratujuan ekspor perdagangan RDTL kedua terbesar setelah AS senilai 3,6 jutadolar AS. Barang-barang produk Indonesia yang mendominasi pasar RDTLadalah barang-barang berupa pangan, tekstil, kesehatan, bahan bangunan,elektronika dan perabot rumah tangga.

    Dalam upaya meningkatkan interaksi masyarakat kedua negara dalambidang ekonomi khususnya masyarakat yang tinggal di sekitar wilayahperbatasan, kedua negara telah menandatangani persetujuan tentang pelintasbatas tradisional dan pengaturan pasar bersama (Arrangement between theGovernment of the Republic of Indonesia and the Government of the DemocraticRepublic of Timor-Leste on Traditional Border Crossings and Regulated Markets)di Jakarta pada tanggal 11 Juni 2003. Namun demikian, karena kendala anggarandan kapasitas sumber daya manusia, Pemerintah RDTL belum dapatmenindaklanjuti perjanjian tersebut, terutama dalam hal penerbitan lintas batas.2Secara umum, persoalan politis menyangkut pengelolaan wilayah-wilayahperbatasan kedua negara hampir sepenuhnya terselesaikan. Hal-hal terkait yangsampai sekarang masih tersisa adalah persoalan keterbatasan kemampuanRDTL sebagai negara yang baru merdeka dalam menindaklanjuti setiapkesepakatan politik dengan Pemerintah RI sebelumnya dan faktor teknis dansosio-kultural. RDTL kini menghadapi persoalan stabilitas politik, ekonomi dankeamanan sebagai akibat rendahnya SDM, sumber daya, kemiskinan danpersoalan kepemimpinan politik yang tidak kondusif bagi sebuah negara yangbaru merdeka. Akibatnya, secara teknis persoalan pengelolaan perbatasan baiksecara domestik dan bilateral belum mendapatkan perhatian yang memadahibagi RDTL. Hal yang sama secara sosio-kultural. Persoalan pengelolaanperbatasan masih dipengaruhi faktor tanah adat dan dan hubungan darahmasyarakat sekitar perbatasan kedua negara.

    Untuk itulah, berbagai upaya untuk menjembatani berbagai persoalantersebut kini menjadi kebutuhan yang mendesak untuk dilakukan, tidak hanyadalam rangka membangun hubungan bilateral tetapi juga penyelesaian secaramenyeluruh persoalan pengelolaan wilayah perbatasan kedua negara. Dalamkerangka inilah, kiranya menjadi penting dirumuskan sejauh mana kebijakanpengelolaan perbatasan harus ditempuh Pemerintah RI dengan melihat kondisifaktual yang ada secara politis, ekonomi, dan sosio-kultural. Di sisi lain, disain

    2Ibid.

  • 4 Kajian, Vol 13, No. 3, September 2008

    3Lihat Adijaya Yusuf , Penerapan Prinsip Pendudukan Efektif dalam perolehan wilayah: PerspektifHukum Internasional, Makalah Seminar, UI-Depok, 5 Februari 2003.

    kebijakan ini diharapkan tidak melupakan keberadaan peran dan tanggungjawabdaerah yang langsung berbatasan dengan wilayah RDTL.

    B. Permasalahan

    Dari latar belakang di atas, yang ingin diangkat dalam penelitian ini adalah:(1) bagaimana peta persoalan dalam pengelolaan perbatasan RI-RDTL selamaini, dan (2) bagaimana seharusnya pengelolaan masalah-masalah perbatasanRI-RDTL dirumuskan dalam suatu kebijakan.

    C. Kerangka Pemikiran

    Sebagai suatu persoalan publik tingkat tinggi yang melibatkan hubunganantar-negara, masalah perbatasan RI-RDTL secara khusus dalam kontekspengelolaan wilayah perbatasan yang menjadi kedaulatan RI dapat didekatidengan sebuah pendekatan teoritik hukum internasional, yakni pendekatanokupasi.3 Namun demikian, perspektif pendekatan ini tidak berarti menggunakansemua asumsi atau argumen yang dipakainya dan tidak dimaknai sebagaiokupasi dalam pengertian klasik yang merujuk pada penegakan kedaulatanatas wilayah yang tidak berada dalam penguasaan negara manapun. Wilayahdi sini merujuk pada wilayah yang baru ditemukan ataupun wilayah yangditinggalkan oleh negara yang sebelumnya menguasai. Alasan dipakainya hanyasebagian dari asumsi dan argumen ini setidak-tidaknya didasarkan pada faktabahwa persoalan pengelolaan wilayah perbatasan RI-RDTL secara prinsip telahsecara jelas menyangkut pada wilayah yang telah diakui masing-masingpemerintah kedua negara meskipun secara teknis penentuan demarkasi dandelimitasi masih belum sepenuhnya tuntas. Kedua, wilayah-wilayah perbatasanapakah itu pulau atau wilayah-wilayah perbatasan yang menyatu dengan daratanpulau Timor ataupun pulau-pulau terluar yang telah menjadi wilayah RI sepertiPulau Ndana Rote, Batek atapun Sabu, tidak dapat dimaknai seperti layaknyawilayah-wilayah dalam era kolonialisme atau merujuk pada daerah yang tidakbertuan sama sekali yang ditandai dengan sangat terbatasnya pengelolaanpemerintah untuk mewujudkan kedaulatan pemerintah secara tidak terputus-putus dan dilakukan secara damai.

  • 5Pengelolaan Perbatasan RI - RTDL......

    4Lihat N. Hassan Wirajuda, Kasus Sipadan-Ligitan: Masalah Pengisian Konsep Negara, ProsesPenyelesaian Sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan, Makalah Seminar tentang KasusSipadan-Ligitan: Masalah Pengisian Konsep Negara, UI-Depok, 5 Februari 2003.5Adijaya Yusuf, loc.cit.

    Secara tradisional, okupasi diartikan sebagai penegakan kedaulatan atas wilayahyang tidak berada di bawah penguasaan negara manapun. Tentu saja, wilayahyang telah didiami oleh suku-suku bangsa atau rakyat yang memiliki organisasisosial dan politik tidak dapat dikatakan termasuk dalam kualifikasi ini. Wilayahdi sini juga merujuk pada wilayah yang baru ditemukan ataupun wilayah yangditinggalkan oleh negara yang sebelumnya menguasai. Dalam menentukanapakah suatu okupasi telah dilakukan sesuai dengan hukum internasional,penegakan okupasi harus dilakukan dengan prinsip effectiveness atau dikenalsebagai doktrin efektifites yang mencerminkan secara nyata adanya itikad dankemauan untuk menegakkan sifat perbuatan yang di dalamnya melekat esensikedaulatan negara yang dilakukan dalam waktu yang secara terus-menerusdan bersifat damai dan dinilai memperlihatkan suatu keinginan untukmelaksanakan fungsi-fungsi negara yang berkaitan dengan wilayah-wilayah ataupulau-pulau dimaksud dalam rangka pengelolaannya lebih jauh.4

    Untuk melakukan secara efektif doktrin ini, negara harus (1)menunjukkan kehendak atau keinginan untuk bertindak sebagai pihak yangberdaulat dan melaksanakan atau menunjukkan kedaulatan secara pantas; dan(2) menunjukkan secara nyata kepemilikan atau kontrol sesuai dengan sifatkasusnya. Secara fisik esensi kedaulatan dapat ditunjukkan dengan misalnya,(a) tindakan yang jelas atau simbolis atau dengan langkah-langkah legislatifdan eksekutif yang berlaku di wilayah yang diklaim; (b) melakukan perjanjiandengan negara lain yang mengakui kedaulatan negara tersebut terhadap wilayahdimaksud, atau (c) melakukan penetapan batas-batas wilayah baik dalam kontekshukum nasional maupun dalam bentuk perjanjian dengan negara lain. Dengandemikian, tindakan yang hanya bersifat menemukan suatu wilayah tetapi dalamprosesnya tidak dilakukan sebagai upaya melaksanakan kedaulatannya dalambentuk pelaksanaan kewenangannya secara nyata dan terputus-putus tidakdianggap sebagai dasar yang sah dalam melakukan okupasi.5Pelaksanaan okupasi efektif akan berakibat pada persoalan kedaulatan atasluas wilayah yang dimiliki melalui proses ini dalam sejarah hukum internasionaldigunakan dua teori yakni teori kontinuitas (continuity) dan teori kontiguitas(contiguity). Teori kontinuitas menekankan bahwa tindakan okupasi atas wilayah

  • 6 Kajian, Vol 13, No. 3, September 2008

    6Ibid.7Lihat John T. Rourke, International Politics on the World Stage, 2nd ed. (USA: The DushkinPublishing Group, Inc., 1989), hal. 238.

    tertentu memperluas kedaulatan negara pelaku pendudukan sebagai upaya untukmenjamin keamanan dan pengelolaan wilayah tersebut. Sementara teorikontiguitas menekankan bahwa kedaulatan negara yang melakukan okupasitersebut mencakup wilayah-wilayah yang berbatasan yang secara geografissaling terkait dengan wilayah dimaksud.6

    Bagaimana doktrin efektifites dilihat dalam konteks geopolitik meskipunarti pentingnya pelaksanaan doktrin ini sifatnya tidak hanya terbatas padawilayah-wilayah temuan dan sengketa tetapi juga pengelolaan efektif terhadapwilayah-wilayah suatu negara yang telah menjadi kedaulatannya. Pengelolaanwilayah negara secara efektif, damai dan berkesinambungan menjadi sumberkekuatan nonfisik (intangible) suatu negara yang sering disebut sebagai reputasi.Dalam pandangan ini, betapapun besarnya kekuatan nyata yang dimiliki suatunegara, kemampuan untuk melaksanakan kekuatannya itu dan kemampuanuntuk mempengaruhi pihak lain akan bergantung untuk sebagian pada bagaimanapihak lain mempersepsikan kekuatan dan keinginan negara tersebut. Bahkansekalipun tidak akurat, persepsi itu setidak-tidaknya dapat menjadi daya tawarpolitik negara tersebut secara nyata. Para pemimpin politik secara umummempercayai bahwa kelemahan (termasuk persepsi bahwa negara tertentulemah) akan menggoda negara-negara lain melakukan tindakan yang semakindapat melemahkan negara tersebut. Sebaliknya, reputasi kekuatan dimiliki olehsuatu negara akan menjadi alat daya tawar politik yang kuat dalam berhubungandengan negara-negara lain terutama negara-negara tetangganya.7 Secarahistoris, pandangan ini memiliki dasar empiris seperti terjadi dalam masa PerangDunia (PD) II yang dikenal sebagai Sindrom Munich. Pada saat itu, dalamupaya melunakkan Nazi Jerman, Inggris menginjinkan Nazi Jerman untukmenganeksasi sebagian wilayah Cekoslovakia. Upaya ini gagal, Jerman malahmenguasai semua wilayah Cekoslovakia, kemudian Polandia dan akhirnya hampirsemua wilayah Eropa. Peristiwa Munich ini kemudian menjadi simbol dari apayang kemudian dipandang sebagai serangkaian fatalisme pemberian konsesibagi para pelaku perang seperti Jerman, Jepang dan Italia yang hanya mendorongsebuah agresi dan akhirnya mengarah pada PD II. Pelajaran yang dapat diambiloleh para pemimpin politik paska-PD adalah bahwa setiap negara tidak dapat

  • 7Pengelolaan Perbatasan RI - RTDL......

    8Ibid., hal. 90.9"Pengelolaan Perbatasan, Belum Memiliki Rencana Induk, Kompas, 24 Januari 2008.

    memberikan kompromi terhadap agresi (okupasi) seperti digambarkan sebagaiberikut: Dont give em an inch, or theyll take a mile.8

    Dalam konteks politik modern, pengelolaan wilayah perbatasan secaraefektif dan terus-menerus dapat dilihat tidak hanya perlu kehadiran simbol-simbolpelaksanaan kepemerintahan negara yang bersangkutan tetapi juga sejauh manapolitik dan pendekatan pembangunan yang dilakukan di wilayah-wilayahdimaksud dapat dirasakan manfaatnya bagi rakyat setempat dan diakuireputasinya oleh negara-negara lainnya. Secara lebih konkrit, pengelolaanwilayah perbatasan harus digunakan paradigma baru yang menjadikan wilayahperbatasan tidak lagi menjadi pagar belakang tetapi merupakan beranda depansuatu negara. Dengan demikian, dalam pengelolaan wilayah perbatasan, politikpembangunan yang ditempuh dengan paradigma baru tersebut sebagai contohdapat diwujudkan dengan sejauh mana Indonesia dapat mendesain sebuahrencana induk pengelolaan perbatasan secara nasional dan terpadu. Hal inimemiliki tingkat kepentingan yang tinggi karena dalam konteks nasional,Indonesia memiliki singgungan dalam soal perbatasan dengan beberapa negaratetangga seperti Vietnam, Malaysia, Filipina, Thailand, Papua Nugini, Palau,India, Timor Leste, Singapura, RRC dan Australia.9

    D. Metodologi Penelitian

    Penelitian ini bersifat deskriptif-analistis. Analisis dilakukan secarakualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan, kunjunganke lapangan, dan wawancara.

    Studi kepustakaan dilakukan di Jakarta dengan menggunakan bahanpublikasi kontemporer, berita-berita, dan laporan perkembangan aktual di mediamassa. Selanjutnya, penelitian dalam rangka pengumpulan data di lapangandilakukan dengan melakukan kunjungan ke daerah perbatasan Indonesia-TimorLeste. Di sini, kegiatan observasi dan wawancara dilaksanakan dengan berbagaipihak terkait selaku pemangku kepentingan, di antaranya sejumlah instansisipil dan militer seperti kantor pemerintah daerah setempat dan dinas daerahterkait dan unsur perwakilan RDTL di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur(NTT) dan Jakarta. Sejumlah instansi militer misalnya, Komando Resor Milier(Korem), Komando Distrik Militer (Kodim), dan kepolisian setempat. Di samping

  • 8 Kajian, Vol 13, No. 3, September 2008

    itu, dalam rangka menggali sumber informasi yang lebih luas terutama yangterkait dengan masalah keamanan perbatasan yang lebih tinggi maka dilakukanwawancara dengan Komando Daerah Militer (Kodam) Udayana dan KepolisianDaerah (Polda) Bali sebagai penanggung jawabnya.

    Mengingat pentingnya informasi dari mereka yang berada dalam posisisebagai obyek langsung dalam masalah perbatasan kedua negara, makawawancara juga dilakukan dengan penduduk di daerah perbatasan RI-RDTL.Pemilihan informan dari penduduk dilakukan secara purposif dengan memilihsumber informasi tokoh masyarakat yang banyak mengetahui masalahperbatasan yang ada di perbatasan kedua negara baik yang masih tinggal disana maupun yang telah bertempat tinggal di wilayah lain.

    Lokasi dan Waktu Penelitian

    Kegiatan pengamatan lapangan (observasi) dan wawancara dilakukan diProvinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang berbatasan langsung dengan RDTL.Kegiatan wawancara juga dilakukan di Jakarta dengan pihak Kedutaan BesarRDTL dan Departemen Luar Neger yang menangani masalah perbatasan keduanegara, baik atas penyelesaian perjanjian perbatasan maupun terhadappermasalahan yang muncul pasca-referendum dan berpisahnya Timor Lestedari Indonesia. Selanjutnya, dilakukan wawancara dengan kalangan kantorkonsulat Timor Leste di Bali, kantor perwakilan yang paling dekat denganperbatasan. Rangkaian kegiatan penelitian dari proses pembuatan proposalpenelitian, seminar proposal sampai dengan seminar laporan dan publikasi hasilpenelitian dilakukan pada bulan Juni - Desember 2007.

    Kondisi Umum Perbatasan Kedua Negara

    Wilayah perbatasan RI dengan RDTL merupakan wilayah perbatasan yangmuncul akibat adanya perubahan geopolitis dan hukum sejak terpisahnyaProvinsi Timor Timur menjadi negara merdeka pada tahun 1999. Meskipun sebagaibekas provinsi Indonesia yang secara administratif, batas-batasnya sudahditentukan secara jelas namun setelah bekas provinsi itu terpisah menjadi negaramerdeka, perbatasan RI-RDTL sampai saat ini masih belum tuntas.

    Persoalan perbatasan kini telah menjadi agenda politik dan diplomasikedua negara sebagai upaya memberikan kerangka politis dan hukum dalampengelolaan wilayah-wilayah perbatasan. Bagi Indonesia, persoalan ini menjadi

  • 9Pengelolaan Perbatasan RI - RTDL......

    10Lihat Brigjen TNI Hatta Sy, Masalah-Masalah Perbatasan Indonesia-Timor Leste, makalahdisampaikan dalam seminar P3DI tentang Perbatasan RI-RDTL, Jakarta, 26 Juli 2007.

    semakin penting karena kompleksitas persoalan perbatasan sementara RDTLadalah negara baru yang masih mengalami sejumlah keterbatasan dalam rangkamenghindari potensi persoalan limpahan secara ekonomis, politis dan sosio-kultural.

    Wilayah perbatasan RI-RDTL memiliki panjang garis perbatasan sepanjang268,8 kilometer yang terletak di 5 Kabupaten yaitu; Kab. Belu, Kab. Kupang,Kab. Timur Tengah Utara (TTU), Kab. Alor dan Kab. Rote Ndao. Sementara diwilayah Enclave Oekusi di mana sesuai dengan perjanjian antara pemerintahKolonial Belanda dan Portugis tanggal 1 Oktober 1904 perbatasan antara Oekusi- Ambeno wilayah Timor-Timur dengan Timor Barat ditarik dari Noel Besi sampaiMuara Sungai (Thalueg) dengan panjang 119,7 kilometer. Perbatasan denganAustralia terletak di dua Kabupaten yaitu Kupang dan Rote Ndao yang umumnyaadalah wilayah perairan laut Timor dan khususnya di Pulau Sabu. Garis batasnegara di NTT ini terletak di 9 kecamatan, yaitu 1 kecamatan di Kab. Kupang,4 kecamatan di Kab. TTU, dan 5 kecamatan di Kab, Belu. Selain kawasanperbatasan darat, NTT juga memiliki 4 kecamatan perbatasan Laut dengan TimorLeste yaitu 1 kecamatan di Kab. Kupang dan 3 kecamatan di Kab. Alor.10

    Pintu perbatasan resmi di NTT terbagi di beberapa Kecamatan yangberada di tiga kabupaten tersebut, namun pintu perbatasan yang relatif lengkapdan sering digunakan sebagai akses lintas batas terletak di Kecamatan TasifetoTimur, Kabupaten Belu. Fasilitas perbatasan yang ada seperti kepabeanan,imigrasi, karantina dan keamanan (CIQS), belum lengkap dan masih bersifatdarurat, seperti kantor Bea Cukai yang belum dilengkapi dengan alat detektorbagi arus keluar masuk barang dari dan ke NTT, dan masih terbatas dan belumrepresentatifnya kantor imigrasi, karantina hewan dan tumbuhan, serta sejumlahpos keamanan lainnya.

    Dalam rangka pengamanan sepanjang wilayah perbatasan, aparat TNItelah ditempatkan di sejumlah pos pengamanan perbatasan (Pospamtas) yaknidi sepanjang perbatasan RI-RDTL di Enklave Oekusi dan di wilayah perbatasanlainnya baik secara maupun darurat. Di Enklave Oekusi misalnya, terdapat 13Pospamtas, 6 Pospamtas di antaranya bersifat permanen yakni: (1)Haumeniana; (2) Olbinose; (3) Aplal; (4) Oepoli Pantai; (5) Bawah, dan (6) Wini,dan 7 sisanya tidak permanen yakni: (1) Manusasi; (2) Ninulat; (3) Oepoli Sungai;

  • 10 Kajian, Vol 13, No. 3, September 2008

    (4) Oepoli; (5) Nino; (6) Baen, dan (7) Inbate. Sementara di sepanjang wilayahperbatasan lainnya terdapat 26 Pospamtas, 21 di antaranya bersifat permanenyakni: (1) Haliwen; (2) Mahen; (3) Asulait; (4) Salore; (5) Silawan; (6) Motaain;(7) Motaain-1; (8) Nunura; (9) Turiscain; (10) Dilomil; (11) Asumanu; (12) FatubesiAtas; (13) Lakmars; (14) Fohululik; (15) Dafala; (16) Laktutus; (17) Nananoe;(18) Fatuha; (19) Auren; (20) Haslot, dan (21) Motamasin. Sisanya sebanyak 5pospamtas bersifat tidak permanen yakni: (1) Maubusa; (2) Fohuk; (3) Kewar;(4) Lookue, dan (5) Ailala. Dilihat dalam satuan komando teritorial, ke-39pospamtas ini berada di bawah tanggung jawab 3 Komando Distrik Militer (Kodim)yang tersebar di wilayah Kabupaten Kupang, Kabupaten Belu dan KabupatenTimor Tengah Utara (TTU).11

    Disamping wilayah-wilayah perbatasan yang menyatu dengan daratanPulau Timor dan Flores, wilayah perbatasan juga dapat ditemui di wilayah-wilayahperbatasan RI RDTL yang merupakan pulau-pulau terluar yang belumberpenduduk yakni: (1) Pulau Dana Rote dengan luas 13 km persegi; (2) PulauBatek dengan luas 0,1 km persegi dan Pulau Sabu seluas kira-kira 2 km persegidengan jumlah aparat keamanan dari aparat TNI yang terbatas kira-kira seratusorang. Bahkan Pulau Sabu sendiri tidak memiliki pasukan pengamanan samasekali.

    Persoalan Perbatasan RI RDTL

    Garis batas darat antara RI-RDTL telah disepakati terdiri atas 907 titik-titik koordinat garis batas darat. Namun demikian, TNI-AD telah menganalisasejumlah persoalan perbatasan kedua negara yang memiliki tingkatan persoalanyang mengkhawatirkan apabila tidak dilakukan penyelesaiannya. Oleh karenaitu, persoalan ini membutuhkan komitmen politik pemerintah.

    Secara umum, TNI-AD melihat sejumlah persoalan umum yang terbagike dalam tiga varian persoalan, yakni masalah-masalah: (1) Demarkasi danDelimitasi Garis Batas; (2) Kesenjangan Pembangunan; dan (3) Politik, Hukumdan Keamanan.12

    11Ibid.12Ibid.

  • 11Pengelolaan Perbatasan RI - RTDL......

    1) Penetapan Batas Wilayah

    Penetapan batas wilayah negara (demarkasi dan delimitasi) dilakukanuntuk menjaga keutuhan dan kedaulatan wilayah negara. Upaya ini membutuhkandukungan, seperti survei dan pemetaan wilayah perbatasan, penamaan pulau,diplomasi perbatasan sampai pengakuan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).Pada dasarnya penetapan batas negara harus ditetapkan berdasarkankesepakatan bilateral atau multilateral dan bukan bersifat unilateral. Beberapapermasalahan umum yang terkait dengan isu demarkasi dan delimitasi batasterkait dengan belum terselesaikannya beberapa segmen garis batas daratmaupun laut seperti terlihat dalam batas darat di Sektor Barat sepanjang 120kilometer dengan Enclave Occusie, dan di Sektor Timor sepanjang 180 kilometer.

    Permasalahan yang perlu diprioritaskan penanganannya saat ini adalahperbatasan laut, dimana garis batas laut, terutama Batas Landas Kontinen (BLK)dan batas Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE), sebagian besar belum disepakatibersama negara-negara tetangga. Sementara itu, Batas Laut Teritorial RI denganTimor Leste, terdapat satu segmen batas laut yang belum disepakati. Belumjelas dan tegasnya batas laut antara Indonesia dan RDTL serta beberapa negaratertentu serta ketidaktahuan masyarakat, khususnya nelayan, yang selama inimenyebabkan terjadinya pelanggaran batas. Sejumlah wilayah perbatasan yangmenjadi segmen perbatasan yang belum terselesaikan dalam perjanjian bilateraladalah di daerah-daerah: (1) Memo, Kab. Belu; (2) Noel Besi, Kab. TTU, dan(3) Pistan, Kab. TTU. Sementara itu, sejumlah wilayah perbatasan yang menjadisegmen perbatasan yang belum terselesaikan karena persoalan adat berada didaerah: (1) Lookeu, Kab. Belu; (2) Kobalima, Kab. Belu; (3) Bijael Sunan Oben,Kab.TTU; (4) Tubu Banat, Kab. TTU; (5) Foutben/ Nefo Numfo, Kab. TTU, dan(6) Subina, Kab. TTU.

    Persoalan lainnya adalah belum adanya Peraturan Perundangan-undanganyang menjadi payung bagi penetapan batas wilayah negara secara menyeluruh.Pengelolaan kawasan perbatasan negara sampai saat ini belum dilakukan secaraterpadu dengan mengintegrasikan seluruh sektor terkait. Permasalahan beberapakawasan perbatasan masih ditangani secara ad hoc, temporer dan parsial sertalebih didominasi oleh pendekatan keamanan (security) melalui beberapakepanitiaan (committee) yang bersifat ad hoc. Dalam penanganan masalahperbatasan kedua negara, telah dibentuk Komite Perbatasan Gabungan RI-UNMISET (Joint Border Committee). Secara kelembagaan, pengelolaan danpenanganan perbatasan saat ini belum dilakukan oleh sebuah lembaga yang

  • 12 Kajian, Vol 13, No. 3, September 2008

    secara khusus mengelola keseluruhan aspek pengelolaan perbatasan dari pusatsampai daerah.

    Diakui bahwa keberadaan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentangPemerintah Daerah memang telah mengatur tentang pengembangan wilayahperbatasan di kabupaten/kota yang secara hukum berada di bawah tanggungjawab mereka. Kewenangan Pemerintah Pusat hanya ada pada pintu-pintuperbatasan yang meliputi aspek kepabeaan, keimigrasian, karantina, dankeamanan dan pertahanan. Karena itu, pemerintah daerah dapatmengembangkan wilayah perbatasan selain di pintu-pintu masuk tersebut, tanpamenunggu pelimpahan kewenangan dari Pemerintah Pusat. Undang-Undangtersebut tidak dapat dinilai sebagai payung hukum pengelolaan wilayahperbatasan yang komprehensif karena pengaturan aspek wilayah perbatasan disana masih terbatas pada pelaksanaan kepentingan otonomi daerah. Dalammelaksanakan kewenangannya itu bahkan sebagian pemerintah daerah belumsepenuhnya mampu melaksanakannya. Hal ini disebabkan beberapa faktor: (1)belum memadainya kapasitas Pemerintah Daerah dalam pengelolaan wilayahperbatasan mengingat penanganannya yang bersifat lintas administrasi wilayahpemerintahan dan lintas sektoral sehingga masih memerlukan koordinasi dariinstitusi yang secara hirarkis lebih tinggi; (2) belum tersosialisasikannya peraturanperundang-undangan yang terkait dengan pengelolaan wilayah perbatasan; (3)terbatasnya anggaran pemerintah daerah, dan (4) masih adanya tarik menarikdan tumpang tindihnya kewenangan pusat-daerah, misalnya dalam pengelolaankawasan konservasi seperti hutan lindung dan taman nasional yang selama inimenjadi kewenangan pemerintah pusat dalam hal ini Departemen Kehutanan.

    Hal lain terkait dengan faktor garis batas adalah masalah pengelolaanpulau-pulau kecil terluar. Pulau-pulau kecil yang berbatasan langsung dengannegara tetangga merupakan wilayah laut terluar yang rawan terhadap berbagaiancaman baik secara ideologis, politik, maupun dari aspek pertahanan dankeamanan. Sampai saat ini sebagian besar pulau-pulau terluar belum terkeloladengan baik sehingga dikhawatirkan dalam jangka panjang akan dapatberdampak pada kedaulatan wilayah negara karena kepemilikan pulau dapathilang secara ekonomi, politik, dan hukum. Secara ekonomi pulau-pulau kecildapat dikatakan hilang apabila dikelola negara lain padahal secara hukum pulautersebut milik Indonesia. Secara politik pulau-pulau kecil dapat dikatakan hilangapabila masyarakatnya lebih mengakui negara lain dari negaranya sendiri. Pulau-pulau kecil juga dapat dikatakan hilang apabila ada keputusan hukuminternasional yang menyatakan pulau-pulau kecil tersebut merupakan milik

  • 13Pengelolaan Perbatasan RI - RTDL......

    negara lain. Disamping itu, kepastian dan kesinambungan pengelolaan wilayahperbatasan terutama pulau-pulau terluar dalam konteks diplomasi internasionaljuga memiliki nilai politis yang sangat besar karena di pulau-pulau terluar tersebutdapat ditentukan titik-titik dasar yang menjadi penentu kepastian tiga jenis batasdi laut yakni batas teritorial laut, batas landas kontinen dan batas zona ekonomieksklusif.

    2) Politik dan Keamanan

    Sejumlah persoalan di perbatasan secara politis, legal dan keamananmuncul sebagai akibat langsung maupun tidak langsung dari beberapa kondisiantara lain sebagai berikut. Pertama, terbatasnya sarana prasarana keamanandan pengawasan perbatasan. Keterbatasan sarana dan prasarana keamanantelah menyebabkan lemahnya pengawasan di sepanjang garis perbatasan didarat maupun perairan di sekitar pulau-pulau terluar. Pos Lintas Batas (PLB)dan Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) berikut fasilitasnya seperti kantorbea cukai, imigran, karantina, dan keamanan sebagai pintu gerbang arus keluarmasuk orang dan barang di wilayah perbatasan masih sangat terbatas baiksecara kuantitas maupun kualitas. Disamping itu, lemahnya penegakan hukumakibat adanya kolusi antara aparat dengan para pelanggar hukum, menyebabkansemakin maraknya pelanggaran hukum di wilayah perbatasan. Sebagai contoh,di wilayah perbatasan darat, sejumlah persoalan pelanggaran hukum masihterjadi seperti dalam kegiatan pencurian kayu, penyelundupan barang,penyelundupan manusia, dan upaya manipulasi identitas kewarganegaraan. Halyang sama terjadi di wilayah perbatasan laut sejumlah persoalan yang seringterjadi antara lain pembajakan dan perompakan, penyelundupan senjata,penyelundupan manusia (tenaga kerja, bayi dan wanita), maupun pencurianikan.

    Kedua, peningkatan serangkaian kegiatan ilegal di wilayah perbatasan.Kegiatan-kegiatan ilegal di wilayah perbatasan seperti penyelundupan orangdan barang, pencurian ikan masih banyak terjadi sebagai akibat luasnya wilayah,kondisi geografis yang sulit dijangkau dan terbatasnya sarana dan prasaranakeamanan. Hal lain, kondisi di atas juga terjadi akibat masih rendahnya tingkatkesejahteraan dan rendahnya akses masyarakat di wilayah-wilayah perbatasandan pulau-pulau terluar terhadap hasil pembangunan. Kondisi ini diperburukdengan rendahnya sebagian kinerja dan integritas aparat sehingga turut

  • 14 Kajian, Vol 13, No. 3, September 2008

    menyumbang terjadinya kegiatan-kegiatan ilegal di wilayah-wilayah perbatasandengan resiko kerugian negara baik secara ekologis dan sosial-ekonomi.

    Ketiga, sengketa wilayah dengan negara tetangga. Sejumlah persoalansengketa wilayah dengan negara tetangga yang beresiko mengancamankedaulatan wilayah masih sering terjadi terutama pada segmen-segmen garisbatas yang belum disepakati dan beberapa pulau kecil terluar yang berbatasanlangsung dengan negara lain. Untuk mencegah konflik dengan negara tetanggadiperlukan adanya kesepakatan garis batas sehingga memperjelas wilayahkedaulatan kedua negara. Keempat, rendahnya aksesibilitas informasi danpotensi penurunan wawasan kebangsaan.

    Saat ini informasi memiliki dampak yang sangat signifikan baik secaraekonomi maupun politik. Keadaan wilayah perbatasan dengan negara tetanggamenyebabkan intensnya informasi dari media elektronik asing terutama televisidan radio yang dapat diakses oleh masyarakat di wilayah perbatasan. Dalamkondisi akses informasi sangat terbatas dari pemerintah akibat keterbatasansarana dan prasarana informasi akan berdampak kurang mendukung terhadapproses nation-building. Dengan keterbatasan akses informasi inilah, masyarakatperbatasan akan semakin terkondisikan untuk lebih mengenal negara tetanggadari pada negaranya sendiri. Dalam jangka panjang hal ini dikhawatirkan dapatmenyebabkan lunturnya wawasan kebangsaan yang menimbulkan disintegrasisosial maupun politik.

    Kelima, potensi sumber daya alam yang tersedia di kawasan perbatasanNTT pada umumnya tidak terlalu besar mengingat kondisi lahan di sepanjangperbatasan wilayah ini tergolong kurang baik bagi pengembangan pertaniansedangkan hutan di sepanjang perbatasan bukan merupakan hutan produksiatau konversi serta hutan lindung atau taman nasional yang perlu dilindungi.Sementara kondisi ekonomi masyarakat di sepanjang perbatasan masihtergolong rendah seperti ditunjukkan dengan masih rendahnya tingkatkesejahteraan mereka jika dibandingkan dengan wilayah-wilayah lainnya diIndonesia.

    Sumber mata pencaharian utama masyarakat di wilayah ini adalahkegiatan pertanian lahan kering yang sangat tergantung pada hujan. Kondisimasyarakat tersebut bagaimanapun masih lebih baik jika bandingkan dengantingkat kesejahteraan masyarakat Timor Leste. Namun demikian, jika politikpembangunan yang dijalankan di wilayah ini masih tetap tidak berubah dalamjangka panjang kondisinya dapat berubah.

  • 15Pengelolaan Perbatasan RI - RTDL......

    13 Hasil diskusi dengan Brigjen Hatta Syafrudin, Waaster KSAD, 26 Juli 2007.14

    Wawancara dengan Johanes L. Hawula, Kabiro Tata Pemerintahan Pemda Provinsi NTT, 14Agustus 2007.

    Sebagai negara baru dengan jumlah penduduk yang masih terbatassementara di sisi lain skema bantuan pembangunan dan pendidikan darilembaga-lembaga donor asing akan semakin mempercepat proses peningkatankesejahteraan masyarakat Timor Leste sehingga akan menyamai ataumelampaui tingkat kesejahteraan masyarakat di wilayah-wilayah perbatasanIndonesia. Oleh karena itu, wilayah perbatasan di NTT khususnya di limaKecamatan yang berbatasan langsung dengan Timor Leste maupun daerah NTTsecara keseluruhan perlu diperhatikan secara khusus sehingga dapat mengurangiresiko terjadinya kesenjangan tingkat kesejahteraan mereka.

    II. Analisis

    A. Penentuan Agenda Kebijakan

    Secara umum tingginya persoalan pengelolaan perbatasan RI-RDTLdiakibatkan oleh beberapa faktor seperti (1) belum adanya peraturan perundang-undangan yang berifat komprehensif yang berfungsi sebagai payung hukumdalam pengelolaan perbatasan secara nasional maupun yang secara spesifikmengatur pengelolaan perbatasan RI-RDTL; (2) belum adanya lembaga yangsecara khusus menangani pengelolaan perbatasan kedua negara; (3) adanyaperbedaan tingkat pembangunan di kedua wilayah; (4) tingginya tingkat pelintasbatas di wilayah perbatasan kedua negara sementara kedua negara belummencapai kesapakatan tentang kebijakan bersama yang harus diambil untukmengurangi potensi persoalan lebih lanjut akibat tingginya tingkat pelintas batas,dan (5) potensi intervensi negara tertentu dalam persoalan pengelolaan perbatasanini.13 Berbeda dengan pandangan dari para pejabat terkait di lingkungan Pemdasetempat. Persoalan utama perbatasan selama ini adalah akibat (1) kurangnyaperhatian dari pemerintah pusat; (2) persoalan kemiskinan masyarakat di sekitarperbatasan, dan lambatnya persoalan pengaturan bagi para pelintas batas keduanegara.14

    Meskipun tingkat hubungan perdagangan NTT ke RDTL besar namunmanfaatnya tidak banyak dirasakan oleh masyarakat terutama mereka yangtinggal di sekitar wilayah perbatasan karena pelaku, produk dan komoditas

  • 16 Kajian, Vol 13, No. 3, September 2008

    15 Wawancara dengan Putu Surahputra, Kasuddin Perdagangan Internasional, DinasPerindustrian Provinsi NTT, 14 Agustus 2007.16 Wawancara dengan Dr. Jamin Habid, Ketua Bappeda Provinsi NTT, Kupang 14 Agustus 2007.

    berasal dari luar NTT serta tidak banyak menyerap tenaga kerja. Kondisi inisedikit banyak memicu serangkaian konflik kecil antara-masyarakat di sekitarwilayah perbatasan akibat tidak hanya terbatasanya lapangan kerja ataukemismkinan tetapi juga persoalan penggunaan tanah ulayat yang sebelumnyadipinjamkan dan persoalan perambahan hutan oleh para pengungsi. Kondisitersebut juga menyebabkan tingginya perdagangan ilegal untuk kebutuhan pokokseperti minyak dan beras.15 Persoalan lain, belum dikelolanya persoalanperbatasan secara menyeluruh sebagai akibat adanya perubahan disain tataruang wilayah perbatasan kedua negara yang sebelumnya dilakukan ketika RDTLmasih menjadi propinsi yang merupakan bagian dari RI dan setelah terpisahberdasarkan UU No. 26 Tahun 2007.

    Dalam kondisi seperti ini fokus kebijakan dan kegiatan pemerintahdaerah (Pemda) diarahkan untuk mendorong peningkatan kehidupan masyarakatdi sekitar perbatasan. Dalam kerangka ini, Pemda telah membentuk SekretariatBersama (Sekber) yang dibentuk sebagai sarana koordinasi dalam pengelolaanwilayah perbatasan yang menjadi tanggung jawab Pemda termasuk di dalamnyakoordinasi dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) lokal dan asing.

    Dalam kasus pelintas batas, belum adanya aturan bersama terkaitdengan kebijakan pelintas batas akibat Pemerintah RDTL belum siap di satusisi sementara kedekatan sosial-budaya dan etnik bagi masyarakat di sekitarwilayah perbatasan kedua negarDalam kona menjadikan pelintas batas secarapraktis sulit dikelola. Persoalan ini semakin pelik jika dikaitkan dengan alasankemanusiaan.16 Perjanjian Pelintas Batas RI-RDTL telah ditandatangani keduanegara pada bulan Desember 2002 namun dalam pelaksanaannya persoalannyaterbentur pada dokumen Pas Pelintas Batas (PLB) yang harus disediakan olehmasing-masing negara. Sejauh ini baru Indonesia yang telah menyelesaikandokumen PLB sehingga kebijakan Pelintas Batas kedua negara belum dapatdilaksanakan. Mengingat tingginya hubungan perdagangan masyarakat keduanegara, kondisi ini mengakibatkan terjadinya potensi terjadinya jalan-jalan tikusdan perdagangan dilakukan secara ekspor-impor daripada sebaliknya hubunganlangsung masyarakat di perbatasan yang didasarkan pada perjanjian pelintasbatas. Penilaian ini sejalan dengan satu pandangan bahwa sejumlah perbatasandarat dan laut RI-RDTL sifatnya berlubang-lubang (porous) sehingga hubungan

  • 17Pengelolaan Perbatasan RI - RTDL......

    17 Lihat Hal Hill and Joao M. Saldanha, The Key Issues, dalam Hal Hill and Joao M. Saldanha(eds.), East Timor Development Challenges for the Worlds Newest Nation (Singapore: ISEAS,2001), hal. 72.18 Wawancara dengan Putu Surahputra, Kasuddin Perdagangan Internasional, Dinas PerindustrianProvinsi NTT, 14 Agustus 2007.19 Wawancara dengan Putu Surahputra, Kasuddin Perdagangan Internasional, Dinas PerindustrianProvinsi NTT, 14 Agustus 2007.20 Lihat Bilveer Singh, The UNs Role in the Birth of Independent East Timor, A Blunder? (CrescentDesign Associates, 1999), pp. Introduction.

    perdagangan masyarakat kedua negara jika tidak dilakukan secara sistemikakan menciptakan penyelundupan melalui jalan-jalan tikus. Kira-kira sebandingdengan wilayah perbatasan daratan, RDTL memiliki garis pantai dan perbatasandaratan dengan Indonesia sepanjang 170 km, kondisi yang kecil kemungkinanuntuk dilakukan pengawasan. Sampai akhir tahun 2000 saja, telah terjadiperdagangan informal yang begitu besar melalui wilayah-wilayah perbatasanyang secara resmi ditutup.17 Akibatnya, lembaga-lembaga sosial yang dibangununtuk mendukung kegiatan perekonomian masyarakat sekitar seperti sejumlahpasar yang dibangun di Belu (2 buah), Kabupaten Timur Tengah Utara (TTU,Kupang belum berjalan sepenuhnya. Dalam dua tahun terakhir, persoalankeamanan menjadikan hubungan dagang kedua negara di wilayah perbatasanmengalami penurunan. Padahal potensi perdagangan kedua negara begitu besarseperti ditunjukkan nilai ekspor NTT ke RDTL sebesar 80%.18

    Tingginya persoalan pengelolaan wilayah perbatasan kedua negarasementara kemampuan Pemda NTT secara finansial terbatas menjadikan Pemdamemandang perlu dilembagakannya sebuah badan khusus yang bertugasmenangani perbatasan kedua negara secara permanen dan bersifat vertikal.19Bagi Indonesia, secara umum persoalan pengelolaan perbatasan kedua negaramuncul tidak hanya dalam konteks persoalan yang secara faktual terjadi diwilayah perbatasan dan tingkat pembangunan dan perkembangan masyarakatperbatasan kedua negara tetapi juga akibat persoalan stabilitas politik, hukumdan keamanan di wilayah RDTL itu sendiri. Persoalan-persoalan itu antara lain:(1) setiap terjadi kegentingan sipil di RDTL sudah tentu sangat memungkinkanakan membawa dampak stabilitas politik dan keamanan di Indonesia khususnyadi wilayah NTT; (2) Indonesia akan terus menanggung beban politik, ekonomidan sosial dalam hal terjadi pelarian pengungsi dari RDTL; (3) skenario terjadinyainstabilitas di RDTL dapat menggerogoti keamanan dan stabilitas Selat Ombai-Wetar dan rute navigasi international yang memiliki posisi sangat penting bagikepentingan negara-negara besar khususnya AS, dan (4) potensi terjadinyabahaya efek domino bagi munculnya tuntutan disintegrasi propinsi lainnya.20

  • 18 Kajian, Vol 13, No. 3, September 2008

    21 Wawancara dengan Kol. Arief Rahman, Danrem 161/WS, Kupang, 15 Agustus 2007.22 Kini ada wacana bahwa Oekusi akan dijadikan sebagai wilayah perjudian sebagai programpemerintah RDTL dengan melibatkan investor asing. Rencana tsb dinilai akan membawa sejumlahpersoalan baru bagi wilayah sekitarnya khususnya masyarakat dan wilayah Indonesia, apalagikonteks sosial masyarakat NTT masih dihdapakan pada beberapa karakteristik seperti kekuatanspiritualnya tinggi, trauma kejadikan konflik sara tahun 1998, dampak eksodus tahun 1998, kondisipaska-eksekusi Tibo dan kebijakan pemerintah secara umum. Wawancara dengan Arief Rahman,Danrem 161/WS, Kupang, 15 Agustus 2007.23 Wawancara dengan Kol. Arief Rahman, Danrem 161/WS, Kupang, 15 Agustus 2007.24 Ibid.25 Wawancara dengan Caetano de Soussa Guterres, Konjen RDTL di Kupang, 15 Agustus 2007.

    Arti pentingnya pengelolaan perbatasan didasarkan pada satu premis,yakni jangan ada perang di perbatasan karena sejumlah alasan seperti: (1)harga yang harus dibayar sebagai sebuah negara kepulauan; (2) perlumempertimbangkan plus minus konflik perbatasan; (3) wilayah perbatasanmerupakan pintu gerbang perdagangan antar negara; (4) memberi situasi kondusifbagi terciptanya ruang bagi masyarakat lokal, dan (5) dalam konteks perbatasanRI-RDTL, posisi NTT kini menjadi beranda depan dan konsekuensinya dalamstrategi pembinaan teritorial TNI dan pemberdayaan wilayah berdasarkan Pasal7, Undang-Undang No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara kinimemunculkan tantangan tersendiri.21 Persoalan lainnya yang memiliki kaitandalam konteks politik internasional adalah keberadaan PBB, potensi keterlibatannegara lain dan pengaruh, khususnya LSM asing. Potensi persoalan lain jugabisa ditilik dari munculnya ancaman baru yang dikenal sebagai bioterorismeyang berakibat misalnya dalam kasus di NTT seperti terjadinya gagal panen,munculnya epidemik seperti malaria dan HIV.22

    Secara geopolitis, Asia Tenggara sejumlah persoalan seperti tumpang-tindihnya klaim wilayah perbatasan masih tetap terjadi. Oleh karena itu,pemerintah diharapkan untuk segera dapat mengelola dan membangun wilayahperbatasan secara optimal sementara pemerintah pusat harus optimal dalammembangun kelembagaan (legal framework) dan kebijakan terkait lainnya secaraterpadu.23 Kasus wacana pembentukan segitiga emas pertumbuhan ekonomimisalnya, dapat menjadi tantangan tersendiri dan potensi keuntungan terutamabagi Pemda NTT untuk mengikatkan diri dalam suatu kerja sama segitigapertumbuhan dengan Dili dan Darwin meskipun rendahnya tingkat kesejahteraanmasyarakat NTT, manfaatnya dinilai hanya akan menguntungkan negaratertentu.24

    Persoalan perbatasan sekarang hanya menyisakan 1% persoalan akibatpersoalan politik. Bagi RDTL persoalan perjanjian secara umum sudah cukup.25

  • 19Pengelolaan Perbatasan RI - RTDL......

    26 Wawancara dengan Zaenal Arifin, Kasubdit Asia Timur dan Pasifik, Direktorat Asia Timurdan Pasifik, 5 Oktober 2007.

    Persoalan tersendat-sendatnya perjanjian perbatasan dari sisi RDTL terletaklebih pada persoalan teknis daripada politis. Dan kini menjadi kebutuhankepentingan nasional dalam pengelolaan perbatasan dengan RDTL untuk segeradiselesaikan karena setidak-tidaknya karena beberapa alasan, yakni: (1) menjadieksistensi pusat kebudayaan RI di RDTL; (2) upaya penancapan pengaruh kitadi RDTL karena kondisi ini dapat meningkatkan hubungan dagang kita denganRDTL sehingga peluang ekonomi RDTL tidak ditangkap oleh negara tetanggalainnya seperti Singapura dan Malaysia75% kebutuhan bahan-bahan pokokdi RDTL didatangkan dari RI; (3) menjaga stabilitas keamanan di RDTL, dan (4)dukungan politik RDTL bagi RI dalam forum organisasi internasional. Sebaliknyaketergantungan struktural RDTL ke RI diupayakan tercapai: (1) permintaan pusatkebudayaan RI di RDTL; (2) bantuan pendidikan untuk diplomat RDTL ke RI; (3)beasiswa pendidikan, dan (4) ekonomi dan perdagangan. Kini secara politis,penentuan batas, dalam hal ini batas sungai misalnya, kedua negara masihmenyadari kesulitan teknis terkait dengan persoalan budaya, adat (wargasetempat masih mengklaim tanah adat yang semestinya masuk ke wilayahRDTL harus masuk ke wilayah mereka.26

    Disamping itu, munculnya persoalan pengelolaan perbatasan seringdianggap sebagai akibat kurang terakomodasinya kepentingan masyarakat disekitar perbatasan. Pemerintah dinilai cenderung memaksakan kebijakannyaseperti masih terabaikannya hak-hak warga di sekitar perbatasan kedua negarakarena faktor ikatan darah dan sosio-kultural masyarakat perbatasan keduanegara. Kasus yang sama karena faktor politis terhadap masyarakat pro-integrasiyang kini berjumlah kira-kira 13.000 orang. Secara psikologis, mereka merasakanbahwa kesalahannya dalam referendum di RDTL seolah-olah bukan dari ekseskebijakan politik pemerintah. Meskipun mereka tetap memegang teguh ke-Indonesiaan mereka tetapi seiring dengan kurangnya perhatian pemerintahdikhawatirkan dapat berpotensi menciptakan instabilitas sosial dan politik diperbatasan tetapi juga memicu gerakan ektrimisme yang untuk sebagian diilhamioleh gerakan sekelompok masyarakat di daerah bekas konflik seperti di Aceh,Papua dan Maluku. Apalagi tidak seorang pun dapat menjamin bahwa dari 13.000warga pro-integrasi semua senjata telah diserahkan semuanya. Pemerintah RIjuga perlu terus mendorong RDTL untuk meningkatkan kesejahteraan warga

  • 20 Kajian, Vol 13, No. 3, September 2008

    negaranya sehingga tidak berpotensi melakukan kegiatan ekonomi secara ilegaldi wilayah RI khususnya di NTT.

    Potensi persoalan lainnya muncul akibat interaksi masyarakat keduanegara di sekitar wilayah perbatasan karena kedekatan ikatan sosial budaya,geografis, dan kekeluargaan. Di satu sisi faktor ini, dapat kepentingan pengelolaanperbatasan. Namun di sisi lain, fenomena ini juga dapat berakibat pada potensiterjadinya klaim terhadap hak-hak tradisional masing-masing kelompokmasyarakat di kedua sisi perbatasan. Jika kondisi ini tidak dikelola secaramemadahi akibat rentang kendali pengawasan aparat pemerintahan sangat jauhakan berakibat pada potensi terjadinya persoalan lain yang lebih kompleks.Belum lagi jika diperhitungkan dengan pengungsi RDTL yang belum sepenuhnyakembali ke negaranya baik karena alasan sosial dan ekonomi maupun ikatankekeluargaan dengan keluarganya yang berkewarganegaraan RI.27

    Belum meratanya proses pemberdayaan dan pembangunan di wilayah-wilayah perbatasan RI-Timor Leste, misalnya dapat ditemui di dua pulau terluarperbatasan yakni di Pulau Landu dan Pulau Nusa Manuk, Kabupaten Rote Ndaosampai belum mendapatkan perhatian pemerintah terutama dalam prosespembangunan di sana. Akibatnya, Pulau Landu yang digolongkan sebagai wilayahyang belum terjangkau sama sekali oleh proses pembangunan, penduduknyalebih banyak mendapatkan perhatian dan kebutuhan mendesak dari LSM asalAustralia.28 Persoalan pengelolaan perbatasan RI-RDTL perlu dibenahi tidakhanya dalam tataran suprastruktur politik dan hukum seperti perjanjian perbatasantetapi juga perlu difokuskannya program pemberdayaan atau politikpembangunan yang benar-benar dapat memberikan peningkatan kesejahteraanbagi masyarakat di sekitar wilayah perbatasan dan sekitarnya. Oleh karena itu,kaitan antara pengelolaan perbatasan dengan pembentukan Komisi Kebenarandan Rekonsilasi (KKP), adalah bahwa KKP juga harus berperan pada upayapeningkatan kesejahteraan masyarakat perbatasan dan tidak elitis. Disampingitu, rekonsiliasi juga harus dilihat secara menyeluruh yakni tidak hanya tertujupada kasus 1999 tetapi juga tahun 1975 dan 1959. Hal penting lainnya, perluadanya reorientasi dan reposisi politik luar negara RI karena selama ini dalammasalah-masalah residual paska-referendum, pemerintah condong sangat lemahdan kurang berdaya di mata internasional.29

    27 Buku Putih Pertahanan, Departemen Pertahanan, Jakarta 31 Maret 2003.28

    "Dua Pulau Terluar Di Selatan RI Terabaikan, http://www.tniad.mil.id/kotama/news. php?id=1243,diakses 5 Agustus 2007.29 Wawancara dengan Euriko Gutteres, Jakarta, 10 Oktober 2007.

  • 21Pengelolaan Perbatasan RI - RTDL......

    B. Urgensi Pengelolaan Masalah Perbatasan RI-RDTL

    Sejumlah faktor turut memberikan urgensi mengapa masalah-masalahperbatasan RI-RDTL perlu segera ditata baik secara nasional maupun dalamkerangka peraturan perundang-undangan yang ada. Sebagai negara yangberbatasan darat secara langsung, faktor sejarah konflik dan hubungankolegialitas dan sosial antara kelompok-kelompok yang pro dan kontra terhadapkemerdekaan RDTL sampai sekarang masih mempengaruhi pola pikir sebagianmayoritas masyarakat di sekitar perbatasan kedua negara. Belum lagi persoalancitra pelanggaran HAM Indonesia di RDTL, termasuk juga pasukan penjagaperbatasan Indonesia di perbatasan RDTL dan NTT.

    Sejak ditandatanganinya perjanjian perbatasan sementara pada tahun2005, sejauh ini perjanjian itu baru menyentuh masalah penentuan batas darat.Komitmen politik awal kedua negara pada saat ditandatanganinya perjanjianitu, menunjukkan bahwa perjanjian batas laut akan segera dilakukan yangmencakup tiga segmen wilayah untuk mencapai perjanjian penuh. Ketiganyaadalah menyangkut enclave (daerah yang menjorok ke wilayah Indonesia) yaituSungai Besi, Manusasi dan Memo.30

    Persoalan penyelesaian pengelolaan perbatasan kedua negara jugadapat mendukung proses konsolidasi hubungan kedua negara menuju kerjasama yang paling menguntungkan. Bagi RDTL, selesainya persoalan ini akanmempercepat upaya konsolidasi bagi proses demokratisasi dan stabilitas politikdan keamanan sebagai dasar pembangunan nasional negara itu. Sementarabagi Indonesia, kondisi stabilitas keamanan di perbatasan akan menghindaribeban politik nasional Indonesia di tingkat internasional; resiko limpahanpersoalan yang tercipta akibat kondisi sosial, ekonomi dan stabilitas politik dankeamanan RDTL yang tidak kondusif di negara itu.

    Bagi Indonesia, masalah keamanan dan ketertiban perbatasan denganTimor Leste harus dilihat dalam konteks kepentingan nasional sebanding denganpersoalan nasional penting lainnya sebagai akibat latar belakang sejarah keduawilayah ini. Sekecil apapun persoalan keamanan dan ketertiban dalam bentukletupan konflik, dan segenap persoalan sosial, ekonomi yang muncul, merekaakan mendapat perhatian atau sorotan dunia internasional, mengingat kinerjaIndonesia yang buruk di masa lalu di sana terkait dengan tudingan pelanggaran

    30 "RI-Timor Leste Segera Bahas Perbatasan Laut, Tempo Interaktif, dalam

    www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2005/04/09/brk,2005040906,id.htm. Diakses 12 Septem-ber 2007.

  • 22 Kajian, Vol 13, No. 3, September 2008

    HAM berat dalam mengatasi masalah keamanan. Di sini pentingnya masalahperbatasan kedua negara terletak, terutama dari perspektif keamanan sejakmerdekanya RDTL pada tahun 1999.

    Dalam konteks ini, dapat dipahami ketika presiden RDTL yang baruterpilih, Ramos Horta, sama seperti Gusmao yang sebelumnya sebagai musuhutama pemerintah Indonesia, menjadikan Indonesia sebagai negara tujuankenegaraan pertama kali beberapa hari setelah terpilih dalam pemilu. Bagi RI,masalah perbatasan merupakan isu pokok hubungan kedua negara yang harusterus diperhatikan bersama. Instabilitas keamanan dan ketertiban serta sejumlahpersoalan lainnya di wilayah-wilayah perbatasan dengan Indonesia akanberpengaruh terhadap kinerja pemerintah RDTL pasca-referendum dalammembawa negaranya ke arah suksesi konsolidasi demokrasi dan pembangunankembali negeri itu pasca-perang saudara selama beberapa dasawarsa.

    Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana disain alternatif kebijakanyang perlu diambil kedua negara baik secara nasional masing-masing negaramaupun secara bilateral? Secara konkret, disain alternatif kebijakan yang perludilakukan baik secara nasional maupun bilateral dalam rangka pengelolaanperbatasan RI-RDTL harus mempertimbangkan sejumlah faktor, yakni:

    Pertama, secara umum, situasi wilayah-wilayah perbatasan Indonesia-RDTL, dengan melihat konteks sosio-kultural wilayah ini dapat dinilai sebagaiwilayah tunggal meskipun secara politis dan hukum kini telah terpisahkanmenjadi dua negara yang berbeda. Dengan demikian tetap dibutuhkannyapelembagaan hubungan sedarah dan historis bagi penduduk NTT dan RDTLyang antara lain bisa ditempuh dengan kebijakan yang secara konvensionalbisa dilaksanakan misalnya, perlunya pelembagaan hak-lintas, hak melakukankegiatan dagang dan hak menangkap ikan secara tradisional sebagai sebuahkelaziman sejarah yang telah dilakukan secara turun-temurun bagi masyarakatdi wilayah-wilayah perbatasan selama ini.

    Kedua, persoalan keamanan dan geostrategis karena wilayahperbatasan kedua negara secara umum bersifat berlubang-lubang (porous) denganmempertimbangkan pula kondisi tingkat kesejahteraan masyarakat keduanegara. Terkait dengan persoalan ini adalah persoalan politik pembangunan diwilayah-wilayah perbatasan yang mengharuskan sebuah pendekatan yangkhusus dan komitmen politik yang kuat dari pemerintah pusat dan pemerintahdaerah sehingga persoalan peningkatan tingkat kesejahteraan masyarakat tidakhanya sebatas wacana normatif rencana pembangunan dengan dasarterbatasnya dana publik dan kompleksitas persoalan yang dihadapi dalam setiapimplementasi setiap program pembangunan di sana.

  • 23Pengelolaan Perbatasan RI - RTDL......

    Ketiga, perlunya penguatan aparat keamanan dan ketertiban organik diwilayah perbatasan bagi terciptanya optimalisasi pengawasan perbatasan dariunsur-unsur tindakan kriminal dan politik-keamanan. Terbatasnya SDM pengeloladalam bidang pemerintahan baik dari pusat maupun pemerintah daerah, dandalam bidang keamanan dan ketertiban dibandingkan dengan sifat geografisdan luasnya wilayah yang harus dikelola dan diamankan membutuhkan SDMyang lebih tidak hanya secara kuantitas tetapi juga kualitas sebagai akibatrentannya persoalan di wilayah perbatasan bekas konflik dan sarat denganpotensi intervensi asing.

    Keempat, mengkaji kembali sejauh mana masalah-masalah perbatasankedua negara telah diakomodasi dalam sebuah kebijakan kedua negara. Terkaitdengan masalah ini adalah sejauh mana kedua negara telah memenuhi komitmenpolitiknya dalam bentuk ratifikasi terhadap segenap konvensi internasional terkaitsebagai dasar pijakan hukum dalam melakukan perjanjian perbatasan keduanegara.

    Kelima, mendorong RDTL untuk segera mengasesi dan meratifikasirezim perjanjian/konvensi internasional yang berkaitan dengan pengelolaan/pengaturan perbatasan sebagai dasar rujukan legal bersama dalam hal terjadimasalah-masalah di perbatasan kedua negara.

    Keenam, untuk mendukung proses pengelolaan wilayah perbatasanRI-RDTL, Indonesia perlu mendesain politik pembangunan di wilayah perbatasanyang menjadi wilayah kewenangan Indonesia sehingga dapat memperkuatproses identifikasi kebangsaan warga RI di wilayah perbatasan terutama bagipara pejuang pro-integrasi yang sampai sekarang secara sosial dan ekonomidinilai relatif kurang mendapatkan perhatian pemerintah pusat dan daerah. Dalamkonteks ini pula perlu adanya konsolidasi dan harmonisasi pengaturan tingkatpusat dan daerah sehingga dapat terjadi sinergi dasar hukum yang secara aktualdapat dipadukan dan saling melengkapi sebagai akibat adanya desentralisasidan otonomi daerah.

    Ketujuh, sebagai penopang pelaksanaan pengelolaan wilayah-wilayahperbatasan, Indonesia perlu terus meningkatkan pembangunan infrastrukturpenunjang sehingga dapat memberikan akses yang lebih besar bagi masyarakatdalam melakukan aktifitas sosial, ekonomi dan budaya sementara bagi aparatpelaksana sipil dan keamanan di lapangan dapat meningkatkan kinerja mereka.

    Kedelapan, diperlukan adanya komitmen politik pemerintah pusat yangkuat untuk meningkatkan posisi tawar Indonesia di hadapan RDTL secaraekonomi, politik, sosial dan budaya untuk memperkuat pencitraan bagi

  • 24 Kajian, Vol 13, No. 3, September 2008

    terciptanya sebuah lingkungan pengaruh, sphere of influence Indonesia vis-a-vis RDTL dan negara-negara tetangga RDTL. Secara ekonomi, hubungan RDTL-Indonesia telah melembaga menjadi sebuah jaringan saling ketergantungan dimana dinamika hubungan dagang kedua negara terus mengalami peningkatanyang signifikan. Hal yang sama dalam bidang politik. Indonesia memiliki taruhandalam menciptakan hubungan politik kedua negara yang semakin terlepas daristigma bekas penjajah dalam tercapainya sebuah kerja sama politik yang lebiherat yang dapat dimanfaatkan diplomasi Indonesia dalam setiap foruminternasional. Sementara secara sosial dan budaya, masyarakat di NTT danwilayah-wilayah perbatasan dan masyarakat RDTL dan wilayah-wilayahperbatasan memiliki ikatan yang sama kondisi mana dapat mendukung ke arahterciptanya harmonisasi masyarakat kedua negara.31

    Dalam kondisi seperti ini, kebijakan yang dapat ditempuh RI dalamrangka optimalisasi pengelolaan perbatasan kedua negara dapat dilakukan dalamsebuah agenda kebijakan yang bertumpu pada dua hal. Pertama, pemerintahharus secara terus-menerus mendorong RDTL untuk segera menyelesaikanperjanjian pengelolaan perbatasan kedua negara. Persoalannya juga tidak hanyaberhenti di sini. Pemerintah juga harus berani membuat terobosan politik untuktidak hanya mendorong tetapi juga membantu/memfasilitasi RDTL dalammelaksanakan perjanjian itu karena keterbatasan RDTL secara teknis,administratif, SDM dan anggaran. Kedua, seiring dengan paradigma menjadikanwilayah perbatasan sebagai beranda terdepan negara, pemerintah dituntut untukmenyelesaikan tidak hanya penyediaan infrastruktur dasar perbatasan dan SDMpelaksananya secara vertikal dan horisontal tetapi juga landasan hukumpengelolaan perbatasan yang memadahi berikut kelembagaannya. Melaluistrategi ini dan upaya koordinasi secara sinergis dengan pemerintah daerahsebagai administratur pengelolaan perbatasan diharapkan dapat mempercepatproses pengelolaan perbatasan yang lebih efisien, efektif dan optimal. Apalagi,dalam konteks pengelolaan perbatasan RI-RDTL, sejumlah potensi dalam rangkamemenuhi kepentingan nasional secara sosial-ekonomi, politik dan keamananbisa digali sebagai akibat lebih baiknya kondisi RI secara SDM, sumber dayaekonomi dan tingkat perkembangan wilayahnya dibandingkan dengan RDTL.

    31 Wawancara dengan Zaenal Arifin, Kasubdit Asia Timur dan Pasifik, Direktorat Asia Timur dan

    Pasifik, Deplu, 5 Oktober 2007; Caetano de Soussa Guterres, Konjen RDTL di Kupang, 15Agustus 2007, dan Putu Surahputra, Kasuddin Perdagangan Internasional, Dinas PerindustrianProvinsi NTT, 14 Agustus 2007.

  • 25Pengelolaan Perbatasan RI - RTDL......

    III. Kesimpulan

    Secara nasional persoalan wilayah perbatasan kedua negara kinimenjadi agenda politik baru Pemerintah RI pasca-lepasnya Provinsi Timor Timurmenjadi negara merdeka Konsekuensinya, pengelolaan wilayah perbatasan RI-RDTL memiliki dua aspek penting. Pertama, pengelolaan wilayah perbatasanyang sebelumnya merupakan wilayah kewenangan daerah menjadi wilayahkewenangan pemerintah pusat meskipun pengembangan potensi danpengelolaan administratif masih menjadi kewenangan pemerintah daerah. Kedua,sepanjang wilayah perbatasan kedua negara kini memiliki posisi politik danhukum yang penting tidak hanya karena alasan keamanan bagi kedua negaratetapi juga menjadi beranda terdepan bagi masing-masing negara. Kedua negaraperlu mendisain kebijakan pengelolaan wilayah perbatasan yang mengikat keduanegara dalam rangka memenuhi kepentingan nasional kedua negara dalam artiyang luas.

    Disain kebijakan pengelolaan wilayah perbatasan RI-RDTL kini telahsampai pada proses penuntasan tetapi hal ini bukan berarti bahwa dalam prosespenuntasan itu tidak banyak persoalan yang dihadapi baik secara sosial-ekonomi, kultural, politik dan keamanan. Pada saat yang sama, RDTL sebagainegara masih dalam proses pembentukan dengan konsekuensi setidak-tidaknya dalam jangka pendek masih terjadi kesenjangan yang lebar antarakomitmen politik negara itu dengan kapasitas nyatanya dalam setiapimplementasi setiap kebijakannya. Untuk itu, kemauan politik RI dalammenuntaskan dan mendorong RDTL ke arah penyelesaian perjanjian pengelolaanperbatasan kedua negara semakin penting dengan mempertimbangkan faktor-faktor historis dan aktual.

    Hal yang sama pentingnya terkait dengan aspek infrastruktur danpeningkatan kesejahteraan masyarakat di wilayah-wilayah perbatasan Indonesiasehingga potensi persoalan sosial ekonomi tidak mengarah pada persoalanpolitik. Untuk mencapai ke arah sana, program-program pembangunan di wilayah-wilayah perbatasan sudah mendesak untuk dilakukan secara efektif, efisiendan terukur sesuai dengan rencana kerja yang telah ditetapkan secara otoritatifbaik oleh pemerintah pusat dan daerah. Faktor lain adalah dukungan ke arahterciptanya stabilitas keamanan dan ketertiban, dan administrasi pengelolaandi wilayah-wilayah perbatasan sehingga wilayah-wilayah itu benar-benar dikelolasecara efektif dan dinamis yang mencerminkan doktrin efektifites. Untuk itu,dukungan SDM baik sipil maupun non-sipil dalam bentuk kehadiran aparatus

  • 26 Kajian, Vol 13, No. 3, September 2008

    birokrasi dan aparat keamanan dan ketertiban yang memadahi dan representatifsesuai dengan luasnya wilayah kiranya menjadi kebutuhan yang mendesak.

    Untuk mengoptimalkan upaya-upaya tersebut, pemerintah perlu segeramengambil kebijakan yang bertumpu pada dua hal, yakni: (1) secara konsistenmendorong RDTL untuk segera menyelesaikan perjanjian pengelolaanperbatasan dan membantu/memfasilitasi RDTL dalam melaksanakan perjanjianitu karena keterbatasannya secara teknis, administratif, SDM dan anggaran,dan (2) sejalan dengan paradigma wilayah perbatasan sebagai pagar depan,pemerintah pusat dan daerah dituntut untuk segera menyelesaikan penyediaaninfrastruktur dasar perbatasan dan SDM pelaksananya secara vertikal danhorisontal, landasan hukum pengelolaan perbatasan yang memadahi berikutkelembagaannya dalam rangka pengelolaan perbatasan yang lebih efektif, efisiendan optimal. Apalagi sejumlah potensi dalam rangka memenuhi kepentingannasional secara sosial-ekonomi, politik dan keamanan bisa digali sebagai akibatlebih baiknya kondisi RI dari sisi SDM, sumber daya ekonomi dan tingkatperkembangan wilayahnya daripada di RDTL.

  • 27Pengelolaan Perbatasan RI - RTDL......

    DAFTAR PUSTAKA

    Bilveer Singh, The UNs Role in the Birth of Independent East Timor, A Blunder?,Crescent Design Associates, 1999.

    Hal Hill and Joao M. Saldanha, The Key Issues, dalam Hal Hill and Joao M.Saldanha (eds.), East Timor Development Challenges for the Worlds NewestNation, Singapore: ISEAS, 2001.

    Rourke, John T. International Politics on the World Stage (2nd ed.), USA: TheDushkin Publishing Group, Inc., 1989.

    Dokumen Resmi

    Buku Putih Pertahanan, Departemen Pertahanan, Jakarta 31 Maret 2003.Propinsi Nusa Tenggara Timur dalam Angka 2006, Kupang: BPS Propinsi NTT,

    2006.

    Surat Kabar

    Kompas, 24 Januari 2008.Roadshow Viktor Laiskodat, Free Trade Zone Perbatasan NTT-RDTL, Timor

    Express, 14 Agustus 2007.

    Makalah Seminar

    Brigjen TNI Hatta Sy, Masalah-Masalah Perbatasan Indonesia-Timor Leste,makalah seminar P3DI tentang Perbatasan RI-RDTL, Setjen DPR- RI,Jakarta, 26 Juli 2007.

    Yusuf, Adijaya. Penerapan Prinsip Pendudukan Efektif dalam perolehan wilayah:Perspektif Hukum Internasional, Makalah Seminar, UI-Depok, 5 Februari2003.

    Wirajuda, Nur Hassan. Kasus Sipadan-Ligitan: Masalah Pengisian KonsepNegara, Proses Penyelesaian Sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan,Makalah Seminar, UI-Depok, 5 Februari 2003.

  • 28 Kajian, Vol 13, No. 3, September 2008

    Website

    Dua Pulau Terluar Di Selatan RI Terabaikan, http://www.tniad.mil.id/kotama/news. php?id=1243, diakses 5 Agustus 2007.KBRI Dili, Hubungan Bilateral Indonesia dan Timor Leste, dalamwww.kbridili.org/, diakses 4 Desember 2008.RI-Timor Leste Segera Bahas Perbatasan Laut, Tempo Interaktif, dalamwww.tempointeraktif.com/hg/nasional/2005/04/09/brk,2005040906,id.htmdiakses 12 September 2007.

    Daftar Wawancara

    1. Brigjen Hatta Syafrudin, Waaster KSAD, Jakarta, 26 Juli 2007.2. Kol. Arief Rahman, Danrem 161/WS, Kupang, 15 Agustus 2007.3. Caetano de Soussa Guterres, Konjen RDTL di Kupang, 15 Agustus 2007.4. Dr. Jamin Habid, MM, Ketua Bappeda, Provinsi NTT, Kupang 14 Agustus

    2007.5. Johanes L. Hawula, Karo Tata Pemerintahan Pemda Provinsi NTT, Kupang,

    14 Agustus 2007.6. Putu Surahputra, Kasuddin Perdagangan Internasional, Dinas Perindustrian

    Provinsi NTT, 14 Agustus 2007.7. Zaenal Arifin, Kasubdit Asia Timur dan Pasifik, Direktorat Asia Timur dan

    Pasifik, Deplu, 5 Oktober 2007.8. Euriko Gutteres, mantan Pejuang Pro-Integrasi, Jakarta 10 Oktober 2007.