Upload
vutuyen
View
225
Download
6
Embed Size (px)
Citation preview
PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP: “Suatu
Langkah Menuju Sinergitas”
Oktober 20, 2008
Oleh :
DR. Ir. Arif Budimanta, M.Sc
(Disampaikan pada acara Pendidikan dan Latihan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Sekolah Demokrasi Indonesia, 20 – 21 Maret 2007 di Hotel Kristal, Kupang)
I. Pengantar
Pembangunan merupakan suatu usaha yang dilakukan dalam kerangka melakukan berbagai
perubahan yang bernilai positif. Munculnya suatu perubahan sangat berpotensi untuk menimbulkan
berbagai konflik, sehingga diperlukan suatu perumusan pembangunan yang dilakukan secara matang,
khususnya dalam pengelolaan lingkungan. Dalam kerangka pengelolaan lingkungan, banyak
pembangunan yang dilakukan dalam usaha untuk menciptakan suatu sistem pengelolaan lingkungan
yang lebih sinergis, hal ini dibutuhkan terkait pada banyaknya kasus-kasus pengelolaan lingkungan
yang berujung pada munculnya konflik. Terdapat berbagai paradigma umum yang mendasari konsep
pengelolaan lingkungan. Salah satunya adalah paradigma pengelolaan lingkungan yang berdasarkan
pada konsep sustainable dan partisipatif multipihak.
Paradigma yang mengacu pada konsep sustainable merupakan suatu proses perubahan yang
terencana yang didalamya terdapat keselarasan serta peningkatan potensi masa kini dan masa depan
untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi masnusia. Hal ini mengartikan bahwa konsep sustainable
dapat menjamin adanya pemerataan da keadilan sosial yang ditandai dengan lebih meratanya akses
peran dan kesempatan. Konsep ini terfokus pada 3 pilar dasar yaitu sustainable lingkungan,
sustainable ekonomi dan sustainable sosial. Sustainable lingkungan menekankan pada adanya
keterbatasan lingkungan sehingga penting untuk dilindungi dan dilestarikan untuk keberlanjutan
hidup generasi yang akan datang, sehingga penting untuk menciptakan suatu sisten kinerja
pengelolaan lingkungan yang memiliki koridor sustainable. Paradigma sustainable lingkungan juga
mengacu pada konsep keadilan yang dimaknai dengan adanya keterwakilan dan pendistribusiannya,
terkait dengan bagaimana kebijakan dalam pengelolaan lingkungan hidup dapat menjadi suatu
regulasi yang benar-benar mewakili aspirasi dari masyarakat luas. Melalui konsep keadilan,
diharapkan nantinya tercipta peningkatan kualitas kehidupan dan kesejahteraan generasi masa kini
tanpa mengabaikan kesempatan generasi masa depan memenuhi kebutuhannya. Sustainable di bidang
ekonomi merupakan konsep pemanfaatan sumber ekonomi secara efisien dan efektif untuk
meningkatkan taraf hidup masyarakat. Hal ini penting agar produktivitas investasi dan pertumbuhan
ekonomi tetap terjaga pada konsep keberlanjutan. Sustainable sosial yaitu pelestarian segala bentuk
modal sosial, termasuk jaringan hubungan atau interaksi antar individu dan kelompok masyarakat.
Ketiga pilar dasar konsep sustainable ini merupakan suatu hubungan yang saling terkait antara satu
dengan yang lain, dimana masing-masing saling mendukung antar konsep yang nantinya akan
berdampak pada suatu keberlanjutan yang utuh.
Paradigma umum berikutnya adalah yang mengacu pada konsep partisipatif. Konsep ini
menekankan pada pentingnya pelibatan dari berbagai pihak terkait, dimana didasari dengan adanya
kesetaraan dan kebersamaan dalam pengelolaan lingkungan. Diharapkan dengan adanya partisipasi
dari berbagai pihak, lingkungan dapat dikelola dengan efektif dan efisien. Mengacu pada kedua
paradigma ini, maka perlu ada regulasi hukum yang jelas terkait kepada pengelolaan lingkungan
hidup terutama dalam hal pelaksanaannya. Saat ini kita telah memiliki berbagai konsep regulasi
hukum yang diaplikasikan pada bentuk Undang-undang maupun Peraturan Pemerintah, tetapi
mengapa masih saja timbul berbagai konflik terkait dengan pengelolaan lingkungan. Berikut akan
dipaparkan secara luas dan gamblang mengenai fenomena konflik lingkungan.
II. Urgensi
Saat ini banyak kasus-kasus yang terjadi dalam pengelolaan lingkungan, baik yang berskala
kecil maupun berskala besar. Mulai dari konflik pengelolaan sumber daya perairan sampai pada
benyaknya konflik yang timbul dalam pengelolaan sumber daya hutan. Kondisi ini mengartikan
bahwa pentingnya untuk membicarakan permasalahan konflik lingkungan hidup sebagai suatu
langkah dasar dalam pengelolaan lingkungan hidup. Pada dasarnya, sangat penting untuk
menemukenali akar/penyebab konflik, sehingga kita dapat mengetahui permasalahan secara
mendasar. Selain itu, penting juga untuk mengidentifikasi stakeholders yang terkait. Hal ini menjadi
penting mengingat masing-masing pihak memiliki berbagai kepentingan yang berbeda. Diharapkan
melalui pengidentifikasian ini, kita dapat mensinergiskan stakeholders terkait sesuai dengan peran
masing-masing pihak sehingga nantinya dapat mengantisipasi timbulnya konflik.
III. Sumber Daya Alam Dan Lingkungan
Berbicara mengenai Sumber Daya Alam (SDA) mencakup pengertian yang sangat luas,
merupakan unsur pembentuk lingkungan yang sangat kompleks, dinamis, saling berinteraksi satu
sama lainnya. Mengacu pada UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN
1997, Pasal 1 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dimana lingkungan hidup dapat diartikan
sebagai kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia
dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta
makhluk hidup lain.
Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang
meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan,
pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup. SDA seperti air, udara, tanah, hutan dan lainnya
merupakan sumberdaya yang penting bagi kelangsungan hidup mahkluk hidup termasuk manusia.
Bahkan, SDA ini tidak hanya mencukupi kebutuhan hidup manusia, tetapi juga dapat memberikan
kontribusi besar terhadap kesejahteraan yang lebih luas. Namun, semua itu bergantung pada
bagaimana pengelolaan SDA tersebut, karena pengelolaan yang buruk berdampak pada kerugian yang
akan ditimbulkan dari keberadaan SDA, misalnya dalam bentuk banjir, pencemaran air, dan
sebagainya.
Dalam hal ini, setidaknya keberadaan sumber daya alam memiliki berbagai fungsi, yaitu ;
1. Fungsi ekonomi dan sosial/budaya; dan kedua, ekologis/sistem penyangga kehidupan
2. Berfungsi ekonomi maksudnya sumber daya alam menyediakan beragam materi dan energi
yang dibutuhkan untuk menunjang kelangsungan proses produksi. Sedangkan fungsi
sosial/budaya berkaitan dengan keberadaannya sebagai media sebagian masyarakat dalam
berinteraksi antar kelompok sosial maupun dengan sistem kepercayaan dengan tuhannya atau
mempunyai fungsi psychophysiologic (sebagai insprasi sumber kepercayaan dan aktifitas
religius), educational and scientific services (penelitian dan pendidikan lingkungan) serta
source of land and living space (sumber lahan dan tempat tinggal suku-suku tertentu). Fungsi
ekologis, berkaitan dengan berbagai komponen lingkungan yang membentuk ekosistem dan
keseimbangannya diperlukan dalam menjaminkan berbagai aktivitas kehidupan makhluk
hidup.
IV. Konflik
Banyak definisi yang berkaitan dengan konflik. Konflik bisa diartikan sebagai gangguan
emosi yang merupakan akibat benturan pandangan yang saling bertentangan atau ketidakmampuan
menangani pandangan-pandangan dengan pertimbangan realistis maupun moral. Konflik dapat
diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Berdasar Posisi para pelaku : Konflik Horisontal & Konflik Vertikal
b. Berdasar bentuk/dampak yang muncul dari konflik : Konflik Tertutup & Konflik Terbuka,
mengarah pada kekerasan/kerusakan
c. Klasifikasi berdasarkan lamanya konflik : Konflik Sesaat (spontan) & Konflik Berkepanjangan
(underlying)
d. Klasifikasi berdasarkan rencana target : Konflik Sistematis & Konflik Non-Sistematis
e. Berdasar level konflik : Intrapersonal, interpersonal, intragroup, intergroup, kombinasi, dll;
melihat dimana level konflik terjadi (top manajemen, middle atau low manajemen)
f. Berdasar sumber/akar konflik : perbedaan kepribadian, nilai/budaya, data/informasi,, struktural,
konflik kepentingan/kekuasaan, dll
g. Berdasar bidang konflik : etnis, politik, ekonomi/perebutan SDA, konflik sosial, dll
h. Berdasar tahapan kegiatan : perencanaan, pengorganisasian, implementasi, pengawasan dan
evaluasi
i. berdasar bentuk potensi penyelesaian konflik : melalui hukum adat, penyelesaian
Dalam hal ini, konflik struktural sering menjadi penyebab terjadinya konflik lingkungan/SDA.
Konflik ini berpangkal pada adanya ketimpangan sosial, ekonomi dan politik antara para pihak,
termasuk dalam akses terhadap Sumber Daya Alam (SDA). Terkait dengan SDA, secara umum
terdapat beberapa hal yang menjadi faktor rentan konflik, yakni:
a. SDA bersifat dependent dan keterpautan, artinya adanya ketidakseimbangan satu komponen
akan berakibat pada komponen yang lain. Demikian juga perubahan disuatu lokasi akan
meningkatkan akibat ditempat lain.
b. SDA pada dasarnya bersifat terbatas dan bersifat langka (scarcity), sedangkan disi lain
kebutuhan dan permintaan akan selalu meningkat. Untuk itulah akan terjadi persaingan antar
pihak yang berkepentingan terhadap SDA tersebut.
SDA digunakan masyarakat dengan cara yang ditentukan oleh budaya dan latar belakangnya. Orang
berkompetisi terhadap lahan, hutan dll bukan hanya sebagai sumber ekonomi tetapi juga bagian dari
cara hidupnya/budaya
V. Konflik Lingkungan
Konflik lingkungan merupakan konflik yang terjadi pada tataran perencanaan maupun
pengelolaan lingkungan. Berbagai opini muncul untuk memahami konflik lingkungan ini, terutama
hal-hal yang menyangkut regulasi. Terdapat tiga ruang lingkup yang dapat menjelaskan tataran
konflik lingkungan, yaitu konflik kebijakan pengelolaan, konflik pada tataran kewenangan dan peran
serta konflik yang terkait pada isu-isu di tinkat grass root.
1. Konflik kebijakan pengelolaan
Konflik pada tingkatan ini merupakan konflik yang berada pada tataran regulasi dan
kebijakan dalam pengelolaan lingkungan. Banyak konflik lingkungan yang timbul sebagai
akibat dari adanya kebijakan yang kabur (tidak jelas), adanya kebijakan yang tumpang tindih
antara pusat dan darerah serta adanya tumpang tindih kebijakan lama dan kebijakan yang
baru. Bagaimana mungkin melaksanakan pengelolaan lingkungan dengan baik apabila pada
tingkatan regulasi saja sudah terdapat berbagai tumpang tindih regulasi. Bercermin pada hal
ini, diharapkan kepada pihak pemerintah, khususnya DPRD dan Dewan Evaluasi Kota agar
dapat mensinergiskan berbagai kebijakan maupun regulasi yang berkaitan dengan
pengelolaan lingkungan hidup, sehingga antar kebijakan maupun peraturan dapat saling
mendukung, baik antara pemerintah pusat dan daerah maupun antara kebijakan yang telah
lama dengan kebijakan yang baru.
2. Konflik kewenangan dan peran
Konflik ini biasanya muncul sebagai akibat dari adanya tarik menarik peran antar pemerintah
daerah dan pemerintah pusat. Banyak terdapat sistem pelaksanaan yang mengakibatkan
munculnya tarik menarik peran. Hal ini didukung seiring dengan diberlakukannya sistem
otonomi daerah. Di satu sisi, pihak pemerintah daerah merasa memiliki peran wewenang yang
lebih besar dibandingkat pemerintahan pusat. Sementara disisi lain pemerintah pusat
mengklaim bahwa peran dan wewenang tersebut berada di tangan mereka.
3. Konflik yang terkait terhadap isu-isu di level grass root
Pada tingkatan ini, konflik biasanya terjadi seputar permasalahan hak ulayat, proverty dan
disparitas dalam pengelolaan lingkungan. Di satu sisi masyarakat merasa memiliki
lingkungan sekitarnya yang merupakan hak turun temurun dari leluhur mereka sementara di
sisi lain mereka tidak memiliki bukti-bukti / legalitas secara hukum. Konflik yang timbul
pada tingkatan ini nantinya akan menimbulkan suatu konflik yang bersifat struktural.
Berdasarkan ruang lingkup konflik lingkungan diatas, yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah
mengapa konflik lingkungan dapat terjadi? Terdapat berbagai konsep yang dapat menjelaskan
penyebab timbulnya konflik lingkungan. Tentu saja untuk mengidentifikasinya kita perlu memahami
terlebih dahulu bagaimana kondisi dan latar belakang sosial yang ada. Terdapat enam hal yang
menjadi penyebab utama timbulnya konflik lingkungan.
1. Konflik lingkungan timbul sebagai akibat dari konsep bahwa lingkungan adalah sebuah
sistem yang dapat mengalami kerusakan pada waktu dan bagian tertentu, sehingga banyak
terjadi eksploitasi dan monopoli terhadap lingkungan.
2. Lingkungan bersifat common resources, dimana akan terjadi terik menarik kewenangan dan
tanggungjawab antara pihak-pihak yang terkait dan yang berpotensi untuk terlibat.
3. Konflik lingkungan timbul sebagai akibat dari regulasi yang mengatur tata cara pengelolaan
lingkungan tersebut. 4. Bersifat scarcity, dimana pada waktunya nanti akan terjadi suatu kelangkaan sehingga muncul
berbagai keinginan dari berbagai pihak yang cenderung untuk menguasai
5. Konsep lingkungan yang hanya dipandang pada koridor ekonomi saja, dimana pada dasarnya
lingkungan juga memiliki fungsi sebagai identitas sosial
VI. Manfaat Konflik
Konflik secara harfiah merupakan suatu aspek yang bernilai negatif, tetapi apabila kita telusuri
dan cermati dengan mendalam, tidak selamanya konflik membawa dampak negatif (hal ini bukan
berarti kita menimbulkan konflik dengan sengaja). Manfaat yang diperoleh adalah manfaat yang
bersifat start point dimana kondisi konflik dapat memberikan berbagai kemudahan dalam melakukan
berbagai perbaikan. Yang kita perlukan untuk memanfaatkan konflik sebagai suatu keuntungan adalah
dengan adanya managemen konflik yang baik sehingga dapat memberikan nilai positif. Berikut akan
dipaparkan beberapa manfaat konflik.
1. Konflik dapat mengartikulasikan kesadaran diri/kelompok atau lembaga tentang adanya dari
suatu masalah yang lebih serius. Dalam pelaksanaan pengelolaan lingkungan ada kalanya kita
mendapatkan curahan pendapat dari berbagai kelompok tentang tidak tepatnya cara
pengelolaan lingkungan
2. Peluang untuk mengembangkan hubungan yang konstruktif antara berbagai pihak yang
memiliki kepentingan berbeda. Adanya konflik dapat membuka peluang bagi pihak yang
menguasai sumber daya untuk mengetahui lebih dalam lagi apa yang dipersoalkan oleh pihak
yang mengajukan keberatan, adakalanya juga di dalam orang yang tadinya mempersoalkan
tentang pengelolaan lingkungan kemudian menjadi kawan sejalan dan seiring
3. Membawa penyadaran akan keberadaan pihak lain
Konflik akan membawa kita untuk lebih mengenali pihak lain;
• siapa dia,
• darimana dia,
• kenapa dia seperti itu,
• apa yang menjadi motivasinya
• Siapa saja temannya
4. Pemecahan masalah yang lebih baik
Adanya konflik kemudian memacu perdebatan dan adu argumentasi antara para pihak yang
berkonflik, perdebatan tersebut kadangkala diikuti dengan tawaran-tawaran alternatif
penyelesaian masalah dari berbagai pihak. Analisis masalah dan alternatif penyelesaian ini
membawa para pihak yang bertikai untuk mensinergikan penyelesaian masalah secara lebih
bijaksana dan acceptable
5. Meningkatkan produktivitas
Di dalam pengelolaan lingkungan,terdapat beberapa kelompok yang terlibat. Pihak pihak yang
terlibat ini tidak dapat berpartisipasi sepenuhnya (terkadang karena terpaksa karena tidak
punya pilihan), hal ini mengakibatkan kinerja program tidak optimum, mengenali sejak dini
gejala ini akan mempengaruhi kinerja dan produktivitas menjadi lebih baik, apabila masalah
tersebut dikelola dan terselesaikan dengan baik.
6. Merangsang Pengembangan Kelembagaan
Adanya konflik, seringkali mengganggu hubungan antar instutusi yang terlibat. Tetapi apabila
hubungan tersebut dapat diuraikan berdasarkan masalahnya, maka ide-ide baru yang muncul
dalam penyelesaiaan masalah tersebut dapat dijadikan landasan untuk menata hubungan antar
institusi yang lebih sinergis, terkoordinasi dan produktif
7. Ajang Pemberdayaan
Interkasi yang terbangun selama proses penyelesaian konflik, akan membuat para pihak untuk
dapat memahami dan mengetahui pihak lain, mengeluarkan ide-ide melalui tawaran-tawaran
solusi berdasarkan basis sumber daya yang ada. Interaksi ini akan menjadi ajang
pemberdayaan apabila pihak yang mengajukan komplain atau yang di komplain ikut terlibat
dalam proses pengambilan keptusan terhadap penyelesaian masalah yang dikonflikkan
9. Keuntungan Sosial Ekonomi
Apabila konflik dapat dikelola dengan baik sejak awal untuk mencari upaya sinergis, maka
kinerja akan meningkat dan menjadi lebih efisien. Hal ini tentu saja akan menjadi
penghematan biaya yang secara tidak langsung, biaya tersebut dapat dialokasikan untuk
berbagai kebutuhan yang lain.
VII. Stakeholder
Identifikasi stakeholders merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi
resiko terjadinya konflik. Indentifikasi disini tentu saja bukan hanya melihat siapa saja
stakeholdersnya tetapi lebih kepada melihat apa peran, wewenang dan kepentingannya. Dalam
pengelolaan lingkungan, stakeholders dapat dibagi kedalam tiga bagian, yaitu masyarakat, pemerintah
dan dunia usaha (korporat).
Peran Pemerintah : DPRD dan Dewan Evaluasi Kota
Secara umum, DPRD dan Dewan Evaluasi Kota memiliki peran yang mengacu pada
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 (Pasal 10) kewajiban
pemerintah adalah :
a. Mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan kesadaran dan tanggung
jawab para pengambil keputusan dalam pengelolaan lingkungan hidup b. Mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan, dan meningkatkan kesadaran akan hak dan
tanggung jawab masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup c. Mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan kemitraan antara
masyarakat, dunia usaha dan Pemerintah dalam upaya pelestarian daya dukung dan daya
tampung lingkungan hidup d. Mengembangkan dan menerapkan kebijaksanaan nasional pengelolaan lingkungan hidup
yang menjamin terpeliharanya daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup
e. Mengembangkan dan mengembangkan perangkat yang bersifat preemtif, preventif, dan
proaktif dalam upaya pencegahan penurunan daya dukung dan daya tampung lingkunagn
hidup
f. Memanfaatkan dan mengembangkan teknologi yang akrab lingkungan hidup g. Menyelenggarakan penelitian dan pengembangan di bidang lingkungan hidup h. Menyediakan informasi lingkungan hidup dan menyebarluaskannya kepada masyarakat; i. Memberikan penghargaan kepada orang atau lembaga yang berjasa di bidang lingkungan
hidup
Sementara itu, mengacu pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 6 tahun 2005,
DPRD secara mendasar memiliki fungsi legislatif, anggaran dan pengawasan. DPRD memiliki
wewenang untuk membentuk Perda dan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan
peraturan perundang-undangan lainnya. Dalam konteks pengelolaan lingkingan, pihak DPRD
diharapkan dapat membuat berbagai regulasi yang dituangkan dalam bentuk Perda ataupun peraturan
perundang-undangan dimana pembentukan peraturan tersebut berdasarkan pada prinsip-prinsip
pengelolaan lingkungan yang berbasis pada sustainibility dan partisipatif. Hal ini menjadi dasar yang
sangat penting mengingat pengelolaan lingkungan yang berbasis pada kosep tersebut dapat
meminimalisasi terjadi konflik khususnya konflik dalam pengelolaan lingkungan.
Secara lebih spesifik, DPRD dan Dewan Evaluasi Kota memiliki berbagai peran yang berada
pada tataran kebijakan dan fasilitasi. Dalam hal ini DPRD dan Dewan Evaluasi Kota diharapkan dapat
berperan sebagai :
1. Regulator dalam pembuat kebijakan-kebijakan yang menyangkut pengelolaan lingkungan
hidup.
2. Mediator multi stakeholders, dimana berfungsi memfasilitasi stakeholders lain (masyarakat
dan dunia usaha) dalam usaha melakukan pengelolaan lingkungan yang baik dan
berkelanjutan
3. Sebagai mitra dari eksekutif dan legislatif untuk melakukan evaluasi atas berbagai kebijakan
pembangunan lingkungan di suatu daerah 4. Menyiapkan rekomendasi atas berbagai temuan masalah dan hasil evaluasi yang dilakukan
Selain hal tersebut diatas, DPRD dan Dewan Evaluasi Kota juga harus berada pada koridor konsep
environmental leadership dalam melaksanakan fungsi dan perannya. Dalam melaksanakan fungsi dan
perannya DPRD dan Dewan Evaluasi Kota sebaiknya dapat membangun kesadaran kritis terhadap
isu-isu lingkungan, memotivasi dan mengembangkan kapasitas dan kapabilitas untuk melakukan aksi.
Hal ini mengartikan sejauh mana orang mempunyai pemahaman yang koperhensif beta pentingnya
menjaga lingkungan, agar lingkungan itu kondusif buat generasi selanjutnya sepanjang masa, ini
terkait kepada tingkatan DPRD dan Dewan Evaluasi Kota adalah pada pengambil kebijakan, sehingga
diharapkan segala regulasi yang dibentuk dapat benar-benar dibentuk sinergis dengan berbagai
elemen stakeholders. Perlu juga menjadi perhatian bahwa untuk mewujudkan konsep environmental
leadership, harus didukung oeh suatu sistem yang benar-benar kondusif sehingga peningkatan
kapasitas dapat dilakukan seiring dengan perbaikan sistem.
VIII. STRATEGI PENGELOLAAN KONFLIK : Menemukan Penyelesaian
Bagaimana wujud praktis pengelolaan konflik yang bukan sekedar teori di buku tetapi dapat
diterapkan di lapangan? Teknik apa saja yang harus dilakukan? Secara teoritis, penyelesaian konflik
yang ideal dilakukan dengan prinsip ”musyawarah untuk mufakat”. Namun pada kenyataannya, yang
terjadi di berbagai kasus konflik lingkungan hidup adalah sulitnya untuk mensistematiskan
penyelesaian konflik agar sesuai dengan tahap-tahap yang tertulis dalam teori.
Terdapat 3 pendekatan yang dapat dilakukan dalam mengelola konflik, yaitu:
1. Konvensional
2. Konfrontatif
3. Akomodatif
Tentu saja dalam strategi pengelolaan konflik bisa jadi merupakan gabungan beberapa
pendekatan, atau bisa juga tidak semua strategi yang biasa diterapkan di lapangan dapat di golongkan
sebagai salah satu pendekatan tersebut, melainkan merupakan suatu pendekatan baru. Pada
implementasinya, dalam menentukan pendekatan yang ingin digunakan untuk mengelola konflik,
kembali lagi harus disesuaikan dengan karakteristik lokal, permasalahan seperti apa yang menjadi
sumber terjadinya konflik, serta pihak-pihak mana saja yang terlibat dalam konflik.
Pendekatan Konvensional
Dalam pendekatan konvensional, sejak dini telah dilakukan identifikasi pihak-pihak yang
berkepentingan dalam pemanfaatan sumber daya. Hal ini dilakukan untuk menghindari munculnya
konflik terbuka sedapat mungkin.
Cara lain yang digunakan dalam pendekatan ini adalah melalui cara-cara pasif yang merupakan
penyelesaian sepihak, tanpa kesepakatan atau perundingan dengan pihak lain. Pada umumnya, cara ini
bukan menyelesaikan konflik tetapi lebih kepada meredam konflik agar tidak cepat muncul ke
permukaan, lalu menjadi konflik terbuka yang diketahui oleh khalayak umum.
Pendekatan Konfrontatif
Dalam pendekatan konfrontatif, pihak-pihak yang bertentangan saling mempertahankan
posisinya dan berupaya meyakinkan pihak lain akan ”kebenaran” posisinya. Cara-cara yang biasanya
dilakukan antara lain melalui demonstrasi, sabotase, ancaman, atau bahkan kekerasan
Pendekatan ini tidak disarankan dalam penyelesaian permasalahan yang melibatkan masyarakat,
karena berdasarkan pengalaman yang sering terjadi, penggunaan cara-cara konfrontatif hanya akan
menyulut terjadinya benturan-benturan lain, bukannya menyelesaikan masalah.
Pendekatan Akomodatif
Pendekatan akomodatif menekankan pentingnya cara-cara yang kooperatif, dimana pihak-
pihak yang bersengketa bersedia untuk bekerja sama dalam mengupayakan penyelesaian konflik
bersama. Memang tidak mudah untuk mencapai solusi tersebut, tetapi bukan tidak mungkin juga
untuk dilakukan. Pendekatan ini mencakup tawar-menawar (bargaining), perwasitan (arbitrase), dan
berunding (negosiasi, mediasi).
Dalam proses tawar-menawar, masing-masing pihak yang bersengketa harus merumuskan
terlebih dahulu apa yang ingin dipenuhi oleh pihak lain (tuntutan) dan apa yang bersedia diberikan
kepada pihak lain untuk memenuhi tuntutan dari mereka? Disinilah terjadi proses tawar menawar,
dimana secara bergantian masing-masing pihak menawarkan kompromi (mengurangi tuntutan) sambil
mencoba meyakinkan pihak lain untuk mau memenuhi tuntutannya
Dalam arbitrase, pihak-pihak yang bersengketa bersepakat untuk menyerahkan keputusan
penyelesaian sengketa kepada seorang wasit (arbitrator), yaitu pihak ketiga yang dipercaya kedua
belah pihak mampu membantu menyelesaikan konflik yang ada. Biasanya, seorang arbitrator telah
memahami permasalahan yang terjadi, sehingga ia dapat bersikap adil dalam menyelesaikan konflik.
Salah satu contoh kasus arbitrase yang sering terjadi di pedesaan adalah manakala para petani yang
bersengketa mengadukan permasalahannya kepada pemimpin adat, lalu menyerahkan keputusan
penyelesaian sengketa kepada pemimpin adat tersebut
Cara lain yang paling umum digunakan dalam menyelesaikan konflik adalah dengan cara
perundingan. Hasil yang diharapkan dari pendekatan ini adalah ”win win solution”, yaitu pemecahan
yang menguntungkan semua pihak secara optimal dan berimbang. Proses perundingan dapat
dilakukan dengan mediasi atau tanpa mediasi. Mediasi diperlukan apabila pokok sengketa telah
meluas dan menjadi rumit, sehingga dibutuhkan pihak lain yang dianggap mampu membantu pihak
yang bersengketa untuk mencari alternatif pemecahan masalah yang dapat memenuhi kebutuhan
mereka secara berimbang
IX. Pustaka
Budimanta Arif, 2005. ”Memberlanjutkan Pembangunan Diperkotaan Melalui Pembangunan
Berkelanjutan”, Pembangunan Kota Indonesia dalam Abad 21 : Konsep dan
Pendekatan Pembangunan Perkotaan di Indonesia, Jakarta : Yayasan Sugijanto dan
Urban and Regional Development Institute.
Budimanta Arif, 2005. ”Menuju Sustainable Future”, Sustainable Future : Menggagas Warisan
Peradaban Bagi Anak Cucu Seputar Wacana Pemikiran Surna Tjahja Djajadiningrat,
Jakarta : ICSD.
Budimanta Arif dkk, 2005. Environmental Leadership, Jakarta : ICSD .
http://www.ypb.or.id/lh/uu9723.html, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997
Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Indonesia Center for Sustainable Development, 2003 “Data Pengembangan Masyarakat”
Minulya, Budi Retno, 2006. ”Materi Pelatihan : Conflict Management in Corporate Sosial
Responsibility and Community Development”, Jakarta : ICSD.
Moeliono, Ilya dkk, 2003. “Memadukan Kepentingan Memenangkan Kehidupan”, Bandung : Studio
Driya Media bekerjasama dengan World Neighbors, Konsorium pengembangan
Masyarakat Nusa Tenggara dan dukungan dari Ford Foundation.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2005 : Tentang Pilkada, Surabaya : Karina.