Upload
others
View
38
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
PENGARUH SURFAKTAN TERHADAP KARAKTERISTIK
SISTEM NANOEMULSI BERBASIS MINYAK MIMBA
(Neem Oil) SEBAGAI BAHAN DASAR PESTISIDA NABATI
SKRIPSI
TRI RAHAYU
PROGRAM STUDI KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018 M / 1439 H
PENGARUH SURFAKTAN TERHADAP KARAKTERISTIK
SISTEM NANOEMULSI BERBASIS MINYAK MIMBA
(Neem Oil) SEBAGAI BAHAN DASAR PESTISIDA NABATI
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Program Studi Kimia
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Oleh :
TRI RAHAYU
1113096000009
PROGRAM STUDI KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018 M / 1439 H
ABSTRAK
TRI RAHAYU. Pengaruh Surfaktan Terhadap Karakteristik Sistem Nanoemulsi
Berbasis Minyak Mimba (Neem Oil) Sebagai Bahan Dasar Pestisida Nabati.
Dibimbing oleh YENNY MELIANA dan NURHASNI.
Minyak Mimba merupakan salah satu ekstrak tanaman yang dapat
digunakan sebagai bahan utama dalam pembuatan pestisida nabati. Dibutuhkan
formulasi yang tepat untuk dapat menghasilkan pestisida nabati dengan kualitas
baik. Penelitian ini bertujuan membuat suatu formulasi pestisida nabati dengan
sistem nanoemulsi. Formulasi pestisida nabati dibuat dalam konsentrasi 300
Emulsifiable Concentrate (EC) dengan menggunakan pelarut n-heksana dan
variasi komposisi surfaktan. Pada setiap produk dilakukan uji karakteristik berupa
analisis appearance, pH, viskositas, indeks bias, ukuran dan distribusi partikel.
Analisis pengaruh variabel dilakukan dengan menggunakan metode statistik uji
Mann Whitney–U atau U–Test serta analisis regresi linier. Formula terbaik
diperoleh berdasarkan hasil uji stabilitas emulsi. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa formula pestisida terbaik yang diperoleh ialah pestisida mimba yang
diformulasikan menggunakan pelarut n–Heksana serta surfaktan Rodakal dan
Geronol pada perbandingan konsentrasi (1% : 9%) dengan warna kuning
kecokelatan; pH 4,26; viskositas 1,70; indeks bias 1,413; ukuran partikel 116,4
nm; distribusi partikel 0,447; dan creaming sebesar 0,1 mL setelah 24 jam.
Kata Kunci : Minyak mimba, pestisida nabati, Emulsifiable Concentrate (EC),
nanoemulsi
ABSTRACT
TRI RAHAYU. The Effect of Surfactant on The Characteristic of Nanoemulsion
System Neem Oil Based Botanical Pesticide. Supervised by YENNY MELIANA
and NURHASNI.
Neem oil is one of plant’s extract that can be used in botanical pesticides
production. Precise formulation is required to produce good and effective
botanical pesticides. This study aimed to formulate botanical pesticide with
nanoemulsion system. Botanical pesticides formulation are made in a
concentration of 300 Emulsifiable Concentrate (EC) by using a solvent and
variation of the surfactant’s composition. The characteristic test of appearance, pH
analysis, viscosity, refractive index, as well as size and distribution of particles
will be done in each product. The effect of variables on pesticides characteristic
was analyzed by using Mann Whitney–U or U–Test statistic method and linear
regression analysis. The best formula was obtained from the result of emulsion
stability test. The results showed that the best pesticide formula was obtained
from neem pesticide formulated by using n–Heksane solvent and Rhodacal and
Geronol surfactant with ratio of concentration (1% : 9%) which have brownish
yellow color; pH 4,26; viscosity 1,70; refractive index 1,413; particle size 116,4
nm; particle distribution 0,447; and creaming 0,1 mL after 24 hours.
Keywords : Neem oil, botanical pesticides, Emulsifiable Concentrate (EC),
nanoemulsion
viii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahhirabbil’alamin, puji syukur penulis panjatkan kehadirat
Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan hidayah kepada penulis, sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Pengaruh Surfaktan
Terhadap Karakteristik Sistem Nanoemulsi Berbasis Minyak Mimba (Neem
Oil) Sebagai Bahan Dasar Pestisida Nabati.
Terdapat beberapa kendala dan hambatan dalam penyusunan skripsi ini,
namun dukungan serta diskusi dengan banyak pihak menjadikan hambatan
tersebut dapat dilalui dan berbagai kendala dapat teratasi. Untuk itu dalam
kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dr. Yenny Meliana selaku Pembimbing I yang telah berkenan menerima
penulis dengan sangat baik, senantiasa memberikan pengarahan,
masukan, ilmu, dan bimbingannya serta memiliki peran besar dalam
penelitian;
2. Nurhasni, M.Si selaku Pembimbing II yang selalu memberikan
pengarahan, bimbingan, serta motivasi kepada penulis selama penelitian
dan penulisan skripsi ini;
3. Dr. Hendrawati, M.Si dan Dr. Siti Nurbayti, M.Si sebagai penguji yang
telah memberikan saran dan masukan yang sangat bermanfaat dalam
penelitian dan penulisan skripsi;
4. Drs. Dede Sukandar, M.Si dan Isalmi Aziz, M.T selaku Ketua dan
Sekretaris Program Studi Kimia Fakultas Sains dan Teknologi UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta;
ix
5. Dr. Agus Salim selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta;
6. Anna Muawanah, M.Si. selaku Dosen Pembimbing Akademik yang
selalu membimbing serta memberikan motivasi dan membantu penulis
dalam banyak hal;
7. Dr. Eng. Agus Haryono selaku Kepala Pusat Penelitian Kimia LIPI yang
telah bersedia menerima penulis untuk melaksanakan penelitian dan
menggunakan seluruh fasilitas selama penelitian di Pusat Penelitian
Kimia LIPI–Serpong;
8. Feni Amriani, M.T selaku pembimbing teknis yang telah berkenan
menerima penulis dengan sangat baik serta selalu membimbing penulis
selama penelitian dan memberikan ilmu, masukan, serta pengalaman
yang sangat berharga;
9. Savitri, M.T yang telah memberikan ilmu serta masukan dalam
penelitian;
10. kedua orang tua yang selalu memberikan dukungan, do’a, motivasi, serta
kasih sayang yang tiada henti;
11. seluruh Dosen Program Studi Kimia Fakultas Sains dan Teknologi UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu dan bimbingan
kepada penulis selama mengikuti perkuliahan;
12. rekan Mahasiswa Program Studi Kimia angkatan 2013 Fakultas Sains
dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang selalu memberikan
dukungan dan motivasi kepada penulis;
13. serta seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
x
Akhir kata, semoga Allah SWT. senantiasa membalas kebaikan semua pihak
yang telah membantu penulis hingga saat ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat
bagi banyak pihak.
Jakarta, 11 Januari 2018
Tri Rahayu
xi
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR .................................................................................. viii
DAFTAR ISI ................................................................................................. xi
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... xiii
DAFTAR TABEL ........................................................................................ xv
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ xvi
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1
1.1. Latar Belakang ...................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ................................................................................. 7
1.3. Hipotesis ................................................................................................ 7
1.4. Tujuan Penelitian .................................................................................. 7
1.5. Manfaat Penelitian ................................................................................ 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. 9
2.1. Pestisida .................................................................................................. 9
2.1.1. Formulasi Pestisida ....................................................................... 11
2.1.2. Bahan Aktif (Active Ingredients) .................................................. 14
2.1.2.1. Tanaman Mimba (Azadirachta indica A. Juss) ............... 14
2.1.2.2. Minyak Mimba (Neem Oil) ............................................ 18
2.1.3. Bahan Tidak Aktif (Inert Ingredients) .......................................... 19
2.1.3.1. Bahan Pembantu (Adjuvant) ............................................ 19
2.1.3.1.1. Pelarut (Solvent) .............................................. 19
2.1.3.1.2. Surfaktan (Surfactant) ..................................... 20
2.1.3.2. Bahan Pembawa (Carrier)............................................... 23
2.2. Karakteristik Pestisida ............................................................................. 23
2.2.1. pH .................................................................................................. 23
2.2.2. Viskositas ...................................................................................... 24
2.2.3. Indeks Bias .................................................................................... 27
2.2.4. Ukuran dan Distribusi Partikel ...................................................... 27
xii
BAB III METODE PENELITIAN ............................................................ 29
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ................................................................. 29
3.2. Alat dan Bahan ....................................................................................... 29
3.3. Diagram Alir Penelitian ......................................................................... 30
3.4. Prosedur Penelitian.................................................................................. 31
3.4.1. Preparasi Sampel ........................................................................... 31
3.4.2. Karakterisasi Pestisida Nabati Mimba 300 EC ............................. 32
3.4.2.1. Pengukuran Derajat keasaman dengan pH Meter............ 32
3.4.2.2. Pengukuran Viskositas dengan Viskometer Ostwald ...... 33
3.4.2.3. Pengukuran Indeks Bias dengan Refraktometer .............. 33
3.4.2.4. Pengukuran Ukuran dan Distribusi Partikel dengan PSA 33
3.4.2.5. Uji Stabilitas Emulsi ........................................................ 34
3.4.3. Analisis Data ................................................................................... 34
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................... 35
4.1. Formulasi Pestisida Mimba 300 EC ........................................................ 35
4.2. Hasil Uji Karakteristik Formula Pestisida Mimba 300 EC ..................... 37
4.2.1. Warna ........................................................................................... 39
4.2.2. Odor/ Aroma ................................................................................. 41
4.2.3. pH .................................................................................................. 41
4.2.4. Viskositas ...................................................................................... 44
4.2.5. Indeks Bias .................................................................................... 48
4.2.6. Ukuran dan Distribusi Partikel ...................................................... 51
4.2.7. Stabilitas Emulsi ........................................................................... 56
BAB V SIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 63
5.1. Simpulan ................................................................................................. 63
5.2. Saran ........................................................................................................ 63
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 65
LAMPIRAN .................................................................................................. 73
xiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Tanaman Mimba ......................................................................... 16
Gambar 2. Struktur senyawa Azadirachtin, Meliantriol, Nimbin, Salannin. 17
Gambar 3. Ilustrasi instrumen viskometer Ostwald ..................................... 26
Gambar 4. Ilustrasi instrumen PSA .............................................................. 27
Gambar 5. Skema kerja penelitian ................................................................ 30
Gambar 6. Ilustrasi electrostatic repulsion and steric stabilization ............. 36
Gambar 7. Skema O/W dan W/O ................................................................. 37
Gambar 8. Hasil formulasi pestisida Mimba 300 EC dengan penggunaan
pelarut n–Heksana serta surfaktan Rodakal dan Geronol ........... 38
Gambar 9. Hasil formulasi pestisida Mimba 300 EC dengan penggunaan
pelarut n–Heksana serta surfaktan MES dan PMO ..................... 38
Gambar 10. Hasil formulasi pestisida Mimba 300 EC dengan penggunaan
pelarut Pegasol serta surfaktan MES dan PMO ........................ 39
Gambar 11. Perbandingan pengaruh penggunaan pelarut terhadap warna
formula pestisida Mimba .......................................................... 40
Gambar 12. Pengaruh perbandingan konsentrasi surfaktan terhadap pH
formulasi ................................................................................... 42
Gambar 13. Pengaruh perbandingan konsentrasi surfaktan terhadap viskositas
formulasi ................................................................................... 45
Gambar 14. Pengaruh perbandingan konsentrasi surfaktan terhadap indeks bias
formulasi ................................................................................... 49
Gambar 15. Pengaruh perbandingan konsentrasi surfaktan terhadap ukuran
partikel formulasi ...................................................................... 51
Gambar 16. Pengaruh perbandingan konsentrasi surfaktan terhadap distribusi
partikel formulasi ...................................................................... 52
Gambar 17. Pengaruh homogenizer terhadap partikel.................................. 55
Gambar 18. Hasil uji stabilitas ukuran partikel emulsi pestisida Mimba dengan
penggunaan pelarut n–Heksana serta surfaktan Rodakal dan Geronol
pada perbandingan konsentrasi (1% : 9%) dengan PSA ........... 58
xiv
Gambar 19. Hasil uji stabilitas distribusi partikel emulsi pestisida Mimba dengan
penggunaan pelarut n–Heksana serta surfaktan Rodakal dan Geronol
pada perbandingan konsentrasi (1% : 9%) dengan PSA ............. 59
Gambar 20. Fase dispersi dan fase kontinyu dalam sistem emulsi ................ 60
xv
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Manfaat beberapa bagian tanaman Mimba ..................................... 18
Tabel 2. Standar karakteristik minyak Mimba .............................................. 18
Tabel 3. Persentase konsentrasi pestisida Mimba 300 EC n–Heksana R:G . 31
Tabel 4. Persentase konsentrasi pestisida Mimba 300 EC n–Heksana M:C . 31
Tabel 5. Persentase konsentrasi pestisida Mimba 300 EC Pegasol M:C ...... 32
Tabel 6. Hasil uji stabilitas emulsi pestisida Mimba dengan penggunaan pelarut
n–Heksana serta surfaktan Rodakal dan Geronol ............................ 57
Tabel 7. Hasil uji stabilitas emulsi pestisida Mimba dengan penggunaan pelarut
n–Heksana serta surfaktan MES dan PMO ...................................... 57
Tabel 8. Hasil uji stabilitas emulsi pestisida Mimba dengan penggunaan pelarut
Pegasol serta surfakatan MES dan PMO ......................................... 58
Tabel 9. Hasil analisis minyak Mimba dengan alat GC–MS ........................ 62
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Perhitungan konsentrasi formula ............................................ 73
Lampiran 2. Dokumentasi penelitian .......................................................... 75
Lampiran 3. Perhitungan nilai viskositas .................................................... 78
Lampiran 4. Hasil analisis statistik uji Mann Whitney U (U-Test) ............. 93
Lampiran 5. Hasil analisis PSA (pestisida Mimba dengan penggunaan pelarut
n–Heksana serta surfaktan Rodakal dan Geronol dengan
perbandingan konsentrasi 1% : 9%) ......................................... 96
Lampiran 6. Hasil analisis ukuran dan distribusi partikel emulsi formula pestisida
Mimba dengan PSA .................................................................. 97
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tanaman menjadi bagian terpenting yang banyak dimanfaatkan dalam
bidang pangan dan obat–obatan. Kualitas tanaman yang unggul merupakan target
utama bagi pemanfaatan maupun pemasaran yang baik. Berbagai cara diupayakan,
mulai dari pemilihan bibit yang tepat, pemberian pupuk, sampai dengan
penanggulangan hama. Menurut Smith (1983) hama adalah semua organisme atau
agen biotik yang merusak tanaman dengan cara yang bertentangan dengan
kepentingan manusia. Pencegahan dan pemberantasan hama tersebut dapat
dilakukan dengan menggunakan suatu pestisida.
Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Republik Indonesia No. 39 Tahun
2015 tentang pestisida menyatakan bahwa pestisida adalah semua zat kimia dan
bahan lain serta jasad renik dan virus yang dipergunakan untuk memberantas atau
mencegah hama dan penyakit, memberantas rerumputan, mencegah pertumbuhan
yang tidak diinginkan, merangsang pertumbuhan tanaman, memberantas atau
mencegah hama–hama, mencegah hama air, dan memberantas atau mencegah
binatang–binatang yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia atau binatang
yang perlu dilindungi dengan penggunaan pada tanaman, tanah, atau air.
Penggunaan pestisida dalam langkah penanggulangan hama memang
tergolong efektif. Tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini terdapat pro dan
kontra dari efek penggunaannya. Kemampuan membasmi organisme selektif
(target organisme) tidak dapat menjamin terlindunginya organisme non target.
2
World Health Organization (WHO) memperkirakan setiap tahun terdapat 1–5 juta
kasus keracunan pestisida pada pekerja pertanian dengan jumlah kematian
mencapai 20.000 jiwa. Sekitar 80% keracunan pestisida dilaporkan terjadi di
negara berkembang (Kishi et al., 1995).
Pemakaian pestisida dapat mengakibatkan timbulnya dampak negatif bagi
manusia dan lingkungan, diantaranya berpotensi meninggalkan residu pada
tanaman yang mungkin akan dikonsumsi oleh manusia, serta dapat meninggalkan
residu pada lingkungan yang akan menyebabkan terjadinya pencemaran air, tanah,
maupun udara. Residu muncul akibat adanya kandungan senyawa organologam
yang terdapat pada komponen penyusun pestisida, contohnya Dichloro Diphenyl
Trichloroethane (DDT), Cyclodienes, Hexachlorocyclohexane (HCH), dan
Endrin. Kandungan unsur Klor (Cl-) dalam pestisida tersebut memiliki tingkat
toksisitas yang tinggi sehingga keberadaannya dapat membahayakan kesehatan
manusia serta dapat menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan (Sudarmo,
1991).
Firman Allah SWT. dalam Q.S. Al–Baqarah ayat 30 telah menjelaskan
bahwa manusia seharusnya dapat menjaga kelestarian alam dan lingkungan
sekitar dengan baik. Manusia berkedudukan sebagai khalifah di muka bumi ini
yang ditugaskan untuk memelihara dan melestarikan alam, dimana salah satu cara
yang dapat diupayakan ialah dengan tidak berbuat kerusakan dan tidak
menimbulkan hal–hal yang dapat mencemari lingkungan sekitar. Jadi manusia
harus memanfaatkan alam seperlunya sehingga tidak terjadi kerusakan dan apabila
terlanjur terjadi manusia itu kembali yang harus memperbaikinya.
3
Artinya : “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat:
"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka
berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang
akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami
senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan
berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui"(Al-
Baqarah : 30).
Pemanfaatan bahan alam (hewani dan nabati) sebagai bahan aktif pestisida
(pestisida organik) merupakan salah satu solusi untuk menanggulangi kerusakan
yang ditimbulkan akibat penggunaan pestisida. Pestisida nabati bersifat mudah
terurai di alam (biodegradable) sehingga tidak mencemari lingkungan dan relatif
aman bagi manusia karena residunya mudah hilang (Handayani, 2015).
Mimba (Azadirachta indica A. Juss) adalah salah satu tanaman yang
mengandung senyawa aktif yang dapat dimanfaatkan dalam pembuatan pestisida
nabati. Biji Mimba mengandung bahan aktif utama yaitu azadirachtin yang
berfungsi sebagai insektisida. Dengan cara menyebabkan gangguan terhadap
pengaturan hormon perkembangan (ekdison dan belia/juvenille) dalam tubuh
serangga. Tanaman mimba juga mengandung senyawa aktif meliantriol dan
salanin yang berfungsi untuk mencegah makan (antifeedant) dan mencegah
serangga untuk mendekati tanaman (repellant) (Mardiningsih et al., 2010).
Keefektifan Mimba sebagai salah satu bahan aktif pestisida nabati telah
4
dibuktikan oleh Sunarto dan Nurindah (2006) dalam mengendalikan populasi ulat
daun tembakau.
Minyak yang diperoleh dari tanaman Mimba dapat digunakan sebagai bahan
baku dalam pembuatan pestisida nabati. Hanya saja, proses penyemprotan
pestisida yang secara umum memanfaatkan air sebagai diluent (bahan pengencer)
menjadi suatu kendala, karena minyak bersifat tidak dapat larut di dalam air,
sehingga membuat proses pengaplikasian menjadi cukup sulit. Formulasi yang
tepat diperlukan untuk mengatasi masalah tersebut. Salah satu caranya ialah
dengan menggunakan formulasi Emulsifiable Concentrate (EC).
Formulasi EC merupakan larutan pekat pestisida yang diformulasikan
dengan menggunakan surfaktan, tujuannya ialah untuk memudahkan
penyampuran antara bahan aktif pestisida dan air dengan cara menyebabkan
penyebaran butir–butir kecil minyak secara menyeluruh dalam air pengencer.
Penyemprotan merupakan cara yang paling umum, mencakup 75% dari seluruh
pemakaian insektisida, yang sebagian besar berasal dari formulasi EC
(Tarumingkeng, 1992).
Karakteristik pestisida merupakan salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi kualitas pestisida disamping efikasinya (keefektifan pestisida
dalam membunuh Organisme Pengganggu Tanaman (OPT)). Sistem emulsi yang
stabil dituju untuk dapat memperoleh pestisida nabati dengan formulasi EC yang
berkualitas. Menurut Sumingkrat (1992), kestabilan emulsi terutama dipengaruhi
oleh variasi dan jumlah penggunaan emulsifier. Emulsifier bertindak sebagai
bahan penolong untuk membentuk emulsi, dan berfungsi menstabilkan bahan aktif
dalam air atau minyak yang diemulsikan (Rofienda, 2002 dalam Supriyo, 2007).
5
Surfaktan merupakan salah satu jenis emulsifier yang dapat dimanfaatkan
sebagai penstabil sistem emulsi. Pada skala industri biasanya dilakukan kombinasi
antara jenis surfaktan anionik dan non ionik, dimana campuran antara kedua
surfaktan tersebut dinilai dapat menghasilkan sistem emulsi yang lebih stabil
dibandingkan dengan penggunaan surfaktan tunggalnya (The Key Center for
Polymer Colloids, 2001). Proses pembuatan serta komposisi yang berbeda
menjadikan tiap surfaktan memiliki perbedaan sifat intrinsik. Surfaktan Rodakal
(surfaktan anionik) dan Geronol (surfaktan non ionik) yang berasal dari bahan
Petroleum serta surfaktan Metil Ester Sulfonat (MES) (surfaktan anionik) dan
Polietilen glikol Mono Oleat (PMO) (surfaktan non ionik) yang berasal dari
turunan minyak kelapa sawit menjadikan masing–masing surfaktan memiliki
perbedaan terutama pada tingkat toksisitasnya terhadap lingkungan. Surfaktan
dengan bahan turunan minyak kelapa sawit dikenal lebih ramah lingkungan
dibandingkan dengan surfaktan yang berasal dari bahan Petroleum. Variasi antara
surfaktan anionik dan non ionik berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan sebagai
pembanding untuk mengetahui pengaruh sifat intrinsik terhadap kestabilan sistem
emulsi maupun karakteristik pestisida pada penggunaannya.
Kestabilan sistem emulsi nampaknya tidak hanya dipengaruhi oleh
penggunaan surfaktan, melainkan dipengaruhi pula oleh ukuran partikel dari fase
terdispersi (fase terlarut dalam sistem emulsi) maupun fase pendispersinya (fase
pelarut dalam sistem emulsi). Sistem nanoemulsi (emulsi dengan ukuran partikel
nano) merupakan suatu sistem yang dinilai lebih stabil dibandingkan dengan
sistem emulsi lainnya. Nanoemulsi merupakan dispersi minyak dalam air yang
distabilkan oleh lapisan film dari surfaktan (Shakeel et al., 2008). Nanoemulsi
6
stabil secara kinetik sehingga mencegah terjadinya sedimentasi dan creaming
selama penyimpanan (Solans et al., 2005). Creaming merupakan salah satu
indikasi awal yang menandakan bahwa pembentukan emulsi bersifat tidak stabil.
Pembentukan formulasi EC yang didasari dengan sistem nanoemulsi
diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dari pestisida. Jika hal ini diterapkan
maka akan dapat meminimalisir penggunaan pestisida pada tanaman, karena
hanya serangga target saja yang terkena dampaknya (Yanura dan Mutiara, 2014).
Uji efikasi dari formulasi EC juga telah dilakukan oleh Anjali et al. (2012) pada
pembentukan sistem nanoemulsi dengan komposisi formula yang terdiri dari
minyak mimba, surfaktan non ionik (Tween 20), dan air yang efektif sebagai
larvasida terhadap Culex quinqencefasciatus serta pengaruhnya terhadap
penekanan konsentrasi penggunaan pestisida nabati.
Penggunaan pelarut pada formulasi EC juga dinilai memberikan pengaruh
yang signifikan, baik terhadap karakteristik pestisida maupun dampak
penggunaannya terhadap lingkungan. Savitri dan Meliana (2014) sebelumnya
telah melakukan formulasi pestisida mimba dengan menggunakan pelarut pegasol,
namun pegasol mengandung senyawa benzena yang dapat berpotensi meracuni
lingkungan, sehingga pencarian pelarut alternatif perlu dilakukan. Penggunaan
pelarut n–Heksana yang lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan pelarut
pegasol diharapkan dapat meminimalisir dampak negatif tersebut.
Peneliti tertarik untuk melakukan pembuatan pestisida nabati berbahan aktif
minyak mimba dengan formulasi EC dan mencari komposisi surfaktan yang
paling sesuai untuk memperoleh suatu sistem nanoemulsi dalam proses
7
pengaplikasiannya, sehingga diharapkan penggunaannya di masa mendatang
dapat menekan tingginya tingkat konsentrasi penggunaan pestisida.
1.2. Rumusan Masalah
1. Apakah variasi komposisi surfaktan (Rodakal : Geronol) serta (MES :
PMO) memberikan pengaruh yang signifikan terhadap karakteristik serta
pembentukan sistem emulsi formula pestisida?
2. Bagaimanakah karakteristik appearance, pH, viskositas, indeks bias, ukuran
dan distribusi partikel, serta creaming dari pestisida nabati terbaik yang
diperoleh?
1.3. Hipotesis
1. Variasi komposisi surfaktan (Rodakal : Geronol) serta (MES : PMO)
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap karakteristik serta
pembentukan sistem emulsi formula pestisida.
2. Pestisida nabati terbaik yang diperoleh memiliki ukuran dan distribusi
partikel yang sesuai dengan standar sistem nanoemulsi serta nilai pH,
viskositas, dan creaming yang sesuai dengan karakteristik pestisida nabati
komersial.
1.4. Tujuan Penelitian
1. Memperoleh komposisi surfaktan yang memberikan pengaruh signifikan
terhadap karakteristik serta pembentukan sistem emulsi formula pestisida.
8
2. Memperoleh pestisida nabati terbaik dengan ukuran dan distribusi partikel
yang sesuai dengan standar sistem nanoemulsi serta nilai pH, viskositas, dan
creaming yang sesuai dengan karakteristik pestisida nabati komersial.
1.5. Manfaat Penelitian
1. Memberikan informasi bahwa minyak yang diperoleh dari biji tanaman
mimba dapat dimanfaatkan sebagai bahan aktif dalam pembuatan pestisida
nabati.
2. Dapat menghasilkan suatu formulasi pestisida nabati berbasis minyak
mimba dengan kualitas stabilitas emulsi yang cukup baik.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pestisida
Pestisida (pest=hama; cida=pembunuh) adalah zat kimia yang digunakan
untuk mengendalikan atau mencegah hama, memberantas rumput-rumputan,
mengatur pertumbuhan tanaman, dan lainnya yang tujuannya agar tanaman
mencapai produktifitas yang maksimum. Berdasarkan sasaran, pestisida
digolongkan sebagai berikut (Wudianto, 2010) :
1. Insektisida berfungsi untuk mematikan semua jenis serangga.
2. Fungisida berfungsi untuk memberantas dan mencegah fungi/ cendawan.
3. Bakterisida berfungsi untuk membunuh bakteri.
4. Nematisida berfungsi untuk mengendalikan nematoda.
5. Akarisida berfungsi untuk membunuh tungau, caplak, dan laba–laba.
6. Rodentisida berfungsi untuk mematikan berbagai jenis binatang pengerat.
7. Moluskisida berfungsi untuk membunuh moluska (siput, bekicot, tripisan).
8. Herbisida berfungsi untuk membunuh gulma.
9. Pestisida lain seperti Pisisida, Algisida, Advisida, dan lain-lain.
10. Pestisida berperan ganda yaitu pestisida yang berperan untuk membasmi 2
atau 3 golongan organisme pengganggu tanaman.
Menurut susunan kimianya pestisida dibedakan menjadi golongan senyawa
anorganik dan senyawa organik. Golongan senyawa organik masih dibedakan lagi
menjadi 2 golongan yaitu : golongan senyawa organik alami dan golongan
senyawa organik sintetis. Golongan senyawa organik sintetis misalnya senyawa
10
klor, senyawa organofosfat, senyawa karbamat dan senyawa lainnya (digunakan
dalam pembuatan pestisida sintesis), sedangkan senyawa organik alami dapat
berasal dari hewan maupun tumbuhan (digunakan dalam pembuatan pestisida
hewani/ nabati) (Badarudin, 1997).
Pestisida nabati pada dasarnya merupakan pestisida yang bahan dasarnya
berasal dari tumbuhan, dimana tumbuhan mengandung banyak bahan kimia hasil
produksi senyawa metabolit sekunder yang digunakan sebagai alat pertahanan
dari serangan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT). Lebih dari 2.400 jenis
tumbuhan yang termasuk ke dalam 235 famili dilaporkan mengandung bahan
pestisida (Nurhidayah, 2017). Menurut Kardinan (2002) pestisida nabati bersifat
mudah terurai di alam, residunya singkat, dan menyebabkan tanaman akan
terbebas dari residu, sehingga tanaman aman untuk dikonsumsi. Sudarmo (2005)
menyatakan bahwa pestisida nabati dapat membunuh atau menggangu hama dan
penyakit melalui saluran pencernaan, kulit (kontak langsung), dan saluran
pernapasan dengan cara kerja yang unik dan spesifik, diantaranya yaitu merusak
perkembangan telur, larva, dan pupa, menghambat pergantian kulit, mengganggu
komunikasi serangga, menyebabkan serangga menolak makan, menghambat
reproduksi serangga betina, mengurangi nafsu makan, memblokir kemampuan
makan serangga, mengusir serangga (repellent), dan menghambat perkembangan
patogen penyakit.
Beberapa kelebihan yang dapat diperoleh dari pemanfaatan pestisida nabati
yaitu relatif mudah dibuat, lebih mudah terurai di alam, lebih aman bagi manusia
dan lingkungan, dapat meningkatkan daya saing produk melalui peningkatan
efisiensi usaha dan image produk perkebunan ramah lingkungan, dapat
11
memberikan pengaruh terhadap berkurangnya volume penggunaan pestisida, serta
berdampak positif terhadap kualitas produk tanaman terutama dengan semakin
terhindarnya produk dari kemungkinan pencemaran residu pestisida sintesis.
Beberapa kelemahan yang juga dimiliki oleh pestisida nabati diantaranya
ialah bahan aktif yang mudah terurai sehingga diperlukan penggunaan yang
berulang–ulang, sebaran tanaman yang seringkali spesifik lokasi, kandungan
bahan aktif pada tanaman yang sangat bergantung pada varietas dan lokasi
penanaman, pemanfaatan berupa formulasi sederhana yang mudah ditiru, dan
banyak kelemahan lainnya yang sebenarnya sekaligus juga merupakan kelebihan
pestisida nabati, maka seharusnya kelemahan tersebut tidak dijadikan sebagai
kendala dalam pengembangannya (Haryono, 2011).
2.1.1. Formulasi Pestisida
Formulasi pestisida yang dipasarkan terdiri atas bahan pokok yang disebut
bahan aktif (active ingredient) yang merupakan bahan utama pembunuh
organisme pengganggu dan bahan ramuan (inert ingredient) (Wudianto, 2010).
Beberapa jenis formulasi pestisida sebagai berikut :
1. Tepung Hembus, debu (Dust = D)
Bentuknya tepung kering yang hanya terdiri atas bahan aktif, misalnya
belerang atau dicampur dengan pelarut aktif, kandungan bahan aktifnya rendah
sekitar 2–10%. Dalam penggunaannya pestisida ini harus dihembuskan
menggunakan alat khusus yang disebut duster.
12
2. Butiran (Granula = G)
Pestisida ini berbentuk butiran padat yang merupakan campuran bahan aktif
berbentuk cair dengan butiran yang mudah menyerap, bagian luarnya ditutup
dengan suatu lapisan.
3. Tepung yang dapat disuspensikan dalam air (Wettable Powder = WP)
Pestisida berbentuk tepung kering agak pekat ini belum bisa secara langsung
digunakan untuk memberantas jasad sasaran, harus terlebih dahulu dibasahi air.
Hasil campurannya dengan air disebut suspensi. Pestisida jenis ini tidak larut
dalam air, melainkan hanya tercampur saja. Sewaktu disemprotkan harus sering
diaduk atau tangki penyemprotnya digoyang-goyang.
4. Tepung yang larut dalam air (water-Sofable Powder = SP)
Pestisida berbentuk SP ini sepintas mirip WP. Penggunaanya pun
ditambahkan air. Perbedaannya terletak pada kelarutannya. Bila WP tidak bisa
terlarut dalam air, SP bisa larut dalam air. Larutan ini jarang sekali mengendap,
maka dalam penggunaannya dengan penyemprotan, pengadukan hanya dilakukan
sekali pada waktu pencampuran.
5. Suspensi (Flowable concentrate = F)
Formulasi ini merupakan campuran bahan aktif yang ditambah pelarut
serbuk yang dicampur dengan sejumlah kecil air. Hasilnya adalah seperti pasta
yang disebut campuran basah. Campuran ini dapat tercampur air dengan baik dan
mempunyai sifat yang serupa dengan formulasi WP yang ditambah sedikit air.
13
6. Cairan (Emulsifiable Concentrate = EC)
Bentuk pestisida ini adalah cairan pekat yang terdiri atas campuran bahan
aktif dengan perantara emulsi (emulsifier). Dalam penggunaanya, biasanya
dicampur dengan bahan pelarut berupa air. Hasil pengencerannya atau cairan
semprotnya disebut emulsi.
Emulsi adalah suatu sistem yang tidak stabil secara termodinamika yang
mengandung paling sedikit dua fase cair yang tidak bercampur, satu diantaranya
didispersikan sebagai globul dalam fase cair lain. Sistem ini dibuat stabil dengan
bantuan suatu zat pengemulsi atau emulgator.
Nanoemulsi didefinisikan sebagai sistem yang terdiri atas air, minyak, dan
ampifil yang secara termodinamika merupakan larutan cair yang stabil.
Nanoemulsi terdiri atas globul–globul berdiameter 100–200 nm. Jika
dibandingkan dengan sistem emulsi biasa, nanoemulsi dapat dibedakan karena
globul fase terdispersi mempunyai ukuran yang sangat kecil. Nanoemulsi tidak
terlihat putih susu, melainkan translusen atau transparan dan tidak mengalami
pemisahan, selain itu nanoemulsi juga memberikan efek Tyndall.
7. Solution (S)
Solution merupakan formulasi yang dibuat dengan melarutkan bahan aktif
pestisida ke dalam pelarut organik dan dapat digunakan dalam pengendalian jasad
pengganggu secara langsung tanpa perlu dicampur dengan bahan lain. Formulasi
ini hampir tidak ditemui.
Merek dagang pestisida biasanya selalu diikuti dengan singkatan
formulasinya dan angka yang menunjukkan besarnya kandungan bahan aktif.
14
2.1.2. Bahan Aktif (Active Ingredient)
Bahan aktif merupakan senyawa kimia atau bahan–bahan lain yang
memiliki efek biologi sebagai pestisida (meracuni, membunuh, atau
mempengaruhi kehidupan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT))
(Djojosumarto, 2009). Bahan aktif yang berbeda memberikan perbedaan fungsi
pula pada penggunaan pestisida. Menurut Kusnoputranto (1995) menyatakan
bahwa penggunaan bahan aktif pestisida yang paling banyak dan luas digunakan
berasal dari golongan organoklorin, organofosfat, karbamat, dan piretroid.
Padahal, apabila penggunaan bahan aktif tersebut dilakukan secara berlebihan,
maka akan menimbulkan dampak buruk bagi lingkungan (Subiyakto, 2009). Sejak
krisis moneter tahun 1997/98 harga pestisida kimia naik 2–3 kali lipat dan
mendorong para peneliti untuk mencari pestisida alternatif yang relatif murah
tetapi juga efektif dan aman (Subiyakto et al., 1997).
Tanaman secara alamiah diketahui menghasilkan senyawa sekunder yang
dapat dimanfaatkan untuk melindungi dirinya dari serangan Organisme
Pengganggu Tanaman (OPT). Hasil ekstraksi senyawa kimia ini berpotensi untuk
dimanfaatkan sebagai bahan aktif pestisida nabati yang lebih selektif dan kurang
persisten di alam jika dibandingkan dengan bahan aktif pestisida sintetis sehingga
penggunaannya aman bagi para petani, pengguna, dan lingkungan di sekitarnya
(Regnault and Roger, 2005).
2.1.2.1. Tanaman Mimba (Azadirachta indica A. Juss)
Mimba adalah jenis pohon yang banyak diteliti karena merupakan pohon
yang beracun dan penolak hama terutama serangga larva, kutu daun dan thrips.
15
Klasifikasi mimba ialah sebagai berikut (Ardiansyah et. al., 2001):
Divisio : Spermatophyta
Kelas : Dikotiledonae
Sub Kelas : Angiospermae
Ordo : Rutales
Famili : Meliaceae
Genus : Azadirachta
Spesies : Azadirachta indica A.Juss
Terdapat tiga spesies mimba yaitu A. indica, A. siamensis, dan A. excelsa.
Spesies pertama tumbuh di Asia Selatan, termasuk Indonesia. Dua spesies lainnya
tumbuh di Thailand (Soeseno, 1993). Beberapa bagian dari tanaman mimba yang
dapat dimanfaatkan ialah batang, daun, bunga, dan biji yang secara spesifik
memiliki fungsi atau khasiat tersendiri. Secara tradisional, daun mimba
merupakan bagian dari tanaman mimba yang banyak dimanfaatkan, baik melalui
proses pengolahan dengan tujuan pengobatan berbagai penyakit seperti disentri,
malaria, penyakit kulit, dan lain sebagainya, sampai dengan konsumsi yang
dilakukan secara langsung dengan tujuan sebagai penambah nafsu makan,
meskipun belum terdapat penelitian yang mendukung mengenai efektifitas dari
konsumsi daun mimba yang dilakukan secara langsung (Sudarsono et al., 2002).
Dari keseluruhan bagian tanaman Mimba, biji merupakan bagian tanaman
dengan tingkat toksisitas tertinggi (International Potato Center dan FAO, 2006).
Campos et al., (2016) menunjukkan bahwa minyak yang diperoleh dari biji
mimba efektif dalam menanggulangi beberapa jenis serangga seperti Anopheles
stephensi, A. culicifacies, Ceraeochrysa claveri, Cnaphalocrocis medinalis,
Diaphorina citri, Helicoverpa armigera, Mamestra brassicae, Nilaparvata lugens
Stal, Pieris brassicae, dan Spodoptera frugiperda, serta dapat menanggulangi
18
Tabel 1. Manfaat Beberapa Bagian Tanaman Mimba
Bagian Tanaman Manfaat
Daun Pupuk, Pestisida, Antimikrobial, Anti-inflammantory,
Antifertility, Immunomodulatory, Anti kanker
Batang Pestisida, Antiulcer, Hepatoprotective, Antimikrobial,
Anti kanker
Biji (Minyak) Insektisida, Antifeedant, larvacidal, Antimikrobial,
Anti-inflamantory, Antiathritic, Anti kanker
Bunga Anti kanker, Antifertility
(Sumber : Chaudhary et al., 2017)
2.1.2.2. Minyak Mimba (Neem Oil)
Minyak mimba merupakan minyak nabati yang sebagian besar diperoleh
dari buah dan biji mimba, baik melalui proses ekstraksi maupun dengan cara
pengepresan, dimana tiap biji mimba dapat menghasilkan minyak mimba sekitar
25–45% (Anya, 2012). Standar karakteristik minyak mimba secara umum
ditunjukkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Standar Karakteristik Minyak Mimba
Sifat Fisik/ Kimia Nilai Literatur Satuan
Aroma Garlic -
Indeks Bias pada 30oC 1,4615 – 1,4705 -
pH 5,7 – 6,5 -
Bilangan Iod 65 – 80 g/g
Bilangan Asam 40 mg KOH/g
Angka Saponifikasi 175 – 205 mg KOH/g
(Sumber : Usman, Okonkwo, dan Shehu, 2014).
Minyak mimba memiliki warna yang bervariasi diantaranya kuning emas,
coklat kekuningan, coklat kemerahan, coklat gelap, coklat kehijauan, atau merah
terang. Umumnya pemanfaatan minyak mimba dilakukan pada pembuatan
beberapa produk, seperti kosmetik, obat, dan pestisida.
19
2.1.3. Bahan Tidak Aktif (Inert Ingredient)
Penambahan bahan tidak aktif pada dasarnya bertujuan memudahkan
pendispersian zat aktif dalam air, memudahkan penggunaan pestisida,
meningkatkan kinerja pestisida di lapangan, menyebarkan pestisida pada bidang
sasaran, meningkatkan penetrasi pestisida pada sasaran, dan meningkatkan
kestabilan dan umur simpan produk pestisida. Bahan tidak aktif tersebut
dikategorikan sebagai bahan pembantu (adjuvant) dan bahan pembawa (carrier)
(Djojosumarto, 2009).
2.1.3.1. Bahan Pembantu (Adjuvant)
Bahan tambahan adalah bahan yang ditambahkan pada bahan aktif sehingga
dapat menambah keefektifan pestisida tersebut. Fungsi bahan tambahan
diantaranya adalah sebagai emulsifier, pelarut, dan lain–lain. Jenis bahan
tambahan yang digunakan akan menentukan jenis formulasi pestisida
(Tarumingkeng, 1992).
2.1.3.1.1. Pelarut (Solvent)
Pelarut merupakan bahan cair pelarut misalnya alkohol, minyak tanah,
xylene, dan lain sebagainya. Solvent ditambahkan ke dalam formulasi untuk
melarutkan bahan aktif karena bahan aktif pestisida tidak larut dalam air atau
minyak. Beberapa contoh solvent organik yang biasa digunakan yaitu asetonitril,
aseton, diklorometana, etanol, etil asetat, n–heksana, metanol, toluena, dan xylene.
20
2.1.3.1.2. Surfaktan (Surfactant)
Surfaktan merupakan senyawa yang mempunyai aktifitas permukaan
(surface-active agent) sehingga dapat menurunkan tegangan permukaan (surface
tension) antara udara–cairan dan cairan–cairan yang terdapat dalam suatu sistem.
Kemampuan menurunkan tegangan permukaan menjadi hal yang menarik
disebabkan oleh struktur kimianya yang dapat menyatukan dua senyawa yang
berbeda polaritasnya.
1. Surfaktan anionik
a) Jenis surfaktan yang paling besar (jumlahnya)
b) Tidak kompatibel dengan jenis surfaktan kationik
c) Sensitif terhadap air sadah atau hard water. Derajat sensitifitasnya :
karboksilat > fosfat> sulfat (sulfonat)
d) Rantai pendek polioksietilena antara gugus anionik dan hidrokarbon
meningkatkan toleransi terhadap garam.
e) Rantai pendek polioksipropilena antara gugus anionik dan hidrokarbon
meningkatkan kelarutan dalam pelarut organik.
f) Jenis sulfat mudah terhidrolisa oleh asam–asam dalam proses autokatalitik.
g) Jenis yang lain stabil, asalkan tidak digunakan pada kondisi ekstrim.
Contoh surfaktan anionik yaitu Karboksilat (RCOO–), Sulfonat (RSO3–),
Sulfat (RO SO3–), dan Fosfat (ROPO(OH)2O).
21
Rodakal (Kalsium Dodesilbenzen Sulfonat)
CH3
SO3
2
Ca
MES (Metil Ester Sulfonat)
CH3
O
OCH3
SO3Na
Bagian kepala surfaktan anionik bersifat hidrofilik (suka air) dan berfungsi
untuk mengikat air, sementara bagian ekor surfaktan bersifat hidrofobik (suka
minyak) berfungsi untuk mengikat minyak. Bagian kepala surfaktan anionik
bermuatan negatif, sehingga surfaktan anionik bekerja dengan membentuk suatu
gaya tolak–menolak antar partikel akibat adanya muatan sejenis (muatan negatif)
pada bagian kepala surfaktan yang melapisi molekul minyak, sehingga
menghambat partikel untuk berkoagulasi (Fernandez dan Jebbanema, 2007).
Surfaktan anionik mendominasi penggunaan surfaktan secara keseluruhan
sebanyak 49%. Surfaktan anionik secara umum digunakan pada berbagai produk,
misalnya shampo, deterjen, dan lain sebagainya. Dalam industri dan aplikasi
komersial, surfaktan an ioik tidak digunakan secara tunggal, melainkan
dikombinasikan dengan surfaktan non ionik untuk meningkatkan kestabilan yang
lebih baik. Pada paparan jangka panjang, penggunaan surfaktan anionik
22
berpotensi menimbulkan reaksi alergi dan iritasi pada kulit (The Key Center for
Polymer Colloids, 2001).
2. Surfaktan non ionik
a) Merupakan surfaktan kedua terbesar
b) Kompatibel dengan semua jenis surfaktan
c) Tidak sensitif terhadap hard water
d) Berbeda dengan surfaktanionik, sifat fisik-kimia surfaktan nonionik tidak
terpengaruh oleh penambahan elektrolit
e) Sifat fisik-kimia senyawa etoksilat sangat bergantung pada temperatur
Contoh surfaktan nonionik yaitu Alkohol etoksilat, Monoalkanolamida
etoksilat, Asam lemak amina etoksilat, Asam lemak etoksilat, Etilen oksida /
Propilen oksida, dan Etoksilat Alkil Fenol.
Geronol (Etoksilat Alkil Fenol)
O
O O
OH OH
n
XR18
CH2OH
PMO (Polietilen glikol Mono Oleat)
OO
O
HCH3
n
Bagian kepala surfaktan non ionik bersifat hidrofilik (suka air) dan
berfungsi untuk mengikat air, sementara bagian ekor surfaktan bersifat hidrofobik
23
(suka minyak) berfungsi untuk mengikat minyak. Surfaktan non ionik bekerja
dengan membentuk suatu efek sterik/ ruang/ keruahan antar partikel sehingga
menghambat proses koagulasi (Fernandez dan Jebbanema, 2007).
Surfaktan non ionik secara umum digunakan pada produk makanan dan
minuman, pharmaceutical, dan produk perawatan kulit. Penggunaan surfaktan
non ionik pada kulit tidak menimbulkan reaksi alergi maupun iritasi (The Key
Center for Polymer Colloids, 2001).
2.1.3.2. Bahan Pembawa (Carrier)
Bahan pembawa digunakan untuk menurunkan konsentrasi produk
pestisida, bergantung pada cara penggunaan yang diinginkan. Bahan pembawa
bisa berupa air (pada water based formulation), minyak (pada oil based
formulation), talk, attapulgit, bentonit, tepung diatomae (pada formulasi tepung),
pasir (pada formulasi butiran), dan lain sebagainya.
2.2. Karakteristik Pestisida
Pestisida nabati yang telah diperoleh perlu dikarakterisasi sifat fisika dan
kimianya dengan menggunakan metode analisa pH meter, indeks bias,
viskometer, dan Particle Size Analyzer (PSA).
2.2.1. pH
pH atau derajat keasaman digunakan untuk menyatakan tingkat keasaaman
atau basa yang dimiliki oleh suatu zat, larutan atau benda. pH normal memiliki
nilai 7 sementara bila nilai pH > 7 menunjukkan zat tersebut memiliki sifat basa
24
sedangkan nilai pH < 7 menunjukkan keasaman. pH 0 menunjukkan derajat
keasaman yang tinggi, dan pH 14 menunjukkan derajat kebasaan tertinggi.
Umumnya indikator sederhana yang digunakan adalah kertas lakmus yang
berubah menjadi merah bila keasamannya tinggi dan biru bila keasamannya
rendah.
Selain menggunakan kertas lakmus, indikator asam basa dapat diukur
dengan pH meter yang bekerja berdasarkan prinsip elektrolit/konduktivitas suatu
larutan. Istilah pH berasal dari "p", lambang matematika dari negatif logaritma,
dan "H", lambang kimia untuk unsur Hidrogen. Definisi yang formal tentang pH
adalah negatif logaritma dari aktivitas ion Hidrogen. pH adalah singkatan dari
power of Hydrogen.
pH = –log [H+]
Pada prinsipnya pengukuran suatu pH didasarkan pada potensial elektro kimia
yang terjadi antara larutan yang terdapat di dalam elektroda gelas (membran
gelas) yang telah diketahui dengan larutan yang terdapat diluar elektroda gelas
yang tidak diketahui. Hal ini dikarenakan lapisan tipis dari gelembung kaca akan
berinteraksi dengan ion hidrogen yang ukurannya relatif kecil dan aktif, elektroda
gelas tersebut akan mengukur potensial elektrokimia dari ion hidrogen. Untuk
melengkapi sirkuit elektrik dibutuhkan elektroda pembanding.
2.2.2. Viskositas
Viskometer merupakan peralatan yang digunakan untuk mengukur
viskositas suatu fluida. Fluida (zat alir) adalah zat yang dapat mengalir, misalnya
zat cair dan gas. Model viskometer yang umum digunakan berupa viskometer bola
25
jatuh, tabung (pipa kapiler), dan sistem rotasi. Viskositas suatu fluida adalah sifat
yang menunjukkan besar dan kecilnya tahanan dalam fluida terhadap gesekan.
Fluida yang mempunyai viskositas rendah, misalnya air mempunyai tahanan
dalam terhadap gesekan yang lebih kecil dibandingkan dengan fluida yang
mempunyai viskositas yang lebih besar.
Viskositas berkaitan dengan gerak relatif antar bagian–bagian fluida, maka
besaran ini dapat dipandang sebagai ukuran tingkat kesulitan aliran fluida
tersebut. Makin besar kekentalan suatu fluida makin sulit fluida itu mengalir.
Viskositas suatu cairan murni atau larutan merupakan indeks hambatan alir cairan.
Beberapa zat cair dan gas mempunyai sifat daya tahan terhadap aliran ini,
dinyatakan dengan Koefisien Viskositas (ƞ).
Viskositas ialah besarnya gaya tiap cm2 yang diperlukan supaya terdapat
perbedaan kecepatan sebesar 1 cm tiap detik untuk 2 lapisan zat cair yang parallel
dengan jarak 1 cm. Viskositas dapat dihitung dengan rumus Poiseuille.
..................................................(1)
Dengan :
r = Jari-jari pipa dialiri cair (cm)
t = Waktu alir (detik)
P = Tekanan yang menyebabkan zat cair mengalir (dyne/cm2)
V = Volume zat cair (liter)
l = Panjang pipa (cm)
= Koefisien Viskositas (centipoise)
Makin besar kekentalannya, makin sukar zat cair itu mengalir, dan bila
makin encer makin mudah mengalir. Viskometer ostwald merupakan salah satu
alat yang dapat digunakan untuk dapat mengukur nilai viskositas suatu zat cair.
28
Contoh alat yang menggunakan metode LAS adalah Particle Size Analyzer
(PSA). Alat ini menggunakan prinsip Dynamic Light Scattering (DLS) atau efek
penghamburan cahaya. Dengan teknik DLS ini, PSA dapat diaplikasikan untuk
mengukur ukuran dan distribusi dari partikel dan molekul yang terdispersi atau
terlarut di dalam sebuah larutan, contohnya adalah protein, polimer, misel,
karbohidrat, nanopartikel, dispersi koloid, emulsi, dan mikroemulsi (Malvern,
2012).
29
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Pusat Penelitian Kimia, Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) Serpong. Penelitian dilaksanakan mulai dari Maret
2017 sampai dengan Juli 2017.
3.2. Alat dan Bahan
A. Alat
Instrumentasi Particle Size Analyzer (Horiba NanoPartica Dynamic Light
Scaterring (DLS) SZ–100), Viskometer Ostwald (Brookfield), pH meter (Mettler
Toledo S20–K), Refraktometer Digital (Atago RX–5000 CX), Homogenizer
(Heidolph DIAX 600), neraca analitik, botol sampel, pipet mikro, dan peralatan
gelas lainnya.
B. Bahan
Minyak mimba (LIPI), n–Heksana (p.a.) (Merck), Pegasol (Aromatik
hidrokarbon C9– C11; 1,2,3,5–Tetrametil Benzena; 1,2,4,5–Tetrametil Benzena;
dan Naftalena) (LIPI), Surfaktan an–ionik ((Rodakal 70 B/C (Kalsium
Dodesilbenzen Sulfonat) (Komersial) dan MES (Metil Ester Sulfonat) (LIPI)),
Surfaktan non–ionik ((Geronol BC/5 (Etoksilat Alkil Fenol) (Komersial) dan
PMO (Polietilen glikol Mono Oleat) (LIPI)), aquademin, dan air (penggunaan
bahan dapat dilihat pada Lampiran 2).
30
3.3. Diagram Alir Penelitian
Gambar 5. Skema Kerja Penelitian
Preparasi Alat dan Sampel
Formulasi Pestisida nabati
300 EC n-Heksana
(Rodakal : Geronol)
300 EC Pegasol
(MES : PMO)
n-heksana
Neem Oil 30%
n-Heksana 60%
Surfaktan 10%
An ionik (Rodakal)
(Variasi)
Non Ionik (Geronol)
Uji Karakteristik Pestisida Nabati :
Appearance, pH, Indeks Bias, Viskositas,
Ukuran dan Distribusi Partikel (PSA)
Uji Stabilitas Emulsi
Neem Oil 30%
n-Heksana 60%
Surfaktan 10%
An ionik (MES)
(Variasi)
Non Ionik (PMO)
300 EC n-Heksana
(MES : PMO)
Neem Oil 30%
n-Heksana 60%
Surfaktan 10%
An ionik (MES)
(Variasi)
Non Ionik (PMO)
PSA
(Formula dengan Ukuran Partikel Terendah)
0,5-5% Pestisida Mimba dalam 10 mL air
Analisis : (0-6 Jam/ menit)
Pengukuran Creaming
(Keseluruhan Formula)
0,5-5% Pestisida Mimba dalam 10 mL air
Analisis : Jam ke – 0; 0,5; 2; 24; dan 24,5
Formula Terbaik
(Sesuai dengan Standar)
Standar : a. pH : 4,1-7,5;
b. Viskositas : minimal 0,2 Cp;
c. Ukuran Partikel : Nanoemulsi (Terendah);
d. Distribusi Partikel : 0,08-0,7
e. Creaming : maksimal 0,2 mL (24 Jam)
31
3.4. Prosedur Penelitian
3.4.1. Preparasi Sampel
Ditimbang masing–masing bahan sesuai dengan persentase komposisinya
untuk dapat menghasilkan pestisida Mimba dengan konsentrasi 300 EC (Savitri
dan Meliana, 2014). Persentase jumlah minyak mimba dan pelarut sebagai
variabel tetap dan persentase jumlah surfaktan serta jenis pelarut sebagai variabel
bebas. Persentase komposisi bahan pada setiap formulasi dapat dilihat pada Tabel
3, Tabel 4, dan Tabel 5. (Perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 1).
Tabel 3. Persentase Komposisi Pestisida Mimba 300 EC dengan Penggunaan Pelarut n–
Heksana serta Surfaktan (Rodakal : Geronol)
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Minyak Mimba 30% 30% 30% 30% 30% 30% 30% 30% 30%
Pelarut
(n–Heksana) 60% 60% 60% 60% 60% 60% 60% 60% 60%
Surfaktan
An – ionik
(Rodakal)
1% 2% 3% 4% 5% 6% 7% 8% 9%
Surfaktan
Non–ionik
(Geronol)
9% 8% 7% 6% 5% 4% 3% 2% 1%
Tabel 4. Persentase Komposisi Pestisida Mimba 300 EC dengan Penggunaan Pelarut n–
Heksana serta Surfaktan (MES : PMO)
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Minyak Mimba 30% 30% 30% 30% 30% 30% 30% 30% 30%
Pelarut
(n-Heksana) 60% 60% 60% 60% 60% 60% 60% 60% 60%
Surfaktan
An – ionik
(MES)
1% 2% 3% 4% 5% 6% 7% 8% 9%
Surfaktan
Non–ionik
(PMO)
9% 8% 7% 6% 5% 4% 3% 2% 1%
32
Tabel 5. Persentase Komposisi Pestisida Mimba 300 EC dengan Penggunaan Pelarut
Pegasol serta Surfaktan (MES : PMO)
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Minyak Mimba 30% 30% 30% 30% 30% 30% 30% 30% 30%
Pelarut
(Pegasol) 60% 60% 60% 60% 60% 60% 60% 60% 60%
Surfaktan
An – ionik
(MES)
1% 2% 3% 4% 5% 6% 7% 8% 9%
Surfaktan
Non–ionik
(PMO)
9% 8% 7% 6% 5% 4% 3% 2% 1%
Minyak mimba, surfaktan anionik, dan pelarut organik dicampurkan dan
dihomogenkan dengan homogenizer selama 15–30 menit. Penambahan surfaktan
non ionik ke dalam campuran dilakukan setelah mencapai batas waktu tersebut.
Campuran kembali dihomogenkan selama ± 1 jam dengan kecepatan 8000 rpm.
Pestisida Mimba 300 EC yang diperoleh dari hasil homogenisasi dimasukkan ke
dalam botol sampel dan dijaga kesterilannya.
3.4.2. Karakterisasi Pestisida nabati Mimba 300 EC
3.4.2.1. Pengukuran Derajat Keasaman dengan pH meter (AOAC, 1995)
Alat pH meter dikalibrasi dengan menggunakan larutan penyangga dengan
pH 4 dan pH 7. Pestisida mimba dikondisikan pada suhu kamar. Pembilasan pH
meter dengan air suling dilakukan. Dilanjutkan pembilasan dengan menggunakan
sampel. Elektroda dicelupkan ke dalam sampel selama ±1 menit atau sampai pH
meter menunjukkan pH konstan. Pengukuran dilakukan secara duplo.
33
3.4.2.2. Pengukuran Viskositas dengan Viskometer Ostwald
Digunakan air sebagai pembanding. Air dimasukkan melalui tabung A
kemudian dihisap agar masuk ke tabung B tepat sampai batas a kemudian
dilepaskan dan siapkan stopwatch sebagai pengukur waktu. Waktu yang
diperlukan air untuk bergerak dari permukaan a sampai b diumpamakan sebagai
t1. Percobaan diganti dengan sampel pestisida mimba 300 EC dengan waktu alir
yang diumpamakan sebagai t2.
3.4.2.3. Pengukuran Indeks Bias dengan Refraktometer (Digital)
1–2 tetes pestisida nabati diteteskan di atas lensa optik refraktometer.
Tombol start ditekan. Layar akan menunjukkan hasil pengukuran nilai indeks
bias. Lensa optik dibersihkan dengan menggunakan aquadest dan alkohol setelah
alat selesai digunakan.
3.4.2.4. Pengukuran Ukuran dan Distribusi Partikel dengan PSA
0,5–5 % pestisida mimba diambil dengan pipet mikro dan dimasukkan ke
dalam gelas ukur. Pengenceran dengan aquademin dilakukan hingga volume tera
mencapai 10 mL. Hasil pengenceran dianalisis dengan menggunakan alat PSA.
Hasil terbaik dengan ukuran partikel skala nanoemulsi diuji stabilitas emulsinya
dalam kurun waktu 6 jam/10 menit (pada sampel yang sama).
34
3.4.2.5. Uji Stabilitas Emulsi (FAO/WHO, 2002)
0,5–5% pestisida mimba dilarutkan dalam 10 mL air. Dilakukan proses
pengocokan. Creaming diukur pada jam ke–0; 0,5; 2; 24; dan 24,5. Pada jam ke–
24 proses re–emulsifikasi dilakukan.
3.4.3. Analisis Data
Analisis data pada penelitian ini dilakukan secara deskriptif serta didukung
dengan penggunaan metode analisis statistik yaitu Uji Mann Whitney U atau U–
Test pada software SPSS guna menggambarkan pengaruh variabel bebas terhadap
karakteristik pH, indeks bias, viskositas, ukuran dan distribusi partikel, serta
stabilitas emulsi dari formula pestisida yang diperoleh. Signifikansi pengaruh
variasi konsentrasi surfaktan pada formula digambarkan melalui analisis regresi
linier. Hasil analisis ditampilkan dalam bentuk tabel, grafik, dan gambar.
35
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Formulasi Pestisida Mimba 300 EC
Pestisida nabati dibuat dalam konsentrasi 300 Emulsifiable Concentrate
(EC) dengan komposisi yang terdiri atas bahan utama (minyak mimba), surfaktan
an–ionik, surfaktan non ionik, dan pelarut organik. Variasi komposisi surfaktan
dilakukan pada penelitian guna memperoleh formula dengan sistem emulsi yang
paling stabil. Shtyka dan Sek (2016) menyatakan bahwa surfaktan memberikan
pengaruh yang cukup besar terhadap stabilitas emulsi serta ukuran dan distribusi
dari suatu partikel. Penggunaan surfaktan campuran (anionik dan nonionik) juga
dinilai lebih efektif dalam proses emulsifikasi dan stabilisasi emulsi dibandingkan
dengan penggunaan surfaktan tunggal (nonionik) (Tadros, 2013).
Surfaktan anionik bekerja dengan membentuk gaya tolak–menolak
elektrostatik melalui adsorpsi ion surfaktan pada permukaan molekul minyak
sehingga membentuk lapisan rangkap listrik (electrical double layer) dan
menghasilkan gaya tolakan coloumb antara partikel individu yang dapat
mencegah molekul–molekul minyak untuk berkoagulasi, sedangkan surfaktan
nonionik bekerja dengan membentuk suatu efek sterik yang juga dapat
menghambat terjadinya proses koagulasi (Fernandez dan Jebbanema, 2007).
36
Gambar 6. (a) Electrostatic Repulsion (Daya Tolak Antar Partikel Dengan
Muatan Sejenis) (b) Steric Stabilization (Stabilisasi yang
Disebabkan Oleh Adanya Efek Sterik/ Ruang/ Keruahan yang
Dibentuk Oleh Surfaktan Pada Sekeliling Pusat Zat Terdispersi
(Minyak)) (Sumber : Herees et al., 2014).
Mekanisme kerja surfaktan pada (Gambar 6) membuktikan adanya
sinergisme antara surfaktan anionik dan surfaktan non ionik, dimana penggunaan
campuran surfaktan lebih baik dibandingkan dengan penggunaan surfaktan
tunggalnya. Keseimbangan nilai Hydrophilic–Lipophilic Balance (HLB) pada
dasarnya juga menjadi faktor penentu kestabilan sistem emulsi (Supriyo, 2007).
Pembentukan emulsi Oil in Water (O/W) (Gambar 7) yang dilakukan pada
penelitian ini bertujuan untuk menjadikan formula pestisida sebagai fase dispersi
(zat yang terbagi–bagi menjadi butiran kecil ke dalam zat cair lain) dan air sebagai
fase kontinyu (zat cair dalam emulsi yang berfungsi sebagai bahan dasar dari
emulsi tersebut).
38
emulsi merupakan spesifikasi utama yang perlu dimiliki oleh suatu formulasi EC,
mengingat proses aplikasi yang sangat bergantung terhadap sistem emulsi.
Proses formulasi pada penelitian ini menghasilkan 27 formula pestisida
mimba 300 EC dengan bobot masing–masingnya sebesar 40 gram. Hasil
formulasi secara berurutan ditunjukkan pada Gambar 8, Gambar 9, dan Gambar
10.
Gambar 8. Hasil Formulasi Pestisida Mimba 300 EC Dengan Penggunaan
Pelarut n–Heksana Serta Surfaktan Anionik (Rodakal) dan Surfaktan
Nonionik (Geronol) Dengan Perbandingan Konsentrasi yaitu (a) 1% :
9%, (b) 2% : 8%, (c) 3% : 7%, (d) 4% : 6%, (e) 5% : 5%, (f) 6% : 4%, (g)
7% : 3%, (h) 8% : 2%, (i) 9% : 1% (Dokumentasi Pribadi, 2017).
Gambar 9. Hasil Formulasi Pestisida Mimba 300 EC Dengan Penggunaan
Pelarut n–Heksana Serta Surfaktan Anionik (MES) dan Surfaktan
Nonionik (PMO) Dengan Perbandingan Konsentrasi yaitu (a) 1% : 9%,
(b) 2% : 8%, (c) 3% : 7%, (d) 4% : 6%, (e) 5% : 5%, (f) 6% : 4%, (g) 7%
: 3%, (h) 8% : 2%, (i) 9% : 1% (Dokumentasi Pribadi, 2017).
39
Gambar 10. Hasil Formulasi Pestisida Mimba 300 EC Dengan Penggunaan
Pelarut Pegasol Serta Surfaktan Anionik (MES) dan Surfaktan Nonionik
(PMO) Dengan Perbandingan Konsentrasi yaitu (a) 1% : 9%, (b) 2% :
8%, (c) 3% : 7%, (d) 4% : 6%, (e) 5% : 5%, (f) 6% : 4%, (g) 7% : 3%, (h)
8% : 2%, (i) 9% : 1% (Dokumentasi Pribadi, 2017).
4.2.1. Warna
Berdasarkan hasil yang diperoleh, dapat diketahui bahwa penggunaan
paduan surfaktan MES : PMO (Gambar 9 dan Gambar 10) cenderung
memberikan warna yang lebih pekat terhadap formula dibandingkan dengan
penggunaan surfaktan Rodakal : Geronol (Gambar 8). Pewarnaan dari pestisida
dipengaruhi oleh karakteristik warna dari surfaktan, dimana surfaktan MES
berwarna cokelat muda, PMO berwarna kuning, Rodakal berwarna kuning muda,
dan Geronol tidak berwarna (putih bening).
Pengaruh variasi pelarut (Gambar 11) terhadap warna menunjukkan bahwa
pada jenis surfaktan dan perbandingan konsentrasi surfaktan anionik dan non
ionik yang serupa yaitu MES : PMO (1% : 9%) dengan penggunaan pelarut n–
Heksana pada formula cenderung menunjukkan perbedaan warna yang lebih gelap
dibandingkan dengan penggunaan pelarut pegasol, sementara pada penggunaan
jenis surfaktan Rodakal : Geronol (1% : 9%) dengan pelarut n–Heksana warna
yang dihasilkan cenderung lebih cerah dibandingkan dengan kedua formula
41
4.2.2. Odor/ Aroma
Zat cair dengan tekstur yang cukup kental, berwarna kuning hingga cokelat,
dengan odor/ aroma khas garlic/ bawang putih merupakan karakteristik utama
dari minyak mimba (Hasmat et al., 2012) yang secara spesifik terkandung dalam
formula pestisida yang diperoleh. Produk pestisida komersil seperti NeemAzal,
Bioneem, Organeem, Azaguard, Azatin, dan produk lainnya (dengan bahan utama
minyak mimba) juga memiliki karakteristik yang serupa (MSDS Produk). Cush
(2006) menyatakan bahwa pelarut merupakan satu–satunya faktor yang dapat
mempengaruhi odor/ aroma dari suatu formula pestisida EC.
4.2.3. pH
Pengukuran nilai pH bertujuan untuk meminimalisir potensi dekomposisi
zat aktif dalam bahan utama, ketidaksesuaian sifat fisik dari formula, serta potensi
korosi (pengkaratan) yang mungkin disebabkan oleh kondisi pH formula
(FAO/WHO, 2002). Nilai pH diukur pada suhu kamar.
Hasil analisis pH pada (Gambar 12) menunjukkan bahwa secara
keseluruhan, masing–masing formula pestisida mimba memiliki nilai pH yang
berkisar antara 3,9–6,9. Industri pestisida telah menetapkan rentang nilai pH yang
diizinkan dalam suatu formula pestisida yaitu 4,1–7,5 (El–Sayed dan Mohammad,
2014). Terdapat beberapa formula pestisida mimba yang tidak memenuhi kriteria
tersebut, diantaranya ialah formula pestisida dengan penggunaan pelarut
n–Heksana dan surfaktan Rodakal : Geronol dengan konsentrasi (2% : 8%), (8% :
2%), dan (9% : 1%) (% w).
42
Gambar 12. Pengaruh Perbandingan Konsentrasi Surfaktan Terhadap pH
Formulasi
Berdasarkan hasil uji statistik (U–test) pada variasi pelarut dengan taraf
signifikansi sebesar 5% menunjukkan bahwa nilai (P>0,05), yang berarti bahwa
penggunaan variasi pelarut tidak memberikan perbedaan yang nyata terhadap nilai
pH. Hasil analisis stastistik variasi surfaktan menunjukkan bahwa nilai (P<0,05),
yang berarti bahwa penggunaan variasi surfaktan memberikan perbedaan yang
nyata terhadap nilai pH (hasil analisis statistik dapat dilihat pada Lampiran 4).
Hasil analisis regresi linier pada perbandingan konsentrasi surfaktan
menunjukkan bahwasanya penambahan surfaktan anionik pada tiap formula
cenderung menurunkan nilai pH sebesar 6,34% (surfaktan Rodakal) dan 12,47%
(surfaktan MES) menjadi lebih asam. Penggunaan surfaktan Rodakal menurunkan
nilai pH menjadi lebih rendah jika dibandingkan dengan penggunaan surfaktan
MES. Hal ini dikarenakan terjadi akibat adanya perbedaan hibridisasi atom
karbon antara Rodakal dan MES, dimana Rodakal mengandung senyawa benzena
yang atom karbonnya terhibridisasi sp2
(karakter s 33,3%), sedangkan MES
0
1
2
3
4
5
6
7
8
1 : 9 2 : 8 3 : 7 4 : 6 5 : 5 6 : 4 7 : 3 8 : 2 9 : 1
pH
Perbandingan Konsentrasi Surfaktan (%)
Rodakal : Geronol (Heksana) MES : PMO (Heksana) MES : PMO (Pegasol)
43
mengandung atom karbon yang terhibridisasi sp3
(karakter s 25%). Karakter s
orbital karbon yang lebih besar pada hibridisasi sp2 menyebabkan bertambahnya
keelektroegatifan karbon tersebut dan menambah polaritas ikatan C–H sehingga
menyebabkan bertambahnya kuat asam (Pavia et al., 1995). Peningkatan
konsentrasi surfaktan MES yang cenderung dapat menurunkan nilai pH sebesar
12,47% disebabkan oleh adanya efek induksi (–I) dari gugus ester (gugus penarik
elektron) yang terdapat pada surfaktan MES, dimana efek tersebut dapat
menstabilkan anion sulfat dengan cara menarik elektron dan menyebabkan
berkurangnya kerapatan elektron sehingga meningkatkan proses ionisasi atom Na
dan Ca serta dapat memberikan pengaruh terhadap peningkatan keasaman
(penurunan nilai pKa) formula.
Senyawa azadirachtin yang merupakan bahan aktif utama yang terdapat
dalam minyak mimba stabil dalam kondisi pH 4–6 pada suhu kamar, sedangkan
diluar kondisi tersebut azadirachtin mengalami ketidakstabilan (Aremu dan
Femi–Oyewo, 2009). Peningkatan nilai pH dapat terjadi dengan adanya proses
emulsifikasi, dalam hal ini penambahan air akan merubah nilai pH formula untuk
mendekati atau bahkan netral (pH = 7) pada saat pengaplikasian. Berdasarkan
penelitian Olfat dan El-Shiekh (2012) dalam menentukan perubahan sifat fisiko–
kimia Neem Oil 90% EC (telah diemulsikan dengan air) pada kondisi suhu serta
waktu penyimpanan yang berbeda menunjukkan bahwa peningkatan nilai pH
hanya sebesar ±0,2 dibandingkan dengan pH awal emulsifikasi, sehingga dapat
diketahui bahwa kondisi suhu serta waktu penyimpanan tidak akan merubah pH
formula secara signifikan.
44
Efek pH pada lingkungan juga perlu menjadi perhatian penting. Penggunaan
pestisida dengan pH yang tidak sesuai dapat mempengaruhi kesuburan tanah
sehingga mengurangi nutrisi bagi tanaman (pH asam memudahkan pengikatan
senyawa logam pada tanaman secara berlebih) (Buhani and Suharso, 2006),
kelangsungan hidup mikroorganisme (Sodiq, 2000), serta dapat menyebabkan
pestisida tidak dapat terabsorpsi dengan baik (penyerangan non target), akibatnya
berpotensi meracuni air tanah serta air pada aliran permukaan, dimana hal tersebut
akan menyebabkan polusi pada sungai, danau, dan air tanah (Prabowo dan
Subantoro, 2012). Kondisi pH 5–6,5 merupakan kondisi pH tanah yang sesuai
untuk pertumbuhan tanaman (Bande et al., 2016).
Penggunaan jenis alat semprot pada aplikasi pestisida disesuaikan dengan
luas lahan yang digunakan. Terdapat berbagai jenis alat semprot, yang mana
secara umum terdapat bahan besi maupun logam pada bagiannya. Reaksi bahan
dengan O2 (Oksigen) berpotensi menyebabkan korosi pada alat dalam jangka
waktu tertentu. pH pestisida yang tidak sesuai (terlalu asam) dapat mempercepat
prosesnya. Hal ini didukung oleh Whitman dan Russel (1999) dalam Devi (2010)
yang menyatakan bahwa lingkungan asam dapat mempercepat terjadinya proses
korosi, terutama pada larutan dengan pH 1 sampai 4, prosesnya berlangsung
sangat cepat.
4.2.4. Viskositas
Pengukuran nilai viskositas dilakukan untuk mengetahui karakteristik laju
alir dari formula pestisida. Pestisida mimba bertindak sebagai fase dispersi dalam
proses emulsifikasi. Diketahui bahwa fase dispersi dapat memberikan pengaruh
45
yang signifikan terhadap viskositas emulsi (Rozanska et al., 2014) serta dapat
berpengaruh pada drift (proses penyebaran pestisida ke udara melalui
penyemprotan oleh petani yang terbawa angin) dalam proses aplikasi (Buhler et
al., 2007). Analisis viskositas dilakukan dengan menggunakan viskometer
Ostwald pada suhu kamar (perhitungan nilai viskositas dapat dilihat pada
Lampiran 3).
Hasil analisis pada (Gambar 13) menunjukkan bahwa formula pestisida
dengan penggunaan pelarut Pegasol dan surfaktan MES : PMO memiliki nilai
viskositas yang mendominasi. Perbedaan yang nyata dengan variasi surfaktan dan
pelarut telah diperoleh dari hasil uji statistik (U–test) pada taraf signifikansi
sebesar 5% menunjukkan bahwa masing–masing variasi menunjukkan nilai
probabilitas (<0,05), yang berarti bahwa jenis pelarut dan jenis surfaktan
memberikan perbedaan yang nyata terhadap nilai viskositas formula (hasil analisis
statistik dapat dilihat pada Lampiran 4).
Gambar 13. Pengaruh Perbandingan Konsentrasi Surfaktan Terhadap Viskositas
Formulasi
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
4.5
1 : 9 2 : 8 3 : 7 4 : 6 5 : 5 6 : 4 7 : 3 8 : 2 9 : 1
Vis
ko
sita
s (C
p)
Perbandingan Konsentrasi Surfaktan (%)
Rodakal : Geronol (Heksana) MES : PMO (Heksana) MES : PMO (Pegasol)
46
Analisis persamaan regresi linier juga menunjukkan bahwa seiring
berkurangnya konsentrasi surfaktan non ionik, nilai viskositas cenderung
mengalami penurunan sebesar 15,77% (surfaktan Geronol) dan 22,36% (surfaktan
PMO). Penggunaan surfaktan non ionik dapat meningkatkan nilai viskositas
formula dikarenakan terdapatnya atom O dan atom C dengan jumlah yang lebih
besar pada surfaktan non ionik, sehingga penambahan konsentrasinya dapat
meningkatkan bobot molekul formula. Mezger (2011) mengemukakan bahwa
tekanan, temperatur, ukuran dan bobot molekul, serta kekuatan antar molekul
merupakan faktor yang berpengaruh terhadap viskositas dari suatu fluida cair.
Homberg et al. (2002) dalam Nazrifah (2012) menyatakan bahwa kenaikan
maupun penurunan viskositas disebabkan karena meningkatnya atau menurunnya
konsentrasi partikel, demikian pula sifat bahan alir yang bergantung pada
viskositas dan densitas cairan.
Viskositas Pegasol sebesar 1,2 Cp (pada 25°C) yang lebih besar
dibandingkan dengan viskositas n–Heksana 0,293 Cp (pada 25°C) menjadikan
formula pestisida dengan penggunaan pelarut Pegasol memiliki nilai viskositas
yang lebih tinggi. Senyawa penyusun Pegasol yang lebih kompleks menjadikan
nilai viskositas Pegasol cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan nilai
viskositas n–Heksana, karena Pegasol tersusun atas senyawa Aromatik
hidrokarbon C9–C11; 1,2,3,5–Tetrametil Benzena; 1,2,4,5–Tetrametil Benzena;
dan Naftalena (Shimidzu et al., 2008). Hal tersebut didukung oleh Cush (2008)
yang menyatakan bahwa penggunaan pelarut dapat memberikan pengaruh
terhadap nilai viskositas suatu formulasi EC.
47
Standar viskositas terendah dari suatu formula pestisida cair (termasuk
formulasi EC) menurut FAO/WHO (2010) ialah sebesar 0,2 Cp. Viskositas rata–
rata yang dimiliki oleh tiap formula pada penelitian ini ialah 76,65% (pestisida
mimba dengan pelarut n–Heksana dan surfaktan Rodakal dan Geronol), 36,07%
(pestisida mimba dengan pelarut n–Heksana dan surfaktan MES dan PMO), serta
305,3% (pestisida mimba dengan pelarut Pegasol dan surfaktan MES dan PMO)
lebih besar dibandingkan dengan viskositas air pada suhu ruang (27 °C) yaitu
0,8509 Cp.
Hasil penelitian Vasquez–Castro et al. (2007) menunjukkan bahwa
penambahan formula EC dengan nilai viskositas sebesar 1,84 Cp terhadap air
dapat menghasilkan nilai viskositas emulsi 82% lebih tinggi dibandingkan
viskositas air. Picot dan Kristmanson (2012) berpendapat bahwa viskositas dari
suatu formula dapat berpengaruh terhadap laju alir serta memberikan sedikit
pengaruh terhadap ukuran partikel yang terdistribusi pada alat semprot dalam
proses pengaplikasian. Formula pestisida dengan nilai viskositas yang rendah
memudahkan proses pengemulsian bahan aktif di dalam air (bahan aktif
teremulsikan dalam bentuk droplet) (Tadros, 2013). Semakin mudahnya bahan
aktif untuk terdispersi maka proses pengaplikasian akan lebih efektif.
Beberapa pendapat menyatakan bahwa nilai viskositas yang rendah dapat
mempengaruhi drift dari pestisida. Pengaruh tersebut dapat diminimalisir dengan
menggunakan suatu thickeners yang berfungsi untuk menambah viskositas dan
mengurangi drift (Goodman, 2011). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan
Schampheleire et al. (2008) dalam menentukan pengaruh penambahan thickeners
terhadap pengurangan drift dari 10 pestisida dengan formulasi yang berbeda
48
menunjukkan bahwa pada formulasi cair (termasuk formulasi EC yang telah
diemulsikan) pengurangan drift tidak cukup efektif jika dibandingkan dengan tipe
formulasi padat.
Beberapa cara lain yang dapat digunakan untuk meminimalisir hal tersebut
ialah dengan mempertimbangkan penggunaan tipe dan ukuran nozzle/ lubang
semprot (semakin besar ukuran nozzle yang digunakan maka ukuran droplet yang
dihasilkan akan semakin besar), mempertimbangkan seberapa besar tekanan yang
akan dipakai pada saat penyemprotan, serta dengan memperhatikan kondisi cuaca
serta angin sebelum maupun setelah dilakukannya proses aplikasi (Buhler et al.,
2007).
4.2.5. Indeks Bias
Indeks bias merupakan besaran yang menyatakan kerapatan optik suatu
medium atau nilai perbandingan antara proyeksi sinar datang dan proyeksi sinar
bias (Tahir, Wijaya, dan Nuroniah, 2008). Reinhard dan Drefahl (1999)
mengemukakan bahwa indeks bias dapat digunakan untuk mengukur kemurinan
suatu senyawa, mengestimasi nilai titik didih, mengestimasi nilai viskositas
larutan, dan menghitung kepolaran suatu molekul. Pengukuran nilai indeks bias
pada masing–masing formula dilakukan dengan menggunakan Refraktometer
Digital merk (Atago, USA) pada suhu kamar.
Hasil analisis statistik (U–Test) berdasarkan pada variasi pelarut dan variasi
surfaktan pada taraf signifikansi sebesar 5% menunjukkan nilai (P<0,05) yang
berarti bahwa penggunaan variasi pelarut dan variasi surfaktan memberikan
perbedaan yang nyata terhadap nilai indeks bias (hasil analisis statistik dapat
49
dilihat pada Lampiran 4). Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi nilai indeks
bias diantaranya ialah temperatur, tekanan (Ali et al., 2003) dan massa jenis
(kerapatan) (Liu dan Daum, 2008).
Berdasarkan hasil yang diperoleh pada (Gambar 14) diketahui bahwa
penggunaan pelarut Pegasol pada pestisida mimba cenderung memberikan nilai
indeks bias yang lebih tinggi dibandingkan dengan pestisida mimba dengan
penggunaan pelarut n–Heksana. Kandungan senyawa pada pelarut Pegasol
terbilang lebih kompleks dibandingkan n–Heksana, sehingga mempengaruhi
kerapatan molekulnya. Tingginya kerapatan molekul suatu medium menyebabkan
cahaya akan lebih dibiaskan, sehingga dapat meningkatkan nilai indeks bias
formula.
Gambar 14. Pengaruh Perbandingan Konsentrasi Surfaktan Terhadap Nilai
Indeks Bias Formulasi
Hasil analisis regresi linier juga menunjukkan bahwa peningkatan
konsentrasi surfaktan anionik (Rodakal) serta surfaktan non ionik (PMO)
1.34
1.36
1.38
1.4
1.42
1.44
1.46
1.48
1.5
1.52
1 : 9 2 : 8 3 : 7 4 : 6 5 : 5 6 : 4 7 : 3 8 : 2 9 : 1
Ind
eks
Bia
s
Perbandingan Konsentrasi Surfaktan (%)
Rodakal : Geronol (Heksana) MES : PMO (Heksana) MES : PMO (Pegasol)
50
cenderung meningkatkan nilai indeks bias formula pestisida 37,02% dan 1,12%
lebih besar akibat jumlah ikatan rangkap yang lebih besar dibandingkan dengan
jumlah ikatan rangkap pada surfaktan anionik (MES) serta surfaktan non ionik
(Geronol). Tahir, Wijaya, dan Nuroniah (2008) menyatakan bahwa ikatan rangkap
dapat meningkatkan kerapatan antar molekul, sehingga cahaya datang pada bahan
akan lebih dibiaskan.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Olfat dan El-Shiekh
(2012) dengan analisis pengaruh suhu dan kondisi penyimpanan terhadap nilai
indeks bias pada formula pestisida 90% EC menunjukkan bahwa pada kondisi
awal formulasi, penyimpanan indoor, penyimpanan pada suhu 54 °C,
penyimpanan outdoor, serta penyimpanan pada suhu 72 °C dengan waktu
penyimpanan yang berbeda tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
nilai indeks bias.
Emulsi yang termasuk ke dalam kategori partikel koloid memiliki sifat yaitu
efek tyndall (light scattering/ penghamburan cahaya). Sifat tersebut memberikan
efek penghamburan cahaya ke segala arah oleh partikel koloid (ukuran partikel
koloid berkisar antara 1–1000 nm) (Gottselig et al., 2016). Pfaffilin dan Ziegler
(2006) mengemukakan bahwa salah satu faktor yang dapat mempengaruhi sifat
tersebut ialah indeks bias, dimana indeks bias dapat mempengaruhi intensitas
penyerapan cahaya oleh partikel koloid. Semakin tinggi nilai indeks bias maka
intensitas cahaya yang dapat diserap oleh partikel koloid akan semakin berkurang,
akibatnya pengurangan efek penghamburan cahaya oleh partikel koloid dapat
terjadi.
51
4.2.6. Ukuran dan Distribusi Partikel
Analisis ukuran dan distribusi partikel dilakukan untuk meminimalisir
ketidakstabilan sistem emulsi yang dapat ditimbulkan oleh ukuran serta distribusi
partikel yang tidak sesuai. Besarnya ukuran partikel serta distribusi partikel yang
tidak merata dapat meningkatkan kemungkinan partikel fase dispersi untuk
berkoagulasi (Troy dan Beringer, 2006). Pengukuran dilakukan dengan alat
Particle Size Analyzer (PSA) menggunakan sistem Dynamic Light Scattering
(DLS), dimana intensitas cahaya yang dihamburkan oleh partikel menjadi prinsip
dasar pengukurannya (Chen et al., 2013). Nilai ukuran partikel dalam analisis
PSA dinyatakan sebagai z–Average (ukuran partikel rata–rata) sedangkan nilai
distribusi partikel dalam analisis PSA dinyatakan sebagai PI (Polydispersity
Indeks). (Nilai ukuran dan distribusi partikel dapat dilihat pada Lampiran 6).
Gambar 15. Pengaruh Perbandingan Konsentrasi Surfaktan Terhadap Ukuran
Partikel Formulasi
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
7000
8000
9000
1 : 9 2 : 8 3 : 7 4 : 6 5 : 5 6 : 4 7 : 3 8 : 2 9 : 1
z -
Ave
rag
e
(nm
)
Perbandingan Konsentrasi Surfaktan (%)
Rodakal : Geronol (Heksana) MES : PMO (Heksana) MES : PMO (Pegasol)
52
Gambar 16. Pengaruh Perbandingan Konsentrasi Surfaktan Terhadap Distribusi
Partikel Formulasi
Hasil analisis statistik (U-Test) ukuran partikel pada (Gambar 15) serta
distribusi partikel pada (Gambar 16) dengan taraf signifikansi sebesar 5%
menunjukkan bahwa keduanya memiliki nilai (P<0,05) pada variasi pelarut,
sedangkan nilai (P>0,05) ditunjukkan pada variasi surfaktan (hasil analisis
statistik dapat dilihat pada Lampiran 4). Hal tersebut berarti bahwa penggunaan
variasi pelarut memberikan perbedaan yang nyata terhadap ukuran dan distribusi
partikel formula.
Pengaruh yang diberikan pelarut terhadap ukuran partikel disebabkan oleh
perbedaan konstanta dielektrik (ε) pada masing–masing pelarut. Konstanta
dielektrik merupakan pengukur relatif kepolaran dari suatu pelarut (Wakai et al.,
2005). Farrukh et al. (2016) dalam penelitiannya telah membuktikan bahwa
kesesuaian konstanta dielektrik (kepolaran) antara pelarut dan zat terlarut akan
menyebabkan ukuran partikel zat terlarut semakin kecil.
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
1.8
2
1 : 9 2 : 8 3 : 7 4 : 6 5 : 5 6 : 4 7 : 3 8 : 2 9 : 1
PI
(Po
lyd
isp
ers
ity I
nd
ek
s)
Perbandingan Konsentrasi Surfaktan (%)
Rodakal : Geronol (Heksana) MES : PMO (Heksana) MES : PMO (Pegasol)
53
N–Heksana memiliki konstanta dielektrik sebesar 1,89 (Naik et al., 2012).
Rendahnya nilai tersebut mengindikasikan bahwa kepolaran yang dimiliki ialah
sangat rendah (bersifat non polar) dibandingkan dengan pelarut Pegasol. Diduga
pelarut Pegasol memiliki konstanta dielektrik ≥ 2,284 (ε senyawa Benzena (Naik
et al., 2012)) akibat kandungan senyawa Benzena yang mendominasi pada
komposisi pelarut Pegasol. Sesuai dengan prinsip Like Dissolve Like, dimana
minyak mimba yang bersifat non polar (nilai ε pada minyak nabati cenderung
rendah (Samaro, 2011)) akan mudah larut dalam pelarut yang juga bersifat non
polar, sehingga perbedaan nilai konstanta dielektrik antara pelarut dan zat terlarut
akan mempengaruhi nilai kelarutan (Tippavajhala et al., 2017).
Peningkatan kelarutan menandakan besarnya interaksi antara zat terlarut dan
pelarut akibat luas permukaan partikel yang cenderung meningkat seiring dengan
berkurangnya ukuran partikel zat terlarut. N–Heksana yang lebih bersifat non
polar dibandingkan pelarut Pegasol dapat meningkatkan kelarutan, sehingga
mempengaruhi nilai ukuran partikel dari minyak mimba sebagai fase terdispersi.
Berkurangnya nilai ukuran partikel dapat mempengaruhi nilai distribusi partikel
secara langsung.
Analisis regresi linier juga menunjukkan bahwa peningkatan ukuran dan
distribusi partikel terjadi seiring dengan meningkatnya konsentrasi surfaktan
anionik, dimana ukuran partikel mengalami peningkatan sebesar 5683,42%
(surfaktan Rodakal) dan 16,41% (surfaktan MES), sedangkan nilai distribusi
partikel mengalami peningkatan sebesar 323,39% (surfaktan Rodakal) dan
28,33% (surfaktan MES). Bagian kepala surfaktan anionik yang bersifat polar
serta peningkatan konsentrasi surfaktan anionik pada formula menyebabkan
54
terjadinya peningkatan momen dipol, sehingga dapat meningkatkan interaksi
dipol–dipol antar molekul surfaktan dan memudahkan terjadinya pembentukan
aggregate (kumpulan molekul) (Ganguli dan Ganguli, 2012).
Partikel emulsi yang termasuk dalam kategori koloid semestinya tidak
terpengaruh oleh gaya gravitasi bumi karena pengendapan maupun pengapungan
partikel fase dispersi dapat dihambat oleh adanya pergerakan partikel secara terus
menerus dengan gerakan patah–patah atau zig–zag yang dikenal dengan gerak
brown (Ghernaout et al., 2015). Pergerakan tersebut dapat diukur dan dinyatakan
melalui nilai distribusi partikel yang diperoleh dari hasil analisis PSA. Semakin
kecil ukuran partikel, maka distribusi partikelnya akan semakin cepat, sedangkan
untuk partikel berukuran besar berlaku sebaliknya (Cheng et al., 2008).
Nilai ukuran dan distribusi partikel pestisida mimba yang diformulasikan
dengan menggunakan pelarut Pegasol serta surfaktan MES dan PMO dengan
konsentrasi (6% : 4%); (7% : 3%); (8% : 2%); dan (9% : 1%) tidak dapat
terdeteksi oleh alat karena ukuran partikel emulsi yang berada diluar kemampuan
analisis alat yaitu 0,3 nm–8 μm (HORIBA, 2012). Berdasarkan hal tersebut dapat
diindikasikan bahwa ukuran partikel yang dimiliki oleh emulsi > 8 μm.
Nilai distribusi partikel (PI) rata–rata untuk suatu emulsi berkisar antara
0,08–0,7. Dalam range tersebut sampel bersifat polidispersi (fase dispersi
teremulsikan) sehingga distribusi partikel dinilai cukup baik. Jika nilai PI dari
formula < 0,08 maka dapat dipastikan bahwa sampel bersifat monodispersi (fase
dispersi tersuspensikan), sedangkan apabila nilai PI ˃ 0,7 berarti bahwa sampel
memiliki distribusi yang sangat luas (fase dispersi terlarutkan) (Shaw, 2012).
Hasil yang diperoleh pada (Gambar 16) menunjukkan bahwa hanya terdapat
55
sekitar 62,96% dari keseluruhan formula yang memiliki kesesuaian dengan
standar nilai PI emulsi yang telah ditetapkan.
Selain penggunaan pelarut dan konsentrasi surfaktan anionik yang dapat
mengurangi nilai ukuran partikel, penggunaan teknik homogenizer juga
memberikan pengaruh terhadap ukuran partikel zat terlarut. BASF (2008)
menyatakan bahwa adanya tekanan yang tinggi memaksa bahan untuk melewati
celah sempit, sehingga pengadukan dengan bantuan homogenizer di dalam larutan
mengakibatkan partikel antar bahan akan lebih homogen (Gambar 17). Hal ini
sejalan dengan hasil studi yang telah dilakukan oleh Juttulapa dan Sriamornsak
(2017) dimana penggunaan homogenizer dapat memperkecil ukuran partikel serta
meningkatkan kestabilan sistem emulsi.
Gambar 17. Pengaruh Homogenizer Terhadap Partikel (Sumber : BASF, 2008).
Schwarz, Contescu, dan Putyera (2004) mengemukakan bahwa semakin
kecilnya ukuran partikel fase dispersi (formula pestisida), maka penghambatan
proses koagulasi akan semakin meningkat akibat terjadinya pengurangan interaksi
energi antar partikel. Berdasarkan hasil analisis dapat diketahui bahwa formula
pestisida mimba yang memiliki nilai ukuran partikel terkecil ialah formula
pestisida mimba dengan penggunaan pelarut n–Heksana serta surfaktan Rodakal
dan Geronol dengan perbandingan konsentrasi (1% : 9%) (hasil analisis PSA
dapat dilihat pada Lampiran 5). Nilai PI yang dimiliki juga sesuai dengan standar
yang telah ditetapkan yaitu sebesar 0,447. Dengan demikian, uji stabilitas emulsi
56
dilakukan pada formula tersebut, sesuai dengan standar uji stabilitas emulsi yang
telah ditentukan oleh FAO/WHO untuk suatu pestisida dengan formulasi EC.
4.2.7. Stabilitas Emulsi
Uji stabilitas emulsi dilakukan untuk menentukan apakah emulsi yang
terbentuk antara minyak mimba sebagai fasa terdispersi, pelarut (n–Heksana
maupun Pegasol) sebagai fase pendispersi, serta air yang bertindak sebagai fasa
kontinyu memiliki kestabilan sistem emulsi yang sesuai dengan standar yang telah
ditentukan oleh FAO untuk suatu formulasi EC ataukah tidak.
Pengujian kestabilan emulsi dilakukan dengan menganalisis pembentukan
cream setalah dilakukannya proses emulsifikasi. Terjadinya creaming merupakan
salah satu hal yang mengindikasikan ketidakstabilan sistem emulsi (Madaan et al.,
2014). Uji stabilitas emulsi dilakukan dengan pengukuran creaming secara
manual dalam kurun waktu 24,5 jam. Waktu pengukuran dilakukan pada jam ke–
0; 0,5; 2; 24, dan 24,5 setelah proses emulsifikasi dilakukan. Pada saat waktu
pengukuran telah mencapai 24 jam dilakukan proses re–emulsifikasi dengan
tujuan untuk mengetahui kemungkinan proses emulsifikasi ulang yang dapat
dilakukan pada sistem emulsi yang tidak stabil.
Hasil yang diperoleh pada (Tabel 6), (Tabel 7), dan (Tabel 8) menunjukkan
bahwa pada proses emulsifikasi sekitar 77,77% formula pestisida mimba dengan
penggunaan pelarut n–Heksana serta surfaktan Rodakal dan Geronol
menghasilkan emulsi yang cukup stabil, meskipun waktu creaming yang
dibutuhkan ialah beragam. Formulasi pestisida mimba dengan penggunaan pelarut
n–Heksana dan Pegasol serta surfaktan yang sama yaitu MES dan PMO masing–
57
masingnya menunjukkan bahwa hanya sekitar 22,22% dan 33,33% formula yang
memiliki kestabilan emulsi, karena sebagian besar creaming terjadi pada jam ke–0
setelah dilakukannya proses emulsifikasi.
Tabel 6. Hasil Uji Stabilitas Emulsi Pestisida Mimba Dengan Penggunaan Pelarut
n–Heksana Serta Surfakatan Rodakal dan Geronol
Perbandingan
Konsentrasi
Surfaktan (% w)
Waktu Creaming
0 Jam 0,5 Jam 2 Jam 24 Jam 24,5 Jam
1 : 9 0 mL 0,05 mL 0,05 mL 0,10 mL 0,05 mL
2 : 8 0 mL 0,20 mL 0,25 mL 0,25 mL 0,20 mL
3 : 7 0 mL 0,20 mL 0,25 mL 0,35 mL 0,20 mL
4 : 6 0 mL 0,20 mL 0,25 mL 0,40 mL 0,20 mL
5 : 5 0 mL 0,20 mL 0,25 mL 0,40 mL 0,20 mL
6 : 4 0 mL 0,30 mL 0,30 mL 0,40 mL 0,30 mL
7 : 3 0 mL 0,30 mL 0,40 mL 0,50 mL 0,30 mL
8 : 2 - - - - -
9 : 1 - - - - -
NB : (-) = Creaming Terjadi Dari Jam Ke – 0
Tabel 7. Hasil Uji Stabilitas Emulsi Pestisida Mimba Dengan Penggunaan Pelarut
n–Heksana Serta Surfakatan MES dan PMO
Perbandingan
Konsentrasi
Surfaktan (% w)
Waktu Creaming
0 Jam 0,5 Jam 2 Jam 24 Jam 24,5 Jam
1 : 9 0 mL 0,70 mL 0,85 mL 0,95 mL 0,70 mL
2 : 8 0 mL 0,60 mL 0,70 mL 0,85 mL 0,60 mL
3 : 7 - - - - -
4 : 6 - - - - -
5 : 5 - - - - -
6 : 4 - - - - -
7 : 3 - - - - -
8 : 2 - - - - -
9 : 1 - - - - -
NB : (-) = Creaming Terjadi Dari Jam Ke – 0
58
Tabel 8. Hasil Uji Stabilitas Emulsi Pestisida Mimba Dengan Penggunaan Pelarut
Pegasol Serta Surfakatan MES dan PMO
Perbandingan
Konsentrasi
Surfaktan (% w)
Waktu Creaming
0 Jam 0,5 Jam 2 Jam 24 Jam 24,5 Jam
1 : 9 0 mL 0,70 mL 0,85 mL 0,95 mL 0,70 mL
2 : 8 0 mL 0,90 mL 0,90 mL 0,85 mL 0,90 mL
3 : 7 0 mL 0,70 mL 0,85 mL 0,95 mL 0,70 mL
4 : 6 - - - - -
5 : 5 - - - - -
6 : 4 - - - - -
7 : 3 - - - - -
8 : 2 - - - - -
9 : 1 - - - - -
NB : (-) = Creaming Terjadi Dari Jam Ke – 0
Standar batas maksimum creaming dalam kurun waktu 2 jam menurut
FAO/WHO (2002) ialah sebesar 0,2 mL. Berdasarkan hasil pengukuran creaming
dapat diketahui bahwa formula pestisida yang memenuhi standar ialah pestisida
mimba dengan penggunaan pelarut n–Heksana serta surfaktan Rodakal dan
Geronol dengan perbandingan konsentrasi (1% : 9%). Kestabilan partikel emulsi
yang terbentuk pada formula tersebut dianalisis kembali dengan menggunakan
alat PSA.
Gambar 18. Hasil Uji Stabilitas Ukuran Partikel Emulsi Pestisida Mimba Dengan
Penggunaan Pelarut n–Heksana Serta Surfaktan Rodakal dan
Geronol Pada Perbandingan Konsentrasi (1% : 9%) dengan PSA
0
50
100
150
200
0 50 100 150 200 250 300 350 400
z-A
vera
ge (
nm
)
Waktu (Menit)
59
Gambar 19. Hasil Uji Stabilitas Distribusi Partikel Emulsi Pestisida Mimba
Dengan Penggunaan Pelarut n–Heksana Serta Surfaktan Rodakal dan
Geronol Pada Perbandingan Konsentrasi (1% : 9%) dengan PSA
Berdasarkan hasil anaisis PSA pada (Gambar 18 dan Gambar 19)
menunjukkan bahwa secara keseluruhan pembentukan partikel pada formula
cenderung stabil. Nilai PI (distribusi partikel) yang dimiliki masih berkisar dalam
batas standar (0,08–0,7), yang menandakan bahwa distribusi partikel cukup stabil
sehingga dapat menghambat terjadinya koagulasi antar partikel. Peningkatan
waktu emulsifikasi dapat meningkatkan ukuran partikel sebesar 1,86% serta dapat
meningkatkan distribusi partikel sebesar 5,2%.
Tegangan permukaan air pada suhu 20 °C berkisar antara 73 dyne/cm (The
International Association, 2007) sedangkan tegangan permukaan minyak Mimba
pada suhu 20 °C ialah sebesar 39 dyne/cm (Melo–Espinosa et al., 2013).
Perbedaan tegangan permukaan antar keduanya menjadikan nilai tegangan antar
muka campuran relatif tinggi. Dalam menurunkan tegangan tersebut maka
digunakan penambahan surfaktan yaitu zat yang aktif pada permukaan cairan
yang dapat menurunkan nilai tegangan antar muka dari kedua cairan yang
immiscible (tidak dapat saling bercampur).
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0 50 100 150 200 250 300 350 400
Po
lyd
isp
ersi
ty I
nd
ex (
PI)
Waktu (Menit)
61
Berdasarkan studi yang telah dilakukan oleh Ibrahim, Raman, dan Yusop
(2015) menyatakan bahwa panjang rantai hidrokarbon yang terkandung dalam
surfaktan dapat memberikan pengaruh terhadap stabilitas emulsi. Semakin
panjang rantai alkil hidrokarbon surfaktan (hidrofobik), maka kemampuan
surfaktan untuk menurunkan nilai Critical Micelle Concentration (CMC) ialah
semakin besar (Sjoblom, 2005). Nilai CMC pada dasarnya merupakan batas
konsentrasi kritis surfaktan dalam suatu larutan. Diatas konsentrasi tersebut akan
terjadi pembentukan micelle (kumpulan unit yang terdiri dari sejumlah molekul
surfaktan) atau aggregat (Supriyo, 2007).
Penambahan panjang rantai hidrokarbon (hidrofobik) dapat meningkatkan
aktivitas permukaan, sementara penambahan rantai hidrokarbon (hidrofilik) dapat
mengurangi aktivitas permukaan, dengan meningkatnya aktivitas tersebut maka
dapat menurunkan nilai tegangan permukaan (Attwood dan Florence, 2012). Dari
hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa emulsi yang paling stabil dimiliki oleh
pestisida nabati yang diformulasikan dengan pelarut n–Heksana serta surfaktan
Rodakal dan Geronol. Panjang rantai hidrokarbon (hidrofobik) surfaktan Rodakal
(C12) dan Geronol (C18) yang melebihi panjang rantai alkil surfaktan MES (C10)
dan PMO (C17) menjadi salah satu penyebab emulsi dari formula dengan
penggunaan surfaktan Rodakal dan Geronol bersifat lebih stabil.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Savitri (2016) dalam
menganalisis komponen penyusun minyak mimba menunjukkan bahwa sebagian
besar komponen penyusun minyak mimba merupakan asam lemak, dimana
perolehan hasil ditunjukkan pada Tabel 8.
62
Tabel 8. Hasil Analisis Minyak Mimba dengan Alat GC–MS
Komponen % kualitatif berdasarkan
peak area
4,7-Diethyl-1,2,3,5,6-pentathiepan 0.11
Asam Palmitoleat 0,27
Asam palmitat 15.60
Asam linoleat 9.17
Asam oleat 57.45
Asam stearat 11.28
Squalene 6.22
Jumlah 100.00
(Sumber : Savitri, 2016)
Selain menganalisis komponen senyawa penyusun minyak mimba, Savitri
(2016) juga menganalisis pengaruh penyemprotan pestisida mimba 300 EC
(formulasi dilakukan dengan penggunaan pelarut Pegasol serta surfaktan Rodakal
dan Geronol) terhadap komponen senyawa penyusun tanah. Hasil studi tersebut
menunjukkan bahwa konsentrasi penyemprotan sebesar 4% formula per–Liter air
tidak memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap komponen senyawa
penyusun tanah, hanya saja sedikit menurunkan konsentrasinya, sedangkan pada
konsentrasi yang lebih tinggi maupun lebih rendah pengaruh yang diberikan
cukup signifikan yaitu menyebabkan hilangnya beberapa komponen senyawa,
diantaranya ialah asam lemak.
Asam lemak pada dasarnya merupakan bagian dari senyawa non–humat
(bahan yang tidak terhumifikasi/ tidak mengalami proses pembentukan humus
(tanah yang sangat subur)) yang terdapat di dalam tanah, dimana dekomposisinya
dapat menghasilkan hara Nitrogen (N), Fosfor (P), dan Sulfur (S) yang berfungsi
sebagai unsur hara makro (unsur hara yang dibutuhkan tumbuhan dalam jumlah
yang relatif besar) bagi tumbuhan (Munawar, 2011).
63
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan
Simpulan yang didapat pada penelitian ini adalah :
1. Variasi komposisi surfaktan memberikan pengaruh yang nyata terhadap
warna, pH (menurun 6,34% untuk Rodakal dan 12,47% untuk MES), indeks
bias (meningkat 37,02% untuk Geronol dan 1,12% untuk PMO), dan
viskositas (menurun 15,77% untuk Rodakal dan 22,36% untuk MES),
sedangkan variasi pelarut memberikan pengaruh yang nyata terhadap odor/
aroma, indeks bias, viskositas, ukuran partikel (meningkat 1,86%) dan
distribusi partikel (menurun 5,2%) formula pestisida.
2. Formula pestisida terbaik yang diperoleh ialah pestisida mimba yang
diformulasikan menggunakan pelarut n–Heksana serta surfaktan Rodakal
dan Geronol pada perbandingan konsentrasi (1% : 9%) dengan warna
kuning kecokelatan; pH 4,26; viskositas 1,70; indeks bias 1,413; ukuran
partikel 116,4 nm; distribusi partikel 0,447; serta creaming sebesar 0,1 ml
setelah 24 jam.
5.2. Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, saran untuk pengembangan
penelitian ini adalah :
1. Perlu dilakukan analisis kadar bahan aktif seperti Azadirachtin,
Meliantriol, Nimbin, Salannin, dan lain–lain. pada bahan utama maupun
64
formula pestisida secara spesifik dengan menggunakan alat HPLC/ LC–
ESI–MS/MS.
2. Perlu dilakukan uji efikasi lebih lanjut untuk mengetahui dosis formula
pestisida yang tepat dalam proses aplikasi.
3. Perlu dilakukan uji degradasi untuk membuktikan bahwa formula pestisida
mimba yang dihasilkan bersifat biodegradable (mudah terurai di alam).
4. Perlu dilakukan analisis dampak penggunaan formula pestisida terhadap
lingkungan guna menghindari terjadinya pencemaran tanah, air, maupun
udara akibat adanya penggunaan pestisida.
65
DAFTAR PUSTAKA
Ali, M. H., El – Samahy, A. E., Farhoud, M. A., Hamdalla, T. A. 2003. Influence
of Temperature and Pressure on Dispersion Properties of Nonlinear Single
Mode Optical Fibers. IIUM Engineerinng Journal, Vol. 4, No. 2 : 1–12.
Anjali, CH, Sharma Y, Mukherjee A, Chandrasekaran N. 2012. Neem oil
(Azadirachta indica) nanoemulsion A potent larvicidal agent against Culex
quinquefasciatus. Pest Management Science, 68 : 158–163.
Anya, U. A., Chioma, N. N., and Obinna, O. 2012. Optimized Reduction of Free
Fatty Acid Content on Neem Seed Oil. Journal of Basic and Applied
Chemistry Vol. 2, No. 4 : 21–28.
AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of The Association of Analytical
Chemist. Washington D. C.
Ardiansyah, Wiranto, Mahajoeno, E. 2001. Toksisitas Ekstrak Daun Mimba
(Azadirachtin Indica A. Juss) Pada Siput Murbei (Pamoeca Canaliculata).
Skripsi. Solo : Universitas Negeri Semarang.
Aremu, O.I. and Femi–Oyewo, M. N. 2009. Physico-Chemical Stability Studies
of Neem (Azadirachta indica) Seed Oil Cream. African Research Review
Vol. 3, No. 3 : 1–11.
Aryanto. 2015. Gambar Daun Mimba.
http://www.aryanto.id/artikel/id/997/menegenal-khasiat-dan-manfaat-daun-
mimba-bagi-kesehatan. (Diakses Pada Tanggal 06 Desember 2017, Pukul
08:40 WIB).
Attwood, D. dan Florence, A. T. 2012. FASTtrack Physical Pharmacy. London :
Pharmacy Press.
Badarudin, Z. 1997. Propoxure. Jakarta : PT. Prabawa Dibya Weluarta.
Bande, L. O. S., Hadisutrisno, B., Somowiyarjo, S., Sunarminto, B. H., dan
Wahab, A. 2016. Korelasi Sifat Fisik dan Kimia Tanah dengan Intensitas
Penyakit Busuk Pangkal Batang Tanaman Lada. Jurnal Littri Vol. 22, No. 2
: 63 – 70.
BASF. 2010. Mode of Action of Emulsifier Manufacture of Emulsion (Superseeds
Edition EMV). USA : BASF Company.
Buhani dan Suharso. 2006. Pengaruh pH Terhadap Adsorpsi Ion Logam
Gabungan Cu (II), Zn (II), Mn (II), dan Fe (II) pada Asam Humat. Indonesia
Journal Chemistry Vol. 6, No. 1 : 43–46.
Buhler, W. G., Langley, R. L., Luginbuhl, R. C., Jones, J. P., and Burnette Jr, J.W.
2007. Violations of Pesticide Use and Worker Safety Regulations in North
66
Carolina. Journal of Agricultural Safety and Health Vol. 13, No. 2 : 189–
203.
Campos, E. V. R., de Olivera, J. L., Pascoli, M., de Lima, R., dan Fraceto, L. F.
2016. Neem Oil and Crop Protection: From Now to The Future. Front Plant
Science, Vol. 7. doi: 10.3389/fpls.2016.01494.
Chaudhary, S., Kanwar, R. K., Seghal, A., Cahill, D. M., Barrow, C. J., Sehgal,
R., and Kanwar, J. R. 2017. Progress On Azadirachta indica Based
Biopesticides in Replacing Synthetic Toxic Pesticides. Frontiers in Plant
Science. https://doi.org/10.3389/fpls.2017.00610.
Chen, Z., Hu, P., Meng, Q., and Dong, X. 2013. Novel Optical Fiber Dynamic
Light Scatterimh Measurement System for Nanometer Particle Size.
Advance in Material Science and Engineering, Vol. 2013. doi:
10.115/2013/250121.
Cheng, K. L., Sheng, Y. J., amd Tsao, H. K. 2008. Brownian Escape and Force–
Driven Transport Through Entropic Barries : Particle Size Effect. The
Journal of Chemical Physics, Vol. 129, No. 18. doi: 10.1063/1.3009621.
Cush, Randy. 2006. Back to Basics : A Review of Pesticide Formulation Types.
Golf Course Management Vol. 74, No. 1 : 143–145.
Djojosumarto, P. 2009. Teknik Aplikasi Pestisida Pertanian. Yogyakarta : Kasius.
Donnaokap. 2017. Viskositas Cairan Berbagai Larutan.
http://student.unud.ac.id/donnaokap/news/33595. (Diakses Pada Tanggal 06
Desember 2017, Pukul 09:45 WIB).
Dubey, S., Dwivedi, P., Dwivedi, K., and Chaturvedi, A. 2015. Studies on The
Interfacial Tension and Surface Tension of Oil/ Water Emulsion. Indian
Journal of Applied Research, Vol. 5, No. 6 : 334–340.
Duncan, C. 2014. Introduction of Herbicide Formulation.
http://techlinenews.com/herbicides/herbicideformulations2014. (Diakses
Pada Tanggal 06 November 2017, Pukul 07:01 WIB).
El–Sayed, W. and Mohammad, T. G. M. 2014. Preparation and Characterization
of Alternative Oil in Water Emulsion Formulation of Deltamethrin.
American Journal of Experimental Agriculture Vol. 4, No. 4 : 405–414.
FAO/WHO. 2002. Manual on Development and Use of FAO and WHO
Spestification for Pesticides. Rome : FAO of The United Nations.
Farrukh, M. A., Muneer, I., Butt, K. M., Batool, S., and Fakhar, N. 2016. Effect of
Dielectric Constant of Solvents on The Particle Size and Bangdap of
La/SnO2–TiO2 Nanoparticles and Their Catalytic Properties. Journal of The
Chinese Chemical Society, Vol. 63, No. 12 : 952 – 959.
Fernandez A.M. and Jabbanema, L. The Effect of Surfactant Selection on
Emulsion Polymer Properties. Advances in Intelligent Coatings Design. The
67
Waterborne Symposium; 2007 Des 1; New Orleans, Los Angles. New
Orleans (US) : University of Southern Mississippi School of Polymers and
High Performance Materials.
Formentini M. A., Alves L. F. A., Schapovaloff M. E. 2016. Insecticidal activity
of neem oil against Gyropsylla spegazziniana (Hemiptera: Psyllidae)
nymphs on Paraguay tea seedlings. Braz. J. Biol. doi: 10.1590/1519-
6984.04915.
Ganguli, D. and Ganguli, M. 2012. Inorganic Particle Synthesis via Macro and
Microemulsions: A Micrometer to Nanometer Landscape. USA : Springer
Science and Business Media.
Ghernaout, D., Al–Ghonamu, A. I., Boucherit, A., Ghernaout, B., Naceur, M. W.,
Messaoudene, N. A., Aichouni, M., Mahjoubi, A. A., and Elboughdiri, N.
A. 2015. Brownian Motion and Coagulation Process. American Journal of
Environmental Protection, Vol. 4, No. 5 : 1–15.
Goodman, N. (editor). 2011. Private Pesticide Applicator Safety Education
Manual 19th
Edition. United States : University of Minnesota Extension.
Gottselig, N., Nischwitz, V., Meyn, T., Amelug, W., Bol, R., Halle, C.,
Vereecken, H., Siemens, J., and Klumpp, E. 2016. Phosporus Binding to
Nanoparticles and Colloids in Forest Stream Waters. Vadose Zone Journal,
Vol. 64, No. 7 : 1–12.
Handayani, Prima A., Heti N. 2015. Ekstraksi Minyak Atsiri Daun Zodia (Evodia
Suaveolens) dengan Metode Maserasi dan Destilasi Air. Jurnal Bahan
Alam Terbarukan Vol. 4, No. 1 : 1 – 7.
Haryono. 2011. Konsep dan Strategi Penelitian dan Pengembangan Pestisida
Nabati. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementrian
Pertanian. Semnas Pesnab IV Jakarta 15 Oktober 2011.
Hasmat, I., Azad, H., and Achmed A. 2012. Neem (Azadirachta indica A. Juss) –
A Natures Drugstore : An Overview. International Research Journal of
Biological Sciences Vol. 1, No. 6 : 76–79.
Heeres, A.S., Picone, C.S.F., van der Wielen L.A.M., Cunha, R.L., and Cuellar,
M.C. 2014. Microbial Advanced Biofules Production: Overcoming
Emulsification Challenges For Large–Scale Operation (Review). Trends in
Biotechnology Vol. 32, No. 4 : 221–229.
Holmberg, K., Jonsson, B., Kronberg, B. and Lindman, B. 2003. Surfactant and
Polymers in Aqueous Solution, 2nd
Edition. New York: John Wiley & Sons,
Ltd.
HORIBA. 2012. A Guidebook to Particle Size Analysis. USA : HORIBA
Instruments, Inc.
68
Ibrahim, N., Raman, I. A., and Yusop, M. R. 2015. Effect of Functional Group of
Non Ionic Surfactants on The Stability of Emulsion. Malaysian Journal of
Analytical Science, Vol. 19, No. 1 : 261–267.
International Potato Center and FA. 2006. All About Potatoes. An Ecological
Guide to Potato Integrated Crop Management. A Handbook to Ecology
and Integrated Management of Potato.
Juttulapa, M. dan Sriamornsak, P. 2017. Effect of High-Pressure Homogenization
on Stability of Emulsions Containing Zein and Pectin. Asian Journal of
Pharmaceutical Sciences, Vol. 12, No. 1 : 21–27.
Kardiman, A. 2006. Mimba (Azadirachta Indica) Bisa Merubah Perilaku Hama.
Sinar Tani Edisi 29 Maret – 4 April. Bogor : Balai Penelitian Tanaman
Rempah dan Obat.
Kardinan, A. 2000. Pestisida Nabati : Ramuan dan Aplikasi. Jakarta : Penebar
Swadaya.
Kishi, M., Hirschhorn N., Djajadisastra M., Satterlee L. N., Strowman, S., Dilts R.
1995. Relationship of Pesticide Spraying to Signs and Symptoms in
Indonesian Farmers. Scand. J. Work Environmental Health, Vol. 2, No. 1 :
124 – 133.
Kusnoputranto. 1995. Toksikologi Lingkungan. Jakarta : Pusat Penelitian Sumber
Daya Manusia Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Li S. Y., Skinner A. C., Rideout T., Stone D. M., Crummey H., Holloway G.
2003. Lethal and sublethal effects of a neem-based insecticide on balsam fir
sawfly (Hymenoptera: Diprionidae). J. Econ. Entomol. Vol. 96 : 35–42. doi:
10.1093/jee/96.1.35.
Liu, Y. dan Daum, P. H. 2008. Relationship of Refractive Index to Mass Density
and Self – Consistency of Mixing Rules for Multicomponent Mixtures Like
Ambient Aerosols. Journal Aerosol Science, Vol. 39 : 974–986. doi:
10.1016/j.jaerisci.2008.06.006.
Ludyahantoro, A., dan Tukiran. 2012. Formulasi Bioinsektisida dari Ekstrak
Kloroform Batang Tumbuhan Bakau Hitam (Rhizophora mucronata
Lamk.). Jurnal of Chemistry Vol. 1, No.1 : 14 – 18.
Madaan, V., Chanana, A., Kataria, M. K., and Bilandi, A. 2014. Emulsion
Technology and Recent Trends in Emulsion Application. International
Research Journal of Pharmacy, Vol. 5, No. 7 : 533–542.
Malvern. 2012. Zetasizer Range. http://www.malvern.com/labeng/
products/zetasizer/zetasizer.html. (Diakses Pada Tanggal 02 Februari
2017, Pukul 14:16 WIB).
Mardiningsih, T.L., Sukmana C., Tarigen N., dan Suriati S. 2010. Efektifitas
Insektisida Nabati Berbahan Aktif Azadirachtin dan Saponin Terhadap
69
Mortalitas dan Intensitas Serangan Aphis gossypii Gloves. Buletin Littro
Vol. 21, No.2 : 171 – 183.
Melo–Espinosa, E. A., Borroto, V. S., Errasti, M., Piloto–Rodriguez, R., Sierems,
R., Roger–Riba, J., and Christopher – Hansen, A. 2013. Surface Tension
Prediction of Vegetable Oils Using Artificial Neural Networks and Multiple
Linear Regression. ISES Solar World Congress.
Mezger, T. G. 2011. The Rheology Handbook, 3rd Revised Edition. Germany :
Vincentz Network.
Mudd, E. 2017. Aqueous Solution.
https://www.pharmacologicalsciences.us/aqueous-solution/info-nbh.html/.
(Diakses Pada Tanggal 06 November 2017, Pukul 07:13).Munawar, A.
2011. Kesuburan Tanah dan Nutrisi Tanaman. Bogor : IPB Press.
Naik, A. B., Naik, L. R., Rao, V. J., Pal, H. 2012. Steady–State and Time –
Resolved Fluorescence Studies of Anthrylacrylic Ester. Open Journal of
Physical Chemistry, Vol. 2, No. 4. doi: 10.4236/ojpc.2012.24029.
Nazrifah, W. 2012. Aplikasi Surfaktan Methyl Ester Sulfonate Acid (MESA) Off
Grade Sebagai Agen Pembersih Untuk Kotoran Berminyak Pada Pipa
Industri (Skripsi). Bogor : IPB.
Nurhidayah, I. 2017. Efektivitas Pestisida Nabati Daun Sirih Hijau (Piper betle
L.) Sebagai Pengendali Hama Plutella xylostella Tanaman Sawi (Brassica
juncea L.) (Tesis). Yogyakarta : Universitas Negri Yogyakarta.
Olfat A. R. And El – Shiekh, Y. W. A. 2012. Degradation of Neem Oil 90% EC
(Azadirachtin) under Storage Conditions and its Insecticidal Activity against
Cotton Leafworm S. Littoratis. Researcher Vol. 4, No. 3 : 77–83.
Pavia L. D., Lampman, G.H., dan Kriz, G.S. 1995. Introduction to Organic
Laboratory Techniques. USA : Saunders College.
Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Republik Indonesia No. 39 Tahun 2015
Tentang Pendaftaran Pestisida.
Peters, W. G. 2017. Relationship of Particle Size to Color.
http://www.wgpeters.com/?page_id=1320/. (Diakses Pada Tanggal 01
Januari 2018, Pukul 05:53 WIB)
Pfaffilin, J. R. and Ziegler, E. N. 2006. Encyclopedia of Environmental Science
and Engineering, Fifth Edition, Volume One and Two. U.S : CRC Press.
Picot, J. J. and Kristmanson, D.D. 2012. Foresty Pesticide Aerial Spraying :
Spray Droplet Generation, Dispersion, and Deposition. United Kingdom :
Springer Science and Business Media.
Prabowo, R. Dan Subantoro, R. 2012. Kualitas Air dan Beban Pencemaran
Pestisida di Sungai Babon Kota Semarang. Mediagro Vol. 8, No. 1 : 9–17.
70
Regnault and Roger C. 2005. New Insecticides of Plant Origin for The Third
Milenium. In : Regnault _Roger BJR, Philogene C., Vincent C., Editors.
Biopesticides of Plant Origin : Lavoisier Publishing Inc.
Reinhard, M. dan Refdahl, A. 1999. Handbook for Estimating Physicochemical
Properties of Organic Compounds. New York : John Wiley and Sons, Inc.
Rozanska, S., Rozanski, J., Ochowiak, M., and Mitkowski, P. T. 2014.
Extensional Viscosity Measurements of Concentrated Emulsions with The
Use of The Opposed Nozzles Device. Brazil Journal of Chemical
Engineering Vol. 31, No. 1 : 47–55.
Samaro, A. 2011. Solubility and Distribution Phenomena (Slide
Share).http://www.slideshare.net/mobile/arijabuhaniyeh/solubility-phsyical-
pharmacy/. (Diakses Pada Tanggal 05 November 2017, Pukul 22:29 WIB).
Savitri. 2016. Dampak Pestisida Nabati dengan Bahan Aktif Minyak Mimba
Terhadap Air Permukaan, Laporan Triwulan 1 (Laporan tidak
dipublikasikan). Tangerang : LIPI Kimia.
Savitri and Meliana Y. 2014. Emulsion System Stability of Mimba Oil on Multi
Component Disperse as Organic Insecticide. Prosiding A Forum of
Humanosphere Science School (HSS). Bandung. 22-23 Desember 2014 :
193–198.
Schampheleire, M. D., Nuyttens, D., Baetens, K., Cornelis, W., Gabriels, D., and
Spanoghe, P. 2009. Effect on Pesticide Spray Drift of The Physicochemical
Properties of The Spray Liquid. Precision Agriculture Vol. 10, No. 5 : 409 –
420.
Schwarz, J. A., Contescu, C. I., and Putyera, K. 2004. Dekker Encyclopedia of
Nanoscience and Nanotechonogy, Vol. 5. USA : CRC Press.
Shakeel, F., Baboota, S., Ahuja, A., Ali, J., Faisal, M.S., & Shafiq, S. 2008.
Stability Evaluation of Celecoxib Nanoemulsion Containing Tween 80.
Thai Journal Pharm. Sci. 32 : 4 – 9.
Shaw, R. 2012. Dynamic Light Scattreing Training Achieving Reliable Nano
Particle Sizing (Slide). Malvern. http://www.atascientific.com.au/. (Diakses
Pada Tanggal 06 November 2017, Pukul 01:34 WIB).
Shimidzu, Y., Suzuki, T., Carrillo, S., and Kass, A. P. 2008. Solvent For Treating
Polysilazane and Method of Treating Polysilazane With The Solvent. Unites
States Patent, US 7,344,603 B2.
Shtyka, O.S. and Sek, J.P. 2016. Effect of Surfactant Concentration in The
Emulsions on The Process of Oleophilic Porous Structures Imbibition.
MATEC Web of Conferences. EDP Science: 1–5. doi:
10.1051/matecconf/20164901003.
71
Sjoblom, J. 2005. Emulsions and Emulsions Stability : Surfactant Science Series.
USA : CRC Press.
Smith, Ray F. 1983. Multidisciplinary Conceptual Statement : Integrated Pest
Control. An Introductory Statement from FAO/UNEP Panel On Integrated
Pest Control Consortium for Internal Crop Protection. Berkeley, USA, 30
PP.
Sodiq, M. 2000. Pengaruh Pestisida Terhadap Kehidupan Organisme Tanah.
Mapeta Vol. 2, No. 5 : 20–22.
Soeseno, S. 1993. Mimba Tanaman Obat yang Bersifat Toksik. Trubus.
Solans, C., Izquierdo, P., Nolla, J., Azemar, N., and Garcia Celma, M.J. 2005.
Nanoemulsions. Current Opinion in Colloid and Interface Sicence. 102 –
110.
Subiyakto, D. A., Sunarto, Dwi Winarno T., Suryowinoto, dan Diwang H.P. 1997.
Pengaruh Insektisida Nabati Serbuk Biji Mimba Terhadap Populasi
Helicoverpa armigera dan Spodoptera litura Serta Musuh Alami Hama
Kapas. Makalah Seminar Hasil Penelitian Balittas 1997/98.
Subiyakto, 2009. Ekstrak Biji Mimba Sebagai Pestisida nabati : Potensi, Kendala,
dan Strategi Pengembangannya. Perspektif Vol. 8, No. 2 : 108 – 116.
Sudarmo, S. 1991. Pestisida. Yogyakarta : Kanisius.
Sudarmo, S. 2005. Pestisida Nabati. Yogyakarta : Kanisius.
Sumingkrat. 1992. Kestabilan Emulsi Pestisida Bentuk Emulsifier Concentrate.
Jakarta : Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Kimia,
Departemen Perindustrian dan Perdagangan.
Sunarto, D.A., dan Nurindah. 2006. Penggunaan Insektisida Botani Biji Mimba
Sebagai Substitusi Insektisida Kimia Sintetik dalam Pengendalian Ulat
Daun Tembakau Cerutu Besuki. Malang : Balai Penelitian Tanaman
Tembakau dan Serat.
Supriyo, E. 2007. Pengaruh Konsentrasi Surfaktan Pada Formulasi Propoxure 20
EC dan Efektifitasnya dalam Membasmi Nyamuk Aedes Aegypti (Tesis).
Semarang : Universitas Diponegoro.
Tadros, T.F. (editor). 2013. Emulsion Formation and Stability. Unites States :
Wiley–VCH Verlag GmbH and Co. KGaA. ISBN : 978–3–527–31991–6.
Tahir, I., Wijaya, K., dan Nuroniah, N. 2008. Hubungan Kuantitatif Struktur dan
Indeks Bias dari Senyawa Organik Berdasarkan Deskriptor Molekular.
Makalah Seminar Khemometrik, AIC–Jurusan Kimia FMIPA UGM.
Tarumingkeng, R.C. 1992. Insektisida, Sifat, Mekanisme Kerja dan Dampak
Penggunaannya. Jakarta : Universitas Kristen Krida Wacana.
72
The International Association for The Properties of Water and Steam Lucerne.
2007. Revised Realese on Viscosity and Thermal Conductivity of Heavy
Water Substance. Switzerland.
The Key Center for Polymer Colloids. 2001. Surfactants.
http://www.discovery.kcpc.usyd.edu.au/9.5.5-short/9.5.5_emulsions3.html/.
(Diakses Pada Tanggal 27 Desember 2017, Pukul 09:02 WIB).
Tippavajhala, V. K., Sengupta, A., and Kulyadi, G. P. 2017. A Review on The
Physico – chemical Properties of Solvent Influencing The Solubility of
Drugs. Journal of Global Pharma Technology, Vol. 8, No. 9 : 22–31.
Troy, D. B. and Beringer, P. 2006. Remington : The Science and Practice of
Pharmacy. U.S : Lippincott Williams and Wilkins.
Vasquez–Castro, J. A., de Baptista, G. C., Gadanha Jr., C. D., and Trevizan, L. R.
P. 2007. Influence of Emulsifiable Concentrate Formulations on The
Physical Properties of The Fluid, Spray Characteristics, and Insecticide
Deposits on Stored Grains. 9th
International Working Conference on Stored
Product Protection, Vol. 10, No. 4 : 1142–1148.
Usman, J.G., Okonkwo, P.C., Shehu, M.S. Investigation into the Usage of Solvent
for Extracting Neem Oil from Neem Seed for Industrial Application.
Academic Journal of Interdisciplinary Studies Vol. 3, No. 5 : 39–46.
Utami, K.P. 1999. Pestisida nabati. Trubus.
Wakai, C., Oleinikova, A., Ott, M., and Weingartner, H. 2005. How Polar Are
Ionic Liquids? Determination of The Static Dielectric Constant of an
Imidazolium–Based Ionic Liquid by Microwave Dielectric Spectroscopy.
Journal Physical Chemistry B, Vol. 109, No. 36 : 17028–17030.
Wudianto, R. 2010. Petunjuk Penggunaan Pestisida. Jakarta : Penebar Swadaya.
Yanura, F. Dan Mutiara W. 2014. Pemanfaatan Nanoteknologi dalam
Pengembangan Pupuk dan Pestisida Organik. Loka Penelitian dan
Pengembangan Penyakit Bersumber Binatang. Ciamis : Litbang
Kesehatan.
Zacharia and Tano, J. 2011. Identity, Physical and Chemical Properties of
Pesticide, Pesticides in The Modern World – Trends in Pesticides Analysis,
Dr. Margarita Stoytcheva (Ed.). InTech, Available from :
http://www.intechopen.com/books/pesticides-in-the-modern-world-trendsin-
pesticides-analysis/identity-physical-and-chemical-properties-of-pesticides/.
73
Lampiran 1. Perhitungan Konsentrasi Formula
Total bobot formula = 40 g
1. Formulasi pestisida mimba dengan konsentrasi surfaktan anionik : non ionik
(1% : 9%) (% w)
a. Bobot minyak mimba (30%) : 30/100 x 40 g = 12 g
b. Bobot pelarut (60%) : 60/100 x 40 g = 24 g
c. Bobot surfaktan anionik (1%) : 1/100 x 40 g = 0,4 g
d. Bobot surfaktan non ionik (9%) : 9/100 x 40 g = 3,6 g
2. Formulasi pestisida mimba dengan konsentrasi surfaktan anionik : non ionik
(2% : 8%) (% w)
a. Bobot minyak mimba (30%) : 30/100 x 40 g = 12 g
b. Bobot pelarut (60%) : 60/100 x 40 g = 24 g
c. Bobot surfaktan anionik (2%) : 2/100 x 40 g = 0,8 g
d. Bobot surfaktan non ionik (8%) : 8/100 x 40 g = 3,2 g
3. Formulasi pestisida mimba dengan konsentrasi surfaktan anionik : non ionik
(3% : 7%) (% w)
a. Bobot minyak mimba (30%) : 30/100 x 40 g = 12 g
b. Bobot pelarut (60%) : 60/100 x 40 g = 24 g
c. Bobot surfaktan anionik (3%) : 3/100 x 40 g = 1,2 g
d. Bobot surfaktan non ionik (7%) : 7/100 x 40 g = 2,8 g
4. Formulasi pestisida mimba dengan konsentrasi surfaktan anionik : non ionik
(4% : 6%) (% w)
a. Bobot minyak mimba (30%) : 30/100 x 40 g = 12 g
b. Bobot pelarut (60%) : 60/100 x 40 g = 24 g
c. Bobot surfaktan anionik (4%) : 4/100 x 40 g = 1,6 g
d. Bobot surfaktan non ionik (6%) : 6/100 x 40 g = 2,4 g
5. Formulasi pestisida mimba dengan konsentrasi surfaktan anionik : non ionik
(5% : 5%) (% w)
a. Bobot minyak mimba (30%) : 30/100 x 40 g = 12 g
b. Bobot pelarut (60%) : 60/100 x 40 g = 24 g
c. Bobot surfaktan anionik (5%) : 5/100 x 40 g = 2,0 g
d. Bobot surfaktan non ionik (5%) : 5/100 x 40 g = 2,0 g
6. Formulasi pestisida mimba dengan konsentrasi surfaktan anionik : non ionik
(6% : 4%) (% w)
a. Bobot minyak mimba (30%) : 30/100 x 40 g = 12 g
74
b. Bobot pelarut (60%) : 60/100 x 40 g = 24 g
c. Bobot surfaktan anionik (6%) : 6/100 x 40 g = 2,4 g
d. Bobot surfaktan non ionik (4%) : 4/100 x 40 g = 1,6 g
7. Formulasi pestisida mimba dengan konsentrasi surfaktan anionik : non ionik
(7% : 3%) (% w)
a. Bobot minyak mimba (30%) : 30/100 x 40 g = 12 g
b. Bobot pelarut (60%) : 60/100 x 40 g = 24 g
c. Bobot surfaktan anionik (7%) : 7/100 x 40 g = 2,8 g
d. Bobot surfaktan non ionik (3%) : 9/100 x 40 g = 1,2 g
8. Formulasi pestisida mimba dengan konsentrasi surfaktan anionik : non ionik
(8% : 2%) (% w)
a. Bobot minyak mimba (30%) : 30/100 x 40 g = 12 g
b. Bobot pelarut (60%) : 60/100 x 40 g = 24 g
c. Bobot surfaktan anionik (8%) : 8/100 x 40 g = 3,2 g
d. Bobot surfaktan non ionik (2%) : 2/100 x 40 g = 0,8 g
9. Formulasi pestisida mimba dengan konsentrasi surfaktan anionik : non ionik
(9% : 1%) (% w)
a. Bobot minyak mimba (30%) : 30/100 x 40 g = 12 g
b. Bobot pelarut (60%) : 60/100 x 40 g = 24 g
c. Bobot surfaktan anionik (9%) : 9/100 x 40 g = 3,6 g
d. Bobot surfaktan non ionik (1%) : 1/100 x 40 g = 0,4 g
78
Lampiran 3. Perhitungan Nilai Viskositas
ƞ1 = Koefisien Viskositas air (centipoise)
ƞ2= Koefisien Viskositas zar cair yang dicari (centipoise)
ρ1= Massa jenis air (g/mL)
ρ2= Massa jenis zat cair yang dicari (g/mL)
t1 = waktu alir air (detik)
t2 = waktu alir zat cair yang dicari (detik)
Diketahui :
ρ1= 1 g/mL
1 (pada suhu 27 oC) = 0,86 Cp
t1 = 8,77 s
1. Formulasi pestisida mimba dengan penggunaan pelarut n–Heksana serta
surfaktan Rodakal dan Geronol.
a. Konsentrasi (1% : 9%) (% w)
t2 (1) = 21,91 s
t2 (2) = 22,75 s
t2 (3) = 23,01 s
Nilai rata–rata t2 = 22,57 s
A : Bobot Pikometer Kosong = 14,2355 g
B : Bobot Pikometer Kosong + Sampel = 21,9314 g
C : Bobot Sampel (B – A) = 7,6959 g
Massa jenis (ρ) pestisida mimba = 0,77 g/mL
Viskositas :
=
= 1,70 Cp
79
b. Konsentrasi (2% : 8%) (% w)
t2 (1) = 20,86 s
t2 (2) = 21,12 s
t2 (3) = 21,78 s
Nilai rata–rata t2 = 21,25 s
A : Bobot Pikometer Kosong = 14,2670 g
B : Bobot Pikometer Kosong + Sampel = 21,9092 g
C : Bobot Sampel (B – A) = 7,6422 g
Massa jenis (ρ) pestisida mimba = 0,76 g/mL
Viskositas :
=
= 1,58 Cp
c. Konsentrasi (3% : 7%) (% w)
t2 (1) = 24,21 s
t2 (2) = 25,54 s
t2 (3) = 26,21 s
Nilai rata–rata t2 = 25,32 s
A : Bobot Pikometer Kosong = 14,2622 g
B : Bobot Pikometer Kosong + Sampel = 22,0747 g
C : Bobot Sampel (B – A) = 7,8125 g
Massa jenis (ρ) pestisida mimba = 0,78 g/mL
Viskositas :
80
=
= 1,94 Cp
d. Konsentrasi (4% : 6%) (% w)
t2 (1) = 18,15 s
t2 (2) = 18,71 s
t2 (3) = 19,14 s
Nilai rata–rata t2 = 18,67 s
A : Bobot Pikometer Kosong = 14,2557 g
B : Bobot Pikometer Kosong + Sampel = 21,8837 g
C : Bobot Sampel (B – A) = 7,6280 g
Massa jenis (ρ) pestisida mimba = 0,76 g/mL
Viskositas :
=
= 1,39 Cp
e. Konsentrasi (5% : 5%) (% w)
t2 (1) = 19,27 s
t2 (2) = 19,65 s
t2 (3) = 19,80 s
Nilai rata–rata t2 = 19,57 s
A : Bobot Pikometer Kosong = 14,2553 g
B : Bobot Pikometer Kosong + Sampel = 21,8928 g
C : Bobot Sampel (B – A) = 7,6375 g
Massa jenis (ρ) pestisida mimba = 0,76 g/mL
Viskositas :
81
=
= 1,46 Cp
f. Konsentrasi (6% : 4%) (% w)
t2 (1) = 23,58 s
t2 (2) = 23,87 s
t2 (3) = 24,36 s
Nilai rata–rata t2 = 23,94 s
A : Bobot Pikometer Kosong = 14,2634 g
B : Bobot Pikometer Kosong + Sampel = 22,0448 g
C : Bobot Sampel (B – A) = 7,7814 g
Massa jenis (ρ) pestisida mimba = 0,78 g/mL
Viskositas :
=
= 1,83 Cp
g. Konsentrasi (7% : 3%) (% w)
t2 (1) = 22,43 s
t2 (2) = 22,72 s
t2 (3) = 23,20 s
Nilai rata–rata t2 = 22,78 s
A : Bobot Pikometer Kosong = 14,2650 g
B : Bobot Pikometer Kosong + Sampel = 21,9965 g
C : Bobot Sampel (B – A) = 7,7315 g
Massa jenis (ρ) pestisida mimba = 0,77 g/mL
82
Viskositas :
=
= 1,72 Cp
h. Konsentrasi (8% : 2%) (% w)
t2 (1) = 20,07 s
t2 (2) = 20,61 s
t2 (3) = 20,69 s
Nilai rata–rata t2 = 22,46 s
A : Bobot Pikometer Kosong = 14,2567 g
B : Bobot Pikometer Kosong + Sampel = 21,9415 g
C : Bobot Sampel (B – A) = 7,6848 g
Massa jenis (ρ) pestisida mimba = 0,77 g/mL
Viskositas :
=
= 1,70 Cp
i. Konsentrasi (9% : 1%) (% w)
t2 (1) = 18,90 s
t2 (2) = 19,18 s
t2 (3) = 19,19 s
Nilai rata–rata t2 = 19,09 s
A : Bobot Pikometer Kosong = 14,2595 g
B : Bobot Pikometer Kosong + Sampel = 21,9253 g
C : Bobot Sampel (B – A) = 7,6658 g
83
Massa jenis (ρ) pestisida mimba = 0,77 g/mL
Viskositas :
=
= 1,44 Cp
2. Formulasi pestisida mimba dengan penggunaan pelarut n–Heksana serta
surfaktan MES dan PMO.
a. Konsentrasi (1% : 9%) (% w)
t2 (1) = 18,64 s
t2 (2) = 17,54 s
t2 (3) = 18,00 s
Nilai rata–rata t2 = 18,06 s
A : Bobot Pikometer Kosong = 14,2284 g
B : Bobot Pikometer Kosong + Sampel = 22,0463 g
C : Bobot Sampel (B – A) = 7,8179 g
Massa jenis (ρ) pestisida mimba = 0,78 g/mL
Viskositas :
=
= 1,38 Cp
b. Konsentrasi (2% : 8%) (% w)
t2 (1) = 14,99 s
t2 (2) = 15,37 s
t2 (3) = 15,47 s
Nilai rata–rata t2 = 15,28 s
A : Bobot Pikometer Kosong = 14,2449 g
84
B : Bobot Pikometer Kosong + Sampel = 21,7735 g
C : Bobot Sampel (B – A) = 7,5826 g
Massa jenis (ρ) pestisida mimba = 0,75 g/mL
Viskositas :
=
= 1,12 Cp
c. Konsentrasi (3% : 7%) (% w)
t2 (1) = 14,52 s
t2 (2) = 15,09 s
t2 (3) = 15,11 s
Nilai rata–rata t2 = 14,91 s
A : Bobot Pikometer Kosong = 14,2608 g
B : Bobot Pikometer Kosong + Sampel = 21,7573 g
C : Bobot Sampel (B – A) = 7,4965 g
Massa jenis (ρ) pestisida mimba = 0,75 g/mL
Viskositas :
=
= 1,10 Cp
d. Konsentrasi (4% : 6%) (% w)
t2 (1) = 15,08 s
t2 (2) = 15,32 s
t2 (3) = 15,42 s
85
Nilai rata–rata t2 = 15,27 s
A : Bobot Pikometer Kosong = 14,2277 g
B : Bobot Pikometer Kosong + Sampel = 21,7859 g
C : Bobot Sampel (B – A) = 7,5582 g
Massa jenis (ρ) pestisida mimba = 0,76 g/mL
Viskositas :
=
= 1,14 Cp
e. Konsentrasi (5% : 5%) (% w)
t2 (1) = 16,57 s
t2 (2) = 17,20 s
t2 (3) = 17,28 s
Nilai rata–rata t2 = 17,02 s
A : Bobot Pikometer Kosong = 14,2295 g
B : Bobot Pikometer Kosong + Sampel = 21,8682 g
C : Bobot Sampel (B – A) = 7,6387 g
Massa jenis (ρ) pestisida mimba = 0,76 g/mL
Viskositas :
=
= 1,27 Cp
86
f. Konsentrasi (6% : 4%) (% w)
t2 (1) = 15,08 s
t2 (2) = 15,09 s
t2 (3) = 15,22 s
Nilai rata–rata t2 = 15,13 s
A : Bobot Pikometer Kosong = 14,2314 g
B : Bobot Pikometer Kosong + Sampel = 21,7659 g
C : Bobot Sampel (B – A) = 7,5345 g
Massa jenis (ρ) pestisida mimba = 0,75 g/mL
Viskositas :
=
= 1,11 Cp
g. Konsentrasi (7% : 3%) (% w)
t2 (1) = 15,99 s
t2 (2) = 16,24 s
t2 (3) = 16,11 s
Nilai rata–rata t2 = 16,11 s
A : Bobot Pikometer Kosong = 14,2338 g
B : Bobot Pikometer Kosong + Sampel = 21,8266 g
C : Bobot Sampel (B – A) = 7,5928 g
Massa jenis (ρ) pestisida mimba = 0,76 g/mL
Viskositas :
87
=
= 1,20 Cp
h. Konsentrasi (8% : 2%) (% w)
t2 (1) = 14,57 s
t2 (2) = 14,63 s
t2 (3) = 14,69 s
Nilai rata–rata t2 = 14,63 s
A : Bobot Pikometer Kosong = 14,2295 g
B : Bobot Pikometer Kosong + Sampel = 21,7506 g
C : Bobot Sampel (B – A) = 7,5211 g
Massa jenis (ρ) pestisida mimba = 0,75 g/mL
Viskositas :
=
= 1,09 Cp
i. Konsentrasi (9% : 1%) (% w)
t2 (1) = 14,79 s
t2 (2) = 15,28 s
t2 (3) = 15,28 s
Nilai rata–rata t2 = 15,12 s
A : Bobot Pikometer Kosong = 14,2304 g
B : Bobot Pikometer Kosong + Sampel = 21,7870 g
C : Bobot Sampel (B – A) = 7,5566 g
Massa jenis (ρ) pestisida mimba = 0,76 g/mL
Viskositas :
88
=
= 1,13 Cp
3. Formulasi pestisida mimba dengan penggunaan pelarut Pegasol serta
surfaktan MES dan PMO.
a. Konsentrasi (1% : 9%) (% w)
t2 (1) = 46,72 s
t2 (2) = 47,24 s
t2 (3) = 47,41 s
Nilai rata–rata t2 = 47,12 s
A : Bobot Pikometer Kosong = 14,2945 g
B : Bobot Pikometer Kosong + Sampel = 23,4024 g
C : Bobot Sampel (B – A) = 9,1079 g
Massa jenis (ρ) pestisida mimba = 0,91 g/mL
Viskositas :
=
= 4,21 Cp
b. Konsentrasi (2% : 8%) (% w)
t2 (1) = 41,02 s
t2 (2) = 41,58 s
t2 (3) = 41,80 s
Nilai rata–rata t2 = 41,47 s
A : Bobot Pikometer Kosong = 14,2778 g
B : Bobot Pikometer Kosong + Sampel = 23,3522 g
C : Bobot Sampel (B – A) = 9,0744 g
89
Massa jenis (ρ) pestisida mimba = 0,91 g/mL
Viskositas :
=
= 3,70 Cp
c. Konsentrasi (3% : 7%) (% w)
t2 (1) = 40,66 s
t2 (2) = 41,65 s
t2 (3) = 42,15 s
Nilai rata–rata t2 = 41,49 s
A : Bobot Pikometer Kosong = 14,2667 g
B : Bobot Pikometer Kosong + Sampel = 23,3576 g
C : Bobot Sampel (B – A) = 9,0909 g
Massa jenis (ρ) pestisida mimba = 0,91 g/mL
Viskositas :
=
= 3,70 Cp
d. Konsentrasi (4% : 6%) (% w)
t2 (1) = 38,68 s
t2 (2) = 40,32 s
t2 (3) = 40,80 s
Nilai rata–rata t2 = 39,93 s
A : Bobot Pikometer Kosong = 14,2650 g
B : Bobot Pikometer Kosong + Sampel = 23,3314 g
C : Bobot Sampel (B – A) = 9,0664 g
90
Massa jenis (ρ) pestisida mimba = 0,91 g/mL
Viskositas :
=
= 3,56 Cp
e. Konsentrasi (5% : 5%) (% w)
t2 (1) = 39,36 s
t2 (2) = 40,12 s
t2 (3) = 40,81 s
Nilai rata–rata t2 = 40,10 s
A : Bobot Pikometer Kosong = 14,2633 g
B : Bobot Pikometer Kosong + Sampel = 23,3302 g
C : Bobot Sampel (B – A) = 9,0669 g
Massa jenis (ρ) pestisida mimba = 0,91 g/mL
Viskositas :
=
= 3,58 Cp
f. Konsentrasi (6% : 4%) (% w)
t2 (1) = 37,06 s
t2 (2) = 37,47 s
t2 (3) = 37,34 s
Nilai rata–rata t2 = 37,29 s
A : Bobot Pikometer Kosong = 14,2265 g
91
B : Bobot Pikometer Kosong + Sampel = 23,2653 g
C : Bobot Sampel (B – A) = 9,0388 g
Massa jenis (ρ) pestisida mimba = 0,90 g/mL
Viskositas :
=
= 3,29 Cp
g. Konsentrasi (7% : 3%) (% w)
t2 (1) = 35,68 s
t2 (2) = 35,20 s
t2 (3) = 35,17 s
Nilai rata–rata t2 = 35,35 s
A : Bobot Pikometer Kosong = 14,2305 g
B : Bobot Pikometer Kosong + Sampel = 23,2664 g
C : Bobot Sampel (B – A) = 9,0359 g
Massa jenis (ρ) pestisida mimba = 0,90 g/mL
Viskositas :
=
= 3,12 Cp
h. Konsentrasi (8% : 2%) (% w)
t2 (1) = 35,25 s
t2 (2) = 34,13 s
t2 (3) = 35,41 s
92
Nilai rata–rata t2 = 34,93 s
A : Bobot Pikometer Kosong = 14,2345 g
B : Bobot Pikometer Kosong + Sampel = 23,2776 g
C : Bobot Sampel (B – A) = 9,0431 g
Massa jenis (ρ) pestisida mimba = 0,90 g/mL
Viskositas :
=
= 3,08 Cp
i. Konsentrasi (9% : 1%) (% w)
t2 (1) = 35,62 s
t2 (2) = 35,10 s
t2 (3) = 35,17 s
Nilai rata–rata t2 = 35,30 s
A : Bobot Pikometer Kosong = 14,2327 g
B : Bobot Pikometer Kosong + Sampel = 23,2702 g
C : Bobot Sampel (B – A) = 9,0375 g
Massa jenis (ρ) pestisida mimba = 0,90 g/mL
Viskositas :
=
= 3,12 Cp
93
Lampiran 4. Hasil Analisis Statistik Uji Mann Whitney U (U-Test)
A. pH
Pengaruh Variasi Surfaktan
Test Statisticsa
pH
Mann-Whitney U ,000
Wilcoxon W 45,000
Z -3,576
Asymp. Sig. (2-tailed) ,000
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,000b
a. Grouping Variable: Surfaktan
b. Not corrected for ties.
Pengaruh Variasi Pelarut
Test Statisticsa
pH
Mann-Whitney U 37,500
Wilcoxon W 82,500
Z -,265
Asymp. Sig. (2-tailed) ,791
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,796b
a. Grouping Variable: Pelarut
b. Not corrected for ties.
Nilai Asymp.Sig.(2-tailed) = Nilai Probabilitas (P)
Analisis pengaruh variasi surfaktan = (P<0,05)
Analisis pengaruh variasi pelarut = (P>0,05)
B. Indeks Bias
Pengaruh Variasi Surfaktan
Test Statisticsa
Indeks_Bias
Mann-Whitney U 11,000
Wilcoxon W 56,000
Z -2,605
Asymp. Sig. (2-tailed) ,009
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,008b
a. Grouping Variable: Surfaktan
b. Not corrected for ties.
Pengaruh Variasi Pelarut
Test Statisticsa
Indeks_Bias
Mann-Whitney U ,000
Wilcoxon W 45,000
Z -3,576
Asymp. Sig. (2-tailed) ,000
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,000b
a. Grouping Variable: Pelarut
b. Not corrected for ties.
Nilai Asymp.Sig.(2-tailed) = Nilai Probabilitas (P)
Analisis pengaruh variasi surfaktan = (P<0,05)
Analisis pengaruh variasi pelarut = (P<0,05)
94
C. Viskositas
Pengaruh Variasi Surfaktan
Test Statisticsa
Viskositas
Mann-Whitney U ,000
Wilcoxon W 45,000
Z -3,576
Asymp. Sig. (2-tailed) ,000
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,000b
a. Grouping Variable: Surfaktan
b. Not corrected for ties.
Pengaruh Variasi Pelarut
Test Statisticsa
Viskositas
Mann-Whitney U ,000
Wilcoxon W 45,000
Z -3,576
Asymp. Sig. (2-tailed) ,000
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,000b
a. Grouping Variable: Pelarut
b. Not corrected for ties.
Nilai Asymp.Sig.(2-tailed) = Nilai Probabilitas (P)
Analisis pengaruh variasi surfaktan = (P<0,05)
Analisis pengaruh variasi pelarut = (P<0,05)
D. Ukuran Partikel
Pengaruh Variasi Surfaktan
Test Statisticsa
Ukuran_Partikel
Mann-Whitney U 24,000
Wilcoxon W 69,000
Z -1,457
Asymp. Sig. (2-tailed) ,145
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,161b
a. Grouping Variable: Surfaktan
b. Not corrected for ties.
Pengaruh Variasi Pelarut
Test Statisticsa
Ukuran_Partikel
Mann-Whitney U 5,000
Wilcoxon W 20,000
Z -2,333
Asymp. Sig. (2-tailed) ,020
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,019b
a. Grouping Variable: Pelarut
b. Not corrected for ties.
Nilai Asymp.Sig.(2-tailed) = Nilai Probabilitas (P)
Analisis pengaruh variasi surfaktan = (P>0,05)
Analisis pengaruh variasi pelarut = (P<0,05)
95
E. Distribusi Partikel
Pengaruh Variasi Surfaktan
Test Statisticsa
Distribusi_Partikel
Mann-Whitney U 27,000
Wilcoxon W 72,000
Z -1,192
Asymp. Sig. (2-tailed) ,233
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,258b
a. Grouping Variable: Surfaktan
b. Not corrected for ties.
Pengaruh Variasi Pelarut
Test Statisticsa
Distribusi_Partikel
Mann-Whitney U 5,000
Wilcoxon W 20,000
Z -2,333
Asymp. Sig. (2-tailed) ,020
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,019b
a. Grouping Variable: Pelarut
b. Not corrected for ties.
Nilai Asymp.Sig.(2-tailed) = Nilai Probabilitas (P)
Analisis pengaruh variasi surfaktan = (P>0,05)
Analisis pengaruh variasi pelarut = (P<0,05)
96
Lampiran 5. Hasil Analisis PSA (Pestisida mimba dengan
penggunaan pelarut n-Heksana serta surfaktan
Rodakal dan Geronol dengan perbandingan
konsentrasi 1% : 9%)
97
Lampiran 6. Hasil Analisis Ukuran dan Distribusi Partikel Emulsi
Formula Pestisida Mimba dengan PSA
Pelarut Surfaktan
Konsentrasi
Surfaktan
(% surfaktan
anionik : %
surfaktan non ionik)
Ukuran
Partikel
(nm)
Distribusi
Partikel
n–Heksana
anionik : Rodakal
non ionik : Geronol
1 % : 9% 116,4 0,447
2% : 8% 133,8 0,273
3% : 7% 135,2 0,363
4% : 6% 183,1 0,357
5% : 5% 195,9 0,644
6% : 4% 234,8 0,494
7% : 3% 2437,3 0,639
8% : 2% 5611,5 1,459
9% : 1% 6731,9 1,893
anionik : MES
non ionik : PMO
1 % : 9% 347,2 0,488
2% : 8% 1314,2 0,976
3% : 7% 3578,9 1,334
4% : 6% 2196,2 0,848
5% : 5% 3375,7 0,692
6% : 4% 297 0,467
7% : 3% 195,6 0,446
8% : 2% 7712,1 1,529
9% : 1% 326,9 0,653
Pegasol
anionik : MES
non ionik : PMO
1 % : 9% 209,1 0,43
2% : 8% 209,2 0,456
3% : 7% 242,7 0,465
4% : 6% 256,8 0,379
5% : 5% 265,5 0,604
6% : 4% - -
7% : 3% - -
8% : 2% - -
9% : 1% - -
NB : (-) = Ukuran/ Distribusi Partikel Tidak dapat Terdeteksi oleh Alat PSA
dengan Skala Nanometer (Berarti Bahwa Ukuran Partikel Berada
dalam Skala Mikrometer)