Upload
handik-zusen
View
563
Download
3
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Analisa Hubungan Patron Klien Dalam Pilgub Jatim 2008
Citation preview
PENGARUH HUBUNGAN PATRON KLIEN DALAM PERSPEKTIF POLITIK DI DAERAH JAWA TIMUR
TAHUN 2008(efektifitas strategi perolehan suara cagub-cawagub dalam pilgub jatim 2008
melalui hubungan patron klien kyai-santri/jama’ah )
Pendahuluan
Pemilu merupakan sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila
sebagaimana diamanatkan dalam UUD Tahun 1945. Dalam upaya
mengembangkan sistem dan penyelenggaraan pemilu yang demokratis dan
senantiasa menghormati keberagaman aspirasi politik serta menjunjung tinggi
supremasi hukum dan HAM, maka sudah tentu peran dari berbagai pihak yang
berasal dari berbagai elemen bangsa ini secara bersama-sama mewujudkan hal
tersebut, antara lain pemerintah, masyarakat secara umum, parpol-parpol dan
unsur-unsur terkait lainnya.
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa saat ini bangsa Indonesia
sedang berada dalam tahapan kehidupan politik yang berupaya mencapai nilai-
nilai ideal dari konsep demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Seiring dengan pelaksanaan proses dimaksud, telah terjadi banyak fenomena-
fenomena politik maupun sosial yang mewarnai perjalanannya, dalam hal ini yang
dimaksud adalah fenomena-fenomena politik maupun sosial yang timbul dari
akibat pelaksanaan sistem pemilihan kepala daerah-baik tingkat propinsi,
kabupaten dan/atau kota madya-secara otonomi yang saat ini lebih familiar dalam
masyarakat Indonesia dengan istilah “PILKADA”.
Pada bulan Juli 2008 lalu, masyarakat Jawa Timur telah melaksanakan
pesta demokrasi lokal yaitu Pilkada guna menentukan Gubernur mereka yang
diharapkan mampu membawa perubahan ke arah yang lebih baik dari segala
bidang-antara lain : kesejahteraan, pendidikan, penegakan hukum, dan lain-lain-
dari masa kepemimpinan yang sebelumnya dengan tidak mengartikan bahwa era
kepemimpinan sebelumnya tidak baik / tidak berhasil namun lebih ke arah
pengertian untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat Jawa Timur.
Berdasarkan hasil penghitungan suara pada Pilkada Jawa Timur tahun
2008 tersebut belum diperoleh jumlah suara yang dimiliki oleh para peserta
Pilkada dimaksud yang memenuhi persyaratan menurut ketentuan perundang-
undangan guna dapatnya mereka ditentukan sebagai “pemenang” dalam Pilkada
tersebut, dikarenakan diantara para pasangan Cagub-Cawagub Jatim periode
2008-2013 tersebut belum ada yang mendapatkan jumlah suara pemlih sebesar
minimal 30 % (tiga puluh persen) dari keseluruhan jumlah pemilih di Jawa Timur,
namun demikian terdapat 2 (dua) pasangan Cagub-Cawagub yang mendapatkan
jumlah suara mayoritas dengan prosentase yang sama sebesar kurang lebih 23 %
(dua puluh tiga persen) yaitu pasangan nomor 1 atas nama Cagub Khofifah Indar
Parawansa-Cawagub Brigjen TNI (Purn) Moedjiono (KAJI) yang diusung oleh
beberapa parpol yang berkoalisi dengan parpol pendukung utama adalah PPP
dan pasangan nomor 5 atas nama Cagub Dr. Soekarwo-Cawagub Saifullah Yusuf
(KARSA) yang diusung oleh koalisi 2 (dua) parpol yaitu Partai Demokrat dan
Partai Amanat Nasional. Sedangkan tiga pasangan lainnya yaitu pasangan Cagub
Dr. Soenarjo-Cawagub Ali Maschan Moesa yang diusung oleh Partai Golkar,
Cagub Ir. Soetjipto-Cawagub Ridwan Hisyam yang diusung oleh PDIP dan Cagub
Dr. H. Achmadi-Cawagub Brigjen TNI (Purn) H. Soehartono, SH yang diusung
oleh PKB, ketiga-tiganya mendapatkan jumlah suara pemilih tidak lebih dari 20 %
(dua puluh persen) dari keseluruhan jumlah pemilih di Jawa Timur. Sehingga
proses pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jatim periode tahun 2008-2013
tersebut harus memasuki tahapan putaran II (kedua) dengan peserta yaitu
pasangan Cagub Khofifah Indar Parawansa-Cawagub Brigjen TNI (Purn)
Moedjiono (KAJI) dan pasangan Cagub Dr. Soekarwo-Cawagub Saifullah Yusuf
(KARSA).
Salah satu fenomena politik yang dapat dilihat dari pelaksanaan Pilgub
Jatim 2008 tersebut yaitu tentang keikutsertaan beberapa kader salah satu ormas
Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU), secara terpisah pada lain
pasangan Cagub-Cagub Jatim 2008, antara lain Khofifah Indar Parawansa, Ali
Maschan Moesa, Saifullah Yusuf dan Dr. Achmadi. Sehingga menjadikan suara
para pengikut NU di Jawa Timur terpecah ke dalam beberapa kelompok yang
walapun secara politis para Tokoh NU mengatakan bahwa dukungan para Kyai
NU yang terbagi dalam beberapa kelompok tersebut tidak menjadi bagian dari
kebijakan NU secara organisatoris namun merupakan pilihan individu masing-
masing walaupun faktanya para Kyai NU dalam berkampanya mendukung salah
2
satu pasangan calon tersebut juga tetap menggunakan nama besar dirinya dalam
NU. Fenomena politik lainnya adalah, dari hasil penghitungan jumlah suara
pemilih di beberapa daerah kabupaten / kotamadya di Jawa Timur, tidak
seluruhnya dimenangkan secara mayoritas oleh 2 (dua) pasangan yang
mendapatkan jumlah suara pemilih terbesar yaitu KAJI dan KARSA, namun di
daerah eks karesidenan Madiun (Madiun, Ngawi dan Magetan), pasangan Cagub
Soenarjo-Cawagub Ali Maschan Moesa memperoleh kemenangan dengan jumlah
suara melebihi 4 (empat) pasangan lainnya yang menurut analisis beberapa
pengamat politik dikarenakan daerah tersebut memang menjadi basis massa
utama pendukung Soenarjo yang dikaitkan dengan fakta lain bahwa daerah Ngawi
adalah tanah kelahiran Soenarjo.
Pengaruh Hubungan Patron Klien dalam Pilgub Jatim Tahun 2008-2013
Dari deskripsi sekilas diatas tentang jalannya Pilgub Jatim 2008 tersebut
dapat dilihat bahwa eksistensi NU di Jawa Timur masih sangat diperhitungkan
oleh parpol-parpol besar dengan adanya fakta bahwa parpol-parpol besar tersebut
mengusung kader NU untuk dijadikan Cagub ataupun Cawagub dalam Pilgub
tersebut dengan sasaran yaitu agar parpol-parpol tersebut mendapatkan
sumbangan suara yang signifikan dari masyarakat NU Jawa Timur.
Peran para Kyai NU begitu esensial dalam mempengaruhi pola pikir
masyarakat NU di daerahnya masing-masing dalam hal menentukan pilihan
politiknya. Realitas politik tersebut memperlihatkan peran Kyai NU selaku patron
dari kliennya yaitu para masyarakat jama’ah NU yang pada dasarnya hubungan
patron-klien dimaksud berada dalam ranah keagamaan, namun faktanya strategi
politik yang dimiliki oleh tiap parpol melihat hal tersebut sebagai peluang tersendiri
dengan memanfaatkan kekentalan hubungan patron-klien tersebut guna
mendulang suara bagi pasangan Cagub-Cagub yang diusung oleh parpol masing-
masing yang tentunya didahului dengan “polititics bargaining” dalam rangka
mengakomodir kepentingan tiap pihak dimaksud.
DPW PKS Jatim mengakui secara jujur dalam press releasenya melalui
website resmi PKS www.pk-sejahtera.org bahwa keberadaan hubungan patron-
klien yang kental dalam perilaku politik masyarakat Jawa Timur menjadikan DPW
PKS Jawa Timur cukup berat dalam memperoleh dukungan politik disebabkan
antara lain oleh faktor PKS merupakan salah satu parpol baru di Indonesia yang
3
tidak memiliki latar belakang historis dengan parpol sebelumnya, baik pada era
kepemimpinan orde lama maupun orde baru, sebagaimana dikatakan oleh para
pengamat politik dari PKS bahwa masyarakat Jawa Timur biasanya menentukan
pilihan politiknya dengan berdasarkan “referensi politik” orang tuanya dan / atau
keluarga besarnya secara turun temurun. Kalau pada pemilu 1955 orang tuanya
memilih PNI, kemungkinan besar mereka akan menjatuhkan pilihan kepada PDIP.
Kalau pemilu 1955 memilih Partai NU, mungkin pemilu nanti memilih PKB, PPP
atau PKNU. Kalau pemilu 1955 memilih Partai Masyumi, maka mungkin nanti
memilih PBB. Tapi, sejalan dengan makin tinggi dan cerdasnya pendidikan politik
rakyat dan jumlah pemilih bersifat cair makin besar jumlahnya, peluang PKS untuk
menderek suara di Jatim makin terbuka lebar. Apalagi selama ini, PKS kendati
berasas Islam, namun gerak langkah dan manuver partai ini lebih banyak
menyentuh aspek-aspek kebutuhan riil rakyat dibanding manuver yang bersifat
ideologis. Dengan demikian, kiprah dan sentuhan PKS dirasakan langsung rakyat
pemilih. Begitulah sebagian analisis politik dari para pengamat politik PKS yang
secara tidak langsung mengakui bahwa eksistensi hubungan patron-klien dalam
suatu masyarakat tertentu patut diperhitungkan dalam menentukan gerak langkah
politik suatu parpol sehingga dapat dicapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan
sebelumnya.
Dalam pandangan Kertzer (1988: 48) mistifikasi dalam dunia politik
adalah hal biasa sebagai upaya mengonstruksi realitas sosial guna menggalang
dan mendulang dukungan seluas-luasnya. Geertz (1977: 168) sendiri pernah
mengatakan, "A world wholly demystified is a world depoliticised." Artinya, tak ada
dunia politik yang tak mengalami proses mistifikasi, entah di negara maju yang
dikenal demokratis maupun di negara-negara berkembang seperti Indonesia yang
penuh mistik dan mitos. Dari pandangan keduanya, salah satu peristiwa politik
yang paling rawan terjadi mistifikasi politik adalah melalui proses pemilu. Dengan
ritual penggalangan massa, lobi-melobi, hingga kampanye negatif. Semua
ditempuh guna suksesnya mistifikasi politik yang mengakibatkan terpengaruhnya
daya nalar masyarakat yang terikat dalam hubungan patron-klien dengan para
guru spiritualnya-Kyai NU-terbawa dari ranah keagamaan menuju ruang lingkup
politik. Selanjutnya proses tersebut akan terlaksana secara turun temurun dalam
ruang lingkup tatanan hubungan patron-klien di setiap keluarga yang pada
akhirnya membentuk suatu kluster patron-klien yang walaupun menurut
4
pandangan beberapa pihak, baik dari kalangan agama maupun politik lainnya,
bahwa hal tersebut adalah prosesi yang bertolak belakang secara diametral
dengan watak dasar moralitas yang seharunya, dimana agama tidak boleh atau
tabu apabila dijadikan sarana guna mencapai tujuan politik tertentu dengan
menghalalkan segala cara (the ends justifies the means).
Terkait dengan pelaksanaan putaran II Pilgub Jawa Timur 2008 yang
akan dilaksanakan pada akhir bulan Oktober 2008 ini, rupanya peluang untuk
memperoleh dukungan yang besar dari kalangan para Kyai khususnya Kyai NU
menjadi salah satu strategi utama yang hendak ditempuh para Tim Sukses
pasangan Cagub Khofifah Indar Parawansa-Cawagub Brigjen TNI (Purn)
Moedjiono maupun Cagub Dr. Soekarwo-Cawagub Saifullah Yusuf, yang dapat
dilaihat wujud nyatanya antara lain dengan sosialisasi melalui media massa, baik
cetak maupun elektronik, tentang dukungan dari kelompok Kyai NU tertentu
terhadap masing-masing pasangan Cagub-Cawagub tersebut, misalnya pasangan
KARSA memasang iklan baik melalui media cetak maupun elektronik termasuk
iklan pada pamflet, baliho dan advertisement board di jalan-jalan protokol tiap
kodya dan kabupaten yang menunjukkan foto pasangan KARSA didampingi 21
(dua puluh satu) Kyai NU dengan slogan yang memberi pesan kepada
masyarakat bahwa pasangan tersebut telah mendapat dukungan politik dari para
Kyai utama NU tersebut guna maju sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa
Timur Periode 2008-2013 dimana hal tersebut seolah-oleh menjadi salah satu
upaya untuk memperoleh legitimasi poltik bahwa pasangan tersebut layak dipilih
oleh para umat NU khususnya umat NU yang terikat hubungan patron-klien
dengan 21 (dua puluh satu) Kyai NU Jawa Timur yang telah mendeklarasikan
dukungan politiknya kepada pasangan KARSA. Begitu juga dengan pasangan
KAJI melakukan langkah-langkah yang tidak jauh berbeda guna memperoleh
dukungan dari para sesepuh NU dalam kelompok lainnya dengan melakukan
kunjungan-kunjungan ke beberapa Tokoh NU antara lain Gus Dur dan Gus
Sholah.
Kesimpulan
Berdasarkan pandangan-pandangan para pakar politik tersebut diatas,
dapat disimpulkan oleh penulis bahwa salah satu wilayah paling rentan dalam
proses mistifikasi oleh pelaku politik ini adalah agama. Sebab, kentalnya pola
5
patron-klien hubungan Kyai-Santri (umat) memberikan pandangan yang masuk
akal bagi para “pelaku politik” lebih memilih jalur ini (agama) daripada jalur lain
yang belum tentu lebih efektif atau dengan kata lain penetrasi politik yang
dilakukan oleh para pelaku politik tersebut melalui proses mistifikasi agama
tersebut dapat dinilai cukup efektif bila dibandingkan dengan strategi melalui
proses penetrasi di bidang lainnya.
Sehingga menurut penulis, kesimpulan yang dapat diambil dari uraian
tersebut diatas antara lain yaitu bahwa hubungan patron-klien antara Kyai NU dan
santri/jama’ahnya di Jawa Timur memiliki pengaruh esensial dalam dinamika
kehidupan politik di Jawa Timur, khususnya dalam pelaksanaan Pilgub Jatim 2008
saat ini, yang terwujud dalam hal pemberian pengaruh oleh para Patron-Kyai NU
kepada para Kliennya-Santri/Jama’ah NU untuk memilih salah satu pasangan
Cagub-Cawagub Jatim 2008-2013. Hubungan Patron-Klien yang pada awalnya
berupa tinjauan sosiologis, saat ini telah dijadikan sarana politik yang memiliki nilai
strategis yang apabila dipahami dengan baik dapat dijadikan sarana guna
pencapaian tujuan tertentu oleh pihak tertentu pula yang membutuhkannya. Salah
satu faktanya telah nampak dari realitas kehidupan politik di Jawa Timur
khususnya dalam menghadapi Pilgub Jatim periode 2008-2013, sangat
dipengaruhi oleh perilaku politik lokal masyarakat Jawa Timur itu sendiri yang
bersifat patron-klien dimana patron memiliki pengaruh kuat terhadap kliennya
dalam hal penentuan pilihan politiknya yang wujud nyatanya antara lain dapat
dilihat dari jumlah perolehan suara yang besar dari para Cagub-Cawagub Jatim
2008 yang telah melakukan penggalangan terhadap para Kyai NU di beberapa
wilayah di Jawa Timur yang notabene dianggap sebagai basis dari masyarakat
NU yang menjadikan pasanagan calon tersebut memenangkan jumlah suara di
daerah dimaksud, seperti halnya pasangan KAJI yang memenangkan mayoritas
suara pemilih di daerah “Tapal Kuda” (Pasuruan, Probolinggo, Jember, Lumajang
dan Banyuwangi) sedangkan pasangan KARSA memenangkan mayoritas suara
pemilih di daerah Mojokerto, Jombang, Nganjuk dan Kediri.
6