Upload
phamdat
View
242
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PENGARUH MINUMAN BUBUK KAKAO LINDAK BEBAS LEMAK TERHADAP AKTIVITAS ENZIM ANTIOKSIDAN
DAN ENZIM DETOKSIFIKASI PADA ERITROSIT DAN PLASMA MANUSIA
FITRI HASANAH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2007
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengaruh Minuman Bubuk Kakao Lindak Bebas Lemak terhadap Aktivitas Enzim Antioksidan dan Enzim Detoksifikasi pada Eritrosit dan Plasma Manusia adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2007
Fitri Hasanah NRP F251050081
RINGKASAN
FITRI HASANAH. Pengaruh Minuman Bubuk Kakao Lindak Bebas Lemak Terhadap Aktivitas Enzim Antioksidan Dan Enzim Detoksifikasi Pada Eritrosit Dan Plasma Manusia. Dibimbing oleh MAGGY T. SUHARTONO dan FRANSISKA R. ZAKARIA
Bubuk kakao bebas lemak merupakan produk substandar dalam pengolahan kakao yang belum banyak dimanfaatkan. Kakao non fermentasi mendominasi hampir semua pengolahan kakao di Indonesia. Bubuk kakao bebas lemak non fermentasi memiliki kandungan polifenol sebesar 4,43 gr/ 100 gr. Kandungan polifenol yang berupa flavonoid ini berpotensi sebagai antioksidan dalam menangkal radikal bebas. Sistem Pertahanan Tubuh Enzimatik terhadap radikal bebas melibatkan berbagai enzim, salah satunya adalah katalase. Sistem detoksifikasi dalam tubuh melibatkan kerja enzim fase I (sitokrom P-450) dan enzim fase II (glutation S-transferase) untuk mengeluarkan toksin atau senyawa asing sehingga tidak membentuk senyawa metabolit radikal dalam tubuh. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak terhadap aktivitas enzim katalase dan sitokrom P-450 serta glutation S-transferase pada eritrosit maupun plasma manusia. Selama 25 hari sebanyak 18 responden wanita yang sehat dibagi dalam dua kelompok, yaitu kelompok kakao (n = 9) dan kelompok kontrol (n = 9), di mana kelompok kakao mengkonsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak yang diberi susu skim dan gula, sedangkan kelompok kontrol hanya mengkonsumsi minuman susu skim dan gula saja. Selama penelitian berlangsung makanan dan kesehatan responden di bawah kontrol peneliti. Pengambilan darah responden dilakukan sebelum dan sesudah pelaksanaan intervensi untuk kemudian dilakukan analisa terhadap aktivitas enzim katalase dengan metode kalorimetri dan sitokrom P-450 serta glutation S-transferase dengan metode spektrofotometri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak selama 25 hari menghasilkan peningkatan secara nyata (p < 0,05) terhadap aktivitas enzim antioksidan katalase pada eritrosit dari 999,64 U/ mg protein menjadi 1020,03 U/ mg protein dan pada plasma dari 539,23 U/ mg protein menjadi 584,18 U/ mg protein. Peningkatan juga terjadi pada enzim glutation S-transferase pada eritrosit dari 0,083 nmol/ min/ mg protein menjadi 0,217 nmol/ min/ mg protein dan pada plasma peningkatan dari 0,129 nmol/ min/ mg protein menjadi 0,293 nmol/ min/ mg protein. Sementara itu enzim detoksifikasi sitokrom P-450 mengalami penurunan secara nyata (p < 0,05) pada eritrosit dari 5,43 nmol/ mg protein menjadi 1,59 nmol/ mg protein dan pada plasma dari 2,11 nmol/ mg protein menjadi 0,78 nmol/ mg protein. Secara keseluruhan dari hasil penelitian ini bisa disimpulkan bahwa bubuk kakao bebas lemak yang berasal dari perkebunan di Indonesia dapat meningkatkan sistem pertahanan tubuh secara enzimatis terhadap serangan radikal bebas.
Kata kunci: bubuk kakao lindak bebas lemak, katalase, sitokrom P-450, Glutation
S-transferase, flavonoid, antioksidan, detoksifikasi
ABSTRACT Fitri Hasanah. The Effects of Fat Free Bulk Cocoa Powder Drinks Consumption on Antioxidant and Detoxification Enzyme Activity in Human Erythrocyte and Plasma. Under the supervision of MAGGY T. SUHARTONO and FRANSISKA R. ZAKARIA
The fat free cocoa powder is substandard product from cocoa processing. Fat free unfermented cocoa powder have about 4,43 gr/ 100 gr of polyfenol. Cocoa is rich in flavonoid with antioxidant activity. Enzymatic defence system in humans consists of: catalase, superoxide dismutase (SOD) and glutathione peroxide (GPx). Detoxification metabolism consists of two phases that enable man to excreate out toxic from the body. This system need enzyme such as cytochrome P-450 and glutation S-transferase (GST). The aim of this research was to determine the effect of Indonesian fat free cocoa powder drink consumption on the antioxidant enzymes activity namely catalase and on the detoxification enzyme namely cytochrome P-450 and GST in human erythrocyte and plasma. Eighteen women healthy subjects were recruited and divided into two groups, control subjects (n = 9) and cacao subjects (n = 9). Cocoa powder drinks containing cocoa (50 %), skim milk (25 %) and sugar (25 %) was given to the groups. The control group received only water contain skim milk (50 %) and sugar (50 %). The criteria of the respondents were healthy according medical diagnosis and signed the informed of consent. Both cocoa and experimental group received medical check up at the beginning and at the end of the intervention. The activity of catalase was analyzed based on calorimetry and spectrofometry. Their peripheral blood were withdrawn to analyze activity of catalase, cytochrome P-450 and GST. The result showed that there was a significant increased in activity catalase of erythrocyte from 999,64 U/ mg protein to 1020,03 U/ mg protein and also on plasma from 539,23 U/ mg protein to 584,18 U/ mg protein. The activity of GST in erythrocyte was a significant increased from 0,083 nmol/ min/ mg protein to 0,217 nmol/ min/ mg protein and also on from 0,129 nmol/ min/ mg protein to 0,293 nmol/ min/ mg protein. The result showed that there was a significant decreased in cytochrome P-450 of erythrocyte from 5,43 nmol/ mg protein to 1,59 nmol/ mg protein and also on plasma from 2,11 nmol/ mg protein to 0,78 nmol/ mg protein. In conclusion, the Indonesian fat free cocoa powder has increased human defences system from free radical attact that may damage the cell. Keyword: cocoa, flavonoid, catalase, Cytochrome P-450, Glutathione S-
transferase (GST), antioxidant, detoxification
© Hak cipta milik IPB, tahun 2007 Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam
bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, microfilm, dan sebagainya
PENGARUH MINUMAN BUBUK KAKAO LINDAK BEBAS LEMAK TERHADAP AKTIVITAS ENZIM ANTIOKSIDAN
DAN ENZIM DETOKSIFIKASI PADA ERITROSIT DAN PLASMA MANUSIA
FITRI HASANAH
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada Departemen Ilmu Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2007
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Nugraha Edi Suyatma, DEA
Judul Penelitian : Pengaruh Minuman Bubuk Kakao Lindak Bebas Lemak
terhadap Aktivitas Enzim Antioksidan dan Enzim
Detoksifikasi pada Eritrosit dan Plasma Manusia
Nama Mahasiswa : Fitri Hasanah
NRP : F251050081
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Maggy T. Suhartono Prof. Dr. Ir. Fransiska R. Zakaria, MSc Ketua Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Pangan Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof.Dr.Ir.Betty Sri Laksmi Jenie,MS Prof.Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro,MS Tanggal Ujian: 08 Agustus 2007 Tanggal Lulus: 20 Agustus 2007
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil”alamin, Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penelitian dan penulisan tesis ini dapat diselesaikan dengan baik. Judul tesis ini adalah “Pengaruh Minuman Bubuk Kakao Lindak Bebas Lemak terhadap Aktivitas Enzim Antioksidan dan Enzim Detoksifikasi pada Eritrosit dan Plasma Manusia”, yang merupakan syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Tim Riset Unggulan Terpadu XII (RUT) tahap II tahun 2006 yaitu Bapak Dr. Ir. Misnawi (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia di Jember) dan Ibu Prof. Dr. Ir. Fransiska R. Zakaria, M.Sc. (Dosen Pascasarjana Ilmu Pangan IPB) atas bantuan dana penelitian.
Penghargaan dan terima kasih penulis haturkan kepada Ibu Prof. Dr. Ir. Maggy T. Suhartono sebagai ketua komisi pembimbing dan Ibu Prof. Dr. Ir. Fransiska R. Zakaria, M.Sc selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan dorongan, pengarahan, saran serta motivasi selama penulis menyelesaikan studi. Terimakasih juga kepada Bapak Dr. Ir. Nugraha Edi Suyatma, DEA selaku penguji yang telah banyak memberi sarannya.
Kepada semua responden atas keikhlasan dan kerjasamanya selama penelitian berlangsung juga disampaikan rasa terima kasih yang mendalam. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada tim kakao, yaitu Welli, Eris, Retno, Erni, dan Femi serta teman-teman mahasiswa pascasarjana program studi ilmu pangan khususnya angkatan 2005, dan semua pihak yang telah memberikan bantuan selama penelitian berlangsung. Terimakasih juga diucapkan kepada teman-teman di Pondok PCH atas kebersamaannya. Tak lupa untuk seluruh rekan-rekan seperjuangan di KMNU IPB, Forum WACANA IPB, PMII semoga kita bisa terus berjuang dan berkarya.
Akhirnya ungkapan terima kasih yang dalam disampaikan kepada Ayahanda Yakin Sabri HS, BA dan Ibunda Husnaini, SPd atas seluruh pengorbanan dan doa yang telah diberikan, juga kepada adik-adik dan keluarga besar di Bengkulu. Tak lupa kepada H. Mahir Moh. Soleh LC “Zaujy al-Mustaqbal bi al-Hubb wa al-Da’am wa al-Du’a” beserta keluarga. Semoga Allah SWT memberikan balasan amal baik kepada mereka semua dengan pahala yang tak terhingga.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2007
Fitri Hasanah
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bengkulu pada tanggal 15 Juli 1983 sebagai anak pertama dari empat bersaudara, dari Bapak Yakin Sabri HS, BA dan Ibu Husnaini, SPd. Tahun 2001 penulis lulus dari SMU Negeri 3 Bengkulu dan pada tahun yang sama penulis meneruskan pendidikan Sarjana di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Universitas Muhammadiyah Malang. Pada tahun 2005 penulis lulus dari Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Universitas Muhammadiyah Malang. Tahun 2005 penulis diterima di Sekolah Pascasarjana IPB pada program studi Ilmu Pangan. Selama menyelesaikan studi di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, penulis aktif dalam berbagai organisasi diantaranya yaitu Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama (KMNU) SPs IPB, Forum Mahasiswa Pascasarjana IPB dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI ......................................................................................................... v
DAFTAR TABEL ................................................................................................. vi
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... vii
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... viii
PENDAHULUAN..…………………….……………………………………….... 1 Latar Belakang……….....……………………………………………….. 1 Tujuan Penelitian ………………………………………………………. 3 Hipotesis Penelitian …………………………………….…….…………. 3 Manfaat Penelitian …………………………………………………….... 4 TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................... 5 Kakao......................................................................................................... 5 Flavonoid Pada Kakao.............................................................................. 8 Antioksidan............................................................................................. 10 Radikal Bebas dan Kerusakan Sel........................................................... 12 Sistem Pertahanan Tubuh Nonenzimatik.................................................. 15 Sistem Pertahanan Tubuh Enzimatik........................................................ 15 Metabolisme Xenobiotik dan Detoksifikasi Senyawa Beracun................ 17 Metabolisme Senyawa Bioaktif................................................................ 23 Komponen Darah...................................................................................... 25 Eritrosit..................................................................................................... 25 Plasma ..................................................................................................... 26 METODOLOGI................................................................................................... 27 Tempat dan Waktu Penelitian.................................................................. 27 Bahan dan Alat......................................................................................... 27 Alur penelitian ......................................................................................... 28 Metode Penelitian..................................................................................... 29 HASIL DAN PEMBAHASAN............................................................................ 37 Keadaan Umum Responden..................................................................... 37 Aktivitas Enzim Antioksidan Katalase pada Eritrosit............................... 42 Aktivitas Enzim Antioksidan Katalase pada Plasma................................ 47 Aktivitas Enzim Sitokrom P-450 pada Eritrosit........................................ 53 Aktivitas Enzim Sitokrom P-450 pada Plasma......................................... 59
Aktivitas Enzim Glutation S-transferase pada Eritrosit............................ 65 Aktivitas Enzim Glutation S-transferase pada Plasma.............................. 69
SIMPULAN DAN SARAN ................................................................................ 75 Simpulan.................................................................................................. 75 Saran......................................................................................................... 75
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 77 LAMPIRAN.......................................................................................................... 87
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Kandungan polifenol produk kakao ………………………………………. 6
2. Jenis-jenis Reactive Oxygen Species dan radikal bebas
yang berperan pada kerusakan sel ................................................................. 10
3. Data antropometri responden sebelum dan sesudah intervensi ..................... 38
4. Menu makan pagi dan makan malam responden yang
disiapkan oleh peneliti selama intervensi berlangsung ................................ 40
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Kakao …......……………………………………………………………….... 6
2. Struktur kimia flavonoid ….…………………………………….……… ...... 6
3. Pembagian kelas Flavonoid …………………………………………….………...... 8
4. Pembagian kelas Flavonoid ...................................................................................... 10
5. Metabolisme Xenobiotik di tubuh ..……………………………………...... 19
6. Diagram alir penelitian................................................................................... 28
7. Grafik Aktivitas Enzim Katalase pada Eritrosit Kelompok
Perlakuan sebelum dan sesudah intervensi .................................................... 43
8. Grafik Aktivitas Enzim Katalase pada Eritrosit Kelompok
Kontrol sebelum dan sesudah intervensi ....................................................... 43
9. Grafik Aktivitas Enzim Katalase pada Plasma Kelompok
Perlakuan sebelum dan sesudah intervensi .................................................. 48
10. Grafik Aktivitas Enzim Katalase pada Plasma Kelompok
Kontrol sebelum dan sesudah intervensi ....................................................... 48
11. Grafik Kadar Sitokrom P-450 pada Eritrosit Kelompok
Perlakuan sebelum dan sesudah intervensi .................................................... 55
12. Grafik Kadar Sitokrom P-450 pada Eritrosit Kelompok
Kontrol sebelum dan sesudah intervensi ........................................................ 55
13. Grafik Kadar Sitokrom P-450 pada Plasma Kelompok
Perlakuan sebelum dan sesudah intervensi .................................................... 60
14. Grafik Kadar Sitokrom P-450 pada Plasma Kelompok
Kontrol sebelum dan sesudah intervensi ........................................................ 60
15. Reaksi GSH dan CDNB ................................................................................. 66
16. Grafik Aktivitas Enzim Glutation S-transferase (GST) pada
Eritrosit Kelompok Perlakuan sebelum dan sesudah intervensi .................... 67
17. Grafik Aktivitas Enzim Glutation S-transferase (GST) pada
Eritrosit Kelompok Kontrol sebelum dan sesudah intervensi ....................... 67
18. Grafik Aktivitas Enzim Glutation S-transferase (GST) pada
Plasma Kelompok Kontrol sebelum dan sesudah intervensi ..........................71
19. Grafik Aktivitas Enzim Glutation S-transferase (GST) pada
Plasma Kelompok Kontrol sebelum dan sesudah intervensi ......................... 71
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Informed concent
Pernyataan kesediaan menjadi responden penelitian………………............. 88
2. Kuisioner kesehatan fisik, pola makan dan
kebiasaan konsumsi makanan jajanan ........................................................ 89
3. Jadwal penelitian ....................................................................................... 100
4. Data-data hasil penelitian .............................................................................. 101
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kakao merupakan bahan pangan yang apabila diolah ke dalam bentuk
produk seperti bubuk kakao memiliki citarasa yang enak sehingga banyak disukai
oleh masyarakat. Lemak kakao merupakan bagian yang paling banyak diambil
dari tanaman ini karena bernilai ekonomis tinggi. Pada saat pemisahan lemak
kakao, bubuk kakao itu sendiri tertinggal menjadi produk substandar yang belum
banyak dimanfaatkan. Padahal hasil penelitian menunjukkan bahwa bubuk kakao
bebas lemak tadi memiliki kandungan polifenol yang berpotensi sebagai sumber
antioksidan. Oleh karena itu masih perlu terus digali pemanfaatan kakao bebas
lemak sebagai produk substandar sehingga memiliki nilai ekonomis yang tinggi
pula.
Indonesia adalah negara ketiga penghasil kakao terbesar di dunia setelah
Pantai Gading dan Ghana. Ada dua jenis kakao yang umum dikenal di Indonesia,
yaitu kakao mulia atau edel kakao (fine/ flavour cocoa) dan kakao lindak (bulk
cocoa). Kakao lindak mendominasi hampir seluruh perkebunan di Indonesia.
Kualitas dari produk olahan kakao yang dihasilkan sangat tergantung kepada
kualitas biji kakao dan proses pengolahan. Salah satu faktor yang sangat
menentukan adalah proses fermentasi biji kakao sebelum diolah. Cita rasa coklat
yang baik dapat diperolah bila kakao tersebut difermentasi dengan baik.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan (2004), kakao
Indonesia khususnya yang dihasilkan oleh petani, di pasaran internasional
dihargai paling rendah, karena didominasi oleh biji-biji tanpa fermentasi. Namun
demikian proses fermentasi itu sendiri menyebabkan kandungan senyawa kimia
dalam biji kakao menjadi berubah terutama senyawa flavonoid yang dapat
memberikan efek positif untuk kesehatan. Berdasarkan penelitian Misnawi dan
Selamat (2003) kandungan polifenol dalam biji kakao menurun sampai 50%
selama proses fermentasi. Berbagai cara dilakukan untuk menggali potensi kakao
lokal yang non fermentasi tersebut, salah satunya dengan mengekstraksi dan
memanfaatkan lemak kakao serta meneliti potensi komponen bioaktif flavonoid
pada bubuk kakao bebas lemak non fermentasi sebagai antioksidan dalam tubuh
manusia.
Dalam berbagai penelitian disebutkan bahwa aktivitas antioksidan yang
utama bisa diperoleh dari komponen-komponen seperti flavonoid, isoflavon,
flavon, antosianin dan katekin disamping vitamin C, E dan β-karoten. Biji kakao
dinyatakan sebagai bahan yang kaya akan flavonoid yang erat kaitannya sebagai
zat yang mempunyai kapasitas antioksidan bagi tubuh. Penelitian pendahuluan
telah dilaksanakan untuk mengidentifikasi adanya komponen flavonoid dan
senyawa polifenol lainnya baik pada makanan maupun minuman termasuk pada
kakao. Misnawi et al (2002) menyatakan bahwa dalam bubuk biji kakao bebas
lemak mengandung polifenol sebanyak 5-18 %. Lebih lanjut Zairisman (2006)
menyebutkan bahwa kandungan polifenol bubuk kakao bebas lemak jenis lindak
(bulk) masak non fermentasi adalah 4,43 g/ 100 g.
Keberadaan antioksidan dalam tubuh sangat berperan penting dalam
mengendalikan radikal bebas. Radikal bebas dan reactive oxygen species (ROS)
berasal dari sumber alamiah di dalam tubuh dan dari luar. Kelebihan radikal bebas
menyebabkan stress oksidatif yaitu keadaan dimana jumlah antioksidan lebih
rendah dibandingkan jumlah radikal bebas. Kondisi ini tentunya berakibat fatal
bagi kesehatan. Oleh karena itu diperlukan sistem antioksidan yang dapat
melindungi tubuh dari serangan radikal bebas, dengan cara meredam dampak
negatif senyawa ini atau bahkan langsung memutuskan rantai radikal bebas yang
terbentuk. Salah satu system pertahanan yang dibentuk oleh tubuh adalah system
enzimatik melalui enzim-enzim antioksidan misalnya katalase.
Meskipun telah banyak diketahui memiliki khasiat sebagai antioksidan
bagi tubuh, flavonoid yang terkandung pada bubuk kakao bebas lemak merupakan
senyawa asing atau xenobiotik yang apabila masuk ke dalam tubuh kita akan
dimetabolisme melalui sistem detoksifikasi yang melibatkan enzim-enzim fase I
maupun fase II, maka masih perlu dilakukan penelitian untuk melihat tingkat
keamanan bubuk kakao bebas lemak ini dalam tubuh setelah dikonsumsi oleh
manusia.
Penelitian pendahuluan yang telah dilakukan oleh Femi (2006),
menunjukkan bahwa bubuk kakao bebas lemak dari jenis lindak (bulk) masak non
fermentasi yang berasal dari perkebunan Indonesia atau kakao lokal mempunyai
kapasitas sebagai antioksidan dan mempunyai potensi sifat immunodulator pada
sel limfosit manusia secara in vitro. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian
lebih lanjut dengan manusia sebagai subjeknya (in vivo). Dengan demikian dapat
diketahui bagaimana tingkat keamanannya dalam tubuh apabila dikonsumsi
manusia, dengan melihat pengaruhnya terhadap aktivitas enzim antioksidan
katalase, sitokrom P-450 (enzim fase I) dan glutation S-transferase (enzim fase II)
serta senyawa radikal bebas dalam tubuh manusia. Selain itu penelitian ini penting
dilakukan karena diharapkan dapat meningkatkan citra kakao lindak non
fermentasi dari Indonesia di pasar dunia.
Tujuan
1. Untuk mengetahui efek minuman bubuk kakao bebas lemak terhadap aktivitas
enzim antioksidan katalase pada eritrosit dan plasma manusia.
2. Untuk mengetahui efek minuman bubuk kakao bebas lemak terhadap aktivitas
enzim detoksifikasi Sitokrom P450 (enzim fase I) dan Glutation S-transferase
(enzim fase II) pada eritrosit dan plasma manusia.
Hipotesis
1. Minuman bubuk kakao bebas lemak dapat meningkatkan aktivitas enzim
antioksidan katalase dan enzim detoksifikasi Glutation S-Transferase (GST)
pada eritrosit dan plasma manusia.
2. Minuman bubuk kakao bebas lemak tidak mengubah atau bahkan dapat
menurunkan kadar sitokrom P450 pada eritrosit dan plasma manusia.
Manfaat Penelitian
Membuktikan secara ilmiah dan memberikan informasi tentang khasiat
minuman bubuk kakao bebas lemak dari jenis kakao lokal lindak non fermentasi
terhadap kesehatan, sehingga bubuk kakao yang merupakan produk sisa
pemanfaatan lemak kakao atau substandar ini dapat dijadikan sebagai bahan
pangan yang bernilai ekonomis tinggi.
TINJAUAN PUSTAKA
Kakao
Pohon kakao (Theobroma cacao L) diperkirakan mula-mula tumbuh di
daerah Amazon utara sampai ke Amerika Tengah. Mungkin sampai ke Chiapas,
bagian paling selatan Meksiko. Orang-orang Olmec memanfaatkan pohon dan
mungkin juga membuat coklat di sepanjang pantai teluk di selatan Meksiko
sekitar 1000 tahun SM. Peradaban pertama yang mendiami daerah Mesoamerika
itu mengenal pohon “kakawa” yang buahnya dikonsumsi sebagai minuman. Bagi
suku Aztec biji kokoa merupakan “makanan para dewa” (theobroma, dari bahasa
Yunani).
Klasifikasi ilmiah kakao antara lain:
dunia : Plantae
divisi : Spermatophyta
sub divisi : Angiospermae
kelas : Dicotyledoneae
sub kelas : Dialypetaleae
bangsa : Malvales
suku : Sterculiaceae
marga : Theobroma
Gambar 1 Buah kakao jenis : theobroma cacao L
Kakao adalah biji yang diperoleh dari pohon kakao, Theobroma cacao L,
dengan ketinggian pohon 6-12 meter. Tanaman ini dapat tumbuh dengan baik
pada area 30-300 meter, pada suhu sedang yaitu berkisar 18-30 ºC dan
membutuhkan kelembaban udara yang cukup dengan curah hujan 1-5 liter/ m2 per
tahun (Weisburger 2001).
Rasa asli biji coklat sebenarnya pahit akibat kandungan alkaloid, tetapi
setelah melalui rekayasa proses dapat dihasilkan coklat sebagai makanan yang
disukai oleh siapapun. Biji coklat mengandung lemak 31%, karbohidrat 14% dan
protein 9%. Protein coklat kaya akan asam amino triptofan, fenilalanin, dan
tirosin. Meski coklat mengandung lemak tinggi namun relatif tidak mudah tengik
karena coklat juga mengandung polifenol (6%) yang berfungsi sebagai
antioksidan pencegah ketengikan.
Tabel 1 Kandungan total polifenol produk kakao
Produk Kakao Jumlah polifenol total (g /100 g) Bubuk cokelat 2,00 Cokelat batangan 0,84 Susu cokelat 0,50
Sumber: Wollgast dan Anklam (2000)
Indonesia merupakan negara ketiga penghasil kakao terbesar di dunia
setelah Pantai Gading dan Ghana. Ada dua jenis kakao yang umum dikenal di
Indonesia, yaitu kakao mulia atau edel kakao (fine/ flavour cocoa) yang berasal
dari varietas criollo dengan buah berwarna merah dan kakao lindak (bulk cocoa)
berasal dari varietas forestero dan trinitro dengan warna buah hijau. Kakao lindak
merupakan kakao kualitas kedua dan digunakan sebagai bahan komplementer
dalam mengolah kakao mulia. Meskipun termasuk kualitas kedua dan digunakan
sebagai bahan komplementer, jenis kakao lindak mendominasi seluruh
perkebunan di Indonesia (Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, 2004).
Hal ini disebabkan karena jenis kakao ini relatif lebih tahan terhadap hama dan
penyakit, dan tingkat produksinya lebih tinggi dibanding kakao mulia (Zairisman
2006, Siregar et al 2007).
Kualitas dari produk olahan kakao yang dihasilkan sangat tergantung
kepada kualitas biji kakao dan proses pengolahan. Salah satu faktor yang sangat
menentukan adalah proses fermentasi biji kakao sebelum diolah. Cita rasa coklat
yang baik dapat diperolah bila kakao tersebut difermentasi dengan baik.
Berdasarkan Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan (2004) kakao
Indonesia khususnya yang dihasilkan oleh rakyat, di pasaran Internasional
dihargai paling rendah, karena didominasi oleh biji-biji tanpa fermentasi. Namun
demikian proses fermentasi itu sendiri menyebabkan kandungan senyawa kimia
dalam biji kakao menjadi berubah, terutama senyawa flavonoid yang dapat
memberikan efek positif untuk kesehatan. Berdasarkan penelitian Misnawi dan
Selamat (2003) kandungan polifenol dalam biji kakao menurun sampai 50%
selama proses fermentasi.
Menurut Wollgast dan Anklam (2000), kandungan polifenol total dalam
produk kakao berbeda-beda. Terdapat berbagai macam produk olahan dari biji
kakao yaitu chocolate liquor (pasta kakao), cocoa powder (bubuk coklat), cocoa
butter (mentega kakao) dan dark chocolate. Dark chocolate mengandung 15%
chocolate liquor dan 60% cocoa butter, gula dan adiktif. Sedangkan cocoa
powder (bubuk coklat) dibuat dengan menghilangkan cocoa butter dari chocolate
liquor (Vinson et al. 1999). Produk olahan kakao ini digunakan untuk berbagai
jenis olahan makanan, industri farmasi dan industri kosmetik. Bubuk kakao
banyak digunakan sebagai bahan pembuat roti, es krim, permen dan juga untuk
minuman. Cocoa butter banyak digunakan untuk industri makanan, kosmetik dan
farmasi (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao 2004).
Bubuk kakao bebas lemak dari biji kakao non fermentasi sebagai sumber
flavonoid merupakan usaha yang sedang dirintis di Pusat Penelitian Kopi dan
Kakao Indonesia di Jember. Bubuk kakao bebas lemak tersebut adalah produk
kakao yang berbentuk bubuk yang diperoleh dari pasta kakao setelah dihilangkan
lemaknya. Bubuk kakao bebas lemak dibuat melalui proses sebagai berikut : biji
kakao basah dicuci bersih dan dioven pada suhu 50ºC sampai kadar air 7,5%.
Selanjutnya kulit ari dipisahkan, keping biji yang diperoleh dihaluskan dengan
blender (penghancur biji). Pasta kakao yang diperolah kemudian dipisahkan
lemaknya (defatting) dalam soxhlet apparatus menggunakan pelarut petroleum
benzene (titik didih 40-60ºC). Bubuk kakao yang diperoleh kemudian dihaluskan
sampai kehalusan <40 mesh dan kemudian disimpan dalam kemasan yang kedap
udara (Misnawi 2005). Berdasarkan penelitian Misnawi et al (2003) dikemukakan
bahwa dalam bubuk kakao bebas lemak dari biji kakao non fermentasi terdapat
120-180 g/kg polifenol. Bubuk kakao bebas lemak dari verietas bulk masak
berdasarkan penelitian Zairisman (2006) mengandung total fenol sebesar 4,43 gr/
100 gr. Kandungan polifenol kakao juga sangat tergantung pada proses
pengolahan dan produk akhir. Hasil penelitian Misnawi et al. (2002b) juga
mendapatkan bahwa aktifitas antioksidan polifenol biji kakao masih tetap tinggi
walaupun telah dipanaskan sampai suhu 140ºC selama 45 menit.
y
p
a
k
p
C
d
a
b
y
j
2
p
d
d
p
2
f
Rasa
yang dimilik
pigmen pew
akibat oksid
komponen l
pengawet da
Flavon
C6-C3-C6 d
dan reaksi k
aktivitas an
bioflavonoid
yang merup
jenuh yang
2000).
Flavo
phenylbenzo
dasarnya, ya
dari dua cin
piran atau p
2000). Hal i
flavonoid ad
a pahit yang
kinya yaitu
warna alami,
dasi. Adanya
lemaknya se
ari luar.
noid merupa
dan berperan
kelat pada l
ntioksidanny
d. Kompone
akan senyaw
merupakan
onoid memi
opyrones (ph
aitu tiga cin
ncin benzena
piron dengan
ini dipertega
dalah rangka
G
Flavon
g terdapat pa
flavonoid.
senyawa pe
a flavonoid d
ehingga men
akan kelomp
n dalam mek
logam (Hall
ya di dala
en antioksida
wa reaktif y
penyusun m
iliki berat
henylchromo
ncin utama y
a (A dan B)
n ikatan gan
as lagi oleh
aian cincin ka
Gambar 2 St
noid pada k
ada kakao b
Flavonoid m
emberi cita r
dalam kakao
ngurangi ke
ok senyawa
kanisme don
l 2001). Fla
am tubuh
an ini dapat
yang dapat b
membran, RN
molekul ren
ones) denga
yang saling
yang dihubu
nda yang dis
Miean dan
arbon C 6 C 3
truktur kimia
kakao
berkaitan den
memainkan
rasa dan pel
o dapat menc
ebutuhan aka
a yang memp
nor hidrogen
avonoid umu
sehingga
menetralisir
bereaksi den
NA dan DNA
ndah, dan p
an berbagai
melekat. Str
ungkan mela
sebut cincin
Mohamed
C 6 .
a flavonoid
ngan kompo
peran pentin
lindung dari
cegah keten
an penamba
punyai ciri k
n, penangkap
umnya dike
sering jug
r reaktivitas
ngan asam le
A (Hammer
pada dasarn
variasi pad
ruktur dasar
alui cincin h
n ”C” (Midd
(2001) bahw
onen kimia
ng sebagai
kerusakan
gikan pada
ahan bahan
konfigurasi
pan radikal
enal karena
ga disebut
dari ROS,
emak tidak
rstone et al
nya adalah
da struktur
r ini terdiri
heterosiklik
dleton et al
wa struktur
Flavonoid yang terpenting yang ditemukan dalam kakao adalah flavanol
yang terdiri dari monomer katekin dan epikatekin dan oligomer procianidin (CIC
2001).
Gambar 3 Struktur kimia katekin, epikatekin dan prosianidin pada kakao (Andersen dan Markham, 2006)
Flavonoid yang merupakan salah satu sub kelas dari polifenol mempunyai
7 kelas utama yaitu antochyanin, proantochyanin, isoflavone, flavanone, flavonol,
flavanol, dan flavone.
FLAVONOID
Flavanon Flavon
Luteolin Apigenin
Antosianin
Delphinidin Sianidin
Flavonol
Quercetin Kaemferol
Proantosianin
Flavanol
Epikatekin Katekin
Isoflavon
Genistein Daidzein
Polimer flavanol
ASAM FENOLIK Polifenol lainnya (non flavonoid)
Hesperetin Tangertin
POLIFENOL
R 1 =H, R 2 =OH=(+)-catekin Prosianidin
R 1 =OH, R 2 =H=(-)epikatekin
Gambar 4 Pembagian kelas flavonoid ( Murphy et al, 2003; CIC 2001)
Kakao mengandung senyawa flavonoid golongan flavanol, yang
memberikan efek yang menguntungkan bagi tubuh. Selain itu juga bisa
mengurangi resiko mortalitas dan morbiditas kardiovaskuler, kanker dan
osteoporosis dan bisa mencegah penyakit neurodegeneratif serta diabetes militus
(Grassi et al 2006). Murphy et al (2003) menyatakan bahwa mengkonsumsi
flavonoid dan prosianidin secara teratur dapat meningkatkan konsentrasi
epikatekin dan katekin di dalam plasma tetapi tidak menyebabkan oksidasi, dan
juga dapat mengurangi agregasi dan aktivasi platelet penyebab peradangan.
Prosianidin kakao bermanfaat dalam modulasi respon imun dan inflamasi pada
mamalia. Selain itu, prosianidin kakao dari kakao cair ataupun kering bisa
terdapat dalam makanan, suplemen dan obat-obatan untuk modulasi produk gen
sitokin dan kadar protein dan memberikan efek menguntungkan pada penderita
penyakit asma, peradangan akibat virus atau resiko peradangan virus (Schmitz et
al 2001). Prosianidin yang dikombinasikan dengan L-arginin meningkatkan
pengaruh fisiologis dalam memproduksi nitrat oksida pada mamalia yang
mencerna produk itu. Efeknya antara lain menurunkan tekanan darah, ketahanan
terhadap penyakit kardiovaskuler dan aktivitas antikanker (Cheuvaux et al 1999).
Pada manusia, bioavailabilitas flavonoid berkisar antara 1-26 %. Pada
tubuh kita flavonoid akan bersikulasi dalam plasma, terdapat sebagai glukoronida,
methyl dan sulfat konjugat atau kombinasi dari ketiganya yang merupakan hasil
reaksi enzim fase I dan fase II (Grassi et al 2006).
Antioksidan
Antioksidan adalah zat yang mampu memperlambat atau mencegah proses
oksidasi (Schuler, 1990). Menurut Gutteridge dan Halliwell (1996), antioksidan
adalah suatu substansi yang menghentikan atau menghambat kerusakan oksidatif
terhadap suatu molekul target. Sementara itu menurut Cillard et al (1980) dan
Schluler (1990) antioksidan adalah zat dengan kadar lebih rendah dari zat yang
mudah teroksidasi, secara nyata mampu memperlambat oksidasi zat tersebut.
Sebaliknya pada kadar tinggi zat antioksidan bersifat peroksidan atau
meningkatkan oksidasi. Antioksidan biologis adalah zat yang mampu melindungi
sistem biologis dari kerusakan akibat kelebihan oksidasi (Krinsky 1992).
Antioksidan primer adalah zat yang dapat bereaksi dengan radikal bebas atau
mengubahnya menjadi produk yang stabil, sedangkan antioksidan sekunder atau
antioksidan preventif dapat mengurangi laju awal reaksi rantai atau tahap inisiasi
reaksi oksidasi.
Ada 2 macam antioksidan yaitu antioksidan primer dan sekunder (Winarno,
1997), yaitu :
1. Antioksidan Primer
Antioksidan primer adalah suatu zat yang dapat menghentikan reaksi
berantai pembentukan radikal yang melepaskan hidrogen. Zat-zat yang termasuk
golongan ini dapat berasal dari alam seperti tokoferol, lesitin, fosfatida, dan asam
askorbat serta antioksidan buatan seperti BHA (Butylated hydroxyanisole), BHT
(Butylated hydroxytoluene), dan PG (Propylgallate).
2. Antioksidan Sekunder
Antioksidan sekunder adalah suatu zat yang dapat mencegah kerja
prooksidan sehingga dapat digolongkan sebagai sinergi. Beberapa asam organik
tertentu dapat mengikat logam-logam (sequestran), misalnya satu molekul asam
sitrat akan mengikat prooksidan Fe seperti sering dilakukan pada minyak kacang
kedelai. EDTA (Etilendiamin tetra asetat) adalah sequestran logam yang sering
digunakan dalam minyak salad.
Mekanisme kerja antioksidan dapat melalui beberapa cara, antara lain yang
dilaporkan oleh Charpentier dan Cateora (1996) adalah: 1) menghambat
terbentuknya radikal bebas, 2) menjadi perantara dalam netralisasi radikal bebas
yang telah terbentuk (scavenger), 3) menurunkan kemampuan radikal bebas
dalam reaksi oksidasi, dan 4) menghambat enzim oksidatif, misalnya sitokrom P-
450. Penghambatan reaksi radikal bebas akan melidungi hepatosit normal dari
kerusakan dan mengoptimalkan lingkungan bagi sel-sel hati untuk bergenerasi.
Menurut Shahidi (1997), antioksidan diketahui bekerja pada berbagai tahapan
oksidasi molekul lemak, yaitu dengan cara menurunkan kadar oksigen,
menangkap singlet oksigen, pencegahan tahap inisiasi reaksi rantai melalui
penangkapan radikal hidroksil, pengikatan ion logam katalisator, dekomposisi
produk utama menjadi senyawa non radikal dan pemutusan reaksi rantai untuk
mencegah kelanjutan penarikan elektron dari substrat. Antioksidan dapat berasal
dari bahan alami dan sintetik. Sumber antioksidan alami telah banyak dilaporkan
berasal dari tanaman.
Menurut Papas (1999), enzim-enzim antioksidan seperti katalase, glutathion
peroksidase, superokside dismutase, dan peroksidase merupakan lini pertama dari
sistem pertahanan tubuh yang menahan pembentukan radikal bebas. Pada lini
pertahanan kedua, antioksidan yang menangkap radikal seperti vitamin C, vitamin
E, karotenoid dan flavonoid berfungsi untuk menghambat rantai inisiasi dan atau
memecah rantai propagasi. Lini pertahanan ketiga dipegang oleh enzim
fosfolipase, protease, transferase, dan DNA repair enzyme yang berfungsi untuk
memperbaiki kerusakan membran. Lini terakhir dari sistem pertahanan tubuh
adalah proses adaptasi, dimana tubuh akan memproduksi enzim antioksidan yang
sesuai untuk ditransfer ke sisi tertentu pada waktu dan konsentrasi yang tepat.
Penelitian tentang antioksidan pada tanaman telah banyak dilakukan.
Chipault et al (1952) menguji aktivitas antioksidan dari 32 jenis rempah-rempah
dan Puspita-Nienaber et al (1992) menguji aktivitas antioksidan dari 23 jenis
ekstrak rempah-rempah asal Indonesia. Nakatani (1997) meringkas hasil
penelitian tentang aktivitas antioksidan senyawa fenolik dari berbagai tanaman,
antara lain: rosmaridifenol, rosmarikuinon, epirosmanol, dan isorosmanol dari
rosemary; karnosol dari sage; asam hidroksibenzoat dan hidroksinamat dari
oregano; thymol dan karvarol dari thyme; kapsaicin dan hidrokapcaisin dari cabe;
sesamol dan lignan dari wijen; katekin dari teh hijau; dan kurkuminoid dari
kunyit. Zhu et al (2005) menyatakan bahwa katekin, epikatekin, yang diisolasi
dari kakao dapat mengurangi kerentanan eritrosit terhadap radikal bebas penyebab
hemolisis.
Radikal bebas dan kerusakan sel
Radikal bebas dapat menyebabkan stres oksidatif. Stress oksidatif
merupakan keadaan ketidakseimbangan antara reaktif oxygen species (ROS) /
reaktif nitrogen species (RNS) dan antioksidan (Halliwell & Gutteridge 2001).
Jika radikal bebas berada dalam jumlah berlebihan dan jumlah antioksidan seluler
tetap atau lebih sedikit maka kelebihannya tidak bisa dinetralkan dan berakibat
pada kerusakan sel (Langseth 1995; Palmer & Paulson 1997). Kerusakan sel
merupakan gangguan atau perubahan yang dapat mengurangi viabilitas dan fungsi
essensial sel (Kehrer 1993). Stress oksidatif dapat menyebabkan kematian sel
secara apoptosis dan nekrosis. Menurut Zitouni et al (2005), radikal bebas juga
dapat mengganggu endotelium dan memacu terjadinya kerusakan membran,
sebagai contohnya akan meningkatkan ekresi albumin urin dan memacu diabetes.
Reaksi tidak terkendali radikal bebas terhadap komponen sel seperti asam
lemak tidak jenuh ganda (PUFA), heksosa, pentosa, asam amino dan komponen
DNA menghasilkan beberapa produk seperti : Malonaldehida atau MDA, diena
terkonjugasi, dikarbonil dan asam 15-hidroperoksi-5,8,4,13 eikosatetraenoik (15-
HPETE). MDA merupakan melekul dialdehid yang mempunyai tiga atom karbon
dan bersifat reaktif (Rice-Evan et al. 1991; Zaden et al. 1995). 1,1,3,3-
tetraetoksipropan merupakan prekusor malondialdehid sehingga sebagai larutan
standar dapat digunakan larutan tetraektoksipropan.
Malonaldehida atau MDA (C3H4O2) merupakan salah satu hasil
peroksidasi asam lemak tidak jenuh (ALTJ) terutama asam arakhidonat (Bird dan
Draper, 1984; Frankel dan Neff, 1983). Malonaldehida atau MDA dijumpai juga
sebagai produk samping biosintesis prostaglandin. Pengukuran MDA telah
digunakan sebagai indeks tidak langsung kerusakan oksidatif yang disebabkan
oleh peroksidasi lipida (Auroma 1997).
Peningkatan kadar Malonaldehida dapat ditekan dengan pemberian
antioksidan seperti vitamin C, A, dan E dan beberapa komponen bioaktif (Cho et
al. 2000; Palloza et al. 2000; Kris-Ethon & Keen 2002) yang secara keseluruhan
dapat menekan proses peroksidasi lipid.
Senyawa-senyawa yang menjadi target ROS atau radikal bebas adalah
molekul-molekul seluler dan ektraseluler antara lain: protein, asam lemak tidak
jenuh ganda, glikoprotein, lipoprotein dan bahan-bahan penyusun DNA seperti
karbohidrat dan basa purin.
Di bawah ini disajikan beberapa jenis radikal bebas dan ROS yang
berperan pada kerusakan sel.
Tabel 2 Jenis-jenis Reaktif Oxygen Species dan radikal bebas yang berperan pada kerusakan sel
Radikal bebas Lambang Non radikal Lambang
Hidrosil
Superoksida
Nitrit oksida
Lipid peroksida
OH*
O2*
NO*
LOO*
Hidrogen peroksida
Singlet oksigen
Asam hipoklorida
Ozon
H2O2 1O2
HOCl
O3
(Halliwell & Gutteridge 1999).
Berdasarkan hasil penelitian, radikal bebas dan ROS dalam tubuh makhluk
hidup berasal dari :
1. Pada organisme aerob, 95% oksigen dalam sel direduksi menjadi air oleh
rantai pernafasan pada mitokondria, proses reduksi ini melibatkan 4 elektron
dan 2 proton. Kebocoran elektron diperkirakan mencapai 1-5%, elektron yang
bocor ini bereaksi dengan oksigen membentuk radikal superoksida (O2*),
hidrogen peroksida (H2O2) dan radikal hidroksil (OH*) (Lehninger, 1993).
2. Reduksi O2 menjadi superoksida pada fagositosis. Fagositosis merupakan salah
satu sistem pertahanan humoral dalam melawan infeksi atau bahan asing yang
masuk kedalam tubuh. Dengan bantuan NADPH-oksidase, netrofil dan
makrofag (Haliwell & Gutteridge 1999).
3. Peristiwa iskemi yaitu deplesi ATP akibat kekurangan oksigen dimana terjadi
pemecahan ATP menjadi AMP, adenosine dan hipoxantin. Hipoxantin diubah
oleh xantin oksidase, menjadi asam urat dan radikal bebas seperti: superoksida,
hidrosil dan hydrogen peroksida (Greenwald 1985; Haliwell & Gutteridge
1999).
4. Reaksi Fenton dan Haber-weiss, melalui reaksi oksidasi-reduksi yang dikatalis
oleh Fe+2 dan Fe+3. Fe+2 dan Fe+3 berasal dari hemoglobin dan mioglobin
(Greenwald 1985; Zakaria 1996; Haliwell & Gutteridge 1999).
5. Radikal bebas juga dihasilkan dari reaksi metabolisme eicosanoidi yaitu
metabolisme asam arakhidonat melalui mekanisme prostaglandin atau
leukotrin. Perubahan ini menghasilkan ROS (Rise-Evan et al. 1991; Haliwell
1994).
6. Secara alamiah sel-sel tubuh baik sel normal ataupun sel kanker melakukan
apoptosis yaitu program bunuh diri. Apoptosis menjadi penting karena jika
jumlahnya menjadi berlebihan maka akan memicu kelainan. Pada saat sel
melakukan apoptosis maka semua isi sel akan keluar (Roitt 1991; Haliwell &
Gutteridge 1999).
Sistem pertahanan tubuh nonenzimatik
Sistem pertahanan tubuh nonenzimatik terhadap serangan radikal bebas
melibatkan vitamin C, vitamin E dan komponen-komponen bioaktif. Pertahanan
nonenzimatik terhadap radikal bebas dibagi atas 2 kelompok besar yaitu : sistem
pertahanan preventif dan pemutusan rantai reaksi radikal bebas (Nabet 1996).
Sistem pertahanan tubuh enzimatik
Sistem Pertahanan Tubuh Enzimatik terhadap radikal bebas melibatkan :
enzim superoksida dismutase (SOD), katalase dan glutation peroksidase (GSH-
Px) (Halliwell et al. 1992; Schmidl et al, 2000).
a. Superoksida dismutase (SOD)
Superoksida dismutase adalah metaloenzim yang mengkatalis dismutasi
radikal anion superoksida menjadi hydrogen peroksida dan oksigen. SOD tidak
stabil terhadap panas, cukup stabil pada kondisi basa. SOD masih mempunyai
aktivasi walaupun disimpan selama 5 tahun pada suhu 5 0C (http:/www.
Orthington-biochem.com). Untuk aktivitasnya SOD membutuhkan logam seperti
Zn, Cu, dan Mn sebagai kofaktor (Mc Cord & Fridovich 1969).
Aktivitas SOD dihambat oleh sianida dan H2O2, oleh karena SOD
dihambat oleh H2O2 maka dalam kerjanya SOD sangat membutuhkan katalase
(Rice-Evan et al. 1991; Haliwell & Gutteridge 1999). Aktivitas SOD (U/g
jaringan) tertinggi ditemukan didalam hati. SOD juga ditemukan pada kelenjar
adrenalin, ginjal, darah, limfa, pankreas, otak, paru-paru, lambung, usus, ovarium,
dan timus (Haliwell and Gutteridge 1999).
Aktivitas SOD diukur berdasarkan pengukuran aktivitas enzim secara
tidak langsung, salah satunya dengan metode yang dikembangkan oleh Misra dan
Fridovich (1997). Metode ini berdasarkan kepada kemampuan penghambatan
autooksidasi epinefrin menjadi adenokrom oleh SOD. Perubahan epinefrin
menjadi adenokrom menimbulkan warna coklat, makin besar kadar SOD sampel
maka makin besar penghambatan dan makin kurang intensitas warna. Warna
coklat dideteksi secara spektrofotometri.
b. Enzim Glutation Peroksidase
Glutation Peroksidase merupakan selonoprotein sebagai active site, terdiri
dari 4 sub unit protein yang dapat mengkatalis reaksi reduksi H2O2 menjadi
senyawa organik hidroperoksida (ROOH) (Rice-Evan et al. 1991; Haliwell 1994).
Glutation peroksidase menggunakan glutation tereduksi (GSH) sebagai substrat.
Glutation Peroksidase mereduksi hidroperoksida dan pada saat yang sama
glutation tereduksi mengalami oksidasi. Pada manusia, aktivitas glutation
peroksidase sebanding dengan konsentrasi selenium (Se) plasma.
Glutation Tereduksi
Glutation (L-γ-glutamil-cysteinyl-glisin) merupakan tripeptida yang
mengandung gugus sulfuhidril (-SH). Glutation merupakan salah satu sistem
antioksidan, terutama berpartisipasi dalam penghancuran H2O2 dan peroksida
organik (Greenwald 1985). Ada dua jenis glutation yaitu glutation tereduksi dan
glutation teroksidasi. Glutation banyak ditemukan dalam sitosol hati. Keberadaan
GSH di dalam sel sangat diperlukan sebagi substrat glutation peroksidase dan
sebagai senyawa konjugat detoksifikasi xenobiotik pada reaksi enzim fase II
(Hodgoson & Levi 2000).
c. Enzim katalase
Katalase merupakan enzim yang mengkatalis reaksi pemecahan senyawa
hidrogen peroksida menjadi oksigen dan air.
2H 2 O 2 Katalase H 2 O + O 2
Katalase ditemukan pada hewan dan tumbuhan tingkat tinggi. Katalase pada
mamalia disusun oleh 4 sub unit protein. Tiap unit terdiri dari satu gugus hem
dengan inti ion ferri sebagai active site. Aktivitas katalase dihambat oleh senyawa
azida, sianida dan HOCl tapi meningkat dengan meningkatnya akumulasi H2O2
(Haliwell & Gutteridge 1999).
Pada manusia, katalase ditemukan di dalam darah, ginjal, limfa, pankreas,
otak, jantung, paru-paru, adipose, kelenjar adrenal dan konsentrasi tertinggi
terdapat pada hati (± 1400 U/mg protein) ( Halliwell 1994) bersama-sama dengan
glutation peroksida (Greenwald 1985). Pada organ dan jaringan ini katalase
ditemukan di dalam peroksisom, mitokondria, dan retikulum endoplasma.
Hidrogen peroksida di dalam tubuh melalui dua mekanisme yaitu:
1. Pemecahan oleh katalase membentuk air dan molekul oksigen
2H 2 O 2 Katalase H 2 O + O 2
2. Pemecahan oleh glutation peroksidase dengan bantuan substrat glutation
GSH- + H 2 O 2 GSH-Px GS + H 2 O
Salah satu metode penentuan aktivitas katalase adalah metode kalorimetri
yang dikembangkan oleh Sinha (1972). Metode ini menggunakan zat warna
bikromat sebagai indikator dimana ion bikromat dalam suasana asam dapat
direduksi oleh H 2 O 2 menjadi kromat. Perubahan warna yang muncul dibaca
secara spektrofotometri pada panjang gelombang 570 nm. Satu unit aktivitas
katalase adalah banyaknya H 2 O 2 yang dipakai oleh katalase permenit.
Metabolisme xenobiotik dan detoksifikasi senyawa beracun
Toksikologi dapat didefenisikan sebagai cabang ilmu yang mempelajari
tentang zat-zat yang beracun. Namun pengertian ini terus berkembang seiring
dengan semakin kompleksnya kehidupan sosial masyarakat. Selanjutnya
toksikologi tidak hanya dikaitkan dengan zat-zat yang beracun tetapi juga
mempelajari tentang pendeteksian, keberadaan, efek dan regulasi dari senyawa
toksik (Hodgoson & Levi, 2000). Toksikologi berhubungan erat dengan cabang
farmakologi/ farmasi. Hal ini bisa dijadikan dasar pengetahuan tentang
metabolisme senyawa asing atau yang lebih dikenal dengan xenobiotik (Murray et
al. 1999). Xenobiotik merupakan senyawa asing yang masuk ke dalam tubuh kita
dan bukan merupakan komponen gizi. Xenobiotik ini dikeluarkan oleh tubuh kita
melalui proses detoksifikasi (Hodgoson & Levi, 2000).
Toksikologi pangan berhubungan erat dengan keamanan pangan karena
makhluk hidup tidak lepas dari makanan. Berbagai macam makanan ternyata tidak
sepenuhnya bebas dari zat kimia toksik atau xenobiotik yang berada pada
makanan sebagai zat tambahan makanan, pencemar makanan ataupun zat toksik
alamiah. Contoh xenobiotik pangan antara lain alkohol, flavon (zat toksik
alamiah), BHA (antioksidan pangan), benzopiren yang terdapat pada daging
panggang dan lain sebagainya (Donatus 2001).
Timbulnya pengaruh bahaya atau efek toksik racun atas makhluk hidup
terjadi melalui beberapa proses. Pertama kali makhluk hidup menerima racun,
berikutnya mengalami absorbsi, distribusi racun atau metabolitnya ke tempat aksi
yaitu sel sasaran atau reseptor yang ada dalam makhluk hidup. Di dalam aksi ini,
kemudian terjadi reaksi antara racun atau metabolitnya ke tempat aksi sel sasaran
atau reseptor, dan berbagai peristiwa biokimia dan biofisika berikutnya, akhirnya
timbul pengaruh berbahaya atau efek toksik dengan wujud dan sifat tertentu. Jadi
toksisitas suatu senyawa ditentukan oleh keberadaan yang meliputi kadar dan
lama tinggal senyawa itu atau metabolitnya di tempat aksinya dan keefektifan
antar aksinya (mekanisme aksi). Reaksi yang berlangsung juga tergantung pada
kondisi makhluk hidup (Donatus 2001).
Metabolisme senyawa beracun dapat didefenisikan sebagai perubahan
hayati atau biotransformasi zat kimia toksik menjadi suatu metabolit yang secara
kimia berbeda dengan zat kimia induknya, dalam diri makhluk hidup. Hal ini
mengandung arti bahwa pertama, di dalam tubuh zat kimia toksik tersebut
mungkin mengalami perubahan struktur molekul melalui mekanisme tertentu.
Kedua, perubahan bentuk struktur tersebut akan mengakibatkan perubahan sifat-
sifat fisika-kimia yang berbeda dengan zat induk. Ketiga, bentuk ubahannya yang
disebut bentuk metabolit yang memilki sifat fisika kimia yang berbeda dengan zat
induk. Keempat, akibat perubahan sifat fisika-kimia tersebut menyebabkan
metabolit memiliki kelarutan dalam air atau lipid, aktivitas dengan jaringan atau
tempat aksi dan aktivitas intrinsik yang berbeda dengan zat induknya. Kelima,
hasil bersih berbagai perubahan biokimia tersebut adalah perubahan ketoksikan
zat induk, sehingga respon toksik makhluk hidup terhadap racun juga akan
berubah (Donatus 2001).
Beberapa langkah biotransformasi xenobiotik dalam tubuh terlihat pada
gambar berikut:
Lipofilik tinggi Lipofilik Polar Hidrofilik Polar Hidrofilik
Gambar 5 Biotransformasi xenobiotik di tubuh (Blaauboer 1996)
Hodgoson & Levi (2000) menyebutkan bahwa mekanisme pergerakan bahan
toksik melewati membran-membran khususnya pada awal masukan, merupakan
hal yang kurang menjadi perhatian dengan baik, meskipun sesungguhnya telah
XENOBIOTIK
Terakumulasi terutama dalam lemak
Reaksi Fase I (Bioaktivasi atau Inaktifasi)
Oksidasi, Reduksi, Hidrolisis
Reaksi Fase II (Bioaktivasi) Konjugasi
Mobilisasi Pengeluaran dari tubuh
Melalui Keringat Sirkulasi Plasma (melalui urin)
Enzim yang berperan: Sitokrom P-450 Flavin Containing Monooksigenase Prostaglandin Synthetase Cooxidase
Molibdenum Hidroxylase,dll
Enzim yang berperan: Glutation S-transferase
Metyl transferase Cystein Konjugate Lyase
N,O-Acyltransferase
dilakukan pada masalah khusus obat-obatan. Terdapat 4 mekanisme pokok yang
memungkinkan bahan toksik untuk melintasi membran.
1. Transpor pasif. Mekanisme ini mendominasi hampir semua bahan toksik.
Pengangkutan pasif melibatkan pergerakan campuran-campuran melewati
membran-membran lipid oleh difusi sederhana dengan koefisien pembagi air/
lipid yang sebagian besar menentukan tingkat pergerakan. Campuran-
campuran dalam bentuk yang telah diionisasi tidak menggerakan dengan
sangat cepat oleh difusi melalui membran untuk beberapa alasan. Pertama,
bentuk yang telah diionisasi cenderung memiliki daya larut lipid rendah,
sebuah faktor yang sangat penting untuk difusi membran. Kedua,
memungkinkan terjadinya interaksi ion antara xenobiotik, lipid, dan protein
dalam membran.
2. Filtrasi. Seringkali pori-pori dalam membran memperbolehkan masuknya
dengan berat molekul kurang dari 100 dalton. Molekul-molekul yang lebih
besar, bagaimanapun juga, dikeluarkan kecuali dalam banyak jaringan-
jaringan yang penyerapannya tinggi, seperti ginjal dan hati. Karena
kebanyakan bahan toksik relatif bermolekul sangat besar, jalan kecil ini
seringkali memiliki arti penting mekanisme penyerapan yang terbatas. Filtrasi
umumnya memiliki arti yang sangat penting dalam pembuangan bahan toksik,
khususnya ginjal.
3. Transpor khusus. Sejumlah sistem pengangkutan khusus, terutama sekali pada
bidang gastro intestinal, membantu dalam pengangkutan campuran endogen
melalui membran. Proses tersebut dapat membutuhkan energi dan
memungkinkan senyawa untuk melewati gradien konsentrasi (transpor aktif)
atau mungkin tidak memerlukan energi dan tidak dapat menggerakkan
senyawa melewati sebuah tanjakan/ gradien (pengangkutan yang difasilitasi).
Meskipun hasilnya bisa jadi berbeda, mekanisme ini agak mirip dan telah
didiskusikan bersama. Pada kedua masalah ini, protein pembawa yang
bergabung dengan bahan toksik telah diketahui. Protein ini membantu
pergerakan bahan toksik dari satu sisi membran ke yang lain, dan di lain sisi,
bahan kimia berpisah dari protein, yang kemudian bebas untuk mengambil
molekul bahan toksik yang lain. Penetrasi seperti itu lebih cepat daripada
difusi sederhana dan dalam hal pengangkutan aktif, dapat diproses di luar titik
yang berkonsentrasi sama pada kedua sisi membrannya.
Mekanisme ini mungkin menjadi penting dan relatif jarang terjadi dalam
bahan toksik yang memiliki bahan kimia atau struktur menyerupai bahan
kimia endogen yang berprinsip pada mekanisme pengangkutan khusus untuk
pengambilan fisiologi normal dan itu dapat menggunakan sistem yang sama.
Sebagai contoh, 5-fluorouracil diangkut oleh sistem pengangkutan timidin.
Timah dapat dipindahkan secara cepat dengan sistem pengangkutan yang
dilibatkan secara normal pada pengambilan kalsium. Sebagai mekanisme
penyerapan, sistem pengangkutan khusus ini banyak dimuat pada penyerapan
gastro intestinal. Mekanisme ini menjadi lebih besar perannya dalam
pembuangan bahan racun, bagaimanapun juga pengangkutan khusus penting
pada pemindahan xenobiotik dan metabolitnya. Sifat penting dari
pengangkutan khusus adalah mereka memperbolehkan pergerakan senyawa-
senyawa dengan daya larut lipid lebih rendah, hal ini menyangkut senyawa-
senyawa yang biasanya diharapkan untuk bergerak sangat lambat melewati
membran lipid yang sangat tinggi. Kebanyakan sistem pengangkutan aktif
dihubungkan ke energi yang menghasilkan enzim (misalnya ATPase), dan
kedua sistem pengangkutan aktif dan difasilitasi memperlihatkan sifat saturasi
(dengan kata lain, saturasi dari ketersediaan protein pembawa oleh molekul
bahan toksik). Dengan begitu, kinetik/ ilmu gerak dari sistem pengangkutan
khusus dapat dijelaskan lebih baik lagi dengan menggunakan model kinetik
enzim Michaelis-Menton.
4. Endositosis. Pinositosis (untuk cairan) dan pagositosis (untuk padat) adalah
proses pengangkutan yang dikhususkan pada permukaan membran atau
pengaliran disekeliling bahan kimia yang memungkinkan transfer yang lebih
cepat melalui membran. Hanya pada pemisahan kejadian seperti penyerapan
dari karagen (mol wt ~40.000) dalam usus memiliki mekanisme ini yang telah
ditemukan menjadi penting pada masukan awal. Setelah di dalam tubuh,
bagaimanapun juga endositosis adalah mekanisme yang sedikit umum dan
penelanan senyawa di dalam paru-paru adalah umum (pagositosis paru-paru)
Berlangsungnya metabolisme senyawa asing di dalam tubuh, dapat terjadi
di dalam hati, ginjal, usus, kulit, kelenjar kelamin, plasenta serta darah. Meskipun
hati merupakan organ utama dalam sistem biotransformasi, tetapi metabolisme
senyawa xenobiotik juga dapat berlangsung pada jaringan-jaringan di luar hati,
misalnya saja darah (Krovat et al. 2000). Setelah toksikan masuk ke dalam
sirkulasi darah, maka toksikan tersebut akan didistribusikan atau disebar ke
seluruh jaringan tubuh manusia (Donatus 2001). Menurut Hodgoson dan Levi
(2000), cairan tubuh memegang peranan penting dalam pendistribusian toksikan
dalam tubuh yang telah diabsorpsi.
Metabolisme seyawa xenobiotik terdiri dari dua fase. Pada fase satu,
toksikan bersifat lipofilik akan ditransformasikan oleh enzim-enzim fase satu
(monoksigenase) menjadi senyawa-senyawa metabolit yang bersifat polarreaktif
grup. Pada fase dua, metabolit yang terbentuk akan dikonjugasikan oleh enzim-
enzim fase dua (konjugasi) sehingga dihasilkan senyawa yang bersifat hidrofilik
dan mudah diekresikan ke luar tubuh. Namun jika metabolisme senyawa
xenobiotik menghasilkan produk yang reaktif, maka akan menimbulkan efek
toksik bagi tubuh (Hodgoson & Levi, 2000).
A. Reaksi fase satu
Reaksi-reaksi fase satu meliputi monooksigenasi mikrosom, oksidasi
mitokondria dan sitosol, kooksidasi dalam reaksi sintesis prostaglandin, reduksi,
hidrolisis dan hidrasi epoksida. Semua reaksi pada fase satu menghasilkan
metabolit atau merubah toksikan menjadi lebih polar sehingga dapat dikonjugasi
dalam reaksi-reaksi fase dua dan mudah diekresikan baik secara langsung maupun
tidak langsung setelah mengalami reaksi fase satu (Hodgoson & Levi, 2000).
Lebih lanjut, Donatus (2001) menjelaskan bahwa fungsi utama reaksi
metabolisme fase I adalah mengubah struktur senyawa asing melalui proses
oksidasi, reduksi atau hidrolisis, guna memasukkan gugus fungsional yang sesuai
bagi reaksi konjugasi fase II.
Enzim yang berperan penting dan terlibat paling dominan pada reaksi fase
I adalah enzim monoksigenase Sitokrom P-450. Berdasarkan percobaan yang
dilakukan oleh Omura dan Sato (1964), maka mereka mendefenisikan Sitokrom
P-450 sebagai suatu protein heme yang mengandung satu molekul besi-
protoporfirin IX sebagai gugus prostetik atau gugus aktifnya. Nama sitokrom P-
450 diperoleh dari kenyataan bahwa sitokrom memberikan satu spektra resapan
maksimum pada panjang gelombang 450 nm, bila tereduksi dan terkompleks
dengan karbon monoksida. Sifat ini khas diperantarai oleh adanya gugus tiolat
sebagai suatu ligan protein heme itu. Menurut Donatus (2001) Sitokrom P-450
menunjukkan selektivitas yang luas terhadap aneka ragam substrat. Keadaan ini
disebabkan oleh adanya aneka ragam isoenzim sitokrom tersebut, yang satu
dengan yang lainnya berbeda dalam struktur rantai polipeptida dan kekhasan
reaksi yang dikatalisirnya.
Induksi terhadap metabolisme fase I, terutama yang dikatalisir oleh
sitokrom P-450 mikrosomal memilki arti penting karena sistem ini sering
membentuk metabolit perantara yang reaktif atau toksik (Donatus, 2001).
Beberapa produk yang dibentuk oleh enzim ini berimplikasi pada penyebab
penyakit kanker atau karsinogenik (Shimada et al, 1996). Intermediet yang
terdapat dalam aktivasi dioksigen merupakan awal terbentuknya superoksida atau
peroksida. Mekanisme aktivasi dioksigen diketahui sebagai tahap terakhir dari
katalisis P-450, yang dimulai dengan reduksi komplek dioksigen (Benson et al,
1997).
Ada dua hal penting yang berhubungan dengan fungsi enzim sitokrom P-
450, yang pertama adalah enzim ini memiliki jalur yang kritis dan spesifik dalam
metabolisme senyawa-senyawa kimia endogenus. Kedua, Proses enzim ini
merupakan pokok dari produk-produk alami, bahkan saat ini ditambah dengan
bahan-bahan kimia seperti obat-obatan dan xenobiotik lainnya dalam senyawa-
senyawa non selektif (Guengerich 1991). P-450 dan komponennya bisa ditemukan
di kulit, mukus, paru-paru, gastrointestinal. Selain organ-organ tersebut juga telah
banyak dilakukan penelitian tentang keberadaan P-450, diantaranya di hati, ginjal,
plasenta, testis serta pada darah (Hodgoson & Levi, 2000).
B. Reaksi fase dua
Pada reaksi fase dua, senyawa yang terhidroksilasi atau senyawa lainnya
yang diproduksi dalam fase satu, diubah oleh enzim yang spesifik menjadi
berbagai metabolit polar lewat konjugasi dengan asam glukuronat, sulfat, asetat,
glutation atau asam amino tertentu lewat metilasi. Reaksi konjugasi ini membuat
molekul lebih bersifat dapat larut dalam air sehingga akhirnya dapat diekresikan
ke dalam urin dan empedu (Murray et al. 1999).
Reaksi fase dua lebih dikenal dengan reaksi konjugasi, menyangkut
penambahan gugus polar ke senyawa asing. Reaksi fase dua merupakan reaksi
biosintetik, maka dibutuhkan energi sehingga reaksi dapat berlangsung. Reaksi
penting pada fase II adalah reaksi konjugasi glutation karena sering terlibat dalam
penghilangan zat atau metabolit perantara yang reaktif, yakni yang bersifat
elektrofil. Berlangsungnya reaksi ini dikatalisir oleh enzim glutation S-transferase
(Donatus 2001).
Glutation S-transferase merupakan suatu famili enzim yang mengkatalisir
tahap awal pembentukan N-asetilsisteina (asam merkapturat) yang terutama
terdapat dalam sitosol testis, hati, ginjal, usus, kelenjar adrenal (Donatus 2001).
Enzim ini berperan dalam binding, transport dan detoksifikasi komponen
endogenus maupun eksogenus. Glutation S-transferase ditemukan dalam jumlah
yang besar pada hati, tetapi juga terdapat pada aliran darah terlebih lagi jika hati
mengalami kerusakan (Mulder et al 1999).
Sejumlah xenobiotik elektrofilik yang berpotensi beracun akan
terkonjugasi dengan glutation nukleofilik dalam reaksi berikut:
R + GSHO R – S - G
Dimana R adalah xenobiotik elektrofilik. Jika xenobiotik yang potensial beracun
tidak terkonjugasi maka molekulnya akan berada dalam keadaan bebas yang
membentuk ikatan kovalen dengan DNA, RNA atau protein sel dengan demikian
dapat mengakibatkan kerusakan sel yang serius (Murray et al. 1999).
Induksi enzim detoksifikasi glutation S-transferase merupakan mekanisme
pertahanan terhadap kanker. Prinsipnya peningkatan enzim glutation S-transferase
dapat mereduksi karsinogenesis melalui penguatan pembuangan elektrofil reaktif
(Kirlin et al. 1999). Analisis yang digunakan dengan menggunakan prinsip bahwa
GSH dapat berkonjugasi dengan 1-kloro-2,4-dinitrobenzene (CDNB) dengan
adanya katalis enzim glutation S-transferase dan menghasilkan produk dapat
diukur secara spektrofotometri (Habig et al. 1974).
Metabolisme Senyawa Bioaktif
Metabolisme senyawa bioaktif seperti senyawa flavonoid dalam tubuh
dipengaruhi oleh struktur kimia dan perlunya molekul itu mengalami konjugasi.
Meskipun bioavailabilitas flavonoid bervariasi antara flavonoid tipe satu dan yang
lain, mulai dari antosianin yang sangat sedikit diserap dan isoflavon yang dengan
mudah diserap, jalur dalam mekanisme absorbsi pada umumnya sama untuk
semua flavonoid. Perubahan melalui jalur metabolisme ditentukan oleh spesifitas
dan aktivitas transporter, spesifitas dan aktivitas metabolisme dan stabilitas
flavonoid (Meskin et al, 2004).
Senyawa flavonoid dalam tanaman biasanya dalam bentuk glikosida.
Glikosida flavonoid yang diasup tubuh mencapai usus halus melalui jalur
pencernaan. Senyawa flavanol seperti katekin dan proanthosianin oligomer
sebagian besar tidak terglikosolasi harus dideglikolasi. Deglikosilasi dapat terjadi
pada beberapa tempat dalam duodenum dan jejenum dalam lumen intestinal,
brush border atau hidrolase intraseluler setelah terjadinya transport flavonoid ke
dalam enterosit. Deglikosilasi adalah perlakuan awal sebelum konjugasi oleh
enzim yang terdapat dalam usus dan transport sampai serosol atau sisi mukosal.
Hal yang sama juga berlaku untuk isoflavon, aglikonnya dapat diserap dalam usus
halus. Tahap awal proses absorbsi untuk flavonoid terglikosilasi dan isoflavon
adalah deglikosilasi oleh lactase phlorizin hydrolase (LPH) yang merupakan
enzim yang terletak dalam bagian brush border dari usus halus yang bertanggung
jawab dalam hidrolisis laktosa (Meskin et al 2004).
Hasil dari reaksi deglikosilasi adalah aglikon bebas yang dapat berdifusi ke
dalam sel-sel epitel secara pasif atau secara difusi fasilitatif. Reaksi deglikosilasi
ini adalah reaksi yang spesifik dan memiliki aktivitas yang besar. Reaksi
selanjutnya yang terjadinya adalah penyerapan atau absorbsi. Penyerapan
glikosida flavonoid tidak dipengaruhi oleh perlakuan awal menggunakan β-
glukosidase dari mikroba diduga karena enzim LPH dalam usus halus
mengakatalis reaksi yang sama. Absorbsi aglikon dalam lumen tergantung pada
keberadaan komponen-komponen lain dan juga karena kelarutan atau koefisien
partisi dari flavonoid. Mekanisme absorbsi alternatif yang terjadi melibatkan
transpor glikosida flavonoid ke dalam enterosit dalam bentuk serapan melalui
fungsi transporter gula. Kedua jalur absorbsi menaikkan jumlah aglikon
intaraseluler transient yang ditemukan dalam jaringan usus halus tikus setelah
reaksi fusi in vitro dengan glukosida quarcetin atau isoflavon (Meskin et al,
2004).
Reaksi yang terjadi selanjutnya adalah konjugasi. Usus memiliki kapasitas
konjugasi tertentu termasuk oleh glukoronosyl transferase atau UGTs dan
glutation transferase. Absorbsi di usus halus menentukan transfer flavonoid dari
mukosa usus sampai darah (Kuhnle et al 2000 dalam Setiawan 2006). Ditemukan
bahwa quercetin, katekin dan genistein sebagian besar adalah dalam bentuk
glukoronidase. Enzim-enzim yang mengkatalis reaksi konjugasi di dalam usus dan
hati adalah UGT1A1 dan 1A8. Sebagian kecil flavonoid seperti katekin galloylasi
dan isoflavon melewati konjugasi usus namun hanya dalam keadaan, dosis dan
waktu tertentu (Meskin et al, 2004).
Pada reaksi glukoronidasi selama absorbsi, beberapa flavonoid mengalami
metabolisme lebih lanjut. Pada tahap ini residu glukoronida dikeluarkan dan
diganti dengan sulfat. Reaksi sulfitasi ini pada umumnya terjadi di liver. Hati
menerima flavonoid dari darah termasuk darah dari usus halus pada awal
metabolisme. Berdasarkan percobaan perfusi secara invitro dan invivo pada tikus,
flavonoid dari usus halus terutama glukoronida yang mencapai liver secara
keseluruhan terkonjugasi. Semua flavonoid yang telah terkonjugasi kemudian
disalurkan ke dalam empedu dan kembali ke usus halus tanpa mengalami
dekonjugasi lagi dan kemudian dikirim ke kolon serta diikuti deglukoronidasi atau
sulfatasi oleh mikroba dalam ileum atau kolon dan terjadi reabsorbsi flavonoid
dalam tikus enterohepatik (Meskin et al, 2004).
Darah menyalurkan flavonoid ke jaringan-jaringan tubuh. Apabila terdapat
dalam plasma aglikon memasuki jaringan perifer dengan difusi pasif atau
terfasilitasi. Konjugat glukoronida perlu disalurkan ke dalam jaringan perifer
karena senyawa tersebut bersifat hidrofilik dan berdifusi melewati membran
dengan lambat. Untuk dekonjugasi dalam jaringan, banyak sel memiliki aktivitas
β-Glukoronidase dalam fraksi lisosom dan lumen dalam retikulum endoplasma.
Dalam hati, enzim ini aktif terhadap quarcetin glukoronida. Tahap terakhir dari
metabolisme senyawa flavonoid adalah ekresi yang merupakan ekresi di ginjal.
Meskipun demikian kandungan flavonoid karena pembentukan deglikosilasi
flavonoid juga terjadi di kolon oleh mikroba (Meskin et al, 2004).
Komponen darah
Menurut Koolman dan Rohm (1996), darah menyusun sekitar 8% dari
masa tubuh manusia. Darah merupakan suatu jaringan bersifat cair yang terdiri
atas sel-sel darah dan plasma sebagai mediumnya. Plasma darah bersifat homogen
dan alkali lemah serta terdiri dari garam organik, protein, lemak, hormon, vitamin,
enzim serta zat-zat nutrisi lainnya. Sel-sel darah mamalia terdiri dari sel darah
merah atau eritrosit, keping darah atau trombosit, dan sel darah putih atau leukosit
(Hartono 1989).
Darah mempunyai berbagai fungsi di dalam tubuh manusia. Darah
merupakan alat transpor, mempertahankan lingkungan dalam tubuh agar terjaga
konstan (homeostasis) dan berperan penting pada pertahanan tubuh terhadap
benda-benda asing.
Eritrosit
Eritrosit adalah suatu sel yang berisi hemoglobin dan membawa oksigen dari
paru-paru ke seluruh tubuh disebut juga sel darah merah (red blood cell/RBC). Di
dalam tubuh manusia dalam keadaan diam sekitar 250 ml oksigen dikonsumsi dan
200 ml karbondioksida diproduksi setiap menit, selama latihan jumlah ini
meningkat sepuluh kali lipat (Anonim 2006). Warna kemerah-merahan
disebabkan oleh kandungan hemoglobin. Eritrosit berbentuk bikonkaf yang
meningkatkan area permukaan sel sehingga memudahkan difusi oksigen dan
karbon dioksida. Bentuk ini dipertahankan oleh suatu sitoskeleton yang terdiri atas
beberapa protein. Eritrosit sangat fleksibel dan dapat berubah bentuk saat
mengalir di dalam kapiler. Eritrosit yang belum matang disebut retikulosit, secara
normal terdapat 1-2% dari jumlah sel darah merah di dalam darah. Garis tengah
eritrosit manusia adalah 6-8 µm, jauh lebih kecil dibanding hampir seluruh sel
manusia. Eritrosit mengandung sekitar 270 juta molekul hemoglobin dengan
masing-masing membawa empat kelompok heme (Anonim 2006). Dalam rangka
mengikat oksigen, besi yang terdapat pada heme yang mengisi separuh jumlah
hemoglobin harus dijaga dalam bentuk tereduksi disamping sebagai agen oksidasi
endogen dan eksogen (Anonim 2006).
Plasma darah
Plasma adalah suatu larutan encer yang terdiri atas elektrolit, zat-zat
makanan, metabolit, protein, vitamin, elemen pelacak dan hormon. Plasma
mengandung banyak sekali ion, molekul anorganik, organik yang sedang diangkut
ke berbagai bagian tubuh atau membantu transpor zat-zat lain. Volume plasma
normal adalah sekitar 5 % berat badan atau secara kasar 3500 ml (berat badan 70
kg). Plasma akan menggumpal jika didiamkan dan hanya akan bertahan cair jika
ditambah antikoagulan (Ganong 2000).
Protein membentuk bagian terbesar komponen yang tidak mudah menguap
di dalam plasma darah. Konsentrasinya berkisar antara 60 dan 80 g/L. Dengan
demikian sekitar 4 % dari seluruh protein tubuh adalah protein plasma. Di dalam
plasma terdapat sekitar 100 protein yang berbeda (Koolman dan Rohm, 2001).
METODOLOGI PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Biokimia Fakultas Teknologi
Pertanian IPB, Laboratorium Terpadu Fakultas Kedokteran Hewan IPB,
Laboratorium Mikrobiologi dan Imunologi, Pusat Studi Primata, Bogor serta
klinik Farva Dramaga, Bogor.
Waktu yang diperlukan dari pembuatan proposal sampai pembuatan
laporan adalah selama 10 bulan yaitu dari bulan Juli 2006 sampai Juni 2007.
Bahan dan Alat
Bahan
Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah bubuk biji kakao
bebas lemak yang diperoleh dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia di
Jember. Bubuk yang digunakan merupakan bubuk biji kakao varietas bulk masak
non fermentasi yang memiliki total fenol dan daya proliferasi limfosit yang tinggi
berdasarkan uji in vitro (Zairisman 2006 ). Bahan lain yang digunakan adalah gula
pasir, air panas, dan susu bubuk skim.
Bahan-bahan kimia yang diperlukan adalah: H2SO4 65%, metanol pro-
analisis, kloroform-etanol 96%, larutan epinefrin, buffer natrium karbonat,
potassium bikromat K 2 Cr 2 O 7 , H 2 O 2 , triton X-100 0.1 %, EDTA, TBA,
sukrosa, HCl, Gas CO, NaS 2 O 4 , albumin serum sapi (AAS), pereaksi Folin,
CuSO 4 .5H 2 O, 1 ml Na-tartarat 2 %, 98 ml Na 2 CO 3 2 % dalam 0,1 N NaOH.
Alat
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: sentrifuge
(JOUAN, tipe CR 412), laminar air flow (Holten laminar air tipe HV 2472),
inkubator Jouan tipe IG 150, mikroskop, hemasitometer, mikroplate reader,
syringe 50 ml (Terumo), tabung sentrifuse steril, lempeng mikro 96 sumur
(Costar), membran filter (sigma), mikropipet, spektrofotometer, ultra Sentrifuge,
tabung ultrasentrifuse, ELISA Reader.
Peralatan sekali pakai yang digunakan adalah syringe 50 ml (Terumo),
Syringe 3 ml, tabung sentrifuge steril 15 dan 50 ml sekali pakai (Corning),
lempeng mikro 96 sumur (Corning), repeater (Eppendorf), dispenser tip (Marsh),
dan tabung vacutainer ukuran 9 ml dengan koagulan.
Alur penelitian
Alur penelitian yang telah dilakukan digambarkan secara skema dalam
diagram alir berikut:
Gambar 6 Diagram alir penelitian
Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan bersama-sama dengan Erniati (2007), Amri
(2007), Yuliatmoko (2007) dan Kusumaningtyas (2007) mulai dari tahap
penentuan komposisi minuman bubuk kakao bebas lemak sampai tahap
pemisahan komponen darah.
Pengambilan darah
Subyek sehat (n=18)
Inform Consent
Kelompok Kontrol (n=9) Kelompok Kakao (n=9)
SCREENING Pemeriksaan
kesehatan dan interview
25 hari AKHIR INTERVENSI
Pemeriksaan kesehatan Pengambilan darah
Analisa Aktivitas Enzim Antioksidan Katalase Analisa Enzim Detoksifikasi Sitokrom P-450
dan Glutation S-Transferase (GST) ANALISA DATA
Positif HASIL Negatif
25 hari
MULAI INTERVENSI
1. Pembuatan minuman bubuk kakao
Minuman bubuk kakao bebas lemak disiapkan dengan cara bubuk kakao
bebas lemak bulk masak non fermentasi sebanyak 4 gram dilarutkan dalam 100
ml air hangat, ditambahkan 2 gram gula dan 2 gram susu bubuk skim . Minuman
bubuk kakao dalam keadaan hangat akan diminum oleh responden
2. Persiapan responden
Responden yang terlibat dalam penelitian ini adalah mahasiswi S1 Institut
Pertanian Bogor. Pertimbangan dalam memilih subyek ini adalah kesamaan
tempat tinggal, memiliki pengetahuan tentang pangan, gizi, dan metodologi
penelitian dengan baik, serta mempunyai status gizi normal. Dengan demikian,
penelitian ini diharapkan dapat berjalan dengan baik, sosialisasinya mudah, dan
pengaruh biologisnya relatif seragam.
Jumlah subyek yang digunakan dalam penelitian ini adalah 18 orang
berjenis kelamin perempuan, umur 22-27 tahun, dibagi dalam dua kelompok.
Kelompok pertama berjumlah 9 orang meminum minuman bubuk kakao bebas
lemak selama 25 hari dan sisanya kelompok yang tidak meminum minuman kakao
bebas lemak, kelompok ini dinamakan dengan kontrol.
Kelompok kontrol ini hanya mengkonsumsi minuman yang terdiri dari
sedikit susu bubuk skim yang ditambah sedikit gula dalam 100 ml air hangat
Responden yang dipilih adalah mahasiswa yang dinyatakan sehat
berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan oleh Klinik Farfa Dramaga, Bogor.
3. Pelaksanaan intervensi (modifikasi dari Nurrahman, 1998)
Intervensi dilaksanakan selama 25 hari di rumah indekost mahasiswa di
kompleks perumahan IPB II Sindang Barang. Pelaksanaan dilakukan setiap hari
pada jam 07.00-08.00 WIB. Setiap responden pada kelompok perlakuan
meminum minuman bubuk kakao sebanyak 4 g/100 ml setiap hari. Minuman
bubuk kakao dipersiapkan setiap hari oleh peneliti yang sekaligus mengawasi
responden meminum minuman bubuk kakao. Semua responden akan mendapat
sarapan pagi sebelum mengkonsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak dan
makan malam dengan menu yang seragam. Seminggu sekali selama pelaksanaan
intervensi dilakukan diskusi yang melibatkan seluruh responden mengenai
penelitian dan kesehatan umum.
Sebelum pelaksanaan intervensi juga dilakukan penandatanganan surat
perjanjian (Inform consent) (lampiran 1) dan wawancara terhadap responden
dengan format kuisioner standar (lampiran 2). Kuisioner tersebut berisi
pertanyaan-pertanyaan mengenai status sosial ekonomi, pengetahuan tentang
pangan, pola konsumsi dan kebiasaan membeli makanan jajanan.
Hasil pengisian kuisioner tentang pola konsumsi dan kebiasaan membeli
makanan jajan disusun jenis makanan dan fekuensinya (per minggu per orang)
serta nilai pencemaran. Nilai pencemaran diperoleh dengan cara mengalikan
frekuensi konsumsi makanan jajanan, tempat pembelian dan jenis
pembungkusnya. Masing-masing faktor pengkali diberi skor dari 1 untuk tingkat
pencemaran rendah sampai 6 untuk pencemaran tinggi.
4. Pengukuran status gizi (Nurrahman 1998)
Pengukuran status gizi responden dilakukan secara antropometri yang
meliputi Tinggi Badan (TB) dan Berat Badan (BB). Penggolongan status Gizi
menurut “Body Mass Index” (BMI) dengan satuan Kg/m2, yaitu:
BMI = BB/TB2
Dimana: BMI < 17,0 kekurangan berat badan tingkat berat
BMI 17,0 – 18,4 kekurangan berat badan tingkat ringan
BMI 18,5 – 25,0 normal
BMI 25,1 – 27,0 kelebihan berat badan tingkat ringan
BMI > 27,0, kelebihan berat badan tingkat berat
5. Pengambilan darah
Pengambilan darah dilakukan sebelum dan sesudah responden mengalami
intervensi dengan meminum minuman bubuk kakao. Pengambilan darah
dilakukan di klinik Farfa Kampus Dramaga IPB pada jam 07.00 pagi oleh seorang
asisten tranfusi darah. Darah diambil sebanyak 35 ml dengan menggunakan jarum
Precisionglide TM steril sekali pakai, kemudian di masukkan ke dalam tabung
vacutainer steril ang mengandung koagulan. Darah yang diambil dibawa
kelaboratorium kultur jaringan bagian patologi FKH IPB untuk segera dianalisa.
Gambar 7 Proses Pengambilan Darah Responden
6. Isolasi eritrosit (Zhu et al 2005)
Darah yang telah dimasukkan dalam tabung vacutainer steril yang
mengandung koagulan dilakukan pemisahan komponen seluler dengan
sentrifugasi sampel darah dalam vacutainer pada 514 x g selama 10 menit dengan
menggunakan sentrifius dengan rotor swing. Bagian darah yang lebih berat (sel
darah merah/ eritrosit) berada di bagian bawah, sedangkan plasma darah terpisah
bagian atas. Plasma darah dan eritrosit diambil atau dipisahkan dengan
mikropipet ke dalam masing-masing tabung sentrifius yang telah disiapkan.
7. Aktivitas enzim antioksidan katalase pada plasma darah (Sinha, 1978)
Prinsip metode yang digunakan oleh Sinha menggunakan zat warna
sebagai indikator. Zat warna yang digunakan adalah potassium bikromat K 2 Cr 2
O 7 5 % dalam suasana asam asetat glasial (1:3). Ion bikromat dalam suasana
asam akan direduksi oleh H 2 O 2 menjadi kromat dan memberikan warna pada
panjang gelombang 570 nm. 1 unit aktivitas katalase dinyatakan sebagai
banyaknya H 2 O 2 dalam mol yang digunakan oleh katalase permenit.
Cr 6+ + H 2 O 2 H + Cr +3 + H 2 O +O 2
a. Ekstraksi sample
Sebanyak 3.5 ml plasma ditambahkan dengan 0.5 ml triton X-100 0.1 %,
sentrifuse pada 4000 rpm selama 5 menit suhu dingin. Supernatan digunakan
untuk menentukan aktivitas katalase.
b. Pengukuran aktivitas katalase
Sebanyak 1 ml sampel ditambahkan dengan 5 ml buffer posfat 0.05 M pH
7.0 sambil divortek. Tambahkan 4 ml H 2 O 2 0.2 M dan inkubasi selama 60 detik.
Ambil 1 ml larutan ini tambahkan 2 ml larutan warna kalium bikromat lalu
panaskan pada air mendidih selama 10 menit. Setelah dingin, serapan diukur pada
panjang gelombang 570 nm.
c. Kurva standar dan perhitungan aktivitas katalase
Kurva standar dibuat dari larutan standar H 2 O 2 30%. 1 ml larutan standar
H 2 O 2 ditambahkan dengan 2 ml larutan bikromat 5 %, panaskan dalam air
mendidih selama 10 menit kemudian dinginkan dan serapan dibaca pada panjang
gelombang 570 nm. Absorban sb y dialurkan terhadap konsentrasi H 2 O 2 sb x.
Jumlah H 2 O 2 yang dipakai katalase = 0.2 M – konsentarasi H 2 O 2 terbaca.
8. Aktivitas enzim antioksidan katalase pada eritrosit darah (Sinha, 1978)
Prinsip metode yang digunakan oleh Sinha menggunakan zat warna
sebagai indikator. Zat warna yang digunakan adalah potassium bikromat K 2 Cr 2
O 7 5 % dalam suasana asam asetat glasial (1:3). Ion bikromat dalam suasana
asam akan direduksi oleh H 2 O 2 menjadi kromat dan memeberikan warna pada
panjan gelombang 570 nm. 1 unit aktivitas katalase dinyatakan sebagai banyaknya
H 2 O 2 dalam mol yangdigunakan oleh katalase permenit.
Cr 6+ + H 2 O 2 H + Cr +3 + H 2 O +O 2
a. Ekstraksi sample
3,5 ml eritrosit ditambahkan dengan 0.5 ml Triton X-100 0.1 %, sentrifuse
pada 4000 rpm selama 5 menit suhu dingin. Supernatan digunakan untuk
menentukan aktivitas katalase.
b. Pengukuran aktivitas katalase
1 ml sampel ditambahkan dengan 5 ml buffer posfat 0.05 M pH 7.0 sambil
divortek. Tambahkan 4 ml H 2 O 2 0.2 M dan inkubasi selama 60 detik. Ambil 1
ml larutan ini tambahkan 2 ml larutan warna kalium bikromat lalu panaskan pada
air mendidih selama 10 menit. Setelah dingin, serapan diukur pada panjang
gelombang 570 nm.
c. Kurva standar dan perhitungan aktivitas katalase
Kurva standar dibuat dari larutan standar H 2 O 2 30%. 1 ml larutan standar
H 2 O 2 ditambahkan dengan 2 ml larutan bikromat 5 %, panaskan dalam air
mendidih selama 10 menit kemudian dinginkan dan serapan dibaca pada panjang
gelombang 570nm. Absorban sb y dialurkan terhadap konsentrasi H 2 O 2 sb x.
Jumlah H 2 O 2 yang dipakai katalase = 0.2 M – konsentarasi H 2 O 2 terbaca.
10. Analisis kadar sitokrom P-450 pada plasma (dimodifikasi dari Omura dan Sato,1964)
a. Fraksinasi sel
Plasma ditambah dengan 0,25 M sukrosa dalam larutan Bufer Tris-HCl 10
mM (pH 7,5) dengan perbandingan 4 kali lipat berat plasma, lalu dihomogenisasi
menggunakan homogonizer. Selanjutnya disentrifuse pada 2000 g selama 10
menit sehingga dihasilkan supernatan.
Supernatan yang terbentuk disentrifuse kembali pada 105.000 x g selama
60 menit, dihasilkan supernatan kedua yang merupakan sitosol dan endapan yang
terbentuk dilarutkan dengan 0,25 sukrosa-10 mM buffer Tris-HCl-0,1 mM buffer
EDTA (pH 7,5) sehingga menghasilkan fraksi mikrosomal. Fraksi sitosol dan
mikrosomal dianalisis kadar proteinnya dengan menggunakan metode Lowry.
b. Pengukuran kadar sitokrom P-450 pada plasma
Analisa ini menggunakan dua buah tabung, tabung untuk blangko dan
tabung untuk sample. Ke dalam masing-masing tabung dimasukkan 2 ml fraksi
mikrosomal dan ditambah 2 ml 0,1 M buffer phosfat (pH 7,6). Tabung blangko
diukur dengan spektrofotometer double beam sebagai baseline pada panjang
gelombang 500-400 nm. Sedangkan tabung sample dialirkan 20-30 gelembung
gas CO dengan kecepatan 1 gelembung tiap detik. Setelah itu ke dalam masing-
masing tabung ditambahkan 1-3 mg NaS 2 O 4 . Isi dari masing-masing tabung
dituangkan ke kuvet dan diukur pada panjang gelombang 500-400 nm.
Kadar sitoktrom P-450 diukur dengan rumus:
Kadar sitokrom P450 = (A450-A490)tereduksi – (A450-A490) baseline x f difusi
Molar extinction x tebal kuvet
11. Pengukuran aktivitas glutation S-transferase pada plasma (dimodifikasi dari Arisudana, 2003)
Aktivitas glutation S-transferase diukur dari fraksi sitosol plasma dengan
menggunakan 2 substrat yakni 1-chloro-2,4-dinitrobenzen (CDNB) dan glutation
dalam bentuk tereduksi (GSH). CDNB yang dibutuhkan mempunyai konsentrasi 1
mM dan GSH yang dibutuhkan dalam 1 mM dalam 0.1 M buffer fosfat (pH 6.5).
Ke dalam masing-masing kuvet dimasukkan 2700 µl buffer fosfat pH 6.5.
ke dalam kuvet sample dimasukkan fraksi sitosol 100 µl sedangkan untuk kuvet
blangko dimasukkan akuades 100 µl. selanjutnya masing-masing kuvet
ditambahkan 100 µl GSH dalam buffer fosfat. Sebelum diukur ditambahkan 100
µl 30 mM CDNB dalam etanol. Total volume akhir dalam kuvet sebesar 3 ml.
Aktivitas GST diukur pada panjang gelombang 340 nm selama 3 menit.
Perhitungan aktivitas GST = (∆ absorbansi/menit)
Ε GS-DBN x kadar protein saat pengujian
ε GS-DBN (koefisien sktensi molar) = 9.6 cm 1− mM 1−
12. Analisis kadar sitokrom P-450 pada eritrosit (dimodifikasi dari Omura dan Sato, 1964)
a. Fraksinasi sel
Eritrosit ditambah dengan 0,25 M sukrosa dalam larutan Bufer Tris-HCl
10 mM (pH 7,5) dengan perbandingan 4 kali lipat berat eritrosit, lalu
dihomogenisasi menggunakan homogonizer. Selanjutnya disentrifuse pada 1000
g selama 10 menit sehingga dihasilkan supernatan.
Supernatan yang terbentuk disentrifuse kembali pada 105.000 x g selama
60 menit, dihasilkan supernatan kedua yang merupakan sitosol dan endapan yang
terbentuk dilarutkan dengan 0,25 sukrosa-10 mM buffer Tris-HCl-0,1 mM buffer
EDTA (pH 7,5) sehingga menghasilkan fraksi mikrosomal. Fraksi sitosol dan
mikrosomal dianalisis kadar proteinnya dengan menggunakan metode Lowry.
b. Pengukuran kadar sitokrom P-450 pada eritrosit
Analisa ini menggunakan dua buah tabung, tabung untuk blangko dan
tabung untuk sample. Ke dalam masing-masing tabung dimasukkan 2 ml fraksi
mikrosomal dan ditambah 2 ml 0,1 M buffer phosfat (pH 7,6). Tabung blangko
diukur dengan spektrofotometer double beam sebagai baseline pada panjang
gelombang 500-400 nm. Sedangkan tabung sample dialirkan 20-30 gelembung
gas CO dengan kecepatan 1 gelembung tiap detik. Setelah itu ke dalam masing-
masing tabung ditambahkan 1-3 mg NaS 2 O 4 . Isi dari masing-masing tabung
dituangkan ke kuvet dan diukur pada panjang gelombang 500-400 nm.
Kadar sitokrom P450 = (A450-A490)tereduksi – (A450-A490) baseline x f difusi
Molar extinction x tebal kuvet
13. Pengukuran aktivitas glutation S-transferase pada eritrosit (dimodifikasi dari Arisudana, 2003)
Aktivitas glutation S-transferase diukur dari fraksi sitosol eritrosit dengan
menggunakan 2 substrat yakni 1-chloro-2,4-dinitrobenzen (CDNB) dan glutation
dalam bentuk tereduksi (GSH). CDNB yang dibutuhkan mempunyai konsentrasi 1
mM dan GSH yang dibutuhkan dalam 1 mM dalam 0.1 M buffer fosfat (pH 6.5).
Ke dalam masing-masing kuvet dimasukkan 2700 µl buffer fosfat pH 6.5.
ke dalam kuvet sample dimasukkan fraksi sitosol 100 µl sedangkan untuk kuvet
blangko dimasukkan akuades 100 µl. selanjutnya masing-masing kuvet
ditambahkan 100 µl GSH dalam buffer fosfat. Sebelum diukur ditambahkan 100
µl 30 mM CDNB dalam etanol. Total volume akhir dalam kuvet sebesar 3 ml.
Aktivitas GST diukur pada panjang gelombang 340 nm selama 3 menit.
Perhitungan aktivitas GST = (∆ absorbansi/menit)
Ε GS-DBN x kadar protein saat pengujian
ε GS-DBN (koefisien sktensi molar) = 9.6 cm 1− mM 1−
14. Pengukuran kadar protein fraksi mikrosomal dan sitosol (Lowry, 1951)
Pengukuran kadar protein dilakukan untuk menguji kandungan protein
dalam fraksi mikrosomal dan sitosol. Pengujian dilakukan dengan metode Lowry,
menggunakan albumin serum sapi (ASS) 1000 µg/ ml.
Kurva standar dibuat dengan seri pengenceran ASS yaitu 800, 600, 400,
200, 100 µg/ ml. Sebanyak 1,2 ml larutan ASS dari masing-masing pengenceran
ditambahkan 6 ml CuSO 4 alkalis (dengan komposisi 1ml CuSO 4 .5H 2 O, 1 ml
Na-tartarat 2 %, 98 ml Na 2 CO 3 2 % dalam 0,1 N NaOH). Untuk larutan sampel
sebanyak 1.2 ml larutan sample ditambah Cu alkali.
Setelah dibiarkan selama 10 menit pada suhu ruang, ke dalam setiap
tabung ditambahkan 0.3 ml pereaksi Folin, diaduk dan dibiarkan selama 30 menit.
Pengukuran absorbansi dilakukan pada panjang gelombang 650 nm. Kadar protein
sampel ditentukan dengan menggunakan kurva standar yang dihasilkan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan umum responden
Responden yang terlibat pada penelitian ini berjumlah 18 orang responden
berjenis kelamin perempuan yang merupakan mahasiswa tingkat sarjana dan
pascasarjana di Institut Pertanian Bogor. Umur responden berkisar antara 22-27
tahun. Pemilihan responden ini bertujuan untuk meminimalkan keragaman,
dimana semua responden memiliki aktivitas yang hampir sama sehari-harinya.
Semua responden juga bertempat tinggal di kawasan yang sama, sehingga
kegiatan dan jenis makanan lain selain yang telah diatur oleh peneliti juga tidak
jauh berbeda, diharapkan keadaan gizi semua responden juga tidak jauh berbeda.
Selain itu pengontrolan juga lebih mudah dilakukan. Selanjutnya 18 orang
responden tadi dibagi dalam dua kelompok yaitu 9 orang kelompok perlakuan dan
9 orang kelompok kontrol. Kelompok perlakuan memperoleh asupan minuman
bubuk kakao bebas lemak ditambah susu skim dan sedikit gula selama intervensi
berlangsung sedangkan kelompok kontrol tidak menerima minuman bubuk kakao
bebas lemak tetapi hanya minuman susu skim yang ditambah sedikit gula.
Sebelum intervensi berlangsung seluruh responden diminta dengan sukarela
menandatangani informed concern yang berisi pernyataan kesediaan menjadi
responden penelitian dan memuat beberapa ketentuan selama penelitian
berlangsung (lampiran 1).
Sebelum menjalani intervensi, semua responden baik kelompok perlakuan
maupun kelompok kontrol mengikuti pemeriksaan kesehatan terlebih dahulu oleh
seorang dokter di Klinik Farfa Darmaga (format pemeriksaan kesehatan terdapat
pada lampiran 2 point C dan D). Adapun tujuan pemeriksaan kesehatan ini
dilakukan adalah agar dapat dipastikan bahwa responden yang terlibat memiliki
kondisi kesehatan yang baik dan tidak mengidap penyakit serius yang
mempengaruhi penelitian. Pemeriksaan kesehatan yang dilakukan meliputi
pemeriksaan kesehatan fisik, denyut nadi, laju pernafasan, tekanan darah dan suhu
tubuh. Selain itu juga dilakukan wawancara terhadap responden tentang riwayat
kesehatannya. Pemeriksaan kesehatan juga dilakukan setelah responden menjalani
25 hari intervensi oleh dokter yang sama. Hasil pemeriksaan kesehatan
menunjukkan bahwa semua responden berada dalam keadaan sehat baik sebelum
dilakukan intervensi maupun setelah intervensi selesai.
Pada saat pemeriksaan kesehatan juga diukur kondisi fisik responden
secara antropometri meliputi tinggi badan (TB) dan berat badan (BB) seperti
terlihat pada tabel 3. Ditinjau dari nilai ”Body Mass Index” (BMI), hampir semua
responden memiliki status gizi normal, meskipun ada satu responden yang
kelebihan berat badan tingkat berat (responden kode P5), satu responden
kelebihan berat badan tingkat ringan (responden kode P4) dan satu responden
kekurangan berat badan tingkat ringan (responden kode K3). Status gizi
responden secara umum tidak berubah baik sebelum intervensi maupun sesudah
intervensi.
Tabel 3 Data antropometri responden sebelum dan sesudah intervensi
Responden
Hari 0 perlakuan Setelah 25 hari intervensi Berat Badan
(kg)
Tinggi badan
(m)
BMI (kg/m2)
Berat Badan
(kg)
Tinggi badan
(m)
BMI (kg/m2)
P1 50,0 1,550 20,8 51,0 1,550 21,2 P2 53,0 1,630 19,9 54,0 1,630 20,3 P3 56,0 1,580 22,4 56,0 1,580 22,4P4 67,5 1,620 25,7 68,0 1,620 25,9 P5 70,0 1,610 27,0 71,5 1,620 27,2 P6 47,0 1,580 18,8 48,0 1,580 19,2 P7 62,0 1,625 23,5 62,0 1,625 23,5 P8 51,0 1,590 20,2 51,0 1,590 20,2 P9 53,0 1,640 19,7 53,5 1,640 19,9
Rata-rata 56,61 1,6028 22,000 57,22 1,6039 22,200 StDev 8,07 0,0295 2,866 8,15 0,0300 2,813
K1 46,0 1,560 18,9 47,0 1,560 19,3 K2 54,0 1,510 23,7 55,0 1,510 24,1 K3 43,0 1,550 17,9 43,5 1,550 18,1 K4 41,0 1,450 19,5 41,5 1,450 19,7 K5 50,0 1,530 21,4 52,5 1,530 22,4 K6 43,0 1,490 19,4 44,0 1,490 19,8 K7 54,0 1,555 22,3 54,0 1,555 22,3 K8 49,0 1,560 20,1 49,5 1,560 20,3 K9 45,0 1,450 21,4 44,0 1,460 20,6
Rata-rata 47,22 1,5172 20,511 47,89 1,5183 20,733 StDev 4,79 0,0449 1,830 5,04 0,0432 1,861
Dari tabel diatas, bisa dilihat bahwa setelah menjalani intervensi, sebagian
besar responden mengalami kenaikan berat badan dengan persentasi yang sangat
kecil dan tidak signifikan (p>0,05) yaitu sekitar 1,08 % pada kelompok perlakuan
dan 1,42 % pada kelompok kontrol. Rata-rata berat badan responden kelompok
perlakuan sebelum intervensi 56,61 ± 8,07 kg, setelah intervensi menjadi 57,22 ±
8,15 kg. Sedangkan rata-rata berat badan responden kelompok kontrol sebelum
intervensi 47,22 ± 4,79 kg, setelah intervensi 47,89 ± 5,04 kg. Peningkatan berat
badan ini diduga karena selama intervensi responden makan secara teratur setiap
pagi dan malam hari dengan menu makanan yang bergizi karena disediakan oleh
peneliti, tidak seperti biasanya, dimana kadang-kadang responden makan tidak
teratur disebabkan oleh berbagai hal. Menu makanan yang disediakan umumnya
terdiri dari makanan pokok, yaitu nasi sebagai sumber karbohidrat, lauk pauk
sebagai sumber protein dan lemak, sayur dan kadang-kadang ditambah buah
sebagai sumber vitamin dan mineral. Kenaikan berat badan responden tidak bisa
dikatakan sebagai akibat konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak selama
intervensi, karena kenaikan berat badan tidak hanya dialami oleh responden pada
kelompok perlakuan atau kelompok yang mengkonsumsi minuman bubuk kakao
bebas lemak saja, tetapi juga dialami oleh responden pada kelompok kontrol yang
tidak mengkonsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak.
Murphy et al (2003) telah membuktikan bahwa tidak terjadi perbedaan
berat badan secara nyata antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan yang
mengkonsumsi flavanol kakao dan oligomer prosianidin selama 28 hari oleh 32
responden. Menurut Heerden (2006) konsumsi kakao atau bubuk kakao bukanlah
penyebab utama kegemukan, sehingga dapat dikatakan bahwa kenaikan berat
badan yang dialami oleh responden bukanlah akibat mengkonsumsi minuman
bubuk kakao bebas lemak, tetapi mungkin karena konsumsi makanan dan
minuman lainnya. Selain itu bubuk kakao yang digunakan pada penelitian ini
adalah jenis bubuk kakao yang sudah diambil lemaknya. Misnawi (2005)
menjelaskan bahwa bubuk kakao bebas lemak adalah produk kakao yang
berbentuk bubuk yang diperoleh dari pasta kakao setelah dihilangkan lemaknya.
Selama berlangsungnya intervensi, sarapan pagi dan makan malam
responden disediakan oleh peneliti, dengan harapan asupan makanan semua
responden selama penelitian seragam sehingga dapat mengurangi terjadinya bias
karena perbedaan status gizi responden. Selain itu juga diharapkan selama
intervensi, makanan yang dikonsumsi adalah makanan dengan menu seimbang
sehingga dapat memenuhi kebutuhan gizi responden. Adapun menu yang
disajikan terlihat pada tabel berikut.
Tabel 4 Menu makan pagi dan makan malam responden yang disiapkan oleh peneliti selama intervensi berlangsung.
Hari ke- Makan pagi Makan Malam 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Nasi, soto ayam Nasi, ikan sambal, sayur Nasi, dadar telur, sayur Nasi, soto ayam, mangga Nasi, tempe sambal, sayur Nasi, telur dadar, sayur, melon Nasi, sambal udang, sayur Nasi, ikan teri sambal, sayur Nasi, ikan goreng, sayur Nasi, orek tempe, sayur, pepaya Nasi, opor ayam, sayur Nasi, telur sambal, sayur Nasi goreng telur Nasi, ayam sambal, sayur Gado-gado, tempe Nasi, pepes ikan teri, sayur Nasi uduk, telur Nasi, ayam semur, sayur Nasi, telur sambal, sayur Nasi, goreng telur, pepaya Nasi, tongkol sambal, sayur Nasi, tahu tempe sambal, sayur Lontong sayur, jeruk Nasi, ayam sambal Nasi, hati, ampela, sayur
Nasi, dendeng sapi, sayur Nasi, ayam bakar, lalap, pepaya Tumis jamur, semangka Nasi, rendang daging, sayur Nasi, ayam geprek, sayur Nasi, sambal tongkol, sayur Capcai, pepaya Nasi, ikan mas bakar, lalapan Nasi, sup daging, jeruk Nasi, rendang daging, sayur Tumis jamur, pepaya Lontong, sate ayam, semangka Nasi, ayam geprek, sayur Nasi, pepes ikan mas, lalapan Nasi, sup daging, semanka Nasi, cumi gulai Lontong, sate padang, melon Nasi, ikan baker, lalapan Nasi uduk, pecel ayam Puyunghai, jeruk Nasi uduk, pecel ayam, melon Nasi, rendang daging, sayur Tumis jamur, papaya Nasi, ikan baker, lalapan Nasi, dendeng daging, pepaya
Selama penelitian ini berlangsung, menu makan siang responden tidak
disediakan oleh peneliti. Hal ini dikarenakan aktivitas responden berbeda-beda
sehingga sangat sulit untuk mengatur makan siang dan jajanan yang dikonsumsi
responden. Meskipun demikian kepada responden diberitahukan bahwa mereka
untuk sementara waktu, selama intervensi berlangsung tidak mengkonsumsi
makanan dan minuman yang mengandung senyawa polifenol tinggi seperti
produk-produk coklat, kopi, teh dan minuman bersoda tinggi. Makanan atau
minuman yang mengandung senyawa polifenol tinggi diduga mengandung
senyawa polifenol yang sama dengan minuman bubuk kakao yang diuji, sehingga
perlu dihindari selama penelitian berlangsung guna menghindari tercampurnya
komponen flavonoid pada minuman bubuk kakao bebas lemak dengan komponen
bioaktif lainnya ketika masuk ke dalam tubuh. Selain itu responden juga diminta
untuk mencatat semua makanan yang mereka konsumsi pada kuisioner yang telah
diberikan seperti yang tercantum pada lampiran. Selain mengkonsumsi makanan
pokok berupa nasi, di siang hari responden mengkonsumsi buah dan makanan
jajanan yang dibeli di sekitar tempat tinggal dan kampus. Makan pagi dan makan
malam yang disediakan oleh peneliti juga diperoleh dari warung-warung makanan
yang ada di sekitar tempat tinggal responden, sehingga tidak terlalu jauh berbeda
dengan kebiasaan makanan harian responden (Kusumaningtyas 2007).
Selanjutnya pengambilan darah responden dilakukan dua kali yaitu hari
pertama sebelum mengkonsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak dan hari ke
25 setelah mengkonsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak. Pengambilan
darah dilakukan pagi hari pada jam 07.00 – 08.00 WIB dengan tujuan agar kondisi
fisik responden masih prima karena belum melakukan aktivitas lain. Darah yang
telah didapat dari masing-masing responden sesegera mungkin langsung dibawa
ke laboratorium untuk dilakukan analisis. Pada saat pengambilan darah setelah 25
hari intervensi, seorang responden pada kelompok kontrol dengan kode K5
berhalangan hadir, sehingga darah responden tersebut tidak bisa dianalisis.
Meskipun demikian, hilangnya data ini diharapkan tidak mempengaruhi hasil
penelitian secara keseluruhan.
Aktivitas enzim antioksidan katalase pada eritrosit
Sistem pertahanan tubuh terhadap serangan radikal bebas meliputi dua
yaitu sistem pertahanan nonenzimatik dan enzimatik. Sistem pertahanan tubuh
nonenzimatik terhadap serangan radikal bebas melibatkan vitamin C, vitamin E
dan komponen-komponen bioaktif. Sistem pertahanan tubuh enzimatik terhadap
radikal bebas melibatkan: enzim superoksida dismutase, katalase dan glutation
peroksidase (Halliwell et al. 1992; Schmidl et al, 2000).
Pada penelitian ini akan dilihat bagaimana pengaruh konsumsi minuman
bubuk kakao bebas lemak terhadap salah satu aktivitas enzim antioksidan yaitu
enzim katalase. Halliewell dan Gutteridge (1999) menyebutkan bahwa katalase
merupakan enzim yang mengkatalis reaksi pemecahan senyawa hidrogen
peroksida menjadi oksigen dan air. Katalase ditemukan pada hewan dan tumbuhan
tingkat tinggi. Katalase pada mamalia disusun oleh 4 sub unit protein. Tiap unit
terdiri dari satu gugus hem dengan inti ion ferri sebagai active site. Aktivitas
katalase dihambat oleh senyawa azida, sianida dan HOCl tapi meningkat dengan
meningkatnya akumulasi H 2 O 2 .
Enzim katalase memberikan pertahanan terhadap serangan radikal bebas
yang dapat merusak sel. Jadi semakin tinggi dan meningkat aktivitas enzim ini
maka menunjukkan semakin meningkat pula pertahanan sel terhadap serangan
radikal bebas. Kerusakan sel merupakan gangguan atau perubahan yang dapat
mengurangi viabilitas dan fungsi essensial sel (Kehrer 1993). Menurut Zitouni et
al (2005), radikal bebas juga dapat mengganggu endotelium dan memacu
terjadinya kerusakan membran, sebagai contohnya akan meningkatkan ekresi
albumin urin dan memacu diabetes.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengukuran rata-rata aktivitas enzim
katalase pada eritrosit kelompok perlakuan sebelum intervensi adalah sebesar
999,64 U/ mg protein, sedangkan kelompok kontrol adalah sebesar 989,77 U/mg
protein. Setelah menjalani intervensi selama 25 hari, rata-rata aktivitas enzim
katalase pada eritrosit kelompok perlakuan menjadi 1020, 03 U/ mg protein,
sedangkan kelompok kontrol menjadi 993,39 U/ mg protein. Berdasarkan hasil
penelitian ini terlihat bahwa rata-rata aktivitas enzim katalase pada eritrosit baik
pada kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol sama-sama mengalami
peningkatan. Meskipun demikian, rata-rata peningkatan pada kelompok perlakuan
lebih besar yaitu sebesar 20,387 U/ mg protein sedangkan pada kelompok kontrol
rata-rata peningkatannya hanya sebesar 3,62 U/ mg protein. Hal tersebut
diperkuat dengan analisa statistik menggunakan uji t, dimana terjadi peningkatan
aktivitas enzim katalase pada eritrosit secara nyata (p < 0,05) setelah kelompok
perlakuan mengkonsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak selama 25 hari.
Sedangkan peningkatan aktivitas enzim katalase pada eritrosit yang terjadi pada
kelompok kontrol tidak berbeda nyata (p > 0,05) setelah 25 hari.
Gambar 8 Grafik aktivitas enzim katalase pada eritrosit kelompok perlakuan
sebelum dan sesudah intervensi Gambar 9 Grafik aktivitas enzim katalase pada eritrosit kelompok kontrol
sebelum dan sesudah intervensi
Rata-rata peningkatan = 20,39 U/ mg protein
Rata-rata peningkatan = 3,62 U/ mg protein
975
980
985
990
995
1000
K1 K2 K3 K4 K6 K7 K8 K9
Responden
Akt
ivita
s K
atal
ase
(U/m
g Pr
otei
n)
Sebelum Intervensi Setelah Intervensi
960
980
1000
1020
1040
P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9
Responden
Akt
ivita
s K
atal
ase
(U/m
g pr
otei
n)
Sebelum Intervensi Setelah Intervensi
Peningkatan ini menunjukkan bahwa konsumsi minuman bubuk kakao
bebas lemak telah terbukti memberikan pengaruh yang positif bagi sistem
pertahanan tubuh khususnya secara enzimatis dalam hal ini oleh enzim katalase
dalam menangkal serangan radikal bebas yang berbahaya bagi sel. Hal tersebut
diduga karena disebabkan oleh kandungan flavonoid pada minuman bubuk kakao
bebas lemak yang memiliki kapasitas antioksidan dalam tubuh. Antioksidan
adalah zat yang mampu memperlambat atau mencegah proses oksidasi (Schuler
1990). Menurut Gutteridge dan Halliwell (1996), antioksidan adalah suatu
substansi yang menghentikan atau menghambat kerusakan oksidatif terhadap
suatu molekul target. Sementara itu menurut Cillard et al (1980) dan Schluler
(1990) antioksidan adalah zat dengan kadar lebih rendah dari zat yang mudah
teroksidasi, secara nyata mampu memperlambat oksidasi zat tersebut.
Hasil penelitian ini juga didukung oleh hasil penelitian Amri (2007) yang
menyebutkan bahwa konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak telah terbukti
dapat menghambat laju hemolisis eritrosit. Menurut Zhu et al (2005), Eritrosit
mengandung asam lemak tak jenuh ganda dengan konsentrasi yang tinggi, oksigen
molekuler, dan ion besi sebagai ligan, oleh sebab itu eritrosit sangat mudah
diserang sehingga terjadi stress oksidatif. Bagaimanapun, sel ini memiliki sistem
antioksidan efisien yang menyumbangkan ketahanan yang luar biasa terhadap
peroksidasi ketika radikal diproduksi di dalam sel. Lebih lanjut Amri (2007)
menyebutkan bahwa konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak telah terbukti
secara nyata mampu menurunkan kadar MDA dan meningkatkan aktivitas anti
radikal bebas pada sel eritrosit. Malonaldehida (C3H4O2) adalah senyawa aldehida
berkarbon tiga sebagai produk peroksidasi lipid, terutama asam arakhidonat dan
pada biosintesa prostaglandin. Kadar MDA dapat digunakan sebagai indeks tidak
langsung kerusakan oksidatif yang disebabkan oleh peroksidasi lipid (Pryor et al.,
1976; Frankel & Neff, 1983; Bird & Draper, 1980; Auroma, 1997 dalam Tejasari,
2000).
Berbagai sumber antioksidan alami telah banyak dilaporkan berasal dari
tanaman. Bubuk kakao bebas lemak yang digunakan dalam penelitian ini
mengandung polifenol sebesar 4,43 gr/ 100 gr (Zairisman, 2006). Antioksidan
seperti vitamin C, flavonoid, turunan asam sinamat, kumarin (Pratt & Hudson
1990), dan komponen fenolik pada umumnya merupakan antioksidan primer.
Senyawa fenol dapat berfungsi sebagai antioksidan primer karena mampu
menghentikan reaksi rantai radikal bebas pada oksidasi lipida. Polifenol dalam
bubuk kakao akan bereaksi langsung dengan senyawa peroksida radikal yang
terdapat pada membran atau di dalam sel (Kochhar & Rossell 1990). Adanya
radikal bebas dalam tubuh bisa menimbulkan penyakit degeneratif yang
berbahaya misalnya kanker, serangan jantung, diabetes militus, penyempitan
pembuluh darah dan lain-lain. Sztanske dan Pasternak (2005) telah meneliti
bahwa pasien yang mengalami gangguan gastrointestinal telah terbukti memiliki
aktivitas enzim atioksidan superoksida dismutase dan glutation peroksidase yang
lebih rendah dibandingkan dengan subjek yang normal. Selain itu Zitouni et al
(2005) juga menyebutkan bahwa aktivitas enzim antioksidan GPx, SOD dan
katalase pada penderita diabetes baik tipe I maupun tipe II terbukti lebih rendah
dibandingkan dengan subjek sehat.
Berbagai penelitian yang mendukung hasil penelitian ini juga telah
dilakukan. Salah satu komponen bioaktif pada pangan adalah karotenoid.
Karotenoid memiliki potensi sebagai antioksidan bagi sistem pertahanan tubuh
terhadap serangan radikal bebas. Hal tersebut telah dibuktikan oleh Bub (2000)
dalam penelitiannya menyebutkan bahwa karotenoid pada jus tomat terbukti
mampu menekan kadar LDL (Low Density Lipoprotein) pada 23 orang pria
dewasa sehat yang diberi konsumsi jus tomat sebanyak 330 ml/hari selama 2
minggu. Selain itu hasil penelitian ini juga menunjukkan adanya peningkatan pada
aktivitas enzim antioksidan superoksida dismutase secara nyata (7,961±216 U/ g
Hb) pada eritrosit. Dalam penelitian lainnya, Jung et al (2003) menyebutkan
bahwa suplementasi naringin telah terbukti mampu meningkatkan aktivitas enzim
antioksidan katalase, superoksida dismutase (SOD) dan glutation peroksidase
pada eritrosit dan plasma darah subjek yang menderita hiperkolesterolemik.
Naringin merupakan senyawa fenol golongan flavonoid. Selanjutnya Coscun et al
(2004) juga telah membuktikan dalam penelitiannya bahwa tikus percobaan yang
diberi injeksi flavonoid quercetin selama 16 minggu dengan dosis 50 mg/ kg/ hari
mampu meningkatkan secara signifikan aktivitas enzim-enzim antioksidan seperti
katalase, superoksida dismutase dan glutation peroksidase baik pada hati maupun
pada darahnya. Quercetin merupakan senyawa polifenol golongan flavonoid yang
berpotensi sebagai antioksidan. Lebih lanjut dalam penelitiannya Pasternak et al
(2005) menyebutkan bahwa vitamin C yang ditambah dengan elemen Zinc dan
Copper (Zn dan Co) telah terbukti mampu meningkatkan aktivitas enzim
antioksidan glutahion peroksidase dan superoksida dismutase pada jaringan tikus.
Namun demikian dalam penelitian ini, adanya peningkatan aktivitas enzim
antioksidan katalase ini tidaklah bisa semata-mata disimpulkan hanya karena
flavonoid pada bubuk kakao semata. Hal ini disebabkan karena pada kelompok
kontrol yang tidak diberi konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak pada
waktu yang sama, aktivitas enzim katalasenya juga mengalami peningkatan
meskipun secara statistik tidak berbeda nyata. Peningkatan ini bisa saja
disebabkan oleh pengaruh konsumsi makanan atau minuman lainnya yang
dikonsumsi reponden selama intervensi berlangsung. Seperti dijelaskan
sebelumnya bahwa selama penelitian ini berlangsung, makan pagi dan makan
malam responden disediakan oleh peneliti. Adapun menu yang disajikan selalu
terdiri dari karbohidrat, lemak, protein juga komponen serat, vitamin dan mineral.
Hal ini tentunya memberikan pengaruh yang positif terhadap kesehatan para
responden. Sistem pertahanan tubuh terhadap serangan radikal bebas juga
melibatkan seperti vitamin C, vitamin E dan berbagai komponen bioaktif (Nabet,
1996). Asupan makanan yang bergizi tentunya akan sangat mempengaruhi kerja
enzim-enzim antioksidan dalam tubuh. Dalam penelitiannya Rasal et al (2006)
menyebutkan bahwa tikus percobaan yang menderita diabetes ketika diberi
ekstrak daun kubis (Brassica oleracea var. gongylodes) dengan dosis 10mg/ kg/
hari secara ad libitum terbukti secara nyata mampu meningkatkan aktivitas enzim
antioksidan katalase, SOD dan glutation peroksidase pada eritrositnya
dibandingkan dengan kelompok kontrol. Kubis merupakan sejenis sayuran yang
mengandung vitamin C, vitamin E dan karoten. Komponen bioaktif yang penting
dari tanaman ini adalah sulphoraphanes dan isothiocyanates lainnya, karena
mampu meningkatkan aktivitas enzim antioksidan adalam tubuh. Selain itu
kebiasaan buruk seperti merokok telah dibuktikan ternyata mempengaruhi kerja
enzim-enzim antioksidan pada tubuh. Peltola et al (1994) menyebutkan bahwa
Merokok terbukti dapat menurunkan aktivitas katalase sebesar 16% setelah 12
jam menghisap rokok selama 5 hari.
Aktivitas enzim antioksidan katalase pada plasma
Antioksidan merupakan molekul yang dapat mengendalikan reaksi
berantai radikal bebas di dalam tubuh. Untuk menangkal reaksi radikal bebas,
tubuh mempunyai sistem pertahanan enzimatik dan nonenzimatik. Beberapa
enzim yang terlibat dalam pertahanan tubuh terhadap serangan radikal bebas
adalah katalase, superoksida dismutase dan glutation peroksidase (Gutteridge dan
Halliewell, 1994).
Seperti disebutkan di atas bahwa katalase merupakan salah satu enzim
yang berperan dalam pertahanan tubuh secara enzimatis terhadap radikal bebas.
Katalase merupakan enzim yang mengakatalis reaksi pemecahan senyawa
hidrogen peroksida menjadi air.
2H 2 O 2 Katalase H 2 O + O 2
Katalase ditemukan pada hewan dan tumbuhan tingkat tinggi. Pada manusia,
enzim ini ditemukan dalam darah, ginjal, limfa, pankreas, otak, paru-paru,
adiposa, kelenjar adrenal dan konsentrasi tertinggi ada pada hati (± 1400 U/mg
protein) (Gutteridge & Halliewell, 1994) bersama dengan glutation peroksidase
(GPx) dan enzim antioksidan lainnya (Greenwald 1985).
Enzim ini sangat berperan dalam pertahanan tubuh terhadap serangan
radikal bebas yang dapat merusak sel. Radikal bebas merupakan suatu molekul
atau ion yang tidak stabil karena mempunyai elektron yang tidak berpasangan
pada kulit terluar. Molekul atau ion ini berusaha mencapai titik kestabilan dengan
jalan menarik elektron atau molekul lain sehingga terbentuk radikal baru. Reaksi
radikal bebas dapat berlangsung secara berantai (Gutteridge & Halliewell, 1994).
Disamping radikal bebas dikenal pula istilah Reaktif Oxygen Species (ROS) yaitu
molekul yang mengandung oksigen dan bersifat reaktif (Oberley 2001 dalam
Chalid 2000).
Gambar 10 Grafik aktivitas enzim katalase pada plasma kelompok perlakuan sebelum dan sesudah intervensi
Gambar 11 Grafik aktivitas enzim katalase pada plasma kelompok kontrol sebelum dan sesudah intervensi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengukuran rata-rata aktivitas enzim
katalase pada plasma darah kelompok perlakuan sebelum intervensi adalah
sebesar 539, 228 U/ mg protein, sedangkan kelompok kontrol adalah sebesar
547,905 U/mg protein. Setelah menjalani intervensi selama 25 hari, rata-rata
aktivitas enzim katalase pada plasma darah kelompok perlakuan menjadi 584,177
U/ mg protein, sedangkan kelompok kontrol menjadi 559,487 U/ mg protein.
Berdasarkan hasil penelitian ini terlihat bahwa rata-rata aktivitas enzim katalase
pada plasma baik pada kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol sama-sama
mengalami peningkatan. Meskipun demikian, rata-rata peningkatan pada
kelompok perlakuan lebih besar yaitu sebesar 44,949 U/ mg protein sedangkan
pada kelompok kontrol rata-rata peningkatannya hanya sebesar 11,582 U/ mg
Rata-rata peningkatan = 44,95 U/ mg protein
Rata-rata peningkatan = 11,58 U/ mg protein
450
500
550
600
650
P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9
Responden
Akt
ivita
s K
atal
ase
(U/m
g pr
otei
n)
Sebelum Intervensi Setelah Intervensi
450
500
550
600
650
K1 K2 K3 K4 K6 K7 K8 K9
Responden
Akt
ivita
s K
atal
ase
(U/m
g pr
otei
n)
Sebelum Intervensi Setelah Intervensi
protein. Hal tersebut diperkuat dengan analisa statistik menggunakan uji t, dimana
terjadi peningkatan aktivitas enzim katalase pada plasma secara nyata (p < 0,05)
setelah kelompok perlakuan mengkonsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak
selama 25 hari. Sedangkan peningkatan aktivitas enzim katalase pada plasma yang
terjadi pada kelompok kontrol tidak berbeda nyata (p > 0,05) setelah 25 hari.
Kakao mengandung flavanol dan prosianidin yang potensial sebagai agen
perlindungan terhadap kardiovaskuler, berpengaruh pada fungsi platelet, mengatur
tekanan darah, produksi nitrik oksida, menghambat oksidasi dan sebagai sistem
imun (Heiss et al. 2003 dalam Yan Zhu et al. 2005). Flavonoid pada kakao dan
cokelat dikenal dengan istilah flavanol. Flavanol dapat juga ditemukan pada teh
hijau, apel, dan anggur merah. Flavanol umumnya terdapat dalam bentuk senyawa
tunggal seperti catechin dan epicatechin dan juga berbentuk senyawa oligomer
seperti procyanidin (CIC 2001). Senyawa polifenol pada kakao bersifat sebagai
antioksidan primer dalam menangakal radikal bebas. Suatu molekul akan dapat
bereaksi sebagai antioksidan primer jika dapat memberikan atom hidrogen secara
cepat kepada radikal lipida dan jika radikal yang diturunkan dari antioksidan lebih
stabil dibandingkan radikal lipida, atau dikonversi menjadi produk stabil. Radikal
bebas yang terbentuk pada reaksi senyawa fenol dengan radikal lemak selalu
distabilkan oleh delokalisasi elektron tidak berpasangan disekitar cincin aromatik
dari fenol tersebut. Menurut Hudson (1990), stabilisasi radikal fenoksil akan
mengurangi laju propagasi autooksidasi.
Hasil penelitian ini juga didukung oleh hasil penelitian Yuliatmoko (2007)
yang menyebutkan bahwa konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak selama
25 hari telah terbukti mampu menekan jumlah MDA dan diena terkonjugasi pada
plasma darah responden. Reaksi tidak terkendali radikal bebas terhadap
komponen sel seperti asam lemak tidak jenuh ganda (PUFA), heksosa, pentosa,
asam amino dan komponen DNA menghasilkan beberapa produk seperti:
Malonaldehida atau MDA, diena terkonjugasi, dikarbonil dan asam 15-
hidroperoksi-5,8,4,13 eikosatetraenoik (15-HPETE). Selain itu hasil penelitian
Yuliatmoko (2007) juga menyebutkan bahwa konsumsi minuman bubuk kakao
bebas lemak pada responden selama 25 hari telah terbukti mampu meningkatkan
atktivitas antiradikal bebas pada plasma darah. Untuk menjaga kondisi tubuh agar
tetap sehat maka jumlah antioksidan tidak boleh rendah daripada jumlah radikal
bebas. Penurunan kadar MDA sel oleh senyawa bioaktif dalam bahan pangan lain
telah diteliti. Zakaria et al (2003) melaporkan bahwa komponen bioaktif dalam
jahe dapat menurunkan kadar MDA sel limfosit baik secara in vitro maupun
secara in vivo dengan menggunakan responden manusia. Dalam penelitian lain
juga telah diteliti bahwa konsumsi buah-buahan dan sayur-sayuran yang tinggi
kandungan vitamin C dan E dapat menurunkan MDA sel pada populasi buruh
industri di Bogor (Wijaya 1997).
Penelitian yang serupa juga telah dilakukan oleh Jung et al (2003) yang
menyebutkan bahwa pemberian suplemen yang mengandung komponen bioaktif
flavonoid jenis naringin telah terbukti mampu meningkatkan aktivitas enzim
antioksidan glutation peroksidase, superoksida dismutase dan juga katalase pada
plasma darah subjek manusia yang menderita hiperkolesterolemik. Fraga et al
(2005) juga telah membuktikan dalam penelitiannya bahwa konsumsi flavanol
yang terkandung dalam coklat susu telah terbukti mampu mengurangi kolesterol
plasma, LDL, MDA dan meningkatkan vitamin E dan plasma darah responden
yang berprofesi sebagai pemain sepakbola.
Aktivitas radikal bebas yang tidak terkendali dalam tubuh bisa
membahayakan bagi metabolisme dalam tubuh kita. Keberadaan radikal bebas
yang berbahaya ini bisa memicu berbagai penyakit berbahaya terutama penyakit-
penyakit degeneratif yang berakibat fatal bahkan bisa menyebabkan kematian.
Selain itu apabila tubuh telah terserang suatu penyakit tertentu akibat tidak
terkendalinya jumalah radikal bebas yang ada, maka tentunya akan mengganggu
sistem pertahanan tubuh seperti sistem kerja enzim di dalamnya. Sebagai
contohnya hasil penelitian Sozmen et al (1998) menunjukkan bahwa aktivitas
enzim katalase dan superoksida dismutase (SOD) pada pasien hipertensi dan
jantung koroner telah terbukti jauh lebih rendah dibandingkan dengan subyek
normal.
Chalid (2000) menyebutkan bahwa mencit yang menderita tumor kelenjar
susu setelah diberi ekstrak daun cincau hijau ternyata mampu meningkat aktivitas
enzim katalasenya. Ekstrak daun cincau hijau mengandung senyawa bioaktif:
alkaloid, saponin, flavonoid, klorofil dan karotenoid. Zakaria dan Prangdimurti
(2000) juga menyebutkan bahwa tanaman cincau hijau memiliki alkaloid 0,98 %
dan total fenol 2,12 %.
Peningkatan aktivitas enzim katalase ini tentu saja dapat memperkuat
sistem pertahanan enzimatis tubuh dalam menekan terbentuknya radikal bebas.
Halliwell dan Gutteridge (1999) menyebutkan bahwa asupan senyawa antioksidan
alami yang banyak terdapat pada tanaman seperti kakao, brokoli, sawi, bunga kol,
teh, anggur mampu menekan radikal bebas dan elektrofil dalam tubuh sehingga
serangan terhadap DNA dapat dieliminasi dan penyakit-penyakit degeneratif
dapat dihindari. Tentu saja secara tidak langsung bisa mengaktifkan kerja enzim
antioksidan seperti katalase. Kakao merupakan tanaman yang mengandung
komponen bioaktif flavonoid. Lebih lanjut Grassi et al (2006) menjelaskan
bahwa pada manusia, bioavailabilitas flavonoid berkisar antara 1-26 %. Pada
tubuh kita flavonoid akan bersikulasi dalam plasma, terdapat sebagai glukoronida,
methyl dan sulfat konjugat atau kombinasi dari ketiganya.
Meskipun demikian peningkatan kerja enzim katalase pada plasma
responden dalam penelitian ini tidaklah bisa dikatakan sema-mata hanya
merupakan efek dari konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak saja. Hal ini
dikarenakan pada kelompok kontrol yang tidak menerima asupan flavonoid dari
minuman bubuk kakao juga terbukti mengalami peningkatan katalse meskipun
tidak nyata. Ini diduga bisa saja disebabkan oleh asupan makanan lainnya yang
dikonsumsi oleh responden. Makanan atau minuman yang mereka konsumsi bisa
saja mengandung komponen antioksidan lainnya. Hal ini telah dibuktikan oleh
Yuliatmoko (2007) dalam penelitiannya yang menyatakan bahwa responden yang
mengkonsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak dengan kondisi yang sama
seperti pada penelitian ini telah terbukti juga meningkat kadar vitamin C pada
plasma darahnya. Ini menunjukkan bahwa adanya korelasi yang positif antar
sistem pertahanan tubuh apabila menerima asupan makanan atau minuman yang
bergizi serta ditambah lagi dengan adanya senyawa bioaktif seperti flavonoid.
Zakaria (1996) mengemukakan bahwa sayuran dan buah-buahan yang
kaya dengan vitamin E dan vitamin C dapat berfungsi sebagai antioksidan bagi
tubuh. Selain itu selama intervensi ini berlangsung, responden juga mengurangi
konsumsi jajanan. Menurut Fardiaz dan Fardiaz (1993) dalam makanan jajanan
mengandung bahan-bahan pencemar seperti mikroorganisme, pestisida, logam
berat, zat pewarna, zat pemanis dan zat pengawet. Zakaria dan Abidin (1996)
menyatakan bahwa konsumsi makanan yang telah tercemar bahan kimia
berpotensi menaikkan pembentukan senyawa radikal dalam tubuh konsumen.
Konsumsi makanan yang berpotensi sebagai antioksidan tentunya akan
berdampak posistif pada sistem pertahanan enzimatik tubuh. Hal ini telah
dibuktikan salah satunya dalam penelitian Dragted et al (2004) yang menyebutkan
bahwa pemberian sayuran dan buah-buahan sebanyak 600 gram/hari yang terdiri
dari brokoli, bayam, bawang merah, tomat, jeruk, apel, pir selama 25 hari pada 43
orang responden yang teridiri dari pria dan wanita telah terbukti mampu
meningkatkan aktivitas enzim antioksidan SOD (984±158 U/g protein menjadi
993±U/ g protein) dan glutation peroksidase (126±21 U/ g protein menjadi
133±22 U/ g protein) pada eritrosit dan plasma darah. Dengan meningkatnya
aktivitas enzim antioksidan dalam tubuh tentunya akan semakin memperkuat
sistem pertahanan tubuh terhadap serangan radikal bebas yang merupakan pemicu
munculnya berbagai penyakit degeneratif seperti kanker, jantung koroner,
aterosklerosis dan lain-lain.
Aktivitas Enzim Detoksifikasi Sitokrom P-450 pada Eritrosit
Metabolisme senyawa xenobiotik terdiri dari dua fase. Pada fase satu,
toksikan bersifat lipofilik akan ditransformasikan oleh enzim-enzim fase satu
(monooksigenase) menjadi senyawa-senyawa metabolit yang bersifat polarreaktif
grup. Pada fase dua, metabolit yang terbentuk akan dikonjugasikan oleh enzim-
enzim fase dua (konjugasi) sehingga dihasilkan senyawa yang bersifat hidrofilik
dan mudah diekresikan ke luar tubuh. Namun jika metabolisme senyawa
xenobiotik menghasilkan produk yang reaktif, maka akan menimbulkan efek
toksik bagi tubuh (Hodgoson & Levi, 2000).
Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana pengaruh konsumsi
minuman bubuk kakao bebas lemak terhadap kadar enzim sitokrom P-450. Enzim
ini berperan penting dan terlibat paling dominan pada reaksi fase I, yang mana
dalam reaksi ini terjadi proses oksidasi, reduksi atau hidrolisis guna memasukkan
gugus fungsional yang sesuai bagi reaksi konjugasi fase II. Reaksi tersebut
berlangsung dengan efektif dalam kondisi tegangan oksigen yang rendah. Bila
tidak demikian oksigen molekuler akan bersaing dengan substrat senyawa asing
dalam proses perpindahan elektron yang dikatalisir oleh enzim tersebut (Donatus,
2001). Ada dua hal penting yang berhubungan dengan fungsi enzim sitokrom P-
450, yang pertama adalah enzim ini memiliki jalur yang kritis dan spesifik dalam
metabolisme senyawa-senyawa kimia endogenus. Kedua, Proses enzim ini
merupakan pokok dari produk-produk alami, bahkan saat ini ditambah dengan
bahan-bahan kimia seperti obat-obatan dan xenobiotik lainnya dalam senyawa-
senyawa non selektif (Guengerich 1991). P-450 dan komponennya bisa ditemukan
di kulit, mukus, paru-paru, gastrointestinal. Selain organ-organ tersebut juga telah
banyak dilakukan penelitian tentang keberadaan P-450, diantaranya di hati, ginjal,
plasenta, testis serta pada darah (Hodgoson & Levi, 2000). Selain itu pada tahun
1999, Krovat et al juga telah membuktikan bahwa Sitokrom P-450 (CYP) dan
mikrosomal epoxide hydrolase (MEH) telah terbukti teridentifikasi di sel darah
manusia.
Komponen bioaktif yang masuk dalam tubuh akan melalui jalur
bioaktivasi dan detoksifikasi dalam tubuh. Kakao memiliki komponen bioaktif
utama yaitu flavonoid. Komponen flavonoid ini mungkin akan teroksidasi oleh
sistem enzim sitokrom P-450. Seperti yang dikatakan oleh Freisleben, 1999
bahwa salah satu enzim yang mengkatalis proses okdidasi adalah sistem enzim
monooksigenase (enzim sitokrom P-450 oksidase) yang menghasilkan radikal
bebas. Sistem enzim sitokrom P-450 yang terlibat dalam biotransformasi dan
detoksifikasi xenobiotik akan memproduksi peroksida atau singlet oksigen yang
reaktif. Reaksi yang terjadi yaitu:
RH + O 2 + H 2 O → ROH + O 2* + H + / H 2 O 2
Gambar 12 Grafik kadar sitokrom P-450 pada eritrosit kelompok perlakuan sebelum dan sesudah intervensi
Gambar 13 Grafik kadar sitokrom P-450 pada eritrosit kelompok kontrol sebelum dan sesudah intervensi
Hasil penelitian seperti ditampilkan dalam gambar 12 dan 13 di atas
menunjukkan bahwa pengukuran rata-rata kadar sitokrom P-450 kelompok
perlakuan sebelum intervensi adalah sebesar 5,43 nmol/ mg protein, sedangkan
kelompok kontrol adalah sebesar 4,82 nmol/mg protein. Setelah menjalani
intervensi selama 25 hari, rata-rata kadar sitokrom P-450 kelompok perlakuan
menjadi 1,59 nmol/ mg protein, sedangkan kelompok kontrol menjadi 3,97 nmol/
mg protein. Berdasarkan hasil penelitian ini terlihat bahwa kadar sitokrom P-450
pada eritrosit baik pada kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol sama-
sama mengalami penurunan. Meskipun demikian, rata-rata penurunan pada
kelompok perlakuan lebih besar yaitu sebesar 3,84 nmol/ mg protein sedangkan
Rata-rata penurunan = 3,84 nmol/ mg protein
Rata-rata penurunan = 0,85 nmol/ mg protein
01234567
K1 K2 K3 K4 K6 K7 K8 K9
Responden
Kad
ar S
itokr
om P
-450
(nm
ol/m
g pr
otei
n)
Sebelum Intervensi Setelah Intervensi
0
1
2
3
4
5
6
7
P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9
Responden
Kad
ar S
itokr
om P
-450
(n
mol
/mg
prot
ein)
Sebelum Intervensi Setelah Intervensi
pada kelompok kontrol rata-rata penurunan hanya sebesar 0,85 nmol/ mg protein.
Hal tersebut diperkuat dengan analisa statistik menggunakan uji t, dimana terjadi
penurunan kadar sitokrom P-450 secara nyata (p < 0,05) setelah kelompok
perlakuan mengkonsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak selama 25 hari.
Sedangkan penurunan kadar sitokrom eritrosit yang terjadi pada kelompok kontrol
tidak berbeda nyata (p > 0,05) setelah 25 hari.
Dengan demikian terlihat jelas bahwa konsumsi minuman bubuk kakao
bebas lemak tidak meningkatkan kadar sitokrom P-450 yang berarti proses
oksidasi di hati tidak meningkat dan tidak memicu terbentuknya radikal bebas.
Penurunan kadar sitokrom P-450 ini terlihat pada kedua kelompok baik kelompok
perlakuan maupun kelompok kontrol. Penurunan kadar sitokrom ini juga
didukung dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Amri (2007) yang
mana konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak selama 25 hari secara nyata
mampu menurunkan kadar MDA dan meningkatkan aktivitas antiradikal bebas
pada sel eritrosit. Hal ini juga didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh
Erniati (2007), yang menyatakan bahwa konsumsi minuman bubuk kakao bebas
lemak dapat menurunkan kadar MDA secara nyata pada sel limfosit darah
manusia. MDA merupakan salah satu parameter untuk menganalisa kadar radikal
bebas dalam tubuh. Senyawa ini merupakan produk oksidasi asam lemak tidak
jenuh oleh senyawa radikal (Conti et al. 1991).
Penurunan kadar sitokrom kelompok perlakuan yang berbeda nyata
dengan kelompok kontrol diduga karena efek positif yang didapat setelah
kelompok perlakuan mengkonsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak selama
25 hari. Seperti disebutkan dalam penelitian sebelumnya oleh Zairisman (2006)
bahwa ekstrak bubuk kakao bebas lemak dalam pelarut air mengandung senyawa
polifenol yang tinggi. Dalam penelitian lain disebutkan juga bahwa kakao
mengandung senyawa fitokimia fenolik dan kapasitas antioksidan yang lebih
tinggi dibandingkan dengan buah-buahan, sayur-sayuran, teh hijau dan teh hitam
(Lee et al 2003; Vinson et al 1995). Komponen antioksidan ini dapat menetralisir
reaktivitas dari reaktif oxygen spesies (ROS).
Berbagai penelitian telah banyak dilakukan untuk menggali potensi
flavonoid dalam menghambat enzim oksidatif yang memicu terbentuknya radikal
bebas yang berakibat fatal bagi tubuh. Li et al (1994) telah membuktikan bahwa
senyawa flavonoid jenis myricetin dan quercetin telah terbukti mampu
menghambat kerja enzim sitokrom P-450 pada fraksi mikrosomal hati manusia
sebesar 40-60%. Dengan konsentrasi sebesar 85-90 mikroM. Selain itu juga ia
juga membuktikan bahwa pemberian flavonoid jenis flavon dengan konsentrasi
2,5 mikroM juga telah terbukti menghambat kerja enzim ini. Dalam penelitian
yang lain disebutkan pula bahwa senyawa flavonoid jenis chrysin dan apigenin
mampu menghambat kerja enzim sitokrom P-450 jenis CYP1A1 flavonoid
golongan quercetin mampu menghambat sitokrom P-450 jenis CYP1A2 pada
hamster yang diberi ransum mengandung flavonoid: quercetin, apigenin dan
chrysin masing-masing sebesar 10 µM (Lautaraite et al, 2002).
Seiring dengan semakin banyaknya penyakit yang disebabkan oleh radikal
bebas seperti penyakit-penyakit degeneratif, maka semakin banyak penelitian
yang dikembangkan ke arah tersebut. Berbagai potensi bahan alami terus diteliti
dan dikembangkan untuk menghambat kerja dari enzim yang memicu terjadinya
kerusakan sel seperti sitokrom P-450 ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pemberian ginseng varietas Panax ginseng dan Panax quinquevolius telah terbukti
tidak meningkatkan aktivitas sitokrom P-450 dengan dosis masing-masing 30-100
mg/ kg dan 100-400 mg/ kg setiap harinya selama 21 hari pada fraksi mikrosomal
dari hati tikus percobaan (NCCAM, 2005). Penelitian sebelumnya juga telah
membuktikan bahwa beberapa senyawa golongan flavonoid yang diekstrak dari
akar tanaman Scutellariae telah terbukti mampu menghambat kerja enzim
sitokrom P-450 pada fraksi mikrosomal hati manusia. Lebih rinci hasil
penelitiannya adalah flavonoid golongan Baicalein dan 2',5,6',7-
tetrahydroxyflavone pada konsentrasi masing-masing 17,4 dan 7,8 µM
menghambat hepatic testosterone 6 -hydroxylation (CYP3A4). Flavonoid
golongan Oroxylin pada konsentrasi 6,1 µM mampu menghambat aktivitas
Sitokrom diclofenac 4-hydroxylation (CYP2C9) (Kim et al. 2002)
Namun demikian harus diperhatikan bahwa penurunan kadar sitokrom P-
450 pada penelitian ini juga tidak semata-mata disebabkan oleh konsumsi
minuman bubuk kakao bebas lemak saja. Hal ini terlihat juga pada kelompok
kontrol yang tidak mengkonsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak tapi juga
mengalami penurunan kadar sitokrom P-450 meskipun hasil analis statistik
menunjukkan tidak berbeda nyata pada kelompok kontrol. Penurunan kadar
sitokrom baik pada kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol juga diduga
karena pola makan responden selama intervensi. Berdasarkan hasil wawancara
dengan para responden, umumnya mereka menyatakan bahwa pola makan mereka
lebih baik selama intervensi dibandingkan dengan pola makan mereka biasanya.
Selama intervensi berlangsung, setiap menu yang disajikan selalu disediakan nasi
sebagai asupan karbohidrat, lauk sebagai protein dan lemak, sayur dan juga
kadang-kadang buah sebagai vitamin dan mineral. Selain itu selama intervensi
berlangsung, responden juga mengurangi konsumsi makanan jajanan. Menurut
Fardiz dan Fardiaz (1993), dalam makanan jajanan mengandung bahan-bahan
pencemar seperti mikoroorganisme, pestisida, logam berat, zat pewarna, zat
pemanis dan zat pengawet. Zakaria dan Abidin (1996) menyatakan bahwa
konsumsi makanan jajan yang tercemar bahan kimia berpotensi menaikkan
pembentukan senyawa radikal bebas dalam tubuh konsumen.
Meskipun kelompok kontrol juga mengalami penurunan kadar sitokrom P-
450 dalam eritrosit, namun demikian penurunan kelompok perlakuan tetaplah
lebih tinggi. Hasil analisa statistik juga memperkuat bahwa penurunan kadar
sitokrom pada kelompok yang diberi konsumsi minuman bubuk kakao bebas
lemak berbeda nyata antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol setelah
intervensi selama 25 hari. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa konsumsi
minuman bubuk kakao bebas lemak dapat menurunkan kadar sitokrom P-450
pada sel seritrosit darah manusia. Hasil penelitian ini juga menunjang hasil
penelitian serupa lainnya. Nugrahenny (2003) menyatakan bahwa tikus percobaan
yang diberi konsumsi minuman ekstrak cincau hijau selama 8 minggu secara
nyata memiliki rata-rata kadar sitokrom lebih rendah dibandingkan dengan
kelompok kontrol yang tidak diberi konsumsi minuman ekstrak cincau hijau.
Cincau hijau memiliki komponen bioaktif antara lain karotenoid, flavonoid,
polifenol yang termasuk dalam gugus fenolik.
Aktivitas enzim detoksifikasi sitokrom P-450 pada plasma
Selain untuk melihat pengaruh konsumsi minuman bubuk kakao bebas
lemak terhadap kadar sitokrom P-450 pada sel eritrosit, penelitian ini juga ingin
melihat pengaruh yang sama pada plasma darah manusia yang telah
mengkonsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak. Plasma merupakan suatu
komponen darah yang encer yang terdiri dari elekrolit, zat-zat makanan,
metabolit, protein, vitamin, elemen pelacak dan hormon. Plasma mengandung
banyak sekali ion, molekul anorganik, organik yang sedang diangkut ke berbagai
bagian tubuh atau membantu transpor zat-zat lain (Ganong, 2000).
Reaksi-reaksi fase satu meliputi monooksigenasi mikrosom, oksidasi
mitokondria dan sitosol, kooksidasi dalam reaksi sintesis prostaglandin, reduksi,
hidrolisis dan hidrasi epoksida. Semua reaksi pada fase satu menghasilkan
metabolit atau merubah toksikan menjadi lebih polar sehingga dapat dikonjugasi
dalam reaksi-reaksi fase dua dan mudah diekresikan baik secara langsung maupun
tidak langsung setelah mengalami reaksi fase satu (Hodgoson & Levi, 2000).
Lebih lanjut, Donatus (2001) menjelaskan bahwa fungsi utama reaksi
metabolisme fase I adalah mengubah struktur senyawa asing melalui proses
oksidasi, reduksi atau hidrolisis, guna memasukkan gugus fungsional yang sesuai
bagi reaksi konjugasi fase II. Enzim yang berperan penting dan terlibat paling
dominan pada reaksi fase I adalah enzim monoksigenase sitokrom P-450. Pada
penelitian ini dapat diketahui bahwa konsumsi minuman bubuk kakao bebas
lemak selama 25 hari secara nyata dapat menurunkan kadar sitokrom P-450 pada
plasma darah.
Sitokrom P-450 merupakan salah satu enzim oksidatif, yang bisa
menghasilkan radikal bebas dalam tubuh. Untuk itu perlu dilakukan berbagai
upaya untuk menghambat kerjanya. Charpentier dan Cateora (1996) menyatakan
salah satu mekanisme yang dapat dilakukan oleh suatu antioksidan dalam
melindungi tubuh yaitu dengan menghambat enzim oksidatif, misalnya sitokrom
P-450. Penghambatan reaksi radikal bebas akan melidungi hepatosit normal dari
kerusakan dan mengoptimalkan lingkungan bagi sel-sel hati untuk bergenerasi.
Menurut Shahidi (1997), antioksidan diketahui bekerja pada berbagai tahapan
oksidasi molekul lemak, yaitu dengan cara menurunkan kadar oksigen,
menangkap singlet oksigen, pencegahan tahap inisiasi reaksi rantai melalui
penangkapan radikal hidroksil, pengikatan ion logam katalisator, dekomposisi
produk utama menjadi senyawa non radikal dan pemutusan reaksi rantai untuk
mencegah kelanjutan penarikan elektron dari substrat.
Gambar 14 Grafik kadar sitokrom P-450 pada plasma kelompok perlakuan sebelum dan sesudah intervensi
Gambar 15 Grafik kadar sitokrom P-450 pada plasma kelompok kontrol sebelum dan sesudah intervensi
Rata-rata penurunan = 1,32 nmol/ mg protein
Rata-rata penurunan = 0,49 nmol/ mg protein
00.5
11.5
22.5
33.5
44.5
K1 K2 K3 K4 K6 K7 K8 K9
Responden
Kad
ar S
itokr
om P
-450
(n
mol
/mg
prot
ein)
Sebelum Intervensi Setelah Intervensi
00.5
11.5
22.5
33.5
P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9
Responden
Kad
ar S
itokr
om P
-450
(n
mol
/mg
prot
ein)
Sebelum Intervensi Setelah Intervensi
Gambar 14 dan 15 menunjukkan grafik kadar sitokrom P-450 pada plasma
kelompok perlakuan dan kontrol baik sebelum dan sesudah intervensi. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa terjadi penurunan kadar sitokrom P-450 baik pada
kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol. Rata-rata kadar sitokrom
kelompok perlakuan sebelum intervensi adalah 2,11 nmol/ mg protein dan
kelompok kontrol 2,09 nmol/ mg protein. Setelah menjalani intervensi selama 25
hari, kadar sitokrom menjadi 0,78 nmol/ mg protein untuk kelompok perlakuan
dan 1,61 nmol/ mg protein untuk kelompok kontrol. Hal tersebut menunjukkan
bahwa terjadi penurunan kadar sitokrom baik pada kelompok perlakuan maupun
pada kelompok kontrol. Rata-rata penurunan kadar sitokrom plasma pada
kelompok perlakuan adalah sebesar 1,32 nmol/ mg protein sedangkan pada
kelompok kontrol rata-rata penurunannya dalah sebesar 0,49 nmol/ mg protein.
Meskipun demikian setelah diuji secara statistik menggunakan uji t, menunjukkan
adanya perbedaan nyata penurunan kadar sitokrom antara kelompok perlakuan
dan kelompok kontrol. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa konsumsi
minuman bubuk kakao bebas lemak dapat menurunkan kadar sitokrom P-450
pada plasma darah
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa penurunan kadar sitokrom P-
450 pada plasma mengindikasikan tidak memicu terjadinya reaksi oksidasi yang
dapat menghasilkan radikal bebas yang reaktif dan mungkin tidak menghasilkan
senyawa elektrofil. Menurut Guengerich (1997), beberapa intermediet yang
dihasilkan dari rekasi oksidasi fase I bersifat elektrofilik yang dapat bereaksi
dengan sisi nukleofilik pada makromolekul seperti DNA, RNA dan protein.
Dengan demikian minuman bubuk kakao bebas lemak bisa dikatakan bersifat
chemopreventif seperti halnya mekanisme chemopreventif dari isotiosianat yaitu
isotiosianat mampu menghambat enzim spesifik sitokrom P-450 dan
meningkatkatkan kerja enzim fase II, seperti glutation S-transferase dan quinon
reduktase (Guengerich, 1997).
Meskipun demikian penurunan kadar sitokrom P-450 pada plasma darah
ini tidaklah boleh dikatakan semata-mata disebabkan oleh konsumsi minuman
bubuk kakao bebas lemak yang diberikan terhadap responden selama 25 hari
intervensi. Hal ini dikarenakan hasil penelitian menunjukkan bahwa juga terjadi
penurunan kadar sitokrom plasma pada kelompok kontrol yang tidak diberi
perlakuan konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak. Walaupun setelah uji
statistik uji t menunjukkan penurunan pada kelompok kontrol tidak berbeda nyata
seperti halnya di kelompok perlakuan. Penurunan ini diduga salah satunya
disebabkan oleh pola makan responden selama menjalani intervensi. Dimana
umumnya pola makan responden menjadi lebih baik selama intervensi
berlangsung dibandingkan dengan pola makan mereka biasanya yang cenderung
tidak teratur. Selain itu selama intervensi berlangsung responden juga mengurangi
berbagai konsumsi makanan terutama jajanan di luar yang diberikan oleh peneliti.
Hal ini dilakukan untuk menghindari adanya bahan makanan lain yang dapat
mempengaruhi kerja dari komponen bioaktif flavonoid pada minuman bubuk
kakao bebas lemak yang diberikan juga untuk menghindari masuknya berbagai
senyawa xenobiotik dalam tubuh.
Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kemampuan metabolisme
xenobiotik dalam hati adalah komposisi makanan. Susunan makanan yang utama
meliputi protein, lemak dan karbohidrat. Diet atau ransum dengan protein rendah
telah terbukti mampu menurunkan kapasitas metabolisme mikrosomal terhadap
beberapa obat pada tikus (Donatus, 2001). Suprapto (2002) menyatakan bahwa
kebiasaan makan makanan dengan kadar lemak tinggi dan mengandung bahan
tambahan kimia seperti daging yang diberi ”warna” senyawa nitrit dapat berakibat
buruk terhadap kesehatan. Penelitian lain juga menyebutkan bahwa responden
yang sering mengkonsumsi minuman beralkohol terbukti dapat meningkatkan
aktivitas enzim oksidatif sitokrom P-450 pada darah manusia (Raucy, 1997). Hal
tersebut tentu saja semakin memicu pembentukan senyawa radikal bebas yang
berbahaya dalam tubuh manusia. Pengaruh buruk dari bahan tambahan kimia yang
ada dalam makanan pada umumnya tejadi melalui pengaktifan enzim fase I
(misalnya sitokrom P-450) yang menghasilkan DNA cacat. Bila gen yang cacat
ini terbawa sel ”anakan” dan tidak bisa diperbaiki maka dapat menginisiasi
terjadinya kanker.
Kakao mengandung senyawa flavonoid golongan flavanol, yang
memberikan efek yang menguntungkan bagi tubuh. Selain itu juga bisa
mengurangi resiko mortalitas dan morbiditas kardiovaskuler, kanker dan
osteoporosis dan bisa mencegah penyakit neurodegeneratif serta diabetes militus.
Pada manusia, bioavailabilitas flavonoid berkisar antara 1-26 %. Pada tubuh kita
flavonoid akan bersikulasi dalam plasma, terdapat sebagai glucuronide, methyl
dan sulfat konjugat atau kombinasi dari ketiganya yang merupakan hasil reaksi
enzim fase I dan fase II (Grassi et al 2006).
Hasil penelitian ini juga didukung oleh hasil penelitian Yuliatmoko
(2007) yang menyebutkan bahwa konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak
setelah 25 hari secara nyata dapat menurunkan kadar MDA pada plasma darah.
Reaksi tidak terkendali radikal bebas terhadap komponen sel seperti asam lemak
tidak jenuh ganda (PUFA), heksosa, pentosa, asam amino dan komponen DNA
menghasilkan beberapa produk seperti: Malonaldehida atau MDA, diena
terkonjugasi, dikarbonil dan asam 15-hidroperoksi-5,8,4,13 eikosatetraenoik (15-
HPETE). MDA merupakan melekul dialdehid yang mempunyai tiga atom karbon
dan bersifat reaktif (Rice-Evan et al. 1991; Zaden et al. 1995). Penelitian ini juga
didukung oleh penelitian-penelitian sebelumnya yang bertujuan menggali potensi
tanaman yang memiliki komponen bioaktif. Diantaranya adalah yang telah
dilakukan oleh Handerson et al (2000) yang membuktikan bahwa ekstrak
flavonoid dari buah hop (Humulus Lupulus) telah terbukti mampu menghambat
aktivitas enzim sitokrom P-450 pada manusia. Lebih lanjut juga disebutkan bahwa
Injeksi ekstrak bawang putih pada konsentrasi 100 mmol/ L terhadap 6
mikrosomal liver manusia secara invitro telah terbukti signifikan mampu
menghambat kerja enzim sitokrom P-450 hingga 50% (Greenbat et al 2006).
Najima et al (2006) juga telah membuktikan bahwa konsumsi isoflavon pada
responden 7 orang sehat di Jepang dengan dosis 60mg/ hari selama 5 hari
menunjukkan pengaruh yang positif pada plasma. Dimana, isoflavon golongan
daidzein, genistein, and glycitein terbukti mampu mengahambat aktivitas sitokrom
P-450 pada plasma. Penurunan terjadi dari 8,8±2,6 menjadi 6,7±1,6. Dalam
penelitian lain juga disebutkan bahwa bahwa senyawa flavonoid golongan flavon
jenis: 3-hydroxyflavone, 5-hydroxyflavone, 7-hydroxyflavone, 3,7-
dihydroxyflavone, dan 3,5,7-trihydroxyflavone (galangin) telah terbukti secara
nyata mampu menurunkan aktivitas senzim sitokrom P-450 pada sel limfosit
manusia (Zai et al, 1998).
Penurunan kadar sitokrom P-450 pada plasma darah ini juga didukung
dengan hasil penelitian terhadap kadar sitokrom P-450 pada sel eritrosit. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak
dapat menurunkan secara nyata kadar sitokrom P-450 pada sel darah eritrosit,
meskipun penurunan secara tidak nyata juga tampak pada kelompok kontrolnya.
Dengan demikian bisa kita katakan bahwa pemberian minuman bubuk kakao
bebas lemak pada responden selama 25 hari bisa menghambat kerja enzim
oksidatif sitokrom P-450 pada plasma maupun pada sel eritrosit darah manusia
tentunya diimbangi dengan pola makan yang baik pula. Hal tersebut berimplikasi
dapat menekan produksi radikal bebas dalam tubuh.
Beberapa penelitian lainnya yang juga telah membuktikan tentang potensi
bahan-bahan alami dalam menghambat kerja dari enzim oksidatif sitokrom P-450.
Salah satunya NCCAM (2004) menginformasikan bahwa pemberian suplemen
yang terdiri dari ekstrak katekin teh hijau (bebas kafein) sebesar 211±25 mg telah
terbukti mampu menurunkan aktivitas enzim sitokrom P-450 pada plasma darah
11 orang responden selama 14 hari intervensi. Akan tetapi penurunan ini tidak
signifikan secara statistik (p>0,05). Lebih lanjut Obach (2000) telah membuktikan
bahwa kandungan flavonoid yang berupa I3,II8-biapigenin pada bunga jenis
Hypericum perforatum telah terbukti mampu menghambat aktivitas enzim
sitokrom P-450 pada manusia. St. Johns wort Hypericum perforatum merupakan
jenis tanaman herba yang terdapat di wilayah Eropa dan Amerika Utara yang
lebih popular dengan sebutan St Jhon’s wort. Tanaman ini memiliki komponen
bioktif I3,II8-biapigenin, chloregenic acid, quercetin, hyperforin, hypericin.
Aktivitas enzim detoksifikasi glutation S-transferase pada eritrosit
Sistem detoksifikasi senyawa-senyawa xenobiotik melibatkan dua reaksi
yaitu reaksi Fase I dan reaksi Fase II. Pada fase satu, toksikan bersifat lipofilik
akan ditransformasikan oleh enzim-enzim fase satu (monoksigenase) menjadi
senyawa-senyawa metabolit yang bersifat polarreaktif grup. Pada fase dua,
metabolit yang terbentuk akan dikonjugasikan oleh enzim-enzim fase dua
(konjugasi) sehingga dihasilkan senyawa yang bersifat hidrofilik dan mudah
diekresikan ke luar tubuh. Namun jika metabolisme senyawa xenobiotik
menghasilkan produk yang reaktif, maka akan menimbulkan efek toksik bagi
tubuh (Hodgoson & Levi, 2000).
Pada penelitian ini juga bertujuan untuk melihat bagimana pengaruh
konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak terhadap aktivitas enzim
detoksifikasi fase II yaitu glutation S-transferase yang selanjutnya disebut sebagai
GST. Dari segi toksikologi, reaksi fase II sangat penting karena seringkali terlibat
dalam penghilangan zat atau metabolit perantara yang reaktif, yang bersifat
elektrofil. Berlangsungnya reaksi ini dikatalisir oleh enzim glutation S-transferase.
Kofaktor yang diperlukan untuk reaksi ini adalah glutation tri pepetida (GSH)
yang tersusun dari glisin, asam glutamat dan sistein. Konjugasi glutation
berlangsung dengan cara pengikatan karbon elektrofil yang ada pada substrat oleh
gugus sulfihidril nukleofil yang ada pada glutation (Donatus, 2001). Enzim fase II
merupakan sistem enzim konjugasi. Sebagai contoh dalam proses metabolisme
BHT, kecukupan sistem enzim konjugasi glutation sangat kritikal dalam
menentukan apakah metabolit yang dihasilkan dapat dikeluarkan dari dalam tubuh
atau akan diubah menjadi senyawa elektrofil dan senyawa radikal (Zakaria, 2001).
Kadar GST ditentukan dengan menggunakan metode Habig et al yaitu
dengan menggunakan substrat CDNB (1-kloro-2,4-dinitrobenzene) dan Glutation
dalam bentuk tereduksi (GSH). Analisis ini dengan menggunakan
spektrofotometer pada panjang gelombang 340 nm. Hasil pengukuran absorbansi
pada spektrofotometer ini merupakan hasil konjugasi dari GSH dan CDNB
melalui reaksi pada gambra 16 berikut:
Gambar 16 Reaksi GSH dan CDNB
Lebih lanjut Habig et al (1974) menjelaskan bahwa untuk tujuan analisis
terdapat bermacam substrat bagi glutation s-transferase yang dapat digunakan,
yaitu 1-clhoro-2,4-dinitrobenzene, 1,2-dichloro -4-nitrobenzene, p-nitrobenzyl
chloride, 4-nytropiridine-N-oxide, 1,2-epoxy-3-(p-nitrophenox) propane, 1,2-
naphtalene oxide, iodomethane, 1-menapthyl sulfat, trans-4-phenyl 3-buten-2-one,
p-nitrophenetyl bromide, dan bromosulfophthalein.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengukuran rata-rata aktivitas enzim
glutation S-transferase pada eritrosit kelompok perlakuan sebelum intervensi
adalah sebesar 0,083 nmol/ min/ mg protein sedangkan kelompok kontrol rata-rata
aktivitas enzim glutation S-transferase sebelum intervensi adalah sebesar 0,0825
nmol/ min/ mg protein. Setelah intervensi berlangsung selama 25 hari,
pengukuran rata-rata aktivitas GST eristrosit pada kelompok perlakuan adalah
sebesar 0,217 nmol/ mg protein sedangkan kelompok kontrol menjadi 0,110 nmol/
min/ mg protein. Ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan aktivitas GST
eritrosit baik pada kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol. Namun
demikian rata-rata peningkatan aktivitas GST eritrosit pada kelompok perlakuan
lebih besar (0,134 nmol/ min/ mg protein) dibandingkan kelompok kontrol yang
rata-rata peningkatannya hanya sebesar 0,03 nmol/ min/ mg protein. Hal tersebut
diperkuat dengan analisa statistik menggunakan uji t, dimana terjadi peningkatan
aktivitas GST secara nyata (p < 0,05) setelah kelompok perlakuan mengkonsumsi
minuman bubuk kakao bebas lemak selama 25 hari. Sedangkan peningkatan
aktivitas GST eritrosit yang trjadi pada kelompok kontrol tidak berbeda nyata (p >
0,05) setelah 25 hari. Data hasil penelitian disajikan dalam gambar berikut.
Gambar 17 Grafik aktivitas enzim glutation S-transferase (GST) pada eritrosit
kelompok perlakuan sebelum dan sesudah intervensi
Gambar 18 Grafik aktivitas enzim glutation S-transferase (GST) pada eritrosit kelompok kontrol sebelum dan sesudah intervensi
Peningkatan aktivitas enzim glutation S-transferase diduga karena efek
antioksidatif dari senyawa flavonoid pada minuman bubuk kakao bebas lemak
yang dikonsumsi oleh responden selama 25 hari. Gutteridge dan Halliwell (1998)
menyebutkan bahwa flavonoid memiliki kemampuan dalam menghambat
peroksidasi lipid, ROS, menghambat kerusakan oleh haem protein atau adanya
peroksida, binding ion metal dan menghambat lipoksigenase dan enzim
cyclooxygenase. Hasil penelitian ini didukung pula oleh hasil penelitian Erniati
Rata-rata peningkatan = 0,0134 nmol/min/mg protein
Rata-rata peningkatan = 0,03 nmol/min/mg protein
00.05
0.10.15
0.20.25
0.3
P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9
Responden
Kada
r GS
T (n
mol
/ min
/ mg
prot
ein)
Sebelum Intervensi Setelah Intervensi
0
0.02
0.04
0.06
0.08
0.1
0.12
0.14
K1 K2 K3 K4 K6 K7 K8
Responden
Kad
ar G
ST
(nm
ol/ m
in/ m
g pr
otei
n)
Sebelum Intervensi Setelah Intervensi
(2007) yang menyebutkan bahwa konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak
selama 25 hari terhadap 9 orang responden telah terbukti secara nyata dapat
meningkatkan kadar glutation tereduksi (GSH) pada limfosit responden.
Keberadaan enzim glutation S-tranferase dan GSH dapat melindungi sel dari
bahaya elektrofilik yang reaktif ini sebelum bereaksi dengan sisi nukleofilik dari
sel. Glutation dalam bentuk tereduksi (GSH) merupakan substrat yang penting
untuk enzim-enzim antioksidan seperti glutation S-transferase dan glutation
peroksidase dalam menguraikan berbagai macam peroksida atau lipid peroksida
(Stone 1999).
Namun demikian peningkatan aktivitas enzim gluatation s-transferase ini
tidaklah bisa semata-mata disebut sebagai akibat dari flavonoid yang terdapat
pada minuman bubuk kakao bebas lemak semata. Hal ini dikarenakan, meski
secara tidak nyata setelah 25 hari intervensi, aktivitas enzim GST pada kelompok
kontrol juga mengalami peningkatan. Peningkatan aktivitas GST yang terjadi
juga pada kelompok kontrol ini diduga karena meningkatnya asupan gizi dan
membaiknya pola makan responden selama penelitian berlangsung. Kirlin et al
(1999) menyebutkan bahwa makanan merupakan hal yang paling berperan dalam
menginduksi enzim detoksifikasi. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa makanan-
makanan yang dapat menginduksi enzim detoksifikasi adalah beberapa famili
sayuran seperti cruciferae (brokoli, sawi, kubis, kale, kembang kol), leuguminose
(buncis), umbelliferae (wortel, seledri), zingiberaceae (jahe), liliaceae (asparagus)
dan chenopodiceae (bayam).
Dari hasil pengukuran aktivitas enzim glutation S-transferase dapat
diketahui bahwa konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak dapat
meningkatkan aktivitas enzim ini. Peningkatan aktivitas enzim ini berhubungan
dengan aktivitas enzim sitokrom P-450, dimana telah terjadi penurunan kadar
sitokrom P-450 secara nyata dalam eritrosit responden yang mengkonsumsi
minuman bubuk kakao bebas lemak selama 25 hari, ini menunjukkan bahwa
konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak dapat menurunkannya produksi
radikal bebas dalam tubuh. Sehingga enzim glutation S-transferase yang ada
mampu mengurus intermediet yang dihasilkan, akibatnya terdapat sisa GST yang
tidak terpakai. Sisa GST yang tidak terpakai ini dapat digunakan untuk proses
detoksifikasi berikutnya. Menurut Kirlin et al ( 1999) Induksi enzim detoksifikasi
glutation S-transferase merupakan mekanisme pertahanan terhadap kanker.
Prinsipnya peningkatan enzim GST dapat mereduksi karsinogenesis melalui
penguatan pembuangan elektrofil reaktif. Lebih lanjut Donatus (2001)
menjelaskan bahwa intermediet yang bersifat elektrofilik dan reaktif dapat
membahayakan komponen seluler yang penting.
Penelitian lainnya juga telah banyak dilakukan untuk menggali potensi
flavonoid dalam meningkatkan kerja enzim glutation S-transferase, salah satunya
telah dibuktikan oleh Uhl (2002) yang menyebutkan bahwa pemberian chrysin
(dosis 5-10 μg/ ml) sebagai kemopreventif mampu menekan aktivitas enzim
sitokrom P-450 dan meningkatkan aktivitas GST pada sel hepatoma (HepG2)
manusia. Chrysin merupakan komponen biokatif golongan flavonoid yang banyak
terdapat pada buah, sayur dan mampu. Senyawa ini diduga kuat memiliki potensi
sebagai anti kanker dan tumor. Selanjutnya Patel (2005) juga telah membuktikan
bahwa konsumsi buah berry setiap hari terbukti mampu meningkatkan enzim
Glutation S-transferase responden laki-laki maupun perempuan. Pada tahun yang
sama telah dibuktikan bahwa 15 gram ekstrak teh hijau yang diseduh dalam 1 liter
air panas telah terbukti mampu meningkatkan aktivitas enzim Glutaion S-
transferase sebesar 26 % pada hati tikus yang mengkonsumsinya selama 18 hari
(El-Beshbishy, 2005).
Aktivitas enzim detoksifikasi glutation S-transferase (GST) pada plasma
Glutation s-transferase adalah famili multi gen suatu protein multi fungsi
yang mempunyai bentuk dimmer dan diyakini memegang peranan penting dan
utama dalam biosinstesis leukotrin tertentu, prostaglandin, katalis konjugasi
glutation (GSH) dengan pusat elektrofilik beragam senyawa (misalnya epoksida)
sebagai tahap pertama pembentukan asam merkapturat (Martono dan Supardjan,
2002). Enzim ini berperan penting pula dalam detoksifikasi, ditemukan dalam
fraksi sitosol. Dalam proses detoksifikasi suatu bahan obat elektrofilik dalam
tubuh ia berperan sebagai katalis pada reaksi antara glutation sebagai senyawa
nukleofil dengan senyawa-senyawa elektrofilik (Jann et al, 1995).
Analisis yang dilakukan dengan menggunakan prinsip bahwa glutation
dapat berkonjugasi dengan 1-kloro- 2,4-dinitrobenzene (CDNB) dengan adanya
katalis enzim glutation S-transferase dan menghasilkan produk yang dapat diukur
secara spektrofotometri (Habig et al, 1974). Lebih lanjut Murray et al (1999)
menjelaskan bahwa sejumlah xenobiotik elektrofilik yang berpotensi beracun
akan terkonjugasi dengan glutation nukleofilik dalam reaksi berikut:
R + GSHO R – S - G
Dimana R adalah xenobiotik elektrofilik. Jika xenobiotik yang potensial beracun
tidak terkonjugasi maka molekulnya akan berada dalam keadaan bebas yang
membentuk ikatan kovalen dengan DNA, RNA atau protein sel dengan demikian
dapat mengakibatkan kerusakan sel yang serius.
Aktivitas GST mempengaruhi tingkat toksisitas karena dengan semakin
rendahnya aktivitas GST, semakin sulit metabolit hasil reaksi fase I
dikonjugasikan dan kemungkinan besar metabolit radikal tersebut bereaksi
terlebih dahulu dengan makromolekul seperti protein, DNA, RNA sehingga
menimbulkan toksik pada tubuh (Hodgoson & Levi, 2000).
Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pengukuran
rata-rata aktivitas enzim glutation S-transferase pada plasma kelompok perlakuan
sebelum intervensi adalah sebesar 0,129 nmol/ min/ mg protein sedangkan
kelompok kontrol rata-rata aktivitas enzim glutation S-transferase sebelum
intervensi adalah sebesar 0,126 nmol/ min/ mg protein. Setelah intervensi
berlangsung selama 25 hari, pengukuran rata-rata aktivitas GST plasma pada
kelompok perlakuan adalah sebesar 0,293 nmol/ min/ mg protein sedangkan
kelompok kontrol menjadi 0,172 nmol/ min/ mg protein. Ini menunjukkan bahwa
terjadi peningkatan aktivitas GST plasma baik pada kelompok perlakuan maupun
kelompok kontrol. Namun demikian rata-rata peningkatan aktivitas GST plasma
pada kelompok perlakuan lebih besar (0,164 nmol/ min/ mg protein) dibandingkan
kelompok kontrol yang rata-rata peningkatannya hanya sebesar 0,046 nmol/ min/
mg protein. Hal tersebut diperkuat dengan analisa statistik menggunakan uji t,
dimana terjadi peningkatan aktivitas GST plasma darah secara nyata (p < 0,05)
setelah kelompok perlakuan mengkonsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak
selama 25 hari. Sedangkan peningkatan aktivitas GST plasma darah yang terjadi
pada kelompok kontrol tidak berbeda nyata (p > 0,05) setelah 25 hari. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada grafik berikut.
Gambar 19 Grafik aktivitas enzim glutation S-transferase (GST) pada plasma
kelompok kontrol sebelum dan sesudah intervensi
Gambar 20 Grafik aktivitas enzim glutation S-transferase (GST) pada plasma
kelompok kontrol sebelum dan sesudah intervensi
Rata-rata peningkatan = 0,164 nmol/min/mg protein
Rata-rata peningkatan = 0,046 nmol/min/mg protein
00.05
0.10.15
0.2
0.250.3
0.350.4
P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9
Responden
Kada
r GST
(n
mol
/ min
/ mg
prot
ein)
Sebelum Intervensi Setelah Intervensi
0
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
K1 K2 K3 K4 K6 K7 K8 K9
Responden
Kad
ar G
ST
(n
mol
/ min
/ mg
prot
ein)
Sebelum Intervensi Setelah Intervensi
Peningkatan aktivitas enzim glutation S-transferase ini menunjukkan
bahwa konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak selama 25 hari pada
responden memberikan efek yang positif bagi kerja enzim di fase II. Hal ini
menunjukkan bahwa GST mampu mengurus instermediet yang dihasilkan selama
proses detoksifikasi, akibatnya terdapat sisa GST yang tidak terpakai. Sisa GST
yang tidak terpakai ini dapat digunakan untuk proses detoksifikasi berikutnya.
Hodgoson dan Levi (2000) menjelaskan bahwa mekanisme konjugasi terhadap
metabolit radikal yang reaktif yang dihasilkan dari reaksi fase I merupakan reaksi
eliminasi yang cepat dan merupakan inaktivasi senyawa-senyawa yang berpotensi
toksik. Toksisitas seluler merupakan suatu keseimbangan fungsi laju pembentukan
metabolit radikal terhadap biotransformasinya sehingga akhirnya dapat
dikeluarkan dari dalam tubuh. Penurunan aktivias GST merupakan gejala dimana
telah terjadi ketidakseimbangan pembentukan metabolit radikal terhadap reaksi
eliminasinya. Hal ini disebabkan tingginya metabolit radikal yang terbentuk dan
strukturnya yang tidak mampu dikonjugasikan secara sempurna oleh GST.
Metabolit radikal bebas yang tidak terkonjugasikan tadi akhirnya dapat berikatan
dengan makromolekul seperti protein, polipeptida, RNA dan DNA yang
merupakan pemicu berbagai proses toksik seperti mutagenesis, karsinogenesis,
dan nekrosis seluler.
Hasil penelitian ini juga didukung dengan hasil penelitian Yuliatmoko
(2007) yang menyebutkan bahwa konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak
dapat secara nyata meningkatkan aktivitas antiradikal bebas pada plasma darah
responden. Radikal bebas dapat menyebabkan stres oksidatif. Stress oksidatif
merupakan keadaan ketidakseimbangan antara reaktif oxygen species (ROS) /
reaktif nitrogen species (RNS) dan antioksidan (Halliwell & Gutteridge 2001).
Jika radikal bebas berada dalam jumlah berlebihan dan jumlah antioksidan seluler
tetap atau lebih sedikit maka kelebihannya tidak bisa dinetralkan dan berakibat
pada kerusakan sel ( Langseth 1995; Palmer & Paulson 1997). Efek radikal bebas
dapat dinetralisir oleh antioksidan yang diproduksi oleh tubuh dalam jumlah yang
berimbang. Antioksidan merupakan senyawa yang dapat melindungi sistem
biologis tubuh melawan efek-efek yang potensial dari proses atau reaksi yang
dapat menyebabkan oksidasi berlebihan (Papas 1991).
Plasma adalah suatu larutan encer yang terdiri atas elektrolit, zat-zat
makanan, metabolit, protein, vitamin, elemen pelacak dan hormon. Plasma
mengandung banyak sekali ion, molekul anorganik, organik yang sedang diangkut
ke berbagai bagian tubuh atau membantu transpor zat-zat lain (Ganong 2000).
Darah menyalurkan flavonoid ke jaringan-jaringan tubuh. Apabila terdapat dalam
plasma, aglikon dapat memasuki jaringan perifer dengan difusi pasif atau
terfasilitasi. Konjugat glukoronida perlu disalurkan ke dalam jaringan perifer
karena senyawa tersebut bersifat hidrofilik dan berdifusi melewati membran
dengan lambat. Untuk dekonjugasi dalam jaringan, banyak sel memiliki aktivitas
β-Glukoronidase dalam fraksi lisosom dan lumen dalam retikulum endoplasma
(Meskin et al 2004).
Berbagai penelitian serupa juga menyebutkan bahwa beberapa tanaman
yang berpotensi sebagai antioksidan telah terbukti dapat meningkatkan kerja
enzim fase II pada proses detoksifikasi. Dalam suatu penelitian disebutkan bahwa
ekstrak tanaman widuri yang mengandung senyawa flavonoid jenis sylimarin
terbukti mampu meningkatkan aktivitas enzim fase II: glutation S-transferase dan
quinone reduktase pada liver, paru-paru dan kulit tikus percobaan dengan dosis
100-200 mg/ hari (Zao dan Agrawall 1999). (Sztanke dan Pasternak (2006) dalam
ringkasannya menyebutkan bahwa senyawa astaxanthin dan canthaxanthin
terbukti mampu meningkatkan kerja enzim fase II NAD(P)H: quinon reduktase
yang mana enzim ini sangat vital dalam proses detoksifikasi senyawa karsinogen.
Lebih lanjut dikemukakan bahwa brokoli, sawi, dan kembang kol telah terbukti
juga mampu meningkatkan kerja enzim fase II.
Namun demikian, dalam penelitian ini tidak bisa disimpulkan bahwa
peningaktan aktiviatas enzim fase II dalam hal ini glutation S-transferase semata-
mata hanya disebabkan oleh konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak yang
diberikan terhadap responden selama intervensi berlangsung. Hal tersebut
dikarenakan pada kelompok kontrol hasil penelitian juga menunjukkan adanya
peningkatan aktivitas GST pada plasma darah responden yang tidak
mengkonsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak selama intervensi yang
berlangsung 25 hari tersebut. Ini diduga karena responden mengalami perbaikan
dalam menu makan juga pola makannya dibandingakan dengan kebiasaan mereka
sebelumnya. Pada saat intervensi berlangsung, pola makan dan menu makan dari
responden menjadi perhatian penting, hal ini dilakukan untuk mendapatkan
kondisi yang seseragam mungkin sehingga bias yang besar bisa dihindari
semaksimal mungkin. Selama intervensi berlangsung, responden mendapatkan
menu makan yang terdiri dari karbohidrat, lemak, protein serta serat yang cukup.
Zakaria (2004) menyebutkan bahwa sayur, buah dan beberapa komponen bioaktif
yang terdapat pada tanaman seperti flavonoid, klorofil, antosianin, karetonoid,
terpenpoid, isothiosianat mampu menekan produksi radikal bebas dalam tubuh
sehingga mampu menekan resiko terserang penyakit degeneratif seperti kanker,
jantung koroner, stroke, diabetes dan penyakit degeneratif lainya. Seperti yang
telah dibuktikan oleh Semiz dan Sen (2007) bahwa buah semangka mentah
mampu meningkatkan aktivitas enzim GST sampai 50% pada liver, ginjal dan
paru-paru tikus, juga menurunkan aktivitas enzim sitokrom P-450. Tanaman
semangka mentah tersebut diberikan selama 16 hari dengan dosis 200 mg/ kg
berat badan setiap 4 hari sekali. Tanaman semangaka komponen bioaktif berupa
triterpen, pistein dan steroid. Selain faktor makanan, faktor lainnya yang penting
adalah pola makan, status gizi, pencemaran makanan (akibat bahan tambahan
kimia), udara, sinar matahari (UV) dan juga gaya hidup seseorang.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak setiap hari selama 25 hari
berpengaruh nyata dalam meningkatkan aktiviats enzim antioksidan katalase baik
pada eritrosit maupun plasma darah reponden. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak dapat
meningkatkan sistem pertahanan tubuh secara enzimatis dari serangan radikal
bebas.
Konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak juga dapat menurunkan
aktivitas enzim detoksifikasi yang bersifat oksidatif yaitu enzim sitokrom P-450
baik pada eritrosit maupun plasma darah reponden. Selain itu konsumsi minuman
bubuk kakao bebas lemak dapat meningkatkan aktivitas enzim detoksifikasi
glutation S-transferase pada eritrosit maupun plasma darah responden. Kedua hal
tersebut mengindikasikan bahwa konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak
dapat memberikan dampak yang positif bagi kerja enzim detoksifikasi dalam
mengeluarkan senyawa asing yang toksik sehingga menekan jumlah radikal bebas
dalam tubuh.
Dengan meningkatnya sistem pertahanan tubuh secara enzimatis dan
meningkatnya kinerja enzim detoksifikasi, maka secara umum dapat dikatakan
bahwa konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak dapat berkontribusi dalam
meningkatkan kesehatan manusia.
Saran
Konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak telah terbukti mampu
meningkatkan aktivitas salah satu enzim antioksidan katalase, sehingga perlu
dilakukan penelitian lanjutan tentang pengaruhnya terhadap enzim antioksidan
yang lain seperti superoksida dismutase (SOD) dan glutation peroksidase (GPx).
Metabolisme senyawa asing dalam tubuh (detoksifikasi) melibatkan banyak enzim
dalam prosesnya, sehingga perlu adanya penelitian lanjutan tentang pengaruh
konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak terhadap kerja enzim-enzim
detoksifikasi lainnya seperti flavin containing monooksigenase, prostaglandin
synthetase cooxidase, molibdenum hidroxylase, metyl transferase, quinon
reduktase dan lain-lain. Dengan demikian benar-benar bisa dibuktikan bahwa
konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak dapat berkontribusi positif bagi
sistem pertahanan tubuh dari serangan radikal bebas yang berbahaya. Selain itu
perlu juga dilakukan penelitian lanjutan terhadap peranan enzim glutation S-
transferase dalam menangkap senyawa xenobiotik lainnya sehingga bisa
membuktikan peranan flavonoid pada minuman bubuk kakao bebas lemak dalam
system detoksifikasi.
Penelitian ini melibatkan responden perempuan dalam kondisi sehat,
sehingga perlu adanya penelitian lebih lanjut terhadap responden dengan kondisi
kesehatan dibawah normal (menderita penyakit tertentu), sehingga bisa dilihat
bagaimana pengaruh konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak terhadap
manusia dengan kondisi tubuh dalam keadaan sakit.
Mengingat konsumsi minuman bubuk kakao dapat meningkatkan sistem
pertahanan tubuh secara enzimatis dan juga berpengaruh positif terhadap sistem
detoksifikasi, maka perlu diinformasikan kepada masyarakat bahwa
mengkonsumsi minuman bubuk kakao bermanfaat bagi kesehatan.
Dafar Pustaka
Andersen OM, Markham KR. 2006. Flavonoids: chemistry, biochemistry, applications. CRC Press. New York
Amri, E. 2007. Pengaruh konsumsi minuman bubuk kakao lindak bebas lemak
terhadap sifat antioksidatif eritrosit manusia. [tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Arisudana, IG. 2003. Pengaruh bubuk cincau hijau (Cyclea barbarata L. Miers
dan Premna oblongifera Merr) [skripsi]. Fateta. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Auroma OI. 1997. Assesment of potencial prooxidant and antioxidant actions. J
Am Oil Chem Soc 73 (12): 1617-1625 Benson, DE, Huslick KS, Sligar SG. 1996. Reduced oxygen intermediate
observed in D251 N cytochrome P-450. J Biol Chem 36: 5104-5107 Bird RP, Draper HH. 1984. Methods enzymol. CRC Press. New York Blaaubeoer, BM. 1996. Toxicology: principles and aplications. CRC Press Inc.
New York Chalid SY. 2004. Pengaruh ekstrak daun cincau hijau terhadap aktivitas enzim
antioksidan dan pertumbuhan tumor kelenjar susu mencit [tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Charpentier R, Cateora H. 1996. Turmeric; phytonutrient protection for variety of
physiological stress. Vitamin research product. Carson City, Nevada. http://www.rvp .com
Cheuvaux, Kati A., Schmitz, Harold H, Romanczyk, Leo J. 1999. Products
containing, polyphenol(s) and L-arginine to stimulate nicric oxide production. Mars, Incorporated WO/1999/045797
Cho SH, Jung-Gyo, Choi YS, Young SS, Hee CM. 1995. Lipid peroxidations and
(8)-hydroxideoxyguanosine formations in rats fed fish oil with different levels of vitamin E. J Nutr Scie Vit. 41: 61-72
Chocolate Information Center (CIC). 2001. Plyphenol explained. CIC News Cillard J, Cillard P, Cormier M. 1980. Effect of experimental factor on the
prooxidants behavior of tochoperol. J Am Oil Chem Soc 57: 255-261
Chipault JR, Mizuno GR, Hawkins JM, Lundberg WO. 1952. The antioxidant properties of natural spices. J Food Res 17:87-89.
Coscun O et al. 2004. Protective effects of quercetin, a flavonoid antioxidant, in
absolute ethanol-induced acut gastric ulcer. J Gen Med 1(3): 37-42 Donatus, IA. 2001. Toksikologi dasar. Laboratorium Farmakologi Toksikologi.
UGM. Yogyakarta Dragted LO et al. 2004. The 6-a-day study: effects of fruit and vegetables on
markers of oxidative stress and antioxidative defense in healthy non smokers. Am J Clin Nutr 79: 1060 –1072
Erniati. 2007. Efek konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak terhadap sifat
antioksidatif dan proliferativ limfosit manusia [tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
El-Beshbishy, HA. 2005. Hepatoprotective effect of green tea (Camellia sinensis)
extract, against tamoxifen-induced liver injury in rats. J Biochem Molec Biol 38 (05): 563-570
Fraga CG, Goretta LA, Ottaviani J, Carrasquedo F, Lotito S, Lazarus S, Schmitz
H, Keen CL. 2005. Regular consumption of flavanol rich chocolate can improve oxidant stress in young soccer players. J Clinic Dev Immun 12 (1): 11-17
Frankle EN dan Neff WE. 1983. Biochemistry. Biophys Acta 754: 264-270 Ganong WF. 2000. Buku ajar fisiologi kedokteran edisi bahasa indonesia. Editor:
M. Djauhari Widjajakusumah. Penerbit Buku Kedokteran: EGCG. Grassi D, Desideri D, Groce G, Pasqualetti P, Lippi C, Ferri C. 2006. Cocoa and
cardiovaskuler health. The sweet heart protection. Agr Food Ind Hi Tech 17 (01)
Gutteridge JMC, Halliwel B. 1996. Antioxidant in nutritions, health and disease.
Oxford University Press. New York Guengerich FP. 1991. Reactions and significance of cytochrome P-450 enzymes.
J Biol Chem 266 (16): 10019-10022 Habig WH, Pabst MJ, Jakoby WB. 1974. Glutahione S-transferase, the first
enzyme step in mercapturic acid formations. J Biol Chem 249 (22): 7130-7139
Hall C. 2001. Sources of natural antioxidants: oilseeds, nuts, cereals, legumes, animal products and microbial sources. Di dalam: Pokorny J, Yanishlieva N, Gordon M, editor. Antioxidants in food. Cambridge England: Woodhead Publishing Limited. hlm. 159-209.
Halliwell, Gutteridge. 1999. Free radical in biology and medicine. Oxford
University Press. Ed. 3. Hlm: 105-110 Hammerstone JF, Lazarus S, Mitchell. 1999. Identifications of pyrocianidins in
cocoa using HPLC. J Agr Food Chem 47: 490-496 Hammerstone JF, Lazarus SA, Schmitz HH. 2000. Procyanidin conten and
variation in some commonly consumed foods. J Nutr 130: 2086S-2092S. Hudson BJF. 1990. Food antioxidants. Elsivier Applied Sci. London Hodgoson E, Levi PE. 2000. A text book of modern toxicology. Ed. McGraw-Hill
Higher Education. Singapore. Jann, N, Commendaur, Gerald J. S, Nico PE. 1995. Enzyme and transport sistem
involved in the formation an disposition of glutathione S-conjugates. Pharmacol Rev 47 (2): 271-325
Jung UJ, Kim HJ, Lee JS, Lee KM, Park EJ, Jeong TS, Choi. 2003. Naringin
suplementation lowers plasma lipids and enhances erythrocyte antioxidant enzyme activities in hypercholesterolemic subjects. J Clinic Nutr 22(6): 561-568
Kahkonen MP, Hopia AL, Vuorela HJ. 1999. Antioxidant activity of plants
extracts containing phenolic compounds. J Agric Food Chem 47: 3954-3962 Karen JM, Andriana KC, Indu S, Mauren A, Helen M, Andrew JS. 2003. Dietary
flavanols and procyanidin oligomers from cocoa (theobroma cacao) inhibit platelet function. Am J Clin Nutr 77: 1466-73
Kehrer JP. 1993. Free radicals as mediatory of tissue injury and disease. Critic
Rev Toxic 23 (1): 21-48 Karim M, Mc Cormick K, Kappagoda CT. 2000. Effect of cocoa extracts on
endothelium-dependent relaxtions. J Nutr 130; 2105S-8S Kim JY. 2002. Effects of flavonoids isolated from scutellariae radix on
cytochrome P-450 activities in human liver microsomes. J toxic envir health 65 (5-6): 373-381
Kirlin WG, J Cai MJ, De Long, EJ Patten, DP Jones. 1999. Dietary compounds that induce cancer preventive phase 2 enzyme activates apoptosis at comparable doses in HT29 colon carcinoma cells. Am Soc Nutr Sci: 1827-1834
Klauning JE. 1998. The Role of Oxidative stress in chemical carsinogenesis.
Toxicological defense mechanism and the shape of dose response Relat Enviro Health Persp 106: 01
Kohrar SP, Rossel JB. 1990. Detections, estimations and evaluations of
antioxidants in food sistems. Di dalam Hudson JBF, editor. Food Science. Elsevier App Sci. London
Krinsky NI.1992. Mechanism of action biological antioxidant. Soc Exper Medic.
Boston Kris-Ethon, Keen. 2002. Action of carotenoids in biological systems. Annu Rev
Nutr (13) Kusumaningtyas, R. 2007. Pengaruh konsumsi minuman bubuk kakao lindak
bebas lemak terhadap profil darah manusia. [tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Krovat BC, Tracy JH, Omiecinski CJ. 2000. Finger printing of cytochrome P-450
and microsomal epoxide hydrolase. Toxicl Sci. 55: 352-360 Langseth, L. 2000. Antioxidant and their effect on health. Di dalam: Schmidl MK,
Labuza TP, Editor. Essentials of functional foods. USA: Aspen Publisher Inc. Maryland. Hal 303-317
Lautraite S, Musonda AC, Doehmer J, Edwards GO, Chipman JK. 2002.
Flavonoids inhibit genetic toxicity produced by carcinogens in cells expressing cyp1a2 and cyp1a1. J Mutagen 17 (1): 45-53
Lazarus SA, Adamsons GE, Hammerstone JF, Schmitz HN. 1999. High
performance liquid chromatography/ mass spectrometry analysis of proanthocyanidins in foods and beverages. J Agric Food Chem: 47: 3693-3701
Lechninger. 1993. Dasar-dasar biokimia terjemahan Maggy Thenawijaya.
Penerbit Airlangga. Jakarta Lee KW, Kim YJ, Lee HJ, Lee CY. 2003. Cocoa has more phenolic
phytochemical and a higher antioxidant capacity than teas and red wine. J Agric Food Chem 51: 7292-7295
Lotito SB, Actis goretta L, Renart ML. 2000. Influence of oligomers chain length on the antioxidants activity of procyanidins. Biochems Biophys Res Commun 276: 945-51
Lowry, O. H, NJ Rosebrough, Farr RJ, Randall. 1951. Protein measurement with a
the folin ohenol reagent. J Bio Chem. 193: 265-275 Lu, Frank C. 1995. Toksikologi dasar. Penerjemah: Edi N. Edisi ke-2. Penerbit
Universitas Indonesia. Jakarta Lu, FC. 1991. Basic toxicology: fundamentals, target organs and risk assesment.
Hemispher Publ Coo. Penerjemah: Edi Nugroho. UI Press. Jakarta Martono S, Supardjan. 2002. Pengaruh obat-obat antiinflamasi pada aktivitas
enzim glutation S-transferase kelas mu an pi. Laporan Penelitian Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta
Mathur S, Sridevi D, Scott M, Jialal I. 2002. Cocoa product decrease low density
lipoprotein oxidative susceptibility but do not biomarkers of inflammation human. J Nutr (132); 3663-3667
Mao T, Powell J, Van de water. 2000. Effect of pyrocianidins secretions on
endhotelium dependent relaxtions. J Med Food (3); 107-114 Mao TK, Powell JJ, Van de water J. 2000. The Effects of cocoa procyanidins on
the transcription and secretion of interlukin 1 beta in peripheral bloods mononuclear cell. Life Science 66; 1377-86
Mc Cord JM dan Fridovich 1969. The utility of SOD in studying free radical
reactions. J Biol Chem 244: 6056 Meskin MS, Bidlack WR, Davies AJ, Lewis DS, Randolph RK. 2004.
Phytochemicals (mechanism of actions). CRC Press. Washington DC Middleton, JR, Chitan K dan Theoharis CT. 2000. The effects of plant flavonoids
on mammalian cells: implications for inflammation, heart disease, and cancer. Pharmacol Rev 52:673-751
Miean KH, Mohammed S. 2001. Flavonoid myricetin, quercetin, kaemperol)
conten of edible tropical plants. J Agr Food Chem 49: 3106-3112 Misnawai, Selamat J, Jamilah B, Nazamid S. 2002. Activations of remaining key
enzymes in dried under fermented cocoa beans and its effect on aroma precursors formation. J Food Chem 78: 407-417
Misra, Fridovich. 1976. SOD and the oxygen enhancement of radiations lethality. Arch Biochem Biophys 176: 577
Murray Robert. K, Darly K, Granner, Peter A. Mayes, Victor WR. 1999. Biokimia
Harper. Diterjemahkan Oleh: Andry H, Alexander H Santoso. Penerbit Buku Kedokteran. EGCG
Mulder TPJ, Cort DA, Peters WHM. 1999. Variability of glutathione S-
transferase in human liver and plasma. J Clin Chem 45. 3:355-359. Murphy KJ, Kronopoulus AK, Singh I, Francis MA, Moriarty H, Pike MJ, Turner
AH, Mann NJ dan Siclair AJ. 2003. Dietary flavanols and procyanidin oligomers from cocoa (theobroma cacao) inhibit platelet function. Am J Clin Nut 77: 1466-73
Nabet BF. 1996. Zat gizi antioksidan penangkal senyawa radikal pangan dalam
sistem biologis di dalam: Zakaria FR, editor. Prosiding seminar senyawa radikal dan sistem pangan: reaksi biomolekuler, dampak terhadap kesehatan dan penangkalan. Pusat Studi Pangan dan Gizi IPB dan Kedutaan Besar Prancis Jakarta. Bogor
Nakatani. 1997. Antioxidant from spices and herbs. Di dalam: Shahidi F, editor.
Natural antioxidants: chemistry, health effects and applications. Champaign, Illinois: AOAC Press.
(NCCAM) National center for complementary and alternative medicine. 2004.
Green tea (Camellia Sinensis) extract does not alter cytochrome P450 3a4 Or 2d6 activity in healthy volunteers (komunikasi singkat). Drug Metab Dispos 32(9): 906-908
(NCCAM) National Center for Complementary and Alternative Medicine. 2005.
Lack of evidence for induction of cyp2b1, cyp3a23, and cyp1a2 gene expression by panax ginseng and panax quinquefolius extracts in adult rats and primary cultures of rat hepatocytes (komunikasi singkat). Drug Metab Dispos 33 (1): 19-22
Nugrahenny D. 2003. Pengaruh seduhan teh cincau hijau terhadap kadar sitokrom
P-450 dan aktivitas glutation s-transferase dari hati tikus. Departemen Ilmu Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor. Bogor
Nurahman. 1998. Pengaruh konsumsi sari jahe terhadap perlindungan limfosit dari
stres oksidatif pada mahasiswa pondok pesantren Ulil Al-Baab di Bogor. [tesis]. Program Pascasarjana IPB. Bogor
Obach RS. 2000. Inhibition of human cytochrome P450 enzymes by constituents of St. Johns wort, an herbal preparation used in the treatment of depression. J Pharm Exper Therap 294 (1): 88-95
Omura T, Sato R. 1964. The carbon monoxide binding pigment of liver
microsomes, evidence for it hemoproteins nature. J Bio Chem 239 (7): 2370-2378
Osman HR, R Nasarudid, SS Lee. 2003. Extracts of cocoa (theobroma l cacao)
leaves and their antioxidant potentials. J Food Chem (86): 41-46 Palloza P, Robbins RS, Seis H. 2000. Cantaxanthin suplement alters antioxidant
enzyme and iron concentration in liver on balb mice. American Society for Nutritional Science
Palmer HJ, Paulson KE. 1997. Reactive oxygen spesies and antioxidants in signal
transduction and gene expression. Nutr Rev 55 (10) : 353-361 Papas AM. 1999. Determinant of antioxidant in humans. Di dalam: Papas AM,
Editor. antioxidant status, diet, nutritions and health. CRC Press. USA. Hal: 21-33
Pasternak K, Hordyjewska, Borzecki A. 2005. The influence of chosen low
moleculer mass antioxidant on the activities of superoksida dismutase (SOD) and glutathione peroksidase (GPx) in rats tissue. University of Lubin. Poland
Peltola V, Mantyla E, Huhtamniemi I, Ahotupa M. 1994. Lipid peroxidation and
antioxidant enzyme activities in the rat testis after cigarette smoke inhalation or administration of polychiorinated biphenyls or polychlorinated naphthalenes. J Androl 5 (4)
Puspita-Nienaber NL, Fardiaz D, Sumardi M. 1992. Selection of natural
antioxidant from spices. Di dalam: Oei BL, Buchanan A, Fardiaz D, editor. Development of food science and technology in Southeast Asia. IPB Press, Bogor
Qin YZ, Derek D, Schramm, Heidrun B, Grooss. 2005. Influence of cocoa
flavanols and procyanidins on free radical in human erythrocite hemolysis. Clinic & Devl Imunol 12 (1): 27-34
Raucy JL, Schult ED, Wester, Arora S, Johnston, Omdahl, Carpenster S. 1997.
Human lympocyte cytochrome P450 2E1, A putative marker for alcohol mediated changes in hepatic chloroxazone activity. J Drug Met & Disp 25 (12)
Rasal VP, Shetty B, Sinnathambi A, Yeshmaina S, Ashok P. 2006. Antihyperglycaemic and antioxidant activity of brassica oleracea in streptozotocin diabetic rats. J Pharm 4 (2)
Rein D, Paglioroni TG, Person DA. 2000. Cocoa and wine polyphenol modulate
platelet activations and functions. J Nutr 130: 2120-6S Rein D, Paglioreny TG, Wun T, Pearson DA. 2000. Cocoa inhibits platelet
activations and functions. Am J Clin Nutr 72 (1); 30-35 Rice-Evans CA, Diplock AT, Symons MCR. 1991. Technique in free radical
research. Elsivier Amsterdam. London Roit LM. 1991. Essential immunology. Hongkong. Blackwell Scientific
Publications. Dan Hua Printing Cross LTD. Hlm: 78-82 Sanbongi C, Osakabe N, Natsume M, Takizawa T, Gomi S, Osawa T. 1998.
Antioxidative polyphenols isolated from theobroma cacao. J Agric Food Chem 46: 452-457
Schramm DD, Wang JF, Holt RR. 2001. Chocholate pyrocianidins decrease the
leukotrine prostacyclin ratio in human and human aortic endothelial cells. Am J Clin Nutr 73: 36-40
Schuler P. 1990. Natural antioxidants exploited commercial. Di dalam Hudson
JBF, Editor. Food Science. Elsevier App Sci. London Schmidl MK, Labuza TP. 2000. Essenstials of functional foods. Gaithesburg,
Maryland. Aspen Publisher, Inc Setyawan AF. 2006. Pengaruh minuman seduhan bubuk bunga knop terhadap
aktivitas enzim-enzim detoksifikasi pada hati tikus. Departemen Ilmu Teknologi Pangan. Institut Pertanian Bogor.
Semiz A dan Sen A. 2007. Antioxidant and chemoprotective properties of
momordica charantia l. (bitter melon) fruit extract. Afr J Biotech 6 (03): 273-277
Shahidi F, editor. 1997. Natural antioxidant. AOAC Press. Illionis Siregar THS, Riyadi S, Nuraeni L. 2007. Pembudidayaan, pengolahan dan
pemasaran cokelat. Cetakan ke-19. Jakarta: PT. Penebar Swadaya. Sozmen B, Kazaz B, Taskiran D, Aslan L, Akyol A, Sozmen EY. 1998. Plasma
antioxidant satus and nitrate levels in patients with hypertension and caronory heart disease. J Medic Scie 28: 525-531
Supari F. 1996. Radikal bebas dan fatofisiologis beberapa penyakit. Di dalam: Zakaria FR, Editor. Prosiding seminar senyawa radikal dan sistem pangan: reaksi biomolekuler, dampak terhadap kesehatan dan penangkalan. Pusat Studi Pangan dan Gizi IPB dan Kedutaan Besar Prancis Jakarta. Bogor
Sztanke M, Pasternak K. 2005. Antioxidant activities in patients after
gastrointestinal tract suegery. University in Lubin. Poland Tejasari. 2000. Efek proteksi komponen bioaktif oleorosin rimpang jahe (zingiber
officinale roscoe) terhadap fungsi limfosit secara invitro. [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor
Uhl M. 2002. Effect of chrysin, a flavonoid compound, on the mutagenic activity
of 2-amino-1-methyl-6-phenylimidazo[4,5- B] pyridine (phip) and benzo(a) pyrene (B(A)P) in bacterial and human hepatoma (Hepg2) cells. J Biomed Life Sci 77 (8): 477-484
Vinson J A, Proch J & Zubict JL. 1999. Phenol antioxidant quality and quantity of
food. J Agri Food Chem 47: 4821-4824 Weisburger JH. 2001. Chemopreventive effects of cocoa polyphenols on chronic
disease. Minirev Americ Health Found. New York Winarno. 1997. Kimia makanan. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta WIPO (World Intellectual Property Organization). 2001. WO/2001/093690: An
improved method for extracting cocoa procyanidins http://www.wipo.int. WIPO (World Intellectual Property Organization). 2001. (WO/2001/045726) The
use of procyanidins in the modulation of cytokine gene expression and protein secretion. http://www.wipo.int
Wollgast J dan Anklam E. 2000. Polyphenols in chocolate: is there a contribution
to human health? J Food Resc International 33: 449-459. Yuliatmoko, W. 2007. Efek konsumsi minuman bubuk kakao lindak bebas lemak
terhadap aktivitas antioksidan dan bioavailabilitas flavonoid plasma manusia. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Zaden, Zhang Y, Young IS. 1995. The oxidative inactivation of mitochondrial
electron transport chain component. J Biol chem Zairisman SZ. 2006. Potensi imunomodulator bubuk kakao bebas lemak sebagai
produk substandar secara invitro pada sel limfosit manusia. [Skripsi]. Jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan Gizi IPB. Bogor
Zakaria-Rungkat F, Septiana AT, Sulistiyani. 2001. Ginger (Zingiber officinale Roescoe) extracts increase human LDL resistance to oxidation and prevent cholesterol accumulation in macrophage. Abstrac presented at the Second Intl Symp on Natural Antioxidant: molecular mechanism and health affects, Beijing, China.
Zakaria FR. 1996. Synthesis of radical and electrophile compounds in and by
food compounds. In radical compounds and food system: biomolecular reaction, effects on health and prevention. Zakaria FR, Dewanti R, Yasni S, eds. CFNS, IPB, Bogor, Indonesia.
Zakaria FR, Abidin Z, Pramudya, SM, Sanjaya. 1996. Kadar malonaldehida dan
zat gizi antioksidan plasma pada populasi remaja rentan pencemaran makanan. Bul Teknol Industri Pangan 7(3):56-64
Zakaria FR. 2001. Pangan dan pencegahan kanker. J Teknologi Industri Pangan
07 (12) Zakaria FR, Nurrahman, Prangdimurti E, Tejasari. 2003. Antioxidant and
immunoenhancement activities of ginger (zingiber officinale roscoe) extracts and compounds invitro and invivo mouse and human sistem. Nutrac Food. 8(1): 96-104
Zao J dan Agrawall R. 1999. Tissue distribution of silibinin, the major active
constituent of silymarin in mice and its association with enhancement of phase II enzyme: implication in cancer chemoprevention. J Carcino 20: 2101-2108
Zhai S, Dai R, Friedman FK, Vestal RE. 1998. comparative inhibition of human
cytochromes P450 1a1 and 1a2 by flavonoids. J Drug Metab Disp 26 (10): 989-992
Zhu QY , Holt RR, Lazarus SA, Orozco TJ, Keen CL. 2002. Inhibitory effects of
cocoa flavanols and procyanidin oligomers on free radical-induced erythrocyte hemolysis. Exp Biol Med 227(5): 321-329
Zitouni K, Zadeh JN, Harry D, Kerry SM, Betteridge DJ, Cappucino FP, Earle
KA. 20005. Race specifics differences in antioxidant enzyme activity in patients with type 2 diabetes. Diabetes Care 28: 17.
L A M P I R A N
Lampiran 1
INFORMED CONCERN PERNYATAAN KESEDIAAN MENJADI RESPONDEN
PENELITIAN Saya yang bertanda tangan dibawah ini Nama : Jenis Kelamin : Tempat/Tanggal Lahir : Pekerjaan : Alamat : Telpon :
Menyatakan dalam keadaan sehat dan bersedia menjadi responden pada penelitian konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak untuk kesehatan dan bersedia mematuhi aturan yang diberitahukan. Kesediaan ini saya buat setelah mendapat penjelasan dari peneliti sebagai berikut: 1. Bersedia minum minuman bubuk kakao bebas lemak yang diberi sedikit gula
dan sedikit susu bubuk skim setiap pagi hari selama 25 hari 2. Bersedia diperiksa kesehatannya selama 2 kali yaitu sebelum dan setelah
pelaksanaan intervensi oleh petugas kesehatan yang berwenang 3. Bersedia diambil darahnya selama dua kali yaitu sebelum dan setelah
pelaksanaan intervensi oleh petugas kesehatan yang berwenang 4. Bersedia makan menu makanan yang disediakan oleh peneliti saat sarapan
pagi dan makan malam setiap hari selama satu bulan 5. Bersedia ikut diskusi tentang kebiasaan makan, kesehatan selama intervensi
berlangsung.
Semua penjelasan diatas sudah saya pahami dan mengerti sehingga saya mengerti tujuan minum minuman bubuk kakao bebas lemak untuk meningkatkan kesehatan. Dengan demikian ada kesepahaman antara responden dan peneliti tentang manfaat minum minuman bubuk kakao bebas lemak.
Demikian Surat pernyataan ini saya buat, semoga dapat dipergunakan seperlunya. Bogor, Juli 2006 Peneliti Responden, ( ) ( )
Lampiran 2
KUISIONER KESEHATAN FISIK, POLA MAKAN DAN KEBIASAAN KONSUMSI MAKANAN JAJANAN
A. Identitas Responden
1. Nama : 2. Jenis Kelamin : 3. Tempat/Tanggal lahir: 4. Alamat :
B. Keadaan sosial ekonomi keluarga
1. Pendapatan a. Orang tua : Rp.........................................../bulan b. Beasiswa : Rp.........................................../bulan c. Lain-lain : Rp.........................................../bulan
Total : Rp.........................................../bulan
2. Pengeluaran b. Makanan utama : Rp.........................................../bulan c. Jajanan : Rp.........................................../bulan d. Non Makanan : Rp.........................................../bulan
Total : Rp.........................................../bulan C. Antropometri
1. Berat badan : ...........................................Kg 2. Tinggi badan : ...........................................Cm 3. Lingkaran lengan atas : ...........................................Cm 4. Skinfoid tickness : ...........................................Mm
D. Pemeriksaan klinis
1. Keadaan umum a. Pulse rate : ............................................kali b. Respiratory rate : ……………………………kali c. Blood pressure : ……………………………mmhg d. Temperature : …………………………….Celcius
2. Mata
a. Normal b. Anemic conjunctiva c. Icteric sclera d. Conjuctivitis e. Lain-lain : ............................................
3. Telinga a. Normal b. Otitis c. Ear discharge d. Lain-lain : ..............................................
4. Mulut
a. Normal b. Angular stomatitis c. Cheilosisi d. Tonsilitis e. Pharingitis f. Gums swollen or bleeding g. Lain-lain : ………………………………
5. Gigi
a. Normal b. Carries teeth c. Lain-lain : ……………………………….
6. Leher
a. Normal b. Swolen thyroid gland c. Abnormal tissue d. Lain-lain : ………………………………..
7. Kulit
a. Normal b. Pellagrous c. Edema d. Ulcers e. Hemorrhagia f. Infections (allergic, fungal, bacterial, scabies) g. Lain-lain : ………………………………..
8. Kuku
a. Normal b. Pallor of bed c. Lain-lain : …………………………………
9. Abdominal exam
a. Normal b. Sign off acute abdomen c. Abdominal mass d. Hepatomegaly: : Grade…………………………... e. Spelenomegaly : Grade…………………………...
f. Ascites g. Flank pain h. Kidney mass i. Lain-lain : ……………………………….
10. Heart exam
a. Normal b. Murmur c. Gallop d. Congonital e. Lain-lain : ………………………………
11. Ches exam
a. Normal b. Ronchi c. Wheezing d. Slime/mucus e. Lain-lain : ……………………………….
12. CNS
a. Normal b. Anasthesia c. Abnormal gait d. Pathology reflexes e. Lain-lain : ……………………………….
13. Skeleton
a. Normal b. Deformity c. Bony Swellings d. Sign of rickets e. Lain-lain : ……………………………….
14. Other
a. …………………………………. b. …………………………………. c. …………………………………. d. ………………………………….
15. Conclusion
a. …………………………………. b. …………………………………. c. …………………………………. d. ………………………………….
E. Riwayat Kesehatan 1. Pernah sakit 1 tahun terakhir
a. Pernah b. Tidak
2. Kalau pernah
b. Jenis penyakit : ........................................ c. Kapan : ........................................ d. Berapa Lama : ........................................
3. Pengobatan yang dilakukan
b. Dokter praktek c. Rumah sakit/Puskesmas d. Mantri kesehatan e. Obat-obatan bebas f. Lain-lain : ..........................................
4. Saat ini menderita sakit
a. Ya b. Tidak
5. Kalau ya, jenis penyakit: ................................................
6. Pengobatan yang dilakukan
a. Dokter praktek b. Rumah sakit/puskesmas c. Mantri kesehatan d. Obat-obatan bebas e. Lain-lain : .............................................
F. Kebiasaan makan
1. Frekuensi makan dalam sehari a. Sekali b. Dua kali c. Tiga kali d. Empat kali
2. Kebiasaan sarapan pagi
a. Ya, setiap hari b. Kadang-kadang c. Tidak pernah
3. Bila ya atau kadang-kadang, jenisnya
a. Makanan Lengkap : ................................................... b. Makanan Kecil : ................................................... c. Minuman : ...................................................
d. Lain-lain : ...................................................
4. Kebiasaan makanan selingan a. Ya b. Kadang-kadang c. Tidak pernah
5. Jelaskan mengenai kebiasaan makan anda
Waktu makan
Jenis makanan
Asal makanan Dibuat sendiri Dibeli Diberi
Pagi Tengah hari Siang Sore Malam
G. Kebiasaan konsumsi makanan jajanan
1. Apakah anda biasa mengkonsumsi makanan jajanan a. Ya b. Tidak
2. Apabila ya, sebutkan frekuensinya
a. Lebih dari sekali sehari b. 5-7 kali seminggu c. 3-4 kali seminggu d. 1-2 kali seminggu e. 1-2 kali seminggu
3. Bagaimana pendapat anda mengenai jenis makanan jajanan yang baik ?
(bisa lebih dari satu) a. Mengenyangkan b. Bergizi c. Harganya mahal d. Rasanya enak e. Penampilan menarik f. Bersih dan aman g. Lain-lain: ......................................
4. Bagaimana pendapat anda mengenai makanan jajanan dan minuman
yang dijual dipinggir jalan, terminal, dsb? a. Tidak baik b. Baik c. Sama saja d. Tidak tahu Apakah anda membelinya?
a. Tetap membeli b. Sering c. Kadang-kadang d. Tidak pernah
5. Bagaimana pendapat anda mengenai makanan jajanan dan minuman yang
disajikan tidak tertutup a. Tidak baik b. Baik c. Sama saja d. Tidak tahu
Apakah anda membelinya? a. Tetap membeli b. Sering c. Kadang-kadang d. Tidak pernah
6. Bagaimana pendapat anda mengenai tempat jualan makanan yang dekat
dengan tempat sampah/kotor? a. Tidak baik b. Baik c. Sama saja d. Tidak tahu
Apakah anda membelinya? a. Tetap membeli b. Sering c. Kadang-kadang d. Tidak pernah
7. Bagaimana pendapat anda mengenai peralatan makan dan minum yang
tidak bersih? a. Tidak baik b. Baik c. Sama saja d. Tidak tahu
Apakah anda membelinya? a. Tetap membeli b. Sering c. Kadang-kadang d. Tidak pernah
8. Bagaimana pendapat anda mengenai air pencuci peralatan
makan/minum yang dipakai berkali-kali?
a. Tidak baik b. Baik c. Sama saja d. Tidak tahu
Apakah anda membelinya? a. Tetap membeli b. Sering c. Kadang-kadang d. Tidak pernah 9. Bagaimana pendapat anda mengenai lap pengering/lap tangan yang
sama sehingga kotor? a. Tidak baik b. Baik c. Sama saja d. Tidak tahu
Apakah anda membelinya? a. Tetap membeli b. Sering c. Kadang-kadang d. Tidak pernah
10. Bagai mana pendapat anda mengenai makanan jajanan yang
dibungkus kertas koran/sejenisnya? a. Tidak baik b. Baik c. Sama saja d. Tidak tahu
Apakah anda membelinya? a. Tetap membeli b. Sering c. Kadang-kadang d. Tidak pernah
11. Bagaimana pendapat anda mengenai makanan/minuman yang
memakai zat pewarna? a. Tidak baik b. Baik c. Sama saja d. Tidak tahu
12. Jenis-jenis makanan jajanan yang biasa dibeli
Jenis dan Nama Makanan/minuman
Frekuensi Tempat Beli
Jenis bungkus
Jumlah Harga
Makanan lengkap Nasi goreng telur Nasi rames Nasi uduk Nasi soto ayam/dg Indomie rebus Mie ayam Mie bakso Bubur ayam Bihun goreng Siomai Lontong sayur Sate ayam Kupat tahu Gado-gado Togr goreng Pecel
Lauk pauk
Dging sapi goreng Sate ayam/kambing
Ayam goreng Ati/ampela ayam Ikan kembung goreng
Ikan bakar Ayam Bakar Telur ayam rebus Telur ayam goreng
Makanan kecil/snack
Roti manis Donat Kue pia Biskuit Kue mangkok Kue nagasari Kue putu Buras Ketan urap Bubur kacang ijo
Pisang goreng Pisang molen Risoles Ubi goreng Tempe goreng Tahu Goreng Bakwan Kroket Batagor Comro Singkong goreng Perkedel kentang Pilus Kue tambang Kacang atom Rempeyek Kacang
Kerupuk Rujak Coklat manis batang
Agar-agar Buah-buahan
Jeruk manis Salak Pisang Mangga Apel Pear Duku
Minuman
Es teler Es krim Es sirup Es mambo Soft drink Es cendol Juice alpukat Juice jeruk Es doger Teh manis Teh botol/kotak Sari buah kotak
Kopi Bajigur Sekoteng Bir/minuman keras
Lain-lain: .............................. .............................. .............................. .............................. ..............................
Rokok Jamu gendong Jamu kemasan
Catatan 1. Frekuensi
a. Sekali sehari b. 5-7 kali seminggu c. 3-4 kali seminggu d. 1-2 kali seminggu e. 2 minggu sekali f. Jarang g. Tidak pernah
2. Tempat pembelian
a. Toko besar/restoran b. Pasar tradisional c. Toko kecil/kantin d. Kios/warung e. Pedang menetap f. Pedagang keliling g. Lain-lain
3. Jenis pembungkus
a. Polietilen b. Kertas lapis plastik c. Daun pisang d. Kertas bekas e. Kertas koran f. Alat makan/minum
13. Dasar pertimbangan yang digunakan dalam memilih jenis makanan jajanan tersebut (bisa lebih dari satu) a. Mengenyangkan
b. Bergizi c. Harganya murah d. Rasanya enak e. Penampilan menarik f. Bersih dan aman g. Kebiasaan h. Lain-lain:..........................................
Lampiran 3
DATA-DATA HASIL PENELITIAN
A. DATA HASIL PENGUKURAN AKTIVITAS ENZIM ANTIOKSIDAN KATALASE PADA ERITROSIT
KELOMPOK PERLAKUAN
RESPONDEN Sebelum Intervensi (U/ Mg protein)
Setelah Intervensi (U/ Mg protein)
P1 553.846 607.079 P2 521.941 565.855 P3 522.837 555.997 P4 533.592 589.156 P5 517.46 590.052 P6 520.149 581.09 P7 594.533 601.702 P8 521.045 582.882 P9 567.647 583.778
KELOMPOK KONTROL
RESPONDEN Sebelum Intervensi(U/ Mg protein)
Setelah Intervensi (U/ Mg protein)
K1 525.514 571.2322 K2 517.288 521.045 K3 544.706 547.035 K4 589.489 598.117 K6 516.374 500.433 K7 553.846 592.74 K8 594.973 596.325 K9 541.051 548.969
KURVA STANDAR H 2 O 2 PENGUKURAN KATALASE ERITROSIT
A. Sebelum Intervensi B. Setelah Intervensi
KURVA STANDAR
y = 6.7525x + 0.0274R2 = 0.9928
0
0.20.4
0.6
0.81
1.2
0 0.05 0.1 0.15 0.2
Konsentrasi
Abso
rban
si
Kurva Standar H2O2
y = 6.505x + 0.009R2 = 0.9986
0
0.20.4
0.6
0.81
1.2
0 0.05 0.1 0.15 0.2
Konsentrasi H2O2 (M)
Abs
orba
nsi
B. DATA HASIL PENGUKURAN AKTIVITAS ENZIM ANTIOKSIDAN KATALASE PADA PLASMA
KELOMPOK PERLAKUAN
RESPONDEN Sebelum Intervensi(U/ Mg protein)
Setelah Intervensi (U/ Mg protein)
P1 553.846 607.079 P2 521.941 565.855 P3 522.837 555.997 P4 533.592 589.156P5 517.46 590.052 P6 520.149 581.09 P7 594.533 601.702 P8 521.045 582.882 P9 567.647 583.778
KELOMPOK KONTROL
RESPONDEN Sebelum Intervensi(U/ Mg protein)
Setelah Intervensi (U/ Mg protein)
K1 525.514 571.2322 K2 517.288 521.045 K3 544.706 547.035 K4 589.489 598.117 K6 516.374 500.433 K7 553.846 592.74 K8 594.973 596.325 K9 541.051 548.969
KURVA STANDAR H 2 O 2 PENGUKURAN KATALASE PLASMA
A. Sebelum Intervensi B. Setelah Intervensi
KURVA STANDAR
y = 6.565x + 0.051R2 = 0.9844
0
0.20.4
0.6
0.81
1.2
0 0.05 0.1 0.15 0.2
Konsentrasi
Abs
orba
nsi
KURVA STANDAR
y = 6.695x + 0.0234R2 = 0.9949
0
0.20.4
0.6
0.81
1.2
0 0.05 0.1 0.15 0.2
Konsentrasi
Abs
orba
nsi
C. DATA HASIL PENGUKURAN KADAR SITOKROM ERITROSIT
PERLAKUAN
RESPONDEN Sebelum Intervensi(nmol/ mg protein)
Setelah Intervensi (nmol/ mg protein)
P1 5.3278 1.322 P2 4.8076 1.1384 P3 4.9016 1.2466 P4 5.4747 1.0851 P5 5.7727 1.9188 P6 5.8021 1.8766 P7 5.9564 2.4714 P8 5.5189 1.676 P9 5.2805 1.536
KONTROL
RESPONDEN Sebelum Intervensi(nmol/ mg protein)
Setelah Intervensi (nmol/ mg protein)
K1 5.214017846 4.229574402 K2 5.15940905 4.11398 K3 2.810513402 2.321165321 K4 5.008210296 4.262235208 K6 2.948535909 2.858659263 K7 6.149783371 4.131089509 K8 5.662763073 4.903053866 K9 5.574344656 4.934914506
KURVA STANDAR PROTEIN KADAR SITOKROM PADA ERITROSIT
A. Sebelum Intervensi B. Setelah Intervensi
KURVA STANDAR PROTEIN
y = 0.9072x + 0.0653R2 = 0.9786
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2
Konsentrasi (mg/ml)
Abso
rban
si
KURVA STANDAR PROTEIN
y = 0.7002x - 0.0428R2 = 0.9631
00.10.20.30.40.50.60.70.8
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2
Konsentrasi (mg/ml)
Abso
rban
si
D. DATA HASIL PENGUKURAN KADAR SITOKROM PADA PLASMA
PERLAKUAN
RESPONDEN Sebelum Intervensi(nmol/ mg protein)
Setelah Intervensi (nmol/ mg protein)
P1 2.1816 0.7505 P2 2.2061 0.6416 P3 1.9544 0.9266 P4 1.6678 0.5226 P5 1.6996 0.7928 P6 1.9188 0.7132 P7 3.1612 0.8485 P8 2.4131 1.0065 P9 1.7428 0.8496
KONTROL
RESPONDEN Sebelum Intervensi(nmol/ mg protein)
Setelah Intervensi (nmol/ mg protein)
K1 1.8097 1.5897 K2 1.8341 1.5136 K3 2.2248 1.7892 K4 3.9565 3.1973 K6 1.4999 1.1084 K7 1.7477 1.0583 K8 1.8811 1.3932 K9 1.8455 1.2555
KURVA STANDAR PROTEIN KADAR SITOKROM PADA PLASMA
A. Sebelum Intervensi B. Setelah Intervensi
KURVA STANDAR PROTEIN
y = 0.9906x + 0.1042R2 = 0.9913
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2
Konsentrasi (mg/ml)
Abso
rban
si
KURVA STANDAR PROTEIN
y = 0.9235x + 0.1027R2 = 0.9778
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2
Konsentrasi (mg/ml)
Abs
orba
nsi
E. DATA HASIL PENGUKURAN AKTIVITAS GLUTATION S-TRANSFERASE (GST) PADA ERITROSIT
PERLAKUAN
RESPONDEN Sebelum Intervensi(nmol/ min/ mg protein)
Setelah Intervensi (nmol/ min/ mg protein)
P1 0.095 0.239 P2 0.079 0.259 P3 0.083 0.181 P4 0.095 0.15 P5 0.076 0.179 P6 0.081 0.247 P7 0.086 0.209 P8 0.077 0.208 P9 0.079 0.281
KONTROL
RESPONDEN Sebelum Intervensi(nmol/ min/ mg protein)
Setelah Intervensi (nmol/ min/ mg protein)
K1 0.076 0.123 K2 0.071 0.115 K3 0.089 0.108 K4 0.067 0.095 K6 0.092 0.108 K7 0.095 0.114 K8 0.087 0.117 K9 0.078 0.103
KURVA STANDAR PROTEIN GST PADA ERITROSIT
A. Sebelum Intervensi B. Setelah Intervensi
KURVA STANDAR PROTEIN
y = 0.904x + 0.1246R2 = 0.9616
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2
Konsentrasi (mg/ml)
Abs
orba
nsi
KURVA STANDAR PROTEIN
y = 0.9588x + 0.081R2 = 0.9946
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2
Konsentrasi (mg/ml)
Abs
orba
nsi
F. DATA HASIL PENGUKURAN AKTIVITAS GLUTATION S-TRANSFERASE (GST) PADA PLASMA
PERLAKUAN
RESPONDEN Sebelum Intervensi(nmol/ min/ mg protein)
Setelah Intervensi (nmol/ min/ mg protein)
P1 0.1367 0.31864 P2 0.1235 0.2783 P3 0.1285 0.3435 P4 0.1273 0.2776 P5 0.1289 0.303 P6 0.1423 0.2824 P7 0.1319 0.2851 P8 0.118 0.2692 P9 0.1225 0.2794
KONTROL
RESPONDEN Sebelum Intervensi(nmol/ min/ mg protein)
Setelah Intervensi (nmol/ mg/ mg protein)
K1 0.1319 0.1983 K2 0.1369 0.2061 K3 0.1476 0.1772 K4 0.1662 0.2048 K6 0.1157 0.1781 K7 0.1421 0.2009 K8 0.1561 0.2044 K9 0.1281 0.1818
KURVA STANDAR PROTEIN GST PADA PLASMA
A. Sebelum Intervensi B. Setelah Intervensi
A. Sebelum Intervensi B. Setelah Intervensi
KURVA STANDAR PROTEIN
y = 1.0066x + 0.1496R2 = 0.9941
00.20.40.60.8
11.21.4
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2
Konsentrasi (mg/ml)
Abs
orba
nsi
KURVA STANDAR PROTEIN
y = 1.0959x + 0.1373R2 = 0.9871
00.20.40.60.8
11.21.4
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2
Konsentrasi (mg/ml)
Abs
orba
nsi
Lampiran 4
TABULASI HASIL ANALISA STATISTIK DENGAN UJI T (t-Test)
NO PARAMETER RESPONDEN UJI STATISTIK 1. Aktivitas Sitokrom Eritrosit Kontrol Tidak berbeda nyata
Perlakuan Berbeda Nyata 2. Aktivitas Sitokrom Plasma Kontrol Tidak berbeda nyata
Perlakuan Berbeda Nyata 3. Aktivitas GST Eritrosit Kontrol Tidak berbeda nyata
Perlakuan Berbeda Nyata 4. Aktivitas GST Plasma Kontrol Tidak berbeda nyata
Perlakuan Berbeda Nyata 5. Aktivitas Katalase Eritrosit Kontrol Tidak berbeda nyata
Perlakuan Berbeda Nyata 6. Aktivitas Katalase Plasma Kontrol Tidak berbeda nyata
Perlakuan Berbeda Nyata
Lampiran 5
HASIL ANALISA DATA DENGAN UJI T (t-test) KATALASE ERITROSIT KELOMPOK KONTROL Two Sample T-Test and Confidence Interval Two sample T for SEBELUM vs SESUDAH N Mean StDev SE Mean Sebelum Interven 8 989.77 3.83 1.4 Setelah Interven 8 991.76 3.01 1.1 Difference = mu (Sebelum Intervensi) - mu (Setelah Intervensi) Estimate for difference: -1.99862 95% CI for difference: (-5.69171, 1.69446) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -1.16 P-Value = 0.265 DF = 14 Both use Pooled StDev = 3.4438
KATALASE ERITROSIT KELOMPOK PERLAKUAN Two Sample T-Test and Confidence Interval Two-sample T for Sebelum Intervensi_1 vs Setelah Intervensi_1 N Mean StDev SE Mean Sebelum Interven 9 999.64 6.40 2.1 Setelah Interven 9 1020.03 5.45 1.8 Difference = mu (Sebelum Intervensi_1) - mu (Setelah Intervensi_1) Estimate for difference: -20.3870 95% CI for difference: (-26.3248, -14.4492) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -7.28 P-Value = 0.000 DF = 16 Both use Pooled StDev = 5.9417
KATALASE PLASMA KONTROL Two Sample T-Test and Confidence Interval Two-sample T for Sebelum Intervensi_2 vs Setelah Intervensi_2 N Mean StDev SE Mean Sebelum Interven 8 547.9 30.4 11 Setelah Interven 8 559.5 36.5 13 Difference = mu (Sebelum Intervensi_2) - mu (Setelah Intervensi_2) Estimate for difference: -11.5819 95% CI for difference: (-47.6012, 24.4374) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -0.69 P-Value = 0.502 DF = 14 Both use Pooled StDev = 33.5878
KATALASE PLASMA PERLAKUAN Two Sample T-Test and Confidence Interval Two-sample T for Sebelum Intervensi_3 vs Setelah Intervensi_3 N Mean StDev SE Mean Sebelum Interven 9 539.2 27.0 9.0 Setelah Interven 9 584.2 15.9 5.3 Difference = mu (Sebelum Intervensi_3) - mu (Setelah Intervensi_3) Estimate for difference: -44.9490 95% CI for difference: (-67.1263, -22.7717) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -4.30 P-Value = 0.001 DF = 16 Both use Pooled StDev = 22.1921 KADAR SITOKROM ERITROSIT KELOMPOK KONTROL Two Sample T-Test and Confidence Interval Two sample T for SEBELUM vs SESUDAH N Mean StDev SE Mean SEBELUM 9 4.78 1.17 0.39 SESUDAH 9 3.53 1.58 0.53 95% CI for mu SEBELUM - mu SESUDAH: ( -0.15, 2.66) T-Test mu SEBELUM = mu SESUDAH (vs not =): T= 1.91 P=0.076 DF= 14
KADAR SITOKROM ERITROSIT KELOMPOK PERLAKUAN Two Sample T-Test and Confidence Interval Two sample T for SEBELUM1 vs SESUDAH1 N Mean StDev SE Mean SEBELUM1 9 5.427 0.394 0.13 SESUDAH1 9 1.586 0.451 0.15 95% CI for mu SEBELUM1 - mu SESUDAH1: ( 3.42, 4.27) T-Test mu SEBELUM1 = mu SESUDAH1 (vs not =): T= 19.25 P=0.0000 DF= 15
KADAR SITOKROM PLASMA KELOMPOK KONTROL Two Sample T-Test and Confidence Interval Two sample T for SEBELUM2 vs SESUDAH2 N Mean StDev SE Mean SEBELUM2 9 2.183 0.767 0.26 SESUDAH2 9 1.434 0.837 0.28 95% CI for mu SEBELUM2 - mu SESUDAH2: ( -0.06, 1.56) T-Test mu SEBELUM2 = mu SESUDAH2 (vs not =): T= 1.98 P=0.066 DF= 15 KADAR SITOKROM PLASMA KELOMPOK PERLAKUAN Two Sample T-Test and Confidence Interval
Two sample T for SEBELUM3 vs SESUDAH3 N Mean StDev SE Mean SEBELUM3 9 2.105 0.470 0.16 SESUDAH3 9 0.784 0.147 0.049 95% CI for mu SEBELUM3 - mu SESUDAH3: ( 0.95, 1.693) T-Test mu SEBELUM3 = mu SESUDAH3 (vs not =): T= 8.04 P=0.0000 DF= 9
GST PLASMA KELOMPOK KONTROL Two Sample T-Test and Confidence Interval Two sample T for SEBELUM4 vs SESUDAH4 N Mean StDev SE Mean SEBELUM4 9 0.1402 0.0151 0.0050 SESUDAH4 9 0.1724 0.0657 0.022 95% CI for mu SEBELUM4 - mu SESUDAH4: ( -0.0840, 0.020) T-Test mu SEBELUM4 = mu SESUDAH4 (vs not =): T= -1.43 P=0.19 DF= 8
GST PLASMA KELOMPOK PERLAKUAN Two Sample T-Test and Confidence Interval Two sample T for SEBELUM5 vs SESUDAH5 N Mean StDev SE Mean SEBELUM5 9 0.12884 0.00742 0.0025 SESUDAH5 9 0.2930 0.0242 0.0081 95% CI for mu SEBELUM5 - mu SESUDAH5: ( -0.1833, -0.1451) T-Test mu SEBELUM5 = mu SESUDAH5 (vs not =): T= -19.45 P=0.0000 DF= 9 GST ERITROSIT KELOMPOK KONTROL Two Sample T-Test and Confidence Interval Two sample T for SEBELUM6 vs SESUDAH6 N Mean StDev SE Mean SEBELUM6 9 0.04070 0.00492 0.0016 SESUDAH6 9 0.0490 0.0188 0.0063 95% CI for mu SEBELUM6 - mu SESUDAH6: ( -0.0230, 0.0064) T-Test mu SEBELUM6 = mu SESUDAH6 (vs not =):T= -1.28 P=0.23 DF= 9 GST ERITROSIT KELOMPOK PERLAKUAN Two Sample T-Test and Confidence Interval Two sample T for SEBELUM7 vs SESUDAH7 N Mean StDev SE Mean SEBELUM7 9 0.04171 0.00351 0.0012 SESUDAH7 9 0.1084 0.0212 0.0071
95% CI for mu SEBELUM7 - mu SESUDAH7: ( -0.0833, -0.0502) T-Test mu SEBELUM7 = mu SESUDAH7 (vs not =): T= -9.30 P=0.0000 DF= 8