Upload
others
View
10
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT PISANG, MANGGA
DAN DAUN MINT PADA FREKUENSI DEFEKASI DAN HISTOPATOLOGI
KOLON TIKUS WISTAR KONSTIPASI
SKRIPSI
Oleh:
ROFIQOH FAJARWATI
135100101111016
JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT PISANG, MANGGA
DAN DAUN MINT PADA FREKUENSI DEFEKASI DAN HISTOPATOLOGI
KOLON TIKUS WISTAR KONSTIPASI
Oleh:
ROFIQOH FAJARWATI
135100101111016
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Teknologi Pertanian
JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
i
LEMBAR PERSETUJUAN
Judul Skripsi : Pengaruh Konsumsi Effervescent Pektin Kulit Pisang,
Mangga, dan Daun Mint Pada Frekuensi Defekasi dan
Histopatologi Kolon Tikus Wistar Konstipasi
Nama : Rofiqoh Fajarwati
NIM : 135100101111016
Jurusan : Teknologi Hasil Pertanian
Fakultas : Teknologi Pertanian
Dosen Pembimbing I,
Dr. Ir. Tri Dewanti Widyaningsih, M. Kes. NIP 19610818 198703 2 001
Tanggal persetujuan:
ii
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Skripsi : Pengaruh Konsumsi Effervescent Pektin Kulit Pisang,
Mangga, dan Daun Mint Pada Frekuensi Defekasi dan
Histopatologi Kolon Tikus Wistar Konstipasi
Nama : Rofiqoh Fajarwati
NIM : 135100101111016
Jurusan : Teknologi Hasil Pertanian
Fakultas : Teknologi Pertanian
Dosen Penguji I, Dosen Penguji II,
Wenny Bekti S., STP, M. Food St., PhD. Erryana Martati, STP, MP, PhD. NIP 19820405 200801 2 015 NIP 19691126 199903 2 003
Dosen Pembimbing I,
Dr. Ir. Tri Dewanti Widyaningsih, M. Kes. NIP 19610818 198703 2 001
Ketua Jurusan,
Prof. Dr. Teti Estiasih, STP, MP. NIP 19701226 200212 2 001
Tanggal lulus TA:
iii
RIWAYAT HIDUP
Rofiqoh Fajarwati dilahirkan di Pasuruan pada tanggal
25 Desember 1994, yang merupakan anak pertama dari tiga
bersaudara dari pasangan Bapak Nuryasin dan Ibu Roidah.
Penulis dibesarkan di Sampang, Madura. Tahun 2001-2007
penulis mendapatkan pendidikan dasar di SDN
Gunongsekar 1 Sampang, lalu melanjutkan pendidikan
menengah pertama di SMPN 1 Sampang dan lulus pada
tahun 2010. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan menengah atas di SMAN
1 Sampang selama tiga tahun dan lulus pada tahun 2013. Selanjutnya penulis
melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi di Universitas Brawijaya, Fakultas
Teknologi Pertanian, Jurusan Teknologi Hasil Pertanian.
Pada masa pendidikannya, penulis aktif sebagai Asisten Praktikum
Penyuluhan dan Promosi Gizi Pangan serta mengikuti kegiatan kepanitiaan yaitu
sebagai anggota Divisi Pendamping dalam OPJH 2014. Penulis menyelesaikan
pendidikannya pada tahun 2017 dan mendapatkan gelar Sarjana Teknologi
Pertanian di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang.
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
Alhamdulillah Ya Allah…
Tak lupa ku mengucapkan rasa syukur ku padaMu
atas segala Rahmat yang ku terima.
Terima kasih ku ucapkan pada Ibu dan Bapakku serta kedua adikku
yang telah memberikan dukungan dan semangat padaku
untuk dapat menyelesaikan masa pendidikan ini dan meraih cita-citaku.
Terima kasih pula ku sampaikan pada guru dan teman-temanku
yang telah memberikan banyak pelajaran dalam hidup ini sehingga aku dapat
menjalankan kehidupan dengan mengerti arti kebersamaan.
Ku persembahkan karya kecil ini pada kalian yang ku sayangi.
v
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama Mahasiswa : Rofiqoh Fajarwati
NIM : 135100101111016
Jurusan : Teknologi Hasil Pertanian
Fakultas : Teknologi Pertanian
Judul Skripsi : Pengaruh Konsumsi Effervescent Pektin Kulit Pisang,
Mangga, dan Daun Mint Pada Frekuensi Defekasi dan
Histopatologi Kolon Tikus Wistar Konstipasi
Menyatakan bahwa,
Skripsi dengan judul di atas merupakan karya asli penulis serta Dr. Ir. Tri
Dewanti Widyaningsih, M. Kes., selaku dosen pembimbing. Apabila di kemudian
hari terbukti pernyataan ini tidak benar, saya bersedia dituntut sesuai hukum
yang berlaku.
Malang, Agustus 2017
Pembuat Pernyataan,
Rofiqoh Fajarwati NIM 135100101111016
vi
Rofiqoh Fajarwati. 135100101111016. Pengaruh Konsumsi Effervescent Pektin Kulit Pisang, Mangga, dan Daun Mint pada Frekuensi Defekasi dan Histopatologi Kolon Tikus Wistar Konstipasi. Skripsi. Pembimbing: Dr. Ir. Tri Dewanti Widyaningsih, M. Kes
RINGKASAN
Salah satu penyebab konstipasi adalah kurangnya asupan serat. Di samping
itu, diperlukan penanganan untuk memanfaatkan limbah kulit pisang yang mengandung senyawa pektin. Mangga memiliki kandungan serat pangan yang tinggi, sedangkan daun mint dapat memberikan efek dingin. Minuman serat dalam bentuk serbuk effervescent dapat menjadi solusi masalah konstipasi. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui formula, pengaruh dan dosis konsumsi serbuk effervescent pektin kulit pisang, mangga dan daun mint untuk menurunkan gejala konstipasi pada tikus wistar ditinjau dari frekuensi defekasi dan histopatologi kolon.
Penelitian ini dilakukan dengan tiga tahap. Tahap pertama yaitu ekstraksi pektin kulit pisang. Kemudian tahap kedua yaitu formulasi serbuk effervescent dengan tiga bahan baku yaitu pektin kulit pisang, mangga dan daun mint menggunakan Response Surface Methodology (RSM) rancangan Central Composite Design (CCD) untuk mendapatkan kadar serat pangan optimum. Selanjutnya formula yang didapatkan diolah menjadi serbuk effervescent. Tahap ketiga yaitu uji in vivo serbuk effervescent pada tikus wistar konstipasi menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 5 kelompok perlakuan. Jumlah tikus wistar yang digunakan adalah 30 ekor. Data dianalisis ragam (ANOVA) kemudian dilanjutkan dengan uji BNT 5%.
Formula dengan kadar serat pangan optimum ada pada proporsi bubuk pektin:bubuk mangga:bubuk daun mint masing-masing 40%:30%:25%. Karakteristik serbuk effervescent yang dihasilkan adalah sebagai berikut: kadar air 6,46%; kecepatan alir 11,73 g/detik; sudut diam 67,44o; waktu larut 105 detik; rehidrasi 9,04%; dan intensitas warna masing-masing L* 48,0; a* -0,06; b* 11,6. Setelah dilakukan uji in vivo diketahui bahwa perlakuan konsumsi serbuk effervescent memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah konsumsi pakan, volume minum, frekuensi defekasi (α=0,05) dan berpengaruh pada gambaran histopatologi kolon tikus. Kata kunci: Effervescent, Konstipasi, Serat Pangan
vii
Rofiqoh Fajarwati. 135100101111016. Effect Consumption of Effervescent Banana Peels Pectin, Mango and Mint Leaves on Frequency of Defecation and Histopathology of Colon Constipated Wistar Rats. Essay.
Supervisor: Dr. Ir. Tri Dewanti Widyaningsih, M. Kes
SUMMARY
One of the causes of constipation is lack of fiber intake. In addition, handling
is required to utilize banana peel waste containing pectin compounds. Mango has a high content of dietary fiber, while mint leaves can provide a cool effect. Beverage fiber in the form of effervescent powder can be a constipation problem solution. The purpose of this research is to know the best formulation, the influence and dose of effervescent pectin of banana peel, mango and mint leaves to decrease constipation symptoms in wistar rats in terms of frequency of defecation and histopathology of colon.
This research was conducted in three stages. The first stage is banana peel pectin extraction. Then the second stage is effervescent powder formulation with three raw materials of banana peel pectin, mango and mint leaves using Central Composite Design (CCD) on Response Surface Method (RSM) to get optimum fiber content. Furthermore, the formula obtained is processed into effervescent powder. The third stage is in vivo test of powder effervescent intake in constipation wistar rats using Completely Randomized Design (CRD) with 5 treatment groups. The number of wistar rats used was 30 tails. Data analysis of variance (ANOVA) then continued with 5% Least Significant Difference (LSD) test.
The formula with optimum fiber content is in the proportion of pectin powder: mango powder: mint leaf powder respectively 40%: 30%: 25%. Characteristics of effervescent powder produced are 6.46% moisture content; flow rate 11.73 g / sec; angle of repose 67.44o; 105 sec soluble time; rehydration 9.04%; and the color intensity of each L* 48.0; a* -0.06; b* 11.6. After being tested in vivo in mind that treatment effervescent powder consumption provides significant effect on the amount of feed intake, drinking volume, frequency of defecation (α = 0.05) and the effect on rat colonic histopathology picture.
Keywords: Effervescent, Constipation, Dietary Fiber
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT. yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Pengaruh
Konsumsi Effervescent Pektin Kulit Pisang, Mangga dan Daun Mint pada
Frekuensi Defekasi dan Histopatologi Kolon Tikus Wistar Konstipasi”.
Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mencapai gelar
Sarjana Teknologi Pertanian pada Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas
Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada:
1. Dr. Ir. Tri Dewanti Widyaningsih, M. Kes., selaku Dosen Pembimbing yang
telah memberikan bimbingan, arahan dan ilmu kepada penulis,
2. Dr. Teti Estiasih, STP, MP, selaku Ketua Jurusan Teknologi Hasil Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya,
3. Wenny Bekti S., STP, M. Food St., PhD., selaku Dosen Penguji I yang telah
berbagi ilmu kepada penulis,
4. Erryana Martati, STP, MP, PhD., selaku Dosen Penguji II yang telah berbagi
ilmu kepada penulis,
5. Kedua orang tua dan saudara yang memberikan do’a dan dukungan,
6. Nike Nurlaily Fitria, sebagai rekan penelitian yang telah berbagi ilmu dan
memberikan dukungan semangat,
7. Pak Bekti, Pak Agus, Bu Luluk sebagai laboran di THP yang membimbing
selama penelitian,
8. Teman-teman “TDWsquad”, penghuni Laboratorium Nutrisi Pangan, dan THP
2013 yang telah banyak membantu penelitian dan berjuang bersama,
9. Sahabatku Tika Yulia, Qori, Fida, Ikhtiar, Anin, Lia yang telah memotivasi
penulis selama menyelesaikan skripsi.
Menyadari adanya keterbatasan pengetahuan, referensi dan pengalaman,
penulis mengharapkan saran dan masukan untuk perbaikan skripsi ini. Demikian
harapan penyusun semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis, pembaca
maupun semua pihak yang membutuhkan.
Malang, Agustus 2017
Penulis
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN i
LEMBAR PENGESAHAN ii
RIWAYAT HIDUP iii
HALAMAN PERSEMBAHAN iv
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI v
RINGKASAN vi
SUMMARY vii
KATA PENGANTAR viii
DAFTAR ISI ix
DAFTAR TABEL xi
DAFTAR GAMBAR xii
DAFTAR LAMPIRAN xiii
I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Perumusan Masalah 3
1.3 Tujuan 3
1.4 Manfaat 3
1.5 Hipotesis 4
II TINJAUAN PUSTAKA 5
2.1 Pisang Agung Semeru 5
2.2 Kulit Pisang 7
2.3 Pektin 8
2.4 Mangga Podang 10
2.5 Tanaman Mint 11
2.6 Serbuk Effervescent 12
2.7 Serat Pangan 13
2.8 Konstipasi 15
2.9 Loperamid 16
2.10 Bahan Tambahan 17
2.11 Ekstraksi 19
2.12 Uji In Vivo 20
2.13 Defekasi 21
x
III METODE PENELITIAN 22
3.1 Tempat dan Waktu 22
3.2 Alat dan Bahan 22
3.3 Metode 23
3.4 Pelaksanaan 28
3.5 Analisis Data 30
3.6 Diagram Alir 31
IV HASIL DAN PEMBAHASAN 35
4.1 Karakteristik Bahan Baku 35
4.2 Karakteristik Pektin Hasil Ekstraksi 37
4.3 Formulasi Serbuk Effervescent 40
4.4 Karakteristik Serbuk Effervescent 48
4.5 Pengaruh Konsumsi Serbuk Effervescent pada Tikus Wistar
Konstipasi 51
V KESIMPULAN DAN SARAN 60
5.1 Kesimpulan 60
5.2 Saran 60
DAFTAR PUSTAKA 61
LAMPIRAN 70
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Karakteristik Buah Pisang Agung Semeru 6
Tabel 3.1 Rancangan Formulasi Serbuk Effervescent 24
Tabel 3.2 Kandungan Pakan Susu Pap 27
Tabel 4.1 Rerata Karakteristik Bahan Baku 35
Tabel 4.2 Rerata Karakteristik Pektin Hasil Ekstraksi 37
Tabel 4.3 Rerata Hasil Analisa Respon 41
Tabel 4.4 Verifikasi Respon Kadar Serat Pangan 47
Tabel 4.5 Karakteristik Serbuk Effervescent 48
Tabel 4.6 Rerata Berat Feses dan Kadar Air Feses
selama 5 Hari Perlakuan 56
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Pisang Agung Semeru 5
Gambar 2.2 Kulit Pisang 7
Gambar 2.3 Struktur Kimia Pektin 8
Gambar 2.4 Buah Mangga Podang 10
Gambar 2.5 Daun Mint Segar 11
Gambar 3.1 Diagram Alir Ekstraksi Pektin Kulit Pisang 31
Gambar 3.2 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Mangga 32
Gambar 3.3 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Daun Mint 32
Gambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33
Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo 34
Gambar 4.1 (a) Kurva Normal Plot of Residuals (b) Kontur Plot
(c) Kurva Permukaan Respon Variabel Pektin Kulit Pisang
dan Mangga Podang terhadap Kelarutan 44
Gambar 4.2 (a) Kurva Normal Plot of Residuals (b) Kontur Plot
(c) Kurva Permukaan Respon Variabel Pektin Kulit Pisang
dan Mangga Podang terhadap Kadar Serat Pangan 46
Gambar 4.3 Rerata Jumlah Konsumsi Pakan Tikus selama
5 Hari Perlakuan 51
Gambar 4.4 Rerata Volume Minum Tikus selama 5 Hari Perlakuan 53
Gambar 4.5 Rerata Frekuensi Defekasi Tikus selama 5 Hari Perlakuan 55
Gambar 4.6 Gambaran Histopatologi Kolon Tikus (a) Kontrol Negatif
(b) Kontrol Positif (c) Serbuk effervescent 90 mg/200 g bb
(d) Serbuk effervescent 180 mg/200 g bb (e) Vegeta Herbal 58
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Prosedur Analisis 70
Lampiran 2 Hasil Analisis Karakteristik Bahan Baku 77
Lampiran 3 Hasil Analisis Karakteristik Pektin Hasil Ekstraksi 78
Lampiran 4 Evaluasi Model RSM Respon Kelarutan 79
Lampiran 5 Evaluasi Model RSM Respon Serat Pangan 80
Lampiran 6 Analisis Ragam (ANOVA) Respon Kelarutan 81
Lampiran 7 Analisis Ragam (ANOVA) Respon Kadar Serat Pangan 82
Lampiran 8 Hasil Analisis Karakteristik Serbuk Effervescent 83
Lampiran 9 Data Berat Badan Tikus selama Perlakuan 84
Lampiran 10 Hasil Analisa Jumlah Konsumsi Pakan Tikus selama
Perlakuan 85
Lampiran 11 Hasil Analisa Volume Minum Tikus selama Perlakuan 86
Lampiran 12 Hasil Analisa Frekuensi Defekasi Tikus selama Perlakuan 87
Lampiran 13 Dokumentasi Penelitian 88
Lampiran 14 Sertifikat Kode Etik Penelitian 90
14
1
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Setiap individu memiliki pola defekasi berbeda yang dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain asupan cairan, aktivitas dan asupan serat dalam
makanan yang dikonsumsi setiap harinya. Apabila konsumsi serat dalam
makanan, asupan cairan dan pemenuhan kebutuhan aktivitas tidak terpenuhi
maka akan menimbulkan gangguan di saluran pencernaan yaitu konstipasi.
United State Food Dietary Analysis menganjurkan total serat pangan yang perlu
dikonsumsi sebanyak 25-30 g per hari (Sari, 2016). Konstipasi adalah gangguan
atau kesulitan dalam buang air besar. Konstipasi terjadi karena lambatnya
gerakan peristaltik usus besar sehingga frekuensi defekasi berkurang yang
menyebabkan konsistensi feses bertambah keras. Hal ini diakibatkan oleh
lamanya proses absorbsi cairan yang ada pada feses dan akhirnya terjadi
penumpukan feses pada kolon desenden sehingga susah untuk buang air besar
(Nuratmi dkk., 2005). Angka prevalensi (tingkat kejadian) konstipasi di Indonesia
sebesar 3.857.327 jiwa berdasarkan data Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar)
tahun 2007 berkorelasi dengan pola hidup masyarakat Indonesia yang masih
kurang dalam mengonsumsi sumber makanan kaya serat.
Pisang adalah salah satu komoditas buah unggulan Indonesia. Pada tahun
2015, produksi tanaman pisang di Indonesia mencapai 7.299.275 ton (Badan
Pusat Statistik, 2016). Salah satu jenis pisang yang banyak dimanfaatkan adalah
jenis pisang Agung Semeru. Di Kabupaten Lumajang terdapat 22 IKM (Industri
Kecil Menengah) yang mengolah pisang Agung Semeru menjadi keripik pisang
(Prahardini dkk., 2010). Banyaknya jumlah IKM yang mengolah pisang Agung
Semeru ini tentu saja menghasilkan limbah kulit pisang yang melimpah. Hal ini
memerlukan penanganan yang tepat untuk memanfaatkan limbah kulit pisang
tersebut. Salah satu senyawa yang terkandung dalam kulit buah pisang adalah
pektin. Kandungan pektin pada kulit pisang berkisar antara 0,9% dari berat kering
(Hanum dkk., 2012). Beberapa penelitian yang berkaitan dengan ekstraksi pektin
dari kulit pisang telah dilakukan. Pektin adalah suatu senyawa heteropolisakarida
yang secara umum terdapat pada dinding sel primer tanaman, khususnya pada
sela-sela antara selulosa dan hemiselulosa. Senyawa pektin adalah asam pektat,
asam pektinat, dan protopektin. Pada usus besar, pektin akan diubah menjadi
2
rantai asam lemak sehingga bermanfaat bagi kesehatan saluran pencernaan
sehingga dapat menurunkan gejala konstipasi (Srivastava dan Malviya, 2011).
Buah mangga kaya akan serat pangan prebiotik, vitamin C, polifenol dan
karotenoid. Selain itu, buah mangga juga kaya akan polisakarida sebagai sumber
serat, khususnya pati dan pektin. Total serat pangan yang terdapat pada buah
mangga berkisar antara 40,6% hingga 72,5% (Fowomola, 2010). Salah satu
mangga lokal yang memiliki kandungan serat tinggi yaitu mangga podang dari
Kabupaten Kediri. Mangga podang memiliki warna kuning kemerahan, bentuk
buah lonjong, tekstur sedang dan rasa manis segar (Istichomah, 2013). Daun
mint juga terkenal sebagai daun yang dapat memberikan efek rasa dingin pada
produk makanan. Pada daun mint terdapat senyawa mentol dalam jumlah besar
sehingga selain menimbulkan efek rasa dingin pada makanan maupun minuman,
daun mint juga menimbulkan rasa pedas apabila penggunaannya berlebihan
(Testiningsih, 2015). Tanaman mint popular karena unik dan bermanfaat bagi
kesehatan manusia seperti membantu masalah pencernaan dan demam, serta
memberikan aroma pada makanan (Villasenor dkk., 2002). Penggunaan buah
mangga dan daun mint diharapkan dapat meningkatkan kadar serat pangan
serta memberikan flavor yang enak.
Minuman serat menjadi salah satu solusi pencegahan atau penanganan
masalah konstipasi. Selain karena kandungan seratnya, minuman serat dianggap
lebih praktis dalam upaya pemenuhan serat sehari-hari. Salah satu minuman
serat yang cukup populer sekarang ini adalah dalam bentuk serbuk effervescent.
Maka dari itu, penulis ingin membuat formula minuman serat dari pektin kulit
pisang, mangga dan daun mint dalam bentuk serbuk effervescent. Serbuk
effervescent merupakan serbuk kasar sampai kasar sekali yang mengandung
unsur obat dalam campuran yang kering, biasanya terdiri dari natrium bikarbonat,
asam sitrat dan asam tartrat (Ansel, 1989 dalam Novidiyanto dan Setyowati,
2008). Efek sparkling yang ditimbulkan diharapkan dapat menutupi rasa pahit
dari bubuk pektin kulit pisang. Pembuatan minuman serat dalam bentuk serbuk
effervescent dengan bahan dasar bubuk pektin dari kulit pisang dan ditambahkan
dengan bubuk mangga dan bubuk daun mint diharapkan dapat menjadi solusi
penanganan masalah konstipasi.
3
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah pada
penelitian ini sebagai berikut.
1. Bagaimana formulasi serbuk effervescent pektin kulit pisang, mangga dan
daun mint dengan kadar serat optimum?
2. Bagaimana pengaruh konsumsi serbuk effervescent pektin kulit pisang,
mangga dan daun mint terhadap frekuensi defekasi dan histopatologi kolon
tikus wistar konstipasi?
3. Berapa dosis konsumsi serbuk effervescent pektin kulit pisang, mangga dan
daun mint untuk menurunkan gejala konstipasi pada tikus wistar?
4. Bagaimana efektivitas produk jika dibandingkan dengan produk komersil?
1.3 Tujuan
Penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut.
1. Mengetahui formulasi serbuk effervescent pektin kulit pisang, mangga dan
daun mint dengan kadar serat optimum.
2. Mengetahui pengaruh konsumsi serbuk effervescent pektin kulit pisang,
mangga dan daun mint terhadap frekuensi defekasi dan histopatologi kolon
tikus wistar konstipasi.
3. Mengetahui dosis konsumsi serbuk effervescent pektin kulit pisang, mangga
dan daun mint untuk menurunkan gejala konstipasi pada tikus wistar.
4. Mengetahui perbandingan efektivitas produk dengan produk komersil.
1.4 Manfaat
Harapan penulis terhadap hasil penelitian ini sebagai berikut.
1. Memberikan pengetahuan penggunaan limbah kulit pisang, mangga lokal dan
daun mint.
2. Memberikan pengetahuan tentang formulasi, pengaruh dan dosis konsumsi
serbuk effervescent pektin kulit pisang, mangga dan daun mint untuk
menurunkan gejala konstipasi pada tikus wistar.
3. Menjadi suatu hasil penelitian yang dapat diteliti lebih lanjut sehingga serbuk
effervescent pektin kulit pisang, mangga dan daun mint dapat diberikan
kepada manusia sebagai upaya penanganan konstipasi.
4
1.5 Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah konsumsi serbuk effervescent pektin kulit
pisang, mangga dan daun mint dapat meningkatkan frekuensi defekasi dan
mempengaruhi histopatologi kolon tikus wistar konstipasi.
5
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pisang Agung Semeru
Pisang Agung Semeru merupakan pisang yang tumbuh di lereng Gunung
Semeru, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Pisang ini mempunyai rasa khas
dengan ukuran yang besar dan panjang serta memiliki daya tahan cukup lama
yaitu satu bulan dalam suhu kamar (Arifin dkk., 2015). Pisang Agung Semeru
memiliki nama latin Musa paradisiaca formatypica. Berdasarkan habitat
tumbuhnya, pisang ini dapat tumbuh mulai dari dataran rendah sampai pada
ketinggian 1.000 m di atas permukaan laut dengan pH tanah antara 4,5-7,5.
Tanaman pisang mempunyai perakaran yang dangkal, menyebar di bawah
permukaan tanah dan menghendaki tanah yang menganding banyak bahan
organik (Kusumo dan Bahar, 1994). Kenampakan Pisang Agung Semeru dapat
dilihat pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Pisang Agung Semeru (Riyan, 2011)
Pisang Agung Semeru termasuk golongan pisang yang buahnya harus
dimasak terlebih dahulu, termasuk jenis yang ditanam secara komersial, daging
buah berwarna krem oranye, memiliki tekstur padat hingga lunak, mengandung
pati tinggi, tahan lama, satu tandan berisi dua sisir (Ashari, 2006). Berikut adalah
karakteristik buah pisang Agung Semeru yang dapat dilihat pada Tabel 2.1.
6
Tabel 2.1 Karakteristik Buah Pisang Agung Semeru
Parameter Karakteristik
Produksi (kg/tandan) 10-15 Jumlah sisir per tandan 1-2 Jumlah jari buah per sisir 10-18 Bobot per jari buah (g) 500-650 Bentuk buah Silindris-lurus Panjang jari buah (cm) 33-36 Lingkar jari buah (cm) 19 Warna daging buah mentah Kuning agak kemerahan Warna daging buah matang Kuning Bentuk penampang irisan buah Bulat Matang optimum (hari) 9 Masa simpan (hari) 21-30 Rasa buah (matang optimum) Asam sedikit manis Aroma Tidak beraroma
Sumber: Prahardini dkk (2010)
Keunggulan varietas Pisang Agung Semeru ini adalah kulit buah yang tebal
sehingga tahan disimpan 3-4 minggu setelah dipetik dan rasa buah manis.
Walaupun kulit buah sudah kehitaman tetapi daging buah tetap enak karena
tidak lunak. Dalam kondisi mentah, buah digunakan sebagai bahan baku industri
keripik, baik skala rumah tangga maupun skala menengah. Masa simpan buah
yang lama merupakan keuntungan tersendiri, sehingga buah masak dapat
dimanfaatkan sebagai bahan olahan lain seperti dodol, getuk, dan sale pisang.
Keunggulan lainnya adalah lebih tahan terhadap penyakit bercak daun
dibandingkan dengan kultivar pisang olahan lain. Buah pisang Agung Semeru
memiliki kandungan gula 9,88%; kandungan vitamin C 6,51 mg/100 g bahan dan
total asam 0,515% (Prahardini dkk., 2010).
7
2.2 Kulit Pisang
Kulit pisang adalah bagian terluar dari buah pisang yang menutupi daging
buah dari kondisi di luar buah pisang. Pemanfaatan buah pisang yang besar
untuk berbagai jenis makanan, akan menghasilkan limbah berupa kulit pisang.
Bobot kulit pisang mencapai 40% dari buahnya. Dengan demikian kulit pisang
menghasilkan limbah dengan jumlah yang banyak (Hanum dkk., 2012).
Kenampakan kulit pisang dapat dilihat pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2 Kulit Pisang (Rahmadianti, 2014)
Pada umumnya kulit pisang belum dimanfaatkan secara nyata, hanya
dibuang sebagai limbah organik saja atau digunakan sebagai makanan ternak
seperti kambing, sapi, dan kerbau. Jumlah kulit pisang yang cukup banyak akan
memiliki nilai jual yang menguntungkan apabila bisa dimanfaatkan sebagai
bahan baku makanan (Susanti, 2006). Kulit pisang bisa dimanfaatkan karena
kulit pisang memiliki kandungan nutrisi yang tinggi (Anhwange dkk., 2009). Kulit
pisang adalah bahan yang kaya akan amilum juga mengandung protein, vitamin,
serat dan beberapa zat gizi penting lainnya (Johari dan Rahmawati, 2006).
Tanaman pisang mengandung berbagai macam senyawa seperti air, gula
pereduksi, sukrosa, pati, protein kasar, pektin, protopektin, lemak kasar, serat
kasar, dan abu. Sedangkan di dalam kulit pisang terkandung senyawa pektin
yang cukup besar (Satria dan Ahda, 2009). Kandungan pektin dalam tanaman
sangat bervariasi baik berdasarkan jenis tanamannya maupun dari bagian
jaringannya. Kandungan pektin pada kulit pisang adalah 3,53-5,35%, sedangkan
pada buah pisang sekitar 0,93%. Komposisi kandungan protopektin, pektin, dan
asam pektat di dalam buah sangat bervariasi dan tergantung pada derajat
kematangan buah (Winarno, 1992 dalam Erawati, 2009).
8
2.3 Pektin
Pektin adalah polisakarida kompleks bersifat asam yang terdapat dalam
jumlah bervariasi, terdistribusi secara luas dalam jaringan tanaman. Umumnya
pektin terdapat di dalam dinding sel primer, khususnya di sela-sela antara
selulosa dan hemiselulosa. Pektin juga berfungsi sebagai bahan perekat antara
dinding sel yang satu dengan yang lainnya. Substansi pektin tersusun dari asam
poligalakturonat, dimana gugus karboksil dari unit asam poligalakturonat dapat
teresterifikasi sebagian dengan metanol (Hasbullah, 2001 dalam Hanum dkk.,
2012).
Komposisi utama pektin adalah unit-unit asam D-Galakturonik (GalA) yang
membentuk rantai ikatan α-(1,4) glikosidik. Asam uronik ini mempunyai kelompok
gugus karboksil yaitu metal ester dan gugus lainnya yang apabila direaksikan
dengan ammonia akan menghasilkan gugus karboksiamida. Pada pektin,
terdapat ratusan hingga ribuan sakarida dengan bentuk konfigurasi rantai dan
berat molekulnya sekitar lima puluh ribu Dalton (Srivastava dan Malviya, 2011).
Struktur kimia pektin atau asam pektinat dapat dilihat pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3 Struktur Kimia Pektin (Hanum dkk., 2012)
Wujud pektin yang diekstrak adalah bubuk berwarna putih hingga coklat
terang. Pektin merupakan bagian diet dari manusia, yaitu serat yang larut dalam
air. Pada umumnya, setiap orang mengonsumsi 5 g pektin setiap harinya dari
buah dan sayur yang dimakan sebanyak 500 g. Pada usus besar, pektin akan
diubah menjadi rantai asam lemak sehingga bermanfaat bagi kesehatan saluran
pencernaan (Srivastava dan Malviya, 2011). Pektin merupakan polisakarida yang
diperoleh dari buah-buahan dan biasanya digunakan dalam pembuatan jeli serta
sebagai bahan tambahan untuk pengental dalam makanan (Ranganna, 2000).
9
Ditinjau dari sifat fisikanya, pektin dapat bersifat koloid reversibel, yaitu dapat
dilarutkan dalam air, diendapkan, dikeringkan dan dilarutkan kembali tanpa
adanya perubahan sifat fisik. Penambahan air pada pektin kering akan
membentuk gumpalan seperti pasta yang kemudian menjadi larutan. Ekstraksi
pektin secara kimia dapat dilakukan dengan cara mengekstraksi dari berbagai
kulit buah-buahan segar dengan pemanasan pada suhu 90-95°C selama satu
jam dalam asam encer pada pH 4,5 menggunakan asam yang sesuai seperti
asam klorida. Pektin dalam filtrat diendapkan dengan menggunakan etanol 96%
(Ranganna, 2000). Pektin yang lebih mudah larut dalam air dapat diperoleh
dengan memodifikasi pH dan suhu pada metode ekstraksi. Pektin yang diperoleh
dengan cara ini memiliki rantai yang lebih pendek dan tidak bercabang sehingga
akan lebih mudah larut dibandingkan dengan pektin yang memiliki rantai lebih
panjang (Wong dkk.,2008). Beberapa bentuk senyawa pektin sebagai berikut
(Hanum dkk., 2012).
1. Asam Pektat
Asam pektat adalah senyawa asam galakturonat yang bersifat koloid dan
pada dasarnya bebas dari kandungan metil ester.
2. Asam Pektinat
Asam pektinat adalah asam poligalakturonat yang bersifat koloid dan
mengandung sejumlah metil ester. Pektin merupakan asam pektinat dengan
kandungan metil ester dan derajat netralisasi yang berbeda-beda.
3. Protopektin
Protopektin adalah substansi pektat yang tidak larut dalam air, terdapat
dalam tanaman, dan jika dipisahkan secara hidrolisis akan menghasilkan
asam pektinat.
Pektin digunakan dalam bidang industri makanan dan dalam bidang farmasi.
Dalam bidang makanan, pektin digunakan sebagai bahan pembentuk gel untuk
pembuatan selai dan jeli. Kemampuan pektin dalam membentuk gel tergantung
pada kandungan gugus metoksilnya. Kemampuan pektin untuk dapat
membentuk gel merupakan sifat yang unik dari pektin. Penggunaan pektin selain
dari pembentuk gel, juga digunakan dalam produk buah-buahan kemasan, jus
dan es krim sebagai penstabil (Ranganna, 2000).
10
2.4 Mangga Podang
Mangga podang merupakan salah satu produk buah unggulan lokal dari
Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Mangga ini dibudidayakan sejak puluhan tahun
yang lalu, umumnya di wilayah kering mulai dari dataran rendah hingga dataran
tinggi (Saraswati dkk., 2001). Untuk mengatasi lonjakan produksi berlimpah pada
saat panen raya dan sifat mudah rusak, maka dapat dilakukan pengolahan
mangga podang menjadi berbagai jenis olahan. Mangga podang mempunyai ciri
khas warna yang kuning kemerahan, bentuk buah lonjong, tekstur sedang dan
mengandung cukup banyak air, serta rasa manis segar (Istichomah, 2013).
Karakteristik mangga yang mudah rusak ini dikarenakan buah mudah sekali
mengalami perubahan fisiologis, kimia dan fisik jika tidak ditangani secara tepat.
Mutu buah akan turun drastis dan tingkat kesegaran pun menurun dalam waktu
singkat (Satuhu, 1996 dalam Rachmawaty, 2013). Kenampakan buah mangga
podang dapat dilihat pada Gambar 2.4.
Gambar 2.4 Buah Mangga Podang (Amaliawati, 2012)
Di India, mangga yang masih hijau digunakan sebagai obat gangguan darah,
empedu, dan saluran pencernaan. Mengkonsumsi buah mangga muda secara
teratur mempunyai daya penyembuh gangguan darah, karena menambah
kelenturan pembuluh darah, membantu pembentukan sel-sel baru, mencegah
pendarahan, dan menyembuhkan sariawan. Selain itu buah mangga muda dapat
berkhasiat untuk mengatasi diare, disentri, wasir dan sembelit (Rukmana, 1997
dalam Pasaribu, 2011). Buah mangga podang memiliki kandungan serat yang
baik yaitu 7 g setiap buahnya. Diperkirakan mangga podang mampu menjaga
pencernaan dan kolesterol dalam kondisi normal (Wasono, 2011).
11
2.5 Tanaman Mint
Tanaman mint ditanam dan tumbuh liar di India dan Asia Tenggara, termasuk
Indonesia. Genus Mentha termasuk dalam famili Lamiaceae yang dikenal
sebagai penghasil minyak mint. Genus Mentha di Indonesia terdapat 2 jenis
spesies yaitu Mentha arvensis dan Mentha piperita. M. arvensis adalah jenis
Mentha sp. yang paling besar permintaannya untuk industri di Indonesia. Genus
M. arvensis juga memiliki potensi untuk dikembangkan dan dibudidayakan
dengan baik di Indonesia dibandingkan jenis Mentha yang lain (Toepak dkk.,
2013). Di Indonesia, tanaman ini tumbuh liar dan berada di tempat lembab, dapat
ditemukan pada ketinggian 150-1.200 m di atas permukaan laut (Sari, 2016).
Pada daun mint terdapat senyawa mentol dalam jumlah besar sehingga
menimbulkan efek rasa dingin pada makanan maupun minuman, namun daun
mint juga menimbulkan rasa pedas apabila penggunaannya berlebihan
(Testiningsih, 2015). Kenampakan daun mint segar dapat dilihat pada Gambar
2.5.
Gambar 2.5 Daun Mint Segar (Setyanti, 2014)
Gilbert (2005) menyatakan bahwa karakteristik sensoris tanaman mint
memiliki bau yang murni dan segar, agak pedas dan terasa membakar.
Komposisi utama minyak essensial dalam daun mint adalah minyak peppermint
dimana 50%-nya tersusun atas mentol, menton, metil ester dan turunan
monoterpena (pulegone, piperiton, menthofuran). Mentol dan metil asetat
berperan membentuk rasa pedas dan bau yang segar. Berdasarkan USDA
National Nutrient Database (2016), daun mint segar mengandung 8 g per 100 g
serat pangan. Tanaman mint popular karena unik dan bermanfaat bagi
kesehatan manusia seperti membantu masalah pencernaan dan demam, serta
memberikan aroma pada makanan (Villasenor dkk., 2002).
12
2.6 Serbuk Effervescent
Serbuk effervescent disukai karena mempunyai warna, bau dan rasa yang
menarik. Selain itu, jika dibandingkan dengan minuman serbuk biasa, serbuk
effervescent memiliki keunggulan pada kemampuan untuk menghasilkan gas
karbon dioksida yang memberikan rasa segar seperti pada air soda. Adanya gas
tersebut akan menutupi rasa pahit serta mempermudah proses pelarutannya
tanpa melibatkan pengadukan secara manual (Syamsul dan Supomo, 2014).
Serbuk effervescent merupakan bentuk sediaan produk pangan fungsional
yang diproses dengan campuran tertentu sehingga menghasilkan gas CO2 ketika
bereaksi dengan air. Gelembung gas CO2 menjadikan serbuk effervescent lebih
cepat larut tanpa pengadukan manual. Keunggulan serbuk effervescent adalah
mudah diabsorbsi, praktis, dan memberikan efek sparkling seperti minum air
soda atau soft drink saat dikonsumsi. Proses pembuatan serbuk effervescent
membutuhkan formulasi dan metode ekstraksi yang tepat agar dihasilkan serbuk
dengan karakteristik fisiko kimia terbaik (Hudha dkk., 2015).
Sediaan effervescent biasanya diolah dari suatu kombinasi asam sitrat dan
asam tartrat, karena pemakaian asam tunggal saja akan menimbulkan kesulitan
pada pembentukan granul. Apabila asam tartrat digunakan sebagai asam
tunggal, maka granul yang dihasilkan mudah kehilangan kekuatannya dan
hancur. Bila asam sitrat saja yang digunakan maka akan menghasilkan
campuran yang lekat dan sukar menjadi granul (Ansel dkk., 1999 dalam Winarti,
2008).
Reaksi antara asam sitrat dan natrium bikarbonat (a) serta asam tartrat dan
natrium bikarbonat (b) dapat dilihat sebagai berikut (Novidiyanto dan Setyowati,
2008).
(a) H3C6H5O7.H2O + 3 NaHCO3 Na2C6H5O7 + 4 H2O + 3 CO2
Asam sitrat Na-bikarbonat Na-sitrat Air Karbondioksida
(b) H2C4H4O6 + 2 NaHCO3 Na2C4H4O6 + H2O + 2 CO2
Asam tartrat Na-bikarbonat Na-tartrat Air Karbondioksida
Formula minuman serbuk biasanya disesuaikan dengan rasa dalam bentuk
cairnya. Minuman dalam bentuk serbuk memiliki keunggulan yaitu kestabilan
produk dan massanya yang lebih kecil serta bisa memenuhi permintaan dalam
skala yang besar (Najmuddin, 2015).
13
2.7 Serat Pangan
Definisi fisiologis serat pangan adalah sisa sel tanaman setelah dihidrolisis
enzim pencernaan manusia. Hal ini termasuk materi dinding sel tanaman seperti
selulosa, hemiselulosa, pektin dan lignin, juga polisakarida intraseluler seperti
gum dan musilago. Pengertian serat pangan tidak sama dengan serat kasar.
Serat kasar adalah zat sisa asal tanaman yang biasa dimakan yang masih
tertinggal setelah bertutut-turut diekstraksi dengan zat pelarut, asam encer dan
alkali. Dengan demikian nilai zat serat kasar selalu lebih rendah dari serat
pangan, kurang lebih hanya seperlima dari seluruh nilai serat pangan (Beck,
2011).
Serat pangan dapat digolongkan menjadi serat tidak larut dan serat larut
sebagai berikut (Lestiani dan Aisyah, 2011).
a. Serat tak larut (tak larut air) terdiri dari karbohidrat yang mengandung
selulosa, hemiselulosa dan non-karbohidrat yang mengandung lignin.
Sumber-sumber selulosa adalah kulit padi, kacang polong, kubis, apel
sedangkan hemiselulosa adalah kulit padi dan gandum. Sumber-sumber
lignin adalah wortel, gandum dan arbei.
b. Serat larut (larut dalam air) terdiri dari pektin, gum, β-glukan dan psylium
seed husk (PSH). Bahan makanan yang kaya akan pektin adalah apel, arbei
dan jeruk. Gum banyak terdapat pada oatmeal dan kacang-kacangan.
Bekatul (oat) banyak mengandung β-glukan. PSH adalah serat larut yang
banyak terdapat pada tanaman plantago ovate.
Fungsi dari serat sangat bervariasi tergantung dari sifat fisik jenis serat yang
dikonsumsi (Tala, 2009).
a. Kelarutan dalam air
Berdasarkan kelarutannya serat terbagi atas serat larut dalam air dan tidak
larut dalam air. Serat larut akan memperlambat waktu pengosongan lambung,
meningkatkan waktu transit, mengurangi penyerapan beberapa zat gizi.
Sebaliknya serat tak larut akan memperpendek waktu transit dan akan
memperbesar massa feses.
b. Kemampuan menahan air dan viskositas
Jenis serat larut dapat menahan air lebih besar dibandingkan serat tak larut,
tetapi hal ini juga dipengaruhi pH saluran cerna, besarnya partikel serat dan juga
proses pengolahannya. Akibat kemampuan menahan air ini serat akan
14
membentuk cairan kental yang memiliki beberapa pengaruh terhadap saluran
cerna, yaitu waktu pengosongan lambung lebih lama, mengurangi bercampurnya
isi saluran cerna dan enzim pencernaan, menghambat fungsi enzim, mengurangi
kecepatan penyerapan nutrisi, mempengaruhi waktu transit di usus.
c. Absorbsi dan binding ability
Beberapa jenis serat seperti lignin, pektin, dan hemiselulosa dapat berikatan
dengan enzim atau nutrisi di dalam saluran cerna yang memiliki efek fisiologis,
diantaranya adalah berkurangnya absorbsi lemak, meningkatkan ekskresi garam
empedu, mengurangi kadar kolesterol serum, mempengaruhi keseimbangan
mineral.
d. Degradability/ Fermentability
Bakteri yang terdapat di lumen usus besar dapat memfermentasi serat,
terutama pektin. Selulosa dan hemiselulosa juga difermentasi tetapi dengan
kecepatan lebih lambat. Metabolit utama yang terbentuk adalah asam lemak
rantai pendek yang kemudian akan berperan dalam meningkatkan absorbsi air,
merangsang ploriferasi sel, sebagai sumber energi dan akan menimbulkan
lingkungan asam di usus. Jenis serat yang tidak larut atau yang lambat
difermentasi berperan dalam merangsang proliferasi bakteri yang bermanfaat
untuk detoksifikasi dan meningkatkan volume usus.
Anjuran kebutuhan serat yang ditetapkan bertujuan untuk mencegah
terjadinya penyakit-penyakit degeneratif. United State Food Dietary Analysis
menyatakan anjuran untuk total dietary fiber adalah 25 g/2.000 kalori atau 30
g/2.500 kalori. American Diabetic Assosiation menetapkan kebutuhan serat 25-
50 g/hari untuk pencegahan penyakit diabetes. Pada sensus nasional
pengelolaan diabetes di Indonesia menyarankan konsumsi serat sebanyak 25
g/hari. Walaupun sudah ada ketetapan tersebut tetapi harus diperhatikan
kebiasaan makan, penyakit yang diderita dan keluhan-keluhan lainnya (Lestiani
dan Aisyah, 2011).
15
2.8 Konstipasi
Sembelit atau konstipasi adalah gangguan atau kesulitan dalam buang air
besar. Konstipasi terjadi karena lambatnya gerakan peristaltik usus besar
sehingga frekuensi defekasi berkurang, sehingga menyebabkan konsistensi
feses bertambah keras. Hal tersebut terjadi akibat lamanya absorpsi cairan yang
ada pada feses dan akhirnya terjadi penumpukan feses di kolon desenden,
sehingga susah untuk buang air besar. Selain itu massa, kelembaban dan
derajat hidrasi feses juga mempengaruhi frekuensi defekasi dan konsistensi
feses. Oleh sebab itu jumlah serat dan air dalam makanan merupakan hal
penting untuk kelancaran defekasi (Nuratmi dkk., 2005).
Konstipasi memiliki persepsi gejala yang berbeda-beda pada setiap
pasiennya. Menurut World Gastroenterology Organization (WGO) adalah
defekasi keras (52%), tinja seperti pil/butir obat (44%), ketidakmampuan defekasi
saat diinginkan (34%), atau defekasi yang jarang (33%) (World, 2007).
Menurut Tanjung (2011), faktor-faktor penyebab konstipasi berbagai macam
dan sulit dimengerti. Berikut merupakan penyebab yang dapat dibedakan
berdasarkan struktur (gangguan motilitas) dan fungsi (gangguan bentuk pelvik).
Gangguan bentuk pelvik dapat berupa fungsi pelvik dan spingter melemah,
obstruksi pelvik, prolapsus rektum, enterokel, intususepsi rektum, rektokel.
Gangguan motilitas dapat berupa:
a. Nutrisi tidak terpenuhi
Asupan serat tidak terpenuhi dan dehidrasi akibat asupan cairan tidak
terpenuhi.
b. Motilitas (gerakan otot) kolon melemah
Inersia kolon, konstipasi transit lambat, iritable bowel syndrome (ibs), miopati
intestinal, sindroma Ogilvie, obat-obatan, penyebab neurologis.
c. Faktor psikiatri
Depresi, pelecehan seksual, kebiasaan yang menyimpang terhadap
makanan dan fungsi pencernaan.
Berdasarkan patofisiologis, konstipasi dapat diklasifikasikan menjadi
konstipasi akibat kelainan struktural dan konstipasi fungsional. Konstipasi akibat
kelainan struktural terjadi melalui proses obstruksi aliran tinja, sedangkan
konstipasi fungsional berhubungan dengan gangguan motilitas kolon atau
anorektal. Konstipasi yang dikeluhkan oleh sebagian besar pasien umumnya
16
merupakan konstipasi fungsional. Konstipasi fungsional dapat dikelompokkan
menjadi bentuk primer atau sekunder bergantung pada ada tidaknya penyebab
yang mendasarinya. Konstipasi fungsional primer ditegakkan bila penyebab
dasar konstipasi tidak dapat ditentukan. Keadaan ini ditemukan pada sebagian
besar pasien dengan konstipasi. Konstipasi fungsional sekunder ditegakkan bila
kita dapat menentukan penyebab dasar keluhan tersebut. Penyakit sistemik dan
efek samping pemakaian beberapa obat tertentu merupakan penyebab
konstipasi fungsional yang sering dilaporkan. Klasifikasi lain yang perlu
dibedakan pula adalah apakah keluhan tersebut bersifat akut atau kronis.
Konstipasi akut bila kejadian baru berlangsung selama 1-4 minggu, sedangkan
konstipasi kronis bila keluhan telah berlangsung lebih dari 4 minggu (Endyarni
dan Syarif, 2004).
Penelitian yang dilakukan oleh Septiyanti (2015) mengemukakan bahwa
serat yang terkandung di dalam daun Cincau Hitam (Mesona palustris BL) dapat
menurunkan gejala konstipasi pada tikus wistar. Penelitian lain dilakukan oleh
Wijayanti (2013) menunjukkan bahwa pemberian diet serat Muelleri Glukomanan
dapat mengurangi gejala konstipasi pada tikus Spraque dawley.
2.9 Loperamid
Loperamid merupakan derivat difenoksilat dengan khasiat obstipasi yang 2-3
kali lebih kuat tetapi tanpa khasiat terhadap sistem saraf pusat. Loperamid
mampu menormalkan keseimbangan resorpsi–resorpsi dari sel–sel mukosa,
yaitu memulihkan sel–sel yang berada dalam keadaan hipersekresi ke keadaan
resorpsi normal kembali. Loperamid tidak mewujudkan efek sentral mirip morfin,
sehingga loperamid harus diutamakan daripada difenoksilat karena loperamid
antidiare yang kuat, dengan kerja yang berlangsung lama. Penghambatan
peristaltik secara spesifik dianggap sebagai kerja langsung pada dinding saluran
cerna. Loperamid diekskresikan terutama dengan tinja (Melani, 2010).
Loperamid merupakan antispasmodik, dimana mekanisme kerjanya yang
pasti belum dapat dijelaskan. Secara in vitro dan in vivo, loperamid
memperlambat motilitas saluran cerna dan mempengaruhi pergerakan air dan
elektrolit di usus besar. Pada manusia, loperamid memperpanjang waktu transit
isi saluran cerna. Loperamid menurunkan volume feses, meningkatkan viskositas
dan kepadatan feses serta menghentikan kehilangan cairan dan elektrolit
(Departemen Farmakologi dan Terapi UI, 2007).
17
2.10 Bahan Tambahan
2.10.1 Polivinilpirolidon (PVP)
Polivinilpirolidon adalah suatu polimer sintetik yang dapat digunakan sebagai
perekat baik dalam larutan air maupun alkohol. Polivinilpirolidon telah digunakan
secara luas sebagai bahan tambahan, terutama pada sediaan tablet oral dan
solution. Jika dikonsumsi secara oral, PVP dianggap non toksik karena tidak
diabsorbsi dari saluran pencernaan atau membran mukus (Setyarini, 2009).
Penambahan PVP juga dapat memperbaiki sifat alir granul karena PVP dapat
memperbaiki ikatan antar partikel sehingga dapat mencegah timbulnya fines
yang dapat menyebabkan sifat alir yang buruk (Rendy dan Hadisoewignyo, 1999
dalam Noerwahid, 2016). Polivinilpirolidon adalah produk larut yang dihasilkan
oleh polimerisasi radikal dari 1-vinilpirolidon-2-on. PVP dihasilkan melalui proses
pengeringan dengan metode spray drying atau drum drying sehingga dihasilkan
bubuk putih kekuningan (Foltmann, 2008). Penggunaan PVP sebagai pengikat
dapat digunakan dalam konsentrasi 2-15% (Anwar, 2012).
2.10.2 Asam Sitrat
Asam sitrat merupakan bahan alternatif yang mudah diperoleh dengan harga
yang terjangkau. Asam sitrat (C6H8O7) merupakan pelarut organik yang bersifat
polar. Penggunaan pelarut aquades dan asam sitrat tidak berbeda secara nyata
dengan menggunakan pelarut jenis alkohol. Hanya berdampak pada proses
evaporasi yang lebih lama karena titik didihnya lebih tinggi daripada alkohol,
etanol maupun metanol (Hidayat dan Saati, 2006). Pemberian asam sitrat dalam
minuman bertujuan untuk memberikan rasa asam, memodifikasi manisnya gula,
berlaku sebagai pengawet dan dapat mempercepat inversi gula (Trissanthi dkk.,
2016). Asam sitrat biasa digunakan sebagai sumber asam dalam sediaan
farmasi dan pada industri makanan. Asam sitrat lebih dipilih sebagai sumber
asam dalam effervescent selain karena mudah didapatkan, lebih murah, mudah
dalam penyimpanan, dan asam sitrat mememiliki efek sinergis terhadap aktivitas
antioksidan (Surya, 2015).
18
2.10.3 Asam Tartrat
Asam tartrat berbentuk kristal monosiklik, atau putih umumnya berbentuk
serbuk kristal putih, tidak berwarna dan memunyai rasa asam yang tinggi.
Penyimpanan dalam wadah yang tertutup rapat dan kering. Asam tartrat sangat
larut dalam kloroform; dua setengah bagian dalam etanol 95%; larut dalam
gliserin; 10,5 bagian dalam air. Asam tartrat secara luas digunakan dalam produk
makanan dan oral, topikal dan formulasi parental farmaset. Secara umum tidak
toksik dan tidak mengiritasi. Keberadaan asam tartrat di alam terdapat dalam
buah-buahan sebagai asam bebas (Rowe dkk., 2009). Asam tartrat selain mudah
didapatkan dan mudah dalam penyimpanan, asam tartrat lebih dipilih karena
asam tartrat dapat meningkatkan kelarutan dalam air (Black, 2007), serta
memiliki rasa asam yang sangat enak (Vaughan, 2006).
2.10.4 Dekstrin
Dekstrin merupakan hasil hidrolisis pati menjadi gula oleh panas, asam atau
enzim. Proses ini melibatkan alkali dan oksidator. Pengurangan panjang rantai
tersebut akan menyebabkan perubahan sifat dimana pati yang tidak mudah larut
dalam air diubah menjadi dekstrin yang mudah larut. Dekstrin bersifat sangat
larut dalam air panas atau dingin, dengan viskositas yang relatif rendah. Sifat
tersebut mempermudah penggunaan dekstrin apabila digunakan dalam
konsentrasi yang cukup tinggi (Tyanjani dkk., 2015). Dalam industri pangan, pati
teroksidasi (dekstrin) digunakan sebagai pengental, pengemulsi, pengikat, dan
pencegah sinerisis untuk mempertahankan mutu pangan (Ni’maturrohmah,
2015).
2.10.5 Natrium Bikarbonat
Natrium bikarbonat merupakan garam yang berwujud kristal dan larut air
yang bila bereaksi dengan sumber asam akan menghasilkan buih pada sediaan
effervescent, penambahan natrium bikarbonat dalam sediaan effervescent dapat
meningkatkan kadar total padatan terlarut dan dapat memperbaiki rasa. Natrium
bikarbonat memiliki fluiditas yang buruk dan kompresibilitas yang rendah
sehingga perlu bahan tambahan seperti PVP untuk memperbaiki kompresibilitas
tanpa diubah menjadi natrium karbonat (Noerwahid, 2016). Natrium bikarbonat
dipilih sebagai senyawa karbondioksida dalam pembuatan effervescent karena
19
harganya murah dan bersifat larut sempurna dalam air, bersifat non hogroskopis
dan tersedia secara komersial mulai dari bentuk bubuk sampai granular
(Najmuddin, 2015).
2.10.6 Stevia
Daun stevia mengandung pemanis alami dan mampu menghasilkan rasa
manis 70-400 kali dari manisnya gula tebu. Stevia telah digunakan di banyak
negara di dunia sebagai pemanis non-kalori. Sebagai ekstrak ia memiliki potensi
yang sama dengan rasa manis larutan sukrosa 10%, aspartam dan juga sakarin.
Stevia lebih unggul dibandingkan pemanis buatan karena ia stabil pada
temperatur tinggi dan pH 3-9. Steviosida salah satu glikosida stevia, lebih manis
sekitar 300 kali dari sukrosa. Sejumlah penelitian telah menemukan bahwa selain
rasa manis yang dimiliki, steviosida, bersama dengan senyawa lainnya termasuk
rebausida A, steviol, dan isosteviol, juga memiliki kelebihan terapeutik sebagai
anti-hiperglikemia, anti-hipertensi, anti-inflamasi, anti-tumor, anti-diare, diuretik,
dan efek immunomodulator (Surya, 2016). Nilai Acceptable Daily Intake (ADI)
stevia dalam bentuk glikosida steviol adalah 0-4 mg/kg BB (BPOM, 2014).
2.11 Ekstraksi
Ekstraksi merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk
memisahkan zat terlarut dengan pelarutnya yang didasarkan pada titik didih
pelarutnya. Berikut ini beberapa metode ekstraksi (Setyarini, 2009).
a. Maserasi
Maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana. Maserasi dilakukan
dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Maserasi
digunakan untuk penyarian simplisia yang mengandung zat aktif yang mudah
larut dalam cairan penyari, tidak mengandung zat yang mudah mengambang
dalam cairan penyari, tidak mengandung benzoin, ekstrak, dan lain-lain. Cairan
penyari yang digunakan dapat berupa air, etanol, air-etanol, atau pelarut lain. Bila
cairan penyari yang digunakan air maka untuk mencegah timbulnya kapang
dapat ditambahkan bahan pengawet yang diberikan pada awal penyarian.
Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah cara pengerjaan dan
peralatan sederhana dan mudah diusahakan, sedangkan kerugian maserasi
adalah pengerjaannya lama dan penyariannya kurang sempurna.
20
b. Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna
(exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan.
Proses perkolasi terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi
antara, tahap perkolasi sebenarnya, terus menerus sampai diperoleh ekstrak
yang jumlahnya 1-5 kali bahan. Alat yang digunakan untuk perkolasi disebut
perkolator, cairan yang digunakan untuk menyari disebut cairan penyari atau
menstrum, larutan zat aktif yang keluar dari perkolator disebut sari atau perkolat,
sedangkan sisa setelah dilkukannya penyarian disebut ampas atau sisa
perkolasi.
c. Soxhletasi
Soxhletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang
umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinyu
dengan jumlah pelarut yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
2.12 Uji In Vivo
In vivo merupakan uji biologi yang menggunakan hewan percobaan. Hewan
percobaan adalah hewan yang sengaja dipelihara dan diternakkan untuk
digunakan sebagai hewan model yang digunakan untuk mempelajari dan
mengembangkan ilmu pengetahuan dalam skala penelitian laboratorium. Hewan
laboratorium tersebut digunakan sebagai model untuk penelitian pengaruh bahan
kimia atau obat pada manusia (Malole dkk., 1989 dalam Wijayanti, 2013). Hewan
coba yang biasa digunakan adalah tikus, mencit, hamster, kucing, anjing, babi,
kera, kambing (Walfensohn dan Lylod, 1998 dalam Septiyanti, 2015).
Tikus putih merupakan salah satu hewan percobaan di laboratorium. Hewan
ini dapat berkembang biak secara cepat dan dalam jumlah banyak. Tikus tidak
mudah muntah dan tidak memiliki kantong empedu (Kusumawati, 2004). Malole
dkk. (1989) dalam Wijayanti (2013) menyatakan bahwa tikus putih mempunyai
tiga galur yang umum dikenal yaitu galur Sparague Dawley, galur Wistar dan
galur Long Evans.
Menurut Griffith dan Farris (1971) dalam Wulandari (2010), keunggulan tikus
pada spesies (strain) tertentu seperti Sparague Dawley dan Wistar telah teruji
secara klinis pada laboratorium dan persilangan diantaranya terkontrol secara
turun menurun, memiliki biaya perawatan yang minimal, penempatan
pemeliharaan kecil, omnivora, umur dan generasi tikus pendek. Menurut
21
Wolfensohn dan Lylod (1998) dalam Wulandari (2010), tikus bersifat omnivora
(pemakan segala) dan mempunyai jaringan yang hampir sama dengan manusia
serta kebutuhan gizi yang serupa dengan manusia.
2.13 Defekasi
Defekasi adalah pengeluaran sisa-sisa makanan (kotoran/tinja/feses) yang
tidak dapat dicerna dalam saluran pencernaan melalui anus. Refleks defekasi
timbul saat feses memasuki rektum. Peregangan rektum selanjutnya
menimbulkan rangsangan sensoris pada dinding usus dan pelvis sehingga
menimbulkan gelombang peristaltic pada usus besar desenden, sigmoid dan
rektum, mendorong tinja ke anus. Distensi rektum menimbulkan impuls pada
serat-serat sensoris asendens yang selanjutnya dibawa ke korteks yang
menimbulkan kesadaran tentang adanya distensi. Bersama dengan itu terjadi
kontraksi sementara otot lurik puborectal slingi. Hal ini disebut refleks inflasi
(Guyton dan Hall, 2006).
Pengantaran impuls saraf ke arah distal melalui pleksus mienterikus pada
bagian dinding rektum akan menyebabkan refleks inhibisi otot polos puborectal
slingi. Peristiwa ini disebut refleks relaksasi rektosfingter. Peningkatan tekanan
abdomen dihubungkan dengan peristaltik pada dinding abdomen menyebabkan
keluarnya feses sehingga terjadi pengosongan rektum (Cunningham dan Banez,
2006). Setelah feses keluar maka segera terjadi refleks penutupan. Aktivitas ini
terjadi sangat cepat yaitu kembalinya otot dasar panggul, sudut anorektal dan
tonus spingter ke posisi semula (Wyllie dkk., 2004).
Seberapa seringnya proses defekasi terjadi disebut frekuensi defekasi.
Frekuensi defekasi pada tikus dapat diketahui dengan cara menghitung jumlah
feses dalam kurun waktu tertentu dalam sehari. Pengamatan ini dilakukan setiap
hari selama masa perlakuan. Berkurangnya frekuensi defekasi menyebabkan
konsistensi feses bertambah keras. Hal tersebut terjadi akibat lamanya absorpsi
cairan yang ada pada feses dan akhirnya terjadi penumpukan feses di kolon
desenden, sehingga susah untuk buang air besar. Selain itu massa, kelembaban
dan derajat hidrasi feses juga mempengaruhi frekuensi defekasi dan konsistensi
feses. Oleh sebab itu jumlah serat dan air dalam makanan merupakan hal
penting untuk kelancaran defekasi (Nuratmi dkk., 2005).
22
III METODE PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan dan Rekayasa
Proses Pangan dan Hasil Pertanian, Laboratorium Kimia dan Biokimia Pangan
Hasil Pertanian, Laboratorium Nutrisi Pangan Hasil Pertanian Jurusan Teknologi
Hasil Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian, dan Laboratorium Sentral Ilmu
Hayati, Universitas Brawijaya Malang. Penelitian ini dilaksanakan mulai Oktober
2016 sampai Mei 2017.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
Alat yang digunakan untuk ekstraksi pektin, pembuatan bubuk mangga dan
bubuk daun mint, serta proses pembuatan serbuk effervescent pektin kulit pisang
meliputi baskom, loyang, blender, pengering kabinet, ayakan 60 mesh, neraca
analitik, neraca kasar, alumunium foil, pisau, bulb, pipet volume, gelas ukur,
gelas beker, kain saring, kertas saring halus, kompor listrik, panci infusa, plastik,
spatula besi, pengaduk kaca, corong kaca, dan corong plastik. Alat yang
digunakan untuk analisis yaitu neraca analitik, erlenmeyer, labu takar, kertas
saring whatmann no. 42, oven listrik, desikator, bulb, pipet volume, gelas ukur,
color reader, cawan petri, krus porselen, muffle furnace, statis, buret, shaker
waterbath, termometer, kompor listrik, pompa vakum, gelas beker, dan corong
kaca. Alat yang digunakan untuk uji in vivo adalah kandang tikus, jarum sonde,
alat bedah tikus, wadah pakan, wadah minum dan timbangan digital.
3.2.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kulit pisang Agung
Semeru yang didapatkan dari Kabupaten Lumajang-Jawa Timur, mangga
podang dan daun mint. Bahan tambahan yang diperlukan adalah dekstrin, asam
sitrat, asam tartrat, natrium bikarbonat, stevia, polivinilpirolidon (PVP), serta
natrium metabisulfit. Bahan yang digunakan untuk analisis adalah HCl, aquades,
NaOH, indikator Phenolred, CaCl2, NaCl, natrium sitrat, etanol 96%, etanol 95%,
etanol 70%, CaCO3, asam sitrat, gula, petroleum eter, buffer fosfat pH 6, enzim
23
α-amilase, enzim pankreatin, enzim pepsin, aseton. Bahan yang digunakan
dalam uji in vivo terdiri dari tikus putih galur wistar jantan dengan berat rata-rata
200 g, susu pap, air minum tikus, loperamid, produk effervescent dan suplemen
serat Vegeta Herbal.
3.3 Metode
3.3.1 Tahapan Penelitian
Tahap I
Ekstraksi pektin kulit pisang dilakukan menggunakan pelarut asam sitrat 5%
perbandingan 1:5 (bahan:pelarut) dengan suhu 90oC selama 1 jam sesuai
dengan hasil perlakuan terbaik penelitian Erawati (2009). Kemudian pektin kulit
pisang hasil ekstraksi dianalisis meliputi rendemen, kadar air, warna, berat
ekivalen, kadar metoksil, kadar asam galakturonat dan derajat esterifikasi.
Tahap II
Pada tahap ini, dilakukan pembuatan bubuk mangga dan bubuk daun mint
sebagai bahan baku serbuk effervescent. Masing-masing bahan dikeringkan
menggunakan pengering kabinet dalam suhu dan jangka waktu tertentu yaitu
suhu 60oC selama 6 jam untuk mangga dan suhu 40oC selama 3 jam untuk daun
mint.
Perancangan formulasi serbuk effervescent menggunakan aplikasi model
matematis sehingga didapatkan serbuk effervescent yang memiliki kadar serat
dan kelarutan optimum. Optimasi kadar serat dan kelarutan dilakukan
menggunakan Response Surface Methodology (RSM) dengan metode Central
Composite experimental Design (CCD) tiga faktor yaitu proporsi tiga bahan
utama dalam persen yang masing-masing memiliki level batasan. Tiga variabel
atau faktor tersebut yaitu proporsi bubuk pektin (X1), proporsi bubuk mangga
(X2), dan proporsi bubuk daun mint (X3). Respon yang diinginkan adalah kadar
serat dan kelarutan dalam persen. Batasan level yang digunakan untuk masing-
masing bahan telah diketahui dari penelitian pendahuluan. Bubuk pektin memiliki
batasan level terendah 40% dan level tertinggi 50%, bubuk mangga memiliki
batasan level batasan terendah 30% dan level tertinggi 40%, dan bubuk daun
mint memiliki batasan level terendah 15% dan level tertinggi 25%. Berdasarkan
hal tersebut maka dihasilkan 20 rancangan formulasi pada Tabel 3.1.
24
Secara umum prosedur melakukan penelitian optimasi dengan RSM yaitu
sebagai berikut (Nurmiah dkk., 2013).
1. Pembuatan rancangan formulasi dan respon berdasarkan desain
eksperimental yang dipilih.
2. Tahapan formulasi yaitu melakukan proses penelitian sesuai kondisi formula
yang sudah ditetapkan.
3. Melakukan analisis respon.
4. Melakukan optimasi dilanjutkan dengan verifikasi sebagai pembuktian
terhadap prediksi nilai respon solusi formula optimum.
Tabel 3.1 Rancangan Formulasi Serbuk Effervescent
Run
Faktor 1 A: Pektin
Kulit Pisang (%)
Faktor 2 B: Bubuk
Mangga (%)
Faktor 3 C: Bubuk
Daun Mint (%)
Respon 1 Kadar serat
pangan (%)
Respon 2 Kelarutan
(%)
1 45,00 35,00 20,00 2 50,00 30,00 15,00 3 40,00 40,00 15,00 4 50,00 40,00 25,00 5 45,00 35,00 11,59 6 45,00 26,59 20,00 7 40,00 30,00 25,00 8 45,00 35,00 20,00 9 40,00 40,00 25,00 10 36,59 35,00 20,00 11 45,00 35,00 28,41 12 45,00 35,00 20,00 13 45,00 35,00 20,00 14 45,00 35,00 20,00 15 45,00 43,41 20,00 16 40,00 30,00 15,00 17 50,00 40,00 15,00 18 53,41 35,00 20,00 19 45,00 35,00 20,00 20 50,00 30,00 25,00
Setelah diperoleh rancangan formulasi, maka selanjutnya adalah
mencampurkan ketiga bahan utama sesuai proporsi masing-masing dalam setiap
formula dan dilakukan analisis kadar serat serta kelarutan masing-masing
formula. Kemudian didapatkan hasil formula dengan respon paling optimum yang
selanjutnya dilakukan verifikasi untuk mengetahui perbandingan nilai respon
dengan prediksi program. Selanjutnya, formula dengan respon optimum diolah
menjadi produk serbuk effervescent. Produk tersebut kemudian dianalisis
meliputi warna, kadar air, kecepatan alir, waktu larut, sudut diam dan rehidrasi.
25
Tahap III
Penelitian tahap tiga dilakukan setelah diperoleh produk effervescent dengan
kadar serat pangan dan kelarutan optimum yaitu dilakukan uji in vivo pada tikus
putih wistar jantan. Penelitian ini menggunakan metode Rancangan Acak
Lengkap (RAL) dengan faktor perlakuan pemberian minuman serbuk
effervescent. Penelitian dilakukan menggunakan lima kelompok perlakuan,
dimana setiap kelompok perlakuan berisi enam tikus, kemudian diberi perlakuan
sebagai berikut.
K1 (-) : Tanpa diinduksi loperamid, tanpa diberikan serbuk effervescent
K2 (+) : Diinduksi loperamid 0,6 mg/200 g bb selama 3 hari, tanpa diberikan
serbuk effervescent
K3 : Diinduksi loperamid 0,6 mg/200 g bb selama 3 hari kemudian diberikan
masing-masing 90 mg/200 g bb serbuk effervescent selama 5 hari
K4 : Diinduksi loperamid 0,6 mg/200 g bb selama 3 hari kemudian diberikan
masing-masing 180 mg/200 g bb serbuk effervescent selama 5 hari
K5 : Diinduksi loperamid 0,6 mg/200 g bb selama 3 hari kemudian diberikan
masing-masing 90 mg/200 g bb Vegeta Herbal selama 5 hari
3.3.2 Sampel Percobaan
Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih Rattus
norvegicus strain Wistar berjenis kelamin jantan dengan berat sekitar 200 g.
Pada penelitian ini terdapat lima kelompok perlakuan, sehingga jumlah tikus
untuk masing-masing perlakuan dapat dihitung sebagai berikut.
(t – 1) (n – 1) ≥ 15
(5 – 1) (n – 1) ≥ 15
4n – 4 ≥ 15
4n ≥ 19
n ≥ 4,75
Keterangan:
t = jumlah kelompok
n = jumlah tikus minimal dalam satu kelompok
26
Maka tikus yang digunakan harus berjumlah minimal lima ekor pada setiap
kelompok. Untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, maka
setiap kelompok ditambahkan sebanyak satu ekor tikus sebagai cadangan
sehingga tiap kelompok terdiri dari enam ekor tikus wistar jantan. Sehingga
jumlah tikus keseluruhan untuk semua perlakuan adalah sebanyak 30 ekor.
3.3.3 Dosis Perlakuan
Dosis induksi loperamid untuk tikus adalah sebesar 3 mg/kg bb. Syarat
volume maksimum larutan uji yang dapat diberikan pada tikus dengan berat 200
g adalah sebanyak 5 ml (Septiyanti, 2015).
a. Dosis loperamid
Dosis untuk tikus = (3 mg/1 kg) x berat badan
= (3 mg/1.000.000 mg) x 200.000 mg
= 0,6 mg/200 g bb
b. Dosis Suplemen Vegeta Herbal
Berat bersih dari suplemen Vegeta Herbal adalah 5 g. Menurut Prasetyo
(2014), dosis untuk tikus adalah sebesar 0,018 kali dosis untuk manusia. Maka
dibuatlah dosis untuk hewan coba sebagai berikut.
Dosis untuk tikus = 5 g x 0,018
= 0,09 g
= 90 mg/200 g bb
Jumlah serat pangan = 47,6% x 90 mg
= 42,84 mg
c. Dosis Serbuk Effervescent
Pemberian perlakuan serbuk effervescent dibagi menjadi 2 dosis, dimana
besarnya dosis yang akan diberikan pada hewan coba dianalogikan dengan
dosis terhadap manusia. Perhitungan dosis serbuk effervescent didasarkan pada
dosis suplemen Vegeta Herbal sebagai pembanding, sehingga dosis 1 sama
dengan dosis suplemen pembanding sedangkan dosis 2 adalah dua kali dosis
pertama. Penaikan dosis menjadi dua kali dosis pertama didasarkan pada
keinginan penulis untuk mengetahui bagaimana perbedaan pengaruh konsumsi
serbuk effervescent bila dosis ditingkatkan.
27
Berikut perhitungan dosis serbuk effervescent.
Dosis untuk tikus = 5 g x 0,018
= 0,09 g
= 90 mg/200 g bb
Jumlah serat pangan = 30,35% x 90 mg
= 27,315 mg
Maka selanjutnya ditetapkan dosis untuk kelompok perlakuan uji sebagai berikut.
Dosis 1 (K3) = 90 mg/200 g bb
Dosis 2 (K4) = 2x dosis 1
= 180 mg/200 g bb
a. Jenis Pakan
Pakan yang diberikan pada tikus selama masa adaptasi atau pemeliharaan
dan masa perlakuan adalah pakan susu pap. Berikut ini kandungan pakan susu
pap tersaji pada Tabel 3.2.
Tabel 3.2 Kandungan Pakan Susu Pap Komposisi Pakan Jumlah (%)
Bahan kering 87,64 Bahan organik 91,42 Protein kasar 15,85 Serat kasar 8,32 Lemak kasar 4,15 Bahan ekstrak tanpa nitrogen - Natural Detergent Fibre - Acid Detergent Fibre -
Sumber: Dias (2012)
28
3.4 Pelaksanaan
Tahap 1. Ekstraksi Pektin Kulit Pisang
Tahap pembuatan bubuk kulit pisang sebagai berikut (Modifikasi Erawati, 2009).
a. Kulit pisang dicuci bersih kemudian direndam larutan Na-metabisulfit 0,1%
(b/v) selama 30 menit.
b. Kulit pisang kemudian dipotong kecil dan diletakkan di loyang.
c. Kulit pisang dikeringkan dengan suhu 55oC selama 8 jam kemudian
dihancurkan dengan blender kering.
d. Bubuk kulit pisang diayak dengan ayakan 60 mesh.
Tahap ekstraksi pektin sebagai berikut (Modifikasi Erawati, 2009).
a. Bubuk kulit pisang ditimbang kemudian ditambahkan pelarut asam sitrat 5%
dengan perbandingan 1:5 (bahan:pelarut) dan dipanaskan dengan suhu 90oC
selama 1 jam dalam keadaan tertutup.
b. Penyaringan menggunakan kain saring untuk memisahkan ampas dengan
filtrat ekstrak pektin.
c. Kemudian filtrat dipekatkan dengan pemanasan di atas air mendidih selama
45 menit.
d. Ekstrak pekat didinginkan, lalu ditambahkan etanol 96% sedikit demi sedikit
sambil diaduk hingga mencapai perbandingan 1:2 (ekstrak:etanol), kemudian
dilakukan pengendapan selama 2 jam.
e. Gumpalan pektin kemudian disaring menggunakan kertas saring dan dicuci
dengan 100 ml etanol 70% sebanyak dua kali dan dicuci sekali lagi
menggunakan 50 ml etanol 96%.
f. Gumpalan pektin kemudian dikeringkan dengan pengering kabinet suhu 55oC
selama 5 jam dan setelah kering dihancurkan kemudian diayak
menggunakan ayakan 60 mesh.
g. Analisis yang dilakukan pada bubuk pektin yang dihasilkan meliputi analisis
rendemen, kadar air, warna, berat ekivalen, kadar metoksil, kadar asam
galakturonat dan derajat esterifikasi.
29
Tahap 2. Pembuatan Bubuk Mangga, Bubuk Daun Mint, dan Serbuk
Effervescent
Proses pembuatan bubuk mangga sebagai berikut.
a. Buah mangga dicuci bersih kemudian dikupas kulitnya, setelah itu ditimbang
sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan.
b. Dihancurkan menggunakan blender selama 1 menit.
c. Ditambahkan dekstrin dan dihomogenkan.
d. Bubur mangga kemudian dioleskan di atas loyang beralas plastik untuk
dikeringkan menggunakan pengering kabinet suhu 60oC selama 6 jam.
e. Lapisan mangga kering dihancurkan dengan blender kering hingga
didapatkan bubuk mangga.
Proses pembuatan bubuk daun mint sebagai berikut (Modifikasi Sari, 2016).
a. Daun mint segar dicuci bersih.
b. Daun mint yang telah bersih diletakkan di atas loyang kemudian dikeringkan
menggunakan pengering kabinet dengan suhu 40oC selama 3 jam.
c. Daun mint kering dihancurkan dengan blender dan setelah halus diayak
menggunakan ayakan 60 mesh untuk mendapatkan bubuk daun mint.
Proses pembuatan serbuk effervescent sebagai berikut (Hudha dkk., 2015).
a. Bubuk pektin hasil ekstraksi, bubuk mangga dan bubuk daun mint ditimbang
sesuai dengan formulasi yang telah ditentukan.
b. Bubuk pektin hasil ekstraksi, bubuk mangga dan bubuk daun mint dicampur
dengan asam sitrat, asam tartrat, dekstrin, stevia dan sebagian PVP
dicampurkan menggunakan blender kering sehingga menghasilkan suatu
campuran yang disebut dengan komponen asam.
c. Sisa PVP kemudian dicampurkan dengan Na-bikarbonat menggunakan
blender kering dan menghasilkan campuran yang disebut sebagai komponen
basa.
d. Komponen asam dan komponen basa kemudian dicampurkan menggunakan
blender kering hingga homogen.
e. Serbuk effervescent diayak menggunakan ayakan 60 mesh.
f. Serbuk effervescent dianalisis kadar serat pangan, warna, kadar air,
kecepatan alir, waktu larut, sudut diam dan rehidrasi.
30
Tahap 3. Tahap Uji In Vivo
Semua tikus percobaan ditimbang berat badannya kemudian diadaptasi
dengan lingkungan penelitian selama tujuh hari dan dikelompokkan menjadi lima
kelompok acak dimana setiap kelompoknya terdiri dari enam ekor tikus. Pakan
yang diberikan pada tikus selama masa percobaan adalah pakan susu pap
dengan jumlah yang sama untuk masing-masing tikus, yaitu 15 g/hari.
Kelompok K1 (-) merupakan kelompok tikus tanpa diinduksi loperamid dan
empat kelompok lainnya yaitu K2 (+), K3, K4 serta K5 diinduksi dengan
loperamid sebanyak 3 mg/kg bb yang dilakukan selama tiga hari (Septiyanti,
2015). Setelah masa pengkondisian, maka dilanjutkan dengan masa perlakuan
selama lima hari dimana masing-masing tikus akan diberikan jumlah pakan yang
sama, namun dengan perlakuan pemberian minuman serbuk effervescent yang
berbeda. Kelompok K1 (-) dan K2 (+) hanya diberikan pakan tanpa perlakuan
sebanyak 15 g, kelompok K3 diberikan pakan dan serbuk effervescent sebanyak
90 mg/200 g bb sedangkan kelompok K4 diberikan pakan dan serbuk
effervescent sebanyak 180 mg/200 g bb, serta kelompok K5 diberikan pakan dan
suplemen Vegeta Herbal sebanyak 90 mg/200 g bb (Modifikasi Septiyanti, 2015).
Parameter yang diamati selama lima hari yaitu berat badan, jumlah konsumsi
pakan, volume minum dan frekuensi defekasi. Setelah perlakuan selama lima
hari, semua tikus dipuasakan selama 12-18 jam kemudian dilakukan
pembedahan untuk mendapatkan kolon tikus sebagai bahan uji histopatologi.
Perlakuan selama lima hari didasarkan pada masa konstipasi yang dialami
manusia pada umumnya yaitu 4-7 hari (Endyarni dan Syarif, 2004).
3.5 Analisis Data
Data yang diperoleh akan ditampilkan sebagai rata-rata dari setiap ulangan,
kemudian dianalisis dengan Analisis Ragam (ANOVA) dan apabila menunjukkan
perbedaan dilanjutkan dengan uji BNT menggunakan taraf signifikansi 5%.
Semua analisis data dilakukan dengan menggunakan program Microsoft Excel
dan Design Expert 7.5.1.
31
3.6 Diagram Alir
3.6.1 Diagram Alir Ekstraksi Pektin Kulit Pisang
Kulit Pisang
Pencucian
Na-metabisulfit 0,1% (b/v)
Perendaman 30 menit
Pemotongan
Pengeringan suhu 55oC selama 8 jam
Penghancuran
Pengayakan 60 mesh
Bubuk Kulit Pisang
Asam sitrat 5%
Pemanasan suhu 90oC selama 1 jam
Penyaringan
Ampas
Filtrat
Pemanasan di atas air mendidih selama 45 menit
Pendinginan
Etanol 96% (1:2)
Pengendapan selama 2 jam
Penyaringan
Gumpalan Pektin
2x100 ml Etanol 70%
50 ml Etanol 96% Pencucian
Pengeringan suhu 55oC selama 5 jam
Penghancuran
Pengayakan 60 mesh
Bubuk Pektin
Gambar 3.1 Diagram Alir Ekstraksi Pektin Kulit Pisang (Modifikasi Erawati, 2009)
Analisis:
- Rendemen
- Kadar air
- Warna
- Berat ekivalen
- Kadar metoksil
- Kadar asam galakturonat
- Derajat esterifikasi
32
3.6.2 Diagram Alir Pembuatan Bubuk Mangga
Mangga
Pencucian
Pengupasan
Penimbangan
Dekstrin 5% (b/b)
Penghancuran dan pencampuran
Bubur Mangga
Pengeringan suhu 60oC selama 6 jam
Penghancuran
Bubuk Mangga
Gambar 3.2 Diagram Alir Pembuatan Bubuk Mangga
3.6.3 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Daun Mint
Daun Mint
Pencucian
Pengeringan suhu 40oC selama 3 jam
Penghancuran
Pengayakan 60 mesh
Bubuk Daun Mint
Gambar 3.3 Diagram Alir Pembuatan Bubuk Daun Mint (Modifikasi Sari, 2016)
33
3.6.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent
Bubuk Pektin Kulit Pisang,
Bubuk Mangga, Bubuk Daun Mint
Pencampuran
Pengayakan 60 mesh
Serbuk Effervescent
Gambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent
(Modifikasi Prasetyo dkk., 2015)
Komponen asam: Asam sitrat 13% (b/b) Asam tartrat 7% (b/b) Stevia 5% (b/b)
PVP 1% (b/b)
Komponen basa: Na-bikarbonat 10% (b/b) PVP 1% (b/b)
Analisis: - Warna - Kadar air - Kecepatan alir - Waktu larut - Sudut diam - Rehidrasi
- Kadar serat pangan
34
3.6.5 Diagram Alir Uji In Vivo
Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo (Modifikasi Septiyanti, 2015)
Pengkondisian konstipasi selama 3 hari
30 ekor tikus
Adaptasi pakan susu pap selama 7 hari
K2 (+)
Aquades selama 5
hari
K3 Serbuk Effervescent
90 mg/200 g bb selama 5 hari
K4 Serbuk Effervescent
180 mg/200 g bb selama 5 hari
K5 Vegeta Herbal
90 mg/200 g bb selama 5 hari
K1 (-)
Aquades selama 5
hari
Penimbangan BB, sisa pakan, pengukuran volume minum, pengamatan frekuensi defekasi selama 5 hari
Pengambilan kolon (uji histopatologi kolon)
Analisis Data
Pembedahan
Induksi Loperamid
0,6 mg/200 g bb
Perlakuan sonde
35
IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik Bahan Baku
Bahan baku utama yang digunakan dalam ekstraksi pektin dan pembuatan
serbuk effervescent pada penelitian ini adalah bubuk kulit pisang agung semeru,
bubuk mangga podang, dan bubuk daun mint. Masing-masing bahan baku
dianalisis warna, rendemen, kadar air, dan kadar serat pangan total. Analisis
kadar pektin hanya dilakukan pada kulit pisang agung semeru. Rerata hasil
analisis bahan baku dapat dilihat pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Rerata Karakteristik Bahan Baku
Karakteristik Bahan
Bubuk kulit pisang Bubuk mangga Bubuk daun mint
Warna L* 57,60 ± 0,00 70,57 ± 1,76 49,90 ± 0,26 a* 3,03 ± 0,06 6,40 ± 0,46 -2,17 ± 0,15 b* 14,50 ± 0,10 30,20 ± 0,90 16,80 ± 0,20 Rendemen (%) 7,35 17,97 6,00 Kadar air (%) 1,99 ± 0,03 1,07 ± 0,08 2,07 ± 0,03 Kadar serat pangan (%)
61,89 ± 0,51 12,35 ± 0,31 44,34 ± 0,33
Serat tak larut (%) 51,70 ± 0,50 6,59 ± 0,07 42,54 ± 0,30 Serat larut (%) 10,23 ± 0,07 5,79 ± 0,33 1,63 ± 0,15
Keterangan: 1) Setiap data yang tercantum merupakan rerata dari tiga ulangan
2) Angka setelah ± merupakan standar deviasi
Analisis kadar pektin pada kulit pisang agung semeru dilakukan untuk
mengetahui seberapa besar kandungan pektin didalamnya, sehubungan dengan
digunakannya bahan ini untuk ekstraksi pektin. Kadar pektin kulit pisang agung
semeru yang diperoleh dari analisis sebanyak 0,32%. Kandungan pektin pada
satu bahan akan berbeda dengan bahan yang lain. Kandungan pektin pada kulit
pisang berkisar antara 0,9% dari berat kering (Hanum dkk., 2012). Perbedaan ini
bisa terjadi jika kulit pisang yang dianalisis berbeda jenis dan berbeda tingkat
kematangan. Menurut Tuhuloula dkk. (2013) kadar pektin kulit pisang yang
berbeda jenis akan berbeda pula, salah satunya karena perbedaan bentuk
fisiknya. Jika semakin besar bentuknya maka kandungan karbohidrat yang
terdapat dalam kulit pisang tersebut akan lebih banyak. Oleh karena banyaknya
kandungan karbohidrat yang terdapat pada kulit pisang tersebut maka semakin
banyak pula protopektin yang terhidrolisis menjadi pektin.
36
Atribut warna yang dianalisis meliputi intensitas kecerahan (L*), intensitas
kemerahan (a*), dan intensitas kekuningan (b*). Warna bubuk kulit pisang agung
semeru menunjukkan nilai intensitas kecerahan 57,60 atau cerah sedangkan
intensitas kemerahan 3,03 atau merah dan intensitas kekuningan 14,50 atau
kuning. Kenampakan visual warna bubuk kulit pisang agung semeru yaitu
cenderung kecoklatan. Warna coklat pada bahan terjadi karena proses
pengeringan bahan. Nurdjannah dan Hoerudin (2008) menyebutkan pengeringan
yang dilakukan pada ruang terbuka akan memicu reaksi pencoklatan yang lebih
besar karena ketersedian oksigen yang melimpah. Selain itu, perubahan warna
coklat pada bubuk kulit pisang diduga disebabkan oleh aktivitas enzim latent
polyphenol oxydase (LPPO). Enzim LPPO dapat mengkatalis reaksi oksidasi
senyawa polifenol menjadi kuinon yang selanjutnya membentuk polimer dan
menghasilkan warna coklat (Muharni dkk., 2011). Warna bubuk mangga podang
menunjukkan nilai intensitas kecerahan 70,57 atau sangat cerah sedangkan
intensitas kemerahan 6,40 atau merah dan intensitas kekuningan 30,20 atau
sangat kuning. Kenampakan visual warna bubuk mangga podang yaitu kuning
sangat cerah. Warna bubuk daun mint menunjukkan nilai intensitas kecerahan
49,90 atau cerah sedangkan intensitas kemerahan -2,17 atau hijau dan intensitas
kekuningan 16,80 atau kuning. Kenampakan visual warna bubuk daun mint ini
yaitu hijau dengan kecerahan yang cukup. Menurut Lawless dan Heymann
(1998) dalam Sari (2016), warna suatu bahan dipengaruhi oleh adanya cahaya
yang diserap dan dipantulkan dari bahan itu sendiri dan juga ditentukan oleh
faktor tiga dimensi yaitu warna produk, kecerahan produk dan kejelasan warna
produk.
Persen rendemen menunjukkan banyaknya bubuk yang didapatkan dari
proses penepungan bahan segar. Rendemen adalah persentase produk yang
didapatkan dari membandingkan berat awal bahan dengan berat akhirnya,
sehingga dapat diketahui kehilangan beratnya pada proses pengolahan.
Berdasarkan hasil analisis, rendemen bubuk kulit pisang agung semeru yang
dihasilkan sebanyak 7,35%. Rendemen bubuk mangga podang yang dihasilkan
sebanyak 17,97%. Rendemen bubuk daun mint yang dihasilkan sebanyak
6,00%. Semua bahan baku dalam bentuk bubuk ini memiliki ukuran 60 mesh
sesuai dengan proses terakhir pada setiap proses pembuatan bubuk bahan yaitu
pengayakan dengan ayakan 60 mesh.
37
Berdasarkan hasil analisa kadar air pada bahan baku, diketahui kadar air
bubuk kulit pisang agung semeru adalah 1,99%. Kadar air bubuk mangga
podang adalah 1,07% dan kadar air bubuk daun mint adalah 2,07%. Jamaluddin
dkk. (2014) menjelaskan bahwa air yang terikat dalam bahan pangan memiliki
karakteristik sifat yang berbeda dengan produknya karena jaringan matriks pada
produk pangan yang berbeda dengan bahan pangannya. Kadar air bubuk
mangga seharusnya lebih tinggi karena kandungan gula yang cukup tinggi
dimana gula tersebut memiliki sifat higroskopis.
Analisis kadar serat pangan dilakukan pada ketiga bahan baku. Diketahui
kadar serat pangan bubuk kulit pisang agung semeru sebanyak 61,89%. Kadar
serat pangan bubuk mangga podang sebanyak 12,35%. Sedangkan kadar serat
pangan bubuk daun mint sebanyak 44,34%. Masing-masing kadar serat pangan
tak larut dari bahan baku yaitu 51,70% untuk bubuk kulit pisang agung semeru,
6,59% untuk bubuk mangga podang, dan 42,54% untuk bubuk daun mint.
Sedangkan kadar serat pangan larut dari masing-masing bahan baku yaitu
10,23% untuk bubuk kulit pisang agung semeru, 5,79% untuk bubuk mangga
podang, dan 1,63% untuk bubuk daun mint. Kandungan serat pangan bahan
baku tersebut akan berpengaruh pada kandungan serat pangan yang dimiliki
produk serbuk effervescent.
4.2 Karakteristik Pektin Hasil Ekstraksi
Pektin hasil ekstraksi dari kulit pisang dianalisis rendemen, kadar air, warna,
berat ekivalen, kadar metoksil, kadar asam galakturonat dan derajat esterifikasi.
Rerata hasil analisis pektin hasil ekstraksi dapat dilihat pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2 Rerata Karakteristik Pektin Hasil Ekstraksi
Parameter Hasil Analisis
Rendemen (%) 12,95 Warna L* 56,83 ± 0,76 a* 13,20 ± 0,20 b* 11,23 ± 0,15 Kadar Air (%) 5,00 ± 0,14 Berat Ekivalen (mg) 1.010,21 ± 14,43 Kadar Metoksil (%) 5,02 ± 0,09 Kadar Asam Galakturonat (%) 45,94 ± 0,25 Derajat Esterifikasi (%) 62,07 ± 0,75
Keterangan: 1) Setiap data yang tercantum merupakan rerata dari dua
ulangan
2) Angka setelah ± merupakan standar deviasi
38
Berdasarkan hasil analisis, rendemen pektin yang dihasilkan dari limbah kulit
pisang agung semeru yaitu 12,95%. Rendemen pektin hasil ekstraksi
dipengaruhi oleh waktu, suhu, dan pH ekstraksi yang digunakan. Ekstraksi pektin
dari jenis bahan, suhu dan metode ekstraksi yang berbeda juga akan
mempengaruhi rendemen pektin yang terekstrak. Pada penelitian ini, ekstraksi
pektin kulit pisang agung semeru menggunakan pelarut asam sitrat 5% (pH 2)
dengan pemanasan suhu 90oC selama 1 jam. Berdasarkan penelitian Budiyanto
dan Yulianingsih (2008), semakin lama waktu dan semakin tinggi suhu ekstraksi
yang digunakan maka rendemen yang dihasilkan akan semakin besar. Suhu
ekstraksi yang tinggi menyebabkan peningkatan energi kinetik larutan sehingga
difusi pelarut ke dalam sel jaringan semakin meningkat. Selain itu, pH larutan
yang digunakan untuk ekstraksi pektin pun mempengaruhi rendemen. Ekstraksi
pektin menggunakan pelarut dengan pH rendah akan menghasilkan rendemen
yang tinggi karena proses hidrolisa protopektin menjadi pektin terjadi lebih
intensif (Gusti, 2008). Sedangkan menurut Nasution (2002) dalam Gusti (2008)
menyatakan bahwa jika pH larutan yang digunakan lebih rendah maka rendemen
pektin menurun karena senyawa pektin akan terdekomposisi menjadi asam
galakturonat.
Hasil analisis warna pektin kulit pisang agung semeru menunjukkan
intensitas kecerahan (L*) 56,83 atau cukup cerah dengan intensitas kemerahan
(a*) 13,20 atau merah dan intensitas kekuningan (b*) 11,23 atau kuning. Warna
suatu bahan dipengaruhi oleh adanya cahaya yang diserap dan dipantulkan dari
bahan itu sendiri dan juga ditentukan oleh faktor tiga dimensi yaitu warna produk,
kecerahan produk dan kejelasan warna produk (Lawless dan Heymann, 1998
dalam Sari, 2016). Jika diamati secara visual, bubuk pektin hasil ekstraksi kulit
pisang agung semeru berwarna coklat terang. Hal ini telah sesuai dengan
standar mutu warna pektin. Berdasarkan Farmakope Indonesia edisi V (2014),
penggambaran pektin berupa serbuk kasar atau halus, berwarna putih
kekuningan, hampir tidak berbau dan mempunyai rasa cenderung pahit. Menurut
Food Chemical Codex (1996) dalam Fitria (2013), pemerian pektin berupa serbuk
kasar hingga halus, berwarna putih kekuningan, kelabu atau kecoklatan. Menurut
Nurhayati dkk. (2016), warna pektin yang coklat dapat dikarenakan oleh adanya
polifenol atau pigmen larut air lain yang terperangkap di dalam pektin selama
proses presipitasi pektin.
39
Kadar air pektin kulit pisang agung semeru yang diperoleh dari hasil analisis
yaitu 5,00%. Berdasarkan Food Chemical Codex (1996) dalam Fitria (2013),
batas maksimum nilai kadar air yang diperbolehkan yaitu 12%. Maka kadar air
pektin kulit pisang agung semeru sesuai dengan syarat mutu pektin. Faktor yang
dapat mempengaruhi kadar air pektin hasil ekstraksi adalah proses pengeringan
(meliputi suhu dan waktu) dan kondisi penyimpanan pektin sebelum dilakukan
analisis kadar air. Kadar air bahan akan berpengaruh terhadap masa simpan
bahan.
Hasil analisis berat ekivalen pektin kulit pisang agung semeru yaitu 1.010,21
mg. Berdasarkan standar IPPA (International Pectin Producers Association) berat
ekivalen adalah 600-800 mg. Maka berat ekivalen pektin kulit pisang agung
semeru tidak sesuai dengan standar. Menurut Budiyanto dan Yulianingsih
(2008), kenaikan suhu dan waktu ekstraksi menyebabkan berat ekivalen pektin
semakin rendah.
Kadar metoksil pektin kulit pisang agung semeru berdasarkan hasil analisis
yaitu 5,02% yang kemudian disebut pektin dengan kadar metoksil rendah. Hal
tersebut merujuk pada ketentuan IPPA (International Pectin Producers
Association) yang menggolongkan pektin dengan kadar metoksil 2,5-7,12%
sebagai pektin berkadar metoksil rendah. Menurut Fitria (2013), kadar metoksil
yaitu jumlah metanol yang terdapat di dalam pektin. Kadar metoksil dapat
menentukan sifat fungsional larutan pektin dan mempengaruhi struktur serta
tekstur dari gel yang terbentuk.
Hasil analisis kadar asam galakturonat pektin kulit pisang agung semeru
adalah 45,94%. Ketentuan IPPA (International Pectin Producers Association)
tentang kadar asam galakturonat adalah minimal 35%. Maka kadar asam
galakturonat pektin kulit pisang agung semeru telah memenuhi standar. Menurut
Fitria (2013), kadar asam galakturonat serta muatan molekul pektin berperan
penting dalam penentuan sifat fungsional larutan pektin. Semakin tinggi nilai
kadar asam galakturonat maka semakin tinggi pula mutu pektin.
Derajat esterifikasi pektin kulit pisang agung semeru yang diperoleh dari hasil
analisis adalah 62,07%. Nilai derajat esterifikasi pektin dipengaruhi oleh nilai
kadar metoksil dan kadar asam galakturonat. Derajat esterifikasi menunjukkan
presentase jumlah residu asam D-galakturonat yang gugus karboksilnya
teresterifikasi dengan etanol (Whistler dan Daniel,1985 dalam Fitria, 2013).
Berdasarkan IPPA (International Pectin Producers Association), derajat
40
esterifikasi untuk pektin ester rendah maksimal 50%. Maka derajat esterifikasi
pektin kulit pisang agung semeru tidak sesuai dengan standar mutu pektin.
4.3 Formulasi Serbuk Effervescent
Formulasi yang tepat dalam pembuatan sebuah produk sangat penting.
Demikian pula dengan serbuk effervescent pada penelitian ini yang dibuat untuk
mengurangi gejala konstipasi pada tikus wistar, sehingga diharapkan serbuk
effervescent memiliki kadar serat pangan dan kelarutan yang optimum. Untuk
mendapatkan proporsi bahan yang tepat, maka dilakukan formulasi dengan
metode Response Surface Methodology (RSM) rancangan Central Composite
Design (CCD). Serbuk effervescent ini akan dibuat dengan tiga bahan utama
yaitu bubuk pektin hasil ekstraksi kulit pisang agung semeru, bubuk mangga, dan
bubuk daun mint. Formula yang diinginkan adalah formula dengan nilai kadar
serat pangan dan kelarutan yang optimum. Batasan level yang digunakan untuk
masing-masing bahan telah diketahui dari penelitian pendahuluan. Bubuk pektin
memiliki batasan level terendah 40% dan level tertinggi 50%, bubuk mangga
memiliki batasan level batasan terendah 30% dan level tertinggi 40%, dan bubuk
daun mint memiliki batasan level terendah 15% dan level tertinggi 25%.
Berdasarkan hasil analisis dari 20 formulasi yang telah dilakukan, diketahui
formula dengan kadar serat pangan dan kelarutan tertinggi yaitu formula dengan
proporsi bubuk pektin:bubuk mangga:bubuk daun mint masing-masing
40%:30%:25%. Data hasil analisis masing-masing formula dapat dilihat pada
Tabel 4.3. Prediksi model persamaan setiap respon selanjutnya dianalisis ragam
(ANOVA).
41
Tabel 4.3 Rerata Hasil Analisa Respon
Run Faktor 1
A: Bubuk pektin (%)
Faktor 2 B: Bubuk
mangga (%)
Faktor 3 C: Bubuk daun mint
(%)
Respon 1 Kadar serat pangan (%)
Respon 2 Kelarutan (%)
1 45,00 35,00 20,00 26,81±0,01 77,11±0,01 2 50,00 30,00 15,00 14,89±0,00 77,12±0,01 3 40,00 40,00 15,00 5,55%0,00 76,62±0,02 4 50,00 40,00 25,00 29,35±0,03 78,69±0,03 5 45,00 35,00 11,59 26,05±0,04 83,00±0,02 6 45,00 26,59 20,00 27,28±0,03 71,81±0,02 7 40,00 30,00 25,00 28,00±0,01 71,42±0,02 8 45,00 35,00 20,00 29,04±0,01 76,92±0,01 9 40,00 40,00 25,00 21,99±0,02 71,67±0,02
10 36,59 35,00 20,00 21,08±0,01 77,82±0,04 11 45,00 35,00 28,41 22,31±0,04 68,54±0,03 12 45,00 35,00 20,00 21,57±0,01 75,51±0,02 13 45,00 35,00 20,00 25,11±0,01 75,31±0,00 14 45,00 35,00 20,00 21,21±0,02 74,12±0,02 15 45,00 43,41 20,00 17,51±0,00 71,31±0,01 16 40,00 30,00 15,00 24,57±0,00 75,11±0,02 17 50,00 40,00 15,00 28,15±0,00 76,32±0,05 18 53,41 35,00 20,00 21,41±0,01 69,60±0,02 19 45,00 35,00 20,00 23,66±0,01 74,83±0,01 20 50,00 30,00 25,00 24,21±0,02 67,18±0,04
Keterangan: 1) Setiap data yang tercantum merupakan rerata dari tiga ulangan
2) Angka setelah ± merupakan standar deviasi
Analisis permukaan respon menggunakan rancangan Central Composite
Design (CCD). Pemilihan model yang sesuai untuk menentukan respon optimum
didasarkan pada jumlah kuadrat urutan model (Sequential Model Sum of
Squares), ringkasan model statistik (Model Summary Statistic), serta uji
ketidaktepatan model statistik (Lack of Fit Test).
Pemilihan model berdasarkan Sequential Model Sum of Squares pada
Lampiran 4 untuk respon kelarutan menunjukkan bahwa model yang terpilih
(Suggested) yaitu Linear vs mean karena memiliki nilai p 0,0112 (<0,05)
sehingga berpengaruh nyata terhadap respon kelarutan. Sedangkan model
Cubic vs Quadratic yang diamati tidak terpilih (Aliased) walaupun memiliki nilai
p<0,05. Pemilihan model berdasarkan Model Summary Statistic untuk respon
kelarutan menunjukkan bahwa model yang terpilih (Suggested) yaitu Linear.
Pemilihan model berdasarkan Lack of Fit Test untuk respon kelarutan
menunjukkan bahwa model yang terpilih (Suggested) yaitu Linear sedangkan
model yang tidak terpilih (Aliased) yaitu Cubic. Berdasarkan hasil dari tiga kriteria
pemilihan model, maka model yang terpilih untuk menjelaskan hubungan antara
42
variabel X1, X2, X3 (proporsi bubuk pektin, bubuk mangga, bubuk daun mint)
terhadap respon Y (kelarutan) adalah model Linear.
Sedangkan pemilihan model berdasarkan Sequential Model Sum of Squares
pada Lampiran 5 untuk respon kadar serat pangan menunjukkan bahwa model
yang terpilih (Suggested) yaitu 2FI vs Linear karena memiliki nilai p 0,0224
(<0,05) sehingga berpengaruh nyata terhadap respon kadar serat pangan.
Sedangkan model Cubic vs Quadratic yang diamati tidak terpilih (Aliased)
meskipun memiliki nilai p<0,05. Pemilihan model berdasarkan Model Summary
Statistic untuk respon kadar serat pangan menunjukkan bahwa model yang
terpilih (Suggested) yaitu 2FI sedangkan untuk model yang tidak terpilih (Aliased)
yaitu Cubic. Pemilihan model berdasarkan Lack of Fit Test untuk respon kadar
serat pangan menunjukkan bahwa model yang terpilih (Suggested) yaitu 2FI
sedangkan model yang tidak terpilih (Aliased) yaitu Cubic. Berdasarkan hasil dari
tiga kriteria pemilihan model, maka model yang terpilih untuk menjelaskan
hubungan antara variabel X1, X2, X3 (proporsi bubuk pektin, bubuk mangga,
bubuk daun mint) terhadap respon Y (kadar serat pangan) adalah model 2FI.
4.3.1 Analisis Ragam (ANOVA)
Berdasarkan analisis ragam (ANOVA) pada Lampiran 6 menunjukkan bahwa
model memberikan pengaruh nyata (α=0,05) terhadap respon kelarutan, dapat
dilihat dari nilai p<0,05 yaitu 0,0112. Hal ini menunjukkan bahwa variabel X1, X2,
X3 pada grafik Linear memberikan pengaruh yang signifikan terhadap respon
kelarutan. Tes Lack of Fit menunjukkan hasil yang signifikan dengan nilai p<0,05
yaitu 0,0129 sehingga model ini dianggap tepat. Dari ketiga bahan baku yang
digunakan, bubuk daun mint menunjukkan nilai p<0,05 atau berpengaruh nyata
terhadap respon kelarutan. Sedangkan dua bahan yang lain menunjukkan nilai
p>0,05 atau tidak berpengaruh nyata terhadap respon kelarutan. Hal ini terjadi
karena ketika analisis kelarutan dilakukan, produk serbuk effervescent tidak
dapat larut sempurna dalam aquades disebabkan oleh bubuk daun mint yang
tidak larut. Berdasarkan hasil analisis bahan baku, bubuk daun mint memiliki
kadar serat pangan tak larut sebesar 42,54%. Berikut ini persamaan dari model
terpilih terhadap respon yang dihasilkan.
Kelarutan = 86,56186 - 0,13670X1 + 0,17030X2 - 0,59353X3
43
Berdasarkan analisis ragam (ANOVA) pada Lampiran 7 menunjukkan bahwa
model memberikan pengaruh nyata (α=0,05) terhadap respon kadar serat
pangan, dapat dilihat dari nilai p<0,05 yaitu 0,0381. Hal ini menunjukkan bahwa
variabel X1, X2, X3 pada grafik 2FI memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap respon kadar serat pangan. Sedangkan Lack of Fit Test menunjukkan
hasil tidak signifikan dengan nilai p>0,05 yaitu 0,1527. Ketiga bahan baku yang
digunakan memiliki nilai p>0,05 atau tidak berpengaruh nyata terhadap respon
kadar serat pangan. Begitu pula dengan interaksi antar bahan baku, kecuali
interaksi antara bubuk pektin dengan bubuk mangga yang memiliki nilai p<0,05
atau berpengaruh nyata terhadap respon kadar serat pangan. Hal ini diduga
karena proporsi bubuk pektin dan bubuk mangga yang cenderung lebih besar
menyebabkan kadar serat produk effervescent lebih tinggi. Berdasarkan hasil
analisis bahan baku, bubuk pektin memiliki kadar serat pangan 61, 89% dan
bubuk mangga memiliki kadar serat pangan 12,35%. Berikut ini persamaan dari
model terpilih terhadap respon yang dihasilkan.
Kadar serat pangan = 333,56746 - 6,41563X1 - 10,59847X2 + 1,60094X3 +
0,21715X1X2 - 0,046750X1X3 + 0,024450X2X3
4.3.2 Pengaruh Proporsi Bahan terhadap Respon Kelarutan
Hubungan antara variabel proporsi bahan baku serbuk effervescent terhadap
respon kelarutan digambarkan melalui kontur plot dan grafik permukaan respon.
Gambar 4.1 (a) menunjukkan kurva Normal Plot of Residuals dari model yang
disarankan yaitu Linear. Tidak semua titik residual berada tepat di sepanjang
garis tengah antara persentase peluang kenormalan dengan residual. Namun
banyak titik residual yang sangat dekat dengan garis tengah. Hal ini
menunjukkan bahwa penyebaran data hasil analisis respon kelarutan cenderung
normal. Sedangkan Gambar 4.1 (b) menunjukkan kontur plot dengan sumbu X
merupakan proporsi bubuk pektin dan sumbu Y merupakan proporsi bubuk
mangga terhadap respon kelarutan. Garis garis yang melintang pada gambar
tersebut menunjukkan respon hasil analisa. Garis terluar pada kecerahan warna
yang tinggi menunjukkan nilai respon kelarutan tertinggi, sedangkan semakin
dalam garis pada kecerahan warna yang rendah menunjukkan nilai respon
kelarutan yang semakin rendah. Respon kelarutan optimum ditandai oleh titik
berwarna merah, sehingga diketahui respon kelarutan optimum pada interaksi
antara proporsi bubuk pektin dengan bubuk mangga yaitu 74,5%.
44
Gambar 4.1 (a) Kurva Normal Plot of Residuals (b) Kontur Plot (c) Kurva Permukaan Respon Variabel Pektin Kulit Pisang dan Mangga Podang terhadap Kelarutan
Design-Expert® Software
Kelarutan
Color points by value of
Kelarutan:
83
67.18
Internally Studentized Residuals
No
rma
l %
Pro
ba
bil
ity
Normal Plot of Residuals
-1.80 -0.66 0.47 1.61 2.75
1
5
10
20
30
50
70
80
90
95
99
Design-Expert® Software
Kelarutan
Design Points
83
67.18
X1 = A: Pektin Kulit Pisang
X2 = B: Mangga Podang
Actual Factor
C: Daun Mint = 20.00
40.00 42.50 45.00 47.50 50.00
30.00
32.50
35.00
37.50
40.00Kelarutan
A: Pektin Kulit Pisang
B:
Ma
ng
ga
Po
da
ng
73.4772
73.9888
74.5005
75.0122
75.5238
6
Design-Expert® Software
Kelarutan
Design points above predicted value
Design points below predicted value
83
67.18
X1 = A: Pektin Kulit Pisang
X2 = B: Mangga Podang
Actual Factor
C: Daun Mint = 20.00
40
42.5
45
47.5
50
30.00
32.50
35.00
37.50
40.00
72.9
73.975
75.05
76.125
77.2
K
ela
ruta
n
A: Pektin Kulit Pisang B: Mangga Podang
(a)
(b)
(c)
45
Gambar 4.1 (c) menunjukkan kurva permukaan respon variabel proporsi
bubuk pektin dan proporsi bubuk mangga terhadap respon kelarutan yang
disajikan dalam model kurva 3 dimensi. Semakin rendah proporsi bubuk pektin
dan semakin tinggi proporsi bubuk mangga yang digunakan pada pembuatan
produk effervescent maka akan semakin tinggi nilai respon kelarutan produk. Hal
ini disebabkan oleh kadar serat pangan larut dalam bubuk mangga podang yang
lebih tinggi daripada kadar serat pangan tak larut. Menurut Herlina (2008),
kelarutan didefinisikan dalam besaran kuantitatif sebagai konsentrasi zat terlarut
dalam larutan jenuh pada temperatur tertentu. Kelarutan suatu senyawa
tergantung pada sifat fisika kimia zat pelarut dan zat terlarut, temperatur, pH
larutan, dan tekanan. Proses pelarutan suatu bahan dapat digambarkan terjadi
dalam 3 tahap. Tahap pertama menyangkut pemindahan suatu molekul zat dari
zat terlarut atau pelepasan satu molekul dari kristal solut pada temperatur
tertentu. Tahap kedua menyangkut pembentukan lubang dalam pelarut yang
cukup besar untuk menerima molekul zat terlarut. Tahap ketiga molekul zat
terlarut akhirnya ditempatkan dalam lubang pelarut.
4.3.3 Pengaruh Proporsi Bahan terhadap Respon Kadar Serat Pangan
Hubungan antara variabel proporsi bahan baku serbuk effervescent terhadap
respon kadar serat pangan digambarkan melalui kontur plot dan grafik
permukaan respon. Gambar 4.2 (a) menunjukkan kurva Normal Plot of Residuals
dari model yang disarankan yaitu 2FI. Tidak semua titik residual berada tepat di
sepanjang garis tengah antara persentase peluang kenormalan dengan residual.
Namun banyak titik residual yang sangat dekat dengan garis tengah. Hal ini
menunjukkan bahwa penyebaran data hasil analisis respon kadar serat pangan
cenderung normal. Sedangkan Gambar 4.2 (b) menunjukkan kontur plot dengan
sumbu X merupakan proporsi bubuk pektin dan sumbu Y merupakan proporsi
bubuk mangga terhadap respon kadar serat pangan. Garis garis yang melintang
pada gambar tersebut menunjukkan respon hasil analisa. Respon kadar serat
optimum ditandai oleh titik berwarna merah, sehingga diketahui respon kadar
serat optimum pada interaksi antara proporsi bubuk pektin dengan bubuk
mangga.
46
Gambar 4.2 (a) Kurva Normal Plot of Residuals (b) Kontur Plot (c) Kurva Permukaan
Respon Variabel Pektin Kulit Pisang dan Mangga Podang terhadap Kadar Serat Pangan
Design-Expert® Software
Kadar Serat Pangan
Color points by value of
Kadar Serat Pangan:
29.35
5.55
Internally Studentized Residuals
No
rma
l %
Pro
ba
bil
ity
Normal Plot of Residuals
-2.19 -1.24 -0.28 0.67 1.63
1
5
10
20
30
50
70
80
90
95
99
Design-Expert® Software
Kadar Serat Pangan
Design Points
29.35
5.55
X1 = A: Pektin Kulit Pisang
X2 = B: Mangga Podang
Actual Factor
C: Daun Mint = 20.00
40.00 42.50 45.00 47.50 50.00
30.00
32.50
35.00
37.50
40.00Kadar Serat Pangan
A: Pektin Kulit Pisang
B:
Ma
ng
ga
Po
da
ng
16.9945
19.367
21.7394
21.7394
24.1119
24.1119
26.4843
26.4843
6
Design-Expert® Software
Kadar Serat Pangan
Design points above predicted value
Design points below predicted value
29.35
5.55
X1 = A: Pektin Kulit Pisang
X2 = B: Mangga Podang
Actual Factor
C: Daun Mint = 20.00
40.00 42.50 45.00 47.50 50.00 30.00
32.50 35.00
37.50 40.00
14
18
22
26
30
K
ad
ar
Se
rat
Pa
ng
an
A: Pektin Kulit Pisang B: Mangga Podang
(a)
(b)
(c)
47
Gambar 4.2 (c) menunjukkan kurva permukaan respon variabel proporsi
bubuk pektin dan proporsi bubuk mangga terhadap respon kadar serat pangan
yang disajikan dalam model kurva 3 dimensi. Kurva tersebut menunjukkan
semakin tinggi proporsi bubuk pektin dan semakin rendah proporsi bubuk
mangga yang digunakan pada pembuatan produk effervescent maka akan
semakin tinggi nilai respon kadar serat pangan produk. Namun tampak ada titik
balik yang menunjukkan bahwa titik tersebut adalah titik optimum respon kadar
serat pangan produk. Sehingga apabila proporsi bubuk pektin terus ditingkatkan
dan proporsi bubuk mangga terus diturunkan, maka respon kadar serat pangan
produk akan semakin menurun. Hal ini terjadi karena kadar serat pangan pada
kedua bahan yang cenderung tinggi akan mempengaruhi kandungan kimia lain
yang ada pada produk sehingga diduga akan terjadi penurunan karakteristik
kimia yang lain.
4.3.4 Verifikasi Hasil Optimum
Berdasarkan data analisis ragam respon kelarutan diketahui bahwa Lack of
Fit Test menunjukkan signifikan yang berarti ketidaksesuaian model
mempengaruhi hasil prediksi optimasi. Maka dari itu respon yang selanjutnya
diverifikasi adalah respon kadar serat pangan. Verifikasi respon kadar serat
pangan dapat dilihat pada Tabel 4.4. Nilai prediksi akan dapat diterima apabila
selisih kesalahan antara nilai respon dengan prediksi dari software tidak lebih
dari 5%. Berdasarkan hasil prediksi, titik optimum yang disarankan yaitu proporsi
bubuk pektin:bubuk mangga:bubuk daun mint masing-masing 40%:30%:25%
dengan respon kadar serat pangan sebesar 31,179% dan nilai desirability 1,00.
Dengan perbedaan nilai prediksi dan verifikasi sebesar 2,66%, maka nilai
prediksi dapat diterima.
Tabel 4.4 Verifikasi Respon Kadar Serat Pangan
Bubuk pektin
(%) Bubuk
mangga (%) Bubuk daun
mint (%) Kadar serat pangan (%)
Prediksi* 40 30 25 31,179 Verifikasi** 40 30 25 30,35 ± 1,9 Perbedaan (%) 2,66
Keterangan: *Hasil Perhitungan Software Design Expert
**Hasil Perhitungan Aktual
1) Data verifikasi merupakan rerata dari tiga kali ulangan
2) Angka setelah ± merupakan standar deviasi
48
Menurut Wu dkk. (2006) bahwa perbedaan nilai prediksi dan nilai hasil
penelitian tidak lebih dari 5% mengindikasikan bahwa model tersebut cukup tepat
digunakan. Menurut Raissi dan Farzani (2009), nilai desirability adalah nilai
fungsi tujuan optimasi yang menunjukkan kemampuan program untuk memenuhi
keinginan berdasarkan kriteria yang ditetapkan pada produk akhir. Nilai
desirability berkisar antara 0,9-1,0 dimana semakin mendekati nilai 1,0
menunjukkan kemampuan program untuk menghasilkan produk yang
dikehendaki semakin sempurna.
4.4 Karakteristik Serbuk Effervescent
Produk serbuk effervescent dibuat dari bubuk pektin hasil ekstraksi kulit
pisang agung semeru, bubuk mangga podang, dan bubuk daun mint yang
kemudian dicampurkan dengan komponen asam dan komponen basa. Serbuk
effervescent tersebut selanjutnya dianalisis meliputi kadar air, kecepatan alir,
sudut diam, waktu larut, rehidrasi, dan warna. Rerata hasil analisis serbuk
effervescent dapat dilihat pada Tabel 4.5.
Tabel 4.5 Karakteristik Serbuk Effervescent
Parameter Hasil Analisis
Kadar air (%) 6,46 ± 0,36 Kecepatan alir (g/detik) 11,73 ± 1,07 Sudut diam (
o) 67,44 ± 1,94
Waktu larut (detik) 105 ± 0,08 Rehidrasi (%) 9,04 ± 0,06 Warna L* 48,00 ± 0,83 a* -0,06 ± 0,06 b* 11,60 ± 0,12 Kadar serat pangan (%) 30,35 ± 1,89 Serat tak larut (%) 14,92 ± 0,34 Serat larut (%) 15,43 ± 1,88
Keterangan: 1) Setiap data yang tercantum merupakan rerata dari tiga
ulangan
2) Angka setelah ± merupakan standar deviasi
Berdasarkan data pada Tabel 4.5 dapat diketahui kadar air produk serbuk
effervescent pektin kulit pisang, mangga dan daun mint yaitu 6,46%. Kadar air
yang rendah baik untuk penyimpanan sediaan dalam jangka waktu yang lebih
lama sedangkan kadar air yang tinggi merupakan media yang baik untuk
pertumbuhan mikroorganisme seperti kapang. Kandungan lembab serbuk
effervescent yang baik yaitu kurang dari 3% (Fausett, 2000 dalam Kholidah dkk.,
49
2014). Maka kadar air produk pada penelitian ini tidak memenuhi syarat mutu.
Hal ini terjadi karena ada penambahan bubuk mangga podang dimana selama
penyimpanan, bubuk menggumpal akibat tingginya kandungan gula pada
mangga dan waktu penyimpanan yang cukup lama yang memungkinkan bubuk
mangga menyerap uap air. Selain itu, penambahan asam sitrat pada produk juga
mempengaruhi tingginya kadar air produk. Sesuai dengan pendapat Lieberman
dkk. (1994) dalam Widyaningrum dkk. (2015) asam sitrat merupakan salah satu
asidulan yang sangat higroskopis sehingga serbuk effervescent dengan
penambahan asam sitrat sangat rentan menyerap air pada saat proses
pembuatannya.
Hasil analisis kecepatan alir produk serbuk effervescent pektin kulit pisang,
mangga dan daun mint yaitu 11,73 g/detik. Waktu alir yang baik adalah ≤10
gram/detik atau 100 gram ≤10 detik (Wells, 1987 dalam Hudha dkk., 2015).
Menurut Siregar dan Wikarsa (2010) sifat alir dipengaruhi oleh ukuran dan
bentuk partikel, partikel yang lebih besar dan bulat menunjukkan aliran yang lebih
baik. Menurut Prasetyo dkk. (2015) asam tartrat mempunyai densitas yang lebih
besar daripada asam sitrat sehingga granul yang mengandung asam tartrat lebih
banyak akan mempunyai densitas yang lebih besar. Dengan densitas yang lebih
besar, maka bobot molekul akan lebih besar sehingga akan semakin mudah
mengalir karena gaya gravitasi yang lebih besar.
Data hasil analisis menunjukkan sudut diam produk serbuk effervescent
pektin kulit pisang, mangga dan daun mint yaitu 67,44o. Sudut diam merupakan
sudut tetap yang terjadi antara timbunan partikel bentuk kerucut dengan bidang
horisontal bila sejumlah serbuk atau granul dituang dalam alat pengukur. Besar
kecilnya sudut diam dipengaruhi oleh bentuk, ukuran dan kelembaban granul.
Nilai sudut diam kurang dari atau sama dengan 30o menunjukkan bahwa bahan
dapat mengalir bebas, bila sudut diam lebih dari atau sama dengan 40o daya
mengalir kurang baik (Lachman, 1989 dalam Kholidah dkk., 2014). Dengan
demikian, sudut diam produk pada penelitian ini memiliki daya mengalir yang
kurang baik.
Berdasarkan data hasil analisis di atas, diketahui waktu larut produk serbuk
effervescent pektin kulit pisang, mangga dan daun mint yaitu 105 detik. Waktu
larut effervescent berkisar antara 1-2 menit dan memiliki residu dari bahan yang
tidak terlarut seminimal mungkin (Lachman, 2008). Atribut waktu larut produk
telah sesuai dengan teori.
50
Data hasil analisis menunjukkan rehidrasi produk serbuk effervescent pektin
kulit pisang, mangga dan daun mint yaitu 9,04%. Menurut Yuwono dan Susanto
(1998), pengujian rehidrasi atau penyerapan air penting untuk produk yang
memiliki kadar air relatif rendah (<14%), dimana pengujian ini bertujuan untuk
mengetahui sifat pangan setelah dikontakkan dengan udara yang biasanya
memiliki kadar air relatif tinggi sehingga dapat dilakukan usaha untuk
mempertahankan mutu produk. Daya serap air juga dapat dipengaruhi oleh kadar
air bahan. Semakin tinggi kadar air menunjukkan komponen hidroksil tepung
sudah berikatan dengan air sehingga daya serap airnya mengalami penurunan.
Daya serap air yang semakin besar menunjukkan kemampuan produk kering
menyerap air semakin besar, dan begitu pula sebaliknya. Daya serap air yang
besar sangat diharapkan pada produk kering, karena memberikan pengertian
bahwa produk kering tersebut mendekati bentuk semula atau memiliki mutu yang
baik (Asgar dan Musaddad, 2008).
Hasil analisis warna produk serbuk effervescent pektin kulit pisang, mangga
dan daun mint menunjukkan intensitas kecerahan (L*) 48,00 atau kurang cerah
dengan intensitas kemerahan (a*) -0,06 atau hijau dan intensitas kekuningan (b*)
11,60 atau kuning. Warna adalah salah satu komponen yang penting bagi suatu
produk pangan karena warna dapat digunakan sebagai parameter yang
menggambarkan tingkat kesegaran, kematangan, daya beli dan keamanan dari
suatu produk (Hatcher dkk., 2000 dalam Sari, 2016). Warna suatu bahan
dipengaruhi oleh adanya cahaya yang diserap dan dipantulkan dari bahan itu
sendiri dan juga ditentukan oleh faktor tiga dimensi yaitu warna produk,
kecerahan produk dan kejelasan warna produk (Lawless dan Heymann, 1998
dalam Sari, 2016). Jika diamati secara visual, warna produk serbuk effervescent
berwarna hijau agak gelap. Ini disebabkan oleh warna bubuk daun mint yang
dominan.
Kadar serat pangan produk serbuk effervescent adalah sebesar 30,35%.
Kadar serat pangan tersebut terdiri dari kadar serat pangan larut (15,43%) dan
serat pangan tidak larut (14,92%). Serat makanan bersifat hidrofilik atau
pembentuk massa. Efektivitas serat sebagai bahan pembentuk massa
tergantung pada jumlah, kemampuan mengikat air dan efektivitas produk
fermentasi yang meningkatkan efek laksatif (Eva, 2015).
51
4.5 Pengaruh Konsumsi Serbuk Effervescent pada Tikus Wistar Konstipasi
4.5.1 Pengaruh Konsumsi Serbuk Effervescent terhadap Jumlah Konsumsi
Pakan
Jumlah konsumsi pakan tikus didapatkan dengan cara penimbangan sisa
pakan tikus setiap hari selama masa perlakuan. Rerata jumlah konsumsi pakan
tikus merupakan rerata dari selisih jumlah pakan yang diberikan (15
gram/ekor/hari) dengan sisa pakan tikus selama masa perlakuan. Jumlah
konsumsi pakan tikus selama masa perlakuan sebanyak 9,91 gram sampai 13,45
gram/ekor/hari. Tikus yang mengkonsumsi pakan dengan jumlah terbesar adalah
tikus pada kelompok negatif, sedangkan tikus yang mengkonsumsi pakan
dengan jumlah terkecil adalah kontrol positif.
Keterangan: 1) Setiap data merupakan rerata dari lima ulangan
2) Angka dengan notasi berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata
(α=0,05)
3) Nilai BNT 5% yaitu 1,51
Gambar 4.3 Rerata Jumlah Konsumsi Pakan Tikus selama 5 Hari Perlakuan
13,45 b
9,91 a 11,34 ab 12,99 b 12,46 b
0
2
4
6
8
10
12
14
16
Kontrol negatif Kontrol positif Effervescent 90 mg/200 g bb
Effervescent 180 mg/200 g
bb
Vegeta Herbal
Re
rata
Jum
lah
Pak
an (
g/ek
or/
har
i)
Perlakuan
Jumlah Konsumsi Pakan Tikus
52
Berdasarkan hasil analisis ragam (ANOVA) rerata jumlah konsumsi pakan
tikus selama masa perlakuan yang terdapat pada Lampiran 10 menunjukkan
bahwa perlakuan pemberian minuman serbuk effervescent pektin kulit pisang,
mangga dan daun mint dengan dosis yang berbeda memberikan pengaruh nyata
(α=0,05) terhadap jumlah konsumsi pakan tikus. Dari data yang tersaji pada
Gambar 4.3 diketahui bahwa peningkatan dosis serbuk effervescent yang
diberikan pada tikus menunjukkan peningkatan jumlah konsumsi pakan
dibandingkan dengan dosis pertama. Hal ini tidak sesuai dengan hasil penelitian
sejenis. Menurut Septiyanti (2015) penambahan dosis minuman berserat pada
tikus menunjukkan penurunan jumlah konsumsi pakan. Hal ini dikarenakan
kandungan serat yang terdapat dalam minuman serat dapat menimbulkan rasa
kenyang. Serat tidak dicerna dalam lambung sehingga menyebabkan rasa
kenyang dalam waktu yang cukup lama. Ketidaksesuaian ini diduga terjadi akibat
kebiasaan pola makan tikus selama masa pemeliharaan sebelum masa
perlakuan yang cenderung rakus atau pakan yang disediakan selalu habis.
Selain itu, kondisi konstipasi yang berkurang akibat pemberian minuman serat
dapat mengembalikan nafsu makan yang sempat hilang saat kondisi sakit
(konstipasi).
Berdasarkan data tersebut juga dapat diketahui perbedaan jumlah konsumsi
pakan dari masing-masing kelompok perlakuan. Hasil uji BNT (α=0,05)
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata antara kelompok kontrol negatif
dengan kontrol positif, artinya jumlah konsumsi pakan tikus sakit (konstipasi)
berbeda dengan jumlah konsumsi pakan tikus sehat. Jumlah konsumsi pakan
tikus sakit (konstipasi) lebih sedikit karena menurunnya nafsu makan. Kelompok
dengan pemberian serbuk effervescent dosis 90 mg/200 g bb menunjukkan
rerata yang berbeda dengan kelompok pemberian serbuk effervescent dosis 180
mg/200 g bb walaupun sebenarnya cenderung sama. Kelompok perlakuan
pemberian serbuk effervescent tidak berbeda nyata dengan kelompok kontrol
negatif, hal ini menunjukkan bahwa konsumsi serbuk effervescent dapat
mengurangi gejala konstipasi tikus hingga hasilnya cenderung sama dengan
tikus sehat. Kelompok pembanding (konsumsi Vegeta Herbal) tidak berbeda
nyata dengan kelompok pemberian serbuk effervescent dosis 180 mg/200 g bb,
maka serbuk effervescent pektin kulit pisang, mangga dan daun mint dapat
mengurangi gejala konstipasi seperti minuman serat komersil Vegeta Herbal.
53
4.5.2 Pengaruh Konsumsi Serbuk Effervescent terhadap Volume Minum
Volume minum tikus didapatkan dengan cara pengukuran volume sisa minum
tikus setiap hari selama masa perlakuan. Rerata volume minum tikus merupakan
rerata dari selisih volume minum yang diberikan (75 ml/ekor/hari) dengan sisa
volume minum tikus selama masa perlakuan. Volume minum tikus selama masa
perlakuan sebanyak 22,76 ml sampai 27 ml/ekor/hari. Tikus yang minum dengan
volume terbesar adalah tikus pada kelompok negatif, sedangkan tikus yang
minum dengan volume terkecil adalah kontrol positif.
Keterangan: 1) Setiap data merupakan rerata dari lima ulangan
2) Angka dengan notasi berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata
(α=0,05)
3) Nilai BNT 5% yaitu 3,13
Gambar 4.4 Rerata Volume Minum Tikus selama 5 Hari Perlakuan
Berdasarkan hasil analisis ragam (ANOVA) rerata jumlah konsumsi pakan
tikus selama masa perlakuan yang terdapat pada Lampiran 11 menunjukkan
bahwa perlakuan pemberian minuman serbuk effervescent pektin kulit pisang,
mangga dan daun mint dengan dosis yang berbeda memberikan pengaruh nyata
(α=0,05) terhadap volume minum tikus. Dari data yang tersaji pada Gambar 4.4
diketahui bahwa kelompok kontrol positif memiliki rerata volume minum terkecil
27,68 b22,76 a 25 ab 26,68 b 25,84 ab
0
5
10
15
20
25
30
35
Kontrol negatif Kontrol positif Effervescent 90 mg/200 g bb
Effervescent 180 mg/200 g
bb
Vegeta Herbal
Rer
ata
Vo
lum
e M
inu
m (
ml/
eko
r/h
ari)
Perlakuan
Volume Minum Tikus
54
yang berarti volume minum kelompok tikus sakit (konstipasi) lebih sedikit
dibandingkan dengan kelompok lain. Hal ini terjadi karena induksi loperamid
yang diberikan pada tikus. Hal serupa terjadi pada penelitian Tosan dkk. (2014)
yang menunjukkan konsumsi air minum kelompok positif (konstipasi) paling
sedikit di antara semua kelompok perlakuan. Hal ini karena pengaruh induksi
obat (loperamid) yang mungkin terhitung pada pengurangan kandungan air pada
feses.
Hasil uji BNT (α=0,05) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata antara
kelompok kontrol negatif dengan kontrol positif, artinya volume minum tikus sakit
(konstipasi) berbeda dengan volume minum tikus sehat. Kelompok dengan
pemberian serbuk effervescent dosis 90 mg/200 g bb menunjukkan rerata yang
berbeda dengan kelompok pemberian serbuk effervescent dosis 180 mg/200 g
bb walaupun sebenarnya cenderung sama. Kelompok perlakuan pemberian
serbuk effervescent tidak berbeda nyata dengan kelompok kontrol negatif, hal ini
menunjukkan bahwa konsumsi serbuk effervescent dapat mengurangi gejala
konstipasi tikus hingga hasilnya cenderung sama dengan tikus sehat. Kelompok
pembanding (konsumsi Vegeta Herbal) menunjukkan rerata yang berbeda
walaupun sebenarnya cenderung sama dengan kelompok pemberian serbuk
effervescent dosis 180 mg/200 g bb, maka serbuk effervescent pektin kulit
pisang, mangga dan daun mint dapat mengurangi gejala konstipasi seperti
minuman serat komersil Vegeta Herbal.
4.5.3 Pengaruh Konsumsi Serbuk Effervescent terhadap Frekuensi Defekasi
Frekuensi defekasi tikus didapatkan dengan cara menghitung feses yang
dikeluarkan tikus (defekasi) setiap hari selama masa perlakuan. Rerata frekuensi
defekasi tikus merupakan rerata jumlah defekasi selama masa perlakuan.
Frekuensi defekasi tikus selama masa perlakuan sebanyak 29,92 kali sampai
45,4 kali/ekor/hari. Tikus yang memiliki frekuensi defekasi terbesar adalah tikus
pada kelompok pemberian serbuk effervescent dosis 180 mg/200 g bb,
sedangkan tikus yang memiliki frekuensi defekasi terkecil adalah kontrol positif.
55
Keterangan: 1) Setiap data merupakan rerata dari lima ulangan
2) Angka dengan notasi berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata
(α=0,05)
3) Nilai BNT 5% yaitu 6,43
Gambar 4.5 Rerata Frekuensi Defekasi Tikus selama 5 Hari Perlakuan
Berdasarkan hasil analisis ragam (ANOVA) rerata jumlah konsumsi pakan
tikus selama masa perlakuan yang terdapat pada Lampiran 12 menunjukkan
bahwa perlakuan pemberian minuman serbuk effervescent pektin kulit pisang,
mangga dan daun mint dengan dosis yang berbeda memberikan pengaruh nyata
(α=0,05) terhadap frekuensi defekasi tikus. Dari data yang tersaji pada Gambar
4.5 diketahui bahwa kelompok kontrol positif memiliki rerata frekuensi defekasi
terkecil yang berarti frekuensi defekasi kelompok tikus sakit (konstipasi) lebih
sedikit dibandingkan dengan kelompok lain. Hal ini terjadi karena induksi
loperamid yang diberikan pada tikus dan kurangnya asupan sumber serat
sehingga tikus konstipasi dan frekuensi defekasinya berkurang.
Hasil uji BNT (α=0,05) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata antara
kelompok kontrol negatif dengan kontrol positif, artinya frekuensi defekasi tikus
sakit (konstipasi) berbeda dengan frekuensi defekasi tikus sehat. Kelompok
perlakuan pemberian serbuk effervescent tidak berbeda nyata dengan kelompok
kontrol negatif, hal ini menunjukkan bahwa konsumsi serbuk effervescent dapat
mengurangi gejala konstipasi tikus hingga hasilnya cenderung sama dengan
tikus sehat. Kelompok pembanding (konsumsi Vegeta Herbal) menunjukkan tidak
39,52 b29,92 a
41,68 b 45,4 b 43,76 b
0
10
20
30
40
50
60
Kontrol negatif Kontrol positif Effervescent 90 mg/200 g bb
Effervescent 180 mg/200 g
bb
Vegeta Herbal
Fre
kue
nsi
De
feka
si (
kali/
eko
r/h
ari)
Perlakuan
Frekuensi Defekasi Tikus
56
berbeda dengan kelompok pemberian serbuk effervescent. Konsumsi minuman
dengan kandungan serat ini menyebabkan meningkatnya frekuensi defekasi.
Defekasi adalah pengeluaran sisa-sisa makanan (kotoran/tinja/feses) yang
tidak dapat dicerna dalam saluran pencernaan melalui anus. Efek defekasi
diduga karena konsumsi minuman dengan kandungan serat sehingga gejala
konstipasi pada tikus berkurang. Menurut Ambarita dkk. (2014) terdapat
hubungan yang signifikan antara asupan serat dengan frekuensi defekasi.
Penelitian yang dilakukan Eva (2015) juga menyatakan bahwa ketidakcukupan
konsentrasi asupan serat makanan berpengaruh secara signifikan terhadap
kejadian konstipasi. Membuktikan bahwa asupan serat makanan yang cukup
sesuai dengan asupan serat makanan dengan standar kecukupan dapat
mengurangi resiko konstipasi.
Jenis serat larut dapat menahan air lebih besar dibandingkan serat tak larut,
tetapi hal ini juga dipengaruhi pH saluran cerna, besarnya partikel serat dan juga
proses pengolahannya. Akibat kemampuan menahan air ini serat akan
membentuk cairan kental yang memiliki beberapa pengaruh terhadap saluran
cerna, yaitu waktu pengosongan lambung lebih lama, mengurangi bercampurnya
isi saluran cerna dan enzim pencernaan, menghambat fungsi enzim, mengurangi
kecepatan penyerapan nutrisi, serta mempengaruhi waktu transit di usus (Tala,
2009). Mudahnya proses defekasi berkaitan dengan kadar air dan berat feses.
Rerata berat feses dan kadar air feses masing-masing kelompok dapat dilihat
pada Tabel 4.6.
Tabel 4.6 Rerata Berat Feses dan Kadar Air Feses selama 5 Hari Perlakuan
Perlakuan Berat Feses (g/butir/hari)
Kadar Air Feses (%/hari)
Kontrol negatif 0,23±0,03 b 54,32±2,29 c Kontrol positif 0,14±0,02 a 37,07±3,58 a Effervescent 90 mg/200 g bb 0,22±0,04 b 50,04±2,69 b Effervescent 180 mg/200 g bb 0,23±0,07 b 55,08±2,44 c Vegeta Herbal 0,21±0,06 b 50,27±3,54 b
Nilai BNT (α=0,05) 0,03 5,33
Sumber: Fitria, 2017
Keterangan: 1) Setiap data yang tercantum merupakan rerata dari lima ulangan
2) Angka setelah ± merupakan standar deviasi
57
Berdasarkan data tersebut, dapat diketahui bahwa konsumsi minuman serat
serbuk effervescent dan Vegeta Herbal (produk komersil) oleh tikus konstipasi
cenderung meningkatkan berat feses dan kadar air jika dibandingkan dengan
tikus konstipasi yang tidak mengkonsumsi minuman serat. Peningkatan berat
feses dan kadar air pada kelompok tikus yang diberikan serbuk effervescent
dikarenakan kandungan serat yang terdapat di dalam produk mampu mengikat
air yang menyebabkan volume feses meningkat dan cenderung lunak sehingga
feses akan mudah dikeluarkan tanpa harus kontraksi otot usus yang berlebihan
(Fitria, 2017).
4.5.4 Pengaruh Konsumsi Serbuk Effervescent terhadap Histopatologi
Kolon Tikus
Hasil pengamatan preparat histopatologi dengan pewarnaan Hematoxilin
Eosin (HE) kelima kelompok perlakuan yaitu kelompok positif, kelompok negatif,
kelompok serbuk effervescent dosis 90 mg/200 g bb, kelompok serbuk
effervescent dosis 180 mg/200 g bb, dan kelompok Vegeta Herbal dapat dilihat
pada Gambar 4.6.
Berdasarkan Gambar 4.6 dapat diamati bahwa pada kontrol negatif tidak
terjadi kerusakan lapisan mukosa, vili tampak tersusun rapi dan teratur.
Sedangkan pada kontrol positif terdapat kerusakan di daerah mukosa kolon,
susunan vili tidak rapi, ada infiltrasi sel radang. Menurut Gebeos (2003) dalam
Saptono dkk. (2015) peradangan pada kolon ditandai dengan adanya kerusakan
pada lapisan mukosa berupa kerusakan vili, diskuamasi epitel, pelebaran lamina
propia, banyaknya infiltrasi sel radang dan hilangnya sel goblet. Pada kelompok
konsumsi serbuk effervescent 90 mg/200 g bb, susunan vili tidak rapi dan masih
ada infiltrasi sel radang namun tidak separah kontrol negatif. Sedangkan pada
kelompok konsumsi serbuk effervescent 180 mg/200 g bb, susunan vili
cenderung rapi meskipun terdapat sedikit kerusakan mukosa. Kelompok
konsumsi Vegeta Herbal menunjukkan susunan vili tidak rapi dan masih ada
infiltrasi sel radang namun tidak separah kontrol negatif. Maka kelompok
konsumsi serbuk effervescent 180 mg/200 g bb menunjukkan kecenderungan
sembuh karena mirip dengan gambar kontrol negatif. Hal ini dikarenakan jumlah
serat yang dikonsumsi lebih banyak (dosis konsumsi lebih tinggi) daripada jumlah
serat pada Vegeta Herbal sehingga menunjukkan perbaikan yang lebih menonjol.
58
Gambar 4.6 Gambaran Histopatologi Kolon Tikus (a) Kontrol Negatif (b) Kontrol Positif
(c) Serbuk effervescent 90 mg/200 g bb (d) Serbuk effervescent 180 mg/200 g bb
(e) Vegeta Herbal
Menurut Junqueira dkk. (2007) sel-sel epitel mukosa kolon diketahui memiliki
tingkat regenerasi yang cepat, yaitu sekitar 3 sampai 6 hari. Sel-sel pada mukosa
kolon termasuk sel labil. Sel labil merupakan sel yang memiliki kemampuan
regenerasi yang tinggi, terjadi terus menerus dan mempunyai fase G0 yang
singkat (fase istirahat). Sel yang rusak merupakan stimulus untuk sel yang
istirahat untuk memasuki fase mitosis sel, sehingga terjadi perbaikan kerusakan
jaringan kolon. Menurut Kurniawan (2012), kekurangan serat makanan akan
menyebabkan feses menjadi keras dan diperlukan kontraksi otot yang besar
untuk mengeluarkannya (defekasi), hal ini sering kali menyebabkan konstipasi.
(a) (b)
(c) (d) (e)
Ket: tampak kerusakan vili tampak
vili normal
59
Bila hal ini berlangsung terus menerus maka otot menjadi lelah dan lemah
sehingga muncul penyakit divertikulosis. Menurut Jacobs (2007), istilah
divertikulosis menunjukkan adanya radang divertikulum atau divertikula, yang
biasanya disertai oleh perforasi mikroskopis. Sedangkan penyebab penyakit
divertikular kolon belum ditetapkan secara pasti, studi epidemiologi telah
menunjukkan hubungan antara divertikulosis dan makanan yang rendah serat
pangan dan tinggi karbohidrat olahan. Rendahnya asupan serat pangan
menghasilkan feses yang tidak terlalu besar sehingga kadar airnya rendah dan
dapat merubah waktu transit gastrointestinal, hal ini dapat meningkatkan tekanan
intrakolonik dan menyebabkan pengeluaran isi kolon lebih sulit. Otot-otot kolon
akan bekerja lebih keras untuk meremas feses yang cenderung lebih padat
konsistensinya sehingga mengakibatkan kerusakan mukosa kolon.
Serat makanan telah diketahui sebagai komponen penting untuk mencegah
dan berperan dalam penatalaksanaan beberapa penyakit. Diet tinggi serat
mempunyai korelasi negatif terhadap terjadinya kanker kolorektal. Ada beberapa
teori yang menerangkan bagaimana cara kerja serat dalam mencegah timbulnya
kanker kolorektal, dimana serat ini bekerja secara simultan bukan hanya dengan
satu cara. Serat diduga dapat mengurangi kontak antara substansi karsinogen
dengan mukosa usus, dengan cara meningkatkan massa feses atau dengan
memperpendek waktu transit isi usus melalui kolon dan rektum. Serat tak larut
dapat meningkatkan massa feses dengan kemampuannya mengabsorpsi air.
Serat larut dapat membentuk gel dan mempunyai kapasitas menahan air yang
lebih besar tetapi akan difermentasi oleh bakteri kolon. Karena resisten terhadap
degradasi, serat tak larut lebih efektif menambah massa feses dan
memperpendek waktu transit dibandingkan dengan serat larut (Winaktu, 2011).
Fermentasi serat pada saluran pencernaan akan memberikan efek fisiologis yang
paling penting dalam pencegahan kanker kolon. Lebih dari 75% serat pangan
dipecah dalam kolon menghasilkan karbon dioksida, hidrogen, metana, dan
asam lemak rantai pendek seperti butirat, propionat, dan asetat (Topping dan
Clifton, 2001). Butirat merupakan sumber energi utama bagi epitel kolon dan
menstimulasi pertumbuhan mukosa kolon. Asam lemak rantai pendek bersifat
volatil sehingga akan dengan mudah diserap oleh lumen. Akibatnya asam lemak
rantai pendek akan mengasamkan saluran pencernaan yang akan menghambat
kanker kolon (Sadek, 2012).
60
V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berikut ini adalah kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dilakukan.
1. Formulasi serbuk efferfescent pektin kulit pisang, mangga dan daun mint
dengan kadar serat optimum adalah formula dengan proporsi bahan baku
bubuk pektin kulit pisang:bubuk mangga:bubuk daun mint masing-masing
sebanyak 40%:30%:25%.
2. Konsumsi produk serbuk efferfescent pektin kulit pisang, mangga dan daun
mint memberikan pengaruh yang nyata terhadap peningkatan frekuensi
defekasi dan memberikan pengaruh terhadap perubahan yang menunjukkan
perbaikan gambaran histopatologi kolon tikus wistar konstipasi bila
dibandingkan dengan tikus wistar konstipasi yang tidak diberikan konsumsi
produk.
3. Dari dua dosis konsumsi produk serbuk efferfescent pektin kulit pisang,
mangga dan daun mint yang telah diujikan, maka dosis yang menunjukkan
hasil paling baik untuk menurunkan gejala konstipasi pada tikus wistar adalah
dosis 180 mg/200 g bb.
4. Jika dibandingkan dengan produk komersil maka konsumsi produk serbuk
efferfescent pektin kulit pisang, mangga dan daun mint dosis 180 mg/200 g
bb oleh tikus wistar konstipasi menunjukkan efek atau pengaruh yang lebih
baik daripada produk komersil Vegeta Herbal yang beredar di pasaran.
5.2 Saran
Berdasarkan adanya kekurangan dalam hasil penelitian ini, maka perlu
adanya perbaikan dalam beberapa hal. Diantaranya adalah perlu dilakukan
pengukuran sifat higroskopis dari produk serbuk effervescent. Perlu dilakukan
analisis kadar serat pangan pada produk komersil pembanding. Untuk uji secara
in vivo, perlu dilakukan analisis pH digesta dan analisis SCFA (asam lemak rantai
pendek) supaya efektivitas konsumsi produk dapat diketahui lebih spesifik. Uji
organoleptik produk juga perlu dilakukan untuk mengetahui apakah produk dapat
diterima oleh konsumen.
61
DAFTAR PUSTAKA
Amaliawati, Y. 2012. Potensi Mangga Podang Kediri.
https://bisnisukm.com/potensi-mangga-podang-kediri.html. Diakses pada
12 Agustus 2017.
Ambarita, E.M., S. Madanijah, dan N. M. Murdin. 2014. Hubungan asupan serat
makanan dan air dengan pola defekasi anak sekolah dasar di kota
Bogor. Jurnal Gizi dan Pangan Vol. 9(1):7-14
Anhwange, B. A., T. J. Ugye, dan T. D. Nyiaatagher. 2009. Chemical
Composition of Musa sapientum (Banana) Peels. Electronic Journal of
Environmental, Agricultural and Food Chemistry Vol. 8(6): 437-442
Anwar, E. 2012. Eksipien dalam Sediaan Farmasi: Karakteristik dan Aplikasi.
Dian Rakyat. Jakarta.
Arifin, S., Damanhuri, dan L. Soetopo. 2015. Observasi dan Karakterisasi
Pisang (Musa spp.) di Kecamatan Gucialit Kabupaten Lumajang.
Jurnal Produksi Tanaman Vol. 3(6): 480-486
Asgar, A dan D. Musaddad. 2008. Pengaruh Media, Suhu, dan Lama Blansing
Sebelum Pengeringan Terhadap Mutu Lobak Kering. Jurnal
Hortikultura 18(1):87-94
Ashari, 2006. Potensi Lembaga Keuangan Mikro (LKM) dalam Pembangunan
Ekonomi Pedesaan dan Kebijakan Pengembangannya. Jurnal Analisis
Kebijakan Pertanian Vol. 4(2)
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2013. Riset Kesehatan
Dasar. Kementerian Kesehatan RI. Jakarta.
Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2014. Batas Maksimum Penggunaan
Bahan Tambahan Pangan Pemanis. PerKBPOM RI No. 4 Tahun 2014.
Jakarta.
Badan Pusat Statistik, 2016. Tabel Dinamis Produksi Pisang Indonesia Tahun
2015. https://www.bps.go.id/site/resultTab. Diakses pada 5 Oktober 2016.
Beck, J. S. 2011. Cognitive Behavior Therapy Basics and Beyond: Second
Edition. A Division of Guilford Publications, Inc. USA.
Black, S. N. 2007. Structure, Solubility, Screening, and Synthesis of
Molecular Salts. in Rowe, R.C., Sheskey, P.J., and Quinn, M.E (Eds),
Sixth Edition. Handbook of Pharmaceutical Excipients p. 1053-1068
62
Budiyanto, A. dan Yulianingsih. 2008. Pengaruh Suhu dan Waktu Ekstraksi
Terhadap Karakter Pektin dari Ampas Jeruk Siam. Jurnal Pascapanen
Vol. 5(2): 37-44
Cunningham, C. L. dan G. A. Banez. 2006. Pediatric Gastrointestinal
Disorders: Biopsychosocial Assessment and Treatment. Springer.
USA. p. 127-160
Departemen Farmakologi dan Terapi UI. 2007. Farmakologi dan Terapi edisi 5.
Penerbit UI Press. Jakarta.
Dias, J. 2012. Penggunaan Ekstrak Condensed Tanin dan Saponin dari
Tanaman Pohon dalam Ransum dan Pengaruhnya Terhadap
Kecernaan dan Produksi Gas Secara In Vitro. Skripsi. Universitas
Tribhuwana Tunggadewi. Malang.
Endyarni, B. dan B. H. Syarif. 2004. Konstipasi Fungsional. Sari Pediatri Vol.
6(2):75-80
Erawati, F. 2009. Ekstraksi dan Karakterisasi Pektin Kulit Pisang (Kajian
Pelarut Asam dan Rasio Bahan : Pelarut Asam). Skripsi. Universitas
Brawijaya. Malang.
Eva, F. 2015. Prevalensi Konstipasi Dan Faktor Risiko Konstipasi Pada
Anak. Skripsi. Universitas Udayana. Denpasar.
Fitria, N. N. 2017. Integrated Food Therapy Product dari Formula Pektin Kulit
Pisang Agung Semeru, Mangga, dan Daun Mint sebagai Anti
Konstipasi pada Tikus Wistar (Kajian Uji Transit Gastrointestinal).
Skripsi. Universitas Brawijaya. Malang.
Fitria, V. 2013. Karakterisasi Pektin Hasil Ekstraksi dari Limbah Kulit Pisang
Kepok (Musa balbisiana ABB). Skripsi. UIN Syarif Hidayatullah.
Jakarta.
Fowomola, M. A. 2010. Some Nutrients And Antiutrients Contents of Mango
Seed. Journal of Food Science Vol. 4(8): 472-476
Gilbert, L. 2005. Mentha pipperita, The Plant and It’s Uses.
https://endermicplant/herb/html. Diakses pada 2 Oktober 2016.
Gusti, N. 2008. Pengaruh pH dan Lama Ekstraksi Terhadap Rendemen dan
Mutu Pektin dari Kulit Kakao. Skripsi. Universitas Andalas. Padang.
Guyton dan Hall. 2006. Gastrointestinal Physiology Ed. 11. Saunders.
Philadelphia. p. 771-825
63
Hanum, F., I. M. D. Kaban, dan M. A. Tarigan. 2012. Ekstraksi Pektin dari Kulit
Buah Pisang Raja (Musa sapientum). Jurnal Teknik Kimia USU Vol.
1(2): 21-26
Herlina, E. 2008. Upaya Peningkatan Kelarutan Hidroklortiazida dengan
Penambahan Surfaktan Tween 60. Skripsi. Universitas Muhammadiyah
Surakarta. Surakarta.
Hidayat, N. dan E. A. Saati. 2006. Membuat Pewarna Alami. Majalah. Trubus
Agrisarana. Surabaya.
Hudha, M. dan T. D. Widyaningsih. 2015. Serbuk Effervescent Berbasis
Ekstrak Daun Beluntas (Pluchea indica less) sebagai Sumber
Antioksidan Alami. Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 3(4): 1412-1422
IPPA (International Pectins Procedures Association). 2002. What is Pectin.
<http://www.ippa.info/history_of_pektin.htm>. Diakses pada 1 Agustus
2016.
Istichomah, S. N. 2013. Studi Proses Pengolahan Puree Mangga Podang
(Mangifera indica L.) sebagai Bahan Baku Olahan Lanjut (Kajian
Jenis dan Konsentrasi Filler). Skripsi. Universitas Brawijaya. Malang.
Jacobs, D. O. 2007. Diverticulitis. The New England Journal of Medicine Vol.
357(20):2057-2066
Johari, J. M. C. dan M. Rahmawati. 2006. Kimia SMA dan MA untuk Kelas XII.
Gelora Aksara Pratama. Jakarta.
Kholidah, S., Yuliet, dan A. Khumaidi. 2014. Formulasi Tablet Effervescent
Jahe dengan Variasi Konsentrasi Sumber Asam dan Basa. Journal of
Natural Science Vol. 3(3): 216-229
Kurniawan, A. B. 2012. Kadar Serat Kasar, Daya Ikat Air, dan Rendemen
Bakso Ayam dengan Penambahan Karagenan. Jurnal Aplikasi
Teknologi Pangan Vol. 1(2)
Kusumawati, D. 2004. Bersahabat dengan Hewan Coba. Gajahmada University
Pers. Yogyakarta.
Kusumo, S. dan F. A. Bahar. 1994. Koleksi, Konservasi, Evaluasi dan Utilisasi
Plasma Nutfah Pisang. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Hortikultura. Jakarta.
64
Lachman, L., H. A. Lieberman, J. B. Schwartz. 2008. Teori dan Praktek Farmasi
Industri (Terjemahan) Vol. 1. Marcel Dekker inc. New York.
Lestiany, L. dan Aisyah. 2011. Peran Serat dan Penatalaksanaan Kasus
Masalah Berat Badan. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta.
Melani, D. 2010. Uji Efek Antidiare Infusa Kayu Secang (Caesalpinia sappan
L.) Terhadap Mencit Jantan yang Diinduksi Oleum Ricini. Skripsi.
Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta.
Muharni, Dachriyanus, Husein, H., Bahti, Supriyatna. 2011. Evaluasi Aktivitas
Sitosik Senyawa Fenol dari Kulit Batang Manggis Hutan 10(1).
Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Mulawarman. Samarinda.
Muthi’ah. 2016. Optimasi Formula Bakso Edamame dengan Response
Surface Methodology (RSM) (Kajian Respon Kekenyalan dan Serat
Pangan). Skripsi. Universitas Brawijaya. Malang.
Najmuddin, M. 2015. Pengaruh Serbuk Effervescent Berbasis Cincau Hitam
(Mesora palustris BL.) Terhadap Sistem Imun Mencit Jantan yang
Diinfeksi Salmonella typhimurium. Skripsi. Universitas Brawijaya.
Malang.
Ni’maturrohmah, E. dan Yunianta. 2015. Hidrolisis Pati Sagu (Metroxylon sagu
Rottb.) oleh Enzim β-amilase untuk Pembuatan Dekstrin. Jurnal
Pangan dan Agroindustri Vol. 3(1): 292-302
Noerwahid, A. 2016. Formulasi Granul Effervescent Antioksidan Kombinasi
Ekstrak Kulit Manggis (Garcinia mangostana L.) dan Buah Tomat
(Solanum lycopersicum). Skripsi. Universitas Muhammadiyah
Surakarta. Surakarta.
Novidiyanto dan A. Setyowati. 2008. Formulasi Serbuk Effervescent Sari
Wortel (Daucus carrota). Agritech Vol. 28(4): 150-156
Nuratmi, B., D. Sundari, dan L. Widowati. 2005. Uji Khasiat Seduhan Rimpang
Bengle (Zingiber purpureum Roxb.) sebagai Laksansia pada Tikus
Putih. Media Litbang Kesehatan Vol. 15(3): 8-11
Nurdjannah, N. dan Hoerudin. 2008. Pengaruh Perendaman dalam Asam
Organik dan Metoda Pengeringan terhadap Mutu Lada Hijau Kering.
Bulletin Litro 19(2): 181-196
65
Nurhayati, N., M. Maryanto, dan R. Tafrikhah. 2016. Ekstraksi Pektin dari Kulit
dan Tandan Pisang dengan Variasi Suhu dan Metode. Agritech Vol.
36(3): 327-334
Nurmiah, S., Syarief, R., Sukarno, Peranginangin, R., dan Nurtama, B. 2013.
Aplikasi Response Surface Methodology pada Optimalisasi Kondisi
Proses Pengolahan Alkali Treated Cottoni (ATC). JPB Kelautan dan
Perikanan Vol. 8(2):9-22
Paramita, W. C. 2017. Pengaruh Waktu Blansing dan Jenis Bahan Pengisi
terhadap Sifat Fisikokimia Tepung Pepaya (Carica papaya L.). Skripsi.
Universitas Brawijaya. Malang.
Pasaribu, E. M. 2011. Isolasi Senyawa Flavonoida dari Kulit Batang
Tumbuhan Mangga. Skripsi. Universitas Sumatera Utara. Medan.
Prahardini, P. E. R., Yuniarti, dan A. Krismawati. 2010. Karakterisasi Varietas
Unggul Pisang Mas Kirana dan Agung Semeru di Kabupaten
Lumajang. Buletin Plasma Nutfah Vol. 16(2): 126-133
Prasetyo, G., I. Z. Zumroh, M. Etikasari, R. F. Wajdi, dan T. D. Widyaningsih.
2015. Formulasi Serbuk Effervescent Berbasis Cincau Hitam dengan
Penambahan Daun Pandan dan Jahe Merah. Jurnal Pangan dan
Agroindusti Vol. 3(1): 90-95
Rachmawaty, N. 2013. Pembuatan Pasta Mangga Podang (Mangifera indica
L.) (Kajian Konsentrasi Asam Sitrat dan Gula Pasir). Skripsi.
Universitas Brawijaya. Malang.
Rahmadianti, F. 2014. Dengan Cara Ini Kulit Pisang yang Bergizi Bisa Dibuat
Cheesecake Enak. http://food.detik.com/ramadan/read/2014/07/09/-
123224/2632288/297/dengan-cara-ini-kulit-pisang-yang-bergizi-bisa-
dibuat-cheesecake-enak. Diakses pada 30 September 2016.
Raissi, S. dan R. E. Farzani. 2009. Statistical Process Optimization through
Multi-Response Surface Methodology. World Academy of Science,
Engineering and Technology. p. 267-271
Ranganna, S. 2000. Hanbook of Analysis and Quality Control for Fruit and
Vegetable Products. Tata McGraw-Hill Publishing. New Delhi.
Riyan, A. 2011. Pisang. http://kebunpisang.com/pisang/. Diakses pada 29
September 2016.
66
Rowe, R.C., P. J. Sheskey dan E. M. Quinn. 2009. Handbook of
Pharmaceutical Excipients. Lexi-Comp. American Pharmaceutical
Association, Inc. USA.
Sadek, N. F. 2012. Pemberian Sorgum Menghambat Perkembangan Kanker
Kolon pada Mencit BALB/c Melalui Perbaikan Lingkungan Mikro
Kolon. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Saptono, H., Aulanni’am, dan Herawati. 2015. Terapi Perasan Buah Labu Siam
terhadap Aktivitas Protease dan Gambaran Histopatologi Kolon
Tikus IBD (Inflammatory bowel disease) Hasil Induksi Indometasin.
Skripsi. Universitas Brawijaya. Malang.
Saraswati, D. P., Suyamto, D. Setyorini dan A.I.G. Pratomo. 2001. Zona
Agroekologi Jawa Timur. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. Jawa
Timur.
Sari, C. P. 2013. Pembuatan Es Krim Rendah Lemak dengan Bahan Baku
Mangga Podang (Mangifera indica L.) dan Sari Kedelai (Glycine max
L.) (Kajian Konsentrasi Whipping Cream Non-Dairy dan CMC. Skripsi.
Universitas Brawijaya. Malang.
Sari, P. P. R. 2016. Pengaruh Proporsi Tepung Mengkudu (Morinda citrifolia)
dan Tepung Daun Mint (Mentha cordifolia) serta Konsentrasi
Sukrosa terhadap Karakteristik Fisik, Kimia dan Organoleptik dari
Tablet Herbal Buah Mengkudu. Skripsi. Universitas Brawijaya. Malang.
Satria, H. B. dan Y. Ahda. 2009. Pengolahan Limbah Kulit Pisang. Universitas
Diponegoro. Semarang.
Septiyanti, N. P. 2015. Efek Anti Konstipasi Jelly Drink Cincau Hitam
(Mesona palustris BL) pada Tikus Wistar Jantan yang Diinduksi
dengan Loperamid. Skripsi. Universitas Brawijaya. Malang.
Setyanti, C. A. 2014. Menghilangkan Bekas Jerawat dengan Daun Mint.
http://female.kompas.com/read/2014/03/23/1800122/Menghilangkan.Beka
s.Jerawat.dengan.Daun.Mint. Diakses pada 2 Oktober 2016.
Setyarini, D. 2009. Pengaruh Variasi Konsentrasi Polivinilpirolidon sebagai
Bahan Pengikat dan Manitol sebagai Bahan Pengisi Terhadap Sifat
Fisik dan Respon Rasa Tablet Effervescent Ekstrak Tanaman
Ceplukan (Physalis angulata L.). Skripsi. Universitas Muhammadiyah
Surakarta. Surakarta.
67
Srivastava, P. and R. Malviya. 2011. Sources of Pectin, Extraction and It’s
Application in Pharmaceutical Industry – An Overview. Indian Journal
of Natural Products and Resources. Vol. 2: 10-18
Supriyadi, S. Minarti, dan N. Cholis. 2014. Karakteristik Karkas Kelinci
Peranakan New Zealand White yang diberi Pakan Limbah Kubis
(Brassica oleracea) Tercemar Pesticida. Skripsi. Universitas Brawijaya.
Malang.
Surya, S. Y. 2016. Pemberian Ekstrak Etanol Daun Stevia (Stevia
rebaudiana) Mencegah Dislipidemia pada Tikus (Rattus norvegicus)
Wistar Jantan yang Diberikan Diet Tinggi Kolesterol. Tesis.
Universitas Udayana. Denpasar.
Surya, T. H. 2015. Formulasi Tablet Efervesen Antioksidan Ekstrak Kulit
Manggis (Garcinia mangostana L.) dengan Kombinasi Asam Sitrat-
Asam Tartrat. Skripsi. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta.
Susanti, L. 2006. Perbedaan Penggunaan Jenis Kulit Pisang Terhadap
Kualitas Nata. Skripsi. Universitas Negeri Semarang. Semarang.
Sutioso, H. 2012. Pemanfaatan Pektin yang Diisolasi dari Daun Jambu Biji
(Psidium guajava) dalam Uji In Vitro dan In Vivo Penurunan Kadar
Kolesterol. Skripsi. Universitas Indonesia. Depok.
Syamsul, E. S. dan Supomo. 2014. Formulasi Serbuk Effervescent Ekstrak
Air Umbi Bawang Tiwai (Eleuterine palmifolia) sebagai Minuman
Kesehatan. Traditional Medical Journal Vol.19(3): 113-117
Tala, Z. 2009. Manfaat Serat Bagi Kesehatan. USU Repository. Medan.
Tanjung, F. A. 2011. Hubungan Posisi Saat Buang Air Besar dengan
Kejadian Konstipasi Fungsional pada Anak. Tesis. Universitas
Sumatera Utara. Medan.
Testiningsih, R. F. 2015. Aktivitas Antioksidan Teh Daun Alpukat dengan
Variasi Penambahan Daun Mint dan Daun Stevia. Skripsi. Universitas
Muhammadiyah Surakarta. Surakarta.
Toepak, E. P., R. Retnowati, Masruri. 2013. Isolasi dan Karakterisasi Terhadap
Minyak Mint dari Daun Mentha arvensis Segar Hasil Distilasi Uap-Air.
Kimia Student Journal Vol. 2(2): 574-579
Topping, D. L. dan P. M. Clifton. 2001. Short-Chain Fatty Acid and Human
Colonic Function: Role of Resistant Starch and Nonstarch
Polysaccharides. Physiol Rev. 81. p. 1031
68
Tosan, C. A., S. M. Obidola, dan F. O. Philip. 2014. Loperamide Induces
Constipated Wister Rats: Laxative Role of Aqueous Extract of Acacia
ataxacantha Leaves. Journal of Pharmacy and Pharmateutical Sciences
Vol. 3(12): 189-199
Trissanthi, C. M. dan W. H. Susanto. 2016. Pengaruh Konsentrasi Asam Sitrat
dan Lama Pemanasan Terhadap Karakteristik Kimia dan
Organoleptik Sirup Alang-alang (Imperata cylindrical). Jurnal Pangan
dan Agroindustri Vol. 4(1): 180-189
Tuhuloula, A., L. Budiyarti, dan E. N. Fitriana. 2013. Karakterisasi Pektin
dengan Memanfaatkan Limbah Kulit Pisang Menggunakan Metode
Ekstraksi. Konversi Vol. 2(1): 21-27
Tyanjani, E. F. dan Yunianta. 2015. Pembuatan Dekstrin dari Pati Sagu
(Metroxylon sagus Rottb.) dengan Enzim β-amilase Terhadap Sifat
Fisiko Kimia. Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 3(3): 1119-1127
United States Department of Agriculture. 2016. National Nutrient Database for
Standard Reference, Peppermint Fresh.
https://ndb.nal.usda.gov/ndb/foods/show/306?fgcd=&manu=&lfacet=&for
mat=&count=&max=50&offset=&sort=default&order=asc&qlookup=peppe
rmint&ds=. Diakses pada 2 Oktober 2016.
Vaughan, K. D. 2006. Tartaric Acid, in Rowe, R.C., Sheskey, P.J., and Owen,
S.C (Eds). Handbook of Pharmaceutical Excipients, Fifth Edition.
Pharmacheutical Press London. Chicago. p. 770-771
Villasenor, I. M., E. Deborah, Echegoyen, S. Jennifer dan Angelada. 2002. A
New Antimutagen from Mentha cordifolia Opiz. Mutation Research
515. Institute of Chemistry and Natural Sciences Research. University of
the Philippines. Philippines.
Wasono, H. T. 2011. Mangga Podang, Buah Ajaib dari Lereng Wilis.
http://www.tempointeraktif.com/hg/surabaya/2011/10/05/brk,20111005359
947,id.html. Diakses pada 5 Oktober 2016.
Widyaningrum, A., M. Lutfi, dan B. D. Argo. 2015. Karakterisasi Serbuk
Effervescent dari Daun Pandan dengan Variasi Komposisi Jenis
Asam. Jurnal Bioproses Komoditas Tropis Vol. 3(2): 1-8
Wijayanti, N. 2013. Potensi Muelleri Glukomanan dari Porang sebagai
Prebiotik dan Anti Konstipasi pada Tikus Spraque dawley. Tesis.
Universitas Brawijaya. Malang.
69
Winaktu, G. J. 2011. Peran Serat Makanan dalam Pencegahan Kanker
Kolorektal. J. Kedokt Meditek Vol. 17(43):17-25
Winarti, N. S. S. 2008. Studi Pembuatan Effervescent Temulawak (Curcuma
xanthorrhiza Roxb.) Kajian Suhu Pengering, Konsentrasi Dekstrin,
Asam Sitrat dan Na-Bikarbonat. Tesis. Universitas Brawijaya. Malang.
Wong, W. W., E. T. Phuah, A. Al-Kharkhi, M. T. Liong, Nadiah, W.A. Rosma, A.
M. Easa. 2008. Biosorbent Ingradients from Durian Rind Waste.
School of Industrial Technology. University Sains Malaysia. Penang.
World Gastroenterology Organization. 2007. World Gastroenterology
Organization Practice Guidelines: Constipation. World
Gastroenterology Organization. p:1-10
Wulandari, S. 2010. Pengaruh Pemberian Cuka Apel dan Salak Terhadap
Kadar Glukosa Darah pada Tikus Wistar Jantan yang Diberi Diet
Tinggi Gula. Skripsi. Universitas Brawijaya. Malang.
Wyllie, R., R. E. Behrman, R. M. Kliegman dan H. B. Jenson. 2004. The
Digestive System. Saunders. Philadelphia.
Yuwono, S. S. dan T. Susanto. 1998. Pengujian Fisik Pangan. Malang.
Universitas Brawijaya.