85
PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT PISANG, MANGGA DAN DAUN MINT PADA FREKUENSI DEFEKASI DAN HISTOPATOLOGI KOLON TIKUS WISTAR KONSTIPASI SKRIPSI Oleh: ROFIQOH FAJARWATI 135100101111016 JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2017

PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

  • Upload
    others

  • View
    10

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT PISANG, MANGGA

DAN DAUN MINT PADA FREKUENSI DEFEKASI DAN HISTOPATOLOGI

KOLON TIKUS WISTAR KONSTIPASI

SKRIPSI

Oleh:

ROFIQOH FAJARWATI

135100101111016

JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2017

Page 2: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT PISANG, MANGGA

DAN DAUN MINT PADA FREKUENSI DEFEKASI DAN HISTOPATOLOGI

KOLON TIKUS WISTAR KONSTIPASI

Oleh:

ROFIQOH FAJARWATI

135100101111016

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Sarjana Teknologi Pertanian

JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2017

Page 3: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

i

LEMBAR PERSETUJUAN

Judul Skripsi : Pengaruh Konsumsi Effervescent Pektin Kulit Pisang,

Mangga, dan Daun Mint Pada Frekuensi Defekasi dan

Histopatologi Kolon Tikus Wistar Konstipasi

Nama : Rofiqoh Fajarwati

NIM : 135100101111016

Jurusan : Teknologi Hasil Pertanian

Fakultas : Teknologi Pertanian

Dosen Pembimbing I,

Dr. Ir. Tri Dewanti Widyaningsih, M. Kes. NIP 19610818 198703 2 001

Tanggal persetujuan:

Page 4: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

ii

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi : Pengaruh Konsumsi Effervescent Pektin Kulit Pisang,

Mangga, dan Daun Mint Pada Frekuensi Defekasi dan

Histopatologi Kolon Tikus Wistar Konstipasi

Nama : Rofiqoh Fajarwati

NIM : 135100101111016

Jurusan : Teknologi Hasil Pertanian

Fakultas : Teknologi Pertanian

Dosen Penguji I, Dosen Penguji II,

Wenny Bekti S., STP, M. Food St., PhD. Erryana Martati, STP, MP, PhD. NIP 19820405 200801 2 015 NIP 19691126 199903 2 003

Dosen Pembimbing I,

Dr. Ir. Tri Dewanti Widyaningsih, M. Kes. NIP 19610818 198703 2 001

Ketua Jurusan,

Prof. Dr. Teti Estiasih, STP, MP. NIP 19701226 200212 2 001

Tanggal lulus TA:

Page 5: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

iii

RIWAYAT HIDUP

Rofiqoh Fajarwati dilahirkan di Pasuruan pada tanggal

25 Desember 1994, yang merupakan anak pertama dari tiga

bersaudara dari pasangan Bapak Nuryasin dan Ibu Roidah.

Penulis dibesarkan di Sampang, Madura. Tahun 2001-2007

penulis mendapatkan pendidikan dasar di SDN

Gunongsekar 1 Sampang, lalu melanjutkan pendidikan

menengah pertama di SMPN 1 Sampang dan lulus pada

tahun 2010. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan menengah atas di SMAN

1 Sampang selama tiga tahun dan lulus pada tahun 2013. Selanjutnya penulis

melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi di Universitas Brawijaya, Fakultas

Teknologi Pertanian, Jurusan Teknologi Hasil Pertanian.

Pada masa pendidikannya, penulis aktif sebagai Asisten Praktikum

Penyuluhan dan Promosi Gizi Pangan serta mengikuti kegiatan kepanitiaan yaitu

sebagai anggota Divisi Pendamping dalam OPJH 2014. Penulis menyelesaikan

pendidikannya pada tahun 2017 dan mendapatkan gelar Sarjana Teknologi

Pertanian di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang.

Page 6: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Alhamdulillah Ya Allah…

Tak lupa ku mengucapkan rasa syukur ku padaMu

atas segala Rahmat yang ku terima.

Terima kasih ku ucapkan pada Ibu dan Bapakku serta kedua adikku

yang telah memberikan dukungan dan semangat padaku

untuk dapat menyelesaikan masa pendidikan ini dan meraih cita-citaku.

Terima kasih pula ku sampaikan pada guru dan teman-temanku

yang telah memberikan banyak pelajaran dalam hidup ini sehingga aku dapat

menjalankan kehidupan dengan mengerti arti kebersamaan.

Ku persembahkan karya kecil ini pada kalian yang ku sayangi.

Page 7: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

v

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama Mahasiswa : Rofiqoh Fajarwati

NIM : 135100101111016

Jurusan : Teknologi Hasil Pertanian

Fakultas : Teknologi Pertanian

Judul Skripsi : Pengaruh Konsumsi Effervescent Pektin Kulit Pisang,

Mangga, dan Daun Mint Pada Frekuensi Defekasi dan

Histopatologi Kolon Tikus Wistar Konstipasi

Menyatakan bahwa,

Skripsi dengan judul di atas merupakan karya asli penulis serta Dr. Ir. Tri

Dewanti Widyaningsih, M. Kes., selaku dosen pembimbing. Apabila di kemudian

hari terbukti pernyataan ini tidak benar, saya bersedia dituntut sesuai hukum

yang berlaku.

Malang, Agustus 2017

Pembuat Pernyataan,

Rofiqoh Fajarwati NIM 135100101111016

Page 8: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

vi

Rofiqoh Fajarwati. 135100101111016. Pengaruh Konsumsi Effervescent Pektin Kulit Pisang, Mangga, dan Daun Mint pada Frekuensi Defekasi dan Histopatologi Kolon Tikus Wistar Konstipasi. Skripsi. Pembimbing: Dr. Ir. Tri Dewanti Widyaningsih, M. Kes

RINGKASAN

Salah satu penyebab konstipasi adalah kurangnya asupan serat. Di samping

itu, diperlukan penanganan untuk memanfaatkan limbah kulit pisang yang mengandung senyawa pektin. Mangga memiliki kandungan serat pangan yang tinggi, sedangkan daun mint dapat memberikan efek dingin. Minuman serat dalam bentuk serbuk effervescent dapat menjadi solusi masalah konstipasi. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui formula, pengaruh dan dosis konsumsi serbuk effervescent pektin kulit pisang, mangga dan daun mint untuk menurunkan gejala konstipasi pada tikus wistar ditinjau dari frekuensi defekasi dan histopatologi kolon.

Penelitian ini dilakukan dengan tiga tahap. Tahap pertama yaitu ekstraksi pektin kulit pisang. Kemudian tahap kedua yaitu formulasi serbuk effervescent dengan tiga bahan baku yaitu pektin kulit pisang, mangga dan daun mint menggunakan Response Surface Methodology (RSM) rancangan Central Composite Design (CCD) untuk mendapatkan kadar serat pangan optimum. Selanjutnya formula yang didapatkan diolah menjadi serbuk effervescent. Tahap ketiga yaitu uji in vivo serbuk effervescent pada tikus wistar konstipasi menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 5 kelompok perlakuan. Jumlah tikus wistar yang digunakan adalah 30 ekor. Data dianalisis ragam (ANOVA) kemudian dilanjutkan dengan uji BNT 5%.

Formula dengan kadar serat pangan optimum ada pada proporsi bubuk pektin:bubuk mangga:bubuk daun mint masing-masing 40%:30%:25%. Karakteristik serbuk effervescent yang dihasilkan adalah sebagai berikut: kadar air 6,46%; kecepatan alir 11,73 g/detik; sudut diam 67,44o; waktu larut 105 detik; rehidrasi 9,04%; dan intensitas warna masing-masing L* 48,0; a* -0,06; b* 11,6. Setelah dilakukan uji in vivo diketahui bahwa perlakuan konsumsi serbuk effervescent memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah konsumsi pakan, volume minum, frekuensi defekasi (α=0,05) dan berpengaruh pada gambaran histopatologi kolon tikus. Kata kunci: Effervescent, Konstipasi, Serat Pangan

Page 9: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

vii

Rofiqoh Fajarwati. 135100101111016. Effect Consumption of Effervescent Banana Peels Pectin, Mango and Mint Leaves on Frequency of Defecation and Histopathology of Colon Constipated Wistar Rats. Essay.

Supervisor: Dr. Ir. Tri Dewanti Widyaningsih, M. Kes

SUMMARY

One of the causes of constipation is lack of fiber intake. In addition, handling

is required to utilize banana peel waste containing pectin compounds. Mango has a high content of dietary fiber, while mint leaves can provide a cool effect. Beverage fiber in the form of effervescent powder can be a constipation problem solution. The purpose of this research is to know the best formulation, the influence and dose of effervescent pectin of banana peel, mango and mint leaves to decrease constipation symptoms in wistar rats in terms of frequency of defecation and histopathology of colon.

This research was conducted in three stages. The first stage is banana peel pectin extraction. Then the second stage is effervescent powder formulation with three raw materials of banana peel pectin, mango and mint leaves using Central Composite Design (CCD) on Response Surface Method (RSM) to get optimum fiber content. Furthermore, the formula obtained is processed into effervescent powder. The third stage is in vivo test of powder effervescent intake in constipation wistar rats using Completely Randomized Design (CRD) with 5 treatment groups. The number of wistar rats used was 30 tails. Data analysis of variance (ANOVA) then continued with 5% Least Significant Difference (LSD) test.

The formula with optimum fiber content is in the proportion of pectin powder: mango powder: mint leaf powder respectively 40%: 30%: 25%. Characteristics of effervescent powder produced are 6.46% moisture content; flow rate 11.73 g / sec; angle of repose 67.44o; 105 sec soluble time; rehydration 9.04%; and the color intensity of each L* 48.0; a* -0.06; b* 11.6. After being tested in vivo in mind that treatment effervescent powder consumption provides significant effect on the amount of feed intake, drinking volume, frequency of defecation (α = 0.05) and the effect on rat colonic histopathology picture.

Keywords: Effervescent, Constipation, Dietary Fiber

Page 10: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT. yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-

Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Pengaruh

Konsumsi Effervescent Pektin Kulit Pisang, Mangga dan Daun Mint pada

Frekuensi Defekasi dan Histopatologi Kolon Tikus Wistar Konstipasi”.

Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Teknologi Pertanian pada Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas

Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-

besarnya kepada:

1. Dr. Ir. Tri Dewanti Widyaningsih, M. Kes., selaku Dosen Pembimbing yang

telah memberikan bimbingan, arahan dan ilmu kepada penulis,

2. Dr. Teti Estiasih, STP, MP, selaku Ketua Jurusan Teknologi Hasil Pertanian

Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya,

3. Wenny Bekti S., STP, M. Food St., PhD., selaku Dosen Penguji I yang telah

berbagi ilmu kepada penulis,

4. Erryana Martati, STP, MP, PhD., selaku Dosen Penguji II yang telah berbagi

ilmu kepada penulis,

5. Kedua orang tua dan saudara yang memberikan do’a dan dukungan,

6. Nike Nurlaily Fitria, sebagai rekan penelitian yang telah berbagi ilmu dan

memberikan dukungan semangat,

7. Pak Bekti, Pak Agus, Bu Luluk sebagai laboran di THP yang membimbing

selama penelitian,

8. Teman-teman “TDWsquad”, penghuni Laboratorium Nutrisi Pangan, dan THP

2013 yang telah banyak membantu penelitian dan berjuang bersama,

9. Sahabatku Tika Yulia, Qori, Fida, Ikhtiar, Anin, Lia yang telah memotivasi

penulis selama menyelesaikan skripsi.

Menyadari adanya keterbatasan pengetahuan, referensi dan pengalaman,

penulis mengharapkan saran dan masukan untuk perbaikan skripsi ini. Demikian

harapan penyusun semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis, pembaca

maupun semua pihak yang membutuhkan.

Malang, Agustus 2017

Penulis

Page 11: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

ix

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN i

LEMBAR PENGESAHAN ii

RIWAYAT HIDUP iii

HALAMAN PERSEMBAHAN iv

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI v

RINGKASAN vi

SUMMARY vii

KATA PENGANTAR viii

DAFTAR ISI ix

DAFTAR TABEL xi

DAFTAR GAMBAR xii

DAFTAR LAMPIRAN xiii

I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Perumusan Masalah 3

1.3 Tujuan 3

1.4 Manfaat 3

1.5 Hipotesis 4

II TINJAUAN PUSTAKA 5

2.1 Pisang Agung Semeru 5

2.2 Kulit Pisang 7

2.3 Pektin 8

2.4 Mangga Podang 10

2.5 Tanaman Mint 11

2.6 Serbuk Effervescent 12

2.7 Serat Pangan 13

2.8 Konstipasi 15

2.9 Loperamid 16

2.10 Bahan Tambahan 17

2.11 Ekstraksi 19

2.12 Uji In Vivo 20

2.13 Defekasi 21

Page 12: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

x

III METODE PENELITIAN 22

3.1 Tempat dan Waktu 22

3.2 Alat dan Bahan 22

3.3 Metode 23

3.4 Pelaksanaan 28

3.5 Analisis Data 30

3.6 Diagram Alir 31

IV HASIL DAN PEMBAHASAN 35

4.1 Karakteristik Bahan Baku 35

4.2 Karakteristik Pektin Hasil Ekstraksi 37

4.3 Formulasi Serbuk Effervescent 40

4.4 Karakteristik Serbuk Effervescent 48

4.5 Pengaruh Konsumsi Serbuk Effervescent pada Tikus Wistar

Konstipasi 51

V KESIMPULAN DAN SARAN 60

5.1 Kesimpulan 60

5.2 Saran 60

DAFTAR PUSTAKA 61

LAMPIRAN 70

Page 13: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

xi

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Karakteristik Buah Pisang Agung Semeru 6

Tabel 3.1 Rancangan Formulasi Serbuk Effervescent 24

Tabel 3.2 Kandungan Pakan Susu Pap 27

Tabel 4.1 Rerata Karakteristik Bahan Baku 35

Tabel 4.2 Rerata Karakteristik Pektin Hasil Ekstraksi 37

Tabel 4.3 Rerata Hasil Analisa Respon 41

Tabel 4.4 Verifikasi Respon Kadar Serat Pangan 47

Tabel 4.5 Karakteristik Serbuk Effervescent 48

Tabel 4.6 Rerata Berat Feses dan Kadar Air Feses

selama 5 Hari Perlakuan 56

Page 14: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Pisang Agung Semeru 5

Gambar 2.2 Kulit Pisang 7

Gambar 2.3 Struktur Kimia Pektin 8

Gambar 2.4 Buah Mangga Podang 10

Gambar 2.5 Daun Mint Segar 11

Gambar 3.1 Diagram Alir Ekstraksi Pektin Kulit Pisang 31

Gambar 3.2 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Mangga 32

Gambar 3.3 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Daun Mint 32

Gambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33

Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo 34

Gambar 4.1 (a) Kurva Normal Plot of Residuals (b) Kontur Plot

(c) Kurva Permukaan Respon Variabel Pektin Kulit Pisang

dan Mangga Podang terhadap Kelarutan 44

Gambar 4.2 (a) Kurva Normal Plot of Residuals (b) Kontur Plot

(c) Kurva Permukaan Respon Variabel Pektin Kulit Pisang

dan Mangga Podang terhadap Kadar Serat Pangan 46

Gambar 4.3 Rerata Jumlah Konsumsi Pakan Tikus selama

5 Hari Perlakuan 51

Gambar 4.4 Rerata Volume Minum Tikus selama 5 Hari Perlakuan 53

Gambar 4.5 Rerata Frekuensi Defekasi Tikus selama 5 Hari Perlakuan 55

Gambar 4.6 Gambaran Histopatologi Kolon Tikus (a) Kontrol Negatif

(b) Kontrol Positif (c) Serbuk effervescent 90 mg/200 g bb

(d) Serbuk effervescent 180 mg/200 g bb (e) Vegeta Herbal 58

Page 15: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Prosedur Analisis 70

Lampiran 2 Hasil Analisis Karakteristik Bahan Baku 77

Lampiran 3 Hasil Analisis Karakteristik Pektin Hasil Ekstraksi 78

Lampiran 4 Evaluasi Model RSM Respon Kelarutan 79

Lampiran 5 Evaluasi Model RSM Respon Serat Pangan 80

Lampiran 6 Analisis Ragam (ANOVA) Respon Kelarutan 81

Lampiran 7 Analisis Ragam (ANOVA) Respon Kadar Serat Pangan 82

Lampiran 8 Hasil Analisis Karakteristik Serbuk Effervescent 83

Lampiran 9 Data Berat Badan Tikus selama Perlakuan 84

Lampiran 10 Hasil Analisa Jumlah Konsumsi Pakan Tikus selama

Perlakuan 85

Lampiran 11 Hasil Analisa Volume Minum Tikus selama Perlakuan 86

Lampiran 12 Hasil Analisa Frekuensi Defekasi Tikus selama Perlakuan 87

Lampiran 13 Dokumentasi Penelitian 88

Lampiran 14 Sertifikat Kode Etik Penelitian 90

Page 16: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

14

Page 17: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

1

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Setiap individu memiliki pola defekasi berbeda yang dipengaruhi oleh

beberapa faktor antara lain asupan cairan, aktivitas dan asupan serat dalam

makanan yang dikonsumsi setiap harinya. Apabila konsumsi serat dalam

makanan, asupan cairan dan pemenuhan kebutuhan aktivitas tidak terpenuhi

maka akan menimbulkan gangguan di saluran pencernaan yaitu konstipasi.

United State Food Dietary Analysis menganjurkan total serat pangan yang perlu

dikonsumsi sebanyak 25-30 g per hari (Sari, 2016). Konstipasi adalah gangguan

atau kesulitan dalam buang air besar. Konstipasi terjadi karena lambatnya

gerakan peristaltik usus besar sehingga frekuensi defekasi berkurang yang

menyebabkan konsistensi feses bertambah keras. Hal ini diakibatkan oleh

lamanya proses absorbsi cairan yang ada pada feses dan akhirnya terjadi

penumpukan feses pada kolon desenden sehingga susah untuk buang air besar

(Nuratmi dkk., 2005). Angka prevalensi (tingkat kejadian) konstipasi di Indonesia

sebesar 3.857.327 jiwa berdasarkan data Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar)

tahun 2007 berkorelasi dengan pola hidup masyarakat Indonesia yang masih

kurang dalam mengonsumsi sumber makanan kaya serat.

Pisang adalah salah satu komoditas buah unggulan Indonesia. Pada tahun

2015, produksi tanaman pisang di Indonesia mencapai 7.299.275 ton (Badan

Pusat Statistik, 2016). Salah satu jenis pisang yang banyak dimanfaatkan adalah

jenis pisang Agung Semeru. Di Kabupaten Lumajang terdapat 22 IKM (Industri

Kecil Menengah) yang mengolah pisang Agung Semeru menjadi keripik pisang

(Prahardini dkk., 2010). Banyaknya jumlah IKM yang mengolah pisang Agung

Semeru ini tentu saja menghasilkan limbah kulit pisang yang melimpah. Hal ini

memerlukan penanganan yang tepat untuk memanfaatkan limbah kulit pisang

tersebut. Salah satu senyawa yang terkandung dalam kulit buah pisang adalah

pektin. Kandungan pektin pada kulit pisang berkisar antara 0,9% dari berat kering

(Hanum dkk., 2012). Beberapa penelitian yang berkaitan dengan ekstraksi pektin

dari kulit pisang telah dilakukan. Pektin adalah suatu senyawa heteropolisakarida

yang secara umum terdapat pada dinding sel primer tanaman, khususnya pada

sela-sela antara selulosa dan hemiselulosa. Senyawa pektin adalah asam pektat,

asam pektinat, dan protopektin. Pada usus besar, pektin akan diubah menjadi

Page 18: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

2

rantai asam lemak sehingga bermanfaat bagi kesehatan saluran pencernaan

sehingga dapat menurunkan gejala konstipasi (Srivastava dan Malviya, 2011).

Buah mangga kaya akan serat pangan prebiotik, vitamin C, polifenol dan

karotenoid. Selain itu, buah mangga juga kaya akan polisakarida sebagai sumber

serat, khususnya pati dan pektin. Total serat pangan yang terdapat pada buah

mangga berkisar antara 40,6% hingga 72,5% (Fowomola, 2010). Salah satu

mangga lokal yang memiliki kandungan serat tinggi yaitu mangga podang dari

Kabupaten Kediri. Mangga podang memiliki warna kuning kemerahan, bentuk

buah lonjong, tekstur sedang dan rasa manis segar (Istichomah, 2013). Daun

mint juga terkenal sebagai daun yang dapat memberikan efek rasa dingin pada

produk makanan. Pada daun mint terdapat senyawa mentol dalam jumlah besar

sehingga selain menimbulkan efek rasa dingin pada makanan maupun minuman,

daun mint juga menimbulkan rasa pedas apabila penggunaannya berlebihan

(Testiningsih, 2015). Tanaman mint popular karena unik dan bermanfaat bagi

kesehatan manusia seperti membantu masalah pencernaan dan demam, serta

memberikan aroma pada makanan (Villasenor dkk., 2002). Penggunaan buah

mangga dan daun mint diharapkan dapat meningkatkan kadar serat pangan

serta memberikan flavor yang enak.

Minuman serat menjadi salah satu solusi pencegahan atau penanganan

masalah konstipasi. Selain karena kandungan seratnya, minuman serat dianggap

lebih praktis dalam upaya pemenuhan serat sehari-hari. Salah satu minuman

serat yang cukup populer sekarang ini adalah dalam bentuk serbuk effervescent.

Maka dari itu, penulis ingin membuat formula minuman serat dari pektin kulit

pisang, mangga dan daun mint dalam bentuk serbuk effervescent. Serbuk

effervescent merupakan serbuk kasar sampai kasar sekali yang mengandung

unsur obat dalam campuran yang kering, biasanya terdiri dari natrium bikarbonat,

asam sitrat dan asam tartrat (Ansel, 1989 dalam Novidiyanto dan Setyowati,

2008). Efek sparkling yang ditimbulkan diharapkan dapat menutupi rasa pahit

dari bubuk pektin kulit pisang. Pembuatan minuman serat dalam bentuk serbuk

effervescent dengan bahan dasar bubuk pektin dari kulit pisang dan ditambahkan

dengan bubuk mangga dan bubuk daun mint diharapkan dapat menjadi solusi

penanganan masalah konstipasi.

Page 19: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

3

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah pada

penelitian ini sebagai berikut.

1. Bagaimana formulasi serbuk effervescent pektin kulit pisang, mangga dan

daun mint dengan kadar serat optimum?

2. Bagaimana pengaruh konsumsi serbuk effervescent pektin kulit pisang,

mangga dan daun mint terhadap frekuensi defekasi dan histopatologi kolon

tikus wistar konstipasi?

3. Berapa dosis konsumsi serbuk effervescent pektin kulit pisang, mangga dan

daun mint untuk menurunkan gejala konstipasi pada tikus wistar?

4. Bagaimana efektivitas produk jika dibandingkan dengan produk komersil?

1.3 Tujuan

Penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut.

1. Mengetahui formulasi serbuk effervescent pektin kulit pisang, mangga dan

daun mint dengan kadar serat optimum.

2. Mengetahui pengaruh konsumsi serbuk effervescent pektin kulit pisang,

mangga dan daun mint terhadap frekuensi defekasi dan histopatologi kolon

tikus wistar konstipasi.

3. Mengetahui dosis konsumsi serbuk effervescent pektin kulit pisang, mangga

dan daun mint untuk menurunkan gejala konstipasi pada tikus wistar.

4. Mengetahui perbandingan efektivitas produk dengan produk komersil.

1.4 Manfaat

Harapan penulis terhadap hasil penelitian ini sebagai berikut.

1. Memberikan pengetahuan penggunaan limbah kulit pisang, mangga lokal dan

daun mint.

2. Memberikan pengetahuan tentang formulasi, pengaruh dan dosis konsumsi

serbuk effervescent pektin kulit pisang, mangga dan daun mint untuk

menurunkan gejala konstipasi pada tikus wistar.

3. Menjadi suatu hasil penelitian yang dapat diteliti lebih lanjut sehingga serbuk

effervescent pektin kulit pisang, mangga dan daun mint dapat diberikan

kepada manusia sebagai upaya penanganan konstipasi.

Page 20: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

4

1.5 Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini adalah konsumsi serbuk effervescent pektin kulit

pisang, mangga dan daun mint dapat meningkatkan frekuensi defekasi dan

mempengaruhi histopatologi kolon tikus wistar konstipasi.

Page 21: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

5

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pisang Agung Semeru

Pisang Agung Semeru merupakan pisang yang tumbuh di lereng Gunung

Semeru, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Pisang ini mempunyai rasa khas

dengan ukuran yang besar dan panjang serta memiliki daya tahan cukup lama

yaitu satu bulan dalam suhu kamar (Arifin dkk., 2015). Pisang Agung Semeru

memiliki nama latin Musa paradisiaca formatypica. Berdasarkan habitat

tumbuhnya, pisang ini dapat tumbuh mulai dari dataran rendah sampai pada

ketinggian 1.000 m di atas permukaan laut dengan pH tanah antara 4,5-7,5.

Tanaman pisang mempunyai perakaran yang dangkal, menyebar di bawah

permukaan tanah dan menghendaki tanah yang menganding banyak bahan

organik (Kusumo dan Bahar, 1994). Kenampakan Pisang Agung Semeru dapat

dilihat pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Pisang Agung Semeru (Riyan, 2011)

Pisang Agung Semeru termasuk golongan pisang yang buahnya harus

dimasak terlebih dahulu, termasuk jenis yang ditanam secara komersial, daging

buah berwarna krem oranye, memiliki tekstur padat hingga lunak, mengandung

pati tinggi, tahan lama, satu tandan berisi dua sisir (Ashari, 2006). Berikut adalah

karakteristik buah pisang Agung Semeru yang dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Page 22: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

6

Tabel 2.1 Karakteristik Buah Pisang Agung Semeru

Parameter Karakteristik

Produksi (kg/tandan) 10-15 Jumlah sisir per tandan 1-2 Jumlah jari buah per sisir 10-18 Bobot per jari buah (g) 500-650 Bentuk buah Silindris-lurus Panjang jari buah (cm) 33-36 Lingkar jari buah (cm) 19 Warna daging buah mentah Kuning agak kemerahan Warna daging buah matang Kuning Bentuk penampang irisan buah Bulat Matang optimum (hari) 9 Masa simpan (hari) 21-30 Rasa buah (matang optimum) Asam sedikit manis Aroma Tidak beraroma

Sumber: Prahardini dkk (2010)

Keunggulan varietas Pisang Agung Semeru ini adalah kulit buah yang tebal

sehingga tahan disimpan 3-4 minggu setelah dipetik dan rasa buah manis.

Walaupun kulit buah sudah kehitaman tetapi daging buah tetap enak karena

tidak lunak. Dalam kondisi mentah, buah digunakan sebagai bahan baku industri

keripik, baik skala rumah tangga maupun skala menengah. Masa simpan buah

yang lama merupakan keuntungan tersendiri, sehingga buah masak dapat

dimanfaatkan sebagai bahan olahan lain seperti dodol, getuk, dan sale pisang.

Keunggulan lainnya adalah lebih tahan terhadap penyakit bercak daun

dibandingkan dengan kultivar pisang olahan lain. Buah pisang Agung Semeru

memiliki kandungan gula 9,88%; kandungan vitamin C 6,51 mg/100 g bahan dan

total asam 0,515% (Prahardini dkk., 2010).

Page 23: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

7

2.2 Kulit Pisang

Kulit pisang adalah bagian terluar dari buah pisang yang menutupi daging

buah dari kondisi di luar buah pisang. Pemanfaatan buah pisang yang besar

untuk berbagai jenis makanan, akan menghasilkan limbah berupa kulit pisang.

Bobot kulit pisang mencapai 40% dari buahnya. Dengan demikian kulit pisang

menghasilkan limbah dengan jumlah yang banyak (Hanum dkk., 2012).

Kenampakan kulit pisang dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Kulit Pisang (Rahmadianti, 2014)

Pada umumnya kulit pisang belum dimanfaatkan secara nyata, hanya

dibuang sebagai limbah organik saja atau digunakan sebagai makanan ternak

seperti kambing, sapi, dan kerbau. Jumlah kulit pisang yang cukup banyak akan

memiliki nilai jual yang menguntungkan apabila bisa dimanfaatkan sebagai

bahan baku makanan (Susanti, 2006). Kulit pisang bisa dimanfaatkan karena

kulit pisang memiliki kandungan nutrisi yang tinggi (Anhwange dkk., 2009). Kulit

pisang adalah bahan yang kaya akan amilum juga mengandung protein, vitamin,

serat dan beberapa zat gizi penting lainnya (Johari dan Rahmawati, 2006).

Tanaman pisang mengandung berbagai macam senyawa seperti air, gula

pereduksi, sukrosa, pati, protein kasar, pektin, protopektin, lemak kasar, serat

kasar, dan abu. Sedangkan di dalam kulit pisang terkandung senyawa pektin

yang cukup besar (Satria dan Ahda, 2009). Kandungan pektin dalam tanaman

sangat bervariasi baik berdasarkan jenis tanamannya maupun dari bagian

jaringannya. Kandungan pektin pada kulit pisang adalah 3,53-5,35%, sedangkan

pada buah pisang sekitar 0,93%. Komposisi kandungan protopektin, pektin, dan

asam pektat di dalam buah sangat bervariasi dan tergantung pada derajat

kematangan buah (Winarno, 1992 dalam Erawati, 2009).

Page 24: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

8

2.3 Pektin

Pektin adalah polisakarida kompleks bersifat asam yang terdapat dalam

jumlah bervariasi, terdistribusi secara luas dalam jaringan tanaman. Umumnya

pektin terdapat di dalam dinding sel primer, khususnya di sela-sela antara

selulosa dan hemiselulosa. Pektin juga berfungsi sebagai bahan perekat antara

dinding sel yang satu dengan yang lainnya. Substansi pektin tersusun dari asam

poligalakturonat, dimana gugus karboksil dari unit asam poligalakturonat dapat

teresterifikasi sebagian dengan metanol (Hasbullah, 2001 dalam Hanum dkk.,

2012).

Komposisi utama pektin adalah unit-unit asam D-Galakturonik (GalA) yang

membentuk rantai ikatan α-(1,4) glikosidik. Asam uronik ini mempunyai kelompok

gugus karboksil yaitu metal ester dan gugus lainnya yang apabila direaksikan

dengan ammonia akan menghasilkan gugus karboksiamida. Pada pektin,

terdapat ratusan hingga ribuan sakarida dengan bentuk konfigurasi rantai dan

berat molekulnya sekitar lima puluh ribu Dalton (Srivastava dan Malviya, 2011).

Struktur kimia pektin atau asam pektinat dapat dilihat pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3 Struktur Kimia Pektin (Hanum dkk., 2012)

Wujud pektin yang diekstrak adalah bubuk berwarna putih hingga coklat

terang. Pektin merupakan bagian diet dari manusia, yaitu serat yang larut dalam

air. Pada umumnya, setiap orang mengonsumsi 5 g pektin setiap harinya dari

buah dan sayur yang dimakan sebanyak 500 g. Pada usus besar, pektin akan

diubah menjadi rantai asam lemak sehingga bermanfaat bagi kesehatan saluran

pencernaan (Srivastava dan Malviya, 2011). Pektin merupakan polisakarida yang

diperoleh dari buah-buahan dan biasanya digunakan dalam pembuatan jeli serta

sebagai bahan tambahan untuk pengental dalam makanan (Ranganna, 2000).

Page 25: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

9

Ditinjau dari sifat fisikanya, pektin dapat bersifat koloid reversibel, yaitu dapat

dilarutkan dalam air, diendapkan, dikeringkan dan dilarutkan kembali tanpa

adanya perubahan sifat fisik. Penambahan air pada pektin kering akan

membentuk gumpalan seperti pasta yang kemudian menjadi larutan. Ekstraksi

pektin secara kimia dapat dilakukan dengan cara mengekstraksi dari berbagai

kulit buah-buahan segar dengan pemanasan pada suhu 90-95°C selama satu

jam dalam asam encer pada pH 4,5 menggunakan asam yang sesuai seperti

asam klorida. Pektin dalam filtrat diendapkan dengan menggunakan etanol 96%

(Ranganna, 2000). Pektin yang lebih mudah larut dalam air dapat diperoleh

dengan memodifikasi pH dan suhu pada metode ekstraksi. Pektin yang diperoleh

dengan cara ini memiliki rantai yang lebih pendek dan tidak bercabang sehingga

akan lebih mudah larut dibandingkan dengan pektin yang memiliki rantai lebih

panjang (Wong dkk.,2008). Beberapa bentuk senyawa pektin sebagai berikut

(Hanum dkk., 2012).

1. Asam Pektat

Asam pektat adalah senyawa asam galakturonat yang bersifat koloid dan

pada dasarnya bebas dari kandungan metil ester.

2. Asam Pektinat

Asam pektinat adalah asam poligalakturonat yang bersifat koloid dan

mengandung sejumlah metil ester. Pektin merupakan asam pektinat dengan

kandungan metil ester dan derajat netralisasi yang berbeda-beda.

3. Protopektin

Protopektin adalah substansi pektat yang tidak larut dalam air, terdapat

dalam tanaman, dan jika dipisahkan secara hidrolisis akan menghasilkan

asam pektinat.

Pektin digunakan dalam bidang industri makanan dan dalam bidang farmasi.

Dalam bidang makanan, pektin digunakan sebagai bahan pembentuk gel untuk

pembuatan selai dan jeli. Kemampuan pektin dalam membentuk gel tergantung

pada kandungan gugus metoksilnya. Kemampuan pektin untuk dapat

membentuk gel merupakan sifat yang unik dari pektin. Penggunaan pektin selain

dari pembentuk gel, juga digunakan dalam produk buah-buahan kemasan, jus

dan es krim sebagai penstabil (Ranganna, 2000).

Page 26: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

10

2.4 Mangga Podang

Mangga podang merupakan salah satu produk buah unggulan lokal dari

Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Mangga ini dibudidayakan sejak puluhan tahun

yang lalu, umumnya di wilayah kering mulai dari dataran rendah hingga dataran

tinggi (Saraswati dkk., 2001). Untuk mengatasi lonjakan produksi berlimpah pada

saat panen raya dan sifat mudah rusak, maka dapat dilakukan pengolahan

mangga podang menjadi berbagai jenis olahan. Mangga podang mempunyai ciri

khas warna yang kuning kemerahan, bentuk buah lonjong, tekstur sedang dan

mengandung cukup banyak air, serta rasa manis segar (Istichomah, 2013).

Karakteristik mangga yang mudah rusak ini dikarenakan buah mudah sekali

mengalami perubahan fisiologis, kimia dan fisik jika tidak ditangani secara tepat.

Mutu buah akan turun drastis dan tingkat kesegaran pun menurun dalam waktu

singkat (Satuhu, 1996 dalam Rachmawaty, 2013). Kenampakan buah mangga

podang dapat dilihat pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4 Buah Mangga Podang (Amaliawati, 2012)

Di India, mangga yang masih hijau digunakan sebagai obat gangguan darah,

empedu, dan saluran pencernaan. Mengkonsumsi buah mangga muda secara

teratur mempunyai daya penyembuh gangguan darah, karena menambah

kelenturan pembuluh darah, membantu pembentukan sel-sel baru, mencegah

pendarahan, dan menyembuhkan sariawan. Selain itu buah mangga muda dapat

berkhasiat untuk mengatasi diare, disentri, wasir dan sembelit (Rukmana, 1997

dalam Pasaribu, 2011). Buah mangga podang memiliki kandungan serat yang

baik yaitu 7 g setiap buahnya. Diperkirakan mangga podang mampu menjaga

pencernaan dan kolesterol dalam kondisi normal (Wasono, 2011).

Page 27: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

11

2.5 Tanaman Mint

Tanaman mint ditanam dan tumbuh liar di India dan Asia Tenggara, termasuk

Indonesia. Genus Mentha termasuk dalam famili Lamiaceae yang dikenal

sebagai penghasil minyak mint. Genus Mentha di Indonesia terdapat 2 jenis

spesies yaitu Mentha arvensis dan Mentha piperita. M. arvensis adalah jenis

Mentha sp. yang paling besar permintaannya untuk industri di Indonesia. Genus

M. arvensis juga memiliki potensi untuk dikembangkan dan dibudidayakan

dengan baik di Indonesia dibandingkan jenis Mentha yang lain (Toepak dkk.,

2013). Di Indonesia, tanaman ini tumbuh liar dan berada di tempat lembab, dapat

ditemukan pada ketinggian 150-1.200 m di atas permukaan laut (Sari, 2016).

Pada daun mint terdapat senyawa mentol dalam jumlah besar sehingga

menimbulkan efek rasa dingin pada makanan maupun minuman, namun daun

mint juga menimbulkan rasa pedas apabila penggunaannya berlebihan

(Testiningsih, 2015). Kenampakan daun mint segar dapat dilihat pada Gambar

2.5.

Gambar 2.5 Daun Mint Segar (Setyanti, 2014)

Gilbert (2005) menyatakan bahwa karakteristik sensoris tanaman mint

memiliki bau yang murni dan segar, agak pedas dan terasa membakar.

Komposisi utama minyak essensial dalam daun mint adalah minyak peppermint

dimana 50%-nya tersusun atas mentol, menton, metil ester dan turunan

monoterpena (pulegone, piperiton, menthofuran). Mentol dan metil asetat

berperan membentuk rasa pedas dan bau yang segar. Berdasarkan USDA

National Nutrient Database (2016), daun mint segar mengandung 8 g per 100 g

serat pangan. Tanaman mint popular karena unik dan bermanfaat bagi

kesehatan manusia seperti membantu masalah pencernaan dan demam, serta

memberikan aroma pada makanan (Villasenor dkk., 2002).

Page 28: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

12

2.6 Serbuk Effervescent

Serbuk effervescent disukai karena mempunyai warna, bau dan rasa yang

menarik. Selain itu, jika dibandingkan dengan minuman serbuk biasa, serbuk

effervescent memiliki keunggulan pada kemampuan untuk menghasilkan gas

karbon dioksida yang memberikan rasa segar seperti pada air soda. Adanya gas

tersebut akan menutupi rasa pahit serta mempermudah proses pelarutannya

tanpa melibatkan pengadukan secara manual (Syamsul dan Supomo, 2014).

Serbuk effervescent merupakan bentuk sediaan produk pangan fungsional

yang diproses dengan campuran tertentu sehingga menghasilkan gas CO2 ketika

bereaksi dengan air. Gelembung gas CO2 menjadikan serbuk effervescent lebih

cepat larut tanpa pengadukan manual. Keunggulan serbuk effervescent adalah

mudah diabsorbsi, praktis, dan memberikan efek sparkling seperti minum air

soda atau soft drink saat dikonsumsi. Proses pembuatan serbuk effervescent

membutuhkan formulasi dan metode ekstraksi yang tepat agar dihasilkan serbuk

dengan karakteristik fisiko kimia terbaik (Hudha dkk., 2015).

Sediaan effervescent biasanya diolah dari suatu kombinasi asam sitrat dan

asam tartrat, karena pemakaian asam tunggal saja akan menimbulkan kesulitan

pada pembentukan granul. Apabila asam tartrat digunakan sebagai asam

tunggal, maka granul yang dihasilkan mudah kehilangan kekuatannya dan

hancur. Bila asam sitrat saja yang digunakan maka akan menghasilkan

campuran yang lekat dan sukar menjadi granul (Ansel dkk., 1999 dalam Winarti,

2008).

Reaksi antara asam sitrat dan natrium bikarbonat (a) serta asam tartrat dan

natrium bikarbonat (b) dapat dilihat sebagai berikut (Novidiyanto dan Setyowati,

2008).

(a) H3C6H5O7.H2O + 3 NaHCO3 Na2C6H5O7 + 4 H2O + 3 CO2

Asam sitrat Na-bikarbonat Na-sitrat Air Karbondioksida

(b) H2C4H4O6 + 2 NaHCO3 Na2C4H4O6 + H2O + 2 CO2

Asam tartrat Na-bikarbonat Na-tartrat Air Karbondioksida

Formula minuman serbuk biasanya disesuaikan dengan rasa dalam bentuk

cairnya. Minuman dalam bentuk serbuk memiliki keunggulan yaitu kestabilan

produk dan massanya yang lebih kecil serta bisa memenuhi permintaan dalam

skala yang besar (Najmuddin, 2015).

Page 29: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

13

2.7 Serat Pangan

Definisi fisiologis serat pangan adalah sisa sel tanaman setelah dihidrolisis

enzim pencernaan manusia. Hal ini termasuk materi dinding sel tanaman seperti

selulosa, hemiselulosa, pektin dan lignin, juga polisakarida intraseluler seperti

gum dan musilago. Pengertian serat pangan tidak sama dengan serat kasar.

Serat kasar adalah zat sisa asal tanaman yang biasa dimakan yang masih

tertinggal setelah bertutut-turut diekstraksi dengan zat pelarut, asam encer dan

alkali. Dengan demikian nilai zat serat kasar selalu lebih rendah dari serat

pangan, kurang lebih hanya seperlima dari seluruh nilai serat pangan (Beck,

2011).

Serat pangan dapat digolongkan menjadi serat tidak larut dan serat larut

sebagai berikut (Lestiani dan Aisyah, 2011).

a. Serat tak larut (tak larut air) terdiri dari karbohidrat yang mengandung

selulosa, hemiselulosa dan non-karbohidrat yang mengandung lignin.

Sumber-sumber selulosa adalah kulit padi, kacang polong, kubis, apel

sedangkan hemiselulosa adalah kulit padi dan gandum. Sumber-sumber

lignin adalah wortel, gandum dan arbei.

b. Serat larut (larut dalam air) terdiri dari pektin, gum, β-glukan dan psylium

seed husk (PSH). Bahan makanan yang kaya akan pektin adalah apel, arbei

dan jeruk. Gum banyak terdapat pada oatmeal dan kacang-kacangan.

Bekatul (oat) banyak mengandung β-glukan. PSH adalah serat larut yang

banyak terdapat pada tanaman plantago ovate.

Fungsi dari serat sangat bervariasi tergantung dari sifat fisik jenis serat yang

dikonsumsi (Tala, 2009).

a. Kelarutan dalam air

Berdasarkan kelarutannya serat terbagi atas serat larut dalam air dan tidak

larut dalam air. Serat larut akan memperlambat waktu pengosongan lambung,

meningkatkan waktu transit, mengurangi penyerapan beberapa zat gizi.

Sebaliknya serat tak larut akan memperpendek waktu transit dan akan

memperbesar massa feses.

b. Kemampuan menahan air dan viskositas

Jenis serat larut dapat menahan air lebih besar dibandingkan serat tak larut,

tetapi hal ini juga dipengaruhi pH saluran cerna, besarnya partikel serat dan juga

proses pengolahannya. Akibat kemampuan menahan air ini serat akan

Page 30: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

14

membentuk cairan kental yang memiliki beberapa pengaruh terhadap saluran

cerna, yaitu waktu pengosongan lambung lebih lama, mengurangi bercampurnya

isi saluran cerna dan enzim pencernaan, menghambat fungsi enzim, mengurangi

kecepatan penyerapan nutrisi, mempengaruhi waktu transit di usus.

c. Absorbsi dan binding ability

Beberapa jenis serat seperti lignin, pektin, dan hemiselulosa dapat berikatan

dengan enzim atau nutrisi di dalam saluran cerna yang memiliki efek fisiologis,

diantaranya adalah berkurangnya absorbsi lemak, meningkatkan ekskresi garam

empedu, mengurangi kadar kolesterol serum, mempengaruhi keseimbangan

mineral.

d. Degradability/ Fermentability

Bakteri yang terdapat di lumen usus besar dapat memfermentasi serat,

terutama pektin. Selulosa dan hemiselulosa juga difermentasi tetapi dengan

kecepatan lebih lambat. Metabolit utama yang terbentuk adalah asam lemak

rantai pendek yang kemudian akan berperan dalam meningkatkan absorbsi air,

merangsang ploriferasi sel, sebagai sumber energi dan akan menimbulkan

lingkungan asam di usus. Jenis serat yang tidak larut atau yang lambat

difermentasi berperan dalam merangsang proliferasi bakteri yang bermanfaat

untuk detoksifikasi dan meningkatkan volume usus.

Anjuran kebutuhan serat yang ditetapkan bertujuan untuk mencegah

terjadinya penyakit-penyakit degeneratif. United State Food Dietary Analysis

menyatakan anjuran untuk total dietary fiber adalah 25 g/2.000 kalori atau 30

g/2.500 kalori. American Diabetic Assosiation menetapkan kebutuhan serat 25-

50 g/hari untuk pencegahan penyakit diabetes. Pada sensus nasional

pengelolaan diabetes di Indonesia menyarankan konsumsi serat sebanyak 25

g/hari. Walaupun sudah ada ketetapan tersebut tetapi harus diperhatikan

kebiasaan makan, penyakit yang diderita dan keluhan-keluhan lainnya (Lestiani

dan Aisyah, 2011).

Page 31: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

15

2.8 Konstipasi

Sembelit atau konstipasi adalah gangguan atau kesulitan dalam buang air

besar. Konstipasi terjadi karena lambatnya gerakan peristaltik usus besar

sehingga frekuensi defekasi berkurang, sehingga menyebabkan konsistensi

feses bertambah keras. Hal tersebut terjadi akibat lamanya absorpsi cairan yang

ada pada feses dan akhirnya terjadi penumpukan feses di kolon desenden,

sehingga susah untuk buang air besar. Selain itu massa, kelembaban dan

derajat hidrasi feses juga mempengaruhi frekuensi defekasi dan konsistensi

feses. Oleh sebab itu jumlah serat dan air dalam makanan merupakan hal

penting untuk kelancaran defekasi (Nuratmi dkk., 2005).

Konstipasi memiliki persepsi gejala yang berbeda-beda pada setiap

pasiennya. Menurut World Gastroenterology Organization (WGO) adalah

defekasi keras (52%), tinja seperti pil/butir obat (44%), ketidakmampuan defekasi

saat diinginkan (34%), atau defekasi yang jarang (33%) (World, 2007).

Menurut Tanjung (2011), faktor-faktor penyebab konstipasi berbagai macam

dan sulit dimengerti. Berikut merupakan penyebab yang dapat dibedakan

berdasarkan struktur (gangguan motilitas) dan fungsi (gangguan bentuk pelvik).

Gangguan bentuk pelvik dapat berupa fungsi pelvik dan spingter melemah,

obstruksi pelvik, prolapsus rektum, enterokel, intususepsi rektum, rektokel.

Gangguan motilitas dapat berupa:

a. Nutrisi tidak terpenuhi

Asupan serat tidak terpenuhi dan dehidrasi akibat asupan cairan tidak

terpenuhi.

b. Motilitas (gerakan otot) kolon melemah

Inersia kolon, konstipasi transit lambat, iritable bowel syndrome (ibs), miopati

intestinal, sindroma Ogilvie, obat-obatan, penyebab neurologis.

c. Faktor psikiatri

Depresi, pelecehan seksual, kebiasaan yang menyimpang terhadap

makanan dan fungsi pencernaan.

Berdasarkan patofisiologis, konstipasi dapat diklasifikasikan menjadi

konstipasi akibat kelainan struktural dan konstipasi fungsional. Konstipasi akibat

kelainan struktural terjadi melalui proses obstruksi aliran tinja, sedangkan

konstipasi fungsional berhubungan dengan gangguan motilitas kolon atau

anorektal. Konstipasi yang dikeluhkan oleh sebagian besar pasien umumnya

Page 32: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

16

merupakan konstipasi fungsional. Konstipasi fungsional dapat dikelompokkan

menjadi bentuk primer atau sekunder bergantung pada ada tidaknya penyebab

yang mendasarinya. Konstipasi fungsional primer ditegakkan bila penyebab

dasar konstipasi tidak dapat ditentukan. Keadaan ini ditemukan pada sebagian

besar pasien dengan konstipasi. Konstipasi fungsional sekunder ditegakkan bila

kita dapat menentukan penyebab dasar keluhan tersebut. Penyakit sistemik dan

efek samping pemakaian beberapa obat tertentu merupakan penyebab

konstipasi fungsional yang sering dilaporkan. Klasifikasi lain yang perlu

dibedakan pula adalah apakah keluhan tersebut bersifat akut atau kronis.

Konstipasi akut bila kejadian baru berlangsung selama 1-4 minggu, sedangkan

konstipasi kronis bila keluhan telah berlangsung lebih dari 4 minggu (Endyarni

dan Syarif, 2004).

Penelitian yang dilakukan oleh Septiyanti (2015) mengemukakan bahwa

serat yang terkandung di dalam daun Cincau Hitam (Mesona palustris BL) dapat

menurunkan gejala konstipasi pada tikus wistar. Penelitian lain dilakukan oleh

Wijayanti (2013) menunjukkan bahwa pemberian diet serat Muelleri Glukomanan

dapat mengurangi gejala konstipasi pada tikus Spraque dawley.

2.9 Loperamid

Loperamid merupakan derivat difenoksilat dengan khasiat obstipasi yang 2-3

kali lebih kuat tetapi tanpa khasiat terhadap sistem saraf pusat. Loperamid

mampu menormalkan keseimbangan resorpsi–resorpsi dari sel–sel mukosa,

yaitu memulihkan sel–sel yang berada dalam keadaan hipersekresi ke keadaan

resorpsi normal kembali. Loperamid tidak mewujudkan efek sentral mirip morfin,

sehingga loperamid harus diutamakan daripada difenoksilat karena loperamid

antidiare yang kuat, dengan kerja yang berlangsung lama. Penghambatan

peristaltik secara spesifik dianggap sebagai kerja langsung pada dinding saluran

cerna. Loperamid diekskresikan terutama dengan tinja (Melani, 2010).

Loperamid merupakan antispasmodik, dimana mekanisme kerjanya yang

pasti belum dapat dijelaskan. Secara in vitro dan in vivo, loperamid

memperlambat motilitas saluran cerna dan mempengaruhi pergerakan air dan

elektrolit di usus besar. Pada manusia, loperamid memperpanjang waktu transit

isi saluran cerna. Loperamid menurunkan volume feses, meningkatkan viskositas

dan kepadatan feses serta menghentikan kehilangan cairan dan elektrolit

(Departemen Farmakologi dan Terapi UI, 2007).

Page 33: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

17

2.10 Bahan Tambahan

2.10.1 Polivinilpirolidon (PVP)

Polivinilpirolidon adalah suatu polimer sintetik yang dapat digunakan sebagai

perekat baik dalam larutan air maupun alkohol. Polivinilpirolidon telah digunakan

secara luas sebagai bahan tambahan, terutama pada sediaan tablet oral dan

solution. Jika dikonsumsi secara oral, PVP dianggap non toksik karena tidak

diabsorbsi dari saluran pencernaan atau membran mukus (Setyarini, 2009).

Penambahan PVP juga dapat memperbaiki sifat alir granul karena PVP dapat

memperbaiki ikatan antar partikel sehingga dapat mencegah timbulnya fines

yang dapat menyebabkan sifat alir yang buruk (Rendy dan Hadisoewignyo, 1999

dalam Noerwahid, 2016). Polivinilpirolidon adalah produk larut yang dihasilkan

oleh polimerisasi radikal dari 1-vinilpirolidon-2-on. PVP dihasilkan melalui proses

pengeringan dengan metode spray drying atau drum drying sehingga dihasilkan

bubuk putih kekuningan (Foltmann, 2008). Penggunaan PVP sebagai pengikat

dapat digunakan dalam konsentrasi 2-15% (Anwar, 2012).

2.10.2 Asam Sitrat

Asam sitrat merupakan bahan alternatif yang mudah diperoleh dengan harga

yang terjangkau. Asam sitrat (C6H8O7) merupakan pelarut organik yang bersifat

polar. Penggunaan pelarut aquades dan asam sitrat tidak berbeda secara nyata

dengan menggunakan pelarut jenis alkohol. Hanya berdampak pada proses

evaporasi yang lebih lama karena titik didihnya lebih tinggi daripada alkohol,

etanol maupun metanol (Hidayat dan Saati, 2006). Pemberian asam sitrat dalam

minuman bertujuan untuk memberikan rasa asam, memodifikasi manisnya gula,

berlaku sebagai pengawet dan dapat mempercepat inversi gula (Trissanthi dkk.,

2016). Asam sitrat biasa digunakan sebagai sumber asam dalam sediaan

farmasi dan pada industri makanan. Asam sitrat lebih dipilih sebagai sumber

asam dalam effervescent selain karena mudah didapatkan, lebih murah, mudah

dalam penyimpanan, dan asam sitrat mememiliki efek sinergis terhadap aktivitas

antioksidan (Surya, 2015).

Page 34: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

18

2.10.3 Asam Tartrat

Asam tartrat berbentuk kristal monosiklik, atau putih umumnya berbentuk

serbuk kristal putih, tidak berwarna dan memunyai rasa asam yang tinggi.

Penyimpanan dalam wadah yang tertutup rapat dan kering. Asam tartrat sangat

larut dalam kloroform; dua setengah bagian dalam etanol 95%; larut dalam

gliserin; 10,5 bagian dalam air. Asam tartrat secara luas digunakan dalam produk

makanan dan oral, topikal dan formulasi parental farmaset. Secara umum tidak

toksik dan tidak mengiritasi. Keberadaan asam tartrat di alam terdapat dalam

buah-buahan sebagai asam bebas (Rowe dkk., 2009). Asam tartrat selain mudah

didapatkan dan mudah dalam penyimpanan, asam tartrat lebih dipilih karena

asam tartrat dapat meningkatkan kelarutan dalam air (Black, 2007), serta

memiliki rasa asam yang sangat enak (Vaughan, 2006).

2.10.4 Dekstrin

Dekstrin merupakan hasil hidrolisis pati menjadi gula oleh panas, asam atau

enzim. Proses ini melibatkan alkali dan oksidator. Pengurangan panjang rantai

tersebut akan menyebabkan perubahan sifat dimana pati yang tidak mudah larut

dalam air diubah menjadi dekstrin yang mudah larut. Dekstrin bersifat sangat

larut dalam air panas atau dingin, dengan viskositas yang relatif rendah. Sifat

tersebut mempermudah penggunaan dekstrin apabila digunakan dalam

konsentrasi yang cukup tinggi (Tyanjani dkk., 2015). Dalam industri pangan, pati

teroksidasi (dekstrin) digunakan sebagai pengental, pengemulsi, pengikat, dan

pencegah sinerisis untuk mempertahankan mutu pangan (Ni’maturrohmah,

2015).

2.10.5 Natrium Bikarbonat

Natrium bikarbonat merupakan garam yang berwujud kristal dan larut air

yang bila bereaksi dengan sumber asam akan menghasilkan buih pada sediaan

effervescent, penambahan natrium bikarbonat dalam sediaan effervescent dapat

meningkatkan kadar total padatan terlarut dan dapat memperbaiki rasa. Natrium

bikarbonat memiliki fluiditas yang buruk dan kompresibilitas yang rendah

sehingga perlu bahan tambahan seperti PVP untuk memperbaiki kompresibilitas

tanpa diubah menjadi natrium karbonat (Noerwahid, 2016). Natrium bikarbonat

dipilih sebagai senyawa karbondioksida dalam pembuatan effervescent karena

Page 35: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

19

harganya murah dan bersifat larut sempurna dalam air, bersifat non hogroskopis

dan tersedia secara komersial mulai dari bentuk bubuk sampai granular

(Najmuddin, 2015).

2.10.6 Stevia

Daun stevia mengandung pemanis alami dan mampu menghasilkan rasa

manis 70-400 kali dari manisnya gula tebu. Stevia telah digunakan di banyak

negara di dunia sebagai pemanis non-kalori. Sebagai ekstrak ia memiliki potensi

yang sama dengan rasa manis larutan sukrosa 10%, aspartam dan juga sakarin.

Stevia lebih unggul dibandingkan pemanis buatan karena ia stabil pada

temperatur tinggi dan pH 3-9. Steviosida salah satu glikosida stevia, lebih manis

sekitar 300 kali dari sukrosa. Sejumlah penelitian telah menemukan bahwa selain

rasa manis yang dimiliki, steviosida, bersama dengan senyawa lainnya termasuk

rebausida A, steviol, dan isosteviol, juga memiliki kelebihan terapeutik sebagai

anti-hiperglikemia, anti-hipertensi, anti-inflamasi, anti-tumor, anti-diare, diuretik,

dan efek immunomodulator (Surya, 2016). Nilai Acceptable Daily Intake (ADI)

stevia dalam bentuk glikosida steviol adalah 0-4 mg/kg BB (BPOM, 2014).

2.11 Ekstraksi

Ekstraksi merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk

memisahkan zat terlarut dengan pelarutnya yang didasarkan pada titik didih

pelarutnya. Berikut ini beberapa metode ekstraksi (Setyarini, 2009).

a. Maserasi

Maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana. Maserasi dilakukan

dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Maserasi

digunakan untuk penyarian simplisia yang mengandung zat aktif yang mudah

larut dalam cairan penyari, tidak mengandung zat yang mudah mengambang

dalam cairan penyari, tidak mengandung benzoin, ekstrak, dan lain-lain. Cairan

penyari yang digunakan dapat berupa air, etanol, air-etanol, atau pelarut lain. Bila

cairan penyari yang digunakan air maka untuk mencegah timbulnya kapang

dapat ditambahkan bahan pengawet yang diberikan pada awal penyarian.

Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah cara pengerjaan dan

peralatan sederhana dan mudah diusahakan, sedangkan kerugian maserasi

adalah pengerjaannya lama dan penyariannya kurang sempurna.

Page 36: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

20

b. Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna

(exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan.

Proses perkolasi terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi

antara, tahap perkolasi sebenarnya, terus menerus sampai diperoleh ekstrak

yang jumlahnya 1-5 kali bahan. Alat yang digunakan untuk perkolasi disebut

perkolator, cairan yang digunakan untuk menyari disebut cairan penyari atau

menstrum, larutan zat aktif yang keluar dari perkolator disebut sari atau perkolat,

sedangkan sisa setelah dilkukannya penyarian disebut ampas atau sisa

perkolasi.

c. Soxhletasi

Soxhletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang

umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinyu

dengan jumlah pelarut yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

2.12 Uji In Vivo

In vivo merupakan uji biologi yang menggunakan hewan percobaan. Hewan

percobaan adalah hewan yang sengaja dipelihara dan diternakkan untuk

digunakan sebagai hewan model yang digunakan untuk mempelajari dan

mengembangkan ilmu pengetahuan dalam skala penelitian laboratorium. Hewan

laboratorium tersebut digunakan sebagai model untuk penelitian pengaruh bahan

kimia atau obat pada manusia (Malole dkk., 1989 dalam Wijayanti, 2013). Hewan

coba yang biasa digunakan adalah tikus, mencit, hamster, kucing, anjing, babi,

kera, kambing (Walfensohn dan Lylod, 1998 dalam Septiyanti, 2015).

Tikus putih merupakan salah satu hewan percobaan di laboratorium. Hewan

ini dapat berkembang biak secara cepat dan dalam jumlah banyak. Tikus tidak

mudah muntah dan tidak memiliki kantong empedu (Kusumawati, 2004). Malole

dkk. (1989) dalam Wijayanti (2013) menyatakan bahwa tikus putih mempunyai

tiga galur yang umum dikenal yaitu galur Sparague Dawley, galur Wistar dan

galur Long Evans.

Menurut Griffith dan Farris (1971) dalam Wulandari (2010), keunggulan tikus

pada spesies (strain) tertentu seperti Sparague Dawley dan Wistar telah teruji

secara klinis pada laboratorium dan persilangan diantaranya terkontrol secara

turun menurun, memiliki biaya perawatan yang minimal, penempatan

pemeliharaan kecil, omnivora, umur dan generasi tikus pendek. Menurut

Page 37: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

21

Wolfensohn dan Lylod (1998) dalam Wulandari (2010), tikus bersifat omnivora

(pemakan segala) dan mempunyai jaringan yang hampir sama dengan manusia

serta kebutuhan gizi yang serupa dengan manusia.

2.13 Defekasi

Defekasi adalah pengeluaran sisa-sisa makanan (kotoran/tinja/feses) yang

tidak dapat dicerna dalam saluran pencernaan melalui anus. Refleks defekasi

timbul saat feses memasuki rektum. Peregangan rektum selanjutnya

menimbulkan rangsangan sensoris pada dinding usus dan pelvis sehingga

menimbulkan gelombang peristaltic pada usus besar desenden, sigmoid dan

rektum, mendorong tinja ke anus. Distensi rektum menimbulkan impuls pada

serat-serat sensoris asendens yang selanjutnya dibawa ke korteks yang

menimbulkan kesadaran tentang adanya distensi. Bersama dengan itu terjadi

kontraksi sementara otot lurik puborectal slingi. Hal ini disebut refleks inflasi

(Guyton dan Hall, 2006).

Pengantaran impuls saraf ke arah distal melalui pleksus mienterikus pada

bagian dinding rektum akan menyebabkan refleks inhibisi otot polos puborectal

slingi. Peristiwa ini disebut refleks relaksasi rektosfingter. Peningkatan tekanan

abdomen dihubungkan dengan peristaltik pada dinding abdomen menyebabkan

keluarnya feses sehingga terjadi pengosongan rektum (Cunningham dan Banez,

2006). Setelah feses keluar maka segera terjadi refleks penutupan. Aktivitas ini

terjadi sangat cepat yaitu kembalinya otot dasar panggul, sudut anorektal dan

tonus spingter ke posisi semula (Wyllie dkk., 2004).

Seberapa seringnya proses defekasi terjadi disebut frekuensi defekasi.

Frekuensi defekasi pada tikus dapat diketahui dengan cara menghitung jumlah

feses dalam kurun waktu tertentu dalam sehari. Pengamatan ini dilakukan setiap

hari selama masa perlakuan. Berkurangnya frekuensi defekasi menyebabkan

konsistensi feses bertambah keras. Hal tersebut terjadi akibat lamanya absorpsi

cairan yang ada pada feses dan akhirnya terjadi penumpukan feses di kolon

desenden, sehingga susah untuk buang air besar. Selain itu massa, kelembaban

dan derajat hidrasi feses juga mempengaruhi frekuensi defekasi dan konsistensi

feses. Oleh sebab itu jumlah serat dan air dalam makanan merupakan hal

penting untuk kelancaran defekasi (Nuratmi dkk., 2005).

Page 38: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

22

III METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan dan Rekayasa

Proses Pangan dan Hasil Pertanian, Laboratorium Kimia dan Biokimia Pangan

Hasil Pertanian, Laboratorium Nutrisi Pangan Hasil Pertanian Jurusan Teknologi

Hasil Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian, dan Laboratorium Sentral Ilmu

Hayati, Universitas Brawijaya Malang. Penelitian ini dilaksanakan mulai Oktober

2016 sampai Mei 2017.

3.2 Alat dan Bahan

3.2.1 Alat

Alat yang digunakan untuk ekstraksi pektin, pembuatan bubuk mangga dan

bubuk daun mint, serta proses pembuatan serbuk effervescent pektin kulit pisang

meliputi baskom, loyang, blender, pengering kabinet, ayakan 60 mesh, neraca

analitik, neraca kasar, alumunium foil, pisau, bulb, pipet volume, gelas ukur,

gelas beker, kain saring, kertas saring halus, kompor listrik, panci infusa, plastik,

spatula besi, pengaduk kaca, corong kaca, dan corong plastik. Alat yang

digunakan untuk analisis yaitu neraca analitik, erlenmeyer, labu takar, kertas

saring whatmann no. 42, oven listrik, desikator, bulb, pipet volume, gelas ukur,

color reader, cawan petri, krus porselen, muffle furnace, statis, buret, shaker

waterbath, termometer, kompor listrik, pompa vakum, gelas beker, dan corong

kaca. Alat yang digunakan untuk uji in vivo adalah kandang tikus, jarum sonde,

alat bedah tikus, wadah pakan, wadah minum dan timbangan digital.

3.2.2 Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kulit pisang Agung

Semeru yang didapatkan dari Kabupaten Lumajang-Jawa Timur, mangga

podang dan daun mint. Bahan tambahan yang diperlukan adalah dekstrin, asam

sitrat, asam tartrat, natrium bikarbonat, stevia, polivinilpirolidon (PVP), serta

natrium metabisulfit. Bahan yang digunakan untuk analisis adalah HCl, aquades,

NaOH, indikator Phenolred, CaCl2, NaCl, natrium sitrat, etanol 96%, etanol 95%,

etanol 70%, CaCO3, asam sitrat, gula, petroleum eter, buffer fosfat pH 6, enzim

Page 39: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

23

α-amilase, enzim pankreatin, enzim pepsin, aseton. Bahan yang digunakan

dalam uji in vivo terdiri dari tikus putih galur wistar jantan dengan berat rata-rata

200 g, susu pap, air minum tikus, loperamid, produk effervescent dan suplemen

serat Vegeta Herbal.

3.3 Metode

3.3.1 Tahapan Penelitian

Tahap I

Ekstraksi pektin kulit pisang dilakukan menggunakan pelarut asam sitrat 5%

perbandingan 1:5 (bahan:pelarut) dengan suhu 90oC selama 1 jam sesuai

dengan hasil perlakuan terbaik penelitian Erawati (2009). Kemudian pektin kulit

pisang hasil ekstraksi dianalisis meliputi rendemen, kadar air, warna, berat

ekivalen, kadar metoksil, kadar asam galakturonat dan derajat esterifikasi.

Tahap II

Pada tahap ini, dilakukan pembuatan bubuk mangga dan bubuk daun mint

sebagai bahan baku serbuk effervescent. Masing-masing bahan dikeringkan

menggunakan pengering kabinet dalam suhu dan jangka waktu tertentu yaitu

suhu 60oC selama 6 jam untuk mangga dan suhu 40oC selama 3 jam untuk daun

mint.

Perancangan formulasi serbuk effervescent menggunakan aplikasi model

matematis sehingga didapatkan serbuk effervescent yang memiliki kadar serat

dan kelarutan optimum. Optimasi kadar serat dan kelarutan dilakukan

menggunakan Response Surface Methodology (RSM) dengan metode Central

Composite experimental Design (CCD) tiga faktor yaitu proporsi tiga bahan

utama dalam persen yang masing-masing memiliki level batasan. Tiga variabel

atau faktor tersebut yaitu proporsi bubuk pektin (X1), proporsi bubuk mangga

(X2), dan proporsi bubuk daun mint (X3). Respon yang diinginkan adalah kadar

serat dan kelarutan dalam persen. Batasan level yang digunakan untuk masing-

masing bahan telah diketahui dari penelitian pendahuluan. Bubuk pektin memiliki

batasan level terendah 40% dan level tertinggi 50%, bubuk mangga memiliki

batasan level batasan terendah 30% dan level tertinggi 40%, dan bubuk daun

mint memiliki batasan level terendah 15% dan level tertinggi 25%. Berdasarkan

hal tersebut maka dihasilkan 20 rancangan formulasi pada Tabel 3.1.

Page 40: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

24

Secara umum prosedur melakukan penelitian optimasi dengan RSM yaitu

sebagai berikut (Nurmiah dkk., 2013).

1. Pembuatan rancangan formulasi dan respon berdasarkan desain

eksperimental yang dipilih.

2. Tahapan formulasi yaitu melakukan proses penelitian sesuai kondisi formula

yang sudah ditetapkan.

3. Melakukan analisis respon.

4. Melakukan optimasi dilanjutkan dengan verifikasi sebagai pembuktian

terhadap prediksi nilai respon solusi formula optimum.

Tabel 3.1 Rancangan Formulasi Serbuk Effervescent

Run

Faktor 1 A: Pektin

Kulit Pisang (%)

Faktor 2 B: Bubuk

Mangga (%)

Faktor 3 C: Bubuk

Daun Mint (%)

Respon 1 Kadar serat

pangan (%)

Respon 2 Kelarutan

(%)

1 45,00 35,00 20,00 2 50,00 30,00 15,00 3 40,00 40,00 15,00 4 50,00 40,00 25,00 5 45,00 35,00 11,59 6 45,00 26,59 20,00 7 40,00 30,00 25,00 8 45,00 35,00 20,00 9 40,00 40,00 25,00 10 36,59 35,00 20,00 11 45,00 35,00 28,41 12 45,00 35,00 20,00 13 45,00 35,00 20,00 14 45,00 35,00 20,00 15 45,00 43,41 20,00 16 40,00 30,00 15,00 17 50,00 40,00 15,00 18 53,41 35,00 20,00 19 45,00 35,00 20,00 20 50,00 30,00 25,00

Setelah diperoleh rancangan formulasi, maka selanjutnya adalah

mencampurkan ketiga bahan utama sesuai proporsi masing-masing dalam setiap

formula dan dilakukan analisis kadar serat serta kelarutan masing-masing

formula. Kemudian didapatkan hasil formula dengan respon paling optimum yang

selanjutnya dilakukan verifikasi untuk mengetahui perbandingan nilai respon

dengan prediksi program. Selanjutnya, formula dengan respon optimum diolah

menjadi produk serbuk effervescent. Produk tersebut kemudian dianalisis

meliputi warna, kadar air, kecepatan alir, waktu larut, sudut diam dan rehidrasi.

Page 41: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

25

Tahap III

Penelitian tahap tiga dilakukan setelah diperoleh produk effervescent dengan

kadar serat pangan dan kelarutan optimum yaitu dilakukan uji in vivo pada tikus

putih wistar jantan. Penelitian ini menggunakan metode Rancangan Acak

Lengkap (RAL) dengan faktor perlakuan pemberian minuman serbuk

effervescent. Penelitian dilakukan menggunakan lima kelompok perlakuan,

dimana setiap kelompok perlakuan berisi enam tikus, kemudian diberi perlakuan

sebagai berikut.

K1 (-) : Tanpa diinduksi loperamid, tanpa diberikan serbuk effervescent

K2 (+) : Diinduksi loperamid 0,6 mg/200 g bb selama 3 hari, tanpa diberikan

serbuk effervescent

K3 : Diinduksi loperamid 0,6 mg/200 g bb selama 3 hari kemudian diberikan

masing-masing 90 mg/200 g bb serbuk effervescent selama 5 hari

K4 : Diinduksi loperamid 0,6 mg/200 g bb selama 3 hari kemudian diberikan

masing-masing 180 mg/200 g bb serbuk effervescent selama 5 hari

K5 : Diinduksi loperamid 0,6 mg/200 g bb selama 3 hari kemudian diberikan

masing-masing 90 mg/200 g bb Vegeta Herbal selama 5 hari

3.3.2 Sampel Percobaan

Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih Rattus

norvegicus strain Wistar berjenis kelamin jantan dengan berat sekitar 200 g.

Pada penelitian ini terdapat lima kelompok perlakuan, sehingga jumlah tikus

untuk masing-masing perlakuan dapat dihitung sebagai berikut.

(t – 1) (n – 1) ≥ 15

(5 – 1) (n – 1) ≥ 15

4n – 4 ≥ 15

4n ≥ 19

n ≥ 4,75

Keterangan:

t = jumlah kelompok

n = jumlah tikus minimal dalam satu kelompok

Page 42: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

26

Maka tikus yang digunakan harus berjumlah minimal lima ekor pada setiap

kelompok. Untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, maka

setiap kelompok ditambahkan sebanyak satu ekor tikus sebagai cadangan

sehingga tiap kelompok terdiri dari enam ekor tikus wistar jantan. Sehingga

jumlah tikus keseluruhan untuk semua perlakuan adalah sebanyak 30 ekor.

3.3.3 Dosis Perlakuan

Dosis induksi loperamid untuk tikus adalah sebesar 3 mg/kg bb. Syarat

volume maksimum larutan uji yang dapat diberikan pada tikus dengan berat 200

g adalah sebanyak 5 ml (Septiyanti, 2015).

a. Dosis loperamid

Dosis untuk tikus = (3 mg/1 kg) x berat badan

= (3 mg/1.000.000 mg) x 200.000 mg

= 0,6 mg/200 g bb

b. Dosis Suplemen Vegeta Herbal

Berat bersih dari suplemen Vegeta Herbal adalah 5 g. Menurut Prasetyo

(2014), dosis untuk tikus adalah sebesar 0,018 kali dosis untuk manusia. Maka

dibuatlah dosis untuk hewan coba sebagai berikut.

Dosis untuk tikus = 5 g x 0,018

= 0,09 g

= 90 mg/200 g bb

Jumlah serat pangan = 47,6% x 90 mg

= 42,84 mg

c. Dosis Serbuk Effervescent

Pemberian perlakuan serbuk effervescent dibagi menjadi 2 dosis, dimana

besarnya dosis yang akan diberikan pada hewan coba dianalogikan dengan

dosis terhadap manusia. Perhitungan dosis serbuk effervescent didasarkan pada

dosis suplemen Vegeta Herbal sebagai pembanding, sehingga dosis 1 sama

dengan dosis suplemen pembanding sedangkan dosis 2 adalah dua kali dosis

pertama. Penaikan dosis menjadi dua kali dosis pertama didasarkan pada

keinginan penulis untuk mengetahui bagaimana perbedaan pengaruh konsumsi

serbuk effervescent bila dosis ditingkatkan.

Page 43: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

27

Berikut perhitungan dosis serbuk effervescent.

Dosis untuk tikus = 5 g x 0,018

= 0,09 g

= 90 mg/200 g bb

Jumlah serat pangan = 30,35% x 90 mg

= 27,315 mg

Maka selanjutnya ditetapkan dosis untuk kelompok perlakuan uji sebagai berikut.

Dosis 1 (K3) = 90 mg/200 g bb

Dosis 2 (K4) = 2x dosis 1

= 180 mg/200 g bb

a. Jenis Pakan

Pakan yang diberikan pada tikus selama masa adaptasi atau pemeliharaan

dan masa perlakuan adalah pakan susu pap. Berikut ini kandungan pakan susu

pap tersaji pada Tabel 3.2.

Tabel 3.2 Kandungan Pakan Susu Pap Komposisi Pakan Jumlah (%)

Bahan kering 87,64 Bahan organik 91,42 Protein kasar 15,85 Serat kasar 8,32 Lemak kasar 4,15 Bahan ekstrak tanpa nitrogen - Natural Detergent Fibre - Acid Detergent Fibre -

Sumber: Dias (2012)

Page 44: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

28

3.4 Pelaksanaan

Tahap 1. Ekstraksi Pektin Kulit Pisang

Tahap pembuatan bubuk kulit pisang sebagai berikut (Modifikasi Erawati, 2009).

a. Kulit pisang dicuci bersih kemudian direndam larutan Na-metabisulfit 0,1%

(b/v) selama 30 menit.

b. Kulit pisang kemudian dipotong kecil dan diletakkan di loyang.

c. Kulit pisang dikeringkan dengan suhu 55oC selama 8 jam kemudian

dihancurkan dengan blender kering.

d. Bubuk kulit pisang diayak dengan ayakan 60 mesh.

Tahap ekstraksi pektin sebagai berikut (Modifikasi Erawati, 2009).

a. Bubuk kulit pisang ditimbang kemudian ditambahkan pelarut asam sitrat 5%

dengan perbandingan 1:5 (bahan:pelarut) dan dipanaskan dengan suhu 90oC

selama 1 jam dalam keadaan tertutup.

b. Penyaringan menggunakan kain saring untuk memisahkan ampas dengan

filtrat ekstrak pektin.

c. Kemudian filtrat dipekatkan dengan pemanasan di atas air mendidih selama

45 menit.

d. Ekstrak pekat didinginkan, lalu ditambahkan etanol 96% sedikit demi sedikit

sambil diaduk hingga mencapai perbandingan 1:2 (ekstrak:etanol), kemudian

dilakukan pengendapan selama 2 jam.

e. Gumpalan pektin kemudian disaring menggunakan kertas saring dan dicuci

dengan 100 ml etanol 70% sebanyak dua kali dan dicuci sekali lagi

menggunakan 50 ml etanol 96%.

f. Gumpalan pektin kemudian dikeringkan dengan pengering kabinet suhu 55oC

selama 5 jam dan setelah kering dihancurkan kemudian diayak

menggunakan ayakan 60 mesh.

g. Analisis yang dilakukan pada bubuk pektin yang dihasilkan meliputi analisis

rendemen, kadar air, warna, berat ekivalen, kadar metoksil, kadar asam

galakturonat dan derajat esterifikasi.

Page 45: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

29

Tahap 2. Pembuatan Bubuk Mangga, Bubuk Daun Mint, dan Serbuk

Effervescent

Proses pembuatan bubuk mangga sebagai berikut.

a. Buah mangga dicuci bersih kemudian dikupas kulitnya, setelah itu ditimbang

sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan.

b. Dihancurkan menggunakan blender selama 1 menit.

c. Ditambahkan dekstrin dan dihomogenkan.

d. Bubur mangga kemudian dioleskan di atas loyang beralas plastik untuk

dikeringkan menggunakan pengering kabinet suhu 60oC selama 6 jam.

e. Lapisan mangga kering dihancurkan dengan blender kering hingga

didapatkan bubuk mangga.

Proses pembuatan bubuk daun mint sebagai berikut (Modifikasi Sari, 2016).

a. Daun mint segar dicuci bersih.

b. Daun mint yang telah bersih diletakkan di atas loyang kemudian dikeringkan

menggunakan pengering kabinet dengan suhu 40oC selama 3 jam.

c. Daun mint kering dihancurkan dengan blender dan setelah halus diayak

menggunakan ayakan 60 mesh untuk mendapatkan bubuk daun mint.

Proses pembuatan serbuk effervescent sebagai berikut (Hudha dkk., 2015).

a. Bubuk pektin hasil ekstraksi, bubuk mangga dan bubuk daun mint ditimbang

sesuai dengan formulasi yang telah ditentukan.

b. Bubuk pektin hasil ekstraksi, bubuk mangga dan bubuk daun mint dicampur

dengan asam sitrat, asam tartrat, dekstrin, stevia dan sebagian PVP

dicampurkan menggunakan blender kering sehingga menghasilkan suatu

campuran yang disebut dengan komponen asam.

c. Sisa PVP kemudian dicampurkan dengan Na-bikarbonat menggunakan

blender kering dan menghasilkan campuran yang disebut sebagai komponen

basa.

d. Komponen asam dan komponen basa kemudian dicampurkan menggunakan

blender kering hingga homogen.

e. Serbuk effervescent diayak menggunakan ayakan 60 mesh.

f. Serbuk effervescent dianalisis kadar serat pangan, warna, kadar air,

kecepatan alir, waktu larut, sudut diam dan rehidrasi.

Page 46: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

30

Tahap 3. Tahap Uji In Vivo

Semua tikus percobaan ditimbang berat badannya kemudian diadaptasi

dengan lingkungan penelitian selama tujuh hari dan dikelompokkan menjadi lima

kelompok acak dimana setiap kelompoknya terdiri dari enam ekor tikus. Pakan

yang diberikan pada tikus selama masa percobaan adalah pakan susu pap

dengan jumlah yang sama untuk masing-masing tikus, yaitu 15 g/hari.

Kelompok K1 (-) merupakan kelompok tikus tanpa diinduksi loperamid dan

empat kelompok lainnya yaitu K2 (+), K3, K4 serta K5 diinduksi dengan

loperamid sebanyak 3 mg/kg bb yang dilakukan selama tiga hari (Septiyanti,

2015). Setelah masa pengkondisian, maka dilanjutkan dengan masa perlakuan

selama lima hari dimana masing-masing tikus akan diberikan jumlah pakan yang

sama, namun dengan perlakuan pemberian minuman serbuk effervescent yang

berbeda. Kelompok K1 (-) dan K2 (+) hanya diberikan pakan tanpa perlakuan

sebanyak 15 g, kelompok K3 diberikan pakan dan serbuk effervescent sebanyak

90 mg/200 g bb sedangkan kelompok K4 diberikan pakan dan serbuk

effervescent sebanyak 180 mg/200 g bb, serta kelompok K5 diberikan pakan dan

suplemen Vegeta Herbal sebanyak 90 mg/200 g bb (Modifikasi Septiyanti, 2015).

Parameter yang diamati selama lima hari yaitu berat badan, jumlah konsumsi

pakan, volume minum dan frekuensi defekasi. Setelah perlakuan selama lima

hari, semua tikus dipuasakan selama 12-18 jam kemudian dilakukan

pembedahan untuk mendapatkan kolon tikus sebagai bahan uji histopatologi.

Perlakuan selama lima hari didasarkan pada masa konstipasi yang dialami

manusia pada umumnya yaitu 4-7 hari (Endyarni dan Syarif, 2004).

3.5 Analisis Data

Data yang diperoleh akan ditampilkan sebagai rata-rata dari setiap ulangan,

kemudian dianalisis dengan Analisis Ragam (ANOVA) dan apabila menunjukkan

perbedaan dilanjutkan dengan uji BNT menggunakan taraf signifikansi 5%.

Semua analisis data dilakukan dengan menggunakan program Microsoft Excel

dan Design Expert 7.5.1.

Page 47: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

31

3.6 Diagram Alir

3.6.1 Diagram Alir Ekstraksi Pektin Kulit Pisang

Kulit Pisang

Pencucian

Na-metabisulfit 0,1% (b/v)

Perendaman 30 menit

Pemotongan

Pengeringan suhu 55oC selama 8 jam

Penghancuran

Pengayakan 60 mesh

Bubuk Kulit Pisang

Asam sitrat 5%

Pemanasan suhu 90oC selama 1 jam

Penyaringan

Ampas

Filtrat

Pemanasan di atas air mendidih selama 45 menit

Pendinginan

Etanol 96% (1:2)

Pengendapan selama 2 jam

Penyaringan

Gumpalan Pektin

2x100 ml Etanol 70%

50 ml Etanol 96% Pencucian

Pengeringan suhu 55oC selama 5 jam

Penghancuran

Pengayakan 60 mesh

Bubuk Pektin

Gambar 3.1 Diagram Alir Ekstraksi Pektin Kulit Pisang (Modifikasi Erawati, 2009)

Analisis:

- Rendemen

- Kadar air

- Warna

- Berat ekivalen

- Kadar metoksil

- Kadar asam galakturonat

- Derajat esterifikasi

Page 48: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

32

3.6.2 Diagram Alir Pembuatan Bubuk Mangga

Mangga

Pencucian

Pengupasan

Penimbangan

Dekstrin 5% (b/b)

Penghancuran dan pencampuran

Bubur Mangga

Pengeringan suhu 60oC selama 6 jam

Penghancuran

Bubuk Mangga

Gambar 3.2 Diagram Alir Pembuatan Bubuk Mangga

3.6.3 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Daun Mint

Daun Mint

Pencucian

Pengeringan suhu 40oC selama 3 jam

Penghancuran

Pengayakan 60 mesh

Bubuk Daun Mint

Gambar 3.3 Diagram Alir Pembuatan Bubuk Daun Mint (Modifikasi Sari, 2016)

Page 49: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

33

3.6.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent

Bubuk Pektin Kulit Pisang,

Bubuk Mangga, Bubuk Daun Mint

Pencampuran

Pengayakan 60 mesh

Serbuk Effervescent

Gambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent

(Modifikasi Prasetyo dkk., 2015)

Komponen asam: Asam sitrat 13% (b/b) Asam tartrat 7% (b/b) Stevia 5% (b/b)

PVP 1% (b/b)

Komponen basa: Na-bikarbonat 10% (b/b) PVP 1% (b/b)

Analisis: - Warna - Kadar air - Kecepatan alir - Waktu larut - Sudut diam - Rehidrasi

- Kadar serat pangan

Page 50: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

34

3.6.5 Diagram Alir Uji In Vivo

Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo (Modifikasi Septiyanti, 2015)

Pengkondisian konstipasi selama 3 hari

30 ekor tikus

Adaptasi pakan susu pap selama 7 hari

K2 (+)

Aquades selama 5

hari

K3 Serbuk Effervescent

90 mg/200 g bb selama 5 hari

K4 Serbuk Effervescent

180 mg/200 g bb selama 5 hari

K5 Vegeta Herbal

90 mg/200 g bb selama 5 hari

K1 (-)

Aquades selama 5

hari

Penimbangan BB, sisa pakan, pengukuran volume minum, pengamatan frekuensi defekasi selama 5 hari

Pengambilan kolon (uji histopatologi kolon)

Analisis Data

Pembedahan

Induksi Loperamid

0,6 mg/200 g bb

Perlakuan sonde

Page 51: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

35

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Bahan Baku

Bahan baku utama yang digunakan dalam ekstraksi pektin dan pembuatan

serbuk effervescent pada penelitian ini adalah bubuk kulit pisang agung semeru,

bubuk mangga podang, dan bubuk daun mint. Masing-masing bahan baku

dianalisis warna, rendemen, kadar air, dan kadar serat pangan total. Analisis

kadar pektin hanya dilakukan pada kulit pisang agung semeru. Rerata hasil

analisis bahan baku dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Rerata Karakteristik Bahan Baku

Karakteristik Bahan

Bubuk kulit pisang Bubuk mangga Bubuk daun mint

Warna L* 57,60 ± 0,00 70,57 ± 1,76 49,90 ± 0,26 a* 3,03 ± 0,06 6,40 ± 0,46 -2,17 ± 0,15 b* 14,50 ± 0,10 30,20 ± 0,90 16,80 ± 0,20 Rendemen (%) 7,35 17,97 6,00 Kadar air (%) 1,99 ± 0,03 1,07 ± 0,08 2,07 ± 0,03 Kadar serat pangan (%)

61,89 ± 0,51 12,35 ± 0,31 44,34 ± 0,33

Serat tak larut (%) 51,70 ± 0,50 6,59 ± 0,07 42,54 ± 0,30 Serat larut (%) 10,23 ± 0,07 5,79 ± 0,33 1,63 ± 0,15

Keterangan: 1) Setiap data yang tercantum merupakan rerata dari tiga ulangan

2) Angka setelah ± merupakan standar deviasi

Analisis kadar pektin pada kulit pisang agung semeru dilakukan untuk

mengetahui seberapa besar kandungan pektin didalamnya, sehubungan dengan

digunakannya bahan ini untuk ekstraksi pektin. Kadar pektin kulit pisang agung

semeru yang diperoleh dari analisis sebanyak 0,32%. Kandungan pektin pada

satu bahan akan berbeda dengan bahan yang lain. Kandungan pektin pada kulit

pisang berkisar antara 0,9% dari berat kering (Hanum dkk., 2012). Perbedaan ini

bisa terjadi jika kulit pisang yang dianalisis berbeda jenis dan berbeda tingkat

kematangan. Menurut Tuhuloula dkk. (2013) kadar pektin kulit pisang yang

berbeda jenis akan berbeda pula, salah satunya karena perbedaan bentuk

fisiknya. Jika semakin besar bentuknya maka kandungan karbohidrat yang

terdapat dalam kulit pisang tersebut akan lebih banyak. Oleh karena banyaknya

kandungan karbohidrat yang terdapat pada kulit pisang tersebut maka semakin

banyak pula protopektin yang terhidrolisis menjadi pektin.

Page 52: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

36

Atribut warna yang dianalisis meliputi intensitas kecerahan (L*), intensitas

kemerahan (a*), dan intensitas kekuningan (b*). Warna bubuk kulit pisang agung

semeru menunjukkan nilai intensitas kecerahan 57,60 atau cerah sedangkan

intensitas kemerahan 3,03 atau merah dan intensitas kekuningan 14,50 atau

kuning. Kenampakan visual warna bubuk kulit pisang agung semeru yaitu

cenderung kecoklatan. Warna coklat pada bahan terjadi karena proses

pengeringan bahan. Nurdjannah dan Hoerudin (2008) menyebutkan pengeringan

yang dilakukan pada ruang terbuka akan memicu reaksi pencoklatan yang lebih

besar karena ketersedian oksigen yang melimpah. Selain itu, perubahan warna

coklat pada bubuk kulit pisang diduga disebabkan oleh aktivitas enzim latent

polyphenol oxydase (LPPO). Enzim LPPO dapat mengkatalis reaksi oksidasi

senyawa polifenol menjadi kuinon yang selanjutnya membentuk polimer dan

menghasilkan warna coklat (Muharni dkk., 2011). Warna bubuk mangga podang

menunjukkan nilai intensitas kecerahan 70,57 atau sangat cerah sedangkan

intensitas kemerahan 6,40 atau merah dan intensitas kekuningan 30,20 atau

sangat kuning. Kenampakan visual warna bubuk mangga podang yaitu kuning

sangat cerah. Warna bubuk daun mint menunjukkan nilai intensitas kecerahan

49,90 atau cerah sedangkan intensitas kemerahan -2,17 atau hijau dan intensitas

kekuningan 16,80 atau kuning. Kenampakan visual warna bubuk daun mint ini

yaitu hijau dengan kecerahan yang cukup. Menurut Lawless dan Heymann

(1998) dalam Sari (2016), warna suatu bahan dipengaruhi oleh adanya cahaya

yang diserap dan dipantulkan dari bahan itu sendiri dan juga ditentukan oleh

faktor tiga dimensi yaitu warna produk, kecerahan produk dan kejelasan warna

produk.

Persen rendemen menunjukkan banyaknya bubuk yang didapatkan dari

proses penepungan bahan segar. Rendemen adalah persentase produk yang

didapatkan dari membandingkan berat awal bahan dengan berat akhirnya,

sehingga dapat diketahui kehilangan beratnya pada proses pengolahan.

Berdasarkan hasil analisis, rendemen bubuk kulit pisang agung semeru yang

dihasilkan sebanyak 7,35%. Rendemen bubuk mangga podang yang dihasilkan

sebanyak 17,97%. Rendemen bubuk daun mint yang dihasilkan sebanyak

6,00%. Semua bahan baku dalam bentuk bubuk ini memiliki ukuran 60 mesh

sesuai dengan proses terakhir pada setiap proses pembuatan bubuk bahan yaitu

pengayakan dengan ayakan 60 mesh.

Page 53: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

37

Berdasarkan hasil analisa kadar air pada bahan baku, diketahui kadar air

bubuk kulit pisang agung semeru adalah 1,99%. Kadar air bubuk mangga

podang adalah 1,07% dan kadar air bubuk daun mint adalah 2,07%. Jamaluddin

dkk. (2014) menjelaskan bahwa air yang terikat dalam bahan pangan memiliki

karakteristik sifat yang berbeda dengan produknya karena jaringan matriks pada

produk pangan yang berbeda dengan bahan pangannya. Kadar air bubuk

mangga seharusnya lebih tinggi karena kandungan gula yang cukup tinggi

dimana gula tersebut memiliki sifat higroskopis.

Analisis kadar serat pangan dilakukan pada ketiga bahan baku. Diketahui

kadar serat pangan bubuk kulit pisang agung semeru sebanyak 61,89%. Kadar

serat pangan bubuk mangga podang sebanyak 12,35%. Sedangkan kadar serat

pangan bubuk daun mint sebanyak 44,34%. Masing-masing kadar serat pangan

tak larut dari bahan baku yaitu 51,70% untuk bubuk kulit pisang agung semeru,

6,59% untuk bubuk mangga podang, dan 42,54% untuk bubuk daun mint.

Sedangkan kadar serat pangan larut dari masing-masing bahan baku yaitu

10,23% untuk bubuk kulit pisang agung semeru, 5,79% untuk bubuk mangga

podang, dan 1,63% untuk bubuk daun mint. Kandungan serat pangan bahan

baku tersebut akan berpengaruh pada kandungan serat pangan yang dimiliki

produk serbuk effervescent.

4.2 Karakteristik Pektin Hasil Ekstraksi

Pektin hasil ekstraksi dari kulit pisang dianalisis rendemen, kadar air, warna,

berat ekivalen, kadar metoksil, kadar asam galakturonat dan derajat esterifikasi.

Rerata hasil analisis pektin hasil ekstraksi dapat dilihat pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2 Rerata Karakteristik Pektin Hasil Ekstraksi

Parameter Hasil Analisis

Rendemen (%) 12,95 Warna L* 56,83 ± 0,76 a* 13,20 ± 0,20 b* 11,23 ± 0,15 Kadar Air (%) 5,00 ± 0,14 Berat Ekivalen (mg) 1.010,21 ± 14,43 Kadar Metoksil (%) 5,02 ± 0,09 Kadar Asam Galakturonat (%) 45,94 ± 0,25 Derajat Esterifikasi (%) 62,07 ± 0,75

Keterangan: 1) Setiap data yang tercantum merupakan rerata dari dua

ulangan

2) Angka setelah ± merupakan standar deviasi

Page 54: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

38

Berdasarkan hasil analisis, rendemen pektin yang dihasilkan dari limbah kulit

pisang agung semeru yaitu 12,95%. Rendemen pektin hasil ekstraksi

dipengaruhi oleh waktu, suhu, dan pH ekstraksi yang digunakan. Ekstraksi pektin

dari jenis bahan, suhu dan metode ekstraksi yang berbeda juga akan

mempengaruhi rendemen pektin yang terekstrak. Pada penelitian ini, ekstraksi

pektin kulit pisang agung semeru menggunakan pelarut asam sitrat 5% (pH 2)

dengan pemanasan suhu 90oC selama 1 jam. Berdasarkan penelitian Budiyanto

dan Yulianingsih (2008), semakin lama waktu dan semakin tinggi suhu ekstraksi

yang digunakan maka rendemen yang dihasilkan akan semakin besar. Suhu

ekstraksi yang tinggi menyebabkan peningkatan energi kinetik larutan sehingga

difusi pelarut ke dalam sel jaringan semakin meningkat. Selain itu, pH larutan

yang digunakan untuk ekstraksi pektin pun mempengaruhi rendemen. Ekstraksi

pektin menggunakan pelarut dengan pH rendah akan menghasilkan rendemen

yang tinggi karena proses hidrolisa protopektin menjadi pektin terjadi lebih

intensif (Gusti, 2008). Sedangkan menurut Nasution (2002) dalam Gusti (2008)

menyatakan bahwa jika pH larutan yang digunakan lebih rendah maka rendemen

pektin menurun karena senyawa pektin akan terdekomposisi menjadi asam

galakturonat.

Hasil analisis warna pektin kulit pisang agung semeru menunjukkan

intensitas kecerahan (L*) 56,83 atau cukup cerah dengan intensitas kemerahan

(a*) 13,20 atau merah dan intensitas kekuningan (b*) 11,23 atau kuning. Warna

suatu bahan dipengaruhi oleh adanya cahaya yang diserap dan dipantulkan dari

bahan itu sendiri dan juga ditentukan oleh faktor tiga dimensi yaitu warna produk,

kecerahan produk dan kejelasan warna produk (Lawless dan Heymann, 1998

dalam Sari, 2016). Jika diamati secara visual, bubuk pektin hasil ekstraksi kulit

pisang agung semeru berwarna coklat terang. Hal ini telah sesuai dengan

standar mutu warna pektin. Berdasarkan Farmakope Indonesia edisi V (2014),

penggambaran pektin berupa serbuk kasar atau halus, berwarna putih

kekuningan, hampir tidak berbau dan mempunyai rasa cenderung pahit. Menurut

Food Chemical Codex (1996) dalam Fitria (2013), pemerian pektin berupa serbuk

kasar hingga halus, berwarna putih kekuningan, kelabu atau kecoklatan. Menurut

Nurhayati dkk. (2016), warna pektin yang coklat dapat dikarenakan oleh adanya

polifenol atau pigmen larut air lain yang terperangkap di dalam pektin selama

proses presipitasi pektin.

Page 55: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

39

Kadar air pektin kulit pisang agung semeru yang diperoleh dari hasil analisis

yaitu 5,00%. Berdasarkan Food Chemical Codex (1996) dalam Fitria (2013),

batas maksimum nilai kadar air yang diperbolehkan yaitu 12%. Maka kadar air

pektin kulit pisang agung semeru sesuai dengan syarat mutu pektin. Faktor yang

dapat mempengaruhi kadar air pektin hasil ekstraksi adalah proses pengeringan

(meliputi suhu dan waktu) dan kondisi penyimpanan pektin sebelum dilakukan

analisis kadar air. Kadar air bahan akan berpengaruh terhadap masa simpan

bahan.

Hasil analisis berat ekivalen pektin kulit pisang agung semeru yaitu 1.010,21

mg. Berdasarkan standar IPPA (International Pectin Producers Association) berat

ekivalen adalah 600-800 mg. Maka berat ekivalen pektin kulit pisang agung

semeru tidak sesuai dengan standar. Menurut Budiyanto dan Yulianingsih

(2008), kenaikan suhu dan waktu ekstraksi menyebabkan berat ekivalen pektin

semakin rendah.

Kadar metoksil pektin kulit pisang agung semeru berdasarkan hasil analisis

yaitu 5,02% yang kemudian disebut pektin dengan kadar metoksil rendah. Hal

tersebut merujuk pada ketentuan IPPA (International Pectin Producers

Association) yang menggolongkan pektin dengan kadar metoksil 2,5-7,12%

sebagai pektin berkadar metoksil rendah. Menurut Fitria (2013), kadar metoksil

yaitu jumlah metanol yang terdapat di dalam pektin. Kadar metoksil dapat

menentukan sifat fungsional larutan pektin dan mempengaruhi struktur serta

tekstur dari gel yang terbentuk.

Hasil analisis kadar asam galakturonat pektin kulit pisang agung semeru

adalah 45,94%. Ketentuan IPPA (International Pectin Producers Association)

tentang kadar asam galakturonat adalah minimal 35%. Maka kadar asam

galakturonat pektin kulit pisang agung semeru telah memenuhi standar. Menurut

Fitria (2013), kadar asam galakturonat serta muatan molekul pektin berperan

penting dalam penentuan sifat fungsional larutan pektin. Semakin tinggi nilai

kadar asam galakturonat maka semakin tinggi pula mutu pektin.

Derajat esterifikasi pektin kulit pisang agung semeru yang diperoleh dari hasil

analisis adalah 62,07%. Nilai derajat esterifikasi pektin dipengaruhi oleh nilai

kadar metoksil dan kadar asam galakturonat. Derajat esterifikasi menunjukkan

presentase jumlah residu asam D-galakturonat yang gugus karboksilnya

teresterifikasi dengan etanol (Whistler dan Daniel,1985 dalam Fitria, 2013).

Berdasarkan IPPA (International Pectin Producers Association), derajat

Page 56: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

40

esterifikasi untuk pektin ester rendah maksimal 50%. Maka derajat esterifikasi

pektin kulit pisang agung semeru tidak sesuai dengan standar mutu pektin.

4.3 Formulasi Serbuk Effervescent

Formulasi yang tepat dalam pembuatan sebuah produk sangat penting.

Demikian pula dengan serbuk effervescent pada penelitian ini yang dibuat untuk

mengurangi gejala konstipasi pada tikus wistar, sehingga diharapkan serbuk

effervescent memiliki kadar serat pangan dan kelarutan yang optimum. Untuk

mendapatkan proporsi bahan yang tepat, maka dilakukan formulasi dengan

metode Response Surface Methodology (RSM) rancangan Central Composite

Design (CCD). Serbuk effervescent ini akan dibuat dengan tiga bahan utama

yaitu bubuk pektin hasil ekstraksi kulit pisang agung semeru, bubuk mangga, dan

bubuk daun mint. Formula yang diinginkan adalah formula dengan nilai kadar

serat pangan dan kelarutan yang optimum. Batasan level yang digunakan untuk

masing-masing bahan telah diketahui dari penelitian pendahuluan. Bubuk pektin

memiliki batasan level terendah 40% dan level tertinggi 50%, bubuk mangga

memiliki batasan level batasan terendah 30% dan level tertinggi 40%, dan bubuk

daun mint memiliki batasan level terendah 15% dan level tertinggi 25%.

Berdasarkan hasil analisis dari 20 formulasi yang telah dilakukan, diketahui

formula dengan kadar serat pangan dan kelarutan tertinggi yaitu formula dengan

proporsi bubuk pektin:bubuk mangga:bubuk daun mint masing-masing

40%:30%:25%. Data hasil analisis masing-masing formula dapat dilihat pada

Tabel 4.3. Prediksi model persamaan setiap respon selanjutnya dianalisis ragam

(ANOVA).

Page 57: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

41

Tabel 4.3 Rerata Hasil Analisa Respon

Run Faktor 1

A: Bubuk pektin (%)

Faktor 2 B: Bubuk

mangga (%)

Faktor 3 C: Bubuk daun mint

(%)

Respon 1 Kadar serat pangan (%)

Respon 2 Kelarutan (%)

1 45,00 35,00 20,00 26,81±0,01 77,11±0,01 2 50,00 30,00 15,00 14,89±0,00 77,12±0,01 3 40,00 40,00 15,00 5,55%0,00 76,62±0,02 4 50,00 40,00 25,00 29,35±0,03 78,69±0,03 5 45,00 35,00 11,59 26,05±0,04 83,00±0,02 6 45,00 26,59 20,00 27,28±0,03 71,81±0,02 7 40,00 30,00 25,00 28,00±0,01 71,42±0,02 8 45,00 35,00 20,00 29,04±0,01 76,92±0,01 9 40,00 40,00 25,00 21,99±0,02 71,67±0,02

10 36,59 35,00 20,00 21,08±0,01 77,82±0,04 11 45,00 35,00 28,41 22,31±0,04 68,54±0,03 12 45,00 35,00 20,00 21,57±0,01 75,51±0,02 13 45,00 35,00 20,00 25,11±0,01 75,31±0,00 14 45,00 35,00 20,00 21,21±0,02 74,12±0,02 15 45,00 43,41 20,00 17,51±0,00 71,31±0,01 16 40,00 30,00 15,00 24,57±0,00 75,11±0,02 17 50,00 40,00 15,00 28,15±0,00 76,32±0,05 18 53,41 35,00 20,00 21,41±0,01 69,60±0,02 19 45,00 35,00 20,00 23,66±0,01 74,83±0,01 20 50,00 30,00 25,00 24,21±0,02 67,18±0,04

Keterangan: 1) Setiap data yang tercantum merupakan rerata dari tiga ulangan

2) Angka setelah ± merupakan standar deviasi

Analisis permukaan respon menggunakan rancangan Central Composite

Design (CCD). Pemilihan model yang sesuai untuk menentukan respon optimum

didasarkan pada jumlah kuadrat urutan model (Sequential Model Sum of

Squares), ringkasan model statistik (Model Summary Statistic), serta uji

ketidaktepatan model statistik (Lack of Fit Test).

Pemilihan model berdasarkan Sequential Model Sum of Squares pada

Lampiran 4 untuk respon kelarutan menunjukkan bahwa model yang terpilih

(Suggested) yaitu Linear vs mean karena memiliki nilai p 0,0112 (<0,05)

sehingga berpengaruh nyata terhadap respon kelarutan. Sedangkan model

Cubic vs Quadratic yang diamati tidak terpilih (Aliased) walaupun memiliki nilai

p<0,05. Pemilihan model berdasarkan Model Summary Statistic untuk respon

kelarutan menunjukkan bahwa model yang terpilih (Suggested) yaitu Linear.

Pemilihan model berdasarkan Lack of Fit Test untuk respon kelarutan

menunjukkan bahwa model yang terpilih (Suggested) yaitu Linear sedangkan

model yang tidak terpilih (Aliased) yaitu Cubic. Berdasarkan hasil dari tiga kriteria

pemilihan model, maka model yang terpilih untuk menjelaskan hubungan antara

Page 58: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

42

variabel X1, X2, X3 (proporsi bubuk pektin, bubuk mangga, bubuk daun mint)

terhadap respon Y (kelarutan) adalah model Linear.

Sedangkan pemilihan model berdasarkan Sequential Model Sum of Squares

pada Lampiran 5 untuk respon kadar serat pangan menunjukkan bahwa model

yang terpilih (Suggested) yaitu 2FI vs Linear karena memiliki nilai p 0,0224

(<0,05) sehingga berpengaruh nyata terhadap respon kadar serat pangan.

Sedangkan model Cubic vs Quadratic yang diamati tidak terpilih (Aliased)

meskipun memiliki nilai p<0,05. Pemilihan model berdasarkan Model Summary

Statistic untuk respon kadar serat pangan menunjukkan bahwa model yang

terpilih (Suggested) yaitu 2FI sedangkan untuk model yang tidak terpilih (Aliased)

yaitu Cubic. Pemilihan model berdasarkan Lack of Fit Test untuk respon kadar

serat pangan menunjukkan bahwa model yang terpilih (Suggested) yaitu 2FI

sedangkan model yang tidak terpilih (Aliased) yaitu Cubic. Berdasarkan hasil dari

tiga kriteria pemilihan model, maka model yang terpilih untuk menjelaskan

hubungan antara variabel X1, X2, X3 (proporsi bubuk pektin, bubuk mangga,

bubuk daun mint) terhadap respon Y (kadar serat pangan) adalah model 2FI.

4.3.1 Analisis Ragam (ANOVA)

Berdasarkan analisis ragam (ANOVA) pada Lampiran 6 menunjukkan bahwa

model memberikan pengaruh nyata (α=0,05) terhadap respon kelarutan, dapat

dilihat dari nilai p<0,05 yaitu 0,0112. Hal ini menunjukkan bahwa variabel X1, X2,

X3 pada grafik Linear memberikan pengaruh yang signifikan terhadap respon

kelarutan. Tes Lack of Fit menunjukkan hasil yang signifikan dengan nilai p<0,05

yaitu 0,0129 sehingga model ini dianggap tepat. Dari ketiga bahan baku yang

digunakan, bubuk daun mint menunjukkan nilai p<0,05 atau berpengaruh nyata

terhadap respon kelarutan. Sedangkan dua bahan yang lain menunjukkan nilai

p>0,05 atau tidak berpengaruh nyata terhadap respon kelarutan. Hal ini terjadi

karena ketika analisis kelarutan dilakukan, produk serbuk effervescent tidak

dapat larut sempurna dalam aquades disebabkan oleh bubuk daun mint yang

tidak larut. Berdasarkan hasil analisis bahan baku, bubuk daun mint memiliki

kadar serat pangan tak larut sebesar 42,54%. Berikut ini persamaan dari model

terpilih terhadap respon yang dihasilkan.

Kelarutan = 86,56186 - 0,13670X1 + 0,17030X2 - 0,59353X3

Page 59: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

43

Berdasarkan analisis ragam (ANOVA) pada Lampiran 7 menunjukkan bahwa

model memberikan pengaruh nyata (α=0,05) terhadap respon kadar serat

pangan, dapat dilihat dari nilai p<0,05 yaitu 0,0381. Hal ini menunjukkan bahwa

variabel X1, X2, X3 pada grafik 2FI memberikan pengaruh yang signifikan

terhadap respon kadar serat pangan. Sedangkan Lack of Fit Test menunjukkan

hasil tidak signifikan dengan nilai p>0,05 yaitu 0,1527. Ketiga bahan baku yang

digunakan memiliki nilai p>0,05 atau tidak berpengaruh nyata terhadap respon

kadar serat pangan. Begitu pula dengan interaksi antar bahan baku, kecuali

interaksi antara bubuk pektin dengan bubuk mangga yang memiliki nilai p<0,05

atau berpengaruh nyata terhadap respon kadar serat pangan. Hal ini diduga

karena proporsi bubuk pektin dan bubuk mangga yang cenderung lebih besar

menyebabkan kadar serat produk effervescent lebih tinggi. Berdasarkan hasil

analisis bahan baku, bubuk pektin memiliki kadar serat pangan 61, 89% dan

bubuk mangga memiliki kadar serat pangan 12,35%. Berikut ini persamaan dari

model terpilih terhadap respon yang dihasilkan.

Kadar serat pangan = 333,56746 - 6,41563X1 - 10,59847X2 + 1,60094X3 +

0,21715X1X2 - 0,046750X1X3 + 0,024450X2X3

4.3.2 Pengaruh Proporsi Bahan terhadap Respon Kelarutan

Hubungan antara variabel proporsi bahan baku serbuk effervescent terhadap

respon kelarutan digambarkan melalui kontur plot dan grafik permukaan respon.

Gambar 4.1 (a) menunjukkan kurva Normal Plot of Residuals dari model yang

disarankan yaitu Linear. Tidak semua titik residual berada tepat di sepanjang

garis tengah antara persentase peluang kenormalan dengan residual. Namun

banyak titik residual yang sangat dekat dengan garis tengah. Hal ini

menunjukkan bahwa penyebaran data hasil analisis respon kelarutan cenderung

normal. Sedangkan Gambar 4.1 (b) menunjukkan kontur plot dengan sumbu X

merupakan proporsi bubuk pektin dan sumbu Y merupakan proporsi bubuk

mangga terhadap respon kelarutan. Garis garis yang melintang pada gambar

tersebut menunjukkan respon hasil analisa. Garis terluar pada kecerahan warna

yang tinggi menunjukkan nilai respon kelarutan tertinggi, sedangkan semakin

dalam garis pada kecerahan warna yang rendah menunjukkan nilai respon

kelarutan yang semakin rendah. Respon kelarutan optimum ditandai oleh titik

berwarna merah, sehingga diketahui respon kelarutan optimum pada interaksi

antara proporsi bubuk pektin dengan bubuk mangga yaitu 74,5%.

Page 60: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

44

Gambar 4.1 (a) Kurva Normal Plot of Residuals (b) Kontur Plot (c) Kurva Permukaan Respon Variabel Pektin Kulit Pisang dan Mangga Podang terhadap Kelarutan

Design-Expert® Software

Kelarutan

Color points by value of

Kelarutan:

83

67.18

Internally Studentized Residuals

No

rma

l %

Pro

ba

bil

ity

Normal Plot of Residuals

-1.80 -0.66 0.47 1.61 2.75

1

5

10

20

30

50

70

80

90

95

99

Design-Expert® Software

Kelarutan

Design Points

83

67.18

X1 = A: Pektin Kulit Pisang

X2 = B: Mangga Podang

Actual Factor

C: Daun Mint = 20.00

40.00 42.50 45.00 47.50 50.00

30.00

32.50

35.00

37.50

40.00Kelarutan

A: Pektin Kulit Pisang

B:

Ma

ng

ga

Po

da

ng

73.4772

73.9888

74.5005

75.0122

75.5238

6

Design-Expert® Software

Kelarutan

Design points above predicted value

Design points below predicted value

83

67.18

X1 = A: Pektin Kulit Pisang

X2 = B: Mangga Podang

Actual Factor

C: Daun Mint = 20.00

40

42.5

45

47.5

50

30.00

32.50

35.00

37.50

40.00

72.9

73.975

75.05

76.125

77.2

K

ela

ruta

n

A: Pektin Kulit Pisang B: Mangga Podang

(a)

(b)

(c)

Page 61: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

45

Gambar 4.1 (c) menunjukkan kurva permukaan respon variabel proporsi

bubuk pektin dan proporsi bubuk mangga terhadap respon kelarutan yang

disajikan dalam model kurva 3 dimensi. Semakin rendah proporsi bubuk pektin

dan semakin tinggi proporsi bubuk mangga yang digunakan pada pembuatan

produk effervescent maka akan semakin tinggi nilai respon kelarutan produk. Hal

ini disebabkan oleh kadar serat pangan larut dalam bubuk mangga podang yang

lebih tinggi daripada kadar serat pangan tak larut. Menurut Herlina (2008),

kelarutan didefinisikan dalam besaran kuantitatif sebagai konsentrasi zat terlarut

dalam larutan jenuh pada temperatur tertentu. Kelarutan suatu senyawa

tergantung pada sifat fisika kimia zat pelarut dan zat terlarut, temperatur, pH

larutan, dan tekanan. Proses pelarutan suatu bahan dapat digambarkan terjadi

dalam 3 tahap. Tahap pertama menyangkut pemindahan suatu molekul zat dari

zat terlarut atau pelepasan satu molekul dari kristal solut pada temperatur

tertentu. Tahap kedua menyangkut pembentukan lubang dalam pelarut yang

cukup besar untuk menerima molekul zat terlarut. Tahap ketiga molekul zat

terlarut akhirnya ditempatkan dalam lubang pelarut.

4.3.3 Pengaruh Proporsi Bahan terhadap Respon Kadar Serat Pangan

Hubungan antara variabel proporsi bahan baku serbuk effervescent terhadap

respon kadar serat pangan digambarkan melalui kontur plot dan grafik

permukaan respon. Gambar 4.2 (a) menunjukkan kurva Normal Plot of Residuals

dari model yang disarankan yaitu 2FI. Tidak semua titik residual berada tepat di

sepanjang garis tengah antara persentase peluang kenormalan dengan residual.

Namun banyak titik residual yang sangat dekat dengan garis tengah. Hal ini

menunjukkan bahwa penyebaran data hasil analisis respon kadar serat pangan

cenderung normal. Sedangkan Gambar 4.2 (b) menunjukkan kontur plot dengan

sumbu X merupakan proporsi bubuk pektin dan sumbu Y merupakan proporsi

bubuk mangga terhadap respon kadar serat pangan. Garis garis yang melintang

pada gambar tersebut menunjukkan respon hasil analisa. Respon kadar serat

optimum ditandai oleh titik berwarna merah, sehingga diketahui respon kadar

serat optimum pada interaksi antara proporsi bubuk pektin dengan bubuk

mangga.

Page 62: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

46

Gambar 4.2 (a) Kurva Normal Plot of Residuals (b) Kontur Plot (c) Kurva Permukaan

Respon Variabel Pektin Kulit Pisang dan Mangga Podang terhadap Kadar Serat Pangan

Design-Expert® Software

Kadar Serat Pangan

Color points by value of

Kadar Serat Pangan:

29.35

5.55

Internally Studentized Residuals

No

rma

l %

Pro

ba

bil

ity

Normal Plot of Residuals

-2.19 -1.24 -0.28 0.67 1.63

1

5

10

20

30

50

70

80

90

95

99

Design-Expert® Software

Kadar Serat Pangan

Design Points

29.35

5.55

X1 = A: Pektin Kulit Pisang

X2 = B: Mangga Podang

Actual Factor

C: Daun Mint = 20.00

40.00 42.50 45.00 47.50 50.00

30.00

32.50

35.00

37.50

40.00Kadar Serat Pangan

A: Pektin Kulit Pisang

B:

Ma

ng

ga

Po

da

ng

16.9945

19.367

21.7394

21.7394

24.1119

24.1119

26.4843

26.4843

6

Design-Expert® Software

Kadar Serat Pangan

Design points above predicted value

Design points below predicted value

29.35

5.55

X1 = A: Pektin Kulit Pisang

X2 = B: Mangga Podang

Actual Factor

C: Daun Mint = 20.00

40.00 42.50 45.00 47.50 50.00 30.00

32.50 35.00

37.50 40.00

14

18

22

26

30

K

ad

ar

Se

rat

Pa

ng

an

A: Pektin Kulit Pisang B: Mangga Podang

(a)

(b)

(c)

Page 63: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

47

Gambar 4.2 (c) menunjukkan kurva permukaan respon variabel proporsi

bubuk pektin dan proporsi bubuk mangga terhadap respon kadar serat pangan

yang disajikan dalam model kurva 3 dimensi. Kurva tersebut menunjukkan

semakin tinggi proporsi bubuk pektin dan semakin rendah proporsi bubuk

mangga yang digunakan pada pembuatan produk effervescent maka akan

semakin tinggi nilai respon kadar serat pangan produk. Namun tampak ada titik

balik yang menunjukkan bahwa titik tersebut adalah titik optimum respon kadar

serat pangan produk. Sehingga apabila proporsi bubuk pektin terus ditingkatkan

dan proporsi bubuk mangga terus diturunkan, maka respon kadar serat pangan

produk akan semakin menurun. Hal ini terjadi karena kadar serat pangan pada

kedua bahan yang cenderung tinggi akan mempengaruhi kandungan kimia lain

yang ada pada produk sehingga diduga akan terjadi penurunan karakteristik

kimia yang lain.

4.3.4 Verifikasi Hasil Optimum

Berdasarkan data analisis ragam respon kelarutan diketahui bahwa Lack of

Fit Test menunjukkan signifikan yang berarti ketidaksesuaian model

mempengaruhi hasil prediksi optimasi. Maka dari itu respon yang selanjutnya

diverifikasi adalah respon kadar serat pangan. Verifikasi respon kadar serat

pangan dapat dilihat pada Tabel 4.4. Nilai prediksi akan dapat diterima apabila

selisih kesalahan antara nilai respon dengan prediksi dari software tidak lebih

dari 5%. Berdasarkan hasil prediksi, titik optimum yang disarankan yaitu proporsi

bubuk pektin:bubuk mangga:bubuk daun mint masing-masing 40%:30%:25%

dengan respon kadar serat pangan sebesar 31,179% dan nilai desirability 1,00.

Dengan perbedaan nilai prediksi dan verifikasi sebesar 2,66%, maka nilai

prediksi dapat diterima.

Tabel 4.4 Verifikasi Respon Kadar Serat Pangan

Bubuk pektin

(%) Bubuk

mangga (%) Bubuk daun

mint (%) Kadar serat pangan (%)

Prediksi* 40 30 25 31,179 Verifikasi** 40 30 25 30,35 ± 1,9 Perbedaan (%) 2,66

Keterangan: *Hasil Perhitungan Software Design Expert

**Hasil Perhitungan Aktual

1) Data verifikasi merupakan rerata dari tiga kali ulangan

2) Angka setelah ± merupakan standar deviasi

Page 64: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

48

Menurut Wu dkk. (2006) bahwa perbedaan nilai prediksi dan nilai hasil

penelitian tidak lebih dari 5% mengindikasikan bahwa model tersebut cukup tepat

digunakan. Menurut Raissi dan Farzani (2009), nilai desirability adalah nilai

fungsi tujuan optimasi yang menunjukkan kemampuan program untuk memenuhi

keinginan berdasarkan kriteria yang ditetapkan pada produk akhir. Nilai

desirability berkisar antara 0,9-1,0 dimana semakin mendekati nilai 1,0

menunjukkan kemampuan program untuk menghasilkan produk yang

dikehendaki semakin sempurna.

4.4 Karakteristik Serbuk Effervescent

Produk serbuk effervescent dibuat dari bubuk pektin hasil ekstraksi kulit

pisang agung semeru, bubuk mangga podang, dan bubuk daun mint yang

kemudian dicampurkan dengan komponen asam dan komponen basa. Serbuk

effervescent tersebut selanjutnya dianalisis meliputi kadar air, kecepatan alir,

sudut diam, waktu larut, rehidrasi, dan warna. Rerata hasil analisis serbuk

effervescent dapat dilihat pada Tabel 4.5.

Tabel 4.5 Karakteristik Serbuk Effervescent

Parameter Hasil Analisis

Kadar air (%) 6,46 ± 0,36 Kecepatan alir (g/detik) 11,73 ± 1,07 Sudut diam (

o) 67,44 ± 1,94

Waktu larut (detik) 105 ± 0,08 Rehidrasi (%) 9,04 ± 0,06 Warna L* 48,00 ± 0,83 a* -0,06 ± 0,06 b* 11,60 ± 0,12 Kadar serat pangan (%) 30,35 ± 1,89 Serat tak larut (%) 14,92 ± 0,34 Serat larut (%) 15,43 ± 1,88

Keterangan: 1) Setiap data yang tercantum merupakan rerata dari tiga

ulangan

2) Angka setelah ± merupakan standar deviasi

Berdasarkan data pada Tabel 4.5 dapat diketahui kadar air produk serbuk

effervescent pektin kulit pisang, mangga dan daun mint yaitu 6,46%. Kadar air

yang rendah baik untuk penyimpanan sediaan dalam jangka waktu yang lebih

lama sedangkan kadar air yang tinggi merupakan media yang baik untuk

pertumbuhan mikroorganisme seperti kapang. Kandungan lembab serbuk

effervescent yang baik yaitu kurang dari 3% (Fausett, 2000 dalam Kholidah dkk.,

Page 65: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

49

2014). Maka kadar air produk pada penelitian ini tidak memenuhi syarat mutu.

Hal ini terjadi karena ada penambahan bubuk mangga podang dimana selama

penyimpanan, bubuk menggumpal akibat tingginya kandungan gula pada

mangga dan waktu penyimpanan yang cukup lama yang memungkinkan bubuk

mangga menyerap uap air. Selain itu, penambahan asam sitrat pada produk juga

mempengaruhi tingginya kadar air produk. Sesuai dengan pendapat Lieberman

dkk. (1994) dalam Widyaningrum dkk. (2015) asam sitrat merupakan salah satu

asidulan yang sangat higroskopis sehingga serbuk effervescent dengan

penambahan asam sitrat sangat rentan menyerap air pada saat proses

pembuatannya.

Hasil analisis kecepatan alir produk serbuk effervescent pektin kulit pisang,

mangga dan daun mint yaitu 11,73 g/detik. Waktu alir yang baik adalah ≤10

gram/detik atau 100 gram ≤10 detik (Wells, 1987 dalam Hudha dkk., 2015).

Menurut Siregar dan Wikarsa (2010) sifat alir dipengaruhi oleh ukuran dan

bentuk partikel, partikel yang lebih besar dan bulat menunjukkan aliran yang lebih

baik. Menurut Prasetyo dkk. (2015) asam tartrat mempunyai densitas yang lebih

besar daripada asam sitrat sehingga granul yang mengandung asam tartrat lebih

banyak akan mempunyai densitas yang lebih besar. Dengan densitas yang lebih

besar, maka bobot molekul akan lebih besar sehingga akan semakin mudah

mengalir karena gaya gravitasi yang lebih besar.

Data hasil analisis menunjukkan sudut diam produk serbuk effervescent

pektin kulit pisang, mangga dan daun mint yaitu 67,44o. Sudut diam merupakan

sudut tetap yang terjadi antara timbunan partikel bentuk kerucut dengan bidang

horisontal bila sejumlah serbuk atau granul dituang dalam alat pengukur. Besar

kecilnya sudut diam dipengaruhi oleh bentuk, ukuran dan kelembaban granul.

Nilai sudut diam kurang dari atau sama dengan 30o menunjukkan bahwa bahan

dapat mengalir bebas, bila sudut diam lebih dari atau sama dengan 40o daya

mengalir kurang baik (Lachman, 1989 dalam Kholidah dkk., 2014). Dengan

demikian, sudut diam produk pada penelitian ini memiliki daya mengalir yang

kurang baik.

Berdasarkan data hasil analisis di atas, diketahui waktu larut produk serbuk

effervescent pektin kulit pisang, mangga dan daun mint yaitu 105 detik. Waktu

larut effervescent berkisar antara 1-2 menit dan memiliki residu dari bahan yang

tidak terlarut seminimal mungkin (Lachman, 2008). Atribut waktu larut produk

telah sesuai dengan teori.

Page 66: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

50

Data hasil analisis menunjukkan rehidrasi produk serbuk effervescent pektin

kulit pisang, mangga dan daun mint yaitu 9,04%. Menurut Yuwono dan Susanto

(1998), pengujian rehidrasi atau penyerapan air penting untuk produk yang

memiliki kadar air relatif rendah (<14%), dimana pengujian ini bertujuan untuk

mengetahui sifat pangan setelah dikontakkan dengan udara yang biasanya

memiliki kadar air relatif tinggi sehingga dapat dilakukan usaha untuk

mempertahankan mutu produk. Daya serap air juga dapat dipengaruhi oleh kadar

air bahan. Semakin tinggi kadar air menunjukkan komponen hidroksil tepung

sudah berikatan dengan air sehingga daya serap airnya mengalami penurunan.

Daya serap air yang semakin besar menunjukkan kemampuan produk kering

menyerap air semakin besar, dan begitu pula sebaliknya. Daya serap air yang

besar sangat diharapkan pada produk kering, karena memberikan pengertian

bahwa produk kering tersebut mendekati bentuk semula atau memiliki mutu yang

baik (Asgar dan Musaddad, 2008).

Hasil analisis warna produk serbuk effervescent pektin kulit pisang, mangga

dan daun mint menunjukkan intensitas kecerahan (L*) 48,00 atau kurang cerah

dengan intensitas kemerahan (a*) -0,06 atau hijau dan intensitas kekuningan (b*)

11,60 atau kuning. Warna adalah salah satu komponen yang penting bagi suatu

produk pangan karena warna dapat digunakan sebagai parameter yang

menggambarkan tingkat kesegaran, kematangan, daya beli dan keamanan dari

suatu produk (Hatcher dkk., 2000 dalam Sari, 2016). Warna suatu bahan

dipengaruhi oleh adanya cahaya yang diserap dan dipantulkan dari bahan itu

sendiri dan juga ditentukan oleh faktor tiga dimensi yaitu warna produk,

kecerahan produk dan kejelasan warna produk (Lawless dan Heymann, 1998

dalam Sari, 2016). Jika diamati secara visual, warna produk serbuk effervescent

berwarna hijau agak gelap. Ini disebabkan oleh warna bubuk daun mint yang

dominan.

Kadar serat pangan produk serbuk effervescent adalah sebesar 30,35%.

Kadar serat pangan tersebut terdiri dari kadar serat pangan larut (15,43%) dan

serat pangan tidak larut (14,92%). Serat makanan bersifat hidrofilik atau

pembentuk massa. Efektivitas serat sebagai bahan pembentuk massa

tergantung pada jumlah, kemampuan mengikat air dan efektivitas produk

fermentasi yang meningkatkan efek laksatif (Eva, 2015).

Page 67: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

51

4.5 Pengaruh Konsumsi Serbuk Effervescent pada Tikus Wistar Konstipasi

4.5.1 Pengaruh Konsumsi Serbuk Effervescent terhadap Jumlah Konsumsi

Pakan

Jumlah konsumsi pakan tikus didapatkan dengan cara penimbangan sisa

pakan tikus setiap hari selama masa perlakuan. Rerata jumlah konsumsi pakan

tikus merupakan rerata dari selisih jumlah pakan yang diberikan (15

gram/ekor/hari) dengan sisa pakan tikus selama masa perlakuan. Jumlah

konsumsi pakan tikus selama masa perlakuan sebanyak 9,91 gram sampai 13,45

gram/ekor/hari. Tikus yang mengkonsumsi pakan dengan jumlah terbesar adalah

tikus pada kelompok negatif, sedangkan tikus yang mengkonsumsi pakan

dengan jumlah terkecil adalah kontrol positif.

Keterangan: 1) Setiap data merupakan rerata dari lima ulangan

2) Angka dengan notasi berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata

(α=0,05)

3) Nilai BNT 5% yaitu 1,51

Gambar 4.3 Rerata Jumlah Konsumsi Pakan Tikus selama 5 Hari Perlakuan

13,45 b

9,91 a 11,34 ab 12,99 b 12,46 b

0

2

4

6

8

10

12

14

16

Kontrol negatif Kontrol positif Effervescent 90 mg/200 g bb

Effervescent 180 mg/200 g

bb

Vegeta Herbal

Re

rata

Jum

lah

Pak

an (

g/ek

or/

har

i)

Perlakuan

Jumlah Konsumsi Pakan Tikus

Page 68: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

52

Berdasarkan hasil analisis ragam (ANOVA) rerata jumlah konsumsi pakan

tikus selama masa perlakuan yang terdapat pada Lampiran 10 menunjukkan

bahwa perlakuan pemberian minuman serbuk effervescent pektin kulit pisang,

mangga dan daun mint dengan dosis yang berbeda memberikan pengaruh nyata

(α=0,05) terhadap jumlah konsumsi pakan tikus. Dari data yang tersaji pada

Gambar 4.3 diketahui bahwa peningkatan dosis serbuk effervescent yang

diberikan pada tikus menunjukkan peningkatan jumlah konsumsi pakan

dibandingkan dengan dosis pertama. Hal ini tidak sesuai dengan hasil penelitian

sejenis. Menurut Septiyanti (2015) penambahan dosis minuman berserat pada

tikus menunjukkan penurunan jumlah konsumsi pakan. Hal ini dikarenakan

kandungan serat yang terdapat dalam minuman serat dapat menimbulkan rasa

kenyang. Serat tidak dicerna dalam lambung sehingga menyebabkan rasa

kenyang dalam waktu yang cukup lama. Ketidaksesuaian ini diduga terjadi akibat

kebiasaan pola makan tikus selama masa pemeliharaan sebelum masa

perlakuan yang cenderung rakus atau pakan yang disediakan selalu habis.

Selain itu, kondisi konstipasi yang berkurang akibat pemberian minuman serat

dapat mengembalikan nafsu makan yang sempat hilang saat kondisi sakit

(konstipasi).

Berdasarkan data tersebut juga dapat diketahui perbedaan jumlah konsumsi

pakan dari masing-masing kelompok perlakuan. Hasil uji BNT (α=0,05)

menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata antara kelompok kontrol negatif

dengan kontrol positif, artinya jumlah konsumsi pakan tikus sakit (konstipasi)

berbeda dengan jumlah konsumsi pakan tikus sehat. Jumlah konsumsi pakan

tikus sakit (konstipasi) lebih sedikit karena menurunnya nafsu makan. Kelompok

dengan pemberian serbuk effervescent dosis 90 mg/200 g bb menunjukkan

rerata yang berbeda dengan kelompok pemberian serbuk effervescent dosis 180

mg/200 g bb walaupun sebenarnya cenderung sama. Kelompok perlakuan

pemberian serbuk effervescent tidak berbeda nyata dengan kelompok kontrol

negatif, hal ini menunjukkan bahwa konsumsi serbuk effervescent dapat

mengurangi gejala konstipasi tikus hingga hasilnya cenderung sama dengan

tikus sehat. Kelompok pembanding (konsumsi Vegeta Herbal) tidak berbeda

nyata dengan kelompok pemberian serbuk effervescent dosis 180 mg/200 g bb,

maka serbuk effervescent pektin kulit pisang, mangga dan daun mint dapat

mengurangi gejala konstipasi seperti minuman serat komersil Vegeta Herbal.

Page 69: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

53

4.5.2 Pengaruh Konsumsi Serbuk Effervescent terhadap Volume Minum

Volume minum tikus didapatkan dengan cara pengukuran volume sisa minum

tikus setiap hari selama masa perlakuan. Rerata volume minum tikus merupakan

rerata dari selisih volume minum yang diberikan (75 ml/ekor/hari) dengan sisa

volume minum tikus selama masa perlakuan. Volume minum tikus selama masa

perlakuan sebanyak 22,76 ml sampai 27 ml/ekor/hari. Tikus yang minum dengan

volume terbesar adalah tikus pada kelompok negatif, sedangkan tikus yang

minum dengan volume terkecil adalah kontrol positif.

Keterangan: 1) Setiap data merupakan rerata dari lima ulangan

2) Angka dengan notasi berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata

(α=0,05)

3) Nilai BNT 5% yaitu 3,13

Gambar 4.4 Rerata Volume Minum Tikus selama 5 Hari Perlakuan

Berdasarkan hasil analisis ragam (ANOVA) rerata jumlah konsumsi pakan

tikus selama masa perlakuan yang terdapat pada Lampiran 11 menunjukkan

bahwa perlakuan pemberian minuman serbuk effervescent pektin kulit pisang,

mangga dan daun mint dengan dosis yang berbeda memberikan pengaruh nyata

(α=0,05) terhadap volume minum tikus. Dari data yang tersaji pada Gambar 4.4

diketahui bahwa kelompok kontrol positif memiliki rerata volume minum terkecil

27,68 b22,76 a 25 ab 26,68 b 25,84 ab

0

5

10

15

20

25

30

35

Kontrol negatif Kontrol positif Effervescent 90 mg/200 g bb

Effervescent 180 mg/200 g

bb

Vegeta Herbal

Rer

ata

Vo

lum

e M

inu

m (

ml/

eko

r/h

ari)

Perlakuan

Volume Minum Tikus

Page 70: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

54

yang berarti volume minum kelompok tikus sakit (konstipasi) lebih sedikit

dibandingkan dengan kelompok lain. Hal ini terjadi karena induksi loperamid

yang diberikan pada tikus. Hal serupa terjadi pada penelitian Tosan dkk. (2014)

yang menunjukkan konsumsi air minum kelompok positif (konstipasi) paling

sedikit di antara semua kelompok perlakuan. Hal ini karena pengaruh induksi

obat (loperamid) yang mungkin terhitung pada pengurangan kandungan air pada

feses.

Hasil uji BNT (α=0,05) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata antara

kelompok kontrol negatif dengan kontrol positif, artinya volume minum tikus sakit

(konstipasi) berbeda dengan volume minum tikus sehat. Kelompok dengan

pemberian serbuk effervescent dosis 90 mg/200 g bb menunjukkan rerata yang

berbeda dengan kelompok pemberian serbuk effervescent dosis 180 mg/200 g

bb walaupun sebenarnya cenderung sama. Kelompok perlakuan pemberian

serbuk effervescent tidak berbeda nyata dengan kelompok kontrol negatif, hal ini

menunjukkan bahwa konsumsi serbuk effervescent dapat mengurangi gejala

konstipasi tikus hingga hasilnya cenderung sama dengan tikus sehat. Kelompok

pembanding (konsumsi Vegeta Herbal) menunjukkan rerata yang berbeda

walaupun sebenarnya cenderung sama dengan kelompok pemberian serbuk

effervescent dosis 180 mg/200 g bb, maka serbuk effervescent pektin kulit

pisang, mangga dan daun mint dapat mengurangi gejala konstipasi seperti

minuman serat komersil Vegeta Herbal.

4.5.3 Pengaruh Konsumsi Serbuk Effervescent terhadap Frekuensi Defekasi

Frekuensi defekasi tikus didapatkan dengan cara menghitung feses yang

dikeluarkan tikus (defekasi) setiap hari selama masa perlakuan. Rerata frekuensi

defekasi tikus merupakan rerata jumlah defekasi selama masa perlakuan.

Frekuensi defekasi tikus selama masa perlakuan sebanyak 29,92 kali sampai

45,4 kali/ekor/hari. Tikus yang memiliki frekuensi defekasi terbesar adalah tikus

pada kelompok pemberian serbuk effervescent dosis 180 mg/200 g bb,

sedangkan tikus yang memiliki frekuensi defekasi terkecil adalah kontrol positif.

Page 71: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

55

Keterangan: 1) Setiap data merupakan rerata dari lima ulangan

2) Angka dengan notasi berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata

(α=0,05)

3) Nilai BNT 5% yaitu 6,43

Gambar 4.5 Rerata Frekuensi Defekasi Tikus selama 5 Hari Perlakuan

Berdasarkan hasil analisis ragam (ANOVA) rerata jumlah konsumsi pakan

tikus selama masa perlakuan yang terdapat pada Lampiran 12 menunjukkan

bahwa perlakuan pemberian minuman serbuk effervescent pektin kulit pisang,

mangga dan daun mint dengan dosis yang berbeda memberikan pengaruh nyata

(α=0,05) terhadap frekuensi defekasi tikus. Dari data yang tersaji pada Gambar

4.5 diketahui bahwa kelompok kontrol positif memiliki rerata frekuensi defekasi

terkecil yang berarti frekuensi defekasi kelompok tikus sakit (konstipasi) lebih

sedikit dibandingkan dengan kelompok lain. Hal ini terjadi karena induksi

loperamid yang diberikan pada tikus dan kurangnya asupan sumber serat

sehingga tikus konstipasi dan frekuensi defekasinya berkurang.

Hasil uji BNT (α=0,05) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata antara

kelompok kontrol negatif dengan kontrol positif, artinya frekuensi defekasi tikus

sakit (konstipasi) berbeda dengan frekuensi defekasi tikus sehat. Kelompok

perlakuan pemberian serbuk effervescent tidak berbeda nyata dengan kelompok

kontrol negatif, hal ini menunjukkan bahwa konsumsi serbuk effervescent dapat

mengurangi gejala konstipasi tikus hingga hasilnya cenderung sama dengan

tikus sehat. Kelompok pembanding (konsumsi Vegeta Herbal) menunjukkan tidak

39,52 b29,92 a

41,68 b 45,4 b 43,76 b

0

10

20

30

40

50

60

Kontrol negatif Kontrol positif Effervescent 90 mg/200 g bb

Effervescent 180 mg/200 g

bb

Vegeta Herbal

Fre

kue

nsi

De

feka

si (

kali/

eko

r/h

ari)

Perlakuan

Frekuensi Defekasi Tikus

Page 72: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

56

berbeda dengan kelompok pemberian serbuk effervescent. Konsumsi minuman

dengan kandungan serat ini menyebabkan meningkatnya frekuensi defekasi.

Defekasi adalah pengeluaran sisa-sisa makanan (kotoran/tinja/feses) yang

tidak dapat dicerna dalam saluran pencernaan melalui anus. Efek defekasi

diduga karena konsumsi minuman dengan kandungan serat sehingga gejala

konstipasi pada tikus berkurang. Menurut Ambarita dkk. (2014) terdapat

hubungan yang signifikan antara asupan serat dengan frekuensi defekasi.

Penelitian yang dilakukan Eva (2015) juga menyatakan bahwa ketidakcukupan

konsentrasi asupan serat makanan berpengaruh secara signifikan terhadap

kejadian konstipasi. Membuktikan bahwa asupan serat makanan yang cukup

sesuai dengan asupan serat makanan dengan standar kecukupan dapat

mengurangi resiko konstipasi.

Jenis serat larut dapat menahan air lebih besar dibandingkan serat tak larut,

tetapi hal ini juga dipengaruhi pH saluran cerna, besarnya partikel serat dan juga

proses pengolahannya. Akibat kemampuan menahan air ini serat akan

membentuk cairan kental yang memiliki beberapa pengaruh terhadap saluran

cerna, yaitu waktu pengosongan lambung lebih lama, mengurangi bercampurnya

isi saluran cerna dan enzim pencernaan, menghambat fungsi enzim, mengurangi

kecepatan penyerapan nutrisi, serta mempengaruhi waktu transit di usus (Tala,

2009). Mudahnya proses defekasi berkaitan dengan kadar air dan berat feses.

Rerata berat feses dan kadar air feses masing-masing kelompok dapat dilihat

pada Tabel 4.6.

Tabel 4.6 Rerata Berat Feses dan Kadar Air Feses selama 5 Hari Perlakuan

Perlakuan Berat Feses (g/butir/hari)

Kadar Air Feses (%/hari)

Kontrol negatif 0,23±0,03 b 54,32±2,29 c Kontrol positif 0,14±0,02 a 37,07±3,58 a Effervescent 90 mg/200 g bb 0,22±0,04 b 50,04±2,69 b Effervescent 180 mg/200 g bb 0,23±0,07 b 55,08±2,44 c Vegeta Herbal 0,21±0,06 b 50,27±3,54 b

Nilai BNT (α=0,05) 0,03 5,33

Sumber: Fitria, 2017

Keterangan: 1) Setiap data yang tercantum merupakan rerata dari lima ulangan

2) Angka setelah ± merupakan standar deviasi

Page 73: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

57

Berdasarkan data tersebut, dapat diketahui bahwa konsumsi minuman serat

serbuk effervescent dan Vegeta Herbal (produk komersil) oleh tikus konstipasi

cenderung meningkatkan berat feses dan kadar air jika dibandingkan dengan

tikus konstipasi yang tidak mengkonsumsi minuman serat. Peningkatan berat

feses dan kadar air pada kelompok tikus yang diberikan serbuk effervescent

dikarenakan kandungan serat yang terdapat di dalam produk mampu mengikat

air yang menyebabkan volume feses meningkat dan cenderung lunak sehingga

feses akan mudah dikeluarkan tanpa harus kontraksi otot usus yang berlebihan

(Fitria, 2017).

4.5.4 Pengaruh Konsumsi Serbuk Effervescent terhadap Histopatologi

Kolon Tikus

Hasil pengamatan preparat histopatologi dengan pewarnaan Hematoxilin

Eosin (HE) kelima kelompok perlakuan yaitu kelompok positif, kelompok negatif,

kelompok serbuk effervescent dosis 90 mg/200 g bb, kelompok serbuk

effervescent dosis 180 mg/200 g bb, dan kelompok Vegeta Herbal dapat dilihat

pada Gambar 4.6.

Berdasarkan Gambar 4.6 dapat diamati bahwa pada kontrol negatif tidak

terjadi kerusakan lapisan mukosa, vili tampak tersusun rapi dan teratur.

Sedangkan pada kontrol positif terdapat kerusakan di daerah mukosa kolon,

susunan vili tidak rapi, ada infiltrasi sel radang. Menurut Gebeos (2003) dalam

Saptono dkk. (2015) peradangan pada kolon ditandai dengan adanya kerusakan

pada lapisan mukosa berupa kerusakan vili, diskuamasi epitel, pelebaran lamina

propia, banyaknya infiltrasi sel radang dan hilangnya sel goblet. Pada kelompok

konsumsi serbuk effervescent 90 mg/200 g bb, susunan vili tidak rapi dan masih

ada infiltrasi sel radang namun tidak separah kontrol negatif. Sedangkan pada

kelompok konsumsi serbuk effervescent 180 mg/200 g bb, susunan vili

cenderung rapi meskipun terdapat sedikit kerusakan mukosa. Kelompok

konsumsi Vegeta Herbal menunjukkan susunan vili tidak rapi dan masih ada

infiltrasi sel radang namun tidak separah kontrol negatif. Maka kelompok

konsumsi serbuk effervescent 180 mg/200 g bb menunjukkan kecenderungan

sembuh karena mirip dengan gambar kontrol negatif. Hal ini dikarenakan jumlah

serat yang dikonsumsi lebih banyak (dosis konsumsi lebih tinggi) daripada jumlah

serat pada Vegeta Herbal sehingga menunjukkan perbaikan yang lebih menonjol.

Page 74: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

58

Gambar 4.6 Gambaran Histopatologi Kolon Tikus (a) Kontrol Negatif (b) Kontrol Positif

(c) Serbuk effervescent 90 mg/200 g bb (d) Serbuk effervescent 180 mg/200 g bb

(e) Vegeta Herbal

Menurut Junqueira dkk. (2007) sel-sel epitel mukosa kolon diketahui memiliki

tingkat regenerasi yang cepat, yaitu sekitar 3 sampai 6 hari. Sel-sel pada mukosa

kolon termasuk sel labil. Sel labil merupakan sel yang memiliki kemampuan

regenerasi yang tinggi, terjadi terus menerus dan mempunyai fase G0 yang

singkat (fase istirahat). Sel yang rusak merupakan stimulus untuk sel yang

istirahat untuk memasuki fase mitosis sel, sehingga terjadi perbaikan kerusakan

jaringan kolon. Menurut Kurniawan (2012), kekurangan serat makanan akan

menyebabkan feses menjadi keras dan diperlukan kontraksi otot yang besar

untuk mengeluarkannya (defekasi), hal ini sering kali menyebabkan konstipasi.

(a) (b)

(c) (d) (e)

Ket: tampak kerusakan vili tampak

vili normal

Page 75: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

59

Bila hal ini berlangsung terus menerus maka otot menjadi lelah dan lemah

sehingga muncul penyakit divertikulosis. Menurut Jacobs (2007), istilah

divertikulosis menunjukkan adanya radang divertikulum atau divertikula, yang

biasanya disertai oleh perforasi mikroskopis. Sedangkan penyebab penyakit

divertikular kolon belum ditetapkan secara pasti, studi epidemiologi telah

menunjukkan hubungan antara divertikulosis dan makanan yang rendah serat

pangan dan tinggi karbohidrat olahan. Rendahnya asupan serat pangan

menghasilkan feses yang tidak terlalu besar sehingga kadar airnya rendah dan

dapat merubah waktu transit gastrointestinal, hal ini dapat meningkatkan tekanan

intrakolonik dan menyebabkan pengeluaran isi kolon lebih sulit. Otot-otot kolon

akan bekerja lebih keras untuk meremas feses yang cenderung lebih padat

konsistensinya sehingga mengakibatkan kerusakan mukosa kolon.

Serat makanan telah diketahui sebagai komponen penting untuk mencegah

dan berperan dalam penatalaksanaan beberapa penyakit. Diet tinggi serat

mempunyai korelasi negatif terhadap terjadinya kanker kolorektal. Ada beberapa

teori yang menerangkan bagaimana cara kerja serat dalam mencegah timbulnya

kanker kolorektal, dimana serat ini bekerja secara simultan bukan hanya dengan

satu cara. Serat diduga dapat mengurangi kontak antara substansi karsinogen

dengan mukosa usus, dengan cara meningkatkan massa feses atau dengan

memperpendek waktu transit isi usus melalui kolon dan rektum. Serat tak larut

dapat meningkatkan massa feses dengan kemampuannya mengabsorpsi air.

Serat larut dapat membentuk gel dan mempunyai kapasitas menahan air yang

lebih besar tetapi akan difermentasi oleh bakteri kolon. Karena resisten terhadap

degradasi, serat tak larut lebih efektif menambah massa feses dan

memperpendek waktu transit dibandingkan dengan serat larut (Winaktu, 2011).

Fermentasi serat pada saluran pencernaan akan memberikan efek fisiologis yang

paling penting dalam pencegahan kanker kolon. Lebih dari 75% serat pangan

dipecah dalam kolon menghasilkan karbon dioksida, hidrogen, metana, dan

asam lemak rantai pendek seperti butirat, propionat, dan asetat (Topping dan

Clifton, 2001). Butirat merupakan sumber energi utama bagi epitel kolon dan

menstimulasi pertumbuhan mukosa kolon. Asam lemak rantai pendek bersifat

volatil sehingga akan dengan mudah diserap oleh lumen. Akibatnya asam lemak

rantai pendek akan mengasamkan saluran pencernaan yang akan menghambat

kanker kolon (Sadek, 2012).

Page 76: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

60

V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berikut ini adalah kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dilakukan.

1. Formulasi serbuk efferfescent pektin kulit pisang, mangga dan daun mint

dengan kadar serat optimum adalah formula dengan proporsi bahan baku

bubuk pektin kulit pisang:bubuk mangga:bubuk daun mint masing-masing

sebanyak 40%:30%:25%.

2. Konsumsi produk serbuk efferfescent pektin kulit pisang, mangga dan daun

mint memberikan pengaruh yang nyata terhadap peningkatan frekuensi

defekasi dan memberikan pengaruh terhadap perubahan yang menunjukkan

perbaikan gambaran histopatologi kolon tikus wistar konstipasi bila

dibandingkan dengan tikus wistar konstipasi yang tidak diberikan konsumsi

produk.

3. Dari dua dosis konsumsi produk serbuk efferfescent pektin kulit pisang,

mangga dan daun mint yang telah diujikan, maka dosis yang menunjukkan

hasil paling baik untuk menurunkan gejala konstipasi pada tikus wistar adalah

dosis 180 mg/200 g bb.

4. Jika dibandingkan dengan produk komersil maka konsumsi produk serbuk

efferfescent pektin kulit pisang, mangga dan daun mint dosis 180 mg/200 g

bb oleh tikus wistar konstipasi menunjukkan efek atau pengaruh yang lebih

baik daripada produk komersil Vegeta Herbal yang beredar di pasaran.

5.2 Saran

Berdasarkan adanya kekurangan dalam hasil penelitian ini, maka perlu

adanya perbaikan dalam beberapa hal. Diantaranya adalah perlu dilakukan

pengukuran sifat higroskopis dari produk serbuk effervescent. Perlu dilakukan

analisis kadar serat pangan pada produk komersil pembanding. Untuk uji secara

in vivo, perlu dilakukan analisis pH digesta dan analisis SCFA (asam lemak rantai

pendek) supaya efektivitas konsumsi produk dapat diketahui lebih spesifik. Uji

organoleptik produk juga perlu dilakukan untuk mengetahui apakah produk dapat

diterima oleh konsumen.

Page 77: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

61

DAFTAR PUSTAKA

Amaliawati, Y. 2012. Potensi Mangga Podang Kediri.

https://bisnisukm.com/potensi-mangga-podang-kediri.html. Diakses pada

12 Agustus 2017.

Ambarita, E.M., S. Madanijah, dan N. M. Murdin. 2014. Hubungan asupan serat

makanan dan air dengan pola defekasi anak sekolah dasar di kota

Bogor. Jurnal Gizi dan Pangan Vol. 9(1):7-14

Anhwange, B. A., T. J. Ugye, dan T. D. Nyiaatagher. 2009. Chemical

Composition of Musa sapientum (Banana) Peels. Electronic Journal of

Environmental, Agricultural and Food Chemistry Vol. 8(6): 437-442

Anwar, E. 2012. Eksipien dalam Sediaan Farmasi: Karakteristik dan Aplikasi.

Dian Rakyat. Jakarta.

Arifin, S., Damanhuri, dan L. Soetopo. 2015. Observasi dan Karakterisasi

Pisang (Musa spp.) di Kecamatan Gucialit Kabupaten Lumajang.

Jurnal Produksi Tanaman Vol. 3(6): 480-486

Asgar, A dan D. Musaddad. 2008. Pengaruh Media, Suhu, dan Lama Blansing

Sebelum Pengeringan Terhadap Mutu Lobak Kering. Jurnal

Hortikultura 18(1):87-94

Ashari, 2006. Potensi Lembaga Keuangan Mikro (LKM) dalam Pembangunan

Ekonomi Pedesaan dan Kebijakan Pengembangannya. Jurnal Analisis

Kebijakan Pertanian Vol. 4(2)

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2013. Riset Kesehatan

Dasar. Kementerian Kesehatan RI. Jakarta.

Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2014. Batas Maksimum Penggunaan

Bahan Tambahan Pangan Pemanis. PerKBPOM RI No. 4 Tahun 2014.

Jakarta.

Badan Pusat Statistik, 2016. Tabel Dinamis Produksi Pisang Indonesia Tahun

2015. https://www.bps.go.id/site/resultTab. Diakses pada 5 Oktober 2016.

Beck, J. S. 2011. Cognitive Behavior Therapy Basics and Beyond: Second

Edition. A Division of Guilford Publications, Inc. USA.

Black, S. N. 2007. Structure, Solubility, Screening, and Synthesis of

Molecular Salts. in Rowe, R.C., Sheskey, P.J., and Quinn, M.E (Eds),

Sixth Edition. Handbook of Pharmaceutical Excipients p. 1053-1068

Page 78: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

62

Budiyanto, A. dan Yulianingsih. 2008. Pengaruh Suhu dan Waktu Ekstraksi

Terhadap Karakter Pektin dari Ampas Jeruk Siam. Jurnal Pascapanen

Vol. 5(2): 37-44

Cunningham, C. L. dan G. A. Banez. 2006. Pediatric Gastrointestinal

Disorders: Biopsychosocial Assessment and Treatment. Springer.

USA. p. 127-160

Departemen Farmakologi dan Terapi UI. 2007. Farmakologi dan Terapi edisi 5.

Penerbit UI Press. Jakarta.

Dias, J. 2012. Penggunaan Ekstrak Condensed Tanin dan Saponin dari

Tanaman Pohon dalam Ransum dan Pengaruhnya Terhadap

Kecernaan dan Produksi Gas Secara In Vitro. Skripsi. Universitas

Tribhuwana Tunggadewi. Malang.

Endyarni, B. dan B. H. Syarif. 2004. Konstipasi Fungsional. Sari Pediatri Vol.

6(2):75-80

Erawati, F. 2009. Ekstraksi dan Karakterisasi Pektin Kulit Pisang (Kajian

Pelarut Asam dan Rasio Bahan : Pelarut Asam). Skripsi. Universitas

Brawijaya. Malang.

Eva, F. 2015. Prevalensi Konstipasi Dan Faktor Risiko Konstipasi Pada

Anak. Skripsi. Universitas Udayana. Denpasar.

Fitria, N. N. 2017. Integrated Food Therapy Product dari Formula Pektin Kulit

Pisang Agung Semeru, Mangga, dan Daun Mint sebagai Anti

Konstipasi pada Tikus Wistar (Kajian Uji Transit Gastrointestinal).

Skripsi. Universitas Brawijaya. Malang.

Fitria, V. 2013. Karakterisasi Pektin Hasil Ekstraksi dari Limbah Kulit Pisang

Kepok (Musa balbisiana ABB). Skripsi. UIN Syarif Hidayatullah.

Jakarta.

Fowomola, M. A. 2010. Some Nutrients And Antiutrients Contents of Mango

Seed. Journal of Food Science Vol. 4(8): 472-476

Gilbert, L. 2005. Mentha pipperita, The Plant and It’s Uses.

https://endermicplant/herb/html. Diakses pada 2 Oktober 2016.

Gusti, N. 2008. Pengaruh pH dan Lama Ekstraksi Terhadap Rendemen dan

Mutu Pektin dari Kulit Kakao. Skripsi. Universitas Andalas. Padang.

Guyton dan Hall. 2006. Gastrointestinal Physiology Ed. 11. Saunders.

Philadelphia. p. 771-825

Page 79: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

63

Hanum, F., I. M. D. Kaban, dan M. A. Tarigan. 2012. Ekstraksi Pektin dari Kulit

Buah Pisang Raja (Musa sapientum). Jurnal Teknik Kimia USU Vol.

1(2): 21-26

Herlina, E. 2008. Upaya Peningkatan Kelarutan Hidroklortiazida dengan

Penambahan Surfaktan Tween 60. Skripsi. Universitas Muhammadiyah

Surakarta. Surakarta.

Hidayat, N. dan E. A. Saati. 2006. Membuat Pewarna Alami. Majalah. Trubus

Agrisarana. Surabaya.

Hudha, M. dan T. D. Widyaningsih. 2015. Serbuk Effervescent Berbasis

Ekstrak Daun Beluntas (Pluchea indica less) sebagai Sumber

Antioksidan Alami. Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 3(4): 1412-1422

IPPA (International Pectins Procedures Association). 2002. What is Pectin.

<http://www.ippa.info/history_of_pektin.htm>. Diakses pada 1 Agustus

2016.

Istichomah, S. N. 2013. Studi Proses Pengolahan Puree Mangga Podang

(Mangifera indica L.) sebagai Bahan Baku Olahan Lanjut (Kajian

Jenis dan Konsentrasi Filler). Skripsi. Universitas Brawijaya. Malang.

Jacobs, D. O. 2007. Diverticulitis. The New England Journal of Medicine Vol.

357(20):2057-2066

Johari, J. M. C. dan M. Rahmawati. 2006. Kimia SMA dan MA untuk Kelas XII.

Gelora Aksara Pratama. Jakarta.

Kholidah, S., Yuliet, dan A. Khumaidi. 2014. Formulasi Tablet Effervescent

Jahe dengan Variasi Konsentrasi Sumber Asam dan Basa. Journal of

Natural Science Vol. 3(3): 216-229

Kurniawan, A. B. 2012. Kadar Serat Kasar, Daya Ikat Air, dan Rendemen

Bakso Ayam dengan Penambahan Karagenan. Jurnal Aplikasi

Teknologi Pangan Vol. 1(2)

Kusumawati, D. 2004. Bersahabat dengan Hewan Coba. Gajahmada University

Pers. Yogyakarta.

Kusumo, S. dan F. A. Bahar. 1994. Koleksi, Konservasi, Evaluasi dan Utilisasi

Plasma Nutfah Pisang. Pusat Penelitian dan Pengembangan

Hortikultura. Jakarta.

Page 80: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

64

Lachman, L., H. A. Lieberman, J. B. Schwartz. 2008. Teori dan Praktek Farmasi

Industri (Terjemahan) Vol. 1. Marcel Dekker inc. New York.

Lestiany, L. dan Aisyah. 2011. Peran Serat dan Penatalaksanaan Kasus

Masalah Berat Badan. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Jakarta.

Melani, D. 2010. Uji Efek Antidiare Infusa Kayu Secang (Caesalpinia sappan

L.) Terhadap Mencit Jantan yang Diinduksi Oleum Ricini. Skripsi.

Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta.

Muharni, Dachriyanus, Husein, H., Bahti, Supriyatna. 2011. Evaluasi Aktivitas

Sitosik Senyawa Fenol dari Kulit Batang Manggis Hutan 10(1).

Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,

Universitas Mulawarman. Samarinda.

Muthi’ah. 2016. Optimasi Formula Bakso Edamame dengan Response

Surface Methodology (RSM) (Kajian Respon Kekenyalan dan Serat

Pangan). Skripsi. Universitas Brawijaya. Malang.

Najmuddin, M. 2015. Pengaruh Serbuk Effervescent Berbasis Cincau Hitam

(Mesora palustris BL.) Terhadap Sistem Imun Mencit Jantan yang

Diinfeksi Salmonella typhimurium. Skripsi. Universitas Brawijaya.

Malang.

Ni’maturrohmah, E. dan Yunianta. 2015. Hidrolisis Pati Sagu (Metroxylon sagu

Rottb.) oleh Enzim β-amilase untuk Pembuatan Dekstrin. Jurnal

Pangan dan Agroindustri Vol. 3(1): 292-302

Noerwahid, A. 2016. Formulasi Granul Effervescent Antioksidan Kombinasi

Ekstrak Kulit Manggis (Garcinia mangostana L.) dan Buah Tomat

(Solanum lycopersicum). Skripsi. Universitas Muhammadiyah

Surakarta. Surakarta.

Novidiyanto dan A. Setyowati. 2008. Formulasi Serbuk Effervescent Sari

Wortel (Daucus carrota). Agritech Vol. 28(4): 150-156

Nuratmi, B., D. Sundari, dan L. Widowati. 2005. Uji Khasiat Seduhan Rimpang

Bengle (Zingiber purpureum Roxb.) sebagai Laksansia pada Tikus

Putih. Media Litbang Kesehatan Vol. 15(3): 8-11

Nurdjannah, N. dan Hoerudin. 2008. Pengaruh Perendaman dalam Asam

Organik dan Metoda Pengeringan terhadap Mutu Lada Hijau Kering.

Bulletin Litro 19(2): 181-196

Page 81: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

65

Nurhayati, N., M. Maryanto, dan R. Tafrikhah. 2016. Ekstraksi Pektin dari Kulit

dan Tandan Pisang dengan Variasi Suhu dan Metode. Agritech Vol.

36(3): 327-334

Nurmiah, S., Syarief, R., Sukarno, Peranginangin, R., dan Nurtama, B. 2013.

Aplikasi Response Surface Methodology pada Optimalisasi Kondisi

Proses Pengolahan Alkali Treated Cottoni (ATC). JPB Kelautan dan

Perikanan Vol. 8(2):9-22

Paramita, W. C. 2017. Pengaruh Waktu Blansing dan Jenis Bahan Pengisi

terhadap Sifat Fisikokimia Tepung Pepaya (Carica papaya L.). Skripsi.

Universitas Brawijaya. Malang.

Pasaribu, E. M. 2011. Isolasi Senyawa Flavonoida dari Kulit Batang

Tumbuhan Mangga. Skripsi. Universitas Sumatera Utara. Medan.

Prahardini, P. E. R., Yuniarti, dan A. Krismawati. 2010. Karakterisasi Varietas

Unggul Pisang Mas Kirana dan Agung Semeru di Kabupaten

Lumajang. Buletin Plasma Nutfah Vol. 16(2): 126-133

Prasetyo, G., I. Z. Zumroh, M. Etikasari, R. F. Wajdi, dan T. D. Widyaningsih.

2015. Formulasi Serbuk Effervescent Berbasis Cincau Hitam dengan

Penambahan Daun Pandan dan Jahe Merah. Jurnal Pangan dan

Agroindusti Vol. 3(1): 90-95

Rachmawaty, N. 2013. Pembuatan Pasta Mangga Podang (Mangifera indica

L.) (Kajian Konsentrasi Asam Sitrat dan Gula Pasir). Skripsi.

Universitas Brawijaya. Malang.

Rahmadianti, F. 2014. Dengan Cara Ini Kulit Pisang yang Bergizi Bisa Dibuat

Cheesecake Enak. http://food.detik.com/ramadan/read/2014/07/09/-

123224/2632288/297/dengan-cara-ini-kulit-pisang-yang-bergizi-bisa-

dibuat-cheesecake-enak. Diakses pada 30 September 2016.

Raissi, S. dan R. E. Farzani. 2009. Statistical Process Optimization through

Multi-Response Surface Methodology. World Academy of Science,

Engineering and Technology. p. 267-271

Ranganna, S. 2000. Hanbook of Analysis and Quality Control for Fruit and

Vegetable Products. Tata McGraw-Hill Publishing. New Delhi.

Riyan, A. 2011. Pisang. http://kebunpisang.com/pisang/. Diakses pada 29

September 2016.

Page 82: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

66

Rowe, R.C., P. J. Sheskey dan E. M. Quinn. 2009. Handbook of

Pharmaceutical Excipients. Lexi-Comp. American Pharmaceutical

Association, Inc. USA.

Sadek, N. F. 2012. Pemberian Sorgum Menghambat Perkembangan Kanker

Kolon pada Mencit BALB/c Melalui Perbaikan Lingkungan Mikro

Kolon. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Saptono, H., Aulanni’am, dan Herawati. 2015. Terapi Perasan Buah Labu Siam

terhadap Aktivitas Protease dan Gambaran Histopatologi Kolon

Tikus IBD (Inflammatory bowel disease) Hasil Induksi Indometasin.

Skripsi. Universitas Brawijaya. Malang.

Saraswati, D. P., Suyamto, D. Setyorini dan A.I.G. Pratomo. 2001. Zona

Agroekologi Jawa Timur. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. Jawa

Timur.

Sari, C. P. 2013. Pembuatan Es Krim Rendah Lemak dengan Bahan Baku

Mangga Podang (Mangifera indica L.) dan Sari Kedelai (Glycine max

L.) (Kajian Konsentrasi Whipping Cream Non-Dairy dan CMC. Skripsi.

Universitas Brawijaya. Malang.

Sari, P. P. R. 2016. Pengaruh Proporsi Tepung Mengkudu (Morinda citrifolia)

dan Tepung Daun Mint (Mentha cordifolia) serta Konsentrasi

Sukrosa terhadap Karakteristik Fisik, Kimia dan Organoleptik dari

Tablet Herbal Buah Mengkudu. Skripsi. Universitas Brawijaya. Malang.

Satria, H. B. dan Y. Ahda. 2009. Pengolahan Limbah Kulit Pisang. Universitas

Diponegoro. Semarang.

Septiyanti, N. P. 2015. Efek Anti Konstipasi Jelly Drink Cincau Hitam

(Mesona palustris BL) pada Tikus Wistar Jantan yang Diinduksi

dengan Loperamid. Skripsi. Universitas Brawijaya. Malang.

Setyanti, C. A. 2014. Menghilangkan Bekas Jerawat dengan Daun Mint.

http://female.kompas.com/read/2014/03/23/1800122/Menghilangkan.Beka

s.Jerawat.dengan.Daun.Mint. Diakses pada 2 Oktober 2016.

Setyarini, D. 2009. Pengaruh Variasi Konsentrasi Polivinilpirolidon sebagai

Bahan Pengikat dan Manitol sebagai Bahan Pengisi Terhadap Sifat

Fisik dan Respon Rasa Tablet Effervescent Ekstrak Tanaman

Ceplukan (Physalis angulata L.). Skripsi. Universitas Muhammadiyah

Surakarta. Surakarta.

Page 83: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

67

Srivastava, P. and R. Malviya. 2011. Sources of Pectin, Extraction and It’s

Application in Pharmaceutical Industry – An Overview. Indian Journal

of Natural Products and Resources. Vol. 2: 10-18

Supriyadi, S. Minarti, dan N. Cholis. 2014. Karakteristik Karkas Kelinci

Peranakan New Zealand White yang diberi Pakan Limbah Kubis

(Brassica oleracea) Tercemar Pesticida. Skripsi. Universitas Brawijaya.

Malang.

Surya, S. Y. 2016. Pemberian Ekstrak Etanol Daun Stevia (Stevia

rebaudiana) Mencegah Dislipidemia pada Tikus (Rattus norvegicus)

Wistar Jantan yang Diberikan Diet Tinggi Kolesterol. Tesis.

Universitas Udayana. Denpasar.

Surya, T. H. 2015. Formulasi Tablet Efervesen Antioksidan Ekstrak Kulit

Manggis (Garcinia mangostana L.) dengan Kombinasi Asam Sitrat-

Asam Tartrat. Skripsi. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta.

Susanti, L. 2006. Perbedaan Penggunaan Jenis Kulit Pisang Terhadap

Kualitas Nata. Skripsi. Universitas Negeri Semarang. Semarang.

Sutioso, H. 2012. Pemanfaatan Pektin yang Diisolasi dari Daun Jambu Biji

(Psidium guajava) dalam Uji In Vitro dan In Vivo Penurunan Kadar

Kolesterol. Skripsi. Universitas Indonesia. Depok.

Syamsul, E. S. dan Supomo. 2014. Formulasi Serbuk Effervescent Ekstrak

Air Umbi Bawang Tiwai (Eleuterine palmifolia) sebagai Minuman

Kesehatan. Traditional Medical Journal Vol.19(3): 113-117

Tala, Z. 2009. Manfaat Serat Bagi Kesehatan. USU Repository. Medan.

Tanjung, F. A. 2011. Hubungan Posisi Saat Buang Air Besar dengan

Kejadian Konstipasi Fungsional pada Anak. Tesis. Universitas

Sumatera Utara. Medan.

Testiningsih, R. F. 2015. Aktivitas Antioksidan Teh Daun Alpukat dengan

Variasi Penambahan Daun Mint dan Daun Stevia. Skripsi. Universitas

Muhammadiyah Surakarta. Surakarta.

Toepak, E. P., R. Retnowati, Masruri. 2013. Isolasi dan Karakterisasi Terhadap

Minyak Mint dari Daun Mentha arvensis Segar Hasil Distilasi Uap-Air.

Kimia Student Journal Vol. 2(2): 574-579

Topping, D. L. dan P. M. Clifton. 2001. Short-Chain Fatty Acid and Human

Colonic Function: Role of Resistant Starch and Nonstarch

Polysaccharides. Physiol Rev. 81. p. 1031

Page 84: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

68

Tosan, C. A., S. M. Obidola, dan F. O. Philip. 2014. Loperamide Induces

Constipated Wister Rats: Laxative Role of Aqueous Extract of Acacia

ataxacantha Leaves. Journal of Pharmacy and Pharmateutical Sciences

Vol. 3(12): 189-199

Trissanthi, C. M. dan W. H. Susanto. 2016. Pengaruh Konsentrasi Asam Sitrat

dan Lama Pemanasan Terhadap Karakteristik Kimia dan

Organoleptik Sirup Alang-alang (Imperata cylindrical). Jurnal Pangan

dan Agroindustri Vol. 4(1): 180-189

Tuhuloula, A., L. Budiyarti, dan E. N. Fitriana. 2013. Karakterisasi Pektin

dengan Memanfaatkan Limbah Kulit Pisang Menggunakan Metode

Ekstraksi. Konversi Vol. 2(1): 21-27

Tyanjani, E. F. dan Yunianta. 2015. Pembuatan Dekstrin dari Pati Sagu

(Metroxylon sagus Rottb.) dengan Enzim β-amilase Terhadap Sifat

Fisiko Kimia. Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 3(3): 1119-1127

United States Department of Agriculture. 2016. National Nutrient Database for

Standard Reference, Peppermint Fresh.

https://ndb.nal.usda.gov/ndb/foods/show/306?fgcd=&manu=&lfacet=&for

mat=&count=&max=50&offset=&sort=default&order=asc&qlookup=peppe

rmint&ds=. Diakses pada 2 Oktober 2016.

Vaughan, K. D. 2006. Tartaric Acid, in Rowe, R.C., Sheskey, P.J., and Owen,

S.C (Eds). Handbook of Pharmaceutical Excipients, Fifth Edition.

Pharmacheutical Press London. Chicago. p. 770-771

Villasenor, I. M., E. Deborah, Echegoyen, S. Jennifer dan Angelada. 2002. A

New Antimutagen from Mentha cordifolia Opiz. Mutation Research

515. Institute of Chemistry and Natural Sciences Research. University of

the Philippines. Philippines.

Wasono, H. T. 2011. Mangga Podang, Buah Ajaib dari Lereng Wilis.

http://www.tempointeraktif.com/hg/surabaya/2011/10/05/brk,20111005359

947,id.html. Diakses pada 5 Oktober 2016.

Widyaningrum, A., M. Lutfi, dan B. D. Argo. 2015. Karakterisasi Serbuk

Effervescent dari Daun Pandan dengan Variasi Komposisi Jenis

Asam. Jurnal Bioproses Komoditas Tropis Vol. 3(2): 1-8

Wijayanti, N. 2013. Potensi Muelleri Glukomanan dari Porang sebagai

Prebiotik dan Anti Konstipasi pada Tikus Spraque dawley. Tesis.

Universitas Brawijaya. Malang.

Page 85: PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo

69

Winaktu, G. J. 2011. Peran Serat Makanan dalam Pencegahan Kanker

Kolorektal. J. Kedokt Meditek Vol. 17(43):17-25

Winarti, N. S. S. 2008. Studi Pembuatan Effervescent Temulawak (Curcuma

xanthorrhiza Roxb.) Kajian Suhu Pengering, Konsentrasi Dekstrin,

Asam Sitrat dan Na-Bikarbonat. Tesis. Universitas Brawijaya. Malang.

Wong, W. W., E. T. Phuah, A. Al-Kharkhi, M. T. Liong, Nadiah, W.A. Rosma, A.

M. Easa. 2008. Biosorbent Ingradients from Durian Rind Waste.

School of Industrial Technology. University Sains Malaysia. Penang.

World Gastroenterology Organization. 2007. World Gastroenterology

Organization Practice Guidelines: Constipation. World

Gastroenterology Organization. p:1-10

Wulandari, S. 2010. Pengaruh Pemberian Cuka Apel dan Salak Terhadap

Kadar Glukosa Darah pada Tikus Wistar Jantan yang Diberi Diet

Tinggi Gula. Skripsi. Universitas Brawijaya. Malang.

Wyllie, R., R. E. Behrman, R. M. Kliegman dan H. B. Jenson. 2004. The

Digestive System. Saunders. Philadelphia.

Yuwono, S. S. dan T. Susanto. 1998. Pengujian Fisik Pangan. Malang.

Universitas Brawijaya.