28
Jurnal Hukum & Pembangunan 48 No. 4 (2018): 763-790 ISSN: 0125-9687 (Cetak) E-ISSN: 2503-1465 (Online) Tersedia versi daring: http://jhp.ui.ac.id DOI: http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol48.no4.1802 . PENGARUH KONSTITUSI BERKETUHANAN DALAM PRAKTIK KETATANEGARAAN (PERBANDINGAN ANTARA INDONESIA DENGAN BERBAGAI NEGARA) Ghunarsa Sujatnika * * Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia/Peneliti Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI Korespondensi: [email protected] Naskah dikirim: 1 Desember 2018 Naskah diterima untuk diterbitkan: 20 Desember 2018 Abstract One debate that has been going on for a long time and has not yet been completed is related to the relationship between religion and the state. There are two general opinions on this matter, namely that which separates religion and state life and vice versa argues that religion is an integral part of the life of the state. One way to see how the relationship between God and religion and the state can be seen in the country's constitution, whether the constitution regulates "God" and religion or not. After that, it can be found how the influence of the "Godly Constitution" on constitutional practices in Indonesia and also its comparison with several other countries' constitutions and their influence in the practice of state administration in the country. Keynote: God, Constitution, Religion, Godly Constitution, Debate Abstrak Salah satu perdebatan yang sudah berlangsung lama dan belum selesai adalah terkait dengan hubungan antara agama dan negara. Terdapat dua pendapat umum mengenai hal ini, yakni yang memisahkan antara agama dan kehidupan bernegara dan sebaliknya berpendapat bahwa agama merupakan bagian tidak terpisahkan dalam kehidupan bernegara. Salah satu cara untuk melihat bagaimana hubungan antara Tuhan dan agama dengan negara dapat dilihat dalam konstitusi negara tersebut, apakah konstitusi tersebut mengatur “Tuhan” dan agama atau tidak. Setelah itu dapat ditemukan bagaimana pengaruh “Konstitusi Berketuhanan” pada praktik ketatanegaraan di Indonesia dan juga perbandingannya dengan beberapa konstitusi negara lain serta pengaruhnya dalam praktik ketatanegaraan dalam negara tersebut. Kata Kunci: Tuhan, Konstitusi, Agama, Konstitusi Berketuhanan, Debat

PENGARUH KONSTITUSI BERKETUHANAN DALAM PRAKTIK

  • Upload
    others

  • View
    8

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PENGARUH KONSTITUSI BERKETUHANAN DALAM PRAKTIK

Jurnal Hukum & Pembangunan 48 No. 4 (2018): 763-790

ISSN: 0125-9687 (Cetak)

E-ISSN: 2503-1465 (Online)

Tersedia versi daring: http://jhp.ui.ac.id

DOI: http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol48.no4.1802

.

PENGARUH KONSTITUSI BERKETUHANAN DALAM PRAKTIK

KETATANEGARAAN (PERBANDINGAN ANTARA INDONESIA

DENGAN BERBAGAI NEGARA)

Ghunarsa Sujatnika *

* Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia/Peneliti Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI

Korespondensi: [email protected]

Naskah dikirim: 1 Desember 2018

Naskah diterima untuk diterbitkan: 20 Desember 2018

Abstract

One debate that has been going on for a long time and has not yet been

completed is related to the relationship between religion and the state. There

are two general opinions on this matter, namely that which separates religion

and state life and vice versa argues that religion is an integral part of the life of

the state. One way to see how the relationship between God and religion and

the state can be seen in the country's constitution, whether the constitution

regulates "God" and religion or not. After that, it can be found how the

influence of the "Godly Constitution" on constitutional practices in Indonesia

and also its comparison with several other countries' constitutions and their

influence in the practice of state administration in the country.

Keynote: God, Constitution, Religion, Godly Constitution, Debate

Abstrak

Salah satu perdebatan yang sudah berlangsung lama dan belum selesai adalah

terkait dengan hubungan antara agama dan negara. Terdapat dua pendapat

umum mengenai hal ini, yakni yang memisahkan antara agama dan kehidupan

bernegara dan sebaliknya berpendapat bahwa agama merupakan bagian tidak

terpisahkan dalam kehidupan bernegara. Salah satu cara untuk melihat

bagaimana hubungan antara Tuhan dan agama dengan negara dapat dilihat

dalam konstitusi negara tersebut, apakah konstitusi tersebut mengatur “Tuhan”

dan agama atau tidak. Setelah itu dapat ditemukan bagaimana pengaruh

“Konstitusi Berketuhanan” pada praktik ketatanegaraan di Indonesia dan juga

perbandingannya dengan beberapa konstitusi negara lain serta pengaruhnya

dalam praktik ketatanegaraan dalam negara tersebut.

Kata Kunci: Tuhan, Konstitusi, Agama, Konstitusi Berketuhanan, Debat

Page 2: PENGARUH KONSTITUSI BERKETUHANAN DALAM PRAKTIK

764 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.4 Oktober-Desember 2018

I. PENDAHULUAN

Salah satu perdebatan panjang yang sering terjadi dan bahkan membuat

permasalahan tersendiri dalam masyarakat adalah hubungan antara agama

dengan negara.1 Perdebatan antara hubungan agama dan negara seringkali

terjadi karena beragamnya pendapat terkait hal tersebut. Banyak pendapat ahli

yang mengatakan bahwa agama tidak perlu turut campur dalam permasalahan

negara. Pendapat ini dapat diartikan sebagai paham yang sekuler atau

sekularisme.2

Di sisi lain, masih terdapat pihak yang berpendapat bahwa agama

mempunyai keterkaitan dengan negara, baik di dalam konteks privat maupun

publik. Islam contohnya. Islam mengajarkan bahwa kesempurnaan dan ke-

menyeluruh-an dalam ajarannya, sehingga mencakup segala aspek publik

seperti sosial, ekonomi, politik, bahkan sampai taraf negara. Pada tingkat

negara pun, Islam telah mengatur berbagai kaidah terkait kepemimpinan negara

dan perangkat-perangkatnya.3 Atas dasar inilah dapat dikatakan bahwa di

dalam Islam terdapat relasi yang erat antara agama dengan negara.

Perbedaan pendapat terkait relasi agama dengan negara ini seharusnya

dapat diakomodasi di dalam sebuah konstitusi tertulis atau undang-undang

dasar. Suatu undang-undang dasar sebagai sebuah dokumen yang berisi

kesepakatan, konsensus bersama terkait kebangsaan dan bernegara, secara ideal

harus dipahami bersama sebagai bentuk kompromi ideologi, cara pandang

politik, dan lain sebagainya.4 Sebagai sebuah kesepakatan (konsensus) bersama,

maka setidaknya konstitusi juga harus menjamin tegaknya konstitusionalisme di

zaman modern yang pada umumnya dipahami bersandar pada tiga elemen

kesepakatan, yakni:5

1) Kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama (the general goals

of society or general acceptance of the same philosophy of

government).

2) Kesepakatan tentang “the rule of law” sebagai landasan

pemerintahan atau penyelenggaraan negara (the basis of

government).

1 Jimly Asshiddiqie, ’Tuhan’ dan Agama dalam Konstitusi: Pergesekan antara Ide-Ide

‘Godly Constitution’ Versus Godless Constitution,

<https://www.scribd.com/document/355254411/Tuhan-Dalam-Konstitusi-Jimly-Asshiddiqie>,

diakses pada 30 Agustus 2018 2 Sekularisme seringkali identik dengan demokrasi. Pertama kali lahir dari paham yang

ingin memisahkan kekuasaan Gereja dalam negara. Gereja dinilai cukup mengatur hal-hal atau

hak yang bersifat privat saja, sedangkan untuk urusan publik diserahkan kepada negara. Lihat

John Keane, Secularism? (Oxford: Blackwell Publishes, 2000), hlm. 5. 3 Lihat Imam Al Mawardi, Al Ahkam As Sulthaniyyah: Prinsip-Prinsip

Penyelenggaraan Negara Islami, [Al-Ahkam As-Sulthaaniyyah Fi Al-Wilaayah Ad-Diiniyyah]

diterjemahkan oleh Fadhli Bahri, (Jakarta: Darul Falah, 2000). 4 Jimly Asshiddiqie, ’Tuhan’ dan Agama dalam Konstitusi. 5 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, (Jakarta: Konpress, 2005)

hlm.21. Adapun terkait dengan materi dalam konstitusi, Sri Soemantri berpendapat bahwa pada

umumnya konstitusi mencakup: (1) terdapatnya jaminan terhadap HAM dan warga negaranya;

(2) ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental; dan (3)

terdapatnya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental.

Lihat Sri Soemantri M, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, (Bandung: Alumni, 1987),

hlm. 51.

Page 3: PENGARUH KONSTITUSI BERKETUHANAN DALAM PRAKTIK

Pengaruh Konstitusi, Ghunarsa Sujatnika 765

3) Kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan prosedur-prosedur

ketatanegaraan (the form of institutions and procedurs).

Konstitusi juga merupakan resultante dari keadaan politik, ekonomi,

sosial, dan budaya ketika konstitusi itu dibuat dan juga merupakan gambaran

atas keadaan dan jawaban yang muncul atas keadaan pada masa itu.6 Dasar

inilah yang menjadikan undang-undang dasar merupakan cara terbaik untuk

memfasilitasi segala perbedaan tersebut dan setiap pihak harus menghormati

kesepakatan tertinggi yang telah tertuang di dalam undang-undang dasar

tersebut. Oleh karena itu, kesepakatan bersama tertinggi ini pun harus juga

memuat prinsip dan norma yang berlaku di masyarakat, dan dapat ditafsirkan

sesuai dengan perkembangan zaman yang terjadi.

Cara pandang lainnya terhadap konstitusi adalah bahwa setiap

permasalahan terkait konstitusi ataupun ketatanegaraan, biasanya juga terjadi

dengan negara lainnya. Dalam konteksi ini, kebutuhan akan membangun

kehidupan bernegara yang damai, tentram, dan harmonis merupakan kebutuhan

setiap negara. Apalagi, dalam hubungannya dengan konsep relasi agama dan

negara, setiap negara biasanya mempunyai pengalaman ataupun aturan yang

mengatur relasi tersebut. Hal yang paling mudah untuk menunjukkan

bagaimana relasi antara agama dan negara serta bagaimana suasana kebatinan

dari para perumus konstitusi adalah: (1) bagaimana “Tuhan” diatur di dalam

konstitusi; dan (2) bagaimana jaminan perlindungan negara terhadap warganya

dalam hal agama dan/atau keyakinan.

Konstitusi yang mengatur tentang Tuhan ataupun terdapat kata Tuhan di

dalamnya ternyata mendapatkan tempat di konstitusi berbagai negara. Amerika

misalnya. Naskah Konstitusi Federal Amerika Serikat juga memuat istilah-

istilah yang mencerminkan suasana kebatinan para perumusnya (the framers of

the constitution) hidup dengan sangat akrab dengan nilai-nilai keberagamaan

sehari-hari.7 Negara yang sangat liberal dan sekuler ini menempatkan pula kata

“Tuhan” di dalam 50 konstitusi negara bagiannya. Bahkan, di dalam konstitusi

negara bagian Virginia (1776), selain kata “God” dan “Religion”, juga terdapat

kata “Christian Forbearance” yang mirip dengan “tujuh kata” dalam Piagam

Jakarta 22 Juni 1945.

Dalam konteks Indonesia, perdebatan mengenai pengaruh agama dalam

konsep bernegara juga telah berlangsung lama, terutama ketika dalam

perumusan dasar negara Indonesia. Perdebatan ini melibatkan golongan Islam

Nasionalis dan Nasionalis Sekuler terkait dengan Sila ke-1 dari Pancasila

mengenai pencantuman konsep syariat Islam dan syarat bagi calon Presiden.

Meski telah selesai dengan kesepakatan Pancasila pada 18 Agustus 1945,

namun perdebatan ini muncul kembali pada Sidang Konstituante. Hingga pada

akhirnya Presiden Soekarno pun mengeluarkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli

1959.

Berdasarkan contoh di atas, perlu dilihat juga apakah suasana “Tuhan”

dalam suatu negara dapat terasa juga meski dengan tidak secara eksplisit

dicantumkan di konstitusi. Hal lainnya, meski tidak tercantumkan, namun

negara tersebut memperbolehkan rakyatnya untuk menganut agamanya secara

6 Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi,

(Jakarta: Rajawali Press, 2013), hlm. 20. 7 Jimly Asshiddiqie, ’Tuhan’ dan Agama dalam Konstitusi.

Page 4: PENGARUH KONSTITUSI BERKETUHANAN DALAM PRAKTIK

766 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.4 Oktober-Desember 2018

bebas dan bertanggungjawab. Pola hubungan inilah yang menarik untuk diteliti

lebih lanjut.

II. PEMBAHASAN

A. Kedaulatan Tuhan dalam Konstitusi

Kedaulatan Kedaulatan merupakan suatu hal atau kekuasaan yang

tertinggi di dalam suatu negara dan merupakan salah satu komponen dasar dari

terbentuknya suatu negara selain terdapatnya rakyat, wilayah, dan

pemerintahan. Bahkan, kedaulatan merupakan hal yang sangat penting dan

diperlukan di dalam suatu negara.

Secara terminologi, kedaulatan berasal dari kata Latin yakni

‘Supreanus’ yang berarti tertinggi (supreme).8 Di dalam konteks kedaulatan

negara, implikasi dari kedaulatan adalah negara memiliki kekuatan yang

tertinggi di atas rakyat dan mempunyai wewenang untuk membentuk hukum

dan peraturan yang berlaku. Jellinek berpendapat, “…that characteristic of the

state in virtue of which it cannot be legally bound except by its own will or

limited by any other power than itself.”9 Dalam konteks itu, Jellinek

berpendapat bahwa terdapat hal-hal yang tidak terikat secara hukum kecuali

atas kehendaknya sendiri atau dibatasi oleh kekuatan lain dari dirinya sendiri.

Selain Jellinek, terdapat pula beberapa tokoh yang berpendapat

mengenai kedaulatan. W.A. Dunning misalnya, dia memberikan definisi, “By

the sovereign is meant that individual or assembly who, by the terms of the

contract on which the commonwealth rests, is authorized to will in the stead of

every party to the contract, for the end of a peaceful life.”10 Dalam hal ini,

Dunning menganggap bahwa penting terdapat suatu kontrak yang memberikan

kepercayaan kepada seorang atau suatu majelis untuk menggantikannya.

Namun demikian, kedaulatan sendiri dapat dikatakan sebagai kekuatan

tertinggi di atas rakyat dan subyek yang tidak terkendali oleh undang-undang

sebagaimana pendapat dari Jean Bodin.11 Ditambahkan pula oleh William

Blackstone, bahwa kedaulatan itu, “. . . the supreme, irresistible, absolute,

uncontrolled authority in which the jura summi imperii reside.”12 Bahkan,

menurut Hinsley, kedaulatan dalam konteks politik tidak mungkin terdapat

otoritas lain yang bersifat final dan mutlak.13 Dengan demikian, dapat

disimpulkan bahwa di dalam suatu negara pasti terdapat suatu bentuk kekuatan

tertinggi yang bernama kedaulatan.

Di dalam sejarahnya, secara teori, kedaulatan telah mengalami berbagai

perkembangan. Dimulai dari kedaulatan Tuhan, lalu kedaulatan Raja,

kedaulatan Negara, kedaulatan Rakyat, dan kedaulatan Hukum. Dalam konteks

kedaulatan Tuhan, kekuasaan tertinggi atau kedaulatan berada di tangan Tuhan.

8 J.W. Garner, Political Science and Government, (World Press Calcutta, 1955), hlm.

49. 9 B.N. Ray, Political Theory: Interrogations and Interventions, (Delhi: Author Press,

2006), hlm. 177. 10 William Archibald Dunning, A History of Political Theories; from Luther to

Montesquieu, (New York: The Mac Millan Company, 1953), hlm. 281. 11 J.W. Garner, Political Science and Government, (World Press Calcutta, 1955), hlm.

146. 12 William Blackstone, Commentaries on the Laws of England, (London: Chase’s ed,

Vol. 1), hlm. 14., 13 Ibid.

Page 5: PENGARUH KONSTITUSI BERKETUHANAN DALAM PRAKTIK

Pengaruh Konstitusi, Ghunarsa Sujatnika 767

Hal ini sebagai bentuk penghormatan tertinggi manusia kepada penciptanya dan

mengakui bahwa Tuhan memiliki kekuasaan tertinggi.14 Tuhan dianggap

sebagai tempat bergantung yang paling utama, sehingga seluruh perintah-Nya

harus ditaati dengan baik. Demikian pula dengan segala larangan-Nya harus

dijauhi sebagai wujud ketaatan kepada-Nya.

Di dalam perkembangannya, kedaulatan Tuhan di muka bumi

diwakilkan oleh seorang penguasa. Di dalam teokrasi yang murni, maka

pemimpin tertinggi agama juga merupakan pemimpin tertinggi dalam

pemerintahan.15 Di dalam konteks Islam misalnya, hal ini pernah dicontohkan

oleh Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin tertinggi agama maupun

negara.

Di dalam konteks agama Katholik, maka pemimpin Gereja merupakan

kepemimpinan tertinggi karena dianggap sebagai wakil Tuhan di muka bumi.

Namun, pemimpin Gereja, dalam hal ini Paus, bukan merupakan pemimpin

tertinggi dalam suatu negara. Pada masa itu, masih terdapat Raja sebagai

pemimpin tertinggi dari suatu negara. Walaupun pada kenyataannya, justru

Paus yang lebih berkuasa dibandingkan oleh Raja. Contoh paling nyata adalah

kasus Imperium Jerman, Henry VI dengan Paus Gregory VII saat terjadi

perselisihan antara keduanya mengenai penunjukan para uskup.16 Raja Henry

menolak kewenangan Paus dalam penunjukan para uskup sehingga Paus murka

dan mencopot mahkota Raja dan melarang masyarakat dan para penguasa

daerah untuk mematuhi Raja.

Teori kedaulatan Tuhan ini dianggap memiliki potensi untuk

disalahgunakan oleh orang yang mengaku sebagai wakil atau titisan Tuhan di

muka bumi. Hal tersebut banyak menghasilkan kekuasaan yang bersifat absolut

dan tiran. Oleh karena itu, teori ini lambat laun mulai ditinggalkan. Akan tetapi,

yang menarik adalah teori ini tidak sepenuhnya ditinggalkan. Hal ini karena

pengakuan akan eksistensi Tuhan dapat tercermin di dalam konstitusi ataupun

dalam penyelenggaraan suatu negara.17

Di dalam perkembangannya, model kedaulatan lain yang populer selain

kedaulatan rakyat adalah kedaulatan hukum. Hukum diharapkan dapat menjadi

rambu sekaligus koridor dalam mengatur kehidupan bernegara. Oleh karena itu,

dibutuhkan hukum dasar atau hukum tertinggi yang disepakati oleh seluruh

rakyat. Biasanya, kesepakatan ini dituangkan pada suatu bentuk dokumen.

Dokumen inilah yang kemudian mengatur bagaimana hak-hak warga negara,

pemberian dan pembatasan dari kekuasaan negara, serta bagaimana hubungan

antar lembaga negara yang diberikan kekuasaan. Dokumen hukum ini

kemudian disebut sebagai konstitusi.

Konstitusi merupakan sebuah kesepakatan bersama sebuah bangsa

mengenai berbagai hal yang mengatur kehidupan dari kumpulan bangsa

tersebut. Menurut Brian Thompson, konstitusi juga dapat diartikan sebagai

sebuah dokumen yang berisi sistem aturan dan pengoperasian dari sebuah

14 Hendra Nurtjahjo, Filsafat Demokrasi, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2006), hlm. 31. 15 Ran Hirschl, Constitutional Theocracy, (Cambridge: Harvard University Press,

2010), hlm. 2. 16 Salim Ali Al-Bahnasawi, Wawasan Sistem Politik Islam, (Jakarta: Pustaka Al-

Kautsar, 1996), hlm. 28. 17 Hendra Nurtjahjo, Filsafat Demokrasi., hlm. 32.

Page 6: PENGARUH KONSTITUSI BERKETUHANAN DALAM PRAKTIK

768 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.4 Oktober-Desember 2018

organisasi.18 Organisasi yang dimaksud beragam dalam bentuk dan

kompleksitasnya, mulai dari yang terkecil sampai yang paling besar sekalipun.

Aturan yang mengaturnya dalam sebuah dokumen disebut dengan konstitusi.

Menurut Jimly Asshiddiqie, materi inti dari suatu konstitusi adalah Hak

Asasi Manusia (HAM) karena perlindungan terhadap HAM merupakan

kepentingan paling dasar dari setiap warga negara.19 Hal ini karena konstitusi

adalah kesepakatan umum atau persetujuan (consensus) di antara mayoritas

rakyat mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan dengan negara, sehingga

di dalam konstitusi perlu mengatur hal yang memberikan jaminan terhadap Hak

Asasi Manusia.

Menurut K.C. Wheare, maka konstitusi dapat dilihat dari dua pendapat.

Pendapat pertama menganggap bahwa konstitusi semata-mata hanya berupa

aturan-aturan hukum saja, tidak lebih dari itu. Di sisi lain, pendapat kedua

mengatakan bahwa konstitusi tidak hanya berisi kaidah-kaidah hukum saja,

tetapi juga berisi pernyataan tentang keyakinan, prinsip, dan cita-cita.20 Ia pun

juga mengatakan bahwa suatu konstitusi idealnya harus berisi aturan-aturan

hukum yang menjadi acuan tertinggi dalam suatu negara serta juga harus

memuat suatu prinsip yang melekat pada jiwa bangsa yang bersangkutan yang

menjadi cita-cita untuk diwujudkan sebagai tujuan negara.

Pandangan mengenai konstitusi tersebut juga disampaikan oleh Jimly

Asshiddiqie yang berpendapat bahwa konstitusi itu bukan hanya harus

dipandang sebagai sebuah dokumen politik saja, tapi juga sebagai dokumen

ekonomi, sosial, budaya, dan lain sebagainya.21 Dalam konteks sosial

kemasyarakatan, untuk membentuk suatu masyarakat madani tentu selain

berlandaskan hukum juga harus mengatur aturan sosial dan juga etika. Oleh

karena itu, nilai-nilai Ketuhanan dan agama dapat diatur pula di dalam suatu

konstitusi. Dengan demikian, konstitusi pun juga dapat bernilai nilai-nilai

Ketuhanan sebagai suatu wujud pengakuan eksistensi Tuhan sekaligus sebagai

cerminan suatu masyarakat yang madani.

Dalam mewujudkan konsep bernegara dan masyarakat yang madani,

konsep kedaulatan Tuhan tidak dapat sepenuhnya ditinggalkan. Kedaulatan

Tuhan yang diejawantahkan di dalam agama dan kepercayaan sehingga lebih

bernuansa relijius juga mulai berkembang pada berbagai konstitusi dunia.

Bahkan, makin banyak negara di dunia yang berusaha memasukkan sisi

relijiusitas di dalam konstitusi dan kehidupan bernegara, yang berarti agama

dan kepercayaan dapat berpengaruh di dalam pemerintahan suatu negara. Di

dalam hal ini, dapat dilihat dari pendapat Ran Hirschl berikut:22

Religion and the belief in God have made a major comeback. Over the

last few decades principles of theocratic governance have gained

enormous public support worldwide. From the fundamentalist turn in

18 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, hlm. 15. Lihat juga Brian

Thompson, Textbook on Constitutional and Administrative Law, edisi ke-3, (London:

Blackstone Press Ltd., 1997), hlm. 3. 19 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Hak Asasi Manusia, makalah yang disampaikan

pada lecture Peringatan 10 Tahun KontraS, Jakarta, 26 Maret 2008, hlm. 8. 20 Dahlan Thaib, dkk. Teori Hukum dan Konstitusi, (Jakarta: PT. Grafindo Raja

Persada, 2001), hlm. 19. 21 Jimly Asshiddiqie, Gagasan Konstitusi Sosial: Institusionalisasi dan

Konstitusionalisasi Kehidupan Sosial Masyarakat Madani, (Jakarta: LP3ES, 2015), hlm. 1-2. 22 Ran Hirschl, Constitutional Theocracy, hlm. 1-2.

Page 7: PENGARUH KONSTITUSI BERKETUHANAN DALAM PRAKTIK

Pengaruh Konstitusi, Ghunarsa Sujatnika 769

predominantly Islamic polities to the spread of Catholicism and

Pentecostalism in the global South and to the rise of the Christian Right

in the United States, it is hard to overstate the siginificance of the

religious reviving polal in late twentieth- and early twenty-first-century

politics. Parties that advance religion- infused agendas have gained a

tremendous popular following in polities as diserve as India, Isreal,

Malaysia, and Turkey. Christianity, meanwhile, has been growing

exponentially in the so-called developing world. The Roman Catholic

population in Africa alone more than doubled between the mid-1970s

and the mid-1990s, and in Asia it increased by 90 percent during that

period. Religion-based morality continues to hover over much of the

Catholic “old world,” from Latin America to the Philippines. The

Orthodox Church has enjoyed a big resurgence in parts of Eastern

Europe just as Russia has been struggling to control the spread of Islam

in the northern Caucasus. The changing demographics of French

society have given rise to serious challenges, raucous at times, to

France’s assertive secularism. And one only needs to reach for the

television remote control to appreciate the prevalence of Evangelical,

born-again Christianity in the United States, with its scores of pastors,

lest we forget, as newspaper headlines report on religion-based

insurgency from Iraq and Afghanistan to Pakistan, Yemen, Somalia, and

Indonesia on a near-daily basis; on how Hezbollah (the “party of

God”) has effectively erected its own governing apparatus within

Lebanon; on how the struggle between the nationalist Fatah movement

and the religious Hamas movement has effectively split the Palestinian

people; and on struggles between clerics and reformists in Iran. In

short, the reports of God’s death, to paraphrase Mark Twain’s remark,

have been greatly exxeggerated.

Perkembangan ini merupakan suatu hal yang menarik, karena agama yang

dinilai sebagai hal yang privat, ternyata juga dapat mempengaruhi kehidupan

bernegara dan ketatanegaraan suatu negara melalui aturan dalam konstitusi.

B. Konsepsi Ketuhanan dalam Konstitusi Indonesia

Indonesia, sebagai negara yang merupakan negara dengan penduduk

Muslim terbesar di dunia, merupakan salah satu negara yang mempunyai

konstitusi yang kental dengan nuansa reljiusitas yang tinggi. Hal itu dapat

dilihat dari bagaimana perjuangan merebut kemerdekaan di Indonesia banyak

melibatkan para santri dan ulama. Bahkan, di dalam pembentukan dasar negara

pun, peran kaum Islam di kancah politik mampu mewarnai, meskipun sering

berdebat sengit dengan kaum nasionalis.

Perdebatan mengenai konsep Tuhan, agama, dan hubungannya dengan

negara Indonesia telah muncul pada saat sidang pertama BPUPK pada 29 Mei

1945. Pada rapat hari pertama itu, terdapat beberapa tokoh yang menyinggung

bagaimana peran Tuhan dalam negara, serta hubungan antara agama dengan

negara. Wiranatakoesoema dalam pidatonya bagaimana Tuhan mengutus

manusia untuk menegakkan hukum agar menuju ke arah kebahagiaan. Beliau

menyatakan, “Oleh karena itu maka dalam sejarah dunia diriwayatkan, bahwa

guna alam kemanusiaan telah bangkit utusan-utusan Tuhan, yang menunjukkan

Page 8: PENGARUH KONSTITUSI BERKETUHANAN DALAM PRAKTIK

770 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.4 Oktober-Desember 2018

hukum-hukum dan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh manusia, untuk

menunjuk kearah kebahagiaan.”23

Menurut Soesanto Tirtoprodjo, Indonesia Merdeka memerlukan dasar

atau fundamennya; soko-gurunya; dan atap-payonnya. Dasar atau fundamen

terdiri atas semangat kebangsaan, hasrat persatuan, dan rasa kekeluargaan. Lalu

yang menjadi soko-gurunya adalah pemerintahan yang sesuai dengan kehendak

rakyat; Badan Kehakiman yang satu untuk segenap penduduk dan bebas dari

pengaruh badan-badan pemerintahan; perekonomian yang teratru dan terbatas

menurut kebutuhan masyarakat; dan pendidikan rohani dan jasmani dengan

menjauhkan sifat “intellectualisme” dan “materialisme”. Menurut Soesanto

yang menjadi atap-payonnya adalah:24

1) Rasa ke-agamaan, rasa bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,

pengakuan bahwa segala sesuatu di dunia ini hanya dapat timbul

atau tenggelam atas kehendak Tuhan.

2) Ke-insyafan, bahwa menurut kodrat alam, sebagai bangsa dan

negara, Indonesia tidak dapat terlepas dari kekeluargaan Asia Timur

Raya; insyaf, bahwa untuk mempertahankan kemerdekaan dan

kedaulatannya harus memenuhi kewajibannya sebagai anggota

Tonari-Kumi bangsa Asia Timur Raya dan mengakui Dai Nippon

sebagai pemimpin atau Kumityonya.

Dari pendapat Soesanto di atas, sudah mulai disinggung bagaimana

keterkaitan Tuhan dalam pembentukan suatu negara. Keterkaitan ini kemudian

diperjelas ketika Dasaad mengemukakan pendapatnya sebagai berikut:

Dasar gedung kemerdekaan adalah Allah. Allah ialah sumber dari segala

hidup dan firmannya haruslah pedoman dalam kemaysarakatan hidup

kita. Maka manusia itu tidak memandang bangsa dan kedudukan dalam

segala lapangan hidup –termasuk juga lapangan pemerintahan- haruslah

menjunjung tinggi nama dan kemuliaan Tuhan. Dalam hal ini tidak

dibeda-bedakan kedudukan atau kekayaan maupun dalam hal

pengakuan Muslimin, Kristen, Hindu, dan Budha. Karena semua

manusia itu ada sama dalam pandangan Tuhan, hati harus suci untuk

bekerja jujur. Pemerintah Indonesia Merdeka haruslah berdasar kepada

Iman dan Tawakal kepada Tuhan. Segala kemajuan dan kekuasaan

dengan tidak memandang cara pembentukannya menerima hukumannya

dari Tuhan. Dasar ekonomi harus dapat perhatian. Saya akan

memajukan rancangan bekerja di lapangan politik ekonomi.25

Selain pendapat Dasaad, pada sidang berikutnya di tanggal 30 Mei

1945, Moh. Hatta telah menyampaikan pendapat dengan inti gagasan utama

adalah pemisahan antara agama dan negara.26 Pada 31 Mei 1945, Soepomo pun

cenderung sependapat dengan Moh. Hatta. Menurutnya,

… dengan pendek kata, dalam negara-negara Islam masih ada

pertentangan pendirian tentang bagaimana seharusnya bentuk hukum

negara, supaya sesuai dengan aliran zaman modern, yang meminta

23 RM. A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: Badan

Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009), hlm. 101. 24 Ibid., hlm. 112. 25 Ibid., hlm. 115. 26 Jazim Hamidi dan M. Husnu Abadi, Intervensi Negara Terhadap Agama,

(Yogyakarta: UII Press, 2001), hlm. 5.

Page 9: PENGARUH KONSTITUSI BERKETUHANAN DALAM PRAKTIK

Pengaruh Konstitusi, Ghunarsa Sujatnika 771

perhatian dari negaranegara yang turut berhubungan dengan dunia

internasional itu. Jadi seandainya kita di sini mendirikan negara Islam,

pertentangan pendirian itu akan timbul juga dimasyarakat kita dan

barangkali Badan Penyelidik inipun akan susah memperbicangkan soal

itu. Akan tetapi, tuan-tuan yang terhormat, akan mendirikan negara

Islam di Indonesia berarti, tidak akan mendirikan negara persatuan.

Mendirikan negara Islam di Indonesia berarti mendirikan negara yang

akan mempersatukan diri dengan golongan yang terbesar, yaitu

golongan Islam. Jikalau di Indonesia didirikan negara Islam, maka tentu

akan timbul soal-soal “minderheden”, soal golongan agama yang kecil-

kecil, golongan agama Kristen dan lain-lain. meskipun negara Islam

akan menjamin dengan sebaikbaiknya kepentingan golongan-golongan

lain itu, akan tetapi golongan-golongan agama kecil cita negara Islam

itu tentu tidak bisa mempersatukan dirinya dengan negara. Oleh karena

itu cita-cita negara Islam itu tidak sesuai dengan cita-cita negara

persatuan yang telah diidam-idamkan oleh kita semuanya dan juga yang

telah dianjurkan oleh Pemerintah Balatentara.27

Menurutnya, Indonesia lebih sesuai untuk membentuk suatu negara

nasional, yang mengayomi seluruh golongan, totaliter dan menyatu antar

masyarakat dengan negara, serta menghormati seluruh golongan. Dengan

sendirinya, urusan agama akan terpisah dari urusan negara dan secara alamiah

urusan agama akan diserahkan kepada golongan-golongan agama yang

bersangkutan.

Namun demikian, Soepomo menambahkan bahwa negara nasional

bukan berarti tidak relijius. Menurutnya,

Negara nasional yang bersatu itu tidak berarti, bahwa negara itu akan

bersifat “a relligieus”. Itu bukan. Negara nasional yang bersatu itu akan

memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur, akan memegang

teguh cita-cita moral rakyat yang luhur. Maka negara demikian itu dan

hendaknya Negara Indonesia juga memakai dasar moral yang luhur,

yang dianjurkan oleh agama Islam.

Sebagai contoh, dalam Negara Indonesia itu hendaknya dianjurkan,

supaya para warga negara cinta kepada tanah air, ikhlas akan diri sendiri

dan suka berbakti kepada tanah air; supaya mencintai dan berbakti

kepada pemimpin dan kepada negara; supaya takluk kepada Tuhan,

supaya tiap-tiap waktu ingat kepada Tuhan. Itu semuanya harus dianjur-

anjurkan, harus dipakai sebagai dasar moral dari negara nasional yang

bersatu itu. Dan saya yakin, bahwa dasar-dasar itu dianjurkan oleh

agama Islam.28

Pendapat selanjutnya datang dari Ki Bagoes Hadikoesoemo. Beliau

memulai pendapatnya dari bagaimana Tuhan mengatur kehidupan manusia dan

mengutus para Nabi untuk menyebarkan risalah-Nya, lalu pembentukan

masyarakat dan negara melalui musyawarah. Lalu, Ki Bagoes juga

mengingatkan bahwa apabila negara Indonesia yang dibangun ini berdasarkan

dengan 4 (empat) ajaran utama Islam: ajaran iman atau kepercayaan kepada

27 RM. A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, hlm. 130. 28 Ibid.

Page 10: PENGARUH KONSTITUSI BERKETUHANAN DALAM PRAKTIK

772 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.4 Oktober-Desember 2018

Allah dan perkara gaib; ajaran beribadah, berkhidmat, dan berbakti kepada

Allah; ajaran beramal-sholih; serta ajaran berjihad di jalan Allah, maka akan

makmur dan sejahtera negeri.29

Beliau juga menekankan bahwa Islam membangun pemerintahan yang

adil dan menegakkan keadilan, berdasarkan kerakyatan dan musyawarah serta

kebebasan memeluk agama. Menurut beliau,

Tuan-tuan dan sidang yang terhormat! Dalam negara kita, niscaya tuan-

tuan menginginkan berdirinya atau pemerintahan yang adil dan

bijaksana, berdasarkan budipekerti yang luhur bersendi

permusyawaratan dan putusan rapat, serta luas berlebar dada tidak

memaksa tentang agama. Kalau benar demikian, dirikanlah

pemerintahan itu atas agama Islam karena ajaran Islam itu mengandung

kesampaiannya sifat-sifat itu.

Dengan ayat-ayat yang singkat ini, cukuplah kiranya sudah untuk

mengetahui bahwa agama Islam itu cakap dan cukup serta pantas dan

patut untuk menjadi sendi pemerintahan kebangsaan di negara kita

Indonesia ini. Tetapi di antara tuan-tuan ada juga orang-orang yang

tidak setuju negara kita ini berdasarkan agama.30

Perdebatan mengenai relasi agama dan negara kemudian menguat pada

rapat BPUPK tertanggal 1 Juni 1945 dengan agenda membahas mengenai dasar

negara. Pada momen inilah, Soekarno menggagas dasar negara yang

dinamakannya “Pancasila”. Pancasila menurut Soekarno merupakan lima dasar

yang terdiri atas kebangsaan Indonesia; internasionalisme atau peri

kemanusiaan; permusyawaratan (mufakat); kesejahteraan sosial; dan Ketuhanan

Yang Maha Esa. Pada prinsip yang terakhir ini, Soekarno berpendapat bahwa

setiap manusia Indonesia hendaknya ber-Tuhan dengan setiap pemeluk agama

menjalankan agama dan kepercayaannya masing-masing dengan cara

berkeadaban dan saling menghormati.31 Lebih jauh menurut pendapatnya,

Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi

masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya

sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa Al-

Masih, yang Islam menurut petunjuk Nabi Muhammad S.A.W, orang

Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya.

Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya Negara Indonesia

ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya

dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara

kebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme-agama”. Dan hendaknya

Negara Indonesia satu Negara yang bertuhan!32

Dari pendapat Soekarno pada 1 Juni 1945, dapat diambil kesimpulan

bahwa Pancasila, yang di kemudian hari digunakan sebagai dasar negara

Indonesia, berprinsip bahwa mengakui terdapatnya eksistensi Tuhan. Meski

tidak secara tegas menyatakan bahwa Indonesia adalah “Negara Islam” atau

29 Ibid., hlm. 138-139. 30 Ibid., hlm. 143. 31 D. Rini Yunarti, BPUPKI, PPKI, Proklamasi Kemerdekaan RI, (Jakarta: Kompas:

2003), hlm. 24. 32 RM. A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, hlm. 163.

Page 11: PENGARUH KONSTITUSI BERKETUHANAN DALAM PRAKTIK

Pengaruh Konstitusi, Ghunarsa Sujatnika 773

“Negara Agama”, tetapi pengakuan bahwa negara Indonesia merupakan negara

yang ber-Tuhan merupakan cerminan dari masyarakat Indonesia yang

mengakui dan tunduk terhadap aturan-aturan Tuhan.

Setelah sidang resmi I BPUPK, terdapat masa reses hingga 10 Juli 1945.

Dalam kurun waktu itu, diselenggarakan sidang tidak resmi untuk membahas

rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang dihadiri oleh 38

anggota. Dari ke-38 anggota itu, kemudian dibentuk lagi Panitia Kecil yang

beranggotakan Soekarno (Ketua), Hatta, Muh. Yamin, Maramis, Wachid

Hasyim, Soebardjo, K.H. A. Muzakkir, Abikoesno Tjokrosoejoso, dan Haji

Agus Salim, yang membahas khusus tentang Preambul Konstitusi. Adapun

usulan rancangannya, yang dikenal dengan Piagam Jakarta adalah sebagai

berikut:33

PIAGAM JAKARTA

Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa,

dan oleh sebab itu maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan,

karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.

Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah

sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat-sentausa

mengantarkan Rakyat Indonesia kedepan pintu gerbang negara

Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan dengan

didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan

yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini

kemerdekaannya.

Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah

Negara Indonesia Merdeka yang melindungi segenap Bangsa Indonesia

dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan

kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut

melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,

perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan

kebangsaan Indoensia itu dalam suatu Hukum Dasar Negara Indonesia

yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia, yang

berkedaulatan Rakyat, dengan berdasar kepada: Ke-Tuhanan, dengan

kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya,

menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia,

dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat-kebijaksanaan dalam

permusyawaratan-perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan

sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Piagam Jakarta ini merupakan kesepakatan diantara golongan Islam

Nasionalis dengan Nasionalis Sekuler. Kesulitan untuk menyepakati pendapat

dari kedua golongan tersebut dapat dilihat dari pidato Soekarno pada 10 Juli

1945 sebagai berikut,

Allah Subhana wa Ta’ala memberkati kita.

Sebenarnya ada kesukaran mula-mula, antara golongan yang dinamakan

Islam dan golongan yang dinamakan golongan kebangsaan. Mula-mula

ada kesukaran mencari kecocokan faham antara kedua golongan ini,

33 Muhammad Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, cet. ke-6,

(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1962), hlm. 25-26.

Page 12: PENGARUH KONSTITUSI BERKETUHANAN DALAM PRAKTIK

774 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.4 Oktober-Desember 2018

terutama yang mengenai soal agama dan negara, tetapi sebagai tadi saya

katakan, Allah Subhana wa Ta’ala memberkati sekarang ini, kita

sekarang sudah ada persetujuan.

… Panitia kecil menyetujui sebulat-bulatnya rancangan preambul yang

disusun oleh anggota-anggota yang terhormat: Mohammad Hatta,

Muhammad Yamin, Soebardjo, Maramis, Muzakkir, Wahid Hasjim,

Soekarno, Abikoesno Tjokrosoejoso, dan Haji Agus Salim itu adanya.34

Piagam Jakarta yang sebelumnya merupakan kesepakatan luhur diantara

golongan Islam Nasionalis dengan Nasionalis Sekuler ternyata masih

mendapatkan tantangan. Pada 18 Agustus 1945, di rapat PPKI, Hatta

mengusulkan beberapa perubahan penting tentang UUD 1945. Perubahan itu

adalah sebagai berikut:35

1) Kata “Mukaddimah” diganti dengan kata “Pembukaan”.

2) Dalam Preambul (Piagam Jakarta), anak kalimat: “Berdasarkan

kepada ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam

bagi pemeluk-pemeluknya” diubah menjadi “berdasar atas Ke-

Tuhanan Yang Maha Esa.”

3) Pasal 6 ayat (1), “Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama

Islam”, kata-kata “dan beragama Islam” dicoret.

4) Sejalan dengan perubahan yang kedua di atas, maka Pasal 29 ayat

(1) menjadi “Negara berdasarkan atas Ke-Tuhanan Yang Maha

Esa”, sebagai pengganti “Negara berdasarkan atas Ke-Tuhanan,

dengan kewajiban menjalankan syar’at Islam bagi pemeluk-

pemeluknya.”

Setelah Hatta menyampaikan pendapat itu, beliau berkata dengan enuh

keyakinan bahwa perubahan itu merupakan perubahan yang maha penting

menyatukan segala bangsa.36 Soekarno kemudian menambahkan bahwa UUD

yang dibuat merupakan UUD Sementara, UUD Kilat, atau Revolutie grondwet

sebagaimana pendapat berikut, “Nanti kalau kita telah bernegara di dalam

suasana yang lebih tentram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis

Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat Undang-Undang yang lebih

lengkap dan sempurna.”37

Perdebatan tentang agama, khususnya Islam, dan negara dalam sistem

bernegara dan Pancasila kembali menghangat dalam Sidang Konstituante.

Kelompok yang mendukung Pancasila mengusulkan rumusan kata-kata yang

agak berbeda dengan yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945, KRIS

1949, dan UUDS 1950, yaitu: (1) Ketuhanan; (2) Perikemanusiaan; (3)

Kesatuan dan Nasionalisme; (4) Permusyawaratan atau Demokrasi; dan (5)

Keadilan Sosial. Di sisi lain, kelompok Islam menganggap bahwa agama Islam

dijadikan sebagai dasar negara karena aajaran mengenai hal-hal duniawi dan

ukhrawi yang berasal dari Tuhan, yang secara resmi dianut oleh lebih dairi 90%

34 H. Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, (Jakarta: CV.

Rajawali, 1981), hlm. 31. 35 Ibid., hlm. 51. 36 Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, I, (Jakarta:

Yayasan Prapanca, 1959), hlm. 402. 37 Ibid., hlm. 410.

Page 13: PENGARUH KONSTITUSI BERKETUHANAN DALAM PRAKTIK

Pengaruh Konstitusi, Ghunarsa Sujatnika 775

rakyat Indonesia. Sedangkan terdapat pula blok ideologis lainnya, meski

minoritas, yakni blok Sosial-Ekonomi.38

Terkait dengan usulan dasar negara menurut kelompok Islam, dapat

dilihat dalam rancangan usulan Mukaddimah Undang-Undang Dasar yang akan

dibahas pada Sidang Pleno Konstituante sebagai berikut:39

Bahwa kemerdekaan setiap bangsa dan haknja menentukan nasib sendiri

adalah adjaran Islam, oleh karena itu pendjadjahan, dalam bentuk

apapun diatas dunia harus dihapuskan.

Bahwa dalam pergerakan perdjuangan memerdekakan Indonesia ternjata

Islam telah mendjadi sumber dorongan djiwa rakjat Indonesia jang

utama.

Bahwa bangsa Indonesia jang sebagian besar terdiri dari ummat Islam

sudah sepandjang masa bersatu-padu dalam memperdjuangkan

kemerdekaan itu. Alhamdulillah dengan Kurnia dan Rahmat Allah

Subhanahu wa Ta’ala terlaksanalah proklamasi kemerdekaan Indonesia

pada tanggal 17 Agustus 1945. Maka untuk memelihara kemerdekaan

itu, kami bangsa Indonesia berketatapan hati untuk menjusun negara

Indonesia mendjadi Republik berdaulat jang berdasarkan Islam.

Dengan demikian, kami bangsa Indonesia menegakkan negara hukum,

jang mendjamin terlaksananja keadilan dan kemakmuran bagi seluruh

rakjatnja, serta mendjundjung tinggi asas kemanusiaan dalam pergaulan

bangsa-bangsa.

Demi ini, kami bangsa Indonesia menerima dan menjatakan berlaku

untuk kami Undang-Undang Dasar ini dalam Sidang Konstituante pada

hari … tanggal … 19 … bersamaan dengan tanggal … 13 … (H).

Pada Sidang Pleno Konstituante tertanggal 21 Mei 1959, Pemerintah

menyampaikan kembali amanat Pemerintah RI pada 22 April 1945 untuk

kembali kepada UUD 1945. Permasalahan berikutnya muncul karena masih

terjadi perdebatan untuk kembali kepada UUD 1945 dengan menggunakan

Pancasila versi 22 Juni 1945 atau 18 Agustus 1945. Bahkan, A.K. Muzakkir,

salah seorang Panitia Sembilan dan pendantangan Piagam Jakarta berkata:

Akan tetapi sayang seribu sayang, bahwa Piagam Jakarta kini

ditimbulkan kembali bukan untuk dijadikan dasar hukum dalam

Undang-Undang Dasar 1945, akan tetapi hanyalah sebagai hiburan

kepada perasaan Ummat Islam di Indonesia saja. Kalau Pemerintah

sekarang mengatakan, bahwa Undang-Undang Dasar 1945 itu hanyalah

yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945, saya hendak menanya:

“Dari manakah Pemerintah mengambil rencana Undang-Undang Dasar

1945 itu? Bukankah rencana Undang-Undang Dasar itu diambil dari apa

yang telah dibuat oleh Badan Penyelidik Bahan-Bahan Kemerdekaan

pada Juli 1945?”40

Pada bagian lain beliau berkata,

38 Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi

Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995), hlm. 49. 39 Kementerian Penerangan R.I, Kembali Kepada Undang-Undang Dasar 1945,

(Jakarta: Penerbitan Chusus, tanpa tahun), hlm. 214. Bandingkan pula dengan Mukaddimah

(Pembukaan) UUD 1945. 40 H. Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, hlm. 113.

Page 14: PENGARUH KONSTITUSI BERKETUHANAN DALAM PRAKTIK

776 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.4 Oktober-Desember 2018

Kalau ummat Islam pada tahun 1945 terpaksa menerima Undang-

Undang Dasar 1945, itu oleh karena Bung Karno pada tanggal 18

Agustus 1945, telah menjanjikan kepada wakil-wakil ummat Islam

dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan, bahwa dikemudian hari selekas

mungkin mereka akan dapat menyempurnakan Undang-Undang Dasar

sesuai dengan cita-cita ummat Islam. Janji beliau itu dipegang teguh dan

ditagih kini oleh ummat Islam. Oleh karena itu, di Majlis Konstituante,

fraksi-fraksi Islam telah membuat rumusan-rumusan yang sesuai dengan

falsafah kehidupan mereka.41

Pada akhirnya, diputuskanlah untuk kembali kepada UUD 1945 dengan

Pancasila 18 Agustus 1945. Keputusan itu membuat fraksi Islam menolak dan

ketika dilakukan pemungutan suara pada 30 Mei – 2 Juni 1959, tidak

menghasilkan suara mayoritas. Pada pemungutan suara menghasilkan 269 suara

mendukung dan 199 suara menolak. Pada 1 Juni, pemungutan suara kedua

menghasilkan 246 suara mendukung dan 204 suara menolak. Terakhir,

pemungutan suara ketiga pada 2 Juni menghasilkan 263 suara mendukung dan

203 menolak. Padahal, yang dibutuhkan adalah dua pertiga mayoritas. Hingga

pada akhirnya, pimpinan sidang menyatakan tidak akan melanjutkan

pemungutan suara kembali karena hasilnya akan sama saja.42

Kondisi Konstituante yang tidak kondusif membuat Presiden Soekarno

akhirnya mengeluarkan Dekrit Presiden tertanggal 5 Juli 1959. Inti dari dekrit

itu adalah: (1) pembubaran Konstituante; (2) keputusan untuk memberlakukan

kembali UUD 1945; dan (3) penarikan kembali UUD 1950, dan dalam waktu

yang sesingkat-singkatnya, mendirikan lembaga-lembaga kenegaraan sesuai

dengan UUD 1945. Menariknya, di dalam Dekrit tersebut, disebutkan bahwa

Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945

dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut. Menurut

Endang Saifuddin,

Seandainya rumusan yang terakhir inilah yang ditawarkan oleh

Presiden/Pemerintah kepada Konstituante, besar sekali kemungkinan

rumusan termaksud dapat diterima oleh kelompok Islami dalam Majlis

Konstituante. Dan dengan demikian, untuk itu tidak diperlukan Dekrit

Presiden. Dan, kembali kepada Dekrit, walaupun bagi beberapa fihak,

hal itu sukar menjawab semua pertanyaan mereka, namun reaksi mereka

pada umumnya positif.43

Menurut Ismail Sunny, kata “menjiwai” secara negatif berarti bahwa

ketujuh perkataan yang “dihilangkan” juga menjiwai peraturan perundang-

undangan di Indonesia. Dengan kata lain, peraturan perundang-undangan yang

dibuat tidak boleh bertentangan dengan syari’at Islam bagi pemeluk-

pemeluknya. Sebaliknya, secara positif berarti bahwa bagi pemeluk-pemeluk

Islam diwajibkan untuk menjalankan syari’at Islam yang berbentuk peraturan

perundang-undangan. Menurut Soekarno, “Pengakuan adanya Piagam Jakarta

berarti pula pengakuan akan pengaruhnya terhadap UUD 1945, tidak hanya

mengenai pembukaannya, tetapi juga mengenai Pasal 29 UUD 1945, pasal

41 Ibid. 42 Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional …, hlm. 401-402. 43 H. Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, hlm. 127.

Page 15: PENGARUH KONSTITUSI BERKETUHANAN DALAM PRAKTIK

Pengaruh Konstitusi, Ghunarsa Sujatnika 777

mana harus menjadi dasar bagi kehidupan hukum di bidang keagamaan.”44

Dengan demikian, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 ini yang terus menjadi dasar

berlakunya UUD 1945 pada masa Orde Lama dan Orde Baru sejatinya menjadi

dasar hukum syari’ah berlaku di Indonesia.

Pasca Orde Baru, terdapat desakan untuk amendemen UUD 1945.

Dalam perubahan ini, terdapat kesepakatan dari seluruh fraksi terkait dengan

perubahan UUD 1945, yaitu:45

1) Sepakat untuk tidak mengubah Pembukaan UUD 1945;

2) Sepakat untuk mempertahankan bentuk Negara Kesatuan Republik

Indonesia;

3) Sepakat untuk mempertahankan sistem presidensial (dalam

pengertian sekaligus menyempurnakan agar betul-betul memenuhi

ciri-ciri umum sistem presidensial);

4) Sepakat untuk memindahkan hal-hal normatif yang ada dalam

Penjelasan UUD 1945 ke dalam pasal-pasal UUD 1945; dan

5) Sepakat untuk menempuh cara adendum dalam melakukan

amendemen terhadap UUD 1945.

Pada poin 1 dijelaskan bahwa tidak mengubah Pembukaan UUD 1945.

Berdasarkan kesepakatan itu, artinya Pembukaan UUD 1945 hasil dari Dekrit

Presiden 5 Juli 1959 dinyatakan masih berlaku. Dengan kata lain, jiwa Piagam

Jakarta 22 Juni 1945 sudah seharusnya masih menjiwai UUD 1945 hasil

amendemen yang digunakan hingga saat ini.

Selanjutnya, pengaturan ‘Tuhan’ di dalam Konstitusi Indonesia menarik

untuk ditelaah lebih lanjut. Di dalam konteks ini, Konstitusi Indonesia telah

berganti sebanyak empat kali, yakni UUD 1945, Konstitusi RIS Tahun 1949,

UUDS Tahun 1950, dan UUD NRI Tahun 1945.

1. Tuhan dalam Undang-Undang Dasar 1945

Undang-Undang Dasar 1945 merupakan konstitusi yang pertama kali

digunakan oleh Indonesia. Konstitusi ini merupakan, mengutip kata Soekarno,

undang-undang dasar kilat atau revolutie grondwet karena dibuat di dalam

waktu dan suasana bernegara yang belum stabil. Soekarno menambahkan

bahwa nanti jika telah bernegara dengan tentram, maka anggota Majelis

Permusyawaratan Rakyat akan dikumpulkan kembali untuk membuat UUD

yang lebih lengkap dan sempurna.

Di dalam UUD 1945, nuansa relijiusitas sudah mulai terasa mengacuk

pada perdebatan pada sidang BPUPK dan PPKI antara golongan Islam

Nasionalis dengan Nasionalis Sekuler. Setidaknya, dapat dilihat dari bagaimana

pengaturan kata ‘Tuhan’ atau “Allah” di beberapa tempat, yakni:

1) Paragraf ke-3 Pembukaan UUD 1945

Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan

didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan

yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini

kemerdekaannya.

2) Paragraf ke-4 Pembukaan UUD 1945

44 Ismail Sunny, Jejak-Jejak Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia,

(Jakarta: Konpress, 2005), hlm. 22. 45 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Bernegara: Praksis Kenegaraan Bermartabat dan

Demokratis, (Malang: Setara Press, 2015), hlm. 21.

Page 16: PENGARUH KONSTITUSI BERKETUHANAN DALAM PRAKTIK

778 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.4 Oktober-Desember 2018

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara

Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh

tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,

mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban

dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan

keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan

Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Neagra Indonesia,

yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia

yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan

Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan

Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan

dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan

suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

3) Pasal 9

Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden

bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh

dihadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan

Rakyat sebagai berikut: “Demi Allah, saya bersumpah akan

memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden

Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya,

memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala

undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta

berbakti kepada Nusa dan Bangsa.”

4) Pasal 29 ayat (1)

Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.

2. Tuhan dalam Konstitusi RIS 1949 (KRIS 1949)

Pasca pemberlakuan UUD 1945, bentuk negara Indonesia berubah

menjadi federasi.46 Di dalam konstitusi ini, hanya terdapat dua kata Tuhan,

yakni di dalam Mukaddimah yang berbunyi,

Kini dengan berkat dan rahmat Tuhan telah sampai kepada tingkatan

sejarah yang berbahagia dan luhur.

Maka, demi ini kami menyusun kemerdekaan kami itu dalam suatu

Piagam negara yang berbentuk republik-federasi, berdasarkan

pengakuan ke-Tuhanan Yang Maha Esa, peri-kemanusiaan,

kebangsaan, kerakyatan, dan keadilan sosial.

Hanya terdapatnya satu kata Tuhan pada bagian Mukaddimah (atau

Pembukaan) merupakan cerminan dari para pembuat Konstitusi yang mencoba

untuk sedikit menjauhkan konsep kedaulatan Tuhan. Namun demikian, dengan

adanya kata Tuhan di dalam Mukaddimah, terutama di dalam bagian rasa

syukur atas kemerdekaan, tidak berarti menghilangkan sepenuhnya unsur

kedaulatan Tuhan di dalam Republik Indonesia Serikat (RIS).

46 Lihat Pasal 1 Ayat (1) Konstitusi RIS 1949. Pasal ini berbunyi, “Republik Indonesia

Serikat yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokrasi dan berbentuk

federasi”

Page 17: PENGARUH KONSTITUSI BERKETUHANAN DALAM PRAKTIK

Pengaruh Konstitusi, Ghunarsa Sujatnika 779

3. Tuhan dalam UUDS Tahun 1950

Pada 1950, terdapat konstitusi baru yang dipersiapkan untuk

menggantikan Konstitusi RIS Tahun 1949. Pergantian ini juga mengubah

kembali bentuk negara Indonesia, yang sebelumnya berupa republik–federasi,

menjadi republik–kesatuan. Oleh karena itu, dibentuklah Undang-Undang

Republik Serikat Nomor 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi

Sementara Republik Indonesia Serikat menjadi Undang-Undang Dasar

Sementara Republik Indonesia.

Di dalam UUDS 1950, kata Tuhan ditempatkan di dalam dua tempat,

yaitu:

1) Mukaddimah

Dengan berkat dan rahmat Tuhan tertjapailah tingkatan

sedjarah jang berbahagia dan luhur.

Maka demi ini kami menjusun kemerdekaan kami itu dalam suatu

piagam Negara jang berbentuk republik-kesatuan, berdasarkan ke-

Tuhanan Jang Maha Esa, peri-kemanusiaan, kebangsaan,

kerakjatan dan keadilan sosial, untuk mewudjudkan kebahagiaan,

kesedjahteraan, perdamaian dan kemerdekaan dalam masjarakat dan

Negara-hukum Indonesia Merdeka jang berdaulat sempurna.

2) Pasal 43

Negara berdasarkan atas ke-Tuhanan Jang Maha Esa.

Penempatan kata Tuhan di dalam kedua tempat diatas, merupakan

sebuah pengakuan bahwa Indonesia masih menganut kedaulatan Tuhan. Hal ini

terbukti dari pasal 43 yang mengakui bahwa Tuhan Yang Maha Esa tetap

menjadi salah satu dasar negara.

4. Tuhan dalam UUD NRI Tahun 1945

Pasca jatuhnya rezim Orde Baru pada 1998, Indonesia melakukan

reformasi di berbagai sektor, salah satunya adalah hukum. Salah satu tuntutan

reformasi adalah supremasi hukum, dan salah satu bentuk ikhtiarnya adalah

amendemen UUD 1945. Rentang waktu 1999-2002, UUD 1945 telah empat

kali mengalami amendemen. Hingga pada amendemen keempat, menggunakan

nama resmi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pada UUD NRI Tahun 1945, terdapat beberapa kata Tuhan atau Allah di

berbagai tempat, antara lain:

1) Paragraf ke-3 dan ke-4 Pembukaan UUD NRI Tahun 1945

Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan

didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan

yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini

kemerdekaannya.

“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara

Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh

tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,

mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban

dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan

keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan

Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Neagra Indonesia,

yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia

yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan

Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan

Page 18: PENGARUH KONSTITUSI BERKETUHANAN DALAM PRAKTIK

780 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.4 Oktober-Desember 2018

Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan

dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan

suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

2) Pasal 9 ayat (1)

Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden

bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh

dihadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan

Rakyat sebagai berikut: “Demi Allah, saya bersumpah akan

memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden

Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya,

memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala

undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta

berbakti kepada Nusa dan Bangsa.”

3) Pasal 29 ayat (1)

Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa

Dari beberapa tempat diatas, tidak ada perubahan tempat, baik itu

pengurangan ataupun penambahan kata Tuhan di dalam UUD NRI Tahun 1945.

Bahkan, penempatannya pun tidak berubah dengan UUD 1945. Hal ini

membuktikan bahwa Tuhan atau kedaulatan Tuhan merupakan dasar dari

negara Indonesia sehingga memang seharusnya tidak tergantikan.

C. Pengaruh Konstitusi Berketuhanan di Beberapa Negara

Pada bagian ini, akan dilihat setidaknya bagaimana konstitusi dari 30

(tiga puluh) negara mengatur tentang Tuhan dalam konstitusi serta implikasinya

dalam praktik ketatanegaraan masing-masing negara. Biasanya, pencantuman

kata ‘Tuhan’ atau sebutan lain berada di dua tempat, yakni di bagian

Pembukaan dan bagian pengaturan tentang hak asasi manusia. Adapun

konstitusi negara-negara yang dibandingkan adalah Meksiko, Bhutan, Malaysia,

Perancis, Lebanon, dan Norwegia.

5. Meksiko

Konstitusi Meksiko 1917 (terakhir diamendemen pada 2015) tidak

mengatur secara eksplisit kata Tuhan atau sejenisnya. Namun demikian,

konstitusi Meksiko banyak mengatur urusan tentang agama, terutama dalam

ranah publik. Hal ini dapat dilihat dari beberapa pasal seperti tentang hak asasi

manusia, organisasi, dan syarat pejabat publik.

Di dalam Article 1 Par. 5 disebutkan,

Any form of discrimination, based on ethnic or national origin, gender,

age, disabilities, social status, medical conditions, religion, opinions,

sexual orientation, marital status, or any other form, which violates the

human dignity or seeks to annul or diminish the rights and freedoms of

the people, is prohibited.47

Lalu, pada Article 24 disebutkan pula,

Every person has the right to have freedom of ethical convictions, of

conscience and of religion, and to have or to adopt, as the case may be,

47 Meksiko, Constitution of Mexico 1917 with Amendment 2015,

https://www.constituteproject.org/constitution/Mexico_2015?lang=en, diakses pada 20 Agustus

2018.

Page 19: PENGARUH KONSTITUSI BERKETUHANAN DALAM PRAKTIK

Pengaruh Konstitusi, Ghunarsa Sujatnika 781

the one of her preference. Such freedom includes the right to

participate, individually or collectively, in both public and private

ceremonies, worship or religious acts of the respective cult, as long as

they are not a felony or a misdemeanor punished by law. No person is

allowed to use these public acts of religious expression with political

ends, for campaigning or as means of political propaganda.

Congress cannot dictate laws that establish or abolish any given

religion.

Ordinarily, all religious acts will be practiced in temples, and those that

extraordinarily are practiced outside temples must adhere to law.48

Pada Article 24 di atas, mengatur jaminan perlindungan terhadap warga

negara untuk memilih suatu agama atau keyakinan yang sesuai dengan hati

nuraninya. Kebebasan itu termasuk hak untuk berpartisipasi, baik secara

individu maupun kolektif, baik dalam acara publik maupun privat, ibadah atau

tindakan agama dari aliran sesat, selama bukan suatu kejahatan, meski

kejahatan ringan sekalipun. Dengan demikian, dalam konteks ini, suatu aliran

menyimpang dalam suatu agama diperbolehkan oleh negara selama tidak

melanggar aturan hukum yang berlaku.

Pada aturan yang sama, tindakan ekspresi keagamaan yang dilakukan

tidak boleh bertujuan untuk kepentingan politik tertentu, kampanye politik,

bahkan sarana propaganda politik. Hal ini juga dapat dilihat dari konteks

pembuatan undang-undang, meski termasuk kewenangan Kongres, tapi

Kongres tidak dapat membuat aturan untuk membentuk atau menghapuskan

suatu agama tertentu. Pun, dalam hal melakukan tindakan agama apapun, harus

dilakukan di dalam rumah peribadatannya masing-masing, meskipun masih

dapat dilakukan di luar rumah peribadatannya dengan mematuhi aturan hukum

yang berlaku.

Pengaturan tentang agama di dalam Konstitusi Meksiko dapat dilihat

pula dalam sektor publik, seperti pendidikan dan kualifikasi pencalonan pejabat

publik. Pada sektor pendidikan, di dalam Article 3 disebutkan bahwa seluruh

warga berhak menikmati pendidikan. Namun, aturan dalam poin I menyatakan

bahwa, “the education provided by the State shall be secular, therefore, state

education shall be maintained entirely apart from any religious doctrine.”49

Maka, pendidikan keagamaan tertentu tidak diajarkan di dalam pendidikan

formal.

Pengaturan lainnya, mengatur tentang kualifikasi pencalonan, dapat

dilihat pada Article 55 yang menyatakan,

Requirements to be a Representatives:

. . .

VI. Not to be priest or minister of any religion.

Begitu pula dengan kualifikasi pencalonan Presiden, di dalam Article 82

poin I disebutkan bahwa, “Qualifications for the Presidency: IV. The candidate

for the Presidency cannot be priest or minister of any religion.” Dengan

demikian, seseorang yang ingin maju menjadi kandidat anggota parlemen atau

calon Presiden tidak boleh berasal dari pendeta atau agamawan.

48 Ibid. 49 Ibid.

Page 20: PENGARUH KONSTITUSI BERKETUHANAN DALAM PRAKTIK

782 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.4 Oktober-Desember 2018

Sebagaimana disebutkan di dalam Article 3, bahwa Meksiko merupakan

negara sekuler, pengaturan tentang sekulerisme negara diatur tersendiri di

dalam Article 130. Di dalam Article 130 tersebut disebutkan bahwa terdapat

prinsip historis pemisahan antara Negara dan agama, dan Gereja serta

kelompok agama lainnya harus mematuhi hukum yang dibuat. Dalam hal ini,

hanya Congress of the Union yang dapat mengatur tentang hal-hal ibadah

secara umum, Gereja, dan kelompok keagamaan lainnya. Aturan publik

masing-masing harus mengembangkan dan merinci berbagai ketentuan sebagai

berikut:50

a. Churches and religious groups shall have a legal status as religious

association after the registration procedures. The law shall regulate

the religious associations and shall establish the requirements to get

registration.

b. The government shall not intervene in the internal affairs of the

religious associations.

c. Mexicans can become ministers of any religious denomination. For

this purpose, Mexicans and foreigners must meet the requirements

established by law.

d. Religious ministers cannot hold public offices, according to the

statutory law. As citizens, religious ministers have the right to vote,

but they do not have the right to be elected. Those who have ceased

being church ministers with the required anticipation and by the

procedures established in the law may be elected.

e. Church ministers cannot join together for political purposes nor

proselytize in favor of certain candidate, party or political

association or against them. Neither may they oppose the laws of the

Nation or its institutions, nor insult patriotic symbols in any form, in

public meetings, in worship or in religious literatur.

Untuk menjaga paham negara sekuler, maka terdapat juga aturan

tambahan seperti pelarangan pembentukan segala jenis kelompok politik

menggunakan simbol agama tertentu dan pelarangan diadakannya berbagai

aktivitas politik dalam rumah ibadah. Meski secara tegas mengakui bahwa

Meksiko merupakan negara sekuler, namun di dalam konstitusi ini sangat

kental nuansa Kristen, terutama untuk memisahkan urusan Gereja (dan agama

lain) dengan Negara.

6. Bhutan

Bhutan merupakan salah satu negara di Asia Selatan yang mendasarkan

kehidupan bernegaranya berdasarkan ajaran agama Budha. Di dalam Preambul

Konstitusi Bhutan tahun 2008 tidak disebutkan kata ‘Tuhan’, tetapi perkataan

sejenis, yakni, “We the people of Bhutan: BLESSED by the Triple Gem, the

protection of our guardian deities, the wisdom of our leaders, the everlasting

fortunes of the Pelden Drukpa and the guidance of His Majesty the Druk

50 Ibid., Article 130.

Page 21: PENGARUH KONSTITUSI BERKETUHANAN DALAM PRAKTIK

Pengaruh Konstitusi, Ghunarsa Sujatnika 783

Gyalpo Jigme Khesar Namgyel Wangchuck; ...”51 Triple Gem yang dimaksud

adalah Budha, Dharma, dan Sangha.

Dalam konteks ketatanegaraan, agama Budha bahkan menjadi syarat

mutlak bagi siapapun yang menjadi kepala negara atau Raja (Druk Gyalpo)

sebagaimana tercantum pada Article 2 Point 2 yang berbunyi, “The Chhoe-sid-

nyi of Bhutan shall be unified in the person of the Druk Gyalpo who, as a

Buddhist, shall be the upholder of the Chhoe-sid.” Bahkan, pada Article 9

Point 20 menyebutkan, “The State shall strive to create conditions that will

enable the true and sustainable development of a good and compassionate

society rooted in Buddhist ethos and universal human values.” Demikian

halnya pada Article 3 Point 3 yang menyebutkan bahwa terdapat pemisahan

antara politik dan institusi agama dan menegaskan bahwa, “Religious

institutions and personalities shall remain above politics.” Dengan demikian,

ajaran Budha menjadi “nafas” bagi kehidupan bernegara di Bhutan

7. Malaysia

Malaysia merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang

menjadikan ajaran agama Islam sebagai dasar dalam bernegara. Meski tidak

mencantumkan kata ‘Tuhan’ atau “Allah”, namun konstitusi Malaysia sangat

penuh dengan nuansa relijiusitas dari agama Islam. Bahkan, Islam merupakan

satu-satunya agama resmi dari Federasi Malaysia sebagaimana diatur di dalam

Article 3 Point 1, “Islam is the religion of the Federation; but other religions

may be practised in peace and harmony in any part of the Federation.”52

Dalam konteks ketatanegaraan, kepala negara Malaysia atau dapat

disebut Yang di-Pertuan Agong haruslah seorang yang beragama Islam karena

dia juga merupakan sebagai “Kepala Agama Islam”. Ketentuan ini dapat dilihat

pada Article 3 Point 5 yang berbunyi,

“Notwithstanding anything in this Constitution the Yang di-Pertuan

Agong shall be the Head of the religion of Islam in the Federal

Territories of Kuala Lumpur, Labuan and Putrajaya; and for this

purpose Parliament may by law make provisions for regulating Islamic

religious affairs and for constituting a Council to advise the Yang di-

Pertuan Agong in matters relating to the religion of Islam.”53

Bahkan, di dalam pengambilan sumpah pun jelas bahwa Yang di-

Pertuan Agong dituntut untuk dapat memelihara Islam di Malaysia. Adapun

sumpahnya adalah sebagai berikut,

Kami ..... ibni ..... Yang di-Pertuan Agong bagi Malaysia bersumpah

dengan melafazkan:

Wallahi; Wabillahi; Watallahi;

Maka dengan lafaz ini berikrarlah kami dengan sesungguh dan dengan

sebenarnya mengaku akan taat setia pada menjalankan dengan adilnya

pemerintahan bagi Malaysia dengan mengikut sebagaimana Undang-

51 Bhutan, Constitution of Bhutan 2008,

https://www.constituteproject.org/constitution/Bhutan_2008?lang=en, Preambul, diakses pada

25 Agustus 2018. 52 Malaysia, Constitution of Malaysia 1957 with Amendment 2007,

https://www.constituteproject.org/constitution/Malaysia_2007?lang=en, Article 3 Poin 1,

diakses pada 25 Agustus 2018. 53 Ibid., Article 3 Point 5.

Page 22: PENGARUH KONSTITUSI BERKETUHANAN DALAM PRAKTIK

784 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.4 Oktober-Desember 2018

undang dan Perlembagaan Negeri yang telah disah dan dimasyhurkan

dan yang akan disah dan dimasyhurkan di masa hadapan ini. Dan lagi

kami berikrar mengaku dengan sesungguh dan dengan sebenarnya

memeliharakan pada setiap masa Agama Islam dan berdiri tetap di atas

pemerintahan yang adil dan aman di dalam negeri.54

Dengan demikian, sangat terlihat jelas bahwa suasana relijius sangat

terasa pada konstitusi dan kehidupan bernegara di Malaysia.

8. Perancis

Pada Konstitusi Perancis yang diamendemen pada 2008, tidak

ditemukan kata ‘Tuhan’ sama sekali. Hal ini menegaskan bahwa Perancis

merupakan negara yang sekuler, sebagaimana disebutkan pada Article 1 yang

berbunyi, “France shall be an indivisible, secular, democratic and social

Republic. It shall ensure the equality of all citizens before the law, without

distinction of origin, race or religion. It shall respect all beliefs. It shall be

organised on a decentralized basis.” Pada Article tersebut juga disebutkan

bahwa setiap manusia setara dihadapan hukum tanpa membedakan apapun.

Selain itu, hal yang menarik pada Article 10 adalah “No one may be

disturbed on account of his opinions, even religious ones, as long as the

manifestation of such opinions does not interfere with the established Law and

Order.” Berpendapat tentang agama atau keyakinan lain dimungkinkan selama

tidak mengganggu hukum dan ketertiban di masyarakat.

9. Lebanon

Di dalam Konstitusi Lebanon, kata ‘Tuhan’ tercantum pada dua tempat,

yakni Article 9 tentang kebebasan bergama dan berkeyakinan serta Article 50

tentang sumpah jabatan Presiden. Pada Article 9 disebutkan,

Freedom of conscience is absolute. In assuming the obligations of

glorifying God, the Most High, the State respects all religions and

creeds and safeguards the freedom of exercising the religious rites

under its protection, without disturbing the public order. It also

guarantees the respect of the system of personal status and religious

interests of the people, regardless of their different creeds.55

Kebebasan ini mutlak dalam rangka hubungan privat antara rakyat dengan

Tuhannya. Oleh karena itu, kebebasan ini merupakan bagian dari perlindungan

yang diberikan oleh negara.

Di dalam konteks ketatanegaraan Lebanon, terdapat suatu Pakta

Nasional 1943 (1943 National Pact) yang mengatur pembagian kekuasaan

berdasarkan agama. Di dalam Pakta tersebut, diatur bahwa Presiden Lebanon

haruslah seorang Kristen Maronite, Perdana Menteri merupakan seorang Islam

Sunni, dan ketua parlemen (Chamber of Duties) adalah seorang Syiah.56 Selain

54 Ibid., Article 37 Part 1. 55 Lebanon, Constitution of Lebanon 1926 with Amendment 2004,

https://www.constituteproject.org/constitution/Lebanon_2004?lang=en, Article 9, diakses pada

15 September 2018. 56 Untuk lebih jelasnya dapat dilihat Farid el-Khazen, The Communal Pact of National

Identites: The Making and Politics of the 1943 National Pact, (Oxford: Center for Lebanese

Page 23: PENGARUH KONSTITUSI BERKETUHANAN DALAM PRAKTIK

Pengaruh Konstitusi, Ghunarsa Sujatnika 785

itu, di dalam Article 22 juga disebutkan, “With the election of the first Chamber

of Deputies on a national basis, not sectarian, a new Senate shall be

established in which all religious communities are represented and whose

power shall be limited to supreme national causes.” Aturan ini menunjukkan

bahwa representasi dari agama dalam Senat ternyata dibutuhkan dalam hal

kekuasaan legislatif.

10. Norwegia

Pada Konstitusi Norwegia, ditemukan kata ‘Tuhan’ pada bagian sumpah

jabatan Raja. Selain itu, Norwegia menjadikan ajaran Kristen sebagai nilai-nilai

yang harus hidup di masyarakat. Hal ini dapat dilihat pada Article 2 yang

menyebutkan, “Our values will remain our Christian and humanistic heritage.

This Constitution shall ensure democracy, a state based on the rule of law and

human rights.”57Ketentuan ini juga menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang

erat antara ajaran Kristen dengan penguatan demokrasi.

Dalam konteks ketatanegaraan, di dalam Article 4 disebutkan bahwa

Raja harus mengakui dan beragama Evangelical-Lutheran. Ditegaskan pula di

dalam Article 16 agaimana hubungan antara Negara dengan Gereja

Evangelical-Lutheran, yang secara tersirat menunjukkan bahwa Raja

merupakan kepala tertinggi Gereja. Bahkan Konstitusi sebelum amendemen ini,

rentang waktu 1988 hingga 2008, juga mengatur bahwa setengah dari Council

of State harus beragama sesuai agama resmi negara, yakni Evangelical-

Lutheran.58 Hal ini menunjukkan bahwa begitu besarnya pengaruh agama

dalam kekuasaan eksekutif di Norwegia.

Dalam konteks HAM, di dalam Article 16 telah disebutkan bahwa, “All

inhabitants of the Realm shall have the right to free exercise of their religion.”

Hal ini menunjukkan bahwa meski terdapat satu-satunya agama negara, namun

bukan berarti negara tidak memberikan jaminan untuk dapat memilih agama

dan keyakinan bagi rakyatnya.

Dari perbandingan di atas, dapat diambil pola sebagai berikut:

Tabel 1

Model Hubungan antara Tuhan dan Agama dalam Konstitusi

No Negara

Terdapat kata

‘Tuhan’atau

sejenisnya

dalam

Konstitusi

Mengatur

jaminan

kebebasan

beragama atau

berkeyakinan

Aturan

keagamaan

mempengaruhi

prinsip

ketatanegaraan

Ya Tidak Ya Tidak Ya TIdak

1. Meksiko V V V

2. Perancis V V V

Studies, 1991) dan Jeffrey G. Karam, “Beyond Sectarianism: Understanding Lebanese Politic

through a Cross-Sectarian Lens”, Middle East Brief, (April, 2017, No. 107). 57 Norwegia, Constitution of Norwegia 1814 with Amendment 2016,

https://www.constituteproject.org/constitution/Norway_2016?lang=en, Article 2, diakses pada

17 September 2018. 58 Ulla Schmidt, “State, Law, and Religion in Norway”, Nordic Journal of Religion

and Society, (2011), hlm. 140.

Page 24: PENGARUH KONSTITUSI BERKETUHANAN DALAM PRAKTIK

786 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.4 Oktober-Desember 2018

3. Bhutan V V V

4. Malaysia V V V

5. Lebanon V V V

6. Norwegia V V V

7. Indonesia V V V

D. Pengaruh Konstitusi Berketuhanan dalam Praktik Ketatanegaraan

di Indonesia

Berdasarkan Berdasarkan penjelasan sebelumnya, dapat dilihat

bagaimana Konstitusi yang pernah dan sedang berlaku di Indonesia bernuansa

Ketuhanan dan mempengaruhi sistem ketatanegaraan di Indonesia. Pada

rancangan ketiga UUD 1945 dengan menggunakan Piagam Jakarta yang

ditetapkan pada 16 Juli 1945, dapat dilihat bagaimana bunyi dari Pasal 6 ayat

(1) adalah “Presiden ialah orang Indonesia asli, yang beragama Islam.” Padahal,

bila mengacu kepada Thailand, Bhutan, ataupun Malaysia, maka pengaturan

seperti itu dimungkinkan karena mengacu kepada mayoritas agama di

negaranya masing-masing.

Namun, pada 18 Agustus 1945, Moh. Hatta mencoret aturan tersebut

dengan alasan,

Presiden Indonesia orang Islam, agak menyinggung perasaan dan pun

tidak berguna, oleh karena mungkin adanya orang Islam 95% jumlahnya

di Indonesia ini dengan sendirinya barangkali orang Islam yang akan

menjadi Presiden sedangkan dengan membuang ini maka seluruh

Hukum Undang-Undang Dasar dapat diterima oleh daerah-daerah

Indonesia yang tidak beragama Islam umpamanya yang pada waktu

sekarang diperintah oleh Kaigun. Persetujuan dalam hal ini juga sudah

didapat antara berbagai golongan, sehingga memudahkan pekerjaan kita

pada waktu sekarang ini.59

Namun demikian, bila mengacu kepada pendapat Ismail Sunny tentang

Piagam Jakarta 22 Juni 1945 yang menjadi jiwa dari UUD 1945, baik sebelum

maupun sesudah amendemen, maka Indonesia sejatinya tetap negara yang

sumber atau dasarnya adalah Islam. Apalagi, pada Pasal 29 ayat (1) disebutkan

bahwa, “Negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Bila dibandingkan dengan ketentuan dari konstitusi negara lain, maka

Indonesia, dengan Pancasila-nya, sejatinya memiliki model pengaturan tentang

Ketuhanan yang unik. Indonesia bukanlah negara yang sekuler, tapi merupakan

negara yang ber-Tuhan meski agama mayoritas tidak diberikan tempat khusus

secara eksplisit di Konstitusi. Namun, secara tersirat beberapa nilai Islam atau

nilai Ketuhanan sudah menjiwai dari UUD NRI Tahun 1945, seperti sila

Ketuhanan Yang Maha Esa, yang menandakan nilai-nilai Tauhid, lalu

terdapatnya Pasal 29 ayat (1) yang mengatur bahwa peraturan perundang-

undangan yang dibuat serta norma-norma kesusilaan tidak boleh bertentangan

dengan norma yang ditentukan oleh Tuhan.60 Hal ini juga sudah seharusnya

mendasari berbagai putusan pengadilan, baik pengadilan di bawah MA ataupun

59 A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, hlm. 471. 60 Ahmad Sukarja, Piagam Madinah & Undang-Undang Dasar NRI 1945, (Jakarta:

Sinar Grafika, 2012), hlm. 193.

Page 25: PENGARUH KONSTITUSI BERKETUHANAN DALAM PRAKTIK

Pengaruh Konstitusi, Ghunarsa Sujatnika 787

pengadilan konstitusi. Segala putusan hakim pun juga harus

mempertimbangkan nilai-nilai Ketuhanan yang menjiwai bangsa Indonesia.

Implementasi lainnya adalah jaminan untuk memilih agama dan

kepercayaan dan juga perlindungan untuk beribadah sesuai dengan agama dan

kepercayaannya itu sebagaimana diatur di dalam Pasal 29 ayat (2) UUD NRI

Tahun 1945. Perlindungan ini dapat dilihat misalnya dalam pengaturan kuota

Haji setiap tahunnya, serta penentuan awal puasa Ramadhan, dan juga sholat

Ied bagi yang beragama Islam. Lalu juga penentuan hari libur untuk

memperingati hari-hari besar agama lainnya, seperti Natal, Waisak, maupun

Nyepi. Lalu bagaimana Kementerian Agama dan juga pendidikan keagamaan

sebagai bagian tidak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional.

Dibandingkan dengan negara lain, pengaturan ini merupakan

pengaturan yang universal karena berkaitan dengan HAM. Namun demikian,

karena Indonesia merupakan negara yang Bertuhan, tidak diatur ketentuan

tentang masyarakat boleh memilih untuk tidak beragama atau berkeyakinan

tertentu. Hal ini membuktikan bahwa meski bukan negara agama, namun

negara juga hadir untuk mengatur tentang urusan keagamaan.

Implementasi lainnya adalah terdapatnya hubungan antar norma agama,

etika, dan juga hukum. Pancasila sebagai norma dasar atau grundnorm

merupakan jiwa dari berbagai norma yang terdapat dan diterapkan dalam

kehidupan sehari-hari. Dalam konteks ketatanegaraan, hubungan norma ini

dapat diimplementasikan dalam bentuk pelaksanaan sumpah jabatan bagi

pejabat publik dan peradilan khusus penegakan kode etik.

Pada konteks tersebut, telah muncul berabagai lembaga penegak kode

etik dalam jabatan-jabatan publik seperti Komisi Yudisial, Majelis Kehormatan

Hakim MA maupun MK, Dewan Pers, Majelis Kehormatan Dewan untuk

anggota DPR dan DPD, Badan Kehormatan DPR atau DPD. Di lingkungan

profesi pun juga terdapat beberapa lembaga penegak kode etik seperti Konsil

Kedokteran, PERADI, dan lain sebagainya.61 Namun demikian, berbagai

lembaga tersebut belum berkedudukan yang tetap. Oleh karena itu, diperlukan

peradilan etik yang berkedudukan tetap agar dapat menjadi pemutus dan

lembaga yang menegakkan kode etik. Sejauh ini, setidaknya baru Dewan

Kehormatan Penyelenggara Pemilu yang didorong agar dapat menjadi lembaga

yang independen dan berkedudukan tetap.

III. PENUTUP Berdasarkan berbagai penjelasan di atas, maka dapat diambil

kesimpulan bahwa pengaruh nilai-nilai Ketuhanan di Indonesia dapat dilihat

dari perjalanan pembentukan UUD 1945 hingga saat ini serta bagaimana

implikasinya dalam struktur ketatanegaraan serta kehidupan bernegara di

Indonesia. Mulai dari penegasan bahwa Indonesia merupakan negara yang ber-

Tuhan sebagaimana diatur di dalam Pembukaan dan Pasal 29 ayat (1) UUD

NRI Tahun 1945, terdapatnya jaminan perlindungan terhadap warga negara

untuk dapat memilih agama dan kepercayaan serta bebas untuk menjalankan

agama dan kepercayaannya itu, terdapatnya lembaga peradilan etik untuk

61Jimly Asshiddiqie, Peradilan Etik dan Etika Konstitusi, (Jakarta: Sinar Grafika,

2014), hlm. 265.

Page 26: PENGARUH KONSTITUSI BERKETUHANAN DALAM PRAKTIK

788 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.4 Oktober-Desember 2018

memutus dan mengadili permasalahan kode etik dalam kerangka penegakan

kode etik bagi pejabat publik.

Selain itu, Indonesia merupakan negara ber-Tuhan yang memiliki pola

tersendiri bila dibandingkan dengan 30 negara lainnya yang menjadi

perbandingan. Kata “Tuhan” ditempatkan pada bagian Pembukaan sebagai

bagian yang tidak terpisahkan dari Konstitusi, dan dipertegas kembali pada

Pasal 29 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Meski tidak diatur secara eksplisit

bahwa Islam sebagai agama mayoritas memiliki keistimewaan, namun nilai-

nilainya sudah menjiwai Konstitusi.

Dalam perbandingan diatas, dapat ditemukan pola hubungan antara

Tuhan dengan agama bahwa terdapat negara yang mengatur Tuhan dan jaminan

perlindungan agama, namun terdapat pula negara yang tidak mencantumkan

Tuhan dalam konstittusinya, namun mengatur jaminan perlindungan terhadap

agama dan/atau keyakinan. Selain itu, ditemukan pula bahwa sebagian besar

negara yang mencantumkan Tuhan di dalam konstitusinya terdapat pengaruh

agama dalam praktik ketatanegaraan, baik eksplisit maupun inplisit.

Dari pola hubungan di atas, dapat diambil pengalaman dari negara lain

bahwa merupakan hal yang wajar ketika agama mayoritas memiliki

keistimewaan dan mempengaruhi praktik ketatanegaraan di negara tersebut.

Artinya, andaikata Piagam Jakarta masih diterapkan saat ini secara tegas, maka

hal itu bukanlah suatu masalah bagi praktik bernegara dan bermasyarakat di

Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Buku, Jurnal, dan Makalah Al-Bahnasawi, Salim Ali. Wawasan Sistem Politik Islam, Jakarta: Pustaka Al-

Kautsar, 1996.

Al Mawardi, Imam. Al Ahkam As Sulthaniyyah: Prinsip-Prinsip

Penyelenggaraan Negara Islami, [Al-Ahkam As-Sulthaaniyyah Fi Al-

Wilaayah Ad-Diiniyyah] diterjemahkan oleh Fadhli Bahri, Jakarta:

Darul Falah, 2000.

Anshari, H. Endang Saifuddin. Piagam Jakarta 22 Juni 1945, Jakarta: CV.

Rajawali, 1981.

Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme, Jakarta: Konpress, 2005.

_____. Konstitusi dan Hak Asasi Manusia, makalah yang disampaikan pada

lecture Peringatan 10 Tahun KontraS, Jakarta, 26 Maret 2008.

_____. Peradilan Etik dan Etika Konstitusi, Jakarta: Sinar Grafika, 2014.

_____. Gagasan Konstitusi Sosial: Institusionalisasi dan Konstitusionalisasi

Kehidupan Sosial Masyarakat Madani, Jakarta: LP3ES, 2015.

______. Konstitusi Bernegara: Praksis Kenegaraan Bermartabat dan

Demokratis, Malang: Setara Press, 2015.

Page 27: PENGARUH KONSTITUSI BERKETUHANAN DALAM PRAKTIK

Pengaruh Konstitusi, Ghunarsa Sujatnika 789

Blackstone, William. Commentaries on the Laws of England, (London: Chase’s

ed, Vol. 1.

Dunning, William Archibald. A History of Political Theories; from Luther to

Montesquieu, New York: The Mac Millan Company, 1953.

el-Khazen, Farid. The Communal Pact of National Identites: The Making and

Politics of the 1943 National Pact, Oxford: Center for Lebanese Studies,

1991.

Kusuma, RM. A.B. Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta: Badan

Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009.

Garner, J.W. Political Science and Government, World Press Calcutta, 1955.

Hamidi, Jazim dan M. Husnu Abadi. Intervensi Negara Terhadap Agama,

Yogyakarta: UII Press, 2001.

Hirschl, Ran. Constitutional Theocracy, Cambridge: Harvard University Press,

2010.

Karam, Jeffrey G. “Beyond Sectarianism: Understanding Lebanese Politic

through a Cross-Sectarian Lens”, Middle East Brief, April, 2017, No.

107.

Keane, John. Secularism? Oxford: Blackwell Publishes, 2000.

Kementerian Penerangan R.I. Kembali Kepada Undang-Undang Dasar 1945,

(Jakarta: Penerbitan Chusus, tanpa tahun.

M, Sri Soemantri. Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Bandung:

Alumni, 1987.

MD, Moh. Mahfud. Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen

Konstitusi, Jakarta: Rajawali Press, 2013.

Nasution, Adnan Buyung. Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia:

Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959, Jakarta: Pustaka Utama

Grafiti, 1995.

Nurtjahjo, Hendra. Filsafat Demokrasi, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2006.

Ray, B.N. Political Theory: Interrogations and Interventions, Delhi: Author

Press, 2006.

Schmidt, Ulla. “State, Law, and Religion in Norway”, Nordic Journal of

Religion and Society, 2011.

Sukarja, Ahmad. Piagam Madinah & Undang-Undang Dasar NRI 1945,

Jakarta: Sinar Grafika, 2012.

Sunny, Ismail. Jejak-Jejak Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan

Indonesia, Jakarta: Konpress, 2005.

Thaib, Dahlan dkk. Teori Hukum dan Konstitusi, Jakarta: PT. Grafindo Raja

Persada, 2001.

Thompson, Brian. Textbook on Constitutional and Administrative Law, edisi

ke-3, London: Blackstone Press Ltd., 1997.

Page 28: PENGARUH KONSTITUSI BERKETUHANAN DALAM PRAKTIK

790 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.4 Oktober-Desember 2018

Yamin, Muhammad. Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, I,

Jakarta: Yayasan Prapanca, 1959.

_____. Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, cet. ke-6, Jakarta:

Ghalia Indonesia, 1962.

Yunarti, D. Rini. BPUPKI, PPKI, Proklamasi Kemerdekaan RI, Jakarta:

Kompas: 2003.

Internet Asshiddiqie, Jimly. ’Tuhan’ dan Agama dalam Konstitusi: Pergesekan antara

Ide-Ide ‘Godly Constitution’ Versus Godless Constitution,

<https://www.scribd.com/document/355254411/Tuhan-Dalam-

Konstitusi-Jimly-Asshiddiqie>, diakses pada 30 Agustus 2018.

Bhutan. Constitution of Bhutan 2008,

<https://www.constituteproject.org/constitution/Bhutan_2008?lang=en>

, diakses pada 25 Agustus 2018.

Lebanon. Constitution of Lebanon 1926 with Amendment 2004,

<https://www.constituteproject.org/constitution/Lebanon_2004?lang=en

>, diakses pada 15 September 2018.

Malaysia. Constitution of Malaysia 1957 with Amendment 2007,

<https://www.constituteproject.org/constitution/Malaysia_2007?lang=e

n>, diakses pada 25 Agustus 2018.

Meksiko. Constitution of Mexico 1917 with Amendment 2015,

<https://www.constituteproject.org/constitution/Mexico_2015?lang=en>

, diakses pada 20 Agustus 2018.

Norwegia. Constitution of Norwegia 1814 with Amendment 2016,

<https://www.constituteproject.org/constitution/Norway_2016?lang=en>,

diakses pada 17 September 2018.