Upload
hans-rs
View
102
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
MENGGAPAI KEADILAN KONSTITUSI
SUATU REKOMENDASI UNTUK
REVISI UU MAHKAMAH KONSTITUSI
KRHN USAID DRSP
@2008
BAB I
PENDAHULUAN
A. Mengapa UU MK Harus Diubah?
Keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam system ketatanegaraan Indonesia, telah
memberikan kontribusi yang positif bagi pengembangan negara hukum yang demokratis.
Kehadiran MK sebagai penjaga konstitusi (the guardian of constitution) dapat dianggap sebagai
kemenangan terhadap supremasi hukum dan konstitusi yang dicita-citakan. Sebagai bagian dari
kekuasaan peradilan, MK adalah institusi peradilan yang bisa menjaga dan menjamin
terlaksananya pemenuhan hak-hak konstitusi (basic rights) warga negara. MK merupakan
perwujudan mekanisme cheks and balances, yang berfungsi membatasi kekuasaan mayoritas,
sekaligus bertindak sebagai hakim yang dapat menundukkan masalah politik sesuai dengan rel
konstitusi. Jadi, betapa penting dan strategisnya peranan MK dalam kehidupan bermasyarakat
dan bernegara.
Peranan itu berangkat dari perubahan evolusioner terhadap prinsip-prinsip
konstitusionalisme, yang menghendaki produk legislasi harus merujuk dan bersumber pada
perintah imperative konstitusi. Hal itu terjadi seiring dengan menyusutnya gagasan kedaulatan
parlemen dalam praktek demokrasi, sekaligus menguatnya gagasan centralized system sebagai
akibat dari lunturnya kepercayaan terhadap decentralized system1 dalam kekuasaan peradilan.
Gagasan-gagasan tersebut kemudian dirumuskan dalam perubahan konstitusi baru, yang
digunakan pula sebagai koreksi terhadap system pemerintahan otoriter oleh rezim
pemerintahan demokratis. MK merupakan salah satu pertandanya, dan kemudian tumbuh
berkembang di negara-negara demokrasi baru di kawasan Eropa Timur, Afrika, Amerika Latin
dan Asia.2 Tak terkecuali Indonesia, yang telah memutuskan membentuk MK melalui
amandemen konstitusi (UUD 1945) pada tahun 2001.
1 System decentralized mengandung pengertian bahwa kewenangan untuk menentukan konstitusionalitas produk legislasi
dilakukan oleh semua organ pengadilan (hakim). Sedangkan centralized system adalah kebalikannya, yang hanya memberikan
kewenangan tersebut kepada satu institusi peradilan. Mengenai hal ini lihat dalam, Mauro Cappelletti, The Judicial Process in
Comparative Perspective, Oxford Universyty Press, 1989, hal. 132-133.
2 Tom Ginsburg, Judicial Review in New Democracies: Constitutional Courts in Asian Cases, Cambridge University
Press, 2003, hal. 8-10.
Sejak terbentuk Agustus 2003, hingga kini MK telah menjalankan 3 (tiga) dari 5 (lima)
kewenangan yang telah ditentukan konstitusi. Kewenangan tersebut adalah untuk menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar (constitutional review), memutus sengketa
kewenangan konstitusional antarlembaga negara, dan memutus sengketa hasil pemilihan
umum. Sejak awal pembentukan hingga saat ini, kewenangan menguji konstitusionalitas
undang-undang, merupakan kewenangan yang paling sering dilakukan. Kurang lebih dua puluh
(20) perkara pengujian undang-undang yang diperiksa dan diputus MK dalam setiap tahun.
Untuk Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN), MK telah memeriksa dan memutus 10
perkara. Pada perkara sengketa hasil pemilu tahun 2004, MK telah memutus 45 perkara dari
kasus yang diajukan 23 partai politik, 21 perkara yang diajukan anggota DPD, dan 1 perkara
diajukan oleh pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.3 Sedangkan kewenangan lainnya,
berkaitan dengan pembubaran partai politik dan pemakzulan (impeachment) Presiden
dan/atau Wakil Presiden, hingga kini belum dilakukan.
Bersamaan dengan pelaksanaan kewenangan tersebut, MK membangun dan
mengembangkan organisasi kelembagaannya (capacity building). Selain telah memiliki gedung
yang sangat representative, MK berhasil membangun system administrasi peradilan (judicial
administration system) yang dapat memberikan kemudahan akses dan pelayanan yang baik
kepada publik. Publik, terutama para pemohon dapat memperoleh informasi setiap
perkembangan perkara yang ditangani MK. Putusan-putusan MK, tidak hanya dapat diketahui
dengan cepat melalui publikasi media massa dan website MK, tetapi dapat diperoleh secara
gratis. Dengan kata lain, prinsip-prinsip peradilan yang cepat, mudah, murah dan transparan
telah diterapkan oleh MK. Suatu hal yang nampaknya masih sulit dipraktekkan pada institusi
peradilan umum ataupun institusi negara lainnya.
Kendati demikian, selama ini dirasakan pula sejumlah permasalahan dalam praktek
penyelenggaraan MK. Permasalahan yang seringkali menjadi sorotan adalah berkenaan dengan
putusan-putusan yang dikeluarkan MK, terutama dalam perkara pengujian konstitusionalitas
undang-undang. Tidak jarang putusan MK sangat kontroversial, yang kemudian menimbulkan
pro-kontra. Dalam hal ini, beberapa putusan diantaranya dianggap merupakan putusan yang
progressif dan bersejarah (landmark decisions). Sebaliknya, ada juga putusan-putusan yang
3 Lihat dalam, Empat Tahun Mengemban Amanat Konstitusi 2003-2007, Mahkamah Konstitusi, 2007, hal. 19.
kemudian dinilai janggal, membingungkan sekaligus mengecewakan.4 Kontroversi lainnya
adalah, ketika sejumlah putusan MK dinilai melanggar prinsip yang melarang hakim
mengabulkan melebihi tuntutan atau permohonan (ultra petita).5 Terkadang dalam mengadili
dan memutus perkara, MK bertindak melampui kewenangan dengan memasuki ranah legislasi.
Bahkan kemungkinan besar terjadi conflict of interest ketika MK harus menilai dan mengadili
dirinya sendiri.
Disisi lain, putusan MK seringkali tidak segera ditindaklanjuti dengan merevisi undang-
undang yang telah dibatalkan. Pemerintah dan DPR sangat lamban dan cenderung tidak
merespon secara positif putusan-putusan MK. Ini bisa berakibat terjadinya kekosongan hukum.
Pada kenyataan lain juga menunjukkan bahwa, putusan MK yang bersifat final dan mengikat
(final and binding), terkadang bak macan diatas kertas. Bergigi tapi tidak begitu efektif.
Putusan final merupakan putusan pertama dan terakhir, yang dapat dimaknai tidak ada lagi
upaya hukum yang bisa ditempuh. Putusan final yang semestinya dipatuhi, faktanya malah
diabaikan bahkan ditolak oleh aktor-aktor negara judicial maupun non judicial.6 Akan tetapi,
bagaimana jika dalam putusan final terdapat kekeliruan? Hal ini pernah terjadi misalnya dalam
perkara sengketa hasil pemilu, dimana MK dinilai salah hitung yang berakibat hilang atau
bergesernya hak kursi seseorang.7 Bagaimana dengan putusan MK dalam perkara lainnya?
Meski sebagian belum terlaksana, tidak tertutup kemungkinan akan menghadapi persoalan
yang sama.
Bisa jadi kontroversi dalam putusan MK, karena ada sudut pandang, pemahaman dan juga
kepentingan yang berbeda dalam memaknainya. Sebagaimana hakim MK yang kerap kali
berbeda tafsir atau pendapat (dissenting atau concurring opinion) dalam putusan.
Kemungkinan pula karena pengaruh dari keluasan dimensi issue atau persoalan (politik,
4 Beragam penilaian dari sejumlah kalangan antara lain, Asian Human Rights Comission (AHRC), MK Gagal Mencatat Sebuah
Sejarah Dalam Gerakan HAM di Indonesia, Publikasi, 2 Nopember 2007; Adnan Buyung Nasution, Quo Vadis Hukum dan
Peradilan Indonesia, Kompas, 22 Desember 2006; Todung Mulya Lubis, Tiga Putusan MK, Kompas, 31 Januari 2005; Refly
Harun, Kontroversi Putusan MK, Koran Tempo, 22 Pebruari 2005; Marwan Mas, Pro Kontra Putusan Judicial Review MK,
Sinar harapan, 4 Agustus 2004.
5 Misalnya, putusan MK terhadap UU No. 20/2002 tentang Ketenagalistrikan; UU No. 40/2004 tentang Jaminan Sosial Nasional;
UU No. 22/2004 tentang Komisi Yudisial; UU No. 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran & Rekonsiliasi.
6 Lihat, Theo Divonis 6 Tahun, Putusan MK Tak Dipakai, Kompas, 26 Agustus 2006. Juga UU Migas: MK Ingatkan Presiden
untuk Patuhi Putusan MK, Majalah Mingguan Gatra, 10 Oktober 2005; PGRI Tolak Putusan MK, Radar Cirebon, 18 April 2008.
7 Lihat, Sifat Final dan Mengikat Putusan MK Digugat Lewat Permohonan Fatwa,
http://hukumonline.com/detail.asp?id=10539&cl=Berita, diakses 16 April 2008; Juga, Suara Pembaruan, MK Diminta Koreksi
Putusan Perkara Dahlan Rais, 18 Juni 2004.
ekonomi, hak asasi manusia, pidana, dan perdata) yang mesti diputus MK dalam perkara
pengujian undang-undang. Sehingga memaksa putusan MK bersikap moderat, tetapi disisi lain
menjadi tidak tegas. Demikian halnya ketika putusan MK tidak implementatif, besar
kemungkinan karena selalu dihadang oleh kompleksitas masalah yang mengemuka ditahap
aplikasi putusan final. Namun jika dibiarkan terus berlangsung, dapat dipastikan akan
melahirkan ketidakadilan, menciptakan ketidakpastian hukum dan hilangnya kepercayaan
terhadap MK. Ini tentunya menjadi persoalan serius yang perlu dicarikan jalan keluarnya.
Disadari bahwa putusan-putusan MK memiliki dampak yang luas bagi kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Beragam persoalan dan respon yang muncul mengiringinya,
mendorong keinginan kuat untuk melihat dan mempertanyakan kembali peraturan perundang-
undangan tentang MK. Sejauh mana peraturan perundang-undangan, khususnya UUMK (UU
No.24/2003), telah mengatur secara lengkap dan memadai. Sebab, putusan sebagai hasil dari
pelaksanaan kewenangan, memerlukan tatacara (hukum acara) yang dapat menuntun dan
menjadi pedoman terlaksananya kewenangan dengan baik. Adakah yang keliru dalam
pengaturannya, ataukah belum secara lengkap UUMK mengatur hal-hal yang berkaitan dengan
hukum acara? Apabila UUMK sudah mengatur secara lengkap, sejumlah persoalan yang muncul
dapat diantisipasi. Tentunya selain dapat mendukung pelaksanaan kewenangan yang akan
berpengaruh terhadap putusan yang akan diambil.
Sebagaimana diketahui UUMK memang belum memberikan pengaturan secara lengkap
bagi kebutuhan terselenggaranya peranan MK. Masih terdapat sejumlah pertanyaan atau
permasalahan dalam UUMK yang memerlukan rincian, penjelasan dan penegasan lebih lanjut.8
Kelemahan dan kekurangan itu dirasakan ketika UUMK diterapkan, terutama dalam hal ketika
MK menjalankan tugas dan wewenang konstitusionalnya. Berbagai kelemahan dan
permasalahan dalam UUMK tentu saja memerlukan perbaikan dan perubahan. Perubahan yang
setidaknya dapat dilakukan secara komprehensif, tidak hanya menyangkut aspek hukum acara,
akan tetapi menyangkut juga persoalan lain yang diperlukan bagi pengembangan dan
penguatan peranan MK kedepan.
8 Catatan-catatan terhadap sejumlah permasalahan yang ada dalam UU MK, setidaknya dapat dilihat dalam, KRHN, Hukum Dan
Kuasa Konstitusi, KRHN, 2004. Bandingkan pula dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Fajrul Falakh dalam,
Konstitusi Dalam Berbagai Lapisan Makna Jurnal Konstitusi, Vol. 3 Nomor 3, 2006, hal. 112-114.
Sekalipun MK telah membuat beberapa Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK), terutama
berkaitan dengan hukum acara, kode etik dan pedoman perilaku bagi hakim konstitusi, serta
tata cara untuk pemilihan Ketua MK. Namun demikian, PMK tersebut belum cukup memadai
untuk menutupi kelemahan UUMK dan menunjang pelaksanaan kewenangan MK kedepan.
Selain karena legitimasinya kurang kuat, meskipun dibenarkan atas perintah UUMK, PMK tidak
bisa digunakan untuk menjawab dan mengatasi seluruh kekurangan dan problem yang muncul
dari UUMK. Misalnya, bagaimana seleksi hakim konstitusi dapat dilakukan secara transparan
dan partisipatif, bagaimana membuat pengawasan bagi MK, bagaimana sebaiknya mekanisme
dan hukum acara impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden. Jelas beberapa issue atau
persoalan tersebut tidak cukup diatur dan diatasi hanya melalui PMK. Jadi harus melalui revisi
UUMK.
Kebutuhan revisi UUMK ini kemudian mendapatkan dorongan dari putusan MK. Dalam
perkara uji materi UU Komisi Yudisial (UUKY) dan UU Kekuasaan Kehakiman (UUKK),
dinyatakan dalam putusannya;9
Karena itu, Mahkamah Konstitusi juga merekomendasikan kepada DPR dan Presiden untuk segera mengambil langkah-langkah penyempurnaan UU KY. Bahkan, DPR dan Presiden dianjurkan pula untuk melakukan perbaikan-perbaikan yang bersifat integral dengan juga mengadakan perubahan dalam rangka harmonisasi dan sinkronisasi atas UUKK, UUMA, UUMK, dan undang-undang lain yang terkait dengan sistem peradilan terpadu
Melalui putusan tersebut, MK meminta kepada DPR dan Presiden untuk melakukan perbaikan
terhadap UU MK bersama UU lainnya dalam rangka harmonisasi dan sinkronisasi. Meski pada
dasarnya materi pokok permohonan dan putusan menyangkut soal pengawasan hakim oleh
KY. Perintah putusan MK kepada DPR dan Presiden itu, merupakan sebuah dorongan dan
kesempatan untuk melakukan perbaikan-perbaikan yang diperlukan dalam UUMK. Ini
fenomena menarik, karena revisi atau perubahan UUMK didorong dan dikehendaki sendiri oleh
MK.
Dalam putusan lainnya, setidaknya dapat dikatakan bahwa MK telah mengubah sendiri
salah satu ketentuan dalam UUMK. Ketentuan tersebut adalah Pasal 50 yang mengatur tentang
larangan bagi MK untuk menguji undang-undang yang lahir sebelum amandemen UUD 1945.10
9 Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006, hal. 201.
10 Pasal 50 UU MK mengatur bahwa, Undang-undang yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah undang-undang yang
diundangkan setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam penjelasannya
Pasal 50 ini sebelumnya dikesampingkan, ketika MK memutus permohonan perkara pengujian
UU MA No. 14/1985 yang diajukan oleh Machri Hendra, seorang hakim dari Padang (perkara
Nomor: 004/PUU-I/2003). Setahun kemudian, lewat putusan pengujian UU No. 1/1987
tentang Kamar Dagang & Industri yang diajukan bersama UUMK oleh DR. Elias Tobing,
ketentuan Pasal 50 tersebut dibatalkan dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat. Konsekwensi dari putusan tersebut, MK kemudian menerima dan memutus sejumlah
permohonan pengujian undang-undang yang lahir sebelum amandemen UUD 1945.11
Saat ini revisi UUMK sudah diagendakan dalam Prolegnas tahun 2008. Artinya, dari segi
politik legislasi telah ada kesepakatan bersama antara DPR dan pemerintah untuk segera
membahas dan merevisi UUMK. Bersamaan dengan hal itu, berkembang keinginan kuat dari
kalangan parlemen untuk membatasi kewenangan MK.12 Sekalipun tidak sepenuhnya tepat, bisa
dipahami kegelisahan dan kemarahan kalangan DPR, karena terkadang begitu mudahnya
MK membatalkan produk undang-undang yang dihasilkan. Mereka menganggap kewenangan
MK terlalu luas, dan berkehendak mambatasi kewenangan MK. Hal ini cukup
mengkhawatirkan, dan malah akan menimbulkan persoalan baru. Jika sudah berkembang
menjadi wacana politik dan melembaga, maka yang terjadi adalah resistensi yang berpotensi
mengancam eksistensi dan peranan MK. Hingga pada gilirannya dapat memperlemah upaya
penegakan hak-hak konstitusi dan proses demokratisasi yang sudah berjalan. Tentunya, bukan
hal seperti itu yang kita inginkan bukan?.
Berangkat dari uraian diatas, alasan mengapa UUMK harus diubah dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Situasi dan kondisi yang berkembang dalam praktek penyelenggaraan MK disertai
akibatnya, memerlukan pengaturan lebih lanjut didalam UUMK.
2. Terdapat sejumlah kelemahan dan kekurangan dari ketentuan-ketentuan yang telah diatur
dalam UUMK.
dikatakan, Yang dimaksud dengan setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah
perubahan pertama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada tanggal 19 Oktober 1999.
11 Contohnya, MK telah memutus perkara pengujian Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang diajukan oleh Eggy
Sudjana (No. 013-022/PUU-IV/2006) dan Dr. R. Panji Utomo (No. 06/PUU-V/2007), serta UU No. 22/1997 tentang Narkotika
(No. 2-3/PUU-V/2007).
12 Lihat, Ketika Putusan MK Gelisahkan Dewan, Sinar Harapan, 22 Desember 2006; Juga Kewenangan MK Akan Dibatasi,
Kompas, 20 September 2006.
3. Sebagai akibat dari putusan-putusan MK, yang telah membatalkan ketentuan dalam UUMK
dan merekomendasikan perubahan atau perbaikan terhadap UUMK.
4. Adanya kebutuhan kedepan bagi kelancaran pelaksanaan tugas dan kewenangan MK,
terutama dalam hal kebutuhan bagi pengembangan organisasi/kelembagaan.
B. Proyeksi Dan Tujuan Perubahan
Perubahan UUMK haruslah senantiasa diarahkan untuk memperjelas gambaran MK sebagai
lembaga penjaga konstitusi (the Guardian of Constitution). Hal itu diperlukan agar keadilan
berdasarkan konstitusi (constitutional justice) semakin tercapai, serta diletakkan dalam konteks
memperkuat kebutuhan cheks and balances serta perlindungan hak asasi dalam kerangka
negara hukum yang demokratis. Dalam pengertian bahwa, kekuasaan negara tidak hanya
berdasarkan konstitusi, tapi negara tunduk pula terhadap pengawasan hukum. Akan tetapi
pengawasan oleh lembaga hukum, memerlukan pula suatu pertanggungjawaban yang dapat
dikreasikan dan diatur dalam perundang-undangan. Sebab, jika pengawasan hukum atas
kekuasaan negara tidak memadai, maka negara akan terperosok kedalam negara kekuasaan
(machstaat). Dan bila pengawasan kekuasaan peradilan tanpa pertanggungjawaban, maka
peradilan akan kehilangan kepercayaan (distrust of justice) karena penuh penyimpangan dan
penyalahgunaan wewenang. Perubahan UUMK ini, setidaknya dapat pula diharapkan menjadi
sarana untuk meneguhkan kewibawaan MK sebagai institusi peradilan, mempermudah upaya
pencapaian keadilan dan kepastian hukum.
Yang kita inginkan pula dalam revisi UUMK adalah, perbaikan-perbaikan atas kelemahan
yang ada dalam UUMK. Perbaikan yang diperlukan untuk menunjang keberadaan serta
terlaksananya tugas dan kewenangan konstitusional MK dengan baik. Dimaksudkan pula untuk
mengatasi kebutuhan dan problem-problem yang muncul pada saat praktik penyelenggaraan
MK selama ini. Dalam hal lain, perbaikan UUMK tidak hanya bagi keperluan sinkronisasi dan
harmoniasi dengan perundang-undangan lainnya, tetapi dapat pula menjawab keperluan
pengawasan yang mencerminkan pelaksanaan cheks and balances terhadap MK. Sejatinya,
kesemuanya itu menjadi sarana bagi pemenuhan keadilan, perlindungan hak-hak konstitusi
serta penguatan demokratisasi yang masih terus tumbuh berkembang melalui peranan MK.
Tidak ketinggalan tentunya, perubahan UUMK memerlukan dukungan dan partisipasi aktif dari
berbagai kalangan masyarakat (civil society). Dukungan dan partisipasi yang secara konsisten
dan kontinyu mengawal perubahan UUMK agar hasilnya bisa sesuai dengan yang diharapkan
Dalam konteks kebutuhan itu, kegunaan praktis perubahan UUMK ditujukan untuk;
1. Memperbaiki kelemahan dan kekurangan dari ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam
UUMK.
2. Mengatasi dan menjawab persoalan-persoalan yang muncul dalam praktek penyelenggaraan
MK.
3. Memberikan jaminan bagi keperluan pengembangan organisasi kelembagaan MK kedepan.
4. Mengoptimalkan peranan MK dalam melaksanakan tugas dan kewenangan sebagaimana
telah ditentukan konstitusi.
C. Ruang Lingkup Perubahan Pada dasarnya perubahan atau revisi suatu perundang-undangan dilakukan, apabila
terdapat ketentuan-ketentuan dalam perundang-undangan tersebut tidak sesuai lagi dengan
situasi atau kondisi yang berkembang. Perubahan itu dapat meliputi hal-hal sebagai berikut:13
1. Menambahkan atau menyisipkan ketentuan baru, menyempurnakan atau menghapus
ketentuan yang sudah ada, baik yang berbentuk Bab, bagian, Paragraf, Pasal, ayat, maupun
perkataan, angka, huruf, tanda baca dan lain-lainnya.
2. Mengganti suatu ketentuan dengan ketentuan lain, baik yang berbentuk Bab, bagian,
Paragraf, Pasal, ayat, maupun perkataan, angka, huruf, tanda baca dan lain-lainnya.
Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98), disahkan pada tanggal 13 Agustus 2003, setelah
melalui pembahasan dalam waktu yang relatif singkat. UUMK yang terdiri dari delapan (8) Bab
dan 88 Pasal, pada intinya mengatur soal kedudukan dan susunan (organisasi kelembagaan),
kekuasaan, pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, serta hukum acara MK (lihat
tabel 1). Materi itu merupakan perintah langsung dari UUD 1945 hasil amandemen. Pasal 24C
ayat (6) telah menyatakan bahwa, Pengangkatan dan Pemberhentian hakim konstitusi,
hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-
undang. Sedangkan menyangkut soal kewenangan, hakim konstitusi (jumlah, syarat, dan
pengajuan) serta soal pemilihan dan pengangkatan Ketua MK, telah ditentukan dalam UUD
1945.
13 Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan (2); Proses dan Teknik Pembentukannya, Yogyakarta-Kanisius,
2007, hal. 179.
Usul perubahan dan rekomendasi dalam position paper ini berangkat dari materi yang
sudah ada dalam UU MK, yang kemudian dipandang perlu untuk diubah atau ditambahkan.
Materi tersebut adalah menyangkut perihal, hukum acara, susunan dan kedudukan (organisasi
dan kelembagaan), pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi. Menyangkut soal
kekuasaan, hanya akan disinggung beberapa bagian issue yang perlu diperhatikan. Sedangkan
masalah yang menyangkut soal kewenangan, tidak akan disinggung secara mendalam karena
hal itu sudah berkaitan dengan materi UUD. Perihal lainnya yang perlu ditambahkan dan
dilengkapi adalah menyangkut persoalan pengawasan, persyaratan serta system
seleksi/rekuitmennya. Jadi, position paper ini akan lebih banyak menyinggung issue dan
masalah yang ada dalam UU MK.
Tabel 1: Anatomi UU Mahkamah Konstitusi
No. Keterangan Pasal Jumlah
1. Bab I : Ketentuan Umum 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Bab II : Kedudukan dan Susunan Bab III : Kekuasaan Mahkamah Konstitusi. Bab IV : Pengangkatan & Pemberhentian Hakim Bab V : Hukum Acara
b. a Umum b. b Khusus
- Pengujian Undang-Undang - Sengketa Kewenangan - Pembubaran Partai Politik - Perselisihan Pemilu - Dugaan Pelanggaran Hukum Presiden dan/atau Wakil Presiden
Bab VI : Ketentuan Lain-lain Bab VII : Ketentuan Peralihan Bab VIII : Ketentuan Penutup
1 2 s/d 9
10 s/d 14 15 s/d 27 28 s/d 85
28 s/d 49
50 s/d 60 61 s/d 67 68 s/d 73 74 s/d 79 80 s/d 88
86 87 88
1 Pasal 8 Pasal 5 Pasal
23 Pasal 57 Pasal
21 Pasal
11 Pasal 7 Pasal 6 Pasal 6 Pasal 9 Pasal
1 Pasal 1 Pasal 1 Pasal
Adapun menyangkut soal kewenangan MK, memang telah disadari bahwa masih ada
kekurangan dan barnagkali belum sepenuhnya dianggap tepat ketentuan yang telah dirumuskan
dalam UUD 1945. Tentunya hal itu akan sangat berpengaruh terhadap rumusan-rumusan yang
ada dalam UUMK, termasuk dalam praktik pelaksanaan MK selama ini. Saat ini memang telah
dirasakan suatu kebutuhan untuk melakukan perubahan (amandemen) kembali UUD 1945,
juga hal-hal yang berkaitan dengan pengaturan MK. Oleh karena itu, sejumlah issue/persoalan
ditingkat UUD akan disinggung dan dikupas juga, sebagai bagian yang tak terhindarkan dari
position paper ini.
BAB II
PRINSIP-PRINSIP DASAR
MAHKAMAH KONSTITUSI
Pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK) dilakukan dalam Perubahan Ketiga UUD 1945
yang diputuskan MPR dalam Sidang Tahunan MPR 9 Nopember 2001. Keberadaan Mahkamah
Konstitusi diletakkan dalam bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 24 (2) UUD 1945
mengatur bahwa;
Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Ketentuan tersebut merupakan bentuk pengakuan dan legitimasi terhadap keberadaan MK. MK
ditentukan berdiri sendiri, terpisah dan berada diluar MA. Keduanya sama-sama merupakan
lembaga pelaksana dari kekuasaan kehakiman yang memiliki fungsi dan kewenangan yang
berbeda. Dari rumusan tersebut dipahami bahwa, saat ini Kekuasaan Kehakiman dilaksanakan
oleh dua lembaga yaitu MK dan Mahkamah Agung. Keduanya berkedudukan sederajat atau
setara sebagai lembaga negara yang independen.
Ada beberapa alasan mengapa MK ditempatkan dalam konstitusi yang menjadi dasar
konstitusionalitas keberadaan MK:
a. Pada prinsipnya, konstitusi harus memuat tentang nilai-nilai hak asasi manusia (HAM).
Dan perubahan UUD 1945 telah mengakomodir lebih jelas dan rinci pasal-pasal yang
mengatur HAM. Oleh karena itu, lembaga yang berwenang untuk menjamin, melindungi
dan menegakkan nilai-nilai HAM itu harus pula diletakkan dalam konstitusi.
b. Konstitusi pada prinsipnya harus memberikan pembatasan kekuasaan dan menyediakan
mekanisme cheks and balances antara cabang kekuasaan. Adanya MK beserta
kewenangannya menunjukkan bahwa, perubahan konstitusi sudah memuat adanya
pembatasan dan mekanisme cheks and balances tersebut.
c. Keberadaan MK berikut dengan kewenangan dalam konstitusi, sejalan dan merupakan
penegasan terhadap prinsip negara hukum yang telah dimuat dalam perubahan konstitusi.
Karena ciri-ciri dari negara hukum dapat ditunjukkan dari adanya wewenang untuk menguji
konstitusionalitas (constitutional review) undang-undang oleh kekuasaan kehakiman (MK).
d. Konstitusi sebagai hukum tertinggi harus ditegakkan dan dijalankan secara konsisten oleh
siapapun. Oleh karena itu, konstitusi harus pula menyediakan lembaga yang berwenang
untuk menjaga nilai-nilai konstitusi, yang mesti ditempatkan didalam konstitusi.
Sebagai lembaga yang telah ditentukan konstitusi, maka terdapat beberapa ketentuan yang
telah diatur dan menjadi prinsip atau asas dasar bagi keberadaan dan peranan MK. Prinsip-
prinsip dasar yang merupakan ratio logis atau alasan bagi lahirnya peraturan hukum, sekaligus
merupakan pengarah umum untuk menganjurkan yang seharusnya menurut hukum. Sebagai
sebuah institusi peradilan, maka MK harus tunduk pada asas-asas peradilan yang baik yang
berlaku secara universal bagi pelaksana kekuasaan kehakiman (judicial power). Dilihat dari
karakteristik perkara yang ditangani MK yang berkaitan dengan urusan kepentingan publik,
maka dapat berlaku pula asas-asas yang digunakan dalam hukum publik (administrasi).
Demikian halnya prinsip atau asas sebagai sebuah institusi peradilan dalam konteks
pemerintahan yang bersih (good governance), dapat pula diterapkan di dalam penyelenggaraan
MK.
Prinsip-prinsip tersebut haruslah menjadi jiwa dan dasar dalam pengaturan UUMK, yang
perlu ditegaskan, dijelaskan, dirinci didalam ketentuan-ketentuan UUMK. Demikian halnya
dalam konteks kebutuhan perubahan UUMK, sedapat mungkin prinsip-prinsip dasar ini dapat
dirumuskan jika sebelumnya tidak ada atau tercermin di dalam UUMK. Adapun prinsip atau
asas-asas yang dimaksud adalah sebagai berikut;
1. Supremasi Hukum (Supremacy of Constitution).
Prinsip supremasi hukum pada dasarnya menghendaki hukum-lah yang harus memegang
komando tertinggi dalam penyelenggaran negara. Hukum tertinggi yang mengikat semua pihak
dan menjadi pedoman pokok dalam menjalankan pemerintahan adalah konstitusi. Di dalamnya
terkandung pengertian bahwa segala cara, tindakan dan kewenangan para penyelenggara
negara, harus berpedoman pada konstitusi. Tidak dibenarkan jika pemerintahan dijalankan
dengan mengabaikan konstitusi. Apabila terjadi penyimpangan (abuse of power), perselisihan
atau sengketa dalam penyelenggaraan pemerintahan, maka perlu dilakukan koreksi
berdasarkan prinsip-prinsip atau ketentuan dalam konstitusi. Untuk itulah maka kemudian
diperlukan adanya MK, yang diharapkan dapat memperkuat berjalannya prinsip-prinsip dalam
negara hukum.
Prinsip ini mendudukkan MK sebagai satu-satunya lembaga yang mempunyai kekuasaan
tertinggi untuk mengawal agar konstitusi dapat ditegakkan dan dijalankan secara konsisten (the
guardian of constitution). Konstitusi telah menempatkan MK sebagai lembaga peradilan yang
dibutuhkan untuk mengadili perkara-perkara yang berkaitan dengan konstitusi. Dalam
mengadili dan memutus perkara haruslah selalu mendasarkan pada ketentuan-ketentuan dalam
konstitusi, dan MK berhak secara formal untuk menafsirkan konstitusi (the interpreter of
constitution). Jadi, tidak hanya keberadaan dan kekuasaan yang ditentukan konstitusi, tetapi
ukuran-ukuran yang digunakan MK harus sesuai dengan konstitusi. Prinsip ini juga bertujuan
untuk membatasi MK menggunakan ketentuan lain selain konstitusi, sekaligus melarang
siapapun aktor/lembaga negara (formal atau informal) bersikap dan melakukan tindakan-
tindakan yang bertentangan dengan prinsip, nilai dan norma-norma konstitusi.
2. Bebas dan Tidak Memihak (Independent and Impartial)
Prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak ini mutlak harus ada dalam negara hukum
untuk menjamin proses peradilan yang fair. Prinsip ini sudah diterima dan diatur dalam
berbagai ketentuan internasional. Pada dasarnya, prinsip peradilan yang bebas atau merdeka
(independent) tidak menghendaki adanya campur tangan, terutama ke dalam proses
pengambilan putusan, dari kekuasaan eksekutif dan legeslatif terhadap pelaksanaan fungsi
peradilan. Termasuk campur tangan dari unsur-unsur kekuasaan kehakiman itu sendiri, serta
bujukan atau pengaruh dari kekuasaan ekonomi dan politik di luar sistem kekuasaan negara.
Prinsip independensi ini telah dinyatakan dengan tegas dalam konstitusi Pasal 24 (1) UUD 1945
dinyatakan bahwa, Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Prinsip independensi yang mesti dijamin tidak hanya bersifat kelembagaan, tetapi
menyangkut juga independensi personal setiap hakim. Sebab kelengkapan pertama dan utama
untuk menegakkan kekuasaan kehakiman yang independent ada pada hakim. Dan hakim dalam
menjalankan tugasnya harus bebas dari rasa takut, tekanan, bujukan dan ancaman yang dapat
mempengaruhi putusan. Persoalannya sekarang bagaimana merumuskan parameter yang
diperlukan untuk mengukur bahwa kekuasaan kehakiman (MK) itu independent atau tidak.
Untuk menjamin prinsip independensi itu setidaknya perlu dirumuskan ketentuan-ketentuan
yang mengatur; (1) tata cara penunjukkan hakim; (2) masa jabatan hakim; (3) pemberhentian
hakim; (4) hak atas anggaran
Sedangkan prinsip tidak memihak, pada dasarnya hakim tidak boleh memihak kepada
siapapun juga kecuali hanya kepada kebenaran dan keadilan. Hakim dalam mengadili harus
tidak membeda-bedakan dan menghargai secara adil hak-hak para pihak di dalam proses
pemeriksaan yang bersifat terbuka. Sehingga hakim dalam mengadili perkara terhindar dari
benturan kepentingan (conflict of interest), dan proses pengadilan dapat berjalan secara fair
dan obyektif. Imparsialitas proses peradilan hanya dapat dilakukan jika hakim melepaskan diri
dari konflik kepentingan atau faktor semangat pertemanan (collegial) dengan pihak yang
berperkara. Karenanya, hakim harus mengundurkan diri dari proses persidangan jika ia melihat
ada potensi imparsialitas. Sementara itu, pemutusan relasi dengan dunia politik penting bagi
seorang hakim agar ia tidak menjadi alat untuk merealisasikan tujuan-tujuan politik.
3. Transparansi dan Akuntabilitas.
Transparansi dan akuntabilitas merupakan dua prinsip penting yang diperlukan untuk
mendorong lahirnya sebuah institusi yang dapat dipercaya. Transparansi merupakan prasyarat
tercapainya akuntabilitas yang juga menjamin kepastian. Kedua prinsip ini menjadi keniscayaan
konstitusional untuk dikreasikan sedemikian rupa dalam revisi UUMK. Keduanya diperlukan
untuk mempermudah access to justice guna pemenuhan hak-hak konstitusional, selain
pemenuhan doktrin universal peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan (contante justice)
bagi para pencari keadilan (justitiabelen).
Prinsip transparansi/keterbukaan pada dasarnya menghendaki agar pengadilan dalam
menjalankan fungsinya dapat dilakukan secara terbuka. Dalam hal ini prinsip persidangan yang
terbuka untuk umum, mulai dari pemeriksaan sampai putusan, sudah sewajarnya dapat
diketahui dengan mudah oleh masyarakat. Apalagi mengingat saat ini hak atas informasi sudah
dijamin oleh konstitusi dan undang-undang. Jadi bagi masyarakat, khususnya para pencari
keadilan, terbuka ruang selebar-lebarnya guna mengetahui informasi mengenai proses
pemeriksaan setiap perkara dan mendapatkan putusan-putusan yang diperlukan. Dan MK
sebagai peradilan yang mengadili system hukum (court of law), yang perkaranya berkenaan
dengan kepentingan umum dan mempunyai implikasi yang luas, sudah sewajarnya jika publik
dapat dengan mudah mengetahui setiap persidangan dan mendapatkan putusan-putusan yang
dikeluarkan MK.
Sedangkan prinsip akuntabilitas/pertanggungjawaban dapat dimaknai merupakan
salah satu cara untuk menciptakan cheks and balances, sekaligus mekanisme untuk menilai
seluruh pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang pemegang mandat kekuasaan, baik secara
individual hakim maupun secara institusional lembaga pengadilan.14 Dalam penjelasan UU No.
28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme dinyatakan bahwa akuntabilitas adalah prinsip yang menentukan bahwa setiap
kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi
negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Prinsip akuntabilitas ini diperlukan untuk meminimalisir tindakan diluar batas kekuasaan
atau penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Setidaknya, memudahkan pihak-pihak
eksternal yang berkompeten untuk melihat/menilai ada tidaknya penyalahgunaan kekuasaan
atau berperilaku menyimpang. Dengan adanya mekanisme pertanggungjawaban, masyarakat
dapat ikut memantau kemampuan dan kinerja pemegang kekuasaan. Bagi pemegang
kekuasaan, keberadaan suatu mekanisme pertanggungjawaban akan mendorong
profesionalisme dalam menjalankan fungsi, tugas dan kewenangannya.
Dalam konteks pengadilan, akuntabilitas dibutuhkan untuk menunjang pelaksanaan prinsip
independensi. Keduanya tidaklah bertentangan, tetapi justru saling memperkuat. Akuntabilitas
diperlukan karena, independensi hakim dan pengadilan tanpa akuntabilitas berpotensi
terjerumus ke dalam perilaku yang korup, despotis dan oligarkhis. Akuntabilitas dapat
berfungsi untuk mencegah timbulnya perilaku tersebut yang dapat merusak system pengadilan
secara keseluruhan. Sejatinya prinsip pertanggungjawaban ini mencakup pertanggungjawaban
secara organisasi, legal, politik, moral dan profesional. Konsep pertanggungjawaban tersebut
masih harus dimodifikasi dan diadaptasi atau perlu disesuaikan dengan konsep lembaga MK.
Setidaknya sebagai sebuah institusi peradilan, pertanggungjawaban yang mesti dilakukan MK
berkaitan dengan putusan, perkara dan manegemen perkara, personalia, serta pengelolaan
keuangan/anggaran.
14 Dalam konteks ini menurut pandangan Mauro Cappelletti, setidaknya ada empat type akuntabilitas individu hakim maupun institusi peradilan yaitu; 1) Political Accountability, yang pada prinsipnya merupakan akuntabilitas dengan lembaga politik dan konstitusi; 2) Societal or Public Accountability, akuntabilitas terhadap publik atau masyarakat; 3) Legal Accountability, akuntabilitas karena jabatannya sebagai hakim dan 4) Legal accountability yang merupakan akuntabilitas secara personal dari tindakan kriminal, perdata dan pelanggaran disiplin. Lihat Mauro Cappelletti, The Judicial Process..., opcit, hal. 72
4. Partisipasi dan Sosial Kontrol.
Partisipasi dan kontrol sosial merupakan hal yang esensial dalam kehidupan negara
demokrasi. Prinsip ini merupakan perwujudan hak warga negara atas kebebasan berekspresi
dan keikutsertaan dalam pemerintahan yang telah dijamin konstitusi. Keduanya diperlukan
untuk menutupi kekurangan atau kelemahan yang ada dalam mekanisme formal kenegaraan.
Sehingga, proses maupun keputusan yang dibuat menjadi lebih legitimate dan dapat berfungsi
secara maksimal. Lebih jauh lagi, partisipasi secara aktif dan langsung dari masyarakat dapat
menciptakan integrasi sosial dalam masyarakat yang pluralis dan heterogen.
Dalam konteks proses pembuatan dan penegakan hukum, adanya partisipasi masyarakat
dapat membuat hukum berfungsi maksimal, karena mendapatkan legitimasi yang kuat. Tanpa
legitimasi yang kuat dari masyarakat, hukum akan mudah diselewengkan demi kepentingan-
kepentingan partial dan sesaat. Sedangkan kontrol sosial yang dapat muncul dari, pers, kampus
dan organisasi masyarakat, dapat mencegah dan meminimalisir penyimpangan yang terjadi.
Sekaligus dapat mendorong ke arah perbaikan yang diharapkan bersama untuk pencapaian
keadilan dan kebenaran.
Bagi MK, prinsip ini setidaknya perlu dikreasikan dalam proses seleksi hakim konstitusi
yang bersifat terbuka. Sehingga masyarakat dapat berpartisipasi dan menilai seseorang yang
dianggap tepat, berintegritas dan kredibel untuk menjadi hakim konstitusi. Demikian pula
dalam hal pemeriksaan terhadap perkara-perkara yang berkenaan dengan kepentingan
masyarakat yang mendapat perhatian luas, dapat diatur suatu mekanisme yang dapat
memberikan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi. Prinsip ini juga dapat dikreasikan
dengan memberikan akses bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses perkara sesuai
interest/kepentingannya, terlibat dalam konteks pengawasan MK, dalam hal bahwa hakim dan
institusional MK harus akuntable, maka perlu tersedia system/mekanisme (internal dan
eksternal) yang dapat menjadi saluran masyarakat untuk menyampaikan keluhan atau
keberatannya.
5. Cepat, Sederhana dan Murah
Prinsip peradilan yang cepat dan sederhana, adalah salah satu hal yang dituntut publik
ketika memasuki proses peradilan. Proses yang berbelit-belit akan membuahkan kefrustasian
dan ketidakadilan. Akan tetapi harus diingat bahwa tindakan yang prosedural harus pula
menjamin pemberian keadilan, dan proses yang sederhana harus pula menjamin adanya
ketelitian dalam pengambilan keputusan. Oleh karena itu, proses di MK harus dibuat
sedemikian rupa secara sederhana, baik dari segi biaya, lokasi, dan prosedur, termasuk dalam
hal mendapatkan putusan. Sehingga tidak menghalangi hak seseorang untuk memperoleh
keadilan (access to justice).
Proses di pengadilan yang harus ditempuh para pencari keadilan, juga diharapkan tidak
memakan waktu yang lama. Dengan kata lain, proses pengadilan haruslah cepat, jelas, dan tepat
waktu. Proses yang lama dan tidak jelas limitasi waktunya, bukan hanya membuat pesimisme
para pencari keadilan, tetapi mengundang kecurigaan atau dugaan yang bersifat negatif. Oleh
karena itu, proses persidangan di MK harus dapat ditentukan dalam batas waktu yang tidak
terlalu lama, jelas dan berkepastian. Untuk itu harus didukung dengan system administrasi dan
managemen perkara yang modern dan bersifat on line. Sehingga tidak hanya untuk para pihak,
tapi publik pun dapat mengetahuinya dan memperolehnya dengan mudah.
Sedangkan mengenai prinsip murah, diartikan bahwa proses di pengadilan harus tidak
dengan biaya yang mahal. Bahkan jika perlu dibebaskan dari biaya perkara, agar orang miskin
yang tidak mampu dapat mengajukan gugatan atau permohonan ke pengadilan. Adanya biaya
perkara ini sudah menjadi kelaziman dalam berperkara di lingkungan pengadilan umum, baik
dalam system common law maupun civil law. Hanya saja seberapa besar biaya perkara itu
ditentukan, jangan sampai memberatkan para pihak yang berperkara. Biaya yang terlalu besar
bisa jadi akan memberatkan, bisa membuat para pencari keadilan tidak bisa berperkara. Dan itu
berarti menjauhkan hak atas keadilan (access to justice) bagi para pencari keadilan. Selain itu,
dalam system peradilan yang belum bisa berjalan secara transparan dan akuntabel, adanya
biaya perkara ini dapat menjadi sumber pungli (korupsi).
Meskipun biaya perkara sudah menjadi kelaziman di pengadilan, namun ketika berperkara
di MK sebaiknya dibebaskan dari kewajiban untuk membayar ongkos perkara. Alasannya,
proses peradilan di MK pada intinya bukanlah untuk mengadili kepentingan pribadi orang per
orang, melainkan menyangkut kepentingan umum atau kepentingan lembaga negara yang
bersifat publik. Karena itu berurusan dengan MK tidak perlu dibebani dengan biaya sama
sekali. Selain itu, tiadanya keharusan biaya perkara alias gratis berperkara di MK, untuk
menjaga kehormatan dan kewibawaan MK dari kemungkinan persoalan yang akan timbul yang
berhubungan dengan uang dari pihak lain. Sebaiknya, seluruh kebutuhan MK dibebankan saja
kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Prinsip-prinsip sebagaimana tersebut diatas, sebagian sudah terakomodir dan dijamin
dalam UUMK. Misalnya, prinsip akuntabilitas dalam hal laporan MK yang wajib disampaikan
setiap tahun (Pasal 12 13). Jaminan bagi transparansi dalam seleksi hakim MK (Pasal 19),
penjadwalan sidang (Pasal 34), sidang dan pembacaan putusan (Pasal 28 ayat 5). Sedangkan
sebagian lainnya, ditegaskan dalam UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Diantaranya, prinsip larangan menolak perkara (Pasal 16), jaminan bagi prinsip pelaksanaan
prinsip independensi dan imparsialitas yang mengharus kan hakim mengundurkan diri apabila
terdapat kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara (Pasal 29). Untuk mengatur
secara lebih komprehensif, sebaiknya prinsip-prinsip yang diatur dalam UU No.4/2004
dimasukkan pula kedalam revisi perubahan UUMK.
BAB III
PENGEMBANGAN LEMBAGA
MAHKAMAH KONSTITUSI
Perkembangan atau perubahan dalam sebuah lembaga adalah suatu keniscayaan.
Perkembangan sebuah lembaga, terkadang tidak dapat dilepaskan dari pengaruh lingkungan
dimana lembaga tersebut berada. Perkembangan dalam sebuah lembaga, memperlihatkan
adanya respon terhadap permasalahan dan tantangan yang dihadapinya, termasuk sebagai
jawaban terhadap tuntutan yang muncul dari publik/lingkungan. Perkembangan lembaga
merupakan bagian dari sebuah proses penyesuaian ke arah yang lebih baik. Sejauh mana
kemudian melihat sebuah lembaga dapat mengembangkan diri, bergantung dari kebutuhan
serta kemampuan lembaga tersebut tanpa menghilangkan prinsip atau kesepakatan dasar yang
telah dibuat. Dan perkembangan tersebut, sedapat mungkin kemudian diakomodir atau diatur
sehingga memperoleh legitimasi dan dapat dijalankan dengan baik.
Lazimnya lembaga pengadilan, terdapat sejumlah perangkat penting kelembagaan yang
dibentuk agar pengadilan dapat berjalan dengan baik dalam mengadili dan memutus perkara.
Bagi Mahkamah Konstitusi (MK), perangkat penting dari organisasi/kelembagaannya, seperti
soal kedudukan lembaga, kekuasaan/kewenangan, dan jumlah hakim, telah ditentukan dalam
UUD. UUMK kemudian mengaturnya lebih lanjut, dan menambahkan komponen penting
lainnya terutama menyangkut soal sekretariat dan panitera, serta penerapan prinsip
akuntabilitas dan transparansi. Namun demikian, UUMK belum mengatur secara rinci dan
lengkap perangkat organisasi lainnya, misalnya soal sekretaris dan asisten hakim. Oleh karena
itu, pengembangan organisasi MK dalam revisi UUMK ini dimaksudkan untuk mendorong agar
komponen organisasi yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas dan kewenangan MK, dapat
diakomodir. Selain itu, dipandang perlu untuk menegaskan, mengubah, melakukan sinkronisasi
dan merinci ketentuan-ketentuan yang sudah ada berkaitan dengan kelembagaan MK.
A. Kedudukan dan Susunan A.1. Kedudukan
Mengkaji kedudukan MK sebagai lembaga peradilan konstitusi, tidak boleh dipisahkan
dari dinamika kehidupan sosial masyarakat di suatu negara. Sebab, kehadiran MK bukan hanya
berfungsi untuk menyelesaikan dan melaksanakan kewenangan dan kewajibannya yang
ditegaskan dalam UUD, melainkan juga diharapkan dapat menjadi lembaga yang mampu
mengubah pola pikir dan pola perilaku warga masyarakat dan penyelenggara negara dalam
kehidupan bernegara ke arah yang positif. Untuk mengetahui posisi atau kedudukan MK dalam
sistem ketatanegaraan suatu negara, setidaknya mesti melihat secara keseluruhan sistem negara
yang bersangkutan. Misalnya, dalam struktur negara Jerman, Mahkamah Konstitusi Federal
merupakan lembaga konstitusi tertinggi (supreme constitutional body) sama seperti halnya
Pemerintah Federal. Mahkamah Konstitusi di Jerman merupakan badan peradilan murni (true
court) dan bukan lembaga politis. Hal ini diperkuat berdasarkan beberapa alasan, pertama, MK
Federal tidak bertindak ex officio namun hanya diadakan atas permintaan lembaga yang
berwenang. Kedua, dasar utama dari pengambilan keputusan oleh Mahkamah Konstitusi
Federal Jerman adalah konstitusi atau Basic Law negara Jerman. Meski Mahkamah Konstitusi
Federal Jerman diantaranmya memiliki kewenangan untuk mengontrol kekuasaan kehakiman
namun itu tidak beratio Mahkamah Konstitusi merupakan peradilan dalam tingkat banding
atau kasasi dari kasus-kasus hukum perdata, hukum administrasi maupun hukum pidana biasa.
Mahkamah Konstitusi hanya memutuskan masalah-masalah yang berkaitan dengan hukum
konstitusi.15
Desain konstitusi Indonesia (UUD 1945) menempatkan eksistensi MK sebagai salah satu
pelaku kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung. Jadi MK merupakan salah satu lembaga
peradilan yang merdeka yang kedudukannya setara dengan Mahkamah Agung. Meski
ditempatkan sama sebagai pelaksana Kekuasaan Kehakiman, tetapi MK diberi tugas dan
kewenangan yang berbeda dengan MA. MK diposisikan sebagai peradilan tingkat pertama dan
terakhir, yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD,
memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diatur dalam UUD,
memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Dan
wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden
dan/atau Wakil Presiden menurut UUD.16
Melihat kewenangan dan kewajiban tersebut, tugas pokok dari MK adalah untuk
menegakkan konstitusi dalam kerangka negara hukum. MK adalah pengawal sekaligus penafsir
konstitusi (the guardian and interpreter of constitution). Ini merupakan ide dasar dari
pembentukan MK, yang setidaknya dapat terlihat dari kewenangan untuk menguji
15 Ms. Justice Ulrike Mullerm (Hakim Mahkamah Konstitusi Federal Jerman), The Federal Constitutional Court of Germany-
Competencies and Impact of the Courts Jurisdiction, Makalah disampaikan di LIPI, 20-22 Maret 2002.
16 Lihat Pasal 24C ayat 1 dan 2 UUD 1945.
konstitusionalitas undang-undang dan memutus sengketa kewenangan konstitusional
antarlembaga. Umumnya MK dibanyak negara, diberikan pula kewenangan seperti,
constitutional complaint, constitutional question, interpreter of constitution. Menurut Harjono,
dapat dikatakan kewenangan uji konstitusionalitas tersebut merupakan kewenangan yang
utama, sedangkan kewenangan lainnya bersifat asesoris atau pelengkap.17
Oleh karena itu, MK disebut juga sebagai Peradilan Konstitusi (constitutional judiciary)
yaitu organ yang memiliki otoritas untuk menyelesaikan persengketaan hukum (legal dispute)
berdasarkan konstitusi.18 Peradilan ini dapat memfasilitasi setiap individu atau kelompok
masyarakat untuk mempertanyakan kelayakan suatu kebijakan negara (eksekutif dan legeslatif),
yang biasanya dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Secara konseptual
peradilan konstitusi ini mengandung dua fungsi strategis yaitu; (i) untuk melindungi hak-hak
fundamental masyarakat, dan (ii) untuk mengawasi aktifitas legeslatif pemerintahan. Apabila
hal itu dilaksanakan secara berkesinambungan maka akan mencapai titik kulminasi yang
disebut sebagai keadilan konstitusional (constitutional justice).19
Dengan demikian, MK merupakan satu-satunya lembaga yang paling berwenang untuk
menjaga dan menegakkan konstitusi. MK adalah mekanisme formal kenegaraan yang dibentuk
untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan konstitusi. MK dibentuk dan
diadakan lewat konstitusi, dan dasar bertindak atau mengambil keputusan adalah konstitusi.
Namun demikian bukan berarti MK lebih tinggi dari lembaga-lembaga negara lainnya,
termasuk lebih tinggi dari MA. Pendekatan dan pandangan yang bersifat struktural-hierarkhis
seperti itu, selayaknya ditinggalkan dalam membaca sistem ketatanegaraan pascaamandemen
UUD 1945. Jadi, posisi atau kedudukan MK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia perlu
dilihat berdasarkan fungsi dan kewenangannya memperkuat cheks and balances di dalam
kerangka negara hukum.
Masalahnya, Bab II Pasal 2 UUMK tentang Susunan dan Kedudukan, hanya menegaskan
bahwa, MK merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan Kekuasaan Kehakiman
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan. 17 Harjono, Kedudukan dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia dalam Firmansyah
Arifin, dkk (peny), Hukum dan Kuasa Konstitusi, Jakarta:KRHN, 2004, hlm. 25-27.
18 Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi; Suatu Studi tentang Adjudikasi Konstitusional Sebagai Mekanisme
Penyelesaian Sengketa Normatif, Jakarta-Pradnya Paramita, 2006, hal. 75.
19 Ibid., hal. 82-85.
Ketentuan ini sedikit berbeda dengan pengaturan yang ada dalam UU No.4/2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman (UU KK). Pasal 1 UU KK menentukan bahwa, Kekuasaan kehakiman
adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara
Hukum Republik Indonesia. Selanjutnya dinyatakan dalam Pasal 3 ayat 2 UU KK bahwa, MK
sebagai peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila. Dari ketentuan pasal-pasal tersebut, nampak ada ketidaksinkronan antara
ketentuan dalam UU MK dengan UU KK. Lebih dari itu, tidak jelas apa yang dimaksud dengan
penegakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, dan bagaimana hal itu harus
dilaksanakan oleh MK?
Rekomendasi :
Kedudukan MK sebagai satu-satunya lembaga yang berwenang menegakkan konstitusi, perlu ditegaskan dalam
UUMK. Hal ini penting untuk mengukuhkan peranan MK dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya. Selain
itu, dapat mencegah institusi lain melakukan tafsir dan bertindak sendiri dengan mengatasnamakan atau
mengabaikan konstitusi. Konsekwensi dari penegasan itu, akan mendorong secara maksimal peranan MK yang
memungkinkan adanya kreasi lain dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan MK.
A.2. Susunan
Pasal 4 ayat (2) UU MK mengatur, Susunan Mahkamah Kontitusi terdiri atas seorang
Ketua merangkap anggota, seorang Wakil Ketua merangkap anggota, dan 7 (tujuh) orang
anggota hakim konstitusi. Dari ketentuan ini dikehendaki, unsur utama pelaksanaan
organisasi MK adalah Ketua, Wakil Ketua dan anggota hakim konstitusi. Susunan seperti ini
nampaknya menggambarkan bangunan struktur organisasi MK yang disesuaikan dengan
kebutuhan kelembagaan MK. Ramping dan sederhana, namun belum lengkap menyebutkan
unsur-unsur lain yang dipandang penting bagi kelembagaan MK. Susunan seperti itu juga
belum menggambarkan adanya pemisahan antara susunan yang organisasi MK secara
keseluruhan dengan susunan dalam hal untuk mengadili dan memutus perkara.20 Artinya, baik
untuk urusan atau tugas yang bersifat kelembagaan secara umum dengan tugas judicial akan
20 Bandingkan dengan pengaturan susunan bagi Mahkamah Agung. Pasal 4 ayat (1) UU No. 5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung
mengatur, Susunan Mahkamah Agung terdiri atas pimpinan, hakim anggota, panitera, dan seorang sekretaris. Selanjutnya
Pasal 5 ayat 1 menentukan, Pimpinan Mahkamah Agung terdiri atas seorang ketua, 2 (dua) wakil ketua, dan beberapa orang ketua
muda.
bertumpu dan menjadi tanggungjawab Ketua MK/hakim konstitusi. Susunan seperti itu juga
belum memberikan penegasan tentang tugas dan kewenangan yang disertai mekanisme
pertanggungjawabannya secara jelas. Hal ini terlihat misalnya dari pengaturan mengenai Ketua
MK dan Wakil Ketua MK.
Dalam hal Ketua MK, UUMK mengatur posisi Ketua MK sebagai Ketua yang
merepresentasikan Lembaga/Organisasi MK, sekaligus sebagai pimpinan majelis dalam
persidangan. Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28 ayat (1) UUMK yang menyatakan, MK
memeriksa, mengadili, dan memutus dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi dengan 9
(sembilan) orang hakim konstitusi, kecuali dalam keadaan luar biasa dengan 7 (tujuh) orang
hakim konstitusi yang dipimpin oleh Ketua Mahkamah Konstitusi. Namun UUMK ini tidak
menegaskan apa yang menjadi tugas dan kewenangan masing-masing dari Ketua dan Wakil
Ketua MK. Dengan kata lain, tidak diatur pembagian tugas yang jelas antara Ketua MK dan
Wakil Ketua MK. Hal ini juga tidak dibuat atau ditentukan lebih lanjut dalam Peraturan MK
(PMK). Pasal 28 ayat (2) UUMK hanya menentukan tugas Wakil Ketua sebagai pengganti dalam
sidang pleno MK jika Ketua berhalangan. Jadi tidak lebih jabatan Wakil Ketua seperti ban
serep, yang hanya siap mengganti Ketua jika berhalangan hadir dalam sidang pleno MK.
Bagaimana seadainya Ketua MK wafat atau mengundurkan diri, apakah secara otomatis
posisinya bisa langsung digantikan oleh Wakil Ketua?
Rekomendasi: Perlu diatur susunan organisasi yang menunjukkan adanya pemisahan perangkat dan urusan kelembagaan secara
umum, dengan perangkat pelaksana judicial secara khusus. Pemisahan ini penting untuk memberikan kejelasan
apa tugas dan kewenangan masing-masing, serta alur pertanggungjawaban. Termasuk dalam hal ini menyangkut
soal pembagian tugas antara Ketua dan Wakil Ketua. Rincian tugas dan kewenangan ini perlu dijabarkan sebagai
konsekwensi dari jabatan yang telah disebutkan dalam undang-undang.
A.3. Perihal Masa Jabatan Ketua dan Wakil Ketua MK.
Konstitusi Pasal 24C ayat (4) UUD 1945 telah menegaskan, Ketua dan Wakil Ketua MK
dipilih dari dan oleh hakim konstitusi. Dan Pasal 4 ayat (3) UUMK menambahkan ketentuan
bahwa, Ketua dan Wakil Ketua dipilih dari dan oleh hakim konstitusi untuk masa jabatan
selama 3 (tiga) tahun. Tidak begitu jelas apa maksud atau tujuan dari pembatasan masa
jabatan Ketua dan Wakil Ketua MK ini. Apakah untuk mencegah kemungkinan munculnya
intervensi atau dominasi dari lembaga lain, mengingat hakim konstitusi berasal dari DPR,
Presiden dan MA. Jika yang menjadi Ketua dan Wakil Ketua adalah hakim konstitusi yang
berasal dari Presiden, maka bisa jadi MK tidak independent, karena cenderung berpihak kepada
Presiden. Masa jabatan 3 tahun itu juga tidak mendapat ketegasan, sampai berapa kali seorang
hakim konstitusi boleh menjadi Ketua/Wakil Ketua MK.
Akan tetapi, pengaturan masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua selama 3 tahun itu, tidak
begitu efektif. Hal ini jika dikaitkan dengan ketentuan soal masa jabatan bagi hakim MK. Pasal
22 UUMK menentukan masa jabatan hakim konstitusi adalah 5 (lima) tahun, dan dapat dipilih
kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. Ketua dan Wakil Ketua adalah juga
hakim konstitusi, yang tentunya terikat dengan masa jabatan 5 tahun itu. Ini bisa menjadi
problem, dan mengganggu kinerja MK. Karena bisa jadi hakim konstitusi yang sedang menjadi
Ketua/Wakil Ketua MK, tidak akan terpilih/diajukan kembali pada saat masa jabatan 5 tahun
sudah harus selesai. Atau kalaupun terpilih kembali, apakah jabatan Ketua/Wakil Ketua
otomatis terhenti dan harus dilakukan pemilihan kembali?
Rekomendasi:
Aturan mengenai masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua tidak perlu ada. Masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua
mengikuti atau sama dengan masa jabatan hakim konstitusi. Misalnya, masa jabatan hakim konstitusi 9 tahun,
maka jabatan Ketua dan Wakil Ketua ditentukan 9 tahun juga (lihat pembahasan masa jabatan hakim)
B. Memperjelas Kewenangan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 telah menentukan bahwa MK berwenang mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang
terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil
pemilihan umum. Kemudian dalam ayat (2)-nya dinyatakan bahwa, MK wajib memberikan
putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil
Presiden menurut UUD. Dugaan pelanggaran yang dimaksud dalam ayat dua (2) ini
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7B ayat (1) merupakan pelanggaran hukum berupa,
penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau
perbuatan tercela. Dan pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Secara umum dapat dikatakan bahwa, kewenangan MK adalah mengadili perkara-perkara
yang berkaitan dengan soal konstitusi. UUMK semestinya bisa memperjelas, mengelaborasi dan
mengatur lebih lanjut wewenang MK yang telah diberikan konstitusi. Sehingga dalam
pelaksanaannya tidak menimbulkan keraguan, ketidakpastian dan persoalan yang justru malah
menjadi penghambat. Namun hal demikian tidak dilakukan oleh pembentuk undang-undang.
Pasal 10 UUMK memberi pengaturan yang bunyinya kurang lebih sama dengan ketentuan
konstitusi, dan hanya menambahkan ketentuan (satu ayat) berkenaan dengan maksud dari
dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden. Sebaliknya,
UUMK malah memberikan pembatasan, seperti ketentuan Pasal 50 UUMK yang melarang MK
untuk menguji undang-undang yang lahir sebelum perubahan (amandemen) UUD 1945.
Dalam pelaksanaannya, wewenang MK terutama terhadap tiga (3) yang telah dilakukan
yaitu, kewenangan menguji konstitusionalitas undang-undang, memutus sengketa kewenangan
antarlembaga negara, dan perselisihan hasil pemilihan umum, telah mengalami perkembangan
atau perubahan yang menuntut pengaturan lebih lanjut. Pengaturan ini diperlukan agar dapat
memperjelas dan memberi penegasan terhadap kewenangan yang telah dilakukan. Harapannya
kedepan, peranan MK dalam melaksanakan kewenangan tersebut menjadi lebih optimal. Untuk
itu pembahasan mengenai kewenangan tersebut akan coba diurai satu persatu.
1. Menguji Undang-Undang terhadap UUD (constitusional review)
Pada dasarnya wewenang untuk menguji undang-undang terhadap konstitusi (UUD)
sebagai bagian dari penerapan prinsip pemerintahan yang terbatas. Pembatasan ini terutama
ditujukan terhadap organ kekuasaan pembentuk undang-undang (DPR bersama Presiden).
Berdasarkan penelitian sejarah dan analisa hukum, watak produk hukum sangat ditentukan
oleh konfigurasi politik yang melahirkannya. Artinya, kelompok dominan (penguasa) dapat
membentuk undang-undang atau peraturan perundang-undangan menurut visi dan sikap
politiknya sendiri yang belum tentu sesuai dengan jiwa konstitusi yang berlaku.21 Pelaksanaan
dari kewenangan ini dilakukan agar konsistensi tindakan bernegara seperti yang telah
disepakati dalam konstitusi dapat dipertahankan. Dengan demikian, potensi ketidaksesuaian
(diskrepansi) antara preferensi atau kepentingan rakyat dengan yang mewakilinya dapat
diatasi.
Selain sebagai penerapan pemerintahan yang terbatas, kewenangan menguji ini disebabkan
oleh adanya kecenderungan yang mengharuskan persoalan diatur melalui serangkaian
21 Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta-LP3ES & UII Press, 1998, hlml. 359.
peraturan perundang-undangan. Kondisi demikian berpotensi menimbulkan ketidakselarasan
baik secara vertikal maupun horizontal antarsesama norma hukum yang lebih rendah, atau
antara norma hukum yang lebih rendah terhadap norma hukum yang lebih tinggi. Dalam
sebuah doktrin hukum yang bersifat hierarkhi struktural, yang juga digunakan dalam sistem
hukum di Indonesia (UU No. 10/2004), bahwa peraturan yang lebih rendah tidak boleh
bertentangan dengan peraturan yang diatasnya.
Untuk hal itu, baik UUD 1945 maupun UUMK memberikan pengaturan yang sedemikian
rupa, sehingga cenderung membatasi upaya pencapaian perlindungan dan keadilan
konstitusional secara utuh. UUD 1945 menentukan dengan cara membagi kewenangan menguji
undang-undang terhadap UUD oleh MK. Sedangkan peraturan perundang-undangan dibawah
undang-undang terhadap undang-undang dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA).22
Selanjutnya bagaimana pelaksanaan terhadap wewenang menguji undang-undang ini, Pasal 50
UUMK memberikan pengaturan yang membatasi bahwa, Undang-undang yang dapat
dimohonkan untuk diuji adalah undang-undang yang diundangkan setelah perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Artinya, undang-undang yang
lahir dan dibuat sebelum amandemen UUD 1945 tidak dapat dilakukan pengujian oleh MK.
Sedangkan dalam ketentuan Pasal 51 ayat (3), pengujian dapat dimohonkan terhadap; (i)
pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan UUD 1945 (uji formil), dan/atau (ii)
materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang dianggap bertentangan
dengan UUD 1945 (uji materiil).
Terhadap ketentuan UUD 1945 yang telah membagi kewenangan menguji peraturan
perundang-undangan antara MK dan MA, memang berpotensi menimbulkan masalah.
Bagaimana jika peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang itu bertentangan
dengan konstitusi, siapa yang akan menguji? Hal itu sangat mungkin terjadi, dan jika tidak ada
lembaga yang berwenang mengujinya maka pelaksanaan penegakan konstitusi menjadi terbatas
dan partial. Namun demikian hal ini merupakan masalah system kekuasaan kehakiman dalam
UUD 1945, dan bukan merupakan bagian materi atau masalah dari UUMK.
Adapun mengenai ketentuan Pasal 50 UUMK, hal ini jelas membatasi hak atas keadilan
22 Pengujian produk hukum oleh Peradilan Konstitusi (MK) biasanya diselenggarakan dengan 3 cara, yaitu (i) pengujian abstrak, sebelum produk hukum disahkan, (ii) pengujian konkret, dilakukan setelah produk hukum disahkan, (iii) pengaduan konstitusional.
Masing-masing memiliki prosedur acara persidangan sendiri, manfaat dan implikasi hukum yang berbeda satu dengan yang
lainnya. Untuk hal ini lihat, Ahmad Syahrizal, dalam Peradilan Konstitusi., opcit., hal. 88.
konstitusional bagi masyarakat. Pasal ini secara gradual sudah diamputasi dan dinyatakan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat lagi oleh putusan MK, setelah sebelumnya hanya
dikesampingkan. Pada saat pembatalan Pasal 50 tersebut, MK beralasan diantaranya bahwa,
kewenangan MK yang telah diatur secara jelas dan limitatif oleh UUD 1945 tidak dapat
dikurangi oleh undang-undang. Sebab, MK adalah organ undang-undang dasar, bukan organ
dari undang-undang. Disamping itu, keberadaan Pasal 50 UUMK dipandang tidak hanya
mereduksi kewenangan MK, tetapi dikhawatirkan akan menyebabkan ketidakpastian hukum
yang pasti menimbulkan ketidakadilan karena dalam sebuah sistem hukum akan terdapat tolok
ukur ganda.23 Pembatalan Pasal 50 melalui putusan MK sangatlah tepat, dan tidak dapat
dikatakan bahwa MK telah melampaui kewenangannya, karena ada kepentingan yang lebih luas
yang harus dikedepankan oleh MK.
Dalam melaksanakan kewenangan menguji ini, tidak jarang MK melakukan penafsiran
terhadap ketentuan undang-undang yang dianggap bertentangan dengan konstitusi. Uji
konstitusionalitas undang-undang adalah pengujian mengenai nilai konstitusionalitas suatu
undang-undang, baik dari segi formil maupaun materil. Artinya, MK memberi tafsir atas
undang-undang apakah sudah sesuai dengan UUD atau justru bertentangan dengan UUD. MK
menentukan apakan perintah UUD sudah termaktub dalam undang-undang, sekaligus
menentukan apakah proses pembentukannya telah sesuai dengan perintah UUD atau belum.
MK menjadi pengaman (the guardian) konstitusi agar tidak dilanggar oleh undang-undang.
Permasalahan yang kemudian muncul ke permukaan, adalah bahwa MK ternyata tidak
dapat menghindarkan diri untuk tidak menafsirkan undang-undang terhadap undang-undang.
Meskipun MK dianggap melakukan penafsiran dengan metode teristematis, dengan tetap
menggunakan UUD sebagai pijakan utama tafsir, akan tetapi jika dilihat dari pertimbangan
hukum yang dipilih, terang pada perkara tertentu MK membenturkan undang-undang satu
dengan undang-undang lain. Kasus ini terjadi pada judicial review UU No. 45 Tahun 1999 jo
UU No, 5 Tahun 2000 yang dianggap bertentangan dengan UU No. 21 Tahun 2001, dengan
argumen asas lex posterior derogat legi priori dan lex specialis derogat legi generalis. Kasus
semacam ini berulang kembali pada perkara judicial review UU No. 25 Tahun 2008 tentang
Penanaman Modal. Meski pijakan utama penafsiran adalah Pasal 33 UUD 45, namun pada
dasarnya MK menganggap UU No. 25 Tahun 2008 bertentangan dengan UU Pokok Agraria No.
23 Alasan tersebut merupakan pendapat dari mayoritas hakim. 3 hakim lainnya yaitu, Laica Marzuki, Achmad Roestandi dan HAS
Natabaya mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion). Lihat putusan perkara Nomor: 066/PUU-II/2004., hal. 53-55.
5 Tahun 1960. Di sini tidak berlaku asas lex posterior derogat legi priori dan lex specialis
derogat legi generalis. Walaupun kedua putusan tersebut mendapat apresiasi positif dari
masyarakat, sebagai pijakan hukum, hal-hal yang demikian ke depan harus dihindari, karena
bisa memunculkan persepsi bahwa MK telah keluar dari kewenangannya.
Wewenang menafsirkan itu memang melekat, dan dapat dikatakan secara langsung sudah
menjadi bagian atau hak yang harus dilakukan oleh para hakim ketika mengadili perkara.
Namun sekiranya hal ini perlu ditegaskan dalam ketentuan UUMK. Disamping itu, dengan
adanya kompleksitas persoalan hukum dan konstitusi yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari,
tidak jarang MK kemudian dimintai pertimbangannya dari berbagai pihak. Akan lebih baik
pula, jika mengenai hal ini dapat ditegaskan dalam UUMK. Seperti halnya bagi MA yang dapat
memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah hukum kepada lembaga negara dan
lembaga pemerintahan apabila diminta (Pasal 27 UU No.4/2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman).
Rekomendasi;
1. Pasal 50 UUMK dicabut atau dihapus dari ketentuan UUMK
2. Memperjelas/menegaskan hak dan kewenangan yang secara langsung dan implicit sudah dilakukan dan seharusnya dilakukan oleh MK, yaitu;
- Hak/wewenang menafsirkan UUD
- Memberikan pertimbangan, keterangan dan nasihat masalah konstitusi kepada siapapun jika diminta (constitutional question)
2. Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN)
Kewenangan MK dalam hal memutus sengketa kewenangan antarlembaga negara yang
kewenangannya diatur dalam UUD, merupakan kewenangan utama. Wewenang ini
dimaksudkan agar persoalan yang bisa menimbulkan sengketa antarlembaga negara dapat
diselesaikan melalui mekanisme hukum, yaitu jalur peradilan MK. Setidaknya hal ini belajar
dari masa lalu ketika timbul persoalan atau sengketa antarlembaga negara tidak begitu jelas
proses penyelesaiannya. Kalaupun ada, penyelesaian lebih banyak dilakukan melalui jalur atau
proses politik. Kewenangan ini dapat pula dipandang sebagai langkah antisipasi kedepan, yang
diperkirakan akan banyak timbul masalah sengketa antarlembaga negara seiring dengan makin
rumit dan kompleksnya urusan atau persoalan kenegaraan.
Masalahnya adalah apa yang dimaksudkan dengan sengketa kewenangan lembaga negara?
Dan yang selalu menjadi pertanyaan adalah siapa yang bisa disebut atau dikualifikasi sebagai
lembaga negara. Istilah atau terminologi lembaga negara ini merupakan istilah yang belum
begitu jelas dan multitafsir, terutama pascaperubahan UUD 1945. Namun istilah itu sudah
ditempatkan menjadi sebuah norma dalam konstitusi (Pasal 24C ayat 1 dan Pasal II Aturan
Peralihan UUD 1945) maupun UUMK, yang terkait soal pengaturan subyek pemohon dalam
pengujian undang-undang (Pasal 51 ayat 1 huruf d UU No.24/2003). Hal ini berbeda jika
merujuk pada pengaturan sebelumnya dalam UUDS 1950 dan Ketetapan MPR No. III tahun
1978 yang menyebutkan dengan jelas siapa saja yang disebut sebagai organ/lembaga negara.
Hal ini bisa menjadi persoalan ketika akan menentukan legal standing, siapa yang bisa
mengajukan permohonan jika ada sengketa ke MK. Perihal keduanya tidak mendapat
penjelasan lebih lanjut dalam UUMK.
Pengertian sengketa kewenangan antar lembaga negara itu sendiri, menurut Jimly
Asshiddiqie ialah, perbedaan pendapat yang disertai persengketaan dan klaim antara
lembaga negara yang satu dengan lembaga negara lainnya, mengenai kewenangan yang
dimiliki oleh masing-masing lembaga negara tersebut.24 Sedangkan yang menjadi objek
sengketa ialah kewenangan konstitusional dari masing-masing lembaga negara, bilamana
terjadi sengketa penafsiran dalam pelaksanaan kewenangan konstitusonal tersebut, antara
lembaga negara satu dengan lainnya, sehingga terjadi tumpang tindih.25 Dalam konteks ini,
menurut Fajrul Falakh, yang penting berkaitan dengan kewenangan MK ini adalah kualifikasi
sengketa macam apa dari sengketa lembaga negara yang menjadi kompetensi MK. Didalam
UUD disebutkan wewenang konstitusional, jadi kuncinya disitu.26
Sedangkan mengenai apa dan siapa lembaga negara itu, berdasarkan hasil penelitian KRHN
bersama Sekretariat Jendral MKRI, dapat disimpulkan bahwa lembaga negara yang diatur
dengan jelas dalam UUD 1945 ada 18 yaitu; MPR, DPR, DPD, Presiden, Kementrian Negara,
MA, BPK, Pemerintah Daerah Propinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, DPRD Propinsi,
DPRD Kabupaten/Kota, komisi pemilihan umum, Komisi Yudisial, MK, bank sentral, TNI,
Kepolisian, dan Dewan Pertimbangan Presiden. Namun dari 18 lembaga negara tersebut yang
berpotensi terjadinya sengketa dan dapat menjadi pihak di MK ada 16 lembaga negara yaitu;
MPR, DPR, DPD, Presiden, Kementrian Negara, MA, BPK, Pemerintah Daerah Propinsi,
24 Jimly Asshiddiqie, Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara, Konstitusi Press, 2006, hal. 4.
25 Ibid., hal. 13. 26 Lihat dalam transkip Expert Meeting Revisi UU Mahkamah Konstitusi, diselenggarakan oleh KRHN-DRSP di Hotel Millenium, Jakarta, 27-28 Agustus 2007.
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, DPRD Propinsi, DPRD Kabupaten/Kota, komisi
pemilihan umum, Komisi Yudisial, MK, TNI, Kepolisian, dan Dewan Pertimbangan Presiden.27
Menyangkut persoalan lembaga negara, beberapa hakim konstitusi memiliki posisi dan
pendapat yang berbeda. Menurut Jimly Asshiddiqie, setidaknya ada 28 lembaga negara yang
terdapat di dalam UUD, baik yang disebutkan secara eksplisit maupun implisit, yaitu: 1)
Presiden; 2) Wakil Presiden; 3) Dewan pertimbangan presiden; 4) Kementrian Negara; 5) Duta;
6) Konsul; 7) Pemerintah Daerah Propinsi; 8) Gubernur; 9) DPRD Propinsi; 10) Pemerintah
Daerah Kabupaten; 11) Bupati; 12) DPRD Kabupaten; 13) Pemerintah daerah Kota; 14)
Walikota; 15) DPRD Kota; 16) Majelis Permusyawaratan Rakyat; 17) Dewan Perwakilan Rakyat;
18) Dewan Perwakilan daerah; 19) Komisi pemilihan umum; 20) Bank sentra; 21) Badan
Pemeriksa Keuangan; 22) Mahkamah Agung: 23) Mahkamah Konstitusi; 24) Komisi Yudisial;
25) Tentara Nasional Indonesia; 26) Kepolisian Negara RI; 27) Satuan pemerintah daerah yang
bersifat khusus/istimewa; 28) Kesatuan Masyarakat Hukum Adat. Di samping itu terdapat
badan-badan lain yang fungsinya terkait dengan kekuasaan kehakiman. Dari 28 organ atau
subyek tersebut, yang keberadaan dan kewenangannya ditentukan dengan tegas dalam UUD
1945 hanya 23 organ atau 24 subyek jabatan. Empat organ lainnya yaitu, bank sentral, duta,
konsul dan badan-badan lain yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, tidak ditentukan
dengan tegas kewenangannya dalam UUD 1945.28
Lain halnya dengan Jimly, HAS Natabaya menyimpulkan bahwa lembaga/organ negara
yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945 adalah; MPR, DPR, DPD, Presiden, MA, MK,
BPK, Komisi Yudisial (KY), komisi pemilihan umum, Pemerintahan Daerah dan bank sentral.
Kecuali bank sentral, juga MA dan MK, apabila terjadi sengkata kewenangan antarlembaga
negara tersebut, maka dapat disampaikan gugatannya kepada MK.29 Sedangkan menurut
Harjono melalui pendekatan objectum litis, memasukkan Partai Politik sebagai lembaga negara.
Karena ketentuan UUD 1945 memberikan kewenangan konstitusional kepada partai politik
untuk mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 6A ayat (2) UUD 1945), serta hak partai
politik yang meraih suara terbanyak pertama dan kedua untuk mengajukan pasangan calon
Presiden dan Wakil Presiden yang akan dipilih oleh MPR (Pasal 8 ayat (3) UUD 1945).
27 Firmansyah Arifin dkk, Lembaga Negara & Sengketa Kewenangan AntarLembaga Negara, KRHN-MKRI, 2005, hal..
28 Jimly Asshiddiqie, Sengketa Kewenangan..., Op.cit., hal. 53-54.
29 HAS Natabaya, Menata Ulang Sistem Peraturan Perundang-Undangan Indonesia, Sekretariat Jendral dan
Kepaniteraan MK, 2008, hal. 215.
Menurutnya, karena yang menjadi objectum litis adalah kewenangan pencalonan Presiden dan
Wakil Presiden, maka dalam kasus demikian partai politik dengan sendirinya dikualifikasi
sebagai lembaga negara menurut UUD 1945. Dengan contoh tersebut, jelas yang dimaksud oleh
Pasal 24C UUD 1945 adalah sengketa kewenangan dan bukan sengketa lembaga negara.30
Dari berbagai pendapat diatas, dapat menunjukkan penafsiran yang beragam tentang apa
yang dimaksud dengan lembaga negara ataupun sengketa kewenangan lembaga negara.
Berbagai pendapat atau penafsiran tersebut tentunya membutuhkan penjelasan dan penegasan
dalam UUMK. Dalam perkembangannya, MK nampaknya telah menentukan pendirian
mengenai persoalan ini. Dalam putusan perkara SKLN yang diajukan oleh Drs. HM. Saleh
Manaf dan Drs. Solihin Sari, dengan termohon Presiden, Mendagri dan DPRD Kabupaten
Bekasi, telah ditegaskan bahwa;
.rumusan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, mempunyai maksud bahwa hanya kewenangan yang diberikan oleh undang-undang dasar saja yang menjadi objectum litis dari sengketa dan Mahkamah mempunyai wewenang untuk memutus sengketa yang demikian. Ketentuan yang menjadi dasar kewenangan Mahkamah tersebut sekaligus membatasi kewenangan Mahkamah, yang artinya apabila ada sengketa kewenangan yang tidak mempunyai objectum litis kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar, maka Mahkamah tidak mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus. Mahkamah berpendapat bahwa hal demikian itulah yang dimaksud oleh UUD 1945. Sengketa kewenangan yang kewenangan tersebut diberikan oleh undang-undang tidaklah menjadi kewenangan Mahkamah;31
Berdasarkan putusan tersebut, MK telah memberikan pengertian apa yang dimaksud
dengan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-
Undang Dasar. Dari putusan ini nampaknya kemudian mendasari lahirnya Peraturan
Mahkamah Konstitusi (PMK) No. 08/PMK/2006 tentang Pedoman Beracara Dalam Sengketa
Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara.32 Dalam PMK tersebut dijelaskan sebagai
berikut;
a. Lembaga Negara adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945
(pasal 1 angka 5).
b. Kewenangan konstitusional lembaga negara adalah kewenangan yang dapat berupa
wewenang/hak dan tugas/kewajiban lembaga negara yang diberikan oleh UUD 1945 (pasal 1
angka 6).
30 Harjono, Konstitusi Sebagai Rumah Bangsa, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008, hal. 461-462.
31 Putusan Nomor 004/SKLN-IV/2006, hal. 88
32 Putusan dibacakan dalam Sidang terbuka untuk umum pada tanggal 12 Juli 2008, sedangkan PMK tentang SKLN baru ditetapkan
pada 18 Juli 2008.
c. Sengketa adalah perselisihan atau perbedaan pendapat yang berkaitan dengan pelaksanaan
kewenangan antara dua atau lebih lembaga negara (pasal 1 angka 7).
Namun demikian, penegasan dan penjelasan mengenai sengketa kewenangan lembaga
negara, termasuk istilah lembaga negara itu sendiri, sudah merupakan materi dari undang-
undang. Tidak tepat jika hal tersebut hanya diatur dalam bentuk PMK, apalagi mengingat
bahwa UUMK tidak menjelaskan pengertian dari SKLN. Oleh karena itu pengertian yang telah
ditegaskan dalam putusan maupun PMK, sebaiknya ditempatkan menjadi materi undang-
undang MK.
Rekomendasi :
Pengertian mengenai apa yang dimaksud dengan sengketa kewenangan lembaga negara, serta penjelasan mengenai
lembaga negara dan kewenangan konstitusional sebagaiman diatur dalam PMK No. 08/PMK/2006, sebaiknya
ditempatkan menjadi materi UUMK.
3. Perselisihan Hasil Pemilihan Umum
Sengketa atau perselisihan hasil pemilu dapat dikatakan banyak macamnya. Namun, tidak
semua sengketa itu diselesaikan melalui MK. Selain MK, ada KPU, Lembaga Pengawas Pemilu,
Pengadilan umum yang juga menjadi bagian dari lembaga yang bertugas menyelesaikan
sengketa pemilihan umum. Adapun sengketa yang penyelesaiannya berada di tangan MK adalah
sengketa hasil akhir pemilu yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum secara Nasional.
Pengertian perselisihan pemilu seperti itu, tidak mendapatkan penjelasan di dalam UUMK.
Sebelumnya, perselisihan hasil pemilu hanya dimaknai atau dikhususkan bagi peserta
pemilu untuk anggota DPR, DPD, DPRD serta Pemilu untuk Presiden dan Wakil Presiden. Hal
ini tergambar dalam Pasal 74 dan 75 UUMK yang menjelaskan kurang lebih bahwa yang
dimaksud dengan sengketa hasil pemilu adalah sengketa tentang kesalahan hasil
penghitungan suara yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk anggota
DPD, Presiden dan Wakil Presiden serta Partai Politik. Ketentuan ini juga diikuti oleh
Peraturan MK Nomor : 04/Pmk/2004 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil
Pemilihan Umum, dan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor: 05/Pmk/2004 Tentang
Prosedur Pengajuan Keberatan Atas Penetapan Hasil Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil
Presiden Tahun 2004. Sedangkan pemilu bagi kepala daerah (Pilkada) Gubernur maupun
Bupati/Walikota, tidak termasuk obyek sengketa hasil yang ditangani MK. Penyelesaian
sengketa hasil pemilu pilkada ditangani oleh MA sebagaimana ditentukan lewat UU
Pemerintahan Daerah (UU No. 32/2004).
Hal itu dipengaruhi oleh pandangan bahwa pilkada dianggap termasuk dalam rezim
pengaturan Pemerintahan Daerah, bukan termasuk rezim pengaturan pemilu dalam konstitusi.
Pandangan tersebut kemudian seperti mendapat penegasan oleh MK dalam putusan pengujian
UU Pemda, bahwa;
.Mahkamah berpendapat bahwa secara konstitusional, pembuat undang-undang dapat saja memastikan bahwa Pilkada langsung itu merupakan perluasan pengertian Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E UUD 1945 sehingga karena itu, perselisihan mengenai hasilnya menjadi bagian dari kewenangan Mahkamah Konstitusi dengan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Namun pembentuk undang-undang juga dapat menentukan bahwa Pilkada langsung itu bukan Pemilu dalam arti formal yang disebut dalam Pasal 22E UUD 1945 sehingga perselisihan hasilnya ditentukan sebagai tambahan kewenangan Mahkamah Agung 33
Dalam perkembangannya pandangan tersebut telah dikoreksi. Dalam hal ini, politik legislasi
telah menempatkan pilkada merupakan bagian dari rezim pemilu. Setidaknya perspektif
demikian tercermin dalam pengaturan UU No. 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilihan
Umum. Disebutkan dalam Pasal 1 angka 4 dan angka 5 yang telah menyatuatapkan Pilkada
menjadi bagian dari Pemilu sesusai UUD 1945. Pergeseran pandangan dan perubahan arah
politik legislasi seperti itu, kemudian berpengaruh pula terhadap prosedur penanganan
perselisihan hasil pemilu pilkada. Dalam revisi terhadap UU Pemerintahan Daerah ditentukan,
perselisihan hasil pilkada yang semula ditangani MA, kini telah berpindah ke MK.34
Perpindahan prosedur penyelesaian sengketa hasil ini, sedikit banyaknya juga dipengaruhi oleh
putusan MA dan/atau Pengadilan Tinggi yang mengundang kontroversi, seperti putusan dalam
penyelesaian sengketa pilkada Depok, Sulawesi Selatan dan Maluku Utara. Perkembangan
lainnya, sebagai akibat dari putusan MK (putusan Nomor 5/PUU-V/2007), dalam pemilu
pilkada juga telah mengakomodasi dimungkinkannya pasangan calon kepala daerah dari
perseorangan (independen), selain pasangan calon kepala daerah yang diusulkan partai politik
atau gabungan partai politik.35
33 Lihat putusan MK Nomor 072-073/PMK/PUU-II/2004, hal. 115
34 Lihat UU No. 12 tahun 2008 tentang Perubahan Kedua UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 236C telah
dirumuskan bahwa, Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh
Mahkmah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan. 35 Lihat Pasal 56 ayat (2) dan Pasal 59 ayat (1) UU No. 12/2008 tentang Perubahan Kedua UU Pemerintahan Daerah.
Adanya perubahan-perubahan tersebut, tentunya memerlukan pemaknaan ulang terhadap
pengertian atau definisi terhadap perselisihan hasil pemilihan umum selama ini. Hal ini perlu
diperjelas dan ditegaskan karena akan mempengaruhi penentuan siapa saja subyek pemohon
perselisihan hasil pemilu di MK. Sayangnya, pengertian atau definisi tersebut tidak ditemukan
dalam UUMK. Pengertian perselisihan hasil pemilu malah terdapat dalam UU No. 10/2008
tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD. Disebutkan dalam Pasal 258 ayat (1)
UU No. 10/2008 bahwa, Perselisihan hasil Pemilu adalah perselisihan antara KPU dan
Peserta Pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional.
Sedangkan pada ayat (2) nya ditentukan, Perselisihan penetapan perolehan suara hasil
Pemilu secara nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah perselisihan penetapan
perolehan suara yang dapat mempengaruhi perolehan kursi Peserta Pemilu.
Meskipun terdapat sedikit gambaran dari pengertian atau definisi perselisihan hasil pemilu,
namun pengertian yang terkandung dalam UU No. 10/2008 itu masih bersifat sempit. Artinya,
konteks pengertian tersebut hanya dikhususkan bagi peserta pemilu yang disebutkan dalam UU
No. 10/2008 yaitu Anggota DPR, DPD dan DPRD. Pengertian tersebut dapat dikatakan belum
mencakup pengertian dari keseluruhan peserta pemilu sebagaimana tergambar dari perubahan-
perubahan tersebut diatas. Hal ini harus dijelaskan dalam UUMK agar tidak menimbulkan
ketidakpastian dan kekosongan hukum yang bisa menimbulkan ketidakadilan bagi para peserta
pemilu. Penjelasan yang dapat merangkum atau memberikan gambaran secara komprehensif
keseluruhan dari perubahan-perubahan diatas.
Rekomendasi;
Perlu ada penjelasan sendiri dalam UUMK tentang pengertian perselisihan hasil pemilihan umum. Pengertian
yang dimaksud pada intinya dapat mencakup pengertian yang akan menentukan subyek pemohon dalam
perselisihan hasil pemilu yang akan diajukan ke MK. Dalam hal ini perselisihan hasil pemilu adalah perselisihan
antara KPU dengan peserta pemilihan umum dalam pemilihan umum untuk anggota legeslatif (DPR, DPRD dan
DPD), eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden), dan juga untuk Kepala Daerah.
4. Pembubaran Partai Politik
Dalam sejarah politik Indonesia, pembubaran suatu partai politik seperti menjadi sesuatu
yang lumrah dan sering terjadi, khususnya ketika rezim pemerintah otoritarian berkuasa. Pada
masa Soekarno setidaknya tercatat dua parpol yang dibubarkan, yaitu MASYUMI dan PSI.
Kemudian pada masa Soeharto, selain pembubaran PKI, juga terdapat penggabungan partai-
part