163
PENGARUH KOMISARIS INDEPENDEN, KOMITE MANAJEMEN RISIKO, REPUTASI AUDITOR DAN KONSENTRASI KEPEMILIKAN TERHADAP PENGUNGKAPAN ENTERPRISE RISK MANAGEMENT (DIMENSI COSO ERM FRAMEWORK) ( Studi Empiris pada Perusahaan Nonfinancial yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Periode Tahun 2009-2011 ) SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Ekonomi Oleh : Enesti Eka Putri NIM : 109082000200 JURUSAN AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2013 M / 1434 H

PENGARUH KOMISARIS INDEPENDEN, KOMITE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/23976/1/Enesti... · 2. Anggota Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM) SMK Muhammadiyah 09

Embed Size (px)

Citation preview

PENGARUH KOMISARIS INDEPENDEN, KOMITE MANAJEMEN RISIKO,

REPUTASI AUDITOR DAN KONSENTRASI KEPEMILIKAN TERHADAP

PENGUNGKAPAN ENTERPRISE RISK MANAGEMENT

(DIMENSI COSO ERM FRAMEWORK)

( Studi Empiris pada Perusahaan Nonfinancial yang Terdaftar di Bursa Efek

Indonesia Periode Tahun 2009-2011 )

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar

Sarjana Ekonomi

Oleh :

Enesti Eka Putri

NIM : 109082000200

JURUSAN AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2013 M / 1434 H

ii

iii

iv

v

vi

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. IDENTITAS PRIBADI

1. Nama : Enesti Eka Putri

2. Tempat & Tanggal Lahir : Sukoharjo, 19Agustus1991

3. Jenis Kelamin : Perempuan

4. Agama : Islam

5. Alamat : Jalan Cipulir II RT/RW. 009/004 No. 32,

Cipulir, Kebayoran Lama, Jaksel

6. Telepon : 08999158330/ (021) 7267038

7. Email : [email protected]

II. PENDIDIKAN FORMAL

1997-2003 : SD Negeri 04 Kartasura Jateng

2003-2006 : SMP Negeri 2Surakarta Jateng

2006-2009 : SMK Muhammadiyah 09 Jakarta

2009-2013 : Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Fakultas Ekonomi dan Bisnis Jurusan Akuntansi

III.PENGALAMAN ORGANISASI

1. Anggota ektrakurikuler Mading SMP Negeri 2 Surakarta

2. Anggota Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM) SMK Muhammadiyah 09

Jakarta periode 2006-2009

3. Anggota KBA Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

vii

ABSTRACT

The purpose of this research is to determine the influences of independent

commissioners, existence of risk management committee, auditor reputation and

concentrated ownership toward Enterprise Risk Management (ERM)

implementation in nonfinancial companies listed in Indonesia Stock Exchange

from 2009 to 2011. The sampling method in this research is purposive sampling

with 123 companies as population and 41 companies as samples. The ERM

practice is measured based on ERM index, which considers the eight dimension of

ERM by COSO framework.

This research uses multiple regression linear analysis method. The analysis

technique used in this research is assumption classic test, the hypothesis F-

statistic to test the effect together with the 5% confidence level and using the t-

statistics for testing the partial regression coefficient. The result of this research

that simultaneously independent commissioners, existence of risk management

committee, auditor reputation and concentrated ownership (P = 0.000 < α = 0.05)

had significant influence toward the disclosure of enterprise risk management by

COSO ERM framework. While partially risk management committee, auditor

reputation (P = 0.000 < α = 0.05) and concentrated ownership (P = 0.040 < α =

0.05) had significant influence toward the disclosure of enterprise risk

management but independent commissioners (P = 0.855 > α = 0.05) did not have

significant influence toward the disclosure of enterprise risk management.

Keywords: independent commissioners, risk management committee, auditor

reputation, concentrated ownership and disclosure of enterprise risk

management (ERM)

viii

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh komisaris

independen, keberadaan komite manajemen risiko, reputasi auditor dan

konsentrasi kepemilikan terhadap implementasi manajemen risiko perusahaan

(ERM) pada perusahaan nonfinansial yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia

tahun 2009-2011. Penelitian ini menggunakan metode purposive sampling dengan

jumlah populasi sebesar 123 perusahaan dan sampel sebesar 41 perusahaan.

Penerapan ERM diukur berdasarkan indeks ERM dengan mempertimbangkan

delapan dimensi COSO ERM framework. Teknik analisis yang digunakan pada

penelitian ini adalah uji asumsi klasik, uji hipotesis F-statistik untuk menguji

pengaruh secara bersama-sama dengan tingkat kepercayaan 5% serta

menggunakan t-statistik untuk menguji koefisien regresi parsial. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa secara simultan komisaris independen, komite manajemen

risiko, reputasi auditor dan konsentrasi kepemilikan (P = 0.000 < α = 0.05)

berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan ERM dengan COSO ERM

framework. Sementara secara parsial komite manajemen risiko, reputasi auditor (P

= 0.000 < α = 0.05) dan konsentrasi kepemilikan (P = 0.040 < α = 0.05)

berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan ERM, sedangkan komisaris

independen (P = 0.855 > α = 0.05) tidak berpengaruh signifikan terhadap

pengungkapan ERM.

Kata Kunci : komisaris independen, komite manajemen risiko, reputasi auditor,

konsentrasi kepemilikan dan pengungkapan manajemen risiko

perusahaan (ERM)

ix

KATA PENGANTAR

Al ‘ilmu bilaa ‘amalin kaassyajarin bilaa tsamarin

Alhamdulillaahirabbil’aalamiin. Segala puji dan syukur hanya bagi ALLAH

SWT yang telah melimpahkan segala rahmat dan kasih sayang-Nya kepada kita

semua karena hanya dengan ridho-Nya lah penulis dapat menyelesaikan skripsi

dengan judul “Pengaruh Komisaris Independen, Komite Manajemen Risiko,

Reputasi Auditor dan Konsentrasi Kepemilikan Terhadap Pengungkapan

Enterprise Risk Management (ERM) Berdasarkan Dimensi COSO ERM

Framework” (Studi Empiris Pada Perusahaan Nonfinansial Yang Terdaftar

Di Bursa Efek Indonesia Periode Tahun 2009-2011) ini. Shalawat dan salam

semoga selalu tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, selaku

uswatun hasanah bagi setiap rangkaian kehidupan kita, beserta para sahabat,

keluarga dan pengikutnya.

Dalam penulisan skripsi ini penulis tidak lepas dari berbagai hambatan dan

rintangan, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan

terima kasih yang tulus kepada semua pihak yang telah membantu baik moril

maupun materi dalam penyusunan skripsi ini kepada:

1. Keluargaku tercinta, Ayahanda dan Ibunda, Suparman dan Mariana, serta

adik-adikku, Lina, Tantri, Riffa dan Fattah, atas do’a, dukungan, kesabaran

dan keikhlasan yang tidak henti-hentinya. Semoga kita dapat menjadi anak

yang menjalani harapan setiap kedua orang tua yang ada di dunia ini. Amiiin.

2. Bapak Prof. Dr. Abdul Hamid, MS selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan

Bisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Dr. Yahya Hamja, MM selaku Dosen Pembimbing I atas waktu yang

telah diluangkan untuk ilmu, arahan dan nasehatnya selama penyusunan

skripsi ini

x

4. Ibu Atiqah, SE, Ak, M.Si selaku Dosen Pembimbing II atas waktu yang telah

diluangkan untuk ilmu, bantuan dan motivasinya selama penyusunan skripsi

ini

5. Ibu Dr. Rini, SE, Ak., M.Si selaku Ketua Jurusan Akuntansi Fakultas

Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Bapak Hepy Prayudiawan, SE, Ak., MM selaku Sekretaris Jurusan Akuntansi

Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta sekaligus Dosen Penguji komprehensif penulis.

7. Ibu Rahmawati, SE., MM. selaku Dosen Penguji komprehensif penulis.

8. Bapak Yoghi Citra Pratama, M.Si. selaku Dosen Penguji komprehensif

penulis.

9. Bapak Ady Cahyadi, SE. selaku Dosen Pembimbing Akademik

10. Para Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis yang telah memberikan ilmu dan

perhatiannya kepada para mahasiswanya tidak terkecuali penulis

11. Seluruh Staff Bagian Keuangan, Akademik, Jurusan dan Fakultas atas

pelayanannya selama ini

12. Kawan-kawan Akuntansi E dan Audit B ’09

Semoga ALLAH SWT membalas semua kebaikan mereka serta ilmu, amal

dan iman yang kita miliki dapat diterima di sisi-Nya. Akhirnya, dengan segala

kerendahan hati, penulis mempersembahkan skripsi ini kelak dapat bermanfaat

kepada semua pihak yang berkepentingan. Semoga ALLAH SWT senantiasa

mengiringi setiap langkah kita. Amiiin yaa rabbal ‘aalamiin.

Jakarta, 8 Juli 2013

Enesti Eka Putri

xi

DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan Skripsi ..................................................................... ii

Lembar Pengesahan Ujian Komprehensif ................................................... iii

Lembar Pengesahan Ujian Skripsi ........................................................... iv

Surat Pernyataan Keaslian Skripsi .......................................................... v

Daftar Riwayat Hidup ....................................................................................... vi

Abstract ................................................................................................................. vii

Abstrak ........................................................................................................ viii

Kata Pengantar .......................................................................................... ix

Daftar Isi ..................................................................................................... xi

Daftar Tabel ............................................................................................... xv

Daftar Gambar ........................................................................................... xvi

Daftar Lampiran ........................................................................................ xvii

BAB I. PENDAHULUAN .......................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1

B. Perumusan Masalah ................................................................ 19

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ............................................... 20

1. Tujuan Penelitian ................................................................ 20

2. Manfaat Penelitian .............................................................. 20

a. Bagi Ilmu Pengetahuan ................................................... 20

b. Bagi Perusahaan ............................................................. 21

c. Bagi Bagi Akuntan Publik .............................................. 21

d. Bagi Investor dan Analis Pasar Modal ........................... 21

xii

e. Bagi Regulator…….. ……………………………………. 21

BABII. TINJAUAN PUSTAKA…..……………………...……………... 22

A. TinjauanLiteratur…...………………………………...……… 22

1. Agency Theory (TeoriKeagenan).……..…………...……….. 22

2. Signalling Theory….………………..….….…...………..... 26

3.Risiko (Risk)………….…..…………….……………........ 27

4. Enterprise Risk Management (ERM)………….…...………. 28

5. ERM Framework……………………………………….. 31

6.Mekanisme Corporate Governance..……………………….. 35

7. Komisaris Independen……………………………………. 41

8. Risk Management Committee ………………………….... 43

9. Reputasi Auditor …………………………………………. 36

10. Struktur Kepemilikan……………………………………. 46

11. Konsentrasi Kepemilikan………………………………… 48

B. Keterkaitan Antar Variabel dan Perumusan Hipotesis…........... 56

1. Komisaris Independen dengan Pengungkapan ERM............ 56

2. Risk Management Committee (RMC) dengan Pengungkapan

ERM……………………………………….…................. 58

3. Reputasi Auditor dengan Pengungkapan ERM…………… 59

4.Konsentrasi Kepemilikan dengan Pengungkapan ERM....... 60

5. Komisaris Independen, Komite Manajemen Risiko, Reputasi

Auditor dan Konsentrasi Kepemilikan dengan Pengungkapan

ERM……………………………………………………….. 61

xiii

C. Hasil-hasil Penelitian Terdahulu...………………...………… 61

D. Kerangka Pemikiran…….……………….……..………......... 69

BABIII. METODOLOGI PENELITIAN.………………….………....... 70

A. Ruang Lingkup Penelitian………………………………....... 70

B. Metode Penentuan Sampel…...…………………………........ 70

C. Metode Pengumpulan Data…..………………………………. 71

D. Metode Analisis Data.…………………………………......... 72

1. Analisis Stasistik Deskriptif……..……………………....... 73

2. Uji Asumsi Klasik…….………………………………........ 74

a. Uji Normalitas Data…………………………….….…… 74

b. Uji Multikolonieritas……….…………………….…….. 77

c. Uji Heteroskedastisitas…………..………….…………. 78

d. Uji Autokorelasi ...…………….…...…………….…...... 79

3. Analisis Regresi Berganda…………………...…….....…… 81

4. Koefisien Determinasi……………………………………. 82

5. Pengujian Hipotesis……………………………………...... 84

a. Pengujian secara Simultan (Uji F)……………………… 84

b. Pengujian secara Parsial (Uji t)..……………………….. 84

E. Operasional Variabel Penelitian………………….……..... 85

1. Variabel Dependen…..………………………………….... 85

a. Pengungkapan ERM………….. …………………..…. 85

2. Variabel Independen……………...……………….……... 87

a. Komisaris Independen………………………………..… 87

b. Komite Manajemen Risiko (RMC)……..……...……... 87

xiv

c. Reputasi Auditor………..……………......………..…. 88

d. KonsentrasiKepemilikan……………………...…..…. 89

BAB IV. ANALISIS DAN PEMBAHASAN…………………...……….. 93

A. Gambaran Umum Objek Penelitian…………...…………..… 93

B. Hasil Analisis dan Pembahasan……………………………… 95

1. Statistik Deskriptif……………………………………….... 95

2. Uji Asumsi Klasik……………………………................... 100

a. Uji Normalitas...………………………...……………… 100

b. Uji Multikolonieritas………………………………….... 105

c. Uji Heteroskedastisitas..……………………..………..... 106

d. Uji Autokorelasi…………………………………..……. 108

3. Koefisien Determinasi.……………………………………. 110

4. Pengujian Hipotesis….……………………………………. 111

a. Pengujian secara Simultan (Uji F)..…………………….. 112

b. Pengujian secara Parsial (Uji t)………………………… 113

BAB V. PENUTUP………………………………………………………. 122

A. Kesimpulan……………………………………………..…….... 122

B. Implikasi……………………………………………...………... 123

C. Saran………………………………………............................... 125

DAFTAR PUSTAKA…………...…………………………………….….. 127

LAMPIRAN………………………………………………………………..134

xv

DAFTAR TABEL

Nomor Keterangan Halaman

2.1 Penelitian Terdahulu 65

3.1 Definisi Operasional Variabel dan Indikatornya 91

4.1 Rincian Sampel Penelitian 93

4.2 Daftar Nama Perusahaan 94

4.3 Hasil Statistik Deskriptif 96

4.4 Daftar Perusahaan dengan RMC terpisah dari komite audit 99

4.5 Hasil Uji Skewnessdan Kurtosis 101

4.6 Uji Normalitas : Nilai Kolmogrov Smirnov 103

4.7 Uji Multikolinieritas 106

4.8 Uji Autokorelasi 108

4.9 Uji Autokorelasi Run Test 109

4.10 Uji Goodness of Fit 110

4.11 Uji Simultan (F test) 112

4.12 Uji Parsial (t Test) 113

xvi

DAFTAR GAMBAR

Nomor Keterangan Halaman

2.1 Operasionalisasi kerangka kerja dan proses manajemen risiko 30

2.2 Infrastruktur Manajemen Risiko 31

2.3 COSO ERM Framework 32

2.4 Kerangka Pemikiran 69

4.1 Uji Normalitas: Grafik Normal Plot 104

4.2 Uji Normalitas: Grafik Histogram 104

4.3 Uji Heteroskedastisitas – Grafik Scatterplot 107

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Keterangan Halaman

1. Dimensi Pengungkapan ERM 134

2. Data Sampel Penelitian 140

3. Hasil Uji Regresi Berganda 143

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Isu mengenai risk management berkembang dengan pesat seiring dengan

meningkatnya jumlah perusahaan yang mulai mengungkapkan keberadaan

Risk Management Committee sebagai salah satu bentuk nyata adanya

Enterprise Risk Management. Tetapi di lain pihak, banyak perusahaan yang

belum mengetahui pentingnya manajemen risiko perusahaan. Manajemen

risiko perusahaan atau Enterprise Risk Management (ERM) merupakan suatu

strategi yang digunakan untuk mengevaluasi dan mengelola semua risiko

dalam perusahaan. Pendekatan terhadap pengelolaan risiko organisasi sering

disebut dengan manajemen risiko.

Manajemen risiko adalah salah satu disiplin yang menjadi popular

menjelang akhir abad ke dua puluh. Disiplin ini mengajak untuk secara logis,

konsisten dan sistematis melakukan pendekatan terhadap ketidakpastian masa

depan, sehingga memungkinkan kita untuk secara lebih hati-hati (prudent) dan

produktif menghindari hal-hal yang tidak berguna karena membuang sumber

daya secara tidak perlu dan mencegah hal-hal yang merugikan atau bahkan

meraup dan mengejar hal-hal yang bermanfaat. Ini semua dilakukan lebih dari

sekedar berdasarkan keyakinan dan keberuntungan, karena dalam mengelola

masa depan, kita harus mulai dengan mempelajari kemungkinan terjadinya

suatu peristiwa (event), dan bila terjadi bagaimana dampaknya

2

(consequences). Hal ini ditunjang dengan kemampuan untuk mempelajari dan

lebih memahami apa yang menjadi penyebab terjadinya peristiwa (source of

risk) tersebut. Karena bila dasarnya hanya keberuntungan, maka manajemen

risiko menjadi tidak ada artinya, dan bahkan mengaburkan suatu kebenaran

dan sekaligus memisahkan makna penyebab dari suatu peristiwa (Komite

Nasional Kebijakan Governance, 2011).

Krisis keuangan global pada tahun 2008 menimbulkan banyak

perdebatan mengenai pentingnya good corporate governance. Kegagalan

dalam penerapan good corporate governance telah dibahas dalam Sarbanes

Oxley Act yang selanjutnya menekankan pentingnya penerapan manajemen

risiko dalam perusahaan untuk mencegah terjadinya kecurangan pelaporan

keuangan. Penerapan manajemen risiko tersebut erat kaitannya dengan

pelaksanaan good corporate governance, yaitu prinsip transparansi yang

menuntut diterapkannya enterprise-wide risk management.

Beasley (2007) dalam Andarini dan Indira (2010) mengemukakan

bahwa lingkungan perusahaan yang berkembang pesat juga mengakibatkan

makin kompleksnya risiko bisnis yang harus dihadapi perusahaan. Berbagai

profil risiko yang dihadapi perusahaan saat ini berbeda dengan profil risiko

pada dekade sebelumnya. Perubahan teknologi, globalisasi dan perkembangan

transaksi bisnis seperti hedging dan derivative menyebabkan makin tingginya

tantangan yang dihadapi perusahaan dalam mengelola risiko yang harus

dihadapinya. Akibatnya, untuk menghadapi segala tantangan tersebut,

penerapan sistem manajemen risiko secara formal dan terstruktur merupakan

3

suatu keharusan bagi perusahaan. Apabila dilaksanakan dengan efektif, sistem

manajemen risiko dapat menjadi sebuah kekuatan bagi pelaksanaan good

corporate governance.

Menurut Handayani dkk. (2006) dalam Restuningdiah (2010)

mekanisme corporate governance dapat mengawasi manajemen dan

pengambil keputusan, sehingga memudahkan untuk memaksimalkan nilai

perusahaan. Corporate Governance merupakan konsep yang didasarkan pada

teori keagenan dan diharapkan dapat berfungsi sebagai alat untuk memberikan

keyakinan kepada para investor bahwa mereka akan menerima return atas

dana yang telah mereka investasikan. GCG digunakan sebagai sistem dan

struktur yang mengatur hubungan antara manajemen dengan pemilik baik

mayoritas maupun minoritas suatu perusahaan dengan kata lain sebagai

bentuk perlindungan investor adanya perbedaan kepentingan pemegang saham

(principle) dengan pihak manajemen (agent). Penerapan corporate

governance menuntut adanya perlindungan yang kuat terhadap hak-hak

pemegang saham terutama pemegang saham minoritas.

Beberapa hal yang yang terkait dengan mekanisme corporate

governance adalah kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, peran

dewan komisaris (jumlah dewan komisaris serta independensi dewan

komisaris). Dechow, et al., (1996) dan Beasley (1996) menemukan hubungan

yang signifikan antara peran dewan komisaris dengan pelaporan keuangan.

Mereka menemukan bahwa ukuran dan independensi dewan komisaris

4

mempengaruhi kemampuan mereka dalam memonitor proses pelaporan

keuangan.

Menurut Peasnell, et al.,(2005) dalam Restuningdiah (2010), dewan

komisaris dipercaya dapat memegang peranan penting dalam corporate

governance, terutama dalam memonitor manajemen puncak. Davidson, et al.,

(2005) dalam Restuningdiah (2010) menyatakan bahwa governance yang kuat

merupakan keseimbangan antara kinerja perusahaan dengan tingkat

pengawasan (level of monitoring) yang cukup. Beberapa hal yang terkait

dengan monitoring melalui mekanisme internal governance adalah dewan

komisaris independen, komite audit, fungsi audit internal dan pemilihan audit

eksternal.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kandungan informasi dalam

laporan keuangan menjadi salah satu isu penting dalam pasar modal

(Subiyantoro, 2006). Pasar modal yang efisien harus dapat memberikan

perlindungan kepada investor publik dari praktik bisnis yang tidak sehat (Suta,

2000). Perlindungan kepada investor publik dapat berupa pemberian informasi

dan fakta-fakta yang relevan mengenai perusahaan yang diatur melalui

peraturan pemerintah. Peraturan mengenai praktik pengungkapan informasi

perusahaan di Indonesia, khususnya yang bersifat wajib diatur oleh Bapepam

dan lembaga profesi. Selanjutnya, perusahaan dapat juga memberikan

pengungkapan yang bersifat sukarela (voluntary) sebagai tambahan

pengungkapan minimum yang telah ditetapkan (Meliana Benardi, dkk., 2009).

5

Pengungkapan laporan keuangan dapat mengurangi masalah keagenan

dengan cara menjembatani asimetri informasi yang terjadi antara manajemen

dengan pemegang saham. Banyaknya indikator yang diungkapkan dalam

laporan keuangan mampu meningkatkan nilai perusahaan. Perusahaan yang

telah mengungkapkan manajemen risiko dalam laporan tahunan perusahaan

memberikan sinyal positif bagi stakeholders bahwa perusahaan telah

menerapkan manajemen risiko sebagai salah satu aspek penting dalam tata

kelola perusahaan. Pandangan ini menunjukkan luas pengungkapan

perusahaan erat kaitannya dengan mekanisme untuk mengurangi asimetri

informasi guna menekan konflik kepentingan yang muncul akibat adanya

pemisahan kepemilikan dengan pengelolaan (Meliana Benardi, dkk., 2009).

Aspek pengawasan (monitoring) merupakan kunci penting demi

berjalannya sistem manajemen risiko perusahaan yang efektif. Dewan

komisaris berperan dalam mengawasi penerapan manajemen risiko untuk

memastikan perusahaan memiliki program manajemen risiko yang efektif

(Krus dan Orowitz, 2009) dalam Andarini dan Januarti (2010). Untuk

meringankan beban tanggung jawabnya yang begitu luas, dewan komisaris

dapat mendelegasikan tugas pengawasan risiko kepada komite pengawas

manajemen. Komite tersebut diharapkan dapat mendiskusikan kebijakan dan

panduan untuk mengatur proses manajemen risiko perusahaan (Krus dan

Orowitz, 2009). Menurut Subramaniam, et al., (2009) dalam Andarini dan

Januarti (2010), komite pengawas manajemen bisa merupakan komite audit

atau komite lain yang terpisah dari audit dan berdiri sendiri, meskipun

6

demikian tanggung jawab utama dari pengawasan manajemen risiko tetap di

tangan dewan komisaris secara penuh. Beberapa perusahaan masih

mendelegasikan tugas pengawasan risiko kepada komite auditnya (Beasley,

2007; Bates dan Leclerc, 2009; Krus dan Orowitz, 2009; COSO, 2009).

Namun, luasnya tanggung jawab dan tugas komite audit yang semakin berat

semakin menimbulkan keraguan mengenai kemampuannya untuk berfungsi

secara efektif (Harrison, 1987; Bates dan Leclerc, 2009). Tugas pengawasan

manajemen risiko membutuhkan pemahaman yang cukup mengenai struktur

dan operasi perusahaan secara keseluruhan beserta risiko-risiko yang terkait,

seperti risiko produk, risiko teknologi, risiko kredit, risiko peraturan, dan

sebagainya (Bates dan Leclerc, 2009). Alasan inilah yang menjadi landasan

beberapa perusahaan untuk menerapkan fungsi pengawasan tersebut pada

suatu komite pengawas manajemen yang terpisah dari audit dan berdiri

sendiri, yang secara khusus menangani peran pengawasan dan manajemen

risiko perusahaan, atau disebut dengan risk management committee (RMC).

Di Indonesia sendiri, perkembangan RMC mulai meningkat. Pemerintah

mulai memandatkan pembentukan RMC sebagai komite pengawas risiko pada

industri perbankan. Tetapi, berbeda dari industri perbankan dan finansial yang

diregulasi secara ketat, pembentukan RMC pada sektor industri lainnya di

Indonesia masih bersifat sukarela. Dalam sektor perbankan, istilah RMC

disebut sebagai Komite Pemantau Risiko melalui Peraturan Bank Indonesia

No.8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi

Bank Umum sebagai suatu kewajiban.

7

Aspek lain yang turut mendukung efektivitas penerapan manajemen

risiko perusahaan adalah auditor eksternal. Kualitas audit yang baik biasanya

berasal dari auditor skala besar. Auditor skala besar adalah auditor yang

bekerja sama dengan auditor internasional/luar negeri. Auditor skala besar

memiliki insentif lebih untuk mendeteksi dan melaporkan masalah kliennya

dan lebih memungkinkan mendeteksi praktik-praktik akuntansi yang masih

meragukan. Oleh karena itu, kualitas auditor dapat menjadi indikator yang

baik untuk meningkatkan nilai perusahaan. Auditor skala besar diyakini

mampu bekerja lebih profesional dan dapat mendeteksi adanya risiko-risiko

bisnis yang mungkin terjadi. Auditor yang berafiliasi dengan auditor

internasional juga memiliki reputasi yang lebih baik sehingga diharapkan

mampu mengurangi asimetri informasi.

Pemegang saham pengendali juga merupakan salah satu mekanisme tata

kelola internal jika terdapat satu atau lebih pemegang saham besar dalam

perusahaan. Desender (2010) berpendapat bahwa mungkin ada pengaruh

substitusi atau komplementer antara dimensi struktur kepemilikan (konsentrasi

/dispersi) dan dewan direksi dalam hal pemantauan manajerial. Pada struktur

kepemilikan yang lebih terkonsentrasi, investor besar memiliki insentif untuk

mengumpulkan informasi dan memantau manajemen secara langsung

(Shleifer dan Vishny, 1997), sehingga mereka tidak bergantung pada dewan

untuk masalah pemantauan. Selain itu, investor besar mampu memantau

kemampuan dewan, karena mereka memiliki akses informasi dan nilai yang

relevan (Heflin dan Shaw, 2000). Investor besar terlibat dengan manajemen

8

dalam menetapkan kebijakan perusahaan (Davies, 2002), memiliki beberapa

kemampuan untuk mempengaruhi voting dan mungkin mendapat perhatian

khusus dari manajemen (Useem, 1996). Oleh karena itu, pemegang saham

pengendali dapat memantau ketidaksinambungan manajerial yang terjadi

dalam perusahaan (Desender, 2010).

Isu mengenai ERM menjadi perdebatan banyak pihak terutama setelah

adanya krisis finansial global yang melanda Amerika Serikat pada tahun 2008.

Krisis ekonomi yang melanda Amerika Serikat terjadi akibat macetnya kredit

properti (subprime mortgage), sejenis kredit kepemilikan rumah (KPR) di

Indonesia. Hal tersebut diikuti dengan bangkrutnya lembaga-lembaga

keuangan di Amerika Serikat. Sebelum krisis, Alan Greenspan, selaku Ketua

The Fed, bank sentral Amerika Serikat, menerapkan suku bunga rendah pada

kisaran 1 hingga 2 persen. Yang menjadi masalah, lembaga keuangan pemberi

kredit pemilikan rumah (KPR) di Negeri Paman Sam itu banyak menyalurkan

kredit kepada penduduk yang sebenarnya tidak layak untuk mendapatkan

pembiayaan (Depkominfo, 2008:2).

Para lembaga penyalur kredit properti bersaing untuk mendapat

konsumen melalui penawaran produk kredit properti yang cukup bervariasi

tanpa mengenal secara mendalam karakteristik risiko serta melunakkan

ketentuan mendapatkan kredit properti. Di sisi lain, ketika kredit perumahan

disekuritisasi menjadi produk instrumen investasi derivatif bertingkat, maka

gelembung likuiditas makin besar. Produk sekuritas juga diperjualbelikan

antarlembaga keuangan di pasar modal sehingga letusan gelembung likuiditas

9

turut mempengaruhi banyak lembaga keuangan dari berbagai penjuru dunia

(Depkominfo, 2008:4).

Kemudahan pemberian kredit terjadi justru ketika harga properti di AS

sedang naik. Pasar properti yang bergairah membuat spekulasi di sektor ini

meningkat. Kredit properti memberi suku bunga tetap selama tiga tahun yang

membuat banyak orang membeli rumah dan berharap bisa menjual dalam tiga

tahun sebelum suku bunga disesuaikan. Sementara, untuk memberikan kredit,

lembaga-lembaga itu umumnya meminjam dana jangka pendek dari pihak

lain, termasuk lembaga keuangan. Perusahaan pembiayaan kredit rumah juga

menjual surat utang (mirip subprime mortgage securities) kepada lembaga-

lembaga investasi dan investor di berbagai negara. Beberapa perusahaan

pembiayaan kredit rumah, seperti Fannie Mae & Freddie Mac mendapatkan

dana dengan menjual surat utang ke bank komersial, bank devisa, atau

perusahaan asuransi, diantaranya Lehman Brothers atau AIG (Depkominfo,

2008:2).

Pada tanggal 14 September 2008, Lehman Brothers, bank investasi

terbesar ke-4 di Amerika Serikat mengumumkan kebangkrutannya akibat

krisis solvabilitas/permodalan. Lehman Brothers yang telah berumur 158

tahun dan mampu bertahan dari beberapa krisis sebelumnya termasuk The

Great Depression, mengalami kesulitan menambah modal guna menutup

kerugian terkait eksposurnya terhadap unsecured debt termasuk subprime

mortgage di AS. Jatuhnya Lehman Brothers secara sederhana disebabkan oleh

kemandekan di pasar keuangan. Krisis kepercayaan melonjak menyebabkan

10

perbankan menolak untuk melakukan transaksi dengan Lehman Brothers.

Penyebab jatuhnya Lehman Brothers hampir sama dengan yang menimpa

Nothern Rock di Inggris. Lehman Brothers yang merupakan salah satu bank

investasi terbesar di AS memiliki bisnis trading yang sangat kompleks,

memiliki eksposur sekuritas yang berisiko tinggi seperti sekuritas berbasis

kredit properti subprime dan segala produk turunannya.

Bangkrutnya Lehman Brothers pada awal September 2008 ditandai

oleh kondisi keuangan dengan utang yang mencapai sekitar 613 miliar dolar

AS dengan kreditur utama Mizuho Bank dan Citigroup HongKong. Untuk

meredam kepanikan investor, Lehman Brothers berusaha mengumumkan lebih

awal laporan keuangan triwulan III-2008 yang mencatat kerugian sekitar 3,9

miliar dolar AS dan akan menjual 55% aset unit pengelolaan investasi, serta

divestasi 25-30 miliar dolar AS kepemilikannya pada real estate komersial.

Namun upaya tersebut tidak berhasil, harga saham Lehman Brothers telah

jatuh hingga dinilai sebesar 29 sen dolar AS per lembar.

Lehman Brothers mengajukan petisi bangkrut kepada US Bankcruptcy

Court setelah upaya penyelamatan bank investasi yang berumur 158 tahun

tersebut gagal. Kebangkrutan Lehman menyebabkan sekitar 5000 tenaga kerja

di PHK. Kejatuhan Lehman ini juga memicu lonjakan persepsi risiko di pasar

keuangan global sehingga krisis kepercayaan antar pelaku pasar keuangan

memuncak dan likuiditas sulit diperoleh. Hal tersebut kembali memicu

penarikan dana asing dari emerging market secara besar-besaran sehingga

11

menekan stabilitas nilai tukar dan pasar keuangan global (Bank Indonesia,

2009).

Kondisi keuangan global menghadapi tekanan yang berat disusul

dengan krisis keuangan Eropa setelah krisis keuangan Amerika Serikat pada

tahun 2008. Krisis keuangan Eropa berawal dari defisit anggaran pemerintah

yang semakin besar di negara-negara kawasan Eropa terutama negara-negara

lapisan pertama yaitu Yunani, Irlandia, dan Portugal. Sementara itu

melebarnya defisit anggaran pemerintah dibarengi dengan rasio hutang per

PDB yang menyebabkan kemampuan memperoleh pembiayaan defisit

terbatas. Tidak berfungsinya kebijakan moneter dalam kawasan Eropa,

terbatasnya ruang gerak fiskal, serta tidak terlihatnya upaya pemulihan,

mendorong perlambatan bahkan penurunan perekonomian pada beberapa

negara kawasan Eropa (Bappenas, 2011).

Krisis keuangan Eropa dikhawatirkan dapat melebar tidak hanya di

kawasan Eropa bahkan global. Proses perambatan krisis keuangan Eropa

diperkirakan bersumber dari sistem perbankan yang saling terkait dan

kompleks didalam kawasan Eropa maupun dengan luar kawasan Eropa seperti

Amerika dan Jepang. Dengan demikian, pada saat satu negara pada lapisan

pertama (Yunani, Irlandia, Portugal) mengalami default, maka akan

mempengaruhi perbankan negara lain terutama Perancis. Krisis global tidak

berpengaruh besar terhadap jalur perdagangan langsung (direct trade) antara

Indonesia dengan Eropa maupun dengan Amerika Serikat. Tetapi, jalur

perdagangan tidak langsung (indirect trade) Indonesia dengan Eropa dan

12

Amerika akan terpengaruh melalui China. China yang merupakan importir

terbesar barang Indonesia diperkirakan akan mengurangi impornya

disebabkan permintaan negara-negara maju menurun terhadap barang China.

Dalam jangka waktu yang lebih panjang (menengah panjang), krisis global

diperkirakan akan memberi dampak yang besar pada sektor riil terutama

perdagangan terkait perlambatan perekonomian dunia terutama pada negara-

negara maju (Bappenas, 2011).

Beberapa risiko yang berpotensi muncul akibat melemahnya

perekonomian Amerika Serikat dan Uni Eropa adalah pelemahan permintaan

dari AS dan Uni Eropa, perebutan pasar perdagangan ke Asia, serta upaya

melakukan global rebalancing. Pelemahan permintaan dari negara Amerika

Serikat dan Uni Eropa akan berpotensi menurunkan ekspor Indonesia ke

kedua negara tersebut. Amerika Serikat dan Uni Eropa (terutama: Belanda,

Jerman, dan Inggris) merupakan mitra dagang utama Indonesia, dimana

pangsa pasar ekspor nonmigas ke kedua negara ini terlihat dalam trend yang

menurun dengan indeks intensitas perdagangan (trend intensity index) yang

tidak terlalu tinggi. Salah satu alternatif dari proses penyeimbangan global

(global rebalancing) adalah Amerika harus meningkatkan ekspornya (untuk

mengurangi defisit) dan negara-negara berkembang (seperti: China dan negara

Asia lainnya) harus mengurangi ekspornya. Proses ini tentunya akan

memberikan risiko terhadap penurunan kinerja ekspor Indonesia, terutama

karena Indonesia merupakan salah satu supplier bahan baku/bahan mentah ke

China dan India (Bappenas, 2011).

13

Kisah Lehman Brothers dan krisis finansial global yang melanda

Amerika Serikat dan Eropa memberikan pelajaran penting bagi semua institusi

keuangan untuk menjaga keseimbangan dalam pengelolaan risiko dan upaya

memaksimalkan keuntungan. Dalam hal pengelolaan aset, menjadi penting

untuk mendiversifikasikan jenis penempatan sehingga potensi risiko tidak

terkonsentrasi pada suatu jenis penempatan (Bank Indonesia, 2008).

Sementara itu, Lehman Brothers merupakan salah satu dari sekian

banyak perusahaan yang mengalami krisis finansial pada tahun 2008. Dengan

adanya krisis finansial tahun 2008, perusahaan di seluruh dunia menjadi lebih

menyadari pentingnya penerapan Enterprise Risk Management untuk

mewujudkan tata kelola perusahaan yang baik dan menjaga kesinambungan

(going concern) perusahaan, karena ERM diyakini memiliki peran penting

dalam efektivitas penerapan good corporate governance sebagai tata kelola

internal perusahaan. Selain itu, menjadi penting bagi perusahaan untuk lebih

mempertimbangkan situasi dan kondisi eksternal perusahaan selain tata kelola

internal yang baik.

Peristiwa yang dialami oleh Lehman Brothers memberikan bukti

bahwa perusahaan besar yang memiliki tata kelola internal perusahaan yang

baik dan mampu bertahan dari gejolak perekonomian dunia, belum menjadi

jaminan sepenuhnya bahwa perusahaan telah menerapkan manajemen risiko

untuk mengelola eksposur risiko yang mungkin terjadi. Pada era globalisasi

keuangan saat ini, perusahaan pada dasarnya dihadapkan dengan risiko yang

14

kompleks, tidak hanya risiko yang berasal dari internal perusahaan, tetapi juga

risiko yang berasal dari eksternal perusahaan.

Krisis keuangan global menyadarkan perusahaan dan lembaga

keuangan di seluruh dunia untuk lebih berhati-hati dalam mengelola risiko

keuangan, seperti risiko kredit, risiko mata uang asing, risiko tingkat suku

bunga, risiko likuiditas, risiko harga pasar dan risiko harga lainnya. Hal ini

juga tidak terkecuali bagi perusahaan-perusahaan non finansial, karena

perusahaan non finansial selain memiliki eksposur risiko yang tinggi terkait

keuangan tetapi juga risiko yang terkait dengan operasional perusahaan seperti

risiko reputasi; risiko persaingan usaha; risiko katastropik (bencana alam);

risiko harga komoditas; risiko produk; risiko biaya modal; risiko hukum dan

regulasi; risiko lingkungan sosial, politik dan budaya; serta risiko informasi

dan teknologi.

Mencermati hal di atas bahwa perusahaan non finansial juga memiliki

eksposur risiko yang tinggi terkait operasional perusahaan selain risiko

keuangan, membuat peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana penerapan

manajemen risiko pada perusahaan non finansial melalui pengungkapan pada

laporan tahunan perusahaan. Mengingat saat ini di Indonesia, pengungkapan

manajemen risiko hanya diwajibkan bagi perusahaan perbankan dan lembaga

keuangan, sedangkan bagi perusahaan non finansial masih bersifat voluntary

(sukarela).

Penelitian sebelumnya mengenai faktor-faktor yang berpengaruh pada

penerapan ERM telah dilakukan namun menunjukkan hasil yang tidak

15

konsisten. Kleffner et al. (2003) menemukan bahwa adanya Chief Risk

Officer, jumlah dewan direksi, dan kepatuhan atas pedoman yang dikeluarkan

bursa efek merupakan kunci sukses penerapan ERM. Hasil penelitian Beasley

et al,. (2005) dan Desender (2007) menunjukkan bahwa keberadaan Chief Risk

Officer, komisaris independen, tipe auditor dan ukuran perusahaan

berpengaruh pada tingkat pengungkapan ERM. Penelitian lain juga

menunjukkan bahwa dewan direksi merupakan pihak yang berperan penting

dalam penerapan ERM (Lam, 2001; Walker et al., 2002).

Selain itu, sebagian besar penelitian terdahulu yang membahas

hubungan karakteristik dewan dan perusahaan terhadap keberadaan komite

hanya berfokus mengenai komite audit (Carson, 2002; Firth dan Rui, 2006;

Chen, et al., 2009), komite nominasi (Carson, 2002 dan Ruigrok, et al., 2006),

dan komite remunerasi (Carson, 2002). Carson (2002) menemukan hasil yang

berbeda pada keberadaan komite audit, komite remunerasi, dan komite

nominasi. Keberadaan komite audit ditemukan berhubungan positif dengan

auditor Big Six dan jumlah hubungan intercorporate komisaris dalam

perusahaan. Komite remunerasi berhubungan positif dengan auditor Big Six,

hubungan intercorporate dan tingkatan yang tinggi dari investasi institusional.

Sementara itu, keberadaan komite nominasi tidak berhubungan dengan auditor

Big Six, komisaris, maupun investor, namun berhubungan dengan ukuran

dewan dan leverage (Carson, 2002).

Penelitian Ruigrok, et al. (2006) menemukan bahwa perusahaan

dengan komite nominasi cenderung memiliki jumlah komisaris independen

16

dengan keragaman kebangsaaan dalam perusahaan yang lebih tinggi.

Selanjutnya, Firth dan Rui (2006) menunjukkan bahwa perusahaan dengan

kepemilikan saham terdispersi, proporsi komisaris independen yang lebih

tinggi, dan auditor eksternal non Big Five cenderung untuk mengadopsi

komite audit secara sukarela. Chen, et al. (2009) juga menemukan bahwa

faktor-faktor seperti leverage, ukuran perusahaan, ukuran dewan, proporsi

komisaris independen, dan CEO independen berhubungan positif dengan

pembentukan komite audit secara sukarela. Namun demikian, hasil penelitian

Andarini dan Indira (2010) menunjukkan bahwa komisaris independen,

ukuran dewan komisaris, reputasi auditor, kompleksitas, risiko pelaporan

keuangan dan leverage tidak berpengaruh terhadap keberadaan risk

management committee. Sedangkan ukuran perusahaan berhubungan positif

terhadap keberadaan risk management committee baik yang tergabung dengan

komite audit maupun terpisah dengan komite audit dan berdiri sendiri.

Penelitian mengenai Risk Management Committee oleh Restuningdiah

(2010) yang merupakan kelanjutan dari penelitian Davidson, et al., (2005)

menunjukkan bahwa mekanisme internal governance yang diproksi dengan

dewan komisaris independen, komite audit, fungsi audit internal dan risk

management committee tidak berpengaruh terhadap manajemen laba. Hal ini

mengindikasikan bahwa mekanisme internal governance yang diharapkan

dapat mengatasi masalah keagenan terkait dengan manajemen laba (income

smoothing) belum merupakan jaminan sepenuhnya bagi perusahaan dalam

memaksimalkan fungsi pengawasan.

17

Penelitian selanjutnya juga mengangkat isu serupa mengenai pengaruh

Corporate Governance dan Konsentrasi Kepemilikan pada Pengungkapan

Enterprise Risk Management oleh Meisaroh dan Lucyanda (2011). Penelitian

ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh komisaris independen, ukuran

dewan komisaris, keberadaan RMC, reputasi auditor dan konsentrasi

kepemilikan dengan pengungkapan ERM yang diukur melalui dimensi COSO

ERM Framework dengan kriteria 108 pengungkapan. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa komisaris independen dan ukuran dewan komisaris tidak

berpengaruh pada pengungkapan ERM. Sementara itu, keberadaan RMC,

reputasi auditor dan konsentrasi kepemilikan berpengaruh terhadap

pengungkapan ERM.

Penelitian mengenai ERM belum banyak dilakukan meskipun

perkembangan ERM telah berkembang pesat. Oleh karena itu, penelitian

mengenai ERM sangat menarik untuk dilakukan mengingat ERM merupakan

isu yang masih baru. Selain itu implementasi ERM erat kaitannya dengan

penerapan good corporate governance. Hal ini karena aspek pengawasan yang

dilakukan dewan komisaris, komite pengawas manajemen risiko, eksternal

auditor dan kepemilikan yang terkonsentrasi merupakan kunci penting

terlaksananya sistem manajemen risiko yang efektif.

Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan dari penelitian sebelumnya

yang mereplikasi variabel pengungkapan Enterprise Risk Management

sebagai variabel dependen pada penelitian Meisaroh dan Lucyanda (2011).

18

Untuk membedakannya dengan penelitian sebelumnya, maka peneliti

melakukan beberapa perubahan diantaranya adalah:

1. Penelitian ini tidak mengikutsertakan variabel ukuran dewan komisaris

dalam penelitian Meisaroh dan Lucyanda (2011), karena variabel

komisaris independen yang menggunakan proksi proporsi komisaris

independen terhadap jumlah keseluruhan dewan komisaris telah

mencerminkan ukuran dewan komisaris seluruhnya.

2. Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah perusahaan publik

yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) kecuali perusahaan sektor

keuangan pada periode 2009 hingga 2011. Sedangkan populasi yang

digunakan dalam penelitian Meisaroh dan Lucyanda (2011) adalah

perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada

tahun 2009.

3. Variabel Komite Manajemen Risiko dalam penelitian ini diukur dengan

variabel dummy dimana nilai satu diberikan untuk perusahaan yang

memiliki komite manajemen risiko terpisah dari komite audit dan berdiri

sendiri, sedangkan pada penelitian Meisaroh dan Lucyanda (2011) nilai

satu diberikan untuk perusahaan dengan komite manajemen risiko.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

karena adanya perbedaan dari beberapa hasil peneliti terdahulu. Maka penulis

akan mengajukan penelitian dengan judul : “Pengaruh Komisaris

Independen, Komite Manajemen Risiko, Reputasi Auditor dan

Konsentrasi Kepemilikan terhadap Pengungkapan Enterprise Risk

19

Management (Dimensi COSO ERM Framework)” (Studi Empiris pada

Perusahaan Nonfinancial yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

Periode Tahun 2009-2011)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dirumuskan di atas bahwa aspek

pengawasan merupakan salah satu kunci berjalannya sistem manajemen risiko

di perusahaan yang efektif dan penerapan enterprise risk management (ERM)

pada perusahaan tidak terlepas dari upaya untuk mewujudkan good corporate

governance, maka rumusan masalah yang hendak dikaji dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut:

1. Apakah komisaris independen memiliki pengaruh yang signifikan secara

parsial terhadap pengungkapan Enterprise Risk Management (ERM)?

2. Apakah komite manajemen risiko (RMC) yang terpisah dari audit

memiliki pengaruh yang signifikan secara parsial terhadap pengungkapan

Enterprise Risk Management (ERM)?

3. Apakah reputasi auditor memiliki pengaruh yang signifikan secara parsial

terhadap pengungkapan Enterprise Risk Management (ERM)?

4. Apakah konsentrasi kepemilikan memiliki pengaruh yang signifikan

secara parsial terhadap pengungkapan Enterprise Risk Management

(ERM)?

5. Apakah komisaris independen, komite manajemen risiko, reputasi auditor

dan konsentrasi kepemilikan memiliki pengaruh yang signifikan secara

simultan terhadap pengungkapan Enterprise Risk Management (ERM)?

20

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah, penelitian ini bertujuan untuk

menemukan bukti empiris mengenai hal-hal sebagai berikut:

a. Menganalisis besarnya pengaruh komisaris independen secara parsial

terhadap pengungkapan Enterprise Risk Management (ERM).

b. Menganalisis besarnya pengaruh keberadaan komite manajemen risiko

(RMC) yang terpisah dari audit secara parsial terhadap pengungkapan

Enterprise Risk Management (ERM).

c. Menganalisis besarnya pengaruh reputasi auditor secara parsial terhadap

pengungkapan Enterprise Risk Management (ERM).

d. Menganalisis besarnya pengaruh konsentrasi kepemilikan secara parsial

terhadap pengungkapan Enterprise Risk Management (ERM).

e. Menganalisis besarnya pengaruh komisaris independen, komite

manajemen risiko (RMC), reputasi auditor dan konsentrasi kepemilikan

secara simultan terhadap pengungkapan Enterprise Risk Management

(ERM).

2. Manfaat Penelitian

Adapun hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat

dan kontribusi sebagai berikut:

a. Bagi perkembangan ilmu pengetahuan

Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan

dan memperkuat penelitian sebelumnya terutama mengenai pengaruh

21

komisaris independen, komite manajemen risiko, reputasi auditor dan

konsentrasi kepemilikan terhadap pengungkapan ERM.

b. Bagi Manajemen Perusahaan

Dengan adanya penelitian ini diharapkan manajemen perusahaan lebih

transparan dalam mengungkapkan informasi mengenai perusahaan dan

menganalisis arti penting penerapan manajemen risiko oleh perusahaan

serta dalam rangka mewujudkan Good Corporate Governance.

c. Bagi profesi akuntan publik

Dengan adanya penelitian ini diharapkan akuntan publik lebih

memahami tentang penerapan manajemen risiko perusahaan sebagai

bahan pertimbangan dalam menilai efektivitas pengendalian internal

perusahaan dan memberikan opini audit yang sesuai.

d. Bagi Investor dan Analis Pasar Modal

Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan

pertimbangan pada saat melakukan investasi dan memberikan kredit

dengan melihat bagaimana penerapan manajemen risiko yang dilakukan

oleh perusahaan.

e. Bagi Regulator (Pembuat Kebijakan)

Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan

pertimbangan bagi pembuat regulasi yang berkaitan dengan arti penting

penerapan manajemen risiko bagi perusahaan nonfinancial di Indonesia

mengingat pengungkapan manajemen risiko perusahaan (ERM) masih

bersifat voluntary.

22

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Literatur

1. Agency Theory

Agency theory sering digunakan sebagai landasan dalam penelitian-

penelitian sebelumnya mengenai corporate governance, khususnya

tentang keberadaan komite yang diharapkan dapat memitigasi adanya

konflik antara agen dan prinsipal. Hal ini dikarenakan pentingnya aspek

pengawasan (monitoring) demi terwujudnya good corporate governance.

Teori agensi merupakan teori yang mendasari praktik bisnis perusahaan

yang telah dipakai selama ini. Teori ini menyatakan adanya hubungan

kerja antara pihak yang memberi wewenang (prinsipal) dengan pihak yang

menerima wewenang (agen) dalam bentuk sebuah kontrak kerjasama.

Fama dan Jensen (1983) dalam Meisaroh dan Lucyanda (2011)

menyatakan bahwa teori ini adalah serangkaian mekanisme untuk

menyatukan kepentingan pemegang saham dan manajer seperti adanya

mekanisme pengawasan internal oleh dewan komisaris dan komite audit

pengawasan dari pemegang saham mayoritas (Shleifer dan Vishny, 1986),

adanya pengendalian internal (Matsumura dan Tucker, 1992), serta

pengawasan eksternal yang dilakukan eksternal auditor atas laporan

keuangan perusahaan (Watts dan Zimmerman, 1986). Sistem kontrol

23

diatas dirancang untuk memantau kinerja perusahaan dan diharapkan dapat

menjelaskan konflik keagenan yang terjadi.

Dalam teori agensi, baik principal maupun agent diasumsikan sebagai

orang-orang ekonomi yang rasional dan semata-mata termotivasi oleh

kepentingan pribadinya masing-masing. Dari situasi ini timbullah konflik

kepentingan antara principal dan agent.

Ada beberapa kemungkinan konflik dalam hubungan antara prinsipal

dengan agen (agency conflict), konflik yang timbul sebagai akibat dari

keinginan manajemen (agen) untuk melakukan tindakan yang sesuai

dengan kepentingannya yang dapat mengorbankan kepentingan pemegang

saham (prinsipal) untuk memperoleh return dan nilai jangka panjang

perusahaan. Jensen dan Meckling dalam Larasati (2009) yang berpendapat

bahwa agency conflict timbul pada berbagai hal sebagai berikut:

a. Moral-Hazard

Manajemen memilih investasi yang paling sesuai dengan kemampuan

dirinya dan bukan yang paling menguntungkan bagi perusahaan.

b. Earning Retention

Manajemen cenderung mempertahankan tingkat pendapatan

perusahaan yang stabil, sedangkan pemegang saham lebih menyukai

distribusi kas yang lebih tinggi melalui beberapa peluang investasi

internal yang positif.

24

c. Risk Aversion

Manajemen cenderung mengambil posisi aman untuk mereka sendiri

dalam mengambil keputusan investasi. Dalam hal ini, mereka akan

mengambil keputusan investasi yang sangat aman dan masih dalam

kemampuan manajer. Mereka akan menghindari keputusan investasi

yang dianggap menambah resiko bagi perusahaannya walaupun

mungkin hal itu bukan pilihan yang terbaik bagi perusahaan.

d. Time Horizon

Alijoyo dan Zaini (2004) dalam Setyarini (2011) menyatakan bahwa

manajemen cenderung hanya memperhatikan cashflow perusahaan

sejalan dengan waktu penugasan mereka. Hal ini dapat menimbulkan

bias dalam pengambilan keputusan yaitu berpihak pada proyek jangka

pendek dengan pengembalian akuntansi yang tinggi dan kurang atau

tidak berpihak pada proyek jangka panjang dengan pengembalian net

present value yang jauh lebih besar.

Masalah lain yang mungkin timbul dari hubungan keagenan ini yaitu

agen memiliki informasi yang lebih banyak dibandingkan dengan

prinsipal, sehingga menimbulkan adanya asimetri informasi yaitu kondisi

ketidakseimbangan perolehan informasi antara pihak manajemen sebagai

penyedia informasi dengan pihak pemegang saham dan stakeholder

sebagai pengguna informasi (Indrayati, 2010). Untuk meredam tindakan

para agent yang tidak sesuai dengan kepentingannya, principal memiliki

dua cara (Jensen dan Meckling, 1976 dan Subramaniam, et al., 2009):

25

a. Mengawasi perilaku agent dengan mengadopsi fungsi audit dan

mekanisme corporate governance lain yang dapat meluruskan

kepentingan agent dengan kepentingan principal.

b. Menyediakan insentif kepegawaian yang menarik kepada agent dan

mengadakan struktur reward yang dapat membujuk para agent untuk

bertindak sesuai dengan kepentingan terbaik principal.

Secara umum, keberadaan komite-komite seperti komite audit,

komite nominasi, komite remunerasi, serta komite manajemen risiko.

merupakan mekanisme pengawasan internal di dalam perusahaan dan

keberadaan komite pengawas yang dibentuk oleh dewan komisaris

tersebut menyediakan kualitas pengawasan yang lebih baik dan menuntun

untuk menurunkan perilaku oportunistik yang dilakukan oleh manajer.

Komite-komite yang dibentuk oleh dewan komisaris tersebut diperkirakan

ada dalam situasi dimana biaya agensi tinggi, seperti leverage tinggi serta

kompleksitas dan ukuran perusahaan yang lebih besar (Subramaniam, et

al., 2009).

Firth dan Rui (2006) menyatakan teori agensi juga mengemukakan

bahwa moral hazard yang melekat dalam hubungan prinsipal dan agen

dapat menimbulkan biaya keagenan (agency cost). Komite audit

merupakan salah satu cara untuk mengurangi masalah biaya keagenan ini.

Komite audit yang efektif dapat meningkatkan kualitas dan kredibilitas

laporan keuangan tahunan yang telah diaudit dan hal ini dapat membantu

26

pekerjaan dewan direksi yang bertugas menjaga dan memajukan

kepentingan para pemegang saham.

2. Signalling Theory

Salah satu teori yang dapat melatarbelakangi masalah asimetri

informasi dalam pasar adalah signalling theory (Kartika, 2009). Teori

sinyal membahas mengenai dorongan perusahaan untuk memberikan

informasi kepada pihak eksternal. Teori sinyal muncul karena adanya

permasalahan asimetri informasi antara pihak manajemen dan pihak

eksternal. Oleh karena itu, untuk mengurangi asimetri informasi yang akan

terjadi perusahaan harus mengungkapkan informasi yang dimiliki, baik

informasi keuangan maupun informasi non keuangan (Setyarini, 2011).

Penggunaan signaling theory dalam praktik pengungkapan

perusahaan, secara umum menguntungkan bagi perusahaan untuk

mengungkapkan praktik corporate governance yang baik, sehingga dapat

menciptakan kualitas perusahaan yang baik dalam pasar (Subramaniam, et

al., 2009). Salah satu bentuk sinyal tentang kualitas perusahaan tersebut

adalah pembentukan komite, yang memberikan informasi bahwa

perusahaan tersebut lebih baik dalam segi pengawasan dibandingkan

dengan perusahaan lain (Andarini dan Indira, 2010).

Berdasarkan signalling theory, walaupun belum ada peraturan yang

memandatkan mengenai penerapan ERM secara khusus, tetapi perusahaan

tetap dapat menerapkan dan mengungkapkan ERM dalam komitmennya

27

menuju praktik good corporate governance dan dengan harapan dapat

meningkatkan reputasi serta nilai perusahaan.

3. Risiko (Risk)

Sonnidwiharsono (1996) dalam Setyarini (2011) menunjukkan

bahwa dari perspektif kegiatan usaha, pengaruh kegiatan usaha modern

khususnya dalam sektor industri bertambah kompleks. Bertambah

kompleksnya kegiatan usaha ini telah membawa pengaruh pula pada

kebutuhan untuk lebih memperhatikan risiko-risiko yang dihadapi

perusahaan. Menurut ISO Guide 73:2009 definisi 1.1 yang dimaksud

dengan risiko adalah dampak ketidakpastian pada sasaran (Komite

Nasional Kebijakan Governance, 2011).

Dalam konteks keterkaitan risiko dan proses organisasi, maka risiko

adalah sesuatu yang dapat mempengaruhi sasaran organisasi (Komite

Nasional Kebijakan Governance, 2011). Salah satu atribut risiko adalah

ketidakpastian, baik dari sesuatu yang sudah diketahui maupun dari

sesuatu yang belum diketahui. Dengan demikian strategi yang baik

haruslah juga memperhatikan risiko-risiko yang mungkin terjadi dalam

konteks eksternal organisasi maupun konteks internal organisasi dan

melakukan antisipasi perlakuan risiko bila memang risiko tersebut menjadi

kenyataan. Untuk risiko-risiko eksternal perlu diperhatikan antara lain

harapan dari tiap-tiap pemangku kepentingan terhadap organisasi yang bila

tidak dipenuhi akan menimbulkan konflik dan mempengaruhi pencapaian

sasaran organisasi. Begitu pula risiko yang mungkin terjadi akibat

28

perubahan situasi politik, ekonomi, sosial dan lainnya. Risiko juga dapat

mengakibatkan kehancuran organisasi, karena itu risiko penting untuk

dikelola. Risiko juga diyakini tidak dapat dihindari, oleh karena itu

pemahaman terhadap risiko merupakan suatu langkah untuk menentukan

prioritas strategi dan program dalam pencapaian tujuan organisasi

(Setyarini, 2011).

4. Enterprise Risk Management (ERM)

Manajemen risiko perusahaan merupakan suatu strategi yang

digunakan untuk tetap bertahan dalam lingkungan usaha yang kompetitif.

Pesatnya pertumbuhan ekonomi menjadikan ERM sebagai bagian penting

perusahaan dalam mempertahankan kinerja dan tingkat profitabilitas

perusahaan. Kesadaran yang tinggi terhadap manajemen risiko sebagian

besar sebagai akibat dari beberapa bencana yang dihadapi perusahaan dan

kegagalan bisnis yang tidak diharapkan (Walker, et al., 2009). Oleh karena

itu, setiap perusahaan membutuhkan Entreprise Risk Management (ERM)

untuk mengurangi dan menangani setiap risiko perusahaan yang mungkin

muncul. Elemen yang mendasari ERM, antara lain:

Komitmen Chief Executive Officer (CEO)

Kebijaksanaan risiko dan misi perusahaan

Laporan unit bisnis dan jajaran eksekutif

Pengembangan kerangka kerja (framework) risiko

Pengembangan bahasa risiko yang umum

Teknik untuk mengidentifikasi risiko

29

Perangkat untuk memperkirakan risiko

Perangkat untuk melaporkan dan memonitor risiko

Keterkaitan risiko pada pihak-pihak yang sesuai dan bertanggung

jawab

Keterkaitan risiko dengan fungsi keuangan dan pendanaan

Identifikasi risiko dan perkiraan risiko ke strategi perusahaan yang

terintegrasi

Penerapan manajemen risiko juga bertujuan untuk mengidentifikasi

risiko perusahaan pada setiap kegiatan, serta mengukur dan mengatasinya

pada level toleransi tertentu (Meisaroh dan Lucyanda, 2011). Oleh karena

itu, struktur manajemen risiko yang tepat dapat membantu dalam

mengelola risiko bisnis secara lebih efektif dan mengungkapkan hasil

manajemen risiko kepada stakeholders organisasi (Subramaniam et al.,

2009 dalam Setyarini, 2011).

Menurut KNKG (2011), manajemen risiko adalah bagian terpadu

dari proses organisasi, maka proses manajemen risiko merupakan bagian

yang tak terpisahkan dari manajemen umumnya dan harus masuk menjadi

bagian dari budaya organisasi, praktik terbaik organisasi, dan proses bisnis

organisasi. Dalam Pedoman Manajemen Risiko (KNKG, 2011), proses

manajemen risiko meliputi lima kegiatan, yaitu komunikasi dan konsultasi,

menentukan konteks, asesmen risiko, perlakuan risiko serta monitoring

dan review, sebagaimana ditunjukkan pada gambar 2.1 pada halaman

berikutnya:

30

Gambar 2.1

Operasionalisasi kerangka kerja dan proses manajemen risiko

Sumber: diadopsi dari Broadleaf Capital International Pty, Ltd. (2008)

Menurut KNKG (2011), tidak terdapat model atau panduan baku

dalam penyusunan infrastruktur pengelolaan manajemen risiko. Hal yang

terpenting adalah kejelasan akuntabilitas dan tanggung jawab untuk

mendorong pelaksanaan manajemen risiko. Setiap organisasi harus

menyusun infrastruktur organisasi manajemen risiko sesuai dengan

kebutuhan dan jenis-jenis risiko yang dihadapi. Model ini adalah contoh

31

infrastruktur manajemen risiko yang lebih tepat diaplikasikan pada

organisasi yang cukup besar, dapat dilihat pada gambar 2.2 berikut:

Gambar 2.2

Infrastruktur Manajemen Risiko

Sumber: Pedoman Manajemen Risiko

(diadopsi dari berbagai sumber oleh KNKG, 2011)

5. ERM Framework

Pada tahun 2004, COSO (Committee of Sponsoring Organization of

the Treadway Commission) menerbitkan Enterprise Risk Management-

Integrated Framework yang menggambarkan komponen-komponen

penting, prinsip dan konsep dari manajemen risiko perusahaan untuk

seluruh organisasi, tanpa memandang ukurannya. Definisi Enterprise Risk

Management menurut COSO, yaitu:

“A process, effected by an entity’s board of directors, management

and other personnel, applied in strategy setting and across the

enterprise, designed to identify potential events that may affect the

entity, manage risk to be within its risk appetite, and provide

reasonable assurance regarding the achievement of entity

objectives.” (COSO, 2009)

32

Definisi COSO mengandung makna bahwa ERM sebagai suatu

proses yang dipengaruhi manajemen perusahaan, yang diimplementasikan

dalam setiap strategi perusahaan dan dirancang untuk memberikan

keyakinan memadai agar dapat mencapai tujuan perusahaan. COSO ERM-

Intergrated Framework memberi gambaran secara garis besar sebuah

pendekatan untuk memahami risiko-risiko dan mengatasinya.

COSO ERM Framework terdiri dari delapan komponen yang harus

ada dan berjalan agar dapat dikatakan sebagai ERM efektif yang dapat

dilihat pada gambar 2.3 berikut:

Gambar 2.3

COSO ERM Framework

Sumber: COSO ERM Integrated Framework (2004)

33

a. Internal Environment

Komponen ini mencerminkan selera perusahaan terhadap risiko yang

dapat memberikan gambaran risiko dan pengendalian yang harus

didasari atau diketahui oleh seluruh jajaran perusahaan. Manajemen

bertanggung jawab dalam menetapkan sikap terhadap risiko kepada

seluruh jajaran dalam perusahaan sebagai guidelines.

b. Objective Settings

Perusahaan perlu menetapkan tujuan-tujuan strategis secara luas dan

risiko yang dapat diterima. Strategic Objectives mencerminkan pilihan

manajemen mengenai bagaimana perusahaan meningkatkan nilai

perusahaan khususnya bagi pemegang saham. Selanjutnya, perusahaan

harus menetapkan juga risiko yang berkaitan dengan tujuan

perusahaan. Kategori objek tersebut, antara lain:

Strategi: tujuan akhir yang mendukung misi organisasi

Operasi: menggunakan sumber daya secara efektif dan efisien

Laporan Keuangan

Kepatuhan (compliance): sesuai dengan hukum dan regulasi yang

berlaku

c. Events Identification

Mengikuti konsep dari COSO Internal Control, manajemen harus

memiliki proses-proses yang dilakukan untuk mengidentifikasi

kejadian yang mempunyai pengaruh positif maupun negatif terhadap

strategi risiko yang berhubungan. Berdasarkan risiko yang dapat

34

ditoleransi, perusahaan dapat mempertimbangkan kejadian internal

atau eksternal yang dapat menjadi risiko baru atau malah mengurangi

risiko yang ada. Contoh kejadian-kejadian tersebut antara lain

perubahan lingkungan kompetisi dan tren sosial ekonomi.

d. Risk Assessments

Pada saat terdapat suatu kejadian yang merupakan suatu risiko,

manajemen perlu mempertimbangkan bagaimana dampak yang dapat

ditimbulkan dari kejadian tersebut terhadap ERM Objectives

perusahaan yang dilihat dari frekuensi dan seberapa besar pengaruh

kejadian tersebut.

e. Risk Responses

Manajemen harus menetapkan berbagai pilihan tanggapan (response)

terhadap risiko dan mempertimbangkan konsekuensinya melalui

intensitas dan besarnya pengaruh dari kejadian tersebut yang berkaitan

dengan toleransi risiko perusahaan. Tanggapan terhadap risiko yang

dapat dilakukan adalah:

1) Menghindari risiko (avoidance)

2) Mengurangi risiko (reduction)

3) Membagi risiko (sharing)

4) Menerima risiko (acceptance)

Penelaahan terhadap tanggapan atas risiko dan jaminan keyakinan

bahwa beberapa risk responses diambil dan diimplementasikan

merupakan suatu komponen kunci dari suatu ERM Framework.

35

f. Control Activities

Kebijakan dan prosedur harus ada untuk meyakinkan bahwa tanggapan

terhadap risiko yang memadai telah dilakukan. Control Activities harus

ada pada setiap level dan fungsi dalam perusahaan, termasuk approval,

authorizations, performance review, safety and security issues, dan

segregations of duties yang memadai.

g. Information and Communication

Informasi atas risiko yang berkaitan dengan perusahaan baik yang

berasal dari pihak luar ataupun pihak internal harus diidentifikasi,

diolah, dan dikomunikasikan kepada pihak-pihak yang mempunyai

kaitan dan tanggung jawab. Komunikasi yang efektif harus mengalir

ke seluruh level perusahaan dan juga ke pihak-pihak eksternal seperti

pelanggan, pemasok, pemerintah, maupun pemegang saham.

h. Monitoring

Prosedur yang terus-menerus dilakukan untuk mengawasi program

ERM dan kualitasnya dari waktu ke waktu.

6. Mekanisme Corporate Governance

a. Pengertian Corporate Governance

Menurut Cadburry dalam Sutedi (2011), Good Corporate

Governance adalah prinsip yang mengarahkan dan mengendalikan

perusahaan agar mencapai keseimbangan antara kekuatan serta

kewenangan perusahaan dalam memberikan pertanggungjawabannya

36

kepada para shareholders khususnya, dan stakeholders pada

umumnya.

Kelompok negara maju Organization for Economic Co-operation

and Development (OECD) dalam Surya dan Yustiavandana (2008),

mendefinisikan Good Corporate Governance adalah:

“Sekumpulan hubungan antara pihak manajemen perusahaan,

board, pemegang saham, dan pihak lain yang mempunyai kepentingan

dengan perusahaan. Corporate Governance juga mensyaratkan adanya

struktur perangkat untuk mencapai tujuan dan pengawasan atas kinerja.

Corporate governance yang baik dapat memberikan rangsangan bagi

board dan manajemen untuk mencapai tujuan yang merupakan

kepentingan perusahaan dan pemegang saham harus memfasilitasi

pengawasan yang efektif sehingga mendorong perusahaan

menggunakan sumber daya dengan lebih efisien”.

Adapun Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor

KEP-177/M-MBU/2002 dalam Surya dan Yustiavandana (2008),

corporate governance adalah:

“Suatu proses dari struktur yang digunakan oleh organ BUMN

untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan

guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan

tetap memerhatikan kepentingan stakeholder lainnya, berlandaskan

peraturan perundangan dan nilai-nilai etika”.

Sedangkan menurut Price Waterhouse Coopers dalam Surya dan

Yustiavandana (2008).

“Corporate governance terkait dengan pengambilan keputusan

yang efektif dan dibangun melalui kultur organisasi, nilai-nilai, sistem,

berbagai proses, kebijakan-kebijakan dan struktur organisasi, yang

bertujuan untuk mencapai bisnis yang menguntungkan, efisien, dan

efektif dalam mengelola risiko dan bertanggung jawab dengan

memerhatikan kepentingan stakeholders”.

37

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa Good Corporate

Governance merupakan:

1) Suatu struktur yang mengatur pola hubungan harmonis tentang peran

dewan komisaris, Direksi, Pemegang Saham dan Para Stakeholder

lainnya.

2) Suatu sistem pengecekan dan pertimbangan kewenangan atas

pengendalian perusahaan yang dapat membatasi munculnya dua

peluang: pengelolaan yang salah dan penyalahgunaan aset

perusahaan.

3) Suatu proses yang transparan atas penentuan tujuan perusahaan,

pencapaian, berikut pengukuran kinerjanya.

b. Prinsip-prinsip Corporate Governance

Di Indonesia, dalam Code of Corporate Governance yang

diterbitkan oleh Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG)

2006, terdapat 5 prinsip Corporate Governance (CG) yang harus

diterapkan oleh setiap perusahaan yaitu transparency, accountability,

responsibility, independency dan fairness.

1) Transparency (Transparansi)

Untuk menjaga objektivitas dalam menjalankan bisnisnya,

perusahaan harus menyediakan informasi yang material dan relevan

dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh para pemangku

kepentingan. Perusahaan harus mengambil inisiatif untuk

mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan oleh

38

peraturan perundang-undangan tetapi juga hal-hal yang penting

dalam pengambilan keputusan bagi pemegang saham, kreditur dan

pemangku kepentingan lainnya.

2) Accountability (Akuntabilitas)

Perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara

transparan dan wajar. Untuk itu perusahaan harus dikelola secara

benar, terukur dan sesuai dengan kepentingan perusahaan dengan

tetap memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku

kepentingan lainnya. Akuntabilitas merupakan prasyarat yang

diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan.

3) Responsibility (Tanggung Jawab)

Perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta

melaksanakan tanggung jawabnya terhadap masyarakat dan

lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam

jangka yang panjang dan mendapat pengakuan sebagai good

corporate citizen.

4) Independency (Kemandirian)

Untuk melancarkan pelaksanaan azas GCG, perusahaan harus

dikelola secara independen sehingga masing-masing organ

perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi

oleh pihak lain.

5) Fairness (Kewajaran)

39

Dalam melaksanakan kegiatannya perusahaan harus selalu senantiasa

memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku

kepentingan lainnya berdasarkan azas kesetaraan dan kewajaran.

Adapun Prinsip-prinsip GCG terdapat lima aspek yang

dijabarkan oleh OECD (Organization for Economic Cooperation and

Development) sebagai pedoman pengembagan kerangka kerja legal,

institutional, dan regulatory untuk corporate governance di suatu

negara. Lima aspek tersebut antara adalah:

1) Hak-hak pemegang saham dan fungsi kepemilikan: Hak-hak

pemegang saham harus dilindungi dan difasilitasi.

2) Perlakuan setara terhadap seluruh pemegang saham: Seluruh

pemegang saham termasuk pemegang saham minoritas dan

pemegang saham asing harus diperlakukan setara. Seluruh pemegang

saham harus diberikan kesempatan yang sama untuk mendapatkan

perhatian bila hak-haknya dilanggar.

3) Peran stakeholders dalam corporate governance: Hak-hak para

pemangku kepentingan (stakeholders) harus diakui sesuai peraturan

perundangan yang berlaku, dan kerjasama aktif antara perusahaan

dan para stakeholders harus dikembangkan dalam upaya bersama

menciptakan kekayaan, pekerjaan, dan keberlanjutan perusahaan.

4) Disclosure dan transparansi: Disclosure atau pengungkapan yang

tepat waktu dan akurat mengenai segala aspek material perusahaan,

40

termasuk situasi keuangan, kinerja, kepemilikan, dan governance

perusahaan.

5) Tanggung jawab Pengurus Perusahaan (Corporate Boards):

Pengawasan Komisaris terhadap pengelolaan perusahaan oleh

Direksi harus berjalan efektif, disertai adanya tuntutan strategik

terhadap manajemen, serta akuntabilitas dan loyalitas Direksi dan

Komisaris terhadap perusahaan dan pemegang saham.

Good corporate governance terdiri dari dua unsur, yaitu unsur yang

berasal dari dalam perusahaan (corporate governance internal

perusahaan) dan unsur yang berasal dari luar perusahaan (corporate

governance eksternal perusahaan). Corporate governance internal

perusahaan adalah unsur yang selalu diperlukan dalam perusahaan dan

sangat berperan dalam mengelola perusahaan. Jika kinerja corporate

governace internal baik maka kinerja perusahaan pun baik dan sebaliknya.

Unsur-unsur Corporate governance internal perusahaan menurut

Kresnohadi (2000:9) terdiri dari pemegang saham, direksi, dewan

komisaris, manajer, karyawan, sistem, dan komite audit.

Internal Governance merupakan bagian dari mekanisme Corporate

Governance yang telah menjadi pokok bahasan yang penting bagi para

pelaku bisnis di seluruh dunia. Krisis ekonomi yang berkepanjangan dan

tuntutan persaingan global menjadi salah satu faktor pendorong

dilakukannya reformasi GCG (Alijoyo dan Zaini, 2004). Saat ini terdapat

tuntutan yang besar dan ada kecenderungan bahwa manajemen

41

perusahaan-perusahaan publik diwajibkan mempertanggungjawabkan

pengelolaan perusahaan kepada publik (Syakhroza, 2004).

Istilah internal governance pada penelitian ini mengacu pada

penelitian Davidson, et al., (2005) yang menyatakan bahwa pengungkapan

laporan keuangan dapat mengurangi masalah keagenan dengan melakukan

monitoring terhadap perilaku agent. Beberapa hal yang terkait dengan

monitoring melalui mekanisme internal governance adalah dewan

komisaris independen, komite audit, fungsi internal audit, dan pemilihan

auditor eksternal. Tetapi dalam penelitian ini tidak memasukkan variabel

pemilihan auditor eksternal karena pernyataan Subramaniam, et al. (2009)

bahwa pemilihan auditor eksternal bukan merupakan mekanisme internal

governance melainkan external governance.

c. Komisaris Independen

Keberhasilan penegakan GCG sangat ditentukan oleh kualitas

pimpinannya yaitu komisaris sebagai pengawas dan direksi sebagai

pelaksana. Dalam mekanisme corporate governance, dewan komisaris

memiliki peranan dan tugas yang sangat penting. Dalam melaksanakan

fungsi pengawasan, dewan komisaris dapat memberikan kontribusi

terhadap proses penyusunan laporan keuangan yang berkualitas dan

mengandung informasi yang relevan bagi para stakeholders.

Di Indonesia saat ini, keberadaan komisaris independen sudah diatur

dalam Code of Good Corporate Governance yang dikeluarkan oleh

KNKG. Komisaris menurut kode tersebut, bertanggung jawab dan

42

mempunyai kewenangan untuk mengawasi kebijakan dan kegiatan yang

dilakukan oleh direksi dan memberi nasihat bila diperlukan (Juwitasari,

2008). Namun terkadang dewan komisaris di suatu perusahaan belum bisa

melaksanakan fungsi kontrol terhadap direksi dengan baik (Kusuma, 2004

dalam Yuliandri, 2010).

Pengertian komisaris independen seperti yang dikemukakan oleh

Alijoyo dan Zaini (2004) dalam Setyarini (2011), yaitu:

“Komisaris Independen adalah anggota komisaris yang berasal dari

luar perusahaan (tidak memiliki hubungan afiliasi dengan

perusahaan) yang dipilih secara transparan dan independen, memiliki

integritas dan kompetensi yang memadai, bebas dari pengaruh yang

berubungan dengan kepentingan pribadi atau pihak lain, serta dapat

bertindak secara objektif dan independen dengan berpedoman

kepada prinsip-prinsip Good Corporate Governance (transparency,

accountability, responsibility, fairness).

PT Bursa Efek Jakarta (BEJ) melalui Keputusan Direksi PT Bursa

Efek Jakarta No: Kep-305/BEJ/07-2004 di dalam Pencatatan Efek No.1-

A: tentang Ketetentuan Umum Pencatatan Saham dan Efek yang bersifat

Ekuitas di bursa, dalam pasal 1-a menyebutkan tentang rasio komisaris

independen yaitu komisaris independen yang jumlahnya secara

proporsional sebanding dengan jumlah saham yang dimiliki oleh yang

bukan pemegang saham pengendali dengan ketentuan jumlah komisaris

independen sekurang kurangnya 30% (tiga puluh persen) dari seluruh

jumlah anggota komisaris.

43

d. Risk Management Committee (RMC)

RMC menjadi populer sebagai mekanisme pengawas risiko yang

penting bagi perusahaan (Subramaniam, et al., 2009). Hal ini makin

diperkuat dengan survey oleh KPMG (2005) pada perusahaan-perusahaan

Australia, yang menyatakan bahwa lebih dari setengah responden (54%)

telah memiliki RMC, di mana sebesar 70% tergabung dengan komite

audit. Menurut Subramaniam, et al. (2009), secara umum area tugas dan

wewenang RMC adalah :

a. Mempertimbangkan strategi manajemen risiko organisasi

b. Mengevaluasi operasi manajemen risiko organisasi

c. Menaksir pelaporan keuangan organisasi

d. Memastikan bahwa organisasi dalam prakteknya memenuhi hukum

dan peraturan yang berlaku.

Peranan yang tidak boleh dilakukan oleh internal audit dan

disarankan untuk dilakukan oleh RMC sebagai unit yang independen,

antara lain:

a. Menetapkan batasan dan selera risiko (risk appetite)

b. Memastikan berlangsungnya proses manajemen risiko pada

perusahaaan

c. Melakukan validasi atas risiko yang telah teridentifikasi dan terukur

Dalam pembentukannya, RMC dapat tergabung dengan audit atau

dapat pula menjadi komite yang terpisah dan berdiri sendiri. Komite

terpisah yang secara khusus berfokus pada masalah risiko (RMC), dinilai

44

dapat menjadi mekanisme yang efektif dalam mendukung dewan

komisaris untuk memenuhi tanggung jawabnya dalam tugas pengawasan

risiko dan manajemen pengendalian internal (Subramaniam, et al., 2009).

RMC yang terpisah dari audit akan lebih dapat mencurahkan lebih banyak

waktu dan usaha untuk menggabungkan berbagai risiko yang dihadapi

perusahaan secara luas dan mengevaluasi pengendalian terkait secara

keseluruhan (Subramaniam, et al., 2009). Selain itu, RMC yang terpisah

dari audit juga lebih memungkinkan dewan komisaris dalam memahami

profil risiko perusahaan dengan lebih mendalam (Bates dan Leclerc,

2009).

Pada sektor perbankan, RMC disebut pula dengan Komite Pemantau

Risiko. Berdasarkan PBI No.8/4/PBI/2006 salah satu prasyarat yang harus

dilengkapi oleh Bank Umum yaitu tentang Penerapan GCG bagi Bank

Umum adalah pembentukan Komite Pemantau Risiko. Komite ini

merupakan komite yang berada di bawah dewan komisaris, yang memiliki

fungsi membantu dewan komisaris dalam tugas pengawasan, khususnya di

bidang manajemen risiko.

Dibandingkan dengan sektor non-perbankan, ternyata risiko sektor

perbankan lebih banyak dan jauh lebih kompleks. Tercatat kurang lebih

ada 9 (sembilan) risiko yang dihadapi mulai dari risiko operasional, risiko

pasar, risiko likuiditas, risiko hukum, risiko reputasi, risiko strategik, dan

risiko kepatuhan (Fajri, 2007). Oleh karena itu, Bank Indonesia

mengakomodir hal ini dengan mewajibkan pembentukan Komite

45

Pemantau Risiko yang memiliki fungsi untuk melaksanakan evaluasi

tentang kesesuaian antara kebijakan manajemen risiko dengan pelaksanaan

kebijakan tersebut dan melakukan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan

tugas Komite Manajemen Risiko dan Satuan Kerja Manajemen Risiko di

tingkat direksi. Pembentukan Komite Pemantau Risiko menjadi efektif

dengan mempertimbangkan tingkat kegunaannya bagi perusahaan.

e. Reputasi Auditor

Auditor merupakan kunci mekanisme pengawasan eksternal dari

sebuah organisasi, dan dalam beberapa tahun ini menjadi pusat perhatian

bagi manajemen risiko (Subramaniam, et al., 2009). Auditor eksternal juga

dapat mempengaruhi sistem pengawasan internal klien dengan membuat

rekomendasi post-audit pada peningkatan desain dari sistem

(Subramaniam, et al., 2009).

Auditor dengan reputasi baik seperti Big Four juga cenderung untuk

lebih memilih berhubungan dengan klien yang memiliki nilai yang baik

dalam komunitas bisnis, oleh karena itu auditor Big Four akan

mempengaruhi klien untuk bertindak sesuai dengan praktek terbaik.

(Carson, 2002 dalam Andarini dan Indira, 2010). Auditor Big Four dapat

meningkatkan kualitas mekanisme pengawasan internal yang lebih tinggi

kepada kliennya dibandingkan dengan auditor non-Big Four (Cohen et al.,

2004 dalam Subramaniam et al., 2009).

46

f. Struktur Kepemilikan

Pengelolaan perusahaan pada umumnya bertujuan untuk

memakmurkan pemiliknya. Semakin tinggi nilai perusahaan

menggambarkan semakin sejahtera pemiliknya. Nilai perusahaan akan

tercermin dari harga pasar sahamnya (Fama, 1978 dalam Untung dan

Hartini, 2006 dalam Pujiati 2010). Untuk mencapai tujuan tersebut, para

pihak yang berkepentingan seperti pemilik modal (sebagai principal) bisa

mempercayakan kepada para profesional (managerial) untuk mengelola

perusahaan dengan tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya.

Berdasarkan teori keagenan (agency theory), adanya pemisahan

kepemilikan dan pengelolaan perusahaan dapat menimbulkan masalah

keagenan (agency problems), yaitu ketidaksejajaran antara principal

(pemilik atau pemegang saham) dan agent (manajer). Adanya beberapa

penyatuan kepentingan pemegang saham, debtholders dan manajemen

dengan pihak-pihak yang mempunyai kepentingan terhadap tujuan

perusahaan, seringkali menimbulkan masalah-masalah. Untuk itu,

diperlukan sebuah kontrol dari pihak luar dimana peran monitoring dan

pengawasan yang baik akan mengarahkan tujuan sebagaimana mestinya.

Manajemen merupakan pihak yang dikontrak oleh pemegang

saham untuk bekerja demi kepentingan pemegang saham. Untuk itu

manajemen diberikan sebagian kekuasaan untuk membuat keputusan bagi

kepentingan terbaik pemegang saham. Oleh karena itu, manajemen wajib

mempertanggungjawabkan semua upayanya kepada pemegang saham.

47

Struktur kepemilikan dapat dibedakan menurut dua sudut pandang yang

berbeda, yakni:

a. Pendekatan keagenan

Struktur kepemilikan merupakan suatu mekanisme untuk mengurangi

konflik kepentingan antara manajer dengan pemegang saham.

b. Pendekatan informasi asimetri

Struktur kepemilikan sebagai salah satu cara untuk mengurangi

ketidakseimbangan informasi antara insider dan outsider melalui

pengungkapan informasi.

Menurut Untung dan Hartini (2006), struktur kepemilikan

dikelompokkan atas proporsi saham yang dimiliki yaitu:

a. Kepemilikan manajerial (Managerial Ownership)

Merupakan proporsi pemegang saham dari pihak manajemen yang

secara aktif ikut dalam pengambilan keputusan perusahaan (direktur

dan komisaris).

b. Kepemilikan institusional (Institusional Ownership)

Merupakan proporsi pemegang saham yang dimiliki oleh pemilik

institusional seperti perusahaan asuransi, bank, perusahaan investasi

dan kepemilikan lain kecuali anak perusahaan dan institusi lain yang

memiliki hubungan istimewa (perusahaan afiliasi dan perusahaan

asosiasi) atas laporan yang dibuat menurut data di Bursa Efek

Indonesia serta kepemilikan saham oleh pihak blockholders yaitu

saham yang dimiliki perseorangan diatas 5% selama tiga tahun

48

berturut-turut tetapi tidak termasuk dalam golongan kepemilikan

insider.

g. Konsentrasi Kepemilikan

Pemegang saham dalam sebuah perusahaan bisa merupakan

individu, keluarga atau kelompok keluarga, perusahaan, bank, investor,

institusi (perusahaan keuangan, perusahaan asuransi, lembaga pensiun,

atau lembaga pendanaan), atau perusahaan non keuangan (Gunarsih,

2002). Menurut Nuryaman (2008) struktur kepemilikan saham

mencerminkan distribusi kekuasaan dan pengaruh di antara pemegang

saham atas kegiatan operasional perusahaan. Salah satu karakteristik

struktur kepemilikan adalah konsentrasi kepemilikan. Kepemilikan

terkonsentrasi merupakan fenomena yang lazim ditemukan di negara

dengan ekonomi sedang bertumbuh seperti Indonesia dan di negara-negara

continenal Europe. Sebaliknya, di negara-negara Anglo Saxon seperti

Inggris dan Amerika Serikat, struktur kepemilikan relatif sangat menyebar

(La Porta dan Silanez, 1999).

Kepemilikan saham dikatakan terkonsentrasi jika sebagian besar

saham dimiliki oleh sebagian kecil individu atau kelompok, sehingga

pemegang saham tersebut memiliki jumlah saham yang relatif dominan

dibandingkan dengan lainnya. Kepemilikan saham dikatakan menyebar,

jika kepemilikan saham menyebar secara relatif merata ke publik, tidak

ada yang memiliki saham dalam jumlah sangat besar dibandingkan dengan

lainnya (Dallas, 2004). Apabila kepemilikan saham perusahaan cenderung

49

menyebar, maka pengendalian pemilik akan lemah karena lemahnya

pengawasan (monitoring). Apabila kepemilikan saham terkonsentrasi,

maka pemilik saham terbesar dapat melakukan pengawasan total terhadap

manajemen (Rini dan Aida, 2006). Teori yang dikemukakan oleh La Porta

et al. (2000) dalam Rini dan Aida (2006) menyatakan bahwa pemegang

saham mayoritas biasanya lebih banyak berperan dalam pengambilan

keputusan untuk kepentingan perusahaan pada negara-negara di Asia.

Penelitian yang dilakukan oleh Rini dan Aida (2006) tentang pengaruh

kepemilikan saham minoritas (publik) dan kepemilikan saham mayoritas

terhadap kebijakan deviden menggunakan proksi persentase pemilik

saham terbesar untuk mengukur kepemilikan saham mayoritas. Hal ini

tidak jauh berbeda dengan penelitian Meisaroh dan Lucyanda (2011)

menggunakan proksi pemegang saham mayoritas dengan kepemilikan

saham lebih dari 50% untuk mengukur konsentrasi kepemilikan.

Adapun pengertian kepemilikan saham mayoritas sesuai dengan

Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No.7 Tahun 2011 tentang

Pedoman Pasal 27 (Pemilikan Saham) UU No.5 Tahun 1999 adalah

bentuk penguasaan terhadap bagian modal perusahaan yang berakibat

bahwa pemegang saham yang bersangkutan memegang kendali terhadap

manajemen, penentuan arah, strategi, dan kebijakan perusahaan termasuk

tapi tidak terbatas pada kebijakan pengambilan tindakan korporasi

(corporate actions), penentuan direksi/komisaris, pelaksanaan hak veto,

50

akses terhadap informasi sensitif (private information), pembagian

keuntungan, penggabungan, peleburan, dan atau pengambilalihan.

Untuk mengetahui apakah suatu kepemilikan saham mayoritas oleh

suatu pelaku usaha dilarang oleh UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktek

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, maka perlu diperhatikan

beberapa hal sebagai berikut:

1. Pelaku usaha memiliki saham mayoritas pada dua atau lebih

perusahaan/perseroan;

2. Kepemilikan saham mayoritas tersebut, dengan tetap memperhatikan

apa yang diatur dalam anggaran dasar perseroan, memberikan

kewenangan yang lebih besar dengan melakukan pengendalian atas

perseroan;

3. Dua atau lebih perusahaan tersebut merupakan perusahaan yang

sejenis;

4. Dua atau lebih perusahaan tersebut melakukan kegiatan usaha pada

pasar bersangkutan yang sama; dan

5. Kepemilikan pelaku usaha pada dua atau lebih perusahaan tersebut

mengakibatkan satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha

menguasai pangsa pasar sebesar 50% atas suatu barang/jasa atau

menguasai pangsa pasar sebesar 75% atas suatu barang/jasa.

Kepemilikan saham mayoritas yang dilarang adalah bentuk

penguasaan terhadap modal perusahaan yang berakibat pada pemegang

saham tersebut dapat memegang kendali terhadap manajemen, penentuan

51

arah, strategi, dan kebijakan perusahaan, termasuk tapi tidak terbatas pada

penentuan direksi/komisaris, penentuan hak veto, akses terhadap informasi

sensitive (private information), pembagian keuntungan dan tindakan

korporasi (corporate actions) termasuk tetapi tidak terbatas pada

penggabungan, peleburan, pengambilalihan, pemisahan, divestasi,

investasi, pencatatan saham pada bursa, privatisasi.

Kendali yang dimaksud adalah baik kendali dengan memiliki

proporsi jumlah saham secara kumulatif lebih besar yang dimiliki oleh

satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha dibandingkan dengan

jumlah saham yang dimiliki oleh pelaku usaha atau kelompok pelaku

usaha lain atas badan usaha yang sama. Misalkan suatu perusahaan

dimiliki oleh tiga pelaku usaha dengan komposisi kepemilikan 40%, 35%,

dan 25%, maka yang disebut sebagai saham mayoritas pada contoh ini

adalah kepemilikan 40%. Pemilikan saham mayoritas yang diatur oleh

undang-undang ini adalah kepemilikan saham mayoritas pada dua atau

lebih perusahaan. Jadi dalam hal pemilikan saham mayoritas pada satu

perusahaan, maka kepemilikan saham tersebut tidak melanggar ketentuan

pasal 27 UU No. 5/1999. Selain itu dikenal juga kendali bentuk lain yaitu

walaupun memiliki saham tidak dalam jumlah terbanyak tetapi cukup

untuk pengambilan keputusan strategis dalam rapat umum pemegang

saham.

Perbedaan pola kepemilikan ini memberi implikasi yang berbeda

dalam penelitian. Demsetz dan Villalonga (2001) melakukan penelitian

52

dengan menggunakan sampel perusahaan di Amerika Serikat dan Inggris

tidak menemukan hubungan yang signifikan antara struktur kepemilikan

dengan kinerja perusahaan. Chen (2001) dengan mengambil sampel

perusahaan di negara berkembang menemukan hubungan positif antar

struktur kepemilikan dengan kinerja perusahaan. Sedangkan Morck dan

Shivdasani (1988) menghasilkan kesimpulan bahwa hubungan konsentrasi

kepemilikan dengan kinerja bersifat nonmonotonic. Konsentrasi

kepemilikan dapat menjadi mekanisme internal pendisiplinan manajemen,

sebagai salah satu mekanisme yang dapat digunakan untuk meningkatkan

efektivitas monitoring, karena dengan kepemilikan yang besar menjadikan

pemegang saham memiliki akses informasi yang cukup signifikan untuk

mengimbangi keuntungan informasional yang dimiliki manajemen. Jika

ini dapat diwujudkan maka tindakan moral hazard manajemen berupa

manajemen laba dapat dikurangi seperti yang telah dikemukakan oleh

Hubert dan Langhe (2002) dalam Nuryaman (2008).

Di negara-negara dengan derajat perlindungan terhadap investor

rendah (seperti halnya Indonesia), pemegang saham merasa khawatir akan

kemungkinan berbedanya pendapatan yang diperoleh dengan yang

diekspektasikan. Akibatnya, mereka memperbesar persentase kepemilikan

atas perusahaan sebagai salah satu cara untuk melindungi diri. Mereka

dapat mengendalikan perusahaan melalui voting power, atau representasi

mereka di manajemen sehingga hak-hak mereka terlindungi (La Porta dan

Silanez 1999). Musnadi (2006) melakukan penelitian tentang struktur

53

kepemilikan sebagai mekanisme corporate govenrnance, serta dampaknya

terhadap kinerja keuangan perusahaan, dengan menggunakan emiten non

financial yang berkapitalisasi menengah besar yang terdaftar di Bursa

Efek Jakarta (sekarang BEI). Hasilnya menunjukan bahwa kepemilikan

terkonsentrasi terbesar memiliki pengaruh positif terhadap kinerja

keuangan perusahaan. Hasil ini bermakna bahwa kepemilikan saham

terkonsentrasi dapat berperan sebagai mekanisme corporate governance

dalam mengurangi persoalan keagenan, sebab konsentrasi kepemilikan

dapat menjadikan pemegang saham pada posisi yang kuat untuk dapat

mengendalikan manajemen secara efektif, sehingga mendorong

manajemen bertindak sesuai dengan kepentingan pemegang saham.

Pada struktur kepemilikan yang lebih terkonsentrasi, investor besar

memiliki insentif untuk mengumpulkan informasi dan memantau

manajemen secara langsung (Shleifer dan Vishny, 1997), sehingga mereka

tidak bergantung pada dewan untuk masalah pemantauan. Selain itu,

investor besar mampu memantau kemampuan dewan, karena mereka

memiliki akses informasi dan nilai yang relevan (Heflin dan Shaw, 2000).

Investor besar terlibat dengan manajemen dalam menetapkan kebijakan

perusahaan (Davies, 2002), memiliki beberapa kemampuan untuk

mempengaruhi voting dan mungkin mendapat perhatian khusus dari

manajemen (Useem, 1996). Oleh karena itu, pemegang saham pengendali

dapat memantau ketidaksinambungan manajerial yang terjadi dalam

perusahaan (Desender, 2010).

54

Penelitian sebelumnya (La Porta, et al., 1999 dan Faccio, Lang dan

Young, 2001), menentukan perusahaan dengan kepemilikan terkonsentrasi

jika individu, kelompok keluarga atau perusahaan memiliki saham

minimal 20% dari total saham perusahaan. Kepemilikan langsung dan

kepemilikan tidak langsung dianggap menentukan struktur kepemilikan

(menggunakan ambang batas tingkat 20% untuk menentukan kontrol

kepemilikan tidak langsung, misalnya, jika seorang investor memiliki 80%

saham dari perusahaan X yang memiliki 20% saham dari perusahaan Y,

maka investor ini menguasai 20% saham dari perusahaan Y melalui

kepemilikan saham tidak langsung). Perusahaan tanpa pemegang saham

pengendali diklasifikasikan sebagai perusahaan dengan kepemilikan

tersebar.

Desender (2010) mengklasifikasikan perusahaan menjadi tiga jenis

kepemilikan yaitu, keluarga, perusahaan dan bank. Pemegang saham

pengendali adalah pemegang saham terbesar dengan setidaknya 20%

saham pada setiap jenis saham dengan mempertimbangkan kepemilikan

saham langsung dan tidak langsung, serta hubungan keluarga. Selanjutnya,

kepemilikan keluarga diidentifikasi jika ada hubungan kekerabatan antara

pemegang saham individu. Misalnya, dalam kasus SOS Cuétara, dimana

pemegang saham individu terbesar (melalui kepemilikan saham langsung

dan tidak langsung) adalah dua bersaudara Jesús Ignacio (16,0%) dan Raúl

Jaime Salazar Bello (9,7%). Untuk menghitung saham kepemilikan

55

pemegang saham terbesar, beliau menyatakan bahwa keluarga Salazar

Bello menguasai lebih dari 25%.

Desender berpendapat bahwa mungkin ada pengaruh substitusi atau

komplementer antara dimensi struktur kepemilikan (konsentrasi /dispersi)

dan dewan direksi dalam hal pemantauan manajerial. Untuk mendukung

hipotesisnya, Desender (2010) menggunakan ambang batas alternatif 25%

serta dua langkah berkelanjutan (indeks konsentrasi kepemilikan

Herfindahl dan total kepemilikan saham dari pemegang saham terbesar)

untuk memperhitungkan konsentrasi kepemilikan.

Pemegang saham pengendali merupakan mekanisme tata kelola

internal jika terdapat satu atau lebih pemegang saham besar dalam

perusahaan. Menurut Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No.38

(Revisi 2011): Kombinasi Bisnis Entitas Sepengendali, yang mengatur

tentang kombinasi bisnis antara entitas yang berada di bawah

pengendalian yang sama mendefinisikan pengendalian sebagai kekuasaan

untuk mengatur kebijakan keuangan dan operasional suatu entitas untuk

memperoleh manfaat dari aktivitas entitas tersebut. Adapun pengertian

pemegang saham pengendali sesuai dengan Keputusan Badan Pengawas

Pasar Modal No.05/PM/2002 Tentang Pengambilalihan Perusahaan

Terbuka adalah:

1) Pihak yang memiliki saham 25 % (dua puluh lima perseratus) atau

lebih, kecuali pihak tersebut dapat membuktikan tidak mengendalikan

Perusahaan Terbuka; atau

56

2) Pihak yang mempunyai kemampuan, baik langsung maupun tidak

langsung untuk mengendalikan Perusahaan Terbuka dengan cara :

a) Menentukan diangkat dan diberhentikannya direksi atau

komisaris; atau

b) Melakukan perubahan anggaran dasar Perusahaan Terbuka.

Sedangkan pengertian pemegang saham pengendali sesuai dengan

Peraturan Bank Indonesia No.14/24/PBI/2012 tentang Kepemilikan

Tunggal Pada Perbankan Indonesia adalah badan hukum dan/atau

perorangan dan/atau kelompok usaha yang:

1. memiliki saham Bank sebesar 25% (dua puluh lima perseratus) atau

lebih dari jumlah saham yang dikeluarkan Bank dan mempunyai hak

suara;

2. memiliki saham Bank kurang dari 25% (dua puluh lima perseratus)

dari jumlah saham yang dikeluarkan Bank dan mempunyai hak suara

namun dapat dibuktikan telah melakukan pengendalian Bank baik

secara langsung maupun tidak langsung.

B. Keterkaitan Antar Variabel dan Perumusan Hipotesis

Adapun keterkaitan antar variabel dependen dan independen dalam

penelitian ini adalah:

1. Komisaris Independen dengan Pengungkapan ERM

Proporsi komisaris independen dalam dewan komisaris dikatakan

sebagai indikator independensi dewan. Kehadiran komisaris independen

dapat meningkatkan kualitas pengawasan karena tidak terafiliasi dengan

57

perusahaan sehingga bebas dalam pengambilan keputusan. Teori ini sering

disebut dengan the monitoring effect theory (Fama dan Jensen, 1983).

Penelitian Beasley (1996) menunjukkan adanya hubungan terbalik antara

proporsi komisaris independen dengan tingkat kecurangan pelaporan

keuangan. Perusahaan dengan proporsi komisaris independen yang tinggi

cenderung lebih memperhatikan risiko perusahaan dibandingkan proporsi

komisaris independen yang rendah (O’Sullivan, 1997).

Berbeda dengan penelitian sebelumnya, penelitian Dionne dan

Thouraya (2004) menunjukkan bahwa kehadiran komisaris independen

tidak berpengaruh pada tingkat adopsi ERM. Begitu juga dengan

penelitian Meisaroh dan Lucyanda (2011) menemukan bahwa proporsi

dewan komisaris independen tidak memiliki pengaruh yang signifikan

terhadap pengungkapan ERM. Namun, penelitian Kleffner et al. (2003)

dan Beasley et al. (2005) menunjukkan bahwa kehadiran komisaris

independen meningkatkan kualitas pengawasan atas implementasi

manajemen risiko dan kualitas audit sehingga dapat mengurangi

kecurangan dan perilaku oportunistik manajer. Dengan demikian,

keterkaitan antara komisaris independen dan pengungkapan ERM yang

telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan melalui hipotesis alternatif

pertama yang diajukan adalah:

Ha1: Komisaris independen memiliki pengaruh yang signifikan secara

parsial terhadap Pengungkapan Enterprise Risk Management.

58

2. Risk Management Committee (RMC) dengan Pengungkapan ERM

Risk Management Committee (RMC) merupakan salah satu unsur

penting dalam pengelolaan manajemen risiko perusahaan. Tugas dan

wewenang RMC adalah mempertimbangkan strategi, mengevaluasi

manajemen risiko, dan memastikan bahwa perusahaan telah memenuhi

hukum dan peraturan yang berlaku (Subramaniam, et al., 2009).

Pembentukan RMC itu sendiri belum banyak dilakukan perusahaan. Saat

ini pemerintah melalui peraturan BI No.8/4/PBI/2006 tentang Good

Corporate Governance bagi Bank Umum hanya mewajibkan perbankan

untuk membentuk RMC sebagai komite pengawas risiko.

Berbeda dari industri perbankan yang diregulasi secara ketat,

pembentukan RMC pada sektor industri lain di Indonesia masih bersifat

sukarela. Meskipun demikian, mengingat pengelolaan manajemen risiko

membutuhkan pemahaman yang cukup atas struktur dan operasi

perusahaan maka banyak perusahaan selain perbankan tetap membentuk

komite pengawas manajemen risiko.

Dalam pembentukannya, RMC dapat tergabung dengan komite

audit atau menjadi komite terpisah dan berdiri sendiri yang khusus

berfokus pada masalah risiko. Perusahaan yang memiliki RMC dapat lebih

banyak mencurahkan waktu, tenaga, dan kemampuan untuk mengevaluasi

pengendalian internal dan menyelesaikan berbagai risiko yang mungkin

dihadapi perusahaan (Andarini dan Indira, 2010). RMC juga lebih

memungkinkan dewan komisaris untuk memahami profil risiko

59

perusahaan dengan lebih mendalam (Bates dan Leclerc, 2009). Hal ini

sesuai dengan hasil penelitian Meisaroh dan Lucyanda (2011) yang

menunjukkan bahwa keberadaan RMC berpengaruh signifikan terhadap

pengungkapan ERM. Untuk itu, hipotesis yang dikemukakan adalah:

Ha2: Komite Manajemen Risiko (RMC) yang terpisah dari audit

memiliki pengaruh yang signifikan secara parsial terhadap

Pengungkapan Enterprise Risk Management (ERM).

3. Reputasi Auditor dengan Pengungkapan ERM

Auditor Big Four dipandang memiliki reputasi baik. Secara umum

akan memberikan panduan kepada kliennya mengenai praktek corporate

governance terbaik, khususnya mengenai penerapan ERM (Chen, et al.,

2009). Penelitian ini menggunakan Big Four sebagai proksi dari reputasi

auditor karena Big Four dipandang memiliki reputasi dan keahlian yang

baik untuk mengidentifikasi risiko perusahaan yang mungkin terjadi. Big

Four dapat memberikan panduan mengenai praktek good corporate

governance, membantu internal auditor dalam mengevaluasi dan

meningkatkan efektivitas manajemen risiko sehingga meningkatkan

kualitas penilaian dan pengawasan risiko perusahaan (Chen et al., 2009

dalam Meisaroh dan Lucyanda, 2011). Penelitian Beasley et al. (2005) dan

Desender (2007) menemukan adanya pengaruh antara keberadaan Big

Four dengan tingkat adopsi ERM. Terdapat tekanan yang lebih besar pada

perusahaan yang diaudit Big Four untuk menerapkan dan mengungkapkan

60

ERM (Chen et al., 2009). Dengan demikian, hipotesis yang dapat

dikemukakan adalah:

Ha3: Reputasi Auditor memiliki pengaruh yang signifikan secara

parsial terhadap Pengungkapan Enterprise Risk Management

(ERM).

4. Konsentrasi Kepemilikan dengan Pengungkapan ERM

Hasil penelitian Demsetz dan Lehn (1985) menemukan adanya

pengaruh antara risiko bisnis dan konsentrasi kepemilikan. Semakin besar

tingkat konsentrasi kepemilikan maka semakin kuat tuntutan untuk

mengidentifikasi risiko yang mungkin dihadapi seperti risiko keuangan,

operasional, reputasi, peraturan, dan informasi. Shleifer dan Vishny (1986)

menyatakan bahwa salah satu cara untuk meningkatkan kualitas

manajemen risiko adalah memastikan adanya minimal satu pemegang

saham besar dalam perusahaan. Penelitian Desender (2007) menemukan

bahwa pada perusahaan dengan kepemilikan terkonsentrasi, pemegang

saham mayoritas memiliki preferensi yang kuat untuk mengendalikan

manajemen, mengurangi biaya agensi dan meningkatkan peran

pengawasan pada perusahaan tempat mereka berinvestasi. Oleh karena itu,

hipotesis yang dapat dikemukakan adalah:

Ha4: Konsentrasi Kepemilikan memiliki pengaruh yang signifikan

secara parsial terhadap Pengungkapan Enterprise Risk

Management (ERM).

61

5. Komisaris Independen, Komite Manajemen Risiko, Reputasi Auditor

dan Konsentrasi Kepemilikan dengan Pengungkapan ERM.

Hasil penelitian Nuryaman (2008) menunjukkan bahwa komposisi

dewan komisaris tidak berpengaruh terhadap manajemen laba, tetapi

konsentrasi kepemilikan, ukuran perusahaan dan kualitas audit

berpengaruh negatif terhadap manajemen laba. Penelitian Meisaroh dan

Lucyanda (2011) menunjukkan bahwa dewan komisaris independen dan

ukuran dewan tidak berpengaruh terhadap pengungkapan ERM, tetapi

keberadaan RMC, reputasi auditor dan konsentrasi kepemilikan

berpengaruh terhadap pengungkapan ERM. Hal ini tidak jauh berbeda

dengan hasil penelitian Venny Fathimiyah, dkk. (2012) yang menemukan

bahwa kepemilikan manajemen, kepemilikan institusi domestik,

kepemilikan institusi asing dan kepemilikan publik memiliki pengaruh

secara bersama-sama (simultan) terhadap risk management disclosure.

Untuk itu, hipotesis yang akan dikemukakan adalah:

Ha5: Komisaris Independen, Komite Manajemen Risiko, Reputasi

Auditor dan Konsentrasi Kepemilikan memiliki pengaruh yang

signifikan secara simultan terhadap Pengungkapan Enterprise

Risk Management (ERM).

C. Hasil-Hasil Penelitian Terdahulu

Beberapa penelitian telah dilakukan sebelumnya dan berhubungan

dengan pengaruh mekanisme internal governance seperti komisaris

independen, komite manajemen risiko, reputasi auditor, dan konsentrasi

62

kepemilikan terhadap pengungkapan ERM. Kleffner et al. (2003) menemukan

bahwa adanya Chief Risk Officer, jumlah dewan direksi, dan kepatuhan atas

pedoman yang dikeluarkan Bursa Efek merupakan kunci sukses penerapan

ERM. Hasil penelitian Beasley et al. (2005) dan Desender (2007)

menunjukkan bahwa keberadaan Chief Risk Officer, komisaris independen,

tipe auditor, dan ukuran perusahaan berpengaruh pada tingkat pengungkapan

ERM. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa dewan direksi merupakan

pihak yang berperan penting dalam penerapan ERM (Lam, 2001 dan Walker

et al., 2002).

Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian – penelitian

sebelumnya, yang peneliti jadikan landasan dasar pengujian hipotesis dalam

penelitian ini diantaranya penelitian yang telah dilakukan oleh:

1. Kurt A. Desender (2007)

Penelitian mengenai kualitas ERM, karakteristik dewan dengan

proksi independensi dewan, pemisahan jabatan CEO dan komisaris, Cost

Agency: free float dan leverage, ukuran perusahaan, beta (risk of

nvestors) dan tipe KAP pada 75 perusahaan farmasi yang terdaftar di

Bursa Efek Spanyol membuktikan bahwa independensi dewan tidak

berhubungan dengan kualitas ERM. Pemisahan CEO dengan dewan

komisaris dan kombinasi antara independensi dewan dengan pemisahan

CEO dan dewan komisaris berhubungan signifikan terhadap kualitas

ERM.

2. Subrabamaniam et al. (2009)

63

Penelitian yang dilakukan terhadap 200 perusahaan teratas yang

terdaftar dalam Australia Stock Exchange (ASX). Penelitian ini menguji

hubungan antara karakteristik dewan dan karakteristik perusahaan

terhadap keberadaan RMC di sebuah perusahaan. Penelitian ini juga

untuk mengetahui tipe RMC, apakah RMC tergabung dengan komite

audit atau terpisah dari komite audit dan berdiri sendiri (SRMC).

Karakteristik dewan dalam penelitian ini terdiri dari proporsi komisaris

independen, CEO Duality, dan ukuran dewan. Sedangkan karakteristik

perusahaan terdiri dari tipe auditor eksternal, tipe industri, kompleksitas,

risiko pelaporan keuangan, dan leverage. Hasil penelitiannya menyatakan

bahwa: (1) CEO independen dan ukuran dewan berpengaruh positif dan

signifikan terhadap keberadaan RMC, (2) CEO independen dan ukuran

dewan berhubungan positif dengan keberadaan SRMC (3) kompleksitas

berhubungan negatif dengan keberadaan SRMC.

3. Yatim (2009)

Penelitian mengenai hubungan antara pembentukan RMC dan

struktur dewan. Penelitian ini menggunakan sampel 690 perusahaan yang

listing pada Bursa Malaysia pada tahun 2003. Variabel independen yang

digunakan yaitu proporsi komisaris independen, CEO independen,

keahlian dewan, dan kerajinan dewan. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa: (1) proporsi komisaris independen dan CEO independen

berhubungan positif dengan pembentukan RMC yang berdiri sendiri

(terpisah dari komite audit), (2) Perusahaan dengan keahlian dan

64

kerajinan dewan yang tinggi juga berpengaruh positif terhadap

pembentukan RMC.

4. Andarini dan Januarti (2010)

Penelitian ini menguji hubungan karakteristik dewan komisaris

(proporsi komisaris independen dan ukuran dewan) dan karakteristik

perusahaan (reputasi auditor, kompleksitas, risiko pelaporan keuangan,

leverage, dan ukuran perusahaan) terhadap pengungkapan RMC.

Penelitian ini menggunakan sampel 248 perusahaan nonfinansial yang

terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tahun 2007-2008. Hasil

penelitian ini menunjukkan bahwa hanya ukuran perusahaan secara

signifikan berhubungan positif dengan keberadaan RMC dan SRMC.

5. Nurika Restuningdiah (2011)

Penelitian mengenai Risk Management Committee oleh

Restuningdiah (2011) yang merupakan pengembangan dari penelitian

Davidson, et al., (2005) menunjukkan bahwa mekanisme internal

governance yang diproksi dengan dewan komisaris independen, komite

audit, fungsi audit internal, dan risk management committee tidak

berpengaruh terhadap manajemen laba. Hal ini mengindikasikan bahwa

mekanisme internal governance yang diharapkan dapat mengatasi

masalah terkait dengan manajemen laba (income smoothing) belum

merupakan jaminan sepenuhnya bagi perusahaan saat ini dalam

memaksimalkan fungsi pengawasan.

6. Meisaroh dan Lucyanda (2011)

65

Penelitian mengenai pengaruh Corporate Governance dan Konsentrasi

Kepemilikan pada Pengungkapan Enterprise Risk Management

berdasarkan dimensi COSO ERM Framework. Penelitian ini bertujuan

untuk mengetahui pengaruh komisaris independen, ukuran dewan

komisaris, keberadaan RMC, reputasi auditor, dan konsentrasi

kepemilikan dengan pengungkapan ERM. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa komisaris independen dan ukuran dewan komisaris tidak

berpengaruh pada pengungkapan ERM. Sementara itu, keberadaan RMC,

reputasi auditor, dan konsentrasi kepemilikan berpengaruh terhadap

pengungkapan ERM.

Adapun beberapa penelitian yang menjadi acuan dan referensi bagi

penulis untuk melakukan penelitian ini dapat dilihat pada tabel 2.1 berikut:

Tabel 2.1

Penelitian Terdahulu

NAMA

VARIABEL METODE

HASIL

Meisaroh

dan

Lucyanda

(2011)

Pengungkapan ERM

(COSO Framework)

Proporsi Komisaris

Independen

Ukuran Dewan Komisaris

Keberadaan Risk

Management Committee

Reputasi Auditor

Konsentrasi Kepemilikan

Regresi

Linier

Berganda

Komsaris

independen dan

ukuran dewan

komisaris tidak

berpengaruh

pada

pengungkapan

ERM

Keberadaan

RMC, reputasi

auditor, dan

konsentrasi

kepemilikan

berpengaruh

pada

66

pengungkapan

ERM

Nurika

Restuning

diah

(2011)

Manajemen Laba (income

smoothing)

Mekanisme Internal

Governance: Proporsi

Dewan Komisaris

Independen, Efektivitas

Komite Audit (jumlah

pertemuan), Keberadaan

fungsi Internal Audit,

Keberadaan RMC (terpisah

dari komite lainnya)

Regresi

Logistik

Semua variabel

tidak berpengaruh

signifikan

terhadap

manajemen laba

Andarini

dan

Januarti

(2010)

Keberadaan RMC dan tipe

RMC (Tergabung atau

Terpisah dari Komite Adit)

Proporsi Komisaris

Independen

Ukuran Dewan

Tipe Auditor Eksternal

Tipe Industri

Kompleksitas

Risiko Pelaporan Keuangan

Leverage

Ukuran Perusahaan

Regresi

Logistik

Hanya ukuran

perusahaan

yang

berhubungan

positif dan

signifikan

terhadap

keberadaan

RMC maupun

SRMC.

Yatim

(2009)

Pembentukan RMC

Proporsi Komisaris

Independen

CEO Independen

Keahlian Dewan

Kerajinan Dewan

Regresi

Logistik

Proporsi

komisaris

independen

dan CEO

independen

berhubungan

positif

dengan

pembentukan

RMC yang

berdiri

sendiri

(terpisah dari

komite audit).

Perusahaan

dengan

keahlian dan

kerajinan

dewan yang

tinggi

juga

67

berpengaruh

positif terhadap

pembentukan

RMC.

Subramani

am

et al.

(2009)

Keberadaan RMC dan tipe

RMC (Tergabung atau

Terpisah dari Komite Adit)

Proporsi Komisaris

Independen

CEO Duality

Ukuran Dewan

Tipe Auditor Eksternal

Tipe Industri

Kompleksitas

Risiko Pelaporan Keuangan

Leverage

Regresi

Logistik

CEO

independen dan

ukuran dewan

berpengaruh

positif

dan signifikan

terhadap

keberadaan

RMC.

CEO

independen dan

ukuran dewan

berhubungan

positif

dengan

keberadaan

SRMC dan

kompleksitas

berhubungan

negatif dengan

keberadaan

SRMC.

Kurt A.

Desender

(2007)

Kualitas ERM

Karakteristik Dewan:

Independensi, pemisahan

jabatan CEO dan Komisaris

Cost Agency: free float dan

leverage

Ukuran Perusahaan

Beta (risk of investors)

Tipe KAP

Ordinary

Least

Squares

Independensi

dewan tidak

berhubungan

dengan Kualitas

ERM

Pemisahan

CEO dengan

dewan

komisaris dan

kombinasi

antara

independensi

dewan dengan

pemisahan

CEO dan

dewan

komisaris

berhubungan

signifikan

terhadap

68

kualitas ERM

D. Kerangka Pemikiran

Berdasarkan uraian sebelumnya mengenai gambaran menyeluruh yang

merupakan kerangka konseptual mengenai pengaruh komisaris independen,

komite manajemen risiko, reputasi auditor dan konsentrasi kepemilikan

terhadap pengungkapan ERM, maka penulis menuangkan kerangka

pemikirannya dalam bentuk skema kerangka pemikiran yang dapat dilihat

pada gambar 2.4 di halaman berikutnya.

69

Gambar 2.4

Kerangka Pemikiran

Adanya Krisis Ekonomi Global pada tahun 2008

Variabel Independen

Variabel Dependen

Komisaris Independen

(Meisaroh dan Lucyanda, 2011)

Komite Manajemen Risiko

(Restuningdiah, 2011)

Reputasi Auditor

(Meisaroh dan Lucyanda, 2011)

Konsentrasi Kepemilikan

(Meisaroh dan Lucyanda, 2011)

Pengungkapan

Enterprise Risk

Management

(ERM):

Dimensi COSO

ERM Framework

(Meisaroh dan

Lucyanda, 2011)

Purposive Sampling

Regresi Berganda

Kesimpulan, Implikasi dan Saran

Uji Asumsi Klasik:

1. Normalitas

2. Multikolinearitas

3. Autokorelasi

4. Heteroskedastisitas

Koefisien Determinasi (R2)

Uji Hipotesis:

1. Uji F

2. Uji t

70

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Ruang Lingkup Penelitian

Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh perusahaan

yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI). Penelitian ini termasuk ke

dalam kelompok data time series dengan melihat dari dimensi waktu yang

digunakan selama periode penelitian yaitu tiga tahun, dari tahun 2009 sampai

dengan tahun 2011. Penelitian ini merupakan jenis penelitian kausal

komparatif yaitu penelitian yang menggambarkan hubungan sebab akibat

antara dua variabel atau lebih (Indriantoro dan Supomo, 2002). Peneliti

bermaksud untuk menganalisis pengaruh variabel independen yakni komisaris

independen, komite manajemen risiko, reputasi auditor dan konsentrasi

kepemilikan terhadap variabel dependen yakni pengungkapan ERM

berdasarkan dimensi COSO ERM Framework baik secara parsial maupun

simultan.

B. Metode Penentuan Sampel

Populasi adalah keseluruhan subyek penelitian (Kristianto, 2010). Sampel

adalah sebagian anggota dari populasi yang dipilih menggunakan proses

tertentu sehingga dapat mewakili populasi. Metode pemilihan sampel yang

digunakan dalam penelitian ini adalah metode purposive sampling yaitu tipe

pemilihan sampel secara tidak acak yang informasinya diperoleh dengan

71

menggunakan pertimbangan tertentu. Adapun kriteria pemilihan sampel dalam

penelitian ini adalah :

1. Perusahaan nonfinancial yang terdaftar di BEI pada tahun 2009 sampai

dengan tahun 2011

2. Perusahaan yang mempublikasikan laporan keuangan dan laporan tahunan

(annual report) secara konsisten yang berakhir pada tanggal 31 Desember

selama periode 2009-2011 dan disajikan dalam rupiah

3. Perusahaan yang memiliki kelengkapan data mengenai komisaris

independen, komite manajemen risiko, reputasi auditor dan konsentrasi

kepemilikan.

4. Perusahaan yang telah mengungkapkan manajemen risiko dalam laporan

tahunannya secara konsisten selama tahun 2009 sampai dengan tahun

2011.

5. Perusahaan yang memiliki satu atau lebih pemegang saham besar dengan

kepemilikan lebih dari ambang batas 50%.

C. Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan data kuantitatif yang merupakan data

sekunder. Data sekunder yaitu data yang diperoleh peneliti secara tidak

langsung melalui media perantara (diperoleh dan dicatat oleh pihak lain)

(Indriantoro dan Supomo, 2002) sedangkan informasi KAP diperoleh dari

Indonesian Capital Market Directory. Selain itu, informasi mengenai

pengungkapan manajemen risiko perusahaan diperoleh dari laporan tahunan

perusahaan (annual report) yang dipublikasikan oleh Bursa Efek Indonesia

72

(BEI) selama tiga tahun berturut-turut mulai periode tahun 2009 sampai

dengan tahun 2011 dan website perusahaan yang telah dipublikasikan. Data

kuantitatif tersebut diukur dalam suatu skala rasio dan skala nominal.

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh

dan didapatkan dengan cara:

1. Metode dokumentasi, yaitu dengan cara mengumpulkan, mencatat,

mengkaji data sekunder secara tidak langsung melalui media perantara

yang berupa annual report dari seluruh perusahaan go public kecuali

perusahaan financial yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode

tahun 2009 sampai dengan 2011. Data dalam penelitian ini diunduh

melalui situs www.idx.co.id. Dengan data-data tersebut bisa digunakan

untuk perhitungan variabel dalam penelitian ini, yaitu komisaris

independen, komite manajemen risiko, reputasi auditor, konsentrasi

kepemilikan dan pengungkapan ERM.

2. Metode studi pustaka, yaitu dengan melakukan telaah pustaka, eksplorasi

dan mengkaji berbagai literatur pustaka seperti jurnal, tesis, surat kabar,

dan sumber-sumber lain yang berkaitan dengan penelitian. Hal ini

disebabkan kepustakaan adalah bahan utama dalam penelitian data

sekunder (Indriantoro dan Supomo, 2002).

D. Metode Analisis Data

Terdapat beberapa teknik statistik yang dapat digunakan untuk

menganalisis data. Tujuan dari analisis ini adalah untuk mendapatkan

informasi yang relevan yang terkandung dalam data tersebut dan

73

menggunakan hasilnya untuk memecahkan suatu masalah. Sebelum analisis

regresi dilakukan, maka harus diuji terlebih dahulu dengan uji asumsi klasik

untuk memastikan apakah model regresi yang digunakan tidak terdapat

masalah normalitas, multikolinearitas, heteroskedastisitas, dan autokolerasi.

Jika terpenuhi maka model analisis layak untuk digunakan.

Dalam penelitian ini, pengujian hipotesis dan pengujian asumsi klasik

dilakukan dengan menggunakan alat analisis statistik yaitu berupa output

SPSS. SPSS yang digunakan adalah SPSS versi 20.

1. Analisis Statistik Deskriptif

Statistik deskriptif digunakan untuk menganalisis data dengan cara

menggambarkan sampel data yang telah dikumpulkan dalam kondisi

sebenarnya tanpa maksud membuat kesimpulan yang berlaku umum dan

generalisasi. Analisis statistik deskriptif digunakan untuk memberi

gambaran umum mengenai demografi responden dalam penelitian dan

deskripsi mengenai variabel-variabel penelitian (komisaris independen,

komite manajemen risiko, reputasi auditor, konsentrasi kepemilikan dan

pengungkapan ERM).

Statistik deskriptif memberikan gambaran atau deskripsi suatu data

yang dilihat dari nilai rata-rata (mean), standar deviasi, maksimum,

minimum (Ghozali, 2011). Mean digunakan untuk mengetahui rata-rata

data yang bersangkutan. Standar deviasi digunakan untuk mengetahui

seberapa besar data yang bersangkutan bervariasi dari rata-rata. Nilai

maksimum digunakan untuk mengetahui jumlah terbesar data yang

74

bersangkutan. Nilai minimum digunakan untuk mengetahui jumlah

terkecil data yang bersangkutan bervariasi dari rata-rata.

2. Uji Asumsi Klasik

Untuk mengetahui apakah model regresi benar-benar menunjukkan

hubungan yang signifikan, maka model tersebut harus memenuhi asumsi

klasik sebagai berikut:

a. Uji Normalitas

Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model

regresi, variabel pengganggu atau residual memiliki distribusi normal.

Seperti diketahui, bahwa uji t dan uji F mengasumsikan bahwa nilai

residual mengikuti distribusi normal. Jika asumsi ini dilanggar, maka

uji statistik menjadi tidak valid untuk jumlah sampel kecil.

Jika terdapat normalitas, maka residual akan terdistribusi secara

normal dan independen (Ghozali, 2011). Hal ini menujukkan bahwa

terdapat perbedaan antara nilai prediksi dengan skor yang

sesungguhnya atau error akan terdistribusi secara simetri disekitar

nilai mean sama dengan nol. Jadi, salah satu cara untuk mendeteksi

normalitas adalah melalui pengamatan setiap masing-masing variabel

penelitian dan nilai residual.

Dasar pengambilan keputusan melalui analisis ini, jika data

menyebar disekitar garis diagonal sebagai representasi pola distribusi

normal, berarti model regresi memenuhi asumsi normalitas. Dalam

penelitian uji normalitas dilakukan dengan dua metode, yaitu:

75

1) Analisis Statistik

a) Uji Skewness dan Kurtosis

Analisis uji skewness dan kurtosis dilakukan dengan

melihat nilai kurtosis dan skewness dari masing-masing

variabel penelitian baik variabel independen maupun

variabel dependen. Skewness adalah derajat

ketidaksimetrisan suatu distribusi. Skewed variabel (variabel

menceng) adalah variabel yang nilai mean-nya tidak

ditengah-tengah distribusi. Sedangkan kurtosis adalah

derajat keruncingan suatu distribusi (biasanya diukur relatif

terhadap distribusi normal). Uji Skewness dan Kurtosis

adalah salah satu carauntuk mendeteksi normalitas melalui

pengamatan setiap masing-masing variabel penelitian Nilai z

statistik untuk skewness dapat dihitung dengan rumus:

√ ⁄

Sedangkan nilai z kurtosis dapat dihitung dengan rumus:

√ ⁄

Nilai Z ini kita bandingkan dengan nilai kritisnya yaitu

untuk alpha 0,05 nilai kritisnya 1,96.

b) Uji Statistik Kolmogrov-Smirnov (K-S)

Untuk mendeteksi normalitas data dapat juga dilakukan

dengan uji Kolmogrov-Smirnov. Uji statistik kolmogrov-

76

smirnov adalah salah satu pengujian yang dilakukan untuk

mendeteksi normalitas melalui pengamatan nilai residual.

Kelebihan dari pengujian ini adalah sederhana dan tidak

menimbulkan persepsi di antara satu pengamat dengan

pengamat yang lain, yang sering terjadi pada uji normalitas

dengan menggunakan grafik. Konsep dasar dari uji

normalitas Kolmogorov-Smirnov membandingkan distribusi

data (yang akan diuji normalitasnya) dengan distribusi

normal baku. Distribusi normal baku adalah data yang telah

ditransformasikan dalam bentuk Z-Score dan diasumsikan

normal. Jadi sebenarnya uji Kolmogorov-Smirnov adalah uji

beda antara data yang diuji normalitasnya dengan data

normal baku.

Seperti pada uji beda biasa, jika signifikansi di bawah

0,05 berarti terdapat perbedaan yang signifikan, dan jika

signifikansi di atas 0,05 maka tidak terjadi perbedaan yang

signifikan. Caranya adalah dengan menentukan terlebih

dahulu hipotesis pengujian yaitu :

Ho : Data residual terdistribusi secara normal

Ha : Data residual tidak terdistribusi secara normal

Penerapan pada uji Kolmogorov Smirnov adalah bahwa

jika signifikansi di bawah 0,05 berarti data yang akan diuji

77

mempunyai perbedaan yang signifikan dengan data normal

baku, berarti data tersebut tidak normal dan Ho ditolak.

Sedangkan, jika signifikansi di atas 0,05 maka tidak

terdapat perbedaan yang signifikan antara data yang akan

diuji dengan data normal baku, artinya data yang diuji

normal karena tidak berbeda dengan normal baku dan Ho

diterima.

2) Analisis Grafik

Analisis grafik dilakukan dengan melihat hasil ouput SPSS,

berupa grafik normal probability plots dan grafik histogram. Jika

titik-titik pada grafik normal probability plots mendekati garis

diagonal dan tidak terdapat kemencengan maka model regresi

tersebut dapat dikatakan terdistribusi secara normal. Kenormalan

tidaknya suatu data yang dideteksi melalui grafik normal

probability plots dan grafik histogram, kadang-kadang dapat

menyesatkan karena kelihatan distribusinya normal tetapi secara

statistik sebenarnya tidak normal.

b. Uji Multikolinieritas

Uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji apakah model

regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas (independen).

Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi di antara

variabel independen (Ghozali, 2011). Untuk mendeteksi ada atau

78

tidaknya multikolinearitas di dalam model regresi adalah sebagai

berikut:

1) Nilai R2 yang dihasilkan oleh suatu estimasi model regresi

empiris sangat tinggi, tetapi secara individual variabel-variabel

independen banyak yang tidak signifikan mempengaruhi variabel

dependen.

2) Menganalisis matriks korelasi variabel independen. Jika antar

variabel ada korelasi yang cukup tinggi (> 0.90) maka hal

tersebut merupakan indikasi adanya multikolinieritas.

3) Dilihat dari nilai tolerance dan lawannya Variance Inflation

Factor (VIF). Tolerance mengukur variabilitas variabel

independen yang terpilih yang tidak dijelaskan oleh variabel

independen lainnya. Jadi nilai tolerance yang rendah sama

dengan nilai VIF yang tinggi. Nilai yang umum digunakan

adalah nilai tolerance > 0.10 atau sama dengan nilai VIF <10

(Ghozali, 2011).

c. Uji Heteroskedastisitas

Uji heteroskedastisitas bertujuan menguji apakah dalam model

regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual suatu pengamatan

ke pengamatan yang lain. Jika variance dari residual suatu

pengamatan terhadap pengamatan lain tetap, maka disebut

homoskedastisitas dan jika berbeda disebut heteroskedastisitas. Model

79

regresi yang baik adalah yang homoskedastisitas atau tidak ada

heteroskedastisitas (Ghozali, 2011).

Salah satu cara untuk mendeteksi heteroskedastisitas adalah

dengan melihat grafik scatter plot antara lain prediksi variabel terikat

(dependen) yaitu ZPRED dengan residualnya SRESID. Deteksi ada

tidaknya heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan melihat ada

tidaknya pola tertentu pada grafik scatterplot antara SRESID dan

ZPRED dimana sumbu Y adalah Y yang diprediksi dan sumbu X

adalah residual (Y prediksi – Y sesungguhnya) yang telah di-

studentized.

Jika ada titik pola tertentu yang teratur (bergelombang, melebar

kemudian menyempit) maka mengindikasikan telah terjadi

heteroskedastisitas. Jika tidak ada pola yang jelas, serta titik-titik

menyebar diatas dan dibawah angka 0 pada sumbu Y, maka tidak

terjadi heteroskedastisitas (Ghozali, 2011). Analisis dengan grafik

plots memiliki kelemahan yang cukup signifikan. Oleh karena, jumlah

pengamatan mempengaruhi hasil ploting. Semakin sedikit jumlah

pengamatan semakin sulit menginterpretasikan hasil grafik plot.

d. Uji Autokorelasi

Uji autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah dalam model

regresi linear ada korelasi antara kesalahan pengganggu (problem

autokorelasi) pada periode t dengan kesalahan pengganggu pada

80

periode t-1 (sebelumnya). Model regresi yang baik adalah regresi yang

bebas dari autokorelasi.

Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mendeteksi ada

atau tidaknya autokorelasi, salah satunya dapat dilihat dari angka

Durbin Watson (D-W) sebagai berikut:

1) Bila nilai D-W terletak antara batas atas (du) dan (4-du) maka

koefisien autokorelasi sama dengan nol dan berarti tidak ada

autokorelasi.

2) Bila nilai D-W lebih rendah daripada batas bawah atau lower

bound (dl) maka koefisien autokorelasi lebih besar daripada nol

dan berarti ada autokorelasi positif.

3) Bila nilai D-W lebih besar daripada (4-dl), maka koefisien

autokorelasi lebih kecil daripada nol dan berarti ada autokorelasi

negatif.

4) Bila nilai D-W terletak di antara batas atas (du) dan batas bawah

(dl) ataupun terletak antara (4-du) dan (4-dl) berarti hasilnya

tidak dapat disimpulkan.

Selain uji Dubin Watson, uji statistik lain yang digunakan dalam

penelitian ini yaitu uji run test. Jika nilai run test memiliki tingkat

signifikan di atas > 0,05 berarti tidak terjadi autokorelasi (Ghozali,

2011).

81

3. Analisis Regresi Berganda

Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan alat analisis

regresi berganda. Penggunaan regresi ini dimaksudkan untuk mengetahui

secara terpisah (parsial) berbagai variabel independen yang ada (dalam hal

ini komisaris independen, komite manajemen risiko, reputasi auditor dan

konsentrasi kepemilikan) tanpa ada pengaruh unsur variabel lain.

Sedangkan pengujian hipotesis menggunakan alat analisis regresi

berganda. Selain dapat melihat pengaruh masing-masing variabel

independen, analisis regresi berganda dapat juga digunakan untuk melihat

sejauh mana pengaruh interaksi variabel independen terhadap variabel

dependen.

Persamaan regresi berganda yang digunakan adalah sebagai berikut:

Keterangan:

Y : Pengungkapan Enterprise Risk Management (ERM)

0 : Konstanta

1 : Koefisien regresi pertama, yaitu besarnya perubahan Y apabila

X1 berubah 1 satuan

X1 : Komisaris Independen

2 : Koefisien regresi kedua, yaitu besarnya perubahan Y apabila X2

berubah 1 satuan

X2 : Komite Manajemen Risiko

Y = 0 + 1X1 +2X2 +3X3 +4X4+

82

3 : Koefisien regresi ketiga, yaitu besarnya perubahan Y apabila X3

berubah 1 satuan

X3 : Reputasi Auditor

4 : Koefisien regresi keempat, yaitu besarnya perubahan Y apabila

X4 berubah 1 satuan

X4 : Konsentrasi Kepemilikan

E : Error term

4. Koefisien Determinasi

Koefisien determinasi (R2) pada intinya mengukur seberapa jauh

kemampuan model dalam menerangkan variasi variabel dependen. Nilai

koefisien determinasi adalah antara nol dan satu. Nilai R2 yang kecil

berarti menunjukkan bahwa kemampuan variabel-variabel independen

dalam menjelaskan variasi variabel dependen amat terbatas dan semakin

lemah kemampuan variabel independen dalam menjelaskan variabel

dependen. Nilai yang mendekati satu berarti variabel-variabel independen

memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi

variasi variabel dependen. Hal ini berarti semakin kuat kemampuan

variabel independen dalam menjelaskan variabel dependen (Ghozali,

2011).

Dalam analisis koefisien determinasi, dilakukan pula analisis

koefisien korelasi yang digunakan untuk mengetahui apakah diantara dua

variabel terdapat hubungan. Jika terdapat hubungan maka bagaimana arah

hubungan tersebut untuk mengetahui ada tidaknya hubungan diantara dua

83

variabel maka digunakan tingkat signifikan sebesar 0,05. Jika nilai

probabilitas lebih besar dari 0,05 maka Ha ditolak dan sebaliknya jika nilai

probabilitas lebih kecil dari 0,05 maka Ha diterima. Analisis koefisien

korelasi digunakan untuk mengetahui derajat atau tingkat keeratan

hubungan antara variabel dependen dengan variabel independen.

Dari hasil perhitungan tersebut berlaku ketentuan, jika :

Positif (+) : Menunjukkan hubungan yang searah antara kedua variabel.

Negatif (-) : Menunjukkan hubungan yang berlawanan arah antara kedua

variabel.

Kekuatan hubungan dua variabel secara kualitatif dapat dibagi dalam

empat area yaitu :

a. Jika nilai r berada antara 0,00 sampai dengan 0,25, maka tidak

ada hubungan atau hubungan lemah antara variabel dependen

dengan variabel independen.

b. Jika nilai r berada antara 0,26 sampai dengan 0,50, maka

hubungan sedang antara variabel dependen dengan variabel

independen.

c. Jika nilai r berada antara 0,51 sampai dengan 0,75, maka

hubungan kuat antara variabel dependen dengan variabel

independen.

d. Jika nilai r berada antara 0,76 sampai dengan 1, maka hubungan

sangat kuat atau sempurna antara variabel dependen dengan

variabel independen.

84

5. Pengujian Hipotesis

Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan uji F untuk uji

simultan dan Uji t untuk uji parsial.

a. Pengujian secara Simultan (Uji F)

Uji statistik F pada dasarnya menunjukkan apakah semua

variabel independen atau bebas yang dimasukkan dalam model

mempunyai pengaruh secara bersama-sama terhadap variabel

dependen atau terikat (Ghozali, 2011). Pengujian ini dilakukan

dengan menggunakan alat analisis statistik SPSS.

Kriteria pengujian yang digunakan sebagai berikut:

1) Ha ditolak apabila nilai signifikansi probabilitas pada hasil

output analisis SPSS untuk uji F berada di atas 0,05 (> 0,05).

Artinya variabel bebas secara bersama-sama tidak berpengaruh

secara signifikan terhadap variabel terikat.

2) Ha diterima apabila nilai signifikansi probabilitas pada hasil

output analisis SPSS untuk uji F berada di bawah 0,05 (< 0,05).

Artinya variabel bebas secara bersama-sama berpengaruh secara

signifikan terhadap variabel terikat.

b. Pengujian secara Parsial (Uji t)

Uji statistik t pada dasarnya menunjukkan seberapa jauh

pengaruh satu variabel penjelas/independen secara individual dalam

menerangkan variasi variabel dependen (Ghozali, 2011). Pengujian

ini dilakukan dengan menggunakan alat analisis statistik SPSS.

85

Kriteria pengujian yang digunakan sebagai berikut :

1) Ha ditolak apabila signifikan t hitung > 0,05 artinya

variabelbebas tidak berpengaruh secara signifikan terhadap

variabelterikat.

2) Ha diterima apabila signifikan t hitung < 0,05 artinya variabel

bebas berpengaruh secara signifikan terhadap variabel terikat.

E. Operasionalisasi Variabel Penelitian

Definisi operasional adalah suatu definisi yang diberikan pada suatu

variabel dengan memberi arti atau menspesifikasikan kegiatan atau

membenarkan suatu operasional yang diperlukan untuk mengukur variabel

tersebut. Penelitian ini menggunakan dua jenis variabel, yaitu variabel

dependen dan variabel independen. Variabel dependen merupakan variabel

yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat, karena adanya variabel

independen (bebas). Variabel independen adalah variabel yang menjelaskan

atau mempengaruhi variabel lain. Adapun variabel yang digunakan dalam

penelitian ini adalah :

1. Variabel Dependen

a. Pengungkapan Enterprise Risk Management (ERM)

Variabel dependen yaitu variabel yang dipengaruhi atau

tertanggung oleh variabel lain. Variabel dependen yang digunakan

dalam penelitian ini adalah pengungkapan ERM. Pengungkapan ERM

merupakan gambaran dari penerapan manajemen risiko perusahaan.

Semakin banyak item yang diungkapkan, diharapkan dapat

86

mencerminkan penerapan manajemen risiko yang efektif. Menurut

Amran et al., (2009) dalam Venny (2012) risk management disclosure

dapat diartikan sebagai pengungkapan atas risiko-risiko yang telah

dikelola perusahaan atau pengungkapan atas bagaimana perusahaan

dalam mengendalikan risiko yang berkaitan di masa mendatang. Risk

management disclosure berpotensi memiliki manfaat untuk para analis,

investor, dan stakeholders.

Dalam penelitian ini, pengungkapan ERM menggunakan kriteria

108 pengungkapan berdasarkan dimensi COSO ERM Framework yang

mencakup delapan dimensi yaitu lingkungan internal, penetapan

tujuan, identifikasi kejadian, penilaian risiko, respon atas risiko,

kegiatan pengawasan, informasi dan komunikasi, dan pemantauan

sesuai dengan penelitian Desender (2010) dan Meisaroh dan Lucyanda

(2011). Selain itu, perhitungan item-item menggunakan pendekatan

dikotomi yaitu setiap item ERM yang diungkapkan diberi nilai 1, dan

nilai 0 apabila tidak diungkapkan. Setiap item akan dijumlahkan untuk

memperoleh keseluruhan indeks ERM masing-masing perusahaan

dengan menghitung jumlah pengungkapan dan dibagi dengan total

item pengungkapan sebanyak 108 item. Informasi mengenai

pengungkapan ERM diperoleh dari laporan tahunan (annual report)

dan situs perusahaan (Meisaroh dan Lucyanda, 2011).

87

2. Variabel Independen

Variabel independen adalah variabel yang mempengaruhi variabel

dependen, baik yang pengaruhnya positif maupun yang pengaruhnya

negatif. Adapun variabel independen yang digunakan dalam penelitian

ini terdiri dari:

a. Komisaris Independen

Proporsi jumlah komisaris independen dapat menggambarkan

tingkat independensi dan objektivitas dewan dalam pengambilan

keputusan (Spira dan Bender, 2004). Independensi dewan

komisaris dinyatakan dalam presentase jumlah anggota komisaris

independen dibandingkan dengan jumlah seluruh anggota dewan

komisaris (Subramaniam, et al., 2009) yang diperoleh dari

perhitungan:

b. Komite Manajemen Risiko (RMC)

Dalam penelitian ini keberadaan RMC (FIRM_RMC)

diklasifikasikan menjadi:

a) RMC yang tergabung, ketika dalam laporan tahunan

perusahaan mengungkapkan keberadaan suatu komite di bawah

komite audit.

b) RMC yang terpisah, ketika dalam laporan tahunan keberadaan

perusahaan mengungkapkan sebuah komite yang terpisah dari

COM_IND

88

komite audit yang secara khusus mengawasi risiko perusahaan

yang disebut sebagai “RMC”.

Pada penelitian ini, keberadaan RMC diukur dengan

menggunakan variabel dummy, dimana perusahaan yang

mengungkapkan keberadaan RMC yang terpisah dari komite audit

dan berdiri sendiri diberi nilai satu (1), sedangkan nilai nol (0)

apabila perusahaan mengungkapkan keberadaan RMC yang

tergabung dengan audit maupun komite lainnya di bawah komite

audit dalam laporan tahunannya (Nurika Restuningdiah, 2010).

c. Reputasi Auditor

Reputasi auditor merupakan prestasi dan kepercayaan publik

yang disandang auditor atas nama besar yang dimiliki auditor

tersebut. Reputasi auditor dinyatakan dengan apakah auditor yang

digunakan oleh perusahaan termasuk dalam Big Four atau tidak.

Perusahaan yang menggunakan KAP Big Four sebagai auditor

eksternalnya diberikan nilai satu (1) dan sebaliknya diberikan nilai nol

(0) (Subramaniam, et al., 2009).

Variabel reputasi auditor dalam penelitian ini diukur dengan

menggunakan variabel dummy. Dimana KAP yang mengaudit

laporan keuangan perusahaan dinilai berdasarkan reputasi KAP

tersebut. Dalam penelitian ini reputasi auditor (AUD_REP)

diproksikan dengan afiliasi KAP TheBig Four. Jika KAP termasuk

dalam kategori The Big Four Auditors diberi nilai 1, jika tidak

89

diberi nilai 0. KAP di Indonesia yang berafiliasi dengan The Big

Four Auditors yaitu (Cahyadi, 2009):

a) KAP Purwantono, Sarwoko, Sandjaja berafiliasi dengan KAP

Ernst and Young.

b) KAP Osman Bing Satrio dan rekan berafiliasi dengan KAP

Deloitte Touche Tohmatsu.

c) KAP Sidharta, Sidharta, Widjaja berafiliasi dengan KAP

KPMG (Klynveld Peat Marwick Goerdeler).

d) KAP Haryanto Sahari dan rekan berafiliasi dengan KAP Price

Waterhouse Coopers.

d. Konsentrasi Kepemilikan

Faccio, Lang dan Young (2001) mengidentifikasi perusahaan

dengan kepemilikan terkonsentrasi jika terdapat individu,

kelompok keluarga atau perusahaan dengan kepemilikan saham

minimal 20% dari total saham perusahaan. Kepemilikan langsung

dan kepemilikan tidak langsung dianggap menentukan struktur

kepemilikan (menggunakan ambang batas tingkat 20% untuk

menentukan kontrol kepemilikan tidak langsung, misalnya, jika

seorang investor memiliki 80% saham dari perusahaan X yang

memiliki 20% saham dari perusahaan Y, maka investor ini

menguasai 20% saham dari perusahaan Y melalui kepemilikan

saham tidak langsung). Perusahaan tanpa pemegang saham

90

pengendali diklasifikasikan sebagai perusahaan dengan

kepemilikan tersebar.

Desender (2010) mengklasifikasikan perusahaan menjadi

tiga jenis kepemilikan yaitu, keluarga, perusahaan dan bank.

Pemegang saham pengendali adalah pemegang saham terbesar

dengan setidaknya 20% saham pada setiap jenis saham dengan

mempertimbangkan kepemilikan saham langsung dan tidak

langsung, serta hubungan keluarga.

Penelitian yang dilakukan oleh Rini dan Aida (2006)

tentang pengaruh kepemilikan saham minoritas (publik) dan

kepemilikan saham mayoritas terhadap kebijakan deviden

menggunakan proksi persentase pemilik saham terbesar untuk

mengukur kepemilikan saham mayoritas. Hal ini tidak jauh

berbeda dengan penelitian Meisaroh dan Lucyanda (2011)

menggunakan proksi pemegang saham mayoritas dengan

kepemilikan saham lebih dari 50% untuk mengukur konsentrasi

kepemilikan. Perusahaan dengan konsentrasi kepemilikan

(OWN_CON) dalam penelitian ini adalah perusahaan dengan

pemegang saham mayoritas dengan kepemilikan saham lebih dari

50%. Pisah batas ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang

dilakukan oleh Meisaroh dan Lucyanda (2011).

Selengkapnya untuk definisi dan pengukuran operasional variabel

penelitian ini dapat dilihat pada tabel 3.1 di halaman berikutnya.

91

Tabel 3.1

Definisi Operasional Variabel dan Indikatornya

Variabel Definisi

Operasional Pengukuran Skala Sumber

Dependen

(Y)

Pengungka

pan ERM

Diproksikan

berdasarkan

dimensi

COSO ERM

Framework

dengan

kriteria 108

item

pengungkap-

an

Menggunakan variabel

dummy, nilai satu jika

mengungkapkan dan nilai

nol jika tidak

mengungkapkan

Indeks ERM =

Nomi

nal

Rasio

Desender

(2010)

dan

Meisaroh

dan

Lucyanda

(2011)

Independen

(X1)

Komisaris

Independen

Diproksikan

dengan

persentase

dewan

komisaris

independen

Komisaris Independen =

Rasio Meisaroh

dan

Lucyanda

(2011)

Independen

(X2)

Komite

Manajemen

Risiko

Diproksikan

dengan

mengklasifi

kasikan

keberadaan

RMC yang

tergabung

dengan

komite audit

dan RMC

yang

terpisah

dengan audit

dan komite

lainnya

Menggunakan variabel

dummy yaitu satu untuk

perusahaan dengan RMC

terpisah dengan audit dan

komite lainnya sedangkan

nol untuk perusahaan

dengan keberadaan RMC

tergabung dengan komite

audit.

Nomi

nal

Nurika

Restuning

diah

(2010)

Independen

(X3)

Reputasi

Auditor

Diproksikan

denganMeng

kualifikasika

nKAP atau

skala auditor

yang

digunakanpe

rusahaan

Menggunakan variabel

dummy yaitu satu untuk

perusahaan yang diaudit

oleh KAP Big Four dan nol

untuk perusahaan yang

diaudit oleh KAP non Big

Four

Nomi

nal

Meisaroh

dan

Lucyanda

(2011)

92

yang dilihat

melalui

ukuran KAP

yang terdiri

dari dua

macam yaitu

KAP Big

Fourdan

KAP non

Big Four

Independen

(X4)

Konsentrasi

Kepemilik

-an

Diproksikan

dengan

adanya

pemegang

saham

mayoritas

dengan

kepemilikan

saham lebih

dari 50%

Jumlah persentase

kepemilikan saham lebih

dari ambang batas 50%

Rasio Meisaroh

dan

Lucyanda

(2011)

93

BAB IV

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Objek Penelitian

Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah perusahaan

nonfinancial yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI). Sampel diambil

dengan menggunakan metode purposive sampling. Berdasarkan kriteria

sampel diperoleh sampel penelitian sebanyak 41 perusahaan per tahun untuk

periode 2009 sampai dengan 2011 sehingga total keseluruhan sampel yang

digunakan dalam penelitian ini adalah sebanyak 123 perusahaan.

Selengkapnya mengenai rincian sampel penelitian dapat dilihat pada tabel 4.1

berikut ini.

Tabel 4.1

Rincian Sampel Penelitian

Kriteria Jumlah

Perusahaan yang terdaftar di BEI selama tahun 2011 436

Perusahaan yang terdaftar setelah 31 Desember 2008 (61)

Perusahaan sektor keuangan selama periode 2009-2011 (65)

Perusahaan tidak konsisten menerbitkan annual report selama

periode 2009-2011 (242)

Perusahaan dengan data tidak lengkap :

a). Konsentrasi kepemilikan kurang dari ambang batas 50% (11)

b). Tidak mengungkapkan ERM secara konsisten selama periode

2009-2011 (16)

Jumlah perusahaan yang digunakan 41

Total keseluruhan sampel selama 3 tahun (41 x 3) 123

Sumber: Data sekunder diolah

94

Adapun nama perusahaan yang dijadikan sampel dalam penelitian ini

selengkapnya dapat dilihat pada tabel 4.2 sebagai berikut.

Tabel 4.2

Daftar Nama Perusahaan

NO EMITEN KODE

1 PT Astra Agro Lestari Tbk. AALI

2 PT Ace Hardware Indonesia Tbk. ACES

3 PT AKR Corporindo Tbk. AKRA

4 PT Astra International Tbk. ASII

5 PT Astra Otoparts Tbk. AUTO

6 PT Indofood Sukses Makmur Tbk. INDF

7 PT Indosat Tbk. ISAT

8 PT Indo Tambangraya Megah Tbk. ITMG

9 PT Jaya Konstruksi Manggala Prata Tbk. JKON

10 PT Jaya Real Property Tbk. JRPT

11 PT Jasa Marga (Persero) Tbk. JSMR

12 PT Jasuindo Tiga Perkasa Tbk. JTPE

13 PT Kimia Farma Tbk. KAEF

14 PT First Media Tbk. KBLV

15 PT Kalbe Farma Tbk. KLBF

16 PT Limas Centric Indonesia Tbk. LMAS

17 PT Lippo Cikarang Tbk. LPCK

18 PT Lautan Luas Tbk. LTLS

19 PT Mas Murni Indonesia Tbk. MAMI

20 PT Mitra Adiperkasa Tbk. MAPI

21 PT Modern Internasional Tbk. MDRN

22 PT Multi Indocitra Tbk. MICE

23 PT Mitra Investindo Tbk. MITI

24 PT Media Nusantara Citra Tbk. MNCN

25 PT Metrodata Electronics Tbk. MTDL

Berlanjut ke halaman berikutnya

95

Tabel 4.2 (Lanjutan)

26 PT Asia Pacific Fibers Tbk. POLY

27 PT Pool Advista Indonesia Tbk. POOL

28 PT Tambang Batubara Bukit Asam Tbk. PTBA

29 PT Ramayana Lestari Sentosa Tbk. RALS

30 PT Bentoel Internasional Investama Tbk. RMBA

31 PT Sampoerna Agro Tbk. SGRO

32 PT Sierad Produce Tbk. SIPD

33 PT Smart Tbk. SMAR

34 PT Holcim Indonesia Tbk. SMCB

35 PT Suryamas Dutamakmur Tbk. SMDM

36 PT Semen Gresik (Persero) Tbk. SMGR

37 PT Sorini Agro Asia Corporindo Tbk. SOBI

38 PT Sumalindo Lestari Jaya Tbk. SULI

39 PT Mandom Indonesia Tbk. TCID

40 PT United Tractors Tbk. UNTR

41 PT Unilever Indonesia Tbk. UNVR

Sumber: Data diolah

B. Hasil Analisis dan Pembahasan

1. Statistik Deskriptif

Statistik deskriptif memberikan gambaran atau deskriptif suatu data

yang dilihat dari nilai rata-rata (mean), standar deviasi, maksimum, dan

minimum, dari masing-masing variabel (Ghozali, 2011). Mean digunakan

untuk mengetahui rata-rata data yang bersangkutan. Standar deviasi

digunakan untuk mengetahui seberapa besar data yang bersangkutan

bervariasi dari rata-rata. Nilai maksimum digunakan untuk mengetahui

jumlah terbesar data yang bersangkutan. Nilai minimum digunakan untuk

mengetahui jumlah terkecil data yang bersangkutan bervariasi dari rata-

rata. Variabel yang digunakan meliputi variabel independen yaitu

96

komisaris independen (IND_COM), konsentrasi kepemilikan

(OWN_CON), reputasi auditor (AUD_REP) dan komite manajemen risiko

(FIRM_RMC) serta variabel dependen yaitu pengungkapan Enterprise

Risk Management (ERM). Dari hasil pengujian statistik deskriptif atas

keempat variabel independen, satu variabel dependen, melalui data asli,

maka diperoleh hasil sesuai dengan tabel 4.3 berikut:

Tabel 4.3

Hasil Statistik Deskriptif

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std.

Deviation

IND_COM 123 .300 .800 .43432 .116111

OWN_CON 123 .500 .997 .66830 .128540

AUD_REP 123 .000 1.000 .60163 .491566

FIRM_RMC 123 .000 1.000 .21951 .415609

ERM 123 .796 .981 .88385 .046603

Valid N

(listwise) 123

Sumber: Data sekunder diolah

Dari tabel 4.3 di atas menunjukkan bahwa variabel independen

komisaris independen (IND_COM) diperoleh dari jumlah komisaris

independen dibagi dengan total dewan komisaris dalam suatu perusahaan.

Proporsi komisaris independen memiliki nilai minimum sebesar 0,30 yang

diperoleh dari PT Indofood Sukses Makmur Tbk. yang memiliki 3

komisaris independen dari 10 dewan komisaris yang ada dalam

perusahaan pada tahun 2009 dan 2010. Sedangkan nilai maksimum

97

sebesar 0,80 diperoleh dari PT Unilever Indonesia, Tbk. dengan 4

komisaris independen dari 5 dewan komisaris yang ada dalam perusahaan

pada tahun 2011. Nilai rata-rata IND_COM sebesar 0,43432 atau 43,43%

yang menunjukkan bahwa perusahaan yang menjadi sampel dalam

penelitian ini telah memenuhi ketentuan yang disyaratkan oleh Bapepam

untuk jumlah komisaris independen yaitu sekurang-kurangnya 30% dari

seluruh jumlah anggota komisaris dan nilai standar deviasi IND_COM

sendiri adalah sebesar 0,11611. Nilai standar deviasi dibawah nilai rata-

rata. Hal ini menggambarkan bahwa kesenjangan antara nilai maksimum

dengan nilai minimum komisaris independen rendah.

Variabel independen konsentrasi kepemilikan (OWN_CON)

menunjukkan nilai minimum sebesar 50% yang diperoleh dari PT

Indofood Sukses Makmur Tbk. dimana salah satu pemegang saham

terbesar yaitu CAB Holdings Limited memiliki 50,05% saham pada tahun

2009 dan 2010. Sedangkan pada tahun 2011 kepemilikan saham

meningkat menjadi 50,07%. Nilai maksimum sebesar 99,7% diperoleh

dari PT Bentoel International Investama, Tbk. dimana salah satu

pemegang saham terbesar yaitu British American Tobacco, Ltd. memiliki

99,74% saham perusahaan pada tahun 2009. Nilai rata-rata konsentrasi

kepemilikan (OWN_CON) sebesar 0,66830 atau 66,83% menunjukkan

bahwa mayoritas sampel dalam penelitian ini memiliki salah satu

pemegang saham terbesar dengan kepemilikan lebih dari 50% sesuai

dengan pisah batas dalam penelitian sebelumnya yaitu Desender (2007)

98

dan Meisaroh dan Lucyanda (2011). Sedangkan nilai standar deviasi

sebesar 0,1285 atau 12,85% dibawah nilai rata-rata sebesar 66,83%. Hal

ini menggambarkan bahwa kesenjangan antara nilai maksimum dengan

nilai minimum konsentrasi kepemilikan rendah.

Variabel independen reputasi auditor (AUD_REP) menggunakan

ukuran kantor akuntan publik (KAP) atau skala auditor dengan

menggunakan variabel dummy yaitu nilai satu untuk perusahaan yang

diaudit oleh KAP Big Four dan nilai nol untuk perusahaan yang diaudit

oleh KAP Non Big Four. Reputasi auditor menunjukkan nilai rata-rata

sebesar 0,60163 atau berkisar 60,16%. Hal ini menggambarkan bahwa

lebih dari 50% sampel dalam penelitian ini telah diaudit oleh KAP Big

Four. Sedangkan nilai standar deviasi sebesar 0,4915 atau 49,15%

dibawah nilai rata-rata sebesar 60,13%. Hal ini menggambarkan bahwa

kesenjangan antara nilai maksimum dengan nilai minimum konsentrasi

kepemilikan masih cukup tinggi bila dibandingkan dengan nilai rata-rata.

Variabel independen komite manajemen risiko (FIRM_RMC)

diproksikan dengan variabel dummy yaitu nilai satu untuk perusahaan

yang memiliki komite manajemen risiko terpisah dari komite audit dan

nilai nol untuk perusahaan yang memiliki komite manajemen risiko

tergabung dengan komite audit maupun komite lainnya. Nilai rata-rata

komite manajemen risiko (FIRM_RMC) sebesar 0,21951 atau 21,95%

menunjukkan bahwa mayoritas sampel dalam penelitian ini memiliki

komite manajemen risiko yang masih tergabung dengan komite audit

99

maupun komite lainnya. Dari 123 sampel dalam penelitian ini, 9 sampel

diantaranya telah memiliki komite manajemen risiko yang terpisah dari

komite audit seperti yang terlihat dalam tabel 4.4 berikut:

Tabel 4.4

Daftar Perusahaan dengan Komite Manajemen Risiko

Terpisah dari Komite Audit

EMITEN KODE

PT Astra International Tbk. ASII

PT Indosat Tbk. ISAT

PT Indo Tambangraya Megah Tbk. ITMG

PT Jasa Marga (Persero) Tbk. JSMR

PT Kalbe Farma Tbk. KLBF

PT Tambang Batubara Bukit Asam Tbk. PTBA

PT Sampoerna Agro Tbk. SGRO

PT Semen Gresik (Persero) Tbk. SMGR

PT United Tractors Tbk. UNTR

Sumber: Data diolah

Variabel dependen pengungkapan Enterprise Risk Management

(ERM) menggunakan proksi dimensi COSO ERM Framework dengan

kriteria 108 pengungkapan sesuai dengan penelitian sebelumnya oleh

Desender (2007) dan Meisaroh, Lucyanda (2011). Nilai minimum

pengungkapan ERM sebesar 0,796 atau 79,6% yang diperoleh dari tingkat

pengungkapan PT Mas Murni Indonesia, Tbk. sedangkan nilai maksimum

pengungkapan ERM sebesar 0,981 atau 98,1% yang diperoleh dari tingkat

pengungkapan PT Kalbe Farma, Tbk. Nilai rata-rata pengungkapan ERM

sebesar 0,88385 atau 88,38%. Hal ini mencerminkan bahwa mayoritas

sampel dalam penelitian ini telah mengadopsi COSO ERM Framework

100

dan menerapkan manajemen risiko perusahaan serta mengungkapkan

secara konsisten dalam laporan tahunannya selama periode 2009 hingga

2011. Sedangkan nilai standar deviasi sebesar 0,046603 atau berkisar 4,6%

jauh di bawah nilai rata-rata sebesar 88,38%. Hal ini menunjukkan bahwa

kesenjangan antara nilai maksimum dengan nilai minimum pengungkapan

ERM sangat rendah bila dibandingkan dengan nilai rata-rata.

2. Uji Asumsi Klasik

Sebelum melakukan interpretasi terhadap hasil regresi, terlebih dahulu

dilakukan pengujian terhadap asumsi-asumsi klasik sehingga hasil tersebut

layak digunakan. Pengujian ini diperlukan agar model regresi menjadi

suatu model yang lebih representatif. Analisis data uji asumsi klasik dalam

penelitian ini antara lain melalui uji normalitas, multikolinearitas,

heteroskedastisitas dan autokorelasi.

a. Uji Normalitas

Uji normalitas pada dasarnya bertujuan untuk menguji apakah

dalam model regresi, variabel independen dan variabel dependen atau

keduanya telah terdistribusi secara normal atau tidak. Suatu model

regresi yang baik adalah memiliki distribusi data normal atau

mendekati normal. Dalam menguji normalitas suatu nilai residual

umumnya dideteksi dengan grafik atau uji statistik.

1) Analisis Statistik

Pengujian normalitas dengan menggunakan grafik dapat

menyesatkan jika tidak hati-hati karena secara visual kelihatan

101

normal tetapi secara statistik sebaliknya. Pengujian normalitas

dengan menggunakan analisis statistik dapat menggunakan dua

metode, yaitu:

a) Uji Skewness dan Kurtosis

Uji statistik sederhana dapat dilakukan dengan melihat

nilai kurtosis dan skewness dari masing-masing variabel

penelitian baik variabel independen maupun variabel

dependen. Skewness berhubungan dengan simetri distribusi.

Sedangkan kurtosis berhubungan dengan puncak dari suatu

distribusi. Hasil uji skewness dan kurtosis dapat dilihat

dibawah ini:

Tabel 4.5

Hasil Uji Skewness dan Kurtosis

Skewness Kurtosis

Statistic Zskewness Statistic Zkurtosis

IND_COM 1.224 5.54164 0.776 1.75691

OWN_CON 0.939 4.25363 0.196 0.44475

AUD_REP -0.42 -1.90304 -1.854 -4.19660

FIRM_RMC 1.372 6.21234 -0.12 -0.27078

ERM 0.261 1.18037 -0.615 -1.39215

Valid N

(listwise)

Sumber: Data sekunder diolah

Hasil perhitungan Zskewness dan Zkurtosis dari

beberapa variabel penelitian mendekati nilai tabel yaitu

sebesar ± 1,96 dengan tingkat signifikansi 0,05. Variabel

penelitian yang paling mendekati nilai tabel adalah variabel

102

dependen pengungkapan ERM (ERM), sedangkan variabel

independen menunjukkan nilai Zskewness dan Zkurtosis

bervariasi lebih dari nilai tabel. Hal ini disebabkan nilai

skewness dari data beberapa variabel penelitian yang tidak

terdistribusi normal bernilai positif dan bentuk histogram

dari data tersebut berbentuk substansial positive skewness.

Secara keseluruhan nilai Zkurtosis dari variabel independen

dan dependen mendekati nilai tabel, maka dapat

disimpulkan bahwa data telah berdistribusi normal.

b) Uji Kolmogrov Smirnov

Hasil uji normalitas dengan menggunakan uji statistik

non parametric kolmogrov-smirnov (K-S) menunjukkan

nilai kolmogrov smirnov (K-S) sebesar 1,130 dengan nilai

signifikansi 0,155. Hal ini menunjukkan bahwa nilai

signifikansi di atas 0,05 (α> 0,05) maka tidak terdapat

perbedaan yang signifikan antara data yang akan diuji

dengan data normal baku, artinya data yang kita uji normal

karena tidak berbeda dengan normal baku dan Ho diterima.

Hal ini menunjukkan bahwa model regresi memenuhi

asumsi normalitas karena tingkat signifikansinya melebihi

0,05 (α > 0,05).

103

Tabel 4.6

Uji Normalitas : Nilai Kolmogrov-Smirnov

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Unstandardized

Residual

N 123

Normal Parametersa,b

Mean .0000000

Std. Deviation .03842592

Most Extreme

Differences

Absolute .102

Positive .102

Negative -.067

Kolmogorov-Smirnov Z 1.130

Asymp. Sig. (2-tailed) .155

a. Test distribution is Normal.

b. Calculated from data.

Sumber : Output SPSS 20

2) Analisis grafik

Dalam penelitian ini, pengujian analisis grafik dilakukan

dengan menggunakan metode Probability Plot (P-Plot) atau model

Uji Normalitas residual dan Grafik Histogram. Hasil Pengujian ini

dapat dilihat pada gambar 4.1 dan 4.2 halaman berikutnya:

104

Gambar 4.1

Uji Normalitas : Grafik Normal Plot

Sumber: Output SPSS 20

Gambar 4.2

Uji Normalitas : Grafik Histogram

Sumber: Output SPSS 20

105

Pada gambar 4.1, grafik normal plot menunjukkan titik-titik

menyebar disekitar garis diagonal dan penyebarannya mengikuti arah

garis diagonal. Sedangkan pada gambar 4.2, grafik histogram

memberikan pola distribusi yang mendekati normal. Maka dapat

disimpulkan bahwa model regresi dalam penelitian ini telah

terdistribusi secara normal. Terkait dengan data hasil uji normalitas,

maka data tersebut akan digunakan dalam pengujian asumsi klasik

yang lainnya dan uji hipotesis selanjutnya.

b. Uji Multikolinearitas

Uji multikolinearitas ini pada dasarnya bertujuan untuk menguji

apakah di dalam model regresi ditemukan adanya korelasi antar

variabel bebas. Multikolinearitas dapat dilihat dari perhitungan nilai

tolerance serta Varian Inflation Factor (VIF). Suatu model regresi

dikatakan tidak memiliki kecenderungan adanya gejala

multikolinearitasadalah apabila memiliki nilai VIF yang lebih kecil

dari 10 dan Tolerance lebih besar dari 0,10 (Ghozali, 2011). Hasil

pengujian model regresi diperoleh nilai-nilai VIF untuk masing-

masing variabel ini dapat dilihat dari tabel 4.7 pada halaman

berikutnya:

106

Tabel 4.7

Uji Multikolinearitas

Coefficientsa

Model Collinearity Statistics

Keputusan Tolerance VIF

1

(Constant)

AUD_REP .883 1.133 Tidak ada

multikolinearitas

FIRM_RMC .848 1.180 Tidak ada

multikolinearitas

IND_COM .951 1.051 Tidak ada

multikolinearitas

OWN_CON .956 1.046 Tidak ada

multikolinearitas

Sumber: Data sekunder diolah

Dari tabel 4.7 diatas menunjukkan bahwa semua variabel

independen memiliki nilai Tolerance> 0,10 dan VIF < 10. Hasil

perhitungan nilai Tolerance juga menunjukkan tidak ada variabel

independen yang memiliki nilai Tolerance kurang dari 0,10 yang

berarti tidak ada korelasi antar variabel independen. Maka dapat

disimpulkan bahwa model regresi dalam penelitian ini telah terbebas

dari masalah multikolinearitas. Hal ini menunjukkan bahwa semua

variabel bebas tersebut layak digunakan sebagai prediktor.

c. Uji Heteroskedastisitas

Model regresi yang baik adalah model yang homoskodestisitas

atau tidak terjadi heteroskedastisitas. Dalam penelitian ini, uji

heteroskedastisitas dilakukan dengan menggunakan analisis grafik

scatter plot antara nilai prediksi variabel terikat ZPRED dengan

107

residualnya SRESID. Dari grafik scatter plot terlihat bahwa titik-titik

menyebar secara acak diatas maupun dibawah angka 0 pada sumbu Y.

Hal ini dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi heteroskedastisitas pada

model regresi (Ghozali, 2011).

Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk mengetahui apakah dalam

model regresi terjadi ketidaksamaan varian dari residual satu

pengamatan ke pengamatan lain. Model regresi yang baik adalah

model regresi yang terbebas dari masalah heteroskedastisitas. Untuk

menentukan heteroskedastisitas dapat menggunakan grafik

scatterplot. Hasil uji heteroskedastisitas dengan menggunakan grafik

scatterplot ditunjukkan pada gambar 4.3 berikut:

Gambar 4.3

Uji Heteroskedastisitas – Grafik Scatterplot

Sumber: Output SPSS 20

Gambar uji scatterplot diatas menunjukkan bahwa data sampel

tersebar secara acak dan tidak membentuk suatu pola tertentu. Data

108

tersebar baik berada di atas maupun di bawah angka 0 pada sumbu Y.

Hal ini menunjukkan tidak terdapat heteroskedastisitas dalam model

regresi yang digunakan sehingga layak dipakai untuk kemudian

dilanjutkan ke pengujian hipotesis.

d. Uji Autokorelasi

Uji Autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah dalam suatu

model regresi linear ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada

periode t dengan kesalahan pengganggu pada periode t-1

(sebelumnya) jika terjadi korelasi, maka dinyatakan terdapat masalah

autokorelasi (Ghozali, 2011).

Uji autokorelasi dilakukan dengan menggunakan uji Durbin

Watson (D-W). Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui apakah

dalam model regresi ditemukan adanya korelasi antara kesalahan

pengganggu pada periode tertentu dengan periode sebelumnya. Model

regresi yang baik adalah model regresi yang bebas dari masalah

autokorelasi. Selengkapnya mengenai hasil uji autokorelasi penelitian

dapat dilihat pada tabel 4.8 berikut ini:

Tabel 4.8

Uji Autokorelasi

Model Summaryb

Model

Change Statistics

Durbin-

Watson

R Square

Change F Change df1 df2

Sig. F

Change

1 .320 13.891 4 118 .000 1.922

a. Predictors: (Constant), OWN_CON, IND_COM, AUD_REP,

FIRM_RMC

b. Dependent Variable: ERM

Sumber: Output SPSS 20

109

Dari tabel 4.8 di atas menunjukkan bahwa nilai D-W sebesar

1,922. Dengan jumlah predictors sebanyak 4 buah (k=4) dan sampel

sebanyak 123 sampel (n=123), berdasarkan tabel D-W dengan tingkat

signifikansi 5% dapat ditentukan nilai batas atas (du) adalah sebesar

1,76. Dengan demikian, berdasarkan nilai du < d < 4-du menunjukkan

bahwa nilai DW 1,922 lebih besar dari batas atas (du) 1,76 dan

kurang dari 2,24 (4-1,76), maka dapat disimpulkan bahwa tidak

terdapat autokorelasi positif atau negatif. Untuk memperkuat hasil

penelitian ini maka digunakan uji run test, di mana gangguan

autokorelasi terjadi jika signifikansi di bawah 0,05. Berikut adalah

pengujian autokorelasi dengan menggunakan run test pada tabel 4.9

berikut ini:

Tabel 4.9

Uji Autokorelasi-Run Test

Runs Test

Unstandardized Residual

Test Valuea -.00435

Cases < Test Value 61

Cases >= Test Value 62

Total Cases 123

Number of Runs 69

Z 1.178

Asymp. Sig. (2-tailed) .239

a. Median

Sumber : Output SPSS 20

Dari hasil pengujian yang diperoleh dalam tabel 4.9

menunjukkan nilai test adalah -0,00435 dengan probabilitas 0,239

yang berarti diatas tingkat signifikansi 0,05 (0,239> 0,05). Hal ini

110

menunjukkan bahwa nilai residual acak atau random, sehingga dapat

disimpulkan bahwa penelitian ini tidak terjadi autokorelasi antar nilai

residual.

3. Koefisien Determinasi

Koefisien determinasi (R2) pada intinya mengukur seberapa jauh

kemampuan model dalam menerangkan variasi variabel dependen. Nilai

koefisien determinasi (R2) adalah nol sampai dengan satu. Apabila angka

koefisien determinasi semakin mendekati satu maka pengaruh variabel

independen terhadap variabel dependen adalah semakin kuat, yang berarti

variabel-variabel independen memberikan hampir semua informasi yang

dibutuhkan untuk memprediksi variasi variabel dependen (Ghozali,2011).

Pengujian goodness of fit dari model regresi yang diperoleh dari nilai

adjusted R2diperoleh sebagai berikut:

Tabel 4.10

Uji Goodness of Fit

Koefisien Determinasi

a. Predictors: (Constant), OWN_CON, IND_COM, AUD_REP, FIRM_RMC

b. Dependent Variable: ERM

Sumber: Output SPSS 20

Dari tampilan output SPSS 20 terlihat bahwa besarnya nilai koefisien

korelasi (R) sebesar 0,566 menunjukkan bahwa derajat hubungan

(korelasi) antara variabel independen dengan variabel dependen sebesar

Model Summaryb

Model R R Square

Adjusted R

Square

Std. Error of the

Estimate

1 .566a .320 .297 .039072

111

56,6%. Hal ini juga membuktikan bahwa pengungkapan ERM (ERM)

mempunyai hubungan yang kuat (0,51 – 0,75) dengan komisaris

independen (IND_COM), komite manajemen risiko (FIRM_RMC),

reputasi auditor (AUD_REP) dan konsentrasi kepemilikan (OWN_CON)

dengan nilai koefisien korelasi berada antara 0,51 sampai dengan 0,75

(0,51 – 0.75), sehingga dapat disimpulkan terdapat hubungan kuat antara

variabel dependen dengan variabel independen.

Adapun besarnya adjusted R2 diperoleh sebesar 0,297. Hal ini berarti

bahwa hanya 29,7%, dari variabel dependen yaitu pengungkapan ERM

(ERM) dapat dijelaskan oleh variasi variabel independen yaitu komisaris

independen (IND_COM), komite manajemen risiko (FIRM_RMC),

reputasi auditor (AUD_REP) dan konsentrasi kepemilikan (OWN_CON),

sedangkan sisanya sebesar 70,3% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak

termasuk dalam model regresi. Hal ini mencerminkan bahwa masih rendah

atau lemahnya kemampuan variabel independen dalam menjelaskan

variabel dependen. Adapun variabel lain yang mungkin dapat

mempengaruhi pengungkapan ERM yaitu ukuran perusahaan, latar

belakang dan keahlian dewan komisaris, komite audit, scope bisnis

perusahaan.

4. Pengujian Hipotesis

Uji hipotesis dilakukan untuk memperoleh gambaran mengenai

hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen. Variabel

dependen dalam penelitian ini adalah pengungkapan ERM, sedangkan

112

variabel independen dalam penelitian ini adalah komisaris independen,

komite manajemen risiko, reputasi auditor dan konsentrasi kepemilikian.

Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan uji F untuk uji

simultan dan uji t untuk uji parsial.

a. Pengujian secara Simultan (Uji F)

Ha5: Komisaris Independen, Komite Manajemen Risiko,

Reputasi Auditor dan Konsentrasi Kepemilikan memiliki

pengaruh yang signifikan secara simultan terhadap

Pengungkapan Enterprise Risk Management (ERM).

Uji simultan dapat diketahui dengan melakukan uji statistik F. Uji

statistik F digunakan untuk mengetahui apakah variabel independen

secara bersama-sama atau simultan dapat mempengaruhi variabel

independen (Ghozali, 2011). Uji statistik F dapat dilihat pada tabel

4.11 berikut ini:

Tabel 4.11

Uji Simultan (F test)

ANOVAb

Model

Sum of

Squares df

Mean

Square F Sig.

1 Regression .085 4 .021 13.891 .000a

Residual .180 118 .002

Total .265 122

a. Predictors: (Constant), OWN_CON, IND_COM, AUD_REP, FIRM_RMC

b. Dependent Variable: ERM

Sumber: Output SPSS 20

Dari tabel 4.11 menunjukkan bahwa nilai F hitung sebesar 13,891

dengan nilai signifikansi sebesar 0,000. Hal ini menandakan bahwa

113

model regresi dapat digunakan untuk memprediksi variabel

pengungkapan ERM, karena nilai signifikansi < alpha (α = 5%).

Maka dapat disimpulkan Ha5 diterima yang menunjukkan bahwa

terdapat pengaruh yang signifikan antara komisaris independen,

komite manajemen risiko, reputasi auditor dan konsentrasi

kepemilikan serta berpengaruh secara bersama-sama atau simultan

terhadap pengungkapan ERM.

b. Pengujian secara Parsial (Uji t)

Dari hasil pengujian terhadap asumsi klasik, diperoleh model

regresi tersebut telah memenuhi asumsi normalitas, multikolinearitas,

autokorelasi dan heteroskedastisitas. Pengujian hipotesis dilakukan

dengan menguji model persamaan regresi secara parsial terhadap

masing-masing variabel bebas. Hasil pengujian model regresi secara

parsial diperoleh sebagai berikut:

Tabel 4.12

Uji Parsial (t Test)

Coefficientsa

Model

Unstandardized

Coefficients

Standardized

Coefficients

t Sig. B

Std.

Error Beta

1 (Constant) .813 .025 33.060 .000

IND_COM .006 .031 .014 .184 .855

FIRM_RMC .035 .009 .315 3.820 .000

AUD_REP .036 .008 .375 4.648 .000

OWN_CON .059 .028 .162 2.081 .040

a. Dependent Variable: ERM

Sumber: Output SPSS 20

114

Untuk melihat besarnya pengaruh variabel independen terhadap

variabel dependen dapat dilihat dari nilai beta unstandardized,

sedangkan untuk melihat dominasi variabel independen terhadap

variabel dependen tercermin pada beta standardized.

Berdasarkan tabel uji parsial (t test) maka diperoleh persamaan

regresi sebagai berikut :

ERM = 0,813 + 0,006 IND_COM + 0,035 FIRM_RMC + 0,036

AUD_REP + 0,059 OWN_CON + ε

Dari persamaan regresi diatas dapat diketahui bahwa konstanta

sebesar 0,813 menyatakan bahwa jika variabel independen dianggap

konstan, maka rata-rata pengungkapan ERM (ERM) sebesar 0,813.

Variabel IND_COM, FIRM_RMC, AUD_REP dan OWN_CON

memiliki koefisien regresi dengan arah positif. Hal ini berarti bahwa

perusahaan dengan IND_COM, FIRM_RMC, AUD_REP dan

OWN_CON yang tinggi akan menyajikan pengungkapan ERM yang

tinggi dalam laporan tahunannya.

Hasil pengujian signifikansi variabel bebas secara parsial

sebagaimana pada pembahasan berikut:

1) Variabel Komisaris Independen

Ha1: Komisaris independen memiliki pengaruh yang

signifikan secara parsial terhadap pengungkapan ERM

Pengujian hipotesis mengenai pengaruh variabel komisaris

independen terhadap pengungkapan ERM menunjukkan koefisien

115

regresi sebesar 0,006 yang berarti setiap penambahan satu

komisaris independen akan meningkatkan pengungkapan ERM

sebesar 0,006. Nilai t hitung sebesar 0,184 dengan nilai signifikansi

sebesar 0,855 yang berada di atas 0,05. Ini berarti menunjukkan

bahwa komisaris independen tidak berpengaruh terhadap

pengungkapan ERM. Hal ini mungkin disebabkan karena kualitas

fungsi pengawasan bukan ditentukan oleh tingkat independensi

tetapi lebih ditentukan oleh kualitas dan latar belakang pendidikan

anggota dewan komisaris. Pengangkatan komisaris independen

dilakukan untuk memenuhi regulasi semata, tidak untuk

melaksanakan good corporate governance (Meisaroh dan

Lucyanda, 2011). Latar belakang pendidikan dan keahlian dewan

komisaris selain berhubungan dengan keuangan dan manajerial,

hendaknya juga memiliki keahlian untuk menganalisis adanya

peristiwa yang berasal dari eksternal perusahaan, seperti peristiwa

ekonomi makro dan mikro. Hal ini dibuktikan dengan adanya krisis

finansial global yang terjadi pada tahun 2008 bahwa gejolak

ekonomi makro dan mikro berpotensi mengganggu stabilitas

keuangan perusahaan dan menimbulkan risiko baru jika

perusahaan tidak dapat mengelola risiko dengan baik. Untuk itu,

jajaran dewan komisaris dan direksi lebih baik juga diutamakan

memiliki keahlian di bidang ekonomi makro dan mikro.

116

Selain itu, ketentuan mengenai proporsi komisaris independen

sebesar 30% mungkin belum cukup tinggi bagi komisaris untuk

mendominasi kebijakan perusahaan termasuk dalam penerapan

ERM (Andarini dan Indira, 2010). Hasil penelitian ini mendukung

penelitian Dionne dan Thouraya (2004), Andarini dan Indira

(2010) dan Meisaroh dan Lucyanda (2011) yang menunjukkan

kehadiran komisaris independen tidak berpengaruh pada tingkat

adopsi ERM. Dengan demikian hipotesis alternatif pertama yang

menyatakan komisaris independen memiliki pengaruh yang

signifikan secara parsial terhadap pengungkapan ERM ditolak.

2) Variabel Komite Manajemen Risiko

Ha2: Komite manajemen risiko yang terpisah dari audit

memiliki pengaruh yang signifikan secara parsial

terhadap pengungkapan ERM

Pengujian hipotesis mengenai pengaruh variabel komite

manajemen risiko terhadap pengungkapan ERM menunjukkan

koefisien regresi sebesar 0,035 yang menunjukkan bahwa setiap

penambahan satu komite manajemen risiko akan meningkatkan

pengungkapan ERM sebesar 0,035. Nilai t hitung sebesar 3,820

dengan signifikansi sebesar 0,000. Dengan nilai signifikansi di

bawah 0,05 maka hal ini berarti bahwa komite manajemen risiko

memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap pengungkapan

ERM. Dengan demikian hipotesis alternatif dua yang menyatakan

117

bahwa interaksi antara komite manajemen risiko yang terpisah dari

audit memiliki pengaruh yang signifikan secara parsial terhadap

pengungkapan ERMditerima.

Dalam penelitian ini, komite manajemen risiko yang memiliki

pengaruh signifikan terhadap pengungkapan ERM adalah komite

yang terpisah dari audit dan berdiri sendiri. Hal ini disebabkan,

perusahaan yang memiliki RMC yang terpisah dari audit dan

berdiri sendiri lebih independen dan dapat lebih banyak

mencurahkan waktu, tenaga maupun kemampuan untuk

mengevaluasi seluruh pengendalian internal dan menangani risiko

yang mungkin terjadi, RMC yang terpisah dari audit memiliki

kinerja pengawasan dan penilaian risiko yang lebih terstruktur serta

dapat melakukan kajian atas risiko secara mendalam. Selain itu,

sebagian besar anggota RMC memiliki latar belakang pendidikan

di bidang akuntansi dan keuangan, serta sebagian lagi memiliki

latar belakang pendidikan sesuai aktivitas bisnis perusahaan.

Kombinasi ini merupakan sumber daya penting bagi RMC untuk

membantu komisaris dalam menjalankan pengawasan manajemen

risiko dan memahami profil risiko perusahaan (Andarini dan

Indira, 2010).

Hasil penelitian ini mendukung pernyataan Subramaniam, et

al.(2009), yang menyatakan bahwa komite terpisah yang secara

khusus berfokus pada masalah risiko (RMC), dinilai dapat menjadi

118

mekanisme yang efektif dalam mendukung dewan komisaris untuk

memenuhi tanggung jawabnya dalam tugas pengawasan dan

pengendalian internal serta manajemen risiko perusahaan

(Subramaniam, et al., 2009).

3) Variabel Reputasi Auditor

Ha3: Reputasi auditor memiliki pengaruh yang signifikan

secara parsial terhadap pengungkapan ERM

Pengujian hipotesis mengenai pengaruh variabel reputasi

auditor terhadap pengungkapan ERM menunjukkan koefisien

regresi sebesar 0,036 dan nilai t hitung sebesar 4,648 dengan nilai

signifikansi sebesar 0,000 yang berada di bawah 0,05. Hal ini

berarti bahwa reputasi auditor memiliki pengaruh positif dan

signifikan terhadap pengungkapan ERM. Dengan demikian

hipotesis alternatif tiga yang menyatakan bahwa reputasi auditor

memiliki pengaruh yang signifikan secara parsial terhadap

pengungkapan ERM diterima.

Hasil penelitian ini mendukung penelitian Beasley et al.

(2005), Desender (2007), Chen et al. (2009) dan Meisaroh

Lucyanda (2011) yang menemukan adanya pengaruh Big Four

sebagai eksternal auditor dengan tingkat adopsi ERM. Alasan yang

mungkin mendasari adalah Big Four biasanya membantu internal

auditor dalam mengevaluasi dan menilai keefektifan manajemen

119

risiko. Hal ini karena Big Four dianggap memiliki keahlian untuk

mengidentifikasi risiko sehingga meningkatkan kualitas penilaian

dan pengawasan risiko perusahaan. Selain itu terdapat tekanan

yang lebih besar pada perusahaan yang diaudit Big Four untuk

menerapkan dan mengungkapkan ERM (Meisaroh dan Lucyanda,

2011).

Dalam kasus ini menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan

yang sangat bergantung pada manajemen risiko perusahaan telah

mengungkapkan ERM secara konsisten dalam laporan tahunannya

dan menunjukkan bahwa auditor dengan reputasi baik mendorong

lingkup audit yang lebih besar dalam rangka untuk memastikan

tingkat yang tepat dari kualitas kontrol internal. Temuan ini

relevan, karena sinyal bahwa kehadiran sistem pengendalian

internal dan penerapan praktik manajemen risiko tidak hanya

menciptakan kondisi untuk pengawasan internal yang lebih baik,

tetapi juga memfasilitasi pekerjaan auditor eksternal, yang berarti

pengurangan jumlah waktu yang dibutuhkan oleh auditor eksternal

(Desender, 2010).

4) Variabel Konsentrasi Kepemilikan

Ha4 : Konsentrasi kepemilikan memiliki pengaruh yang

signifikan secara parsial terhadap pengungkapan

ERM

120

Pengujian hipotesis mengenai pengaruh variabel konsentrasi

kepemilikan terhadap pengungkapan ERM menunjukkan koefisien

regresi sebesar 0,059 dan nilai t hitung sebesar 2,081 dengan nilai

signifikansi sebesar 0,040 yang berada di bawah 0,05. Hal ini

berarti bahwa konsentrasi kepemilikan memiliki pengaruh positif

dan signifikan terhadap pengungkapan ERM. Dengan demikian

hipotesis alternatif empat yang menyatakan bahwa konsentrasi

kepemilikan memiliki pengaruh yang signifikan secara parsial

terhadap pengungkapan ERM diterima.

Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian Demsetz dan

Lehn (1985), Shleifer dan Vishny (1986) dan Meisaroh dan

Lucyanda (2011) yang menyatakan bahwa salah satu cara

meningkatkan kualitas manajemen risiko adalah memastikan

adanya atau setidaknya satu pemegang saham besar dalam

perusahaan. Bukti ini menunjukkan bahwa perusahaan dengan

kepemilikan saham yang terkonsentrasi memiliki tingkat

pengungkapan manajemen risiko yang lebih tinggi. Semakin besar

tingkat konsentrasi kepemilikan dalam perusahaan maka semakin

kuat tuntutan untuk mengidentifikasi risiko yang mungkin dihadapi

seperti risiko keuangan, operasional, reputasi, peraturan, dan risiko

informasi (Meisaroh dan Lucyanda, 2011).

Perusahaan yang memiliki setidaknya satu pemegang saham

besar akan cenderung mengungkapkan ERM secara konsisten

121

dalam laporan tahunannya. Demsetz dan Lehn (1985) menyatakan

bahwa perusahaan dengan situasi dan kondisi lingkungan yang

lebih pasti, cenderung menyebabkan tingkat pengawasan internal

rendah. Dengan adanya satu atau lebih pemegang saham besar

dalam perusahaan diharapkan mampu meningkatkan pengawasan

dalam perusahaan, mengingat situasi dan kondisi lingkungan saat

ini tidak dapat diprediksi. Selain itu, investor besar memiliki

insentif untuk berinteraksi lebih dekat dengan sistem pengawasan

dan pengendalian manajemen, dalam rangka untuk mengurangi

biaya agensi dan meningkatkan peran pengawasan mereka dalam

perusahaan dimana mereka berinvestasi (Desender, 2010).

122

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh

komisaris independen, komite manajemen risiko (RMC), reputasi auditor dan

konsentrasi kepemilikan terhadap pengungkapan Enterprise Risk Management

(ERM). Dari lima hipotesis yang diajukan, hanya empat hipotesis yang

diterima dan satu hipotesis lainnya ditolak. Berdasarkan hasil penelitian

didapatkan kesimpulan sebagai berikut :

1. Komisaris Independen tidak berpengaruh signifikan secara parsial

terhadap Pengungkapan ERM. Hal ini berarti bahwa peningkatan atau

penurunan komisaris independen tidak berpengaruh terhadap

pengungkapan ERM. Hasil penelitian ini mendukung penelitian Dionne

dan Thouraya (2004), Andarini dan Indira (2010) dan Meisaroh dan

Lucyanda (2011) yang menunjukkan kehadiran komisaris independen

tidak berpengaruh pada tingkat adopsi ERM.

2. Komite Manajemen Risiko (RMC) yang terpisah dari audit memiliki

pengaruh positif dan signifikan secara parsial terhadap Pengungkapan

ERM. Hal ini berarti bahwa dengan adanya RMC yang terpisah dengan

komite lainnya berpengaruh secara langsung terhadap pengungkapan

ERM. Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian yang dilakukan

oleh Meisaroh dan Lucyanda (2011).

123

3. Reputasi Auditor dengan proksi KAP Big Four memiliki pengaruh positif

dan signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan atau penurunan

jasa audit oleh KAP Big Four berpengaruh secara parsial terhadap

pengungkapan ERM. Temuan ini didukung oleh penelitian yang

dilakukan oleh Meisaroh dan Lucyanda (2011).

4. Konsentrasi Kepemilikan menunjukkan adanya pengaruh positif dan

signifikan. Hal ini berarti peningkatan atau penurunan dari konsentrasi

kepemilikan berpengaruh secara parsial terhadap pengungkapan ERM.

Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian Demsetz dan Lehn

(1985), Shleifer dan Vishny (1986) dan Meisaroh dan Lucyanda (2011)

yang menyatakan bahwa salah satu cara meningkatkan kualitas

manajemen risiko adalah memastikan adanya atau setidaknya satu

pemegang saham besar dalam perusahaan.

5. Komisaris Independen, Komite Manajemen Risiko, Reputasi Auditor dan

Konsentrasi Kepemilikan secara simultan memiliki pengaruh yang

signifikan terhadap Pengungkapan ERM. Hal ini menunjukkan bahwa

seluruh variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini

memiliki pengaruh yang signifikan secara bersama-sama (serentak)

terhadap Pengungkapan ERM.

B. Implikasi

Peneliti berharap hasil penelitian ini dapat dijadikan implikasi bagi ilmu

pengetahuan dan beberapa pihak diantaranya yaitu perusahaan, investor,

pemerintah, akuntan publik, akademisi dan peneliti serta pembaca lainnya.

124

1. Bagi Ilmu Pengetahuan

Dengan adanya hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah

pengetahuan bagi pihak-pihak yang berkepentingan seperti manajemen

perusahaan, pemerintah, investor dan analis pasar modal, akuntan publik

dan akademisi, peneliti serta pembaca. Selain itu, temuan ini dapat

memperkuat serta memperluas penelitian sebelumnya terutama mengenai

pengaruh komisaris independen, komite manajemen risiko, reputasi

auditor dan konsentrasi kepemilikan terhadap pengungkapan ERM.

2. Bagi Manajemen Perusahaan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengungkapan ERM erat

kaitannya dengan penerapan good corporate governance. Apabila

dilaksanakan dengan efektif, manajemen risiko dapat menjadi sebuah

kekuatan bagi pelaksanaan good corporate governance yang dapat

diterapkan menjadi budaya organisasi. Oleh karena itu, setiap perusahaan

hendaknya meningkatkan kualitas dan kuantitas pengungkapan ERM

sesuai dengan kerangka ERM yang dikeluarkan COSO. Hal ini

mengingat semakin kompleksnya aktivitas dunia usaha serta tingginya

tantangan bisnis yang harus dihadapi perusahaan sehingga semakin

mempertegas pentingnya manajemen risiko yang dapat diandalkan. Selain

itu, menjadi penting bagi perusahaan untuk menempatkan jajaran dewan

komisaris dan direksi dengan latar belakang pendidikan dan keahlian

yang tidak hanya berhubungan dengan keuangan dan manajerial, tetapi

125

juga memiliki keahlian untuk menganalisis adanya peristiwa yang berasal

dari eksternal perusahaan, seperti peristiwa ekonomi makro dan mikro.

3. Bagi Profesi Akuntan Publik

Dengan adanya hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi

bagi akuntan publik untuk lebih memahami dan mendorong perusahaan

untuk menerapkan manajemen risiko perusahaan sebagai bahan

pertimbangan dalam menilai efektivitas pengendalian internal perusahaan

dan memberikan opini audit yang sesuai. Selain itu, temuan ini dapat

dijadikan sebagai sarana evaluasi auditor eksternal atau akuntan publik

dalam melaksanakan audit atas suatu laporan keuangan sehingga dapat

menghasilkan laporan audit yang berkualitas yang dapat meningkatkan

nilai perusahaan.

4. Bagi Investor dan Analis Pasar Modal

Harapan setiap investor adalah mendapatkan profit atau keuntungan dari

setiap investasi yang dilakukannya. Dengan adanya temuan ini, setiap

investor diharapkan untuk lebih menyadari pentingnya penerapan

manajemen risiko perusahaan, mengingat situasi dan kondisi dalam dunia

bisnis yang tidak pasti sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi

para investor sebelum mengambil keputusan untuk melakukan investasi

selanjutnya.

5. Bagi Regulator (Pembuat Kebijakan)

Dengan adanya hasil penelitian ini, diharapkan dapat berguna bagi

pemerintah dan pihak regulator yang terkait dengan arti penting

126

penerapan manajemen risiko bagi perusahaan non financial di Indonesia

sebagai tinjauan untuk mengkaji ulang penerapan manajemen risiko pada

perusahaan non financial.

C. Saran

Peneliti menyadari adanya beberapa keterbatasan dalam penelitian ini,

maka penulis dapat mengemukakan beberapa saran yang dapat digunakan

untuk semua pihak terutama yang akan melakukan penelitian serupa:

a. Indikator penelitian dapat diganti dengan proxy yang lain ataupun

ditambah dengan variabel yang lain seperti ukuran perusahaan, latar

belakang dan keahlian dewan komisaris, komite audit, scope bisnis

perusahaan. Pengungkapan ERM dimensi COSO ERM framework dapat

dipertahankan atau diganti dengan kriteria lain sesuai dengan adopsi

ERM terbaru seperti ISO 31000 yang telah diterapkan oleh beberapa

perusahaan mulai tahun 2011. Selain data sekunder juga menggunakan

data yang lain seperti kuesioner ataupun interview untuk mengetahui

informasi lebih lengkap mengenai keberadaan dan struktur RMC.

b. Perlu mempertimbangkan sampel yang lebih luas dengan menambah

sampel penelitian. Hal ini dimaksudkan agar kesimpulan yang dihasilkan

dari peneliti tersebut memiliki cakupan yang lebih luas, sehingga

mungkin akan didapatkan hasil yang lebih kuat dan akurat.

c. Sebaiknya objek penelitian ditambah menjadi seluruh perusahaan yang

listing di Bursa Efek Indonesia (BEI) sehingga hasil penelitian dapat

digeneralisasi dan lebih menjelaskan variabilitas data yang sesungguhnya.

127

DAFTAR PUSTAKA

Andarini, Putri dan Indira Januarti. “Hubungan Karakteristik Dewan Komisaris

dan Perusahaan terhadap Pengungkapan Risk Management Committee

(RMC) pada Perusahaan Go Public Indonesia”. Simposium Nasional

Akuntansi 13 Purwokerto, 2010.

Bank Indonesia.”Peraturan Bank Indonesia No.8/4/PBI/206 tentang Pelaksanaan

Good Corporate Governance bagi Bank Umum”. Jakarta, 2006.

Bank Indonesia. “Peraturan Bank Indonesia No.14/24/PBI/2012 tentang

Kepemilikan Tunggal pada Perbankan Indonesia”. Jakarta, 2012.

Bapepam. “Keputusan Badan Pengawas Pasar Modal No.05/PM/2002 Tentang

Pengambilalihan Perusahaan Terbuka”. Jakarta, 2002.

Bappenas. “Krisis Keuangan Eropa: Dampak Terhadap Perekonomian

Indonesia”. Tinjauan Ekonomi Triwulanan. Triwulan IV. Jakarta, 2011.

Barton.“The effect of Corporate Governance on The Use of Enterprise Risk

Management”. Risk Management and Insurance Review. Vol 6 (1), pages

53–73, 2003.

Bates, William E., dan Robert J. Leclerc. “Boards of Directors and Risk

Committees”. The Corporate Governance Advisor. Vol. 17, No.6, 2009.

Beasley, Mark. “An Empirical Analysis of the Relation between the Board of

Director Composition and Financial Statement Fraud”. The Accounting

Review 71, pages 443-465, 1996.

Beasley, Mark., Clune R. dan Hermanson, D. R. “Enterprise Risk Management:

An Empirical Analysis of Factors Associated with the Extent of

Implementation”. Journal of Accounting and Public Policy, Vol.24 (6),

pages 521-531, 2005.

Benardi, Meliana dkk. “Faktor-faktor yang Mempengaruhi Luas Pengungkapan

dan Implikasinya terhadap Asimetri Informasi”. SNA XII. Palembang,

2012.

Chen, J. “Ownership Structure as Corporate Governance Mechanism: Evidence

from Chinese Listed Companies”. Economic of Planning 34, pg 53-72.

2001.

128

Chen, Gongmeng, Michael Firth, Daniel N.Gao and Oliver M.Rui. “Ownership

structure, Corporate Governance, and Fraud: Evidence from China”.

Journal of Corporate finance. 2005.

Chen, Key,Y, Kuen Lin Lin, Jian Zhou. “Audit Quality and Earnings

Management for Taiwan IPO Firms”. Managerial Auditing Journal, Vol

20.1.pp.86-104. 2005.

Chen, Li, Kilgore A. dan R. Radich. “Audit Committees: Voluntary Formation by

ASX Non-Top 500”. Managerial Auditing Journal, Vol. 24, No. 5, pages

475-493, 2009.

Craswell, Allen T., Jere R. Francis dan Stephen L. Taylor. “Auditor Brand Name

and Reputations and Industry Specialization”. Journal of Accounting and

Economics (20). 297-322. 1995.

Committee of the Sponsoring Organizations of the Treadway Commission.

Enterprise Risk Management, Integrated Framework (COSO-ERM

Report). New York: AICPA, 2004.

Dallas, George. “Governance and Risk. Analytical Hand books for Investors,

Managers, Directors and Stakeholders”. p.21. Standard and Poor.

Governance Services, MC. Graw Hill. New York. 2004.

Dechow, R.G.Sloan and A.P Sweeney. “Detecting Earnings Management”. The

Accounting Review, Vol 70, No.2, hal 193-225. 1995.

Demsetz, H. dan K. Lehn. “The Structure of Corporate Ownership: Causes and

Consequences”. Journal of Political Economy, Vol.93, pages 1155–1177,

1985.

Departemen Komunikasi dan Informatika. “Memahami Krisis Keuangan Global,

Bagaimana Harus Bersikap”. Jakarta, 2008.

Desender, Kurt. “On The Determinants of Enterprise Risk Management

Implementation”. Information Resources Management Association

Annual Meeting Paper, 2007.

Desender, Kurt. “The Relationship between Enterprise Risk Management and

External Audit Fees: Are They Complements or Substitutes?”. 2010.

www.ssrn.com/id1484862.

129

Dionne, Georges dan Thouraya Triki. “On Risk Management Determinants: What

Really Matters?” Working Paper. Canada Research Chair in Risk

Management. HEC Montréal, 2004.

Fama, E. F. dan M. C. Jensen. “Agency Problems and Residual Claims”. Journal

of Law and Economics, Vol.26(2): pages 327-349, 1983.

Fathimiyah, Venny dkk. “Pengaruh Struktur Kepemilikan terhadap Risk

Management Disclosure (Studi Survei Industri Perbankan yang Listing di

Bursa Efek Indonesia Tahun 2008-2010)”, 2012.

Ghozali, Imam. “Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program IBM SPSS 19”,

Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2011.

Gunarsih, T. (2002). Struktur Corporate Governance dan Kinerja Perusahaan:

Pengaruh Struktur Kepemilikan dan Strategi Diversifikasi Terhadap

Kinerja Perusahaan. Unpublished Disertasi, UGM, Yogyakarta.

Hamid, Abdul. “Panduan Penulisan Skripsi”. Cetakan 1, Grafika Karya Utama,

Jakarta, 2007.

Hendriksen, Eldon S., dan Breda, Michael F. Van. “Teory Accounting”. Edisi

kelima. Terjemahan Hermawan Wibowo. Penerbit Interaksara. Batam.

Herawaty, Vinola. “Peran Praktek Corporate Governance sebagai Moderating

Variable dari Pengaruh Earnings Management terhadap Nilai

Perusahaan" , Jurnal Akuntansi dan Keuangan, Vol. 10, No. 2, pp. 97-

108, 2008.

Hermalin, Benjamin dan Michael Weisbach. “The Effects of Board Composition

and Direct Incentives on Firm Performance”. Financial Management

Journal. Vol.20, Iss.4, pages 101-112, 2003.

IAI. “Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No.38 (Revisi 2011): Kombinasi

Bisnis Entitas Sepengendali, IAI, Jakarta, 2011.

IAI. “Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No.60 (Revisi 2010): Instrumen

Keuangan: Pengungkapan, IAI, Jakarta, 2010.

Indriantoro, Nur dan Supomo, Bambang. “Metodologi Penelitian Bisnis, Untuk

Akuntansi dan Manajemen”. Edisi 1, BPFE Yogyakarta, 2002.

Jensen, M.C. and Meckling, W.H. “Theory of the firm: managerial behavior,

agency cost, and ownership structure”, Journal of Financial Economics,

Vol. 76, pp. 305-360, 1976.

130

Kleffner, A., R. Lee dan B. Mc Gannon. “The Effect of Corporate Governance on

the Use of Enterprise Risk Management: Evidence from Canada”. Risk

Management and Insurance Review, Vol.6 (1), pages 53–73, 2003.

Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG). "Pedoman Penerapan

Manajemen Risiko Berbasis Governance", 2011.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha. “Lampiran Peraturan Komisi Pengawas

Persaingan Usaha Nomor 7 Tahun 2011 tentang Pedoman Pasal 27

(Pemilikan Saham) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang

Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat”. Jakarta,

2011.

Lam, J. “The CRO is Here to Stay”. Risk Management, Vol. 48 (4) (April), pages

16-22, 2001.

La Porta, R. F., Lopez-De-Silanes, A., Shleifer, R.W., Vishny. (2000). Agency

Problems and Dividend Policies Around The World. CD-Room, STIE

Malangkucecwara, Malang.

La Porta, R. F., Lopez-De-Silanes; A., Shleifer; R.W., Vishny. (2000) Investor

Protection and Corporate Governance.

Liebenberg, A dan R. Hoyt. “The Determinants of Enterprise Risk Management:

Evidence from the Appointment of Chief Risk Officers”. Risk Management

and Insurance Review, Vol.6 (1), pages 37–52, 2003.

Matsumura, E. M. dan R. Tucker. “Fraud Detection: A Theoretical Foundation”.

Accounting Review, Vol.67, pages 753–782, 1992.

Meizaroh dan Jurica Lucyanda. “Pengaruh Corporate Governance dan

Konsentrasi Kepemilikan pada Pengungkapan Enterprise Risk

Management”. Simposium Nasional Akuntansi XIV. Banda Aceh, 2011.

Meulbroek, Lisa K. “Integrated Risk Management for The Firm: A Senior

Manager’s Guide”, 2002. www.ssrn.com.id301331

Miccolis, J. dan Shah S. “Enterprise risk management: An Analytic Approach”.

Tillinghast – Towers Perrin, 2000. www.tillinghast.com.

Namoga, Morris O. “Board Size, Board Process, and Board Performance:

Empirical Evidence from Pasific Island Countries”. The 3’rd International

Accounting and The 2’nd Doctoral Colloquium. Bali-Indonesia, 2010.

131

Nuryaman. “Pengaruh Konsentrasi Kepemilikan, Ukuran Perusahaan, dan

Mekanisme Corporate Governance terhadap Manajemen Laba”. SNA XI.

Pontianak, 2008.

O´Sullivan, N. “Insuring the Agents: The Role of Directors and Officers

Insurance in Corporate Governance”. Journal of Risk and Insurance,

Vol.64 (3), pages 545-556, 2007.

Peasnell, Ken, Peter Pope, Steve Young. “Board Monitoring and Earnings

Management: Do Outside Directors Influence Abnormal Accruals ?”.

Working Paper. The Department of Accounting and Finance Lancaster

University Management Scholl, Lancaster, UK. 2001.

PricewaterhouseCoopers. “Mandatory Rotation of Audit Firms: Will It Improve

Audit Quality?”. New York: Pricewaterhouse Coopers LLP, 2002.

Restuningdiah, Nurika. “Pengaruh Komisaris Independen, Komite Audit, Internal

Audit, dan Risk Management Committee terhadap Manajemen Laba”.

Jurnal Keuangan dan Perbankan, Vol.15, No.3, hlm.351-362, 2011.

Rini dan Aida. “Pengaruh Kepemilikan Saham Minoritas (Publik) dan

Kepemilikan Saham Mayoritas (Pemilik Saham Terbesar) Terhadap

Kebijakan Dividen”. SN KNA Trisakti. Jakarta, 2006.

Shleifer. A. dan R. Vishny. “Large Shareholders and Corporate Control”.

Journal of Political Economy, pages 461-488, 1986.

Subramaniam, Nava., L. McManus. dan Jiani Zhang. “Corporate Governance,

Firm Characteristics, and Risk Management Committee Formation in

Australia Companies”. Managerial Auditing Journal, Vol. 24, No. 4,

pages 316-339, 2009.

Sutedi, Adrian. “Good Corporate Governance”. Jakarta: Sinar Grafika, 2011.

Surya, Indra dan Ivan Yustivandana. “Penerapan Good Corporate Governance,

Mengesampingkan Hak-Hak istimewa Demi Kelangsungan Usaha”.

Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2008.

Walker, P. L., Shenkir, W. G. dan Barton, T. L. “Enterprise Risk Management:

Putting it all together”. Institute of Internal Auditors Research

Foundation, Altamonte Springs, FL, 2002.

Watts, R. L. dan J. L. Zimmerman. “Positive Accounting Theory”. Englewood

Cliffs, NJ:Prentice-Hall, 1986.

132

Zahra, S. A. dan Pearce, J. A. “Boards of Directors and Corporate Financial

Performance: A Review and Integrative Model”. Journal of Management,

Vol.15(2), pages 291-334, 1989.

Zainal, Arifin., dan Nina Rahmawati. “ Pengaruh Corporate Governance

terhadap Efektifitas Mekanisme Pengurang Masalah Agensi”, Jurnal Siasat

Bisnis, Vol. 11, No.3, pp. 237-247, 2006.

133

LAMPIRAN - LAMPIRAN

134

Lampiran 1: Dimensi Pengungkapan Enterprise Risk Managements

No Dimensi Manajemen Risiko Perusahaan Kode

A. Lingkungan internal

1 Apakah ada pedoman kerja (charter) dewan? A.1

2 Informasi tentang kode etik / etika? A.2

3 Informasi tentang bagaimana kebijakan kompensasi menyelaraskan kepentingan manajer dengan pemegang saham? A.3

4 Informasi tentang target kinerja individu? A.4

5 Informasi tentang prosedur pengangkatan dan pemecatan anggota dewan dan manajemen? A.5

6 Informasi tentang kebijakan remunerasi anggota dewan dan manajemen? A.6

7 Informasi tentang program pelatihan, pembinaan dan pendidikan? A.7

8 Informasi tentang pelatihan dalam nilai-nilai etis? A.8

9 Informasi tentang tanggung jawab dewan? A.9

10 Informasi tentang tanggung jawab komite audit? A.10

11 Informasi tentang tanggung jawab CEO? A.11

12 Informasi tentang eksekutif senior yang bertanggung jawab untuk manajemen risiko? A.12

13 Informasi tentang pengawasan dan manajerial? A.13

B. Tujuan Mengatur

14 Informasi tentang misi perusahaan? B.14

15 Informasi tentang strategi perusahaan? B.15

16 Informasi tentang tujuan bisnis perusahaan? B.16

17 Informasi tentang benchmark diadopsi untuk mengevaluasi hasil? B.17

18 Informasi tentang persetujuan strategi dengan dewan? B.18

135

19 Informasi tentang hubungan antara strategi, tujuan, dan nilai pemegang saham? B.19

C. Identifikasi Kejadian

Risiko Keuangan

20 Informasi tentang tingkat likuiditas? C.20

21 Informasi tentang tingkat suku bunga? C.21

22 Informasi tentang kurs mata uang asing? C.22

23 Informasi tentang belanja modal? C.23

24 Informasi tentang akses ke pasar modal? C.24

25 Informasi tentang instrumen jangka panjang utang? C.25

26 Informasi tentang risiko default? C.26

27 Informasi tentang risiko solvabilitas? C.27

28 Informasi tentang risiko harga ekuitas? C.28

29 Informasi tentang risiko komoditas? C.29

Risiko Kepatuhan

30 Informasi tentang masalah litigasi? C.30

31 Informasi tentang kepatuhan terhadap peraturan? C.31

32 Informasi tentang kepatuhan dengan kode industri? C.32

33 Informasi tentang kepatuhan dengan kode sukarela? C.33

34 Informasi tentang kepatuhan dengan rekomendasi Corporate Governance? C.34

Risiko Teknologi

35 Informasi tentang pengelolaan data? C.35

36 Informasi tentang sistem komputer? C.36

136

37 Informasi tentang privasi informasi yang berkaitan dengan pelanggan? C.37

38 Informasi tentang keamanan perangkat lunak? C.38

Risiko Ekonomis

39 Informasi tentang sifat persaingan? C.39

40 Informasi tentang makro-ekonomi peristiwa yang dapat mempengaruhi perusahaan? C.40

Risiko reputasi

41 Informasi tentang isu-isu lingkungan? C.41

42 Informasi tentang masalah etika? C.42

43 Informasi tentang kesehatan dan isu-isu keselamatan? C.43

44 Informasi tentang saham yang lebih rendah / tinggi atau peringkat kredit? C.44

D. Penilaian Risiko

45 Penilaian risiko tingkat likuiditas? D.45

46 Penilaian risiko suku bunga? D.46

47 Penilaian risiko nilai tukar asing? D.47

48 Penilaian risiko dari belanja modal? D.48

49 Penilaian risiko dari akses ke pasar modal? D.49

50 Penilaian risiko instrumen utang jangka panjang? D.50

51 Penilaian risiko default? D.51

52 Penilaian risiko solvabilitas? D.52

53 Penilaian risiko harga ekuitas? D.53

54 Penilaian risiko komoditas? D.54

55 Penilaian risiko masalah litigasi? D.55

137

56 Penilaian risiko kepatuhan terhadap regulasi? D.56

57 Penilaian risiko kepatuhan dengan kode industri? D.57

58 Penilaian risiko kepatuhan dengan kode sukarela? D.58

59 Penilaian risiko kepatuhan dengan rekomendasi Corporate Governance? D.59

60 Penilaian risiko manajemen data? D.60

61 Penilaian risiko sistem komputer? D.61

62 Penilaian risiko privasi informasi yang berkaitan dengan pelanggan D.62

63 Penilaian risiko pada keamanan software? D.63

64 Penilaian risiko sifat persaingan? D.64

65 Penilaian risiko isu-isu lingkungan? D.65

66 Penilaian risiko dari masalah etika? D.66

67 Penilaian risiko masalah kesehatan dan keselamatan? D.67

68 Penilaian risiko saham yang lebih rendah / tinggi atau peringkat kredit? D.68

69 Informasi tentang teknik yang digunakan untuk menilai dampak potensial dari kombinasi kejadian? D.69

E. Respon Risiko

70 Gambaran umum proses untuk menentukan bagaimana resiko harus dikelola? E.70

71 Informasi tentang pedoman tertulis tentang bagaimana risiko harus dikelola? E.71

72 Respon terhadap risiko likuiditas? E.72

73 Respon terhadap risiko suku bunga? E.73

74 Respon terhadap risiko kurs mata uang asing? E.74

75 Respon terhadap risiko yang terkait dengan belanja modal? E.75

76 Respon untuk akses ke pasar modal? E.76

138

77 Respon untuk instrumen utang jangka panjang? E.77

78 Respon terhadap risiko litigasi? E.78

79 Respon terhadap risiko default? E.79

80 Respon terhadap risiko solvabilitas? E.80

81 Respon terhadap risiko harga ekuitas? E.81

82 Respon terhadap risiko komoditas? E.82

83 Respon untuk mematuhi peraturan? E.83

84 Respon untuk mematuhi kode industri? E.84

85 Respon untuk mematuhi kode sukarela? E.85

86 Respon untuk mematuhi rekomendasi dari Corporate Governance? E.86

87 Respon terhadap risiko data? E.87

88 Respon terhadap risiko sistem komputer? E.88

89 Respon terhadap privasi informasi yang berkaitan dengan pada pelanggan? E.89

90 Respon untuk risiko keamanan perangkat lunak? E.90

.91 Respon terhadap risiko persaingan? E.91

92 Respon terhadap risiko lingkungan? E.92

93 Respon terhadap risiko etis? E.93

94 Respon untuk kesehatan dan resiko keselamatan? E.94

95 Respon terhadap risiko saham yang lebih rendah / tinggi atau peringkat kredit? E.95

F. Pengendalian Kegiatan

96 Informasi tentang pengendalian penjualan? F.96

97 Informasi tentang penelaahan terhadap fungsi dan efektivitas kontrol? F.97

139

98 Informasi tentang isu-isu otorisasi? F.98

99 Informasi tentang dokumen dan catatan sebagai kontrol? F.99

100 Informasi tentang prosedur verifikasi independen? F.100

101 Informasi tentang kontrol fisik? F.101

102 Informasi tentang proses pengendalian? F.102

G. Informasi dan Komunikasi

103 Informasi tentang verifikasi kelengkapan, akurasi dan validitas informasi? G.103

104

Informasi tentang saluran komunikasi untuk melaporkan dugaan pelanggaran undang-undang, peraturan atau

kejanggalan lainnya? G.104

105 Informasi tentang saluran komunikasi dengan pelanggan, vendor dan pihak eksternal lainnya? G.105

H. Pemantauan

106 Informasi tentang bagaimana proses yang dipantau? H.106

107 Informasi tentang audit internal? H.107

108 Informasi tentang anggaran Internal Audit? H.108

140

Lampiran 2: Data sampel Penelitian

2009 IND_COM OWN_CON AUD_REP FIRM_RMC ERM

AALI 0.429 0.797 1 0 0.944

SGRO 0.400 0.671 1 1 0.833

SMAR 0.375 0.952 0 0 0.889

ITMG 0.333 0.737 1 1 0.917

MITI 0.333 0.623 0 0 0.907

PTBA 0.400 0.650 1 1 0.907

SIPD 0.400 0.613 0 0 0.907

SMCB 0.429 0.773 1 0 0.954

SMGR 0.500 0.510 1 1 0.972

SOBI 0.333 0.695 1 0 0.889

SULI 0.400 0.516 1 0 0.898

ASII 0.500 0.501 1 1 0.907

AUTO 0.333 0.957 1 0 0.907

POLY 0.333 0.607 0 0 0.833

INDF 0.300 0.501 1 0 0.907

KAEF 0.600 0.900 0 0 0.880

KLBF 0.333 0.630 1 1 0.898

RMBA 0.333 0.997 1 0 0.889

TCID 0.400 0.608 1 0 0.889

UNVR 0.750 0.850 1 0 0.889

JKON 0.400 0.677 0 0 0.852

JRPT 0.400 0.653 0 0 0.852

LPCK 0.600 0.513 0 0 0.824

SMDM 0.667 0.737 1 0 0.824

ISAT 0.400 0.650 1 1 0.954

JSMR 0.333 0.700 0 1 0.880

ACES 0.500 0.600 0 0 0.843

AKRA 0.333 0.708 1 0 0.898

JTPE 0.333 0.643 0 0 0.880

KBLV 0.750 0.551 0 0 0.880

LMAS 0.500 0.543 0 0 0.843

LTLS 0.400 0.630 1 0 0.880

MAMI 0.667 0.656 0 0 0.796

MAPI 0.400 0.588 1 0 0.833

MDRN 0.333 0.583 1 0 0.843

MICE 0.333 0.604 0 0 0.815

MNCN 0.400 0.716 1 0 0.972

MTDL 0.333 0.770 1 0 0.870

POOL 0.333 0.808 0 0 0.815

RALS 0.500 0.561 1 0 0.843

UNTR 0.375 0.595 1 1 0.972

141

2010 IND_COM OWN_CON AUD_REP FIRM_RMC ERM

AALI 0.429 0.797 1 0 0.944

SGRO 0.400 0.671 1 1 0.833

SMAR 0.375 0.952 0 0 0.889

ITMG 0.333 0.650 1 1 0.917

MITI 0.500 0.676 0 0 0.944

PTBA 0.400 0.650 1 1 0.907

SIPD 0.667 0.586 0 0 0.907

SMCB 0.571 0.807 1 0 0.954

SMGR 0.500 0.510 1 1 0.972

SOBI 0.333 0.688 1 0 0.889

SULI 0.400 0.516 1 0 0.898

ASII 0.455 0.501 1 1 0.907

AUTO 0.300 0.957 1 0 0.907

POLY 0.333 0.607 0 0 0.833

INDF 0.300 0.501 1 0 0.907

KAEF 0.600 0.900 0 0 0.880

KLBF 0.333 0.670 1 1 0.898

RMBA 0.500 0.991 1 0 0.889

TCID 0.400 0.608 1 0 0.889

UNVR 0.750 0.850 1 0 0.889

JKON 0.400 0.677 0 0 0.852

JRPT 0.400 0.662 0 0 0.852

LPCK 0.600 0.575 0 0 0.824

SMDM 0.667 0.737 1 0 0.824

ISAT 0.400 0.650 1 1 0.954

JSMR 0.333 0.700 0 1 0.880

ACES 0.500 0.600 0 0 0.843

AKRA 0.333 0.592 1 0 0.898

JTPE 0.500 0.643 0 0 0.880

KBLV 0.571 0.551 0 0 0.880

LMAS 0.333 0.546 0 0 0.843

LTLS 0.400 0.630 1 0 0.880

MAMI 0.667 0.501 0 0 0.796

MAPI 0.400 0.588 1 0 0.833

MDRN 0.333 0.561 1 0 0.843

MICE 0.333 0.604 0 0 0.815

MNCN 0.400 0.717 1 0 0.972

MTDL 0.333 0.769 1 0 0.870

POOL 0.333 0.808 0 0 0.815

RALS 0.500 0.559 1 0 0.843

UNTR 0.500 0.595 1 1 0.972

142

2011 IND_COM OWN_CON AUD_REP FIRM_RMC ERM

AALI 0.429 0.797 1 0 0.944

SGRO 0.400 0.671 1 1 0.833

SMAR 0.375 0.972 0 0 0.889

ITMG 0.333 0.650 1 1 0.917

MITI 0.500 0.679 0 0 0.944

PTBA 0.333 0.650 1 1 0.907

SIPD 0.667 0.586 0 0 0.907

SMCB 0.571 0.807 1 0 0.954

SMGR 0.333 0.510 1 1 0.972

SOBI 0.333 0.980 1 0 0.889

SULI 0.400 0.516 1 0 0.898

ASII 0.455 0.501 1 1 0.907

AUTO 0.400 0.957 1 0 0.907

POLY 0.333 0.600 0 0 0.833

INDF 0.333 0.501 1 0 0.907

KAEF 0.400 0.900 0 0 0.880

KLBF 0.333 0.640 1 1 0.981

RMBA 0.500 0.856 1 0 0.889

TCID 0.400 0.608 1 0 0.889

UNVR 0.800 0.850 1 0 0.889

JKON 0.400 0.677 0 0 0.852

JRPT 0.400 0.662 0 0 0.852

LPCK 0.600 0.578 0 0 0.824

SMDM 0.667 0.737 0 0 0.824

ISAT 0.400 0.650 1 1 0.954

JSMR 0.333 0.700 0 1 0.880

ACES 0.500 0.600 0 0 0.843

AKRA 0.333 0.597 1 0 0.898

JTPE 0.500 0.636 0 0 0.880

KBLV 0.500 0.551 0 0 0.880

LMAS 0.333 0.546 0 0 0.843

LTLS 0.400 0.630 1 0 0.880

MAMI 0.667 0.501 0 0 0.796

MAPI 0.400 0.560 1 0 0.833

MDRN 0.333 0.561 1 0 0.843

MICE 0.333 0.604 0 0 0.815

MNCN 0.400 0.700 1 0 0.972

MTDL 0.333 0.595 1 0 0.870

POOL 0.333 0.808 0 0 0.815

RALS 0.500 0.559 1 0 0.843

UNTR 0.500 0.595 1 1 0.972

143

Lampiran 3: Hasil Uji Regresi Berganda

Variables Entered/Removedb

Model

Variables

Entered

Variables

Removed Method

1 OWN_CON,

IND_COM,

AUD_REP,

FIRM_RMC

. Enter

a. All requested variables entered.

b. Dependent Variable: ERM

Model Summaryb

Model R R Square

Adjusted R

Square

Std. Error of

the Estimate

1 ,566a ,320 ,297 ,039072

Model Summaryb

Model

Change Statistics

Durbin-

Watson

R Square

Change F Change df1 df2

Sig. F

Change

1 ,320 13,891 4 118 ,000 1,922

a. Predictors: (Constant), OWN_CON, IND_COM, AUD_REP, FIRM_RMC

b. Dependent Variable: ERM

ANOVAb

Model

Sum of

Squares df

Mean

Square F Sig.

1 Regression ,085 4 ,021 13,891 ,000a

Residual ,180 118 ,002

Total ,265 122

a. Predictors: (Constant), OWN_CON, IND_COM, AUD_REP, FIRM_RMC

b. Dependent Variable: ERM

144

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

B Std. Error

1 (Constant) ,813 ,025

AUD_REP ,036 ,008

FIRM_RMC ,035 ,009

IND_COM ,006 ,031

OWN_CON ,059 ,028

Coefficientsa

Model

Standardized

Coefficients

t Sig.

Collinearity

Statistics

Beta Tolerance VIF

1 (Constant) 33,060 ,000

AUD_REP ,375 4,648 ,000 ,883 1,133

FIRM_RMC ,315 3,820 ,000 ,848 1,180

IND_COM ,014 ,184 ,855 ,951 1,051

OWN_CON ,162 2,081 ,040 ,956 1,046

a. Dependent Variable: ERM

145

Charts

146