Upload
vuongtram
View
237
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
PENGARUH EKSTRAK PEGAGAN (Centella asiatica)
TERHADAP KADAR SGPT MENCIT (Mus musculus) YANG
DIINDUKSI PARASETAMOL
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran
ARISTA NOVI ERDIANA
G.0005064
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2009
PENGESAHAN SKRIPSI
Skripsi dengan judul : Pengaruh Ekstrak Pegagan (Centella asiatica)
Terhadap Kadar SGPT Mencit (Mus musculus) yang Diinduksi Parasetamol
Arista Novi Erdiana,NIM/Semester : G0005064/VIII, Tahun 2009
Telah diuji dan sudah disahkan di hadapan Dewan Penguji Skripsi
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret
Pada Hari Jum’at, Tanggal 17 Juli 2009
Surakarta, .................................
Ketua Tim Skripsi Dekan FK UNS
Sri Wahjono, dr., MKes. Prof. Dr. A. A. Subijanto, dr., MS.
NIP 030 134 646 NIP 030 134 565
Pembimbing Utama
Nama : Dra. M. Titiek Marminah, Apt.SU
NIP : 130 786 877
Pembimbing Pendamping
Nama : dr. Achmad SubakirNIP : 130 543 177 .
Penguji Utama
Nama : Dr. dr. Muchsin Douwes, SU MARSNIP : 130 543 161
Anggota Penguji
Nama : dr. Ratih Puspita.NIP : 132 318 017
………………………………….
………………………………….
………………………………….
………………………………….
ABSTRAK
Arista Novi Erdiana, G0005064, 2009, Pengaruh Ekstrak Pegagan (Centella asiatica) terhadap Kadar SGPT Mencit yang Diinduksi Parasetamol, Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Pegagan (Centella asiatica) mengandung beberapa senyawa aktif yaitu terpenoid, flavonoid, dan glikosida. Senyawa flavonoid merupakan antioksidan yang dapat melindungi hati. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada efek hepatoprotektif ekstrak pegagan terhadap peningkatan kadar SGPT mencit yang diinduksi parasetamol.
Penelitian ini menggunakan metode eksperimental laboratorium dengan rancangan penelitian posttest only control group design. Hewan uji yang digunakan adalah mencit jantan, galur Swiss webster, berumur 2 bulan dengan berat badan ± 20g, sebanyak 30 ekor. Subyek dibagi dalam 5 kelompok dengan randomisasi kelompok subjek dan tiap kelompok terdiri dari enam mencit. Kelompok 1 sebagai kontrol negatif dengan pemberian makanan standar. Kelompok 2 sebagai kontrol positif dengan pemberian parasetamol dosis toksik (0.78mg/20g BB mencit). Kelompok 3, 4, dan 5 merupakan kelompok uji dengan pemberian dosis ekstrak pegagan yang berbeda, yaitu ¾ dosis terapi (0.6ml/20g BB mencit), 1 dosis terapi (0.8ml/20g BB mencit), dan 1¼ dosis terapi (1.0ml/20g BB mencit). Satu jam kemudian kelompok 3, 4, dan 5 diberi parasetamol dosis toksik (0.78 mg/20g BB mencit). Perlakuan diberikan selama 6 hari berturut-berturut dan pada hari ke-7 dilakukan pengambilan darah melalui sinus orbitalis, untuk mengukur kadar SGPT sesudah perlakuan dengan menggunakan metode IFCC tanpa pyridoxal phosphat. Data yang terkumpul dianalisis secara statistik dengan uji Kruskal wallis.
Secara deskriptif hasil penelitian menunjukkan terjadi penurunan kadar SGPT. Penurunan terlihat paling besar pada pemberian ekstrak pegagan ¾ dosis terapi. Hasil analisis statistik tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna, dimana p untuk SGPT adalah 0.145 dengan taraf signifikansi sebesar 0.05.
Simpulan dari penelitian ini bahwa pemberian ekstrak pegagan terhadap mencit yang diinduksi parasetamol tidak terjadi penurunan kadar SGPT secara bermakna (p >0.05)
Kata kunci: ekstrak pegagan (Centella asiatica) – antioksidan -hepatoprotektif
ABSTRACT
Arista Novi Erdiana, G0005064, 2009, The Effect of Centella asiatica Extract against The SGPT (Serum Glutamat Piruvat Transaminase)Level of Mice Induced by Paracetamol, Medical Faculty of Sebelas Maret University, Surakarta.
Centella asiatica contains several active substances that are terpenoids, flavonoids and glicosides. Flavonoid is antioxidant protecting liver from free radicals. The aim of this research was to know thehepatoprotective effect of Centella asiatica against the SGPT level of mice induced by paracetamol.
This research used experimental laboratory method with posttest only control group design. A total of 30 male Swiss webster mice, at about 2 month, and 20 grams were used. They were classified into 5 groups with groups randomization, and each group consists of six mice. Group 1 was negative control, given by a standart diet. Group 2 was positive control, given by toxic paracetamol dose (0.78mg/20g bw). The treated groups such as group 3, group 4, and group 5, were given Centella asiatica extract in different doses: ¾ therapeutic dose(0.6ml/20g bw), 1 therapeutic dose (0.8ml/20g bw), and 1¼ therapeutic dose (1.0ml/20g bw). An hour later group 3, 4, and 5 would be given toxic paracetamol dose (0.78mg/20g bw).The treatment of all groups were given continually within 6 days. In the 7th day, the blood taken from mice orbitalis sinuses to measure SGPT level with IFCC without pyridoxal-phosphate method were done. The acumulated data were analyzed by Kruskal wallis.
The result of one kruskal wallis analysis show unsignificant differences statistically. Value of P for SGPT is 0.145 with significant value more than 0.05. Although the datas shows there is change in degreesSGPT, a decrease in degreeSGPT. The decrease seen most of group with ¾ therapeutic dose Centella asiatica extract.
The conclusion of this research was that Centella asiatica extract had not a significant (p>0.05) hepatoprotective effect against the SGPT level of rat increased by paracetamol induced
Key words : Centella asiatica extract - antioxidant - hepatoprotection
PRAKATA
Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas limpahan berkat dan kasih-Nya, sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi berjudul “Pengaruh Ekstrak Pegagan (Centella asiatica) terhadap Kadar SGPT Mencit (Mus musculus) yang Diinduksi Parasetamol” yang merupakan salah satu syarat memperoleh gelar kesarjanaan di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penyusunan skripsi ini tidak lepas atas dukungan yang diberikan oleh berbagai pihak. Untuk itu peneliti mengucapkan terima kasih kepada:1. Prof. Dr. A. A. Subijanto, dr., MS. Selaku Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret Surakarta.2. Sri Wahjono, dr., MKes. Selaku Ketua Tim Skripsi beserta seluruh staf skripsi
yang telah memberikan pengarahan dan bantuan.3. Dra. M. Titiek Marminah, Apt.SU Selaku Pembimbing Utama yang telah
memberikan bimbingan, nasehat, pengarahan, dan motivasi bagi peneliti.4. Achmad Subakir, dr. Selaku Pembimbing Pendamping yang telah memberikan
bimbingan, nasehat, pengarahan, dan motivasi bagi peneliti.5. Dr. Muchsin Douwes,dr., SU MARS. Selaku Penguji Utama yang telah
menguji skripsi ini.6. Ratih puspita,dr. Selaku Anggota Penguji yang telah menguji skripsi ini.7. Bapak (Ahmad Tolkah), Ibu (Widayatiningsih), dan Adikku (M. Dony Dian
Ardianyah dan M. Diky Dian Ardiansyah) tercinta yang senantiasa memberikan doa, bimbingan dan motivasi bagi peneliti.
8. Seluruh staf Laboratorium Farmakologi, PK, Histologi, mas Kidi yang telah membantu pelaksanaan penelitian ini.
9. Indra, mas Arie, ayu, berli, cempaka, mas adi dan seluruh teman angkatan 2005 atas semangat dan bantuannya.Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan, maka kritik dan saran yang membangun dari pembaca sangat penulis harapkan Akhirnya, peneliti berharap semoga skripsi ini dapat menjadi sumbangan pemikiran dan bermanfaat untuk semua pihak, bagi ilmu kedokteran pada umumnya dan bagi pembaca pada khususnya.
Surakarta, 10 juli 2009
Arista Novi Erdiana
DAFTAR ISI
Halaman
PRAKATA…………………………………………………………………. vi
DAFTAR ISI……………………………………………………………….. vii
DAFTAR TABEL………………………………………………………….. ix
DAFTAR GRAFIK ………………………………………………………. x
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………….. xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah……………………………………. 1
B. Rumusan Masalah………………………………………….. 5
C. Tujuan Penelitian…………………………………………… 5
D. Manfaat Penelitian ………………………………………… 5
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka…..……………………………………….. 7
1. Herba Pegagan………………………………………….. 7
2. Ekstrak Pegagan................................................................ 11
3. Fisiologi dan Patofisiologi Hati………………………… 11
4. SGPT(Serum Glutamat-piruvat transaminase)................. 14
5. Farmakologi Parasetamol………………………………. 18
6. Hewan coba ………………………………………. 21
B. Kerangka Pemikiran………………………………………... 23
C. Hipotesis …………………………………………………… 23
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian……………………………………………... 24
B. Lokasi Penelitian…………………………………………… 24
C. Subjek Penelitian…………………………………………… 24
D. Teknik Sampling…………………………………………… 24
E. Identifikasi Variabel Penelitian…………………………….. 25
F. Definisi Operasional Variabel Penelitian…………………... 26
G. Rancangan Penelitian………………………………………. 28
H. Alat dan Bahan …………………………………………… 29
I. Cara Kerja............. …………………………………………. 29
J. Analisis Statistik……………………………………………. 33
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Hasil Penelitian……………………………………………... 34
B. Analisis Data………………………………………………... 35
BAB V PEMBAHASAN........................................................................... 37
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan……………………………………………………. 41
B. Saran………………………………………………………... 41
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………… 37
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penyakit hati adalah permasalahan dunia dengan angka
kesakitan dan kematian yang tinggi. Meskipun manajemen kedokteran
sudah maju, tetapi belum ada pemberian terapi yang efektif hingga
saat ini. Bahkan perkembangan pengobatan yang terbaru untuk
mengobati penyakit hati sering menimbulkan efek samping yang tidak
diinginkan(Madani et al., 2008). Maka dari itu masyarakat saat ini
cenderung untuk kembali ke alam(back to nature) (Handajani, 2007)
dan lebih memilih untuk memakai substansi bioaktif alami untuk agen
terapeutik(Son et al., 2004).Kandungan zat aktif dalam obat tradisional
banyak yang bersifat hepatoprotektor, antaralain pada temulawak, kunyit,
meniran, dan pegagan. Sehingga efektif untuk digunakan pada kondisi
peradangan hati. Selain itu, obat yang berasal dari bahan alam ini relatif
aman, mudah diperoleh dan murah(Usia, 2007).
Hepar merupakan pusat metabolisme tubuh yang
mempunyai banyak fungsi dan penting untuk mempertahankan hidup.
Kapasitas cadangannya sangat besar, hanya dengan 10- 20% jaringan
hepar yang masih berfungsi ternyata sudah cukup untuk
mempertahankan hidup pemiliknya. Kemampuan mengganti jaringan
mati dengan yang baru (regenerasi) pada hepar pun cukup besar.
Itulah sebabnya pengangkatan sebagian jaringan hati yang rusak
akibat penyakit akan cepat digantikan dengan jaringan baru(
Dalimartha, 2006).
Gangguan hepar selain disebabkan oleh mikroorganisme,
seperti virus dan bakteri juga dapat disebabkan oleh obat-obatan
misalnya parasetamol, hidroksi urea, dan rifampisin serta berbagai
konsumsi makanan misalnya alkohol(Akbar, 2007).
Parasetamol merupakan obat analgesik yang umum
dipakai, dapat diperoleh tanpa menggunakan resep dokter. Sejak tahun
1970 di Amerika jumlah overdosis dari parasetamol meningkat.
Sekarang parasetamol menjadi obat yang paling sering menyebabkan
keracunan sendiri di United Kingdom. Antara tahun 1993-1997, di
Inggris dan Wales didapatkan 500 kematian yang berhubungan
dengan overdosis parasetamol setiap tahunnya(Christopher, 2002).
Menurut Mahadevan, 2006 overdosis parasetamol kira-kira 10% dari
hasil penyelidikan tentang keracunan di United Kingdom poisons
Sevice pada tahun 1996 dan 73000 laporan ke Toxic Exposure
Surveillance Scheme of the American Association of Poison Control
Centres. Sedangkan pada tahun 2004, terdapat 94 kematian yang
dikarenakan overdosis parasetamol di United Kingdom.
Sesungguhnya pada dosis normal terapeutik, parasetamol
relatif aman, akan tetapi ketika dipakai dalam dosis tinggi atau dosis
rendah tetapi akumulatif, maka parasetamol dapat menimbulkan efek
toksik yaitu kerusakan hati akut. Efek toksik parasetamol juga dapat
ditingkatkan oleh faktor-faktor resiko seperti: komsumsi alkohol,
malnutrisi, obat-obatan yang turut menginduksi sitokrom P450, HIV,
variasi genetik, dan penyakit hati(Defendi, 2008).
Parasetamol atau N-asetil-p-aminofenol merupakan
derivat para-amino fenol yang berkhasiat sebagai analgesik-
antipiretik. Di dalam hati, sebagian besar parasetamol (± 80%)
terkonjugasi dengan asam glukuronat dan sulfat dan sebagian kecil
dioksidasi oleh sistem sitokrom P-450 MFO hati menjadi metabolit
rektif N-asetil-p-benzoquinonimina (NAPBQI)(Gibson dan Skett,
1991; Dollery, 1991; Vandenberghe, 1996).
Parasetamol dapat menimbulkan hepatotoksisitas pada
pemberian dosis tunggal 10-15 gram (200-250 mg/kg BB) (Wilmana,
1995). Pada pemberian parasetamol dosis toksik, metabolit reaktif ini
sebagai senyawa yang menimbulkan kerusakan hati. Mekanisme
toksisitasnya sampai saat ini masih kontroversial, yaitu melalui
interaksi kovalen dan interaksi nirkovalen. Interaksi kovalen, terjadi
karena pemberian parasetamol dosis toksik akan menguras kandungan
GSH-sitosol sehingga N-asetil-p-benzoquininomina (NAPBQI) akan
berikatan secara kovalen dengan makromolekul protein sel hati, yang
mengakibatkan terjadinya kerusakan sel(Gillette, 1981; Tirmenstein
dan Nelson, 1990). Sedangkan interaksi nirkovalen, melibatkan
pembentukan radikal bebas N-asetil-p-semiquinonimina (NAPSQI).
Enzim yang sering berkaitan dengan kerusakan
hepatoseluler adalah aminotransferase. Aspartat aminotransferase
(AST/SGOT) memerantai reaksi antara asam aspartat dan asam alfa-
ketoglutamat. Alanin aminotransferase (ALT/SGPT) memindahkan
satu gugus amino antara alanin dan asam alfa-ketoglutamat. Walaupun
SGOT dan SGPT sering dipakai sebagai enzim hati karena tingginya
konsentrasi keduanya dalam hepatostit, namun hanya SGPT yang
spesifik. SGOT terdapat di miokardium, otot rangka, otak, dan ginjal.
Melihat cukup besarnya dampak yang ditimbulkan oleh
keracunan parasetamol, maka perlu ditemukan bahan hepatoprotektor
baru, yang alami dan sedikit menimbulkan efek samping. Salah satu
tanaman yang menarik untuk diteliti untuk hepatoprotektor adalah
pegagan (Centella asiatica)(Dalimartha, 2006).
Pegagan berkhasiat tonik, antiinfeksi, antipiretik,
antitoksik, pembersih darah, hemostasis, memperbanyak pengeluaran
empedu, dan sedatif. Bagi penderita hepatitis ikterik akut dengan
pembengkakan hati, minum rebusan ini akan mempercepat
penyembuhan dan menghilangkan keluhan seperti ikterik di kulit dan
bagian putih bola mata, perut kembung(Dalimartha, 2006). Hasil
penelitian terdahulu menunjukkan bahwa pegagan mengandung
beberapa senyawa aktif yaitu terpenoid, flavonoid, dan glikosida.
Senyawa flavonoid dalam tanaman diketahui merupakan senyawa
antioksidan dan berpotensi mencegah kerusakan sel-sel tubuh
diantaranya sel hepar(Crawford, 1995). Oleh sebab itu, atas dasar
kandungan kimia dan penelitian tentang khasiat pegagan yang pernah
dilakukan sebelumnya, penulis ingin mengetahui apakah ada efek
hepatoproktektif dari pegagan (Centella asiatica) yang diberikan pada
mencit (Mus musculus) yang diinduksi parasetamol, berdasarkan
perubahan kadar serum transaminase SGPT (Serum Glutamat Piruvat
Transaminase).
B. Rumusan Masalah
Apakah ada pengaruh pemberian ekstrak pegagan
(Centella asiatica) terhadap kadar SGPT mencit (Mus musculus) yang
diinduksi Parasetamol?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada
pengaruh ekstrak pegagan (Centella asiatica) terhadap kadar SGPT
mencit yang diinduksi parasetamol .
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
Penelitian ini dapat memberikan informasi ilmiah mengenai efek
hepatoprotektor ekstrak pegagan( Centella Asiatica) pada mencit.
2. Manfaat aplikatif
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar penelitian uji klinis
pada manusia untuk mencari dosis yang tepat dan efektif.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Herba Pegagan
a. Taksonomi
Klasifkasi tanaman :
Filum : Angiospermae
Sub filum : Dycotiledones
Divisi : Sphermatophita
Famili : Umbilliferae
Genus : Centella
Species : C. asiatica & Hydrocotyle asiatica
Nama ilmiah : C. asiatica & Hydrocotyle asiatica
(Newal et al, 1996)
b. Nama daerah
Sumatera : Pegaga (Aceh), Pegago (Minangkabau),
Kaki Kuda (Melayu)
Jawa : Antanan Bener (Sunda), Kerok Batok
(Jawa Tengah), Gan Gagan (Madura)
Bali : Bali
Nusa Tenggara : Belele (Sasak), Kelai Lere (Sawo)
Sulawesi : Wisu-wisu (Makasar), Cipubalawo
(Bugis), Hisu-hisu (Salayar)
Maluku : Sarowati (Halmahera), Kolotidi Manora
(Ternate)
Irian : Dogauke
(Newal et al, 1996)
c. Deskripsi
Habitus : Herba, tahunan, menjalar, panjang ± 10 m.
Batang : Tidak berbatang.
Daun : Tunggal, tersusun dalam roset akar, dua
sampai sepuluh, bentuk ginjal, pangkal
membulat, tepi beringgit, diameter 1-7 cm,
pertulangan meyirip, tangkai 1-5 cm, hijau.
Bunga : Majemuk, bentuk payung, di ketiak daun,
tangkai ± 3 cm, daun pelindung dua, bulat
telur, panjang ± 4 mm, hijau kekuningan,
mahkota bentuk terompet, panjang ± 1½
cm, lebar ± 8 mm, biru muda.
Buah : Pipih, berlekuk dua, berusuk, ungu
kecoklatan.
Akar : Tunggang, bulat, putih
(Newal et al, 1996)
c. Daerah Distribusi, Habitat, dan Budidaya
Pegagan bersifat kosmopolitan tumbuh liar di
tempat-tempat yang lembab pada intensitas sinar yang
rendah (ternaungi) hingga pada tempat-tempat terbuka,
seperti di padang rumput, pinggir selokan, pematang sawah.
Ketinggian tempat optimum untuk tanaman ini
adalah 200 – 800 m dpl. Di atas 1.000 m dpl. produksi dan
mutunya akan menjadi lebih rendah. Tanaman ini dapat
tumbuh dan berproduksi dengan baik hampir pada semua
jenis tanah lahan kering. (Newal et al, 1996)
d. Kandungan kimia
Amino acids: Alanine dan serine (komponen
utama), aminobutyrate, aspartate, glutamate, histidine,
lysine, threonine. Lebih banyak terdapat pada akar.
Flavonoids: Quercetine, kaempferol, dan
beberapa macam glikosida.
Terpenoids: triterpenes, asiaticosid, centelloside,
madecasoside, brahmoside dan brahminoside (saponin
glikosida), Aglycones berkaitan dengan hydrocotylegenin
A-E, senyawa A-D dilaporkan merupakan ester triterpen
alcohol R-barrigenol. Asiaticentoic acid, centellic acid,
centoic acid dan madecassic acid.
Valatile oils Berbagai macam terpenoids
termasuk β-caryophyllene, trans-β-farnesene dan
germacrene D (sesquiterpenes) sebagai komponen utama,
α-pinene dan β-pinene.
Unsur-unsur lain Hydrocotylin (alkaloid),
vallerine (zat pahit), asam lemak (linoleic acid, linolenic
acid, lignocene, oleic acid, palmitid acid, stearid acid),
phytosterols(campesterol, sitosterol, stigmasterol),
resin,tannin. (Newall et al, 1996)
f. Khasiat dan penggunaan
Daun :
Re-Vitalisasi sel dan pembuluh darah, antiseptik, antibiotik,
antipiretik, diuretik, hepatomegali, meningkatkan fertilitas
wanita, mengurangi gejala asma, mengobati hipotensi.
(Riana, 2006)
Herba :
Radang hati disertai kuning, campak, demam, sakit
tenggorokan, asma, bronchitis, radang pleura, radang mata
merah, keputihan, infeksi, batu saluran kencing, tekanan
darah tinggi/hipertensi, reumatik, pendarahan (muntah
darah, batuk darah, mimisan, kencing darah), wasir, sakit
perut, disentri, cacingan, tidak nafsu makan, lepra, TBC,
keracunan makanan (jengkol, udang, kepiting), keracunan
bahan kimia/obat-obatan. (Riana, 2006)
2. Ekstrak Pegagan
Ektrak pegagan adalah sari herba pegagan yang diambil
dengan menggunakan pelarut ethanol 70%. Dalam penelitian ini,
ekstrak pegagan diperoleh dengan metode Soxhletasi. Soxhletasi
merupakan penyarian simplisia secara berkesinambungan, cairan
penyari dipanaskan sehingga menguap, uap cairan penyari
terkondensasi menjadi molekul-molekul air oleh pendingin balik
dan turun menyari simplisia dalam klongsong dan selanjutnya
masuk kembali ke dalam labu alas bulat setelah melewati pipa
sifon. Ekstrak pegagan didapatkan dari BPTO Tawangmangu.
3. Fisiologi dan Patofisiologi Hati
Hati merupakan pusat metabolisme tubuh yang
mempunyai banyak fungsi dan penting untuk mempertahankan
tubuh. Kapasitas cadangannya sangat besar, hanya dengan 10-20%
jaringan hati yang masih berfungsi ternyata sudah cukup untuk
mempertahankan hidup pemiliknya. Kemampuan mengganti
jaringan mati dengan yang baru (regeneasi) pada hati pun cukup
besar. Itulah sebabnya pengangkatan sebagian hati yang rusak
akibat penyakit akan cepat digantikan dengan jaringan yang baru.
(Dalimartha, 2006)
Ada 4 macam fungsi hati, yakni untuk pembentukan dan
ekskresi empedu, metabolisme zat-zat penting bagi tubuh,
pertahanan tubuh, serta fungsi vaskuler.
a. Fungsi pembentukan dan ekskresi empedu
Empedu dibentuk oleh hati melalui saluran empedu
interlobular yang terdapat dalam hati, empedu yang dihasilkan
dialirkan ke kandung empedu untuk disimpan. Bila kita
mengkonsumsi makanan berlemak maka empedu yang
tersimpan tadi akan dikeluarkan dan dialirkan ke dalam
duodenum. Dalam sehari, sekitar 1 liter empedu diekskresikan
oleh hati. Empedu sebagian terdiri dari air (97%), sisanya terdiri
atas elektrolit, garam empedu, fosfolipid, kolesterol, dan
bilirubin. Garam empedu penting untuk pencernaan dan
penyerapan lemak dalam usus halus. Garam ini sebagian diserap
kembali oleh usus halus dan dialirkan kembal ke hati. Bilirubin
atau pigmen empedu yang dapat menyebabkan warna kuning
pada jaringan dan cairan tubuh sangat penting sebagai indikator
penyakit hati dan saluran empedu. (Amirudin, 2007)
b. Fungsi metabolik
Di samping menghasilkan energi dan tenaga, hati
mempunai peran penting pada metabolisme karbohidrat, protein,
lemak, dan vitamin.
Karbohidrat setelah diolah di saluran cerna akan
menjadi glukosa, lalu diserap melalui usus masuk ke dalam
peredaran darah dan masuk ke dalam hati melalui vena porta. Di
dalam hati sebagian glukosa dimetabolisir sehingga terbentuk
energi yang berfungsi menjaga temperatur tubuh dan tenaga
untuk bergerak. Glukosa yang tersisa diubah menjadi glikogen
dan disimpan di dalam hati dan otot atau diubah menjadi lemak
yang disimpan di dalam jaringan subkutan.
Metabolisme protein oleh hati juga penting untuk
mempertahankan hidup.hati membuat albumin dan faktor
pembekuan darah seperti protombin dan fibrinogen. Albumin
dibuat oleh hati sebanyak 12-14 g dalam 24 jam yang
merupakan sekitar 50% dari total protein yang disintesis hati.
Albumin dan protein lain seperti globulin dan fibrinogen
merupakan protein terbanyak dalam plasma.
Hati juga mengubah amonia menjadi urea, untuk
dikeluarkan melalui ginjal dan usus. Metabolisme lemak yang
dilakukan hati berupa pembentukan lipoprotein, kolesterol, dan
fosfolipid, juga mengubah karbohidrat dan protein menjadi
lemak. (Amirudin, 2007)
c. Fungsi pertahanan tubuh
Hati juga berperan dalam pertahanan tubuh, baik
berupa proses detoksikasi maupun fungsi perlindungan.
Detoksikasi dilakukan dengan berbagai proses yang
dilakukan oleh enzim-enzim hatiterhadap zat-zat beracun, baik
yang masuk dari luar maupun yang dihasilkan oleh tubuh
sendiri. Dengan proses detoksikasi, zat berbahaya akan dirubah
menjadi zat yang secara fisiologis tidak aktif.
Fungsi perlindungan dilakukan oleh sel-sel kupffer
yang berada pada dinding sinusoid hati. Dengan cara fagositosis,
sel kupffer dapat membersihkan sebagian besar kuman yang
masuk ke dalam hati melalui vena porta sehingga tidak
menyebar ke seluruh tubuh. Sel kupffer juga menghasilkan
imunoglobulin yang merupakan kekebalan humoral serta
menghasilkan berbagai macam antibodi akibat kelainan hati
tertentu seperti antimichondrial antibody (AMA), smooth
muscle antibody (SMA), dan antinuclear antibody (ANA).
d. Fungsi vaskular hati
Pada orang dewasa, jumlah aliran darah ke hati
diperkirakan sekitar 1.200-1.500 cc per menit. Darah tersebut
berasal dari vena porta sekitar 1.200cc dan dari arteria hepatika
sekitar 350 cc. Bila terjadi kelemahan fungsi jantung kanan
dalam memompa darah seperti pada penderita payah jantung
kanan, maka darah dari hati yang dialirkan ke jantung melalui
vena hepatika dan selanjutnya masuk ke dalam vena kava
inferior akan terhambat. Akibatnya terjadi pembesaran hati
karena bendungan pasif oleh darah yang jumlahnya sangat
besar.
4. SGPT (Serum Glutamat-Piruvat Transaminase)
Tes laboratorium sering kali digunakan untuk memastikan
diagnosis (bersama-sama dengan riwayat kesehatan dan
pemeriksaan jasmani) serta untuk memantau penyakit dan
pengobatan. Pemeriksaan enzim dapat dibagi dalam beberapa
bagian:
1). Enzim yang berhubungan dengan kerusakan sel yaitu
SGOT, SGPT, GLDH, dan LDH.
2). Enzim yang berhubungan dengan penanda kolestasis seperti
gamma GT dan fosfatase alkali.
3). Enzim yang berhubungan dengan kapasitas sintesis hati
misalnya kolinesterase. (Akbar, 2007)
Dua enzim yang sering berkaitan dengan kerusakan
hepatoseluler adalah aminotransferase. Aspartat aminotransferase
(AST) memerantai reaksi antara asam aspartat dan asam alfa-
ketoglutamat; yang dikenal dengan serum glutamat-oksaloasetat
transaminase (SGOT). Alanin aminotransferase (ALT)
memindahkan satu gugus amino antara alanin dan asam alfa-
ketoglutamat yang dikenal dengan serum glutamat-piruvat
transaminase (SGPT). Walaupun SGPT dan SGOT sering
dianggapnsebagai enzim hati karena tinggina konsentrasi keduanya
dalam hepatosit, namun hanya SGPT yang spesifik, karena SGOT
terdapat di miokardium, otot rangka, otak, dan ginjal. (Sacher dan
McPherson, 2004).
Pada penyakit hepatitis, kenaikan kembali atau
bertahannya nilai transaminase yang tinggi menunjukkan kelainan
yang berlanjut dan terjadinya nekrosis hati. (Dalimartha, 2006)
Tabel 2.1 Kriteria hepatotoksisitas menurut Common Toxicity
Critera
Grade 0 1 2 3 4
SGOT
SGPT
DBN
DBN
>BAN-2.5
x BAN
>BAN-2.5
x BAN
>2,5-5,0
x BAN
>2,5-5,0
x BAN
>5,0-
20,0 x
BAN
>5,0-
20,0 x
BAN
> 20,0
x BAN
> 20,0
x BAN
DBN = Dalam Batas Normal, BAN = Batas Atas Normal (King PD & Perry MC, 2001)
Tabel 2.2 Karakteristik aminotranferase terkait hati
Karakteristik Aspartat
aminotranferase(SGOT)
Alanin
aminotranferase(SGPT)
Terdapat di
jaringan
selain hati
Lokasi di
hepatosit
Rentang
rujukan
dalam darah
orang dewasa
Waktu paruh
dalam darah
Perubahan
pada
kerusakan
inflamatorik
akut
Perubahan
pada
neoplasma
primer atau
sekunder
Perubahan
pada infark
miokardium
Perubahan
pada sirosis
Lebih banyak di
jantung dibandingkan di
hati, juga otot rangka,
ginjal, dan otak
Mitokhondria dan
sitpplasma
5-40 IU/liter
12-22 jam
Sensitif sedang
Meningkat secara
bermakna
Meningkat secara
bermakna
Meningkat sedang
Konsentrasinya relatif
rendah di jaringan lain
Hanya sitoplasma
5-35 IU/liter
35-57 jam
Sangat sensitif
Peningkatan sedang
atau tidak ada
peningkatan
Meningkat ringan atau
sedang
Meningkat ringan atau
sedang
(Sacher dan McPherson, 2004)
5. Farmakologi Paracetamol
Asetaminofen atau parasetamol adalah salah satu obat
yang terpenting untuk pengobatan nyeri ringan sampai sedang, bila
efek antiinflamasi tidak diperlukan. (Furst dan Munster, 2001)
Asetaminofen adalah metabolit fenasetin yang
bertanggung jawab atas efek analgesiknya. Obat ini adalah
penghambat prostaglandin yan lemah pada jaringan perifer dan
tidak mempunyai efek anti-inflamasi yang bermakna. (Furst dan
Munster, 2001)
a. Farmakokinetik
Asetaminofen diberikan per oral. Absorpsi
tergantung pada kecepatan pengosongan lambung, dan kadar
pucak di dalam darah biasanya tercapai dalam waktu 30-60
menit. Asetaminofen sedikit terikat dengan protein plasma dan
sebagian dimetabolisme oleh enzim mikrosom hati dan diubah
menjadi asetaminofen sulfat dan glukoronida, yang secara
farmakologi tidak aktif. Kurang dari 5% diekskresikan dalam
bentuk tidak berubah. Suatu metabolit minor tetapi sangat aktif
(N-asetil-p-benzokuinon), penting pada dosis besar, karena
toksisitasnya terhadap hati dan ginjal. Pada jumlah toksik atau
adanya penyakit hati, waktu paruhnya bisa meningkat dua kali
lipat atau lebih. (Furst dan Munster, 2001)
Asetaminofen (parasetamol)
b. Indikasi
Walaupu efek analgesik dan antipiretiknya setara
dengan aspirin (Styrt, 1990), asetaminofen berbeda karena tidak
adanya efek anti-inflamasinya. Obat ini tidak mempengaruhi
kadar asam urat dan tidak mempunyai sifat menghambat
trombosit. Obat ini berguna untuk nyeri ringan sampai nyeri
sedang seperti nyeri kepala, mialgia, nyeri pasca-persalinan, dan
keadaan lain dimana aspirin efektif sebagai analgesik.
Asetaminofen sendiri tidak adequat untuk terapi keadan
peradangan seperti artritis rematoid, walaupun dapat digunakan
sebagai analgesik tambahan pada terapi anti-inflamasi. Untuk
analgesia ringan, asetaminofen merupakan obat yang lebih
disukai pada pederita yang alergi dengan aspirin atau jika
salisilat tidak dapat ditoleransi.
Obat ini lebih disukai daripada aspirin untuk penderita
hemofilia atau dengan riwayat tukak lambung dan pada
penderita yang mendapat bronkospasme yang dicetuskan oleh
oleh aspirin. Tidak seperti aspirin, asetaminofen tidak
mengantagonis efek obat urikosurik; dapat diberikan bersama
dengan probenesid pada pengobatan gout. Pada anak-anak,
aspirin lebih disukai pada infeksi virus. (Furst dan Munster,
2001)
c. Efek samping
Pada dosis terapi, kadang-kadang timbul peningkatan
ringan enzim hati tanpa ikterus; keadan ini reversible bila obat
dihentikan. Pada dosis yang lebih besar, dapat timbul pusing,
mudah terangsang, dan disorientasi. Pemakaian 15 g
asetaminofen dapat berakibat fatal; kematian disebabkan oleh
hepatotoksisitas yang berat dengan nekrosis lobulus sentral,
kadang-kadang berhubungan dengan nekrosis tubulus ginjal
akut. Gejala dini kerusakan hati meliputi mual, muntah, diare,
dan nyeri abdomen. Pengobatan sangat tidak memuaskan
dibandingkan terapi kelebihan dosis aspirin. Di samping terapi
suportif, tindakan yang terbukti menggembirakan adalah sifat
gugusan sulfihidril yang dapat menetralisasi metabolit toksik.
Untuk tujuan ini digunakan asetilsistein. (Furst dan Munster,
2001)
Fenasetin yang dilaporkan dapat menimbulkan anemia
hemolitik dan metemoglobinemia, jarang ditemukan pada
asetaminofen. Nefritis interstisialis dan nekrosis papiler, yang
merupakan komplikasi fenasetin tidak terjadi, walaupun
diantisipasi dengan pemakaian asetaminofen yang luas dan
menahun, meskipun kenyataannya 80% fenasetin cepat
dimetabolisme menjadi asetaminofen. Tidak terjadi perdarahan
saluran cerna. Harus hati-hati pada penderita penyakit hati.
(Furst dan Munster, 2001)
d. Dosis
Nyeri akut dan demam dapat ditanggulangi dengan
325-500 mg 4 kali sehari dan untuk anak-anak dalam dosis lebih
kecil yang sebanding. Kadar mantap dalam darah dicapai dalam
satu hari. (Katzung, 2001) Parasetamol dapat menimbulkan
hepatotoksisitas pada pemberian dosis tunggal 10-15 gram (200-
250 mg/kg BB). (Wilmana, 1995)
6. Hewan coba
Hewan coba membahas tentang mencit karena dalam
percobaan ini hanya menggunakan mencit saja.
Mencit termasuk hewan percobaan yang paling banyak
digunakan dalam penelitian, tiap tahun tidak kurang dari 30 juta
ekor mencit dipaka dalam penelitian. Mencit bentuknya kecil,
reproduksi cepat dan relative murah harganya. (Mangkoewidjojo,
1998)
a. Sistematika hewan percobaan
Filum : Chordata
Sub filum : Vertebrata
Classis : Mamalia
Sub classis : Placentalia
Ordo : Rodentia
Familia : Muridae
Genus : Mus
Spesies : Mus Musculus
(Sugiyanto,1995)
b. Karakteristik utama mencit
Mencit juga termasuk mamalia yang dianggap memiliki
struktur anatomi pencernaan mirip manusia, mudah ditangani
dan mudah diperolehdengan harga relatif murah dibandingkan
hewan uji yang lain (Mangkoewidjojo, 1998).
c. Biologi umum
Mencit yang digunakan dalam penelitian adalah mencit
laboratorium. Mencit laboratorium mempunyai berat badan kira-
kira sama dengan mencit liar yaitu mencapai 18- 20 g pada umur
4 minggu. Setiap penelitian di bidang farmakologi yang
menggunakan mencit sebagai hewan uji umumnya
menggunakan mencit berbulu putih, berbobot 18- 22 g dan satu
galur (Swiss Webster) (Mangkoewidjojo, 1998
B. Kerangka Pemikiran
C. Hipotesis
Ada pengaruh pemberian ekstrak pegagan (Centella asiatica)
terhadap kadar SGPT mencit (Mus musculus) yang diinduksi
Parasetamol.
Ekstrak Pegagan Parasetamol
Antioksidan:Flavonoid
Kerusakan sel hati
mencitjantan
Parameter:Kenaikan SGPT Bandingkan
Parameter:Kenaikan SGPT
Metabolit reaktif:N-acetyl-p-benze quinone imine
(NAPQI)
Memperbaiki kerusakan hati dan menetralisir radikal bebas di hati
mencit jantan
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian true
experimental randomized control trial with posttest only group
design. ( Arief, 2004; Murti, 2008) Penelitian ini merupakan
langkah awal dalam penelitian sebelum hasil penelitian
diterapkan pada manusia (trial clinic). Peneliti memberikan
perlakuan terhadap subyek yang berupa hewan coba di
laboratorium. (Taufiqqurohman, 2004)
B. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Histologi
Fakultas Kedokteran UNS.
C. Subjek Penelitian
Subyek yang digunakan dalam penelitian ini adalah
mencit berjenis kelamin jantan berusia 2-3 bulan, berat ± 20
gram sebanyak 30 ekor.
D. Teknik Sampling
Tiga puluh ekor mencit dibagi secara acak (randomisasi
kelompok sibjek) dalam lima kelompok perlakuan yang masing-
masing terdiri atas enam ekor mencit.
Menurut patokan umum (Rule of Thumb), setiap penelitian
yang datanya dianalisis secara statistik dengan analisis bivariat
membutuhkan sampel minimal 30 subyek penelitian. (Murti, B.,
2006)
Besar sampel tiap kelompok didapat dengan rumus
Federer, dimana (t) adalah jumlah ulangan untuk tiap perlakuan
dan (n) adalah jumlah kelompok perlakuan.
(n-1) (t-1) > 15
(5-1) (t-1) > 15
4t > 19
t > 4.75 = 5
Hasil perhitungan dengan rumus Federer diperoleh hasil,
bahwa dalam tiap kelompok harus mengandung sampel lebih dari
5 subyek, oleh karena itu dalam penelitian ini digunakan sampel
sebesar 6 subyek untuk tiap kelompok.
E. Identifikasi Variabel Penelitian
1. Variabel Bebas : ekstrak pegagan (Centella asiatica)
2. Variabel Terikat : kadar SGPT (Serum Glutamat Piruvat
Transaminase) tikus.
3. Variabel Luar : Makanan, Varietas pegagan, iklim dan
penyimpanan, suhu udara, Kondisi psikologis mencit, Variasi
kepekaan mencit putih terhadap zat dan obat yang digunakan,
Keadaan hati mencit, Bioavailibitas obat/zat pada mencit
(Wilmana, F. P., 1995).
F. Definisi Operasional Variabel penelitian
1. Ekstrak Pegagan
Ektrak pegagan adalah sari herba pegagan yang diambil
dengan menggunakan pelarut ethanol 70%. Dalam penelitian
ini, ekstrak pegagan diperoleh dengan metode Soxhletasi.
Soxhletasi merupakan penyarian simplisia secara
berkesinambungan, cairan penyari dipanaskan sehingga
menguap, uap cairan penyari terkondensasi menjadi molekul-
molekul air oleh pendingin balik dan turun menyari simplisia
dalam klongsong dan selanjutnya masuk kembali ke dalam
labu alas bulat setelah melewati pipa sifon. Ekstrak pegagan
didapatkan dari BPTO Tawangmangu.
2. Kadar SGPT
Parameter kerusakan hati diukur dengan kadar GPT
serum karena GPT terutama paling banyak terdapat dalam
sitoplasma sel hati, sedangkan dalam jaringan tubuh yang lain
konsentrasinya rendah. Perubahan kadar SGPT terhadap
kerusakan akibat peradangan akut hati, memiliki sensitivitas
yang sangat tinggi dibandingkan SGOT, sehingga dapat
mengukur sejauh mana efek hepatoprotektif dari ekstrak
pegagan (Widmann, 1995).
Pengukuran kadar SGPT, menggunakan metode IFCC
tanpa pyridoxal phosphat. Aktivitas enzim dibaca pada suhu
37°C. Aktivitas SGPT dinyatakan dalam UI/L, skala rasio
(Widmann, 1995).
G. Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan posttest only control group design
Populasi (P)
mencit putih jantan, galur Swiss Webster,2-3 bulan, ± 20 gram
Sampel (S)n=30
K 1Kel. Kontrol
negatifn1=6
K2Kel. Kontrol
positifn2=6
K3Kel. Uji Dosis In3=6
K4Kel. Uji dosis IIn4=6
K5Kel. Uji dosis IIIn5= 6
Makanan standar
+Parasetamol
(6 hari)
Makanan standar
+Ekstrak pegagan dosis I
+Parasetamol
1 jam kemudian (6 hari )
Makanan standar
+Ekstrak pegagan dosis II
+Parasetamol
1 jam kemudian (6 hari)
Makanan standar
+Ekstrak pegagan dosis III
+Parasetamol
1 jam kemudian (6 hari )
GPengukuran akhir kadar SGPT serum (hari ke-7)
One Way Anova atau Kruskall Walis
Post hoc test atau Mann Whitney test
Kesimpulan
Pemberianmakanan standar (6 hari)
Adaptasi selama 7 hari
Randomisasi subjek
H. Alat dan Bahan
1. Alat yang digunakan
a. Timbangan analitik
b. Timbangan digital mencit
c. Kandang hewan
d. Spuit injeksi 1 ml
e. Alat-alat gelas (beker glass, gelas ukur, batang pengaduk,
tabung reaksi, pipet tetes
f. Pipa kapiler yang dibasahi heparin
2. Bahan yang digunakan
a. Mencit jantan putih galur Swiss webster, berumur 2-3 bulan,
dengan berat badan ± 20 gram.
b. Sediaan uji berupa ekstrak pegagan (Centella asiatica)
c. Senyawa hepatoksin berupa parasetamol.
d. Aquades
e. Makanan standart
f. Reagen untuk pemeriksaan ALT
I. Cara Kerja
1. Persiapan Percobaan
a. Sampel
Sampel mencit 30 ekor dilakukan pengelompokan
secara random menjadi 5 kelompok dimana masing-masing
kelompok 6 mencit. Sampel diadaptasikan di laboratorium
Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret,
Surakarta selama 7 hari. Kemudian dilakukan penimbangan
dan penandaan untuk menentukan dosis.
b. Ekstrak Pegagan
Ekstrak pegagan diperoleh dari Balai Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Obat (BPTO) Tawangmangu.
Pemberian ekstrak pegagan dilakukan peroral dengan
menggunakan sonde lambung. Pemberian ekstrak dilakukan
sekali sehari selama 6 hari. Dosis pegagan diperoleh dari
orientasi.
Dari hasil penelitian sebelumnya didapatkan bahwa
pemberian ekstrak pegagan pada mencit dengan dosis
40mg/kg BB secara signifikan menurunkan kadar SGPT
mencit.
Dosis terapi = 40mg/1000g BB
= 0,8 mg/ 20g BB mencit
Dosis I (3/4 x dosis terapi) = ¾ x 0,8/20 g BB mencit
= 0,6 mg/ 20 g BB mencit
Dosis II (1x dosis terapi) = 1x 0,8 mg/20 g BB mencit
= 0,8 mg/ 20 mg BB mencit
Dosis III (1½ x dosis terapi) = 1¼ x 0,8 mg/20g BB
mencit
= 1 mg/ 20 mg BB mencit
c. Parasetamol
Parasetamol didapatkan dari apotik terdekat. Dosis
toksik parasetamol terjadi pada pemberian dosis tunggal 10-
15 gram (200-250 mg/kg BB) parasetamol (Wilmana, 1995).
Maka dosis toksik parasetamol untuk mencit berdasarkan
tabel konversi manusia dengan berat badan 70 kg.
Bila dosis toksik parasetamol yang digunakan 15
gram, dengan faktor konversi 0,0026 adalah:
= 0,0026 x 15 g/1000 g BB
= 0,039 g/ 1000g BB
= 0,78 mg/20g BB mencit
Dosis yang akan diberikan sebesar 0,78 mg/20g BB
mencit / hari secara peroral. Parasetamol diberikan setiap hari
selama 6 hari.
2. Pelaksanaan Percobaan
Percobaaan mulai dilakukan setelah dilakukan adaptasi
selama 7 hari dan percobaan berlangsung selama 6 hari.
Pengelompokan subjek:
K1 : sebagai kelompok kontrol, terdiri dari 6 mencit yang
diberikan diet standar selama 6 hari.
K2 : sebagai kelompok perlakuan I, terdiri dari 6 ekor mencit
yang diberi diet standar selama 6 hari dan parasetamol
dengan dosis 0,78 mg/ 20g BB mencit / hari selama 6
hari.
K3 : sebagai kelompok perlakuan II, terdiri dari 6 ekor mencit
yang diberi diet standar dan ekstrak pegagan dosis I
selama 6 hari dan parasetamol dosis 0,78 mg/20g BB
mencit / hari setelah 1 jam pemberian ekstrak pegagan
selama 6 hari.
K4 : sebagai kelompok perlakuan III, terdiri dari 6 ekor mencit
yang diberi diet standar dan ekstrak pegagan dosis II
selama 6 hari dan parasetamol dosis 0,78 mg/20g BB
mencit / hari setelah 1 jam pemberian ekstrak pegagan
selama 6 hari.
K5 : sebagai kelompok perlakuan IV, terdiri dari 6 ekor mencit
yang diberi diet standar dan ekstrak pegagan dosis III
selama 6 hari dan parasetamol dosis 0,78 mg/20g BB
mencit / hari setelah 1 jam pemberian ekstrak pegagan
selama 6 hari
3. Pengukuran Hasil
Pada hari ke-7 setelah perlakuan dengan ekstrak pegagan,
semua mencit kelompok 1, 2, 3, 4, dan 5 diambil darahnya
melalui sinus orbitalis dengan menggunakan tabung
mikrokapiler sebanyak 2 ml kemudian disentrifuge dengan
kecepatan 3000 rpm selama 60 menit hingga didapatkan serum
dan diukur kadar SGPT dari masing-masing kelompok.
J. Analisis Statistik
Untuk mengetahui adanya pengaruh pemberian ekstrak
pegagan dalam menghambat peningkatan kadar SGPT, maka
dilakukan uji Anova bila data berdistribusi normal, akan tetapi bila
distribusi data tidak normal dapat dilakukan uji Kruskall Wallis
sebagai alternatif uji Anova yang setara. Setelah itu analisis statistik
dilanjutkan dengan post hoc test bila distribusi data normal, atau
Mann Whitney test bila distribusi data tidak normal, kedua uji ini
bertujuan untuk mengetahui kekuatan efek hepatoprotektif
kelompok perlakuan. Data hasil penelitian diolah dengan
menggunakan SPSS 16.0 dengan taraf kepercayaan 95% atau
tingkat kemaknaan (α) 0,05 (Murti, 1994; Santoso, 2008)
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Hasil Penelitian
Penelitian mengenai efek hepatoprotektif pemberian
ekstrak pegagan per oral terhadap mencit putih jantan, didapatkan
hasil sebagai berikut:
Tabel 4. 1 Hasil pengukuran kadar SGPT darah mencit tiap kelompok
Kelompok Perlakuan n Mean (U/l)
K1 6 76.83
K2 6 135.00
K3 5 93.40
K4 6 118.17
K5 6 119.00
Sumber: data primer
Keterangan:K1 : kelompok kontrol negatif, makanan standar.K2 : kelompok parasetamol dosis toksik 0,78 mg/20g BB per oral.K3 : kelompok ¾ dosis terapi ekstrak pegagan (0,6 mg/20g BB per
oral),1 jam kemudian parasetamol dosis toksik 0,78mg/20g BB per oral.
K4 : kelompok 1 dosis terapi ekstrak pegagan (0,8 ml/20g BB per oral),1 jam kemudian parasetamol dosis toksik 0,78 mg/20g BB per oral.
K5 : kelompok 1¼ dosis terapi ekstrak pegagan (1 mg/20g BB per oral), 1 jam kemudian parasetamol dosis toksik 0,78 mg/20g BB per oral.
Dari hasil tabel 4.1, dapat dilihat bahwa kadar SGPT tertinggi
terdapat pada kelompok kontrol positif, yaitu mencit dengan paparan
parasetamol dosis toksik dan makanan standart selama 6 hari.
Sedangkan mencit yang diberi ekstrak pegagan menunjukkan
penurunan kadar SGPT dibanding dengan kelompok kontrol positif.
Penurunan kadar SGPT semakin meningkat sesuai dengan penurunan
dosis terapi ekstrak pegagan.
Perbandingan penurunan kadar SGPT mencit dari tiap dosis
ekstrak pegagan dapat dilihat dari grafik berikut ini :
Grafik 4.1 Perbandingan Kadar SGPT
B. Analisis Data
Dalam penelitian ini digunakan uji Kruskall wallis dengan
SPSS 16.0 for Windows, karena distribusi data tidak normal. Uji
Kruskall Wallis dilakukan jika asumsi pada uji Anova tidak terpenuhi,
yaitu apabila data hanya sedikit dan berdistribusi bebas (distribution
free statistic) (Murti, 1994; Santoso, 2008).
Hasil uji Kruskall Wallis (α = 0,05) sebagai berikut:
Tabel 4.2 Hasil uji Kruskall Wallis terhadap kadar SGPT mencitsesudah perlakuan
Kelompok Perlakuan
Mean SD Kruskall Wallis (X2)
p
K1 78.83 25.57 6.83 0.145K2 135.00 70.53K3 93.40 30.05K4 118.17 63.16K5 119.00 62.49
Sumber: data primer
Keterangan:K1: Kelompok kontrol negatifK2: Kelompok kontrol positifK3: Kelompok ¾ dosis terapi ekstrak pegaganK4: Kelompok 1 dosis terapi ekstrak pegaganK5: Kelompok 1¼ dosis terapi
Perubahan kadar SGPT pada kelima kelompok perlakuan
tidak signifikan secara statistik. Setelah dilakuan uji Kruskall wallis
yaitu membandingkan perubahan kadar SGPT pada kelima kelompok
perlakuan, didapat nilai p sebesar 0,145 sedang dengan taraf
signifikansi 0,05. Pada penelitian ini nilai p lebih besar dari 0,05 yang
berarti tidak ada perbedaan bermakna antara keempat kelompok
perlakuan. Analisis tidak dilanjutkan dengan uji untuk
membandingkan kekuatan efek hepatoprotektif masing-masing
kelompok yaitu dengan menggunakan uji Mann-Whitney (α = 0,05)
karena hasil analisis Kruskall wallis menunjukkan hasil tidak
signifikan secara statistik.
BAB V
PEMBAHASAN
Dari grafik 4.1 menunjukkan rata-rata kadar SGPT kelompok
kontrol positif paling tinggi, sedangkan rata-rata kadar SGPT kelompok
kontrol negatif paling rendah. Dalam penelitian ini digunakan dosis
ekstrak pegagan yang semakin meningkat diharapkan dengan
peningkatan dosis kadar ekstrak akan meningkat, sehingga kadar
kandungannya meningkat dan efeknya pun meningkat. Tetapi dari
gambar 4.1 menunjukkan penurunan kadar SGPT mencit pada kelompok
dengan terapi ekstrak pegagan, semakin meningkat seiring penurunan
dosis ekstrak pegagan.
Hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa pegagan
mengandung senyawa aktif yaitu flavonoid, lignan asiklik, terpenoid,
alkaloid dan glokosida. Salah satu senyawa aktifnya yaitu flavonoid,
yang dapat diperoleh dari tanaman ini, telah diketahui merupakan
senyawa antioksidan dan berpotensi untuk mencegah kerusakan sel tubuh
terutama sel hepar.
Flavonoid merupakan senyawa antioksidan sehingga proses
biotransfomasi parasetamol menjadi senyawa yang lebih toksik dapat
dihindari dengan adanya senyawa flavonoid tersebut.
Aktivasi oleh enzim-enzim monooksigenase dalam retikulum
endoplasma diperlukan sebagian zat kimia agar menjadi unsur yang
bersifat karsinogenik. Senyawa-senyawa epoksida merupakan hasil kerja
enzim-enzim monooksigenase tertentu pada sebagian substrat
prokarsinogen. Senyawa-senyawa epoksida ini bersifat sangat reaktif dan
mutagenik serta atau karsinogenik karena dapat membentuk ikatan
kovalen dengan DNA (DNA adduct). Lebih lanjut ikatan ini dapat
menyebabkan mutasi, sehingga sel normal kemudian menjadi sel kanker.
Turunnya kadar SGPT pada kelompok dengan pemberian
ekstrak pegagan, mungkin merupakan kerja flavonoid sebagai anti
oksidan, yaitu menekan sistem enzim sitokrom P-450 maka epoksida
menjadi kurang terbentuk.
Flavonoid dapat bersifat antioksidan karena memiliki gugus
hidroksi fenolik dalam strutur molekulnya yang memiliki daya tangkap
radikal bebas dan sebagai pengkhelat logam. Dengan adanya energi,
flavonoid akan melepaskan radikal hidrogen dan membangkitkan radikal
baru yang relatif lebih stabil dan tidak reaktif karena adanya efek
resonansi inti aromatis. Jumlah gugus OH pada flavonoid sangat
mempengaruhi aktivitas antioksidan tersebut.
Penelitian terhadap efektifitas ekstrak pegagan dalam
menurunkan aktivitas SGPT mencit yang diinduksi oleh CCL4 pernah
dilakukan B Antony, G Santhakumari, B Merina, V Sheeba, dan J
Mukkadan di India pada tahun 2006. Pada kelompok tikus yang diberikan
dosis sebesar 20mg/kg BB menunjukkan penurunan kadar SGPT secara
signifikan dan kadar SGPT menjadi kembali normal pada dosis 40mg/kg
BB.
Penelitian ini secara deskriptif menunjukkan terjadinya pola
penurunan kadar SGPT, tetapi secara statistik penurunan tersebut tidak
bermakna. Hal yang memungkinkan penurunan tidak bermakna secara
statistik tersebut dapat dikarenakan densitas dari waktu perlakuan yang
kurang lama. Pada penelitian yang dilakukan oleh B Antony, et all waktu
yang digunakan untuk perlakuan adalah selama 3 bulan sehingga
kerusakan hepar yang terjadi sudah kronis, sedangkan dalam penelitian
ini perlakuan hanya diberikan selama 6 hari dimana kerusakan hepar
masih akut.
Selain masalah waktu, perusak hepar yang digunakan pada
penelitian ini adalah parasetamol. Sedangkan pada penelitian terdahulu
menggunakan CCL4, sehingga kerusakan hepar semakin parah dan kadar
SGPT semakin meningkat. Selain masalah di atas, hal ini juga dapat
dikarenakan respon biologis dari tiap mencit yang berbeda sehingga akan
mempengaruhi hasil percobaan. Masalah cuaca dan lingkungan juga
dapat ikut mempengaruhi. Karena cuaca dan lingkungan yang kurang
mendukung akan meningkatkan stress pada mencit sehingga akan
mempengaruhi hasil percobaan juga.
Dari hasil penelitian di atas dapat diketahui bahwa
pemberian ekstrak pegagan dapat menurunkan kadar SGPT. Pemberian
ekstrak pegagan dengan dosis 0,6 mg/kgBB, 0.8 mg/kgBB dan 1
mg/kgBB dapat menurunkan kadar SGPT mencit yang diinduksi
parasetamol dosis toksik walaupun secara statistik penurunan tersebut
tidak bermakana. Penurunan kadar SGPT tersebut meningkat seiring
dengan penurunan dosis terapi ekstrak pegagan. Mekanisme penurunan
kadar SGPT pada kelompok dengan pemberian ekstrak pegagan,
mungkin merupakan kerja flavonoid sebagai antioksidan, yaitu menekan
sistem enzim sitokrom P-450 maka epoksida menjadi kurang terbentuk
tetapi mekanisme secara pasti pengaruh ekstrak pegagan terhadap
penurunan aktivitas enzim SGPT masih memerlukan penelitian lebih
lanjut.
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Pemberian ekstrak pegagan dengan dosis terapi sebesar
0.6 mg/kgBB, 0.8 mg/kgBB, dan 1 mg/kgBB terhadap mencit putih
yang diinduksi parasetamol dosis toksik selama 6 hari tidak
menunjukkan penurunan kadar SGPT pada mencit secara bermakna (p
= 0.145)
B. Saran
Sesuai dengan hasil penelitian ini, tentang adanya efek
hepatoprotektif dari ekstrak pegagan terhadap mencit jantan yang
diinduksi parasetamol, maka perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut:
1. Memperbesar ukuran sampel, agar dapat dilakukan uji statistik
yang lebih baik dan tepat
2. Mencari dosis yang paling efektif untuk menimbulkan efek
hepatoprotektif, misalnya dengan interval dosis yang lebih sempit
dan berkisar antara 0,4 mg -0,8mg dosis ekstrak pegagan. Karena
dari hasil penelitian, dosis yang semakin besar akan meningkatkan
kadar SGPT
3. Melakukan ekstraksi dengan pelarut lain yang lebih sesuai
misalnya dengan menggunakan air saja
4. Memberikan bahan uji kepada hewan percobaan dengan secara
para enteral
5. Melakukan percobaan pada hewan percobaan lain misal tikus
sehingga bisa dilakukan pemeriksaan kadar SGPT tikus sebelum
dilakukan percobaan. Bila menggunakan mencit tidak dapat
dilakukan pretest kadar SGPT karena mencit akan langsung mati
setelah diambil darahnya
6. Uji toksisitas terhadap ekstrak pegagan terhadap organ hewan uji
7. Memperpanjang waktu pemaparan
8. Menggunakan hewan coba yang standart dengan perlakuan antara
lain pemberian pakan yang standart dan kandang hewan uji yang
standart
Daftar Pustaka
Akbar N, 2007. Kelainan Enzim pada Penyakit Hati. Dalam : Buku Ajar Ilmi
Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ketiga. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. Hal :
424
Amirudin, R., 2007. Fisiologi dan biokimiawi hati. Dalam: Aru W. Sudoyo
dkk. (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 4. Jakarta: Penerbit
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UI. Hal: 417.
Arief, M., 2004. Pengantar Metodologi Penelitian untuk Ilmu Kesehatan.
Klaten: CSGF. Hal: 97,114
Crawford, S., 1995. Gotu Kola. The Gale Encyclopedia of Alternative
Medicine
Christopher, Dillon, Bateman, Simpson, and MacDonaldet al., 2002.
Paracetamol-related deaths in Scotland, 1994–2000. Br J Clin
Pharmacol. October; 54(4): 430–432.
Dalimartha, Setiawan, 2006. Ramuan Tradisional Untuk Pengobatan Hepatitis.
Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta.
Defendi, L.G., 2008. Paracetamol Poisoning.
http://www.patient.co.uk/showdoc. (2 Juli 2008)
Dollery, 1991. Therapeutic Drugs. New York: Churchill Livingstone. Pp:13-5.
Gibson dan Skett, 1991. Pengantar Metabolisme Obat. Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia.
Gillete, J.R., 1981. An integrated approach to the study of chemically reactive
metabolites of acetaminophen. Arcf. Intern.Med. 141:375-9.
Handajani. 2007. The Queen of Seeds: Potensi Agrobisnis Komoditas Wijen.
Yogyakarta : Andi.
Furst dan Munster, 2001. Obat-obat Antiinflamasi Nonsteroid, obat-obat
Antireumatik Pemodifikasi-Penyakit, Analgesik Nonopioid dan Obat-
obat untuk Pirai. Jakarta : Salemba Medika.
King PD and Perry MC, 2001. Hepatotoxycity of Chemotherapy. The
oncologist.
Madani H., Talebolhosseini M., Asgary S., Naderi G.H. 2008.
Hepatoprotective activity of Silybum marianum and Cichorium intybus
against thioacetamide in rat. Pakistan Journal of Nutrition 7(1): 172
Mahadevan, S.B.K., McKiernan P.J., Davies P, and Kelly, 2006. Paracetamol
InducedHepatotoxicity. BMJ. July; 91(7): 598–603.
Mangkoewidjojo, S, 1998. Pemeliharaan, pembiakan dan penggunaan hewan
percobaan di daerah tropis. UI press. Jakarta. Hal : 10- 18.
Medica farma, 2009. Ekstraksi. http:// pl.medicafarma.org. 25 Juni 2009.
Murti, B., 1994. Penerapan Metode Statistik Non-Parametrik dalam Ilmu-ilmu
Kesehatan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hal:28, 127.
Murti, B., 2006. Desain dan Ukuran Sampel untuk Penelitian Kuantitatif dan
Kualitatif di Bidang Kesehatan. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press. Hal:136-7.
Murti, B., 2008. Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi. Edisi 8. Yogyakarta:
Gadjah Mada University (in press).
Newall C.A., Anderson L.A., Philipson J.D., 1996. Herbal Medicines. London
: The Pharmaceutical Pers.
Riana, S., 2006. Pegagan. http://webspawner.com. (2 juli 2008)
Sacher dan McPherson, 2004. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan
Laboratorium. Jakarta: EGC.
Santoso, S., 2008. Panduan Lengkap Mengenai SPSS 16. Jakarta: Elex Media
Komputindo. Hal: 237, 246, 314.
Son Y.O., Lee K.Y., Kook S.H., Lee J.C., Kim J.G., Jeon Y.M., Jang Y.S.
2004. Selective effects of quercetin on the cell growth and antioxidant
defense system in normal versus transformed mouse hepatic cell lines.
European Journal of Pharmacology 502: 195– 204.
Sugiyanto, 1995. Petunjuk Praktikum Farmakologi, Edisi IV. Laboratorium
Farmakologi dan Toksikologi, Fakultas Farmasi Universitas Gadjah
Mada. Yogyakarta.
Styrt B, 1990. Antipyresis and fever.Arch Intern Med 150:1589.
Tirmenstein, M.A. and Nelson S.D., 1990. Acetaminophen-induced oxidation
of protein thiols. J.Biol. Chem. 265:3059-65.
Usia, T., 2007. Pemanfaatan Tanaman Obat Untuk Sakit Hati. Edisi 2. Jakarta:
ISFI Penerbitan.
Vandenberghe, 1996. Hepatotoxicology: Mechanism of liver toxicity and
methodological aspect. In: Niesink et al (eds). Toxicology: Principles
and Applications. New York: CRC Press. Pp: 710-5.
Wilmana, F.P., 1995. Analgesik-antipiretik, analgesik-antiinflamasi non
steroid. Dalam: Ganiswara, dkk. (eds). Farmakologi dan Terapan. Edisi
4. Jakarta: Bagian Farmakologi FK-UI. Hal: 3-4, 15.