Upload
ss-shinoda
View
3.849
Download
19
Embed Size (px)
Citation preview
PENGANTAR ILMU FARMASI
FARMASI KLINIS DAN FARMASI KOMUNITAS
NAMA : RAHMAWATI SEPTA SAPUTRIBP : 0911012050
JURUSAN FARMASIFAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS ANDALAS 2009
FARMASI KLINIS DAN FARMASI KOMUNITAS
Tujuan :
- Mengetahui apa yang dimaksud dengan Farmasi Klinis dan Farmasi Komunitas
- Mengetahui peranan dari Farmasi Klinis dan Farmasi Komunitas dalam perkembangan Kefarmasian
- Bagaimana penerapan Farmasi Klinis dan Farmasi Komunitas di Indonesia
I. PENDAHULUAN
Kalau Apoteker boleh berkomunikasi dengan pasien, apakah akan membingungkan pasien dan dapat menganggu hubungan pasien dengan dokter yang merawatnya. Selama ini tidak banyak masalah-masalah mengenai obat yang dijumpai di bangsal dan cukup diselesaikan oleh perawat dan nasehat dokter. Kehadiran Apoteker akan menambah biaya pengeluaran bagi Rumah Sakit yang selama ini sudah dirasakan berat oleh pasien dan rumah sakit. Apoteker tidak memiliki pengalaman klinis, keadaan ini akan menyulitkan komunikasi dengan tenaga kesehatan lainnya. Apakah yang akan dilakukan oleh Apoteker apabila menjumpai pengobatan yang dianggap tidak rasional? Inilah beberapa komentar yang sering didengar di antara perawat dan dokter ketika pengenalan program pelayanan farmasi klinis disosialisasikan di rumah sakit. Begitu asing dan penuh pertanyaan bagi tenaga kesehatan lainnya di rumah sakit yang selama ini hanya sebatas layanan farmasi produk (perencanaan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian).
II. PEMBAHASAN
PERKEMBANGAN PRAKTEK KEFARMASIAN
Sudah terjadi perubahan pekerjaan kefarmasian di apotek dan peran apoteker lambat
laun berubah dari peracik obat (compounder) dan supplier sediaan farmasi ke arah pemberian
pelayanan dan informasi dan akhirnya berubah lagi sebagai pemberi kepedulian pada pasien.
Disamping itu, ditambah lagi tugas seorang apoteker adalah memberikan obat yang layak, lebih
efektif, lebih aman serta memuaskan pasien. Pendekatan cara ini disebut dengan
pharmaceutical care (asuhan kefarmasian).
1.FARMASI KOMUNITAS
LAYANAN FARMASI KOMUNITASDENGAN KONSEP“ PHARMACEUTICAL CARE “
Untuk Peranan Apoteker di Farmasi Komunitas di antaranya meliputi:
1. Tanggung jawab pada obat yang tertulis pada resep
Saat ini, pelayanan yang paling utama dari peran apoteker adalah informasi tentang obat yang sering kali diperlukan dan dibutuhkan oleh pasien.
Untuk memberikan informasi yang benar tentang obat, seorang apoteker harus selalu berada di TKP (Tempat Kegiatan Penjualan & Pelayanan ). Di samping itu juga harus mengetahui tentang:
a. bagaimana obat diminum (penggunaan)
b. bagaimana reaksi samping obat
c. bagaimana stabilitas obat pada berbagai kondisi
d. toksisitas dan dosis obat
e. rute penggunaan obat
f. ada yang ingin menambahkan ?
2. Tanggung jawab terhadap penjualan obat bebas
Tanggung jawab apoteker juga penting dalam kasus swamedikasi (pengobatan sendiri/penggunaan obat tanpa resep). Apoteker wajib:
a. “menasehati” pasien
b. mengarahkan pasien
Misalnya, apakah obat yang dipilih pasien itu cocok/sesuai? Atau pasien sebaiknya berkonsultasi dulu dengan dokter tentang penyakit dan obat yang sesuai dsb.
Pharmaceutical Care Concept dapat diadopsi secara baik, dengan tujuan utama pada :
1. Memberikan perlindungan pada masyarakat agar mendapatkan pelayanan kefarmasian yang didasarkan pada kebutuhan dan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang farmasi ;
2. Memelihara dan meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian sesuai dengan standar dan persyaratan yang didasarkan pada ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang farmasi.
Pada pihak lain diketahui bahwa masyarakat memiliki hak atas pelayanan kesehatan yang dijamin berdasarkan Undang-undang Dasar dan peraturan perundang-undangan yang menjabarkannya. Hak dasar manusia dalam pelayanan kesehatan termasuk pelayanan dalam bidang kefarmasian sudah barang tentu bukan hanya dari aspek keberadaannya saja tetapi juga menyangkut mutu pelayanan itu sendiri. Implementasi hak dasar manusia itu jika terdapat permasalahan, akan mendapat kesulitan untuk mengkajinya, bila perangkat hukum yang mendukungnya belum memadai.
Dengan demikian dapat diidentifikasikan bahwa dalam pelayanan kefarmasian perlu adanya penataan secara menyeluruh agar dapat memberikan kepastian hukum dan pelayanan yang diberikan sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang farmasi.Untuk mendapatkan hasil yang optimal maka kajian atas hal ini dilakukan kajian menurut tradisi keilmuan hukum, yaitu kajian normative.
Hukum dalam kaitan ini dipandang sebagai norma dan permasalahan dibatasi pada tema sentral yaitu pelayanan kefarmasian. Untuk itu akan dilihat dari 3 ( tiga ) kelompok sesuai dengan 3 ( tiga ) lapisan hukum yaitu dogmatik hukum, teori hukum dan filsafat hukum. Pada lapisan dogmatik akan dikaji Pharmaceutical Care Concept dari segi hukum sedangkan pada lapisan teori akan dilihat berbagai gejala hukum dalam pelayanan kefarmasian. Selanjutnya pada lapisan filsafat hukum akan dikaji prinsip-prinsip atau azas-azas hukum dalam hubungannya dengan pelayanan kefarmasian.Untuk memecahkan dan menjawab permasalahan diatas, maka digunakan beberapa pendekatan, yaitu pendekatan konseptual ( conceptual approach ), pendekatan statuta ( statute approach ), pendekatan historis ( historical approach ), pendekatan dogamatik ( dogmatic approach ) dan pendekatan komparatif ( comparative approach ).Bertolak dari permasalahan dan metode kajian yang digunakan seperti apa yang dikemukakan diatas, maka setelah bagian pendahuluan akan diketengahkan Pharmaceutical Care Concept dan hukum, aspek hukum penyelenggaraan pelayanan kefarmasian, pembaharuan hukum dalam pelayanan kefarmasian , kesimpulan serta saran. * Sebagai contoh council dari The Royal Pharmaceutical Society of Great Britain yang menjalankan registrasi farmasis ( apoteker ) yang akan menjalankan praktek kefarmasian. ;
B. PHARMACEUTICAL CARE CONCEPT DAN HUKUM .
Pada tahun 1989 , Hepler dan Linda Strand menyatakan bahwa misi dari farmasi adalah untuk menyelenggarakan konsep pharmaceutical care. Mengimplementasikannya dalam praktek tentu memerlukan upaya untuk mengkonversikannya. Yang utama dan pertama dalam konsep pharmaceutical care adalah upaya untuk memperluas dimensi praktek kefarmasian yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas kehidupan pasien. Dalam upaya melakukan konversi konsep ke praktikal banyak penulis yang menyatakan bahwa secara filosofis, farmasis (apoteker ) menerima tanggung jawab untuk menyelenggarakan praktik dimana pasien dan tenaga kesehatan lainnya secara bersama-sama untuk menjamin kualitas kehidupan pasien pada hasil yang lebih baik.Dalam memberikan perlindungan terhadap pasien dapat diidentifikasi bahwa fungsi dari pharmaceutical care adalah :
1. Menyediakan informasi tentang obat-obatan kepada tenaga kesehatan lainnya. Tujuan yang ingin dicapai mencakup : mengidentifikasikan hasil pengobatan dan tujuan akhir pengobatan, agar pengobatan dapat diterima untuk terapis, agar diterapkan penggunaan secara rasional, memantau efek samping obat , menentukan metode penggunaan obat.
2. Mendapatkan rekam medis untuk digunakan pemilihan obat yang tepat.
2.Farmasi Klinis
Yaitu menguraikan kerja apoteker yang tugas utamanya berinteraksi dengan tim
kesehatan lain, interview dan menaksir pasien, membuat rekomendari terapi spesifik,
memonitor respons pasien atas terapi obat dan member informasi tentang obat. Farmasi
klinik dipraktekkan terutama pada pasien rawat inap dimana data hubungan dengan
pasien dan tim kesehatan mudah diperoleh.
LAYANAN FARMASI KLINIS DI RUMAH SAKIT
I. Apakah Layanan Farmasi Klinis?
Layanan farmasi klinis berkembang untuk menanggapi keprihatianan masyarakat terhadap tingginya angka morbiditas dan mortilitas yang terkait dalam penggunaan obat, cepatnya peningkatan biaya perawatan kesehatan, tingginya harapan yang terkait dalam penggunaan obat, serta ledakan pengetahuan medis dan ilmiah. Layanan farmasi klinis merupakan praktek kefarmasian yang berorientasi kepada pasien lebih dari pada layanan berorientasi produk. Apoteker dapat berkontribusi selama proses peresepan, yaitu sebelum, selama dan sesudah resep ditulis. Secara historis, profesi kefarmasian mengalami berbagai perubahan secara drastis dalam kurun waktu 40 tahun terakhir terjadi di abad ke 20. Perkembangan ini dibagi menjadi empat periode yaitu: Periode Tradisional (sebelum 1960), Periode Transisional (1960-1970), Periode Masakini (Farmasi Klinis), Periode Masa Depan (Pharmaceutical Care). Dalam setiap periode, dapat dibedakan konsep-konsep mendasar berkaitan dengan : Fungsi dan tugas yang diemban, hubungan dengan profesi medis, tekanan pada pelayan penderita (patient care), sikap aktif atau pasif pada pelayanan. Beralihnya pembuatan obat dari instalasi farmasi ke industri farmasi maka tugas dan fungsi farmasi berubah. Apoteker tidak banyak lagi meracik obat karena obat yang diresepkan dokter kebanyakan obat jadi berkualitas tinggi yang disiapkan oleh pabrik farmasi. Sejalan dengan perkembangan kemajuan ilmu kedokteran, khususnya dalam bidang farmakologi dan banyaknya jenis obat yang beredar menyebabkan dokter merasa ketinggalan dalam ilmunya. Selain hal tersebut juga kemajuan dalam ilmu diagnosa, alat-alat diagnosa bantu serta penyakit baru yang muncul membingungkan para dokter (satu profesi tidak dapat lagi menangani semua pengetahuan yang berkembang dengan pesat). Dengan berkembang pesatnya obat-obat yang efektif secara terapetik dalam dekade tersebut, tapi perkembangan ini membawa masalah-masalah tersendiri berupa meningkatnya permasalahan yang berkaitan dengan obat, ESO, teratogenesis, interaksi obat-obat, obat-
makanan, obat-uji laboratorium dll.
Ketidakberhasilan pengobatan dapat disebabkan oleh : • Penulisan resep yang kurang tepat • Pengobatan yang kurang tepat (Misalnya: Pemilihan obat, bentuk sediaan, dosis, rute, interval dosis, lama pemakaian) • Pemberian obat yang tidak diperlukan • Penyerahan obat yang tidak tepat • Obat tidak tersedia saat dibutuhkan • Kesalahan dispensing • Perilaku pasien yang tidak mendukung • Indiosinkrasi pasien • Berhubungan dengan cara pengobatan yang tidak tepat • Pelaksanaan/penggunaan obat yang tidak sesuai dengan perintah pengobatan (non compliance) • Respon aneh individu terhadap obat • Terjadi kesalahan atau kecelakaan • Pamantauan yang tidak tepat • Gagal untuk mengenali dan menyelesaikan adanya keputusan terapi yang tidak tepat • Gagal dalam memantau efek pengobatan pasien
Pemantauan obat merupakan salah satu tugas layanan farmasi klinis dan berhubungan dengan masalah berkaitan obat (DRP) serta dapat dikategorikan sebagai berikut : • Pasien tidak memperoleh pengobatan yang sesuai dengan indikasinya • Pasien tidak mendapatkan obat yang tepat • Dosis obat subterapetik • Pasien gagal menerima obat • Dosis obat terlalu tinggi • Timbul reaksi obat yang tidak dikehendaki • Pasien mengalami masalah karena terjadi interaksi obat • Pasien memperoleh obat yang tidak sesuai dengan indikasinya
a. Filosofi dan tujuan Farmasi Klinis
Hepler dan Strand (1990) Pharmaceutical Care is ”The responsible provision of drug therapy for the purpose of achieving definite outcomes that improve a patient’s quality of life”
Cipolle, Strand dan Morley (1998) Pharmaceutical Care is “A Practice in which the practitioner takes responsibility for a patient’s drug therapy needs, and is held accountable for this commitment”
Dasar hukum Farmasi Klinis : SK Menkes No. 436/ Menkes/ SK/VI/1993 tentang pelayanan Rumah Sakit dan Standar Pelayan
Medis, tugas Apoteker meliputi: • Melakukan konseling • Monitoring Efek Samping Obat (ESO) • Pencampuran obat suntik secara aseptis • Menganalisis efektivitas biaya • Penentuan kadar obat dalam darah • Penanganan obat sitostatika • Penyiapan total parenteral nutrition • Pemantauan terapi obat • Pengkajian penggunaan obat
Terapi obat terutama ditujukan untuk meningkatkan kualitas mempertahankan hidup pasien, yang dilakukan dengan cara mengobati pasien, mengurangi atau meniadakan gejala sakit, menghentikan atau memperlambat proses penyakit serta mencegah penyakit atau gejalanya. Namun tidak dapat disangkal dalam pemberian obat kemungkinan terjadi hasil pengobatan tidak seperti yang diharapkan (Drug Related Problem).
Pemantauan obat merupakan salah satu tugas Farmasi Klinis dan kemungkinan masalah berkaitan dengan DRP dapat dikategorikan sebagai berikut: • Pasien tidak memperoleh pengobatan yang sesuai dengan indikasinya • Pasien tidak mendapatkan obat yang tepat • Dosis obat subterapetik • Pasien gagal menerima obat • Dosis obat terlalu tinggi • Timbul reaksi obat yang tidak dikehendaki • Pasien mengalami masalah karena terjadi interaksi obat • Pasien memperoleh obat yang tidak sesuai dengan indikasinya
Layanan farmasi klinis menghadirkan langkah penting dalam transformasi praktek kefarmasian dan orientasi produk ke praktek yang berorientasi kepada pasien. Dalam praktek ini Apoteker harus membuat keputusan tentang ketepatan pemakaian obat dan bertanggung jawab terhadap keputusan dan saran. Menurut Prof. Nicholas Barber (School of Farmacy, University of London).
FILOSOFI FARMASI KLINIS SAMA DENGAN PERESEPAN YANG BAIK, yaitu:
1. Memaksimalkan Efek Terapetik (Efektivitas Terapi) meliputi: • Ketepatan indikasi • Ketepatan pemilihan obat • Ketepatan pengaturan dosis sesuai dengan kebutuhan dan kondisi pasien • Evaluasi terapi • Meminimalkan resiko • Mamastikan resiko yang sekecil mungkin bagi pasien • Meminimalkan masalah ketidak amanan pemakaian obat meliputi efek samping, dosis,
interaksi dan kontraindikasi • Menghormati pilihan pasien
2. Meminimalkan Biaya • Untuk rumah sakit dan pasien (apakah obat yang dipilih paling efektif dalam hal biaya dan rasional) • Apakah terjangkau oleh kemampuan pasien atau rumah sakit • Jika tidak, alternatif jenis obat apa yang memberikan kemanfaatan dan keamanan yang sama
3. Menghormati Pilihan Pasien • Keterlibatan pasien dalam proses pengobatan akan menentukan keberhasilan terapi • Hak pasien harus diakui dan diterima semua pihak
Ada 3 tahap Apoteker dapat berperan dalam proses peresepan :
i. Sebelum resep ditulis Misalnya: Penyusunan formularium, kebijakan peresepan, pedoman pengobatan, buletin informasi obat, evaluasi obat
ii. Selama resep ditulis Memperngaruhi/memberikan masukan pengetahuan, sikap dan prioritas dalam menulis resep. Misalnya: Menjadi anggota tim multidisiplin (Tim Nutrisi Parenteral, Tim Kemoterapi Sitotoksik, Tim Pemantau Terapi Obat dll)
iii. Sesudah resep ditulis Apoteker melibatkan diri dalam mengkoreksi atau menyempurnakan kualitas peresepan setelah resep dituliskan sebagai bagian proses penatalaksanaan obat secara rutin. Apoteker dapat mengambil peran bermakna dalam audit medis dan klinis.
Pemantauan dan peresepan menjadi tugas utama farmasi klinis. • Pengkajian (Assessment) Menjamin bahwa semua terapi obat yang diberikan kepada pasien terindikasi berkhasiat dan sesuai serta mengidentifikasi setiap masalah terapi obat yang muncul atau memerlukan pencegahan dini • Pengembangan Perencanaan Perawatan (Development of Care Plant) Secara bersama pasien dan praktisi kesehatan membuat perencanaan untuk menyelesaikan masalah terapi obat dan untuk mencapai tujuan terapi.
Tujuan ini didisain untuk: a. Menyelesaikan masalah terapi yang muncul b. Mencapai tujuan terapi individual c. Mencegah masalah terapi obat yang potensial terjadi kemudian
Evaluasi
Mencatat hasil terapi untuk mengkaji perkembangan dalam pencapaian tujuan terapi dan menilai kembali munculnya masalah baru, ketiga tahap proses ini terjadi terus menerus bagi seorang pasien.
a. Karakteristik Praktek Layanan Farmasi Klinis • Berorientasi pasien • Terlibat langsung di ruang perawatan di rumah sakit (ward) • Bersifat pasif (melakukan intervensi setelah pengobatan dimulai atau memberi informasi kalau diperlukan) • Bersifat aktif (memberikan masukan ke dokter sebelum pengobatan dimulai, menerbitkan buletin informasi obat) • Bertanggung jawab terhadap setiap saran atau tindakan yang dilakukan • Menjadi mitra dan pendamping dokter
b. Ruang Lingkup Tugas dan Fungsi Layanan Farmasi Klinis Farmasi klinis lahir pada tahun 1960an di Amerika Serikat dan Inggris pada periode transisional. Pada periode ini terjadi perubahan yang cepat dari perkembangan fungsi dan peningkatan jenis-jenis pelayanan profesional oleh beberapa perintis dan sifatnya masih individual. Yang paling menonjol adalah kehadiran farmasis di ruang rawat rumah sakit.
Ruang lingkup dan tugas farmasi klinis: • Pemantauan Terapi Obat (PTO) • Kesiapan untuk membentui setelah lepas jam kerja ”siap dipanggil” • Konsultan keliling • Memberikan masukan/saran kepada Direktur Klinis/dokter • Memberikan informasi tentang pemakaian obat secara finansial • Membuat kajian obat-obat baru • Ikut aktif dalam pengendalian infeksi, melalui kegiatan: - Pemberian informasi obat - Pemantauan penggunaan obat - Penyusunan pedoman penggunaan antibiotika • Berpartisipasi dalam Komite Farmasi dan Terapi • Aktif dalam penyusunan formularium • Merasionalkan penggunaan obat • Memajukan peresepan yang efektif dari segi biaya • Mengatur tambahan obat baru • Merumuskan pedoman bagi dokter • Ikut menyusun kebijakan penulisan resep (protokol/pedoman pengobatan) • Pemberian informasi obat • Audit medis • Audit klinis • Uji coba klinis • Tim nutrisi parenteral • Tim kemoterapi • Analgesia yang dikendalikan pasien • Pemantauan Kadar Obat Terapeutik (TDM) • Pelayanan saran farmakokinetika
• Individualisasi pengaturan dosis obat • Pelayanan antikoagulan perawatan dan pengobatan luka • Pencatatan riwayat pengobatan pasien (faktor-faktor pasien dan pengobatan yang merupakan faktor resiko pengobatan) • Pengembangan alur dan pelayanan pengobatan sendiri (Self Medication Scheme) • Pemantauan Efek Samping Obat (mencegah menemukan dan melaporkan efek samping obat) • Promosi kesehatan dan pendidikan kesehatan, pencegahan penyakit dan perlindungan kesehatan • Konseling pasien • Meningkatkan derajat kesehatan • Meningkatkan pengetahuan dan kepatuhan pasien dalam pemakaian obat (Ketidak patuhan pasien merupakan salah satu penyebab kegagalan terapi)
c. Keterampilan Farmasi Klinis Beberapa keterampilan diperlukan seorang Apoteker untuk berperan secara efektif dalam pelayan pasien :
Keterampilan Farmasi klinis Mengaplikasikan pengetahuan terapeutik
Mengkorelasikan keadaan penyakit dengan pemilihan obat
Menggunakan catatan kasus pasien
Menginterpretasikan data pemeriksaan laboratorium
Menerapkan pendekatan penyelesaian masalah yang sistematik
Mengidentifikasi kontra indikasi obat
Mengenal reaksi yang tidak dikehendaki (karena obat) yang mungkin terjadi
Membuat keputusan tentang formulasi dan stabilitas
Mengkaji literatur medis dan obat
Menulis laporan medis
Merekomendasikan pengaturan dosis
Mengkomunikasikan secara efektif kepada tenaga kesehatan yang terkait
Menanggapi pertanyaan secara lisan
Membuat instruksi/perintah yang jelas
Berargumentasi terhadap suatu kasus
Memberikan pendapat atau saran kepada tenaga professional kesehatan dan pasien dan keluarga pasien.
Menyajikan laporan kasus
d. Aktivitas Layanan Farmasi Klinis Praktek Farmasi klinis sehari-hari di ward/bangsal meliputi:
Aktivitas Layanan Farmasi Klinis Pemantauan dan pemeriksaan peresepan
Mencermati penyiapan dan penyimpanan obat
Memeriksa ketepatan penggunaan obat
Menilai kesesuaian bentuk sediaan obat yang digunakan
Member informasi obat
Membuat penilaian terapeutik
Mengidentifikasi pasien dan factor resiko medikasi
Membantu memformulasikan dan menerapkan kebijakan peresepan
Memeriksa kesesuaian obat dan ketepatan dosis obat yang dipergunakan
Memantau terapi obat
Menanyakan riwayat pemakaian obat pada saat pasien masuk rumah sakit
Mewawancara pasien
Mengkonsultasi pasien
Mengelola rekam medis
Menerapkan kebijakan dan pedoman peresepan
Terlibat dalam penelitian dan uji coba
e. Manfaat Layanan Farmasi Klinis Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelayanan farmasi klinis mampu mengidentifikasi masalah penting, antara lain:
Mengidentifikasi masalah penting yang terkait obat serta menurunkan kejadian Menyempurnakan pendidikan pasien serta kepatuhan
Memperbaiki peresepan
Menyempurnakan hasil klinis dan efektivitas klinis
Meningkatkan efektifitas biaya dan mempersingkat masa tinggal di rumah sakit
Apoteker mendukung dan mendidik anggota tim kesehatan
Partisipasi dalam audit klinis dan penelitian
III. Apakah Layanan Farmasi Klinis Diperlukan di Indonesia ?
Tuntutan masyarakat untuk pelayanan medis dan farmasi adalah pelayanan bermutu tinggi disertai pertanggungjawaban peran para dokter dan apoteker. Tuntunan ini sampai pada gugatan atas setiap kekurangan dan kesalahan pengobatan. Kecendrungan ini terjadi bersamaan dengan perubahan peran apoteker yang semakin menyempit. Banyak orang mempertanyakan peran “Pharmacist over trained and under utilized, apoteker terlalu banyak di latih tapi kurang dipraktekkan ” Situasi ini memunculkan perkembangan farmasi bangsal (ward Pharmacy) dan farmasi klinis (Clinical Pharmacy). Pelayanan farmasi klinis di bangsal rumah sakit sangat diperlukan oleh pasien untuk memberikan jaminan pengobatan yang rasional (efektif, aman, tersedia, dan biaya terjangkau).
Meningkatnya biaya kesehatan sektor publik disebabkan oleh :
Penggunaan teknologi canggih yang mahal Meningkatnya permintaan pelayanan kesehatnan secara kuantitatif dan kualitatif
Meningkatnya jumlah penduduk lansia
“Clinical Pharmacy is not new fashion but a necessity”, bahwa Farmasi klinis bukan suatu metode baru melainkan suatu kebutuhan karena :
Rumah sakit tidak mampu lagi menanggung biaya kesehatan /belanja obat (drug expenditure)
Perkembangan ilmu kedokteran, farmakologi, dan teknologi yang pesat menyebabkan dokter memerlukan bantuan dan masukan dari apoteker.
Apoteker yang “overtrained dan underutilized” ilmu pengetahuan mereka tidak digunakan optimal. Selama ini mereka cenderung terjebak pada peran logistik (Perencanaan, Pengadaan, Penyimpanan, dan Pendistribusian)
Globalisasi dan pendirian rumah sakit asing serta penempatan pekerja asing akan merugikan rumah sakit Indonesia dan pengeluaran Negara.
Di Indonesia pelayanan farmasi klinis belum banyak dilakukan di rumah sakit, meskipun di Negara maju telah dimulai 30 tahun yang lalu. Proses pelatihan farmasis untuk menerapkan farmasi klinik adalah proses seumur hidup. Diperlukan persiapan yang cukup dalam hal sosialisasi konsep kepada pimpinan rumah sakit, dokter, perawat dan apoteker tentang filosofi, tujuan, sasaran, manfaat dan pelaksanaan kegiatan pelayanan farmasi klinis. Dukungan pimpinan rumah sakit dan tenga kesehatan yang terlibat untuk tetap termotivasi dan konsisten dalam mewujudkan filosofinya sangat diperlukan did alam pelaksanaannya.
IV. Bagaimana Memulai Layanan Farmasi Klinis
Hal penting dalam memulai pelayanan farmasi klinis adalah jalinan komunikasi yang intensif dan saling mempercayai antar tenaga kesehatan yang terlibat serta dukungan pimpinan rumah sakit dan tenaga keseghatan yang terlibat untuk tetap termotivasi dan konsisten dalam mewujudkan filosofinya. Pelaksanaan farmasi klinis di rumah sakit memerlukan adanya kebijakan dari pemimpin rumah sakit yang mendukung pelaksanaannnya dan praktek berbasis pengetahuan, ketrampilan, dan sikap sebagai kesatuan tim pelayanan kesehatan serta didukung dengan informasi yang akurat dari Pusat Informasi Obat (PIO). Diperlukan persiapan yang cukup dalam hal sosialisasi konsep kepada pimpinan rumah sakit, dokter, perawat, dan apoteker tentang filosofi, tujuan, sasaran, manfaat dan pelaksanaan kegiatan pelayanan farmasi klinis.
a. Faktor-faktor yang perlu diperbaiki
1. Kurangnya pengetahuan klinis
Harus diakui bahwa pada saat ini, pengetahuan dan keterampilan apoteker dalam bidang farmasi klinis kurang memadai.
Pengetahuan yang dimiliki harus dilandasi pengetahuan yang mutakhir (up to date).
2. Kurangnya kemampuan berkomunikasi
Dengan para dokter, khususnya dalam terminology teknismedis/tes laboratorium Sebagian besar profesi farmasi tidak dilatih bagaimana berkomunikasi khusus dengan
para dokter dan pasien
3. Tekanan kelompok kerja / ketidaknyamanan kerja
Apoteker yang lebih senior cenderung sulit berubah. Persepsi pribadi bahwa dia merasa tidak sebagai professional tetapi “sekedar pekerja”
4. Adanya kekhawatiran apabila bergeser dari orientasi produk maka akan kehilangan “keamanan dan kenyamanannya”.
Oleh sebab itu, mereka lebih senang tetap berada di Instalasi Farmasi. Peranan baru ini tidak didukung , malahan ditentang oleh orang di dalam maupun diluar profesi farmasi sendiri.
5. Kurangnya motivasi dan keinginan untuk berubah 6. Kurang percaya diri
Dirasakan kurang kesiapan / kecukupan bekal pengetahuan dan kemampuan khusus atau pengalaman dan selama ini membuat mereka bersikap pasif.
7. Kurang pelatihan dalam arus kerja yang sesuai 8. Peningkatan persepsi tentang tanggung jawab
Dari pendidikan dan pelatihan formal, porsi kurikulum selama ini umumnya lebih berat kearah analisis dan teknologi farmasi. Hampir tidak ada pendidikan berkelanjutan dan latihan dalam bidang farmasi klinis.
9. Kurangnya staf di instalasi farmasi.
Sampai sekarang dikebanyakan rumah sakit, hanya satu apoteker yang dipekerjakan dan itupun peranan mereka adalah untuk urusan legal , suplai dan distribusi obat.
b. Strategi Memajukan Praktek Layanan Farmasi Klinis
Adanya daya dukung dan kemampuan mengintegrasikan kegiatan- kegiatan sbb: 1. Adanya kebijakan tentang pelayanan farmasi klinis dari pemerintah maupun pimpinan rumah sakit bersangkutan 2. Adanya pelaksanaan dalam praktek 3. Adanya kegiatan riset dan pengembangan yang dilaksanakan serta pendidikan dan pelatihan 4. Adanya auditing sebagai proses umpan balik untuk perbaikan dan memberi jaminan kualitas yang dikehendaki. 5. Mempertinggi kemampuan untuk memberdayakan farmasi rumah sakit 6. Diperlukan bantuan dan pelatihan teknis dari pakar-pakar dalam negeri maupun luar negeri . 7. Mengintroduksi / memperkenalkan praktek farmasi klinis petugas-petugas kunci di rumah sakit 8. Adanya lokakarya untuk meningkatkan pemahaman terhadap kebutuhan dan potensi apoteker klinis. 9. Kerpentingan dan tujuan kegiatan farmasi klinis harus dimengerti dan disepakati oleh petugas-petugas kesehatan.
Seperti direktur rumah sakit, apoteker senior, dokter senior, para perawat. Mereka merupakan pemeran utama dalam menjalankan kesehatan di rumah sakit dan karenanya sangat diperlukan adanya pemikiran bersama untuk mendukung farmasi rumah sakit dalam kegiatan farmasi klinis.
10. Pimpinan rumah sakit harus memberikan dukungan dan dorongan
Kepada mereka karena sebagai perintis maka kemajuan akan berlangsung perlahan-lahan dan tercapai sedikit demi sedikit dan mereka pun masih dalam proses pembelajaran.
11. Menjalin hubungan baik antara profesi medis dan farmasi.
Dokter dan Apoteker seharusnya bekerja sama dengan lebih baik sehingga pasien mendapat terapi yang efektif dan aman. Hubungan yang harmonis mungkin berdasarkan kesadaran akan keterbatasan kemampuan masing-masing dan mutual inter dependence kedua profesi itu. Dokter dan Apoteker justru saling melengkapi satu sama lain.
12. Mulailah dengan kegiatan setempat dan kegiatan sederhana 13. Menetapkan standar untuk praktek farmasi klinis Standar terdefinisi secara jelas
Akan memudahkan Apoteker untuk lebih terfokus. Hal ini akan membantu mereka untuk melihat adanya kekurangan-kekurangan dan juga memungkinkan pelayanan klinis untuk diaudit.
14. Pemilihan prioritas pelayanan farmasi klinis Harus disadari bahwa program farmasi klinis tidak akan terwujud dalam waktu singkat.
“A thousand mile journey begins with one step”
c. Faktor-faktor yang menunjang dalam implementasi pelayanan farmasi klinis
1. Membentuk komite farmasi klinis dengan membuat proposal mencakup :
Analisa (analyse) situasi kebutuhan pelayanan farmasi klinis. Menetapkan tujuan ( aims ) pelayanan farmasi klinis dan mencari masukan .
Pelaksanaan (action) / membuat rencana kerja dan tenggang waktu dan persetujuan pimpinan rumah sakit
Pengkajian (assessment), menentukan kapan proyek percobaan dilaksanakan
Adjustment, / pengaturan kembali untuk disempurnakan dan diperluas.
2. Mendirikan pusat pelayanan informasi obat 3. Dimana peran apoteker bergeser dari “drug informan”-kepada pendamping / konsultan
bagi penulis resep / dokter (menyediakan informasi pada tahap penentuan dosis, cara pemberian serta dalam evaluasi terapi. Dengan kata lain peran utamanya sebagai ahli obat (drug expert).
3. Menempatkan Apoteker bangsal (ward pharmacist) 4. Memperkerjakan lebih banyak apoteker dengan perbandingan ( 1 apoteker untuk 30 tempat tidur)
5. Apoteker harus mengetahui peran dan fungsinya dan tidak mencoba bertindak di luar perannya. 6. Bagi apoteker klinis perintis harus mempelajari semua “skill of trade”
Sehingga mereka dapat menguasai pengetahuan serta berpengalaman dalam ilmu kedokteran umum, mengikuti pendidikan berkelanjutan. Membentuk klub jurnal dan belajar bersama-sama serta membuat presentasi secara teratur bersama rekan-rekan. Perlu melakukan penetapan prioritas area pengembangan pelayanan farmasi klinis. Misalnya: menurut keadaan penyakit (jantung koroner atau terapi obat sitotoksik) dan pasien dengan farmakokinetik dan farmakodinamik yang kurang normal atau aturan obat yang rumit (lansia atau polifarmasi)
III. PENUTUP
Tiada ada jalan pintas untuk mencapai layanan farmasi klinis dan farmasi komunitas yang baik. Di USA dan inggris memerlukan waktu 20-30 tahun untuk menyempurnakan layanan farmasi klinis dan farmasi komunitas. Seorang farmasis klinis dan komunitas yang penuh aspirasi harus bekerja keras dan semuanya didedikasikan untuk kesejahteraan pasien. Minimal 2-3 tahun diperlukan waktu untuk membangun / merintis layanan farmasi klinis dan komunitas di Indonesia dengan berpedoman pengalaman farmasis di negara maju. Apoteker harus bersikap ramah, terbuka dan dapat bekerja sama secara harmonis dengan sejawat medis dan perawat. Kerjasama dengan dokter, perawat dan pihak manajemen rumah sakit tetap merupakan persyaratan dasar dan utama untuk mencapai pelayanan tinggi untuk setiap pasien. Setiap hari adalah pengalaman belajar dan ketika apoteker berhenti belajar maka berhenti menjadi professional.