Upload
others
View
44
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Pengalaman Lansia Terlantar Dalam Menghadapi Krisis
Psikososial Tahap Kedelapan (Ego integrity vs Despair)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi
Disusun oleh:
Devamethia G
149114109
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
2019
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ii
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING
SKRIPSI
Pengalaman Lansia Terlantar Dalam Menghadapi Krisis Psikososial
Tahap Kedelapan (Ego-integrity vs Despair)
Disusun Oleh:
Devamethia G
149114109
Telah disetujui oleh:
Dosen Pembimbing:
Prof. A. Supratiknya, Ph.D. Tanggal,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iii
HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI
PENGALAMAN LANSIA TERLANTAR DALAM MENGHADAPI KRISIS
PSIKOSOSIAL TAHAP KEDELAPAN (Ego-integrity vs despair)
Dipersiapkan dan ditulis oleh:
Devamethia G
149114109
Telah dipertanggungjawabkan di depan panitia penguji
pada tanggal 25 Januari 2019
dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Susunan Panitia Penguji:
Nama Penguji Tanda Tangan
1. Penguji 1 : Prof. A. Supratiknya, Ph.D.
2. Penguji 2 : Drs. H. Wahyudi, M.Si
3. Penguji 3 : Ratri Sunar Astuti, S.Psi., M.Si
Yogyakarta,
Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma
(Dr. Titik Kristiyani, M. Psi )
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iv
HALAMAN MOTTO
“Tat Tvam Asi”
Aku adalah kamu, kamu adalah aku
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Karya ini saya persembahkan untuk
Ida Sang Hyang Widhi dan para leluhur yang maha kasih.
Untuk Bapak, Ibu, Adik dan seluruh keluarga serta teman-teman
yang selalu mendukung lewat doa, kasih sayang, dan canda
Untuk para kakek dan nenek yang memberitahu ku banyak rasa dari kehidupan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini
tidak memuat karya atau bagian karya oranglain, kecuali yang telah disebutkan
dalam kutipan dan daftar acuan, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 30 Januari 2019
Penulis
Devamethia G.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vii
PENGALAMAN LANSIA TERLANTAR DALAM MENGHADAPI KRISIS
PSIKOSOSIAL TAHAP KEDELAPAN (Ego-integrity vs Despair)
Devamethia G
ABSTRAK
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dan bertujuan untuk mengeksplorasi
bagaimana pengalaman lansia terlantar dalam menghadapi krisis psikososial tahap 8, apakah lebih
didominasi oleh ego-integrity atau despair. Partisipan dalam penelitian ini adalah 4 orang lansia
terlantar (usia 65-80 tahun) yang tinggal di Rumah Pelayanan Sosial Lanjut Usia Terlantar Budhi
Dharma Yogyakarta. Pengambilan data dilakukan dengan metode wawancara. Analisis data
dilakukan dengan metode analisis isi kualitatif (AIK). Hasilnya menunjukkan bahwa lansia yang
memiliki masa lalu positif (kondisi ekonomi yang baik, pekerjaan yang membanggakan dan
hubungan keluarga yang hangat), kondisi kesehatan yang baik di masa kini, dan kepastian bahwa
akan ada yang merawat saat mati cenderung menunjuukkan ego-integrity, sedangkan yang
mengalami kondisi sebaliknya cenderung menunjukkan tanda-tanda despair.
Kata kunci: Lansia, krisis psikososial, terlantar, ego-integrity, despair
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
viii
EXPERIENCE OF NEGLECTED ELDERS IN DEALING WITH THE
EIGHTH -STAGE OF PSYCHOSOCIAL CRISIS (Ego-integrity vs Despair)
Devamethia G
ABSTRACT
The study is a qualitative research and aims to explore the experience of neglected elders
in dealing with the eighth-stage of psychosocial crisis whether it is dominated by ego-integrity or
despair. Participants in this study were four neglected elders (aged 65-80 years) who live in Budhi
Dharma Social Services for Neglected Elders in Yogyakarta. The data collecting was conducted
from interview. Further, it was analyzed by using qualitative content analysis method. The results
show that the elderly who have a positive pasts (good economic conditions, proud work and warm
family relationships), good health conditions in the present, and certainty that there will be carers
when they passed away tend to show ego-integrity, while those who experiencing the opposite
condition tends to show signs of despair.
Keywords: Elderly, psychosocial crisis, neglected, ego-integrity, despair
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ix
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH
UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma
Nama : Devamethia G
Nomor Mahasisa : 149114109
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan
Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
Pengalaman Lansia Terlantar Dalam Menghadapi Krisis Psikososial Tahap
kedelapan (Ego-integrity vs Despair)
Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian, saya memberikan
kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan,
mengalihkan, dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain
untuk kepentingan akademis, tanpa perlu meminta izin dari saya maupun
memberikan royalti kepada saya, selama tetap mencantumkan nama saya sebagai
penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal: 30 Januari 2019
Yang menyatakan
(Devamethia G.)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
x
KATA PENGANTAR
Om swastyastu. Puji syukur kepada Ida Shang Hyang Widhi, atas berkat dan
kasih karunia-Nya saya bisa menyelesaikan karya yang berjudul Pengalaman
Lansia Terlantar Dalam Menghadapi Krisis (Ego-Integrity vs Despair) dengan
baik. Banyak pelajaran yang didapat dalam proses penulisan karya tersebut.
Terimakasi juga untuk semua pihak yang membantu saya untuk menyelesaikan
skripsi ini. Oleh karena itu, dengan setulusnya saya ucapkan terimakasih kepada
mereka yang saya tuliskan di bawah ini:
1. Ida Sang Hyang Widhi dan para leluhur, terimakasi atas kasih dan kekuatan
yang selalu diberikan, khususnya dalam pengerjaan karya ini.
2. Bapak Prof. Dr. A. Supratiknya, selaku dosen pembimbing skripsi yang selalu
bersemangat untuk membimbing dan mendidik penulis menyusun skripsi dari
tahap ke tahap dengan sabar.
3. Dr. Titik Kristiyani, M. Psi., Psi., selaku dekan fakultas psikologi dan seluruh
jajaran dekansi.
4. Dr. M. Laksmi Anantasari, M.Si, selaku Dosen Pembimbing Akademik yang
memberikan saran dosen pembimbing skripsi yang sesuai dengan topik
penelitian.
5. Drs. H. Wahyudi, M.Si dan Ratri Sunar Astuti, S.Psi., M.Si selaku dosen
penguji. Terimakasi atas diskusi dan masukan yang diberikan untuk
menjadikan skripsi ini lebih baik.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xi
6. Para Dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang tidak hanya
membimbing saya secara akademis tapi juga menuntun saya menjadi pribadi
yang lebih baik.
7. Bapak I Nyoman Gunadi, Ibu Ni Ketut Srinadi, adik Aditya Hartawan, dan
seluruh keluarga yang selalu menyertai dan mendukung saya. Terimakasi atas
dukungan yang tiada henti, kalian selalu bisa menjadi tempat untuk saya
pulang dan berkeluh kesah.
8. Kakak asuh terbaik, Mank Indah. Terimakasih atas dukungan yang selalu ada
untuk proses pengerjaan skripsi ini. Khususnya motivasi untuk
membangkitkan peneliti mengerjakan revisi secepat-cepatnya.
9. Seluruh staff dan penghuni Rumah Pelayanan Sosial Lanjut Usia Terlantar
Budhi Dharma Yogyakarta atas bantuan dan dukungannya selama proses
penelitian.
10. Teman-teman PBB, Dewa, Gantih, Indri, Mank, Okta, dan Pande.
Terimakasih untuk ruang cerita yang nyaman selama menjalani perkuliahan di
perantauan selama 9 semester khususnya keluh kesah selama semester-
semester kritis menjalani penulisan karya ini. Semangat untuk yang masih
berjuang.
11. Desiderius Dimas Maharani Parwanto alias Kuncung sebagai jelmaan dari
Prof. Supratiknya yang membantu proses berpikir dan penyuntingan tulisan di
penelitian ini.
12. Teman-teman seperjuangan bimbingan skripsi “Anak-anak profesor” yang
memberikan masukan serta bantuan untuk peneliti selama ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xii
13. Teman-teman Psikologi angkatan 2014 khususnya kelas A, terimakasih untuk
segala dinamika selama proses perkuliahan dan dukungannya selama proses
pembuatan skripsi ini baik secara langsung ataupun tidak langsung.
14. Teman-teman kepanitiaan di Psikologi, AKSI 2016 & 2018 serta
PSYCHOFEST 2017 yang telah memberikan kesempatan bagi saya untuk
membangun dinamika bersama orang lain dan mengembangkan potensi saya
serta doa dan dukungan selama proses pengerjaan skripsi ini.
15. Adik-adik Psikologi, Anting, Alma, dan Brian yang telah bersedia untuk saya
repotkan demi kelancaran proses pembuatan skripi ini. Terimakasi juga untuk
semangat yang luar biasa yang kalian berikan selama ini.
16. Semua pihak yang telah membantu dan mendoakan penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih, matur suksme.
Kendati segala ucapan terima kasih ini saya berikan kepada segala pihak,
hanya sayalah yang bertanggung jawab penuh atas semua kesalahan yang
mungkin terjadi dalam skripsi ini.Saya ingin mempersembahkan skripsi ini
terutama kepada orangtua saya sebab mereka telah mengajarkan saya menjadi
seorang yang mandiri dan pekerja keras. Om santi, santi, santi
Yogyakarta, 30 Januari 2019
Penulis
Devamethia G.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ....................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI ................................................................ iii
HALAMAN MOTTO ............................................................................................ iv
HALAMAN PERSEMBAHAN .............................................................................. v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ........................................... vi
ABSTRAK ............................................................................................................ vii
ABSTRACT ........................................................................................................... viii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
KARYA ILMIAH .................................................................................................. ix
KATA PENGANTAR ............................................................................................. x
DAFTAR ISI ........................................................................................................ xiii
DAFTAR TABEL ................................................................................................ xvi
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................. 1
B. Pertanyaan Penelitian ................................................................................... 9
C. Tujuan Penelitian ......................................................................................... 9
D. Manfaat Penelitian ..................................................................................... 10
1. Manfaat Teoritis ................................................................................... 10
2. Manfaat Praktis .................................................................................... 10
3. Manfaat Kebijakan ............................................................................... 11
BAB II ................................................................................................................... 12
TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................ 12
A. Tahap Perkembangan Psikososial Erikson................................................. 12
B. Krisis Psikososial Pada Lansia ................................................................... 13
1. Adapting to thriumps and disappointments ......................................... 15
2. Spirituality ............................................................................................ 16
3. Accept the past as meaningfull ............................................................. 17
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiv
4. Tolerance and acceptance of others .................................................... 18
5. A sense of being part of larger history that includes previous
generation ............................................................................................ 19
6. Absence of death-anxiety...................................................................... 20
7. Freedom from the feeling that time is running out .............................. 21
8. Emotional integration .......................................................................... 22
9. Life satisfaction .................................................................................... 23
C. Dukungan Sosial Keluarga Bagi Lansia dan Kaitannya Dengan Proses
Menghadapi Krisis Psikososial Pada Lansia .............................................. 24
D. Lansia Terlantar Penghuni Rumah Pelayanan Sosial................................. 26
E. Kerangka Konseptual ................................................................................. 28
BAB III .................................................................................................................. 30
METODE PENELITIAN ...................................................................................... 30
A. Jenis dan Desain Penelitian ........................................................................ 30
B. Fokus Penelitian ......................................................................................... 31
C. Partisipan .................................................................................................... 32
D. Peran Peneliti ............................................................................................. 35
E. Metode Pengambilan Data ......................................................................... 37
F. Analisis dan Interpretasi Data ................................................................... 40
G. Penegakan Kredibilitas dan Dependabilitas Penelitian ............................. 43
BAB IV .................................................................................................................. 46
HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................................. 46
A. Pelaksanaan Penelitian .............................................................................. 46
B. Latar Belakang Partisipan dan Dinamika Proses Wawancara .................. 46
C. Hasil Penelitian ......................................................................................... 57
1. Adapting to thriumps and disappointments ......................................... 57
2. Spirituality ........................................................................................... 61
3. Accept the past as meaningfull ............................................................. 64
4. Tolerance and acceptance of others .................................................... 67
5. A sense of being part of larger history
that includes previous generation ........................................................ 69
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xv
6. Absence of death-anxiety...................................................................... 72
7. Freedom from the feeling that time is running out .............................. 73
8. Emotional integration .......................................................................... 75
9. Life satisfaction .................................................................................... 78
D. Pembahasan ............................................................................................... 80
1. Masa lalu .............................................................................................. 80
a. Kondisi ekonomi ............................................................................ 81
b. Pekerjaan ........................................................................................ 81
c. Hubungan dekat dengan keluarga atau teman ................................ 82
2. Kondisi fisik kini .................................................................................. 83
3. Kepastian masa depan menghadapi kematian ..................................... 85
BAB V .................................................................................................................... 86
PENUTUP .............................................................................................................. 86
A. Kesimpulan ................................................................................................ 86
B. Keterbatasan penelitian .............................................................................. 86
C. Saran .......................................................................................................... 87
1. Bagi peneliti selanjutnya ...................................................................... 87
2. Bagi perawat dan pengelola rumah pelayanan sosial .......................... 88
3. Bagi pemerintahan ............................................................................... 89
4. Bagi keluarga ...................................................................................... 89
DAFTAR ACUAN ................................................................................................ 90
LAMPIRAN ........................................................................................................... 95
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Data Diri Partisipan ........................................................................... 35
Tabel 2. Pertanyaan Pendahuluan .................................................................. 38
Tabel 3. Pertanyaan Utama pada Masing-Masing Wilayah ........................... 38
Tabel 4. Kerangka Analisis ............................................................................ 42
Tabel 5. Waktu dan Lokasi Pelaksanaan Wawancara ..................................... 46
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xvii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Kerangka Konseptual Penelitian ..................................................... 29
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Contoh Lembar Persetujuan Partisipan ........................................ 96
Lampiran 2. Surat Izin Penelitian...................................................................... 97
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Erik Erikson membagi perkembangan kehidupan manusia ke dalam 8
tahap (stage) yang dimulai sejak individu lahir hingga lanjut usia (Erikson, 1989).
Teori Erikson tentang tahap perkembangan manusia ini dikenal dengan teori
perkembangan psiko-sosial. Setiap tahap perkembangan manusia ditandai oleh
tugas perkembangan yang berbeda-beda. Tugas perkembangan dalam setiap tahap
adalah menghadapi suatu krisis yang Erikson sebut sebagai krisis psikososial
(Erikson, 1989). Menurut Erikson (1989), setiap krisis memiliki aspek positif dan
negatif, namun suatu perkembangan yang ideal akan lebih baik jika didominasi
oleh aspek positif dibandingkan dengan aspek negatif. Menurutnya pula, lansia
(usia 65 tahun sampai akhir kehidupan) masuk pada tahap ke 8 dalam
perkembangan psikososial yang diuraikannya. Krisis psikososial yang harus
dihadapi seseorang dalam tahap lanjut usia ini adalah ego- integrity vs despair,
yang berarti ego-integrity sebagai aspek positif dan despair sebagai aspek
negatifnya (Feist & Feist, 2010).
Erikson menjelaskan seseorang yang mencapai ego-integrity akan
menemukan kedamaian dalam hidupnya, sebab mereka telah menerima hal-hal
yang telah terjadi dalam hidup sebagai suatu sejarah yang tidak dapat diubah
(Parker, 2013). Ego-integrity sebagai penerimaan diri terhadap siklus hidup
individu menyebabkan suatu kegembiraan dan toleransi yang baik dalam diri
lansia (Erikson, 1989).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
Erikson menguraikan ego-integrity ke dalam 9 wilayah, meliputi: (1)
adapting to triumphs and disappointments (mampu beradaptasi dengan
keberhasilan dan kegagalan dalam proses mencapai tujuan), (2) spirituality
(hubungan individual dengan perasaan akan keberadaan Tuhan atau eksistensi
Tuhan), (3) accept the past as meaningful (menerima masa lalu sebagai sesuatu
yang berarti; mereka tidak mengalami penyesalan, rasa bersalah, atau
ketidakpuasan dengan kehidupan yang dijalani secara umum), (4) tolerance or
acceptance of others (mentoleransi dan menerima kehadiran orang lain tanpa
melihat perbedaan yang ada), (5) a sense of being part of a larger history that
includes previous generations (perasaan telah menjadi bagian yang berharga
dalam sejarah termasuk generasi sebelumnya), (6) absence of death-anxiety
(ketiadaan kecemasan atau rasa takut akan kematian), (7) freedom from the
feeling that time is running out (bebas dari perasaan akan kehilangan banyak hal
dalam hidup karena waktu yang dimiliki di dunia telah sedikit), (8) emotional
integration (integrasi emosional), (9) satisfaction with life (kepuasan hidup)
(Santor & Zuroff, 1994).
Jika yang terjadi adalah lawan dari 9 hal diatas, maka lansia akan
terperosok ke dalam keputusasaan atau despair. Despair adalah kesulitan untuk
mengintegrasikan masa lalu, saat ini, dan masa depan menjadi sebuah arti yang
utuh (Erikson, 1989). Erikson (1989) mendeskripsikan seseorang yang mengalami
despair adalah mereka yang tidak dapat menerima (menyetujui) kehidupannya
yang konkret. Mereka cenderung menyesali hal-hal yang tidak sesuai dengan
keinginannya dan mudah merasa putus asa. Mereka juga cenderung mengalami
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
depresi berat tentang kekecewaan, kegagalan, dan kehilangan kesempatan
berharga dalam hidup (Hearn, Saulnier, Strayer, Glenham, Koopman, & Marcia,
2012).
Pencapaian ego-integrity atau despair pada lansia merupakan hasil
akumulasi seluruh pengalaman selama hidup. Pengalaman-pengalaman tersebut
dapat terkait dengan pekerjaan, kesehatan, hubungan dengan lingkungan,
dukungan sosial dan lain-lain. Apabila pengalaman-pengalaman tersebut dapat
dirasakan secara positif di hari tua, hal ini mampu manjadi faktor yang dapat
membantu lansia dalam pencapaian ego-integrity.
Teori krisis psikososial Erikson lebih mengutamakan aspek sosial yang
mempengaruhi berhasil atau gagalnya seseorang mencapai kondisi ego-integrity
(Erikson, 1989). Hal tersebut menjadi alasan peneliti menggunakan teori krisis
psikososial Erikson karena dirasa sesuai dengan konteks penelantaran pada lansia
mengingat dukungan sosial keluarga menjadi salah satu aspek sosial yang penting
untuk menghadapi krisis psikososial di hari tua.
Hadirnya dukungan sosial keluarga diduga mampu membantu lansia untuk
lebih mudah beradaptasi dalam menghadapi kemunduran fisik dan psikis yang
dialaminya. Oleh karena itu, beberapa hal yang diperlukan lansia untuk
menghadapi kondisi tersebut adalah keteraturan untuk dikunjungi dan perhatian
yang berkelanjutan dari keluarga besar maupun kecil yang masih ada sebagai
ungkapan dukungan sosial (Shanas, 1979).
Faktanya, banyak lansia yang tidak mendapatkan dukungan sosial yang
cukup dari keluarga kecil maupun besar. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
seperti ketiadaan keluarga inti karena sudah meninggal. Di sisi lain, ada pula
penyebab yang sangat memprihatinkan tatkala lansia sengaja ditelantarkan karena
keluarga mengganggap lansia hanya menjadi beban keluarga. Hal ini diperkuat
dengan temuan Maryam, Rosidawati, Riasmini, & Suryati (2012) yang
mengungkapkan bahwa sebanyak 52,2% keluarga merasa mengalami beban yang
tinggi dalam merawat lansia. Kondisi-kondisi tersebutlah yang membuat lansia
bisa sampai pada rumah pelayanan sosial milik pemerintah yang bersifat gratis.
Menurut pekerja sosial di beberapa Panti Wredha, lansia yang ditelantarkan
biasanya ditemukan di jalanan, ditinggalkan di rumah sakit atau dibiarkan
menghuni rumah sendiri. Selain itu, terdapat pula keluarga yang secara langsung
menitipkan lansia di yayasan sosial dan tidak pernah menghubungi mereka lagi.
Penelantaran atau neglect pada lansia adalah penolakan atau kegagalan
untuk memenuhi kewajiban dalam bidang pengasuhan kepada lansia baik secara
fisik maupun psikologis atau keduanya (Anthony, Lehning, Austin, & Peck,
2009). Neglect bisa bersifat aktif atau disengaja dan pasif atau tidak disengaja.
Passive neglect didefinisikan sebagai situasi lansia yang dibiarkan sendiri,
terisolasi, atau terlupakan. Active neglect didefinisikan sebagai pengurangan hal-
hal yang diperlukan untuk kehidupan sehari-hari, seperti makanan, obat-obatan,
dukungan sosial, dan perawatan tubuh (Hickey & Douglass, 1891).
Kementerian Sosial menyatakan bahwa dari 20,5 juta lansia terdapat 2,1
juta yang ditelantarkan dan 1,8 juta lansia berpotensi terlantar (Islam, 2017). Salah
satu hunian yang menjadi rumah bagi lansia yang ditelantarkan adalah panti
wredha milik pemerintah yang bersifat gratis. Berdasarkan hasil pengamatan dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
informasi sementara yang peneliti dapatkan, lansia yang tinggal di salah satu panti
wredha milik pemerintah hampir 95% tidak mendapat kunjungan dari keluarga
sejak awal mereka tinggal di panti.
Penelantaran lansia mencerminkan minimnya dukungan sosial yang
diberikan oleh anggota keluarga. Dukungan sosial yang seharusnya diterima
lansia dari keluarganya berupa: dukungan emosional, informasi, instrumental, dan
penghargaan (Friedman, 2014). Astuti (2010) menjelaskan jika lansia tidak
mendapatkan dukungan sosial dari keluarga, mereka akan mengalami episode
mayor dari depresi yang mengakibatkan perasaan tidak berdaya, rendah diri,
melankolis, dan keinginan untuk bunuh diri. Hal ini didukung oleh penelitian
yang dilakukan Dong, Simon, Odwazny, & Gorbien (2008) yang mengemukakan
bahwa abuse and neglect memiliki korelasi yang signifikan pada depresi. Depresi
tersebut bisa saja berdampak pada tugas perkembangan yang dihadapi lansia.
Hearn et al. (2012) mengungkapkan bahwa depresi memiliki korelasi yang
signifikan dan positif dengan despair.
Mengingat hadirnya dukungan sosial keluarga diduga mampu membantu
lansia tetap meraih ego-integrity ditengah deraan kemunduran fisik dan psikis,
serta semakin meningkatnya penelantaran lansia oleh keluarga di Indonesia, maka
penelitian ini ingin melihat secara lebih mendalam dengan mengeksplorasi dan
mendeskripsikan pengalaman lansia terlantar dalam menghadapi krisis psikososial
menurut bingkai teori Erikson. Pengalaman yang dimaksud adalah untuk melihat
bagaimana perasaan, pikiran, dan tindakan lansia terlantar di masa lalu, masa kini,
dan harapan di masa mendatang dalam menghadapi krisis psikososial. Apa yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
lebih mewarnai pengalaman lansia terlantar, ego-integrity atau despair? Untuk
melihat hal tersebut peneliti berpatokan pada sembilan wilayah ego- integrity
yang dipaparkan oleh Erikson. Penelitian ini dianggap penting karena diharapkan
mampu menggambarkan bagaimana lansia terlantar menghadapi tahap
perkembangannya. Jika lansia didominasi oleh aspek positif, lansia tersebut akan
memiliki kepuasan hidup yang tinggi dan tingkat kecemasan yang rendah
(Nehrke, Bellucci, & Gabriel, 1978). Sebaliknya, jika lansia didominasi oleh
aspek negatif, lansia akan cenderung mengalami depresi berat tentang
kekecewaan, kegagalan, dan kehilangan kesempatan berharga dalam hidup (Hearn
et al., 2012).
Penelitian sebelumnya terkait dengan teori krisis psikososial Erikson pada
tahap kedelapan cenderung berfokus untuk mengetahui keterkaitan antara krisis
psikososial dengan aspek psikologis yang cukup familiar. Misalnya penelitian
yang dilakukan oleh Nehrke et al. (1978) yang ingin melihat hubungan antara
krisis psikososial Erikson pada tahap kedelapan (ego-integrity vs despair) dengan
kecemasan, locus of control, dan kepuasan hidup. Selain penelitian tersebut,
terdapat pula penelitian serupa yang dikaitkan dengan aspek psikologis yang lain
seperti kepribadian dan kesehatan mental (Westerhof, Bohlmeijer, & McAdams,
2015) serta keterbukaan, persepsi terhadap kesehatan, status identitas ego, dan
depresi (Hearn et al., 2012).
Tedapat pula penelitian yang mencoba untuk melihat bahwa keberhasilan
dalam menghadapi krisis psikososial Erikson pada tahap kedelapan tergantung
pada kesuksesan strategi koping yang dilakukan oleh lansia (Wiesmann &
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
Hannich, 2011). Berbeda dengan penelitian lainnya, penelitian yang dilakukan
oleh Darnley (1975) dan Smith & Nicolson (2011) justru memiliki ketertarikan
untuk menggali lebih dalam suatu fenomena yang terjadi pada lansia seperti masa
pensiun dan kehidupan lansia tunawisma. Lalu, terdapat pula penelitian tentang
bagaimana penerapan teori wisdom mampu membantu lansia untuk menghadapi
krisis psikososial Erikson tahap kedelapan (Clayton, 1975).
Dilihat dari segi desain, kebanyakan penelitian di atas menggunakan
metode kualitatif dengan instrumen studi literatur (Darnley, 1975; Clayton, 1975;
Peachey, 1992; Haber, 2006;). Hanya sebagian kecil penelitian yang
menggunakan desain penelitian kualitatif dengan metode wawancara (Smith &
Nicolson, 2011; Perry, Ruggiano, Shtompel, & Hassevoort, 2015). Lainnya,
menggunakan desain penelitian kuantitatif (Nehrke et al., 1978; Wiesmann &
Hannich, 2011; Hearn et al., 2012; Westerhof et al., 2015) yang secara umum
ingin melihat hubungan antara ego-integrity vs despair dengan aspek psikologis
terkait.
Berkaitan dengan subjek penelitian, keseluruhan pustaka menggunakan
lansia berusia lebih dari 60 tahun dengan proporsi jenis kelamin yang seimbang
antara laki-laki dan perempuan, (Darnley, 1975; Clayton, 1975; Peachey, 1992;
Haber, 2006; Smith & Nicolson, 2011; Perry et al., 2015; Nehrke et al., 1978;
Wiesmann & Hannich, 2011; Hearn et al., 2012; Westerhof et al., 2015). Rata-rata
lansia yang digunakan sebagai subjek berusia lebih dari 60 tahun dan diperoleh
dari pencarian melalui media atau keluarga dari mahasiswa daerah setempat yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
berminat (Wiesmann & Hannich, 2011; Hearn et al., 2012; Westerhof et al.,
2015).
Ditinjau dari segi lokasi, lebih banyak penelitian mengenai krisis
psikososial tahap kedelapan dilakukan di luar negeri, seperti Amerika Serikat
(Clayton, 1975; Darnley; Perry et al., 1975; Nehrke et al., 1978; Haber, 2006),
Skotlandia (Smith & Nicolson, 2011), Jerman (Wiesmann & Hannich, 2011),
Kanada (Hearn et al., 2012), dan Belanda (Westerhof et al., 2015). Peneliti belum
menemukan penelitian dengan topik sejenis di Indonesia. Beberapa penelitian
mengenai lansia di Indonesia lebih banyak meneliti perbedaan kondisi lansia yang
tinggal di rumah dengan panti sosial seperti penelitian yang dilakukan oleh
Saputri dan Indrawati (2011) dan Yuliati, Baroya, dan Ririanty (2014).
Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah dipaparkan, penulis menemukan
beberapa defisiensi. Pertama, penelitian untuk mengeksplorasi dan
mendeskripsikan pengalaman lansia terlantar dalam menghadapi krisis psikososial
tahap kedelapan belum pernah dilakukan di Indonesia. Kedua, memang sudah
cukup banyak penelitian dengan topik sejenis dilakukan di luar negeri, namun
belum ada penelitian yang menggunakan lansia terlantar sebagai fokusnya.
Ketiga, dari segi desain penelitian terdahulu lebih banyak menggunakan desain
penelitian kualitatif dengan metode studi literatur sehingga kurang dapat
memaparkan fenomena yang ingin diteliti.
Berdasarkan defisiensi tersebut, maka penelitian ini akan mengeksplorasi
dan mendeskripsikan pengalaman lansia terlantar menghadapi krisis psikososial.
Lansia terlantar yang dimaksud dalam penelitian ini adalam mereka yang tinggal
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
di di Rumah Pelayanan Sosial Lanjut Usia Terlantar Budhi Dharma Yogyakarta.
Maka, untuk meneliti hal tersebut peneliti menggunakan desain penelitian
kualitatif dengan metode pengambilan data wawancara semi terstruktur. Setelah
itu, data tersebut akan dianalisis menggunakan analisis isi kualitatif (AIK),
menggunakan pendekatan deduktif, yaitu analisis terarah dengan cara
mengumpulkan data wawancara menjadi satu untuk kemudian ditafsirkan dengan
memberikan koding yang telah ditetapkan di awal berdasarkan kriteria koding
yang dikembangkan dari teori krisis psikososial tahap ke 8 Erikson (ego-integrity
vs despair).
B. Pertanyaan Penelitian
Bagaimana pengalaman lansia yang ditelantarkan oleh keluarga dalam
menghadapi krisis psikososial? Apakah lebih diwarnai oleh ego-integrity yang
meliputi: aadaptasi dengan keberhasilan dan kegagalan,
bspiritualitas,
cpenerimaan
masa lalu, dmentoleransi dan menerima orang lain,
epenghargaan diri dalam
sejarah hidupnya, fketiadaan kecemasan akan kematian,
gkebebasan dari
kekhawatiran akan kehabisan waktu dalam hidup, hintegrasi emosi,
ikepuasan
hidup atau lawan dari hal tersebut yang akan menuntun lansia pada kondisi
despair?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengeksplorasi dan mendeskripsikan pengalaman lansia terlantar menghadapi
krisis psikososial. Melalui wawancara individual, para partisipan yang berusia
65 tahun atau lebih diharapkan dapat mengungkapkan pengalaman-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
pengalaman mereka dalam menghadapi krisis psikososial tahap kedelapan
(ego-integrity vs despair).
2. Mengeksplorasi dan mendeskripsikan faktor-faktor yang menentukan berhasil
atau gagalnya lansia dalam menghadapi krisis psikososial tahap kedelapan
(ego-integrity vs despair).
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi
baru dalam bidang psikogerontologi, berupa kajian mengenai pengalaman
lansia terlantar dalam menghadapi krisis psikososial tahap kedelapan (ego-
integrity vs despair).
2. Manfaat Praktis
Secara umum, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran
kepada masyarakat bahwa keberhasilan lansia di hari tua adalah akumulasi
dari seluruh pengalaman hidup dan kepastian di masa depan. Harapannya,
ketika masyarakat memahami hal tersebut, mereka dapat menentukan sikap
yang mampu membuat lansia merasa berharga akan dirinya ditengah
kemunduran yang dialami, sehingga lansia memiliki pandangan masa depan
yang baik dan mampu meraih penuaan yang sukses. Beberapa sikap positif
yang disarankan seperti, keteraturan lansia untuk dikunjungi dan melakukan
aktivitas bersama seperti bercerita, bermain, berkebun, menonton, dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
memasak. Beberapa aktivitas tersebut menjadikan lansia memiliki perasaan
berharga akan dirinya di masa tua.
3. Manfaat Kebijakan
Bagi dinas sosial, diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi
dan saran agar lebih mengenali lansia yang ditelantarkan dalam menghadapi
tugas perkembangan (ego- integrity vs despair) sehingga dapat meningkatkan
pelayanan bagi mereka.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bagian ini, pertama-tama penulis akan menjelaskan mengenai konsep
tahap perkembangan psikososial Erikson secara umum. Kemudian, penulis akan
menerangkan tahap perkembangan psikososial pada lansia secara lebih spesifik.
Penulis juga akan menjelaskan mengenai dukungan sosial keluarga bagi lansia
terlantar dan kaitannya dengan proses menghadapi krisis psikososial pada lansia.
Lalu dilanjutkan dengan penjelasan mengenai lansia terlantar, khususnya
sebagaimana dimaksud dalam penelitian ini dan bagaimana karakteristiknya. Pada
bagian akhir, peneliti akan menyajikan kerangka konseptual penelitian.
A. Tahap Perkembangan Psikososial Erikson
Teori dari Erikson tentang perkembangan manusia dikenal dengan istilah
perkembangan psikososial yang melibatkan faktor biologis, psikologis, dan sosial
(Erikson, 1989). Dalam teori perkembangan psikososial ini, Erikson memberi
perhatian lebih kepada ego dari pada id dan superego. Erikson mengembangkan
ide-ide khususnya terhadap perkembangan dan peran sosial terhadap
pembentukan ego.
Erikson membagi perkembangan psikososial dalam kehidupan manusia ke
dalam 8 tahap (stage) yang dimulai sejak individu lahir hingga lanjut usia
(Erikson, 1989). Dalam setiap tahap perkembangan manusia ditandai oleh tugas
perkembangan yang berbeda-beda. Tugas perkembangan dalam setiap tahap
adalah menghadapi suatu krisis yang akrab disebut sebagai krisis psikososial.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
Krisis merupakan suatu konflik yang berlawanan antara aspek positif dan negatif
yang ditandaskan Erikson dengan istilah versus misalnya industry vs inveriority
(Erikson, 1989). Konflik psikososial di setiap tahap hasilnya akan mempengaruhi
perkembangan ego. Apakah akan didominasi oleh kemenangan aspek positif yang
akan memberi ego sifat baik (basic strength), atau sebaliknya dimana
perkembangan ego lebih dikuasai oleh aspek negatif. Kedua konflik ini tidak
boleh dipahami sebagai dua hal yang bertentangan. Meskipun demikian, suatu
perkembangan yang ideal akan lebih baik jika didominasi oleh aspek positif
dibandingkan dengan aspek negatif (Erikson, 1989). Jika aspek positif lebih
mendominasi, maka seseorang dikatakan berhasil dalam menghadapi krisis
psikososial dalam tahap tertentu. Dasar dari teori ini adalah sebuah konsep yang
mempunyai tahapan bertingkat dan berjalan sesuai prinsip epigenetik. Prinsip
Epigenetik menjelaskan bahwa suatu bagian komponen muncul dari bagian
komponen sebelumnya dan memiliki waktunya sendiri untuk muncul, namun
tidak sepenuhnya menghilangkan komponen-komponen sebelumnya (Erikson,
1989).
B. Krisis Psikososial Pada Lansia
Lansia (usia 60 tahun sampai akhir kehidupan) masuk pada tahap ke 8
dalam perkembangan psikososial Erikson. Krisis psikososial yang harus dihadapi
lansia dalam tahap lanjut usia ini adalah ego-integrity vs despair, yaitu ego-
integrity sebagai aspek positif dan despair sebagai aspek negatif. Erikson
mendeskripsikan ego- integrity sebagai penerimaan akan siklus hidup yang harus
terjadi sehingga lansia yang mampu mencapai ego-integrity ini akan merasakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
perasaan “enduring wholenes” atau keutuhan abadi (1963, dalam Parker, 2013;
Westerhof, Bohlmeijer, & McAdams, 2015). Sebaliknya, despair adalah kesulitan
untuk mengintegrasikan masa lalu, saat ini, dan masa depan menjadi sebuah arti
yang utuh (Erikson, 1968). Erikson (1989) mendeskripsikan seseorang yang
mengalami despair adalah mereka yang tidak dapat menyetujui dan menerima
kehidupannya yang konkret. Mereka cenderung menyesali setiap hal yang terjadi
dan merasa putus asa.
Terhindar dari kondisi despair akan menuntun lansia pada pencapaian ego-
integrity sehingga membawa lansia pada kedamaian hidup yang bermakna.
Artinya, bagi mereka kenangan dan pengalaman masa lalu adalah suatu sejarah
yang tidak dapat diubah. Lansia yang mencapai ego-integrity jarang mengalami
depresi, mampu menerima kesedihan, duka cita, dan kehilangan. Selain itu,
mereka juga memiliki relasi sosial yang baik serta sering terlibat dalam kegiatan
sosial (Hearn et al., 2012).
Konsep ego-integrity sangatlah kompleks dan usaha untuk
mengkonseptualisasikan istilah luas ini secara utuh menjadi sebuah konstruk yang
terukur mungkin akan sulit. Disebabkan oleh kesamaan deskriptif antara
pencapaian integritas dan kesejahteraan psikologis, beberapa penelitian telah
mencoba mengukur integritas ego dengan menggunakan pengukuran
kesejahteraan psikologis sebagai wakil atau penggantinya (Wagner, Lorion,
Shipley, 1983, dalam Parker, 2013). Menurut pendapat peneliti, hal tersebut
kurang memadai sebab pengukuran kesejahteraan psikologis tidak sepenuhnya
mampu menggambarkan apakah kondisi lansia lebih diwarnai oleh ego-integrity
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
atau sebaliknya (despair). Oleh karena itu, dalam penelitian ini peneliti mencoba
untuk memparafrasekan dasar-dasar wilayah ego-integrity yang dipaparkan oleh
Erikson (Santor & Zuroff, 1994) sehingga mampu memberikan gambaran
mengenai dasar-dasar dari wilayah tersebut. Berikut ini adalah definisi dari 9
wilayah tersebut yang dikutip dari buku dan jurnal yang membahas tentang teori
psikososial Erikson.
1. Adapting to thriumps and disappointments atau kemampuan untuk
beradaptasi dengan keberhasilan dan kegagalan
Erikson membedakan pengertian adaptasi ke dalam dua hal, yaitu adaptasi
aktif dan adjustment sebagai adaptasi pasif (Hoare, 2002). Adaptasi aktif adalah
kondisi individu bergerak untuk merubah lingkungan agar sesuai dengan
kebutuhan individu atau masyarakat. Atas dasar ini, Erikson mengagumi tokoh
Mahatma Gandhi. Gandhi berperan besar dalam memimpin gerakan relawan
untuk membentuk kesatuan medis dan supir ambulans yang beranggotakan warga
turunan India. Kontribusi Gandhi dan para relawan berhasil mencuri hati
pemerintah Inggris terhadap warga keturunan India. Peristiwa bersejarah ini
mencerminkan definisi adaptasi aktif menurut Erikson. Gandhi berhasil
menggerakkan lingkungan untuk mengangkat derajat keturunan India di mata
pemerintah Inggris. Selain itu, ia juga berhasil membebaskan India dari
penjajahan Inggris dengan melakukan perlawanan tanpa kekerasan (Hoare, 2002).
Salah satu contoh adaptasi aktif dalam kehidupan sehari-hari misalnya individu
yang mencoba untuk memperbaiki situasi lingkungan yang kumuh menjadi asri
dengan mengajak masyarakat sekitar.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
Kemudian, adaptasi pasif (adjustment) adalah bagaimana individu
menyesuaikan diri sesuai dengan lingkungan saat itu (Hoare, 2002). Misalnya,
seseorang yang menyesuaikan diri dengan situasi lingkungan kerja yang baru.
Individu yang memiliki kecenderungan mampu untuk beradaptasi dengan
lingkungan akan mengarah pada kondisi ego-integrity (Hoare, 2002). Namun
sebaliknya, tatkala orang tersebut tidak mampu untuk melakukan adaptasi baik itu
secara aktif maupun pasif maka ia akan terjerumus dalam kondisi despair.
2. Spirituality atau spiritualitas
Spirituality atau spiritualitas adalah perasaan akan keberadaan Tuhan
dalam diri masing-masing individu. Erikson menyatakan bahwa individu yang
sehat adalah mereka yang memiliki kecenderungan spiritualitas (Hoare, 2002).
Dalam pemikiran Erikson, orang yang dewasa secara spiritual merasakan Tuhan
dalam beberapa cara. Misalnya, bagi seseorang, Tuhan bukan hanya roh yang
berada di luar keterbatasan ruang dan waktu di dunia, tapi merupakan sebuah
cahaya inti dalam dirinya. Roh ini adalah kekuatan yang menggerakkan mereka.
Di sisi lain, ada juga yang mengatakan bahwa roh adalah kehadiran yang nyata
dalam diri mereka, dalam diri orang lain, dan di dalam dinamika pertemuan
seseorang dengan orang lain. Hal lainnya lagi, dapat dicontohkan dari kehidupan
Erikson di masa paruh baya, ia melihat tangan Tuhan melalui kehidupannya
sendiri. Dalam bukunya, Erikson (Hoare, 2002) menulis (hope is an “attitude”
that represents the revelation of creation in one life now nearly complete, a simple
sense that the created life “is good,” as in “and he saw that it was good”).
Artinya (harapan adalah “sifat” yang merepresentasikan wahyu penciptaan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
dalam satu kehidupan yang hampir selesai, perasaan sederhana bahwa
kehidupan yang diciptakan “baik” seperti dalam “dia melihat bahwa itu baik”).
Peneliti menyimpulkan makna yang terkandung dalam kutipan tersebut
mencerminkan bahwa spiritualitas menurut Erikson adalah bagaimana individu
dapat memaknai kehidupannya secara positif dalam konteks kerohanian atau
keyakinan akan keterlibatan Tuhan dalam setiap prosesnya. Singkatnya, segala
yang terjadi adalah campur tangan Tuhan yang menggiring kita pada sesuatu yang
baik dalam kehidupan.
Seseorang dengan kecenderungan spiritualitas tinggi mampu
menyelesaikan persoalan yang terjadi secara positif. Mereka mengembangkan arti
penderitaan sebagai suatu hikmah positif dari kejadian yang dialami. Spiritualitas
menuntun individu pada rasa keberhargaan diri, kehidupan terarah yang terlihat
melalui harapan, serta mampu mengembangkan hubungan antar manusia yang
positif dan menciptakan rasa syukur kepada Tuhan (Hamid, 2008). Kondisi ini
akan menuntun seseorang pada ego-integrity.
Sebaliknya, jika individu memaknai suatu penderitaan sebagai hal negatif
serta tidak mampu mensyukuri apa yang diberikan Tuhan, mereka akan
terjerumus pada kondisi despair. Mereka cenderung tidak mampu menghargai
kehidupan yang diberikan oleh Tuhan sebagai sesuatu yang “baik” adanya.
3. Accept the past as meaningful atau menerima masa lalu sebagai sesuatu
yang berarti
Penerimaan masa lalu adalah suatu representasi atau yang mewakili
kondisi seseorang untuk menerima pengalaman masa lalunya. Individu yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
mampu menerima masa lalunya memiliki perasaan positif tentang masa lalu tanpa
memiliki perasaan negatif atau mengecewakan yang berlebihan. Hal ini bukan
berarti tidak punya pengalaman negatif, mereka sangat mungkin mengalami
kekecewaan, tetapi secara keseluruhan mereka dapat menerimanya. Bagi mereka,
pengalaman negatif tidak lagi mengkhawatirkan atau mengganggu kehidupan
mereka saat ini. Dihipotesiskan bahwa menerima masa lalu mewakili satu sumber
atau penentu tercapainya ego-integrity (Santor & Zuroff, 1994).
Sebaliknya, individu yang tidak dapat menerima masa lalu lebih fokus
pada satu atau lebih peristiwa yang menjelaskan mengapa mereka tidak dapat
menerima masa lalu. Bagi mereka, masa lalu membawa lebih banyak rasa sakit
daripada kesenangan. Ada hal-hal di masa lalu yang harus diperbaiki untuk benar-
benar memperoleh kebahagiaan. Selain itu, bagi mereka, ada beberapa
kekecewaan dalam masa lalu yang tidak akan pernah bisa diterima. Individu yang
tidak menerima masa lalu sebagai sebagai satu hal yang memuaskan cenderung
mengalami gejala depresif yang lebih kuat yang dapat menjerumuskan mereka
pada kondisi despair (Santor & Zuroff, 1994).
4. Tolerance and acceptance of others atau mentoleransi dan menerima
kehadiran orang lain tanpa melihat pebedaan yang ada
Istilah toleransi adalah istilah modern yang berasal dari bahasa Latin, yaitu
tolerantia, yang artinya kelonggaran, kelembutan hati, keringanan dan kesabaran.
Dari sini dapat dipahami bahwa toleransi merupakan sikap untuk memberikan hak
sepenuhnya kepada orang lain agar menyampaikan pendapatnya, sekalipun
pendapatnya salah dan berbeda. Hal ini sepaham dengan pendapat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
Poerwadarminta yang mengungkapkan bahwa toleransi menurut istilah berarti
menghargai, membolehkan, membiarkan pendirian pendapat, pandangan,
kepercayaan, kebiasaan, kelakuan dan sebagainya yang lain atau yang
bertentangan dengan pendirinya sendiri, misalnya agama, ideologi, ras
(Poerwadarminta, 1984).
Selanjutnya, menurut Rogers (1979, dalam Pancawati, 2013) penerimaan
merupakan sikap seseorang yang menerima orang lain apa adanya secara
keseluruhan, tanpa adanya suatu persyaratan ataupun penilaian. Seseorang yang
mampu menerima orang lain cenderung memiliki anggapan bahwa orang lain
adalah sesuatu yang berhaga.
Seseorang dapat mentolerir (tolerance) sesuatu tanpa harus menerimanya
(acceptance), tetapi seseorang tidak dapat menerima (acceptance) sesuatu tanpa
menolerirnya (tolerance). Misalnya, ketika seorang anak memberi tahu orang tua
tentang pilihan karier pasangan perkawinan, atau identitas seksual yang tidak
diinginkan, dia menginginkan informasi itu tidak hanya ditoleransi, tetapi untuk
diterima (Fish, 2014). Individu yang cenderung mampu untuk memberikan
toleransi dan menerima orang lain sepenuhnya akan menggiringnya pada kondisi
ego-integrity. Sebaliknya, ketika mereka tidak mampu untuk melakukannya, maka
akan terjerumus pada kondisi despair.
5. A sense of being part of a larger history that includes previous generations
atau perasaan menjadi bagian berharga di masa lalu
Salah satu hal yang menuntun seseorang mampu mencapai ego-integrity di
masa tuanya adalah perasaan berharga, khususnya merasa pernah menjadi suatu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
bagian yang sangat berguna di masa-masa sebelumnya bagi orang-orang di
sekitarnya. Hal ini membantu lansia menyadari bahwa walaupun sekarang mereka
sudah tidak bisa melakukan banyak hal karena keterbatasan kondisi fisik, ia tetap
memiliki perasaan bahwa dulu ia telah melakukan sesuatu yang berharga bagi
dirinya dan sekarang waktunya untuk beristirahat. Peneliti mencoba untuk
menggambarkan kondisi tesebut seperti:“Dulu saya sudah berusaha sekuat
tenaga membangun usaha yang saya rintis, dan saat ini saya bangga bisa
mewariskan usaha tersebut kepada anak saya”.
Di sisi lain, ada lansia yang selalu menganggap dirinya tidak berguna dan
hanya bisa merepotkan sanak keluarga. Mereka memilih untuk mengasingkan diri
karena enggan meminta pertolongan. Kondisi ini membuat lansia kesepian karena
ia menarik diri dari lingkungan sebab tidak mau merepotkan lingkungan tersebut.
Ketika hal ini terus berlanjut, maka lansia akan terjerumus dalam kondisi despair
(Santor & Zuroff, 1994).
6. Absence of death-anxiety atau bebas dari perasaan takut akan kematian
Templer (1970) mendefinisikan death anxitety sebagai "keadaan individu
mengalami kecemasan terkait dengan kematian. Kecemasan merupakan suatu
pikiran yang tidak menyenangkan, yang ditandai dengan kekhawatiran, rasa tidak
tenang, dan perasaan yang tidak baik atau tidak enak yang tidak dapat dihindari
oleh seseorang (Hurlock, 1996). Kecemasan ini membawa inividu pada perasaan
ketidaknyamanan yang disebabkan oleh persepsi nyata atau khayalan bahwa
kematian adalah hal yang menakutkan (Moorhead et al., 2008, dalam Lehto &
Stein, 2009). Secara lebih spesifik, seseorang yang mengalami kecemasan akan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
kematian akan didominasi oleh rasa takut dan kecemasan yang tinggi ketika
membicarakan soal kematian atau kondisi sakit yang berpotensi mengalami
kematian (Templer, 1970; Cai, Tang, Wu, & Li, 2017).
Sebagai contoh, seseorang yang mengalami kecemasan akan kematian
memiliki rasa takut saat memikirkan harus menjalani operasi karena khawatir
operasi tersebut akan berujung pada kematian (Templar, 1970). Templar (1970)
juga menyatakan takut dan kekhawatiran juga cenderung akan muncul ketika
mendengar pembicaraan yang berhubungan dengan kematian atau menyaksikan
pemandangan mayat pada acara kedukaan. Selain itu, mereka cenderung sering
merasa tertekan oleh waktu yang berlalu dengan sangat cepat. Rasa takut akan
kematian merupakan salah satu komponen dari keputusasaan atau despair (Santor
& Zuroff, 1994). Sebaliknya, kebebasan seorang individu dari kondisi kecemasan
akan kematian akan merujuk pada kecenderungan tercapainya kondisi ego-
integrity. Seseorang yang berada dalam kondisi ego-integrity cenderung tidak
memiliki ketakutan dalam menghadapi kematian. Bagi mereka, masa depan
bukanlah suatu hal yang harus ditakutkan, termasuk kematian. Bagi mereka,
memikirkan kematian bukanlah sesuatu yang mengganggu bahkan mereka sangat
jarang memikirkannya.
7. Freedom from the feeling that time is running out atau bebas dari
perasaan bahwa waktu yang dimiliki untuk hidup hampir habis
Seseorang yang cenderung berhasil dalam mencapai wilayah ini diduga
merasa telah mempergunakan waktu yang dimiliki dengan baik di masa hidupnya.
Mereka cenderung telah merasa puas di hari tuanya karena sudah berusaha
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
berjuang untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan. Perasaan puas di hari tua
menggambarkan bahwa secara keseluruhan seseorang telah mampu mencapai
harapan-harapan yang diinginkan. Perasaan puas di masa tua membebaskan lansia
dari perasaan kehabisan waktu dalam hidupnya dan akan menggiring mereka pada
kondisi ego-integrity.
Sebaliknya, lansia yang terperosok dalam kondisi despair dalam wilayah
ini cenderung merasakan bahwa sisa waktu yang dimiliki sudah hampir habis dan
berjalan cepat. Perasaan ini muncul diduga disebabkan oleh keinginan seseorang
untuk melakukan sesuatu yang belum tercapai selama hidunya. Lansia yang masih
cenderung diselimuti oleh harapan yang belum tercapai diduga akan menimbulkan
dilema sebab penurunan kondisi fisik yang dialami (Santor & Zuroff, 1994).
8. Emotional Integration atau integrasi emosi
Erikson menekankan Emotional Integration atau integrasi emosional
sebagai kunci penting untuk keberhasilan aging (1963, dalam Sternberg & Jordan,
2005). Integrasi emosional adalah suatu proses dimana seseorang dapat
sepenuhnya merasakan, memahami, dan merespon emosi secara tepat. Definisi ini
selaras dengan apa yang diungkapkan oleh Weiss (2018), dalam artikelnya. Ia
menulis, “If we are emotionally mature adults we are able to feel our emotions,
acknowledge them, and take responsibility for their appropriate expression in a
way that still leaves us feeling whole”. Artinya, “jika kita dewasa secara
emosional, kita mampu merasakan emosi kita, mengakuinya, dan merespon
secara tepat dengan ekspresi yang sesuai sehingga membuat diri kita tetap
merasa merasa utuh”.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
Paul Ekman mengklasifikasikan emosi dasar manusia ke dalam enam
jenis: senang, sedih, terkejut, marah, takut, dan jijik (Ekman, 1992). Ketika
individu mampu merasakan perbedaan emosi tersebut dan meresponnya secara
tepat maka ia dikatakan mampu mengintegrasikan emosinya, sehingga mereka
akan mengarah pada kondisi ego-integrity. Sebaliknya, ketika individu cenderung
tidak mampu mengeluarkan atau tidak mengakui emosi yang dirasakan maka
mereka tidak mampu merespon emosi tersebut secara tepat, sehingga berujung
pada rasa tidak puas yang akan menuntun seseorang pada kondisi despair.
9. Life Satisfaction atau kepuasan hidup
Kepuasan hidup adalah sejauh mana seseorang secara positif mengevaluasi
kualitas hidupnya. Dengan kata lain, seberapa banyak orang menyukai kehidupan
yang ia jalani (Saris, Veenhoven, Scherpenzeel, & Bunting,1996). Kepuasan
hidup melambangkan kriteria menyeluruh atau hasil akhir dari pengalaman
manusia. Kepuasan hidup adalah penilaian menyeluruh dari perasaan dan sikap
seseorang tentang kehidupan (Andrew, 1974, dalam Prasoon & Chaturvedi,
2016). Neugarten, Havighurst, & Tobin (1965) menyebut Life Satisfaction sebagai
“definisi operasional dari penuaan yang berhasil”. Semakin positif lansia menilai
kualitas hidupnya secara keseluruhan, maka ia akan berhasil mencapai ego-
integrity. Ungkapan-ungkapan yang biasanya muncul pada individu yang
memiliki Life Satisfaction tinggi seperti, saya merasa apa yang terjadi dalam
hidup secara keseluruhan dekat/mirip dengan cita-cita saya, kondisi hidup saya
sangat baik, saya puas dengan hidup saya, sejauh ini saya telah mendapatkan
hal-hal penting yang saya inginkan di dunia, dan dalam menjalani hidup ini, tidak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
ada yang ingin saya ubah (Diener, Emmons, Larsen, Griffin, 1985). Sebaliknya,
jika seseorang memiliki kecenderungan negatif dalam memaknai kehidupan
secara menyeluruh, maka hal ini akan menjerumuskan seseorang dalam kondisi
despair (Liang, 1984; Woods & Witte, 1981).
Baik kondisi ego-integrity yang mendominasi atau sebaliknya (despair),
semua kondisi tersebut merupakan hasil akumulasi dari seluruh pengalaman fase
hidup saat lansia tua dan fase hidup sebelumnya. Menurut Erikson, setiap tahap
krisis psikososial secara sistematis dihubungkan dengan tahapan pada krisis
psikososial sebelumnya. Artinya, ketika integrity dan despair berada di tahap ke
8, maka integrity dan despair akan dipengaruhi pula oleh tahap sebelumnya (tahap
1-7). Dapat ditarik kesimpulan, kondisi integrity dan despair merupakan
akumulasi dari pengalaman yang berada di tahap 1-7 ditambah dengan
pengalamannya berada di tahap ke 8. Dengan kata lain, kondisi integrity dan
despair merupakan kondisi dari akumulasi seluruh pengalaman semasa orang
tersebut menjalani kehidupannya.
C. Dukungan Sosial Keluarga Bagi Lansia dan Kaitannya Dengan Proses
Menghadapi Krisis Psikososial Pada Lansia
Menjadi tua bukanlah suatu pilihan melainkan sesuatu yang pasti akan
dialami oleh setiap individu. Menua (aging) adalah suatu proses menghilangnya
secara perlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki atau mengganti diri serta
mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga sangat rentan terhadap
penyakit (Santoso, 2009). Proses ini adalah proses alami yang ditandai dengan
adanya penurunan pada kondisi fisik, psikologis, maupun sosial yang saling
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
berinteraksi satu sama lain (Salamah, 2005; Hurlok dalam Hutapea, 2011;
Asmaningrum, Wijaya, & Permana, 2014). Perubahan kondisi fisik, sosial, dan
psikologis ini akan menentukan apakah lanjut usia akan melakukan penyesuaian
sosial yang baik atau buruk. Menurut Hurlock, lanjut usia memiliki
kecenderungan penyesuaian diri yang buruk dari pada yang baik dan pada
kesengsaraan daripada kebahagiaan (Hutapea, 2011).
Hadirnya dukungan sosial keluarga mampu membantu lansia tetap meraih
ego-integrity di tengah deraan kemunduran fisik dan psikis yang dialaminya.
Dukungan sosial terdekat yang dapat membantu lansia dalam mengatasi
permasalahan tersebut adalah bersumber dari keluarga (Prabasari, Juwita, &
Maryuti, 2015). Keluarga dari lansia meliputi keluarga dekat, yaitu suami, istri,
dan anak, lalu keluarga besar, seperti saudara kandung dan kerabat. Keluarga
dekat memiliki fungsi sebagai dukungan sosial utama untuk lansia di saat mereka
berada dalam kondisi membutuhkan pertolongan (Shanas, 1979). Sementara itu,
keluarga besar berfungsi sebagai penghubung utama lansia ke masyarakat
(Shanas, 1979). Shanas (1979) juga menjelaskan lebih lanjut bahwa hal terpenting
yang diperlukan oleh lansia adalah keteraturan untuk dikunjungi dan perhatian
yang berkelanjutan dari keluarga besar maupun kecil yang masih ada sebagai
ungkapan dukungan sosial.
Gottlieb menyatakan bahwa dukungan keluarga dapat berupa informasi
verbal maupun nonverbal, saran, bantuan, atau tingkah laku yang diberikan oleh
orang-orang terdekat berupa kehadiran serta hal-hal yang dapat memberi
keuntungan emosional kepada penerimanya (1983, dalam Mundiharno, 2010,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
dalam Jafar, Wiarsih, & Permatasari, 2011). Lansia memerlukan dukungan sosial
untuk meningkatkan motivasi dan rasa percaya diri untuk menghadapi penurunan
dan perubahan yang terjadi (Suryono, 2013).
D. Lansia Terlantar Penghuni Rumah Pelayanan Sosial
Banyak keluarga besar maupun kecil yang tidak mampu memberikan
dukungan sosial yang baik pada lansia antara lain karena menganggap kehadiran
lansia hanyalah menambah beban keluarga. Hal ini diperkuat dengan temuan
Maryam et al. (2012) yang mengungkapkan bahwa sebanyak 52,2% keluarga
merasa mengalami beban yang tinggi dalam merawat lansia. Oleh karena itu,
masyarakat cenderung memilih membawa lansia ke panti jompo daripada
mengurus di rumah sendiri. Namun, karena biaya menitipkan lansia di panti
jompo terbilang mahal, maka tidak sedikit lansia ditelantarkan begitu saja oleh
orang terdekat mereka.
Neglect atau penelantaran pada lansia didefinisikan sebagai penolakan
atau kegagalan untuk memenuhi kewajiban dalam bidang pengasuhan kepada
lansia secara fisik maupun psikologis, ataupun keduanya (Anthony et al., 2009).
Neglect dapat bersifat aktif atau disengaja, dan pasif atau tidak disengaja. Passive
neglect adalah situasi dimana lansia dibiarkan hidup sendiri, terisolasi, atau
terlupakan. Di sisi lain, Active neglect merupakan pengurangan hal-hal yang
diperlukan untuk kehidupan sehari-hari, seperti makanan, obat-obatan, dukungan
sosial, dan perawatan tubuh (Hickey & Douglass, 1891).
Penelantaran tersebut mencerminkan minimnya dukungan sosial keluarga
yang diberikan untuk menghadapi perubahan dan penurunan kondisi fisik, sosial,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
dan psikologis pada lansia. Minimnya dukungan sosial pada lansia akan
membawa lansia pada penyesuaian diri yang negatif untuk menghadapi
permasalahan tersebut. Sebagai contoh, penurunan kondisi fisik seperti: postur
tubuh lansia mulai berubah bungkuk, kondisi kulit mulai kering dan keriput, daya
ingat mulai menurun, kondisi pendengaran dan penglihatan terganggu yang
terkadang membuat lansia tidak percaya diri jika harus berinteraksi dengan orang
lain sehingga mereka menarik diri dari lingkungan sosial (Santrock, 2002).
Penarikan diri dari lingkungan sosial akan menggiring lansia pada kesepian
(loneliness) yang akan berujung pada depresi. Kondisi ini diduga mampu
menghambat proses lansia menghadapi krisis psikososialnya, yaitu untuk
mencapai ego-integrity (Hearn et al., 2012).
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan lansia terlantar sebagai
partisipan. Lansia terlantar yang dimaksud peneliti adalah mereka yang berusia
65 tahun ke atas dan tinggal di Rumah Pelayanan Sosial Lansia Terlantar Budi
Dharma Yogyakarta yang bersifat gratis. Lansia penghuni panti tersebut adalah
mereka yang terlantar karena beberapa hal, di antaranya: (1) terlantar karena tidak
memiliki keluarga kecil lagi (meninggal), dan di sisi lain keluarga besar merasa
terbebani untuk merawatnya, (2) terlantar karena anak tidak mampu merawat dan
merasa terbebani yang disebabkan oleh kesulitan ekonomi, serta (3) terlantar
karena keluarganya tidak diketahui keberadaannya (ditemukan di jalanan).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
E. Kerangka Konseptual
Menurut Erikson, setiap tahap perkembangan manusia ditandai oleh tugas
perkembangan yang berbeda-beda. Tugas perkembangan dalam setiap tahap
adalah menghadapi suatu krisis yang Erikson sebut sebagai krisis psikososial
(Erikson, 1989). Pada penelitian ini, peneliti ingin mengeksplorasi dan
mendeskripsikan pengalaman lansia terlantar menghadapi krisis psikososial.
Subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah beberapa lansia yang tinggal
di Rumah Pelayanan Sosial Lanjut Usia Terlantar Budhi Dharma Yogyakarta
dengan rentang usia 65 tahun ke atas. Penelantaran atau neglect pada lansia adalah
penolakan atau kegagalan untuk memenuhi kewajiban dalam bidang pengasuhan
kepada lansia baik secara fisik maupun psikologis atau keduanya (Anthony et al.,
2009).
Krisis pada satu tahap yang dihadapi oleh lansia terlantar merupakan hasil
akumulasi pengalaman dari tahap-tahap sebelumnya. Lansia usia 65 tahun ke atas
berada dalam tahap ke 8 perkembangan psikososial Erikson. Krisis psikososial
tahap ke 8 adalah (kendati) merupakan hasil akumulasi pengalaman sebelumnya,
diduga kondisi terlantar tetap berpengaruh pada cara lansia menghadapi krisis
psikososial. Krisis psikososial yang harus dihadapi oleh lansia adalah ego-
integrity vs despair, dimana ego-integrity sebagai aspek positif dan despair
sebagai aspek negatifnya (Feist & Feist, 2010). Erikson mendeskripsikan
seseorang yang mencapai integrity adalah mereka yang sepenuhnya menjalani
komitmen dan meyakini hidupnya sebagai sesuatu yang berharga. Sebaliknya,
seseorang yang despair adalah mereka yang tidak dapat menyetujui dan menerima
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
kehidupannya yang konkret. Mereka cenderung menyesali setiap hal yang terjadi
dan merasa putus asa (Erikson, 1989). Kondisi ego-integrity ataupun despair yang
terjadi pada lansia merupakan akumulasi pengalaman hidup dari tujuh tahap
sebelumnya.
Untuk mengeksplorasi bagaimana pengalaman lansia menghadapi krisis
psikososial tahap kedelapan, peneliti menggunakan kriteria ego-integrity menurut
Erikson, meliputi: 1) Adapting to thriumps and disappointments, 2) Spirituality,
3) Accept the past as meaningful, 4) Tolerance and acceptance of others, 5) A
sense of being part of a larger history, 6) Absence of death-anxiety, 7) Freedom
from the feeling that time is running out, 8) Emotional Integration 9) Life
Satisfaction. Jika pengalaman didominasi oleh lawan dari 9 hal di atas, maka
lansia akan terperosok pada despair. Agar dapat memudahkan melihat kerangka
berpikir peneliti, berikut adalah gambar kerangka konseptual dalam penelitian ini.
Gambar 1. Kerangka konseptual penelitian
Krisis Psikososial
Pada lansia terlantar
Ego-Integrity (+)
Despair (-) Negasi dari 9 wilayah Ego-integrity
1. Adapting to thriumps and
disappointments
2. Spirituality
3. Accept the past as meaningful
4. Tolerance and acceptance of others
5. A sense of being part of a larger
history
6. Absence of death-anxiety
7. Freedom from the feeling that time is
running out
8. Emotional Integration
9. Life Satisfaction
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Desain Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif ialah
penelitian yang mencoba mendeskripsikan dan menafsirkan aneka pengalaman
orang atau kelompok orang sebagaimana orang-orang itu sendiri menghadapi,
menggeluti, dan menghayati aneka situasi kehidupan (Supratiknya, 2018). Desain
penelitian ini menggunakan analisis isi kualitatif (AIK) dengan pendekatan
deduktif terarah, yaitu metode penelitian untuk menafsirkan data berupa teks
secara subjektif melalui proses klasifikasi sistematik berupa coding atau
pengkodean dan pengidentifikasian aneka tema dan pola (Hsieh & Shannon, 2005,
dalam Supratiknya, 2015). Peneliti memilih pendekatan deduktif terarah karena
pendekatan ini cocok diterapkan ketika sudah ada teori maupun hasil-hasil
penelitian sebelumnya mengenai suatu fenomena (Supratiknya, 2015). Dalam
penelitian ini, peneliti mencoba untuk memahami dunia responden berdasarkan
pemaknaan idiosinkratik sebagai „personal life world‟ atau pengalaman pribadi
tentang bagaimana para lansia terlantar menghadapi krisis psikososial tahap
kedelapan, dengan menggunakan teori Erikson sebagai kerangka analisis. Apakah
didominasi oleh Ego-integrity atau sebaliknya, yaitu despair.
Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi dan mendeskripsikan
pengalaman lansia terlantar baik yang merasa ditelantarkan atau tidak dalam
menghadapi krisis psikososial tahap kedelapan (integrity vs despair) berdasarkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
sudut pandang mereka. Metode pengambilan data dalam penelitian ini adalah
wawancara semi terstruktur, dengan satu pertanyaan wawancara utama di setiap
wilayah-wilayah Ego-Integrity diikuti beberapa kemungkinan pertanyaan
tambahan dalam rangka probing jika diperlukan. Analisis data diawali dengan
mentranskripkan data lisan atau rekaman elektronik menjadi teks tertulis atau
dokumen. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan deskripsi yang padat dan kaya
tentang fenomena yang diteliti (Supratiknya, 2015).
B. Fokus Penelitian
Fokus dalam penelitian ini adalah pengalaman lansia terlantar dalam
menghadapi krisis psikososial. Penelantaran adalah penolakan atau kegagalan
keluarga kecil ataupun besar untuk memenuhi kewajiban dalam bidang
pengasuhan kepada lansia baik secara fisik maupun psikologis atau keduanya
(Anthony et al., 2009).
Krisis psikososial yang harus dihadapi lansia dalam tahap lanjut usia ini
adalah ego-integrity vs despair, yakni ego-integrity sebagai aspek positif dan
despair sebagai aspek negatif. Erikson mendeskripsikan ego-integrity sebagai
penerimaan akan siklus hidup yang harus terjadi sehingga lansia yang mampu
mencapai ego-integrity ini akan merasakan perasaan “enduring wholenes” atau
abadi (1963, dalam Parker, 2013; Westerhof, Bohlmeijer, & McAdams, 2015).
Sebaliknya, despair adalah kesulitan untuk mengintegrasikan masa lalu, saat ini,
dan masa depan menjadi sebuah arti yang utuh (Erikson, 1968).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
Pengalaman-pengalaman tersebut akan diungkap menggunakan kriteria
Ego-integrity menurut Erikson yang meliputi: (1) Adapting to triumphs and
disappointments (mampu beradaptasi dengan keberhasilan dan kegagalan dalam
proses mencapai tujuan), (2) Spirituality (hubungan individu dengan perasaan
akan keberadaan Tuhan atau eksistensi Tuhan), (3) Accept the past as meaningful
(menerima masa lalu sebagai sesuatu yang berarti; mereka tidak mengalami
penyesalan, rasa bersalah, atau ketidakpuasan dengan kehidupan yang dijalani
secara umum), (4) Tolerance or acceptance of others (menerima dan
mentoleransi kehadiran orang lain), (5) A sense of being part of a larger history
that includes previous generations (perasaan telah menjadi bagian yang berharga
dalam sejarah termasuk generasi sebelumnya), (6) Absence of death-anxiety
(ketiadaan kecemasan atau rasa takut akan kematian), (7) Freedom from the
feeling that time is running out (bebas dari perasaan akan kehilangan banyak hal
dalam hidup karena waktu yang dimiliki di dunia telah sedikit), (8) Emotional
integration (integrasi emosional), (9) Satisfaction with life (kepuasan hidup)
(Santor & Zuroff, 1994). Jika yang terjadi adalah lawan dari 9 hal di atas, maka
lansia akan terperosok ke dalam keputusasaan atau despair.
C. Partisipan
Peneliti memilih Rumah Pelayanan Sosial Lanjut Usia Terlantar Budhi
Dharma sebagai lokasi penelitian yang beralamatkan di jalan Ponggalaan, UH
VII/203, Giwangan, Umbulharjo, Yogyakarta. Mulanya peneliti mengetahui
rumah pelayanan sosial ini karena sebelumnya, peneliti telah melakukan
kunjungan untuk keperluan mata kuliah Gerontologi. Rumah pelayanan sosial ini
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
bersifat gratis dan berada di bawah naungan Dinas Sosial Pemerintah Kota
Yogyakarta. Infrastruktur yang dimiliki Rumah pelayanan sosial ini terbilang
cukup baik. Didalamnya terdapat 5 wisma yang setiap wisma dihuni oleh 5-6
lansia dan setiap lansia mendapatkan kamar dengan fasilitas seperti tepat tidur,
lemari pakaian, dan ruang TV bersama. Rumah pelayanan ini memiliki waktu
besuk di hari Jumat, Sabtu, dan Minggu. Meskipun demikian, petugas rumah
pelayanan tersebut mengatakan bahwa intensitas pengunjung yang ingin melihat
kondisi orang tuanya sangat jarang. Bahkan hampir 95% lansia yang tinggal di
tempat ini belum pernah dikunjungi oleh sanak saudara mereka.
Kapasitas rumah pelayanan ini adalah 60 orang sedangkan lansia yang di
lokasi saat ini sebanyak 58 orang. Sebanyak 28 lansia yang tinggal di rumah
pelayanan sosial ini sudah tidak mampu untuk melakukan aktivitas secara mandiri
sehingga membutuhkan dampingan perawat sepenuhnya. Lansia yang berada
dalam kondisi ini tinggal di ruang isolasi. Tiga puluh (30) orang lainnya adalah
lansia yang masih mampu melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri
misalnya makan sendiri, membersihkan kamar dan mencuci pakaian.
Keseluruhan lansia yang tinggal di rumah pelayanan sosial ini dirawat oleh
6 orang perawat. Menurut pandangan peneliti, jumlah perawat yang ada kurang
memenuhi karena tidak sebanding dengan jumlah lansia yang ada. Akibatnya,
kondisi kebersihan kamar lansia yang berada di ruang isolasi terbilang kurang
memadai. Selain itu, kebersihan tubuh pada lansia yang tinggal di ruang isolasi
juga kurang memadai. Hal ini mampu tergambarkan berdasarkan observasi
peneliti.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
Lansia penghuni rumah pelayanan sosial tersebut terlantar karena beberapa
hal seperti, tidak memiliki keluarga kecil (meninggal), ketidakmampuan keluarga
untuk merawat karena kesulitan ekonomi, dan tidak mengetahui keberadaan
keluarganya. Berdasarkan gambaran umum tersebut, peneliti mendapati seluruh
lansia penghuni panti yang berjumlah 58 orang masuk dalam kriteria umum
partisipan yang dibutuhkan dalam penelitian ini.
Dalam keterlibatan penelitian ini, pihak panti menyarankan peneliti untuk
menggunakan lansia yang tergolong masih mampu melakukan aktivitas untuk
menjadi partisipan penelitian ini. Dari 30 lansia tersebut peneliti menggunakan 4
orang lansia sebagai partisipan penelitian dengan kriteria khusus yang telah
ditetapkan. Pemilihan sampel ini dilakukan secara criterion-based atau
berdasarkan kriteria tertentu (Morrow, 2005; dalam Supratiknya, 2018). Kriteria
yang dimaksud adalah memiliki kemampuan komunikatif dan pendengaran yang
baik serta lafal pengucapan yang cukup jelas. Hal ini dilakukan untuk
menghindari kemungkinan-kemungkinan ucapan yang tidak dipahami oleh
peneliti dan partisipan. Proses ini dilakukan dengan melakukan pra-wawancara
(wawancara pendahuluan) pada lansia yang tinggal di panti secara acak.
Dalam proses pengambilan data peneliti menemukan titik redundansi
berhenti pada partisipan keempat. Artinya, peneliti merasa tidak akan
mendapatkan informasi baru lagi dengan menambah data pada partisipan
berikutnya karena data dari keempat partisipan sudah beragam (Patton, 1990,
dalam Marrow, 2005, dalam Supratiknya, 2018).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
Tabel 1
Data Diri Partisipan
Inisial MG MS MT MZ
Jenis
Kelamin
Laki-laki Laki-laki Perempuan Perempuan
Usia
(tahun)
78 80 67 65
Status Duda Duda Janda Tidak menikah
Riwayat
Pekerjaan
Guru,
pelawak
TU,
Serabutan
Guru, Perawat Pegawai
restoran
Agama Islam Islam Katolik Islam
Asal
Daerah
Temanggung Yogyakarta Surabaya Yogyakarta
Pendidikan Pendidikan
Guru
SMA Perawat SMP
D. Peran Peneliti
Peneliti berperan sebagai instrumen penelitian. Artinya, peneliti
memainkan peran penting dalam pengambilan data. Selain itu, peneliti juga
berperan untuk menangkap suara partisipan dan mengolahnya. Peneliti terjun
secara langsung ke lokasi penelitian untuk mengumpulkan data dengan
mewawancarai partisipan dengan sebuah protokol yaitu instrumen pengumpulan
data berupa pedoman wawancara atau pedoman observasi, namun tetap peneliti
sendiri yang benar-benar mengumpulkan data (Supratiknya, 2015). Lalu, peneliti
juga bertugas menjadi sejenis cermin yang merefleksikan secara akurat apa yang
berlangsung di dunia luar sana atau di dalam benak para partisipan penelitian;
peneliti harus mampu menyajikan secara tepat atau benar (truthfully) dunia
subjektif para partisipan dan terlepas dari subjektivitas peneliti sendiri
(Supratiknya, 2018).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
Peneliti tidak memiliki kaitan apapun dengan partisipan maupun dengan
lokasi penelitian. Peneliti memilih Rumah Pelayanan Sosial Lanjut Usia Terlatar
Budhi Dharma Yogyakarta sebagai lokasi penelitian karena peneliti merasa
kriteria subjek yang diperlukan sesuai. Sebelum memutuskan hal tersebut, peneliti
melakukan wawancara singkat dengan petugas sosial di panti tersebut. Setelah
wawancara itu dilakukan, petugas sosial menyatakan bahwa kriteria subjek yang
peneliti maksud sesuai dengan para lansia yang dirawat di situ. Peneliti memilih
panti sebagai lokasi penelitian karena peneliti merasa bahwa panti merupakan
tempat yang terkait dengan topik penelitian dan merupakan lokasi sehari-hari bagi
partisipan menjalani hari tuanya. Maka dari itu, partisipan dapat lebih nyaman
untuk menceritakan pengalamannya.
Potensi yang paling buruk yang bisa terjadi dari penelitian ini adalah
munculnya perasaan sedih atau perasaan-perasaan lain yang dapat menimbulkan
ketidakyamanan dalam diri partisipan ketika mengingat pengalaman yang kurang
menyenangkan dalam hidupnya. Untuk memastikan bahwa partisipan terbebas
dari rasa tidak nyaman, peneliti menempuh prosedur informed consent, yaitu
dengan cara mempersilahkan partisipan untuk mengetahui tema penelitian,
prosedur pengambilan data, dan potensi paling buruk yang mungkin terjadi dalam
penelitian. Selain itu, setelah wawancara selesai dilakukan peneliti tetap
mengunjungi partisipan selama 2- 3 hari untuk melakukan aktivitas bersama
seperti mengisi TTS (teka-teki silang), bertanam, atau sekedar menceritakan
pengalaman menyenangkan seperti hobi. Hal ini bertujuan untuk menghilangkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
perasaan sedih akan ingatan masa lalu yang suram selama proses wawancara
berlangsung.
Isu sensitif yang mungkin muncul terkait etika adalah terbongkarnya
identitas partisipan. Untuk menanggulangi hal itu, semua data mengenai identitas
partisipan akan diminimalisir, peneliti akan menggunakan inisial P1, P2, dan
seterusnya.
E. Metode Pengambilan Data
Dalam penelitian ini, metode utama yang digunakan dalam pengambilan
data adalah wawancara semi terstruktur dengan menggunakan daftar pertanyaan
wawancara. Pertanyaan yang diajukan ialah pertanyaan terbuka. Pertanyaan
terbuka digunakan supaya partisipan dapat lebih bebas mengutarakan pengalaman
mereka tanpa dibatasi oleh bias peneliti atau temuan penelitian sebelumnya
(Cresswel, 2012, dalam Supratiknya, 2015). Di dalam penelitian kualitatif,
wawancara dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang
mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan
jawaban atas pertanyaan itu (Meolong, 2015, dalam Supratiknya, 2015).
Kemudian, peneliti akan merekam jawaban yang diberikan oleh partisipan lalu
mentranskripsi dan menganalisis data yang diperoleh tersebut.
Metode ini dipilih karena peneliti dapat secara langsung bertatap muka
secara personal dengan partisipan sehingga menghindari timbulnya rasa enggan
atau malu dari partisipan ketika mengungkapkan pengalaman pribadinya.
Sebelum wawancara dilakukan, peneliti menyiapkan prosedur perekaman
data berupa protokol wawancara yang berisi daftar pertanyaan yang akan diajukan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
pada partisipan yang didasarkan pada rumusan pertanyaan penelitian dan teori
ego-integrity yang digunakan peneliti. Berikut adalah daftar pertanyaan yang
digunakan dalam penelitian ini:
Pertanyaan pendahuluan
Tabel 2
Pertanyaan Pendahuluan
No. Pertanyaan No. Pertanyaan
1 Keluarga mbah tinggal di mana? 6 Mbah merindukan mereka tidak?
2 Apakah mbah memiliki
suami/istri? Di mana sekarang? 7 Mbah dulu kerjaannya apa?
3 Apakah mbah memiliki anak? Di
mana mereka? 8 Sudah berapa lama disini mbah?
4 Siapa saja keluarga mbah yang
masih tersisa? 9
Mbah senang tidak tinggal di
sini?
5 Mbah pernah dijenguk tidak? 10 Apakah mbah merasa
ditelantarkan oleh keluarga?
Pertanyaan Utama
Mbah, coba mbah ceritakan pengalaman mbah selama mbah hidup sampai saat
ini? Cerita apa saja mbah!
Tabel 3
Pertanyaan Utama pada Masing-Masing Wilayah
No. Wilayah Ego-Integrity Pertanyaan Utama
1 Adapting to triumphs and
disappointments (mampu
beradaptasi dengan keberhasilan
Mbah pernah
mempelopori/menggerakkan suatu
kegiatan gak?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
No. Wilayah Ego-Integrity Pertanyaan Utama
dan kegagalan dalam proses
mencapai tujuan)
Bagaimana cara mbah
menyesuaikan dengan lingkungan
baru? Coba mbah ceritakan!
- Adakah pengalaman menarik tentang
hal itu?
2 Spirituality (hubungan individual
dengan perasaan akan keberadaan
Tuhan atau eksistensi Tuhan)
Menurut mbah Tuhan itu apa?
- Coba ceritakan sejauh mana mbah
dekat dengan Tuhan?
- Gimana biasanya mbah menyadari
akan kehadiran Tuhan dalam hidup
mbah?
3 Accept the past as meaningful
(menerima masa lalu sebagai
sesuatu yang berarti; mereka
tidak mengalami penyesalan, rasa
bersalah, atau ketidakpuasan
dengan kehidupan yang dijalani
secara umum)
Coba ceritakan pengalaman apa
saja yang sudah mbah lalui semasa
hidup?
- Coba ceritakan, pengalaman yang
paling mbah ingat boleh cerita
senang, ceita sedih, cerita
kemarahan?
4 Tolerance or acceptance of
others (mentoleransi dan
menerima kehadiran orang lain
Coba ceritakan bagaimana relasi
mbah dengan orang lain?
Pengalaman tentang pertemanan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
No. Wilayah Ego-Integrity Pertanyaan Utama
tanpa melihat perbedaan yang
ada)
mbah gimana? Boleh cerita
pertemanan yang Bahagia, sedih,
atau marah?
5 A sense of being part of a larger
history that includes previous
generations (perasaan telah
menjadi bagian yang berharga
dalam sejarah termasuk generasi
sebelumnya)
Coba ceritakan, menurut mbah
apakah mbah adalah seseorang
yang berguna di masa lalu?
- Jika iya, pengalaman apa yang
membuat mbah menjadi seseorang
yang berharga?
- Kalau dulu kan mbah bisa
melakukan sesuatu yang berharga
itu (pengalaman berharga yang
diceritakan) sekarang mbah kan
udah sakit (kakinya, misal) mbah
menyesal tidak?
6 Absence of death-anxiety
(ketiadaan kecemasan atau rasa
takut akan kematian)
Mbah takut gak kalo dipanggil
Gusti?
7 Freedom from the feeling that
time is running out (bebas dari
perasaan akan kehilangan banyak
hal dalam hidup karena waktu
Mbah punya keinginan yang belum
tercapai tidak?
- Mbah pernakah berpikir kok saya
udah tua ya, padahal saya masih
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
No. Wilayah Ego-Integrity Pertanyaan Utama
yang dimiliki di dunia telah
sedikit)
ingin melakukan sesuatu
8 Emotional integration (integrasi
emosional)
Mbah, apakah mbah pernah merasa
jengkel/marah/benci sama
seseorang?
- Mbah sampai mukul gak? (Kalo
engga) gimana cara mbah
mengontrol emosi negatif mbah itu?
9 Satisfaction with life (kepuasan
hidup)
Mbah, secara umum, mbah puas
tidak dengan hidup mbah?
= pertanyaan utama
- = probing
Pertanyaan penutup
Apakah ada pengalaman yang ingin mbah ceritakan lagi?
F. Analisis dan Interpretasi Data
Metode analisis data yang digunakan adalah analisis isi kualitatif (AIK),
yakni sebuah metode untuk menganalisis pesan-pesan komunikasi, baik tertulis,
lisan maupun visual (Supratiknya, 2015). Dalam AIK, dilakukan klasifikasi atau
penyaringan terhadap teks atau kata-kata ke dalam sejumlah kategori yang
mewakili aneka isi tertentu. Tujuan akhir AIK adalah memperoleh pengetahuan
dan pemahaman berupa konsep atau kategori tentang fenomena yang sedang
diteliti (Hsieh & Shannon, 2005; Elo & Kygas, 2008, dalam Supratiknya, 2015).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
Analisis penelitian ini menggunakan pendekatan deduktif, yakni analisis
isi terarah. Penelitian ini menghasilkan data berupa transkripsi dari hasil
wawancara. Kemudian, data berupa transkripsi tersebut dianalisis melalui
langkah-langkah sebagai berikut: (1) membaca secara berulang-ulang corpus data
berupa transkripsi verbatim ungkapan responden yang dikumpulkan melalui
wawancara semi terstruktur; (2) melakukan initial coding atau menemukan kode-
kode berupa konsep-konsep tertentu dalam transkripsi verbatim secara induktif
baris demi baris (inductive, line-by-line approach); (3) mengelompokkan kode-
kode ke dalam tema-tema, yaitu sejenis konsep besar dengan cakupan isi yang
lebih luas dibandingkan kode, dengan tujuan menemukan sejenis narasi analitik
yang koheren dari keseluruhan corpus data; dan (4) memperhalus atau
mempertajam analisis dengan cara menempatkan tema-tema dalam susunan
hirarkis tertentu menjadi tema-tema dan sub-sub tema di bawah masing-masing
tema; tema-tema dan sub-subtema tersebut selanjutnya diberi label atau nama,
masing-masing subtema dilengkapi dengan kutipan-kutipan yang dicuplik dari
transkripsi verbatim sebagai bukti atau pendukung; sehingga diperoleh narasi
yang utuh tentang fenomen yang diteliti.
Tabel 4
Kerangka Analisis Pengalaman Lansia Terlantar dalam Menghadapi Krisis
Psikososial Tahap Kedelapan (Ego-Integrity vs Despair)
Wilayah Integrity Despair
Adapting to
thriumps and
disappointments
- Aktif: individu bergerak
untuk merubah
lingkungan agar sesuai
dengan kebutuhannya
- Aktif: kecenderungan
untuk diam dan
mengikuti arus
- Pasif: cenderung sulit
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
Wilayah Integrity Despair
atau masyarakat
- Pasif: individu
menyesuaikan diri
dengan lingkungan
menyesuaikan diri
dengan lingkungan
Spirituality
- Yakin akan keberadaan
Tuhan
- Yakin akan keterlibatan
Tuhan secara positif
dalam setiap proses
kehidupan
- Memaknai kehidupan
secara positif dalam
konteks kerohanian
- Memaknai penderitaan
sebagai suatu hikmah
positif dari kejadian
yang dialami
- Tidak percaya
keberadaan Tuhan
- Menyesali takdir
Tuhan
Accept the past as
meaningful
- Mampu menerima
pengalaman masa lalu
secara keseluruhan
- Memiliki perasaan
positif tentang masa lalu
- Dapat menerima
pengalaman negatif
yang dialami
- Cenderung tidak
menerima masa lalu
secara keseluruhan
- Tidak mampu
menerima pengalaman
negatif yang terjadi di
masa lalu
Tolerance and
acceptance of
others
- Menerima orang lain
apa adanya secara
keseluruhan, tanpa
adanya suatu
- Memiliki batasan
untuk menerima orang
lain
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
Wilayah Integrity Despair
persyaratan ataupun
penilaian.
A sense of being
part of a larger
history that
includes previous
generations
- Perasaan berharga atas
pencapaian yang
diperoleh di masa lalu
- Merasa merepotkan
- Perasaan tidak berguna
Absence of death-
anxiety
- Terbebas dari rasa
ketidaknyamanan akan
kematian
- Memiliki kecemasan
akan kematian
Freedom from the
feeling that time is
running out
- Tidak ada keinginan
yang disesali karena
belum tercapai
- Kualitas hidup secara
positif
- Waktu terasa berjalan
cepat
- Ada harapan yang
belum tercapai
Emotional
Integration
- Merasakan, memahami,
dan merespon emosi
secara tepat
- Merasakan,
memahami, dan
merespon emosi
dengan cara yang
kurang tepat
Life Satisfaction
- Mengevaluasi
keseluruhan kualitas
hidup secara positif
- Tidak memiliki
kepuasan akan hidup
yang dijalani
G. Penegakan kredibilitas dan dependabilitas penelitian
Peneliti menggunakan beberapa cara untuk memastikan data yang
diperoleh dapat dipercaya atau kredibel. Pertama, peneliti melakukan member
checking atau pengecekan bersama partisipan setelah data dirumuskan ke dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
tema-tema. Peneliti membawa kembali kepada partisipan untuk mengetahui
apakah tema-tema yang telah dirumuskan tersebut sudah akurat atau sesuai
dengan diri partisipan. Kedua, peneliti menggunakan thick description, yaitu
deskripsi mendalam dengan memaparkan secara rinci setting mulai dari latar
belakang partisipan hingga kondisi lokasi penelitian dan dinamika ketika
melakukan wawancara. Dengan cara itu, hasil-hasil penelitian menjadi lebih
realistik dan dapat dipercaya (Supratiknya, 2015). Selain itu, dalam penelitian ini
peneliti terlibat dan mengenal partisipan dalam waktu cukup lama (prolonged
engagement). Peneliti juga menggunakan bantuan peer debriefer, yaitu review
oleh teman sejawat untuk proses akurasi laporan penelitian.
Penelitian ini menggunakan dua strategi untuk menguji konsistensi hasil
penelitian. Strategi yang pertama adalah memeriksa dengan seksama transkrip-
transkrip rekaman wawancara sehingga tidak ada kesalahan-kesalahan serius yang
bisa terjadi selama proses transkripsi. Kedua, dalam proses pengkodean, peneliti
juga membandingkan data dengan kode-kode yang telah dirumuskan. Hal ini
bertujuan untuk menghindari pergeseran makna kode-kode yang mungkin terjadi
selama transkripsi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada akhir bulan Juni sampai awal bulan
Oktober 2018. Pengambilan data menggunakan metode wawancara semi
terstruktur dengan responden empat orang lansia terlantar yang tinggal di Rumah
Pelayanan Sosial Lanjut Usia Terlantar Budhi Dharma Yogyakarta. Durasi
wawancara bervariasi antara 1 jam sampai paling lama 2,5 jam. Rangkuman
waktu dan tempat diadakan wawancara disajikan di tabel berikut ini.
Tabel 5
Waktu dan Lokasi Pelaksanaan Wawancara
B. Latar Belakang Partisipan dan Dinamika Proses Wawancara
Wawancara dilakukan oleh peneliti dengan cara tatap muka langsung
dengan partisipan. Sebelum wawancara dimulai, peneliti memaparkan secara garis
besar mengenai penelitian dan beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh
partisipan. Tiap partisipan juga telah menyetujui untuk berpartisipasi dalam
No. Lansia
Terlantar
Waktu
Wawancara
Lokasi Wawancara
1 P1 22 Juni 2018
23 September 2018
Teras wisma laki-laki
Ruang tamu wisma laki-laki
2 P2 28 Juni 2018
23 September 2018
Ruang tamu wisma laki-laki
Ruang tamu wisma laki-laki
3 P3 27 September 2018
13 Oktober 2018
Ruang tamu wisma perempuan
Ruang tamu wisma perempuan
4 P4 14 Oktober 2018
28 Oktober 2018
Ruang tamu wisma perempuan
Kamar tidur partisipan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
penelitian ini yang dibuktikan dengan surat pernyataan persetujuan (informed
consent) yang diberikan oleh peneliti. Informend consent tersebut mencakup
pemberian informasi lengkap tentang penelitian termasuk resiko-resiko dan
pemberian kesediaan-kesediaan untuk partisipasi sesudah tahu seluk-beluk dan
resikonya.
Partisipan pertama atau P1. P1 adalah laki-laki berumur 78 tahun
yang berasal dari Temanggung. P1 terlahir di keluarga yang sangat taat beribadah
terutama sang ayah. P1 saat ini menyandang status duda karena istrinya telah
meninggal baik pada pernikahan pertama ataupun kedua. Pada pernikahan
pertama, beliau dikaruniai dua orang anak namun mereka berdua telah meninggal.
Anak pertama meninggal karena demam berdarah dan anak kedua meninggal
sesaat setelah dilahirkan. Pada pernikahan kedua, beliau tidak dikaruniai anak
namun beliau memiliki anak tiri dari istri kedua tersebut. Beliau tidak mau tinggal
bersama anak tirinya karena lebih memilih untuk hidup mandiri dan berpindah-
pindah mengikuti grup ketoprak yang ditekuninya. Menurut beliau, dengan cara
seperti itu bisa mengenal banyak orang baru sambil memperlihatkan
kemampuannya untuk bermain ketoprak. Selain itu, beliau juga bisa membantu
dan menghibur banyak orang.
P1 pada masa lalunya memiliki riwayat pekerjaan sebagai guru dan
pelawak srimulat. Beliau memilih keluar dari guru dan menekuni srimulat karena
pendapatan menjadi pelawak jauh lebih besar dibandingkan gaji guru jika
dikalkulasikan setiap bulannya. Selain itu, beliau juga mengakui bahwa ia sangat
mencintai dunia hiburan. Kecintaan ini terlihat dari banyaknya pancapaian yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
telah beliau raih, seperti membintangi beberapa film layar lebar, menjadi pemain
terbaik, hingga dinobatkan untuk memimpin salah satu grup srimulat Solo pada
tahun 1982. Melalui kegiatan tersebut, beliau telah menjelajahi beberapa kota
besar di Indonesia seperti Jakarta, Denpasar, dan Surabaya untuk menampilkan
pertunjukan.
Selain di dunia hiburan, beliau juga aktif dalam kegiatan sosial. Beliau
pernah menggerakkan mahasiswa untuk membuat drama teater kecil untuk
membantu korban tsunami Aceh pada tahun 2004. Para mahasiswa inilah yang
menyarankan beliau untuk tinggal di Rumah Pelayanan Sosial Lanjut Usia
Terlantar Budhi Dharma, karena kota Yogyakarta lebih cocok untuk tempat
tinggal beliau. Menurut mahasiswa tersebut, panti di daerah Purworejo yang
menjadi tempat tinggal beliau sebelumnya kurang ramai sehingga beliau tidak
bisa menunjukkan keahliannya pada banyak orang. Alasan inilah yang membuat
beliau bisa sampai di Yogyakarta tepatnya di Rumah Yayasan Sosial Lansia
Terlantar Budhi Dharma. Beliau menceritakan bahwa tujuannya untuk tinggal di
rumah pelayanan sosial ini adalah membuat pengunjung senang datang ke lokasi.
Beliau sudah tinggal di rumah pelayanan sosial di Yogyakarta ini selama 12
tahun. Menurut pengakuan beliau, beliau belum pernah mendapatkan kunjungan
dari keluarga selama tinggal di rumah pelayanan.
Wawancara dengan partisipan dilakukan sebanyak dua kali, yaitu pada
tanggal 22 Juni dan 23 September. Pada wawancara yang pertama, partisipan
menggunakan kaus singlet berwarna putih dan celana (kain) pendek berwarna
hitam. Wawancara dilaksanakan selama satu jam empat menit di teras wisma laki-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
laki. Kondisi di tempat wawancara cukup kondusif karena tidak ada kegiatan yang
sedang berlangsung di rumah pelayanan sosial tersebut. Pada saat wawancara
berlangsung, salah seorang teman di rumah pelayanan sosial memanggil beliau
untuk mengambil belanjaan yang dititipkan pada beliau. Beliau mengatakan
bahwa teman-teman di rumah pelayanan sosial sering meminta tolong untuk
membelikan sesuatu di pasar karena kondisi mereka sudah tidak memungkinkan.
Selama proses wawancara, beberapa kali suara partisipan terdengar kurang jelas
sehingga peneliti menanyakan kembali apa yang beliau ucapkan dan mendekati
arah suara. Sesaat sebelum wawancara selesai, partisipan meminta ijin untuk
menunaikan sholat terlebih dahulu kemudian peneliti juga turut menutup proses
wawancara hari pertama tersebut.
Pada wawancara kedua, wawancara dilakukan di ruang tamu wisma
laki-laki dan berlangsung selama satu jam. Partisipan menggunakan kaus berkerah
berwarna abu-abu dan celana (kain) panjang berwarna hitam. Di wawancara yang
kedua ini, partisipan mendominasi untuk menceritakan pengalaman hidupnya
sama seperti yang diceritakan pada wawancara pertama sehingga wawancara
berlangsung cukup lama. Ketika peneliti datang, partisipan tidak mengingat
bahwa beliau sudah pernah melangsungkan wawancara bersama peneliti
sebelumnya. Situasi saat wawancara terbilang tidak terlalu kondusif karena
sedang dilangsungkan kegiatan bakti sosial oleh salah satu komunitas di
Yogyakarta. Sama seperti proses wawancara sebelumnya, suara partisipan
terdengar kurang jelas karena penurunan kondisi fisik yang dialami beliau.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
Partisipan kedua atau P2 adalah laki-laki berumur 80 tahun yang
berasal dari Klaten. Pendidikan terakhir P2 adalah SMP, beliau tidak melanjutkan
sekolah karena keterbatasan kondisi ekonomi keluarga. P2 melanjutkan untuk
kerja serabutan setelah ia putus sekolah. Beberapa pekerjaan yang pernah beliau
tekuni sebelum tinggal di rumah pelayanan sosial adalah berjualan lampu minyak,
pecel lele, dan bubur bayi. Beliau mengakui selain untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari, hasil dari berjualan digunakan untuk menjalani pengobatan sang istri.
Saat ini, beliau menyandang status duda, istrinya telah meninggal karena diabetes.
Dari hasil pernikahan tersebut, beliau dikaruniai seorang anak laki-laki. Beliau
mengakui bahwa anak laki-lakinya nakal, sering melakukan balapan motor.
Setelah anak satu-satunya tersebut menikah, beliau tinggal sendiri di rumah
kontrakannya. Beliau hanya dijamin 5000 rupiah setiap hari oleh anaknya. Oleh
karena itu, beliau sering mencari makan sendiri lewat belas kasihan tetangga.
Sebab kondisi ini, salah seorang tetangga menyarankan beliau untuk tinggal di
rumah pelayanan sosial. Beliau telah tinggal di rumah pelayanan sosial selama 8
bulan. Dalam rentang waktu tersebut, beliau hanya dikunjungi satu kali oleh
anaknya. Beliau mengaku lebih sering mengunjungi rumah menantunya untuk
dapat bertemu dengan cucunya. Beliau enggan untuk tinggal di rumah
menantunya karena takut merepotkan. Kondisi ini didukung oleh keadaan
ekonomi keluarga anaknya yang terbilang belum tercukupi pada saat itu.
Keseharian P2 di rumah pelayanan sosial cenderung lebih sering duduk sendiri
karena menurut beliau jika sering berkunjung ke wisma lain akan menimbulkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
cek-cok. Setiap peneliti berkunjung ke lokasi, beliau selalu duduk sendiri di sofa
ruang tamu wisma yang ditinggalinya.
Wawancara dengan partisipan dilakukan sebanyak dua kali, yaitu pada
tanggal 28 Juni dan 23 September. Pada wawancara pertama, partisipan
menggunakan kemeja hitam bergaris dan celana (kain) panjang berwarna abu-abu.
Ketika peneliti berjabat tangan dan memperkenalkan diri, tampak air mata
memenuhi kelopak mata partisipan namun tak sampai menetes. Peneliti
merasakan genggaman erat tangan partisipan saat bersalaman dengan peneliti.
Wawancara pertama berlangsung selama 2 jam 30 menit dengan situasi cukup
kondusif. Selama proses wawancara, beberapa kali peneliti tidak mendengar jelas
apa yang diucapkan oleh partisipan sehingga peneliti lebih mendekatkan posisi
duduk dengan partisipan. Partisipan cenderung lama menjawab pertanyaan-
pertanyaan yang diberikan oleh peneliti sehingga peneliti mengulangi kembali
pertanyaan yang telah diberikan untuk memancing jawaban dari partisipan.
Kelopak mata partisipan kembali dipenuhi air mata ketika peneliti berpamitan
sehingga peneliti mengurungkan niat untuk pulang dan mengajak partisipan
bercerita ringan.
Wawancara kedua dilakukan di ruang tamu wisma laki-laki dan
berlangsung selama 23 menit. Pada wawancara kedua ini, partisipan
menggunakan baju batik dan celana kain berwarna hitam. Situasi ruangan tidak
begitu kondusif karena noise dari sound system yang digunakan untuk acara di
aula yang terletak berdekatan dengan wisma partisipan. Di sela-sela wawancara
berlangsung, partisipan meminta izin untuk mengganti pakaian terlebih dahulu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
karena acara di aula akan segera dimulai. Partisipan tidak mengetahui secara pasti
kegiatan yang akan dilaksanakan di aula, beliau mengatakan hanya diminta untuk
berkumpul di aula saja.
Partisipan ketiga atau P3 adalah seorang janda berusia 67 tahun yang
berasal dari Surabaya. P3 lahir dari keluarga pekerja keras. Sejak SD, P3 telah
memiliki tugas untuk membantu ibunya seperti menggoreng kacang dan
membungkus kue sepulang sekolah. Pekerjaan-pekerjaan ini sering membuat
partisipan tidak memiliki waktu bermain bersama teman-teman seusianya. Setelah
menginjak dewasa, P3 menjadi seorang guru di salah satu PAUD daerah
rumahnya. Ia mengaku sangat senang bisa mengajar anak anak. Selain itu, ia juga
membuka jasa les di sore hari setelah pulang dari mengajar PAUD. Berdasarkan
pengakuan partisipan, kesenangan ini tak berlangsung lama karena sang ibu
memintanya untuk melanjutkan pendidikan dalam bidang keperawatan. Oleh
karena tidak mau menjadi anak yang durhaka, partisipan melaksanakan
permintaan ibunya meski ia harus merelakan kebahagiaannya.
Partisipan memiliki pengalaman pernikahan yang buruk dengan suami
pertamanya. Ia mengungkapkan bahwa hanya harta yang bisa diberikan oleh
suaminya tersebut dan tanpa adanya kasih sayang. Hal ini yang menyebabkan
partisipan memilih untuk bercerai dengan suami pertamanya. Partisipan
dipertemukan dengan seorang laki-laki yang tulus mencintainya hingga mereka
dikaruniai dua orang anak. Namun ternyata Tuhan berkehendak lain. Saat ini P3
menyandang status janda karena suami dan kedua anaknya meninggal dalam suatu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
kecelakaan mobil. Dari kejadian tersebut, partisipan memilih untuk tinggal di
rumah ibunya dan merawat hingga sang ibu meninggal.
Partisipan memiliki penyesalan ketika belum bisa membuat ibunya
bahagia namun ibunya sudah harus berpulang ke rumah Tuhan. Partisipan
memilih untuk tinggal di rumah pelayanan sosial atas kehendaknya sendiri dengan
alasan tidak mau merepotkan adik-adiknya. Beliau telah tinggal di rumah
pelayanan sosial ini selama kurang lebih tiga tahun. Selama tinggal panti, beliau
dikunjungi keluarga sebanyak 3 kali dan kunjungan terakhir pada Juni 2017 lalu.
Tinggal di rumah pelayanan sosial ini tidak setenang yang beliau bayangkan.
Beliau merasa banyak keributan yang sering dialami disini. Menurut beliau, adu
mulut adalah hal yang lumrah. P3 adalah sosok yang mudah berbaur. Hal ini
terlihat dari keseharian beliau yang cenderung sering bercengkrama dengan lansia
di wisma lain. Ia juga dipercaya untuk menjadi koordinator agama Katolik di
rumah pelayanan sosial tersebut. Bertanam adalah salah satu kegiatan yang
digemari P3. Ia memiliki banyak tanaman yang di rawat setiap harinya, seperti
bunga mawar, bunga anggrek, pohon jambu dan anggur.
Wawancara dengan partisipan dilakukan sebanyak dua kali, yaitu pada
tanggal 27 Juni dan 23 September. Wawancara pertama dilakukan di ruang tamu
wisma putri rumah pelayanan sosial selama 1 jam 13 menit. Pada wawancara
pertama ini, partisipan menggunakan daster bercorak warna-warni. Setelah
peneliti selesai memperkenalkan diri, P3 menceritakan bahwa ia sedang sakit
dengan mata yang temaram. P3 merasa sedih karena ia sakit di saat memiliki
tanggungjawab yang harus diselesaikan, yakni sebagai koordinator gereja. Peneliti
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
mencoba memberikan P3 semangat untuk menjaga pola hidup sehat agar cepat
sembuh dan segera bisa menyelesaikan tugasnya. Secara keseluruhan suara
partisipan terdengar jelas dan cukup keras sehingga peneliti mampu memahami
apa yang dikatakan dengan baik. Hal ini juga didukung oleh situasi ruangan yang
kondusif dan ketepatan partisipan dalam merespon jawaban atas pertanyaan
wawancara yang diberikan.
Wawancara kedua dilaksanakan selama 15 menit di ruang tamu wisma
putri. Pada wawancara kali ini, P3 menggunakan blues dengan motif bunga dan
celana kain berwarna hitam. Sebelum masuk ke pertanyaan wawancara, partisipan
menceritakan beberapa hal mengenai keponakannya hingga membuat beliau
menangis selama kurang lebih 5 menit. Percakapan ini berlangsung haru karena
P3 terlihat sangat sedih sehingga suara yang dikeluarkan kecil dan lafalnya kurang
jelas. Setelah P3 selesai bercerita dan tidak menangis lagi, peneliti memulai untuk
memberikan pertanyaan kepada partisipan.
Partisipan keempat atau P4 adalah perempuan berumur 65 tahun yang
berasal dari daerah Kemetiran, Yogyakarta. P4 memilih untuk tidak menjalin
hubungan pernikahan karena laki-laki yang ia senangi ternyata memiliki perilaku
yang angkuh dan sampai saat ini beliau belum menikah. Partisipan mengakui
bahwa ia banyak memiliki teman laki-laki ketika masih muda. Menurut beliau, tak
jarang hal ini menjadi perbincangan warga sekitar rumah beliau karena beliau
kerap diantar oleh teman laki-laki yang berbeda. Beliau mengungkapkan bahwa ia
memang sering berganti pasangan namun hanya sebatas berhubungan sewajarnya
seperti berciuman, berpelukan, dan bergandengan layaknya orang pacaran. Beliau
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
mengakui bahwa ada beberapa laki-laki yang mengajak beliau untuk berhubungan
seksual, namun beliau menolak hal tersebut. Menurut beliau hubungan seksual
hanya boleh dilakukan oleh pasangan suami istri yang telah sah. P4 berasal dari
keluarga yang kurang harmonis karena hubungan ayah dan ibu tidak terlalu baik.
Hal ini disebabkan oleh perilaku ayah yang senang berjudi dan tidak mau
mengurus anggota keluarganya. P4 mengaku bahwa ia sering menegur ayahnya
namun tidak mendapatkan respon apapun. Sang ayah hanya diam dan
meninggalkannya pergi. Oleh karena hal ini, P4 mengaku bahwa ia tidak terlalu
sedih ketika ayahnya meninggal. Beliau tinggal bersama ibu dan adiknya ketika
sang ayah telah meninggal. Adik dan ibu beliau sakit sehingga P4 bekerja untuk
memenuhi kebutuhan mereka. P4 mengaku ia melakukan pekerjaan apapun untuk
memenuhi kebutuhan adik dan ibunya. Salah satu pekerjaan yang beliau tekuni
adalah menjadi seorang pelayan di restoran. P4 merawat ibu dan adiknya sampai
mereka meninggal. Walaupun berat, ia tetap menjalaninya karena bagi beliau itu
adalah tanggungjawabnya.
Kemudian P4 memilih untuk tinggal bersama keponakannya di
Muntilan. Beliau membantu ponakannya untuk membuat roti dan menjualnya di
pasar atau warung. Namun hal ini tidak berjalan lama, P4 mengidap penyakit
diabetes yang membuat kakinya terluka. Oleh karena itu, partisipan memilih
untuk tinggal di rumah pelayanan sosial karena merasa merepotkan jika tinggal di
rumah adiknya. Hal ini diperkuat oleh keadaan P4 yang tidak bisa membantu
adiknya lagi untuk berjualan karena penyakit yang dideritanya. P4 sudah tinggal
di rumah pelayanan sosial kurang lebih selama 5 tahun. P4 merasa kurang nyaman
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
tinggal di wismanya saat ini karena perilaku beberapa lansia yang mengganggu,
seperti cerewet dan mendengar radio keras-keras. P4 lebih senang untuk duduk di
ruang isolasi karena kondisinya lebih tenang.
Wawancara dengan P4 dilakukan dua kali yaitu pada tanggal 14
Oktober 2018 dan 24 Oktober 2018. Wawancara pertama berlangsung selama 1
jam 20 menit dan wawancara ke dua selama 50 menit. Pada saat wawancara
pertama, partisipan mengenakan kaus bekereah warna hijau lumut dan celana kain
abu-abu. Situasi wawancara pada saat itu kurang kondusif karena ada salah
seorang penghuni yang turut dalam wawancara dan sesekali ikut berbicara. P3
memiliki lafal ucapan yang kurang jelas sehingga peneliti berusaha untuk
menyimak dengan sungguh-sungguh dan menanyakan kembali kata yang tidak
mampu peneliti pahami. Dalam proses wawancara pertama ini, P4 terlihat kurang
terbuka dengan jawaban-jawaban yang beliau berikan. Hal ini terlihat dari gerak-
gerik beliau seperti mengalihkan pandangan mata dan tertawa kecil. Selain itu,
jawaban yang diutarakan cenderung singkat atas pertanyan yang diberikan oleh
peneliti.
Untuk menggali lebih jauh, peneliti melakukan wawancara kedua.
Wawancara kedua dilaksanakan di kamar P4 yang berlangsung selama 50 menit.
Wawancara berjalan kondusif karena di ruangan tersebut hanya ada peneliti dan
partisipan. Pada wawancara kali ini, partisipan terlihat lebih leluasa untuk
menceritakan pengalamannya. Hal ini terlihat dari gerak gerik beliau yang santai
sambil sesekali melontarkan senyuman. Selain itu, volume suara partisipan dalam
wawancara ke dua ini terdengar lebih keras. Walaupun demikian, lafal yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
diucapkan partisipan masih terdengar kurang jelas sehingga beberapa kali peneliti
meminta beliau untuk mengulangi jawaban yang telah diberikan. Di akhir sesi
wawancara, partisipan meminta tolong pada peneliti untuk menelepon
keponakannya. Percakapan mereka berlangsung kurang dari satu menit.
Keponakan dari partisipan terlihat menjawab dengan tergesa-gesa. Percakapan
tersebut terpotong karena keponakan partisipan telah menutup teleponnya
sebelum partisipan selesai berbicara.
C. Hasil Penelitian
Dalam rangka menjawab pertanyaan penelitian, peneliti akan
mengeksplorasi dan mendeskripsikan bagaimana pengalaman lansia terlantar
dalam menjalani krisis psikososial. Peneliti akan memaparkan pengalaman yang
tergolong pada ego-integrity atau despair berdasarkan wilayah yang telah
ditetapkan. Selanjutnya, untuk memperkuat hasil, peneliti juga akan mengutip
kutipan wawancara dari partisipan yang mendukung paparan hasil. Di bagian
akhir peneliti juga akan memperlihatkan tabel persebaran wilayah ego-integrity
dan despair pada lansia terlantar.
1. Adapting to thriumps and disappointments atau beradaptasi dengan
keberhasilan dan kekecewaan
a. Ego-Integrity
Lansia yang berhasil mencapai Ego-integrity pada wilayah ini cenderung
mampu untuk beradaptasi secara aktif (menggerakkan lingkungan) ataupun
pasif (mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan). Dalam penelitian ini
ditemukan pengalaman yang tergolong dalam kondisi ego-integrity, di
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
antaranya pernah mempelopori kegiatan sosial (P1 dan P3) dan kerohanian
(P3). Kegiatan tersebut merupakan salah satu bentuk partisipasi dalam rangka
menggerakan lingkungan untuk mencapai suatu tujuan yang merupakan kriteria
dari adaptasi aktif. Hal ini dibuktikan dari kutipan berikut:
Mempelopori kegiatan sosial
P1
2005 itu anu anu saya membuat ee saya ya anu apa itu ikut meramaikan
disitu. 2005 itu anu anu saya membuat ee apaa itu pentas membuat pentas
nganu apa itu ya pentas lain ya macam- macam, ada apa itu. Film ada
tari-tarian, ada lawak, ada lain-lain, yang tujuannya saya itu anu mencari
dana untuk tsunami Aceh, tsunami Aceh tahun berapa? 2004 Terus saya
ya nganu eee apa itu mahasiswa-mahasiswa itu saya gerakkan, pemuka
agama, masyarakat. Nah setelah sukses lalu uangnya saya serahkan ke
dompet kedaulatan rakyat cabang
Mempelopori ajaran rohani
P3
P3: Aaa kebetulan ni yang di ini sama sekali belum pernah mengenal
agama… nanya kamu ikut apa, jawabnya ndak tauu lah bunda, lo jangan
ndak tau, kita harus ikut, harus punya pegangan.
Peneliti: Kalo boleh tau mbah, apa sih yang membangkitkan semangat
mbah untuk melakukan hal itu kepada teman-teman mbah?
P3: (uhukk) itu dari saya sendiri, kalo seperti saya kan dari nenek kakek
saya memang di gereja ya, terus kan dididik agama itu dari kecil, a kedua
keduanya kita juga mendengarkan khotbah dari pastur dari suster, dari
kenyataan duniawi ya, bagaimana orang yang tidak punya pegangan
seperti itu, kadang mau dimakamkan saja bingung.
Selain itu, terdapat juga temuan lain yang tergolong dalam kondisi ego-
integrity yaitu mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan (P1 dan P3).
Kemampuan untuk menyesuaikan diri ini menggambarkan bagaimana lansia
mampu untuk berbaur di lingkungan yang menjadi tempat tinggal mereka
sebagai cerminan dari adaptasi pasif. Hal ini dibuktikan dari kutipan berikut:
Mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan
P1
Saya itu sering main mbak ke wisma yang lain, berbaur yaa semua kenal
saya kadang ngobrol ya cerita yaa mudah ya menyesuaikan dengan sini,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
dulu saya juga pindah-pindah ketemu orang yang ganti ganti, bisa-bisa
mbak dulu kan saya dulu juga manggung pindah—pindah
Dapat disimpulkan, pada wilayah Adapting to thriumphs and
disappointments partisipan P1 dan P3 cenderung mampu mencapai ego-
integrity, berupa kemampuan untuk menggerakkan lingkungan dan
menyesuaikan diri dengan lingkungan. Hal ini diduga sesuai dengan latar
belakang kedua partisipan yang memiliki pekerjaan yang membanggakan bagi
diri mereka di masa lalu. Dalam menjalani pekerjaan ini, mereka terbiasa untuk
bekerjasama dengan orang lain. P1 adalah pemimpin srimulat yang sering
melakukan pementasan di lokasi yang berbeda sehingga banyak bertemu
dengan orang-orang baru. Selain itu, P1 juga sering dilibatkan dalam kegiatan
yang diadakan di rumah pelayanan seperti memberikan sambutan. Selanjutnya,
P3 adalah seorang mantan guru TK dan perawat. Pekerjaannya tersebut
membuat beliau mengenal banyak orang sehingga mampu mendukung
kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan orang-orang baru. Selain itu, di
rumah pelayanan P3 masih memiliki inisiatif untuk menggerakkan kegiatan
kreativitas para lansia lainnya.
b. Despair
Kondisi despair pada wilayah ini cenderung mengantarkan lansia pada
perasaan rendah diri yang mengakibatkan mereka enggan untuk berpartisipasi
dan cenderung memiliki kesulitan untuk beradaptasi. Pada wilayah ini,
penelitian menemukan pengalaman yang tergolong dalam kondisi despair yaitu
keengganan untuk berpartisipasi (P2 dan P4) yang dipicu oleh rasa takut
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
ketika orang lain tidak mau melaksanakannya. Hal ini dapat terlihat dari
kutipan berikut.
Keengganan untuk berpartisipasi
P2
Saya nggak mau ikut-ikut seperti itu gak mau. Saya takutnya begini, misal
saya itu menggerakkan ya satu orang dua orang, mungkin mau yang
lainnya kan engga. Kayak misal yang saya khawatirkan disitu. Saya
sendiri hanya nunut yaa hanya mondok gitu kan, nanti kalo ada apa-apa
saya terus di gursah gitu kan susah sendiri saya.
Selain itu, pengalaman lain yang tergolong dalam kondisi despair adalah
sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan (P2 dan P4). Kondisi ini
membuat lansia lebih memilih untuk sendirian atau mengasingkan diri dari
lingkungan yang disebabkan oleh rasa takut pada perselisihan ketika berbaur
dengan orang lain seperti apa yang dilakukan oleh P2 dan P4 di lingkungan
panti. Hal ini dapat terlihat dari kutipan berikut.
Kesulitan menyesuaikan diri
P4
Peneliti: Kalo sama orang-orang satu wisma sini mbah aman mbah?
P4: Saya gak tahan mbak, omong-omongannya ganas-ganas, tapi tak
nengke wae. Kalo gitu saya tak tinggal pergi, main di belakang bengok-
bengok ogah, kan lebih bagus. Daripada bengok kan masalah bengok,
kalo pergi kan gapapa
Peneliti: Kalo yang paling nyaman siapa mbah? P4: Ya Gak ada mbak, semua biasa aja, kalo mau sama saya ya iya, kalo
engga yasudah, nengke wae.
Peneliti: Berarti mbah secara keseluruhan belum merasa nyaman ya
mbah disini?
P4: Menyesal, tapi ya bagaimana lagi ya mbak ya, wong hari itu masih
panjang.
Dapat disimpulkan, pada wilayah Adapting to thriumphs and
disappointments partisipan P2 dan P4 cenderung terperosok pada kondisi
despair. P2 dan P4 cenderung tidak memiliki inisiatif untuk berperan dalam
kegiatan masyarakat. Hal ini diduga terkait dengan latar belakang tempat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
tinggal partisipan dulu yang cenderung memiliki masa lalu yang suram. P2
tinggal bersama ibu tiri yang cenderung galak dan di masa tuanya beliau
dibiarkan tinggal sendiri di rumah kontrakan sehingga kehidupan beliau
mengandalkan belas kasihan tetangga sekitar. P4 tumbuh di lingkungan
keluarga yang kurang harmonis karena sosok ayah yang pemabuk. Sang ayah
sering tidak mendengarkan nasihat dari P4 dan cenderung mengabaikanya.
Selain itu, P4 cenderung sering dibicarakan oleh tetangga sekitar karena
pekerjaan yang dijalani cenderung sering berinteraksi dengan banyak laki-laki.
2. Spirituality atau spiritualitas
a. Ego-integrity
Dalam wilayah Spiritualitas, kondisi ego-integrity mencerminkan
bagaimana lansia cenderung memaknai kehidupan secara positif karena
keterlibatan Tuhan di dalamnya. Pada penelitian ini, ditemukan beberapa
pengalaman yang mencerminkan kepercayaan seseorang terhadap kehadiran
Tuhan yang mereka aplikasikan lewat kekuatan doa (P1, dan P3).
Pengalaman ini terdiri dari dua konteks yang berbeda seperti, berdoa untuk
meminta sesuatu dan berdoa untuk pengampunan dosa.
Berdoa untuk meminta sesuatu kepada Tuhan agar orang lain merasa
senang ketika berkunjung ke panti, misalnya pada kutipan berikut:
Berdoa agar tamu senang
P1 Oh saya itu yang namanya dengan Tuhan dekat sekali, sebab saya itu
tidak mengurangi sholat itu. Nuwun sewu bagi usia saya kalo mau bangun
jam 12 itu sangat berat. Tapi saya usahakna jam 12 tahajud.. agar
tamunya nanti seneng disini, sebab kalo begitu itu kebanggan bagi saya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
Selain itu, pengalaman lainnya yang muncul adalah berdoa untuk
pengampunan dosa (P3) yang pernah diperbuat selama masa hidupnya
misalnya pada kutipan berikut:
Berdoa tobat akan dosa
P3
Malam itu betul-betul aku gunakan untuk berdoa terus, ya yang pertama
jelasnya mohon ampun ya, doa tobat. Dosa aku kan udah banyak sekali
dari 0 sampe ke sekian tua, supaya besok tu ndak terlalu berat, banyak
dosaku itu, ndak bisa dihitung
Terdapat pula pengalaman bersyukur (P1 dan P3) atas apa yang
dikehendaki Tuhan dan menjalani hal tersebut apa adanya. Hal ini dapat
terlihat dari kutipan berikut.
Bersyukur atas kehendak tuhan
P1 Penyesalan dulu anu, apa itu saya kok dilahirkan di tempat di tempat
orang yang seneng berjudi seneng tawuran, itu dulu, dulu. La tetapi kan
itu kemauan Tuhan yang demikian itu saya syukuri, lah sebab saya
manusia itu kan seperti wayang saja, wayang lulang itu toh. Nah itu kan
manut kepada dalangnya, nah seperti orang di dunia ini lak manut dengan
Tuhan, ya hanya manusia di lalu di bayar usaha. Tapi yang menentukan tu
sana yaa. Yaa akan masuk neraka masuk surga ya sana.
Dari pemaparan di atas, P1 dan P3 cenderung mampu untuk mencapai
kondisi ego-integrity dalam wilayah Spirituality. Mereka memiliki kepercayaan
akan keberadaan Tuhan dalam kehidupannya dan memaknai hal tersebut
sebagai hal positif. Kemampuan untuk merefleksikan hal ini diduga didukung
oleh latar belakang keluarga yang sering memberikan nasihat keagamaan.
Keluarga mendampingi mereka untuk percaya akan keberadaan Tuhan yang
selalu mengantarkan umatnya pada kebaikan sehingga mereka cenderung
mensyukurinya dan menjalaninya dengan ikhlas. Hal ini dicerminkan oleh
perilaku yang cenderung rajin berdoa dan bersyukur atas karunia Tuhan. Di
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
masa tuanya P1 dan P3 mengaku bahwa mereka meluangkan waktu lebih
banyak untuk berdoa dan bersyukur atas apa yang telah terjadi dalam
kehidupan mereka.
b. Despair
Lansia yang terperosok pada kondisi despair dalam wilayah spirituality
cenderung menyesali kehendak Tuhan yang terjadi dalam hidupnya sehingga
mereka enggan untuk menjalin hubungan yang lebih dekat dengan Tuhan.
Dalam penelitian ini ditemukan dua partisipan yang memiliki kecenderungan
despair, mereka memiliki penyesalan akan takdir Tuhan yang mereka
jalani saat ini (P2). Hal ini dapat terlihat dari kutipan berikut:
Menyesali takdir Tuhan
P2
Kok Tuhan kok memberi saya begini gitu lah, haa itu sa anu sa anu
gandeng sa anu apa itu cep sa gandengken sama pepesen. Pepesaen itu,
nasibnya. Nasibnya dari sana saya harus begini. Jadi saya hanya
menjalankan apa yang dikehendakinya, yaa sering-sering tu kesel kok
saya begini aa tu sering-sering begitu kan. Kok saya tidak seperti itu, itu
gitu
Berkaitan dengan hasil sebelumnya, peneliti juga menemukan bahwa
lansia yang terperosok pada kondisi despair dalam wilayah ini memiliki
keengganan untuk melaksanakan ibadah (P4). Hal ini dilakukan karena
partisipan merasa beribadah dalam keadaan kesal terhadap orang lain tidak
akan ada gunanya. Hal ini dapat terlihat dari kutipan berikut:
Berhenti sholat lima waktu
P4
Partisipan: Kalo mbah masih rutin sholatnya 5 waktu?
P4: Saya ini, mandek. Besok kalo kalo nek (misalnya) sholat tur (tapi)
jengkel kan percuma to mbak?…banyak yang gak suka sama saya,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
banyak, tapi saya diamkan saja. Biasa saya gitu, saya kesel mbak. Saya
gak terima mbak umpama,
Berdasarkan pemaparan di atas, P2 dan P4 cenderung terperosok pada
kondisi despair. Dalam hal ini, mereka menyesali takdir yang diberikan Tuhan
pada kehidupannya. Kondisi ini menjadi salah satu alasan perilaku enggan
beribadah sebagai salah satu bentuk penyesalan kepada Tuhan akan kehidupan
yang selalu diselimuti oleh kesulitan. Penyesalan terhadap Tuhan ini diduga
sesuai dengan keadaan himpitan ekonomi yang selalu menyelimuti kehidupan
P2 dan P4 di masa lalunya. Mulai dari kehidupan keluarga yang tidak
berkecukupan sehingga mereka harus putus sekolah dan memutuskan untuk
bekerja serabutan.
3. Accept the past as meaningful atau menerima masa lalu sebagai sesuatu yg
berarti
a. Ego-integrity
Lansia yang didominasi oleh kondisi Ego-integrity pada wilayah ini
memiliki kecenderungan untuk menerima pengalaman masa lalu secara positif.
Dalam penelitian ini ditemukan bahwa P1 dan P3 cenderung mampu untuk
menerima pengalaman negatif dalam hidupnya seperti kegagalan. Beliau
menerima kegagalan dengan cara menjadikan hal tersebut sebagai motivasi
untuk dapat berkembang menjadi pribadi yang lebih baik. Hal ini dapat terlihat
dari kutipan berikut.
Kegagalan sebagai motivasi
P1 Mirik I enggo marmoyo olo ben di nganu di kuyuh kuyuh penonton
(mengejek marmoyo saya jelek, saya di permalukan penonton). Gitu iya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
iya. Ini sebetulnya demikan ya yang namanya gagal, gagal ya situ jangan
sampai takut gagal. Takut gagal jangan sampai sebab gagal itu bukan
suatu kehancuran, justru gagal itu awal dari kesuksesan… Lah itu saya
lak belum tau nah… saya pagi-pagi minta anu pamit dengan anu saya
akan mencari anu apa itu e bahan apa itu bahan ngapak dan dari
ceritanya dan lain-lain saya bisa akhirnya…jadi kalo gak saya gak rame
waktu itu.
P1 dan P3 cenderung mampu untuk mencapai kondisi Ego-integrity dalam
wilayah ini. Hal yang memotivasi P1 untuk menerima pengalaman negatif yang
terjadi dalam hidupnya adalah dengan memaknai pengalaman tersebut sebagai
sesuatu yang perlu diperbaiki untuk dapat mencapai tujuan yang diinginkan.
Dalam konteks ini, P1 menjadikan pengalaman kegagalan yang terjadi di masa
lalu sebagai motivasi untuk terus belajar mengembangkan kemampuan
lawakannya sehingga dapat terus menghibur orang banyak. Motivasi ini juga
didukung oleh teman-teman seperjuangan P1 dalam grup lawak yang sama,
yaitu Giyok grup.
b. Despair
Seseorang yang terperosok dalam kondisi despair pada wilayah ini
cenderung tidak menerima pengalaman masa lalunya. Mereka menyesali apa
yang telah terjadi di masa lalu. Dalam penelitian ini, penyesalan masa lalu
utama yang ditemukan bersumber dari keluarga. Penyesalan ini muncul karena
perilaku keluarga (P2 dan P4) yang tidak sesuai dengan keinginan responden,
seperti kenakalan pada anak dan perilaku menyimpang pada ayah. Hal ini dapat
dilihat dari kutipan berikut:
Menyesali perilaku anak
P2 Tapi anak saya itu nakal sekali, pertama ya waktu saya masih bisa ya dia
itu minta motor, motor ninja itu lo. Untuk balapan itu, tiap malam itu dia
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
itu di kalasan, SGM untuk balapan liar. Ya hura-hura. Masuk SMA Piri aa
katanya masuk sekolah tapi nyatanya engga padahal sekolahan Piri sama
tempat saya itu hanya deket…Hari raya yang kemarin dulu itu saya
nyesel, artinya itu ada dari anak saya itu di beri roti sama apa minuman
itu yaa. Tapi yang kemarin itu engga, yang kemarin lagi engga lagi
yasudah.
Menyesali perilaku ayah
P4
Yaa dulu saya kan di rumah itu di kemetiran, bapak saya itu ya gitu mbak
seneng judi tu lo bapak saya.mangkel e mbak, gk tanggung jawab to itu,
nyiksa anak barang to mbak, lali mbak keluarga nek udah judi mbak.
Pengalaman masa lalu lainnya yang masih belum diterima sepenuhnya
adalah kehidupan masa lalu yang cenderung berkekurangan dalam hal
ekonomi. Hal ini dapat terlihat dari kutipan berikut:
Hidup tidak berkecukupan
P2
saya disitu mungkin dipandang orang-orang yang apa sekitar tempat saya
itu rekoso gitu, rekasa. Rekasa itu, sengsara gitu lah… untuk makan
susah…soalnya misalnya kadang cari sendiri, ya betul kalo saya itu diberi
jaminan (oleh anak), tapi jaminan kan gak cukup soalnya hanya sehari
dijamin 5000.
P2 dan P4 cenderung diselimuti oleh kondisi despair. Hal ini terlihat dari
perasaan menyesal akan masa lalu yang belum bisa diterima oleh partisipan.
Penyesalan ini diduga muncul karena perilaku keluarga yang tidak sesuai
dengan apa yang responden inginkan ditambah lagi dengan kondisi ekonomi
yang terbilang jauh dari cukup. Faktanya, P2 dan P4 sama-sama hidup di antara
keluarga yang tidak memperdulikan mereka. P2 memiliki anak yang nakal dan
di masa tuanya beliau dibiarkan menghuni rumah kontrakan sendiri oleh
anaknya sehingga mengandalkan belas kasihan dari warga sekitar. P4 hidup di
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
tengah sosok ayah yang hobi berjudi dan tidak menghiraukan kehidupan istri
dan anak-anaknya.
4. Tolerance and acceptance of others atau mentoleransi dan menerima
kehadiran orang lain
a. Ego-integrity
Dalam wilayah Tolerance and acceptance of others, kondisi ego-integrity
mencerminkan bagaimana lansia secara keseluruhan mampu menerima
perbedaan yang ada pada setiap individu tanpa adanya persyaratan ataupun
penilaian. Dalam penelitian ini ditemukan pengalaman yang cenderung
mengarah pada kondisi tersebut, yaitu menerima perbedaan orang lain
dengan cara menyesuaikan diri dengan karakteristik individu yang berbeda-
beda. Hal ini terlihat dari kutipan beikut:
Menerima perbedaan
P1
Sekarang saja ya kalo di panti ini, di panti ini kan orangnya itu dulu
profesinya itu lak lain-lain. Nah jadi wataknya itu kesemuanya jadi saya
itu menghadapi orang-orang disini, nah ada skitar 60 hati saya saya bagi
60 demikian jadi, sebab saya yang lebih dituakan disini, nah yayasudah.
Pokoknya anu ngapa itu, sana kok orangnya seneng ini ya, yo beri ini lo
ini ok seneng e gulo yo, gulo, ini kok uyah begini..Jadi kita dapat melayani
yaitu yang namanya bahagia disini letaknya, tidak lalu mempunyai
gedung yang mewah, ndah-ndak.
Dari pemaparan di atas, P1 cenderung mampu mencapai kondisi ego-
integrity dalam wilayah ini. Hal ini diperlihatkan melalui perilaku P1 yang
cenderung menerima karakteristik pribadi yang berbeda-beda. Beliau mencoba
untuk menerima mereka dengan cara menyesuaikan diri dengan karakter orang
lain yang ditemuinya. Kemampuan ini dilatarbelakangi oleh kegiatan P1 yang
sering melakukan pementasan lawak di daerah yang berbeda sehingga bertemu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
banyak orang dengan karakter yang berbeda pula. Dari hal inilah, beliau belajar
melihat perbedaan orang lain dan menerimanya.
b. Despair
Kondisi despair pada wilayah ini mencerminkan bagaimana seseorang
belum mampu untuk menerima orang lain sepenuhnya. Mereka memiliki syarat
bagi orang lain untuk bisa diterima. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa
partisipan cenderung memiliki penilaian negatif terhadap orang lain (P2, P3,
dan P4) karena mereka memiliki kriteria untuk dapat menerima orang lain
seutuhnya. Ketika kriteria tersebut tidak terpenuhi, mereka cenderung memiliki
pandangan negatif kepada orang lain. Hal ini dapat terlihat dari kutipan berikut:
Belum bisa menerima perilaku seseorang
P3 Kita kalo gak melihat dari asal usul dia ya udahlah sama-sama gila,
bagaimana engga, dia dari 8 tahun loh hidup dijalanan, sampai usia 60,
nah kan sifatnya sudah lain to, banyak liarnya, banyak rusaknya, apalagi
setelah dewasa, ngamen kesana kemari sama anak laki-laki terus
kumpulannya preman-preman bagaimana kita mau lawan, aku mikirnya
kesitu….Kalo karakternya memang sudah gak karu-karuan ya, banyak
disini yang udah jadi korbannya itu, yang lain wisma maksudku ya, yang
dimusuhi dia banyak…aku itu, kalo saat ini memang belum bisa
menerima….untuk saat ini belum, aku sebelum lihat dia jadi orang baik-
baik kayak yang lain aku gak bisa aku, kecuali dia sudah bertobat.
Dapat disimpulkan, terhadap wilayah Tolerance and acceptance of others
tiga partisipan (P2, P3, dan P4) lebih didominasi oleh kondisi despair. Kondisi
despair ini muncul dalam bentuk penilaian negatif tentang para penghuni
lansia lainnya yang dipicu oleh perbedaan norma setiap individu. Lansia yang
terperosok dalam kondisi despair pada wilayah ini cenderung tidak memiliki
kemampuan untuk menerima perbedaan dan memahami norma individu lain
yang berbeda dengan dirinya. Hal ini dilatarbelakangi oleh kehidupan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
partisipan sebelumnya dimana mereka cenderung menerima penilaian negatif
dari lingkungan sekitar. Sebagai contoh, P4 sering menerima kritikan negatif
dari tetangga sekitar karena pekerjaan yang dilakoni. P4 adalah seorang
pelayan di sebuah restaurant yang pengunjungnya didominasi oleh laki-laki
dan P4 bertugas untuk melayani pesanan dari pengunjung tersebut. Tidak
jarang P4 diantar pulang oleh pengunjung yang telah ia layani. Peristiwa inilah
yang memicu gosip di kalangan masyarakat tentang P4.
5. A sense of being part of a larger history that includes previous generations
atau perasaan menjadi bagian berharga di masa lalu.
a. Ego-integrity
Dalam wilayah A sense of being part of a larger history that includes
previous generations, kondisi ego-integrity mencerminkan bagaimana
partisipan cenderung memiliki kebanggaan atas apa yang mereka lakukan di
masa lalu. Pada penelitian ini, ditemukan beberapa pengalaman yang
mencerminkan kebanggaan atas apa yang telah mereka lakukan semasa
hidupnya. Hal yang dominan muncul dan membuat lansia merasa bangga
berkaitan dengan pekerjaan (P1, P3, dan P4) yang mereka lakukan di masa
lalu. Pekerjaan ini membuat mereka bangga karena mampu memenuhi
kebutuhan keluarga pada saat itu. Hal ini terlihat dari kutipan berikut:
Bekerja untuk membantu
P4 Mesti kerja terus, kerja di restoran barang…Kerja apa aja jual roti jalan
solo, pasar demangan jual pelastik, ketandan yo pernah saya, buntelin
permen di kemetiran itu, apa apa saya kerjain mbak, tukang saya
ngewangi itu. Seneng mbak, anak kecil kan gak bisa apa-apa to mbak.
Kan adik saya punya anak kecil, semua saya lakoni..Yaa walaupun saya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
ndak bisa apa-apa mbak, tapi saya ming bisa membantu, merawat dia
sampai dia meninggal ibu saya sama adik saya itu. Saya juga merawat 3
anaknya, sekarang udah kerja…bangga saya mbak, merawat bapak e
barang. Kerja rekoso tapi kan dikit-dikit. Gk ketang makan apa tapi kan
makan….
Di sisi lain, pekerjaan merupakan sesuatu yang membuat seseorang
bangga karena melalui pekerjaan mereka mampu menuai banyak pujian dan
apresiasi.
Bangga dengan pekerjaan
P1
Jawab: Penonton senang dengan saya. Lalu, pindah pindah pindah dan
tiap saya berkata dengan jawa kromo selalu saya selingi dengan lafal
arab. Lah itu sampai Jawa Tengah kalo marmoyo bukan saya gak anu
dulu. Gak rame anu di Magelang dulu pasar malem, nek marmoyo jikok
pak Giyo pak Gio ae, mesti (mengajungkan jempol) kae (kalau mau ada
pertunjukan lawak undang pak giyo aja pasti sip itu) nah gitu itu.
Tanya: Oh, di request gitu yaa.
Jawab: Iyaa iya, dimana-mana saya... Lalu saya suruh pulang lalu nganu
ngapa itu menduduki disitu apa itu anu membina kebudayaan di
kabupaten Temanggung
Berdasarkan pemaparan di atas, terlihat bahwa P1, P3, dan P4 cenderung
mampu mencapai kondisi ego-integrity dalam wilayah ini. Salah satu hal
utama yang membuat mereka merasa berharga berkaitan dengan pekerjaan
yang pernah mereka laukan di masa lalu. P1 bangga atas pekerjaannya sebagai
seorang pelawak yang mampu menyebarkan nasihat melalui lawakannya dan
menghibur banyak orang. P3 adalah seorang guru yang kemudian memutuskan
untuk menjadi seorang perawat. Penghasilan dari pekerjaannya ini mampu
membantu kehidupan keluarga kecilnya serta adik kandungnya untuk
melanjutkan sekolah. P4 pernah menjadi seorang pelayan restoran, pembuat
roti, dan tukang pijat. Semua pekerjaan ini mampu membuat beliau
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
menggantikan peran ayahnya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi
keluarganya.
b. Despair
Lansia yang terperosok pada kondisi despair dalam wilayah ini
cenderung merasa tidak berguna karena tidak memiliki pencapaian yang berarti
semasa hidupnya. Dalam penelitian ini, peneliti menemukan bahwa P2
cenderung merasa tidak berguna karena semasa hidupnya ia belum mampu
memberikan penghidupan yang layak bagi keluarga kecilnya. P2 terbilang
sering mendapatkan bantuan dari keluarganya yang lain untuk memenui
kehidupan sehari-harinya. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut:
Sering menerima bantuan
P2
P2: Saya disitu mungkin dipandang orang-orang yang apa sekitar tempat
saya itu rekoso gitu, rekasa
Peneliti: Apa itu mbah indonesianya mbah? P2: Rekasa itu, sengsara gitu lah…mbok bereknya itu, mbok berek itu
yang jualan ayam goreng, itu melihat keadaan saya terus saya itu setiap
siang disuruh minta makan situ, pokoknya tiap jam 12… saya dapat
bantuan dari mbak ina itu sehari. Pokoknya 10 kg itu 5 hari 10 kg. Oh 5
hari 10 kg. Itu tiap minggu
Berdasarkan kutipan di atas, P2 cenderung didominasi oleh kondisi
despair. P2 lebih cenderung merepotkan orang lain karena ia tidak mampu
memenuhi kebutuhan sehari-hari bagi dirinya sendiri ataupun keluarganya di
masa lalu. Kondisi ini disebabkan oleh pekerjaan yang tidak menetap sehingga
penghasilan yang diperoleh juga tidak dapat diandalkan. Hal itu membuat P2
teperosok ke dalam perasaan tidak berharga. Pada saat peneliti menanyakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
seputar kehidupan masa lalunya, P1 tampak berderai air mata saat
menceritakan kehidupannya yang tidak berkecukupan.
6. Absence of death-anxiety atau bebas dari perasaan takut akan kematian
a. Ego-integrity
Absence of death-anxiety adalah suatu kondisi lansia yang cenderung tidak
memiliki ketakutan akan kematian. Seseorang yang memiliki kecenderungan
ego-integrity dalam wilayah ini menganggap kematian bukanlah sesuatu yang
mengganggu dan mereka sangat jarang memikirkannya. Peneliti menemukan
bahwa seluruh partisipan tidak memiliki ketakutan dalam menghadapi
kematian karena mereka mengaggap hal tersebut adalah kehendak Tuhan yang
harus dijalani. Hal ini terlihat dari kutipan sebagai berikut.
Tidak takut mati
P1
Ohh enggak-enggak. Itu saya hanya terserah sana kok, saya terserah.
P2
Kalo mati tu ndak takut, kan sudah itu sudah apa sudah harus dijalani.
P3
Endak.. engga mbah aku malah kalo dalam doa mintanya jangan sampai
aku itu di tarok di isolasi ya, kalo memang Tuhan mau ambil
P4
Enggak, tidak takut. Terserah sana mbak, ya saya yaa sudah siap mbak
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa partisipan cenderung
tidak memiliki ketakutan akan kematian (P1, P2, P3, dan P4). Mereka
menganggap kematian adalah sesuatu yang pasti dan berjalan sesuai kehendak
Tuhan sehingga mereka berpasrah sepenuhnya kepada yang kuasa. Selain
alasan tersebut, ditemukan pula alasan yang mendukung partisipan cenderung
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
tidak takut akan kematian, yaitu biaya pemakaman gratis. Pihak Rumah
Pelayanan Sosial Lanjut Usia Terlantar Budhi Dharma Yogyakarta
memberikan pelayanan gratis bagi pemakaman seluruh lansia. Aturan ini
diterapkan sebab rata-rata lansia yang tinggal di rumah pelayanan ini sudah
tidak memiliki kontak dengan keluarganya. Menurut pihak rumah pelayanan,
keluarga yang dihubungi atas berita kedukaan lebih sering menyerahkan
sepenuhnya kepada pihak panti. Terkait kematian, terbukti tidak satupun para
responden menunjukkan gejala despair.
7. Freedom from the feeling that time is running out atau bebas dari perasaan
bahwa waktu yang dimiliki untuk hidup hampir habis
a. Ego-integrity
Lansia yang berhasil mencapai ego-integrity dalam wilayah ini cenderung
tidak memiliki keinginan yang belum tercapai. Ia cenderung sudah
menyelesaikan tujuan yang diinginkan semasa hidupnya. Dalam penelitian ini,
P1 adalah partisipan yang cenderung mampu mencapai ego-integrity. P1
mengungkapkan bahwa sudah tidak ada lagi keinginan yang belum tercapai.
Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut:
Tidak ada keinginan yang belum tercapai
P1
Peneliti: Kalo dari apa cerita mbah tadi, mbah punya gak sih keinginan
yang dari dulu belum tercapai sampai sekarang?
P1: Ohh ndak-ndak.
Peneliti: Ndak ada mbah? Berarti sudah ya istilahnya sudah tercapai ya
lah mbah ya.
P1: Iya, saya sudah apa itu semuanya ya sudah saya rasakan ya
Berdasarkan pemaparan di atas, P1 cenderung mampu untuk mencapai
kondisi ego-integrity. Hal ini didukung oleh latar belakang partisipan yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
diuangkapkan beliau lewat cerita-ceritanya. Cerita hidup beliau didominasi
oleh pengalaman-pengalaman yang memuaskan, seperti menjadi pelawak
terkenal, mampu menyelesaikan pendidikan hingga perguruan tinggi, menjadi
narasumber aktif di rumah pelayanan sosial, serta penuh dengan tutur kata
bijak. Melalui hasil observasi, beliau terlihat menikmati sisa hidupnya di rumah
pelayanan. Beliau sering melakukan hal-hal yang ia senangi, contohnya dengan
bernyanyi, jalan-jalan ke pasar, dan membersihkan koleksi batu akik yang
dimilikinya.
b. Despair
Lansia yang terperosok dalam kondisi despair pada wilayah ini
menghantarkan mereka pada pikiran bahwa waktu berjalan sangat cepat dan
hampir habis. Pikiran ini muncul karena mereka masih memiliki keinginan
yang belum tercapai, seperti harapan untuk sehat, harapan untuk dapat
melihat kesuksesan anak atau cucu, dan harapan untuk dapat hidup
mandiri. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut:
Berharap sehat
P3
Aku bilang ya cepet ya, cepat. Kenapa mbah menurut mbah, kenapa
waktu berjalan cepat? Cepatnya gini ya, sekarang taro aja, umpama ini
hari minggu ya, kondisi ku kemarin aja lo, ini yang fakta lo ya, kondisi ku
seminggu lalu aja masih seger, waktu disana masih sehat to, aa terus
masuk sini, sakit, kurang sehat, nah ditambah hari ditambah usia tabah
kesehatan menurun
Berharap dapat kesuksesan cucu
P2
Yang kurang ya itu seperti yang saya omongkan tadi, belum mengetahui
hidup cucu saya, misalnya gitu to. Aaa kalau seandainya saya sudah tau
itu yaa hanya senang. Belum puas kalo belum lihat cucu saya itu rasanya.
Masa saya masih mampu 6 tahun lagi kan ya belum tentu, 6 tahun tu lama
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
e. Nanti kan SMA kelas 3, 3 tahun mahasiswanya berapa, setelah kelas 3
SMA masih kuliah lagi kan.
Berharap mempunyai pekerjaan dan rumah
P4
Saya kepinginnya anu kok mbak, mandiri umpama disuruh jualan pa gitu
mau umpama jual apa, jual makan-makanan saya seneng, mandiri…
punya nggon punya rumah, seneng mandiri saya mbak, tapi gak punya
rumah.
Berdasarkan pemaparan di atas, P2, P3, dan P4 cenderung didominasi oleh
kondisi despair pada wilayah ini. Harapan berupa memiliki pekerjaan dan
rumah, menyaksikan kesuksesan cucu sebelum meninggal, serta memiliki
kesehatan yang lebih prima belum mampu mereka rasakan karena kondisi dan
situasi yang tidak memungkinkan. Seperti halnya P2 yang dirundung desakan
ekonomi sehingga harus tinggal berpisah dengan cucunya. Dalam harapannya,
beliau ingin tinggal bersama cucunya dan melihat tumbuh kembangnya. P3
yang didera oleh penurunan fisik yang tiba-tiba sehingga tidak bisa
menyelesaikan kewajibannya sebagai seorang koordinator agama Katolik dan
hal tersebut membuat beliau sedih. Ketika peneliti menanyakan hal ini, beliau
meneteskan air mata, meratapi kondisi fisiknya yang sudah tidak seperti dulu
lagi. P4 yang memiliki keinginan untuk bisa hidup mandiri, memiliki rumah,
dan berjualan, terpaksa harus tinggal di rumah pelayanan karena desakan
ekonomi dan penyakit diabetes yang dideritanya.
8. Emotional Integration atau integrasi emosi
a. Ego-integrity
Lansia yang berhasil mencapai ego-integrity pada wilayah ini cenderung
mampu untuk merasakan emosi yang dialami, memahami emosi yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
dirasakan, dan mengungkapkannya dengan cara yang tepat. Dalam penelitian,
ditemukan bahwa P1 dan P3 cenderung mampu mencapai integrasi emosi
karena mereka cenderung mampu mengintegrasikan emosi sedih dan kecewa
kepada orang lain.
Mengintegrasikan emosi kecewa
P1
Peneliti: Emm emmm. mbah pernah gk marah-marah sama orang
panti? Orang panti yang sama tinggal di anti atau pengurusnya.
P1: Wohh anu ada, apa itu nakal nakal nguji saya. Satu contoh ada tamu
kemarin. Peneliti: He em.
P1: Ada tamu, tamunya itu bilang sama saya mbah ini nanti nganu untuk
mbah-mbah 100, toh hanya diberikan 50. Lalu saya melangkah ke kantor
menanyakan sebetulnya bagaimana. Nah ini kok yang memberi
sedemikian. Apa perlu ini saya masukan dalam surat kabar. Lah paginya
di tambahin seket-seket.
Mengintegrasikan emosi sedih
P3
Suatu saat aku tu bilang, kak cobalah jangan buat ke billiard terus, kalo
kalah gini kan sayang uangnya sampe abis gitu, kan bisa buat nambah
beli kendaraan lagi apa apa, marah. Ini kan dia mau berangkat dinas ya,
meja makan itu di gitu (memperagakan) jadi pecah semua, ancur
berantakan, tapi aku gak ini aku cuma nangis tok, ya kecewa, ya sedih.
Terus aku bilang, kan bapak mertuaku….Jadi aku ngebel,…Aku bilang,
abah abah kerumah sebentar, kenapa? Itu kak Yeninya marah lagi
kenapa? Udah nanti abah tau, udah dia datang baru aku cerita gini gini
gini.
Dapat disimpulkan, pada wilayah Emotional Integration P1 dan P3
cenderung mampu mencapai ego-integrity berupa kemampuan untuk
mengintegrasikan emosi negatif seperti emosi sedih dan kecewa. Hal ini diduga
sesuai dengan latar belakang kedua partisipan yang memiliki hubungan dekat
dengan teman-teman atau keluarga di masa lalu. Kedekatan ini mendukung
partisipan untuk menceritakan pengalaman negatif yang dirasakan dan mencari
jalan keluar yang tepat. P1 memiliki banyak teman di masa lalu dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
pertemanannya berjalan dengan baik sehingga mereka sering untuk bercerita
bersama. P3 memiliki kedekatan dengan kakek, nenek, maupun kedua
orangtuanya di masa yang lalu.
b. Despair
Kondisi despair dalam wilayah ini mencerminkan bagaimana seseorang
cenderung tidak mampu untuk mengintegrasikan emosinya pada suatu
peristiwa. Dalam penelitian ini, ditemukan bahwa partisipan cenderung untuk
tidak mengungkapkan emosi marah pada orang lain (P2 dan P4). Mereka
memendamnya hingga menimbulkan perasaan tidak nyaman seperti sedih atau
marah.
Menekan emoni negatif marah
P4
Yaa engga, semua itu banyak yang gak suka sama saya, banyak, tapi saya
diamkan saja, saya gak minta makan sana, saya dibiayai pemerintah gitu
aja. Kok mbah bisa tau kalo mereka gak suka sama mbah? Tau to, saya
tu wong tau, oh itu sifatnya begini, oh itu begini, yasudah. Gimana
rasanya mbah denger kalo mereka gak suka sama mbah? Yaa wong itu
biasa to, iri dengki. Apa yang membuat mereka iri? Yaa gak tau, wong
saya tak diamkan saja mbak, Atos tu lo mbak, sama-sama orang tua kok
begitu, ya gak mau kalo digitukan. Contohnya gimana mbah? Kalo gitu
saya tak tinggal pergi, main di belakang bengok-bengok ogah, kan lebih
bagus. Kenapa lebih bagus? Daripada bengok kan masalah bengok, kalo
pergi kan gapapa
Dapat disimpulkan, terhadap wilayah Emotional Integration pada P2 dan
P4 cenderung didominasi oleh kondisi despair. Hal ini diduga dipicu oleh
kondisi masa lalu partisipan yang cenderung tidak memiliki ruang untuk
mengungkapkan emosi yang mereka rasakan karena kondisi keluarga yang
tidak harmonis. Kondisi ini diduga berkaitan ungkapan partisipan yang secara
umum tidak memiliki kedekatan yang intens dengan siapapun selama tinggal di
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
rumah pelayanan. Hubungan pertemanan yang mereka jalani hanya teman
biasa, tidak ada momen bagi mereka untuk dapat menceritakan hal-hal yang
lebih bersifat pribadi. Oleh karena itu, keterbukaan yang terjalin antar lansia
ataupun petugas panti terbilang rendah.
9. Life satisfaction atau kepuasan hidup
Kepuasan hidup adalah sejauh mana penilaian menyeluruh dari perasaan
dan sikap seseorang tentang kehidupan yang dijalani. Semakin mampu
seseorang menilai positif kualitas hidupnya secara keseluruhan, maka ia akan
berhasil mencapai ego-integrity.
a. Ego-integrity
Kondisi ini mencerminkan bagaimana seseorang secara keseluruhan
mampu menilai kehidupan yang dijalani secara positif meskipun ada beberapa
hal yang belum tercapai. Dalam penelitian ini, dua partisipan (P1 dan P3)
mengaku bahwa mereka cenderung puas akan kehidupan yang telah dijalani.
Mereka mengungkapkan bahwa penilaian positif akan kehidupan lebih besar
dibandingkan dengan hal-hal negatif. Hal ini tercermin dari kutipan berikut:
Cenderung puas dengan hidup
P3
Peneliti: Seberapa kepuasan hidup mbah menurut mbah pribadi?
P3: Kalo untuk saya itu sebetulnya aku bilang 80% gini ya, selama saya
di dunia tadi udah cerita to dari kecil aku udah udah di atas delapan
delapan puluh persenan. Karena merasakan hidup enak ya, remajanya
ndak begitu, nah sekarang ni kan tinggal masa tua ya, harus dijalani
seperti ini.
Dari pemaparan di atas, P1 dan P3 cenderung puas dengan kehidupannya
secara keseluruhan. Mereka menyadari bahwa memang ada beberapa hal yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
belum tercapai, namun hal tersebut mereka terima sebagai sesuatu yang harus
terjadi. P3 meyakini bahwa ini adalah jalan yang sudah disediakan Tuhan dan
kewajiban yang harus beliau lakukan adalah bersyukur. Salah satu hal yang
membantu P3 untuk mampu menerima kehidupannya secara positif adalah
kedekatan beliau dengan Tuhan. Beliau meluangkan banyak waktu untuk
mengucap syukur dan berdoa di masa tuanya.
b. Despair
Kondisi despair pada wilayah ini cenderung menghantarkan lansia pada
perasaan cenderung tidak puas akan kehidupan (P2, dan P4) yang mereka
jalani. Ungkapan-ungkapan kekecewaan lebih mendominasi ketika wawancara
dilakukan. Hal ini dapat terlihat dari kutipan berikut:
Tidak puas akan kehidupan
P2
P2: Hehe, sbetulnya hidup itu rasa puasnya itu ndak ada sebetulnya,
hanya mengatakan puas itu hanya diluar saja, sebetulnya dalam hati itu
ndak ada kepuasan.
Perasaan ini diduga muncul karena kehidupan yang lansia jalani di masa
lalu didominasi oleh keadaan yang sulit seperti desakan ekonomi, sakit,
keluarga yang tidak harmonis, dan kesepian yang terjadi di masa lalu.
Berdasarkan pemaparan hasil di atas, dapat disimpulkan bahwa dua
partisipan (P1 dan P3) cenderung didominasi oleh pengalaman positif dalam
menghadapi krisis psikososial tahap delapan. Oleh karena itu, P1 dan P3 secara
keseluruhan dikatakan berhasil dalam menghadapi krisis psikososial tahap
delapan karena lebih didominasi oleh pengalaman ego-integrity dibandingkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
dengan despair. Sebaliknya, P2 dan P4 lebih didominasi oleh pengalaman
negatif di masa tuanya yang menuntun mereka pada kondisi despair.
D. Pembahasan
Dalam pembahasan ini, peneliti akan memaparkan penemuan yang
berkaitan dengan pengalaman lansia terlantar menghadapi krisis psikososial tahap
kedelapan. Keberhasilan dalam menghadapi krisis ini akan menuntun partisipan
pada kondisi yang didominasi oleh ego-integrity. Sebaliknya, ketika partisipan
gagal dalam menghadapinya, maka mereka akan terperosok ke dalam kondisi
despair. Dalam penelitian ini, ditemukan 3 faktor yang diduga menentukan
berhasil atau tidaknya partisipan dalam menghadapi krisis psikososial tahap
kedelapan. Faktor-faktor tersebut adalah masa lalu, kondisi fisik masa kini, dan
masa depan menghadapi kematian, berikut pemaparannya.
1. Masa lalu
Masa lalu diduga menjadi salah satu faktor yang menentukan berhasil atau
tidaknya partisipan dalam menghadapi krisis psikososial di masa tua mereka.
Partisipan yang didominasi oleh pengalaman positif di masa lalu cenderung
mampu mencapai kondisi ego-integrity di masa tuanya. Akan tetapi, partisipan
yang didominasi oleh pengalaman negatif di masa lalu cenderung terperosok pada
kondisi despair. Masa lalu dalam penelitian ini berupa pengalaman yang berkaitan
dengan (1) kondisi ekonomi, (2) pekerjaan, dan (3) hubungan dekat dengan
keluarga di masa lalu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
a. Kondisi ekonomi
Partisipan yang terlahir di keluarga dengan kondisi ekonomi menengah
cenderung tercukupi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti makanan,
pakaian, dan obat-obatan. Selain itu, partisipan juga terpenuhi dalam bidang
pendidikan sehingga mereka memiliki kesempatan untuk menuntut ilmu ke
jenjang yang lebih tinggi. Kondisi ini mendukung partisipan terbebas dari
perasaan akan kehabisan waktu di masa tua karena keinginan yang mereka
inginkan cenderung sudah dapat terpenuhi di masa lalu. Sebaliknya, kondisi
ekonomi yang tidak baik di masa lalu mengakibatkan partisipan harus ikut
mencari uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Lebih daripada itu, kondisi
ini juga diduga membuat partisipan tidak mampu mewujudkan keinginannya di
masa lalu, salah satunya adalah keinginan untuk menuntut pendidikan yang lebih
tinggi. Keinginan yang belum tercapai di masa lalu diduga membuat lansia
cenderung tidak mampu menerima keadaan masa lalu secara utuh di masa tuanya
sehingga menuntun mereka pada kondisi despair.
b. Pekerjaan
Pekerjaan yang digeluti di masa lalu juga menjadi salah satu hal yang
diduga membantu partisipan mencapai ego-integrity. Pekerjaan yang
menghasilkan mampu membantu orang-orang yang ada di sekitar partisipan dan
kalangan yang membutuhkan uluran tangan mereka. Memberi bantuan kepada
orang lain menjadi kebanggaan bagi partisipan saat ini karena perannya di masa
lalu yang bermanfaat. Selain itu, melalui pekerjaan para partisipan mampu
membangun relasi yang luas di masa lalu. Kepandaian partisipan menjalin relasi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
di dunia kerja diduga mampu mendukung kemampuan untuk beradaptasi di masa
tuanya. Partisipan yang telah terbiasa memiliki peran dalam bidang pekerjaan di
masa lalu akan cenderung lebih aktif dalam kegiatan-kegiatan di masa tua.
Terlihat dalam penemuan dari penelitian ini, yakni partisipan yang memiliki
pengalaman positif dalam kegiatan berelasi cenderung memiliki inisiatif yang
cukup tinggi untuk melakukan perubahan demi mencapai sebuah tujuan atau yang
sering dikenal sebagai adaptasi aktif.
Selain uraian di atas, kemampuan ini juga mendukung partisipan untuk
lebih mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan. Namun, pekerjaan yang
kurang menjanjikan di masa lalu hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan makan
sehari-hari karena hasil yang diperoleh tidak menentu. Hal ini cenderung memicu
perasaan gagal di masa lalu karena tidak mampu menghasilkan pundi-pundi uang
yang lebih di usia produktif mereka. Kegagalan di masa lalu menjadikan
partisipan cenderung memaknai dirinya sebagai seseorang yang tidak berguna di
masa tuanya. Partisipan dalam kondisi ini cenderung diselimuti oleh perasaan
kecewa terhadap kehendak Tuhan yang terjadi pada dirinya di masa lalu sehingga
memicu kerenggangan hubungan spiritual dengan sang Pencipta di masa tuanya.
c. Hubungan dekat dengan keluarga atau teman
Hubungan dekat/hangat dengan keluarga diduga menjadi salah satu faktor
yang membantu partisipan berhasil mencapai kondisi ego-integrity di masa
tuanya. Salah satu peran keluarga atau teman-teman di masa lalu adalah
membantu seseorang untuk bangkit dari kegagalan yang dialami kala itu sehingga
tidak ada lagi penyesalan yang terbawa hingga hari tua. Partisipan yang memiliki
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
kedekatan dengan keluarga atau teman di masa lalu cenderung mampu untuk
mengungkapkan perasaan negatif yang dialami. Mereka mengungkapkan hal ini
kepada orang-orang terdekatnya untuk mendapatkan masukan sehingga memicu
perasaan lega atas peristiwa negatif yang dialami. Sebaliknya, kondisi keluarga
yang kurang harmonis di masa lalu seperti cenderung meninggalkan dan
memarahi membuat partisipan tidak memiliki ruang untuk berkeluh kesah tentang
peristiwa yang dialami. Peristiwa ini membuat partisipan cenderung menyimpan
perasaan yang dirasakan sehingga di masa tua mereka kesulitan untuk melakukan
integrasi emosi. Kegagalan partisipan untuk mengintegrasikan emosi di masa tua
diduga mendukung mereka untuk terperosok dalam kondisi despair.
Pemaparan di atas kiranya sesuai dengan teori epigenetik yang
diungkapkan Erikson yang menyatakan bahwa keberhasilan seseorang dalam
menghadapi krisis psikososial ditentukan juga oleh keberhasilan seseorang
menjalani tahap-tahap sebelumnya di masa lalu (Erikson, 1989).
2. Kondisi fisik kini
Kondisi fisik partisipan di masa tua berkaitan dengan berhasil atau
tidaknya mereka dalam menghadapi krisis psikososial tahap delapan. Partisipan
yang didominasi oleh kondisi fisik yang sehat di masa tuanya cenderung lebih
diselimuti oleh kondisi ego-integrity. Kondisi fisik yang cenderung sehat
memberikan kesempatan bagi partisipan untuk dapat melakukan kegiatan yang
berperan bagi lingkungan sehingga menimbulkan perasaan berharga bagi diri
sendiri. Dalam penelitian ini, ditemukan bahwa partisipan yang cenderung
memiliki kondisi fisik yang sehat masih terbilang aktif dalam kegiatan di
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
lingkungan tempat tinggal mereka, seperti menjadi koordinator agama atau
kegiatan lainnya bagi teman-teman. Kondisi fisik yang cenderung sehat di masa
tua juga memudahkan partisipan untuk melakukan hal-hal yang dia inginkan
untuk menikmati masa-masa tuanya, seperti berjalan-jalan, bertanam, dan
mengoleksi benda-benda unik.
Sebaliknya, partisipan yang didominasi oleh kondisi fisik yang tidak sehat
di masa tuanya cenderung lebih diselimuti oleh kondisi despair. Kondisi fisik
yang kurang sehat di masa tua menghambat partisipan untuk melakukan hal-hal
yang ingin mereka lakukan. Mereka didominasi oleh perasaan mengeluh di masa
tuanya karena kondisi fisik yang kurang sehat. Keluhan yang mereka ungkapkan
ialah penurunan kondisi tubuh yang tiba-tiba sehingga menghambat kegiatan yang
ingin mereka lakukan. Selain itu, kondisi fisik juga menghalangi partisipan untuk
mewujudkan keinginan yang belum tercapai di masa-masa sebelumnya. Beberapa
hambatan tersebut berujung pada perasaan tidak berdaya di masa tua karena tidak
mampu memenuhi keinginan diri sendiri dan tidak mampu berperan bagi
lingkungan sekitar. Partisipan cenderung akan menarik diri dari lingkungan sosial
karena ia merasa tidak berguna. Penarikan diri dari lingkungan sosial akan
menggiring lansia pada kondisi kesepian (loneliness) yang akan berujung pada
depresi (Singh & Misra, 2009). Menurut penelitian sebelumnya, kondisi ini
diduga mampu menghambat proses lansia menghadapi krisis psikososialnya yaitu
untuk mencapai ego-integrity (Hearn et al., 2012).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
3. Kepastian masa depan menghadapi kematian
Masa lansia adalah masa seseorang mulai mempersiapkan diri untuk
menghadapi kematian. Dalam penelitian ini, semua partisipan mengaku tidak
memiliki kecemasan akan kematian yang akan dihadapi. Ketiadaan kecemasan ini
diduga karena kepastian yang telah diperoleh partisipan berkaitan dengan siapa
yang akan merawat jenazah, pemuka agama yang akan mendoakan, dan biaya
pemakaman secara keseluruhan sebab semua kebutuhan tersebut telah disiapkan
oleh pihak rumah pelayanan. Ketiadaan akan kecemasan ini menuntun partisipan
untuk terhindar dari kondisi despair dalam menghadapi kematian kelak.
Meskipun cenderung tidak memiliki kecemasan akan kematian, partisipan
yang didominasi oleh kondisi despair di sebagian besar wilayah lainnya memiliki
harapan sebelum mereka menghadapi kematian. Harapan-harapan tersebut
meliputi harapan untuk sehat, melihat anak dan cucu sukses serta hidup mandiri.
Adanya harapan yang belum terwujud memicu munculnya perasaan belum puas
akan kehidupannya sehingga diduga akan menggiring partisipan pada perasaan
belum ikhlas untuk menghadapi kematian. Pengalaman berupa harapan yang
masih mengganjal tersebut diduga mampu menggiring partisipan pada kondisi
despair di masa tua (Soleimani, Lehto, Negarandeh, Bahrami, & Nia, 2015;
Tahreen & Shahed, 2014).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
86
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil analisis dan pembahasan, dapat diambil beberapa kesimpulan
mengenai pengalaman lansia terlantar dalam menghadapi krisis psikososial, yaitu:
1. Secara umum, dua partisipan cenderung diwarnai oleh pengalaman ego-
integrity dan dua partisipan lainnya cenderung diwarnai oleh pengalaman
despair.
2. Pengalaman masa lalu meliputi kondisi ekonomi, pekerjaan/karir, serta
hubungan keluarga dan teman diduga turut berperan dalam keberhasilan atau
kegagalan lansia menghadapi krisis psikososial. Partisipan dengan masa lalu
positif cenderung berhasil menghadapi krisis psikososial tahap kedelapan
sehingga lebih diwarnai oleh kondisi ego-integrity di masa tuanya.
Sebaliknya, partisipan yang didominasi oleh pengalaman yang suram di masa
lalu cenderung mengalami kegagalan untuk meraih kesuksesan menghadapi
krisis psikososial di masa tua sehingga terjerumus pada kondisi despair.
3. Kondisi fisik diduga turut mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan
partisipan menghadapi krisis psikososial. Partisipan yang memiliki kondisi
fisik baik (cenderung sehat) lebih didominasi oleh pengalaman-pengalaman
positif di masa tuanya yang akan menuntun mereka pada kondidi ego-
integrity. Sebaliknya, partisipan yang memiliki kondisi fisik lemah (mudah
sakit) cenderung didominasi oleh perasan tidak berguna di masa tuanya yang
akan menjerumuskan mereka pada kondisi despair.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
87
4. Kepastian masa depan sesudah meninggal dunia diduga mendukung partisipan
untuk terhindar dari kondisi despair terhadap kecemasan akan kematian (death
anxiety) dan cenderung lebih mudah untuk mencapai ego-integrity.
B. Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan:
1. Peneliti kurang membangun rapport yang baik pada P4 karena peneliti
kelelahan setelah melakukan wawancara kedua dengan P1 dan P2. Oleh
karena itu, P4 cenderung menjawab pertanyaan secara singkat dan kurang
terbuka.
2. Pemilihan lokasi wawancara dengan dua responden yang kurang tepat
sehingga dalam rekaman terdengar cukup banyak noise, yang sesekali
menutup suara partisipan.
3. Ketika melakukan pentranskripan rekaman wawancara, terdapat beberapa
ucapan yang tidak dapat peneliti pahami sehingga peneliti perlu melakukan
wawancara tambahan untuk memastikan ucapan yang tidak terdengar jelas.
C. Saran
Bertolak dari kesimpulan dan keterbatasan di atas, peneliti mengajukan
beberapa saran sebagai berikut:
1. Bagi peneliti selanjutnya
a. Peneliti selanjutnya diharapkan mampu membangun rapport dengan baik
kepada seluruh partisipan. Peneliti menyarankan untuk mengunjungi lansia
beberapa kali dalam kurun waktu yang jaraknya tidak terlalu jauh untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
membantu lansia mengingat perjumpaan-perjumpaan bersama peneliti
sebelumnya.
b. Peneliti selanjutnya diharapkan memilih lokasi yang tidak terlalu ramai
dengan penghuni lansia lain agar rekaman terdengar jelas dan partisipan
menjadi lebih terbuka terhadap jawaban yang diberikan.
c. Peneliti selanjutnya perlu melakukan pentranskripan data secara langsung
setelah wawancara usai. Hal ini untuk meminimalisir keambiguan ucapan
yang diutarakan saat wawancara.
2. Bagi perawat dan pengelola rumah pelayanan sosial
a. Meningkatkan sikap positif seperti memberikan motivasi, semangat, dan
membangkitkan rasa percaya diri pada lansia agar mereka merasa nyaman
dalam menghabiskan hari tuanya di rumah pelayanan sosial.
b. Meningkatkan aktivitas produktif sesuai dengan kegemaran lansia, seperti
bertanam, menyulam, bernyanyi, dan sebagainya. Hal ini bertujuan untuk
meningkatkan pemaknaan diri ataupun sesuatu yang bermanfaat bagi
individu.
c. Meningkatkan layanan kesehatan serta kebersihan lingkungan bagi lansia
terlantar sehingga mendukung kondisi yang sehat secara jasmani.
d. Meningkatkan kegiatan spiritual secara personal pada lansia terlantar
sebagai persiapan menghadapi kematian.
e. Meningkatkan jumlah perawat yang bertugas di rumah pelayanan sosial
agar lansia terlantar yang tinggal mendapatkan pendampingan penuh
secara fisik ataupun psikis.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
89
f. Meningkatkan kualitas perawat dalam hal memahani tugas perkembangan
yang sedang dihadapi lansia guna mendukung pendampingan yang efektif.
3. Bagi pemerintah
a. Membangun lebih banyak rumah pelayanan sosial yang bersifat gratis bagi
lansia terlantar sehingga mereka memiliki hunian untuk menjalani masa
tua yang lebih baik.
b. Bagi dinas sosial, diharapkan dapat lebih meningkatkan anggaran guna
memenuhi seluruh fasilitas di setiap rumah pelayanan sosial bagi lansia
terlantar sehingga mereka mendapatkan kehidupan yang baik di masa
tuanya.
4. Bagi keluarga
Keluarga diharapkan meningkatkan perannya bagi lansia, seperti
meluangkan waktu sejenak untuk mengunjungi lansia yang mereka titipkan di
rumah pelayanan sosial atau panti jompo. Hal ini dilakukan mengingat pentingnya
dukungan keluarga sebagai social support demi keberhasilan menghadapi krisis
psikososial.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
90
DAFTAR ACUAN
Anthony, E. K., Lenning, A. J., Austin, M. J., & Peck, M. D. (2009). Assessing
elder mistreatment: Instrument development and implication for adult
protective service. Journal of Gerontological Social Work, 52(8), 815-836.
Asmaningrum, N., Wijaya, D., & Permana, C. (2014). Dukungan sosial keluarga
sebagai upaya pencegahan stress pada lansia dengan andropause di
Kabupaten Jember. Jurnal IKESMA. 10(1), 78-87.
Astuti, V. W. (2010). Hubungan keluarga dengan tingkat depresi pada lansia di
posyandu sejahtera GBI setia bakti Kediri. Jurnal STIKES RS. Baptis
Kediri, 3(2), 78-83.
Cai, W., Tang, Y., Wu, S., & Li, H. (2017). Scale of death anxiety (SDA):
Development and validation. Frontiers in Psychology, 8(858), 1-11.
Clayton, V. (1975). Erikson’s theory of human development as it applies to the
aged: Wisdom as contradictive cognition. Human Development, 18, 119-
128.
Darnley, F. (1975). Adjustment to retirement: Integrity or despair. The Family
Coordinator, 24(2), 217-266.
Diener, ED., Emmons, R., Griffen, S. (1985). The satisfaction with life scale.
Journal of Personality Assessment, 49(1), 71-75
Dong, X., Simon, M. A., Odwazny, R., & Gorbien, M. (2008). Depression and
elder abuse and neglect among a community-dwelling Chinese elderly
population. Journal of Elder Abuse and Neglect, 20(1), 25-41.
Ekman, P. (1992). Facial expressions of emotion: New findings, new questions.
Journal Of Psychological Science, 3(1), 34-38.
Erikson, E. H. (1968). Identity: Youth and crisis. New York: Norton.
Erikson, E. H. (1989). Identitas dan siklus hidup manusia. Edisi Bunga Rampai 1.
Diterjemahkan oleh: Agus Cremers. Jakarta: PT Gramedia.
Feist, J., & Feist, G. J. (2010). Teori kepribadian. Edisi ke 7. Diterjemahkan oleh:
Handriatno. Jakarta: Salemba Humanika.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
91
Fish, J. (2014). Tolerance, acceptance, and understanding differ in everyday life
and in research. Diunduh 12 Maret, 2018, dari
https://www.psychologytoday.com/intl/blog/looking-in-the-cultural-
mirror/201402/tolerance acceptance-understanding.
Friedman, M., Bowden, V., & Jones, G. (2014). Buku ajar keperawatan keluarga,
Edisi 5, Alih Bahasa: Achir Yani S. Hamid dkk, Jakarta: EGC.
Haber, D. (2006). Life review: Implementation, theory, research, and therapy.
Journal Aging and Human Development, 63(2), 153-171.
Hamid, Y. (2008). Bunga Rampai Asuhan Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta:
EGC.
Hearn, S., Saulnier, G., Strayer, J., Glenham, M., Koopman, R., & Marcia, J.
(2012). Between integrity and despair: Toward construck validation of
Erickson’s eight stage. Journal Adult Development, 19, 1-20.
Hickey, T., & Douglass, R. L. (1891). Mistreatment of the elderly in the domestic
setting: An exploratory study. American Journal of Public Health, 71(5),
500-507.
Hoare, C. (2002). Erikson on development in adulthood: New insight from
unpublished papers. New York: Oxford University Press.
Hurlock, E.B. (1996). Psikologi perkembangan, suatu pendekatan sepanjang
rentang kehidupan (terjemahan), Jakarta: Penerbit Erlangga.
Hutapea, B. (2011). Emotional intelligence and Psychological well-being pada
manusia lanjut usia anggota organisasi berbasis keagamaan di Jakarta.
Jurnal Psikologi Universitas Persada Indonesia Y.A.I, 13(2), 64-73.
Islam, S. (2017, Agustus). Data kemensos, 2,1 juta lansia di Indonesia terlantar
dan 1,8 juta lainnya berpotensi serupa. Dipungut 9 November, 2017, dari
https://news.okezone.com/read/2017/08/05/337/1750328/data-kemensos-
2-1-jutalansia-di- indonesia-terlantar-dan-1-8-juta-lainnya-berpotensi-
serupa.
Jafar, N., Wiarsih, W., & Permatasari, H. (2011). Pengalaman lanjut usia
mendapatkan dukungan keluarga. Jurnal Keperawatan Indonesia, 14(3),
157-164.
Lehto, R ., & Stein, K. (2009). Death anxiety: An analysis of an evolving concept.
Research and Theory for Nursing Practice: An International Journal,
23(1), 23-41.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
92
Liang, J. (1984). Dimensions of the Life Satisfaction Index A: A structural
formulation. Journal of Gerontology, 39, 613–622.
Maryam, R. S., Rosidawati., Riasmini, N. M., & Suryati, E. (2012). Beban
keluarga merawat lansia dapat memicu tindakan kekerasan dan
penelantaran terhadap lansia. Jurnal Keperawatan Indonesia, 15(3), 143-
150.
Nehrke, M. F., Bellucci, G., & Gabriel, S. J. (1978). Death anxiety, locus of
control and life satisfaction in the elderly: Toward a definition of ego-
integrity. Omega, 8(4), 359-368.
Neugarten, B., Havighurst, R., & Tobin, S. (1965). The measurement of life
satisfaction. Committee on Human Development; University of Chicago,)
134-143.
Parker, Daniel W. (2013). The relationship between ego-integrity and death
attitudes in older adults. American Journal OF Applied Psychology, 2(1),
7-15.
Peachey, N. H. (1992). Helping the elderly person resolve integrity versus despair.
Perspectives in Psychiatric Care, 28(2), 29-30.
Perry, T. E., Ruggiano, N., Shtompel, N., & Hassevoort, L. (2015). Applying
Erikson’s wisdom to self-management practices of older adults: Findings
from two field studies. Research on Aging, 37(3), 253-274.
Poerwadarminta. (1984). Kamus umum bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Prabasari, N., Juwita, L., & Maryuti, A. (2015). Pengalaman keluarga dalam
merawat lansia di rumah. Jurnal Ners LENTERA, 5(1), 56-68.
Prasoon, R., & Chaturvedi, K. (2016). Life satisfaction: A literature review.
International Journal of Management Humanities and Social Sciences, 1
(2), 25-32.
Pancawati, R. (2013). Penerimaan diri dan dukungan orangtua terhadap anak
autis. eJournal Psikologi, 1(1), 38-47.
Salamah. (2005). Kondisi psikis dan alternatif penanganan masalah kesejahteraan
sosial lansia di panti wredha. Jurnal PKS, 4(11), 55-61.
Santor, Daroy A & Zuroff, David C. (1994). Depressive symtoms: Effects of
negative affectivity and failing to accept the past. Journal of Personality
Assessment, 63(2), 294-312.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
93
Santoso, H. dan Ismail, A. (2009). Memahami krisis lanjut usia. Jakarta: Gunung
Mulia.
Santrock. J. W. (2002). Life-span development: Perkembangan masa hidup. Edisi
kelima, Jakarta: Erlangga.
Saputri, M., & Indrawati, E. (2011). Hubungan antara dukungan sosial dengan
depresi pada lanjut usia yang tinggal di panti wredha wening wardoyo
jawa tengah. Jurnal Psikologi Undip, 9(1), 65-72.
Saris, W., Veenhoven, R., Scherpenzeel, A., & Bunting, B. 1996. A comparative
study of satisfaction with life. Europe: Eotvos University Press.
Shanas, E. (1979). The family as a social support system in old age. Gerontologist
Oxford Journals, 19(2), 169-174.
Singh, A., & Misra, N. (2009). Loneliness, depression and sociability in old age.
Industrial Psychiatry Journal,18, 51-5.
Smith, G., & Nicolson, P. (2011). Despair? Older homeless men’s accounts of
their emotional trajectories. Oral History Society, 39(1), 30-42.
Soleimani, M., Lehto, R., Negarandeh, R., Bahrami, N., & Nia, H. (2016).
Relationship between death anxiety and quality of life in iranian patients
with cancer. Asia-Pacific Journal of Oncology Nursing, 3(2), 183-191.
Sternberg, R., & Jordan, J. (2005). A handbook of wisdom. New York: Cambridge
University Press.
Supratiknya, A. (2015). Metodologi penelitian kuantitatif & kualitatif dalam
psikologi. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.
Supratiknya, A. (2018). Diktat metodologi penelitian. Yogyakarta: Fakultas
Psikologi, Universitas Sanata Dharma.
Suryono. (2013). Studi kasus depresi pada lansia. Jurnal AKP, 4(2), 20-24.
Tahreen, S., & Shahed, S. (2014). Relationship between ego-integrity, despair,
social support and health quality of life. Pakistan Jurnal of Social and
Clinical Psychology. 12(1), 26-33
Templer, D. (1970). The construction and validation of a death anxiety scale.
Journal of General Psychology, 82,165-177.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
94
Westerhof, G. J., Bohlmeijer, E. T., & McAdams, D. (2015). The relation of ego-
integrity and despair to personality traits and mental health. Journal of
Gerontology: Psychological Sciences, 00(00), 1-9.
Weiss, P. (2018). Emotional Integration. Diunduh 12 Maret, 2018, dari
http://thewholehealthcenter.org/emotional-integration/
Wiesmann, U., & Hannich, Hans Joachim. (2011). Absalutogenic analysis of
developmental tasks and ego-integrity vs. despair. Journal Aging and
Human Development, 73(4), 351-369.
Woods, N., & Witte, K. (1981). Life satisfaction, fear of death, and ego identity in
elderly adults. Bulletin of the Psychonomic Society, 18(4), 165-168.
Yuliawati, A., Baroya, N., & Ririanty, M. (2014). Perbedaan kualitas hidup lansia
yang tinggal di komunitas dengan di pelayanan sosial lanjut usia. Jurnal
Pustaka Kesehatan, 2(1), 87-94.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
95
Lampiran 1
Informed Consent
Kesepakatan Partisipasi Penelitian
Saya menyatakan bersedia berpartisipasi sebagai subjek dalam penelitian
yang dilakukan oleh Devamethia G bersama tim dari Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma. Saya paham bahwa penelitian ini bertujuan
memperoleh informasi tentang pengalaman saya menghadapi krisis psikososial
tahap 8 dalam kondisi terlantar. Saya adalah salah satu dari lima orang yang akan
dilibatkan sebagai subjek dalam penelitian ini.
1 Partisipasi saya dalam penelitian ini bersifat suka rela. Saya paham bahwa
sebagai subjek saya tidak akan memperoleh imbalan materi. Saya bisa
membatalkan dan tidak melanjutkan partisipasi saya sebagai subjek tanpa
sanksi apa pun. Jika saya memutuskan membatalkan dan tidak melanjutkan
partisipasi saya sebagai subjek, tidak seorang pun akan tahu selain (para)
peneliti.
2 Saya paham bahwa apa yang akan saya lakukan dalam penelitian ini penting
dan mungkin menarik. Namun bila ternyata saya merasa tidak nyaman
melakukannya maka saya berhak menolak memberikan jawaban atau
melakukan tugas yang diminta.
3 Saya paham bahwa partisipasi yang dibutuhkan dari saya adalah menjalani
wawancara dan observasi yang diselenggarakan oleh para peneliti dari Fakultas
Psikologi Universitas Sanata Dharma. Kegiatan tersebut membutuhkan waktu
selama 1,5 jam. Para peneliti mungkin akan membuat catatan-catatan,
membuat rekaman audio-video saat kegiatan berlangsung dan melakukan
tanya-jawab pada akhir kegiatan.
4 Saya paham bahwa para peneliti tidak akan menyebutkan nama saya dalam
laporan yang disusun berdasarkan informasi yang diperoleh dari penelitian ini,
dan bahwa kerahasiaan saya sebagai subjek dalam penelitian ini dijamin
sepenuhnya. Data dan informasi lain yang diperoleh dari penelitian ini hanya
akan digunakan untuk kepentingan ilmiah yang menjamin kerahasiaan individu
dan institusi yang menjadi sumbernya.
5 Saya paham bahwa dosen atau pihak lain di kampus tidak akan pernah
mengetahui jawaban atau hasil pengerjaan tugas saya dalam penelitian ini.
Dengan demikian saya tidak akan pernah mengalami akibat negatif apa pun
dari apa yang saya katakan atau lakukan dalam penelitian ini.
6 Saya paham bahwa penelitian ini sudah mendapatkan persetujuan dari Dewan
Penilai Kelayakan Penelitian di kampus. Jika ada masalah atau pertanyaan
terkait subjek dalam penelitian ini, saya bisa menghubungi Dekan Fakultas
Psikologi di 08121562470.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
96
7 Saya telah membaca dan memahami penjelasan yang diberikan kepada saya.
Saya telah memperoleh jawaban yang memuaskan terhadap semua pertanyaan
saya, dan secara suka rela saya menyatakan sepakat berpartisipasi sebagai
subjek dalam penelitian ini.
8 Saya telah memperoleh salinan Kesepakatan Partisipasi Penelitian ini.
Mengetahui, Yogyakarta, … …………. …..
Devamethia G … ……………………
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
97
Lampiran 2
Surat Izin Penelitian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI