Upload
others
View
12
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
i
PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN PERSPEKTIF
MASLAHAH DAN HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
(STUDI KASUS ATAS PUTUSAN NOMOR 1172/Pdt.P/2016/PA.Cjr)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu
Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H)
Oleh:
Fakhri Muhammad
NIM 11140430000041
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2019 M
iv
ABSTRAK
Fakhri Muhammad. NIM 11140430000041. PENETAPAN ISBAT NIKAH
PERKAWINAN CAMPURAN PERSPEKTIF MASLAHAH DAN HIERARKI
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN (STUDI KASUS ATAS
PUTUSAN NOMOR 1172/Pdt.P/2016/PA.Cjr) Program Studi Perbandingan
Mazhab, Konsentrasi Perbandingan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1440 H/2019 M.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui dasar hukum yang digali oleh
hakim dalam penetapan isbat nikah pada Perkawinan Campuran yang
dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undang Undang No 1 tahun 1974
tentang perkawinan (UU Perkawinan). Perkawinan Campuran tidak dapat
dilangsungkan sebelum terbukti bahwa syarat syarat perkawinan yang ditentukan
oleh hukum yang berlaku bagi pihak masing masing telah dipenuhi. Putusan pada
Pengadilan Agama Cianjur dilakukan istbat nikah campuran yang tidak sesuai
dengan UU Perkawinan nomor 1 tahun 1974. Didalam putusannya hakim
mengabulkan para pemohon dan menyatakan sah nya Perkawinan Campuran
tersebut. Padahal secara teori dan ketentuan hukum, Putusan hakim bertentangan
dengan UU perkawinan No 1 tahun 1974.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dan non
yuridis dengan metode pengumpulan studi pustaka (library research) dengan
melakukan pengkajian terhadap norma-norma hukum, buku-buku, dan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan judul skripsi ini. Dengan obyek
putusan nomor 1172/Pdt.P/2016/PA.CJR.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa dalam putusan Nomor
1172/Pdt.P/2016/PA.CJR. Berdasarkan Rapat Permusyawaratan Majelis Hakim
Pengadilan Agama Cianjur, dan hasil dari beberapa pertimbangan hukum dengan
menggali fakta-fakta hukum di persidangan, kemudian dikontruksikan oleh
Majelis Hakim dengan menyentuh esensi dan subtansi dari peradilan, yaitu
menghasilkan Putusan yang berkeadilan hukum. serta dalam pandangan hukum
Islam Hakim boleh menggunakan Ijtihad Hukum untuk menemukan suatu
kebenaran dalam sebuah perkara guna mencapai kemaslahatan yang menurut
Hakim keputusannya merupakan suatu kebenaran.
Kata kunci : Isbat Nikah Perkawinan Campuran, Ijtihad Hukum oleh Hakim,
Maslahah, Hierarki Peraturan Perundang Undangan.
Di bawah bimbingan Pembimbing I Dr. Afidah Wahyuni, M.Ag. dan Pembimbing
II Hidayatulloh, SH.I, MH
Daftar Pustaka : 1964 s.d 2016
v
KATA PENGANTAR
بسم اهلل الرحمن الرحيم
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat
rahmat, hidayah, serta inayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan
baik. Shalawat serta salam selalu tercurah kepada Baginda Nabi Muhammad
SAW yang telah membawa kita dari zaman jahiliah ke zaman ilmiah seperti
sekarang ini.
Selanjutnya, penulis akan menyampaikan rasa terimakasih tak terhingga
kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran penulisan skripsi ini, baik
berupa moril maupun materil. Karena tanpa bantuan dan dukungannya, penulis
tidak akan menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Oleh karena itu, penulis secara
khusus akan menyampaikan terimakasih kepada:
1. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, SH,MH,MA, Dekan Fakultas Syari’ah dan
Hukum serta para Pembantu Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ibu Siti Hanna, M.A, Ketua Program Studi Perbandingan Mazhab dan bapak
Hidayatulloh, MH, Sekretaris Program Studi Perbandingan Mazhab.
3. Bapak Ahmad Bisyri Abd. Shomad, M.A. Dosen Penasehat Akademik
penulis.
4. Ibu Dr. Afidah Wahyuni, M.Ag., dan Bapak Hidayatulloh, SH.I MH., dosen
pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu serta memberikan arahan,
saran dan ilmunya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
5. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah mendidik dan
memberikan ilmu yang tak ternilai harganya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan studi di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Kedua orang tua tercinta Ayahanda Wawan Rodibillah dan Ibunda Imas
Nurjannah atas pengorbanan dalam mendidik, mengasuh dan berjuang sampai
ke titik ini dan tak pernah lupa untuk mendoakan, memberikan arahan serta
dukungan kepada penulis. Juga kepada adik Zulfa Alama, Muhammad Hiban
vi
Aqil, Muhammad Sayyid Al-Mutaali, dan adik Naila Izzatillah yang telah
memberikan doa serta dukungan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini. Salam hormat dan rindu untuk mereka semoga selalu diberikan
keselamatan, kesehatan dan ketaqwaan terhadap Allah SWT.
7. Keluarga besar Kh Abdul Aziz dan keluarga Besar Kh Zaenal Mustofa. Salam
hormat dan rindu untuk mereka semoga selalu diberikan keselamatan,
kesehatan dan ketaqwaan terhadap Allah SWT.
8. Sahabat dan teman terbaik penulis yang telah banyak membantu dalam hal
apapun selama di Ciputat, Ananda Ahmad Zaelani, Reno Tri Ramadhan
Murtadhi Achmad, Abdullah Mahfud, Abdul Harist, Budi Kurniawan, Zaki
Mubarok dan Adi Taruna. Semoga Allah selalu memberikan kesehatan dan
keselamatan. Salam hormat penulis dan ucapan terimakasih sebanyak-banyak
nya yang telah banyak membantu penulis selama 5 tahun berada di Ciputat.
9. Keluarga besar The djavu (Djakarta Vespa UIN) yang telah banyak membantu
dalam hal apapun selama di ciputat, Semoga Allah selalu memberikan
kesehatan dan keselamatan. Salam hormat penulis dan ucapan terimakasih
sebanyak-banyak nya yang telah banyak membantu penulis selama 5 tahun
berada di ciputat.
Akhir kata semoga Allah SWT membalas semua kebaikan atas bantuan
yang telah diberikan kepada penulis. Semoga kebaikan kalian menjadi berkah dan
amal jariyah untuk kita semua. Dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
penulis serta pembaca pada umumnya. Aamiin.
Jakarta, 30 Mei 2019
Penulis
vii
DATAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................................................... ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ..................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................ iv
ABSTRAK .......................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ........................................................................................ vi
DAFTAR ISI ....................................................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ................. 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................... 6
D. Review Studi Terdahulu ......................................................... 7
E. Metode Penelitian ................................................................... 9
F. Sistematika Penulisan ............................................................. 12
BAB II TINJAUAN UMUM ISBAT NIKAH DAN PERKAWINAN
CAMPURAN ................................................................................... 14
A. Pengertian dan Dasar Hukum Isbat Nikah .............................. 14
B. Pengertian Perkawinan Campuran .......................................... 17
C. Pengaturan Perkawinan Campuran ......................................... 21
D. Sistem Administrasi Perkawinan Campuran .......................... 23
E. Akibat Hukum Perkawinan Campuran ................................... 29
BAB III MASLAHAH DAN HIERARKI PERATURAN PERUNDANG
UNDANGAN DALAM SISTEM KEKUASAAN
KEHAKIMAN ................................................................................. 35
A. Kerangka Teori tentang Maslahah .......................................... 35
B. Kerangka Teori Hierarki Peraturan Perundang Undangan .... 39
C. Metode Maslahah dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman
BAB IV METODE MASLAHAH DALAM PERKAWINAN
CAMPURAN (Putusan Nomor: 1172.Pdt.P/2016/PA.Cjr) ........... 54
A. Penerapan metode Maslahah dalam Isbat Nikah
Perkawinan Campuran Putusan Nomor:
1172.Pdt.P/2016/PA.Cjr ......................................................... 54
B. Analisa Pertimbangan Hukum dalam Isbat Nikah
Perkawinan Campuran Putusan Nomor:
1172.Pdt.P/2016/PA.Cjr ......................................................... 58
C. Analisa Metode Maslahah dan Ijtihad Hukum dalam
Perkawinan Campuran Putusan Nomor:
1172.Pdt.P/2016/PA.Cjr ......................................................... 61
BAB V PENUTUP ........................................................................................ 68
A. Kesimpulan ............................................................................. 68
B. Saran ....................................................................................... 70
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 71
viii
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara hukum yang menganut system hukum
Civil Law. Titik tekan pada system Hukum ini adalah, penggunaan aturan
aturan hukum yang sifatnya tertulis. Sumber hukum utama dalam system ini
adalah undang undang yang merupakan kumpulan pasal pasal sistematis yang
saling berhubungan yang disusun berdasarkan subjek dan yang menjelaskan
asas asas hukum, hak, kewajiban, dan mekanisme hukum dasar. Dalam
konteks hukum di Indonesia, Undang undang dibuat oleh badan legislatif yang
memiliki wewenang untuk membentuk suatu perundang-undangan.
Pernikahan merupakan kebutuhan hidup manusia sejak jaman dulu,
sekarang, dan masa yang akan datang. Islam memandang ikatan perkawinan
sebagai ikatan yang kuat (mitsaqan ghalidza) ikatan yang suci (transeden),
suatu perjanjian yang mengandung makna sakral, suatu ikatan yang bukan saja
hubungan atau kontrak keperdataan biasa saja, tetapi juga hubungan
menghalalkan terjadinya hubungan badan antra suami isteri sebagai
penyaluran libido seksual manusia yang terhormat.1
Tujuan utama disahkannya UU No. 1 Tahun 1974 adalah sebagai upaya
penertiban hukum terhadap pernikahan yang dilakukan oleh masyarakat
Indonesia. Upaya yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah dengan
pencatatan nikah. Adanya pencatatan nikah ini, sebagai konsekuensinya
masyarakat akan mendapatkan pengakuan yang sah oleh hukum terhadap
pernikahan tersebut dan akan mendapatkan perlindungan hukum jika suatu
saat nanti terjadi sengketa hukum terkait dengan perceraian, pembagian waris,
wakaf, dan lain sebagainya.
Dalam perkawinan, pencatatan mutlak diperlukan. Adapun fungsi dan
kegunaan pencatatan adalah untuk memberikan jaminan hukum terhadap
1Yayan Sofyan, Islam Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam Dalam Hukum
Nasional, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011, Cet. Pertama), hal.,127.
2
perkawinan yang dilakukan, bahwa perkawinan itu dilaksanakan dengan
sungguh-sungguh, berdasarkan I‟tikad baik, serta suami sebagai pihak yang
melakukan transaksi benar – benar akan menjalankan segala konsekuensi atau
akibat hukum dari perkawinan yang dilaksanakannya itu. 2
Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban
perkawinan dalam masyarakat yang dibuktikan dengan akta nikah dan masing-
masing suami istri mendapat salinannya. Apabila terjadi perselisihan atau
pertengkaran diantara mereka atau salah satu tidak bertanggung jawab, maka
yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau
memperoleh hak masing-masing. Bahwa perkawinan yang dilakukan tanpa
pencatatan dan pengawasan pegawai pencatat nikah, maka perkawinan
tersebut tidak memiliki kekuatan hukum dan dianggap tidak sah di mata
hukum. Jika perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum maka
mereka yang melaksanakan perkawinan tersebut tidak dapat melakukan upaya
hukum atau memperoleh haknya ketika terjadi pelanggaran atas perkawinan
mereka.
Masalah pencatatan perkawinan telah tersosialisasikan cukup lama,
dalam pasal 2 ayat (2) UU no. 1/74 maupun pasal 5 dan 6 KHI, akan tetapi
sampai saat a ketentuan-ketentuan yang ada dalam kitab-kitab fiqih sudah
terpenuhi, tidak perlu adanya pencatatan di KUA surat nikah karena hal itu
tidak diatur pada zaman Rasulullah dan hanya merepotkan saja3. Peraturan
Perundang-Undangan Indonesia menyatakan pencatatan perkawinan
merupakan satu satunya alat bukti telah terjadinya perkawinan, namun di sisi
lain perundangan-undangan memberi jalan keluar bagi orang-orang yang tidak
dapat membuktikan adanya perkawinan tersebut dengan jalan penetapan
Nikah (Isbat Nikah) dari Pengadilan Agama. Sebagaimana diatur dalam pasal
7 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan “Dalam hal perkawinan
2Yayan Sofyan, Islam Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam Dalam Hukum
Nasional, hal.,131. 3 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006),
hal 47
3
tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan Itsbat Nikah-nya ke
Pengadilan Agama”.4
Isbat Nikah merupakan penetapan dari pernikahan yang dilakukan oleh
sepasang suami isteri, yang telah menikah sesuai dengan hukum islam dengan
memenuhi rukun dan syarat pernikahan, sehingga secara hukum fiqh
pernikahan itu telah sah.5
Perkawinan Campuran “sebagaimana termaktub dalam Undang-
Undang Republik Indonesia nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan tepat
nya dalam Bab XII (Ketentuan-ketentuan Lain) bagian ketiga yang secara
khusus mencantumkan dan mengatur “Perkawinan campuran” dalam enam
pasal (pasal 57-62)
Pasal 57 : Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang
undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada
Hukum yang berlainan, karena perbedaan Kewarganegaraan dan salah satu
pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan
Perundang-undangan yang ada, paling tidak sebagaimana dikutipkan di atas,
jelas tidak terbayangkan untuk memaknai “Perkawinan Campuran” atau
“Kawin Campur” dengan maksud , sebagaimana yang lumrah terjadi pada
beberapa tahun terakhir ini. pasal 58 UU no 1 tahun 1974 yang sudah
dikutipkan sebelum ini, dengan tegas menyatakan bahwa “yang dimaksud
dengan Perkawinan campuran dalam undang-undang ini ialah Perkawinan
antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena
perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan
Indonesia, sementara yang satunya lagi berkewarganegaraan asing (non –
Indonesia).6
4 Faizah Bafadhal, Jurnal Ilmu Hukum, Itsbat Nikah Dan Implikasinya Terhadap Status
Perkawinan Menurut Peraturan Perundang-Undangan Indonesia, 2014, hal.,3. 5 http:// Library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/18/jtptiain-gdl-s1-2006-ahmadmuzai-
8802104. 6Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia Telaah Syariah dan Qanuniah,
(Ciputat - Indonesia: Lentera Hati, 2015), hal.,121.
4
Perkawinan Campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan
menurut Undang Undang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan (UU
Perkawinan) Perkawinan Campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum
terbukti bahwa syarat syarat perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang
berlaku bagi pihak masing masing telah dipenuhi, yang dibuktikan dengan
surat surat keterangan bahwa syarat syarat telah dipenuhi dari pihak yang
berwenang mencatatkan perkawinan menurut hukum yang berlaku bagi
masing masing pihak.7
Putusan pada Pengadilan Agama Cianjur Nomor
1172/Pdt.P/2016/PA.Cjr dilakukan istbat nikah campuran yang tidak sesuai
dengan UU Perkawinan nomor 1 tahun 1974. Didalam putusannya hakim
mengabulkan para pemohon dan menyatakan sah nya Perkawinan Campuran
tersebut. Padahal secara teori dan ketentuan hukum, Putusan hakim
bertentangan dengan UU perkawinan No 1 tahun 1974. Para pemohon ini
melakukan perkawinan campuran. Mengenai Perkawinan campuran terdapat
syarat yang harus dipenuhi, Para Pemohon tidak dapat memenuhi persyaratan
terkait administrasi untuk melakukan Perkawinan Campuran, diantaranya
adalah tidak dapat membuktikan Surat Keterangan Izin Menikah dari
Kedutaan Besar. Serta persyaratan substansi terkait dengan agama yakni
Sertifikat atau surat keterangan masuk Islam. Hal tersebut behubungan
dengan Pencatatan perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974
hanya diatur oleh satu ayat, tetapi persoalan pencatatan sangat dominan, hal
ini akan tampak menyangkut tata cara perkawinan itu sendiri yang
kesemuanya berhubungan dengan pencatatan. Terdapat sebagian pakar hukum
yang menempatkan pencatatan sebagai syarat administratif yang juga
menentukan sah tidaknya sebuah perkawinan.
Pada Putusan ini Hakim Pengadilan Agama Cianjur dalam penetapan
Isbat Nikah Perkawinan Campuran para Majlis Hakim menggunakan metode
pendekatan yuridis dengan berdasar kepada Kompilasi Hukum Islam dan
menggunakan metode penemuan hukum non yuridis dengan ijtihad dimana
Hakim menggunakan ijtihad yang sudah diterapkan di Pengadilan Agama
7 http:// Www.Hukumonline.com diakses pada pukul 03:04 tanggal 16 April 2018.
5
Cianjur yang menggunakan metode Maslahah yaitu upaya untuk menerapkan
hukum yang digali dari nas (Alquran dan hadis Rasulullah SAW) ke objek
hukum.
Berkaitan dengan konsep filsafat keadilan. kepastian dan kemanfaatan
hukum, dengan sendirinya dapat dijadikan indikator mutu (kualitas) putusan,
termasuk didalamnya adalah putusan hakim8 maka dari itu penulis melihat
bahwa Putusan harus mengandung prinsip rasio decidendi, yaitu agar putusan
dihormati dan dihargai oleh masyarakat, terutama para pencari keadilan. Maka
putusan yang dijatuhkan oleh hakim harus mengandung pertimbangan hukum
yang berkeadilan berdasarkan ketuhanan.
Seiring dengan perkembangan zaman Undang-Undang mulai
menampakkan kelemahannnya. Pada dasarnya UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan merupakan sumber hukum materiil dalam lingkungan peradilan.
Namun saat ini dalam perkara peradilan tidak sepenuhnya merujuk pada UU
tersebut. Sebagai contoh dalam masalah Isbat Nikah dalam Kompilasi Hukum
Islam (KHI) dalam pasal 7 (ayat 3d) dijelaskan bahwa Isbat nikah yang
diajukan ke Pengadilan.Undang-undang No. 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat (1)
dan (2) tersebut mempunyai makna bahwa sesungguhnya setelah terbitnya UU
No. 1 Tahun 1974 tidak ada lagi pernikahan yang tidak dicatatkan di Kantor
Urusan Agama (KUA). Hal tersebut juga sebagai penertiban pernikahan,
dengan tidak dicatatkannya sebuah pernikahan akan menimbulkan dampak di
masyarakat.9
Kemudian kemunculan pasal 7 ayat 3 (e) dalam Kompilasi Hukum
Islam tampaknya memberikan celah hukum sehingga seorang hakim
mempunyai pertimbangan khusus dalam mengabulkan Perkara Isbat nikah
dimana dalam pasal tersebut dijelaskan : “Perkawinan yang dilakukan oleh
mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-undang
No. 1 Tahun 1974”.
Maka dari itu dirasa perlu untuk meneliti lebih jauh tentang analisa
pertimbangan yang digunakan oleh Hakim dalam mengeluarkan produk
8Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000)., hal.,9.
9Hidayatullah, Penetapan Isbat Nikah Pernikahan Campuran, Skripsi UIN Malang, 2013
6
hukum (putusan) tersebut, apakah memang menjadi solusi dan memberikan
keadilan hukum, bagi para pemohon yang meminta Majelis Hakim untuk
mengesahkan status hukum perkawinan nya tersebut.
Hal ini yang membuat penulis tertarik untuk menganalisis putusan
hakim Pengadilan Agama Cianjur tersebut dalam bentuk Skripsi dengan
Judul:
“PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN
PERSPEKTIF MASLAHAH DAN HIERARKI PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN (STUDI KASUS ATAS PUTUSAN
NOMOR 1172/Pdt.P/2016/PA.Cjr).”
B. Identifikasi, Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang masalah yang telah penulis paparkan, terdapat
beberapa masalah dalam penelitian ini yang dapat diidentifikasi. Antara
lain :
a. Pencatatan Perkawinan
b. Perkawinan Campuran beda kewarganegaraan
c. Isbat nikah perkawinan campuran
d. Ketentuan Kekuasaan kehakiman
e. Ijtihad Hukum oleh Hakim
f. Penemuan Hukum oleh Hakim
g. Keadilan Hukum oleh Hakim
h. Hierarki Peraturan Perundang-Undangan
2. Pembatasan Masalah
Untuk mempermudah pembahasan dalam skripsi ini maka penulis
membatasi masalah yang akan dibahas sehingga tidak menimbulkan
masalah baru secara meluas, maka penulis membatasi pembahasan ini
pada masalah Penetapan Isbat Nikah Perkawinan Campuran Perspektif
7
Maslahat dan Hierarki Peraturan Perundang Undangan (Studi Kasus atas
Putusan nomor 1172/Pdt.P/2016/PA.Cjr) Pengadilan Agama Cianjur.
3. Rumusan Masalah
Menurut Pasal 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dijelaskan
bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agama dan kepercayaannya itu, dan tiap-tiap perkawinan dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut
Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 7 (ayat 3d) dinyatakan bahwa isbat
nikah dapat diajukan bagi mereka yang melakukan pernikahan sebelum
diberlakukannya UU No. 1 Tahun 1974. Pada kenyataannya masih ada
penetapan pengadilan tentang isbat nikah terhadap perkawinan yang
dilaksanakan setelah diberlakukannya UU No. 1 Tahun 1974, termasuk
perkawinan campuran seperti yang tertuang dalam penetapan nomor
1172/Pdt.P/2016/PA.Cjr.
Berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah, maka penulis
merumuskan masalah pokok penelitian ini untuk menjawab bagaimana
masalah-masalah tersebut, terlebih dahulu akan dijawab pertanyaan-
pertanyaan yang lebih spesifik mengenai masalah pokok. Sub-sub
pertanyaan-pertanyaan itu sebagai berikut :
a. Bagaimana Penetapan Isbat Nikah Perkawinan Campuran Perspektif
Maslahat dan Hierarki Peraturan Perundang Undangan (Studi Kasus
atas Putusan nomor 1172/Pdt.P/2016/PA.Cjr) Pengadilan Agama
Cianjur.?
b. Bagaimana peran hakim dalam ijtihad hukum demi tercapainya
keadilan hukum Perspektif metode Maslahah dan Hierarki Peraturan
Perundang Undangan ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah menjawab masalah yang berkaitan dengan isi
pembahasan tersebut adalah sebagai berikut :
8
a. Untuk mengetahui Penetapan Isbat Nikah Perkawinan Campuran
Perspektif Maslahat dan Hierarki Peraturan Perundang Undangan
(Studi Kasus atas Putusan nomor 1172/Pdt.P/2016/PA.Cjr) Pengadilan
Agama Cianjur.
b. Untuk mengetahui peran hakim dalam ijtihad hukum demi tercapainya
keadilan hukum Perspektif metode Maslahah dan Hierarki Peraturan
Perundang Undangan.
Penelitian ini bertujuan untuk memuaskan rasa penasaran peneliti
tentang apa yang menjadi landasan hukum bagi para hakim yang
mengabulkan perkara isbat nikah walaupun pernikahan tersebut terjadi
setelah terbitnya UU No. 1 Tahun 1974, serta dampak yang terjadi akibat
pengabulan isbat nikah yang terjadi setelah terbitnya UU No. 1 Tahun
1974, dan solusi yang ditawarkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Agama
Cianjur dalam menyelesaikan permasalahan tersebut.
Tujuan Penelitian ini untuk mendapatkan suatu rumusan hasil dari
suatu penelitian melalui proses mencari, menemukan, mengembangkan,
serta menguji suatu pengetahuan. Selain itu, penelitian digunakan untuk
memecahkan atau menyelesaikan suatu permasalahan yang ada. laporan
penelitian dalam bentuk skripsi ini juga sebagai salah satu persyaratan
yang harus dipenuhi untuk mendapat gelar Sarjana Hukum Strata I
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sekurang-kurangnya
untuk:
a. Manfaat teoritis, sebagai sumbangsih ilmu pengetahuan yang
dharapkan memberikan kontribusi pemikiran pada dunia akademik dan
hukum di masyarakat.
b. Manfaat praktis, diharapkan hasil penelitian ini bisa memberikan
penjelasan yang lengkap mengenai permasalahan contra legem hakim
pada perkawinan campuran.
9
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Sejauh Penelusuran yang sudah penulis lakukan ada beberapa penelitian
yang sudah membahas terkait Penetapan Isbat Nikah Perkawinan Campuran
diantaranya adalah :
1. Skripsi M. Zaky Ahla Firdausi UIN Syarif Hidayatullah yang berjudul
“Penetapan Isbat Nikah Pernikahan Campuran (Analisis Penetapan
Pengadilan Agama Tigaraksa Nomor: 0044/Pdt.P/2014/PA.Tgrs.)”.
Rumusan masalah skripsi ini Membahas tentang Bagaimana Pandangan
Hakim Pengadilan Agama Tigaraksa dalam perkara isbat nikah
perkawinan campuran setelah terbitnya UU No.1 Tahun 1974, kemudian
membahas proses pengajuan Isbat Nikah bagi Perkawinan Campuran di
Pengadilan Agama Tigaraksa. Penelitian yang digunakan adalah penelitian
Kualitatif yaitu penelitian yang menghasilkan prosedur analisis yang tidak
menggunakan prosedur analisis statistik atau cara kuantifikasi lainnya.
Skripsi ini berfokus pada Majelis Hakim yang mendasarkan
pertimbangannya pada kaidah-kaidah fiqhiyyah yaitu Kitab Qowaid Al-
Kulliyah al Fiqhiyah.
2. Skripsi Hidayatullah UIN Maulana Malik Ibrahim dengan judul
“Penetapan Hakim dalam Isbat Nikah antara Warga Negara Asing dan
Warga Negara Indonesia Studi Kasus atas Perkara NO: 67/ Pdt.P/ 2010/
PA.PAS DI Pengadilan Agama Pasuruan”. Menjelaskan Bagaimana
Penetapan Hakim dalam Isbat Nikah antara Warga Negara Indonesia dan
Warga Negara Asing di Pengadilan Agama Pasuruan. Kemudian
Bagaimana kedudukan hukum atau legal standing hakim menggunakan
metode ijtihad dalam memutuskan Isbat Nikah antara Warga Negara
Indonesia dan Warga Negara Asing. Menggunakan metode penelitian
penelitian hukum empiris atau penelitian lapangan (field research) yang
bertujuan mengetahui ijtihad Hakim dalam pemutusan Isbat Nikah
Pengadilan Agama Pasuruan. Skrispi ini berfokus pada pertimbangan
Masjelis Hakim yang menggunakan metode Ijtihad Tatbiqi untuk
menjatuhkan Putusan tersebut.
10
Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan, ada beberapa karya ilmiah
yang secara spesifik serumpun dengan judul yang diangkat penulis. Biarpun
obyek kajiannya sama, namun masih terdapat perbedaan yang mendasar
diantaranya rumusan masalah dan studi kasus yang jelas berbeda dengan
penelitian ini, penelitian ini lebih terfokus pada metode Maslahah dan
menambahkan pandangan Hierarki Peraturan Perundang Undangan Indonesia
terhadap Penetapan Isbat Nikah Perkawinan Campuran, di mana Perkawinan
Campuran di Indonesia semakin sering terjadi karena arus Globalisasi,
Ekonomi, dan lain sebagainya.
Untuk itu penulis berkeinginan meneliti masalah ini dalam bentuk
skripsi sebagai pelengkap karya ilmiah untuk siapa saja yang membutuhkan.
E. Metode Penelitian
Dalam menyusun penulisan skripsi ini, penulis akan menggunakan
beberapa metode, antara lain:
Metode analisis data yang digunakan adalah content analysis atau
analisis isi, yakni pengolahan data dengan cara pemilahan tersendiri berkaitan
dengan pembahasan dari beberapa gagasan atau pemikiran para tokoh yang
kemudian dideskripsikan, dibahas dan dikritik. Selanjutnya dikategorisasikan
(dikelompokkan) dengan data yang sejenis, dan dianalisa isinya secara kritis
guna mendapatkan formulasi yang kongkrit dan memadai, sehingga pada
akhirnya dijadikan sebagai langkah dalam mengambil kesimpulan sebagai
jawaban dari rumusan masalah yang ada.10
1. Pendekatan Penelitian
Adapun metode pendekatan yang peneliti gunakan dalam
penelitian ini, yaitu pendekatan perundang-undangan (statute approach)
adalah suatu pendekatan yang dilakukan terhadap berbagai aturan hukum
yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.11
Kemudian menggunakan
Pendekatan Kasus (case approach) dengan cara melakukan telaah
10
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Rosdakarya, 2001),
hal.,163. 11
Peter Mahmud Marzuki Penelitian Hukum, Cet ke IV, (Jakarta: Kencana, 2008), hal.,137.
11
terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi dan telah
menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang
tetap. Selanjutnya menggunakan pendekatan konseptual (conseptual
approach) yaitu menggunakan pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin
yang berkembang dalam ilmu hukum, dengan mempelajari hal tersebut,
dari itu peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian
hukum, konsep hukum dan asas hukum yang relevan dengan isu hukum
yang dihadapi.
2. Jenis Penelitian
Adapun Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif, yaitu,
penelitian yang menghasilkan prosedur analisis yang tidak menggunakan
prosedur analisis statistik atau cara kuantifikasi lainnya.12
Maka dalam
penulisan skripsi ini, penulis menggunakan penelitian pustaka (library
research) dan deskriftif analisis yakni menggambarkan contra legem pada
isbat nikah perkawinan campuran pada putusan nomor
1172.Pdt.P/2016/PA.Cjr.
3. Data Penelitian
Dalam penelitian kepustakaan digunakan data sekunder berupa
bahan hukum yang terdiri dari bahan hukum primer yang berupa
perundang-undangan, bahan hukum sekunder yang berupa buku-buku,
jurnal-jurnal hukum, kamus-kamus hukum, termasuk data data atau
dokumen-dokumen dari internet yang berkaitan dengan pembahasan
dalam penelitian ini.
4. Sumber Data
Sumber data adalah segala sesusatu yang menjadi sumber dan
rujukan dalam penelitian. Adapun sumber dalam penelitian ini peneliti
bagi ke dalam dua jenis data. Data yang diperlukan dalam penelitian ini
terdiri dari data primer dan data sekunder, yaitu:
12
Lexy. J. Meleong, Metode Penelitian Kualitatif,, hal.,6.
12
a. Sumber data primer yaitu data yang didapat dari bahan-bahan yang
diperlukan. Dan disebut juga bahan-bahan hukum yang mengikat.13
Dalam penelitian ini untuk mendapatkan sejumlah informasi berkaitan
dengan penelitian, yaitu:
1) Salinan putusan pengadilan agama Cianjur putusan nomor
1172.Pdt.P/2016/PA.Cjr
2) Undang-Undang Republik Indonesia No 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan
3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tetang
Kekuasaan Kehakiman
4) Permenag Nomor 3 Tahun 1975
5) Kompilasi Hukum Islam
b. Sumber data sekunder yaitu data yang diperoleh dengan cara
mengadakan studi kepustakaan atas dokumen dokumen yang
berhubungan dengan masalah penelitian ini, isu- isu yang berkaitan
dengan masalah ini. Bahan-bahan tersebut digunakan untuk
mendukung, membantu, melengkapi dan membahas masalah masalah
yang timbul dalam penelitian ini.
5. Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penulisa skripsi ini dilakukan
dengan cara sebagai berikut :
a. Menganalisis putusan Pengadilan Agama Cianjur putusan nomor
1172.Pdt.P/2016/PA.Cjr
b. Interview atau wawancara dengan mengumpulkan data dari responden
yang di pilih yaitu Hakim Pengadilan Agama Cianjur yang menangani
masalah ini.
c. Subyek penelitian yang akan dijadikan sebagai bahan analisis dalam
penelitian ini adalah Putusan Pengadilan Agama Cianjur Putusan
Nomor 1172.Pdt.P/2016/PA.Cjr, Kitab Undang-Undang Hukum
13
Soejono Sukanto dan Sri Mudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: IND HILLCO.
2001), hal,.13.
13
Perdata, wawancara atau interview dari responden yaitu Hakim
Pengadilan Agama Cianjur yang menangani masalah ini.
d. Teknik Pengumpulan Data dengan mengumpulkan data-data yang
diperoleh dari pendekatan yang dilakukan oleh peneliti yaitu
pendekatan Perundang-Undangan, Putusan Pengadilan Dan kemudian
dianalisis untuk mendapatkan titik terang dan jawaban terhadap
permasalahan yang dikaji.
e. Metode Analisis Data melalui beberapa proses pengumpulan data yang
dilakukan dengan macam-macam metode yang dipilih, maka data yang
sudah ada akan diolah dan dianalisa agar mendapatkan hasil yang
bermanfaat dari penelitian ini. pengolahan data yang dilakukan dengan
mengadakan studi degan teori kenyataan yang ada di tempat penelitian.
f. Pedoman Penulisan Skripsi ini penulis merujuk pada buku Pedoman
Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017.
F. Sistematika Penulisan
Sebagaimana layaknya satu karya ilmiah hasil penelitian dalam
bentuk skripsi maka uraian skripsi ini dimulai dengan menjelaskan prosedur
standar suatu penelitian dalam bentuk skripsi karena itu penulis memulai
uraian ini dengan menjelaskan latar belakang masalah mengapa penelitian ini
dilakukan kemudian identifikasi, pembatasan dan perumusan masalah.
Disamping itu, tentu saja penulis juga menjelaskan apa tujuan dan manfaat
penelitian, serta menentukan metode apa yang digunakan untuk penelitian.
Selanjutnya untuk memudahkan penyusunan skripsi ini dan untuk
memberikan gambaran secara rinci mengenai pokok pembahasan, penulis
menyusun skripsi ini dalam beberapa bab dengan sistematika sebagai berikut
Bab I : Merupakan pendahuluan yang meliputi latar belakang
masalah, identifikasi masalah, batasan masalah dan rumusan masalah, tujuan
penelitian dan manfaat penelitian, metode penulisan dan teknik penulisan,
sistematika penulisan, daftar pustaka dan review studi terdahulu.
14
Bab II : Membahas tentang Tinjauan Umum Isbat Nikah dan
Perkawinan campuran. Bab ini, akan diuraikan menjadi lima pokok
pembahasan terkait pengertian Isbat Nikah dan dasar hukumnya, Perkawinan
Campuran, Sistem Administrasi Perkawinan Campuran, Dasar Hukum
Perkawinan Campuran dan Akibat Hukum Perkawinan Campuran.
Bab III : Membahas kerangka teori metode Maslahah, Hierarki
Peraturan Perundang-Undangan dan Kekuasaan Kehakiman pada bab ini,
akan diuraikan 3 pokok pembahasan terkait penjelasan Maslahah, penjelasan
Hierarki Peraturan Perundang-Undangan Indonesia dan Kekuasaan
Kehakiman.
Bab IV : Pembahasan mengenai Analisa Putusan Penetapan Isbat
Nikah Perkawinan Campuran, Bab ini mencoba menguraikan bentuk Putusan
Penetapan Isbat Nikah Perkawinan Campuran, Ketentuan Kekuasaan
Kehakiman dalam bentuk Putusan pada Perkawinan Campuran, Mencakup
analisis bentuk Putusan dan ketentuan Kekuasaan Kehakiman.
Bab V : Merupakan Penutup bagian akhir penulisan skripsi ini, yang
berisi tentang kesimpulan yang menjawab rumusan masalah dalam penelitian
ini dan berisikan saran terhadap penelitian yang berjudul : “PENETAPAN
ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN PERSPEKTIF MASLAHAH
DAN HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN (STUDI
KASUS ATAS PUTUSAN NOMOR 1172/Pdt.P/2016/PA.Cjr).”
15
BAB II
TINJAUAN UMUM ISBAT NIKAH DAN PERKAWINAN CAMPURAN
A. Pengertian dan Dasar Hukum Isbat Nikah
Isbat berasal dari kosa kata Bahasa Arab yaitu atsbata-yutsbitu-isbatan
yang artinya adalah penguatan. Sedangkan di dalam kamus ilmiah popular
kata Isbat diartikan sebagai memutus atau menetapkan1. Sedangkan menurut
istilah isbat adalah sebuah upaya untuk melangsungkan suatu pernikahan yang
belum tercatat di Kantor Urusan Agama serta belum dicatatkan secara negara
di kantor pencatatan sipil, dan kemudian dilaksanakan isbat di kantor
Pengadilan Agama di daerah setempat.
Adapun frasa Isbat Nikah memiliki arti sebagai suatu penetapan
kembali pernikahan yang sebelumnya telah dilakukan namun tidak memenuhi
syarat administratif negara, yaitu pencatatan nikah. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, isbat nerupakan penetapan, penyungguhan, dan penentuan.
Adapun isbat nikah adalah penetapan tentang kebenaran (keabsahan) nikah2
Isbat Nikah juga mengandung arti suatu penetapan nikah melalui
permohonan karena pasangan suami-istri sebelumnya tidak dapat
membuktikan perkawinananya melalui akta nikah.3 Ahmad Rafiq
menyebutkan bahwa nikah yang tidak dapat dibuktikan dengan akta maka
harus melakukan permohonan penetapan kembali pernikahan yang telah
dilangsungkan.
Isbat (penetapan) merupakan produk Pengadilan Agama, dalam arti
bukan pengadilan yang sesungguhnya dan diistilahkan dengan jurisdiction
voluntair. Dikatakan bukan pengadilan yang sesungguhnya, karena di dalam
1Pius Partanto dan Dahlan Al-barry, Kamus Ilmiah Popular, (Surabaya: Akola, 1994),
hal.,273. 2Tim Pustaka Phoenix, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pustaka Phoenix, 2012),
Cet ke VI, hal.,190. 3Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014), Cet ke
6, hal.,117.
16
perkara ini hanya ada pemohon, yang memohon untuk ditetapkan tentang
sesuatu yaitu penetapan nikah.4
Isbat Nikah mengandung arti suatu penetapan perkara nikah kepada
Pengadilan Agama melalui permohonan pasangan suami-istri yang
sebelumnya tidak dapat membuktikan perkawinannya melalui akta nikah5.
Isbat nikah juga diartikan sebagai suatu permohonan pengesahan pernikahan
yang diajukan ke Pengadilan Agama untuk dinyatakan sahnya pernikahan
yang dilangsungkan menurut syariat agama Islam dan mendapat kepastian
serta kekuatan hukum6. Proses isbat nikah ini kemudian menghasilkan satu
produk yaitu buku nikah (akta) yang memiliki fungsi sebagai akta autentik
dalam pembuktian kepastian pernikahan serta kekuatan hukum bagi orang-
orang yang menikah. Dengan adanya akta nikah maka akan mempermudah
suatu pasangan dalam memperjuangkan hak-haknya jika terjadi perceraian,
serta memudahkan dalam pembuatan akta kelahiran anak7.
Isbat nikah pada mulanya merupakan solusi atau diberlakukannya
Undang-Undang perkawinan No 1 tahun 1974 pasal 2 ayat (2) yang
mengharuskan pencatatan perkawinan, karena sebelum itu, banyak
perkawinan yang memang tidak dicatatkan, akan tetapi dapat dimintakan
Istbat nikahnya kepada Pengadilan Agama. Kewenangan mengenai perkara
isbat nikah bagi Pengadilan Agama adalah diperuntukan bagi mereka yang
melakukan perkawinan di bawah tangan sebelum berlakunya Undang-Undang
nomor 1 tahun 1974. Merujuk pada pasal 64 yang berbunyi :
“Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan
perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang ini berlaku yang dijalankan
menurut peraturan-peraturan lama, adalah sah”
4Mukti Arto, Praktek Perdata pada Pengadilan Agama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996),
hal.,41. 5Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, hal.,117.
6Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA), Panduan Pengajuan Isbat Nikah,
(Jakarta: Australia Indonesia partnership, 2012), hal.,2. 7Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA), Panduan Pengajuan Isbat Nikah,
hal.,2.
17
Pada dasarnya kewenangan perkara isbat nikah bagi Pengadilan
Agama dalam sejarahnya adalah diperuntukan bagi mereka yang melakukan
perkawinan di bawah tangan sebelum diberlakukannya Undang-Undang
Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9
tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan. Namun
kewenangan ini berkembang dan diperluas dengan dipakainya ketentuan
Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dijelaskan dalam paal 3 kompilasi hukum
islam bahwa halnya perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan
rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah.8
Landasan hukum isbat nikah ini prinsipnya tertuang dalam beberapa
peraturan. Di antaranya dalam kompilasi hukum islam, pasal 7 disebutkan :
Ayat (2) : Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah,
dapat diajukan Isbat Nikahnya ke Pengadilan Agama Ayat (3) : Isbat Nikah
yang dapat di ajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal yang
berkenaan dengan :
a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian
b. Hilangnya akta nikah
c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan
d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang No.
1 tahun 1974
e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan
perkawinan menurut Undang-Undang No 1 tahun 1974
Penjelasan Pasal 7 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam tersebut telah
memberikan kompetensi absolut yang sangat luas tentang isbat nikah ini tanpa
batasan dan pengecualian, walaupun dalam penjelasan pasal-pasalnya hanya
dijelaskan bahwa pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-Undang
nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
8Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika, Presindo, 2007),
hal.,114.
18
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang nomor 14 tahun 1970 tentang
kekuasaan kehakiman beserta penjelasannya menentukan bahwa adanya
kewenangan suatu peradilan untuk menyelesaikan perkara yang tidak
mengandung unsur sengketa (voluntair) adalah dengan syarat apabila
dikehendaki (adanya ketentuan/penunjukan) oleh undang-undang, salah
satunya yaitu perkara isbat nikah.
Mengenai isbat nikah ini, pasal 39 ayat (4) PERMENAG nomor 3
tahun 1975 telah menentukan bahwa jika Kantor Urusan Agama tidak bisa
membuatkan duplikat akta nikah karena catatannya telah rusak atau hilang
atau karena sebab lain, maka untuk menentukan adanya nikah, talak, cerai,
atau rujuk, harus ditentukan dengan keputusan (dalam arti penetapan)
Pengadilan Agama. Dengan demikian mengenai kompetensi absolut tentang
isbat nikah sebagai perkara voluntair ini tidak bisa dianologikan dengan
perkara pembatalan perkawinan, perceraian, atau poligami. Prinsipnya
pengadilan tidak mencari-cari perkara, tetapi perkara itu telah menjadi
kewenangannya karena telah diberikan oleh undang-undang tidak memberikan
kewenangan maka pengadilan tidak berwenang. Apabila perkawinan di bawah
tangan setelah berlakunya Undang-Undang perkawinan, diberikan tempat
untuk isbat nikah, maka secara sosiologis pastilah akan mendorong terjadinya
perkawinan bawah tangan secara massif.9
B. Pengertian Perkawinan Campuran
Perkawinan campuran telah merambah seluruh pelosok Tanah Air dan
kelas masyarakat. Globalisasi Informasi, Ekonomi, Pendidikan, dan
Transportasi telah menggugurkan stigma bahwa kawin campur adalah
perkawinan antara ekspatriat kaya dan orang Indonesia. Menurut survei yang
dilakukan oleh Mixed Couple Club, Jalur perkenalan yang membawa
pasangan berbeda kewarganegaraan menikah antara lain adalah perkenalan
melalui internet, Kemudian bekas teman kerja/bisnis, Berkenalan saat berlibur,
9Wasit Aulawi, Pernikahan Harus Melibatkan Orang Banyak, dalam Dian Syafrianto,
Pelaksanaan Isbat Nikah di Pengadilan Agama, (dimuat dalam
http://lib.unnes.ac.id/18209/1/34550407114.pdf)., Diakses pada tanggal 24 September 2018, 20:30
19
Bekas teman sekolah/kuliah, dan sahabat pena. Perkawinan campur juga
terjadi pada tenaga kerja Indonesia dengan tenaga kerja dari negara lain.
Dengan banyak terjadinya perkawinan campur di Indonesia sudah seharusnya
perlindungan hukum dalam perkawinan campuran ini diakomodir dengan baik
dalam perundang-undangan di Indonesia.10
Perkawinan Campuran “sebagaimana termaktub dalam Undang-
Undang Republik Indonesia nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan tepat
nya dalam Bab XII (Ketentuan-ketentuan Lain) bagian ketiga yang secara
khusus mencantumkan dan mengatur “Perkawinan campuran” dalam enam
pasal (pasal 57-62) Pasal 57 : Yang dimaksud dengan perkawinan campuran
dalam Undang undang ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia
tunduk pada Hukum yang berlainan, karena perbedaan Kewarganegaraan dan
salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Penjelasan Tunduk pada
Hukum yang berkelainan, itu dapat terjadi karena disebabkan oleh perbedaan
Kewarganegaraannya, perbedaan agamanya atau perbedaan asalnya
(keturunan). Perbedaan Hukum karena kewarganegaraan, misalnya
perkawinan antara orang Indonesia Kristen dengan orang Eropa Kristen.
Perbedaan karena agama, misalnya perkawinan antara orang Indonesia Islam
dengan orang Cina Islam dan lain sebagainya.
Dari definisi Pasal 57 Undang-Undang Perkawinan ini dapat diuraikan
unsur-unsur perkawinan campuran itu sebagai berikut :
1. Perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita
2. Di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan
3. Karena perbedaan Kewarganegaraan
4. Salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia
Penjelasan dari uraian yang pertama merujuk kepada asas monogami
yang dianut dalam Undang-undang perkawinan tampak jelas dalam Pasal 3
ayat (1) Undang-undang Perkawinan. Uraian yang kedua merujuk pada
perbedaan hukum yang berlaku bagi pria dan bagi wanita yang
melangsungkan perkawinan tersebut. Tetapi perbedaan hukum tersebut bukan
10
http://www.mixedcouple.com/articles/mod.php diakses pada 10 januari 2019, pukul 21:20.
20
karena perbedaan Agama, suku bangsa, golongan di Indonesia melainkan
karena uraian ketiga yaitu perbedaan kewarganegaraan. Perbedaan
kewarganegaraan ini pun bukan kewarganegaran asing semuanya, melainkan
uraian keempat menyatakan bahwa salah satu kewarganegaraan ini adalah
warga negara Indonesia11
Perbedaan hukum yang ada telah menyebabkan beberapa macam
perkawinan campuran, yaitu :12
1. Perkawinan Campuran Antar Golongan (Intergentiel)
Menerangkan bahwa hukum mana atau hukum apa yang berlaku,
kalau timbul perkawinan antara 2 orang yang masing-masing sama atau
berbeda kewarganegaraanya, yang tunduk kepada peraturan hukum yang
berlainan. Misalnya Warga negara Indonesia asal Eropa kawin dengan
orang Indonesia asli.
2. Perkawinan Campuran Antar Tempat (interlocal)
Mengatur hubungan hukum (perkawinan) antara orang-orang
Indonesia asli dari masing-masing lingkungan adat. Misalnya, orang
Sunda kawin dengan orang Minang.
3. Perkawinan Campuran Antar Agama
Mengatur hubungan hukum (perkawinan) antara 2 orang yang
masing masing tunduk kepada peraturan hukum agama yang berlainan.
Misalnya orang Islam dengan orang Hindu.
Dalam Rancangan Undang-Undang Perkawinan yang diajukan oleh
pemerintah kepada DPR untuk dibahas, termuat rancangan rumusan dan
ketentuan-ketentuan tentang perkawinan campuran yaitu pasal 64 yang
merumuskan pengertian perkawinan campuran dalam Undang-undang ini
ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang
berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak warga
negara Indonesia, Selanjutnya dirumuskan pasal 64 berbunyi “Dengan
11
Muhammad Abdul kadir, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
1933), hal.,103. 12
Titik Triwulan Tutik, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara, (Jakarta: Prestasi Pustaka
Publiser, 2006), hal.,242.
21
demikian di Indonesia hanya dikenal perkawinan campuran karena perbedaan
Kewarganegaraan” 13
Sebelum dikeluarkannya Undang-undang Perkawinan No 1 tahun 1974
di Indonesia telah ada 3 (tiga) Produk Legislatif mengenai atau berhubungan
dengan perkawinan campuran. Ketiga ketentuan-ketentuan perundang-
undangan itu adalah sebagai berikut :
1. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek)
2. Ordonasi Perkawinan Indonesia Kristen (HOCI) S.1933 Nomor 74.
3. Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling og de gemengde Huwelijike S.
1898 Nomor 158).
Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam ketiga produk Legislatif itu
setelah dikeluarkannya Undang-undang Perkawinan sebagaimana diketahui
antara lain yang merupakan prinsip umum dalam Perundang-undangan bahwa
peraturan Perundang-undangan yang setingkat derajatnya yang ditetapkan
kemudian, menghapuskan ketentuan-ketentuan yang berlawanan dalam
perundang-undangan sederajat yang mendahuluinya14
Menelaah definisi
“Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan yang
ada, paling tidak sebagaimana dikutipkan di atas, jelas tidak terbayangkan
untuk memaknai “Perkawinan Campuran” atau “Kawin Campur” dengan
maksud, sebagaimana yang lumrah terjadi pada beberapa tahun terakhir ini.
pasal 58 UU no 1 tahun 1974 yang sudah dikutipkan sebelum ini, dengan
tegas menyatakan bahwa “yang dimaksud dengan Perkawinan Campuran
dalam undang-undang ini ialah Perkawinan antara dua orang yang di
Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan
kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”,
sementara yang satunya lagi berkewarganegaraan asing (non –Indonesia).15
13
Ichtijanto, “Perkawinan Campuran dalam Negara Republik Indonesia “, Penerbit (Badan
Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Deparetemen Agama Republik Indonesia),. 2003.
14
M. Idris Romulyo Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Perdata Peradilan Agama
dan Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: IND.HILL-CO,1995), hal.,196. 15
Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia Telaah Syariah dan Qanuniah,
hal.,121.
22
C. Pengaturan Perkawinan Campuran
Pengaturan mengenai perkawinan campuran pertama kali diatur dalam
Staatsblad Tahun 1898 No.158 yang dikenal dengan nama “Regeling Of De
Gemengde Huwelijken yang disingkat (GHR). Pengertian Perkawinan
campuran yang sudah termaktub pada Staatsblad dalam Artikel 1,
diterjemahkan oleh Sudargo Gautama sebagai perkawinan antara orang-orang
yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berbeda16 Pengertian demikian
mengandung arti yang sangat luas, apabila ternyata hukum yang berlaku untuk
orang-orang bersangkutan yang hendak menikah di Indonesia, maka mereka
dianggap akan melakukan perkawinan campuran, berarti termasuk orang-
orang yang berbeda kewarganegaraannya.17
Peraturan Perkawinan Campuran atau dalam bahasa aslinya Regeling
op de Gemengde Huwelijken (GHR) adalah produk hukum kolonial, yang
setelah kemerdekaan masih berlaku bagi bangsa Indonesia berdasarkan Pasal
II Aturan Peralihan UUD 1945. Peraturan ini dibuat untuk mengatasi
terjadinya banyak perkawinan antara orang-orang yang tunduk pada hukum-
hukum yang berlainan, seperti orang Indonesia asli dengan orang Cina atau
dengan Eropa, Orang Cina dengan orang Eropa, antara orang-orang Indonesia
tetapi berlainan agama ataupun berlainan asalnya. Peraturan ini mulai berlaku
pada tanggal 29 Desember 1898, termuat dalam Staatsblaad 1898 No.158, dan
telah mengalami beberapa perubahan atau penambahan18
.
Pasal 1 G.H.R. menjelaskan arti perkawinan campuran adalah:
“perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk kepada hukum-
hukum yang berlainan”. Definisi tersebut sangat luas jangkauan nya. tidak
membatasi arti perkawinan campuran pada perkawinan-perkawinan antar
warganegara Indonesia atau antar penduduk Indonesia dan dilaksanakan di
16
Sudargo Gautama, Himpunan Perundang-Undangan Hukum Perdata Internasional
Sedunia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996), hal.,10. 17
Sudargo Gautama, Aneka Masalah Dalam Praktek Pembaruan Hukum Di Indonesia,
hal.,226. 18
Hasbullah Bakri, Pengaturan Undang-undang Perkawinan Umat Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1970), hal,.30-31.; dan T.Jahfizham, Persentuhan Hukum di Indonesia dengan Hukum
Perkawinaan Islam, (Medan: Mestika, 1977), hal.,56.
23
Indonesia, asalkan pihak-pihak yang melakukan perkawinan di Indonesia
tunduk pada hukum yang berlainan adalah perkawinan campuran.
Pasal 2 G.H.R menjelaskan tentang Hukum antar golongan di
Indonesia, karena didalam pasal 2 membahas asas persamarataan penghargaan
terhadap stelsel-stelsel hukum yang berlaku di Indonesia. Sebelum berlakunya
ketentuan Pasal 2 G.H.R tersebut, sikap pemerintah Hindia Belanda terhadap
stelsel-stelsel hukum yang berlaku di Indonesia tidaklah demikian, pemerintah
Hindia-Belanda pada waktu itu menyatakan bahwa stelsel hukum Eropa
mempunyai kedudukan lebih tinggi. Hal ini terbukti ketika di Indonesia
hendak dimulai dengan perundang-undangan yang baru tahun 1848, dengan
mencantumkan ketentuan yang menyatakan bahwa seorang bukan Eropa yang
hendak menikah dengan seorang Eropa harus tunduk terlebih dahulu pada
Hukum Perdata Eropa.19
Mengenai asas persamarataan dimuat dalam pasal 2
G.H.R, walaupun menurut Wertheim hanya sama sekali benar bila sesuatu
dipandang secara strict juridisch, asas ini perlu untuk mencapai suatu kesatuan
hukum dalam keluarga.
Undang-Undang Perkawinan memakai istilah “perkawinan campuran”
dalam Bab XII bagian ketiga, sebagaimana tertuang dalam pasal 57. Sesuai
dengan Undang-Undang 1945 (pembukaan alinea keempat, kebebasan
beragama tercantum pada dalam pasal 29 ayat (2). Hal ini menyebabkan
adanya pluralitas agama dan pluralitas hukum perkawinan, maka dari itu
perkawinan campuran disebabkan karena bertemunya dua atau lebih system
hukum perkawinan yang berlainan20
Adanya pluralitas pada hukum perkawinan pastinya menimbulkan
pluralitas pada hukum putusnya perkawinan, kemudian Pluralitas dalam
Peradilan, Pluralitas hukum mateeril berkembang menjadi Pluralitas hukum
19
Sudargo Gautama (Gouw Giok Siong), Hukum Antar Golongan, (Jakarta: Ichtiar Baru
Vanhore, 1980), hal.,128. 20
Ahmad Azhar Basyir, Kawin Campur, Adopsi Wasiat menurut Hukum Islam, (Bandung:
Al-Ma‟arif, 1972), hal.,82.
24
formil, Pluralitas administrasi pelayanan kehidupan kekeluargaan dan instansi
pelayanan hukum dan penegakan hukum.21
Pengaturan Perkawinan Campuran diatur secara tersendiri dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Terinci secara ekplisit sampai
pelaksanaan dan pencatatan serta akibat hukumnya tertulis pada Undang
Undang Pernikahan Tahun 1974. Dengan adanya pengaturan pelaksanaan
perkawinan campuran dalam Undang-Undang pernikahan, maka ketentuan
peraturan perkawinan campuran yang lama (GHR) dinyatakan sudah tidak
berlaku.
D. Sistem Administrasi Perkawinan Campuran
Sistem Administrasi perkawinan campuran merujuk kepada Undang-
Undang Perkawinan no 1 tahun 1974 dalam pasal 60 menjelaskan Apabila
perkawinan campuran itu dilangsungkan di Indonesia. Pasal 60 ayat 1
menyatakan: “Mengenai syarat-syarat perkawinan harus memenuhi syarat-
syarat perkawinan menurut hukum masing-masing pihak”. Pasal 60 ayat 2
menyatakan: “Pejabat yang berwenang memberikan keterangan tentang telah
dipenuhi syarat-syarat perkawinan menurut hukum masing-masing pihak ialah
pegawai pencatat menurut hukum masing-masing pihak”. Pasal 60 ayat 3
menyatakan: Apabila pegawai pencatat menolak memberikan surat
keterangan itu, yang berkepentingan itu mengajukan permohonan kepada
Pengadilan, dan pengadilan memberikan keputusannya. Jika keputusan
pengadilan itu menyatakan bahwa penolakkan itu tidak beralasan, maka
keputusan Pengadilan itu menjadi pengganti surat keterangan tersebut.
Dokumen dan persyaratan administrasi untuk melaksanakan pernikahan
campuran di Kantor Urusan Agama (bagi yang beragama Islam) adalah
sebagai berikut22
:
21
http/www.perkawinan-campuran.html.com diakses pada tanggal 2 Desember 2018, pukul
16:00 Wib. 22
http//www.Foreign Relationship Community / FRC
25
No Calon Pengantin Warga Negara
Indonesia
Calon Pengantin Warga Negara
Asing
1. Surat pernyataan belum pernah menikah
(masih gadis/jejaka) di atas segel/materai
bernilai Rp.6000,- (enam ribu rupiah)
diketahui RT, RW dan Lurah setempat.
Perizinan dari kedutaan atau konsulat
perwakilan di Indonesia.
2. Surat pengantar dari RT-RW setempat. Fotokopi pasport yang masih
berlaku.
3. Surat Keterangan Nikah (N1, N2, N4)
dari Kelurahan/Desa tempat domisili.
Persetujuan kedua calon pegantin (N3).
Fotokopi VISA/KITAS yang masih
berlaku.
4. Surat Rekomendasi/Pindah Nikah
(dikenal juga sebagai Surat Numpang
Nikah) bagi yang bukan penduduk asli
daerah tersebut.
Surat tanda melapor diri (STMD)
dari kepolisian dan Surat Keterangan
dari Dinas Kependudukan dan
Catatan Sipil apabila yang
bersangkutan menetap di Indonesia.
5. Fotokopi KTP, KK/Keterangan Domisili,
Akta Kelahiran dan Ijazah, masing-
masing 2 lembar.
Fotokopi Akta Kelahiran.
6. Fotokopi keterangan vaksin/imunisasi TT
(Tetanus Toxoid) bagi wanita.
Akta Cerai bagi janda/duda cerai.
7. Akta Cerai Asli bagi janda/duda yang
sebelumnya bercerai hidup.
Pasfoto terpisah 2 x 3 dan 3 x 4
background biru, masing-masing 4
lembar.
8. Surat Keterangan atau Akta Kematian
suami/istri dan kutipan akta nikah
terdahulu bagi janda/duda karena
meninggal dunia.
Surat keterangan memeluk Agama
Islam bagi mualaf.
9. Pasfoto 2 x 3 dan 3 x 4 latar belakang
biru, masing-masing 4 lembar. Bagi
anggota TNI/Polri harus mengenakan
seragam kesatuan.
Taukil wali secara tertulis bagi wali
nikah (dari pihak perempuan) yang
tidak dapat menghadiri akad nikah.
10. Perizinan dari komandan (dari
kesatuannya) bagi anggota TNI /Polri.
11. Perizinan dari orangtua (N5) bagi calon
pengantin yang belum berusia 21 tahun.
12. Taukil wali secara tertulis dari KUA
setempat bagi wali nikah (dari pihak
perempuan) yang tidak dapat menghadiri
akad nikah.
13. Surat keterangan memeluk Agama Islam
bagi mualaf.
26
Semua dokumen dalam bahasa asing harus diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia (yang dilakukan oleh Penterjemah Tersumpah). Setiap
Negara memiliki aturan masing-masing dalam syarat dan ketentuan
administrasi warga negaranya dalam melakukan pernikahan di Indonesia.
Calon Pengantin yang berkewarganegaraan asing harap mencari informasi dan
melakukan pelaporan yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Kedua
calon Pengantin harus mendaftarkan diri ke KUA tempat akan
dilangsungkannya akad nikah selambatnya 10 (sepuluh) hari kerja dari waktu
melangsungkan Pernikahan.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
memberikan suatu kehormatan tersendiri terhadap ketentuan hukum
perkawinan Islam, Kristen, Katolik , Hindu, Buddha, dan ketentuan hukum
perkawinan tersebut merupakan bagian integral dari hukum perkawinan
nasional. Karena dapat dikatakan bahwa, Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan ini merupakan suatu Undang-Undang unifikasi yang
unik, di mana mengakui adanya variasi hukum kepercayaan agamanya
masing-masing itu, yang ditegaskan dalam ketentuan angka 3 Penjelasan
Umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang
menyatakan23
: “Undang-Undang perkawinan ini telah menampung di
dalamnya unsur-unsur dan ketentuan hukum agamanya dan kepercayaannya
itu dari yang bersangkutan.”
Menurut Undang-Undang No.24 tahun 2013 pasal 1 ayat (1)
disebutkan bahwa Administrasi Kependudukan adalah kegiatan penataan,
penertiban dokumen dan data kependudukan melalui pendaftaran penduduk,
pencatatan sipil, pengelolaan informasi Administrasi Kependudukan serta
pendayagunaan hasilnya untuk pelayanan public dan pembangunan sector
lain. Didalam penjelasan atas undang-undang no. 24 tahun 2013 tentang
Administrasi Kependudukan, menjelaskan bahwa administrasi kependudukan
sebagai bagian dari penyelenggaraan administrasi negara agar tercapainya
23
Rahmadi Usman, Aspek- Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia,
(Jakarta: Sinar Grafika 2006), hal.,313.
27
tujuan negara dalam menertibkan masyarakat. Administrasi kependudukan
diharapkan dapat memberikan perlindungan hukum atas setiap peristiwa
kependudukan yang dialami masyarakat dengan memberikan pelayanan dan
hak-hak yang sama kepada seluruh masyarakat.
Penataan serta Penertiban Administrasi Kependudukan ditujukan
untuk penyelenggaran kepentingan masyarakat dalam memperoleh hak-
haknya sebagai warga negara seperti program-program pemerintah dan
mewujudkan ketertiban pendudukan misalnya dengan memberikan Nomor
Induk Kependudukan (NIK), surat dan akta nikah sebagai bentuk pencatatan
pernikahan yang sah dan lain sebagainya. Dengan adanya prosedur ini,
pemerintah akan lebih dimudahkan dalam mengatur dan memberikan
pelayanan dalam bentuk program-program kerja yang dibuat aparatur
pemerintahan untuk warga negara misalnya dalam bidang hukum, pendidikan,
kesehatan, dan sebagainya yang bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat.
Untuk melaksanakan perkawinan campuran harus memenuhi syarat
materil dan syarat formil serta ada beberapa tahapan untuk melakukan
prosedur perkawinan campuran mulai dari pemberitahuan hingga legalisasi
perkawinan dalam bentuk akta perkawinan. Prosedur maupun syarat syarat
perkawinan telah diatur didalam undang-undang. Misalnya salah satu
syaratnya ialah tidak adanya paksaan, harus mendapat izin dari kedua
orangtua maupun wali untuk yang belum berumur 21 tahun, dan semua
persyaratan yang sudah diatur dalam pasal 6 Undang-undang perkawinan.
Beberapa tahap dalam melakukan perkawinan campuran adalah sebagai
berikut :
1. Tahap Pertama
Pertama-tama yang bersangkutan harus datang ke kantor catatan
sipil untuk memberitahu apabila ingin melangsungkan perkawinan,
kenudian petugas akan memberikan formulir dan berkas persyaratan yang
harus diisi dan dipenuhi.
28
2. Tahap Kedua
Tahap selanjutnya ialah petugas kemudian menempelkan
pengumuman akan diselenggarakannya pernikahan apabila telah menerima
berkas dari yang bersangkutan. Pengumuman akan ditempel selama 10
hari dengan tujuan untuk menghindari konflik apabila ada pihak-pihak
yang tidak setuju akan diselenggarakannya perkawinan tersebut.
3. Tahap Ketiga
Tahap selanjutnya ialah pelaksanaan perkawinan yang menurut
undang-undang perkawinan harus dilaksanakan menurut agama dan
kepercayaannya masing-masing. Peranan ini diambil oleh hukum adat
setempat.
4. Tahap keempat
Ujung dari alur prosedur perkawinan adalah dibuatnya akta
perkawinan oleh petugas catatan sipil setempat dan ditandatangani oleh
pegawai yang bertugas sebagai pencatat perkawinan dan yang
bersangkutan. Setelah dibuatnya akta maka perkawinan tersebut sudah sah
dimata hukum dan agama. Sehingga secara langsung perkawinan tersebut
telah dilindungi oleh hukum yang berlaku di Indonesia.
5. Tahap Kelima
Apabila kutipan akta perkawinan sudah didapat, bagi perkawinan
campuran (perkawinan beda negara) kutipan akta perkawinan tersebut
harus dilegalisir di Departemen Hukum dan HAM dan Departemen Luar
Negeri, kemudian akta juga harus didaftarkan di negara asal suami atau
istri yang berstatus WNA (warga negara asing). Apabila sudah dilegalisir
maka perkawinan tersebut artinya sudah sah dimata hukum internasional
dan dimata hukum Indonesia. 24
Prosedur Perkawinan Campuran yang dilakukan di luar Indonesia
pencatatan perkawinan yang dilakukan di luar negeri diatur dalam
Undang-undang nomor 24 tahun 2013 dalam pasal 37 ayat 4. Pasal
tersebut berbunyi perkawinan yang telah dilakukan di luar wilayah
24
http//www.media.neliti.com diakses pada 23 desember 2018, pukul 20:38 Wib.
29
Indonesia wajib dilakukannya pencatatan kembali di Indonesia, paling
lambat 30 hari setelah kembali atau tiba di Indonesia.
Selain itu pasal 4 undang-undang nomor 23 tahun 2006 tentang
administrasi kependudukan, mengatur mengenai kewajiban bagi warga Negara
Indonesia yang berada diluar negeri, bahwa “warga negara Indonesia yang
berada di luar wilayah republik Indonesia wajib melaporkan peristiwa
kependudukan dan peristiwa penting yang dialaminya kepada intansi
pelalaksana pencatatan sipil negara setempat atau kepada perwakilan Republik
Indonesia dengan memenuhi persyaratan yang diperlukan dalam pendaftaran
penduduk dan pencatatan sipil. Peristiwa penting yang dimaksudkan dalam
Undang-undang nomor 23 tahun 2006 tentang administrasi kependudukan pada
pasal 1 butir (17) ketentuan umum yaitu “kejadian yang dialami seseorang
meliputi kelahiran, kematian, lahir mati, perkawinan, perceraian, pengakuan
anak, pengesahan anak, pengangkatan anak, perubahan nama dan perubahan
status kenegaraan” 25
E. Akibat Hukum Perkawinan Campuran
Meningkatnya perkawinan campuran di berbagai Negara telah
melahirkan persoalan hukum, yaitu masalah kewarganegaraan pelaku
perkawinan campuran dan masalah lalu lintas orang yang suatu saat saling
berinteraksi satu sama lainnya dalam batas-batas Negara, misalnya mengenai
perkawinan campuran antara WNI dengan WNA akan terjadi interaksi
keluarga dengan pihak pelaku perkawinan campuran dan sebaliknya sehinga
menjadi masalah menyangkut lalu lintas orang dalam terotorial Negara.26
1. Akibat Hukum Perkawinan Campuran bagi Anak
Dalam hubungan perkawinan campuran, perbedaan
kewarganegaraan orang tua sudah pasti akan memberikan dampak bagi
anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut karena keduanya terikat
25
Myrna zahraina, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008,
http//www.digital_129282-124175-Perkawinan Campuran.com diakses pada tanggal 15 januari
2019, pukul 22:30 Wib. 26
Gerdha Prastica Pangestu E-jurnal Gloria Yuris jurnal ilmu hukum untan, hal.,2.
30
oleh hukum yang berbeda. Pada saat ini, anak yang lahir dari perkawinan
campuran tidak lagi secara otomatis mengikuti kewarganegaraan ayahnya,
tetapi anak terebut dapat menjadi WNI (warga negara Indonesia) ataupun
WNA (warga negara asing) artinya anak tersebut diberikan
kewarganegaraan ganda yang diatur dalam Undang-undang.
Banyak anak hasil perkawinan campur merasa menjadi turis di
Indonesia akibat terganjal Undang-Undang Kewarganegaraan walaupun
mereka merasa sebagai orang Indonesia. Inilah sebagian dari kisah
mereka27
.
Selama lebih dari 30 tahun Cipta harus terus menerus mengurus
visa untuk dapat tinggal di Indonesia. Cipta yang lahir sebelum UU No. 12
Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan disahkan, membuatnya harus
mengikuti kebangsaan ayahnya yang berasal dari Inggris. Selama
bersekolah Cipta harus menggunakan visa Sosial Budaya untuk tinggal di
Indonesia dengan undangan dari ibunya sendiri. Dan sejak bekerja 15 tahun
yang lalu, dia terpaksa menggunakan KITAS atau Kartu Izin Tinggal
Terbatas, yang harus diperpanjang setiap tahun. Sebagai warga negara
asing, Cipta pun kesulitan jika ingin memiliki aset di Indonesia. Padahal
menurutnya, banyak temannya yang juga anak dari perkawinan campur
atau yang menikah dengan WNI, yang ingin tinggal di Indonesia dan
membangun usaha di sini. Kasus yang serupa di alami oleh Gloria
Natapraja-Hamel, salah satu anggota Paskibraka di Istana Negara pada
peringatan hari kemerdekaan Indonesia kali ini, Karena diketahui memiliki
juga paspor Prancis, Gloria Natapraja-Hamel dibatalkan keanggotaannya
dari Paskibraka secara sangat cepat dan tanpa banyak pertimbangan,
permasalahan dwi kenegaraan menyangkut Gloria Natapraja-Hamel.28
Dalam sebuah perkawinan yang ideal, kehadiran anak merupakan
idaman bagi setiap orang tua, namun pada kenyataan yang ada tidaklah
27
https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/10/161005 diakses pada 27-02-
2019, pukul 21:35 Wib. 28
https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/08/160817 diakses pada 27-02-
2019, pukul 21:40 Wib.
31
selalu demikian, banyak fakta yang menunjukan bahwa orang tua rela
membuang bahkan membunuh anaknya demi menutupi aib bagi
keluarganya. Karena kelahiran si anak tersebut akan membuat malu bagi
keluarga karena anak itu dihasilkan dari hubungan di luar nikah yang tidak
dibenarkan oleh ajaran agama dan etika yang berlaku di masyarakat pada
umumnya.29
Menurut Perspektif Islam, Anak adalah suatu anugerah dan amanah
dari Allah Swt yang harus dipertanggung jawabkan kesejahteraanya oleh
setiap orang tua, dalam berbagai aspek kehidupannya. Di antaranya
bertanggung jawab dalam perlindungan yang baik, pendidikan, kesehatan,
kasih sayang serta berbagai aspek lainnya.
Sebagaimana Firman Allah Swt dalam Surat An-Nisa ayat ke 9
Artinya : “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang
seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang
mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu
hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka
mengucapkan perkataan yang benar”.
Kendati lain Akibat hukum yang datang dari pelaku perkawinan
campuran adalah mengenai asas legalitas dari perkawinan yang dilakukan
oleh pelaku perkawinan campuran yang telah melaksanakan
pernikahannya di luar wilayah Indonesia namun tidak mencatatkan
kembali di Indonesia. Hal ini tentu menimbulkan reaksi bagi legalitas
perkawinan tersebut karena menurut pasal 37 ayat (4) Undang-undang
nomor 24 tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan menyebutkan
apabila perkawinan campuran tersebut dilakukan di luar wilayah
Indonesia, maka yang bersagkutan harus melaporkan kembali
perkawinannya yakni paling lambat 30 hari setelah yang bersangkutan tiba
29
D.Y. Witanto, Hukum Keluarga, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2012), hal.,1.
32
di Indonesia. Namun apabila perkawinan yang dilakukan diluar negeri
tersebut tidak dicatatkan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
tersebut tentu akan menimbulkan reaksi atas tidak sahnya perkawinan
menurut hukum di Indonesia.
Kurangnya pengetahuan masyarakat selaku pelaku perkawinan
campuran mengenai legalitas perkawinan ini menjadi suatu hal yang
sangat ironis mengingat pentingnya pencatatan perkawinan sebagai
landasan atau payung hukum apabila yang bersangkutan mengalami
konflik di dalam perkawinan yang dijalankannya, karena tidak bisa
dipungkiri dalam perkawinan campuran yang menyatukan dua hukum
yang berlainan ini seringkali menimbulkan kendala di antaranya ialah
mengenai harta benda atau aset maupun mengenai anak hasil perkawinan
campuran.
2. Akibat Hukum Perkawinan Campuran bagi Pelaku.
Mencuatnya kasus pemberhentian Archandra Tahar dari jabatan
Menteri ESDM secara sepihak, merupakan bagian dari beberapa
problematika akibat Hukum Perkawinan Campuran karenan memiliki
status kewarganegaraan ganda. Menteri Hukum dan Ham Yasonna Laoly
menyatakan bahwa Archandra Tahar Memiliki paspor dua, paspor warga
negara Amerika Serikat dan paspor warga negara Indonesia. Maka secara
otomatis kehilangan status nya sebagai warga negara Indonesia, hal
tersebut Menurut pasal 23 Undang-Undang kewarganegaraan Nomor 12
tahun 2006. Hal ini di tegaskan lagi dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor
12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, bahwa seseorang yang telah
kehilangan status WNI lantaran mengucapkan janji setia kepada negara
asing, tidak bisa begitu saja memperoleh kembali status WNI dengan
membuang status kewarganegaraannya yang lama.Orang itu harus
mengajukan permohonan kembali sebagai WNI pada saat sudah bertempat
tinggal di Indonesia selama lima tahun tahun berturut-turut atau 10 tahun
tidak berturut-turut.
33
Dalam Perkawinan Campuran, perbedan peraturan yang ada ini
menyebabkan kesulitan bagi pelaku perkawinan campuran yang ingin
melakukan perkawinan di Indonesia. Hal ini disebabkan karena hukum di
Indonesia yang berlaku menyebutkan dalam undang-undang Perkawinan
nomor 1 tahun 1974, dalam pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa
perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut agama serta
kepecayaan masing masing.
Status kewarganegaraan atau identitas kewarganegaraan sangat
penting karena status itu merupakan tanda dalam sebuah hubungan hukum
antara perorangan dengan negara. Status tersebut menjadi dasar hukum
penyelenggaraan hak dan kewajiban sipil sebagai warga negara, sebab
identitas warganegara mempunyai implikasi pada hak dan kewajiban
sebagai warga begara yang diatur dalam hukum tentang
kewarganegaraan.30
Status kewarganegaraan WNI setelah menikah dengan WNA pada
Perkawinan Campuran telah diatur dalam Undang-Undang no 12 tahun
2006 tentang kewarganegaraan diantaranya termaktub pada beberapa pasal
antara lain:
Pasal 19 yang berbunyi :
(1) Warga negara asing yang kawin secara sah dengan warga negara
Indonesia dapat memperoleh kewarganegaraan republik Indonesia
dengan menyampaikan pernyataan menjadi warga negara dihadapan
pejabat.
(2) Pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila
yang bersangkutan sudah bertempat tinggal di wilayah negara republic
Indonesia paling singkat 5 tahun berturut-turut atau paling singkat 10
tahun tidak berturut-turut, kecuali dengan perolehan kewarganegaraan
tersebut mengakibatkan kewarganegaraan ganda.
30
Nuning Hlmlet, Perempuan dan Kewarganegaraan Perempuan dan Hukum, Menuju
Hukum yang Berspektif Kesetaraan dan Keadilan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008),
hal.,402.
34
(3) Dalam hal yang bersangkutan tidak memperoleh kewarganegaraan
republic Indonesia yang diakibatkan oleh kewarganegaraan ganda
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), yang bersangkutan dapat diberi
izin tinggal tetap sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara menyampaikan pernyataan
untuk menjadi warga negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan peraturan menteri.
Pasal 20
Bahwa “Orang asing yang telah berjasa kepada negara republik
Indonesia atau dengan alasan kepentingan negara dapat diberi
kewarganegaraan republik Indonesia oleh presiden setelah memperoleh
pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, kecuali dengan
pemberian kewarganegaraan tersebut mengakibatkan yang bersangkutan
berkewarganegaraan ganda”.
Jadi, jika kita melihat ketentuan Pasal 26 ayat (1) dan ayat (3) UU
Kewarganegaraan, dapat diketahui bahwa apabila hukum negara asal si suami
memberikan kewarganegaraan kepada pasangannya akibat perkawinan
campuran, maka istri yang Warga Negara Indoneisa dapat kehilangan
kewarganegaraan Indonesia, kecuali jika dia mengajukan pernyataan untuk
tetap menjadi Warga Negara Indonesia.
Kemudian mengenai status kewarganegaraan si suami yang Warga
Negara Asing jika pasangan perkawinan campuran tersebut menetap di
Indonesia dalam ketentuan Undang-undang Kewarganegaraan, tidak
ditentukan bahwa seorang Warga Negra Asing yang kawin dengan Warga
Negara Indonesia maka secara otomatis menjadi Warga Negara Indonesia,
termasuk jika menetap di Indonesia. Hal yang perlu diperhatikan oleh si Warga
Negara Asing selama tinggal di Indonesia adalah harus memiliki izin tinggal.
Jika si Warga Negara Asing telah menetap tinggal di Indonesia selama 5 tahun
berturut-turut atau 10 tahun berturut-turut, barulah dia memenuhi syarat
mengajukan diri untuk menjadi Warga Negara Indonesia jika ia menghendaki
(lihat Pasal 9 huruf b UU Kewarganegaraan).
35
BAB III
TINJAUAN TERHADAP METODE MASLAHAH DAN HIERARKI
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
A. Maslahah
1. Kerangka Teori tentang Maslahah
Maslahah berasal dari kata حصال dengan penambahan “alif”
diawalnya, yang secara arti kata berarti “baik” lawan kata dari “buruk”
atau “rusak”. Ia adalah mashdar dengan arti kata shalāh yaitu “manfaat”
atau “terlepas dari padanya kerusakan Kemudian maslahah secara
terminologi, terdapat beberapa definisi yang dikemukakan ulama Ushul
Fiqh, tetapi seluruh definisi tersebut mengandung esensi yang sama.Imam
Ghazali, misalnya, mengemukakan bahwa pada prinsipnya maslahah sama
dengan “Sesuatu yang mendatangkan manfaat (keuntungan) dan
menjauhkan mudharat (kerusakan)1.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa maṣlaḥah
mempunyai arti sesuatu yang mendatangkan kebaikan, faedah dan guna.
Sedangkan kemaslahatan berarti kegunaan, kebaikan, dan kemanfaatan.
Dalam arti umum, maṣlaḥah adalah segala sesuatu yang bermanffat bagi
manusia, baik dalam arti menarik atau menghasilkan, seperti menghasilkan
keuntungan dan ketenangan, atau dalam arti menolak atau menghindarkan
seperti menolak kemudaratan atau kerusakan. Sehingga setiap yang
mengandung manfaat patut disebut dengan maṣlaḥah.2
Secara terminologis, maslahah telah diberi muatan makna oleh
beberapa ulama usûl al-fiqh. Al-Gazâli (w. 505 H), misalnya, mengatakan
bahwa makna genuine dari maslahah adalah menarik/mewujudkan
kemanfaatan atau menyingkirkan/menghindari kemudaratan (jalb
manfa„ah atau daf„ madarrah) Menurut al-Gazâli, yang dimaksud
maslahah, dalam arti terminologis-syar‟i, adalah memelihara dan
1 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), Cet I, Jilid II, hal 324
2 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1996), hal. 634
36
mewujudkan tujuan Syara‟ yang berupa memelihara agama, jiwa, akal
budi, keturunan, dan harta kekayaan. Ditegaskan oleh al-Gazâli bahwa
setiap sesuatu yang dapat menjamin dan melindungi eksistensi kelima hal
tersebut dikualifikasi sebagai maslahah; sebaliknya, setiap sesuatu yang
dapat mengganggu dan merusak kelima hal tersebut dinilai sebagai
mafsadah; maka, mencegah dan menghilangkan sesuatu yang demikian
dikualifikasi sebagai maslahah.3 namun hakikat dari maslahah adalah
memelihara tujuan syara“. Sekalipun bertentangan dengan tujuan-tujuan
manusia, karena kemaslahatan manusia tidak selamanya didasarkan
kepada kehendak syariat tetapi sering didasarkan kepada kehendak hawa
nafsu, misalnya, di zaman jahiliyah para wanita tidak mendapatkan bagian
harta warisan yang menurut mereka hal tersebut mengandung
kemaslahatan dan sesuai dengan adat istiadat mereka, tetapi pandangan ini
tidak sejalan dengan kehendak syara‟, karenanya tidak dinamakan
maslahah. Oleh sebab itu, menurut Imam al-Ghazali, yang dijadikan
patokan dalam menentukan kemaslahatan itu adalah kehendak dan tujuan
syara‟, bukan kehendak dan tujuan manusia.
Maslahah dalam pengertian bahasa merujuk kepada tujuan
pemenuhan kebutuhan manusia dan karenanya mengandung pengertian
untuk mengikuti syahwat dan hawa nafsu. Sedangkan pada maslahah
dalam artian syara‟ yang menjadi titik bahasan dalam Ushul Fiqh, yang
selalu menjadi ukuran dan rujukannya adalah tujuan syara‟ yaitu
memelihara agama, akal, keturunan, dan harta benda, tanpa melepaskan
tujuan pemenuhan kebutuhan manusia yaitu mendapatkan kebahagiaan
dan menjauhkan dari kesengsaraan.
Menurut Al Ghazali, maslahah itu pada dasarnya meraih manfaat
dan menolak madlarat dalam rangka menjaga tujuan pokok syari‟at
(maqashid Asy-syariah) yang lima, yakni agama, jiwa, akal, nasab, dan
harta. Semua bentuk tindakan seseorang yang mendukung pemeliharaan
3 Abû Hâmid Muhammad al-Gazâli, al-Mustasfa min „Ilm al-Usûl, tahqîq wa ta„lîq
Muhammad Sulaimân al-Asyqar, (Beirut: Mu‟assasat al-Risâlah, 1417 H/1997 M), Juz ke-1,
hal.416-417
37
lima aspek ini adalah maslahah. Begitu pula segala bentuk tindakan yang
menolak kemadlaratan terhadap kelima hal ini juga disebut dengan
maslahah. Dengan kata lain, apabila seseorang melakukan suatu perbuatan
yang pada intinya untuk memelihara kelima aspek tujuan syara‟ tersebut
maka dinamakan maslahah, dan upaya untuk menolak segala bentuk
kemadlaratan yang berkaitan dengan kelima aspek tujuan syara‟ tersebut
juga dinamakan dengan maslahah. Tujuan syara‟ yang harus dipelihara
tersebut ada lima bentuk, yaitu: memelihara agama, jiwa, akal, keturunan
dan harta. Apabila seseorang melakukan suatu perbuatan yang pada
intinya untuk memelihara ke lima aspek tujuan syara‟ tersebut maka
dinamakan maslahah.
Mewujudkan Maslahah merupakan elan vital Syariah Islam. Dalam
setiap aturan hukumnya, al-Syâri„ mentransmisikan maslahah sehingga
lahir kebaikan/kemanfaatan dan terhindar keburukan/kerusakan, yang pada
gilirannya terealisasinya kemakmuran dan kesejahteraan di muka bumi
dan kemurnian pengabdian kepada Allah. Sebab, maslahah itu
sesungguhnya adalah memelihara dan memperhatikan tujuan-tujuan
Syara„ berupa kebaikan dan kemanfaatan yang dikehendaki oleh Syara„,
bukan oleh hawa nafsu manusia. Norma hukum yang dikandung teks-teks
Syariah (nusûs al-syarî„ah) pasti dapat mewujudkan maslahah, sehingga
tidak ada maslahah di luar petunjuk teks Syariah; dan karena itu, tidaklah
valid pemikiran yang menyatakan maslahah harus diprioritaskan bila
berlawanan dengan teks Syariah4 Maka, maslahah pada hakikatnya ialah
sumbu peredaran dan perubahan hukum Islam, di mana interpretasi atas
teks Syariah dapat bertumpu pada Syariah Islam bagi segala kebutuhan
dan tuntutan kehidupan manusia. Teks-teks Syariah (nusûs al-syarî„ah)
dapat mewujudkan bagi manusia-maslahah pada setiap ketentuan
4 Husain Hâmid Hisân, Nazariyyat al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islâmiy, (Beirut: Dâr alNahdah
al-„Arabiyyah, 1971), hal.607.
38
hukumnya. Tidak ada satu pun masalah hukum yang muncul kecuali sudah
ada-di dalam Kitab Allah-petunjuk jalan solusi atasnya.5
Sehubungan dengan relasi maslahah dan ijtihâd, di kalangan ulama
dikenal istilah ijtihâd istislâhiy, yakni suatu upaya pengerahan segenap
kemampuan untuk memperoleh hukum Syara„ dengan cara menerapkan
prinsip-prinsip hukum yang umum-universal terhadap suatu masalah/kasus
yang tidak ditegaskan oleh nass Syara„ yang spesifik dan Ijmâ‟ ulama,
yang pada intinya bermuara kepada mewujudkan maslahah (jalb al-
maslahah) dan menghindari/menghilangkan mafsadah (daf„u al-
mafsadah), yang sejalan dengan tuntutan prinsip-prinsip Syara„. Model
ijtihâd ini sebenarnya mengarah pada memasukkan hukum kedalam medan
cakupan nass Syara.6 Dari beberapa definisi tentang maslahah dengan
rumusan yang berbeda tersebut dapat disimpulkan bahwa maslahah itu
adalah sesuatu yang dipandang baik oleh akal sehat karena mendatangkan
kebaikan dan menghindarkan kerusakan pada manusia, sejalan dengan
tujuan syara‟ dalam menetapkan hukum. Dari kesimpulan tersebut terlihat
adanya perbedaan antara maslahah dalam pengertian bahasa (umum)
dengan maslahah dalam pengertian hukum atau syara‟. Perbedaannya
terlihat dari segi tujuan syara‟ yang dijadikan rujukan.
2. Macam-Macam Maṣlaḥah.
Seluruh ulama‟ sepakat bahwa hukum syara‟ bertujuan untuk
mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat, baik dengan
cara menolak mafsadat atau dengan maṣlaḥah. Berdasarkan kesimpulan
dari berbagai hasil penelitian para ulama‟ ushul fiqh, macam-macam
maṣlaḥah dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian sebagai berikut:
Klasifikasi Maṣlaḥah Berdasarkan Eksistensinya. Menurut
pandangan Abdul Karim Zaidan sebagaimana dikutip oleh Satria Effendi,
bahwa klasifikasi maṣlaḥah berdasarkan eksistensisnya ada tiga jenis: al-
5 Husain Hâmid Hisân, Nazariyyat al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islâmiy, hal.607.
6 Muhammad Sallâm Madkûr, al-Ijtihâd fi al-Tasyrî„ al-Islâmiy, (Kairo: Dâr al-Nahdah al-
„Arabiyyah, 1404 H/1984 M), hal.45.
39
maṣlaḥah al-mu‟tabarrah, al-maṣlaḥah al-mulgaha, dan Al-maṣlaḥah Al-
mursalah7
1) Al-maṣlaḥah Al-mu‟tabarah. maṣlaḥah al-mu‟tabarah yakni,
kemaslahatan yang terdapat nash secara tegas menjelaskan dan
mengakui keberadaannya. Dengan kata lain kemasahatan yang diakui
syar‟i secara tegas dengan dalil yang khusus, baik langsung maupun
tidak langsung yang memberikan petunjuk adanya maṣlaḥah yang
menjadi alasan dalam menetapkan hukum. Contohnya untuk
memelihara kelangsungan hidup manusia, disyari‟atkan hukum dera
bagi penuduh dan pelaku zina. Untuk memelihara harta benda,
disyari‟atkan untuk potng tangan bagi pencuri, baik aki-laki maupun
perempuan.
2) Al-maṣlaḥah Al-mulghah. Al-maṣlaḥah Al-mulghah yaitu,
kemaslahatan yang berlawanan dengan ketentuan nash. Dengan kata
lain, kemaslahatan yang tertolak karna ada dalil yang menunjukkan
bahwa ia bertentangan dengan ketentuan dalil yang jelas. Contohnya
adalah menyamakan pembagian serang anak perempuan dengan
bagian anak laki-laki dalam hal harta warisan, penyamaan pembagian
jatah harta waris antara anak perempuan dengan bagian anak laki-laki
secara sepintas memang terlihat ada kemaslahatan, tetapi berlawanan
dengan ketentuan dalil nash yang jelas dengan rinci.
3) Al-maṣlaḥah Al-mursalah Al-maṣlaḥah Al-mursalah yaitu. Malahah
yang secara eksplisit tidak ada satu dalil pun baik yang mengakuinya
maupun yang menolaknya. Secara ebih tegas, Al-maṣlaḥah Al-
mursalah ini termasuk jenis maṣlaḥah yang didiamkan leh nash.
Diakui dalam kenyataanya maslahat jenis ini terus tumbuh dan
berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat masyarakat
islam yang dipengaruhi oleh kondisi dan tempat. Misalnya lahirnya
Undang-Undang Administrasi Kependudukan (UU No 23 Tahun
2006) yang dirubah melalui UU No 24 Tahun 2013, yang
7 Satria Effendi, Ushul fiqih, hal. 149-150.
40
menyebutkan setiap anak yang lahir harus diproses akta kelahiran,
adanya akta kelahiran dapat memudahkan bagi anak untuk mendapat
berbagai kemudahan dalam berbagai urusan yang menyangkut
administrasi kenegaraan.
Sebagaimana halnya metode analisa yang lain, Maṣlaḥah juga
merupakan metode pendekatan istinbath (penetapan hukum) yang
persoalannya tidak diatur secara eksplisit di dalam al-Quran dan Hadits,
hanya saja metode ini lebih menekankan pada aspek maslahat secara
langsung. Al-maṣlaḥah adalah kajian hukum dengan mempertimbangkan
aspek kemaslahatan serta menghindari kebinasaan untuk suatu perbuatan
yang tidak diungkapkan secara eksplisit dalam Al-Qur‟an, akan tetapi
masih terjangkau oleh prinsip-prinsip ajaran dalam Al-Qur‟an dan Hadits
dalam suatu perbuatan yang berbeda-beda. Dalam konteks ini, ayat Al-
Qur‟an tidak berperan sebagai dalil yang menunjukkan norma hukum
tertentu, akan tetapi menjadi saksi atas kebenaran fatwafatwa hukum
tersebut. Dengan demikian, sistem analisa tersebut dibenarkan, karena
sesuai dengan kecenderungan syara‟ dalam penetapan hukumnya.8
Jumhur ulama berpendapat, bahwa Al-maṣlaḥah adalah hujah
syar‟iyah yang dapat dijadikan dasar pembentukan hukum. Satjipto
Rahardjo berpendapat, Hukum dapat difungsikan sebagai alat bagi
masyarakat yang disebutnya dengan hukum progresif. Inti dari hukum
progresif terletak pada berpikir dan bertindak progresif yang
membebaskannya dari belenggu teks dokumen hukum, karena pada
akhirnya hukum itu bukan teks hukum, melainkan untuk kebahagiaan dan
kesejahteraan manusia.9
Berdasarkan pemikiran yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo
dari berbagai pemikiran dalam tulisannya, maka dapat disimpulkan ciri-
ciri Hukum Progresif sebagai berikut :
8 Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, (Semarang: Pustaka Rizki Putra,2013), hal.
234 9Satjipto Raharjo, Penegakan Hukum Progresif, (Jakarta: Penerbit Kompas, 2010), hal.,55-
69.
41
1. Hukum progresif lebih mengutamakan tujuan daripada prosedur.
Aturan procedural hanyalah alat untuk mencapai tujuan hukum,
sehingga keadilan procedural tidak boleh membelenggu keadilan
subtansial.
2. Hukum progresif menjungjung tinggi moralitas sebagai akar kehidupan
masyarakat. Hati nurani ditempatkan sebagai penggerak, pendorong,
sekaligus pengendali dalam mengimplementasikan hukum dalam
masyarakat.
3. Hukum progresif menempatkan diri sebagai kekuatan pembebas, yaitu
membebaskan diri dari tipe, cara berpikir, azas dan teori hukum yang
legalistic dan positivistic.
Hukum yang Progresif mengajarkan bahwa hukum bukanlah raja,
akan tetapi alat untuk menjabarkan dasar kemanusiaan yang berfungsi
memberikan rahmat kepada dunia dan manusia. Hukum yang progresif
tidak ingin menjadikan hukum sebagai tekhnologi yang tidak bernurani,
melainkan suatu institusi yang bermoral kemanusiaan.10
Adapun jika
kehadiran hukum dikaitkan pada tujuan sosialnya, maka hukum yang
progresif ini juga dekat dengan sociological jurisprudence. Yang
dikembangkan oleh Eugen Ehrlich dan Roscoe Pond. Menurut Ehrlich,
hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup
pada masyarakat (living law). Adapun menurut Roscoe Pond
mengemukakan konsep hukum sebagai alat merekayasa masyarakat (law
as a tool of social engineering). Memberikan dasar bagi kemungkinan
digunakannya hukum secara sadar untuk mengadakan perubahan pada
suatu masyarakat (rekayasa sosial).11
Al-Ghazali mengajukan teori Maslahah dengan membatasi
pemeliharaan syari‟ah pada lima unsur utama yaitu agama, jiwa, akal,
kehormatan, dan harta benda. Pernyataan yang hampir sama juga
dikemukakan oleh al-Syatibi dengan menyatakan bahwa mashlahah adalah
10
Satjipto rahardjo, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2006),
hal.,228. 11
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal.,41.
42
memelihara lima aspek utama, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan
harta. Artinya, kelima unsur di atas dianggap suci, mulia dan dihormati
yang harus dilindungi dan dipertahankan. Maqâshid al-syarî‟ah juga
merupakan prinsip umum syari‟ah (kulliyat al-syari‟ah) yang pasti. Ia
bukan saja disarikan dari elemen hukum-hukum syari‟ah atau dari
sebagian dalil-dalil dan isi kandungan al-Qur‟an dan al-Sunnah.
Kesimpulan yang seperti ini kelihatan dapat diterima secara meyakinkan.
Apakah ide tersebut diajukan pada abad kelima, di era asas-asas syari‟ah,
terutama al-Sunnah telah tercatat dengan baik, sehingga hampir tidak
mungkin ada al-Sunnah yang tercecer. Jadi, meskipun sama sekali tidak
menutup kemungkinan adanya unsur tambahan terhadap kelima maqâshid
di atas, Namun kelimanya sulit dikesampingkan sebagai elemen penting
Maslahah.
Metode penetapan hukum dengan Maslahah dan kaitannya dengan
pembaharuan hukum Islam, mempunyai kaitan yang erat dan sangat efektif
untuk digunakan, dimana pembaharuan hukum Islam bertujuan untuk
merealisasikan dan memelihara kemaslahatan umat manusia semaksimal
mungkin yang merupakan maqashid syariah. Sedangkan Maslahah
merupakan salah satu metode penetapan hukum yang sangat
mengutamakan maqashid syariah dan selalu berusaha merealisasikan serta
memelihara maqashid syariah itu.
B. Kerangka Teori Hierarki Peraturan Perundang-Undangan
Peraturan perundang-undangan adalah kumpulan-kumpulan peraturan
yang mengatur tentang subjek hukum, yaitu manusia dan badan hukum.
Peraturan perundang-undangan itu contohnya seperti undang-undang yang
merupakan salah satu sumber hukum formal12
Suatu peraturan perundang-
undangan memiliki tiga sifat dasar yaitu dimana jika suatu keputusan-
keputusan yang bersifat umum dan abstrak biasanya bersifat mengatur
(regeling), sedangkan yang bersifat individual dan konkret dapat merupakan
keputusan yang bersifat atau berisi penetapan administratif (beschikking)
12
Muhammad Tahir Azhari, Negara Hukum, (Jakarta: Kencana, 2010), hal.123.
43
ataupun keputusan yang berupa “vonnis” hakim yang lazimnya disebut dengan
istilah keputusan13
Di dalam ilmu perundang-undangan dikenal adanya teori hierarki.
Teori Hierarki merupakan teori yang menyatakan bahwa sistem hukum
disusun secara berjenjang dan bertingkat-tingkat seperti anak tangga.
Hubungan antara norma yang yang mengatur perbuatan norma lain dan norma
lain tersebut disebut sebagai hubungan super dan subordinasi dalam konteks
spasial.14
Sebagai suatu produk hukum di Indonesia, perundang-undang tidak
terlepas dari hierarki pembentukan peraturan perundang-undangan, dimana
hierarki ini termuat didalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
(TAP MPR) dan undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-
undangan.
Teori Hierarki merupakan teori yang mengenai sistem hukum yang
diperkenalkan oleh Hans Kelsen yang menyatakan bahwa sistem hukum
merupakan sistem anak tangga dengan kaidah berjenjang. Hubungan antara
norma yang mengatur perbuatan norma lain dan norma lain tersebut dapat
disebut sebagai hubungan super dan sub-ordinasi dalam konteks spasial.15
Hierarki ini pada dasarnya berpedoman pada beberapa teori yang perlu
dipahami oleh perancang yakni teori jenjang norma. Teori mengenai jenjang
norma hukum dikemukakan oleh Hans Kelsen yaitu stufentheorie, yang
menyebutkan bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-
lapis dalam suatu hierarki, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku,
bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih
tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi,
demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang disebut norma dasar
(grundnorm)16
13
Jimly Asshiddiqie, Buku Perihal Undang-Undang, ( Jakarta :Raja Grapindo Persada,
2010),hal. 9-10 14
Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa‟at, Theory Hans Kelsen Tentang Hukum, Cetakan 1,
Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006, hal. 110. 15
Asshiddiqie,Jimly, dan Safa‟at, M. Ali, Theory Hans KelsenTentang Hukum, hal.110 16
Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, alih bahasa oleh Raisul Muttaqien
(Bandung : Nusa Media, 2006), .hal.17
44
Teori Hans Kelsen mengenai hierarki norma hukum ini diilhami oleh
Adolf Merkl dengan menggunakan teori das doppelte rech stanilitz, yaitu
norma hukum memiliki dua wajah, yang dengan pengertiannya: Norma
hukum itu keatas ia bersumber dan berdasar pada norma yang ada diatasnya;
dan Norma hukum ke bawah, ia juga menjadi dasar dan menjadi sumber bagi
norma yang dibawahnya. Sehingga norma tersebut mempunyai masa berlaku
(rechkracht) yang relatif karena masa berlakunya suatu norma itu tergantung
pada norma hukum yang diatasnya, sehungga apabila norma hukum yang
berada diatasnya dicabut atau dihapus, maka norma-norma hukum yang
berada dibawahnya tercabut atau terhapus pula.17
Di Indonesia, rantai norma hukum ini diaktualisasikan ke dalam
hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
PerundangUndangan (UU No. 12 Tahun 2011). Pasal 7 ayat (1) UU No. 12
Tahun 2011 menyebutkan mengenai jenis dan hierarki peraturan perundang-
undangan di Indonesia, yaitu: 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945; 2. Ketetapan Majelis Permusyawaran Rakyat; 3.
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; 4.
Peraturan Pemerintah; 5. Peraturan Presiden; 6. Peraturan Daerah Provinsi; 7.
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Selanjutnya, Pasal 7 ayat (2) UU No. 12
Tahun 2011 menentukan bahwa kekuatan hukum peraturan perundang-
undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dalam Pasal 7 ayat (1). Ini
berarti bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(UUD NRI Tahun 1945) dijadikan sebagai norma dasar (basic norm)
sebagaimana menurut Kelsen atau aturan dasar negara (Staatsgrundgesetz)
sebagaimana pandangan Nawiaky. Oleh sebab itu, konsekuensinya adalah:
pertama, UUD NRI Tahun 1945 mengesampingkan semua peraturan yang
lebih rendah (berlaku asas lex superiori derogat legi inferiori) dan kedua,
materi muatan dari UUD NRI Tahun 1945 menjadi sumber dalam
pembentukan segala perundang-undangan, sehingga Ketetapan MPR hingga
17
Farida, Maria, Ilmu Perundang-Undangan, Kanisius, Yogyakarta. 1998, hal. 25.
45
Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota tidak boleh bertentangan dengan UUD
NRI Tahun 1945. Menurut Ni‟matul Huda, apabila peraturan perundang-
undangan yang lebih rendah bertentangan dengan di atasnya, maka peraturan
tersebut dapat dituntut untuk dibatalkan atau batal demi hukum (van
rechtswegenietig)18
Di dalam ilmu perundang-undangan dikenal adanya teori hierarki.
Teori Hierarki merupakan teori yang menyatakan bahwa sistem hukum
disusun secara berjenjang dan bertingkat-tingkat seperti anak tangga.
Hubungan antara norma yang yang mengatur perbuatan norma lain dan norma
lain tersebut disebut sebagai hubungan super dan subordinasi dalam konteks
spasial.19
Sedangkan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan, dalam Pasal 7
menyebutkan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945; Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat; Undang-Undang/Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden;
Peraturan Daerah Provinsi; dan Peraturan Daerah Kabupaten / Kota.
Asas-Asas Pembentukan Peraturan Daerah Dari beberapa ahli yang
mengemukan berbagai asas yang berhubungan dengan pembentukan peraturan
perundang-undangan, penulis mengemukakan pendapat dua ahli yang selama
ini berkecimpung dalam bidang pembentukan peraturan perundang-undangan,
yaitu pendapat I.C Van der Vlies dan pendapat A. Hamid S. Attamimi. Dalam
bukunya yang berjudul Het wetbegrip en beginselen van behoorlijke
regelgevig I.C. Van der Vlies membagi asas-asas dalam pembentukan
peraturan-peraturan yang patut, yaitu: asas-asas yang formal meliputi :asas
tujuan yang jelas; asas organ/lembaga yang tepat; asas perlumya pengaturan;
asas dapat dilaksanakan; dan asas consensus. Sedangkan asas-asas yang
material meliputi : asas terminologi dan sistematika yang benar; asas yang
18
Ni‟matul Huda, “Kedudukan Peraturan Daerah dalam Hierarki Peraturan Perundang-
Undangan”, Jurnal Hukum Vol. 13 No. 1, Januari 2006, hal. 29. 19
Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa‟at, Theory Hans Kelsen Tentang Hukum, hal. 110.
46
dapat dikenali; asas perlakuan yang samadalam hukum; dan asas pelaksanaan
hukum sesuai dengan keadaan individual.
Sedangkan A. Hamid S. Attamimi berpendapat bahwa pembentukan
peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut asasasas tersebut secara
berurutan dapat disusun sebagai: Cita Hukum Indonesia; Asas Negara
berdasar hukum dan asas pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi; dan
asas-asas lainnya. Dengan demikian, asas-asas pembentukan peraturan
perundangundangan Indonesia yang patut akan mengikuti pedoman dan
bimbingan yang diberikan oleh :
a. Cita hukum Indonesia yang tidak lain Pancasila (sila-sila dalam hal
tersebut berlaku sebagai Norma)
b. Norma Fundamental negara yang juga tidak lain Pancasila (sila-sila dalam
hal tersebut berlaku sebagai Norma)
c. Asas-asas lainnya, yaitu: (1) Asas-asas Negara Berdasarkan Atas Hukum
yang menempatkan Undang-undang sebagai alat pengaturan yang khas
berada dalam keutamaan hukum (2) Asas-asas Pemerintahan Berdasarkan
Sistem Konstitusi yang menempatkan Undang-undang sebagai dasar dan
batas penyelenggaraan kegiatan-kegiatan pemerintahan20
Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang patut itu
meliputi juga: Asas tujuan yang jelas; Asas perlunya pengaturan; Asas
organ/lembaga dan materi muatan yang tepat; Asas dapatnya dilaksanakan;
Asas dapatnya dikenali; Asas perlakuan yang sama dalam hukum; Asas
kepastian hukum; dan Asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individu
C. Metode Maslahah dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman
Pada prinsipnya tidak ada kekuasaan tertinggi di muka bumi dan alam
jagat raya ini, selain kekuasaan Allah akan tetapi, karena diperlukan
kekuasaan sebagai perpanjangan kekuasaan Allah yang bertugas untuk
mengadili maka muncullah kekuasaan yang dinamakan kekuasaan
20
Farida Maria Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan, Kanisius, hal 196
47
kehakiman. Sehingga muncul irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan yang Maha Esa” dalam setiap putusan dan penetapan yang
dikeluarkan oleh setiap badan peradilan yang merupakan pelaksana
kekuasaan kehakiman.21
Pada dasarnya tugas Hakim adalah memberi keputusan dalam perkara
atau konflik yang dihadapkan kepadanya, menetapkan hal-hal seperti
hubungan hukum, nilai hukum dari perilaku, serta kedudukan hukum pihak-
pihak yang terlibat dalam suatu perkara, sehingga untuk dapat menyelesaikan
perselisihan atau konflik berdasarkan hukum yang berlaku, maka Hakim
harus selalu mandiri dan menjaga marwah independensi serta terbebas dari
pengaruh pihak manapun, terutama dalam mengambil suatu keputusan.22
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang dasar negara Hukum Republik
Indonesia.
Kekuasaan Kehakiman merupakan badan yang menentukan kekuatan
kaidah-kaidah hukum positf dalam konkretisasi oleh hakim melalui putusan-
putusannya. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan
yang diciptakan dalam suatu negara, dalam usaha menjamin keselamatan
masyarakat menuju kesejahteraan masyarakat, peraturan-peraturan tersebut
tidak ada artinya, apabila tidak ada kekuasaan kehakiman yang bebas yang
diwujudkan dalam bentuk peradilan yang bebas dan tidak memihak, sebagai
salah satu unsur Negara hukum. Sebagai pelaksana dari kekuasaan kehakiman
adalah hakim yang mempunyai wewenang dalam peraturan-peraturan
perundang-undangan yang berrlaku, dan hal ini dilakukan oleh hakim melalui
putusannya.23
21
Rimdan, Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta: Kencana, 2012),
hal.,46. 22
Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, (Bandung:
Citra Aditya, 2004), hal.,93-94. 23
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perpekstif Hukum Progresif, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2011), hal.,102.
48
Menurut K. Wantjik Saleh kekuasaan kehakiman yang didasari
pemikiran nya kepada Undang-Undang dasar 1945 sebelum amandemen,
dapat diartikan bahwasanya kekuasaan kehakiman terpisah dari kekuasaan
pemerintah dan kekuasaan perundang-undangan serta merdeka dari pengaruh
kedua kekuasaan tersebut.24
Lebih lanjut Bagir Manan menyatkan, bahwa
untuk memahami asas kekuasaan kehakiman yang merdeka tidak terlepas dari
ajaran Montesque mengenai tujuan dan perlunya “pemisahan” kekuasaan,
guna untuk menjamin adanya dan terlaksananya kebebasan politik (political
liberty) anggota masyarakat negara.25
Kebebasan hakim dalam teori kekuasaan kehaakiman telah diatur
dalam Undang-undang dasar negara Republik Indonesia tahun 1945, pada
pasal 24 ayat (1), serta Pasal 1 angka 1 Undang-undang nomor 48 tahun 2009.
Dengan adanya dasar hukum tersebut, membuktikan bahwa kebebasan hakim
telah dijamin oleh konstitusi, maka dari itu sudah seharusnya hakim
sebagagai perangkat hukum menjalankan tugasnya dalam menegakan hukum
dan keadilan yang bebas dari segala tekanan dari pihak mana pun, baik intern
maupun ekstern Sehingga hakim dapat tenang memberikan cita cita hukum
meberikan putusan yang seadil-adilnya.
Akan tetapi Sudikno Mertokusumo,26
tetap memberikan batasan-
batasan dalam hal menjalankan kemerdekaan kekuasaan kehakiman, ia
menyatakan, walaupun hakim mempunyai asas kekuasaan yang merdeka.
Hakim dalam melaksanakan wewenangnya judicial tidaklah mutlak sifatnya.
Secara mikro, hakim dibatasi oleh Pancasila, Undang-undang dasar 1945,
Undang-undang ketertiban Umum, kesusilaan, dan perilaku atau kepentingan
para pihak, sedangkan secara makro hakim dibatasi oleh system
pemerintahan, politik, ekonomi, dan lain sebagainya. Namun pada bagian lain
24
K. Wantjik Saleh, Kehakiman dan Peradilan, (Jakarta: Simbur Cahaya, 1976), hal.,15. 25
Bagir Manan, kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, (Bandung: LPPM Universitas
Islam Bandung, 1995), hal.,2. 26
Sudikno Mertokusumo, Perkembangan Reformasi Kekuasaan Kehakiman,
http;//sudiknoartikel.blogspot.com., hal. 2-3 diakses pada hari jum‟at, tanggal 8 februari 2019,
pukul 23:00 Wib.
49
Sudikno Mertokusumo menguraikan,27
dengan didasari bahwa kebebasan
kekuasaan kehakiman, yang penyelanggaranya diserahkan kepada badan-
badan peradilan, merupakan salah satu khas daripada negara hukum.
Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa kekuasaan
kehakiman yang medeka adalah mutlak adanya, akan tetapi tetap dibatasi oleh
rambu-rambu hukum yang ada. Kekuasaan kehakiman yang merdeka
(independent judiciary) telah menjadi ideoligi yang universal untuk masa kini
dan masa yang akan datang.28
Kekuasaan Kehakiman dalam negara sangat mutlak diperlukan karena
mempunyai kewenangan untuk mengadili apabila ada salah satu warga negara
yang melanggar undang-undang, berkewajiban untuk mempertahankan
undang-undang, memberikan rasa keadilan kepada warga negara, berkuasa
memutus perkara, menjatuhkan hukuman terhadap pelanggaran undang-
undang yang diadakan dan dijalankan.29
Di dalam Agama Islam, kekuasaan ditegaskan dalam QS. Yusuf,
12:40 hanyalah milik Allah
Artinya : “Tidaklah apa yang kamu sembah itu selain Allah melainkan
nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu sebut-sebut. Tidaklah
Allah menurunkan keterangan (bukti) berkenaan dengannya. Tiadalah
hukum (ketentuan) itu melainkan dengannya. Tiadalah hukum (ketentuan)
itu melainkan milik Allah. Ia telah memerintahkan agar kamu jangan
menyembah melainkan kepada-Nya. itulah Agama yang benar, akan tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahuinya”
27
Keputusan Symposium Universitas Indonesia tahun 1966 tentang Negara Hukum 28
M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian
Sengketa, (Bandung: Citra Aditya bakti, 1977), hal.,31. 29
Poentang Moerad, Pembentukan Hukum melalui Putusan Pengadilan dalam Perkara
Pidana, (Bandung: PT. Alumni, 2005), hal.,50.
50
Seorang Hakim seharusnya tidak jauh dengan Maqashid al-Syariah,
sehingga ketika mengambil keputusan salah satu pertimbangan utamanya
selain Undang-undang adalah kelima Maqashid al-Syariah tersebut. Apabila
ideologi pemerintahan diwarnai dengan warna islam maka harusnya
pemerintahpun tidak jauh dari kelima Maqashid ini. Tujuan Hukum Islam
adalah untuk ditaati dan dilaksanakan dengan baik dan bena, manusia wajib
meningkatkan kemampuannya untuk memahami hukum Islam dengan
mempelajari Ushul Fiqh yakni dasar pembentukan dan pemahaman hukum
Islam sebagai metodologinya.30
Menurut Muhammad Abu Zahrah ada tiga
sasaran hukum Islam yaitu sebagai berikut :31
1. Penyucian jiwa, agar setiap muslim bisa menjadi sumber kebaikan bukan
keburukan bagi masyarakat lingkungannya. Hal ini ditempuh berbegai
macam ibadah yang disyari‟atkan, yang kesemuanya dimakdsudkan untuk
membersihkan jiwa serta memperkokoh kesetiakawanan sosial. Ibadah-
ibdah itu dapat membersihkan jiwa dari kotoran-kotoran (penyakit) dengki
yang melekat di hari manusia. Dengan demikian akan tercipta suasana
saling kasih mengasihi, bukan saling berbuat lalim dan keji diantara
sesama muslim.
2. Menegakkan keadilan dalam masyarakat, adil baik menyangkut urusan di
antara sesama orang islam maupun dalam berhubungan dengan pihak lain
(non islam). Berkaitan dengan hal tersebut, Allah berfirman dalam surat
Al-Maidah ayat ke 8 :
30
Novi Rizki Amalia, Penerapan Maqashid al-Syariah untuk Realisasi Politik Islam di
Indonesia, (ejournal.unida.gontor.ac.id) diakses pada 13 maret 2019, 21:49 Wib. 31
Muhamad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, cet ke-10 (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2007), hal.,543-
548.
51
Artinya: ” Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-
orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi
dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu
kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena
adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
3. Tujuan puncak yang hendak dicapai oleh hukum Islam adalah maslahat.
Menurut Abu Zahrah, tidak sekali-kali suatu perkara disyari‟atkan oleh
Islam melalui al-Qur‟an maupun Sunnah melainkan di situ terkandung
maslahat yang hakiki, walaupun maslahat itu tersamar pada sebagian
orang yang tertutup oleh hawa nafsunya. Sedangkan maslahat yang
dikehendaki oleh hukum bukanlah maslahat yang seiring dengan
keinginan hawa nafsu. Akan tetapi maslahat yang hakiki yang
menyangkut kepentingan umum, bukan kepentingan individu atau
kelompok tertentu (khusus).
4. Hal tersebut merupakan salah satu reminder bagi para hakim untuk tetap
menegakkan keadilan dalam masyarakat, adil baik menyangkut urusan di
antara sesama orang islam maupun dalam berhubungan dengan pihak lain
(non islam). Karena sesuai dengan butir Pancasila ke 5 yaitu keadilan
sosial bagi masyarakat Indonesia.
Kekuaasan Kehakiman dalam perspektif Maslahah merupakan salah
satu bentuk ijtihad hukum, namun di dalam skrispi ini penulis menitik
beratkan pada masalah kemaslahatan yang berhubungan dengan kebutuhan
pokok umat manusia di dunia dan di akhirat.
Khalifah Ummar Ibn Khaattab menafsirkan kembali aturan-aturan
yang sudah berlaku sebelumnya. Pertimbangan-pertimbangan sosial ekonomi
serta keadilan hukum untuk senantiasa mewujudkan kemashlahatan (al-
maslahah) ummat telah mempertegas sikap-sikap beliau dalam menjalankan
ajaran-ajaran islam. Atas dasar pemahaman tersebut, dalam menghadapi
beberapa kasus terlihat Umar ibn khatab mengadakan perubahan hukum dan
melakukan penyesuaian, agar hukum itu menjadi actual. Diantara tindakan
52
Umar ibn khatab itu diantaranya32
: tidak melakukan hukuman potong tangan
terhadap kejahatan pencurian, menghentikan hak muallaf dalam menerima
pembagiian zakat dan subsidi lainnya, serta tidak mebagi-bagikan tanah
taklukan kepada tentara-tentara pasukan muslimin.
Kalau kita perhatikan sepintas lalu, tampaknya kebijakan-kebijakan
Umar Ibn Khaattab dipandang bertentangan dan menyimpang dari perintah
alqur‟an dan Sunnah yang berlaku sebelumnya, serta yang termaktub jelas
didalam nash, sebagaimana kita ketahui bersama bahwa al-qur‟an merupkan
pedoman hidup bagi setiap muslim. Akan tetapi, seperti dikemukakan oleh
ahmad hasan dalam bukunya The early development of Islamic jurisprudence,
bahwa tindakan umar ibn khatab semacam itu justru bukanlah merupakan
suatu penyimpangan, tetapi umar ibn khatab berangkat dari ketaatan yang
sejati kepada semangat Alqur‟an yang dilakukan nya berdasarkan
pertimbangan hukum pribadi. 33
Kebijakan-kebijakan Umar Ibn Khaattab dipandang bertentangan dari
perintah Alqur‟an dan Sunnah, namun bukan berarti Umar Ibn Khattab secara
terang-terangan mengambl kebijakan demikian tanpa ada pertimbangan serta
ijtihad terlebih dahulu. Fazlul Rahman, yang menurut muridnya Ahmad
Syafi‟I Ma‟arif, dianggap sebagai orang yang banyak mendapati inspirasi dari
tindakan-tindakan dan kebijaksanaan khalifah Umar Ibn Khaattab yang kreatif
dan inovatif serta mempertimbangkan jelas dengan beberapa metode ijtihad
nya Umar Ibn Khaattab. Fazlul Rahman dalam bukunya “Islamic
Methodology In History” mengutarakan bahwa Khalifah Umar merupakan
generasi Muslim paling awal yang menafsirkan Al-qur‟an dan Sunnah Rasul
secara bebas. Untuk tujuan-tujuan tertentu, memang ditemukan pembahasan
yang membawa kesan kontroversial sekitar ijtihad khalifah Umar, seperti
diantaranya yang ditulis oleh “Abdul al-Husain Syarifuddin al-Musawi dalam
bukunya al-Nash wa al-Ijtihad juga yang ditulis oleh Muhammad Sa‟id
32
Nuruddin Amiur, Ijtihad Umar Ibn Al-Khaththab Studi tentang perubahan hukum dalam
Islam, (Jakarta: Rajawali Pers 1987), hal.,5. 33
Hasan Ahmad, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, (Bandung: Pustaka, cet. 1, 1984), hal.,110.
53
Ramadhan al-Buthi dalam karyanya Dhawabith al-Maslahah fi al-Syariah al-
Islamiyah.
Antara ijtihad dengan Maslahah tidak dapat dipisahkan. Ijtihad pada
intinya adalah upaya penggalian hukum syara‟ secara optimal. Upaya
penggalian hukum syara‟ itu berhasil apabila seorang mujtahid dapat
memahami maqâshid al-syarî‟ah. Oleh karenanya pengetahuan tentang
maqâsyid al- syarî‟ah adalah salah satu syarat yang dimiliki oleh seorang
mujtahid34
Pengetahuan tentang maqâshid al-syarî‟ah, seperti ditegaskan oleh
Abdul al- Wahhab Khallaf, adalah hal yang sangat penting yang dapat
menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan dan yang sangat penting lagi
adalah untuk menetapkan hukum terhadap kasus yang tidak tertampung oleh
al Qur‟an dan Sunnah secara kajian kebahasaan35
Dalam menyelesaikan masalah fiqih selalu berpatokan pada dua
sumber utama, yaitu al Qur‟an dan al Hadits, akan tetapi jika dalam kedua
sumber tersebut tidak ditemukan tentang suatu masalah maka diperlukan
ijtihad dengan tetap merujuk kepada kedua sumber dimaksud. Ijtihad adalah
merupakan kegiatan yang tidak mudah, karena memerlukan analisis yang
tajam terhadap nash serta jiwa yang terkandung di dalamnya dengan
memperhatikan aspek kaedah kebahasaan dan tujuan umum disyariatkannya
hukum Islam.
Islam adalah Agama Syaamil (lengkap dan menyuluruh). Dalam Islam
ada aturan, hukum dan budaya menjadi pedoman utama kehidupan umat
islam secara keseluruhan, mulai dari hal-hal yang individu untuk urusan sosial
masyarakat pada umumnya. Concern dari Maslahah sendiri adalah untuk
mewujudkan kebaikan sekaligus menghindarkan keburukan, atau menarik
manfaat dan menolak madharat atau dengan kata lain adalah untuk mencapai
suatu kemaslahatan, karena tujuan penetapan hukum dalam islam adalah
untuk menciptakan kemaslahatan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan
syara untuk kebaikan seluruh umat manusia.
34
Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari‟ah menurut al- Syatibi, hal.,129. 35
Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hal.,237.
54
BAB IV
PENERAPAN ASAS MASLAHAH OLEH HAKIM DALAM ISBAT NIKAH
PERKAWINAN CAMPURAN (Putusan Nomor: 1172.Pdt.P/2016/PA.Cjr)
A. Penerapan Asas Maslahah dalam Penetapan Perkawinan Campuran
Putusan Nomor 1172/Pdt.P/2016/PA.Cjr
Dalam penetapan Pengadilan Agama yang penulis angkat, dimana
terdapat sepasang suami dan istri yang dimana istri berkewarganegaraan
Indonesia dan suami berkewarganegaraan China yang mengajukan
permohonan isbat nikah atau pengesahan nikah, para Pemohon telah
mengajukan surat permohonannya tertanggal 26 September 2016 dan telah
terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Cianjur dengan Register Nomor
1172/Pdt.P/2016/PA.Cjr, tanggal 26 September 2016, dengan dalil-dalil
permohonan sebagai berikut:
Pemohon I dan Pemohon II telah melangsungkan Pernikahan pada
hari Sabtu pada tanggal 24 Juli 2010 bertepatan dengan tanggal 12 Syaban
1431 Hijriyah pada pukul 09.00 WIB; di jalan Pangeran Hidayatullah No. 106,
RT. 002 / RW. 014, Kelurahan Sawah Gede, Kecamatan Cianjur-Jawa Barat,
dengan wali nikah ayah kandung Pemohon I yang bernama R. Soedjadi
Soediono bin Mariyoen dengan mahar berupa Seperangkat alat shalat, Berlian
seberat 6 gram dan uang tunai sebesar Rp. 2.472.100,- (dua juta empat ratus
tujuh puluh dua ribu seratus rupiah) dibayar tunai. Kemudian yang menjadi
munakih atau yang menikahkan (Penghulu) adalah Ruswan Chairi dengan
saksi nikah bernama Ibad Badrudin dan Ny. Hindun. Bahwa pernikahan
Pemohon I dan Pemohon II tidak tercatat pada Kantor Urusan Agama (KUA)
Kecamatan Cianjur, sewaktu akan menikah Pemohon I berstatus sebagai Janda
dalam usia 32 tahun, sementara Pemohon II berstatus sebagai Jejaka dalam
usia 29 Tahun, setelah akad nikah hingga permohonan ini diajukan Pemohon I
dan Pemohon II tidak atau belum pernah mendapat atau mengurus akta nikah
tersebut, dari pernikahan Pemohon I dan Pemohon II telah dikaruniai anak
yang bernama LI ZI SHUO berjenis kelamin perempuan yang lahir pada
55
tanggal 14 Oktober 2014. Para Pemohon sangat membutuhkan bukti
pernikahan tersebut untuk kepastian hukum dan untuk mengurus akta
kelahiran anak Para Pemohon dan mengurus surat-surat lainnya, antara
Pemohon I dan Pemohon II tidak ada hubungan Mahram maupun susuan dan
sejak melangsungkan perkawinan sampai sekarang belum pernah bercerai
maupun pindah Agama. Pemohon I dan Pemohon II beragama Islam, untuk
kepastian hukum dan tertib administras kependudukan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
tentang Administrasi kependudukan, maka para pemohon akan melaporkan
Penetapan Pengadilan atas Perkaraini kepada KUA Kecamatan Cianjur untuk
dicatat dalam daftar yang disediakan untuk itu.
Pada perkara itsbat nikah diatas, dapat diketahui bahwa para
pemohon telah melangsungkan pernikahan menurut Agama Islam. secara
keseluruhan tidak bertentangan dengan aturan pernikahan hukum Islam,
namun berdasarkan posita para pemohon dalam surat permohonan disana
tidak disebutkan bahwa pernikahan tersebut dilaksanakan di depan atau
dihadiri pegawai pencatat nikah dari KUA setempat sehingga dapat
disimpulkan bahwa pernikahan para pemohon adalah pernikahan dibawah
tangan. Artinya Perkawinan tersebut dianggap Tidak Sah menurut Negara
karena tidak mempunyai Kekuatan Hukum serta Kepastian Hukum yang jelas.
Dalam pasal 7 ayat 3 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa
Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-
hal yang berkenaan dengan adanya perkawinan dalam rangka
penyelesaian perceraian, hilangnya Akta Nikah, adanya keraguan tentang
sah atau tidaknya salah satu syarat perkawian, adanya perkawinan
yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang No.1 Tahun 1974, dan
perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan
perkawinan menurut Undang- Undang No.1 Tahun 1974. Adapun alasan
permohonan Isbat Nikah untuk Perkawinan yang dilakukan setelah berlakunya
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah karena tidak ada halangan
perkawinan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
56
Tentang Perkawinan. Hal ini sesuai dengan Pasal 7 Ayat (3) huruf e
Kompilasi Hukum Islam. Dengan melihat uraian pasal 7 ayat 2 dan 3 KHI
telah memberikan kewenangan lebih dari yang diberikan oleh Undang-
Undang, baik Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
maupun Undang-Undang No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.1
Terkait dengan perkawinan campuran yang dilakukan di Indonesia
dilakukan menurut Undang-Undang Perkawinan. Perkawinan campuran tidak
dapat dilangsungkan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang
ditentukan oleh hukum yang relatif dipenuhi dan karena itu tidak untuk
melangsungkan perkawinan campuran, maka mereka yang menurut hukum
yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan,
diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah terpenuhi.
Para pemohon ini melakukan perkawinan campuran. Mengenai
Perkawinan campuran terdapat syarat yang harus dipenuhi, secara administrasi
harus melengkapi berkas seperti, Surat Keterangan Ijin Menikah dari kedutaan
Besar Negara asal Pemohon II, Surat Identitas diri pemohon II, Surat bukti
Pemohon II melaporkan diri dari Kepolisian RI, dan Surat atau Piagam
Pemohon II masuk Islam, dan lain sebagainya. Hakim menimbang, bahwa
oleh karena permohonan para Pemohon tidak memenuhi persyaratan
administrasi untuk mengajukan permohonan pengesahan perkawinan
campuran. Dalam perkara ini pemohon II tidak dapat menunjukkan
persyaratan administrasi dalam pengajuan permohonan pengesahan
Perkawinan Campuran.
Permohonan Isbat Nikah ini, seharusnya ditolak oleh Majelis Hakim.
Karena Para Pemohon tidak dapat memenuhi persyaratan terkait administrasi
untuk melakukan Perkawinan Campuran, diantaranya adalah tidak dapat
membuktikan Surat Keterangan Izin Menikah dari Kedutaan Besar Republik
Rakyat China karena umur pemohon II melebihi 30 tahun. Serta persyaratan
1Nasrudin Salim,” Isbat Nikah dalam Kompilasi Hukum Islam (Tinjauan Yuridis, Filosofis,
dan Historis) dalam Jurnal Dua Bulanan Mimbar Hukum No. 62 THN. XIV, (Jakarta:
2003), hal. 70
57
substansi terkait dengan agama yakni Sertifikat atau surat keterangan
masuk Islam. Hal tersebut behubungan dengan Pencatatan perkawinan dalam
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 hanya diatur oleh satu ayat, tetapi
persoalan pencatatan sangat dominan, hal ini akan tampak menyangkut tata
cara perkawinan itu sendiri yang kesemuanya berhubungan dengan
pencatatan. Terdapat sebagian pakar hukum yang menempatkan pencatatan
sebagai syarat administratif yang juga menentukan sah tidaknya sebuah
perkawinan. Idris Ramulyo mengatakan bahwa nikah dan talak yang
dilakukan dibawah tangan lebih cenderung dinyatakan tidak sah menurut
hukum Islam, batal, atau sekurang- kurangnya dapat dibatalkan.2
Penulis berpendapat Langkah dari Majelis Hakim Pengadilan Agama
Cianjur dalam memutus Perkara ini, mengabaikai Teori Hierarki Peraturan
Perundang-Undangan. Karena mengeluarkan Putusan yang sifatnya penetapan
berupa produk hukum, akan tetapi tidak berpijak kepada Teori Hierarki
Peraturan Perundang-Undangan yang telah disahkan dan menjadi dasar hukum
yang harus dipatuhi oleh warga negara Indonesia. Hal ini penulis anggap
bahwa Isbat Nikah Perkawinan Campuran yang diajukan para pemohon Tidak
Sah menurut Negara karena tidak mempunyai Kekuatan Hukum serta
Kepastian Hukum yang jelas. Karena para pemohon tidak dapat memenuhi
persyaratan terkait administrasi untuk melakukan Perkawinan Campuran, serta
persyaratan terkait substansi terkait dengan agama yakni Sertifikat atau surat
keterangan masuk Islam.
Menurut analisis Penulis apabila kasus seperti ini terus dibiarkan,
Maka akan memberikan dampak yang kurang baik terhadap masyarakat,
bahkan lebih jauh dari itu mereka cenderung tidak mengindahkan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku, khususnya yang berkaitan dengan
perkawinan campuran dapat diisbatkan oleh Pengadilan Agama, hal ini
menurut analisis. Terlebih lagi jika perka penulis akan menjadi preseden buruk
bagi kewibawaan hukum di mata warga negara asing. Karena perkawinan
2Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan Menurut Hukum Islam, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2005), hal. 20-21
58
campuran memerlukan persyaratan administrasi yang lebih rumit dan
melibatkan ketentuan hukum dua negara.
B. Analisa Pertimbangan Hakim dalam Penetapan Isbat Nikah Perkawinan
Campuran Putusan Nomor 1172/Pdt.P/2016/PA.Cjr
Apabila perkawinan dibawah tangan atau nikah sirri menjadi tradisi
dalam arti dipatuhi dan dijalankan oleh masyarakat serta apalagi dapat
dikabulkan jika dimintakan isbatnya oleh Pengadilan Agama dan
dipertahankan terus menerus maka akan membawa dampak yang tidak baik.
Dan dampak itu antara lain adalah:3
1. Makna historis Undang-undang perkawinan akan tidak efektif sehingga
tujuan lahirnya UU tersebut tidak tercapai.
2. Tujuan normatif dari pencatatan perkawinan tidak terpenuhi seperti yang
dikehendaki pasal 2 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Maka
akan menciptakan suatu kondisi ketidakteraturan dalam pencatatan
kependudukan.
3. Masyarakat Muslim dipandang tidak lagi memperdulikan kehidupan dalam
bidang hukum, yang pada akhirnya sampai pada anggapan bahwa
pelaksanaan ajaran Islam tidak membutuhkan keterlibatan Negara.
4. Akan mudah dijumpai perkawinan dibawah tangan atau nikah sirri yang
hanya peduli pada unsur agama saja dibanding unsur tata cara pencatatan
perkawinan yang mengundang ketidakpastian nasib wanita (isteri).
5. Apabila terjadi wanprestasi terhadap perjanjian perkawinan, maka peluang
untuk putusnya perkawinan akan terbuka secara bebas tanpa terlibat
prosedur hukum sebagai akibat langsung dari diabaikannya pencatatan
oleh Negara, sehingga perkawinan di bawah tangan atau nikah sirri hanya
diikuti perceraian dibawah tangan pula.
6. Akan membentuk preseden buruk sehingga akan cenderung menjadi
bersikap enteng untuk mengabaikan
3Nasrudin Salim,” Isbat Nikah dalam Kompilasi Hukum Islam, hal. 72
59
Namun, Berdasarkan Rapat Permusyawaratan Majelis Hakim
Pengadilan Agama Cianjur, dan hasil dari beberapa pertimbangan hukum
dengan menggali fakta-fakta hukum di persidangan kemudian dikontruksikan
oleh Majelis Hakim dengan menyentuh esensi dan subtansi dari peradilan
yaitu menghasilkan Putusan yang berkeadilan hukum, Putusan itu tidak hanya
mendasar kepada legal formil dengan mencantumkan bunyi pasal dari
peraturan perundang-undangan tertentu, sebagaimana dikatakan oleh Lilik
Mulyadi “Putusan Hakim merupakan Mahkota dan Puncak dari suatu Perkara
yang diperiksa oleh Hakim” 4. Sehingga Permohonan pengesahan perkawinan
campuran dalam Putusan Nomor 1172/Pdt.P/2016/PA.Cjr. yang diajukan oleh
pihak Pemohon, akhirnya ditetapkan dan dikabulkan sesuai dengan Primair
serta Subsidair yang diajukan oleh para Pemohon. Walaupun pertimbangan
hukum yang digali oleh Majelis Hakim Pengadilan Agama Cianjur
Menggunakan cara yang mengedepankan metode Maslahah.
Majelis hakim Pengadilan Agama Cianjur menetapkan permohonan
isbat nikah meskipun perkawinan dilakukan setelah tahun 1974. Perkara isbat
nikah dilakukan secara selektif dan hati-hati. Dalam hal ini penetapan
disahkan guna mengurus akta kelahiran anak sebagai upaya untuk
memberikan perlindungan kepada anak. Anak yang lahir dari perkawinan
yang tidak tercatat harus mendapatkan hak yang sama dengan anak yang lahir
dari perkawinan tercatat. Karena sesuai pasal 4 UU Perlindungan Anak, anak
berhak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar
sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan demi terwujudnya anak
Indonesia yang berkualitas.
Adapun alasan permohonan isbat nikah untuk perkawinan yang
dilakukan setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah
karena tidak ada halangan perkawinan sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Hal ini sesuai dengan
Pasal 7 Ayat (3) huruf e Kompilasi Hukum Islam.
4Lilik Mulyadi, Penerapan Putusan Hakim Pada Kekerasan dalam Rumah Tangga, (Jakarta:
Ikahi, 2007), hal.,25.
60
Secara tegas dan kita lihat seksama tentang permasalahan diatas,
bahwa Hakim-Hakim Pengadilan memiliki komitmen dan nurani yang sama,
penulispun berkeyakinan begitu. Yaitu menilai peraturan perundang-undangan
yang akan dijadikan pijakan hukum atau disesuaikan dengan ajaran dogmatik
Agama, dan mengedepankan keadilan, serta tidak akan mengorbankan
keadilan hanya demi kepastian hukum. Sikap Hakim tersebut dapat
dibenarkan secara hukum, karena Hakim memiliki kebebasan dalam memutus
dan memiliki hak preogratif atau otonom dalam konsep “demi keadilan
berdasarkan ketuhanan yang maha esa” untuk melakukan penerapan metode
Maslahah, dikarenakan Pasal-Pasal yang dirasa sudah tidak sesuai dengan rasa
keadilan dan kebenaran, juga tidak dinamis mengikuti perkembangan zaman.
Dalam menjalankan tugas pokoknya untuk memeriksa, mengadili, dan
memutuskan suatu perkara yang diajukan kepadanya, hakim sebagai penegak
hukum tidak boleh menolak suatu perkara dengan dalih bahwa hukum atas
perkara tersebut tidak ada atau kurang jelas. Sebagai pemikir dan pelaku
kebijaksanaan di bidang hukum dan peradilan, hakim dianggap mengetahui
semua hukum atau curia novit jus. 5
Kewenangan Kekuasaan Kehakiman, dilaksanakan oleh hakim. Hakim
adalah pejabat Pengadilan negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang
untuk mengadili suatu perkara yang dihadapkan kepadanya.6 Hakim sebagai
penentu untuk memutuskan suatu perkara yang diajukan ke Pengadilan, dalam
menjatuhkan putusan harus memiliki beberapa pertimbangan. Hakim dalam
memeriksa dan memutus perkara ternyata seringkali menghadapi suatu
kenyataan bahwa hukum yang sudah ada tidak dapat secara pas untuk
menjawab serta menyelesaikan sengketa yang dihadapi. Hakim harus mencari
kelengkapannya dengan menemukan sendiri hukum tersebut.7
Kemudian dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara, hakim
terikat dengan hukum acara yang mengatur sejak memeriksa dan memutus.
5M.Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal.,821.
6Lihat Pasal 1 butir (8) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
7Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, (Jakarta: PT Citra
Aditya Bhakti, 1993), hal.,10.
61
Untuk memutuskan suatu perkara, hakim perlu memperhatikan pertimbangan
hukumnya, sehingga siapa pun dapat menilai apakah putusan yang dijatuhkan
cukup mempunyai alasan yang objektif atau tidak serta sudah adil atau tidak.
Pada alasan memutus, yang di utarakan adalah fakta-fakta hukum yang ada,
seperti keterangan pihak-pihak terkait dan alat-alat bukti yang diajukan harus
ditimbang secara seksama. Pihak mana yang akan dibebani untuk memikul
biaya perkara, juga menjadi pertimbangan hakim. Dan sebagai dasar memutus,
hakim menggunakan Undang-undang yang mengatur perkara tersebut.
Putusan hakim di pengadilan sangat berpengaruh dalam memenuhi rasa
keadilan terhadap pemohon maupun termohon.
Terkait dengan perkawinan campuran yang dilakukan di
Indonesia dilakukan menurut Undang-Undang Perkawinan. Perkawinan
campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti bahwa syarat- syarat
perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang relatif dipenuhi dan karena itu
tidak untuk melangsungkan perkawinan campuran, maka mereka
yang menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang
mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah
terpenuhi. Hal ini yang tercantum di dalam putusan Perkawinan Campuran
Putusan Nomor 1172/Pdt.P/2016/PA.Cjr. Sehingga Majelis hakim mengambil
kesimpulan bahwa pengesahan perkawinan campuran di kabulkan melalui
pertimbangan hakim dengan metode ijtihad hukum oleh hakim dimana hakim
mengambil peran nya untuk menggali hukum demi terwujudnya keadilan juga
sebagai pencari hukum serta penegak hukum yang diberikan wewenang oleh
negara. Kata Menggali diasumsikan bahwa hukumnya itu ada, tetapi
tersembunyi, agar sampai pada permukaan maka harus digali. Dengan
demikian hukumnya itu ada tetapi masih harus digali, dicari dan diketemukan.
Sebagaimana Paul Scholten mengatakan bahwa “didalam manusia itu sendiri
terdapat hukumnya”. Sedangkan setiap saat manusia dalam masyarakat
berprilaku, berbuat atau berkarya”.8
8Sudikno Mertokusumo, Penenmuan Hukum Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, Cet.
Ke Lima. 2007), hal.,47.
62
Dalam mengadili suatu Perkara, Hakim melakukan kegiatan Yuridis
sendiri dan tidak sekedar melakukan Silogisme belaka. Hakim harus ikut serta
dalam pembentukan Hukum, bukan Hukum obyektifitas seperti yang
diciptakan oleh pembentuk Undang-Undang, yang sifatnya abstrak, melainkan
Hukum yang konkret serta diciptakan dengan putusannya (judge made law).
Putusan Hakim adalah hukum maka haruslah sesuai dan dapat diterima oleh
masyarakat9.
Sebagaimana penegasan pasal 229 Kompilasi Hukum Islam yang
menyatakan hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan
kepadanya wajib memperhatikan dengan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum
yang hidup di masyarakat, sehingga putusannya sesuai dengan rasa keadilan.
Dan Pasal ini yang secara tegas menunjukkan suatu kemutlakan yang bersifat
memaksa bagi hakim untuk memegang teguh dan menjadikan Pasal tersebut
sebagai landasan moral dalam menjatuhkan putusan.10
. Oleh karena itu
seorang Hakim harus memperhatikan hal-hal sebagai berkut : 11
1. Keadilan Hukum untuk Masyarakat
2. Manfaat Hukum untuk Masyarakat
3. Kepastiaan Hukum untuk Masyarakat
Prinsip ini sesuai dengan ketentuan pasal 28 (1) Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004 jo., Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dan penjelasan Pasal 30 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung. Menurut
Penjelasan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 Tentang
Undang-Undang Mahkamah Agung, disebutkan bahwa ketentuan tersebut
dimaksudkan agar putusan Hakim dapat sesuai dengan hukum dan rasa
keadilan masyarakat.
Sebagaimana telah termaktub di dalam firman Allah Swt Surat An-
Nahl ayat 90 :
9Sudikno Mertokusumo, Bunga Rampai Ilmu Hukum, (Yogyakarta: Liberty, 1984), hal.,16.
10Lihat Pasal 229 Kompilasi Hukum Islam.
11Wawancara dengan Bapa Hamzah, S.Ag. M.H pada tanggal 15 Februari 2019.
63
Artinya : ”Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat
kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari
perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran
kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”.
Keadilan harus dijadikan sebagai pijakan utama dalam penetapan
hukum. Jika ketentuan normatif bertentangan dengan keadilan maka yang
harus diutamakan adalah penegakan keadilan. Jika keadilan bertentangan
dengan aspek kepastian dan kemanfaatan maka yang harus diutamakan untuk
dipilih adalah penegakan keadilan.12
Berdasarkan uraian tersebut, penulis
berpendapat bahwa Putusan Nomor 1172/Pdt.P/2016/PA.Cjr telah benar-benar
mencerminkan nilai keadilan dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai hukum,
justru selangkah lebih maju kepada nilai hukum yang progresif, mengikuti
zaman, berkembang dan bersifat dinamis.
C. Analisa Metode Maslahah dan Ijtihad Hukum Oleh Hakim dalam
Perkawinan Campuran Putusan Nomor 1172/Pdt.P/2016/PA.Cjr
Pada bagian ini, penulis ingin memaparkan penemuan hukum dalam
perspektif Islam sebagai sebuah perbandingan dan mungkin akan memperkaya
khazanah penemuan hukum dalam praktiknya di Indonesia.
“Sesungguhnya syâri‟ (pembuat sharî‟at) dalam mensyari‟atkan
hukumnya bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan hambanya baik di
dunia maupun di akhirat secara bersamaan” Jika diperhatikan dari pernyataan
al-Syâthibi tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa kandungan Maqâshid al-
Syarî„ah adalah kemaslahatan manusia.13
Penemuan hukum dalam perspektif hukum Islam sedikit berbeda
dengan penemuan hukum pada hukumnya. Hal ini didasarkan pada sumber
12
Ahmad Kamil dkk, Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi, (Jakarta: Kencana, 2008),
hal.,21. 13
Abu Ishâq al-Syâthibî, al-Muwâfaqât fi Ushûli al-Syarî‟ah, Juz 1, (Beirut: Dar-alkutub, al-
Ilmiyyah), hal.,39.
64
hukum yang berbeda serta tahapan dalam penemuan hukum tersebut. Namun
demikian, paling tidak, penemuan hukum dalam perspektif hukum Islam
(selanjutnya disebut dengan ijtihad) memiliki dua tujuan utama yang sama
dengan penemuan hukum pada umumnya, yaitu menemukan hukum dan
menerapkannya pada kasus.
Tujuan penetapan hukum atau yang sering dikenal dengan istilah
Maqashid al-syari'ah merupakan salah satu konsep penting dalam kajian
hukum Islam. Karena begitu pentingnya maqashid al-syari'ah tersebut, para
ahli teori hukum menjadikan maqashid al-syari'ah sebagai sesuatu yang harus
dipahami oleh mujtahid yang melakukan ijtihad. Adapun inti dari teori
maqashid al-syari'ah adalah untuk mewujudkan kebaikan sekaligus
menghindarkan keburukan, atau menarik manfaat dan menolak madharat.
Istilah yang sepadan dengan inti dari maqashid al-syari'ah tersebut adalah
maslahat, karena penetapan hukum dalam Islam harus bermuara kepada
maslahat.14
Konsep Maqasid al-syariah menegaskan bahwa hukum Islam
disyariatkan untuk mewujudkan dan memelihara mashlahat umat manusia.15
Kemaslahatan sebagai inti dari maqâshid al-syarî„ah,memiliki peranan penting
dalam penentuan hukum Islam. Sebab hukum Islam diturunkan mempunyai
tujuan untuk mewujudkan kemaslahatan umat baik di dunia maupun di
akhirat. 16
Dalam melihat metode ijtihad apa yang harus dikembangkan dan
kemungkinan peranan maqâsyid al-syarî‟ah yang lebih besar dalam metode
tersebut, penelaahan harus bertitik tolak dari objek itu sendiri. Oleh karenanya
bertitik tolak dari itu, maka ada dua corak penalaran yang di dalamnya
terdapat metode-metode ijtihad yang perlu dikembangkan dalam upaya
penerapan-penerapan maqâsyid al- syarî‟ah. Kedua corak itu ialah penalaran
14
Ghafar Shidiq, “Teori Maqâshid Al-Syarî‟ah Dalam Hukum Islam”, dalam Jurnal Sultan
Agung, Vol XLIV No. 118 Juni-Agustus 2009, hal.,117. 15
Kaharuddin, Nilai-nilai Filosofi Perkawinan, Menurut Hukum Perkawinan Islam dan
Undang-undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, (Jakarta: Mitra Wacana Media,
2015), hal.,60. 16
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Ali Mutakin, Teori Maqashid Al Syariah dan Hubungannya
dengan Metode Istinbath Hukum, Vol. 19, No. 3, (Agustus, 2017), pp. 547-570.
65
ta‟lili dan istislahi. Corak penalaran ta‟lili adalah upaya penggalian hukum
yang bertumpu pada penentuan illat-illat hukum yang terdapat dalam suatu
nash. Dalam perkembangan pemikiran ushul fikih, corak penalaran ta‟lili ini
mengambil bentuk qiyas dan istihsan. Adapun corak penalaran istislahi adalah
upaya pengambilan hukum yang bertumpu pada prinsip-prinsip kemaslahatan.
Corak penalaran ini tampak pada metode al-masalahah al-mursalah dan
saddu az-zari‟ah.
Ijtihad adalah upaya menemukan hukum dengan menggunakan
potensipotensi yang dimiliki (kecerdasan akal, kehalusan rasa, keluasan
imajinasi, ketajaman intuisi dan kearifan). Ijtihad berupaya menemukan
hukum yang seadil-adilnya, sesuai dengan tuntunan syariat. Ijtihad, sama
seperti penemuan hukum lain, bertujuan untuk menjembatani jarak antara
harapan atau tuntutan masyarakat dengan idealitas hukum. Ijtihad berusaha
untuk menciptakan suatu keadaan yang homeostatis (seimbang), sehingga
hukum yang dihasilkan tidak hanya menciptakan keadilan semata, melainkan
juga kepastian dan kemanfaatan di masyarakat.17
Mukti Arto secara tegas menyebutkan bahwa ijtihad merupakan bagian
tak terpisahkan dari tugastugas hakim secara utuh. Hakim harus memiliki
budaya ijtihad dan ijtihad harus menjadi budaya hakim.31 Dalam konteks
ijtihad, maka penemuan hukum Islam oleh hakim bertujuan untuk
memperoleh rumusan hukum terapan baru yang tepat guna menyelesaikan
sengketa/perkara melalui putusan hakim yang mampu mewujudkan cita
hukum maqasid al-syariah dan dijiwai dengan ruh keadilan sehingga mampu
memberi perlindungan hukum dan keadilan kepada pencari keadilan pada
setiap kasus yang dihadapi.18
Adapun pada metode ijtihad, hukum Islam diupayakan untuk digali
dan dielaborasi dengan perenungan yang mendalam dengan menggunakan
seluruh potensi yang dimiliki, sehingga dalam menemukan hukum, ijtihad
diharapkan dapat menemukan hukum yang seadil-adilnya, yang sesuai dengan
17
M. Natsir Asnawi, Hermeneutika Putusan Hakim, (Yogyakarta: UII Press, 2014), hal.,25. 18
A.Mukti Arto, Penemuan Hukum demi Mewujudkan Keadilan, artikel, dimuat dalam
website PTA Jambi, www.pta-jambi.go.id, diakses pada tanggal 2 Maret 2017
66
tuntunan syariat. Tujuan esensial ijtihad adalah mewujudkan maqashid al-
syariah, mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat
sekaligus19
.
Pada dasarnya penerapan Ijtihad terbagi menjadi dua bentuk
penerapan, yakni
1. Ijtihad fi takhrij al ahkam Ijtihad ini adalah penerapan ijtihad dengan cara
mengeluarkan hukum-hukum dari sumbernya. Karenanya ijtihad ini pada
dasarnya hanya menetapkan atau mengeluarkan hukum dari suatu sumber
hukum untuk kemudian menerapkannya ke peristiwa atau fakta in concreto
tanpa melihat kondisi atau dinamika masyarakat yang ada saat
diterapkannya hukum tersebut.
2. Ijtihad fi tathbiq al ahkam. Ijtihad ini adalah untuk menerapkan hukum
pada peristiwa konkrit, tetapi selain mengeluarkan hukum dari sumbernya,
berbeda dengan Ijtihad fi takhrij al ahkam, jenis ijtihad ini juga
memperhatikan kondisi atau dinamika hukum yang ada pada saat itu,
sehingga penerapan hukum terhadap suatu peristiwa konkrit dapat berjalan
secara efektif. Ijtihad sebagai salah satu metode dalam melakukan
penemuan hukum berdasarkan hukum Islam memiliki beragam cara atau
metode. Berikut ini beberapa bentuk metode ijtihad yang dikenal dalam
khazanah hukum Islam.20
Demi mewujudkan keadilan, melalui pelbagai metode penemuan
hukum, hakim dengan kewenangannya dapat memutuskan suatu perkara
berdasar pada peraturan Perundang-Undangan walaupun tidak mengikuti asas
dari Hierarki Peraturan Perundang-Undangan, sehingga lahir putusan yang
bersifat Penetapan menggunakan Metode Maslahah. Penerapan metode
Maslahah dalam putusan yang dijatuhkan oleh hakim di lingkungan
Pengadilan Agama Cianjur, didasarkan kepada upaya hakim untuk
menemukan ruh dan jiwa dari tujuan aturan perundang-undangan itu sendiri,
19
A. Malthuf Siroj, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia : Telaah Kompilasi Hukum
Islam, (Yogyakarta: Pustaka Ilmu, 2012), hal.,40 20
A.Djazuli, Ilmu Fiqh : Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam, (Jakarta:
Kencana, 2005), hal.,32.
67
yakni demi tercapainya Maslahah umat Manusia. Seadil-adilnya Penemuan
hukum oleh hakim dilakukan dalam rangka tugas dan kewenangan dari hakim
dalam memeriksa dan memutus perkara yang dihadapkan kepadanya.
Penemuan hukum oleh hakim dianggap yang mempunyai wibawa. Karena
mmengedepankan metode Maslahah terhadap yang kemudian dijadikan
sebagai penemuan hukum, dimana penemuan hukum tersebut merupakan
hukum yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai hukum karena
dituangkan dalam bentuk putusan.21
Hakim sebagai pihak yang berwenang memutus perkara tentunya
mempunyai pertimbangan-pertimbangan tersendiri yang tidak hanya
berdasarkan hukum posisif yang berlaku di Indonesia, tetapi juga
mempertimbangankan keadilan dan kemaslahatan bagi pencari keadilan. Hal
ini sesuai dengan pendapat Gustav Radbruch yang dikutip oleh Sacipto
Rahardjo tentang tiga nilai dasar hukum yaitu keadilan, manfaat dan kepastian
hukum22
Kebebasan Hakim Dalam Proses Pemeriksaan Perkara. Kebebasan
hakim dalam memberikan putusan sejalan dengan perintah undang undang
yang mewajibkan hakim sebagai penegak hukum dan keadilan untuk
menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di
masyarakat. Prinsip yang mengatakan bahwa pengadilan tidak boleh menolak
untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan kepadanya,
dengan alasan bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk
memeriksa dan mengadilinya. Prinsip ini didasarkan kepada pandangan bahwa
organ'“ pengadilan dapat memahami hukum. Pencari keadilan datang
kepadanya untuk memohon keadilan. Andaikan ia tidak menemukan hukum
tertulis, ia wajib menggali hukum tidak tertulis, untuk memutus sebagai orang
yang bijaksana dan bertanggung jawab kepada Tuhan. Dalam lapangan hukum
pidana, masalah kebebasan hakim terletak pada penentuan jenis pidana,
sampai di mana pembentuk undang-undang memberikan kebebasannya dalam
menentukan jenis pidana, ukuran pidana, dan cara pelaksanan pidana
21
Sudikno Merto Kusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Liberty,
2007), hal.,37. 22
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), hal.,19.
68
(strafsoort, strafmaat dan strafmodus atau strafmodaliteit). Kebebasan hakim
merupakan wujud dari kebebasan kekuasaan kehakiman, walaupun hal itu
bukan tanpa risiko. Atas nama kebebasan, hakim dapat menyalahgunakan
kebebasannya dan dapat pula bertindak sewenang-wenang. Untuk mencegah
penyalahgunaan kekuasaan tersebut, maka harus diciptakan batasan-batasan
tanpa mengorbankan prinsip kebebasan sebagai hakikat kekuasaan
kehakiman.23
Penetapan Isbat Nikah dalam putusan perkawinan campuran ini
didasarkan kepada metode Maslahah yang lebih utama, yang oleh majelis
hakim dianggap lebih tepat untuk dikedepankan ketimbang mengikuti
ketentuan hukum materiil yang mengatur tentang perkawinan campuran.
Majelis hakim dalam perkara ini berpendapat bahwa Isbat Nikah Perkawinan
Campuran dalam Putusan Nomor: 1172.Pdt.P/2016/PA.Cjr. Harus
mengutamakan kepentingan si anak.
Jadi setelah meninjau beberapa pasal diatas dan analisis data dengan
dihubungkan dengan Penetapan Isbat Nikah Perkawinan Campuran di
Pengadilan Agama Cianur dapat disimpulkan bahawa dalam Penetapan Isbat
Nikah antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing dalam
memutuskan Isbat Nikah tersebut para Majelis Hakim mempunyai metode
ijtihad sendiri dalam memutuskan Isbat Nikah tesebut antara lain metode
tersebut menggunakan metode Maslahah. Disamping itu kedudukan hukum
atau legal standing hakim menggunakan ijtihad tesebut itu boleh boleh saja
dan syah karena dari pihak pemohon I dan Pemohon II telah memenuhi syarat
dan rukun penikahan menurut Agama Islam dan tidak ada halangan untuk
melakukan pernikahan tersebut sehingga pernikahan para pemohon telah
memenuhi ketentuan pasal 2 ayat 1 undang-undang no.1 tahun 1974 dan pasal
7 ayat 3 huruf (e) Kompilasi Hukum Islam sehingga penetapan Isbat Nikah
tersebut dapat dikabulkan.
23
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, (Jakarta:
Bumi Aksara, 2011), hal.,42.
69
Memang, bila diteliti semua perintah dan larangan Allah dalam
AlQur'an, begitu pula suruhan dan larangan Nabi SAW dalam sunnah yang
terumuskan dalam fiqh, akan terlihat bahwa semuanya mempunyai tujuan
tertentu dan tidak ada yang sia-sia. Semuanya mempunyai hikmah yang
mendalam, yaitu sebagai rahmat bagi umat manusia, sebagaimana yang
ditegaskan dalam beberapa ayat Al-Qur'an, di antaranya dalam surat
AlAnbiya' :107, tentang tujuan Nabi Muhammad diutus.
Artinya : “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi)
rahmat bagi semesta alam”
Islam merupakan Rahmatan lil Alamin (Rahmat untuk seluruh alam)
dalam ayat di atas diartikan dengan kemaslahatan umat. Sedangkan, secara
sederhana maslahat itu dapat diartikan sebagai sesuatu yang baik dan dapat
diterima oleh akal yang sehat. Diterima akal mengandung pengertian bahwa
akal itu dapat mengetahui dan memahami motif di balik penetapan suatu
hukum, yaitu karena mengandung kemaslahatan untuk manusia, baik
dijelaskan sendiri alasannya oleh Allah atau dengan jalan rasionalisasi.
70
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah penulis menguraikan dan memaparkan analisis penelitian
penetapan Isbat nikah Perkawinan Campuran di Pengadilan Agama Cianjur,
maka sekiranya penulis mengambil kesimpulan beberapa poin yaitu :
1. Ketentuan Hakim dalam menetapkan perkara Isbat Nikah Perkawinan
Campuran pada Putusan Perkara Nomor:1172.Pdt.P/2016/PA.Cjr. Yaitu
hakim harus mampu menafsirkan Peraturan Perundang-Undangan secara
aktual, menciptakan hukum baru dan mampu berperan mengadili secara
kasuistik, karena tidak ada perkara yang persis/mirip. Maka, dengan
mengedepankan metode Maslahah sebuah upaya yang dilakukan hakim
guna menemukan hukum, ketika Undang-undang tersebut dirasa tidak
dapat memberi rasa adil bagi pihak yang berperkara atau Undang-undang
tersebut dirasa tidak dapat memberi kepastian hukum yang berkeadilan.
Dalam putusan hakim Nomor: 1172.Pdt.P/2016/PA.Cjr tentang Penetapan
Isbat Nikah Perkawinan Campuran, Sebagaimana penegasan pasal 229
Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan hakim dalam menyelesaikan
perkara-perkara yang diajukan kepadanya wajib memperhatikan dengan
sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat, sehingga
putusannya sesuai dengan rasa keadilan. Dan Pasal ini yang secara tegas
menunjukkan suatu kemutlakan yang bersifat memaksa bagi hakim untuk
memegang teguh dan menjadikan Pasal tersebut sebagai landasan moral
dalam menjatuhkan putusan.
2. Peran Hakim dalam praktek Pengadilan, ada 3 (tiga) istilah yang sering
dipergunakan oleh hakim yaitu penemuan hukum, pembentukan hukum
atau menciptakan hukum dan penerapan hukum. Diantara tiga istilah ini,
istilah penemuan hukum paling sering dipergunakan oleh hakim,
sedangkan istilah pembentukan hukum biasanya dipergunakan oleh
lembaga pembentuk undang-undang. Dalam perkembangan lebih lanjut,
penggunaan ketiga istilah itu saling bercampur baur, tetapi ketiga istilah
71
itu berujung kepada pemahaman bahwa aturan hukum yang ada dalam
undang-undang tidak jelas, oleh karenanya diperlukan suatu penemuan
hukum atau pembentukan hukum yang dilakukan oleh hakim dalam
memutus suatu perkara.102
Tujuan penetapan hukum atau yang sering
dikenal dengan istilah Maqashid al-syari'ah merupakan salah satu konsep
penting dalam kajian hukum Islam. Karena begitu pentingnya Maslahah
tersebut, para ahli teori hukum menjadikan maqashid al-syari'ah sebagai
sesuatu yang harus dipahami oleh mujtahid yang melakukan ijtihad.
Adapun inti dari metode Maslahah adalah untuk mewujudkan kebaikan
sekaligus menghindarkan keburukan, atau menarik manfaat dan menolak
madharat. Inti dari Pertimbangan Hakim tersebut adalah maslahat, karena
penetapan hukum dalam Islam harus bermuara kepada maslahat.103
3. Demi mewujudkan Kekuasaan Kehakiman, melalui berbagai metode
penemuan hukum, Penerapan metode Maslahah dalam putusan yang
dijatuhkan oleh hakim di lingkungan Peradilan Agama didasarkan kepada
upaya hakim untuk menemukan ruh dan jiwa dari tujuan aturan
perundang-undangan itu sendiri, yakni demi tercapainya tujuan Maslahah.
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman yang menegaskan bahwa Pengadilan dilarang
menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang
diajukan kepadanya dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang
jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya
B. Saran-Saran
1. Diharapkan dalam Pengkajian dan penyusunan dengan pembuat Undang-
undang tersebut, penalaran terhadap situasi dan kondisi masyarakat harus
dilakukan secara konsisten dengan melihat perkembangan zaman. Undang-
102
Abdul Manan, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Praktek Hukum Acara di Peradilan
Agama, makalah, disampaikan pada Rakernas Mahkamah Agung RI di Balikpapan, tanggal 10-14
Oktober 2010. 103
Ghafar Shidiq, “Teori Maqâshid Al-Syarî’ah Dalam Hukum Islam”, dalam Jurnal Sultan Agung, Vol XLIV No. 118 Juni-Agustus 2009, hal.,117.
72
undang yang baik adalah Undang-undang yang dapat mengikuti
perkembangan pola masyarakat pada zamannya. Hendaknya pihak-pihak
yang terkait melakukan amandemen terhadap beberapa pasal dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi
Hukum Islam yang dianggap kontradiktif dengan ketentuan lain
2. Perlu diadakannya penelitian oleh Hakim mengenai pembentukan hukum
melalui putusan-putusan Pengadilan, sebab hal ini sangat penting sebagai
kontribusi dalam pembentukan Hukum Pidana Nasional yang selain tetap
dapat menunjukkan adanya kepastian hukum, sangat penting juga adalah
dapat memberikan/mencerminkan tertampungnya rasa keadilan yang hidup
dalam masyarakat.
3. Hendaknya diberlakukan sanksi terhadap para pemohon yang permohonan
penetapan isbat nikahnya disahkan oleh Pengadilan Agama, sedangkan
pelaksanaan pernikahannya secara agama dilaksanakan setelah berlakunya
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Hal ini untuk menjaga kewibawaan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pengadilan
Agama, hendaknya menyamakan ketentuan persyaratan administratif
permohonan penetapan isbat nikah di Pengadilan Agama dengan
permohonan pendaftaran perkawinan di Kantor Urusan Agama, demi
terciptanya kejelasan aturan dan kesamaan persepsi antara dua lembaga
tersebut.
73
DAFTAR PUSTAKA
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 1933.
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika,
Presindo, 2007.
Abû Hâmid Muhammad al-Gazâli, al-Mustasfa min „Ilm al-Usûl, tahqîq wa ta„lîq
Muhammad Sulaimân al-Asyqar, (Beirut: Mu‟assasat al-Risâlah, 1417
H/1997 M), Juz ke-1
Arso Sosroatmodjo dan Wasit aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta -
Indonesia : Bulan Bintang, 1975.
Asnawi Natsir, Hermeneutika Putusan Hakim, Yogyakarta: UII Press, 2014.
Asshiddiqie Jimly, Buku Perihal Undang-Undang, ( Jakarta :Raja Grapindo
Persada, 2010)
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), Cet I, Jilid II
Azhar Basyir Ahmad, Kawin Campur, Adopsi Wasiat menurut Hukum Islam,
Bandung: Al-Ma‟arif, 1972.
D.Y. Witanto, Hukum Keluarga, Jakarta: Prestasi Pustaka, 2012.
Dermawan Doni, Pendekatan Maqashid Al Syari‟ah Dalam Memeriksa Dan
Memutuskan Perkara, 2006.
Effendi Satria, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005.
Fanani Ahmad, Berfilsafat dalam Putusan Hakim, Bandung: Mandar Maju, 2014.
Farida Maria Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan, Kanisius, Yogyakarta,
1998
Fathi al-Daraini, al-Manahij al-usuliyyaah fi Ijtihad bi al-Ra‟yi fi al-Tasyri,
Damasyik: Dar alKitab al-Hadis, 1975.
Fuady Munir, filsafat dan teori hukum post modern, Bandung: Citra Aditya Bakti,
2005.
Gautama Sudargo (Gouw Giok Siong), Hukum Antar Golongan, Jakarta: Ichtiar
Baru Vanhore, 1980.
Gautama Sudargo, Aneka Masalah Dalam Praktek Pembaruan Hukum Di
Indonesia, cet. 1, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1990.
74
Gautama Sudargo, Himpunan Perundang-undangan Hukum Perdata
Internasional Sedunia, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1996.
Haroen Nasroen, Ushul Fiqh 1, cet ke-1 Jakarta; Logos, 1996.
Hasan Ahmad, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, Bandung: Pustaka, cet. 1, 1984.
Hasbi Umar, Nalar Fiqh Kontemporer, Jakarta: Gaung Persada Press, 2007.
Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, (Semarang: Pustaka Rizki
Putra,2013)
Hasbullah Bakri, Pengaturan Undang-undang Perkawinan Umat Islam, Jakarta:
Bulan Bintang, 1970.
Husain Hâmid Hisân, Nazariyyat al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islâmiy, (Beirut: Dâr
alNahdah al-„Arabiyyah, 1971)
Ichtijanto, “Perkawinan Campuran dalam Negara Republik Indonesia“, Penerbit
Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Deparetemen Agama
Republik Indonesia, 2003.
Jaya Bakri Afsari, Konsep Maqashid al-Syariah menurut al-Syatibi Jakarta: P.T.
Raja Grafindo Persada,1996.
K. wantjik Saleh, hukum acara perdata, Jakarta: Ghalia Indonesia, cet.4, 1981.
Kaharuddin, Nilai-nilai Filosofi Perkawinan, Menurut Hukum Perkawinan Islam
dan Undang-undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
Jakarta: Mitra Wacana Media, 2015.
Lexy. J. Meleong, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Rosdakarya, 2001.
Mertokusumo Sudikno, mengenal hukum, suara pengantar Yogyakarta: liberty,
2004.
Muhammad, Suma Amin, Kawin Beda Agama di Indonesia Telaah Syariah dan
Qanuniah, Ciputat - Indonesia: Lentera Hati, 2015.
Nuruddin Amiur, Ijtihad Umar Ibn Al-Khaththab Studi tentang perubahan hukum
dalam Islam, Jakarta, Rajawali Pers 1987.
Partanto Pius dan Dahlan Al-barry, Kamus Ilmiah Popular, Surabaya: Akola,
1994.
Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA), Panduan Pengajuan Isbat
Nikah, Jakarta: Australia Indonesia partnership, 2012.
Peter Marzuki Mahmud Penelitian Hukum, Cet, IV, Jakarta: Kencana, 2008.
75
Poentang Moerad, Pembentukan Hukum melalui Putusan Pengadilan dalam
Perkara Pidana, Bandung: PT. Alumni, 2005.
Rahardjo Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000.
Rahmadi Usman, Aspek- Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di
Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika 2006).
Rasjidi Lili dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum,
Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004.
Rifai Ahmad, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif,
Jakarta: Bumi Aksara, 2011.
Rimdan, Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen Konstitusi, Jakarta: Kencana,
2012.
Rofiq Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cet
ke 6., 2005.
Romulyo Idris Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Perdata Peradilan
Agama dan Hukum Perkawinan Islam, Jakarta; IND.HILL-CO, 1995.
Sallâm Muhammad Madkûr, al-Ijtihâd fi al-Tasyrî„ al-Islâmiy, (Kairo: Dâr al-
Nahdah al-„Arabiyyah, 1404 H/1984 M)
Sanusi Ahmad dan Sohari, Ushul Fiqh, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2015.
Sofyan Yayan, Islam Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam Dalam
Hukum Nasional, Jakarta: Uin Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.
Sukanto Soejono dan Sri Mudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: IND
HILLCO. 2001.
Tahir Muhammad Azhari, Negara Hukum, (Jakarta: Kencana, 2010)
T.Jahfizham, Persentuhan Hukum di Indonesia dengan Hukum Perkawinaan
Islam, Medan: Mestika, 1977.
Tim Pustaka Phoenix, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet ke VI, Jakarta:
Pustaka Phoenix, 2012.
Triwulan Titik, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara, Jakarta: Prestasi Pustaka
Publisher, 2006.
Wahbah al-Zuhaili, Ushûl al-Fiqh al-Islâmi, Cet ke II, Damaskus: Dâr al-Fikri,
1986.
Zahrah Abu Muhammad, Ushul al-Fiqh, Mesir : Dar al-Fikr al-„Arabi, 1958.
76
Jurnal dan Skripsi
Bafadhal Faizah, Jurnal Ilmu Hukum, Itsbat Nikah Dan Implikasinya Terhadap
Status Perkawinan Menurut Peraturan Perundang-Undangan Indonesia,
2014.
Dhiaul Akifin Ahmad, skripsi penerapan Asas Contra Legem dalam Pembagian
Harta Bersama, Jakarta: Skripsi Uin Jakarta 2014.
Gerdha Prastica Pangestu E-jurnal Gloria Yuris jurnal ilmu hukum untan, hal.,2.
Ghafar Shidiq, “Teori Maqâshid Al-Syarî‟ah Dalam Hukum Islam”, dalam Jurnal
Sultan Agung, Vol XLIV No. 118 Juni-Agustus 2009.
Huda Ni‟matul, “Kedudukan Peraturan Daerah dalam Hierarki Peraturan
Perundang-Undangan”, Jurnal Hukum Vol. 13 No. 1, Januari 2006
Myrna zahraina, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang Dasar 1945.
Undang-undang perkawinan no 1 thn 1974 bagian ke 3 bab XII dalam
ketententuan lain.
Undang-Undang nomor 24 tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan.
Undang-Undang nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan.
Undang-undang No 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Kompilasi Hukum Islam
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata
Website
http//www.Foreign Relationship Community / FRC
http//www.media.neliti.com
http/www.perkawinan-campuran.html.com
http://Library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/18/jtptiain-gdl-s1-2006-
ahmadmuzai-8802104.
http://Www.Hukumonline.com
http://www.mixedcouple.com/articles/mod.php
https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia