85
PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN PERSPEKTIF MASLAHAH DAN HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN (STUDI KASUS ATAS PUTUSAN NOMOR 1172/Pdt.P/2016/PA.Cjr) Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H) Oleh: Fakhri Muhammad NIM 11140430000041 PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H/2019 M

PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

  • Upload
    others

  • View
    12

  • Download
    1

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

i

PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN PERSPEKTIF

MASLAHAH DAN HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

(STUDI KASUS ATAS PUTUSAN NOMOR 1172/Pdt.P/2016/PA.Cjr)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu

Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H)

Oleh:

Fakhri Muhammad

NIM 11140430000041

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1440 H/2019 M

Page 2: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan
Page 3: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan
Page 4: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan
Page 5: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

iv

ABSTRAK

Fakhri Muhammad. NIM 11140430000041. PENETAPAN ISBAT NIKAH

PERKAWINAN CAMPURAN PERSPEKTIF MASLAHAH DAN HIERARKI

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN (STUDI KASUS ATAS

PUTUSAN NOMOR 1172/Pdt.P/2016/PA.Cjr) Program Studi Perbandingan

Mazhab, Konsentrasi Perbandingan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum,

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1440 H/2019 M.

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui dasar hukum yang digali oleh

hakim dalam penetapan isbat nikah pada Perkawinan Campuran yang

dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undang Undang No 1 tahun 1974

tentang perkawinan (UU Perkawinan). Perkawinan Campuran tidak dapat

dilangsungkan sebelum terbukti bahwa syarat syarat perkawinan yang ditentukan

oleh hukum yang berlaku bagi pihak masing masing telah dipenuhi. Putusan pada

Pengadilan Agama Cianjur dilakukan istbat nikah campuran yang tidak sesuai

dengan UU Perkawinan nomor 1 tahun 1974. Didalam putusannya hakim

mengabulkan para pemohon dan menyatakan sah nya Perkawinan Campuran

tersebut. Padahal secara teori dan ketentuan hukum, Putusan hakim bertentangan

dengan UU perkawinan No 1 tahun 1974.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dan non

yuridis dengan metode pengumpulan studi pustaka (library research) dengan

melakukan pengkajian terhadap norma-norma hukum, buku-buku, dan peraturan

perundang-undangan yang berkaitan dengan judul skripsi ini. Dengan obyek

putusan nomor 1172/Pdt.P/2016/PA.CJR.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa dalam putusan Nomor

1172/Pdt.P/2016/PA.CJR. Berdasarkan Rapat Permusyawaratan Majelis Hakim

Pengadilan Agama Cianjur, dan hasil dari beberapa pertimbangan hukum dengan

menggali fakta-fakta hukum di persidangan, kemudian dikontruksikan oleh

Majelis Hakim dengan menyentuh esensi dan subtansi dari peradilan, yaitu

menghasilkan Putusan yang berkeadilan hukum. serta dalam pandangan hukum

Islam Hakim boleh menggunakan Ijtihad Hukum untuk menemukan suatu

kebenaran dalam sebuah perkara guna mencapai kemaslahatan yang menurut

Hakim keputusannya merupakan suatu kebenaran.

Kata kunci : Isbat Nikah Perkawinan Campuran, Ijtihad Hukum oleh Hakim,

Maslahah, Hierarki Peraturan Perundang Undangan.

Di bawah bimbingan Pembimbing I Dr. Afidah Wahyuni, M.Ag. dan Pembimbing

II Hidayatulloh, SH.I, MH

Daftar Pustaka : 1964 s.d 2016

Page 6: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

v

KATA PENGANTAR

بسم اهلل الرحمن الرحيم

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat

rahmat, hidayah, serta inayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan

baik. Shalawat serta salam selalu tercurah kepada Baginda Nabi Muhammad

SAW yang telah membawa kita dari zaman jahiliah ke zaman ilmiah seperti

sekarang ini.

Selanjutnya, penulis akan menyampaikan rasa terimakasih tak terhingga

kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran penulisan skripsi ini, baik

berupa moril maupun materil. Karena tanpa bantuan dan dukungannya, penulis

tidak akan menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Oleh karena itu, penulis secara

khusus akan menyampaikan terimakasih kepada:

1. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, SH,MH,MA, Dekan Fakultas Syari’ah dan

Hukum serta para Pembantu Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas

Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Ibu Siti Hanna, M.A, Ketua Program Studi Perbandingan Mazhab dan bapak

Hidayatulloh, MH, Sekretaris Program Studi Perbandingan Mazhab.

3. Bapak Ahmad Bisyri Abd. Shomad, M.A. Dosen Penasehat Akademik

penulis.

4. Ibu Dr. Afidah Wahyuni, M.Ag., dan Bapak Hidayatulloh, SH.I MH., dosen

pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu serta memberikan arahan,

saran dan ilmunya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

5. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah mendidik dan

memberikan ilmu yang tak ternilai harganya, sehingga penulis dapat

menyelesaikan studi di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Kedua orang tua tercinta Ayahanda Wawan Rodibillah dan Ibunda Imas

Nurjannah atas pengorbanan dalam mendidik, mengasuh dan berjuang sampai

ke titik ini dan tak pernah lupa untuk mendoakan, memberikan arahan serta

dukungan kepada penulis. Juga kepada adik Zulfa Alama, Muhammad Hiban

Page 7: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

vi

Aqil, Muhammad Sayyid Al-Mutaali, dan adik Naila Izzatillah yang telah

memberikan doa serta dukungan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

ini. Salam hormat dan rindu untuk mereka semoga selalu diberikan

keselamatan, kesehatan dan ketaqwaan terhadap Allah SWT.

7. Keluarga besar Kh Abdul Aziz dan keluarga Besar Kh Zaenal Mustofa. Salam

hormat dan rindu untuk mereka semoga selalu diberikan keselamatan,

kesehatan dan ketaqwaan terhadap Allah SWT.

8. Sahabat dan teman terbaik penulis yang telah banyak membantu dalam hal

apapun selama di Ciputat, Ananda Ahmad Zaelani, Reno Tri Ramadhan

Murtadhi Achmad, Abdullah Mahfud, Abdul Harist, Budi Kurniawan, Zaki

Mubarok dan Adi Taruna. Semoga Allah selalu memberikan kesehatan dan

keselamatan. Salam hormat penulis dan ucapan terimakasih sebanyak-banyak

nya yang telah banyak membantu penulis selama 5 tahun berada di Ciputat.

9. Keluarga besar The djavu (Djakarta Vespa UIN) yang telah banyak membantu

dalam hal apapun selama di ciputat, Semoga Allah selalu memberikan

kesehatan dan keselamatan. Salam hormat penulis dan ucapan terimakasih

sebanyak-banyak nya yang telah banyak membantu penulis selama 5 tahun

berada di ciputat.

Akhir kata semoga Allah SWT membalas semua kebaikan atas bantuan

yang telah diberikan kepada penulis. Semoga kebaikan kalian menjadi berkah dan

amal jariyah untuk kita semua. Dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi

penulis serta pembaca pada umumnya. Aamiin.

Jakarta, 30 Mei 2019

Penulis

Page 8: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

vii

DATAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................................................... ii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ..................................................... iii

LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................ iv

ABSTRAK .......................................................................................................... v

KATA PENGANTAR ........................................................................................ vi

DAFTAR ISI ....................................................................................................... vi

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1

A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ................. 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................... 6

D. Review Studi Terdahulu ......................................................... 7

E. Metode Penelitian ................................................................... 9

F. Sistematika Penulisan ............................................................. 12

BAB II TINJAUAN UMUM ISBAT NIKAH DAN PERKAWINAN

CAMPURAN ................................................................................... 14

A. Pengertian dan Dasar Hukum Isbat Nikah .............................. 14

B. Pengertian Perkawinan Campuran .......................................... 17

C. Pengaturan Perkawinan Campuran ......................................... 21

D. Sistem Administrasi Perkawinan Campuran .......................... 23

E. Akibat Hukum Perkawinan Campuran ................................... 29

BAB III MASLAHAH DAN HIERARKI PERATURAN PERUNDANG

UNDANGAN DALAM SISTEM KEKUASAAN

KEHAKIMAN ................................................................................. 35

A. Kerangka Teori tentang Maslahah .......................................... 35

B. Kerangka Teori Hierarki Peraturan Perundang Undangan .... 39

C. Metode Maslahah dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman

BAB IV METODE MASLAHAH DALAM PERKAWINAN

CAMPURAN (Putusan Nomor: 1172.Pdt.P/2016/PA.Cjr) ........... 54

A. Penerapan metode Maslahah dalam Isbat Nikah

Perkawinan Campuran Putusan Nomor:

1172.Pdt.P/2016/PA.Cjr ......................................................... 54

B. Analisa Pertimbangan Hukum dalam Isbat Nikah

Perkawinan Campuran Putusan Nomor:

1172.Pdt.P/2016/PA.Cjr ......................................................... 58

C. Analisa Metode Maslahah dan Ijtihad Hukum dalam

Perkawinan Campuran Putusan Nomor:

1172.Pdt.P/2016/PA.Cjr ......................................................... 61

BAB V PENUTUP ........................................................................................ 68

A. Kesimpulan ............................................................................. 68

B. Saran ....................................................................................... 70

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 71

Page 9: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

viii

Page 10: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara hukum yang menganut system hukum

Civil Law. Titik tekan pada system Hukum ini adalah, penggunaan aturan

aturan hukum yang sifatnya tertulis. Sumber hukum utama dalam system ini

adalah undang undang yang merupakan kumpulan pasal pasal sistematis yang

saling berhubungan yang disusun berdasarkan subjek dan yang menjelaskan

asas asas hukum, hak, kewajiban, dan mekanisme hukum dasar. Dalam

konteks hukum di Indonesia, Undang undang dibuat oleh badan legislatif yang

memiliki wewenang untuk membentuk suatu perundang-undangan.

Pernikahan merupakan kebutuhan hidup manusia sejak jaman dulu,

sekarang, dan masa yang akan datang. Islam memandang ikatan perkawinan

sebagai ikatan yang kuat (mitsaqan ghalidza) ikatan yang suci (transeden),

suatu perjanjian yang mengandung makna sakral, suatu ikatan yang bukan saja

hubungan atau kontrak keperdataan biasa saja, tetapi juga hubungan

menghalalkan terjadinya hubungan badan antra suami isteri sebagai

penyaluran libido seksual manusia yang terhormat.1

Tujuan utama disahkannya UU No. 1 Tahun 1974 adalah sebagai upaya

penertiban hukum terhadap pernikahan yang dilakukan oleh masyarakat

Indonesia. Upaya yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah dengan

pencatatan nikah. Adanya pencatatan nikah ini, sebagai konsekuensinya

masyarakat akan mendapatkan pengakuan yang sah oleh hukum terhadap

pernikahan tersebut dan akan mendapatkan perlindungan hukum jika suatu

saat nanti terjadi sengketa hukum terkait dengan perceraian, pembagian waris,

wakaf, dan lain sebagainya.

Dalam perkawinan, pencatatan mutlak diperlukan. Adapun fungsi dan

kegunaan pencatatan adalah untuk memberikan jaminan hukum terhadap

1Yayan Sofyan, Islam Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam Dalam Hukum

Nasional, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011, Cet. Pertama), hal.,127.

Page 11: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

2

perkawinan yang dilakukan, bahwa perkawinan itu dilaksanakan dengan

sungguh-sungguh, berdasarkan I‟tikad baik, serta suami sebagai pihak yang

melakukan transaksi benar – benar akan menjalankan segala konsekuensi atau

akibat hukum dari perkawinan yang dilaksanakannya itu. 2

Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban

perkawinan dalam masyarakat yang dibuktikan dengan akta nikah dan masing-

masing suami istri mendapat salinannya. Apabila terjadi perselisihan atau

pertengkaran diantara mereka atau salah satu tidak bertanggung jawab, maka

yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau

memperoleh hak masing-masing. Bahwa perkawinan yang dilakukan tanpa

pencatatan dan pengawasan pegawai pencatat nikah, maka perkawinan

tersebut tidak memiliki kekuatan hukum dan dianggap tidak sah di mata

hukum. Jika perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum maka

mereka yang melaksanakan perkawinan tersebut tidak dapat melakukan upaya

hukum atau memperoleh haknya ketika terjadi pelanggaran atas perkawinan

mereka.

Masalah pencatatan perkawinan telah tersosialisasikan cukup lama,

dalam pasal 2 ayat (2) UU no. 1/74 maupun pasal 5 dan 6 KHI, akan tetapi

sampai saat a ketentuan-ketentuan yang ada dalam kitab-kitab fiqih sudah

terpenuhi, tidak perlu adanya pencatatan di KUA surat nikah karena hal itu

tidak diatur pada zaman Rasulullah dan hanya merepotkan saja3. Peraturan

Perundang-Undangan Indonesia menyatakan pencatatan perkawinan

merupakan satu satunya alat bukti telah terjadinya perkawinan, namun di sisi

lain perundangan-undangan memberi jalan keluar bagi orang-orang yang tidak

dapat membuktikan adanya perkawinan tersebut dengan jalan penetapan

Nikah (Isbat Nikah) dari Pengadilan Agama. Sebagaimana diatur dalam pasal

7 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan “Dalam hal perkawinan

2Yayan Sofyan, Islam Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam Dalam Hukum

Nasional, hal.,131. 3 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006),

hal 47

Page 12: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

3

tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan Itsbat Nikah-nya ke

Pengadilan Agama”.4

Isbat Nikah merupakan penetapan dari pernikahan yang dilakukan oleh

sepasang suami isteri, yang telah menikah sesuai dengan hukum islam dengan

memenuhi rukun dan syarat pernikahan, sehingga secara hukum fiqh

pernikahan itu telah sah.5

Perkawinan Campuran “sebagaimana termaktub dalam Undang-

Undang Republik Indonesia nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan tepat

nya dalam Bab XII (Ketentuan-ketentuan Lain) bagian ketiga yang secara

khusus mencantumkan dan mengatur “Perkawinan campuran” dalam enam

pasal (pasal 57-62)

Pasal 57 : Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang

undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada

Hukum yang berlainan, karena perbedaan Kewarganegaraan dan salah satu

pihak berkewarganegaraan Indonesia.

Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan

Perundang-undangan yang ada, paling tidak sebagaimana dikutipkan di atas,

jelas tidak terbayangkan untuk memaknai “Perkawinan Campuran” atau

“Kawin Campur” dengan maksud , sebagaimana yang lumrah terjadi pada

beberapa tahun terakhir ini. pasal 58 UU no 1 tahun 1974 yang sudah

dikutipkan sebelum ini, dengan tegas menyatakan bahwa “yang dimaksud

dengan Perkawinan campuran dalam undang-undang ini ialah Perkawinan

antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena

perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan

Indonesia, sementara yang satunya lagi berkewarganegaraan asing (non –

Indonesia).6

4 Faizah Bafadhal, Jurnal Ilmu Hukum, Itsbat Nikah Dan Implikasinya Terhadap Status

Perkawinan Menurut Peraturan Perundang-Undangan Indonesia, 2014, hal.,3. 5 http:// Library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/18/jtptiain-gdl-s1-2006-ahmadmuzai-

8802104. 6Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia Telaah Syariah dan Qanuniah,

(Ciputat - Indonesia: Lentera Hati, 2015), hal.,121.

Page 13: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

4

Perkawinan Campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan

menurut Undang Undang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan (UU

Perkawinan) Perkawinan Campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum

terbukti bahwa syarat syarat perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang

berlaku bagi pihak masing masing telah dipenuhi, yang dibuktikan dengan

surat surat keterangan bahwa syarat syarat telah dipenuhi dari pihak yang

berwenang mencatatkan perkawinan menurut hukum yang berlaku bagi

masing masing pihak.7

Putusan pada Pengadilan Agama Cianjur Nomor

1172/Pdt.P/2016/PA.Cjr dilakukan istbat nikah campuran yang tidak sesuai

dengan UU Perkawinan nomor 1 tahun 1974. Didalam putusannya hakim

mengabulkan para pemohon dan menyatakan sah nya Perkawinan Campuran

tersebut. Padahal secara teori dan ketentuan hukum, Putusan hakim

bertentangan dengan UU perkawinan No 1 tahun 1974. Para pemohon ini

melakukan perkawinan campuran. Mengenai Perkawinan campuran terdapat

syarat yang harus dipenuhi, Para Pemohon tidak dapat memenuhi persyaratan

terkait administrasi untuk melakukan Perkawinan Campuran, diantaranya

adalah tidak dapat membuktikan Surat Keterangan Izin Menikah dari

Kedutaan Besar. Serta persyaratan substansi terkait dengan agama yakni

Sertifikat atau surat keterangan masuk Islam. Hal tersebut behubungan

dengan Pencatatan perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974

hanya diatur oleh satu ayat, tetapi persoalan pencatatan sangat dominan, hal

ini akan tampak menyangkut tata cara perkawinan itu sendiri yang

kesemuanya berhubungan dengan pencatatan. Terdapat sebagian pakar hukum

yang menempatkan pencatatan sebagai syarat administratif yang juga

menentukan sah tidaknya sebuah perkawinan.

Pada Putusan ini Hakim Pengadilan Agama Cianjur dalam penetapan

Isbat Nikah Perkawinan Campuran para Majlis Hakim menggunakan metode

pendekatan yuridis dengan berdasar kepada Kompilasi Hukum Islam dan

menggunakan metode penemuan hukum non yuridis dengan ijtihad dimana

Hakim menggunakan ijtihad yang sudah diterapkan di Pengadilan Agama

7 http:// Www.Hukumonline.com diakses pada pukul 03:04 tanggal 16 April 2018.

Page 14: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

5

Cianjur yang menggunakan metode Maslahah yaitu upaya untuk menerapkan

hukum yang digali dari nas (Alquran dan hadis Rasulullah SAW) ke objek

hukum.

Berkaitan dengan konsep filsafat keadilan. kepastian dan kemanfaatan

hukum, dengan sendirinya dapat dijadikan indikator mutu (kualitas) putusan,

termasuk didalamnya adalah putusan hakim8 maka dari itu penulis melihat

bahwa Putusan harus mengandung prinsip rasio decidendi, yaitu agar putusan

dihormati dan dihargai oleh masyarakat, terutama para pencari keadilan. Maka

putusan yang dijatuhkan oleh hakim harus mengandung pertimbangan hukum

yang berkeadilan berdasarkan ketuhanan.

Seiring dengan perkembangan zaman Undang-Undang mulai

menampakkan kelemahannnya. Pada dasarnya UU No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan merupakan sumber hukum materiil dalam lingkungan peradilan.

Namun saat ini dalam perkara peradilan tidak sepenuhnya merujuk pada UU

tersebut. Sebagai contoh dalam masalah Isbat Nikah dalam Kompilasi Hukum

Islam (KHI) dalam pasal 7 (ayat 3d) dijelaskan bahwa Isbat nikah yang

diajukan ke Pengadilan.Undang-undang No. 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat (1)

dan (2) tersebut mempunyai makna bahwa sesungguhnya setelah terbitnya UU

No. 1 Tahun 1974 tidak ada lagi pernikahan yang tidak dicatatkan di Kantor

Urusan Agama (KUA). Hal tersebut juga sebagai penertiban pernikahan,

dengan tidak dicatatkannya sebuah pernikahan akan menimbulkan dampak di

masyarakat.9

Kemudian kemunculan pasal 7 ayat 3 (e) dalam Kompilasi Hukum

Islam tampaknya memberikan celah hukum sehingga seorang hakim

mempunyai pertimbangan khusus dalam mengabulkan Perkara Isbat nikah

dimana dalam pasal tersebut dijelaskan : “Perkawinan yang dilakukan oleh

mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-undang

No. 1 Tahun 1974”.

Maka dari itu dirasa perlu untuk meneliti lebih jauh tentang analisa

pertimbangan yang digunakan oleh Hakim dalam mengeluarkan produk

8Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000)., hal.,9.

9Hidayatullah, Penetapan Isbat Nikah Pernikahan Campuran, Skripsi UIN Malang, 2013

Page 15: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

6

hukum (putusan) tersebut, apakah memang menjadi solusi dan memberikan

keadilan hukum, bagi para pemohon yang meminta Majelis Hakim untuk

mengesahkan status hukum perkawinan nya tersebut.

Hal ini yang membuat penulis tertarik untuk menganalisis putusan

hakim Pengadilan Agama Cianjur tersebut dalam bentuk Skripsi dengan

Judul:

“PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN

PERSPEKTIF MASLAHAH DAN HIERARKI PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN (STUDI KASUS ATAS PUTUSAN

NOMOR 1172/Pdt.P/2016/PA.Cjr).”

B. Identifikasi, Pembatasan dan Rumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang masalah yang telah penulis paparkan, terdapat

beberapa masalah dalam penelitian ini yang dapat diidentifikasi. Antara

lain :

a. Pencatatan Perkawinan

b. Perkawinan Campuran beda kewarganegaraan

c. Isbat nikah perkawinan campuran

d. Ketentuan Kekuasaan kehakiman

e. Ijtihad Hukum oleh Hakim

f. Penemuan Hukum oleh Hakim

g. Keadilan Hukum oleh Hakim

h. Hierarki Peraturan Perundang-Undangan

2. Pembatasan Masalah

Untuk mempermudah pembahasan dalam skripsi ini maka penulis

membatasi masalah yang akan dibahas sehingga tidak menimbulkan

masalah baru secara meluas, maka penulis membatasi pembahasan ini

pada masalah Penetapan Isbat Nikah Perkawinan Campuran Perspektif

Page 16: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

7

Maslahat dan Hierarki Peraturan Perundang Undangan (Studi Kasus atas

Putusan nomor 1172/Pdt.P/2016/PA.Cjr) Pengadilan Agama Cianjur.

3. Rumusan Masalah

Menurut Pasal 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dijelaskan

bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-

masing agama dan kepercayaannya itu, dan tiap-tiap perkawinan dicatat

menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut

Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 7 (ayat 3d) dinyatakan bahwa isbat

nikah dapat diajukan bagi mereka yang melakukan pernikahan sebelum

diberlakukannya UU No. 1 Tahun 1974. Pada kenyataannya masih ada

penetapan pengadilan tentang isbat nikah terhadap perkawinan yang

dilaksanakan setelah diberlakukannya UU No. 1 Tahun 1974, termasuk

perkawinan campuran seperti yang tertuang dalam penetapan nomor

1172/Pdt.P/2016/PA.Cjr.

Berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah, maka penulis

merumuskan masalah pokok penelitian ini untuk menjawab bagaimana

masalah-masalah tersebut, terlebih dahulu akan dijawab pertanyaan-

pertanyaan yang lebih spesifik mengenai masalah pokok. Sub-sub

pertanyaan-pertanyaan itu sebagai berikut :

a. Bagaimana Penetapan Isbat Nikah Perkawinan Campuran Perspektif

Maslahat dan Hierarki Peraturan Perundang Undangan (Studi Kasus

atas Putusan nomor 1172/Pdt.P/2016/PA.Cjr) Pengadilan Agama

Cianjur.?

b. Bagaimana peran hakim dalam ijtihad hukum demi tercapainya

keadilan hukum Perspektif metode Maslahah dan Hierarki Peraturan

Perundang Undangan ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah menjawab masalah yang berkaitan dengan isi

pembahasan tersebut adalah sebagai berikut :

Page 17: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

8

a. Untuk mengetahui Penetapan Isbat Nikah Perkawinan Campuran

Perspektif Maslahat dan Hierarki Peraturan Perundang Undangan

(Studi Kasus atas Putusan nomor 1172/Pdt.P/2016/PA.Cjr) Pengadilan

Agama Cianjur.

b. Untuk mengetahui peran hakim dalam ijtihad hukum demi tercapainya

keadilan hukum Perspektif metode Maslahah dan Hierarki Peraturan

Perundang Undangan.

Penelitian ini bertujuan untuk memuaskan rasa penasaran peneliti

tentang apa yang menjadi landasan hukum bagi para hakim yang

mengabulkan perkara isbat nikah walaupun pernikahan tersebut terjadi

setelah terbitnya UU No. 1 Tahun 1974, serta dampak yang terjadi akibat

pengabulan isbat nikah yang terjadi setelah terbitnya UU No. 1 Tahun

1974, dan solusi yang ditawarkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Agama

Cianjur dalam menyelesaikan permasalahan tersebut.

Tujuan Penelitian ini untuk mendapatkan suatu rumusan hasil dari

suatu penelitian melalui proses mencari, menemukan, mengembangkan,

serta menguji suatu pengetahuan. Selain itu, penelitian digunakan untuk

memecahkan atau menyelesaikan suatu permasalahan yang ada. laporan

penelitian dalam bentuk skripsi ini juga sebagai salah satu persyaratan

yang harus dipenuhi untuk mendapat gelar Sarjana Hukum Strata I

Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta.

2. Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sekurang-kurangnya

untuk:

a. Manfaat teoritis, sebagai sumbangsih ilmu pengetahuan yang

dharapkan memberikan kontribusi pemikiran pada dunia akademik dan

hukum di masyarakat.

b. Manfaat praktis, diharapkan hasil penelitian ini bisa memberikan

penjelasan yang lengkap mengenai permasalahan contra legem hakim

pada perkawinan campuran.

Page 18: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

9

D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Sejauh Penelusuran yang sudah penulis lakukan ada beberapa penelitian

yang sudah membahas terkait Penetapan Isbat Nikah Perkawinan Campuran

diantaranya adalah :

1. Skripsi M. Zaky Ahla Firdausi UIN Syarif Hidayatullah yang berjudul

“Penetapan Isbat Nikah Pernikahan Campuran (Analisis Penetapan

Pengadilan Agama Tigaraksa Nomor: 0044/Pdt.P/2014/PA.Tgrs.)”.

Rumusan masalah skripsi ini Membahas tentang Bagaimana Pandangan

Hakim Pengadilan Agama Tigaraksa dalam perkara isbat nikah

perkawinan campuran setelah terbitnya UU No.1 Tahun 1974, kemudian

membahas proses pengajuan Isbat Nikah bagi Perkawinan Campuran di

Pengadilan Agama Tigaraksa. Penelitian yang digunakan adalah penelitian

Kualitatif yaitu penelitian yang menghasilkan prosedur analisis yang tidak

menggunakan prosedur analisis statistik atau cara kuantifikasi lainnya.

Skripsi ini berfokus pada Majelis Hakim yang mendasarkan

pertimbangannya pada kaidah-kaidah fiqhiyyah yaitu Kitab Qowaid Al-

Kulliyah al Fiqhiyah.

2. Skripsi Hidayatullah UIN Maulana Malik Ibrahim dengan judul

“Penetapan Hakim dalam Isbat Nikah antara Warga Negara Asing dan

Warga Negara Indonesia Studi Kasus atas Perkara NO: 67/ Pdt.P/ 2010/

PA.PAS DI Pengadilan Agama Pasuruan”. Menjelaskan Bagaimana

Penetapan Hakim dalam Isbat Nikah antara Warga Negara Indonesia dan

Warga Negara Asing di Pengadilan Agama Pasuruan. Kemudian

Bagaimana kedudukan hukum atau legal standing hakim menggunakan

metode ijtihad dalam memutuskan Isbat Nikah antara Warga Negara

Indonesia dan Warga Negara Asing. Menggunakan metode penelitian

penelitian hukum empiris atau penelitian lapangan (field research) yang

bertujuan mengetahui ijtihad Hakim dalam pemutusan Isbat Nikah

Pengadilan Agama Pasuruan. Skrispi ini berfokus pada pertimbangan

Masjelis Hakim yang menggunakan metode Ijtihad Tatbiqi untuk

menjatuhkan Putusan tersebut.

Page 19: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

10

Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan, ada beberapa karya ilmiah

yang secara spesifik serumpun dengan judul yang diangkat penulis. Biarpun

obyek kajiannya sama, namun masih terdapat perbedaan yang mendasar

diantaranya rumusan masalah dan studi kasus yang jelas berbeda dengan

penelitian ini, penelitian ini lebih terfokus pada metode Maslahah dan

menambahkan pandangan Hierarki Peraturan Perundang Undangan Indonesia

terhadap Penetapan Isbat Nikah Perkawinan Campuran, di mana Perkawinan

Campuran di Indonesia semakin sering terjadi karena arus Globalisasi,

Ekonomi, dan lain sebagainya.

Untuk itu penulis berkeinginan meneliti masalah ini dalam bentuk

skripsi sebagai pelengkap karya ilmiah untuk siapa saja yang membutuhkan.

E. Metode Penelitian

Dalam menyusun penulisan skripsi ini, penulis akan menggunakan

beberapa metode, antara lain:

Metode analisis data yang digunakan adalah content analysis atau

analisis isi, yakni pengolahan data dengan cara pemilahan tersendiri berkaitan

dengan pembahasan dari beberapa gagasan atau pemikiran para tokoh yang

kemudian dideskripsikan, dibahas dan dikritik. Selanjutnya dikategorisasikan

(dikelompokkan) dengan data yang sejenis, dan dianalisa isinya secara kritis

guna mendapatkan formulasi yang kongkrit dan memadai, sehingga pada

akhirnya dijadikan sebagai langkah dalam mengambil kesimpulan sebagai

jawaban dari rumusan masalah yang ada.10

1. Pendekatan Penelitian

Adapun metode pendekatan yang peneliti gunakan dalam

penelitian ini, yaitu pendekatan perundang-undangan (statute approach)

adalah suatu pendekatan yang dilakukan terhadap berbagai aturan hukum

yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.11

Kemudian menggunakan

Pendekatan Kasus (case approach) dengan cara melakukan telaah

10

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Rosdakarya, 2001),

hal.,163. 11

Peter Mahmud Marzuki Penelitian Hukum, Cet ke IV, (Jakarta: Kencana, 2008), hal.,137.

Page 20: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

11

terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi dan telah

menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang

tetap. Selanjutnya menggunakan pendekatan konseptual (conseptual

approach) yaitu menggunakan pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin

yang berkembang dalam ilmu hukum, dengan mempelajari hal tersebut,

dari itu peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian

hukum, konsep hukum dan asas hukum yang relevan dengan isu hukum

yang dihadapi.

2. Jenis Penelitian

Adapun Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif, yaitu,

penelitian yang menghasilkan prosedur analisis yang tidak menggunakan

prosedur analisis statistik atau cara kuantifikasi lainnya.12

Maka dalam

penulisan skripsi ini, penulis menggunakan penelitian pustaka (library

research) dan deskriftif analisis yakni menggambarkan contra legem pada

isbat nikah perkawinan campuran pada putusan nomor

1172.Pdt.P/2016/PA.Cjr.

3. Data Penelitian

Dalam penelitian kepustakaan digunakan data sekunder berupa

bahan hukum yang terdiri dari bahan hukum primer yang berupa

perundang-undangan, bahan hukum sekunder yang berupa buku-buku,

jurnal-jurnal hukum, kamus-kamus hukum, termasuk data data atau

dokumen-dokumen dari internet yang berkaitan dengan pembahasan

dalam penelitian ini.

4. Sumber Data

Sumber data adalah segala sesusatu yang menjadi sumber dan

rujukan dalam penelitian. Adapun sumber dalam penelitian ini peneliti

bagi ke dalam dua jenis data. Data yang diperlukan dalam penelitian ini

terdiri dari data primer dan data sekunder, yaitu:

12

Lexy. J. Meleong, Metode Penelitian Kualitatif,, hal.,6.

Page 21: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

12

a. Sumber data primer yaitu data yang didapat dari bahan-bahan yang

diperlukan. Dan disebut juga bahan-bahan hukum yang mengikat.13

Dalam penelitian ini untuk mendapatkan sejumlah informasi berkaitan

dengan penelitian, yaitu:

1) Salinan putusan pengadilan agama Cianjur putusan nomor

1172.Pdt.P/2016/PA.Cjr

2) Undang-Undang Republik Indonesia No 1 tahun 1974 tentang

Perkawinan

3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tetang

Kekuasaan Kehakiman

4) Permenag Nomor 3 Tahun 1975

5) Kompilasi Hukum Islam

b. Sumber data sekunder yaitu data yang diperoleh dengan cara

mengadakan studi kepustakaan atas dokumen dokumen yang

berhubungan dengan masalah penelitian ini, isu- isu yang berkaitan

dengan masalah ini. Bahan-bahan tersebut digunakan untuk

mendukung, membantu, melengkapi dan membahas masalah masalah

yang timbul dalam penelitian ini.

5. Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penulisa skripsi ini dilakukan

dengan cara sebagai berikut :

a. Menganalisis putusan Pengadilan Agama Cianjur putusan nomor

1172.Pdt.P/2016/PA.Cjr

b. Interview atau wawancara dengan mengumpulkan data dari responden

yang di pilih yaitu Hakim Pengadilan Agama Cianjur yang menangani

masalah ini.

c. Subyek penelitian yang akan dijadikan sebagai bahan analisis dalam

penelitian ini adalah Putusan Pengadilan Agama Cianjur Putusan

Nomor 1172.Pdt.P/2016/PA.Cjr, Kitab Undang-Undang Hukum

13

Soejono Sukanto dan Sri Mudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: IND HILLCO.

2001), hal,.13.

Page 22: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

13

Perdata, wawancara atau interview dari responden yaitu Hakim

Pengadilan Agama Cianjur yang menangani masalah ini.

d. Teknik Pengumpulan Data dengan mengumpulkan data-data yang

diperoleh dari pendekatan yang dilakukan oleh peneliti yaitu

pendekatan Perundang-Undangan, Putusan Pengadilan Dan kemudian

dianalisis untuk mendapatkan titik terang dan jawaban terhadap

permasalahan yang dikaji.

e. Metode Analisis Data melalui beberapa proses pengumpulan data yang

dilakukan dengan macam-macam metode yang dipilih, maka data yang

sudah ada akan diolah dan dianalisa agar mendapatkan hasil yang

bermanfaat dari penelitian ini. pengolahan data yang dilakukan dengan

mengadakan studi degan teori kenyataan yang ada di tempat penelitian.

f. Pedoman Penulisan Skripsi ini penulis merujuk pada buku Pedoman

Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017.

F. Sistematika Penulisan

Sebagaimana layaknya satu karya ilmiah hasil penelitian dalam

bentuk skripsi maka uraian skripsi ini dimulai dengan menjelaskan prosedur

standar suatu penelitian dalam bentuk skripsi karena itu penulis memulai

uraian ini dengan menjelaskan latar belakang masalah mengapa penelitian ini

dilakukan kemudian identifikasi, pembatasan dan perumusan masalah.

Disamping itu, tentu saja penulis juga menjelaskan apa tujuan dan manfaat

penelitian, serta menentukan metode apa yang digunakan untuk penelitian.

Selanjutnya untuk memudahkan penyusunan skripsi ini dan untuk

memberikan gambaran secara rinci mengenai pokok pembahasan, penulis

menyusun skripsi ini dalam beberapa bab dengan sistematika sebagai berikut

Bab I : Merupakan pendahuluan yang meliputi latar belakang

masalah, identifikasi masalah, batasan masalah dan rumusan masalah, tujuan

penelitian dan manfaat penelitian, metode penulisan dan teknik penulisan,

sistematika penulisan, daftar pustaka dan review studi terdahulu.

Page 23: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

14

Bab II : Membahas tentang Tinjauan Umum Isbat Nikah dan

Perkawinan campuran. Bab ini, akan diuraikan menjadi lima pokok

pembahasan terkait pengertian Isbat Nikah dan dasar hukumnya, Perkawinan

Campuran, Sistem Administrasi Perkawinan Campuran, Dasar Hukum

Perkawinan Campuran dan Akibat Hukum Perkawinan Campuran.

Bab III : Membahas kerangka teori metode Maslahah, Hierarki

Peraturan Perundang-Undangan dan Kekuasaan Kehakiman pada bab ini,

akan diuraikan 3 pokok pembahasan terkait penjelasan Maslahah, penjelasan

Hierarki Peraturan Perundang-Undangan Indonesia dan Kekuasaan

Kehakiman.

Bab IV : Pembahasan mengenai Analisa Putusan Penetapan Isbat

Nikah Perkawinan Campuran, Bab ini mencoba menguraikan bentuk Putusan

Penetapan Isbat Nikah Perkawinan Campuran, Ketentuan Kekuasaan

Kehakiman dalam bentuk Putusan pada Perkawinan Campuran, Mencakup

analisis bentuk Putusan dan ketentuan Kekuasaan Kehakiman.

Bab V : Merupakan Penutup bagian akhir penulisan skripsi ini, yang

berisi tentang kesimpulan yang menjawab rumusan masalah dalam penelitian

ini dan berisikan saran terhadap penelitian yang berjudul : “PENETAPAN

ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN PERSPEKTIF MASLAHAH

DAN HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN (STUDI

KASUS ATAS PUTUSAN NOMOR 1172/Pdt.P/2016/PA.Cjr).”

Page 24: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

15

BAB II

TINJAUAN UMUM ISBAT NIKAH DAN PERKAWINAN CAMPURAN

A. Pengertian dan Dasar Hukum Isbat Nikah

Isbat berasal dari kosa kata Bahasa Arab yaitu atsbata-yutsbitu-isbatan

yang artinya adalah penguatan. Sedangkan di dalam kamus ilmiah popular

kata Isbat diartikan sebagai memutus atau menetapkan1. Sedangkan menurut

istilah isbat adalah sebuah upaya untuk melangsungkan suatu pernikahan yang

belum tercatat di Kantor Urusan Agama serta belum dicatatkan secara negara

di kantor pencatatan sipil, dan kemudian dilaksanakan isbat di kantor

Pengadilan Agama di daerah setempat.

Adapun frasa Isbat Nikah memiliki arti sebagai suatu penetapan

kembali pernikahan yang sebelumnya telah dilakukan namun tidak memenuhi

syarat administratif negara, yaitu pencatatan nikah. Dalam Kamus Besar

Bahasa Indonesia, isbat nerupakan penetapan, penyungguhan, dan penentuan.

Adapun isbat nikah adalah penetapan tentang kebenaran (keabsahan) nikah2

Isbat Nikah juga mengandung arti suatu penetapan nikah melalui

permohonan karena pasangan suami-istri sebelumnya tidak dapat

membuktikan perkawinananya melalui akta nikah.3 Ahmad Rafiq

menyebutkan bahwa nikah yang tidak dapat dibuktikan dengan akta maka

harus melakukan permohonan penetapan kembali pernikahan yang telah

dilangsungkan.

Isbat (penetapan) merupakan produk Pengadilan Agama, dalam arti

bukan pengadilan yang sesungguhnya dan diistilahkan dengan jurisdiction

voluntair. Dikatakan bukan pengadilan yang sesungguhnya, karena di dalam

1Pius Partanto dan Dahlan Al-barry, Kamus Ilmiah Popular, (Surabaya: Akola, 1994),

hal.,273. 2Tim Pustaka Phoenix, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pustaka Phoenix, 2012),

Cet ke VI, hal.,190. 3Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014), Cet ke

6, hal.,117.

Page 25: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

16

perkara ini hanya ada pemohon, yang memohon untuk ditetapkan tentang

sesuatu yaitu penetapan nikah.4

Isbat Nikah mengandung arti suatu penetapan perkara nikah kepada

Pengadilan Agama melalui permohonan pasangan suami-istri yang

sebelumnya tidak dapat membuktikan perkawinannya melalui akta nikah5.

Isbat nikah juga diartikan sebagai suatu permohonan pengesahan pernikahan

yang diajukan ke Pengadilan Agama untuk dinyatakan sahnya pernikahan

yang dilangsungkan menurut syariat agama Islam dan mendapat kepastian

serta kekuatan hukum6. Proses isbat nikah ini kemudian menghasilkan satu

produk yaitu buku nikah (akta) yang memiliki fungsi sebagai akta autentik

dalam pembuktian kepastian pernikahan serta kekuatan hukum bagi orang-

orang yang menikah. Dengan adanya akta nikah maka akan mempermudah

suatu pasangan dalam memperjuangkan hak-haknya jika terjadi perceraian,

serta memudahkan dalam pembuatan akta kelahiran anak7.

Isbat nikah pada mulanya merupakan solusi atau diberlakukannya

Undang-Undang perkawinan No 1 tahun 1974 pasal 2 ayat (2) yang

mengharuskan pencatatan perkawinan, karena sebelum itu, banyak

perkawinan yang memang tidak dicatatkan, akan tetapi dapat dimintakan

Istbat nikahnya kepada Pengadilan Agama. Kewenangan mengenai perkara

isbat nikah bagi Pengadilan Agama adalah diperuntukan bagi mereka yang

melakukan perkawinan di bawah tangan sebelum berlakunya Undang-Undang

nomor 1 tahun 1974. Merujuk pada pasal 64 yang berbunyi :

“Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan

perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang ini berlaku yang dijalankan

menurut peraturan-peraturan lama, adalah sah”

4Mukti Arto, Praktek Perdata pada Pengadilan Agama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996),

hal.,41. 5Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, hal.,117.

6Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA), Panduan Pengajuan Isbat Nikah,

(Jakarta: Australia Indonesia partnership, 2012), hal.,2. 7Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA), Panduan Pengajuan Isbat Nikah,

hal.,2.

Page 26: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

17

Pada dasarnya kewenangan perkara isbat nikah bagi Pengadilan

Agama dalam sejarahnya adalah diperuntukan bagi mereka yang melakukan

perkawinan di bawah tangan sebelum diberlakukannya Undang-Undang

Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9

tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan. Namun

kewenangan ini berkembang dan diperluas dengan dipakainya ketentuan

Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dijelaskan dalam paal 3 kompilasi hukum

islam bahwa halnya perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan

rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah.8

Landasan hukum isbat nikah ini prinsipnya tertuang dalam beberapa

peraturan. Di antaranya dalam kompilasi hukum islam, pasal 7 disebutkan :

Ayat (2) : Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah,

dapat diajukan Isbat Nikahnya ke Pengadilan Agama Ayat (3) : Isbat Nikah

yang dapat di ajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal yang

berkenaan dengan :

a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian

b. Hilangnya akta nikah

c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan

d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang No.

1 tahun 1974

e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan

perkawinan menurut Undang-Undang No 1 tahun 1974

Penjelasan Pasal 7 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam tersebut telah

memberikan kompetensi absolut yang sangat luas tentang isbat nikah ini tanpa

batasan dan pengecualian, walaupun dalam penjelasan pasal-pasalnya hanya

dijelaskan bahwa pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-Undang

nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

8Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika, Presindo, 2007),

hal.,114.

Page 27: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

18

Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang nomor 14 tahun 1970 tentang

kekuasaan kehakiman beserta penjelasannya menentukan bahwa adanya

kewenangan suatu peradilan untuk menyelesaikan perkara yang tidak

mengandung unsur sengketa (voluntair) adalah dengan syarat apabila

dikehendaki (adanya ketentuan/penunjukan) oleh undang-undang, salah

satunya yaitu perkara isbat nikah.

Mengenai isbat nikah ini, pasal 39 ayat (4) PERMENAG nomor 3

tahun 1975 telah menentukan bahwa jika Kantor Urusan Agama tidak bisa

membuatkan duplikat akta nikah karena catatannya telah rusak atau hilang

atau karena sebab lain, maka untuk menentukan adanya nikah, talak, cerai,

atau rujuk, harus ditentukan dengan keputusan (dalam arti penetapan)

Pengadilan Agama. Dengan demikian mengenai kompetensi absolut tentang

isbat nikah sebagai perkara voluntair ini tidak bisa dianologikan dengan

perkara pembatalan perkawinan, perceraian, atau poligami. Prinsipnya

pengadilan tidak mencari-cari perkara, tetapi perkara itu telah menjadi

kewenangannya karena telah diberikan oleh undang-undang tidak memberikan

kewenangan maka pengadilan tidak berwenang. Apabila perkawinan di bawah

tangan setelah berlakunya Undang-Undang perkawinan, diberikan tempat

untuk isbat nikah, maka secara sosiologis pastilah akan mendorong terjadinya

perkawinan bawah tangan secara massif.9

B. Pengertian Perkawinan Campuran

Perkawinan campuran telah merambah seluruh pelosok Tanah Air dan

kelas masyarakat. Globalisasi Informasi, Ekonomi, Pendidikan, dan

Transportasi telah menggugurkan stigma bahwa kawin campur adalah

perkawinan antara ekspatriat kaya dan orang Indonesia. Menurut survei yang

dilakukan oleh Mixed Couple Club, Jalur perkenalan yang membawa

pasangan berbeda kewarganegaraan menikah antara lain adalah perkenalan

melalui internet, Kemudian bekas teman kerja/bisnis, Berkenalan saat berlibur,

9Wasit Aulawi, Pernikahan Harus Melibatkan Orang Banyak, dalam Dian Syafrianto,

Pelaksanaan Isbat Nikah di Pengadilan Agama, (dimuat dalam

http://lib.unnes.ac.id/18209/1/34550407114.pdf)., Diakses pada tanggal 24 September 2018, 20:30

Page 28: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

19

Bekas teman sekolah/kuliah, dan sahabat pena. Perkawinan campur juga

terjadi pada tenaga kerja Indonesia dengan tenaga kerja dari negara lain.

Dengan banyak terjadinya perkawinan campur di Indonesia sudah seharusnya

perlindungan hukum dalam perkawinan campuran ini diakomodir dengan baik

dalam perundang-undangan di Indonesia.10

Perkawinan Campuran “sebagaimana termaktub dalam Undang-

Undang Republik Indonesia nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan tepat

nya dalam Bab XII (Ketentuan-ketentuan Lain) bagian ketiga yang secara

khusus mencantumkan dan mengatur “Perkawinan campuran” dalam enam

pasal (pasal 57-62) Pasal 57 : Yang dimaksud dengan perkawinan campuran

dalam Undang undang ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia

tunduk pada Hukum yang berlainan, karena perbedaan Kewarganegaraan dan

salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Penjelasan Tunduk pada

Hukum yang berkelainan, itu dapat terjadi karena disebabkan oleh perbedaan

Kewarganegaraannya, perbedaan agamanya atau perbedaan asalnya

(keturunan). Perbedaan Hukum karena kewarganegaraan, misalnya

perkawinan antara orang Indonesia Kristen dengan orang Eropa Kristen.

Perbedaan karena agama, misalnya perkawinan antara orang Indonesia Islam

dengan orang Cina Islam dan lain sebagainya.

Dari definisi Pasal 57 Undang-Undang Perkawinan ini dapat diuraikan

unsur-unsur perkawinan campuran itu sebagai berikut :

1. Perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita

2. Di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan

3. Karena perbedaan Kewarganegaraan

4. Salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia

Penjelasan dari uraian yang pertama merujuk kepada asas monogami

yang dianut dalam Undang-undang perkawinan tampak jelas dalam Pasal 3

ayat (1) Undang-undang Perkawinan. Uraian yang kedua merujuk pada

perbedaan hukum yang berlaku bagi pria dan bagi wanita yang

melangsungkan perkawinan tersebut. Tetapi perbedaan hukum tersebut bukan

10

http://www.mixedcouple.com/articles/mod.php diakses pada 10 januari 2019, pukul 21:20.

Page 29: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

20

karena perbedaan Agama, suku bangsa, golongan di Indonesia melainkan

karena uraian ketiga yaitu perbedaan kewarganegaraan. Perbedaan

kewarganegaraan ini pun bukan kewarganegaran asing semuanya, melainkan

uraian keempat menyatakan bahwa salah satu kewarganegaraan ini adalah

warga negara Indonesia11

Perbedaan hukum yang ada telah menyebabkan beberapa macam

perkawinan campuran, yaitu :12

1. Perkawinan Campuran Antar Golongan (Intergentiel)

Menerangkan bahwa hukum mana atau hukum apa yang berlaku,

kalau timbul perkawinan antara 2 orang yang masing-masing sama atau

berbeda kewarganegaraanya, yang tunduk kepada peraturan hukum yang

berlainan. Misalnya Warga negara Indonesia asal Eropa kawin dengan

orang Indonesia asli.

2. Perkawinan Campuran Antar Tempat (interlocal)

Mengatur hubungan hukum (perkawinan) antara orang-orang

Indonesia asli dari masing-masing lingkungan adat. Misalnya, orang

Sunda kawin dengan orang Minang.

3. Perkawinan Campuran Antar Agama

Mengatur hubungan hukum (perkawinan) antara 2 orang yang

masing masing tunduk kepada peraturan hukum agama yang berlainan.

Misalnya orang Islam dengan orang Hindu.

Dalam Rancangan Undang-Undang Perkawinan yang diajukan oleh

pemerintah kepada DPR untuk dibahas, termuat rancangan rumusan dan

ketentuan-ketentuan tentang perkawinan campuran yaitu pasal 64 yang

merumuskan pengertian perkawinan campuran dalam Undang-undang ini

ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang

berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak warga

negara Indonesia, Selanjutnya dirumuskan pasal 64 berbunyi “Dengan

11

Muhammad Abdul kadir, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,

1933), hal.,103. 12

Titik Triwulan Tutik, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara, (Jakarta: Prestasi Pustaka

Publiser, 2006), hal.,242.

Page 30: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

21

demikian di Indonesia hanya dikenal perkawinan campuran karena perbedaan

Kewarganegaraan” 13

Sebelum dikeluarkannya Undang-undang Perkawinan No 1 tahun 1974

di Indonesia telah ada 3 (tiga) Produk Legislatif mengenai atau berhubungan

dengan perkawinan campuran. Ketiga ketentuan-ketentuan perundang-

undangan itu adalah sebagai berikut :

1. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek)

2. Ordonasi Perkawinan Indonesia Kristen (HOCI) S.1933 Nomor 74.

3. Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling og de gemengde Huwelijike S.

1898 Nomor 158).

Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam ketiga produk Legislatif itu

setelah dikeluarkannya Undang-undang Perkawinan sebagaimana diketahui

antara lain yang merupakan prinsip umum dalam Perundang-undangan bahwa

peraturan Perundang-undangan yang setingkat derajatnya yang ditetapkan

kemudian, menghapuskan ketentuan-ketentuan yang berlawanan dalam

perundang-undangan sederajat yang mendahuluinya14

Menelaah definisi

“Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan yang

ada, paling tidak sebagaimana dikutipkan di atas, jelas tidak terbayangkan

untuk memaknai “Perkawinan Campuran” atau “Kawin Campur” dengan

maksud, sebagaimana yang lumrah terjadi pada beberapa tahun terakhir ini.

pasal 58 UU no 1 tahun 1974 yang sudah dikutipkan sebelum ini, dengan

tegas menyatakan bahwa “yang dimaksud dengan Perkawinan Campuran

dalam undang-undang ini ialah Perkawinan antara dua orang yang di

Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan

kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”,

sementara yang satunya lagi berkewarganegaraan asing (non –Indonesia).15

13

Ichtijanto, “Perkawinan Campuran dalam Negara Republik Indonesia “, Penerbit (Badan

Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Deparetemen Agama Republik Indonesia),. 2003.

14

M. Idris Romulyo Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Perdata Peradilan Agama

dan Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: IND.HILL-CO,1995), hal.,196. 15

Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia Telaah Syariah dan Qanuniah,

hal.,121.

Page 31: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

22

C. Pengaturan Perkawinan Campuran

Pengaturan mengenai perkawinan campuran pertama kali diatur dalam

Staatsblad Tahun 1898 No.158 yang dikenal dengan nama “Regeling Of De

Gemengde Huwelijken yang disingkat (GHR). Pengertian Perkawinan

campuran yang sudah termaktub pada Staatsblad dalam Artikel 1,

diterjemahkan oleh Sudargo Gautama sebagai perkawinan antara orang-orang

yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berbeda16 Pengertian demikian

mengandung arti yang sangat luas, apabila ternyata hukum yang berlaku untuk

orang-orang bersangkutan yang hendak menikah di Indonesia, maka mereka

dianggap akan melakukan perkawinan campuran, berarti termasuk orang-

orang yang berbeda kewarganegaraannya.17

Peraturan Perkawinan Campuran atau dalam bahasa aslinya Regeling

op de Gemengde Huwelijken (GHR) adalah produk hukum kolonial, yang

setelah kemerdekaan masih berlaku bagi bangsa Indonesia berdasarkan Pasal

II Aturan Peralihan UUD 1945. Peraturan ini dibuat untuk mengatasi

terjadinya banyak perkawinan antara orang-orang yang tunduk pada hukum-

hukum yang berlainan, seperti orang Indonesia asli dengan orang Cina atau

dengan Eropa, Orang Cina dengan orang Eropa, antara orang-orang Indonesia

tetapi berlainan agama ataupun berlainan asalnya. Peraturan ini mulai berlaku

pada tanggal 29 Desember 1898, termuat dalam Staatsblaad 1898 No.158, dan

telah mengalami beberapa perubahan atau penambahan18

.

Pasal 1 G.H.R. menjelaskan arti perkawinan campuran adalah:

“perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk kepada hukum-

hukum yang berlainan”. Definisi tersebut sangat luas jangkauan nya. tidak

membatasi arti perkawinan campuran pada perkawinan-perkawinan antar

warganegara Indonesia atau antar penduduk Indonesia dan dilaksanakan di

16

Sudargo Gautama, Himpunan Perundang-Undangan Hukum Perdata Internasional

Sedunia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996), hal.,10. 17

Sudargo Gautama, Aneka Masalah Dalam Praktek Pembaruan Hukum Di Indonesia,

hal.,226. 18

Hasbullah Bakri, Pengaturan Undang-undang Perkawinan Umat Islam, (Jakarta: Bulan

Bintang, 1970), hal,.30-31.; dan T.Jahfizham, Persentuhan Hukum di Indonesia dengan Hukum

Perkawinaan Islam, (Medan: Mestika, 1977), hal.,56.

Page 32: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

23

Indonesia, asalkan pihak-pihak yang melakukan perkawinan di Indonesia

tunduk pada hukum yang berlainan adalah perkawinan campuran.

Pasal 2 G.H.R menjelaskan tentang Hukum antar golongan di

Indonesia, karena didalam pasal 2 membahas asas persamarataan penghargaan

terhadap stelsel-stelsel hukum yang berlaku di Indonesia. Sebelum berlakunya

ketentuan Pasal 2 G.H.R tersebut, sikap pemerintah Hindia Belanda terhadap

stelsel-stelsel hukum yang berlaku di Indonesia tidaklah demikian, pemerintah

Hindia-Belanda pada waktu itu menyatakan bahwa stelsel hukum Eropa

mempunyai kedudukan lebih tinggi. Hal ini terbukti ketika di Indonesia

hendak dimulai dengan perundang-undangan yang baru tahun 1848, dengan

mencantumkan ketentuan yang menyatakan bahwa seorang bukan Eropa yang

hendak menikah dengan seorang Eropa harus tunduk terlebih dahulu pada

Hukum Perdata Eropa.19

Mengenai asas persamarataan dimuat dalam pasal 2

G.H.R, walaupun menurut Wertheim hanya sama sekali benar bila sesuatu

dipandang secara strict juridisch, asas ini perlu untuk mencapai suatu kesatuan

hukum dalam keluarga.

Undang-Undang Perkawinan memakai istilah “perkawinan campuran”

dalam Bab XII bagian ketiga, sebagaimana tertuang dalam pasal 57. Sesuai

dengan Undang-Undang 1945 (pembukaan alinea keempat, kebebasan

beragama tercantum pada dalam pasal 29 ayat (2). Hal ini menyebabkan

adanya pluralitas agama dan pluralitas hukum perkawinan, maka dari itu

perkawinan campuran disebabkan karena bertemunya dua atau lebih system

hukum perkawinan yang berlainan20

Adanya pluralitas pada hukum perkawinan pastinya menimbulkan

pluralitas pada hukum putusnya perkawinan, kemudian Pluralitas dalam

Peradilan, Pluralitas hukum mateeril berkembang menjadi Pluralitas hukum

19

Sudargo Gautama (Gouw Giok Siong), Hukum Antar Golongan, (Jakarta: Ichtiar Baru

Vanhore, 1980), hal.,128. 20

Ahmad Azhar Basyir, Kawin Campur, Adopsi Wasiat menurut Hukum Islam, (Bandung:

Al-Ma‟arif, 1972), hal.,82.

Page 33: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

24

formil, Pluralitas administrasi pelayanan kehidupan kekeluargaan dan instansi

pelayanan hukum dan penegakan hukum.21

Pengaturan Perkawinan Campuran diatur secara tersendiri dalam

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Terinci secara ekplisit sampai

pelaksanaan dan pencatatan serta akibat hukumnya tertulis pada Undang

Undang Pernikahan Tahun 1974. Dengan adanya pengaturan pelaksanaan

perkawinan campuran dalam Undang-Undang pernikahan, maka ketentuan

peraturan perkawinan campuran yang lama (GHR) dinyatakan sudah tidak

berlaku.

D. Sistem Administrasi Perkawinan Campuran

Sistem Administrasi perkawinan campuran merujuk kepada Undang-

Undang Perkawinan no 1 tahun 1974 dalam pasal 60 menjelaskan Apabila

perkawinan campuran itu dilangsungkan di Indonesia. Pasal 60 ayat 1

menyatakan: “Mengenai syarat-syarat perkawinan harus memenuhi syarat-

syarat perkawinan menurut hukum masing-masing pihak”. Pasal 60 ayat 2

menyatakan: “Pejabat yang berwenang memberikan keterangan tentang telah

dipenuhi syarat-syarat perkawinan menurut hukum masing-masing pihak ialah

pegawai pencatat menurut hukum masing-masing pihak”. Pasal 60 ayat 3

menyatakan: Apabila pegawai pencatat menolak memberikan surat

keterangan itu, yang berkepentingan itu mengajukan permohonan kepada

Pengadilan, dan pengadilan memberikan keputusannya. Jika keputusan

pengadilan itu menyatakan bahwa penolakkan itu tidak beralasan, maka

keputusan Pengadilan itu menjadi pengganti surat keterangan tersebut.

Dokumen dan persyaratan administrasi untuk melaksanakan pernikahan

campuran di Kantor Urusan Agama (bagi yang beragama Islam) adalah

sebagai berikut22

:

21

http/www.perkawinan-campuran.html.com diakses pada tanggal 2 Desember 2018, pukul

16:00 Wib. 22

http//www.Foreign Relationship Community / FRC

Page 34: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

25

No Calon Pengantin Warga Negara

Indonesia

Calon Pengantin Warga Negara

Asing

1. Surat pernyataan belum pernah menikah

(masih gadis/jejaka) di atas segel/materai

bernilai Rp.6000,- (enam ribu rupiah)

diketahui RT, RW dan Lurah setempat.

Perizinan dari kedutaan atau konsulat

perwakilan di Indonesia.

2. Surat pengantar dari RT-RW setempat. Fotokopi pasport yang masih

berlaku.

3. Surat Keterangan Nikah (N1, N2, N4)

dari Kelurahan/Desa tempat domisili.

Persetujuan kedua calon pegantin (N3).

Fotokopi VISA/KITAS yang masih

berlaku.

4. Surat Rekomendasi/Pindah Nikah

(dikenal juga sebagai Surat Numpang

Nikah) bagi yang bukan penduduk asli

daerah tersebut.

Surat tanda melapor diri (STMD)

dari kepolisian dan Surat Keterangan

dari Dinas Kependudukan dan

Catatan Sipil apabila yang

bersangkutan menetap di Indonesia.

5. Fotokopi KTP, KK/Keterangan Domisili,

Akta Kelahiran dan Ijazah, masing-

masing 2 lembar.

Fotokopi Akta Kelahiran.

6. Fotokopi keterangan vaksin/imunisasi TT

(Tetanus Toxoid) bagi wanita.

Akta Cerai bagi janda/duda cerai.

7. Akta Cerai Asli bagi janda/duda yang

sebelumnya bercerai hidup.

Pasfoto terpisah 2 x 3 dan 3 x 4

background biru, masing-masing 4

lembar.

8. Surat Keterangan atau Akta Kematian

suami/istri dan kutipan akta nikah

terdahulu bagi janda/duda karena

meninggal dunia.

Surat keterangan memeluk Agama

Islam bagi mualaf.

9. Pasfoto 2 x 3 dan 3 x 4 latar belakang

biru, masing-masing 4 lembar. Bagi

anggota TNI/Polri harus mengenakan

seragam kesatuan.

Taukil wali secara tertulis bagi wali

nikah (dari pihak perempuan) yang

tidak dapat menghadiri akad nikah.

10. Perizinan dari komandan (dari

kesatuannya) bagi anggota TNI /Polri.

11. Perizinan dari orangtua (N5) bagi calon

pengantin yang belum berusia 21 tahun.

12. Taukil wali secara tertulis dari KUA

setempat bagi wali nikah (dari pihak

perempuan) yang tidak dapat menghadiri

akad nikah.

13. Surat keterangan memeluk Agama Islam

bagi mualaf.

Page 35: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

26

Semua dokumen dalam bahasa asing harus diterjemahkan ke dalam

bahasa Indonesia (yang dilakukan oleh Penterjemah Tersumpah). Setiap

Negara memiliki aturan masing-masing dalam syarat dan ketentuan

administrasi warga negaranya dalam melakukan pernikahan di Indonesia.

Calon Pengantin yang berkewarganegaraan asing harap mencari informasi dan

melakukan pelaporan yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Kedua

calon Pengantin harus mendaftarkan diri ke KUA tempat akan

dilangsungkannya akad nikah selambatnya 10 (sepuluh) hari kerja dari waktu

melangsungkan Pernikahan.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,

memberikan suatu kehormatan tersendiri terhadap ketentuan hukum

perkawinan Islam, Kristen, Katolik , Hindu, Buddha, dan ketentuan hukum

perkawinan tersebut merupakan bagian integral dari hukum perkawinan

nasional. Karena dapat dikatakan bahwa, Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan ini merupakan suatu Undang-Undang unifikasi yang

unik, di mana mengakui adanya variasi hukum kepercayaan agamanya

masing-masing itu, yang ditegaskan dalam ketentuan angka 3 Penjelasan

Umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang

menyatakan23

: “Undang-Undang perkawinan ini telah menampung di

dalamnya unsur-unsur dan ketentuan hukum agamanya dan kepercayaannya

itu dari yang bersangkutan.”

Menurut Undang-Undang No.24 tahun 2013 pasal 1 ayat (1)

disebutkan bahwa Administrasi Kependudukan adalah kegiatan penataan,

penertiban dokumen dan data kependudukan melalui pendaftaran penduduk,

pencatatan sipil, pengelolaan informasi Administrasi Kependudukan serta

pendayagunaan hasilnya untuk pelayanan public dan pembangunan sector

lain. Didalam penjelasan atas undang-undang no. 24 tahun 2013 tentang

Administrasi Kependudukan, menjelaskan bahwa administrasi kependudukan

sebagai bagian dari penyelenggaraan administrasi negara agar tercapainya

23

Rahmadi Usman, Aspek- Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia,

(Jakarta: Sinar Grafika 2006), hal.,313.

Page 36: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

27

tujuan negara dalam menertibkan masyarakat. Administrasi kependudukan

diharapkan dapat memberikan perlindungan hukum atas setiap peristiwa

kependudukan yang dialami masyarakat dengan memberikan pelayanan dan

hak-hak yang sama kepada seluruh masyarakat.

Penataan serta Penertiban Administrasi Kependudukan ditujukan

untuk penyelenggaran kepentingan masyarakat dalam memperoleh hak-

haknya sebagai warga negara seperti program-program pemerintah dan

mewujudkan ketertiban pendudukan misalnya dengan memberikan Nomor

Induk Kependudukan (NIK), surat dan akta nikah sebagai bentuk pencatatan

pernikahan yang sah dan lain sebagainya. Dengan adanya prosedur ini,

pemerintah akan lebih dimudahkan dalam mengatur dan memberikan

pelayanan dalam bentuk program-program kerja yang dibuat aparatur

pemerintahan untuk warga negara misalnya dalam bidang hukum, pendidikan,

kesehatan, dan sebagainya yang bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat.

Untuk melaksanakan perkawinan campuran harus memenuhi syarat

materil dan syarat formil serta ada beberapa tahapan untuk melakukan

prosedur perkawinan campuran mulai dari pemberitahuan hingga legalisasi

perkawinan dalam bentuk akta perkawinan. Prosedur maupun syarat syarat

perkawinan telah diatur didalam undang-undang. Misalnya salah satu

syaratnya ialah tidak adanya paksaan, harus mendapat izin dari kedua

orangtua maupun wali untuk yang belum berumur 21 tahun, dan semua

persyaratan yang sudah diatur dalam pasal 6 Undang-undang perkawinan.

Beberapa tahap dalam melakukan perkawinan campuran adalah sebagai

berikut :

1. Tahap Pertama

Pertama-tama yang bersangkutan harus datang ke kantor catatan

sipil untuk memberitahu apabila ingin melangsungkan perkawinan,

kenudian petugas akan memberikan formulir dan berkas persyaratan yang

harus diisi dan dipenuhi.

Page 37: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

28

2. Tahap Kedua

Tahap selanjutnya ialah petugas kemudian menempelkan

pengumuman akan diselenggarakannya pernikahan apabila telah menerima

berkas dari yang bersangkutan. Pengumuman akan ditempel selama 10

hari dengan tujuan untuk menghindari konflik apabila ada pihak-pihak

yang tidak setuju akan diselenggarakannya perkawinan tersebut.

3. Tahap Ketiga

Tahap selanjutnya ialah pelaksanaan perkawinan yang menurut

undang-undang perkawinan harus dilaksanakan menurut agama dan

kepercayaannya masing-masing. Peranan ini diambil oleh hukum adat

setempat.

4. Tahap keempat

Ujung dari alur prosedur perkawinan adalah dibuatnya akta

perkawinan oleh petugas catatan sipil setempat dan ditandatangani oleh

pegawai yang bertugas sebagai pencatat perkawinan dan yang

bersangkutan. Setelah dibuatnya akta maka perkawinan tersebut sudah sah

dimata hukum dan agama. Sehingga secara langsung perkawinan tersebut

telah dilindungi oleh hukum yang berlaku di Indonesia.

5. Tahap Kelima

Apabila kutipan akta perkawinan sudah didapat, bagi perkawinan

campuran (perkawinan beda negara) kutipan akta perkawinan tersebut

harus dilegalisir di Departemen Hukum dan HAM dan Departemen Luar

Negeri, kemudian akta juga harus didaftarkan di negara asal suami atau

istri yang berstatus WNA (warga negara asing). Apabila sudah dilegalisir

maka perkawinan tersebut artinya sudah sah dimata hukum internasional

dan dimata hukum Indonesia. 24

Prosedur Perkawinan Campuran yang dilakukan di luar Indonesia

pencatatan perkawinan yang dilakukan di luar negeri diatur dalam

Undang-undang nomor 24 tahun 2013 dalam pasal 37 ayat 4. Pasal

tersebut berbunyi perkawinan yang telah dilakukan di luar wilayah

24

http//www.media.neliti.com diakses pada 23 desember 2018, pukul 20:38 Wib.

Page 38: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

29

Indonesia wajib dilakukannya pencatatan kembali di Indonesia, paling

lambat 30 hari setelah kembali atau tiba di Indonesia.

Selain itu pasal 4 undang-undang nomor 23 tahun 2006 tentang

administrasi kependudukan, mengatur mengenai kewajiban bagi warga Negara

Indonesia yang berada diluar negeri, bahwa “warga negara Indonesia yang

berada di luar wilayah republik Indonesia wajib melaporkan peristiwa

kependudukan dan peristiwa penting yang dialaminya kepada intansi

pelalaksana pencatatan sipil negara setempat atau kepada perwakilan Republik

Indonesia dengan memenuhi persyaratan yang diperlukan dalam pendaftaran

penduduk dan pencatatan sipil. Peristiwa penting yang dimaksudkan dalam

Undang-undang nomor 23 tahun 2006 tentang administrasi kependudukan pada

pasal 1 butir (17) ketentuan umum yaitu “kejadian yang dialami seseorang

meliputi kelahiran, kematian, lahir mati, perkawinan, perceraian, pengakuan

anak, pengesahan anak, pengangkatan anak, perubahan nama dan perubahan

status kenegaraan” 25

E. Akibat Hukum Perkawinan Campuran

Meningkatnya perkawinan campuran di berbagai Negara telah

melahirkan persoalan hukum, yaitu masalah kewarganegaraan pelaku

perkawinan campuran dan masalah lalu lintas orang yang suatu saat saling

berinteraksi satu sama lainnya dalam batas-batas Negara, misalnya mengenai

perkawinan campuran antara WNI dengan WNA akan terjadi interaksi

keluarga dengan pihak pelaku perkawinan campuran dan sebaliknya sehinga

menjadi masalah menyangkut lalu lintas orang dalam terotorial Negara.26

1. Akibat Hukum Perkawinan Campuran bagi Anak

Dalam hubungan perkawinan campuran, perbedaan

kewarganegaraan orang tua sudah pasti akan memberikan dampak bagi

anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut karena keduanya terikat

25

Myrna zahraina, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008,

http//www.digital_129282-124175-Perkawinan Campuran.com diakses pada tanggal 15 januari

2019, pukul 22:30 Wib. 26

Gerdha Prastica Pangestu E-jurnal Gloria Yuris jurnal ilmu hukum untan, hal.,2.

Page 39: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

30

oleh hukum yang berbeda. Pada saat ini, anak yang lahir dari perkawinan

campuran tidak lagi secara otomatis mengikuti kewarganegaraan ayahnya,

tetapi anak terebut dapat menjadi WNI (warga negara Indonesia) ataupun

WNA (warga negara asing) artinya anak tersebut diberikan

kewarganegaraan ganda yang diatur dalam Undang-undang.

Banyak anak hasil perkawinan campur merasa menjadi turis di

Indonesia akibat terganjal Undang-Undang Kewarganegaraan walaupun

mereka merasa sebagai orang Indonesia. Inilah sebagian dari kisah

mereka27

.

Selama lebih dari 30 tahun Cipta harus terus menerus mengurus

visa untuk dapat tinggal di Indonesia. Cipta yang lahir sebelum UU No. 12

Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan disahkan, membuatnya harus

mengikuti kebangsaan ayahnya yang berasal dari Inggris. Selama

bersekolah Cipta harus menggunakan visa Sosial Budaya untuk tinggal di

Indonesia dengan undangan dari ibunya sendiri. Dan sejak bekerja 15 tahun

yang lalu, dia terpaksa menggunakan KITAS atau Kartu Izin Tinggal

Terbatas, yang harus diperpanjang setiap tahun. Sebagai warga negara

asing, Cipta pun kesulitan jika ingin memiliki aset di Indonesia. Padahal

menurutnya, banyak temannya yang juga anak dari perkawinan campur

atau yang menikah dengan WNI, yang ingin tinggal di Indonesia dan

membangun usaha di sini. Kasus yang serupa di alami oleh Gloria

Natapraja-Hamel, salah satu anggota Paskibraka di Istana Negara pada

peringatan hari kemerdekaan Indonesia kali ini, Karena diketahui memiliki

juga paspor Prancis, Gloria Natapraja-Hamel dibatalkan keanggotaannya

dari Paskibraka secara sangat cepat dan tanpa banyak pertimbangan,

permasalahan dwi kenegaraan menyangkut Gloria Natapraja-Hamel.28

Dalam sebuah perkawinan yang ideal, kehadiran anak merupakan

idaman bagi setiap orang tua, namun pada kenyataan yang ada tidaklah

27

https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/10/161005 diakses pada 27-02-

2019, pukul 21:35 Wib. 28

https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/08/160817 diakses pada 27-02-

2019, pukul 21:40 Wib.

Page 40: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

31

selalu demikian, banyak fakta yang menunjukan bahwa orang tua rela

membuang bahkan membunuh anaknya demi menutupi aib bagi

keluarganya. Karena kelahiran si anak tersebut akan membuat malu bagi

keluarga karena anak itu dihasilkan dari hubungan di luar nikah yang tidak

dibenarkan oleh ajaran agama dan etika yang berlaku di masyarakat pada

umumnya.29

Menurut Perspektif Islam, Anak adalah suatu anugerah dan amanah

dari Allah Swt yang harus dipertanggung jawabkan kesejahteraanya oleh

setiap orang tua, dalam berbagai aspek kehidupannya. Di antaranya

bertanggung jawab dalam perlindungan yang baik, pendidikan, kesehatan,

kasih sayang serta berbagai aspek lainnya.

Sebagaimana Firman Allah Swt dalam Surat An-Nisa ayat ke 9

Artinya : “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang

seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang

mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu

hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka

mengucapkan perkataan yang benar”.

Kendati lain Akibat hukum yang datang dari pelaku perkawinan

campuran adalah mengenai asas legalitas dari perkawinan yang dilakukan

oleh pelaku perkawinan campuran yang telah melaksanakan

pernikahannya di luar wilayah Indonesia namun tidak mencatatkan

kembali di Indonesia. Hal ini tentu menimbulkan reaksi bagi legalitas

perkawinan tersebut karena menurut pasal 37 ayat (4) Undang-undang

nomor 24 tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan menyebutkan

apabila perkawinan campuran tersebut dilakukan di luar wilayah

Indonesia, maka yang bersagkutan harus melaporkan kembali

perkawinannya yakni paling lambat 30 hari setelah yang bersangkutan tiba

29

D.Y. Witanto, Hukum Keluarga, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2012), hal.,1.

Page 41: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

32

di Indonesia. Namun apabila perkawinan yang dilakukan diluar negeri

tersebut tidak dicatatkan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang

tersebut tentu akan menimbulkan reaksi atas tidak sahnya perkawinan

menurut hukum di Indonesia.

Kurangnya pengetahuan masyarakat selaku pelaku perkawinan

campuran mengenai legalitas perkawinan ini menjadi suatu hal yang

sangat ironis mengingat pentingnya pencatatan perkawinan sebagai

landasan atau payung hukum apabila yang bersangkutan mengalami

konflik di dalam perkawinan yang dijalankannya, karena tidak bisa

dipungkiri dalam perkawinan campuran yang menyatukan dua hukum

yang berlainan ini seringkali menimbulkan kendala di antaranya ialah

mengenai harta benda atau aset maupun mengenai anak hasil perkawinan

campuran.

2. Akibat Hukum Perkawinan Campuran bagi Pelaku.

Mencuatnya kasus pemberhentian Archandra Tahar dari jabatan

Menteri ESDM secara sepihak, merupakan bagian dari beberapa

problematika akibat Hukum Perkawinan Campuran karenan memiliki

status kewarganegaraan ganda. Menteri Hukum dan Ham Yasonna Laoly

menyatakan bahwa Archandra Tahar Memiliki paspor dua, paspor warga

negara Amerika Serikat dan paspor warga negara Indonesia. Maka secara

otomatis kehilangan status nya sebagai warga negara Indonesia, hal

tersebut Menurut pasal 23 Undang-Undang kewarganegaraan Nomor 12

tahun 2006. Hal ini di tegaskan lagi dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor

12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, bahwa seseorang yang telah

kehilangan status WNI lantaran mengucapkan janji setia kepada negara

asing, tidak bisa begitu saja memperoleh kembali status WNI dengan

membuang status kewarganegaraannya yang lama.Orang itu harus

mengajukan permohonan kembali sebagai WNI pada saat sudah bertempat

tinggal di Indonesia selama lima tahun tahun berturut-turut atau 10 tahun

tidak berturut-turut.

Page 42: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

33

Dalam Perkawinan Campuran, perbedan peraturan yang ada ini

menyebabkan kesulitan bagi pelaku perkawinan campuran yang ingin

melakukan perkawinan di Indonesia. Hal ini disebabkan karena hukum di

Indonesia yang berlaku menyebutkan dalam undang-undang Perkawinan

nomor 1 tahun 1974, dalam pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa

perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut agama serta

kepecayaan masing masing.

Status kewarganegaraan atau identitas kewarganegaraan sangat

penting karena status itu merupakan tanda dalam sebuah hubungan hukum

antara perorangan dengan negara. Status tersebut menjadi dasar hukum

penyelenggaraan hak dan kewajiban sipil sebagai warga negara, sebab

identitas warganegara mempunyai implikasi pada hak dan kewajiban

sebagai warga begara yang diatur dalam hukum tentang

kewarganegaraan.30

Status kewarganegaraan WNI setelah menikah dengan WNA pada

Perkawinan Campuran telah diatur dalam Undang-Undang no 12 tahun

2006 tentang kewarganegaraan diantaranya termaktub pada beberapa pasal

antara lain:

Pasal 19 yang berbunyi :

(1) Warga negara asing yang kawin secara sah dengan warga negara

Indonesia dapat memperoleh kewarganegaraan republik Indonesia

dengan menyampaikan pernyataan menjadi warga negara dihadapan

pejabat.

(2) Pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila

yang bersangkutan sudah bertempat tinggal di wilayah negara republic

Indonesia paling singkat 5 tahun berturut-turut atau paling singkat 10

tahun tidak berturut-turut, kecuali dengan perolehan kewarganegaraan

tersebut mengakibatkan kewarganegaraan ganda.

30

Nuning Hlmlet, Perempuan dan Kewarganegaraan Perempuan dan Hukum, Menuju

Hukum yang Berspektif Kesetaraan dan Keadilan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008),

hal.,402.

Page 43: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

34

(3) Dalam hal yang bersangkutan tidak memperoleh kewarganegaraan

republic Indonesia yang diakibatkan oleh kewarganegaraan ganda

sebagaimana dimaksud pada ayat (2), yang bersangkutan dapat diberi

izin tinggal tetap sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara menyampaikan pernyataan

untuk menjadi warga negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan peraturan menteri.

Pasal 20

Bahwa “Orang asing yang telah berjasa kepada negara republik

Indonesia atau dengan alasan kepentingan negara dapat diberi

kewarganegaraan republik Indonesia oleh presiden setelah memperoleh

pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, kecuali dengan

pemberian kewarganegaraan tersebut mengakibatkan yang bersangkutan

berkewarganegaraan ganda”.

Jadi, jika kita melihat ketentuan Pasal 26 ayat (1) dan ayat (3) UU

Kewarganegaraan, dapat diketahui bahwa apabila hukum negara asal si suami

memberikan kewarganegaraan kepada pasangannya akibat perkawinan

campuran, maka istri yang Warga Negara Indoneisa dapat kehilangan

kewarganegaraan Indonesia, kecuali jika dia mengajukan pernyataan untuk

tetap menjadi Warga Negara Indonesia.

Kemudian mengenai status kewarganegaraan si suami yang Warga

Negara Asing jika pasangan perkawinan campuran tersebut menetap di

Indonesia dalam ketentuan Undang-undang Kewarganegaraan, tidak

ditentukan bahwa seorang Warga Negra Asing yang kawin dengan Warga

Negara Indonesia maka secara otomatis menjadi Warga Negara Indonesia,

termasuk jika menetap di Indonesia. Hal yang perlu diperhatikan oleh si Warga

Negara Asing selama tinggal di Indonesia adalah harus memiliki izin tinggal.

Jika si Warga Negara Asing telah menetap tinggal di Indonesia selama 5 tahun

berturut-turut atau 10 tahun berturut-turut, barulah dia memenuhi syarat

mengajukan diri untuk menjadi Warga Negara Indonesia jika ia menghendaki

(lihat Pasal 9 huruf b UU Kewarganegaraan).

Page 44: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

35

BAB III

TINJAUAN TERHADAP METODE MASLAHAH DAN HIERARKI

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

A. Maslahah

1. Kerangka Teori tentang Maslahah

Maslahah berasal dari kata حصال dengan penambahan “alif”

diawalnya, yang secara arti kata berarti “baik” lawan kata dari “buruk”

atau “rusak”. Ia adalah mashdar dengan arti kata shalāh yaitu “manfaat”

atau “terlepas dari padanya kerusakan Kemudian maslahah secara

terminologi, terdapat beberapa definisi yang dikemukakan ulama Ushul

Fiqh, tetapi seluruh definisi tersebut mengandung esensi yang sama.Imam

Ghazali, misalnya, mengemukakan bahwa pada prinsipnya maslahah sama

dengan “Sesuatu yang mendatangkan manfaat (keuntungan) dan

menjauhkan mudharat (kerusakan)1.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa maṣlaḥah

mempunyai arti sesuatu yang mendatangkan kebaikan, faedah dan guna.

Sedangkan kemaslahatan berarti kegunaan, kebaikan, dan kemanfaatan.

Dalam arti umum, maṣlaḥah adalah segala sesuatu yang bermanffat bagi

manusia, baik dalam arti menarik atau menghasilkan, seperti menghasilkan

keuntungan dan ketenangan, atau dalam arti menolak atau menghindarkan

seperti menolak kemudaratan atau kerusakan. Sehingga setiap yang

mengandung manfaat patut disebut dengan maṣlaḥah.2

Secara terminologis, maslahah telah diberi muatan makna oleh

beberapa ulama usûl al-fiqh. Al-Gazâli (w. 505 H), misalnya, mengatakan

bahwa makna genuine dari maslahah adalah menarik/mewujudkan

kemanfaatan atau menyingkirkan/menghindari kemudaratan (jalb

manfa„ah atau daf„ madarrah) Menurut al-Gazâli, yang dimaksud

maslahah, dalam arti terminologis-syar‟i, adalah memelihara dan

1 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), Cet I, Jilid II, hal 324

2 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai

Pustaka, 1996), hal. 634

Page 45: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

36

mewujudkan tujuan Syara‟ yang berupa memelihara agama, jiwa, akal

budi, keturunan, dan harta kekayaan. Ditegaskan oleh al-Gazâli bahwa

setiap sesuatu yang dapat menjamin dan melindungi eksistensi kelima hal

tersebut dikualifikasi sebagai maslahah; sebaliknya, setiap sesuatu yang

dapat mengganggu dan merusak kelima hal tersebut dinilai sebagai

mafsadah; maka, mencegah dan menghilangkan sesuatu yang demikian

dikualifikasi sebagai maslahah.3 namun hakikat dari maslahah adalah

memelihara tujuan syara“. Sekalipun bertentangan dengan tujuan-tujuan

manusia, karena kemaslahatan manusia tidak selamanya didasarkan

kepada kehendak syariat tetapi sering didasarkan kepada kehendak hawa

nafsu, misalnya, di zaman jahiliyah para wanita tidak mendapatkan bagian

harta warisan yang menurut mereka hal tersebut mengandung

kemaslahatan dan sesuai dengan adat istiadat mereka, tetapi pandangan ini

tidak sejalan dengan kehendak syara‟, karenanya tidak dinamakan

maslahah. Oleh sebab itu, menurut Imam al-Ghazali, yang dijadikan

patokan dalam menentukan kemaslahatan itu adalah kehendak dan tujuan

syara‟, bukan kehendak dan tujuan manusia.

Maslahah dalam pengertian bahasa merujuk kepada tujuan

pemenuhan kebutuhan manusia dan karenanya mengandung pengertian

untuk mengikuti syahwat dan hawa nafsu. Sedangkan pada maslahah

dalam artian syara‟ yang menjadi titik bahasan dalam Ushul Fiqh, yang

selalu menjadi ukuran dan rujukannya adalah tujuan syara‟ yaitu

memelihara agama, akal, keturunan, dan harta benda, tanpa melepaskan

tujuan pemenuhan kebutuhan manusia yaitu mendapatkan kebahagiaan

dan menjauhkan dari kesengsaraan.

Menurut Al Ghazali, maslahah itu pada dasarnya meraih manfaat

dan menolak madlarat dalam rangka menjaga tujuan pokok syari‟at

(maqashid Asy-syariah) yang lima, yakni agama, jiwa, akal, nasab, dan

harta. Semua bentuk tindakan seseorang yang mendukung pemeliharaan

3 Abû Hâmid Muhammad al-Gazâli, al-Mustasfa min „Ilm al-Usûl, tahqîq wa ta„lîq

Muhammad Sulaimân al-Asyqar, (Beirut: Mu‟assasat al-Risâlah, 1417 H/1997 M), Juz ke-1,

hal.416-417

Page 46: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

37

lima aspek ini adalah maslahah. Begitu pula segala bentuk tindakan yang

menolak kemadlaratan terhadap kelima hal ini juga disebut dengan

maslahah. Dengan kata lain, apabila seseorang melakukan suatu perbuatan

yang pada intinya untuk memelihara kelima aspek tujuan syara‟ tersebut

maka dinamakan maslahah, dan upaya untuk menolak segala bentuk

kemadlaratan yang berkaitan dengan kelima aspek tujuan syara‟ tersebut

juga dinamakan dengan maslahah. Tujuan syara‟ yang harus dipelihara

tersebut ada lima bentuk, yaitu: memelihara agama, jiwa, akal, keturunan

dan harta. Apabila seseorang melakukan suatu perbuatan yang pada

intinya untuk memelihara ke lima aspek tujuan syara‟ tersebut maka

dinamakan maslahah.

Mewujudkan Maslahah merupakan elan vital Syariah Islam. Dalam

setiap aturan hukumnya, al-Syâri„ mentransmisikan maslahah sehingga

lahir kebaikan/kemanfaatan dan terhindar keburukan/kerusakan, yang pada

gilirannya terealisasinya kemakmuran dan kesejahteraan di muka bumi

dan kemurnian pengabdian kepada Allah. Sebab, maslahah itu

sesungguhnya adalah memelihara dan memperhatikan tujuan-tujuan

Syara„ berupa kebaikan dan kemanfaatan yang dikehendaki oleh Syara„,

bukan oleh hawa nafsu manusia. Norma hukum yang dikandung teks-teks

Syariah (nusûs al-syarî„ah) pasti dapat mewujudkan maslahah, sehingga

tidak ada maslahah di luar petunjuk teks Syariah; dan karena itu, tidaklah

valid pemikiran yang menyatakan maslahah harus diprioritaskan bila

berlawanan dengan teks Syariah4 Maka, maslahah pada hakikatnya ialah

sumbu peredaran dan perubahan hukum Islam, di mana interpretasi atas

teks Syariah dapat bertumpu pada Syariah Islam bagi segala kebutuhan

dan tuntutan kehidupan manusia. Teks-teks Syariah (nusûs al-syarî„ah)

dapat mewujudkan bagi manusia-maslahah pada setiap ketentuan

4 Husain Hâmid Hisân, Nazariyyat al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islâmiy, (Beirut: Dâr alNahdah

al-„Arabiyyah, 1971), hal.607.

Page 47: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

38

hukumnya. Tidak ada satu pun masalah hukum yang muncul kecuali sudah

ada-di dalam Kitab Allah-petunjuk jalan solusi atasnya.5

Sehubungan dengan relasi maslahah dan ijtihâd, di kalangan ulama

dikenal istilah ijtihâd istislâhiy, yakni suatu upaya pengerahan segenap

kemampuan untuk memperoleh hukum Syara„ dengan cara menerapkan

prinsip-prinsip hukum yang umum-universal terhadap suatu masalah/kasus

yang tidak ditegaskan oleh nass Syara„ yang spesifik dan Ijmâ‟ ulama,

yang pada intinya bermuara kepada mewujudkan maslahah (jalb al-

maslahah) dan menghindari/menghilangkan mafsadah (daf„u al-

mafsadah), yang sejalan dengan tuntutan prinsip-prinsip Syara„. Model

ijtihâd ini sebenarnya mengarah pada memasukkan hukum kedalam medan

cakupan nass Syara.6 Dari beberapa definisi tentang maslahah dengan

rumusan yang berbeda tersebut dapat disimpulkan bahwa maslahah itu

adalah sesuatu yang dipandang baik oleh akal sehat karena mendatangkan

kebaikan dan menghindarkan kerusakan pada manusia, sejalan dengan

tujuan syara‟ dalam menetapkan hukum. Dari kesimpulan tersebut terlihat

adanya perbedaan antara maslahah dalam pengertian bahasa (umum)

dengan maslahah dalam pengertian hukum atau syara‟. Perbedaannya

terlihat dari segi tujuan syara‟ yang dijadikan rujukan.

2. Macam-Macam Maṣlaḥah.

Seluruh ulama‟ sepakat bahwa hukum syara‟ bertujuan untuk

mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat, baik dengan

cara menolak mafsadat atau dengan maṣlaḥah. Berdasarkan kesimpulan

dari berbagai hasil penelitian para ulama‟ ushul fiqh, macam-macam

maṣlaḥah dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian sebagai berikut:

Klasifikasi Maṣlaḥah Berdasarkan Eksistensinya. Menurut

pandangan Abdul Karim Zaidan sebagaimana dikutip oleh Satria Effendi,

bahwa klasifikasi maṣlaḥah berdasarkan eksistensisnya ada tiga jenis: al-

5 Husain Hâmid Hisân, Nazariyyat al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islâmiy, hal.607.

6 Muhammad Sallâm Madkûr, al-Ijtihâd fi al-Tasyrî„ al-Islâmiy, (Kairo: Dâr al-Nahdah al-

„Arabiyyah, 1404 H/1984 M), hal.45.

Page 48: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

39

maṣlaḥah al-mu‟tabarrah, al-maṣlaḥah al-mulgaha, dan Al-maṣlaḥah Al-

mursalah7

1) Al-maṣlaḥah Al-mu‟tabarah. maṣlaḥah al-mu‟tabarah yakni,

kemaslahatan yang terdapat nash secara tegas menjelaskan dan

mengakui keberadaannya. Dengan kata lain kemasahatan yang diakui

syar‟i secara tegas dengan dalil yang khusus, baik langsung maupun

tidak langsung yang memberikan petunjuk adanya maṣlaḥah yang

menjadi alasan dalam menetapkan hukum. Contohnya untuk

memelihara kelangsungan hidup manusia, disyari‟atkan hukum dera

bagi penuduh dan pelaku zina. Untuk memelihara harta benda,

disyari‟atkan untuk potng tangan bagi pencuri, baik aki-laki maupun

perempuan.

2) Al-maṣlaḥah Al-mulghah. Al-maṣlaḥah Al-mulghah yaitu,

kemaslahatan yang berlawanan dengan ketentuan nash. Dengan kata

lain, kemaslahatan yang tertolak karna ada dalil yang menunjukkan

bahwa ia bertentangan dengan ketentuan dalil yang jelas. Contohnya

adalah menyamakan pembagian serang anak perempuan dengan

bagian anak laki-laki dalam hal harta warisan, penyamaan pembagian

jatah harta waris antara anak perempuan dengan bagian anak laki-laki

secara sepintas memang terlihat ada kemaslahatan, tetapi berlawanan

dengan ketentuan dalil nash yang jelas dengan rinci.

3) Al-maṣlaḥah Al-mursalah Al-maṣlaḥah Al-mursalah yaitu. Malahah

yang secara eksplisit tidak ada satu dalil pun baik yang mengakuinya

maupun yang menolaknya. Secara ebih tegas, Al-maṣlaḥah Al-

mursalah ini termasuk jenis maṣlaḥah yang didiamkan leh nash.

Diakui dalam kenyataanya maslahat jenis ini terus tumbuh dan

berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat masyarakat

islam yang dipengaruhi oleh kondisi dan tempat. Misalnya lahirnya

Undang-Undang Administrasi Kependudukan (UU No 23 Tahun

2006) yang dirubah melalui UU No 24 Tahun 2013, yang

7 Satria Effendi, Ushul fiqih, hal. 149-150.

Page 49: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

40

menyebutkan setiap anak yang lahir harus diproses akta kelahiran,

adanya akta kelahiran dapat memudahkan bagi anak untuk mendapat

berbagai kemudahan dalam berbagai urusan yang menyangkut

administrasi kenegaraan.

Sebagaimana halnya metode analisa yang lain, Maṣlaḥah juga

merupakan metode pendekatan istinbath (penetapan hukum) yang

persoalannya tidak diatur secara eksplisit di dalam al-Quran dan Hadits,

hanya saja metode ini lebih menekankan pada aspek maslahat secara

langsung. Al-maṣlaḥah adalah kajian hukum dengan mempertimbangkan

aspek kemaslahatan serta menghindari kebinasaan untuk suatu perbuatan

yang tidak diungkapkan secara eksplisit dalam Al-Qur‟an, akan tetapi

masih terjangkau oleh prinsip-prinsip ajaran dalam Al-Qur‟an dan Hadits

dalam suatu perbuatan yang berbeda-beda. Dalam konteks ini, ayat Al-

Qur‟an tidak berperan sebagai dalil yang menunjukkan norma hukum

tertentu, akan tetapi menjadi saksi atas kebenaran fatwafatwa hukum

tersebut. Dengan demikian, sistem analisa tersebut dibenarkan, karena

sesuai dengan kecenderungan syara‟ dalam penetapan hukumnya.8

Jumhur ulama berpendapat, bahwa Al-maṣlaḥah adalah hujah

syar‟iyah yang dapat dijadikan dasar pembentukan hukum. Satjipto

Rahardjo berpendapat, Hukum dapat difungsikan sebagai alat bagi

masyarakat yang disebutnya dengan hukum progresif. Inti dari hukum

progresif terletak pada berpikir dan bertindak progresif yang

membebaskannya dari belenggu teks dokumen hukum, karena pada

akhirnya hukum itu bukan teks hukum, melainkan untuk kebahagiaan dan

kesejahteraan manusia.9

Berdasarkan pemikiran yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo

dari berbagai pemikiran dalam tulisannya, maka dapat disimpulkan ciri-

ciri Hukum Progresif sebagai berikut :

8 Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, (Semarang: Pustaka Rizki Putra,2013), hal.

234 9Satjipto Raharjo, Penegakan Hukum Progresif, (Jakarta: Penerbit Kompas, 2010), hal.,55-

69.

Page 50: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

41

1. Hukum progresif lebih mengutamakan tujuan daripada prosedur.

Aturan procedural hanyalah alat untuk mencapai tujuan hukum,

sehingga keadilan procedural tidak boleh membelenggu keadilan

subtansial.

2. Hukum progresif menjungjung tinggi moralitas sebagai akar kehidupan

masyarakat. Hati nurani ditempatkan sebagai penggerak, pendorong,

sekaligus pengendali dalam mengimplementasikan hukum dalam

masyarakat.

3. Hukum progresif menempatkan diri sebagai kekuatan pembebas, yaitu

membebaskan diri dari tipe, cara berpikir, azas dan teori hukum yang

legalistic dan positivistic.

Hukum yang Progresif mengajarkan bahwa hukum bukanlah raja,

akan tetapi alat untuk menjabarkan dasar kemanusiaan yang berfungsi

memberikan rahmat kepada dunia dan manusia. Hukum yang progresif

tidak ingin menjadikan hukum sebagai tekhnologi yang tidak bernurani,

melainkan suatu institusi yang bermoral kemanusiaan.10

Adapun jika

kehadiran hukum dikaitkan pada tujuan sosialnya, maka hukum yang

progresif ini juga dekat dengan sociological jurisprudence. Yang

dikembangkan oleh Eugen Ehrlich dan Roscoe Pond. Menurut Ehrlich,

hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup

pada masyarakat (living law). Adapun menurut Roscoe Pond

mengemukakan konsep hukum sebagai alat merekayasa masyarakat (law

as a tool of social engineering). Memberikan dasar bagi kemungkinan

digunakannya hukum secara sadar untuk mengadakan perubahan pada

suatu masyarakat (rekayasa sosial).11

Al-Ghazali mengajukan teori Maslahah dengan membatasi

pemeliharaan syari‟ah pada lima unsur utama yaitu agama, jiwa, akal,

kehormatan, dan harta benda. Pernyataan yang hampir sama juga

dikemukakan oleh al-Syatibi dengan menyatakan bahwa mashlahah adalah

10

Satjipto rahardjo, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2006),

hal.,228. 11

Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal.,41.

Page 51: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

42

memelihara lima aspek utama, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan

harta. Artinya, kelima unsur di atas dianggap suci, mulia dan dihormati

yang harus dilindungi dan dipertahankan. Maqâshid al-syarî‟ah juga

merupakan prinsip umum syari‟ah (kulliyat al-syari‟ah) yang pasti. Ia

bukan saja disarikan dari elemen hukum-hukum syari‟ah atau dari

sebagian dalil-dalil dan isi kandungan al-Qur‟an dan al-Sunnah.

Kesimpulan yang seperti ini kelihatan dapat diterima secara meyakinkan.

Apakah ide tersebut diajukan pada abad kelima, di era asas-asas syari‟ah,

terutama al-Sunnah telah tercatat dengan baik, sehingga hampir tidak

mungkin ada al-Sunnah yang tercecer. Jadi, meskipun sama sekali tidak

menutup kemungkinan adanya unsur tambahan terhadap kelima maqâshid

di atas, Namun kelimanya sulit dikesampingkan sebagai elemen penting

Maslahah.

Metode penetapan hukum dengan Maslahah dan kaitannya dengan

pembaharuan hukum Islam, mempunyai kaitan yang erat dan sangat efektif

untuk digunakan, dimana pembaharuan hukum Islam bertujuan untuk

merealisasikan dan memelihara kemaslahatan umat manusia semaksimal

mungkin yang merupakan maqashid syariah. Sedangkan Maslahah

merupakan salah satu metode penetapan hukum yang sangat

mengutamakan maqashid syariah dan selalu berusaha merealisasikan serta

memelihara maqashid syariah itu.

B. Kerangka Teori Hierarki Peraturan Perundang-Undangan

Peraturan perundang-undangan adalah kumpulan-kumpulan peraturan

yang mengatur tentang subjek hukum, yaitu manusia dan badan hukum.

Peraturan perundang-undangan itu contohnya seperti undang-undang yang

merupakan salah satu sumber hukum formal12

Suatu peraturan perundang-

undangan memiliki tiga sifat dasar yaitu dimana jika suatu keputusan-

keputusan yang bersifat umum dan abstrak biasanya bersifat mengatur

(regeling), sedangkan yang bersifat individual dan konkret dapat merupakan

keputusan yang bersifat atau berisi penetapan administratif (beschikking)

12

Muhammad Tahir Azhari, Negara Hukum, (Jakarta: Kencana, 2010), hal.123.

Page 52: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

43

ataupun keputusan yang berupa “vonnis” hakim yang lazimnya disebut dengan

istilah keputusan13

Di dalam ilmu perundang-undangan dikenal adanya teori hierarki.

Teori Hierarki merupakan teori yang menyatakan bahwa sistem hukum

disusun secara berjenjang dan bertingkat-tingkat seperti anak tangga.

Hubungan antara norma yang yang mengatur perbuatan norma lain dan norma

lain tersebut disebut sebagai hubungan super dan subordinasi dalam konteks

spasial.14

Sebagai suatu produk hukum di Indonesia, perundang-undang tidak

terlepas dari hierarki pembentukan peraturan perundang-undangan, dimana

hierarki ini termuat didalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

(TAP MPR) dan undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-

undangan.

Teori Hierarki merupakan teori yang mengenai sistem hukum yang

diperkenalkan oleh Hans Kelsen yang menyatakan bahwa sistem hukum

merupakan sistem anak tangga dengan kaidah berjenjang. Hubungan antara

norma yang mengatur perbuatan norma lain dan norma lain tersebut dapat

disebut sebagai hubungan super dan sub-ordinasi dalam konteks spasial.15

Hierarki ini pada dasarnya berpedoman pada beberapa teori yang perlu

dipahami oleh perancang yakni teori jenjang norma. Teori mengenai jenjang

norma hukum dikemukakan oleh Hans Kelsen yaitu stufentheorie, yang

menyebutkan bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-

lapis dalam suatu hierarki, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku,

bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih

tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi,

demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang disebut norma dasar

(grundnorm)16

13

Jimly Asshiddiqie, Buku Perihal Undang-Undang, ( Jakarta :Raja Grapindo Persada,

2010),hal. 9-10 14

Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa‟at, Theory Hans Kelsen Tentang Hukum, Cetakan 1,

Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006, hal. 110. 15

Asshiddiqie,Jimly, dan Safa‟at, M. Ali, Theory Hans KelsenTentang Hukum, hal.110 16

Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, alih bahasa oleh Raisul Muttaqien

(Bandung : Nusa Media, 2006), .hal.17

Page 53: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

44

Teori Hans Kelsen mengenai hierarki norma hukum ini diilhami oleh

Adolf Merkl dengan menggunakan teori das doppelte rech stanilitz, yaitu

norma hukum memiliki dua wajah, yang dengan pengertiannya: Norma

hukum itu keatas ia bersumber dan berdasar pada norma yang ada diatasnya;

dan Norma hukum ke bawah, ia juga menjadi dasar dan menjadi sumber bagi

norma yang dibawahnya. Sehingga norma tersebut mempunyai masa berlaku

(rechkracht) yang relatif karena masa berlakunya suatu norma itu tergantung

pada norma hukum yang diatasnya, sehungga apabila norma hukum yang

berada diatasnya dicabut atau dihapus, maka norma-norma hukum yang

berada dibawahnya tercabut atau terhapus pula.17

Di Indonesia, rantai norma hukum ini diaktualisasikan ke dalam

hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

PerundangUndangan (UU No. 12 Tahun 2011). Pasal 7 ayat (1) UU No. 12

Tahun 2011 menyebutkan mengenai jenis dan hierarki peraturan perundang-

undangan di Indonesia, yaitu: 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945; 2. Ketetapan Majelis Permusyawaran Rakyat; 3.

Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; 4.

Peraturan Pemerintah; 5. Peraturan Presiden; 6. Peraturan Daerah Provinsi; 7.

Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Selanjutnya, Pasal 7 ayat (2) UU No. 12

Tahun 2011 menentukan bahwa kekuatan hukum peraturan perundang-

undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dalam Pasal 7 ayat (1). Ini

berarti bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

(UUD NRI Tahun 1945) dijadikan sebagai norma dasar (basic norm)

sebagaimana menurut Kelsen atau aturan dasar negara (Staatsgrundgesetz)

sebagaimana pandangan Nawiaky. Oleh sebab itu, konsekuensinya adalah:

pertama, UUD NRI Tahun 1945 mengesampingkan semua peraturan yang

lebih rendah (berlaku asas lex superiori derogat legi inferiori) dan kedua,

materi muatan dari UUD NRI Tahun 1945 menjadi sumber dalam

pembentukan segala perundang-undangan, sehingga Ketetapan MPR hingga

17

Farida, Maria, Ilmu Perundang-Undangan, Kanisius, Yogyakarta. 1998, hal. 25.

Page 54: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

45

Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota tidak boleh bertentangan dengan UUD

NRI Tahun 1945. Menurut Ni‟matul Huda, apabila peraturan perundang-

undangan yang lebih rendah bertentangan dengan di atasnya, maka peraturan

tersebut dapat dituntut untuk dibatalkan atau batal demi hukum (van

rechtswegenietig)18

Di dalam ilmu perundang-undangan dikenal adanya teori hierarki.

Teori Hierarki merupakan teori yang menyatakan bahwa sistem hukum

disusun secara berjenjang dan bertingkat-tingkat seperti anak tangga.

Hubungan antara norma yang yang mengatur perbuatan norma lain dan norma

lain tersebut disebut sebagai hubungan super dan subordinasi dalam konteks

spasial.19

Sedangkan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011

tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan, dalam Pasal 7

menyebutkan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945; Ketetapan

Majelis Permusyawaratan Rakyat; Undang-Undang/Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden;

Peraturan Daerah Provinsi; dan Peraturan Daerah Kabupaten / Kota.

Asas-Asas Pembentukan Peraturan Daerah Dari beberapa ahli yang

mengemukan berbagai asas yang berhubungan dengan pembentukan peraturan

perundang-undangan, penulis mengemukakan pendapat dua ahli yang selama

ini berkecimpung dalam bidang pembentukan peraturan perundang-undangan,

yaitu pendapat I.C Van der Vlies dan pendapat A. Hamid S. Attamimi. Dalam

bukunya yang berjudul Het wetbegrip en beginselen van behoorlijke

regelgevig I.C. Van der Vlies membagi asas-asas dalam pembentukan

peraturan-peraturan yang patut, yaitu: asas-asas yang formal meliputi :asas

tujuan yang jelas; asas organ/lembaga yang tepat; asas perlumya pengaturan;

asas dapat dilaksanakan; dan asas consensus. Sedangkan asas-asas yang

material meliputi : asas terminologi dan sistematika yang benar; asas yang

18

Ni‟matul Huda, “Kedudukan Peraturan Daerah dalam Hierarki Peraturan Perundang-

Undangan”, Jurnal Hukum Vol. 13 No. 1, Januari 2006, hal. 29. 19

Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa‟at, Theory Hans Kelsen Tentang Hukum, hal. 110.

Page 55: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

46

dapat dikenali; asas perlakuan yang samadalam hukum; dan asas pelaksanaan

hukum sesuai dengan keadaan individual.

Sedangkan A. Hamid S. Attamimi berpendapat bahwa pembentukan

peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut asasasas tersebut secara

berurutan dapat disusun sebagai: Cita Hukum Indonesia; Asas Negara

berdasar hukum dan asas pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi; dan

asas-asas lainnya. Dengan demikian, asas-asas pembentukan peraturan

perundangundangan Indonesia yang patut akan mengikuti pedoman dan

bimbingan yang diberikan oleh :

a. Cita hukum Indonesia yang tidak lain Pancasila (sila-sila dalam hal

tersebut berlaku sebagai Norma)

b. Norma Fundamental negara yang juga tidak lain Pancasila (sila-sila dalam

hal tersebut berlaku sebagai Norma)

c. Asas-asas lainnya, yaitu: (1) Asas-asas Negara Berdasarkan Atas Hukum

yang menempatkan Undang-undang sebagai alat pengaturan yang khas

berada dalam keutamaan hukum (2) Asas-asas Pemerintahan Berdasarkan

Sistem Konstitusi yang menempatkan Undang-undang sebagai dasar dan

batas penyelenggaraan kegiatan-kegiatan pemerintahan20

Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang patut itu

meliputi juga: Asas tujuan yang jelas; Asas perlunya pengaturan; Asas

organ/lembaga dan materi muatan yang tepat; Asas dapatnya dilaksanakan;

Asas dapatnya dikenali; Asas perlakuan yang sama dalam hukum; Asas

kepastian hukum; dan Asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individu

C. Metode Maslahah dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman

Pada prinsipnya tidak ada kekuasaan tertinggi di muka bumi dan alam

jagat raya ini, selain kekuasaan Allah akan tetapi, karena diperlukan

kekuasaan sebagai perpanjangan kekuasaan Allah yang bertugas untuk

mengadili maka muncullah kekuasaan yang dinamakan kekuasaan

20

Farida Maria Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan, Kanisius, hal 196

Page 56: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

47

kehakiman. Sehingga muncul irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan

Ketuhanan yang Maha Esa” dalam setiap putusan dan penetapan yang

dikeluarkan oleh setiap badan peradilan yang merupakan pelaksana

kekuasaan kehakiman.21

Pada dasarnya tugas Hakim adalah memberi keputusan dalam perkara

atau konflik yang dihadapkan kepadanya, menetapkan hal-hal seperti

hubungan hukum, nilai hukum dari perilaku, serta kedudukan hukum pihak-

pihak yang terlibat dalam suatu perkara, sehingga untuk dapat menyelesaikan

perselisihan atau konflik berdasarkan hukum yang berlaku, maka Hakim

harus selalu mandiri dan menjaga marwah independensi serta terbebas dari

pengaruh pihak manapun, terutama dalam mengambil suatu keputusan.22

Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan

berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang dasar negara Hukum Republik

Indonesia.

Kekuasaan Kehakiman merupakan badan yang menentukan kekuatan

kaidah-kaidah hukum positf dalam konkretisasi oleh hakim melalui putusan-

putusannya. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan

yang diciptakan dalam suatu negara, dalam usaha menjamin keselamatan

masyarakat menuju kesejahteraan masyarakat, peraturan-peraturan tersebut

tidak ada artinya, apabila tidak ada kekuasaan kehakiman yang bebas yang

diwujudkan dalam bentuk peradilan yang bebas dan tidak memihak, sebagai

salah satu unsur Negara hukum. Sebagai pelaksana dari kekuasaan kehakiman

adalah hakim yang mempunyai wewenang dalam peraturan-peraturan

perundang-undangan yang berrlaku, dan hal ini dilakukan oleh hakim melalui

putusannya.23

21

Rimdan, Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta: Kencana, 2012),

hal.,46. 22

Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, (Bandung:

Citra Aditya, 2004), hal.,93-94. 23

Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perpekstif Hukum Progresif, (Jakarta:

Sinar Grafika, 2011), hal.,102.

Page 57: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

48

Menurut K. Wantjik Saleh kekuasaan kehakiman yang didasari

pemikiran nya kepada Undang-Undang dasar 1945 sebelum amandemen,

dapat diartikan bahwasanya kekuasaan kehakiman terpisah dari kekuasaan

pemerintah dan kekuasaan perundang-undangan serta merdeka dari pengaruh

kedua kekuasaan tersebut.24

Lebih lanjut Bagir Manan menyatkan, bahwa

untuk memahami asas kekuasaan kehakiman yang merdeka tidak terlepas dari

ajaran Montesque mengenai tujuan dan perlunya “pemisahan” kekuasaan,

guna untuk menjamin adanya dan terlaksananya kebebasan politik (political

liberty) anggota masyarakat negara.25

Kebebasan hakim dalam teori kekuasaan kehaakiman telah diatur

dalam Undang-undang dasar negara Republik Indonesia tahun 1945, pada

pasal 24 ayat (1), serta Pasal 1 angka 1 Undang-undang nomor 48 tahun 2009.

Dengan adanya dasar hukum tersebut, membuktikan bahwa kebebasan hakim

telah dijamin oleh konstitusi, maka dari itu sudah seharusnya hakim

sebagagai perangkat hukum menjalankan tugasnya dalam menegakan hukum

dan keadilan yang bebas dari segala tekanan dari pihak mana pun, baik intern

maupun ekstern Sehingga hakim dapat tenang memberikan cita cita hukum

meberikan putusan yang seadil-adilnya.

Akan tetapi Sudikno Mertokusumo,26

tetap memberikan batasan-

batasan dalam hal menjalankan kemerdekaan kekuasaan kehakiman, ia

menyatakan, walaupun hakim mempunyai asas kekuasaan yang merdeka.

Hakim dalam melaksanakan wewenangnya judicial tidaklah mutlak sifatnya.

Secara mikro, hakim dibatasi oleh Pancasila, Undang-undang dasar 1945,

Undang-undang ketertiban Umum, kesusilaan, dan perilaku atau kepentingan

para pihak, sedangkan secara makro hakim dibatasi oleh system

pemerintahan, politik, ekonomi, dan lain sebagainya. Namun pada bagian lain

24

K. Wantjik Saleh, Kehakiman dan Peradilan, (Jakarta: Simbur Cahaya, 1976), hal.,15. 25

Bagir Manan, kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, (Bandung: LPPM Universitas

Islam Bandung, 1995), hal.,2. 26

Sudikno Mertokusumo, Perkembangan Reformasi Kekuasaan Kehakiman,

http;//sudiknoartikel.blogspot.com., hal. 2-3 diakses pada hari jum‟at, tanggal 8 februari 2019,

pukul 23:00 Wib.

Page 58: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

49

Sudikno Mertokusumo menguraikan,27

dengan didasari bahwa kebebasan

kekuasaan kehakiman, yang penyelanggaranya diserahkan kepada badan-

badan peradilan, merupakan salah satu khas daripada negara hukum.

Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa kekuasaan

kehakiman yang medeka adalah mutlak adanya, akan tetapi tetap dibatasi oleh

rambu-rambu hukum yang ada. Kekuasaan kehakiman yang merdeka

(independent judiciary) telah menjadi ideoligi yang universal untuk masa kini

dan masa yang akan datang.28

Kekuasaan Kehakiman dalam negara sangat mutlak diperlukan karena

mempunyai kewenangan untuk mengadili apabila ada salah satu warga negara

yang melanggar undang-undang, berkewajiban untuk mempertahankan

undang-undang, memberikan rasa keadilan kepada warga negara, berkuasa

memutus perkara, menjatuhkan hukuman terhadap pelanggaran undang-

undang yang diadakan dan dijalankan.29

Di dalam Agama Islam, kekuasaan ditegaskan dalam QS. Yusuf,

12:40 hanyalah milik Allah

Artinya : “Tidaklah apa yang kamu sembah itu selain Allah melainkan

nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu sebut-sebut. Tidaklah

Allah menurunkan keterangan (bukti) berkenaan dengannya. Tiadalah

hukum (ketentuan) itu melainkan dengannya. Tiadalah hukum (ketentuan)

itu melainkan milik Allah. Ia telah memerintahkan agar kamu jangan

menyembah melainkan kepada-Nya. itulah Agama yang benar, akan tetapi

kebanyakan manusia tidak mengetahuinya”

27

Keputusan Symposium Universitas Indonesia tahun 1966 tentang Negara Hukum 28

M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian

Sengketa, (Bandung: Citra Aditya bakti, 1977), hal.,31. 29

Poentang Moerad, Pembentukan Hukum melalui Putusan Pengadilan dalam Perkara

Pidana, (Bandung: PT. Alumni, 2005), hal.,50.

Page 59: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

50

Seorang Hakim seharusnya tidak jauh dengan Maqashid al-Syariah,

sehingga ketika mengambil keputusan salah satu pertimbangan utamanya

selain Undang-undang adalah kelima Maqashid al-Syariah tersebut. Apabila

ideologi pemerintahan diwarnai dengan warna islam maka harusnya

pemerintahpun tidak jauh dari kelima Maqashid ini. Tujuan Hukum Islam

adalah untuk ditaati dan dilaksanakan dengan baik dan bena, manusia wajib

meningkatkan kemampuannya untuk memahami hukum Islam dengan

mempelajari Ushul Fiqh yakni dasar pembentukan dan pemahaman hukum

Islam sebagai metodologinya.30

Menurut Muhammad Abu Zahrah ada tiga

sasaran hukum Islam yaitu sebagai berikut :31

1. Penyucian jiwa, agar setiap muslim bisa menjadi sumber kebaikan bukan

keburukan bagi masyarakat lingkungannya. Hal ini ditempuh berbegai

macam ibadah yang disyari‟atkan, yang kesemuanya dimakdsudkan untuk

membersihkan jiwa serta memperkokoh kesetiakawanan sosial. Ibadah-

ibdah itu dapat membersihkan jiwa dari kotoran-kotoran (penyakit) dengki

yang melekat di hari manusia. Dengan demikian akan tercipta suasana

saling kasih mengasihi, bukan saling berbuat lalim dan keji diantara

sesama muslim.

2. Menegakkan keadilan dalam masyarakat, adil baik menyangkut urusan di

antara sesama orang islam maupun dalam berhubungan dengan pihak lain

(non islam). Berkaitan dengan hal tersebut, Allah berfirman dalam surat

Al-Maidah ayat ke 8 :

30

Novi Rizki Amalia, Penerapan Maqashid al-Syariah untuk Realisasi Politik Islam di

Indonesia, (ejournal.unida.gontor.ac.id) diakses pada 13 maret 2019, 21:49 Wib. 31

Muhamad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, cet ke-10 (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2007), hal.,543-

548.

Page 60: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

51

Artinya: ” Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-

orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi

dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu

kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena

adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah,

sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

3. Tujuan puncak yang hendak dicapai oleh hukum Islam adalah maslahat.

Menurut Abu Zahrah, tidak sekali-kali suatu perkara disyari‟atkan oleh

Islam melalui al-Qur‟an maupun Sunnah melainkan di situ terkandung

maslahat yang hakiki, walaupun maslahat itu tersamar pada sebagian

orang yang tertutup oleh hawa nafsunya. Sedangkan maslahat yang

dikehendaki oleh hukum bukanlah maslahat yang seiring dengan

keinginan hawa nafsu. Akan tetapi maslahat yang hakiki yang

menyangkut kepentingan umum, bukan kepentingan individu atau

kelompok tertentu (khusus).

4. Hal tersebut merupakan salah satu reminder bagi para hakim untuk tetap

menegakkan keadilan dalam masyarakat, adil baik menyangkut urusan di

antara sesama orang islam maupun dalam berhubungan dengan pihak lain

(non islam). Karena sesuai dengan butir Pancasila ke 5 yaitu keadilan

sosial bagi masyarakat Indonesia.

Kekuaasan Kehakiman dalam perspektif Maslahah merupakan salah

satu bentuk ijtihad hukum, namun di dalam skrispi ini penulis menitik

beratkan pada masalah kemaslahatan yang berhubungan dengan kebutuhan

pokok umat manusia di dunia dan di akhirat.

Khalifah Ummar Ibn Khaattab menafsirkan kembali aturan-aturan

yang sudah berlaku sebelumnya. Pertimbangan-pertimbangan sosial ekonomi

serta keadilan hukum untuk senantiasa mewujudkan kemashlahatan (al-

maslahah) ummat telah mempertegas sikap-sikap beliau dalam menjalankan

ajaran-ajaran islam. Atas dasar pemahaman tersebut, dalam menghadapi

beberapa kasus terlihat Umar ibn khatab mengadakan perubahan hukum dan

melakukan penyesuaian, agar hukum itu menjadi actual. Diantara tindakan

Page 61: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

52

Umar ibn khatab itu diantaranya32

: tidak melakukan hukuman potong tangan

terhadap kejahatan pencurian, menghentikan hak muallaf dalam menerima

pembagiian zakat dan subsidi lainnya, serta tidak mebagi-bagikan tanah

taklukan kepada tentara-tentara pasukan muslimin.

Kalau kita perhatikan sepintas lalu, tampaknya kebijakan-kebijakan

Umar Ibn Khaattab dipandang bertentangan dan menyimpang dari perintah

alqur‟an dan Sunnah yang berlaku sebelumnya, serta yang termaktub jelas

didalam nash, sebagaimana kita ketahui bersama bahwa al-qur‟an merupkan

pedoman hidup bagi setiap muslim. Akan tetapi, seperti dikemukakan oleh

ahmad hasan dalam bukunya The early development of Islamic jurisprudence,

bahwa tindakan umar ibn khatab semacam itu justru bukanlah merupakan

suatu penyimpangan, tetapi umar ibn khatab berangkat dari ketaatan yang

sejati kepada semangat Alqur‟an yang dilakukan nya berdasarkan

pertimbangan hukum pribadi. 33

Kebijakan-kebijakan Umar Ibn Khaattab dipandang bertentangan dari

perintah Alqur‟an dan Sunnah, namun bukan berarti Umar Ibn Khattab secara

terang-terangan mengambl kebijakan demikian tanpa ada pertimbangan serta

ijtihad terlebih dahulu. Fazlul Rahman, yang menurut muridnya Ahmad

Syafi‟I Ma‟arif, dianggap sebagai orang yang banyak mendapati inspirasi dari

tindakan-tindakan dan kebijaksanaan khalifah Umar Ibn Khaattab yang kreatif

dan inovatif serta mempertimbangkan jelas dengan beberapa metode ijtihad

nya Umar Ibn Khaattab. Fazlul Rahman dalam bukunya “Islamic

Methodology In History” mengutarakan bahwa Khalifah Umar merupakan

generasi Muslim paling awal yang menafsirkan Al-qur‟an dan Sunnah Rasul

secara bebas. Untuk tujuan-tujuan tertentu, memang ditemukan pembahasan

yang membawa kesan kontroversial sekitar ijtihad khalifah Umar, seperti

diantaranya yang ditulis oleh “Abdul al-Husain Syarifuddin al-Musawi dalam

bukunya al-Nash wa al-Ijtihad juga yang ditulis oleh Muhammad Sa‟id

32

Nuruddin Amiur, Ijtihad Umar Ibn Al-Khaththab Studi tentang perubahan hukum dalam

Islam, (Jakarta: Rajawali Pers 1987), hal.,5. 33

Hasan Ahmad, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, (Bandung: Pustaka, cet. 1, 1984), hal.,110.

Page 62: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

53

Ramadhan al-Buthi dalam karyanya Dhawabith al-Maslahah fi al-Syariah al-

Islamiyah.

Antara ijtihad dengan Maslahah tidak dapat dipisahkan. Ijtihad pada

intinya adalah upaya penggalian hukum syara‟ secara optimal. Upaya

penggalian hukum syara‟ itu berhasil apabila seorang mujtahid dapat

memahami maqâshid al-syarî‟ah. Oleh karenanya pengetahuan tentang

maqâsyid al- syarî‟ah adalah salah satu syarat yang dimiliki oleh seorang

mujtahid34

Pengetahuan tentang maqâshid al-syarî‟ah, seperti ditegaskan oleh

Abdul al- Wahhab Khallaf, adalah hal yang sangat penting yang dapat

menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan dan yang sangat penting lagi

adalah untuk menetapkan hukum terhadap kasus yang tidak tertampung oleh

al Qur‟an dan Sunnah secara kajian kebahasaan35

Dalam menyelesaikan masalah fiqih selalu berpatokan pada dua

sumber utama, yaitu al Qur‟an dan al Hadits, akan tetapi jika dalam kedua

sumber tersebut tidak ditemukan tentang suatu masalah maka diperlukan

ijtihad dengan tetap merujuk kepada kedua sumber dimaksud. Ijtihad adalah

merupakan kegiatan yang tidak mudah, karena memerlukan analisis yang

tajam terhadap nash serta jiwa yang terkandung di dalamnya dengan

memperhatikan aspek kaedah kebahasaan dan tujuan umum disyariatkannya

hukum Islam.

Islam adalah Agama Syaamil (lengkap dan menyuluruh). Dalam Islam

ada aturan, hukum dan budaya menjadi pedoman utama kehidupan umat

islam secara keseluruhan, mulai dari hal-hal yang individu untuk urusan sosial

masyarakat pada umumnya. Concern dari Maslahah sendiri adalah untuk

mewujudkan kebaikan sekaligus menghindarkan keburukan, atau menarik

manfaat dan menolak madharat atau dengan kata lain adalah untuk mencapai

suatu kemaslahatan, karena tujuan penetapan hukum dalam islam adalah

untuk menciptakan kemaslahatan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan

syara untuk kebaikan seluruh umat manusia.

34

Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari‟ah menurut al- Syatibi, hal.,129. 35

Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hal.,237.

Page 63: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

54

BAB IV

PENERAPAN ASAS MASLAHAH OLEH HAKIM DALAM ISBAT NIKAH

PERKAWINAN CAMPURAN (Putusan Nomor: 1172.Pdt.P/2016/PA.Cjr)

A. Penerapan Asas Maslahah dalam Penetapan Perkawinan Campuran

Putusan Nomor 1172/Pdt.P/2016/PA.Cjr

Dalam penetapan Pengadilan Agama yang penulis angkat, dimana

terdapat sepasang suami dan istri yang dimana istri berkewarganegaraan

Indonesia dan suami berkewarganegaraan China yang mengajukan

permohonan isbat nikah atau pengesahan nikah, para Pemohon telah

mengajukan surat permohonannya tertanggal 26 September 2016 dan telah

terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Cianjur dengan Register Nomor

1172/Pdt.P/2016/PA.Cjr, tanggal 26 September 2016, dengan dalil-dalil

permohonan sebagai berikut:

Pemohon I dan Pemohon II telah melangsungkan Pernikahan pada

hari Sabtu pada tanggal 24 Juli 2010 bertepatan dengan tanggal 12 Syaban

1431 Hijriyah pada pukul 09.00 WIB; di jalan Pangeran Hidayatullah No. 106,

RT. 002 / RW. 014, Kelurahan Sawah Gede, Kecamatan Cianjur-Jawa Barat,

dengan wali nikah ayah kandung Pemohon I yang bernama R. Soedjadi

Soediono bin Mariyoen dengan mahar berupa Seperangkat alat shalat, Berlian

seberat 6 gram dan uang tunai sebesar Rp. 2.472.100,- (dua juta empat ratus

tujuh puluh dua ribu seratus rupiah) dibayar tunai. Kemudian yang menjadi

munakih atau yang menikahkan (Penghulu) adalah Ruswan Chairi dengan

saksi nikah bernama Ibad Badrudin dan Ny. Hindun. Bahwa pernikahan

Pemohon I dan Pemohon II tidak tercatat pada Kantor Urusan Agama (KUA)

Kecamatan Cianjur, sewaktu akan menikah Pemohon I berstatus sebagai Janda

dalam usia 32 tahun, sementara Pemohon II berstatus sebagai Jejaka dalam

usia 29 Tahun, setelah akad nikah hingga permohonan ini diajukan Pemohon I

dan Pemohon II tidak atau belum pernah mendapat atau mengurus akta nikah

tersebut, dari pernikahan Pemohon I dan Pemohon II telah dikaruniai anak

yang bernama LI ZI SHUO berjenis kelamin perempuan yang lahir pada

Page 64: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

55

tanggal 14 Oktober 2014. Para Pemohon sangat membutuhkan bukti

pernikahan tersebut untuk kepastian hukum dan untuk mengurus akta

kelahiran anak Para Pemohon dan mengurus surat-surat lainnya, antara

Pemohon I dan Pemohon II tidak ada hubungan Mahram maupun susuan dan

sejak melangsungkan perkawinan sampai sekarang belum pernah bercerai

maupun pindah Agama. Pemohon I dan Pemohon II beragama Islam, untuk

kepastian hukum dan tertib administras kependudukan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006

tentang Administrasi kependudukan, maka para pemohon akan melaporkan

Penetapan Pengadilan atas Perkaraini kepada KUA Kecamatan Cianjur untuk

dicatat dalam daftar yang disediakan untuk itu.

Pada perkara itsbat nikah diatas, dapat diketahui bahwa para

pemohon telah melangsungkan pernikahan menurut Agama Islam. secara

keseluruhan tidak bertentangan dengan aturan pernikahan hukum Islam,

namun berdasarkan posita para pemohon dalam surat permohonan disana

tidak disebutkan bahwa pernikahan tersebut dilaksanakan di depan atau

dihadiri pegawai pencatat nikah dari KUA setempat sehingga dapat

disimpulkan bahwa pernikahan para pemohon adalah pernikahan dibawah

tangan. Artinya Perkawinan tersebut dianggap Tidak Sah menurut Negara

karena tidak mempunyai Kekuatan Hukum serta Kepastian Hukum yang jelas.

Dalam pasal 7 ayat 3 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa

Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-

hal yang berkenaan dengan adanya perkawinan dalam rangka

penyelesaian perceraian, hilangnya Akta Nikah, adanya keraguan tentang

sah atau tidaknya salah satu syarat perkawian, adanya perkawinan

yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang No.1 Tahun 1974, dan

perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan

perkawinan menurut Undang- Undang No.1 Tahun 1974. Adapun alasan

permohonan Isbat Nikah untuk Perkawinan yang dilakukan setelah berlakunya

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah karena tidak ada halangan

perkawinan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Page 65: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

56

Tentang Perkawinan. Hal ini sesuai dengan Pasal 7 Ayat (3) huruf e

Kompilasi Hukum Islam. Dengan melihat uraian pasal 7 ayat 2 dan 3 KHI

telah memberikan kewenangan lebih dari yang diberikan oleh Undang-

Undang, baik Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

maupun Undang-Undang No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.1

Terkait dengan perkawinan campuran yang dilakukan di Indonesia

dilakukan menurut Undang-Undang Perkawinan. Perkawinan campuran tidak

dapat dilangsungkan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang

ditentukan oleh hukum yang relatif dipenuhi dan karena itu tidak untuk

melangsungkan perkawinan campuran, maka mereka yang menurut hukum

yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan,

diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah terpenuhi.

Para pemohon ini melakukan perkawinan campuran. Mengenai

Perkawinan campuran terdapat syarat yang harus dipenuhi, secara administrasi

harus melengkapi berkas seperti, Surat Keterangan Ijin Menikah dari kedutaan

Besar Negara asal Pemohon II, Surat Identitas diri pemohon II, Surat bukti

Pemohon II melaporkan diri dari Kepolisian RI, dan Surat atau Piagam

Pemohon II masuk Islam, dan lain sebagainya. Hakim menimbang, bahwa

oleh karena permohonan para Pemohon tidak memenuhi persyaratan

administrasi untuk mengajukan permohonan pengesahan perkawinan

campuran. Dalam perkara ini pemohon II tidak dapat menunjukkan

persyaratan administrasi dalam pengajuan permohonan pengesahan

Perkawinan Campuran.

Permohonan Isbat Nikah ini, seharusnya ditolak oleh Majelis Hakim.

Karena Para Pemohon tidak dapat memenuhi persyaratan terkait administrasi

untuk melakukan Perkawinan Campuran, diantaranya adalah tidak dapat

membuktikan Surat Keterangan Izin Menikah dari Kedutaan Besar Republik

Rakyat China karena umur pemohon II melebihi 30 tahun. Serta persyaratan

1Nasrudin Salim,” Isbat Nikah dalam Kompilasi Hukum Islam (Tinjauan Yuridis, Filosofis,

dan Historis) dalam Jurnal Dua Bulanan Mimbar Hukum No. 62 THN. XIV, (Jakarta:

2003), hal. 70

Page 66: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

57

substansi terkait dengan agama yakni Sertifikat atau surat keterangan

masuk Islam. Hal tersebut behubungan dengan Pencatatan perkawinan dalam

Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 hanya diatur oleh satu ayat, tetapi

persoalan pencatatan sangat dominan, hal ini akan tampak menyangkut tata

cara perkawinan itu sendiri yang kesemuanya berhubungan dengan

pencatatan. Terdapat sebagian pakar hukum yang menempatkan pencatatan

sebagai syarat administratif yang juga menentukan sah tidaknya sebuah

perkawinan. Idris Ramulyo mengatakan bahwa nikah dan talak yang

dilakukan dibawah tangan lebih cenderung dinyatakan tidak sah menurut

hukum Islam, batal, atau sekurang- kurangnya dapat dibatalkan.2

Penulis berpendapat Langkah dari Majelis Hakim Pengadilan Agama

Cianjur dalam memutus Perkara ini, mengabaikai Teori Hierarki Peraturan

Perundang-Undangan. Karena mengeluarkan Putusan yang sifatnya penetapan

berupa produk hukum, akan tetapi tidak berpijak kepada Teori Hierarki

Peraturan Perundang-Undangan yang telah disahkan dan menjadi dasar hukum

yang harus dipatuhi oleh warga negara Indonesia. Hal ini penulis anggap

bahwa Isbat Nikah Perkawinan Campuran yang diajukan para pemohon Tidak

Sah menurut Negara karena tidak mempunyai Kekuatan Hukum serta

Kepastian Hukum yang jelas. Karena para pemohon tidak dapat memenuhi

persyaratan terkait administrasi untuk melakukan Perkawinan Campuran, serta

persyaratan terkait substansi terkait dengan agama yakni Sertifikat atau surat

keterangan masuk Islam.

Menurut analisis Penulis apabila kasus seperti ini terus dibiarkan,

Maka akan memberikan dampak yang kurang baik terhadap masyarakat,

bahkan lebih jauh dari itu mereka cenderung tidak mengindahkan ketentuan

perundang-undangan yang berlaku, khususnya yang berkaitan dengan

perkawinan campuran dapat diisbatkan oleh Pengadilan Agama, hal ini

menurut analisis. Terlebih lagi jika perka penulis akan menjadi preseden buruk

bagi kewibawaan hukum di mata warga negara asing. Karena perkawinan

2Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan Menurut Hukum Islam, (Jakarta:

Sinar Grafika, 2005), hal. 20-21

Page 67: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

58

campuran memerlukan persyaratan administrasi yang lebih rumit dan

melibatkan ketentuan hukum dua negara.

B. Analisa Pertimbangan Hakim dalam Penetapan Isbat Nikah Perkawinan

Campuran Putusan Nomor 1172/Pdt.P/2016/PA.Cjr

Apabila perkawinan dibawah tangan atau nikah sirri menjadi tradisi

dalam arti dipatuhi dan dijalankan oleh masyarakat serta apalagi dapat

dikabulkan jika dimintakan isbatnya oleh Pengadilan Agama dan

dipertahankan terus menerus maka akan membawa dampak yang tidak baik.

Dan dampak itu antara lain adalah:3

1. Makna historis Undang-undang perkawinan akan tidak efektif sehingga

tujuan lahirnya UU tersebut tidak tercapai.

2. Tujuan normatif dari pencatatan perkawinan tidak terpenuhi seperti yang

dikehendaki pasal 2 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Maka

akan menciptakan suatu kondisi ketidakteraturan dalam pencatatan

kependudukan.

3. Masyarakat Muslim dipandang tidak lagi memperdulikan kehidupan dalam

bidang hukum, yang pada akhirnya sampai pada anggapan bahwa

pelaksanaan ajaran Islam tidak membutuhkan keterlibatan Negara.

4. Akan mudah dijumpai perkawinan dibawah tangan atau nikah sirri yang

hanya peduli pada unsur agama saja dibanding unsur tata cara pencatatan

perkawinan yang mengundang ketidakpastian nasib wanita (isteri).

5. Apabila terjadi wanprestasi terhadap perjanjian perkawinan, maka peluang

untuk putusnya perkawinan akan terbuka secara bebas tanpa terlibat

prosedur hukum sebagai akibat langsung dari diabaikannya pencatatan

oleh Negara, sehingga perkawinan di bawah tangan atau nikah sirri hanya

diikuti perceraian dibawah tangan pula.

6. Akan membentuk preseden buruk sehingga akan cenderung menjadi

bersikap enteng untuk mengabaikan

3Nasrudin Salim,” Isbat Nikah dalam Kompilasi Hukum Islam, hal. 72

Page 68: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

59

Namun, Berdasarkan Rapat Permusyawaratan Majelis Hakim

Pengadilan Agama Cianjur, dan hasil dari beberapa pertimbangan hukum

dengan menggali fakta-fakta hukum di persidangan kemudian dikontruksikan

oleh Majelis Hakim dengan menyentuh esensi dan subtansi dari peradilan

yaitu menghasilkan Putusan yang berkeadilan hukum, Putusan itu tidak hanya

mendasar kepada legal formil dengan mencantumkan bunyi pasal dari

peraturan perundang-undangan tertentu, sebagaimana dikatakan oleh Lilik

Mulyadi “Putusan Hakim merupakan Mahkota dan Puncak dari suatu Perkara

yang diperiksa oleh Hakim” 4. Sehingga Permohonan pengesahan perkawinan

campuran dalam Putusan Nomor 1172/Pdt.P/2016/PA.Cjr. yang diajukan oleh

pihak Pemohon, akhirnya ditetapkan dan dikabulkan sesuai dengan Primair

serta Subsidair yang diajukan oleh para Pemohon. Walaupun pertimbangan

hukum yang digali oleh Majelis Hakim Pengadilan Agama Cianjur

Menggunakan cara yang mengedepankan metode Maslahah.

Majelis hakim Pengadilan Agama Cianjur menetapkan permohonan

isbat nikah meskipun perkawinan dilakukan setelah tahun 1974. Perkara isbat

nikah dilakukan secara selektif dan hati-hati. Dalam hal ini penetapan

disahkan guna mengurus akta kelahiran anak sebagai upaya untuk

memberikan perlindungan kepada anak. Anak yang lahir dari perkawinan

yang tidak tercatat harus mendapatkan hak yang sama dengan anak yang lahir

dari perkawinan tercatat. Karena sesuai pasal 4 UU Perlindungan Anak, anak

berhak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar

sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan demi terwujudnya anak

Indonesia yang berkualitas.

Adapun alasan permohonan isbat nikah untuk perkawinan yang

dilakukan setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah

karena tidak ada halangan perkawinan sebagaimana diatur dalam Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Hal ini sesuai dengan

Pasal 7 Ayat (3) huruf e Kompilasi Hukum Islam.

4Lilik Mulyadi, Penerapan Putusan Hakim Pada Kekerasan dalam Rumah Tangga, (Jakarta:

Ikahi, 2007), hal.,25.

Page 69: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

60

Secara tegas dan kita lihat seksama tentang permasalahan diatas,

bahwa Hakim-Hakim Pengadilan memiliki komitmen dan nurani yang sama,

penulispun berkeyakinan begitu. Yaitu menilai peraturan perundang-undangan

yang akan dijadikan pijakan hukum atau disesuaikan dengan ajaran dogmatik

Agama, dan mengedepankan keadilan, serta tidak akan mengorbankan

keadilan hanya demi kepastian hukum. Sikap Hakim tersebut dapat

dibenarkan secara hukum, karena Hakim memiliki kebebasan dalam memutus

dan memiliki hak preogratif atau otonom dalam konsep “demi keadilan

berdasarkan ketuhanan yang maha esa” untuk melakukan penerapan metode

Maslahah, dikarenakan Pasal-Pasal yang dirasa sudah tidak sesuai dengan rasa

keadilan dan kebenaran, juga tidak dinamis mengikuti perkembangan zaman.

Dalam menjalankan tugas pokoknya untuk memeriksa, mengadili, dan

memutuskan suatu perkara yang diajukan kepadanya, hakim sebagai penegak

hukum tidak boleh menolak suatu perkara dengan dalih bahwa hukum atas

perkara tersebut tidak ada atau kurang jelas. Sebagai pemikir dan pelaku

kebijaksanaan di bidang hukum dan peradilan, hakim dianggap mengetahui

semua hukum atau curia novit jus. 5

Kewenangan Kekuasaan Kehakiman, dilaksanakan oleh hakim. Hakim

adalah pejabat Pengadilan negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang

untuk mengadili suatu perkara yang dihadapkan kepadanya.6 Hakim sebagai

penentu untuk memutuskan suatu perkara yang diajukan ke Pengadilan, dalam

menjatuhkan putusan harus memiliki beberapa pertimbangan. Hakim dalam

memeriksa dan memutus perkara ternyata seringkali menghadapi suatu

kenyataan bahwa hukum yang sudah ada tidak dapat secara pas untuk

menjawab serta menyelesaikan sengketa yang dihadapi. Hakim harus mencari

kelengkapannya dengan menemukan sendiri hukum tersebut.7

Kemudian dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara, hakim

terikat dengan hukum acara yang mengatur sejak memeriksa dan memutus.

5M.Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal.,821.

6Lihat Pasal 1 butir (8) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

7Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, (Jakarta: PT Citra

Aditya Bhakti, 1993), hal.,10.

Page 70: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

61

Untuk memutuskan suatu perkara, hakim perlu memperhatikan pertimbangan

hukumnya, sehingga siapa pun dapat menilai apakah putusan yang dijatuhkan

cukup mempunyai alasan yang objektif atau tidak serta sudah adil atau tidak.

Pada alasan memutus, yang di utarakan adalah fakta-fakta hukum yang ada,

seperti keterangan pihak-pihak terkait dan alat-alat bukti yang diajukan harus

ditimbang secara seksama. Pihak mana yang akan dibebani untuk memikul

biaya perkara, juga menjadi pertimbangan hakim. Dan sebagai dasar memutus,

hakim menggunakan Undang-undang yang mengatur perkara tersebut.

Putusan hakim di pengadilan sangat berpengaruh dalam memenuhi rasa

keadilan terhadap pemohon maupun termohon.

Terkait dengan perkawinan campuran yang dilakukan di

Indonesia dilakukan menurut Undang-Undang Perkawinan. Perkawinan

campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti bahwa syarat- syarat

perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang relatif dipenuhi dan karena itu

tidak untuk melangsungkan perkawinan campuran, maka mereka

yang menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang

mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah

terpenuhi. Hal ini yang tercantum di dalam putusan Perkawinan Campuran

Putusan Nomor 1172/Pdt.P/2016/PA.Cjr. Sehingga Majelis hakim mengambil

kesimpulan bahwa pengesahan perkawinan campuran di kabulkan melalui

pertimbangan hakim dengan metode ijtihad hukum oleh hakim dimana hakim

mengambil peran nya untuk menggali hukum demi terwujudnya keadilan juga

sebagai pencari hukum serta penegak hukum yang diberikan wewenang oleh

negara. Kata Menggali diasumsikan bahwa hukumnya itu ada, tetapi

tersembunyi, agar sampai pada permukaan maka harus digali. Dengan

demikian hukumnya itu ada tetapi masih harus digali, dicari dan diketemukan.

Sebagaimana Paul Scholten mengatakan bahwa “didalam manusia itu sendiri

terdapat hukumnya”. Sedangkan setiap saat manusia dalam masyarakat

berprilaku, berbuat atau berkarya”.8

8Sudikno Mertokusumo, Penenmuan Hukum Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, Cet.

Ke Lima. 2007), hal.,47.

Page 71: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

62

Dalam mengadili suatu Perkara, Hakim melakukan kegiatan Yuridis

sendiri dan tidak sekedar melakukan Silogisme belaka. Hakim harus ikut serta

dalam pembentukan Hukum, bukan Hukum obyektifitas seperti yang

diciptakan oleh pembentuk Undang-Undang, yang sifatnya abstrak, melainkan

Hukum yang konkret serta diciptakan dengan putusannya (judge made law).

Putusan Hakim adalah hukum maka haruslah sesuai dan dapat diterima oleh

masyarakat9.

Sebagaimana penegasan pasal 229 Kompilasi Hukum Islam yang

menyatakan hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan

kepadanya wajib memperhatikan dengan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum

yang hidup di masyarakat, sehingga putusannya sesuai dengan rasa keadilan.

Dan Pasal ini yang secara tegas menunjukkan suatu kemutlakan yang bersifat

memaksa bagi hakim untuk memegang teguh dan menjadikan Pasal tersebut

sebagai landasan moral dalam menjatuhkan putusan.10

. Oleh karena itu

seorang Hakim harus memperhatikan hal-hal sebagai berkut : 11

1. Keadilan Hukum untuk Masyarakat

2. Manfaat Hukum untuk Masyarakat

3. Kepastiaan Hukum untuk Masyarakat

Prinsip ini sesuai dengan ketentuan pasal 28 (1) Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 2004 jo., Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun

2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dan penjelasan Pasal 30 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung. Menurut

Penjelasan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 Tentang

Undang-Undang Mahkamah Agung, disebutkan bahwa ketentuan tersebut

dimaksudkan agar putusan Hakim dapat sesuai dengan hukum dan rasa

keadilan masyarakat.

Sebagaimana telah termaktub di dalam firman Allah Swt Surat An-

Nahl ayat 90 :

9Sudikno Mertokusumo, Bunga Rampai Ilmu Hukum, (Yogyakarta: Liberty, 1984), hal.,16.

10Lihat Pasal 229 Kompilasi Hukum Islam.

11Wawancara dengan Bapa Hamzah, S.Ag. M.H pada tanggal 15 Februari 2019.

Page 72: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

63

Artinya : ”Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat

kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari

perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran

kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”.

Keadilan harus dijadikan sebagai pijakan utama dalam penetapan

hukum. Jika ketentuan normatif bertentangan dengan keadilan maka yang

harus diutamakan adalah penegakan keadilan. Jika keadilan bertentangan

dengan aspek kepastian dan kemanfaatan maka yang harus diutamakan untuk

dipilih adalah penegakan keadilan.12

Berdasarkan uraian tersebut, penulis

berpendapat bahwa Putusan Nomor 1172/Pdt.P/2016/PA.Cjr telah benar-benar

mencerminkan nilai keadilan dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai hukum,

justru selangkah lebih maju kepada nilai hukum yang progresif, mengikuti

zaman, berkembang dan bersifat dinamis.

C. Analisa Metode Maslahah dan Ijtihad Hukum Oleh Hakim dalam

Perkawinan Campuran Putusan Nomor 1172/Pdt.P/2016/PA.Cjr

Pada bagian ini, penulis ingin memaparkan penemuan hukum dalam

perspektif Islam sebagai sebuah perbandingan dan mungkin akan memperkaya

khazanah penemuan hukum dalam praktiknya di Indonesia.

“Sesungguhnya syâri‟ (pembuat sharî‟at) dalam mensyari‟atkan

hukumnya bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan hambanya baik di

dunia maupun di akhirat secara bersamaan” Jika diperhatikan dari pernyataan

al-Syâthibi tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa kandungan Maqâshid al-

Syarî„ah adalah kemaslahatan manusia.13

Penemuan hukum dalam perspektif hukum Islam sedikit berbeda

dengan penemuan hukum pada hukumnya. Hal ini didasarkan pada sumber

12

Ahmad Kamil dkk, Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi, (Jakarta: Kencana, 2008),

hal.,21. 13

Abu Ishâq al-Syâthibî, al-Muwâfaqât fi Ushûli al-Syarî‟ah, Juz 1, (Beirut: Dar-alkutub, al-

Ilmiyyah), hal.,39.

Page 73: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

64

hukum yang berbeda serta tahapan dalam penemuan hukum tersebut. Namun

demikian, paling tidak, penemuan hukum dalam perspektif hukum Islam

(selanjutnya disebut dengan ijtihad) memiliki dua tujuan utama yang sama

dengan penemuan hukum pada umumnya, yaitu menemukan hukum dan

menerapkannya pada kasus.

Tujuan penetapan hukum atau yang sering dikenal dengan istilah

Maqashid al-syari'ah merupakan salah satu konsep penting dalam kajian

hukum Islam. Karena begitu pentingnya maqashid al-syari'ah tersebut, para

ahli teori hukum menjadikan maqashid al-syari'ah sebagai sesuatu yang harus

dipahami oleh mujtahid yang melakukan ijtihad. Adapun inti dari teori

maqashid al-syari'ah adalah untuk mewujudkan kebaikan sekaligus

menghindarkan keburukan, atau menarik manfaat dan menolak madharat.

Istilah yang sepadan dengan inti dari maqashid al-syari'ah tersebut adalah

maslahat, karena penetapan hukum dalam Islam harus bermuara kepada

maslahat.14

Konsep Maqasid al-syariah menegaskan bahwa hukum Islam

disyariatkan untuk mewujudkan dan memelihara mashlahat umat manusia.15

Kemaslahatan sebagai inti dari maqâshid al-syarî„ah,memiliki peranan penting

dalam penentuan hukum Islam. Sebab hukum Islam diturunkan mempunyai

tujuan untuk mewujudkan kemaslahatan umat baik di dunia maupun di

akhirat. 16

Dalam melihat metode ijtihad apa yang harus dikembangkan dan

kemungkinan peranan maqâsyid al-syarî‟ah yang lebih besar dalam metode

tersebut, penelaahan harus bertitik tolak dari objek itu sendiri. Oleh karenanya

bertitik tolak dari itu, maka ada dua corak penalaran yang di dalamnya

terdapat metode-metode ijtihad yang perlu dikembangkan dalam upaya

penerapan-penerapan maqâsyid al- syarî‟ah. Kedua corak itu ialah penalaran

14

Ghafar Shidiq, “Teori Maqâshid Al-Syarî‟ah Dalam Hukum Islam”, dalam Jurnal Sultan

Agung, Vol XLIV No. 118 Juni-Agustus 2009, hal.,117. 15

Kaharuddin, Nilai-nilai Filosofi Perkawinan, Menurut Hukum Perkawinan Islam dan

Undang-undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, (Jakarta: Mitra Wacana Media,

2015), hal.,60. 16

Kanun Jurnal Ilmu Hukum Ali Mutakin, Teori Maqashid Al Syariah dan Hubungannya

dengan Metode Istinbath Hukum, Vol. 19, No. 3, (Agustus, 2017), pp. 547-570.

Page 74: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

65

ta‟lili dan istislahi. Corak penalaran ta‟lili adalah upaya penggalian hukum

yang bertumpu pada penentuan illat-illat hukum yang terdapat dalam suatu

nash. Dalam perkembangan pemikiran ushul fikih, corak penalaran ta‟lili ini

mengambil bentuk qiyas dan istihsan. Adapun corak penalaran istislahi adalah

upaya pengambilan hukum yang bertumpu pada prinsip-prinsip kemaslahatan.

Corak penalaran ini tampak pada metode al-masalahah al-mursalah dan

saddu az-zari‟ah.

Ijtihad adalah upaya menemukan hukum dengan menggunakan

potensipotensi yang dimiliki (kecerdasan akal, kehalusan rasa, keluasan

imajinasi, ketajaman intuisi dan kearifan). Ijtihad berupaya menemukan

hukum yang seadil-adilnya, sesuai dengan tuntunan syariat. Ijtihad, sama

seperti penemuan hukum lain, bertujuan untuk menjembatani jarak antara

harapan atau tuntutan masyarakat dengan idealitas hukum. Ijtihad berusaha

untuk menciptakan suatu keadaan yang homeostatis (seimbang), sehingga

hukum yang dihasilkan tidak hanya menciptakan keadilan semata, melainkan

juga kepastian dan kemanfaatan di masyarakat.17

Mukti Arto secara tegas menyebutkan bahwa ijtihad merupakan bagian

tak terpisahkan dari tugastugas hakim secara utuh. Hakim harus memiliki

budaya ijtihad dan ijtihad harus menjadi budaya hakim.31 Dalam konteks

ijtihad, maka penemuan hukum Islam oleh hakim bertujuan untuk

memperoleh rumusan hukum terapan baru yang tepat guna menyelesaikan

sengketa/perkara melalui putusan hakim yang mampu mewujudkan cita

hukum maqasid al-syariah dan dijiwai dengan ruh keadilan sehingga mampu

memberi perlindungan hukum dan keadilan kepada pencari keadilan pada

setiap kasus yang dihadapi.18

Adapun pada metode ijtihad, hukum Islam diupayakan untuk digali

dan dielaborasi dengan perenungan yang mendalam dengan menggunakan

seluruh potensi yang dimiliki, sehingga dalam menemukan hukum, ijtihad

diharapkan dapat menemukan hukum yang seadil-adilnya, yang sesuai dengan

17

M. Natsir Asnawi, Hermeneutika Putusan Hakim, (Yogyakarta: UII Press, 2014), hal.,25. 18

A.Mukti Arto, Penemuan Hukum demi Mewujudkan Keadilan, artikel, dimuat dalam

website PTA Jambi, www.pta-jambi.go.id, diakses pada tanggal 2 Maret 2017

Page 75: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

66

tuntunan syariat. Tujuan esensial ijtihad adalah mewujudkan maqashid al-

syariah, mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat

sekaligus19

.

Pada dasarnya penerapan Ijtihad terbagi menjadi dua bentuk

penerapan, yakni

1. Ijtihad fi takhrij al ahkam Ijtihad ini adalah penerapan ijtihad dengan cara

mengeluarkan hukum-hukum dari sumbernya. Karenanya ijtihad ini pada

dasarnya hanya menetapkan atau mengeluarkan hukum dari suatu sumber

hukum untuk kemudian menerapkannya ke peristiwa atau fakta in concreto

tanpa melihat kondisi atau dinamika masyarakat yang ada saat

diterapkannya hukum tersebut.

2. Ijtihad fi tathbiq al ahkam. Ijtihad ini adalah untuk menerapkan hukum

pada peristiwa konkrit, tetapi selain mengeluarkan hukum dari sumbernya,

berbeda dengan Ijtihad fi takhrij al ahkam, jenis ijtihad ini juga

memperhatikan kondisi atau dinamika hukum yang ada pada saat itu,

sehingga penerapan hukum terhadap suatu peristiwa konkrit dapat berjalan

secara efektif. Ijtihad sebagai salah satu metode dalam melakukan

penemuan hukum berdasarkan hukum Islam memiliki beragam cara atau

metode. Berikut ini beberapa bentuk metode ijtihad yang dikenal dalam

khazanah hukum Islam.20

Demi mewujudkan keadilan, melalui pelbagai metode penemuan

hukum, hakim dengan kewenangannya dapat memutuskan suatu perkara

berdasar pada peraturan Perundang-Undangan walaupun tidak mengikuti asas

dari Hierarki Peraturan Perundang-Undangan, sehingga lahir putusan yang

bersifat Penetapan menggunakan Metode Maslahah. Penerapan metode

Maslahah dalam putusan yang dijatuhkan oleh hakim di lingkungan

Pengadilan Agama Cianjur, didasarkan kepada upaya hakim untuk

menemukan ruh dan jiwa dari tujuan aturan perundang-undangan itu sendiri,

19

A. Malthuf Siroj, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia : Telaah Kompilasi Hukum

Islam, (Yogyakarta: Pustaka Ilmu, 2012), hal.,40 20

A.Djazuli, Ilmu Fiqh : Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam, (Jakarta:

Kencana, 2005), hal.,32.

Page 76: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

67

yakni demi tercapainya Maslahah umat Manusia. Seadil-adilnya Penemuan

hukum oleh hakim dilakukan dalam rangka tugas dan kewenangan dari hakim

dalam memeriksa dan memutus perkara yang dihadapkan kepadanya.

Penemuan hukum oleh hakim dianggap yang mempunyai wibawa. Karena

mmengedepankan metode Maslahah terhadap yang kemudian dijadikan

sebagai penemuan hukum, dimana penemuan hukum tersebut merupakan

hukum yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai hukum karena

dituangkan dalam bentuk putusan.21

Hakim sebagai pihak yang berwenang memutus perkara tentunya

mempunyai pertimbangan-pertimbangan tersendiri yang tidak hanya

berdasarkan hukum posisif yang berlaku di Indonesia, tetapi juga

mempertimbangankan keadilan dan kemaslahatan bagi pencari keadilan. Hal

ini sesuai dengan pendapat Gustav Radbruch yang dikutip oleh Sacipto

Rahardjo tentang tiga nilai dasar hukum yaitu keadilan, manfaat dan kepastian

hukum22

Kebebasan Hakim Dalam Proses Pemeriksaan Perkara. Kebebasan

hakim dalam memberikan putusan sejalan dengan perintah undang undang

yang mewajibkan hakim sebagai penegak hukum dan keadilan untuk

menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di

masyarakat. Prinsip yang mengatakan bahwa pengadilan tidak boleh menolak

untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan kepadanya,

dengan alasan bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk

memeriksa dan mengadilinya. Prinsip ini didasarkan kepada pandangan bahwa

organ'“ pengadilan dapat memahami hukum. Pencari keadilan datang

kepadanya untuk memohon keadilan. Andaikan ia tidak menemukan hukum

tertulis, ia wajib menggali hukum tidak tertulis, untuk memutus sebagai orang

yang bijaksana dan bertanggung jawab kepada Tuhan. Dalam lapangan hukum

pidana, masalah kebebasan hakim terletak pada penentuan jenis pidana,

sampai di mana pembentuk undang-undang memberikan kebebasannya dalam

menentukan jenis pidana, ukuran pidana, dan cara pelaksanan pidana

21

Sudikno Merto Kusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Liberty,

2007), hal.,37. 22

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), hal.,19.

Page 77: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

68

(strafsoort, strafmaat dan strafmodus atau strafmodaliteit). Kebebasan hakim

merupakan wujud dari kebebasan kekuasaan kehakiman, walaupun hal itu

bukan tanpa risiko. Atas nama kebebasan, hakim dapat menyalahgunakan

kebebasannya dan dapat pula bertindak sewenang-wenang. Untuk mencegah

penyalahgunaan kekuasaan tersebut, maka harus diciptakan batasan-batasan

tanpa mengorbankan prinsip kebebasan sebagai hakikat kekuasaan

kehakiman.23

Penetapan Isbat Nikah dalam putusan perkawinan campuran ini

didasarkan kepada metode Maslahah yang lebih utama, yang oleh majelis

hakim dianggap lebih tepat untuk dikedepankan ketimbang mengikuti

ketentuan hukum materiil yang mengatur tentang perkawinan campuran.

Majelis hakim dalam perkara ini berpendapat bahwa Isbat Nikah Perkawinan

Campuran dalam Putusan Nomor: 1172.Pdt.P/2016/PA.Cjr. Harus

mengutamakan kepentingan si anak.

Jadi setelah meninjau beberapa pasal diatas dan analisis data dengan

dihubungkan dengan Penetapan Isbat Nikah Perkawinan Campuran di

Pengadilan Agama Cianur dapat disimpulkan bahawa dalam Penetapan Isbat

Nikah antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing dalam

memutuskan Isbat Nikah tersebut para Majelis Hakim mempunyai metode

ijtihad sendiri dalam memutuskan Isbat Nikah tesebut antara lain metode

tersebut menggunakan metode Maslahah. Disamping itu kedudukan hukum

atau legal standing hakim menggunakan ijtihad tesebut itu boleh boleh saja

dan syah karena dari pihak pemohon I dan Pemohon II telah memenuhi syarat

dan rukun penikahan menurut Agama Islam dan tidak ada halangan untuk

melakukan pernikahan tersebut sehingga pernikahan para pemohon telah

memenuhi ketentuan pasal 2 ayat 1 undang-undang no.1 tahun 1974 dan pasal

7 ayat 3 huruf (e) Kompilasi Hukum Islam sehingga penetapan Isbat Nikah

tersebut dapat dikabulkan.

23

Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, (Jakarta:

Bumi Aksara, 2011), hal.,42.

Page 78: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

69

Memang, bila diteliti semua perintah dan larangan Allah dalam

AlQur'an, begitu pula suruhan dan larangan Nabi SAW dalam sunnah yang

terumuskan dalam fiqh, akan terlihat bahwa semuanya mempunyai tujuan

tertentu dan tidak ada yang sia-sia. Semuanya mempunyai hikmah yang

mendalam, yaitu sebagai rahmat bagi umat manusia, sebagaimana yang

ditegaskan dalam beberapa ayat Al-Qur'an, di antaranya dalam surat

AlAnbiya' :107, tentang tujuan Nabi Muhammad diutus.

Artinya : “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi)

rahmat bagi semesta alam”

Islam merupakan Rahmatan lil Alamin (Rahmat untuk seluruh alam)

dalam ayat di atas diartikan dengan kemaslahatan umat. Sedangkan, secara

sederhana maslahat itu dapat diartikan sebagai sesuatu yang baik dan dapat

diterima oleh akal yang sehat. Diterima akal mengandung pengertian bahwa

akal itu dapat mengetahui dan memahami motif di balik penetapan suatu

hukum, yaitu karena mengandung kemaslahatan untuk manusia, baik

dijelaskan sendiri alasannya oleh Allah atau dengan jalan rasionalisasi.

Page 79: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

70

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah penulis menguraikan dan memaparkan analisis penelitian

penetapan Isbat nikah Perkawinan Campuran di Pengadilan Agama Cianjur,

maka sekiranya penulis mengambil kesimpulan beberapa poin yaitu :

1. Ketentuan Hakim dalam menetapkan perkara Isbat Nikah Perkawinan

Campuran pada Putusan Perkara Nomor:1172.Pdt.P/2016/PA.Cjr. Yaitu

hakim harus mampu menafsirkan Peraturan Perundang-Undangan secara

aktual, menciptakan hukum baru dan mampu berperan mengadili secara

kasuistik, karena tidak ada perkara yang persis/mirip. Maka, dengan

mengedepankan metode Maslahah sebuah upaya yang dilakukan hakim

guna menemukan hukum, ketika Undang-undang tersebut dirasa tidak

dapat memberi rasa adil bagi pihak yang berperkara atau Undang-undang

tersebut dirasa tidak dapat memberi kepastian hukum yang berkeadilan.

Dalam putusan hakim Nomor: 1172.Pdt.P/2016/PA.Cjr tentang Penetapan

Isbat Nikah Perkawinan Campuran, Sebagaimana penegasan pasal 229

Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan hakim dalam menyelesaikan

perkara-perkara yang diajukan kepadanya wajib memperhatikan dengan

sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat, sehingga

putusannya sesuai dengan rasa keadilan. Dan Pasal ini yang secara tegas

menunjukkan suatu kemutlakan yang bersifat memaksa bagi hakim untuk

memegang teguh dan menjadikan Pasal tersebut sebagai landasan moral

dalam menjatuhkan putusan.

2. Peran Hakim dalam praktek Pengadilan, ada 3 (tiga) istilah yang sering

dipergunakan oleh hakim yaitu penemuan hukum, pembentukan hukum

atau menciptakan hukum dan penerapan hukum. Diantara tiga istilah ini,

istilah penemuan hukum paling sering dipergunakan oleh hakim,

sedangkan istilah pembentukan hukum biasanya dipergunakan oleh

lembaga pembentuk undang-undang. Dalam perkembangan lebih lanjut,

penggunaan ketiga istilah itu saling bercampur baur, tetapi ketiga istilah

Page 80: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

71

itu berujung kepada pemahaman bahwa aturan hukum yang ada dalam

undang-undang tidak jelas, oleh karenanya diperlukan suatu penemuan

hukum atau pembentukan hukum yang dilakukan oleh hakim dalam

memutus suatu perkara.102

Tujuan penetapan hukum atau yang sering

dikenal dengan istilah Maqashid al-syari'ah merupakan salah satu konsep

penting dalam kajian hukum Islam. Karena begitu pentingnya Maslahah

tersebut, para ahli teori hukum menjadikan maqashid al-syari'ah sebagai

sesuatu yang harus dipahami oleh mujtahid yang melakukan ijtihad.

Adapun inti dari metode Maslahah adalah untuk mewujudkan kebaikan

sekaligus menghindarkan keburukan, atau menarik manfaat dan menolak

madharat. Inti dari Pertimbangan Hakim tersebut adalah maslahat, karena

penetapan hukum dalam Islam harus bermuara kepada maslahat.103

3. Demi mewujudkan Kekuasaan Kehakiman, melalui berbagai metode

penemuan hukum, Penerapan metode Maslahah dalam putusan yang

dijatuhkan oleh hakim di lingkungan Peradilan Agama didasarkan kepada

upaya hakim untuk menemukan ruh dan jiwa dari tujuan aturan

perundang-undangan itu sendiri, yakni demi tercapainya tujuan Maslahah.

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang

Kekuasaan Kehakiman yang menegaskan bahwa Pengadilan dilarang

menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang

diajukan kepadanya dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang

jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya

B. Saran-Saran

1. Diharapkan dalam Pengkajian dan penyusunan dengan pembuat Undang-

undang tersebut, penalaran terhadap situasi dan kondisi masyarakat harus

dilakukan secara konsisten dengan melihat perkembangan zaman. Undang-

102

Abdul Manan, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Praktek Hukum Acara di Peradilan

Agama, makalah, disampaikan pada Rakernas Mahkamah Agung RI di Balikpapan, tanggal 10-14

Oktober 2010. 103

Ghafar Shidiq, “Teori Maqâshid Al-Syarî’ah Dalam Hukum Islam”, dalam Jurnal Sultan Agung, Vol XLIV No. 118 Juni-Agustus 2009, hal.,117.

Page 81: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

72

undang yang baik adalah Undang-undang yang dapat mengikuti

perkembangan pola masyarakat pada zamannya. Hendaknya pihak-pihak

yang terkait melakukan amandemen terhadap beberapa pasal dalam

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi

Hukum Islam yang dianggap kontradiktif dengan ketentuan lain

2. Perlu diadakannya penelitian oleh Hakim mengenai pembentukan hukum

melalui putusan-putusan Pengadilan, sebab hal ini sangat penting sebagai

kontribusi dalam pembentukan Hukum Pidana Nasional yang selain tetap

dapat menunjukkan adanya kepastian hukum, sangat penting juga adalah

dapat memberikan/mencerminkan tertampungnya rasa keadilan yang hidup

dalam masyarakat.

3. Hendaknya diberlakukan sanksi terhadap para pemohon yang permohonan

penetapan isbat nikahnya disahkan oleh Pengadilan Agama, sedangkan

pelaksanaan pernikahannya secara agama dilaksanakan setelah berlakunya

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Hal ini untuk menjaga kewibawaan

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pengadilan

Agama, hendaknya menyamakan ketentuan persyaratan administratif

permohonan penetapan isbat nikah di Pengadilan Agama dengan

permohonan pendaftaran perkawinan di Kantor Urusan Agama, demi

terciptanya kejelasan aturan dan kesamaan persepsi antara dua lembaga

tersebut.

Page 82: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

73

DAFTAR PUSTAKA

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya

Bakti, 1933.

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika,

Presindo, 2007.

Abû Hâmid Muhammad al-Gazâli, al-Mustasfa min „Ilm al-Usûl, tahqîq wa ta„lîq

Muhammad Sulaimân al-Asyqar, (Beirut: Mu‟assasat al-Risâlah, 1417

H/1997 M), Juz ke-1

Arso Sosroatmodjo dan Wasit aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta -

Indonesia : Bulan Bintang, 1975.

Asnawi Natsir, Hermeneutika Putusan Hakim, Yogyakarta: UII Press, 2014.

Asshiddiqie Jimly, Buku Perihal Undang-Undang, ( Jakarta :Raja Grapindo

Persada, 2010)

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), Cet I, Jilid II

Azhar Basyir Ahmad, Kawin Campur, Adopsi Wasiat menurut Hukum Islam,

Bandung: Al-Ma‟arif, 1972.

D.Y. Witanto, Hukum Keluarga, Jakarta: Prestasi Pustaka, 2012.

Dermawan Doni, Pendekatan Maqashid Al Syari‟ah Dalam Memeriksa Dan

Memutuskan Perkara, 2006.

Effendi Satria, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005.

Fanani Ahmad, Berfilsafat dalam Putusan Hakim, Bandung: Mandar Maju, 2014.

Farida Maria Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan, Kanisius, Yogyakarta,

1998

Fathi al-Daraini, al-Manahij al-usuliyyaah fi Ijtihad bi al-Ra‟yi fi al-Tasyri,

Damasyik: Dar alKitab al-Hadis, 1975.

Fuady Munir, filsafat dan teori hukum post modern, Bandung: Citra Aditya Bakti,

2005.

Gautama Sudargo (Gouw Giok Siong), Hukum Antar Golongan, Jakarta: Ichtiar

Baru Vanhore, 1980.

Gautama Sudargo, Aneka Masalah Dalam Praktek Pembaruan Hukum Di

Indonesia, cet. 1, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1990.

Page 83: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

74

Gautama Sudargo, Himpunan Perundang-undangan Hukum Perdata

Internasional Sedunia, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1996.

Haroen Nasroen, Ushul Fiqh 1, cet ke-1 Jakarta; Logos, 1996.

Hasan Ahmad, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, Bandung: Pustaka, cet. 1, 1984.

Hasbi Umar, Nalar Fiqh Kontemporer, Jakarta: Gaung Persada Press, 2007.

Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, (Semarang: Pustaka Rizki

Putra,2013)

Hasbullah Bakri, Pengaturan Undang-undang Perkawinan Umat Islam, Jakarta:

Bulan Bintang, 1970.

Husain Hâmid Hisân, Nazariyyat al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islâmiy, (Beirut: Dâr

alNahdah al-„Arabiyyah, 1971)

Ichtijanto, “Perkawinan Campuran dalam Negara Republik Indonesia“, Penerbit

Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Deparetemen Agama

Republik Indonesia, 2003.

Jaya Bakri Afsari, Konsep Maqashid al-Syariah menurut al-Syatibi Jakarta: P.T.

Raja Grafindo Persada,1996.

K. wantjik Saleh, hukum acara perdata, Jakarta: Ghalia Indonesia, cet.4, 1981.

Kaharuddin, Nilai-nilai Filosofi Perkawinan, Menurut Hukum Perkawinan Islam

dan Undang-undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,

Jakarta: Mitra Wacana Media, 2015.

Lexy. J. Meleong, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Rosdakarya, 2001.

Mertokusumo Sudikno, mengenal hukum, suara pengantar Yogyakarta: liberty,

2004.

Muhammad, Suma Amin, Kawin Beda Agama di Indonesia Telaah Syariah dan

Qanuniah, Ciputat - Indonesia: Lentera Hati, 2015.

Nuruddin Amiur, Ijtihad Umar Ibn Al-Khaththab Studi tentang perubahan hukum

dalam Islam, Jakarta, Rajawali Pers 1987.

Partanto Pius dan Dahlan Al-barry, Kamus Ilmiah Popular, Surabaya: Akola,

1994.

Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA), Panduan Pengajuan Isbat

Nikah, Jakarta: Australia Indonesia partnership, 2012.

Peter Marzuki Mahmud Penelitian Hukum, Cet, IV, Jakarta: Kencana, 2008.

Page 84: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

75

Poentang Moerad, Pembentukan Hukum melalui Putusan Pengadilan dalam

Perkara Pidana, Bandung: PT. Alumni, 2005.

Rahardjo Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000.

Rahmadi Usman, Aspek- Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di

Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika 2006).

Rasjidi Lili dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum,

Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004.

Rifai Ahmad, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif,

Jakarta: Bumi Aksara, 2011.

Rimdan, Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen Konstitusi, Jakarta: Kencana,

2012.

Rofiq Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cet

ke 6., 2005.

Romulyo Idris Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Perdata Peradilan

Agama dan Hukum Perkawinan Islam, Jakarta; IND.HILL-CO, 1995.

Sallâm Muhammad Madkûr, al-Ijtihâd fi al-Tasyrî„ al-Islâmiy, (Kairo: Dâr al-

Nahdah al-„Arabiyyah, 1404 H/1984 M)

Sanusi Ahmad dan Sohari, Ushul Fiqh, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2015.

Sofyan Yayan, Islam Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam Dalam

Hukum Nasional, Jakarta: Uin Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.

Sukanto Soejono dan Sri Mudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: IND

HILLCO. 2001.

Tahir Muhammad Azhari, Negara Hukum, (Jakarta: Kencana, 2010)

T.Jahfizham, Persentuhan Hukum di Indonesia dengan Hukum Perkawinaan

Islam, Medan: Mestika, 1977.

Tim Pustaka Phoenix, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet ke VI, Jakarta:

Pustaka Phoenix, 2012.

Triwulan Titik, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara, Jakarta: Prestasi Pustaka

Publisher, 2006.

Wahbah al-Zuhaili, Ushûl al-Fiqh al-Islâmi, Cet ke II, Damaskus: Dâr al-Fikri,

1986.

Zahrah Abu Muhammad, Ushul al-Fiqh, Mesir : Dar al-Fikr al-„Arabi, 1958.

Page 85: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47632...Menelaah definisi “Pernikahan Campuran” dalam naskah Peraturan Perundang-undangan

76

Jurnal dan Skripsi

Bafadhal Faizah, Jurnal Ilmu Hukum, Itsbat Nikah Dan Implikasinya Terhadap

Status Perkawinan Menurut Peraturan Perundang-Undangan Indonesia,

2014.

Dhiaul Akifin Ahmad, skripsi penerapan Asas Contra Legem dalam Pembagian

Harta Bersama, Jakarta: Skripsi Uin Jakarta 2014.

Gerdha Prastica Pangestu E-jurnal Gloria Yuris jurnal ilmu hukum untan, hal.,2.

Ghafar Shidiq, “Teori Maqâshid Al-Syarî‟ah Dalam Hukum Islam”, dalam Jurnal

Sultan Agung, Vol XLIV No. 118 Juni-Agustus 2009.

Huda Ni‟matul, “Kedudukan Peraturan Daerah dalam Hierarki Peraturan

Perundang-Undangan”, Jurnal Hukum Vol. 13 No. 1, Januari 2006

Myrna zahraina, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang Dasar 1945.

Undang-undang perkawinan no 1 thn 1974 bagian ke 3 bab XII dalam

ketententuan lain.

Undang-Undang nomor 24 tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan.

Undang-Undang nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan.

Undang-undang No 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Kompilasi Hukum Islam

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata

Website

http//www.Foreign Relationship Community / FRC

http//www.media.neliti.com

http/www.perkawinan-campuran.html.com

http://Library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/18/jtptiain-gdl-s1-2006-

ahmadmuzai-8802104.

http://Www.Hukumonline.com

http://www.mixedcouple.com/articles/mod.php

https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia