Upload
others
View
15
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PENERJEMAHAN KOMUNIKATIF BUKU NAHWA RAJUL A’MĀL ISLĀMY
KARYA ASYRAF MUHAMMAD DAWĀBAH
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora
(S.Hum)
Oleh:
Samsul Komar: 1112024000020
PROGRAM STUDI TARJAMAH
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2019 M/ 1440 H
ii
PERNYATAAN
Yang bertandatangan di bawah ini:
Nama : Samsul Komar
NIM : 1112024000020
Menyatakan bahwa skripsi dengan judul PENERJEMAHAN BUKU NAHWA RAJUL
A‟MĀL ISLĀMY KARYA ASYRAF MUHAMMAD DAWĀBAH adalah benar
merupakan karya saya sendiri dan tidak melakukan tindakan plagiat dalam
penyusunannya. Adapun kutipan dalam penyusunan karya ini telah dicantumkan
sumbernya. Saya bersedia melakukan proses yang semestinya sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku jika ternyata skripsi ini sebagain atau keseluruhannya
merupakan plagiat dari karya orang lain.
Demikian pernyataan ini dibuat utuk dipergunakan seperlunya
Jakarta, 11 April 2019
Samsul Komar
NIM. 1112024000020
iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
PENERJEMAHAN KOMUNIKATIF BUKU NAHWA RAJUL A’MĀL ISLĀMY
KARYA ASYRAF MUHAMMAD DAWĀBAH
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum)
Oleh
SAMSUL KOMAR
NIM. 1112024000020
Pembimbing
Drs. Ikhwan Azizi, M.A.
NIP. 19570816 199403 1 001
PROGRAM STUDI TARJAMAH
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1440 H/2019 M
iv
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudu "Penerjemahan Komunikatif Nahwa Rajul A„māl Islāmy
Karya Asyraf Muhammad Dawābah" diajukan kepada Fakultas Adab dan
Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan telah dinyatakan lulus dalam
Ujian Munaqasyah, pada 06 Mei 2019. Skripsi ini telah diterima sebagai salah
satu syarat memperoleh gelar Sarjana Humaniora (S.Hum) pada program studi
Tarjamah
Jakarta, 06 Mei 2019
Sidang Munaqasyah
Panitia Ujian Munaqashyah Tanggal Tanda Tangan
Ketua Sidang (Ketua Jurusan)
Dr. Moch Syarif Hidayatullah, M.Hum ____________ _______________
NIP. 19791229 200501 1 004
Sekretaris Sidang
Dr. Rizqi Handayani, M.A ____________ _______________
NIP. 19831108 200912 2 005
Penguji I
Prof. Dr. Achmad Satori Ismail, M.A ____________ _______________
NIP. 19551206 199203 1 001
Penguji II
Dr. Zamzam Nurhuda, S.S., M.Hum ____________ _______________
Dekan
Drs. Saiful Umam, M.A., Ph.D
NIP. 19671208 199303 1 002
v
Pedoman Transliterasi
B = ب Z = ز F = ف
T = ت S = س Q = ق
Th = ث Sy = ش K = ك
J = ج Ṣ = ص L = ل
Ḥ = ح Ḍ = ض M = م
Kh = خ Ṭ = ط N = ن
D = د Ẓ = ظ H = ه
Dz = ع = „ ذ W = و
R = ر Gh = غ Y = ي
Pendek : a = i = u =
Panjang : ā = ا ī = ي ū = و
Diftong : ay = ا ي aw = ا و
Ta Marbuṭah : ح apabila waqaf menjadi “h”
Syaddah : ditulis dobel
Contoh :
Ḥawla : دي Ḥusayn : دغ
ب Fāṭimah : فبطخ Rabbanā : سث
‟al-Nisā : اغبء al-Syams : اشظ
سح al-Madīnah al-Munawwarah : اذخ ا
Trasliterasi ini tidak berlaku pada kata-kata yang telah diserap ke dalam
bahasa Indonesia seperti kata hadis, zakat, wakaf, nash, dan lain sebagainya.
vi
Abstrak
Samsul Komar
Penerjemahan Komunikatif Nahwa Rajul A‘māl Islāmy Karya Asyraf
Muhammad Dawābah
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan penerjemahan buku Nahwa
Rajul A„māl Islāmy karya Asyraf Muhammad Dawābah menggunakan metode
komunikatif yang digagas oleh Peter Newmark dalam A Textbook of Translation.
Sedangkan metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif yang
bersifat deskriptif. Teknik analisis yang dilakukan melalui beberapa tahap berikut;
menerjemahkan buku Nahwa Rajul A„māl Islāmy, memilih sample teks, membuat
terjemahan pembanding menggunakan metode semantik, terakhir
mendeskripsikan strategi penerjemahan yang dilakukan. Berdasarkan penelitian
yang telah dilakukan, proses menerjemahkan objek buku di atas menggunakan 4
strategi, yaitu: Taqdim wa Ta‟khir (mengedepankan dan mengakhirkan), Ziyādah
(menambahkan), Ḥadzf (membuang) dan Tahwil (mengalihkan).
Dalam penerjemahan ini peneliti menemukan bahwa menerjemahkan tidak
melulu soal padanan, tapi juga rasa. Dalam beberapa kasus, peneliti harus berani
membuang, menambah, bahkan menggabungkan teks. Langkah tersebut dipilih
guna mencapai satu tujuan, yakni pemahaman pembaca. Mempertahankan
keutuhan suatu teks justru menghambat tujuan tersebut.
vii
Kata Pengantar
5
Alhamdulillah segala puji dan syukur peneliti panjatkan ke hadirat Allah swt
atas selesainya penyusunan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk
menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Tarjamah Fakultas Adab dan
Humaniora di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawat serta salam semoga
tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad shallahu alaihi wa sallam.
Peneliti sangat menyadari bahwa skripsi yang berjudul
PENERJEMAHAN KOMUNIKATIF BUKU NAHWA RAJUL A’MĀL
ISLĀMY KARYA ASYRAF MUHAMMAD DAWĀBAH ini tidak mungkin
terselesaikan tanpa izin Allah, kemudian bantuan, bimbingan dan dorongan dari
berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini peneliti ingin mengucapkan rasa
terima kasih yang setulus-tulusnya kepada:
1. Bapak Drs. Saiful Umam, M.A., Ph.D. selaku Dekan Fakultas Adab dan
Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta jajarannya.
2. Dr. Moch Syarif Hidayatullah, selaku Ketua Jurusan Tarjamah dan
Skretaris Jurusan Dr. Rizqi Handayani, M.A., yang selalu memotivasi
peneliti untuk tidak pernah menyerah.
3. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Adab Dan Humaniora UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, yang telah ikhlas memberikan ilmu mereka untuk
mengisi hati kami.
4. Drs. Ikhwan Azizi, M.A. selaku Pembimbing skripsi yang bersedia
meluangkan waktunya untuk membimbing.
5. Prof. Dr. Achmad Satori Ismail, M.A., selaku penguji 1 dan Dr. Zamzam
Nurhuda, S.S., M.Hum. selaku penguji 2 yang telah rela mengorbankan
waktunya untuk mengkaji, memberikan kritik serta arahan berharga demi
perbaikan skripsi ini.
viii
6. Dr. Ahmad Saekhudin, M.Ag. yang pernah memberikan rekomendasi
untuk peneliti mendapatkan beasiswa BIDIKMISI.
7. Kepada mamah tercinta, Marianah yang selalu mendoakan kebaikan tanpa
pernah bosan. Segalanya beliau korbankan demi kesuksesan putranya.
Serta adik-adik tersayang yang selalu mendorong penelitian ini dengan
segenap moril maupun meteri.
8. Kepada rekan-rekan mahasiswa jurusan Tarjamah UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dan semua pihak yang telah memberikan bantuan
dengan sukarela dalam penyelesaian skripsi ini.
9. Serta semua individu yang berperan secara langsung dan tidak langsung
yang sangat mungkin tidak disadari oleh peneliti. Semoga Allah
memberikan balasan atas semua kebaikan yang telah mereka lakukan.
Āmīn.
Akhirnya peneliti menyadari bahwa skripsi ini tidak mungkin luput dari
kekurangan dan kelemahan. Karenanya sumbangsih dan pemikiran, kritik serta
saran yang konstruktif dari semua pihak sangat peneliti harapkan untuk perbaikan
pada kajian-kajian dengan tema yang sama pada masa yang akan datang.
Jakarta, 30 April 2019
Hormat saya,
Samsul Komar
ix
Daftar Isi
PERNYATAAN ......................................................................................................................... II
PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................................................ III
PENGESAHAN PANITIA UJIAN .......................................................................................... IV
PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................................................... V
ABSTRAK ............................................................................................................................... VI
KATA PENGANTAR ............................................................................................................. VII
DAFTAR ISI .............................................................................................................................IX
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................... 1
A. LATAR BELAKANG .................................................................................................................... 1 B. PEMBATASAN DAN RUMUSAN MASALAH .................................................................................. 3 C. TUJUAN PENELITIAN ................................................................................................................. 4 D. MANFAAT PENELITIAN .............................................................................................................. 4 E. PENELITIAN TERDAHULU .......................................................................................................... 4 F. METODOLOGI PENELITIAN ........................................................................................................ 6
a. Metode Penelitian ............................................................................................................... 6 b. Sumber Data ........................................................................................................................ 6 c. Teknik Pengumpulan Data .................................................................................................. 6 d. Analisis Data ....................................................................................................................... 7
H. SISTEMATIKA PENULISAN ......................................................................................................... 7
BAB II KERANGKA TEORI................................................................................................... 9
A. PENGERTIAN PENERJEMAHAN ................................................................................................... 9 B. PENERJEMAHAN KOMUNIKATIF ............................................................................................... 11 C. STRATEGI PENERJEMAHAN ...................................................................................................... 13
1. Mengedepankan dan Mengakhirkan (Taqdim wa Ta’ khir) ............................................... 13 2. Menambahkan (Ziyādah) .................................................................................................... 14 3. Membuang (Ḥadzf) ............................................................................................................. 15 4. Mengalihkan (Tahwīl) ........................................................................................................ 17
BAB III BIOGRAFI ASYRAF MUHAMMAD DAWĀBAH DAN SEKILAS TENTANG
BUKU NAHWA RAJUL A’MĀL ISLĀMY ........................................................................... 18
A. ASYRAF MUHAMMAD DAWĀBAH ............................................................................................ 18 B. BUKU NAHWA RAJUL A‟MĀL ISLĀMY..................................................................................... 19
BAB VI PERTANGGUNGJAWABAN TERJEMAHAN TEKS BUKU ................................ 23
a. Teks Judul Buku ................................................................................................................. 23 b. Teks Sub Bab ...................................................................................................................... 25 c. Teks Klausa Verba .............................................................................................................. 27 d. Teks Kalimat Nomina ......................................................................................................... 29 e. Teks Paragraf ...................................................................................................................... 29 f. Teks Daftar .......................................................................................................................... 31 g. Teks Tasybih ...................................................................................................................... 35 h. Teks Bab ............................................................................................................................. 37 i. Teks Penghubung ................................................................................................................ 39
x
BAB V PENUTUP .................................................................................................................. 42
A. KESIMPULAN ........................................................................................................................... 42 B. REKOMENDASI ........................................................................................................................ 42
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................... 43
INTERNET .................................................................................................................................... 44
LAMPIRAN TERJEMAH NAHWA RAJUL A‘MĀL ISLĀMY ........................................... 45
1
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Sejak dulu produk terjemahan berupa buku telah banyak dihasilkan
masyarakat, seperti penerjemahan yang dilakukan para ulama salaf terhadap buku-
buku Yunani dalam Bait al-Hikmah. Kegiatan itu dikenal juga dalam bahasa
Inggris sebagai “translation” yang memiliki dua arti yang berlaku. Arti pertama,
ialah “mengungkapkan makna dari suatu ujaran, buku atau puisi dalam bahasa
lain”, yaitu “menerjemahkan”, sedangkan arti kedua adalah “pindahnya seseorang
dari suatu tempat atau suatu keadaan lain, dsb.”1
Selain sebagai aktifitas penyampaian pesan, penerjemahan disadari sebagai
salah satu media yang dapat memantau kesepakatan perkembangan ilmu
pengetahuan. Banyak buku dan artikel tentang terjemahan, ditulis para ahli dalam
suatu cabang ilmu tertentu dengan pendekatan yang beraneka ragam sesuai
dengan disiplin ilmu masing-masing.2
Pendekatan yang dimaksud adalah proses menerjemahkan yang berupa
usaha untuk mengalihkan pesan yang terdapat dalam bahasa sumber tanpa
1 Henri Chambert Loir, Sadur, Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia, (Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia, 2009) Cet.ke-1,h.49
2 Suhendra Yusuf,Teori Terjemahan, Pengantar ke arah pendekatan linguistik dan
Sosiolinguistik, (Bandung: Mandar Maju, 1994) Cet.ke-1,h.7
2
mengubah maksud dan pesan tersebut. Begitu pula dalam membentuk kalimat ke
dalam bahasa sasaran haruslah jelas.3
Dalam penerjemahan perlu kirannya seorang penerjemah memiliki
pengetahuan mengenai tahapan-tahapan, syarat-syarat dan ragam penerjemahan,
serta pendekatan apa yang sebaiknya diambil.
Selain semua itu, seorang penerjemah harus mengerti kemampuan
berbahasa pembaca sehingga mudah dicerna. Usaha itu juga mesti dibarengi
dengan mempertahankan konsep yang terdapat dalam bahasa sumber, guna
menghindari penyimpangan dalam teks keagamaan khususnya.
Penerjemah tidak ayalnya adalah seorang penulis kedua. Ia memiliki
peranan penting untuk menyampaikan informasi dan pesan yang terdapat dalam
suatu buku. Poin terpenting inilah yang harus digunakan saat menggunakan kosa
kata, diksi dan nuansa yang ada.
Seorang penerjemah haruslah menimbulkan kecintaan pada kosa kata, diksi,
dan eksplorasi kata.4 Sulit untuk menjadi penerjemah yang baik jika kosa kata
yang dimiliki terbatas, terlebih saat mengalihkan pesan yang berakibat pada
kekakuan bahasa.
Kasus serupa terkadang kita dapatkan pada beberapa terjemahan kitab klasik
terlepas dari kemampuan penerjemah yang terbatas oleh beberapa hal, peneliti
tidak berhak mengkritik buku-buku tersebut. Sebagai kompensasi dari itu, peneliti
3 Nurachman Hanafi, Teori dan Seni Menerjemahkan, (Ende Flores-NTT:Nusa Indah,
1986), h.24.
4 Isa Alamsyah, 101 Dosa Penulis Pemula, Mengupas Inti Sari Workshop Menulis Asma
Nadia, (Depok: AsmaNadia Publishing House, 2014) Cet.ke-1,h. 206.
3
akan mencoba menerjemahkan buku modern yang telah berkembang dari sisi
bahasa.
Nahwa Rajul A„māl Islāmy adalah judul buku yang akan peneliti
terjemahkan. Ditulis oleh seorang doktor dalam bidang administrasi bisnis
bernama Asyraf Muhammad Dawābah dan diterbitkan pertama kali pada tahun
2015.
Kitab Nahwa Rajul A„māl Islāmy adalah buku motivasi religi berbahasa
Arab, yang mendorong pelaku bisnis untuk menanamkan nilai-nilai keislaman
dalam segala kegiatan wirausaha mereka, seperti jujur dan tidak mengambil riba.
Namun, terdapat sejumlah kendala saat dilakukan penerjemahan yang berupa
keragaman kemampuan berbahasa pembaca yang akhirnya mendorong peneliti
memilih metode komunikatif sebagai metode yang cenderung pada keterbacaan
teks sasaran.
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah
Untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman dan demi menyamakan
persepsi agar kajian yang ditulis tidak melebar pembahasanya, peneliti perlu untuk
memberikan batasan dan rumusan masalah yang akan dikaji.
Terkait dengan buku tersebut, banyak sekali hal yang dapat dikaji. Namun
dalam skripsi ini, peneliti mencoba menerjemahkannya dengan metode
komunikatif hingga dapat dipahami. Adapun rumusan masalah dalam skripsi ini
dicantumkan dalam bentuk pertanyaan berikut:
Bagaimana penerjemahan buku Nahwa Rajul A„māl Islāmy menggunakan
metode komunikatif?
4
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah, mengetahui
penerjemahan buku Nahwa Rajul A„māl Islāmy dalam metode komunikatif.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1. Penelitian ini dapat menambah wawasan dan informasi bagi peneliti,
pembaca, serta penerjemah secara umum bagaimana menerjemahkan
teks modern menggunakan metode komunikatif.
2. Memacu mahasiswa Tarjamah UIN Syarif Hidayatullah untuk
melakukan penelitian serupa, yakni menerjemahkan buku.
3. Penelitian ini dapat digunakan dan dimanfaatkan untuk dijadikan
bahan pertimbangan dalam pengembangan penelitian terkait.
E. Penelitian Terdahulu
Setelah mendalami beberapa bahan rujukan, peneliti menemukan beberapa
penelitian yang memiliki keserupaan baik metode ataupun gagasan, yakni
menerjemahkan karya tulis. Di antaranya:
Pertama, Hurul Hikmah pada tahun 2018 dengan judul
"Pertanggungjawaban Dalam Pengaplikasian Penerjemahan Berita Tentang Krisis
Suriah di BBC Arabic" Program Studi Tarjamah. Sebuah skrispsi yang
memaparkan bagaimana aplikasi strategi penerjemahan yang dia lakukan terhadap
berita di website BBC. Ini yang membedakan, karena skripsi yang digarap peneliti
adalah sebuah buku.
5
Kedua, M. Mawardi pada tahun 2018 dengan judul "Penerjemahan
Komunikatif Buku 'Asrar al-Rashm Fi Khat al-Naskhi karya Mohamed Amzil"
Program Studi Tarjamah. Skrispsi tersebut bertujuan untuk mengetahui strategi
dalam menerjemahkan buku bertemakan kaligrafi dengan metode yang sama,
yang membedakan adalah buku yang diterjemahkan peneliti adalah tema ekonomi
dan bisnis.
Ketiga, Al Muhtarom pada tahun 2017 dengan judul "Penerjemahan
Komunikatif Muhammad Farid Wajdi Dalam Terjemahan Kitab al-Hikam Karya
Ibnu Athaillah as-Sakandari" Program Studi Tarjamah. Walau sama-sama
menggunakan metode komunikatif, saudara Al Muhtarom berperan dalam
menganalisis terjemahan Farid Wajdi. Sedangkan karya ilmiah yang digarap
peneliti sendiri bukan menganalisis, namun menerjemahkan.
Keempat, Ida Nur Jannah pada tahun 2017 dengan judul "Penerjemahan
Kitab Qasas al-Qur`ȃn li al-Aṯfȃl (Metode Komunikatif)" Program Studi
Tarjamah. Skripsi tersebut bertujuan menerjemahkan buku, juga menggunakan
metode komunikatif. Yang membedakan di sini adalah Ida menggunakan teknik
yang dikutip oleh Anindia Ayu Rahmawati dari Journal of Linguistics yang terdiri
18 teknik. Sementara peneliti hanya menggunakan 4 strategi.
Kelima, Qisthina Amajida pada tahun 2017 yang berjudul "Penerjemahan
Buku al-Qira'ah al-Rasyidah Karya Abul Hasan Ali Nadwi" Program Studi
Tarjamah. Skripsi tersebut mendeskripsikan proses menerjemahkan buku cerita
anak dengan metode komunkatif. Namun, yang berbeda adalah skripsi tersebut
tidak menyebutkan adanya strategi yang dilakukan selama proses penerjemahan.
6
F. Metodologi Penelitian
a. Metode Penelitian
Dalam kajian ini, digunakan metode penelitian kualitatif yang bersifat
deskriptif dan cenderung menggunakan analisis. Proses dan makna lebih
ditonjolkan dalam penelitian ini. Landasan teori dimanfaatkan sebagai pemandu
agar fokus penelitian sesuai dengan maksud penulis buku.
Dengan menggunakan buku-buku pendukung peneliti dapat lebih mudah
memahami penulis berdasarkan aturan tata bahasa sumber.
b. Sumber Data
Adapun pencarian data yang dilakukan terbagi 2. Pertama, Primer. Data
yang didapat ialah pengolahan dari buku yang akan diterjemahkan, yakni “Nahwa
Rajul A„māl Islāmy” karya Asyraf Muhammad Dawābah. Kedua, Skunder. Data
yang tentunya penting juga, diraih dengan membaca-baca literatur Islam yang
berkaitan dengan kitab itu.
c. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan tahap sebagaimana berikut:
Tahap pertama, menentukan objek penelitian. Dalam hal ini objeknya
adalah buku Nahwa Rajul A„māl Islāmy.
Tahap kedua, peneliti membaca keseluruhan buku untuk memahami.
Tahap ketiga, melakukan klasifikasi teks.
Tahap keempat, menerjemahkan isi buku Nahwa Rajul A„māl Islāmy
7
Kelima, mementukan metode dan strategi pendukung yang dapat digunakan
peneliti.
Keenam, mengaplikasikan metode dan strategi terhadap objek buku Nahwa
Rajul A„māl Islāmy.
d. Analisis Data
Adapun analisis data dilakukan agar penelitian ini berjalan sistematis adalah
sebagai berikut:
Tahap pertama, peneliti membaca seluruh isi buku Nahwa Rajul A„māl
Islāmy. Langkah ini dilakukan untuk memahami isi buku tersebut secara utuh dan
memperhatikan maksud dari penulis secara umum.
Tahap kedua, peneliti menerjemahkan secara harfiah. Langkah ini berguna
untuk mengetahui kontruksi gramatikal Tsu agar tidak salah memadankan Tsa.
Tahap ketiga, peneliti menyajikan terjemah semantik sebagai pembanding
dan alternatif.
Tahap keempat, peneliti menerjemahkan menggunakan metode komunikatif
yang akan digunakan sebagai objek pertanggungjawaban.
Kelima, mempertanggungjawabkan terjemahan berserta strategi yang telah
dilakukan.
Keenam, membuat kesimpulan.
H. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah pembahasan, peneliti telah menyusun sistematika
penulisan skripsi ini dalam lima bab, yaitu:
8
Bab pertama merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari: Latar Belakang
Masalah, Batasan dan Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian,
Penelitian Terdahulu, Kerangka Teori, Metodologi Penelitian dan Sistematika
Penelisan.
Bab kedua berbicara seputar kerangka teori penerjemahan yang meliputi:
Pengertian Penerjemahan secara umum, Pengertian Penerjemahan Komunikatif,
dan Strategi Penerjemahan yang digunakan peneliti.
Bab ketiga memaparkan biografi Asyraf Muhammad Dawābah, dan
penjelasan singkat Tentang Buku Nahwa Rajul A„māl Islāmy.
Bab keempat difokuskan pada deskripsi dan pertanggungjawaban
penerjemahan secara umum dan hasil terjemahan dari buku itu sendiri.
Bab kelima yaitu bab penutup, yang terdiri dari kesimpulan dari
pembahasan skripsi ini dan saran.
9
BAB II
Kerangka Teori
A. Pengertian Penerjemahan
Telah banyak definisi para pakar yang berusaha mengungkap hakikat dari
terjemah dan aktifitas penerjemahan. Hal itu tidak lepas dari pengalaman dan
sudut pandang serta pendekatan mereka yang berbeda.1 Berhubung dengan
banyaknya pengertian tersebut, peneliti berharap dapat menjelaskan makna
penerjemahan berdasarkan pendapat para ahli yang dikenal kompeten dalam
bidang penerjemahan.
Mari kita mulai dengan mengutip perkataan Nida dan Taber mengenai
penerjemahan, keduanya menyatakan:
Translation consists of reproducing in the receptor language the closest
natural equivalent of the souce languang message, first in terms of meaning
and secondly in terms of style.2
Secara bebas kutipan di atas dapat diterjemahkan sebagai berikut:
Penerjemahan adalah upaya mereproduksi pesan ke dalam bahasa penerima
(BSa) dengan padanan sealami mungkin sesuai bahasa sumber (BSu),
pertama dalam hal makna, kemudian dari gaya bahasa.
1 Frans Syogie, Penerjemahan Bahasa Inggris Ke Dalam Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidyatullah, 2008) h. 9.
2 Nida, E.A. dan Ch. R. Taber. The Theory and Practice of Translation. Help for Translator,
(Den Haag: Brill, 1969) h. 12.
10
Menurut Sayogie, penerjemahan adalah usaha pengungkapkan pesan
kedalam bahasa lain. Karenanya, benar atau salah suatu terjemahan tidak
selamanya mutlak, jika melihat siapa sasaran dari terjemahan tersebut.
Menurutnya juga, kata reseptor dalam kutipan di atas menunjukkan bahwa
penerjemahan adalah kegiatan komunikasi.3 Komunikasi inilah yang menjadikan
hasil terjemahan sebagai produk yang memiliki sifat relatif.
Mendukung dua ahli di atas, Suryawinata dan Hariyanto juga
mengungkapkan hal yang sama, bahwa penerjemahan adalah mencari padanan
yang semirip mungkin sehingga pesan dalam bahasa sumber dapat tersampaikan
ke dalam bahasa sasaran.4 Sedangkan menurut Ibnu Burdah, terjemah adalah
usaha memindahkan pesan dari teks sumber dengan padanannya ke dalam bahasa
sasaran.5
Dalam Sayogie, Newmark mendefinisikan penerjemahan:
rendering the meaning of a text into another language in the way that the
author intended the text (mengalihkan makna suatu teks ke dalam bahasa
lain sesuai maksud pengarang).6
Definisi yang sama juga diungkapkan oleh Syarif Hidayatullah, bahwa
penerjemahan adalah memindahkan pesan ke dalam bahasa lain secara sepadan
3 Frans Sayogie, Penerjemahan Bahasa Inggris Ke Dalam Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidyatullah, 2008) h.7.
4 Zuchridin Suryawinata dan Sugeng Hariyanto, Translation: Bahasa Teori dan Penunjuk
Praktis Menerjemah, (Yogyakarta: Kanisius, 2003) h. 12.
5 Ibnu Burda, Menjadi Penerjemah Metode dan Wawasan Menerjemah Teks Arab,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004), h. 10.
6 Frans Syogie, Penerjemahan Bahasa Inggris Ke Dalam Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidyatullah, 2008) h. 7.
11
dengan ungkapan yang wajar, sehingga tidak menimbulkan salah persepsi dalam
mengangkap pesan.7
Dari beberapa definisi di atas, secara sederhana penerjemahan dapat
dimengerti sebagai aktifitas pengalihan pesan dari satu bahasa sumber, ke dalam
bahasa lain yang berbeda, namun mengandung konsep yang sama atau sepadan.8
Karena terjemah erat kaitannya dengan pesan dan amanat, penerjemah adalah
orang yang bertanggungjawab untuk memahami suatu teks dalam bahasa sumber
sekaligus menyuguhkan kepada pembaca pengguna bahasa sasaran. Sudah tugas
penerjemah adalah memahami sekaligus memahamkan. Penerjemah yang tidak
memahami teks sumber berarti telah gagal sebelum melangkah dan kemungkinan
terburuknya ia akan menyajikan karya terjemahan yang tidak berkualitas. Lebih
parah lagi jika yang ia terjemahkan adalah teks al-Quran, karena penerjemah
adalah penyambung lidah penulis atau pembicara.9
B. Penerjemahan Komunikatif
Penerjemahan Komunikatif adalah metode menerjemahkan dengan
mereproduksi makna kontekstual bahasa secara tepat.10
Sebagaimana yang pernah
ditulis Newmark:
7 Moh. Syarif Hidayatullah, Seluk Beluk Penerjemahan Arab-Indonesia Kontemporer:
Dasar, Teori dan Masalah, (Tengerang: UIN Press, 2014) h. 17.
8 Rudolf Nababan, Teori Menerjemah Bahasa Inggris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008)
h. 20.
9 Moch. Syarif Hidayatullah, Seluk Beluk Penerjemahan Arab-Indonesia Kontemporer:
Dasar, Teori dan Masalah, (Tengerang: UIN Press, 2014) h. 15.
10 Moch. Syarif Hidayatullah, Seluk Beluk Penerjemahan Arab-Indonesia Kontemporer:
Dasar, Teori dan Masalah, (Tengerang: UIN Press, 2014) h. 63.
12
Communicative translation attempts to render the exact contextual meaning
of the original in such a wav that both content and language are readily
acceptable and comprehensible to the readership.11
Metode ini sangat memperhatikan efek terjemahan terhadap pembaca target.
Hasil terjemahan diupayakan memiliki bentuk, makna dan fungsi yang selaras
dalam BSa.12
Dengan kata lain, terjemahan komunikatif berusaha menciptakan
efek yang dialami BSa sama dengan efek yang dialami oleh pembaca BSu.13
Menurut Sayogie, Newmark menyatakan bahwa penerjemahan dalam
metode ini diperbolehkan untuk mengoreksi dan mengubah logika penulisan, gaya
penulisan, mengklarifikasi ketaksaan dan penggunaan jargon. Dalam hal ini,
penerjemah bekerja dalam konteks variasi bahasa dan budaya sasaran dalam
mengadaptasi pikiran, pesan, budaya, gaya bahasa, struktur semantik dan sintaksis
dalam teks BSu.14
Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa metode
penerjemahan komunikatif sangat mengutamakan kenyamanan pembaca teks
bahasa sasaran tanpa mengesampingkan amanat penulis teks sumber. Bentuk
kalimat dalam BSu pun tidak perlu dipertahankan jika dianggap dapat
menimbulkan kekeliruan informasi. Dalam metode ini makna sangat
11
Peter Newmark, A Textbook of Translation, (London: Prentice Hall, 1988) h. 41.
12 M. Zaka Al Farisi, Pedoman Penerjemahan Arab-indonesia, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2011) h. 57.
13 Zuchridin Suryawinata dan Sugeng Hariyanto, Translation: Bahasa Teori dan Penunjuk
Praktis Menerjemah, (Yogyakarta: Kanisius, 2003) h. 49.
14 Frans Syogie, Penerjemahan Bahasa Inggris Ke Dalam Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidyatullah, 2008) h. 90.
13
dipentingkan, sehingga pembaca terjemahan dapat lebih mudah memahami
maksud dan pesan penulis TSu.15
Pernyataan ini juga diperkual oleh Zuchridin dan Sugeng. Keduanya
memaparkan, bahwa penerjemahan komunikatif merupakan metode yang
subjektif karena ia berusaha mencapai efek pikiran dan tindakan tertentu pada
pihak pembaca Bsa.16
Dalam prosesnya, sangat mungkin dilakukan penerjemahan
adaptasi bahkan semantis terlebih dulu, baru kemudian dimodifikasi menjadi
penerjemahan komunikatif untuk memunculkan efek yang diinginkan. Jadi,
penerjemahan komunikatif bukanlah metode yang berkutat di seputar benar atau
salahnya hasil terjemahan, tapi “sudahkan hasil terjemahan ini memuaskan?”
C. Strategi Penerjemahan
Telah kita ketahui bersama, bahwa bahasa Arab memiliki struktur dan
kontruksi yang berbeda dibanding bahasa Indonesia. Perbedaan ini kerap menjadi
kendala dalam keterbacaan teks, khususnya untuk metode penerjemahan
komunikatif. Karenanya, untuk mengatasi kendala tersebut, penerjemah akan
mencoba memaparkan beberapa strategi yang akan dilakukan untuk menghasilkan
terjemahan yang baik menurut metode komunikatif.
1. Mengedepankan dan Mengakhirkan (Taqdim wa Ta’khir)
Struktur yang sering digunakan dalam bahasa Arab adalah bentuk
verba, mendahulukan kata kerja sebagai predikat kemudian disusul
15
M. Zaka Al Farisi, Pedoman Penerjemahan Arab-indonesia, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2011) h. 58.
16 Zuchridin Suryawinata dan Sugeng Hariyanto, Translation: Bahasa Teori dan Penunjuk
Praktis Menerjemah, (Yogyakarta: Kanisius, 2003) h. 50.
14
benda sebagai subjek.17
Dengan menggunakan strategi ini peneliti dapat
mengedepankan kata, bahkan frasa TSu yang diakhirkan dalam BSa,
dan mengakhirkan kata dalam TSu yang dikedepankan dalam TSa.18
Contoh:
اؤ أفخ لذ19
3 2 1
Orang-orang beriman telah beruntung.
3 1 2
Perhatiakan susunan kata 123 pada Tsu bahasa Arab di atas. Saat
dialihbahasakan, susunan di atas berubah menjadi 312, kata di depan
pindah ke belakang, begitu pula sebaliknya. Hal ini terjadi karena
susunan kata dalam bahasa Arab tidak seperti bahasa Idonesia yang
cenderung Subjek mendahului predikat20
terlepas adanya kalimat
inversi. Dalam bahasa Arab lebih struktur Predikat-Subjek dikenal
dengan jumlah fi‟liyah.
2. Menambahkan (Ziyādah)
Dalam strategi ini penerjemah dapat menambahkan kata yang
memudahkan keterbacaan teks sasaran, meskipun kata tersebut tidak
terdapat dalam teks sumber. Contoh:
17
Nur Mufid dan Kaseruan AS. Rahman, Buku Pintar Menerjemahkan Arab-Indonesia,
(Surabaya: Pustaka Progressif, 2007) h. 47.
18 Moch. Syarif Hidayatullah, Seluk Beluk Penerjemahan Arab-Indonesia Kontemporer:
Dasar, Teori dan Masalah, (Tengerang: UIN Press, 2014) h. 54.
19 Al-Muminun: 1
20 Moch. Syarif Hidayatullah, Cakrawala Linguistik Arab, (Tengerang Selatan: Alkitabah,
2012) h. 104.
15
21امبخ ظبد اظ 4 3 2 1
Kezaliman adalah kegelapan di hari kiamat.
1 T 2 T 3 4
Pada contoh tersebut, TSu terdiri dari 4 kata, sementara kata
dalam TSa bertambah menjadi 6 kata. Tambahan (T) itu merupakan
konsekuensi dari perbedaan struktur dalam BSu dan BSa. Dalam TSu,
tidak diharuskan adanya pemarkahan predikat untuk predikat berupa
nomina, karena sudah diwakili oleh struktur gramatikal yang
menyimpan hal itu. Sementara dalam TSa, predikat berupa nomina
mengharuskan adanya pemarkahan predikat. Begitu juga yang terjadi
pada keterangan waktu, perlu adanya pemarkahan keterangan pada TSa,
karenanya ada penambahan kata.
3. Membuang (Ḥadzf)
Dengan strategi ini peneliti dapat membuang atau tidak
menerjemahkan beberapa unsur kebahasaan yang terdapat dalam TSu
guna menghindari penyimpangan pesan karena gaya dan tata bahasa
Indonesia memang menghendaki demikian.
22اصؼثبد ج اشؼت أاػب
Bangsa ini menghadapi bermacam-macam kesulitan.
Perhatikan harfu jar di atas, penerjemahannya sengaja
dihindari karena dapat merusak makna. Sifatnya hanya tambahan yang
21
Ibn Hajar al-Asqalani, Bulughul Maram Min Adillatil Ahkam, (Jakarta: Dar al-Kutub al-
Islamiyah, 2002) h. 382.
22 Dr. Rofi’I, Dalil Fi al-Tarjamah 1, (Ciputat: Persada Kemala) h. 106.
16
tidak memiliki arti spesifik. Coba rasakan jika harfu jar tersebut turut
diterjemahkan sebagaimana berikut; Bangsa ini menghadapi
bermacam-macam dari kesulitan.
Berikut kami juga memaparkan contoh ḥadzf beberapa kata dalam satu
TSu:
طغ لا دشصف ػالج ب شب أخلال فىش شء وب
Andai manusia mau berpikir panjang, moralnya tidak akan rusak oleh
kerakusan.
Di sini ada beberapa kata yang tidak turut diterjemahkan;
pertama, وب yang bermakna leksikal menjadi.23
Kedua, دشص
memiliki makna keinginan.24
Tidak diterjemahkan terkait kelaziman
dalam penggunaan konsep struktur TSa. Antara دشص dan طغ ada
makna yang saling berdekatan, maka cukup diterjemahkan salah
satunya dengan memperhatikan konteks yang melingkupinya.25
Ketiga,
konjungsi untuk menghubungkan dua kata di atas. Tidak لا
diterjemahkan karena tidak lagi berfungsi karena kata yang
dihubungkan tidak turut diterjemahkan.
23
Munir Baalbaki dan Rohi Baalbaki, Kamus al-Maurid, (Surabaya: Halim Jaya, 2006)
h.744.
24 Ibid., h. 289.
25 Moch. Syarif Hidayatullah, Seluk Beluk Penerjemahan Arab-Indonesia Kontemporer:
Dasar, Teori dan Masalah, (Tengerang: UIN Press, 2014) h. 56.
17
4. Mengalihkan (Tahwīl)
Seperti telah disebutkan di atas oleh para pakar, penerjemahan
adalah usaha mengungkapkan pesan yang melibatkan dua bahasa yang
berbeda, meliputi aspek struktur dan kultur. Perbedaan inilah yang
terkadang sulit dicarikan padanannya dalam TSa. Karenanya, lahirlah
strategi mengalihkan kategori sintaksis suatu kata dalam TSu ke
kategori lain dalam TSa. Contoh:
26ػجبدته دغ نشىش ن روش أػ ب ػىا
Duhai Allah, tolonglah kami untuk selalu ingat, bersyukur dan
meningkatkan ibadah kepada-Mu.
Perhatikan pada tiga kata yang digarisbawahi dalam TSu.
Ketiganya adalah kelas kata dari masdar atau nonverba. Namun, saat
diterjemahkan, kategori sintaksisnya beralih menjadi verba. Startegi ini
mengalihkan kelas kata BSu ke kelas kata lain dalam BSa, namun tetap
berpadanan.
Inilah beberapa strategi penerjemahan yang akan digunakan peneliti untuk
mempermudah proses pengalihan pesan dalam teks buku Nahwa Rajul A„māl
Islāmy.
26
Moh. Rifa’i, Risalah Tuntunan Shalat Lengkap, (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 2004) h.
57.
18
BAB III
Biografi Asyraf Muhammad Dawābah dan Sekilas
Tentang Buku Nahwa Rajul A’māl Islāmy
A. Asyraf Muhammad Dawābah
Dia adalah pria kelahiran 1965, atau 54 yang lalu, di kota Rahmania, Mesir.
Ia berhasil menduduki peringkat keempat sebagai Sarjana Muda, Program Studi
Manajemen Keuangan di Universtas Alexandria pada tahun 1987. Di kota yang
sama, dia berhasil meraih gelar Diploma dalam bidang Ilmu Administrasi,
tepatnya di Sekolah Tinggi Sadat, tahun 1994.1
Pada tahun 2000, ia menamatkan S-1 dalam bidang Syariah dan Hukum di
Univertsitas al-Azhar. Di tahun yang sama, dia juga meraih gelar Master
Administrasi Bisnis2 dengan judul tesis “Investment Funds in Islamic banks
between theory and practice, systematic presentation, a proposed model” di
akademi tempat ia mendapat gelar diplomanya dulu.
Kurang-lebih 3 tahun kemudian, di akademi yang berdiri sejak 19813 itu ia
meraih gelar Ph.D dalam bidang Administrasi Bisnis dengan judul disertasi “Role
of financial markets to strengthen the long-term investment in Islamic banks”. 4
1 http://www.drdawaba.com/drdawaba//tabid/54/Default.aspx (diakses pada
26/04/2017, pukul 14.50 WIB).
2 https://www.abjjad.com/author/2799992922/ دواب-محمد-اشرف /books (diakses pada
24/02/2019, pukul 3.49 WIB).
3 Akedemi Sadat, http://www.sams.edu.eg/ الأكادمة-عن-تارخة-الأكادمة/نبذة-عن (diakses pada
26/04/2017, pukul 14.19 WIB).
19
Dua tahun setelah meraih gelah sarjana mudanya, tepatnya tahun 1989, ia
bekerja di bank syariah pertama di Mesir, yakni Faisal Islamic Bank yang mulai
beroprasi sejak Juli 1979.5 Dia juga pernah menjabat sebagai kepala jurusan Ilmu
Administrasi di salah satu fakultas di Univeristas Sarjah tahun 2008-2010.
Dia pun aktif dalam bidang ekonomi Islam. Tercacat, beliu pernah menjadi
anggota berbagai organisasi yang berkenaan dengan ekonomi, di antaranya: The
Global Islamic Economy and Finance Institution, Egyptian Society of Political
Economy, Statistics and Legislation, International Union of Muslim Scholars.
Selain berpengalaman menjadi pembicara internasional di berbagai
pelatihan di dunia Arab, dia telah menulis lebih dari 20 buku terkait ekonomi,
perbankan dan bisnis, diantaranya:6 buku Nahwa Rajul A„māl Islāmy, Ṣanādiq al-
Istithmar fī al-Bunuk al-Islāmy, al-Istithmar fī al-Islām, Baitu Iqtiṣad Muslim, Sūq
Māliyah Islāmiyah, Sayyidah A„māl Muslimah, Durus Iqtiṣadiyah min Ramadhān.
B. Buku Nahwa Rajul A’māl Islāmy
Nahwa Rajul A„māl Islāmy adalah salah satu buku yang dikarang oleh Dr.
Asyaf Muhmmad Dawābah. Diterbitkan oleh Dar Es-Salam Kairo sebagaimana
15 buku karangan dia lainnya.
4 Asyraf Dawaba, “Curriculum Vitae,”
http://www.drdawaba.com/drdawaba/en/CurriculumVitae/tabid/378/language/ar-
EG/Default.aspx (diakses pada 26/04/2017, pukul 14.51 WIB)
5 Faisal Islamic Bank, “Incorporate and History,”
http://www.faisalbank.com.eg/FIB/arabic/about-us/incorporation-history.html (diakses pada
26/04/2017, pukul 13.58 WIB).
6 Abjjad, “Asyaf Muhmmad Dawābah,”
https://www.abjjad.com/author/2799992922/ دوابه-محمد-اشرف /books (diakses pada 26/04/2017,
pukul 14.49 WIB).
20
Buku seri bisnis muslim ini merupakan bentuk kekhawatirannya karena
banyaknya orang Islam yang melupakan urgensi bisnis dan kaya (wealth) dalam
Islam; agar ia mampu mempertahankan agamanya dan menolong saudarnya.
Sementara itu banyak juga pengusaha muslim yang melupakan jati dirinya sebagai
orang Islam hingga mengabaikan bahwa agama ini telah mengajarkan semua
tentang bisnis secara mendetail. Mereka tidak peduli bahwa dalam bisnis ada etika
di luar legalitas hukum. 7
Dalam waktu yang bersamaan, betapa banyak muslim yang terpedaya oleh
kekayaan hingga berbangga diri, melupakan Allah sebagai pemberi nikmat dan
kemudian bersikap kikir pada sesamanya. Betapa banyak muslim pula yang saling
bersaudara dan mecintai kemudian berbalik 180 derajat menjadi musuh karena
tidak mampu bersikap terhadap harta.8
Karenanya, buku Nahwa Rajul A„māl Islāmy ditulis. Melalui buku tersebut,
pengarangnya mencoba menjelaskan bahwa bisnis dalam Islam merupakan salah
satu bagian dari ibadah, tidak pantas bagi seorang muslim meninggalkan perannya
sebagai khalifah yang memiliki tanggung jawab atas ekonomi dunia.9 Buku
Nahwa Rajul A„māl Islāmy banyak memaparkan prinsip-prinsip, etika dan akhlak
seorang muslim saat berbisnis yang tentunya tidak diajarkan oleh agama selain
Islam. Semua itu dijelaskan secara gelobal dalam 4 bab pembahasan berikut:
1. Pandangan Islam terhadap harta
7 Asyraf Muhammad Dawābah, Nahwa Rajul A‘māl Islamy, (Kairo: Dar Es-Salam, 2005)
h.9.
8 Ibid., h. 10.
9 Ibid., h. 25.
21
Pada bab pertama buku tersebut dijelaskan; esensi harta dalam
pandangan Islam dan hukum, klasifikasinya, dan yang tidak kalah
pentingnya adalah bagaimana sesuatu itu menjadi hak milik seseorang
hingga pantas dipertahankan dan dimenangkan di mata syariah dan
hukum.
2. Standar pengusaha muslim
3. Kode etik pengusaha.
4. Standar kemajuan bisnis pengusaha muslim.
Menurut peneliti, buku berbahasa Arab ini sangat relevan dengan
permasalah ekonomi yang tengah dihadapai umat Islam. Setiap halamannya
dipenuhi literatur ke-Islaman yang merujuk pada kitab-kitab para ulama klasik
dan kontemporer. Tampak sekali sang pengarang benar-benar ingin menggugah
para pembaca bahwa Islam adalah agama yang paripurna. Dia tidak ingin
tulisannya melencengkan pemahaman agama yang murni, hingga tidak ada ruang
untuk pemikiran tokoh barat yang cenderung hedonis.
Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa Islam adalah agama yang
referensial, Dr. Dawābah tidak lupa mencantumkan banyak ayat al-Quran dan
hadits. Karena jumlahnya yang cukup besar, dan khawatir mengganggu
kenyamanan pembaca, pengarang meletakkan informasi-informasi tersebut di
dalam footnote.
Menurut pengamatan peneliti, sang pengarang sangat jeli dalam menulis
buku ini, hingga hampir tidak dijumpai kesalahan dalam pengetikan huruf dan
angka, kecuali beberapa saja. Di antarnya:
22
Penulisan nomer ayat di halaman 53 tercatat al-Qalam: 3, padahal
yang benar al-Qalam: 4. Kesalahan serupa juga terdapat pada
halaman 69. Di sana tertulis al-Baqarah: 028, yang benar adalah al-
Baqarah: 208.
Pada halaman 85. Terdapat beberapa keterangan yang dijelaskan
menggunakan poin-poin. Penulis mengurutkan 18 poin, padahal
hanya ada 17 poin, karena ia tidak menulis poin ke-11.
Pada halaman 122, tertulis ي -س –ن – - ي- padahal yang benar
tanpa huruf “” ي -س –ن -ي– . Pada paragraf yang sama juga
tertulis أدخ padahal yang benar adalah أسد .
Beberapa kali pengarang menggunakan kata atau istilah yang dipakai oleh
al-Quran dan al-Hadits. Seolah buku yang dia tulis hanyalah untuk dibaca bangsa
Arab dan mereka yang memahami Kitabullah dan as-Sunnah. Pasalnya untuk
menerjemahkan kalimat-kalimat itu tidak cukup melihat makna tekstual
berdasarkan kamus, bahkan perlu melihat kitab tafsir dan syarah hadits agar
mencapai pemahaman yang sempurna.
Walau demikian, penulis buku tampaknya telah berusaha sebaik mungkin
dalam memaparkan bukunya dengan memberikan keterangan tambahan -- untuk
beberapa kasus – yang memang membutuhkan contoh sebagai pendukung agar
lebih mudah dipahami. Misalnya, beberapa poin tentang Eksepsi Bai al-Garar10
dalam bab ke-3 dan istilah “syarat” pada bab ke-4.11
10
Ibid., h. 83.
11 Ibid., h. 83.
23
Bab VI
Pertanggungjawaban Terjemahan Teks Buku
Pada bab ini peneliti mencoba memberikan pertanggungjawaban terhadap
hasil terjemahan kitab Nahwa Rajul A„māl Islāmy. Peneliti akan mendeskripsikan
penerapan metode penerjemahan komunikatif dan strategi penerjemahan yang
digunakan dalam menerjemahkan. Namun, karena jumlah korpus dalam Tsu
begitu banyak, tidak memungkinkan untuk dideskripsikan semua. Peneliti hanya
mengambil beberapa sampel yang dirasa cukup mewakili korpus lain.
Berikut ini sebagai pertanggungjawaban peneliti mengenai terjemahan kitab
Nahwa Rajul A„māl Islāmy.
a. Teks Judul Buku
ذ سج أػبي إعلا1
Semantik Komunikatif
Menuju Pengusaha yang Islami Rambu Pengusaha Muslim
Jika kita merujuk pada pembahasan yang terkandung dalam buku Nahwa
Rajul A„māl Islāmy, maka tarkib سج أػبي dapat dipadankan dengan istilah
pelaku ekonomi. Karena pelaku ekonomi itu sendiri adalah orang yang bergerak
1 Asyraf Muhammad Dawābah, Nahwa Rajul A‘māl Islamy, (Kairo: Dar Es-Salam, 2005).
24
dalam bidang ekonomi,2 tanpa terkecuali termasuk di dalamnya pengusaha,
investor, supplier dan konsumen.3 Namun, jika diterjemahkan demikian, maka
maknanya mengalami pergeseran lebih luas. Istilah pelaku ekonomi kurang begitu
dikenal masyarakat BSa.
Namun, jika diterjemahkan pengusaha maknanya berbalik mengalami
penyempitan. Masyarakat umum cenderung memahami bahwa pengusaha adalah
pemilik perusahaan besar saja, adapun orang-orang yang bekerja di bawahnya
hanya sebatas karyawan. Padahal karyawan suatu perusahaan merupakan pelaku
ekonomi dalam rangka menjalankan tugas perusahaan. Di lain waktu karyawan itu
pun konsumen untuk suatu produk. Tetapi kata pengusaha lebih akrab digunakan
oleh masyarakat BSa.
Berikutnya kata إعلا terdiri dari 2 unsur; ism yaitu إعلا dan harfu ya
al-nisbah yaitu ي. Nisbah sendiri berfungsi menunjukkan nama turunan4 atau
keterkaitan sifat terhadap nama yang dihubungkan huruf tersebut.5 Maka,
terjemah Islami dengan memberikan imbuhan akhiran -i dan tambahan „yang‟
2 https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/pelaku%20ekonomi (diakses pada 28/02/2019, pukul
01.49 WIB).
3 https://blogs.itb.ac.id/wikia/pelaku-bisnis-entrepreneur-investor/ (diakses pada
28/02/2019, pukul 01.49 WIB).
4 https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/pelaku%20ekonomi (diakses pada 28/02/2019, pukul
03.42 WIB).
5 Musthofa al-Ghalayini, Jami al-Durus al-Arabiyah, (Beirut: Dar Al-Kotob Al-Islamiyah,
2009) h.49.
25
dalam contoh semantik adalah ketepatan tersendiri. Karena makna yang
dikandungnya pun menyatakan „memiliki sifat‟.6
Namun, makna menuju pengusaha yang islami dirasa kurang nikmat
ditelinga pengguna BSu. Kata pengusaha adalah turunan kata usaha dengan
prefiks pe- yang menyatakan pelaku. Maka, peneliti berpendapat bahwa frasa
yang tepat untuk membentuk makna tarkib di atas adalah frasa yang berstruktur N
+ N yang memiliki makna gramatikal „pelaku‟,7 dengan mengubah kata islami
menjadi muslim.
Selanjutnya pada terjemah komunikatif kata ذ di atas, kata menuju pada
terjemahan semantik digantikan dengan kata rambu pada terjemah komunikatif.
Karena rambu itu sendiri bermakna petunjuk, yang artinya yang menunjukkan
arah.
b. Teks Sub Bab
اعتمشاس تذ ساػتجب8
Harfiah Komunikatif
Pertimbangan Tidak Bergerak dan Berdasarkan Bergerak dan Tidaknya
6 Pusat Bahasa Kemdiknas Republik Indonesia, Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia
yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah, (Bandung: Pustaka Setia, 2012)
h.131.
7 Abdul Chaer, Sintaksis Bahasa Indonesia : Pendekatan Proses, (Jakarta, Rineka Cipta,
2009) h. 128.
8 Asyraf Muhammad Dawābah, Nahwa Rajul A‘māl Islamy, (Kairo: Dar Es-Salam, 2005). h.
16.
26
Geraknya
Sebagaimana pembahasan pada bab-bab sebelumnya, dalam karya ilmiah ini
peneliti mencoba menggunakan metode penerjemahan yang berorientasi pada Tsa,
atau lebih tepatnya metode komunikatif. Melalui strategi Ḥadzf. meskipun terdiri
dari dua kata yang berbeda makna, frasa تذ اعتمشاس, dapat diterjemahkan
menjadi satu kata yang mampu mewakili keduanya. Karena dihubungkan dengan
huruf athaf atau konjungsi koordinatif yang menunjukkan bahwa ada kesetaraan
nilai antara dua kata di atas.
Jika merujuk pada makna leksikal, kata تذي berarti perubahan, peralihan,
pergeseran, sebaliknya kata اعتمشاس berarti stabil, konstan9 dengan kata lain tidak
ada perubahan alias tidak bergerak. Karena adanya satu medan makna yang dapat
menjelaskan dua kata tersebut dalam Tsu,10
maka keduanya diterjemahkan
menjadi Bergerak dan Tidaknya.
Pada dasarnya dua kata tersebut diterjemahkan menjadi bergerak dan tidak
bergerak, namun pada umumnya sub bab lebih menarik ditulis secara ringkas,
terlebih jika isi bab tersebut tidak terlalu panjang, untuk menghasilkan kesan lugas
dan komunikatif.
9 Munir Baalbaki dan Rohi Baalbaki, Kamus al-Maurid, (Surabaya: Halim Jaya, 2006).
10 Asyraf Muhammad Dawābah, Nahwa Rajul A‘māl Islamy, (Kairo: Dar Es-Salam, 2005)
h. 16.
27
c. Teks Klausa Verba
ػ سثم الإغب ثبخلافخ ف الأسض بثخ 11
Semantik Komunikatif
manusia menjalanakan12
khilafah di
bumi mewakili Tuhannya
manusia memosisikan diri sebagai
wakil Allah di dunia
Dalam penerjemahan kalimat ini, peneliti menggunakan 2 strategi Ḥadzf
dan Taqdim wa Takhir.
سث ػ بثخ الأسض ف ثبخلافخ الإغب م 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1
manusia memosisikan diri sebagai wakil Allah di dunia
2 1 3 T 8 7 9 10 5 6
Semula, Tsu terdiri dari 10 kata, ketika diterjemahkan menyusut menjadi 8
kata termasuk tambahan (T).
Kata اخلافخ adalah objek dari kerja ة م , kata بثخ pun maf‟ul liajlih
yang menerangkan motif kata kerja itu sendiri.13
Keduanya memiliki makna yang
sama, yakni wakil, suksesi, dan pengganti. Pada dasarnya, kata اخلافخ juga
11
Asyraf Muhammad Dawābah, Nahwa Rajul A‘māl Islamy, (Kairo: Dar Es-Salam, 2005)
h. 25.
12 Munir Baalbaki dan Rohi Baalbaki, Kamus al-Maurid, (Surabaya: Halim Jaya, 2006)
13 Hifni Bek Dayyab, dkk., Qawa’idu ‘l-Lughati ‘l-‘Arabiyah. Penerjemah Chatibul Umam
(Jakarta: Darul Ulum Press, 2007), h. 252.
28
bermakna kepemimpinan atas seluruh dunia14
. Namun, melihat konteks yang ada
bahwa kitab Nahwa Rajul A„māl Islāmy adalah buku pengembangan diri untuk
masyarakat umum, peneliti menangkap bahwa makna yang dimaksud bukanlah
khilafah kepemimpinan umat Islam. Ditambah, adanya 2 objek yang bersinonim,
maka peneliti mencoba penerjemahan yang lebih efisien dengan cara meleburkan
2 kata tersebut melalui terjemahan memosisikan diri sebagai wakil.
Kata سث diterjemahkan menjadi Allah,15
karena sangat cocok untuk
digunakan dalam buku-buku wawasan ke-Islaman. Praktik ini secara tidak
langsung menghilangkan pronomina orang ketiga yang terdapat dalam Tsu,
karena dianggap tidak lazim dan sudah mewakili.
Kata dalam Tsu yang semula 12345678910, saat diterjemahkan urutannya
berubah menjadi 312T8791056. Dengan demikian, ada kata yang asalnya
akhirkan dalam Tsu, kemudian ketika diterjemahkan menjadi diakhirkan. Begitu
juga sebaliknya, karena terkait kelaziman kalimat dalam Tsu dan Tsa yang
berbeda. Sedangkan kata tambahan di atas sengaja dimunculkan agar aspek
kebahasaan dapat mudah dimengerti.
14
Almaany, https://www.almaany.com/ar/dict/ar-ar/خلافة (diakses pada 01/05/2017, pukul
23.16 WIB).
15 Almaany, https://www.almaany.com/ar/dict/ar-ar/ رب (diakses pada 02/05/2017, pukul
06.56 WIB).
29
d. Teks Kalimat Nomina
اذبفظخ ػ مبصذ اششؼخ ف اؼجبدح16
Harfiah Komunikatif
Menjaga Tujuan Syariat dalam Ibadah
Konservatif Terhadap Intensi Syariat
dalam Ibadah
Dalam kasus ini tidak ada perubahan susunan kata antara Tsu dan Tsa.
اؼجبدح ف اششؼخ مبصذ ػ اذبفظخ 6 5 4 3 2 1
Konservatif Terhadap Intensi Syariat dalam Ibadah
1 2 3 4 5 6
Kata اذبفظخ yang merupakan masdar dalam gramatika mengalami proses
tahwīl saat diterjemahkan menjadi adjektiva, konservatif.
e. Teks Paragraf
تشج عؼت أ تجت سج الأػبي ؼب اصذق
خ ػ اغؼخ أ تمذ ؼبد ض رةثبذػبخ اىبرثخ اذف اىب
تغشي اشتشي17
16 Asyraf Muhammad Dawābah, Nahwa Rajul A‘māl Islamy, (Kairo: Dar Es-Salam, 2005)
h. 46.
17 Ibid., h. 56.
30
Terjemah Komunikatif
Juga, termasuk makna integritas bagi pengusaha muslim ialah menghindari
promosi komoditas dengan iklan dan sumpah palsu, atau informasi menyesatkan
yang dapat menipu konsumen.
Teks di atas diterjemahkan di atas pendekatan komunikatif dengan strategi
Ziyādah, Ḥadzf, dan Taqdim wa Takhir, sebagaimana berikut:
ثبذػبخ عؼت تشج لأػبيا سج تجت أ اصذق ؼب 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1
تغشي ؼخاغ ػ ضخ ؼبد تمذ أ اىبرة اذف اىبرثخ 22 21 20 19 18 17 16 15 14 13 12
اشتشي
23
Juga, termasuk makna integritas bagi pengusaha muslim ialah menghindari
1 2 3 4 T 7 8 T 5 6
promosi komoditas dengan iklan dan sumpah palsu, atau informasi
9 10 11 13 14 12 15 16 18
yang menyesatkan hingga menipu konsumen.
T 19 T 22 23
Peneliti memberlakukan strategi Taqdim wa Takhir terhadap Tsu nomer 7
dan 8 demi mentaati urutan yang lazim digunakan dalam bahasa Indonesia. Dalam
frasa سج الأػبي peneliti juga memperaktikan strategi Ḥadzf. Karena kata
pengusaha adalah padanan yang tepat untuk frasa tersebut. Kemudian
memberikan tambahan berupa kata muslim, sebagai konsekuensi makna
kontekstual. Dalam hal ini, pengusaha yang dimaksud penulis tentu saja seorang
muslim. Sementara tambahan lain adalah pengaruh struktur gramatikal dalam Tsa
agar aspek kebahasaanya mudah dipahami.
31
Peneliti juga menghilangkan beberapa arti kata yang seharusnya berada
dalam Tsa, agar terjemahan menjadi lebih lugas, tanpa memunculkan kata dan
istilah yang sama berkali-kali dalam waktu yang berdekatan sebagaimana yang
terjadi pada nomer 12 dan 15. Sementara diterjemahkan menjadi juga adalah
karena huruf tersebut merupakan istinab atau ibtida.18
f. Teks Daftar
شش امائ ابخ عبئ الإفصبح ف اششوبد اؼبصشح :
ػب خلاي ىبتت سعبب غب اشلبثخ اخبسجخإشوخ ش
دساعخ تلؼبد اغقت اى اطبد ؼثب دج اجاذبعجخ
اتخبر ب أعبتشبو اتغك وزه ثب بو الإداسح صلادت
ى سأط ابي إ خغبستأاس لاءخ اششع غجخ سثذت امش
تذشف أذذذ اغئخ اجضاء ػى إخفبء اذمم فضلا ػ ت
أصذبة الأاي ب غ دبخ ااجت الإفصبح ػ اؼبد اجببد
س اتمصش أ اتؼذياعتشداد دمل ػذ ظ19
Terjemah Komunikatif
Di antara media transparansi dalam perusahaan modern adalah:
1) Laporan data finansial perusahaan kepada para pemegang saham di
bawah pengawasan akuntan publik,
18
Shalahuddin Abu Said Khalil, al-Fusul al-Mufidah fii al-Wawi al-Mazidah, (Amman: Dal
al-Basyir, 1990) h. 56.
19 Asyraf Muhammad Dawābah, Nahwa Rajul A‘māl Islamy, (Kairo: Dar Es-Salam, 2005)
h. 59.
32
2) Visibilitas seluruh pembelanjaan dan tagihan, riset peluang pasar
serta kendala pemasaran,
3) Visibilitas struktur administratif dan wewenang, serta metode
pengambilan keputusan, ketentuan hukum, pembagian untung-rugi,
di samping perincian tanggung jawab dan sanksi atas penggelapan
atau distorsi informasi dan data yang seharusnya diketahui para
pemegang saham.
4) Serta adanya jaminan pengembalian hak-hak mereka ketika
terjadinya kelalaian dan pelanggaran.
Sebagaimana teks-teks sebelumnya, peneliti menggunakan strategi yang
sama dalam menerjemahkan teks paragraf ini. Namun, kali ini peneliti mengubah
format tulisan.
المالة الموائم نشر: المعاصرة الشركات ف الإفصاح وسائل من و 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1
خلال من علها الخارجة الرلابة و للمساهمن ارسالها و للشركة
مكاتب 25 24 23 22, 21 20 19 18 17, 16 15, 14 13 12, 11
تولعات دراسة و الكل الطلاب و اتعالمب حجم بان و المحاسبة السوق
37 36 35 34 33 32 31 30 29 28 27 26
أسالب و صلاحتها و الإدارة هاكل بان كذلن و التسوك مشاكل و50 49 48, 47 46 45 44 43 42 41 40 39 38
رأس إلى خسارته او ربحته نسبة و المشروع ملاءمة و لمرارا اتخاذ 64 63 62, 61 60 59, 58 57 56 55 54 53 52 51
او إخفاء على الجزاء و المسئولة تحدد عن فضلا الحمم المال تحرف
76 75 74 73 72 71 70 69 68 67 66 65
33
أصحاب حماة مع عنها الإفصاح الواجب البانات و المعلومات الأموال
87 86 85 84, 83, 82 81 80 79 78 77
التعدي أو التمصر ورظه عند حمولهماسترداد و 96 95 94 93 92 91, 90 89 88
Di antara media transparansi dalam perusahaan modern adalah:
2 3 4 5 6 7 T
1) Laporan data finansial perusahaan kepada para pemegang saham di
8 9 10 12 16 17 23
bawah pengawasan akuntan publik,
24 19 26 20
2) Visibilitas seluruh pembelanjaan dan tagihan, riset peluang pasar
28 33 30 31 32 35 36 37
serta kendala pemasaran,
38 39 40
3) Visibilitas struktur administratif dan wewenang, metode
43 44 45 46 47, 48 50
pengambilan keputusan, ketentuan hukum, pembagian untung -
51 52 54 55 57 58 60
rugi, di samping perincian tanggung jawab dan sanksi atas
61 68 67 69 70 71 72 73
penggelapan atau distorsi informasi dan data yang seharusnya
74 75 76 77 78 79 T 80
diketahui para pemegang saham.
81 86, 87
4) Serta adanya jaminan pengembalian hak-hak mereka ketika
84 T 85 89 90 91 92
terjadinya kelalaian dan pelanggaran.
93 94 95 96
34
Pada Tsu nomer 27 dan 41 di atas terdapat فبا الاعتئ yang
menunjukkan tidak adanya partisipasi20
antara satuan gramatika sebelumnya dan
sesudahnya. Itu terlihat dari pergeseran topik antar frasa, inilah mengapa huruf
tersebut tidak diterjemahkan bahkan menjadi acuan penentu format berdaftar.
Pada dasarnya, penggunaan format berdaftar hanyalah strategi untuk
membantu pembaca. Dalam keadaan tertentu, teknik ini juga dapat dimanfaatkan
untuk menerjemahkan ا اؼطف. Berhubung terdapat topik-topik yang berbeda,
maka peneliti hanya membagi paragraf Tsu ke dalam 4 kelompok saja, bukan
sebagaimana jumlah kata penghubungnya. Di antara isi kandungan daftar di atas
adalah:
1. Transparansi finansial.
2. Transparansi progress.
3. Kejelasan status dan hukum.
4. Jaminan hak.
1) Teks Frasa
Perhatikan tarkib pada nomer 19-26:
اذبعجخ ىبتت خلاي ػب اخبسجخ اشلبثخ 26 25 24 23 22, 21 20 19
di bawah pengawasan akuntan publik,
23 24 19 26 20
20
Shalahuddin Abu Said Khalil, al-Fusul al-Mufidah fii al-Wawi al-Mazidah, (Amman: Dal
al-Basyir, 1990) h. 119.
35
Dengan merujuk pada metode komunikatif, peneliti mencoba mereproduksi
makna kontekstual agar makna yang terkandung dalam TSu dapat langsung
dipahami. Dalam penerjemahan frasa ini terdapat 2 strategi setidaknya; ḥadzf dan
taqdim wa ta‟khir.
Kata pada nomer 21, 22 dan 25 dilesapkan dan sengaja tidak diterjemahkan
karena sudah terwakilkan oleh klausa sebelumnya, serta masih lebih dapat
dipahami dibandingkan jika dua kata tersebut diterjemahkan.
Selanjutnya, terdapat taqdim wa ta‟khir pada terjemahan frasa tersebut. Jika
diurut berdasarkan nomer 19, 20, 23, 24, 26, tanpa memperhatikan konteks yang
terkandung, maka diterjemahkan:
pengawasan eksternal di bawah akuntan
Tentu saja frasa ini sulit dipahami apa dan bagaimana bentuk pengawasan
eksternal di bawah akuntan. Maka, yang benar dan mudah dipahami adalah di
bawah pengawasan akuntan publik. Ini jelas bahwa akuntan yang melakukan
pengawasan berasal dari lembaga eksternal.
g. Teks Tasybih
, , غائ ع, ففائذ تشبلتشبقث دخ فب ع ابي
غتذس , أى أ ذتشص شش ;ئ فائذف ػشف غا
21خش.
21
Asyraf Muhammad Dawābah, Nahwa Rajul A‘māl Islamy, (Kairo: Dar Es-Salam, 2005)
h. 22.
36
Harfiah Komunikatif
Harta bagai ular yang mengandung
racun dan obat. Manfaatnya itu obat
dan petakanya itu racun. Orang yang
menyadari petaka dan manfaatnya;
memungkinkan dirinya selamat dari
bahaya dan memperoleh manfaatnya.
Harta itu ular yang mengandung racun
berupa petaka dan obat berupa manfaat.
Orang yang menyadari petaka dan
manfaanya; niscaya selamat dari
bahaya dan memperoleh manfaat.
TSu di atas merupakan bentuk tasybih atau perumpamaan. Melihat dari
sudut pandang adat tasybih-nya, maka tarkib ابي ث دخ adalah tasybih mursal
karena ada kata ث di dalamnya.22 Secara harfiah, kata tersebut lebih berpadanan
dengan kata seperti, bagaikan, dan umpama. Namun, dalam kasus ini peneliti
mencoba memanfaatkan kata itu sehingga terjemahan yang dihasilkan adalah:
Harta itu ular
Perlakuan ini tentu beralasan, di antaranya; untuk mencela23
harta sebagai
musyabbah hingga menghasilkan efek segera dan waspada. Saat melihat ular,
orang seharusnya berhati-hati dan menjaga jarak agar selamat. Inilah mengapa
yang digunakan oleh TSu adalah diksi ular. Dapat dibayangkan, saat melihat ular,
orang akan berteriak “itu ular!” bukan “bagai ular” atau “umpama ular”.
Jika kita cari di kamus, tentu tidak akan ditemukan kata itu makna dari kata
tapi kita tidak boleh lupa bahwa kata tersebut adalah bagian dari adat tasybih ث
22
Ahmad Syatibi, Balaghah I (Ilmu Bayan) Pengantar Memahami Bahasa al-Quran,
(Jakarta: Tarjamah Center, 2014) h. 17.
23 Ibid., 59.
37
yang memiliki definisi; kata yang artinya menunjukkan.24
Definisi ini serupa
dengan definisi dari kata itu menurut KBBI; kata petunjuk.25
Kemudian, karena alasan yang sama, ingin menimbulkan efek segera sadar,
peneliti menggabungkan terjemahan beberapa frase setelahnya :
Dengan metode harfiah, seharusnya terjemah yang dihasilkan adalah; Harta
bagai ular yang mengandung racun dan obat. Manfaatnya itu obat dan petakanya
itu racun.
Tetapi, menggunakan metode komunikatif, peneliti menerjemahkan; Harta
itu ular yang mengandung racun berupa petaka dan obat berupa manfaat.
Kalimat kedua lebih mudah dibaca dan langsung dapat dipahami oleh
pembaca BSa meskipun ada ḥadzf dan ziyādah di dalamnya.
h. Teks Bab
26بخ شج الأػبي, اضاثظ الإبثاجذث ا
Semantik Komunikatif
Pembahasan Kedua, Standar Keimanan
Untuk Pengusaha
Bab 2, Standar Iman Pengusaha
Muslim
الأػبي شج الإبخ اضاثظ, ىبثا اجذث
7 6, 5 4 3 2 1
Bab 2, Standar Iman Pengusaha Muslim
24
Ibid,. 8.
25 https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/itu (diakses pada 26/03/2019, pukul 04.00 WIB).
26 Asyraf Muhammad Dawābah, Nahwa Rajul A‘māl Islamy, (Kairo: Dar Es-Salam, 2005)
h. 25.
38
1 2 3 4 6, 7 T
TSu di atas diterjemahkan menggunakan 3 strategi; tahwil, ḥadzf dan
ziyādah.
Pada nomer 2 teks sumber penulis mencantumkan al-naat wa al-man‟ut
بثاجذث ا yang kemudian diterjemahkan menjadi Bab 2, اجذث sendiri
bermakna pembahasan. Karena makna tersebut dianggap terlalu kaku, maka
peneliti memberikan makna bab yang dirasa lebih akrab didengar dan diucapkan
oleh penutur bahasa sasaran. Bab bermakna bagian isi buku27
yang tentunya tidak
bertentangan dengan konteks ini.
Adapun kata بثا di-Tahwīl dari huruf menjadi angka, 2. Karena angka
dianggap lebih mudah dibaca, sedangkan huruf harus dieja terlebih dahulu.
Selanjutnya, huruf ي pada nomer 5 merupakan huruf syibh al-tamlik28
tidak
diterjemahkan karena dirasa sudah terwakil oleh struktuk frase nominal
subordinatif N + N yang juga bermakna „milik‟.29
Kemudian, nomer 5 & 6 diberikan satu makna sesuai konteks komunikatif,
pengusaha dan ditambahkan kata muslim untuk menegaskan topik yang dibahas
dalam bab sesuai tema yang termaktub pada judul buku.
27
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/bab, (diakses pada 26/03/2019, pukul 07.31 WIB).
28 Musthofa al-Ghalayini, Jami al-Durus al-Arabiyah, vol.3, (Beirut: Dar Al-Kotob Al-
Islamiyah, 2009) h.49.
29 Abdul Chaer, Sintaksis Bahasa Indonesia : Pendekatan Proses, (Jakarta, Rineka Cipta,
2009) h. 123.
39
i. Teks Penghubung
ىا ،ذػ تشثا صلى الله عليه وسلم جثخ بلذ شذ تبسخ الإعلا صذ
ػجذ اشدب ث غ أثبي: ػثب ث ػفب ب أاي اذب
30إلا لشثب إى اللهصاد زا ابي فب ػف عؼذ ث أث لبص
Sejarah Islam telah membuktikan para sahabat yang secara langsung
diedukasi oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memiliki kekayaan materi
yang melimpah, di antaranya: Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf dan Saad
bin Abi Waqas. Bahkan harta tersebut lebih mendekatkan mereka pada Allah.
Mari kita bahas satu persatu.
ىا , ذ ػ تشثاصلى الله عليه وسلم ج صبدجخ الإعلا تبسخ شذ لذ 14 13 12, 11, 10 9 8, 7 6 5 4 3 2 1
غ ب اذب أاي 20, 19 18 17 16 15
Sejarah Islam telah membuktikan para sahabat yang secara langsung diedukasi
4 5 2 3 6 T 10 11 9
oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memiliki kekayaan materi yang
T 8 14 16 17 18
melimpah,
19
Pada teks ini, peneliti menggunakan strategi; ḥadzf, ziyādah, takdim wa
takhir dan tahwīl.
Parhatikan nomer 4, 5, 2, 3, 6 pada TSa, perubahan struktuk urutan terjadi
karena kalimat aktif bahasa Indonesia menganut paham subjek-predikat. Tentu
30
Asyraf Muhammad Dawābah, Nahwa Rajul A‘māl Islamy, (Kairo: Dar Es-Salam, 2005)
h. 53.
40
saja sulit dipahami saat memberlakukan penerjemahan 2, 3, 4, 5, 6 sebagiamana
tertulis pada TSu, telah membuktikan sejarah Islam para sahabat.
Kasus serupa juga terjadi pada urutan 6, T, 10, 11, 9, T, 8. Frasa (6, 7, 8)
dipisahkan maknanya untuk menggantikan posisi dhamir pada nomer 12 صبدجخ ج
yang merujuk pada nomer 8 agar lebih mudah dipahami. Ini juga alasan mengapa nomer
12 mengalami ḥadzf. Bayangkan jika nomer 12 tetap diterjemahkan sebagaimana berikut:
… para sahabat Rasulullah yang secara langsung diedukasi olehnya …
Lagi pula, kaum muslimin sudah sangat mengenal konteks ini, kata para sahabat
yang dipahami adalah sekelompok orang yang beriman dan hidup bersama Nabi
Muhammad hingga akhir hayat. Apalagi, kata sahabat dan rasul termaktub dalam satu
kalimat. Itulah sebab terjadinya takdim wa takhir dalam terjemahan di atas.
Selain nomer 12, strategi ḥadzf dilakukan karena tidak memiliki makna spesifik
atau karena keberadaanya tidak lagi dibutuhkan.
Selanjutnya ziyādah (T) dimasukkan ke dalam TSa hanya berbentuk partikel yang
berfungsi menimbulkan makna dalam gramatikal.
Adapun tahwīl yang terjadi pada nomer 8, karena kata rasul dianggap lebih akrab
ditelinga penutur BSa dan berkesan lebih memuliakan.
الله إى لشثب إلا ابي زا صاد فب 30 29 28 27 26 25 24, 23 22,21
Bahkan harta tersebut lebih mendekatkan mereka pada Allah.
22 26 25 23 28 24 29 30
Jika merujuk pada TSu, teks di atas masih dalam salam satu kalimat dengan
teks sebelumnya. Kemudian terjemahnya dipisahkan ke dalam 2 kalimat berbeda
karena peneliti ingin mempermudah keterbacaan pesan pada kalimat TSu yang
sudah terlalu panjang melalui pemadanan huruf athaf ف yang bermakna cepat
41
tanpa jeda31
dengan kata bahkan yang merupakan kata penghubung antar kalimat
untuk menyatakan penguatan.32
Nomer 22 dan 27 tidak diterjemahkan karena keduanya adalah perangkat
kalimat negatif yang memang harus dilesapkan jika ada dua kalimat negatif dalam
satu kalimat. Contoh; “Bukan karena Ibrahim tidak mencintai anak-istrinya di
lembah gersang, tapi karena ia ingin mentaati Allah.”. Artinya, Ibrahim
mencintai anak-istrinya.
Selanjutnya, peneliti menggunakan strategi tahwīl pada nomer 28 dengan
mengubah kelas kata masdar (لشثب ) dalam TSu, menjadi verba (mendekatkan)
dalam TSa untuk mempermudah keterkaitan antar kata dalam satu kalimat.
31
Musthofa al-Ghalayini, Jami al-Durus al-Arabiyah, vol.3, (Beirut: Dar Al-Kotob Al-
Islamiyah, 2009) h.185.
32 https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/bahkan, (diakses pada 28/03/2019, pukul 07.13
WIB).
42
Bab V
Penutup
A. Kesimpulan
Buku Nahwa Rajul A„māl Islāmy Karya Asyraf Muhammad Dawābah
adalah karya yang syarat akan informasi, dari hal ini peneliti mengambil
kesimpulan bahwa buku tersebut sangat pantas diterjemahkan menggunakan
metode komunikatif yang beroritentasi pada bahasa sasaran yang mengharuskan
berterimanya pesan dari TSa ke TSu. Untuk beberapa kasus dijumpai kesulitan
untuk menemukan padanan. Untuk itu peneliti melakukan improvisasi kata,
misalnya mengganti kata menuju menjadi rambu.
Selama proses menerjemahkan juga, peneliti menggunakan 4 strategi yang
sangat bermanfaat, tentunya baik juga dimanfaatkan untuk rekan-rekan
penerjemah lainnya. Di antaranya adalah, taqdim wa ta'khir, mengubah posisi
urutan kata; ziyādah, menambahkan kata pada TSa yang tidak dijumpai di Tsu;
hadzf berlawanan dengan ziyādah; tahwīl, mengubah kelas kata menjadi kelas
kata lain.
B. Rekomendasi
Penelitian ini hanya baru berkutat seputar meotde penerjemahan dan
strateginya. Sementara pembahasan seperti morfologi, sintaksis, semantik,
balaghah belum dibahas. Karenanya, ilmu kebahasaan lain yang belum dibahas
diharapkan ikut diteliti.
43
Daftar Pustaka
A, Nida E and Ch R Taber. The Theory and Practice of Translation. Help for Translator.
Den Haag: Brill, 1969.
Alamsyah, Isa. 101 Dosa Penulis Pemula, Mengupas Inti Sari Workshop Menulis Asma
Nadia. Depok: AsmaNadia Publishing House, 2014.
al-Asqalani, Ibn Hajar. Bulughul Maram Min Adillatil Ahkam. Jakarta: Dar al-Kutub al-
Islamiyah, 2002.
al-Ghalayini, Musthofa. Jami al-Durus al-Arabiyah. Beirut: Dar Al-Kotob Al-Islamiyah,
2009.
Baalbaki , Munir dan Rohi Baalbaki. Kamus al-Maurid. Surabaya: Halim Jaya, 2006.
Burda, Ibnu. Menjadi Penerjemah Metode dan Wawasan Menerjemah Teks Arab.
Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004.
Chaer, Abdul. Sintaksis Bahasa Indonesia : Pendekatan Proses. Jakarta: Rineka Cipta,
2009.
Dawābah, Asyraf Muhammad. Nahwa Rajul A„māl Islāmy. Kairo: Dar Es-Salam, 2005.
Dayyab, Hifni Bek, et al. Qawa‟idu „l-Lughati „l-„Arabiyah. Penerj. Chatibul Umam.
Jakarta: Darul Ulum Press, 2007.
Hanafi, Nurachman. Teori dan Seni Menerjemahkan. Ende Flores-NTT:: Nusa Indah,
1986.
Hidayatullah, Moch Syarif. Cakrawala Linguistik Arab. Tangerang Selatan: Alkitabah,
2012.
Hidayatullah, Moch Syarif. Seluk Beluk Penerjemahan Arab-Indonesia Kontemporer:
Dasar, Teori dan Masalah. Tengerang: UIN Press, 2014.
Pusat Bahasa Kemdiknas Republik Indonesia. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia
yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah. Bandung:
Pustaka Setia, 2012.
Khalil, Shalahuddin Abu Said. al-Fusul al-Mufidah fii al-Wawi al-Mazidah. Amman: Dal
al-Basyir, 1990.
Loir, Henri Chambert. Sadur, Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia. Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia, 2009.
M. Zaka Al Farisi, M.hum. Metode Penerjemahan Arab-Indonesia. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2011.
Mufid, Nur dan Kaseruan AS Rahman. Buku Pintar Menerjemahkan Arab-Indonesia.
Surabaya: Pustaka Progressif, 2007.
44
Nababan, Rudolf. Teori Menerjemahkan Bahasa Inggris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,,
2008.
Newmark, Peter. A Textbook of Translation. London: Prentice Hall, 1988.
Rifa‟i, Moh. Risalah Tuntunan Shalat Lengkap. Semarang: PT. Karya Toha Putra, 2004.
Rofi‟I. Dalil Fi al-Tarjamah 1. Ciputat: Persada Kemal, t.thn.
Rofi'i. Dalil Fi al-Tarjamah 2. Ciputat: Persada Kemala, 2002.
Suryawinata, Zuchridin dan Sugeng Hariyanto. Translation: Bahasa Teori dan Penuntun
Praktis Penerjemahan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2003.
Syatibi, Ahmad. Balaghah I (Ilmu Bayan) Pengantar Memahami Bahasa al-Quran.
Jakarta: Tarjamah Center, 2014.
Sayogie, Frans. Penerjemahan Bahasa Inggris Ke Dalam Bahasa Indonesia. Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidyatullah, 2008.
Yusuf, Suhendra. Teori Terjemahan, Pengantar ke arah pendekatan linguistik dan
Sosiolinguistik. Bandung: Mandar Maju, 1994.
Internet
Abjjad. “Asyaf Muhmmad Dawābah.“ Artikel diakses pada 26 April 2017.
(https://www.abjjad.com/author/2799992922/داة-محمد-اششف/books)
Academy, Sadat. “Nubdzatu Tārīkhiyah a‟n al-Akādīmīyah.” Artikel diakses pada 26
April 2017. (http://www.sams.edu.eg/الأوبدخ-ػ-تبسخخ- جزح/الأوبدخ-ػ)
Alfa, Alfa. “Megenal 4 Pelaku Bisnis: Entrepreneur, Investor, User, dan Business
Partner.” Artikel diakses pada 24 September 2018.
(https://blogs.itb.ac.id/wikia/pelaku-bisnis-entrepreneur-investor/).
Bank,Faisal. “Incorporate and History.” Artikel diakses pada 26 April 2017.
(http://www.faisalbank.com.eg/FIB/arabic/about-us/incorporation-history.html).
Dawābah, Asyraf. “al-Sīrah al-Dzātiyah.” Artikel diakses pada 26 April 2017.
(http://www.drdawaba.com/drdawaba/tabid/54/Default.aspx).
Online, Hukum. “Mengenai Benda Bergerak dan Benda Tidak Bergerak.” Artikel diakses
pada 30 April 2017.
(http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl4712/mengenai-benda-bergerak-
dan-benda-tidak-bergerak).
Kemendikbud, “KBBI Daring.” 30 Maret 2019. (https://kbbi.kemdikbud.go.id).
45
Lampiran
Terjemah Nahwa
Rajul A‘māl
Islāmy
ii
Pengantar Penulis
Pengusaha adalah bagian dari geliat ekonomi yang tidak mengenal waktu dan
tempat. Mereka merupakan penopang terbesar kemajuan suatu negeri dan perkembangan
umat. Terlebih di tengah terpuruknya kaum muslimin karena ketidakberdayaan dalam
mengelola sumber daya seperti sekarang, hingga memaksa mereka bergantung pada orang
lain dalam memenuhi kebutuhan. Yang paling menyedihkan adalah pudarnya syiar-syiar
Islam dengan ditinggalkannya ajaran muamalah nan bernilai dakwah, yakni sistem
ekonomi berketuhanan; yang unik, bijak, aplikatif serta tepat-guna.
Kemudian mereka mulai mengais serpihan dunia dengan mencabik agama mereka,
kadang dengan mengekor pada sosialisme, kadang kapitaslime atau menggabungkan
keduanya, bahkan meleburkan syariah kedalamnya. Akibat membebek pada nonmuslim,
umat Islam kehilangan rasa percaya diri, wibawa, dan kehormatan.
Meski keterpurukan menimpa umat saat ini, namun di benak para pengusaha muslim
terpaut harapan: bangkitnya kejayaan Islam berserta kekuatan ekonomi, kemajuan sains,
dan kelapangan hidup hingga baytul mal dipenuhi harta benda yang banyak sampai tidak
ada lagi orang fakir, jomblo dan perbudakan.
Nyata hari ini masih ada sejumlah pengusaha yang sesuai gambaran al-Quran,
“Lelaki yang tidak lalai berdzikir, mendirikian shalat, menunaikan zakat karena jual-beli.
Mereka takut akan hari di mana hati dan mata penuh dengan kegelisahan.”1
Para pengusaha itu memanfaatkan harta melimpah dan nikmat pemberian Allah yang
banyak untuk mengembangkan produksi, memakmurkan negeri, menggiatkan para pemuda
dalam produktifitas serta mendekatkan diri pada Allah dengan berbagai usaha karena rakus
1 Al-Nur: 37.
iii
akan kebaikan dunia dan akhirat. Kekayaan menjadikan mereka rendah hati dan takut pada
Allah, itulah syukur.
Sebaliknya, sejumlah pengusaha tertipu oleh harta bahkan membutakan hati mereka.
Syahwat pada wanita, miras, gedung megah, emas, perak, mobil mewah, pelayanan dan
perlindungan diri menjadi momok bagi mereka. Cinta harta adalah kesenangan keliru yang
melupakan Tuhan dan hakikat dari nikmat itu sendiri, menyibukkan hati lagi menghinakan.
Nyata hari ini, para pengusaha yang awalnya bersaudara dan saling mencintai, tiba-
tiba berputar 180 derajat menjadi saling bertikai dan mencaci setelah bertransaksi dengan
dinar dan dirham.
Dalam hal ini, pendidikan tolong-menolong pada setiap muslim diharapkan
membantu para pengusaha untuk memahami karakter transaksi dan tugas mereka dalam
kehidupan yang digariskan al-Quran al-Karim, “Aku ciptakan jin dan manusia hanya untuk
menyembah- Ku.”2
Menyembah Allah bukan ibadah ritual semata, namun mencakup semua gerak dan
diam. Allah berfirman, “Katakanlah! ‘Shalat, ibadah, hidup, dan matiku seluruhnya
karena Allah. Tiada sekutu baginya, begitulah aku diperintahkan, dan aku adalah orang
pertama yang ber-Islam’.”3
Etika mencari penghidupan bagi manusia adalah cara hidup yang memiliki sebab dan
akibat. Ia adalah bagian dari siklus ibadah. Ibadah itu sendiri tidak mungkin terealisasi
tanpa ilmu yang menjadi syarat utama baginya. Maka, sudah semestinya pengusaha
muslim menguasai ilmu hukum syariat dalam segala bentuk transaksi agar mampu meraih
yang halal, menjauhi yang haram dan menyingkirkan yang syubhat. Dengan demikian,
siklus ibadah dapat dilaksanakan dengan fisik yang tumbuh dari yang halal, sebagaimana
2 Al-Dzariat: 56. 3 Al-An’am: 162-163.
iv
sabda Rasulullah, “Allah enggan memasukan orang yang ditubuhnya ada daging haram ke
dalam surga, bahkan akan memasukannya ke dalam neraka.”4
“Tidak akan pernah bergeser kaki seorang hamba pada hari kiamat, kecuali setelah
ditanya tentang 4 hal:
1. untuk apa usianya dihabiskan,
2. untuk apa masa mudanya digunakan,
3. dari mana dia mendapat harta dan ke mana dia pakai, dan
4. apa yang sudah dia perbuat dengan ilmunya.”5
Menguasai ilmu muamalah adalah mutlak bagi setiap pengusaha muslim. Karena
menimba ilmu adalah kewajiban setiap orang Islam, dalam hal ini ilmu yang dibutuhkan
oleh pengusaha, yakni ilmu muamalah. Agar dapat melihat batasan mana yang boleh dan
mana yang terlarang, mana yang paradoks dan mana yang jelas. Diriwayatkan bahwa
Umar bin al-Khattab kerap berkeliling pasar dan memukup pedagang dengan tongkat
sambil berkata, “hanya yang faqih yang boleh berjualan di pasar kami, atau dipastikan ia
memakan riba tanpa sengaja.”6
Islam telah meletakkan fondasi dan pakem keimanan, akhlak, kemajuan yang
diridhai Sang Pencipta kehidupan dan makhluk; agar terciptanya keadilan dalam
muamalah, pengelolaan harta dan permodalan yang baik hingga keseimbangan antara
maslahat pribadi dan umum, demi tercapainya kebahagiaan dunia-akhirat.
Pengusaha muslim yang ingin unggul dan mendapatkan kebaikan dunia-akhirat,
hendaklah memegang erat pakem ini, letakan dunia ditempat semestinya, makan yang
4 Muhammad bin Abd Allah Abu Abd Allah al-Hakim Al-Naisaburi, al-Mustadrak ala al-
Sahihaini, tahqiq Musthafa abd al-Qadir Atha, Dar al-Kutub al-Ilmiah, Beirut, cet ke-1, 1411H, 1990M, vol. 4, h. 141. Menurut al-Hakim, ini adalah hadits hasan shahih.
5 Sulaiman bin Ahmad bin Ayub bin Abu al-Qasim al-Thabarani, al-Mujam al-Kabir, Tahqiq Hamady bin Abd al-Majid al-Salafi, Maktabah al-Ulum wa al-Hikam, Cet ke-2, 1410H, 1983M vol. 20, hal. 60.
6 Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, Maktabah al-Iman, al-Manshurah, vol. 2, h. 59.
v
baik-baik saja, gemar berinfak dan berbuat baik. Dunia hanya di tangan bukan di hati dan
tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah. Namun, tidak lupa bahwa harta adalah
penopang kehidupan, maka dia tidak menyia-nyiakan bahkan menjadikannya tunggangan
menuju akhirat. Raihlah akhirat yang telah Allah berikan padamu, tapi jangan lupa bagian
nikmat duniamu.7 Dengan demikian itu bermanfaat untuk dirinya, dan bertumbuh untuk
masyaratnya.
Rasulullah shallalhu alaihi wa sallah pernah berdoa di Ka’bah antara rukun yamani
dan rukun hijr, tepat tersuci di muka bumi, sebagaimana firman Allah, “Duhai Allah
Pencipta kami, berikanlah kebaikan dunia dan kebaikan akhirat.”8 Pertanyaanya,
sudahkah pengusaha muslim menciptakan dunia, pabrik, pertanian, bisnis dan ekonomi
yang baik?
Kebaikan yang dimaksud itu tidak mungkin tercapai sempurna sebagaimana
diharapkan agama Islam, tanpa kemandirian umat Islam dari bergantung pada umat lainnya
dan berdampingannya adzan shalat dengan produktifitas pabrik. Hidupnya rohani harus
berbarengan berkembangnya jasmani.
Buku ini terdiri dari kata pengantar yang disusul 4 pembahasan:
1. Bab 1: Perspektif Harta dalam Islam
2. Bab 2: Standar Iman Pengusaha Muslim
3. Bab 3: Standar Akhlak Pengusaha Muslim
4. Bab 4: Standar Kemajuan Bagi Pengusaha Muslim
Wallahu l-Muwaffiq wa l-Musta’an wa akhiru da’wana an l-hamdulillahi rabb al-
a’lamin,
Dr. Asyraf Muhammad Dawabah
7 Al-Qashas: 77. 8 Al-Baqarah: 201.
vi
Daftar Isi
Pengantar Penulis....................................................................................................... ii Daftar Isi ................................................................................................................. vi Bab 1: Perspektif Harta Dalam Islam ..................................................................... 1
Pertama, Berdasarkan Perlindungan Syariat ............................................................. 1
Kedua, Berdasarkan Mobilitasnya ........................................................................... 2 Ketiga, Berdasarkan Keidentikan Jenis .................................................................... 2
Keempat, Berdasarkan Eksistensinya ....................................................................... 3 Kelima, Berdasarkan Dapat atau Tidaknya Diakuisisi ............................................... 3
Bab 2: Standar Iman Pengusaha Muslim ...................................................................... 8 Pertama, Allah Pemilik Modal dan Manusia Mandataris ............................................ 8 Kedua, Menghadirkan Niat dalam Bekerja ............................................................. 11 Ketiga, Iman Kepada Qadha dan Qadar Dibarengi Rasa Syukur Kepada Allah Dalam
Keadaan Senang Maupun Susah ........................................................................... 14 Keempat, Menikmati Pekerjaan Sebagai Proses Menjemput Rezeki Sambil Bertawakal
.......................................................................................................................... 17 Kelima, Istighfar dan Takwa Sebab Datangnya Rezeki ............................................ 21
Keenam, Allah Melebihkan Rezeki Seseorang Di atas Sesamanya ............................ 23 Ketujuh, Konservatif Terhadap Intensi Syariat ....................................................... 26
Bab 3: Standar Akhlak Seorang Pengusaha Muslim .................................................... 33 Pertama, Interaksi dengan Akhlak ......................................................................... 34
1. Jujur............................................................................................................ 34
2. Amanah ....................................................................................................... 39 3. Murah Hati .................................................................................................. 43
4. Berkomitmen ............................................................................................... 50 Kedua, Transaksi Halal dan Baik .......................................................................... 52
1. Menghindari Transaksi Komoditas dan Jasa Haram ......................................... 52 2. Menghindari Mata Pencarian Haram .............................................................. 53
Bab 4. Standar Kemajuan Pengusaha Muslim ............................................................ 78
Pertama: Perlindungan Terhadap Harta dan Pertumbuhannya ................................... 81
1. Melakukan yang Terbaik ............................................................................... 81
2. Menjauhkan Anak-anak ................................................................................ 81 Kedua, Tunduk Terhadap Prioritas Islam ............................................................... 82
Ketiga, Komit Terhadap Prinsip Ajaran Islam dalam Transaksi ................................ 84 1. Hukum asal semua transaksi adalah halal ........................................................ 84
2. Tidak berbahaya dan membahayakan ............................................................. 85
3. Kerja maksimal ............................................................................................ 86
4. Profit berbanding lurus dengan modal ............................................................ 86
5. Profit adalah preservasi modal ....................................................................... 87 6. Praduga Tak Bersalah ................................................................................... 88
7. Niat bagian dari bisnis .................................................................................. 88 8. Segala yang mengarahkan pada keharaman, adalah haram ................................ 89 9. Manipulasi hal haram adalah haram ............................................................... 90
10. Niat yang tulus tidak dapat menghalalkan yang haram .................................... 90 11. Menghindari syubhat demi menjaga kehormatan diri dan agama ..................... 91
12. Keadaan darurat adalah pengecualian ........................................................... 92
vii
13. Semua piutang yang menghasilkan keuntungan adalah riba ............................. 93 14. Muslim berkomitmen pada syarat ................................................................. 93
15. Perdamaian adalah kebaikan ........................................................................ 95 16. Semua yang boleh dijual, boleh diakadkan .................................................... 95
1
Bab 1: Perspektif Harta Dalam Islam
Harta adalah salah satu kebutuhan hidup terbesar yang tidak bisa dinafikan manusia.
Lebih dari 9 ayat termaktub dalam al-Quran dan tak terhingga jumlahnya yang disebutkan
dalam al-Hadits. Bahkan Allah menjadikannya satu di antara 2 perhiasan hidup di dunia,
“Harta dan anak-keturunan adalah hiasan kehidupan dunia.”9
Menurut istilah ulama fiqih, harta adalah segala yang dapat dimiliki dan
dimanfaatkan. Menurut wujudnya, harta dibagi 2 unsur:
1. Fisik: Wujud materi yang dapat dirasakan oleh indra manusia, contohnya bentuk
mobil itu sendiri.
2. Nilai: Berupa manfaat yang didapat dari fisik tersebut, contohnya manfaat mobil,
dan kenyamanan tinggal dalam rumah.
Kemudian harta dibagi dalam berbagai golongan sebagai berikut:
Pertama, Berdasarkan Perlindungan Syariat
1. Harta Berharga
Adalah harta yang memiliki nilai jual dan setiap kerusakannya memiliki
konsekuensi ganti rugi. Untuk memiliki nilai jual, ada 2 syarat yang harus
dipenuhi; pertama, didapat dengan usaha dan ada pemiliknya; kedua,
pemanfaatannya dalam keadaan darurat maupun tidak, diperbolehkan menurut
syariat, seperti uang, rumah tinggal dsb.
9 Al-Kahfi: 46
2
2. Harta Tak Berharga
Adalah harta yang tidak memenuhi 2 syarat di atas, seperti ikan di lautan yang
tidak dimiliki siapapun juga miras dan daging babi yang haram bagi muslim tidak
boleh dikonsumsi.
Kedua, Berdasarkan Mobilitasnya
1. Tetap
Adalah harta yang tidak mungkin dipindahkan, seperti: tanah, bangunan dsb.
2. Bergerak
Harta yang dapat berpindah tempat, seperti: mobil, mebel dsb.
Ketiga, Berdasarkan Keidentikan Jenis
1. Identik
Adalah benda yang memiliki keserupaan bentuk tanpa adanya perbedaan penting
dalam jenis maupun satuaanya, contoh: beras, kurma dan yang serupa lainnya.
2. Nonidentik
Adalah benda yang asalnya tidak memiliki kemiripan rupa, seperti karya-karya
yang langka, atau memiliki kesamaan tapi di antara keduanya ada perbedaan yang
berarti dari segi penggunaannya.
3
Keempat, Berdasarkan Eksistensinya
1. Konsumsi
Barang yang dapat habis ketika dimanfaatkan, seperti: makanan dan minuman.
2. Nonkonsumsi
Benda yang digunakan namun tidak habis, seperti: buku dan mobil.
Kelima, Berdasarkan Dapat atau Tidaknya
Diakuisisi
1. Harta yang tidak boleh dimiliki
Semua yang dikhususkan untuk digunakan masyarakat umum, seperti: jalan umum
dan jembatan.
2. Harta yang tidak boleh dimiliki kecuali dengan legalitas hukum
Seperti benda-benda wakaf yang tidak dibenarkan untuk dijual, namun renovasi
atau pembiayaannya lebih besar dari manfaat yang diperoleh.
3. Harta yang boleh dimiliki
Semua yang tidak termasuk dalam 2 jenis di atas.
Islam telah menjamin perlindungan terhadap harta. Rasulullah shallallhu alaihi wa
sallam melarang pemborosan10 dan menjanjikan mati syahid bagi siapa saja yang terbunuh
10 Muslim bin al-Hajjaj Abu al-Husain al-Qusyairi al-Naisaburi, Shahih Muslim, Tahqiq
Muhammad Fuad Abd al-Baqi, Dar Ihya al-Turats al-Arabi, Beirut, vol. 4, hal. 1986.
4
karena membela hartanya.11 Beliau juga menyetarakan harta secara umum untuk menjaga
dan melindungi hak kepemilikan, selama tidak bertentangan dengan maslahat umum.12
Islam memandang harta sebagai salah satu kemuliaan hidup dan media untuk
mempermudahnya bagi manusia. Harta tidaklah tercela sehingga tidak diposisikan sebagai
sesuatu mungkar dan haram. Tidak pula mulia sehingga tidak dipuja. Ia hanyalah alat, yang
akan baik jika digunakan untuk kebaikan, sebaliknya jika digunakan untuk keburukan
maka ia buruk. Allah berfirman:
“5. Adapun orang yang mendermakan hartanya dan bertakwa, 6. dan membenarkan
balasan yang baik (surga), 7. maka akan kami siapkan baginya jalan yang mudah, 8.
Adapun orang-orang kikir dan merasa dirinya cukup, 9. serta mendustakan balasan yang
baik, 10. maka akan Kami siapkan baginya kesukaran, 11. dan hartanya tidak bermanfaat
apabila ia telah binasa.”13
Hakikatnya harta tidaklah tercela, justru yang hina adalah tendensi manusia yang
rakus, menghalalkan segala cara, menahan hak orang lain, boros lagi bangga diri.
Berdasarkan fakta ini Allah berfirman:
“Ketahuilah, harta dan anak-anakmu itu hanyalah cobaan dan di sisi Allah-lah
kompensasi yang besar.” 14
“Sungguh manusia benar-benar melampaui batas. karena dia melihat dirinya serba
cukup.”15
“Pandangan manusia dijadikan indah, mencintai hasratnya, yaitu: wanita, anak,
banyak harta berupa emas, perak, kuda terbaik, binatang-binatang ternak dan sawah
11 Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari al-Jufi, Shahih Bukhari, Tahqiq Dr.
Mustafa Dib al-Baga, Dar Ibn Katsir, al-Yamamah, Beirut, cet-3, 1407H, 1987M, vol. 2, hal. 518. 12 Sulaiman bin Ahmad bin Ayub bin Abu al-Qasim al-Thabarani, al-Mujam al-Awsath,
Tahqiq Thariq bin Audillah bin Muhammad, Abd al-Muhsin bin Ibrahim al-Hasini, Dar al-Haramain, Kairo, 1410H, vol. 8, hal. 93.
13 Al-Lail: 5-11 14 Al-Anfal: 28 15 Al-Alaq: 6-7
5
ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik
(surga).”16
“Katakanlah! ‘jika bapak, anak, saudara, istri, keluarga, harta kekayaan yang kamu
usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan tempat tinggal yang
kamu sukai, lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya, maka
tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya’. Allah tidak memberi petunjuk
kepada orang-orang yang fasik.”17
Dari Amru bin Auf al-Anshari, “Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda, ‘Demi Allah aku tidak
takut jika kefakiran menimpa kalian, tapi aku takut jika dunia dibentangkan sebagaimana
kaum sebelum kalian, kemudian kalian berlomba sebagaimana mereka berlomba, lalu
dunia menghancurkan kalian seperti mereka.’”18
Dari ka’ab bin Malik radiallahuanhu, Rasulullah صلى الله عليه وسلم berkata “Bengisnya 2 ekor
serigala lapar yang memangsa kambing tidak lebih parah dibanding kerakusan manusia
terhadap harta dan kemuliaan yang merusak agamanya.”19
Dari Ka’ab bin Iyadh radiallahuanhu, ia berkata “Aku mendengar Rasulullah صلى الله عليه وسلم
berkata, ‘Setiap umat memiliki cobaannya masing-masing, dan cobaan umatku adalah
harta’”.20
16 Ali Imran: 14 17 At-Taubah: 24 18 Muslim, Shahih Muslim, vol. 4, hal. 2273. 19 Muhammad bin Isa Abu Isa al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, Tahqiq Ahmad Muhammad
Syakir, dkk, Dar Ihya al-Turats al-Arabi, Beirut, vol. 4, hal. 588. Hasan Sahih. 20 Ibid., hal. 569. Hasan Gharib.
6
Al-Quran telah meyampaikan bahwa harta bukanlah sesuatu yang harus dicintai atau
dibenci karena Allah telah menjadikanmya sebagai salah satu perhiasan, penunjang hidup
manusia, dalam beberapa kesempatan menjulukinya sebagai “kabaikan”.
Amru bin Ash pernah meriwayatkan perkataan Nabi صلى الله عليه وسلم: “Harta terbaik adalah yang
dimiliki orang saleh.”21
Ibnu Abbas, “Dirham dan dinar adalah stempel Allah di dunia. Tidak bisa dimakan
dan diminum. Saat engkau memerlukannya, ia memenuhi kebutuhanmu.”22
Said bin al-Musyab, “Tiada kebaikan bagi orang yang enggan mengumpulkan harta
halal. Dengannya kehormatan terjaga dari meminta-minta, menjalin silaturahim dan
memberikan orang miskin.”23
Ada yang pernah berkata pada Abu al-Zinad, “Engkau tidak mencintai dirham
padahal ia mendekatkanmu pada dunia?” Kemudian ia jawab, ”Jika ia mendekatkanku
pada dunia, sebenarnya ia menjagaku darinya.”
Pepatah bijak berkata, “Orang yang mengatur hartanya, sebenarnya telah menjaga 2
kemuliaan: agama dan harga dirinya.”24
Pada prinsipnya harta dalam Islam bukanlah tujuan akhir, melainkan hanya media
barter. Siapa yang mengimplementasikan hal ini maka tepat guna lah harta itu ditangannya
dan masyarakat. Berbalik 180 derajat bagi siapa yang menjadikannya sebagai puncak cita-
cita, ia hanya akan menjadi gerbang kehancuran bagi pemiliknya dan orang lain.
21 Ahmad bin Hanbal Abu Abdullah al-Syaibani, Musnad Ahmad, Institut Kordoba, Mesir, vol.
4, hal. 197. 22 Abi al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Bashri al-Mawardi. Adab al-Dunya wa al-Din.
Dar al-Furjani: Kairo, 1983, hal. 195-196. 23 Ahmad bin Abdurrahman bin Qudamah al-Maqdisi, Mukhtashar Minhaj al-Qosidin, Dar al-
Turats, 1398h, hal. 196. 24 Al-Mawardi, Adab al-Dunya wa al-Din, hal. 196.
7
Imam Ghazali berkata, “Harta itu ular yang mengandung racun berupa petaka dan
obat berupa manfaat. Orang yang menyadari petaka dan manfaanya; niscaya selamat dari
bahaya dan memperoleh manfaat.”25
Yahya bin Muadz berkata, “Dirham adalah kalajengking yang tidak boleh disentuh
tanpa mantra, mematikan jika menyengat. Mantranya adalah didapat dengan halal dan
diinfakkan dijalan-Nya.”
“Seorang hamba akan ditimpa 2 musibah yang berasal dari hartanya ketika ia mati;
sisa hartanya akan jadi warisan, dan ia akan diminta pertanggungjawaban atas keselurah
hartanya termasuk yang belum ia nikmati.”26
Bagaimanapun harta adalah hiasan duniawi yang tidak direndahkan Islam sehingga
lepas dari genggaman, tidak pula dimuliakan sampai jadi ambisi orang-orang Islam, ia
hanyalah alat untuk melakukan kebaikan. Agama ini menginginkan pemeluknya menjadi
pejuang sejati yang menyibukkan diri dalam kebaikan untuk umat dan keluarganya
menggunakan harta, agar dapat bernilai ibadah murni.27
Dari sini pengusaha muslim dituntut untuk menggunakan harta Allah hanya dalam
ketaatan, yakni mendapatkannya dengan halal, mengeluarkannya dengan cara yang
diridhoi, tidak melupakan dunia dan peka akan kebaikan-Nya berupa keluasan rezeki.
Harta adalah anugerah Tuhan yang harus diterima dan disalurkan dengan cara yang baik,
serta dibarengi dengan upaya mendekatkan diri dan syukur. Selanjutnya, kita akan
membahas poin standar iman, kode etik dan progres yang diarahkan Islam.
25 Al-Ghazali. Ihya Ulumiddin, vol. 3, hal. 221. 26 Ibnu Qudamah, Muhtashar Minhaj al-Qasidin, hal. 196. 27 Hasan Albana, Hadits al-Tsulasa, Maktabah al-Quran, Kairo, hal. 402.
8
Bab 2: Standar Iman Pengusaha Muslim
Iman dan amal adalah pasangan yang saling berkorelasi layaknya ruh dengan jasad.
Lebih dari 200 ayat al-Quran mengaitkan iman dan amal saleh, sehingga al-Hasan al-
Bashri mendefinisikan iman sebagai “Sesuatu yang bersemayam dalam hati dan tercermin
dengan amal.”28 Maka, iman adalah faktor penting untuk menggerakkan hubungan sosial,
bahkan kehidupan secara menyeluruh. Dari sini tampak betapa urgennya integrasi antara
iman dengan amal saleh bagi seorang pengusaha yang harus dimilikinya, sebagaimana
berikut:
Pertama, Allah Pemilik Modal dan Manusia
Mandataris
Islam memandang manusia, dunia dan kehidupan sebagai eksistensi yang
komprehensif. Sebagaimana dunia, manusia pun demikian diciptakan hanya untuk ibadah
menyembah-Nya. 29
Pencapaian yang dimaksud ibadah itu sendiri adalah manusia memosisikan diri
sebagai wakil Allah di dunia terhadap segala yang telah disediakan-Nya, bertanggung
jawab terhadap fasilitas yang telah diberikan, mengakomodir, dan mewujudkan
28 Ahmad bin Abd al-halim bin Taimiyah al-Harani Abu al-Abbas, Majmu al-Fatawa,
Maktabah Ibnu Taimiyah, cetakan ke-2. Tahqiq Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim al-Asyimi al-Najdi, vol. 12, hal. 477.
29 Ad-Dzariat: 56.
9
keberhasilan tertingginya yang berupa kemakmuran dan peningkatan taraf hidup sesuai
kehendak Allah, sebagai pemilik sejati dunia ini.30
Kesejahteraan dan kemakmuran adalah perintah Allah yang mutlak tidak dapat
ditawar-tawar. Karenanya, upaya untuk itu harus dilakukan setiap muslim, sesuai
kapasitasnya masing-masing.
Karenanya, Allah telah memudahkan jalan untuk itu. Dengan syarat, kita mau
menggeluti aktivitas perekonomian hingga berperan aktif dalam masyarakat. Allah
berfirman: “Allah telah memudahkan bumi untukmu, maka berjalanlah di segala
penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya. Hanya kepada Allah lah kamu
dibangkitkan.”31
Dalam upayanya untuk merealisasikan hal itu, seorang pengusaha menyadari bahwa
harta hanyalah media, bukan tujuan. Bahkan, sekalipun ia memperoleh hasil yang baik,
maka hal itu harus dicapai dan dikelola dengan cara yang Allah cintai32 agar tidak bernasib
sama sebagaimana Karun.
Dulu Karun dikaruniakan harta melimpah yang kuncinya saja tidak mampu dipikul
oleh sekelompok pria kuat. Dengan kekayaan itu, ia mendapat kemapanan sosial dan
ekonomi di mata setiap orang. Namun, ketika ia diminta mengakui Allah sebagai sumber
nikmat tersebut dengan mendermakan sebagian harta dan pengetahuannya, ia menolak.
Dengan angkuh, ia menafikan nikmat-nikmat itu seolah tidak ada campur tangan Allah di
dalamnya. Hingga perkataan sombongnya itu dicatat dalam al-Quran, “Kesukses saya
karena pengetahuan yang saya miliki.”33
30 Hud: 61 31 Al-Mulk: 15 32 Tidak menahan hak orang lain, menunaikan zakat hartanya, membelanjakan untuk
keperluan yang diperbolehkan syariat, tidak berbangga diri atas harta tersebut, menyadari bahwa semua itu karena Allah.
33 Al-Qasas: 78
10
Ini adalah ungkapan arogan dari pribadi yang mengira aspek fenomena adalah sebab
segalanya. Akhirnya, semua kekayaan itu dibenamkan bersama rumah dan gudangnya.
Dahulu kekayaan Karun adalah impian semua orang, kini tidak seorang pun yang ingin
seperti dirinya.
Seorang pengusaha muslim tidak memandang harta sebagaimana Karun –menilai
harta adalah hak dirinya karena kunggulan pengetahuan, sehingga ia merasa pantas untuk
sombong dan meremehkan sesama-- Sebaliknya, ia meyakini Allah lah yang telah
memberinya anugerah berupa kapabilitas ilmu dan amal, serta kesehatan. Dengan semua
nikmat ini, memungkinkan dirinya untuk menyusun kesejahteraan.
Ketahuilah ketika Allah memberikan harta pada seseorang karena rida dan kebaikan
di dalamnya, Ia tidak akan membinasakan pemilik harta sebagaimana Karun dan orang-
orang terdahulu. Harta bukanlah bukti rida Allah pada seseorang, karena Ia Maha
berkehendak, bukan karena seseorang itu mulia kemudian ia kaya, bukan pula karena bejat
kemudian melarat.
Selaku mandataris, seorang pengusaha beriman bahwa hartanya adalah titipan yang
kelak harus dikembalikan sebagaimana dirinya. Selaku satu-satunya pemilik sejati, Allah
memandatkannya harta untuk digunakan sesuai keinginan-Nya. Allah pun akan meminta
pertanggungjawaban atas harta tersebut. Sebagaimana firman-Nya, “Allah menjadikan
kamu khalifah di bumi, maka Allah akan melihat bagaimana perbuatanmu.”34, “Kemudian
Kami jadikan kamu pengganti-pengganti (mereka) di muka bumi sesudah mereka, supaya
Kami memperhatikan bagaimana kamu berbuat.”35
Rasulullah bersabda, “Jika manusia mati, kesempatannya untuk mendapat pahala
dari amalnya kecuali 3:
1. Sedekah jariyah,
34 Al-Araf: 129 35 Yunus: 14
11
2. Amal yang bermanfaat, dan
3. Anak saleh yang mendoakan.36
Dengan demikian, seorang pengusaha muslim akan menyingkirkan arogansi dari
dalam hatinya dan memaksimalkan fasilitas yang telah Allah berikan di alam dengan
segenap potensi akal, pengetahuan serta semangat pendayagunaan yang baik.
Kedua, Menghadirkan Niat dalam Bekerja
Niat adalah ruhnya amal, sekaligus inti dan pondasinya. Jika baik, amal pun akan
baik, jika rusak, amal turut rusak. Mengenai ini, Rasulullah bersabda, “Usaha itu
tergantung niatnya dan setiap orang akan memperoleh keinginannya.37 Setiap pekerjaan
pasti memiliki tujuan, dan tujuan pengusaha muslim tidak terbatas pada ibadah semata,
bahkan transaksi dan hal lazim lain dilakukan untuk mendekatkan diri pada Allah.
Pengusaha yang mencari nafkah di bidang pertanian, industri, niaga ataupun
kerajaninan tangan dsb. dapat dikatakan beribadah dan berjihad di jalan Allah selama
tujuannya bekerja untuk menjaga diri dari harta haram, mencukupi diri dengan yang halal,
memenuhi kebutuhan keluarga, berprilaku adil dan baik ketika bertransaksi dengan
siapapun, memberikan nasihat kepada sesama muslim, dan memenuhi kebutuhan mereka,
serta mencintai mereka sebagaimana mencintai diri sendiri. Satu pekerjaan dapat memiliki
hukum syariah, nilai akhlak dan pahala yang berbeda tergantung niat pelakunya,
36 Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah bin Abu Bakar al-Salami al-Naisaburi, Sahih Ibnu
Khuzaimah, Tahqiq Dr. Muhammad Mustafa al-A’dzomi, al-Maktab al-Islamy, Beirut, 1390M, 1970M, vol. 4, hal. 122.
37 Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari al-Ju’fi, Sahih al-Bukhari, Tahqiq Mustafa Dib al-Bugo, Dar Ibnu Katsir, al-Yamamah, Beirut, Cetakan Ke-3, 1407H, 1987M, vol. 1, h. 1.
12
sebagaimana termaktub dalam hadits, “Seorang muslim diberi ganjaran untuk setiap
pekerjaan yang ia lakukan, hingga makanan yang disuapkan suami kepada istrinya.”38
Islam memandang pekerjaan adalah varian dari ibadah jika dibarengi dengan niat
karena Allah. Pengusaha yang mengelola dunia dan meningkatkan kesejahteraannya
dengan bercocok tanam, mengoperasikan mesin, menambang mineral, serta berniaga akan
meraup profit di dunia dan akhirat.
Karenanya, seorang pengusaha muslim diharapkan memiliki pandangan yang sama
dalam ibadah dan transaksi. Hal itu dapat terjadi hanya dengan ikhlas karena Allah dan
membebaskan diri dari cengkeraman hawa nafsu, harta dan segala gemerlap kenikmatan
dunia yang fana. Rasul bersabda, “Sungguh sengsara budak harta dan busana. Jika diberi,
ia baik, jika tidak, maka sebaliknya. Celaka ia, dan begitu selamanya.”39
Pengusaha muslim dituntut untuk selalu mengarahkan aktivitas perekonomiannya
pada rida Allah. Hal ini berlandaskan firman Allah:
“Katakanlah: ‘Sungguh shalat, ibadah, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah,
Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; itulah yang diperintahkan kepadaku
dan aku adalah orang yang pertama menyerahkan diri kepada Allah.’".40,
“Padahal mereka hanya diperintahkan untuk menyembah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama dengan lurus,”41,
“Siapa saja yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya, hendaklah ia
mengerjakan amal saleh dan janganlah mempersekutukan-Nya dengan seorang pun
dalam ibadah."42
38 Ahmad, Musnad Ahmad, vol. 1, h. 173. 39 Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, vol. 3, h. 1057. 40 Al-An’am: 162-163. 41 Al-Bayyinah: 5. 42 Al-Kahfi: 110
13
Sebesar keikhlasan seorang pengusaha, sebesar itu pula pertolongan Allah
kepadanya. Naungan-Nya tergantung kadar ketulusan niat dalam hati. Hal ini terefleksikan
dalam kisah yang diriwayat oleh Rasulullah tentang seorang pengusaha jujur berikut:
“Dahulu, ada 3 orang yang berpergian kemudian bermalam di gua. Setelah masuk,
tiba-tiba batu raksasa jatuh dari atas gunung dan menutup mulut gua tersebut. Melihat
besarnya batu tersebut hingga tidak mungkin digeser, mereka sepakat bahwa mereka tidak
akan selamat kecuali dengan satu cara, berdoa pada Allah dengan bertawasul
menggunakan amal saleh.
Salah seorang dari mereka berdoa: ‘Ya Allah, aku memiliki ayah dan ibu yang tua
renta. Sekalipun aku tidak pernah menghidangkan minuman susu pada keluarga dan
ternakku, kecuali setelah memberikan keduanya, dan kutunggu mereka hingga lelap. Suatu
ketika setelah memeras susu dan ku bawakan, kutemui ayah dan ibu sudah terlelap. Aku
pun bertekad tidak akan memberikan minuman kepada siapapun sebelum keduanya.
Hingga aku berjaga sambil menggenggam gelas tersebut sampai terbit fajar dan mereka
terbangun. Ya Allah, jika saat itu yang ku lakukan adalah ikhlas karena-Mu, maka
keluarkanlah kami dari batu ini.’ Seketika bongkahan itu bergeser sedikit, tapi belum
memungkinkan mereka keluar.
Lalu, seorang lagi berdoa: ‘Ya Allah, aku memiliki sepupu perempuan yang sangat
kucintai melebihi siapapun. Aku pun berhasrat padanya dan seketika itu ia melarangku
hingga sakit menimpa selama setahun. Sampai ia pun datang dan aku memberikannya 120
dinar43 agar mau menyerahkan dirinya. Ketika aku hendak menyentuhnya, ia berkata:
‘engkau diharamkan mengenakan cincin yang bukan milikmu.’ Maka aku pun
mengurungkan perbuatan itu dan pergi meninggalkannya bersama emas-emas itu, padahal
43 Mata uang emas 22 karat. Satu dinar senilai Rp.2,269,669. http://geraidinar.com/, dilihat
13 April 2017.
14
ia adalah wanita yang paling aku cintai. Ya Allah, jika yang telah aku lakukan dulu karena
mengharapkan keridaanmu, maka keluarkanlah kami dari batu ini.’ Seketika bongkahan itu
bergeser sedikit, tapi belum memungkinkan mereka keluar.
Yang ketiga pun berdoa: ‘Ya Allah, aku pernah menyewa jasa beberapa orang dan
aku pun membayar upah mereka, kecuali satu orang yang pergi. Kemudian aku
investasikan upah orang itu hingga berkembang. Tidak lama, orang itu kembali dan
meminta haknya. Aku pun mengatakan, ‘Semua unta, sapi, kambing dan budak yang
engkau lihat ini adalah upahmu.’ Spontan ia berkata ‘wahai hamba Allah, jangan
mengejekku.’, ‘Aku tidak mengejekmu’ jawabku. Ia pun membawa semuanya tanpa
tersisa. Ya Allah, jika yang telah aku lakukan dulu karena mengharapkan keridaanmu,
maka keluarkanlah kami dari batu ini.’ Seketika bongkahan itu bergeser dan mereka pun
dapat keluar.”44
Ketiga, Iman Kepada Qadha dan Qadar
Dibarengi Rasa Syukur Kepada Allah Dalam
Keadaan Senang Maupun Susah
Beriman kepada qadha dan qadar yang baik dan buruk adalah salah satu rukun iman
yang harus ada dalam diri seorang hamba. Seorang pengusaha muslim pun harus benar-
benar yakin bahwa segala yang menimpanya bukanlah kekeliruan, karena semua hal baik
dan buruk merupakan ketentuan Allah.
Ibnu Abbas meriwayatkan, suatu hari beliau dibonceng oleh Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam yang berkata, “Nak, ku ajarkan engkau beberapa kalimat; Jagalah
44 Al-Bukhari, Sahih Bukhari, vol. 2, h. 793.
15
perintah dan larangan Allah, maka Ia akan menjaga mu. Jagalah hak Allah, maka Ia akan
menjagamu dari kesulitan dunia dan akhirat. Minta dan berlindunglah hanya kepada
Allah. Ketahuilah, seandainya seluruh dunia bersepakat ingin berbuat baik ataupun buruk
padamu, niscaya itu tidak akan terjadi kecuali telah Allah tentukan. Takdir telah ditulis
dan tidak akan dapat dihapus.45
Dengan meresapi hadits di atas, seorang pengusaha muslim akan menyikapi profit
dengan rasa syukur, bukan malah berbagga diri.46 Sebaliknya, ia akan menyikapi kerugian
dengan optimisme bahwa Allah menghendaki kebaikan untuknya. Buktinya, kerugian itu
tidak menimpa agamanya. Kemudian, ia akan menjaga diri dari sikap tercela yang Allah
singgung, “Adapun manusia apabila diuji melalui kemuliaan dan kesenangan, ia berkata:
‘Tuhanku telah memuliakanku’. Adapun bila diuji melalu rezeki sesuai kebutuhannya, ia
berkata: ‘Tuhanku telah menghinakanku.’”47 “Di antara manusia ada orang yang
menyembah Allah dengan kecanggungan; jika memperoleh kebajikan, ia tetap beriman.
Jika dilanda bencana, ia berpaling. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Inilah kerugian
yang nyata.”48
Dari Sohaib, Rasulullah bersabda, “Mengagumkan! Ciri orang beriman, semua
urusannya baik: Jika mendapat nikmat, ia bersyukur. Jika tertimpa musibah, ia
bersabar.”49
Umar bin al-Khattab berkata, “Allah memberikanku 4 nikmat di setiap musibah yang
menimpaku:
1. Musibah itu tidak menimpa agamaku.
2. Musibah itu tidak lebih besar dari yang aku alami,
45 Ahmad, Musnad Ahmad, vol. 1, h. 293. 46 Al-Qasas: 76 47 Al-Fajar: 15-16 48 Al-Hajj: 11 49 Muslim, Sahih Muslim, vol. 4, h. 2295.
16
3. Musibah itu tidak menghalangiku untuk rida pada ketentuan Allah
4. Karena musibah itu, aku dapat mengharapkan pahala.50
Ibnu Masud berkata, “Seseorang dapat sangat berambisi terhadap kekayaan dan
kekuasaan hingga hal itu memudahkannya. Kemudian Allah memerintahkan malaikat
untuk melenyapkan hal itu darinya, karena berpotensi menjerumuskan orang itu ke dalam
neraka. Lalu orang itu mengumpat dan menyalahk-nyalahkan orang lain, padahal yang
menimpa dirinya adalah kebaikan dari Allah.”51
Perlu diingat, sebagian orang Islam memiliki pemahaman yang salah mengenai
qadha dan qadar, sehingga menjadikannya alasan untuk malas dan frustrasi. Entah mereka
lupa atau sengaja melupakan bahwa keuntungan dalam Islam berbanding lurus dengan
resiko52. Di zaman keemasan Islam, Iman kepada qadha dan qadar telah memotivasi untuk
berani mengambil resiko dan gigih. Keyakinan itulah yang telah melahirkan pengusaha
besar seperti Abdurrahman bin Auf.
Beliau berhijrah ke Madinah tanpa membawa harta benda. Kemudian Nabi
Muhammad mempersaudarakannya dengan orang Ansar, Saad bin al-Rabi. Seketika itu
Saad berkata, “Saya adalah orang Ansar yang paling kaya, saya akan membagi harta itu,
setengahnya untukmu. Saya memiliki dua orang istri, silakan pilih yang paling menarik
hatimu, kemudian akan saya ceraikan, setelah habis masa idahnya, silakan nikahi dia.”
Abdurrahman bin Auf pun membalas dengan doa, “Semoga Allah memberkahi keluarga
dan hartamu. Tunjukan saja kepada saya letak pasar Bani Qainuqa.”53 Hari itu ia membawa
pulang keju dan mentega, kemudian keesokannya ia berangkat lebih pagi. Hingga pada
suatu hari terlihat bekas parfum Zafaron di pakainnya, melihat hal itu Nabi bertanya,
50 Al-Gazali, Ihya Ulumiddin, vol. 3, h. 121. 51 Zainuddin Abi al-Faraj bin Rajab al-Hanbali, Jami al-Ulum wa al-Hikam, Dar al-Dawah, hal.
164. 52 http://shamela.ws/browse.php/book-21786/page-534 (diakses pada 09/05/2017, pukul
05.30 WIB). 53 Pasar milik komunitas Yahudi.
17
“Apa ini?” Ia menjawab, “Saya baru saja menikah.”, “Berapa mahar yang kau berikan
padanya?” lanjut Rasul. “Sebiji emas” jawab Abdurrahman.54
Dengan rasa hormat, Abdurrahman bin Auf menolak tawaran baik Saad bin al-Rabi.
Ia malah pergi ke pasar untuk berdagang, sambil menyakini qadha dan qadar yang telah
Allah tulis; hingga mampu mengalahkan orang Yahudi di pasar mereka sendiri. Ia sukses
mengumpulkan harta berlimpah, bahkan ketika wafat, ia meninggalkan 80.000 dinar untuk
satu orang istrinya, itu pun hanya senilai 1/32 dari total seluruh kekayaannya.55
Keempat, Menikmati Pekerjaan Sebagai Proses
Menjemput Rezeki Sambil Bertawakal
Seorang pengusaha dituntut untuk selalu bekerja sebagai media menjemput rezeki
dan meningkatkan kekayaan, serta bertawakal kepada Allah. Ia memberikan rezeki pada
burung yang pulang-pergi mencari makan, pun begitu juga manusia yang segalanya sudah
ditundukkan untuknya. Hal ini tercermin dalam hadits Rasulullah, “Jika benar kalian
bertawakal pada Allah, Ia akan memberikan kalian rezeki sebagaimana burung yang pergi
dalam keadaan lapar dan pulang dengan perut kenyang.”56 Allah berfirman, “Allah akan
mencukupi orang yang bertawakal.”57, “Jika kamu benar-benar beriman, maka
bertawakallah hanya kepada Allah.”58, “Allah sungguh mencintai orang yang bertawakal
kepada-Nya.”59
54 Al-Bukhari, Sahih Bukhari, vol. 3, h. 1378. 55 Muhammad Amin, Hasyiah Ibni Abidin, Dar al-Fikri, Beirut, cetakan ke-4, 1386H, vol. 2,
hal. 191. 56 Al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, vol. 4, h. 573. Hasan Sahih menurut Abu Isa. 57 Al-Thalaq: 3. 58 Al-Maidah: 23. 59 Ali Imran: 159.
18
Cukup banyak ayat Al-Quran yang menunjukkan perintah berusaha mencari nafkah
dan rezeki, di antaranya:
“Telah kami jadikan siang hari kondusif untuk bekerja.”60
“Telah Kami kokohkan posisi kalian di muka bumi dan Kami sediakan sumber
penghidupan di dalamnya. Sedikit sekali kalian bersyukur.”61
“Allah Yang memudahkan bumi ini untukmu, maka bekerjalah di mana saja dan
makanlah sebahagian dari rezeki-Nya. Hanya kepada-Nya-lah kamu kembali.”62.
“Hai orang-orang yang beriman, sedekahkanlah sebagian dari hasil usahamu yang
terbaik63 dan sebagian dari mineral yang Kami keluarkan dari bumi untukmu.”64
“… maka bekerjalah karena Allah serta perbanyaklah mengingat-Nya supaya kamu
beruntung.”65
“Bekerja bukanlan perbuatan dosa … “66
“Allah mengetahui bahwa sebagian dari kalian ada orang-orang yang melakukan
perjalanan dinas; dan sebagian lain yang berperang di jalan Allah…” 67
Al-Qurtubi berkata, “Melalui ayat ini Allah memberikan ekualitas antara mujahid
dan orang yang bekerja dengan cara halal untuk menafkahi dan memenuhi kebutuhan diri
dan keluarganya. Karenanya Ibnu Umar berkata, ‘Tidak ada kematian yang paling aku
cintai setelah jihad, kecuali mati saat bekerja.’68
60 Al-Naba: 11. 61 Al-Araf: 10. 62 Al-Mulk: 15. 63 Ibnu Katsir, vol. 1, hal. 69. 64 Al-Baqarah: 267. 65 Al-Jumuah: 10. 66 Al-Baqarah: 198. 67 Al-Muzzammil: 20. 68 Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar bin Faraj al-Qurtubi, Tafsir al-Qurtubi, Tahqiq oleh
Ahmad Abdul Alim al-Barduni, Dar el-Sha’bi, Kairo, cetakan ke-2, 1372H, vol. 19, h. 49.
19
Rasulullah pun kerap memotivasi untuk berusaha dan bekerja dalam beberapa hadits
beliau. Dari Ibunda Aisyah, Rasul bersabda, “Bekerjalah walau dalam perut bumi.”69
Dari Shakhra bin Wadaah al-Ghamidi, Rasul berdabda, “Ya Allah berkahi pagi hari
umatku.”70
Shakhra pun mengimplementasikan hadits di atas dalam bisnisnya dengan selalu
membuka lapaknya sejak pagi hari. Ia pun menjadi hartawan yang sangat kaya.71
Kaab bin Ajrah meriwayatkan, “Suatu hari para sahabat melihat seorang pria
bertubuh kekar yang sedang sibuk, melintas di hadapan Nabi Muhammad. Kemudian
mereka berkata, ‘Andai fisiknya digunakan untuk berjuang di jalan Allah.’ Rasul pun
menanggapi hal itu, ‘Jika ia bekerja untuk anaknya yang masih kecil, maka ia fisabilillah.
Jika ia bekerja untuk kedua orang tuanya yang sudah tua, maka ia fisabilillah. Jika ia
bekerja untuk dirinya sendir agar terjaga kehormatannya, maka ia fisabilillah. Sebaliknya,
jika ia bekerja untuk pujian dan prestisi, maka ia berjuang di jalan setan.’”72
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, “Di antaranya banyaknya dosa, ada dosa
yang tidak bisa di hapus oleh shalat, puasa, haji ataupun umrah,” Para sahabat bertanya,
“Lalu dengan apa dosa tersebut dapat terhapus?” Beliau menjawab, “dengan jerih payah
dalam bekerja.”73
Rasul bersabda, “Menjual kayu bakar lebih baik daripada mengemis.”74
Ibnu Umar meriwayatkan, Rasul bersabda, “Allah mencintai mukmin yang
professional.”75
69 Al-Thabarani, al-Mujam al-Awsath, vol. 1, h. 274. 70 Abdul Adzim bin Abdul Qawi al-Mundziri, a-Targhib wa al-Tarhib, Tahqiq Ibrahim
Syamsuddin, Dar al-Kutub al-Ilmiah, Beirut, cetakan pertama, 1417H, vol. 2, h. 335. 71 Ibid. 72 Ibid. 73 Al-Thabarani, al-Mujam al-Awsath, vol. 1, h. 38. 74 Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, vol. 2, h. 73. 75 Muhammad bin Salamah bin Jafar Abu Abdullah al-Qadai, Musnad al-Syihab, ditahqiq
oleh Hamadi Abdul Majid al-Salafi, cetakan ke-2, Institut al-Risalah, Beirut, 1407H, 1986M, vol. 2, h. 148.
20
Diriwayatkan Ibunda Aisyah, Rasulullah bersabda, “Siapa yang kemarin dibebani
pekerjaan, kemarin Allah telah mengampuni dosanya.”76
Dari Muqoddam bahwa Rasulullah bersabda, “Makanan terbaik adalah yang didapat
dari jerih payah usaha sendiri. Nabi Daud pun makan dari hasil kerjanya sendiri.”77
Rasulullah ditanya mengenai pekerjaan terbaik, beliau menjawab, “Berdagang
dengan jujur, dan pekerjaan yang dilakukan menggunakan tangan.”78
Dalam riwayat lain, sembilan dan sepuluh pintu rezeki adalah perniagaan.79
Diriwayatkan Jabir bin Abdullah bahwa Rasulullah bersabda, “Wahai manusia,
bertakwalah pada Allah dan perindahlah proses mencari nafkah kalian. Ketahuilah,
manusia tidak akan mati kecuali setelah rezekinya sempurna tepat pada waktunya.
Bertawakal lah dan perindah proses mencari nafkah kalian. Carilah yang halal, dan
tinggalkan yang haram.”80
Secara global, hadits ini berbicara tentang mencari nafkah, karena berusaha adalah
prasyarat mendapatkan rezeki. Mengenai hal ini Umar bin al-Khattab berkata, “Janganlah
kalian hanya berdoa ketika meminta rezeki, padahal kalian tahu bahwa langit tidak
mungkin menurunkan hujan emas dan perak.”81
Rasulullah bersabda, “Pemuda yang menjadikan mengemis sebagai profesinya, di
hari kiamat akan dibangkitkan sebagai tengkorak.”82
Umar bin al-Khattab pernah berkata pada Zaid bin Maslamah yang ditemuinya
sedang bercocok tanam, “Tepat yang kau lakukan, sikap mandiri telah menjaga agamamu,
dan memuliakan dirimu di mata manusia.”83
76 Al-Mundziri, al-Targib wa al-Tarhib, vol. 2, h. 335. 77 Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, vol. 2, h. 73. 78 Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, vol. 3, h. 466. 79 Abdullah bin Ahmad bin Qudamah al-Maqdisi, al-Magna, Dar al-Fikri, Beirut, cetakan
pertama, 1405H, vol. 2, hal. 495. 80 Muhammad bin Yazid Abu Abdullah al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah, Tahqiq Muhammad
Fuad Abdul Baqi, Dar al-Fikri, Beirut, vol 2, h. 725. 81 Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, vol. 2, h. 56. 82 Al-Bukhari, Sahih Bukhari, vol. 2, h. 536.
21
Dikisahkan Nabi Isa alaihissalam bertanya pada pria yang ia temui, “Apa yang
sedang engkau lakukan?”, “Beribadah” jawab orang itu. “Siapa yang menyuplai
kebutuhanmu?” Orang itu membalas, “Saudaraku.”, “Berarti ia lebih beribadah daripada
engkau” tukas Nabi Isa.84
Imam Ahmad pernah ditanya, “Apa pendapatmu mengenai seseorang yang duduk di
rumahnya atau masjid sambil berkata, ‘aku tidak bekerja agar rezeki dapat menemuiku’”
Beliau berkomentar, “Dia orang bodoh, tidakkah ia mendengar bahwa Nabi bersabda,
‘Allah tetapkan berburu sebagai prosesku mendapat rezeki.”85
Seorang pengusaha seharusnya mengambil tindakan nyata dalam mencari rezeki,
bukan hanya berpangku tangan dan berharap pada Allah. Hendaklah ia meyakini bahwa
usahanya bukanlah yang memberikannya rezeki. Rezeki-Nya telah dibagikan sementara
takdirnya telah ditentukan dan segala yang telah Allah tentukan untuknya pasti terjadi. Ia
berfirman, “Di langit terdapat sebab rezekimu dan janji Tuhanmu. Maka demi Tuhan langit
dan bumi, sungguh yang dijanjikan itu benar-benar akan terjadi tanpa dapat dipungkiri.”86
Kelima, Istighfar dan Takwa Sebab Datangnya
Rezeki
Dalam sejumlah ayat al-Quran, Allah kerap merangkaikan: istighfar, takwa dan
perolehan rezeki. Karena hal itu ada kaitannya secara spiritual, emosional manusia
dihubungkan dengan entitas Penciptanya secara langsung. Dengan ini, ia terlindungi dari
tindakan bunuh diri – naudzubillah-- yang disebabkan oleh stres karena kehilangan zona
83 Al-Ghazali, Ihya, vol. 2, h. 85. 84 Ibid. 85 Ibid., Riwayat al-Bukhari, Sahih, vol. 3, h. 1067. 86 Al-Dzariat: 22-23.
22
nyaman. Sebagaimana yang dialami oleh penyembah materialistis ketika berhadapan
dengan problem, mereka mencemaskan harta bendanya.
Islam secara esensi dan substansi mempedulikan fisik manusia. Saat bersamaan,
memerintahkan untuk bertakwa dan memohon ampunan pada Allah demi kebaikan
manusia itu sendiri serta petunjuk-Nya secara kontinu. Kemudian membentangkan rezeki
dengan kemudahan manusia tersebut.
Dari sini seorang pengusaha muslim dituntut senantiasa bertakwa pada Allah
terhadap harta yang telah dititipkan-Nya. Ia juga diminta untuk memperbanyak istighfar
dan menjauhi kemaksiatan. Dengan itu, ia memperoleh kecukupan dan kemudahan rezeki
yang dapat diduga maupun tak terduga, bukti keberkahan dan kesejahteraan. Mengenai ini
al-Quran memberi isyarat, “maka aku katakan kepada mereka: "Mohonlah ampun kepada
Tuhanmu, sungguh Dia Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan
kepadamu dengan lebat.”87
Allah berfirman, “Hendaklah kamu meminta ampun kepada Allah dan bertaubat
kepada-Nya. Niscaya Dia akan terus menerus memberi kenikmatan yang baik sampai
kepada waktu yang telah ditentukan dan memberikan rezeki kepada setiap orang yanb
berusaha88.”89
“Jika penduduk suatu negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan
melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi …”90
Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwa Rasulullah bersabda, “Siapa yang
membiasakan diri untuk beristighfar, Allah akan menyediakan kemudahan untuk setiap
87 Nuh: 10-11. 88 Abu al-Hajjaj Mujahid bin Jabar, Tafsir Mujahid, hal. 384. 89 Hud: 3. 90 Al-Araf: 96.
23
kesulitannya dan jalan keluar untuk setiap penderitaannya, serta memberinya rezeki dari
arah yang tidak disangka.”91
Diriwayatkan Tsauban dari Rasulullah, “Dosa yang diperbuat seseorang, sungguh
telah menghalangi rezekinya.”92
Yang juga harus dipertimbangkan adalah menjaga hubungan kekerabatan termasuk
media yang efektif untuk memperlancar rezeki, sebagaimana terdapat dalam hadits, “Siapa
yang ingin dilapangkan rezekinya dan ajalnya ditunda, hendaklah ia menyambung tali
kekerabatan.”93
Keenam, Allah Melebihkan Rezeki Seseorang
Di atas Sesamanya
Kesenjangan dalam hal rezeki antar manusia adalah sunatullah, pun manusia
berbeda-beda berdasarkan kelebihan bakat yang dibawanya sejak lahir atau manfaat yang
didapat dari bakat itu sendiri. Allah berfirman, “Kami telah menentukan eksistensi antar
manusia dalam kehidupan dunia, dan Kami tinggikan sebahagian mereka atas sebahagian
yang lain beberapa derajat, agar mereka saling membutuhkan. Ketahuilah, rahmat
Tuhanmu lebih berharga dari sekedar harta94.”95
Karakter kehidupan manusia berlandaskan perbedaan bakat manusia itu sendiri.
Perbedaan ini memungkinkan setiap orang untuk bekerja, selama perbedaan itu masih
dalam lingkup kecakapan kerja. Perbedaan ini sangat diperlukan untuk diversifikasi peran
91 Al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah, vol. 2, h. 1254. 92 Muhammad bin Hibban bin Ahmad Abu Hatim al-Tamimi, Sahih Ibnu Hibban, Tahqiq
Syuaib al-Aurnout, Muassasah al-Risalah, Beirut, cetakan ke-2, 1414H, 1993M, vol. 3, h. 153. 9393 Al-Bukhari, Sahih Bukhari, vol. 2, h. 728. 94 Abu al-Fida Ismail bin Umar bin Katsir al-Quraisyi, Tafsir al-Quran al-Adzim, Dar Thaybah
li al-Nasyri wa al-Tauzi, 1420H, 1990M, vol. 7, h. 226. 95 Al-Zukhruf: 32.
24
yang dibutuhkan untuk mengelolaan bumi. Seandainya seluruh manusia adalah duplikasi
sesamanya, mustahil kehidupan dunia dapat seperti sekarang ini. Tentu saja karena
banyaknya profesi tanpa adanya pihak yang mau membayar dan yang mengerjakan. Demi
Allah yang telah menciptakan kehidupan dan menghendakinya adanya kontinuitas dan
progres; Ia menciptakan kompetensi dan kecenderungan yang beranekaragam sebagaimana
peran yang dibutuhkan. Dari diversifikasi peran ini, terjadilah kesenjangan rezeki.96
Pengusaha muslim hendaklah beriman terhadap kebenaran ini, dan tidak tergiur
melihat orang yang lebih kaya darinya, dan memandang kondisi orang yang lebih miskin di
bawahnya, dengan begitu ia akan bersyukur dan memuji Allah atas segala nikmat yang
dimilik. Terkadang, kelancaran rezeki adalah ujian untuk melihat apakah seorang hamba
bersyukur atau kufur. Sebagaimana kesulitan menguji sabar atau putus asa. Allah
berfirman, “Allah melebihkan sebagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezeki,
tetapi orang-orang yang dilebihkan itu tidak mau memberikan rezeki mereka kepada
budak-budak yang mereka miliki, agar mereka merasakan rezeki itu. Maka mengapa
mereka mengingkari nikmat Allah?”97
Allah berfirman, “Janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang Allah lebihkan
kepada sebagian kamu. Laki-laki memiliki bagian atas usaha mereka, dan para wanita pun
memiliki bahagian atas usaha mereka. Maka mintalah karunia kepada Allah. Allah
sungguh Maha Mengetahui segala sesuatu.”98
96 Sayyid Qutub, Fi Dzilal al-Quran, Dar al-Syuruq, Beirut, cetakan ke-2, 1406H, 1986M, vol.
5, h. 3187 97 Al-Nahl: 71. 98 Al-Nisa: 32.
25
Menanggapi ayat di atas, Ibnu Abbas berkata, “Janganlah seseorang iri hati dengan
berkata, ‘seandarinya aku memiliki harta dan keluarga seperti fulan”. Itu adalah perbuatan
yang dilarang Allah, tapi berdoalah kepada Allah agar memberikan karunianya.”99
Ayat di atas tidak sedang mengkonversi antara ambisi menumpuk kekayaan dengan
aktivitas ekspansi seorang pengusaha serta ikhtiar. Sebagaimana tidak adanya kontradiksi
dengan sabda Rasulullah, “Hasad hanya diperbolehkan kepada 2 hal:
1. Orang yang diberikan kekayaan oleh Allah, kemudian ia infaqkan di jalan yang
benar.
2. Orang yang diberikan ilmu al-Quran, kemudian ia beramal dan
mengajarkannya.”100
Hal ini tidak termasuk yang dilarang, karena hadits di atas menghimbau untuk
“dengki”, sementara ayat sebelumnya melarang untuk dengki terhadap nikmat yang
dimiliki orang lain. Allah Maha Mengetahui siapa yang pantas kaya, lantas
memberikannya. Dia pun mengetahui siapa yang pantas untuk melarat, lantas
memiskinkannya. Dia juga mengetahui siapa yang pantas masuk surga, lantas
menakdirkannya mengerjakan amal saleh. Dia mengetahui siapa yang pantas gagal, lantas
menelantarkannya dalam kemalasan.
Ummu Darda berkata, “Mengapa ada saja orang yang berdoa – tanpa usaha--, ‘ya
Allah berikan aku rezeki’ padahal dia tahu bahwa Allah tidak menurunkan hujan emas dan
perak, tapi memberikan rezeki sebagian manusia melalui sebagian yang lain. Siapa yang
diberikan sesuatu, maka terimalah. Jika merasa tidak membutuhkannya, maka berikanlah
99 Ismail bin Umar bin Katsir al-Quraisyi, Tafsir al-Quran al-Adzim, Dar al-Fikr Beirut, 1401H,
vol. 1, h. 488. 100 Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, vol. 1, h. 39.
26
kepada yang membutuhkan. Jika merasa membutuhkannya, maka manfaatkanlah
sekadarnya. Manusia tidak dapat menolak rezeki yang Allah berikan.”101
Islam menginginkan pribadi seorang pengusaha suci dari penyakit hati berupa iri dan
dengki yang merusak agama. Dengan begitu, ia akan hidup dengan hati yang sehat, bebas
dari obsesi yang memicu permusuhan. Jika melihat nikmat yang menguntai pada dirinya
atau orang lain, ia turut merasakan karunia Allah dan mengingat sabdar Rasul, “Ya Allah,
semua nikmat yang aku dan makhluk-Mu rasakan hanya berasal dari-Mu, tiada mitra bagi-
Mu, dan hanya Engkaulah yang berhak atas pujian dan rasa syukur.”102
Jika melihat kesedihan menimpa sesorang, ia pun turut merasakan duka itu dan
berharap pada Allah agar menghilangkan kesulitan itu dan memberinya pertolongan.
Diriwayatkan Abdullah bin Amru bahwa Rasullah pernah ditanya, “Siapa manusia
terbaik?”, Beliau menjawab, “Setiap insan yang hatinya transparan dan lisannya jujur.”
Mereka bertanya, “kami paham apa itu lisan yang jujur, tapi apa itu hati transparan?”
Beliau menjawab, “hati transparan adalah yang bertakwa lagi bersih, tidak ada dosa,
kedzaliman, benci dan dengki di dalamnya.”103
Ketujuh, Konservatif Terhadap Intensi Syariat
Mengingat bahwa dunia adalah ladang amal untuk akhirat, dan manusia akan diminta
bertanggungjawaban dari mana hartanya didapat dan untuk apa digunakan. Di sini tampak
betapa erat korelasi antara dunia dan akhirat dalam tindak-tanduk pengusaha muslim.
Janganlah harta sampai menyibukkan dirinya dari kewajiban agama, berdzikir, shalat,
zakat, haji, berbakti pada orang tua, bersilaturrahim, qonaah, tenggang rasa dll.
101 Yusuf bin al-Zaki Abdurrahman Abu al-Hajjaj, Tahdzib al-Kamal, Tahqiq Dr. Basyar Iwad
Maruf, Muassis al-Risalah, Beirut, cetakan pertama, 1400H, 1980H, vol. 53, h. 365. 102 Ibnu Hibban, Sahih Ibnu Hibban, vol. 3, h. 143.
103 Ibnu Majah, Sahih Ibnu Majah, vol. 2, h. 1409.
27
Tidak layak bagi seorang pengusaha muslim melupakan akhirat karena disibukkan
oleh mata pencarian, hingga usianya lenyap begitu saja dan transaksinya merugi. Tidak
tersisa baginya keuntungan dunia yang mencukupi bekalnya di akhirat, jadilah ia orang
yang membeli dunia dengan akhirat. Orang berakal seharusnya mengasihani dirinya sendiri
dengan menjaga modalnya, yakni agama dan bisnis di dalamnya.
Muadz bin Jabal berwasiat, “Porsi duniamu pasti ada, dan engkau lebih
membutuhkan porsi akhirat. Mulai dan ambillah akhiratmu, karena engkau akan
mendapatkan bagian dunia yang harus dikelola. Allah berfirman, ‘Gapailah akhiratmu,
dan janganlah lupakan bahagianmu di duniaw’”104 Dengan kata lain, jangan lupakan
kenikmatan dunia karena akhirat, karena dunia adalah ladang amal untuk akhirat.”105
Al-Quran sungguh memuji mereka yang mengkombinasikan antara ibadah dan
menjemput rezeki, Allah berfirman, “Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah
diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, di pagi dan petang
hari, laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan jual beli dari mengingat Allah,
mendirikan shalat, dan membayarkan zakat. Mereka takut hari di mana hati dan
penglihatan mereka terguncang. Itu karena mereka berharap balasan yang lebih baik dari
apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada
mereka. Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas.”106
Mereka adalah pengusaha yang sibuk, tapi jika dipanggil adzan untuk menunaikan
kewajiban terhadap Tuhan, mereka selalu siaga. Tidak lupa mereka menunaikan zakat dan
ingat akhirat. Maka baiklah pribadi mereka, suci harta mereka dengan keberkahan dari
104 Al-Qasas: 77. 105 Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, vol. 2, h. 76. 106 An-Nur: 36-38.
28
Allah. Allah berfirman, “Apabila shalat telah ditunaikan, maka bekerjalah karena Allah
dan perbanyaklah mengingat-Nya supaya kamu beruntung.”107
Lihatlah bagaimana Qotadah mendeskripsikan para sahabat Rasulullah, “Mereka
adalah pedagang, tapi jika tiba waktu menunaikan salah satu hak Allah, mereka tinggalkan
bisnis itu hanya untuk menunaikan kewajiban itu.”108
Imam al-Ghazali berkata, “Sahabat Rasulullah adalah para pandai besi dan penjahit.
Jika terdengar adzan saat mereka mengangkat besi atau memasukkan jarum, segera mereka
shalat meninggalkan pekerjaan, sebelum jarum itu keluar dan martil menyentuh bara.”109
Mereka sangat memahami bahwa profesi adalah ibadah yang seharusnya akuntabel, -
- “Katakanlah, ‘Bekerjalah kamu, maka Allah, Rasul-Nya beserta orang-orang beriman
akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada Allah Yang
Mengetahui hal gaib dan yang nyata, lalu ditampakkan-Nya kepada kamu apa yang telah
kamu kerjakan.’"110 – sebagaimana mereka memahami shalat sebagai ibadah terbaik, maka
tidak ada kebaikan pada pekerjaan yang melalaikan shalat, sedangkan kerugian karena
ketinggalan takbiratul ihram tidak bisa digantikan oleh seisi dunia.
Bagi pemilik hata yang mau menunaikan kewajibannya, Allah akan lapangkan
hatinya dan memberikan ketenangan batin, doa serta amalnya akan diterima. Allah pun
akan mengintensifkan aktivitas orang tersebut dan mendongkrang resolusinya. Seorang
sahabat Rasulullah yang bernama Irak bin Malik, seusai melaksanakan shalat jumat,
sebelum keluar ia berhenti di pintu masjid dan berdoa, “Ya Allah, telah ku respon seruan
shalat-Mu tepat waktu, aku pun keluar sebagaimana perintah-Mu, maka karuniakanlah aku
rezeki karena Engkau satu-satunya pemberi rezeki.”111
107 Al-Jumuah: 10. 108 Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, vol. 2, h. 726. 109 Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, vol. 2. H. 78 110 Al-Taubah: 105. 111 Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Adzim, vol. 4, h. 368.
29
Bagi seorang pengusaha muslim, seharusnya pekerjaan tidak dapat melalaikannya
dari mengingat Allah, menuaikan kewajibannya dan menjauhi segala yang haram. Bisnis
itu terpuji, ketika prosedurnya halal, dan dianggap tercela jika keluar dari prosedural di
atas. Mengenai ini al-Quran telah memberikan panduan, “Jika mereka melihat perniagaan
atau permainan, mereka bubar untuk menuju ke sana dan meninggalkan kamu sedang
berkhutbah. Katakanlah, ‘profit dari Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan
itu’, dan Allah adalah Pemberi rezeki terbaik.”112
Jabir berkata, “Ayat di atas diturunkan ketika kami sedang melaksanakan shalat
jumat bersama Nabi. Saat itu terdengar kedatangan kafilah yang membawa suplai makanan
dari negeri Syam, kemudian orang-orang berduyun-duyun menuju kafilah tersebut dan
meninggalkan Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersama 12 orang yang tersisa.”
Terkait peristiwa di atas, Rasulullah telah menerangkan akibat buruk dan asosiasi
mereka yang selalu sibuk dengan kekuasaan, jabatan, kekayaan dan bisnis hingga
melupakan shalat. Beliau berkata, “Siapa yang menjaga shalat, ia akan mendapat cahaya
dan keselamatan di hari kiamat. Sedangkan mereka yang tidak menjaganya, tidak akan
mendapatkan cahaya dan keselamatan, hari itu mereka menjadi rekan Karun, Haman,
Firaun dan Ubay bin Khalaf.”113
Seorang pengusaha muslim hendaklah gemar mengingat Allah dan menjadikannya
penyokong bisnis serta wasilah untuk kelancaran rezekinya.
Muhammad bin Wasi berkata, “dari Salim bin Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah
berkata, ‘Siapa yang masuk pasar dengan membaca:
شريك له له الملك وله الحمد يحي و يميت بيده الخير و هو على لا اله الا الله وحده لا
يء قديركل ش
112 Al-Jumuah: 11. 113 Ibnu Hibban, Sahih Ibnu Hibban, vol. 43, h. 329.
30
Ia akan diberikan satu juta kebaikan dan proteksi dari satu juta keburukan, lalu Allah
akan bangunkan satu rumah di surga untuk dirinya.’ Kemudian aku pergi menuju Khurasan
untuk bertemu Qutaibah bin Muslim dan menyampaikan hadits di atas. Seketika itu ia
menuju pasar, sampai di sana ia berdoa, lalu pergi.”114
Juga, al-Hasan berkatan, “Orang yang selalu mengingat Allah di pasar, kelak di hari
kiamat akan memiliki cahaya seperti bulan dan pelita seperti matahari. Siapa saja yang
beristigfar kepada Allah di pasar, Allah akan mengampuninya sebanyak jumlah
keluarganya.”
Dahulu ketika masuk pasar, Umar bin al-Khattab selalu berdoa, “Ya Allah, aku
berlindung kepada-Mu dari kekufuran, kefasikan dan segala keburukan yang Engkau
ketahui. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari sumpah palsu serta transaksi yang
merugikan.”115
Selayaknya pengusaha muslim gemar mensucikan hartanya. Bukan dari sudut
pandang bahwa ia memberikan orang miskin, tapi orang miskin lah yang memiliki hak atas
dirinya, demi membersikan dan meningkatkan keberkahan harta tersebut. Dalam saat yang
sama, agar memperkuat jiwa keberagamaan, melatih diri untuk tenggang rasa, dan
menghindari sifat kikir, “pemberian terburuk adalah sifat kikir dan pengcut”.116 Juga,
membantu mereka yang membutuhkan sehingga tidak adalagi rasa benci dan permusuhan
karena harta tersebut tidak beredar di sekitar orang kaya saja.
Pengusaha muslim tidak boleh merasa kewajibannya finansialnya terlalu banyak,
sehingga memberikan setan kesempatan untuk menggodanya melakukan perbuatan keji
atau takut kemiskinan. Allah berfirman, “Setan menakut-nakutimu dengan kemiskinan dan
menyuruh kamu berbuat kejahatan; sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan dan
114 Al-Naisaburi, al-Mustadrak ala al-Sahihaini, vol. 1, h. 721. 115 Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, vol. 2. H. 78 116 Ibnu Hibban, Sahih Ibnu Hibban, vol. 8, h. 42
31
karunia. Sungguh Allah Maha Luas karunia-Nya lagi Maha Mengetahui.”117 Dia juga
berkata, “Apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya. Dialah
Pemberi rezeki yang terbaik.”118, “… kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu,
niscaya kamu memperoleh balasan terbaik dari Allah dan paling besar pahalanya. …“119
Pengusaha muslim juga harus menyegerakan kewajiban haji ketika mampu
melaksanakannya. Karena dalam pelaksanaan manasik ada mengingat padang mahsyar di
mana saat itu manusia terpisah dari harta dan keluarganya, tunduk penuh takut dan harap
kepada Allah. Sepulang dari perjalanan ibadah ini, ia tersucikan dari dosa bagaikan bayi
yang baru dilahirkan, memperbarui aktivitas dan profesinya. Begitulah gambaran umum
bagaimana keutamaan melaksanakan ibadah wajib dan sunah yang Allah perintahkan,
“Ibadah wajib adalah cara terbaik hamba untuk mendekati-Ku. Secara simultan ia
mendekati-Ku dengan ibadah sunah hingga Aku pun mencintainya. Ketika mencintainya,
Aku menjadi pendengarannya, penglihatannya, tangannya yang menggenggam dan
kakinya yang berjalan. Jika ia memintaku, pasti Aku kabulkan, jika ia berlindung kepada-
Ku, pasti akan Aku kabulkan.”120
Hendaklah pengusaha muslim memperbanyak perbuatan baik dan terpuji karena hal
itu dapat menyentuh banyak hati dengan lembut, dan menimbulkan rasa cinta, “Saling
menolonglah dalam kebaikan dan takwa.”121 Dalam ketakwaan ada rida Allah, sedangkan
dalam perbuatan baik ada rida manusia. Siapa saja yang mampu meraih cinta Allah dan
sesamanya, maka sempurnalah kebahagian dan nikmatnya.
117 Al-Baqarah: 268. 118 Saba': 39. 119 Al-Muzzammil: 20. 120 Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, vol. 5, h. 2384. 121 Al-Maidah: 2.
32
Karenanya, pengusaha haruslah menyeimbangkan antara orientasi profesi, kerja
keras dan usaha duniawi dengan ibadah. Dengan begitu hatinya akan hidup, dan usahanya
tercapai dengan adanya peningkatan pada amanat sesuai kemampuan yang Allah berikan.
33
Bab 3: Standar Akhlak Seorang Pengusaha
Muslim
Akhlak terpuji adalah kemuliaan manusia yang selalu dituntut oleh Islam. Agama ini
menjadikan akhlak sebagai hasil dari ibadah yang diperintahkan, dan bukti kesempurnaan
manusia itu sendiri di puncak hierarkinya sendiri. Hingga Nabi Muhammad digelari
dengan hal itu untuk menggambarkan kemuliaanya. Allah berfirman, “Kamu benar-benar
berakhlak agung.”122
Sejarah Islam telah membuktikan para sahabat yang secara langsung diedukasi oleh
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memiliki kekayaan materi yang melimpah, di
antaranya: Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf dan Saad bin Abi Waqas. Bahkan
harta tersebut lebih mendekatkan mereka pada Allah. Karena mereka adalah al-Quran
berjalan.123 Melalui orang-orang semacam sahabat Rasul ini, tanpa peperangan, berduyun-
duyun manusia masuk Islam karena berinteraksi dengan akhlak bisnis seorang muslim,
Seorang pengusaha muslim haruslah berkomitmen terhadap akhlak dan etika Islam,
tentu saja hal ini perlu dilatih agar aplikatif untuk setiap profesi pengelolaan dunia
berdasarkan keagaman sesamanya. Dengan Akhlak mulia, seorang pengusaha mampu
mencapai tingkat tertinggi. Allah pun melapangkan hatinya dan membukakan baginya
berbagai gerbang rezeki yang hanya dapat diraih dengan akhlak mulia, seperti: bersahaja,
lemah lembut, ceria, simpati, berkata manis, menghormati yang lebih tua, menyayangi
122 Al-Qalam: 4. 123 Tidak hanya hafal, tapi juga mengaplikasikan kandungan kitabullah dalam kehidupan.
34
yang lebih muda, sebagaimana sabda Rasulullah, “penghuni surga adalah setiap orang
yang simpel, lembut, penolong dan supel.”124
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda, “Orang yang paling
aku cintai di antara kalian adalah yang paling baik akhlaknya, senang membantu, dan
mereka yang saling menjaga hubungan.”125
Diriwayatkan oleh Anas bahwa Rasulullah bersabda, “Seorang hamba benar-benar
dapat mencapai derajat yang sangat mulia dengan akhlak yang baik walaupun ibadahnya
sedikit. Sebaliknya, ia akan mendapat derajat yang amat rendah karena akhlak yang
buruk.”126
Pepatah bijak mengatakan, “Dia yang menciptakan hamba, mampu menyempitkan
rezekinya.”
Pepatah lain berkata, “Akhlak yang baik pangkal rezeki yang banyak.”127
Jika dimensi keimanan saja berpengaruh terhadap transaksi. Tentu dimensi ini juga
memberikan profit yang terefleksikan dalam etika kehidupan seorang pengusaha muslim.
Karenanya, dia harus mempercantik diri dengan seluruh kode etik yang terperinci sebagai
berikut:
Pertama, Interaksi dengan Akhlak
1. Jujur
Jujur adalah kemuliaan dan akhlak yang tinggi dalam Islam. Kosisten dan berpegang
teguh terhadapanya dalam segala keadaan adalah pilar yang harus ada dalam akhlak dan
124 Sulaiman bin Ahmad bin Ayub al-Qasim al-Thabarani, al-Mujam al-Shagir, Tahqiq
Muhammad Syakur Mahmud al-Haj Amrir, al-Maktabah al-Islami, Beirut, Dar Ammar, Oman, cetakan pertama, 1405H, 1985M, vol. 1, h. 72.
125 Al-Thabarani, al-Mujam al-Awsath, vol. 7, h. 72. 126 Al-Thabarani, al-Mujam al-Kabir, vol. 1, h. 26. 127 Al-Mawardi, Adab al-Dunya wa al-Din, h. 216.
35
etika seorang muslim. Ia adalah media koreksi dan mendapatkan ampunan atas dosanya.
Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan
ucapkanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki pekerjaanmu dan
mengampuni dosa-dosamu. Siapa patuh kepada Allah dan Rasul-Nya, maka ia sungguh
telah mendapat kemenangan yang besar.”128
Dalam hadits dikatakan, “Bersikap jujurlah, karena ia mengantarkan pada kebaikan
dan kebaikan mengantarkan ke surga. Allah akan mengangkat derajat seorang hamba yang
konsisten dalam kejujuran hingga ketingkat shiddiq.”129
Di antara makna integritas bagi seorang pengusaha adalah: Komit dalam jual-beli
secara terus terang dan transparan untuk menjaga kepercayaan, agar Allah memberikan
keberkahan pada transaksinya dan meninggikan derajatnya di surga hingga setingkan para
nabi, orang-orang shiddiq dan syuhada. Abu Said meriwayatkan dari Nabi, “pedagang
yang jujur dan amanah akan bersama para nabi, orang-orang shiddiq dan syuhada.”130
Diriwayatkan oleh Hakim bin Hizam bahwa Rasulullah bersabda, “Dua orang yang
bertransaksi secara bebas, jujur dan terbuka131 akan diberkahi sampai selesai. Sebaliknya
jika diisi kecurangan, maka Allah akan cabut keberkahan itu.”132
Juga, termasuk makna integritas ialah seorang pengusaha muslim ialah menghindari
promosi komoditas dengan persuasi dan sumpah palsu, atau informasi yang inkonsisten
hingga menipu konsumen. Sebagaimana yang kita dapati dewasa ini, media massa
dipenuhi iklan-iklan yang tidak mencerminkan esensi produk tersebut. Islam telah
mewaspadai profesi yang merusak sektor bisnis dan memudarkan kepercayaan seperti ini.
Dari Ismail bin Ubaid bin Rafaah, dari ayahnya dari kakeknya, bahwa ia pernah pergi
128 Al-Ahzab: 70-71. 129 Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, vol. 2, h. 244. 130 Al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, vol. 3, h. 515. 131 Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Tahqiq Muhammad Zahir bin Nasir al-Nasir, Dar Tawq al-
Najah, cetakan pertama, 1422H, vol 3, h. 58. 132 Muslim, Sahih Muslim, vol. 1, h. 102.
36
menuju tanah lapang bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Melihat masyarakat yang
sedang melakukan aktivitas jual-beli, beliau bersabda, “Wahai para pedagang sekalian.”
Orang-orang pun merespon perkataan Rasul dengan mengangkat kepala dan melihat ke
arah beliau. Nabi pun melanjutkan, “Para pedagang di hari kiamat akan dibangkitkan
sebagai orang yang berlumuran dosa, kecuali mereka yang bertakwa kepada Allah, berbuat
baik dan berintegritas.”133
Diriwayatkan Abu Dzar bahwa Nabi Muhammad bersabda, “Tiga macam manusia
yang tidak akan Allah pandang dan sucikan di hari kiamat, bagi mereka adzab yang pedih.”
Abu Dzar mengatakan, “Rasulullah mengatakan hal yang sama 3 kali, aku pun berkata,
‘mereka benar-benar pailit, siapakah mereka wahai Rasulullah?’” Lanjut beliau, “Laki-laki
yang mengenakan pakaian hingga di bawah mata kaki, orang yang mengungkit-ungkit
pemberian, orang yang berjualan dengan sumpah palsu.”134
Dalam satu riwayat, “Orang yang menjadikan Allah sebagai barang dagangan,
membeli dengan sumpah dan menjual dengan sumpah.”135
Dalam hadits lain, “Orang yang menjadikan sumpah sebagai komoditas, bersumpah
untuk hal yang benar dan salah.”136
Seorang pengusaha dianggap telah mencatut nama Allah ketika memperdagangkan
komoditiasnya dengan sumpah, meskipun sumpahnya itu benar apa adanya. Sungguh dia
telah rugi, karena dunia ini lebih busuk dari sekadar melariskan barang dagangan dengan
menyebut-nyebut nama Allah. Apabila sumpahnya palsu, maka ia telah berbuat
kebohongan yang menjerumuskan pada dosa di dunia, dan neraka di akhirat. Allah pun
133 Al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, vol. 3, h. 515. 134 Muslim, Sahih Muslim, vol. 1, h. 102. 135 Al-Mundzari, al-Targib Wa al-Tarhib, vol. 2, h. 367/ 136 Ibid.
37
tidak akan memandangnya di hari kiamat, dan memiskinkannya dengan melenyapkan
hartanya.137 Naudzubillah.
Pengusaha yang selalu menjual nama Allah dan enggan takut bersumpah palsu, serta
mengikis imannya setiap kali bertransaksi, ia akan ditimpa dosa yang besar. Pada hari
kiamat, Allah tidak akan mempedulikannya dan memberikan rahmat kepadanya. Nama
Allah haruslah dimuliakan dan disakralkan, bukan sebaliknya, “Janganlah engkau
bersembunyi di balik sumpah …”138 Mengherankan, bagaimana bisa seorang pengusaha
mencatut nama Allah dalam sumpah untuk melariskan dagangannya! Bagaimana bisa akal
mengorbankan surga yang indah dengan profit semu? Mereka membeli sesuatu yang
remeh dengan yang mewah dengan memprioritaskan profit dunia di atas surga.
Diriwayatkan Abdullah bin Abu Ubay Awfa, suatu ketika ada seorang laki-laki
menjual barang di pusat perbelanjaan sambil bersumpah agar menarik orang lain untuk
membeli. Kemudian turun firman Allah, “Orang-orang yang menukar janjinya Allah
dengan sumpah mereka yang murah, kelak tidak akan mendapat bahagian pahala di
akhirat, dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka dan tidak akan melihat mereka
pada hari kiamat serta tidak pula akan menyucikan mereka. Bagi mereka adzab yang
pedih.”139
Seorang pengusaha muslim dinilai tidak bertintegritas serta berkhianat, jika
melakukan kebohongan dan melariskan barang dagangannya dengan sumpah palsu
mengatasnamakan Allah agar mendapat keuntungan berlipat atau menutupi cacat pada
komoditasnya. Karena perbuatan ini, Allah berhak mencabut keberkahan niaganya.
Rasulullah bersabda, “Sungguh besar khianatmu, menipu saudaramu yang
137 Abu Muhammad al-Huszain bin Masud bin al-Fara al Baghawi, Syarh al-Sunnah, Tahqiq
Syuaib al-Aurnout. Zuhair al-Syawisy, al-Maktabah al-Islami, Damaskus, cetakan ke-2,1403H, 1983M vol 1, h. 85.
138 Al-Baqarah: 224. 139 Ali Imran: 77.
38
mempercaraimu.”140 Beliau juga berkata, “Sumpah palsu itu melariskan dagangan dan
melenyapkan keberkahan.”141
Juga, di antara makna integritas bagi pengusaha muslim adalah: mempertahankan
mitranya dan mencintainya sebagaimana ia mencintai diri sendiri, menyesuaikan gaji
antara dirinya dengan rekannya, kemudian diharuskan adanya transaparansi dalam
transaksi tanpa memonopoli informasi untuk dirinya yang menutupi fakta peredaran uang
mereka. Diriwayatkan Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda, “Allah berfirman, ‘Aku
adalah pihak ketiga dari dua orang yang berkongsi selama mereka berintegritas. Jika salah
seorang dari mereka berkhianat, Aku pun keluar dari mereka.’”142
al-Saib bin Abi al-Saib pernah berkata kepada Nabi, “Engkau adalah mitra terbaikku
di zaman jahiliyah karena engkau sangat solider143.” 144
Di antara media transparansi dalam korporasi modern adalah:
1) Laporan data finansial perusahaan kepada para pemegang saham di bawah
pengawasan lembaga auditor eksternal,
2) Visibilitas seluruh pembelanjaan dan tagihan, riset peluang pasar serta
kendala pemasaran,
3) Visibilitas struktur administratif dan wewenang, serta metode
pengambilan keputusan, ketentuan hukum, pembagian untung-rugi, di
samping perincian tanggung jawab dan sanksi atas penggelapan atau distorsi
informasi dan data yang seharusnya diketahui para pemegang saham.
4) Serta adanya jaminan pengembalian hak-hak mereka ketika terjadinya
kelalaian dan pelanggaran.
140 Sulaiman bin al-Asat Abu Daud al-Sijistani al-Azdi, Sunan Abu Daud, Tahqiq Muhammad
Muhyiddin Abd al-Hamid, Dar al-Fikr, Beirut, vol. 4, h. 223. 141 Ibnu Hibban, Sahih Ibnu Hibban, vol. 11, h. 271. 142 Abu Daud, Sunan Abu Daud, vol. 3, h. 256. 143 Ibnu Majah Abu Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah, Tahqiq
Muhammad Fuad Abd al-Baqi, Dar Ihya al-Kutub al-Arabi, vol. 2, h. 768. 144 Ibid.
39
2. Amanah
Islam menginginkan setiap pengusaha memiliki hati yang selalu awas terhadap hak
Allah dan manusia, serta menjaga transaksinya dari segala motif kecerobohan. Karenanya,
Islam mewajibkan pengusaha untuk selalu amanah terhadap dirinya dan orang lain. Dia
tidak boleh meremahkan atau melalaikan hak orang yang dititipkan kepadanya, karena
amanah adalah tanggung jawab besar yang dibebankan kepadan setiap manuslia, Allah
berfirman, “Kami sungguh telah pamerkan amanah kepada langit, bumi dan gunung-
gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir akan
mengkhianatinya, dan dipikullah amanah itu oleh manusia. Sungguh manusia itu amat
dzalim dan amat bodoh,”145
Dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah bersabda, “Tidak beriman, orang yang tidak
amahan, dan tidak berislam, orang yang mengingkari janji.”146
Sebelum diutus menjadi rasul, Nabi Muhammad adalah orang yang dijuli sebagai al-
Shadiq al-Amin.147 Sebelum hijrah, Rasulullah memerintahkan sepupunya, Ali bin Abi
Thalib untuk memulangkan barang orang- orang musyrik yang dititipkan kepada Nabi.
Padahal mereka adalah kaum yang mendesak dan mengusir beliau dari Mekkah.
Juga, tampak jelas bukti sifat amanah Nabi Musa ketika menimba air untuk dua
orang wanita, kemudian menemani keduanya dengan penuh rendah hati dan hormat. Allah
berfirman, “Wahai ayah, jadikanlah ia sebagai karyawan. Dia orang terbaik untuk
dipekerjaan karena dia orang yang kuat lagi dapat dipercaya."148
Amanah menimbulkan rasa tanggung jawab dan melindungi dari dunia. Hal itu
terjadi hanya ketika amanah telah melekat pada diri seseorang. Mengenai ini, Hudzaifah
bin Yaman telai meriwayatkan sabda Rasulullah yang berbunyi, “Amanah bersemayam di
145 Al-Ahzab: 2. 146 Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, vol. 3, h. 135. 147 Julukan untuk orang yang paling jujur dan amanah. 148 Al-Qasas: 26.
40
dasar hati, kemudian mereka mempelajarinya dari al-Quran, lalu mempelajarinya dari al-
Sunnah.”149
Di antara makna amanah bagi seorang pengusaha adalah: adil saat menimbang dan
menakar; janganlah seseorang mengurangi hak sesamanya dan menimbang sebagaimana
dia juga tidak mau diperlakukan seperti itu. Allah berfirman, “Adil lah saat menakar dan
menimbang.”150
Juga, “Fungsikanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi
neracanya.”151
“Kecelakaan besar bagi orang-orang yang curang, yaitu orang-orang yang apabila
menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, apabila mereka menakar atau
menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidakkah orang-orang itu yakin, bahwa
sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, yaitu hari ketika
manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam?”152
Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah pernah berkata kepada para
pedagang, “Kalian bertanggung jawab atas satu urusan yang telah membinasakan banyak
umat sebelum kalian.”153
Diriwayatkan oleh Ibnu Umar bahwa Rasulullah pernah berkata pada kami, “Wahai
kaum Muhajirin sekalian, ada lima bencana yang akan menimpa kalian, – aku berlindung
pada Allah agar tidak terjadi pada kalian – jika perzinaan merajalela dalam suatu kaum,
maka mereka akan dijangkiti wabah penyakit menular yang belum pernah di alami orang-
orang sebelum mereka; jika mereka gemar mengurangi timbangan, Allah akan timpakan
kepada mereka kekeringan, kesulitan pangan dan pemimpin yang kejam; jika mereka
149 Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, vol 5, h. 2382. 150 Al-An’am: 152. 151 Al-Rahman: 9. 152 Al-Muthaffifin: 1-6. 153 Al-Naisaburi, al-Mustadrak ala al-Sahihain, vol. 2, h. 36.
41
menahan zakat harta, Allah akan tahan hujan dari mereka, kalaulah bukan karena hewan
ternak, mereka tidak akan pernah disirami hujan; jika mereka melanggar janji Allah dan
Rasul-Nya, maka Allah akan jadikan musuh mereka berkuasa dan mengambil harta
mereka; jika pemimpin muslim mereka enggan menggunakan al-Quran sebagai hukum,
Allah akan rundung mereka dengan ketakutan.154
Ali bin Abi Thalib – karamallah wajhahu – berkata, “Jangan kau tanyakan apa itu
kehormatan kepada orang yang wibawanya berada di atas takaran dan timbangan, Ibnu
Umar pernah melintasi pedagang dan berkatan, ‘bertakwalah kepada Allah’.”155
Imam al-Ghazali berkata, “Larangan curang dalam takaran bukan karena alat ukur itu
sendiri, tapi masalah dari ketidakadilan yang ditimbulkan, dan hal itu terjadi dalam semua
profesi. Pemilik neraca beresiko untuk celaka, dan semua mukallaf adalah pemilik nerasa
dalam setiap pekerjaan, perkataan serta besitan hatinya. Sedangkan kecelakaan itu ketika
berpaling dari keadilan dan integritas.”156
Para sahabat Rasulullah dan pengikut mereka adalah pedagang di daratan dan laut,
sebagian mereka berprofesi sebagai petani, tapi mereka tidak pernah menggadaikan agama
dalam bisnis. Bahkan mereka sadar bahwa keuntungan akhirat lebih utama dibandingkan
profit dunia. Maka mereka lari sejauh mungkin, menghindari sifat orang-orang yang
digambarkan al-Quran, “Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk,
maka tidaklah beruntung perniagaan mereka dan tidaklah mereka mendapat petunjuk.”157
Mereka pun berhati-hati dalam menimbang karena takut akan kecelakaan yang Allah
siapkan untuk orang yang curang. Sebagian mereka berkata, “Aku tidak akan membeli
adzab Allah dengan benih,” jika menerima takaran benih, ia akan menguranginya setengah.
Jika ia menakar untuk orang lain, ia melebihkannya. Sebagian lain berkata, “Celakalah
154 Al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah, vol. 2, h. 1332. 155 Al-Qurtubi, al-Jami li Ahkami al-Quran al-Karim, vol. 12, h. 253. 156 Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, vol. 2, h. 71. 157 Al-Baqarah: 16.
42
orang yang menukar surga yang seluas langit dan bumi dengan sebiji benih. Betapa
ruginya orang yang membeli kebahagiaan dengan kesengsaraan.”158
Juga, di antara makna amanah bagi seorang pengusaha adalah: menjelaskan harga
barang dan keuntungan, jika pembelian komoditas menggunakan sistem bagi hasil;
menerangkan aib barang kepada pembeli, jika terdapat kekurangan, berdasarkan hak
nasihat seorang muslim. Jarir al-Banjali jika berdagang, ia akan menunjukkan aib barang
itu kepada orang yang akan membelinya. Kemudian ia menganjurkan, “jika engkau mau,
silakan ambil, jika tidak, silakan tinggalkan.” Pembeli itu mengomentari, “Semoga Allah
merahmatimu, kalau begini cara berjualanmu, engkau tidak akan dapat untung.” Dia pun
membalas, “Kami telah berbaiat kepada Rasulullah untuk memberikan nasihat kepada
sesama muslim.”159
Sahabat mulia ini telah mengerti bahwa nasehat adalah mencintai orang lain
sebagaimana mencintai diri sendiri. Tidak hanya memandang hal itu sebagai nilai plus, tapi
juga pondasi keislaman yang disumpah secara langsung oleh Rasulullah.
Walaupun demikian, sebagian pengusaha terkadang ragu untuk menjelaskan aib
dagangannya, karena mereka mengira hal itu mengaktualkan kehancuran bisnis mereka.
Tetapi Allah akan selamatkan mereka yang menjalankan nilai-nilai agamanya dan
memberikah hasil yang dia harapkan, karena prinsipnya selalu, “aku dengar dan aku taat”.
Diriwayatkan Watsilah bin al-Asqa bahwa Rasulullah berkata, “Seseorang tidak boleh
menjual barang yang tidak ia jelaskan.”160
158 Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, vol. 2, h. 71. 159 Al-Thabarani, al-Mujam al-Kabir, vol. 2, h. 359. 160 Ibid.
43
Diriwayatkan Uqbah bin Amir bahwa Rasulullah bersabda, “Sesama muslim itu
bersaudara, seorang muslim tidak boleh menjual barang cacat pada saudaranya tanpa
adanya penjelasan.”161
Ketahuilah, menutupi aib barang dan promosi tidak dapat menambah rezeki, bahkan
dapat melenyapkan dan menghilangkan keberkahan. Harta tidak dapat diraih dengan
penipuan sebagaimana tidak dapat berkurang karena kejujuran. Satu dirham yang Allah
berkahi dapat menjadi sebab kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat lebih baik dari
jutaan tanpa berkah yang menjadi sebab kesengsaraan pemiliknya di dunia dan akhirat.
Tentu orang cerdas akan menyadari bahwa keuntungan akhirat adalah fakta dan lebih baik
dari keuntungan seisi dunia. Kenikmatan dari harta akan lenyap bersamaan berkurangnya
usia, sedangkan kedzaliman dan tanggung jawab atas harta akan selalu ada, yang terbaik
adalah keselamatan di akhirat.
3. Murah Hati
Kemurahan hati adalah kunci rezeki dan sarana mencapai kehidupan yang baik. Di
antara manfaatnya adalah: meluweskan interaksi, memudahkan transaksi dan mempercepat
perputaran modal. Rasulullah bersabda, “Allah merahmati orang yang murah hati saat
menjual, saat membeli, dan saat menagih hutang.”162
Di antara makna murah hati bagi pengusaha musliam adalah: memudahkan jual-beli,
yakni tidak meninggikan harga hingga membebani hidup saudaranya. Mengenai ini Muaqil
bin Yasar meriwayatkan dari Rasulullah, “siapa yang meninggikan harga barang untuk
orang-orang Islam, maka Allah berhak memasukanya kedalam neraka pada hari kiamat.”
161 Al-Qazawini, Sunan Ibnu Majah, vol. 2, 1322.
162 Al-Bukhari, Sahih sl-Bukhari, vol. 2, h. 730.
44
Dia ditanya, “apakah mendengar hal ini dari Nabi?” Dia menjawab, “tidak hanya sekali-
dua kali.”163
Dengan kata lain, Beliau menyampaikan hal itu berkali-kali.
Lalu mengapa masih saja ada pengusaha yang merasa belum cukup dengan
keuntungan yang wajar, hingga tidak perlu lagi ada kenaikan harga, sebagaimana yang
terjadi di zaman modern ini! Kerakusan macam apa ini? Kekayaan apa ini sampai harus
menyedot darah orang lain? Orang cerdas adalah mereka yang banyak menjual dengan
selisih untug sedikit. Secara teknis banyak transaksi yang dilakukan, kecepatan perputaran
modal pun meningkat, di sanalah profit besar didapatkan. Dengan begitu, tampak
keberkahan yang menghimpun keuntungan dunia dan akhirat. Walaupun Islam tidak
membatasi rasio keuntungan, seorang pengusaha muslim hendaklah memiliki jiwa
berkeadilan. Adil adalah sifat alamiyah yang diajarkan dan diperintahkan Islam.
Ali bin Abi Thalib pernah berkeliling pasar Kufah dengan membawa pecut sambil
berkata, “wahai para pedagang ambillah hak kalian saja, kalian akan selamat, jangan tolak
keuntungan kecil dan hindari keuntungan yang besar.”
Abdurrahman bin Auf pernah ditanya, “Apa faktor kesuksesanmu?” Beliau
menjawab, “Tiga hal: aku tidak pernah menolak keuntungan sedikitpun, tidak juga
menunda penjualan hewan yang dipesan kepadaku, aku pun tidak berjualan dengan sistem
kredit" Beliau pernah menual 1000 ekor unta dengan keuntungan berupa tali unta-unta
tersebut. Kemudia dia menjual setiap tali senilai 1 dirham, maka hari itu dia mendapat
keuntungan 1000 dirham dan 1000 lain berupa kebaikan.164
Yang juga termasuk kemurahan hati bagi pengusaha muslim adalah:
163 Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, vol. 5, h. 27. 164 Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, vol. 2, h. 74.
45
1. mau menerima kekurangan barang yang ia beli dari saudara muslimnya yang
lemah, maka ia telah membebaskan dirinya dari menyembah harta;
2. menerima pengembalian barang yang sudah dibeli, dan menghidari prinsip,
“barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan.” Hal ini terjadi
karena konsumen merasa keliru dan kecewa. Sudah seharusnya, muslim tidak
berbahagia di atas penderitaan saudaranya, sebaliknya ia lebih senang membantu
kesulitannya karena terdapat pahala yang besar di dalamnya. Diriwayatkan Abu
Hurairah bahwa Rasulullah bersabda, “Siapa yang meringankan kesulitan saudara
muslimnya, Allah akan ringankan dosanya pada hari kiamat.”165
Murah hati bagi seorang pengusaha muslim adalah: menimbang sesuai takaran, dan
memberikan tambahan sebagai verifikasi. Ali bin Abi Thalib pernah melintas dan berkata
pada pedagang yang sedang menimbang zafaron hingga penuh kemudian
mengosongkannya, “Timbang dengan benar hingga stabil, kemudian baru tambahkan
sesuka hatimu.”166
Murah hati juga berarti berusaha melunasi hutang beserta bonusnya,167 wujud dari
apresiasi. Seorang pengusaha muslim hendaklah menjaga diri dari memakan uang haram,
baik itu milik bank ataupun personal. Diriwayatkan oleh Abu Huraihah, pernah ada
seorang laki-laki menagih hutang unta dengan usia tertentu kepada Nabi, beliau berkata
“berikan kepadanya”. Para sahabat pun tidak mendapati unta dengan usia tersebut, yang
ada hanyalah unta yang usianya di atas itu. Beliau berkata, “berikan kepadanya”. Laki-laki
itu pun berkata, “engkau telah menepati janji kepadaku, semoga Allah mencukupimu”.
165 Ibnu Hibban, Sahih Ibnu Hibban, vol. 11, h. 405. 166 Al-Qurtubi, al-Jami li Ahkami al-Quran al-Karim, vol. 19, h. 253. 167 Tambahan suka rela melebihi nilai hutang yang semestinya dibayarkan.
46
Seketika itu Rasulullah bersabda, “Orang terbaik di antara kalian adalah yang paling besar
preminya”168
Jabir bin Abdillah berkata, “Rasulullah memiliki hutang kepadaku, tidak lama beliau
melunasinya beserta bonus.”169
Diriwayatkan Abi Rabiah al-Mukhzawami dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa
Rasulullah pernah meminjam uang kepadanya ketika perang Hunain sebesar 30.000
sampai 40.000. Ketika melunasi hutang tersebut, Beliau bersabda, “Semoga Allah
memberkahi keluarga dan hartamu. Sungguh, loyalitas dan sanjungan adalah balasan atas
perbuatanmu”.170
Sebaliknya, jika seorang pengusaha terkendala dalam melunasi hutang, hendaklah
dia bertekad untuk membayarnya dan tidak memperbayak dalih dalam menunda.
Diriwayatkan Abu Umamah, bahwa Rasulullah bersabda, “Siapa saja yang berhutang dan
berniat untuk menunaikannya, Allah akan melunasinya di hari kiamat. Sedangkan, siapa
yang sengaja berhutang tanpa berniat untuk melunasinya, kemudian dia mati; Allah akan
berkata kepadanya di hari kiamat, ‘Apakah engkau mengira Aku tidak memperhatikan hak
hambaku?’ Lalu, Allah mengambil pahala kebaikan debitur dan memberikannya kepada
kreditor; jika orang itu tidak memiliki pahala, Allah akan mengambil dosa kreditor dan
memberikannya kepada debitor.”
Abdullah bin Utbah meriwayatkan bahwa Maimunah pernah berhutang sebesar 800
dirham, kemudian keluarganya bertanya kepadanya, “Bagaimana bisa engkau berhutang,
sementara engkau tidak memiliki jaminan dapat melunasinya?” Dia berkata, “Aku pernah
168 Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, vol. 2, h. 843. 169 Abu Zakariya Yahya bin Syarif bin Muriy al-Nawawi, Syarah al-Nawawi ala Sahih Muslim,
Dar Ihya al-Turats al-Arabiy, Beirut, cet-2, 1392H, vol. 5, h. 228. 170 Al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah, vol. 2, h. 809.
47
mendengar Rasulullah berkata, ‘siapa saja yang berutang dan bertekad untuk melunasinya,
Allah akan membantunya.’”171
Dalam riwayat lain, “Allah akan menolong orang yang berusaha membayar
hutangnya.”172
Bahkan jika kreditor menagih haknya dengan perkataan kasar, hendaklah kita
bertoleransi dan menghadapinya dengan lembut, meniru sikap Rasulullah ketika ditagih
hutangnya secara tiba-tiba, padahal sebelum jatuh tempo pembayaran. Laki-laki itu berkata
kasar pada beliau, hingga para sahabat pun marah, maka Nabi bersabda, “Biarkan, karena
dia berhak berkata demikian.”173
Juga, murah hati berarti lunak terhadap mereka yang mengalami kesulitan untuk
melunasi. Sesekali dengan toleransi pembayaran separuhnya, sesekali dengan kelonggaran
tempo pelunasan. Allah berfirman, “Tangguhkan lah hutang mereka yang kesulitan
melunasi sampai mereka mampu. Menyedekahkannya lebih baik, jika kamu
mengetahui.”174
Rasulullah bersabda, “Allah merahmati orang yang bersahaja saat menjual, pemurah
saat membeli, seperlunya saat mengambil, mudah memberi, lancar melunasi hutang, dan
lunak saat menarik piutang.”175
Beliau juga berkata, “Murah hatilah, Allah pun akan merahmatimu.”176
“Siapa yang ingin Allah selamatkan dari kesedihan di hari kiamat, hendaklah ia
membebaskan orang lain dari kesulitan.”177
171 Ibid., vol. 24, h. 28. 172 Ibid. 173 Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, vol. 2, h. 809. 174 Al-Baqarah: 208. 175 Ahmad bin Ali bin al-Mutsni Abu Yala al-Maushuliy al-Tamimiy, Musnad Abu Yala,
ditahkik oleh Hasan Sulaim Asad, Dar al-Mamun li at-Turats, Damaskus, cet-1, 1404H, 1984M, vol. 12, h. 312.
176 Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, vol. 1, h. 248. 177 Muslim, Sahih Muslim, vol. 3, h. 1196
48
Sulaiman bin Baridah meriwayatkan dari ayahnya, “Aku mendengar Rasulullah
berkata, ‘Siapa yang memberi kelunakan pada debitor yang kesulitan, maka satu harinya
dihitung sedekah yang senilai dengan hutang.’ lalu beliau berkata kembali, ‘Siapa yang
memberi kelunakan pada debitor yang kesulitan, maka satu harinya dihitung sedekah yang
senilai.’ lanjutnya, ‘Baginya satu sedekah setiap harinya selama tenggang waktu. Jika telah
jatuh tempo, maka ulurlah waktunya. Dia pun akan mendapat pahala 2 sedekah senilai
setiap harinya.’”178
Diriwayatkan Kaab bin Ajrah bahwa Nabi Muhammad bersabda, “Siapa yang
memberi kelunakan ataupun mengulur tempo hutang, Allah akan menaunginya di hari
kiamat.”179
Hudzaifah bin al-Yamani meriwayatkan dari Nabi, “Para Malaikat bertanya kepada
ruh seorang laki-laki di zaman dahulu yang mereka temui, ‘Kebaikan apa yang pernah
engkau lakukan?’ Dia berkatan, ‘Tidak ada.’, ‘Ingat kembali’ tukas mereka. Dia berkata,
‘Dulu masyarakat meminjam uang dariku, aku pun perintahkan 2 anakku untuk
memberikan kelonggaran kepada mereka yang kesulitan dan toleransi kepada yang
mampu.”180
Tidak dibenarkan memberlakukan denda karena keterlambatan hutang pembeli,
dengan atau tanpa kesepakatan sebelumnya. Karena itu adalah praktik riba yang
terlarang.181 Perlu diketahui, menunda pelunasan tanpa adanya alasan, amat pantas
mendapat hukum di dunia dan akhirat. Sanksi ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad,
“Menunda hutang adalah kedzaliman.”182
178 Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, vol. 5, h. 260. 179 Al-Thabarani, al-Mujam al-Kabir, vol. 19, h. 106. 180 Muslim, Sahih Muslim, vol. 3, h. 1194 181 Lih. Keputusan Majmu al-Fiqh al-Islami keluaran Muhadzamah al-Mutamar al-Islami,
pertemuan ke-6, keputusan ke-2, Jeddah, Syaban 1411H, Maret 1992M. Keputusan serupa juga terdapat dalam pertemuan ke-14 di Doha, Dzu al-Qidah 1423H, Januari 2003M.
182 Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, vol. 2, h. 799.
49
Beliau berkata, “Kesengajaan menunda pelunasan hutang, pantas dihardik dan
dipenjara”183
Menurut pendapat sebagian orang, lambatnya tindakan perutangan184 dan tidak
adanya sanksi atas keterlambatan, hanya akan memperpanjang masa penunggakan, dan
memperbesar pembiayaan. Untuk menangkalnya, hendaklah pengusaha muslim meninjau
pihak yang ia hadapi, selektif dalam menentukan klien melalui kepribadian dan reputasi,
tekad untuk melunasi, kemampuan untuk melaksanakan komitmen, kapabel dalam
mengelola proyeknya, sebagaimana tindak lanjut yang saling berkesinambungan yang
semestinya mencegah penunggakan. Allah berfirman, “Di antara Ahli Kitab ada orang
yang jika kamu mempercayakan harta yang banyak, ia akan mengembalikannya; dan di
antara mereka ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya satu Dinar, ia tidak
akan mengembalikannya, kecuali jika kamu selalu menagihnya.”185
Imam al-Ghazali berkata, “Manusia terbagi 2; orang yang pantas, dan orang yang
tidak boleh diajak berkongsi. Hendaklah yang pantas diajak berkongsi lebih sedikit.
Ada zaman di mana seorang pengusaha bertanya di pusat ekonomi dan bisnis,
‘Tunjukan saya, orang yang pantas diajak berbisnis?’ Mereka berkata, ‘silakan dengan
siapa saja.’ Kemudian datang zaman lain, mereka berkata, ‘silakan dengan siapa saja,
kecuali si A.’ Lalu, tiba zaman mereka berkata, ‘jangan bekerjasama dengan siapapun
kecuali si B dan si C.’ Aku pun takut zaman yang terakhir ini ikut lenyap. Inilah hal yang
harus diwaspadai akan terjadi.”186
Juga, termasuk makna murah hati bagi pengusaha muslim adalah menghargai hak
rekan-rekannya, dan tidak menjadikan harta sebagai alat memonopoli hak mereka,
khususnya setelah meraih kesuksesan dalam proyek. Serta tidak merasa paling berjasa,
183 Ibnu Hibban, Sahih Ibnu Hibban, vol. 2, h. 486. 184 Menagih hutang, KBBI. 185 Ali Imran: 75. 186 Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, vol. 2, h. 80.
50
kalaulah bukan karena pertolongan Allah dan sokongan dana dari mitranya, niscaya
korporasi yang ia kelola tidak akan maju dan berkembang. Adapun jika terjadi likuidasi
atau pecah kongsi, haruslah dengan cara yang baik.
4. Berkomitmen
Islam telah mewajibkan pemeluknya untuk menunaikan kontrak dan menepati janji.
Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, tunaikanlah kontrak.”187 “Tepatilah janji,
karena ia akan diminta pertanggunjawaban.”188
Dengan begitu, seorang muslim telah keluar dari lingkar kemunafikan menuju
wilayah keimanan. Abu Hurairah meriwayatkan dari Nabi, “Indikasi hipokritis ada 3:
ucapan yang inkonsisten, merusak komitmen dan mengkhianati kepercayaan.”189
Diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah “Nabi berkata kepadaku, ‘Jika jizyah Bahrain
telah tiba, akan ku memberikan engkau sekian dan sekian.’ Namun jizyah itu belum tidak
kunjung datang hingga Rasulullah wafat. Sampai akhirnya Abu Bakar memanggil semua
orang yang terikat perjanjian dengan Beliau, setelah tibanya jizyah itu. Aku pun
mendatanginya dan berkata, ‘Rasulullah berkata kepadaku begini dan begitu.’ Sambil
berkata, ‘Ambil 2 kali lipatnya.’ Dia pun memberikan sebuah kantung yang berisi 500
dinar.”190
Saking pentingnya sifat wafa, Abu Bakar al-Shiddiq sebagai pengganti Rasulullah
sangat cermat menepati janji-janji Nabi Muhammad sebagai sahabatnya.
Agar seorang pengusaha dapat menyempurnakan janjinya, sudah semestinya ia
waspada terhadap penyakit lemah ingat dan lemah tekad. Al-Quran telah mengarahkan hal
ini via perintah Allah kepada Nabi Adam, untuk tidak mendekati pohon terlarang. Namun
187 Al-Maidah: 1. 188 Al-Isra: 34. 189 Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, vol. 1, h. 21. 190 Ibid., vol. 2, h. 803.
51
ia lalai akan hal itu. Allah berfirman, “Dulu, Kami telah perintahkan kepada Adam,
kemudian ia lupa akan hal itu, sementara Kami tidak mendapatinya bersabar,191 sebagai
refleksi dari tekad yang kuat.”192
Islam sangat memperhatikan aplikasi terhadap kontrak selama dalam rambu-rambu
syariat, melalui dokumentasi untuk mencegah kelalaian. Dalam Islam ada banyak metode
dokumentasi, termasuk di antaranya:
a. Pencatatan,
Allah berfirman, “Hai orang beriman, jika kalian mengadakan transaksi hutang-
piutang, maka catatlah.”, “Janganlah kalian merasa jemu untuk mencatat yang kecil
maupun yang besar hingga tempo pembayaran.”193
b. Saksi
Allah berfirman, “Persaksikanlah transaksi kalian.”194
c. Agunan
Allah berfirman, “… maka agunkan sesuatu.”195
d. Garansi
Nabi Yusuf berkata, “… aku menjamin hal itu.”196
Empat poin di atas mampu mendorong realisasi yang diharapkan al-Quran, “Sebab,
semua itu lebih adil menurut syariat Allah, lebih kuat kebenaran persaksiannya dan lebih
meningkatkan rasa saling percaya.”197 Karena dokumentasi, pencatatan kontrak, adanya
saksi, dan garansi penjaminan adalah hal yang krusial untuk afirmasi dan perlindungan hak
serta menutup celah terjadinya konflik antar individu. Dalam konteks ini, syariat pun
191 Abu Muhammad Izzu al-Din bin Abdullah bin Abu al-Qasim bin al-Hasan al-Silmi al-
Dimasyqi, Tafsir al-Quran, Dar Ibn Hazm, Beirut, cet-1, 1416H, 1996M, vol. 2, h. 314. 192 Al-Taha: 115. 193 Al-Baqarah: 282. 194 Ibid.
195 Al-Baqarah: 283. 196 Yusuf: 72. 197 Al-Baqarah: 282.
52
mengecualikan dokumentasi transaksi tunai yang umumnya berlangsung secara singkat,
demi kemudahan transaksi. Allah berfirman, “Kecuali transaksi tunai yang lazim kalian
jalankan, tidak bedosa jika kalian meninggalkannya.”198
Al-Sarkhasi berkata, “Dalam syariat dokumentasi tulis terdapat banyak manfaat,
diantaranya: melindungi harta, memutus mata rantai sengketa antar pihak, mencegah cacat
kontrak, menghapus keraguan dan mengikat kebenaran.”199
Komit terhadap ajaran ini sangat diperlukan bagi seorang pengusaha, karena
kealpaan terhadapnya dapat menimbulkan banyak masalah dalam transaksi mereka, sampai
kepada baku tuduh saat kalkulasi. Tentu akan lebih mudah memuaskan, seandainya dulu
mereka bersepakat mendokumentasikan.
Kedua, Transaksi Halal dan Baik
1. Menghindari Transaksi Komoditas dan Jasa
Haram
Sudah semenstinya seorang pengusaha muslim komit dalam transaksi komoditas laik
yang Allah halalkan, “Katakanlah, ‘Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah
yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan siapa pulakah yang
mengharamkan rezeki yang baik?’ Katakanlah: ‘Semuanya itu disediakan bagi orang-
orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus untuk mereka di hari kiamat.’”200
Serta menjauhi komoditas “najis” yang telah diharamkan-Nya, “Katakanlah: "Tidak sama
198 Ibid. 199 Muhammad bin Abu Sahal al-Sakhasi Abu Bakar, al-Mabsuth, Dal al-Marifat, Beirut, 1406H, vol. 3, h. 68.
200 Al-Araf: 32
53
antara yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik
hatimu,…"201
Dengan kata lain, seorang pengusaha hanya diperbolehkan menggunakan hartanya
untuk berjual-beli barang yang diizinkan syariat yang tentunya halal. Secara umum, ia
dituntut selalu bertransaksi dalam hal yang laik dan bermanfaat, serta menjauhi segala
macam hal yang merusak agama dan kehidupan masyarakat, seperti miras dan narkotika.
Karena keduanya dapat mengundang keresahan seperti hilangnya kesadaran, pemborosan
dan pertikaian.
Diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah bahwa Rasulullah berkata, “Allah dan
Rasulnya telah mengharamkan jual-beli miras, bangkai, babi dan patung.” Lalu ada yang
bertanya, “Bagaimana pendapat Anda mengenai minyak dari bangkai, padahal ia
bermanfaat untuk cat perahu dan bahan kulit, serta bahan bakar lampu?” Beliau berkata,
“Ia tetap haram.” Lanjutnya, “Allah membinasakan kaum Yahudi, karena mereka melebur
lemak, menjualnya dan menjadikannya mata pencarian, setelah jelas diharamkan.”202
Abu Masud al-Anshary berkata, “Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم telah mengharamkan uang
hasil penjualan anjing, upah pelacuran dan paranormal.”203
Abu Juhaifah berkata, “Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم telah mengharamkan uang hasil
penjualan anjing dan darah. Beliau juga melaknat penato, orang yang minta dibuatkan tato,
pemakan riba, orang yang memberikan riba, dan pelukis.”204
2. Menghindari Mata Pencarian Haram
Termasuk di antaranya:
201 Al-Maidah: 100 202 Muslim, Sahih Muslim, vol. 3, h. 1207. 203 Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, vol. 2, h. 779. 204 Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, vol. 2, h. 735.
54
a. Riba
Berdasarkan pengertian ulama fiqih, riba adalah penambahan dalam barter 2
komoditas sejenis yang semestinya tidak perlu adanya tambahan. Riba terbagi 2 bagian:
Pertama, Riba Hutang-Piutang (Nasiah)
Adalah bunga yang disyaratkan kreditor kepada debitur sebagai biaya atas
keterlambatan pelunasan. Hukumnya haram menurut al-Quran, al-Sunnah dan kesepakatan
ulama. Riba ini pernah dilakukan oleh al-Abbas bin Abd al-Muthallib kemudian
diharamkan Rasul ketika haji wada. Riba yang serupa, juga berlaku pada bank-bank
konvensional dewasa ini.205
Al-Jassos berkata, “Riba yang berlaku pada bangsa Arab dahulu adalah pinjaman
dirham dan dinar hingga tenggat waktu tertentu dengan bunga sesuai jumlah pinjaman
yang disepakati.”206
Kedua, Riba Jual-Beli (Fadl)
Adalah barter uang dengan uang atau makanan dengan makanan beserta adanya
tambahan. Hukumnya haram menurut al-Sunnah dan kesepakatan ulama, wujud dari
langkah preventif untuk menghindari riba nasiah.207 Contohnya: menjual 1 dirham dengan
harga 2 dirham, menjual 1 takaran gandum dengan nilai 2 takaran gandum, dsb.
Abu Said al-Khudry meriwayatkan sabda Rasulullah, “Barter emas dengan emas,
perak dengan perak, terigu dengan terigu, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma,
garam dengan garam, komoditas dengan yang sejenisnya, adalah riba jika ditambah
maupun minta ditambah, sama saja entah itu yang meminta maupun pemberinya.”208
205 Secara detil diterangkan dalam Dr. Asyraf Dawaba, Fawaidh al-Bunuk baina al-Ibahah wa
al-Tahrim, Dar Khairi li al-Nasyri wa li al-Tauzi, Alexandria, 1434H, 2003M. 206 Al-Jassos, Ahkam al-Quran, Dar al-Kitab al-Araby, 1325H, vol. 1, h. 425. 207 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Dar al-Fikri, Beirut, 1403H, vol. 3, h. 178. 208 Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, vol. 3, h. 97.
55
Islam sangat melarang praktik riba dan menetapkanya sebagai salah satu dosa
terbesar. Saking besarnya dosa itu, Allah dan Rasulnya mengumumkan perang terhadap
pelakunya. Allah berfirman, “Para pelaku riba di hari kiamat akan seperti orang
kerasukan syaitan karena penyakit gila. Keadaan demikian, karena mereka berkata “ jual
beli itu sama saja dengan riba”, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. Siapa saja yang mengetahui larangan dari Tuhannya, kemudia ia
bertaubat, maka Allah akan mengampuni dosanya. Sedangkan mereka yang kembali
melakukan praktik riba, akan dimasukkan ke dalam neraka; mereka kekal di
dalamnya.”209
Allah juga berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah
dan tinggalkan sisa riba jika kalian benar beriman. Jika kalian tidak juga meninggalkan
riba, ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Sedangkan jika kamu
bertaubat, maka kalian berhak atas modal kalian; kalian tidak dzalim dan tidak pula
didzalimi.”210
Islam tidak pernah memberangus budaya jahiliyah setegas membasmi riba. Syariat
Islam juga tidak pernah mengancam secara harfiah dan signifikansi sekeras ancaman
terhadap riba. … Manusia sesat yang memakan atau menyuapi riba akan mengundang
petaka yang benar-benar menghancurkan, disebabkan sistem ribawi yang mengakar dalam
akhlak, agama, kesehatan dan ekonomi mereka, yang tentunya menyulut peperangan
kepada Allah, sudah pasti isinya murka dan adzab-Nya.211
Imam al-Sarakhsy berkata, “Allah telah meyiapkan5 hukuman bagi pelaku riba:
209 Al-Baqarah: 275. 210 Al-Baqarah: 278-279. 211 Lih. Sayyid Qutub, Fii Dzilal al-Quran, Dar al-Syuruq, Beirut, cet-12, 1406H, 1986M, vol.
1, h. 318.
56
1) Stres dan masalah. Allah berfirman, “mereka seperti orang kerasukan syaitan
karena penyakit gila.”212
2) Kehancuran. Firman-Nya, “Allah membinasakan riba,”213 Maksudnya adalah
kehancuran dan kebinasaan atau hilangnya keberkahan dan kenikmatan harta
baginya dan anak-anaknya.
3) Perang. Allah berfirman, “Bersiaplah berperang melawan Allah dan
Rasulnya.”214
4) Kekafiran. “Tinggalkanlah praktik riba, jika kalian benar beriman.”215
Setelah membahas tentang riba, Allah berkata, “Allah tidak menyukai setiap
orang kafir lagi berbuat dosa.”216 Maknanya adalah kafir karena
menghalalkan riba dan berdosa karena memakan riba.
5) Kekal dalam neraka. Allah berfirman, “Siapa yang kembali pada praktik
riba, mereka akan di jebloskan ke dalam neraka untuk selama-lamanya.”217
Betapa kita sepakat akan buruk dan mengerikannya dosa zina, tidak kah kita
membayangkan bahwa ada maksiat yang lebih parah dari itu, yakni melakukan praktik
riba. Lantas, bagaimana mungkin kita mencela perbuatan zina, sementara praktik riba kita
biarkan bagaikan angin lalu! Rasulullah bersabda, “Ada 73 level riba. Yang terendah dosa
bagaikan menzinai ibu kandung dan riba tertinggi adalah mengganggu kehormatan
muslim.”218
212 Al-Baqarah: 275. 213 Al-Baqarah: 276. 214 Al-Baqarah: 279. 215 Al-Baqarah: 278. 216 Al-Baqarah: 276. 217 Al-Baqarah: 275. 218 Secara ringkas diriwayatkan Ibnu Majah dan mendetil oleh al-Hakim, disahihkan oleh
Ibnu Hajar al-Asqalany, lih. Bulugh al-Maram, bab Adillah al-Ahkam, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Kairo, h. 175.
57
Beliau bersabda, “Satu dirham hasil riba yang diambil secara sadar, lebih besar
dosanya dari 30 kali berzina.”219
Lantas, bagaimana dengan riba yang jumlahnya hingga jutaan dan milyaran?
Riba adalah salah satu dosa terbesar, praktiknya terlaknat dan akhirnya membawa
sengsara. Mengenai ini Rasul صلى الله عليه وسلم telah memberikan lampu merah, “Jahuhilah 7 dosa besar.”
Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, dosa apakah itu?” Lanjutnya, “Menyekutukan
Allah, sihir, membunuh nyawa tak berdosa, berpenghasilan dari riba, merampas hak anak
yatim, kabur dari medan perang, menuduh wanita sebagai pezina.”220
Rasulullah pun melaknat kreditor riba, debiturnya, beserta pihak yang mencatat dan
menjadi saksi, serta menyetarakan mereka dalam golongan yang sama.221
Beliau bersabda, “Meskipun melimpah, omzet riba akan berakibat pada
kehancurang.”222
Inilah refleksi dari realita bencana yang ditimbulkan oleh seorang pengusaha yang
berani menantang Allah dan rasul-Nya dengan transaksi ribawi. Sebagaimana
menjamurnya bank-bank dengan piutang yang mencekik, tentu saja mengancam status
harta dan mendorong pihak debitur melakukan hal-hal tak terduga, seperti: melarikan diri
ke luar negeri, menjebloskan diri dalam penjara, bahkan bunuh diri.
Secara detil media-media masa Mesir memberitakan sebuah kasus pembunuhan sadis
yang terjadi di distrik Zamalik, kota Kairo. Tepat pada bulan November 2003, seorang
pengusaha membunuh istrinya, dan direktur perusahaan beserta istrinya, kemudian bunuh
diri dengan meninggalkan secarik wasiat yang berisi pesan untuk tidak berutang dengan
219 Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, vol. 8, h. 223. 220 Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalany, Fath al-Bari bi Syarhi Sahih al-Bukhari, Tahqiq
Muhammad Fuad Abd al-Baqi, Muhib al-Din al-Khatib, Qusoy Muhib al-Din al-Khatib, Dar al-Rayyan li al-Turats, Kairo, cet-2, 1407H, vol. 3, h. 48.
221 An-Nawawi, Sahih Muslim bi Syarhi an-Nawawi, vol. 2, h. 82-83. 222 Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, vol. 8, h. 495.
58
bank, karena transaksi tersebut telah memerasnya dan menjebaknya dalam masalah besar
hingga mendorongnya berpikir untuk bunuh diri.223
Begitu lah cara riba menjadikan pelakunya miskin mental bersamaan dengan miskin
materil dan akhirnya bunuh diri. Di sinilah letak relevansi antara kufur dan faqir yang
diajarkan Rasul dalam doanya, “Ya Allah aku berlindung pada-Mu dari kekufuran da
kefakiran.”224
Aneh, dewasa ini kejahatan riba sudah merajalela – betapa sedihnya – menguasai
pola pikir kita hingga tidak lagi mampu mengingkari dosa itu. Terkait hal ini, Nabi
Muhammad telah mengabarkan tentang zaman di mana manusia menghalalkan riba atas
nama bisnis.225 Boleh jadi, zaman ini juga yang pernah disabdakan Rasul, “Akan datang
satu masa, manusia terbiasa memakan riba, kalau pun ada yang tidak, ia terpapar debu-
debu riba.”226
Beliau bersabda, “Berlahan namun pasti, kalian akan membebek kepada norma dan
tradisi umat terdahulu. Bahkan, ketika mereka masuk ke dalam lubang dob,227 kalian tetap
mengikutinya.” Aku bertanya, “Apakah mereka itu orang Yahudi dan Nasrani?”, “Siapa
lagi!” Tegas beliau.228
a) Inilah Zaman Globalisasi Riba
Imam al-Qurtubi menegaskan, “Sudah semestinya pergerakan ribawi dibendung dan
dipersempit. Karena legitimasi terhadapnya sama saja menggali lubang untuk menjerat
umat Islam dalam kehancuran.”229
223 Surat kabar al-Ahram, Kairo, 1/12/2003. 224 Ibnu Hibban, Sahih Ibnu Hibban, vol. 3, h. 203. 225 Lih. Ibnu Qoyyim al-Jauzy, Ighatsatu al-Lahfan min Mashaidi al-Syayatin, Dar al-Marifat,
Beirut, Fashlun fi Thaifati Tastahillu al-Riba. 226 Al-Suyuti, Sunan al-Nasai, Dar al-Hadits, Kaifo, 1407h, vol. 8, h. 109. 227 Hewan reptil mirip iguana, berhabitat di padang pasir. 228 al-Asqalany, Fath al-Bari bi Syarhi Sahih al-Bukhari, vol. 3, h. 236. 229 Al-Qurtubi, al-Jami li Ahkami al-Quran al-Karim, vol. 3, h. 360.
59
Seorang pengusaha yang cerdas akan selalu waspada menjaga agama dan harga
dirinya, serta berusaha dengan sepenuh ketakwaan menjauhi aktifitas riba. Terlebih,
setelah ia mengetahui bahwa ayat al-Quran yang terakhir diturunkan adalah tentang
haramnya riba. Allah berfirman, “Bertakwalah pada Allah, karena suatu hari engkau pasti
akan kembali pada-Nya. Kemudian, setiap individu akan diberikan ganjaran yang adil
atas setiap pekerjaannya.”230
Serharusnya seorang pengusaha pandai memilih jalan selamat daripada diperangi
Allah dan rasul-Nya, karena pailit adalah keniscayaan tak terbantahkan untuk orang yang
berani mengambil riba.
b. Garar
Dalam konteks ini, garar meliputi: minimnya informasi, adanya celah kecurangan,
spekulasi, tidak adanya jaminan barang akan diterima, berpotensi pada kezaliman, adanya
indikasi komoditas fiktif, ketidakjelasan, tidak mampu terlaksananya serah-terima barang
yang disepakati, dan awam secara menyeluruh atau sebagian.
Ibnu Taimiyah berkata, “Garar adalah ketidakjelasan.”231 Sebagaimana telah
diharamkan oleh agama Islam. Diriwayatkan Abu Hurairah, “Nabi telah melarang transaksi
hashah dan transaksi garar.”232
Imam al-Nawawi berkata, “Interdiksi terhadap transaksi garar adalah salah satu dari
asas syariah yang mencakup banyak persoalan.”
a) Eksepsi Garar yang Diperbolehkan
Pertama, adanya bundle barang yang menjadi syarat dan ketentuan tercapainya
kesepatakan transaksi.
230 Al-Baqarah: 281. 231 Ahmad bin Abd al-Halim bin Taimiyah al-Harani Abu al-Abbas, al-Qawaid al-Nuraniyah,
Matbaah al-Sunnah al-Muhammadiyah, Kairo, cet pertama, 1951M, h. 38. 232 Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, vol. 2, h. 436.
60
Kedua, adanya toleransi penukaran karena hal buruk ataupun sulitnya membedakan
barang.233
Ini adalah kaidah dasar diperbolehkannya “garar” untuk kemaslahatan sebagaimana
jual-beli properti tanpa harus membongkar pondasi untuk mengetahui kedalaman, luas dan
kekuatannya.
b) Macam-macam Bai al-Garar yang Diharamkan
1) Bai al-Hashah:
Transaksi yang dilakukan antara 2 pihak yang saling tidak mengetahui komoditas
apa yang akan mereka jual atau beli. Lalu salah satu pihak diizinkan melemparkan
kerikil ke arah tertentu. Pada benda apapun kerikil itu jatuh, maka benda tersebut
adalah barang yang harus dijual dengan kesepakatan harga di muka. Atau, 2 pihak
bersepakat melakukan transaksi jual-beli tanah dengan luas berdasarkan termpat
terakhir kerikil (hashah) terjatuh.
2) Bai al-Mulamasah:
Jual-beli kain dengan menyentuh bagian yang tampak saja, tanpa diperbolehkan
membuka dan melihat bagian dalamnya serta berapa ukurannya.
3) Bai al-Munabadzah:
Transaksi barter antar 2 pihak tanpa mengetahui barang apa yang akan mereka
saling terima.
4) Bai al-Muzabanah:
Menjual kurma kering yang masih di pohon dengan kurma kering, anggur dengan
kismis, bibit dengan makanan. Namun, Rasulullah memberikan keringanan untuk
transaksi Araya, yakni menjual kurma basah di pohongnya dengan kurma kering
untuk kebutuhan tertentu. Dengan syarat, tidak melebihi 5 wasak.
233 al-Nawawi, Syarah al-Nawawi ala Sahih Muslim, vol. 4, h. 357.
61
5) Bai al-Muhaqolah:
Menjual benih yang masih di tangkainya dengan benih serupa.
6) Bai al-Nitaj:
Menjual produksi hewan ternak sebelum dihasilkan, contohnya menjual susu sapi
yang masih di dalam ambing.
7) Bai Habal ul-Habalah:
Menjual anak unta dengan pembayaran setelah dilahirkan.
8) Bai al-Madomain:
Menjual sperma.
9) Bai al-Malaqih:
Menjual janin dalam rahim.
10) Bai al-Mukhadoroh:
Menjual buah-buahan sebelum dipastikan masak tanpa cacat (ijon).
11) Bai al-Muawamah:
Menjual hasil panen beberapa tahun yang akan datang.
12) Bai Dorbah al-Gowas:
Terkadang penyelam akan menjual temuannya di dasar laut. Lain halnya dengan
bai dorbah gowas, membayar barang temuan itu di muka meski penyelam
tersebut belum menceburkan diri ke dalam laut.
13) Beli Mutiara dalam Kerang:
Seseorang membeli sekarung kerang dengan harapan, setidaknya ada satu kerang
berisi mutiara. Kalau tidak dapat, ia rugi. Sebaliknya, kalau ketemu walau satu ia
akan dapat untung senilai 10 karung mutiara.
62
14) Menjual ikan di laut:
Termasuk juga transaksi semacam ini, menjual burung terbang di angkasa, wol di
tubuh domba yang masih hidup, janin dalam kandungan, susu dalam ambing,
mentega yang masih berwujud susu.
15) Asuransi Niaga:
Adalah polis yang berisi kewajiban nasabah untuk menyetor premi kepada pihak
penjamin (perusahaan asuransi) dengan kesepakatan klaim tertentu saat terjadi
resiko tertentu. Kompensasi tersebut diberikan kepada pihak yang sudah
ditertentukan, apakah nasabah ataupun ahli waris.
Kontrak ini pun hukumnya haram karena condong pada garar. Pasalnya,
klien tidak dapat memastikan apakah ia akan ditimpa musibah atau tidak. Ia akan
meraup lebih banyak dari premi yang telah dibayarkan pada perusahaan asuransi.
Itu pun jika musibah yang disepakati benar-benar terjadi, jika tidak? Harta yang
telah disetorkan selama ini akan lenyap begitu saja. Karenanya para ulama telah
memberikan solusi berupa asuransi al-taawun yang dibangun atas dasar
solidaritas, bukan transaksi garar. Asuransi ini adalah kumpul sejumlah orang
yang memiliki resiko bahaya serupa. Kemudian mereka mengumpulkan sejumlah
uang secara berserikat. Sejumlah uang ini dikhususkan untuk kompensasi kepada
orang yang tertimpa kerugian.
16) Menjual barang bukan miliknya:
Islam telah melarang umat berjualan yang bukan miliknya. Hakim bin Hizam
berkisah, “Aku berkonsultasi pada Rasulullah tentang seseorang yang mengajukan
pembelian barang yang tidak aku miliki (stok), kemudian aku membelinya dari
pasar. Beliau bersabda, ‘jangan kau jual yang tidak kau miliki.’”234
234 Al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, vol. 3, h. 525.
63
Ibnu Qoyyim berkata, “Orang yang menjual barang bukan miliknya
termasuk dalam kategori pedagang garar yang kadang dapat barangnya dan
kadang tidak. Inilah alasan dikategorikan sebagai spekulasi dan gambling.
Dalam hal ini ada 2 spekulasi:
Pertama, pedagang tersebut membeli barang yang dimaksud dengan tujuan
menjualnya kembali agar mendapat profit, sambil bertawakal kepada Allah.
Kemungkinan kedua, pedagang itu bermain curang. Inilah yang diharamkan
syariat… Terlepas apakah ia membeli barang kemudian menurunkan harganya,
yang jelas Allah tidak dapat ditipu siapapun. Tidak dibenarkan berdagang seperti
ini, menjual yang bukan miliknya tergolong gambling dan spekulasi; karena
tujuannya adalah meraup keuntungan dari transaksi tersebut, sementara pelanggan
tidak tahu bahwa sang pedagang menjualnya sebelum membelinya. Mayoritas
orang tidak akan mau beli kalau prosesnya seperti ini, bahkan beralih ke penjual
pertama. Yang seperti ini bukanlah spekulasi bisnis, tapi spekulasi tergesa-gesa
menjual sebelum serah terima barang. Spekulasi bisnis yang dihalalkan adalah
dengan memiliki barang sepenuhnya, baru kemudian menjualnya.”235
Secara gamblang Islam telah melarang umat menjual yang bukan miliknya
karena serupa dengan transaksi garar tanpa kepastian barang diterima. Jika dapat
dipastikan barang dapat diserahterimakan, maka sah-sah saja sebagaimana
transaksi al-salam, dengan syarat:
Pembayaran kontan di muka,
Adanya kejelasan spesifikasi barang,
Harganya jelas,
235 Ibnu Qoyyim al-Jauziyah, Zadul Maad fii Hadyi Khairil Ibad, Tahqiq Syuaib al-Aurnout,
Abdul Qadir al-Aurnout, Muassasah al-Risalah, Beirut, 1407H, vol. 5, h.274.
64
Jelas kapan dan dimana barang akan diterima, serta
Tidak adanya hal yang berpotensi pada gurur dan ketidakjelasan.
17) Menjual barang belum di tangan:
Islam telah melarang siapapun menjual barang sebelum dipastikan benda tersebut
berada di bawah kontrol dirinya, meskipun benda itu adalah miliknya. Abdullah
bin Umar meriwayatkan sabda Rasulullah, “Janganlah kalian menjual makanan
yang sudah kalian beli, sebelum diserahterimakan sepenuhnya.” Ibnu Umar
berkata, “Dulu, kami biasa membeli makanan dari kafilah-kafilah yang kami
temui, Beliau pun melarang kami menjualnya sebelum dibawa dari tempat
dibelinya.”236
Hakim bin Hizam pernah bertanya, “Wahai Rasulullah, aku membeli banyak
barang untuk dijual kembali. Apa saja yang halal dan haram aku lakukan?” Beliau
bersabda, “Jangan dijual sebelum jatuh ketanganmu sepenuhnya.”237
Zaid bin Tsabit meriwayatkan, bahwa Rasulullah melarang penjualan barang di
tempat pembeliannya, sampai dipindahkan ke tunggangannya.238
Konsekuensi hukum transaksi seperti ini sama seperti menjual barang yang
bukan milikinya, dengan pengecualian transaksi salam. Ketika meriwayatkan
hadits, “Janganlah kalian menjual makanan yang baru dibeli, sebelum berpindah
tangan sepenuhnya” Ibnu Abbas berkata, “Saya menganalogikan semua
komoditas sebagaimana makanan tersebut.”239
Alasan diharamkannya menjual barang yang belum diserahterimakan adalah
karena barang tersebut masih di bawah tanggung jawab penjual pertama selama
236 Muslim, Sahih Muslim, vol. 3, h. 1161. 237 Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, vol. 5, h. 227. 238 Al-Daruqutni, Sunan al-Daruqutni, Tahqiq Abdullah Hasyim al-Madani, Dar al-Mahasin,
Kairo, 1382H, vol. 3, h. 13. 239 al-Nawawi, Syarah al-Nawawi ala Sahih Muslim, vol. 1, h. 180.
65
belum dipindahkan. Kalau terjadi suatu, rusak misalnya, maka kerugian harus
ditanggung penjual pertama bukan penjual kedua. Sebaliknya, jika barang itu laku
terjual, penjual pertama tidak mendapat keuntungan sebagaimana jika rugi.
Karenanya, Rasulullah melarang penjualan berlaba yang tidak ada
pertanggungjawabannya. Sama halnya dengan seseorang membayar suatu barang
agar rekannya mau membeli barang miliknya, demi meraup keuntungan lebih
besar dengan kamuflase dua akad dalam satu transaksi yang juga bagian dari riba.
Mengenai menjual barang yang sebelum diserahterimakan ini, dengan cerdasnya
Ibnu Abbas menjelaskan, “Hakikatnya mereka menjual dirham (uang) dengan
dirham (uang), bukan makanan.240”241
Mengenai cara serah-terima barang tergantung jenis mobilitasnya; aktiva tetap
atau aktiva bergerak. Aktiva tidak bergerak dinyatakan telah diserahterimakan
dengan ditinggalnya oleh pemilik lama dan dimanfaatkan oleh pemilik baru
sebagaimana mestinya. Adapun serah-terima aktiva bergerak dengan dipenuhinya
pesanan, “Jika kalian menjual dengan satuan tertentu, maka takarlah sebelum
diserahterimakan.”242 Atau dengan berpindahnya ke tempat lain, jika barang
tersebut tidak memiliki satuan tertentu. Selain dua jenis barang ini, berlaku hukum
serah-terima yang disepakati.243
18) Menjual hutang dengan hutang:
Penjualan hutang ini dapat terjadi dalam beberapa kasus;
hutang dijual debitur,
hutang dijual nondebitur, atau
240 Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Tahqiq Muhammad Zahir bin Nasir al-Nasir, Dar Tawq al-
Najah, cetakan pertama, 1422H, vol 3, h. 68. 241 al-Asqalany, Fath al-Bari bi Syarhi Sahih al-Bukhari, vol. 4, h. 207. 242 Al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah, vol. 2, h. 75. 243 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, vol. 3, h. 183.
66
keduanya dapat menjual hutang secara tunai maupun kredit.
Menjual hutang dengan cara kredit dikenal dengan istilah bai al-kali dalam
syariat. Hukumnya haram, apakah penjualan itu dilakukan oleh debitur atau
selainnya, karena Nabi telah melarang penjualan al-kali bi l-kali.
Ibnu Qoyyim berkata, “al-Kali artinya tertunda yang belum ada di tangan,
ditukar dengan sesuatu yang juga belum ada di tangan. Ini seperti orang yang
melakukan akad salam untuk barang yang masih dalam tanggungan dengan
bayaran tertunda, sehingga keduannya tertunda. Jual beli semacam ini tidak boleh
dengan sepakat ulama. itulah bai al-kali bi l-kali.”244
Contoh penjualan hutang oleh debitur:
Seorang berkata, “Saya beli barang dagangan milikmu dengan harga satu
dinar dan serah terima dilakukan setelah satu bulan.”
Sseseorang membeli barang – secara kontan – yang akan diserahkan pada
waktu tertentu. Lalu ketika jatuh tempo, penjual tidak berhasil mendapatkan
barang yang sudah dipesan untuk menutupi utangnya, lantas ia berkata
kepada pembeli, “Juallah barang ini kepadaku dengan tambahan waktu.”
Lalu pembeli setuju untuk menjualnya, padahal belum pernah terjadi serah-
terima barang.245 Inilah mengapa akad seperti ini juga termasuk riba
berdasarkan kaidah, “Berikan saya kelonggaran waktu, saya akan
memberikan Anda tambahan barang.”
244 Ibnu Qoyyim al-Jauziyah, Ilam al-Muwaqqiin an Rabb al-Alamin, Tahqiq Taja Abd al-Rauf
Saad, Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyah, Kairo, vol. 2, h. 8. 245 Contoh lain: Tejo memesan komputer pada Basuki seharga 5 juta yang akan dikirim 2
bulan kemudian. Tejo membayar kontan sehingga Basuki berhutang untuk menyerahkan seperangkat komputer. Hingga tenggat waktu 2 bulan, Basuki belum mampu menyerahkan komputer tersebut. Basuki pun berkata pada Tejo, “Anggap saja komputer itu sudah ditangan sampean, sekarang saya beli kembali dengan harga lebih tinggi.” Akhirnya, Tejo sepakat untuk menjualnya.
67
Gambaran penjualan hutang oleh nondebitur: Seseorang berkata pada
rekannya, “Saya jual kepadamu barang dagangan milikku yang dipinjam oleh
fulan dengan harga sekian dan kamu bisa membayarnya kepadaku setelah satu
bulan.”
Asas diharamkannya menjual hutang dengan hutang adalah hadits sahih yang
melarang transaksi garar. Berdasarkan nash ini para ulama telah bersepakat
bahwa jual-beli hutang dengan hutang termasuk garar kebanyakan. Bukan hadits
bai al-kali bi al-kali sebagaimana yang dipahami sebagian orang, pasalnya hadits
tersebut dinyatakan dhaif dari segi sanadnya. Karenanya, menangguhkan
pelunasan dinyatakan bentuk dari bai al-kali bi al-kali menurut kesepakatan para
ulama akan keharamannya.
Ibnu Rusydi berkata, “Adapun kredit dinyatakan haram berdasarkan ijma dari 2
sisi; barang dan hutang. Maka, akad jual hutang dengan hutang pun dilarang.”246
Adapun menjual piutang secara tunai saat transaksi kepada debitur
diperbolehkan. Karena alasan utama dilarangnya menjual hutang dengan hutang
adalah tidak adanya kepastian serah-terima barang. Dalam hal ini, tidak
diperlukan adanya serah-terima dan yang dijual kreditor kepada hutang debitur
yang telah diterimanya. Misalnya:
Kreditor menjual piutangnya kepada debitur dengan sesuatu yang tidak sejenis
dengan piutangnya. Seketika itu gugurlah hutang itu dan debitur diharuskan
menyerahkan benda yang telah disepakati. Sebagaimana seseorang berhutang
1000 dinar, kemudian bersepakat bersama kreditor untuk barter barang tertentu
saat itu juga. Umar bin al-Khattab berkata, “Aku berkonsultasi kepada
Rasulullah, ‘Wahai Rasul, aku menjual beberapa unta di pasar Baqi dengan nilai
246 Ibnu Rusydi, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, Tahqiq Abd al-Halim
Muhammad Abd al-Halim, Dar al-Kutub al-Islamiyyah, Kairo, cet. 2, 1403H, 1983M, vol. 2, h. 157.
68
tukar dinar, tapi yang aku terima adalah pembayaran menggunakan dirham. Aku
juga menjual dengan nilai tukar dirham, tapi yang aku terima adalah pembayaran
menggunakan dinar.’ Belaiu bersabda, ‘Tidak mengapa jika engkau mengambil
keduanya dengan nilai harga yang sama di hari tersebut, selama kalian berdua
belum berpisah dan selama tidak ada sesuatu yang belum diserahterimakan.’”247
Sementara penjualan piutang secara tunai saat transaksi kepada nondebitur
diperbolehkan menurut kesepakatan ulama madzhab Maliki dengan syarat-syarat
khusus yang terperinci sebagai berikut:248
o Nondebitur (pembeli) membayarkan hutang debitur secara kontan agar
terhindar dari bai al-kali bi al-kali (hutang dengan hutang).
o Debitur berdomisili di wilayah pembeli hutang agar ia dapat memastikan
kondisi debitur, apakah dalam keadaan mampu atau tidak.
o Debitur mengakui hutangnya, sebalikanya jika ia mengingkari; maka tidak
dibenarkan menjual hutang tersebut meskipun telah diperjelas dengan
adanya bukti yang sah; demi menghindari konflik dan sengketa.
o Piutang tersebut dijual dengan sesuatu yang tidak sejenis dengannya, atau
dengan sesuatu yang sejenisnya dengan syarat; harus ada kesamaan dari segi
jumlah.249
o Piutang yang dijual tidak berupa uang dan dibeli dengan uang juga.
Meskipun jenis uang bebeda-beda, namun syarat ini diperlukan demi
keabsahan transaksi.
247 Al-Naisaburi, al-Mustadrak ala al-Sahihaini, vol. 2, h. 50. Hadits Sahih berdasarkan
metode Imam Muslim meskipun beliau tidak meriwayatkan. 248 Al-Dasuqi, Hasyiyatu al-Dasuqi ala Syarhi al-Kabir, vol. 3, h. 63, al-Mausuah al-Fiqhiyah,
vol. 21, h. 32, Dr. Hamid Hasan, Qabiliyah Tadawul Ashum al-Syirkat wa al-Muassasat al-Maliyah, waraqatu amalin muqaddimatin ila al-Mahad al-Islamiyah li l-buhuts wa al-Tadrib al-Tabi li l-bank al-Islamiyah li l-Tanmiyah bi Jiddah, fii nadwah al-Shinaiyah al-Maliayah al-Islamiyah bi l-Iskandariyah, Rajab 1421H = Oktober 2000M, h. 24-32.
249 Agar terhindar dari praktik ribawi.
69
o Piutang yang akan dijual adalah benda yang boleh diperdagangkan sebelum
diserahterimakan.
o Tidak adanya permusuhan antara pembeli hutang (nondebitur) dan debitur
atau kemungkinan yang dapat merugikan salah satu pihak.
Menjual piutang diperbolehkan jika semua syarat ini terpenuhi. Sebaliknya,
jika kurang satu syarat saja, maka haram menjualnya.
C. Menimbun Harta (Iktinaz)
Islam telah melarang praktik menimbun harta yang dapat melumpuhkan ekonomi
dan menutup ruang sirkulasi, manfaat serta hak orang lain di dalamnya. Tentu saja hal ini
secara langsung mempersempit daya transaksi masyarakat. Allah berfirman, “Kabar
gembira bagi orang-orang yang menimbun emas dan perak serta tidak menzakatkannya,
mereka akan mendapat adzab yang pedih; hari itu logam mulia mereka dipanaskan dalam
nerakan jahanam, lalu dituangkan pada kening, perut dan punggung mereka. Lalu
dikatakan, “Rasakan, ini harta-benda yang dulu kalian timbun.”250
Umar bin al-Khattab berkata, “Kelolalah harta anak-anak yatim, hingga tidak habis
dimakan zakat.”251
Karenanya Islam sangat mendorong sirkulasi dan investasi aset kekayaan agar
nantinya permbayaran zakat dapat diambil dari profit, bukan dari modal.
Pada kenyataannya, nilai suatu aset akan tetap terjaga saat disirkulasikan. Nilai ini
pun berpindah dari satu tangan ke tangan lain bersamaan dengan sirkulasi tersebut. Maka
manfaatnya pun dapat dinikmati setiap orang yang bersentuhan dengannya. Sementara
mengisolasinya dari peredaran, hanya akan berakibat pada hilangnya peran aset tersebut,
250 Al-Taubah: 34-35. 251 Malik bin Anas, al-Muatho, Tahqiq. Muhammad Fuad Abd al-Baqi, Dar Ihya al-Kutub al-
Arabiyah, Isa al-Bab al-Halabi dkk., 1951M, vol. 1, h. 251.
70
menghentikan manfaatnya, menafikan kebutuhan orang lain terhadapnya serta
menghambatnya berfungsi pada wilayah produktivitas yang dapat membuka banyak
kesempatan kerja dan lapangan menjeput rezeki bagi umat.
Sudah menjadi tugas seorang pengusahan muslim memutar aset kekayaan dan
menginvestasikannya untuk menggerakkan masyarakat berekonomi, dari sana iklim sosial
yang sejahtera dan nyaman akan tercipta. Dengan begitu tugasnya sebagai wakil Tuhan di
muka bumi dapat teraplikasikan. Sementara mereka yang menimbun harta di dunia, suatu
hari pasti hanya akan jadi warisan, tanpa membawa manfaat bagi dirinya, harta itu akan
dimintai pertanggungjawaban.
Saat menafsirkan ayat pertama surat al-Takatsur Rasulullah bersabda, “Manusia
berkata: ‘Hartaku! Hartaku!’ Ketahuilah manusia, hartamu adalah yang engkau makan lalu
habis, yang engkau kenakan lalu lapuk dan yang engkau sedekahkan lalu berbuah.”252
Diriwayatkan Al-Harits bin Suwaid, dari Abdullah: Rasulullah bertanya, “Siapa di
antara kalian yang lebih mencintai harta ahli warisnya daripada hartanya sendiri?” Kami
pun menjawab, “Tidak ada ya Rasul, tentu kali lebih cinta harta kami sendiri.” Beliau
bersabda, “Hartamu adalah yang telah engkau gunakan, dan harta ahli warismu adalah
yang masih kau simpan.”253
D. Royal, Boros dan Mewah
Jika sebelumnya Islam melarang praktik menimbun harta, saat bersamaan ia juga
melarang tindakan ekstrim yang berseberang dengannya, yaitu boros dan royal.
Maksud dari royal di sini adalah melampaui batas kesederhanaan dari yang
semestinya dikeluarkan. Sedangkan boros adalah mengeluarkan harta untuk sesuatu yang
tidak bermanfaat. Tentu saja dua hal itu dilarang karena tanpa disadari dapat menguras
252 Muslim, Sahih Muslim, vol. 4, h. 2273. 253 Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, vol. 5, h. 2366.
71
sumber daya individu maupun kelompok yang semestinya dijaga dengan baik dan dihemat.
Allah berfirman, “Makan dan mimumlah kalian tanpa beroyal-royal, karena Allah sangat
tidak menyukai perbuatan royal.”254, “Berikanlah hak-hak kerabat, orang miskin dan ibnu
sabil tanpa pemborosan. Ketahuilah para pemboros adalah saudaranya setan yang telah
kufur pada Allah.”255, “Janganlah kamu bersikap bakhil, jangan pula beroyal-royal,
karena kamu sendiri yang akan tercela dan menyesal.”256 Ayat terakhir ini menunjukkan
kesetaraan antara bakhil dan royal, yang sama-sama merupakan perbuatan buruk dan
tercela.257 Yang terbaik adalah sebagaimana yang wasiatkan Rasulullah, “Orang yang
berhemat tidak akan melarat”258
Pun Islam mengharamkan gaya hidup mewah yang kerap berlebihan dalam
menikmati hidup dan menilainya sebagai ketidakwajaran yang menjadi sebab
diturunkannya adzab dan kehancuran suatu bangsa. Allah berfirman, “Ketika hendak
membinasakan suatu negeri, terlebih dahulu kami perintahkan orang-orang yang hidup
mewah di dalamnya itu untuk mentaati Allah, sebaliknya mereka bermaksiat. Maka
pantaslah mereka mendapat adzab dan dihancurkan berkeping-keping.”259 “… dan
golongan kiri, siapakah golongan kiri tersebut? Mereka disiksa dalam angin yang sangat
dingin dan air yang sangat panas serta asap yang sangat hitam. Tiada kesejukan dan
kenyamanan di dalamnya. Karena mereka dahulu hidup dalam kemewahan.”260
E. Persaingan Tidak Sehat
Islam telah memberikan kebebasan sebesar-besarnya kepada para pengusaha untuk
mendapatkan keuntungan di pasar selama masih dalam bingkai syariah. Pada dasarnya,
254 Al-Araf: 31. 255 Al-Isra: 26-27. 256 Al-Isra: 29. 257 Al-Mawardi, Adab al-Dunya wa al-Din, h. 168. 258 Al-Thabarani, al-Mujam al-Kabir, vol. 1, h. 108. 259 Al-Isra: 16. 260 Al-Waqiah: 41-45.
72
agama ini tidak melakukan intervensi memaksakan harga tertentu untuk komoditas yang
beredar di pasar. Yang utama dalam transaksi di mata syariat adalah kebebasan dan
keabsahan yang disepakati dua pihak yang saling berbisnis. Dari sini, Islam melarang
segala bentuk kegiatan yang dapat membahayakan geliat bisnis di pasar, khususnya
kerugian yang dihadapi pemilik barang dan produsen. Allah berfirman, “Janganlah kalian
mengambil harta sesama kalian dengan cara yang terceala.”261
Karenanya, Islam mengharamkan sejumlah bisnis bermotif permintaan palsu atau
penawaran palsu yang dapat merugikan pasar dan mendzalimi masyarakat yang butuh
mendapatkan barang dengan mudah. Diantaranya:
a) Monopoli
Adalah membeli barang dan menimbunnya dari peredaran, kemudian menjualnya
saat harga melambung. Praktik monopoli ini telah dilarang dalam Islam karena adanya
indikasi kerakusan pelakuanya yang dapat mempersulit masyarakat, serta dapat membuka
peluang munculnya sekelompok orang bermental lintah darat yang berambisi meraup
keuntungan sebesar-besarnya tanpa didasari etika. Dari Ma’mar bin Abdillah, Rasulullah
bersabda, “Berdosalah orang yang memonopoli.”262
Dari Umar bin al-Khattab, Rasulullah bersabda, “Seorang importir akan dikaruniai
rezeki sementara orang yang memonopoli akan dilaknat.”263
Dari Ma’qil bin Yasar, Nabi bersabda, “Siapa yang mengintervensi harga suatu
barang untuk memberatkan kaum Muslimin, maka ia telah memberikan hak kepada Allah
untuk mendudukkannya di atas tulang yang terbuat dari api neraka pada hari kiamat.”264
Islam sangat merekomendasikan kemudahan dan harga yang sewajarnya. Ibnu
Mas’ud berkata, “Pengusaha manapun yang mengimpor barang ke dalam negeri kaum
261 Al-Baqarah: 188. 262 Muslim, Shahih Muslim, vol. 3, h. 1227. 263 Al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah, vol. 2, h. 728. 264 Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, vol. 5, h. 27.
73
muslimin dengan cara yang benar, kemudian ia menjualnya dengan harga yang berlaku
pada hari tersebut, maka di sisi Allah ia setingkat dengan para syuhada.”265
Dahulu, ada orang yang hidup sebelum abad ke-4 hijriah di provinsi Wasit yang
kerap menyuplai gandum dengan jumlah besar ke kota Basrah dikawal dengan surat yang
ditujukan kepada agennya yang berisi, “Juallah makanan ini di hari ia tiba di Basrah,
jangan ditunda hingga esok. Berikanlah toleransi dan harga karet.” Penjual gandum itu
berkata pada sang agen, “Jika engkau tunda penjualannya satu Jumat (pekan), engkau akan
mendapat keuntungan yang berlipat ganda.” Agen tersebut pun menunda penjualan selama
satu Jumat dan mendapat untung berlipat. Ia pun melaporkan hal itu pada penyuplai.
Penyuplai gandum pun membalas, “Sadarlah, kami sudah merasa puas dengan keuntungan
ringan selama agama kami selamat. Engkau sungguh telah merugikan kami. Setelah surat
ini engkau terima, bersedekahlah dengan uang hasil penjualan kepada fuqara di Basrah.
Bantu kami menghindari praktik monopoli.”266
b) Curang (Ghisy) dan Menipu (Tadlis)
Islam telah melarang kecurangan dan penipuan karena unsur dosa dan merugikan di
dalamnya, yang tentu saja dapat mengundang permusuhan dan kebencian. Hal tersebut
tidak dapat diterma oleh fitrah yang lurus dan jiwa yang suci. Nabi shallallahu alaihi wa
sallam pernah melintasi setumpuk makanan. Kemudian beliau memasukan tangan ke
dalamnya, ternyata jemari beliau menyentuh sesuatu yang basah. Beliau bertanya, “Apa
ini wahai pemilik makanan?” Dia menjawab, “Makanan itu tersiram hujan ya Rasulallah.”,
“Mengapa tidak diletakkan di atas yang lain, agar pembeli tahu? Bukan termasuk kaumku,
orang yang berbuat curang.”267
265 Al-Qurtubi, al-Jami Li Ahkami al-Quran al-Karim, vol. 19, h. 49. 266 Ibid,. 267 Muslim, Shahih Muslim, vol. 1, h. 99.
74
Curang sendiri artinya mengubah takaran dari timbangan yang semestinya, atau
mengurangi saat menjual dan menambah saat membeli. Allah berfirman,
“Sempurnakanlah takaran jika kalian menakar dan timbangan dengan adil dan jujur.”268
Sementara menipu, adalah bagian dari kecurangan. Sebagaimana yang pernah
berlangsung pada masyarakat Arab dulu. Beberapa hari sebelum menjual ternak di pasar,
ambing sapi, domba atau unta akan dibuat penuh agar terlihat susunya banyak oleh
pembelinya hingga tidak segan membeli dengan harga tinggi. Padahal ketika diperah,
hasilnya biasa-biasa saja. Praktik yang dinamakan al-tashriyah ini pun telah dilarang
Rasulullah. Dari Abu Hurairah, beliau bersabda, “Janganlah kalian menahan susu unta dan
kambing. Bagi siapa yang sudah terlanjur membelinya, dia diperbolehkan memutuskan
antara 2 pilihan setelah memerahnya: jika dia suka boleh mengambil susu itu, atau
mengembalikannya dan menukar dengan satu sha’ kurma.”269
Yang juga termasuk penipuan (tadlis) adalah najasy. Yakni persekongkolan
pedagang dengan seseorang yang seolah-olah juga pembeli, untuk menghasut pembeli lain
agar mau membeli dengan harga tinggi. Atau memberi tahu bahwa dia membeli banyak di
toko itu, untuk mendorong pembeli tersebut untuk percaya.270
Islam pun menentang praktik tipu daya semacam ini. Ibnu Umar berkata, “Nabi telah
melarang al-najasy.”271
Dari Ibnu Abi Aufa, “Pelaku najasy sama seperti pemakan riba dan pengkhianat.
Najasy adalah perbuatan haram. Nabi bersabda, ‘Tipu-menipu tempatnya di neraka, barang
268 Al-Isra: 35. 269 Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, vol. 2, h. 755. 270 Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani, Nail al-Authan Syarh Muntaqi al-Akhbar
min Ahadits Sayid al-Akhyar, Dar al-Hadits, Kairo, 1407H, 1986M, vol. 5, h. 166. 271 Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, vol. 2, h. 753.
75
siapa yang melaksanakan amalan tertentu tanpa ada perintah dari kami, maka amalnya
tertolak.’”272
Seseorang bercerita pada Rasulullah bahwa dirinya sering ditipu dalam bisnis. Beliau
bersabda, “Jika engkau berniaga, katakan: tidak boleh ada penipuan di antara kita.”273
Perbedaan mendasar antara curang (ghisy) dan penipuan (tadlis): al-Ghisy biasanya
berhubungan dengan kondisi yang tampak dari komoditas saat dipasarkan, misalnya;
mencampur susu dengan air sebelum dijual. Atau penampakan setelah terjadinya transaksi,
misalnya; seseorang membeli kurma kwalitas bagus, ternyata yang dibungkuskan oleh
penjual adalah kurma yang buruk atau campuran. Adapun tadlis adalah keseluruhan
penipuan yang dilakukan dalam pemasaran.
c) Inah
Adalah menjual barang secara kredit, kemudian dibeli kembali (buy back) secara
tunai dengan harga di bawah penjualan pertama. Transaksi semacam ini adalah celah
terjadinya penipuan yang dapat merugikan pasar. Wajar jika Islam mengharamkan praktik
tersebut. Dari Ibnu Umar, Rasulullah bersabda, “Saat manusia telah kikir terhadap dinar
dan dirham, dan berbisnis dengan inah, serta sibuk dengan dunia, lalu mereka
meninggalkan jihad fi sabilillah, niscaya Allah akan turunkan bencana kepada mereka
yang tidak akan hilang sampai mereka kembali pada agama.”274
d) Mencegat Pedagang dan Menjual Untuk Orang Desa
Maksud dari Islam melarang mencegat pedagang di sini adalah dilarang membeli
dari siapapun yang membawa barang dagangan dari suatu daerah atau negara ke daerah
lain sebelum rombongan barang tersebut masuk ke pasar dan mengetahui harga yang
berlaku di pasar. Karena hal ini dapat merusak persaingan bisnis, merugikan konsumen
272 Ibid,. 273 Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, vol. 2, h. 742. 274 Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, vol. 2, h. 28.
76
yang semestinya mendapat harga lebih murah, merugikan penjual yang berhak mengetahui
hilai suatu barang. Dari Abdullah bin Umar, “Rasulullah telah melarang mencegat barang
sebelum masuk pasar.”275
Dari Ibnu Abbasa, Rasulu bersabda: “Jangan cegat rombongan pedagang.”276
Adapun menjual untuk orang desa maksudnya, penduduk kota setempat mendatangi
orang desa yang sedang berdagang di kota untuk memborong dengan harga hari itu
dengan berkata, “Biarkan saya beli, untuk dijual kembali dengan harga lebih tinggi.” Islam
melarang hal ini karena adanya kerugian yang ditimbulkan. Dari Ibnu Abbas, Rasulullah
bersabda: “Penduduk setempat dilarang menjualkan dagangan untuk orang desa.” Ibnu
Abbas pun menjelaskan maksud hadits ini, “tidak menjadi pialang untuknya.”277
Dari Jabir, Rasulullah bersabda: “Orang kota dilarang menjualkan untuk orang desa,
biarkan Allah memberikan rezeki sebagian manusia atas sebagian yang lain.”278
Anas berkata, “Rasulullah melarang kami untuk menjualkan milik orang desa,
meskipun dia saudara ataupun ayah kami.”279
e) Menawarkan Di Bawah Pedagang dan Menawar Di Atas Pembeli
Islam telah melarang tawar-menawar setelah adanya kesepakatan, contohnya:
Menawarkan di bawah harga pedagang; Ada 2 orang yang telah bersepakat
dalam transaksi barang tertentu dengan harga tertentu. Kemudian datang
orang ketiga menawarkan barang kepada pembeli (pihak ke-2) bahwa dia
menjual barang serupa dengan harga yang lebih rendah dari pedagang (pihak
pertama). Maka, pembeli pun membatalkan akad pertama.
275 Ibnu Hibban, Sahih Ibnu Hibban, vol. 11, 334. 276 Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, vol. 2, h. 757. 277 Ibid,. 278 Al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, vol. 3, h. 526. Disahihkan oleh Abu Isa. 279 Muslim, Shahih Muslim, vol. 3, h. 1258.
77
Menawar di atas harga pembeli; Saat seorang konsumen hampir selesai
membeli suatu barang dari seorang pedagang, datang orang ketiga meminta
barang tersebut dengan tawaran harga lebih tinggi. Karena melihat
keuntungan yang menggiurkan, pedagang itu pun membatalkan akadnya.
Dua penawaran di atas dilarang setelah adanya kesepakatan harga dan kepercayaan
satu pihak kepada yang lain.280 Abu Hurairah berkata, ”Rasulullah telah melarang
penduduk setempat menjualkan barang komuter, berdagang dengan bersekongkol dan
menawar di atas transaksi orang lain.”281
Dari Abdullah bin Umar, Rasulullah bersabda: “Janganlah kalian menjual di atas
transaksi saudaranya.”282
“Janganlah seseorang menawar di atas akad saudaranya.”283
280 Lih. Al-Syaukani, Nail al-Authon, vol. 5, h. 205. 281 Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, vol. 2, h. 752. 282 Ibid,. 283 Al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, vol. 3, h. 587.
78
Bab 4. Standar Kemajuan Pengusaha Muslim
Islam memiliki visi tersendiri mengenai kemajuan dari sudut pandang
kepemimpinan, gagasan serta hubungannya dengan manusia, alam dan Allah Tuhan jagat
raya. Kemajuan menurut Islam adalah terwujudnya kemakmuran; terbebas dari kelaparan
dan ketakutan. “Karena kebiasaan orang Quraisy: Mereka terbiasa mengadakan
perjalanan bisnis di musim panas dan dingin. Patutlah mereka menyembah Allah pemilik
Ka’bah. Dia lah yang telah memberikan mereka makan dan keamanan.”284 Allah
berfirman, “Bukanakan telah kami kokohkan kota mereka dengan keamanan dan impor
segala macam buah-buahan…”285
Dalam aplikasinya, Islam menginginkan kemajuan berbanding lurus dengan
meningkatnya taraf hidup setiap individu. Allah berfirman, “Sungguh Kami akan berikan
kehidupan yang sejahtera bagi siapa saja yang berbuat baik, laki-laki maupun perempuan
yang beriman. Mereka akan diberikan ganjaran yang lebih dari apa yang telah mereka
perbuat.”286 Kehidupan yang dicanangkan Islam adalah hidup yang kondusif untuk
spiritual dan fisik; kental dengan semangat persaudaraan, solidaritas, serta kasih sayang;
menjamin tegaknya keamanan dan keadilan; bebas dari momok kelaparan, ketakutan, dan
dendam; meratanya kekayaan tanpa adanya kesenjangan sosial karena dikuasai segelintir
orang. Kehidupan yang dapat mengeluarkan orang-orang Islam dari berkeja di bawah
naungan orang kafir dan menjadikan mereka mandiri secara ekonomi.
Allah telah memberikan segala yang ada di alam untuk mempermudah manusia
meningkatkan dan menginvestasikan hartanya kepada hal yang bermanfaat bagi sesama.
Al-Quran telah meninggung soal sumber daya dan mendorong kita untu
284 Al-Quraisy: 1-4. 285 Al-Qashas: 57. 286 Al-Nahl: 97.
79
mengeksplorasinya. Allah berfirman, “Allah telah memudahkan bumi untukmu, maka
berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya. Hanya
kepada Allah lah kamu dibangkitkan.”287
Azza wa Jalla berfirman, “Berkat rahmat dan kasih sayang Allah, semua yang ada di
langit dan di bumi dapat tunduk kepada kalian. Inilah bukti keagungan Allah bagi orang
yang berpikir.”288
“Allah telah menciptakan banyak langit dan bumi. Dari satu langitnya Dia
menurunkan hujan yang dapat menumbuhkan buah-buahan untuk kalian makan;
menundukkan kapal untuk berlayar di lautan dengan perintahnya; menjinakkan sungai-
sungai; melunakkan matahari dan bulan yang selalu beredar; serta mengatur malam dan
siang. Lalu kami berikan segala yang kalian minta. Jika kalian hitung banyaknya nikmat
Allah, pasti tidak akan ada habisnya. Sayangnya manusia terlalu dzalim karena
mengingkari semua nikmat Allah.”289
“Tidakkah kamu melihat bahwa Allah menurunkan hujan hingga menumbuhkan
bebuahan yang beraneka warna; di antara banyaknya gunung ada alur-alur berwarna
merah, putih beraneka warna hingga hitam pekat; begitu pula manusa, satwa dan hewan
ternak berbagai macam jenisnya. Hanya manusa berilmu yang memiliki rasa takut kepada
Allah.”290
“Telah Aku ciptakan hewan ternak bersama manfaatnya; kulitnya dapat dikenakan
sebagai pakaian penghangat, ia dapat ditunggangi, dan dikonsumsi. Dari atas unta kalian
dapat melihat pemandangan yang menyejukkan mata saat memasukannya ke kandang di
sore hari dan saat melepasnya di pagi hari. Di atasnya kalian dapat membawa beban
berat dengan mudah sampai ke suatu negeri yang jauh dan sulit ditempuh, itu karena
287 Al-Mulk: 15. 288 Al-Jatsiyah: 13. 289 Ibrahim: 32-34. 290 Fatir: 27-28.
80
Allah Maha Pemurah lagi Maha Pengasih. Juga, Dia menjadikan kuda, bigal dan keledai
sebagai kendaraan dan perhiasan hidup, pun Dia menciptakan segala yang tidak kalian
ketahui. Maka hanya Allah lah yang dapat menunjukan jalan yang lurus di antara jalan
yang bengkok. Jikalau Dia menghendaki, tentulah Allah akan mengarahkan kalian kepada
jalan yang benar.”291
Allah berfirman, “Telah kami turunkan besi – dari langit – yang mengandung
kekuatan besar dan berbagai manfaat bagi manusia.”292
Rasulullah bersabda, “Seandainya hari kiamat telah tiba, sementara di tangan kalian
ada benih tumbuhan, maka tanamlah selama kalian sempat melakukannya.”293
Khalifah Ali bin Abi Thalib pernah menulis surat kepada gubernurnya di Mesir yang
berisi, “Hendaklah visimu dalam mengelola bumi lebih luas dari sekadar menarik upeti.
Karena upeti tidak akan mampu memenuhi pengeluaran tanpa adanya pengelolaan bumi.
Menarik upeti tanpa pengelolaan bumi hanya akan menghancurkan negara dan membunuh
warga.”294
Islam sangat gencar menanamkan standar kemajuan kepada para pengusaha muslim,
terkait perlindungan dan pertumbuhan kekayaan serta kemakmuran masyarakat
sebagaimana poin berikut:
291 Al-Nahl: 5-9. 292 Al-Hadid: 25. 293 Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, vol. 3, h. 191. 294 Lih. Abhats Nadwah Isham al-Fikri al-Islami fii al-Iqtishad al-Maashir, Markaz Shalih Kamil
bi Jamiati al-Azhar, al-Mahad al-Alami li al-Fikri al-Islami, 1401H = 1981M, h. 396.
81
Pertama: Perlindungan Terhadap Harta dan
Pertumbuhannya
Islam telah mendeskripsikan urgensi investasi dan sirkulasi harta demi perlindungan
dan pertumbuhannya, bahkan agar tidak habis dimakan zakat. Bahkan Islam memasukan
hal ini sebagai bagian dari 5 hal yang mendapat perhatian syariat yang menjadi fokus
aplikatif dari ibadah, yakni: nyawa, akal, agama, kehormatan dan harta. Demikianlan misi
yang harus diemban seorang pengusaha muslim dalam setiap langkah investasinya dengan
cara:
1. Melakukan yang Terbaik
Ajaran Islam mendorong para pelaku bisnis untuk mengelola sumber daya alam yang
telah Allah sediakan sebaik mungkin, memanfaatkannya dengan optimal, meningkatkan
hasil produksi dan sumber daya manusianya. Bersamaan dengan semangat meningkatkan
keahlian kerja dan berinovasi dengah hal-hal baru yang positif. Juga, selalu memperhatikan
faktor yang dapat berpengaruh pada kualitas dan mutu. Tentu saja demi memenuhi
kebutuhan setiap individu dan masyarakat, dikatakan dalam hadits, “Allah mencintai
pekerjaan yang dilakukan oleh tenaga ahli.”295
Rasulullah bersabda, “Allah mewajibkan kamu bebuat sebaik mungkin terhadap
segala sesuatu.”296
2. Menjauhkan Anak-anak
Pertama, tidak memberikan wewenang pada anak-anak dalam mengelola harta. Allah
berfirman: “Jangan serahkan harta yang telah Allah jadikan sebagai penyokong hidup
kepada anak-anak karena masih belum sempurna akalnya.”297
295 Abu Yala, Musnad Abu Yala, vol. 7, h. h. 349. 296 Muslim, Sahih Muslim, vol. 3, h. 1458.
82
Kedua, selektif dalam memilih rekan kerja, spekulan, tenaga ahli dan terampil, dan
tentu saja berakhlak baik. Allah berfirman, “Wahai ayahku, pekerjakanlan dia karena
orang itu tekun lagi amanah.”298
Islam menuntut kita untuk benar-benar teliti saat memilih orang yang akan berurusan
dan harta, baik itu orang yang mengumpulkan, mengeluarkan, menginvestasikan, atau
mengelolanya dalam bentuk apapun. Dengan begitu, ilmu manajemen ekonomi dapat
terwujud dengan manifestasi manfaat secara khusus dan umum dalam konteks
keseimbangan pembiayayaan yang benar. Dalam waktu bersamaan, harta itu tidak
disembunyikan hingga tidak dapat dirasakan manfaatnya.
Kedua, Tunduk Terhadap Prioritas Islam
Islam adalah agama yang mengikat pertumbuhan ekonomi dengan pertumbuhan
sosial, seolah-olah dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Karenanya ia mewajibkan
setiap pengusaha untuk menyokong kebutuhan pokok masyarakat dalam geliat bisnisnya
yang tentu saja dapat mengantarkan pada harapan semua masyarkat dan manifestasi
kesejahteraan serta kemudahan hidup untuk diri dan negerinya.
Dia dituntut untuk mengarahkan bisnisnya pada kebutuhan yang telah Islam susun:
primer, skunder, tersier. Primer maksudnya, kebutuhan vital dalam menjalani hidup dan
beragama, seperti: nyawa, akal, agama, kehormatan, dan harta. Adapun susunannya,
sebagaimana berikut:
1. Terjaminnya keamanan bagi warga saat melindungi diri, kehormatan dan harta.
Dalam hal ini pemerintah atau bahkan kaum muslimin dituntut mnyelenggarakan
297 Al-Nisa: 5. 298 Al-Qashah: 26.
83
berbagai bentuk pelayanan masyarakat tersebut, termasuk terciptanya sumber-
sumber pendapatan untuk menyokong poin pertama ini.
2. Menyediakan fasilitas utama penunjang kesehatan masyarakat.
3. Meningkatkan kesejahteraan pangan dan sandang.
Terkait 3 poin kebutuhan pokok di atas, Rasulullah pun telah memberikan isyarat
“Siapa yang bagun pagi dalam kondisi lingkungannya aman, badannya sehat dan
memiliki makanan untuk hati itu, patutlah dia bersyukur bahwa dunia adalah
tempat yang nyaman untuk dirinya.”299
4. Publikasi ilmu dunia dan agama.
5. Memfasilitasi kebutuhan tempat tinggal.
Penetapan batas minimum berupa 5 kebutuhan primer di atas adalah hal yang wajib,
bukan sekedar boleh. Adapun sekunder, dianggap sebagai nilai tambah sebagaimana
sunnah muakad. Sementara tersier adalah pelengkap yang sebaiknya dapat terealisasikan
sesuai kebutuhan.
Islam sangat menginginkan terpenuhinya kebutuhan hidup masyarakat dengan
standar setiap individu berkecukupan tanpa bergantung pada orang lain. Inilah makna
berkecukupan bukan bertahan hidup. Bertahan hidup didefinisikan sebagai usaha
memenuhi kebutuhan hidup primer oleh seseorang atau keluarga dengan standar di bawah
garis kemiskinan. Sebagaimana figur yang ditampakkan oleh orang yang rendah hati pada
kesejahteraan ekonomi. Adapun Islam, mengajak pada semangat kemajuan untuk
meningkatkan taraf hidup manusia dan memperbaikinya secara sistematis. Dengan cara
memberdayakan setiap individu hingga mampu menafkahi dirinya dan orang lain yang
membutuhkan hingga dikenal di lingkungannya sebagai orang yang mapan.
299 Al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, vol. 4, h. 547. Hadits sahih menurut Abu Isa.
84
Inilah beban yang harus dipikul oleh pelaku bisnis, menyediakan berbagai macam
sektor ekonomi yang mampu memenuhi kebutuhan primer masyarakat. Artinya,
terbukanya sektor industri, pertanian, perdagangan dan pelayang adalah syarat tercapainya
kesejahteraan dan kemandirian ekonomi masyarakat.
Islam telah memberikan cetak biru untuk mewujudkan cita-cita mualia di atas selama
para pelaku bisnis mau mematuhi prioritas baku yang telah ditentukannya serta mau
berkontribusi untuk kemajuan ekonomi dan sosial masyarakat yang dibuktikan dengan
komitmen mengarahkan seluruh aset-asetnya untuk bisnis, pembiayaan usaha
perekonomian primer masyarakat secara merata di berbagai wilayah dan daerah.
Keikutsertaan modal pokok adalah salah satu faktor pendukung produksi sebagaimana
faktor-faktor lain yang menargetkan hasil produksi bukan sekadar demi meraup
keuntukungan lebih besar.
Ketiga, Komit Terhadap Prinsip Ajaran Islam
dalam Transaksi
Islam memiliki banyak prinsip yang tidak boleh dilanggar dalam bertransaksi, di
antaranya:
1. Hukum asal semua transaksi adalah halal
Semua transaksi dan akad jual-beli asalnya diperbolehkan selama tidak ada dalil
shahih yang mengharamkannya.300 Sebaliknya, hukum asal semua ibadah adalah haram
300 Selengkapnya baca Dr. Yusuf al-Qardhawi, al-Halal wa al-Haram fii al-Islam, Maktabah
Wahbah, Kairo, cet-16, 1405 = 1985M, h. 19-22.
85
kecuali ada dalil yang memperbolehkannya agar tidak ada manusia yang membuat syariat
tanpa perintah Allah.”301
Hukum asal transaksi tidaklah haram dan tanpa batasan selama tidak bertentangan
dengan syariat, bab ini pun masih terbuka lebar untuk pembahasan lain terkait budaya.
Menurut prinsip dasar syariat, adat dan budaya dapat dijadikan hukum yang dapat
diberlakukan selama tidak bertentangan dengan dalil syarak. Inilah dasar pengembangan
yang mestinya dilakukan para pengusaha dalam transaksi mereka sesuai hukum fiqih
realitas selama terdapat maslahat terbaik untuk manusia dan tidak bertentangan dengan
dalil al-Quran dan al-Hadits.
2. Tidak berbahaya dan membahayakan
Islam telah melarang campur aduk bahaya dengan selainnya dan menebar kerusakan.
Dari Ibnu Abbas, Rasulullah bersabda: “Tidak boleh ada bahaya dan yang
membahayakan.”302
Erat kaitannya dengan prinsip ini, seorang pengusaha dituntut untuk menimbang
antara maslahat dirinya dan masyarakat luas saat menginvestasikan hartanya. Sementara,
syariat Islam memandang aktifitas manusia bernilai ekonomi jika terdapat adanya tukar-
menukar manfaat, dengan syarat adanya profit yang bebas dari bahaya. Maka pelaku bisnis
harus berpihak kepada masyarakat dan melaksanakan kewajiban mendayagunakan
hartanya hanya dalam lingkup hal yang bermanfaat, serta tidak membatasi diri dalam
kondisi apapun selama ada kemaslahatan manusia.
301 Ibnu Qoyyim al-Jauziyah, Ilam al-Muaqqiin an Rabb al-Alamiin, Tahqiq Taha Abd al-Rauf
Saad, Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyah, Hasani Muhammad, Kairo, tanpa tahun terbit, vol. 1, h. 385.
302 Al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah, vol. 2, h. 724.
86
3. Kerja maksimal
Islam mengkaitkan proses mencari nafkah dengan bersungguh-sungguh. Setiap usaha
harus maksimal dan setiap kesungguhan harus dibarengi usaha. Berdasarkan konsep ini,
seorang pelaku bisnis akan sadar adanya kaitan antara alokasi modal pokok dan
penanganan resiko ketika dikelola dan diperdagangkan. Setiap kali tingkat perputaran
modal meningkat, bertambah pula resiko, selanjutnya bertambah keuntungan. Sebaliknya,
setiap kali tingkat perputaran modal menurun, berkurang pula resiko bersamaan dengan itu
keuntungan juga menurun. Hubungan ini telah disinggung Ibnu Khaldun secara tajam
dalam buku Muqaddimahnya, “Seorang pedagang dapat meraih keuntungan yang lebih
besar saat komoditasnya diimpor dari wilayah yang jauh atau beresiko tinggi selama
perjalanan. Karena saat itu komoditas yang dimaksud mengalami kelangkaan atau rawan
resiko. Akibatnya, nilai barang melambung dan harganya pun melonjak secara otomatis.
Sebaliknya yang terjadi jika jarak pengiriman barang terlalu dekat dan mudah, yang
menyuplai pun banyak, secara otomatis harganya akan menurun.”303
4. Profit berbanding lurus dengan modal
Para ulama fiqih telah mengintisarikan sebuah prinsip yang menjadi acuan dasar
investor muslim yang terlahir dari sabda Rasulullah, “Laba adalah imbalan dari resiko.”304
Artinya, orang yang menanggung resiko kerugian atau sebagainya adalah orang yang
berhak mendapat keuntungan.
Tidak dibenarkan seseorang mendapatkan laba namun tidak menanggung kerugian
saat resiko itu terjadi. Pemilik modal adalah orang yang paling berhak mendapat profit saat
perniagaanya laris dan menguntungkan, dan dia pula yang paling pantas menerima
kerugian saat terjadi resesi dan stagnasi.
303 Abd al-Rahman bin Khaldun al-Magribi, Muqaddimah Ibnu Khaldun, Dar Ibn Khaldun,
Alexandria, h. 278. 304 Al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah, vol. 2, h. 754.
87
Al-Kasani mengatakan, “Profit berhak dimiliki atas dasar harta maupun usaha.
Alasannya, modal pokok adalah cikal-bakal tumbuhnya profit, hal ini dibenarkan
berdasarkan transaksi mudarabah. Begitu pula orang yang ikut andil mengelola modal
tersebut dengan usaha dan kerja kerasnya, berhak atas profit. Adapun jika pengelola harus
menanggung dan menjamin keutuhan modal, maka profit hanya boleh dinikmati pengelola
seutuhnya, karena profit tersebut menjadi imbalan atas jaminan.”305
5. Profit adalah preservasi modal
Salah satu tujuan yang mendasari praktik investasi dalam Islam adalah meraih
keuntungan yang dilakukan demi menjaga keutuhan modal, baru kemudian
engembangkannya. Tanpa adanya profit, lambat laun modal pokok akan mengalami erosi,
kemudian pailit.
Karenanya, ada prinsip fiqih terkenal yang berbunyi: Profit adalah pemelihara modal,
pailit erat kaitannya dengan modal, dan pembiayaan erat kaitannya dengan profit.
Pantas, dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa ketidakjelasan lama dalam akad
perseroan dapat merusak akad itu sendiri. Maka, siapa saja yang berkecimpung dalam
korporasi ataupun mudarabah dengan menanamkan hartanya, mereka wajib memberikan
kejelasan porsi dan pembagian keuntungan antar kedua belah pihak. Hendaknya teori ini
digunakan sebagai acuan umum dan tidak terbatas pada bilangan tertentu, misalnya: setiap
mitra mendapat bagian seperseratus, atau pecahan ½, 1/3 dsb. tergantung rezeki yang Allah
karuniakan. Hendaklah pembagian keuntungan sesuai kesepakatan dua belah pihak, baik
secara merata maupun deferensial. Adapun kerugian materil, ditanggung oleh pemilik
modal sesuai alokasi dana yang diberikan antar mitra korporasi, selama kerugian
disebabkan oleh faktor eksternal. Sebaliknya, jika kerugian disebabkan kelalaian pengelola
305 Alau al-Din Abu Bakar bin Mas;ud bin Ahmad al-Kasani, Badai al-Shanai fii Tartibi al-
Syarai, al-Nasyir Zakariya Ali Hasan, Kaifro, vol. 7, hal. 3545.
88
modal atau pelanggaran yang dilakukannya terhadap prasyarat kesepakatan, maka
pengelola modal yang harus menanggungnya sendiri senilai dana yang ia telah terima
dalam perkongsiannya.
6. Praduga Tak Bersalah
Pada dasarnya, setiap individu terbebas atas segala dakwaan, serta tidak boleh
dituntut atas segala kewajiban sebelum adanya bukti nyata. Gugatan tanpa adanya
perangkat hukum yang didukung argumen yang tepat saja, tidak cukup. Karena itu semua
harus dapat meyakinkan hingga melunturkan keyakinan tak bersalah di atas menggunakan
bukti dan fakta. Keyakinan hanya dapat diganti dengan keyakinan lain.
Siapapun yang menggugat orang lain karena hutang tanpa adanya bukti keterangan,
maka klaimnya ditolak. Alasannya, penggugat membebankan kewajiban kepada orang
tersebut, sedangkan pada dasarnya manusia tidak memiliki hutang. Maka penggugat telah
bertentangan dengan kaidah dasar, karenanya ia harus menghadirkan bukti.
Termasuk dalam prinsip ini, kaidah “penggugat harus menghadirkan bukti dan yang
tergugat harus bersumpah jika ia menyangkal”. Siapa saja yang ingin gugatannya diterima,
harus membuktikan dakwaannya, dan pihak tergugat harus bersumpah jika ingin terbebas
dari gugatan tersebut.
7. Niat bagian dari bisnis
Maksudnya adalah nilai dari kesepakatan bukanlah yang tersurat, melainkan tujuan
sebenarnya yang tersirat dalam hati kedua belah pihak. Jika ada perbedaan antara hitam di
atas putih dan niat, maka yang dinilai dihadapan Allah adalah niat.
Ibnu Qoyyim mengatakan, “Ada banyak dalil syariat yang menyatakan bahwa tujuan
dalam akad memiliki nilai tersendiri yang berpengaruh terhadap sah atau tidaknya
kesepakatan serta halal-haramnya. Lebih dari itu, dapat mempengaruhi proses
89
pelaksanaanya. Contohnya, menyembelih hewan adalah perbuatan halal untuk tujuan
konsumsi, tapi haram hukumnya jika untuk dikurbankan kepada selain Allah … Rasulullah
bersabda, “Pekerjaan apapun haruslah dibarengi niat, dan setiap orang akan menuai
niatnya.”306
Pada penggalan kalimat pertama dijelaskan bahwa setiap pekerjaan pasti dilakukan
bersama niat. Kemudian penggalan kedua menerangkan bahwa pelakunya akan
mendapatkan apa yang ia niatkan. Secara umum hadits ini berlaku untuk ibadah, transaksi
bisnis, sumpah, nazar, dan seluruh kesepakatan serta pekerjaan. Orang yang berniat
melakukan riba dengan cara berdagang, maka ia mendapat dosa riba. Kemasan
perdagangan tidak akan mampun menyelamatkannya dari adzab Allah. Orang yang berniat
melakukan akad nikah al-tahlil secara otomatis menjadi seorang muhallil yang tidak dapat
dibenarkan meskipun dengan akad nikah yang benar menurut syariat.
8. Segala yang mengarahkan pada keharaman,
adalah haram
Saat mengharamkan sesuatu, Allah menyegelnya dengan larangan yang menutup
semua celah yang menuju ke sana. Maka, media perbuatan haram adalah haram sebagai
langkah preventif. Dosa perbuatan dosa pun tidak terbatas pada pelakunya saja, tapi setiap
orang yang campur tangan di dalamnya. Dalam kasus riba Rasulullah melaknat orang yang
meberikannya, menerimanya, notarisnya dan dua saksinya. Dalam kasus arak anggur
Beliau melaknat buruh perasnya, kurir, penadah serta penjualnya. Setiap orang yang
berperan menyukseskan agenda haram mendapat dosa yang sama.
306 Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, vol. 1, h. 3.
90
9. Manipulasi hal haram adalah haram
Jika sebelumnya agama Islam telah melarang segala media yang nyata mengarahkan
pada perbuatan haram. Islam pun tegas menutup celah muslihat tak tampak yang mengarah
kepada perbuatan setan. Dalam hal ini, memberikan nama lain untuk hal yang haram dan
mengganti kemasannya tanpa mengubah esensinya tidak akan dapat menjadikannya halal.
Memanipulasi hal haram adalah kebiasaan orang yahudi, Rasul bersabda: “Janganlah
kalian mengerjakan kebiasaan yahudi, yakni menghalalkan yang telah Allah haramkan
dengan tipu muslihat rendahan.”
Beliau pun telah mengabarkan bahwa akan ada zaman manusia menghalalkan riba
dengan istilah jual-beli.307 Padahal sekali riba tetap riba, tidak akan berubah meskipun
diganti dengan istilah imbalan, bunga ataupun bisnis. Dalam hal ini Ibnu Qoyyim al-Jauzi
berkata, “Kerusakan besar yang terdapat dalam riba tidak dapat dihilangkan dengan
mengganti naman ‘riba’ menjadi ‘transaksi’ ataupun mengubah wujudnya menjadi bentuk
lain.”308
10. Niat yang tulus tidak dapat menghalalkan yang
haram
Yang haram akan tetap haram meskipun dikerjakan dengan niat yang ikhlas dan
tujuan yang mulia. Karena Islam ingin menjaga kemurnian cita-cita yang dibarengi usaha
nyata. Tujuan tidak dapat menghalalkan cara karena tujuan haruslah tulus dikerjakan
dengan cara yang benar. Diriwayatkan Abu Hurairah, Rasulullah bersabda: “Hai sekalian
manusia, Allah Maha Baik dan hanya mencintai yang baik. Dia memerintahkan orang-
orang beriman sebagaimana orang-orang berislam diperintahkan. Dia berfirman; ‘Hai
sekalian para rasul, konsumsilah makanan yang baik dan beramal shalihlah, sungguh Aku
307 Qoyyim al-Jauzy, Ighatsatu al-Lahfan min Mashaidi al-Syayatin, Dar al-Marifat, Beirut,
Fashlun fi Thaifati Tastahillu al-Riba. 308 Ibid, Fashlun fii Makidati al-Hiyal wa al-Makar.
91
mengetahui segala yang kalian kerjakan.’ Dia berfirman; ‘Hai orang-orang beriman,
makanlah sebagian rezeki Kami yang baik.’ Ada seorang laki-laki melakukan perjalanan
dengan kaki penuh debu menengadahkan tangannya ‘ya rabb, ya rabb’ sementara
makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia dibesarkan dengan
yang haram, bagaimana mungkin doanya dikabulkan.”309
Abu Hurairah meriwayatkan, Rasulullah bersabda: “Siapa yang mengumpulkan harta
haram, kemudian bersedekah dengannya, ia tidak akan mendapat pahala darinya,
sementara dosanya tetap menjadi tanggungannya.”310
Tidak dibenarkan seorang pengusaha muslim berpenghasilan dari yang haram seperti
riba dsb, kemudian menggunakannya untuk menafkahi keluarga, membangun masjid,
kegiatan sosial, melaksanakan haji serta umrah, karena amalnya tidak akan Allah terima.
11. Menghindari syubhat demi menjaga
kehormatan diri dan agama
Di antara sifat wara adalah seorang muslim menghindari harta syubhat agar tidak
terjerumus dalam hal haram, manifestasi dari upaya preventif yang didasari sabda
Rasulullah, “Yang halal itu jelas, dan yang haram itu jelas, di antara keduanya ada syubhat
yang tidak diketahui banyak orang. Siapa yang menghindari syubhat, ia telah menjaga
agama dan kehormatannya. Siapa yang terjerembab dalam hal syubhat, sebenarnya ia telah
terjerumus dalam hal haram. Sebagaimana penggembala yang meruput di sekeliling
wilayah terlarang, ia rawan memasukinya. Ketahuilah, setiap raja memiliki wilayah
terlarang dan wilayah itu bagi Allah adalah semua yang telah diharamkan-Nya. Ketahuilah,
309 Muslim, Sahih Muslim, vol. 2, h. 703. 310 Ibnu Hibban, Sunan Ibnu Hibban, vol. 8, h. 153.
92
dalam tubuh ada segumpal daging yang jika baik maka seluruh tubuh akan baik, dan jika
buruk maka buruklah seluruh tubuh. Dialah hati.”311
Rasulullah, “Seorang hamba tidak akan sampai pada derajat orang bertakwa hingga
ia meninggalkan hal mubah karena menghindari hal yang haram.”312
Sabdanya, “Tinggalkan hal yang meragukan dan pilih yang meyakinkan, kejujuran
sungguh ketenangan, dan dusta kegelisahan.”313
Zain bin Tsabit berkata, “Tidak ada hal yang lebih mudah dari wara, cukup dengan
meninggalkan perkara yang meragukanmu.”
Al-Hasan mengatakan, “Ketakwaan akan selalu melekat pada diri seorang muttaqin
selama dia meninggalkan perkara mubah karena takut berbuat haram.”
Ibnu Umar pun berkata, “Aku sangat ingin membuat dinding pemisah antara diriku
dengan hal haram menggunakan perkara halal yang tidak akan aku bongkar.”314
Umar bin Abdul Aziz pernah mengirim surat kepada al-Jarah bin Abdullah al-
Hakimi yang berisi, “Jika engkau mampu meninggalkan perkara yang telah Allah halalkan
untukmu agar menjadi sekat antara dirimu dan perkara haram, kerjakanlan. Karena orang
yang mampu bertahan dari yang halal, ia akan berhati-hati pada yang haram.”315
12. Keadaan darurat adalah pengecualian
Prinsip ini didasari firman yang berbunyi, “tidak berdosa bagi siapa yang terdesak
tanpa rasa senang dan berlebihan karena Allah Maha Pengampun dan Maha
Penyayang.”316
311 Muslim, Sahih Muslim, vol. 2, h. 58. 312 Al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, vol. 4, h. 634. Abu Isa: Hasan Garib. 313 Ibid,. vol. 4, h. 668. Abu Isa: Hasan Sahih. 314 Ibnu Rajab al-Hanbali, Jami al-Ulum wa al-Hikam, h. 64. 315 Al-Mawardi, Adab al-Dunya wa al-Din, h. 191-192. 316 Dr. Yusuf al-Qardhawi, al-Halal wa al-Haram fii al-Islam, h. 38.
93
Dalam prinsip ini orang yang terpaksa disyaratkan tidak merasa senang dan
melebihin batas kewajaran terdesak. Dari syarat ini, ulama fiqih melahirkan kaidah lain,
“Yang diperbolehkan dalam keadaan darurat sebatas kebutuhannya.”
Darurat bukanlan pakaian gombrong yang dapat ditafsirkan berdasarkan nafsu
manusia. Dengan mengatasnamakan darurat, yang tadinya haram boleh dilakukan. Darurat
adalah segala yang benar-benar dapat membahayakan hidup manusia, “Saat terdesak oleh
masalah darurat, tidak semestinya manusia menyerah hingga begitu mudahnya
dikendalikan oleh keadaan. Sebaliknya, ia harus berpegang erat pada yang halal agar tidak
perlu melegalkan yang haram dengan alasan darurat.”317
13. Semua piutang yang menghasilkan keuntungan
adalah riba
Maksudnya, riba nasiah. Piutang yang melahirkan keuntungan tertentu adalah riba
secara nyata. Modal pokok berbentuk uang tidak berhak memiliki keuntungan di
dalamnya, kecuali disirkulasikan dalam aktifitas produksi dan hasilnya diberikan kepada
pihak-pihak yang berkecimpung. Barulah modal tersebut mendapatkan pertumbuhan
berdasarkan porsi masing-masing. Begitu juga kerugian ditanggung oleh setiap pihak
dalam pendanaan aktifitas produksi. Sampai kapanpun, uang tidak berhak menapat
imbalan dari hutang-piutang.
14. Muslim berkomitmen pada syarat
Maksudnya adalah setiap orang harus melaksanakan perjanjian mereka berdasarkan
prasyarat yang telah disepakati sepanjang tidak menghalalkan yang haram atau sebaliknya.
Sebagaimana yang telah kita ketahui, hukum asal transaksi bisnis diperbolehkan.
317 Al-Daruqutni, Sunan al-Daruqutni, vol. 3, h. 28.
94
Dasarnya, sabda Rasulullah: “Orang-orang Islam berkomitmen pada syarat yang mereka
sepakati sesuai nilai kebenaran.”318
Beliau bersabda, “Mengapa ada orang-orang yang mengajukan syarat tidak sesuai
dengan al-Quran? Siapa yang membuat persyaratan tidak sesuai al-Quran, permintaannya
tidak akan ditunaikan meskipun 100 kali.”319
Rasulullah tidak mengingkari prasyarat mereka, yang beliau sangkal adalah
ketidaksepakatan mereka dengan al-Quran. Berdasarkan kaidah semua syarat
diperbolehkan kecuali bertentangan dengan hukum Allah.
Prinsip ini berkaitan dengan hadits, “Tidak halal menggabungkan hutang dengan jual
beli, dua syarat dalam satu transaksi, keuntungan tanpa resiko, dan menjual yang bukan
milikmu.”320
Tidak dibenarkan menggabungkan hutang dengan jual-beli, yakni menjual barang
demi mendapat pinjaman atau meminjamkan uang. Tidak pula mengumpulkan dua syarat
dalam satu transaksi karena aktivitas ini merusak dalam bentuk riba, garar atau
kedzaliman lain.
Di antara syarat-syarat, ada yang disebut dengan syarat retribusi yang diberlakukan
demi kemaslahatan akad dan stimulus agar tepat waktu. Hal ini diperbolehkan dalam
segala bentuk akad komersial di luar akad yang menjadi kewajiban dasarnya berkaitan
dengan hutang. Meskipun syarat ini tergolong riba.
Berdasarkan hal ini, syarat retribusi tidak diperkenankan – contoh – dalam penjual
dengan kredit karena keterlambatan debitor melunasi angsuran sisa, baik disebabkan
insolven ataupun kelalaian.
318 Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, vol. 3, h. 174. 319 Al-Naisaburi, al-Mustadrak ala al-Shahihain, vol. 2, h. 21, Hadits Shahih. 320 Lihat, Qararat Majmu al-Fiqh al-Islami al-Tabi Limunadzamati al-Mutamar al-Islami,
Konfrensi ke-14 di Doha, Dzu al-Qidah 1423H, Januari 2003M.
95
Tidak berlaku pula untuk akad pemesanan khusus ketika mengalami keterlambatan
dalam pengadaan barang.
Tidak juga boleh diberlakukan pada akad salam saat serah-terima barang mengalami
keterlambatan.
Al-Bukhari dalam Shahihnya meriwayatkan dari Ibnu Sirin tentang seorang laki-laki
yang berkata dengan berat hati, “Pergilah menunggangi untamu. Jika saya tidak pergi
bersamamu, engkau berhak mendapat 100 dirham dariku.” Ternyata laki-laki itu tidak
pergi. Syuraih pun mengomentari hal ini, “Siapa yang mensyaratkan dirinya untuk taat
tanpa terpaksa, maka ia harus menepatinya.”321
15. Damai itu baik
Perdamaian adalah puncak segala hukum dan cara terbaik memperbaiki perselisihan
antar individu dan masyarakat. Kaidah ini berlaku secara umum tak terbatas. Perdamaian
yang hakiki adalah yang mampu menentramkan jiwa dan melerai pertikaian, diantaranya
dalam urusan bisnis dan transaksi. Dari sinilah tampak pentingnya mengambil langkah
arbitrase terhadap segala pertikaian yang terjadi antara pelaku bisnis khususnya dewasa ini.
16. Semua yang boleh dijual, boleh diakadkan
Maksudnya adalah setiap hal yang dapat diperjualbelikan menurut syariat, dapat
dihibahkan, disedekahkan dan digadaikan.
321 Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, vol. 2, h. 981.
96
Penutup
Cukup banyak pelajaran yang dapat diambil para pengusaha muslim untuk menapaki
jalan yang Allah ridai, dari cara pandang Islam terhadap harta, standar yang harus dipenuhi
guna tercapainya manajemen dan investasi harta yang baik; dalam konsep Islam, harta
bukanlah tujuan, tapi alat tukar manfaat dan hajat. Di tangan pribadi seperti ini, harta akan
membawa kebaikan untuk dirinya dan masyarakat. Sebaliknya, pribadi yang menjadikan
harta sebagai tujuan dan kenikmatan; dia akan membinasakan pemiliknya dan kerusakan
masyarakat.
Inilah mengapa pengusaha muslim dituntut mencari kekayaan agar dapat ia kuasai,
tentunya jangan sampai hartinya diperbudak, hendaklah ia manfaatkan untuk kebaikan
pribadi, umat dan keluarganya, mencarinya dengan cara halal, menafkahkan di jalan yang
Allah cintai, dan bersyukur. Berkaitan dengan itu, Islam telah memberikan panduan
standar iman, akhlak dan kemajuan yang baik dalam manajemen harta.
Standar Iman
Pengusaha muslim harus menyadari bahwa sejatinya harta adalah milik Allah
sementara manusia hanya diamanahi. Dengan itu dirinya akan berusaha memanfaatkan
segala aspek yang telah Allah sediakan di alam dengan memeras otak dan otot demi meraih
hasil yang baik, tanpa dikotomi dunia-akhirat. Ia rida pada ketentuan untung-rugi yang
Allah tentukan, karena ia telah bertawakal atas segala peluh keringat. Itu dibuktikan
dengan memperbanyak istighfar dan menjauhi maksiat. Pengusaha muslim menyadari,
perbedaan penghasilan adalah sunatullah yang pasti terjadi. Hartanya tida mampu
melalaikan dirinya dari ibadah pada Allah dan menjaga intensi syariah.
97
Standar Akhlak
Hendaklah pengusaha muslim menghias dirinya dengan akhlak dan adab-adab Islam.
Karena akhlak tersebut dapat memastikan seorang pengusaha muslim berada pada jalur
manajerial bumi yang benar, inilah keunggulan muslim dibanding nonmuslim. Dengan itu
ia terbiasa jujur dalam jual-beli dan transparan.