20
1 PENERAPAN UNSUR KELALAIAN (CULPA) DALAM MENJATUHKAN PIDANA KEPADA DOKTER YANG MELAKUKAN MALPRAKTIK (ANALISIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 365/K/PID/2012) Ahmad Dalmy Iskandar Nasution, Topo Santoso 1.Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Jl.Prof. Mr. Djokosoetono, Depok, 16424, Indonesia 2. Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Jl.Prof. Mr. Djokosoetono, Depok, 16424, Indonesia E-mail: [email protected] Abstrak Malpraktik medis mengandung syarat sikap batin yang terdiri dari kesengajaan atau kelalaian. Kemudian, untuk menilai syarat sikap batin tersebut belum ada suatu patokan baku dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Hal ini yang menyebabkan suatu pertentangan antara profesi hukum dan medis dalam mengartikan malpraktik medis sebagai suatu kesengajaan atau kelalaian dan menilai ada tidaknya suatu kesalahan atau kelalaian pada malpraktik medis. Atas dasar tersebut, maka skripsi ini akan membahas penerapan teori kelalaian dalam malpraktik culpoos delict atau malpraktik sebagai delik kelalaian. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Teknik pengumpulan data adalah dengan studi kepustakaan. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder, yang terdiri dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, Putusan Mahkamah Agung Nomor 365/K/PID/2012, buku-buku hukum dan kamus. Kesimpulan skripsi ini adalah malpraktik medis sebagai kesalahan dokter dalam memberikan pelayanan medis kepada pasien. Sedangkan, ruang lingkup malpraktik medis adalah terdiri dari malpraktik sebagai dolus delict atau kesengajaan, dan malpraktik sebagai culpoos delict atau kelalaian. Title in English Abstract Medical Malpractice contains intention consisting of negligence or deliberateness. There is no default standard applicable law, to assess intention. It is still debatable between jurists and medical professional to interpret the term medical malpractice as a negligence or intention and to assess the existence of negligence or intention in a criminal liability. Based on that, this thesis will examine the implementation of negligence theory in the culpoos delict malpractice or malpractice as negligence delict. It is a normative legal research based on literature study. The secondary data used in this study consists of Indonesian Penal Code, Indonesian Law Number 29 of 2004 on Doctor’s Practice, Indonesian Law Number 36 of 2009 on Health, Supreme Court Decision Number 365/K/PID/2012, textbooks, and dictionaries. In conclusion, medical malpractice is a doctor’s error in providing medical services to patient. Whereas, the scope of medical malpractice consists of malpractice as dolus delict or intention, and malpractice as culpoos delict or negligence. Keywords: Medical Malpractice, malpractice as culpoos delict, criminal liability Pendahuluan Penerapan unsur..., Ahmad Dalmy Iskandar Nasution, FH, 2014

PENERAPAN UNSUR KELALAIAN (CULPA) DALAM …

  • Upload
    others

  • View
    14

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PENERAPAN UNSUR KELALAIAN (CULPA) DALAM …

1

PENERAPAN UNSUR KELALAIAN (CULPA) DALAM

MENJATUHKAN PIDANA KEPADA DOKTER YANG MELAKUKAN

MALPRAKTIK (ANALISIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 365/K/PID/2012)

Ahmad Dalmy Iskandar Nasution, Topo Santoso

1.Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Jl.Prof. Mr. Djokosoetono, Depok, 16424, Indonesia

2. Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Jl.Prof. Mr. Djokosoetono, Depok, 16424, Indonesia

E-mail: [email protected]

Abstrak

Malpraktik medis mengandung syarat sikap batin yang terdiri dari kesengajaan atau kelalaian. Kemudian, untuk

menilai syarat sikap batin tersebut belum ada suatu patokan baku dalam bentuk peraturan perundang-undangan.

Hal ini yang menyebabkan suatu pertentangan antara profesi hukum dan medis dalam mengartikan malpraktik

medis sebagai suatu kesengajaan atau kelalaian dan menilai ada tidaknya suatu kesalahan atau kelalaian pada

malpraktik medis. Atas dasar tersebut, maka skripsi ini akan membahas penerapan teori kelalaian dalam

malpraktik culpoos delict atau malpraktik sebagai delik kelalaian. Penelitian ini adalah penelitian hukum

normatif. Teknik pengumpulan data adalah dengan studi kepustakaan. Jenis data yang digunakan adalah data

sekunder, yang terdiri dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004

Tentang Praktik Kedokteran, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, Putusan Mahkamah

Agung Nomor 365/K/PID/2012, buku-buku hukum dan kamus. Kesimpulan skripsi ini adalah malpraktik medis

sebagai kesalahan dokter dalam memberikan pelayanan medis kepada pasien. Sedangkan, ruang lingkup

malpraktik medis adalah terdiri dari malpraktik sebagai dolus delict atau kesengajaan, dan malpraktik sebagai

culpoos delict atau kelalaian.

Title in English

Abstract

Medical Malpractice contains intention consisting of negligence or deliberateness. There is no default standard

applicable law, to assess intention. It is still debatable between jurists and medical professional to interpret the

term medical malpractice as a negligence or intention and to assess the existence of negligence or intention in a

criminal liability. Based on that, this thesis will examine the implementation of negligence theory in the culpoos

delict malpractice or malpractice as negligence delict. It is a normative legal research based on literature study.

The secondary data used in this study consists of Indonesian Penal Code, Indonesian Law Number 29 of 2004 on

Doctor’s Practice, Indonesian Law Number 36 of 2009 on Health, Supreme Court Decision Number

365/K/PID/2012, textbooks, and dictionaries. In conclusion, medical malpractice is a doctor’s error in providing

medical services to patient. Whereas, the scope of medical malpractice consists of malpractice as dolus delict or

intention, and malpractice as culpoos delict or negligence.

Keywords: Medical Malpractice, malpractice as culpoos delict, criminal liability

Pendahuluan

Penerapan unsur..., Ahmad Dalmy Iskandar Nasution, FH, 2014

Page 2: PENERAPAN UNSUR KELALAIAN (CULPA) DALAM …

2

Dokter merupakan salah satu profesi yang mulia, dimana dalam menjalankan profesi

kedokteran dituntut memiliki etika, moral dan keahlian atau keterampilan. Hal ini merupakan

bentuk rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh dokter dalam upaya pemberian pelayanan

kesehatan kepada masyarakat yang kemudian diejawantahkan dalam kewajiban dokter yang

tercantum pada Pasal 51 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran

yakni:

“(1) Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar

prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien; (2) Merujuk pasien ke dokter

atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik,

apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan; (3)

Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah

pasien itu meninggal dunia; (4) Melakukan pertolongan darurat atas dasar

perikemanusiaan, kecuali bila dia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu

melakukannya; (5) Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu

kedokteran atau kedokteran gigi.”1

Profesi dokter merupakan suatu profesi yang mulia, karena mempunyai tugas untuk

menyelamatkan jiwa orang yang menderita penyakit. Bagi kalangan awam timbul suatu

pendapat bahwa dokter itu tidak mungkin berbuat salah dalam memberikan sebuah tindakan

medis kepada pasien, kendati dia bukan seorang Nabi. Oleh karena itu para pasien biasanya

pasrah total pada dokter yang dipercayai pasien tersebut.2 Pandangan tersebut seharusnya

harus diubah karena dokter juga manusia biasa yang dapat melakukan kesalahan dalam

kehidupan sosial, kehidupan bermasyarakat maupun dalam menjalankan tugas kedokteran

sehari-hari. Sehingga, untuk mencegah terjadinya suatu kesalahan dalam memberikan

tindakan medis kepada pasien, maka diperlukan suatu standar sebagai acuan dalam

memberikan pelayanan medis. Standar tersebut diwujudkan dalam bentuk Standar Profesi

Kedokteran.

Perumusan tentang Standar Profesi Kedokteran ( medische profesionale standaard )

oleh Leenen dalam bahasa aslinya sebagai berikut:

“Zorgvuldig volgens de medische standaard handelen al seen gemiddeld bekwaam

arts van gelijke medische categorie in gelijke omstandigheden met middelen die in

redelijke verhouding staan tot het concrete handelings doel.” 3

1 Indonesia (1), Undang-undang tentang Praktik Kedokteran, UU No. 29 Tahun 2004, LN No. 116 Tahun

2004, TLN No.4431, ps. 51.

2Ninik Mariyanti, Malapraktik Kedokteran Dari Segi Hukum Pidana Dan Perdata, (Jakarta:Bina

Aksara,1988), hal.1. 3Fred Ameln, Kapita Selekta Hukum Kedokteran,(Jakarta:Grafikatama Jaya,1991),hal.86.

Penerapan unsur..., Ahmad Dalmy Iskandar Nasution, FH, 2014

Page 3: PENERAPAN UNSUR KELALAIAN (CULPA) DALAM …

3

Perumusan ini dapat diartikan sebagai:4

“Berbuat secara teliti atau seksama menurut ukuran medis, sebagai seorang dokter

yang memiliki kemampuan rata-rata (average) dibanding dengan dokter dari

kategori keahlian medis yang sama, dalam situasi kondisi yang sama dengan sarana

upaya (middelen) yang sebanding/proposional dengan tujuan konkret

tindakan/perbuatan medis tersebut.”

Kemudian dari rumusan diatas, maka dapat diuraikan kedalam lima unsur, yakni:5

1. Berbuat secara teliti/seksama (zorgvuldig handelen) dikaitkan dengan

culpa/kelalaian. Apabila seorang dokter yang bertindak “onvoorzichteg”, tidak

teliti, tidak berhati-hati, maka dia memenuhi unsur kelalaian; bila dia sangat

tidak berhati-hati dia memenuhi culpa lata;

2. Sesuai ukuran ilmu medis (volgens de medische standaard );

3. Kemampuan rata-rata (average) dibanding kategori keahlian medis yang sama

( gemiddelde bewaamheid van gelijke medische categorie );

4. Situasi kondisi yang sama ( gelijke omstandingheden );

5. Sarana upaya (middelen) yang sebanding/proposional (azas proporsionalitas),

(met middelen die in redelijke verhouding staan) dengan tujuan konkret

tindakan/perbuatan medis tersebut (tot het concrete handelingsdoel).

Berdasarkan kelima unsur Standar Profesi Kedokteran ini, maka suatu tindakan medis

dapat dinilai telah sesuai dengan prosedur kedokteran dan acuan untuk menilai suatu

kesalahan dalam pemberian tindakan medis yang dilakukan oleh dokter. Kesalahan yang

dilakukan dokter ini sangat terkait dengan malpraktik, dimana untuk menilai malpraktik ini

masuk kedalam kelalaian maka akan sangat terkait dengan Standar Profesi Kedokteran.

Sampai sekarang, hukum kedokteran di Indonesia belum dapat dirumuskan secara

mandiri sehingga batasan-batasan mengenai malpraktik belum bisa dirumuskan, sehingga isi

pengertian dan batasan-batasan malpraktik kedokteran belum seragam bergantung pada sisi

mana orang memandangnya.6 Dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik

Kedokteran tidak dimuat ketentuan malpraktik kedokteran karena dalam Pasal 66 ayat (1)

yang berbunyi:

4Ibid.,hal.87.

5Ibid.,hal.87.

6Hal ini dikemukakan oleh Crisdiono M.Achadiat dalam Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran dalam

tantangan Zaman sebagimana dikutip dalam Kanina Cakreswara,”Pertanggungjawaban Pidana Dokter Pada Kasus Malpraktik,”(Skripsi Sarjana UI Jakarta, 2012), hal.2.

Penerapan unsur..., Ahmad Dalmy Iskandar Nasution, FH, 2014

Page 4: PENERAPAN UNSUR KELALAIAN (CULPA) DALAM …

4

“ Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter

atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara

tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia” 7

Ketentuan ini hanya mengatur tentang kesalahan dokter dalam memberikan pelayanan

kesehatan. Sehingga untuk mendapatkan pengertian tentang malpraktik kedokteran, maka

diperlukan penjelasan dari berbagai literatur maupun pendapat para sarjana.

Terdapat suatu perbedaan terutama dalam mengartikan malpraktik sebagai suatu

kelalaian (culpa) atau suatu kesengajaan (dolus). Hal ini menjadi hal penting dalam

penanganan suatu malpraktik kedokteran. Oleh karena kelalaian atau kesengajaan (dolus)

sebagai syarat batin, agar suatu kasus malpraktik dapat diajukan kepada peradilan pidana.

Maka, dalam penelitian ini akan dibahas mengenai arti suatu malpraktik kedokteran. Pokok-

pokok malpraktik telah banyak dijelaskan dalam berbagai literatur, dimana oleh George

Gordon Coughlin, bekas Presiden New York State Bar Association, malpractice dirumuskan

sebagai berikut:

“Profesional misconduct on the part of a profesional person, such as a physician,

engineer, lawyer, accountant, dentist, or veterinarian. Malpractice may be the result

of ignorance, neglect, or lack of skill or fidelity in the performance of profesional

duties; intentional wrong doing; or illegal or unethical practice.” 8

Dari definisi ini dapat dikatakan suatu tindakan medis masuk dalam kategori

malpraktik, apabila dokter tersebut melakukan tindakan medis yang salah atau tidak cukup

mengurus pelayanan medis, baik berupa pengobatan maupun perawatan.

Di samping itu, pengertian malpraktik yang diberikan oleh Coughlin ini masih sangat

luas karena tidak hanya mencakup profesi dokter tetapi masuk pula profesi fisikawan,

insinyiur, pengacara maupun akuntan, sehingga perlu dikutip pandangan Henry Campbell

Black mengenai malpraktik karena lebih menjelaskan secara khusus mengenai medical

malpractice:9

“ As applied to physicians and surgeons, this term means, generally, profesional

misconduct towards a patient which is considered reprehensible either because

immoral in itself or because contrary to law or expressly forbidden by law.”

Dari penjelasan Black tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa malpraktik merupakan

suatu tindakan yang tidak benar yang melanggar moral dan hukum, serta pengertian ini telah

mengarah kepada profesi kedokteran.

7Indonesia (1), Ibid., ps. 66, ayat 1.

8Soerjono Soekanto dan Herkutanto, Pengantar Hukum Kesehatan,(Bandung:Remadja

Karya,1987),hal.153.

9Ibid.hal.153.

Penerapan unsur..., Ahmad Dalmy Iskandar Nasution, FH, 2014

Page 5: PENERAPAN UNSUR KELALAIAN (CULPA) DALAM …

5

Apabila dilakukan analisa terhadap rumusan malpraktik menurut Couglin, maka

unsur-unsur malpraktik adalah unsur kesengajaan (opzet) dan unsur tindakan yang tidak sah

atau tindakan yang menyimpang atau bertentangan dengan hukum serta tindakan yang tidak

etis. Sementara itu, Black menyebut antara lain “Unreasonable lack skill” dan mengatakan

bahwa “negligence is the predominant theory of liability in medical malpractice litigation”.

10 Dari penjabaran definisi malpraktik yang diajukan oleh Coughlin dan Black, maka Fred

Ameln mengatakan bahwa akan dapat diperoleh perbedaan, dimana dalam pandangan

Coughlin menonjolkan unsur kesalahan atau schuld, sedangkan Black lebih menonjolkan

unsur kelalaian atau culpa. Sehingga dari pandangan ini akan dapat membedakan antara

malpraktik dolus delict dan malpraktik culpoos delict.11

Maka, berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dalam mendefinisikan arti

malpraktik tidak dapat langsung dilekatkan dengan unsur “kelalaian” sebagai syarat batin

dalam malpraktik. Oleh karena, dalam malpraktik kedokteran tidak hanya ada sikap batin

berupa “kelalaian (culpa)”, tetapi terdapat pula sikap batin berupa “kesengajaan (dolus)”.

Hal ini juga sesuai dengan pendapat J.Guwandi yang menyatakan bahwa malpraktik

adalah tidak sama dengan kelalaian. Kelalaian memang termasuk dalam arti malpraktik, tetapi

di dalam malpraktik tidak selalu harus terdapat unsur kelalaian. Jika dilihat beberapa definisi,

ternyata bahwa malpraktik mempunyai pengertian yang lebih luas dari kelalaian. Karena

selain mencakup arti kelalaian, istilah malpraktik mencakup tindakan-tindakan yang

dilakukan dengan sengaja (intentional, dolus, opzettelijk) dan melanggar undang-undang.12

Setelah mengetahui Standar Profesi Kedokteran dan pengertian malpraktik, maka hal

yang penting dibahas adalah mengenai kaitan antara Standar Profesi Kedokteran dengan

malpraktik. Adapun kaitannya adalah mengenai aspek penilaian terhadap suatu penyimpangan

Standar Profesi Kedokteran dapat dimasukkan dalam kategori malpraktik. Kemudian, bentuk

malpraktik tersebut juga harus dinilai apakah masuk kedalam kategori malpraktik dolus delict

maupun malpraktik culpoos delict. Hal ini sangat berkaitan dengan upaya penyelesaian

maupun pertanggungjawaban hukum oleh dokter tersebut.

Di samping itu, dalam malpraktik tidak mudah untuk membuktikan adanya

penyimpangan dari Standar Profesi Kedokteran karena setiap unsur dari standar tersebut harus

diteliti dan selama dokter memenuhi unsur standar profesinya maka dokter tidak melakukan

10Ameln,op.cit.,hal.85.

11

Ibid.

12J.Guwandi, Hukum Medik (Medical Law), (Jakarta: Balai Penerbit Kedokteran Universitas Indonesia,

2004), hal.20.

Penerapan unsur..., Ahmad Dalmy Iskandar Nasution, FH, 2014

Page 6: PENERAPAN UNSUR KELALAIAN (CULPA) DALAM …

6

tindakan malpraktik.13

Kesulitan mengenai penilaian malpraktik tidak hanya terkait dengan

unsur penilaian penyimpangan, tetapi terkait dengan penilaian terhadap kategori kesalahan

yang melekat pada malpraktik tersebut. Bentuk kesalahan ini menjadi sangat penting dalam

hal pertanggungjawaban hukum, baik perdata, pidana maupun administrasi. Pemilihan unsur

kesalahan dalam penyimpangan standar kedokteran ini sangat penting, karena unsur kesalahan

yang melekat kepada malpraktik adalah berupa kesengajaan (dolus) atau

kelalaian/ketidaksengajaan (culpa) .

Dilihat dari sudut kecerdasan atau kekuatan ingatan pelaku, maka diperbedakan

gradasi kealpaan (culpa) dengan:14

1. Kealpaan yang berat (culpa lata);

2. Kealpaan yang ringan (culpa levis).

Dalam kasus malpraktik yang diselesaikan dengan hukum pidana adalah culpa lata,

sedangkan culpa levis, maka akan diselesaikan dengan hukum perdata maupun hukum

disiplin dokter.

Untuk menyelesaikan suatu kasus malpraktik, maka tidak terlepas dari pengertian

kelalaian dari segi hukum pidana maupun segi medis. Penilaian suatu kelalaian dari segi

medis, maka tidak terlepas dari penilaian terhadap penyimpangan terhadap standar profesi

kedokteran maupun standar prosedur operasional. Pengertian standar profesi kedokteran

dijelaskan dalam Pasal 1 Angka 9 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor

512/Menkes/Per/IV/2007 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran,yakni:

“Standar Profesi Kedokteran adalah batasan kemampuan (knowledge, skill, and

profesional attitude) minimal yang harus dikuasai oleh seorang dokter atau dokter gigi

untuk dapat melakukan kegiatan profesionalnya pada masyarakat secara mandiri yang

dibuat oleh organisasi profesi.”15

Sedangkan pengertian standar prosedur operasional sebagaimana yang diatur dalam

Pasal 1 Angka 10 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 512/Menkes/Per/IV/2007 adalah:

“Standar Prosedur Operasional adalah suatu perangkat instruksi/langkah-langkah yang

dibakukan untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin tertentu, dimana standar

prosedur operasional memberikan langkah yang benar dan terbaik berdasarkan

konsensus bersama untuk melaksanakan berbagai kegiatan dan fungsi pelayanan

yang dibuat oleh sarana pelayanan kesehatan berdasarkan standar profesi.”16

13Ibid.hal.94.

14

E.Y.Kanter dan S.R.Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya,(Jakarta:Storia Grafika,2002), hal.194.

15Kementerian Kesehatan, Peraturan Menteri tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik

Kedokteran, PMKes No.512/Menkes/Per/IV/2007, ps.1, angka 9.

16Ibid.ps.1,angka 10.

Penerapan unsur..., Ahmad Dalmy Iskandar Nasution, FH, 2014

Page 7: PENERAPAN UNSUR KELALAIAN (CULPA) DALAM …

7

Kemudian untuk mengukur Standar Prosedur Operasional telah sesuai, maka

diperlukan Kode Etik Kedokteran yang berisikan kewajiban umum dan kewajiban khusus.

Dalam penilaian penyimpangan Standar Prosedur Operasional, maka akan dilakukan oleh

Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1

Angka 13 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 512/Menkes/Per/IV/2007 yang dijelaskan

sebagai berikut:

“Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia adalah lembaga yang

berwenang untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan

dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi, dan

menetapkan sanksi.” 17

Maka untuk menilai terjadinya suatu kelalaian dalam pemberian tindakan medis dari

segi medis sangat tergantung kepada penilaian Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran.

Penilaian ini sangat kasuistis karena harus melihat bentuk tindakan medis yang diberikan,

misalnya dalam tindakan operasi dikenal dua jenis, yakni: operasi terencana dan operasi

segera atau cito.

Bahwa perbedaan antara operasi terencana dan operasi segera adalah dari sisi

kepentingan. Operasi terencana adalah apakah benar harus dilakukan, harus ada persetujuan

pasien atau keluarganya sedangkan cito atau segera adalah untuk menyelamatkan jiwa dan

tidak harus ada persetujuan dari pasien atau keluarga. Jadi, dalam memberikan penilaian

terhadap kesalahan, maka akan dilihat dulu bentuk tindakan medis dan prosedurnya,

kemudian melihat prosedur yang mana dilanggar, sebagai contoh: dalam hal dokter

memberikan operasi terencana kepada pasien harus mendapat persetujuan dari pasien atau

keluarganya, apabila prosedur ini tidak dilaksanakan maka terdapat kesalahan. Hal ini akan

menjadi dasar Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran untuk menjatuhkan putusan

kesalahan pada dokter.

Pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengenai kelalaian yang terkait dengan

malpraktik terdapat pada Pasal 359, Pasal 360, Pasal 361. Adapun dalam Pasal 359 KUHP

mengatur tentang kelalaian yang menyebabkan mati, secara lengkap isi pasal adalah:18

“Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang dihukum penjara selama-

lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun.”

17Ibid.ps.1,angka 13.

18

Indonesia (2), Undang-undang tentang Peraturan Hukum Pidana, UU No. 1 Tahun 1946, ps. 359.

Penerapan unsur..., Ahmad Dalmy Iskandar Nasution, FH, 2014

Page 8: PENERAPAN UNSUR KELALAIAN (CULPA) DALAM …

8

Dan apabila kelalaian tersebut tidak menyebabkan mati, maka akan dikenakan Pasal 360

KUHP dikarenakan dalam Pasal diatur sebagai berikut:19

“(1)Barang siapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka berat dihukum

dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau hukuman kurungan selama-

lamanya satu tahun;”

“(2)Barang siapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka sedemikian rupa

sehingga orang itu menjadi sakit sementara atau tidak dapat menjalankan jabatannya

atau pekerjaannya sementara, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya

sembilan bulan atau hukuman kurungan selama-lamanya enam bulan atau hukuman

denda setinggi-tingginya Rp.4.500.”

Di samping itu, kelalaian dalam malpraktik sangat terkait dengan profesi, jabatan

maupun pekerjaan dokter, sehingga dalam Pasal 361 KUHP diatur sebagai berikut:20

“Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam melakukan sesuatu

jabatan atau pekerjaan, maka hukuman dapat ditambah dengan sepertiganya dan

sitersalah dapat dipecat dari pekerjaannya, dalam waktu mana kejahatan itu dilakukan

dan hakim dapat memerintahkan supaya keputusannya itu diumumkan.”

Berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam KUHP tidak dapat ditemukan mengenai arti

kelalaian, sehingga diperlukan penjelasan literatur. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana karangan R.Soesilo, dijelaskan bahwa: “Karena salahnya: kurang hati-hati, lalai lupa,

amat kurang perhatian.”21

Sehingga, arti dari kelalaian dari segi hukum pidana sangat berpatok kepada unsur

mengetahui akibat yang akan ditimbulkan dari tindakan pelaku, tetapi tidak menghendaki

terjadinya akibat tersebut. Apabila dikaitkan dengan penilaian medis, maka arti kelalaian itu

sangat ditentukan oleh seberapa jauh penyimpangan tindakan dokter tersebut dari Standar

Prosedur Operasional, dimana dapat saja diatur suatu penyimpangan dalam suatu prosedur

kerja rutin, misalnya dalam berbagai tindakan medis diperlukan suatu persetujuan dari pasien

ketika akan memberikan tindakan medis, tetapi dalam kasus emergency atau darurat

mengenai persetujuan dapat ditiadakan ataupun dalam hal risiko yang tidak dapat

diperkirakan atau diduga dapat juga dikesampingkan sehingga dapat mentiadakan suatu

kesalahan dalam suatu malpraktik.

Hal ini tentu berbeda ketika akan menggunakan arti kelalaian dari segi hukum pidana,

karena penilaian arti kelalaian tidak ada pembatasan sedemikian rupa, akan tetapi dibuka

19Ibid.,ps.360.

20

Ibid.,ps.361.

21R.Soesilo,Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi

Pasal,(Bogor:Politeia,1993),hal.248.

Penerapan unsur..., Ahmad Dalmy Iskandar Nasution, FH, 2014

Page 9: PENERAPAN UNSUR KELALAIAN (CULPA) DALAM …

9

suatu penafsiran untuk menilai seberapa berat kelalaian yang menjadi sumber malpraktik

tersebut. Seperti, contoh kasus emergency atau darurat, dimana dapat ditiadakan persetujuan

pasien, apabila terjadi suatu malpraktik maka segala akibat yang terjadi tidak dapat

dipersalahkan kepada dokter atau tidak ada kelalaian. Kondisi ini akan berbeda, apabila

menggunakan sudut pandang hukum pidana, dimana terhadap kasus emergency atau darurat,

yang mana dapat ditiadakan persetujuan pasien, maka segala risiko dapat

dipertanggungjawabkan kepada dokter karena penilaian kelalaian sangat tergantung kepada

pemikiran, pengetahuan, dan kebijaksanaan. Ketiga hal ini sangat bersifat subyektif, karena

tergantung penilaian hakim untuk menilai suatu kelalaian, dimana akan melihat fakta yang

ada dan seberapa besar penyimpangan yang dilakukan dokter tersebut untuk menimbulkan

suatu akibat dari kelalaiannya tersebut.

Permasalahan ini yang sedang bergulir pada saat ini di dalam media massa dimana

mengenai penilaian hakim dalam menilai suatu kelalaian yang melekat pada malpraktik

berbeda dengan pertimbangan Majelis Etika Profesi Kedokteran dalam menilai suatu

kesalahan yang dilakukan dokter yang mengeluarkan putusan terhadap kasus malpraktik

tersebut. Hal ini terlihat pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 365/K/PID/2012 yang

memutuskan dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr. Hendry Simanjuntak dan dr. Hendy Siagian

terbukti bersalah yang karena kelalaiannya menyebabkan matinya korban Siska Makatey.

Putusan kasasi ini menimbulkan reaksi dari profesi dokter karena pada Putusan Pengadilan

Negeri Manado Nomor 90/PID.B/2011/PN.MDO telah membebaskan para terpidana.

Kemudian, pada Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Nomor 79 PK/PID/2013

telah membebaskan para terpidana. Hal inilah yang menjadi latar belakang untuk melakukan

penelitian terkait penerapan teori kelalaian hukum pidana dalam kasus malpraktik kedokteran.

Dimana diperlukan suatu penilaian arti kelalaian dan penerapan unsur kelalaian dari segi

hukum pidana maupun segi medis, sehingga akan diperoleh suatu persepsi yang akan

dijadikan acuan bagi hakim dalam memberikan pertimbangan dalam menjatuhkan pidana

penjara kepada pelaku malpraktik yang didasarkan logika medis.

Tinjauan Teoritis

Penelitian ini menggunakan teori Arthur F. Southwick untuk menyebutkan sumber

dari suatu perbuatan malpraktik medis, yaitu:22

22Ninik Mariyanti, Op.cit., hal.22.

Penerapan unsur..., Ahmad Dalmy Iskandar Nasution, FH, 2014

Page 10: PENERAPAN UNSUR KELALAIAN (CULPA) DALAM …

10

a. Pelanggaran kontrak ( breach of contract);

b. Perbuatan yang disengaja ( intentional tort);

c. Kelalaian (negligence).

Teori kelalaian (negligence) menjadi patokan dalam menilai dan membuktikan adanya

perbuatan malpraktik. Kemudian agar suatu kelalaian medis yang merupakan bagian dari

malpraktik medis dapat dipertanggungjawabkan kepada dokter, maka harus memenuhi syarat

berupa subyek harus sesuai dengan perumusan UU, terdapat kesalahan pada petindak,

tindakan itu bersifat melawan hukum, tindakan itu dilarang dan diancam dengan pidana oleh

UU, dilakukannya tindakan itu sesuai dengan tempat, waktu, dan keadaan-keadaan lainnya

yang ditentukan dalam UU.

Metode Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Teknik pengumpulan data adalah

dengan studi kepustakaan. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder, yang terdiri dari

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang

Praktik Kedokteran, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, Putusan

Mahkamah Agung Nomor 365/K/PID/2012, buku-buku hukum dan kamus.

Hasil Penelitian

Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 365/K/PID/2012 diperoleh hasil

bahwa dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr. Hendry Simanjuntak, dan dr. Hendy Siagian

sebagai terpidana melakukan kelalaian yang menyebabkan mati dalam pemberian pelayanan

medis atau kelalaian medis dengan pertimbangan hakim sebagai berikut:

a) Judex facti salah menerapkan hukum, karena tidak mempertimbangkan dengan

benar hal-hal yang relevan secara yuridis, yaitu berdasarkan hasil rekam medis

No. No. 041969 yang telah dibaca oleh saksi ahli dr. Erwin Gidion Kristanto,

SH. Sp.F. bahwa pada saat korban masuk RSU (Rumah Sakit Umum) Prof. R.

D. Kandou Manado, keadaan umum korban adalah lemah dan status penyakit

korban adalah berat;

b) Para terdakwa sebelum melakukan operasi cito secsio sesaria terhadap korban

dilakukan, para terdakwa tanpa menyampaikan kepada pihak keluarga korban

tentang kemungkinan yang dapat terjadi terhadap diri korban;

c) Perbuatan para terdakwa melakukan operasi terhadap korban Siska Makatey

yang kemudian terjadi emboli udara yang masuk ke dalam bilik kanan jantung

Penerapan unsur..., Ahmad Dalmy Iskandar Nasution, FH, 2014

Page 11: PENERAPAN UNSUR KELALAIAN (CULPA) DALAM …

11

yang menghambat darah masuk ke paru-paru kemudian terjadi kegagalan

fungsi paru dan selanjutnya mengakibatkan kegagalan fungsi jantung;

d) Perbuatan para terdakwa mempunyai hubungan kausal dengan meninggalnya

korban Siska Makatey sesuai Surat Keterangan dari Rumah Sakit Umum Prof.

Dr. R. D. Kandou Manado No. 61/VER/IKF/FK/K/VI/2010, tanggal 26 April

2010.

Pembahasan

Berdasarkan isi pertimbangan hakim pada Putusan Mahkamah Agung Nomor

365/K/PID/2012, maka para terpidana memiliki kelalaian berat dalam pemberian pelayanan

medis kepada pasien Siska Makatey. Hal ini didasarkan kepada analisis penulis sebagai

berikut:

Bahwa kelalaian medis yang dilakukan oleh dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr.

Hendry Simanjuntak dan dr. Hendy Siagian dapat masuk wilayah hukum pidana karena telah

memenuhi tiga aspek yaitu:23

a) Syarat dalam sikap batin dokter berupa kelalaian (culpa lata);

Kelalaian yang dilakukan oleh dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr. Hendry

Simanjuntak dan dr. Hendy Siagian ditunjukkan pada sikap yang kurang hati-hati

dalam pengambilan keputusan operasi cito secsio sesaria oleh para terpidana sangat

lambat sehingga menimbulkan kematian terhadap korban Siska Makatey. Hal ini dapat

dilihat pada fakta sebagai berikut:

Bahwa korban Siska Makatey telah mengalami pecah ketuban jam 07.00

WITA tanggal 10 April 2010. Kemudian, pada jam 09.00 WITA pasien masuk ke

UGD rumah sakit Malalayang dengan kondisi lemah dan membutuhkan tindakan

operasi secepatnya. Selanjutnya setelah 12 jam menunggu, maka pasien dioperasi pada

jam 20.55 WITA oleh para terpidana. Bahwa ketidaktepatan dan ketidakcepatan para

terpidana dalam pengambilan keputusan operasi cito inilah yang menjadi faktor tidak

berhasilnya operasi dan menimbulkan kematian kepada pasien. Hal ini juga sesuai

dengan pendapat ahli di persidangan yang menyatakan bahwa operasi cito merupakan

operasi yang dilakukan dalam keadaan darurat dan harus dilakukan secepat atau

sesegera mungkin.

Kemudian bertolak belakang dengan keterangan tersebut bahwa operasi cito

tidak dilakukan lebih awal tetapi operasi dilakukan kurang lebih 12 jam kemudian

23 Ernie Juanita, ”Tuntutan Hukum Pidana Pada Kelalaian Profesi Dokter,”(Tesis Magister Universitas

Katolik Soegijapranata Semarang, 2009), hal.69.

Penerapan unsur..., Ahmad Dalmy Iskandar Nasution, FH, 2014

Page 12: PENERAPAN UNSUR KELALAIAN (CULPA) DALAM …

12

saat kondisi pasien dalam keadaan gawat, genting atau sangat terpuruk. Sehingga,

terdapat hubungan kausalitas perbuatan dan kesalahan (kelalaian) para terpidana

berkaitan dengan pelanggaran SOP dalam melaksanakan operasi cito yang

mengakibatkan pasien meninggal dunia.

b) Syarat dalam perlakuan medis;

Syarat dalam perlakuan medis ini terwujud pada perbuatan para terpidana

berupa kelalaian para terpidana yang tidak melakukan upaya terhadap pasien yang

telah mengalami tekanan darah dan kecepatan denyut nadi cukup tinggi. Kondisi ini

dapat dilihat pada fakta sebagai berikut:

Bahwa sejak pasien masuk rumah sakit dengan posisi tekanan darah cukup

tinggai yaitu 160/70 disertai dengan kecepatan denyut nadi pasien sangat tinggi 180

per menit (normal 90 per menit), dan sepanjang persidangan tidak ditemukan suatu

upaya medis untuk menormalkan tekanan darah dan denyut nadi. Dimana, dengan

kondisi demikian maka tindakan operasi cito akan menimbulkan risiko yang cukup

tinggi hingga menyebabkan kematian.

Hal ini sejalan dengan keterangan saksi Anita Lengkong dan ahli Najoan serta

para terpidana yang menerangkan bahwa pada sayatan pertama keluar darah hitam dan

denyut nadi cepat. Kondisi ini berhubungan dengan kondisi pecah pembuluh darah

pasien dan keterlambatan operasi cito yang diberikan kepada pasien.

Di samping itu terdapat pula perlakuan medis dari para terpidana yang

merugikan korban, yakni:

1. Sejak diketahuinya ketuban korban telah dipecahkan di puskesmas, para terdakwa

tidak membuat rekam medis dalam setiap tindakan medis yang dilakukan;

2. Pemasangan infus dengan jenis obat yang tidak diketahui oleh para terdakwa sampai

dengan dikeluarkannya resep obat secara berulang kali hingga ditolak oleh pihak

apotek;

3. Tidak terdapat kordinasi yang baik di dalam tim para terdakwa;

4. Terdapatnya 25 informed consent atau lembar persetujuan tindakan kedokteran

sedangkan para terdakwa berpendapat bahwa tindakan kedokteran yang dilakukan

adalah tindakan cito/darurat yang tidak membutuhkan lembar persetujuan;

5. Tidak adanya tindakan persiapan jika korban secara tiba-tiba mengalami keadaan

darurat seperti EKG/pemeriksaan jantung, dimana baru dilakukan setelah operasi

selesai dengan kondisi gawat;

Penerapan unsur..., Ahmad Dalmy Iskandar Nasution, FH, 2014

Page 13: PENERAPAN UNSUR KELALAIAN (CULPA) DALAM …

13

Perlakuan para terpidana ini telah menyimpang dari wujud maupun prosedur

medis, sehingga memenuhi unsur-unsur pidana yang diatur dalam Pasal 359 KUHP.

c) Syarat mengenai hal akibat.

Perbuatan para terpidana tersebut telah menimbulkan emboli yang

menyebabkan kematian pada pasien karena kelalaian para terpidana dalam proses

penanganan persalinan hingga operasi cito.

Hal ini sesuai fakta yang diterangkan oleh para saksi dan ahli di persidangan

yang menerangkan bahwa penyebab emboli adalah:

1) Udara masuk karena pelebaran atau pembesaran pembuluh darah bersumber

pada pemberian obat sebagai reaksi tubuh pasien;

2) Udara bukan masuk dari alat infus;

3) Udara dapat masuk melalui alat infus, atau alat suntik;

4) Udara dapat masuk dalam tubuh atau jantung melalui plasenta, artinya

pemotongan plasenta/tali pusar dapat menyebabkan udara masuk melalui

plasenta;

5) Sayatan pembuluh darah.

Berdasarkan keterangan tersebut disimpulkan bahwa masuknya emboli pada

bilik kanan jantung melalui alat suntik atau infus disebabkan karena kesalahan atau

kelalaian para terpidana dalam proses penanganan persalinan hingga operasi cito.

Demikian juga terhadap udara yang masuk karena terjadi pelebaran atau pembesaran

pembuluh darah yang bersumber dari pemberian obat sebagai akibat reaksi tubuh

pasien, dimana hal ini tidak diungkap secara rinci dalam persidangan. Dengan kata

lain, bahwa emboli yang masuk kedalam bilik kanan jantung pasien adalah kesalahan

manusia yang bersumber pada perbuatan materil para terpidana dalam melaksanakan

persalinan pasien, atau adanya pelanggaran SOP yang dilakukan para terpidana.

Di samping itu, perbuatan terpidana telah memenuhi unsur-unsur Pasal 359

KUHP dengan penjabaran sebagai berikut: .24

1) Adanya unsur kelalaian

Perbuatan terdakwa pada perkara Putusan Mahkamah Agung Nomor

365/K/PID/2012 yang menimbulkan akibat yang dilarang dan diancam dengan

24Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2001),

hal.125.

Penerapan unsur..., Ahmad Dalmy Iskandar Nasution, FH, 2014

Page 14: PENERAPAN UNSUR KELALAIAN (CULPA) DALAM …

14

hukuman oleh undang-undang dengan tidak sengaja, atau sama sekali tidak melakukan

perbuatan tersebut tetapi menimbulkan akibat yang dilarang.25

Hal ini terwujud pada:

Bahwa unsur "kelalaian" yaitu: bahwa keterangan dari saksi Prof. Dr. Najoan

Nan Warouw, Sp.OG, terdakwa I (satu) melaporkan ketuban pasien/korban sudah

dipecahkan di Puskesmas dan jika ketuban sudah pecah berarti air ketuban sudah

keluar semua, selanjutnya sejak terdakwa I (satu) mengawasi korban pada pukul 09.00

WITA sampai dengan pukul 18.00 WITA tindakan yang dilakukan oleh terdakwa I

(satu) hanya pemeriksaan tambahan dengan "USG (Ultrasonografi)" dan sebagian

tindakan medis yang telah dilakukan tidak dimasukkan ke dalam rekam medis dan

terdakwa I (satu) sebagai ketua residen yang bertanggung jawab saat itu tidak

mengikuti seluruh tindakan medis beserta rekam medis termasuk terdakwa I (satu)

tidak mengetahui tentang pemasangan infus yang telah dilakukan terhadap korban.

Bahwa ternyata pada pukul 18.30 WITA tidak terdapat kemajuan persalinan

pada korban, terdakwa I (satu) melakukan konsul dengan konsulen jaga dan setelah

mendapat anjuran, terdakwa I (satu) mengambil tindakan untuk dilakukan cito secsio

sesaria, kemudian terdakwa I (satu) menginstruksikan kepada saksi dr. Helmi untuk

membuat surat konsul ke bagian anestesi dan pemeriksaan penunjang yang dilakukan

adalah pemeriksaan darah lengkap dan setelah mendapat jawaban konsul dari saksi dr.

Hermanus Jakobus Lalenoh, Sp.An. yang menyatakan bahwa pada prinsipnya setuju

untuk dilaksanakan pembedahan dengan anestesi risiko tinggi, oleh karena ini adalah

operasi darurat maka mohon dijelaskan kepada keluarga risiko yang bisa terjadi

sebelum operasi atau usai operasi.

Terdakwa I (satu) menugaskan kepada dr. Hendy Siagian (terdakwa Ill) untuk

memberitahukan kepada keluarga pasien/ korban tetapi ternyata hal tersebut tidak

dilakukan oleh terdakwa III (tiga) melainkan terdakwa III (tiga) menyerahkan

"informed consent"/ lembar persetujuan tindakan kedokteran tersebut kepada korban

yang sedang dalam posisi tidur miring ke kiri dan dalam keadaan kesakitan dengan

dilihat oleh dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani (terdakwa I) dari jarak kurang lebih 7

(tujuh) meter, dr. Hendry Simanjuntak (terdakwa II) dari jarak kurang lebih 3 (tiga)

meter sampai dengan 4 (empat) meter juga turut diketahui dan dilihat oleh saksi dr.

Helmi.

25 Satochid Kartanegara, Hukum Pidana I, (Tanpa Kota Terbit: Balai Lektur Mahasiswa, Tanpa Tahun),

hal.290.

Penerapan unsur..., Ahmad Dalmy Iskandar Nasution, FH, 2014

Page 15: PENERAPAN UNSUR KELALAIAN (CULPA) DALAM …

15

Tetapi ternyata tanda tangan yang tertera di dalam lembar persetujuan tersebut

adalah tanda tangan karangan sesuai dengan hasil pemeriksaan laboratoris

kriminalistik pada tanggal 09 Juni 2010 NO.LAB. : 509/DTF/2011, yang dilakukan

oleh Drs. Samir, S.St. Mk., Ardani Adhis, S. A.Md. dan lelaki Marendra Yudi L. SE.,

menyatakan bahwa tanda tangan atas nama Siska Makatey alias Julia Fransiska

Makatey pada dokumen bukti adalah tanda tangan karangan/ "spurious signature".

Selanjutnya korban dibawa ke kamar operasi pada waktu kurang lebih pukul

20.15 WITA dalam keadaan sudah terpasang infus dan pada pukul 20.55 WITA dr.

Dewa Ayu Sasiary Prawani (terdakwa I) sebagai operator mulai melaksanakan operasi

terhadap korban dengan dibantu oleh dr. Hendry Simanjuntak (terdakwa II) sebagai

asisten operator I (satu) dan dr. Hendy Siagian (terdakwa III) sebagai asisten operator

II (dua). Bahwa selama pelaksanaan operasi kondisi nadi korban 160 (seratus enam

puluh) x per menit dan saat sayatan pertama mengeluarkan darah hitam sampai dengan

selesai pelaksanaan operasi.

Kemudian pada pukul 22.00 WITA setelah operasi selesai dilaksanakan

kondisi nadi korban 180 (seratus delapan puluh) x per menit dan setelah selesai

operasi baru dilakukan pemeriksaan EKG/ periksa jantung oleh bagian penyakit

dalam, selanjutnya berdasarkan keterangan Ahli Johannis F. Mallo, SH. Sp.F.DFM.

bahwa 30 menit sebelum pelaksanaan operasi sudah terdapat 35 cc udara di dalam

tubuh korban. Bahwa pada saat pelaksanaan operasi, terdakwa I (satu) melakukan

sayatan sejak dari kulit, otot, uterus serta rahim dan pada bagian-bagian tersebut

terdapat pembuluh darah yang sudah pasti ikut terpotong dan saat bayi lahir, plasenta

keluar/terangkat sehingga pembuluh darah yang berhubungan dengan plasenta yaitu

pembuluh darah arteri dan pembuluh darah balik terbuka dan udara bisa masuk dari

plasenta, kemudian berdasarkan hasil visum et repertum disebutkan bahwa udara yang

ditemukan pada bilik kanan jantung korban, masuk melalui pembuluh darah balik

yang terbuka pada saat korban masih hidup. Pembuluh darah balik yang terbuka pada

korban terjadi pada pemberian cairan obat-obatan atau infus, dan dapat terjadi akibat

komplikasi dari persalinan itu sendiri.

Sebab kematian si korban adalah akibat masuknya udara ke dalam bilik kanan

jantung yang menghambat darah masuk ke paru-paru sehingga terjadi kegagalan

fungsi paru dan selanjutnya mengakibatkan kegagalan fungsi jantung, dengan

demikian para terdakwa lalai untuk melakukan sesuatu tindakan atau untuk tidak

Penerapan unsur..., Ahmad Dalmy Iskandar Nasution, FH, 2014

Page 16: PENERAPAN UNSUR KELALAIAN (CULPA) DALAM …

16

melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada situasi dan kondisi

yang tertentu.

Para terdakwa telah melakukan penyimpangan kewajiban, para terdakwa telah

menimbulkan kerugian dengan tindakan kedokteran yang telah dilakukan oleh para

terdakwa terhadap korban, para terdakwa telah menimbulkan suatu hubungan sebab

akibat yang nyata yaitu terdapatnya tindakan kedokteran dari para terdakwa dengan

suatu keadaan korban yang dikatakan darurat sejak tidak terdapat kemajuan persalinan

pada pukul 18.30 WITA tetapi yang seharusnya sejak korban datang dengan surat

rujukan dari puskesmas dan masuk ke ruang Instalasi Rawat Darurat Obstetrik

keadaan korban sudah dapat dikatakan darurat.

Kemudian sejak diketahuinya ketuban dari korban yang telah pecah sejak di

puskesmas, rekam medis yang tidak dibuat sepenuhnya dalam setiap tindakan medis

yang dilakukan, pemasangan infus dengan jenis obat yang tidak diketahui oleh para

terdakwa sampai dengan dikeluarkannya resep obat secara berulang kali hingga

ditolak oleh pihak apotek, tidak terdapatnya koordinasi yang baik di dalam tim

melakukan tindakan medis, terdapatnya "25 informed consent"/ lembar persetujuan

tindakan kedokteran sedangkan para terdakwa berpendapat bahwa tindakan

kedokteran yang dilakukan adalah tindakan cito/ darurat, tidak adanya tindakan

persiapan jika korban secara tiba-tiba mengalami keadaan darurat seperti EKG/

pemeriksaan jantung baru dilakukan setelah korban selesai dioperasi dengan kondisi

gawat, yang seharusnya seluruh tindakan medis dan tindakan kedokteran yang

dilakukan oleh para terdakwa tersebut sebelumnya telah dapat dibayangkan dengan

cara berpikir, pengetahuan atau kebijaksanaan sesuai pengetahuan, keahlian dan

moral yang dimiliki oleh para terdakwa berdasarkan Standar Operasional Prosedur

(SOP) sehingga seluruh tindakan kedokteran yang dilakukan oleh para terdakwa

tersebut telah menimbulkan kerugian terhadap korban yaitu korban meninggal dunia.

Hal-hal diatas tersebut disimpulkan oleh jaksa didasarkan atas barang bukti

dan alat bukti yang diajukan di dalam persidangan. Kemudian, hal ini juga menjadi

pertimbangan hakim agung dalam putusan kasasi kasus Siska Makatey. Di samping

itu, hal yang paling penting menjadi pertimbangan baik oleh jaksa maupun hakim

adalah mengenai penilaian unsur subyektif dalam Pasal 359, yaitu unsur kelalaian.

Dimana, dalam hal penilaian pertanggungjawaban pidana, maka harus di dasarkan

kepada kesalahan yang melekat kepada pelaku.

Penerapan unsur..., Ahmad Dalmy Iskandar Nasution, FH, 2014

Page 17: PENERAPAN UNSUR KELALAIAN (CULPA) DALAM …

17

Unsur kelalaian ini juga mencerminkan syarat sikap batin pada persyaratan

pertanggungjawaban pidana kelalaian medis.

2) Adanya wujud perbuatan tertentu

Unsur wujud perbuatan tertentu merupakan unsur yang terkait dengan unsur

kelalaian, artinya unsur wujud perbuatan tertentu ini merupakan perwujudan nyata dari

unsur kelalaian yang melekat pada batin pelaku dan atau unsur yang dapat

menggambarkan unsur kelalaian secara nyata sehingga dapat ditangkap oleh panca

indera. Berdasarkan fakta-fakta dalam putusan, maka wujud perbuatan tertentu dari

tindakan terdakwa yang menyebabkan matinya korban adalah sebagai berikut:

a. Sejak diketahuinya ketuban korban telah dipecahkan di puskesmas, para terdakwa

tidak membuat rekam medis dalam setiap tindakan medis yang dilakukan;

b. Pemasangan infus dengan jenis obat yang tidak diketahui oleh para terdakwa sampai

dengan dikeluarkannya resep obat secara berulang kali hingga ditolak oleh pihak

apotek;

c. Tidak terdapat kordinasi yang baik di dalam tim para terdakwa;

d. Terdapatnya 25 informed consent atau lembar persetujuan tindakan kedokteran

sedangkan para terdakwa berpendapat bahwa tindakan kedokteran yang dilakukan

adalah tindakan cito/darurat yang tidak membutuhkan lembar persetujuan;

e. Tidak adanya tindakan persiapan jika korban secara tiba-tiba mengalami keadaan

darurat seperti EKG/pemeriksaan jantung, dimana baru dilakukan setelah operasi

selesai dengan kondisi gawat;

f. Pengambilan keputusan operasi cito secsio sesaria oleh para terpidana sangat lambat

sehingga menimbulkan kerugian kepada pasien;

g. Para terpidana yang tidak melakukan upaya terhadap pasien yang telah mengalami

tekanan darah dan kecepatan denyut nadi cukup tinggi.

Unsur ini juga mencerminkan syarat dalam perlakuan medis pada persyaratan

pertanggungjawaban pidana kelalaian medis.

3) Adanya akibat kematian orang lain

Unsur ini terwujud sesuai dengan fakta bahwa sebab kematian si korban adalah

akibat masuknya udara ke dalam bilik kanan jantung yang menghambat darah masuk

ke paru-paru sehingga terjadi kegagalan fungsi paru dan selanjutnya mengakibatkan

kegagalan fungsi jantung, dengan demikian para terdakwa lalai untuk melakukan

sesuatu tindakan atau untuk tidak melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien

tertentu pada situasi dan kondisi yang tertentu.

Penerapan unsur..., Ahmad Dalmy Iskandar Nasution, FH, 2014

Page 18: PENERAPAN UNSUR KELALAIAN (CULPA) DALAM …

18

Unsur ini mencerminkan syarat mengenai hal akibat dalam persyaratan

pertanggungjawaban pidana kelalaian medis.

4) Adanya hubungan kausal antara wujud perbuatan dengan akibat

Unsur ini terwujud sesuai dengan fakta bahwa para terdakwa telah melakukan

penyimpangan kewajiban, para terdakwa telah menimbulkan kerugian dengan

tindakan kedokteran yang telah dilakukan oleh para terdakwa terhadap korban, para

terdakwa telah menimbulkan suatu hubungan sebab akibat yang nyata yaitu

terdapatnya tindakan kedokteran dari para terdakwa dengan suatu keadaan korban

yang dikatakan darurat sejak tidak terdapat kemajuan persalinan pada pukul 18.30

WITA tetapi yang seharusnya sejak korban datang dengan surat rujukan dari

puskesmas dan masuk ke ruang Instalasi Rawat Darurat Obstetrik keadaan korban

sudah dapat dikatakan darurat.

Dengan terpenuhinya seluruh unsur-unsur Pasal 359 KUHP tersebut dan tidak

terdapat dasar pemaaf atau pembenar, maka kepada para terpidana dapat dijatuhi

pidana.

Kesimpulan

Malpraktik medis adalah sebagai kesalahan dokter yang karena tidak menggunakan

ilmu pengetahuan dan tingkat keterampilan sesuai dengan standar profesi kedokteran sehingga

menimbulkan kerugian kepada pasien, seperti: pasien terluka atau cacat hingga meninggal

dunia. Sedangkan, ruang lingkup malpraktik medis adalah terdiri dari malpraktik sebagai dolus

delict atau kesengajaan dan malpraktik sebagai culpoos delict atau kelalaian. Syarat-syarat

pertanggungjawaban kelalaian medis terdiri dari:

a) Syarat sikap batin adalah berupa kelalaian berat (culpa lata), sehingga dapat

membentuk pertanggungjawaban pidana;

b) Syarat dalam perlakuan medis adalah perbuatan atau perlakuan medis menyimpang

dari standar prosedur operasional yang dilakukan oleh dokter dan pelanggaran

terhadap hukum positif;

c) Syarat mengenai hal akibat adalah mengenai timbulnya kerugian bagi kesehatan atau

nyawa pasien;

d) Tidak ada alasan pemaaf dan pembenar.

Hakim pada perkara Putusan Mahkamah Agung Nomor 365/K/PID/2012 dalam

menerapkan unsur kelalaian untuk malpraktik culpoos delict didasarkan kepada sudah

Penerapan unsur..., Ahmad Dalmy Iskandar Nasution, FH, 2014

Page 19: PENERAPAN UNSUR KELALAIAN (CULPA) DALAM …

19

terpenuhinya seluruh unsur-unsur dalam Pasal 359 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dan

terpenuhinya syarat dalam sikap batin dokter, syarat dalam perlakuan medis, syarat mengenai

hal akibat kelalaian medis, dan tidak ada alasan pemaaf dan pembenar.

Saran

Secepatnya diatur rumusan pengertian mengenai malpraktik medis dalam undang-

undang praktik kedokteran agar menjadi acuan kepada berbagai pihak dalam menangani

perkara malpraktik medis dan tidak menimbulkan perbedaan penafsiran terkait malpraktik

medis terutama pada kalangan hukum dan medis.

Kemudian, para penegak hukum, seperti: polisi, jaksa, dan hakim dalam pembuatan

dakwaan, tuntutan maupun putusan harus secara cermat, dan teliti untuk menilai sikap batin

pada setiap perbuatan medis yang dilakukan dokter, serta tidak hanya tergantung kepada

putusan Majelis Kehormatan Etika Kedokteran, karena putusan tersebut tidak bersifat absolut.

Para penegak hukum memiliki kebebasan untuk menilai ada atau tidaknya sebuah kelalaian

dalam kasus malpraktik dengan dilandasi dengan teori-teori hukum pidana dan SOP yang

berlaku dalam kalangan medis. Hal ini bertujuan agar tidak terdapat keraguan dalam

menjatuhkan pidana kepada dokter, serta dapat menjadi pelajaran kepada dokter untuk

bertindak secara hati-hati dan cermat dalam menangani pasien.

Daftar Referensi

Buku:

Ameln, Fred.(1991). Kapita Selekta Hukum Kedokteran. Jakarta:Grafikatama Jaya.

Chazawi, Adami. (2001). Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa. Jakarta: PT.Raja Grafindo

Persada.

Guwandi, J. (2004). Hukum Medik (Medical Law). Jakarta: Balai Penerbit Kedokteran

Universitas Indonesia.

Kanter,E.Y dan S.R.Sianturi. (2002). Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan

Penerapannya. Jakarta:Storia Grafika.

Kartanegara, Satochid. (Tanpa Tahun). Hukum Pidana I. Tanpa Kota Terbit: Balai Lektur

Mahasiswa.

Mariyanti, Ninik. (1988). Malapraktik Kedokteran Dari Segi Hukum Pidana Dan Perdata.

Jakarta:Bina Aksara.

Soekanto, Soerjono dan Herkutanto.(1987). Pengantar Hukum Kesehatan. Bandung:Remadja

Karya.

Penerapan unsur..., Ahmad Dalmy Iskandar Nasution, FH, 2014

Page 20: PENERAPAN UNSUR KELALAIAN (CULPA) DALAM …

20

Soesilo,R. (1993). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-Komentarnya

Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor:Politeia.

Tesis:

Juanita, Ernie. (2009). ”Tuntutan Hukum Pidana Pada Kelalaian Profesi Dokter. Tesis

Magister,Universitas Katolik Soegijapranata Semarang.

Skripsi:

Cakreswara,Kanina. (2012). ”Pertanggungjawaban Pidana Dokter Pada Kasus Malpraktik.

Skripsi Sarjana, UI Jakarta.

Penerapan unsur..., Ahmad Dalmy Iskandar Nasution, FH, 2014