Upload
others
View
10
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS KECELAKAAN
LALU LINTAS
(Analisis Putusan Nomor: 151/Pid.Sus/2013/PN. Jkt. Tim)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh :
LIVIA AMALIA
NIM :11160480000020
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H/ 2021 M
PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS KECELAKAAN
LALU LINTAS
(Analisis Putusan Nomor: 151/Pid.Sus/2013/PN. Jkt. Tim)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H/ 2021 M
i
Oleh :
LIVIA AMALIA
NIM :11160480000020
ii
PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS KECELAKAAN
LALU LINTAS
(Analisis Putusan Nomor: 151/Pid.Sus/2013/PN. Jkt. Tim)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh
LIVIA AMALIA
NIM: 11160480000020
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. JM. Muslimin, M.A. Fathudin, S.H.I., S.H., M.A.Hum., M.H.
NIP. 19680812 199903 1 014 NIP. 19850610 201903 1 007
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H / 2020 M
iii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi yang berjudul “PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS
KECELAKAAN LALU LINTAS (Analisis Putusan Nomor: 151/Pid.Sus/2013/PN.
Jkt. Tim)” telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum
Program Studi Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
pada Tanggal 20 Januari 2021 , Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu (S-1) pada Program Studi
Ilmu Hukum.
Jakarta, Januari 2021
Mengesahkan
Dekan,
Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A.
NIP. 19760807 200312 1 001
PANITIA UJIAN MUNAQASYAH
1. Ketua : Dr. M. Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. ( )
NIP. 19670203 201411 1 101
2. Sekretaris : Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. ( )
NIP. 19650908 199503 1 001
3. Pembimbing I : Dr. JM. Muslimin, M.A. ( )
NIP. 19680812 199903 1 014
4. Pembimbing II : Fathudin, S.H.
5. I., S.H., M.A.Hum., M.H. ( )
NIP. 19850610 201903 1 007
6. Penguji I : Prof. Dr. Abdullah Sulaiman, S.H., M.H. ( )
NIP. 19591231 198609 1 003
7. Penguji II : M. Nuzul Wibawa, S.Ag., M.Hum. ( )
NIDN. 9920112985
iv
LEMBAR PERNYATAAN
Yang Bertanda Tangan Di Bawah Ini :
Nama :Livia Amalia
Tempat, tanggal lahir :Bekasi, 18 November 1998
NIM :11160480000020
Program Studi :Ilmu Hukum
Alamat :Kp. Cijingga No. 34 RT. 001/003 Desa.
Serang, Cikarang Selatan, Bekasi
Nomor Telepon :085774784213
Email :[email protected]
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Strata (S-1) di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika kemudian hari terbukti hasil karya saya bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islan Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 02 Februari 2021
Livia Amalia
v
ABSTRAK
Livia Amalia. NIM 11160580000020. PENERAPAN RESTORATIVE
JUSTICE DALAM KASUS KECELAKAAN LALU LINTAS (Analisis
Putusan Nomor: 151/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Tim), Program Studi Ilmu Hukum,
Fakultas Syariah Dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 1441 H/ 2020 M, ix + 62 halaman + 4 halaman daftar pustaka.
Studi ini bertujuan untuk menjelaskan penerapan restorative justice
terhadap kasus kecelakaan lalu lintas yang terjadi pada Muhammad Rasyid
Abdullah Rajasa. Adapun rumusan masalah, pertama konsep restorative justice
dalam perspektif hukum pidana di Indonesia. Kedua, pertimbangan hakim pada
penerapan restorative justice dalam kasus kecelakaan lalu lintas pada Ptusan
Pengadilan Nomor: 151/Pid.Sus/PN. Jkt. Tim.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif dengan
menggunakan pendekatan penelitian kasus (Case Approach) dan pendekatan
perundang-undangan (Statute Approach) dengan melakukan pengkajian
terhadap peraturan perundang-undangan, buku-buku, jurnal, dan putusan
pengadilan, yang berkaitan dengan judul skripsi ini.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa dalam putusan Nomor:
151/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Tim pertimbangan hakim dalam menerapkan hukum
pada kasus kecelakaan lalu lintas yang terjadi di Tol Jagorawi KM 3+350 yang
dialami oleh Terdakwa Muhammad rasyid Amrullah Rajasa tersebut sudah
berdasarkan pertimbangan yuridis yaitu melihat dari peraturan perundang-
undangan, surat dakwaan, surat tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum, keterangan
saksi dan keterangan terdakwa di dalam persidangan. Seorang hakim mengacu
pada fakta-fakta yang diperoleh, dan juga dari alat bukti yang sah yang terdapat
pada Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Kemudian dari penelitian ini peneliti menemukan bahwa vonis putusan yang
dilakuan Majelis Hakim berupa sanksi keringanan hukuman penjara 5 (lima)
bulan, dimana ada pengecualian yakni tidak usah dijalani jika tidak melakukan
tindak pidana dalam masa percobaan 6 (enam) bulan adanya konsep restorative
justice.
Kata Kunci : Restorative Justice, Muhammad Rasyid,
Pertimbangan Hakim.
Pembimbing Skripsi : 1. Dr. JM. Muslimin, M.A.
2. Fathudin, S.H.I., S.H., M.A.Hum., M.H.
Daftar Pustaka : Tahun 1980 Sampai Tahun 2019
vi
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur hanya untuk Allah SWT. Atas berkat rahmat,
hidayat, dan juga anugerah-Nya peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan
judul “PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS
KECELAKAAN LALU LINTAS (Analisis Putusan Nomor:
151/Pid.Sus/2013/PN. Jkt. Tim)”. Sholawat serta salam tidak lupa tercurah
oleh peneliti kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa
umat manusia dari zaman jahiliah, kepada zaman islamiyah pada saat ini.
Penulisan skripsi ini dilakukan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini tidak
dapat diselesaikan oleh peneliti tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak
selama penyusunan skripsi ini.
Selanjutnya Peneliti ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya atas para pihak yang telah memberikan peranan secara langsung dan
tidak langsung atas pencapaian yang telah dicapai oleh peneliti, yaitu antara lain
kepada yang terhormat:
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., MH., M.A. Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu
Hukum dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. JM. Muslimin, M.A. dan Fathudin, S.H.I., S.H., M.A.Hum., M.H.
Pembimbing Skripsi peneliti, saya ucapkan terimakasih atas kesempatan
waktu, arahan, dan kritik, serta saran yang diberikan demi penelitian yang
saya lakukan.
4. Kepala Urusan Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta, saya ucapkan terimakasih telah memberikan peneliti
fasilitas untuk mencari bahan bacaan dalam menyelesaikan skripsi ini.
vii
5. Kepada kedua orang tua saya Neneng Nuraeni, ayah kandung saya Emun,
dan ayah sambung saya Emed, juga nenek saya Siti Masitoh dan kakek saya
(Alm) H. Ahmad Nahrowi yang telah mendukung saya baik materi ataupun
immateriil berupa motivasi, da’a bahkan kepercayaan untuk dapat
menyelesaikan gelar sarjana ini.
6. Yunita Alnanda Sarawatari dan Sinta Nur Kholifah. saya ucapkan
terimakasih kepada kakak dan adik saya yang telah memberikan semangat,
memberikan dukungan secara finansial, dan selalu mendukung pilihan saya.
7. Semua pihak yang telah memberi kontribusi kepada peneliti dalam
penyelesaian karya tulis ini.
Jakarta, Januari 2021
Livia Amalia
viii
DAFTAR ISI
COVER ................................................................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN BIMBINGAN ........................................................ ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ................................. iii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iv
ABSTRAK ............................................................................................................. v
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ...................... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................... 7
D. Metode Penelitian ............................................................................. 8
D. Sistematika Pembahasan ............................................................... 11
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG RESTORATIVE JUSTICE DAN
KEALPAAN DALAM HUKUM PIDANA ........................................ 13
A. Kerangka Konseptual .................................................................... 13
B. Kerangka Teori .............................................................................. 26
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu .......................................... 38
BAB III RESTORATIVE JUSTICE DALAM HUKUM PIDANA
INDONESIA ......................................................................................... 41
A. Restorative Justice dalam Pembaharuan Hukum Pidana di
Indonesia ......................................................................................... 41
B. Restorative Justice dalam Penyelesaian Kasus Kecelakaan Lalu
Lintas ............................................................................................... 43
ix
C. Contoh Kasus Penggunaan Restorative Justice ........................... 46
BAB IV PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS
LAKALANTAS .................................................................................... 49
A. Kasus Posisi .................................................................................... 49
B. Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Nomor:
151/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Tim ........................................................ 50
C. Analisis Pertimbangan Hukum Hakim ........................................ 59
BAB V PENUTUP ............................................................................................. 69
A. Kesimpulan ..................................................................................... 69
B. Rekomendasi ................................................................................... 70
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 72
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kejahatan dan pelanggaran lalu lintas merupakan fenomena yang
setiap hari harus dihadapi oleh masyarakat, yang setiap harinya masyarakat
melakukan aktivitasnya menggunakan jalan raya. Jalan raya sudah menjadi
kebutuhan pokok bagi masyarakat, agar jalan raya berfungsi semestinya
sebagai kebutuhan pokok, maka perlu adanya peraturan-peraturan tertentu
mengenai ketertiban maupun keamanan guna kenyamanan dan keselamatan
masyarakat yang menggunakannya.
Perkembangan di Indonesia akhir-akhir ini, terutama di kota-kota
besar menunjukan adanya pembaharuan di bidang motorisasi yang begitu
cepat. Salah satunya yaitu dengan begitu meningkatnya jumlah kendaraan
bermotor secara begitu pesat dan tidak proposional dengan perluasan jalan
raya termasuk peningkatan sarana dan prasarana yang menimbulkan
masalah-masalah lalu lintas yakni kemacetan-kemacetan, pelanggaran-
pelanggaran dan kecelakaan-kecelakaan lalu lintas. Data Badan Pusat
Statistik (BPS) mencatat sejak tahun 2009 hingga 2018 pertumbuhan
kepemilikan kendaraan bermotor tiap tahunnya mencapai 9,05 persen.
Tingginya kepemilikan kendaraan bermotor tidak diimbangi dengan ruas
pembangunan jalan, data pertumbuhan jalan di Indonesia tercatat dari tahun
2009 hingga 2018 menunjukan persentase rerata 1,45 persen tiap tahunnya.1
Jalan raya merupakan sarana penting bagi kehidupan manusia karena
segala macam aktivitas manusia sekarang ini tidak lepas dengan
menggunakan mobilitas jalan raya. Oleh karena itu, pihak-pihak yang
bertanggung jawab atas keselamatan penggunaan jalan raya sedemikian
mungkin untuk menanggulangi kecelakaan lalu lintas, dengan cara
menerapkan peraturan yang telah disusun yang sebelumnya telah
1www.bps.go.id diakses pada tanggal 28 September 2020 Pukul 02.34 WIB.
1
2
disosialisasikan. Walaupun dengan demikian, dalam kenyataannya masih
banyak masalah-masalah di jalan raya yang sulit dan belum dapat
ditanggulangi.2
Akhir-akhir ini kasus kecelakaan lalu lintas sangat memprihatinkan
baik secara kualitas maupun kuantitas. Dalam sebuah kasus kecelakaan lalu
lintas seringkali tidak hanya mengakibatkan luka-luka ringan maupun berat
saja, tetapi juga tidak sedikit yang menimbukan kematian. Sepanjang tahun
2020 meskipun tingkat kecelakaan lalu lintas pada pekan ke-31 mengalami
penurunan 10,06 persen dibandingkan dengan pekan sebelumnya, yaitu
pada pekan ke-31 tercatat data yang dihimpun oleh Korlantas Polri
sebanyak 974 kasus dengan korban meninggal dunia sebanyak 189 orang,
luka-luka berat sebanyak 142 orang, dan luka-luka ringan sebanyak 1170
orang dengan kerusakan material sebesar 1.675.500.000 rupiah. Sedangkan
pada pekan sebelumya jumlah kasus kecelakaan lalu lintas yakni pada pekan
ke-30 sebanyak 1.083 kasus dengan korban meninggal dunia 200 orang,
korban luka berat 135 orang, dan yang mengalami luka ringan 139 orang
dengan kerugian material sebesar 1.958.801.700 rupiah.3
Pada hari Selasa tanggal 1 Januari 2013, masyarakat Indonesia
dikejutkan dengan berita kecelakaan yang mengakibatkan kematian.
Kecelakaan lalu lintas di Tol Jagorawi, KM 3+350 yang mengakibatkan 3
(tiga) korban luka ringan dan 2 (dua) korban tewas yaitu Harun (57 tahun)
dan Raihan (14 bulan). Kecelakaan lalu lintas ini terjadi bermula ketika
kedua mobil berada di jalur paling kanan. Mobil Daihatsu Luxio berada di
depan, lalu tiba-tiba ditabrak oleh mobil BMW hingga pintu samping mobil
Daihatsu Luxio terbuka dan penumpang jatuh hingga kedua penumpang
tewas. Penyebab utama kecelakaan itu, yaitu merupakan putra bungsu Hatta
Rajasa yang pada saat itu sedang menjabat sebagai Menteri Perekonomian
2Marjan Miharja, Diversi dan Restoratif Justice dalam Penanganan Kecelakaan Lalu
Lintas, (Pasuruan: Qiara Media, 2019) h.3. 3https://otomotif.kompas.com/read/2020/08/06/082200515/kasus-kecelakaan-lalu-lintas-
di-indonesia-diklaim-turun-10-persen diakses pada tanggal 28 September 2020 Pukul 03.09 WIB.
3
pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yaitu M. Rasyid
Amrullah Rajasa.
Pelaku sendiri telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Metro
Jaya. Adpaun pelanggaran yang telah dilakukan oleh putra bungsu Hatta
Rajasa ini. Pertama, kelalaian dalam berlalu lintas yang mengakibatkan
kecelakaan lalu lintas dengan kerusakan barang/kendaraan (Pasal 310 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009, ayat (2) dan ayat (3)
menyebutkan perbuatan pidana yang telah dilakukan oleh M. Rasyid, yaitu
kelalaian dalam berlalu lintas yang menimbulkan kecelakaan dengan korban
luka ringan dan kerusakan barang/kendaraan ayat (2) dan kelalaian dalam
berlalu lintas yang menyebabkan kecelakaan dengan luka berat ayat (3).
Pengadilan Negri Jakarta Timur sudah memvonis pelaku 5 (lima) bulan
kurungan dengan hukuman percobaan 6 (enam) bulan serta denda 12 juta
subsider enam bulan kurungan, penetapan hukuman kurungan tidak akan
dijalankan kecuali apabila dalam kurun 6 (enam) bulan pelaku melakukan
pidana kembali.4
Sebagian besar kecelakaan lalu lintas diakibatkan oleh kesalahan dan
kelalaian manusia (human error). Ketidak-taatan pengemudi/pengendara
pada peraturan lalu lintas adalah sebagai penyebab utama terjadinya
kecelakaan lalu lintas tersebut, disamping buruknya karakter pribadi
pengemudi/pengendara seperti ingin menang sendiri, tak peduli atas orang
lain sehingga orang lain menjadi susah karenanya, selain itu penyebab lain
adalah mau untung sebanyak-banyaknya walaupun harus mencelakakan
orang lain.5
Salah satu fungsi hukum yaitu sebagai sarana perubahan masyarakat,
fungsi ini mengandung arti bahwa hukum itu menciptakan pola-pola
masyarakat. Pola-pola tersebutlah yang tentunya harus mampu mendukung
terciptanya suatu kondisi yang menjunjung pembangunan di berbagai
4Lihat Putusan Pengadilan No:151/Pid.Sus/2013/PN. Jkt. Tim. h. 2. 5Marjan Miharja, Diversi dan Restoratif Justice dalam Penanganan Kecelakaan Lalu
Lintas, h.5.
4
sektor. Di setiap negara hukum pelaku penyimpangan aturan hukum
diharuskan mempertanggungjawabkan apa yang telah diperbuatnya, suatu
perbuatan dapat dipidana apabila perbuatan hukum tersebut memenuhi
unsur kesalahan yang telah dirumuskan dalam Undang-Undang. Mengenai
sistem peradilan di Indonesia, sekarang ini dinilai masih belum sesuai
dengan harapan masyarakat. Banyak kritikan yang dilontarkan dan kerap
menimbulkan keputusan para pencari keadilan terhadap sistem peradilan di
Indonesia. Hal ini dapat dimaklumi karena masyarakat menginginkan agar
lembaga peradilan dapat memberikan keadilan kepada masyarakat yang
tepat dan sesuai.6
Keadilan tidak dapat tercapai, apabila kepastian hukum terpenuhi,
karena subjek hukum tertentu dapat dihukum tanpa memperhatikan terlebih
dahulu, apakah tindakan yang dianggap suatu pelanggaran atau kejahatan,
yang memang merupakan suatu delik.7 Keterkaitan antara nilai keadilan
dengan kepastian hukum sangat erat, yakni memberikan perlindungan yang
bermanfaat terhadap hak-hak setiap individu, dimana hal tersebut
dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang seadil-adilnya.
Dalam hukum pidana di Indonesia biasanya penyelesaian perkara
menekankan pada penerapan retributive justice. Pendekatan retributive
justice ini perlu direformasi yaitu dengan alternatif penyelesaian masalah
pidana dengan penekanan pada pemulihan masalah/konflik dan
pengambilan keseimbangan masyarakat yakni dengan restorative
justice.8Sistem peradilan pidana di Indonesia dinilai masih bersifat offender
oriented, yaitu terlalu mengedepankan hak-hak tersangka atau terdakwa
sebagaimana yang dikemukakan oleh Andi Hamzah:
6Muhammad Rusli, Potret Lembaga Pengadilan Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pres, 2006),
h.180. 7E. Fernando M. Manulang, Menggapai Hukum Berkeadilan Tinjauan Hukum Kodrat dan
Antinomi Nilai, (Jakarta: Januari, 2007), h. 101. 8Ali Sodikin, Restorative Justice daalam Tindak Pidana Pembunuhan: Persfektif Hukum
Pidana Indonesia dan Hukum Pidana Islam, dalam As-Syari’ah, 49, Edisi 1 Juni 2015, h.29.
5
“Dalam membahas hukum acara pidana khususnya yang berkaitan
dengan hak-hak asasi manusia, ada kecenderungan untuk
mengupashal-hal yang berkaitan dengan hak-hak tersangka tanpa
memperhatikan pula hak-hak para korban. Korban tidak diberikan
kewenangan dan tidak terlibat secara aktif dalam proses penyidikan
dan persidangan sehingga ia kehilangan kesempatan untuk
memperjuangkan hak-hak dan memulihkan keadaanya akibat suatu
kejahatan”.9
Akibat sistem peradilan pidana yang cenderung offender oriented,
maka diperlukannya konsep penyelesaian diluar sistem peradilan pidana.
Solusi yang ditawarkan, yaitu penyelesaian perkara pidana dengan konteks
keadilan restorative justice (keadilan restoratif). Konsep pendekatan
restorative justice merupakan suatu konsep yang lebih menitikberatkan
pada kondisi terciptanya keadilan bagi pelaku dan korban.10 Konsep
restorative justice yaitu suatu konsep penyelesaian masalah/konflik yang
terjadi dengan melibatkan para pihak yang berkepentingan dengan tindak
pidana yang terjadi (korban, pelaku, keluarga korban, keluarga pelaku,
masyarakat, dan penengah).11
Mark S Umbreit menyatakan bahwa keadilan restoratif memberi
kerangka kerja yang sangat berbeda dalam menanggapi kejahatan. Pihak-
pihak yang terkena langsung oleh kejahatan, yakni korban, anggota
masyarakat dan pelaku yang melakukan tindak pidana dianjurkan untuk
memegang peran aktif dalam proses peradilan. Dari pada menitikberatkan
pada penghukuman terhadap pelaku, lebih baik menitikberatkan pada
pemulihan kehilangan baik emosi maupun materiil.12
Restorative justice mengupayakan me-restore keamanan korban,
penghormatan pribadi, martabat, dan yang paling penting adalah sense of
9Dikdik M. Arief Mansur & Elisatri Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan
antara Norma dan Realita, (Jakarta: Raja Grafindo, 2008), h.25. 10Bambang Waluyo, Viktimologi perlindungan korban dan saksi, (Jakarta: Sinar Grafika,
2012), h. 58. 11Marlina, Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice dalam Hukum Pidana,
(Medan: USU Press, 2010), h.2. 12Muhammad. Hatta Ali, Peradilan Sederhana Cepat & Biaya Ringan Menuju Keadilan
Restoratif, (Bandung: PT Alumni, 2012), h.321.
6
control (rasa dari control). Dengan menganut paradigma restorative justice,
diharapkan kerugian dan penderitaan yang dialami oleh korban dan
keluarganya dapat dipulihkan oleh si pelaku, dan juga beban rasa
bersalahpelaku kejahatan berkurang karena telah mendapatkan maaf dari
korban atau keluarganya.13 Dengan adanya pemahaman seperti ini,
penegakan hukum memberi ruang partisipasi antar korban dan pelaku dalam
bentuk kesepakatan yang bisa merestorasi hubungan keduanya sebagaimana
sebelum terjadinya tindak pidana.
Mengingat adanya pendekatan restorative justice pada penyelesaian
tindak pidana pada lakalantas di Indonesia pada umumnya, mendorong
peneliti untuk meneliti dan mengkaji lebih dalam penerapan hukum dan
pertimbangan hakim dalam menyelesaikan perkara kecelakaan lalu lintas
dikaitkan dengan konsep restorative justice ke dalam sebuah penelitian
skripsi yang berjudul “PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE
DALAM KASUS KECELAKAAN LALU LINTAS (Analisis Putusan
Nomor: 151/Pid.Sus/2013/PN. Jkt. Tim)”.
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Adapun beberapa permasalahan yang ditemukan dalam penelitian
ini diantaranya:
a. Kurangnya kesadaran masyarakat terhadap peraturan lalu lintas.
b. Belum adanya Undang-Undang yang mengatur jelas tentang
restorative justice.
c. Perbedaan pendapat antara Jaksa dan Hakim mengenai penerapan
hukum terhadap perkara Nomor: 151/Pid.Sus/2013/PN. Jkt. Tim.
d. Pemidanaan di Indonesia yang masih mengedepankan retributive
justice disbanding restorative justice.
13Bambang Waluyo, Penegakan Hukum di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2016), h.108.
7
2. Pembatasan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang telah dipaparkan di
atas terdapat banyak masalah yang teridentifikasi, agar penelitian lebih
terfokus pembahasannya maka membuat peneliti membatasi
masalahnya hanya pada penerapan restorative justice dan pertimbangan
hakim dalam menyelesaikan kasus tindak pidana lakalantas dalam
perkara Nomor: 151/Pid.Sus/2013/PN. Jkt. Tim.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah yang sudah dipaparkan, maka
perumusan masalah yang diangkat oleh peneliti yaitu tentang penerapan
restorative justice dan pertimbangan hakim dalam menyelesaikan kasus
tindak pidana lakalantas dalam perkara Nomor: 151/Pid.Sus/2013/PN.
Jkt. Tim. Untuk mempertegas dan mempermudah perumusun masalah,
peneliti uraikan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
a. Bagaimana konsep restorative justice dalam perspektif hukum
pidana di Indonesia?
b. Bagaimana penerapan restorative justice dalam kasus kecelakaan
lalu lintas sebagaimana menurut Putusan Pengadilan Nomor:
151/Pid.Sus/PN. Jkt. Tim?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi dan
pengetahuan sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui penerapan restorative justice terhadap kasus
perkara Nomor: 151/Pid.Sus/2013/PN. Jkt. Tim.
b. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam memutus perkara
Nomor: 151/Pid.Sus/2013/PN. Jkt. Tim.
8
2. Manfaat Penelitian
Berdasarkan uraian diatas, secara garis besar manfaat penelitian ini
adalah sebagai berikut:
a. Manfaat Teoritis
Adapun dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat dijadikan
sumber atau bahan kajian mengenai penyelesaian tindak pidana
melalui restorative justice.
b. Manfaat Praktis
Bagi kalangan akademisi dapat dijadikan sebagai informasi ilmiah
guna untuk mengembangkan pengkajian dan pembahasan lebih
mendalam mengenai pertimbangan hakim dalam memutus perkara
menggunakan prinsip teori hukum restorative justice, dan bagi
masyarakat luas, diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan
wawasan dan pemahaman baru lagi.
D. Metode Penelitian
Penelitian merupakan suatu proses dari kegiatan mengumpulkan,
mengolah, menyajikan dan menganalisis suatu data dalam sebuah peristiwa.
Untuk memperoleh suatu hasil kajian yang dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah, maka metode yang digunakan adalah sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif.
Penelitian hukum normatif sering juga disebut sebagai penelitian hukum
doktrinal, yaitu penelitian yang mengkaji hukum yang dikonsepkan sebagai
norma atau kaidah perundang-undangan menurut doktrin positivisme.14
2. Pendekatan Penelitian
14 Jonaedi Efendi dan Johnny Ibrahim, Metodologi Penelitian Hukum Normatif dan
Empiris, (Depok: Prenadamedia Group, 2018), h.124..
9
Pendekatan kasus (Case Approach) bertujuan untuk mempelajari
penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam
peraktik hukum. Terutama mengenai kasus-kasus yang telah diputus
sebagaimana yang dapat dilihat dalam yurisprudensi terhadap perkara-
perkara yang menjadi fokus penelitian.15 Pendekatan kasus (Case
Approach) digunakan kalangan praktisi dalam melakukan penelitian
dengan mengidentifikasi putusan-putusan pengadilan yang telah
berkualifikasi yurisprudensi untuk digunakan dalam perkara konkret.16
Selanjutnya pendekatan perundang-undangan (Statute Approach),
pendekataan ini dilakukan dengan menelaah semua peraturan
perundang-undangan yang bersangkut paut dengan permasalahan (isu
hukum) yang sedang dihadapi. Pendekatan perundang-undangan ini
dilakukan dengan mempelajari konsistensi/kesesuaian antara Undang-
Undang Dasar dengan Undang-Undang, atau antar Undang-Undang
yang satu dengan Undang-Undang yang lain.17
3. Sumber Bahan Hukum
Sumber bahan hukum yang digunakan oleh penulis pada penelitian
iniada dua sumber bahan hukum, antara lain:
a. Bahan Hukum Primer
Sumber bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang bersifat
autoritatif artinya mempunyai otoritas dan mengikat, berupa
peraturan perundang-undangan.18 Adapun dalam penelitian ini
penulis mengambil bahan hukum primer dari Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan,
KUHP, KUHAP, dan salinan putusan pengadilan Nomor:
151/Pid.Sus/2013/PN. Jkt. Tim.
15Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, h.321. 16I Made Pasek Diantha, Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Prenada Media
Group, 2016) h.165. 17Peter Mahmud Marzuki, Penilitian Hukum Edisi Revisi, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2014), h.93 18Peter Mahmud Marzuki, Penilitian Hukum Edisi Revisi, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2014), h.141.
10
b. Bahan Hukum Sekunder
Sumber bahan hukum sekunder, merupakan bahan hukum yang
diperoleh dari sumber bukan asli yang memuat informasi. Biasanya
berupa doktrin, pendapat hukum, atau teori yang diperoleh dari
literatur hukum, hasil penelitian, artikel ilmiah, juga website yang
terkait dengan penelitian. Bahan hukum sekunder ini bermanfaat
untuk memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer dan untuk
mrmahami atau menganalisis bahan hukum primer.
4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah studi kepustakaan yang mempelajari pengetahuan-pengetahuan
dasar mengenai hukum pidana, tindak pidana kealpaan, restorative
justice dan lakalantas.Studi pustaka ialah teknik pengumpulan data
dengan mengumpulkan data melalui buku-buku, literatur-literatur,
jurnal, peraturan perundang-undangan, dokumen, atau hasil penelitian
yang selaras dengan tema yang diangkat dalam penelitian ini.
5. Teknik Pengolahan Bahan Hukum
Dalam pengolahan bahan hukum dalam penilitian ini yaitu
menggunakan metode kualitatif, yakni dengan cara mengumpulkan
bahan hukum sebanyak-banyaknya yang kemudian diolah dan dijadikan
kesatuan bahan hukum untuk mendeskripsikan permasalahan yang akan
dibahas dengan mengambil materi yang relevan dengan permasalahan
lalu dikomparasikan yaitu dari bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder. Kemudian sumber-sumber hukum tersebut di klasifikasikan
agar memudahkan dalam menganalisa.
6. Teknik Analisa Bahan Hukum
Proses analisis bahan hukum yang digunakan oleh penulis dalam
penelitian ini yaitu menggunakan metode normatif-kualitatif. Bahan
hukum yang sudah di klasifikasikan dari bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder kemudian dilakukan analisa dengan cara menguraikan
isi dalam bentuk penafsiran dan argumentasi rasional untuk
11
mempertahankan gambaran yang sudah diperoleh. Selanjutnya penulis
juga menggunakan metode analisis deduktif, yaitu dengan cara
menganalisis bahan hukum yang bertitik tolak dari bahan hukum yang
bersifat umum kemudian ditarik pada kesimpulan yang khusus.
7. Teknik Penulisan
Dalam penyusunan penulisan proposal skripsi ini, penulismerujuk
pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi yang Diterbitkan oleh Fakultas
Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2017”.
E. Sistematika Pembahasan
Pembahasan penelitian ini dibagi menjadi beberapa bab-bab agar
dapat memudahkan para pembaca untuk memahami isi dari penelitian ini,
yang terdiri dari:
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini memaparkan latar belakang masalah, pokok
permasalahan yang menjadi acuan dalam penelitian
ini yaitu identifikasi masalah, pembatasan masalah
dan perumasan masalah, Terdapat juga tujuan dari
penelitian, metode penelitian, dan sistematika
penulisan dalam penelitian ini.
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG RESTORATIVE
JUSTICE, DAN KEALPAAN DALAM HUKUM
PIDANA
Dalam bab ini dibagi menjadi tiga sub bab
pembahasan, sub bab yang pertama memaparkan
mengenai tindak pidana kealpaan yang menjelaskan
terkait pengertian tindak pidana kealpaan dan teori-
teorinya. Sub bab kedua yaitu memaparkan terkait
restorative justice dan yang terakhir yaitu sub bab
ketiga yaitu memaparkan mengenai lakalantas.
12
BAB III : RESTORATIVE JUSTICE DALAM HUKUM
PIDANA INDONESIA
Dalam bab ini terdiri dari dua sub bab pembahasan.
Pertama menjelaskan mengenai restotarive justice
dalam penyelesaian kasus kecelakaan lalu lintas,
yang kedua menjelaskan mengenai restotarive
justice dalam pembaharuan hukum pidana di
Indonesia.
BAB IV : PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE
DALAM KASUS LAKALANTAS
Dalam bab ini terbagi menjadi tiga sub bab
pembahasan, Pertama adalah terkait pemaparan
kronologi kasus, kedua menjelasakan tentang
pertimbangan hakim dalam memutus perkara
Nomor: 151/Pid.Sus/2013/PN. Jkt. Tim. ketiga
menjelaskan tentang analisis penulis terhadap
pertimbangan hakim.
BAB V : PENUTUP
Dalam bab ini berisi kesimpulan atas pertanyaan
penelitian yang telah diajukan dan rekomendasi atas
penelitian ini.
13
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG RESTORATIVE JUSTICE DAN
KEALPAAN DALAM HUKUM PIDANA
A. Kerangka Konseptual
Dalam pembahasan ini, akan diuraikan beberapa konsep-konsep terkait
beberapa istilah yang akan sering digunakan, sehingga dalam hal ini peneliti
mencoba untuk memberikan berbagai konseptual dalam rangka
menyederhanakan pemahaman terhadap penelitian ini berupa:
1. Penerapan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pengertian
penerapan adalah perbuatan menerapkan, sedangkan menurut beberapa
ahli, penerapan adalah suatu perbuatan mempraktekkan suatu teori,
metode, dan hal lain untuk mencapai tujuan tertentu dan untuk suatu
kepentingan yang diinginkan oleh suatu kelompok atau golongan yang
telah terencana dan tersusun sebelumnya. Menurut Usman, penerapan
(implementasi) adalah bermuara pada aktivitas, aksi, tindakan, atau
adanya mekanisme suatu sistem. Implementasi bukan sekedar aktivitas,
tetapi suatu kegiatan yang terencana dan untuk mencapai tujuan
kegiatan.1 Menurut Setiawan penerapan (implementasi) adalah
perluasan aktivitas yang saling menyesuaikan proses interaksi antara
tujuan dan tindakan untuk mencapainya serta memerlukan jaringan
pelaksana, birokrasi yang efektif.2
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan
bahwa kata penerapan (implementasi) bermuara pada aktifitas, adanya
aksi, tindakan, atau mekanisme suatu sistem. Ungkapan mekanisme
mengandung arti bahwa penerapan (implementasi) bukan sekedar
aktifitas, tetapi suatu kegiatan yang terencana dan dilakukan secara
1 Nurdin Usman, Konteks Implementasi Berbasis Kurikulum, (Jakarta: Grasindo, 2002),
h.70. 2 Guntur Setiawan, Implementasi dalam Birokrasi Pembangunan, (Jakarta: Balai Pustaka,
2004), h. 39.
13
14
sungguh-sungguh berdasarkan acuan norma tertentu untuk mencapai
tujuan kegiatan.
Penerapan atau penegakan hukum menurut pendapat Soerjono
Soekanto adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang
terjabarkan dalam kaidah-kaidah, pandangan-pandangan yang mantap
dan mengejawantahkannya dalam sikap, tindak sebagai serangkaian
penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan kedamaian pergaulan
hidup.3 Dalam hal penegakan hukum di Indonesia khususnya dalam
pemberantasan korupsi, Satjipto Rahardjo berpandangan bahwa pada
umumnya kita masih terpaku cara penegakan hukum yang
konvensional, termasuk kultur. Hukum yang dijalankan berwatak liberal
dan memiliki kultur liberal yang hanya menguntungkan sejumlah kecil
orang (privileged few) di atas “penderitaan” banyak orang. Untuk
mengatasi ketidakseimbangan dan ketidakadilan itu, kita bisa
melakukan langkah tegas (affirmative action). Langkah tegas itu dengan
menciptakan suatu kultur penegakan hukum yang beda, sebutlah kultur
kolektif. Mengubah kultur individual menjadi kolektif dalam penegakan
hukum memang bukan hal yang mudah.4
Sudikno Mertokusumo,5 mengatakan bahwa hukum berfungsi
sebagai perlindungan kepentingan manusia, sehingga hukum harus
dilaksanakan secara normal, damai, tetapi dapat terjadi pula pelanggaran
hukum, sehingga hukum harus ditegakkan agar hukum menjadi
kenyataan. Dalam penegakan hukum mengandung tiga unsur, pertama
kepastian hukum (rechtssicherheit), yang berarti bagaimana hukumnya
itulah yang harus berlaku dan tidak boleh menyimpang, atau dalam
pepatah meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan (fiat justitia
et pereat mundus). Hukum harus dapat menciptakan kepastian hukum
3 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 1983), h. 3. 4 Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta: Kompas, 2007), h. 142-143. 5 Sudikno mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty,
2005), h.160.
15
karena hukum bertujuan untuk ketertiban masyarakat. Kedua
kemanfaatan (zweekmassigkeit), karena hukum untuk manusia maka
pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus memberi manfaat atau
kegunaan bagi masyarakat, jangan sampai justru karena hukumnya
diterapkan menimbulkan keresahan masyarakat. Ketiga keadilan
(gerechtigheit), bahwa dalam pelaksanaan hukum atau penegakan
hukum harus adil karena hukum bersifat umum dan berlaku bagi setiap
orang dan bersifat menyamaratakan. Tetapi hukum tidak identik dengan
keadilan karena keadilan bersifat subyektif, individualistic dan tidak
menyamaratakan.
Andi Hamzah mengemukakan penegakan hukum disebut dalam
bahasa Inggris Law Enforcement, bahasa Belanda rechtshandhaving.
Beliau mengutip Handhaving Milieurecht, 1981, Handhaving adalah
pengawasan dan penerapan (atau dengan ancaman) penggunaan
instrumen administratif, kepidanaan atau keperdataan dicapailah
penataan ketentuan hukum dan peraturan yang berlaku umum dan
individual. Handhaving meliputi fase law enforcement yang berarti
penegakan hukum secara represif dan fase compliance yang berarti
preventif.6
2. Restorative Justice
Restorative justice atau Keadilan Restoratif adalah penyelesaian
perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga
pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari
penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada
keadaan semula, dan bukan pembalasan.
Restorative justice adalah salah satu upaya alternatif penyelesaian
perkara pidana yang menekankan pada pemulihan masalaah/konflik dan
pengambilan keseimbangan masyarakat. Konsep ini menitikberatkan
pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku dan
6 Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h.48.
16
korban, dan dengan tujuan meminimalisir over capacity
rutan.Restorative justice pada dasarnya merupakan proses damai yang
melibatkan mereka yang memiliki peranan dalam suatu tindak pidana
tertentu dan secara kolektif diidentifikasikan menderita kerugian, dan
sekaligus mempunyai kebutuhan, serta kewajiban, dengan maksud
sedapat mungkin untuk memulihkannya dan memperlakukannya sebaik
mungkin.
Beberapa pengertian restorative justice yang dikemukakan oleh para
ahli, antara lain:
a. Menurut Braithwaite bahwa restorative justice lebih berkaitan
dengan usaha penyembuhan atau pemulihan, daripada
menderitakan, pembelajaran moral, partisipasi masyarakat, dan
kepedulian masyarakat, dialog yang saling menghormati, pemaafan,
tanggungjawab, permintaan maaf, dan mengganti kerugian.7
b. Menurut Tony F. Marshall seorang ahli kriminologi mengatakan
bahwa restorative justice adalah sebuah proses dimana para pihak
yang berkepentingan dalam pelanggaran tertentu bertemu bersama
untuk menyelesaikan persoalan secara berama-sama bagaimana
menyelesaikan akibat dari pelanggaran tersebut demi kepentingan
masa depan.8
c. Menurut Howad Zahr keadilan restoratif adalah proses untuk
melibatkan dengan menggunakan segala kemungkinan, selaku pihak
terkait dan pelanggaran tertentu dan untuk mengidentifikasi serta
menjelaskan ancaman, kebutuhan dan kewajiban dalam rangka
menyembuhkan serta menempatkan hal tersebut sedapat mungkin
sesuai dengan tempatnya.9
7John Braithwaite, Restorative Justice and Responsive Regulation, (New York: Oxford
University Press, 2002), h. 11. 8Mahmud Siregar dkk, Pedoman Praktis Melindungi Anak Dengan Hukum Pada Situasi
Emergensi Dan Bencana Alam, (Medan: Pusat Kajian Dan Perlindungan Anak (PKPA), 2007), h.
34. 9Bambang Waluyo, Penegakan Hukum di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2016), h. 109.
17
Restorative justice telah berkembang secara global diseluruh dunia.
Dibanyak negara, restorative justice menjadi satu dari sejumlah
pendekatan penting dalam kejahatan dan keadilan yang secara terus
menerus dipertimbangkan di sistem peradilan dan undang-undang.
Sesuai dengan penyebaran proses ini di seluruh dunia maka timbul
beberapa inovasi yang memang terbuka untuk restorative justice. Lebih
memudahkan restorative justice memandang bahwa:
a. Kejahatan adalah pelanggaran terhadap rakyat dan hubungan antar
warga masyarakat.
b. Pelanggaran menciptakan kewajiban.
c. Keadilan mencakup para korban, para pelanggar, dan warga
masyarakat di dalam suatu upaya untuk meletakkan segala
sesuatunya secara benar.
d. Fokus sentralnya: para korban membutuhkan pemulihan kerugian
yang dideritanya (baik secara fisik, psikologis, dan materi) dan
pelaku bertanggung jawab untuk memulihkannya (biasanya dengan
cara pengakuan bersalah dari pelaku, permohoanan maaf dan rasa
penyesalan dari pelaku dan pemberian kompensasi atau restitusi).10
Selama ini penggunaan proses Restorative Justice di Indonesia
didasarkan pada diskresi dan diversi ini merupakan upaya pengalihan
dari proses peradilan pidana keluar proses formal untuk diselesaikan
melalui musyawarah. Pada dasarnya penyelesaian masalah dan sengketa
melalui jalan musyawarah bukan merupakan hal asing bagi masyarakat
Indonesia. sejak sebelum Belanda datang ke Indonesia hukum adat yang
merupakan hukum asli Indonesia, sudah menggunakan jalan
musyawarah untuk menyelesaikan segala macam sengketa, baik perdata
maupun pidana dengan tujuan untuk mengembalikan keseimbangan
atau memulihkan keadaan. Dimana pada dasarnya sistem ini telah sesuai
10Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial
Prudence), (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), h. 249.
18
dengan tujuan dari sistem peradilan pidana itu sendiri yang dirumuskan
oleh Madjono sebagai berikut:11
a) Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.
b) Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat
puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana;
dan
c) Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak
mengulangi lagi kejahatannya.
Bagir Manan berpendapat, bahwa prinsip dalam sistem Restorative
Justice yaitu: “membangun partisipasi bersama antara pelaku, korban,
dan kelompok masyarakat untuk menyelesaikan suatu peristiwa atau
tindak pidana. Menempatkan pelaku, korban, dan masyarakat sebagai
stakeholders yang bekerjasama dan langsung berusaha menemukan
penyelesaian yang dipandang adil bagi semua pihak (win win
solution).”12
Pada suatu proses restoratif, kepentingan-kepentingan korban
adalah jauh bersifat sentral dibanding dalam proses-proses hukum acara
pidana saat ini. Di beberapa negara telah mengadopsi suatu legislasi
yang menetapkan hak-hak prosedural yang dimiliki oleh korban
sepanjang suatu proses hukum acara pidana atau proses dari hukum
acara pidana remaja.13 Bentuk atau variasi penerapan restorative
justicemerupakan praktik yang sebagian dari tradisi dalam masyarakat
atau hasil dari penelitian dan perjalananpanjang dari contoh yang
diambil sebagai cara alternatif untuk menyelesaikan kasus pidana di luar
peradilan.
11Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana-Perspektif Eksistensialisme dan
Abolisionisme, (Bandung: Binacipta, 1996), h.15. 12Bagir Manan, Restorative Justice (suatu perkenalan) dalam buku Refleksi dinamika
hukum rangkaian pemikiran dalam dekade terakhir, (Jakarta: Perum Percetakan Negara RI, 2008),
h. 4. 13Rufinus Hitmaulana Hutauruk, Penanggulangan Kejhatan Korporasi Melalui
Pendekatan Restoratif Suatu Trobosan Hukum, (Jakarta: Sinat Grafika, 2014), h. 264.
19
Bentuk praktik restorative justice yang telah berkembang di negara
Eropa, Amerika Serikat, Canada, Australia, dan New Zealand, dimana
bentuk ini dapat dikelompokan dalam empat jenis praktik yang menjadi
pioner penerapan restorative justice dibeberapa negara yaitu, Victim
Offender Mediation, Conferencing/Family Group Conferencing,
Circles dan Restorative Board/Youth Panels. Adapun penjelasannya
sebagai berikut:
1) Victim Offender Mediation, dalam pelaksanaan dilakukan nya VOM
yaitu memberi penyelesaian terhadap perstiwa yang terjadi,
diantaranya dengan membuat sanksi alternatif bagi pelaku atau
untuk melakukan pembinaan ditempat khusus bagi pelanggaran
yang benar-benar serius. Dalam bentuk dasarnya proses ini
melibatkan dan membawa bersama korban dan pelakunya kepada
satu mediator yang mengkoordinasi dan memfasilitasi
pertemuan.Sasaran dari VOM yaitu proses penyembuhan terhadap
korban dengan menyediakan wadah bagi semua pihak untuk
bertemu dan berbicara secara sukarela serta memberi kesempatan
pada pelaku belajar terhadap akibat dari perbuatannya itu serta
membuat rencana penyelesaian kerugian yang terjadi.14
2) Conferencing/Family Group Conferencing. Yaitu memiliki tujuan
mendapatkan kejelasan dari peristiwa yang terjadi dengan memberi
semangat kepada pelaku, mengembalikan kerugian korban,
melakukan reintegrasi korban ke masyarakat dan pertanggung
jawaban bersama.15 Sasarannya memberikan kesempatan kepada
korban untuk terlibat secara langsung dalam diskusi dan pembuatan
keputusan mengenai pelanggaran yang terjadi padanya dengan
sanksi yang tepat bagi pelaku serta mendengar secara langsung
14Marlina, Perlindungan Pidana Anak di Indonesia Pengembangan Konsep Diversi dan
Restorative Justice,(Bandung: PT. Refika Aditama, 2009), h. 184. 15Marlina, Perlindungan Pidana Anak di Indonesia Pengembangan Konsep Diversi dan
Restorative Justice, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2009), h. 189.
20
penjelasan dari pelaku tentang pelanggaran yang terjadi. Kemudian
meningkatkan kepedulian pelaku atas akibat perbuatannya kepada
orang lain serta memberi kesempatan pelaku bertanggung jawab
penuh atas perbuatannya. Terakhir adalah memberikan kesempatan
korban dan pelaku untuk saling berhubungan dalam memperkuat
kembali tatanan masyarakat yang sempat terpecah karena terjadinya
pelanggaran oleh pelaku terhadap korban.
3) Circles. Bentuk restorative justice ini memiliki tujuan untuk
membuat penyelesaian terhadap suatu tindak pidana dengan
mempertemukan korban, pelaku, masyarakat dan pihak lainnya
yang berkepentingan dengan terjadinya suatu tindak pidana. Sasaran
yang ingin dicapai melalui proses circles adalah terlaksananya
penyembuhan pada pihak yang terluka karena tindakan pelaku dan
memberi kesempatan kepada pelaku untuk memperbaiki dirinya
dengan tanggung jawab penyelesaian kesepakatan. Masyarakat
digugah untuk peduli terhadap permasalahan anak ada disekitarnya
dan mengawasi penyebab dari tindakan yang besangkutan.16
4) Restorative Board/Youth Panels.Pada bentuk yang satu ini restoratif
memiliki tujuan menyelesaikan perkara tindak pidana melibatkan
pelaku, korban, masyarakat, mediator dan juga hakim, jaksa dan
pembela secara bersama merumuskan bentuk sanksi yang tepat bagi
pelaku dan ganti rugi bagi korban atau masyarakat. Sasarannya
adalah peran serta aktif anggota masyarakat secara langsung dalam
proses peradilan tindak pidana, kemudian memberi kesempatan
kepada korban dan anggota masyarakat melakukan dialog secara
langsung dengan pelaku. Dalam pertemuan yang diadakan tersebut
pelaku melakukan pertanggungjawaban secara langsung atas
tindakan yang telah dilakukannya.17
16Marlina, Perlindungan Pidana Anak di Indonesia Pengembangan Konsep Diversi dan
Restorative Justice, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2009), h.192. 17Marlina, Perlindungan Pidana Anak di Indonesia Pengembangan Konsep Diversi dan
Restorative Justice, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2009), h.195.
21
3. Kecelekaan Lalu Lintas
Di dalam Undang-undang No. 22 tahun 2009 Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan (selanjutnya disingkat UU LLAJ) didefinisikan sebagai
gerak kendaraan dan orang di ruang lalu lintas jalan, sedang yang
dimaksud dengan ruang lalu lintas jalan adalah prasarana yang
diperuntukan bagi gerak pindah kendaraan, orang dan/atau barang yang
berupa jalan atau fasilitas pendukung. Operasi lalu lintas di jalan raya
ada empat unsur yang saling terkait yaitu pengemudi, kendaraan, jalan
dan pejalan kaki. Pemerintah mempunyai tujuan untuk mewujudkan lalu
lintas dan angkutan jalan yang selamat, aman, cepat, lancar, tertib dan
teratur, nyaman dan efisien melalui menajemen lalu lintas dan rekayasa
lalu lintas. Tata cara berlalu lintas di jalan diatur dengan peraturan
perundangan menyangkut arah lalu lintas, prioritas menggunakan jalan,
lajur lalu lintas, jalur lalu lintas dan pengendalian arus dipersimpangan.
Menurut H.W. Heinrich Kecelakaan merupakan tindakan tidak
direncanakan dan tidak terkendali, ketika aksi dan reaksi objek, bahan,
atau radiasi menyebabkan cidera atau kemungkinan cidera.18 Menurut
D.A. Colling sebagaimana dikutip oleh Marc M. Schneier sebagai tiap
kejadian yang tidak direncanakan dan terkontrol yang dapat disebabkan
oleh manusia, situasi, faktor lingkungan, ataupun kombinasi-kombinasi
dari hal-hal tersebut yang mengganggu proses kerja dan dapat
menimbulkan cederaataupun tidak, kesakitan, kematian, kerusakan
Properti ataupun kejadian yang tidak diinginkan lainnya.19
Menurut F.D. Hobbs mengungkapkan kecelakaan lalu lintas
merupakan kejadian yang sulit diprediksi kapan dan dimana terjadinya.
Kecelakaan tidak hanya meliputi trauma cidera, ataupun kecacatan
18H.W. Heinrich, Industrial Accident Prevention : A Safety Management Approach, (New
York: McGrawHill, 1980), h. 22. 19Marc M. Schneier, CONSTRUCTION ACCIDENT LAW : A Comprehensive Guide to
Legal Liability and Insurance Claims, (Chicago: American Bar Asscociation, 1999), h. 14.
22
tetapi juga sering kali menyebabkan kematian. Kasus kecelakaan sangat
sulit untuk diminimalisasi dan cenderung meningkat seiring
pertambahan panjang jalan dan banyaknya pergerakan dari kendaraan.
Secara teknis kecelakaan lalu lintas didefinisikan sebagai suatu kejadian
yang disebabkan oleh banyak faktor yang tidak disengaja (Random
Multy Factor Event) yang artinya penyebab kecelakaan itu sendiri bukan
dikarenakan kesengajaan dari si pelaku itu sendiri, melainkan kelalaian
dari si pelaku.20
Menurut Pasal 1 ayat (24) UULLAJ Tahun 2009 menentukan
sebagai berikut : “Kecelakaan Lalu Lintas adalah suatu peristiwa di
Jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan Kendaraan
dengan atau tanpa Pengguna Jalan lain yang mengakibatkan korban
manusia dan/atau kerugian harta benda. Menurut Pasal 229 UULLAJ
Tahun 2009 menentukan sebagai berikut:
1) Kecelakaan Lalu Lintas digolongkan atas :
a. Kecelakaan Lalu Lintas ringan
b. Kecelakaan Lalu Lintas sedang
c. Kecelakaan Lalu Lintas berat
2) Kecelakaan Lalu Lintas ringan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a merupakan kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan
Kendaraan dan/atau barang.
3) Kecelakaan Lalu Lintas sedang sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b merupakan kecelakaan yang mengakibatkan luka
ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang.
4) Kecelakaan Lalu Lintas berat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf c merupakan kecelakaan yang mengakibatkan korban
meninggal dunia atau luka berat. 5) Kecelakaan Lalu Lintas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disebabkan oleh
20F.D Hobbs, Perencanaan dan Tehnik Lalu Lintas, Terjemahan oleh : Suprapto,
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995), h. 474.
23
kelalaian Pengguna Jalan, ketidaklaikan Kendaraan, serta
ketidaklaikan Jalan dan/atau lingkungan.
Sedangkan korban kecelakaan lalu lintas adalah manusia yang
menjadi korban akibat terjadinya kecelakaan lalu lintas, berdasarkan
tingkah keparahan korban kecelakaan dibedakan menjadi 3 macam
yaitu:
1) Korban meninggal dunia atau mati
2) Korban luka berat
3) Korban luka ringan
Klasifikasi kecelakaan pada dasarnya dibuat berdasarkan tingkat
keparahan korban, dengan demikian kecelakaan lalu lintas dibagi dalam
4 macam kelas sebagai berikut :
1) Klasifikasi berat Apabila terdapat korban yag mati (meskipun
hanya satu orang) dengan atau korban luka-luka berat atau
ringan.
2) Klasifikasi sedang Apabila tidak terdapat korban yang mati
namun dijumpai sekurangkurangnya satu orang mengalami
luka-luka berat.
3) Klasifikasi ringan Apabila tidak terdapat korban mati dan luka
luka berat dan hanya dijumpai korban yang luka ringan saja.
4) Klasifikasi lain-lain Apabila tidak ada manusia yang menjadi
korban hanya berupa kerugian materiil saja baik berupa
kerusakan kendaraan, atau fasilitas lain.21
Secara umum, terdapat 3 faktor utama penyebab kecelakaan, yaitu
Faktor Pengemudi, Faktor Kendaraan, dan Faktor Lingkungan Jalan.
Namun dewasa ini yang menjadi penyebab terjadinya kecelakaan pada
21Pengertian Dan Klasifikasi Kecelakaan Lalu Lintas. WWW. Google. Com, Diakses Pada
Hari Sabtu Tanggal 12 September 2020, Jam 02.03.
24
umumnya tidak hanya disebabkan oleh satu faktor saja, melainkan hasil
interaksi antara berbagai faktor lain, yaitu:22
a. Faktor Pengemudi : kondisi fisik pengemudi merupakan faktor
utama yang menjadi penyebab kecelakaan seperti kondisi fisik
(mabuk, lelah, sakit, dan sebagainya), kemampuan mengemudi,
penyebrang atay pejalan kaki yang lengah.
b. Faktor kendaraan : kondisi kendaraan tidak fit, terdapat
modifikasi, kerusakan pada kendaraan.
c. Faktor Lingkungan : kondisi jalan, lubang, penerangan kurang,
jalan licin, marka lalu lintas minim.
d. Faktor Cuaca : hujan, kabut, asap, salju.
4. Kealpaan
Kealpaan berasal dari kata culpayang berarti kesalahan pada
umumnya. Dalam ilmu pengetahuan hukum memiliki arti yaitu suatu
macam kesalahan si pelaku tindak pidana yang tidak seberat seperti
kesengajaan, yaitu kurang berhati-hati, sifatnya bertingkat-tingkat, ada
orang yang melakukan suatu pekerjaan sangat berhati-hati, ada yang
kurang lagi ada yang lebih kurang lagi.23
Kealpaan (culpa) dalam arti luas berarti kesalahan pada umumnya,
sedang dalam arti sempit adalah bentuk kesalahan yang berupa
kealpaan. Alasan mengapa culpa menjadi salah satu unsur kesalahan
adalah bilamana suatu keadaan, yang sedemikian membahayakan
keamanan orang atau barang, atau mendatangkan kerugian terhadap
seseorang yang sedemikian besarnya dan tidak dapat diperbaiki lagi.
Menurut pasal 359 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
kealpaan adalah barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya)
22F.D Hobbs, Perencanaan dan Tehnik Lalu Lintas, Terjemahan oleh : Suprapto, h. 474. 23Debi Aris Siswanto & Marjan Miharja, Tinjauan Diversi Dan Restorative Justice Dalam
Penanganan Kecelakaan Lalu Lintas Dengan Pelaku Anak Yang Menyebabkan Korban Meninggal
Dunia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak, (Pasuruan: Qiara Media, 2019), h. 8.
25
menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling
lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun. Kealpaan
juga diartikan bahwa terdakwa tidak bermasud melangar larangan
undang-undang, tetapi ia tidak mengindahkan larangan itu, sehingga
tidak berhati-hati dan menimbulkan keadaan yang dilarang. Moeljanto
berpendapat kealpaan itu mengandung dua syarat, yaitu tidak
mengadakan penduga-penduga sebagaimana diharuskan oleh hukum
dan tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh
hukum.24Berdasarkan pada keterangan KUHP tersebut kejahatan
kealpaan dapat dipahami terjadi bukanlah semata-mata seorang
menentang larangan tersebut dengan justru melakukan yang dilarang itu.
Tetapi dia tidak begitu mengindahkan larangan, hal ini nyata dari
perbuatannya. Hal tersebutlah sehingga oleh Moeljatno disebut dengan
gecompliceerd.
Pada prinspinya seseorang dapat dikatakan mempunyai culpa di
dalam melakukan perbuatannya apabila orang tersebut telah melakukan
perbuatannya tanpa disertai “de nodige en mogelijke voorzichtigheid en
oplettendheid” atau tanpa disertai kehati-hatian dan perhatian
seperlunya yang mungkin ia dapat berikan. Oleh karena itu maka
menurut Simons, culpa itu pada dasarnya mempunyai dua unsur masing-
masing yakni “het gemis aan voorzichtigheid” dan “het gemis van de
voorzienbaarheid” atau “tidak adanya kehati-hatian” dan “kurangnya
perhatian terhadap akibat yang dapat timbul”. Sejalan dengan hal
tersebut, menurut Van Hamel, sebagaimana dikutip Moejatno bahwa
kealpaan itu mengandung dua syarat, yaitu: pertama, tidak mengadakan
praduga-duga sebagaimana diharuskan oleh hukum. Kedua, tidak
mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum.25
Selain apa yang telah disebutkan di atas, ada pula yang disebut
dengan culpa atau kelalaian / kealpaan yang dalam doktrin hukum
24Moeljanto, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta,1993), h. 201. 25Moeljanto, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta,1993), h. 217.
26
pidana dikenal sebagai kealpaan yang tidak disadari atau onbewuste
schuld dan kealpaan yang disadari atau bewute schild. Faktor terpenting
dalam unsur ini adalah pelaku dapat menduga terjadinya akibat dari
perbuatannya itu, atau pelaku kurang berhati-hati. Wilayah culpa ini
terletak diantara sengaja dan kebetulan. Oleh sebab itu, untuk
mempertanggujawabkan perbuatan, hubungan batin terdakwa dengan
akibat yang timbul harus dibuktikan adanya hubungan kausal sehingga
dapat ditentukan kesalahannya.
B. Kerangka Teori
Konsep teori merupakan bagian terpenting dalam membantu
memecahkan masalah. Adanya peran konsep menjadikan peneliti lebih
memahami serta melakukan pembatasan dalam rangka menjawab setiap
permasalahan yang timbul. Sebelum dilakukan penelitian, peneliti sudah
mempunyai gambaran, harapan, jawaban atau bayangan tentang apa yang
akan ditemukannya melalui penelitian yang dimaksud.
Menurut Muchyar Yahya teori hukum adalah cabang ilmu hukum yang
mempelajari berbagai aspek teoritis maupun praktis dari hukum positif
tertentu secara tersendiri dan dalam keseluruhannya secara interdisipliner,
yang bertujuan memperoleh pengetahuan dan penjelasan yang lebih baik,
lebih jelas, dan lebih mendasar mengenai hukum positif yang
bersangkutan.26 Selain itu, Bruggink mengartikan teori hukum adalah :
“suatu keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan
sistem konseptual aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum, dan
sistem tersebut untuk sebagian penting dipositifkan”.27
Selanjutnya teori-teori yang dipergunakan sebagai alat untuk
menjelaskan masalah yang telah diidentifikasi, yakni sebagai berikut:
1. Teori Pemidanaan
26Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2001), h. 87. 27Salim, HS, Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2010), h. 20.
27
Pemidanaan didalam hukum Indonesia merupakan suatu cara atau
proses untuk menjatuhkan sanksi atau hukuman untuk seseorang yang
telah melakukan tindak pidana ataupun pelanggaran. Pemidanaan
adalah kata lain dari sebuah penghukuman. Menurut Prof. Sudarto,
bahwa penghukuman berasal dari kata dasar “hukum”, sehingga dapat
diartikan sebagai “menetapkan hukum” atau “memutuskan tentang
hukumanya”.28 Dalam artian disini menetapkan hukum tidak hanya
untuk sebuah peristiwa hukum pidana tetapi bisa juga hukum perdata.
Pemidanaan adalah suatu tindakan terhadap seorang pelaku kejahatan,
dimana pemidanaan ditujukan bukan karena seseorang telah berbuat
jahat tetapi agar pelaku kejahatan tidak lagi berbuat jahat dan orang lain
takut melakukan kejahatan serupa. Jadi dari pernyataan diatas bisa kita
simpulkan bahwa pemidanaan ataupun penghukuman itu adalah sebuah
tindakan kepada para pelaku kejahatan yang mana tujuannya bukan
untuk memberikan balas dendam kepada para pelaku melainkan para
pelaku diberikan pembinaan agar nantinya tidak mengulangi
perbuatannya kembali.
Teori pemidanaan dapat digolongkan dala tiga golongan pkok yaitu
golongna teori pembalasan, golonngan teori tujuan, dan golongan teori
gabungan.
a. Teori Pembalasan
Teori pembalasan atau juga bisa disebut dengan teori absolut
adalah dasar hukuman harus dicari dari kejahatan itu sendiri, karena
kejahatan itu menimbulkan penderitaan bagi orang lain maka si
pelaku kejahatan pembalasannya adalah harus diberikan penderitaan
juga.29 Teori pembalasan ini menyetujui pemidanaan karna
seseorang telah berbuat tindak pidana. Pencetus teori ini adalah
Imanuel Kant yang mengatakan “Fiat justitia ruat coelum” yang
28 Muladi dan Barda Nawawi, Teori – Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni,
1984), h.1. 29 Leden Marpaung, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h.
105.
28
maksudnya walaupun besok dunia akan kiamat namun penjahat
terakhir harus tetap menjalakan pidananya. Kant mendasarkan teori
ini berdasarkan prinsip moral dan etika. Pencetus lain adalah Hegel
yang mengatakan bahwa hukum adalah perwujudan kemerdekaan,
sedangkan kejahatan adalah tantangan kepada hukum dan keadilan.
Karena itu, menurutnya penjahat harus dilenyapkan. Sedangkan
menurut Thomas Aquinas pembalasan sesuai dengan ajaran tuhan
karena itu harus dilakukan pembalasan kepada penjahat.30
Jadi dalam teori ini adalah pembalasan itu ditujukan untuk
memberikan sebuah hukuman kepada pelaku pidana yang mana
nantinya akan memberikan efek jera dan ketakutan untuk
mengulangi perbuatan pidana tersebut. Teori pembalasan atau teori
absolut dibagi dalam dua macam, yaitu:31
1) Teori pembalasan yang objektif, berorientasi pada pemnuhan
kepuasan dari perasaan dendam dari kalangan masyarakat.
Dalam hal ini perbuatan pelaku pidana harus dibalas dengan
pidana yang berupa suatu bencana atau kerugian yang seimbang
dengan kesengsaraan yg diakibatkan oleh si pelaku pidana.
2) Teori pembalasan subjektif, berorientasi pada pelaku pidana.
Menurut teori ini kesalahan si pelaku kejahatanlah yang harus
mendapat balasan. Apabila kerugian atau kesengsaraan yg besar
disebabkan oleh kesalahan yang ringan, maka si pembuat
kejahatan sudah seharusnya dijatuhi pidana yang ringan.
b. Teori Tujuan
Berdasarkan teori ini, pemidanaan dilaksanakan untuk
memberikan maksud dan tujuan suatu pemidanaan, yakni
memperbaiki ketidakpuasan masyarakat sebagai akibat perbuatan
30 Erdianto Efendi, Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2011), h. 142. 31 Erdianto Efendi, Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2011), h. 142.
29
kejahatan tersebut. Dalam hal ini teori ini juga dapat diartikan
sebagai pencegahan terjadinya kejaatan dan sebagai perlindungan
terhadap masyarakat. Penganjur teori ini yaitu Paul Anselm van
Feurbach yang mengemukakan “hanya dengan mengadakan
ancaman pidana pidana saja tidak akan memadai, melainkan
diperlukan pemjatuhan pidana kepada si penjahat”. Mengenai tujuan
– tujuan itu terdapat tiga teori yaitu : untuk menakuti, untuk
memperbaiki , dan untuk melindungi. Yang dijelaskan sebagai
berikut:32
1) Untuk menakuti;
Teori dari Anselm van Feurbach, hukuman itu harus diberikan
sedemikian rupa, sehingga orang takut untuk melakukan
kejahatan. Akibat dari teori itu ialah hukuman yang diberikan
harus seberat – beratnya dan bisa saja berupa siksaan.
2) Untuk memperbaiki;
Hukuman yang dijatuhkan dengan tujuan untuk memperbaiki si
terhukum sehingga sehingga di kemudian hari ia menjadi orang
yang berguna bagi masyarakat dan tidak akan melanggar
peraturan hukum.
3) Untuk melindungi;
Tujuan pemidanaan yaitu melindungi masyarakat terhadap
perbuatan kejahatan. Dengan diasingkannya si penjahat itu
untuk semntara, maka masyarakat akan diberikan rasa aman dan
merasa di lindungi oleh orang- orang yang berbuat jahat tersebut.
Jadi dalam teori tujuan yang lebih modern memilki artian bahwa
pemidanaan memebrikan efek jera kepada si pelaku agar tidak
berbuat tindak pidana lagi.
c. Teori Gabungan
32 Erdianto Efendi, Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2011), h. 142.
30
Teori gabungan ini lahir sebagai jalan keluar dari teori absolut
dan teori relatif yang belum dapat memberi hasil yang memuaskan.
Aliran ini didasarkan pada tujuan pembalasan dan mempertahankan
ketertiban masyarakat secara terpadu.33 Artinya penjatuhan pidana
beralasan pada dua alasan yaitu sebagai suatu pembalasan dan
sebagai ketertiban bagi masyarakat.
Adapun teori gabungan ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu:34
1) Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi
pembalsan itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu
dan cukup untuk dapatnya diperthankan tat tertib masyarakat.
2) Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib
masyrakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh
lebih berat dari perbuatan yang dilakukan terpidana.
Teori gabungan yang menitik beratkan pada pemblasan ini
didukung oleh Zevenbergen yang bependpat bahwa:35
“makna setiap pidana adalah suatu pembalasan, tetapi
mempunyai maksud melindungi tat tertib hukum, sebab
pidana itu adalah mengembalikan dan mempertahankan
ketaatan pada hukum dan pemerintah. Oleh sebab itu pidana
baru dijatuhkan jika jika memang tidak ada jalan lain untuk
memperthankan tata tertib hukum itu”.
Jadi menitik beratkan pada pembalasan itu artinya memberikan
hukuman atau pembalsan kepada penjahat dengan tujuan untuk
menjaga tata tertib hukum agarsupaya dimana masyarakat ataupun
kepentingan umumnya dapat terlindungi dan terjamin dari tindak
pidana kejahatan. Teori gabungan yang mengutamakan
perlindungan tata tertib hukum didukung antara lain oleh Simons
dan Vos. Menurut Simons, dasar primer pidana yaitu pencegahan
33 Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda Dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h.19. 34 Adami Chazaw, Pelajaran Hukum Pidana, (Jakarta: Grafindo Persada, 2002). h. 162. 35 Adami Chazaw, Pelajaran Hukum Pidana, (Jakarta: Grafindo Persada, 2002). h. 162.
31
umum dan dasar sekundernya yaitu pencegahan khusus. Dalam
artian pidana primer ialah bertujuan pada pencegahan umum yang
terletak pada ancaman pidananya dlam undang-undang, apabila hal
ini tidak cukup kuat atau tidak efektif dalam hal pencegahan umum,
maka barulah diadakan pencegahan khusus yang bertujuan untuk
menakut-nakuti, memperbaikin dan membuat tidak berdayanya
penjahat. Dalam hal ini harus diingat bahwa pidana yang dijatuhkan
harus sesuai dengan undang-undang atau berdasarkan hukum dari
masyarakaat.36
Jadi teori gabungan yang mengutamakan perlindungan dan tata
tertib hukum ini dalam artian memberikan keadilan bagi para korban
kejahatan demi melindungi hak hak mereka, dan untuk penhat
sendiri bertujuan memberikan efek jera agar tidak mengulangi
perbuatan kejahatannya kembali.
Jenis-jenis Pemidanaan berdasarkan ketentuan yang ada di
KUHP menyangkut tentang sanksi pidana atau jenis pemidanaan
hanya terdapat 2 macam hukuman pidana, yaitu pidana pokok dan
pidana tambahan.37 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
pasal 10 berbunyi sebagai berikut, Pidana terdiri atas:
1. Hukuman pokok (hoofd straffen):
a. Pidana Mati
b. Pidana penjara
c. Pidana kurungan
d. Pidana denda
2. Hukuman tambahan (bijkomende straffen):
a. Pencabutan hak-hak tertentu
b. Perampasan barang-barang tertentu
c. Pengumuman Putusan Hakim
36 Adami Chazaw, Pelajaran Hukum Pidana, (Jakarta: Grafindo Persada, 2002). h. 163. 37 M. Najih, Pengantar Hukum Indonesia, (Malang: Setara Press, 2014), h.177.
32
Pidana pokok adalah hukuman yang dapat dijatuhkan terlepas
dari hukuman hukuman-hukuman lain. Sedangakan pidana
tambahan adalah hukuman yang hanya dapat dijatuhkan bersama-
sama dengan hukuman pokok.
2. Teori Dasar Pertimbangan Hakim
Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana
bersyarat perlu didasarkan kepada teori dan hasil penelitian yang saling
berkaitan sehingga didapatkan hasil penelitian yang maksimal dan
seimbang dalam tataran teori dan praktek. Salah satu usaha untuk
mencapai kepastian hukum dengan penegakan hukum secara tegas
adalah melalui kekuasaan kehakiman, di mana hakim merupakan aparat
penegak hukum yang melalui putusannya dapat menjadi tolok ukur
tercapainya suatu kepastian hukum.
Pokok Kekuasaan Kehakiman diatur dalam Undang-Undang Dasar
1945 Bab IX Pasal 24 dan Pasal 25 serta di dalam Undang-Undang
Nomor 48 tahun 2009. Undang-Undang Dasar 1945 menjamin adanya
suatu Kekuasaan Kehakiman yang bebas. Hal ini tegas dicantumkan
dalam Pasal 24 terutama dalam Penjelasan Pasal 24 ayat (1) dan
penjelasan Pasal 1 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009, yaitu Kekuasaan
Kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik
Indonesia.
Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka dalam
ketentuan ini mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman
bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial,
kecuali hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar
1945. Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak
33
mutlak karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan
rasa keadilan rakyat Indonesia. Kemudian pada Pasal 24 ayat (2)
menegaskan bahwa: Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi. Menurut Andi Hamzah dalam bukunya
yang berjudul “Hukum Acara Pidana Indonesia”, hakim yang bebas dan
tidak memihak telah menjadi ketentuan universal. Hal ini menjadi ciri
suatu Negara hukum.38
Kebebasan hakim perlu pula dipaparkan posisi hakim yang tidak
memihak (impartial judge) Pasal 5 ayat (1) UU No.48 Tahun 2009.
Istilah tidak memihak di sini haruslah diartikan tidak harfiah, karena
dalam menjatuhkan putusannya hakim harus memihak pada yang benar.
Dalam hal ini hakim tidak memihak diartikan tidak berat sebelah dalam
pertimbangan dan penilaiannya. Lebih tepatnya perumusan UU No.48
tahun 2009 Pasal 5 ayat (1): “Pengadilan mengadili menurut hukum
dengan tidak membeda-bedakan orang”. Seorang hakim diwajibkan
untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan tidak memihak. Hakim
dalam memberikan suatu keadilan harus menelaah terlebih dahulu
tentang kebenaran peristiwa yang diajukan kepadanya kemudian
memberi penilaian terhadap peristiwa tersebut dan menghubungkannya
dengan hukum yang berlaku. Setelah itu hakim baru dapat menjatuhkan
putusan terhadap peristiwa tersebut.
Kehidupan masyarakat saat ini yang semakin komplek dituntut
adanya penegakan hukum dan keadilan untuk memenuhi rasa keadilan
masyarakat. Untuk figur seorang hakim sangat menentukan melalui
putusan-putusannya karena pada hakekatnya hakimlah yang
38 Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), h.101.
34
menjalankan kekuasaan hukum peradilan demi terselenggaranya fungsi
peradilan itu.39
Seorang hakim dianggap tahu akan hukumnya sehingga ia tidak
boleh menolak memeriksa dan mengadili suatu peristiwa yang diajukan
kepadanya. Hal ini diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UU No.35 Tahun 1999
jo.UU No.48 Tahun 2009 yaitu: pengadilan tidak boleh menolak untuk
memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih
bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk
memeriksa dan mengadilinya.
Seorang hakim dalam menemukan hukumnya diperbolehkan untuk
bercermin pada yurisprudensi dan pendapat para ahli hukum terkenal
(doktrin). Menurut pendapat Wirjono Projodikoro dalam menemukan
hukum tidak berarti bahwa seorang hakim menciptakan hukum,
menurut beliau seorang hakim hanya merumuskan hukum.40
Hakim dalam memberikan putusan tidak hanya berdasarkan pada
nilainilai hukum yang hidup dalam masyarakat, hal ini dijelaskan dalam
Pasal 28 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2009 yaitu: “Hakim wajib menggali,
mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat”. Hakim oleh karena itu dalam memberikan putusan harus
berdasar penafsiran hukum yang sesuai dengan rasa keadilan yang
tumbuh, hidup, dan berkembang dalam masyarakat, juga faktor lain
yang mempengaruhi seperti faktor budaya, sosial, ekonomi, politik, dan
lain-lain. Dengan demikian seorang hakim dalam memberikan putusan
dalam kasus yang sama dapat berbeda karena antara hakim yang satu
dengan yang lainnya mempunyai cara pandang serta dasar pertimbangan
yang berbeda pula. Dalam doktrin hukum pidana sesungguhnya ada
yang dapat dijadikan pedoman sementara waktu sebelum KUHP
Nasional diberlakukan.
39 Nanda Agung Dewantoro, Masalah Kebebasan Hakim dalam Menangani Suatu Perkara
Pidana, (Jakarta: Aksara Persada, 1987), h.149. 40 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2003), h. 383.
35
Pedoman tersebut dalam konsep KUHP baru Pasal 55 ayat (1), yaitu:
a. Kesalahan pembuat tindak pidana;
b. Motif dan tujuan melakukan tindak pidana;
c. Sikap batin pembuat tindak pidana;
d. Apakah tindak pidana dilakukan berencana;
e. Cara melakukan tindak pidana;
f. Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana;
g. Riwayat hidup dan keadaan sosial dan ekonomi pembuat tindak
pidana;
h. Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana;
i. Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban;
j. Pemaafan dari korban atau keluarganya;
k. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.
Seorang pelaku tindak pidana dapat tidaknya dijatuhi pidana maka
perbuatan pelaku harus mengandung unsur kesalahan, hal ini
berdasarkan asas kesalahan Geen Straf Zonder Schuld (tiada suatu
perbuatan yang dapat dihukum tanpa ada kesalahan). Berdasarkan hal
tersebut, dalam menjatuhkan hukuman terhadap pelaku hakim harus
melihat kepada kesalahan yang dilakukan oleh pelaku sesuai dengan
perbuatan yang dilakukan. Selain itu dalam menjatuhkan hukuman
kepada pelaku hakim juga melihat kepada motif, tujuan, cara perbuatan
dilakukan dan dalam hal apa perbuatan itu dilakukan (perbuatan itu
direncanakan). Konsep KUHP baru yang didasarkan pada Pasal 55
menyatakan bahwa hakim dalam menjatuhkan hukuman kepada pelaku
selain melihat dan mempertimbangkan kepada aspek lain yakni melihat
aspek akibat, korban dan juga keluarga korban. Hal ini merupakan
konsep baru yang harus diperhatikan hakim dalam menjatuhkan pidana
kepada pelaku tindak pidana, karena perbuatan yang dilakukan selain
berdampak kepada pelaku, hal ini juga berakibat kepada korban dan juga
keluarga korban.
36
3. Teori Keadilan
Terkait dengan teori keadilan, ada beberapa ahli yang menjelaskan
tentang bahasan ini antara lain Plato, Aristoteles, dan John Rawls.
Dalam teori Plato terkait tentang keadiaan ia menekankan pada harmoni
atau keselarasan. Plato mendefinisikan keadilan sebagai “the supreme
virtue of the good state”, sedang orang yang adil adalah “the self
diciplined man whose passions are controlled by reasson”. Bagi Plato
keadilan tidak dihubungkan secara langsung dengan hukum. Baginya
keadilan dan tata hukum merupakan substansi umum dari suatu
masyarakat yang membuat dan menjaga kesatuannya.
Dalam konsep Plato tentang keadilan dikenal adanya keadilan
individual dan keadilan dalam negara. Untuk menemukan pengertian
yang benar mengenai keadilan individual, terlebih dahulu harus
ditemukan sifat-sifat dasar dari keadilan itu dalam negara, untuk itu
Plato mengatakan41: “let us enquire first what it is the cities, then we will
examine it in the single man, looking for the likeness of the larger in the
shape of the smaller”. Walaupun Plato mengatakan demikian, bukan
berarti bahwa keadilan individual identik dengan keadilan dalam negara.
Hanya saja Plato melihat bahwa keadilan timbul karena penyesuaian
yang memberi tempat yang selaras kepada bagian-bagian yang
membentuk suatu masyarakat. Keadilan terwujud dalam suatu
masyarakat bilamana setiap anggota melakukan secara baik menurut
kemampuannya fungsi yang sesuai atau yang selaras baginya.
Pembahasan yang lebih rinci mengenai konsep keadilan
dikemukakan oleh Aristoteles. Jika Plato menekankan teorinya pada
keharmonisan atau keselarasan, Aristoteles menekankan teorinya pada
perimbangan atau proporsi. Menurutnya di dalam negara segala
sesuatunya harus diarahkan pada cita-cita yang mulia yaitu kebaikan dan
kebaikan itu harus terlihat lewat keadilan dan kebenaran. Penekanan
41The Liang Gie, Teori-teori Keadilan, (Yogyakarta: Sumber Sukses, 2002), h. 22.
37
perimbangan atau proporsi pada teori keadilan Aristoteles, dapat dilihat
dari apa yang dilakukannya bahwa kesamaan hak itu haruslah sama
diantara orang-orang yang sama42. Maksudnya pada satu sisi memang
benar bila dikatakan bahwa keadilan berarti juga kesamaan hak, namun
pada sisi lain harus dipahami pula bahwa keadilan juga berarti
ketidaksamaan hak. Jadi teori keadilan Aristoteles berdasar pada prinsip
persamaan. Dalam versi modern teori itu dirumuskan dengan ungkapan
bahwa keadilan terlaksana bila hal-hal yang sama diperlukan secara
sama dan hal-hal yang tidak sama diperlakukan secara tidak sama.
Aristoteles membedakan keadilan menjadi keadilan distributif dan
keadilan komutatif. Keadilan distributif adalah keadilan yang menuntut
bahwa setiap orang mendapat apa yang menjadi haknya, jadi sifatnya
proporsional. Di sini yang dinilai adil adalah apabila setiap orang
mendapatkan apa yang menjadi haknya secara proporsional.
Jadi keadilan distributif berkenaan dengan penentuan hak dan
pembagian hak yang adil dalam hubungan antara masyarakat dengan
negara, dalam arti apa yang seharusnya diberikan oleh negara kepada
warganya.Sebaliknya keadilan komutatif menyangkut mengenai
masalah penentuan hak yang adil diantara beberapa manusia pribadi
yang setara, baik diantara manusia pribadi fisik maupun antara pribadi
non fisik. Dalam hubungan ini maka suatu perserikatan atau
perkumpulan lain sepanjang tidak dalam arti hubungan antara lembaga
tersebut dengan para anggotanya, akan tetapi hubungan antara
perserikatan dengan perserikatan atau hubungan antara perserikatan
dengan manusia fisik lainnya, maka penentuan hak yang adil dalam
hubungan ini masuk dalam pengertian keadilan komutatif.
Selanjutnya menurut John Rawls keadilan adalah kebajikan utama
dalam institusi sosial, sebagaimana kebenaran dalam sistem pemikiran.
Suatu teori, meskipun begitu elegan dan ekonomisnya, harus ditolak dan
42J.H. Rapar, Filsafat Politik Plato, (Jakarta: Rajawali Press, 2019) h. 82.
38
direvisi jika ia tiadak benar, demikian juga dengan hukum dan institusi
tidak peduli seberapa efisien dan rapinya harus direformasi atau
dihapuskan jika tidak adil.43 Subjek utama dalam keadilan adalah
sebuah struktur dasar masyarakat, atau lebih tepatnya cara lembaga-
lembaga sosial utama mendistribusikan hak dan kewajiban fundamental
serta menentukan pembagian keuntungan dari kerja sama sosial.44
John Rawls mengemukakan tentang prinsip keadilan yakni, yang
pertama bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama atas kebebasan
dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang.
Selanjutnya pinsip keadilan yang dikemukakan oleh John Rawls yaitu,
ketimpangan sosial dan ekonomi mesti diatur sedemikian rupa sehingga
dapat diharapkan memberi keuntungan kepada semua orang dan semua
posisi dan jabatan terbuka bagi semua orang. 45
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
1. Skripsi ditulis oleh Afan Fatkurohman46
Skripsi ini memiliki persamaan dengan tema yang akan peneliti
bahas yaitu membahas tentang pengimplementasian restorative justice
dalam tindak pidana. Adapun mengenai perbedaannya adalah skripsi ini
meneliti tentang prosedur pelaksanaan restorative justice dengan model
diversi terhadap tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh anak
dengan pengimplementasian oleh kepolisian, sedangkan pada penelitian
ini peneliti akan membahas implementasi restorative justice pada
tindak pidana lakalantas yang dilakukan oleh Muhammad Amrullah
Rajasa yang sudah memasuki usia dewasa.
43John Rawls, Teori Keadilan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), h. 3. 44John Rawls, Teori Keadilan, h. 7. 45John Rawls, Teori Keadilan, h. 72. 46Afan Fatkurohman, Implementasi Restorative Justice Dalam Tindak Pidana Pencurian
Yang Dilakukan Oleh Anak (Studi Kasus Di Polresta Surakarta, (Skripsi Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2018). Diakses pada tanggal 17 November 2019 pukul 20.15
39
2. Skripsi ditulis oleh Ethania Yulie S.47
Pada skripsi yang ditulis oleh Ethania Yulie S, dalam skripsinya
memiliki kesamaan dalam membahas terkait peneapan atau
pengimplementasian suatu tindak pidana dengan penyelesain melalui
pendekatan restorative justice. Selanjutnya mengenai perbedaan pada
skripsi tersebut membahas terhadap kasus yang general sedangkan
dalam skripsi yang ditulis oleh penulis lebih membahas penerapan
terhadap kasus yang lebih khusus.
3. Jurnal ilmiah ditulis oleh Lilik Purwastuti Yudaningsih48
Jurnal ini memiliki kesamaan dengan tema yang akan peneliti
bahas yaitu mengenai penyelesaian masalah tindak pidana melalui
restorative justice. Namun memiliki perbedaan, pada jurnal ini
membahas tentang penanganan tindak pidana yang dilakukan oleh anak
sedangkan yang akan peneliti bahas yaitu penanganan tindak pidana
yang dilakukan bukan oleh anak yakni melainkan dilakukan oleh ukuran
usia dewasa.
47Ethania Yulie S., Penerapan Restorative Justice Terhadap Pelaku Tindak Pidana
Kecelakaan Lalu Lintas Oleh Anak Di Bawah Umur, (Skripsi Fakultas HukumUniversitas
Tarumanegara, 2014) Diakses pada tanggal 12 September pukul 02.57.
48Lilik Purwastuti Yudaningsih, Penanganan Perkara Anak Melalui Resorative Justice,
(Jurnal Ilmu Hukum Tahun 2014). Diakses pada tangga 17 November 2019 pukul 00.46
40
41
BAB III
RESTORATIVE JUSTICE DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA
A. Restorative Justice dalam Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia
Hukum yang progresif berangkat dari asumsi dasar bahwa hukum
adalah untuk manusia, bukan sebaliknya. Hukum bukan sebagai institusi
yang bersifat mutlak dan final, melainkan sebagai institusi bermoral,
bernurani dan karena itu sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk
mengabdi kepada manusia. Hukum adalah suatu institusi yang bertujuan
untuk mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan
membuat manusia bahagia. Kemanusiaan dan keadilan menjadi tujuan dari
segalanya dalam kita berkehidupan hukum. Maka kalimat “hukum untuk
manusia” bermakna juga “hukum untuk keadilan”. Ini berarti, bahwa
kemanusiaan dan keadilan ada di atas hukum. Intinya adalah penekanan
pada penegakan hukum berkeadilan yang di Indonesia yaitu terciptanya
kesejahteraan masyarakat atau yang sering disebut dengan “masyarakat
yang adil dan makmur”.1
Restorative justice sebagai salah usaha untuk mencari penyelesaian
konflik secara damai di luar pengadilan masih sulit diterapkan. Di Indonesia
banyak hukum adat yang bisa menjadi restorative justice, namun
keberadaannya tidak diakui negara atau tidak dikodifikasikan dalam hukum
nasional. Hukum adat bisa menyelesaikan konflik yang muncul di
masyarakat dan memberikan kepuasan pada pihak yang berkonflik.
Munculnya ide restorative justice sebagai kritik atas penerapan sistem
peradilan pidana dengan pemenjaraan yang dianggap tidak efektif
menyelesaikan konflik sosial. Penyebabnya, pihak yang terlibat dalam
konflik tersebut tidak dilibatkan dalam penyelesaian konflik. Korban tetap
saja menjadi korban, pelaku yang dipenjara juga memunculkan persoalan
1Rudi Rizky, Refleksi Dinamika Hukum (Rangkaian Pemikiran dalam Dekade Terakhir),
(Jakarta: Perum Percetakan Negara Indonesia, 2008), h. 4.
42
baru bagi keluarga dan sebagainya.2 Menurut Detlev Frehsee, meningkatnya
penggunaan restitusi dalam proses pidana menunjukkan, bahwa perbedaan
antara hukum pidana dan perdata tidak begitu besar dan perbedaan itu
menjadi tidak berfungsi.3
Munculnya konsep restorative justice bukan berarti meniadakan
pidana penjara, dalam perkara-perkara tertentu yang menimbulkan kerugian
secara massal dan berkaitan dengan berharga nyawa seseorang, maka
pidana penjara masih dapat dipergunakan. Konsep restorative justice
merupakan suatu konsep yang mampu berfungsi sebagai akselerator dari
Asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan, sehingga lebih menjamin
terpenuhinya kepastian hukum dan keadilan masyarakat. Di dalam praktek
sistem peradilan di Indonesia terdapat perkembangan mengenai konsep
tujuan pemidanaan, mulai retribution yang merupakan bentuk pembalasan
secara absolut terhadap seseorang yang telah melakukan kejahatan, tanpa
harus melihat dampak dan manfaat lebih jauh. Kemudian ada konsep
restraint yang bertujuan menjauhkan (mengasingkan) pelaku kejahatan dari
kehidupan masyarakat, agar masyarakat aman, tenang, terhindar dari
keresahan dari ulah kejahatan serupa. Ada juga konsep deterrence
individual dan general deterrence, yang dimaksudkan agar hukuman
membuat si pelaku secara individual merasa jera (individual detterance)
atau sekaligus ditujukan supaya dijadikan Sebagai contoh masyarakat agar
tidak melakukan kejahatan serupa (general deterrence) Perkembangan
selanjutnya adalah konsep reformation atau rehabilitation, suatu bentuk
penghukuman yang dimaksudkan untuk memperbaiki atau merehabilitasi si
pelaku kejahatan agar pulih menjadi orang baik yang dapat diterima kembali
di lingkungan masyarakatnya.
2Setyo Utomo, Sistem Pemidanaan Dalam Hukum Pidana Yang Berbasis Restorative
Justice,dalam Mimbar Justitia Fakultas Hukum Universitas Suryakancana, Volume 5 Nomor 01, h.
86. 3Barda Nawawi Arief, Mediasi Penal Penyelesaian Perkara Diluar Pengadilan,
(Semarang: Pustaka Magister, 2008), h. 4.
43
Kedudukan restorative justice di Indonesia diatur secara tegas dalam
gamblang dalam berbagai peraturan perundang-undangan misalnya
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945; Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah oleh UndangUndang
Nomor 5 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2009Tentang Mahkamah Agung. Dengan
demikian, mengingat bahwa Mahkamah Agung (MA) merupakan lembaga
negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman dan sebagai puncak
peradilan maka sudah seyogianya apabila Mahkamah Agung (MA)
mengadopsi atau menganut dan menerapkan pendekatan atau konsep
keadilan restoratif (restorative justice).
Selain itu, Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yaitu Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman tepatnya pada Pasal 5 dengan tegas menyebutkan bahwa hakim
wajib menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat (the living law atau
local wisdom). Dengan demikian, pada hakikatnya hakim harus atau wajib
menerapkan pendekatan atau konsep keadilan restoratif (restorative justice)
dalam menyelesaikan perkara karena pendekatan atau konsep keadilan
restoratif (restorative justice) sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia yakni
Pancasila, sesuai dengan nilai-nilai hukum adat dan sesuai pula dengan
nilai-nilai agama.
B. Restorative Justice dalam Penyelesaian Kasus Kecelakaan Lalu Lintas
Dalam hal penanggulangan terhadap tindak pidana kecelakaan lalu
lintas telah banyak diatur di dalam Undang-undang. Tetapi penanggulangan
terhadap tindak pidana kecelakaan lalu lintas dalam mewujudkan
pemulihan (restorative) secara hakiki yang melindungi hak asasi manusia
tidak secara ekspilisit di atur lengkap oleh Undang-undang tersebut.
Kondisi hukum positif di bidang pidana di Indonesia seperti ini tentu
tidak apat dibiarkan atau menunggu sampai adanya perubahan hukum yang
44
memungkinkan diterapkannya restorative justice.Artinya, secara praktis
tidak dapat mengandalkan pada keberadaan hukum positif terlebih dahulu
yang memberi dasar legitimasi penerapan konsep restorative justice dalam
praktik penanggulangan kejahatan di Indonesia, terlebih ketika perubahan
hukum acara pidana atau hukum pidana pada umumnya bukan menjadi
prioritas legislasi. Pengabaian konsep restorative justice dalam sistem
peradilan pidana Indonesia berarti pengabaian terhadap korban dan
keluarganya serta anggota masyarakat yang terpengaruh atas terjadinya
kejahatan itu.
Belajar dari sitem peradilan pidana di negara lain yang telah lama
menerapkan basis hak asasi manusia dengan tujuan mencapai keadilan,
musyawarah sebagai proses dalam penyelesaian perkara pidana tampaknya
bukanlah hal yang baru diberlakukan. Model Plea Bargaining Sistem yang
di terapkan oleh Amerika Serikat adalah salah satu contohnya. Model ini
mengedepankan pada suatu negosiasi antara pihak penuntut umum dengan
tertuduh atau pembelanya. Motivasi dari negosiasi tersebut yang paling
utama adalah untuk mempercepat proses penanganan perkara pidana.
Sedangkan sifat negosiasi harus dilandaskan pada kesuka relaan tertuduh
untuk mengakui kesalahanya dan kesediaan penuntut umum memberikan
ancaman hukuman yang dikehendaki tertuduh atau pembelanya. Selain
Amerika Serikat, negara Jepang juga telah menggunakan Sistem
pengedepanan pada kesepakatan atau musyawarah dalam menyeleaikan
perkara pidana. Konsep tersebut dikenal sebagai istilah konesp abolisme.
Bahkan Sistem ini menekankan pada penyelesaian musyawarah telebih
dahulu, daripada penggunaan litigasi. Konsep ini dilandasi oleh pandangan
bahwa Sistem pemidanaan bukan hanya satu-satunya cara terbaik untuk
mengahadapi kejahatan dan kejahatan bukanlah sesuatu yang terjadi
mendahului Sistem Hukum Pidana, melainkan merupakan hasil dari
pelaksanan Sistem dalam hukum pidana tersebut, serta pandangan bahwa
pelaku kejahatan bukanlah mahluk terasing dan berbeda dengan
wargamasyarakat lain. Hal ini menunjukan bahwa wawancara musyawarah
45
didalam Sistem Peradilan Pidana (SPP) dapat dimungkin kan terjadi,
tergantung dari konsep yang bagaimana yang sesuai diterapkan dalam
Sistem Peradilan Pidana yang ekisis tersebut.4
Meskipun demikian di dalam praktiknya tidak semua pihak yang
sedang berperkara mau untuk melakukan musyawarah, banyak mereka yang
menolak untuk melakukan musyawarah. Pihak yang mempunyai
kemungkinan terbesar untuk menolak diadakanya upaya musyawarah. Hal
ini menjadi gambaran untuk kita bahwa dalam menyelesaikan sebuah
perkara pidana tidak hanya dengan pembuatan Undang-undang yang baik.
Akan tetapi kemauan kedua belah pihak untuk saling berperan aktif dala
menyelesaikan sengketa diantara keduabelah pihak akan menjadi salah satu
bentuk upaya restorative justice.
Namun di Indonesia sendiri dalam kasus kecelakaan lalu lintas
dengan penyelesaian melalui pendekatan restorative justice sudah mulai
digunakan oleh hakim, meski demikian belum secara menyeluruh
digunakan oleh hakim dalam kebijakannya.
Beberapa contoh pelanggaran lalu lintas yang mengakibatnya
timbulnya kecelakaan serta merugikan banyak pihak diantaranya adalah :
1. Kasus Afriyani Susanti. Pada saat itu, kendaraan (mobil) yang
dikendarai oleh Afriyani Susanti menabrak pejalan kaki yang sedang
berjalan kaki di trotoar, dan mengakibatkan 9 (sembilan) orang
meninggal dunia serta 3(tiga) orang lainnya mengalami luka-luka.
Atas kecelakaan tersebut Afriyani Susanti beserta ketiga orang
temannya langsung dibawa oleh petugas untuk dilakukan
pemeriksaan.5
2. Kasus kecelakaan anak bungsu menko Perekonomian Hatta
Rajasa,Rasyid. Kesalahan Rasyid yaitu kecelakaan maut terjadi di
4Ridwan Mansur, Mediasi Penal Terhadap Perkara KDRT, (Jakarta: Yayasan Gema
Yustisia Indonesia, 2010),h. 243. 5Mochamad Yusuf, Analisis Kasus Kecelakaan Lalu Lintas yang Dilakukan Oleh Afriyani
Susanti dan Mengakibatkan Korban Meninggal Dunia dan Luka Berat, (Bandung: Universitas
Padjadjaran, 2013).
46
Km 3,5 Tol Jagorawi, Selasa 1 Januari 2013 pagi. Rasyid
mengendarai BMW X5 B 272 HR jenis SUV menabrak angkutan
umum berpelat hitam Daihatsu Luxio F 1622 CY mengakibatkan 2
orang tewas, yaitu Muhammad Raihan (1,5) dan seorang kakek dua
cucu bernama Harun (57), dan 3 orang luka-luka.6
3. Kasus Kecelakaan Anak Ahmad Dhani, Abdul Qodir Jaelani atau
Dul. Minggu dini hari, Lancer yang dikemudikan oleh Dul
mengalami kecelakaan berutun dengan Gran Max dan Avanza,
terjadi di KM 8 Tol Jagorawi, di jalur 3 dan 4 arah Jakarta. Diketahui
5 orang tewas dan Dul berada di salah satu mobil yang terlibat
kecelakaan mengalami patah tulang. Saat itu polisi memastikan
bahwa pengemudi Lancer adalah Dul yang masih dibawah umur (13
tahun).7
Dari ketiga contoh kasus pelanggaran lalu lintas di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa pelanggaran-pelanggaran lalu lintas tersebut
berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 pada akhirnya
diancam dengan sanksi pidana yaitu sanksi pidana penjara. Dalam
perkembangannya, pelaku tindak pidana lalu lintas jalan ini berkewajiban
memberikan santunan kepada korbannya. Memang santunan bagi korban
tindak pidana lalu lintas jalan pada saat ini seperti sudah menjadi kewajiban,
apalagi jika si pelaku adalah orang yang mempunyai kedudukan ekonomi
kuat atau dengan kata lain mempunyai uang yang lebih.
C. Contoh Kasus Penggunaan Restorative Justice
6Mushlihin, “Kejanggalan Kecelakaan Anak ‘Jetset’ di Tol Jagorawi”,
(http://mushlihin.com), diakses pada Rabu 13 Oktober 2020. 7Kronologi Kecelakaan Beruntun yang Melibatkan Anak Ahmad Dhani, detiknews.com
diakses pada tanggal Rabu 13 Oktober 2020.
47
Masalah penerapan sanksi dalam tindak pidana kecelakaan lalu
lintas akan sangat menarik untuk dikaji lebih mendalam apalagi terkait
dengan kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan korban meninggal dunia.
Berikut beberapa kasus tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang
diselesaikan menggunakan penerapan restorative justice:
1. Peristiwa yang dialami AQJ seorang anak yang berusia 13 tahun. Pada
penyelesaian kasus ini terdapat polemik hukuman yang harus diberikan
kepada AQJ hingga terdapat pro kontra dikalangan masyarakat. Untuk
menindak perbuatan AQJ tersebut sudah diatur dalam Undang-Undang
No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang 11
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak, dalam Undang-Undang
tersebut persoalan hukum yang melilit anak dibawah umur dapat
dilakukan dengan konsep diversi (prinsip anak dikeluarkan dari
persoalan hukum karena dianggap belum mampu bertanggung jawab
akan perbuatannya) dan konsep restorative justice. Dalam kasus
kecelakaan yang dialami AQJ yang mengakibatkan 7 (tujuh) orang
meninggal dunia, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
memvonis tersangka dengan dikembalikan kepada orangtuanya alias
bebas. Vonis ini berbanding terbalik dari keputusan Jaksa Penuntut
Umum yang menuntut tersangka dengan satu tahun penjara dengan
masa percobaan dua tahun serta denda Rp. 5 Juta subside tiga bulan
kerja sosial.8
2. Kasus kecelakaan di Sleman antara pengendara sepeda motor dengan
pejalan kaki. Terdakwa yang berinisial MR.A mengemudikan sepeda
motornya dengan tidak hati-hati sehingga mengakibatkan kecelakaan
sehingga mengakibatkan satu korban meninggal dunia. Dalam
penyelesaian kasus kecelakaan yang dialami oleh terdakwa MR.A,
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sleman dalam memutus putusannya
terhadap kasus ini menggunakan pendekatan restorative justice, dalam
8 Liputan6.com 16 Juli 2014, Diakses pada tanggal 28 November 2020 Pukul 00.13 WIB
48
putusannya pada putusan nomor: 156/Pid.Sus/2013/PN.Slmn.
menjatuhkan pidana kepada terdakwa MR.A dengan pidana penjara 9
(Sembilan) bulan, dan tidak perlu menjalani pidana tersebut kecuali
dikemudian hari Terdakwa melakukan perbuatan yang dapat dihukum.9
3. Kasus kecelakaan Guritno Aji Pambudi bin Sarusmanto yang
mengemudikan kendaraan bermotor dank arena kelalaiannya tidak bias
menguasai sepeda motor yang dikemudikan, sehingga terjadi
kecelakaan lalu lintas pada hari Kamis tanggal 06 Maret 2014 bertempat
di jalan raya Jepara-Kudus Km 25 yang mengakibatkan seorang pejalan
kaki yang akan menyebrang jalan yaitu Ngadiman bin Wagiyo
meninggal dunia. Dalam proses persidangannya terdapat kesaksian atas
istri korban bahwa keluarga korban sudah memaafkan terdakwa dan
sudah tidak mempermasalhkan lagi. Dengan demikian terdakwa
dipidana selama 8 (delapan) bulan dengan masa percobaan selama 10
(sepuluh) bulan namun pidana tersebut tidak perlu dijalani oleh
terdakwa karena adanya pendekatan restorative justice.10
9 Salinan Putusan Pengadilan Negeri Sleman Nomor: 156/Pid.Sus/2013/PN.Slmn. 10 Salinan Putusan Pengadilan Negeri Jepara Nomor: 87/Pid.Sus/2014/PN.Jpa.
49
BAB IV
PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS LAKALANTAS
A. Kasus Posisi
Kasus kecelakaan lalu lintas yang dialami oleh terdakwa M. Rasyid
Amrullah Rajasa ini terjadi pada hari Selasa tanggal 1 Januari 2013sekitar
pukul 05.30 WIB, kecelakaan lalu lintas di Tol Jagorawi, KM 03. 432 yang
mengakibatkan 3 (tiga) korban luka ringan dan 2 (dua) korban tewas yaitu
Harun (57 tahun) dan Raihan (14 bulan). Kecelakaan lalu lintas ini terjadi
bermula ketika kedua mobil berada di jalur paling kanan. Mobil Daihatsu
Luxio berada di depan, lalu tiba-tiba ditabrak oleh mobil BMW hingga pintu
samping mobil Daihatsu Luxio terbuka dan penumpang jatuh hingga kedua
penumpang tewas.1
Penyebab utama kecelakaan itu, yaitu M. Rasyid Amrullah Rajasa.
Kecelakaan melibatkan mobil BMW B 272 HR berwarna hitam yang
dikemudikan M Rasyid Amrullah, putra bungsu Menko Perekonomian
Hatta Rajasa dengan Daihatsu Luxio hitam F 1622 CY. Alasan terjadinya
kecelakaan diketahui terdakwa kurang tidur dan kurang istirahat namun
tetap memacu kendaraanya dengan kecepatan sekitar 100 Km perjam dan
tanpa kehati-hatian atas situasi dan keberadaan kendaraan lain yang ada
didepannya, sehingga menabrak atau membentur keras kendaraan Daihatsu
Luxio yang menyebabkan pintu mobil belakang terbuka dan para
penumpangnya yang duduk dibelakang terlempar dan jatuh ke aspal.2
Berdasarkan keterangan pengemudi Luxio, Frans Sirait, kepada
penyidik Polda, dirinya melanjukan kendaraan dengan kecepatan 80
KM/jam. Sopir BMW diduga mengantuk sehingga melaju lebih cepat dari
mobil Luxio. “Jadi kedua mobil beriringan, tidak ada yang berhenti di jalur
tol tersebut. Kejadian pukul 05.45 WIB dan begitu cepat dan korban
langsung di bawa ke RS terdekat," ujar Sudarmanto. Kedua mobil itu
1Putusan Pengadilan Nomor: 151/Pid.Sus/2013/PN. Jkt. Tim. h.4. 2Putusan Pengadilan Nomor: 151/Pid.Sus/2013/PN. Jkt. Tim. h.5.
50
bertujuan dari arah Jakarta menuju Bogor. Menurut Sudarmanto, pada saat
kejadian tidak ada mobil lain yang berada di lokasi tersebut. Pihaknya
belum mengetahui lebih detail kecelakaan itu. "Kami belum menanyakan
penyebab kecelakaan itu dan seperti apa kecelakaan maut tersebut,"
katanya. Korban tewas adalah Harun (57 tahun), pria beralamat Jalan
Semangka 1 N0.99 Cibodas Sari, Tangerang dan M Raihan (14 bulan),
bocah laki-laki, beralamat Kampung Ciaul RT 8/2 Mekarjaya, Kababungan,
Sukabumi, Jawa Barat. Sementara korban luka ringan adalah Nung (30
tahun), perempuan beralamat Mekarjaya, Sukabumi, yang luka lecet pada
wajah dan kaki. Moh Rifan, laki-laki luka pada kaki dan tangan lecet yang
dirawat di RS Polri. Lalu, Supriyati (30 tahun), beralamat di Jalan Swadaya
III No 8 Rawabuaya Jatinegara, Jakarta Timur. Dia terluka di kaki kiri lecet
serta lengan tangan kiri retak, kini dirawat di RS UKI.3
Pelaku sendiri telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Metro
Jaya. Dengan pelanggaran yang telah dilakukan oleh putra bungsu Hatta
Rajasa ini. Pertama, kelalaian dalam berlalu lintas yang mengakibatkan
kecelakaan lalu lintas dengan kerusakan barang/kendaraan (Pasal 310 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009, ayat (2) dan ayat (3)
menyebutkan perbuatan pidana yang telah dilakukan oleh M. Rasyid, yaitu
kelalaian dalam berlalu lintas yang menimbulkan kecelakaan dengan korban
luka ringan dan kerusakan barang/kendaraan ayat (2) dan kelalaian dalam
berlalu lintas yang menyebabkan kecelakaan dengan luka berat ayat (3).4
B. Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Nomor: 151/Pid.Sus/2013/PN.
Jkt. Tim
Dasar pertimbangan hakim adalah suatu alasan bagi hakim dalam
mempertimbangkan sanksi yang akan diberikan pada terdakwa yang
disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian
yang diperoleh dari proses pemeriksaan yang dijadikan dasar penentuan
3https://www.liputan6.com/news/read/478376/ini-kronologi-kecelakaan-bmw-maut-
putra-hatta-rajasa diakses pada Tanggal 13 September 2020 Pukul 02.43 WIB. 4Putusan Pengadilan Nomor: 151/Pid.Sus/2013/PN. Jkt. Tim. h.2.
51
kesalahan terdakwa. Dasar pertimbangan hakim terdiri dari pertimbangan
yuridis dan pertimbangan non yuridis. Namun biasanya dalam penjatuhan
putusan, hakim cenderung lebih menggunakan pertimbangan yuridis
daripada perbandingan non yuridis. Seorang hakim harus mempunyai alasan
dan dasar pertimbanganpertimbangan dalam menjatuhkan putusannya.
Dalam menjatuhkan putusan terserbut mesti memperhatikan 3 (tiga)
unsur, yaitu:
1. Kepastian hukum, menekankan agar hukum atau aturan yang
berlaku ditegakkan dan ditaati.
2. Kemanfaatan, menekankan bahwa pelaksanaan hukum harus
memberikan manfaat, jangan sampai justru menimbulkan
keresahan bagi masyarakat dan negara.
3. Keadilan, menekankan bahwa dengan ditegakkannya hukum maka
akan memberikan rasa keadilan bagi masyarakat.5
Saat menjatuhkan putusan, pada pemeriksaan di persidangan
seorang hakim mengacu pada fakta-fakta yang diperoleh, serta juga dari alat
bukti yang sah yang terdapat pada Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu:
“Alat bukti yang sah ialah:
1. Keterangan saksi
2. Keterangan ahli
3. Surat
4. Petunjuk
5. Keterangan terdakwa.”
Tugas hakim secara konkrit dalam memeriksa dan mengadili suatu
perkara melalui tiga tindakan secara bertahap. Pertama, mengkonstalasir
yaitu menetapkan atau merumuskan peristiwa konkrit. Kedua,
mengkualifikasi yaitu merumuskan hukumnya. Ketiga, mengkostituir yaitu
5 Sulardi, Kepastian Hukum, Kemanfaatan, dan Keadilan Terhadap Pidana Anak, (Jurnal
Yudisial, Vol. 8 No.3 Edisi Desember 2015) diakses pada tanggal 12 Desember 2020, h. 258.
52
menetapkan hukumnya dan memberikan keadilan bagi pihak yang
bersangkutan.6 Sehingga dalam proses keputusan yang dilakukan oleh
majelis hakim dalam kasus ini hakim melakukan ketiga proses tersebut.
Proses sebagaimana tugas Hakim diatas maka Hakim akan
membuktikan terhadap pasal yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum.
Bahwa dipersidangan Penuntut Umum telah menghadapakan Terdakwa
dengan dakwaan yang berbentuk subsideritas yakni Primair melanggar
Pasal 310 ayat (4) jo Pasal 229 ayat (4) UU RI No. 22 Tahun 2009 yaitu
kecelakaan lalu lintas berat yang mengakibatkan korban meninggal dunia.
Subsidair melanggar Pasal 310 ayat (3) jo Pasal 229 ayat (4) UU RI No. 22
Tahun 2009 yaitu kecelakaan lalu lintas berat yang mengakibatkan orang
lain luka berat; bahwa karena dakwaan Penuntut Umum disusun secara
Subsideritas maka terhadap dakwaan tersebut terlebih dahulu Majelis
Hakim akan mempertimbangkan dakwaan Primair dimana jika dakwaan
primair tidak terbukti maka terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan
primair dan selanjutnya akan dipertimbangkan dakwaan subsidair atau
sebaliknya apabila dakwaan primair telah terbukti maka dakwaan subsidair
tidak perlu dipertimbangkan lagi.7
Sebagaimana dengan yang telah didakwakan oleh Jaksa Penuntut
Umum kepada terdakwa Muhammad Rasyid Amrullah Rajasa bahwa dalam
dakwaan Primair terdakwa telah disangkakan oleh Penuntut Umum
melanggar Pasal 310 ayat (4) jo Pasal 229 ayat (4) UU RI No. 22 Tahun
2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.8
Ketentuan pasal 310 ayat (4) UU RI No. 22 Tahun 2009 Tentang
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan disebutkan,”Setiap orang yang
mengemudikan kendaraan bermotor yang karena kelalaiannya
mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan mengakibatkan orang lain
6Syafrudin Makmur, Hukum Acara Pidana, (Tangerang Selatan, UIN FSH Press, 2016),
h.61. 7 Putusan Pengadilan Nomor: 151/Pid.Sus/2013/PN. Jkt. Tim. h. 2. 8 Putusan Pengadilan Nomor: 151/Pid.Sus/2013/PN. Jkt. Tim. h. 6.
53
meninggal dunia dipidana dengan penjara paling lama 6 (enam) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp. 12.000.000-, (dua belas juta rupiah).”
Maka Hakim dalam menimbang perbuatan Terdakwa yang telah
melangar Pasal 310 ayat (4) jo Pasal 229 ayat (4) UU RI No. 22 Tahun 2009
Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, melihat muatan unsur-unsur yang
terkandung dalam pasal tersebut. Unsur-unsur tersebut yang termuat sebagai
berikut:9
1. Setiap orang;
Unsur dari “Setiap Orang” memiliki pengertian sama dengan “Barang
Siapa” dalam KUHP yaitu menunjuk kepada Subyek Hukum sebagai
pendukung hak dan kewajiban. Dalam hal ini subjek hukum menunjuk
pada pelaku tindak pidana yakni Terdakwa Muhammad Rasyid Amrullah
Rajasa. Sehingga unsur “Setiap Orang” terpenuhi menurut hukum.
2. Mengemudikan Kendaraan Bermotor;
Unsur kedua ini sesuai Pasal 1 angka 8 UU RI Nomor 22 Tahun 2009
tentang lalu lintas dan angkutan jalan: setiap kendaraan yang digerakkan
oleh peralatan mekanik berupa mesin selain kendaraan yang berjalan di
atas rel. Pada kasus ini Terdakwa menggunakan kendaraan bermotor
sebagai perantara terjadinya kecelakaan dan terpenuhi menurut hukum.
3. Karena Kelalaiannya;
Kelalaian/kealpaan atau Culpa diartikan kurangnya kehati-hatian atau
kelalaian, kekurangwaspadan atau keteledoran. Perkataan Culpa dalam
arti luas berarti kesalahan pada umumnya, sedang dalam arti sempit
adalah bentuk kesalahan yang berupa kealpaan.10 Kelalaian yang terjadi
dalam peristiwa ini adalah pelaku dalam mengendarai kendaraan
berdasarkan fakta hukum didasari dengan kelalaian. Sehingga unsur ini
terpenuhi menurut hukum.
4. Menyebabkan Kecelakaan Lalu Lintas;
9Putusan Pengadilan Nomor: 151/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Tim. h. 89. 10Sudarto, Hukum Pidana 1, (Semarang: Yayasan Sudarto, 1990), h. 123.
54
Akibat dari cara Terdakwa mengemudi mobil dengan tidak berhati-hati
terjadi kecelakaan dan menabrak korban yang berada pada mobil luxio.
Unsur ini telah terpenuhi menurut hukum.
5. Mengakibatkan Orang Lain Meninggal Dunia
Dari akibat kecelakaan tersebut, perbuatan dari pelaku mengakibatkan
hilangnya nyawa seseorang. Unsur “Mengakibatkan Orang Lain
Meninggal Dunia” telah terpenuhi menurut hukum
Dari penjelasan diatas, pada dasarnya diketahui adanya unsur
kesalahan sebagai unsur tindak pidana. Kesalahan sebagai unsur tindak
pidana merupakan penilaian yang normatif dengan meneliti ciri-ciri
kelakuan dari pembuat pada saat melakukan suatu perbuatan. Kesalahan
bukan sebagai unsur yang konstitutif dalam rumusan tindak pidana, kecuali
pada tindak pidana-tindak pidana tertentu menurut pembentuk undang-
undang harus mencantumkan unsur kesalahan.11
Tindakan Terdakwa, menurut UU No 22 tahun 2009 tentang lalu
lintas dan angkutan jalan, Pasal 235 ayat 1 menyebutkan bahwa:
“Jika korban meninggal dunia akibat kecelakaan lalu lintas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) huruf c,
pengemudi, pemilik, dan/ atau perusahaan angkutan umum wajib
memberikan bantuan kepada ahli waris korban berupa biaya
pengobatan dan/atau biaya pemakaman dengan tidak menggugurkan
tuntutan perkara pidana.”
Maka berkaitan dengan tindakan yang dilakukan oleh pihak
keluarga pelaku atau terdakwa dengan cara memberi santunan berupa uang,
biaya perawatan, hingga biaya sekolah kepada korban, telah sesuai dengan
Pasal tersebut yakni adanya pertanggung jawaban dari pelaku.
Berdasarkan apa yang telah dijelaskan terlebih dahulu mengenai
restorative justice pada dasarnya tujuan selain untuk benar-benar
memulihkan dan menghilangkan konflik khususnya pada pihak korban,
juga merupakan sistem yang bisa dijadikan sebagai pembaharu proses
11Romli Atmasasmita, Tindak Pidana & Pertanggung Jawaban Pidana, h. 100.
55
hukum dalam peradilan di Indonesia.12 Selama ini sistem yang telah
diterapkan (retributif) masih banyak belum memaksimalkan sepenuhnya
terhadap korban, walaupun pelaku telah diputus bersalah dan mendapatkan
hukuman, namun kondisi korban tidak dapat kembali seperti semula.
Kemudian manfaat yang lainnya untuk mengurangi proses perkara di
peradilan dapat menuju keadilan dan upaya mewujudkan peradilan secara
sederhana, cepat, dan biaya ringan yang selama ini menjadi pokok bahasan
terus dilakukan karena mempunyai implikasi yang erat agar setiap upaya
penegakan hukum dan pemberian pelayanan hukum dalam sistem peradilan
berjalan sesuai dengan harapan masyarakat sebagaimana tercantum dalam
Pasal 4 ayat (2) dari UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman. Penjelasan dari ayat tersebut bahwa ketentuan ini diharapkan
dapat memenuhi harapan para pencari keadilan, bahwa sederhana
dimaksudkan agar pemeriksaan dan penyelesaian dilakukan dengan cara
yang efesien dan efektif, sedangkan yang dimaksud dengan biaya ringan
adalah biaya perkara yang dapat terpikul oleh rakyat dengan tetap tidak
mengorbankan ketelitian dalam mencari kebenaran dan keadilan.13
Selanjutnya pada alat bukti persaksian, Eman selaku saksi 2 dan
Enung selaku saksi 3 yang tak lain juga sebagai korban sekaligus orang tua
dari 2 orang korban luka-luka dan meninggal dunia, memberikan
keterangan telah memaafkan perbuatan Terdakwa terhadap dirinya juga
anaknya dan mengikhlaskan. Dalam hal ini pemberian maaf merupakan
salah satu sistem restorative justice karena pihak korban telah memaafkan,
tidak ada rasa kebencian dan balas dendam, sesuai tujuan restoratif pada
umumnya memulihkan pihak korban dan benar-benar damai dengan
pelaku.14
12 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial
Prudence), h. 249. 13M. Hatta Ali, Peradilan Sederhana Cepat & Biaya Ringan, h. 3. 14Putusan Pengadilan Nomor: 151/Pid.Sus/2013/PN. Jkt. Tim. h.21.
56
Didalam hukum positif pun adanya alasan hapusnya kewenangan
menjalani pidana, diantaranya:
a. Tidak adanya pengaduan pada delik-delik aduan;
b. Ne bis in idem;
c. Matinya terdakwa;
d. Daluwarsa;
e. Telah ada pembayaran denda maksimum kepada pejabat
tertentu untuk pelanggaran yang hanya diancam dengan denda
saja;
f. Ada abolisi atau amnesti.15
Melihat kewenangan penghapusan pidana, pemberian maaf hanya
sebagai penerapan restorative justice, bukan menjadi salah satu alasan
untuk dihapuskannya/ gugurnya suatu hukuman dan menjadi pertimbangan
hakim dalam keringanan hukuman. Hukuman yang diberikan Terdakwa
dengan penjara 5 (lima) bulan dengan 6 (enam) bulan masa percobaan.
Sementara itu, dalam hukum Islam menegaskan bahwa permintaan
maaf adalah bagian dari pada perdamaian antar kedua belah pihak yang
sedang bertikai. Waluyadi menyebutkan dalam tulisannya bahwa:
“Penyelesaian perkara pidana dengan perdamaian pada tingkat
penyidikan mendasarkan kesepakatan diantara pelaku dan korban.
Lalu apabila kesepakatan itu dilanggar, mereka sepakat untuk
menggunakan hukum formal. Perkara pidana yang diselesaikan
dengan perdamaian, bersifat personal dan nilai kerugiannya relative
kecil. Islam menempatkan perdamaian sebagai salah satu alternatif
penyelesaian perkara pidana, sepanjang perkara tersebut belum
sampai ke tangan hakim.”16
15Barda Nawawi,Hukum Pidana II, (Semarang: Badan Penyediaan Bahan Kuliah Fakultas
UNDIP, 1993), h. 57. 16 Waluyadi, Islah Menurut Hukum Islam Relevansinya Dengan Penegakan Hukum Pidana
Di Tingkat Penyidikan, (Jurnal Yustisia, Vol. 3 No.2 Edisi Mei-Agustus 2014), diakses pada tanggal
19 Desember 2020, h.2.
57
Ganti rugi yang telah dijelaskan juga menjadi pertimbangan
dikatakan sebagai restorative justice karena Terdakwa telah benar-benar
mementingkan korban atas kesalahannya dan tidak semata-mata Terdakwa
hanya dihukum sesuai ketetapan negara, tetapi adanya kepetingan pihak
korban. Sehingga dalam hal ini menurut penulis bahwa terdapat penerapan
restorative justice di Pengadilan Negeri Jakarta Timur dalam
menyelesaikan permasalahan kecelakaan lalu lintas oleh Muhammad
Rasyid Amrullah Rajasa yang menyebabkan kematian.
Salah satu fungsi hukum acara pidana yakni mencari kebenaran
materiil, kebenaran yang dimaksud adalah kebenaran dari peristiwa atau
keadaan yang telah lalu yang diduga berkaitan dengan tindak pidana.17
Sehingga perolehan fakta hukum dari kasus ini, diantaranya:18
1. Pada hari Selasa, tanggal 01 Januari 2013 sekitar jam 05.45 WIB,
bertempat di Tol dalam kota arah selatan KM 03.350 sampai dengan KM
03.432 Jakarta Timur terjadinya tabrakan anatara kendaraan Jeep BMW
dengan kendaraan Daihatsu Luxio.
2. Terdakwa mengendarai mobil dengan kecepatan 100 KM perjam
menggunkan lajur paling kanan atau lajur cepat. Padahal kecepatan yang
diperbolehkan di jalan tol tersebut untuk lajur yang paling kanan yaitu
minimum 60 KM perjam dan maksimun 80 KM perjam.
3. Terdakwa dalam mengemudikan kendaraan Jeep BMW dengan keadaan
kurang tidur semalaman dan kurang sehat, mengakibatkan kelelehan
namun Terdakwa mengemudi dengan kecepatan sekitar 100 KM perjam
tanpa kehati-hatian atas situasi dan keberadaan kendaraan lain yang ada
di depannya sehingga kendaraan Jeep BMW menabrak/membentur
kendaraan Daihatsu Luxio.
4. Akibat tertabraknya Daihatsu Luxio olrh Jeep BMW, menyebabkan pintu
belakang terbuka dan para penumpang yang duduk di belakang yaitu
17Agung Priyanto, Hukum Acara Pidana Indonesia,(Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2012),
h. 84. 18Putusan Pengadilan Nomor: 151/Pid.Sus/2013/PN. Jkt. Tim. h.82.
58
saksi Enung, saksi Supriyati, sdr. Ripal Mandala Putra dan Harun serta
M.Raihan terlempar dan jatuh ke aspal.
5. Bahwa penumpang Daihatsu Luxio yang terjatuh anatara lain Harun dan
M.Raihan meninggal dunia ditempat.
6. Korban lainnya yang terjatuh yaitu saksi Enung, saksi Supriyati, dan sdr.
Ripal Mandala Putra langsung dilarikan ke RS. R. Said Sukanto dan RS
UKI.
7. Korban meninggal dunia bernama M. Raihan terdapat luka lecet
padakepala, punggung, bokong, lengan atas bawah kiri kanan, tungkai
atas kanan, tungkai bawah kiri kanan, kaki kanan, dan luka memar pada
dahi kiri, kelopak mata kanan, punggung akibat kekerasan tumpul.
Teraba patah tulang tengkorak bagian depan. Berdasarkan Visum Et
Repertum yang dibuat dan di tandatangani oleh dr. Slamet Purnomo,
Sp.F.
8. Korban meninggal dunia bernama Harun terdapat luka terbuka pada
kepala, luka lecet pada wajah, siku kiri, punggung tangan kanan,
punggung dan bokong akibat kekerasan tumpul. Berdasarkan Visum Et
Repertum yang dibuat dan di tandatangani oleh dr. Slamet Purnomo,
Sp.F.
9. Terdakwa memiliki SIM A.
10. Terdakwa dan keluarganya mau bertanggung jawab, dan sudah
memberikan bantuan kepada korban dan keluarga korban berupa uang
hingga biaya perawatan di RS dan biaya untuk sekolah anak korban.
11. Keluarga korban sudah tidak menuntut lagi dan sudah memaafkan
Terdakwa.
Dari pemaparan di atas, sebelum dijatuhkan pidana ada beberapa hal
yang bisa meringanan dan memberatkan hukuman, yaitu: Perbuatan
terdakwa telah mengakibatkan keluarga korban kehilangan orang yang
dicintainya; Antara keluarga korban dengan Terdakwa telah ada perdamaian
dan keluarga korban sudah memaafkan Terdakwa; Terdakwa sudah
memberikan bantuan kepada keluarga korban; Terdakwa masih muda
59
usianya untuk memperbaiki kembali masa depannya yang lebih baik;
Terdakwa belum pernah dihukum; Terdakwa masih kuliah; Oleh sebab itu
majlis hakim memberikan hukuman dengan pidana penjara selama 5 (lima)
bulan; Menetapkan pidana tersebut tidak usah dijalani kecuali jika
dikemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain disebabkan
karena Terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan
selama 6 (enam) bulan berakhir;19 Hukum yang diberikan telah tepat dan
memenuhi rasa keadilan, baik secara yuridis, sosiologis, maupun filosofis.
C. Analisis Pertimbangan Hukum Hakim
Banyak yang menanggapi putusan hakim untuk Rasyid ini sudah diatur
sehingga putusan yang dijatuhkan sangat ringan, bahkan terdakwa tidak perlu
ditahan karena hanya dijatuhi hukuman percobaan. Wajar apabila banyak yang
beranggapan seperti itu, sebab saat persidangan, baik jaksa maupun hakim
seakan-akan justru mencari pembenaran atas kasus ini bukan berupaya mencari
bukti atau membuktikan bahwa Rasyid bersalah.20
Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 48 Tahun 2009
Tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa “Hakim dan hakim
konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan
rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”, sedangkan menurut
penjelasannya, ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim dan hakim
konstitusi sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Oleh sebab itu,
hakim tidak boleh mengabaikan masyarakat, karena masyarakat merupakan
kontrol dari penegak hukum sehingga dalam penerapan restorative justice
tersebut juga harus memperhatikan nilai keadilan yang hidup di masyarakat.
Selanjutnya dalam pertimbangannya Majelis Hakim
mempertimbangkan bahwa M. Rasyid Amrullah Rajasa terbukti bersalah,
19Putusan Pengadilan Nomor: 151/Pid.Sus/2013/PN. Jkt. Tim. h. 106. 20 Oriwidianto dalam Kompasiana, http//:www.Kompasiana.com/oriwidianto/balada-
rasyid-dan-dwigusta-beda-kasta-bmwdan-nissan juke_552a6267fi7e615205d623d5, diunduh pada
Selasa 29 Desember2020, Pukul 19:00 WIB
60
karena telah memenuhi semua unsur dari Pasal 310 ayat (4) dan Pasal 310 ayat
(2) UU RI No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan,
sehingga tidak ada dasarpenghapusan pidana. Selanjutnya, Majelis Hakim juga
berpendapat: “bahwa selama pemeriksaan perkara berlangsung ternyata tidak
dapat diketemukan adanya alasan yang dapat menghapuskan kesalahan
terdakwa, baik berupa alasan pemaaf maupun pembenar, sehingga terdakwa
harus dinyatakan sebagai subyek hukum yang mampu dipertanggungjawabkan
menurut Hukum Pidana di Indonesia, dan atas kesalahan yang dilakukan harus
dijatuhkan pidana yang setimpal.21 Majelis hakim terlebih dahulu akan
mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan kesalahan
Terdakwa sebagai berikut:22
Hal-hal yang memberatkan:
Bahwa perbuatan terdakwa tidak menjadi contoh yang baik dalam mengemudi
kendaraan bermotor roda empat di jalan tol.
Hal-hal yang meringankan :
1. Bahwa terdakwa berlaku sopan dan tidak mempersulit jalannya
persidangan.
2. Bahwa terdakwa masih berusia muda dan masih berstatus Mahasiswa.
3. Bahwa terdakwa maupun keluarga terdakwa telah meminta maaf kepada
keluarga korban.
Selain hal yang meringankan dan memberatkan tersebut, Majelis Hakim
juga mempertimbangkan tujuan dari pemidanaan yang akan digunakan untuk
menentukan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan kepada terdakwa.
Majelis Hakim berpendapat, berdasarkan teori gabungan (retributive
teleologis) yang menekankan pencegahan sekaligus rehabilitasi yang harus
dicapai dalam suatu pemidanaan, dan kemudian lahir lagi suatu pemikiran
“justice model” yang menjelaskan suatu sanksi yang tepat dan efektif merubah
21 Pertimbangan Majelis Hakim dalam Putusan Nomor : 151/Pid.Sus/2013/PN. Jkt. Tim.
Hlm.100 22 Pertimbangan Majelis Hakim dalam Putusan Nomor : 151/Pid.Sus/2013/PN. Jkt. Tim.
Hlm.101
61
si pelaku dan sekaligus juga dapat mencegah orang lain melakukannya. Dalam
model ini juga lahir pemikiran “restorative justice” yang mengembalikan
konflik kepada pihak yang paling berpengaruh yaitu korban, pelaku, dan
masyarakat.
Majelis hakim juga mengemukakan fakta-fakta hukum yang dirasa
majelis hakim telah memenuhi karakteristik restorative justice, sebagai
berikut:23
1. Kata-kata dan ucapan terdakwa yang mengatakan “bertanggung jawab”.
2. Tindakan dan sikap terdakwa di tempat kejadian perkara yang turut aktif
memberikan pertolongan kepada korban dan tidak melarikan diri.
3. Tindakan serta perbuatan terdakwa dan/atau keluarga yang memberikan
perhatian yang begitu besar terhadap para korban dengan mengunjungi
keluarga korban, menghadiri pemakaman korban yang meninggal dunia,
memberikan santunan dan bantuan berupa materi baik untuk acara
pemakaman korban maupun pembiayaan perawatan karena sakit/luka yang
diderita korban, penggantian kendaraan yang rusak sampai janji akan
membiayai pendidikan dari anak korban yang meninggal dunia.
4. Sikap keluarga korban yang telah memaafkan terdakwa dan menyatakan
menerima dengan ikhlas peristiwa yang terjadi dan dipandang sebagai
musibah dan memohon agar terdakwa tidak dihukum.
5. Terdakwa masih berstatus sebagai mahasiwa di salah satu perguruan tinggi
di London, Kerajaan Inggris dengan status mahasiswa semester akhir yang
sebentar lagi akan mengakhiri perkuliahanya
Pertimbangan Majelis hakim selanjutnya adalah, Pasal 14 a KUHP
tentang pidana bersyarat dimana yang inti pokoknya, apabila hakim
menjatuhkan pidana penjara paling lama satu tahun atau pidana kurungan, tidak
termasuk pidana kurungan pengganti maka dalam putusannya hakim dapat pula
memerintahkan bahwa pidana tidak usah dijalani, kecuali jika dikemudian hari
ada putusan hakim yang menentukan lain.
23 Salinan Putusan Pengadilan Nomor : 151/Pid.Sus/2013/PN. Jkt. Tim. Hlm.103
62
Majelis hakim berpendapat tujuan pemidanaan sebagai wujud
pencegahan agar tidak mengulangi lagi kejahatan yang sama baik oleh terdakwa
maupun oleh orang lain telah terwujud dengan dijatuhkannya secara formal
pemidanaan atas terdakwa, sedang pada sisi lain dengan telah terpenuhinya
karakteristik restorative justice dalam perkara ini, maka keseimbangan antara
kepentingan korban, terdakwa dan masyarakat juga telah diwujudkan, sehingga
pemidanaan yang dijatuhkan atas diri terdakwa tersebut diyakini oleh majelis
hakim sudah tepat dan benar berdasarkan rasa keadilan dan setimpal dengan
kesalahan terdakwa.
Berdasarkan analisis pertimbangan hakim, penulis setuju dengan
putusan hakim pada nomor kesatu bahwa “M. Rasyid Amrullah Rajasa bersalah
melakukan tindak pidana mengemudikan kendaraan bermotor yang karena
kelalaiannya mengakibatkan orang lain meninggal dunia dan mengemudikan
kendaraan bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu
lintas dengan korban luka ringan dan kerusakan kendaraan dan/atau barang.
Analisis selanjutnya yaitu penjatuhan berat atau ringannya pidana
sebagaimana telah disampaikan oleh hakim dalam amar putusannya yang
menyatakan : menjatuhkan pidana kepada ia Terdakwa oleh karena itu dengan
pidana penjara selama 5 (lima) bulan dan denda sebesar Rp.12.000.000,- (dua
belas juta rupiah dengan ketentuan apabila tidak dibayar diganti dengan pidana
kurungan selama 6 (enam) bulan. Berdasarkan pertimbangannya, hakim
mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan kesalahan
Terdakwa, sebagai berikut:
Hal-hal yang memberatkan:
Bahwa perbuatan terdakwa tidak menjadi contoh yang baik dalam mengemudi
kendaraan bermotor roda empat di jalan tol.
Hal-hal yang meringankan :
1. Bahwa terdakwa berlaku sopan dan tidak mempersulit jalannya
persidangan.
2. Bahwa terdakwa masih berusia muda dan masih berstatus mahasiswa.
63
3. Bahwa terdakwa maupun keluarga terdakwa telah meminta maaf kepada
keluarga korban.
Dalam hal ini hakim sudah sesuai dengan KUHAP Pasal 197 ayat (1)
huruf f bahwa sebelum menjatuhkan pemidanaan terlebih dahulu harus
dipertimbangkan mengenai “keadaan-keadaan yang meringankan” dan
“keadaan-keadaan yang memberatkan”, dua hal tersebut memang menjadi
acuan untuk menetukan tinggi rendahnya hukuman walaupun itu tetap tidak
bisa menjadi patokan mutlak mengenai nilai pemidanaan, artinya hakim akan
tetap mempertimbangkan dua hal tersebut namun ukuran berat dan ringan yang
dituangkan dalam bentuk nilai pidana akan menjadi standar penilaian masing-
masing hakim secara bebas.
Penentuan berat ringannya pidana merupakan kebebasan hakim yang
bersumber dari hati nurani hakim karena memang tidak ada penentuan ataupun
rumus yang mengatur seberapa lama seorang terdakwa dapat dijatuhi pidana.
Putusan tersebut merupakan hasil dari olah pikir dan pendalaman nurani yang
dikemas dengan sentuhan-sentuhan teori dan pengetahuan hukum sehingga
sebuah putusan akan mengandung nilai-nilai akademik, logis dan yuridis.
Hakim mempunyai kedudukan yang penting dalam suatu sistem hukum, begitu
pula dalam sistem hukum di Indonesia, karena hakim melakukan fungsi yang
pada hakikatnya melengkapi ketentuan-ketentuan hukum tertulis melalui
penemuan hukum (rechtvinding) yang mengarah kepada penciptaan hukum
baru (creation of new law). Fungsi menemukan hukum tersebut harus diartikan
mengisi kekosongan hukum (recht vacuum) dan mencegah tidak ditanganinya
suatu perkara dengan alasan hukumnya (tertulis) tidak jelas atau tidak ada.24
Pada pokoknya, penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim, berawal
dari peristiwa hukum konkret yang dihadapkan kepada hakim untuk diputuskan,
sehingga sudah seharusnya putusan hakim memenuhi dimensi keadilan,
kepastian hukum dan juga kemanfaatan. Sebenarnya sangat sulit sekali
mewujudkan ketiganya dalam suatu putusan, sehingga kadangkala putusan
24 Mochtar Kusumaatmaja, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, (Bandung:
Alumni, 2002), h. 99.
64
hakim dikatakan sebagai putusan yang tidak adil, nyeleneh, ataupun putusan
yang mengoyak dan tidak mendengarkan rasa keadilan masyarakat, dan sebutan
yang lainnya, putusan yang demikian itulah yang menimbulkan kontroversi
serta polemik dikalangan masyarakat luas maupun kalangan ahli ataupun
pemerhati hukum. Keadaan yang sedemikian itu, seharusnya dapat menggugah
dan memanggil hati nurani para hakim untuk menemukan hukum melalui
putusan-putusannya yang bersifat progresif demi membantu bangsa dan negara
keluar dari keterpurukan, dan juga mengerti akan keinginan dan kebutuhan
rakyat serta mengabdi pada keadilan, kesejahteraan dan kepedulian terhadap
seluruh warga bangsa pada umumnya,25 dan untuk itulah diperlukan langkah-
langkah hukum yang bersifat progresif melalui penemuan hukum yang
dilakukan oleh hakim, yang sesuai dengan metode-metode penemuan hukum
yang selama ini ada dalam praktik, sehingga diharapkan akan dihasilkan
putusan-putusan hakim yang bersifat progresif yang bermanfaat bagi perbaikan
wajah penegakan hukum dan peningkatan kehidupan berbangsa dan bernegara
bagi seluruh rakyat Indonesia.
Persepsi masyarakat bahwa keadilan selalu identik dengan kemenangan
dapat dipengaruhi oleh dua faktor antara lain :
1) Rendahnya mutu putusan hakim dimana pertimbangan tidak dapat
menjelaskan secara rasional mengenai alasan yang digunakan, sehingga
tidak dapat menyentuh rasa keadilan bagi para pihak yang berpekara.
2) Rendahnya kesadaran masyarakat khususnya para pihak yang berpekara
yang memandang keadilan hanya sebatas menang dan kalah.26
Persepsi inilah yang harus mampu diatasi oleh hakim, bahwa putusan
yang dijatuhkannya harus benar-benar dipahami oleh masyarakat luas,
khususnya oleh pihak yang berpekara, karena mereka umumnya tidak
memandang dari segi teori maupun kaidah hukum melainkan dari rasa keadilan
yang diterima oleh pihak yang berpekara maupun rasa empati yang timbul
25 Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif (Penjelajahan Suatu Gagasan), (Jakarta: Yayasan
Pusat Pengkajian Hukum, 2004), h. 1.
26Darmoko Yuti Witanti dan Arya Putra N.K, Diskresi Hakim Sebuah Instrumen
Menegakkan Keadilan Substantif Dalam Perkara Pidana, (Bandung: Alfabeta, 2013), h..33
65
diantara masyarakat yang tidak berperkara. Oleh sebab itu dalam
pertimbangannya hakim harus mampu memberikan ulasan-ulasan yang
memang harus berpedoman pada teori-teori hukum, kaidah-kaidah hukum serta
nilai-nilai yang hidup di masyarakat yang ditafsirkan secara benar.
Hakim berpendapat bahwa, terdakwa yang masih muda dan merupakan
mahasiwa di salah satu perguruan tinggi di London, masih memiliki masa depan
yang panjang dan dapat memperbaiki kesalahannya, mengingat terdakwa
memberikan bentuk pertanggungjawaban terhadap korban, dimana hal tersebut
dipandang hakim merupakan hal yang meringankan pidana sesuai dengan aliran
neo klasik. Pertimbangan hakim tersebut dapat diterima mengingat keluarga
terdakwa, menyatakan akan menanggung biaya pendidikan anak korban yang
meninggal dunia, serta sikap keluarga korban yang telah memaafkan terdakwa
dan menyatakan menerima dengan ikhlas peristiwa yang terjadi dan dipandang
sebagai musibah dan mohon agar terdakwa tidak dihukum.27
Berdasarkan tujuan dari pemidanaan yaitu teori gabungan yang
merupakan gabungan dari teori pembalasan (retributive) dan teori tujuan
(teleologis), yang menekankan pencegahan sekaligus rehabilitasi yang harus
dicapai dalam suatu pemidanaan. Pemidanaan juga harus memberikan manfaat
kepada terdakwa, oleh karena itu hakim harus mempertimbangkan kepentingan
terdakwa, jadi pemberian pidana tidak semata-mata untuk meberikan balasan
terhadap perbuatan terdakwa, namun juga mampu memperbaiki terdakwa
sehingga dapat diterima di masyarakat.
Akan tetapi, pemberian pidana juga harus memperhatikan nilai-nilai
keadilan yang ada di masyarakat. Hal ini, berkaitan dengan asas hukum yang
menyebutkan bahwa hukum memandang semuanya sama atau yang sering
disebut equality before the law. Asas ini ditegaskan dalam Pasal 4 ayat (1)
Undang-Undang No.48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang
menyatakan : “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-
bedakan orang.” Selain itu, juga terdapat dalam penjelasan umum KUHAP butir
27 Lihat Salinan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur
Nomor:151/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Tim
66
3a merumuskan asas ini yaitu : “Perlakuan yang sama atas diri setiap orang
dimuka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan”.
Kesamaan di muka hukum tersebut tidak hanya dalam hal mengadili
ketika beracara namun juga perlakuan yang sama dalam mendapatkan keadilan
pidana, dengan kata lain penjatuhan pidana yang sesuai dengan perbuatan
pidana yang dilakukan. Keadilan menurut Aristoteles dibedakan menjadi dua
kelompok yaitu keadilan komutatif (comutative justice) dan keadilan distributif
(distributive justice) : 28
1. Keadilan komutatif adalah keadilan yang dipandang berdasarkan nilai
dan ukuran yang sama atau biasa disebut dengan keadilan yang sama
rata.
2. Keadilan distributif yaitu keadilan yang diberikan sesuai dengan
kepentingan, kemampuan dan kebutuhannya, keadilan distributif tidak
melihat pada pembagian menurut jumlahnya namun semata-mata
didasarkan pada seberapa besar keadilan itu yang menjadi bagiannya.
Pada era reformasi dewasa ini seakan masyarakat memiliki hak yang
penuh untuk menilai keadilan dalam setiap putusan hakim, sehingga tidak heran
jika orang dengan mudah mengkritik dan menyalahkan putusan pengadilan
tanpa memahami terlebih dahulu apa yang menjadi argumentasi dalam putusan
tersebut. Paradigma yang berkembang saat ini bahwa dukungan masyarakat
lebih banyak memihak pada permasalahan yang sedang populer di masyarakat
oleh pemberitaan media elektronik.
Sama halnya, ketika hakim memberikan lamanya pidana, keadilan yang
diharapkan oleh masyarakat mungkin adalah keadilan komutatif dimana
semuanya harus sama, sama dalam pandangan masyarakat atau masing-masing
orang. Namun, hakim tidak bisa boleh menerapkan keadilan komutatif dalam
pemberian pidana, karena faktor-faktor yang memberatkan dan meringankan
masing-masing terdakwa berbeda-beda. Oleh sebab itu munculah disparitas
putusan, yaitu adanya perbedaan mengenai nilai pemidanaan terhadap beberapa
28 J.H. Rapar, Filsafat Politik Plato, (Jakarta: Rajawali Press, 2019) h. 82
67
perkara yang memiliki kesamaan, walaupun sebenarnya disparitas sendiri bisa
berarti perbedaan mengenai seluruh muatan dari isi putusan menyangkut fakta,
pertimbangan dan amar, namun oleh karena masyarakat selalu melihat bahwa
putusan itu adalah amar dan amar putusan identik dengan angka pemidanaan,
maka istilah disparitas selalu dimaksudkan pada arti nilai pemidanaan semata.
Suatu tindak pidana walaupun diancam dengan pasal yang sama namun
belum tentu substansi perbuatannya juga sama, sehingga jika dilihat dari
beberapa aspek seperti, dampak kejahatan bagi pihak korban, modus dan latar
belakang terjadinya perbuatan pidana, maka seharusnya suatu peristiwa pidana
itu tidak akan pernah ada yang sama walaupun dalam kategori dan klasifikasi
rumusan pidana yang sama, sehingga potensi terjadinya disparitas terhadap
masing-masing putusan sangatlah tinggi.
Seperti hal nya bertolak belakang dengan kasus Muhammad Rasyid
Amrullah rajasa, kasus yang serupa terjadi pada 07 april 2013 dengan terdakwa
Muhammad Dwigusta Cahya yang berusia 19 tahun pada saat itu. Dari segi
jumlah korban, kasus ini memang lebih parah dari pada kasus Rasyid sebab
mengakibatkan 5 (lima) orang meninggal. Namun dari awal langsung tampak
betapa bedanya perlakuan penegak hukum pada kasus ini. Putusan hakim yang
dijatuhkan kepada Dwigusta justru jauh berbeda dengan putusan Rasyid
(bahkan dari dakwaan yang diajukan oleh Jaksa meskipun pasalnya sama tetapi
tuntutannya berbeda). Pengadilan Negeri Bale Bandung menjatuhkan Vonis 1
(satu) tahun penjara kepada Dwigusta, jelas jauh berbeda dengan Putusan
Negeri Jakarta Timur yang menjatuhkan pidana kepada Rasyid yang hanya
menjatuhkan pidana penjara selama 5 (lima) bulan dan denda Rp, 12.000.000,-
(dua belas juta) dengan subsider 6 (enam) bulan kurungan, dan pidana penjara
itu tidak akan dilakukan dengan masa percobaan 6 (enam) bulan. Bahkan, dalam
tahap banding, majelis hakim Pengadilan Tinggi Bandung malah menjatuhkan
hukuman yang lebih berat dari Pengadilan Negri Bale Bandung, yaitu pidana
penjara selama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan kepada Dwigusta, dan menolak
permintaan penasehat hukum Dwigusta yang meminta hakim
mempertimbangkan untuk menerapkan restorative justice dalam kasus
68
kliennya, sebab kliennya telah bertanggungjawab kepada keluarga korban
dengan memberikan ganti rugi bahkan telah menyanggupi untuk membiayai
anak dari korban hingga kerja. Tetapi, hakim Pengadilan Tinggi dalam
pertimbangan putusannya menyatakan: “Menimbang, bahwa pendapat
Pengadilan Tinggi tentang penjatuhan pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa
terlalu ringan dengan pertimbangan bahwa walaupun antara terdakwa melalui
orang tuanya telah melakukan perdamaian dengan pihak keluarga para korban,
namun korban akibat kelalaian terdakwa tersebut jumlahnya 5 (lima) orang
meninggal dunia, maka menurut Pengadilan Tinggi pidana yang dijatuhkan
pada terdakwa dianggap terlalu ringan.”29
Perbedaan penjatuhan pidana dalam kasus Rasyid dan Dwigusta jelas
melukai rasa keadilan masyarakat, Padahal berdasarkan Pasal 5 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
menegaskan bahwa: “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti,
dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat”. Dari kasus tersebut, jelas hakim tidak mempertimbangkan rasa
keadilan yang ada di masyarakat, padahal tujuan hukum selain memberikan
kepastian hukum, juga harus memperhatikan keadilan. Selain itu, perbedaan
perlakuan terhadap Dwigusta dan Rasyid jelas bertentangan dengan asas
persamaan dihadapan hukum (Equality Before The Law) yang lebih jelas diatur
dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945.
29 Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 334/Pid/2013/PT.BDG, hlm. 11.
69
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah diuraikan oleh peneliti dalam penelitian ini,
maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Penerapan restorative justice dalam perkara putusan nomor:
151/Pid.Sus//2013/PN. Jkt. Tim dalam hukum positif telah terpenuhi, yakni
penyelesaian dengan bentuk model restorative board/youth panels, dimana
bentuk ini melibatkan hakim, jaksa, dan pengacara untuk menyelesaikan
perkara kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan kematian. Meskipun
pengadilan bukan termasuk wadah atau lembaga untuk restorative justice
maka disini perlu untuk dikodifikasikan. Kemudian unsur pemberian maaf,
70
ganti rugi/restitusi dan keringanan hukuman menjadi pendukung dalam
penerapan restorative justice. Pemberian maaf tidak dapat menggugurkan
hukuman pidana, karena dalam hukum positif tidak ada alasan pemaaf untuk
ditiadakan penghapusan pidana, tetapi hanya sebagai keringanan hukuman
saja. Sehingga dalam putusannya Terdakwa mendapatkan keringanan
hukuman penjara 5 (lima) bulan, dimana ada pengecualian yakni tidak usah
dijalani jika tidak melakukan tindak pidana dalam masa percobaan 6 (enam)
bulan.
2. Dasar pertimbangan hakim dalam penjatuhan pidana terhadap sdr.
Muhammad Rasyid Amrullah Rajasa dalam tindak pidana kecelakaan lalu
lintas bahwasanya sudah berdasarkan pertimbangan yuridis yaitu melihat
dari peraturan perundang-undangan, surat dakwaan, surat tuntutan oleh
Jaksa Penuntut Umum, keterangan saksi dan keterangan terdakwa di dalam
persidangan. Dan dasar pertimbangan non yuridis yaitu berdasarkan
kebijaksanaan dan keyakinan hati nurani seorang hakim, dalam melihat
keadaan yang digolongkan antara lain latar belakang perbuatan, kondisi diri,
kondisi sosial ekonomi, sifat sopan dan santun terdakwa dalam persidangan.
Selain itu hal-hal yang meringankan dan memberatkan juga masuk ke dalam
dasar pertimbangan hakim yang bersifat non yuridis.
B. Rekomendasi
Berdasarkan kesimpulan di atas maka peneliti dapat memberikan beberapa
saran, sebagai berikut:
1. Dalam hukum nasional kita masih menganut sistem retributif , hendaknya
di Indonesia sendiri dapat mengaplikasikan sistem restorative justice untuk
memperhatikan korban dan dapat secara langsung korban aktif dalam ikut
memberikan sanksi terhadap pelaku.
2. Diharapkan dalam penerapan mengenai restorative justice yang akan
terapkan pada penyelesaian kasus kecelakaan lalu lintas yang
mengakibatkan korban meninggal dunia harus lebih jelas lagi dan tertulis
71
agar para penegak hukum bisa lebih adil dalam menerapkan restorative
justice terhadap siapapun pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas.
3. Kemudian dalam ganti rugi atau restitusi pemberian santunan berupa uang,
biaya perawatan, juga biaya sekolah termasuk pada kategori bentuk
penyelesaian, yakni untuk menaksir/menilai kompensasi atau perbaikan
yang harus dibayar oleh pelaku tindak pidana kepada korban kejahatan.
Meskipun dalam penyelesaiannya kasus ini terdapat penerapan restorative
justice tetapi wadah untuk melembagakan restorative justice belum dan
perlu dibuat dalam perundang-undangan, karena Pengadilan bukanlah
lembaga atau wadah yang tepat dibentuknya restorative justice.
72
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Ali, Achmad. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judictial Prudence). Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009.
Ali, Muhammad Hatta. Peradilan Sederhana Cepat & Biaya Ringan Menuju
Keadilan Restoratif. Bandung: PT. Alumni, 2012.
Arief, Barda Nawawi. Mediasi Penal Penyelesaian Perkara Diluar Pengadilan.
Semarang: Pustaka Magister, 2008.
Atmasasmita, Romli. Sistem Peradilan Pidana-Perspektif Eksistensialisme dan
Abolisionisme. Bandung: Binacipta, 1996.
Atsasmita, Romli. Tindak Pidana & Pertanggung Jawaban Pidana. Jakarta:
Prenadamedia Group, 2016.
Braitwaite, John. Restorative Justice and Responsive Regulation. New York:
Oxford University Press, 2002.
Debi Aris Siswanto, Marjan Miharja. Tinjauan Diversi dan Restorative Justice
dalam Penanganan Kecelakaan Lalu Lintas dengan Pelaku Anak yang
Menyebankan Korban Meninggal Dunia berdasarkan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Pasuruan:
Qiara Media, 2019.
Diantha, I Made Pasek. Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: Prenada
Media Group, 2016.
Fatkurohman, Afan. Implementasi Restorative Justice dalam Tindak Pidana yang
Dilakukan Oleh Anak (Studi Kasus di Polresta Surabaya). Jakarta: Skripsi
S1 Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2019.
Gie, The Liang. Teori-teori Keadilan. Yogyakarta: Sumber Sukses, 2002.
Heinrich, H. W. Industrial Accident Prevention : A Safety Management Approach.
New York: McGrawhill, 1980.
Hobbs, F. D. Perencanaan dan Tekhnik Lalu Lintas. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1995.
Hutauruk, Rufinus Hitmaulana. Penanggulangan Kejahatan Korporasi Melalui
Pendekatan Restoratif Suatu Terobosan Hukum. Jakarta: Sinar Grafika,
2014.
Ibrahim, Johnny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang:
Bayumedia Publishing, 2007.
73
Mahmud Siregar, et al. Pedoman Praktis Melindungi Anak dengan Hukum pada
Situasi Emergensi dan Bencana Alam. Medan: Pusat Kajian dan
Perlindungan Anak (PKPA), 2007.
Makmur, Syafrudin. Hukum Acara Pidana. Tangerang Selatan: UIN FSH Press,
2016.
Manan, Bagir. Restorative Justice (suatu perkenalan) dalam buku Refleksi
Dinamika Hukum Rangkaian Pemikiran dalam Dekade Terakhir. Jakarta:
Perum Percetakan Negara RI, 2008.
Mansur, Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatri Gultom. Urgensi Perlindungan
Korban Kejahatan antara Norma dan Realita. Jakarta: Raja Grafindo, 2008.
Mansur, Ridwan. Mediasi Penal terhadap Perkara KDRT. Jakarta: Yayasan Gema
Yustisia Indonesia, 2010.
Manulang, E. Fernando M. Menggapai Hukum Berkeadilan Tinjauan Hukum
Kodrat dan Antinomi Nilai. Jakarta: Januari, 2007.
Marlina. Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice dalam Hukum Pidana.
Medan: USU Press, 2010.
—. Perlindungan Pidana Anak di Indonesia Pengembangan Konsep Diversi dan
Restorative Justice. Bandung: PT. Refika Aditama, 2009.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum Edisi Revisi. Jakarta: Kencana Pranada,
2014.
Mertokusumo, Sudikno. Teori Hukum. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2001.
Miharja, Marjan. Diversi dan Restoratif Justice dalam Penanganan Kecelakaan
Lalu Lintas. Pasuruan: Qiara Media, 2019.
Moeljanto. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta, 1993.
Nawawi, Barda. Hukum Pidana II. Semarang: Badan Penyediaan Bahan Kuliah
Fakultas UNDIP, 1993.
Priyanto, Agung. Hukum Acara Pidana Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Ombak,
2012.
Rapar, J.H. Filsafat Politik Plato. Jakarta: Rajawali Press, 2019.
Rawls, John. Teori Keadilan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Rizky, Rudi. Refleksi Dinamika Hukum (Rangkaian Pemikiran dalam Dekade
Terakhir). Jakarta: Perum Percetakan Negara Indonesia, 2008.
Rusli, Muhammad. Potret Lembaga Pengadilan Indonesia. Jakarta: Rajawali Press,
2006.
74
S., Ethania Yulie. Penerapan Restorative Justice terhadap Pelaku Tindak Pidana
Kecelakaan Lalu Lintas oleh Anak di Bawah Umur. Jakarta: Skripsi S1
Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara, 2014.
Salim, HS. Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2010.
Schneier, Marc M. CONSTRUCTION ACCIDENT LAW : A Comprehensive Guide
to Legal Liability and Insurance Claims . Chicago: American Bar
Association, 1999.
Sudarto. Hukum Pidana I. Semarang: Yayasan Sudarto, 1990.
Syukur, DS. Dewi dan Fatahillah A. Mediasi Penal: Penerapan Restorative Justice
di Pengadilan Anak Indonesia. Depok: Indie-Publishing, 2011.
Waluyo, Bambang. Penegakan Hukum di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2016.
—. Viktimologi Perlindungan Korban dan Saksi. Jakarta: Sinar Grafika, 2012.
Weinstein, Jack B. “Same Benefit and Risks of Privatization of Justice Though
ADR.” Ohio State Journa on Dispute Resolution, 1996.
Yusuf, Mochamad. Analisis Kasus Kecelakaan Lalu Lintas yang Dilakukan Oleh
Afriyani Susanti dan Mengakibatkan Korban Meninggal Dunia dan Luka
Berat. Bandung: Universitas Padjajaran, 2013.
Jurnal
I Tajudin, Nella Sumika Putri. “Penyelesaian Tindak Pidana Lalu Lintas Melalui
Pendekatan Restorative Justice sebagai Dasar Penghentian Penyidikan dan
Perwujudan Asas Keadilan dalam Penjatuhan Putusan.” PADJAJARAN
Jurnal Ilmu Hukum, 2015: 145-167.
Mulyadi, Lilik. “Mediasi Penal dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia:
Pengkajian Asas, Norma, Teori dan Praktik.” Yustisia, 2013: 1-14.
Prihatini, Lilik. “Perspektif Mediasi Penal dan Penerapannya dalam Perkara
Pidana.” Pakuan Law Review, 2015: 1-46.
Sodikin, Ali. “Restorative Justice dalam Tindak Pidana Pembunuhan: Perspektif
Hukum Pidana Indonesia dan Hukum Pidana Islam.” As-Syari'ah, 2015: 63-
100.
Yudaningsih, Lilik Purwastuti. “Penanganan Perkara Anak Melalui Restorative
Justice.” Jurnal Ilmu Hukum, 2014: 67-79.
75
Internet
https://otomotif.kompas.com/read/2020/08/06/082200515/kasus-kecelakaan-lalu-lintas-
di-indonesia-diklaim-turun-10-persen
https://www.liputan6.com/news/read/478376/ini-kronologi-kecelakaan-bmw-maut-putra-
hatta-rajasa
www.bps.go.id