23
1 Penerapan Konsep Pertanggungjawaban Perdata Dalam Penegakan Hukum Lingkungan Pada Perkara Kebakaran Hutan PT. Kallista Alam Dan PT. Bumi Mekar Hijau Adlul Hamidi Zalnur dan Muhammad Ramdan Andri Gunawan Wibisana 1. Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia 2. Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia E-mail: [email protected] Abstrak Skripsi ini membahas mengenai penerapan konsep pertanggungjawaban perdata dalam penegakan hukum lingkungan pada perkara kebakaran hutan PT. Kallista Alam dan PT. Bumi Mekar Hijau. Penelitian yuridis normatif digunakan dalam pembahasan skripsi ini dengan menggunakan data sekunder melalui studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukan bahwa penegakan hukum perdata lingkungan dalam kebakaran hutan dapat menerapkan konsep Perbuatan Melawan Hukum (PMH), res ipsa loquitur dan strict liability. Namun demikian, hal tersebut sering dicampur adukkan satu sama lainnya yang menimbulkan pandangan yang keliru dalam setiap putusannya. Kata kunci: perbuatan melawan hukum, strict liability, kebakaran hutan. Implementation of Tort in Environmental Law Enforcement in Forest Fires Case by PT. Kallista Alam and PT. Bumi Mekar Hijau Abstract This thesis discussing about Implementation of Tort in Environmental Law Enforcement in Forest Fires Case by PT. Kallista Alam and PT. Bumi Mekar Hijau. Normative and juridical study are used in this thesis with the secondary data through the literature research. The results show enforcement of environmental civil law in forest fires can apply the concept of negligence, res ipsa loquitur and strict liability. However, this is often mixed with one another, giving rise to false views in every court decision. Keywords: negligence, strict liability, forest fire case Penerapan konsep ..., Adlul Hamidi Zalnur, FH UI, 2017

Penerapan Konsep Pertanggungjawaban Perdata Dalam

  • Upload
    others

  • View
    34

  • Download
    1

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Penerapan Konsep Pertanggungjawaban Perdata Dalam

1

Penerapan Konsep Pertanggungjawaban Perdata Dalam Penegakan Hukum Lingkungan Pada Perkara Kebakaran Hutan PT. Kallista Alam Dan PT.

Bumi Mekar Hijau

Adlul Hamidi Zalnur dan Muhammad Ramdan Andri Gunawan Wibisana

1. Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia

2. Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia

E-mail: [email protected]

Abstrak

Skripsi ini membahas mengenai penerapan konsep pertanggungjawaban perdata dalam penegakan hukum lingkungan pada perkara kebakaran hutan PT. Kallista Alam dan PT. Bumi Mekar Hijau. Penelitian yuridis normatif digunakan dalam pembahasan skripsi ini dengan menggunakan data sekunder melalui studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukan bahwa penegakan hukum perdata lingkungan dalam kebakaran hutan dapat menerapkan konsep Perbuatan Melawan Hukum (PMH), res ipsa loquitur dan strict liability. Namun demikian, hal tersebut sering dicampur adukkan satu sama lainnya yang menimbulkan pandangan yang keliru dalam setiap putusannya.

Kata kunci: perbuatan melawan hukum, strict liability, kebakaran hutan.

Implementation of Tort in Environmental Law Enforcement in Forest Fires Case by PT.

Kallista Alam and PT. Bumi Mekar Hijau

Abstract

This thesis discussing about Implementation of Tort in Environmental Law Enforcement in Forest Fires Case by PT. Kallista Alam and PT. Bumi Mekar Hijau. Normative and juridical study are used in this thesis with the secondary data through the literature research. The results show enforcement of environmental civil law in forest fires can apply the concept of negligence, res ipsa loquitur and strict liability. However, this is often mixed with one another, giving rise to false views in every court decision.

Keywords: negligence, strict liability, forest fire case

Penerapan konsep ..., Adlul Hamidi Zalnur, FH UI, 2017

Page 2: Penerapan Konsep Pertanggungjawaban Perdata Dalam

2

A. Pendahuluan

Indonesia merupakan negara ketiga yang memiliki ekosistem hutan tropis terbesar di

dunia. Sejak tahun 2009 hingga tahun 2013, luas hutan Indonesia yang hilang mencapai 4,6 juta

hektar, sama dengan luas Provinsi Sumatera Barat. Bahkan dalam 10 tahun ke depan, Forest

Watch Indonesia memprediksi hutan di Riau akan hilang, diikuti dengan Kalimantan Tengah dan

Jambi.1 Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan adanya

permasalahan serius dalam pengelolaan hutan di Indonesia terutama peristiwa kebakaran hutan

yang melonjak hingga 10 kali lipat sejak tahun 2010 hingga tahun 2014.2 Tentunya dengan

meningkatnya tingkat kebakaran hutan di Indonesia maka berdampak langsung pada adanya

pencemaran asap. Dalam hal ini, Indonesia menjadi penyumbang terbesar dalam pencemaran

asap di Asia Tenggara yang disebabkan oleh kebakaran hutan dan lahan, selanjutnya disebut

karhutla, yang tidak terkendali.3 Faktor dominan dari terjadi karhutla di Indonesia adalah faktor

unsur manusia.4

Pada tahun 2015 merupakan kasus kebakaran hutan terparah sejak terakhir tahun 1997.5

Menurut Robert Field, ilmuwan Columbia University yang juga bekerja untuk NASA

menjelaskan bahwa kondisi di Singapura dan tenggara Sumatera serupa dengan 1997.6 Singapura

dan Malaysia sempat menutup sekolah-sekolah dan kantor publik dan melayangkan protes

kepada Indonesia.7 Biaya kebakaran hutan ditaksir mencapai US$ 16 milyar.8 Karena hal

1 http://www.wwf.or.id/?44824/resolusibumi-2016-hutan, diakses tanggal 8 Februari 2017 2 Statistik Kementerian Lingkungan Hidup Dan Kehutanan. 2014. Rekapitulasi Luas Kebakaran Lahan Per

Provinsi di Indonesia Tahun 2010- 2014 antara lain pada tahun 2010: 3.500,12ha, 2011: 2.612,09ha, 2012:

9.606,53ha, 2013: 4.918,74ha, 2014: 32.761,26ha. Hal. 202 3 David B. Jerger, “Indonesia’s Role in Realizing the Goals of ASEAN’s Agreement of Transboundary

Haze Pollution”, Journal Sustainable Development Law & Policy, Vol. 14, No. 1, (Washington: Digital Commons

@ American University Washington College of Law, 2014), hlm. 35. 4 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan bahwa 99% karhutla terjadi karena ulah

manusia. Lihat: Gema BNPB, “Indonesia Darurat”, hlm 7 5 “NASA: Kabut Asap Indonesia Terparah Dalam Sejarah,” http://www.dw.com/id/nasa-kabut-asap-

indonesia-terparah-dalam-sejarah/a-18756969, diakses pada 1 Juli 2017. 6 Ibid. 7 Lebih 20 Perusahaan Pembakar Hutan Kena Sanksi. http://www.dw.com/id/lebih-20-perusahaan-

pembakar-hutan-kena-sanksi/a-18933976, diakses pada 9 Februari 2017.

Penerapan konsep ..., Adlul Hamidi Zalnur, FH UI, 2017

Page 3: Penerapan Konsep Pertanggungjawaban Perdata Dalam

3

tersebut, Indonesia memiliki kewajiban untuk mengambil langkah yang tepat (due diligence)

guna mencegah pencemaran lintas batas yang timbul kebakaran hutan tersebut. Dan yang harus

diperhatikan jika kerusakan telah disebabkan oleh badan swasta, kewajiban negara adalah untuk

melaksanakan penegakan hukum untuk memberikan sanksi yang pantas atas perilaku badan

swasta tersebut.9

Dalam instrumen hukum di Indonesia sendiri diakomodir kemungkinan penegakan

hukum lingkungan di bidang administrasi, perdata, dan pidana. Dalam penelitian ini secara

khusus membahas penegakan hukum lingkungan terutama tentang pertanggungjawaban perdata

yang ditinjau dari unsur kesalahan fault sebagai salah satu dasar unsur pertanggungjawaban

perdata. Ditinjau dari gugatan perdata yang diajukan Kementrian Lingkungan Hidup dan

Kehutanan (KLHK) terhadap kasus kebakaran hutan yang dilakukan oleh PT. Kallista Alam.10

dan PT. Bumi Mekar Hijau11. Penelitian ini meninjau lebih lanjut materi gugatan hingga putusan

hakim baik dari putusan dari setiap tingkat pengadilan yang memiliki perbedaan hasil putusan

yang sangat signifikan.12

Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan, dan memperjelas hal-hal yang akan

diteliti maka penulis mencoba menguraikan masalah-masalah sebagai berikut

1. Apa saja dasar pertanggungjawaban perdata yang dapat dikenakan dalam kasus

8 Ibid. 9 Alan Khee-Jin TAN, “The ‘Haze’ Crisis In Southeast Asia: Assessing Singapore’s Transboundary Haze

Pollution Act 2014”, NUS Law Working Paper Series 2015/002, February 2015, hlm. 6 10 PN Meulaboh, Putusan No. 12/Pdt.G/2012/PN.MBO, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan v. PT.

Kallista Alam (2012), selanjutnya disebut Menteri LHK v. PT.KA (PN. Meulaboh, 2012); PT Banda Aceh, Putusan

No. 50/Pdt/2014/PT.BNA, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan v. PT. Kallista Alam (2014), selanjutnya

disebut Menteri LHK v. PT.KA (PT, Banda Aceh, 2014), dan Mahkamah Agung , Putusan No. 651/K/Pdt/2015,

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan v. PT. Kallista Alam (2015), selanjutnya disebut Menteri LHK v. PT.KA

(MA, 2015). 11 PN Palembang, Putusan No. 24/Pdt.G/2015/PN.Plg, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan v. PT.

Bumi Mekar Hijau (2015), selanjutnya disebut Menteri LHK v. PT.BMH (PN. Palembang, 2015) dan PT Palembang,

Putusan No. 51/Pdt/2016/PT.PLG, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan v. PT. Bumi Mekar Hijau (2016),

selanjutnya disebut Menteri LHK v. PT.BMH (PT, Palembang, 2016). 12 Putusan dalam Menteri LHK v. PT.BMH (PN, Palembang, 2015) menolak gugatan penggugat, sedangkan

dalam , Menteri LHK v. PT.BMH (PT. Palembang, 2016) menerima banding pembanding/penggugat.

Penerapan konsep ..., Adlul Hamidi Zalnur, FH UI, 2017

Page 4: Penerapan Konsep Pertanggungjawaban Perdata Dalam

4

pembakaran lahan akibat kebakaran hutan?

2. Bagaimana pandangan hakim atas dasar pertanggungjawaban perdata yang diterapkan

para pihak dalam gugatan di setiap tingkat pengadilan?

3. Bagaimana penggunaan dasar pertanggungjawaban Strict Liability yang tepat

digunakan di dalam sistem penegakan hukum lingkungan di Indonesia?

Pembatasan masalah: Unsur kesalahan fault sebagai dasar unsur pertanggungjawaban perdata

yang akan dibahas lebih lanjut didalam penelitian ini.

B. Tinjauan Teoritis

Di Indonesia dikenal dua jenis dasar pertanggungjawaban perdata saat mengajukan

gugatan ke pengadilan, yaitu berdasarkan wanprestasi dan perbuatan melawan (melanggar)

hukum (PMH).13 Perbuatan melawan hukum (PMH) yang dikenal dalam sistem hukum common

law sebagai dasar pertanggungjawaban perdata (tort).14 Secara umum berdasarkan Pasal 1365

KUHPer, suatu perbuatan dikatakan perbuatan melawan hukum apabila memenuhi unsur-unsur:

a. Perbuatan; (baik aktif/sengaja ataupun pasif/lalai)

b. Perbuatan tersebut melawan hukum;

13 Terminologi “Perbuatan Melawan Hukum” merupakan terjemahan dari kata onrechtmatigedaad, yang

diatur dalam pasal 1365-1380 KUHPer Buku III tentang Perikatan. Beberapa sarjana ada yang menggunakan istilah

‘melanggar’ dan ada yang menggunakan istilah ‘melawan’. Istilah onrechtmatigedaad dalam bahasa Belanda

lazimnya mempunyai arti yang sempit, yaitu arti yang dipakai dalam pasal 1365 KUHPer. Rosa Agustina dalam

bukunya memilih menggunakan terminology “Perbuatan Melawan Hukum” karena mengacu kepada pendapat dari

para ahlihukum Indonesia, salah satunya M.A. Moegni Djojodirjo yang berpendapat bahwa dalam kata ‘melawan’

melekat sifat aktif dan pasif. Selain itu, Rosa Agustina juga berpendapat dengan Mariam Darus Badrulzaman yang

berpendapat bahwa terminology “melawan hukum” mencakup substansi yang lebih luas yaitu baik perbuatan yang

didasarkan pada kesengajaan maupun kelalaian. Sehingga , “Perbuatan Melawan Hukum” diartikan sebagai

perbuatan yang melanggar hak (subjektif) orang lain atau perbuatan (atau tidak berbuat) yang bertentangan dengan

kewajiban menurut undang-undang atau bertentangan dengan apa yang menurut hukum tidak tertulis yang

seharusnya dijalankan oleh seseorang dalam pergaulannya dengan sesame warga masyarakat dengan mengingat

adanya alasan pembenar menurut hakim. Lihat: Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta: Program

Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003), hlm. 8-11 14 Andri G. Wibisana, “Pertanggungjawaban Perdata Untuk Kebakaran Hutan/Lahan: Beberapa Pelajaran

Dari Menteri Kementerian Lingkungan Hidup Dan Kehutanan (KLHK) vs PT. Bumi Mekar Hijau (BMH)”, Jurnal

Bina Hukum Lingkungan, Vol.1 No.1, Oktober 2016, hlm. 38

Penerapan konsep ..., Adlul Hamidi Zalnur, FH UI, 2017

Page 5: Penerapan Konsep Pertanggungjawaban Perdata Dalam

5

c. Adanya kesalahan;

d. Adanya kerugian;

e. Terdapat hubungan kausalitas antara perbuatan dan kerugian.

Selanjutnya, menurut Agustina, agar sesuatu dapat dikualifisir melawan hukum, harus

dipenuhi salah satu dari 4 syarat berikut:15

a. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku;

b. Bertentangan dengan hak subjektif orang lain;

c. Bertentangan dengan kesusilaan;

d. Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian, dan kehati-hatian

Ditinjau dari unsur kesalahan (fault), menurut Cantu, sebagaimana dikutip Wibisana

membagi pertanggungjawaban perdata ke dalam dua kelompok besar yaitu fault-based liability,

dan liability without fault. Kelompok fault-based liability, terdiri dari intentional tort dan

negligence. Fault di dalam intentional tort ditunjukan dengan kesengajaan pihak tergugat untuk

menghasilkan kerugian pada penggugat, sedangkan fault pada negligence ditentukkan dengan

pelanggaran terhadap aturan kehati-hatian yang layak (reasonable care) yang hidup di dalam

masyarakat. Sedangkan liability without fault, yaitu strict liability, merupakan

pertanggungjawaban yang tidak berdasarkan pada fault dalam kedua bentuk tersebut.16. Pada

tanggung jawab berdasarkan kesalahan, pihak yang menuntut ganti rugi (penggugat) diharuskan

untuk membuktikan bahwa kerugian yang dideritanya disebabkan oleh perbuatan dan kesalahan

dari pihak yang ia tuntut untuk membawa ganti rugi tersebut (tergugat).

Sedangkan pada tanggung jawab yang tidak berdasarkan kesalahan (liability without

fault), seseorang telah bertanggung jawab setelah kerugian terjadi, terlepas dari ada atau tidaknya

15 Rosa Agustina,“Perbuatan Melawan”, hlm. 117 16 Wibisana,”Beberapa Pelajaran”. hlm 38. sebagaimana mengutip Charles E. Cantu, “Distinguishing the

Concept of StrictLiability in Tort from Strict ProductsLiability: Medusa Unveiled”, The University of Memphis Law

Review, Vol. 33, 2003, hlm. 826.

Penerapan konsep ..., Adlul Hamidi Zalnur, FH UI, 2017

Page 6: Penerapan Konsep Pertanggungjawaban Perdata Dalam

6

kesalahan pada dirinya.17 Dapat disimpulkan bahwa strict liability berbeda dengan perbuatan

melawan hukum (negligence liability) yakni tidak memerlukan pembuktian kesalahan

seseorang.18 Karena itulah strict liability disebut juga dengan liability without fault. Namun

sebenarnya istilah liability without fault menimbulkan kerancuan apakah fault yang dimaksud

adalah kesalahan dalam arti subjektif atau kesalahan dalam arti objektif.19 Tanggungjawab tanpa

kesalahan yang dibagi lagi menjadi ranggungjawab secara langsung dan seketika (strict liability)

dan tanggungjawab mutlak (absolute liability).20 Akan tetapi, di Indonesia penyebutan strict

liability sering disamakan dengan tanggung jawab mutlak.21

1. Strict Liability

Ditelusuri lebih jauh dari sejarah mulainya diterapkan strict liability. Dapat dilihat dalam

penyelesaian kasus Rylands vs. Fletcher di Inggris pada tahun 1868. Perlu diperhatikan adalah

tidak semua kegiatan dapat dikenakan strict liability. Hanya kegiatan yang abnormally dangerous

yang dapat dimintai pertanggungjawaban mutlak tersebut. Di Amerika, terdapat enam faktor yang

dapat dijadikan penentu apakah suatu kegiatan termasuk dalam kategori abnormally dangerous

activity, yaitu:22

1. Terdapat risiko bahaya yang tinggi bagi pihak lain (existence of a high degree of risk

of some harm to person, land, or chattel of others);

2. Kemungkinan bahaya tersebut menjadi besar ( likelihood that the harm that results

from it will be great);

17 M. Ridwan Andri G. Wibisana, “Perbandingan Asas Tanggung Jawab Secara Langsung dan Seketika

(Strict Liability) dalam Hukum Lingkungan di Indonesia dan Belanda.” (Depok: Skripsi Universias Indonesia, 1999),

hlm 1 18 S. Shavell, “Economic Analysis Of Accident Law”, Harvard Law School John M. Olin Center for Law,

Economics and Business Discussion Paper Series. No. 396. Chapter 2, 2002, hlm. 6 19 Vernon Palmer, “A General Theory of The Inner Structure Of Strict Liability: Common Law, Civil Law,

And Comparative Law”,Tulane Law Review, Vol. 62, 1988, hlm. 1305 20 Wibisana,“Perbandingan Asas”, hlm 1 21 Indonesia, Penjelasan Undang-Undang Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU

No. 32, LN No. 140 tahun 2009, TLN No. 5059, Pasal 88 22 Restatement (Second) of Torts, § 520

Penerapan konsep ..., Adlul Hamidi Zalnur, FH UI, 2017

Page 7: Penerapan Konsep Pertanggungjawaban Perdata Dalam

7

3. Risiko tidak dapat dihilangkan walaupun telah menerapkan segala tindakan dengan

penuh kehati-hatian inability to eliminate the risk by the exercise of reasonable

care;);

4. Kegiatan tersebut bukanlah kegiatan yang lazim dilakukan (extent to which the

activity is not a matter of common usage);

5. Kegiatan tersebut tidak sesuai dengan temapat di mana kegiatan itu dilakukan

(inappropriateness of the activity to the place where it is carried on);

6. Nilai atau manfaat kegiatan tersebut bagi masyarakat (extent to which its value to the

community is outweighed by its dangerous attributes);

Maka dapat disimpulkan bahwa Restatement of The Law of Torts menarik perbedaan

antara risiko bahaya biasa, dengan risiko bahaya luar biasa. Pada risiko bahaya biasa, yang

berlaku adalah aturan negligence sedangkan pada risiko bahaya luar biasa dikenai strict

liability.23

Selanjutnya dalam pertanggungjawaban perdata hukum lingkungan di Indonesia, konsep

strict liability ini dapat ditemui pada Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang berbunyi:“Setiap orang yang

tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau

mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup

bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.”

[garis bawah dari penulis]. Adapun unsur-unsur Strict liability diatur dalam Undang-Undang No.

32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup disebutkan dalam Pasal

88 yang dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya ditentukan secara limitatif,

yaitu:

a. Tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3;

b. Tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menghasilkan B3;

c. Tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya mengelola limbah B3

23 William K. Jones, “Strict Liability For Hazardous Enterprise”, Columbia Law Review, Vol. 92, No. 7

Nov.1992, hlm. 1710.

Penerapan konsep ..., Adlul Hamidi Zalnur, FH UI, 2017

Page 8: Penerapan Konsep Pertanggungjawaban Perdata Dalam

8

2. Terjadi sesuatu kerugian

3. Terdapat hubungan kausalitas antara tindakan, usaha, dan/atau kegiatan tersebut dengan

kerugian yang terjadi.

Selanjutnya SK KMA 36/2013 juga memberikan penjelasan sebagai berikut:24

“Proses pembuktian pertanggungjawaban perdata:

a. Perbuatan Melawan Hukum (Pasal 1365 KUHPerdata);

b. Pembuktian penerapan prinsip Strict Liability (Tanggung Jawab Mutlak).”

Dalam uraian tersebut, dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan strict liability adalah

unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti

rugi.

2. Res Ipsa Loquitur

Secara bahasa, res ipsa loquitur dalam bahasa latin yaitu the thing speaks for itself, secara

harfiah berarti fakta berbicara sendiri.25 Ini adalah sebuah doktrin dalam torts yang mirip dengan

pembuktian terbalik.26 Menurut doktrin ini, (dalam arti perbuatan melawan hukum, negligence)

dari tergugat diasumsikan telah ada, sehingga tergugat lah yang memiliki beban untuk

membuktikan bahwa ia tidak bersalah.27 Walaupun res ipsa loquitur sebelumnya didefenisikan

sebagai doktrin hukum, sebagaimana Lord Megaw dikutip oleh Harpwood yang menyebutkan

bahwa doktrin ini “tidak lebih dari sekedar pendekatan logis berdasarkan akal sehat semata,

tidak terbatas oleh aturan teknis, terhadap penilaian atas alat bukti dalam keadaan-keadan

tertentu”.28

Lebih lanjut Harpwood mengemukakan beberapa syarat agar doktrin ini dapat digunakan

antara lain: (a) kerugian harus merupakan kerugian yang sulit dibuktikan penyebabnya, dalam hal

24 Keputusan Ketua Mahkamah Agung No. 36 Tahun 2013 tentang Pedoman Penanganan Perkara

Lingkungan Hidup, hlm. 23 25 Statsky, Essential of, hlm. 158 26 Wibisana, “Pertanggungjawaban Perdata”. hlm 34 27 Ibid. 28 Vivienne Harpwood, Principles of Tort Law, 4th ed, (London: Cavendish Publishing Limited, 2000), hlm.

144 yang merujuk pada putusan Scott v. London and St. Katherine’s Docks (1865)

Penerapan konsep ..., Adlul Hamidi Zalnur, FH UI, 2017

Page 9: Penerapan Konsep Pertanggungjawaban Perdata Dalam

9

ini dipenuhi unsur “unknown cause”; (b) kerugian dianggap hanya akan terjadi karena kurangnya

kehati-hatian (lack of proper care) atau karena adanya negligence. Dengan demikian diasumsikan

bahwa Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum (negligence) berupa kurangnya

kehati-hatian; dan (c) Tergugat haruslah orang yang sepenuhnya memiliki kontrol atas situasi

yang terjadi. Unsur terakhir ini merupakan penjelasan mengapa Tergugat diasumsikan sudah

terbukti melakukan negligence (sudah terbukti bersalah/melawan hukum).29

3. Hubungan Strict Liability dengan Res Ipsa Ioquitur (Pembuktian Terbalik)

Dalam hukum lingkungan di Indonesia, terdapat beberapa literatur yang menyamakan

strict liability dengan pembuktian terbalik atau res ipsa loquitur.30 Dalam hal pembuktian

terbalik, Pramudianto menjelaskan bahwa “[p]enerapan asas tanggung jawab mutlak biasanya

didampingi dengan ketentuan tentang “beban pembuktian terbalik” (“omkering der

bewijslast”),..”31. Selain itu, pendapat ini juga dikuatkan oleh Machmud yang menjelaskan

bahwa “[s]trict liability bermaksud bahwa unsur kesalahan dari tergugat tidak perlu dibuktikan

lagi oleh penggugat, dan pembuktian justru dibebankan pada tergugat, bahwa dia benar-benar

tidak mencemari dan/atau merusak lingkungan. Dengan demikian beban pembuktiannya adalah

beban pembuktian terbalik (shifting the burden of proof)”.32 Siahaan juga berpendapat bahwa

Siahaan menyatakan bahwa “[d]i sini berlaku asas “res ipso [sic!] loquitur”, yaitu fakta sudah

berbicara sendiri (the thing speaks for itself).”33

Pendapat di atas mempengaruhi para sarjana hukum dalam memandang peraturan-

peraturan mengenai Strict liability di Indonesia. Sebagaimana Wijoyo menyebutkan terdapat

beban pembuktian terbalik dalam rumusan Pasal 35 yat (2) UU No. 23 tahun 1997, Pasal 33 ayat

(1) UU No. 10 tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, Pasal 11 ayat (2) UU No. 5 tahun 1983

29 Wibisana, “Pertanggungjawaban Perdata”, hlm 34. Lihat juga: ibid. hlm 144-145 30 Wibisana, “Pertanggungjawaban Perdata”, hlm 33 31 Suparto Wijoyo, Penyelesaian Sengketa Lingkungan, (Surabaya: Airlangga University Press, 1999), hlm

36 sebagaimana mengutip Andreas Pramudianto, “Soft Law Dalam Perkembangan Hukum Lingkungan

Internasional”, Pro Justitia, Tahun XIII Nomor 4, Oktober 1995, hlm, 91-96 32 Syahrul Machmud, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia: Penegakan Hukum Administrasi, Hukum

Perdata, dan Hukum Pidana menurut Undang-undang No. 32 Tahun 2009, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), hlm.

211 33 Siahaan, Hukum Lingkungan, hlm 317

Penerapan konsep ..., Adlul Hamidi Zalnur, FH UI, 2017

Page 10: Penerapan Konsep Pertanggungjawaban Perdata Dalam

10

ZEE, dan rumusan Article III Paragraph (2) dan (3) CLC.34 Dan juga terdapat penjelasan Pasal

30 PP nomor 45 tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan yang merumuskan bahwa pemilik

izin/tergugat bertanggungjawab mutlak atas areal kerjanya, namun tergugat terlepas dari ancaman

sanksi apabila yang dapat membuktikan pihaknya tidak bersalah.

Di sisi yang lain, Santosa menjelaskan bahwa latar belakang penemuan konsep strict

liability dalam perkara Rylands v. Fletcher (1868) dan dalam pembuktiannya tergugat

membuktikan pihaknya memenuhi faktor pemaaf (defence).35 Faktor pemaaf inilah yang

kemudian diatur dalam Pasal 35 ayat (2) UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan

Lingkungan Hidup.36 Sehingga dapat ditemukan kekeliruan yang mengatakan pembuktian

defence dari tergugat sebagai pembuktian terbalik. Selanjutnya Santosa menambahkan dengan

tegas bahwa dalam konsep strict liability, yang terjadi justru pembebasan beban pembuktian

unsur kesalahan (fault).37 Apabila terdapat hal-hal yang dibuktikan tergugat merupakan

pembuktian dari faktor-faktor pemaaf (defence), maka hal ini tidak dapat disamakan dengan

pembuktian terbalik.38 Karena sebagaimana mestinya beban defence memang dimiliki oleh

tergugat sejak awal, sehingga tidak ada perpindahan/pembalikan (shifting) beban pembuktian.39

Dengan demikian, penjelasan Pasal 30 PP nomor 45 tahun 2004 yang menggabungkan antara

strict liability dengan res ipsa loquitur dalam satu rumusan pasal sejak dari pembuatan undang-

undang telah keliru dan hasilnya saling menegasikan antar satu dengan lainnya.

Selanjutnya Wibisana menjelaskan hubungan antara res ipsa loquitur dan strict liability

sebagai berikut:

“Pertama, strict liability tidak menganut pembuktian terbalik. Di dalam strict liability

penggugat masih harus membuktikan adanya kerugian dan hubungan kausal antara

34 Suparto Wijoyo, Penyelesaian Sengketa, hlm 37-40 35 Santosa menjelaskan bahwa Penanggung jawab kegiatan yang berbahaya tersebut hanya dapat dibebaskan

dari pertanggungjawaban (liability) apabila ia dapat membuktikan bahwa kerugian yang timbul adalah akibat dari

kesalahan penggugat sendiri atau akibat bencana alam (lihat pertimbangan Court of Exchequer Chamber dalam

Rylands v. Fletcher). Pembuktian ini merupakan defence dari tergugat, bukanlah termasuk dari pembuktian terbalik.

lihat: Santosa, Good Gevernance, hlm 304 36 Ibid. 37 Ibid 38 Ibid 39 Ibid

Penerapan konsep ..., Adlul Hamidi Zalnur, FH UI, 2017

Page 11: Penerapan Konsep Pertanggungjawaban Perdata Dalam

11

kerugian dengan kegiatan tergugat. Jika kemudian tergugat berdalih dan membuktikan

bahwa kerugian yang diderita bukanlah karena perbuatan tergugat, melainkan misalnya

karena force majeure, maka hal ini tidaklah menunjukkan adanya unsur pembuktian

terbalik di dalam strict liability, sebab apa yang dilakukan oleh tergugat ini merupakan

pelaksanaan dari prinsip umum hukum yaitu “siapa yang mendalilkan dia yang harus

membuktikan”. Artinya, dalam contoh seperti ini pun tidak ada pembuktian terbalik.

Kedua, di dalam strict liability tergugat tetap bertanggung jawab meskipun ia mampu

membuktikan bahwa kegiatan/perbuatannya bukanlah merupakan perbuatan yang

melawan hukum; sedangkan di dalam pembuktian terbalik (terutama dalam hal res ipsa

loquitur), tergugat akan lepas dari pertanggungjawaban jika ia mampu membuktikan

bahwa perbuatannya tidak melawan hukum (negligence).”40

Dengan demikian, Wibisana menyimpulkan bahwa res ipsa loquitur belumlah

sepenuhnya dapat dikatan sebagai strict liability, karena masih merupakan pertanggungjawaban

berdasarkan kesalahan.41 Sehingga berbagai peraturan yang menyebutkan strict liability dan res

ipsa loquitur dalam sebuah rumusan pasal yang sama merupakan hal yang tidak sesuai dengan

teori diatas.

C. Metode Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menjawab penerapan konsep strict liability dalam putusan

perkara kebakaran hutan oleh PT. Kallista Alam dan PT. Bumi Mekar Hijau di setiap jenjang

pengadilannya berdasarkan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Objek dasar dalam

penelitian ini merupakan hukum positif yang sudah berlaku dalam masyarakat sebagai norma,

maka dari itu penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dan kepustakaan.

40 Wibisana, “Pertanggungjawaban Perdata”, hlm 36 41 Ibid, hlm 35-36

Penerapan konsep ..., Adlul Hamidi Zalnur, FH UI, 2017

Page 12: Penerapan Konsep Pertanggungjawaban Perdata Dalam

12

D. Pembahasan

1. Analisis Putusan perkara Menteri LHK v. PT.Kallista Alam

a. Menteri LHK v. PT.KA pada Pengadilan Negeri Meulaboh Dalam perkara Menteri LHK v. PT.Kallista Alam, Penggugat mendalilkan terjadinya

Perbuatan Melawan Hukum, Kelalaian dan Strict Liability. Mengenai PMH, Penggugat

menjelaskan bahwa dalil-dalil diatas menerangkan bahwa membakar lahan untuk keperluan

pembukaan lahan perkebunan adalah perbuatan yang melanggar norma undang-undang, maka

membuka lahan dengan cara bakar dapat dikualifisir sebagai suatu perbuatan melanggar hukum

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) telah

terpenuhi.42 Penggugat telah mencoba membuktikan bahwa unsur fault dari Tergugat telah

terpenuhi. Hal ini dibuktikan Penggugat dengan menyatakan Tergugat sengaja membuka lahan

dengan cara membakar (adanya kesengajaan) untuk mendapatkan keuntungan yang lebih

daripada dengan cara yang biasa.43

Dalil Penggugat menyebutkan PMH dan Kelalaian sebagai dasar yang berbeda. Menurut

hemat Penulis, PMH dan Kelalaian tidak perlu dibedakan, karena kelalaian bagian dari PMH.

Sebagaimana yang unsur kesalahan dibagi atas kesalahan subjektif (sengaja) dan kesalahan

objektif (pengetahuan). Jika terdapat bukti bahwa tergugat melakukan perbuatan melawan hukum

dengan sengaja, maka dengan mudah kita dapat menyatakan bahwa tergugat bersalah, dan

karenanya ia harus bertanggung jawab. Namun demikian, jika bukti kesengajaan tersebut tidak

ada, maka tergugat tidak lantas terbebas dari pertanggungjawaban, sebab ia bisa bertanggung

jawab karena lalai.44

PMH dan Kelalaian memiliki perbedaan pada pembuktian unsur kesalahan subjektif.

Karena dalam kelalaian seseorang dianggap bertanggungjawab karena tidak memenuhi standard

of care. Sehingga, Penggugat hanya perlu membuktikan bahwa Tergugat tidak menjalankan

usahanya sesuai dengan standar baku yang ada.

Selanjutnya Penggugat yang mendalilkan penerapan res ipsa loquitur sebagai jembatan

untuk membuktikan kelalaian, Penulis berpendapat merupakan langkah yang tidak tepat.

42 Menteri LHK v. PT.KA (PN. Meulaboh, 2012), hlm 15 43 Ibid. 44 Wibisana, “Pertanggungjawaban Perdata”, hlm 17

Penerapan konsep ..., Adlul Hamidi Zalnur, FH UI, 2017

Page 13: Penerapan Konsep Pertanggungjawaban Perdata Dalam

13

Alasannya antara lain: Pertama, karena res ipsa loquitur terjadi pergesaran beban pembuktian

dari Penggugat ke Tergugat. Akan tetapi dalam kelalaian, beban pembuktian tetap berada di

pihak Penggugat yakni membuktikan bahwa Tergugat telah lalai menjalankan standard of care.

Kedua, dalam res ipsa loquitur Perbuatan Melawan Hukum dari Tergugat diasumsikan telah ada,

sehingga Tergugatlah yang memiliki beban untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah.45

Penggugat juga memohon untuk mempertimbangkan bagaimana Mahkamah Agung telah

melakukan penemuan hukum (rechtsvinding) dalam menerapkan prinsip kehati-hatian

sebagaimana dalam putusan Mandalawangi Nomor 1794K/Pdt/2004.46 Terkait dalil ini, Penulis

tidak menemukan elaborasi dalam dalil dan pembuktian yang dapat menjadi pertimbangan

Majelis Hakim. Apabila dalil ini dimaksudnya sebagai upaya menerapkan res ipsa loquitur.

Maka sebagaimana Penulis jelaskan pada paragraf sebelumnya bahwa pandangan Penggugat

adalah pandangan keliru.

Dalam dalil gugatan juga ditemukan bahwa Penggugat mendalilkan tentang strict

liability. Dalam hal ini pelaku usaha wajib bertanggungjawab mutlak atas kerusakan lingkungan

oleh karena dampak yang diakibatkan dari usahanya dapat menimbulkan ancaman serius bagi

lingkungan.47 Setelah dalil tersebut, tidak ditemukan pembuktian unsur strict liability tentang

apakah perbuatan Tergugat memberikan ancaman serius bagi lingkungan. Dengan tidak adanya

pembahasan khusus terkait strict liability, sehingga menurut hemat Penulis Penggugat masih

menganggap strict liability sebagai bagian dari PMH. Sehingga hal ini merupakan anggapan yang

keliru.

Menurut Penulis, permintaan Penggugat kepada Majelis Hakim merujuk pada Perkara

Mandalawangi lebih tepat apabila ditempatkan untuk menguatkan dalil adanya strict liability.

Karena berdasarkan pertimbangan Majelis Hakim pada Perkara Mandalawangi, prinsip kehati-

hatian menggeser PMH menjadi tanggungjawab mutlak (strict liability).48 Sehingga Tergugat

tidak akan lepas dari tanggungjawabanya walaupun Tergugat berhasil membuktikan pihaknya

tidak memenuhi unsur kesalahan.

45 Ibid 46 Menteri LHK v. PT.KA (PN. Meulaboh, 2012), hlm 33 47 Ibid. hlm 25 48 Putusan PN. Bandung No. 49/Pdt.G/2003/PN.Bdg, hlm 102

Penerapan konsep ..., Adlul Hamidi Zalnur, FH UI, 2017

Page 14: Penerapan Konsep Pertanggungjawaban Perdata Dalam

14

Akhir dari keseluruhan dalil yang dibangun oleh Penggugat adalah Penggugat memohon

kepada Majelis Hakim untuk berkenan memutus dalam pokok perkara bahwa Tergugat telah

melakukan perbuatan melanggar hukum. Menurut hemat penulis, Penggugat kurang tepat

menyusun dalil gugatan dan keliru menarik hubungan antara PMH dengan pembuktian res ipsa

loquitur, strict liability dan precautionary principle.

Majelis Hakim mempertimbangkan berbagai bukti dan fakta persidangan dengan

seksama. Setidaknya Majelis Hakim dalam memandang pembuktian unsur fault dari Tergugat

dengan menelaah lebih lanjut dua hal. Pertama, apakah benar Tergugat telah membuka lahannya

dengan cara membakar.49 Kedua, apakah benar membuka lahan secara membakar merupakan

perbuatan melawan hukum.50 Mengenai hal yang pertama, Tergugat tidak pernah membuktikan

bahwa bukan Tergugat yang telah membakar lahan miliknya di tahun 2009.51 Dan apabila benar-

benar telah terjadi pembakaran hutan, maka akan melanggar beberapa peraturan perundang-

undangan yang jelas melarang perbuatan tersebut.52

Dari pertimbangannya Majelis Hakim di atas, secara diam-diam Majelis Hakim telah

menggeser beban pembuktian dari Penggugat kepada Tergugat. Dengan demikian berlakulah

konsep res ipsa loquitur pada pertimbangan Majelis Hakim tersebut. Sehingga dalam

putusannya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Meulaboh mengadili dalam pokok perkara yakni

Menyatakan Tergugat telah melakukan Perbuatan Melanggar Hukum.

b. Menteri LHK v. PT.KA pada Pengadilan Tinggi Banda Aceh Majelis Hakim Tinggi telah mempertimbangkan seluruh dalil dalam memori banding.

Dalam pertimbangan dasar hukum, Majelis Hakim menyesuaikan dengan ketentuan pasal 88 UU

32 tahun 2009 juga mengatur pertanggung jawaban mutlak (strict liability), yaitu unsur

kesalahan tidak harus dibuktikan oleh Terbanding /Penggugat sebagai dasar pembayaran

ganti rugi. Dengan demikian beban pembuktian tidak hanya dibebankan kepada

Terbanding/ Penggugat tetapi dibebankan kepada Pembanding/Tergugat untuk

membuktikan tidak adanya perbuatan melawan hukum.53 Dan dalam putusannya, Majelis

49 Ibid. hlm 172 50 Ibid. hlm 172 51 Ibid. hlm 182 52 Ibid. hlm 198 53 Ibid. hlm 55

Penerapan konsep ..., Adlul Hamidi Zalnur, FH UI, 2017

Page 15: Penerapan Konsep Pertanggungjawaban Perdata Dalam

15

Hakim Tinggi mengadili sendiri di dalam pokok perkara yaitu Menyatakan Pembanding/

dahulu Tergugat telah melakukan Perbuatan Melanggar Hukum. [bold penekanan tambahan

dari penulis]

Dari pernyataan di atas terlihat sangat jelas bahwa terdapat tambahan interpretasi dari

Majelis Hakim terhadap Pasal 88 UU No 32 tahun 2009 tersebut. Dalam hal ini, menurut hemat

Penulis Majelis Hakim telah berpandangan bahwa pasal 88 UU No 32 tahun 2009 yang

mengatur strict liability sepadan dengan konsep res ipsa loquitur. Menurut Wibisana bahwa res

ipsa loquitur belumlah sepenuhnya dapat dikatan sebagai strict liability, karena masih merupakan

pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan.54 Maka dapat dikatakan bahwa pandangan Majelis

Hakim dalam menjalankan pasal ini telah keliru.

Pandangan sebelumnya berlanjut sehingga mempengaruhi putusan yang dikeluarkan

Majelis Hakim tetap menyatakan Menyatakan Pembanding/ dahulu Tergugat telah

melakukan Perbuatan Melanggar Hukum. Dengan beberapa pertimbangan Majelis Hakim

tentang strict liability dan tetap menghasilkan amar putusan PMH. Maka semakin terlihat jelas

kekeliruan Majelis Hakim yang beranggapan bahwa gugatan strict liability sebagai bagian dari

gugatan PMH.

c. Menteri LHK v. PT.KA pada Mahkamah Agung RI Pada putusan Mahkamah Agung RI ini memperkuat putusan dari Judex Factie

sebelumnya. Sehingga pandangan-pandangan yang keliru sebelumnya dibenarkan oleh Majelis

Hakim Mahkamah Agung RI.

2. Analisis Putusan perkara Menteri LHK v. PT.Bumi Mekar Hijau

a. Menteri LHK v. PT.BMH pada Pengadilan Negeri Palembang Penggugat mendalilkan bahwa Tergugat sengaja membuka lahan dengan cara

membakar. Unsur kesengajaan dibuktikan Penggugat dengan menjelaskan lima tahapan proses

kebakaran (combustion processes).55 Penggugat menyimpulkan dengan adanya hubungan

kausalitas yang sangat erat antara terbakarnya lahan dengan tujuan akhir yang diinginkan

54 Ibid, hlm 35-36 55 Menteri LHK v. PT.BMH (PN. Palembang, 2015), hlm 10

Penerapan konsep ..., Adlul Hamidi Zalnur, FH UI, 2017

Page 16: Penerapan Konsep Pertanggungjawaban Perdata Dalam

16

Tergugat (yaitu membuka lahan dengan biaya murah dan cara cepat) sudah dengan sendirinya

membuktikan unsur kesengajaan tersebut.56 [bold tambahan penekanan dari penulis]

Selanjutnya Penggugat mendalilkan, Perbuatan Tergugat telah memenuhi kualifikasi

perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) yang dapat dituntut ganti rugi berdasarkan

Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Pasal 90 UU Lingkungan Hidup.57

Menurut Penulis, dalil yang tidak cukup kuat tersebut diperparah dengan penggunaan

dasar hukum yang terbatas pada sengaja melakukan PMH dalam Pasal 1365 KUHPer. Padahal

terdapat beberapa aturan lex specialis dari KUHPer, khususnya di bidang pertanggungjawaban

perdata lingkungan. Tidak adanya lapis dasar hukum yang didalilkan Penggugat, sehingga dapat

dipastikan apabila salah satu unsur sengaja melakukan PMH dalam Pasal 1365 KUHPer ini tidak

terbukti, maka Tergugat akan terlepas dari tanggungjawabnya. Selain itu, Penggugat juga

meminta Majelis Hakim mempertimbangkan Putusan MA RI No : 1794K/Pdt/2004 dalam

perkara Putusan Mandalawangi.58 Namun, Penulis menyayangkan tidak ada elaborasi lebih lanjut

terkait dalil gugatan ini.

Di akhir gugatan, Penggugat memohon kepada Majelis Hakim untuk berkenan memutus

dalam pokok perkara yakni menyatakan Tergugat telah sengaja melakukan perbuatan melanggar

hukum.59

Majelis Hakim mengadili dalam pokok perkara yakni Menolak gugatan Penggugat

seluruhnya karena hanya mempertimbangkan Tergugat telah sengaja melakukan “Perbuatan

Melawan Hukum”. Dalam pandangannya tidak terlihat bahwa Majelis Hakim telah

mempertimbangkan perdebatan di dalam Persidangan sebagai fakta persidangan secara

keseluruhan.

Sementara itu, Majelis Hakim terlihat secara sadar maupun tidak sadar juga telah

mengabaikan Putusan Mandalawangi sebagai bahan pertimbangnnya. Menurut hemat Penulis, hal

ini dikarenakan Majelis Hakim sudah menyimpulkan sejak awal bahwa Penggugat didalam

gugatannya secara jelas mendalilkan bahwa Tergugat telah sengaja melakukan “Perbuatan

56 Ibid. hlm 11 57 Ibid. 58 Ibid. hlm 13 59 Menteri LHK v. PT.BMH (PN. Palembang, 2015), hlm 22

Penerapan konsep ..., Adlul Hamidi Zalnur, FH UI, 2017

Page 17: Penerapan Konsep Pertanggungjawaban Perdata Dalam

17

Melawan Hukum”. Sehingga Majelis Hakim mengenyampingkan seluruh hal yang menurut

pandangannya tidak relevan dengan petitum.

b. Menteri LHK v. PT.BMH pada Pengadilan Tinggi Palembang Dalam memori banding Pembading/Penggugat pada pokoknya menyatakan bahwa

putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Palembang keliru menilai fakta hukum, bertentangan

dengan peraturan perundang-undangan, salah menerapkan hukum dan/atau putusan a quo telah

didasarkan pada pertimbangan hakim yang tidak cukup (onvoldoende gemotiveerd), sehingga

putusan a quo patut dibatalkan.60

Pembanding/Penggugat berikutnya menambahkan bahwa pembuktian berdasarkan

persangkaan didukung oleh doktrin res ipsa loquitur (the thing speaks for itself: benda berbicara

sendiri). Sehingga rangkaian fakta yang disebutkan dalam memori bandingnya tidak memberikan

kesimpulan kecuali kebakaran itu sengaja dilakukan atau dibiarkan terjadi oleh orang yang akan

memperoleh manfaat besar dengan kebakaran itu, dalam hal ini tiada lain adalah

Terbanding/Tergugat.61

Berbeda dengan gugatan pada Pengadilan Negeri Meulaboh. Menurut Penulis,

Pembanding/Penggugat pada proses banding lebih menggunakan banyak lapisan dasar hukum

dan pertanggungjawaban.

Pertama, secara eksplisit Pembanding/Penggugat meminta Majelis Hakim untuk

menggunakan res ipsa loquitur dalam proses pembuktian. Karena Pembanding/Penggugat

menyadari bahwa telah terpenuhi syarat-syarat dari res ipsa loquitur. Sehingga, menurut hemat

Penulis menerapkan res ipsa loquitur pada kondisi seperti di atas sudah tepat. Penulis melihat

bahwa Pembanding/Penggugat mencoba membuat dalil lapis kedua apabila PMH tidak dapat

dibuktikan.

Kedua, Pembanding/Penggugat selanjutnya menyebutkan Putusan Perkara

Mandalawangi.62 Dengan adanya permintaan dari Pembanding/Penggugat di dalam perkara a quo

agar Majelis Hakim berkenan menerapkan prinsi kehati-hatian (precautionary principle)

sebagaimana ditafsirkan oleh Majelis Hakim dalam Perkara Mandalawangi, maka Pembanding

dalam perkara a quo sebenarnya telah meminta pula agar Majelis Hakim menerapkan tanggung

60 Menteri LHK v. PT.BMH (PT, Palembang, 2016), hlm 58 61 Ibid. 62 Ibid. hlm 86

Penerapan konsep ..., Adlul Hamidi Zalnur, FH UI, 2017

Page 18: Penerapan Konsep Pertanggungjawaban Perdata Dalam

18

jawab mutlak (strict liability).63 Namun demikian, Majelis Hakim sama sekali tidak

menyinggung mengenai Putusan Perkara Mandalawangi di atas, sehingga strict liability sama

sekali tidak dipertimbangkan.64 Menurut Penulis dalam hal ini Pembanding/Penggugat mencoba

membuat dalil lapis ketiga apabila PMH tidak dapat dibuktikan dan res ipsa loquitur dapat

dibuktikan dengan baik oleh Terbanding/Tergugat.

Dalam dalilnya Pembanding/Penggugat juga menggunakan Pasal 30 PP nomor 45 tahun

2004 tentang Perlindungan Hutan sebagai dasar strict liability. Namun, penjelasan pasal ini

berbeda hal nya dengan peraturan-peraturan lainnya, karena terdapat pengecualian dari penerapan

strict liability. Apabila dilihat hanya sebatas bunyi Pasalnya saja, jelas pasal ini mengatur

tentang strict liability. Namun, apabila ditelusuri lebih lanjut dalam penjelasan pasalnya, maka

secara tidak langsung disebutkan bahwa beban pembuktian unsur kesalahan terletak pada pihak

pemilik izin (tergugat). Sehingga pemilik izin dapat terlepas dari ancaman sanksi apabila yang

dapat membuktikan pihaknya tidak bersalah. Berdasarkan peraturan ini dapat disaksikan bahwa

strict liability merupakan hal sepadan dengan pembuktian terbalik (res ipsa ioquitur). Fakta di

atas memperlihatkan bahwa sejak dari perumus Undang-Undang masih memiliki pemahaman

yang keliru terkait hubungan strict liability dengan res ipsa loquitur. Hali ini tentunya akan

mempengaruhi penegakan hukum lingkungan di Indonesia.

Akhirnya, Majelis Hakim mengadili menerima permohonan banding dari Penggugat/

Pembanding dan membatalkan putusan Pengadilan Negeri Palembang Nomor;

24/Pdt.G/2015/PN.Plg tanggal 30 Desember 2015, yang dimohonkan banding tersebut.

Selanjutnya, mengadili sendiri yakni menyatakan Tergugat/Terbandi telah melakukan perbuatan

melawan.65

Menurut Penulis, dalam setiap pertimbangannya Majelis Hakim Pengadilan Tinggi secara

tegas menyatakan bahwa Tergugat dikenakan tanggung jawab mutlak (strict liability) sebagai

pemiliki pemegang izin areal yang terbakar. Menariknya ketika dilihat dalam amar putusan,

Majelis Hakim tidak menyatakan Tergugat/Terbanding dihukum karena bertanggungjawab

mutlak, tetapi tetap menyatakan Tergugat/Terbanding melakukan perbuatan melawan hukum.

Menurut hemat penulis, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi juga masih berpandangan bahwa

63 Ibid. hlm. 88 64 Ibid. 65 Ibid. hlm 190

Penerapan konsep ..., Adlul Hamidi Zalnur, FH UI, 2017

Page 19: Penerapan Konsep Pertanggungjawaban Perdata Dalam

19

gugatan strict liability sebagai bagian dari gugatan PMH. Sebagaimana Wibisana menyampaikan

bahwa di Indonesia, gugatan strict liability dianggap sebagai bagian dari gugatan PMH. Sehingga

berimplikasi pada bentuk gugatan, dan juga pada putusan.66

3. Catatan Kritis dan Solusi

Secara keseluruhan dari analisis yang telah dijabarkan diatas, setidaknya terdapat benang

merah yang dapat Penulis jadikan intisari dan pembelajaran, diantanya:

1. Pihak yang berperkara masih memiliki pandangan yang keliru terkait cara penyusunan

gugatan maupun jawaban. Masih bercampurnya antara dasar liabity based on fault dan

liability without fault dalam dalil gugatan. Konsep PMH dengan pembuktian res ipsa loquitur

dan strict liability menjadi hal yang paling banyak dibicarakan, namun ditemukan banyak

kekeliruan dalam menerapkannya dalam gugatan maupun jawaban.

2. Hingga dikeluarkannya putusan Perkara Menteri LHK v. PT. Bumi Mekar Hijau pada

Pengadilan Tinggi Palembang tahun 2016. Majelis Hakim masih berpandangan bahwa strict

liability dan res ipsa loquitur merupakan konsep yang sepadan. Dan juga masih menganggap

bahwa gugatan strict liability bagian dari gugatan PMH. Sehingga sangat mempengaruhi

putusan yang dikeluarkan oleh Majelis Hakim yang sampai saat ini menganggap dirinya telah

menerapkan strict liability secara penuh disaat amar putusannya menyatakan Tergugat

melakukan Perbuatan Melawan Hukum. Dalam hal ini menurut hemat Penulis, kekeliruan ini

harus diperbaiki agar kerancuan tersebut tidak menjadi budaya karena akan menyulitkan

dalam pembuktiannya. Selain itu, lemahnya hukum formil terkait penerapan konsep strict

liability harus segera diselesaikan oleh pihak yang berwenang sehingga adanya dasar yang

jelas dan tegas terkait penegakan hukum perdata lingkungan di Indonesia.

3. Lebih jauh lagi, ternyata kekeliruan mengenai hubungan konsep PMH, PMH dengan

pembuktian res ipsa loquitur, dan strict liability terjadi sejak di dalam benak perumus

peraturan perundang-undangan di Indonesia. Sebagaimana yang Penulis bahas sebelumnya

tentang penjelasan pasal yang keliru pada Pasal 30 PP nomor 45 tahun 2004 tentang

Perlindungan Hutan oleh perumus peraturan tersebut. Fenomena ini menjadi refleksi tentang

kekeliruan yang mendasar dari para sarjana hukum dalam memandang konsep strcit liability

66 Wibisana, “Pertanggungjawaban Perdata”, hlm 19

Penerapan konsep ..., Adlul Hamidi Zalnur, FH UI, 2017

Page 20: Penerapan Konsep Pertanggungjawaban Perdata Dalam

20

sebagai padanan res ipsa loquitur. Sebagaimana Soekanto menjelaskan bahwa faktor budaya

hukum sangat menentukan efektivitas suatu penegakan hukum.67

4. Fakta yang ditemukan dalam penerapan konsep pertanggungjawaban perdata lingkungan di

Indonesia bahwa konsep PMH dan strict liability tidak diposisikan menjadi dua kutub ekstrim

yang berbeda. Walaupun secara konsep dinyatakan berbeda, akan tetapi saat penerapannya

strict liability dianggap menjadi bagian dari lapisan gugatan PMH. Sehingga diperlukan

konsep antara yang dapat menghubungkan keduanya dalam gugatan, yaitu konsep PMH

dengan pembuktian res ipsa loquitur.

5. Dengan keterbatasan hukum dan budaya hukum yang ada pada saat ini. Penulis berpandangan

bahwa konsep strict liability harus benar-benar dibedakan secara tegas dan jelas sebagai

konsep pertanggungjawaban yang berbeda dengan PMH. Walaupun idealnya konsep strict

liability langsung dapat digunakan sebagai dasar pertanggungjawaban dalam gugatan.

Namun, dengan budaya hukum yang ada, menurut hemat Penulis, untuk saat ini dapat

diterapkan dalil gugatan berlapis dalam gugatan perdata lingkungan dengan susunan sebagai

berikut:

a. PMH dengan Res Ipsa Loquitur

b. Strict Liability

Dan diteruskan dengan merujuk kepada yurisprudensi Majelis Hakim dalam memutus

perkara perdata lingkungan di Indonesia.

E. Kesimpulan

Berdasarkan seluruh pembahasan dalam penelitian ini, maka dapat disimpulkan hal-hal

sebagai berikut:

Pertama, penerapan prinsip tanggungjawab mutlak (strict liability) dapat diterapkan di

perkara perdata lingkungan sebagai upaya menjawab keterbatasan konsep pertanggungjawaban

Perbuatan Melawan Hukum (PMH) dalam menghadapi tantangan perkembangan pembangunan

di berbagai sektor baik infrastruktur maupun suprastruktur yang dapat berdampak pada

lingkungan. Penerapan prinsip strict liabity diterapkan pada kegiatan yang mengandung risiko

67 Soerjono Soekanto. “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum”. Cetakan Ketujuh. Raja

Grafindo Persada. Jakarta. hlm 8

Penerapan konsep ..., Adlul Hamidi Zalnur, FH UI, 2017

Page 21: Penerapan Konsep Pertanggungjawaban Perdata Dalam

21

yang luar biasa (abnormally dangerous activities). Dan dalam kedua kasus ini Penggugat

menggunakan dasar pertanggungjawaban PMH. Perkara Menteri LHK v. PT.KA secara diam-

diam telah menggunakan konsep res ipsa loquitur sehingga beban pembuktian bergeser dari

Penggugat kepada Tergugat. Sedangkan Perkara Menteri LHK v. PT.BMH secara jelas hanya

menggunakan konsep PMH di Pengadilan tingkat pertama. Selanjutnya, secara eksplisit dalam

posisi Pembanding/Penggugat menggunakan setidakanya 3 (tiga) konsep yang dipadukan yaitu

PMH biasa, PMH dengan res ipsa loquitur, dan strict liability.

Kedua, Majelis Hakim masih berpandangan bahwa strict liability dan res ipsa loquitur

merupakan konsep yang sepadan. Dan juga masih menganggap bahwa gugatan strict liability

bagian dari gugatan PMH. Sehingga sangat mempengaruhi putusan yang dikeluarkan oleh

Majelis Hakim yang sampai saat ini menganggap dirinya telah menerapkan strict liability secara

penuh.

Ketiga, melihat realitas budaya hukum para penegak hukum maupun sarjana hukum

yang keliru dalam memandang konsep strict liability. Dengan demikian dapat diterapkan dalil

gugatan berlapis, PMH dengan res ipsa loquitur sebagai lapisan pertama menuju strict liability.

Sehingga menjadi seperti berikut ini:

a. PMH dengan pembuktian Res Ipsa Loquitur

b. Strict Liability

Dan diteruskan dengan dalil merujuk kepada yurisprudensi Majelis Hakim dalam memutus

perkara perdata lingkungan di Indonesia.

F. Saran

Berdasarkan pembahasan dalam penelitian ini dan kesimpulan yang dirumuskan diatas,

maka penulis memberikan beberapa saran mengenai masalah tersebut, yang pada intinya perlu

adanya perbaikan dalam pemahaman mengenai konsep pertanggungjawaban Perbuatan Melawan

Hukum dan strict liability di Indonesia. Sehingga penegakan hukum lingkungan dapat berjalan

secara efektif. Dan sebaiknya perlu ditinjau kembali implementasi prinsip strict liability dalam

perundang-undangan di Indonesia. Karena konsep strict liability dan PMH dengan pembuktian

res ipsa loquitur yang dijadikan sepadan dalam rumusan pasal merupakan sebuah kekeliruan

Penerapan konsep ..., Adlul Hamidi Zalnur, FH UI, 2017

Page 22: Penerapan Konsep Pertanggungjawaban Perdata Dalam

22

mendasar. Dan terakhir, perlu adanya forum para sarjana hukum untuk meluruskan kekeliruan

terkait konsep strict liability sehingga dapat bersama-sama melakukan perbaikan penegakan

hukum lingkungan di Indonesia

Daftar Referensi

BUKU Agustina, Rosa. (2003). Perbuatan Melawan Hukum. Jakarta: Program Pascasarjana

Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Harpwood, Vivienne. (2000). Principles of Tort Law, 4th ed. London: Cavendish

Publishing Limited. Machmud, Syahrul. (2012) Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia: Penegakan Hukum

Administrasi, Hukum Perdata, dan Hukum Pidana menurut Undang-undang No. 32 Tahun 2009. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Soekanto, Soerjono. (1983). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum.

Cetakan Ketujuh. Jakarta: Raja Grafindo Persada Wijoyo, Suparto. (1999). Penyelesaian Sengketa Lingkungan. Surabaya: Airlangga

University Press.

ARTIKEL/JURNAL

Cantu, Charles E. (2003). “Distinguishing the Concept of StrictLiability in Tort from Strict ProductsLiability: Medusa Unveiled”. The University of Memphis Law Review, Vol. 33

Gema BNPB, “Indonesia Darurat Asap”, Vol. 6, No. 3. Jakarta: Desember 2015 Jerger, David B. (2014) “Indonesia’s Role in Realizing the Goals of ASEAN’s Agreement

of Transboundary Haze Pollution”, Journal Sustainable Development Law & Policy, Vol. 14, No. 1. Washington: Digital Commons @ American University Washington College of Law

Jones, William K. (1992). “Strict Liability For Hazardous Enterprise”. Columbia Law

Review, Vol. 92, No. 7. Palmer, Vernon. (1988). “A General Theory of The Inner Structure Of Strict Liability:

Common Law, Civil Law, And Comparative Law”,Tulane Law Review, Vol. 62. TAN, Alan Khee-Jin. (2015) “The ‘Haze’ Crisis In Southeast Asia: Assessing

Singapore’s Transboundary Haze Pollution Act 2014”, NUS Law Working Paper Series 2015/002.

Penerapan konsep ..., Adlul Hamidi Zalnur, FH UI, 2017

Page 23: Penerapan Konsep Pertanggungjawaban Perdata Dalam

23

Shavell, S. (2002) “Economic Analysis Of Accident Law”, Harvard Law School John M.

Olin Center for Law, Economics and Business Discussion Paper Series. No. 396. Chapter 2. Wibisana, M. Ridwan Andri G. (1999). “Perbandingan Asas Tanggung Jawab Secara

Langsung dan Seketika (Strict Liability) dalam Hukum Lingkungan di Indonesia dan Belanda.” Skripsi Universias Indonesia.

Wibisana, Andri G. (2016) “Pertanggungjawaban Perdata Untuk Kebakaran Hutan/Lahan:

Beberapa Pelajaran Dari Menteri Kementerian Lingkungan Hidup Dan Kehutanan (KLHK) vs PT. Bumi Mekar Hijau (BMH)”, Jurnal Bina Hukum Lingkungan, Vol.1 No.1.

PUTUSAN PENGADILAN DAN LEMBAGA PENYELESAIAN SENGKETA LAIN: Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 179K/Pdt/2004 Keputusan Ketua Mahkamah Agung No. 36 Tahun 2013 tentang Pedoman Penanganan Perkara

Lingkungan Hidup Pengadilan Negeri Meulaboh, Putusan No. 12/Pdt.G/2012/PN.MBO, Menteri Lingkungan Hidup

dan Kehutanan v. PT. Kallista Alam (2012), Pengadilan Tinggi Banda Aceh, Putusan No. 50/Pdt/2014/PT.BNA, Menteri Lingkungan Hidup

dan Kehutanan v. PT. Kallista Alam (2014), Mahkamah Agung , Putusan No. 651/K/Pdt/2015, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan v.

PT. Kallista Alam (2015) Pengadilan Negeri Palembang, Putusan No. 24/Pdt.G/2015/PN.Plg, Menteri Lingkungan Hidup

dan Kehutanan v. PT. Bumi Mekar Hijau (2015 Pengadilan Tinggi Palembang, Putusan No. 51/Pdt/2016/PT.PLG, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan v. PT. Bumi Mekar Hijau (2016) INTERNET

“NASA: Kabut Asap Indonesia Terparah Dalam Sejarah,” http://www.dw.com/id/nasa-kabut-asap-indonesia-terparah-dalam-sejarah/a-18756969, 2017.

Lebih 20 Perusahaan Pembakar Hutan Kena Sanksi. http://www.dw.com/id/lebih-20-

perusahaan-pembakar-hutan-kena-sanksi/a-18933976, 2017. Resolusi Bumi, Hutan. http://www.wwf.or.id/?44824/resolusibumi-2016-hutan, 2017 Statistik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2014. 2017.

www.menlhk.go.id/downlot.php?file=STATISTIK_2014.pdf

Penerapan konsep ..., Adlul Hamidi Zalnur, FH UI, 2017