Upload
others
View
8
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
LPPM UNUD BAPPEDA PROVINSI BALI
LAPORAN HASIL PENELITIAN
KONTRIBUSI DESA PAKRAMAN DI BALI DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN
KERJASAMA LPPM UNUD DAN BAPPEDA PROVINSI BALI
TAHUN 2015
ii
KATA PENGANTAR
Om Swasty Astu!
Dengan mengucap anghayu baghya (puji syukur) kehadapan Tuhan Yang
Maha Kuasa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) pada akhirnya laporan penelitian yang
mengambil topik : Kontribusi Desa Pakraman di Bali dalam Pengentasan
Kemiskinan, dapat kami selesaikan dalam bentuknya seperti sekarang ini.
Sangat disadari bahwa laporan penelitian ini masih jauh dari sempurna,
namun diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi pendorong bagi pemegang
kebijaksanaan di lingkungan pemerintah daerah Bali khususnya berkenaan dengan
upaya untuk mengoptimalkan peran Desa Pakraman di Bali dalam gerak
pembangunan pada umumnya, dan secara khusus yang berkaitan dengan eksistensi
Desa Pakraman sebagai satu lembaga adat yang telah diwarisi sejak berabad-abad
yang lalu. Oleh karena itu sangat diharapkan adanya masukan yang bermanfaat
bagi kesempurnaan penelitian ini dari pihak-pihak yang terkait atau yang menaruh
perhatian terhadap keberadaan dari Desa Pakraman itu sendiri.
Melalui kesempatan ini tak lupa kami ucapkan banyak terima kasih kepada
semua pihak yang telah memberikan dukungan bagi terlaksananya penelitian ini
baik yang bersifat materiil maupun ummateriil, terutama sekali kepada :
1. Bapak Gubernur Provinsi Bali Cq. Ketua Bappeda Provinsi Bali yang
telah menyediakan dana bagi penelitian ini.
iii
2. Bapak Rektor cq Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada
Masyarakat Universitas Udayana yangt telah memberikan rekomendasi
bagi terlaksananya penelitian ini.
3. Bapak Kepala Kesbangpollinmas Provinsi Bali maupun Kabupaten di
mana penelitian ini dilaksanakan atas ijin yang telah diberikan untuk
pelaksanaan penelitian ini.
4. Semua pihak yang telah memberikan informasi untuk kepentingan
penelitian ini baik berupa data skunder maupun primer diantaranya
Bapak Kepala Dinas Sosial Provinsi dan Kabupaten, Kepala BPS
Provinsi dan Kabupaten, serta para Bendesa Desa Pakraman dan Desa
Dinas yang telah banyak memberikan penjelasan berkenaan dengan
masalah yang menjadi obyek penelitian ini
Semoga Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa)
memberikan pahala yang setimpal.
Pada akhirnya laporan penelitian ini kami persembahkan kepada semua
pihak yang berkepentingan semoga ada manfaatnya.
Om Canthi Canthi Canthi Om
Denpasar, November 2015
Tim Peneliti
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI iv
BAB I. PENDAHULUAN 1
1.1. Latar belakang………………………………………………………. 1
1.2. Rumusan masalah…………………………………………………… 11
1.3. Tujuan dan manfaat penelitian……………………………………… 11
BAB II. KAJIAN PUSTAKA 13
2.1. Desa Pakraman sebagai masyarakat hukum adat………………….. 13
2.2. Desa Pakraman dan penanggulangan kemiskinan………………… 19
BAB III. METODE PENELITIAN 24
3.1. Jenis dan sifat penelitian………………………………………….. 24
3.2. Lokasi penelitian …………………………………………………. 24
3.3. Jenis dan sumber data…………………………………………….. 25
3.4.Teknik pengumpulan data………………………………………… 25
3.5. Teknik Pengolahan dan analisis data…………………………….. 26
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 27
4.1. Deskripsi singkat tentang kemiskinan di Provinsi Bali………….. 27
4.2. Desa Pakraman dan penanggulangan kemiskinan…………………31
4.2.1. Deskripsi singkat dari data lapangan ……………………. 31
v
4.2.2. Pembahasan ……………………………………………. 51
BAB V. P E N U T U P 55
5.1. Kesimpulan ……………………………………………………. 55
5.2. Saran-saran……………………………………………………. . 55
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN :
1.1. Latar belakang
Kemiskinan merupakan satu problema nasional yang sedang dihadapi
dewasa ini bahkan sejak berpuluh tahun lalu, dan menjadi tugas negara untuk
menanggulanginya. Namun tentunya persoalan ini bukanlah semata-mata menjadi
tugas negara sebagaimana diamanatkan oleh pembukaan UUD 1945 melainkan
adalah juga menjadi bagian dari tugas kita bersama, tugas dari seluruh bangsa dan
rakyat Indonesia untuk secara bersama-sama menanggulanginya.
Secara umum, angka kemiskinan Indonesia sejak 1998 – 2011 terus
menurun. Penurunan tersebut tidak lepas dari upaya keras pemerintah untuk
menanggulangi kemiskinan melalui berbagai program pro-rakyat.
Gambar Penurunan angka kemiskinan di Indonesia sejak 1998 – 2010.
(Sumber data BPS.)
Kendati belum bisa dikatakan maksimal, akan tetapi tren penurunan
menunjukkan bahwa program-program penanggulangan kemiskinan yang
2
diluncurkan pemerintah telah memberikan efek positif bagi peningkatan
kemampuan masyarakat dalam mengembangkan hak-hak dasar mereka.
Berdasarkan Worldfactbook, BPS, dan World Bank, di tingkat dunia
penurunan jumlah penduduk miskin di Indonesia termasuk yang tercepat
dibandingkan negara lainnya. Tercatat pada rentang 2005 – 2009 Indonesia mampu
menurunkan laju rata-rata penurunan jumlah penduduk miskin per tahun sebesar
0,8%, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pencapaian negara lain semisal
Kamboja, Thailand, Cina, dan Brasil yang hanya berada di kisaran 0,1% per tahun.
Bahkan India mencatat hasil minus atau terjadi penambahan penduduk miskin.
Kendati Indonesia adalah negara yang paling berhasil menurunkan angka
kemiskinan, akan tetapi masih terdapat disparitas antar provinsi. Ada provinsi yang
berhasil menurunkan prosentase penduduk miskinnya dengan cepat dan ada pula
yang lambat. Gambar 4 berikut menggambarkan profil kemiskinan beberapa
provinsi di Indonesia tahun 2011.
Profil Kemiskinan Per Provinsi Tahun 2011.( Sumber data BPS.)
3
Selain itu, sebaran penduduk miskin juga tidak merata di seluruh wilayah
kepulauan Indonesia. Penduduk miskin tersebut tinggal di wilayah perkotaan
maupun perdesaan, dengan prosentase terbesar berada di wilayah perdesaan di
Pulau Jawa, disusul Pulau Sumatera, baru kemudian pulau-pulau lain di Indonesia.
Secara rinci, gambaran jumlah penduduk miskin di perdesaan dan perkotaan
seperti tergambar berikut ini.
Jumlah Penduduk Miskin Perdesaan dan Perkotaan 2011 (dalam ribuan).
Sumber data BPS.
Sebagai catatan, ada beberapa hal yang patut dijadikan bahan kajian.
Pertama, tingkat kemiskinan masyarakat Bali. Dari data di Badan Pusat Statistik
(BPS) Provinsi Bali, pada 2 Januari 2013, jumlah angka kemiskinan masyarakat
Bali hingga September 2012 adalah 160.950 orang. Jumlah ini tentu sangat besar
dibandingkan jumlah penduduk Bali secara keseluruhan yang mencapai lebih dari
3,6 juta orang. Itu artinya, pemimpin ke depan mesti mampu terus-menerus
mengentaskan kemiskinan masyarakat Bali, karena akibat kemiskinan akan
4
menimbulkan multi efek yang kurang positif bagi peningkatan kesejahteraan
rakyat. Dengan kemiskinan, tentu akan berdampak pada tingkat kesehatan yang
rendah. Jika kesehatan masyarakat rendah, maka kesempatan untuk mendapatkan
pendidikan juga kecil. Berarti upaya peningkatan kemampuan bersaing dalam
memperebutkan lahan pekerjaan akan berkurang sehingga tingkat pengangguran
pun naik. Jadi persoalan mendasar dari rantai kehidupan ini adalah dengan
mengentaskan kemiskinan.
Secara garis besar, penurunan angka kemiskinan dari tahun ke tahun juga
terus mengalami penurunan. Pada tahun 2008, penduduk miskin di Bali tercatat
sebanyak 6,17 persen. Selanjutnya pada tahun 2009 menurun menjadi 5,13 persen,
tahun 2010 tercatat sebanyak 4,88 persen. Selanjutnya pada tahun 2011 dan 2012
terus bergerak turun menjadi 4,20 persen dan terakhir 3,95 persen. Angka
kemiskinan dari 6,17% tahun 2008, sudah mampu ditekan menjadi 3,95% pada
tahun 2012 (terbaik kedua nasional, setelah Provinsi DKI Jakarta).
Penurunan angka kemiskinan itu menjadi sebuah bukti keberhasilan
berbagai program Bali Mandara yang pelaksanaannya telah memasuki tahun
kelima. Sejumlah program yang manfaatnya bisa dinikmati langsung oleh
masyarakat antara lain Jaminan Kesehatan Bali Mandara (JKBM), Bedah Rumah,
Sistem Pertanian Terintegrasi (Simantri), Beasiswa bagi siswa dan mahasiswa
kurang mampu, bantuan desa pakraman dan subak serta Gerakan Pembangunan
Desa Terpadu (Gerbangsadu). Semuanya merupakan program yang langsung
menyentuh kepentingan masyarakat luas dan terkait dengan upaya pengentasan
kemiskinan
5
Penjabaran rencana aksi yang dilakukan Pemprov Bali dalam
mengentaskan kemiskinan menunjukkan keberhasilan. Laporan resmi dari Badan
Pusat Statistik No. 45/07/th.XIII tertanggal 1 Juli 2010 tentang Profil Kemiskinan
Indonesia, menunjukkan keberhasilan Bali dalam pengentasan angka penduduk
miskin. Berdasarkan data yang dirujuk pada Maret 2010 dengan pendataan konsep
garis kemiskinan, tercatat 174.930 jiwa (4,88%) masuk kategori miskin. Angka ini
jauh menurun dibandingkan angka penduduk miskin pada bulan yang sama tahun
2009. Saat itu angka penduduk miskin di Bali mencapai 181.720 jiwa (5,13%).
''Berdasarkan perbandingan angka ini, Bali mampu mengentaskan penduduk
miskin mencapai 6.790 jiwa. Angka ini melampaui target nasional yang
dibebankan pemerintah pusat 6.360 jiwa.
Angka kemiskinan di Bali per Maret 2008 tercatat mengalami penurunan
13.400 orang. Pada bulan Maret 2007 tercatat ada 229.100 orang di Bali yang
berada di bawah kemiskinan atau mencapai 6,63 persen dari jumlah keseluruhan
penduduk Bali. Jumlah itu menurun menjadi 215.700 orang pada bulan Maret 2008
atau sekitar 6,17 persen dari total penduduk Bali. Data Badan Pusat Statistik (BPS)
2006 tentang angka kemiskinan di Bali menunjukkan masih cukup tinggi jumlah
keluarga miskin di Bali yaitu 147.044 kepala keluarga (KK). Jumlah terbesar
berada di Buleleng, yaitu 47.908 KK. Berikutnya di Karangasem (41.826 KK),
Bangli (13.191 KK), Tabanan (11.672 KK), Klungkung (8.460 KK), Gianyar
(7.629 KK), Jembrana (6.998 KK), Badung (5.201 KK), dan Denpasar sebanyak
4.159 KK.
6
Dari hasil survei yang dilakukan, dapat diketahui bahwa dari 413 responden
yang meliputi 67 desa/kampung di seluruh Bali, diketahui bahwa sebagian besar
bermatapencaharian sebagai buruh/tukang (29,5%), pedagang (21,1%), dan petani
(16,5%) dengan penghasilan rata-rata kurang dari 200 ribu/bulan (52,5%) dan
sebagian besar memiliki hutang (77,5%). Dilihat dari latar belakang pendidikan,
sebagian besar responden telah tamat SD (33,7%) dan tidak tamat SD (27%).
Dalam aktualisasi, berbagai dampak nyata program Bali Mandara sangat
dirasakan oleh masyarakat. Desa Pengotan, Bangli merupakan salah satu desa yang
merasakan dampak positif berbagai program Bali Mandara. Bahkan, secara nyata
angka kemiskinan di desa ini berhasil dikurangi hingga lebih dari 50 persen dalam
kurun waktu empat tahun. Hal tersebut disampaikan Perbekel Desa Pengotan
Wayan Arsana dalam penyerahan Program Gerbangsadu oleh Gubernur Bali Made
Mangku Pastika kepada kelompok ekonomi produktif di Pasar Desa Pengotan
baru-baru ini. Lebih jauh Arsana mengurai, Desa Pengotan yang berpenduduk
1315 KK atau 3617 jiwa. Pada catatan tahun 2008, desa ini mengantongi 517 KK
miskin. Pada tahun 2012, tambah Arsana, penduduk miskin di wilayahnya bisa
dikurangi hingga hanya tersisa sebanyak 295 KK. "Berkurangnya penduduk
merupakan dampak positif dari pelaksanaan berbagai program Bali Mandara
seperti JKBM, bedah rumah, simantri dan program Gerbangsadu," urainya. Lebih
jauh Arsana mengurai, banyak masyarakatnya yang telah memanfaatkan Program
JKBM. “Dengan program JKBM, masyarakat kami tidak perlu lagi memikirkan
biaya ketika harus berobat saat sakit,” ujarnya. Karena itu Arsana berharap agar
program Bali Mandara bisa dilanjutkan.
7
Hal senada juga diungkapkan Kepala Dusun Bayad, Tegallalang, Gianyar I
Ketut Sunarta. Ditemui di sela-sela kegiatan Sosialisasi Program Bali Mandara
Melalui Pentas Seni Tradisional, Sunarta mengatakan kalau Program Bali Mandara
merupakan terobosan yang luar biasa. Berbagai program Bali Mandara seperti
JKBM sangat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat khususnya golongan
menengah ke bawah. Selain JKBM, program bedah rumah dan Simantri juga
mendapat apresiasi masyarakat Dusun Bayad. Pernyataan tersebut diperkuat oleh
Bendesa Pakraman Bayad I Made Latra. “Banyak warga yang terselamatkan
karena program JKBM. Bahkan ada warga kami yang memanfaatkan layanan cuci
darah dua kali seminggu, bayangkan saja kalau tidak ada program JKBM,”
imbuhnya. AA.Nyoman Wijana, Ketua Kelompok Simantri 027 Desa Kelating
Tabanan khusus mengapresiasi program Simantri. Program Simantri, tambah
Wijana, secara perlahan mampu mewujudkan harapan para petani untuk
meningkatkan kesejahteraannya. “Ini merupakan program luar biasa di bidang
pertanian,” imbuhnya. Hanya saja, kata Wijana, para petani memang perlu lebih
kreatif dan bekerja keras agar hasilnya lebih maksimal. Dia berharap, berbagai
program Bali Mandara yang manfaatnya benar-benar telah dirasakan oleh
masyarakat dilanjutkan.
Gubernur Bali Made Mangku Pastika mengapresiasi pelaksanaan berbagai
Program Bali Mandara yang mendapat sambutan positif dari masyarakat. Pun
demikian, Mangku Pastika tak lantas berpuas diri dengan pencapaian berbagai
program ini. “Kita memang sudah berupaya maksimal melaksanakan berbagai
program yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” ujarnya
8
dalam kesempatan menginap di bedah rumah seorang warga di Banjar Palaktihing,
Desa Landih, Kabupaten Bangli. Namun demikian, berbagai program itu masih
memerlukan penyempurnaan. Terlebih lagi program Gerbangsadu yang memang
baru dilaksanakan sejak tahun 2012. Gubernur pun bertekad mempercepat
penuntasan pengentasan kemiskinan di Pulau Dewata. Bagi seorang Mangku
Pastika, keberadaan masyarakat miskin selalu menjadi beban pikirannya. “Karena
saya pernah hidup serba kekurangan di masa kecil, makanya saya bisa merasakan
susahnya jadi orang miskin,” imbuhnya. Sejalan dengan tekadnya itu, mulai tahun
2013 ini, Gubernur Mangku Pastika melaksanakan kegiatan menginap di rumah
warga penerima program bedah rumah. Selama bulan Januari 2013, tercatat sudah
dua kali Gubernur yang didampingi Ny.Ayu Pastika menginap di bedah rumah
yaitu di Banjar Putung, Desa Duda Timur Karangasem dan Banjar Palaktihing,
Desa Landih, Kabupaten Bangli. Gubernur Mangku Pastika menilai kegiatan
nginep di rumah penduduk penerima bantuan bedah rumah banyak memberi
inspirasi guna mempercepat penuntasan masalah kemiskinan. Selama ini, kata
Mangku Pastika, pemerintah telah memberikan bantuan berupa bedah rumah,
kesehatan dan pendidikan bagi mereka. "Tapi ternyata itu belum cukup membuat
mereka benar-benar keluar dari kemiskinan," imbuhnya. Kata Mangku Pastika,
masyarakat kurang mampu masih membutuhkan mata pencaharian yang lebih baik.
Salah satunya melalui program untuk menggerakkan ekonomi produktif di
pedesaan. "Mereka perlu ketrampilan untuk menghasilkan produk-produk yang
bernilai ekonomis. Selain itu kita juga harus memikirkan bagaimana
pemasarannya," tandasnya. Untuk itu, Pemprov Bali akan lebih memantapkan
9
program Gerbangsadu agar dana yang disalurkan dapat bergulir. Ke depannya,
Gubernur berharap akan lebih banyak lagi desa yang memperoleh program ini.
(Website Resmi Pemerintah Prov. Bali, Januari 2013)
Dalam memimpin Bali lima tahun ke depan visi yang diusung oleh
Gubernur Mangku Pastika adalah:
Terwujudnya Bali yang maju, aman, damai, dan sejahtera (Bali Mandara)
“Mandara”, berasal dari Bahasa Sanskerta, yang berarti:besar, agung, suci, dan
great. Bali Mandara adalah Bali yang besar, Bali yang agung, Bali yang suci, The
great Bali. Mandara adalah juga akronim dari Maju, Aman, Damai, dan Sejahtera
Visi tersebut kemudian dijabarkan ke dalam tiga Misi yaitu:
Pertama; Mewujudkan Bali yang Berbudaya, Metaksu, Dinamis, Maju, dan
Modern.
Kedua; Mewujudkan Bali yang Aman, Damai, Tertib, Harmonis, serta Bebas dari
berbagai Ancaman, dan
Ketiga; Mewujudkan Bali yang Sejahtera dan Sukerta Lahir Bathin.
Dari visi dan misi ini terlihat arah kepada upaya untuk mewujudkan masyarakat
Bali yang sejahtera lahir batin bebas dari kemiskinan.
Apa yang dikemukakan di atas menunjukkan upaya yang dilakukan oleh
pemerintah, khususnya Pemerintah Daerah Provinsi Bali dengan landasan visi dan
misinya yang mengarah kepada upaya pengentasan kemiskinan, namun dalam
program dan kegiatan riil yang dilaksanakan sama sekali tidak terlihat mengenai
peran atau kontribusi dari desa pakraman dalam upaya pengentasan kemiskinan
tersebut. Hal ini tampaknya menjadi penting untuk diperhatikan mengingat desa
pakraman merupakan satu kesatuan masyarakat hukum adat yang tumbuh dan
10
berkembang sejalan dengan perkembangan jaman namun tidak melupakan asal-
usul dan tradisinya.
Kehadiran desa pakraman dalam kerangka upaya pengentasan kemiskinan
oleh pemerintah tentunya akan sangat membantu karena desa pakraman
bersentuhan langsung dengan kehidupan masyarakat dalam kesehariannya,
sehingga upaya yang dilakukan pemerintah dalam rangka pengentasan kemiskinan
tersebut menjadi lebih efektif dan lebih cepat dapat diwujudkan. Terlebih-lebih lagi
bila dikaitkan dengan landasan filosofis yang melandasi kehidupan masyarakat
adat di Bali dalam wadah desa pakraman yang dikenal dengan Tri Hita Karana
yakni tiga unsur dalam mewujudkan kesejahteraan yang selalu ditempatkan dalam
hubungan yang harmonis, yaitu unsur: Brahman (Tuhan Yang Maha Esa),
Bhuwana (alam semesta/lingkungan hidup), dan Manusa (manusia yang berada
dalam kelompok masyarakat adat yang dikenal dengan krama desa). Manifestasi
dari ketiga unsur tersebut dalam kehidupan desa pakraman di Bali adalah :
Parahyangan Desa (sebagai tempat memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan
Yang Maha Esa), Palemahan Desa (wilayah teritorial desa) dan Krama Desa
(kelompok orang yang terorganisasikan dalam satu kesatuan).
Dengan landasan filosofis seperti ini maka adalah menjadi tugas dari desa
pakraman untuk menjaga keharmonisan dari warganya dengan berbagai unsur
lainnya yaitu dengan Tuhan sebagai pencipta, dengan lingkungan alam sebagai
sumber kehidupannya. Namun disadari bahwa keharmonisan itu akan dapat
terganggu apabila kesejahteraan mereka tidak memadai. Dengan kata lain bahwa
11
kemiskinan dapat berakibat negatif terhadap terjalinnya hubungan harmonis antara
ketiga unsur tersebut.
1.2.Rumusan masalah
Sehubungan dengan apa yang dikemukakan di atas maka dapat
dipertanyakan mengenai sejauh mana peran atau kontribusi yang telah diberikan
oleh desa pakraman dalam rangka mengupayakan kesejahteraan warganya dengan
mengentaskan kemiskinan warga yang menjadi kerama desa. Dengan kata lain
masalah yang muncul dan yang dirasa penting untuk diteliti adalah :
1. Apakah desa pakraman di Bali telah memiliki program atau
perencanaan berkenaan dengan upaya pengentasan kemiskinan dari
warganya?
2. Upaya-upaya apa yang telah dilakukannya untuk mengentaskan
kemiskinan tersebut?
3. Bagaimana tingkat keberhasilan dari upaya yang telah dilakukan oleh
desa pakraman dalam mengentaskan kemiskinan di wilayahnya.
Dengan meneliti permasalahan di atas akan dapat diketahui sejauh mana
kontribusi yang telah diberikan oleh desa pakraman dalam upaya mengentaskan
kemiskinan yang telah dilaksanakan oleh pemerintah.
1.3.Tjuan dan manfaat penelitian
Dari penelitian ini diharapkan tercapainya satu tujuan untuk mengetahui
bagaimana kontribusi yang telah diberikan oleh desa pakraman dalam upaya untuk
mengentaskan kemiskinan di wilayahnya masing-masing yang tentunya akan
sangat mendukung program pengentasan kemiskinan yang telah dilakukan oleh
12
pemerintah. Selain itu dari penelitian ini akan dapat diketahui bahwa desa
pakraman bukan hanya sekedar kelompok masyarakat adat yang berfungsi untuk
menyelenggarakan aktivitas adat dan budaya serta keagamaan namun juga
memperhatikan kesejahteraan dari warganya, sehingga desa pakraman tersebut
dapat menjadi lebih kuat dan mantap menjaga eksistensinya.
Dari hasil penelitian ini diharapkan pula ada satu manfaat yang dapat
disumbangkan setidak-tidaknya untuk pemerintah daerah dalam rangka program
pengentasan kemiskinan bahwa pihak pemerintah daerah setidak-tidaknya
melibatkan desa pakraman dalam program pengentasan kemiskinan tersebut.
13
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Desa Pakraman Sebagai Masyarakat Hukum Adat
Desa Pakraman di Bali adalah satu desa adat dalam pengertian sebagai satu
kelompok masyarakat yang terikat dalam satu wadah organisasi kemasyarakatan
adat yang bersifat sosial religius. Dalam kepustakaan tentang hukum adat, desa
adat disebut dengan persekutuan hukum adat atau ada pula yang menyebutnya
dengan masyarakat hukum adat.
Ter Haar dalam tulisannya yang berjudul “Beginselen en Stelsel van het
Adatrecht” yang diterjemahkan dalam Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat
(1974:13-14) mengemukakan bahwa : “di seluruh kepulauan Indonesia pada
tingkatan rakyat jelata terdapat pergaulan hidup di dalam golongan-golongan yang
bertingkah laku sebagai kesatuan terhadap dunia luar, lahir dan batin. Golongan-
golongan itu mempunyai tata susunan yang tetap dan kekal, dan orang-orang
segolongan itu masing-masing mengalami kehidupannya dalam golongan sebagai
hal yang sewajarnya, hal menurut kodrat alam. Tidak ada seorangpun dari mereka
yang mempunyai pikiran akan kemungkinan pembubaran golongan itu. Golongan
golongan masnusia tersebut mempunyai pula pengurus sendiri dan mempunyai
harta benda, milik keduniaan dan milik gaib. Golongan-golongan demikianlah
yang bersifat persekutuan hukum”.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa persekutuan hukum adat
merupakan sekelompok orang yang tersusun dalam satu tata susunan yang tetap,
memiliki pengurus dan harta kekayaan sendiri baik yang bersifat duniawi maupun
14
gaib. Yang lebih penting lagi adalah bahwa orang-orang yang ada dalam kelompok
itu merasakan kehidupannya sebagai sesuatu yang bersifat kodrati dan tidak ada
satu keinginanpun untuk membubarkan kelompoknya itu. Kelompok seperti ini
ditemukan puila di Bali yaitu yang dikenal dengan desa adat (sekarang desa
pakraman). Desa Pekraman di Bali telah diberikan satu landasan hukum yang jelas
yaitu dalam Perda No. 3 tahun 2001, di mana dinyatakan dalam pasal 1 sub. 4
bahwa :
Desa pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Propinsi Bali
yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup
masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan kahyangan tiga
atau kahyangan desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan
sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri.
Dari perda ini dapat dilihat bahwa desa pakraman (desa adat) telah diakui
sebagai satu kesatuan masyarakat hukum adat di wilayah Provinsi Bali yang
memiliki tradisi dan tata krama yang telah diwarisi secara turun temurun, memiliki
wilayah tertentu dan mempunyai hak untuk mengurus rumah tangganya sendiri,
dan mereka semua terikat dalam satu ikatan kahyangan tiga atau kahyangan desa.
Jelas dari ketentuan di atas bahwa desa adat (desa pakraman) di Bali memiliki
karakteristik tersendiri sehingga wajar apabila desa pakraman atau desa adat
dikatakan memiliki sifat sosial religius yang tidak ditemukan pada masyarakat
hukum adat lainnya di Indonesia.
Pada bagian lain dapat dilihat, khususnya untuk masyarakat hukum adat di
Bali (Desa Pakraman), bahwa kehidupan masyarakat hukum adat di Bali memiliki
landasan filosofis yang bersumber pada ajaran Agama Hindu yang dikenal dengan
Tri Hita Karana yang bermakna sebagai tiga unsur penyebab kebahagiaan yang
15
meliputi : Brahman ( Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa),
Bhuwana (alam semesta) dan Manusa (manusia/orang yang berada di wilayah
desa). Ketiga unsur ini terkait dalam satu ikatan kesatuan yang tidak terpisahkan
dan harus ditempatkan dalam situasi yang harmonis sepanjang masa. Apabila
keharmonisan itu terganggu maka kehidupan masyarakat adat akan terganggu pula.
Secara konkrit ketiga unsur tersebut dimanifestasikan dalam wujud tertentu. Unsur
Brahman diwujudkan dalam satu tempat pemujaan bagi warga kehadapan Ida Sang
Hyang Widhi Wasa yang dikenal dengan Kahyangan Tiga dan Kahyangan Desa
lainnya. Dalam menjamin hubungan yang harmonis antara manusia (warga desa
adat) dengan Sang Maha Pencipta, maka ditetapkanlah berbagai aturan berkenaan
dengan tempat pemujaan tersebut (yang disebut pula dengan Parahyangan Desa).
Keberadaan Bhuwana dalam lingkungan desa diwujudkan dalam bentuk
Palemahan Desa yaitu wilayah desa yang selalu dijaga kesucian dan
kelestariannya. Dalam hubungan ini ditetapkan pula berbagai aturan yang
ditujukan untuk menjaga kelestarian dan kesucian desa antara lain menyangkut
larangan penebangan pohon-pohonan, penyelenggaraan upacara bersih desa dalam
bentuk pecaruan (korban suci) dll. Unsur Manusia diwujudkan dalam wadah
Kerama Desa yaitu kelompok orang sebagai warga desa adat yang berkewajiban
untuk selalu menjaga keserasian kelompoknya dengan baik dimana hubungan antar
warga selalu berada dalam suasana yang harmonis. Selain itu warga sebagai
kesatuan kelompok selalu mengupayakan keharmonisan hubungan dengan Tuhan
Yang Maha Esa melalui hubungan pemujaan di Parahyangan Desa dan juga
menjaga kelestarian lingkungan sehingga selalu dapat memberikan kehidupan
16
kepada warga desa itu sendiri. Kesemuanya itru dilandasi oleh berbagai macam
aturan yang ditetapkan sendiri oleh desa adat yang dikenal dengan awig-awig desa.
Upaya untuk menjaga keharmonisan dari ketiga unsur tersebut berada di
tangan masyarakat hukum adat itu sendiri yang dikoordinasikan oleh kepala
persekutuan hukumnya. Dalam hubungan ini dapat dilihat adanya kewenangan dari
persekutuan hukum adat untuk menyelenggarakan kehidupannya sendiri sesuai
dengan tatanan yang dipandang tepat, atau yang lazim dikenal dengan kewenangan
untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Keadaan ini pulalah yang memberikan
satu penilaian bahwa desa adat memiliki otonomi sendiri yang bersifat asli dalam
artian bahwa kewenangan itu bersumber pada keberadaan dari desa adat itu sendiri
tidak karena diberikan oleh kekuasaan lain yang lebih tinggi. Jadi karena desa adat
itu ada maka secara serta merta dia memiliki kewenangan tersebut.
Otonomi desa adat pada hakekatnya meliputi tiga aspek yaitu :
1. Kewenangan untuk menetapkan aturan hukum, dalam bentuk awig-
awig desa yang harus ditaati oleh setiap warganya dan juga
pengurusnya.
2. Kewenangan untuk menyelenggarakan pemerintahan, dalam pengertian
menyelenggarakan jalannya masyarakat hukum adat sehingga dapat
mewujudkan tujuannya.
3. Kewenangan untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi di kalangan
warganya.
(Wirta Griadhi, 1990, 15)
17
Apabila diperhatikan lebih jauh maka kewenangan dari desa adat dalam
mengurus rumah tangganya sendiri bertumpu pada aturan aturan yang ditetapkan
oleh desa adat itu sendiri, sehingga penyelenggaraan pemerintahan dan juga
penyelesaian sengketa akan bertumpu pada aturan hukum adat yang telah
ditetapkan dalam aturan-aturan adat dan juga aturan adat kebiasaan yang tidak
tertulis lainnya.
Khusus dalam hubungannya dengan penyelenggaraan pemerintahan yang
berada di tangan pemerintah desa (pengurus/prajuru adat), selain memperhatikan
pelaksanaan aturan hukum dalam bentuk hak dan kewajiban dari warga terhadap
kelompok masyarakatnya, seyogyanya juga memperhatikan kondisi kehidupan dari
warga masyarakat adatnya sendiri. Dengan kata lain pengurus desa seyogyanya
mengupayakan juga kesejahteraan dari warganya.
R. Soepomo (2007 : 16) mengemukakan bahwa aktivitas dari kepala-kepala
rakyat dapat dilihat dalam tiga hal yaitu :
1. Tindakan mengenai urusan tanah berhubung dengan adanya pertalian
erat antara tanah dan persekutuan (golongan manusia) yang menguasai
tanah)
2. Penyelenggaraan hukum sebagai usaha untuk mencegah adanya
pelanggaran hukum (preventieve rechtszorg) supaya hukum dapat
berjalan semestinya.
3. Menyelenggarakan hukum sebagai pembetulan hukum, setelah hukum
itu dilanggar (repressieve rechtszorg).
Dilihat dari pandangan di atas tampaknya kepala-kepala rakyat
(pengurus/prajuru desa) hanya mempunyai tugas untuk penyelenggaraan aturan
hukum dan pengawasannya, serta hal-hal yang berkaitan dengan tanah mengingat
tanah mempunyai arti penting bagi masyarakat adat yang bercorak agraris. Tidak
ada satupun pernyataan yang berkaitan dengan penyelenggaraan kesejahteraan
18
rakyatnya. Tapi pada sisi lainnya dapat dilihat berkenaan dengan sifat dari kepala
rakyat dinyatakan bahwa : ”kepala rakyat adalah bapak masyarakat, dia mengetuai
pesekutuan sebagai ketua suatu keluarga besar, dia adalah pemimpin pergaulan
hidup di dalam pesekutuan. Sifat tradisional pimpinan kepala rakyat dapat dikenal
dari bunyi pepatah Minangkabau bahwa penghulu (kepala rakyat) itu adalah
sebagai:
Kayu gadang di tanah lapang,
Bakeh batuduah ari ujan,
Bakeh bulauang dari paneh,
Ure nyo bulieh bakeh basando,
Batang nyo bulieh bakeh basando.
Artinya:
Sebatang kayu yang besar di tengah lapang,
Tempat berlindung di waktu hujan,
Tempat bernaung di waktu panas,
Urat-uratnya tempat duduk dan
Batangnya tempat bersandar.
Jadi tampaknya adalah menjadi tugas dari kepala rakyat juga untuk
melindungi warganya, memberikan kenyamanan, menjadi tempat untuk mengadu
ataupun bertanya segala hal dalam kehidupannya. Dengan kata lain kepala rakyat
juga mengusahakan kesejahteraan dan kebahagiaan untuk rakyatnya.
Dengan memperhatikan uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa
masyarakat hukum adat melalui pengurusnya mempunyai kewajiban untuk dapat
memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi warganya.
Bagaimana kenyataannya?
Inilah yang perlu ditelusuri dalam penelitian ini khususnya di lingkungan
desa pakraman di Bali, dengan fokus pada apa dan bagaimana persekutuan hukum
19
adat (desa adat/desa pakraman) di Bali berkontribusi dalam pengentasan
kemiskinan .
2.2. Desa Pakraman dan kemiskinan.
Kemiskinan diartikan sebagai “ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk
memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi
pengeluaran”. (BPS Provinsi Bali, 2013:5). Penduduk miskin adalah penduduk
yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulanm di bawah garis
kemiskinan. Garis Kemiskinan (GK) merupakan penjumlahan dari Garis
Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM).
Garis Kemiskinan Makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran kebutuhan
minuman dan makanan yang disetarakan denggan 2100 kilokalori perkapita
perhari. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi
(padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-
kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dll). Garis Kemiskinan Non Makanan
(GKNM) adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan
kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non makanan diwakili oleh 51 jenis
komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di pedesaan (Ibid, :11).
Kriteria miskin menurut standar BPS, terakhir dimodifikasi tanggal 25
Agustus 2014 adalah sebagai berikut::
1. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8m2 per orang
2. Jenis lantai tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan
3. Jenis dinding tempat tinggal dari bambu/ rumbia/ kayu berkualitas
rendah/tembok tanpa diplester.
20
4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar/ bersama-sama dengan rumah
tangga lain.
5. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.
6. Sumber air minum berasal dari sumur/ mata air tidak terlindung/ sungai/ air
hujan.
7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/ arang/ minyak
tanah
8. Hanya mengkonsumsi daging/ susu/ ayam dalam satu kali seminggu.
9. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun
10. Hanya sanggup makan sebanyak satu/ dua kali dalam sehari
11. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/ poliklinik
12. Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: petani dengan luas lahan
500m2, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan dan atau
pekerjaan lainnya dengan pendapatan dibawah Rp. 600.000,- per bulan
13. Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga: tidak sekolah/ tidak tamat SD/
tamat SD.
14. Tidak memiliki tabungan/ barang yang mudah dijual dengan minimal Rp.
500.000,- seperti sepeda motor kredit/ non kredit, emas, ternak, kapal
motor, atau barang modal lainnya.1
Apa yang dikemukakan di atas merupakan konsep-konsep yang berkaitan
dengan kemiskinan di negara kita yang dirancang oleh BPS untuk lebih
memudahkan dalam mengukur persoalan kemiskinan di masyarakat walaupun
tampknya semua itu hanya merupakan konsumsi untuk pemerintahan saja. Dalam
kehidupan masyarakat secara riil konsep-konsep tersebut tidak pernah dikenal
ataupun dimengerti secara baik. Dalam kehidupan masyarakat umumnya
kemiskinan dilihat secagai fenomena dimana warga masyarakat tidak mampu
1http://skpd.batamkota.go.id/sosial/persyaratan-perizinan/14-kriteria-miskin-
menurut-standar-bp
21
memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari secara layak sebagaimana warga pada
umumnya, terutama sekali yang berhubungan dengan aspek sandang dan
pangannya. Jadi apabila warga tidak memiliki rumah yang layak serta tidak
mampu memenuhi kebutuhan hidup minimalnya secara layak maka dia dipandang
sebagai penduduk yang miskin. Kelayakan itu tampaknya sangat kualitatif namun
dapat dirasakan adanya oleh warga masyarakat secara keseluruhan.
Bagaimanakah halnya bila persoalan kemiskinan ini dihubungkan dengan
desa pakraman khsusnya di Bali?
Apabila diperhatikan secara cermat mengenai keberadaan warga dari desa
pakraman di Bali maka dapat dilihat bahwa desa-desa yang relatif tua dalam
pengertian yang sudah ada sejak dulu kala, terutama desa-desa yang terbentuk atas
dasar kehendak bersama melalui proses perabasan hutan yang diikuti dengan
pembagian lahan untuk tempat tinggal dan pertanian, yang sekarang lazim dikenal
dengan Tanah Pekarangan Desa untuk tempat tinggal dan Tanah Ayahan Desa
untuk pertanian tampaknya tidak dijumpai persoalan kemiskinan karena setiap
warga mendapat pembagian tanah yang setara sesuai posisinya di masyarakat.
Namun dalam perkembangannya sekarang tanah-tanah tersebut dibebani dengan
pajak oleh nagara yang dikenal dengan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), sehingga
tidak bisa tidak hal itu akan menambah beban bagi masyarakat khususnya yang ada
di pedesaan. Dengan kata lain PBB berkontribusi pula dalam peningkatan
kemiskinan tersebut. Mengapa demikian? Hal ini disebabkan karena warga
masyarakat yang mendapatkan tanah-tanah desa tersebut telah dibebani dengan
kewajiban-kewajiban terhadap desanya baik dalam kerangka pembangunan dalam
22
desa maupun dalam hubungannya dengan pemenuhan biaya-biaya untuk
penyelenggaraan upacara di pura-pura milik desa. Beban ini relatif besar dilihat
dari ukuran kemampuan masyarakat yang sekarang ditambah lagi dengan beban
pajak oleh Negara.
Desa-desa pakraman tentunya tidak mungkin untuk meningkatkan taraf
hidup dari warganya, dan ini berarti kesemuamya itu dikembalikan kepada warga
secara individual. Memang untuk keperluan seperti itu akan sangat baik apabila
desa pakraman dapat mendorong warganya agar dapat mengupayakan sendiri
untuk pemenuhan dari segala kewajibannya itu, dan untuk itu diperlukann ide-ide
yang kreatif dan entrepreneur.
Dalam perkembangan sekarang ini dapat dilihat bahwa ide-ide seperti itu
telah terwujud dalam bentuk LPD (Lembaga Perkreditan Desa) yang merupakan
lembaga akeuangan non bank yang dikelola oleh Desa Pakraman untuk membantu
warga dalam usaha-usahanya mencari penghasilan untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Keberadaan dari LPD ini untuk beberapa tempat tampaknya berhasil
bahkan sangat berhasil dalam menjalankan usahanya itu sehingga warga tidak
terbebani oleh kewajiban-kewajiban untuk keperluan upacara ataupun
pembangunan yang dilaksanakan oleh desa, karena segala biaya tersebut
ditanggung oleh LPD mdari hasil usahanya itu. Namun di beberapa tempat lainnya
kelihatan pula usaha LPD ini kurang berhasil bahkan bermasalah, sehingga sudah
tentu tidak dapat membantu warganya dalam pemenuhan kewajibannya.
Tidak tertutup pula kemungkinan bahwa desa pakaraman telah melakukan
upaya upaya tertentu untuk meringankan beban warganya, terutama yang
23
berkategori miskin dalam melaksanakan kewajiban-kewajibannya baik terhadap
desa maupun juga terhadap leluhurnya sebagai kewajiban keagamaan mereka.
Untuk itulah penelitian ini tampaknya sangat relevan untuk dilaksanakan.
24
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis dan Sifat penelitian
Penelitian ini tergolong dalam penelitian hukum yang bersifat empiris,
sehingga penelitian lapangan sangat diperlukan untuk pelaksanaannya. Dalam
penelitian ini akan ditelusuri fakta-fakta empiris yang ada di desa pakraman di Bali
seputar hal-hal yang berkaitan dengan pengentasan kemiskinan di wilayah desa
pakraman tersebut, baik menyangkut program dan upaya-upaya nyata yang telah
dilakukan oleh desa pakraman khususnya oleh prajuru dari desa pakraman tersebut,
mapun menyangkut kendala-kendala yang dihadapinya.
3.2. Lokasi penelitian
Penelitian ini dilakukan di lingkungan desa pakraman di Bali. Namun
karena banyaknya jumlah desa pakraman di Bali yang sekitar 1450 buah maka
tidak mungkin untuk melakukan penelitian di seluruh desa pakraman di Bali.
Untuk itu penelitian ini akan di lakukan di desa-desa tertentu sebagai sampel, yang
diperkenankan dalam satu penelitian yang bersifat ilmiah. Dalam hubungan ini
pemilihan sample dilakukan secara purposive
Melihat kondisi desa pakraman di Bali, terkait dengan permasalahan yang
akan diteliti, relatif homogen maka jumlah sampel tidak terlalu menentukan,
namun dalam penelitian ini akan ditetapkan sampel yang memiliki variasi variasi
tertentu seperti misalnya menyangkut luas wilayah (luas, sedang, dan kecil), lokasi
desa pakraman (di pegunungan, di wilayah dataran dan di perkotaan), kondisi desa
pakraman (maju, sedang, tertinggal) dan sebagainya. Penetapan lokasi secara riil
25
dilakukan setelah melakukan penjajagan lapangan. Melalui penjajagan lapangan
dapatlah ditetapkan beberapa desa pakraman sebagai sample diantaranya adalah :
Desa Manikliyu Kecamatan Kintamani Kabupaten Bangli, Desa Pakraman
Pancasari, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng, Desa Pakraman Eka Cita
Penyalin Kecamatan Kerambitan, Kabupaten Tabanan, Desa Pakraman Angantelu
Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem, Desa Pakraman Padang Tegal,
Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar, Kelurahan Penatih, Denpasar Timur Kota
Denpasar.
3.3. Jenis dan sumber data
Jenis data yang akan dikumpulkan terdiri dari data primer dan data skunder.
Data primer sebagai data asli artinya yang diperoleh langsung dari sumber data
yang pertama, diperoleh dari para prajuru desa pakraman yang bertugas
menyelenggarakan kehidupan desa pakraman itu sendiri, termasuk juga mereka-
mereka (warga) yang tergolong sebagai warga miskin. Data primer juga
dikumpulkan dari pejabat-pejabat pemerintahan yang bergerak dibidang
pengentasan kemiskinan dalam rangka mengetahui sejauh mana perangkat
pemerintahan melibatkan desa pakraman dalam upaya pengentasan kemiskinan
tersebut. Data skunder sebagai data dari sumber kedua dikumpulkan melalui
bahan-bahan tertulis berkaitan dengan berita, laporan dan sebagainya dalam upaya
pengentasan kemiskinan tersebut.
3.4. Teknik pengumpulan data
Pengumpulan data lapangan (data primer) dikumpulkan dengan
menggunakan teknik wawancara berstruktur (dengan pedoman wawancara) yang
26
dilakukan oleh tim peneliti sendiri dengan beberapa petugas lapangan. Sedangkan
pengumpulan data skunder yang bersumber dari bahan-bahan tertulis dikumpulkan
dengan teknik dokumen yaitu dengan mengutip, menyadur dan meringkas bahan-
bahan terkait yang ada.
3.5. Teknik pengolahan dan analisis data
Pengolahan data dilakukan secara kualitatif yang mengutamakan isi dari
data yang diperoleh, tidak melihat jumlah informasi yang ada. Analisisnya juga
dilakukan secara kualitatif dengan dilengkapi dengan analisis situasional, yaitu
dengan melihat situasi yang ada disekitar permasalahan yang diteliti (Velsen, 1969
: 169)
.
27
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Deskripsi singkat tentang kemiskinan di Provinsi Bali.
Dari Berita Resmi Statistik BPS Provinsi Bali (BPS, 2015 : 1) dapat dilihat
mengenai tingkat kemiskinan di Bali per Maret 2013, yaitu bahwa persentase
penduduk miskin di Bali pada Maret 2013 sedikit berkurang jika dibandingkan
dengan Maret 2012. Tingkat kemiskinan per Maret 2013 mencapai 3,96 persen,
turun 0,23 persen dibandingkan denggan kondisi Maret 2012 yang mencapai 4,18
persen. Jumlah penduduk miskin pada bulan Maret 2013 mencapai 162,51 ribu
orang, dengan komposisi 96,35 ribu orang di daerah perkotaan dan 66,17 ribu
orang di daerah perdesaan. Garis kemiskinan Bali pada Maret 2013 mengalami
peningkatan sebesar 8,94 persen, dari Rp. 240.997.00 pada Maret 2012 menjadi
272.349.00 pada Maret 2013. Daerah perkotaan mengalami peningkatan garis
kemiskinan sebesar 8,18 persen sedangkan di daerah perdesaan 10,25 persen.
Dalam perkembangan selanjutnya data yang dikemukakan di atas
mengalami revisi sebagai hasil dari backcasting oleh BPS dimana angka
kemiskinan (penduduk miskin) untuk daerah perkotaan per Maret 2013 menjadi
94.79 ribu jiwa, sedangkan untuk daerah perdesaan menjadi 65,1 ribu orang.
Jumlah keseluruhan (kota dan desa) menjadi 159.89 ribu. Dengan demikian
persentase dari angka kemiskinan tersebut juga mengalami revisi yaitu per Maret
2013 persentase penduduk miskin di daerah perkotaan mencapai 3.90 persen
sedangkan untuk perdesaan 4.04 persen dan secara keseluruhan mencapai 3,95
persen. Selanjutnya data pada Maret 2014 menunjukkan jumlah penduduk miskin
28
di daerah perkotaan sejumlah 99.90 ribu jiwa dan di daerah perdesaan 85.30 ribu,
sehingga keseluruhan berjumlah 185.20 ribu jiwa. Persentasenya adalah untuk kota
4.01 persen dan untuk desa 5.34 persen dan keseluruhan 4.53 persen. Data pada
September 2014 menunjukkan peningkatan jumlah penduduk miskin untuk kota
109.20 ribu jiwa dan untuk desa 86.76 ribu sehingga keseluruhannya adalah 196.95
ribu. Untuk persentasenya kelihatan untuk kota sebesar 4.35 persen dan untuk desa
sebesar 5.39 persen dan secara keseluruhan sebesar 4.76 persen.(BPS Provinsi
Bali, 2015 : 1, selanjutnya lihat lampiran). Apabila diperhatikan angka-angka
tersebut diatas tampak bahwa pada tahun 2014 terjadi peningkatan angka
kemiskinan di Bali, namun pada Maret 2015 kembali terjadi penurunan penduduk
miskin menjadi 4.74 persen. Walau demikian Gubernur Mangku Pastika
menyatakan belum puas terhadap penurunan angka kemiskinan tersebut dan
berambisi biar melebihi Jakarta dan membawa Bali bebas dari kemiskinan (Nusa
Bali 26 September 2015 : 3).
Upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam mengentaskan
kemiskinan di Bali sudah tersusun dalam program-program seperti bedah rumah,
Simantri dan Gerbangsadu serta untuk meningkatkan kesehatan masyarakat
disusun dalam program JKBM (Jaminan Kesehatan Bali Mandara) yang
merupakan program unggulan dari Gubernur Mangku Pastika. Program-program
tersebut dalam pelaksanaannya ditangani oleh berbagai instansi yang terkait seperti
Dinas Kesehatan (terkait dengan JKBM), Dinas Pertanian (terkait dengan program
Simantri) dan juga Dinas Sosial yang mengunggulkan program bedah rumah, dan
Kelompok Usaha Bersama (KUBE).Dinas Sosial melaksanakan program-program
29
penanggulangan kemiskinan diantaranya : bedah rumah, kelompok usaha bersama
(KUBE) yang dibina dan dievaluasi setiap tahun oleh Dinas Sosial. Selama ini
pemberdayaan usaha bersama melalui KUBE tersebut didasarkan atas potensi
masing-masing desa, sehingga diharapkan taraf kehidupan masyarakat setempat
dapat meningkat. Nilai yang diutamakan adalah gotong-royong dan kebersamaan.
Harapannya tidak saja pembangunan fisik berupa rumah yang lebih layak tetapi
juga taraf kehidupan masyarakat miskin meningkat secara berkesinambungan.
Penanggulangan kemiskinan yang diprogramkan oleh dinas sosial
dilakukan melalui kordinasi dan pendataan dari tingkat bawah yaitu : mulai dari
dinas sosial kabupaten yang mendata KK miskin di desa-desa dinas yang dihimpun
datanya oleh kecamatan. Selama ini apabila ada pendataan KK miskin dilakukan
oleh desa dinas, karena pembiayaan untuk program tersebut melului APBD,
sehingga dinas sosial secara kordinatif melakukan kerjasama pendataan
kemiskinan melalui desa dinas.
Pandangan mengenai pengentasan kemiskinan selama ini sudah berjalan
sebagaimana mestinya dan program-program yang menjadi unggulan dinas sosial
telah terealisasikan dengan baik. Tetapi selama ini kendala yang dihadapi adalah
terbentur pada lahan untuk mendirikan bangunan, karena tidak semua KK miskin
yang didata untuk bedah rumah memiliki sendiri lahannya sehingga dalam situasi
yang demikian dinas sosial kesulitan untuk merealisasikan program tersebut sesuai
sasaran.
Adapun hasil pelaksanaan program bedah rumah dari tahun 2010 hingga
tahun 2014 telah dapat dilakukan bedah rumah sebanyak 7,584 buah rumah untuk
30
Provinsi Bali, dengan sebaran : untuk Kabupaten Jembrana : 685 buah, Kabupaten
Tabanan : 898 buah, Kabupaten Badung: 221 buah, Kabupaten Gianyar : 720 buah,
Kabupaten Klungkung 703 buah, Kabupaten Bangli: 749 buah, Kabupaten
Karangasem : 1.133 buah, Kabupaten Buleleng: 2.436 buah dan Kota Denpasar: 39
buah. (Rincian lebih lanjut dapat dilihat dalam lampiran).
Dari apa yang dikemukakan di atas tampak bahwa upaya pengentasan
kemiskinan di Provinsi Bali telah diupayakan secara terus menerus, namun
tampaknya kemiskinan tersebut belum dapat dihilangkan sama sekali. Tentunya
berbagai kendala dijumpai dalam pelaksanaan program pemereintah untuk
mengentaskan kemiskinan tersebut diantaranya dana yang terbatas, kondisi
lapangan yang belum memungkinkan (tidak dimilikinya lahan untuk bedah rumah
bagi warga tertentu ) dan lain sebagainya.
Pada bagian lain dapat dilihat pula bahwa pelaksanaan program untuk
mengentaskan kemiskinan tersebut lebih banyak melibatkan desa dinas karena desa
dinas dipandang sebagai bagian dari pemerintahan di tingkat bawah yang secara
administrasi berada dalam koordinasi dari pemerintah. Tidak ada tanda-tanda atau
informasi yang menegaskan secara jelas tentang keterlibatan desa adat (desa
pakraman) dalam pelaksanaan program pemerintah tersebut. Dengan kata lain desa
pakraman di Bali seakan-akan berada di luar garis kegiatan dari pemerintah dalam
upaya untuk mengentaskan kemiskinan tersebut.
Dalam realitanya dapat disimak lebih jauh mengenai apa yang telah
dikerjakan oleh desa adat (desa pakraman) dalam turut serta mengupayakan
31
pengentasan kemiskinan tersebut sebagai upaya yang mandiri di luar gerak
pemerintahan. Berikut ini dapat dikemukakan data tentang hal itu.
4.2. Desa Pakraman dan pengentasan kemiskinan
4.2.1. Deskripsi singkat dari data lapangan
Berikut ini dapat dilihat bagaimana peran dari desa pakraman yang
dijadikan sample dalam penelitian ini berkenaan dengan persepsi dan upaya yang
telah dilakukan dalam pengentasan kemiskinan di wilayahnya.
A. Desa Manikliyu Kecamatan Kintamani Kabupaten Bangli.
1. Gambaran keanggotaan di Desa Pakraman Manikliyu yaitu terdiri dari : 456
KK yaitu pengarep 141 KK sisanya adalah pengempi. Sebagian besar
diantaranya menguasai tanah PKD dan Ayahan Desa dimana terkait dengan
kewajiban yang diemban ke desa adat. Kewajiban itu berupa ayahan dan tentu
hasil yang diperoleh atas penguasaan tanah desa tersebut dapat digunakan
untuk papeson utamanya untuk pembangunan fisik pura yang diempon krama
setempat.
2. Pembangunan fisik Pura yang pernah dilakukan yaitu saat secara swadaya
melakukan pembangunan Pura Dalem . Dimana krama sendiri dikenakan
papeson Rp. 500.000 rupiah yang mekarang dan ngerob sebesar 300.000.
Selama ini untuk papeson itu tak menjadi kendala yang membebani krama
karena relatif menyesuaikan kemampuan .Kebetulan pula atas penguasaan
yang terbilang luas atas tanah desa hingga 1-2 hektar berupa kebun jeruk
cukup menghasilkan manakala panen sehingga atas penguasaan dan hasil yang
diperoleh diprioritas untuk papeson tersebut.
32
Terhadap adanya papeson itu krama tidak ada yang berkeberatan dengan
kesadaran penuh melakukannya.
3. Keadaan perekonomian krama memang banyak ditopang hasil kebun
jeruk.Apabila dari standar kehidupan dengan hasil kebun mereka telah mampu
melaksanakan kewajiban-kewajiban ke desa adat. Hanya 1 KK miskin yang
ada tercatat di desa tersebut tahun 2015 ini, sebelumnya di tahun 2013
memang ada 3 KK, penurunan terjadi karena pencanangan dari pemprop Bali
melalui Program Bali Mandaranya dan terbantu 2 KK itu untuk dapat program
bedah rumah.
4. Program tersebut bisa didapat karena bendesa selaku pengurus adat
berkoordinasi dengan desa dinas melalui perbekel Manikliyu yang melaporkan
keadaan itu. Respon pemerintah untuk merealisasikan program bedah rumah
akhirnya bisa terwujud. Meskipun pemerintah secara dinas turun tangan, tetapi
desa pakraman saat itu ikut serta dalam membantu program tersebut,
mengingat untuk kepentingan warganya agar mempunyai rumah layak huni
sebagai salah satu kriteria bebas dari kategori miskin. Krama adat saat itu
turut membantu menyumbang kayu dan bantuan tenaga pembangunan
rumah. Jadi tidak lagi keluar ongkos tukang, sehingga hasil rumah yang
dibangun bisa dimaksimalkan sesuai persyaratan tumah sehat dan layak huni.
Sementara untuk 1KK yang masih masuk kategori miskin memang sulit
direalisasikan mengingat yangn bersangkutan tanpa sanak saudara dan
menderita gangguan mental. Tetapi bendesa selalu mengupayakan bagaimana
33
agar krama tersebut tetap memperoleh rumah melalui program bedah rumah
tersebut.
5. Tradisi kemasyarakatan dalam pesuka-dukan dilakukan secara sederhana.
Dimana bila ada warga meninggal, dikubur dengan upacara sederhana
selanjutnya dalam tiap 2 tahun dilakukan ngaben massal. Ngaben pun bukan
dengan upakara besar kerana memang ada larangan untuk prosesi membakar
mayat di wilayah mereka dengan kepercayaan yang telah diwariskan secara
turun temurun berkaitan dengan posisi wilayah setempat sebagai penyungsung
Sad Kahyangan Pura Ulun Danu Batur.
6. Dalam hal upakara dewa yadnya untuk pelaksanaan piodalan semua yang
mekrama baik pengarep dan pengempi dikenakan kewajiban atas uang senilai
Rp. 15.000 rupiah dan 1 kg beras. Selebihnya upakara dibuat bersama
menjelang pelaksanaan upacara piodalan. Dari ketentuan papeson untuk
upacara agama memang tak menjadi beban bagi krama, ini memang dilakukan
secara koordinasi melalui paruman mangku dan prajuru agat upakara yang
dibuat tidak membebani krama adat penyungsung pura.
7. Meskipun selama ini untuk biaya upakara dan sosial kemasyarakatan dalam
pesuka dukan mereka memilih yang tingkat sederhana, tetapi masih ada
tantangan yang dihadapi masyarakat setempat yang ingin segera diwujudkan
yaitu untuk menggerakkan perekonomian masyarakat melalui pemberdayaan
LPD. Selama ini di desa setempat untuk LPD mereka belum berkembang
sehingga baru dapat menjalankan simpan pinjam dalam jumlah terbatas.
Harapannya ke depan Desa Manikliyu dapat mengembangkan usaha di LPD
34
mereka lebih baik lagi guna semakin membantu kehidupan masyarakat
setempat yang mayoritas petani jeruk. Dalam perkembangannya tampak bahwa
tidak semua warga memiliki lahan pertanian seperti itu, sehingga untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya banyak yang memiliki profesi lain selain
petani, seperti misalnya: ada yang berprofesi tukang bangunan, buruh serabutan
dan sebagainya, sehingga jika LPD telah berkembang maka akan banyak
membantu warga setempat dalam permodalannya.
8. Program Bali Mandara yang dirancang salah satunya melalui Simantri tampak
tidak efektif dikembangkan di desa tersebut mengingat pendapatan ternak
dengan sistem berkelompok tidak dirasakan secara signifikant menjadi sumber
penghidupan keluarga sehingga kelompok ternak menjadi tidak maksimal.
Mereka lebih memilih menjadi buruh karena penghasilannya dinilai lebih besar
dan waktunya relatif lebih cepat dalam menopang perekonomian keluarga.
Dari Situs Resmi Pemkab Bangli dapat diketahui pula bahwa ada satu
program khusus di Kabupaten Bangli yang dikenal dengan Program Gerakan
Pembangunan Desa Sistem Gotong Royong (Gerbangdesigot), yang dicanangkan
sejak awal kepemimpinan Bupati Bangli I Made Gianyar. Program ini secara
umum bertujuan langsung untuk peningkatan kesejahteraan dan melalui
peningkatan perhatian semua komponen masyarakat termasuk dunia usaha dalam
pengentasan kemiskinan. Contoh nyatanya melalui bedah rumah yang selain
direalisasikan dari program Bali Mandara Pemprop Bali juga dihimpun dari
Coorporate Social Responsibility PD Pasar Kab. Bangli.
35
Di tahun 2013 Program ini merealisasikan dana bantuan di Desa Mangguh
Kecamatan Kintamani, sedangkan di Desa Manikliyu karena ditahun yang sama
telah 2 KK nya disasar bedah rumah program Bali Mandara, maka Gerbangdesigot
saat itu dilakukan dalam bentuk pemantauan dan pembinaan kehidupan petani
jeruk agar menghasilkan secara maksimal. Hingga Juli 2015 ini program Pemkab
Bangli ini telah menyasar beberapa wilayah desa- desa yang memerlukan
pembinaan dan bantuan.
B. Desa Pakraman Pancasari, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng.
Pulau Bali yang luasnya 5.808,8 Km2 dibelah oleh pegunungan yang
membujur dari barat ke timur, sehingga membentuk dataran yang agak sempit di
sebelah utara, dan daratan yang lebih besar di sebelah selatan. Pegunungan tersebut
sebagian besar masih tertutup oleh hutan rimba lebat. Desa Pancasari, Kecamatan
Sukasada, Kabupaten Buleleng terletak di dataran tinggi dengan ketinggian 1.000-
1.100 meter dari permukaan laut. Dilihat dari lingkungan wilayahnya Desa
Pancasari berbatasan dengan :
- Sebelah Utara : Desa Wanagiri;
- Sebelah Selatan : Desa Candikuning, Kec. Baturiti, Kab.Tabanan;
- Sebelah Barat : Hutan Negara;
- Sebelah Timur : Hutan Negara.
Luas wilayah Desa Pancasari sekitar 12,80 hektar, sebagian besar
merupakan daerah pertanian dan sedikit daerah tegalan. Suhu rata-rata 23 - 25
derajat celcius dengan curah hujan rata-rata setiap tahunnya berkisar antara 17,59
meter kubik/tahun. Desa Pancasari terdiri dari 5 (lima) Banjar Dinas yaitu :
36
1) Banjar Dinas Buyan, 2) Banjar Dinas Peken, 3) Banjar Dinas Dasong, 4) Banjar
Dinas Karma, 5) Banjar Dinas Lalanglinggah. Jarak dari Ibukota Dati I sekitar
54Km, dengan waktu tempuh + 2 jam perjalanan ke tempat lokasi.
Menurut Bendesa Desa Pakraman Pancasari (wawancara dengan I Gusti
Ngurah Agung Dharma Wirata, umur 55 tahun) yang dikatagorikan penduduk
miskin antara lain : lantai tempat tinggal dari tanah, dinding tempat tinggal dari
kayu atau papan berkualitas rendah. Pengentasan kemiskinan terkait dengan
pengalokasian dana dari pemerintah untuk masyarakat yang kurang mampu dengan
istilah di desa dinas dengan nama kelompok tani, kelompok nelayan dan lain
sebagainya yang tujuannya untuk membuka lahan pekerjaan bagi masyarakat
kurang mampu. Pengentasan kemiskinan dapat diartikan sebagai upaya
memberikan peluang untuk memperbaiki hidup untuk peningkatan kesejahteraan
dengan mengajak semua komponen masyarakat untuk membantu orang-orang
yang kurang beruntung. Usaha dalam pengentasan kemiskinan di Desa Pancasari
antara lain : mayarakat yang mempunyai tanah pertanian tetapi tidak bisa digarap
sendiri oleh pemiliknya, maka pemilik tanah tersebut memberikan lahan
garapannya kepada masyarakat yang kurang mampu dengan memberikan hak
menggarap sebidang tanah (istilah Bali nyakap) untuk ditanami sayur-sayuran dan
palawija sehingga mereka mendapatkan mata pencaharian tetap, ini merupakan
suatu bentuk tindakan individu.
Sedangkan sebelum Program Bali Mandara yang dirancang oleh
pemerintah Provinsi Bali salah satunya melalui Simantri, sebenarnya sebagian
besar pendapatan masyarakat selain menggarap tanah, sumber penghidupan
37
keluarga miskin di Desa Pancasari dengan memelihara ternak/sapi milik orang lain.
Adapun faktor pendorong untuk melakukan hal tersebut karena adanya perasaan
keterpanggilan untuk membantu, sehingga dengan memberikan tanah garapan dan
memelihara ternak/sapi dengan sistem bagi hasil merupakan suatu bentuk
keperdulian kepada masyarakat yang kurang mampu.
Sepengetahuan Bendesa Desa Pakraman Pancasari, desa adat belum pernah
dilibatkan secara langsung dalam program-program pengentasan kemiskinan oleh
desa dinas, sehingga Desa Pakraman tidak mengetahui data penduduk miskin di
desa pakraman tersebut.
Dari Situs Resmi Pemkab Buleleng dapat diketahui beberapa hal berkenaan
dengan pengentasan kemiskinan di wilayah Kabupaten Buleleng diantaranya
bahwa:
1. Kemiskinan dapat disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya: (1) rendahnya
taraf pendidikan yang mengakibatkan terbatasnya kemampuan diri, khususnya
dalam mengakses lapangan kerja dan lapangan usaha; (2) rendahnya taraf
kesehatan, menyebabkan rendahnya daya tahan fisik, daya pikir dan prakarsa;
(3) terbatasnya lapangan kerja; dan (4) kondisi terisolasi, sehingga sulit
terjangkau untuk pelayanan publik seperti pendidikan, kesehatan, air bersih,
dan sebagainya.
2. Jumlah rumah tangga miskin (RTM) di Kabupaten Buleleng cenderung
menurun dalam beberapa tahun terakhir. Berbagai program penanggulangan
kemiskinan dilaksanakan untuk mempercepat penurunan angka kemiskinan
tersebut. Pada tahun 2005, RTM di Kabupaten Buleleng berjumlah 47.908
38
rumah tangga. Jumlah RTM tahun 2010 berkurang menjadi 45.187 rumah
tangga (Tabel SE-1); tereduksi sekitar 2.721 rumah tangga atau 5,68%
(BPMPD Kab. Buleleng, 2010).
3. Pemerintah Kabupaten Buleleng mengupayakan penurunan RTM (rumah
tangga sasaran/RTS) sekitar 6% setiap tahunnya. Pada tingkat kecamatan,
jumlah RTM berkisar 3.115 – 7.419 rumah tangga. Jumlah terbanyak terdapat
di Kecamatan Gerokgak, 7.419 rumah tangga (16,42% dari total RTM
Kabupaten Buleleng) atau 32,82% dari jumlah rumah tangga di Kecamatan
Gerokgak. Jumlah RTM terkecil ada di Kecamatan Sawan, yaitu 3.115 rumah
tangga, sekitar 16,72% dari jumlah rumah tangga yang ada di Kecamatan
Sawan.
Jumlah Rumah Tangga Miskin di Kabupaten Buleleng2
No Kecamatan Jumlah Rumah
Tangga
Jumlah Rumah Tangga
Miskin
(1) (2) (3) (4)
1 Gerokgak 22.608 7.419
2 Seririt 21.569 7.198
3 Busungbiu 11.426 3.418
4 Banjar 20.470 5.631
5 Sukasada 16.233 3.492
6 Buleleng 32.198 5.462
2http://datin.menlh.go.id/assets/berkas/SLHD_2010/Buleleng-buku-SLHD-
laporan.pdf, diakses hari jumat, tanggal 03 juli 2015, hal.II-11
39
7 Sawan 18.629 3.115
8 Kubutambahan 13.350 5.108
9 Tejakula 16.474 4.344
Jumlah 172.957 45.187
Keterangan : -
Sumber : Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Desa Kabupaten Buleleng (2010)
Kabupaten Buleleng saat ini memiliki 45.187 Rumah Tangga Miskin
(RTM); 26,25% dari jumlah rumah tangga yang ada di Kabupaten Buleleng.
Banyaknya RTM menjadikan masalah kemiskinan sebagai isu penting yang terus
direspons oleh Pemerintah Kabupaten Buleleng dan stakeholders lainnya.
Penanganan kemiskinan merupakan salah satu isu penting yang telah menjadi salah
satu dasar penyusunan Kebijakan Umum Anggaran (KUA) Kabupaten Buleleng.
Respons yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Buleleng untuk
mengatasi kemiskinan selain melaksanakan program tanggap darurat juga melalui
pemberdayaan masyarakat, pembangunan dan perbaikan infrastruktur, kemudahan
memperoleh akses pendidikan dan kesehatan, dan lain sebagainya. Melalui
Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2007-2012, Pemerintah
Kabupaten Buleleng memproyeksikan penurunan kemiskinan sebesar 6,47% pada
tahun 2012. Untuk mencapai proyeksi itu, Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)
yang ada membuat Rencana Strategis (Renstra) dan Rencana Kerja (Renja) yang
diarahkan dan memberi kontribusi kepada penurunan kemiskinan.
Sebagaimana diketahui, masalah kemiskinan merupakan masalah yang
kompleks, penyebabnya multi faktor. Pertama, dapat berupa faktor alamiah yang
40
berkaitan dengan sumber daya alam yang tidak mendukung sehingga masyarakat
menjadi miskin. Kedua, faktor kultural yaitu sistem nilai yang dianut, sikap mental,
kebiasaan masyarakat yang kurang mendukung sehingga masyarakat menjadi
miskin. Ketiga, dapat juga karena faktor kebijakan pemerintah yang kurang tepat
sehingga ada lapisan masyarakat yang tidak mampu mengakses berbagai
kebijakan, yang akhirnya menjadikan mereka miskin.
Respons dalam upaya penanggulangan kemiskinan selain melalui program
tanggap darurat, juga diarahkan kepada upaya mengatasi penyebabnya. Upaya
dilakukan melalui perbaikan dan penyempurnaan kebijakan pemerintah yang
kurang tepat. Ini penting karena penyebab kemiskinan yang lain seperti faktor alam
dan kultural dapat juga diatasi melalui perbaikan kebijakan pemerintah yang
diarahkan untuk mengubah faktor alam dan faktor kultural yang kurang
mendukung.
Secara singkat respons yang diupayakan dilakukan sebagai agenda untuk
penanggulangan kemiskinan adalah sebagai berikut :
1. Kebijakan berupa program pengadaan teknologi yang memungkinkan
mengatasi keterbatasan sumber daya alam yang semula kurang mendukung
menjadi sumber daya alam yang mampu mendukung kehidupan. Seperti
pengadaan teknologi yang memungkinkan mengubah lahan kering menjadi
lahan yang lebih produktif, teknologi produksi pertanian yang lebih hemat
input luar termasuk air, teknologi pemulihan lahan kritis, dan sebagainya.
2. Kebijakan berupa pendidikan formal maupun non formal untuk semua lapisan
masyarakat yang mampu mengubah sistem nilai, sikap mental, kebiasaan
41
kurang mendukung menjadi sistem nilai, sikap mental, dan kebiasaan yang
responsif terhadap perubahan lingkungan.
3. Kebijakan berupa program yang memberi akses yang sama kepada semua
lapisan masyarakat untuk mengakses faktor-faktor produksi seperti modal,
informasi dan pasar.3
C. Desa Pakraman Eka Cita Penyalin, Kecamatan Kerambitan, Kabupaten
Tabanan
Desa Pakraman Eka Cita Penyalin terletak di ujung pintu masuk
Kecamatan Kerambitan yang berbatasan langsung dengan Kota Tabanan, sehingga
akses menuju kota tidak begitu jauh, ditempuh hanya dalam 10 menit. Desa
Pakraman Eka Cita Penyalin hanya terdiri 1 banjar adat berbatasan dengan Desa
Pakraman Kutuh Kelod di bagian utara, Desa Pakraman Slingsing di selatan, di
timur Sungai Yeh Nu dan barat Sungai Yeh Nusa. Berada di jalur jalan propinsi
Bali yakni Denpasar- Gilimanuk namun sangat mudah terjangkau kendaraan dan
transportasi umum. Desa Pakraman ini masuk wilayah Perbekelan Samsam.
Desa Pakraman Eka Cita Penyalin merupakan kategori desa kecil dengan 1
(satu) banjar adat dan terdiri dari jumlah total 55 krama adat yaitu krama pengarep
dan pengampel di luar desa dan luar Bali. Secara umum krama adalah PNS,
pengusaha, wirawaswasta dan petani yang memiliki tanah pertanian sendiri. Tidak
ada tanah adat baik PKD, tanah pelaba pura, tanah ayahan desa. Tanah hunian
tempat tinggal adalah merupakan tanah milik, tanah untuk lokasi pura adalah tanah
negara yang dimohon di era tahun 2001 dan karena itulah Kahyangan Tiga :
3 http://datin.menlh.go.id/assets/berkas/SLHD_2010/Buleleng-buku-SLHD-laporan.pdf,
diakses hari jumat, tanggal 03 juli 2015, hal.II-13 – II-15
42
Puseh, Dalem, Bale Agung terletak dilokasi yang sama. Pembangunan fisik untuk
ketiga pura tersebut telah rampung dan dalam pelaksanaannya kegiatan
pembangunan pura kahyangan tiga tersebut dilakukan bertahap tidak sekaligus.
Biaya pembangunan pura ini seluruhnya didanai dari kas desa pakraman yang
terdiri dari dana bantuan yang didapat dari pembinaan desa adat setiap tahunnya,
pengajuan proposal bantuan ke Departemen Agama serta Dinas Kebudayaan yang
dilaksanakan oleh prajuru dan salah satu krama yang berdinas di Pemda Tabanan.
Dana kas adat juga didapat dari kebakatan (denda) bagi krama yang tidak
melaksanakan kewajiban ngayah sesuai ketentuan, dan dana yang dihimpun tiap
tahun dari pengampel yang tidak melaksanakan ayahan karena berada di luar desa
adat baik di Denpasar dan luar Bali. Untuk pembangunan fisiknya sendiri tidak
dikenakan papeson lagi berupa iuran pembangunan pura tetapi untuk upakara
pemelaspasan, dan piodalan krama kena papeson banten dan ngayah sesuai waktu
yang telah ditentukan.
Kegiatan Suka Duka dilaksanakan dengan tetap mengutamakan konsep
tolong menolong (metulungan) diantara krama, yang punya kerja biasa nunas
karya (meminta bantuan kerja) pada adat yang maksimal krama tedun 3 kali saja
dalam tiap pelaksanaan karya tersebut. Pembatasan ini dianggap cukup dan sebagai
jalan tengah agar tetap ada keseimbangan untuk karma agar dapat juga
melaksanakan pekerjaannya. Biasanya yang punya kerja sendiri telah membeli
banten sesuai kemampuan sementara krama adat yang ikut metulungan membantu
persiapan upakara lain seperti melakukan pakeling ke pura-pura dan juga bantuan
tenaga fisik sesuai kebutuhan pelaksanaan upacara tersebut. Tidak ada program
43
upacara secara massal karena memang anggota desa pakraman sendiri berjumlah
sedikit.
Kondisi Krama Desa Pakraman Eka Cita Penyalin sendiri terbilang cukup
dilihat dari segi sosial ekonomi, dalam artian keadaan krama dari 55 KK termasuk
yang merantau ke luar telah dapat mencari sumber penghidupan yang baik
sehingga secara rata-rata ekonomi terbilang cukup. Tetapi ada juga yang belum
mapan secara ekonomi dan telah masuk dalam program kesejahteraan dari desa
dinas yaitu perbekel Samsam. Bedah rumah dilakukan pada rumah Mangku Pura
Dalem karena memang telah banyak yang rusak dan dimintakan bantuan program
bedah rumah dengan koordinasi desa pakraman dan dinas di tahun 2013. Rumah
mangku mendapat prioritas karena memang secara fisik sudah kurang layak akibat
banyak kerusakan dan mangku telah ngayah lama sejak tahun 1998 sehingga
difokuskan perhatian kesejahteraan pada pemangku disamping karena dahulunya
termasuk ikut program transmigrasi ke Lampung.
Tanggapan atas Peran Desa Pakraman dalam pengentasan kemiskinan yang
berjalan selama ini di Desa Pakraman Eka Cita Penyalin yaitu dengan tetap
memperhatikan arahan dari perbekel Samsam. Walaupun aspek kedinasan yang
melaksanakan program tersebut, desa pakraman sering juga diundang dalam rapat
koordinasi di kantor desa yang dimaksudkan untuk bekerjasama antara dinas dan
bendesa. Selama ini hal itu telah terlaksana dengan baik.
D. Desa Pakraman Angantelu, Kecamatan Mangggis, Kabupaten
Karangasem
Desa Pakraman Angantelu merupakan kategori desa besar dengan luas
1333 ha yang beranggotakan 2000-an krama baik itu selaku pengarep yang
44
langsung tedun ngayahang di desa dan juga termasuk yang dirantau ( luar desa).
Desa ini terdiri dari 10 banjar adat yaitu :
1. Banjar Ketug
2. Banjar Kaler
3. Banjar Seraya
4. Banjar Labuan
5. Banjar Kelod
6. Banjar Tengading
7. Banjar Pangi Tebel
8. Banjar Bengkel
9. Banjar Pangalon
10. Banjar Yeh Malet
Secara umum mata pencaharian krama setempat adalah pertanian,
pertukangan, pedagang, ada juga PNS,dan beberapa diantaranya bergerak di
bidang pariwisata. Desa ini termasuk desa besar dan telah mampu menghidupkan
LPD milik desa adat sehingga sangat terasa kontribusinya bagi perekonomian desa.
Pengelolaannya dilakukan dengan baik sehingga telah mampu dijadikan sandaran
bagi peningkatan kesejahteraan desa utamanya bagi desa pakraman dalam
membantu kegiatan sosial ekonomi kramanya.Ini terbukti dengan mampunya LPD
memiliki dana SHU yang kemudian disimpan sebagai kas desa yang diperuntukkan
bagi pelaksanaan kegiatan adat, untuk kegiatan pembangunan fisik pura, dan
pendanaan kegiatan rutin tahunan di Purnama Kelima yaitu Usabha. Tetapi
45
kegiatan yang sepintas dinilai memakan biaya besar dan kegiatan ngayah yang
lama oleh krama tak terjadi di desa ini karena telah dibagi dan dikoordinasikan
sedemikian rupa dengan 10 banjar adat pendukung Desa Pakraman Angantelu.
Mekanisme kegiatan adat yang dilakukan di Purnama Kelima itu yaitu
dilaksanakan bergilir oleh 10 banjar adat sehingga 1 banjar adat yang secara pokok
mendapat giliran ngayah utama sebagai pelaksana karya adat usabha tersebut
hanya akan mendapat gilirannya 10 tahun sekali. Dananya pun diambil dari kas
desa yang banyak dihasilkan dari SHU LPD dan dana pembinaan desa pakraman.
Krama hanya dibebankan papeson banten yang dibagi secara merata sesuai jenis
upakaranya. Papeson banten itu pun dibawa di acara ngayah yang tak lagi menyita
waktu lama karena berlangsung singkat cukup setengah hari karena tinggal nyoroh
bantennya saja. Ini diupayakan guna memberi kesempatan juga bagi krama yang
bekerjanya di sektor nonformal seperti pertukangan, pertanian untuk tidak banyak
waktunya tersita sehingga bisa juga tetap mencari nafkah. Demikian juga untuk
yang bekerja di sektor pariwisata, PNS. Artinya mereka tetap dapat melaksanakan
rutinitasnya dalam mencari nafkah, sehingga kemiskinan kultural dapat dicegah
dengan pelaksanaan kegiatan adat yang teroganisir lebih baik. Aturan ini telah
menjadi kesepakatan krama melalui paruman dan telah menjadi perarem desa.
Bahkan selama kurang lebih 13 tahun sudah sejak menjadi bendesa beban papeson
pada krama total jika dihitung nominalnya hanya mencapai 400 ribu rupiah saja.
Pengorganisasian lain terkait krama yang berada di rantau, sekali saja
dibebani 1 (satu) karung beras saja, yang dapat diuangkan, selanjutnya tidak lagi
ada kewajiban apapun, dan bila ada yang meninggal krama rantau itupun tetap
46
dapat kulkul banjar, tedun ngarap karya dan fasilitas setra tetap dapat. Sementara
untuk ngaben selama ini berjalan namun tidak terlaksana dan dikoordinir desa
melalui ngaben massal. Desa pakraman tetap diminta tedun dalam suka-duka
tersebut tetapi sebagai pendukung. Sebagai pengarep kerja pesuka dukan biasanya
dilaksanakan oleh soroh / kelarga besar ( kekerabatan genealogisnya). Tetapi
prinsip ngayah, metulung itu tetap dilaksanakan oleh krama.
Dalam hubungannya dengan pengentasan kemiskinan dapat dilihat bahwa
anggaran kesejahteraan di desa pakraman tentunya tidak dialokasikan
sebagaimana dinas yang dialokasikan oleh Pemprov dan Pemda. Tetapi perhatian
dalam turut menciptakan dan mendorong kehidupan yang lebih baik bagi krama
diupayakan bersama. Selaku bendesa adat, koordinasi dengan dinas terus
dilakukan dan terhadap krama yang dialokasikan dana pengentasan kemiskinan
misalnya bedah rumah telah ada dalam 5 tahun ini di wilayah kedinasan Antiga
dilakukan 4 kali dengan sasaran rumah lebih layak huni. Krama yang disasar bedah
rumah ini dibantu gotong royong juga oleh krama di banjar tempat krama yang
mendapat bantuan berada.
Selama ini untuk untuk pengentasan kemiskinan dari desa dinas dilakukan
melalui koordinasi dengan Pemprov dan Pemkab Karangasem untuk di wilayah
kedinasan Antiga yang selama ini dialokasikan dana bedah rumah dalam 5 tahun
terakhir terealisasi melalui distribusi beras miskin ke 308 KK disamping itu telah
terelisasi program bedah rumah bagi 4 KK dalam kurun waktu 5 tahun terakhir.
Jika melihat ke peran desa pakraman, selaku krama di Banjar Kaja Desa Pakraman
Angantelu sejauh ini manajemen pengelolaan desa pakraman berjalan baik yang
47
memberikan kesempatan lebih luas bagi krama untuk tetap melaksanakan rutinitas
kehidupannya secara berimbang dengan kegiatan ngayah pesuka- dukan di desa.
Yang juga mulai terasa perkembangannya dan dirasa berperan juga dalam
pembiayaan kegiatan desa adat adalah LPD yang mulai berkembang dengan baik.
E. Desa Pakraman Padangtegal, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar.
Kecamatan Ubud selama ini dikenal sebagai suatu destinasi pariwisata yang
terkenal, akan tetapi kehidupan dan pemerataan sektor ekonomi juga belum
sepenuhnya dapat menghindarkan wilayah ini dari kemiskinan.
Data penetapan pagu beras miskin tahun 2015 menunjukkan distribusi bagi
KK kurang mampu di kecamatan Ubud sebagai berikut :
1. Desa Singakerta distribusi raskin setahun yaitu 114.480 kg bagi 636 RTS
2. Desa Lodtunduh distribusi raskinnya setahun yaitu 122.580 kg bagi 681
TRS
3. Desa Mas distribusi raskin setahun yaitu 83.520 kg bagi 464 RTS
4. Desa Peliatan distribusi raskin setahun yaitu 41.400 kg bagi 230 RTS
5. Desa Petulu distribusi raskin setahun yaitu 23.220 kg bagi 129 RTS
6. Desa Ubud distribusi raskin setahun yaitu 51.300 kg bagi 285 RTS
7. Desa Sayan distribusi raskin setahun yaitu 31.680kg bagi 176 RTS
8. Desa Kedewatan distribusi raskin setahun yaitu 28.260 kg bagi 157 RTS
( Sumber : Lampiran Surat Nomor :551.21/9548/Ek dari Sekretaris Daerah
Kabupaten Gianyar Asisten Administasi Ekonomi dan Pembangunan)
Desa Pakraman Padang Tegal terdiri dari 3 banjar suka duka dan 3 banjar
dinas, yaitu: Banjar Padangtegal Kaja; Banjar Padangtegal Mekarsari; dan Banjar
48
Padangtegal Kelod. Kelihan banjar adat merangkap sebagai kepala lingkungan.
Desa Pakraman Padangtegal memiliki sejumlah aset yang merupakan potensi
wisata yang dikelola secara mandiri yaitu obyek wisata Wenara Wana yang
menjadi sumber pendapatan utama desa pakraman dan penunjang dalam
menyelenggarakan kegiatan sosial religius. Penyelenggaraan kegiatan yang
menyangkut kemasyarakatan dan keagamaan yang diselenggarakan desa pakraman
tidak lagi menjadi beban krama desa, karena sudah disokong oleh Badan Usaha
Desa ditambah dana LPD yang juga telah mengalami perkembangan pesat. Dalam
hal kewajiban papeson bagi krama untuk ayah-ayahan tetap terlaksana tetapi
dengan sarana prasana upakara yang dibeli dengan biaya dari kas desa sehingga
tidak lagi kegiatan ngayah berlangsung berhari-hari. cukup singkat dan tidak
memakan waktu lama. Pembangunan fisik sarana prasarana desa juga banyak
dikontribusi dari hasil usaha desa. Tidak hanya ke desa pakraman saja secara
umum, tetapi secara khusus ke perseorangan sedang dirancang dalam paruman
desa untuk bisa memberi bantuan ke KK yang punya kerja adat ( duka/ngaben)
sebesar 10 juta. Tetapi sementara yang tengah berjalan adalah bahwa ngaben
massal telah dilaksanakan oleh desa sudah semenjak tahun 1965 tiap 5 tahun
sekali. Bagi krama yang yang ikut ngaben masal (ngerit) dapat bantuan berupa
dana sebesar 9,5 juta rupiah bagia tiap sawa. Pelaksanaan ngaben massal ini
dirancang sedemikian rupa sebagai wujud penyamarataan di desa sehingga tidak
ada upacara yang jor-joran meskipun dengan perkembangan pariwisata tingkat
ekonomi krama Padangtegal relatif tinggi karena dominan memiliki usaha disektor
pariwisata.
49
Sesuai pertumbuhan dan perkembangan pariwisata banyak krama yang
mengontrakkan lahannya untuk dibuka untuk fasilitas kepariwisataan seperti home
stay, art shop, tetapi banyak juga diantaranya hanya menghasilkan dari
mengontrakkan lahan tersebut saja yang hanya dapat penghasilan di awal saja
sehingga tetap dana-dana bantuan untuk krama yang akan melaksanakan kegiaatan
yadnyanya didukung oleh desa pakraman .
Walaupun Desa Pakraman Padangtegal merupakan daerah tujuan wisata
dan kehidupan krama banyak dibidang pariwisata akan tetapi masih ada saja krama
yang tingkat perekonomian keluarganya tergolong miskin. Dalam hubungannya
dengan hal ini tiap banjar dinas bekerjasama dengan banjar adat dalam
melaksanakan bedah rumah ikut menggalang dana tambahan biar rumah yang
dibangun layak huni dengan kulitas bahan yang memadai. Demikian juga bagi
krama desa yang sakit mendapat bantuan biaya pengobatan 500 ribu rupiah atau
apabila ada krama kematian mendapat bantuan dana dari desa pakraman sebesar 1
juta rupiah. Sekarang sedang dibahas untuk mendirikan klinik atau rumah sakit
agar bisa memberikan bantuan kepada krama yang tidak mampu secara ekonomis.
Dalam meningkatkan pendidikan, desa pakraman Padangtegal juga
berkontribusi memberikan bea siswa dari tingkat sekolah dasar sampai perguruan
tinggi. khususnya bagi krama yang tidak mampu tetapi anaknya mempunyai
kemampuan akademik. Khusus untuk tingkat perguruan tinggi (S1) diarahkan
kuliah seperti di Fakultas Kedokteran Hewan yang mana nantinya setalah tamat
bisa mengabdikan ilmunya bagi kepentingan desa pakraman untuk dipekerjakan di
50
obyek wisata wenara wana (sebagai dokter hewan) Di desa pakraman Padangtegal
juga sudah berdiri TK di Banjar Mekarsari dan PAUD di Banjar Padangtegal Kaja,
F. Desa Pakraman Penatih, Kelurahan Penatih, Kecamatan Denpasar Timur,
Kota Denpasar
Sepanjang kurun waktu lima tahun sejak 2011 hingga 2015 kegiatan
peningkatan kesejahteraan juga direalisasikan di wilayah perkotaan yaitu salah
satunya bagian timur wilayah kota Denpasar . Kelurahan Penatih sendiri menurut
keterangan Lurah Penatih, Wayan Herman S Sos. 50 th (wawancara 31 Juli 2015)
menyampaikan bahwa ada koordinasi baik dengan pemprov dalam upaya
pemerataan tingkat kesejahteraan selama ini bagi warganya yang walaupun berada
di lingkup wilayah perkotaan tentu tidak semua tercukupi sandang, pangan
papannya. Dari pendataan pada desa dan banjar diwilayah kelurahan Penatih yaitu
Anggabaya, Paang Kaja, Paang Kelod, Paang Tengah, Pelagan, Saba, Semaga,
Tembau Kaja, Tembau Kelod, Tembau Tengah telah dilakukan distribusi sembako
ke rumah tangga miskin (RTM) di alamat-alamat tersebut di tahun 2015 kepada
sejumlah 124 ( RTM). Selain itu dukungan Pemprov dan Pemkot melalui
SKPDnya yakni Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Sosial, Dinas Tata Ruang
telah seringkali menyalurkan bantuannya berupa sembako. Sementara peran
lembaga perekonomian dan yayasan sosial juga pernah memberi kontribusi untuk
warga yang terdata RTM.
Desa Pakraman Penatih terdiri dari 4 banjar adat yaitu : Banjar Lalap Arya,
Banjar Paang Kelod, Banjar Paang Kaja dan Banjar Semaga. Selama ini kegiatan
adat baik ngayah untuk pura yang diempon dan kegiatan kemasyarakatan suka-
51
duka dikoordinir dengan baik oleh pihak desa pakraman dan dilaksanakan oleh
prajuru. Konsep ngayah yang paling dikedepankan sehingga kegiatan rutin sosial
keagamaan sejauh ini tidak pernah menemukan hambatan utamanya pendanaan.
Karena didanai dari dana kas desa pakraman yang dimiliki dari dana pembinaan
desa adat selama ini. Kegiatan ngaben dilaksanakan melalui ngaben massal tiap
lima tahun sekali sehingga krama yang mengikuti pelksanaan ngaben ini tidak
terbebani biaya besar untuk melaksanakan yadnya tersebut.
Terkait pengentasan kemiskinan,di desa pakraman sendiri memang tidak
ada program khusus karena dilaksanakan melalui desa dinas/kelurahan yang
mengkoordinirnya tetapi pendataan situasi dan gambaran umum krama/warga
sering diminta oleh pihak dinas sehingga tahu siapa yang berhak mendapat bantuan
peningkatan kesejahteraan. Dalam forum rapat koordinasi misalnya dengan desa
dinas, kesempatan tersebut sering dimanfaatkan untuk memberi gambaran keadaan
desa pakraman termasuk juga bendesa sering diajak berkoordinasi bila ada dana
bantuan di wilayah kedinasan/adat Penatih.
4.2.2. Pembahasan
Dari data yang diungkapkan di atas tampaknya program pengentasan
kemiskinan lebih didominasi oleh pihak pemerintah, khususnya pemerintah daerah
baik provinsi maupun kabupaten. Pelaksanaan dari program-program tersebut
mendapat dukungan sepenuhnya dari desa (dinas) sebagai wadah pemerintahan
terendah di bawah kecamatan. Hal ini dapat dimaklumi karena persoalan
kemiskinan merupakan persoalan yang harus ditanggulangi oleh pemerintah baik
tingkat pusat maupun daerah, sehingga dapat dikatakan bahwa program
52
penanggulangan kemiskinan merupakan program utama yang harus dikerjakan
dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat sesuai amanat Pembukaan UUD
1945.
Walaupun program ini belum dapat menghilangkan sama sekali kemiskinan
tersebut dari kehidupan masyarakat namun telah dirasakan oleh masyarakat itu
sendiri sebagai satu program yang dapat meringankan beban kehidupan mereka. Di
samping itu terlihat pula dari data yang ada bahwa tingkat kemiskinan, khususnya
diu provinsi Bali telah menunjukkan angka penurunan walau masih dirasakan
belum memuaskan.
Pada bagian lain dapat dilihat bahwa keberadaan desa adat (desa pakraman)
sebagai wadah organisasi kemasyarakatan adat yang otonom dalam program-
program yang dicanangkan oleh pemerintah kurang mendapat perhatian bahkan
tidak pernah disinggung-singgung penyertaannya dalam pelaksanaan program
tersebut. Namun demikian dalam prakteknya selalu dijumpai ada semacam
koordinasi di tingkat desa dinas dalam arti bahwa desa pakraman selalu dilibatkan
dalam pelaksanaan program pengentasan kemiskinan di wilayahnya. Dalam
hubungan ini dapat dikatakan bahwa desa pakraman menempati posisi sebagai
pendukung pelaksanaan program pemerintah dalam artian membantu pelaksanaan
tugas dari pemerintahan desa dinas. Oleh karerna itulah dapat dimaklumi bahwa
desa adat (desa pakraman) tidak memiliki data yang akurat berkenaan dengan
keberadaan warga miskin di wilayahnya, melainkan data tersebut hanya dapat
diketahui dari desa dinas.
53
Yang menarik untuk diperhatikan dalam hubungan ini adalah bahwa di sisi
yang berbeda desa pakraman juga menunjukkan kegiatan yang arahnya membantu
warga miskin yang ada di wilayahnya dalam bentuk antara lain memberikan
tambahan baik berupa uang atau bahan bagi warga yang mendapatkan bantuan
bedah rumah, memberikan bantuan dana manakala ada kegiatan upacara ngaben,
meringankan beban kewajiban membayar iuran untuk desa dengan bantuan dana
dari LPD sebagai lembaga perkreditan milik desa pakraman dan sebagainya.
Memang tidak semua desa pakraman yang dapat memberikan bantuan seperti itu
karena keterbatasan kemampuan mereka, namun pemikiran kea rah itu tampaknya
ada di kalangan prajuru adatnya. Bahkan orang perorangan juga memiliki
pemikiran untuk membantu sesama warga yang tidak mempu dengan memberikan
lahyan untuk dikerjakan atau hewan untuk dipelihara dengan sistem bagi hasil.
Dari data yang dikemukakan di atas dapat pula dilihat bahwa pada beberapa
desa pakraman seperti Padangtegal telah menunjukkan kontribusi dalam
pengentasan kemiskinan melalui program yang dirancang nyata oleh desa
pakraman tersebut. Secara nyata perannya tampak melalui bentuk pemberian dana
sosial bagi krama yang sakit, bea siswa pendidikan yang tentu ini dapat membantu
peningkatan kesejahteran warga setempat. Terlebih lagi dengan pengelolaan usaha
desa yang berkembang cukup pesat sehingga dirasakan perannya dalam
pembiayaan kegiatan sosial keagamaan sehingga warga diringankan. Pada desa
pakraman lain peran desa pakraman juga tampak dengan selalu mengkoordinasikan
dengan kedinasan bagaimana keadaan masyarakatnya, ini secara tidak langsung
juga dapat menagarahkan bantuan program pemerintah mengarah kepada upaya
54
mengentaskan kemiskinan dapat tepat sasaran. Bantuan dari Pemprov dan Pemda
seperti misalnya Simantri juga telah dilaksanakan meski belum sepenuhnya
berhasil dilaksanakan karena berbagai kendala tetapi upaya meningkatkan taraf
hidup warga telah direalisasikan. Oleh karena itulah program dari pemerintah lebih
mengarah kepada program bantuan untuk rakyat miskin yang dilaksanakan setiap
tahun sehingga derajat kehidupan warga dapat melewati batas garis kemiskinan
yang telah ditetapkan. Demikian juga dengan kegiatan desa pakraman yang
meskipun ada di beberapa desa pakraman tidak dirumuskan sebagai program tetap
sebagaimana dianggarkan seperti di desa dinas, secara tidak langsung dengan
membuat kegiatan sosial keagamaan lebih sederhana dan praktis akan tetap
membantu krama dari segi pembiayaan. Ini misalnya sesuai yang terjadi di Desa
Pakraman Angantelu, dan Desa Pakraman Penatih. Sementara di Desa Pakraman
Pancasari peran kebersamaan warga yang lebih tampak. Artinya meski di Desa
Pakraman tidak ada program seperti desa lain yang menjadi obyek penelitian,
tetapi nilai kebersamaan dan saling bantu orang-perorangan yang ekonominya
lebih baik membantu dengan memberikan tanah garapan bagi yang miskin. Ini
tentu nilai sosial yang sangat dipertahankan dan secara luas juga akan
memperlihatkan kontribusi dalam penanggulangan kemiskinan tersebut.
55
BAB V
P E N U T U P
5.1. Kesimpulan
Dari apa yang telah diuraikan di depan dan sejalan dengan permasalahan
yang menjadi fokus dalam penelitian ini dapatlah ditarik kesimpulan sebagai
berikut :
1. Desa pakraman di Bali sesuai kondisi desanya masing masing memberi
peran yang berbeda- beda dalam upaya penanggulan kemiskinan. Ada
yang secara real telah memiliki program, sementara di beberapa desa
pakraman lain perannya lebih banyak bersifat insidental dan situasional
yang secara tidak langsung tetap bertujuan meringankan kehidupan
masyarakatnya.
2. Sudah terlihat adanya upaya-upaya riil yang dilakukan oleh desa
pakraman untuk dapat menanggulangi kemiskinan di wilayah desa
pakraman tersebut, caranya melalui upaya konkrit berupa program
yang mengarah untuk lebih meringankan warganya.
3. Upaya yang dilakukan tersebut, meskipun ada sifatnya yang insidental
dan berupa bantuan material, tampaknya cukup membantu meringankan
beban warga yang bersangkutan setidak-tidaknya dalam jangka pendek.
5.2. Saran-saran.
1. Untuk lebih mengintensifkan dan mengefektifkan kegiatan desa adat
(desa pakraman) dalam upaya pengentasan kemiskinan perlu kiranya
lembaga terkait khususnya Majelis Desa Pakraman (Alit, Madya, atau
56
Utama) untuk mengupayakan peningkatan pemahaman dari desa
pakraman, khususnya prajuru desa pakraman, bahwa keberadaan desa
pakraman tersebut bukan hanya sebagai lembaga religius yang selama
ini ditunjukkan dalam berbagai aktifvitasnya, melainkan juga sebagai
lembaga sosial yang dapat diarahkan untuk meningkatkan rasa
kebersamaan dan kesejahteraan dari warganya.
2. Perlu pelibatan yang lebih konkrit dari desa pakraman dalam berbagai
upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan
kesejahteraan warganya, baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan
dan pengawasan di tingkat desa sehingga program-program yang terkait
dengan pengentasan kemiskinan tersebut dapat berjalan lebih efektif
dan efisien.
3. Untuk keperluan pelibatan tersebut diperlukan upaya untuk
meningkatkan kemampuan dari Prajuru Desa Pakraman dalam bentuk
pelatihan-pelatihan atau penataran yang dilaksanakan oleh pemerintah
daerah. Untuk itu perlu dukungan dana yang memadai. Koordinasi
dengan kedinasan dilakukan dengan lebih intensif lagi sehingga dapat
merumuskan program peningkatan kesejahteraan warganya dengan
lebih konkrit.
57
DAFTAR BACAAN
Artadi, I Ketut, 2009, Hukum Adat Bali dengan Aneka Masalahnya, Pustaka Bali
Post
Hadikusuma, Hilman, 2003, Pengantar Imu Hukum Adat, Mandar Maju,Bandung
Purwita,Ida Bagus Putu, 1993, Desa Adat Pusat Pembinaan Kebudayaan Bali,
Upada Sastra
Tim Redaksi Fokusmedia, 2006, Undang Undang Otonomi Daerah, Fokusmedia,
Bandung.
Sirtha, I Nyoman, 2008, Aspek Hukum Dalam Konflik Adat Di Bali, Udayana
Soepomo, R. 2007, Bab-Bab tentang Hukum Adat, PT Pradnya Paramita, Jakarta.
Subawa, I Made, dkk., 2005, Hukum Tata Negara Indonesia Setelah Amandemen
UUD 1945, Bagian Hukum Tatanegara, Fakultas Hukum , Universitas
Udayana.
Velsen, J. Van, 1969, “The Extended-Case Method and Situational Analysis”
dalam A.L. Epsytein (Ed), The Craft od Sosial Antropology, London,
Tavistock.
Wirta Griadhi, 1990, “Peranan Otonomi Desa Adat dalam Pembangunan”, Majalah
Kertha Patrika, Fak. Hukum Unud University Press
Soepomo, R. 2007, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradnya paramita, Jakarta.
Tim Redaksi Fokusmedia, 2006, Undang Undang Otonomi Daerah, Fokusmedia,
Bandung.
Windia, Wayan P. dan Sudantra, I Ketut, 2006, “ Pengantar Hukum Adat
Bali”Lembaga Publikasi dan Dokumetasi Fakultas Hukum Universitas
Udayana
Wirta Griadhi, I Ketut, 1977,”Peranan Otonomi Desa Adat dalam Pembangunan”,
KerthaPatrika, Fakultas Hukum Universitas Udayana.
Bahan-bahan dari internet.
58
LAMPIRAN – LAMPIRAN
1. NAMA-NAMA TIM PENELITI
2. DAFTAR RESPONDEN
3. PEDOMAN WARANCARA
4. TABEL-TABEL DATA KEMISKINAN
5. KONTRAK DAN SK PENELITIAN
6. SURAT IJIN PENELITIAN
7. DOKUMENTASI PENELITIAN
59
LAMPIRAN I
NAMA-NAMA TIM PENELITI
1. Team Leader (Koordinator) : A.A.Gd.Oka Parwata, SH., Msi
2. Tenaga Ahli Madya : I Nyoman Wita SH., MH
3. Tenaga Ahli Muda:. I Gst.Agung Mas Rwa Jayantiari, SH., MKn.
4. Asisten Ahli : I Gst Ngr. Dharma Laksana, SH., MKn .
tenaga pendukung berupa :
a. Tenaga Surveyor : Ni Made Ari Yuliaartini, SH., MH.
b. Tenaga Administrasi/Keuangan: Ni Putu Eka Damayanti SH.
60
LAMPIRAN II
DAFTAR RESPONDEN DAN INFORMAN
A. Nama-nama Responden :
1. Nama : Nyoman Jaga
Umur : 58 Tahun
Jabatan : Bendesa Adat Desa Pakraman Manikliyu (2008-
sekarang)
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Wiraswasta
2. Nama : Jero Mangku Riin
Jabatan : Mangku Desa Pakraman Manikliyu
Umur : 63 Tahun
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Wiraswasta
3. Nama : I Gusti Ngurah Agung Dharma Wirata
Umur : 55 Tahun
Jabatan : Bendesa Desa Pakraman Pancasari, Kecamatan
Sukasada, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Wiraswasta
4. Nama : I Gusti Putu Gatot Gunadnya, BA
Umur : 58 Tahun
Jabatan : Bendesa Desa Adat Desa Pakraman Ekacita
Penyalin, Kecamatan Kerambitan Kabupaten
Tabanan, Provinsi Bali
61
Pendidikan : Sarjana Muda
Pekerjaan : Pensiunan
5. Nama : Gede Dastra,SH,
Umur : 49 tahun
Jabatan :Bendesa Adat Desa Pakraman Angantelu ( 2002-
sekarang)
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Br Ketug
6. Nama :Made Badri
Umur : 56 tahun
Jabatan : Perbekel Desa Antiga ( 2010-sekarang )
Alamat : Br Kaja
7. Nama :Drs. I Wayan Artika
Umur : 52 Tahun
Pekerjaan : Wiraswasta
Jabatan : Anggota Sabha Desa Pakraman Padang Tegal
8. Nama : Nyoman Sudana
Umur : 45 th
Jabatan : Bendesa Adat Desa Pakraman Penatih
Pekerjaan : Karyawan hotel
Pendidikan : SMA
62
B Informan :
1. Nama : Drs I Ketut Budiawan
Umur : 53 Tahun
Jabatan : Sekretaris Dinas Sosial Provinsi Bali
Pendidikan : S1
63
LAMPIRAN III
DAFTAR PERTANYAAN
UNTUK PEDOMAN WAWANCARA
A. RESPONDEN BENDESA
I. IDENTITAS RESPONDEN
II. DATA UMUM :
- jumlah penduduk miskin (KK/orang)
- pencatatan data
- perkembangan jumlah kk miskin dari tahun ketahun
- sinergi desa pakraman dengan desa dinas
III. PENDALAMAN DATA
- pengetahuan tentang kemiskinan (tahu atau tidak mengenai jumlah
dan mengapa)
- hubungan jabatan dengan kewajiban untuk mengentaskan
kemiskinan
(memahami fungsinya sebagai kepala dari persekutuan hukum adat)
- apa saja yang dilakukan dalam pengentasan kemiskinan, program,
tindakan, dan keberhasilannya (ada/tidak dan apa alasannya),
- bagaimana kerjasama dengan pemerintah desa/kab/prov.
- pandangannya berkenaan dengan pengentasan kemiskinan
B. RESPONDEN KEPALA DESA DINAS (PERBEKEL)
I. IDENTITAS
II. DATA :
- Data kk miskin dari tahun ke tahun
64
- program yang disusun dalam rangka pengentasan kemiskinan,
tindakan yang telah diambil dan keberhasilannya.
- sinergi dengan desa pakraman
- kontinuitas kegiatan
- peran pemerintah dalam pengentasan kemiskinan
- pandangannya dalam kegiatan pengentasan kemiskinan
C. INFORMAN (BPS, DINAS SOSIAL, CAMAT)
I. IDENTITAS
II. DATA YANG DIPERLUKAN :
- data kemiskinan dalam angka lima tahun terakhir, dan sebarannya
(kalau ada petanya)
- kriteria kemiskinan
- upaya yang telah dilakukan dan tingkat keberhasilannya dari tahun
ke tahun
- pandangannya mengenai upaya pengentasan kemiskinan.
65
LAMPIRAN IV
TABEL-TABEL DATA KEMISKINAN
(halaman berikut)
66
LAMPIRAN V
KONTRAK DAN SK PENELITIAN
67
LAMPIRAN VI
SURAT IJIN PENELITIAN
68
LAMPIRAN VII
DOKUMENTASI PENELITIAN
69
DOKUMENTASI PENELITIAN
Wawancara dengan Bendesa dan Pemangku Desa Pakraman Manikliyu
Salah satu lokasi Desa Pakraman Angantelu di wilayah Desa Antiga
Karangasem
70
Wawancara dengan Bendesa Desa Pakraman Penatih
Salah Satu Lokasi Penelitian di Kawasan Pariwisata Desa Pakraman
Padangtegal