228
1 PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA PENETAPAN PASANGAN CALON OLEH KOMISI PEMILIHAN UMUM DAERAH DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH THE ADMINISTRATIVE LAW ENFORCEMENT ON THE DECISION OF THE CANDIDATES BY THE REGIONAL ELECTION COMMISSION IN THE LOCAL ELECTIONS IRVAN MAWARDI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2013

PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

  • Upload
    others

  • View
    11

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

1

PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA

PENETAPAN PASANGAN CALON OLEH KOMISI PEMILIHAN UMUM

DAERAH DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH

THE ADMINISTRATIVE LAW ENFORCEMENT ON THE DECISION OF

THE CANDIDATES BY THE REGIONAL ELECTION COMMISSION IN

THE LOCAL ELECTIONS

IRVAN MAWARDI

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR

2013

Page 2: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

2

PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA

PENETAPAN PASANGAN CALON OLEH KOMISI PEMILIHAN UMUM

DAERAH DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister

Program Studi

Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Tata Negara

disusun dan diajukan oleh

IRVAN MAWARDI

kepada

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2013

TESIS

Page 3: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

3

PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA

PENETAPAN PASANGAN CALON OLEH KOMISI PEMILIHAN UMUM DAERAH

DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH

yang disusun dan diajukan oleh

IRVAN MAWARDINomor Pokok P0904211003

Telah dipertahankan di depan Panitia Ujian Tesis

Pada tanggal 29 Juli 2013

dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Menyetujui

Komisi Penasihat,

________________________________ ____________________________

Prof.Dr.Syamsul Bachri, S.H.,M.S. Dr. Hamzah Halim, S.H.,M.H.Ketua Anggota

Ketua Program Studi Direktur Program PascasarjanaMagister Ilmu Hukum, Universitas Hasanuddin.

_________________________ _______________Prof. Dr.Marthen Arie, S.H.,M.H. Prof.Dr.Ir. Mursalim

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Page 4: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

4

Yang bertanda tangan di bawah ini

Nama : Irvan Mawardi

Nomor Mahasiswa : P0904211003

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini benar-benar

merupakan hasil karya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau

pemikiran orang lain. Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa

sebagian atau keseluruhan tesis ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima

sanksi atas perbuatan tersebut.

Makassar, 29 Juli 2013

Yang Menyatakan

Irvan Mawardi

PRAKATA

Page 5: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

5

Puji syukur penulis persembahkan kepada Allah SWT, atas karunia dan

petunjukNya sehingga penulisan tesis ini bisa selesai dengan segala keterbatasan dan

kelemahan penulis.

Ide yang melatarbelakangi tema permasalahan dalam tesis ini muncul dari hasil

pengamatan penulis terhadap proses berlangsungnya pemilihan kepala daerah di

Indonesia yang dimulai sejak tahun 2005. Salah satu persoalan yang pada umumnya

muncul dalam setiap pelaksanaan pilkada adalah adanya gugatan sengketa

penetapan pasangan calon yang telah disahkan oleh KPUD oleh kandidat yang tidak

lolos di PTUN yang penyelesaiannya berlarut-larut dan tidak melahirkan penyelesaian

hukum dan kepastian hukum. Hal ini melahirkan ketidakadilan dalam pelaksanaan

pemilukada. Penulis bermaksud menyumbangkan beberapa solusi agar persoalan

tersebut dapat diselesaikan dalam bingkai prinsip hukum administrasi agar semua

pemangku kepentingan dalam pemilukada dapat merasakan keadilan dan kepastian

hukum.

Banyak masalah dan kendala yang dihadapi Penulis dalam menyelesaikan tesis

ini, sehingga hanya berkat bantuan berbagai pihak penulisan tesis ini dapat selesai.

Pada kesempatan ini penulis dengan tulus menyampaikan ucapan terima kasih yang

setingi-tingginya kepada :

Prof. Dr. Syamsul Bachri, SH.,M.S dan Dr. Hamzah Halim, S.H.,M.H sebagai

Ketua Komisi Penasehat dan Anggota Komisi Penasehat ini atas arahan, bimbingan

dan pencerahan yang diberikan kepada penulis baik dalam hal pengembangan ide

Page 6: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

6

atas permasalahan penelitian ini sampai pada proses dan penyelesaian penulisan

tesis ini.

Terima kasih yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada Prof. Abdul

Razak, S.H.,M.H dan Prof. Achmad Ruslan,S.H.,M.H selaku Tim Penguji atas arahan,

kritikan dan masukan beliau dalam proses penulisan tesis ini

Rektor Universitas Hasanuddin Makassar, Prof. Dr. dr. A. Idrus Puturusi,

Sp.B.,Sp.BO atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan sehingga Penulis dapat

menyelesaikan program magister Ilmu Hukum pada Program Pascasarjana

Universitas Hasanuddin

Direktur Program Pascasarjana Universitas Hanasanuddin, Prof. Dr. Ir Mursalim

atas kesempatan dan fasilitas yang representatif yang diberikan kepada penulis

sehingga Penulis dapat menyelesaikan program magister Ilmu Hukum pada Program

Pascasarjana Universitas Hasanuddin

Ketua Program Studi Magsiter Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas

Hasanuddin Makassar, Prof. Dr. Marthen Arie, S.H., M.H, atas fasilitas, arahan dan

kebijakannya sehingga dapat memicu Penulis dalam menyelesaikan Magister Ilmu

Hukum pada Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin

Para responden yang menjadi narasumber dalam penelitian ini; Anggota

Bawaslu Pusat, Daniel Zuchron, Anggota Bawaslu DKI Jakarta, M. Jufri, Anggota KPU

Gowa, Fatmawati Rachim, Anggota KPU Toraja Utara, Aloysius, Ketua KPU Lombok

Utara, Agus, Ketua KPU Lombok Barat, Tuan Guru Hasanain dan para Hakim di

Page 7: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

7

PTUN Makassar dan PTUN Jayapura dan responden lainnya yang tidak dapat penulis

sebutkan satu persatu pada kesempatan ini.

Kepada Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar, Priyatmanto

Abdoellah, S.H,M.H beserta segenap jajaran Hakim di PTUN Makassar atas

dukungan, arahan dan kebijakan yang diberikan kepada penulis untuk melanjutkan

dan menyelesaikan studi Magister Ilmu Hukum pada program pascasarjana

Universitas Hasanuddin Makassar.

Kepada teman-teman seangkatan pada program Pascasarjana Ilmu Hukum

tahun 2011: Wiwin, Ray Pratama, Irsan, Sholihin, Irsan, Tegar, Ikram, Zulkifli, Rulof,

Nirwan, Fitri, Herlinah, Zasimah, Atriani, terima kasih atas dukungan dan

kebersamaannya.

Kepada kedua Orang Tua Penulis yang termulia, Ayahanda H. Mawardi

Mannungke dan Ibunda, Hj. Munawarah Mannaga yang selalu memberikan motivasi

doa dan ridho atas usaha dan ikhtiar penulis dalam menyelesaikan tesis ini

Kepada Istri tercinta Penulis, Dewi Nadhipah serta anak-anak Penyejuk Hati,

Ismena Adaliyah Mawardi dan Rafif Muyassar Mawardi atas dukungan dan inspirasi

yang diberikan kepada penulis.

Terakhir, Terima kasih penulis sampaikan kepada mereka yang namanya tidak

tercantum tetapi telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini

Makassar, 29 Juli 2013

Page 8: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

8

Irvan Mawardi

ABSTRAK

IRVAN MAWARDI. Penegakan Hukum Administrasi terhadap Sengketa Penetapan

Pasangan calon oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah dalam Pemilihan Kepala

Daerah (dibimbing oleh Syamsul Bachri dan Hamzah Halim)

Penelitian bertujuan mengetahui (1) tentang penegakan Hukum Administrasi

terhadap penyelesaian sengketa penetapan pasangan calon kepala daerah oleh

KPUD dan pihak yang terkait dengan pelaksanaan pemilukada (2) efektifitas

pelaksanaan putusan Peratun terhadap sengketa penetapan pasangan calon kepala

daerah.

Penelitian ini dilaksnakan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Makassar.

Penelitian ini bersifat sosioyuridis yang menggambarkan gejala realitas sosial yang

terjadi dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Metode pengumpulan data

dilakukan melalui pengamatan secara langsung proses persidangan, wawancara dan

studi pustaka. Data dianalisi dengan analisis komponensial. Data yang terkumpul

diproses melalui proses editing dan pemilahan yang dituangkan dalam bentuk teks

naratif.

Hasil Penelitian menunjukkan bahwa terdapat ketidaksinkronan undang-

undang yang mengatur pilkada dan undang-undang peratun. Tidak ada kejelasan

antara konsep sengketa administrasi dan pelanggaran administrasi. Penyelesaian

sengketa pilkada di Peratun membutuhkan waktu lama. Fungsi Bawaslu sebagai

pengawas pilkada tidak efektif. Selain itu, tidak ada mekanisme sengketa yang jelas

dan komprehensif. Serta tidak efektifnya putusan Peratun dalam sengketa pilkada.

Perlu ada perbaikan Undang-Undang yang mengatur sengketa pilkada dan perlu diberi

sanksi yang tegas bagi KPUD yang tidak melaksanakan putusan Peratun.

Kata kunci: pemilihan kepala daerah, KPU, Peratun

Page 9: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

9

ABSTRACT

IRVAN MAWARDI The Administrative Law Enforcement on the Decision of theCandidates by the Regional Election Commission in Local Elections (supervised bySyamsul Bachri and Hamzah Halim)

This research aimed (1) to identify and explain the Administrative Law

enforcement on the of dispute solution on the candidate decision by the Regional

Election Commission and the parties related to the implementation of the election (2)

to explain the effectiveness of the implementation of the Administrative Decision to

dispute caused by the determination of the candidates.

The research was conducted in Makassar State Administrative Tribunal

(Makassar Administrative Court). The research was a social-legal research using a

qualitative approach. The method of collecting the data was observation, literature

reviews, and interviews. The data analysis used the componential analusis technique.

The data were then edited and sorted and written down in the form of a narrative text

The research result revealed a discrepancy between the law regulating the

regional election and the Administrative Law. There was no clear concept between the

administrative disputes and the administrative violations. An administrative dispute

took along time to solve. The functions of General Eelection Control Agency were not

effective. Moreover, there hed been no clear and comprehensive mechanism to solve

the election disputes. Also, the decision made by the Administrative court on the local

elections disputes was not effective.

Keyword: Local election, Regional Election Commission, Administrative Court

DAFTAR ISI

Page 10: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

10

Halaman

PRAKATA………………………………………………………………………………………

….v

ABSTRAK………………………………………………………………………………………

….viii

ABSTRACT………………………………………………………………………………………

..ix

DAFTAR

ISI………………………………………………………………………………………..x

DAFTAR

TABEL…………………………………………………………………………………..xiv

DAFTAR

SINGKATAN…………………………………………………………………………...xv

BAB I

PENDAHULUAN………………………………………………………………………….1

A. Latar Belakang

Masalah……………………………………………………………..1

B. Rumusan Masalah……………………………………………………………………28

C. Tujuan

Penelitian……………………………………………………………………..28

D. Kegunaan

Penelitian………………………………………………………………....29

BAB II TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………………………………

30

Page 11: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

11

A. Negara Hukum

Demokrasi…………………………………………………………..30

B. Nomokrasi………………………………………………………………………. …..

39

C. Hukum Administrasi……………………………………………………………..

…..43

1. Definisi Hukum Administrasi……………………………………… ….

….43

2. Fungsi Hukum Administrasi……………………………………….. … ….

48

3. Tujuan Hukum Administrasi………………………………………….

…….49

D. Relevansi Hukum Administrasi Dalam Pelaksanaan Pemilukada…………

…..50

E. Landasan Hukum dan Teoritis Penegakan Hukum Administrasi………….

…,.53

1. Landasan Hukum…………………………………………………….. ……

..53

2. Landasan Teori………………………………………………………..

………55

a. Teori Sistem

Hukum………………………,…………………............55

b. Teori Penegakan Hukum dan Sanksi Hukum Administrasi.......

57 c. Teori Sanksi Regresif ………………………….……….

……………64

d. Teori Sanksi Reparatoir………………………………….. ……

…..65

e. Teori

Eksekusi…………………………………………………………66

Page 12: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

12

f. Teori

Wewenang………………………………….……………………70

h. Teori Donald Black……………………………………….. ……..

…72

F. Periodeisasi Sistem Pemilihan Kepala

Daerah……………………………………..74

1. Zaman Orde

Lama…………………………………………………….74

2. Zaman Orde Baru………………………………………………….

…76

3. Zaman Orde

Reformasi……………………………………………….78

G. Sengketa Pemilukada……………………………………………………. ….

……85

H. Sengketa Administrasi di Peradilan Tata Usaha Negara……………… ..

………87

1. Pengertian Sengketa Tata Usaha negara………………… …

…..87

2. Pengertian Keputusan Tata Usaha Negara……………….

……...89

3. Upaya Administratif di

PTUN………………………………….……….91

4. Tenggang Waktu mengajukan Gugatan….………………. ..

…….93

I. Kerangka Pikir………………………………………………………………

…………95

Page 13: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

13

BAB III METODE PENELITIAN……………………………………………………..

………....96

A. Lokasi Penelitian……………………………………………………………

………..96

B. Jenis Penelitian…………………………………………………………….

………..96

C. Jenis dan Sumber Data………………………………………………..

…………97

D. Tekhnik Pengumpulan Data………………………………………………

…………98

E. Tekhnik Analisis Data………………………………………………………

…………98

BAB IV. PEMBAHASAN DAN HASIL

PENELITIAN………………………………………...100

A. Penegakan Hukum Administrasi dalam sengketa penetapan pasangan

calon dalam pemilihan kepala

daerah…………………………………………………...100

1. Sinkronisasi Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara dengan

Undang-Undang yang mengatur Pemilihan Umum Kepala Daerah

(Pemilukada)………………………………………………………....................

.101

a. Pengaturan Sengketa

Adminsitrasi……………………………………...107

b. Analisa Yuridis Kewenangan

PTUN………………….…......................115

Page 14: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

14

c. Substansi Perbaikan Ketentuan Perundang-

Undangan……………....120

a). Tenggang waktu mengajukan

Gugatan……………………...........121

b). Efektifitas Putusan

Penundaan……………………………….........132

2. Refungsionalisasi Lembaga Penegak Hukum

Pemilukada…………..……...145

a. Kewenangan eksekutorial terhadap laporan pelanggaran dan

sengketa

administrasi………………………………………………………..……

….146

b. BAWASLU sebagai Lembaga Banding

Administratif…………………..150

c. Menghapus kewenangan PTUN

………………………………..………..166

d. Pengadilan ad hoc

Pemilukada…………………………………………....171

3. Pelaksanaan Asas Peradilan yang Cepat, Sederhana dan Biaya

Ringan………………………………………………………………….............

.182

Page 15: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

15

B. Efektifitas pelaksanaan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dalam

sengketa penetapan pasangan calon dalam pemilihan kepala

daerah……………………………………………………………………..…….

.184

1. Kewenangan eksekutorial kepada

PTUN…………………………………....189

2. Sistem Pengawasan dan

Sanksi……………………………………………...192

3. Budaya Hukum Pejabat

TUN……………………………………………........199

BAB V

PENUTUP………………………………………………………………………………..202

A. Kesimpulan

…………………………………………………………………............202

B.

Saran……………………………………………………………………………........203

DAFTAR

PUSTAKA……………………………………………………………………............204

DAFTAR TABEL

Nomor halaman

Page 16: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

16

1. Perbandingan kewenangan PTUN, PU dan MK dalam 117

penanganan sengketa pemilukada

2. Perbedaan Posisi Panwaslu dan Bawaslu periode Pemilukada 154

2005-sekarang

3. Perbandingan Jumlah Perkara Sengketa Pemilukada dengan 167

perkara lainnya di PTUN Makassar yang masuk pada tahun

2009-2012

4. Penyelesaian Sengketa Pemilukada di PTUN Makassar 170

DAFTAR SINGKATAN

Bawaslu : Badan Pengawas Pemilihan Umum

DPR : Dewan Perwakilan Rakyat

DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Page 17: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

17

KPU : Komisi Pemilihan Umum

KPUD : Komisi Pemilihan Umum Daerah

MA : Mahkamah Agung

MK : Mahkamah Konstitusi

Panwaslu : Panitia Pengawas Pemilihan Umum

Peratun : Peradilan Tata Usaha Negara

Perludem : Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi

Pemilu : Pemilihan Umum

Pemilukada : Pemilihan Umum Kepala Daerah

PTUN : Pengadilan Tata Usaha Negara

PTTUN : Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara

SEMA : Surat Edaran Mahkamah Agung

UUD NRI 1945: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

Page 18: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

18

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Salah satu ciri dari negara hukum demokrasi adalah adanya pergantian

kepemimpinan pemerintahan secara tertib lewat mekanisme pemilihan umum

(Pemilu). Pemilu merupakan suatu instrumen dalam pelaksanaan nilai-nilai hukum dan

demokrasi. Oleh karenanya penyelenggaraan pemilu harus senantiasa didasarkan

pada asas langsung, umum, rahasia, jujur dan adil1 sebagai konsekuensi atas

terwujudnya suatu negara yang demokratis.

Pemilu sebagai mekanisme pokok prosedur demokrasi mendapatkan jaminan

konstitusional sebagai hasil dari perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945), yang diatur dalam satu bab tersendiri.

Ketentuan yang diatur dalam Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945 itu memberikan

pedoman dasar baik yang bersifat prosedural maupun substansial. Dari sisi

prosedural, pemilu harus dilakukan lima tahun sekali, secara langsung, umum, dan

rahasia. Dari sisi substansial pemilu harus dilakukan secara bebas, jujur, dan adil.

1Lihat Pasal 22E ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Page 19: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

19

Oleh karena itu dalam konteks negara hukum demokratis diperlukan landasan hukum

yang kuat agar proses demokrasi prosedural lewat pemilihan umum dapat melahirkan

wajah demokrasi yang substantif, yakni pemilu demokratis, transparan dan

dilaksanakan oleh penyelenggara pemilu yang independen.

Reformasi konstitusi yang merupakan bagian dari law reform, dengan

perubahan UUD NRI 1945 telah merubah sistem ketatanegaraan di Indonesia secara

mendasar2, termasuk dalam bidang penyelenggaraan pemilu. Adanya ketentuan

mengenai pemilihan umum dan penyelenggara pemilihan umum dalam Undang

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dimaksudkan untuk memberi

landasan hukum yang lebih kuat bahwa pemilihan umum sebagai salah satu wahana

pelaksanaan kedaulatan rakyat dan penyelenggara pemilihan umum yang mandiri dan

independen. Dengan adanya ketentuan itu, maka lebih menjamin kepastian waktu

penyelenggaraan pemilihan umum secara teratur reguler per lima tahun dan menjamin

proses, mekanisme, serta kualitas penyelenggaraan pemilihan umum secara

langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil yang dilakukan oleh penyelenggara

pemilihan umum.

Perubahan ketiga UUD NRI 1945, Pasal 22E ayat 5 menyebutkan bahwa

pemilihan umum diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bersifat

nasional, tetap dan mandiri. Amanat konstitusi tersebut untuk memenuhi tuntutan

perkembangan kehidupan politik, dinamika masyarakat dan perkembangan demokrasi

yang sejalan dengan pertumbuhan kehidupan berbangsa dan bernegara. Di samping

2 M.Laica Marzuki, 2008, Dari timur ke Barat Memandu Hukum: Pemikiran Hukum Wakil Ketua Mahamah

Konstitusi Prof. Dr. H. M. Laica Marzuki, S.H., (Jakarta, Sekjen dan Kepaniteraan MK:), Hal. 73

Page 20: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

20

itu wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sangat luas terdiri dari beribu-ribu

pulau, dengan jumlah penduduk yang banyak dan menyebar di seluruh Nusantara

serta memiliki kompleksitas nasional menuntut keberadaan penyelenggara pemilihan

umum yang profesional dan memiliki kredibilitas yang dapat dipertanggungjawabkan.

Menurut Jimly Assidiqie, dalam Pasal 22E UUD NRI 1945 sendiri, nama

lembaga penyelenggara pemilu itu tidak diharuskan bernama Komisi Pemilihan

Umum, Itu sebabnya dalam rumusan Pasal 22E UUD NRI 1945 itu, perkataan komisi

pemilihan umum ditulis huruf kecil. Artinya, KPU yang disebut dalam Pasal 22E itu

bukanlah nama, melainkan perkataan umum untuk menyebut lembaga penyelenggara

pemilu itu. Dengan demikian, sebenarnya, undang-undang dapat saja memberi nama

kepada lembaga penyelenggara pemilu itu, misalnya, dengan sebutan Badan

Pemilihan Umum atau Komisi Pemilihan Pusat dan Komisi Pemilihan Daerah, dan

sebagainya3. Meskipun istilah lembaga penyelenggara pemilu tidak didefinitifkan oleh

UUD NRI 1945, namun karakter atau sifat dari penyelenggara pemilu tersebut sudah

jelas, yakni penyelenggara pemilu harus nasional, tetap dan mandiri.

Bersifat nasional artinya KPU memiliki wilayah kerja seluruh wilayah negara

Indonesia. Sifat “nasional” dimaksudkan bahwa KPU sebagai penyelenggara

mencakup seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yakni seluruh

kabupaten /kota dan Provinsi yang ada di dalam negara kesatuan republik Indonesia.4

Sifat “tetap” dimaksudkan bahwa KPU sebagai lembaga menjalankan tugasnya secara

3Jimly Ashiddiqie, 2006,Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sekretariat Jenderal

dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta. hal 237

4Penjelasan undang-undang republik indonesia Nomor 12 tahun 2003 Tentang Pemilihan umum anggota dewan

perwakilan rakyat, dewan perwakilan daerah, dan dewan perwakilan rakyat daerah

Page 21: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

21

berkesinambungan, meskipun keanggotaannya dibatasi oleh masa jabatan tertentu5.

Argumentasi sifat “nasional” dan “tetap” ini agar KPU yang permanen dari pusat

sampai daerah menjalankan tugasnya secara berkesinambungan. Di lain pihak,

keanggotaannnya dapat diganti sesuai dengan masa jabatan tertentu. Dengan

kesinambungan inilah diharapkan tidak ada tumpang-tindih dalam pembuatan dan

pengambilan keputusan terkait persoalan-persoalan pemilu. Makna “tetap” juga dapat

dijelaskan bahwa KPU sebagai penyelenggara pemilu tetap melaksanakan tugasnya

dibatasi oleh waktu yang menurut Undang-undang adalah 5 (lima) tahun, artinya tidak

serta merta setelah proses pemilu selesai kemudian penyelenggara pemilu selesai.

Sifat mandiri menegaskan bahwa KPU harus bebas dari pengaruh dan tekanan

dari pihak manapun dalam menyelenggarakan pemilu. Sifat “mandiri” dimaksudkan

bahwa dalam menyelenggarakan dan melaksanakan pemilu, KPU bersikap mandiri

dan bebas dari pengaruh pihak mana pun, disertai dengan transparansi dan

pertanggungjawaban yang jelas sesuai dengan peraturan perundang-undangan6. Hal

tersebut menyiratkan bahwa penyelenggara pemilu tidak boleh tunduk pada

kepentingan orang-perorang, golongan dan partai politik tertentu. Organisasi ini

bekerja menurut aturan perundang-undangan yang berlaku serta mengikuti kaidah

manajemen yang normal dalam menyelenggarakan pemilu. Sifat mandiri juga sering

disebut dengan sifat independen.

5Ibid

6Ibid

Page 22: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

22

Arti penting prinsip independensi menurut Ramlan Surbakti7 didasarkan kepada

tiga hal, Pertama, pemilihan umum merupakan prosedur dan mekanisme

pendelegasian sebagian kedaulatan rakyat kepada penyelenggara negara, baik yang

akan duduk dalam lembaga legislative maupun dalam lembaga eksekutif di pusat dan

daerah, untuk bertindak atas nama rakyat dan mempertanggungjawabkannya kepada

rakyat. Kedua, pemilihan umum merupakan prosedur dan mekanisme pemindahan

perbedaan aspirasi dan pertentangan kepentingan dari masyarakat ke dalam lembaga

penyelenggara negara, baik di pusat maupun di daerah, untuk kemudian dibicarakan

dan diputuskan secara beradab. Ketiga, pemilihan umum merupakan prosedur dan

mekanisme perubahan politik secara teratur/tertib dan periodik baik perubahan berupa

sirkulasi elit politik maupun perubahan arah dan pola kebijakan publik.

Konstitusionalitas penyelenggara pemilu yang bersifat nasional, tetap dan

mandiri dapat juga dilihat dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan

Nomor Perkara Nomor 072-073/PUU-II/2004. Pada saat itu pemilihan kepala daerah

masih berlangsung berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah (UU.No.32 tahun 2004) dan berada dalam wilayah rezim

hukum Pemerintahan Daerah. Walupun demikian MK menyatakan bahwa Pemilukada

langsung harus berdasarkan asas-asas Pemilu, yakni langsung, umum, bebas,

rahasia, jujur, dan adil serta diselenggarakan oleh penyelenggara yang independen

(mandiri). UUD NRI 1945 yang mensyaratkan kemandirian KPU tidak mungkin terjadi

apabila Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) sebagai penyelenggara pemilihan

langsung harus bertanggungjawab kepada DPRD. Sebab, DPRD sebagai lembaga

7 Ramlan Surbakti, 2003, “Demokrasi Menurut Pendekatan Kelembagaan Baru”, Jurnal Ilmu Pemerintahan, edisi

19 Tahun, hlm.4-5

Page 23: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

23

perwakilan rakyat di daerah terdiri atas unsur-unsur partai politik yang menjadi pelaku

dalam kompetisi Pemilukada langsung tersebut.

Oleh karena itu KPUD harus bertanggungjawab kepada publik bukan kepada

DPRD sedangkan kepada DPRD hanya menyampaikan laporan pelaksanaan

tugasnya, seperti yang ditentukan dalam Pasal 57 ayat (2) UU Pemda. Oleh karena itu

MK membatalkan Pasal 57 ayat (1) UU Pemda yang menyatakan “Pemilihan kepala

daerah dan wakil kepala daerah diselenggarakan oleh KPUD yang bertanggungjawab

kepada DPRD”, sepanjang frase “yang bertanggungjawab kepada DPRD”. Dalam

perkembangan hukum selanjutnya, berdasarkan UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang

Penyelenggara Pemilu dan UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas

UU Nomor 32 Tahun 2004, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah menjadi

bagian dari pemilu, yang dengan sendirinya menjadi tanggungjawab penyelenggara

pemilu yang mandiri.

Sebagaimana diuraikan di atas bahwa UUD NRI 1945 menyatakan bahwa

pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat

nasional, tetap, dan mandiri. Amanat konstitusi tersebut untuk memenuhi tuntutan

perkembangan kehidupan politik, dinamika masyarakat, dan perkembangan demokrasi

yang sejalan dengan pertumbuhankehidupan berbangsa dan bernegara. Di samping

itu, wilayah negara Indonesia yang luas dengan jumlah penduduk yang besar dan

menyebar di seluruh Nusantara serta memiliki kompleksitas nasional menuntut

penyelenggara pemilihan umum yang profesional dan memiliki kredibilitas yang dapat

dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, diperlukan satu undang-undang yang

mengatur penyelenggara pemilihan umum.

Page 24: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

24

Maka pada tahun 2007 disahkan Undang-Undang Nomor 22 tahun 2007

tentang Penyelenggara Pemilu8. Undang-Undang ini merupakan UU pertama kali yang

mengatur secara khusus tentang Penyelenggara Pemilu karena selama ini pengaturan

tentang Penyelenggara Pemilu diatur di dalam UU Pemilu dan UU Pemerintahan

Daerah. Pada perkembangannya, pada tahun 2011, UU. Nomor 22 Tahun 2007

diubah menjadi UU. No. 15 Tahun 20119 tentang Penyelenggara Pemilu.

Sebagai konsekuensi ketentuan konstitusional bahwa penyelenggara Pemilu

bersifat nasional, tetap, dan mandiri, Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 22 Tahun 2007 juncto

UU. No. 15 tahun 2011 menyatakan bahwa KPU, KPU provinsi, dan KPU

kabupaten/kota bersifat hierarkis. Oleh karena itu KPU, KPU provinsi, dan KPU

kabupaten/kota adalah satu kesatuan organisasi berjenjang walaupun telah ditentukan

pembagian tugas dan tanggungjawab masing-masing oleh undang-undang. KPU

provinsi adalah organ dari KPU yang harus melaksanakan dan mengikuti arahan,

pedoman, dan program dari KPU, terutama dalam hal pelaksanaan Pemilu DPR, DPD,

DPRD, serta Presiden dan Wakil Presiden. Di sisi lain, KPU provinsi harus

mengkoordinasikan dan memantau pelaksanaan tugas KPU kabupaten/kota.

Keberadaan KPU di daerah juga tidak bisa dilepaskan dari kebijakan

desentralisasi sebagai prasyarat negara demokratis. Sementara dalam konsepsi

Negara Hukum Indonesia, ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 yang berbunyi:

“Negara Indonesia adalah Negara hukum” yang menganut desentralisasi dalam

penyelenggaraan pemerintahan, sebagaimana diisyaratkan dalam Pasal 18 ayat (1)

8Lihat -Undang Nomor 22 tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu

9Lihat UU. No. 15 Tahun 2011 tentang Perubahan UU. Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu

Page 25: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

25

NRI 1945 yang berbunyi: “ Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-

daerah provinsi dan daerah provinsi itu itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-

tiap provinsi, kabupaten, dan kota mempunyai pemerintah daerah, yang diatur dengan

Undang-Undang”.

Bagian penting dari demokratisasi dari suatu bangsa adalah adanya praktek

desentralisasi sebagai bagian dari memperkuat partisipasi masyarakat pada

pembangunan di level daerah. Pandangan bahwa desentralisasi itu memiliki relasi

kuat dengan demokratisasi didasarkan pada asumsi bahwa desentralisasi dapat

membuka ruang yang lebih besar kepada masyarakat untuk terlibat di dalam proses

pembuatan keputusan-keputusan politik di daerah. Hal ini berkaitan dengan realitas

bahwa setelah ada desentralisasi, lembaga-lembaga yang memiliki otoritas di dalam

proses pembuatan dan implementasi kebijakan publik itu lebih dekat dengan rakyat.

Kedekatan itu juga yang memungkinkan rakyat melakukan kontrol terhadap

pemerintah daerah. Dengan demikian pemerintah daerah diharapkan memiliki

akuntabilitas yang lebih besar lagi. Tanpa adanya akuntabilitas, rakyat di daerah bisa

menarik mandat yang telah diberikan melalui pemilihan. Pemilihan dalam konteks

desentralisasi kekinian terwujud dalam pemilihan umum kepala daerah secara

langsung yang sudah berlangsung sejak tahun 2005.

Pemilukada sebagai bagian dari proses desentralisasi itu, kekuasaan

pemerintah pusat dialihkan dari tingkat pusat ke pemerintahan. Pergeseran kekuasaan

dari pusat ke daerah kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Jika dalam kondisi

semula arus kekuasaan pemerintahan bergerak dari daerah ke tingkat pusat maka

Page 26: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

26

diidealkan bahwa sejak diterapkannya kebijakan otonomi daerah itu, arus dinamika

kekuasaan akan bergerak sebaliknya, yaitu dari pusat ke daerah10

Menurut Smith sebagaimana dikutip Lili Romli, ada 2 definisi desentralisasi,

yaitu definisi dari perspektif administratif dan definisi dari perspektif politik11. Dalam

persepktif, politik desentralisasi adalah the transfer of power from top level to lower

level, in a territorial hierarchy, which could be one of government within state , or

offices within a large organization12. Sementara perspektif desentralisasi administrasi

didefinisikan sebagai delegasi wewenang administratif, administrative authority dari

pemerintah pusat kepada pemerintah daerah13. Tujuan desentralisasi menurut Smith

adalah (1) Pendidikan Politik, (2), Latihan kepemimpinan politik (3) memelihara

stabilitas (4) mencegah konsentrasi kekuasaan di pusat (5) memperkuat akuntabilitas

publik dan (6) meningkatkan kepekaan elit terhadap kebutuhan masyarakat.

Konteks desentralisasi itulah KPUD sebagai pelaksana pemilihan kepala

daerah langsung selain bertugas mendesentralisasikan tugas dan kewenangan KPU

pusat juga bertanggung jawab dalam memperkuat akuntabilitas publik terhadap

penyelenggaraan pemilihan kepala daerah langsung. Landasan hukum tentang tugas

dan wewenang KPU dalam menyelenggarakan pemilihan umum kepala daerah pada

awalnya diatur dalam Undang-Undang No. 32 tahun 200414. Namun ketentuan dalam

10Jimly Assidiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi

Republik Indonesia, Jakarta. 2006. Hlm. 218

11 Lili Romli, Potret Otonomi Daerah dan Wakil Rakyat di Tingkat Lokal, Pustaka Pelajar.Yogyakarta. 2007. hlm.

328

12Ibid

13Ibid. Hlm. 329

14Lihat beberapa ketentuan pilkada di Undang-Undang No. 32 tahun 2004

Page 27: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

27

UU 32 tahun 2004 secara hukum tidak berlaku lagi sejak disahkannya Undang-

Undang Nomor 22 tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu.

Pada perkembangan selanjutnya, meskipun UU. No. 22 Tahun 2007 telah

direvisi menjadi UU.No. 15 tahun 2011 namun semua substansi yang terkait dengan

Tugas dan Wewenang KPU di daerah masih tetap sama dengan pengaturan

sebagaimana yang tercantum dalam UU. Nomor .22 tahun 2007. Undang-Undang

Nomor 22 tahun 2007 junto Undang-Undang No 15 tahun 2011 juga merubah

nomenklatur Komisi Pemilihan Daerah (KPUD) menjadi lebih spesifik, yakni Komisi

Pemilihan Umum Provinsi (KPU Provinsi) dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten

(KPU Kabupaten). Dalam penelitian ini, KPUD yang dimaksud adalah Komisi

Pemilihan Umum Kabupaten (KPU Kabupaten)

Undang-Undang nomor 15 tahun 2011 telah mengatur tugas KPU, KPUD

Provinsi/Kabupaten pada Pemilukada;

Pasal 9 ayat 3 Undang-Undang nomor 15 tahun 2011 berbunyi:

(3) Tugas dan wewenang KPU Provinsi dalam penyelenggaraanPemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah meliputi;

a. merencanakan program, anggaran, dan jadwal Pemilu KepalaDaerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi

b. menyusun dan menetapkan tata kerja KPU Provinsi, KPUKabupaten/Kota, PPK, PPS, dan KPPS dalam Pemilu KepalaDaerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi dengan memperhatikanpedoman dari KPU;

c. menyusun dan menetapkan pedoman yang bersifat teknis untuktiap-tiap tahapan penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah danWakil Kepala Daerah Provinsi berdasarkan peraturan perundang-undangan;

Page 28: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

28

d. mengoordinasikan, menyelenggarakan, dan mengendalikansemua tahapan penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah danWakil Kepala Daerah Provinsi berdasarkan peraturanperundangundangan dengan memperhatikan pedoman dari KPU;

e. memutakhirkan data pemilih berdasarkan data kependudukandan menetapkannya sebagai daftar pemilih;

f. menerima daftar pemilih dari KPU Kabupaten/Kota dalampenyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala DaerahProvinsi;

g. menetapkan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepaladaerah provinsi yang telah memenuhi persyaratan;

h. menetapkan dan mengumumkan hasil rekapitulasipenghitungan suara Pemilu Kepala Daerah dan Wakil KepalaDaerah Provinsi berdasarkan hasil rekapitulasi penghitungansuara di KPU Kabupaten/Kota dalam wilayah provinsi yangbersangkutan dengan membuat berita acara penghitungan suaradan sertifikat hasil penghitungan suara;

i. membuat berita acara penghitungan suara serta membuatsertifikat hasil penghitungan suara dan wajib menyerahkannyakepada saksi peserta Pemilu, Panwaslu Provinsi, dan KPU”

Dalam penyelenggaraan pemilihan umum, selain diperlukan pihak yang

bertanggung jawab dalam pelaksanaan, diperlukan adanya suatu pengawasan untuk

menjamin agar pemilihan umum tersebut bena-benar dilaksanakan berdasarkan asas

pemilihan umum dan peraturan perundang-undangan. Untuk mengawasi

penyelenggaraan pemilihan umum, Undang-Undang ini nomor 15 tahun 2011 juga

mengatur mengenai Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang bersifat tetap. Fungsi

pengawasan intern oleh KPU dilengkapi dengan fungsi pengawasan ekstern yang

dilakukan oleh Bawaslu serta Pengawas Pemili (Panwaslu) Provinsi, Panwaslu

Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, dan Pengawas

Pemilu Luar Negeri.

Page 29: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

29

Setelah berlaku selama 4 (empat) tahun, UU. Nomor 22 tahun 2007 kemudian

direvisi menjadi UU. Nomor 15 tahun 2011. Salah satu point yang penting dari revisi

tersebut adalah keberadaan Bawaslu menjadi permanen sampai di tingkat provinsi.

Hal yang berbeda dengan UU. Nomor 22 tahun 2007 yang mengatur bahwa Bawaslu

hanya permanen di tingkat pusat, sementara UU. No 11 tahun 2011

mempermanenkan organisasi Bawaslu sampai level Provinisi. Selain itu , UU. Nomor

15 tahun 2011 juga mengatur tentang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu

(DKPP) yang secara substansi memiliki otoritas yang lebih kuat dalam mengawasi

pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh KPU maupun BAWASLU.

Baik Undang-Undang Nomor 22 tahun 2007 maupun Undang-Undang Nomor

15 tahun 2011 mengatur dan mendorong adanya peningkatan kualitas penyelenggara

pemilu dalam menyelenggarakan pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah.

Dalam konteks pemilihan kepala daerah, salah satu indikator kualitas penyelenggara

Pemilukada adalah kemampuan dalam menegakkan aturan yang menjadi aturan

normatif dalam pelaksanaan Pemilukada, baik aturan yang dibuat oleh penyelenggara

sendiri maupun aturan yang menjadi acuannya.

KPUD dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah secara tekhnis dapat

dilihat dalam beberapa peraturan teknis antara lain Peraturan Pemerintah dan

Keputusan KPU. Khusus KPUD yang terkait dengan penetapan pasangan calon, maka

Keputusan KPU nomor 1 tahun 2007 Pasal 6 ayat 2 huruf b menyebutkan bahwa;

“Pencalonan mengacu pada ketentuan Pasal 9 ayat (3) huruf g dan hurufl serta Pasal 10 ayat (3) huruf i dan huruf m Undang-Undang Nomor 22 Tahun2007 yang mengatur mengenai penetapan pasangan calon dan penetapanpasangan calon terpilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah serta

Page 30: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

30

ketentuan Pasal 58 sampai dengan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 32 Tahun2004 sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2005dan ketentuan Pasal 36 sampai dengan Pasal 53 Peraturan Pemerintah Nomor6 Tahun 2005 Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2005 dan PeraturanPemerintah Nomor 25 Tahun 2007 yang mengatur mengenai pendaftaran danpenetapan pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

Salah satu tugas KPUD adalah melaksanakan pemilihan kepala daerah

langsung yang salah satu tahapannya adalah penetapan pasangan calon kepala

daerah. Pasal 9 ayat 3 Undang-Undang nomor 15 tahun 2011 berbunyi:

Huruf g. menetapkan pasangan calon kepala daerah dan wakilkepala daerah provinsi yang telah memenuhi persyaratan;

Kewenangan KPUD dalam menetapkan bakal calon menjadi pasangan

pasangan dalam pemilukada juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun

2008 tentang revisi Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah. Perubahan ini terkait dengan dibolehkannya calon independen untuk maju

dalam Pemilukada sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Ketentuan

Pasal 59A Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 menyatakan:

(2) verifikasi dan rekapitulasi dukungan calon perseoranganuntuk pemilihan bupati / wakil bupati dan walikota/ wakil walikotadilakukan oleh KPU Kabupaten/ Kota yang dibantu oleh PPK danPPS ;

(3) bakal pasangan calon perseorangan untuk pemilihan bupati/ wakil bupati dan walikota/ wakil walikota menyerahkan daftardukungan kepada PPS untuk dilakukan verifikasi paling lambat 28(dua puluh delapan) hari sebelum waktu pendaftaran pasangancalon dimulai

(5) verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat(4) dilakukan paling lama 14 (empat belas) hari sejak dokumendukungan bakal pasangan calon perseorangan diserahkan ;

(6) Hasil verifikasi dukungan calon perseorangansebagaimana dimaksud pada ayat (5) dituangkan dalam berita

Page 31: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

31

acara, yang selanjutnya diteruskan kepada PPK dan salinan hasilverifikasi disampaikan kepada akal pasangan calon ;

(7) PPK melakukan verifikasi dan rekapitulasi jumlah dukunganbakal pasangan calon untuk menghindari adanya seseorang yangmemberikan dukungan kepada lebih dari satu bakal pasangancalon dan adanya informasi manipulasi dukungan yangdilaksanakan paling lama 7 (tujuh) hari ;

(8) hasil verifikasi dan rekapitulasi dukungan calonperseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dituangkandalam berita acara yang selanjutnya diteruskan kepada KPUkabupaten/ kota dan salinan hasil verifikasi dan rekapitulasi disampaikan kepada bakal pasangan calon ;

(10) KPU kabupaten/ kota melakukan verifikasi dan rekapitulasijumlah dukungan bakal pasangan calon untuk menghindari adanyaseseorang yang memberikan dukungan kepada lebih dari satubakal pasangan calon dan adanya informasi manipulasi dukunganyang dilaksanakan paling lama 7 (tujuh) hari ;

Selanjutnya ketentuan Pasal 60 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008

mengatur sebagai berikut :

(3a) Apabila belum memenuhi syarat sebagaimana dimaksuddalam pasal 58 dan Pasal 59 ayat (5a) huruf b, huruf c, huruf d,huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, dan huruf i, calon perseorangandiberi kesempatan untuk melengkapi dan / atau memperbaikisurat pencalonan beserta persyaratan pasangan calon palinglama 7 (tujuh) hari sejak saat pemberitahuan hasil penelitianpersyaratan oleh KPU provinsi dan/ atau Kpu kabupaten/ kota ;

(3b) Apabila belum memenuhi syarat sebagaimana dimaksuddalam Pasal 59 ayat (5a) huruf a, calon perseorangan diberikesempatan untuk melengkapi dan / atau memperbaiki suratpencalonan beserta persyaratan pasangan calon paling lama 14(empat belas) hari sejak saat pemberitahuan hasil penelitianpersyaratan oleh KPU provinsi dan/ atau KPU kabupaten/ kota ;

(4) KPU provinsi dan/ atau KPU kabupaten / kota melakukanpenelitian ulang tentang kelengkapan dan/ atau perbaikanpersyaratan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (3a)dan ayat (3b) sekaligus memberitahukan hasil penelitian tersebutpaling lambat 14 (empat belas) hari kepada pimpinan partai politikatau gabungan partai politik yang mengusulkannya atau calonperseorangan

Page 32: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

32

(5) Apabila hasil penelitian berkas calon sebagaimanadimaksud pada ayat (4) tidak memenuhi syarat dan ditolak olehKPU Provinsi dan / atau KPU Kabupaten / Kota, partai politik ataugabungan partai politik atau calon perseorangan tidak dapat lagimengajukan calon

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penelitianpersyaratan administrasi pasangan calon sebagaimana dimaksudpada ayat (1) diatur dengan peraturan KPU

Namun pada kenyataannya, dalam beberapa pelaksanaan pemilukada, KPUD

dalam hal ini KPU Provinsi maupun KPU Kabupaten justru tidak menetapkan

pasangan calon yang secara normatif telah memenuhi persyaratan, sebaliknya KPUD

menetapkan pasangan calon yang belum memenuhi persyaratan. Beberapa contoh

dari penyimpangan ketentuan normatif itu adalah, pertama KPUD tidak melakukan

verifikasi secara faktual dan prodesur terkait dengan dukungan bakal calon, baik yang

didukung oleh Partai Politik, maupun yang maju pada jalur perseorangan. Kedua, hasil

verifikasi tidak disampaikan kepada bakal pasangan calon, jadi hanya disampaikan

pada pasangan bakal calon tertentu. Ketiga, rapat pleno penetapan bakal calon tidak

kuorum, sehingga proses penetapannya cacat prosedur.

Akibat proses penetapan yang tidak prosedur tersebut, pada faktanya KPUD

akhirnya digugat di Peradilan Tata Usaha Negara (Peratun). Keputusan KPUD tentang

penetapan pasangan calon kepala daerah dapat digugat ke Peratun karena jenis

keputusan tersebut merupakan jenis keputusan yang dapat digugat di Peratun. Dalam

Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peratun Pasal 2 huruf g diatur bahwa

Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-

undang ini:

Pasal 2 huruf g ; Keputusan Panitia Pemilihan, baik di pusat maupun didaerah, mengenai hasil pemilihan umum.

Page 33: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

33

Ketentuan dalam Pasal 2 huruf g tersebut secara limitatif membatasi bahwa

yang masuk kategori keputusan yang tidak dapat digugat di Peratun diantaranya

adalah keputusan mengenai hasil pemilihan umum. Sedangkan keputusan mengenai

penetapan pasangan bakal calon menjadi calon oleh KPUD adalah bukan keputusan

tentang hasil pemilihan umum, sehingga masih termasuk kewenangan Peratun untuk

memeriksa, mengadili dan memutuskan apabila terjadi sengketa akibat terbitnya

keputusan seperti itu. Pasal 2 huruf g tersebut dipertegas oleh terbitnya Surat Edaran

Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 tahun 2010 yang secara pokok mengatur bahwa

Keputusan-keputusan tersebut yang belum atau tidak merupakan “hasilpemilihan umum” dapat digolongkan sebagai keputusan di bidang urusanpemerintahan, dan oleh karenanya sepanjang keputusan tersebut memenuhi kriteriaPasal 1 butir 3 Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, maka tetapmenjadi kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara untuk memeriksa danmengadilinya. Hal ini disebabkan karena keputusan tersebut berada di luar jangkauanperkecualian sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 2 huruf g Undang-Undangtentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Dalam konteks penegakan hukum administrasi di Pemilukada, secara normatif

selain Peratun, menurut UU Nomor 22 tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu,

BAWASLU juga memiliki kewenangan dalam hal terjadi pelanggaran administrasi

dalam pemilukada. Kewenangan yang dimaksud adalah apabila terjadi pelanggaran

administrasi bukan pada kewenangan apabila terjadi sengketa administrasi. Dalam

pelanggaran administrasi, kewenangan Bawaslu adalah merekomendasikan

pelanggaran administrasi tersebut kepada KPUD, selanjutnya KPUD yang

menindaklanjuti pelanggaran tersebut. Dalam hal sengketa administrasi, Bawaslu tidak

memiliki kewenangan sehingga apabila terjadi sengketa administrasi dalam

Page 34: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

34

pemilukada seperti halnya sengketa penetapan pasangan calon oleh KPUD, maka

calon pasangan yang dirugikan oleh KPUD mengajukan gugatan ke Peratun

Ada beberapa perkara permohonan pembatalan Surat Keputusan KPU daerah

tentang penetapan pasangan calon kepala daerah yang yang sudah diputus oleh

Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar (PTUN Makassar). Beberapa perkara

tersebut antara lain, Pertama, adalah perkara nomor 51/G.TUN/2010/P.TUN.Mks.

antara Ir. Agustinus La’lang, M.Si. sebagai Penggugat melawan KETUA dan / atau

Anggota KPUD Kabupaten Toraja Utara sebagai Tergugat15 yang dimohonkan batal ke

PTUN Makassar. Dalam perkara ini, Penggugat menggugat dan memohon dibatalkan

Surat Keputusan Ketua dan/atau Anggota KPU Kabupaten Toraja Utara (Tergugat)

Nomor : 013/KPU-TU.2/VIII/2010, tanggal 21 Agustus 2010 Tentang Penetapan

Nomor Urut Pasangan Calon Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten

Toraja Utara Pemilihan Umum Tahun 2010;

Dalam gugatannya, Penggugat mendalilkan alasan menggugat KPUD adalah

karena pada tanggal 13 Juli 2010 telah mendaftarkan diri sebagai Bakal Pasangan

Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Toraja Utara Tahun 2010, yang

didukung resmi oleh gabungan partai politik yakni Partai Hati Nurani Rakyat

(HANURA) dengan perolehan kursi parlemen 1 kursi, Partai Keadilan & Persatuan

Indonesia dengan Perolehan kursi parlemen 3 kursi, Partai Barisan Nasional dengan

perolehan kursi parlemen 1 kursi dan beberapa partai non parlemen termasuk Partai

PKPI dan Partai Barnas. Namun pada akhirnya KPUD Toraja Utara lewat

penetapannya menetapkan bahwa hanya satu partai politik yang sah mendukung

15Data Perkara di Bagian Perkara Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar

Page 35: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

35

Penggugat yaitu Partai HANURA dan KPUD dalam hal ini Tergugat ‘

menghilangkan/mendiskualifikasi ‘ kebenaran dukungan Partai PKPI dan Partai

Barnas yang mendukung Penggugat dan tindakan KPUD Tanah Toraja inilah yang

dianggap Penggugat merupakan tindakan melawan hukum yang dilakukan Tergugat,

melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik dan seterusnya.

Dalam gugatannya, selain memohon pembatalan Surat Keputusan Penetapan

KPUD, Penggugat juga memohon Penundaan Pelaksanaan Surat Keputusan

Penetapan KPUD tersebut karena berpotensi merugikan penggugat. Terhadap dua

permohonan tersebut, Majelis Hakim yang mengadili perkara tersebut dalam amar

putusannya menyebutkan ;Memerintahkan Tergugat untuk menunda Pelaksanaan

dan tindak lanjut terhadap Surat Keputusan Ketua dan/atau Anggota KPU Kabupaten

Tana Toraja Utara Nomor : 013/KPU-TU.2/VIII/2010, tanggal 21 Agustus 2010

Tentang Penetapan Nomor Urut Pasangan Calon Kepala Daerah Dan Wakil Kepala

Daerah Kabupaten Toraja Utara Pemilihan Umum Tahun 2010 Sampai adanya

putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap ( in kracht van gewijsde) ;

Dalam putusan akhir, Majelis Hakim mengabulkan seluruh gugatan penggugat

dan Menyatakan batal atau tidak sah Surat Keputusan Ketua dan/atau Anggota KPU

Kabupaten Toraja Utara (Tergugat) Nomor : 013/KPU-TU.2/VIII/2010, tanggal 21

Agustus 2010 Tentang Penetapan Nomor Urut Pasangan Calon Kepala Daerah Dan

Wakil Kepala Daerah Kabupaten Toraja Utara Pemilihan Umum Tahun 2010 serta

Mewajibkan Ketua dan/atau KPU Kabupaten Toraja Utara (Tergugat) untuk

menerbitkan surat keputusan yang baru yang berisi menetapkan menerima,

menyatakan serta mencantumkan nama dan memasukkan dalam daftar urut

Page 36: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

36

Penggugat sebagai Pasangan Calon yang sah dan memenuhi syarat ketentuan

perundang-undangan sebagai Bakal Pasangan Calon dan/atau Pasangan Calon

Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah pada Pemilukada Toraja Utara Tahun

2010 .

Ditinjau dari penegakan hukum administrasi, persoalan yang muncul dari

perkara ini adalah dalam hal pelaksanaan eksekusi putusan hakim Peratun, baik yang

terkait dengan putusan penundaan (schoorsing) maupun pelaksanaan putusan akhir.

Di tengah proses persidangan perkara, ketika Majelis Hakim mengabulkan

permohonan Penundaan (schoorsing) dari Penggugat, maka secara hukum

Tergugat/KPUD semestinya menunda tahapan Pemilukada. Namun dalam prakteknya,

KPUD mengabaikan putusan Majelis Hakim Peratun dan tetap melanjutkan tahapan

pemilukada yakni pengundian nomor urut, kampanye dan seterusnya dan

mengabaikan status Penggugat.

Tidak dipatuhinya putusan schoorsing Peratun oleh KPUD maka tahapan

pemilukada terus berlanjut, sementara penggugat yang secara hukum masih

berpeluang untuk bisa menjadi calon kepala daerah akhirnya mengalami kerugian.

Dalam putusan akhir perkara ini, gugatan penggugat juga dikabulkan oleh hakim

secara keseluruhan, namun lagi-lagi Tergugat/KPUD tidak melaksanakan putusan

Majelis Hakim PTUN Makassar dan memilih untuk melakukan upaya hukum Banding

sementara tahapan pemilukada tetap berlanjut sehingga nasib Penggugat sebagai

calon peserta Pemilukada semakin mengalami kerugian yang nyata.

Perkara kedua, Keputusan KPU Kabupaten Gowa Nomor : 05 Tahun 2010

tertanggal 19 April 2010 Tentang Penetapan Pasangan Calon Kepala Daerah dan

Page 37: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

37

Wakil Kepala Daerah Menjadi Peserta Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil

Kepala Daerah Kabupaten Gowa Tahun 2010 oleh PTUN Makassar dalam perkara

Nomor: 50/G.TUN/ 2010/PTUN.Mks. antara DRS. ANDI MADDUSILA ANDI IDJO

sebagai Penggugat melawan KPU KABUPATEN GOWA sebagai Tergugat16.

Dalam gugatannya, Penggugat pada intinya menolak Surat Keputusan

Tergugat tersebut karena Surat Keputusan Tata Usaha Negara aquo disamping

mengalami cacat hukum, melanggar kepentingan hukum Penggugat, juga merupakan

pembohongan publik khususnya pembohongan kepada masyarakat Kabupaten Gowa,

dengan alasan-alasan penolakan sebagai antara lain bahwa Tergugat telah secara

sengaja/sadar dan melawan hukum telah membiarkan dan meloloskan pasangan

calon Kepala Daerah Kabupaten Gowa pasangan nomor urut 4 (empat) atas nama H.

Ichsan Yasin Limpo, SH. MH sebagai Calon Bupati Gowa sementara yang

bersangkutan tidak memenuhi persyaratan tehnis administratif yaitu tidak memiliki dan

melampirkan foto copy ijazah SD yang dilegalisir

Menyikapi adanya gugatan tersebut, Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara

menetapkan bahwa gugatan Penggugat tidak dapat diterima, karena gugatan diajukan

telah lewat waktu. Dalam pertimbangan penetapan tersebut, Ketua PTUN Makassar

menerangkan bahwa gugatan Penggugat telah melampaui tenggang waktu 90 (hari)

terhitung sejak saat diterbitkannya atau diumumkannya keputusan yang digugat, maka

sesuai ketentuan Pasal 55 juncto Pasal 62 ayat (1) huruf (e), gugatan Penggugat

harus dinyatakan tidak dapat diterima (dismissal procedure).

16Data Perkara di Bagian Perkara Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar

Page 38: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

38

Dalam konteks penegakan hukum administrasi di ranah pengadilan

administrasi, meskipun gugatan tersebut tidak diterima karena soal tenggang waktu

menggugat yang telah kadaluarsa (verjaring), namun yang menjadi permasalahan

adalah substansi alasan Penggugat yang dijadikan dalil pokok Penggugat dalam

menguji penetapan KPUD. Dalam perkara tersebut alasan Penggugat memohon

pembatalan penetapan KPUD adalah didasarkan atas alasan bahwa obyek sengketa a

quo dianggap cacat hukum yaitu adanya dugaan ketidakbenaran ijazah dari seorang

Calon Kepala Daerah dalam Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Gowa Tahun 2010.

Alasan Penggugat tersebut , dalam kaitannya dengan peraturan perundang-undangan

tentang penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah (pemilukada), adalah

termasuk ranah pelanggaran pidana (pemalsuan surat) sebagaimana diatur dalam

Undang-Undang No.12 Tahun 2008 Pasal 115 ayat (6) yang berbunyi :

“Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benaratau menggunakan surat palsu seolah-olah sebagai surat yang sah tentangsuatu hal yang diperlukan bagi persyaratan untuk menjadi pasangan calonKepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, diancam dengan pidana penjarapaling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan, dan paling lama 72 (tujuh puluhdua) bulan, dan denda paling sedikit Rp.36.000.000,- (tiga puluh enam jutarupiah) dan paling banyak Rp.72.000.000,- (tujuh puluh dua juta rupiah)” ;

Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa prosedur penyelesaian atas

pelanggaran pidana dalam pemilukada tersebut di atas, telah diatur oleh peraturan

perundang-undangan pemilukada, antara lain :

a. Peraturan KPU No.68 Tahun 2009 Pasal 9 ayat (2) huruf f, jo

Surat Keputusan KPU Kabupaten Gowa No.2 Tahun 2010 tentang

Pedoman Tehnis Tata Cara Pencalonan Pemilihan Umum Kepala

Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Gowa Tahun 2010,

Bab III Pasal 9 ayat (2) huruf c point f yang berbunyi :

“Apabila terdapat pengaduan atau laporan tentang ketidakbenaranijazah bakal pasangan calon di semua jenjang pendidikan,kewenangan atas laporan tersebut diserahkan kepada pihak

Page 39: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

39

Pengawas Pemilu dan Kepolisian, sampai dengan terbitnyaputusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukumtetap” ;

b. Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2005 tentang Pemilihan,

Pengesahan Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah

dan Wakil Kepala Daerah, antara lain :

Pasal 111 :

Ayat (5) : “Dalam hal laporan yang bersifat sengketamengandung unsur tindak pidana, penyelesaiannya diteruskankepada aparat penyidik” ;

Ayat (7) : “Laporan yang mengandung unsur tindak pidanasebagaimana dimaksud pada ayat (5) yang telah memperolehputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap,yang berakibat calon terpilih tidak memenuhi persyaratan,ditindaklanjuti dengan pembatalan pasangan calon oleh DPRD” ;

Pasal 114 : “Pemeriksaan atas tindak pidana dalam Peraturan Pemerin-tah ini dilakukan oleh pengadilan di lingkungan Peradilan Umum”

Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, oleh karena alasan gugatan

Penggugat didasarkan atas dugaan tindak-pidana yang prosedur penyelesaiannya

telah diatur secara khusus di dalam peraturan pemilukada dan menjadi wewenang

pengadilan di lingkungan Peradilan Umum, maka gugatan Penggugat dengan alasan

tersebut adalah tidak tepat untuk diajukan ke Peratun. Argumentasinya adalah apabila

gugatan Penggugat dapat diterima dan diperiksa pokok perkaranya, berlaku ketentuan

Pasal 85 ayat (4) UU No.5/1986 yang berbunyi sebagai berikut :

“Jika pemeriksaan tentang benarnya suatu surat menimbulkan persangkaanterhadap orang yang masih hidup bahwa surat itu dipalsukan olehnya,Hakim Ketua Sidang dapat mengirimkan surat yang bersangkutan kepadapenyidik yang berwenang, dan pemeriksaan sengketa tata usaha negaradapat ditunda sampai putusan perkara pidananya dijatuhkan” ;

Page 40: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

40

Berdasarkan ketentuan Hukum Acara Peratun di atas, proses pemeriksaan

perkara di Peratun yang mengandung unsur tindak pidana harus ditunda (tootnader)

dalam waktu yang cukup lama karena menunggu putusan pidananya memperoleh

kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Dengan demikian terjadi persoalan

hukum apabila di satu sisi substansi pidana yang dijadikan alasan utama dalam

pengujian penetapan pasangan calon kepala daerah oleh KPUD ke Peratun belum

memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) sementara Peratun harus

segera mengeluarkan putusan terkait dengan penetapan tersebut untuk memberikan

kepastian hukum kepada KPUD untuk melanjutkan tahapan pemilukada selanjutnya

Baik perkara pertama maupun perkara kedua diatas pada kenyataannya

melahirkan persoalan dalam konteks pelaksanaan putusannya ketika telah diputus

oleh Majelis Hakim. Selain kedua perkara tersebut, banyak perkara sengketa

pemilukada yang diuji oleh PTUN lain selain di PTUN Makassar menimbulkan

persoalan hukum akibat putusan PTUN tidak dilaksanakan oleh KPUD sebagai pihak

Tergugat. Seperti kasus pemilukada Toraja Utara di atas di mana KPUD Toraja Utara

tidak melaksanakan putusan schoorsing yang diputus oleh PTUN Makassar.

Pada perkara lain di PTUN Mataram, yakni perkara dengan nomor putusan

PTUN Mataram Nomor 31/G/2010/PTUN.MTR jo putusan PTTUN Surabaya Nomor

180/B/2010/PT.TUN.SBY tergugat dalam hal ini KPUD Lombok Tengah tidak

melaksanakan putusan PTUN Mataram yakni menerbitkan SK Penetapan Pasangan

yang baru yang mengikutsertakan nama penggugat sebagai calon bupati Lombok

Tengah. Pada perkara lain di PTUN Kupang, dengan nomor perkara 14/g/2010/ptun-

kpg, KPUD Kabupaten Timur Tengah Utara juga tidak melaksanakan putusan PTUN

Page 41: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

41

Kupang yang memerintahkan untuk menerbitkan SK Penetapan untuk mengganti SK

Penetapan yang sudah dibatalkan oleh PTUN Kupang.

Terkait dengan pentingnya penegakan hukum administrasi dalam Pemilukada

khususnya dalam pengujian penetapan pasangan calon kepala daerah tergambar dari

kondisi pemilukada Sulawesi Selatan yang memunculkan beberapa persoalan antara

lain:171. Adanya parpol/gabungan parpol yang mengusung lebih dari satu pasangan

calon, 2. Penarikan dukungan dari parpol pengusung terhadap calon yang telah

dinyatakan lolos verifikasi oleh KPUD.3. Ketidakpuasan sebagian komunitas

pendukung pasangan calon yang tidak puas terhadap beberapa keputusan KPUD.

Ketiga kasus sebagaimana dalam laporan KPUD Provinisi Sulawesi Selatan tersebut

sangat erat kaitannya dengan pengujian penetapan KPUD tentang Penetapan

Pasangan calon kepala daerah yang diuji oleh Pengadilan Tata Usaha Negara dengan

menggunakan Hukum Administrasi sebagai alat pengujian.

Secara filosofis konstitusional, sebagai negara hukum, maka setiap dimensi

kehidupan berbangsa dan bernegara harus diatur dan berlandaskan hukum, bukan

berdasarkan kekuasaan. Dalam perspektif hukum administrasi, proses pengelolaan

kekuasaan pemerintahan diperlukan sebuah tatanan dan hukum untuk menghindari

terjadinya kesewenang-wenangan (willkeur) oleh negara atau penyalahgunaan

wewenang (detournament de pouvouir). Menurut H.D. Van wijk18, secara global,

hukum administrasi negara merupakan instrument yuridis pemerintah untuk secara

17Dikutip dari Laporan Pilkada KPUD Sulawesi Selatan, 2006

18 Irfan Fachrudin, Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap tindakan Pemerintah. Alumni. Bandung. 2004.

hal.133-134

Page 42: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

42

aktif terlibat dalam kehidupan bersama masyarakat dan merupakan hukum yang dapat

digunkan oleh masyarakat untuk mempengaruhi dan mendapat perlindungan dari

pemerintah. Beberapa konflik yang terjadi dalam pemilukada mengandung aspek-

aspek yang berhubungan dengan penegakan hukum administrasi, Misalnya dalam hal

KPUD mengeluarkan Keputusan penetapan pasangan calon yang lolos verifikasi

untuk menjadi pasangan resmi. Karena sifatnya dalam bentuk Surat Keputusan

(beschikking), maka memiliki peluang untuk digugat di Peratun. Persoalan yang

muncul adalah pengelolaan penyelesaian sengketa administrasi dalam konteks

pemilukada belum berjalan secara sistematis dan komprehensif. Hal ini disebabkan

beberapa hal;

Pertama, masih terbatasnya pemahaman pemangku kepentingan

(stakeholeders) pemilukada tentang sengketa administrasi, contoh paling nyata adalah

dalam RUU Pemilukada yang saat ini dibahas oleh DPR yang drafnya disusun oleh

Pemerintah menyebutkan bahwa penolakan terhadap keputusan KPUD tentang

penetapan bakal calon menjadi calon maka dapat diajukan sengketa di Pengadilan

Negeri. Dalam Pasal 76 ayat 2-5 RUU Pemilukada19 (revisi UU.32 Tahun 2004)

disebutkan bahwa:

(1)Calon yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)diumumkan secara luas paling lambat 7 (tujuh) hari sejak selesainyapenelitian.

(2)Terhadap penetapan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), calonyang merasa dirugikan dapat mengajukan keberatan hasil penetapan calonkepada Pengadilan Negeri paling lambat 3 (tiga) hari setelah pengumumansebagaimana dimaksud pada ayat (2).

19Naskah RUU Pemilukada bulan Februari 2012

Page 43: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

43

(3)Pengadilan Negeri memutus sengketa hasil penetapan calon palinglambat 14 (empat belas) hari sejak diterimanya permohonankeberatan dari Calon.

(4)Putusan Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bersifatfinal dan tidak dapat diajukan upaya hukum lainnya

Hal ini menunjukkan betapa pemerintah pun tidak memahami bahwa sengketa

terhadap keputusan KPUD adalah sengketa administrasi yang menjadi wewenang

Peratun, bukan kompetensi pengadilan umum.

Kedua, proses penyelesaian sengketa administrasi pemilukada tidak diatur

secara komprehensif agar mendapatkan kepastian hukum dalam waktu relatif singkat

supaya tidak menganggu jalannya persiapan pemilukada. Selain itu banyak tindakan-

tindakan penyelenggara pemilukada yang mengakibatkan kerugian bagi publik namun

tidak diselesaikan melalui penegakan hukum administrasi negara dalam hal ini

Peratun.

Ketiga, politik hukum peraturan perundang-undangan tentang pemilukada

belum memberi ruang yang siginifikan terhadap penegakan hukum administrasi

negara ketika terjadi sengketa pemilukada. Dalam hal ini banyak sekali aturan yang

menjadi pedoman pelaksanaan pemilukada tidak selaras atau tidak kompatibel

dengan mekanisme penegakan hukum administrasi dalam hal ini hukum acara di

peradilan tata usaha negara. Keempat, pelembagaan hukum dalam pemilukada juga

gagal karena secara substansi UU. 32 tahun 2004 - maupun Undang-Undang Nomor

12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun

2004 Tentang Pemerintahan Daerah20 - tidak secara jelas mengatur proses hukum, -

20Lihat selengkapnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

Page 44: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

44

baik materi maupun formil- yang bisa ditempuh ketika berhadapan dengan

pelanggaran atau persoalan hukum dalam pemilukada.

Misalnya dalam persoalan Penetapan Pasangan Calon Kepala Daerah, UU.

Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah pada Pasal 61 yang mengatur

penetapan pasangan calon kepala daerah, tidak mengatur mekanisme hukum apabila

ada pasangan yang keberatan tentang keputusan KPUD tentang penetapan pasangan

calon. Begitu juga dengan tahapan lainnya. Karena tidak jelasnya mekanisme hukum

yang mengatur, maka formula penyelesaian sengketa akibat keputusan KPUD sering

berakhir kepada bentrokan dan anarkhisme seperti yang terjadi di Pemilukada

Mojokerto, Pemilukada di Papua, Pemilukada di Kabupaten Gowa, Pemilukada di

Kabupaten Tanah Toraja Utara dan lain-lain. Bahkan ketentuan yang mendefinisikan

tentang Sengketa Pemilukada sampai saat ini belum diatur dalam ketentuan

perundang-undangan manapun yang terkait dengan pemilihan kepala daerah. Kelima,

sanksi hukum administrasi atas terjadinya pelanggaran baik yang dilakukan oleh

peserta pemilukada maupun penyelenggara pemilukada tidak memiliki efek jera,

sehingga muncul ketidakpatuhan terhadap putusan pengadilan terhadap sengketa

administrasi.

Adanya pengujian penetapan KPUD tentang pasangan calon kepala daerah

oleh Peratun serta persoalan yang muncul dalam proses pengujian tersebut

sebagaimana tergambar dalam perkara di atas menunjukkan ada beberapa persoalan

penegakan hukum administrasi dalam proses penetapan pasangan calon kepala

daerah oleh KPUD. Sehingga berdasarkan uraian di atas, maka isu penelitian ini

adalah bagaimana penegakan hukum hukum administrasi terhadap sengketa

Page 45: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

45

penetapan pasangan calon oleh KPUD dan sejauhmana mana efektifitas pelaksanaan

putusan Peratun terhadap sengketa tersebut.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah penegakan Hukum Administrasi terhadap penyelesaian

sengketa penetapan pasangan calon kepala daerah oleh KPUD ?

2. Sejauhmana efektifitas pelaksanaan Peratun terhadap sengketa

penetapan pasangan calon kepala daerah?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui dan menjelaskan tentang penegakan Hukum

Administrasi terhadap penyelesaian sengketa penetapan pasangan calon

kepala daerah oleh KPUD dan pihak yang terkait dengan pelaksanaan

pemilukada.

2. Untuk mengetahui dan menjelaskan efektifitas pelaksanaan putusan

Peratun terhadap sengketa penetapan pasangan calon kepala daerah

Page 46: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

46

D. Kegunaan Penelitian

1. Memberikan masukan dan informasi untuk KPUD tentang penegakan

Hukum Administrasi terhadap penyelesaian sengketa penetapan

pasangan calon kepala daerah oleh KPUD

2. Untuk memberikan masukan, saran dan informasi kepada KPUD dan

seluruh pemangku kepentingan dalam pemilihan kepala daerah tentang

efektifitas pelaksanaan putusan Peratun terhadap sengketa penetapan

pasangan calon kepala daerah

Page 47: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

47

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Negara Hukum Demokrasi

Hukum merupakan instrumen berjalannya negara melalui kekuasaan yang

dimilikinya. Menurut Mahfud MD, demokrasi sebagai suatu sistem politik sangat erat

sekali hubungannya dengan hukum. Demokrasi tanpa hukum tidak akan terbangun

dengan baik, bahkan mungkin menimbulkan anarki, sebaliknya hukum tanpa sistem

politik yang demokratis hanya akan menjadi hukum yang elitis dan represif21

Kaitan hubungan hukum dengan rakyat maka disadari bahwa sebagai salah

satu unsur negara selain wilayah dan pemerintah, rakyat harus dihubungkan dengan

ikatannya dengan negara. Ikatan seseorang yang menjadi warga negara itu

menimbulkan suatu hak dan kewajiban baginya. Karena hak dan kewajiban itu, maka

kedudukan seseorang warga negara dapat disimpulkan dalam empat hal yang disebut

sebagai berikut;22 1) Status Positif, yakni seorang warga negara ialah memberi hak

kepadanya untuk menuntut tindakan positif daripada negara mengenai perlindungan

atas jiwa, raga, milik, kemerdekaan dan sebagainya. 2) Status Negatif, yakni seorang

warga Negara akan memberi jaminan kepadanya bahwa negara tidak boleh campur

tangan terhadap hak-hak asasi warga negaranya. Campur tangan negara terhadap

21Moh. Mahfud M.D. . Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi. Yogjakarta: Gama Media Offset. 1991. Hlm. 1

22Moh. Kusnadi & Bintan R. Saragih. k“ Ilmu Negara”. Gaya Media Pratama. Jakarta .cet-4. 2000. Hlm. 109

Page 48: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

48

hak-hak asasi warga negaranya terbatas untuk mencegah timbulnya tindakan yang

sewenang-wenang daripada Negara.3). Status Aktif, yakni memberi hak kepada

setiap warga negaranya untuk ikut serta dalam pemerintahan. 4). Status Positif, yakni

merupakan kewajiban bagi setiap warga negara untuk mentaati dan tunduk kepada

segala perintah negaranya. Keempat hal tersebut menunjukkan bahwa rakyat dalam

hal ini warga Negara tidak adapat dipisahkan dari negara , tanpa warga negara, maka

warga Negara akan merupakan suatu fiksi besar23.

Sebaliknya di antara keduanya, yakni relasi warga negara dengan negara harus

memiliki hukum sebagai norma penertib di antara keduanya. Hukumlah yang dijadikan

rakyat untuk melakukan “negosiasi’ dan agregasi kepentingan. Hukum menjadi piranti

untuk mengontrol dan membatasi kekuasaan. Untuk menjamin kekuasaan yang

dimiliki oleh setiap penyelenggara negara akan dilaksanakan sesuai dengan alasan

pemberian kekuasaan itu sendiri serta mencegah tidak terjadinya penyalahgunaan

kekuasaan, maka pemberian dan penyelenggaraan kekuasaan itu harus berdasarkan

hukum. Inilah makna prinsip negara hukum baik dalam konteks rechtsstaats maupun

rule of law. Hukum menjadi piranti lunak (software) yang mengarahkan, membatasi,

serta mengontrol penyelenggaraan negara24

Tanpa hukum, negara bisa sewenang-wenang sehingga hukum dalam konteks

ini adalah batas-batas kebebaskan antara individu dan penguasa dalam setiap

interaksi hingga hukum menjadi perlindungan dan jaminan tercapainya kesejahteraan

23 Juniarso Ridwan & Achmad Sodik S, “ Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Publik”. Nuansa. Bandung.

2010.hlm.47

24 Mahfud MD, Bahan pada Acara Seminar Nasional “Saatnya Hati Nurani Bicara” yang diselenggarakan oleh DPP

Partai HANURA. Jakarta, 8 Januari 2009. Hlm. 2

Page 49: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

49

umum. Konsep kesejahteraan negara tidak hanya mencakup deskripsi mengenai

sebuah cara pengorganisasian kesejahteraan (welfare) atau pelayanan social.

Melainkan juga sebuah konsep normatif atau sistem pendekatan ideal yang

menekankan setiap orang harus memperoleh pelayanan social sebagai haknya25.

Akses untuk memperoleh pelayanan sosial, politik dan ekonomi tersebut memerlukan

konsepsi hubungan warga negara dan warga negara yang lebih demokratis, akuntabel

dan partipasipatif.

Demokratisasi hubungan warga negara dengan negara cukup penting untuk

menjaga filosofi bahwa kedaulatan rakyat merupakan sumber utama dari kekuasaan

yang dimiliki negara. Sehingga hukum yang digunakan negara dalam berkuasa harus

juga memiliki karakter hukum yang demokratis. Dengan demikian diperlukan konsep

negara demokratis untuk menjaga hubungan negara dan warga negara.

Konsep negara hukum demokratis inilah yang saat ini banyak dijadikan rujukan

dalam mengimplementasikan praktik negara hukum di tengah gelombang

demokratisasi. Beberapa literatur dan pendapat pakar hukum berpendapat bahwa

sesungguhnya tidak ada ruang yang bisa memberi celah berpisahnya konsep negara

hukum dan demokratisasi. Sehingga konsep negara hukum selalu identik dengan

demokratisasi. Para ahli hukum pasca abad 21 lebih cenderung menggunakan istilah

Negara hukum yang demokratis. Alasannya sederhana bahwa hukum ketika menjadi

instrument negara dalam menata kekuasaan tidak bisa bekerja tanpa prinsip-prinsip

demokrasi seperti keterbukaan, persamaan hak, partisipasi, akuntabilitas. Sebaliknya

25Edy Suharto, Peta dan Dinamika Welfare State…sebagaimana dikutip Riawan Tjandra, Peradilan Tata Usaha

Negara;mendorong terwujudnya Pemerintahan yang bersih dan Berwibawa, Universitas Atmajaya Yogyakarta.

2009. Hlm. 2

Page 50: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

50

praktek demokrasi yang mengedepankan kesetaraan, keterbukaan, partisipasi akan

mengalamai euphoria tak terbatas dan melahirkan liberalisme demokrasi apabila tanpa

disertai oleh tatanan hukum yang beradab.

Konsep negara hukum memiliki akar historis dalam memperjuangkan nilai-nilai

demokratis26. Konsepsi tentang negara hukum secara garis besar terdiri dari 2 konsep,

yakni aliran the rule of law dan rechtstaat. Istilah rechtstaat mulai popular di Eropa

sejak abad XIX meskipun pemikiran itu sudah lama adanya. Sedangkan istilah the rule

of law mulai popular dengan terbitnya sebuah buku dari Albert Venn Dicey tahun 1885

dengan judul, “Introduction to the study of the law of the constitution”. Pada abad 19,

Freidich Julius Stahl memunculkan konsep Negara hukum rechstaat yang diilhami

oleh Immanuel Kant. Dalam suasana alam pikiran negara hukum liberal, Friederich

Julius Stahl dalam karya ilmiahnya yang berjudul Philosophie des Rechts yang terbit

tahun 1878 berusaha menyempurnakan konsep negara hukum liberal dari Immanuel

Kant, namun masih tetap memperhatikan aspek formalnya saja. Friederich Julius Stahl

menyusun unsur-unsur utama dari negara hukum formal sebagai berikut :

a) Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia;b) Untuk melindungi hak asasi tersebut maka penyelenggaraan

negara harus berdasarkan teori trias politica Pemerintahmenjalankan tugasnya berdasarkan atas undang-undang(wetmatigheid van bestuur);

c) Apabila pemerintah dalam menjalankan tugasnya berdasarkanundang-undang masih melanggar hak asasi (campur tanganpemerintah dalam kehidupan pribadi seseorang), maka adapengadilan administrasi yang akan menyelesaikannya. 27

26A. Muhammad Asrun, Krisis Peradilan; Mahkamah Agung di bawah Soeharto,.Elsam. Jakarta. , 2004. Hlm.42

27 Padmo Wahjono, , Pembangunan Hukum di Indonesia, Ind. Hill Co., Jakarta, 1989. hlm. 151

Page 51: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

51

Agak berbeda dengan konsepsi negara hukum di Eropa Konteninetal, Pada

wilayah anglosaxon muncul pula konsep negara hukum (rule of law) dari AV Dicey,

dengan unsur-unsur sebagai berikut:

a. Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy if the law); tidak adanyakekuasaan sewenang-wenang (abcence of arbitrary power) dalam artibahwa seseorang hanya boleh dihukum kalau melanggar hukum

b. Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the law).Dalil ini berlaku baik untuk orang biasa muapun pejabat; dan

c. Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang (di negara lain olehUndang-undang dasar) serta keputusan-keputusan Pengadilan28

Perbedaan yang menonjol dari konsep rechtsstaat dengan rule of law adalah

bahwa konsep rule of law tidak mengenal badan peradilan khusus bagi pejabat publik,

sedangkan pada sistem rechtsstaat mengenal badan peradilan khusus bagi pejabat

negara dalam mengisi tindakannya melaksanakan tugas kenegaraan berupa badan

peradilan administrasi tersendiri dan merupakan suatu ciri spesifik penting yang

menonjol. Philipus M. Hadjon mengakui adanya perbedaan dan persamaan antara

konsep rechtsstaat dan the rule of law. Kedua konsep itu ditopang oleh sistem hukum

yang berbeda. Konsep rechtsstaat lahir dari perjuangan menentang absolutisme

sehingga bersifat revolusioner, bertumpu pada sistem hukum kontinental yang disebut

“civil law” atau “modern Roman Law”, dengan karakteristik administratif. Sebaliknya

konsep the rule of law berkembang secara evolusioner, bertumpu pada sistem hukum

“common law”, dengan karakteristik judicial29.

Dengan demikian, perbedaan keduanya ada pada titik itu, yakni Rechtsstaat

menekankan pada pembatasan kekuasaan sementara Rule of Law menekankan pada

28 Miriam Budiardjo, ,Dasar-dasar ilmu Politik, , Gramedia, Jakarta. 1982.hlm, 58

29Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, PT.Bina Ilmu, Surabaya, , 1987.hlm. 71-74.

Page 52: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

52

Perlindungan hak warga. Namun apabila dicermati secara mendalam, keduanya

memiliki persamaan yakni dalam konteks perlindungan hukum terhadap warga. Sebab

pembatasan kekuasaan oleh Rechtsstaat pun juga bertujuan untuk melindungi rakyat.

Rechstaat adalah konsep negara hukum yang mendekati konsep demokrasi.

Menurut catatan Padmo Wahjono, sejalan dengan perkembangan teori

ketatanegaraan konsep rechtstaat sering dikaitkan dengan pengertian demokratis30.

Atas dasar demokratis, rechtstaat dikatakan sebagai “Negara kepercayaan timbal

balik” (de staat van het weder zidjs vertrouwen) yaitu kepercayaan dari rakyat

pendukungnya bahwa kekuasaan yang diberikan tidak akan disalahgunakan dan

kepercayaan dari penguasa bahwa dalam batas kekuasaannya dia mengharapkan

kepatuhan dari rakyat pendukungnya31. Karena Negara hukum identik dengan

indikator-indikator demokratisasi, maka konsep relasi warga Negara dan Negara

dalam konteks Negara hukum secara substansi memiliki kandungan dengan asas-

asas demokrasi.

Dalam konsep rechtstaat misalnya asas-asas demokratis yang melandasi

rechstaat menurut S.W. Couwenberg meliputi 5 asas32, yaitu asas hak-hak politik (het

beginsel dan de politieke grondrechten), asas mayoritas, asas perwakilan, asas

pertanggung jawaban dan asas public (openbaarheidbeginsel). Asas

pertanggungjawaban Negara atas warga Negara selaras dengan prasyarat Negara

hukum rechtstaat menurut Stahl, yakni apabila dalam menjalankan tugasnya

30Padmo Wahjono, , Indonesia Negara berdasarkan atas Hukum. Gahlia Indonesia, cetakan kedua. Jakarta. 1986.

Hlm. 8

31C.W. Van der Port dalam Hadjon, Op. cit. hlm.76

32S.W.Couwenberg, dalam Hadjon. Ibid

Page 53: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

53

berdasarkan undang-undang pemerintah masih melanggar hak asasi karena campur

tangan pemerintah dalam kehidupan pribadi seseorang, maka ada pengadilan

administrasi yang akan menyelesaikan33.

Negara hukum Rechstaat yang digagas oleh Julius Stahl di atas

menitikberatkan pada kekuasaan Negara yang harus dibatasi dan dikontrol ketika

negara melaksanakan kewajibannya. H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt menyebutkan

prinsip-prinsip rechtstaat dan prinsip-prinsip demokrasi berikut ini:

a. Prinisip-prinsip rechtstaat:

1. Pemerintahan berdasarkan undang-undang; pemerintah hanya memiliki

kewenangan yang secara tegas diberikan oleh

2. Hak-hak asasi; terdapat hak-hak asasi manusia yang sangat

fundamental yang harus dihormati oleh pemerintah

3. Pembagian kekuasaan; kewenangan pemerintah tidak boleh dipusatkan

pada satu lembaga, tetapi harus dibagi-bagi pada organ-organ yang

berbeda agar saling mengawasi yang dimaksudkan untuk menjaga

keseimbangan

4. Pengawasan lembaga kehakiman; pelaksanaan kekuasaan

pemerintahan harus dapat dinilai aspek hukumnya oleh hakim yang

merdeka34

b. Prinsip-prinsip Demokrasi:

33 Stahl dalam Azhary, Negara Hukum Indonesia-analisis yuridis normative tentang unsur-unsurnya. UI Press.

1995. Jakarta. Hlm. 46

34 H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt, Hoofdstukken van administratief Recht, (Utrecht;Uitgeverij lemma BV.,

1995) dalam Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara. Rajawali Press. Jakarta. 2006. hlm 4

Page 54: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …
Page 55: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

55

sehingga secara adil tiap manusia memperoleh kesempatan secara luas dan sama

untuk mengembangkan seluruh potensi kemanusiaannya secara utuh36 . Pengaturan

yang menyebutkan Indonesia sebagai Negara Hukum tidak diatur dalam batang tubuh

UUD NRI 1945 melainkan diatur dalam penjelasan UUD NRI 1945. Di dalam

penjelasan umum UUD NRI 1945 mengenai Sistem pemerintahan Negara disebutkan

bahwa: “sistem pemerintahan negara yang ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar

ialah bahwa Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat). Negara

Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat) tidak berdasarkan kekuasaan belaka

(machtsstaat).

Penyertaan kata rechtsstaat di belakang kata negara hukum menyiratkan

makna bahwa prinsip negara hukum yang dianut oleh UUD NRI 1945 tidak

menyimpang dari negara hukum pada umumnya genus begrip37. Sekarang, dalam

pasca perubahan UUD NRI 1945, ketentuan mengenai hal itu juga sudah diadopsikan,

yaitu dalam rumusan pasal 1 ayat (3) hasil Perubahan Ketiga UUD NRI 1945, yaitu:

“Negara Indonesia adalah Negara Hukum”38. Selain penegasan bahwa negara

indonesia adalah negara hukum sebagaimana diatur di dalam Pasal 1 ayat (3) UUD

NRI 1945.

36 Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum Sebuah Penelitian Tentang Fondasi Kefilsafatan

dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, Mandar

Maju, Bandung, 2000, hlm. 190

37Bambang Arumanadi dan Sunarto, Konsepsi Negara Hukum Menurut UUD 1945, IKIP Semarang Press,

Semarang, 1990 hlm 49

38 Jimly Assidiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi

RI Jakarta, 2006. hlm. 145

Page 56: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

56

Sejak Amandemen II UUD NRI 1945, negara kita adalah negara hukum dan

sekaligus juga mengakui bahwa yang berkuasa adalah rakyat (demokrasi). Hal ini

dapat dibaca dalam Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI 1945 yang berbunyi

“Kedaulatan di tangan rakyat dan dilakukan menurut UUD” dan “Negara Indonesia

adalah negara hukum”. Berdasar pasal tersebut, maka jelas Negara Indonesia adalah

negara hukum yang mengakui bahwa rakyat yang berkuasa. Ciri-ciri atau prinsip-

prinsip suatu negara hukum yang juga tercantum di dalam UUD NRI 1945 adalah

adanya perlindungan HAM, adanya pembagian kekuasaan, pemerintahan

berdasarkan atas hukum, persamaan hak di depan hukum dan pemerintahan dan

kekuasaan kehakiman yang bebas dan tidak memihak.

B. Nomokrasi

Dalam paham negara hukum versi UUD NRI 1945 pasca amandemen,

dikonsepsikan bahwa hukum yang memegang komando tertinggi dalam

penyelenggaraan negara. Artinya yang memimpin dalam penyelenggaraan negara itu

adalah hukum itu sendiri sesuai dengan prinsip ‘the Rule of Law, and not of Man’, yang

sejalan dengan pengertian ‘nomocratie’, yaitu kekuasaan yang dijalankan oleh hukum,

‘nomos’.39.

Dalam paham negara hukum yang demikian harus diadakan jaminan bahwa

hukum itu sendiri dibangun dan ditegakkan menurut.prinsip-prinsip demokrasi. Karena

prinsip supremasi hukum dan kedaulatan hukum itu sendiri pada pokoknya berasal

dari kedaulatan rakyat. Oleh sebab itu, prinsip negara hukum hendaklah dibangun dan

39Ibid Hlm. 55

Page 57: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

57

dikembangkan menurut prinsip-prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat

(democratische rechtsstaat). Hukum tidak boleh dibuat, ditetapkan, ditafsirkan dan

ditegakkan dengan tangan besi berdasarkan kekuasaan belaka (Machtsstaat). Prinsip

Negara Hukum tidak boleh ditegakkan dengan mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi

yang diatur dalam Undang-Undang Dasar. Karena itu perlu ditegaskan pula bahwa

kedaulatan berada di tangan rakyat yang dilakukan menurut Undang-Undang Dasar

(constitutional democracy) yang diimbangi dengan penegasan bahwa negara

Indonesia adalah negara hukum yang berkedaulatan rakyat atau demokratis

(democratische rechtsstaat)40

Perpaduan antara negara hukum dan demokrasi yang saat ini banyak diadopsi

oleh negara-negara demokratis inilah yang dikenal dengan Nomokrasi. Ide Negara

Hukum, selain terkait dengan konsep ‘rechtsstaat’ dan ‘the rule of law’, juga berkaitan

dengan konsep ‘nomocracy’ yang berasal dari perkataan ‘nomos’ dan ‘cratos’.

Perkataan nomokrasi itu dapat dibandingkan dengan ‘demos’ dan ‘cratos’ atau ‘kratien’

dalam demokrasi. ‘Nomos’ berarti norma, sedangkan ‘cratos’ adalah kekuasaan. Yang

dibayangkan sebagai faktor penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan adalah

norma atau hukum. Karena itu, istilah nomokrasi itu berkaitan erat dengan ide

kedaulatan hukum atau prinsip hukum sebagai kekuasaan tertinggi41 .

Negara hukum demokrasi dan nomokrasi, jika dianut bersama-sama dalam

sebuah negara akan melahirkan konsep negara hukum yang demokratis. Dari sisi

pemahaman kedaulatan rakyat, kekuasaan tertinggi dalam suatu negara berada di

40Ibid

41Ibid. hlm. 121

Page 58: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

58

tangan rakyat. Kekuasaan tertinggi di tangan rakyat itu dibatasi oleh kesepakatan yang

mereka tentukan sendiri secara bersama-sama yang dituangkan dalam aturan hukum

yang berpuncak pada rumusan konstitusi sebagai produk kesepakatan tertinggi dari

seluruh rakyat. Indonesia sebagai Negara Hukum yang Demokratis. Sehingga

kedaulatan yang dianut dalam UUD NRI 1945 adalah kedaulatan rakyat sekaligus

kedaulatan hukum.

Sebagai negara hukum, segala tindakan penyelenggara negara dan warga

negara harus sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Hukum dalam hal ini adalah

hirarki tatanan norma yang berpuncak pada konstitusi, yaitu UUD NRI 1945. Dengan

demikian, pelaksanaan demokrasi juga harus berdasarkan pada aturan hukum yang

berpuncak pada UUD NRI 1945. Sebagai pelaksanaan dari konsepsi negara hukum

yang demokratis, diterapkan prinsip saling mengimbangi dan mengawasi antara

lembaga negara (check and balances system)42

Meskipun dalam konstitusi yakin pada pasal 1 ayat 3 UUD NRI 1945 telah jelas

diatur bahwa negara Indonesia adalah negara hukum, namun prinsip negara hukum

belum sepenuhnya dijalankan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini.

Kenyataan menunjukkan bahwa hukum terkadang justru “dikalahkan” oleh kekuatan-

kekuatan lain, misalnya kekuatan politik. Anarkisme massa di berbagai daerah,

oligarkhi kekuasaan dan munculnya para demagog menjadi catatan kelam perjalanan

demokrasi yang abai terhadap aturan, khususnya terhadap norma-norma konstitusi. 43

42Janedjri M. Gaffar, Demokrasi dan Nomokrasi, Harian Seputar Indonesia, edisi 19 Desember 2006

43Mahfud MD, dalam orasi ilmiah berjudul Demokrasi dan Nomokrasi sebagai Pilar Penyangga Konstitusi, pada

wisuda Universitas Nasional (UNAS) periode I tahun akademik 2010/2011, di Jakarta Convention Center (JCC). 3

Maret 2011

Page 59: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

59

Untuk itu, Mahfud menekankan pentingnya keseimbangan antara demokrasi

(kedaulatan rakyat) dan nomokrasi (kedaulatan hukum). Kedaulatan rakyat tanpa

dikawal oleh hukum sudah dapat dipastikan akan mengarah pada kondisi tidak

seimbang. Tanpa upaya penyeimbangan, terutama di masa transisi ini, demokrasi

berpeluang menjadi liar dan justru akan membenamkan hukum44. Relasi antara

kedaulatan rakyat yang terimplementasi dalam nilai-nilai demokrasi dengan

kedaulatan hukum (nomokrasi) yang terimplementasi dalam nilai-nilai negara hukum

harus diselenggarakan secara beriringan dengan prinsip keseimbangan.

Konsepsi yang sama dengan Nomokrasi, Jimly Assidiqie mengenalkan konsep

istilah “democratische rechtsstaat” atau constitutional democracy”, yang

mempersyaratkan bahwa prinsip negara hukum itu sendiri haruslah dijalankan

menurut prosedur demokrasi yang disepakati bersama atau dengan konsepsi lain

bahwa demokrasi harus berdasar hukum. Menurut Jimly45, gagasan demokrasi

berdasar hukum yang berdasar atas hukum (”constitutional democracy”) mengandung

empat prinsip pokok, yaitu: (i) adanya jaminan persamaan dan kesetaraan dalam

kehidupan bersama, (ii) pengakuan dan penghormatan terhadap perbedaan atau

pluralitas, (iii) adanya aturan yang mengikat dan dijadikan sumber rujukan bersama,

dan (iv) adanya mekanisme penyelesaian sengketa berdasarkan mekanisme aturan

yang ditaati bersama itu.

Dalam konteks kehidupan bernegara, di mana terkait pula dimensi-dimensi

kekuasaan yang bersifat vertikal antara institusi negara dengan warga negara,

44Ibid

45Jimly Assidiqie, Pilar Demokrasi,Kontitusi Press. Jakarta. 2005. hlm. 246

Page 60: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

60

keempat prinsip pokok tersebut lazimnya dilembagakan dengan menambahkan

prinsip-prinsip negara hukum (nomokrasi): (v) pengakuan dan penghormatan terhadap

hak asasi manusia, (vi) pembatasan kekuasaan melalui mekanisme pemisahan dan

pembagian kekuasaan disertai mekanisme penyelesaian sengketa ketatanegaraan

antar lembaga negara, baik secara vertikal maupun horizontal, (vii) adanya peradilan

yang bersifat independen dan tidak memihak (independent and impartial) dengan

kewibawaan putusan yang tertinggi atas dasar keadilan dan kebenaran, (viii)

dibentuknya lembaga peradilan yang khusus untuk menjamin keadilan bagi warga

negara yang dirugikan akibat putusan atau kebijakan pemerintahan (pejabat

administrasi negara), (ix) adanya mekanisme “judicial review” oleh lembaga peradilan

terhadap norma-norma ketentuan legislatif, baik yang ditetapkan oleh lembaga

legislatif maupun oleh lembaga eksekutif, dan (x) dibuatnya konstitusi dan peraturan

perundang- undangan yang mengatur jaminan-jaminan pelaksanaan prinsip-prinsip

tersebut di atas, disertai (xi) pengakuan terhadap asas legalitas atau due process of

law dalam keseluruhan sistem penyelenggaraan negara46.

C. Hukum Administrasi

1. Definisi Hukum Administrasi

Banyak pemikir dan tokoh hukum yang telah mengemukakan arti hukum

administrasi. Sebelum membahas beberapa pendapat tentang definisi Hukum

46Ibid

Page 61: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

61

Administrasi, terlebih dahulu dibahas tentang perbedaan konsepsi “administrasi” di

lingkungan Hukum Administrasi Negara dengan “administrasi” pada disiplin ilmu

lainnya, termasuk dalam hal ini Ilmu Administrasi Negara.

Istilah administrasi berasal dari kata latin “ad+ministrare” yang mempunyai

pengertian dalam bahasa Indonesia; membantu, melayani dan atau memenuhi. (Kata

sifatnya administrativus, dan kata bendanya administratio). Kata latin administrare ini

dalam bahasa Inggrisnya ialah Administration. Di Indonesia Istilah Inggris tersebut

diterjemahkan menjadi Administrasi.47

Istilah Administrasi juga dikenal dalam warisan zaman jajahan Penjajahan

Belanda, Administratie, yang berarti; elke stelselamtige ordening en schriftelijke

vastlegging van gegevens, samen gesteld met het doel een overzicht van deze

gegevens te verkrijgen in hun gehel en hun oderling verband ( Setiap penyusunan

keterangan-keterangan secara sistematis dan pencatatannya secara tertulis dengan

maksud untuk memperoleh suatu ikhtisar mengenai keterangan-keterangan itu dalam

keseluruhannya dan dalam hubungannya satu sama lain)48. Pengertian ini menurut

Miftah Thoha hakekatnya sama dengan “tata usaha” dalam bahasa Indonesia, oleh

sebab itu untuk menghindari kesalahpahaman istilahnya, dianjurkan apabila yang

dimaksud itu kegiatan tata usaha janganlah dipergunakan istilah “administrasi”

melainkan tata usaha saja49

47 Miftha Thoha, , Aspek-Aspek Pokok Ilmu Administrasi;suatu bunga rampai bacaan,Balai Aksara,. 1990. Hlm.10

48Ibid

49Ibid

Page 62: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

62

Sementara dalam konteks administrasi negara, penggunaan istilah

“administrasi” dan “tata usaha” cenderung memiliki makna yang sama. Hal ini dapat

dilihat dari istilah yang digunakan dalam UU Peradilan Administrasi di Indonesia

menggunakan istilah Undang-Undang Tentang Peradilan Tata usaha Negara nomor 5

tahun 1986 . Terhadap penggunaan “tata usaha” dalam UU ini, S.F. Marbun

mengemukakan bahwa istilah “tata usaha” lebih sesuai digunakan untuk pengertian

“administrasi dalam arti sempit”, yaitu kegiatan tulis-memulis, surat-menyurat, catat-

mencatat, ketik mengetik serta penyimpanan naskah-naskah yang hanya bersifat

teknis ketatausahaan belaka50. Sementara administrasi dalam arti luas yang

disimpulkan Rochmat Soemitro sebagai administrasi sebagai terjemahan

“administration” dari pengertian :

“…bestuur van de staat, de provincien, de waterschappen, degemeenten en grote maatschappijen. In de V.S. verstaat men onder ‘theadministration’ het gehele staatsbestuur, de president daaronder begrepen”. 51

(…pemerintah suatu negara, propinsi, subak, kota-kota, dan maskape-maskapebesar.)

Pendapat Miftah Thoha yang tetap membedakan secara tegas istilah

“administrasi” dengan “tata usaha” berbeda dengan Rochmat Soemitro dan S.F.

Marbun yang keduanya sepakat bahwa di dalam kegiatan “administrasi” telah

termasuk kegiatan “tata usaha”, dengan kata lain “tata usaha” sebagian dari kegiatan

“administrasi’. Penulis berpendapat bahwa dalam konteks “administrasi” di bidang

hukum pemerintahan, meskipun istilah “administrasi” cenderung sama dengan “tata

50 Marbun, S.F., , Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia, Liberty, Yogyakarta,

1997,hlm 42-43.

51 Rochmat Soemitro, Peradilan Administrasi Dalam Hukum Pajak di Indonesia, Eresco, Bandung, 1991, hlm. 5.

Page 63: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

63

usaha” maka penggunaan administrasi lebih tepat karena memiliki akar istilah yang

jauh lebih luas dan otentik dibanding dengan “tata usaha”.

Sementara dikaitkan dengan istilah Ilmu Administrasi Negara dengan Hukum

Administrasi Negara, beberapa ahli hukum mengemukakan pendapatnya. Menurut

Philpus.Hadjon dkk52, istilah administrasi negara dalam Ilmu Administrasi Negara

meliputi seluruh kegiatan negara (legislatif, eksekutif dan yudisial); sedangkan

administrasi dalam hukum Administrasi Negara meliputi lapangan bestuur (lapangan

kegiatan negara di luar wetgeving dan rechtspraak) sehingga menurut Hadjon,

cakupan Ilmu administrasi negara lebih luas daripada Hukum Administrasi Negara.

Dalam penyebutan istilah Hukum Administrasi Negara, Hadjon berpendapat bahwa

dalam hukum administrasi, istilah “Negara” tidak perlu dan berlebihan karena dalam

istilah administrasi sudah mengandung konotasi pemerintahan/negara.

Kaitannya dengan HAN yang fokus di lapangan bestuur, N.E. Algra et al.

mengemukakan pengertian “pemerintah” dalam “arti sempit” yaitu “bestuur”, yang

meliputi bagian tugas pemerintah yang tidak termasuk tugas pembuatan undang-

undang (legislatif) atau tugas peradilan (yudikatif).53 Dalam pengertian ini

pemerintahan merupakan bagian dari badan perlengkapan dan fungsi pemerintahan,

yang bukan merupakan badan perlengkapan atau fungsi pembuat undang-undang dan

52Philipus M. Hadjon, et al., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta,

1999, hlm. 4

53 Algra, N.E., et al., Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae, Belanda - Indonesia, Binacipta, Jakarta, 1983, hlm.

50.

Page 64: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

64

badan perlengkapan atau fungsi peradilan.54. Sementara Utrecht memberikan definisi

tentang administrasi Negara sebagai complex ambten/apparaat atau gabungan

jabatan-jabatan administrasi yang berada di bawah pimpinan Pemerintah

melaksanakan tugas yang tidak ditugaskan kepada badan-badan Pengadilan

Legislatif55

Terkait dengan perdebatan kata “administrasi”, penulis sependapat dengan

Hadjon dkk bahwa inti kajian dari Hukum Administrasi sudah mencakup dan memiliki

makna pemerintahan yang di dalamnya merupakan bagian dari negara, sehingga tidak

diperlukan lagi kata” negara” dalam nomenklatur Hukum Administrasi Negara, cukup

dengan hukum administrasi saja. Kata “administrasi” menurut penulis juga sudah

mewakil aktifitas-aktifitas ketatausahaan yang berlangsung dalam penyelenggaraan

pemerintahaan.

Sementara menurut menurut Logemann pengertian administratief recht adalah

: “de bijzondere regels, die naast het voor allen geldende burgerlijk recht beheersen de

wijze waarop de staatsorganisatie aan het maatschappelijk verkeer deelneemt”.56

(peraturan-peraturan khusus yang memberi wewenang kepada organisasi pemerintah

untuk turut mengambil bagian dalam pergaulan masyarakat, disamping peraturan

perdata yang berlaku). Selanjutnya secara konsepsional melihat perkembangan dan

54Belinfante, A.D., Kort begrip van het administratief recht, Terjemahan Boerhanoeddin Soetan Batoeah, Pokok-

pokok Hukum Tata Usaha Negara, Binacipta, Jakarta, 1983, hlm. 1 dan Philipus M. Hadjon, et al., Pengantar

Hukum Op. Cit. , hlm. 309.

55E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat -

Universitas Padjadjaran Bandung, 1960. Hal. 16

56Logemann, J.A.H., Het Staatsrecht van Indonesiae, van Hoeve S`Sravenhage, Bandung, 1954, hlm. 19.

Page 65: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

65

dinamika hukum administrasi saat ini, maka Penulis sependapat dengan pengertian

hukum administrasi sebagaimana yang dikemukakan oleh Sjachran Basah bahwa

Hukum Administrasi adalah “seperangkat peraturan yang memungkinkan administrasi

negara menjalankan fungsinya, yang sekaligus juga melindungi warga terhadap sikap

tindak administrasi negara, dan melindungi administrasi negara itu sendiri.”57.

2. Fungsi Hukum Administrasi

Menurut Sjachran Basah, ada lima fungsi hukum dalam kaitannya dengan

kehidupan masyarakat,58 yaitu sebagai berikut :

a. Direktif, sebagai pengarah dalam membangun suatu negara untuk

membentuk masyarakat yang hendak dicapai sesuai dengan tujuan kehidupan

bernegara.

b. Integratif, sebagai pembina kesatuan bangsa.

c. Stabilitatif, sebagai pemelihara (termasuk di dalamnya hasil-hasil

pembangunan) dan penjaga keselarasan, keserasian, dan

keseimbangan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.

d. Perfektif, sebagai penyempurna terhadap tindakan-tindakan administrasi

negara, maupun sikap tindak warga negara dalam kehidupan bernegara

dan bermasyarakat.

57Sjachran Basah, Perlindungan Hukum Terhadap Sikap-Tindak Administrasi Negara, Alumni, Bandung, 1992,

hlm. 4

58 Sjachran Basah, , Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Alumni, Bandung,

1985.hlm. 23

Page 66: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

66

e. Korektif, baik terhadap warga negara maupun administrasi negara dalam

mendapatkan keadilan.

Secara spesifik, yang terkait dengan fungsi Hukum Administrasi, menurut

Philipus M. Hadjon, ada tiga macam fungsi Hukum Administrasi, yakni fungsi normatif,

fungsi instrumental, dan fungsi jaminan.59 Ketiga fungsi ini saling berkaitan satu sama

lain. Fungsi normatif yang menyangkut penormaan kekuasaan memerintah jelas

berkaitan erat dengan fungsi instrumental yang menetapkan instrumen yang

digunakan oleh pemerintah untuk menggunakan kekuasaan memerintah dan pada

akhirnya norma pemerintahan dan instrumen pemerintahan yang digunakan harus

menjamin perlindungan hukum bagi rakyat

3. Tujuan Hukum Administrasi

Hukum administrasi merupakan instrument dari alat administrasi negara dalam

menjalankan tugasnya selaku pelayan publik untuk mensejahterakan warga negara di

dalam negara yang menganut paham welfare state. Di dalam negara yang bertipe ini

tujuan hukum administrasi adalah sebagai dasar dalam pelaksanaan tugas alat

administrasi negara agar bekerja dengan benar dan adil.

Pada prinsipnya hukum administrasi bertujuan untuk mencapai berbagai tujuan

negara karena pada hakikatnya hukum administrasi merupakan seperangkat norma

yang mengatur dan memungkinkan alat administrasi negara dalam menjalankan

fungsinya. Beberapa tujuan hukum administrasi negara adalah60;

59Philipus M. Hadjon dkk, Pengantar …op.cit. Hlm. 56

60Eni Kusdarini, Dasar-Dasar Hukum Administrasi Negara dan Asas-asas umum Pemerintahan yang baik, UNY

Press. Yogyakarta 2011. Hlm. 17

Page 67: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

67

a. Untuk melindungi warga negara terhadap sikap tindak alat administrasi

negara itu sendiri

b. Untuk melakukan kontrol terhadap alat administrasi negara agar mampu

mengetahui batas-batas dan hakikat kekuasaannya, tujuan dan sifat-sifat

dari kewajiban-kewajibannya, serta bentuk-bentuk sansi apabila

melanggar hukum.

c. Untuk mengendalikan dan mendisiplinkan proses operasionalisasi

pelaksanaan tugas dan fungsi keadministrasinegaraan oleh pihak alat

administrasi negara

Selain itu menurut Sjahran Basah perlindungan hukum administrasi terhadap

kepada warga negara ditujukan mengingat adanya kemungkinan-kemungkinan

terjadinya kerugian, akibat sikap tindak dari berbagai perbuatan melanggar hukum

yang dilakukan oleh administrasi negara61

D. Relevansi Hukum Administrasi Dalam Pelaksanaan Pemilukada

Sebagaimana diurai dalam pembahasan terdahulu bahwa esensi dari Hukum

Administrasi adalah untuk mengatur dan mengontrol kekuasaan dalam melaksanakan

urusan pemerintahan. Salah satu aspek pelaksanaan pemerintahan adalah

penyelenggaraan pemerintah di daerah yang dalam kajian negara demokratis biasa

disebut bagian dari desentralisasi. Desentralisasi akan didapat apabila kewenangan

61Ibid. Hlm. 18

Page 68: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

68

mengatur dan mengurus penyelenggaraan pemerintahan tidak semata-mata dilakukan

oleh Pemerintah Pusat (central government), melainkan juga oleh kesatuan-kesatuan

pemerintah yang lebih rendah yang mandiri (zelftanding), bersifat otonomi (territorial

ataupun fungsional)62. Jadi desentarlisasi bukan sekedar pemencaran kewenangan,

tetapi juga pembagian kekuasaan untuk mengatur dan mengurus penyelenggaraan

pemerintah negara antara pemerintah pusat dan satuan-satuan pemerintah tingkat

lebih rendah63 Menurut Smith, sebagaimana dikutip Lili Romli, desentralisasi

diterapkan dengan beberapa tujuan. Pertama, desentralisasi diterapkan dalam upaya

untuk pendidikan politik. Kedua, untuk latihan kepemimpinan politik. Ketiga, untuk

memelihara stabilitas politik. Keempat, untuk mencegah konsentrasi kekuasaan di

Pusat. Kelima, untuk memperkuat akuntabilitas publik. Keenam, untuk meningkatkan

kepekaan elit terhadap kebutuhan masyarakat64.

Sementara ada 3 alasan mengapa menerapkan kebijakan desentralisasi.

Pertama, untuk menciptakan efesiensi penyelenggaraan administrasi pemerintahan.

Kedua, untuk memperluas otonomi daerah. Ketiga, untuk beberapa kasus sebagai

strategi untuk mengatasi instabilitas politik65. Pemilihan Kepala daerah adalah

manifestasi dari desentralisasi politik yakni terjadinya distribusi kekuasaan dari pusat

ke daerah.

62 C.W. Van Der Pot, sebagaimana dikutip Ni’matul Huda, Otonomi Daerah;Filosofi, Sejarah Perkembangan dan

Problematikanya, Pustaka Pelajar. Yogyakarta.Cetakan ke-II. 2009. Hlm.85.

63Ibid .hlm. 86

64Lili Romli, Potret Otonomi.. Op. Cit.. hlm. 8

65Ibid.

Page 69: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

69

Melalui Pemilukada kepala daerah terpilih mendapat legitimasi untuk mengelola

pemerintahan, sehingga salah satu fungsi dari Pemilukada adalah menjadi sarana

legitimasi. Pemilukada sebagai sarana legitimasi politik dengan alasan: pertama,

melalui pemilu pemerintah sebenarnya bisa meyakinkan atau setidaknya bisa

memperbaharui kesepakatan politik dengan rakyat. Kedua, melalui pemerintah dapat

pula mempengaruhi perilaku rakyat atau warganya. Ketiga, dalam dunia modern para

penguasa dituntut untuk mengandalkan kesepakatan dari rakyat ketimbang

pemaksaan untuk mempertahankan legitimasi.66

Salah satu tugas pemerintah yang menjadi fokus kajian Hukum Administrasi

adalah pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada). Pemilukada

merupakan manifestasi pelaksanaan undang-undang adalah salah satu obyek Hukum

Administrsi karena dalam pelaksanaan Pemilukada terdapat aktivitas-aktivitas

administrasi yang dilakukan oleh aparatur pemerintah, dalam hal ini penyelenggara

Pemilukada sebagai pejabat tata usaha negara. Selain itu dalam Pemilukada juga

senantiasa muncul perbuatan tata usaha negara berupa keputusan dan kebijakan oleh

penyelenggara pemilu. Selanjutnya Pemilukada juga berpotensi melahirkan sengketa

administrasi negara akibat keputusan yang dilahirkan penyelenggara pemilu selaku

aparatur negara yang merugikan masyarakat.

Memelihara stabilitas dan memperkuat akuntabilitas publik adalah beberapa

relevansi hadirnya Hukum Administrasi dalam proses pelaksanaan pemilihan kepala

daerah. Tidak dapat dipungkiri bahwa pelaksanaan pemilukada selama ini tidak luput

dari sengketa dan konflik yang mempengaruhi stabilitas social politik dan menganggu

66 Syamsuddin Haris, “ Strukutur, proses dan fungsi pemilihan umum: catatan pendahuluan dalam pemilihan

umum di Indonesia. PPW-LIPI, 1997. Hlm. 6-7

Page 70: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

70

pelayanan kepada masyarakat. Beberapa konflik yang terjadi dalam pemilukada

mengandung aspek-aspek yang berhubungan dengan penegakan hukum administrasi.

Menurut Syamsuddin Haris, bahwa ada 5 (lima) sumber konflik potensial, baik

menjelang, saat peneylenggaraan, maupun pengumuman hasil pemilukada, yaitu67,

Pertama, konflik yang bersumber dari mobilisasi politik atas nama etnik, agama,

daerah dan darah. Kedua, konflik yang bersumber dari kampanye negative

antarpasangan calon kepala daerah. Ketiga, konflik yang bersumber dari premanisme

politik dan pemaksaan kehendak. Keempat, konflik yang muncul dari manipulasi dan

kecurangan penghitungan suara hasil pemilukada. Kelima, konflik yang bersumber

dari perbedaan penafsiran terhadap aturan main penyelenggara Pemilukada.

Sedangkan menurut A. Zaini Basri bahwa pada umumnya ragam konflik Pemilukada

bersumber pada tiga penyebab, yakni masalah politik uang, persoalan administrasi

pencalonan dan sengketa penghitungan suara68.

E. Landasan Hukum dan Teoritis Penegakan Hukum Administrasi

1. Landasan Hukum

Konstitusi dalam hal ini UUD NRI 1945 baik dalam pembukaan maupun batang

tubuh secara substansi telah mengatur adanya kewajiban negara dalam melindungi

warga negara dan segenap tumpah darah Indonesia. Negara Republik Indonesia

67Syamsuddin Haris, “ Mengelola Potensi Konflik Pilkada”. Kompas, 10 Mei 2005

68A. Zaini Bisri, “Tragedi Pilkada Depok”, Suara Merdeka, 8 Agustus 2005

Page 71: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

71

sebagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945 bertujuan

mewujudkan tata kehidupan negara dan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram,

serta tertib, yang menjamin persamaan kedudukan warga masyarakat dalam hukum,

dan yang menjamin terpeliharanya hubungan yang serasi, seimbang, serta selaras

antara aparatur di bidang Tata Usaha Negara dengan para warga masyarakat

Secara umum landasan hukum penegakan Hukum Administrasi dapat dilihat

dari ketentuan perundang-undangan yang mengatur setiap kebijakan di masing-

masing bidang administrasi pemerintahan. Di dalam setiap pengaturan kebijakan, baik

yang bersifat sosial, politik, hukum, keamanan, ekonomi dan budaya semuanya

menghendaki pengaturan administrasi. Norma penegakan hukum administrasi

terhadap pelaksanaan administrasi di berbagai kebijakan bersumber pada Undang-

Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana

telah diubah dengan UU. No 9 tahun 2004 dan perubahan yang kedua dengan UU. No

51 tahun 200969. Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara menjadi rujukan

utama dalam upaya penegakan hukum administrasi.

Berikut beberapa pasal dalam UU. No 51 tahun 2009 tentang Peradilan Tata

Usaha Negara yang menjadi landasan dalam upaya penegakan hukum administrasi

negara khususnya dalam pasal 1 ayat 7 sampai dengan 11:

7. Tata Usaha Negara adalah administrasi negara yangmelaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahanbaik di pusat maupun di daerah.

69 Selengkapnya Lihat Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana

telah diubah dengan UU. No 9 tahun 2004 dan perubahan yang kedua dengan UU. No 51 tahun 2009

Page 72: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

72

8. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah badan ataupejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkanperaturan perundang-undangan yang berlaku.9. Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulisyang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisitindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturanperundangundangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, danfinal, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badanhukum perdata.10. Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalambidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdatadengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun didaerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara,termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.11. Gugatan adalah permohonan yang berisi tuntutan terhadap badanatau pejabat tata usaha negara dan diajukan ke pengadilan untukmendapatkan putusan

2. Landasan Teori

a. Teori Sistem Hukum

Lawrence M. Friedman melihat bahwa keberhasilan penegakan hukum selalu

menyaratkan berfungsinya semua komponen sistem hukum. Selanjutnya, menurut

Lawrence M Friedman sistem hukum mempunyai tiga unsur, yaitu (1) struktur, (2)

subtansi, dan (3) budaya hukum70. Menurut Friedman struktur adalah kerangka atau

rangkanya, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberi semacam bentuk dan

batasan terhadap keseluruhan. Struktur hukum mengacu pada bentuk dan kedudukan

pranata hukum yang terdapat dalam sistem hukum. Hubungan antar lembaga tinggi

negara, contohnya, suatu penggambaran dari struktur hukum. Friedman merumuskan

aspek struktur hukum sebagai berikut:

“The structure of legal system consists of elements of this kind: the number andsize of courts; their yurisdiction (that is, what kind of cases they hear, and how

70Lawrence Friedman, “American Law”, (London: W.W. Norton & Company, 1984), hal. 6

Page 73: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

73

and why), and modes of appeal from one court to another. Structure alsomeans how the legislature is organized, how many members sit on the FederalTrade Commission, what a president can (legally) do or not do, whatprocedures the police departement follows, and so on.”71

Sementara substansi adalah aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia

yang berada dalam sistem itu. Substansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh

orang yang berada di dalam sistem hukum itu, mencakup keputusan yang mereka

keluarkan, aturan baru yang mereka susun. Substansi juga mencakup living law

(hukum yang hidup),dan bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang undang

atau law books. Dalam pandangan Friedmen, Substansi hukum (legal substance)

merupakan aturan-aturan dan norma-norma aktual yang dipergunakan oleh lembaga-

lembaga, kenyataan, bentuk perilaku dari para pelaku yang diamati di dalam sistem72

Adapun kultur atau budaya hukum (legal culture) merupakan gagasan-gagasan,

sikap-sikap, keyakinan-keyakinan, harapan-harapan dan pendapat tentang hukum.73

Tanpa budaya hukum sistem hukum itu sendiri tidak akan berdaya, seperti ikan mati

yang terkapar di keranjang, bukan seperti ikan hidup yang berenang di lautnya

(without legal culture, the legal system is inert, a dead fish lying in a basket, not a living

fish swimming in its sea).74. Singkatnya, bagi Friedmen, budaya hukum (legal culture)

didefinisikan sebagai sejumlah gagasan, nilai, harapan dan sikap terhadap hukum dan

institusi hukum yang sebagian bersifat publik atau beberapa bagian berada di wilayah

71Ibid

72Ibid

73Lawrence M, Friedman, 1977, Law and Society An Introduction, New Jersey: Prentice Hall Inc, hal. 6-7

74Lawrence, America…Op. Cit , hal. 7.

Page 74: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

74

publik75. Selanjutnya menurut Friedmen, hukum harus dipelajari sebagai sebuah

budaya bukan sebuah ‘koleksi doktrin, peraturan, istilah dan frase’76.

Berkaitan dengan budaya hukum (legal culture) ini, menurut Roger Cotterrell,

konsep budaya hukum itu menjelaskan keanekaragaman ide tentang hukum yang ada

dalam berbagai masyarakat dan posisinya dalam tatanan sosial. Ide-ide ini

menjelaskan tentang praktik-praktik hukum, sikap warga negara terhadap hukum dan

kemauan dan ketidakmauannya untuk mengajukan perkara, dan signifikansi hukum

yang relatif, dalam menjelaskan pemikiran dan perilaku yang lebih luas di luar praktik

dan bentuk diskursus khusus yang terkait dengan lembaga hukum. Dengan demikian,

variasi budaya hukum mungkin mampu menjelaskan banyak tentang perbedaan-

perbedaan cara di mana lembaga hukum yang nampak sama dapat berfungsi pada

masyarakat yang berbeda77

b. Teori Penegakan Hukum dan Sanksi Hukum Administrasi

Menurut Mahfud MD, Secara teoretis, terdapat tiga tujuan hukum, yaitu

keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Kepastian hukum sebagai salah satu tujuan

hukum dapat dikatakan sebagai bagian dari upaya mewujudkan keadilan. Bentuk

nyata dari kepastian hukum adalah pelaksanaan atau penegakan hukum terhadap

suatu tindakan tanpa memandang siapa yang melakukan78. Penegakan hukum,

75 Lawrence Friedmen sebagaian dikutip Peter de Cruz dalam, Perbandingan Sistem Hukum; Common Law, Civil

Law dan Socialist Law. Diterbitkan oleh Nusa Media. Jakarta. Hlm. 7

76Dikutip Peter de Cruz.. Ibid. hlm. 338

77Roger Cotterrell, 1984, The Sociology of Law An Introduction, London: Butterworths, hal. 25

78Mahfud MD, Bahan…Op. Cit. hlm. 2-3

Page 75: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

75

sebagaimana dirumuskan secara sederhana oleh Satjipto Rahardjo, merupakan suatu

proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan.79.

Keinginan – keinginan yang dimaksud dalam hal ini adalah keinginan atau politik

hukum pembuat perundang-undangan sebagai perumus peraturan perundang-

undangan.

Terkait dengan hal-hal yang mempengaruhi Proses penegakan hukum, dalam

pandangan Soerjono Soekanto, setidaknya ada 5 faktor yang mempengaruhi proses

penegakan hukum . Pertama, faktor hukum atau peraturan perundang-undangan.

Kedua, faktor aparat penegak hukumnya, yakni pihak-pihak yang terlibat dalam

peroses pembuatan dan penerapan hukumnya, yang berkaitan dengan masalah

mentalitas. Ketiga, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung proses penegakan

hukum. Keempat, faktor masyarakat, yakni lingkungan social di mana hukum tersebut

berlaku atau diterapkan; berhubungan dengan kesadaran dan kepatuhan hukum yang

merefleksi dalam perilaku masyarakat. Kelima, faktor kebudayaan, yakni hasil karya,

cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.80

Berbeda dengan pandangan Satjipto Rahardjo yang membedakan berbagai

unsur yang berpengaruh dalam proses penegakan hukum dengan melihat derajat

kedekatannya pada proses, yakni yang agak jauh dan yang agak dekat. Berdasarkan

kriteria kedekatan tersebut, maka Satjipto Rahardjo81 membedakan tiga unsur utama

yang terlibat dalam proses penegakan hukum. Pertama, unsur pembuatan undang-

79Satjipto Rahardjo, 1983, Masalah Penegakan Hukum, Bandung: Sinar Baru, hal. 24

80Soerjono Soekanto, 1983, Penegakan Hukum, Jakarta: BPHN & Binacipta, hal. 15

81Satjipto Rahardjo,1983, Masalah Penegakan Hukum,Bandung: Sinar Baru, hal. 23,24.

Page 76: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

76

undang cq. lembaga legislatif. Kedua, unsur penegakan hukum cq. polisi, jaksa dan

hakim. Dan ketiga, unsur lingkungan yang meliputi pribadi warga negara dan sosial

Kajian tentang penegakan hukum, khususnya penegakan hukum administrasi

dalam sebuah kasus inconcreto belum banyak dilakukan oleh para peneliti di

Indonesia. Termasuk halnya kajian tentang Penegakan Hukum Administrasi dalam

sengketa Pemilukada. Penelitian yang pernah ada adalah Penegakan Hukum Pidana

dalam Pemilukada Provinsi Jawa Timur oleh MURIDAH ISNAWATI yang ditulis dalam

bentuk tesis di Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas

Muhammadiyah Surakarta Tahun 2011.

Salah satu bagian dari sistem penegakan hukum adalah penerapan sanksi

hukum. Sanksi Hukum pada dasarnya merupakan implementasi atau bagian dari

pertanggungjawaban hukum. Seseorang yang bertanggungjawab secara hukum atas

perbuatan tertentu bahwa dia dapat dikenakan suatu sanksi dalam kasus

perbuatannya bertentangan/berlawanan hukum. Dalam hukum administrasi,

penggunaan sanksi administrasi merupakan penerapan kewenangan pemerintahan,

di mana kewenangan ini berasal dari aturan hukum tertulis dan tidak tertulis. Pada

umumnya, memberikan kewenangan untuk menegakkan norma-norma itu melalui

penerapan sanksi bagi mereka yang melanggar norma-norma Hukum Administrasi.82

Dalam konteks penegakan hukum publik, menurut J.B.J.M. ten Berge bahwa

pihak pemerintah yang paling bertanggung jawab dalam proses penegakan hukum

publik, ‘de overheid is primair verant woordelijk voor de handhaving van publiekrecht”.

J.B.J.M ten Berge menyebutkan dalam konteks penegakan hukum publik, beberapa

82Ridwan HR. Op. Cit. Hlm. 298

Page 77: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

77

aspek yang harus diperhatikan atau dipertimbangkan dalam rangka penegakan

hukum, yaitu;

a. Een regel moet zo weining riumte laten voorinterpretatiegeschilien;

b. Uitzonderingsbepaligen moeten tot een minimum wordenbeperkt;

c. Regels moeten zo veel mogelijk zijn gericht op zichtbare danwel onjectief constateerbare feiten;

d. Regel moeten werkbaar zijn voor tot wie de regels zijn gerichten voor de personen die methandhaving zijn belast83.

Terjemahannya;

a. Suatu peraturan harus sedikit mungkin membiarkan ruang

bagi perbedaan interpretasi

b. Ketentuan perkecualian harus dibatasi secara minimal

c. Peraturan harus sebanyak mungkin diarahkan pada

kenyataan yang secara objektif dapat ditentukan

d. Peraturan harus dapat dilaksanakan oleh mereka yang

terkena peraturan itu dan mereka yang dibebani dengan

tugas penegakan hukum

Penegakan Hukum Administrasi Negara menurut P. Nicola dan kawan-kawan:

De Bestuursrechtelijke handhavings middelen omvatten (1)het toezich dat bestuursorganen kunnen uitoefenen op denaleving vande biji of krachtens de wet gestelde voorschriftenen van de bij besluit individueel opgeledge verplichtingen, en (2)de toepassing van bestuursrechtelijk sanctie bevoegdheden84

83J.B.J.M. ten Berge, Beschermin Tegen Overheid, W.E.J. Tjeenk Willink, Zwolle, 1995, hlm. 94

84P. Nicolai dkk, Bestuursrecht . Amsterdam, 1994. hlm. 469

Page 78: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

78

Terjemahannya: (sarana penegakan Hukum Administrasi Negara berisi; (1)

pengawasan bahwa organ pemerintahan dapat melaksanakan ketaatan pada atau

berdasarkan undang undang yang ditetapkan secara tertulis dan pengawasan

terhadap keputusan yang meletakkan kewajiban kepada individu, dan (2), penerapan

kewenangan sanksi pemerintahan.

Substansi dari Nicola ini mempertegas gagasan ten Berge sebagaimana dikutip

Philipus. M. Hadjon,bahwa instrument penegakan Hukum Administrasi Negara meliputi

pengawasan dan penegakan sanksi. Pengawasan merupakan langkah preventif untuk

memaksakan kepatuhan, sedangkan penerapan sanksi merupakan langkah represif

untuk memaksakan kepatuhan85. Menurut Philipus Hadjon, terdapat perbedaan antara

sanksi Administrasi dengan Sanksi Pidana, yaitu dilihat dari tujuan pengenaan sanksi

itu. Sanksi administrasi dutujukan kepada perbuatan pelanggarannya, sedangkan

sanksi pidana ditujukan kepada si pelanggar dengan memberikan hukuman berupa

nestapa. Selain itu sanksi administrasi ditetapkan oleh pejabat tata usaha negara

tanpa harus melalui prosedur pengadilan sedangkan sanksi pidana hanya dapat

dijatuhkan oleh hakim pidana melalui proses peradilan86.

Perbedaan selanjutnya menurut Ridwan HR adalah sifat sanksi administrasi

adalah reparatoir-comdemnatoir yaitu pemulihan kembali pada keadaan semula dan

memberikan hukuman sedangkan sanksi pidana bersifat comdemnatoir. Menurut H.D.

van Wijk/Konijnenbelt, Sanksi dalam Hukum Administrasi adalah;

85Philipus M. Hadjon, 1996,Penegakan Hukum Administrasi dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup, Tulisan dalam ,

Butir-butir Gagasan tentang Penyelenggaraan Hukum dan Pemerintahan yang Layak, B. Arief Sidarta, dkk

(editors). Bandung; Citra Aditya Bakti,). Hlm. 337

86Philipis M. Hadjon dkk, Pengantar..Op. Cit. hlm.247

Page 79: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

79

“De Publiekrechttelijke matchsmiddelen die de overhead kanaanwenden als reactive op niet-naleving van verplichtingen dievoortvloein uit administratiefrechtelijke normen87

(artinya; yaitu alat kekuasaan yang bersifat hukum publik yangdapat digunakan oleh pemerintah sebagai reaksi atasketidakpatuhan terhadap kewajiban yang terdapat dalam normahukum administrasi).

Berdasarkan definisi ini, setidaknya ada empat unsur sanksi dalam Hukum

Administrasi, yaitu alat kekuasaan (machtmiddelen), bersifat hukum publik

(publiekrechtelijke), digunakan oleh pemerintah (overheid), sebagai reaksi atas

ketidakpatuhan (reactive op niet-naleving). Jenis-jenis sanksi yang umumnya dikenal

dalam hukum administrasi antara lain88 :

a. Bestuursdwang (paksaan pemerintah). Bestuursdwang dapat

diuraikan sebagai tindakan-tindakanyang nyata (feitelijke handeling)

dari penguasa guna mengakhiri suatu keadaan yang dilarang oleh

suatu kaedah hukum administrasi atau (bila masih) melakukan apa

yang seharusnya ditinggalkan oleh para warga karena bertentangan

dengan undang-undang. Penerapan sanksi ini jelas harus atas

peraturan perundang-undangan yang tegas;

b. Penarikan kembali keputusan atau ketetapan yang menguntungkan

(izin, pembayaran, subsidi). Penarikan kembali suatu keputusan

atau ketetapan yang menguntungkan tidak terlalu perlu pada suatu

peraturan perundang-undangan. Hal itu tidak termasuk apabila

87H.D. van Wijk/Konijnenbelt, Hoofdstukken van Administratief Recht. Vuga, s’Gravenhage, 1995. hlm . 327

88Ridwan HR. Op. Cit hlm. 301

Page 80: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

80

keputusan atau ketetapan tersebut berlaku untuk waktu yang tidak

tertentu dan menurut sifatnya “dapat di akhiri” atau ditarik kembali

(izin, subsidi berskala). Tanpa suatu dasar hukum yang tegas untuk

itu penarikan kembali tidak dapat diadakan secara berlaku surut.

Karena bertentangan dengan azas hukum, tapi kebanyakan undang-

undang modern, kewenangan penarikan kembali sebagai sanksi

diatur dengan tegas.

c. Penggenaan denda administratif. Penggenaan sanksi administratif,

terutama terkenal di dalam hukum pajak yang menyerupai

penggunaan suatu sanksi pidana (juga harus atas landasan

peraturan perundang-undangan yang berlaku)

d. Penggenaan uang paksa oleh pemerintah (dwangsom). Pengenaan

uang paksa merupakan alternatif untuk tindakan nyata, yang berarti

sebagai sanksi ‘subsidiare’ dan dianggap sebagai sanksi reparatoir.

Dalam konteks penegakan hukum administrasi konstruksi teori penegakan

sanksi hukum administrasi dapat digunakan terhadap Penetapan Pasangan calon

Kepala daerah oleh KPUD, khususnya apabila terdapat penyimpangan dan kesalahan

dalam proses penetapan tersebut dan sudah diajukan keberatan oleh pemohon

(masyarakat) namun tetap dilanjutkan proses pencalonan tersebut, .

c. Teori Sanksi Regresif

Page 81: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

81

J.B.J.M. ten Berge menyebutkan bahwa sanksi merupakan inti dari kelancaran

atau penegakan Hukum Administrasi Negara89. Sanksi akan menjamin penegakan

Hukum Administrasi karena sanksi salah satu intsrumen untuk memaksakan tingkah

laku para warga negara pada umumnya dan khususnya instansi pemerintah. Oleh

sebab itulah sanksi sering merupakan bagian yang melekat pada nama hukum

tertentu. J.J.Oosternbrink sebagaimana dikutip Ridwan HR mendefinisikan Sanksi

Administrasi adalah

“ Administratief sancties zijn dus sancties, die voortspruiten iut de relatieoverheid-onderdaan en die zonder tussenkomst van derden en met namezonder rechterlijke machtiging rechtstreeks door de administratie zelf kunnenworden opgelegd”

(sanksi administrasi adalah sanksi yang muncul dari hubungan atara pemerintah dan

warga negara dan yang dilaksanakan tanpa perantaram pihak ketiga, yaitu tanpa

perantara kekuasaan peradilan, tetapi dapat secara langsung dilaksanakan oleh

sendiri)90.

Selanjutnya J.J. Oosternbrink menambahkan bahwa jenis sanksi administrasi

dapat juga dibebankan oleh hakim administrasi,

“ Niet alleen sanctie, die door het bestuur zelf worden toegepast, gehanteerd,maar eveneens sancties, die bijvoorbeeld door aministratieve rechters ofadministratieve beroepsinstanties worden opgelegd “

( tidak hanya sanksi yang diterapkan oleh pemerintah sendiri, tetapi juga sanksi yang

dibebankan oleh hakim administrasi atau instansi banding administrasi)91.

89J.B.J.M. ten Berge, Op. Cit. Hlm. 390

90Ridwan HR . Op. Cit .hlm. 289

91Ibid. hlm 299

Page 82: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

82

Ten Berge kemudian mengenalkan teori Sanksi Regresif (regressieve sancties)

yaitu sanksi yang diterapkan sebagai reaksi atas ketidakpatuhan terhadap ketentuan-

ketentuan yang terdapat pada keputusan yang diterbitkan. Sanksi ini ditujukan pada

keadaan hukum semula, sebelum diterbitkannya keputusan. Beberapa contoh dari

sanksi regresif ini adalah penarikan, perubahan dan penundaan suatu keputusan (de

intrekking, de wijziging, of de schorsing van een beschikking)92. Sanksi Regresif ini

hanya dikenakan terhadap pelanggaran ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam

keputusan.

d. Teori Sanksi Reparatoir (P. Nicolai)

Sanksi Reparatoir menurut P. Nicolai:

“Onder reparatoire sanctie worden dan verstaan de reacties op normovertreding, diestrekken to the (zo goed mogelijk) herstellen of bewerkstellingen van de legale situatie,dat wil zeggen van de toestand die zou zijn ontstaan of was blijven bestaaan, wannerde overtrading niet was gepleegd;93 “

Sanksi Reparatoir diartikan sebagai reaksi atas pelanggaran norma, yang

ditujukan untuk mengembalikan pada kondisi semula atau menempatkan pada situasi

yang sesuai dengan hukum (legale situatie), dengan kata lain, mengembalikan pada

keadaan semula sebelum terjadinya pelanggaran. Contoh sanksi Reparatoir adalah

paksaan pemerintahan (bestuursdwang) dan pengenaan uang paksa (dwangsom).

Sanksi Reparatoir pada umumnya dikenakan pada pelanggaran norma hukum

administrasi negara secara umum. Sanksi Reparatoir ini yang sering membedakan

karakter sanksi hukum administrasi dengan sanksi pidana.

92J.B.J.M. ten Berge. Hlm. 391

93P. Nicolai dalam Ridwan HR. Ibid. 301

Page 83: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

83

e. Teori Eksekusi

Secara etimologis, eksekusi berasal dari bahasa Belanda, executie, yang

berarti pelaksanaan putusan pengadilan94. Eksekusi atau pelaksanaan putusan ialah

tindakan yang dilakukan secara paksa terhadap pihak yang kalah dalam perkara95.

Eksekusi padaha hakikatnya tidak lain adalah realisasi dari pada kewajiban pihak yang

bersangkutan untuk memenuhi prestasi yang tercantum dalam putusan tersebut.96

Putusan yang dapat dieksekusi pada dasarnya hanya putusan yang telah berkekuatan

hukum tetap karena dalam putusan tersebut telah terkandung wujud hubungan hukum

yang tetap (res judicata) dan pasti antara pihak yang berperkara97. Akibat wujud

hubungan hukum tersebut sudah tetap dan pasti sehingga hubungan hukum tersebut

harus ditaati dan mesti dipenuhi oleh pihak yang dihukum98. Dengan demikian salah

satu konstruksi teori Eksekusi berawal dari tahapan pelaksanaan putusan yang sudah

diputus oleh Pengadilan dan sudah berkekuatan hukum tetap.

Menurut Yahya Harahap, Asas-asas eksekusi terdiri atas :99

1. Putusan yang dapat dijalankan adalah putusan yang telah berkekuatan

hukum tetap. Dalam hal ini, Pada prinsipnya, hanya putusan yang telah

memperoleh kekuatan hukum yang tetap (in kracht van gewijsde) yang dapat

94Retno Wulan Sutantio, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik Bandung, 1997, hlm. 111.

95M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata., Jakarta. Sinar Grafika. 2007. hal. 6 –

28.

96Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta, Liberty, 1998, hlm. 209

97M. Yahya. Op. Cit. hlm. 8

98R. Subekti, Hukum Acara Perdata,cet.3, Bandung: Bina Cipta, 1989, hal. 8.

99Yahya Harahap. Op. Cit. Hlm 6-28

Page 84: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

84

dijalankan100. Adapun keputusan yang telah berkekuatan hukum tetap

tersebut dapat berupa :101

a. Putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak dimintakan

pemeriksaan ulang (banding) atau kasasi102 karena telah diterima oleh

kedua belah pihak

b. Putusan pengadilan tingkat banding yang telah tidak dimintakan

kasasi ke Mahkamah Agung

c. Putusan pengadilan tingkat kasasi dari Mahkamah Agung atau

putusan peninjauan kembali dari Mahkamah Agung

d. Putusan verstekdari pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan

upaya hukumnya

e. Putusan hasil perdamaian dari dua pihak yang berperkara

2. Putusan tidak dijalankan secara sukarela

Ada 2 cara menjalankan isi putusan :103

a. Dengan jalan sukarela

b. Dengan jalan eksekusi

Pada prinsipnya eksekusi sebagai tindakan paksa menjalankan putusan

pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, baru merupakan pilihan

100Ibid. Hlm. 7

101Wildan Suyuthi, op. cit., hal. 61.

102R. Subekti, Op. Cit hal. 161

103M. Yahya Harahap, op.cit., hal. 11.

Page 85: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

85

apabila pihak yang kalah tidak mau menjalankan atau memenuhi isi putusan

secara sukarela.104

3. Putusan yang dapat dieksekusi bersifat condemnatoir

Hanya putusan yang bersifat condemnatoir saja yang bisa dijalankan

eksekusi yaitu putusan yang amar atau diktumnya mengandung unsur

“penghukuman”. Putusan yang bersifat constitutif dan declaratoir tidak

memerlukan pelaksanaan/tidak memerlukan perbuatan dari salah satu pihak

dan upaya paksa, karena sudah mempunyai akibat hukum tanpa bantuan

pihak yang kalah untuk melaksanakannya105

4. Eksekusi atas perintah dan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri

Asas ini diatur dalam Pasal 195 ayat (1) HIR yang berbunyi:

“Hal menjalankan keputusan pengadilan negeri, dalam perkara yang

pada tingkat pertama diperiksa oleh pengadilan negeri, adalah atas perintah

dan dengan pimpinan ketua pengadilan negeri yang pada tingkat pertama

memeriksa perkara itu, menurut cara yang diatur dalam Pasal-Pasal berikut ini”

Jika ada putusan yang dalam tingkat pertama diperiksa dan diputus oleh satu

Pengadilan Negeri dan sudah berkekuatan hukum tetap, maka eksekusi atas

putusan tersebut berada di bawah perintah dan pimpinan Ketua Pengadilan

Negeri yang bersangkutan.

Asas-asas tersebut pada umumnya berlaku dalam praktek di hukum acara

Perdata yang dalam beberapa hal berbeda dengan eksekusi dalam hukum acara di

104Ibid

105Moh. Taufik Makarao, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata, cet.1, (Jakarta: PT Rineka Raya, 2004), hal. 130.

Page 86: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

86

Peradilan Tata Usaha Negara. Menurut Lintong Siahaan106 Eksekusi putusan Peratun

berbeda dengan eksekusi putusan perdata, karena Peratun adalah pengadilan yang

mengadili sengketa-sengketa administrasi, jadi tidak mempunyai wewenang dalam

bidang fisik (factual). Eksekusi Peratun hanya dilaksanakan secara administratif

(abstrak) tidak secara fisik seperti dalam perkara perdata. Dalam hal ini yang perlu

diperhatikan adalah bunyi dari pasal 115 UU. No. 5 tahun 1986 yang mengatakan

bahwa: “ Hanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap

yang dapat dilaksanakan”.

Putusan Peratun yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pada dasarnya

merupakan keputusan hukum yang bersifat hukum publik dan karena itu berlaku juga

pihak-pihak di luar yang bersengketa (erga omnes). Berbeda dengan putusan hukum

perdata, yang pada umumnya hanya berlaku pada pihak-pihak yang bersengketa saja,

meskipun ada juga putusan perdata yang bersifat hukum publik.107 Dengan demikian

menurut Lintong, kekuatan eksekutorial dari putusan Peratun adalah juga berbeda

dengan kekuatan eksekutorial dari putusan perdata.108. Salah satu perbedaan model

eksekusi putusan perdata dan Peratun adalah soal adanya bantuan pihak dari para

pihak dalam pelaksanaan putusan Peratun itu. Menurut Indroharto, bantuan pihak luar

dalam pelaksanaan putusan yang dalam hukum perdata lebih dikenal dengan istilah

106Lintong Siahaan, Teori Hukum dan Wajah PTUN setelah Amandemen UU. No. 5 tahun 1986.jo. UU. No.9 tahun

2004. Jakarta. Perum percetakanNegara RI. Hlm. 123

107Indroharto, Upaya Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Cet.1.Pustaka Sinar

Harapan, 1991. Hlm. 368

108Lintong. Op. Cit. hlm. 123

Page 87: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

87

eksekusi riel109, yang mana dalam hukum acara di PTUN tidak dikenal karena hanya

sekedar pengadilan administrasi yang tidak memliki kewenangan dalam arti fisik,

melainkan hanya kewenangan yang abstrak dalam bidang administrasi110

Bunyi pasal 97 ayat (7) UU. No. 5 tahun 1986 menyebutkan bahwa, putusan

pengadilan dapat berupa: a. gugatan ditolak, b. gugatan dikabulkan;c.Gugatan tidak

dapat diterima;gugatan gugur. Menurut Lintong, dari keempat butir jenis putusan di

atas, hanya satu butir yang memerlukan tindak lanjut (follow up) berupa eksekusi,

yaitu butir (2) “Gugatan dikabulkan”, sedangkan butir-butir : (1) gugatan ditolak; (3);

Gugatan tidak dapat diterima; dan (4) Gugatan gugur tidak memerlukan tindak lanjut

(Follow Up)111

f. Teori Wewenang

Dalam kajian hukum administrasi, dikenal jenis kewenangan yang bersifat

Atribusi, Delegasi dan Mandat. H.D. Van Wijk/Willem Konijnenbelt sebagaimana

dikutip oleh Ridwan HR112 mendefinisikan sebagai berikut: a. Atribusi adalah

pemberian wewenang pemerintahan oleh Pembuat undang-undang kepada organ

pemerintahan. B, delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu

organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya. C, Mandat terjadi ketika

109Indroharto Op. Cit. Hlm. 369

110Lintong Op. Cit. hlm. 124

111Lintong Ibid. Hlm. 126

112Ridwan HR. Op. Cit. Hlm. 102

Page 88: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

88

organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas

namanya.

Dalam pandangan yang hampir sama, Indroharto menyebut bahwa Untuk

kepentingan pengurusan negara dan masyarakat, kepada pemerintah diberi

kekuasaan oleh negara melalui undang-undang dasar dan undang-undang, yang

dikenal dengan “atribusi” (attributie)113. Untuk badan pemerintahan pada tingkat yang

lebih rendah kekuasaan dapat diperoleh dengan “delegasi” (delegatie), yaitu

penyerahan wewenang pemerintah kepada badan lain114. Selain itu, wewenang

diperoleh juga dengan cara “mandat” (mandaat), yaitu badan pemerintahan

mengizinkan wewenang yang ada pada mereka untuk digunakan oleh badan lain atas

namanya115. Sementara Menurut Philipus M. Hadjon mendefinisikan perbedaan

Mandat dan Delegasi dalam hal tanggung jawab dan tanggung gugat; dalam hal ini

dalam wewenang yang bersifat Mandat, maka tanggung jawab dan tanggung gugat

tetap pada pemberi Mandat sedangkan wewenang yang bersifat delegasi tanggung

jawab dan tanggung gugat beralih kepada delegataris.

113Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Sinar Harapan, Jakarta,

1991., hlm. 64.

114Ibid.

115Idem., hlm. 65.

Page 89: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

89

Berbeda dengan Van Wijk, F.A.M Stroink dan J.G Steenbeek116 menyebutkan

bahwa hanya ada 2 cara organ pemerintahan memperoleh wewenang, yaitu atribusi

dan delegasi. Mengenai atribusi dan delegasi, disebutkan bahwa bij attributie gaat he

tom het toekennen van een nieuwe bevogheid; bij delegatie gaat he tom het

overdragen van een reeds bestaande bevogheid (door het organ dat die bevogheid

geattributie heft gekregen, aan een ander organ; aan delegatie gat dus altijd

logischewijs vooraf).

Terjemahannya: Atribusi berkenaan dengan penyerahan wewenang baru,

sedangkan delegasi menyangkut pelimpahan wewenang yang telah ada oleh organ

yang telah memperoleh wewenang secara atributif kepada organ lain; jadi delegasi

secara logis selalui didahului oleh atribusi. Kewenangan KPUD dalam menerbitkan

Keputusan Tata Usaha Negara dapat diteropong dan dianalisis melalui ketiga

konstruksi kewenangan tersebut.

g. Teori Donald Black

Donald Black dalam bukunya The Behavioral of Law mengemukan teori bahwa

ada beberapa faktor yang memengaruhi perilaku hukum. Seseorang, organisasi atau

institusi dalam melakukan tindakan hukum dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni.

Stratifikasi, Morfologi, Kultur, Organisasi, dan Pengendalian Sosial. Black menyebut

bahwa faktor pertama yang memengaruhi perilaku hukum, termasuk ketaatan hukum

116Mustafa Lutfi, Hukum Sengketa Pemilukada di Indonesia; Gagasan Perluasan Kewenangan Mahkamah

Konstitusi. UII Press. Yogyakarta. 2010. Hlm. 92

Page 90: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

90

adalah stratifikasi, khususnya dalam hal hubungan vertikal, aspek ekonomi dan

kehidupan sosial (social life) “distribution of material conditions of existence” 117.

Kedua, Morfologi. Menurut Black, Morphology explains the use of law in terms

of one’s social relation, or distance, to others. This is the horizontal facet of social life,

the “interaction, intimacy, and integration” people have in relation to one another118.

Faktor ketiga adalah kultur, di sini kultur didefinisikan atau diistilahkan sebagai

keyakinan masyarakat, tradisi dan persepsi atas moralitas. Dalam bahasa Black, ,

“culture is the symbolic aspect of social life that includes expressions of what is true,

good, and beautiful”119. Faktor keempat adalah organisasi. Ilustrasi Black tentang

organisasi dalam konteks ini adalah “the corporate aspect of social life, the capacity for

collective action”120. Dalam hal ini termasuk organisasi adalah adanya dua orang atau

lebih yang berkumpul untuk membentuk sebuah kelompok, bisa dalam bentuk genk,

keluarga, perusahaan atau partai politik.

Menurut Black, people engaged in organizations are more likely to rely on the

power of the law. level of organization may include the presence and number of

administrative officers and centralization of decision making, but also the quantity of

collective action itself by an individual. Faktor kelima menurut Black adalah

Pengendalian sosial (social control). Variable akhir yang menjadi mempengaruhi

seseorang dalam melakukan tindakan hukum adalah aspek normatif dari

keberagaman dalam setting sosial . Seperti yang dikatakan Black bahwa , law serves

117Donald Black, 1976, The Behavior Of Law,. the University of Michigan.hlm.11

118Ibid, Hlm. 37

119Ibid. Hlm. 76

120Ibid. Hlm. 85

Page 91: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

91

as a means of controlling the populous, but in different settings, other factors serve as

a informal social control, such as “etiquette, custom, ethics, bureaucracy, and the

treatment of mental illness”121.

Aspek normatif yang dimaksud di sini adalah yang terkait dengan kehidupan

sosial yang didalamnya terkandung adanya respon terhadap perilaku yang

menyimpang seperti adanya larangan, dakwaan, pemidanaan dan kompensasi..

Penerbitan Surat Keputusan tentang penetapan pasangan calon kepala daerah oleh

KPUD dapat dianalisa dan dikaji dengan pendekatan Teori Donald Black yang fokus

pada faktor-faktor yang mempengaruhi penerbitan Surat Keputusan tersebut.

F. Periodeisasi Sistem Pemilihan Kepala Daerah

Sebelum pemilihan kepala daerah menggunakan mekanisme Pemilihan

Langsung yang yang berlangsung saat ini, sejarah pemilihan kepala daerah di

Indonesia telah mengalami berbagai macam sistem dan bentuk sesuai dengan periode

kepemimpinan politik, yakni pada era Orde Lama, orde Baru dan Orde Reformasi.

1. Zaman Orde Lama

Menurut Sarundajang122, pada fase ini pilkada menggunakan dua sistem.

Pertama, pada awalnya pemilihan kepala daerah menggunakan sistem penunjukan

atau pengangkatan oleh pusat (masa pemerintahan kolonial Belanda, penjajahan

121Ibid. Hlm. 105

122 Sarundajang, 2005, Pemilihan Kepala Daerah Langsung; Problem dan Prospek. Kata Hasta Pustaka. Jakarta..

Hlm.33

Page 92: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

92

Jepang dengan UU No. 27 tahun 1902). Kemudian UU. No. 22 tahun 1948 dan UU

No. 1 tahun 1957, ketika berlakunya sistem parlementer yang liberal. Pada masa itu,

baik sebelum dan sesudah pemilihan umum 1955 tidak ada partai politik yang

mayoritas tunggal. Akibatnya pemerintah pusat yang dipimpin oleh Perdana Menteri

sebagai hasil koalisi partai, mendapat biasanya sampai ke bawah.

Kedua, yang digunakan adalah sistem penunjukan (Penetapan Presiden No. 6

tahun 1959 jo. Penetapan Presiden No. 5 Tahun 1960; UU No. 6 dan UU. No. 18

tahun 1965) yang lebih dikenal dengan era Dekrit Presiden ketika diterapkannya

demokrasi terpimpin. Penerapan Penetapan Presiden No, 6 tahun 1959 jo. Penetapan

Presiden No. 5 tahun 1960 disertai alasan “situasi yang memaksa”. Sistem

penunjukan atau pengangkatan mengandung subjektivitas dan diskriminasi yang

kental dengan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme)123. Para kepala daerah terpilih

sangat tunduk pada pusat, dan sebagian besar kepala daerah terpilih teridentifikasi

sebagai kepala keluarga terdahulu.

Penelitian Sutherland menunjukkan, pada tahun 1930, dari 75 orang bupati, 30

orang menggantikan ayahnya, 3 orang menggantikan mertuanya, 24 orang berasal

dari kabupaten lain dan hanya 18 orang yang tidak mempunya pertalian kekeluargaan

dengan seorang bupati dari garis kakek atau ayah mertua124

2. Zaman Orde Baru

123Joko. J. Prihatmoko, Mendemokratiskan Pemilu. Pustaka Pelajar. 2008.hlm. 158

124Ibid.

Page 93: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

93

Dalam konteks pemilukada sebagai bagian dari desentralisasi dan otonomi

daerah, maka periode Orde Baru dapat disebut sebagai masa kelam desentralisasi

termasuk pemilihan kepala daerah. Pada masa ini pemerintah daerah tidak memiliki

kekuasaan dan kewenangan apapun. Mereka dalam melaksanakan pemerintahannya

harus berdasarkan petunjuk dari pemerintah pusat melalui menteri dalam negeri. Oleh

karena itu setiap kepala daerah yang akan dipilih oleh DPRD melalui mekanisme

pemilihan perwakilan harus terlebih dahulu dikonsultasikan dengan pemerintah pusat.

Dalam UU No. 5 tahun 1974 disebutkan bahwa kepala daerah dipilih dan dicalonkan

oleh DPRD. Hasil pemilihan lalu diajukan kepada pemerintah pusat untuk diangkat

tanpa terikat dengan hasil pemilihan yang dilakukan oleh DPRD125

Namun menurut Sarundajang, meskipun juga mengatur sistem pemilihan

perwakilan, UU. No 18 tahun 1965 dan UU. No. 22 tahun 1999 berbeda dengan

paradigma UU. No. 5 tahun 1974, sebab kedua UU itu mengatur kepala daerah dipilih

secara murni oleh lembaga DPRD tanpa intervensi pemerintah pusat, sementara

pemilihan kepala daerah yang tercantum dalam UU. No 5 tahun 1974 dikenal dengan

sistem pemilihan perwakilan semua. Dalam sistem ini menurut Syaukani HR, Afan

Gaffar dan M. Ryas Rasyid ditemukan penyimpangan yang cukup menarik.

Penyimpangan itu karena rekruitmen politik lokal ditentukan sepenuhnya orang

Jakarta, khususnya pejabat Departemen Dalam Negeri (Depdagri) untuk pengisian

jabatan bupati, walikota, sekretaris daerah, dan kepala dinas di Provinsi. Sementara

125Lili Romli , Op. Cit .hlm. 321

Page 94: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

94

untuk jabatan gubernur ditentukan oleh Depdagri, Markas Besar TNI, dan Sekretariat

Negara126.

Data Depdagri tahun 1994 menunjukkan 127 orang (42, 61 persen) dari seluruh

bupati/walikota yang berasal dari ABRI, sedangkan yang berasal dari sipil berjumlah

171 orang (57,39 persen). Komposisi jumlah bupati/walikota dari ABRI semakin besar

pada tahun-tahun berikutnya dan mencapai puncak menjelang kejatuhan rezim

Soeharto, di mana jumlahnya lebih besar dari jumlah sipil.

Data itu mengindikasikan bahwa pengisian kepala daerah dengan sistem

penunjukan/pengangkatan dan sistem perwakilan semu mengandung kelemahan yang

dalam konteks demokrasi termasuk ketegori substansial, yakni127;

a. Tiadanya mekanisme pemilihan yang teratur dengan tenggang waktu

yang jelas, kompetitif, jujur dan adil

b. Sempitnya rotasi kekuasaan sehingga kepala daerah dipegang terus

menerus oleh seseorang atau keluarganya atau dari partai tertentu

c. Tiadanya rekruitmen secara terbuka yang menutup ruang kompetisi

sehingga tak semua orang atau kelompok mempunyai hak dan peluang

yang sama; dan Lemahnya akuntabilitas publik sehingga apa yang

dilakukan sebagai pribadi dan pejabat publik tidak jelas

126Syaukani HR dkk, 2001,Otonomi Daerah. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.. Hlm. 38

127Joko.P..Mendekmokratiskan Pemilu..Op. Cit. hlm. 160

Page 95: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

95

3. Zaman Orde Reformasi

a. Pilkada Menurut UU. Nomor 22 tahun 1999

Seiring jatuhnya pemerintahan Soeharto, yang ingin mewujudkan suatu tatanan

Indonesia Baru maka ditetapkanlah undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang

otonomi daerah pada tanggal 7 Mei 1999. Undang-undang ini menimbulkan

perubahan pada penyelengaraan pemerintahan di daerah. Perubahannya tidak hanya

mengenai penyelenggaraan pemerintahan daerah, tetapi juga hubungan antara

pemerintah pusat dengan daerah. Sebelumnya hubungan antara pemerintah pusat

dan daerah bersifat sentralistis, namun setelah undang - undang ini diberlakukan,

hubungannya bersifat desentralistis. Menurut undang - undang nomor 22 tahun 1999,

pemerintah daerah terdiri dari kepala daerah dan perangkat daerah lainnya, dimana

DPRD diluar pemerintah daerah yang berfungsi sebagai badan legislatif pemerintah

daerah untuk mengawasi jalannya pemerintahan128

Dibanding dengan UU pemerintahan daerah sebelumnya yang mengatur

tentang pemilihan kepala daerah, pengisian kepala daerah yang layak disebut

pemilihan adalah berdasarkan UU. 22 tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah (PP) No.

151 tahun 2000. Sistem perwakilan DPRD memungkinkan terwujudnya mekanisme

pemilihan teratur, rotasi kekuasaan, keterbukaan rekruitmen dan akuntabilitas publik.

Artinya secara substansi demokrasi konsep pilkada yang tercantum dalam UU. Nomor

22 tahun 1999 tidak terlalu bermasalah, namun aturan normatif prosedural yang tidak

terlaksana secara baik, sehingga pilkada mengalami banyak penyimpangan.

128 Koirudin, Sketsa Kebijakan Desentralisasi di Indonesia; Format Masa Depan Otonomi Menuju Kemandirian

Daerah, Averroes Press, Malang, 2005., hal 75

Page 96: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

96

Undang - undang nomor 22 tahun 1999 memang disusun dalam tempo singkat

dan tidak melibatkan partisipasi masyarakat luas. Karena itu, tidaklah mengejutkan bila

UU No. 22/1999 tidak sepenuhnya aspiratif sehingga menimbulkan banyak kritik dan

tuntutan revisi.129 Praktik selama berlakunya UU. No. 22 tahun 1999 menunjukkan

bahwa pilihan DPRD seringkali berseberangan dengan kehendak mayoritas rakyat di

daerah. DPRD punya tafsir sendiri terhadap aspirasi masyarakat, bahkan

penyelewengan pun tidak jarang terjadi, dan berbagai cara “terlarang” pun ditempuh

(misalnya; pemalusan identitas calon, money politik, mark up suara dan seterusnya).

Penyimpangan yang harus digarisbawahi adalah maraknya dugaan kasus money

politik dan intervensi pengurus partai baik di level local maupun pusat dalam pilkada

seperti pada kasus Pilkada Gubernur Jawa Timur, Jawa Tengah, DKI Jakarta,

Lampung, Kalimantan Timur, Bupati Painai di Papua dll130.

Persoalan lain yang sering muncul adalah ketegangan antara Kepala Daerah

dengan DPRD setempat dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sepanjang

pemberlakuan UU. No 22 tahun 1999 cerita tentang penjatuhan (pemberhentian)

Kepala Daerah oleh DPRD berkali-kali terjadi di berbagai tempat131. Dengan kondisi

seperti itu, sistem pemerintahan daerah mirip dengan sistem pemerintahan

parlementer karena setiap saat mendapat serangan dari DPRD sehingga eksekutif

tidak memiliki kepastian masa jabatan.

b. Pilkada Menurut UU. Nomor 32 tahun 2004

129Ibid., hal 97 - 98.

130Tri Ratnawati dkk…Op. Cit. 2003. Hlm.; 79

131Ni’matul Huda, Otonomi Daerah.. Op. Cit. hlm. 205

Page 97: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

97

Kekurangan dalam UU. Nomor 22 tahun 1999 telah disadari oleh para wakil

rakyat yang duduk di MPR RI yang mengagendakan perubahan UUD NRI 1945.

Perubahan UUD NRI 1945 berimplikasi luas terhadap sistem ketatanegaraan Republik

Indonesia. Salah satunya adalah terkait dengan ketentuan yang terkait dengan

pemerintahan daerah. Amandemen kedua UUD NRI 1945 (tahun 2000) menghasilkan

rumusan baru pasal-pasal yang mengatur pemerintahan di daerah, yakni pasal 18,

pasal 18 A dan Pasal 18 B. Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa

Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah

provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis

Berdasarkan rumusan pasal ini dapat ditarik beberapa persoalan penting132;

Pertama, UUD NRI 1945 tidak mengharuskan kepala daerah terpilih secara langsung

dan calon kepala daerah tidak harus berasal dari partai politik atau gabungan partai

politik. Kedua, frasa “dipilih secara demokratis” tidaklah dapat ditafsirkan bahwa

rekruitmen pasangan calon menjadi kewenangan mutlak partai politik sebagai salah

satu lembaga yang berfungsi melakukan rekruitmen politik dalam pengisian jabatan

publik melalui mekanisme yang demokratis sebagaiman diatur dalam UU Partai Politik.

Ketiga, rumusan pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945 yang merupakan hasil amandemen

kedua (tahun 2000) dapat ditafsirkan sama dengan tata cara dan prosedural pemilu

sebagaimana dinyatakan dalam beberapa pasal amandemen ketiga (tahun 2001).

Artinya Pemilukada langsung khususnya lembaga yang memiliki kewenangan

melakukan rekruitmen calon kepala daerah adalah lembaga yang juga menjadi

penanggungjawab pelaksanaan pemilu (Pemilu Presiden dan Wakil Presiden serta

132 Suharizal, Pemilukada; Regulasi. Dinamika, dan Konsep Mendatang. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2006. hlm.

26

Page 98: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

98

Pemilu Legislatif) yaitu KPUD. Keempat, Pasal 18 ayat (4) tersebut hanya

mengharuskan yang dipilih secara demokratis adalah kepala daerah (Gubernur,

Bupati, Walikota). Dengan kata lain Wakil Kepala Daerah (Wakil Gubernur, Wakil

Bupati dan Wakil Walikota) tidak diharuskan dipilih satu paket dengan kepala daerah.

Untuk menggantikan undang-undang nomor 22 tahun 1999, ditetapkanlah

undang - undang nomor 32 tahun 2004. Undang-undang ini mengatur tentang

pemilihan kepala daerah secara langsung, hal ini dibuktikan dari 240 pasal yang ada,

sebanyak 63 pasal berbicara tentang Pemilukada langsung. Tepatnya mulai pasal 56

hingga pasal 119, secara khusus berbicara tentang Pemilukada langsung. Landasan

konstitusional pemilihan kepala daerah secara langsung sebagaimana yang tercantum

dalam UU. 32 tahun 2004 bersumber dari perubahan kedua UUD NRI 1945 pasal 18

ayat (4) yang menyatakan bahwa Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing

sebagai kepala daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis.

Penggunaan kata dipilih secara demokratis tersebut bersifat luwes dan memiliki

dua makna yaitu baik pemilihan langsung maupun tidak langsung melalui DPRD

kedua-duanya demokratis. Untuk itu keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat

(MPR) dalam proses menetapkan Kepala Daerah dipilih secara demokratis dapat

digali secara mendalam melalui risalah siding Panitia Ad Hoc I badan pekerja MPR RI.

133 Kata “demokratis” kemudian oleh pembuat undang-undang No 32 tahun 2004

tentang Pemerintah Daerah diterjemahkan menjadi Pemilihan Langsung. Sehingga

rakyat Indonesia sejak pemilu 2004 telah memilih langsung kepala eksekutif, dalam

hal ini presiden/wakil Presiden serta Kepala daerah dan wakail kepala daerah.

133 Buku kedua jilid II C. Risalah Sidang PAH I. Sekjen MPR RI Jakarta. 2000. Hlm. 248-249.

Page 99: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

99

Dengan demikian, pemilihan kepala daerah dilaksanakan secara langsung

dimana calon kontestannya adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik

atau gabungan partai politik yang memperoleh 15 persen kursi DPRD atau dari

akumulasi perolehan suara sah pada pemilihan legislatif sebelumnya. Pemilu kepada

daerah langsung sesuai dengan Undang - undang ini terlaksana pertama kali pada

tanggal 1 Juni 2005. Pemilihan kepala daerah langsung yang termaktub dalam

undang - undang nomor 32 tahun 2004 adalah sebuah proses demokratisasi di

Indonesia.

Perjalanan pembelajaran demokrasi di Indonesia sebelum masa kemerdekaan

sampai dengan saat ini. Perjalanan demokrasi selanjutnya melahirkan sistem yang

baru, ketidakpuasan (kekurangan) undang - undang nomor 32 tahun 2004 mengenai

otonomi daerah ini melahirkan sebuah konsepsi undang - undang yang baru demi

menciptakan sebuah tatanan yang lebih demokratis lagi. Salah seorang Anggota

DPRD kabupaten lombok yang bernama Lalu Ranggawale mengajukan permohonan

kepada Mahkamah Konstitusi untuk melakukan uji materil pada UU No.32 tahun

2004. akhirnya keluarlah Keputusan MK No 5/PUU-V/2007 yang menganulir UU

32/2004 pasal 56, 59 dan 60 tentang persyaratan pencalonan kepala daerah

memberikan peluang kepada calon independen untuk maju dalam Pemilukada.

Sejak UU. Nomor 32 tahun 2004 ditetapkan dan diberlakukan pada saat

pemerintahan Megawati yakni pada bulan Oktober 2004, perdebatan terhadap isi

undang-undang ini khususnya yang terkait dengan Pemilukada senantiasa muncul dan

selalu melahirkan polemik publik. Beberapa topik perdebatan adalah pasal-pasal yang

Page 100: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

100

mengatur tentang peran KPU dan KPUD serta peranan partai-partai politik sebagai

lembaga yang memiliki hak untuk mencalonkan kandidat kepala daerah ke KPUD.

Dalam Undang-Undang pemilu, baik pemilu legislative maupun pemilihan

presiden, posisi KPU Pusat selaku pelaku sentral dalam penyelenggara pemilu

sementara KPUD merupakan lembaga pelaksana pemilu di masing-masing

wilayahnya. Sementara dalam UU. 32 tahun 2004, KPUD ditempatkan sebagai

penyelenggara Pemilukada. Sehingga posisi KPU dan KPUD memiliki kewenangan

terpisah dan kondisi ini juga sekaligus menghadikan kewenangan otonom kepada

masing-masing KPUD di berbagai daerah sehingga berpotensi melahirkan

ketidakkonsistenan kebijakan penyelenggaraan Pemilukada.

Pada perkembangannya, UU no. 32 tahun 2004 beberapa pasalnya diubah

dengan Perpu nomor 3 tahun 2005 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor

32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian ditetaapkan menjadi UU

nomor 8 tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-

Undang Nomor 3 tahun 2005 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomro 32

tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjadi Undang-undang. Dalam

konsideran Perpu Nomor 3 tahun 2005 dijelaskan 3 alasan penerbitan Perpu. Yakni

(a), bahwa untuk mengantisipasi keadaan genting yang disebabkan oleh bencana

alam, kerusuhan, gangguan keamanan dan/atau gangguan lainnya di seluruh atau

sebagian wilayah pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang berakibat

pemilihan tidak dapat dilaksanakan sesuai dengan jadwal, perlu dilakukan pengaturan

tentang penundaan penyelenggara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah.

(b), bahwa pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a belum diatur dalam

Page 101: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

101

UU. Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. (c), bahwa dalam

penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah perlu menerapkan

prinsip efisiensi dan efektivitas berkaitan dengan pemanfaatan dana, perlengakapan,

personel, dan keadaan wilayah pemilihan.

UU. nomor 8 tahun 2005 mengatur tentang beberapa perubahan yang terdapat

dalam ketentuan UU. 32 tahun 2004 antara lain, perubahan pada pasal 90 ayat (1)

yang berbunyi ; jumlah pemilih di setiap TPS sebanyak-banyaknya 300 orang diubah

menjadi paling banyak 600 orang. Kemudian ada penyisipan pasal baru yaitu pasal

236A dan pasal 236B. Pasal 236A menyebutkan bahwa dalam hal suatu daerah

pemilihan terjadi bencana alam, kerusuhan, gangguan keamanan, dan atau gangguan

lainnya di seluruh atau sebagain wilayah pemilihan kepala daerah wakil kepala daerah

yang berakibat pemilihan tidak dapat dilaksanakan sesuai dengan jadwal, pemilihan

ditunda yang ditetapkan lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Revisi undang - undang nomor 32 tahun 2004 melahirkan undang - undang

nomor 12 tahun 2008. Undang-undang nomor 12 tahun 2008 ini tentang perubahan

terhadap undang - undang nomor 32 tahun 2004 mengenai pelaksanaan otonomi

daerah. Hal yang paling berbeda dari Undang-undang ini mengenai pemilihan kepala

daerah. dimana di dalam undang undang sebelumnya, kepala daerah dipilih langsung

dari usulan partai politik atau gabungan partai politik, sedangkan dalam Undang-

undang ini, pemilihan kepala daerah secara langsung dapat mencalonkan pasangan

calon tanpa didukung oleh partai politik, melainkan calon perseorangan yang

dicalonkan melalui dukungan dari masyarakat yang dibuktikan dengan dukungan

tertulis dan fotokopi KTP. Pada tanggal 19 April 2007 terbitlah Undang - undang No.

Page 102: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

102

22 tahun 2007 tentang penyelenggaraan pemilihan umum. Di Undang-undang ini

Pemilihan kepala daerah dimasukkan pada rezim pemilu. maka kemudian masyarakat

mulai mengenal pemilihan kepala daerah dengan sebutan Pemilukada.

G. Sengketa Pemilukada

Dalam pembahasan tentang perselisihan yang muncul dalam pemilukada, UU.

Nomor 32 tahun 2004 maupun UU. Nomor 12 tahun 2008 menggunakan istilah

Sengketa, bukan Konflik. Menurut kamus bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh

kementerian pendidikan nasional, Sengketa adalah sesuatu yg menyebabkan

perbedaan pendapat; pertengkaran; perbantahan. Sementara, Konflik adalah

percekcokan perselisihan; pertentangan134. Namun dalam konteks pembahasan dan

kajian non hukum, para pakar politik atau sosiolog sering menggunakan istilah konflik

Pemilukada. Dalam penelitian ini, istilah yang digunakan adalah Sengketa Pemilukada

karena secara hukum, pembuat Undang-undang menggunakan istilah Sengketa.

Pemilukada sebagai peristiwa atau arena konstetasi politik tentunya membuka

peluang terjadinya benturan kepentingan. Sejatinya, benturan kepentingan antara

seorang dengan orang lain atau suatu kelompok dengan kelompok lain tidak bisa

terhindarkan dalam kehidupan social. Sehingga diperlukan norma dan hukum dalam

melakukan penataan terhadap berbagai kepentingan yang ada mengingat perbedaan

kepentingan seringkali menjadi pemicu awal munculnya konflik atau sengketa.

134 www. http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php. diakses pada hari Jumat, 25 Januari 2013. Pukul 20.24

WITA

Page 103: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

103

Menurut Van Kan135, kepentingan-kepentingan manusia bisa saling

bertumbukan kalau tidak dikendalikan oleh kaidah, sehingga lahirlah kaidah agama,

kaidah kesusilaan dan kaidah kesopanan sebagai usaha manusia untuk

menyelaraskan kepentingan kepentingan itu. Tetapi, ketiga kaidah di atas ternyata

mempunyai kelemahan yakni beberapa sudut pandang :

a. Kaidah agama, kaidah kesusilaan dan kaidah kesopanan belum

cukup melindungi kepentingan-kepentingan manusia dalam

masyarakat sebab ketiga kaidah ini tidak mempunyai sanksi yang

tegas dan dapat dipaksakan.

b. Kaidah agama, kaidah kesusilaan dan kaidah kesopanan belum

mengatur secara keseluruhan kepentingan-kepentingan manusia

seperti kepentingan manusia dalam bidang pertanahan, kehutanan,

kelautan, udara dan lain-lain.

Oleh karena itu diperlukan hukum yang dapat mengatur tatanan dan irama

kehidupan social yang terdiri dari berbagai macam kepentingan tersebut. Dengan

sifatnya yang memaksa, Hukum dapat memberi saksi kepada pihak yang berusaha

tidak mematuhi ketentuan hukum yang berlaku. 136 Menurut Nandang Alamsah

Deliarnoor 137, Sengketa Pilkada” dapat diartikan sebagai suatu benturan kepentingan

yang terjadi antara calon kepala daerah yang satu dengan yang lainnya dalam

peristiwa hukum yang namanya ”Pemilihan Kepala Daerah”.

135J. Van Kan dan J.H. Beekhuis, Pengantar Ilmu Hukum ( Jakarta : PT Pembangunan Ghalia Indonesia, 1982) hlm.

7-17.136 Soerjono Soekanto, 1986, Mengenal Sosiologi Hukum ( Bandung : Alumni,) hlm. 9

137Makalah yang Disampaikan dalam acara “SOSIALISASI PEMILIHAN UMUM GUBERNUR DAN WAKIL

GUBERNUR JAWA BARAT 2008” bertempat di Pusat Pengembangan Islam Bogor (PPIB) pada hari Rabu, 26 Maret2008, atas kerjasama KPUD Provinsi Jabar dengan Lemlit UNPAD

Page 104: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

104

Sedangkan dalam pasal 66 ayat 4 huruf c UU. 32 tahun 2004 menyebutkan

bahwa Panitia pengawas pernilihan mempunyai tugas dan wewenang: c.

menyelesaikan sengketa yang timbul dalam penyelenggaraan pemilihan kepala

daerah dan wakil kepala daerah; UU. 12 Tahun 2008 pasal 236 huruf C menyebutkan

bahwa Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan

wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi

paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan.

Sementara UU. Nomor 22 tahun 2007 Pasal 69 ayat 1 huruf f menyebutkan bahwa

Sekretariat KPU Kabupaten/Kota bertugas memfasilitasi penyelesaian masalah dan

sengketa Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten/Kota. Dari

ketiga UU tersebut, tidak ada satupun yang mengatur secara konsepsional apa yang

dimaksud dengan Sengketa Pemilukada. Sehingga sampai saat ini belum ada

ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengantur definisi tentang Sengketa

Pemilukada

H. Sengketa Administrasi Di Peradilan Tata Usaha Negara

1. Sengketa di Peradilan Tata Usaha Negara

Fungsi Peradilan Tata Usaha Negara adalah sebagai sarana untuk

menyelesaikan konflik yang timbul antara pemerintah (Badan/Pejabat TUN) dengan

rakyat (orang perorang/badan hukum perdata). Konflik disini adalah sengketa tata

usaha negara akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara. Di dalam UU No.

Page 105: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

105

51 tahun 2009 tentang Perubahan kedua UU. No. 5 tahun 1986 tentang Pengadilan

Tata Usaha Negara pasal 1 ayat 10 berbunyi:

Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalambidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata denganbadan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagaiakibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketakepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

Berdasarkan konsepsi itu dapat ditemukan bahwa sumber awal dari adanya

sengketa di Pengadilan tata Usaha Negara adalah adanya Surat Keputusan yang

dikeluarkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara. Tanpa adanya Surat Keputusan,

mustahil ada sengketa Tata usaha negara. Menurut Philipus M. Hadjon dasar lahrnya

sebuah sengketa tata usaha negara adalah adanya Keputusan Tata Usaha Negara138,

sebagai konsekuensi logis dari sengketa tata usaha negara adalah keputusan atau

ketetapan (beschikking).

Secara teoritis, realisasi Perbuatan Tata Usaha Negara (perbuatan administrasi

negara) dapat digolongkan dalam tiga hal, yaitu : mengeluarkan keputusan

(beschikking), mengeluarkan peraturan (regeling) dan melakukan perbuatan materiil

(materiele daad). Adanya suatu sengketa dalam bidang administrasi negara (secara

umum) tentu saja akan muncul akibat dari pelaksanaan tugas dan kewenangan

Pejabat Administrasi Negara (Pejabat TUN) yang terdiri dari tiga hal di atas. Artinya

tanpa adanya perbuatan administrasi (termasuk didalamnya tindakan pasif), tentu saja

tidak akan mungkin terjadi sengketa administrasi.

138Philipus M. Hadjon, Peradilan Tata Usaha Negara Tantangan Awal di Awal Penerapan Undang-Undang Nomor

5 tahun 1986, Yuridika, majalah Fakultas Hukum Universitas Airlangga.No.2-3 Tahun VI Maret –Juni 1991

Surabaya. 1991. Hlm. 114

Page 106: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

106

Berdasarkan rumusan pasal 1 ayat 10 tersebut di atas, terdapat unsur-unsur

sengketa tata Usaha Negara, meliputi;

a. Subyek yang bersengketa, yaitu orang atau badan hukum perdata di

satu pihak dan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara di pihak lain

dan

b. Objek sengketa, yaitu keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau

Pejabat Tata Usaha Negara139

2. Pengertian Keputusan Tata Usaha Negara

a. Pengertian Keputusan

Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) pertama kali diperkenlkan oleh seorang

sarjana Jerman, Otto Meyer, dengan istilah verwaltungsakt140. Di Indonesia, istilah

keputusan tata usaha negara disebut Beschikking. Istilah Beschikking oleh pada ahli

hukum diartikan dengan Keputusan dan Ketetapan. Menurut ketentuan Undang-

Undang No. 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 51

Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara pasal 1 ayat 9 menyebutkan bahwa

Keputusan Tata Usaha Negara adalah Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu

penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang

berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan

perundangundangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang

menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata

139M. Nasir, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Djambatan, Jakarta. 2003. Hlm. 27

140Ridwan HR. Op. Cit. Hlm. 139

Page 107: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

107

b. Unsur-unsur Keputusan

Unsur-unsur keputusan dalam hal ini adalah unsur atau kriteria keputusan yang

dapat diugat di Pengadilan tata usaha negara . KTUN yang dapat digugat di Peratun

harus memenuhi syarat syarat :

a). Bersifat tertulis, tertulis disini bukanlah dalam arti bentuk

formalnya, melainkan cukup tertulis asal saja jelas Badan atau

Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan, jelas isinya dan

jelas ditujukan untuk siapa. Syarat tertulis ini masih dikecualikan

adanya KTUN fiktif negative (berisi penolakan) sebagaimana diatur

dalam Pasal 3 UU Peratun. Syarat tertulis juga tidak mengharuskan

bahwa suatu KTUN harus berbentuk baku, suatu memo juga dapat

dikategorikan KTUN jika memo tersebut memenuhi tiga unsure,

yaitu:1. memo tersebut jelas ditujukan untuk siapa, 2. isinya jelas

memuat tindakan hukum TUN yang memiliki akibat hukum, dan 3.

jelas siapa badan/pejabat TUN yang membuatnya;

b). Bersifat konkrit, artinya KTUN. Artinya keputusan tersebut

merupakan norma hukum yang mengkonkritkan norma hukum

abstrak, yaitu norma hukum dalam peraturan perundangundangan,

misalnya Keputusan tentang Pemberhentian PNS karena melanggar

Peraturan Disiplin PNS;

c). Bersifat individual, artinya tertentu dan tidak ditujukan untuk

umum, berapapun jumlahnya, keputusan TUN harus membuat

batasan, ditujukan untuk siapa atau apa saja. Jika KTUN tersebut

Page 108: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

108

merupakan KTUN perorangan, maka harus jelas siapa orang yang

dituju atau dikenakan keputusan. Begitu juga, jika KTUN tersebut

adalah KTUN kebendaan, maka harusjelas apakah itu dan sampai

dimanakah batas-batasnya;

d). Bersifat final, artinya sudah definitif karenanya dapat

menimbulkan akibat hukum atau tidak membutuhkan persetujuan

instansi atasan Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan

KTUN.

3. Upaya Administratif di Peradilan Tata Usaha Negara

Rochmat Soemitro membagi peradilan administrasi menjadi 2, yakni

mencakup (1) peradilan administrasi murni atau peradilan administrasi dalam arti

sempit dan (2) peradilan administrasi tidak murni. 141 Sjachran Basah sependapat

dengan pendapat Rochmat Soemitro dengan istilah yang berbeda. Sjachran Basah

menyebut peradilan administrasi dalam arti luas pada dasarnya mencakup dua

golongan, yaitu (1) peradilan administrasi murni yang sesungguhnya, atau peradilan

administrasi dalam arti sempit dan (2) peradilan administrasi yang tidak

sesungguhnya, atau peradilan administrasi semu.” 142.

Terkait kedua jenis peradilan administrasi tersebut, Ada perbedaan penting

yang dapat memberikan pemahaman yang lebih utuh tentang peradilan administrasi,

yaitu ciri-ciri yang melekat pada kedua macam peradilan administrasi, yaitu “peradilan

administrasi murni” dan “peradilan administrasi semu”. Hal ini pertama dikemukakan

141Rochmat Soemitro, Peradilan Administrasi ...Op.Cit., hlm. 49.

142Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolok Ukur…Op.Cit., hlm. 37.

Page 109: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

109

Rochmat Soemitro 143 yang kemudian dilengkapi oleh Sjachran Basah sebagai berikut

: Ciri-ciri peradilan administrasi murni adalah : (1) yang memutus adalah hakim; (2)

penelitian terbatas pada "rechtsmatigheid" keputusan administrasi; (3) hanya dapat

meniadakan keputusan administrasi, atau bila perlu memberikan hukuman berupa

uang (ganti rugi) tetapi tidak membuat putusan lain yang menggantikan keputusan

administrasi yang pertama; (4) terikat pada mempertimbangkan fakta-fakta dan

keadaan pada saat diambilnya keputusan administrasi dan atas itu dipertimbangkan

“rechtsmatigheid” nya ; (5) badan yang memutus itu tidak tergantung, atau bebas dari

pengaruh badan-badan lain apapun juga.

Sedangkan menurut Irfan Fachrudin, Ciri-ciri peradilan administrasi “semu”

adalah (1) yang memutus perkara biasanya instansi yang hierarkis lebih tinggi (dalam

satu jenjang secara vertikal) atau lain dari pada yang memberikan putusan pertama;

(2) meneliti ”doelmatigheid” dan “rechtsmatigheid” dari keputusan administrasi; (3)

dapat mengganti, mengubah atau meniadakan keputusan administrasi yang pertama;

(4) dapat memperhatikan perubahan-perubahan keadaan sejak saat diambilnya

keputusan, bahkan juga dapat memperhatikan perubahan yang terjadi dalam prosedur

berjalan ; (5) badan yang memutus dapat di bawah pengaruh badan lain, walaupun

merupakan badan di luar hierarkhi144

Penggunaan istilah “peradilan administrasi tidak murni” oleh Rochmat Soemitro;

istilah “peradilan administrasi yang tidak sesungguhnya” dan “peradilan administrasi

semu” dari Sjachran Basah relevan dengan sebutan dengan “upaya administratif”,

143Ibid., hlm.64.

144Irfan Fachrudin. Op. Cit. hlm. 169

Page 110: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

110

yang menurut Pasal 48 Undang-Undang Peradilan Administrasi No 5 tahun 1986,

meliputi “banding administratif ” dan “keberatan”. Penjelasan Pasal 48 Undang-

Undang Peradilan Administrasi Negara menjelaskan : “upaya administratif” adalah

suatu prosedur yang dapat ditempuh oleh seorang atau badan hukum perdata apabila

ia tidak puas terhadap keputusan tata usaha negara.

Prosedur tersebut dilaksanakan di lingkungan pemerintahan sendiri dan terdiri

atas dua bentuk : Pertama; “banding administratif”, dalam hal penyelesaian sengketa

dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain dari yang mengeluarkan keputusan

yang bersangkutan. Kedua; “keberatan”, dalam hal penyelesaian sengketa tata usaha

negara dilakukan sendiri oleh badan atau pejabat administrasi yang mengeluarkan

keputusan itu.

4. Tenggang Waktu Mengajukan Gugatan

Tenggang waktu mengajukan gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara diatur

dalam Pasal 55 UU. Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah dengan Undang-

Undang Nomor : 9 Tahun 2004 dan terakhir telah diubah dengan Undang-Undang

Nomor : 51 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor : 5

Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang berbunyi: Gugatan dapat

diajukan hanya dalam Tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat

diterimanya atau diumumkannya keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara

Eksistensi tenggang waktu dalam sebuah gugatan termasuk dalam gugatan di

Peratun menjadi penting untuk mendapatkan kepastian hukum terhadap proses

beracara. Tenggang waktu lazim juga disebut bezwaartermijin atau klaagtermijin. Ini

Page 111: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

111

merupakan batas waktu yang diberikan kepada seseorang atau badan hukum perdata

untuk memperjuangkan hanya dengan cara mengajukan gugatan melalui peradilan

tata usaha negara145. Dibanding dengan proses beracara di peradilan perdata,

ketentuan tenggang waktu dalam hukum acara Peratun termasuk singkat, yakni 90

hari. Sementara ketentuan dalam pasal 835, 1963 dan 1967 KUH Perdata, tenggang

waktu menurut ketentuan tersebut adalah selama 30 tahun. Dalam hukum adat lewat

waktu untuk hak milik atas tanah bahkan tidak dikenal, sebagaimana putusan

Mahkamah Agung No. 916 K/Sip/1973 tanggal 19 Desember 1973146.

Dalam rangka mengantisipasi masuknya pihak ke II (Intervensi) dalam gugatan

Peratun, maka tenggang waktu bagi pihak ke II tersebut dianggap mulai mengetahui

obyek Keputusan sejak keputusan tersebut diumumkan. Namun selama ini tidak

semua pihak dapat mengetahui pengumuman dari pemerintah, maka Mahkamah

Agung mengeluarkan Surat Edaran No. 2 tahun 1991 untuk mengatur soal tenggang

waktu. Inti dari sema no 2 tahun 1991 tersebut adalah bahwa pihak ketiga yang tidak

dituju secara langsung terhadap terbitnya sebuah Keputusan Tata usaha Negara

(KTUN), penghitungan 90 hari untuk menggugat adalah sejak bersangkutan

mengetahui KTUN tersebut dan merasa kepentingannya dirugikan atas KTUN

tersebut.

145Marbun, Upaya…Op. cit. Hlm. 189

146Ibid. hlm 171

Page 112: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …
Page 113: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

113

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian

Penelitian ini bertempat di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Makassar.

Alasan memilih lokasi tersebut karena PTUN Makassar beberapa tahun terakhir

pernah memeriksa dan menyelesaikan beberapa perkara pemilukada di Sulawesi

Selatan . Penentuan lokasi berdasarkan purposive sampling (sampel bertujuan) dari

beberapa PTUN yang pernah menangani sengketa pemilukada dalam hal ini yaitu

penentuan lokasi berdasarkan tujuan karena PTUN Makassar telah menangani

perkara penyelesaian Pemilukada yang status hukumnya sudah berkekuatan hukum

tetap (inkracht van gewisde)

B. Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian sosio yuridis yang menggambarkan dan

menganalisis suatu gejala realitas sosial yang terjadi dengan menggunakan

pendekatan kualitatif. Penelitian akan mendiskripsikan Hukum Administrasi Negara

dan Penyelesaian sengketa Penetapan pasangan calon kepala daerah dalam

Pemilukada dengan menggunakan 3 pendekatan:

Page 114: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

114

a. Pendekatan perundangan-undangan (statute approach) terhadap

aturan-aturan yang berkenaan dengan pemilukada dan hukum

administrasi Negara dan bagaimana relevansi dan penerapannya (in

concrete);

b. Pendekatan implementasi dari peraturan perundang-undangan yang

berlaku

c. Pendekatan perbandingan (comparative approach) terhadap

pelaksanaan penyelesaian sengketa pemilukada dengan pendekatan

hukum administrasi Negara di Peradilan Tata Usaha Negara,

khususnya di Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar

C. Jenis dan Sumber Data

Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Data hukum primer yang diperoleh dari aturan-aturan hukum dalam

produk perundangan-undangan meliputi dokumentasi (UUD NRI

1945, UU/Perpu, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan

Putusan Pengadilan) serta data yang diperoleh melalui hasil

wawancara

b. Data hukum sekunder yang diperoleh dari teori-teori pendapat para

ahli dan sarjana, literature ilmiah, internet dan media cetak.

Page 115: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

115

D. Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah;

a. Pengamatan, dengan melihat secara langsung proses persidangan

penyelesaian sengketa pemilukada di lokasi dalam penelitian ini

b. Studi pustakan dan literatur hukum dan studi perundang-undangan

yang dibutuhkan

c. Wawancara dilakukan dengan dengan mewawancarai responden

untuk mendapatkan informasi dan data tambahan yang diperlukan.

Responden akan dibagi menjadi beberapa unsur yang terkait dengan

penegakan hukum administrasi dalam penyelesaian sengketa

pemilukada, yaitu Hakim-hakim Peratun yang pernah memutus

perkara pemilukada, unsur KPUD, Akademisi, Biro Hukum,Unsur

Bawaslu/Panwaslu Kandidat dan Pimpinan Partai Politik peserta

pemilukada. Penentuan sumber wawancara dilakukan dengan

tekhnis sampling.

E. Teknik Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan teknik analisis komponensial (componential

analysis) yaitu teknik analisa data kualitatif meliputi pengumpulan data secara

keseluruhan . data yang ada melalui proses editing dan pemilahan dituangkan dalam

Page 116: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

116

bentuk teks naratif dikorelasikan dengan konsep dan teori yang relevan untuk

memperoleh kesimpulan, data yang diperoleh di lokasi diambil melalui tiga tahap yaitu,

reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Dan atau menggunakan

metode triangulasi, dengan membandingkan semua sumber data, baik dari hasil

pengamatan, kajian pustaka, wawancara maupun dokumentasi peraturan perundang-

undangan agar diperoleh informasi yang lebih akurat

Page 117: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

117

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Penegakan Hukum Administrasi terhadap Penetapan Pasangan Calon

dalam Pemilihan Kepala Daerah.

Mengutip pendapat Sudikno Mertokusumo147 bahwa ada 3 dimensi yang

hendak diwujudkan dalam sebuah proses penegakan hukum yakni Kepastian Hukum,

Kemanfaatan Hukum dan Keadilan. Analisa tentang penegakan hukum administrasi

dalam sengketa penetapan pasangan calon dalam pemilihan kepala daerah juga

berdasarkan indikator tercapainya Kepastian hukum, Kemanfaatan hukum dan

Keadilan. Ketiga indikator tersebut berproses dalam sebuah sistem penegakan hukum

yang dalam teori sistem hukum sebagaimana digagas oleh Lawrence Friedmen

dipengaruhi 3 faktor penting, yakni Substansi hukum, Struktur hukum dan Kultur

Hukum.

Substansi Hukum adalah aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia yang

berada dalam sistem itu. Struktur hukum mengacu pada bentuk dan kedudukan

pranata hukum yang terdapat dalam sistem hukum. Adapun kultur atau budaya

hukum (legal culture) merupakan gagasan-gagasan, sikap-sikap, keyakinan-

keyakinan, harapan-harapan dan pendapat tentang hukum.

147Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata, Liberty, Yogyakarta.2002 . Hlm. 145-147

Page 118: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

118

Berdasarkan teori sistem hukum tersebut, maka penegakan hukum

administrasi dalam sengketa penetapan pasangan calon kepala daerah meliputi 3

unsur penting, yakni Peraturan perundang-undangan yang mengatur soal penegakan

administrasi dalam pemilukada, Penegak hukum dalam hal ini penyelenggara

pemilukada, dan budaya hukum yang mempengaruhi pelaksanaan penegakan hukum

administrasi dalam pemilukada. Salah satu aspek penting dari peraturan perundang-

undangan adalah adanya sinkronisasi berbagai aturan perundang-undangan yang

terkait dengan penegakan hukum, termasuk dalam hal ini penegakan hukum

administrasi di bidang Pemilukada.

1. Sinkronisasi Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara dengan Undang-Undang yang mengatur Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) .

Secara umum penegakan hukum administrasi terhadap sengketa penetapan

pasangan calon dalam pemilihan kepala daerah selama ini mengacu pada ketentuan

perundang-undangan, khususnya Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2008. Dalam

ketentuan tersebut disebutkan bahwa pemilihan kepala daerah dilaksanakan dengan

melalui berbagai macam tahapan yang dijadwal secara sistematis dan terukur,

termasuk dalam hal ini adalah jadwal penetapan pasangan calon.

Dalam konteks penegakan hukum administrasi setidaknya terdapat dua aspek

yang menjadi sasaran atau obyek dalam penegakan hukum administrasi dalam proses

tahapan pemilukada, yakni pelanggaran administrasi dan sengketa administrasi.

Artinya dari segi substansi penegakan hukum administrasi, maka indikator adanya

Page 119: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

119

atau berjalannya proses penegakan hukum administrasi yakni apabila ketentuan

perundang-undangan secara jelas mengatur tentang pelanggaran administrasi dan

sengketa administrasi

Dalam Undang-undang Pemerintah Daerah (Pemda) yang mengatur tentang

Pemilukada maupun Undang- maupun Undang-undang tentang penyelenggara

pemilu, semuanya tidak mengatur secara spesifik dan konseptual tentang pelanggaran

administrasi dan sengketa administrasi. Undang-undang Pemda dan Undang-undang

Penyelenggara Pemilu hanya mengistilahkan pelanggaran pemilukada dengan kalimat

“pelanggaran peraturan perundang-undangan pemilihan kepala daerah dan wakil

kepala daerah;” sebagaimana dalam Pasal 66 ayat 4 UU. No. 32 tahun 2004 yang

menyebutkan:

Panitia pengawas pemilihan mempunyai tugas dan wewenang:

a. mengawasi semua tahapan penyelenggaraan pemilihan kepaladaerah dan wakil kepala daerah;b. menerima laporan pelanggaran peraturan perundang-undanganpemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah;c. menyelesaikan sengketa yang timbul dalam penyelenggaraanpemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah;d. meneruskan temuan dan laporan yang tidak dapat diselesaikankepada instansi yang berwenang; dane. mengatur hubungan koordinasi antar panitia pengawasan padasemua tingkatan

sebagaimana juga diatur dalam Pasal 77 UU. No. 22 tahun 2007 yang berbunyi;

Pasal 77

Panwaslu Provinsi berkewajiban:

a. bersikap tidak diskriminatif dalam menjalankan tugas danwewenangnya;b. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaantugas pengawas Pemilu pada tingkatan di bawahnya;

Page 120: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

120

c. menerima dan menindaklanjuti laporan yang berkaitan dengandugaan adanya pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturanperundangundangan mengenai Pemilu;d. menyampaikan laporan hasil pengawasan kepada Bawaslu sesuaidengan tahapan Pemilu secara periodik dan/atau berdasarkankebutuhan;e. menyampaikan temuan dan laporan kepada Bawaslu berkaitandengan adanya dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh KPUProvinsi yang mengakibatkanterganggunya penyelenggaraan tahapan Pemilu di tingkat provinsi;danf. melaksanakan kewajiban lain yang diberikan oleh peraturanperundang-undangan.

Sebagaimana juga diatur dalam Pasal 75 Undang-Undang Nomor 15

tahun 2011 yang berbunyi;

Pasal 75

(1) Tugas dan wewenang Bawaslu Provinsi adalah ….antara lainc. menerima laporan dugaan pelanggaran terhadap pelaksanaanperaturan perundang-undangan mengenai Pemilu;d. menyampaikan temuan dan laporan kepada KPU Provinsiuntuk ditindaklanjuti;e. meneruskan temuan dan laporan yang bukan menjadikewenangannya kepada instansi yang berwenang;f. menyampaikan laporan kepada Bawaslu sebagai dasar untukmengeluarkan rekomendasi Bawaslu yang berkaitan denganadanya dugaan tindakan yang mengakibatkan terganggunyatahapan penyelenggaraan Pemilu oleh Penyelenggara Pemilu ditingkat provinsi.

Berdasarkan bunyi ketiga Undang-Undang tersebut, istilah pelanggaran dalam

pemilukada masih sangat umum, yakni pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan

perundang-undangan mengenai pemilu. Menurut Penulis, ketentuan ini masih cukup

luas karena terbuka kemungkinan bahwa pelanggaran tersebut masuk dalam

ketentuan pidana atau ketentuan administrasi pemilu.

Page 121: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

121

Definisi tentang Pelanggaran Administrasi pemilu justru bisa ditemukan dalam

Undang-Undang Nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilihan MPR, DPR,DPD dan DPRD.

Pelanggaran administrasi menurut undang-undang ini adalah pelanggaran terhadap

persyaratan dan tata cara yang ditetapkan undang-undang. Tidak jauh berbeda

dengan definisi yang dikonsepsikan oleh beberapa Undang-undang kepemiluan yang

muncul setelahnya.

Pengertian ini sangat luas sehingga seakan bisa memasukkan semua pelaku

pelanggaran, seperti seorang mendaftar sebagai kandidat tetapi kurang syarat ijazah.

Calon bersangkutan memang kurang persyaratan, namun orang tersebut tidak perlu

dipandang melakukan pelanggaran. Cukup dianggap bahwa pencalonannya tidak

diterima. Kasus itu baru menjadi pelanggaran apabila si petugas tetap menerima

pencalonan orang tersebut, padahal persyaratannya tidak terpenuhi. Bahkan, hal itu

bisa menjadi perkara pidana pemilu apabila si calon itu menggunakan ijazah palsu.

Singkatnya, pengertian pelanggaran di sini harus dibatasi sebagai pelanggaran

terhadap peraturan pemilu yang diancam sanksi administrasi pemilu148

Secara umum UU No. 12/2003 dan UU No. 23/2003, mempertegas masalah

hukum pemilu menjadi empat, yakni pelanggaran pidana pemilu, pelanggaran

administrasi pemilu, sengketa dalam penyelenggaraan pemilu, dan perselisihan hasil

pemilu. Dari empat masalah hukum pemilu tersebut, tiga di antaranya, yaitu

pelanggaran pidana pemilu, sengketa dalam penyelenggaraan pemilu, dan

perselisihan hasil pemilu, dimasukkan pada pasal-pasal yang mengatur pemilihan

148 Topo Santoso dkk, Penegakan Hukum Pemilu; Praktik Pemilu 2004, Kajian Pemilu 2009-2014. Perludem.

Jakarta 2006. Hlm 102

Page 122: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

122

kepala daerah (pilkada) sebagaimana diatur dalam UU No. 32/2004, sedangkan soal

pelanggaran administrasi tidak disebut-sebut dalam undang-undang tersebut.

Sementara ketentuan pidana diatur pada Bab IV, Bagian Kedelapan, Paragraf

Tujuh, Pasal 115-119 Undang-undang Pemda; tentang sengketa disebut pada Pasal

66 ayat (4) Undang-undang Pemda; tentang perselisihan hasil Pemilukada diatur pada

Pasal 106, sedang tentang pelanggaran administrasi, baik Undang-undang Pemda

maupun Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan,

Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah (PP No. 6/2006), tidak menyebut-

nyebut adanya pelanggaran adminisitrasi

Pada perkembangan selanjutnya, pengaturan dalam UU. 10 tahun 2008

tentang Pemilu justru terdapat pengertian pelanggaran administrasi khususnya yang

tercantum dalam Pasal 248 yang berbunyi:

“ Pelanggaran Administrasi adalah pelanggaran terhadap ketentuanUndang-Undang Pemilu yang bukan merupakan ketentuan pidana pemilu danterhadap ketentuan lain yang diatur dalam peraturan KPU”

Ketentuan di atas tentang definisi Pelanggaran Administrasi dalam pemilu

tersebut tidak jauh berbeda dengan pengertian yang terdapat dalam Undang-Undang

Pemilu sebelumnya, yakni memiliki makna dan pengertian yang sangat luas. Sehingga

menyulitkan para pemangku kepentingan termasuk penegakan hukum administrasi

yang mesti ditegakkan. Menurut penulis, dengan pengertian yang cukup luas itu akan

menyulitkan dalam proses penegakan hukum administrasi karena menimbulkan

ketidakjelasan dalam hal;

a. Perihal tentang jenis dan batasan sanksi administrasi

mengingat dalam hukum administrasi dikenal istilah saksi

Page 123: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

123

dalam bentuk peringatan lisan, tertulis dan pemberian tindakan

hukum yang kongkrit. Batasan sanksi juga penting untuk

memperjelas sebuah pelanggaran administrasi dikategorikan

sebagai pelanggaran ringan, sedang dan berat;

b. Perihal tentang struktur atau pihak yang berwenang dalam

melakukan penindakan terhadap terjadinya pelanggaran

administrasi. Sebagaimana diketahui bahwa selama ini yang

berperan dalam penegakan hukum administrasi adalah

Panwaslu/Bawaslu, KPU dan Pengadilan. Dengan pengertian

tersebut, tidak jelas pembagian kewenangan masing-masing

institusi terhadap jenis dan batasan pelanggaran yang

ditanganinya

c. Perihal tentang pihak-pihak yang dikategorikan sebagai pelaku

pelanggaran administrasi pemilukada. Hal ini penting

mengingat dalam proses pemilukada terdapat peserta,

penyelenggara, pemantau dan masyarakat yang kesemuanya

terbuka peluang melakukan pelanggaran administrasi dan

tentunya memerlukan kejelasan pihak yang mengadu dan

teradu ketika terjadi pelanggaran administrasi.

Ketiadaan konsepsi tentang pelanggaran administrasi ini khususnya dalam

ketentuan tentang pemilukada menjadi salah satu persoalan utama dalam proses

penegakan hukum administrasi dalam pemilukada. Ketiadaan konsepsi inilah yang

kemudian menyebabkan munculnya multitafsir terhadap jenis-jenis pelanggaran

Page 124: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

124

administrasi, para pihak yang terkait (subyek), batas waktu penyelesaian dan

penanggung jawab penegakan hukumnya.

a. Pengaturan tentang Sengketa Adminsitrasi

Istilah atau konsep Sengketa Administrasi dalam Pemilihan Kepala daerah

belum sepenuhnya dibahas dan diatur secara utuh dan sistematis baik dalam Undang-

Undang Nomor 32 tahun 2004 junto Undang-Undang nomor 12 tahun 2008 tentang

Pemilihan Kepala Daerah, Undang-Undang Nomor 22 tahun 2007 junto Undang-

Undang nomor 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu. Bahkan apabila ditarik

lebih jauh bahwa ketentuan perundang-undangan tentang Pemilu selama ini

khususnya dalam pemilukada, perumus perundang-undangan belum pernah

merumuskan definisi tentang sengketa pemilu atau pemilukada. Panitia Pengawas

Pemilu yang dibentuk menjelang pemilu 2004 mendefinisikan sengketa pemilu sebagai

berikut:

“perselisihan antara dua pihak atau lebih yang timbul karena adanyaperbedaan penafsiran antara para pihak, atau suatu ketidaksepakatan tertentu,yang berhubungan dengan fakta kegiatan dan peristiwa, hukum atau kebijakan,di mana suatu pengakuan atau pendapat dari salah satu pihak mendapatkanpenolakan, pengakuan yang berbeda, atau penghindaran dari pihak lain, yangterjadi dalam penyelenggaraan pemilu”149

Namun undang-undang tentang Pemilukada tidak mengatur hal tersebut.

Bahkan sejak awal paradigma penegakan hukum administrasi yang terkandung dalam

Undang-Undang 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 22 tahun 2007 tentang

149Topo Santoso dkk ibid. hlm 54

Page 125: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

125

penyelenggara pemilu adalah berbasis pada paradigma pelanggaran administrasi,

bukan sengketa administrasi. Hal ini dapat dilihat dari peristiwa hukum dan

penyelesaiannya yang hanya melibatkan antara Pelaku (dalam hal ini peserta

pemilukada) yang melanggar aturan perundang-undangan dan kemudian diperiksa

oleh Panwaslu dan direkomendasikan ke KPUD untuk ditindaklanjuti mengenai benar

salahnya pelanggaran tersebut.

Dalam kasus Pemilukada Kabupaten Gowa tahun 2010 yang menjadi obyek

kajian dalam penelitian ini terdapat laporan dari masyarakat kepada panwaslu

kabupaten Gowa tentang dugaan pemalsuan ijazah sebagai syarat administrasi

pencalonan oleh salah satu kandidat. Mengingat UU 32 tahun 2004 junto Undang-

Undang 22 tahun 2007 hanya menempatkan Panwaslu untuk memeriksa tapi tidak

mengeksekusi berupa keputusan terhadap pelanggaran administrasi, maka Panwaslu

sesuai dengan tugasnya hanya merekomendasikan dugaan pelanggaran tersebut ke

Polres Sungguhminasa dan KPUD Kabupaten Gowa.

Menurut mantan anggota Panwaslu Kabupaten Gowa, Fatmawati Rahim150,

ketika itu karena laporan tersebut dilaporkan masuk ke Panwaslu maka setelah

diperiksa dan diteliti, maka dugaan yang bersifat pidana direkomendasikan ke pihak

kepolisian sedangkan untuk memastikan hal tersebut sebagai pelanggaran

administrasi, maka Panwaslu Kabupaten Gowa merekomendasikan ke KPUD

Kabupaten Gowa. Panwaslu hanya memberi rekomendasi karena sebatas itulah

wewenang yang diberikan oleh Undang-Undang. Dalam konteks ini, karena ijazah

adalah salah satu syarat formil dalam proses kandidasi dalam Pemilukada, maka

150Ketika diwawancarai oleh penulis di kantor KPU Gowa pada tanggal 17 Februari 2013

Page 126: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

126

proses administrasi dukungan memiliki pengaruh dalam proses penetapan pasangan

bakal calon menjadi calon dalam pemilukada.

Undang-undang 32 tahun 2004 tidak mengatur soal kepastian hukum

pelanggaran administrasi yang direkomendasikan penyelesaiannya oleh Panwaslu ke

KPUD. Penyelesaian pelanggaran administrasi yang ditangani oleh KPUD yang

selama ini memicu persoalan adalah sengketa pada tahapan penetapan pasangan

calon oleh KPUD. Dalam kasus Pemilukada Kabupaten Gowa yang menjadi salah

satu obyek penelitian ini menunjukkan bahwa , akibat tidak jelasnya penyelesaian soal

pelanggaran administrasi persyaratan formil oleh kandidat Bupati Ichsan Yasin Limpo

oleh KPUD Gowa sehingga menjadi dalil gugatan kandidat Andi Maddusila ketika

menggugat KPUD Gowa ke PTUN Makassar. Dalam dalil gugatannya, Andi Maddusila

selaku pasangan bakal calon menggugat Surat Keputusan Penetapan pasangan calon

oleh KPUD Gowa yang meloloskan pasangan Ichsan Yasin Limpo yang oleh

Panwaslu Gowa telah direkomendasikan melakukan pelanggaran administrasi karena

diduga cacat administrasi dalam kelengkapan dukungan pencalonan.

Temuan penulis dalam penelitian ini menunjukkan bahwa akibat tidak

terselesaikannya secara baik rekomendasi Panwaslu tentang pelanggaran

administrasi yang terkait dengan dukungan atau syarat administratif pasangan calon

oleh KPUD melahirkan persoalan dalam penetapan pasangan bakal calon menjadi

calon. Pada akhirnya karena persoalan penetapan pasangan calon tersebut kemudian

digugat ke Peratun maka Majelis Hakim di Peratun akan menguji kembali secara

materiil dugaan pelanggaran administrasi yang terkait dengan dukungan atau syarat

Page 127: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

127

administratif pasangan calon. Kenyataan ini menurut penulis tidak menunjukkan

penyelesaian hukum yang terintegratif dan efisien.

Dalam kasus Pemilukada Kabupaten Gowa tahun 2010, terungkap bahwa pihak

KPUD Gowa ketika mendapat rekomendasi dari Panwaslu Gowa tidak mau membuka

kembali dokumen kelengkapan administrasi calon Ichan Yasin Limpo untuk

menganalisis dan mengkonfirmasi laporan dari masyarakat melalui Panwaslu perihal

adanya pelanggaran terhadap pasangan tersebut. Akibat ketetertupan pihak KPUD

Gowa menurut Fatmawati Rachim151 selaku mantan Panwaslu Gowa proses

penyelesaian laporan tersebut tidak jelas sampai pada akhirnya KPUD Gowa

mengeluarkan SK Penetapan Pasangan Calon.

Setelah KPUD Gowa menetapkan pasangan bakal calon menjadi calon dan

sampai pada tahapan pemilihan, sesungguhnya tidak ada pihak yang menggugat dan

merasa dirugikan oleh Surat Keputusan Penetapan Pasangan calon yang diterbitkan

oleh KPUD. Namun pada saat setelah pemilihan serta penghitungan suara dan telah

diperoleh pasangan pemenang yakni pasangan Ihsan Yasin Limpo, maka pasangan

Andi Maddusila mengajukan gugatan ke PTUN Makassar dengan obyek gugatan

adalah Surat Keputusan KPUD tentang penetapan pasangan bakal calon menjadi

calon.

Dalam materi Undang-Undang 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 22

tahun 2007, kedua Undang-undang ini belum mengenal sengketa yang

menghadapkan antara peserta pemilukada dengan peserta pemilukada atau peserta

151Ketika diwawancarai oleh penulis di kantor KPU Gowa pada tanggal 17 Februari 2013

Page 128: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

128

pemilukada dengan dengan penyelenggara pemilukada152. Ketika KPUD

mengeluarkan SK Penetapan Pasangan Calon dalam Pemilukada maka keputusan

KPUD tersebut sesungguhnya bersifat final dan mengikat sebagaimana tercantum

dalam Pasal 61 ayat 4 yang mengatur;

(4) Penetapan dan pengumuman pasangan calon sebagaimanadimaksud pada ayat (3) bersifat final dan mengikat.

Menurut Penulis, bunyi Pasal 61 ayat 4 tersebut menunjukkan bahwa UU 32

tahun 2004 pada dasarnya tidak menganut sengketa administrasi karena pihak

peserta dalam hal ini calon kandidat yang merasa dirugikan dengan terbitnya SK

Penetapan Pasangan oleh KPUD tidak diberikan peluang hukum untuk mengoreksi SK

tersebut. Artinya secara lex specialist, UU Nomor 32 tahun 2004 yang mengatur

tentang Pemilihan Kepala daerah sejak awal tidak mengatur atau tidak memberi

peluang adanya sengketa antara kandidat dengan penyelenggara pemilukada, dalam

hal ini KPUD, karena setiap keputusan KPUD selalu bersifat final dan mengikat kecuali

SK tentang Penghitungan Hasil akhir yang dapat disengketakan ke Mahkamah

Konstitusi berdasarkan UU nomor 10 tahun 2008.

Sengketa mengenai hasil pemilukada, menjadi wewenang Mahkamah

Konstitusi, berdasarkan ketentuan Pasal 236-c UU No.12 Tahun 2008 tentang

Perubahan Kedua UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Wewenang

Mahkamah Konstitusi ini merupakan pengalihan dari wewenang Mahkamah Agung

152Namun Kasus pilkada DKI tahun 2012 menunjukkan bahwa ada sengketa antara peserta dengan peserta yang

ditangani oleh Panwaslu DKI, yakni antara pendukung pasangan Jokowi-Basuki dengan Pasangan Fauzi Bowo-

Nachrowi . Hal ini memungkinkan dilakukan Panwaslu berdasarkan ketentuan dalam uu. No. 15 tahun 2011.

Namun UU. Nomor 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu tetap tidak memberi kewenangan Panwaslu

menyelesaikan sengketa antara peserta dengan penyelenggara pemilukada

Page 129: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

129

(cq. Pengadilan Tinggi) yang semula diatur dalam Pasal 89 dan Pasal 94 PP No.6

Tahun 2005

Persoalannya adalah UU. No. 32 tahun 2004 jo. UU. No. 12 tahun 2008 tidak

menyatakan secara jelas upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang

merasa dirugikan atas terbitnya keputusan/penetapan KPUD ketika menjalankan

tahapan pemilukada, termasuk dalam tahapan penetapan pasangan calon. Padahal

upaya hukum tersebut diperlukan untuk memastikan proses pemilu berjalan dengan

demokratis, jujur dan adil bagi setiap pihak yang terlibat di dalam penyelenggaraan

pemilu153.

Adanya ketentuan dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang

Pemerinrah Daerah yang di dalamnya mengatur pelaksanaan pemilukada khusus

dalam Pasal 61 ayat 4 yakni (4) Penetapan dan pengumuman pasangan calon

sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bersifat final dan mengikat menunjukkan adanya

ketidaksinkronan dengan hukum acara dalam peradilan tata usaha negara. Dalam

hukum acara Peratun yang menjadi obyek sengketa adalah penetapan atau keputusan

(Beschikking) yang dikeluarkan oleh pajabat tata usaha negara yang merugikan orang

atau badan hukum perdata.

Undang-Undang No. 51 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang

Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara Pasal 1 ayat 9 dan 10

berbunyi:

Ayat 9: Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulisyang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi

153Titi Anggaraini dkk, Menata kembali Pengaturan Pemilukada, Perludem. 2011. Hlm. 86

Page 130: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

130

tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturanperundangundangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final,yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata

Ayat 10: Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbuldalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdatadengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah,sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuksengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yangberlaku;

Berdasarkan konsepsi itu dapat ditemukan bahwa sumber awal dari adanya

sengketa di Pengadilan tata Usaha Negara adalah adanya Surat Keputusan yang

dikeluarkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara. Tanpa adanya Surat Keputusan,

mustahil ada sengketa Tata usaha negara. Menurut Philipus M. Hadjon dasar lahrnya

sebuah sengketa tata usaha negara adalah adanya Keputusan Tata Usaha Negara,

sebagai konsekuensi logis dari sengketa tata usaha negara adalah keputusan atau

ketetapan (beschikking). Dalam konteks Pasal 61 ayat 4 dalam Undang-Undang

Pemilukada sebagaimana di atas, maka menurut penulis pencantuman kalimat

“bersifat final dan mengikat” terhadap keputusan atau ketetapan yang diterbitkan

KPUD menunjukkan bahwa penegakan hukum administrasi dalam proses penetapan

tersebut tidak akan berjalan maksimal karena tidak adanya proses pengujian terhadap

produk administrasi yang diterbitkan oleh KPUD selaku pejabat tata usaha negara.

Sementara Hukum acara Peratun sebagaimana dalam Pasal 1 ayat 9 dan 10

setiap saat memberikan peluang kepada masyarakat atau badan hukum perdata untuk

bersengketa atau menguji setiap keputusan pejabat tata usaha negara yang

merugikan orang atau badan hukum perdata. Dalam hal ini termasuk halnya

keputusan KPUD tentang penetapan pasangan calon dalam pemilukada. Namun

pada kenyataannya, Pasal 61 ayat 4 tidak mengatur ketentuan pengujian administrasi

Page 131: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

131

terhadap keputusan KPUD tentang Penetapan Pasangan Calon Kepala Daerah ke

Peradilan Tata Usaha Negara. Tidak adanya pengaturan tersebut terlihat pada pasal-

pasal dalam Undang-Undang Pemilukada yang tidak mencantumkan kewenangan

Peratun dalam menguji dan menyelesaikan sengketa terhadap terbitnya keputusan

KPUD tentang Penetapan Pasangan Calon Kepala Daerah.

Meskipun kewenangan Peratun tidak diatur dalam Undang-Undang

Pemilukada, namun pada kenyataannya, masyarakat dalam hal ini pasangan bakal

calon pada umumnya sebagian mengajukan gugatan ke Peratun terhadap terbitnya

SK KPUD tersebut. Akibat dari tidak sinkronnya ketentuan dalam Pemilukada dengan

hukum acara di Peratun mengakibatkan munculnya berbagai macam persoalan dan

ketidakpastian hukum dalam proses penyelesaian sengketa administrasi dalam

penetapan pasangan calon oleh KPUD. Persoalan tersebut antara lain soal tenggang

waktu mengajukan gugatan, pelaksanaan putusan penundaan, ketidakjelasan subyek

dan obyek sengketa dan upaya pelaksanaan putusan yang telah berkekuatan hukum

tetap.

Sehingga menurut penulis, definisi atau konsep tentang sengketa administrasi

dalam pemilukada harus jelas dan terukur agar para pihak yang berselisih memiliki

perangkat dan aturan yang jelas sehingga tidak ada pihak yang dirugikan. Definisi

sengketa pemilukada menurut penulis adalah sengketa yang terjadi antarpeserta

Pemilukada dan sengketa Peserta Pemilukada dengan penyelenggara Pemilukada

sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPUD Provinsi, dan KPUD Kabupaten/Kota.

Sedangkan sengketa administrasi dalam pemilukada dapat didefinisikan sebagai

sengketa yang timbul dalam bidang adminsitrasi Pemilu antara masyarakat, bakal

Page 132: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

132

calon dan atau calon dengan KPUD Provinsi, dan KPUD Kabupaten/Kota sebagai

akibat dikeluarkannya keputusan KPU, KPUD Provinsi, dan KPUD Kabupaten/Kota.

Salah satu contoh kongkret dari sengketa administrasi dalam pemilukada adalah

sengketa yang timbul akibat keputusan KPUD yang tidak meloloskan bakal calon

kepala daerah menjadi calon tetap kepala daerah.

b. Analisa Yuridis Kewenangan Peratun

Sinkronisasi perundang-undangan juga tekait dengan kewenangan Peratun

dalam menguji sengketa administrasi yang muncul dalam Pemilukada. Meskipun pada

kenyataannya SK Penetapan Pasangan calon yang diterbitkan oleh KPUD digugat

oleh kandidat atau pihak yang merasa dirugikan dengan terbitnya SK tersebut ke

Peratun, maka tindakan hukum tersebut berdasarkan prinsip lex generalis semata. Hal

tersebut mengingat SK Penetapan Pasangan calon yang diterbitkan oleh KPUD

merupakan Surat Ketetapan (Beschikking) yang dapat digugat di Peratun

sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undangan Peradilan Tata usaha

Negara nomor 51 tahun 2009 yang berbunyi:

“Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yangdikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakanhukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundangundanganyang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkanakibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”

Konsekuensi dari penerapan lex generalis dalam penyelesaian sengketa

penetapan pasangan calon oleh KPUD di Peratun, maka proses beracara dalam

penyelesaian sengketa tersebut diselesaikan secara lex generalis dengan mengikuti

hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara. Adapun pelanggaran (sengketa) yang

bersifat administratif yang bukan mengenai hasil pemilukada, menjadi wewenang

Page 133: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

133

Pengadilan di lingkungan Peratun berdasarkan ketentuan Pasal 53 ayat (1) jo Pasal 2

huruf (g) Undang-Undang (UU) No.5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha

Negara, jo Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) No.7 Tahun 2010 tanggal 11

Mei 2010.

Wewenang Peratun dalam memeriksa dan memutus sengketa pemilukada,

sebenarnya relatif paling sedikit dibandingkan dengan Peradilan Umum maupun

Mahkamah Konstitusi. Adanya faktor wewenang Peratun yang relatif kecil tersebut di

dalam UU maupun PP tentang Pemilukada sama sekali tidak disebut adanya

kewenangan Peratun, melainkan yang disebut hanyalah kewenangan Peradilan

Umum (Pengadilan Negeri) untuk menangani pelanggaran pidana pemilu dan

Mahkamah Konstitusi (dulu Mahkamah Agung cq. Pengadilan Tinggi) menangani

sengketa hasil pemilukada. Bahkan sebelum terbitnya SEMA No.7 Tahun 2010,

menurut SEMA No.8 Tahun 2006 ditentukan bahwa Peratun sama sekali tidak

berwenang untuk memeriksa dan memutus sengketa yang menyangkut pemilukada,

baik yang berupa sengketa administratif maupun sengketa mengenai hasil

pemilukada.

Setelah lima tahun berlakunya SEMA No.8 Tahun 2005, kemudian terbit SEMA

No.7 Tahun 2010 tanggal 11 Mei 2010 yang intinya membedakan sengketa

pemilukada dalam dua jenis, yaitu yang bersifat administratif menjadi wewenang

Peratun, sedangkan yang mengenai hasil pemilukada bukan wewenang Peratun.

Ketentuan SEMA No.7 Tahun 2010 ini sebenarnya bukan hal baru, melainkan

menegaskan kembali penafsiran Pasal 2 huruf (g) UU No.5/1986 jo UU No.9/2004.

Page 134: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

134

Untuk lebih jelasnya, disini dikutip sebagian isi pokok dari SEMA No.7/2010 antara lain

sebagai berikut :

“bahwa keputusan-keputusan atau ketetapan-ketetapan yangditerbitkan oleh Komisi Pemilihan Umum baik di tingkat Pusatmaupun di tingkat Daerah mengenai hasil Pemilihan Umum, tidakdapat digugat di Peradilan Tata Usaha Negara.

Dengan mengacu pada SEMA No.7/2010 tersebut di atas, maka ruang lingkup

kewenangan Peratun terhadap sengketa administratif yang berkaitan dengan

pemilukada tersebut pada hakekatnya hanya mencakup proses administratif sebelum

(pra) pelaksanaan pemilukada (vide Bab V, PP No.6/2005) , antara lain keputusan

TUN mengenai proses pendaftaran dan verifikasi bakal calon peserta (kontestan)

pemilukada, termasuk keputusan mengenai penerimaan atau penolakan bakal

calonserta keputusan TUN mengenai penetapan/pengumuman calon yang dapat

mengikuti pemilukada.

Berikut skema perbedaan penanganan sengketa tahapan pemilukada oleh tiga

lembaga peradilan, yakni Peratun, Peradilan Umum (PU) dan MK;

Tabel 1. Perbandingan kewenangan Peratun, PU dan MK dalam penanganan

sengketa pemilukada

TAHAPAN PENGADILAN YANG

BERWENANG

LANDASAN

HUKUM

JENIS KASUS DURASI WAKTU

PENYELESAIAN

SENGKETA

PRA HARI H

PENCOBLOSAN

Peratun UU No.5/1986 jo

SEMA No.7/2010

Sengketa

Administratif, a.l.

:Pendaftaran

Bakal

Calon,Penetapan

Calon,

Jangka Waktu

mengajukan

Gugatan paling

lambat 90 hari

setelah

ditetapkannya atau

Page 135: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

135

Penetapan

Daftar Pemilih

Tetap dsb

diterimanya

Keputusan KPU

SETELAH HARI

H

MAHKAMAH

KONSTITUSI

UU No.12/2008

Pasal 236-C

Sengketa Hasil

Pemilukada :

Penetapan

Penghitungan

Suara,

Penetapan Calon

Terpilih, dsb.

Jangka Waktu

mengajukan

Gugatan 3 hari

setelah KPU

menetapkan

pasangan terpilih

SEPANJANG

TAHAPAN

PEMILUKADA

PERADILAN UMUM PP No.6/2005

Pasal 114 jo PP

No.17/2005 jo

No. PP. 49/2008

Kasus

Pemilukada yang

diduga

mengandung

unsur tindak

pidana

Jangka Waktu

Laporan/Pengaduan

7 hari

Sumber: diolah dari UU.32 tahun 2004, UU.No.12 tahun 2008, UU.No. 5 tahun 1986

Khusus dalam hal terjadi tindak pidana yang terkait dengan urusan administrasi,

maka Pasal 114 PP No.6/2005 mengatur bahwa Pemeriksaan atas tindak pidana

dalam peraturan pemerintah ini dilakukan oleh pengadilan di lingkungan Peradilan

Umum.Contoh : Pasal 9 ayat (2) huruf f Peraturan KPU No.68/2009 :

“Apabila terdapat pengaduan atau laporan tentang ketidakbenaran ijazahbakal pasangan calon di semua jenjang pendidikan, kewenangan atas laporantersebut diserahkan kepada pihak Pengawas Pemilu dan Kepolisian, sampaidengan terbitnya Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukumtetap”

Skema tersebut menggambarkan perbedaan yang signifikan terhadap pola

penyelesaian sengketa pemilukada di Peratun dengan di Mahkamah Konstitusi dan

Peradilan Umum. Perbedaan tersebut khususnya dalam waktu atau durasi

Page 136: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

136

penyelesaian sengketa. Untuk Mahkamah Konstitusi, tenggang waktu mengajukan

gugatan apabila kandidat merasa dirugikan dengan keputusan KPUD tentang

penetapan pemenang pemilukada adalah 3 hari. Artinya ketika melewati 3 hari setelah

KPU mengeluarkan Keputusan, maka gugatan yang diajukan ke MK dinyatakan tidak

diterima karena kadaluarsa (Verjaring).

Begitupun dengan adanya dugaan pelanggaran pidana pemilukada. Tenggang

waktu untuk mengajukan laporan ke pihak kepolisian adalah 7 hari setelah terjadinya

dugaan tindak pidana. Apabila laporan melewati 7 hari maka laporan tersebut

dinyatakan kadaluwarsa. Baik mekanisme di MK maupun di kepolisian telah

menggunakan mekanisme cepat dalam penyelesaian perkara pemilu. Hal yang

berbeda dengan penanganan sengketa di Peratun. Karena UU tentang Pemilukada

termasuk UU. 32 tahun 2004 tidak mengatur soal jangka waktu khusus penyelesaian

sengketa di Peratun, maka yang berlaku adalah mekanisme biasa, yakni gugatan

dapat diajukan paling lambat 90 hari setelah Keputusan pejabat tata usaha negara

diterima atau diumumkan.

Dalam kasus Pemilukada, para kandidat atau pihak yang merasa dirugikan

masih memiliki waktu yang cukup lama untuk menggugat keputusan KPUD yang

merasa merugikan kepentingan mereka. Dengan menggunakan atau mengikuti

hukum acara peradilan tata usaha negara dalam penyelesaian sengketa penetapan

pasangan calon dalam Pemilukada maka pada prakteknya penyelesaian sengketa

tersebut menjadi lama. Hal inilah yang memicu persoalan mengingat sengketa

penetapan pasangan adalah merupakan ranah atau peristiwa politik yang harus

memiliki sistem penyelesaian yang cepat dan efektif.

Page 137: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

137

c. Substansi Perbaikan Ketentuan Perundang-Undangan

Sebagaimana teori Lawrence Friedmen tentang sistem hukum yang

menerangkan bahwa salah satu pilar penting dari terbentuknya sistem hukum adalah

adanya subtansi perundang-undangan yang baik dan integratif. Dalam konteks

perbaikan sistem penegakan hukum administrasi dalam pemilukada khususnya dalam

penyelesaian sengketa penetapan pasangan calon, maka menurut penulis diperlukan

perbaikan substansi perundang-undangan. Revisi perundang-undangan yang

dimaksud khususnya yang mengatur tentang hukum acara Peradilan Tata Usaha

Negara, perundang-undangan yang mengatur tentang pemilukada dan penyelenggara

pemilu, dalam hal ini Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 junto Undang-undang

Nomor 12 tahun 2008 tentang Pemilukada serta Undang-Undang Nomor 22 tahun

2007 sebagaimana telah diubah dengan dengan Undang-undang Nomor 15 tahun

2011 tentang penyelenggara Pemilu.

Perbaikan ketentuan perundang-undangan berdasarkan pembahasan yang

terkait dengan ketentuan pelanggaran dan sengketa dalam pemilukada yang terdapat

dalam perundang-undangan Pemilukada serta dikaitkan dengan kewenangan Peratun

dalam menyelesaikan sengketa penetapan pasangan calon dalam pemilukada.

Beberapa pemikiran tentang perbaikan undang-undang terangkum dalam hasil

penelitian di lapangan dengan beberapa responden yang kemudian dianalisis oleh

penulis sehingga melahirkan beberapa pokok pikiran berupa indikator yang dapat

dijadikan tolak dalam perbaikan peraturan perundang-undangan, yakni persoalan

Page 138: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

138

tentang Tenggang Waktu Mengajukan Gugatan dan Mekanisme pelaksanaan putusan

Penundaan (Schoorsing)

a). Tenggang waktu mengajukan Gugatan

Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 yang disahkan pada tahun 1986

dirumuskan pada saat kehidupan politik dan demokrasi masih cenderung tertutup. Hal

ini ditandai dengan pola pemilihan kepala daerah baik di kabupaten maupun Provinsi

yang menggunakan mekanisme penunjukan dan pemiluhan yang dilakukan oleh

DPRD. Mekanisme pemilihan kepala daerah yang dipilih oleh DPRD mengakibatkan

tidak terjadi proses pemilihan yang seperti saat ini. Sehingga KPU tidak memiliki

agenda dan kegiatan electoral dan tidak melakukan tindakan-tindakan administratif

yang sifatnya kebijakan administratif.

Dengan kondisi demikian tidak banyak muncul keputusan-keputusan yang

diterbitkan oleh KPUD. Kenyataan yang demikian itu tergambar dari materi Undang-

Undang Nomor 5 tahun 1986 yang tidak banyak mengatur dan mengantisipasi

ketentuan hukum administratif dalam hal pelaksanaan pemilu atau pemilukada. Hal ini

ditunjukkan oleh UU ini bahwa kegiatan pemilu hanya disinggung pada Pasal 2 huruf g

yang mengatur:

Keputusan Panitia Pemilihan, baik di pusat maupun di daerah, mengenaihasil pemilihan umum.

Pasal ini tidak mengatur tentang Keputusan Panitia Pemilihan mengenai hal-hal

yang tidak terkait dengan hasil pemilihan umum. Hal ini mudah dapat dipahami

mengingat ketika itu belum ada tindakan-tindakan administratif berupa Keputusan KPU

Page 139: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

139

dalam bentuk beshickking yang mengatur tahapan pemilu sebelum pencoblosan.

Berbeda dengan saat ini, dengan mekanisme pemilihan langsung, maka fokus KPU

tidak hanya pada hasil pemilihan, tetapi juga pada tahapan sebelumnya, misalnya

tahapan pemeriksaan bakal calon, penetapan daftar pemilih, tahapan kampanye,

tahapan penetapan pasangan calon dll.

Adanya perbedaan sistem pemilihan kepala daerah pada saat tahun 1980-an

yakni sebelum berlangsungnya masa reformasi dengan sistem pemilihan kepala

daerah saat ini sebagaimana disinggung dalam Tinjauan Pustaka di atas

mengakibatkan beberapa substansi UU. Nomor 5 tahun 1986 tidak relevan lagi dalam

menyelesaikan sengketa administrasi pada pelaksanaan pemilukada saat ini. Salah

satu substansi yang tidak diantisipasi dalam UU tersebut adalah soal waktu

penyelesaian sengketa dalam pemilukada.

Dalam tenggang waktu menggugat, Pasal 55 Undang-Undang Nomor 5 tahun

1986 tidak merancang khusus soal tenggang waktu menggugat dalam sengketa

pemilukada, namun ketentuan tenggang waktu menggugat masih bersifat umum.

Sehingga saat ini Penggugat yang dirugikan dalam penerbitan obyek sengketa yang

diterbitkan KPUD seperti penetapan pasangan calon dapat diajukan ke Peratun

selama masih 90 hari waktu Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu

sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan

Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Jadi meskipun hari pencoblosan telah

dilaksanakan, namun apabila 90 hari belum melewati masa tenggang menggugat,

maka Pengadilan Tata Usaha Negara wajib mengadili, memutus dan menyelesaikan

gugatan tersebut.

Page 140: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

140

Pada penjelasan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 disebutkan

bahwa

“bagi pihak yang namanya tersebut dalam Keputusan Tata UsahaNegara yang digugat, maka tenggang waktu Sembilan puluh hari dihitung sejakhari diterimanya Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat”

Penjelasan pasal ini membuka kesempatan bagi pihak siapapun yang merasa

dirugikan dengan Keputusan KPUD yang mengakibatkan proses penyelesaian

perkara pemilukada menjadi lambat dan menjadi alasan KPUD tidak mengeksekusi

putusan Peratun.

Dalam konteks pelaksanaan ius constitutum (pelaksanaan hukum sekarang)

maka menurut Penulis, ketentuan tentang tenggang waktu menggugat dalam UU. No.

5 Tahun 1986 sudah semestinya direvisi agar dapat menyesuaikan dengan kegiatan-

kegiatan pemerintahan yang sifatnya temporal insidentil, seperti penyelenggaraan

pemilu atau Pemilukada yang berlangsung sesaat dan selesai dalam kurung waktu

tertentu yang relatif cepat. Artinya tenggang waktu menggugat dalam kegiatan

pemerintahan yang sifatnya temporal pengaturannya lebih pendek agar ketentuan

hukum acara peradilan tata usaha negara tidak berbenturan dengan ketentuan

perundang-undangan pemilu atau pemilukada. Sehingga redaksi Pasal 55 UU. Nomor

5 tahun 1986 berubah menjadi:

Ayat 1: Gugatan diajukan selama Sembilan Puluh hari sejak diterimaatau diumumkannya KTUNAyat 2: Ketentuan tenggang waktu sebagaimana disebutkan pada ayat 2tidak berlaku selama ketentuan tentang tenggang waktu menggugatdiatur secara khusus oleh ketentuan pelaksanaan KTUN tersebut .

Page 141: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

141

Dengan adanya perubahan tersebut, maka diharapkan pengaturan soal

tenggang waktu dalam ketentuan pemilukada memiliki kesesuaian dengan hukum

acara peradilan tata usaha negara. Pasal 55 UU no 5 tahun 1986 tentang Peratun

menerangkan bahwa;

Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hariterhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau PejabatTata Usaha Negara.

Dalam penjelasan Pasal 55 ini sebagaimana di dalam surat Edaran Mahkamah

Agung no 2 tahun 1991 disebutkan bahwa bagi pihak yang tidak dituju langsung oleh

terbitnya Keputusan tata usaha negara, maka penghitungan tenggang waktu dihitung

secara kasuistis sejak kepentingan pihak tersebut merasa dirugikan dengan terbitnya

keputusan tersebut.

Dalam kasus perkara no 51/G.TUN/2010/PTUN Makassar antara Andi

Maddusila melawan KPUD Kabupaten Gowa terlihat adanya problem penerapan

tenggang waktu Pasal 55 UU Peratun dalam perkara Pemilukada. Pada kasus ini,

Penggugat merasa kepentingannya dirugikan oleh terbitnya SK KPUD tentang

Penetapan Calon Bupati Gowa karena proses penerbitan SK tersebut tidak dilalui oleh

proses verifikasi yang cermat dan valid. Penggugat mengajukan gugatan pada saat

tahapan Pemilukada sudah selesai, yakni setelah pelantikan calon terpilih. Penggugat

mengklaim, gugatannya masih dalam tenggang waktu mengingat Penggugat baru

sadar dan tahu kepentingannya dirugikan dengan keluarnya SK itu setelah Pelantikan

berlangsung dan masih dalam tenggang waktu 90 hari.

Page 142: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

142

Meskipun pada akhirnya Gugatan 51/G.TUN/2010/PTUN Makassar antara Andi

Maddusila melawan KPUD Kabupaten Gowa tidak lolos dismissal oleh Ketua PTUN

Makassar, namun Gugatan ini menyisakan persoalan pokok. Yakni gugatan perkara

Pemilukada yang diajukan masih dalam tenggang waktu namun di sisi lain tahapan

Pemilukada sudah memasuki tahapan pemilihan suara bahkan penetapan pasangan

yang berpotensi melahirkan ketidakpastian hukum terhadap tahapan pemilukada.

Selain itu, gugatan yang muncul pada tahapan akhir Pemilukada atau bahkan

selesainya semua tahapan Pemilukada akan memicu gejolak sosial di tengah

masyarakat.

Sehingga persoalannya adalah bagaimana mencari titik temu atau solusi antara

tahapan Pemilukada yang telah terjadwal dan terus berjalan dengan adanya gugatan

ke Peratun yang muncul setiap saat mengingat durasi tenggang waktu dalam gugatan

Peratun cukup lama, yakni 90 hari. Merunut pola jadwal tahapan pemilukada yang

sering digunakan oleh KPUD dalam Pemilukada, maka pada umumnya jangka waktu

90 hari bagi pelaksanaan Pemilukada dapat mencakup lima tahapan, yakni

Pendaftaran dan Penetapan Calon Pasangan, Kampanye, Pemungutan Suara,

Penghitungan Suara dan Penetapan Pasangan Pemenang.

Seperti dalam kasus Pemilukada Gowa Sulawesi Selatan, KPUD melalui Surat

KPUD Gowa ; Kep. KPU Kab. Gowa No. 01/SK/KPUGW/ PKWK/ X/2009 Tanggal 21

Oktober 2009 menetapkan jadwal tahapan Pemilukada, yakni tahapan Pendaftaran

dan Penetapan Calon berakhir tanggal 21 April 2010 dan Penetapan Pasangan

Pemenang pada tanggal 02 Juli 2010. Dalam kasus ini misalnya , tenggang 90 hari

menjadi persoalan ketika pihak pertama atau pihak ketiga baru merasakan

Page 143: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

143

kepentingannya dirugikan pada awal bulan Juli atau tepatnya memasuki Tahapan

Penetapan Pasangan Pemenang. Hal itulah yang terjadi ketika kandidat Andi

Maddusila mengajukan gugatan di PTUN Makassar.

Dengan berdasarkan prinsip merasa kepentingannya dirugikan, pihak ke- 3

dapat saja mengajukan gugatan selama 90 hari atau lebih sejak kepentingannya

dirugikan meskipun pada faktanya tahapan Pemilukada sudah akan berakhir atau

sudah selesai. Dalam kasus Pemilukada Gowa tersebut di atas, partai-partai

pengusung Andi Maddusila baru merasa kepentingannya dirugikan ketika Badan

Kehormatan KPUD Provinsi Sulawesi Selatan memeriksa anggota KPUD Gowa. Hasil

pemeriksaan tersebut menunjukkan bahwa ada kesalahan yang dilakukan KPUD

Gowa dalam melakukan verifikasi bakal calon kandidat pemilukada Gowa. Kesalahan

tersebut berupa diloloskannya bakal calon yang sesungguhnya tidak memenuhi syarat

secara formal. Kesalahan yang dilakukan KPUD tersebut menjadi titik awal bahwa

ada kepentingan para partai pengusung Andi Maddusila yang dirugikan. Padahal

informasi bahwa KPUD melakukan kesalahan tersebut muncul ketika tahapan

Pemilukada sudah selesai.

Menurut Penulis, modus tentang kepentingan pihak ke-3 yang merasa dirugikan

yang muncul dalam rentang waktu yang cukup lama sejak lewatnya masa tenggang

waktu 90 hari karena terpenuhinya unsur “Kasuistis” nampaknya akan semakin banyak

ditemui dalam kasus pemilukada. Penyebabnya adalah karena pemilukada adalah

peristiwa politik maka factor kekecewaan dari pihak yang kalah cukup besar. Kondisi

ini kemudian berhadapan dengan kinerja KPUD dalam mengelola penerbitan KTUN

terkadang lalai dan kurang cermat. Dalam kondisi inilah pihak-pihak yang terkait

Page 144: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

144

dengan pelaksanaan pemilukada berusaha menggugat KTUN yang merugikan

tersebut.

Sepertinya halnya dalam Pemilukada Bulukumba tahun 2010. Pasangan Bupati

terpilih saat ini, yakni Zainuddin ketika proses pengajuan syarat dukungan dilaporkan

oleh masyarakat menggunakan dokumen palsu dukungan parpol tertentu. Kepolisian

kemudian menindaklanjuti laporan tersebut sampai akhirnya memiliki kekuatan hukum

tetap yang intinya menegaskan bahwa Pasangan Zainuddin terbukti secara hukum

melakukan pemalsuan dokumen dukungan parpol. Putusan pidana tersebut baru

berkekuatan hukum tetap setelah bupati terpilih dan telah bekerja selama 2 tahun.

Atas putusan pidana tersebut melahirkan situasi kepentingan yang dirugikan bagi

pihak pasangan yang kalah oleh pasangan Bupati Zainuddin yang saat ini memimpin

Bulukumba. Sehingga pada faktanya, Andi Syukri yang pada saat pilkada dikalahkan

oleh Zainuddin merasa memiliki kepentingan yang dirugikan atas keputusan KPUD

yang meloloskan Zainudin dan akhirnya Andi Syukri mengajukan gugatan ke PTUN

Makassar pada tahun 2012, yakni 2 tahun setelah pasangan Bupati Terpilih. Meskipun

pada akhirnya Majelis Hakim PTUN Makassar menjatuhkan putusan Niet Onvaklijk

verklard (Gugatan Tidak diterima) karena gugatan telah melewati tenggang waktu

menggugat.

Namun menurut penulis, apabila konsisten dengan frasa “merasa

kepentingannya dirugikan” maka gugatan Andi Syukri tersebut semestinya masih bisa

diterima oleh PTUN Makassar dengan alasan kepentingannya yang merasa dirugikan

baru muncul ketika tahun 2012 ketika putusan pidana atas dugaan pemalsuan

dokumen dukungan baru memiliki kepastian hukum pada tahun 2012. Pada waktu

Page 145: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

145

sebelum itu belum ada kepentingan yang dirugikan sebab tidak ada kepastian hukum

terhadap dugaan tindak pidana oleh pasangan bupati Bulukumba yang terpilih.

Sesungguhnya proses gugatan tersebut menjadi sesuatu yang normatif dan

biasa-biasa saja. Namun yang menjadi persoalan adalah dalam peristiwa politik

seperti pemilukada, masa tenggang waktu menggugat seperti yang diatur dalam Pasal

55 Undang-Undang Peratun adalah merupakan rentang waktu yang cukup lama.

Sehingga memicu ketidakpastian hukum bagi KTUN yang diterbitkan KPUD serta

mengganggu proses berjalannya pemilihan. Selain itu putusan Peratun yang pada

akhirnya menganulir Keputusan KPUD dengan perintah meloloskan atau

menggugurkan pasangan calon adalah sebuah masalah tersendiri. Sebab perintah

putusan Peratun tersebut tidak mudah dilaksanakan karena pada umumnya pasangan

calon sudah terpilih, artinya pemulikada sudah selesai. Hal tersebut terjadi karena

putusan Peratun di tingkat pertama tidak serta merta berstatus hukum final, karena

biasanya para pihak yang kalah masih mengajukan banding atau kasasi, sehingga

proses hukumnya berlangsung lama sementara pemilukada sudah selesai.

Dalam penelitian ini, beberapa responden menyebut durasi waktu yang lama

dalam penanganan sengketa di Peratun merupakan salah satu persoalan dalam

penegakan hukum administrasi dalam pemilukada. Tuan Guru Hasanain, mantan

ketua KPUD Lombok Barat menyebut bahwa salah satu sumber kekacauan dalam

pemilukada adalah berlarut-larutnya penyelesaian sengketa pemilukada di Peratun 154.

Menurut Tuan Guru Hasanain, adanya putusan Peratun yang diputus jauh hari setelah

154Sebagaimana wawancara penulis dengan Tuan Guru Hasanain pada tanggal 22 Februari 2012

Page 146: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

146

selesainya Pemilukada yang ditandai dengan ditetapkannya pemenang pemilukada

adalah merupakan pelanggaran prinsip hukum karena putusan tersebut datang

belakangan ketika peristiwa hukum sudah terjadi. Kondisi putusan Peratun yang

berkekuatan hukum tetap setelah pemilukada selesai menurut Agus, Ketua KPUD

Lombok Tengah155 merupakan bentuk putusan hukum yang tidak memiliki nilai

kemanfaataan. Sehingga Agus mengharapkan putusan Peratun dalam Pemilukada

memiliki nilai kemanfaatan hukum.

Idealnya, penyelesaian hukum dalam peristiwa politik seperti pemilihan umum

tersebut diatur proses hukum yang berjalan dan selesai dalam waktu relatif singkat.

Jangka waktu pengajuan gugatan di Peratun menurut Pasal 55 adalah 90 (sembilan

puluh) hari. Jangka waktu ini jauh lebih lama dibandingkan dengan jangka waktu

pengajuan sengketa pemilukada ke Mahkamah Konstitusi yang sangat pendek, yaitu

dibatasi hanya 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil pemilihan (vide Pasal 94 PP

No.6/2005 jo UU No.12/2008), sedangkan untuk kasus pidana pemilukada harus

dilaporkan paling lambat 7 (tujuh) hari (vide Pasal 110 PP No.6/2005). Pembatasan

jangka waktu gugatan sengketa pemilukada tersebut dimaksudkan agar proses

pemilukada tidak terkatung-katung atau terjadi kevakuman, ketidakpastian hukum dan

pengeluaran anggaran yang sangat besar, maka batasan tenggang waktu gugatan

tersebut baik di Peratun, di MK maupun di PN bersifat mutlak, sehingga pengajuan

gugatan yang lewat waktu dinyatakan tidak dapat diterima

155Sebagaimana wawancara penulis dengan Bapak Agus pada tanggal 18 Februari 2012

Page 147: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

147

Diperlukan upaya sistematis dan konseptual untuk mendudukkan aturan

tenggang waktu yang proporsional dalam perkara Pemilukada. Dalam pandangan

penulis, tenggang waktu yang diatur dalam Pasal 55 UU Peratun harus diterapkan

Asas lex specialis derogat legi generali pada kasus sengketa Pemilukada. Asas ini

diterapkan apabila terjadi konflik/pertentangan antara undang-undang yang khusus

dengan yang umum maka yang khusus yang berlaku. Dalam konteks ini, ketentuan

tenggang waktu pasal 55 dalam UU Peratun harus dimaknai secara hukum berlaku

pada tataran ketentuan hukum acara peradilan tata usaha negara secara umum.

Namun ketika ketentuan hukum acara Peratun tersebut berhadapan dengan

kasus khusus, seperti halnya kasus sengketa Pemilukada yang mana tahapan

Pemilukada menghendaki proses penyelesaian hukum yang cepat, maka ketentuan

tenggang waktu UU Peratun harus ditentukan secara khusus dalam sengketa

pemilukada. Formula hukum yang paling proporsional adalah, UU Peratun harus

mencantumkan materi eksepsional dalam ketentuan Pasal 55 UU nomor 5 tahun 1986

tentang Peratun , bahwa dalam hal penyelesaian sengketa Pemilu atau Pemilukada,

maka Tenggang waktu dalam mengajukan gugatan adalah 7 (tujuh) hari sejak

keputusan KPU/KPUD dan atau Bawaslu/Panwaslu diterbitkan atau diumumkan.

Hal ini juga diakui oleh Erick Sihombing, Hakim PTUN Jayapura bahwa perlu

penyesuaian antara hukum acara Peratun dengan ketentuan Perundang-undangan

Pemilu. Erick Sihombing menambahkan bahwa selain merevisi bunyi Pasal 55 UU.

No. 5 tahun 1986, perlu juga Mahkamah Agung secara khusus menerbitkan Peraturan

Page 148: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

148

Mahkamah Agung atau Surat Edaran Mahkamah Agung yang khusus mengatur

konsep beracara dalam menyeleseaikan sengketa dalam pemilukada156.

Pilihan eksepsional dalam Pasal 55 UU Peratun adalah salah satu upaya untuk

tetap memberikan hak hukum bagi para pencari keadilan dan di sisi lain tetap menjaga

agar proses pelaksanaan pemilu atau pemilukada yang merupakan agenda politik

untuk kepentingan umum tetap terjaga. Secara rasio dalam kasus pemilukada,

penerapan Pasal 55 UU Peratun amat sulit dieksekusi. Seperti dalam kasus gugatan

Pemilukada Gowa di PTUN Makassar yang mana Penggugat menggugat Keputusan

KPUD tentang penetapan calon Bupati Gowa yang pada pokoknya menyoal adanya

calon yang semestinya tidak lolos namun tetap diloloskan oleh KPUD.

Argumentasinya kondisi itu adalah, jika gugatan itu menyangkut calon yang

dianggap tidak sah, maka obyek gugatan dapat segera diputus atau ditunda

(schorsing) sebelum tahap pelaksanaan pemilukada. Sedangkan apabila gugatan itu

baru diajukan setelah tahap pelaksanaan pemungutan suara, berarti obyek gugatan

sudah “terlanjur” dilaksanakan oleh Tergugat (KPU/KPUD) dalam tahap pelaksanaan

pemilukada (pemungutan suara) sehingga apabila ada penundaan (schorsing) sudah

tidak efektif lagi. Di samping itu, telah muncul obyek gugatan baru berupa penetapan

hasil pemilukada yang bukan menjadi wewenang Peradilan Tata Usaha Negara untuk

memutus dan menyelesaikannya, karena hal itu merupakan kewenangan Mahkamah

Konstitusi.

156Sebagaimana wawancara Penulis dengan Erick Sihombing pada tanggal 9 Maret 2012

Page 149: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

149

Seharusnya dengan mengacu pada ketentuan SEMA No.07 Tahun 2010 di

atas, maka dalam hal ada sengketa tata usaha negara yang terjadi pada tahap

persiapan pemilukada, seharusnya segera diajukan dalam tahap persiapan atau

sebelum lewat tahap pelaksanaan pemilukada (pemungutan suara : pencontrengan

atau pencoblosan), tahap penghitungan suara dan tahap penetapan calon terpilih

berdasarkan hasil penghitungan suara. Namun logika rasionalitas seperti itu akan

tetap menjadi dilemma dan problem yang tak berkesudahan apabila Pasal 55 UU

Peratun masih tetap memberikan waktu 90 hari untuk tenggang waktu menggugat

tanpa memberikan pilihak specialis atau eksepsional dalam kasus Pemilukada.

Dengan tetap adanya peluang menggugat, maka secara hukum para pencari

keadilan juga tetap melekat hak untuk menggugat. Dalam posisi itu secara hukum juga

terbuka kemungkinan terbitnya keputusan-keputusan hukum yang mungkin juga keluar

dari rasionalitas yang dipahami secara umum. Dengan demikian, apabila Pasal 55 UU

Peratun tidak memberikan pilihan eksepsional, maka ketentuan tersebut memberi

dampak adanya Ketidakpastian Hukum terhadap tahapan-tahapan pilkada yang

belum terkait dengan Hasil pemilihan umum

b). Efektifitas Putusan Penundaan

Salah satu bagian yang perlu pengaturan sinkronisasi antara UU Peratun dan

UU Pemilukada adalah dalam hal Penundaan pelaksanaan tahapan pemilukada akibat

adanya sengketa administrasi. Dalam mengantisipasi begitu lamanya proses

penyelesaian berperkara di Peratun khususnya dalam penyelesaian sengketa

penetapan pasangan calon pilkada, beberapa responden dalam penelitian ini juga

Page 150: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

150

merekomendasikan agar seluruh tahapan Pemilukada berhenti ketika terdapat

gugatan sengketa pemilukada di Peratun. Pilihan menunda proses pemilukada

disampaikan oleh Fatmawati Rachim, anggota KPUD Kabupaten Gowa. Menurut

Fatmawati untuk menghindari persoalan yang lebih ruwet dan kompleks di kemudian

hari, maka sebaiknya tahapan pemilukada diberhentikan sampai ada putusan hukum

yang final.

Hal yang sama juga dikemukakan oleh Masdin, salah seorang Hakim di

Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar. Menurutnya tahapan pilkada semestinya

berhenti ketika ada gugatan masuk. Menurut Masdin, menjadi sebuah persoalan

bahkan merupakan tindakan sia-sia apabila tahapan pilkada tidak dihentikan ketika

terdapat gugatan pemilukada mengingat hukum acara Peratun maupun SEMA 07

tahun 2012 tidak mengatur ketentuan hukum acara cepat dalam mengadili sengketa

pemilukada157. Sehingga dengan kondisi aturan yang masih berlaku saat ini, maka

menurut Masdin untuk mengefektifkan pelaksanaan putusan Peratun tentang pilkada

maka selayaknya tahapan pilkada harus berhenti sementara sampai Peratun

memutuskan perkara tersebut yang berkekuatan final dan mengikat. Penundaan

tahapan pilkada dapat dilakukan dengan adanya perintah oleh Hakim Peratun agar

Keputusan KPUD tentang penetapan pasangan calon ditunda pelaksanaannya.

Secara tekhnis hukum acara di Peratun mengenal mekanisme penundaan

pelaksanaan putusan Keputusan tata usaha Negara yang sedang digugat. Ketentuan

157Wawancara Penulis dengan Masdin pada tanggal 18 Maret 2013

Page 151: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

151

tentang penundaan Keputusan tersebut diatur dalam Pasal 67 (1) Undang-undang

nomor 5 tahun 1986 yang mengatur:

(1)Gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannyaKeputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara serta tindakanBadan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat.(2) Penggugat dapat mengajukan permohonan agar pelaksanaanKeputusan Tata Usaha Negara itu ditunda selama pemeriksaansengketa Tata Usaha Negara sedang berjalan, sampai ada putusanPengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap.(3) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat diajukansekaligus dalam gugatan dan dapat diputus terlebih dahulu dari pokoksengketanya.(4) Permohonan penundaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) : a.dapat dikabulkan hanya apabila terdapat keadaan yang sangatmendesakyang mengakibatkan kepentingan penggugat sangat dirugikan jikaKeputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu tetap dilaksanakan;b. tidak dapat dikabulkan apabila kepentingan umum dalamrangkacpembangunan mengharuskan dilaksanakannya keputusantersebut.

Meskipun secara prosedur terbuka peluang untuk penundaan sebuah

keputusan, namun dalam konteks hukum administrasi berlaku prinsip umum bahwa

gugatan terhadap sebuah KTUN tidak menunda pemberlakuan KTUN tersebut atau

tidak gugatan tersebut tidak dapat menghalangi pelaksanaannya. Asas ini dikenal

dengan Praesumptio iustae causa. Mengenai asas ini Indroharto berpendapat bahwa

suatu keputusan atau tindakan administrasi itu selalu diduga sah menurut hukum

karenanya selalu dapat dilaksanakan dengan seketika. Jadi suatu keputusan

administrasi itu dianggap berdiri segaris dengan suatu putusan pengadilan atau suatu

akte otentik158

158Indroharto, Upaya Memahami…Op. Cit. hlm.333

Page 152: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

152

Menurut Lintong Siahaan, syarat-syarat untuk menjatuhkan putusan penundaan

di dalam ketentuan perundang-undangan diatur sangat minim sekali. Seolah-olah hal

ini diserahkan ke dalam perkembangan praktik sendiri syarat-syarat tersebut yang

dalam banyak hal justru membingungkan hakim atau sebaliknya memberikan peluang

baginya untuk menyalahgunakannya apabila tidak tahan terhadap godaan-godaan159.

Dalam pandangan Lintong, arti segi hukum kata” kepentingan” dalam Pasal 67

tersebut adalah menyangkut hak milik, hak pakai, hak sewa dan sebagainya. Apabila

hak tersebut dilanggar, maka orang yang dirugikan berhak untuk menuntut hukum.

Prinsip perlindungan hukum harus dipegang teguh160.

Menilai objektifitas antara unsur kepentingan pribadi Penggugat yang

mendesak yang harus dilindungi dengan kepentingan umum yang tidak terganggung

atas dilindunginya kepentingan penggugat adalah sebuah persoalan yang tidak

mudah. Dalam penjelasan Pasal 67 UU. Nomor 5 tahun 1986 diatur bahwa:

….” Pengadilan akan mengabulkan permohonan penundaanpelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara tersebut hanya apabila:a. Terdapat keadaan yang sangat mendesak, yaitu jika kerugianyang akan diderita penggugat akan sangat tidak seimbang dibandingdengan manfaat bagi kepentingan yang akan dilindungi olehpelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara tersebut; ataub. Pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itutidak ada sangkut pautnya dengan kepentingan umum dalam rangkapembangunan

Dalam mengkonstruksi makna “keadaan sangat mendesak” tersebut Hakim

Peratun betul-betul harus cermat, bijaksana dengan penuh kehati-hatian mengingat

159Lintong Siahaaan. Teori Hukum dan Wajah PTUN setelah amandemen 2004 . Perum Percetakan Negera RI.

Jakarta. 2009.Hlm. 94

160Lintong Siahaan, Ibid.hlm. 97

Page 153: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

153

arti mendesak tersebut tidak bisa diartikan secara sempit. Kata-kata mendesak harus

diartikan secara luas, yaitu “ adanya suatu keadaan yang memaksa, keadaan darurat

yang genting apabila KTUN dilaksanakan” sehingga keadaan tersebut benar-benar

mendesak dari segi mental psikologis dan juga dari segi kebutuhan dan ekonomi161

Sementara dikaitkan dengan frasa “Kepentingan Umum”, sebuah kajian oleh

Ibrahim R yang membahas tentang definisi Kepentingan Umum yang terkandung

dalam Pasal 33 UUD NRI 1945 menarik untuk dipertimbangkan dalam pembahasan

ini. Ibrahim R mengatakan bahwa tolak ukur kepentingan umum yang dimaksud

dengan Pasal 33 UUD NRI 1945 adalah kepentingan pemerintah, kepentingan

masyarakat dan kepentingan antar bangsa atau identik dengan kepentingan Negara

Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan tolak ukur untuk hajat hidup orang banyak

ialah terpenuhinya kebutuhan fisik minimum masyarakat162. Variabel kepentingan

umum dalam penjelasan pasal 67 selalu dikaitkan dengan Pembangunan. Sehingga

kepentingan umum yang dimaksud adalah kepentingan umum dalam rangka

pembangunan.

Menurut Djumialdi Pembangunan adalah usaha untuk menciptakan

kemakmuran dan kesejahteraan rakyat oleh karena itu hasil-hasil pembangunan harus

dinikmati oleh seluruh rakyat sebagai peningkatan kesejahteraan lahir dan bathin

secara adil dan merata, sebaliknya berhasil tidaknya pembangunan harus

dilaksanakan merata oleh segenap lapisan masyarakat163

161Lintong Siahaan. Ibid

162Ibrahim R, Prospek BUMN dan Kepentingan Umum, cet I. Bandung ; PT. Citra Aditya Bakti, 1997. Hlm. 187

163Djumialdi, Hukum Bangunan, Cet.1 Rineka Cipta. Jakarta. 1996. Hlm.1

Page 154: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

154

Dalam konteks penelitian ini, pokok pembahasannya adalah mengkaji

permohonan Penggugat dalam hal ini kandidat yang tidak lolos dalam penetapan

pasangan calon KPUD apakah telah memenuhi unsur keadaan mendesak sehingga

memiliki dalil hukum untuk memohon penundaan pelaksanaan KTUN dan sebaliknya

apakah proses pemilukada yang sedang berlangsung merepresentasikan makna

kepentingan umum dalam rangka pembangunan

Dalam perkara Nomor 51 tahun 2010. PTUN.Mks yang menjadi obyek dalam

penelitian ini, yakni perkara Pilkada Tanah Toraja Utara di mana pasangan Agustinus

La’lang dan Benyamin Patondok, selain mengajukan pembatalan SK Penetapan

pasangan calon oleh KPUD Tanah Toraja Utara juga dalam gugatannya mengajukan

permohonan penundaan pelaksanaan Keputusan kepada Majelis Hakim. Atas

permohonan tersebut, pada tanggal 7 Oktober 2010 Majelis Hakim mengabulkan

permohonan penggugat tersebut dalam bentuk Penetapan yang dalam pertimbangan

hukumnya yang pada pokoknya mengabulkan permohonan penundaan pelaksanaan

KTUN dalam hal ini Surat KPUD tentang Penetapan Pasangan Calon Bupati Toraja

Utara karena tahapan pencetakan dan pendistribusian surat suara belum dilakukan

oleh pihak KPUD Toraja Utara.

Majelis hakim berpendapat bahwa dengan ditundanya SK tersebut maka secara

hukum tahapan pemilukada juga terhenti. Konstruksi hukumnya apabila dikaitkan

dengan Pasal 67 UU Peratun maka Majelis Hakim berpendapat bahwa tertundanya

tahapan pemilukada menyimpulkan bahwa tidak ada kondisi yang merugikan

kepentingan umum dalam rangka pembangunan. Penulis berpendapat ada

Page 155: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

155

ketidakjelasan konsepsional yang dihadapi majelis hakim dalam mendefinisikan

tentang Kepentingan Umum dalam rangka pembangunan

Dalam literatur-literatur tentang Pembangunan, definisi pembangunan selalu

diorietasikan pada hal-hal yang bersifat fisik. Misalnya pendapat Koesnadi

Harjasoemantri bahwa setiap pembangunan yang dilakukan di dalam suatu negara

harus terarah, supaya terjadi keseimbangan, keserasian (keselarasan), berdaya guna,

berhasil guna, berbudaya dan berkelanjutan dalam rangka meningkatkan

kesejahteraan rakyat yang berkeadilan. Untuk itu perlu disusun suatu rencana yang

disebut rencana tata ruang164.

Konsepsi ini kemudian mengarahkan pembangunan diimplementasikan dengan

hukum rencana tata ruang (RUTR) dengan berbagai indikator seperti adanya

perizinan, berorientasi pada pemeliharaan lingkungan hidup, pengembangan kawasan

terpadu dll. Persepsi pembangunan yang berorientasi pada indikator-indikator fisik

yang diatur dalam ketentuan perundangan-undangan kemudian memengaruhi

pendapat Majelis Hakim di Peratun dalam mengeluarkan putusan penundaan. Terlebih

lagi pada awal-awal berdirinya dan sampai saat ini perkara di Peratun yang

dimohonkan penundaan memang pada umumnya bersifat kepentingan fisik, misalnya

tentang izin IMB, izin pertambangan atai izin hak guna usaha dll.

Setelah muncul perkara-perkara pemilukada yang juga harus diselesaikan oleh

Peratun, maka persepsi atau definisi tentang kepentingan umum untuk pembangunan

harus mengalami pemaknaan baru. Di sinilah posisi hakim cukup penting dalam

memberikan makna baru tentang kepentingan umum yang beorientasi pada

164Sebagaimana dikutip Liontong. Ibid. hlm. 102

Page 156: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

156

pembangunan non fisik. Apabila memperhatikan pertimbangan Majelis hakim tersebut

di atas, tersimpulkan bahwa tidak ada kepentingan umum yang terganggu apabila

pilkada ditunda. Justru yang muncul menurut Majelis hakim adalah kepentingan

penggugat yang mendesak yang harus dilindungi.

Soal tidak adanya kepentingan umum yang dirugikan atas ditundanya

pemilukada Tanah Toraja juga diakui oleh anggota KPUD Tanah Torja Utara, Aloysius

Lande. Menurutnya sesungguhnya tidak ada yang rugikan dengan ditundanya tahapan

pemilukada Tanah Toraja Utara ketika PTUN Makassar memutuskan adanya

penundaan, meskipun pada saat itu KPUD Toraja Utara tetap melanjutkan tahapan

pemiluda dan mengabaikan putusan sela PTUN Makassar165.

Menurut Aloysius keputusan KPUD Tanah Toraja untuk tidak melaksanakan

putusan Penundaan yang dikeluarkan oleh KPUD bukan karena adanya kepentingan

umum yang harus dilindungi sehingga tidak menunda tahapan pilkada. Penolakan

tersebut dilakukan oleh KPUD Toraja Utara karena menurut hasil keputusan Pleno

KPUD Toraja Utara secara normatif perundang-undangan perundang-undangan

mengatur bahwa penundaan pemilukada hanya dapat dilakukan apabila terjadi

bencana alam dan kerusuhan yang memicu gangguan keamanan. Dalam Undang-

Undang Nomor 32 tahun 2004 Pasal 236A diatur bahwa:

“Pemilihan dapat ditunda karena alasan adanya Bencana Alam danKerusuhan yang memicu gangguan keamanan”

Menurut Aloysius, pihak KPUD Toraja Utara selaku Tergugat menolak

penundaan tersebut karena berpijak pada argumentasi hukum sebagaimana dalam

165 Sebagaimana wawancara penulis dengan Aloysius Lande salah seorang Anggota KPU Tanah Toraja Utara pada

tanggal 2 Maret 2013

Page 157: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

157

pasal 236A, bukan karena faktor tekhnis pelaksanaan pemilukada. Menurutnya ketika

itu secara tekhnis, pelaksanaan pemilukada masih bisa ditunda, sehingga soal

percetakan logistin dan lain-lain masih bisa diatur untuk menyesuaikan agenda

penundaan. Bahkan menurutnya, ketika putusan akhir PTUN Makassar yang

mengabulkan gugatan penggugat agar diikutsertakan sebagai pasangan calon, maka

oleh itu KPUD pasangan tersebut secara tekhnis juga masih bisa diakomodir, namun

KPUD memilih banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Makassar.

Penulis berpendapat bahwa dalam konteks pelaksanaan pemilukada yang

memiliki tahapan yang sudah tersistem, teratur dan pasti, maka secara sederhana

dapat dilihat bahwa substansi kepentingan umumnya cukup mendalam. Mengingat

pemilukada merupakan proses pergantian kepemimpinan yang daerah yang

melibatkan berbagai pihak dan biaya yang besar, maka pilihan menunda pemilukada

adalah persoalan yang tidak sederhana. Namun apakah dengan meneruskan tahapan

pemilukada dan mengabaikan proses hukum yang sedang berlangsung di Pengadilan

yang mana proses tersebut masih membuka kemungkinan Penggugat bisa menang

dan KPUD kalah atau sebaliknya?

Apabila di kemudian hari KPUD kalah sementara secara hukum KPUD

diwajibkan melaksanakan putusan Pengadilan untuk mengakomodir pasangan yang

menggugat sebagai calon kepala daerah namun di sisi lain karena sejak awal tidak

ditunda, maka pemilukada sudah selesai dan telah menghasilkan kepala daerah

terpilih maka apakah bukan resiko yang juga tidak kalah besarnya apabila pemilukada

harus diulang?

Page 158: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

158

Hipotesa penulis tersebut sedikitnya mendapat gambaran setelah penulis

mengkaji kasus sengketa Penetapan pasangan calon Bupati Lombok Tengah (Loteng)

yang diuji di PTUN Mataram pada tahun 2010 dengan nomor perkara

31/G/2010/PTUN.MTR. gugatan dalam perkara tersebut diajukan oleh pasangan calon

HL Wiratmadja - M Bajuri (Jari) yang diajukan usai pilkada Lombok Tengah Gugatan

tersebut diajukan terkait SK KPU Lombok Tengah Nomor 27 tahun 2010, tentang

penetapan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah atas nama H M

Suhaili FT – H L Normal Suzana yang dinilai melanggar peratuan KPU. KPUD

Kabupaten Lombok Tengah saat itu menetapkan RSUD Praya sebagai tempat

pemeriksaan kesehatan bagi para bakal calon peserta Pilkada Loteng. Namun pada

kenyataan, pasangan H.Moh. Suhaili, FT selaku bakal calon Bupati Lombok Tengah,

justru melakukan pemeriksaan kesehatan di salah satu klinik di Mataram.

Kendati demikian, KPUD Lombok Tengah menyatakan menerima dan

mengesahkan hasil tes kesehatan yang dilakukan diluar ketentuan itu, kemudian

menetapkan H M Suhaili FT bersama H L Normal Suzana, sebagai peserta Pilkada

Lombok Tengah hingga mengungguli pasangan calon lainnya. Pasangan H M Suhaili

FT – H L Normal Suzana, terpilih sebagai Bupati dan Wakil Bupati Lombok Tengah

periode 2010-2015, hingga dilantik Gubernur NTB TGH. M. Zainul Majdi, atas nama

Mendagri. Pasangan Jari bersama-sama dengan pasangan lainnya, kemudian

melayangkan gugatan ke PTUN Mataram.

Dalam kasus tersebut, pada putusan tingkat pertama yakni di PTUN Mataram,

KPUD Lombok Tengah (Loteng kalah dan diperintahkan untuk mengakomodir

Penggugat sebagai calon resmi bupati Lombok Tengah (Loteng). Namun KPU Loteng

Page 159: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

159

justru mengajukan banding ke PT TUN Surabaya. Selanjutnya Pengadilan Tinggi Tata

Usaha Negara (PTTUN) Surabaya, mengeluarkan putusan Nomor

180/B/2010/PT/SBY, tertanggal 1 Maret 2011, menguatkan putusan PTUN Mataram

Nomor 31/G/2010/PTUN.MTR, tertanggal 21 September 2010. Putusan PTUN

Mataram itu menyatakan SK. No. 27 tahun 2010 yang diterbitkan KPUD Loteng

dinyatakan batal dan memerintahkan KPUD Lombok Tengah mencabut SK tentang

penetapan pasangan calon kepala daerah menjadi peserta Pilkada Lombok Tengah,

atas nama H M Suhaili FT dan H L Normal Suzana (Maiq Meres).

Setelah ada putusan PTTUN Surabaya, PTUN Mataram kemudian

mengeluarkan keputusan bahwa putusan hukum atas gugatan pasangan Jari

dinyatanya "inkracht" (berkekuatan hukum tetap). Apalagi, upaya kasasi yang

dilakukan KPUD Lombok Tengah ditolak MA karena tidak memenuhi syarat formal

untuk mengajukan kasasi ke MA, sebagaimana tertuang dalam Surat Edaran

Mahkamah Agung (SEMA) MA RI No. 11 tahun 2010, tentang penjelasan pasal 45A

UU No. 3 tahun 2009, tentang MA. SEMA itu menegaskan bahwa permohonan kasasi

kasus gugatan yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah yang

jangkauan keputusannya berlaku di daerah bersangkutan, tidak dapat diterima oleh

MA .

Mengingat sudah memiliki putusan yang final dan mengikat, akhirnya KPUD

Lombok Tengah mengubah keputusannya yang digugat dengan membuat SK baru

pada tahun 2012 yang mengakomodir pasangan baru. KPUD Lombok Tengah secara

resmi telah mencabut SK No. 27 tahun 2010, tentang penetapan H.Moh. Suhaili, FT –

Drs.H.L. Normal Suzana, sebagai pasangan calon Bupati dan Wabup Loteng, pada

Page 160: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

160

Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) Loteng tahun 2010. Langkah tersebut

sesuai dengan putusan PTUN Mataram, terkait gugatan Pilkada Loteng yang

dimenangkan oleh pasangan H.L. Wiratmaja – M. Bajuri. Namun demikian, KPUD

Lombok Tengah sampai saat ini belum bisa memastikan apakah pilkada ulang bisa

dilaksanakan atau tidak.

Demikian disampaikan Ketua KPUD Loteng, Agus, S.Sos. M.Si., 166saat

dikonfirmasi terkait kelanjutan pelaksaaan Pilkada Loteng pascapencabutan SK No. 27

tahun 2010 .Menurutnya, kewenangan KPUD Lombok Tengah dalam persoalan itu

hanya sebatas mencabut SK dimaksud sesuai perintah PTUN Mataram. Sedangkan

kalau menyinggung pelaksaaan pilkada ulang, menjadi tanggung jawab dari pihak

pemerintah. Dalam hal ini Menteri Dalam Negeri (Mendagri).

Namun persoalannya, pihak siapa yang bisa mengeksekusi secara riil

konsekuensi dengan ditetapkannya nama penggugat sebagai pasangan calon baru

sementara tahapan pemilukada sudah selesai? Konsekuensi hukum sebenarnya

adalah pemilukada harus diulang. Namun ketika telah menerbitkan SK KPUD yang

baru, KPU Lombok Tengah merasa tidak memiliki kewenangan untuk mengeksekusi

ketetapan baru tersebut dalam bentuk pilkada ulang, namun kewenangan pilkada

ulang tersebut justru dikembalikan ke Kementerian Dalam Negeri. Namun sampai saat

ini kemendagri tidak dapat melaksanakan pemilihan ulang tersebut dengan

pertimbangan resiko situasi sosial politik dan juga soal anggaran.

Kasus dalam pemilukada Lombok Tengah tersebut menunjukkan bahwa tidak

menunda tahapan pemilukada ketika terjadi gugatan di Peratun adalah memicu

166Wawancara Penulis dengan Agus, Ketua KPU Lombok Tengah pada tanggal 18 Februari 2013

Page 161: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

161

persoalan baru dan resiko baru di kemudian hari yang berdampak pada

tergangggunya kepentingan umum dan pembangunan yang sudah berjalan pasca

terpilihnya kepala daerah terpilih. Sehingga dalam menjatuhkan Putusan penundaan

dalam konteks menimbang kepentingan umum dan pembangunan, maka setidaknya

ada 2 hal yang diperhatikan. Pertama, kemungkinan adanya kepentingan yang

terganggu akibat ditundanya pemilukada di tengah jalan atau Kedua, kepentingan

umum juga berpotensi terganggu untuk melakukan pemilihan ulang akibat KPUD

kalah dan diwajibkan melaksanakan putusan pengadilan di saat pemilukada sudah

selesai.

Mengingat negara kita adalah negara hukum dan putusan pengadilan wajib

dilaksanakan maka menurut Penulis apabila dikemudian hari Peratun mengabulkan

gugatan penggugat dan KPUD wajib melaksanakan putusan berupa pilkada ulang,

maka dipastikan muncul kepentingan masyarakat yang terganggu. Sehingga menurut

hemat penulis pilihan yang paling rasional adalah menunda tahapan pemilukada sejak

awal apabila terdapat putusan penundaan dan menghindari pemilukada ulang yang

masih terbuka kemungkinan terjadi karena proses hukum masih berlangsung.

Menurut penulis apabila dikaitkan dengan alasan KPUD Tanah Toraja di atas

serta adanya SK baru KPUD Lombok Tengah yang tidak bisa dieksekusi dalam bentuk

pilkada ulang, maka yang diperlukan dalam konteks perbaikan substansi perundang-

undangan adalah memperbaiki atau merevisi ketentuan perundang-undangan yang

mengatur tentang Pemilukada khususnya yang mengatur tentang alasan penundaan

tahapan pemilukada. Menurut Penulis, sebaiknya Pasal 236 A sebagaimana

disebutkan di atas ditambahkan satu klausul bahwa alasan lain yang dapat digunakan

Page 162: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

162

KPUD dalam melakukan penundaan pemilukada adalah karena adanya putusan

Pengadilan yang memerintahkan untuk melakukan penundaan.

Hal ini untuk mensinkronkan dengan substansi yang terkandung dalam pasal 67

UU Peratun. Dalam konteks penegakan hukum administrasi dalam pemilukada

termasuk halnya dalam penyelesaian sengketa penetapan pasangan calon dalam

pemilukada maka agenda yang paling adalah adanya harmonisasi atau sinkronisasi

pasal-pasal yang mengatur hukum acara di Peradilan Tata Usaha Negara dengan

ketentuan perundang-undangan yang sifatnya lex specialis dalam pelaksanaan

sebuah keputusan pejabat tata usaha negara, seperti halnya dalam pemilukada.

2. Refungsionalisasi Lembaga Penegak Hukum Pemilukada

Dalam teori Lawrence Friedmen, penegak hukum merupakan bagian struktur

yang penting dalam pembentukan sistem hukum. Penelitian ini memasukkan varibel

penegak hukum sebagai salah unsur penting dalam proses penegakan hukum

administrasi pada sengketa penetapan pasangan calon dalam pemilukada. Menurut

Penulis, penegak hukum dalam proses ini adalah institusi yang bertanggung jawab

dalam penegakan hukum pemilukada. Berdasarkan UU. 32 tahun 2004 junto UU. 12

tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah yang di dalamnya pelaksanaan pemilukada,

maka elemen yang dikategorikan sebagai penegak hukum adalah KPU,

Bawaslu/Pawaslu, Kepolisian, Kejaksaaan, Pengadilan dan Mahkamah Konstitusi.

Namun dalam penelitian ini karena tema utamanya adalah tentang penegakan

hukum administrasi, maka pembahasan tentang penegakan hukum administrasi

Page 163: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

163

pemilukada hanya terfokus pada penegak hukum yang terkait dengan terbitnya Surat

Keputusan KPUD soal penetapan pasangan calon serta implikasinya. Dalam hal ini,

maka penulis akan menganalisis posisi, tugas dan wewenang KPUD,

Bawaslu/Panwaslu dan Pengadilan, dalam hal ini Pengadilan Tata Usaha Negara.

Adapun kepolisian dan kejaksaan serta Pengadilan Umum adalah penegak hukum

yang terlibat dalam penanganan tindak pidana pemilu. Sedangkan Mahkamah

Konstitusi sebagai penegak hukum dalam melindungi hak-hak konstitusional warga

atau kandidat akibat penetapan hasil pemilukada oleh KPUD.

Refungsionalisasi secara etimologis bersumber dari kata fungsionalisasi.

Menurut kamus bahasa Indonesia, fungsionalisasi adalah hal menjadikan berfungsi;

pemfungsionalan167. Sehingga pencantuman kata Re yang berarti Kembali bermakna

refungsionalisasi adalah upaya mengembalikan fungsi atau menjadikan berfungsi

kembali. Dalam kajian refungsionalisasi lembaga penegak hukum Pemilukada, maka

yang menjadi fokus kajian adalah upaya memfungsikan kembali atau memaksimalkan

fungsi-fungsi penegakan hukum administrasi yang menjadi tanggung jawab penegak

hukum dalam proses pemilihan umum kepala daerah.

a. Kewenangan eksekutorial terhadap laporan pelanggaran dan

sengketa administrasi

KPUD dalam Pemilukada, selain sebagai penyelenggara perundang-undangan

yang melaksanakan proses pemilu berdasarkan ketentuan perundang-undangan,

maka KPUD juga berfungsi sebagai penegak hukum. Posisi KPUD sebagai penegak

hukum dapat dilihat dalam pasal yang mengatur tentang pelanggaran administrasi

167http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php diakses pada tanggal 5 Juni 2013 pukul 15.33 WITA

Page 164: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

164

yang dilakukan oleh peserta pemilukada maupun penyelenggara pemilukada lainnya

di internal organisasi KPU. Dalam Pasal 9 ayat 3 huruf n dan huruf o junto Pasal 10

ayat 3 huruf l dan m Undang-Undang Nomor 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara

Pemilu

Tugas dan wewenang KPU Provinsi dalam penyelenggaraan pemilihangubernur, bupati, dan walikota meliputi:

Huruf n: “ menindaklanjuti dengan segera rekomendasi Bawaslu Provinsiatas temuan dan laporan adanya dugaan pelanggaran pemilihan”

Huruf o :” mengenakan sanksi administratif dan/atau menonaktifkansementara anggota KPU Kabupaten/Kota, sekretaris KPU Provinsi, danpegawai sekretariat KPU Provinsi yang terbukti melakukan tindakan yangmengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan pemilihanberdasarkan rekomendasi Bawaslu Provinsi dan/atau ketentuan peraturanperundang-undangan; “

Ketentuan pada huruf n di atas menunjukkan apabila Panwaslu/Bawaslu telah

menerima dan memeriksa sebuah dugaan pelanggaran administrasi, maka tahapan

selanjutnya adalah merekomendasikan laporan dugaan pelanggaran tersebut kepada

KPU untuk ditindaklanjuti dan diputus; apakah dinyatakan bersalah atau tidak. Adanya

kewenangan dalam melaksanakan atau mengeksekusi sebuah laporan pelanggaran

administrasi dalam pemilukada tersebut sehingga KPU diposisikan sebagai salah satu

pilar penegak hukum dalam pemilukada.

Posisi KPUD yang bertugas untuk mengeksekusi laporan yang ditemukan oleh

Panwaslu/Bawaslu dikritik oleh berbagai pihak yang menjadi responden penelitian ini.

Menurut Andi Maddusila168, dirinya sangat dirugikan dalam kasus Pilkada Gowa tahun

2010 karena pihak KPUD Gowa jelas-jelas mengabaikan rekomendasi Panwaslu

168Yang diwawancara penulis pada tanggal 21 Maret 2013 di Makassar

Page 165: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

165

Kabupaten Gowa yang sudah menyimpulkan bahwa ada dugaan pelanggaran

administrasi yang dilakukan oleh kandidat Ichsan Yasin Limpo. Namun sampai pada

keluarnya SK KPUD tentang penetapan pasangan calon, KPUD tidak mengeluarkan

sikap atau putusan terhadap laporan Panwaslu Gowa tersebut. Tanggapan Fatmawati

Rachim169 terhadap kondisi tersebut mengkonfirmasi pernyataan Andi Maddusila.

Menurut Fatmawati ketika itu KPUD Gowa berusaha melokalisir persoalan dan

tidak bersedia menerima Panwaslu Gowa untuk hearing dalam rangka menyelesaikan

persoalan tersebut. Kenyataan yang sama disampaikan oleh M. Jufri, bahwa banyak

pelanggaran yang terjadi dalam pemilihan DKI yang sudah diperiksa oleh Panwaslu

DKI namun tidak direspon oleh KPUD DKI meskipun Panwaslu sudah menyampaikan

rekomendasi agar laporan tersebut segera ditindaklanjuti.170

Dalam konteks refungsionalisasi maka kewenangan eksekusi terhadap laporan

adanya pelanggaran administrasi dari Bawaslu/Panwaslu perlu diefektifkan dan

difungsikan secara baik. Efektifitas dalam konteks ini adalah adanya kepastian hukum

terhadap adanya dugaan pelanggaran administrasi yang dilaporkan oleh bakal calon

pasangan kepada KPUD melalui Bawaslu/Panwaslu. Selama ini potensi sengketa

penetapan pasangan calon sebenarnya sudah terdeteksi sejak awal proses

pendaftaran dan verifikasi kelengkapan administrasi pasangan calon, baik dari

pasangan perseorangan maupun pasangan partai politik. Dalam tahapan verifikasi

pada umumnya terdapat pelanggaran administrasi yang ditemukan oleh Bawaslu atau

169Anggota Panwaslu Kabupaten Gowa saat Pemilukada tahun 2010 yang saat penelitian ini dilakukan duduk

sebagai anggota KPU kabupaten Gowa

170Sebagaimana wawancara penulis dengan Jufri, anggota Panwaslu DKI pada tanggal 9 Maret 2013 di Jakarta

Page 166: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

166

Panwaslu seperti dugaan pemalsuan ijazah atau pemalsuan dokumen lainnya, dugaan

dukungan ganda atau kekurangan administrasi lainnya.

Namun pada kenyataannya, meskipun Bawaslu atau Panwaslu sudah

melaporkan dugaan pelanggaran dalam proses verifikasi tersebut, namun pada

umumnya KPUD tidak menindaklanjuti atau tidak mengeksekusi dugaan laporan

tersebut. Akibat KPUD mengabaikan atau tidak menggunakan kewenangan dalam

menindaklanjuti laporan Bawaslu tersebut, pada akhirnya persoalan pelanggaran

administrasi tersebut menjadi alasan dan fakta hukum dalam sengketa penetapan

pasangan calon di Peratun.

Upaya mengefektifkan eksekusi adanya temuan laporan Bawaslu atau

Panwaslu terhadap adanya pelanggaran administrasi bertujuan untuk meminimalisir

potensi sengketa hukum yang berlanjut di Pengadilan serta memberikan kepastian

dan keadilan hukum pemilu (electoral election) bagi para pihak yang merasa dirugikan

akibat adanya pelanggaran administrasi. Oleh karena itu agar laporan terhadap

adanya pelanggaran administrasi dapat ditangani dan diselesaikan secara cepat,

maka sudah saatnya kewenangan penyelesaian dan tindaklanjut laporan pelanggaran

administrasi tersebut ditangani dan dieksekusi langsung oleh Bawaslu atau Panwaslu.

KPUD tidak lagi memiliki kewenangan dalam menindaklanjuti dan atau

memutus adanya laporan dari Bawaslu/Panwaslu. Dalam hal ini Bawaslu dan

Panwaslu yang memiliki kewenangan dalam memutus dan menyelesaikan adanya

laporan pelanggaran atau sengketa administrasi dalam pelaksanaan pemilukada dan

keputusan Bawaslu terhadap proses penyelesaian sengketa dan atau pelanggaran

administrasi pemilukada tersebut bersifat final. Pelanggaran administrasi yang menjadi

Page 167: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

167

obyek kewenangan Bawaslu dalam hal ini setiap tindakan administrasi yang dilakukan

oleh peserta pemilukada serta penyelenggara pemilukada yang menyimpang dari

ketentuan penyelenggaraan pemilukada. Sedangkan Sengketa administrasi adalah

sengketa yang terjadi antarpeserta Pemilukada dan sengketa Peserta Pemilukada

dengan penyelenggara Pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPUD dalam

hal ini KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota

Namun menurut Penulis kewenangan Bawaslu dalam menerima dan

menyelesaikan sengketa dan atau pelanggaran administrasi yang bersifat final harus

dibatasi dalam hal-hal yang proses hukumnya masih dapat berlanjut di lembaga

Peradilan Tata Usaha Negara. Keputusan Bawaslu mengenai penyelesaian sengketa

Pemilukada merupakan keputusan terakhir dan mengikat, kecuali keputusan terhadap

sengketa Pemilukada yang berkaitan dengan Surat Keputusan KPUD yang terkait

dengan Penetapan pasangan bakal calon menjadi calon pasangan resmi.

b. Bawaslu sebagai Lembaga Banding Administratif

Dalam Undang-Undang nomor 22 tahun 2007 sebagaimana telah diubah

dengan UU. 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, BAWASLU atau Panitia

Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu/Panwaslu) adalah salah lembaga

penyelenggara pemilu bersama dengan KPU. Secara normatif, fungsi dan wewenang

panwaslu sudah diatur dalam UU nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilihan umum dan

pemilihan Presiden, serta UU nomor 32 tahun 2004 (PP nomor 6 tahun 2005) yang

mengatur soal Pilkada.

Dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah, eksistensi dan pengaturan

Panwaslu dan BAWASLU telah mengalami berbagai dinamika dan perubahan. Jauh

Page 168: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

168

sebelum berlakunya Undang-Undang nomor 22 tahun 2007 sebagaimana telah diubah

dengan UU. 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, Pengaturan tentang

Panwaslu mulai tercantum pada ketentuan yang mengatur tentang pemilihan kepala

daerah, khususnya sejak diatur mekanisme pemilihan langsung kepala daerah yakni

dalam UU. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Dalam UU ini, Pengawas

Pemilu dikenal dengan istilah Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) yang dibentuk

oleh dan bertanggung jawab kepada DPRD (vide Pasal 42 ayat 1 huruf I jo Pasal 57

ayat 7).

Dalam Pasal 57 ayat 3 disebutkan bahwa panitia pengawas pemilihan kepala

daerah dan wakil kepala daerah keanggotaannya terdiri atas unsur kepolisian,

kejaksaan, perguruan tinggi, pers, dan tokoh masyarakat. Anggota panitia pengawas

sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berjumlah 5 (lima) orang untuk provinsi, 5 (lima)

orang untuk kabupaten/kota dan 3 (tiga) orang untuk kecamatan.

Selanjutnya Pasal 66 ayat 4 UU. 32 tahun 2004 menyebutkan secara

lengkap fungsi dan wewenang Panitia Pengawas Pemilihan yaitu:

(4) Panitia pengawas pemilihan mempunyai tugas dan wewenang:a. mengawasi semua tahapan penyelenggaraan pemilihan kepala daerahdan wakil kepala daerah;b. menerima laporan pelanggaran peraturan perundang-undangan pemilihankepala daerah dan wakil kepala daerah;c. menyelesaikan sengketa yang timbul dalam penyelenggaraan pemilihankepala daerah dan wakil kepala daerah;d. meneruskan temuan dan laporan yang tidak dapat diselesaikan kepadainstansi yang berwenang; dane. mengatur hubungan koordinasi antar panitia pengawasan pada semuatingkatan

Ketentuan dalam Pasal 66 tersebut adalah acuan utama Panwaslu ketika

melaksanakan fungsinya sebagai Penegak Hukum dalam proses pemilihan kepala

Page 169: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

169

daerah. Dengan ketentuan tersebut di atas, fungsi dan kewenangan Panwaslu

sesungguhnya penuh persoalan, baik dari segi eksistensinya maupun terkait dengan

efektifitas fungsi dan kewenangannya. Keberadaan panwaslu dipersoalkan karena

lembaga ini diragukan independensinya karena dibentuk dan bertanggung jawab

kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Sebagaimana diketahui bahwa

DPRD adalah representasi partai politik yang pada faktanya adalah juga bagian dari

peserta pemilukada. Dengan posisi bertugas mengawasi pihak yang bertarung

sementara pihak tersebut merupakan lembaga yang memilihnya, maka Panwaslu

mengalami persoalan netralitas dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

Merepson kondisi inilah kemudian pada tahun 2007, ketentuan tentang

penyelenggara pemilu termasuk pemilukada diatur secara terpisah dengan UU

Pilkada. Maka DPR dan Pemerintah kemudian sepakat menyusun dan mengesahkan

Undang-undang Nomor 22 tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Pasca

disahkannya Undang-undang nomor 22 tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu,

dimensi pengawasan pemilu mengalami perubahan. Setidaknya dalam konteks

eksistensi, institusi pengawas pemilu mengalami peningkatan. Dalam UU nomor 12

tahun 2003 maupun UU 32 tahun 2004 (PP nomor 6 tahun 2005) memposisikan

Panwaslu hanya sebatas instrumen yang bersifat ad hoc. Sedangkan dalam UU

nomor 22 tahun 2007, selain istilah Panwaslu diganti menjadi Bawaslu maka institusi

pengawas ini berstatus sebagai instrumen yang bersifat permanen. Selain itu proses

pemilihan anggota Bawaslu atau Panwaslu tidak lagi melalui pemilihan di DPRD tapi

hanya Bawaslu tingkat Pusat yang dipilih DPR yang kemudian Bawaslu Pusat yang

Page 170: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

170

menyeleksi dan memilih Bawaslu Provinsi, Kabupaten dan seterusnya. Sehingga

problem netralitas sudah bisa diminimalisir.

Lahirnya Undang-Undang nomor 22 tahun 2007 juga belum bisa memperkuat

fungsi dan wewenang Bawaslu/Panwaslu. Bahkan pasca pengesahan UU nomor 22

tahun 2007 yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 15 tahun 2011 belum

mengubah secara paradigmatik persoalan akuntabilitas dan efektifitas pengawasan

dan penyelesaian sengketa pemilukada. Salah satu persoalan Bawaslu atau Panwaslu

yang tidak berubah meskipun telah terjadi perubahan undang-undang adalah terletak

pada ketidakmampuan menindaklanjuti pelanggaran yang dilaporkan masyarakat.

Terlihat bahwa panwaslu tidak memiliki daya eksekusi yang kuat dalam menangani

laporan pelanggaran. Kondisi ini disebabkan oleh beberapa faktor.

Pertama, panwaslu masih tersandera pada posisi pemihakan untuk salah satu

pasangan calon/partai politik. Kedua, panwaslu selalu berdalih bahwa salah satu

tugasnya adalah;” meneruskan temuan dan laporan yang tidak dapat diselesaikan

kepada instansi yang berwenang; klausul ini sering sekali dijadikan dalih ketika

panwaslu dihadapkan pada pelanggaran pilkada/pemilu. Ketiga, kurangnya koordinasi

dengan instansi yang terkait dalam penyelesaian pelanggaran. Bagi panwaslu, urusan

mereka sudah selesai ketika laporan pelanggaran sudah mereka serahkan kepada

kepolisian atau KPUD. Lemahnya daya eksekusi langsung oleh Bawaslu juga terlihat

pada UU 22 tahun 2007 yang mengatur tentang tugas dan wewenang Bawaslu.

Dijelaskan pada Pasal 73 huruf b, c dan d;

b. menerima laporan dugaan pelanggaran terhadap pelaksanaanperaturan perundang-undangan mengenai Pemilu; c. menyampaikantemuan dan laporan kepada KPU untuk ditindaklanjuti; d. meneruskan

Page 171: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

171

temuan dan laporan yang bukan menjadi kewenangannya kepada instansiyang berwenang;.

Pasal ini menujukkan bahwa Bawaslu sesungguhnya sekedar mengumpulkan

laporan pelanggaran yang terjadi pada semua tahapan pemilu. Berikut tabel yang

menunjukkan perbedaan Posisi Panwaslu dan Bawaslu periode Pilkada 2005 sampai

dengan sekarang atau sebelum dan sesudah disahkannya Undang-Undang Nomor 22

Tahun 2007 jo. Undang-Undang Nomor 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu

Pilkada Posisi Organisasi Fungsi

Pilkada

2005-

2007

Lembaga pengawas

pemilu adalah bagian dari

penyelenggara pemilu

dengan ketentuan;

1. Panwas Pilkada

Provinsi dibentuk dan

bertanggung jawab

kepada DPRD Provinsi;

2.Panwas Pilkada

Kabupaten/Kota dibentuk

dan bertanggung jawab

kepada DPRD

Kabupaten/Kota;seterusny

a masing-masing

membentuk panwas

dibawahannya

Panwas Pilkada dipimpin

oleh seorang ketua yang

dipilih oleh anggota; sedang

anggota panwas pilkada

terdiri dari unsur tokoh

masyarakat, perguruan

tinggi, pers, kepolisian dan

kejaksanaan

1.Hubungan Panwas

Pilkada Provinsi atau

Panwas Pilkada

Kabupaten/Kota dengan

panwas pilkada di

bawahnya bersifat hierarkis;

2.Sekretariat Panwas

Pilkada mencantol pada

kantor pemerintah daerah

Tugas dan wewenang

Panwas pilkada ialah

1. Mengawasi semua

tahapan

penyelenggaraan pemilu

2. Menerima laporan

pelanggaran peraturan

perundang-undangan

pemilu

3. Menyelesaiakn sengketa

dalam penyelenggaraan

pemilu

4. Meneruskan temuan dan

laporan yang tidak dapat

diselesaikan kepada

instansi berwenang

Page 172: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …
Page 173: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

173

tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD. Dalam UU. No.

8 tahun 2012 ini terjadi penambahan wewenang Bawaslu untuk menyelesaikan

sengketa pemilu. Sengketa yang diselesaikannya bukan Tsekedar sengketa

antarpeserta pemilu sebagaimana terjadi pada pemilu sebelumnya, tetapi juga

sengketa antara peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu. UU. No 8 tahun 2012

juga memperjelas pengertian , ruang lingkup dan proses penyelesaian sengketa.

Pasal 257 mengatur: Sengketa Pemilu adalah sengketa yang terjadiantarpeserta Pemilu dan sengketa Peserta Pemilu dengan penyelenggaraPemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, KPU Provinsi, danKPU Kabupaten/Kota.

Pasal 258 mengatur: (1) Bawaslu berwenang menyelesaikan sengketaPemilu. (2) Bawaslu dalam melaksanakan kewenangannya dapatmendelegasikan kepada Bawaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota,Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, dan Pengawas PemiluLuar Negeri

Pasal 268 (1) mengatur: Sengketa tata usaha negara Pemilu adalahsengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara Pemilu antara calonanggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, atau partaipolitik calon Peserta Pemilu dengan KPU, KPU Provinsi, dan KPUKabupaten/Kota sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, KPUProvinsi, dan KPU Kabupaten/Kota.

(2) Sengketa tata usaha negara Pemilu merupakan sengketa yang timbulantara:a. KPU dan Partai Politik calon Peserta Pemilu yang tidak lolos verifikasisebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU tentang penetapan PartaiPolitik Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17; dan

Pasal 269 mengatur: (1) Pengajuan gugatan atas sengketa tata usahanegara Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 268 ke pengadilantinggi tata usaha negara dilakukan setelah seluruh upaya administratif diBawaslu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 259 ayat (2) telah digunakan.

Page 174: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

174

(2) Pengajuan gugatan atas sengketa tata usaha negara Pemilusebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 3 (tiga) harikerja setelah dikeluarkannya Keputusan Bawaslu.

Pasal 258 ayat 4 : (4) Bawaslu melakukan penyelesaian sengketa Pemilumelalui tahapan:a. menerima dan mengkaji laporan atau temuan; danb. mempertemukan pihak-pihak yang bersengketa untuk mencapaikesepakatan melalui musyawarah dan mufakat

Ketentuan undang-undang tersebut memberikan semangat revitalisasi pada

lembaga Bawaslu sebagai lembaga Pengawas Pemilu. Revitalisasi peran itu dapat

dilihat dari adanya kewenangan Bawaslu untuk menyelesaikan sengketa administrasi

baik sengketa antara para peserta pemilu maupun sengketa antara peserta pemilu

dan penyelenggara pemilu. Selain itu untuk meningkatkan kewibawaan Bawaslu,

maka UU.8 tahun 2012 mengatur bahwa keputusan Bawaslu dalam menyelesaikan

sengketa pemilu bersifat final dan mengikat kecuali dalam 2 sengketa, yakni sengketa

ynag muncul dalam proses verifisikasi partai politik menjadi peserta pemilu akibat

dikeluarkannya SK KPU tentang penetapan peserta partai politik dan verifikasi calon

legislatif oleh KPU.

Undang-Undang ini menjelaskan bahwa dalam dua perkara tersebut, keputusan

Bawaslu tidak final dan mengikat sehingga bagi para pihak yang tidak puas dengan

keputusan Bawaslu atau tetap masih dirugikan dengan keputusan KPU, maka diberi

hak untuk mengajukan Banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Dalam

kajian hukum administrasi, posisi Bawaslu dalam perkara verifikasi parpol dan

verifikasi calon legislative adalah sebagai Banding Administrasi (Administratif Beroef).

Artinya apabila partai politik tertentu atau calon legislative tertentu yang merasa

Page 175: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

175

dirugikan dengan terbitnya SK KPU tentang dua verifikasi tersebut, maka terlebih

dahulu mengajukan penyeleseian sengketa di Bawaslu. Apabila keputusan Bawaslu

tersebut tidak diterima, maka para pihak tersebut dapat mengajukan Banding ke PT

TUN.

Konstruksi posisi, tugas dan wewenang Bawaslu seperti dalam Undang-Undang

Pemilu tersebut di atas belum diatur dalam ketentuan yang mengatur tentang

Pemilukada. Posisi Bawaslu dalam pemilukada belum memiliki fungsi yang jelas dan

sistematis dalam menyelesaikan sengketa pemilukada, termasuk juga posisi dan tugas

Bawaslu yang tidak tegas dan kuat dalam penyeleseian sengketa penetapan

pasangan calon antara pasangan kandidat dan KPU selaku pihak yang menerbitkan

Surat Keputusan. Selama ini Bawaslu atau Panwaslu hanya menyatakan sikap

menerima atau tidak menerima Keputusan KPU tentang penetapan pasangan calon,

namun tanpa didahului oleh tindakan atau proses pengawasan terhadap proses

keluarnya SK tersebut.

Ketiadaan konsepsi posisi dan kewenangan Bawaslu dalam pemilukada

tersebut menjadi kajian dalam penelitian ini. Beberapa responden dalam penelitian ini

merasa dirugikan dengan posisi Bawaslu atau Panwaslu di daerah yang tidak

berperan secara aktif dan maksimal dalam penyelesaian sengketa dalam pemilukada

terutama dalam sengketa penetapan pasangan calon. Andi Maddusila misalnya,

mantan kandidat Bupati Gowa yang maju pada pemilukada tahun 2010 menyatakan

kekecewaannya karena pengaduan atau laporannya dalam sengketa penetapan

pasangan calon ketika itu tidak mampu diselesaikan secara maksimal oleh Panwaslu

kabupaten Gowa.

Page 176: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

176

Oleh karena itu diperlukan perbaikan Undang-Undang Pemilukada yang

mengatur secara jelas posisi dan wewenang Bawaslu dalam proses penyelesaian

sengketa penetapan pasangan calon dalam pemilukada. Jufri, anggota Bawaslu DKI

dan Daniel Zuchron anggota Bawaslu Pusat172 mengatakan bahwa sudah saatnya

Bawaslu daerah memiliki peran dan tugas yang sama dengan Bawaslu Pusat dalam

penanganan sengketa pemilukada. Menurut Jufri, terlebih lagi saat ini secara

organisasi, Bawaslu tingkat provinsi tidak bersifat ad hoc, namun sudah

dipermanenkan selama lima tahun sehingga masih cukup waktu dan keberlanjutan

dan penanganan sengketa pemilukada. Dalam konteks sengketa penetapan pasangan

calon dalam pemilukada, maka posisi Bawaslu adalah menyelesaikan sengketa

administrasi yang muncul akibat keluarnya SK Penetapan Pasangan calon oleh KPUD

yang mengakibatkan kerugian bagi pasangan calon yang tidak diloloskan. Dalam

menangani sengketa tersebut, Bawaslu berwenang untuk a. menerima dan mengkaji

laporan atau temuan; dan b. mempertemukan pihak-pihak yang bersengketa untuk

mencapai kesepakatan melalui musyawarah dan mufakat.

Memfungsikan Bawaslu dalam penyelesaian sengketa penetapan pasangan

calon adalah ketika Bawaslu terlebih dahulu menangani keberatan atau laporan

pasangan calon yang dirugikan atas terbitnya SK Penetapan oleh KPUD. Apabila

pasangan yang mengajukan sengketa ke Bawaslu tersebut tidak puas dengan proses

pemeriksaan dan keputusan Bawaslu, maka pasangan tersebut dapat mengajukan

Banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Skema penyelesaian sengketa

172Wawancara dengan Daniel Zuchron pada tanggal 8 Maret 2013 di kantor Bawaslu Pusat, Jakarta

Page 177: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

177

penetapan pasangan calon ini menempatkan Bawaslu sebagai Banding Administratif

(Administratif Beroef).

Untuk menjaga prinsip penyelesaian sengketa secara efisien dan efektif, maka

maka keputusan terhadap proses Banding Administratif sengketa penetapan

pasangan calon harus diterbitkan Bawaslu paling lambat selama 7 hari sejak

masuknya laporan ke Bawaslu. Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dengan

Keputusan Bawaslu tersebut, maka dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tinggi

Tata Usaha Negara. PT TUN menyelesaikan sengketa penetapan pasangan calon

pemilukada tersebut paling lambat 21 hari. Apabila sengketa penetapan pasangan

calon pemilukada tersebut adalah sengketa pemilukada Kabupaten Kota, maka

putusan PT TUN bersifat final dan mengikat atau tidak bisa diajukan kasasi lagi.

Sementara apabila sengketa penetapan pasangan calon tersebut adalah

sengketa pemilukada di tingkat provinsi, maka putusan PT TUN dapat diajukan upaya

hukum kasasi dan Mahkamah Agung harus menyelesaikan dan memutus sengketa

penetapan pasangan calon pilkada tersebut paling lambat 30 hari terhitung sejak

perkara tersebut didaftar di kepaniteraan Mahkamah Agung.

Menurut Penulis penempatan Bawaslu sebagai salah satu institusi penting

dalam proses penyelesaian sengketa penetapan pasangan calon dilatarbelakangi oleh

beberapa pemikiran. Pertama, sudah saatnya Bawaslu diperkuat fungsinya dalam

kapasitasnya sebagai salah satu penyelenggara pemilu, selain KPUD.

Refungsionalisasi Bawaslu penting untuk menghapus kesan masyarakat selama ini

bahwa Bawaslu dan Panwaslu hanya merupakan lembaga “cap stempel” yang adanya

sama dengan tidak adanya. Dengan menempatkan Bawaslu sebagai Banding

Page 178: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

178

Administratif, maka Bawaslu memiliki daya taring atau kewibawaan sebagai institusi

dalam proses penyelesaian sengketa khususnya penetapan pasangan calom

pemilukada, mengingat keputusan Bawaslu dengan kewenangan memeriksa pokok

sengketa dapat mengetahui, memeriksa dan mengambil sikap atas posisi atau status

calon pasangan yang dirugikan atas terbitnya SK KPUD.

Kedua, dengan kewenangan memeriksa sengketa terlebih dahulu dengan

mengedepankan musyawarah dan mufakat, maka diharapkan ada titik temu antara

pihak yang bersengketa sehingga sengketa penetapan pasangan calon tidak

berkepanjangan. Kalau pun akhirnya berlanjut dan berposes Banding ke PT TUN,

maka proses pembuktian atau validasi dokumen pemeriksaan di tingkat PT TUN akan

semakin mudah karena sesungguhnya sejak awal telah dilakukan pemeriksaan di

Bawaslu

Ketiga, masyarakat yang berstatus sebagai pemilih atau yang berstatus sebagai

pasangan kandidat memiliki hak untuk mendapat perlindungan dan penyelesaian

hukum dalam pemilu secara cepat dan efektif. Pada umumnya bersengketa di

Pengadilan masih dianggap sebagai sesuatu yang mahal dan sulit. Dengan adanya

Bawaslu sebagai mediator dalam menyelesaikan sengketa, minimal dapat

mempermudah pasangan kandidat dalam memperoleh keadilan (electoral justice)

Secara teoritis, penempatan Bawaslu sebagai banding administratif adalah

untuk mempermudah akses warga mendapatkan keadilan hukum dalam sengketa

hukum administrasi. Penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara sebagai akibat

terjadinya benturan kepentingan antara pemerintah (Badan/Pejabat TUN) dengan

seseorang/ Badan Hukum Perdata tersebut, ada kalanya dapat diselesaikan secara

Page 179: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

179

damai melalui musyawarah dan mufakat, akan tetapi ada kalanya pula berkembang

menjadi sengketa hukum yang memerlukan penyelesaian lewat pengadilan.

Sebagai Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat), maka timbulnya

suatu sengketa Tata Usaha Negara tersebut, bukanlah hal yang harus dianggap

sebagai hambatan pmerintah (Badan/Pejabat TUN) dalam melaksanakan tugas di

bidang urusan pemerintah, melainkan harus dipandang sebagai : Pertama, sudut

pandang warga masyarakat, adalah merupakan pengejawantahan asas Negara

hukum bahwa setiap warga Negara dijamin hak-haknya menurut hukum, dan segala

penyelesaian sengketa harus dapat diselesaikan secara hukum pula; kedua, Dari

sudut pandang Badan/Pejabat TUN, adalah sarana atau forum untuk menguji apakah

Keputusan Tata Usaha Negara yang diterbitkannya telah memenuhi asas-asas hukum

dan keadilan melalui sarana hukum menurut peraturan perundang-undangan yang

berlaku. Dalam Undang-Undang nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha

Negara, khususnya Pasal 48 diterangkan bahwa Pasal 48 yang mengatur:

(1) Dalam hal suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diberiwewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untukmenyelesaikan secara administratif sengketa Tata Usaha Negara tertentu,maka batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugidan/administratif yang tersedia. (2) Pengadilan baru berwenang memeriksa,memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara sebagaimanadimaksud dalam ayat (1) jika seluruh upaya administratif yang bersangkutantelah digunakan.

Penjelasan Pasal 48 ini disebutkan bahwa, upaya administratif adalah

merupakan prosedur yang ditentukan dalam suatu peraturan perundang-undangan

untuk menyelesaikan suatu sengketa Tata Usaha Negara yang dilaksanakan

Page 180: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

180

dilingkungan pemerintah sendiri (bukan oleh badan peradilan yang bebas), yang terdiri

dari Prosedur keberatan dan Prosedur banding administratif;

Banding Administratif adalah Banding administrasi yaitu apabila penyelesaian

sengketa Tata Usaha Negara tersebut dilakukan oleh instasi lain dari Badan/Pejabat

Tata Usaha Negara yang menerbitkan Keptusan Tata Usaha Negara yang

bersangkutan. Contoh praktek Banding Administrasi yang selama ini sudah berjalan

adalah Keputusan Badan Pertimbangan Kepegawaian (BAPEK) berdasarkan No. 30

Tahun 1980 tentang Disiplin PNS, Komisi Banding Paten berdasarkan PP No. 31

Tahun 1995, sehubungan dengan adanya Undang-Undang No. 6 Tahun 1989 tentang

Paten, Komisi Banding Merek berdasarkan PP No. 32 Tahun 1995, sehubungan

dengan adanya Undang-Undang No. 19 Tahun 1992 tentang Merek, Majelis

Pertimbangan Pajak sebagai banding administrasi perpajakan dan lain-lain;

Pengujian (Toetsing) dalam upaya administrasi berbeda dengan pengujian di

Peradilan Tata Usaha Negara. Di Peradilan Tata Usaha Negara pengujiannya hanya

dari segi penerapan hukum sebagaimana ditentukan Pasal 53 ayat (2) huruf (a) dan

(b) Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 5

Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu apakah keputusan Tata

Usaha Negara tersebut diterbitkan dengan bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku dan melanggar Asas-Asas Umum Pemerintah

Yang Baik (AAUPB), sedangkan pada prosedur upaya administrasi, pengujiannya

dilakukan baik dari segi penerapan hukum maupun dari segi kebijaksanaan oleh

instansi yang memutus, sehingga pengujiannya dilakukan secara lengkap.

Page 181: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

181

Sisi positif upaya administrasi yang melakukan penilaian secara lengkap suatu

Keputusan Tata Usaha Negara baik dari segi Legalitas (Rechtmatigheid) maupun

aspek Opportunitas (Doelmatigheid), para pihak tidak dihadapkan pada hasil

keputusan menang atau kalah (Win or Loose) seperti halnya di lembaga peradilan, tapi

dengan pendekatan musyawarah. Sedangkan sisi negatifnya dapat terjadi pada

tingkat obyektifitas penilaian karena Badan/Pejabat tata Usaha Negara yang

menerbitkan Surat Keputusan kadang-kadang terkait kepentingannya secara langsung

ataupun tidak langsung sehingga mengurangi penilaian maksimal yang seharusnya

ditempuh. Berdasarkan rumusan penjelasan Pasal 48 tersebut maka upaya

administratif merupakan sarana perlindungan hukum bagi warga masyarakat (orang

perorangan/badan hukum perdata) yang terkena Keputusan Tata Usaha Negara

(Beschikking) yang merugikannya melalui Badan/Pejabat Tata Usaha Negara di

lingkungan pemerintah itu sendiri sebelum diajukan ke badan peradilan

Dalam konteks pemilukada, maka dengan berfungsinya Bawaslu sebagai

Banding Administratif diharapkan ada mediasi dan kemufakatan di antara para pihak

yang bersengketa. Salah satu responden dalam penelitian ini, Titi Anggaraini173,

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyatakan

persetujuannya apabila Bawaslu ditempatkan sebagai Banding Administratif dalam

penyelesaian sengketa penetapan pasangan calon di pemilukada karena hal tersebut

merupakan bagian dari Penguatan Bawaslu dalam pemilukada. Namun Titi Anggaraini

memberi catatan bahwa, apabila Bawaslu ditempatkan sebagai Quasi Peradilan dalam

konteks Banding Administratif, maka dari segi sumber daya manusia, personalia

173Wawancara dengan Titi Anggaraini dilakukan pada tanggal 20 Februari 2013

Page 182: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

182

Bawaslu harus orang-orang yang memiliki integritas dan kapasitas keilmuan,

khususnya kecakapan dalam pengetahuan yudisial.

Sementara itu Erick Sihombing, Hakim PTUN Jayapura setuju dengan posisi

Bawaslu sebagai banding administratif dalam penyelesaian sengketa penetapan

pasangan calon karena akan mempermudah penyelesaian di PT TUN apabila terjadi

sengketa lanjutan. Menurut Erick Sihombing, selama ini pengujian sengketa

penetapan pasangan calon pemilukada di Jayapura sering terkendala dengan

mobilisasi atau dukungan bukti dari para pihak akibat terbatasnya jangkauan

geografis. Apabila sengketa tersebut sejak awal sudah memvalidasi bukti-bukti awal di

Bawaslu, maka persoalan pembuktian di PT TUN akan mudah, apalagi kalau kasus

tersebut di Jayapuran dan PT TUN berada di Makassar, maka hal tersebut dapat

mempermudah para pihak yang bersengketa.

Namun anggota KPUD Tanah Toraja, Aloysius Lande menyatakan tidak setuju

apabila Bawaslu ditempatkan sebagai banding administratif dengan alasan bahwa

kondisi itu akan melahirkan tumpang tindih dengan pengadilan. Selain itu menurutnya,

dengan pola seperti itu akan melahirkan birokratisasi dalam penyelesaian sengketa

pemilukada. Namun menurut penulis, kehadiran Bawaslu sebagai banding

administrasi dalam sengketa penetapan pasangan calon pemilukda justru mendorong

percepatan penyelesaian sengketa karena sejak awal diatur jangka penyelesaian yang

singkat.

Lebih dari itu penempatan Bawaslu sebagai bagian dari penyelesaian sengketa

merupakan upaya mendorong kerangka hukum yang integrative dengan

melembagakan fungsi penyelenggara pemilu sebagai pihak yang menyelesaikan

Page 183: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

183

sengketa. Kerangka Hukum harus mengatur mekanisme dan penyelesaian hukum

yang efektif untuk penegakan hak pilih karena hak memberikan suara merupakan hak

asasi manusia (Electoral Right). Karena itu, penyelesaian hukum terhadap

pelanggaran hak memberikan suara juga merupakan bagian hak asasi manusia174.

c. Menghapus kewenangan PTUN

Secara normatif sebagaimana telah diurai pada bagian Tinjauan Pustaka

bahwa Surat Keputusan tentang Penetapan Pasangan Calon Pemilukada yang

diterbitkan oleh KPUD adalah sebuah ketetapan (beschikking) yang dalam teori

hukum administrasi pengujiannya dilakukan di Peradilan Administrasi. Menurut Pasal

53 ayat 2 Undang-Undang no 9 tahun 2004 tentang Perubahan kedua UU. Nomor 5

tahun 1986 tentang Peratun menegaskan bahwa ada 2 alat uji yang digunakan Majelis

Hakim di Peratun untuk menguji sah tidaknya sebuah Keputusan yang diterbitkan oleh

Pejabat tata usaha negara dalam hal ini KPUD. Dua alat uji yakni berdasarkan

Ketentuan Perundang-Undangan yang berlaku dan Asas-asas umum Pemerintahan

yang baik.

Dalam penelitian ini, SK KPUD tentang tentang Penetapan Pasangan Calon

Pemilukada dapat diuji atau digugat oleh pihak-pihak yang merasa kepentingannya

dirugikan atas terbitnya SK tersebut. Saat ini atau sejak Pemilukada di gelar 2005

Pengadilan Tata Usaha Negara di tingkat pertama telah banyak menerima, memutus

dan menyelesaikan perkara yang terkait dengan Surat Keputusan KPUD tentang

174Titi Anggraini dkk, Menata Kembali..Op. Cit. hlm. 74

Page 184: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

184

tentang Penetapan Pasangan Calon Pemilukada. Di PTUN Makassar sendiri,

sepanjang tahun 2009 sampai dengan tahun 2012 tercatat telah menerima dan

memutus perkara yang terkait pemilu dan pemilukada termasuk halnya dengan

Penetapan Pasangan Calon dalam Pemilukada sebanyak 27 Perkara dengan rincian

sebagai berikut:

Tabel 3. Perbandingan Jumlah Perkara Sengketa Pemilukada dengan Perkara lainnyadi PTUN Makassar yang masuk pada periode 2009-2012

NO JENIS PERKARA TAHUN

2009 2010 2011 2012

1 Catatan Sipil - 1 - -

2 Kepegawaian 21 12 7 5

3 Lelang 3 3 3 2

4 Lurah/Kades 1 - 1 -

5 Orsospol: DPRD,Pilkada, Pemilu, Parpol 5 8 3 2

6 Pembangunan/Sarana Perhubungan - 1 2 -

7 Pendidikan - 4 - -

8 Perizinan (IMB) 1 1 2 2

9 Pertambangan - 1 1 -

10 Pertanahan 59 50 53 66

11 Lain-lain - - - 7

SUB TOTAL 90 82 72 84

TOTAL PERIODE 2009-2012 SEBANYAK 328 PERKARA

Sumber Data: Dokumentasi Kepaniteraan PTUN Makassar tahun 2013

Dalam table 3 tersebut, sesuai dengan nomenklatur yang digunakan oleh

Direktur Jenderal Peradilan Militer dan Tata Usaha Negara Mahkamah Agung (Dirjen

Page 185: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

185

Dilmiltun MA) kategori sengketa pemilukada termasuk dalam kategori perkara sosial

politik yang di dalamnya termasuk sengketa pemilu, sengketa partai politik, pergantian

antar waktu (PAW) dan sengketa pemilukada. Tabel 3 di atas menunjukkan bahwa

secara kuantitas, jumlah perkara yang diproses di PTUN Makassar yang terkait

dengan perkara politik hanya 18 perkara. Sedangkan khusus untuk perkara sengketa

pemilukada, sepanjang tahun 2009-2012 hanya terdapat 4 perkara. Dibandingkan

dengan wilayah hukum PTUN Makassar yang meliputi seluruh kabupaten/kota di

Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat sebanyak 30 Kabupaten/Kota, maka jumlah

perkara pemilu dan pemilukada setiap tahun yang tidak mencapai 10 perkara

merupakan angka yang cukup sedikit. Oleh karena itu mengingat penyelesaian

perkara di Peratun cukup lama, namun jumlah perkara yang masuk tidak terlalu

banyak, maka menurut Penulis, untuk mengefektifkan penyelesaian perkara

pemilukada, maka sebaiknya kewenangan menyelesaikannya terlebih didahulu

dilakukan di Bawaslu Penyelesaian sengketa diharapkan selesai di tingkat Bawaslu.

Namun apabila ada pihak yang tidak puas dengan penyelesaian di Bawaslu maka

dapat langsung mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT

TUN), sehingga kewenangan Peratun tingkat pertama dihapus.

Sampai saat ini pengujian pertama kali SK KPUD tentang Penetapan

Pasangan Calon Pemilukada di lakukan di PTUN bukan PT TUN di tingkat Banding.

Dalam ketentuan hukum acara Peratun ada beberapa jenis SK yang pengujiannya

menempatkan PT TUN sebagai Pengadilan Tingkat Pertama. Menurut Pasal 48 UU.

Nomor 5 tahun 1986, perkara tata usaha negara yang pengujiannya menempatkan PT

TUN sebagai pengadilan tingkat pertama adalah perkara yang menguji Surat

Page 186: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

186

Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara yang diterbitkan setelah melalui proses

Banding Administrasi oleh instansi internal atau instansi lain di luar lembaga atau

institusi yang menerbitkan SK tersebut.

Pada proses penyelesaian sengketa akibat terbitnya SK KPUD tentang

Penetapan Pasangan Calon Pemilukada tidak diatur penyelesaian bandingnya di

KPUD atau Bawaslu apabila ada pasangan calon yang merasa dirugikan terhadap

terbitnya SK tersebut. Sehingga pasangan calon ketika merasa dirugikan dengan SK

tersebut secara serta merta langsung mengajukan gugatan ke PTUN. Menurut penulis

sebagaimana dibahas pada bagian terdahulu, mekanisme penyeleseian sengketa di

Peratun tanpa melalui pemeriksaan, mediasi dan upaya penyelesaian lainnya oleh

Bawaslu sebagai lembaga pengawas pemilu tidak menghadirkan upaya penyelesaian

hukum yang efektif dan akuntabel, sebab Bawaslu sejak awal ditugaskan untuk

mengawasi pelaksanaan pemilukada termasuk mengawasi kinerja KPU.

Oleh karena itu salah satu fokus kajian penelitian ini adalah mereformulasi

struktur penyelesaian sengketa penetapan pasangan calon dalam pemilukada dengan

menempatkan Bawaslu sebagai Quasi Peradilan yang berfungsi sebagai Banding

Administratif. Artinya pasangan calon atau siapapun yang merasa dirugikan dengan

terbitnya SK KPUD tentang Penetapan Pasangan Calon Pemilukada maka apabila

diajukan sebagai sengketa, terlebih dahulu melaporkan ke Bawaslu Provinsi untuk

dikaji, dimediasi, diperiksa, dimusyawarahkan dan diselesaikan.

Penyelesaian akhir tugas Bawaslu nantinya dalam bentuk Keputusan. Bagi

pihak yang tetap merasa dirugikan dengan Keputusan Bawaslu terhadap keluarnya SK

KPUD tersebut maka dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha

Page 187: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

187

Negara (PT TUN). Pengadilan berwenang mengoreksi keputusan KPUD maupun

Bawaslu. Sebagai konsekuensi dijadikannya PT TUN sebagai pengadilan tingkat

pertama dalam pengujian SK KPUD tentang Penetapan Pasangan Calon Pemilukada,

maka seuai dengan Pasal 48 UU nomor 5 tahun 1986, Peratun tingkat pertama tidak

memiliki kewenangan untuk mengadili sengketa tersebut.

Selain menghapus kewenangan Peratun tingkat pertama maka upaya lainnya

untuk mengefektifkan penyelesaian sengketa penetapan pasangan calon dalam

pemilukada adalah dengan memperpendek atau membatasi tahapan upaya

hukumnya. Dalam hal ini untuk mendapatkan putusan yang berkekuatan hukum tetap

(inkracht), para pihak tidak harus menempuh upaya hukum sampai pada tingkat

Kasasi di Mahkamah Agung. Perlu desain ulang agar upaya hukum terakhir dalam

sengketa pemilukada di tingkat kabupaten kota cukup sampai di PT TUN. Hal ini

mengingat fakta selama ini pada umumnya perkara pemilukada di PTUN Makassar

sudah diputus inkracht di PT TUN Makassar sebagaimana tergambar dalam Tabel 4

berikut:

Tabel 4. Penyelesaian Sengketa Pemilukada di PTUN Makassar

NO TAHUN JUMLAH

PERKARA

TAHAPAN INKRACHT

PTUN PT.TUN KASASI

1 2009 5 1 3 1

2 2010 8 6 2

3 2011 3 1 2

4 2012 2 1 1

TOTAL 18 3 10 5

Sumber Data: Dokumentasi Kepaniteraan PTUN Makassar tahun 2013

Page 188: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

188

Data di atas menunjukkan dari total 27 perkara pemilu dan Pemilukada yang

ditangani oleh PTUN Makassar sepanjang tahun 2007-2012 ada 16 perkara (60%)

perkara-perkara tersebut telah berkekuatan hukum tetap di PT.TUN Makassar.

Sehingga menurut penulis, upaya hukum terakhir pada sengketa pemilukada

kabupaten/kota cukup sampai di tingkat Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.

Adapun sengketa pemilukada yang muncul pada pelaksanaan pemilukada Provinsi

maka upaya hukum terakhirnya tetap sampai di tahapan Kasasi di Mahkamah Agung

d. Pengadilan Ad Hoc Pemilukada

Salah satu desain struktur pelaksanaan pemilukada yang dapat mendorong

penegakan hukum administrasi pemilukada yang efektif dan efisien adalah adanya

Pengadilan khusus yang menangani, memutus dan menyelesaikan sengketa dan

pelanggaran dalam pemilukada. Secara filosofis keberadaan Pengadilan khusus

pemilu dimaksudkan untuk memastikan proses pilkada berlangsung sesuai dengan

prinsip-prinsip hukum dan keadilan pemilu. Sebagai kegiatan politik yang diatur dalam

konstitusi dan berlangsung secara regular dan menjadi penentu dalam proses

pergantian kepemimpinan bangsa, maka pemilu maupun pilkada harus mampu

berlangsung secara fair, jujur dan berkeadilan.

Mengingat sifatnya yang urgen dan melibatkan seluruh warga yang memiliki

hak pilih dan menggunakan anggaran negara yang berjumlah trilyunan, maka

penyelenggaraan pemilu ataupun pilkada harus dapat diawasi agar berjalan secara

transparan dan akuntabel. Salah satu aspek yang diperlukan dalam mencapai tujuan

pemilu yang jujur dan berkeadilan adalah dengan adanya penegakan hukum yang

Page 189: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

189

konsisten, tersistem dan terbuka. Dalam konteks pilkada, maka kehadiran Pengadilan

ad hoc khusus Pilkada menjadi salah satu usaha untuk memastikan agar proses

penegakan hukum yang berlangsung selama pilkada dapat terlesaikan secara baik

dan dapat memberikan nilai keadilan bagi pemilih dan penyelenggara pilkada.

Kehadiran Pengadilan ad hoc Pilkada memiliki landasan sosiologis mengingat

pelaksanaan pilkada setiap tahun begitu massif. Bahkan menurut Jusuf Kalla dengan

jumlah kabupaten kota di seluruh Indonesia sebanyak 456 daerah otonom serta 34

Provinsi, maka setiap 2 hari terdapat pemilihan di daerah. Frekuensi memilih ini adalah

yang paling sering di seluruh dunia. Urgensi Pengadilan ad hoc khusus pilkada

semakin penting apabila desain pelaksanaan pilkada secara serentak menjadi

kebijakan resmi pemerintah dan DPR. Dengan pilkada serentak, maka potensi

munculnya pelanggaran dan sengketa pilkada akan berlangsung secara sporadic dan

massif. Sehingga diperlukan penanganan hukum secara cepat.

Pengadilan regular saat ini menurut penulis kurang mampu merespon dan

menyelesaikan secara cepat sengketa dan pelanggaran pemilu yang terjadi.

Pengadilan Umum untuk pelanggaran pidana dan Peratun untuk pelanggaran

administrasi dalam pilkada belum banyak berkontribusi dalam mendorong penegakan

hukum pemilu yang konsisten, teritegratif dan akuntabel.

Menurut penulis, beberapa kelemahan dengan model pengadilan saat ini

adalah pertama, persoalan kecepatan dalam menyelesaikan dan memberikan

kepastikan hukum terhadap perkara pilkada yang sedang berlangsung. Seperti yang

diurai di atas, proses penyelesaian sengketa pilkada saat ini memerlukan waktu yang

cukup lama. Kedua, belum terintegrasinya proses penyelesaian hukum, yakni dalam

Page 190: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

190

hal pelanggaran hukum pidana dan pelanggaran hukum administrasi. Pada setiap

pelaksanaan pilkada, selalu muncul pelanggaran pidana seperti politik uang dan

pelanggaran administrasi. Kedua pelanggaran tersebut belum dapat diselesaiakn

secara baik oleh mekanisme peradilan saat ini. Ketiga, persoalan kualitas hakim yang

menangani sengketa pilkada. Diperlukan hakim-hakim yang memiliki kapasitas dan

keahlian dalam bidang ilmu hukum dan politik, khususnya yang terkait dengan pemilu.

Menurut Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI) Jerry Sumampow,

Pengadilan Ad Hoc Pemilukada menjadi penting untuk menegakkan asas kepastian

hukum dalam pemilukada175. Jerry Sumampow mengemukakan 3 alasan urgensi

Pengadilan Ad Hoc dalam pilkada. Pertama, Pengadilan ad hoc akan memberikan

jaminan kepastian hukum pemilu/pilkada. Dengan adanya pengawasan secara ad hoc,

maka semua persoalan hukum yang terjadi dalam pemilu/pilkada bisa tertangani atau

ditangani secara lebih baik dan adil. Kedua, kualitas proses-proses pengadilan dalam

kasus-kasus pemilu/pilkada akan lebih baik dan terjamin karena akan ditangani oleh

orang-orang yang jauh lebih kompeten. Dengan demikian hasil pengadilan pemilu

akan lebih baik dan berkualitas dibanding jika ditangani oleh Peratun, sebab hakim-

hakim yang bertugas bisa dipastikan memahami persoalan yang akan diadili. Ketiga,

Pengadilan ad hoc juga akan membuat waktu tahapan pemilu takan akan terganggu,

sebab proses pengadilannya bisa dibuat lebih cepat dari proses pengadilan di

Peratun.

Menurut Jerry Sumampow, dengan banyaknya pemilu yang berlangsung di

setiap level pemerintahan, maka Pengadilan ad hoc pemilu/pilkada menjadi penting

175Sebagaimana wawancara tertulis dengan Jerry Sumampow pada tanggal 5 Juli 2013

Page 191: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

191

untuk dihadirkan. Bahkan dalam pandangan Jerry Sumampow, kehadiran Pengadilan

ad hoc tidak harus menunggu adanya kebijakan pemilu dan pilkada dilaksanakan

secara serentak. Pengadilan ad hoc tersebut hanya bekerja dan menangani sengketa

apabila dalam pemilu atau pilkada di suatu daerah terdapat sengketa yang harus

diputus. Selama tidak ada sengketa, maka hakim yang bersidang di pengadilan ad hoc

pemilu/pilkada dapat kembali bekerja dengan tugasnya masing-masing.

Namun pendapat berbeda dikemukakan oleh Koordinator Nasional Jaringan

Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), M. Afifuddin176 bahwa kehadiran

Pengadilan ad hoc khusus Pemilu/Pilkada belum diperlukan kehadirannya saat ini.

Menurutnya untuk mengefektifkan dan mengefisienkan proses penyelesaian sengketa

pemilu dan pilkada cukup dengan memberdayakan atau melatih secara khusus hakim-

hakim yang ada di Pengadilan Negeri (PN) atau Peratun. Sebagai perbandingan

dalam konteks sengketa informasi publik, maka Komite Informasi Publik (KIP)

bekerjasama dengan Mahkamah Agung melakukan berbagai training dan pelatihan

bagi hakim untuk mengantisipasi adanya sengketa informasi, baik di PN maupun di

Peratun.

Menurut penulis Pengadilan ad hoc pemilu/pilkada saat ini cukup penting

mendesak mengingat adanya potensi hak asasi pemilih yang hilang akibat sengketa

pemilu dan pilkada yang tidak diselesaikan secara baik dan mendapat kepastian

hukum. Keberadaan Pengadilan ad hoc pemilu/pilkada memiliki formulasi yang sama

dengan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), baik dari segi filosofis, sosiologi

dan teknis pelaksanaannya. Pengadilan ad hoc Tipikor hadir karena korupsi sudah

176Wawancara tertulis Penulis dengan Afif Afifuddin pada tanggal 8 Juli 2013

Page 192: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

192

menjadi Kejahatan Luar Biasa (Extradionary Crime) yang penyelesaian hukumnya

harus secara spesifik, tegas dan cepat. Secara tekhnis keberadaan Pengadilan ad hoc

khusus pemilu/pilkada sama dengan Pengadilan khusus Tipikor yakni ditempatkan di

setiap ibukota provinsi. Kewenangan Pengadilan ad hoc khusus pemilu/pilkada adalah

memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara sengketa pemilu/pilkada baik

perkara administrasi maupun perkara pidana.

3. Pelaksanaan Asas Peradilan yang Cepat, Sederhana Dan Biaya Ringan

Peradilan Tata Usaha Negara sebagai salah satu pelaksana unsur kekuasaan

kehakiman memiliki kewajiban dalam melaksanakan asas-asas penyelenggaraan

kekuasaan kehakiman. Dalam Undang-Undang Nomor 49 tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman khususnya pada Bab II tentang asas Penyelenggaraan

Kekuasaan Kehakiman Pasal 2 ayat 4 yang bunyi:

(4) Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan.

dan pasal 4 ayat 2 mengatur:

(2) Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segalahambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana,cepat, dan biaya ringan.

Penjelasan dari Pasal 2 ayat 4 tersebut yang dimaksud dengan “sederhana”

adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efesien dan

efektif. Yang dimaksud dengan “biaya ringan” adalah biaya perkara yang dapat

dijangkau oleh masyarakat. Namun demikian, asas sederhana, cepat, dan biaya

ringan dalam pemeriksaan dan penyelesaian perkara di pengadilan tidak

Page 193: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

193

mengesampingkan ketelitian dan kecermatan dalam mencari kebenaran dan

keadilan177

Dalam perkembangan kehidupan demokrasi seperti saat ini, tuntutan adanya

pelayanan publik yang prima dan cepat termasuk halnya pelayanan dunia peradilan

adalah menjadi sebuah keniscayaan. Pelayanan Publik yang cepat dan tidak bertele-

tele menjadi salah satu indikator pelaksanaan pemerintahan yang baik. Dalam dunia

peradilan, maka pemeriksaan dan penyelesaian perkara sudah saatnya juga

berorientasi pada penyelesaian yang cepat, sederhana dan berbiaya ringan.

Namun pada kenyataannya, pelaksanaan asas cepat dan sederhana serta

biaya ringan belum dapat dijalankan secara maksimal dalam pengujian sengketa

penetapan pasangan calon dalam pemilukada. Sengketa penetapan pasangan calon

dalam pemilukada masih bagian dari proses pelaksanaan pemilukada sehingga

proses penyelesaian sengketa di Peratun semestinya berjalan cepat dan sederhana.

Namun selama ini pengujian sengketa penetapan pasangan calon pemilukada di

Peratun termasuk lambat, tidak efisien sehingga terkadang putusan Peratun tentang

sengketa tersebut baru muncul ketika telah terdapat keadaan hukum baru. Seperti

halnya putusan Peratun tentang penetapan pasangan calon baru berkekuatan hukum

tetap setelah calon bupati/gubernur sudah terpilih secara definitif.

Asas peradilan yang cepat dan sederhana dalam penyelesaian sengketa

penetapan pasangan calon menjadi penting untuk diimplementasikan agar proses

hukum terhadap sengketa tersebut memiliki kekuatan hukum dalam waktu relative

177Penjelasan Pasal 2 ayat 4 Undang-Undang Nomor 49 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Page 194: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

194

cepat. Tanpa adanya kepastian hukum terhadap sengketa yang sedang berlangsung

memiliki implikasi pada proses atau tahapan pemilukada yang sedang berlangsung.

Dalam penelitian ini, semua responden memiliki pandangan dan pokok pikiran

yang sama terhadap solusi utama penyelesaian sengketa, yakni proses penyelesaian

sengketa penetapan pasangan calon pemilukada harus berjalan secara cepat

sehingga penyelesaian sengketa tersebut memiliki kepastian waktu dalam waktu yang

tidak lama. Kecepatan penyelesaian sengketa yang cepat untuk memenuhi

kepentingan masyarakat dalam proses pemilukada yang telah memiliki jadwal dan

tahapan tertentu. Desain efesiensi waktu dalam konteks penempatan Bawaslu sebagai

banding administrasi berbeda dengan model efesiensi waktu dengan menggunakan

kerangka yang lama, yakni penyelesaian sengketa tanpa Bawaslu.

Dalam kerangka efesiensi penyelesaian waktu sengketa dengan skema posisi

Bawaslu sebagai Banding Administrasi, maka pengaturan waktu tersebut dapat

dicantumkan dalam Undang-Undang yang mengatur secara khusus ketentuan

Pemilukada. Sementara efesiensi pengaturan waktu di luar desain Bawaslu sebagai

Banding Administrasi sebagaimana dibahas pada bagian di atas dapat diatur langsung

dalam Undang-Undang yang mengatur hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara,

yakni revisi Pasal 55 UU. No. 5 Tahun 1986. Namun esensi atau substansi revisi

pengaturan tersebut memiliki kesamaan, yakni mempercepat waktu penyelesaian

sengketa pemilukada dengan menerapkan asas peradilan yang cepat, sederhana dan

biaya ringan;

Bawaslu sebagai banding administrasi dapat mendorong percepatan

penyelesaian sengketa dengan ketentuan bahwa Bawaslu harus memberikan

Page 195: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

195

keputusan terhadap penyelesaian sengketa penetapan pasangan yang dilaporkan

oleh Terlapor (Pasangan Calon) selama 7 hari kerja. Setelah Bawaslu mengeluarkan

keputusan, maka para pihak diberi waktu 3 hari untuk mengajukan gugatan banding ke

PT TUN apabila tidak menerima hasil pemeriksaan Bawaslu. Sementara PT TUN

dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan gugatan penetapan pasangan calon

dalam pilkada dalan jangka 14 hari kerja harus mengeluarkan putusannya. Apabila

sengketa tersebut muncul dalam ranah pemilukada Bupati/Walikota, maka putusan

tersebut bersifat Final dan mengikat. Apabila sengketa tersebut dalam ranah

pemilukada Provinsi, maka pihak yang tidak menerima atas putusa PT TUN maka

dapat mengajukan upaya hukum Kasasi ke Mahkamah Agung dan Mahkamah Agung

dalam jangka 21 hari kerja harus memutus dan memberi kepastian hukum atas

sengketa tersebut.

Dengan ketentuan waktu tersebut, maka apabila terjadi sengketa penetapan

pasangan calon pemilukada Gubenur, maka waktu penyelesaian yang diperlukan

maksimal 42 hari kerja atau Pemilukada Bupati/Walikota selama 21 hari kerja. Jumlah

hari tersebut merupakan perubahan yang siginifikan atau efesiensi dari jangka waktu

penyelesaian pemilukada yang selama ini masih memberlakukan praktek hukum acara

Peradilan Tata Usaha Negara khususnya dalam Pasal 55 UU. 5 tahun 1986 dan proses

penyelesaiannya dalam waktu yang cukup lama karena tenggang waktunya selama 90

hari.

Dalam konteks pelaksanaan hukum saat ini dimana belum terdapat revisi

perubahan undang-undang, maka upaya yang dapat dilakukan oleh Hakim Peratun

untuk menerapkan asas peradilan yang cepat dan sederhana adalah dengan

Page 196: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

196

menerapakn sistem kelender peradilan (Court Calender) pada persidangan yang terkait

dengan penetapan pasangan calon dalam pemilukada. Menurut Erick Sihombing, salah

seorang Hakim PTUN Jayapura menyebutkan bahwa Court Calender adalah salah satu

solusi untuk mempercepat persidangan sengketa penetapan pasangan calon. Adanya

Court Calender yang ditetapkan sejak persidangan hari pertama dapat mengikat semua

pihak yang berperkara agar konsisten dan wajib menghadiri setiap sidang yang telah

diagendakan sehingga dapat terhindari dari waktu yang terbuang akibat salah satu

pihak yang tidak datang pada setiap sidang.

Adanya Court Calender menjadi pilihan alternatif yang dapat digunakan saat ini

untuk melaksanakan asas peradilan yang cepat dan sederhana dalam pengujian

sengketa penetapan pasangan calon mengingat ketentuan hukum acara Peratun

maupun Ketetuan hukum pemilukada tidak menunjuk secara khusus bahwa sengketa

penetapan pasangan calon di Peratun harus dilaksanakan dengan pemeriksaan acara

cepat, namun tetap menggunakan mekanisme pemeriksaan acara biasa. Menurut

Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 06 tahun 1992 bahwa pemeriksaan acara

biasa di pengadilan tingkat pertama harus selesai paling lambat 6 (enam) bulan

terhitung sejak diterimanya perkara. SEMA nomor 6 tahun 1996 tersebut antara lain

mengaturi:

“Pada dasarnya jumlah Hakim baik di Pengadilan Negeri maupun diPengadilan Tinggi sudah mencukupi kebutuhan untuk penyelesaian perkara-perkara yang diterima di Pengadilan yang bersangkutan, sehingga karenanyaperkara-perkara di Pengadilan Negeri ataupun di Pengadilan Tinggi sudahdapat diselesaikan dalam waktu 6 (enam) bulan”

Rentang waktu penyelesaian perkara di Pengadilan Negeri tersebut kemudian

diadopsi selama ini dalam praktek beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara.

Page 197: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

197

Substansi waktu 6 (enam) bulan tersebut kemudian dipertegas oleh Surat Keputusan

Ketua Mahkmah Agung Nomor 026/KMA/SKII/ 2012 tentang Standar Pelayanan

Peradilan. Surat Keputusan ini diterbitkan Mahkmah Agung untuk merespon

disahkannya Undang-Undang Nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Dalam

point II huruf A angka 5 diatur bahwa :

“Pengadilan wajib memutus dan termasuk melakukan pemberkasan(minutasi) perkara pada Pengadilan Tingkat Pertama dalam jangka waktumaksimal 6 (enam) bulan terhitung sejak perkara didaftarkan.”

Dalam SEMA Nomor 7 tahun 2010 tentang Pemilukada juga tidak ditemukan

petunjuk bahwa pemeriksaan atas sengketa pemilukada dilaksanakan dengan acara

cepat. Namun substansi dari SEMA nomro 7 tahun 2010 adalah pemeriksaan atas

sengketa pemilukada dilakukan dengan pemeriksaan acara biasa namun dipercepat.

Bunyi SEMA nomor 7 tahun 2010 antara lain:

“Pemeriksaan terhadap sengketanya oleh Pengadilan Tata UsahaNegaraagar dilakukan secara prioritas dengan mempercepat prosespenyelesaian sengketanya.”

Artinya Mahkamah Agung tidak menghendaki adanya persidangan yang molor

dan banyaknya waktu terbuang. Oleh karena itu pada prakteknya untuk mempercepat

proses persidangan pada prakteknya beberapa pihak tidak menggunakan haknya

untuk menyampaikan Replik atau Duplik di Persidangan mengingat adanya Replik

tidak menjadi kewajiban bagi Penggugat sebagaimana Duplik juga tidak menjadi

kewajiban bagi Tergugat.

Kecepatan waktu penyelesaian sengketa penetapan pasangan calaon dalam

pemilukada harus dipandang sebagai bagian upaya mewujudkan asas efesiensi,

Page 198: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

198

efektifitas dan kepastian hukum. Selain itu sengketa pemilukada yang cepat selesai

dapat membantu atau menghindari terjadinya potensi konflik yang berkepanjangan.

Sebagaimana dikutip Titi Anggraini dkk178 yang menyebut bahwa Internationa IDEA

dalam memastikan terjaminnya prinisip-prinsip penegakan hukum Internasioanal

mengajukan empat daftar periksa terhadap materi kerangka hukum yang akan

mengatur penyelenggaraan pemilu berupa. (1) Apakah peraturan perundang-

undangan pemilu mengatur mekanisme dan penyelesaian hukum yang efektif untuk

keperluan penegakan hukum pemilu? (2) Apakah peraturan perundang-undangan

secara jelas menyatakan siapa yang dapat mengajukan pengaduan pelanggaran atas

peratauran perundang-undangan pemilu? (3) apakah juga dijelaskan proses untuk

pengajuan pengaduan tersebut?apakah peraturan perundang-undangan Pemilu

mengatur hak pengajuan banding atas keputusan lembaga penyelenggara pemilu ke

pengadilan yang berwenang?(4) Apakah peraturan perundang-undangan Pemilu

mengatur batas waktu pengajuan, pemeriksaan, dan penentuan penyelesaian hukum

atas pengaduan.

Dengan demikian adanya ketentuan pembatasan waktu penyelesaian sengketa

pemilukada merupakan bagian dari pelaksanaan asas peradilan yang cepat,

sederhana dan biaya ringan. Implementasi asas peradilan cepat dan sederhana dalam

penyelesaian sengketa pemilukada menjadi salah satu indikator indikator penegakan

hukum administrasi dalam penetapan calon kepala daerah dalam pemilukada.

178Titi Anggraini dkk. Ibid.

Page 199: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

199

B. Efektifitas Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negaradalam Sengketa Penetapan Pasangan calon dalam Pemilihan Kepala

Daerah

Pelaksanaan putusan sebuah perkara yang telah diputus inkracht oleh

Pengadilan adalah akhir dalam proses penyelesaian sengketa di Pengadilan.

Begitupun halnya dengan penyeleseian sengketa administrasi melalui Pengadilan Tata

Usaha Negara. Pelaksanaan putusan oleh Pejabat Tata Usaha Negara adalah sebuah

bukti hukum bahwa putusan Peratun telah dilaksanakan oleh Tergugat dalam hal ini

pejabat Tata Usaha Negara.

Berbeda dengan pelaksanaan putusan dalam perkara pidana dan perdata yang

eksekusi atau pelaksanaan putusannya berbentuk fisik yang nyata seperti

pembongkaran, penyitaan, penjara dll. Namun eksekusi putusan dalam perkara

administrasi adalah pelaksanaan sebuah kebijakan baru atau adanya perubahan

kebijakan yang dilakukan oleh Pejabat Tata Usaha Negara akibat perintah Majelis

Hakim di Peratun melalui putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, final dan

mengikat. Wujud dari perubahan kebijakan itu adalah dengan terbitnya sebuah

Keputusan baru dari Pejabat Tata Usaha Negara tersebut untuk melaksanakan

putusan akhir dari Peratun.

Namun pada prakteknya, eksekusi atau pelaksanaan putusan PERATUN

selama ini belum berjalan secara efektif atau setidaknya-tidaknya sering diabaikan

oleh Pejabat Tata Usaha Negara selaku eksekutor. Dalam praktik putusan PERATUN

baru dipatuhi setelah ada paksaan-paksaaan secara tidak langsung melalui

Page 200: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

200

pemberitaan-pemberitaan di media massa (pers)179. Selama ini normatifitas

pelaksanaan putusan sesungguhnya telah diatur secara tegas dan sistematis dalam

Undang-undang nomor 5 tahun 1986 khususnya Pasal 116 yang pelaksanaannya

dilakukan secara berjenjang. Namun eksekusi yang lebih menyadarkan kepada

Pejabat Tata Usaha Negara atau dengan peneguran secara berjenjang secara hirarki

(floating norm) sebagaimana diatur dalam pasal 116 UU. Nomo r tahun 1986 ternyata

tidak cukup efektif dapat memaksa pejabat TUN untuk melaksanakan putusan Hakim

Peratun 180

Salah satu ciri khas Peratun dibanding dengan Pengadilan Perdata di Peradilan

Umum adalah dalam hal eksekusi putusan. Eksekusi putusan di Peratun tidak dikenal

dengan model eksekusi putusan secara riil, namun eksekusi putusan dilaksanakan

secara administratif, dalam hal ini sebagai Tergugat sekaligus Pejabat Tata Usaha

Negara dibebani kewajiban untuk melaksanakan putusan yang sudah berkekuatan

hukum tetap (inkracht van gewijsde).

Dalam konteks kajian penegakan hukum administrasi dalam sengketa

penetapan pasangan calon dalam Pemilukada, salah aspek yang memiliki pengaruh

dalam penyelesaian sengketa tersebut adalah dalam hal pelaksanaan putusan

Peratun yang mengadili sengketa tersebut. Banyak putusan Peratun, baik yang

bersifat Penetapan dalam hal penundaan maupun Putusan akhir yang sudah Inkracht

tidak dilaksanakan oleh KPUD selaku Tergugat. Fatmawati Rachim, anggota KPUD

179Liontong Siahaan, Prospek PTUN sebagai Pranata Penyelesaian Sengketa Administrasi di Indonesia; Studi

tentang keberadaan PTUN selama Satau Dasawarsa 1991-2001 Disertasi, Universitas Indonesia Fakultas Hukum

Pascasarjana, Jakarta, 2004. Hlm.291

180 H. Supandi, Hukum Peradilan Tata Usaha Negara (Kepatuhan Hukum Pejabat dalam Mentaati Putusan

Pengadilan Tata Usaha Negara). Pustaka Bangsa Press. Meda. Cetakan Pertama, 2011 hal. 3

Page 201: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

201

Kabupaten Gowa menyatakan bahwa Peratun harus diposisikan sebagai subsistem

dalam hal pelaksanaan pemilukada karena bertugas menyelesaikan sengketa

administrasi. Namun pada prakteknya keberadaan Peratun dalam pemilukada masih

kurang diperhitungkan hal ini terlihat dari beberapa putusan Peratun yang diabaikan

oleh KPUD.

Pada kasus perkara No. 51 tahun 2010 di Pengadilan Tata Usaha Negara

Makassar yang menempatkan KPUD Toraja Utara sebagai Tergugat, PTUN Makassar

mengeluarkan Penetapan tentang Penundaan tahapan Pemilukada untuk menghindari

kerugian Penggugat dan tahapan tidak terlanjur berjalan. Namun pada saat itu pihak

KPUD Toraja Utara bergeming dan tidak melaksanakan Penetapan tersebut. Menurut

Aloysius, salah anggota KPUD Toraja Utara, sikap menolak pelaksanakan Penetapan

tersebut diambil dalam Pleno Ketua dan Anggota KPUD Toraja Utara dengan alasan

KPUD sudah benar dalam mengeluarkan keputusan Penetapan Pasangan Calon

Toraja Utara yang tidak mengakomodir Penggugat.

Alasan yang hampir sama dikemukakan oleh Agus, Ketua KPUD Lombok

Tengah. Menurut Agus, pihak KPUD Lombok Tengah tidak melaksanakan putusan

PTUN Mataram Nomor: 31/G/2010/PTUN.Mtr yang sudah inkracht di tingkat kasasi

karena memang secara hukum menurut KPUD Lombok Tengah Penggugat tidak bisa

diakomodir karena Partai Politik (PKPB) sejak awal sudah mengalihkan dukungan ke

pasangan lain. Selain itu menurut Agus, putusan Inkracht dari Mahkamah Agung baru

diputus jauh hari setelah pilkada, yakni 2 tahun setelah terpilihnya pasangan

pemenang. Jadi menurut Agus, pihak KPUD tidak bisa mengeksekusi putusan

tersebut karena berimplikasi pada pelaksanaan pemilukada ulang.

Page 202: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

202

Namun dalam perkara lainnya yang diputus oleh PTUN Mataram yakni nomor

14/G/2010 PTUN.Mtrm akibat adanya SK yang diterbitkan oleh KPUD Lombok Tengah

tentang penetapan pasangan calon dalam pemilukada 2010. Keputusan KPUD

tersebut meloloskan pasangan .Moh. Suhaili, FT – Drs.H.L. Normal Suzana yang

diduga melanggar syarat administrasi pencalonan. Pasangan tersebut memenangkan

pemilukada 2010 dan terpilih sebagai Bupati dan wakil Bupati Lombok Tengah, namun

pasangan lainnya menggugat pencalonannya ke PTUN Mataram. Pada

perkembangannya PTUN Mataram memutus bahwa mengabulkan gugatan Penggugat

untuk mendiskualifikasi pasangan H.Moh. Suhaili, FT – Drs.H.L. Normal Suzana

sebagai calon pasangan resmi.

Pada tahun 2012 akhirnya KPUD Lombok melaksanakan putusan PTUN

Mataram tersebut dengan menerbitkan SK baru yang intinya mendiskulifikasi

pasangan H.Moh. Suhaili, FT – Drs.H.L. Normal Suzana. Menurut Agus, pihak KPUD

Lombok Tengah sudah melaksanakan putusan PTUN Mataram, namun permasalahan

konkretisasi akibat munculnya SK KPUD yang baru merupakan bukan kewenangan

KPUD Lombok Tengah, melainkan pihak kementerian dalam negeri. Konkretisasi SK

KPUD Lombok tengah yang baru tersebut adalah pemilukada ulang, tidak sekedar

pencoblosan ulang.

Beberapa contoh kasus di atas menunjukkan bahwa salah satu faktor bagi

KPUD sebagai Tergugat dalam melaksanakan putusan Peratun pada kasus sengketa

Penetapan pasangan calon adalah akibat lamanya proses penyeleseian sengketa di

Peratun. Agus menyatakan bahwa salah satu alasan KPUD Lombok Tengah tidak

melaksanakan putusan PTUN Mataram adalah karena putusan tersebut berkekuatan

Page 203: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

203

hukum tetap ketika tahapan pemilukada sudah selesai, sehingga mustahil untuk

dilaksanakan. Dalam mengeksekusi putusan PTUN Mataram Nomor:

31/G/2010/PTUN.Mtr, secara prinsip KPUD Lombok Tengah menolak melaksanakan

putusan setelah mendapatkan arahan dan petunjuk dari KPU Pusat. Petunjuk KPU

Pusat tersebut antara lain; Pertama, Hukum atau putusan harus memiliki nilai

kemanfaatan, Kedua, Pemilukada tidak mungkin diulang, Ketiga bahwa tidak ada

dalam ketentuan UU. 32 tahun 2004 yang memberikan celah yuridis bahwa pilkada

ulang dapat dilakukan setelah pemilu selesai.

Petunjuk atau arahan KPU Pusat untuk KPUD Lombok Tengah dalam

menyikapi putusan PTUN Mataram tersebut merepresentasikan sikap KPUD yang

selama ini menolak melaksanakan putusan Peratun dalam penetapan pasangan

calon pemilukada. Penelitian ini kemudian menunjukkan bahwa putusan Peratun

tentang Sengketa Penetapan Pasangan Calon dalam Pemilukada baik yang inkracht

di tingkat Pertama, maupun di tingkat banding atau kasasi tidak efektif dalam

menyelesaikan sengketa tersebut. Definisi penyelesaian sengketa dalam hal ini ketika

putusan Peratun yang telah inkracht tersebut dapat dilaksanakan oleh KPUD sebagai

Tergugat dan sekaligus eksekutor. Pelaksanaan putusan Peratun adalah dalam

bentuk menerbitkan kembali SK KPUD yang baru yang mengakomodir Penggugat

sebagai pasangan resmi. KPUD selalu berdalil bahwa putusan Peratun tersebut tidak

dapat dilaksanakan dengan berbagai alasan seperti persoalan waktu pelaksanaan

pemilukada yang sudah lewat dan tidak adanya ketentuan yang mengatur pemilukada

ulang.

Page 204: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

204

Sikap KPUD yang tidak melaksanakan atau menolak mengeksekusi putusan

Peratun tersebut yang kemudian memposisikan putusan Peratun dalam sengketa

Pemilukada menjadi tidak efektif. Erick Sihombing, Hakim PTUN Jayapura

menuturkan bahwa dari 20 perkara pemilukada sepanjang tahun 2010 sampai dengan

2013 yang ditanganinya, hanya sekitar 5 perkara yang dilaksanakan oleh KPUD

selaku Tergugat181. Hal ini menurut Erick Sihombing menunjukkan bahwa Putusan

Peratun dalam sengketa Pemilukada tidak efektif dalam menyelesaikan sengketa

administrasi dalam rangka melindungi kepentingan Penggugat.

Secara umum, pelaksanaan putusan Peratun yang telah berkekuatan hukum

tetap masih sering diabaikan oleh Tergugat. Dalam laporan tahun Mahkamah Agung

tahun 2012 disebutkan bahwa sekitar 80%182 putusan peratun yang telah Inkracht

tidak dilaksanakan oleh Pejabat Tata Usaha Negara selaku Tergugat. Secara khusus

data perkara di PTUN Makassar periode 2009 hingga 2012, sebagaimana yang

ditunjukkan dalam tabel 3 di atas bahwa sebanyak 18 Perkara yang terkait dengan

Pemilu dan politik dan 4 di antaranya adalah perkara yang terkait dengan sengketa

penetapan pasangan calon. Amar putusan hakim terhadap seluruh perkara sengketa

penetapan pasangan calon tersebut adalah mengabulkan gugatan penggugat, artinya

memerintahkan KPUD menerbitkan SK penatapan baru

Namun pada kenyataannya seluruh perkara (empat perkara) yang terkait

dengan sengketa penetapan pasangan tersebut tidak ada yang dipatuhi oleh KPUD.

181Wawancara dengan Erick Sihombing pada tanggal 12 April 2013

182 Laporan Tahunan Mahkamah Agung 2012 sebagaimana disampaikan Disiplin Manao (Hakim Tinggi PTUN

Medan) sebagai Narasumber dalam Pelatihan Hakim Berkelanjutan , Bogor 8-14 April 2013 di Megamendung

Page 205: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

205

Data ketidakpatuhan KPU terhadap putusan Peratun yang terkait dengan sengketa

penetapan pasangan juga penulis dapat pada pada perkara lain di PTUN Mataram,

yakni perkara dengan nomor putusan PTUN Mataram Nomor 31/G/2010/PTUN.MTR

jo putusan PTTUN Surabaya Nomor 180/B/2010/PT.TUN.SBY tergugat dalam hal ini

KPUD Lombok Tengah tidak melaksanakan putusan PTUN Mataram yakni

menerbitkan SK Penetapan Pasangan yang baru yang mengikutsertakan nama

penggugat sebagai calon bupati Lombok Tengah. Pada perkara lain di PTUN Kupang,

dengan nomor perkara 14/g/2010/ptun-kpg, KPUD Kabupaten Timur Tengah Utara

juga tidak melaksanakan putusan PTUN Kupang yang memerintahkan untuk

menerbitkan SK Penetapan untuk mengganti SK Penetapan yang sudah dibatalkan

oleh PTUN Kupang serta Putusan PTUN Jayapura Nomor perkara

16/G.TUN/2012/PTUN.JPR.

Meskipun secara nasional Penulis belum meneliti data secara keseluruhan atas

seluruh perkara sengketa penetapan pasangan calon yang tidak dipatuhi oleh KPUD,

namun menurut penulis fakta yang terjadi pada beberapa perkara di PTUN Makassar,

PTUN Mataram, PTUN Kupang dan PTUN Jayapura sebagaimana disebut di atas

menunjukkan bahwa putusan Peratun dalam sengketa penetapan pasangan calon

pemilukada tidak efektif karena putusan tersebut tidak dipatuhi oleh KPUD.

Sebagai bagian dari produk hukum publik, maka pelaksanaan putusan

pengadilan tata Usaha Negara juga mengikat pada publik, tidak hanya dengan para

pihak yang bersengketa. Daya ikat putusan tersebut akan efektif berlaku apabila

putusan Peratun dilaksanakan atau dieksekusi. Artinya selama putusan Peratun tidak

Page 206: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

206

dilaksanakan atau tidak dieksekusi oleh Tergugat, maka selama itu pula putusan

Peratun tidak efektif. Oleh karena itu diperlukan upaya-upaya untuk mendorong agar

Tergugat atau KPUD segera dan mau melaksanakan putusan Peratun terhadap

sengketa penetapan pasangan calon dalam pemilukada. Menurut penulis, ada

beberapa indikator yang dapat mendorong efektivitas pelaksanaan putusan Peratun

yang telah berkekuatan hukum tetap dalam konteks sengketa penetapan pasangan

calon.

1. Kewenangan eksekutorial Peratun

Salah satu faktor yang menyebabkan ketidakefektifan putusan Peratun dalam

sengketa penetapan pasangan calon pada Pemilukada adalah karena lembatnya

eksekusi putusan Peratun, baik yang bersifat Penetapan Penundaan maupun putusan

akhir yang telah inkracht. Sebagian besar responden dari kalangan KPUD dan

kandidat (Penggugat) dalam penelitian ini menyampaikan bahwa faktor lambatnya

putusan Peratun memiliki kekuatan hukum tetap dan mengikat yang menjadikan

KPUD tidak bisa melaksanakan putusan Peratun. Artinya efektifitas terhadap

pelaksanaan putusan Peratun terkait dengan jangka waktu penyelesaian sengketa

hukum yang berkekuatan hukum tetap. Semakin cepat putusan Peratun memiliki

kekuatan hukum tetap, maka semakin mempermudah KPUD dalam melaksanakan

putusan Peratun. Indikator penyelesaian sengketa yang cepat dalam konteks ini

adalah bahwa keseluruhan tahapan penyelesaian sengketa penetapan pasangan

pemilukada sudah selesai dan telah berkekuatan hukum tetap selama tahapan

Pemilukada belum selesai.

Page 207: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

207

Menurut Penulis, kecepatan eksekusi putusan Peratun dalam perkara

pemilukada sangat bergantung pada keinginan dan sikap kepatuhan KPUD dalam

melaksanakan putusan Peratun. Ketergantungan terhadap sikap KPUD dalam

mengeksekusi putusan Peratun yang menyebabkan pelaksanaan putusan Peratun

menjadi tidak efektif. Pada umumnya KPUD yang memiliki kewenangan

melaksanakan/mengeksekusi putusan Peratun tidak patuh dan tidak mau

melaksanakan putusan tersebut sampai akhirnya pelaksanaan Pemilukada sudah

berakhir. Untuk mengakhiri pola ketergantungan terhadap kemauan atau kehendak

Tergugat tersebut, maka sudah saatnya Peratun diberikan kewenangan sendiri untuk

mengeksekusi putusannya sendiri.

Salah satu yang menyebabkan lemahnya pelaksanaan putusan Peratun adalah

karena tidak terdapatnya lembaga eksekutorial dan kekuatan memaksa dalam

pelaksanaan putusan Peratun sehingga pelaksanaan putusan Peratun tergantung dari

kesadaran dan inisiatif dari pejabat TUN. Dengan peneguran dan pengawasan sistem

hirarki seperti diatur dalam UU No. 5 tahun 1986 terbukti tidak efektif dalam pelaksaan

putusan Peratun

Menurut Paulus.E.Lotulung, hambatan pelaksanaan putusan Peratun juga

disebabkan oleh beberapa faktor, Pertama terkait dengan asas-asas hukum. Kesulitan

eksekusi juga tidak terlepas dari pengarus prinsip pelaksanaan eksekusi yang dianut

secara universal oleh berbagai negara, di mana pencabutan atau perubahan suatu

keputusan hanya dapat dilakukan oleh pejabat itu sendiri (asas contrarius actus).183

Berdasarkan asas ini tidak ada pihak lain atu pejabat lain yang berwenang melakukan

183 Paulus Effendi Lotulung, Lintasan Sejarah dan Gerak Dinamika Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN).

Salemba Humanika. Jakarta .2013. hlm.78-79

Page 208: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

208

pencabutan kecuali pejabat itu sendiri. Faktor kedua, Paulus E.Lotulung mengutip

pendapat Yos Johan Utama, bahwa secara teoritis sistem eksekusi dengan cara

hierarki juga dihambat oleh berlakunya asas rech-matigheid van bestuur (RVB). Asas

ini menghendaki untuk tidak member kesempatan dan hak kepada atasan untuk

menerbitkan keputusan yang menjadi wewenang bawahannya.184

Kewenangan perintah eksekusi putusan Peratun oleh Peratun sendiri diberikan

apabila pada waktu tertentu setelah diperintahkan oleh Ketua PTUN, Tergugat dalam

hal ini KPUD tidak melaksanakan putusan tersebut. Berbeda dengan pola

pelaksanaan putusan di Pengadilan Umum (Negeri) yang memiliki Juru Sita sebagai

lembaga eksekutorial, pola pelaksanaan Putusan di Peratun tidak memiliki lembaga

yang memiliki kewenangan mengeksekusi putusan PERATUN yang telah inkracht.

Meskipun dalam Undang-Undang Nomor no 9 tahun 2004 tentang Perubahan

Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara diatur

juga adanya Juru Sita, dalam Undang-Undang tersebut tidak dijelaskan secara spesifik

tentang tugas dan kewenangan Juru Sita. Namun pada prakteknya, Juru Sita di

Peratun hanya melaksanakan tugas administrasi persuratan dan pengamanan sidang,

bukan dalam rangka mengeksekusi Putusan Peratun.

Menurut Penulis khusus dalam sengketa penetapan pasangan calon dalam

pemilukada, maka kewenangan eksekutorial Peratun menjadi urgen untuk

mempercepat penyelesaian sengketa pemilukada. Kewenangan eksekutorial yang

dimiliki Peratun dalam sengketa pemilukada disebabkan oleh 2 hal, Pertama, sengketa

pemilukada memerlukan waktu penyelesaian yang cepat dan singkat mengingat

184Paulus.E.Lotulung. Ibid

Page 209: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

209

pemilukada adalah peristiwa politik yang memerlukan kepastian hukum yang cepat.

Apabila KPUD/Tergugat menunda atau menolak mengeksekusi putusan Peratun,

maka hal tersebut memicu ketidakpastian hukum sengketa pilkada. Kedua, dalam

kondisi kesadaran dan ketaatan hukum pejabat tata usaha negara dalam hal ini KPUD

masih cukup rendah dalam mentaati putusan atau hukum, maka untuk

menyelematkan kewibawaan Peradilan, maka sudah selayaknya Peratun diberi

kewenangan eksekutorial terhadap putusan yang tidak dieksekusi oleh Pejabat TUN

yang berwenang. Adanya kewenangan eksekutorial yang dimiliki oleh Peratun dapat

mengefektifkan pelaksanaan putusan Peratun yang telah inkracht mengingat Peratun

dapat segera melakasanakan putusan tersebut sehingga dapat mempercepat adanya

kepastian hukum terhadap proses tahapan pelaksanaan pemilukada. Kewenangan

eksekutorial yang dimiliki Peratun bertujuan untuk meningkatkan penghargaan

pemerintah terhadap hukum. Selain itu putusan-putusan Peratun diharapkan lebih

berdaya guna, sehingga tidak ada alasan untuk menjalankan atau memaksa.

Secara tekhnis, kewenangan eksekutorial Peratun dalam sengketa penetapan

pasangan calon digunakan oleh Ketua PTUN apabila dalam jangka 7 hari setelah

putusan dinyatakan berkekuatan hukum namun KPUD tidak melaksanakan atau

mengeksekusi putusan Peratun tersebut. Kewenangan eksekusi oleh Ketua PTUN

berupa penerbitan Surat Keputusan tentang Penetapan Pasangan Baru atau

Pencoretan nama Pasangan tertentu sebagaimana dalam amar putusan yang telah

Inkracht.

2. Sistem Pengawasan dan Sanksi

Page 210: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

210

Secara normatif Pasal 116 Undang-Undang nomor 5 tahun 1986 Peradilan Tata

Usaha Negara dan perubahannya yakni Undang-Undang No 9 tahun 2004 dan

Undang-Undang No 51 tahun 2009 menekankan pada pola pengawasan pelaksanaan

eksekusi putusan Peratun secara hierarki. Yakni pengawasan yang dilakukan oleh

atasan pejabat yang berwenang sampai dengan atasan tertinggi eksekutif yakni

Presiden. Bahkan Pengawasan juga melibatkan pihak luar dalam hal media massa.

Namun pola pengawasan selama ini juga belum efektif untuk mendorong agar pejabat

tata usaha negara segera mengeksekusi putusan Peratun yang telah berkekuatan

hukum tetap. Oleh karena itu menurut Penulis, pengawasan hierarki yang selama ini

sudah diatur dalam Pasal 116 harus dilengkapi dengan sistem sanksi, baik sanksi

Administratif maupun sanksi Pidana.

a. Sanksi Administratif.

Proses sengketa penetapan pasangan calon dalam pemilukada merupakan

sengketa administrasi karena melibatkan KPUD selaku Pejabat Tata Usaha Negara

dan obyek yang menjadi sengketa adalah produk administratif KPUD berupa Surat

Keputusan KPUD tentang penetapan pasangan calon pemilukada. Tindakan KPUD

dalam menerbitkan SK penetapan pasangan calon pemilukada adalah tindakan

administratif. Lembaga peradilan yang memiliki wewenang mengadilinya adalah

Peradilan Administrasi.

Secara teoritis Peratun sebagai Peradilan Administrasi dalam memutus

sengketa administrasi memiliki beberapa ragam jenis putusan. Menurut sifatnya

putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dapat berupa putusan Deklaratoir, Konstitutif

Page 211: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

211

dan Comdenatoir185. Putusan yang bersifat deklaratoir yaitu yang bersifat

menerangkan saja. Putusan konstitutif yaitu yang bersifat meniadakan atau

menimbulkan keadaan hukum yang baru dan putusan condemnatoir yaitu bersifat

penghukuman atau berisi kewajiban untuk melakukan tindakan tertentu terhadap yang

kalah. Sedangkan menurut isi putusan berdasarkan ketentuan Pasal 97 ayat (7) UU

Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dapat berupa : Gugatan

ditolak, Gugatan dikabulkan, Gugatan tidak diterima dan Gugatan gugur.

Sifat Putusan Peratun dalam sengketa penetapan pasangan calon kepala

adalah putusan yang bersifat Condemnatoir. Putusan bersifat condemnatoir, yaitu

putusan yang sifatnya memberikan beban atau kewajiban untuk melakukan tindakan

tertentu kepada Badan/Pejabat Tata Usaha Negara seperti, Kewajiban mencabut

Keputusan Tata Usaha Negara yang dinyatakan batal/tidak sah, Kewajiban

menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara badan/pengganti, Kewajiban mencabut

dan menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara yang baru, Kewajiban membayar

ganti rugi, Kewajiban melaksanakan rehabilitasi dalam sengketa kepegawaian.

Dalam sengketa penetepan pasangan calon putusan Peratun adalah

memerintahkan KPU untuk mencabut SK Penetapan Pasangan Calon sekaligus

memerintahkan KPUD untuk menerbitkan SK Penetapan baru yang mengakomodir

Penggugat. Karena sifat putusannya Condemntoir yang mewajibkan untuk

melaksanakan isi putusan, maka tidak ada jalan lain bagi KPUD untuk tidak

melaksanakan kewajiban sebagaimana dalam amar putusan. Persoalan yang sering

muncul adalah sikap Tergugat dalam hal ini KPUD yang tidak mau melaksanakan

185Marbun SF, Peradilan Administrasi…Op.Cit.hlm. 354

Page 212: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

212

putusan Peratun yang telah memerintahkan KPU untuk melaksanakan tindakan

administratif berupa penerbitan SK baru yang secara substansi memerintahkan

mengakomodir kepentingan Penggugat.

Menurut Erick Sihombing (Hakim PTUN Jayapura), sikap Ketua dan anggota

KPU yang tidak bersedia melaksanakan putusan Peratun yang telah berkekuatan

hukum tetap, semestinya mendapat hukuman sanksi administratif, berupa pemecatan

dari jabatan mereka sebagai anggota KPUD. Pendapat yang sama disampaikan oleh

Andi Maddusila (Mantan Calon Bupati Gowa) yang menyampaikan bahwa KPUD

sangat rentan dengan intervensi kepentingan politik, sehingga sering tidak bertindak

independen termasuk ketika tidak bersedia mematuhi putusan Peratun. Dengan

tindakan KPUD tersebut, menurut Maddusila sebaiknya anggota mendapat sanksi

pemecatan dari jabatannya.

Dalam teori hukum administrasi sebagaimana dibahas pada Bab Tinjauan

Pustaka di atas, penolakan KPUD dalam melaksanakan putusan Peratun adalah

bentuk tindakan ketidakpatuhan hukum administrasi. Sanksi Administratif menjadi

salah satu bentuk pertanggungjawaban bagi KPUD yang tidak mematuhi putusan

Pengadilan. Sanksi administrasi adalah sanksi yang muncul dari hubungan atara

pemerintah dan warga negara dan yang dilaksanakan tanpa perantaram pihak ketiga,

yaitu tanpa perantara kekuasaan peradilan, tetapi dapat secara langsung dilaksanakan

oleh sendiri. Ketidakpatuhan Pejabat Tata Usaha Negara terhadap putusan

Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap juga dapat dibebankan sanksi

administratif. Salah satu jenis sanksi administratif yang tepat bagi pejabat tata usaha

negara yang menolak melaksanakan putusan Pengadilan adalah Sanksi Reparatoir.

Page 213: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

213

Sanksi Reparatoir diartikan sebagai reaksi atas pelanggaran norma, yang

ditujukan untuk mengembalikan pada kondisi semula atau menempatkan pada situasi

yang sesuai dengan hukum (legale situatie), dengan kata lain, mengembalikan pada

keadaan semula sebelum terjadinya pelanggaran. Contoh sanksi Reparatoir adalah

paksaan pemerintahan (bestuursdwang) dan pengenaan uang paksa (dwangsom).

Sanksi Reparatoir pada umumnya dikenakan pada pelanggaran norma hukum

administrasi negara secara umum. Sanksi Reparatoir ini yang sering membedakan

karakter sanksi hukum administrasi dengan sanksi pidana.

Dalam konteks pelaksanaan putusan Peratun oleh KPUD dalam sengketa

Pemilukada, maka model sanksi Reparatoir yang efektif adalah pemberhentian

anggota KPUD sebagai komisoner KPUD. Mekanisme sanksi administratif bagi

anggota KPUD yang melanggar aturan penyelenggara pemilu sebenarnya sudah

diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 2007 sebagaimana telah diubah

dengan UU. 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu. Dalam Pasal 27 ayat 1

Undang-Undang tersebut dijelaskan bahwa:

(1) Anggota KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota berhentiantarwaktu karena:a. meninggal dunia;b. mengundurkan diri; atauc. diberhentikan.(2) Diberhentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c apabila:a. tidak lagi memenuhi syarat sebagai anggota KPU, KPU Provinsi, danKPU Kabupaten/Kota;b. melanggar sumpah/janji jabatan dan/atau kode etik;c. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan secara berturut-turut selama 3 (tiga) bulan atau berhalangan tetap.d. dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telahmemperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yangdiancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;

Page 214: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

214

e. dijatuhi pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperolehkekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana Pemilu.f. tidak menghadiri rapat pleno yang menjadi tugas dan kewajibannyaselama 3 (tiga) kali berturut turut tanpa alasan yang jelas; ataug. melakukan perbuatan yang terbukti menghambat KPU, KPU Provinsi,dan KPU Kabupaten/Kota dalam mengambil keputusan dan penetapansebagaimana ketentuan peraturan perundangundangan186.

Menurut penulis, ketidakpatuhan KPUD dalam melaksanakan putusan

pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dapat dikategorikan sebagai

perbuatan atau tindakan yang melanggar sumpah/janji jabatan dan/atau kode etik. Hal

ini mengingat bahwa putusan Pengadilan adalah sebuah hukum dan salah satu

kewajiban dari anggota KPUD adalah taat dan patuh kepada ketentuan perundang-

undangan yang berlaku. Menurut UU No 22 tahun 2007 pemberhentian anggota

KPUD karena alasan melanggar sumpah/janji jabatan dan/atau kode etik dilakukan

setelah diperiksa oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu sebagaimana diatur

dalam Pasal 28 ayat 1, 2 dan 3

Pasal 28

(1) Pemberhentian anggota KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kotayang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, huruf f, dan/atau huruf g didahului denganverifikasi oleh DKPP atas:a. pengaduan secara tertulis dari Penyelenggara Pemilu, peserta Pemilu,tim kampanye, masyarakat, dan pemilih; dan/ataub. rekomendasi dari DPR.(2) Dalam proses pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1),anggota KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota harus diberikesempatan untuk membela diri di hadapan DKPP. (3) Dalam hal rapatpleno DKPP memutuskan pemberhentian anggota sebagaimana dimaksudpada ayat (1), anggota yang bersangkutan diberhentikan sementarasebagai anggota KPU, KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota sampaidengan diterbitkannya keputusan pemberhentian.

186Lihat UU. Nomor 22 tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu

Page 215: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

215

Secara substansi mekanisme pemberhentian yang dimaksud dalam Pasal 28

tersebut adalah karena adanya pelanggaran administratif dan pelanggaran kode etik.

Pada perkembangannya kondisi faktual sejak berdirinya DKPP, banyak anggota

KPUD diberhentikan oleh DKPP atas dugaan pelanggaran kode etik dalam

melaksanakan urusan-urusan administrasi pemilukada, termasuk dalam hal penerbitan

SK KPU dalam penetapan pasangan calon dalam pemilukada. Dalam kasus

Pemilukada Sulawesi Tenggara, seluruh komisioner KPUD Provinsi Sulawesi

Tenggara dipecat oleh DKPP karena dianggap melanggar kode etik dalam penerbitan

SK Penetapan pasangan calon Gubernur Sulawesi Tenggara periode 2012-2016.

Menurut penulis ketentuan UU. Nomor 15 tahun 2011 dapat dijadikan

instrument yang efektif untuk pelaksanaan sanksi reparatoir yakni berupa sanksi

pemberhentian kepada anggota KPUD yang tidak melaksanakan putusan pengadilan.

Sampai saat ini belum ditemukan data bahwa DKPP telah memberhentikan anggota

KPUD karena tidak melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum

tetap. Meskipun demikian, tetap terbuka kemungkinan anggota KPUD yang tidak

patuh terhadap putusan Pengadilan dapat dilaporkan kepada DKPP. Putusan DKPP

dapat mendorong efektifitas pelaksanaan putusan Peratun dalam sengketa

pemilukada dengan memberikan sanksi pemberhentian terhadap KPUD yang menolak

melaksanakan putusan Peratun.

Untuk mempermudah pelaksanaan UU. Nomor 15 tahun 2011 yang mengatur

soal proses pemberhentian anggota KPUD, maka prosedur pemberhentian oleh DKPP

harus diselaraskan dengan pelaksanaan Pasal 116 Undang-Undang nomor 51 tahun

2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang mengatur soal eksekusi putusan

Page 216: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

216

Peratun. Seperti yang penulis usulkan di atas, bahwa konsekuensi perubahan Pasal

116 ayat 3 tersebut adalah KPUD harus segera menerbitkan SK baru apabila putusan

Peratun telah berkekuatan hukum tetap tanpa menunggu 90 hari setelah terbitnya

putusan. Dikaitkan dengan kewenangan DKPP dalam melaksanakan sanksi reparatoir,

maka apabila KPUD tidak segera melaksanakan kewajibannya melaksanakan putusan

Peratun, maka Bawaslu atau Masyarakat yang dirugikan dapat melaporkan tindakan

KPUD tersebut ke DKPP untuk diberhentikan sebagai anggota KPUD.

Menurut penulis, apabila substansi laporan Bawaslu atau Masyarakat ke DKPP

terkait dengan ketidakpatuhan KPUD dalam melaksanakan putusan Pengadilan yang

tekah berkekuatan hukum tetap, maka posisi DKPP dalam mengambil Keputusan

Pemberhentian anggota KPU lebih bersifat hanya bersifat prosedur semata. DKPP

tidak dalam posisi menilai alasan-alasan tidak dilaksanakannya putusan Pengadilan

yang telah berkekuatan hukum tetap karena secara hukum perintah putusan

pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap wajib dilaksanakan.

Diharapakan dengan adanya institusi DKPP dalam penyelenggaraan pemilu,

mekanisme pelaksanaan sanksi reparatoir berupa pemberhentian KPUD dari

jabatannya sebagai komisioner lebih cepat dan efektif. Pemberian sanksi administratif

bagi anggota KPUD yang tidak melaksanakan putusan Peratun adalah salah satu cara

mendorong efektivitas pelaksanaan putusan PERATUN dalam sengketa pemilukada.

3. Budaya Hukum Pejabata Tata usaha Negara (KPU)

Menurut Lawrence Friedman, budaya hukum (legal culture) didefinisikan

sebagai sejumlah gagasan, nilai, harapan dan sikap terhadap hukum dan institusi

hukum yang sebagian bersifat publik atau beberapa bagian berada di wilayah publik.

Page 217: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

217

Sedangkan Satjpto Rahardjo memasukkan variabel unsur lingkungan yang meliputi

pribadi warga negara dan sosial dalam penegakan hukum. Menurut Penulis, selain

faktor substansi perundang-undangan yang belum maksimal dalam mengatur tentang

eksekusi putusan Peratun, maka faktor budaya hukum atau cara pandang masyarakat

termasuk pejabat tata usaha negara terhadap hukum cukup banyak mempengaruhi

rendahnya kepatuhan terhadap putusan Peratun. Budaya hukum dalam konteks ini

dapat juga dipahami sebagai sikap menghargai dan mematuhi hukum yang telah

diputus melalui Peradilan. Budaya hukum tidak saja melekat dan penting bagi

masyarakat, namun juga bagi penyelenggara pemilukada.

Faktor Budaya Hukum juga menentukan dalam pelaksanaan putusan Peratun.

Dari suatu penelitian yang pernah dilakukan Supandi pada tahun 2005 dengan sampel

PTUN Medan sebagai objek penelitiannya, bahwa putusan Peratun yang dilaksanakan

oleh Tergugat di wilayah hukum itu hanya sekitar 30%187. Menurutnya kualitas sadar

hukum aparatur negara masih rendah. Supandi mengusulkan agar pemerintah

langsung memecat pejabat yang tidak patuh hukum. Menurutnya pembiaran akan

memperburuk lembaga peradilan. Menurut Supandi yang salah bukan pengadilan dan

bukan undang-undangnya. Tapi yang salah adalah kualitas budaya hukum aparatur

negara kita yang sangat memprihatinkan. Oleh karena itu kedepan kita membutuhkan

hukum yang kita cita-citakan. Supaya dalam rancangan undang-undang administrasi

pemerintahan kita harus dicantumkan, pejabat yang tidak melaksanakan putusan

pengadilan dikualifisir melawan perintah jabatannya

187Supandi, Disertasi pada Program Pasca sarjana Universitas Sumutara Utara, 2005

Page 218: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

218

Faktor kurangnya budaya hukum merupakan fenomena yang muncul di

kalangan KPUD ketika tidak bersedia melaksanakan putusan Peratun yang terkait

dengan penetapan pasangan calon. Secara teoritis sikap KPU yang tidak mau

melaksanakan putusan Peratun dapat dijelaskan oleh teori Donald Black tentang

beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku hukum. Beberapa faktor yang

melatarbelakangi perilaku hukum seseorang atau kelompok adalah faktor stratifikasi

dan pengendalian sosial. Menurut Black, stratifikasi atau level atau derajat sosial

seseorang dapat mempengaruhi dorongan dalam berbuat hukum, termasuk dalam hal

menolak atau melaksanakan hukum. Faktor pengendalian sosial atau setting social

juga memiliki pengaruh terhadap tindakan hukum seseorang atau kelompok.

Dalam hal ini KPUD dalam menetapkan pasangan memiliki posisi atau derajat

KPUD yang secara normatif sejak awal tidak bisa diintervensi oleh pihak manapun,

termasuk KPU Pusat sebagai atasan. Menurut mantan Ketua KPUD Lombok Barat,

Tuan Guru Hasanain bahwa posisi KPU Daerah sesungguhnya bersifat super body

dan tidak tersentuh karena tidak bisa dipengaruhi dan didesak oleh kekuatan apapun,

termasuk KPU Pusat.188 Namun di sisi lain menurut penulis dengan posisi kelas atau

stratifikasi yang seperti itu, KPUD gampang bermain mata atau tidak netral dalam

menentukan sikap karena lemahnya kontrol dan pengawasan dari pusat. Dalam

konteks budaya hukum, maka diperlukan kesadaran dari KPUD untuk menghormati

dan menjaga kewibawaan hukum dengan mematuhi putusan Peratun, sehingga

sengketa administrasi dalam penetapan pasangan calon tersebut dapat memenuhi

nilai kepastian, kemanfaatan dan keadilan hukum.

188Sebagaimana wawancara penulis dengan Tuan Guru Hasanain pada tanggal 22 Februari 2012

Page 219: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

219

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Penegakan Hukum Administrasi terhadap sengketa penetapan pasangan calon

kepala daerah oleh KPUD belum terlaksana secara optimal sesuai dengan

prinsip dan tujuan hukum administrasi. Hal tersebut disebabkan oleh lembaga

yang terkait dengan penyelesaian sengketa pemilukada seperti KPUD, Bawaslu

dan PTUN belum memiliki konsep dan pola penyelesaian sengketa

pemilukada secara komprehensif khususnya yang terkait mengenai definisi

sengketa administrasi dan pelanggaran administrasi, Subyek dan Obyek

sengketa, model penyelesaian serta waktu penyelesaian sengketa dan institusi

yang berwenang menyelesaikan sengketa dan pelanggaran administrasi.

Penyebab lainnya adalah belum terwujudnya budaya hukum yang taat pada

hukum baik di kalangan kandidat, masyarakat maupun KPUD.

2. Pelaksanaan Putusan Peratun terhadap sengketa penetapan pasangan calon

kepala daerah belum efektif. Hal ini disebabkan karena belum tumbuhnya

kesadaran hukum di kalangan KPUD untuk mematuhi dan melaksanakan

Putusan Peratun. Di samping itu, kelemahan substansi perundang-undangan

yang tidak memberi kewenangan eksekutorial kepada Pengadilan Tata Usaha

Negara.

Page 220: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

220

B. SARAN

1. Hendaknya mengedepankan dan mengoptimalkan Penegakan Hukum

Administrasi terhadap setiap sengketa penetapan pasangan calon

kepala daerah yang diajukan oleh kandidat yang merasa dirugikan atas

terbitnya SK KPUD tentang Penetapan Pasangan Calon. Dalam konteks

ini, perlu penguatan kewenangan Bawaslu dalam rangka

mengefesienkan waktu penyelesaian sengketa dengan menyusun

secara khusus Undang-undang Pemilukada dan pembentukan

Pengadilan ad hoc khusus pemilu/pemilukda. Selain itu diperlukan

penguatan fungsi Peradilan Tata Usaha Negara khususnya

mengefektifkan Putusan Penundaan dan mendorong agar putusan

Peratun dapat dieksekusi secara efektif dengan merevisi pasal 116

Undang-Undang No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 9 tahun 2006

dan selanjutnya sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No

51 tahun 2009.

2. Hendaknya putusan Peratun yang sudah berkekuatan hukum tetap

(inkracht) juga memperoleh dukungan legalitas untuk dieksekusi melalui

revisi Undang-Undang Peratun. Bagi KPUD yang tidak mematuhi

putusan Peratun yang berkekuatan hukum tetap tersebut, maka perlu

diatur agar tindakan penolakan tersebut dikenakan sanksi administratif

melalui putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

Page 221: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

221

DAFTAR PUSTAKA

Algra, N.E., et al., 1983, Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae, Belanda -

Indonesia, Binacipta, Jakarta.

Anggaraini, Titi dkk. 2011, Menata Kembali Pengaturan Pemilukada, Perludem.

Jakarta.

Arief Sidharta, Bernard. 2000. Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum Sebuah

Penelitian Tentang Fondasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum

Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, Mandar

Maju, Bandung

Arumanadi, Bambang dan Sunarto. 1990, Konsepsi Negara Hukum Menurut UUD

1945, IKIP Semarang Press, Semarang

Assidiqie, Jimly. 2005, Pilar Demokrasi,Kontitusi Press. Jakarta

----------------, 2006, Konstitusi dan Konstitusionalisme, , Sekretariat Jenderal dan

Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta.

---------------, 2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca

Reformasi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi

Republik Indonesia, Jakarta

Asrun, Muhammad. 2004. Krisis Peradilan; Mahkamah Agung di bawah

Soeharto,.Elsam. Jakarta.

Azhary, 1995, Negara Hukum Indonesia-analisis yuridis normative tentang unsur-

unsurnya. UI Press.. Jakarta

Basah, Sjachran. 1992. Perlindungan Hukum Terhadap Sikap-Tindak Administrasi

Negara, Alumni, Bandung,

------------------------, 1985. Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi

di Indonesia, Alumni, Bandung

Page 222: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

222

Black Campbell, Henry. 1979, Black’s Law Dictionary, St. Paul. MINN West Publising

Co.

Black, Donald. 1976, The Behavior Of Law, Academic Press, the University of

Michigan.

Budiardjo, Miriam. 1982. Dasar-dasar ilmu Politik, Gramedia. Jakarta

Cotterrell, Roger. 1984, The Sociology of Law An Introduction,: Butterworths . London

Djumialdi, 1996, Hukum Bangunan, Cet.1 Rineka Cipta. Jakarta.

E. Utrecht, 1960. Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Fakultas Hukum

dan Pengetahuan Masyarakat - Universitas Padjadjaran Bandung

Fachrudin, Irfan. 2004. Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap tindakan

Pemerintah. Alumni. Bandung

Friedman, Lawrence. 1984 “American Law”,: W.W. Norton & Company, London

________________, 1977, Law and Society An Introduction,: Prentice Hall Inc . New

Jersey

Hadjon, Philipus M. 1999. et al., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah

Mada University Press, Yogyakarta

--------------------------, 1987. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, PT.Bina

Ilmu, Surabaya

Hamzah, Andi. 1993, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, (, Pradnya Paramita.

Jakarta

Harahap, M. Yahya. 2007, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata.,.

Sinar Grafika. Jakarta

Huda, Ni’matul. 2009. Otonomi Daerah; Filosofi, Sejarah Perkembangan dan

Problematikanya, Pustaka Pelajar. Yogyakarta.Cetakan ke-II.

H.D. van Wijk/Konijnenbelt, 1995., Hoofdstukken van Administratief Recht. Vuga,

s’Gravenhage

Page 223: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

223

HR Syaukani dkk. 2001. Otonomi Daerah. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

HR. Ridwan. 2006. Hukum Administrasi Negara. Rajawali Press. Jakarta.

Ibrahim R, 1997, Prospek BUMN dan Kepentingan Umum, cet I.; PT. Citra Aditya

Bakti, Bandung

Indroharto, 1991. Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha

Negara, Sinar Harapan, Jakarta

J.B.J.M. ten Berge, 1995, Beschermin Tegen Overheid, W.E.J. Tjeenk Willink, Zwolle,

J. Van Kan dan J.H. Beekhuis, 1982. Pengantar Ilmu Hukum: PT Pembangunan

Ghalia Indonesia,Jakarta

.

Koirudin, 2005, Sketsa Kebijakan Desentralisasi di Indonesia; Format Masa Depan

Otonomi Menuju Kemandirian Daerah, Averroes Press, Malang

Kusdarini, Eni. 2011. Dasar-Dasar Hukum Administrasi Negara dan Asas-asas umum

Pemerintahan yang baik, UNY Press. Yogyakarta.

Kusnadi, Moh. &. Saragih. Bintan R. 2000. Ilmu Negara . Gaya Media Pratama.

Jakarta .cet-4.

Logemann, J.A.H., 1954. Het Staatsrecht van Indonesiae, van Hoeve S`Sravenhage,

Bandung

Lutfi, Mustafa 2010. Hukum Sengketa Pemilukada di Indonesia; Gagasan Perluasan

Kewenangan Mahkamah Konstitusi. UII Press. Yogyakarta..

Marzuki, M.Laica. 2008, Dari timur ke Barat Memandu Hukum: Pemikiran Hukum

Wakil Ketua Mahamah Konstitusi Prof. Dr. H. M. Laica Marzuki, S.H., Sejten

dan Kepaniteraan MK: Jakarta

Mertokusumo, Sudikno. 2002. Hukum Acara Perdata, Liberty, Yogyakarta.

--------------------------------------. 1998, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty,

Yogyakarta.

Page 224: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

224

M.D. Mahfud. 1991. Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi. : Gama Media Offset.

Yogyakarta

Muladi dan Nawawi Arief, Barda. 1992. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni,

Bandung,.

Nasir, M.2003, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Djambatan, Jakarta..

Peter de Cruz dalam, Perbandingan Sistem Hukum; Common Law, Civil Law dan

Socialist Law. Diterbitkan oleh Nusa Media. Jakarta

Prihatmoko, Joko. J. 2008. Mendemokratiskan Pemilu. Pustaka Pelajar. Yogyakarta

Rahardjo, Satjipto. 1983, Masalah Penegakan Hukum,: Sinar Baru. Bandung

Ridwan, Juniarso & Sodik S, Achmad. 2010. Hukum Administrasi Negara dan

Kebijakan Publik. Nuansa. Bandung

Romli, Lili. 2007, Potret Otonomi Daerah dan Wakil Rakyat di Tingkat Lokal, Pustaka

Pelajar.Yogyakarta.

Santoso, Topo dkk. 2006, Penegakan Hukum Pemilu; Praktik Pemilu 2004, Kajian

Pemilu 2009-2014. Perludem. Jakarta

Sarundajang, 2005. Pemilihan Kepala Daerah Langsung; Problem dan Prospek. Kata

Hasta Pustaka. Jakarta.

Sekjen MPR RI, . Risalah Sidang PAH I, 2000, Sekjen MPR RI Jakarta.

Sholehuddin, M .2003. Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double

Track System dan Implementasinya, , PT RajaGrafindo Persada, Jakarta

S.F., Marbun. 1997. Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di

Indonesia, Liberty, Yogyakarta

Siahaan, Lintong. 2009, Teori Hukum; Wajah PTUN setelah Amandemen tahun

2004. Perum Percetakan Negara. Jakarta.

Sidarta, dkk (editors). 1996, Butir-butir Gagasan tentang Penyelenggaraan Hukum

dan Pemerintahan yang Layak,; Citra Aditya Bakti. Bandung

Page 225: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

225

Soekanto, Soerjono. 1986. Mengenal Sosiologi Hukum, Alumni, Bandung

Soemitro, Rochmat. 1991. Peradilan Administrasi Dalam Hukum Pajak di Indonesia,

Eresco, Bandung,

Soetan Batoeah, Boerhanoeddin. 1983. Pokok-pokok Hukum Tata Usaha Negara,

Binacipta, Jakarta.

Subekti, R. 1989, Hukum Acara Perdata,cet.3,: Bina Cipta, Bandung .

Suharizal, 2006. Pemilukada; Regulasi. Dinamika, dan Konsep Mendatang. Raja

Grafindo Persada. Jakarta.

Supandi, Hukum Peradilan Tata Usaha Negara (Kepatuhan Hukum Pejabat dalam

Mentaati Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara). Pustaka Bangsa Press.

Meda. Cetakan Pertama, 2011

Supriyanto, Didik. dkk, 2012, Penguatan Bawaslu; optimalisasi posisi, organisasi dan

fungsi dalam Pemilu 2014. Perludem. Jakarta.

Suyuthi, Wildan. 2004, Sita Dan Eksekusi: Praktek Kejurusitaan Pengadilan. Tatanusa.

Jakarta.

Taufik Makarao, Moh.2004, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata, cet.1,: PT Rineka

Raya Jakarta,

Thoha, Miftha. 1990. Aspek-Aspek Pokok Ilmu Administrasi;suatu bunga rampai

bacaan,Balai Aksara,. Jakarta

Tjandra, Riawan. 2009. Peradilan Tata Usaha Negara; mendorong terwujudnya

Pemerintahan yang bersih dan Berwibawa, Universitas Atmajaya Yogyakarta

Wahjono, Padmo. 1989. Pembangunan Hukum di Indonesia, Ind. Hill Co., Jakarta,

______________, 1986. Indonesia Negara berdasarkan atas Hukum. Gahlia

Indonesia, cetakan kedua. Jakarta

Page 226: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

226

JURNAL, MAKALAH, DISERTASI

Marpaung, Arifin. 2005, Implementasi Teknis Pelaksanaan Lembaga-lembaga Baru

dalam UU Nomor , 9 Tahun 2004 dan Solusi Pemecahannya. Makalah

Rakernas MA, 18-22 September . Denpasar

Siahaan, Liontong. 2004, Prospek PTUN sebagai Pranata Penyelesaian Sengketa

Administrasi di Indonesia; Studi tentang keberadaan PTUN selama Satau

Dasawarsa 1991-2001, Disertasi, Universitas Indonesia Fakultas Hukum

Pascasarjana, Jakarta.

MD, Mahfud. Bahan pada Acara Seminar Nasional “Saatnya Hati Nurani Bicara” yang

diselenggarakan oleh DPP Partai HANURA. Jakarta, 8 Januari 2009.

__________, dalam orasi ilmiah berjudul Demokrasi dan Nomokrasi sebagai Pilar

Penyangga Konstitusi, pada wisuda Universitas Nasional (UNAS) periode I

tahun akademik 2010/2011, di Jakarta Convention Center (JCC). 3 Maret 2011

Alamsah Deliarnoor , Nandang. Makalah yang Disampaikan dalam acara

“SOSIALISASI PEMILIHAN UMUM GUBERNUR DAN WAKIL GUBERNUR

JAWA BARAT 2008” bertempat di Pusat Pengembangan Islam Bogor (PPIB)

pada hari Rabu, 26 Maret 2008, atas kerjasama KPUD Provinsi Jabar dengan

Lemlit UNPAD.

Surbakti, Ramlan. 2003, “Demokrasi Menurut Pendekatan Kelembagaan Baru”,

Jurnal Ilmu Pemerintahan, edisi 19

Syamsuddin Haris, “ Strukutur, proses dan fungsi pemilihan umum: catatan

pendahuluan dalam pemilihan umum di Indonesia. PPW-LIPI, 1997.

Supandi, 2004, Problematika Penerapan Eksekusi Putusan Peradilan Tata Usaha

Negara terhadap Pejabat Tata Usaha Negara Daerah. Makalah Workshop, , 28

Agustus, Jakarta

_______ 2005. Disertasi pada Program Pasca sarjana Universitas Sumatera Utara,

INTERNET

www. http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php

Page 227: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

227

KORAN, MAJALAH

Bisri, A.Zaini, “Tragedi Pilkada Depok”, Suara Merdeka, 8 Agustus 2005

Harian Kompas, Kamis, 24 Februari 2011

Haris, Syamsuddin, “ Mengelola Potensi Konflik Pilkada”. Kompas, 10 Mei 2005

Hadjon, Philipus M., Peradilan Tata Usaha Negara Tantangan Awal di Awal

Penerapan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986, Yuridika, majalah Fakultas

Hukum Universitas Airlangga.No.2-3 Tahun VI Maret –Juni 1991 Surabaya.

1991.

M. Gaffar, Janedjri. Demokrasi dan Nomokrasi, Harian Seputar Indonesia, edisi 19

Desember 2006

PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar. 1945

Undang Nomor 22 tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu

UU. No. 15 Tahun 2011 tentang Perubahan UU. Nomor 22 Tahun 2007 tentang

Penyelenggara Pemilu

UU. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara

sebagaimana telah diubah dengan UU. No 9 tahun 2004 tentang

Peradilan Tata Usaha Negara UU. No 51 tahun 2009 tentang Peradilan

Tata Usaha Negara

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Page 228: PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA …

228