Upload
budiraspati
View
1.140
Download
9
Embed Size (px)
Citation preview
PENDIDIKAN PANCASILA
EDISI REVISI
BAHAN AJAR
Ikhtisar/Butir-butir Bahan Diskusi untuk Mahasiswa Strata Satu
di Lingkungan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Suryakancana Cianjur
Disusun Oleh :
Drs. DJUNAEDI SAJIDIMAN, MM, M.Pd.
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SURYAKANCANA CIANJUR
- 2013-
KATA PENGANTAR
Sesuai dengan tugas untuk memberikan materi kuliah “Pendidikan Pancasila” di
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Pendidikan (FKIP) dalam lingkungan
Universitas Suryakancana Cianjur, penulis mencoba membuat ikhtisar berupa butir-
butir bahan diskusi untuk memudahkan para mahasiswa strata satu berdiskusi pada
waktu perkuliahan.
Bahan ajar atau diktat ini adalah revisi yang kedua kali, disesuaikan dengan
perkembangan keadaan kenegaraan dewasa ini, di samping perubahan teknis
penyajiannya, dan juga koreksi terhadap kesalahan-kesalahan ketik.
Bahannya diambil dari berbagai buku sumber dan bahan pendukung lainnya,
mengacu kepada Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen
Pendidikan Nasional Nomor 43/DIKTI/Kep/2006 tentang Rambu-rambu Pelaksanaan
Kelompok Matakuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi, dan Surat
Edaran Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi No. 2393/D/T/2009 tentang Penyeleng-
garaan Perkuliahan Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi.
Untuk pengayaan dan pendalaman materi, para mahasiswa dianjurkan untuk
mempelajari lebih lanjut buku-buku yang penulis pergunakan, yang dicantumkan juga
dalam daftar kepustakaan.
Semoga kiranya bermanfaat.
Cianjur, Agustus 2013.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR …………………………………………………………................................................... i DAFTAR ISI ………………………………………………………………….............................................................. ii BAB I. PENDAHULUAN ………………………………………………….................................................. 1
A. VISI, MISI, TUJUAN, DAN KOMPETENSI ............................................................ 2 B. METODOLOGI PEMBELAJARAN .......................................................................... 3 C. DASAR SUBSTANSI KAJIAN (POKOK BAHASAN) ............................................... 4
BAB II. LANDASAN DAN TUJUAN PENDIDIKAN PANCASILA ……............................. 5
A. LANDASAN .............................................................................................................. 5 B. TUJUAN ................................................................................................................... 7
BAB III. PANCASILA DALAM KONTEKS SEJARAH PERJUANGAN BANGSA ............ 10
A. MASA KEJAYAAN NASIONAL ................................................................................ 10 B. MASA PERJUANGAN MELAWAN SISTEM PENJAJAHAN ................................... 15 C. MASA PERJUANGAN MEMPERTAHANKAN DAN MENGISI KEMERDEKAAN . 32
BAB IV. PENGERTIAN DAN HAKIKAT PANCASILA ........................................................ 47
A. PENGERTIAN PANCASILA ...................................................................................... 47 B. HAKIKAT PANCASILA .............................................................................................. 54
BAB V. PANCASILA SEBAGAI FILSAFAT ............................................................................. 70
A. PENGERTIAN FILSAFAT ……………………………………………………………………………………. 70 B. ALIRAN, OBYEK, CABANG, TUJUAN, DAN KEGUNAAN FILSAFAT ………………… 74 C. PEMBAHASAN PANCASILA SECARA ILMIAH …………………………………………………. 75 D. PANCASILA DITINJAU DARI TINGKATAN ILMIAH ………………………………………….. 77 E. NILAI-NILAI PANCASILA BERWUJUD DAN BERSIFAT FILSAFAT ……………………. 78 F. PENGERTIAN PANCASILA SECARA FILSAFAT …………………………………………………. 79 G. PANCASILA SEBAGAI DASAR DAN ARAH KESEIMBANGAN ANTARA HAK
DAN KEWAJIBAN ASASI MANUSIA …………………………………………………………………. 80 H. ALASAN PRINSIP PANCASILA SEBAGAI PANDANGAN HIDUP DAN IDEOLOGI. 81
BAB VI. PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI NASIONAL ..................................................... 82
A. PENGERTIAN IDEOLOGI …………………………………………………………………………………… 83 B. UNSUR-UNSUR IDEOLOGI ……………………………………………………………………………….. 86 C. MAKNA IDEOLOGI BAGI NEGARA …………………………………………………………………… 87 D. PERBANDINGAN IDEOLOGI PANCASILA DENGAN IDEOLOGI LAIN ……………… 90 E. PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA …………………………………………………….. 94 F. PENERAPAN IDEOLOGI PANCASILA ………………………………………………………………… 99
ii
BAB VI. PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK ................................................................... 101
A. PENGERTIAN NILAI, MORAL, ETIKA, NORMA, DAN POLITIK ........................... 101 B. NILAI DASAR PANCASILA ....................................................................................... 118 C. KONSEP NEGARA PANCASILA ............................................................................... 120 D. IDE POKOK KEBANGSAAN INDONESIA ................................................................ 120 E. ETIKA POLITIK PANCASILA ..................................................................................... 121
BAB VIII. PANCASILA DALAM KONTEKS KETATANEGARAAN REPUBLIK INDO- NESIA ............................................................................................................................. 126
A. PENGERTIAN, KEDUDUKAN, SIFAT, DAN FUNGSI UNDANG-UNDANG DASAR 1945 …………………………………………………………………………………………………….. 126
B. PEMBUKAAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945 ................................................. 137 C. STRUKTUR PEMERINTAHAN NEGARA RI BERDASARKAN UUD 1945 .............. 144
BAB IX. PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA KEHIDUPAN BERMASYARAKAT,
BERBANGSA, DAN BERNEGARA .......................................................................... 182 A. PENGERTIAN PARADIGMA ..................................................................................... 182 B. PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN ........................................ 182 C. PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PENGEMBANGAN IPOLEKSOSBUDHAN-
KAMAG ..................................................................................................................... 185 D. AKTUALISASI NILAI-NILAI PANCASILA .................................................................. 188 E. TRIDHARMA PERGURUAN TINGGI ....................................................................... 189 F. BUDAYA AKADEMIK ............................................................................................... 191 G. KAMPUS SEBAGAI ”MORAL FORCE” PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAK
ASASI MANUSIA ...................................................................................................... 193 H. HAK ASASI MANUSIA .............................................................................................. 194
PEDOMAN PENGHAYATAN DAN PENGAMALAN PANCASILA (P-4) ............................ 202 DAFTAR KEPUSTAKAAN ............................................................................................................. 206
-djuns-
iii
1
BAB I PENDAHULUAN
Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi berpedoman kepada Keputusan Direktur
Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia
Nomor 43/DIKTI/Kep/2006 tentang Rambu-rambu Pelaksanaan Kelompok Matakuliah
Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi. Dalam keputusan ini Pendidikan
Pancasila termasuk materi kuliah yang disatukan dalam Pendidikan Kewarganegaraan,
sehingga karenanya banyak mendapat kritik dari berbagai kalangan akademisi.
Sebenarnya secara normatif Pendidikan Pancasila memperoleh dasar legalitasnya
dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Karena itu Dirjen Dikti kemudian mengeluarkan Surat Edaran No. 2393/D/T/2009
tentang Penyelenggaraan Perkuliahan Pancasila di Perguruan Tinggi, sebagai hasil
Simposiun Nasional III Pendidikan Pengembangan Kepribadian tahun 2006 di Sema-
rang, dan ditindaklanjuti dengan diadakannya beberapa kali simposium berikutnya,
yang menghasilkan keputusan tentang penerapan Matakuliah Pendidikan Pancasila di
Perguruan Tinggi, di antaranya :
1. Hasil Simposium Nasional IV Pendidikan Pengembangan Kepribadian Tahun 2009 di
Semarang.
2. Hasil Simposium Nasional Pendidikan Pancasila sebagai Pendidikan Kebangsaan
Tahun 2009 di UPI Bandung.
3. Hasil Kongres Pancasila Tahun 2009 di UGM Yogyakarta.
4. Hasil Tim Pengkajian Penerapan Matakuliah Pendidikan Pancasila di Perguruan
Tinggi Tahun 2009.
Dari ketentuan-ketentuan tersebut di atas, harus difahami bahwa Pendidikan
Pancasila sebagai pendidikan yang akan mengembangkan kemampuan dan memben-
tuk watak bangsa yang didasarkan pada nilai-nilai yang tumbuh, hidup, dan berkem-
bang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini selaras dengan tujuan
pendidikan nasional, yaitu “...berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
2
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
dan bertanggung jawab”.
A. VISI, MISI, TUJUAN, DAN KOMPETENSI
Visi, misi, tujuan, dan kompetensi Pendidikan Pancasila mengacu pada visi, misi,
tujuan, dan kompetensi Matakuliah Pengembangan Kepribadian (MPK), yaitu :
1. Visi :
Kelompok MPK di perguruan tinggi merupakan sumber nilai dan pedoman
dalam pengembangan dan penyelenggaraan program studi guna mengantarkan
mahasiswa memantapkan kepribadiannya sebagai manusia Indonesia seutuh-
nya.
2. Misi :
Membantu mahasiswa agar mampu memantapkan kepribadiannya untuk
secara konsisten mampu mewujudkan nilai-nilai dasar keagamaan dan kebuda-
yaan, rasa kebangsaan, dan cinta tanah air sepanjang hayat dalam menguasasi,
menerapkan, dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni yang
dimilikinya dengan rasa tanggung jawab.
3. Tujuan :
Mempersiapkan mahasiswa agar dalam memasuki kehidupan bermasyarakat
dapat mengembangkan kehidupan pribadi yang memuaskan, menjadi anggota
keluarga yang bahagia, serta menjadi warga negara yang berkesadaran kebang-
saan yang tinggi dan bertanggung kawab kepada Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila.
4. Kompetensi :
a. Standar Kompetensi yang wajib dikuasai mahasiswa :
1) Pengetahuan tentang nilai-nilai agama, budaya, dan kewarganegaraan,
dan mampu menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupannya sehari-
hari;
3
2) Memiliki kepribadian yang mantap;
3) Berpikir kritis, bersikap rasional, etis, estetis, dan dinamis;
4) Berpandangan luas;
5) Bersikap demokratis yang berkeadaban.
b. Kompetensi Dasar :
Setelah mengikuti pembelajaran, mahasiswa diharapkan mampu menjadi
ilmuwan yang profesional yang memiliki rasa kebangsaan (nasionalisme)
dan cinta tanah air (patriotisme), demokratis yang berkeadaban, menjadi
warga negara yang memiliki daya saing, berdisiplin, dan berpartisipasi aktif
dalam membangun kehidupan yang damai berdasarkan sistem nilai
Pancasila.
B. METODOLOGI PEMBELAJARAN 1. Pendekatan :
Menempatkan mahasiswa sebagai subyek pendidikan, mitra dalam proses
pembelajaran, dan sebagai umat/pribadi, anggota keluarga, masyarakat, dan
warga negara yang baik.
2. Metode Proses Pembelajaran :
Pembahasan secara kritis, analitis, induktif, deduktif, dan reflektif melalui
dialog yang bersifat partisipatoris untuk meyakini kebenaran substansi dasar
kajian Pancasila.
3. Bentuk Aktivitas Proses Pembelajaran :
Kuliah tatap muka, ceramah, diskusi interaktif, studi kasus, penugasan mandiri,
seminar kecil, dan evaluasi proses belajar.
4. Motivasi :
Menumbuhkan kesadaran bahwa proses belajar mengembangkan kepribadian
merupakan kebutuhan hidup.
4
C. DASAR SUBSTANSI KAJIAN (POKOK BAHASAN) Dasar substansi kajian atau pokok bahasan Pendidikan Pancasila disusun sebagai
berikut :
1. Pendahuluan.
2. Landasan dan Tujuan Pendidikan Pancasila.
3. Pancasila dalam Konteks Sejarah Perjuangan bangsa.
4. Pengertian dan Hakikat Pancasila.
5. Pancasila sebagai Filsafat.
6. Pancasila sebagai Ideologi Nasional.
7. Pancasila sebagai Etika Politik.
8. Pancasila dalam Konteks Ketatanegaraan Republik Indonesia.
9. Pancasila sebagai Paradigma dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan
Bernegara.
5
BAB II LANDASAN DAN TUJUAN PENDIDIKAN PANCASILA
A. LANDASAN Landasan pendidikan Pancasila dapat ditinjau dari aspek historis (sejarah), kultural
(budaya), yuridis (hukum), dan filosofis (filsafat).
1. Historis.
a. Pada masa kerajaan Sriwijaya dan Majapahit, telah ada nilai-nilai Ketuhanan
(kepercayaan kepada Tuhan dan sikap toleransi), kemanusiaan, persatuan,
musyawarah, dan keadilan sosial;
b. Diambil dari nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam bangsa itu sendiri.
Di Indonesia Pancasila.
c. Istilah Pancasila telah dikenal sejak abad XIV di zaman Majapahit dalam buku
”Negarakertagama” karangan Mpu Prapanca, dan ”Sutasoma” karangan
Mpu Tantular, yaitu ”Pancasila Krama,” yang berisi :
1) Tidak boleh melakukan kekerasan (ahimsa).
2) Tidak boleh mencuri (asteya).
3) Tidak boleh berjiwa dengki (indriya nigraha).
4) Tidak boleh berbohong (amrsawada).
5) Tidak boleh mabuk minum minuman keras (dama).
d. Sejak Indonesia merdeka dan beberapa kali pergantian Undang-Undang Dasar
(UUD 1945, Konstitusi RIS, UUDS, dan kembali ke UUD 1945 sampai sekarang)
dalam Pembukaannya (Preambule) tetap tercantum nilai-nilai Pancasila.
2. Kultural.
a. Setiap bangsa mempunyai pandangan hidup, kepribadian dan jatidirinya. Jika
tidak, akan mudah terombang-ambing karena pengaruh yang berkembang da-
ri luar negeri, lebih-lebih sekarang sudah memasuki era globalisasi.
6
b. Pancasila sebagai kepribadian dan jatidiri bangsa Indonesia merupakan pen-
cerminan nilai-nilai yang tumbuh dalam kehidupan bangsa Indonesia.
c. Nilai-nilai yang dirumuskan dalam Pancasila bukan pemikiran satu orang,
melainkan pemikiran konseptual dari tokoh-tokoh bangsa seperti Mr.
Muhammad Yamin, Mr. R. Supomo, Ir. Sukarno, dll.
3. Yuridis.
Secara yuridis, Pancasila :
a. Tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945;
b. Tercantum dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 maupun peng-
gantinya, yaitu Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional;
c. Tercantum dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan
Tinggi;
d. Tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 (yang isi-
nya a.l. Pendidikan Pancasila adalah wajib);
e. Tercantum dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 30
Tahun 1990.
f. Tercantum dalam Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 232/U/
2000 (Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi);
g. Tercantum dalam Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen
Pendidikan Nasional Nomor 43/DIKTI/Kep/2006 (Rambu-rambu Pelaksanaan
Kelompok Matakuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi).
h. Hasil beberapa kali Simposium Nasional Pendidikan Pengembangan Kepri-
badian dan Tim Pengkajian Penerapan Matakuliah Pendidikan Pancasila
berdasarkan Surat Edaran Dirjen Dikti No. 2393/D/T/2009 yang menetapkan
penerapan Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi.
7
4. Filosofis.
a. Secara filosofis dan obyektif, nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila Pan-
casila merupakan filosofi bangsa Indonesia;
b. Merupakan kewajiban moral untuk merealisasikan nilai-nilai dimaksud dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
c. Sebagai dasar filsafat, Pancasila harus menjadi sumber bagi segala tindakan
penyelenggara negara, serta menjadi jiwa dari peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
d. Sebagai sumber nilai yang menjiwai pembangunan nasional dalam berbagai
bidang (ipoleksosbudhankamag).
B. TUJUAN
1. Tujuan Nasional sekaligus visi Indonesia merdeka sebagaimana tersurat dan
tersirat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat adalah
Masyarakat Adil dan Makmur Berdasarkan Pancasila (Mas Adam Berdasi).
Wujud konkritnya tidak lain adalah ”sejahtera” lahir batin dalam suasana negara
yang nyaman, aman tenteram, atau ”subur makmur,” ”gemah ripah repeh
rapih”, ”gemah ripah loh jinawi”, ”sugih mukti”, ”toto trentrem kerto raharjo”,
atau istilah Ir. Sukarno, ”subur kang sarwo tinandur, murah kang sarwo tinuku”.
Adapun indikator sejahtera adalah :
a. Terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat, yaitu ekonomi, khususnya daya
beli;
b. Terpenuhinya derajat kesehatan (masyarakat sehat sentosa);
c. Terpenuhinya pendidikan (masyarakat yang cerdas).
Inilah yang kemudian dijadikan ukuran kemajuan atau kesejahteraan suatu
negara, daerah, ataupun rumah tangga, yang disebut Indeks Pembangunan
Manusia (IPM).
2. Tugas atau misi yang harus dilaksanakan dalam rangka mewujudkan cita-cita/
8
tujuan/visi di atas adalah :
a. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia;
b. Memajukan kesejahteraan umum;
c. Mencerdaskan kehidupan bangsa;
d. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perda-
maian abadi, dan keadilan sosial.
3. Tujuan Pendidikan Nasional sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional BAB II Pasal 3 jo.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 6 adalah
”berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
4. Arah dan Tujuan Pendidikan Pancasila :
a. Arah : Ditekankan pada moral yang diharapkan dapat diwujudkan dalam
kehidupan sehari-hari, berupa perilaku yang dilandasi oleh nilai-nilai Pancasila
yang memancarkan iman dan taqwa terhadap Tuhan YME dalam setiap
kegiatan pribadi, kelompok, masyarakat, bangsa dan negara, dan dijadikan
landasan dalam masyarakat yang terdiri dari :
1) Berbagai golongan agama;
2) Kebudayaan dalam beragam kepentingan;
3) Mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan perorangan dan
golongan;
4) Beragam pemikiran untuk mendukung upaya terwujudnya keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.
a. Tujuan : Menghasilkan peserta didik yang beriman dan bertaqwa kepada
Tuhan YME dengan sikap dan perilaku serta kompetensi :
1) Memiliki kemampuan untuk mengambil sikap yang bertanggung jawab
sesuai dengan hati nuraninya;
2) Memiliki kemampuan untuk mengenali masalah hidup dan kesejahteraan
serta cara-cara pemecahannya;
9
3) Mengenali perubahan-perubahan serta perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi dan seni;
4) Memiliki kemampuan untuk memaknai peristiwa sejarah dan nilai-nilai
budaya bangsa untuk menggalang persatuan Indonesia.
b. Tujuan Perkuliahan Pancasila : Agar mahasiswa dapat :
1) Memahami, menganalisis, dan menjawab masalah-masalah yang dihadapi
oleh masyarakat dan bangsanya secara berkesinambungan, konsisten
dengan cita-cita yang digariskan dalam Undang-Undang Dasar 1945;
2) Menghayati filsafat dan tata nilai Pancasila sehingga menjiwai tingkah
lakunya sebagai warga negara Republik Indonesia.
Pendidikan Pancasila yang berhasil akan membuahkan sikap mental
bersifat cerdas dan penuh tanggung jawab dari peserta didik, dengan perilaku
yang :
a. Beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa;
b. Berperikemanusiaan yang adil dan beradab;
c. Mendukung dan melaksanakan persatuan bangsa;
d. Mendukung dan melaksanakan kerakyatan yang mengutamakan musyawarah
mufakat demi kepentingan bersama di atas kepentingan perorangan atau
golongan;
e. Mendukung dan melaksanakan upaya mewujudkan keadilan sosial.
10
BAB III PANCASILA DALAM KONTEKS SEJARAH
PERJUANGAN BANGSA
A. MASA KEJAYAAN NASIONAL
Menurut Mr. Muhammad Yamin, berdirinya negara kebangsaan Indonesia tidak
dapat dipisahkan dengan kerajaan-kerajaan lama yang merupakan warisan nenek
moyang bangsa Indonesia. Negara kebangsaan justru terbentuk melalui tiga tahap,
yaitu :
1. Masa Kerajaan Sriwijaya di bawah wangsa Syailendra (600-1400M) yang berciri-
kan kedatuan.
2. Masa Kerajaaan Majapahit (1293-1525M) yang bercirikan keprabuan.
3. Masa Negara Kebangsaan Modern (setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia
17 Agustus 1945).
1. Masa Kerajaan Sriwijaya (1400-1600M).
Sriwijaya di bawah Syailendara adalah kerajaan maritim yang menguasai Selat
Malaka, Selat Karimata, dan Selat Sunda, sampai pantai Siam. Kerajaan Melayu
di Jambi ditaklukkan pada tahun 686, Bangka tahun 688, demikian juga
Tulangbawang di Lampung, Brunai di Kalimantan utara, dan Tarumanagara di
Sunda, semuanya di bawah kekuasaan Sriwijaya. Bahkan pada tahun 775 seluruh
semenanjung Malaya dikuasai, kemudian Sriwijaya mendirikan ibukota di Ligor
sebagai pangkalan armadanya. Di bawah Raja Balaputradewa, cucu keluarga
Syailendra dari Jawa Tengah, pada tahun 850 Sriwijaya mengalami kejayaan baik
di daratan lebih-lebih di lautan. Pada saat itu bahkan Sriwijaya merupakan pusat
pengembangan agama Budha di Asia Tenggara.
Dalam pengembangan agama Budha, telah terjalin hubungan yang erat
dengan dinasti Tang (618-907) di Cina dan dinasti Harsha di India. Sriwijaya
banyak mengirim para pemudanya untuk belajar agama Budha di perguruan
tinggi Nalanda di daerah Benggala, India utara, dan di Nagapatnam di pantai
11
Malabar, India selatan. Bahkan kemudian di Sriwijaya sendiri didirikan perguru-
an tinggi agama Budha. Kesaksian pendeta I Tsing dari cina yang menetap
selama 10 tahun di Sriwijaya menceritakan lk. 1.000 orang padri yang menetap di
Sriwijaya, di antaranya Dharmapala dari India, dan Sakyakitri dari Sriwijaya
sendiri. Karena kebesaran kerajaan Sriwijaya di bidang pelayaran, perniagaan,
pusat agama Budha dan kebudayaan di Asia Tenggara, maka mengalirlah kekaya-
an berupa emas dan perak, sehingga Sriwijaya terkenal dengan sebutan ”Swarna
Dwipa” (pulau emas dan perak).
Ditinjau dari luasnya kekuasaan, maka sebenarnya Sriwijaya telah
merupakan negara nasional besar yang mampu mempersatukan nusantara
bagian barat. Pada saat itu telah tumbuh nilai persatuan dan kesatuan bangsa
atau nasionalisme. Hubungan persahabatan atas dasar persamaan derajat,
saling hormat-menghormati, serta kemerdekaan, keadilan, dan perdamaian
dengan negara-negara tetangga seperti Cina, India, Siam, Laos, dll. membuktikan
telah tumbuhnya nilai ”politik luar negeri yang bebas aktif.”
Sistem perdagangan sudah diatur dengan baik, antara lain dibentuk badan
yang bertugas mengumpulkan hasil kerajinan rakyat dan memudahkan pema-
sarannya. Sistem ketatanegaraan dan administrasi pemerintahan telah teratur
dan disiplin. Terdapat pegawai pengelola pajak, harta benda kerajaan, dan
pengawas teknis pembangunan gedung-gedung.
Kehidupan keagamaan, kebudayaan, dan kesenian telah mengalami
kebesaran. Hal ini membuktikan pada masa kerajaan Sriwijaya telah tumbuh
nilai-nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, dan Keadilan Sosial, yang mampu
memberikan landasan batin pada jiwa masyarakatnya. Cita-cita kenegaraan
Sriwijaya tercermin dalam perkataan ”marvuat vannua crivijaya siddhayatra
subhiksa” (suatu cita-cita yang adil dan makmur). Dokumen tertulis dalam
prasasti di Talagabatu, Kedukanbukit, Karangbrahi, Talangtuo, dan Kotakapur,
membuktikan nilai-nilai Pancasila telah dihayati dan dilaksanakan, antara lain :
a. Nilai Sila Pertama : Umat agama Budha dan Hindu hidup berdampingan
secara damai. Terdapat kegiatan pembinaan agama Budha;
b. Nilai Sila Kedua : Terjadinya hubungan baik antara Sriwijaya dengan India, Ci-
12
na, dll. melalui misalnya pengiriman pelajar/mahasiswa. Juga telah dilaku-kan
politik luar negeri yang bebas aktif;
c. Nilai Sila Ketiga : Menerapkan konsep negara kepulauan sesuai dengan
konsep wawasan nusantara;
d. Nilai Sila Keempat : Memiliki kedaulatan sangat luas meliputi Semenanjung
Melayu (wilayah RI sekarang), dan Siam;
e. Nilai Sila Kelima : Menjadi pusat pelayaran dan perdagangan sehingga
kehidupan rakyat makmur.
2. Masa Kerajaan Majapahit (1293-1478M).
Sebelum Majapahit, terdapat kerajaan-kerajaan : Kalingga (abad VII), Sanjaya
(abad VIII), Isyana (abad IX), dan Singosari (abad XIII) yang ada sangkut-pautnya
dengan munculnya Majapahit. Kerajaan Majapahit didirikan oleh Raden Wijaya
(Brawijaya) pada tahun 1293, dan mencapai puncak kebesarannya pada masa
kekuasaan Prabu Hayam Wuruk (1350-1389) yang dibantu oleh Mahapatih Gajah
Mada. Majapahit adalah kerajaan Hindu dengan pusat kerajaan terletak di dae-
rah sungai Brantas. Sungai dan lembah Brantas yang sangat subur yang
bermuara di Ujung Galuh, merupakan faktor penunjang perkembangan kerajaan
ini, baik sebagai negara agraris, maupun sebagai negara maritim, bahkan menjadi
pusat pelayaran dan perdagangan serta pangkalan armada laut.
Pada masa Hayam Wuruk yang dibantu Gajah Mada, Majapahit berhasil
mempersatukan hampir seluruh wilayah nusantara. Pribadi Gajah Mada sebagai
pemimpin besar yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk keagungan Maja-
pahit mempunyai ciri-ciri :
a. Satya bhakti aprabu (setia bakti kepada negara dan kerajaan);
b. Tan satresna (tak pernah memikirkan kepentingan pribadi dan balas jasa);
c. Hanyaken musuh (keberanian dan kemampuan menghalau segenap musuh
negara);
d. Prabu ginung pratina (selalu mengagungkan kebesaran raja dan negara).
Tahun 1331 pada saat dilantik menjadi Panglima Mandala dengan tugas
menumpas pemberontakan Sadeng, Gajah Mada mengucapkan ”Sumpah
13
Palapa” yang isinya merupakan prasetya kebulatan tekad untuk mempersatukan
seluruh nusantara, yang bunyinya, ”Tidak akan hamukti (menikmati) palapa
sebelum berhasil menguasai dan mempersatukan Gurun, Sarah, Tanjungpura,
Haru, Pahan, Dompo, Bali, Palembang, dan Tumasik.”
Selain berhasil mempersatukan hampir seluruh nusantara, Majapahit pun
mengadakan persahabatan dengan negara-negara tetangga atas dasar ”Mitreka
Satata,” yaitu persahabatan atas dasar persamaan derajat dan saling hormat-
menghormati.
Mpu Prapanca seorang pujangga besar Majapahit, menulis buku ”Negara-
kertagama” pada tahun 1365 yang isinya menceritakan ketatanegaraan
Majapahit sebagai berikut :
a. Bidang Ketatanegaraan :
1) Negara Pusat/Negara Agung, meliputi ibukota Majapahit yaitu Wilwaltikta,
dan daerah sekitarnya antara lain Kediri, Janggala, Singasari, Tuban, dan
Madura;
2) Daerah bawahan, meliputi daerah pantai utara Jawa dan daerah seberang.
Daerah seberang meliputi ”Delapan Daerah Mandala” yaitu seluruh Jawa,
Andalas, Kalimantan (Tanjungnegara), semenanjung Malaya, kepulauan
Sunda Kecil, Sulawesi, Maluku, dan Irian (Papua).
b. Susunan Pemerintahan :
1) Raja sebagai Kepala Negara/Pemerintahan;
2) Raja didampingi oleh Dewan Mahkota atau Dewan Sapta Prabu, yang
terdiri atas tujuh orang keluarga raja, bertugas menangani masalah-
masalah istana, pengangkatan pejabat utama, penggantian mahkota, dan
masalah-masalah penting lainnya;
3) Dewan Menteri yang dipimpin oleh Mahapatih Gajah Mada dengan tugas
menyelenggarakan pemerintahan dan keamanan;
4) Majelis Pendeta atau Dharmadyaksa yang dipimpin oleh Mpu Prapanca
dengan anggota pendeta agama Hindu, agama Budha, dan Resi.
Selain itu terdapat peninggalan-peninggalan sejarah berupa : Bangunan-
bangunan candi, seperti : Candi Penataran di Blitar, Candi Kedaton di Besuki, dan
14
candi Sukuh di lereng Gunung Lawu. Bangunan-bangunan istana, pintu gerbang,
tempat pemandian (Pandaan, Trowulan) dan kanal-kanal. Buku-buku kropak
yang ditulis pada daun lontar selain Negarakertagama, antara lain : Buku
Pararaton, Kitab Kidung Ranggalawe, Kidung Sorandaka, dan Kidung Sundayana,
serta Kitab Syair ”Sutasoma” karangan Mpu Tantular yang di dalamnya ada
motto ”Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrua.” (Berbeda-beda
tetapi satu jua adanya, dan pada hakikatnya tak ada perbedaan tujuan pada tiap-
tiap agama). Terdapat juga cap kerajaan Majapahit berupa ”Garuda Mukha.”
Dalam kehidupan keagamaan, raja memeluk agama campuran Hindu,
Budha, dan unsur agama asli, yaitu syncretisme. Unsur-unsur kebudayaan sangat
tinggi, yaitu kepercayaan kepada zat mutlak/ruh, Hyang Tunggal/Esa, gotong
royong, kekeluargaan, musyawarah, toleransi hidup beragama, bercocok tanam
di sawah dan ladang, batik, wayang, rithme, tata masyarakat yang teratur di
bawah hukum adat, ilmu falak, perahu bercadik, alat lalu lintas, persenjataan,
dan alat-alat pertanian.
Dari hal-hal yang dikemukakan di atas, jelaslah di Majapahit telah ada
pengamalan Pancasila yang mapan, yaitu :
a. Nilai Sila Pertama : Agama Budha dan Hindu hidup berdampingan secara
damai;
b. Nilai Sila Kedua : Terdapat hubungan baik antara Raja Hayam Wuruk dengan
kerajaan Cina, Ayodya, Champa, India, Kamboja, dan negara-negara tetangga
lainnya atas dasar mitreka satata;
c. Nilai Sila Ketiga : Terwujud keutuhan kerajaan sesuai dengan ”Sumpah
Palapa” Mahapatih Gajah Mada yang berisi cita-cita mempersatukan seluruh
wilayah nusantara;
d. Nilai Sila Keempat : Kerukunan dan gotong royong dalam kehidupan masyara-
kat telah menumbuhkan adat bermusyawarah untuk mufakat. Terdapat
lembaga penasihat raja seperti Rakryan I Hino, I Sirikan, dan I Halu;
e. Nilai Sila Kelima : Ditopang dengan kemakmuran rakyat.
15
B. MASA PERJUANGAN MELAWAN SISTEM PENJAJAHAN
1. Perjuangan Sebelum Abad XX.
Kesuburan wilayah Indonesia yang melimpah ruah terutama rempah-rempah
yang sangat dibutuhkan, menarik bangsa-bangsa Eropa (Portugis, Spanyol,
Inggris, dan Belanda) masuk ke Indonesia yang mulanya berdagang, tetapi
kemudian menjajah. Perlawanan terhadap penjajah pada abad VII dan VIII
digerakkan antara lain oleh Sultan Agung Mataram (1645), Sultan Agung
Tirtayasa Banten dan Sultan Hasanuddin di Makassar (1660), Iskandar Muda di
Aceh (1635), Untung Surapati dan Trunojoyo di Jatim (1670), Ibnu Iskandar di
Minangkabau (1680), dll. Demikian juga Pattimura di Maluku (1817), Imam
Bonjol di Minangkabau (1822-1837), Pr. Diponegoro di Jawa Tengah, (1825-
1830), Badaruddin di Palembang (1817), Pr. Antasari di Kalimantan (1860),
Jelantik di Bali (1850), Anak Agung Made di Lombok (1895), Teuku Umar, Teuku
Cik Di Tiro dan Cut Nyak Din di Aceh (1873-1904), Sisingamangaraja XII di Suma-
tera Utara (1900), dll.
2. Kebangkitan Nasional 1908 dan Sumpah Pemuda 1928.
Salah satu kegagalan perjuangan mengusir penjajah sebelum abad XX tersebut
di atas, adalah karena tidak adanya persatuan dan kesatuan serta belum ter-
organisasi dengan baik. Sadar akan kegagalan tersebut, tanpa melihat ras,
agama, suku bangsa, budaya, bahasa, dll., maka dengan perasaan senasib dan
sepenanggungan, akhirnya ”bangsa Indonesia” bersatu mendirikan organisasi-
organisasi perjuangan yang dimulai dengan berdirinya Boedi Oetomo pada 20
Mei 1908 oleh dr. Wahidin Sudirohusodo dan Sutomo. Pendirian BO diilhami
cita-cita untuk meningkatkan kedudukan dan martabat rakyat yang dikampanye-
kan oleh dr. Wahidin Sudirohusodo kemudian disambut dengan baik oleh para
pelajar STOVIA (School Tot Opleiding Van Indische Artsen) atau sekolah dokter
Jawa, dan Sutomo diangkat sebagai ketua. (Marwati, V,1993:177).
Setelah BO kemudian bermunculan organisasi-organisasi perjuangan dan
keagamaan seperti Sarekat Dagang Islam oleh K.H. Samanhudi (1909) yang
16
kemudian berubah menjadi Sarekat Islam oleh H.O.S. Cokroaminoto, (1911),
Muhammadyah oleh K.H. Ahmad Dahlan, Insische Partij oleh Douwes Dekker,
Soewardi Soerjaningrat (Ki Hajar Dewantara), dan dr. Cipto Mangunkusumo
(1913), Partai Nasional Indonesia oleh Ir. Sukarno (1927), dll. Dengan organisasi-
organisasi tersebut maka perjuangan rakyat Indonesia disebut pergerakan
nasional Indonesia.
Kebulatan tekad untuk makin mengokohkan perjuangan kemerdekaan
tercapai dengan adanya Kongres Pemuda kedua yang diselenggarakan di Jakarta
dari tanggal 26 s/d 28 Oktober 1928 yang pada acara penutupannya pada tanggal
28 diucapkan ”Sumpah Pemuda”. Para peserta kongres pemuda itu adalah para
pemuda dari berbagai wilayah (Jong Java, Jong Islamieten Bond, Jong Suma-
teranen Bond, Jong Batak, Jong Minahasa, Jong Ambon, Jong Celebes, Timorees
Verbond, Pemuda Pasundan, dll.), dengan tokoh di antaranya Mr. Muhammad
Yamin, Kuncoro Purbopranoto, dan Wongsonegoro.
Isi sumpah pemuda adalah :
a. Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah
air Indonesia.
b. Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia.
c. Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa
Indonesia.
3. Perjuangan pada Masa Penjajahan Jepang.
Tanggal 7 Desember 1941 meletus Perang Fasifik dengan pengeboman Pearl
Harbour oleh Jepang. Dengan cepat Jepang merebut daerah-daerah penjajahan
Sekutu termasuk Indonesia. Tanggal 8 Maret 1942 Jepang masuk ke Indonesia
dengan mendarat di Kalijati Subang dan menerima penyerahan kekuasaan dari
Belanda. Jepang mempropagandakan kehadirannya di Indonesia untuk membe-
baskan bangsa Indonesia dari cengkeraman penjajah Belanda dengan ”Gerakan
Tiga A” (Nippon Cahaya Asia, Nippon Pelindung Asia, dan Nippon Pemimpin
Asia). Jepang juga mengaku bahwa bangsa Indonsesia adalah ”saudara tua” bagi
Jepang.
17
Jepang membolehkan pengibaran bendera Merah Putih dan menyanyikan
lagu Indonesia Raya, bahkan sekaligus menjanjikan kemerdekaan Indonesia di
kelak kemudian hari. Tetapi sebenarnya ini semua hanyalah tipu muslihat
semata. Untuk merealisasikan janjinya, pada tanggal 1 Maret 1945 pemerintah
pendudukan Jepang di bawah pimpinan Letjen Kumakici Harada mengumumkan
pembentukan Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai, yaitu Badan Penyelidik Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Inipun dilakukan karena Jepang
menghadapi situasi yang kritis mengingat seluruh garis pertahanannya di Fasifik
mulai bobol oleh Sekutu sehingga perlu adanya dukungan dari rakyat Indonesia.
Peresmian BPUPKI diumumkan pada tanggal 29 April 1945 dengan Ketua
diangkat dr. K.R.T. Rajiman Wedyodiningrat.
Di BPUPKI inilah dirumuskan dasar negara apabila kelak Indonesia
merdeka. Rumusan-rumusan dimaksud antara lain dikemukakan oleh Mr. R.
Supomo, Mr. Muhammad Yamin, dan Ir. Sukarno, pada tanggal 29 Mei, 1 Juni,
dan 22 Juni 1945 yang kemudian menghasilkan ”Piagam Jakarta” (Jakarta
Charter).
4. Proses Perumusan Dasar/Falsafah Negara Pancasila.
Sebagaimana telah dikemukakan di muka, pada tanggal 8 Maret 1942 Jepang
mendarat di Indonesia. Dengan penyerahan tanpa syarat oleh Letjen H. Ter
Poorten, Panglima Angkatan Perang Hindia Belanda atas nama Angkatan Perang
Serikat (Sekutu) di Indonesia kepada tentara ekspedisi Jepang di bawah pimpinan
Letjen Hitoshi Imamura, maka berakhirlah pemerintahan Hindia Belanda di
Indonesia (Marwati,VI, 1993:5).
Pada tanggal 7 September 1944 di dalam sidang istimewa ke 85 Teikoku
Ginkei (Parlemen Jepang) di Tokyo, Perdana Menteri Koiso (pengganti PM Tojo)
mengumumkan tentang pendirian pemerintah kemaharajaan Jepang, bahwa
daerah Hindia Timur (Indonesia) diperkenankan merdeka ”kelak di kemudian
hari”. Janji kemerdekaan ini sebenarnya bukan karena Jepang mempunyai niat
baik, akan tetapi karena semakin terjepitnya angkatan perang Jepang. Bahkan
kepulauan Saipan jatuh ke tangan Amerika Serikat, yang menimbulkan kegon-
18
cangan dalam masyarakat Jepang. Hal ini diperparah karena produksi perang
merosot, yang mengakibatkan kurangnya persediaan senjata dan amunisi,
ditambah soal-soal logistik karena hilangnya sejumlah kapal angkut dan kapal
perang. Dengan demikian janji kemerdekaan itu hanyalah taktik belaka dari
Jepang supaya rakyat di daerah pendudukan (Indonesia) menyambut baik dan
membantu Jepang.
Langkah nyata pertama bagi pelaksanaan janji PM Koiso tentang ”kemerde-
kaan Indonesia kelak di kemudian hari” itu pada tanggal 1 Maret 1945 diumum-
kan oleh pemerintah pendudukan Jepang di Jawa di bawah pimpinan Letjen
Kumakici Harada, dengan pembentukan BPUPKI, yang peresmiannya dilaksana-
kan pada tanggal 29 April 1945. Adapun susunan pimpinan dan anggota BPUPKI
dimaksud (Ismaun, 1977:112-113) secara lengkap adalah :
Ketua (Kaityoo) : dr. K.R.T. Rajiman Wedyodiningrat.
Ketua Muda (Fuku Kaityoo) : R. Panji Soeroso.
Ketua Muda (Fuku Kaityoo) : Itibangse Yosio.
Anggota-anggota adalah orang Indonesia atau yang merasa dirinya senasib
dengan bangsa Indonesia, yaitu :
1. Ir. Sukarno
2. Mr. Muhammad Yamin
3. Dr. R. Kusumah Atmaja
4. R. Abdurrahim Pratalykrama
5. R. Aris
6. Ki Hajar Dewantara
7. Ki Bagus Hadikusumo
8. B.P.H. Bintoro
9. K.H. Abdul Kahar Muzakkir
10. B.P.H. Purboyo
11. R.A.A. Wiranatakusumah
12. R. Ashar Sutejo Munandar
13. Oei Tjiang Tjoei
14. Drs. Mohamad Hatta
19
15. Oei Tiong Hauw
16. H. Agus Salim
17. M. Sutarjo Kartohadikusumo
18. R.M. Margono Joyohadikusumo
19. K.H. Abdul Halim
20. K.H. Masykur
21. R. Sudirman
22. Prof. Dr. P.A. Husein Jayadiningrat
23. Prof. Dr. Mr. R. Supomo
24. Prof. Ir. R. Rooseno
25. Mr. R.P. Singgih
26. Mr. Ny. Maria Ulfah Santoso
27. R.M.T.A. Suryo
28. Ruslan Wongsokusumo
29. Mr. R. Susanto Tirtoprojo
30. Ny. R.S.S. Sunaryo Mangunpuspito
31. Dr. R. Buntaran Martoatmojo
32. Liem Koen Hian
33. Mr. J. Latuharhary
34. Mr. R. Hendromartono
35. Sukarjo Wiryopranoto
36. H. Ahmad Sanusi
37. A.M. Dasaad
38. Mr. Tan Eng Hoa
39. Ir. R.M.P. Surachman Cokroadisuryo
40. R.T.A. Sumitro Kolopaking Purbonegoro
41. K.R.M. Wuryaningrat
42. Mr. Ahmad Subarjo
43. Prof. Dr. R. Jenal Asikin Wijayakusumah
44. Abikusno Cokrosuyoso
45. Parada Harahap
20
46. Mr. R. Sartono
47. K.H. Mas Mansur
48. Dr. K.R.T.A. Sastrodiningrat
49. Mr. R. Suwandi
50. K.H. Wahid Hasyim
51. R.F. Dahler
52. Dr. Sukiman Wiryosanjoyo
53. Mr. K.R.T.M. Wongsonegoro
54. R. Oto Iskandar Dinata
55. A.R. Baswedan
56. Abdul Kadir
57. Ir. Samsi
58. Mr. A.A. Maramis
59. Mr. R. Samsudin
60. Mr. R. Sastromulyono
Persidangan BPUPKI dibagi dua masa sidang, yaitu masa sidang pertama
yang disebut Babak Perancangan, dilaksanakan dari tanggal 29 Mei s/d 1 Juni
1945 yang menghasilkan usulan-usulan rumusan dasar negara, serta masa sidang
kedua yang disebut Babak Perumusan, dilaksanakan dari tanggal 10 s/d 17 Juli
yang menghasilkan rumusan hukum dasar negara. Yang diuraikan di bawah ini
hanya masa persidangan pertama dari tanggal 29 Mei s/d 1 Juni 1945 karena
hanya akan membicarakan proses perumusan Pancasila sebagai dasar filsafat
negara.
a. Pada tanggal 29 Mei 1945 sidang pertama dibuka oleh Ketua, dr. K.R.T.
Rajiman Wedyodiningrat. Sidang ini dimaksudkan untuk mencari dan meran-
cang dasar negara Indonesia yang akan merdeka. Pada kesempatan ini Mr.
Muhammad Yamin berpidato menyampaikan prasaran (usul) berjudul ”Asas
dan Dasar Negara Kebangsaan Republik Indonesia”. Usul yang beliau sampai-
kan tentang dasar negara Indonesia yang akan merdeka itu terdiri atas lima
asas dan dasar :
1) Peri Kebangsaan.
21
2) Peri Kemanusiaan.
3) Peri Ke-Tuhanan.
4) Peri Kerakyatan.
5) Kesejahteraan Rakyat.
Ke lima asas ini tidak diberi nama dan beliau pun tidak mengemukakan
ringkasan atau perasan asas-asas dimaksud, tetapi malah secara panjang lebar
menguraikan asas-asas tersebut dengan segala persyaratan rancangan dasar
negara serta perbandingan-perbandingannya. Setelah berpidato, beliau pun
saat menyampaikan usul tertulis mengenai rancangan Undang-Undang Dasar
(UUD) RI, di dalam Pembukaannya tercantum rumusan lima asas negara yang
berbunyi :
1) Ketuhanan Yang Maha Esa;
2) Kebangsaan Persatuan Indonesia;
3) Rasa Kemanusiaan yang adil dan beradab;
4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawa-
ratan perwakilan;
5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonbesia.
b. Pada tanggal 31 Mei 1945, bertempat di gedung Chuuo Sangiin Jakarta, sidang
BPUPKI mendengarkan pidato Mr. R. Supomo dan Mr. Muhammad Yamin.
Mr. R. Supomo menguraikan tentang teori negara secara yuridis, politis, dan
sosiologis, syarat-syarat berdirinya negara, bentuk negara dan bentuk
pemerintahan, serta hubungan antara negara dengan agama. Mr. Muham-
mad Yamin menguraikan panjang lebar tentang daerah negara, kebangsaan
Indonesia atas dasar tinjauan yuridis, historis, politis, sosiologis, geografis, dan
konstitusional yang meliputi seluruh nusantara raya.
c. Pada tanggal 1 Juni 1945, giliran Ir. Sukarno berpidato mengemukakan
pendapatnya. Pidato beliau disampaikan secara lisan sebagai cetusan hatinya
tanpa disiapkan lebih dulu dalam bentuk teks tertulis, tetapi dicatat secara
stenografis oleh notulis. Usul dasar negara yang beliau kemukakan terdiri atas
lima asas atau prinsip yang diberinya nama Pancasila, yang berisi lima asas
22
pokok fundamental yang merupakan satu rangkaian kesatuan yang bulat,
yaitu :
1) Kebangsaan Indonesia.
2) Internasionalisme atau Perikemanusiaan.
3) Mufakat atau Demokrasi.
4) Kesejahteraan Sosial.
5) Ke-Tuhanan.
Kendati Pancasila itu sudah menjadi keyakinan beliau untuk dijadikan
dasar filsafat negara Indonesia merdeka, namun beliau terlebih dulu mena-
warkan kepada sidang untuk mempersilakan memilih bilangan asas/dasar
negara yang disepakati bersama, dengan alternatif Pancasila boleh diperas
menjadi tiga (Trisila), yaitu :
1) Socio-Nationalism (Kebangsaan dan Perikemanusiaan).
2) Socio-Democratie (Demokrasi dan Kesejahteraan).
3) Ke-Tuhanan.
Selanjutnya beliau menjelaskan lagi bahwa kita mendirikan negara
Indonesia yang kita harus mendukungnya, bukan dari satu orang maupun satu
golongan, tetapi Indonesia buat Indonesia, semua buat semua. Jadi yang lima
dapat diperas menjadi tiga, dan yang tiga dapat diperas lagi menjadi satu,
maka dapatlah diberi nama satu perkataan Indonesia, yaitu ”Gotong-Royong”
(Ekasila).
d. Setelah pidato Ir. Sukarno, pada tanggal 1 Juni 1945 itu sidang BPUPKI belum
mencapai kata sepakat mengenai dasar/filsafat negara Indonesia yang akan
merdeka. Maka dibentuklah satu panitia kecil yang bertugas memeriksa usul-
usul yang masuk untuk ditampung dan dilaporkan pada sidang pleno BPUPKI
kelak pada masa sidang kedua. Panitia itu dinamakan ”Panitia Delapan”
karena terdiri dari delapan orang, yaitu :
1) Ir. Sukarno sebagai Ketua (Syuusa) merangkap anggota;
2) Ki Bagus Hadikusumo, anggota;
3) K.H. Wahid Hasyim, anggota;
4) Mr. Muhammad Yamin, anggota;
23
5) M. Sutarjo Kartohadikusumo, anggota;
6) Mr. A.A. Maramis, anggota;
7) R. Oto Iskandar Dinata, anggota;
8) Drs. Mohamad Hatta, anggota.
Rapat gabungan antara Panitia Delapan dengan sejumlah anggota Tyuuo
Sangi-In (badan penasihat pemerintah balatentara Jepang) yang merangkap
sebagai anggota BPUPKI dan sejumlah orang anggota BPUPKI yang bukan
anggota Tyuuo Sangi-In, menghasilkan putusan :
1) Supaya selekas-lekasnya Indonesia merdeka;
2) Supaya hukum dasar yang akan dirancang diberi semacam preambule (kata
pembukaan atau mukaddimah);
3) Menerima anjuran Ir. Sukarno supaya BPUPKI terus bekerja sampai
terwujudnya suatu hukum dasar;
4) Membentuk satu panitia kecil penyelidik usul-usul/perumus dasar negara
yang dituangkan dalam mukaddimah hukum dasar.
Panitia kecil dimaksud terbentuk yang terdiri dari sembilan orang
sehingga disebut ”Panitia Sembilan” yang terdiri dari :
1) Ir. Sukarno sebagai Syuusa/Ketua merangkap anggota;
2) Drs. Mohamad Hatta, anggota;
3) Mr. A.A. Maramis, anggota;
4) K.H. Wahid Hasyim, anggota;
5) Abdul Kahar Muzakkir, anggota;
6) Abikusno Cokrosuyoso, anggota;
7) H. Agus Salim, anggota;
8) Mr. Ahmad Subarjo, anggota;
9) Mr. Muhammad Yamin, anggota.
Panitia Sembilan terus bekerja keras, dan pada sidang tanggal 22 Juni
1945 pk. 20.00 waktu Jawa, bertempat di rumah kediaman Ir. Sukarno, Jl.
Pengangsaan Timur No. 56 Jakarta, mencapai satu modus, satu persetujuan
antara pihak golongan Islam dengan pihak golongan kebangsaan (nasionalis),
yang termaktub dalam rancangan mukaddimah hukum dasar atau rancangan
24
preambule hukum dasar yang akan dipersembahkan pada sidang pleno
BPUPKI. Naskah rancangan hukum dasar itu disetujui secara bulat, kemudian
dikenal dengan Piagam Jakarta. Adapun bunyi naskah Piagam Jakarta
dimaksud adalah :
MUKADDIMAH
Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh
sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak
sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Dan perjuangan pergerakan Kemerdekaan Indonesia telah sampailah
kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat
Indonesia ke dapan pintu gerbang Negara Indonesia yang merdeka,
berdaulat, adil dan makmur.
Atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan dengan didorongkan
oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka
rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.
Kemudian daripada itu, untuk membentuk suatu pemerintahan negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah
kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu hukum dasar negara
Indonesia yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasar kepada ke-Tuhanan
dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya,
menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawarat-
an perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.
Jakarta, 22-6-2605*)
*) 22 Juni 2605 adalah tahun Sumera/Nippon = 22 Juni 1945.
25
Rancangan Preambule (Mukaddimah) itu kemudian oleh Mr. Muham-
mad Yamin dinamakan ”Jakarta Charter” atau ”Piagam Jakarta” yang
merupakan kesepakatan yang luhur atau ”gentlemen’s agreement” antara
golongan Islam dan golongan kebangsaan (nasionalis).
Dengan mencermati naskah Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945
tersebut di atas, khususnya pada alinea IV bagian terakhir, ternyata berisi
rumusan atau prinsip-prinsip dan sistematika urutan Pancasila yang pertama,
yang jika diberi angka (Ismaun, 1978:166) akan berbunyi :
1) Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-
pemeluknya.
2) Kemanusiaan yang adil dan beradab.
3) Persatuan Indonesia, dan
4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusya-
waratan perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu
5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Lain daripada itu dalam alinea III memuat rumusan teks Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia yang pertama, yang berbunyi, ”Atas Rahmat Allah
Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya
berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan
dengan ini kemerdekaannya”.
Jadi, dapatlah dikatakan rumusan kalimat teks proklamasi kemerdekaan
tersebut di atas, sebagai ”Declaration of Indonesian Independence” yang tidak
kalah nilainya jika dibandingkan dengan isi ”Declaration of Independence”
Amerika Serikat. (Thomas Jefferson, cs.).
Sebenarnya pada masa sidang kedua BPUPKI dari tanggal 10 s/d 16 Juli
1945 ketika merumuskan hukum dasar, sempat dirumuskan pula naskah
proklamasi kemerdekaan Indonesia, akan tetapi ternyata yang jadi dibacakan
pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah yang dikonsep oleh Ir. Sukarno, bersama
Drs. Mohamad Hatta, dan Mr. Ahmad Subarjo di rumah Laksamana Maeda,
yang disaksikan oleh Miyoshi, Sukarni, Mbah Diro, dan B.M. Diah. (Marwati,
VI, 1993:84).
26
e. Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia merdeka, dengan diproklamasikan-
nya kemerdekaan Indonesia oleh Sukarno – Hatta di Pegangsaan Timur No. 56
Jakarta. Keesokan harinya setelah proklamasi kemerdekaan, yaitu tanggal 18
Agustus 1945, sidang pleno Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
atau Dokuritsu Zyunbi Iinkai, mengambil tiga buah keputusan, yaitu :
1) Mengesahkan Undang-Undang Dasar RI dengan jalan :
a) Menetapkan Piagam Jakarta dengan beberapa perubahan sebagai Pem-
bukaan Undang-Undang Dasar RI;
b) Menetapkan Rancangan Hukum Dasar yang telah diterima BPUPKI pada
tanggal 17 Juli 1945 setelah mengalami berbagai perubahan sebagai
Undang-Undang Dasar Negara RI (tahun 1945).
2) Memilih Presiden dan Wakil Presiden yang pertama (Ir. Sukarno dan Drs.
Mohamad Hatta).
3) Menetapkan berdirinya Komite Nasional sebagai Badan Musyawarah Daru-
rat. (Ismaun, loc.cit. 183).
PPKI ini sendiri dibentuk pada tanggal 9 Agustus 1945 sebagai pening-
katan dari BPUPKI, sehingga kesan badan bentukan Jepang untuk menerima
”hadiah kemerdekaan” hilang, karena PPKI benar-benar merupakan ”Badan
Nasional Indonesia” yang dibentuk oleh bangsa Indonesia sendiri. (Darji
Darmodiharjo, 1991:30). PPKI ini mempunyai kedudukan dan fungsi yang
sangat penting, karena :
1) Mewakili seluruh bangsa Indonesia;
2) Sebagai pembentuk negara (yang menyusun negara RI setelah proklamasi
17 Agustus 1945);
3) Menurut teori hukum, badan seperti ini mempunyai wewenang untuk
meletakkan dasar negara/pokok kaidah negara yang fundamental. (Dardji,
ibid:30).).
Demikianlah, dengan telah resminya Indonesia menjadi negara yang
merdeka dan berdaulat, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maka
resmi pulalah keberadaan Pancasila sebagai dasar falsafah negara karena
tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (1945).
27
Berkenaan dengan sejarah singkat proses perumusan Pancasila seperti
yang diuraikan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa konsep rumusan dasar
negara itu, ada empat versi :
a. Rumusan Usulan Mr. Muhammad Yamin :
1) Peri Kebangsaan.
2) Peri Kemanusiaan.
3) Peri Ke-Tuhanan.
4) Peri Kerakyatan.
5) Kesejahteraan Rakyat.
yang kemudian disusul dengan usulan tertulis dalam rancangan Pembukaan
UUD RI :
1) Ketuhanan Yang Maha Esa;
2) Kebangsaan Persatuan Indonesia;
3) Rasa Kemanusiaan yang adil dan beradab;
4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawa-
ratan perwakilan;
5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonbesia.
b. Rumusan Usulan Ir. Sukarno :
1) Kebangsaan Indonesia.
2) Internasionalisme atau Perikemanusiaan.
3) Mufakat atau Demokrasi.
4) Kesejahteraan Sosial.
5) Ke-Tuhanan.
Kelima asas itu diberi nama Pancasila (lima asas atau dasar) yang meru-
pakan satu rangkaian kesatuan yang bulat. Pancasila dapat diperas menjadi
tiga (Trisila), yaitu :
1) Socio Nationalism (Kebangsaan dan Perikemanusiaan).
2) Socio Democratie (Demokrasi dan Kesejahteraan Sosial).
3) Ke-Tuhanan yang berkeadaban.
Trisila pun dapat diperas lagi menjadi satu (Ekasila), yaitu ”Gotong
Royong”.
28
c. Rumusan dalam Piagam Jakarta 22 Juni 1945 :
1) Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-
pemeluknya.
2) Kemanusiaan yang adil dan beradab.
3) Persatuan Indonesia, dan
4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusya-
waratan perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu
5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
d. Rumusan dalam Pembukaan UUD 1945 :
1) Ketuhanan Yang Maha Esa.
2) Kemanusiaan yang adil dan beradab.
3) Persatuan Indonesia.
4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawa-
ratan/perwakilan.
5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Bangsa Indonesia telah sepakat bahwa dasar/falsafah negara sekaligus
pandangan hidup bangsa Indonesia dinamakan Pancasila. Dan dari rumusan-
rumusan dasar/falsafah Pancasila sebagaimana dikemukakan di atas, yang
sekarang berlaku mengikat bagi negara, pemerintah, dan seluruh rakyat
Indonesia, tentu saja yang secara resmi tercantum dalam Pembukaan UUD 1945,
walaupun istilah Pancasilanya sendiri tidak disebutkan. Hal ini mengingat UUD
1945 adalah hukum dasar tertulis negara Republik Indonesia yang memuat dasar
dan garis besar hukum dalam penyelenggaraan negara, dan berkedudukan
sebagai landasan struktural dalam penyelenggaraan pemerintahan negara RI. Hal
ini sesuai pula dengan pendapat Notonagoro (1971:17) bahwa tempat terdapat-
nya Pancasila ialah dalam Pembukaan UUD 1945.
Jika sekarang kembali muncul suara dan pendapat bahwa Pancasila lahir
pada tanggal 1 Juni 1945, berarti adalah Pancasilanya rumusan Ir. Sukarno, salah
seorang pengusul atau perumus dasar negara. Padahal pada waktu itu belum ada
kesepakatan secara ”nasional” di BPUPKI atas usulan-usulan dasar negara
dimaksud, termasuk usulan dari Mr. Muhammad Yamin. Justru kesepakatan
29
dicapai pada tanggal 22 Juni 1945 dengan lahirnya Piagam Jakarta. Akan tetapi
kemudian ada masalah pada Piagam Jakarta dengan tercantumnya tujuh kata
yang menyertai Ketuhanan, yaitu ”dengan kewajiban menjalankan syariat Islam
bagi pemeluk-pemeluknya”, sehingga orang-orang Indonesia bagian timur
berkeberatan, karena negara Indonesia yang akan dibentuk bukanlah negara
agama. Maka setelah diadakan pembicaraan mendalam antara golongan Islam
dan nasionalis/non Islam dicapai konsensus atau kesepakatan, yaitu menghilang-
kan tujuh kata dimaksud tetapi dengan mencantumkan Yang Maha Esa setelah
Ketuhanan, sehingga menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Golongan Islam
berpendapat bahwa dengan pencantuman Yang Maha Esa, berarti syariat Islam
tetap masuk, karena berarti negara berdasarkan agama tauhid, sebagai landasan
utama agama Islam, kendati tidak benar-benar ”memuaskan”.
Jadi, 1 Juni 1945 itu, yang benar adalah tanggal atau hari lahirnya istilah
Pancasila untuk nama dasar/falsafah negara Indonesia.
5. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan Maknanya.
Perjuangan pergerakan bangsa Indonesia mencapai puncaknya berupa pelepas-
an diri dari kekuasaan penjajah dengan diproklamasikannya kemerdekaan
Indonesia oleh Ir. Sukarno dan Drs. Mohamad Hatta pada hari Jumat tanggal 17
Agustus 1945 pukul 10.00 pagi di Pagangsaan Timur Jakarta. Hal ini diawali
dengan kekalahan Jepang oleh Sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945 setelah
pengeboman Hiroshima dan Nagasaki. Inggris oleh Sekutu diserahi tugas untuk
menerima penyerahan Indonesia dari Jepang. Situasi kekosongan kekuasaan di
Indonesia ini dimanfaatkan dengan baik oleh bangsa Indonesia untuk
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Teks Proklamasi : PROKLAMASI
Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan Kemerdekaan Indonesia. Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan dan lain-lain, diselenggarakan dengan tjara saksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.
Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen ‘05 Atas nama bangsa Indonesia Soekarno/Hatta
Tahun ’05 maksudnya 2605, yaitu tahun Sumera Jepang, bertepatan dengan tahun masehi 1945.
30
Naskah proklamasi tulisan tangan Ir. Sukarno kemudian diketik oleh Sayuti
Melik. Tanggal, bulan, dan tahun 05 Sumera Jepang (2605) diganti menjadi 17
Agustus 1945.
Makna proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah :
a. Sebagai titik puncak (kulminasi) perjuangan bangsa Indonesia;
b. Sebagai sumber lahirnya negara Republik Indonesia;
c. Merupakan norma pertama dari tata hukum negara Indonesia.
Proklamasi kemerdekaan Indonesia ini mempunyai akibat :
a. Secara yuridis, berarti telah bebas dari ikatan tata hukum pemerintahan
kolonial;
b. Secara politis, berarti telah bebas dari lembaga politik rumah tangga kolonial
dan akan mengatur rumah tangga sendiri;
d. Secara ideologis, berarti telah bebas dari penindasan dan pemerasan ideologi
kolonialisme dan imperialisme, dan mampu menerapkan ideologi sendiri,
yaitu Pancasila sebagai pandangan hidup dan dasar negara;
e. Secara moral dan kulktural, berarti telah bebas dari tindakan-tindakan yang
bertentangan dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan serta nilai-nilai
budaya barat yang individualistis, liberalistis, dan kapitalistis, menjadi bangsa
yang berperikemanusiaan dan berkeadilan, serta mampu membina dan
mengembangkan nilai-nilai kebudayaan nasional yang sesuai dengan
kepribadian bangsa sendiri, yaitu Pancasila;
f. Secara ekonomis, berarti telah bebas dan dapat mengatur kehidupan ekonomi
nasional dalam rangka mengisi kemerdekaan menuju masyarakat adil dan
makmur berdasarakan Pancasila.
Piagam Jakarta kemudian dijadikan Pembukaan UUD (1945) dengan bebe-
rapa perubahan di sana-sini, sehingga karenanya menurut Ir. Sukarno Piagam
Jakarta menjiwai Pembukaan UUD 1945. Adapun perubahan-perubahan dimak-
sud dapat dilihat pada matrik di bawah ini.
PIAGAM JAKARTA PEMBUKAAN UUD (1945)
- Mukaddimah - Pembukaan
- ”...dalam suatu hukum dasar negara”. - ”...dalam suatu Undang-Undang Dasar Nega-
31
ra...”
- ”...dengan berdasar kepada : Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
- ”...dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa”.
- ”...menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.”
- ”...Kamanusiaan yang adil dan beradab”.
Perubahan pun terjadi menyangkut Pasal-pasal dalam Rancangan Hukum
Dasar menjadi UUD (1945), yaitu :
RANCANGAN HUKUM DASAR UUD (1945)
- - Istilah ”Hukum Dasar” - - Undang-Undang Dasar
- - dua orang Wakil Presiden - - seorang Wakil Presiden
- - Presiden harus orang Indonesia asli yang bera beragama Islam.
- - Presiden harus orang Indonesia asli.
- - selama perang, pimpinan perang dipegang oleh oleh Jepang dengan persetujuan Peme-rinta rintah Indonesia.
- - dihapus.
Tanggal 19 Agustus 1945, pada sidang PPKI berhasil ditetapkan :
a. Daerah-daerah provinsi, dengan pembagian :
1) Jawa Barat;
2) Jawa Tengah;
3) Jawa Timur;
4) Sumatera;
5) Borneo (Kalimantan);
6) Sulawesi;
7) Maluku;
8) Sunda Kecil.
b. Departemen atau Kementerian, yang terdiri dari :
1) Dalam Negeri;
2) Luar Negeri;
3) Kehakiman;
4) Keuangan;
5) Kemakmuran;
6) Kesehatan;
32
7) Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan;
8) Sosial;
9) Pertahanan;
10) Penerangan;
11) Perhubungan;
12) Pekerjaan Umum.
C. MASA PERJUANGAN MEMPERTAHANKAN DAN MENGISI KEMERDEKAAN 1. Masa Revolusi Fisik.
a. UUD (1945) dirumuskan dalam waktu singkat oleh BPUPKI. BPUPKI kemudian
berubah (ditingkatkan) menjadi PPKI;
b. Disadari untuk membentuk peraturan perundang-undangan sebagaimana
dikehendaki membutuhkan waktu lama, padahal tenaga dan pikiran para
pemimpin waktu itu dipusatkan dan ditujukan untuk mempertahankan
kemerdekaan yang mendapat penentangan dari Belanda yang ingin menjajah
kembali;
c. Karena itu segala sesuatunya diatur dalam aturan peralihan UUD sebagai
berikut :
Pasal I :
Patitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mengatur dan menyelenggarakan
kepindahan pemerintahan kepada pemerintah Indonesia.
Pasal II :
Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama
belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.
Pasal III :
Untuk pertama kali Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia.
Pasal IV :
Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan De-
33
wan Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-Undang Dasar ini, segala
kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan Komite Nasional
Indonesia Pusat (KNIP).
Berdasarkan Maklumat Wakil Presiden No. X (baca : nomor eks) tanggal
16 Oktober 1945 tentang Pemberian Kekuasaan Legislatif kepada KNIP, maka
KNIP dianggap sebagai DPR dan bahkan MPR.
2. Masa Demokrasi Liberal.
Setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia kedua (PD-II), Belanda dengan
membonceng tentara Sekutu yang bertugas melucuti Jepang, datang lagi di
Indonesia dengan maksud menjajah kembali. Sisa-sisa penguasa Belanda yang
lari ke Australia pada masa pendudukan Jepang tahun 1942 mendirikan
Netherlands Indies Civil Administration (NICA) di bawah pimpinan Van der Plas
dan Van Mook yang tujuannya ingin mengembalikan kekuasaan kolonialnya di
Indonesia. Dalam rangka memecah belah dan menguasai (devide et impera),
Belanda berhasil membentuk negara-negara kecil yang bersifat kedaerahan.
Jadi, pada waktu itu terdapat :
a. Pemerintah Republik Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus 1945 yang
berkedudukan di Yogyakarta;
b. Pemerintah negara-negara kecil di sebagian wilayah Indonesia bentukan
Belanda : Negara Indonesia Timur (1946), Negara Sumatera Timur (1947),
Negara Pasundan (1948), Negara Sumatera Selatan (1948), Negara Jawa Timur
(1948), dan Negara Madura (1948).
Negara-negara bentukan Belanda ini bergabung dalam ”Bijjenkomst voor
Federal Overleg” (BFO) atau Pertemuan untuk Permusyawaratan Federal.
Karena kemudian banyak pertentangan dan perlawanan di mana-mana yang
dilakukan bangsa Indonesia, Belanda mengupayakan pembentukan Republik
Indonesia Serikat (RIS). Upaya ini didahului tekanan-tekanan secara diplomatis
antara lain melalui Persetujuan Linggarjati (25 Maret 1947) dan Persetujuan
Renville (17 Januari 1945). Isi persetujuan-persetujuan tersebut pada hakikatnya
34
merugikan dan mempersempit wilayah serta kekuasaan Republik Indonesia.
Coba saja kita lihat :
a. Isi persetujuan Linggarjati 15 November 1966 :
1) Pemerintah Belanda mengakui kekuasaan de facto RI atas Jawa, Madura,
dan Sumatra;
2) Pemerintah Indonesia dan Belanda akan mendirikan Negara Indonesia
Serikat pada tanggal 1 Januari 1949;
3) Negara Indonesia Serikat bergabung dengan negeri Belanda dalam suatu
Uni Indonesia-Belanda.
(Catatan : Delegasi Indonesia dipimpin oleh PM Sutan Syahrir dan delegasi
Belanda dipimpin oleh Schermerhorn).
b. Isi persetujuan Renville 17 Januari 1948 :
1) Pemerintah RI harus mengakui kedaulatan Belanda atas Hindia Belanda
sampai pada waktu yang ditetapkan oleh kerajaan Belanda untuk mengakui
negara Indonesia Serikat.
2) Di daerah Jawa, Madura, dan Sumatra diadakan pemungutan suara untuk
menentukan, apakah daerah-daerah tersebut ingin masuk RI atau masuk
RIS.
Akibat persetujuan Renville, adalah :
a. Wilayah RI menjadi lebih kecil, yaitu Yogyakarta saja, padahal pada waktu
persetujuan Linggajati meliputi Jawa, Madura, dan Sumatra;
b. TNI yang berada di wilayah Jawa Barat harus dipindahkan (hijrah) ke Jawa
Tengah. Anggota TNI yang ingkar bergabung menjadi gerombolan DI-TII di
Jawa Barat pimpinan Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo.
Dipandang upayanya akan mengalami kegagalan, maka Belanda melakukan
agresi militer sampai dua kali. Yang pertama terjadi pada 21 Juli 1947 dan kedua
19 Desember 1948. Pihak Belanda menamakan Aksi Polisionil untuk menen-
tramkan keadaan, padahal kenyataannya yang dikerahkan seluruh kekuatan
tentaranya. Pada aksi militer kedua ini kota Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda,
bahkan Presiden dan Wakil Presiden serta beberapa Menteri ditangkap dan
diasingkan ke Bangka dan Prapat di Sumatera Utara. Dengan jatuhnya Yogya-
35
karta, Belanda mengira riwayat RI sudah tamat. Tetapi ternyata tidak, karena
para pemimpin sebelumnya telah memperhitungkan kelangsungan hidup RI,
yaitu dengan berdirinya ”Pemerintahan Darurat Republik Indonesia” (PDRI) pada
tanggal 19 Desember 1948 oleh Mr. Syafruddin Prawiranegara, dkk. di Bukit-
tinggi, Sumatra Barat. Pemerintah sekaligus menunjuk Mr. Syafruddin Pra-
wiranegara sebagai Kepala Pemerintahan yang meneruskan tugas pemerintahan
RI. Pada tahun 2006 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan tanggal
19 Desember sebagai Hari Bela Negara.
Perlawanan pihak Indonesia bukan mengendur, malah semakin meng-
gelora, sehingga situasi menjadi gawat, dan akhirnya Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) campur tangan menyelesaikan pertikaian RI dengan Belanda ini. Maka
dengan difasilitasi PBB, pada tanggal 23 Agustus s/d 2 November 1949 di Den
Haag negeri Balanda, diselenggarakan Konferensi Meja Bundar (KMB) yang
isinya :
a. Didirikan Republik Indonesia Serikat (RIS);
b. Pengakuan kedaulatan oleh Kerajaan Belanda atas Pemerintah RIS;
c. Didirikan Uni antara RIS dengan Kerajaan Belanda.
(Catatan : Delegasi RI dipimpin oleh Drs. Mohamad Hatta, delegasi Belanda
dipimpin oleh Van Maarseveen, delegasi BFO dipimpin oleh Sultan Hamid II,
dan Komisi PBB diwakili oleh Harremans, Merle Cochran, Critchley, dan
Romanos).
Pengakuan kedaulatan Pemerintah RIS dilakukan tanggal 27 Desember
1949. Indonesia terpaksa menerima kesepakatan KMB sebagai taktik untuk
pengakuan dunia internasional terlebih dulu, yang pada perjuangan berikutnya
berupaya kembali ke Negara Kesatuan. Hal ini terbukti yang asalnya banyak
Negara-negara Bagian di dalam RIS, kemudian bergabung ke Negara Bagian
RI/Negara Proklamasi 17 Agustus 1945 (Yogyakarta), sehingga akhirnya hanya
tinggal tiga Negara Bagian saja, yaitu RI, Negara Indonesia Timur, dan Negara
Sumatera Timur.
Semangat untuk kembali ke Negara Kesatuan terwujud setelah musya-
warah antara Pemerintah RIS dengan Negara Bagian RI yang pada tanggal 5 Mei
36
1950 bersepakat untuk bersama-sama melaksanakan Negara Kesatuan sebagai
penjelmaan RI yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. UUD (1945)
pun diganti dengan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS 1950) dengan
mengubah bagian-bagian dari Konstitusi RIS yang tidak sesuai dengan jiwa
negara kesatuan.
Pada periode 1949-1950 pada kenyataanya Indonesia berorientasi pada
pemerintahan yang berasaskan demokrasi liberal, antara lain dengan penerapan
Kabinet Parlementer (dewan menteri/penyelenggara pemerintahan yang dipim-
pin oleh Perdana Menteri, dibentuk/diangkat oleh dan bertanggung jawab
kepada Parlemen). Demikian juga saat berlakunya UUDS 1950 s/d 1959 yang
ditandai dengan kuatnya kedudukan parlemen, sehingga kabinet sering jatuh
bangun. Benar pada saat itu sejarah Indonesia menunjukkan sistem politik yang
sangat demokratis, tetapi ternyata menyebabkan kehancuran politik dan
perekonomian nasional. Konflik politik yang berkepanjangan tidak memberi
kesempatan dan waktu bagi pemerintah memikirkan masalah-masalah sosial
ekonomi serta menyusun dan melaksanakan program-program pembangunan.
3. Masa Orde Lama (Orla).
Pemilihan Umum (Pemilu) pertama tahun 1955 adalah Pemilu yang sangat
demokratis tetapi pada kenyataannya tidak dapat memenuhi harapan rakyat.
Tidak ada kestabilan politik, ekonomi, sosial, maupun pertahanan keamanan.
Hal ini disebabkan oleh :
a. Makin berkuasanya modal-modal raksasa (kapitalisme) terhadap pereko-
nomian Indonesia;
b. Akibat silih bergantinya kabinet, maka pemerintah tidak mampu menyalurkan
dinamika masyarakat ke arah pembangunan terutama bidang ekonomi;
c. Sistem demokrasi liberal berdasarkan UUDS 1950 mengakibatkan kabinet
sering jatuh bangun, sehingga pemerintahan tidak stabil.
Pada saat itu sampai tujuh kali pergantian kabinet :
a. Kabinet Natsir (6 September 1950 s/d 27 April 1951);
b. Kabinet Sukirman (27 April 1951 s/d 3 April 1952);
37
c. Kabinet Wilopo (3 April 1952 s/d 31 Juli 1953);
d. Kabinet Ali Sastroamidjojo (1 Agustus 1953 s/d 12 Agustus 1955);
e. Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955 s/d 24 Maret 1956);
f. Kabinet Ali Sastroamidjojo II (24 Maret 1956 s/d 9 April 1957);
g. Kabinet Djuanda (9 April 1957 s/d 10 Juli 1959).
Hasil Pemilu 1955 yang demokratris ternyata di dalam DPR tidak
mencerminkan perimbangan kekuatan politik yang sebenarnya hidup di
masyarakat, sebab banyak golongan-golongan di daerah-daerah belum terwakili.
Konstituante yang bertugas membentuk UUD baru, ternyata gagal. Karena
alasan-alasan ini, Presiden Soekarno menyatakan ketatalaksanaan Indonesia
dalam keadaan membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa serta keselamat-
an negara. Maka dengan landasan ”Hukum Tatanegara Darurat” atau negara
dalam keadaan bahaya (noodstaats-recht), pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden
mengeluarakan Dekrit Presiden, yang isinya :
a. Pembubaran Konstituante;
b. Penetapan berlakunya kembali UUD tahun 1945;
c. Dalam waktu yang sesingkat-singkatnya akan dibentuk Majelis Permusyawa-
ratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara
(DPAS).
Catatan :
a. Sejak peristiwa Dekrit Presiden 5 Juli 1959 itulah UUD ditambah dengan
pencantuman angka tahun ”1945” (menunjuk pada UUD yang asal, yang
dirumuskan oleh BPUPKI dan diresmikan oleh PPKI);
b. Dekrit adalah suatu putusan dari Kepala Negara (hak prerogatif) yang merupa-
kan penjelmaan kehendak yang sifatnya sepihak. Landasan hukum darurat
dibedakan atas dua macam, yaitu :
1) Hukum Tatanegara Darurat Subyektif, yaitu suatu putusan yang memberi
wewenang kepada Kepala Negara untuk apabila perlu mengambil tindakan-
tindakan hukum demi penyelamatan negara yang dalam keadaan bahaya
walaupun melanggar UUD dan hak asasi manusia. Contohnya Dekrit
Presiden 5 Juli 1959.
38
2) Hukum Tatanegara Darurat Obyektif, yaitu suatu putusan yang memberi
wewenang kepada Kepala Negara untuk mengambil tindakan-tindakan
hukum demi penyelamatan negara namun tetap berlandaskan pada UUD
atau konstitusi yang berlaku. Contohnya ”Supersemar” (Surat Perintah 11
Maret 1966) dari Presiden Sukarno kepada Jenderal Suharto pasca peris-
tiwa G-30-S/PKI.
Namun saat Presiden Abdurrahman Wahid (Gusdur) pada tahun 2001
mengeluarkan Dekrit Pembekuan/Pembubaran DPR dan MPR tidaklah tepat,
karena negara tidak dalam keadaan bahaya (hanya perseteruan antara Presiden
dengan DPR/MPR). Atas tindakan ini justru Presiden dianggap melanggar haluan
negara yang mengakibatkan Presiden (setelah dikeluarkan memorandum I dan II)
dilengserkan atau dimakzulkan (impeachment) oleh MPR di bawah pimpinan
Amien Rais pada Sidang Istimewa, dan kedudukannya digantikan oleh Wakil
Presiden Megawati Sukarnoputri.
Sejak Dekrit Preside 5 Juli 1959 itu Presiden Sukarno sebagai Kepala
Pemerintahan (ekskutif) menetapkan demokrasi terpimpin. Kendati maksudnya
ingin menuju kepada masyarakat adil dan makmur yang penuh dengan
kebahagiaan material dan spiritual sesuai dengan cita-cita proklamasi
kemerdekaan 17 Agustus 1945, tetapi dalam kenyataannya justru bertentangan
dengan atau menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945. Penyimpangan-
penyimpangan dimaksud antara lain :
a. Dengan Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 4 Tahun 1960, DPR hasil Pemilu
1955 dibubarkan, kemudian dibentuk DPR Gotong Royong yang anggota-
anggotanya diangkat dan diberhentikan oleh Presiden;
b. Pembentukan MPRS dan DPAS yang anggota-anggotanya juga diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden;
c. Lembaga-lembaga negara tersebut dipimpin oleh Presiden sendiri;
d. Pengangkatan Presiden seumur hidup dengan Ketetapan MPRS Nomor II dan
III/MPRS/1963;
e. Melalui Ketetapan MPRS Nomor I/MPRS/1963, Manifesto Politik Presiden
dijadikan Garis-garis Besar Haluan Negara;
39
f. Hak budget tidak berjalan karena Presiden tidak mengajukan Rancangan
Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RUU-APBN) untuk
mendapatkan persetujuan DPR. Saat RAPBN diajukan pun karena DPR tidak
menyetujui, maka DPR dibubarkan oleh Presiden;
g. Menteri-menteri Kabinet diperbolehkan menjabat sebagai Ketua MPRS, DPR-
GR, DPA, dan MA;
h. Atas rancangan Partai Komunis Indonesia (PKI), ideologi Pancasila diganti
dengan Manipol-USDEK (Manifesto Politik - Undang-Undang Dasar 1945,
Sosialisme ala Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, Kepriba-
dian Indonesia) dan ditetapkan konsep Nasakom (Nasional-Agama-Komunis).
4. Masa Orde Baru (Orba).
Pasca pemberontakan Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G-30-
S/PKI) tahun 1965, pemerintahan Presiden Sukarno atau disebut Orde Lama
(Orla) jatuh dan dimulailah pemerintahan baru yang dikenal dengan sebutan
Orde Baru (Orba) dengan maksud sebagai tatanan kehidupan masyarakat dan
pemerintahan baru yang menuntut dilaksanakannya Pancasila dan UUD 1945
secara murni dan konsekuen. Munculnya Orba ini diawali tuntutan ”Ampera”
(Amanat Penderitaan Rakyat) yang dipelopori oleh aksi-aksi pelajar dan
mahasiswa antara lain : KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia), KAPI
(Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia), KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia),
KASI (Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia), organisasi masa pelajar dan mahasiswa
seperti PII (Pelajar Islam Indonesia), HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), dan
unsur-unsur masyarakat lainnya yang juga didukung oleh tentara dan polisi yang
waktu itu bergabung dalam ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia).
Tuntutannya dikenal dengan ”Tritura” (Tiga Tuntutan Rakyat), yaitu :
a. Bubarkan PKI beserta Ormas-ormas onderbownya;
b. Turunkan harga-harga;
c. Bersihkan Kabinet dari unsur-unsur G-30-S/PKI.
Dalam rangka kestabilan keamanan dan ketertiban dibentuk lembaga
Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Untuk menjaga
40
terpeliharanya kekuasaan dan kelanjutan pembangunan, ditetapkan Garis-garis
Besar Haluan Negara (GBHN) melalui Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1973, dan
tahun 1983 dikeluarkan lima paket Undang-Undang bidang politik, yaitu ten-
tang :
a. Susunan dan Kedudukan MPR/DPR;
b. Pemilihan Umum;
c. Partai Politik dan Golongan Karya;
d. Organisasi Kemasyarakatan;
e. Referendum.
Untuk memantapkan pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945, melalui
Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 ditetapkan Pedoman Penghayan dan Peng-
amalan Pancasila (P-4) atau disebut juga ”Eka Prasetya Pancakarsa,” dan untuk
mensosialisasikan/melaksanakannya dibentuk lembaganya, yaitu Badan Pembi-
naan Pendidikan Palaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila,
disingkat BP-7.
Berawal dari Pidato Presiden Suharto tanggal 16 Agustus 1982, maka
dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1985 sebagai perubahan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1973 tentang Parpol dan Golkar, Pancasila dijadikan ”asas
tunggal” bagi seluruh organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan. Kesera-
gaman asas ini tujuannya antara lain untuk mengurangi seminimal mungkin
potensi konflik ideologi. Termasuk tidak dibenarkan adanya oposisi. Tetapi ini
berarti mengingkari ”kebhinnekaan” masyarakat yang berkembang menurut
keyakinan masing-masing.
Dalam kenyataannya Orba pun menyimpang dari perjuangannya semula.
Hal ini dapat dilihat antara lain :
a. Tidak mengakui tanggal 1 Juni sebagai hari kelahiran Pancasila;
b. Butir-butir P-4 secara halus mendidik ketaatan individu kepada kekuasaan,
sementara itu tidak ada satu butir pun yang mencantumkan kewajiban negara
kepada rakyatnya;
c. Pengamalan Pancasila dengan membentuk citra pembangunan sebagai ideo-
ologi, sehingga ada rekayasa mendukung Presiden Suharto sebagai ”Bapak
41
Pembangunan” melalui kebulatan-kebulatan tekad;
d. Pimpinan MPR dan DPR dirangkap;
e. Di sana-sini terjadi KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme).
Keadaan masa itu memang lebih baik jika dibandingkan dengan masa Orla,
antara lain :
a. Stabilitas ekonomi dan politik baik;
b. Sumber daya manusia lebih baik;
c. Sistem ekonomi dan politik terbuka (western oriented);
d. Kondisi ekonomi politik lebih baik;
e. Keamanan dan ketertiban terkendali;
f. Kemauan (political will) pemerintah untuk pembangunan kuat.
Akan tetapi kelemahan-kelemahan Orba pun banyak, antara lain :
a. Fungsi ”check and balances” tidak jalan, dan parlemen (DPR) hanya sebagai
”stempel karet” (yes man) bagi penguasa;
b. Pemerintahan mengacu kepada karakter individu sang pemimpin (kultus
individu);
c. Institusi kontrol/pengawasan (DPR) lemah;
d. Praktek monopoli ekonomi (konglomeratisme);
e. Lembaga kepresidenan adalah ”the ruler” yang mengatur segalanya;
f. Korporatisme diartikan sebagai sistem kenegaraan, di mana pemerintah dan
swasta (dunia usaha) saling berhubungan secara tertutup, yang ciri-cirinya :
1) Kekuasaan menjadi lahan subur bagi ”redistributive combine” di antara
segelintir orang;
2) Kepentingan ekonomi dan politik menyatu dalam format ekonomi;
3) Sumber-sumber ekonomi hanya dinikmati segelintir pelaku ekonomi yang
dekat dengan kekuasaan;
4) Perburuan rente sangat subur dalam situasi ekonomi politik tertutup.
5) Nilai-nilai agama dan budaya tidak dijadikan etika berbangsa dan ber-
negara;
6) Pancasila sebagai ideologi negara ditafsirkan sepihak oleh penguasa yang
ingin mempertahankan kekuasaannya;
42
7) Terjadi konflik sosial budaya dan diperburuk oleh penguasa yang menghi-
dupkan kembali feodalisme dan paternalisme;
8) Hukum menjadi alat kekuasaan yang dalam pelaksanaannya diseleweng-
kan;
9) Perilaku ekonomi berlangsung dengan praktek KKN dan berpihak kepada
sekelompok pengusaha besar (lihat kasus BLBI = Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia);
10) Sistem politik otoriter;
11) Pemerintahan mengabaikan proses demokrasi (misalnya terdapat ang-
gota MPR/DPR termasuk DPRD yang diangkat atau tidak melalui proses
Pemilu);
12) Pemerintahan sentralistik yang menimbulkan kesenjangan antara Pusat
dengan Daerah sehingga menimbulkan sparatisme;
13) Penggunaan tangan besi (contoh Daerah Operasi Militer) untuk menyele-
saikan konflik di daerah sehingga melanggar HAM;
14) Penyalahgunaan kekuasaan karena lemahnya pengawasan;
15) Peran ”dwi fungsi” ABRI sehingga ABRI dijadikan alat kekuasaan yang
mengakibatkan tidak berkembangnya demokrasi;
16) Peralihan kekuasaan akhirnya berdarah-darah.
5. Masa Globalisasi.
Penyimpangan-penyimpangan parah yang dilakukan Orba mencapai puncaknya
berupa krisis moneter tahun 1997 yang mengakibatkan lengsernya Presiden
Suharto tahun berikutnya. Dimulailah pemerintahan di era globalisasi ini
dengan reformasi, sehingga disebut pemerintahan reformasi. Pada masa ini
sampai tiga kali pergantian Presiden, yaitu Presiden B.J. Habibie dengan Kabinet
Reformasi Pembangunan, Presiden Abdurrahman Wahid (Gusdur) dengan
Kabinet Persatuan Nasional, dan Presiden Megawati Sukarnoputri dengan
Kabinet Gotong Royong.
Yang perlu dicatat pada era ini adalah pembangunan nasional tidak lagi
dilaksanakan seperti pada masa Orba dengan ”Repelita” (Rencana Pembangun-
43
an Lima Tahun), tetapi dengan ”Propenas” (Program Pembangunan Nasional)
yang disusun oleh BAPPENAS (Badan Perencana Pembangunan Nasional) yang
berlaku untuk tahun 2000-2004. Akan tetapi di masa pemerintahan Presiden
Megawati telah berhasil ditetapkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004
tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, sehingga memudahkan
pemerintahan berikutnya (Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang berpasang-
an dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla) menyusun program berdasarkan SPPN ini,
yaitu Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2004-
2009. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) adalah Presiden pertama yang
dipilih langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2004
berdasarkan Undang-undang Dasar 1945 yang telah dirubah (amandemen). Dan
untuk kedua kalinya SBY yang berpasangan dengan Prof. Dr. Budiono pada
Pilpres tahun 2009 terpilih kembali menjadi Presiden dan Wakil Presiden.
Beberapa hal mengenai program pembangunan nasional tersebut antara
lain :
a. Berdasarkan Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2001, ditetapkan visi Indonesia
Masa depan, yaitu :
1) Visi Indonesia masa depan ialah cita-cita luhur sebagaimana tercantum
dalam Pembukaan UUD 1945;
2) Visi lima tahunan dirumuskan dalam GBHN;
3) Visi antara masa depan dan lima tahunan disebut visi Indonesia 2020.
b. Visi Indonesia 2020 adalah ”Terwujudnya masyarakat Indonesia yang religius,
manusiawi, bersatu, demokratis, adil, sejahtera, maju, mandiri, serta baik dan
bersih dalam penyelenggaraan negara”;
c. Pembangunan politik, meliputi :
1) Politik Dalam Negeri :
a) Pengembangan konstitusi;
b) Penataan sutruktur politik;
c) Pemilu;
d) Kepemimpinan nasional;
e) Partisipasi politik;
44
f) Kesadaran berbangsa;
g) Pendidikan dan budaya politik;
h) Kemandirian TNI, dsb.
2) Politik Luar Negeri :
a) Penguatan politik luar negeri dan diplomasi;
b) Peningkatan kerjasama luar negeri;
c) Perluasan perjanjian ekstradisi dengan negara tetangga, dll.
d. Penyelenggara Negara :
Mewujudkan penyelenggara negara yang baik dan profesional.
e. Otonomi Daerah :
1) Pemantapan perimbangan keuangan Pusat dan Daerah;
2) Penguatan kemampuan sumber daya manusia;
3) Penataan kelembagaan daerah;
4) Pembinaan dan pengawasan.
f. Pembangunan Ekonomi, meliputi :
1) Sistem ekonomi kerakyatan;
a) Pengembangan sistem ekonomi kerakyatan;
b) Pengentasan kemiskinan;
c) Peningkatan pemerataan serta pemberdayaan Usaha Kecil Me-nengah
(UKM) dan koperasi.
2) Percepatan proses pemulihan ekonomi :
a) Program pengelolaan ekonomi makro dan mikro;
b) Peningkatan efektivitas pengelolaan keuangan negara;
c) Peningkatan efektivitas pengelolaan utang luar negeri;
d) Penuntasan restrukturisasi perbankan dan lembaga keuangan;
e) Pengembangan ketenagakerjaan.
g. Pembangunan Hukum :
1) Penataan sistem dan kelembagaan hukum;
a) Perencanaan dan pengembangan sistem hukum nasional;
b) Pembentukan dan penyusunan hukum;
c) Pembinaan kelembagaan hukum.
45
2) Penegakkan hukum :
a) Penegakkan dan pelayanan hukum;
b) Pembinaan peradilan, dsb.
3) Peningkatan kualitas aparat penegak hukum dan sarpras hukum, dll.
Tantangan yang harus dijawab adalah :
a. Pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa;
b. Sistem hukum yang adil;
c. Sistem politik yang demokratis;
d. Sistem ekonomi yang adil dan produktif;
e. Sistem sosial budaya yang beradab;
f. Sumber daya manusia yang berkualitas;
g. Globalisasi.
Sebagai acuan dalam rangka perencanaan pembangunan nasional berdasar-
kan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pemba-
ngunan Nasional (SPPN) yang perlu dicatat adalah :
a. Tidak ada lagi GBHN yang ditetapkan oleh MPR untuk dijalankan Presiden, dan
karenanya Presiden bukan lagi mandataris MPR;
b. Program-program yang akan dijalankan Presiden/Wakil Presiden dalam jang-
ka waktu lima tahun (masa jabatannya) adalah RPJMN (Rencana Pembangun-
an Jangka Menengah Nasional) yang berasal dari visi dan misi, serta program
kerja pasangan calon Presiden/Wakil Presiden yang disampaikan pada waktu
pencalonan dan kampanye pemilihan Presiden.
Setelah empat kali amandemen UUD 1945, tahun 2004 diselenggarakan
pemilihan Presiden/Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat. Hasilnya terpilih
pasangan Presiden Dr. Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Drs.
Muhammad Jusuf Kalla dengan masa jabatan dari tahun 2004 s/d 2009. Lima
tahun kemudian, yaitu tahun 2009, diselenggarakan lagi Pilpres oleh rakyat, dan
hasilnya terpilih pasangan Presiden SBY dan Wakil Presiden Prof. Dr. Budiono
untuk masa jabatan dari tahun 2009 s/d 2014.
RPJMN ditetapkan oleh Presiden dalam bentuk Peraturan Presiden, (Per-
pres) karena merupakan rencana untuk mewujudkan janji-janjinya pada saat
46
kampanye. Untuk tahun 2004-2009 RPJMN ditetapkan dengan Perpres Nomor 7
Tahun 2005. RPJMN ditempuh melalui strategi pokok yang dijabarkan dalam
agenda pembangunan nasional, memuat sasaran-sasaran pokok yang harus
dicapai, arah kebijakan, dan program-program pembangunan. Adapun untuk
RPJMN tahun 2009-2014 ditetapkan dengan Perpres No. 5 Tahun 2010.
Untuk lebih jelasnya proses pelaksanaan pembangunan di masa reformasi
didasarkan pada :
a. UUD 1945;
b. UU No. 7 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;
c. UU No. 25 Tahun 2004 tentang SPPN;
d. Perpres tentang RPJMN;
e. UU-APBN.
47
BAB IV PENGERTIAN DAN HAKIKAT PANCASILA
A. PENGERTIAN PANCASILA
Untuk memahami Pancasila secara kronologis baik menyangkut rumusan maupun
peristilahannya, pengertian Pancasila dapat dibahas secara etimologis, historis, dan
terminologis.
1. Pengertian Pancasila secara Etimologis.
a. Pancasila berasal dari bahasa Sanskerta (kasta Brahmana). Menurut Muham-
mad Yamin (1960:437) :
Panca = Lima
Syila (vokal i pendek) = Batu sendi, alas, dasar.
Syiila (vokal i panjang) = Peraturan tingkah laku yang baik, yang penting,
yang senonoh.
Pancasyila = Berbatu sendi/alas/dasar yang lima.
Pancasyiila = Lima aturan tingkah laku yang penting/baik.
b. Istilah Pancasila mula-mula dipergunakan di lingkungan masyarakat Budha di
India. Ketika pengikut ajaran Budha semakin banyak, mereka membentuk
sangha (umat Budhis) dan terdiri atas dua golongan, yaitu :
1) Pengikut biasa atau awam, yang laki-laki disebut upasaka, dan yang
perempuan upasika;
2) Pendeta, yaitu bhiksu (laki-laki), dan bhiksuni (perempuan).
Golongan pendeta harus diam dalam vihara-vihara. Mereka harus
menjalankan dan menepati ”sepuluh larangan” yang disebut dasasyila atau
48
dasasykkha padani, yang berisi sepuluh peraturan moral, yaitu :
1) Dilarang membunuh;
2) Dilarang mencuri;
3) Dilarang berzina;
4) Dilarang berdusta;
5) Dilarang minum minuman keras;
6) Dilarang makan berlebihan;
7) Dilarang hidup bermewah-mewah dan pelesir;
8) Dilarang memakai pakaian yang bagus-bagus, perhiasan-perhiasan, dan
wangi-wangian;
9) Dilarang tidur di tempat tidur yang enak atau mewah;
10) Dilarang menerima pemberian uang atau memiliki emas dan perak.
(Ismaun, 1978:89).
Mereka pun harus mencukur rambut sampai gundul, memakai baju
jubah yang berwarna kuning-merah. Pada waktu-waktu tertentu mereka
harus menjalankan upawasa (puasa).
Sementara itu, Pancasyiila menurut ajaran Budha yang bersumber dari
kitab suci ”Tripitaka” yang terdiri dari tiga buku besar (Suttha Pitaka, Abhi-
dama Pitaka, Vinaya Pitaka) berupa lima larangan (Five Moral Principles),
yang diterapkan untuk orang awam, yaitu :
1) Panatipada veramani sikhapadam samadiyani. (Jangan mencabut nyawa
mahluk hidup = dilarang membunuh).
2) Dinna dana veramani sikhapadam samadiyani. (Jangan mengambil barang
yang tidak diberikan = dilarang mencuri).
3) Kameshu miccharaca veramani sikhapadam samadiyani. (Jangan berhu-
bungan kelamin = dilarang berzina).
4) Musawada veramani sikhapadam samadiyani. (Jangan berkata palsu =
dilarang berbohong).
5) Sura meraya masjja pamada tikana veramani. (Jangan minum minumam
yang menghilangkan pikiran = dilarang minum minuman keras atau
mabuk-mabukan).
49
Dengan masuknya ajaran Budha di Indonesia, pada zaman Majapahit di
bawah Raja Hayam Wuruk dibantu Mahapatih Gajah Mada, ditemukan dalam
keropak ”Negarakertagama” berupa kekawin (syair pujian) oleh Mpu Prapanca,
pada sarga 53 bait 2, yang isinya : ”Yatnaggegwani pancasyiila kertasangskar-
bhisekaka krama” (Raja menjalankan dengan setia ke lima pantangan, yaitu
mateni, maling, madon, madat, main). Dalam bahasa Jawa disebut Mo Limo
(maksudnya lima m).
2. Pengertian Pancasila secara Historis.
Sebagaimana telah diungkapkan terdahulu, pengertian Pancasila secara historis
dapat dilihat sejak proses perumusan dasar/falsafah negara dalam sidang Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Setelah
Ketua dr. K.R.T. Rajiman Wedyodiningrat mengajukan pertanyaan di depan
sidang tanggal 29 Mei 1945 tentang rencana dasar negara Indonesia yang akan
dibentuk, maka tampil sebagai pengusul adalah Mr. Muhammad Yamin, Mr. R.
Supomo, dan Ir. Sukarno.
Pada tanggal 29 Mei 1945, Mr. Muhammad Yamin mengusulkan rumusan
dasar negara dengan lima asas, yaitu :
a. Peri Kebangsaan;
b. Peri Kemanusiaan;
c. Peri Ke-Tuhanan;
d. Peri Kerakyatan;
e. Kesejahteraan Rakyat.
Dalam usul tertulis menyangkut rancangan UUD RI, beliau mengusulkan
rumusan yang berbeda, yaitu :
a. Ketuhanan Yang Maha Esa;
b. Kebangsaan Persatuan Indonesia;
c. Rasa Kemanusiaan yang adil dan beradab;
d. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawarat-
an perwakilan;
e. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
50
Pada tanggal 31 Mei 1945 Mr. R. Supomo menjelaskan tentang teori negara
secara yuridis, politis, dan sosiologis, syarat-syarat berdirinya negara, bentuk
negara dan bentuk pemerintahan, serta hubungan antara negara dengan agama.
Pada tanggal ini pun Mr. Muhammad Yamin kembali berpidato dan menguraikan
tentang daerah negara, kebangsaan Indonesia atas dasar tinjauan yuridis,
historis, politis, sosiologis, geografis, dan konstitusional yang meliputi seluruh
wilayah nusantara.
Pada tanggal 1 Juni 1945, Ir. Sukarno dalam pidatonya mengajukan lima
asas sebagai dasar negara Indonesia yang akan dibentuk, yang berdasarkan
bisikan salah seorang teman ahli bahasa (mungkin Prof. Dr. P.A. Husein Jayadi-
ningrat), diberinya nama Pancasila, yaitu :
a. Nasionalisme atau Kebangsaan Indonesia;
b. Internasionalisme atau Perikamanusiaan;
c. Mufakat atau Demokrasi;
d. Kesejahteraan Sosial;
e. Ke-Tuhanan.
Menurut beliau, nasionalisme dan internasionalisme dapat digabung
menjadi sosio nasionalisme, demokrasi dan kesejahteraan sosial dapat digabung
menjadi sosio demokrasi, dan ditambah dengan Ketuhanan yang berkebudayaan,
menjadi Trisila (tiga sila). Dan Trisila ini pun dapat digabung menjadi Ekasila,
yaitu gotong royong.
Pada tanggal 22 Juni9 1945, Panitia Sembilan dalam BPUPKI yang diberi
tugas merumuskan lebih lanjut rancangan dasar negara yang akan dibentuk,
berhasil menyusun naskah yang dikenal dengan Piagam Jakarta (Jakarta Charter)
yang pertama kali disepakati oleh sidang. Dalam alinea empat Piagam ini
tercantum rumusan dasar negara, yaitu :
a. Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-
pemeluknya;
b. Kemanusiaan yang adil dan beradab;
c. Persatuan Indonesia;
d. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawarat-
51
an perwakilan;
e. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Piagam Jakarta ini kemudian setelah diadakan perubahan di sana-sini pada
tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI dijadikan Pembukaan Undang-Undang Dasar
(1945). Berikut adalah naskah Pembukaan UUD 1945 (coba bandingkan dengan
Piagam Jakarta).
UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA PEPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 PEMBUKAAN (Preambule)
Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh
sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai
dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.
Dan perjuangan pergerakan Kemerdekaan Indonesia telah sampailah
kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat
Indonesia ke dapan pintu gerbang Negara Indonesia yang merdeka, berdaulat,
adil dan makmur.
Atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan dengan didorongkan oleh
keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat
Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.
Kemudian daripada itu, untuk membentuk suatu Pemerintah Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidup-
an bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah
Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar
Negara Indonesia yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasar kepada Ke-
tuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan
Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
52
Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kalimat dalam alinea terakhir dalam Pembukaan UUD (1945) itu jika diberi
angka, adalah :
a. Ketuhanan Yang Maha Esa;
b. Kemanusiaan yang adil dan beradab;
c. Persatuan Indonesia;
d. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawarat-
an/perwakilan;
e. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Ke lima asas atau sila-sila ini merupakan kesatuan yang bulat terpadu dan
tidak boleh terpisahkan sehingga karenanya disebut majemuk tunggal dan
hierarki piramidal. Asas-asas ini disepakati oleh seluruh bangsa Indonesia
sebagai dasar/falsafah negara diberi nama Pancasila.
3. Pengertian Pancasila secara Terminologis.
Sehari setelah Indonesia merdeka, yaitu pada tanggal 18 Agustus 1945, untuk
melengkapi alat-alat kelengkapan negara, sidang PPKI berhasil menetapkan/
mengesahkan UUD (1945) yang terdiri dari Pembukaan, Batang Tubuh yang
terdiri dari XVI BAB, 37 Pasal, 1 Aturan Peralihan yang terdiri atas 4 Pasal, dan 1
Aturan Tambahan yang terdiri atas 2 Ayat, serta Penjelasannya. Pembukaan
UUD terdiri dari empat alinea, dan pada alinea keempat tercantum rumusan
Pancasila seperti telah disebutkan di atas.
Ketika bentuk negara dan pemerintahan berubah akibat campur tangan
Belanda yang hendak menjajah kembali, yaitu dari NKRI menjadi RIS (Republik
Indonesia Serikat), ternyata dalam Konstitusi RIS (29 Desember 1949 - 17 Agus-
tus 1950) pun tercantum rumusan Pancasila, yaitu :
a. Ketuhanan Yang Maha Esa;
b. Peri Kemanusiaan;
c. Kebangsaan;
d. Kerakyatan
53
e. Keadilan Sosial.
Tatkala Indonesia kembali menjadi NKRI (17 Agusutus 1950 – 5 Juli 1959),
dalam Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS), tercantum pula rumusan
Pancasila, yaitu :
a. Ketuhanan Yang Maha Esa;
b. Peri Kemanusiaan;
c. Kebangsaan;
d. Kerakyatan;
e. Keadilan Sosial.
Sementara itu, dalam masyarakat berkembang beraneka ragam rumusan
Pancasila, di antaranya yang paling populer adalah :
a. Ketuhanan Yang Maha Esa;
b. Peri Kemanusiaan;
c. Kebangsaan;
d. Kedaulatan Rakyat;
e. Keadilan Sosial.
Mulai tanggal 5 Juli 1959 setelah Dekrit Presiden menyatakan Indonesia
kembali ke UUD tahun 1945, maka rumusan Pancasila yang benar dan sah, serta
mengikat negara dan seluruh warga negara sampai saat ini adalah rumusan
Pancasila yang tercantum dalam Pembukaan UUD tahun 1945. Mulai Dekrit
Presiden itulah dalam menyebut UUD selalu disebutkan pula atau muncul angka
tahun 1945, menjadi ”UUD 1945”.
Pada saat ini (era reformasi), UUD 1945 telah mengalami empat kali per-
ubahan (amandemen), yaitu :
a. Perubahan pertama ditetapkan oleh MPR pada tanggal 19 Oktober 1999;
b. Perubahan kedua ditetapkan oleh MPR pada tanggal 18 Agustus 2000;
c. Perubahan ketiga ditetapkan oleh MPR pada tanggal 9 November 2001;
d. Perubahan keempat ditetapkan oleh MPR pada tanggal 10 Agustus 2002.
Perubahan dimaksud hanya pada BAB, Pasal, dan Ayat tertentu yang
dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan. Akan tetapi
54
Pembukaannya sesuai dengan komitmen bangsa Indonesia, tetap, tidak akan,
dan tidak dapat diubah oleh siapa pun termasuk MPR.
B. HAKIKAT PANCASILA
Pancasila merupakan satu kesatuan organis atau satu kesatuan keseluruhan yang
bulat utuh. Sila yang satu tidak dapat dilepas-lepaskan dari sila yang lainnya. Hal ini
dapat diilustrasikan sebagai berikut (Darji, 1991:37) :
Sila 1 : Ketuhanan Yang Maha Esa, meliputi dan menjiwai Sila 2, 3, 4, dan 5.
Sila 2 : Kemanusiaan yang adil dan beradab, diliputi dan dijiwai Sila 1, meliputi
dan menjiwai Sila 3, 4, dan 5.
Sila 3 : Persatuan Indonesia, diliputi dan dijiwai Sila 1 dan 2, meliputi dan dijiwai
Sila 4 dan 5.
Sila 4 : Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusya-
waratan/perwakilan, diliputi dan dijiwai Sila 1, 2, 3, meliputi dan dijiwai
Sila 5.
Sila 5 : Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, diliputi dan dijiwai Sila 1, 2,
3, dan 4.
Untuk lebih jelasnya dapat diberikan contoh sebagai berikut. Paham kemanu-
siaan kiranya dimiliki pula oleh bangsa-bangsa lain di dunia, tetapi bagi bangsa
Indonesia, kemanusiaan yang adil dan beradab yang dirumuskan dalam sila 2 adalah
paham kemanusiaan yang dibimbing oleh Ketuhanan Yang Mahas Esa, yaitu
kemanusiaan sebagaimana diajarkan oleh oleh Tuhan YME. Inilah yang dimaksud
dengan sila 2 diliputi dan dijiwai oleh sila 1. Demikian halnya dengan sila-sila yang
lain. Maka dapat dikatakan bahwa sila-sila 2, 3, 4, dan 5 pada hakikatnya merupa-
kan penjabaran dan penghayatan sila 1. Inilah yang disebut majemuk tunggal dan
hierakis piramidal”.
Jika digambarkan sebagai berikut :
55
1
2
3
4
5
Sekalipun sila-sila di dalam Pancasila itu merupakan satu kesatuan yang tidak
terlepas satu sama lainnya, tetapi dalam hal memahami hakikat pengertiannya
sangatlah diperlukan uraian sila demi silanya. Akan tetapi uraian atau penafsiran-
nya harus tetap bersumber, berpedoman, dan berdasar pada Pembukaan, Batang
Tubuh, dan Penjelasan UUD 1945. Hakikat pengertian Pancasila dimaksud adalah :
1. Sila Pertama : Ketuhanan Yang Maha Esa.
Ketuhanan berasal dari kata Tuhan, ialah Alloh Swt., pencipta alam semesta dan
segala isinya, termasuk makhluk hidup seperti manusia, binatang, dan tumbuh-
tumbuhan. Yang dimaksud dengan Tuhan Yang Maha Esa ini, memang menurut
Prof. Hazairin (1990:31) dalam bukunya “Demokrasi Pancasila” yang dikutip
Adian Husaini (2013:6) dalam artikelnya di Harian Republika tanggal 3 Juni 2013,
tentang Pancasila dan Agama, adalah Alloh Swt., dengan konsekuensi (akibat
mutlak) berarti pengakuan kekuasaan Alloh atau kedaulatan Alloh. Dengan
demikian, negara RI wajib menjalankan syariat Islam bagi orang Islam, syariat
Nasrani bagi orang Nasrani, syariat Budha bagi orang Budha, dan syariat Hindu
bagi orang Bali, dsb. sesuai dengan agama yang ada di Indonesia.
Yang Maha Esa artinya Yang Maha Tunggal, tiada sekutu bagi-Nya. Esa
dalam zatnya, artinya tidak terdiri dari zat-zat yang banyak lalu menjadi satu. Esa
dalam sifatnya, artinya sifat Tuhan adalah Maha Sempurna. Esa dalam perbuat-
56
annya, artinya perbuatan Tuhan tidak dapat disamai oleh apa dan siapa pun.
Keyakinan akan adanya Tuhan YME itu bukanlah suatu dogma atau keper-
cayaan yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya melalui akal pikiran, melain-
kan suatu kepercayaan yang berakar pada pengetahuan yang benar yang dapat
diuji atau dibuktikan melalui kaidah-kaidah logika atau filsafat. Atas keyakinan
yang demikian itulah, maka negara Indonesia berdasarkan Ketuhanan YME
memberikan jaminan kebebasan kepada setiap rakyat untuk memeluk agama
sesuai dengan keyakinannya dan beribadah menurut ajaran agama dan keper-
cayaannya itu.
Di negara Indonesia tidak boleh ada pertentangan dalam hal Ketuhanan
YME, tidak boleh ada sikap dan perbuatan yang anti Ketuhanan YME dan anti
agama, serta tidak boleh ada paksaan dalam agama. Dengan perkataan lain di
dalam negara Indonesia tidak ada dan tidak boleh ada paham yang meniadakan
atau tidak percaya akan adanya Tuhan YME (atheisme). Dalam pada itu setiap
orang harus mengembangkan sikap toleransi terhadap kebebasan untuk meme-
luk agama sesuai dengan keyakinannya, dan beribadah menurut agama dan
kepercayaannya itu. Juga tidak boleh ada sempalan-sempalan dalam suatu
agama yang mengingkari atau bertentangan dengan ajaran agama bersangkutan.
Sila pertama Ketuhanan YME dalam Pancasila menjadi sumber pokok nilai-
nilai kehidupan bangsa Indonesia, menjiwai dan mendasari serta membimbing
perwujudan kemanusiaan yang adil dan beradab, penggalangan persatuan
Indonesia yang telah membentuk NKRI yang berdaulat penuh, yang bersifat
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/
perwakilan, guna mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Hakikat pengertian ini sesuai dengan :
a. Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi, “Atas berkat Rahmat Alloh Yang Maha
Kuasa ….”.
b. Pasal 29 UUD 1945 :
1) Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa;
2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
57
kepercayaannya itu.
2. Sila Kedua : Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Kemanusiaan berasal dari kata manusia, yaitu makhluk berbudi yang memiliki
potensi cipta, rasa, dan karsa. Karena potensi ini manusia menduduki dan
memiliki derajat/martabat yang tinggi. Dengan akal budinya manusia berkebu-
dayaan, dengan budi nuraninya manusia menyadari nilai-nilai dan norma-norma.
Kemanusiaan berarti sifat manusia yang esensinya memiliki identitas dan
martabat kemanusiaannya (human dignity).
Adil mengandung arti bahwa suatu keputusan dan tindakan didasarkan atas
norma-norma yang obyektif, tidak subyektif dan sewenang-wenang. Beradab
berasal dari kata adab yang berarti budaya. Jadi, beradab berarti berbudaya,
yang mengandung arti bahwa sikap hidup, keputusan, dan tindakan selalu
didasarkan atas nilai-nilai budaya, terutama norma-norma sosial dan kesopanan
(moral). Adab juga mengandung pengertian tata kesopanan, kesusilaan, atau
moralitas. Demikianlah, maka beradab dapat ditafsirkan sebagai berdasarkan
nilai-nilai kesusilaan atau moralitas khususnya, dan kebudayaan pada umumnya.
Kemanusiaan yang adil dan beradab adalah kesadaran sikap dan perbuatan
manusia yang didasarkan pada potensi budi nurani manusia dalam hubungan
dengan norma-norma dan kebudayaan umumnya, baik terhadap diri sendiri,
sesama manusia, maupun terhadap alam sekitar. Pada prinsipnya kemanusiaan
yang adil dan beradab adalah sikap dan perbuatan manusia yang sesuai dengan
kodrat hakikat manusia yang berbudi, sadar nilai, dan budaya. Potensi kema-
nusiaan dimiliki oleh semua manusia di dunia, tidak pandang ras, etnis, atau
warna kulitnya. Mereka sama-sama memiliki martabat kemanusiaan yang tinggi.
Mereka pun harus diperlakukan sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan, sesuai
dengan fitrahnya sebagai makhluk Tuhan yang mulia.
Sila Kedua diliputi dan dijiwai sila Pertama. Hal ini berarti bahwa kemanusia-
an yang adil dan beradab bagi bangsa Indonesia bersumber dari ajaran Tuhan
YME (agama) sesuai dengan kodrat manusia sebagai ciptaan-Nya. Hakikat
pengertian ini sesuai dengan :
58
a. Pembukaan UUD 1945 alinea pertama, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan
itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia
harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-
keadilan”.
b. Pasal-pasal 27, 28, 29, 30, dan 31 UUD 1945 :
1) Pasal 27 :
(1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya;
(2) Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan;
(3) Setiap warga negara berhak dan wajib ikutserta dalam upaya pembela-
an negara.
2) Pasal 28 :
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan
lisan dan tulisan dan sebagaimnya ditetapkan dengan undang-undang.
3) Pasal 28A :
Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan
kehidupannya.
4) Pasal 28B :
(1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan
melalui perkawinan yang sah.
(2) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkem-
bang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
5) Pasal 28C :
(1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebu-
tuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh
manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi
meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manu-
sia.
59
(2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan
haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan
negaranya.
6) Pasal 28D :
(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum.
(2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan
perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
(3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama
dalam pemerintahan.
(4) Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.
7) Pasal 28E :
(1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agama-
nya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan
meninggalkannya, serta berhak kembali.
(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyata-
kan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
(3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan
mengeluarkan pendapat.
8) Pasal 28F :
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi
untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak
untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan
menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang
tersedia.
9) Pasal 28G :
(1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehor-
matan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta
berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan un-
60
tuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
(2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang
merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh
suaka politik dari negara lain.
10) Pasal 28H :
(1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal
dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan.
(2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk
memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai
persamaan dan keadilan.
(3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengem-
bangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.
(4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut
tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun.
11) Pasal 28I :
(1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan
hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui
sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas
dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak
dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
(2) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif
atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap
perlakuan yang bersifat diskriminatif.
(3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras
dengan perkembangan zaman dan peradaban.
(4) Perlindungan, pemajuan, penegakkan, dan pemenuhan hak asasi
manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.
(5) Untuk menegakkan dan melindung hak asasi manusia sesuai dengan
prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi
manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-
61
undangan.
12) Pasal 28J :
(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam
(2) tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegra.
(3) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan
maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormat-an
atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang
adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, kea-manan,
dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
13) Pasal 29 :
(1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa;
(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.
14) Pasal 30 :
(1) Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikutserta dalam usaha perta-
hanan dan keamanan negara;
(2) Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem
pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional
Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan
utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung;
(3) Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut,
dan Angkatan Udara sebagai alat negara bertugas mempertahankan,
melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara;
(4) Kepolisian negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga
keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, menga-
yomi, malayani masyarakat, serta menegakkan hukum;
(5) Susunan dan kedudukan Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara
Republik Indonesia, hubungan kewenangan Tentara Nasional Indonesia
dan Kepolisian Republik Indonesia di dalam menjalankan tugasnya,
62
syarat-syarat keikutsertaan warga negara dalam usaha pertahanan dan
keamanan negara, serta hal-hal yang terkait dengan pertahanan dan
keamanan negara diatur dengan undang-undang.
15) Pasal 31 :
(1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan;
(2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah
wajib membiayainya;
(3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan atu sistem pendi-
dikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta
akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang
diatur dengan undang-undang;
(4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua
puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari
anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan
penyelenggaraan pendidikan nasional;
(5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan men-
junjung tinggi niali-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan
peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
3. Sila Ketiga : Persatuan Indonesia.
Persatuan berasal dari kata satu, yang berarti utuh tidak terpecah-belah.
Persatuan mengandung pengertian bersatunya bermacam corak yang beraneka
ragam menjadi satu kebulatan. Berkenaan dengan Indonesia, mengandung dua
makna. Pertama, makna geografis, yang berarti sebagian bumi yang memben-
tang dari 95 - 141 derajat Bujur Timur, dan dari 6 - 11 derajat Lintang Selatan.
Kedua, makna bangsa dalam arti politis, yaitu bangsa yang hidup di dalam
wilayah itu. Yang dimaksud sila ketiga Pancasila ini adalah Indonesia dalam
pengertian bangsa secara politis. Dengan demikian, persatuan Indonesia adalah
persatuan bangsa yang mendiami wilayah Indonesia dengan batas geografis
tersebut di atas, yaitu wilayah bekas Hindia Belanda, dari Sabang sampai
Merauke, dari Talaud sampai Pulau Rote.
63
Bangsa Indonesia bersatu karena didorong untuk mencapai kehidupan
kebangsaan yang bebas dalam wadah negara yang merdeka dan berdaulat, yaitu
NKRI. Persatuan Indonesia merupakan faktor yang dinamis dalam kehidupan
bangsa Indonesia, bertujuan untuk terwujudnya masyarakat adil dan makmur
berdasarkan Pancasila (Mas Adam Berdasi), melalui upaya melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahtera-
an umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Persatuan Indonesia adalah perwujudan paham kebangsaan Indonesia
yang dijiwai oleh Ketuhanan YME serta Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Karena itu paham kebangsaan atau nasionalisme Indonesia tidaklah sempit
(chauvinistis), tetapi dalam arti menghargai pula bangsa lain sesuai dengan sifat
kehidupan bangsa itu sendiri. Nasionalisme Indonesia mengatasi paham golong-
an, suku bangsa, etnis, ras, tetapi sebaliknya membina tumbuhnya persatuan
dan kesatuan sebagai satu bangsa yang padu, tidak terpecah-pecah oleh sebab
apa pun. (Darji, ibid:43). Hakikat pengertian ini sesuai dengan :
a. Alinea keempat Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi, ”Kemudian daripada
itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan itu
dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia...”.
b. Pasal-pasal 1, 32, 35, 36 UUD 1945 :
1) Pasal 1 :
(1) Negara Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk Republik;
(2) Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-
Undang Dasar;
(3) Negara Indonesia adalah negara hukum.
2) Pasal 32 :
(1) Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradab-
64
an dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara
dan mengembangkan nilai-nilai budayanya;
(2) Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan
budaya nasional.
3) Pasal 35 :
Bendera negara Indonesia ialah Sang Merah Putih.
4) Pasal 36 :
Bahasa negara ialah Bahasa Indonesia.
5) Pasal 36A :
Lambang negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tung-
gal Ika.
6) Pasal 36B :
Lagu kebangsaan ialah Indonesia Raya.
4. Sila Keempat : Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan.
Kerakyatan berasal dari kata rakyat, yang berarti sekelompok manusia yang
berdiam dalam satu wilayah tertentu. Kerakyatan dalam hubungan sila keempat
ini berarti bahwa kekuasaan yang tertinggi berada di tangan rakyat atau disebut
kedaulatan rakyat, atau juga demokrasi (kekuasaan/pemerintahan rakyat).
Hikmat kebijaksanaan berarti penggunaan pikiran atau rasio yang sehat
dengan selalu mempertimbangkan persatuan dan kesatuan bangsa, kepentingan
rakyat dan dilaksanakan dengan sadar, jujur, dan bertanggung jawab, serta
didorong oleh itikad baik sesuai dengan hati nurani. Permusyawaratan adalah
suatu tata cara khas kepribadian Indonesia untuk merumuskan atau memutus-
kan sesuatu hal berdasarkan kehendak rakyat, hingga dicapai kesepakatan secara
mufakat bulat. Akan tetapi jika kesepakatan tidak tercapai, dapat saja dilakukan
voting (pemungutan suara), yang rumusnya 50+1 (setengah atau 50% ditambah
satu). Perwakilan adalah suatu sistem atau tata cara, prosedur, dalam mengusa-
hakan turutsertanya rakyat mengambil bagian dalam kehidupan bernegara, anta-
ra lain dilakukan dengan melalui badan-badan perwakilan.
65
Demikianlah, maka kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan, berarti rakyat dalam menjalankan kekuasa-
annya melalui mekanisme perwakilan dan keputusan-keputusannya diambil
dengan jalan musyawarah yang dipimpin oleh pikiran yang sehat serta penuh
rasa tanggung jawab, baik kepada Tuhan YME maupun kepada rakyat yang
diwakilinya.
Sila keempat ini merupakan sendi penting asas kekeluargaan masyarakat
Indonesia. Juga merupakan suatu asas bahwa tata pemerintahan RI didasarkan
atas kedaulatan rakyat. Hakikat pengertian ini sesuai dengan :
a. Alinea keempat Pembukaan UUD 1945, ”...maka disusunlah kemerdekaan
kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indone-
sia, yang berkedaulatan rakyat...”.
b. Pasal-pasal 1, 2, 3, 28, dan 37 UUD 1945 :
1) Pasal 1 :
(1) Negara Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk Republik;
(2) Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar;
(3) Negara Indonesia adalah negara hukum.
2) Pasal 2 :
(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakil-
an Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui
pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang;
(2) Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam
lima tahun di ibukota negara;
(3) Segala putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan dengan
suara terbanyak.
3) Pasal 3 :
(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetap-
kan Undang-Undang Dasar;
(2) Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil
Presiden;
66
(3) Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presi-
den dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-
Undang Dasar.
4) Pasal 28 :
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan
lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.
5) Pasal 37 :
(1) Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan
dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh
sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan
Rakyat;
(2) Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar diajukan
secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan
untuk diubah beserta alasannya;
(3) Untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar, sidang Majelis
Permusyawaratan Rakyat dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari
jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat;
(4) Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar dilakukan
dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah
satu anggota dari seluruh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat;
(5) Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak
dapat dilakukan perubahan.
5. Sila Kelima : Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Keadilan sosial berarti keadilan yang berlaku dalam masyarakat di segala bidang
kehidupan, baik material maupun spiritual. Seluruh rakyat Indonesia berarti
setiap orang yang menjadi rakyat atau warga negara Indonesia, baik yang
berdiam di wilayah kekuasaan RI maupun yang berada di luar negeri. Jadi,
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia berarti bahwa setiap orang
Indonesia mendapat perlakuan yang adil dalam bidang hukum, politik, ekonomi,
dan kebudayaan. Makna keadilan sosial mencakup pula pengertian adil dan
67
makmur, sehingga adil dalam kemakmuran, dan makmur dalam keadilan.
Kehidupan manusia itu meliputi kehidupan jasmani dan rohani. Maka
keadilan itu pun meliputi keadilan di dalam pemenuhan tuntutan-tuntutan hakiki
bagi kehidupan jasmani, serta keadilan di dalam pemenuhan tuntutan-tuntutan
hakiki bagi kehidupan rohani. Atau dengan perkataan lain, keadilan itu meliputi
keadilan di bidang fisik-material, dan mental-spiritual.
Sila keempat atau keadilan sosial ini adalah tujuan dari empat sila sebelum-
nya, dan merupakan tujuan bangsa Indonesia dalam bernegara, yang perwu-
judannya ialah tata masyarakat adil makmur berdasarkan Pancasila (Mas Adam
Berdasi). Hakikat pengertian ini sesuai dengan :
a. Alinea kedua Pembukaan UUD 1945, ”Dan perjuangan pergerakan kemerde-
kaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan
selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke dapan pintu gerbang
kemerdekaan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan
makmur”.
b. Pasal-psal 23, 27, 28, 29, 31, 33, dan 34 UUD 1945 :
1) Pasal 23 :
(1) Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelo-
laan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang
dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;
(2) Rancangan undang-undang anggaran pendapat dan belanja negara
diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan
Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan
Daerah;
(3) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui rancangan anggar-
an pendapatan dan belanja negara yang disulkan oleh Presiden, Peme-
rintah menjalankan anggaran pendapatan dan belanja negara tahun
yang lalu.
2) Pasal 23A :
Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara
68
diatur dengan undang-undang.
3) Pasal 23B :
Macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang.
4) Pasal 23C :
Hal-hal lain mengenai keuangan negara diatur dengan undang-undang.
5) Pasal 23D :
Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenang-
an, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang.
6) Pasal 27 :
(1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya;
(2) Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan;
(3) Setiap warga negara berhak dan wajib ikutserta dalam upaya pembela-
an negara.
7) Pasal 28 :
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan
lisan dan tulisan dan sebagaimnya ditetapkan dengan undang-undang.
8) Pasal 29 :
(1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa;
(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.
9) Pasal 31 :
(1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan;
(2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah
wajib membiayainya;
(3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan atu sistem pendi-
dikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta
akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang di-
69
datur dengan undang-undang;
(4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya
dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta
dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi
kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional;
(5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan men-
junjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan
peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
10) Pasal 33 :
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan;
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang mengua-
sai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara;
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemak-
muran rakyat;
(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi
ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berwa-
wasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan
kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional;
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam
undang-undang.
11) Pasal 34 :
(1) Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara;
(2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan
memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai
dengan martabat kemanusiaan;
(3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan
kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak;
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam
undang-undang.
70
BAB V PANCASILA SEBAGAI FILSAFAT
A. PENGERTIAN FILSAFAT
1. Filsafat berasal dari bahasa Latin, philos + sophia. Philos berarti gemar, senang,
menekuni, menghayati, mengamalkan. Sedangkan sophia berarti bijak (wise),
peduli (care), berbagi (share), adil, jujur, berbudi luhur (fair). Dengan demikian
filsafat berarti gemar, senang menekuni, menghayati, dan mengamalkan perilaku
bijak. Atau berusaha mengetahui terhadap sesuatu secara mendalam (hakikat,
fungsi, ciri-ciri, kegunaan, masalah, dan memecahkan masalah-masalah itu). Dari
filsafat kemudian muncul pengetahuan, ilmu, dan ilmu pengetahuan. Hal ini
sesuai dengan pendapat Kaelan (2004:56), bahwa keseluruhan arti filsafat meli-
puti berbagai masalah yang dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu :
a. Sebagai produk, yang mencakup pengertian :
1) Jenis pengetahuan, ilmu, konsep, dan pemikiran-pemikiran dari para filsuf
(ahli filsafat) zaman dahulu yang lazimnya merupakan aliran atau sistem
filsafat tertentu, misalnya rasionalisme, materialisme, pragmatisme, dll.
2) Jenis problem yang dihadapi oleh manusia sebagai hasil dari aktivitas
berfilsafat, yaitu dalam mencari kebenaran yang timbul dari persoalan yang
bersumber pada akal.
b. Sebagai suatu proses, yaitu suatu bentuk aktivitas pemecahan suatu permasa-
lahan dengan menggunakan cara atau metode tertentu sesuai dengan
obyeknya. Dalam pengertian ini filsafat adalah suatu sistem pengetahuan
yang dinamis.
2. Ilmu pengetahuan diperoleh bermula dari rasa ingin tahu yang merupakan suatu
ciri manusia yang membedakannya dengan mahluk hidup lain. Rasa ingin tahu
manusia ini asalnya mengenai benda-benda di sekelilingnya, alam sekitarnya,
seperti matahari, bulan, bintang-bintang, dll. yang dilihatnya, bahkan kemudian
ingin tahu tentang dirinya sendiri. Proses ingin tahu ini dilakukan melalui nalar
(pikirannya) dengan kontemplasi (merenung) untuk mencari jawaban terhadap
71
apa yang dilihatnya itu. Inilah yang disebut ”berfilsafat.” Namun ada kalanya
jawaban yang diharapkannya tidak juga didapat sehingga timbul mitos, yaitu ber-
baurnya nalar dengan kepercayaan karena ingin segera mendapat jawaban atas
sesuatu tetapi tidak sampai. Contoh, mengapa gunung meletus? Karena nalar
belum jalan, tetapi harus segera dijawab, akhirnya jawabannya, katanya, karena
sang penunggunya (Sunda : nu ngageugeuh) sedang marah. Demikian juga
tentang pelangi, katanya pelangi itu adalah selendang bidadari, dsb.
Sementara itu menurut Noor Ms Bakry (2009: 25), secara terminologis, atau
berdasarkan apa yang terkandung dalam istilahnya, filsafat didefinisikan sebagai
pemikiran secara kritik dan sistematik untuk mencari hakikat atau kebenaran
sesuatu. Definisi ini tinjauan secara ontologis adalah untuk mencari hakikat
sesuatu, dan secara epistemologis adalah untuk mencari kebenaran sesuatu.
3. Pendekatan dalam menemukan kebenaran itu didapat melalui antara lain :
a. Akal sehat (common sense);
b. Prasangka (praejudice);
c. Naluri (instinct);
d. Secara coba-coba (trial and error);
e. Secara kebetulan (by chance, coincidentally);
f. Wahyu/ilham (revelation/inspiration).
Dari pendekatan-pendekatan itu kemudian menjadi pengetahuan, yaitu
hasil pemikiran asosiatif yang menghubungkan atau menjalin sebuah pikiran
dengan pikiran lain berdasarkan pengalaman yang berulang-ulang tanpa
pemahaman kausalitas. Apabila disertai pemahaman kausalitas (sebab-akibat)
dari suatu obyek tertentu menurut metode dan sistematis, maka jadilan ilmu.
Dikatakan ilmu apabila mempunyai ciri-ciri :
a. Bersifat empirik dapat dibuktikan dengan panca indera;
b. Rasional hubungan kausalitasnya (sebab-akibat) jelas;
c. Bersifat umum universal;
d. Akumulatif tumbuh dan berkembang dari masa ke masa dan saling
mengoreksi.
72
Pengertian Ilmu Pengetahuan adalah :
a. Sekelompok pengetahuan yang terorganisasi dan sistematis yang mempelajari
gejala-gejala alam dan sosial melalui eksperimen dan pengamatan;
b. Suatu obyek ilmiah yang memiliki sekelompok prinsip, dalil, dan rumus yang
melalui percobaan-percobaan yang sistematis dilakukan berulangkali dan
teruji kebenarannya, dapat diajarkan dan dipelajari. (S.P. Siagian, 1996:20).
Adapun pembagian ilmu dapat digambarkan di bawah ini.
BAGAN PEMBAGIAN ILMU
Matematika Fisika llmu-ilmu Eksakta Kimia Statistika Teknik Kalkulus, dsb. Sejarah Hukum Psikologi FILSAFAT Ilmu-lmu Sosial Ekonomi Politik Sosiologi Antropologi Administrasi, dsb. Seni Sastra Seni Tari Humaniora Seni Suara Seni Musik Seni Lukis Seni Patung, dsb. Sumber : S.P. Siagian, 1996:22.
Hubungan ilmu, seni, dan teori :
a. Ilmu mengajarkan tentang sesuatu;
b. Seni mengajarkan bagaimana sesuatu itu dilakukan, atau penerapan penge-
tahuan dalam pelaksanaan pekerjaan;
73
c. Teori :
1) Prinsip umum yang dirumuskan untuk menerangkan sekelompok gejala
yang saling berkaitan;
2) Penjelasan tentang bagaimana peristiwa tertentu terjadi sehingga mem-
bentuk batang tubuh pengetahuan.
4. Beberapa pengertian filsafat menurut para ahli :
a. Para filsuf Yunani dan Romawi :
1) Plato (427-348 sM) :
Filsafat ialah ilmu pengetahuan untuk mencapai kebenaran yang asli.
2) Aristoteles (382-322 sM) :
Filsafat ialah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang terkan-
dung di dalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi,
politik, sostetika.
3) Cicero (106-043 sM) :
Filsafat ialah ibu dari semua ilmu pengetahuan lainnya. Filsafat ialah ilmu
pengetahuan terluhur dan keinginan untuk mendapatkannya.
b. Para Filsuf Abad Pertengahan :
1) Descrates (1596-1650) :
Filsafat ialah kumpulan segala pengetahuan di mana Tuhan, alam, dan
manusia menjadi pokok penyelidikannya.
2) Immanuel Kant (1724-1804) :
Filsafat ialah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal segala
pengetahuan yang tercakup di dalamnya empat persoalan, yaitu :
a) Apakah yang dapat kita ketahui? Jawabannya termasuk bidang meta-
fisika.
b) Apakah yang seharusnya kita kerjakan? Jawabannya termasuk bidang
etika.
c) Sampai di manakah harapan kita? Jawabannya termasuk bidang agama.
d) Apakah yang dinamakan manusia itu? Jawabannya termasuk bidang an-
tropologi.
74
c. Para Pakar Indonesia :
1) I.R. Pudjawijatna :
Filsafat ialah ilmu yang berusaha mencari sebab yang sedalam-dalamnya
bagi segala sesuatu berdasarkan atas pikiran belaka.
3) Dardji Darmodihardjo :
Filsafat ialah pemikiran manusia dalam usahanya mencari kebijak-sanaan
dan kebenaran yang sedalam-dalamnya sampai ke akar-akarnya (radikal;
radik = akar), teratur (sistematik), dan menyeluruh (universal).
B. ALIRAN, OBYEK, CABANG, TUJUAN, DAN KEGUNAAN FILSAFAT
1. Aliran-aliran Filsafat.
a. Materialisme :
Mengajarkan bahwa hakikat realitas adalah kesemestaan, termasuk mahluk
hidup, manusia, ialah materi (kebendaan). Semua realitas ditentukan oleh
materi serta terikat pada hukum alam dan hukum sebab-akibat (kausalitas)
yang bersifat obyektif;
b. Idealisme/Spiritualisme :
Mengajarkan bahwa ide atau spirit manusia yang menentukan hidup dan
pengertian manusia. Kesadaran atas realitas dirinya dan kesemestaan karena
ada akal budi dan kesadaran rohani. Manusia yang tidak sadar atau mati,
sama sekali tidak menyadari dirinya. Jadi hakikat diri dan kenyataan ialah akal
budi (ide dan spirit);
b. Realisme :
Merupakan sintesis dari ke dua aliran di atas. Jadi, realisme adalah perpadu-
an antara jasmaniah-rohaniah, materi dan non materi.
2. Obyek Filsafat.
a. Forma untuk mengerti segala sesuatu yang ada sedalam-dalamnya,
hakikatnya metafisis;
b. Materia mengenai segala sesuatu yang ada dan mungkin ada.
75
3. Cabang-cabang Filsafat.
a. Metafisika yang membahas tentang hal-hal bereksistensi di balik fisis,
yang meliputi bidang ontologi, kosmologi, dan antropologi;
b. Epistemologi yang berkaitan dengan persoalan hakikat pengetahuan;
c. Ontologi yang menyelidiki hakikat dari realita yang ada, atau hakikat apa
yang dikaji;
d. Aksiologi bidang yang menyelidiki nilai. Atau nilai kegunaan ilmu.
e. Metodologi yang berkaitan dengan persoalan hakikat metode dalam ilmu
pengetahuan;
f. Logika yang berkaitan dengan filsafat berpikir, yaitu rumus-rumus dan
dalil-dalil berpikir yang benar;
g. Etika yang berkaitan dengan mora;litas dan tingkah laku manusia;
h. Estetika yang berkaitan dengan hakikat keindahan. 4. Tujuan Filsafat.
a. Teoritis berusaha mencapai kenyataan/mencapai hal yang nyata;
b. Praktis untuk memperoleh pedoman hidup.
5. Kegunaan Filsafat.
Untuk memberikan dinamika dan ketekunan dalam mencari kebenaran, arti, dan
makna hidup.
C. PEMBAHASAN PANCASILA SECARA ILMIAH Menurut Pujawiyatna, syarat-syarat ilmiah harus berobyek, bermetode, bersistem,
dan bersifat universal. Berkenaan dengan Pancasila, maka :
1. Obyek.
a. Obyek Formal :
Pancasila sebagai suatu sudut pandang tertentu :
76
1) Moral moral Pancasila;
2) Ekonomi ekonomi Pancasila.
b. Obyek Material :
Pancasila merupakan sarana pembahasan dan pengkajian baik yang
bersifat empiris maupun non empiris.
1) Empiris hasil budaya bangsa;
2) Non Empiris nilai-nilai budaya, moral, yang tercermin dalam kepribadi-
an, sifat, karakter, dan pola-pola budaya dalam bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara.
2. Metode.
Menggunakan hukum-hukum logika dalam menarik kesimpulan :
a. Hermeneutika untuk menemukan makna di balik obyek;
b. Analitico Synthetic perpaduan analisis dan sintesis;
c. Koherensi Historis keterkaitan obyek yang runtut dalam sejarah;
d. Pemahaman, penafsiran, dan interpretasi.
Kesemuanya dipakai karena Pancasila dapat ditinjau dari berbagai aspek, misal-
nya berkaitan dengan nilai-nilai hasil budaya dan obyek sejarah.
3. Sistem.
Sistem adalah keseluruhan (totalitas) daripada komponen yang terdiri dari sub
komponen - sub komponen yang masing-masing mempunyai fungsi sendiri-
sendiri, tetapi satu sama lain saling berkaitan (interrelasi) dan bergantungan
(interdependensi) sehingga membentuk keterpaduan. Pengetahuan ilmiah harus
merupakan sesuatu yang bulat dan utuh. Bagian-bagiannya harus saling berhu-
bungan (interrelasi dan interdependensi) menjadi satu kesatuan. Berkaitan
dengan Pancasila, maka sila-silanya merupakan kesatuan yang terpadu, saling
kait-mengkait, bergantungan (interdepedensi), tidak terpisahkan, sehingga dise-
but majemuk tunggal dan hierarkis piramidal.
4. Universal.
Umum, tidak terbatas oleh waktu, ruang, keadaan, situasi, kondisi, maupun jum-
77
lah tertentu. Dalam hal ini intisari, esensi, dan makna dari sila-sila Pancasila
adalah universal, dalam arti, dapat diterapkan kapan saja, di mana saja, dan
dalam situasi apa saja.
D. PANCASILA DITINJAU DARI TINGKATAN PENGETAHUAN ILMIAH
Tingkatan pengetahuan ilmiah adalah : Deskriptif, kausal, normatif, dan esensial.
1. Deskriptif menjawab pertanyaan ”bagaimana?”
Pancasila dikaji secara obyektif dengan menerangkan, menjelaskan, dan meng-
uraikan sesuai dengan kenyataan sebagai hasil budaya bangsa. Hal ini akan
berkaitan dengan sejarah perumusan, nilai-nilai, kedudukan dan fungsi Pancasila.
Dalam hal ini Pancasila adalah sebagai dasar filsafat dan ideologi negara,
pandangan hidup bangsa, moral pembangunan, dsb.
2. Kausal menjawab pertanyaan ”mengapa?”
Memberikan jawaban sebab-akibat. Proses kausalitas terjadinya Pancasila meli-
puti empat kausa, yaitu materialis, formalis, efisien, dan finalis. Pancasila
sebagai sumber nilai dalam segala realisasi dan penjabarannya berkaitan dengan
hukum kausal.
3. Normatif menjawab pertanyaan ”ke mana?”
Berkaitan dengan suatu ukuran, parameter, dan norma-norma. Karena Pancasila
untuk diamalkan, direalisasikan, dan dikonkritisasikan, maka harus memiliki
norma yang jelas, yaitu norma hukum, moral, etika, dan norma kenegaraan.
4. Esensial menjawab pertanyaan ”apa?”
Memberikan jawaban mendalam tentang hakikat sesuatu. Kajian Pancasila
secara esensial adalah untuk mendapatkan pengetahuan tentang intisari atau
makna yang dalam dari sila-sila Pancasila. Menurut Lili Rajidi dalam ”Filsafat
Hukum Pancasila” (1967:10), hakekat sesuatu adalah tempat sesuatu di dalam
semesta dan hubungan sesuatu tadi dengan isi alam semesta yang lain. Jadi yang
78
berfilsafat itu adalah manusia, dan dirinyalah pertama-tama yang memperoleh
perhatiannya.
E. NILAI-NILAI PANCASILA BERWUJUD DAN BERSIFAT FILSAFAT
Filsafat (falsafah) Pancasila = Pengetahuan yang mendalam tentang Pancasila.
Pengertian yang mendalam didapat dari sila-sila Pancasila. Hakikat dan pokok-
pokok dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dimaksud adalah :
1. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dijadikan dasar dan pedoman
dalam mengatur sikap dan tingkah laku manusia Indonesia dalam hubungannya
dengan Tuhan, masyarakat, dan alam semesta.
2. Pancasila sebagai dasar negara dijadikan dasar dan pedoman dalam meng-
atur kehidupan bernegara. Dalam kegiatan praktis operasional dijabarkan dalam
peraturan perundang-undangan.
3. Pancasila yang dirumuskan dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 me-
rupakan kebulatan yang utuh.
4. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan uraian rinci dari Proklama-
si Kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang dijiwai oleh Pancasila.
5. Pokok-pokok Pikiran yang terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945 dan dijabarkan dalam Batang Tubuh (Bab dan Pasal-pasalnya) adalah
perwujudan dari jiwa Pancasila.
6. Kesatuan tafsir sila-sila Pancasila harus bersumber dan berdasarkan Pembuka-
an dan Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945.
7. Nilai-nilai yang hidup berkembang dalam masyarakat yang belum tertampung
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 perlu diselidiki untuk memper-
kuat dan memperkaya nilai-nilai Pancasila :
a. Nilai-nilai yang memperkuat dan menunjang kehidupan bermasya-rakat,
berbangsa, dan bernegara diterima, asal tidak bertentangan dengan
kepribadian bangsa dan nilai-nilai Pancasila;
b. Nilai-nilai yang bertentangan dan melemahkan, jangan dimasukkan sebagai
nilai-nilai Pancasila, bahkan jangan sampai hidup apalagi berkembang;
79
c. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
dan Batang Tubuhnya dipergunakan sebagai batu ujian dari nilai-nilai yang
lain agar dapat diterima sebagai nilai-nilai Pancasila.
F. PENGERTIAN PANCASILA SECARA FILSAFAT
Terdapat dua hal tentang filsafat, yaitu sebagai metode dan sebagai suatu pan-
dangan. Berkaitan dengan Pancasila, maka :
1. Yang dapat menjadi substansi pembentukan ideologi Pancasila sebagai metode,
menunjukkan cara berpikir dan analisis untuk menjalankan ideologi Pancasila.
2. Sebagai suatu pandangan, berupa nilai dan hasil pemikiran.
Jadi, filsafat Pancasila adalah refleksi kritis dan rasional tentang Pancasila
sebagai dasar negara dan kenyataan budaya bangsa. Dengan mengikuti definisi
filsafat menurut Noor Ms Bakry (2009:25), maka filsafat Pancasila adalah pemikiran
secara kritik dan sistematik untuk mencari hakikat atau kebenaran lima prinsip
kehidupan manusia. Pemikiran secara kritik yang dimaksudkan di sini selalu mena-
nyakan tentang hakikat atau kebenaran, misalnya :
1. Apa Pancasila itu sehingga dinyatakan sebagai jiwa bangsa Indonesia?
2. Apa benar kepribadian bangsa Indonesia adalah Pancasila?
Dua pertanyaan tersebut di atas membutuhkan pembuktian dan penelitian
yang mendalam untuk menjawabnya. Dan jawabannya berhubungan satu sama lain
sebagai satu kesatuan dan tidak ada kontradiski di dalamnya, sehingga merupakan
suatu uraian yang sistematik.
Lebih lanjut Noor Ms Bakry (2009:46-53), mengemukakan penetapan Panca-
sila menjadi dasar filsafat negara, memiliki tiga keseimbangan, yaitu :
1. Kesimbangan Konsensus Nasional.
Hal ini terjadi karena pada saat perumusan dasar negara dan hukum dasar nega-
ra di BPUPKI terdapat perbedaan pendapat dan cita-cita mendirikan negara
merdeka, khususnya antara golongan agama Islam yang memperjuangkan
pembentukan negara Islam, yaitu negara yang berdasarkan syariat Islam, dengan
80
golongan kebangsaan atau nesionalis yang menginginkan negara sekuler, yaitu
negara yang tidak berurusan dengan agama. Maka Pancasila adalah jalan tengah
yang mempertemukan dua gagasan dari perbedaan dimaksud, di antaranya
pencantuman tambahan kalimat Yang Maha Esa mengikuti sila pertama
Ketuhanan, yang mencerminkan ketauhidan, atau masuknya ajaran agama dalam
dasar falsafah Pancasila, sehingga dapat diterima oleh golongan agama (Islam).
Sementara itu keinginan golongan nasionalis pun diterima karena memuat
unsur-unsur yang dijunjung tinggi oleh semua golongan dan lapisan masyarakat
Indonesia yang merupakan kesatuan nilai-nmilai luhur yang menjadi kepribadian
bangsa. Karenanya negara Indonesia disebut juga Negara Theis Demokrasi.
2. Keseimbangan Sistem Kemasyarakatan.
Hal ini adalah bentuk keseimbangan antara sifat individu dan sifat sosial, yang
keduanya merupakan kodrat manusia. Masyarakat tidak mungkin ada jika tidak
ada individu-individu manusia, sebaliknya individu tidak berati apa-apa tanpa
kehidupan bermasyarakat. Jadi, Pancasila menyeimbangkan sifat individu dan
sifat sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, sehingga
merupakan titik perimbangan yang mempertemukan aliran individualisme dan
kolektivisme, sehingga disebut Negara Monodualisme.
3. Keseimbangan Sistem Kenegaraan.
Dalam hal ini Pancasila merupakan sintesis antara dasar-dasar kenegaraan
modern tentang sistem demokrasi dengan tradisi lama kehidupan bangsa
Indonesia, yaitu sistem musyawarah mufakat untuk menegakkan negara modern.
Dengan perkataan lain, sintesis antara ide-ide besar dunia dengan ide-ide asli
Indonesia, menjadi paham dialektik kenegaraan, yang bertitik tolak dari paham
bangsa yang hidup bersama dalam kekeluargaan bangsa-bangsa, sehingga
terbuka untuk pemikiran baru dan dinamis, dan negaranya disebut Negara
Dialektik.
G. PANCASILA SEBAGAI DASAR DAN ARAH KESEIMBANGAN ANTARA HAK DAN KEWAJIBAN ASASI MANUSIA
Nilai-nilai Pancasila mengandung beberapa hubungan manusia yang melahirkan ke-
81
seimbangan antara hak dengan kewajiban.
1. Hubungan Vertikal antara manusia dengan sang Khalik sebagai penjelmaan
nilai-nilai Ketuhanan YME :
a. Manusia memanfaatkan alam ciptaan Tuhan YME;
b. Manusia harus bertaqwa kepada Tuhan YME;
c. Akan ada pembalasan atas amal manusia Surga dan Neraka.
2. Hubungan Horizontal antara manusia dengan sesamanya, baik dalam fungsi-
nya sebagai warga masyarakat, warga bangsa, dan warga negara. Dari sini
melahirkan hak dan kewajiban yang harus seimbang.
3. Hubungan Alamiah antara manusia dengan alam sekitarnya, yaitu dengan
hewan, tumbuh-tumbuhan, dan alam beserta kekayaan yang terkandung di
dalamnya. Alam dimanfaatkan oleh manusia, tetapi manusia wajib melestarikan
alam.
H. ALASAN PRINSIP PANCASILA SEBAGAI PANDANGAN HIDUP DAN IDEOLOGI 1. Mengakui adanya kekuatan gaib yang ada di luar diri manusia Tuhan YME.
2. Keseimbangan dalam hubungan, keserasian, dan keselarasan perlu pengen-
dalian diri.
3. Dalam mengatur hubungan, peranan dan kedudukan manusia sebagai anggota
masyarakat dan bangsa sangat penting persatuan dan kesatuan bangsa
merupakan nilai sentral.
4. Kekeluargaan, gotong royong, kebersamaan, dan musyawarah untuk mufakat
sendi kehidupan bersama.
5. Kesejahteraan tujuan hidup bersama.
Sebagai suatu pemikiran filsafat tentang negara, Pancasila memberikan
jawaban mendasar dan menyeluruh terhadap lima masalah :
82
1. Apa negara itu?
Jawabannya dengan prinsip kebangsaan (Persatuan Indonesia).
2. Bagaimana hubungan antarbangsa/antarnegara?
Jawabannya dengan prinsip perikemanusiaan (Kemanusiaan yang adil dan
beradab).
3. Siapakah sumber dan pemegang kekuasaan negara?
Jawabannya dengan prinsip demokrasi (Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan).
4. Apa tujuan negara?
Jawabannya dengan prinsip kesejahteraan (Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia).
5. Bagaimana hubungan antara agama dengan negara?
Jawabannya dengan prinsip Ketuhanan (Ketuhanan Yang Maha Esa).
83
BAB V PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI NASIONAL
A. PENGERTIAN IDEOLOGI
Ideologi berasal dari bahasa Yunani, idea (eidos) + logos = gagasan berdasarkan
pemikiran yang dalam dan merupakan pemikiran filsafat. Dalam arti luas
(terbuka), ideologi berarti segala kelompok cita-cita, nilai-nilai dasar, dan
keyakinan-keyakinan yang hendak dijunjung tinggi sebagai pedoman normatif.
Sedangkan dalam arti sempit (tertutup), ideologi berarti gagasan atau teori yang
menyeluruh tentang makna hidup dan nilai-nilai yang hendak menentukan dengan
mutlak bagaimana manusia harus hidup dan bertindak.
Beberapa definisi ideologi dikemukakan juga oleh para ahli :
1. Menurut Gunawan Setiardja (1993), ideologi dapat dirumuskan sebagai sepe-
rangkat ide asasi tentang manusia dan seluruh realitas yang dijadikan pedoman
dan cita-cita hidup.
2. Menurut Padmo Wahyono, ideologi adalah kesatuan yang bulat dan utuh dari
ide-ide dasar yang merupakan kelanjutan atau konsekuensi daripada pandang-
an atau falsafah hidup bangsa, berupa seperangkat tata nilai yang diutamakan
akan terealisasi dalam kehidupan berkelompok.
3. Menurut Alfian, ideologi adalah suatu pandangan hidup atau sistem nilai yang
menyeluruh dan mendalam yang dimiliki dan dipegang oleh suatu masyarakat
tentang bagaimana cara sebaiknya yaitu yang secara moral dianggap benar dan
adil, mengatur tingkah laku bersama dalam kehi-dupan duniawi.
4. Menurut Noor Ms Bakry (2009:64), definisi ideologi secara umum adalah
kesatuan gagasan-gagasan dasar yang sistematik dan menyeluruh tentang
manusia dan kehidupannya baik individual maupun sosial dalam kehidupan
kenegaraan.
5. Menurut BP-7 Pusat (1993), ideologi juga diartikan sebagai ajaran, doktrin,
teori, atau ilmu yang diyakini kebenarannya, yang disusun secara sistematis dan
84
diberi petunjuk pelaksanaanya dalam menanggapi dan menyelesaikan masalah
yang dihadapi (dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara).
Ideologi berada setingkat di bawah filsafat. Bedanya, filsafat digerakkan
oleh kecintaan kepada kebenaran dan tanpa pamrih, sementara ideologi
digerakkan oleh tekad untuk mengubah keadaan yang tidak diinginkan menuju ke
arah keadaan yang diinginkan. Dengan demikian, dalam ideologi sudah ada
komitmen dan wawasan masa depan yang dikehendaki atau untuk diwujudkan
dalam kenyataan. Bagi suatu bangsa dan negara, ideologi itu adalah wawasan,
pandangan hidup atau falsafah kebangsaan dan kenegaraan. Oleh karenanya
dengan ideologi, akan menjawab secara meyakinkan pertanyaan mengapa dan
untuk apa menjadi satu bangsa dan mendirikan negara. Jadi, ideologi adalah
landasan sekaligus tujuan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
Ideologi berintikan serangkaian nilai, norma, atau sistem nilai dasar yang
bersifat menyeluruh dan mendalam yang dimiliki dan dipegang oleh suatu
masyarakat atau bangsa sebagai wawasan atau pandangan hidup mereka. Melalui
rangkaian atau sistem dasar itu mereka mengetahui bagaimana cara yang paling
baik, yang secara moral dan normatif dianggap benar dan adil dalam bersikap dan
bertingkah laku untuk memelihara, mempertahankan, dan membangun kehidupan
duniawi bersama dengan berbagai dimensinya. (Oetojo Oesman, ibid:6).
Dalam perkembangannya kemudian, ideologi mempunyai pengertian yang
berbeda :
1. Sebagai Weltanschuung (Jrmn), yaitu pengetahuan yang mengandung
pemikiran-pemikiran dan cita-cita besar mengenai sejarah, manusia, masyara-
kat, dan negara (science of ideas).
2. Sebagai pemikiran yang tidak memperhatikan kebenaran internal dan
kenyataan empiris, tumbuh berdasarkan pertimbangan kepentingan tertentu.
Kecenderungannya bersifat tertutup.
3. Sebagai suatu belief system, dan karenanya berbeda dengan ilmu, filsafat,
ataupun teologi yang secara formal merupakan suatu knowledge system (ber-
85
sifat reflektif, sistematis, dan kritis).
Terdapat empat tipe ideologi :
1. Ideologi Konservatif, yang memelihara keadaan yang ada (statusquo).
2. Kontra Ideologi, yang melegitimasi penyimpangan yang ada dalam masyarakat
sebagai yang sesuai, dan malah dianggap baik.
3. Ideologi Reformis, yang berkehendak mengubah keadaan.
4. Ideologi Revolusioner, yang bertujuan mengubah seluruh sistem nilai masyara-
kat yang ada.
Dikenal juga ideologi negara, ideologi bangsa, dan ideologi nasional. Ideologi
negara dikaitkan dengan pengaturan penyelenggaraan pemerintahan negara.
Ideologi bangsa dikaitkan dengan pandangan hidup bangsa. Sedangkan ideologi
nasional mencakup kedua-duanya, yaitu ideologi negara dan bangsa.
Ideologi nasional bangsa Indonesia yang tercermin dan terkandung dalam
Pembukaan UUD 1945 adalah ideologi perjuangan yang sarat dengan jiwa dan
semangat perjuangan bangsa Indonesia untuk mewujudkan negara merdeka,
bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Dalam alinea pertama Pembukaan UUD 1945 terkandung motivasi, dasar,
dan pembenaran perjuangan (kemerdekaan adalah hak segala bangsa; penjajahan
bertentangan dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan). Dalam alinea kedua
terkandung cita-cita bangsa (negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan
makmur). Dalam alinea ketiga termuat petunjuk atau tekad pelaksanaannya
(menyatakan kemerdekaan atas berkat Rahmat Alloh Yang Maha Kuasa). Dan
dalam alinea keempat termuat tujuan nasional/tugas negara, penyusunan undang-
undang dasar, bentuk susunan negara yang berkedaulatan rakyat dan dasar negara
Pancasila.
Pembukaan UUD 1945 yang mengandung pokok-pokok pikiran yang dijiwai
Pancasila, dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal-pasal Batang Tubuh UUD 1945.
Karenanya Pembukaan UUD 1945 memenuhi persyaratan sebagai ideologi yang
memuat ajaran, doktrin, teori, dan/atau ilmu tentang cita-cita/ide bangsa
Indonesia yang diyakini kebenarannya dan disusun secara sistematis serta diberi
86
petunjuk pelaksanaannya.
Pancasila sebagai ideologi nasional dapat diartikan sebagai suatu pemikiran
yang memuat pandangan dasar dan cita-cita mengenai sejarah, manusia, masya-
rakat, hukum, dan negara Indonesia yang bersumber dari kebudayaan Indonesia.
B. UNSUR-UNSUR IDEOLOGI Ideologi selalu berkaitan dengan pandangan hidup suatu bangsa sebagai dasar
filsafatnya yang merupakan kristalisasi nilai-nilai luhur yang diyakini kebenarannya.
Menurut Kunto Wibisono dalam Noor Ms Bakry (2009:64-65), setiap ideologi selalu
bertolak dari suatu keyakinan filsafati tertentu, yaitu pandangan tentang apa, siapa,
dan bagaimana manusia itu sebagai pendukungnya, terutama dalam kaitannya
dengan kebebasan pribadi dalam konteks hak dan kewajibannya terhadap masya-
rakat dan negara, baik dalam dimensi material maupun dimensi spiritualnya.
Penjabarannya tercermin dalam kehidupan praktis, baik di bidang politik, ekonomi,
sosial-budaya, maupun pertahanan keamanan.
Kunto Wibisono mengemukakan bahwa dalam setiap ideologi selalu tersimpul
adanya tiga unsur pokok, yaitu keyakinan, mitos, dan loyalitas.
1. Unsur Keyakinan.
Setiap ideologi selalu memuat konsep-konsep dasar yang menggambarkan sepe-
rangkat keyakinan yang diorientasikan kepada tingkah laku para pendukungnya
untuk mencapai suatu tujuan yang dicita-citakan. Contohnya, liberalisme meya-
kini kebebasan mengejar hidup di tengah-tengah kekayaan material yang melim-
pah dan didapat dengan bebas, akan tercapai kesejahteraan hidup. Komunisme
meyakini bahwa kesetaraan sosial (tanpa kelas), kerjasama sosial, dan solidaritas
sosial akan mendatangkan kebahagiaan bersama. Demikianlah Pancasila bagi
bangsa Indonesia merupakan seperangkat nilai luhur yang diyakini kebenaran-
nya, akan mewujudkan masyarakat Indonesia yang aman sejahtera, selaras,
serasi, dan seimbang antara kehidupan individu dengan kehidupan masyarakat,
fisik-material dan mental-spiritual, bahkan dunia dan akhirat karena didasari juga
87
ajaran agama, sebagai bentuk konkrit dari Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Unsur Mitos.
Setiap ideologi selalu memitoskan suatu ajaran dari seseorang atau beberapa
orang sebagai kesatuan, yang secara fundamental mengajarkan cara bagaimana
sesuatu hal ideal itu pasti akan dapat dicapai. Contohnya, liberalisme memitos-
kan Herbert Spencer, Harold J. Laski, Thomas Hobbes, Jean Jacques Rousseau,
dll. yang mengajarkan kebebasan. Komunisme memitoskan ajaran Karl Marx
tentang sosial, ekonomi, politik, yang kemudian disistematisasikan oleh Frederick
Engel, dan diikuti oleh Lenin, Stalin, Mao Zedong. Demikianlah Pancasila yang
diagungkan dari PPKI bukanlah konsep orang-perorang, tetapi konsensus
nasional, karena kemudian disepakati bersama dan diyakini akan membawa
kemaslahatan hidup bagi bangsa Indonesia.
3. Unsur Loyalitas.
Setiap ideologi selalu menuntut adanya kesetiaan serta keterlibatan optimal para
pendukungnya. Untuk mendapatkan derajat penerimaan optimal ini terkandung
juga tiga sub unsur, yaitu rasional, penghayatan, dan kesusilaan. Contohnya,
pendukung liberalisme setia, karena membela hak asasi manusia, dapat dinalar,
dan dapat diwujudkan dalam kehidupan. Komunisme setia, karena dapat
memberikan suasana hidup aman tanpa pertentangan kelas, dapat dinalar, dan
dapat dilaksanakan dalam kehidupan. Demikianlah pendukung Pancasila setia,
karena dapat menyatukan bangsa yang majemuk, dapat dipikirkan, diwujudkan
dalam kehidupan, serta sesuai dengan keadaban.
C. MAKNA IDEOLOGI BAGI NEGARA
Pancasila sebagai ideologi nasional mengandung nilai-nilai budaya bangsa Indone-
sia, yaitu cara berpikir dan cara kerja perjuangan. Karena itu perlu dipahami
dengan latar belakang sejarah perjuangan bangsa. Pancasila sebagai dasar negara
perlu difahami dengan latar belakang konstitusi proklamasi atau hukum dasar
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, yaitu dari komponen UUD
88
1945 yang terdiri dari Pembukaan, Batang Tubuh, dan Penjelasannya.
Menurut Suryanto Puspowardoyo dalam Oetojo Oesman (1991:48), ideologi
mempunyai beberapa fungsi, yaitu memberikan :
1. Struktur kognitif, ialah keseluruhan pengetahuan yang dapat merupakan
landasan untuk memahami dan menafsirkan dunia dan kejadian-kejadian dalam
alam sekitarnya.
2. Orientasi dasar dengan membuka wawasan yang memberikan makna serta
menunjukkan tujuan dalam kehidupan manusia.
3. Norma-norma yang menjadi pedoman dan pegangan bagi seseorang untuk
melangkah dan bertindak.
4. Bekal dan jalan bagi seseorang untuk menemukan identitasnya.
5. Kekuatan yang mampu menyemangati dan mendorong seseorang untuk menja-
lankan kegiatan dan mencapai tujuan.
6. Pendidikan bagi seseorang atau masyarakat untuk memahami, menghayati, serta
memolakan tingkah lakunya sesuai dengan orientasi dan norma-norma yang
terkandung di dalamnya.
Pancasila bersifat integralistik, yaitu faham tentang hakikat negara yang
dilandasi konsep kehidupan bernegara, ialah persatuan dan kebersamaan.
Pancasila bersifat integralistik karena :
1. Mengandung semangat kekeluargaan dalam kebersamaan.
2. Adanya semangat kerjasama.
3. Memelihara persatuan dan kesatuan.
4. Mengutamakan musyawarah untuk mufakat.
Untuk memahami konsep integralistik Pancasila, ada baiknya jika dikemu-
kakan beberapa teori (faham) mengenai dasar negara sebagai perbandingan.
1. Teori Perseorangan (Individualistik).
Tokohnya Herbert Spencer (1820-1903) dan Harold J. Laski (1893-1950).
Menurut teori ini negara adalah masyarakat hukum legal (legal society) yang
disusun atas kontrak antar seluruh orang yang ada dalam masyarakat itu (social
contract). Negara dipandang sebagai organisasi kesatuan pergaulan hidup yang
89
tertinggi. Hak orang-orang (HAM) lebih tinggi kedudukannya daripada negara
yang merupakan hasil bentukan individu-individu. Lebih-lebih dengan semangat
renaissance seolah menemukan kembali kepribadiannya sebagai orang bebas,
dalam kedudukan dan taraf yang sama.
2. Teori Golongan (Class Theory).
Tokohnya Marl Marx (1818-1883). Menurut teori ini negara merupakan
penjelmaan dari pertentangan-pertentangan kekuatan ekonomi. Negara
dipergunakan sebagai alat oleh mereka yang kuat untuk menindas golongan
lemah. Yang kuat adalah yang memiliki alat-alat produksi, sedangkan yang tidak
punya apa-apa (umumnya kaum buruh) disebut ”proletar.” Jika dalam masyara-
kat sudah tidak ada lagi perbedaan kelas dan pertentangan ekonomi, negara
akan lenyap dengan sendirinya. Negara terjadi dalam sejarah perkembangan
masyarakat melalui tiga fase : Fase Borjuis, fase Kapitalis, dan fase Sosialis-
Komunis.
3. Teori Kebersamaan (Integralistik).
Tokohnya Spinoza dan Adam Muhler. Menurut teori ini negara adalah susunan
masyarakat yang integral di antara semua golongan dan semua bagian.
Persatuan masyarakat sifatnya organis. Negara menyatu dengan rakyat dan
tidak memihak ke salah satu golongan. Kepentingan pribadi perlu, tetapi tidak
lebih diutamakan. Kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara sebagai
satu kesatuan tidak dapat dipisah-pisahkan.
Mr. R. Supomo menganggap teori ini yang paling pas untuk bangsa
Indonesia, lebih-lebih jika diingat masyarakatnya yang beraneka ragam.
Menurut beliau, negara dalam cara pandang integralistik, pemerintah tidak akan
memiliki kepentingan sendiri yang terlepas atau bertentangan dengan
kepentingan rakyat. Semua pihak mempunyai fungsi masing-masing dalam suatu
kesatuan yang utuh sebagai suatu totalitas.
Faham integralistik menurut Syahrial Syarbaini (2011:44) adalah faham
negara persatuan, yang tercermin dalam nilai-nilai dasar kekeluargaan, antara
90
lain :
a. Persatuan dan kesatuan serta saling ketergantungan satu sama lain dalam
masyarakat;
b. Bertekad dan berkehendak sama untuk kehidupan kebangsaan yang bebas,
merdeka, dan bersatu;
c. Cinta tanah air dan bangsa serta kebersamaan;
d. Kedaulatan rakyat dengan sikap demokratis dan toleran;
e. Kesetiakawanan sosial dan nondiskriminatif;
f. Berkeadilan sosial dan kemakmuran rakyat;
g. Menyadari bahwa bangsa Indonesia berada dalam tata pergaulan dunia dan
universal;
h. Menghargai harkat dan martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan
Yang Maha Esa.
Dalam kaitan itu Notonagoro (1971:25), mengemukakan bahwa negara
kita sifatnya mutlak monodualis kemanusiaan, bukan negara liberal, bukan
negara kekuasaan belaka atau diktator, bukan negara materialis. Negara kita
adalah negara terdiri atas perseorangan yang bersama-sama hidup baik dalam
kelahiran maupun dalam kebatinan, yang mempunyai kedua-duanya kebutuh-
an dan kepentingan perseorangan serta kebutuhan dan kepentingan bersama.
D. PERBANDINGAN IDEOLOGI PANCASILA DENGAN IDEOLOGI LAIN
1. Ideologi Liberalisme.
Ideologi ini mulai tumbuh di Inggris sebagai akibat alam pemikiran yang disebut
zaman pencerahan (aufklaruung) yang menyatakan bahwa manusia memberi-
kan penghargaan dan kepercayaan yang besar pada rasio. Rasio dianggap
sebagai kekuatan yang menerangi segala sesuatu di dunia.
Ajaran liberalisme bertitik tolak dari hak asasi yang melekat pada manusia
sejak lahir yang tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun termasuk penguasa,
kecuali dengan persetujuan yang bersangkutan. Hak asasi memiliki nilai-nilai
91
dasar (intrinsic) berupa kebebasan dan kepentingan pribadi yang menuntut
kebebasan individu secara mutlak untuk mengejar kebahagiaan hidup di tengah-
tengah kekayaan material yang melimpah dan diperoleh dengan bebas. Faham
liberalisme selalu mengaitkan pikirannya dengan hak asasi manusia.
Ideologi liberalisme jelas tidak sesuai dengan Pancasila yang memandang
manusia sebagai mahluk Tuhan, yang mengemban tugas sebagai pribadi
(individu) sekaligus masyarakat (sosial), sehingga dalam kehidupannya wajib
menyelaraskan kepentingan pribadi dengan kepentingan masyarakat, dan
haknya selalu dikaitkan dengan kewajibannya terhadap masyarakat.
2. Ideologi Komunisme.
Ideologi ini disebut juga sosialisme, didasarkan atas kebendaan, dan tidak perca-
ya kepada Tuhan (atheisme). Agama dikatakannya sebagai racun masyarakat.
Ajaran ini dikemukakan oleh Karl Marx kemudian diikuti dan ditambah oleh
Hegel, F. Engels, dan Lenin, sehingga kemudian sering disebut Marxisme-
Leninisme. Sementara di China dikembangkan oleh Mao Tse Tung (Mao Ze-
dong). Di Indonesia oleh H.J.F.M. Sneevliet, seorang anggota Social Demo-
cratische Arbeiderspartij (SDAP) atau partai buruh sosial demokrat Belanda yang
diikuti Semaun, Darsono, Alimin, Muso, dll. sampai D.N. Aidit. Masyarakat
komunis tidak bercorak nasional. Masyarakat yang hendak dibangun adalah
masyarakat komunis dunia (Komintern = Komunis Internasional). Seruannya
adalah, ”Kaum buruh di seluruh dunia bersatulah!”
Masyarakat komunis masa depan adalah masyarakat tanpa kelas yang
dianggap akan memberikan suasana hidup aman tenteram, dengan tidak adanya
hak milik pribadi atas alat produksi dan hapusnya pembagian kerja. Perombakan
masyarakat hanya mungkin dapat dilakukan oleh kaum ”proletar” dengan jalan
revolusi. Setelah revolusi sukses maka kaum proletar saja yang akan memegang
pimpinan pemerintahan, tetapi kenyataannya pemerintahan di negara-negara
komunis dijalankan secara mutlak (diktator proletariat).
Jelas ajaran atau ideologi komunis ini tidak sesuai dengan Pancasila yang
mengajarkan Ketuhanan YME, dan nasionalisme yang dijiwai oleh kemanusiaan
92
yang adil dan beradab, persatuan, musyawaah, dan keadilan sosial.
Ternyata ada juga sosialisme yang bukan komunis, seperti di negara-negara
Barat, termasuk juga di Australia. Di sini demokrasi adalah untuk kolektifitas,
masyarakat sama dengan negara, dan peran negara untuk pemerataan, yang
diutamakan adalah keadilan distributif.
Untuk lebih jelasnya perbandingan ideologi-ideologi dimaksud dapat dilihat
pada matrik di bawah ini.
IDEOLOGI ASPEK
LIBERALISME KOMUNISME SOSISLISME PANCASILA
1 2 3 4 5
POLITIK HUKUM
- - Demokrasi liberal. - - Hukum untuk me- - lindungi individu. - - Politik memen- - tingkan individu.
- - Demokrasi rak- rakyat. - - Yang berkuasa mut mutlak satu - parpol. - - Hukum untuk - melanggengkan - Komunis.
- - Demokrasi ko- - lektivitas. - - Diutamakan - Kebersamaan. - - Masyarakat - sama dengan - negara.
- - - - Demokrasi Pan casila casila. - - Hukum untuk - menjunjung - tinggi keadilan - dan keberada- - an individu &
- M masyarakat.
EKONOMI
- - Peran negara ke- - cil. - - Swasta menomi- - nasi. - - Monopolisme. - - Persaingan bebas.
- - Peran negara dom dominan. - - Kolektivitas - untuk negara. - - Monopoli ne- - gara.
- - Peran negara - untuk pemera - taan. - - Yang diutama - kan keadilan - distributif.
- - Peran negara - agar tidak terja - di monopoli, - dll. Yang meru- - gikan rakyat.
AGAMA
- - Urusan pribadi. - - Bebas memilih - agama, atau tidak - beragama.
- - Racun masya- - Rakat. - - Harus dijauh- - kan dari ma- - syarakat.
- - Harus mendo- - rong berkem- - bangnya keber - samaan.
- - Bebas memilih - satu agama. - - Harus menji- - wai kehidup- - an bermasya- - rakat, berbang - sa, dan berne- - gara. -
PANDANGAN TERHADAP
INDIVIDU DAN MASYARAKAT
- - Individu lebih pen - ting daripada ma- - syarakat. - - Masyarakat diab- - dikan bagi indivi- - du.
- - Individu tidak - penting. - - Masyarakat ti- - dak penting. - - Kolektivitas yg - dibentuk ne- - gara lebih pen - ting.
- - Masyarakat le - bih penting da - ripada indivi- - du.
- - Individu diakui - keberadaan- - nya. - - Masyarakat di- - akui keberada- - nya. - - Masyarakat a- - da karena ada - Individu, dan - Individu hanya - punya arti jika - hidup di te- - ngah-tengah - masyarakat.
93
- - Hubungan indi - vidu dan ma- - syarakat sela- - Ras, serasi, se- - Imbang.
CIRI KHAS
- - Penghargaan ber- - lebih atas HAM. - - Demokrasi. - - Negara hukum - - Menolak dogma- - tisme. - - Reaktif terhadap - absoluitisme.
- - Atheisme. - - Dogmatisme. - - Otoriter. - - Ingkari HAM. - - Reaktif terha- - dap liberalis- - me dan kapita - lisme.
- - Kebersamaan. - - Akomodatif. - - Jalan tengah.
- - Keselarasan, - keserasian, ke- - seimbangan da- dalam setiap - aspek kehidup - an.
Setelah mengetahui dan meyakini mengenai keunggulan ideologi Pancasila
dibanding dengan ideologi-ideologi lain di dunia, maka hendaknya Pancasila
dapat diinternalisasikan pada jiwa dan semangat dalam kehidupan setiap warga
negara Indonesia, dan menjadi landasan nasionalisme atau faham kebangsaan
atau karakter bangsa. Karakter dapat diartikan sebagai sistem daya juang (daya
dorong, daya gerak, dan daya hidup) yang berisikan tata nilai kebajikan akhlak
dan moral yang terpatri dalam diri manusia. (Syahrial Syarbaini, 2011:211).
Dewasa ini MPR gencar mencanangkan dan mensosialisasikan “Empat Pilar
Kebangsaan”, yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI. Hal ini
perlu dimulai dengan tertanamnya rasa kebangsaan atau nasionalisme berlan-
daskan Pancasila. Nilai-nilai pembentukan karakter bangsa dapat disebutkan
antara lain :
a. Keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. Kejujuran;
c. Kedisiplinan;
d. Keikhlasan;
e. Tanggung jawab;
f. Persatuan dan kesatuan;
g. Saling hormat-menghormati;
h. Toleransi;
i. Kerjasama;
j. Gotong royong;
94
k. Musyawarah;
l. Ramah tamah;
m. Keserasian, keselarasan, dan keseimbangan;
n. Patriotisme;
o. Kesederhanaan;
p. Martabat dan harga diri;
q. Kerja keras dan cerdas;
r. Pantang menyerah.
Pembangunan karakter bangsa dapat dilakukan dengan membentuk
kebiasaan (habits forming) yang baik. Hal ini harus dimulai dari diri sendiri,
keluarga, sekolah, masyarakat, yang kemudian meluas dalam kebidupan
berbangsa dan bernegara. Pembangunan karakter bangsa harus mendapat
prioritas utama dalam pembangunan nasional, agar bangsa Indonesia terhindar
dari berbagai krisis. Pembangunan karakter dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara bangsa dapat dilakukan dalam berbagai aktivitas, di antaranya :
a. Kepedulian sosial (social sensitivity);
b. Melindungi dan menjaga hubungan baik (naturance and care);
c. Mengembangkan sifat berbagi, kerjasama, dan adil (share, cooperation, and
fairness);
d. Mengedepankan sifat jujur (honesty);
e. Mengedapankan moraql dan etika (moral and ethics);
f. Mampu mengontrol dan introspeksi diri (self control and self monitoring);
g. Pribadi yang suka menolong/membantu orang lain (helping others);
h. Mampu menyelesaikan masalah dan konflik sosial (problem solving and social
conflict solution).
E. PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA
1. Arti dan Ciri Ideologi Terbuka.
Ideologi terbuka adalah ideologi yang dapat berinteraksi dengan perkembangan
zaman dan adanya dinamika secara internal. Sumber semangat ideologi terbuka
95
dapat dilihat dalam Penjelasan UUD 1945 yang menyatakan : ”Terutama bagi
negara baru dan negara muda, lebih baik hukum dasar yang tertulis itu hanya
memuat aturan-aturan pokok, sedangkan aturan-aturan yang menyelenggara-
kan aturan pokok itu diserahkan kepada undang-undang yang lebih mudah cara
membuatnya, mengubahnya, dan mencabutnya.” Selanjut-nya : ” ... Yang
sangat penting dalam pemerintahan dan dalam hidupnya bernegara ialah
semangat, semangat para penyelenggara negara, semangat para pemimpin
pemerintahan. Meskipun dibuat Undang-Undang Dasar yang menurut kata-
katanya bersifat kekeluargaan, apabila semangat para penyelenggara negara,
para pemimpin pemerintahan itu bersifat perseorangan, Undang-Undang Dasar
itu tentu tidak ada artinya dalam praktek. Sebaliknya, meskipun Undang-Undang
Dasar itu tidak sempurna, akan tetapi jikalau semangat para penyelenggara
pemerintahan baik, Undang-Undang Dasar itu tentu tidak akan merintangi
jalannya negara. Jadi yang paling penting ialah semangat. Maka semangat itu
hidup, atau dengan lain perkataan dinamis. Berhubung dengan itu, hanya
aturan-aturan pokok saja yang harus ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar,
sedangkan hal-hal yang perlu untuk menyelenggarakan aturan-aturan pokok itu
harus diserahkan kepada undang-undang”.
Noor Ms Bakry (2009:67) mengemukakan bahwa yang dimaksud ideologi
terbuka adalah kesatuan prinsip pengarahan yang berkembang dialektis serta
terbuka penafsiran baru untuk melihat perspektif ke masa depan dan aktual
antisipatif dalam menghadapi perkembangan dengan memberikan arah dan
tujuan yang ingin dicapai dalam melangsungkan hidup dan kehidupan nasional.
UUD 1945 memberi kepercayaan yang amat besar pada semangat
kekeluargaan. Hal ini mencerminkan hakikat nilai kultural yang terdapat dalam
seluruh kebudayaan rakyat Indonesia di daerah-daerah, dan merupakan salah
satu ”rahasia” kekuatan UUD 1945, serta Pancasila yang menjiwainya. Sejarah
politik di mana pun membuktikan bahwa setiap struktur dan budaya politik yang
mempunyai akar kultural yang kuat, akan mempunyai daya tahan yang amat
kokoh. Dan dengan konsep itulah bangsa Indonesia membangun negara kekelu-
96
argaan.
Ciri khas ideologi terbuka adalah bahwa nilai-nilai dan cita-citanya tidak
dipaksakan dari luar, melainkan digali dan diambil dari kekayaan rohani, moral,
dan budaya masyarakatnya sendiri. Dasarnya adalah konsensus masyarakat
sendiri, tidak diciptakan oleh negara.
Dengan demikian ideologi terbuka adalah milik seluruh rakyat. Masya-
rakat dapat menemukan dirinya di dalamnya. Itulah sebabnya ideologi terbuka
bukan hanya dapat dibenarkan tetapi juga dibutuhkan. Keterbukaan ideologi
Pancasila tidak berarti memusnahkan atau meniadakan ideologinya itu sendiri.
Nilai-nilai dasarnya tetap harus dipertahankan.
Suatu ideologi terbuka mengandung semacam dinamika internal yang
memungkinkannya untuk memperbaharui diri atau maknanya dari waktu ke
waktu, sehingga isinya tetap relevan dan komunikatif sepanjang zaman, tanpa
menyimpang dari, apalagi mengingkari hakikat atau jatidirinya. Pembaharuan
diri (self renewal) atau pengembangan maknanya itu bukan berarti merevisi
apalagi mengganti nilai-nilai dasar yang terkandung di dalamnya. Jika nilai-nilai
dasar itu direvisi apalagi sama sekali diganti, maka ideologi tersebut sudah
kehilangan hakikat atau jatidirinya, dan oleh karena itu meskipun secara formal
mungkin ia masih ada, tetapi secara substansi tidal lagi hadir karena sudah
berubah sama sekali. (Oetojo Oesman, 1991:5).
Dinamika internal yang terkandung dalam ideologi terbuka biasanya
mempermantap, mempermapan, dan memperkuat relevansi ideologi itu dalam
masyarakatnya. Hal ini bergantung pula pada kehadiran beberapa faktor.
Faktor-faktor dimaksud, antara lain :
a. Kualitas nilai-nilai dasar yang terkandung dalam ideologi itu;
b. Persepsi, sikap, dan tingkah laku masyarakat terhadapnya;
c. Kemampuan masyarakat mengembangkan pemikiran-pemikiran baru yang
relevan tentang ideologinya itu;
d. Seberapa jauh nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi itu membudaya, dan
diamalkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara de-
97
ngan berbagai dimensinya.
2. Faktor-faktor Pendorong Ideologi Terbuka.
Faktor-faktor yang mendorong pemikiran tentang keterbukaan ideologi Panca-
sila adalah :
a. Kenyataan dalam proses pembangunan nasional dan dinamika masyarakat,
berkembang secara cepat;
b. Kenyataan juga menunjukkan bahwa bangkrutnya ideologi tertutup dan beku
cenderung meredupkan perkembangan dirinya;
c. Pengalaman sejarah politik Indonesia di masa lalu;
d. Tekad untuk memperkokoh kesadaran akan nilai-nilai Pancasila yang bersifat
abadi dan hasrat mengembangkan secara kreatif dan dina-mis dalam rangka
mencapai tujuan nasional.
Terdapat tiga tingkat nilai tentang Pancasila :
a. Nilai Dasar, yaitu asas-asas yang kita terima sebagai dalil yang banyak
sedikitnya bersifat mutlak. Kita menerima nilai dasar sebagai suatu hal yang
tidak dipertanyakan lagi. Nilai dasar bersifat abstrak tidak dapat diamati
melalui panca indera manusia, tetapi berhubungan dengan tingkah laku atau
berbagai aspek kehidupan manusia. Setiap nilai memiliki nilai dasar, berupa
hakikat, esensi, intisari, atau makna yang dalam dari nilai-nilai tersebut. Nilai
dasar juga bersifat universal karena menyangkut kenyataan obyektif dari
segala sesuatu. Misalnya hakikat Tuhan, manusia, atau makhluk lainnya.
Demikian juga semangat kekeluargaan bisa disebut sebagai nilai dasar,
sifatnya mutlak, dan tidak akan diubah lagi;
b. Nilai Instrumental, yaitu pelaksanaan umum dari nilai dasar, atau sifatnya
operasional, biasanya dalam wujud norma sosial ataupun norma hukum, yang
selanjutnya akan terkristalisasi dalam lembaga-lembaga. Nilai instrumental
adalah nilai yang menjadi pedoman pelaksanaan dari nilai dasar. Nilai
instrumental merupakan formula serta parameter yang jelas dan konkrit yang
menjabarkan nilai dasar. Nilai kendati lebih rendah dari nilai dasar, namun
tidak kalah penting karena menguraikan nilai dasar yang umum dalam wujud
98
yang nyata, serta sesuai dengan keadaan dan perkembangan zaman. Sifatnya
dinamis dan kontekstual, yaitu sesuai dengan kebutuhan tempat dan waktu.
Nilai instrumental adalah semacam tafsir positif terhadap nilai dasar yang
umum.
c. Nilai Praksis, yaitu nilai yang sesungguhnya kita laksanakan dalam realitas,
atau merupakan penjabaran lebih lanjut dari nilai instrumental dalam
kehidupan yang lebih nyata. ini seyogianya sama semangatnya dengan nilai
dasar dan nilai instrumental di atasnya. Lebih dari itu, nilai praksis inilah yang
sesungguhnya akan merupakan batu ujian apakah nilai dasar dan nilai
instrumental itu sungguh-sungguh hidup dalam masyarakat atau tidak. Nilai
praksis dalam kehidupan ketatanegaraan misalnya, dapat ditemukan dalam
undang-undang organik, yaitu semua peraturan perundang-undangan di
bawah UUD 1945 sampai kepada yang sifatnya teknis yang dibuat oleh
pemerintah yang paling bawah, sesuai dengan tata urut peraturan perundang-
undangan itu.
Jadi, yang tidak boleh berubah itu adalah nilai atau norma dasar yang
terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, karena merupakan pilihan dan hasil
konsensus bangsa yang disebut kaidah pokok dasar negara yang fundamental
(staatsfundamentalnorm). Artinya, perwujudan atau pelaksanaan nilai-nilai
instrumental dan praksis harus tetap mengandung jiwa dan semangat yang sama
dengan nilai dasarnya.
Adapun ciri atau sifat ideologi terbuka memiliki tiga dimensi penting, yaitu
sebagai berikut :
a. Dimensi Realitas, yaitu nilai-nilai yang terkandung di dalam dirinya bersumber
dari nilai-nilai riil (nyata) yang hidup dalam masyarakat dan tertanam sejak
ideologi itu lahir, sehingga masyarakat betul-betul merasakan dan menghayati
bahwa nilai-nilai dasar itu milik bersama;
b. Dimensi Idealisme, yang mengandung cita-cita yang ingin dicapai dalam
berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Cita-
cita dimaksud berisi harapan yang masuk akal, rasional, dan sangat mungkin
99
dapat dicapai;
c. Dimensi Fleksibilitas, yaitu yang dapat memperbesar dirinya, memelihara, dan
memperkuat relevansinya dari waktu ke waktu. Dapat juga disebut dimensi
pengembangan, yaitu dengan pemikiran-pemikiran baru tanpa khawatir akan
kehilangan hakikat dirinya.
3. Batas-batas Keterbukaan Ideologi Pancasila.
Keterbukaan ideologi Pancasila ada batas-batasnya yang tidak boleh dilanggar,
yaitu :
a. Harus dapat menjaga stabilitas nasional yang dinamis;
b. Larangan terhadap ideologi Marxisme, Leninisme, dan komunisme;
c. Mencegah berkembangnya faham liberalisme, dan kapitalisme;
d. Larangan terhadap pandangan ekstrim yang menggelisahkan kehidupan
masyarakat (baik ekstrim kanan maupun kiri);
e. Penciptaan norma yang baru harus melalui konsensus.
F. PENERAPAN IDEOLOGI PANCASILA
Sebagai ideologi, Pancasila dapat diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, misalnya :
1. Pancasila sebagai ideologi ditinjau dari aspek pandangan hidup bersama.
2. Pancasila sebagai cita hukum dalam kehidupan hukum bangsa Indonesia.
3. Pancasila sebagai ideologi dalam kehidupan ketatanegaraan/pemerintahan.
4. Pancasila sebagai ideologi dalam kehidupan budaya.
5. Pancasila sebagai ideologi dalam kaitannya dengan kehidupan beragama dan
berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Mahas Esa.
6. Pancasila sebagai ideologi dalam kehidupan sosial.
7. Pancasila sebagai ideologi dalam kehidupan politik.
8. Pancasila sebagai ideologi dalam pergaulan Indonesia dengan dunia interna-
sional.
100
9. Pancasila sebagai ideologi dalam kehidupan ekonomi.
10. Pancasila sebagai ideologi dalam kehidupan demokrasi.
11. Pancasila sebagai ideologi birokrasi/aparatur pemerintah.
12. Pancasila sebagai ideologi dalam kehidupan pertahanan keamanan.
13. Pancasila sebagai ideologi dan moral pembangunan, dll.
101
BAB VII PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK
A. PENGERTIAN NILAI, MORAL, ETIKA, NORMA, DAN POLITIK
Sebelum membahas Pancasila sebagai etika politik, di bawah ini perlu dijelaskan
terlebih dulu pengertian tentang nilai, moral, etika, norma, dan politik.
1. Nilai.
a. Sesuatu yang berharga, berguna, indah, memperkaya batin, serta menyadar-
kan manusia akan harkat dan martabatnya;
b. Keberhargaan (worth) atau kebaikan (goodness);
c. Kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan
manusia;
d. Sifat atau kualitas yang melekat pada suatu obyek, tetapi bukan obyeknya itu
sendiri;
e. Merupakan prinsip-prinsip yang disepakati bersama dan dijadikan tolok ukur
menentukan baik atau buruk, benar atau salah, indah atau jelek.
Tingkatan (Hierarki) Nilai :
a. Nilai Kenikmatan : Mengenakkan dan tidak mengenakkan;
b. Nilai Kehidupan : Kesehatan, kesejahteraan;
c. Nilai Kejiwaan : Keindahan, kebenaran, keadilan, pengetahuan;
d. Nilai Kerohanian : Kebenaran, keadilan, kebaikan, keindahan, religiusitas.
Notonagoro membagi nilai menjadi tiga macam :
a. Nilai Material : Segala sesuatu yang berguna bagi kehidupan jasmani/ragawi
manusia;
b. Nilai Vital : Segala sesuatu yang berguna bagi aktivitas manusia;
c. Nilai Rohani : Segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia, yang meli-
puti nilai kebenaran, nilai keindahan, nilai kebaikan, dan nilai religius.
Sementara Walter G. Everett menggolongkan nilai menjadi delapan
macam :
102
a. Nilai Ekonomis, menunjukkan terhadap semua benda yang dapat diuangkan,
dibeli, harga pasar;
b. Nilai Jasmani, membantu kesehatan, efisiensi, dan keindahan badan;
c. Nilai Hiburan, permainan dan waktu senggang yang berkontribusai pada
pengayaan kehidupan;
d. Nilai Sosial, keutuhan kepribadian dan sosial yang diinginkan;
e. Nilai Watak, keseluruhan dari keutuhan kepribadian/perangai yang
diinginkan;
f. Nilai Etika, keindahan alam dan karya seni;
g. Nilai Intelektual, pengetahuan dan pengajaran kebenaran;
h. Nilai Agama, menuntun kehidupan dunia dan akhirat.
Yang mengandung nilai itu bukan hanya sesuatu yang berwujud material
saja, akan tetapi juga yang non material. Nilai-nilai material lebih mudah diukur
dengan menggunakan alat indera maupun alat ukur lain (contoh : kuat, panjang,
lebar, tinggi, berat, dsb.). Nilai-nilai kerohanian/spiritual alat ukurnya hati nurani
manusia dibantu alat indera : Cipta, rasa, karsa, dan keyakinan.
2. Moral.
a. Mos (mores) = Kesusilaan, tabiat, kelakuan, budi pekerti;
b. Keseluruhan norma yang menentukan baik buruknya sikap dan perbuatan
manusia;
c. Dalam wujudnya dapat berupa aturan-aturan.
3. Etika.
Etika merupakan cabang ilmu filsafat yang membahas masalah baik dan buruk.
Ranah pembahasannya meliputi kajian praksis dan reflektif filsafati atas
moralitas secara normatif. Kajian praksis menyentuh moralitas sebagai per-
buatan sadar yang dilakukan dan didasarkan pada norma-norma masyarakat
yang mengatur perbuatan baik (susila) atau buruk (a susila). Sedangkan refleksi
filsafat adalah ajaran moral filsafat yang mengajarkan bagaimana moral
dimaksud dapat dijawab secara rasional dan bertanggung jawab.
103
Adapun pengertian etika sendiri dapat dijelaskan :
a. Suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-
pandangan moral;
b. lmu yang membahas bagaimana dan mengapa kita harus mengambil sikap
yang bertanggung jawab dengan berbagai ajaran moral;
c. Membicarakan masalah-masalah yang berkaitan dengan predikat ”susila” dan
”tidak susila” atau ”baik” dan ”buruk.”
4. Norma.
a. Petunjuk tingkah laku yang harus dijalankan dalam kehidupan sehari-hari
berdasarkan motivasi tertentu;
b. Suatu kesadaran dan sikap luhur yang dikehendaki oleh tata nilai untuk di-
patuhi;
c. Aturan-aturan yang harus dipatuhi;
d. Wujudnya : Norma kesopanan, norma kesusilaan, norma agama, norma
hukum, dsb.
5. Politik.
Secara etimologis, kata “politik” berasal dari bahasa Yunani ”politeia,” dengan
akar kata :
Polis : kota, kesatuan masyarakat yang berdiri sendiri negara.
Teia : urusan.
Politik (politics) dalam bahasa Indonesia berarti kepentingan umum warga
negara suatu bangsa. Politik merupakan suatu rangkaian asas, prinsip, keadaan,
jalan, cara, dan alat yang digunakan untuk mencapai tujuan tertentu yang
dikehendaki. Politik memberikan cara, jalan, arah, dan medannya. Sementara
policy (kebijakan) memberikan pertimbangan cara pelaksanaan asas, jalan, dan
arah dimaksud sebaik-baiknya.
Secara umum, politik menyangkut proses penentuan tujuan negara dan
cara melaksanakannya. Pelaksanaan tujuan tersebut memerlukan kebijakan-
kebijakan (public policies) yang menyangkut pengaturan (regulation), pembagian,
(distribution) atau alokasi (allocation) sumber-sumber yang ada. Penentuan,
104
pengaturan, pembagian, maupun alokasi sumber-sumber yang ada dimaksud
memerlukan kekuasaan (power) dan wewenang (authority). Kekuasaan dan
wewenang ini memainkan peran yang sangat penting dalam pembinaan
kerjasama dan penyelesaian konflik yang mungkin timbul dalam proses
pencapaian tujuan.
Untuk lebih jelasnya, di bawah ini definisi politik yang diberikan oleh para
ahli :
a. Roger F. Soltau :
”Political science is the study of the state, its aims and purposes the
institutions relized, its relations with its individual members and other states.”
(Ilmu politik mempelajari negara, tujuan-tujuan negara dan lembaga-lembaga
yang akan melaksanakan tujuan-tujuan itu, hubungan antar negara dengan
warga negaranya, serta dengan negara lain).
b. J. Barents :
“De wetenschap der politiek is de wetenschap die het leven de staat
bestudeert…een maatschappelijk leven…waarvan de staat een onderdeel
vormt. Aan het onderzook van die staten, zoals ze werken, is de wetenschap
der politiek gewijd.” (Ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari kehidupan
negara yang merupakan bagian dari kehidupan masyarakat, ilmu politik
mempelajari negara-negara itu melakukan tugas-tugasnya).
c. W.A. Robson :
”Ilmu politik mempelajari kekuasaan dalam masyarakat, yaitu sifat hakiki,
dasar-dasar, proses-proses, ruang lingkup dan hasil-hasil. Fokus perhatian
pada perjuangan dan mempertahankan kakuasaan, atau pengaruh atas
orang/kelompok lain, atau menentang pelak-sanaan kekuasaan.”
d. Harold Laswell dan A. Kaplan :
1) Ilmu politik mempelajari pembentukan dan pembagian kekuasaan;
2) Politik adalah siapa mendapat apa, kapan, dan di mana?
e. Miriam Budiardjo :
“Politik adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau
negara yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu
105
dan melaksanakan tujuan-tujuan itu.”
Konsep-konsep pokok politik meliputi :
a. Negara (State);
b. Kekuasaan (Power);
c. Pengambilan Keputusan (Decision Making);
d. Kebijakan (Policy, beleid);
e. Pembagian (Distribution) atau Alokasi (Allocation).
Uraian daripada konsep-konsep pokok politik yang berkaitan dengan imple-
mentasi Pancasila sebagai etika politik tersebut di atas dapat dijelaskan di bawah
ini.
a. Negara.
Pengertian Umum Negara :
1) Organisasi kekuasaan suatu bangsa;
2) Suatu organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi
yang sah dan ditaati oleh rakyatnya;
3) Suatu organisasi kekuasaan dari manusia (masyarakat) dan merupakan alat
yang akan dipergunakan untuk mencapai tujuan bersama;
4) Merupakan kesatuan sosial (masyarakat) yang diatur secara konstitusional
untuk mewujudkan kepentingan bersama.
Pendapat para Ahli :
1) J.H.A. Logemann :
”Keberadaan negara bertujuan untuk mengatur dan menyelenggarakan
masyarakat yang dilengkapi dengan kekuasaan tertinggi.”
2) George Jellinek :
”Negara ialah organisasi kekuasaan dari sekelompok manusia yang telah
berkediaman di wilayah tertentu.”
3) G.W.F. Hegel :
”Negara merupakan organisasi kesusilaan yang muncul sebagai sintesis
dari kemerdekaan universal.”
106
4) Krannenburg :
”Negara adalah suatu organisasi yang timbul karena kehendak dari suatu
golongan atau bangsanya sendiri.”
5) Roger F. Soltau :
”Negara adalah alat (agency) atau wewenang (authority) yang mengatur
atau mengendalikan persoalan bersama atas nama masyarakat.”
6) R. Djokosoetono :
”Negara ialah suatu organisasi atau kumpulan manusia yang berada di
bawah suatu pemerintahan yang sama.”
7) R. Soenarko :
”Negara ialah suatu organisasi masyarakat yang mempunyai daerah
tertentu, di mana kekuasaan negara berlaku ”souvereign” (kedaulatan).”
Membicarakan politik, tidak dapat dipisahkan dengan membicarakan
masalah negara dan bangsa. Di bawah ini dikemukakan sedikit teori tentang
negara dan bangsa. Secara etimologis, negara berasal dari bahasa Latin
”status” atau ”statum” yang berarti menempatkan dalam keadaan berdiri,
atau membuat berdiri. Dalam bahasa Belanda dan Jerman berubah menjadi
”staats” dan dalam bahasa Inggris ”state.” Sedangkan dalam bahasa Indone-
sia untuk pengertian yang sama berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu ”negara.”
Teori Terjadinya Negara :
1) Teori Kenyataan;
2) Teori Ketuhanan;
3) Teori Perjanjian;
4) Teori Penaklukan.
Unsur Negara menurut konvensi Montevideo :
1) Unsur Konstitutif :
a) Rakyat bersatu;
b) Wilayah/daerah;
c) Pemerintah yang berdaulat.
2) Unsur Deklaratif :
Adanya pengakuan dari negara lain.
107
Bentuk Negara :
1) Negara Kesatuan :
a) Sentralisasi;
b) Desentralisasi (Otonomi Daerah).
Di Indonesia otonomi daerah berarti hak, wewenang, dan kewajiban
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundang-undangan,
dan diselenggarakan dengan :
1) Asas Dekonsentrasi, yaitu pelimpahan wewenang pemerintahan oleh
pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada
instansi vertikal di wilayah tertentu;
2) Asas Desentralisasi, yaitu penyerahan wewenang pemerintahan oleh
pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI);
3) Asas Tugas Pembantuan (Medebewind), yaitu penugasan dari pemerin-
tah kepada daerah dan/atau desa, dari pemerintah provinsi kepada
kabupaten/kota dan/atau desa, serta dari pemerintah kabupaten/kota
kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
Sifat-sifat dari negara kesatuan sistem desentralisasi/otda :
a) Kedaulatan negara (ke dalam dan ke luar) di tangan Pemerintah Pusat;
b) Negara hanya mempunyai 1 UUD, 1 Kepala Negara, 1 Dewan Men-
teri, dan 1 DPR;
c) Hanya ada 1 kebijakan yang menyangkut persoalan politik, ekonomi,
sosial-budaya, dan pertahanan keamanan.
2) Negara Serikat (Federasi) :
a) Merupakan gabungan beberapa negara yang menjadi Negara-negara
Bagian dari Negara Serikat;
b) Negara-negara Bagian tersebut semula merupakan negara yang mer-
deka dan berdaulat serta berdiri sendiri;
c) Negara-negara Bagian tersebut melepaskan sebagian dari kekuasa-
annya dan menyerahkannya kepada Negara Serikat (Pusat). Yang
108
diserahkan itu antara lain yang berkaitan dengan urusan hubungan
luar negeri, pertahanan negara, keuangan (moneter), serta pos dan
telekomunikasi.
Terdapat bentuk kenegaraan lain :
1) Dominion;
2) Protektorat :
a) Kolonial;
b) Internasional.
3) Uni :
a) Riil;
b) Personil;
c) Uni Sui Generis.
b. Bentuk Pemerintahan.
Bentuk pemerintahan menurut Plato (429-347 sM) :
1) Monarki, yaitu pemerintahan yang dipegang oleh seseorang (=Raja) dan
dijalankan untuk kepentingan rakyat.
2) Tirani, yaitu pemerintahan yang dipegang oleh seseorang dan dijalan-kan
untuk kepentingan pribadi sang pemimpin (tiran).
3) Aristokrasi, yaitu pemerintahan yang dipegang oleh sekelompok orang
(ningrat) dan dijalankan untuk kepentingan rakyat.
4) Oligarki, yaitu pemerintahan yang dipegang oleh sekelompok orang dan
dijalankan untuk kepentingan kelompoknya.
5) Mobokrasi (Okhlokrasi), yaitu pemerintahan yang dipegang oleh rakyat
tetapi tidak tahu apa-apa (bodoh, tidak berpendidikan, tidak paham, tidak
berpengalaman) sehingga tidak berhasil untuk kepentingan rakyat.
6) Demokrasi, yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.
Menurut Nicollo Machiavelli, bentuk pemerintahan ada dua :
1) Monarki, yaitu bentuk pemerintahan kerajaan. Pemimpin negara umum-
nya raja, ratu, sultan, atau kaisar. Pengangkatan atau penunjukannya ber-
dasarkan warisan/keturunan.
109
2) Republik, yaitu bentuk pemerintahan yang dipimpin oleh seorang Presiden
yang pengangkatannya berdasarkan hasil pemilihan rakyat.
Macam-macam pemerintahan menurut Aristoteles (384-322 sM) :
1) Monarki (Kerajaan) bentuk merosotnya, tirani;
2) Aristokrasi bentuk merosotnya, oligarki;
3) Republik bentuk merosotnya, demokrasi.
Pendapat lain : Demokrasi bentuk merosotnya, okhlokrasi.
c. Sistem pemerintahan.
1) Monarki :
a) Absolut;
b) Konstitusional;
c) Parlementer.
2) Republik :
a) Absolut;
b) Konstitusional;
c) Parlementer.
3) Sistem Pemerintahan Dewan Menteri :
a) Kabinet Presidensial;
b) Kabinet Parlementer;
c) Kabinet Campuran;
d) Kabinet Komunis.
d. Bangsa.
1) Pengertian Umum :
Bangsa adalah kumpulan masyarakat yang membentuk negara.
2) Arti Sosiologis :
Bangsa termasuk kelompok paguyuban (gemeinschaft) yang secara
kodrati ditakdirkan hidup bersama, dan senasib sepenanggungan di dalam
suatu negara.
3) Pendapat para Ahli :
a) Ernest Renan :
110
”Bangsa terbentuk karena adanya keinginan untuk hidup bersama
(hasrat bersatu) dengan perasaan setiakawan.”
b) Otto von Bauer :
”Bangsa adalah kelompok manusia yang mempunyai persamaan dan
karakteristik, tumbuh karena adanya persamaan nasib.”
c) B.F. Ratzel :
”Bangsa terbentuk karena adanya hasrat bersatu. Hasrat itu timbul
karena adanya rasa kesatuan di antara manusia dan tempat tinggalnya
(faham geopolitik).”
d) Hans Kohn :
”Bangsa adalah buah hasil tenaga hidup manusia dalam sejarah.
Suatu bangsa merupakan golongan yang dirumuskan secara eksak.
Kebanyakan bangsa memiliki faktor-faktor obyektif tertentu yang
membedakannya dengan bangsa lain. Faktor-faktor itu berupa :
(1) Persamaan keturunan;
(2) Wilayah;
(3) Bahasa;
(4) Adat-istiadat;
(5) Kesamaan politik;
(6) Perasaan dan agama.”
e) Moerdiono :
(1) Negara kebangsaan bukanlah suatu komunitas sosio-antropologis
yang tumbuh secara alamiah. Negara kebangsaan adalah suatu
komunitas politik yang dirancang, dibangun, dan dioperasikan ber-
dasarkan wawasan kebangsaan;
(2) Wawasan kebangsaan itu sendiri timbul, berkembang, dan ber-
operasi berdasarkan persetujuan terus-menerus dari unsur-unsur
komunitas politik itu.
Jadi kesimpulannya : Bangsa adalah rakyat yang telah mempunyai
kesatuan tekad untuk membangun masa depan bersama. Caranya ialah
111
dengan mendirikan negara yang akan mengurus terwujudnya aspirasi dan
kepentingan bersama secara adil.
Setiap bangsa mempunyai empat unsur aspirasi, yaitu :
1) Keinginan untuk mencapai kesatuan nasional sosial, ekonomi, politik,
agama, kebudayaan, komunikasi, dan solidaritas.
2) Keinginan untuk mencapai kemerdekaan dan kebebasan nasional sepenuh-
nya, yaitu bebas dari dominasi dan campur tangan bangsa asing terhadap
urusan dalam negerinya.
3) Keinginan dalam kemandirian dan keunggulan, misalnya menjunjung ting-
gi bahasa nasional yang mandiri.
4) Keinginan untuk menonjol (unggul) di antara bangsa-bangsa dalam
mengejar kehormatan, pengaruh, dan prestise.
e. Kekuasaan.
Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk mem-
pengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain untuk mengikuti keinginan-
nya. Hal ini berlaku juga dalam hal kekuasaan negara atau pemerintahan,
yaitu keinginan dari pelaku yang menyangkut kenegaraan. Padanan kata
kekuasaan adalah kedaulatan, namun biasanya diterapkan dalam kekuasaan
tertinggi negara (ke dalam dan keluar).
Berdaulat asal katanya daulat, dari bahasa Arab, yang artinya kekuasaan.
Jadi berdaulat berarti mempunyai kekuasaan. Daulat juga berasal dari bahasa
Latin supremus, yang artinya supremasi atau yang tertinggi. Jadi, kedaulatan
adalah kekuasaan yang tertinggi dalam suatu negara.
Berkaitan dengan kedaulatan, di bawah ini beberapa teori :
1) Bentuk Kedaulatan :
Menurut Jean Bodin (1530-1596), kedaulatan suatu negara meliputi :
a) Kedaulatan Ke Dalam (Interne Souvereinteit), yaitu kekuasaan atau
kewenangan tertinggi dalam mengatur dan menjalankan organisasi
negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam hal ini pemerintah memiliki kekuasaan untuk mengatur kehidup-
112
an negara melalui lembaga-lembaga negara atau alat perlengkapan
negara yang dibentuk untuk itu. Contoh kedaulatan negara Indonesia ke
dalam menurut Pembukaan UUD 1945, tampak dari tugas negara, yaitu :
(1) Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia.
(2) Memajukan kesejahteraan umum.
(3) Mencerdaskan kehidupan bangsa.
b) Kedaulatan Ke Luar (Externe Souvereinteit), yaitu suatu pemerintahan
suatu negara yang bebas tidak terikat dan tidak tunduk kepada kekuatan
atau kekuasaan negara lain, selain ketentuan-ketentuan yang ditetapkan
oleh negara bersangkutan. Di antara negara-negara di dunia harus
saling menghormati kedaulatan negara masing-masing, lebih-lebih yang
bertetangga dekat. Demikianlah, maka di antara negara-negara ter-
sebut mengadakan kerjasama di berbagai bidang, selain mengadakan
hubungan diplomatik. Contoh kedaulatan ke dalam negara Indonesia :
(1) Menurut Pembukaan UUD 1945 : Ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan
keadilan sosial.
(2) Menurut Pasal 11 UUD 1945 : Presiden dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan
perjanjian dengan negara lain.
(3) Pasal 13 Ayat (1) : Presiden mengangkat duta dan konsul. Ayat (2) :
Presiden menerima duta dan konsul.
2) Sifat Kedaulatan :
a) Asli, artinya, kedaulatan itu tidak berasal dari kekuasaan lain yang lebih
tinggi dan tidak berasal dari kedaulatan lain;
b) Bulat, artinya, merupakan satu-satunya kekuasaan tertinggi dalam
negara dan tidak dapat diserahkan atu dibagi-bagikan kepada badan-
badan lain;
c) Permanen, artinya, kedaulatan negara akan tetap ada walaupun peme-
Rintahannya berganti-ganti, dan baru akan lenyap jika negara itu juga
113
bubar/musnah;
d) Tidak terbatas, artinya, kedaulatan itu tidak dibatasi oleh siapa pun atau
kekuatan/kekuasaan apa pun. Jika ada kekuasaan lain yang membatasi-
nya, maka berarti negara bersangkutan tidak berdaulat lagi atau kekua-
saan tertingginya lenyap.
3) Teori Kedaulatan :
a) Teori Kedaulatan Tuhan (Theokrasi), yang mengajarkan bahwa negara
atau pemerintah memperoleh kekuasaan tertinggi dari Tuhan. Prinsip-
nya, apa pun yang ada di dunia ini adalah berasal atau ciptaan Tuhan,
sehingga pemerintahan negara atau raja-raja juga berasal dari Tuhan
dan harus mempergunakan kekuasaannya sesuai dengan kehendak
Tuhan. Contohnya, bangsa Jepang sebelum PD-II menganggap Tenno
Heika adalah keturunan dewa matahari, demikian juga raja-raja Mesir
dahulu. Tokoh teori ini a.l. Agustinus, Thomas Aquino, John F. Hegel,
dll.
b) Teori Kedaulatan Raja, yang mengajarkan bahwa kedaulatan negara
berada di tangan raja sebagai penjelmaan kehendak Tuhan. Raja
dianggap keturunan dewa atau wakil Tuhan di bumi yang mendapatkan
kekuasaan langsung dari Tuhan. Agar negara kuat, maka raja harus
berkuasa mutlak dan tidak terbatas (absolut). Raja harus ada di atas
undang-undang, dan rakyat harus rela menyerahkan hak-hak asasi dan
kekuasaannya secara mutlak kepada raja. Contohnya, Perancis pada
masa Raja Louis XIV (1638-1715) dengan semboyannya L’etat c’est moi,
negara adalah saya. Tokoh teori ini a.l. Nicollo Machiavelli, Jean Bodin,
Thomas Hobbes, dll.
c) Teori Kedaulatan Negara, yang mengajarkan bahwa negara adalah
kodrat alam, termasuk kekuasaan tertinggi yang ada pada pemimpin
negara. Kedaulatan sudah ada sejak lahirnya negara, jadi negara ada-
lah sumber daripada kedaulatan. Hukum itu mengikat karena dikehen-
daki negara yang menurut kodratnya mempunyai kekuasaan mutlak.
Contohnta, di Rusia pada masa Tsar yang sangat totaliter menjelang
114
revolusi Bolshevik (1917), di Jerman pada masa Adolf Hitler dan di Italia
pada masa Benito Mussolini. Mereka menganggap dirinya sebagai
pusat kekuasaan negara dan pemerintah. Tokoh teori ini a.l. Paul
Laband dan George Jellinek.
d) Teori Kedaulatan Hukum, yang mengajarkan kekuasaan hukum meru-
pakan kekuasaan tertinggi dalam negara. Pemerintah dan rakyat
memperoleh kakuasaan itu dari hukum. Hukum dimaksud meliputi
hukum tertulis dan tidak tertulis. Pemerintah melaksanakan kekuasa-
annya dibatasi oleh norma, aturan, atau undang-undang, sehingga tidak
bersifat absolut. Contohnya di negara-negara Eropa dan Amerika,
termasuk Indonesia. Terdapat tiga asas atau prinsip umum negara
hukum, yaitu :
(1) Supremasi hukum (kekuasaan tertinggi pada hukum);
(2) Equality before the law (kesamaan/kesetaraan dalam hukum);
(3) Legalitas hukum (hukum tertulis yang ditetapkan secara kelembaga-
an yang berwenang).
Tokoh teori ini adalah Hugo De Groot, Krabe, Immanuel Kant, dan
Leon Duguit.
e) Teori Kedaulatan Rakyat, yang mengajarkan bahwa rakyatlah yang
memegang kuasaan tertinggi negara. Rakyat memberikan sebagian
haknya kepada penguasa untuk kepentingan bersama. Artinya, rakyat-
lah yang memilih dan menentukan penguasa melalui lembaga perwakil-
an. Teori ini muncul sebagai reaksi terhadap kekuasaan raja yang
absolut. Kekuasaan negara ini perlu dibatasi dengan pembagian kekua-
saan seperti dalam ajaran ”Trias Politika” Montesquieu, yaitu legislatif,
eksekutif, dan yudikatif.
Teori kedaulatan rakyat dipakai hampir di seluruh negara
merdeka. Akan tetapi Indonesia tidak sepenuhnya melaksanakan teori
Trias Politika, karena antar lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif
masih ada kaitan tugas kewajiban sehubungan dengan hak prerogatif
Presiden selaku Kepala Negara. Contohnya, Presiden yang turut ambil
115
bagian dalam kekuasaan legislatif (UU dibuat oleh DPR bersama
Presiden), dan dalam kekuasaan yudikatif (Presiden memberi grasi,
amnesti, abolisi, rehabilitasi). Dengan demikian di Indonesia bukan
pemisahan kekuasaan, tetapi distribusi (pembagian) kekuasaan.
Ciri-ciri umum negara yang menganut kedaulatan rakyat adalah :
(1) Adanya jaminan atas hak-hak warga negara;
(2) Adanya partisipasi rakyat terhadap pemerintahan;
(3) Adanya pemilihan umum yang bebas, jujur, dan adil;
(4) Adanya lembaga perwakilan rakyat;
(5) Adanya pengawasan terhadap jalannya pemerintahan, baik oleh
lembaga legislatif, maupun pengawasan langsung rakyat.
Tokoh teori ini a.l. John Lock, Montesquieu, Jean Jacques Rousseau,
dll.
Konsep kedaulatan rakyat tak terlepas dari sejarah teori perjanjian
masyarakat dalam memahami pembentukan negara. Kedaulatan rakyat
hanya mungkin dilaksanakan jika negara dibangun atas dasar teori
perjanjian masyarakat atau teori kontrak sosial (du contract sociale).
Tokoh teori ini adalah Thomas Hobbes, John Lock, dan J.J. Rousseau.
(1) Menurut Thomas Hobbes, terdapat perjanjian yang disebut pactum
subjections, yaitu perjanjian pemerintahan dengan jalan segenap
individu yang berjanji menyerahkan semua hak-hak kodrat yang
mereka miliki ketika hidup dalam keadaan alamiah kepada sese-
orang atau kelompok orang yang ditunjuk untuk mengatur kehidup-
an mereka. Orang atau kelompok orang yang ditunjuk itu harus
diberi kekuasaan mutlak, sehingga kekuasaan negara tidak dapat
disaingi oleh kekuatan apa pun.
(2) Menurut John Lock, kekuasaan penguasa (pemerintah) tidak pernah
mutlak, selalu ada batasnya. Dalam perjanjian yang dilakukan, tidak
seluruh orang atau kelompok menyerahkan keseluruhan dari hak-
hak alamiah mereka. Ada hak-hak individu yang dalam ikatan
kenegaraan tidak dapat dilepaskan dan harus dihormati, yaitu life,
116
liberty, dan estate. Hak-hak itu merupakan hak kodrat yang dimiliki
individu sebagai manusia yang melekat sejak dia dilahirkan dalam
keadaan alami. Hak-hak ini mendahului adanya perjanjian masyara-
kat, sehingga tidak bergantung pada kontrak sosial dimaksud.
Justru fungsi utama kontrak sosial itu untuk menjamin dan melin-
dungi hak-hak kodrat tersebut. Ajaran John Lock kemudian meng-
hasilkan negara konstitusional, bukan negara absolut. Dengan
teorinya ini John Lock disebut Bapak Hak Asasi Manusia.
(3) Menurut J.J. Rousseau, setiap manusia dilahirkan merdeka (tuot
homme ne libre). Untuk menjamin kepentingannya, tiap individu
dengan sukarela menyerahkan hak dan kekuasaannya kepada suatu
organisasi yang didirikan bersama yang diberi nama ”negara”.
Dalam negara itu tiap individu menyerahkan kemerdekaan alamiah-
nya, tetapi dari negara itu individu mendapatkan kemerdekaan sipil,
yaitu kebebasan berbuat segala sesuatu asal dalam batas undang-
undang (status civils). Pemerintah merupakan wakil dari rakyat,
sebab yang memiliki kekuasaan adalah rakyat. Karena itu pemerin-
tah bisa diganti jika dalam menjalankan tugasnya tidak sesuai
dengan kehendak umum (rakyat) atau volonte generale. Dengan
perjanjian masyarakat ini, J.J. Rousseau menghasilkan bentuk
negara demokrasi.
Berkaitan dengan Indonesia, maka prinsip-prinsip sebagai negara
yang menganut kedaulatan rakyat, sesuai dengan UUD 1945 dapat
dikemukakan :
(1) Negara Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk republik.
{Pasal 1 Ayat (1)};
(2) Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
undang-undang dasar. {Pasal 1 Ayat (2)};
(3) Negara Indonesia adalah negara hukum. {Pasal 1 Ayat (3)};
(4) Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan
Perwakilan Rakyat. (Pasal 7C);
117
(5) Menteri-menteri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden {Pasal
17 Ayat (2)};
(6) Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan
Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut
Undang-Undang Dasar. {Pasal 3 Ayat (3)}.
f. Pengambilan Keputusan.
1) Keputusan : Membuat pilihan di antara beberapa kemungkinan (alter-
natif);
2) Pengambilan keputusan : Menunjuk pada proses yang terjadi sampai
keputusan itu tercapai.
3) Pengambilan keputusan dalam konsep politik menyangkut keputusan-
keputusan yang diambil secara kolektif yang mengikat seluruh masyarakat.
g. Kebijakan Umum (Policy, Beleid).
Suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau kelompok
politik dalam usaha memilih tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai
tujuan-tujuan itu.
h. Pembagian (Distribution) dan Alokasi (Allocation).
Pembagian dan alokasi (penjatahan) dari nilai-nilai dalam masyarakat. Nilai-
nilai ini bisa bersifat abstrak seperti penilaian (judgement) atau suatu asas
misalnya kejujuran, keadilan, kebebasan berpendapat, kebebasan mimbar,
dsb. Bisa juga bersifat konkrit (material) seperti rumah, kekayaan, dsb.
6. Bidang-bidang Ilmu Politik.
United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) suatu
badan PBB, membagi ilmu politik menjadi empat bidang, yaitu :
a. Teori Politik :
1) Teori politik;
2) Sejarah perkembangan ide-ide politik.
b. Lembaga-lembaga Politik :
118
1) Undang-undang Dasar;
2) Pemerintah nasional;
3) Pemerintah daerah dan lokal;
4) Fungsi ekonomi dan sosial dari Pemerintah;
5) Perbandingan lembaga-lembaga politik.
c. Partai-partai Politik, Golongan-golongan, dan Pendapat Umum :
1) Partai-partai politik;
2) Golongan-golongan, ormas, LSM, dan asosiasi;
3) Partisipasi warga negara dalam pemerintahan dan administrasi;
4) Pendapat umum.
d. Hubungan Internasional :
1) Politik internasional;
2) Organisasi-organisasi dan administrasi internasional;
3) Hukum internasional.
B. NILAI DASAR PANCASILA
Sebagai etika, moral, norma, dan etika pilitik, Pancasila mempunyai nilai dasar
fundamental bagi bangsa dan negara Indonesia. Pancasila sebagai nilai dasar
dimaksud :
1. Bersifat universal.
2. Mempunyai nafas humanisme, karena dapat diterima dengan mudah oleh siapa
saja.
3. Perbedaannya terletak pada fakta sejarah, karena nilai-nilai Pancasila dirangkai
dan secara resmi disahkan menjadi kesatuan yang berfungsi sebagai basis
perilaku politik dan sikap moral bangsa Indonesia.
Pancasila sebagai nilai dasar adalah seperangkat nilai yang terpadu berkenaan
dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai dasar Pan-
casila dimaksud adalah :
119
1. Sila Pertama : Ketuhanan Yang Maha Esa.
a. Memuat pengakuan eksplisit akan eksistensi Tuhan sebagai sumber dan pen-
cipta universum;
b. Memperlihatkan relasi esensial antara pencipta dan yang diciptakan, menun-
jukkan ketergantungan yang diciptakan kepada yang mencipta.
2. Sila Kedua : Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
a. Refleksi lebih lanjut dari sila pertama;
b. Memperlihatkan secara mendasar dari negara atas harkat dan martabat
manusia sekaligus komitmen untuk melindunginya;
c. Manusia karena kedudukannya yang khusus di antara ciptaan Tuhan mem-
punyai hak dan kewajiban untuk mengembangkan kesempatan dirinya menja-
di orang yang bernilai.
3. Sila Ketiga : Persatuan Indonesia.
Meminta perhatian setiap manusia Indonesia sebagai warga negara akan hak,
kewajiban, dan tanggung jawabnya kepada negara, khususnya dalam menjaga
eksistensi bangsa dan negara.
4. Sila Keempat : Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan.
a. Pengakuan negara serta perlindungan atas kedaulatan rakyat yang dilaksana-
kan dalam suasana musyawarah dan mufakat;
b. Keterbukaan untuk saling mendengar, mempertimbangkan satu sama lain,
menerima dan memberi;
c. Setiap orang diakui dan dilindungi haknya untuk berpartisipasi dalam kehidup-
an politik.
5. Sila Kelima : Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
a. Menekankan keseimbangan antara hak dengan kewajiban;
b. Setiap warga negara harus dapat menikmati keadilan secara nyata;
c. Keadilan sosil menuntut formasi struktur-struktur soaial, ekonomi, politik,
budaya, dan ideologi ke arah yang lebih akomodatif terhadap kepentingan
masyarakat.
120
C. KONSEP NEGARA PANCASILA
Konsep ini adalah faham negara persatuan yang meliputi kehidupan masyarakat
yang :
1. Bersifat sosialistis-religius;
2. Semangat kekeluargaan dan kebersamaan;
3. Semangat persatuan;
4. Musyawarah untuk mufakat;
5. Menghendaki keadilan sosial (masyarakat adil dan makmur berdasarkan Panca-
sila).
D. IDE POKOK KEBANGSAAN INDONESIA
Dapat dilihat dari sifat keseimbangan Pancasila :
1. Keseimbangan antara golongan agama (khususnya Islam) dengan golongan
nasionalis (negara theis demokrasi);
2. Keseimbangan antara sifat individual dengan sifat sosial (aliran monodualisme);
3. Keseimbangan antar ide-ide asli Indonesia (faham dialektis).
Ide pokok kebangsaan Indonesia adalah faham integralistik (faham negara
persatuan). Hal ini tercermin dalam nilai-nilai dasar faham kekeluargaan, yaitu :
1. Persatuan dan kesatuan serta saling ketergantungan satu sama lain dalam
masyarakat;
2. Bertekad dan berkehendak sama untuk kehidupan kebangsaan yang bebas,
merdeka, dan bersatu;
3. Cinta tanah air dan bangsa serta kebersamaan;
4. Kedaulatan rakyat dengan sikap dan kemakmuran rakyat;
5. Menyadari bahwa bangsa Indonesia berada dalam tata pergaulan dunia dan
universal;
6. Menghargai harkat dan martabat manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan Yang
Maha Esa.
121
E. ETIKA POLITIK PANCASILA
Etika adalah refleksi kritis dan rasional mengenai nilai dan norma yang menyangkut
bagaimana manusia harus hidup sebagai manusia, serta masalah-masalah kehi-
dupan manusia yang mendasar pada nilai dan norma-norma moral yang diterima
(Sonny Keraf, 2005:13). Secara umum, etika merupakan prinsip-prinsip bagi
segenap tindakan manusia, sedangkan secara khusus adalah :
1. Etika Individual, membahas kewajiban manusia sebagai individu terhadap dirinya
sendiri dan melalui suara hati terhadap Tuhannya;
2. Etika Sosial, membahas kewajiban serta norma-norma moral yang harus dipatuhi
tentang hubungannya dengan sesama manusia, masyarakat, bangsa, dan negara.
Adapun etika politik menuntut agar kekuasaan dalam negara dijalankan sesuai
dengan :
1. Asas legalitas (legitimasi hukum);
2. Disahkan dan dijalankan secara demokratis (legitimasi demokrasi);
3. Dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip moral atau tidak bertentangan dengan
moral (legitimasi moral), yaitu moral agama (religiusitas) dan moral kemanu-
siaan (humanity).
Menurut Ketetapan MPR No. VI/MPR/2001, etika politik dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara bersumber dari ajaran agama yang bersifat universal,
dan nilai-nilai budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasila sebagai acuan dalam
berpikir, bersikap, dan bertingkah laku.
Pembangunan moral politik yang berbudaya adalah untuk melahirkan kultur
politik yang berdasarkan iman dan taqwa terhadap Tuhan YME, menggalang
suasana kasih sayang sesama manusia Indonesia yang berbudi luhur, yang meng-
indahkan kaidah-kaidah musyawarah secara kekeluargaan yang bersih dan jujur,
dan menjamin asas pemerataan keadilan di dalam menikmati dan menggunakan
kekayaan negara.
Etika politik karenanya lebih banyak bergerak dalam wilayah di mana sese-
orang secara ikhlas dan jujur melaksanakan hukum yang berlaku tanpa adanya rasa
122
takut pada sanksi. Etika politik tidak diatur dalam hukum tertulis secara lengkap,
tetapi melalui moralitas yang bersumber dari hati nurani dan rasa malu kepada
masyarakat, serta rasa takut (= taqwa) kepada Tuhan YME. Pokok-pokok etika
dalam kehidupan berbangsa mengedepankan amanah, keteladanan, sportifitas,
disiplin, etos kerja, kemandirian, sikap toleransi, rasa malu, tanggung jawab,
menjaga kehormatan, serta harkat/martabat diri sebagai warga negara.
Etika kehidupan berbangsa dalam Tap MPR seperti disebutkan di atas meli-
puti :
1. Etika sosial dan budaya;
2. Etika politik dan pemerintahan;
3. Etika ekonomi dan bisnis;
4. Etika penegakkan hukum yang berkeadilan;
5. Etika keilmuan;
6. Etika lingkungan.
Kesemuanya harus berlandaskan pada Pancasila sebagai sumber etika, yang
tercermin dalam sila-silanya, yang menurut Syahrial Syarbaini (2011:11) adalah :
1. Sila Pertama : Menghormati setiap orang atau warga negara atas berbagai
kebebasannya dalam menganut agama dan beribadah menurut agama dan
kepercayaannya masing-masing, serta menjadikan ajaran-ajarannya sebagai
panutan untuk menuntun maupun mengarahkan jalan hidupnya.
2. Sila Kedua : Menghormati setiap orang dan warga negara sebagai pribadi
(persona) yang “utuh sebagai manusia”, manusia sebagai subyek pendukung,
penyangga, pengemban, serta pengelola hak-hak dasar kodrati, yang merupakan
suatu keutuhan dengan eksistensi dirinya secara bermartabat.
3. Sila Ketiga : Bersikap dan bertindak adil dalam mengatasi segmentasi-
segmentasi atau primordialisme sempit dengan jiwa dan semangat “Bhinneka
Tunggal Ika” yaitu bersatu dalam perbedaan, dan berbeda dalam persatuan.
4. Sila Keempat : Kebebasan, kemerdekaan, kebersamaan, dimiliki dan dikembang-
kan dengan dasar musyawarah untuk mencapai kemufakatan secara jujur dan
terbuka dalam menata berbagai aspek kehidupan.
123
5. Sila Kelima : Membina dan mengembangkan masyarakat yang berkeadilan sosial
yang mencakup kesamaan deraqjat (equality) dan pemerataan (equity) bagi
setiap orang atau setiap warga negara.
Pembinaan etika politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sangatlah
urgent (penting). Langkah awal dimulai dengan membangun konstruksi berpikir
untuk menata kembali kultur politik bangsa. Sebagai warga negara setiap individu
memiliki hak-hak politik. Pelaksanaan hak-hak politik dalam kehidupan bernegara
akan saling bersosialisasi, berkomunikasi, dan berinteraksi antarsesama warga
negara dalam berbagai wadah, yaitu infra dan supra struktur politik. Sosialisasi,
komunikasi, dan interaksi dalam infra struktur politik, misalnya tatkala unjuk
rasa/demonstrasi, mimbar bebas, bicara melalui lisan dan tulisan, kampanye pemilu
penghitungan suara di TPS saat pemilu/pilpres/pilkada/pilkades, dll. baik yang
dilakukan secara perorangan atau pun melalui orpol dan ormas. Sedangkan dalam
wadah supra struktur politik misalnya tatkala aktivitas berlangsung dalam lembaga-
lembaga negara dan pemerintahan sampai ke tingkat paling rendah misalnya
Desa/Kelurahan. Kesemuanya telah diatur dengan peraturan perundang-undangan.
Persoalannya, sudahkah setiap warga negara dalam melakukan segala akti-
vitasnya yang berkaitan dengan hak-hak politik itu berpedoman kepada peraturan
perundang-undangan yang berlaku? Jawaban yang sesuai pastilah hati nurani dan
kejujuran batin, karena hukum positif yang berlaku tidak menjamin bahwa hak-hak
politik warga negara telah dilaksanakan dengan baik. Beberapa kasus yang dapat
dilihat seperti KKN (Korupsi Kolusi dan Nepotisme), pelanggaran pemilu, money
politic (politik uang) dalam memperebutkan jabatan, dll., adalah contoh yang dapat
dirasakan, tetapi sangat sulit dibuktikan secara hukum, sehingga terjadi bermacam
ketidakadilan. Itulah sebabnya semua pelanggaran dan kejahatan sulit diberantas
melalui jalur hukum, kecuali hanya dengan etika berpolitik yang berasaskan nilai-
nilai Pancasila. Jadi, etika politik banyak bergerak dalam wilayah di mana seseorang
secara ikhlas dan jujur melaksanakan hukum yang berlaku tanpa adanya rasa takut
pada sanksi hukum yang berlaku.
Etika politik di Indonesia belum benar-benar membudaya, karena selalu
berangkat dari aturan normatif, bukan dari hati nurani. Seorang pejabat yang tidak
124
mampu atau gagal menjalankan tugasnya, diduga atau dituduh korupsi, dll., dia
akan berusaha mempertahankan kedudukannya, bahkan sampai pengadilan sekali
pun. Sementara di luar negeri pejabat demikian dengan kesadaran sendiri, berang-
kat dari hati nurani dan kejujuran, sudah mengundurkan diri. Di sini terjadi
perbedaan persepsi. Bagi pejabat di luar negeri, contohnya di Jepang, Korea, AS,
dll., pengunduran diri dari suatu kedudukan publik itu adalah suatu tanggung jawab
karena merasa ada yang salah, sementara di Indonesia, mengundurkan diri itu
berarti tidak mempunyai rasa tanggung jawab, atau melepaskan diri dari tanggung
jawab.
Bicara mengenai etika politik dalam kehidupan bernegara, tampaknya di
Indonesia lebih banyak pengaruh subyektifnya. Banyak politisi yang melihat dan
mencari kesalahan pada orang dan kelompok lain. Mereka lupa, apakah etika
tersebut telah dilaksanakan dengan baik pada diri sendiri dan kelmpoknya. Oleh
karena itu, terwujudnya etika politik dengan baik dalam kehidupan bernegara
sangat ditentukan oleh kejujuran dan keihkhlasan hati nurani dari masing-masing
warga negara yang telah memiliki hak-hak politiknya.
Salah satu upaya agar etika politik terwujud, maka di berbagai institusi
(lembaga) perlu dibentuk Dewan Kehormatan. Hal ini merupakan ketetapan MPR
yang merespon suara rakyat, yaitu Tap MPR No. VI/MPR/2002 tentang Rekomen-
dasi Atas Laporan Pelaksanaan Putusan MPR oleh Presiden, DPR, DPA, MA, dan BPK.
DPR misalnya telah menindaklanjuti dengan membentuk Dewan Kehormatan untuk
memeriksa anggota yang kurang/tidak disiplin, dan meningkatkan kinerja anggota-
nya dengan landasan moral, etika, dan rasa tanggung jawab yang tinggi. Dalam
Pasal 6 Tata Tertib tentang Kode Etik DPR misalnya disebutkan : Ayat (1) Anggota
DPR harus mengutamakan tugasnya dengan cara menghadiri secara fisik setiap
rapat yang menjadi kewajibannya; Ayat (2) Ketidakhadiran secara fisik sebanyak
tiga kali berturut-turut dalam rapat sejenis tanpa izin pimpinan fraksi merupakan
suatu pelanggaran kode etik.
Faktor-faktor yang merupakan ancaman serius terhadap persatuan bangsa
dan kemunduran dalam pelaksanaan etika politik, ada yang berasal dari dalam dan
ada yang dari luar negeri.
125
1. Dari dalam negeri :
a. Masih lemahnya pengamalan ajaran agama dan munculnya pemahaman
agama yang keliru dan sempit;
b. Sistem sentralisasi pemerintahan di masa lampau sehingga timbul fanatisme
daerah (primordialisme);
c. Tidak berkembangnya pemahaman kemajemukan dalam kehidupan ber-
bangsa;
d. Terjadinya ketidakadilan ekonomi dalam kurun waktu yang panjang sehing-
ga muncul perilaku ekonomi yang bertentangan dengan moralitas dan etika;
e. Kurangnya keteladanan bersikap dan berperilaku para pemimpin bangsa.
1. Dari luar negeri :
a. Pengaruh globalisasi yang luas dengan persaingan bangsa-bangsa yang
semakin tajam;
b. Makin tingginya intensitas intervensi kekuatan global dalam perumusan
kebijakan nasional.
126
BAB VIII PANCASILA DALAM KONTEKS KETATANEGARAAN
REPUBLIK INDONESIA
A. PENGERTIAN, KEDUDUKAN, SIFAT, DAN FUNGSI UUD 1945 1. Pengertian Hukum Dasar.
Hukum dasar adalah aturan-aturan dasar (pokok) yang timbul dan terpelihara
dalam praktek penyelenggaraan negara. Hukum dasar ada yang tertulis disebut
Konstitusi, atau Undang-Undang Dasar (UUD), dan ada yang tidak tertulis disebut
Konvensi. Konvensi mempunyai sifat-sifat :
a. Kebiasaan yang berulangkali dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan
negara;
b. Tidak bertentangan dengan UUD;
c. Diterima oleh seluruh rakyat;
d. Bersifat sebagai pelengkap jika tidak terdapat dalam UUD.
Contoh konvensi di negara kita :
a. Upacara Bendera pada Peringatan HUT Kemerdekaan RI tiap tanggal 17
Agustus;
b. Pidato kenegaraan Presiden RI setiap tanggal 16 Agustus di dalam sidang DPR
dalam rangka memperingati Kemerdekaan RI yang berisi laporan kemajuan
(progress rapport) dalam penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pem-
bangunan, dan pembinaan kemasyarakatan dalam tahun anggaran berjalan;
c. Pidato Presiden RI yang diucapkan sebagai keterangan pemerintah tentang
nota keuangan atau Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(RAPBN) pada minggu pertama pada bulan Januari setiap tahun;
d. Pemberian grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi pada hari kemerdekaan RI
atau pada hari raya keagamaan;
e. Setiap terbentuk DPR baru hasil Pemilu legislatif, sebelum ada pimpinan resmi
hasil pemilihan, maka dipilih pimpinan sementara dengan memperhatikan
usia (yang tertua sebagai Ketua, dan yang termuda sebagai Wakil Ketua);
127
f. Tata cara pemilihan anggota Kabinet oleh Presiden;
g. Menyambut tamu negara dengan :
1) Pagelaran kesenian;
2) Tukar-menukar cendera mata.
h. Setiap periode kepemimpinan nasional, sebelum mengakhiri masa tugasnya,
ada jeda waktu yang disebut demisioner. Pada masa ini tidak boleh melaku-
kan kegiatan-kegiatan kenegaraan yang bersifat prinsipil, kecuali seremonial.
i. Dsb.
2. Pengertian Konstitusi dan UUD.
Dalam bahasa Latin istilah konstitusi merupakan gabungan dari dua kata, yaitu
”cume” yang berarti ”bersama dengan” dan ”statuere” yang berarti ”membuat
sesuatu agar berdiri” sehingga semuanya berarti ”bersama mendirikan, mene-
tapkan sesuatu”. Dalam bahasa Perancis istilah konstitusi berasal dari kata
”constituer” yang berarti ”membentuk,” maksudnya adalah pembentukan,
penyusunan, atau pernyataan suatu negara. Dalam bahasa Inggris disebut
constitution dan Belanda constitutie yang memiliki makna yang sama dengan
grondwet dalam bahasa Jerman (grond = tanah, dasar; wet = undang-undang)
yang menunjukkan naskah tertulis.
Dalam praktek ketatanegaraan, umumnya konstitusi dapat memiliki makna
yang lebih luas daripada UUD atau sama dengan pengertian UUD. (Kaelan,
2004:180). Sementara itu menurut A. Ubaedillah (2010:60), konstitusi adalah
keseluruhan peraturan yang mengatur secara mengikat cara-cara bagaimana
suatu pemerintahan diselenggarakan dalam suatu masyarakat. Pengertian
konstitusi dapat disimpulkan sebagai berikut :
a. Kumpulan kaidah yang memberikan pembatasan kekuasaan kepada
penguasa;
b. Dokumen tentang pembagian tugas dan wewenang dari sistem politik yang
diterapkan;
c. Deskripsi yang menyangkut masalah hak asasi manusia.
Secara garis besar tujuan dan fungsi konstitusi adalah membatasi tindakan
sewenang-wenang pemerintah, menjamin hak-hak rakyat yang diperintah, dan
128
menetapkan pelaksanaan kekuasaan berdaulat. Sedangkan menurut Sri Soeman-
tri, yang mengutip pendapat Steenbeck, terdapat tiga muatan pokok dalam
konstitusi, yaitu :
a. Jaminan hak-hak asasi manusia;
b. Susunan ketatanegaraan yang bersifat mendasar;
c. Pembagian dan pembatasan kekuasaan.
Adapun istilah konstitusi atau UUD di Indonesia adalah terjemahan dari
bahasa Jerman ”grondwet,” atau bahasa Belanda ”constitutie”, sehingga pada
saat NKRI berubah menjadi Republik Indonesia Serikat atau negara federal pada
tahun 1949-1950, kita mengenal atau menggunakan istilah konstitusi, yaitu
Konstitusi RIS.
3. Pengertian UUD 1945.
UUD 1945 adalah adalah hukum dasar tertulis negara Republik Indonesia yang
memuat dasar dan garis besar hukum dalam penyelenggaraan negara.
4. Kedudukan UUD 1945.
Kedudukan UUD 1945 adalah sebagai landasan struktural dalam penyeleng-
garaan pemerintahan negara RI.
5. Sifat UUD 1945.
Sifat UUD 1945 singkat dan supel, karena hanya memuat aturan-aturan pokok
yang setiap saat dapat dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman.
Lebih lanjut dijabarkan dalam peraturan perundang-undangan di bawahnya
(yang lebih rendah derajat/tingkatannya). Contohnya :
1) Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 : ”Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksa-
nakan menurut Undang-Undang Dasar”. Maka saat ini dijabarkan lebih lanjut
dalam Undang-Undang :
a. No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik;
b. No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden;
c. No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Undang-Undang No. 2 Tahun 2008
tentang Partai Politik;
129
d. No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum;
e. No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD;
2) Pasal 30 Ayat (5) UUD 1945 : ”Susunan dan kedudukan Tentara Nasional
Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, hubungan kewenang Tenta-
ra Nasional Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia di dalam menjalan-
kan tugasnya, syarat-syarat keikutsertaan warga negara dalam usaha per-
tahanan dan keamanan negara, serta hal-hal yang terkait dengan pertahanan
dan keamanan diatur dengan undang-undang”. Maka saat ini dijabarkan
dalam Undang-Undang :
a. No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia;
b. No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara;
c. No. 34 Tahun 2003 tentang Tentara Nasional Indonesia.
3) Pasal 31 Ayat (3) UUD 1945 : ”Pemerintah mengusahakan dan menyeleng-
garakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan
ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, yang diatur dengan undang-undang”. Maka saat ini dijabarkan lebih
lanjut dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentan Sistem Pendidikan
Nasional.
Demikian juga Pasal-pasal UUD 1945 yang lainnya. Selanjutnya UU
dalam pelaksanaannya dapat dijabarkan lebih lanjut dalam PP, Perpres,
Inpres, Permen, Perda, dan seterusnya sesuai dengan pembidangannya
masing-masing.
6. Fungsi UUD 1945.
Fungsi UUD 1945 adalah sebagai alat kontrol norma-norma hukum positif yang
lebih rendah dalam tata urutan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Tata urutan (hierarki) peraturan perundang-undangan RI pernah empat kali ber-
ubah, yaitu :
a. Menurut Kepetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 :
1) Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945 (UUD 1945);
2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR);
130
3) Undang-Undang (UU);
4) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU);
5) Peraturan Pemerintah (PP);
6) Keputusan Presiden (Keppres);
7) Instruksi Presiden (Inpres);
8) Keputusan Menteri (Kepmen);
9) Instruksi Menteri (Inmen);
10) Peraturan Daerah (Perda):
11) Keputusan Gubernur (Kepgub);
12) Keputusan Bupati/Walikota Madya);
13) Dst.
b. Menurut Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 adalah :
1) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 (UUD 1945);
2) Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR);
3) Undang-undang (UU);
4) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPPU);
5) Peraturan Pemerintah (PP);
6) Keputusan Presiden (Keppres);
7) Peraturan Daerah (Perda).
c. Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan adalah :
1) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 (UUD 1945);
2) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (UU/
PERPPU);
3) Peraturan Pemerintah (PP);
4) Peraturan Presiden (Perpres);
5) Peraturan Daerah (Perda).
d. Terakhir, menurut Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan sebagai pengganti Undang-Undang No. 10
Tahun 2004, dan yang sekarang berlaku, adalah :
1) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 (UUD 1945);
131
2) Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR);
3) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (UU/
PERPPU);
4) Peraturan Pemerintah (PP);
5) Peraturan Presiden (Perpres);
6) Peraturan Daerah Provinsi (Perda Provinsi);
7) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota (Perda Kabupaten/Kota).
Terhadap konstitusi atau UUD menurut Karl Loewentein dalam Kusnardi,
1983:72-75) terdapat tiga jenis penilaian :
a. Nilai Normatif berlaku efektif sebagai sumber hukum yang dilaksanakan
secara murni dan konsekuen;
b. Nilai Nominal berlaku tidak sempurna karena ada pasal-pasal tertentu yang
oleh penguasa tidak diberlakukan. Contoh pasal 28 UUD 1945 mengenai
kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan
dan tulisan, pada masa Orba dalam praktek pelaksanaannya banyak bergan-
tung pada kemauan penguasa;
c. Nilai Semantik berlaku hanya simbolik yang dalam pelaksanaannya digan-
tikan dengan kepentingan penguasa. Artinya, kebijakan dan keputusan
negara/pemerintah tidak konsekuen berdasarkan UUD. Contoh pelaksanaan
UUD 1945 pada masa Orla dan Orba.
7. Perubahan (Amandemen) Undang-Undang Dasar.
Perubahan atau amandemen UUD suatu negara adalah hal yang wajar karena
untuk menyesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan zaman/keadaan.
Terdapat dua sistem yang dianut oleh negara-negara dalam mengamandemen
UUD, yaitu :
a. Sistem Eropa Kontinental, yaitu amandemen dengan membuat UUD baru
secara keseluruhan untuk menggantikan UUD yang ada. Ini dianut misalnya
oleh Belanda, Jerman, dan Perancis.
132
b. Sistem Anglo-Saxon (Amerika), yaitu jika konstitusi berubah, maka yang asli
tetap berlaku, dalam hal ini adanya bab, pasal, dan ayat perubahan adalah
sebagai lampiran dari konstitusinya.
Negara Indonesia menganut sistem yang berkembang di negara Anglo-
Saxon, dengan alasan :
a. Perubahan UUD itu tidak perlu dilakukan secara keseluruhan, melainkan
beberapa bab, pasal, atau ayat yang nyata-nyata dipandang sudah tidak
sesuai lagi dengan keadaan atau bersebrangan dengan tuntutan reformasi;
b. Bab, pasal, atau ayat hasil perubahan merupakan bagian dari UUD aslinya,
sehingga tidak ada distorsi sejarah antara konstitusi asli dengan hasil
perubahannya.
Adapun terhadap prosedur perubahan UUD terdapat pendapat para ahli
sebagai berikut (Syahrial Syarbaini, 2011:223) :
a. George Jellinek, membedakan cara perubahan UUD itu :
1) Dengan sengaja sesuai dengan ketentuan dalam UUD-nya sendiri;
2) Tidak sesuai dengan cara yang ditentukan dalam UUD-nya, melainkan
dengan prosedur istimewa, misalnya karena revolusi, coup d’etat (baca :
kudeta), konvensi, dsb.
b. C.F. Strong, menyebut empat cara mengubah UUD, yaitu :
1) Diubah oleh legislatif dengan persyaratan khusus;
2) Dilakukan oleh rakyat melalui referendum;
3) Dalam negara serikat (federal) diajukan/disetujui oleh negara-negara
bagian;
4) Melalui konvensi khusus oleh suatu lembaga negara yang dibentuk untuk
itu.
c. K.C. Wheare, menyebut empat cara mengubah UUD, yaitu :
1) Beberapa ketentuan bersifat primer yang disebabkan oleh faktor ekonomi,
politik, hukum, sosial, dll.
2) Perubahan yang diatur oleh konstitusi, yaitu perubahan melalui legislatif
biasa sebagaimana diatur dalam UUD-nya;
3) Penafsiran secara hukum yang dilakukan oleh badan peradilan tanpa peru-
133
bahan kata-kata UUD;
4) Praktik biasa dan konvensi yang terdapat dalam bidang ketatanegaraan,
yaitu memberlakukan kebiasaan dalam praktek penyelenggaraan negara.
Di Indonesia pada masa Orba hampir tidak mungkin melakukan perubahan
terhadap UUD 1945 karena faktor politis, dengan keluarnya Ketetapan MPR dan
UU tentang Referendum. Jadi, kendati mengubah UUD itu adalah wewenang
MPR, tetapi lebih dulu harus ditanyakan kepada rakyat melalui referendum.
UUD 1945 bahkan disakralkan seolah-olah sudah sempurna, tidak boleh diutak-
atik lagi. Padahal intinya adalah faktor politis karena memang Orba ingin
melanggengkan kekuasaannya.
Berkaitan dengan perubahan atau amandemen UUD 1945 sampai empat
kali, atau malah kemudian diusulkan lagi untuk perubahan yang kelima kalinya,
karena memang dimungkinkan setelah ketentuan tentang referendum dicabut,
dan bergulirnya reformasi.
a. Dalam Pasal 37 UUD 1945 sendiri ada norma, yaitu :
1) Wewenang untuk mengubah UUD ada pada MPR;
2) Harus memenuhi quorum, yaitu sidang MPR harus dihadiri sekurang-
kurangnya 2/3 dari jumlah anggota, hadir;
3) Putusan perubahan harus disetujui oleh 2/3 dari jumlah anggota yang
hadir.
b. Untuk menuju Indonesia baru yang demokratis, dipandang perlu mengaman-
demen UUD 1945 dengan pertimbangan-pertimbangan seperti dikemukakan
oleh Laica Marzuki (1999) dalam Syahrial Syarbaini (2011:224) antara lain :
1) Menurut Ir. Sukarno selaku Ketua PPKI dalam rapat tanggal 18 Agustus
1945 di Pejambon, Jakarta, bahwa UUD yang disahkan rapat PPKI bersifat
sementara, dan kelak akan dibuat UUD yang lebih lengkap dan sempurna;
2) UUD 1945 ternyata menumbuhkan figur Presiden yang diktatorial, karena
dalam Pasl 7 masa jabatannya tidak ada batasan, yang bunyinya, “Presiden
dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan
sesudahnya dapat dipilih kembali”. Hal ini terbukti Presiden Suharto
memegang jabatannya selama 32 tahun (tujuh kali masa jabatan dipilih
134
terus oleh MPR), yang berakibat terjadinya kemunduran di bidang ketata-
negaraan. Hal ini belajar juga dari sejarah AS yang semula dalam
konstitusinya (1787) tidak membatasi masa jabatan Presiden, tetapi pada
akhirnya diubah oleh Kongres pada tanggal 12 Maret 1947 yang membatasi
masa jabatan Presiden selama dua kali empat tahun;
3) Mahkamah Agung (MA) perlu dibekali dengan hak uji materil UU (judicial
review), karena dengan kedudukan Presiden yang kuat dalam sistem
pemerintahan, dibutuhkan perimbangan kekuasaan yang cukup kuat pula
di pihak MA dengan kewenangan pengujian (toetsing). Akan tetapi kemu-
dian ternyata hak menguji UU terhadap UUD 1945 itu menjadi kewenangan
Mahkamah Konstitusi (MK), sementara MA mempunyai hak menguji
aturan-aturan di bawah UU.
Bukti kemunduran di bidang ketatanegaraan ketika Presiden Suharto
berkuasa selama 32 tahun itu, menurut Muchsan (1999:3-7) antara lain :
1) Dengan adanya fusi antar partai politik sehingga hanya terdapat dua parpol
(PPP dan PDI) serta satu Golkar, memberangus sistem demokrasi;
2) Adanya single-mayority, sama dengan one party system;
3) Secara material Presiden memiliki kekuasaan yang tidak terbatas, meliputi
kekuasan eksekutif, legislatif, dan yudikatif;
4) Semua lembaga pengawasan terhadap pemerintah dibuat sedemikian
rupa, sehingga tidak berdaya;
5) MPR merupakan corong Presiden, menyatakan tidak akan mengubah UUD
1945;
6) Secara material jabatan Presiden tidak terbatas;
7) Lembaga-lembaga tinggi negara yang lain melakukan politik “yes men”,
“sumuhun dawuh”, “opo karepe sampeyan ae” kepada Presiden.
Sedangkan menurut Mahfud MD (1999) dalam Syahrial Syarbaini (2011:
235) UUD 1945 dari berbagai studi yang dilakukan mempunyai kelemahan-
kelemahan muatan yang menyebabkan tidak mampu menjamin lahirnya
pemerintahan yang demokratis-konstitusional, yaitu :
1) Tidak ada mekanisme check and balances;
135
2) Terlalu banyaknya atribut kewenangan;
3) Adanya pasal-pasal yang multitafsir;
4) Terlalu percaya pada semangat orang (penyelenggara negara).
Di era reformasi, melihat kelemahan-kelemahan UUD 1945 itu, maka
kemudian MPR melakukan amandemen terhadap UUD 1945, sampai empat
kali, yaitu :
1) Perubahan pertama pada tanggal 19 Oktober 1999;
2) Perubahan kedua pada tanggal 18 Agustus 2000;
3) Perubahan ketiga pada tanggal 1-10 November 2001;
4) Perubahan keempat pada tanggal 1-11 Agustus 2002.
Dengan telah disahkannya perubahan pertama, kedua, ketiga, dan
keempat UUD 1945 dalam sidang tahunan MPR, hal tersebut merupakan
lompatan besar ke depan bagi bangsa Indonesia, karena telah memiliki
sebuah UUD yang lebih baik dibandingkan dengan UUD 1945 sebelumnya
(yang asli). Kalaupun nantinya ditemukan adanya kekurangsempurnaan
dalam rumusan perubahan tersebut, harus diakui memang tidak ada pekerja-
an manusia yang sempurna di mana pun. Tetapi paling tidak, MPR telah
menuntaskan sebagian tugas reformasi konstitusi sebagai suatu langkah
demokrasi dalam upaya menyempurnakan UUD 1945 menjadi konstitusi yang
demokratis, sesuai dengan semangat zaman untuk mewadahi dinamika
kehendak rakyat. Perubahan itu suatu lembaran sejarah lanjutan setelah
BPUPKI dan PPKI pada tahun 1945 berhasil merumuskan dan mengesahkan
UUD 1945.
Memang sekarang ini masih dirasakan adanya kelemahan-kelemahan
UUD 1945 kendati sudah diamandemen empat kali. Salah satunya adalah
yang diwacanakan oleh DPD mengingat peran dan fungsinya dirasa masih
timpang dalam pembahasan UU bersama DPR, karena hanya ikut aktif tatkala
membahas hal-hal yang berkaitan dengan otonomi daerah, sementara di
bidang lain hanya memberi masukan tanpa mempunyai hak untuk ambil
bagian membahasnya bersama DPR, padahal DPD sama-sama sebagai anggota
MPR dengan sistem bikameral. Demikian pula keberadaan lembaga-lembaga
136
negara yang bersifat ektra struktural seperti contohnya KPK, semestinya ada
payung hukum, rujukan, atau cantolannya dalam UUD 1945.
Khusus mengenai keberadaan KPK, sebenarnya dengan melihat sistem
ketatanegaraan Indonesia berdasarkan UUD 1945 itu tidak perlu, mengingat
sudah lengkapnya lembaga negara dan pemerintahan yang tugas pokok dan
fungsinya menegakkan hukum, yang berarti juga dapat mencegah dan
memberantas KKN khususnya korupsi. Lembaga-lembaga dimaksud adalah :
1) BPK, sebagai lembaga negara yang mempunyai tugas pokok dan fungsi
memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara
{UUD 1945 Pasal 23E Ayat (1)};
2) MA, MK, dan KY sebagai lembaga negara yang mempunyai tugas pokok
dan fungsi yudikatif (peradilan) adalah pilar penegak hukum dan keadilan
termasuk terhadap perbuatan korupsi;
3) DPR sebagai lembaga negara yang juga mempunyai fungsi pengawasan
secara politis atas jalannya pemerintahan;
4) POLRI, Kejaksaan Agung, dan BPKP adalah lembaga pemerintahan yang
juga mempunyai tugas pokok dan fungsi pemeriksaan dan penegakkan
hukum termasuk terhadap tindak pidana korupsi;
5) Di lingkungan Kementerian (Departemen dan Non Departemen) juga ada
Inspektur Jenderal yang secara fungsional mempunyai tugas pokok dan
fungsi pengawasan dan pemeriksaan atas jalannya pemerintahan dan
pembangunan di lingkungan instansinya masing-masing sampai ke daerah;
6) Di lingkungan Pemda (Provinsi dan Kabupaten/Kota) juga ada aparat
pengawasan fungsional, yaitu Inspektur Daerah (dh. Bawasda);
7) Adanya program waskat (pengawasan melekat), yaitu pengawasan lang-
sung oleh atasan setiap aparatur negara/pemerintahan, dll.
Namun demikian, semua lembaga dimaksud ternyata tidak optimal
dalam menjalankan tugas dan fungsinya, bahkan banyak terjadi penyalah-
gunaan wewenang, penyelewengan, dan kolusi (kongkalingkong) dengan
pihak berperkara, sehingga perbuatan KKN khususnya korupsi tetap
merajalela. Maka rakyat menganggap perlu ada terobosan lain dengan
137
membentuk lembaga anti rasuah, yang khusus menangani pemberantasan
korupsi. Atas dasar tuntutan rakyat ini, dengan suatu Undang-Undang (No. 30
Tahun 2002) dibentuklah Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK). Harapan akan
bebasnya Indonesia dari kejahatan korupsi kini diemban oleh KPK, selain tentu
saja lembaga-lembaga yang disebutkan di atas pun dituntut membenahi diri
dan melaksanakan tugas pokok dan fungsinya dengan baik.
B. PEMBUKAAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945
1. Makna Pembukaan UUD 1945.
a. Merupakan sumber dari motivasi dan aspirasi perjuangan serta tekad
bangsa Indonesia untuk mencapai tujuan nasional;
b. Merupakan sumber dan cita-cita hukum/moral yang ingin ditegakkan baik
dalam lingkungan nasional maupun dalam pergaulan bangsa-bangsa di dunia
(internasional);
c. Mempunyai nilai-nilai universal dan lestari yang dijunjung tinggi bangsa-
bangsa beradab di muka bumi;
d. Merupakan satu rangkaian dengan proklamasi kemerdekaan Indonesia 17
Agustus 1945 (Proklamasi = Proclamation of Independence, sedangkan Pem-
bukaan UUD 1945 = Declaration of Independence), yaitu pernyataan kemer-
dekaan terperinci yang mengandung cita-cita luhur bangsa dan memuat
Pancasila sebagai dasar negara;
e. Merupakan pokok-pokok kaidah negara yang fundamental yang menjadi
landasan dan peraturan hukum tertinggi bagi hukum-hukum lainnya.
2. Pokok-pokok Kaidah Negara.
a. Dasar-dasar Pembentukan Negara :
1) Tugas Negara : Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tum-
pah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
138
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasar-
kan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
2) Politik Negara : Pemerintahan negara Indonesia berbentuk republik dan
berkedaulatan rakyat.
3) Asas Kerohanian Negara : Dasar falsafah Pancasila yang meliputi hidup
kenegaraan dan tertib hukum.
b. Ketentuan diadakannya UUD :
1) Menunjukkan sebab keberadaan sumber hukum undang-undang dasar
negara.
2) Kaidah negara yang fundamental (staatsfundamentalnorm) yang mempu-
nyai hakikat dan kedudukan sangat kuat serta tidak berubah. Maksudnya
Pembukaan UUD 1945 tidak dapat diubah secara hukum, karena merubah
Pembukaan UUD 1945 berarti pembubaran negara proklamasi kemerdeka-
an 17 Agustus 1945.
3. Makna Alinea-alinea dalam Pembukaan UUD 1945.
Alinea Pertama :
”Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab
itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan.”
Makna yang terkandung dalam alinea ini :
a. Adanya keteguhan dan kuatnya pendirian bangsa Indonesia menghadapi
kemerdekaan melawan penjajah;
b. Tekad bangsa Indonesia untuk tetap berdiri di barisan terdepan menentang
dan menghapuskan penjajahan di atas dunia;
c. Mengungkapkan suatu dalil obyektif, yaitu bahwa penjajahan tidak sesuai
dengan perikemanusiaan dan perikeadilan, karenanya harus ditentang dan
dihapuskan agar semua bangsa di dunia dapat menjalankan kemerdekaannya
sebagai hak asasi;
d. Pengungkapan suatu dalil subyektif, yaitu aspirasi bangsa Indonesia sendiri
untuk membebaskan diri dari penjajahan. Dalil ini meletakkan tugas kewajib-
139
an kepada bangsa/pemerintah Indonesia untuk senantiasa melawan setiap
bentuk penjajahan dan mendukung setiap kemerdekaan sesuatu bangsa.
Pendirian bangsa Indonesaia ini menjadi landasan pokok dalam menja-
lankan politik luar negeri yang bebas aktif. Bebas aktif tidak berarti netral, sebab
kalau netral berarti tidak memihak ke mana-mana atau kepada siapa pun
(misalnya blok Barat dan blok Timur) tanpa ada upaya apa-apa, sedangkan bebas
aktif, juga tidak memihak, akan tetapi turut aktif ambil bagian atau berkontribusi
dengan segala upaya misalnya dengan diplomasi, atau turut mengirimkan
tentara atas nama Tim Perdamaian PBB untuk menyelesaikan sengketa di lokasi
konflik antara negara-negara yang sedang berselisih, untuk menghindari perang.
Alinea Kedua :
”Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada
saat yang berbahagia dengan selamat sentosa menghantarkan rakyat Indonesia
ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia yang merdeka, bersatu,
berdaulat, adil, dan makmur.”
Makna yang terkandung dalam alinea ini :
a. Perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampai pada saat yang
menentukan;
b. Momentum yang telah sampai itu harus dimanfaatkan untuk menyatakan
kemerdekaan;
c. Kemerdekaan bukan tujuan akhir, tetapi masih harus diisi dengan usaha
mewujudkan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan
makmur.
Istilah Bung Karno (Ir. Sukarno), kemerdekaan adalah ”Jembatan Emas”
untuk menuju Indonesia yang adil makmur, gemah ripah loh jinawi, toto tentrem
kerto raharjo, atau ”subur kang sarwo tinandur, murah kang sarwo tinuku.”
140
Alinea Ketiga :
”Atas berkat rahmat Alloh Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh
keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat
Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.”
Makna yang terkandung dalam alinea ini :
a. Motivasi spiritual yang luhur bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia adalah
berkat rahmat Tuhan YME;
b. Keinginan yang didambakan untuk hidup berkeseimbangan antara kehidupan
material dan spiritual, dunia dan akhirat;
c. Pengukuhan proklamasi kemerdekaan sebagai suatu negara kebangsaan.
Karena itu Pembukaan UUD 1945 disebut sebagai proklamasi yang rinci,
atau sebagai tindak lanjut dan pengukuhan atas proklamasi kemerdekaan
Indonesia 17 Agustus 1945.
Alinea Keempat :
”Kemudian daripada itu untuk membentuk pemerintahan negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamai-
an abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indone-
sia itu dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk
dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat
dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil
dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan
suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Makna yang terkandung dalam alinea ini :
a. Tujuan sekaligus tugas negara adalah :
1) Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indo-
nesia;
2) Memajukan kesejahteraan umum;
141
3) Mencerdaskan kehidupan bangsa;
4) Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, per-
damaian abadi, dan keadilan sosial.
b. Negara Indonesia berbentuk Republik dan berkedaulatan rakyat;
c. Dasar falsafah negara Indonesia adalah Pancasila.
Dari makna Pembukaan UUD 1945 tersebut di atas, terkandung nilai hu-
kum Tuhan, hukum kodrat, hukum etis, dan hukum filosofis. Hal ini dapat digam-
barkan pada bagan di bawah ini.
Alinea 1 Hukum Kodrat Hukum Etis Sumber Bahan Alinea 2 Cita-cita dan Kemerdekaan Sumber Nilai Alinea 3 Hukum Tuhan Hukum Etis Alinea 4 Hukum Filosofis Sumber, Bentuk (Pancasila) dan Sifat Pelaksanaan Hukum Positif Pelaksanaan Negara Indonesia dan Pelaksanaannya Negara Indonesia
Sumber : Kaelan, 2004.
4. Pokok-pokok Pikiran dalam Pembukaan UUD 1945.
Pokok Pikiran Pertama :
”Negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.”
Rumusan ini menunjukkan pokok pikiran Persatuan :
a. Negara melindungi segenap bangsa seluruhnya;
b. Negara mengatasi segala faham golongan dan perseorangan;
c. Negara, penyelenggara negara, dan warga negara, wajib mengutamakan
kepentingan negara/umum.
142
Pokok Pikiran Kedua :
”Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.”
Rumusan ini menunjukkan pokok pikiran Keadilan Sosial :
a. Manusia Indonesia (warga negara) mempunyai kewajiban dan hak yang sa-
ma;
b. Negara harus mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Pokok Pikiran Ketiga :
”Negara yang berkedaulatan rakyat berdasarkan atas kerakyatan dan
permusyawaratan/perwakilan.”
Rumusan ini menunjukkan pokok pikiran Kedaulatan Rakyat :
a. Sistem negara harus berdasarkan kedaulatan rakyat dan permusyawaratan/
perwakilan;
b. Kedaulatan di tangan rakyat.
Pokok Pikiran Keempat :
”Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar
kemanusia-an yang adil dan beradab.”
Rumusan ini menunjukkan pokok pikiran Ketuhanan Yang Maha Esa dan
Kemanusiaan yang adil dan beradab :
a. Negara dan penyelenggara negara wajib memelihara budi pekerti kemanusia-
an yang luhur;
b. Memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur.
Keempat pokok-pokok pikiran dalam Pembukaan UUD 1945 ini disebut
sebagai pancaran dari Pancasila, dan lebih lanjut dijabarkan dalam Pasal-pasal
UUD 1945.
Jika digambarkan dalam diagram, hubungan empat pokok pikiran dimaksud
adalah sebagai berikut :
143
FUNDAMEN MORAL NEGARA
P4 Ketuhanan Yang Maha Esa
Menurut dasar Kemanusiaan yang adil dan beradab
S1 & S2 menjiwai
FUNDAMEN POLITIK NEGARA
DASAR NEGARA TUJUAN NEGARA SISTEM NEGARA Negara Persatuan P3 Keadilan Sosial P1 melindungi Kerakyatan bagi P2 Segenap Permusyawaratan Seluruh Rakyat Bangsa Indonesia Perwakilan Indonesia S3 S4 S5
Sumber : Noor Ms Bakry, 2009:34.
5. Hubungan Pembukaan UUD 1945 dengan Batang Tubuh UUD 1945.
Secara umum, antara Pembukaan UUD 1945, Batang Tubuh UUD 1945, dan
Penjelasan UUD 1945 (dimuat dalam Berita Republik Indonesia Tahun II Nomor
7) merupakan satu kesatuan (komponen) yang disebut UUD 1945. Tetapi ada
yang perlu dijelaskan sebagai berikut :
a. Pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 meliputi
suasana kebatinan dari UUD 1945 negara Indonesia dalam mewujudkan cita-
cita hukum yang menguasai hukum dasar tertulis dan tidak tertulis, yang
selanjutnya dijelmakan dalam pasal-pasal (Batang Tubuh), tidak lain dijiwai
atau bersumber pada dasar falsafah negara Pancasila;
b. Atas dasar hal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa Pembukaan UUD
1945 mempunyai fungsi hubungan langsung dengan Batang Tubuh UUD 1945
yang bersifat kausal organik, dan merupakan rangkaian kesatuan nilai dan
norma yang terpadu;
c. Alinea 1, 2 dan 3 Pembukaan UUD 1945 merupakan rangkaian peristiwa dan
keadaan yang mendahului terbentuknya negara, adalah pernyataan yang
tidak mempunyai hubungan kausal organik dengan Batang Tubuh, sedangkan
144
alinea 4 merupakan ekspresi dari peristiwa dan keadaan setelah negara
Indonesia terwujud, sehingga mempunyai hubungan yang bersifat kausal
organik dengan Batang Bubuh, yang mencakup beberapa segi, yaitu :
1) UUD ditetapkan akan ada;
2) Yang diatur dalam UUD adalah tentang pembentukan pemerintahan nega-
ra yang memenuhi berbagai persyaratan dan meliputi segala aspek penye-
lenggaraan negara;
3) Negara Indonesia berbentuk republik yang berkedaulatan rakyat;
4) Ditetapkannya dasar kerohanian negara/dasar filsafat negara Pancasila.
6. Dalam Kaitannya dengan Sistem Tertib Hukum Indonesia :
a. Kaitannya dengan tertib hukum, maka Pembukaan UUD 1945 mempunyai
hakikat kedudukan yang terpisah dengan Batang Tubuh, dan dalam kaitannya
sebagai kaidah pokok negara yang fundamental, Pembukaan UUD 1945
mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada Batang Tubuh;
b. Pembukaan UUD 1945 merupakan suatu tertib hukum tertinggi, karena itu
mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada Batang Tubuh;
c. Pembukaan UUD 1945 merupakan pokok kaidah negara yang fundamental
yang menentukan adanya UUD 1945, yang menguasai hukum dasar negara
baik yang tertulis (UUD) maupun yang tidak tertulis (konvensi), jadi merupa-
kan sumber hukum dasar negara;
d. Pembukaan UUD 1945 berkedudukan sebagai pokok kaidah negara yang
fundamental mengandung pokok-pokok pikiran yang harus dijabarkan ke
dalam Pasal-pasal UUD 1945.
C. STRUKTUR PEMERINTAHAN NEGARA RI BERDASARKAN UUD 1945
1. Demokrasi Indonesia.
a. Selain mengakui adanya kebebasan dan persamaan hak, sekaligus juga
mengakui perbedaan dan keanekaragaman sesuai dengan semboyan
145
”Bhinneka Tunggal Ika” berdasarkan moral persatuan, Ketuhanan YME, serta
kemanusiaan yang adil dan beradab;
b. Kebebasan individu harus diletakkan dalam kerangka tujuan bersama sebagai
asas kebersamaan dan kekeluargaan, tetapi bukan nepotisme (familiisme);
c. Sistem pemerintahan demokratis senantiasa mengandung unsur-unsur :
1) Keterlibatan warga negara dalam pembuatan keputusan-keputusan poli-
tik;
2) Tingkat persamaan tertentu di antara warga negara;
3) Tingkat kebebasan/kemerdekaan tertentu yang diakui dan dipakai oleh
warga negara;
4) Suatu sistem perwakilan;
5) Suatu sistem pemilihan kekuasaan mayoritas.
d. Sebagai komponen tegaknya demokrasi, dikenal adanya infra struktur politik
dan supra struktur politik.
1) Infra Struktur Politik :
a) Partai Politik;
b) Golongan-golongan (yang tidak berdasarkan Pemilu);
c) Golongan-golongan penekan (pressure group);
d) Alat komunikasi politik;
e) Tokoh-tokoh politik.
2) Supra Struktur Politik :
Meliputi lembaga-lembaga/alat-alat kelengkapan negara (legislatif, ekse-
kutif, yudikatif), Lembaga-lembaga dimaksud adalah : Majelis Permusya-
waratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan
Daerah (DPD), Presiden/Wakil Presiden, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK),
Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial
(KY). Di negara-negara tertentu termasuk Indonesia masih ditemukan
adanya lembaga-lembaga lain seperti Dewan Pertimbangan Presiden
(Wantimpres), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Pemilihan
146
Umum (KPU), Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Kepolisian
Negara, Komisi Kejaksaan, Komisi Perlindungan Anak, dll.
e. Rincian struktural ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan demokrasi
menurut UUD 1945 adalah :
1) Konsep Kekuasaan :
a) Kekuasaan/kedaulatan di tangan rakyat;
b) Pembagian kekuasaan (distribution of power) :
(1) Legislatif (MPR, DPR, DPD);
(2) Eksekutif (Presiden/Wakil Presiden);
(3) Yudikatif (MA, MK, KY);
(4) Inspektif (BPK);
(5) Konstitutif (MPR);
(6) Konsultatif (DPA), sudah tidak ada lagi.
(7) Pembatasan kekuasaan melalui mekanisme lima tahunan (Pemilu).
2) Konsep Pengambilan Keputusan :
Pengambilan keputusan yang dianut dalam ketatanegaraan RI berdasar-
kan UUD 1945 :
a) Musyawarah untuk mufakat;
b) Jika tidak tercapai, dimungkinkan melalui suara terbanyak dengan cara
pemungutan suara (voting).
3) Konsep Pengawasan :
Pengawasan terhadap kebijakan dan jalannya pemerintahan dan pemba-
ngunan dilakukan :
a. Oleh seluruh warga negara, yaitu pengawasan masyarakat (wasmas)
karena kekuasaan berada di tangan rakyat;
b. Secara formal ketatanegaraan dilakukan oleh DPR (pengawasan rakyat
yang bersifat politis);
c. Secara fungsional dilakukan oleh lembaga-lembaga pengawasan
fungsional (wasnal) seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pem-
147
bangunan (BPKP), Inspektorat Jenderal (Itjen) Kementerian/LPNK,
Inspektorat Daerah/Irwilda, dll.);
d. Secara budaya kerja organisasi dilakukan oleh atasan langsung, yaitu
pengawasan melekat (Waskat).
4) Konsep Partisipasi :
Konsep ini menyangkut kewajiban dan hak warga negara dalam seluruh
aspek kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan :
a) Segala warga negara mempunyai kedudukan yang sama dalam hukum
dan pemerintahan;
b) Mempunyai kemerdekaan berserikat, berkumpul, serta mengeluarkan
pikiran dengan lisan dan tulisan;
c) Berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan dan pertahanan
negara.
5) Indonesia adalah Negara Hukum :
Indonesia adalah negara hukum (rechtstaats) yang berdasarkan Pancasila
dan bukan berdasarkan atas kekuasaan (machstaats). Sifat negara hukum
ditunjukkan jika alat-alat kelengkapan negara bertindak menurut dan
terikat pada aturan-aturan yang ditentukan. Ciri-ciri negara hukum ada-
lah :
a) Pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia yang mengandung
persamaan di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya;
b) Peradilan yang bebas dari pengaruh kekuasaan atau kekuatan lain dan
tidak memihak;
c) Adanya jaminan kepastian hukum, yaitu dapat difahami, dapat dilak-
sanakan, dan aman dalam pelaksanaannya.
Berkaitan dengan demokrasi, maka demokrasi di Indonesia semesti-
nya mengembangkan demokrasi Pancasila. Beberapa kriteria yang harus
dimiliki dalam suatu negara demokrasi yang benar-benar menggunakan
demokrasi dalam sistem pemerintahan dan sistem politiknya adalah :
a) Partisipasi rakyat;
b) Persamaan di depan hkum;
148
c) Distribusi pendapatan secara adil;
d) Kesempatan pendidikan yang sama;
e) Ketersediaan dan keterbukaan informasi;
f) Mengindahkan tata krama politik;
g) Dsb.
Dalam pada itu harus pula dikembangkan pendidikan demokrasi.
Pendidikan demokrasi ini dibagi atas tiga bagian, yaitu :
a) Pendidikan demokrasi secara formal, adalah pendidikan yang melewati
tatap muka, diskusi, presentasi, studi kasus, dll., untuk memberikan
gambaran kepada peserta didik (murid, siswa, mahasiswa) agar memiliki
kemampuan untuk cinta bangsa dan negara. Hal ini biasanya dilakukan
di sekolah-sekolah, PT, atau lembaga-lembaga pendidikan lain semacam
diklat PNS, dll.
b) Pendidikan demokrasi secara informal, adalah pendidikan yang mele-
wati tahap pergaulan di rumah/lingkungan keluarga, masyarakat, dll.,
sebagai bentuk aplikasi nilai berdemokrasi dari hasil interaksi terhadap
lingkungan sekitarnya, yang langsung dapat dirasakan hasilnya;
c) Pendidikan demokrasi nonformal, adalah pendidikan melewati tahap di
luar atau lingkungan masyarakat lebih luas (makro) dalam berinteraksi,
karena pendidikan di luar sekolah mampunyai variabel maupun
parameter yang signifikan terhadap pembentukan jiwa seseorang.
Syahrial Syarbaini (2011:238-239) mengemukakan visi dan misi pendi-
dikan demokrasi sebagai berikut :
a) Visi Pendidikan Demokrasi adalah : “Sebagai wahana substantis, paeda-
gogis, dan sosial kultural untuk membangun cita-cita, nilai, konsep,
prinsip, sikap dan keterampilan demokrasi dalam diri warga negara
melalu pengalaman hidup dan berkehidupan demokraqsi dalam ber-
bagai konteks”.
b) Misi Pendidikan Demokrasi :
(1) Memfasilitasi warga negara untuk mendapatkan berbagai akses
kepada dan menggunakan secara cerdas berbagai sumber informasi
149
tentang demokrasi dalam teori dan praktik untuk berbagai konteks
kehidupan, sehingga memiliki wawasan yang luas dan memadai;
(2) Memfasilitasi warga negara untuk dapat melakukan kajian konsep-
tual dan operasional secara cermat, dan bertanggung jawab
terhadap berbagai cita-cita, instrumentasi praksis demokrasi guna
mendapatkan keyakinan dalam melakukan pengambilan keputusan
individual dan/atau kelompok dalam kehidupannya sehari-hari
serta berargumentasi atas keputusannya itu;
(3) Memfasilitasi warga negara untuk memperoleh dan memanfaatkan
kesempatan berpartisipasi serta cerdas dan bertanggung jawab
dalam praktik kehidupan demokrasi di lingkungannya, seperti
mengeluarkan pendapat, berkumpul, berserikat, memilih, serta
memonitor dan mempangaruhi kebijakan publik.
2. Bentuk dan Kedaulatan Negara.
a. Bentuk negara adalah Negara Kesatuan (NKRI);
b. Bentuk pemerintahan adalah Republik;
c. Kepala Negara adalah Presiden.
3. Sistem Pemerintahan Negara.
Sistem pemerintahan negara RI berdasarkan UUD 1945 dikenal dengan “Tujuh
Kunci Pokok Sistem Pemerintahan Negara”, yaitu :
a. Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaats), tidak ber-
dasarkan atas kekuasaan belaka (machtstaats).
b. Sistem konstitusional, artinya pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi
(hukum dasar), tidak bersifat absolut.
c. Kekuasaan negara yang tertinggi di tangan rakyat (tetapi tidak lagi
dijelmakan/dipegang oleh MPR).
150
d. Presiden ialah penyelenggara pemerintahan negara yang tertinggi di samping
MPR dan DPR. Karena langsung dipilih oleh rakyat, maka Presiden tidak lagi
merupakan mandataris MPR.
e. Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR. Dalam membentuk Undang-
Undang (gezetzgebung) dan menetapkan APBN (Staatsbegrooting), Presiden
harus bekerjasama dengan DPR, akan tetapi tidak bertanggung jawab kepada
DPR.
f. Menteri Negara ialah Pembantu Presiden, Menteri Negara tidak bertanggung
jawab kepada DPR. Dalam melaksanakan tugas pemerintahan Presiden
dibantu oleh Menteri-menteri negara yang diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden (Kabinet Presidensial).
g. Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas. Meskipun Kepala Negara tidak
bertanggung jawab kepada DPR, tetapi ia bukan ”Diktator.”
4. Kelembagaan Negara.
MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT (MPR)
Berdasarkan UUD 1945 yang telah empat kali diamandemen, MPR sekarang
bukan lagi lembaga tertinggi negara, tetapi sejajar dengan lembaga-lembaga
kenegaraan lainnya atas dasar pembagian (distribusi) kekuasaan. Tugas MPR
sekarang hanya tiga macam :
a. Mengubah UUD;
b. Melantik Presiden dan Wakil Presiden;
c. Impeachment (pemakzulan atau pelengseran Presiden dan Wakil Presiden).
MPR menjalankan sistem majelis perundang-undangan kembar (bikameral)
yang keanggotaannya terdiri dari seluruh anggota DPR dan DPD hasil Pemilu.
Adapun alasan menjadi lembaga bikameral adalah :
a. Utusan daerah dan golongan pada masa MPR sebelumnya tidak jelas orientasi
keterwakilannya;
b. Kebutuhan mengakomodasi kepentingan masyarakat daerah secara struktural
melalui lembaga formal di tingkat nasional;
151
c. Kebutuhan menerapkan sistem ”check and balances” untuk mendorong
demokratisasi ketatanegaraan Indonesia.
Anggota MPR sekarang berjumlah 692 orang, terdiri dari 560 anggota DPR
dan 132 anggota DPD. Komposisi MPR sebagai lembaga bikameral dapat
digambarkan pada bagan sebagai berikut.
MPR
DPR DPD
Perbedaan MPR sebelum dan sesudah perubahan (amandemen) UUD 1945.
PERBEDAAN SEBELUM PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN
Komposisi Anggota DPR, Utusan Daerah, dan Utusan Golongan
Anggota DPR dan DPD.
Rekrutmen Anggota DPR (lewat Pemilu dan diangkat). Utusan Daerah dan Golongan diangkat.
Seluruh anggota DPR dan DPD dipilih lewat Pemilu.
Legalisasi Oleh DPR. Kekuasaan legislatif ada di DPR, tetapi DPD juga dapat mengajukan dan mambahas RUU yang berkaitan dengan Otda.
Kewenangan Tidak terbatas. Terbatas hanya tiga, yaitu mengubah UUD, melantik Presiden/Wakil Presiden, serta impeachment (pemak-zulan) Presiden/Wakil Presiden.
PRESIDEN
Presiden mempunyai dua kedudukan, yaitu sebagai Kepala Negara dan sebagai
Kepala Pemerintahan.
a. Kekuasaan sebagai Kepala Negara :
1) Dengan persetujuan DPR mengangkat dan memberhentikan pimpinan
(Panglima) TNI, pimpinan (Kepala) POLRI, dan Gubernur Bank Indonesia;
152
2) Dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian
dan perjanjian dengan negara lain;
3) Menyatakan negara dalam keadaan bahaya;
4) Dengan persetujuan DPR mengangkat duta dan menerima duta negara
lain;
5) Dengan persetujuan DPR membuat perjanjian internasional;
6) Dengan memperhatikan pertimbangan MA memberi grasi dan rehabilitasi
dan dengan memperhatikan pertimbangan DPR memberi amnesti dan
abolisi;
7) Memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan.
b. Kekuasaan sebagai Kepala Pemerintahan :
1) Dalam menjalankan kewajibannya Presiden dibantu oleh seorang Wakil
Presiden. Hubungan kerja antara Presiden dengan Wakil Presiden ditentu-
kan oleh Presiden setelah mereka mengadakan pembicaraan;
2) Presiden berhak mengajukan RUU kepada DPR dan dalam keadaan kegen-
tingan yang memaksa (noodverordeningsrecht) berhak menetapkan Pera-
turan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPPU);
3) Untuk menjalankan pemerintahan, berhak menetapkan Peraturan Peme-
rintah (PP) untuk menjalankan Undang-Undang (pouvoir reglementair);
4) Presiden dan Wakil Presiden (merupakan satu pasangan) dipilih langsung
oleh rakyat melalui Pemilihan Umum Presiden (Pemilupres).
Pada saat ini untuk pemilu Presiden/Wakil Presiden diatur dalam
Undang-Undang No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden.
Karena tugas Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan
demikian padat dan kompleks, di luar struktur lembaga pemerintahan,
dipandang perlu ada dewan penasihat/pertimbangan, selain staf ahli dan juru
bicara keperesidenan. Sementara itu DPA sudah tidak ada lagi. Maka
berdasarkan UU No. 19 Tahun 2006 jo. Perpres No. 10 Tahun 2006, Presiden
dapat membentuk Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) yang
anggota-anggotanya independen (steril dari kepentingan Parpol).
153
c. Prosedur Pemilihan Presiden secara Langsung :
1) Pasangan Capres/Cawapres diusulkan oleh Parpol atau gabungan Parpol
peserta Pemilu;
2) Pasangan yang mendapat suara 50% dan sedikitnya 20% di setiap provinsi
yang tersebar di lebih setengah provinsi seluruh Indonesia, jadi;
3) Apabila ketentuan di atas tidak terpenuhi, dua pasang calon suara terba-
nyak dipilih kembali secara langsung oleh rakyat (dua putaran), dan yang
mendapat suara terbanyak dilantik oleh MPR menjadi pasangan Presiden/
Wakil Presiden.
d. Jika Terjadi Kekosongan Presiden/Wakil Presiden :
1) Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat
melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil
Presiden;
2) Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, selambat-lambatnya 60 hari,
MPR menyelenggarakan sidang untuk memilih Wakil Presiden dari dua
orang calon yang diusulkan Presiden;
3) Jika Presiden dan Wakil Presiden kosong, maka pelaksana tugas kepresi-
denan adalah Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, dan Menteri
Pertahanan secara bersama. Selambat-lambatnya 30 hari setelah itu, MPR
menyelenggarakan sidang untuk memilih Presiden dan wakil Presiden dari
dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan Parpol/
gabungan Parpol yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya
meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam Pemilupres sebelum-
nya.
e. Impeachment (Pemakzulan) Presiden/Wakil Presiden :
1) Apabila Presiden/Wakil melanggar hukum (berhianat kepada Pancasila,
UUD 1945, bangsa dan negara, berbuat kriminal, KKN, dll.);
2) Pemakzulan atau pelengseran terlebih dulu diusulkan oleh DPR melalui
penggunaan Hak Mengeluarkan Pendapat. Syarat HMP di DPR berdasarkan
UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, pasal 184 Ayat
(4), harus diusulkan oleh ¾ dari seluruh anggota DPR. Tetapi hal ini
154
kemudian oleh MK dengan putusan No. 23-26/PUU-VIII/2011 tanggal 12
Januari 2011 (pada proses uji materil UU tersebut di atas), dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945 dan karenanya tidak mempunyai kekuatan
hukum yang mengikat. Oleh sebab itu kembali pada ketentuan semula,
yaitu cukup diusulkan oleh sedikitnya 2/3 dari seluruh anggota DPR.
3) Usulan pemakzulan oleh DPR disampaikan dulu kepada MK untuk proses
pengadilan Presiden. Putusan (vonis) MK disampaikan ke DPR dan oleh
DPR diusulkan kepada MPR;
4) Pemberhentian Presiden/Wakil Presiden diambil dalam sidang paripurna
MPR yang dihadiri minimal ¾ dan disetujui 2/3 dari anggota MPR yang
hadir.
KEMENTERIAN NEGARA
Sesuai dengan UUD 1945, dalam menyelenggarakan pemerintahan, Presiden
dibantu oleh Menteri-menteri yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
a. Menteri-menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan;
b. Menteri-menteri bertanggung jawab kepada Presiden, tidak bergantung
kepada DPR. Dalam pergantian ini yang dianut adalah sistem Presidensial;
c. Pembentukan, perubahan, dan pembubaran kementerian diatur dalam
Undang-Undang. Saat ini UU dimaksud adalah UU No. 39 Taun 2008 tentang
Kementerian Negara.
PEMERINTAH DAERAH
Pemerintah RI adalah negara kesatuan yang menganut sistem desentralisasi.
a. Negara RI dibagi atas daerah-daerah besar dan kecil, yaitu provinsi, dan
provinsi dibagi atas kabupaten dan kota;
b. Penyelenggaraan pemerintahan daerah didasarkan atas asas otonomi daerah
dan tugas pembantuan;
c. Kepala daerah provinsi adalah gubernur, kabupaten adalah bupati, dan kota
adalah walikota, yang diproses melalui pemilihan langsung oleh rakyat
(Pemilukada);
155
d. Terdapat juga Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta,
dan daerah-daerah lain dengan otonomi khusus, seperti Nangro Aceh Darus-
salam dan Papua (dh. Irian Jaya);
e. Untuk mendukung keberhasilan otonomi daerah, terdapat dana sebagai
sumber penerimaan pelaksanaan desentralisasi berupa perimbangan keuang-
an antara pemerintah pusat dan daerah.
Pengaturan tentang Pemerintah Daerah ini telah beberapa kali dilakukan
semenjak berdirinya NKRI, yaitu :
a. UU No. 1 Tahun 1945 tentang Pemerintahan Daerah;
b. UU No. 22 Tahun 1948 tentang Susunan Pemerintah Daerah yang Demokratis;
c. UU No. 1 Tahun 1957 tentang Pemerintah Daerah;
d. UU No. 18 Tahun 1965 tentang Pemerintah Daerah;
e. UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah;
f. UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, disertai UU No. 25 Tahun
1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah;
g. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (yang sekarang berlaku).
Untuk mencukupi sumber penerimaan dalam rangka pelaksanaan otonomi
Daerah, terdapat alokasi dana perimbangan sebagai berikut.
No. PENERIMAAN DARI BAGIAN DANA
PUSAT DAERAH
1. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) 10 % 90 %
2. Biaya Pendaftaran Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
20 % 80 %
3. Sumber Daya Alam (Kehutanan, Pertambangan Umum, Perikanan)
20 % 80 %
4. Minyak Bumi (setelah dikurangi pajak) 85 % 15 %
5. Gas Alam (setelah dikurangi pajak) 75 % 25 %
Sementara itu daerah sendiri harus mengupayakan Pendapatan Asli Daerah
(pajak daerah, retribusi daerah, dan pendapatan lain-lain).
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT (DPR)
Keanggotaan DPR merangkap keanggotaan MPR sehingga kedudukannya kuat,
karena itu tidak dapat dibubarkan oleh Presiden.
156
a. DPR mempunyai kekuasaan atau fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan;
b. Tugas dan wewenang DPR meliputi :
1) Bersama-sama Presiden membentuk UU;
2) Bersama-sama Presiden menetapkan UU-APBN;
3) Melakukan pengawasan terhadap jalannya pelaksanaan UU-APBN dan
kebijakan pemerintah;
4) Meratifikasi dan/atau memberikan persetujuan pernyataan perang,
pembuatan perdamaian dan perjanjian dengan negara lain yang dilakukan
oleh Presiden;
5) Membahas hasil pemeriksaan keuangan negara yang disampaikan oleh
BPK;
6) Melakukan hal-hal yang ditugaskan oleh Tap MPR kepada DPR.
Untuk melaksanakan tugas dan wewenang tersebut di atas, DPR dan
anggota-anggotanya mempunyai hak :
a. Meminta keterangan pemerintah (interpelasi);
b. Mengadakan penyelidikan (angket);
c. Mengadakan perubahan (amandemen);
d. Mengajukan pernyataan pendapat;
e. Mengajukan rancangan UU (inisiatif);
f. Mengajukan pertanyaan, protokoler, dan keuangan/administratif;
g. Mengajukanh/menganjurkan seseorang, jika ditentukan oleh suatu oleh suatu
peraturan perundang-undangan.
Dengan amandemen UUD 1945, terjadi pengurangan kekuasaan Presiden,
sementara kekuasaan DPR bertambah, yaitu :
a. Presiden harus memperhatikan pertimbangan DPR dalam mengangkat dan
menerima duta, serta dalam pemberian amnesti dan abolisi;
b. Presiden harus mendapat persetujuan DPR dalam mengangkat Panglima TNI,
Kapolri, dan Gubernur BI;
c. DPR memilih anggota-anggota lembaga negara (MA berikut Hakim Agung,
dan BPK) untuk diangkat oleh Presiden. Demikian juga untuk anggota KPU,
157
BPK, dan KY, termasuk KPK. Biasanya dilakukan melalui uji kelayakan dan
kepatutan (fit and proper test).
DEWAN PERWAKILAN DAERAH (DPD)
DPD adalah lembaga negara yang seluruh anggotanya juga anggota MPR.
Mereka merupakan wakil-wakil dari provinsi.
a. Keanggotaannya dipilih melalui Pemilu (perseorangan) yang pelaksanaannya
bersamaan dengan pemilihan anggota DPR dan DPRD;
b. Persidangan sedikitnya sekali dalam satu tahun;
c. Kewenangannya mengajukan rencangan UU kepada DPR yang berkaitan
dengan otonomi daerah (ikut membahas), serta memberikan pertimbangan
kepada DPR atas rancangan UU-APBN, rancangan UU yang berkaitan dengan
pajak, pendidikan, dan agama (tidak ikut membahas);
d. Melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU yang berkaitan dengan otonomi
daerah, yang hasilnya disampaikan kepada DPR.
Yang berkaitan dengan otonomi daerah dimaksud antara lain :
a. Hubungan pusat dan daerah;
b. Pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah;
c. Pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya;
d. Masalah perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Untuk lebih jelasnya, kewenangan DPD yang berkaitan dengan pemba-
hasan peraturan perundang-undangan, dll. tersebut di atas dapat dilihat dalam
matrik di bawah ini.
1. RUU yang berkait-an dengan :
Dapat mengajukan
Ikut membahas
Memberi pertimbangan
Dapat melakukan
pengawasan
1. Otonomi Daerah ya ya - ya
2. Hubungan Pusat dan Daerah
ya ya - ya
3. Pembangunan, pe-mek aran, dan peng-gabungan Daerah
ya ya - ya
4. Pengelolaan SDA dan SD ekonomi lainnya
ya ya - ya
5. Perimbangan keu-angan Pusat dan Da-erah
ya ya - ya
158
6. RAPBN - - ya ya
7. Pajak - - ya ya
8. Pendidikan - - ya ya
9. Agama - - ya ya
2. Pemilihan anggota BPK :
- - ya -
Melihat kewenangan tersebut di atas jelas terbatas, sehingga DPD gencar
memperjuangkan menambah fungsi dan peranannya dalam pembahasan per-
aturan perundangan-undangan mengingat kedudukannya sama dengan DPR
sebagai anggota MPR (bikameral), dengan mengusulkan perubahan (amande-
men) UUD 1945 yang kelima kalinya.
Keanggotaan DPD mirip Senat di Amerika Serikat (wakil Negara Bagian),
karena mewakili daerah provinsi dengan jumlah tiap provinsi empat orang, dan
jumlah seluruhnya tidak dari 1/3 anggota DPR, atau sekarang 132 orang.
BADAN PEMERIKSA KEUANGAN (BPK)
BPK adalah lembaga negara yang mempunyai tugas memeriksa tanggung jawab
keuangan negara (inspektif). Badan ini bebas dari pengaruh dan kekuasaan
pemerintah.
a. Hasil pemeriksaan BPK diserahkan kepada DPR, DPRD, dan DPD. Lembaga
perwakilan rakyat ini dan instansi pemerintah harus menindaklanjutinya;
b. BPK terdiri dari seorang Ketua merangkap anggota, seorang Wakil Ketua
merangkap anggota, dan lima orang anggota;
c. Keanggotaan BPK dipilih melalui uji kelayakan dan kepatutan (fit and profer
test) oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD, kemudian
diresmikan oleh Presiden;
d. Ketua BPK dipilih dari dan oleh para anggota;
e. BPK berkedudukan di ibukota negara, dan memiliki perwakilan di tingkat
provinsi.
159
MAHKAMAH AGUNG (MA)
MA adalah lembaga negara yang mempunyai tugas yudikatif, dan mempunyai
kewenangan mengadili pada tingkat kasasi serta menguji peraturan perundang-
undangan di bawah UU.
a. Ketua dan Wakil Ketua MA dipilih dari dan oleh para Hakim Agung;
b. Calon Hakim Agung diusulkan oleh KY kepada DPR untuk mendapat
persetujuan melalui uji kelayakan dan kepatutan, kemudian ditetapkan oleh
Presiden;
c. Badan-badan peradilan yang berada di bawah MA adalah peradilan umum,
peradilan militer, peradilan agama, dan peradilan tata usaha negara, serta
termasuk juga peradilan tindak pidana korupsi (tipikor).
MAHKAMAH KONSTITUSI (MK)
Kewenangan MK adalah menguji UU terhadap UUD, memutuskan sengketa
kelembagaan negara, memutuskan pembubaran Parpol, dan perselisihan hasil
Pemilu. Kewajibannya memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai
dugaan pelanggaran Presiden menurut UUD 1945.
Keanggotaan MK sembilan orang. Proses rekrutmennya dilakukan melalui
uji kelayakan dan kepatutan oleh DPR, yang calonnya masing-masing diajukan
tiga orang oleh MA, tiga orang oleh DPR, dan tiga orang oleh Presiden. Setelah
pengangkatan oleh Presiden, selanjutnya pemilihan Ketua dan Wakil Ketua MK
dilakukan oleh dan di antara para anggota MK. Keberadaan MK dibentuk dengan
UU No. 24 Tahun 2003 dan diubah dengan UU No. 8 Tahun 2011.
KOMISI YUDISIAL (KY)
Kewenangan KY adalah mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR,
serta menjaga kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku hakim. Keanggo-
taannya diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas persetujuan DPR. Perse-
tujuan DPR dilakukan melalui uji kelayakan dan kepatutan terlebih dulu.
160
Untuk lebih menjelaskan susunan kelembagaan negara berdasarkan UUD
1945, di bawah ini digambarkan bagan struktur ketatanegaraan sebelum dan
sesudah amandemen UUD 1945.
BAGAN STRUKTUR KETATANEGARAAN RI SEBELUM PERUBAHAN UUD 1945
UUD 1945
MPR
BPK DPR PRESIDEN DPA MA
INSPEKTIF LEGISLATIF EKSEKUTIF KONSULTATIF YUDIKATIF KONSTITUTIF
BAGAN STRUKTUR KETATANEGARAAN RI SESUDAH PERUBAHAN UUD 1945
UUD 1945
MPR PRESIDEN KEKUASAAN KEHAKIMAN BPK DPR DPD WAPRES MK MA KY
INSPEKTIF LEGISLATIF EKSEKUTIF YUDIKATIF
161
BAGAN STRUKTUR LENGKAP DENGAN BADAN-BADAN LAINNYA
UUD 1945
PUSAT
BPK PRESIDEN DPR MPR DPD MA MK KY
KPU Kementerian
Negara Bank
Sentral Wantimpres TNI/POLRI
Lingkungan Perw. Pemda Provinsi Peradl. Umum KPUD BPK Lingkungan Gub. DPRD Peradl. Agama Lingkungan Peradl. Militer Lingkungan Peradl. TUN Peradl.Tipikor
Pemda Kab/Kota Bup/WK DPRD DAERAH
Untuk lebih jelasnya, secara keseluruhan, perubahan (amandemen) UUD
1945 dapat dilihat pada matrik di bawah ini.
SEBELUM PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN
- Kekuasaan Presiden seolah-olah tidak terbatas.
- Dibatasi hanya dua kali masa jabatan.
- Peran DPR dalam membentuk UU tidak tegas.
- DPR tegas memegang kekuasaan mem-bentuk UU.
- Presiden mengangkat/menerima duta tanpa pertimbangan DPR.
- Presiden mengangkat/menerima duta dengan pertimbangan DPR.
- Presiden memberi grasi, amnesti, abo-lisi, dan rehabilitasi tanpa pertimbang-an MA dan DPR.
- Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan pertimbangan MA, amnesti dan abolisi dengan pertimbangan DPR.
- Pemerintahan bersifat sentralistik wa-laupun secara resmi desentralisasi.
- Desentralisasi pemerintahan dengan otonomi yang nyata.
- HAM tidak diatur secara lengkap. - HAM diatur secara lengkap.
- MPR memegang kedaulatan rakyat. - MPR tidak lagi memegang kedaulatan
162
rakyat.
- Presiden /Wakil Presiden dipilih oleh MPR.
- Presiden/Wakil Presiden dipilih lang-sung oleh rakyat.
- Tidak diatur apakah Presiden dapat membekukan/membubarkan DPR.
- Presiden tidak lagi dapat membekukan/ membubarkan DPR.
- Ada DPA. - Tidak ada DPA.
- Tidak ada DPD, MK, dan KY. - Ada DPD, MK, dan KY.
- Komposisi MPR terdiri dari DPR, Utusan Daerah, dan utusan Golongan.
- Komposisi MPR terdiri dari DPR dan DPD.
Selain lembaga-lembaga negara tersebut di atas, terdapat juga lembaga-
lembaga penyelenggara pemerintahan, yaitu :
a. Tingkat Pusat :
1) Menteri Koordinator (Menko) : Ada tiga (membidangi Polhukam, Pereko-
nomian, dan Kesra;
2) Menteri Negara (Meneg) : Ada yang memimpin kementerian/departe-
men, ada yang tidak;
3) Lembaga Pemerintah Non Kementerian/Depertemen (LPNK/D) :
a) LAN (Lembaga Administrasi Negara);
b) ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia);
c) BKN (Badan Kepegawaian Negara);
d) PERPUSNAS (Perpustakaan Nasional);BAPPENAS (Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional);
e) BSN ();
f) BAPETEN ();
g) BATAN (Badan Tenaga Atom Nasional);
h) BIN (Badan Intelijen Negara);
i) LEMSANEG (Lembaga Sandi Negara);
j) PERUM BULOG (Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik);
k) BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional);
l) LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional);
m) BPKP (Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan);
n) BAKORSURTANAL (Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional);
o) LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia);
p) BPPT (Badan Pengembangan dan Penerapan Teknologi);
163
q) BPN (Badan Pertanahan Nasional);
r) BPOM (Badan Pemeriksa Obat dan Makanan);
s) LIN ();
t) BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika);
u) LEMHANAS (Lembaga Pertahanan Nasional).
4) Kesekretariatan yang membantu Presiden :
a) Sekretariat Negara;
b) Sekretariat Kabinet.
5) Kejaksaan Agung (Kejagung);
6) TNI;
7) POLRI;
8) Badan Ekstra Struktural :
a) WANTIMPRES (Dewan Pertimbangan Presiden);
b) DEN (Dewan Ekonomi Nasional);
c) DPUN (Dewan Pemulihan Usaha Nasional);
d) DPOD (Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah);
e) BAPEK (Badan Pertimbangan Kepegawaian);
f) Badan Pelaksana APEC;
g) BAPERJANAS (Badan Pertimbangan Jabatan Nasional);
h) BSF (Badan Sensor Film);
i) Tim Bakolak Inpres 6 (Badan Koordinasi Pelaksana Inpres 6);
j) TPI (Tim Pengembangan Industri);
k) KONI (Komite Orahraga Nasional);
l) KOMNAS HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia);
m) Ombudsman RI (Lembaga Pengawas Pelayanan Publik);
n) KPU (Komisi Pemilihan Umum);
o) KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)
p) BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia).
9) Perwakilan RI di Luar Negeri :
a) Kedutaan Besar;
164
b) Konsulat Jenderal;
c) Konsulat RI;
d) Perutusan Tetap RI di PBB;
e) Perwakilan RI tertentu yang bersifat sementara.
10) Aparatur Perekonomian Negara :
a) Perusahaan Negara (PN);
b) Badan Usaha Milik Negara (BUMN);
c) PT Persero.
b. Tingkat Daerah :
1) Pemerintah Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota);
2) Pemerintah Daerah didasarkan pada tiga asas : Dekonsentrasi, Desentra-
lisasi, dan Tugas Pembantuan.
3) Pemerintah Daerah terdiri dari unsur-unsur :
a) DPRD sebagai badan legislatif daerah;
b) Kepala Daerah dan Perangkat Daerah sebagai badan eksekutif daerah;
c) Pemerintah Desa.
4) Perangkat Daerah teridiri dari :
a) Sekretariat Daerah (Setda);
b) Dinas Daerah;
c) Lembaga Teknis Daerah (Lemtekda);
d) Kecamatan;
e) Kelurahan.
Catatan :
1) Sekretariat Daerah (Setda) adalah unsur staf Pemerintah Daerah yang
dipimpin oleh Sekretaris Daerah (Sekda), mempunyai tugas dan kewajiban
membantu Gubernur/Bupati/Walikota dalam menyusun kebijakan dan
mengkoordinasikan Dinas Daerah dan Lembaga Teknis Daerah. Sekda
Provinsi membawahkan Asisten dan Biro-biro, Sekda Kabupaten/Kota
membawahkan Asisten dan Bagian-bagian.
2) Sekretariat DPRD (Setwan) adalah unsur pelayanan terhadap DPRD,
dipimpin oleh Sekretaris DPRD (Sekwan), mempunyai tugas menyelengga-
165
rakan administrasi kesekretariatan, administrasi keuangan, mendukung
pelaksanaan tugas dan fungsi DPRD, dan menyediakan serta mengkoordi-
nasikan tenaga ahli yang diperlukan oleh DPRD sesuai dengan kemampuan
keuangan daerah.
3) Dinas Daerah adalah unsur pelaksana otonomi daerah yang dipimpin oleh
Kepala Dinas, mempunyai tugas melaksanakan urusan pemerintahan
daerah berdasarkan asas desentralisasi dan tugas pembantuan.
4) Lembaga Teknis Daerah (Lemtekda) adalah unsur pendukung tugas Kepala
Daerah, dipimpin oleh Kepala Badan/Kantor/Direktur, mempunyai tugas
melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang
bersifat spesifik. Lemtekda dapat berbentuk Badan, Kantor, dan Rumah
Sakit.
5) Kecamatan merupakan wilayah kerja Camat sebagai perangkat daerah
kabupaten/kota. Camat mempunyai tugas melaksanakan kewenangan
pemerintahan yang dilimpahkan oleh Bupati/Walikota untuk menangani
sebagian urusan otonomi daerah.
6) Kelurahan merupakan wilayah kerja Kepala Kelurahan (Lurah) sebagai
perangkat daerah kabupaten/kota dalam wilayah kecamatan. Lurah
berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota
melalui Camat.
7) Desa atau disebut dengan nama lain (nagari, dll.) adalah kesatuan masya-
rakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat
setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di
daerah kabupaten.
8) Wilayah administrasi adalah wilayah kerja gubernur selaku wakil
pemerintah pusat. Daerah provinsi karenanya berkedudukan pula sebagai
wilayah administrasi. Jadi, pada satu sisi gubernur adalah Kepala Daerah
Provinsi (dalam rangka asas desentralisasi), dan pada sisi lain adalah wakil
pemerintah pusat (dalam rangka asas dekonsentrasi).
166
9) Instansi vertikal adalah perangkat kementerian/departemen atau LPNK di
daerah.
c. Aparatur Perekonomian Negara/Daerah :
Aparatur pemerintah juga mencakup perusahaan milik negara dan milik
daerah selaku aparatur perekonomian negara/daerah. Fungsinya di satu sisi
sebagai institusi yang mampu menyediakan pelayanan masyarakat, dan pada
sisi lain sebagai perusahaan yang memiliki kewajiban memaksimalkan
keuntungan (bisnis). Aparatur perekonomian negara mencakup :
1) Perusahaan Negara (PN) atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN). BUMN
disebut juga Badan Usaha Negara (BUN);
2) Perusahaan Daerah (PD) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
5. Pemilihan Umum.
Dalam negara demokrasi modern atau demokrasi tidak langsung, yang menjalan-
kan kedaulatan negara itu adalah wakil-wakil rakyat yang ditentukan oleh rakyat
sendiri. Untuk menetapkan siapakah yang akan mewakili rakyat dilaksanakanlah
pemilihan umum (pemilu). Pemilu adalah suatu cara untuk memilih wakil-wakil
rakyat yang akan duduk di lembaga-lembaga perwakilan rakyat, serta sebagai
ajang pelayanan hak-hak asasi warga negara dalam bidang politik. Dengan
pemilu diharapkan wakil-wakil rakyat yang terpilih benar-benar mewakili
aspirasi, keragaman, kondisi, serta keinginan dari rakyat (konstituent) yang
memilihnya.
Dalam ilmu politik, secara teoritis dikenal dua cara atau sistem memilih
wakil-wakil rakyat, yaitu :
1. Single-Member Constituenty, ialah satu daerah pemilihan memilih seorang
wakil, yang biasa disebut sistem distrik. Sistem ini didasarkan pada kesatuan
geografis, di mana satu kesatuan geografis mempunyai seorang wakil di
lembaga perwakilan (parlemen). Sistem distrik dipakai di negara-negara yang
mempunyai sistem dwipartai seperti Inggris dan Amerika Serikat. Tetapi juga
dapat dipakai di negara-negara yang menganut multipartai seperti di Indo-
167
nesia. Secara alamiah sistem distrik mendorong partai-partai untuk berkoalisi
dalam menghadapi pemilu.
Terdapat keuntungan/positif dan kelemahan/negatif dalam pemilu sistem
distrik ini. Keuntungannya antara lain :
a. Karena kecilnya distrik, maka wakil yang terpilih dikenal oleh penduduk
distrik itu, sehingga hubungannya dengan penduduk pemilih lebih erat.
Wakil tersebut kentara akan serius memperjuangkan kepentingan distrik,
lebih independen terhadap partainya, karena penduduk akan lebih
mempertimbangkan faktor integritas pribadi sang wakil. Akan tetapi tentu
saja wakil tersebut akan terikat pada partainya karena memanfaatkan
kesempatan dan fasilitas yang diberikan oleh partai;
b. Lebih cenderung ke arah koalisi partai-partai, karena kursi yang diperebut-
kan dalam satu daerah (distrik) hanya satu. Hal ini akan mendorong partai
menonjolkan kerjasama dari perbedaan, setidaknya menjelang pemilu
melalui stembus accord;
c. Fragmentasi partai atau kecenderungan untuk membentuk partai beru
dapat terbendung, malah dapat dilakukan penyederhanaan partai secara
alamiah tanpa paksaan. Di Inggris dan AS malah sistem ini menunjang
bertahannya sistem dwipartai;
d. Lebih mudah bagi satu partai untuk mencapai mayoritas dalam parlemen,
sehingga tidak perlu diadakan koalisi dengan partai lain untuk mendukung
suatu kebijakan, misalnya stabilitas nasional;
e. Sistem ini sederhana, mudah, dan murah untuk dilaksanakan.
Adapun kelemahannya, antara lain :
a. Kurang memperhatikan partai-partai kecil dan golongan minoritas, lebih-
lebih jika golongan dimaksud terpencar dalam beberapa distrik;
b. Kurang representatif karena partai yang kalah dalam suatu distrik akan
kehilangan suara yang telah mendukungnya. Suara dimaksud tidak diperhi-
tungkan lagi, sehingga dianggap kurang/tidak adil oleh golongan yang
dirugikan;
168
c. Ada kecenderungan si wakil lebih mementingkan kepentingan daerah
pemilihnya tinimbang kepentingan nasional;
d. Umumnya kurang efektif bagi suatu masyarakat heterogen.
2. Multy-Member Constituenty, ialah satu daerah pemilihan memilih beberapa
wakil, yang biasa disebut sistem proporsional. Sistem ini adalah prosentase
kursi di parlemen yang dibagi kepada tiap-tiap partai politik, sesuai dengan
jumlah suara yang diperolehnya dalam pemilu, khusus di daerah pemilihan.
Jadi, jumlah kursi yang diperoleh suatu partai sesuai dengan jumlah suara
yang diperolehnya dalam masyarakat. Untuk keperluan ini ditentukan suatu
perimbangan, misalnya 1 (seorang) wakil : 400.000 penduduk.
Sistem proporsional ini sering dikombinasikan dengan beberapa prose-
dur lain, seperti sistem daftar (list system), di mana setiap partai mengajukan
daftar calon (calon legislatif/caleg), dan si pemilih memilih partai dengan
semua calon yang diajukan oleh partai dimaksud untuk bermacam-macam
kursi yang sedang diperebutkan. Keuntungan sistem ini antara lain :
a. Sistem proporsional dianggap lebih demokratis dalam arti lebih egalitarian,
karena asas “one man one vote” dilaksanakan secara penuh tanpa ada
suara yang hilang;
b. Dianggap representatif, karena jumlah kursi partai dalam parlemen sesuai
dengan jumlah suara yang diperoleh dari masyarakat pemilihnya.
Adapun kelemahannya, antara lain :
a. Mempermudah fragmentasi partai (pembentukan partai baru) jika terjadi
konflik internal partai. Anggota yang kecewa cenderung membentuk partai
baru, sehingga peluang untuk bersatu kurang. Bahkan perjuangannya
bukan lagi ideologis, akan tetapi pragmatisme transaksional, memperebut-
kan jabatan atau kursi saja di parlemen;
b. Sistem ini lebih memperbesar perbedaan yang ada dibanding dengan
kerjasama, sehingga ada kecenderungan memperbanyak jumlah partai.
Jika alam keterbukaan berpolitik makin bebas, maka jumlah partai sulit
dibendung, seperti halnya di Indonesia fasca reformasi 1998;
169
c. Sistem ini memberikan peran atau kekuasaan yang sangat kuat kepada
pimpinan partai, karena pimpinan sangat menentukan orang-orang yang
akan dicalonkan menjadi waki, rakyat. Bahkan ada kecenderungan wakil
rakyat lebih menjaga kepentingan dewan pimpinan atau partainya
tinimbang kepentingan rakyat. Di zaman Orba, sistem ini digunakan oleh
pimpinan partai untuk merecall anggotanya yang vokal atau tidak sejalan
dengan haluan partai di parlemen;
d. Wakil yang terpilih ikatannya renggang dengan penduduk yang memilih-
nya, karena saat pemilihan yang lebih menonjol adalah partainya daripada
“kepribadian” sang wakil, lebih-lebih wilayah pemilihannya yang besar.
Timbullah istilah “memilih kucing dalam karung” karena rakyat pemilih
hanya memilih tanda gambar partai peserta pemilu, tanpa mengetahui
dengan pasti “siapa” sang wakil yang akan dipilihnya;
e. Karena banyaknya partai yang bersaing, maka sulit bagi suatu partai meraih
mayoritas dalam parlemen.
Untuk lebih menjelaskan perbandingan antara pemilu sistem propor-
sional dengan distrik murni, di bawah ini digambarkan secara matrik.
Sistem Unsur Proporsional Murni Distrik Murni
1. Daerah Pemilihan
a. Basis Wilayah b. Ukuran besar c. Jumlah daerah pemilihan
sedikit
a. Basis Penduduk b. Ukuran kecil c. Jumkah daerah pemilih-
an banyak
2. Wakil
a. Lebih dari satu daerah pe-milihan
b. Asal wakil bebas c. Hubungan dengan pemilih
melalui oartai d. Kurang/tidak dikenal e. Dicalonkan oleh partai f. Pengaswasanh pemilih ku-
rang g. Bertanggung jawab kepa-
da partai
a. Hanya satu daerah pe-milihan
b. Ada ketentuan domisili c. Hubungan dengan pemi-
lih langsung atau melalui partai
d. Diawasi oleh pemilih e. Dicalonkan oleh pemilih
atau partai f. Pengawasan pemilih
kuat g. Bertanggung jawab ke-
pada pemilih
3. Suara a. Tidak ada yang hilang b. Mayoritas mutlak
a. Ada yang hilangt b. Mayoritas sederhana
4. Partai
a. Menguntungkan partai ke-cil
b. Cenderung multi partai c. Kekuasaan besar terhadap
a. Merugikan partai kecil b. Cenderung bipartai c. Kekuasaan kecil terha-
dap wakil
170
wakil d. Organisasi partai sampai
setingkat desa
d. Organisasi partai seting-kat desa
5. Organisasi Pelaksana Bersifat otonom Bersifat otonom
6. Sistem Pemerintahan
a. Mengarah pada pemerin-tahan koalisi
b. Sentralisasi
a. Tidak mengarah pada pemerintahan koalisi
b. Desentralisasi
Sumber : LIPI dalam Syahrial Syarbaini, 2011:242.
Pemilu di Indonesia untuk memilih anggota DPR dan DPRD (provinsi dan
kabupaten/kota) dicalonkan oleh Parpol dan dilaksanakan dengan sistem
proporsional dengan daftar calon terbuka, agar rakyat mengetahui benar
kredibilitas, kapabilitas, serta integritas moral calon yang akan dipilih. Mulai
Pemilu tahun 2009 calon terpilih tidak didasarkan pada nomor urut, tetapi
perolehan suara terbanyak.
Penentuan jumlah kursi dan daerah pemilihan berdasarkan Bab V Pasal
21 s/d 31 UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah adalah sebagai berikut.
a. Jumlah Kursi dan Daerah Pemilihan Anggota DPR (Pusat) :
1) Jumlah kursi anggota DPR ditetapkan 560 orang;
2) Daerah pemilihan anggota DPR adalah provinsi, kabupaten/kota, atau
gabungan kabupaten/kota;
3) Jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPR paling sedikit 3 kursi
dan paling banyak 10 kursi;
4) Dalam hal penentuan daerah pemilihan pada butir 2) tidak dapat
diberlakukan, penentuan daerah pemilihan menggunakan bagian
kabupaten/kota;
5) Penentuan daerah pemilihan anggota DPR dilakukan dengan mengubah
ketentuasn daerah pemilihan pada pemilu terakhir berdasarkan
ketentuan pada butir 3);
6) Daerah pemilihan tersebut pada butir b tercantum dalam lampiran yang
tidak terpisahkan dari UU No. 8/2012.
b. Jumlah Kursi dan Daerah Pemilihan Anggota DPRD Provinsi :
171
1) Jumlah kursi DPRD Provinsi ditetapkan paling sedikit 35 dan paling
banyak 100 orang;
2) Jumlah kursi dimaksud didasarkan pada jumlah penduduk provinsi
bersangkutan yang ketentuannya :
a) Jumlah penduduk s/d 1 juta orang memperoleh alokasi 35 kursi;
b) Jumlah penduduk lebih dari 1 juta s/d 3 juta memperoleh alokasi 45
kursi;
c) Jumlah penduduk lebih dari 3 juta s/d 5 juta memperoleh 55 kursi;
d) Jumlah penduduk lebih dari 5 juta s/d 7 juta memperoleh alokasi 65
kursi;
e) Jumlah penduduk lebih dari 7 juta s/d 9 juta memperoleh alokasi 75
kursi;
f) Jumlah penduduk lebih dari 9 juta s/d 11 juta memperoleh alokasi 85
kursi;
g) Jumlah penduduk lebih dari 11 juta memperoleh alokasi 100 kursi.
3) Daerah pemilihan anggota DPRD Provinsi adalah kabupaten/kota atau
gabungan kabupaten/kota;
4) Jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPRD Provinsi oaling
sedikit 3 dan paling banyak 12 kursi;
5) Dalam hal penentuan daerah pemilihan pada butir 3) tidak dapat
diberlakukan, penentuan daerah pemilihan menggunakan bagian
kabupaten/kota;
6) Ketentuan lebih lanjut tentang daerah pemilihan dan alokasi kursi
ditetapkan oleh Peraturan KPU.
c. Jumlah Kursi dan Daerah Pemilihan Anggota DPRD Kabupaten/Kota :
1) Jumlah kursi DPRD Kabupaten/Kota ditetapkan paling sedikit 20 dan
paling banyak 50 orang;
2) Jumlah kursi DPRD Kabupaten/Kota pada butir 1) tersebut didasarkan
pada julah penduduk kabupaten/kota bersangkutan, yang ketentuan-
nya :
a) Jumlah penduduk s/d 100 ribu orang memperoleh alokasi 20 kursi;
172
b) Jumlah penduduk lebih dari 100 ribu s/d 200 ribu memperoleh
alokasi 25 kursi;
c) Jumlah penduduk lebih dari 200 ribu s/d 300 ribu memperoleh
alokasi 30 kursi;
d) Jumlah penduduk lebih dari 300 s/d 400 ribu memperoleh alokasi 35
kursi;
e) Jumlah penduduk lebih dari 400 ribu s/d 500 ribu memperoleh
alokasi 40 kursi;
f) Jumlah penduduk lebih dari 500 s/d 1 juta memperoleh alokasi 45
kursi;
g) Jumlah penduduk lebih dari 1 juta memperoleh alokasi 50 kursi.
3) Daerah pemilihan anggota DPRD Kabupaten/Kota adalah kecamatan,
atau gabungan kecamatan;
4) Jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPRD Kabupaten/Kota
paling sedikit 3 dan paling banyak 12 kursi;
5) Dalam hal penentuan dalam butir 3) tidak dapat diberlakukan, penen-
tuan daerah pemilihan menggunakan bagian kecamatan atau nama
lain;
6) Ketentuan lebih lanjut tentang daerah pemilihan dan alokasi kursi ang-
gota DPRD Kabupaten/Kota ditetapkan dalam Peraturan KPU;
7) Dalam hal terjadi bencana yang mengakibatkan hilangnya daerah pemi-
lihan, daerah pemilihan tersebut dihapuskan;
8) Alokasi kursi akibat hilangnya daerah pemilihan tersebut pada butir 7)
dihitung kembali sesai dengan jumlah penduduk;
9) Jumlah kursi anggota DPRD Kabupaten/Kota yang dibentuk setelah
pemilu ditetapkan berdasarkan ketentuan dalam UU No. 8/2012;
10) Alokasi kursi pada daerah peilihan anggota DPRD Kabupaten/Kota
dimaksud pada butir 9) ditentukan paling sedikit 3 dan paling banyak
12 kursi;
d. Jumlah Kursi DPD untuk Tiap Provinsi :
1) Ditetapkan 4 (empat) orang;
173
2) Daerah pemilihannya adalah provinsi.
Persyaratan bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota, adalah sebagai berikut :
a. Telah berusia 21 tahun atau lebih;
b. Bertakwa kepada Tuhan YME;
c. Bertempat tinggal di wilayah NKRI;
d. Cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia;
e. Berpendidikan paling rendah tamat SMA/MA/SMK/MAK atau pendidikan
lain yang sederajat;
f. Setia kepada Pancasila, UUD 1945, dan cita-cita proklamasi 17 Agustus
1945;
g. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hokum tetap karena melakukan tindak pidana
yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih;
h. Sehat jasmani dan rohani;
i. Terdaftar sebagai pemilih;
j. Bersedia bekerja penuh waktu;
k. Mengundurkan diri sebagai kepala daerah, wakil kepala daerah, PNS,
anggota TNI, anggota POLRI, direksi, komisaris, dewan pengawas dan kar-
yawan pada BUMN dan/atau BUMD atau badan lain yang anggarannya
bersumber dari keuangan negara, yang dinyatakan dengan surat pengun-
duran diri yang tidak dapat ditarik kembali;
l. Bersedia untuk tidak berpraktek sebagai akuntan publik, advokat/
pengacara, notaris, PPAT, atau tidak melakukan pekerjaan penyedia barang
dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain
yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang,
dan hak sebagai anggotaq DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
m. Bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya,
direksi, komisaris, dewan pengawas dan karyawan pada BUMN dan/atau
174
BUMD serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan
negara;
n. Menjadi anggota Parpol peserta Pemilu;
o. Dicalonkan hanya di 1 (satu) lembaga perwakilan;
p. Dicalonkan hanya di 1 (satu) daerah pemilihan.
Kesemuanya itu harus disertai bukti kelengkapan administratif seperti
KTP, Ijazah/STTB, surat pernyataan di atas kertas bermeterai mengenai tidak
pernah dipidana dengan ancaman hukuman lima tahun atau lebih, atau surat
keterangan dari LP bagi yang pernah dijatuhi pidana, surat keterangan sehat
jasmani rohani, surat tanda bukti telah terdaftar sebagai pemilih, surat
pernyataan tentang kesediaan untuk bekerja penuh waktu, surat pernyataan
kesediaan untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat/pengacara,
notaris, PPAT, dan/atau melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang
berhubungan dengan keungan negara, dll., yang ditanda tangani di atas kertas
bermeterai cukup. Kemudian surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik
kembali sebagai kepala daerah, wakil kepala daerah, PNS, anggota TNI,
anggota POLRI, direksi, komisaris, dewan pengawas dan karyawan pada
BUMN dan/atau BUMD serta pengurus badan lain yang anggarannya
bersumber dari keuangan negara, kartu tanda anggota Parpol peserta pemilu,
surat keterangan kesediaan hanya dicalonkan oleh 1 (satu) parpol untuk 1
(satu) lembaga perwakilan yang ditanda tangani di atas kerja bermeterai
cukup, serta surat keterangan pernyataan tentang kesediaan hanya dicalon-
kan pada 1 (satu) daerah pemilihan, yang ditanda tangani di atas kertas
bermeterai cukup.
Jika peserta pemilu untuk anggota DPR dan DPRD pencalonannya diajukan
oleh Partai Politik, maka untuk anggota DPD adalah perseorangan. Persyarat-
an dukungan minimal dari penduduk provinsi adalah sebagai berikut :
a. Provinsi yang berpenduduk s/d 1 juta orang, harus mendapat dukungan
dari paling sedikit 1 ribu pemilih;
b. Provinsi yang berpenduduk lebih dari 1 juta s/d 5 juta orang, harus
mendapat dukungan dari paling sedikit 2 ribu pemilih;
175
c. Provinsi yang berpenduduk lebih dari 5 juta s/d 10 juta orang, harus
mendapat dukungan dari paling sedikit 3 ribu pemilih;
d. Provinsi yang berpenduduk lebih dari 10 juta s/d 15 juta orang, harus
mendapat dukungan dari paling sedikit 4 ribu pemilih;
e. Provinsi yang berpenduduk lebih dari 15 juta orang, harus mendapat
dukungan dari paling sedikit 5 ribu pemilih;
f. Dukungan tersebut di atas terwebar di paling sedikit 50% dari juumlah
kabupaten/kota provinsi bersangkutan;
g. Dukungan dimaksud dibuktikan dengan daftar dukungan yang dibubuhi
tanda tangan atau cap jempol jari tangan dan dilengkapi fotokopi KTP tiap
pendukung;
h. Seorang pendukung tidak boleh memberi dukungan kepada lebih dari
seorang calon anggota DPD serta melakukan perbuatan curang untuk
menyesatkan seseorang, dengan memaksa dengan menjanjikan atau
dengan memberian uang atau materi lainnya untuk memperoleh dukungan
bagi pencalonan anggota DPDD dalam pemilu. Jika terjadi hal tersebut di
atas, maka pencalonnya batal/tidak sah;
i. Jadwal waktu pendaftaran peserta pemilu anggota DPD ditetapkan oleh
KPU.
Proses Pemilu sebagai mekanisme kenegaraan lima tahunan dapat digam-
barkan sebagai berikut :
PARPOL/GAB. PARPOL PERSE- PARPOL ORANGAN
PEMILIHAN UMUM KPU ”Luber Jurdil” setiap lima tahun. PRESIDEN/ ANGGOTA ANGGOTA ANGGOTA WAPRES DPR DPRD DPD
176
Penjelasan :
a. Pemilihan dilakukan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil;
b. Calon legislatif untuk DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota
dicalonkan melalui Parpol;
c. Calon untuk DPD adalah perseorangan;
d. Calon untuk pasangan Presiden/Wakil Presiden diajukan oleh Parpol atau
gabungan Parpol. (Jika perolehan suara Parpol dalam Pemilu legislatif men-
capai 25 % dapat mengajukan sendiri Capres/Cawapresnya, sedangkan jika
kurang harus bergabung/koalisi dengan Parpol lain);
e. Penyelenggara Pemilu adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU);
f. Jumlah anggota DPR yang dipilih pada Pemilu tahun 2009 sebanyak 560
orang (sebelumnya 550 orang), dan DPD 132 orang;
Untuk Pemilu tahun 2014 yang akan datang dari beberapa puluh parpol
yang mendaftar, setelah diseleksi oleh KPU hanya akan diikuti oleh 12
Parpol, (belum termasuk Parpol lokal di Aceh), yaitu :
1) Partai Demokrat (PD);
2) Partai Golkar (PG);
3) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP);
4) Partai Keadilan Sejahtera (PKS);
5) Partai Amanat Nasional (PAN);
6) Partai Persatuan Pembangunan (PPP);
7) Partai Gerakan Indonesia Raya (GERINDRA);
8) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB);
9) Partai Hati Nurani Rakyat (HANURA);
10) Partai Nasional Demokrat (NASDEM);
11) Partai Bulan Bintang (PBB);
12) Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI).
(Sengaja tidak diurutkan berdasarkan nomor kepesertaan dalam Pemilu
hasil undian oleh KPU).
g. Pemilu yang sudah dilaksanakan sebelumnya, yaitu :
1) Tahun 1955 :
177
Pemilu pertama sejak Indonesia merdeka, dilaksanakan pada masa
pemerintahan sistem parlementer untuk memilih anggota DPR dan
Badan Konstituante (pembentuk UUD). Terdapat 28 Parpol peserta
pemilu, yaitu :
a) Partai Nasional Indonesia (PNI);
b) Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi);
c) Nahdlatul Ulama (NU);
d) Partai Komunis Indonesia (PKI);
e) Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII);
f) Partai Kristen Indonesia (Parkindo);
g) Partai Katholik;
h) AKUI;
i) PPTI;
j) Partai Sosialis Indonesia (PSI);
k) Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI);
l) Partai Islam Perti;
m) PRN;
n) Partai Buruh;
o) PRI;
p) PPPRI;
q) PRD;
r) PRIM;
s) Partai Murba;
t) Baperki;
u) PIR Wongsonegoro;
v) Permai;
w) Garindra;
x) Persatuan Daya;
y) Partai Hazairin;
z) Acoma;
aa) Partai R. Soedjono Prawiro Soedarmo;
178
bb) GPPS.
2) Tahun 1971 :
Pemilu pertama pada zaman Orba untuk memilih anggota DPR, MPR,
dan DPRD. Terdapat anggota yang diangkat (tidak melalui proses pe-
milu). Terdapat 10 Partai peserta pemilu, yaitu :
a) Golongan Karya (Golkar), yang tidak mau disebut sebagai parpol,
karena dalam UU-nya pun disebut UU Parpol dan Golkar;
b) Partai Nasional Indonesia (PNI);
c) Nahdlatul Ulama (NU);
d) Partai Katholik;
e) Partai Murba;
f) Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII);
g) Ikatan Pendukung Kemertdekaan Indonesia (IPKI);
h) Partai Kristen Indonesia (Parkindo);
i) Partai Muslimin Indonesia (Parmusi);
j) Partai Islam Perti.
3) Tahun 1977 – 1997 :
Masih Pemilu pada zaman Orba yang berhasil menyederhanakan jumlah
partai dari 10 menjadi 3 karena harus berasas tunggal Pancasila kecuali
ciri. Masih ada anggota DPR, MPR, dan DPRD yang diangkat, misalnya
dari ABRI diberi jatah 10 anggota untuk DPRD Kabupaten/Kota, 25
anggota untuk DPRD Provinsi, dan 100 anggota untuk DPR. Partai pe-
serta pemilu yang tiga itu adalah :
a) Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan penyatuan
atau fusi partai-partai Islam, bercirikan Islam;
b) Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan penyatuan partai-
partai nasional, bercirikan kebangsaan;
c) Golongan Karya (Golkar) bercirikan kekaryaan, dan tetap tidak mau
disebut partai.
4) Tahun 1999 :
179
Pemilu era reformasi pertama setelah kejatuhan Orba tahun 1998,
dengan multi partai karena keran demokrasi dibuka lebar oleh Presiden
B.J. Habibi. Semua anggota DPR dan MPR tidak ada lagi yang diangkat,
semuanya melalui proses pemilu. Dalam UU-nya pun disebut UU
tentang Parpol. Partai peserta pemilu ada 48, akan tetapi yang
memperoleh suara terbanyak adalah :
a) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) di bawah Megawati
Sukarnoputri yang merupakan pecahan/sempalan dari PDI, semen-
tara PDI-nya Suryadi tidak lagi berkibar;
b) Partai Golkar;
c) Partai Persatuan Pembangunan (PPP);
d) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB);
e) Partai Amanan Nasional (PAN);
f) Partai Bulan Bintang (PBB).
5) Tahun 2004 :
Pemilu kedua era reformasi, diikuti oleh 28 partai peserta pemilu, akan
tetapi yang memiliki suara terbanyak adalah :
a) Partai Golkar;
b) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P);
c) Partai Persatuan Pembangunan (PPP);
d) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB);
e) Partai Demokrat (PD);
f) Partai Amanat Nasional (PAN);
g) Partai Keadilan Sejahtera (PKS);
h) Partai Bintang Reformasi (PBR), pecahan/sempalan dari PPP;
i) Partai Damai Sejahtera (PDS);
j) Partai Bulan Bintang (PBB).
6) Tahun 2009 :
Pemilu ketiga era reformasi, diikuti oleh 38 partai ditambah enam partai
lokal Aceh. Partai peserta pemilu dimaksud adalah :
a) Demokrat;
180
b) Golkar;
c) PDI-P;
d) PKS;
e) PAN;
f) PPP;
g) PKB;
h) Gerindra;
i) Hanura;
j) PBB;
k) PDS;
l) PKNU;
m) PKPB;
n) PBR;
o) PPRN;
p) PKPI;
q) PDP;
r) Barnas;
s) PPPI;
t) PDK;
u) RepublikaN;
v) PPD;
w) Patriot;
x) PNBK;
y) Kedaulatan;
z) PMB;
aa) PPI;
bb) Pakar Pangan;
cc) Pelopor;
dd) PKDI;
ee) PIS;
ff) PNI Marhaen;
181
gg) Partai Buruh;
hh) PPIB;
ii) PPNUI;
jj) PSI;
kk) PPDI;
ll) Merdeka.
Dari 38 parpol ini yang memperoleh kursi atau wakilnya di parlemen
hanya ada sembilan yang didasarkan pada ketentuan ambang batas
parlemen (Parliamentary Threshold) 2,5 %, yaitu :
a) Demokrat ..... 148 kursi;
b) Golkar ..... 108 kursi;
c) PDI-P ..... 93 kursi;
d) PKS ..... 59;
e) PAN ..... 42 kursi;
f) PPP ..... 39 kusi;
g) Gerindra ..... 30 kursi;
h) PKB ..... 26 kursi;
i) Hanura ..... 15 kursi.
206
DAFTAR KEPUSTAKAAN
A. BUKU-BUKU :
Bahar, Saafroedin (Tim Penyunting), dkk. 1995. Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Cetakan kedua : Edisi III. Jakarta : Sekretariat Negara RI.
Bakry, Noor Ms. 2009. Pendidikan Kewarganegaraan. Cetakan Pertama. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
BP-7 Pusat. 1994. Bahan Penataran P-4, Undang-Undang Dasar 1945, dan GBHN. Jakarta.
Budiardjo, Miriam. 1977. Dasar-dasar Ilmu Politik. Cetakan IV. Jakarta : PT. Gramedia.
Darmodihardjo, Dardji. 1974. Orientasi Singkat Pancasila. Jakarta : Gita Karya.
--------------------------------, et.al. 1991. Santiaji Pancasila. Cetakan ke 10 Surabaya : Usaha Nasional.
Ismaun. 1981. Tinjauan Pancasila Dasar Filsafat Negara Republik Indonesia. Bandung : Carya Remaja.
Kaelan. 2004. Pendidikan Pancasila. Edisi Kedelapan. Yogyakarta : Paradigma.
Kansil, C.S.T. dan Christine Kansil. 2003. Pancasila dan UUD 1945 (Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi). Cetakan ke 21. Jakarta : PT. Pradnya Paramita.
Krissantono (ed). 1976. Pandangan Presiden Soeharto tentang Pancasila. Jakarta : CSIS.
Kusnardi dan Ibrahim, Harmaily. 1983. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta : FH-UI.
Laboratorium Pancasila IKIP Malang. 1979. Pokok-pokok Pembahasan Pancasila
Dasar Filsafat Negara. Surabaya : Usaha Nasional.
Marsudi, Subandi Al. 2004. Pancasila dan UUD 1945 dalam Paradigma Refor-masi. Cetakan keempat. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada.
207
Notonagoro. 1971. Pantjasila Setjara Ilmiah Populer. Djakarta : Pantjuran Tudjuh.
-----------------. 1980. Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila. Jakarta : Pancuran Tujuh.
Oesman, Oetojo, dan Alfian. 1991. Pancasila sebagai Ideologi dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara. Jakarta : BP-7 Pusat.
Pangeran Alhaj, S.Z.S. 1985. Buku Materi Pokok Pendidikan Pancasila. Modul 1-
3. Jakarta : Universitas Terbuka Depdikbud. Patria, Usmani Surya. 1985. Buku Materi Pokok Pendidikan Pancasila. Modul 4-
6. Jakarta : Universitas Terbuka Depdikbud. Poesponegoro, Marwati Djoened, dan Notosusanto, Nugroho. 1993. Sejarah
Nasional Indonesia. Jilid V dan VI. Jakarta : Balai Pustaka. Pranarka, A.M.W. 1985. Implementasi Pancasila. Jakarta : Analisis CSIS No. 1. Rahardjo, Satjipto. 1991. Pembangunan Kualitas Manusia dan Masyarakat
dalam Ilmu Hukum. Jakarta : Analisis CSIS No. 1. Setiadi, Elly M. 2005. Panduan Kuliah Pendidikan Pancasila untuk Perguruan
Tinggi. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. Syarbaini, Syahrial. 2004. Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi. Cetakan
Kedua. Jakarta : Ghalia Indonesia. --------------------------. 2011. Pendidikan Pancasila : Implementasi Nilai-nilai
Karakter Bangsa di Perguruan Tinggi). Cetakan Keempat (Revisi). Jakarta : Ghalia Indonesia.
Wahyono, Padmo. 1983. Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum. Jakarta :
Ghalia Indonesia.
Widjaja, H.A.W. 2002. Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Pancasila pada Perguruan Tinggi. Cetakan Kedua. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada.
Yamin, Muhammad. 1982. Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia.
Jakarta : Ghalia Indonesia.
208
B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN : Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indo-
nesia. Undang-Undang No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indo-
nesia. Undang-Undang No. 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden. Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Undang-Undang No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Undang-Undang No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden. Undang-Undang No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan. Undang-Undang No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang
Negara, serta Lagu Kebangsaan.
209
Undang-Undang No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Undang-Undang No. 12 Tahun 1011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan. Undang-Undang No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum. Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional 2009-2014.
202
PEDOMAN PENGHAYATAN DAN PENGAMALAN PANCASILA (EKA PRASETYA PANCAKARSA) *)
Sila Kesatu : KETUHANAN YANG MAHA ESA
1. Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaan dan ketaqwaannya terhadap Tuhan
Yang Maha Esa.
2. Manusia Indonesia percaya dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai
dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusia-
an yang adil dan beradab.
3. Mengembangkan sikap hormat-menghormati dan bekerjasama antara peme-
luk agama dan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang
Mahas Esa.
4. Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan berkeper-
cayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
5. Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang
menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa yang
dipercaya dan diyakininya.
6. Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah
sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing.
7. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa kepada orang lain.
Sila Kedua : KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN BERADAB
1. Mengakui memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya
sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa.
2. Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban asasi setiap
manusia, tanpa membeda-bedakan suku, agama, kepercayaan, jenis kelamin,
kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya.
203
3. Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia.
4. Mengembangkan sikap tenggang rasa dan tepa selira.
5. Mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain.
6. Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
7. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
8. Berani membela kebenaran dan keadilan.
9. Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia.
10. Mengembangkan sikap hormat-menghormati dan bekerjasama dengan bangsa
lain.
Sila Ketiga : PERSATUAN INDONESIA
1. Mampu menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan kesela-
matan bangsa dan negara sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan
pribadi atau golongan.
2. Sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan negara dan bangsa apabila
diperlukan.
3. Mengembangkan rasa cinta tanah air dan bangsa.
4. Mengembangkan rasa kebanggaan berkebangsaan dan bertanah air Indonesia.
5. Memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi, dan keadilan sosial.
6. Mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar Bhinneka Tunggal Ika.
7. Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa.
Sila Keempat : KERAKYATAN YANG DIPIMPIN OLEH HIKMAT KEBIJAKSANAAN
DALAM PERMUSYAWARATAN/PERWAKILAN
1. Sebagai warga negara dan warga masyarakat, setiap manusia Indonesia
mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama.
2. Tidak boleh memaksakan kehendak kepada orang lain.
204
3. Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan
bersama.
4. Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan.
5. Menghormati dan menjunjung tinggi setiap keputusan yang dicapai sebagai
hasil musyawarah.
6. Dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil
keputusan musyawarah.
7. Di dalam musyawarah diutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan
pribadi atau golongan.
8. Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang
luhur.
9. Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral
kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat
manusia, nilai-nilai kebenaran dan keadilan, mengutamakan persatuan dan
kesatuan demi kepentingan bersama.
10. Memberikan kepercayaan kepada wakil-wakil yang dipercayai untuk melak-
sanakan permusyawaratan.
Sila Kelima : KEADILAN SOSIAL BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA
1. Mengembangkan perbuatan yang luhur, yang mencerminkan sikap dan suasana
kekeluargaan dan kegotongroyongan.
2. Mengembangkan sikap adil terhadap sesama.
3. Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
4. Menghormati hak orang lain.
5. Suka memberikan pertolongan kepada orang lain agar dapat berdiri sendiri.
6. Tidak menggunakan hak milik untuk usaha-usaha yang bersifat pemerasan
terhadap orang lain.
7. Tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal yang bersifat pemborosan dan gaya
hidup mewah.
205
8. Tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal yang bertentangan dengan atau
merugikan kepentingan umum.
9. Suka bekerja keras.
10. Suka menghargai hasil karya orang lain yang bermanfaat bagi kemanusiaan dan
kesejahteraan bersama.
11. Suka melakukan kegiatan dalam rangka mewujudkan kemajuan yang merata
dan keadilan sosial.
*) 45 butir nilai P-4 ini ditetapkan pada zaman Orba ketika Pancasila dijadikan satu-satunya asas untuk Orpol/Ormas, berdasarkan Tap MPR No. II/MPR/1978. Tap MPR dimaksud kini telah dicabut. Penulis menganggap perlu mencantumkan butir-butir P-4 ini untuk pengetahuan di samping sebagai gambaran jabaran dari sila-sila Pancasila, kendati bukan merupakan tafsir daripada Pancasila.