Upload
others
View
12
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI MEDIA TOKOH WAYANG
(STUDI KOMPARATIF ANTARA SRI MULYONO DAN PURWADI
PURWACARITA)
SKRIPSI
DisusunOleh:
AKHYAR MUHAMMAD WILDAN
(210314244)
JURUSAN PENDIDIKANAGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO
2018
i
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL................................................................................... .........i
HALAMAN JUDUL...............................................................................................ii
HALAMAN PERSETUJUAN...............................................................................iii
HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................iv
HALAMAN PERSEMBAHAN..............................................................................v
MOTTO....................................................................................................................vi
ABSTRAK................................................................................................................vii
KATA PENGANTAR.............................................................................................viii
DAFTAR ISI.............................................................................................................x
PEDOMAN TRANSLITERASI..............................................................................xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. LatarBelakang...........................................................................1
B. RumusanMasalah......................................................................6
C. TujuanPenelitian.......................................................................6
D. ManfaatPenelitian.....................................................................7
E. Landasan Teori, Telaah Hasil Penelitian Terdahulu..................7
F. SistematikaPembahasan..........................................................13
Bab II PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI MEDIA WAYANG
A. Pendidikan karakter melalui media wayang............................14
a. Seni suara....................................................................16
b. Seni tonil.....................................................................16
c. Seni gambar................................................................16
d. Seni gerak...................................................................17
B. Pendidikan Karaktermelalui Media Wayang Sri Mulyo........18
C. Pendidikan Karakter Melalui Media Wayang Purwadi..........27
D. Dinamika perkembangan wayang..........................................33
E. Penerapan Wayang Sebagai Media Pembelajaran.................36
BAB III PEMBAHASAN PENDAPAT SRI MULYO dan PURWADI
A. Biografi Sri mulyo...................................................................52
B. Pendapat Sri Mulyono tentang wayang sebagai media pendidikan
karakter....................................................................................53
C. Biografi Purwadi............................................................... ......56
D. Pendapat Purwadi tentang wayang sebagai media pendidikan
karakter....................................................................................56
x
xi
BAB IV HASIL ANALISIS PENDAPAT SRI MULYO dan PURWADI
A. Analisis umum .......................................................................62
B. Analisis Khusus......................................................................63
C. Perbedaan Pendapat Sri Mulyo Dan Purwadi.......................65
D. Wayang Sebagai Cermin dan Menumbuhkan Karakter........65
E. Pertunjukan Wayang Kulit....................................................70
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan..........................................................................
B. Saran....................................................................................
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................
LAMPIRAN-LAMPIRAN.....................................................................................
RIWAYAT HIDUP................................................................................................
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN............................................................
PEDOMAN TRANSLITERASI
Sistem transliterasi Arab-Indonesia yang dijadikan pedoman dalam penulisan skripsi
ini adalah system Institut of Islamic Studies, McGill University, yaitu sebagai berikut:
q = ق Z = ز ’ = ء
k = ك S = س B = ب
l = ل Sh = ش T = ت
m = م {s = ص Th = ث
n = ن {d = ض J = ج
w = و {t = ط }H = ح
H = ه {z = ظ Kh = خ
Y = ي ‘ = ع D = د
Gh = غ Dh = ذ
F = ف R = ر
Ta>’ marbu>ta tidak ditampakkan kecuali dalam susunan ida>fa, huruf tersebut ditulist.
Misalnya: فطانة=fat}a>na, فطانة النبي = fat}a>nat al-nabi>.
Diftong dan Konsonan Rangkap
<u = أو Aw = أو
<i = أي Ay = أي
xiii
Konsonan rangkap ditulis rangkap, kecuali huruf waw yang didahului d}amma dan huruf
ya>’ yang didahului kasra seperti yang tersebut dalam tabel.
Bacaan panjang
<u = أو <i = أي <a = أ
Kata sandang
-wa’l = وال al-sh = الش -al = ال
xiii
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan karakter saat ini menjadi pembicaraan yang menarik
dikalangan praktisi pendidikan.Pendidikan ini dimunculkan karena adanya
ketidakpuasan terhadap penyelenggara pendidikan, khususnya terhadap
kualitas output sekolah.Pendidikan yang sekarang ini hanya fokus terhadap
peningkatan pengetahuan dan kecerdasan berpikir dan gagal menghasilkan
manusia yang berkarakter.Hal inilah yang menyebabkan semakin
meningkatnya kerusakan moral.
Sejak awal kemerdekaan, bangsa Indonesia sudah bertekad untuk
menjadikan pembangunan karakter bangsa sebagai bahan penting dan tidak
dipisahkan dari pembangunan nasional. Lebih lanjut diingat bahwa secara
eksplisit pendidikan karakter (watak) adalah amanat Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang pada pasal 3
menegaskan bahwa “Pendidikan Nasional Berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
2
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab. 1
Maraknya kasus-kasus kriminal seputar moral sekarang ini, jauh lebih
banyak dan kompleks dibandingkan masalah moral yang terjadi pada masa
lalu, menunjukkan semakin menurunnya kualitas moral anak
bangsa.Contohnya, terjadi tawuran antar siswa, menyontek ketika ulangan dan
ujian yang sudah menjadi hal biasa.Kondisi ini menandakan bahwa seluruh
pengetahuan agama dan pengetahuan moral yang didapatkan di bangku
sekolah ternyata belum berperan secara maksimal.
Krisis budi pekerti memang tidak dapat diselesaikan hanya di lingkup
pendidikan karena para pelajar hidup secara nyata di lingkungan keluarga dan
masyarakat. Namun demikian lembaga pendidikan dibentuk dan dibuat
memang dipersiapkan tidak sekedar mengasah otak, tetapi jyga memiliki
kewajiban mengasah kepribadian dan karakter peserta didiknya.Pendidikan
karakter dalam keluarga dijaman sekarang harus lebih keras lagi dalam
memberikan perhatian dengan metode variatif agar anak didik dapat
mengikuti dan tidak merasa bosan dalam mendapatkan pembelajaran tersebut.
Sekolah merupakan agen perubahan.Peranan sekolah sebagai agen
perubahan ialah terwujudnya perubahan nila-nilai sikap, prilaku, intelektual,
dan sebagainya sesuai dengan tujuan sekolah itu sendiri. Proses perubahan
peserta didik tentunya kearah manusia yang sesuai dengan nilai-nilai karakter
bangsa.
1MuchlasSamani dan Hariyanto, Konsep dan Model Pendidikan Karakter, (Bandung : PT,
Remaja Rosdakarya, 2012),26.
3
Banyak cara yang dapat dilakukan untuk menanamkan nilai-nilai
karakter, salah satunya yaitu dengan pewayangan. Ada beberapa kelebihan
yang dimiliki oleh wayang sebagai salah satu cara untuk penanaman nilai-nilai
karakter. Pertama, wayang merupakan bagian dari khazanah kebudayaan
bangsa sehingga dapat diterima oleh semua kalangan, baik guru maupun
siswa, kedua, cerita pewayangan mengandung banyak ajaran moral dan
kebaikan dalam tokoh-tokohnya yang bisa menjadi tuntunan dalam
kehidupan.Ketiga, cerita pewayangan adalah cerita yang tidak lekang oleh
waktu, memiliki kesamaan dari waktu ke waktu sehingga dapat digunakan
secara turun menurun pada generasi selanjutnya.
Wayang adalah sebuah wiracerita yang pada intinya mengisahkan
kepahlawanan para tokoh yang berwatak baik menghadapi dan menumpas
tokoh berwatak jahat.Kenyataan bahwa wayang telah melewati berbagai
peristiwa sejarah, dari generasi ke generasi, menunjukkan betapa budaya
pewayangan telah melekat dan menjadi bagian hidup bangsa Indonesia
khususnya Jawa.Usia yang demikian panjang dan kenyataan bahwa hingga
dewasa ini masih banyak orang yang menggemarinya menunjukkan betapa
tinggi nilai dan berartinya wayang bagi kehidupan sastra tradisional yang
memenuhi kualifikasi karya master piece, karya sastra atau budaya
adiluhung.2
Mengingat bahwa sejarah wayang telah sedemikian panjang, tetapi
hingga kini wayang dan pertunjukkan wayang masih tetap menarik,
2Burhan Nurgiyantoro,Wayang dan pengembagan karakter bangsa, Jilid 19, No.1 Oktober
Tahun 1998. (https://media.neliti.com/media/publications/121044-ID-wayang-dan-pengembangan-
karakter-bangsa.pdf diakses 16 januari 2018).
4
menimbulkan masalah yang menggelitik tentang daya penyebabnya.Wayang
pasti mengandung sesuatu yang luar biasa.Dilihat dari segi teknik
pertunjukkan, cerita wayang yang disusun menurut konvensi dramatik yang
tidak pernah berubah.Dilihat dari segi manfaatnya bagi kita, wayang pada
hakikatnya merupakan simbol atau cermin dari kehidupan kita sendiri
sehingga menonton pertunjukkan wayang tidak berbeda dengan melihat diri
sendiri lewat cermin.Cerita wayang sarat pesan, tetapi berhubung semuanya
disampaikan secara simbolis penonton tidak merasa digurui.
Wayang salah satu puncak seni budaya bangsa Indonesia yang paling
menonjol di antara banyak karya budaya lainnya. Budaya wayang
meliputi seni peran: seni suara, seni musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis,
seni pahat, dan juga seni perlambang. Budaya wayang, yang terus
berkembang dari zaman ke zaman juga merupakan media penerangan,
dakwah, pendidikan, hiburan, pemahaman filsafat, serta hiburan. Wayang
merupakan seni pertunjukan asli dari Indonesia yang selalu menceritakan
nilai-nilai, norma, tradisi dan budaya yang tumbuh dan berkembang dalam
kehidupan masyarakat lokal. Setiap pertunjukan seni wayang, cerita yang
terkandung di dalamnya merupakan simbol dari kehidupan yang berperan
penting dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara.3
Seni wayang terdapat kearifan lokal yang bermanfaat untuk
membangun karakter dan jatidiri bangsa Indonesia yang tergambarkan
melalui watak tokoh dalam wayang. Jati diri bangsa sebagai nilai identitas
3 Fajrie Nur, “Media Pertunjukan wayang untuk menumbuhkan karakter anak bangsa”
:Pilihan artikel jurnal, 219.
5
masyarakat harus dibangun secara kokoh dandiinternalisasikan secara
mendalam.Caranya, dengan menanamkan nilai-nilai kearifan lokal sejak dini
kepada generasi muda. Harus dipahami, nilai-nilai kearifan lokal bukanlah
nilai usang(kadaluarsa). yang ketinggalan zaman sehingga ditinggalkan, tetapi
dapat bersinergi dengan nilai-nilai universal dan nilai-nilai modern yang
dibawa globalisasi. Pendidikan budaya memegang peran penting di sini
sehingga pembelajaran seni dan budaya perlu dimasukkan dalam kurikulum
pendidikan nasional dan diajarkan sejak sekolah dasar.4
Berdasarkan hal tersebut, maka merupakan suatu alasan yang
mendasar apabila penulis membahas permasalahan tersebut dalam penelitian
yang berjudul PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI MEDIA TOKOH WAYANG
(STUDI KOMPARATIF ANTARA SRI MULYO DAN PURWADI).Dengan adanya
penelitian tersebut di harapkan dapat menambah khazanah keilmuan
mengenai konsep pemikiran pendidikan tokoh non muslim dengan konsep
Pendidikan Islam.
B. Rumusan Masalah
Dilihat dari latar belakang di atas, maka masalah tersebut dapat
dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pendapat Sri Mulyono tentang tokoh wayang semar,
petruk, gareng, bagong yang berhubungan dengan pendidikan karakter?
2. Bagaimana pendapat Purwadi purwacarita tentang tokoh wayang semar,
petruk, gareng, bagong yang berhubungan dengan pendidikan karakter?
4Ibid.
6
3. Apakah perbedaan dan persamaan menurut pendapat Sri Mulyono dan
Purwadi purwacarita tentang tokoh wayang semar, petruk, gareng,
bagong yang berhubungan dengan pendidikan karakter?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkaan rumusan masalah tersebut di atas, penelitian ini bertujuan
untuk:
1. Untuk menjelaskan bagaimana pendapat sri mulyono tentang tokoh
wayang semar, petruk, gareng, bagong yang berhubungan dengan
pendidikan karakter.
2. Untuk menjelaskan pendapat purwadi purwacarita tentang tokoh wayang
semar, petruk, gareng, bagong yang berhubungan dengan pendidikan
karakter.
3. Untuk menjelaskan Perbedaan wayang menurut srimulyo dan purwadi
yang berhubungan dengan pendidikan karakter.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagi peneliti yaitu memperkaya dan menambah wawasan ilmu
pengetahuan tentang pendidikan karakter dengan media visual atau
simbolik. Karena kehidupan saat ini banyak kemajuan teknologi yang
begitu pesat dan sangat berpengaruh pada karakter anak didik.
2. Merupakan salah satu proses pelestarian budaya, dimana semakin banyak
sebuah karya sastra budaya diperbincangkan dan dibahas maka semakin
populer dan dapat ditarik banyak makna dari karya tersebut.
7
3. Sebagai referensi untuk mengembangkan pendidikan karakter.
E. Telaah Hasil Penelitian Terdahulu
Di samping memanfaatkan berbagai teori yang relevan dengan bahasan
ini, penulis juga melakukan telaah hasil penelitian terdahulu yang ada
relevansinya dengan penelitian ini. Adapun hasil temuan penelitian terdahulu
adalah sebagai berikut:
1. Aulia fajri Purnamasari IAIN Surakarta 2013 UPAYA PENANAMAN
NILAI-NILAI KARAKTER MELALUI TOKOH WAYANG DAN
DAMPAKNYA TERHADAP PERILAKU KEAGAMAAN SISWA
DI SMP NEGERI 18 PURWOREJO.5 Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwapertama, upaya penanaman nilai karakter melalui
tokoh wayang dilakukan dengan cara pemasangan gambar tokoh
wayang, pemutaran video cerita wayang, dan melalui pembelajaran.
Kedua, faktor pendukung intern yaitu guru mengerti karakter dalam
pewayangan, siswa merupakan masyarakan jawa yang tidak asing
dengan wayang, dan muatan tentang wayang yang terdapat dalam
pelajaran Bahasa Jawa. Faktor pendukung ekstern yaitu wayang
merupakan kebudayaan Indonesia yang harus dilestarikan, lingkungan
masyarakat sering mengadakan pagelaran wayang, dan masih ada
penggemar wayang. Ketiga, dampak penanaman nilai karakter melalui
tokoh wayang terhadap perilaku keagamaan siswa dari sego kognisi
meliputi nilai mata pelajaran PAI yang selalu meningkat dan
5http://digilib.uin-suka.ac.id/9169/2/BAB%20I%2C%20IV%2C%20DAFTAR%20PUSTAKA.pdf
(diakses 9 desember 2019)
8
kejuaraan-kejuaraan di bidang keagamaan yang diperoleh yang
diperoleh siswa.
2. Arief Hidayatullah jurusan guru madrasah ibtidaiyah fakultas ilmu
tarbiyah dan keguruan UIN SUNAN KALIJAGA 2013. NILAI-NILAI
PENDIDIKAN KARAKTER PADA TOKOH WAYANG SEMAR.6
Penelitian ini dikarenakan kekhawatiran akan meningkatnya
kemerosotan moral pada generasi bangsa yang disebabkan oleh krisis
karakter masing-masing individu. Sedangkan, perkembangan teknologi
yang semakin pesat seharusnya berjalan lurus dengan karakter positif
penggunanaanya. Jika tidak maka akan terjadi penyalahgunaan pada
berbagai teknologi temuan tersebut.
3. Imam setiawan jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah
dan Ilmu Keguruan IAIN SALATIGA 2016 dengan judul NILAI-
NILAI PENDIDIKAN DALAM CERITA WAYANG KULIT
LAKON DEWA RUCI.7 Penelitian ini melihat pendidikan yang terjadi
di era globalisasi yang membawa arus modernisasi dalam perubahan
dan kemajuan bangsa Indonesia. Sebagaimana dapat dilihat dari
tingkah laku peserta didik yang meremehkan guru dalam proses
pembelajaran. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kisah
wayang kulit lakon dewaruci, nilai-nilai pendidikan dalam cerita
wayang kulit lakon Dewa Ruci.
6http://digilib.uin-suka.ac.id/9229/(diakses 9 desember 2019) 7http://e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/1134/1/skripsi%20imam%20setiawan.pdf
(diakses 10 desember 2019)
9
Ketiga peneliti tersebut, tidak ada yang memaparkan pendapat tentang
pendidikan karakter melalui media wayang, tetapi ketiga peneliti tersebut
sama-sama mencari solusi dalam pengembangan pendidikan karakter seiring
perkembangan zaman. Itulah yang akan menjadi pembeda antara penelitian
terdahulu dengan penelitian saat ini akan diteliti.
F. Metode Penelitian
1. Pendekatan Dan Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode kualitatif
librari.Penelitian kualitatif librari karena penelitiannya dengan melakukan
pengumpulan artikel pada buku yang. Etnografi juga sebutan lain dari
metode kualitatif, karena pada awalnya metode penelitian ini lebih banyak
digunakan untuk penelitian antropologi budaya, disebut juga metode
penelitihan kualitatif librari, karena data yang terkumpul dan analisisnya
bersifat kepustakaan.8
8 Sugiyono, Metode Penulisan pendidikan Pendekatan kuantitif, kualitatif, dan
R&D,(Bandung; Alfabet, 2008),14
10
2. Data Dan Sumber Data
a. Data Penelitian
Data penelitian dikumpulkan melalui jurnal. Selain jurnal,
penelitijuga mendapatkan data dari berbagai buku yang akan
digunakansebagai sumber primer dan sekunder.
b. Sumber Data
1) Sumber Data Primer
Sumber data primer adalah bahan atau rujukan utama
dalam mengadakan suatu penelitian. Adapun sumber data
primer yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Jurnal; Nur Fajrie, “Media pertunjukan wayang untuk
menumbuhkan karakter anak bangsa”.
2. Buku: purwadi, sri mulyo, sugiyono, Soetarno dan Sarwanto.
2) Sumber Data Sekunder
Merupakan sumber-sumber dari buku, kitab, dokumen,
dan majalah yang ada relevansinya dengan penelitian yang
akan dibahas, adapun sumber sekunder yang digunakan antara
lain;
1. Sri mulyo apa dan siapa semar.
2. Purwadi Semar “(Jagad Mistik Jawa)”
3. Abdul Majid & Dian Handayani, Pendidikan
Karakter Perspektif Islam.
11
4. Muchlas Samani dan Hariyanto, Konsep dan Model
Pendidikan Karakter.
5. Doni Koesoema A. Pendidikan Karakter : Strategi
Mendidik Anak di Zaman Global.
6. http://mrardi.blogspot.co.id/2013/02/pendidikan-
karakter-melalui-wayang.html. (diakses pada
tanggal 18 januari 2018).
7. Burhan Nurgiyantoro. Wayang dan pengembagan
karakter bangsa, Jilid 19, No.1 Oktober Tahun
1998.
(https://media.neliti.com/media/publications/12104
4-ID-wayang-dan-pengembangan-karakter-
bangsa.pdf diakses 16 januari 2018).
8. Fajrie, Nur. “Media Pertunjukan wayang untuk
menumbuhkan karakter anak bangsa” : pilihan
artikel jurnal 220-221.
9. Hamalik, O. 1994. Media Pendidikan,
10. Rif’an, Ali. 2010. Buku Pintar Wayang.
11. Soetarno dan Sarwanto. 2010. Wayang Kulit dan
Perkembangannya.
3. Teknik Pengumpulan Data
Telaah pustaka semacam ini biasanya dilakukan dengan cara
mengumpulkan data atau informasi dari berbagai sumber pustaka
12
yang kemudian disajikan dengan cara baru dan untuk keperluan
baru. Dalam hal ini bahan-bahan pustaka itu diperlukan sebagai
sumber ide untuk menggali pemikiran atau gagasan baru, sebagai
bahan dasar untuk melakukan deduksi dari pengetahuan yang telah
ada, sehingga kerangka teori baru dapat dikembangkan atau
sebagai dasar pemecahan masalah.9
Pengumpulan data yang dilakukan berasal dari sumber
primer dan sekunder yang berhubungan dengan tema yang dibahas
yaitu Pendidikan karakter melalui media wayang (studi komparatif
antara pendapat sri mulyo dan purwadi). Namun pada penelitian
ini penulis lebih menekankan kepada pendapat sri mulyo dan
purwadi. Penelitian ini dinamakan dokumentasi.
4. Teknik Analisis Data
Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara
sistematis data yang diperoleh dari hasil dokumentasi, dengan cara
mengorganisasikan data kedalam kategori. Menjabarkan ke dalam
unit-unit, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting
dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga
mudah difahami oleh diri sendiri dan orang lain.10
a. Reduksi Data.
9 Tim Penyusun, Buku Pedoman Penulisan Skripsi, 57.
10 Sugiyono, Metode penelitian pendidikan pendekatan kuantitatif, kualitatif, dan
R&D(Bandung: Alfabet, 2008), 335.
13
Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang
pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema
dan polanya dan membuang yang tidak perlu.
b. Display data.
Penulis menyajikan data penelitian dalam bentuk naratif atau
penjelasan dalam bentuk tulisan paragraf.Menurut penulis,
penyajian data penelitian kualitatif lebih memudahkan bagi
pembaca untuk dapat memahami isi penelitian.
c. Conclusion.
Penulis memberikan kesimpulan dari hasil penelitian guna
menjawab masalah yang telah dirumuskan.Akan tetapi
kesimpulan tersebut bukan merupakan kesimpulan
final.mengingat ketidaksempurnaan dari awal hingga akhir
penelitian ini agar barang siapa saja yang ingin melakukan
penelitian tentang nilai-nilai pendidikan karakter melalui media
wayang dapat melakukannya dengan lebih mudah, efektif dan
efisien.
G. SISTEMATIKA PEMBAHASAN
Untuk keefektifan penelitian ilmiah yang sistematis maka perlu
dirancang sistematika pembahasan. Adapun sistematikanya sebagai berikut:
Bab IPendahuluan, Bab ini merupakan pola dasar dari keseluruhan
skripsi ini. Yang meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
14
penelitian, manfaat penelitian, Telaah hasil penelitian terdahulu, metode
penelitian, dan sistematika pemabahasan.
Bab IIPendidikan karakter melalui media wayang Sri Mulyo dan
Purwadi.Bab ini membahas tentang wayang sebagai alat/media yang
dipergunakan untuk media pembelajaran pendidikan karakter.
Bab IIIWayang Sebagai Media Pendidikankarakter menurut Purwadi
dan Sri mulyo. Dalam bab ini mengkaji tentang isi dari kedua penulis buku
wayang, yang memaparkan biografi.
Bab IV penulis menganalisis dari buku wayang yang ditulis oleh
Purwadi dan Sri mulyo.Serta menulis perbedaan kedua pendapat.
Bab V Penutup, merupakkan bab terakhir dari semua rangkaian
pembahasan dari Bab I Sampai Bab V.
15
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendidikan karakter melalui media wayang Sri Mulyono dan Purwadi
purwacarita.
Pembahasan pada bab ini menjelaskan tentang pendidikan karakter
secara umum melalui sebuah pertunjukkan kesenian wayang yang
dikemukakan oleh penulis Sri Mulyo dan Purwadi. Masyarakat Indonesia
yang dilanda krisis diberbagai dimensi ujung-ujungnya adalah krisis moral.
Tidak banyak lagi masyarakat yang menghargai nilai-nilai luhur peninggalan
para pendahulu, baik nilai ideologi, nilai sejarah, nilai moral, maupun nilai-
nilai kehidupan lainnya. Generasi muda mengabaikan berbagai keteladanan
yang ada dalam budaya bangsa, karena dianggap kuno dan ketinggalan zaman.
Di kota besar utamanya, sering terjadi perkelahian, tawuran dikalangan
remaja, anak-anak SMA, tawuran dikalangan mahasiswa, bahkan merembet
menjadi tawuran antar penduduk kampung.
Para generasi muda telah kehilangan pegangan hidup dan keteladanan
perilaku etis.Akhir-akhir ini telah muncul kecenderungan masyarakat yang
mulai menyadari bahwa masing-masing individu memiliki kearifan tentang
adanya moralitas dasar yang esensial dalam kelangsungan hidup
bermasyarakat.Oleh sebab itu, para orang tua dan para pendidik harus
16
mendorong tumbuhnya moralitas dengan memberikan pendidikan karakter
berupa pendidikan agama Islam, secara langsung maupun tidak langsung11.
Pagelaran wayang mengandung nilai kehidupan luhur dalam setiap akhir
cerita atau pelakunya memenangkan kebaikan dan mengalahkan kejahatan.
Hal itu mengajarkan bahwa perbuatan baiklah yang akan unggul, sedangkan
perbuatan jahat akan selalu menerima kekalahan.
Islam memberikan kedudukan yang sangat tinggi kepada akal
manusia.Dengan akalnya manusia dapat memahami ayat- ayat Allah, dan
membedakan yang baik dan buruk.Islam ditempatkan Allah sebagai umat
terbaik di antara umat lain. Umat Islam dituntut untuk mengamalkan Islam
sebagi pedoman hidup dalam segala aspek kehidupan.Umat Islam harus
menjadikan ajaran Islam sebagai sumber inspirasi dan motivasi dalam
mewujudkan potensi dirinya12.
Pendidikan sangat diperlukan oleh manusia. Hanya manusia pula yang
mengembangkan pendidikan sebagai produk kebudayaannya. Itu artinya,
peranan pendidikan sangat penting dalam kehidupan manusia, bahkan tidak
dapat dipisahkan dari keseluruhan proses kehidupan manusia baik secara
individual maupun secara komunal. Dengan kata lain, kebutuhan manusia
terhadap pendidikan bersifat mutlak dalam kehidupan pribadi, keluarga,
masyarakat, bangsa dan negara,
11Suyanto, jurnal seni dan budaya panggung: pilihan artikel jurnal vol 23, 102 (diakses 7 mei
2018) 12Ibid.
17
Dalam mempergunakan wayang sebagai media pembelajaran,
setidaknya terdapat beberapa unsur sebagai berikut:
1. Seni suara.
Melalui gending-gending pewayangan, anak-anak diajarkan untuk
dapat membandingkan berbagai macam suara dan irama.Sesuai
dengan ciri khasnya, irama yang cepat sangat disenangi oleh anak-
anak.Lagunya, wiletnya, dan cengkoknya harus sesuai dengan watak
anak-anak; sederhana, mudah disuarakan, nada jangan terlalu tinggi
atau terlalu rendah.Sebagai contoh dapat dipergunakan lagu-lagu
dolanan.Didalam wayang, anak-anak dilatih untuk membedakan
suara laki-laki dan perempuan, membedakan suara yang berat dan
rendah semisal Werkudoro/Bimo yang berat dan Arjuna yang halus,
dan Dursosono yang sombong dan keras.Dan lebih dari itu, melalui
wayang pula anak diajarkan untuk memahami karakter orang
melalui karakter suara.
2. Seni tonil (drama).
Dalam pegajaran seni drama, sebaiknya orang tua dan guru mulai
dengan cerita-cerita wayang yang menggambarkan keluhuran budi,
baik dan jelek, semangat bekerja keras.
3. Seni gambar (sungging).
Seni gambar dalam wayang memiliki tingkat kesulitan yang cukup
tinggi dan diperlukan kesabaran. Mulai dari tahap mewarnai hingga
melukis pola akan mengajarkan arti keindahan yang diperoleh dari
18
laku sadar kepada anak. Dari seni menggambar itu akan muncul
segala keindahan dari kodrat alam.
4. Seni gerak.
Seni gerak ini diaplikasikan dalam tari dan permainan anak-
anak.Tari dan permainan anak (atau yang biasa disebut dengan
dolanan) bisa digabungkan menjadi satu.Sehingga tari bersama
dolanan hendaknya gembira dan cepat.Konsep ini harus diimbangi
dengan lagu-lagu pengiring yang juga gembira dan cepat, memakai
wiromo sampak, wiromo playon, wiromo sabrangan atau tropongan,
jangan digunakan wiromo ladrang, wiromo ketawang.
Dilihat dari ajaran Islam, anak adalah amanat Allah.Amanat adalah
wajib dipertanggung jawabkan. Orang tua memiliki tanggung jawab besar
terhadap pertumbuhan, perkembangan dan kesempurnaan pribadi anak
menuju kematangannya. Secara umum, inti tanggung jawab itu ialah
penyelenggaraan pendidikan bagi anak-anak dalam rumah tangga. Allah
memerintahkan agar setiap orang tua menjaga keluarganya dari siksaan
neraka13, Allah berfirman dalam surat al-A’raf ayat 172:
يتهمهمظهور منآدمبنيمنربكأخذوإذ أنفسهمعلىهموأشهدذر
ذاعنكناإنامةالقيايوملوات قوأنناشهدبلىقالوابرب كمأ لست غافلينه
13Syarafuddin, “Melejitkan potensi budaya umat” : ( Jakarta: Hijri Pustaka Utama, 2017), 112
19
“Dan (ingatlah), ketika tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak
Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa
mereka (seraya berfirman):bukanlah Aku ini Tuhanmu/mereka
menjawab: betul (engkau tuhan kami), kami menjadi saksi, (kami
lakukan demikian itu) agar dihari kiamat kamu tidak mengatakan:
sesungguhnya kami bani Adam telah lalai terhadap hal yang demikian
ini.(QS.al-A’raf ayat 172).14
Al-Maraghi dalam tafsirnya menegaskan bahwa Allah SWT telah
menjadikan dalam tiap diri pribadi umat manusia berupa fitrah
keislaman yang disebut gharizah imaniy (naluri keimanan) dan melekat
didalam hati sanubari mereka.Sehingga, potensi beriman kepada Allah
telah terlebih dahulu tertanam dalam diri manusia dan baik buruknya
pribadi manusia tersebut tergantung upaya untuk mengembangkan
potensi ketuhanan itu.
Dalam pengertian umum pendidikan adalah proses budaya oleh
generasi yang mengambil peran dalam sejarah, walaupun pendidikan
merupakan proses budaya masa kini dan membuat budaya masa depan.
Maka dari itu dalam sebuah pembelajaran moral dan akhlak sangatlah
penting bagi generasi penerus. Pendidikan harus dilaksanakan dengan
sebaik-baiknya sehingga tercapai tujuan pendidikan yang diharapkan,
terutama dalam wujud pembinaan yang integral terhadap seluruh potensi
anak menuju kedewasaan.
Dalam proses pendidikan tersebut strategi untuk menyampaikan
pembelajaran menggunakan media wayang sangat tepat, apalagi anak
14Ibid.
20
usiadini akan lebih mudah mengerti dan mudah memahami apa yang
disampaikan.
B. Pendidikan Karakter Tokoh WayangSri mulyono.
Kedatangan agama Islam ditanah Jawa telah menimbulkan perubahan
kebudayaan yang melekat pada masyarakat Jawa. Perubahan yang terjadi
bukan semata-mata karena perombakan oleh dunia Islam, akan tetapi karena
adanya toleransi dari Islam untuk mengakulturasikan budaya yang telah ada.
Dalam Sejarah telah mengatakan bahwa akulturasi yang mendorong
perkembangan Islam di Jawa adalah Wayang15.
Nilai pendidikan karakter punakawan tergambarkan oleh karakter tokoh
wayang :
1. Semar.
Semarberasal darikata Ismaya yangberasal dariasmaku atau disebut
symbol kemantaban dan keteguhan dari seorang pendidik Islam.
Dan Pendidkan Islamnya yaitu Semar itu seorang Guru besar yang
patut disegani oleh semua orang dengan tingkah lakunya maupun
akhlaknya. Semar menggambarkan figur yang sabar, tulus,
pengasih, pemeliharaan kebaikan, menjaga kebenaran, dan
menghindari perbuatan dur-angkara.Semar juga dijuluki Badranaya,
artinya badra adalah rembulan, naya wajah.Atau nayantaka, naya
adalah wajah, taka berarti pucat keduanya berarti menyimbolkan
bahwa semar memiliki watak rembulan (dalam Pustaka Hasta
15Asrul Anam dan Siti Juwariyah. “Analisis Nilai-Nilai Pendidikan Islam Dalam Karakter
Wayang Punakawan”, pilihan artikel volume 2, nomor 2 juni 2017.
21
Brata) dan seorang figur ang memiliki wajah pucat, artinya semar
tidak mengumbar hawa nafsu.
2. Nala Gareng.
Nala Gareng berasal dari kata Naala Qarin yaitu memperoleh banyak
kawan atau memperluas persahabatan yang disekelilingnya.Yang
mempunyai makna memperoleh banyak teman, dimana maksudnya
adalah sesuai dengan dakwah para wali dalam memperoleh teman
(umat) sebanyak-banyaknya untuk kembali ke jalan Allah SWT
dengan sikap arif dan harapan yang baik. Pendidikan Islamnya yaitu
jadi seorang pendidik tidak boleh menyerah untuk menggapai apa
yang dia kejar dan harus berusaha tidak boleh pantang menyerah.
3. Petruk.
Petuk berasal dari kata fat-ruk Fatruk yang dicukil dari kalimat
Tasawuf Fat-ruk kulla maa siwallahiyaitu tinggalkan, yang
dimaksud dari tinggalkan yaitu, tinggalkan perkara buruk yang
sedang dia alami dan tinggalkan semua apapun selain Allah Nilai
pendidikan Islamnya yaitu jadi seorang pendidik harus ikhlas, tanpa
pamrih, seperti bolongnya kanthong yang tanpah penghalang.
Wejangan atau petuah semacam inilah yang menjadi watak para wali
dan mubaligh pada masa itu.
4. Bagong.
Bagong berasal dari kata bagha yaitu pertimbangan makna dan rasa,
yang dimaksud dengan makna dan rasa itu pendidik harus bisa
22
membedakan anatara yang baik dan yang buruk.memberontak
melawan kelaliman dan kezaliman, yang dalam versi lain
berakar dari kata Baqa’ yang bermakna kelanggengan atau
keabadian, dimana setiap manusia tempatnya adalah di akhirat dan
dunia adalah tempat mampir ngombe (tempat menumpang minum
belaka)16.
Pendidikan dan pengajaran wayang adalah laku budaya.Melalui unsur-
unsur yang terdapat dalam pertunjukan wayang, karakter sekaligus budaya
bangsa dapat diwariskan dari generasi ke generasi. Transfer pengetahuan dan
nilai yang terkandung dalam wayang harus dilakukan sejak anak usia dini,
dimulai dengan hal-hal yang bersifat dasar dan sederhana semisal nyanyian,
dolanan, cerita, dan menggambar. Wayang sebagai medium pendidikan dan
pengajaran yang dilakukan dalam lingkungan keluarga dan lingkungan
masyarakat.
C. Nilai-Nilai pendidikan karakter Sri Mulyono.
Pendidikan karakter dimaksudkan sekaligus sebagai pembentukan
karakter.Usaha pendidikan dan pembentukan karakter yang dimaksud tidak
terlepas dari pendidikan dan penanaman nilai-nilai moral kepada peserta
didik. Pendidikan karakter itu sendiri merupakan sebuah proses panjang, yaitu
proses pembelajaran untuk menanamkan nilai-nilai luhur, budi pekerti, akhlak
mulia yang berakar pada ajaran agama, adat- istiadat dan nilai-nilai ke
Indonesiaan dalam rangka mengembangkan kepribadian peserta didik supaya
16Ibid.
23
menjadi manusia yang bermatabat, menjadi warga bangsa yang berkarakter
sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa dan agama17.
Dengan cara memberikan media visualisasi pendidikan karakter dapat
diterapkan dengan mudah. Karena mulai usia anak-anak hingga remaja tidak
lari dari sebuah media gambar, media gerak, maupun media suara. Dalam
buku Sri Mulyo yang berjudul “Wayang dan Filsafat Nusantara seri ke II”
terselipkan bahwa mencari ilmu itu penting, dan maksud dari terselipnya
pembahasan tersebut diharapkan masyarakat untuk mengaplikasikan apa yang
menjadi pokok penting dari cerita wayang, seperti mencari ilmu. Apa itu ilmu
?ialah pengetahuan yang bersifat batiniah atau rohaniah. Dalam bahasa
tasawuf, ilmu batiniah diartikan marifat18.
Terdapat kalimat penting dalam buku tersebut yaitu :
“Mingkar-Mingkur ing angkara, akarana karenan mardi siwi, sinawung
resmining kidung, sinuba sinukarta, mrih kretarta pakartining ngelmu
luhung, kang tumprap neng tanah jawa, agama ageming aji”.
Artinya: menjauhkan diri dan menyingkiri sifat-sifat mementingkan
pribadi. Sebabnya ialah karena ingin memperoleh kepuasan dari hasil
mendidik anak. Yang dirangkai dalam sebuah kidung(syair) yang
mengasyikkan: digubah dengan baik dan seindah mungkin. Tujuannya ialah
agar supaya budi pekerti yang berlandaskan ilmu yang tinggi dan mulia yang
17SriMulyono,SimbolismedanMistikismedalamWayang,(Jakarta GunungAgung,,1983), 15.
18Sri Mulyono, Filsafat dan Wayang Nusantara seri ke 11, (Jakarta: CV Haji Masagung,
1982), 14.
24
diterapkan di pulau Jawa, yakni: agama, yang menjadi pegangan raja dapat
terlaksana sebaik-baiknya19.
Pada intinya dalam kalimat diatas bisa diambil garis besar dalam
mendidik anak tidak boleh mementingkan keinginan atau kepentingan pribadi
untuk mendapatkan hasil dari mendidik anak tersebut. Dan dalam syair
tersebut, apabila orang ingin mengajar, haruslah berani menjauhkan diri dan
menyingkirkan nafsu-nafsu angkara.Nafsu angkara diartikan tetap mengikuti
perkembangan jaman tetapi tidak meninggalkan nilai-nilai religius20.
Dalam artikel ini juga menjelaskan, bahwa angkara adalah sifat manusia
yang selalu menuruti hawa nafsu dan keinginan diri sendiri yang selalu
berkobar membakar tak mengenal batas.Orang tersebut dinilai sebagai orang
yang tidak tahu ilmu rasa. Bahkan dalam hal dunia menganjurkan, untuk
pegangan hidup manusia harus bisa mengawinkan yang duniawi dengan
rohaniah, yang material dengan spiritual, sehingga tak ayal lagi, manusia yang
demikian itu tentu akan dijuluki “Satria Pinandita”, yaitu manusia berbudi
luhur dan berilmu pengetahuan tinggi.
Apa yang dipaparkan diatas ini mungkin bagi para pengikut skeptisme
(aliran yang beranggapan bahwa tidak ada yang benar) dan orang yang
menganggap remeh akan bertanya “ah masa iya”? Benarkah ada manusia
seperti itu, terutama dimasa kini” jawabannya, tentu terletak pada diri kita
masing-masing dalam memandang dunia ini seperti apa yang dipikirkan. Dari
19Ibid., 95. 20Ibid., 96.
25
sini dapat dipahami bahwa pendidikan karakter memfokus pada pendidikan
nilai-nilai luhur.
Singkatnya, pendidikan karakter haruslah bermakna, dalam arti
memang dibutuhkan dalam tingkah laku hidup keseharian di mana pun
berada. Subjek didik berkembang dalam konteks keluarga, sekolah, dan
masyarakat (tiga pusat pendidikan) inilah konteks nyata pendidikan karakter
bagi mereka.Disetiap konteks terdapat figur-figur yang dapat memberikan
teladan dan diteladani dalam manifestasi manusia berkarakter.Pemaparan teori
diatas yang dikutip dari buku penulis asli sangat bermanfaat untuk pandangan
kedepan dan pegangan hidup untuk generasi penerus bangsa.
Pemanfaatan wayang sebagai sarana pembelajaran bagi anak kini telah
menjadi alternatif yang efektif dalam menyampaikan pesan pendidikan
karakter.Segala bentuk visualisasi yang telah dipaparkan dalam kisah-kisah
wayang dapat memberikan gambaran sifat-sifat, watak serta perilaku sosial
manusia di kehidupan dimana ada yang baik dan ada yang buruk.
D. Pendidikan Karakter Tokoh Wayang Purwadi purwacarita.
Sebagaimana diketahui bahwa dalam setiap pementasan wayang selalu
diwarnai dengan adanya tokoh-tokoh wayang yang memiliki karakter dan
peranyang beragam. Salah satu tokoh wayang yang sangat terkenal
dikalangan masyarakat Indonesia dan khususnya masyarakat Jawa adalah
tokoh Semar. Semar sangat identik dengan karakter dan peran seorang guru,
26
lebih tepatnya guru dan pembimbing spiritual para satria yang berwatak
mulia, yaitu yang dikenal dengan Pandawa Lima21.
Punakawan berasal dari kata puna yang berarti ngerti, dan kawan
yang berarti teman. Punakawan secara umum terdiri dari empat tokoh
dengan berbagaikarakter yang unik didalamnya. Ada Semar, Petruk, Nala
Gareng, Bagong. Memiliki karakter yang ada, Semar digambarkan sebagai
sosok manusia yang bijaksana dan kaya akan ilmu pengetahuan baik yang
kasat mata maupun yang ghaib, serta memiliki sumbangsih besar pada para
majikannya melalui petuah-petuah yang disampaikan, meski kadang dengan
gaya bercanda22.
Ada pun 4 tokoh wayang punakawan sebagai berikut :
1. Semar.
Semar berasal dari kata Samara (bergegas). Semar merupakan
pusat dari Punakawan sendiri dan asal-usul dari keseluruhan
Punakawan itu sendiri. Semar disegani oleh kawan maupun lawan.
Semar menjadi tokoh yang dihormati, namun tetap rendah hati,
tidak sombong, jujur, dan tetap mengasihi sesama. Penuh
kelebihan tetapi tidak lupa diri karena kelebihan yang dimiliki.
Filosofi semar yaitu : dengan jari telunjuk seolah menuding,
melambangkan KARSA/keinginan yang kuat untuk menciptakan
sesuatu. Mata yang menyipit juga melambangkan ketelitian dan
keseriusandalam menciptakan.
21 Muhammad Zairul Haq, Tasawuf Semar Hingga Bagong, Simbol, Makna, dan Ajaran
MakrifatDalam Punakawan, (Yogyakarta: Kreasi Wacana 2009), 102. 22 Ardian Kresna, Punakawan, (Yogyakarta: penerbit Narasi Anggota IKAPI 2012 ), 24
27
2. Gareng.
Nala Gareng berasal dari kata nala khairan (memperoleh
kebaikan). Nala gareng adalah seorang yang tak pandai bicara.
Karakter yang disimbolkan adalah cacat kaki menggambarkan
manusia harus berhati-hati dalam menjalani kehidupan. Tangan
yang cacat menggambarkan manusia bisa berusaha tetapi Tuhan
yang menentukan hasil akhirnya. Mata yang cacat menunjukkan
manusia harus memahami realitas kehidupan.
Filosofi Nala Gareng yaitu : anak pertama semar, dengan tangan
yang cacat, kaki yang pinang, mata yang juling, melambangkan
CIPTA, bahwa menciptakan sesuatu, dan tidak sempurna. Kita
tidak boleh menyerah, bagaimanapun kita sudah berusaha.Apapun
hasilnya, pasrahkan pada-Nya.
3. Petruk.
Petruk berasal dari kata fatruk (tinggalkanlah). Petruk adalah anak
kedua Semar. Tokoh petruk digambarkan dengan bentuk panjang
yang menyimbolkan pemikiran harus panjang dalam menjalani
hidup manusia harus berpikir panjang (tidak grusa-grusu) dan
sabar. Bila tidak berpikir panjang, biasanya akan mengalami
penyesalan di akhir.
Filosofi Petruk yaitu :Anak kedua semar, dari kegagalan
menciptakan Gareng, lahirlah Petruk. Dengan tangan dan kaki
yang panjang, tubuh tinggi langsing, hidung mancung, wujud dari
28
CIPTA, yang kemudian diberi RASA, sehingga terlihat lebih
indah dengan begitu banyak kelebihan.
4. Bagong
Bagong berasal dari kata albaghoya (perkara buruk).Bagong
adalah tokoh yang diciptakan dari bayangan Semar. Bagong
bertubuh tambun gemuk seperti halnya Semar. Bagong berkarakter
suka bercanda bahkan saat menghadapi persoalan yang teramat
serius serta memiliki sifat lancang dan suka berlagak bodoh.
Karakter yang disimbolkan dari bentuk bagong adalah manusia
harus sederhana, sabar, dan tidak terlalu kagum pada kehidupan di
dunia.
Filosofi Bagong yaitu : Anak ketiga Semar, wujud dari KARYA,
diahlah yang dianggap sebagai manusia yang sesungguhnya.
Walau petruk lengkap dengan keindahan dan kesempurnaan, tapi
Bagong lah yang dianggap sebagai manusia yang utuh. Karena dia
memiliki kekurangan.Jadi jangan takut atau malu karena
kekurangan kita.Karena kekurangan itulah yang menjadikan kita
manusia seutuhnya.Yang perlukita pikirkan sekarang adalah
bagaimana meminimalkan kekurangan kita dan memaksimalkan
kelebihan kita. Karena bagaimanapun kekurangan dan kelebihan
itu tidak bisa kita buang atau kita hilangkan.23
E. Nilai-nilai Pendidikan karakter menurut Purwadi purwacarita.
23ArdianKresna,Punakawan,(Yogyakarta:PenerbitNarasiAnggotaIKAPI 2012) hlm,25
29
a. Semar (panakawan ‘kanan’)
Semar menurut versi pakeliran Ki Hadi Sugito.
Semar sama anak-anaknya kelihatan akrab sukanya bercanda, kadang-
kadang bicara bercandaan untuk membuat suasana dingin dan bahagia.
Kadang-kadang tidak hanya syair lagu yang dibuat plesetan tetapi juga
cara bicara dan cengkoknya. Tetapi meskipun sosok Semar suka
bercanda, jika sudah serius Semar juga bersikap serius saat
memberikan pembahasan yang sangat penting untuk anak-anaknya.
b. Gareng (anak pertama Semar)
Sosok yang paling menyedihkan, mempunyai badan kecil, kaki besar,
tangan tidak lurus, mata monyet, hidung besar, mulut kecil.Dan
wajahnya menyedihkan.Gareng pintar bermain bernyanyi.Tapi
suaranya pas-pasan.Kadang-kadang merasa pintar sendiri.Gareng
mempunyai keinginan bisa menyanyi seperti Petruk tetapi tidak bisa.
c. Petruk (anak kedua Semar).
Petruk mempunyai fisik yang tinggi, tapi hidungnya terlalu panjang,
mulutnya lebar jadi mempunyai kesan kaya orang gila tertawa sendiri,
lehernya panjang punya jakun besar, pundak seperti punuk, perut
besar, pusar panjang kedepan, kakinya pincang satu. Karena
mempunyai leher panjang, Petruk punya suara yang enak didengar,
pintar bernyanyi, pintar bermain musik, pintar menirukan gaya apa
saja. Lagu yang khas yaitu “Yung, Biyung, nya putumu mongen,
30
biyung, gonal-ganel, yang membuat petruk mempunyai wibawa yaitu
suaranya dan sikapnya24.
d. Bagong.
Bagong yang dianggap dengan manusia utuh. Karena mempunyai
kekurangan seperti halnya wujud manusia ada kelebihan dan
kekurangan. Jadi jangan malu dengan kekurangan kita.Karena
kekurangan itulah yang menjadikan kita manusia seutuhnya. Yang
perlu kita pikirkan, bagaimana cara meminimalkan kekurangan kita.
Pada umumnya para penulis dan pecinta wayang telah bersepakat,
bahwa pedalangan wayang kulit bukan hanya sekedar pertunjukkan hiburan,
tetapi lebih bersifat kejiwaan.Bahkan telah mufakat memberikan predikat
bahwa pedalangan wayang kulit adalah suatu bentuk seni klasik tradisional.
Tidak jarang juga ada yang memberikan predikat yang berkelebihan sebagai
suatu seni klasik tradisional adiluhung, yaitu suatu nilai budaya yang dihayati
dan dijunjung tinggi sepanjang masa oleh satu generasi ke generasi.
Predikat tersebut memberikan pengertian bahwa wayang adalah suatu
bentuk seni pentas tradisi yang berdimensi dan berfungsi ganda, yang masing-
masing dimensi didalamnya pedalangan disebut unsur pendukung dari nilai
pedalangan seutuhnya :
Adapun unsur-unsur pendukung nilai pedalangan adalah:
a. Unsur nilai hiburan
b. Unsur nilai seni
24https://tokohwayangpurwa.wordpress.com
31
c. Unsur nilai pendidikan dan penerangan
d. Unsur nilai ilmu pengetahuan
e. Unsur nilai kejiwaan/rohani, mistik dan simbolik25.
Wayang kulit atau seni pedalangan bagi cendekiawan dan para ahli
merupakan sumber ilham dan diantaranya ilmu sejarah, etnologi, filsafat,
antropologi, bahasa kessusastraan dan lain sebagainya. Intisarinya
melambangkan suatu perbuatan yang sedikit banyak bersifat tasawuf atau
melambangkan suatu perjuangan hidup dalam arti kata perjuangan menuju ke
arah kesempurnaan kesucian hidup. Sebagai contoh dari suatu motif lakon
kefilsafatan termasyur dalam dunia pewayangan ilmu kesustraan, ilmu
pengetahuan dan dalam dunia kejiwaan telah disusun oleh para pujangga
kenamaan dua buah lakon lengkap yaitu :
a. Lakon “Dewa Ruci”. Yaitu merupakan suatu buah cipta kesustraan
yang penuh dengan filsafat dan kebatinan, dimana sang Bima
menemukan air kehidupan yakni jalan yang menuju ke pengetahuan
tentang asal dan tujuan hidup “sangkaran paran”.
b. Lakon Arjuna Wiwaha. Lakon ini juga merupakan karya
kesusastraan dimana sang Arjuna bertapa guna mendapatkan
pertolongan dari kekuasaan yang lebih luhur. Arjuna bermaksud
untuk mendapatkan kekuatan yang tidak terkalahkan untuk dapat
menguasai dunia semesta. Lakon Arjuna wiwaha ini dibuat oleh
Empu Kanwa pada jaman pemerintahan Raja Airlangga.
25Purwadi, Tasawuf Jawa, 7.
32
F. Dinamika Perkembangan Wayang.
Perkembangan wayang dari masa kemasa yang pasti terjadi
beberapaperubahan, walaupun tidak pada substansinya. Di Asia tenggara ini
Seni pertunjukan wayang kulit adalah bukan hal yang baru lagi. Sudah
semenjak lama tiap etnis dan bangsa di kawasan ini mempraktikkan jenis
kesenian kuno ini. Di wilayah Nusantara yang terdiri dari banyak pulau
danberaneka ragam etnis, jenis gaya wayang kulit begitu melimpah
ditemui,misalnya di Pulau Jawa, wayang Narta di Bali, wayang Sasak di
Lombok,wayang Banjarmasin, Palembang dan sebagainya26.
Karakter adalah tabiat, kepribadian, identitas diri, jatidiri. Karakter
adalah jatidiri, kepribadian, dan watak yang melekat pada diri seseorang yang
berkaitan dengan dimensi psikis dan fisik. Pendidikan karakter dimaksudkan
sekaligus sebagai pembentukan karakter.Usaha pendidikan dan pembentukan
karakter yang dimaksud tidak terlepas dari pendidikan dan penanaman nilai-
nilai moral kepadapeserta didik.
Pendidikan karakter itu sendiri merupakan sebuah proses panjang, yaitu
proses pembelajaran untuk menanamkan nilai-nilai luhur, budi pekerti, akhlak
mulia yang berakar pada ajaran agama, adat-istiadat dan nilai-nilai
keindonesiaan dalam rangka mengembangkan kepribadian Marsaid, Islam dan
Kebudayaan peserta didik supaya menjadi manusia yang bermatabat, menjadi
warga bangsa yang berkarakter sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa dan
26Moh. Isa Pramana Koesoemadinata, Wayang Kulit Cirebon; warisan diplomasi senibudaya
nusantara,Jurnal ITB J. Vis Art & Des, Vol. 4, No. 2, 2013, 142-154. Di akses pada 4 mei 2018.
33
agama.Sejarah membuktikan bahwa pengembangan karakter dan atau
kebudayaan suatu bangsa tidak pernah dapat melepaskan diri dari nilai-
nilai tradisi yang telah mendasari dan membesarkannya.
Sejarah bangsa-bangsa di dunia menunjukkan bahwa bangsa yang
maju dan besar memiliki akar tradisi mitologi yang amat panjang. Di
Indonesia, khususnya Jawa, mitologi wayang merupakan tradisi dan budaya
yang telah mendasari dan berperan besar dalam membentuk karakter dan
eksistensi bangsa Indonesia. Hal itu disebabkan mitologi merupakan
kristalisasi konsep-konsep, nilai-nilai, dan norma-norma yang menjiwai sikap
hidup masyarakat selama ini dan menyebabkan komunikasi antar anggota
masyarakat menjadi efisien.
Cerita wayang merupakan hasil karya seni yang adiluhung, monumental,
dan amat berharga, bukan sajakarena kehebatan cerita, keindahan
penyampaian, ketegasanpola karakter, melainkan juga nilai filosofi dan
“ajaran-ajaran” -nya yang tidak ternilai dan masih saja relevan dengan
keadaan kini27.
Berbagai cerita wayang dan karakter para tokohnyabanyak yang
dijadikan panutan, prinsip hidup, sumber pencarian nilai-nilai, atau paling
tidak mempengaruhi sikap hidup masyarakat penggemar cerita itu. Wayang
bukan saja merupakan suatu bentuk kesenian yang digemari, namun telah
menjadi bagian hidup yang dibutuhkan masyarakat.Secara substansial nilai
pewayangan berkaitan dengan masalah
27Sri Mulyono,Wayang, Asal-usul, Filsafat, dan Masa Depannya (Jakarta: CV Haji
Masagung, 1989), 112
34
kehidupan manusia yang menyangkut kehidupan pribadi, sosial, dan
religius. Secara pragmatis dilihat dari aspek kebutuhan hidup manusia
nilai-nilai wayang berfungsi mendukung tujuan untuk melangsungkan hidup,
mempertahankan hidup, dan mengembangkan hidup,yangketiganya bermuara
untuk tujuan mencapai kesempurnaan hidup.
Tindakan manusia untuk tujuan melangsungkan, mempertahankan, dan
mengembangkan hidup haruslah dicapai dengan cara yang benar dan
dengan tujuan yang benar pula. Kedua kelompok kategori substansial dan
pragmatis tersebut digabungkan dalam satu kesatuan. Kategori yang
pertama misalnya, menjadi nilai-nilai wayang yang menyangkut kehidupan
pribadi untuk tujuan melangsungkan, mempertahankan, dan mengembangkan
hidup.Secara umum cerita wayang menampilkan dua kepentingan dari
duakelompok yang bertentangan, yaitu kelompok baik dan jahat. Kelompok
baik ditokohi oleh para tokoh yang berkarakter baik, sedang kelompok jahat
ditokohi oleh para tokoh berkarakter jahat28.Ada banyak tokoh pada kedua
kelompok itu masing-masing dengan karakter khasnya, tetapi tokoh-tokoh
kelompok baik (putih), tetaplah berupa karakter baik, tokoh-tokoh kelompok
jahat (hitam) tetap saja berupa karakter jahat. Tokoh-tokoh baik inilah yang
pantas dijadikan teladan dalam bertingkah laku, dijadikan sumber pencarian
nilai-nilai luhur, dan dijadikan inspirasi Pendidikan karakter. Di pihak lain,
sebagai sebuah cerita, tokoh-tokoh hitam dengan karakter jahatnya juga
dibutuhkan karena tanpa mereka cerita tidak akan berkembang dan tidak
28Sam Abede Pareno, Komunikasi Ala Punakwan & Abu Nawascet.Ke 1 (Yogyakarta: Baraka
Grafika, 1998), 13.
35
menarik. Selain itu, eksistensi karakter baik justru akan semakin terlihat jika
berada dalam pertentangannya dengan yang jahat. Karakter tokoh-tokoh
baik inilah yang banyak mengilhamidan dijadikan tuntunan dalam
pengembangan karakter.Demikian juga dalam hal alur cerita29.
Alur cerita wayang amat banyak, apalagi dengan semakin banyaknya
cerita carangan yang dapat dikembangkan secara terus menerus selama tidak
bertentangan dengan cerita pokok (pakem). Pertentangan antara kedua
kelompok baik dan jahat tersebut selalu dimenangkan oleh kelompok baik,
kelompok pembela kebenaran. Hal inilah yang dewasa ini dikenal menjadi
tema tradisional, yaitu kebaikan pasti mengalahkan kejahatan, walau
ditutup-tutupi kejahatan akan terungkap, siapa yang berbuat jahat akhirnya
memetic buah perilakunya. Nilai-nilai kebaikan sebenarnya secara substansial
tidak pernah berubah sepanjang masa sebagaimana yang tercermin dalam
cerita dan karakter tokoh-tokoh wayang30. Kalaupun ada perubahan, hal itu
sebenaranya hanya menyangkut manifestasinya saja yang sejalan dengan
kemajuan zaman.Jika dalam cerita wayang nilai kehidupan religius dan sosial
terlihatlebih intens daripada nilai kehidupan pribadi, dalam berbagai teks
sastra Indonesia yang menransformasikannya justru terlihat terbalik. Unsur
kehidupan pribadi dan social justru lebih dominan daripada unsur kehidupan
religius. Dominannya tema cinta dan percintaan misalnya, menunjukkan
dominannya unsur kehidupan pribadi, sedang tema-tema kritik sosial dan
kepahlwanan menunjukkan dominannya unsur kehidupan sosial. Lebih
29Hasrinuksmo B, Ensiklopedi Wayang Indonesia, (Jakarta: Sena Wangi, 1999), 64. 30Ibid., 66
36
dominannya unsur kehidupan pribadi dan sosial daripada unsur religius
tampaknya disebabkan pengarang tidak berangkat dari ajaran-ajaran dan atau
filosofi tertentu dalam cerita wayang dalam menulis sastra. Masalah
kehidupan religius yang berdasarkan agama tertentu dewasa ini juga berbeda
dengan kehidupan religius dalam dunia wayang sehingga aspek religius
wayang dijadikan referensi kultural. Selain itu, terlihat bahwa pengarangingin
lebih menekankan aspek manusianya, manusia tokoh wayang yang memiliki
kehidupan pribadi dan sosial yang dalam hal tertentu bisa jadi memunyai
kesamaan dengan kehidupan pribadi dan sosial manusia dewasa ini.
Cerita wayang menyajikan model kehidupan dengan tokoh-tokoh
berkarakter yang pantas diteladani. Jika melihat atau membaca cerita wayang
yang menampilkan oposisi tokoh baik dan jahat, orang akan memilih
tokoh yang baik31.
Wayang merupakan sebuah intuisi yang kelangsungan kehidupannya
tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Hubungan antara wayang dan
manusia adalah simbiosis mutualistik, saling memperkaya resiprokal seni.
Dengan membaca atau menonton wayang, masyarakat akan mendapat hiburan
untuk melepaskan kepenatan akibat kejenuhan menghadapi kehidupan
keseharian. Selain itu, masyarakat juga dapat memetik nilai-nilai tertentu yang
beranfaat dalam menjaga dan meningkatkan kualitas hidup keseharian mereka
yang bersifat spiritual.Melalui pegelaran wayang, penonton dapat memetik
beragam nilai selain nilai hiburan, misalnya nilai yang bersifat filosofis-
31Ferdi Arifin, Wayang Kulit sebagai media pendidikan Budi Pekerti,Jurnal
SejarahdanBudaya, (Jantra) , Vol. 8, No. 1, april 2018, 75.
37
transendental.Nilai tersebut tidak hanya terkandung dalam cerita atau lakon
yang digelar, tetapi juga melalui elemen-elemen lain seperti property,
karawitan, syair dsb. Wayang dapat memfasilitasi masyarakat denga
menawarkan dan menginformasikan beragam nilai alternative baik-buruk, dan
pantas tidaknya. Wayang akan mendorong masyarakat menuju tatanan yang
lebih baik melalui pesan-pesan yang disampaikan. Penonton akan
memperoleh inspirasi terkait dengan semangat hidup, optimisme, pencerahan
dan kebahagiaan.
Salah satu tugas utama pendidikan yaitu membuat peserta didik menjadi
dewasa, mandiri, berwawasan dan berbudaya luhur sesuai dengan nilai-nilai
moral yang positif da universal. Namun, sistem pendidikan saat ini belum
mampu berperan sebagai instrument pencerdasan kehidupan bangsa.
Pendidikan masih dipandang sebagai sektor yang kurang penting. Belum ada
keinginan untuk menjadikan pendidikan sebagai upaya investasi bagi
penyediaan sumber daya manusia di masa yang akan dating. Oleh karena itu,
mengembangkan nilai-nilai budaya pada sistem pendidikan tidak bisa
mengandalkan pada sistem pendidikan nasional atas dasar kekuatan
pemerintah semata.Sebaliknya, upaya tersebut perlu ditempuh melalui
kekuatan keluarga dan peranan masyarakat.
G. Penerapan Wayang Sebagai Media Pembelajaran.
Wayang kulit dalam bentuk yang asli dengan peralatan serba sederhana
berasal dari Indonesia dan diciptakan oleh bangsa Indonesia di Jawa. Muncul
sebelum kebudayaan Hindu dating, yakni pada tahun 1500 SM. Selama
38
pertumbuhannya, wayang kulit mampu melalui berbagai macam zaman
dengan tidak using karea umur, tek lekang oleh panas dan tak lapuk karena
dinginnya zaman32. Bahkan dapat melintasi kodratnya dengan selalu
menyesuaikan zamannya secara fungsionil bebas dan kreatif serta dihayati dan
dijunjung tinggi oleh generasi-generasi berikutnya. Dalam perkembangannya,
fungsi wayang mengalami perubahan, dari fungsinya sebagai alat suatu
upacara yang berhubungan dengan kepercayaan telah berubah menjadi alat
pendidikan yang bersifat didaktis dan sebagai alat penerangan, lalu menjadi
bentuk kesenian daerah dan objek ilmiah (Mulyono, 1982:2). Perkembangan
fungsi ini, sejalan dengan perkembangan zaman yang telah di lewati wayang
+3000th.Mulai dari zaman prasejarah, zaman kedatangan Hindu, zaman
kedatangan Islam, zaman penjajahan dan zaman merdeka sampai saat ini.
Dalam sejarah kebudayaan Indonesia pada zaman prasejarah, alam
pikiran nenek moyang kita masih sangat sederhana.Mereka mempunyai
anggapan bahwa semua benda yang ada di sekelilingnya itu bernyawa dan
semua yang bergerak dianggap hidup dan memiliki kekuatan gaib yang
berwatak baik maupun jahat.Pengetahuan mereka mengenai alam sekitarnya
kurang sempurna, sehingga mereka bebas untuk menggambarkan fantasi
mereka.Pemikiran tersebut berpengaruh terhadap pertunjukan wayang yang
berhubungan dengan upacara kepercayaan yang memerlukan pembakaran
kemenyan sebelumnya kemudian pertunjukkan diadakan dimalam hari.Hal ini
dikarenakan bahwa pada malam para roh berkelana.Menurut kepercayaan roh
32Ibid.., 90.
39
merupakan pelindung yang kuat dan dapat memberikn pertolongan dalam
setiap kehidupan mereka.
Itulah asal mula pertunjukan wayang yang kemudian terus berkembang
setahap demi setahap dalam waktu yang cukup lama. Namun tetap
mempertahankan fungsi intinya sebagai suatu kegiatan gaib yag berhubungan
dengan kepercayaan dan pendidikan sehingga sekarang mudah dipahami
bahwa yang semula berupa baying-bayang, gambar atau ujud roh telah
berkembang menjadi wayang kulit, layar menjadi kelir, shaman atau pendeta
menjadi dalng, sajian menjadi sajen, nyanyian menjadi seni suara, bunyi-
bunyian menjadi gamelan, blencong menjadi lampu penerangan dan
sebagainya.
Dalam ranah pendidikan saat ini, wayang dapat dijadikan sebagai media
pembelajaran. Hal ini dikarenakan keberadaan wayang yang semakin
tersisihkan dengan kebudayaan lain serta kalah saingnya wayang jika
dibandingkan dengan alat-alat modern lain yang dianggap sebagai alat sekolah
seperti LCD dan Proyektor.
Namun jika dilihat dan diamati lebih lanjut. Media seperti tersebut
hanya cocok dinegara maju seperti Amerika Serikat. Di Indonesia sepertinya
belum bisa untuk menghadapi kemajuan teknologi. Dimana dengan adaya
proyektor malah membuat pelajar bosan, karena harus melihat tulisan yang
berderet deret. Beda halnya dengan wayang. Wayang disini bisa dikatakan,
dengan seorang guru yang memainkan suatu barang untuk menjelaskan suatu
materi atau pelajaran ataupun juga memainkan sebuah wayang adapun juga
40
menceritakan tokoh pewayangan yang ada dalam wayang. Hal ini cenderung
efektif dari pada hanya melihat di LCD Proyektor.
Penggunaan wayang sebagai media pembelajaran dilakukan melalui
kegiatan bercerita. Guru cukup menceritakan kisah pewayangan yang
mengandung nilai kebaikan serta mengajarkan karakter tokoh wayang tersebut
untuk diteladani dan dijadikan sebagai sumber motivasi oleh siswa33.
Siswa yang memiliki motivasi akan memiliki kualitas keterlibatan
belajar yang tinggi, perasaan dan keterlibatan afektif siswa sangat tinggi dan
selalu berupaya memelihara atau menjaga agar selalu memiliki motivasi
belajar yang tinggi pula. Selain factor diatas, berikut kelebihan yang dimiliki
oleh wayang sebagai media media pembelajaran yang efektif.
1. Wayang bersifat acceptable.
Artinya, wayang sendirimerupakan bagian dari khasanah
kebudayaan bangsa sehingga bisa diterima oleh semua kalangan,
baik oleh guru maupun siswa.Sehingga budaya Indonesia bisa
dilestarikan dan dapat dijadikan sebagai media pembelajaran.
2. Wayang bersifat timeless.
Berarti tak lekang oleh waktu. Cerita pewayangan adalah cerita yang
memiliki kesamaan dari waktu ke waktu. Adanya sifat ini membuat
wayang sebagai media pembelajaran karakter dapat digunakan
secara turun temurun pada generasi pelajar selanjutnya.Oleh
33 Guritno, P, Wayang, Kebudayaan Indonesia dan Pancasila (Jakarta: Universitas
IndonesiaPress, 1988), 48.
41
karenanya wayang dapat dimainkan kapan saja, sehingga wayang
sangat cocok untuk media pembelajaran.
3. Wayang ini tidak membutuhkan banyak biaya seperti media lain
serta praktis dan efisien.
Bercerita tentang wayang tidak membutuhkan fasilitas penunjang
dalam bentuk apapun.Yang dibutuhkan hanyalah kemampuan guru
dalam mengekpresikan cerita tersebut dalam kalimat yang apik agar
mudah dimengerti oleh siswa. Solusi dari kurangnya media
pembelajaran ini sebenarnya ada dihadapan kita, yaitu
wayang.Wayang adalah warisan budaya nenek moyang yang
mengandung pesan-pesan moral yang sangat bagus bagi kehidupan.
Dalam cerita pewayangan terselip nilai-nilai kebaikan serta nilai
kepahlawanan yang sangat baik untuk dijadikan teladan dalam
membelajarkan karakter pada siswa.
Wayang adalah warisan budaya nasional yang patut dilestarikan oleh
bangsa Indonesia. Penggunaannya sebagai media pendidikan karakter menjadi
komponen pendukung pembentukan karakter anak bangsa sekaligus
mempertahankan eksistensinya sebagai budaya bangsa. Hal ini tentu akan
meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia dan menjaga kebudayaan
wayang agar tidak hilang. Hal ini tidak boleh terputus (kontinyu) dan
dikembangkan dengan mengadopsi kemajuan teknologi dan budaya diluar
wayang (konvergen) tetapi sifat budaya wayang tetap harus ada (konsentris)34.
34 Hasrinuksmo B, Ensiklopedi Wayang Indonesia, (Jakarta: Sena Wangi, 1999), 64.
42
1. Kontinyu.
Kebudayaan bersifat kontinyu, bersambung tak terputus-putus,
berkembang maju, bukan loncatan terputus-putus dari titik asal”
Loncatan putus akan menyebabkan suatu proses akan kehilangan
pangkal asal untuk maju selanjutnya dan menyebabkan kesesatan
karena kehilangan pegangan. Kemajuan suatu bangsa adalah lanjutan
garis hidup asalnya yang ditarik terus dengan menentukan nilai-nilai
baru dari bangsa sendiri maupun dari luar.
2. Konvergen.
Konvergensi ini juga disebut sebagai dasar kemasyarakatan, yaitu
sambung hubungan kita dengan masyarakat yang lebih luas.
Semangat memencil dan penyakit “kemurni-murnian” atau isolasi dan
purisme akan membawa ke kematian. Dalam konteks pendidikan
wayang, pendidikan wayang tidak dapat berdiri sendiri, melainkan
harus berhubungan dengan pendidikan lainnya.
3. Konsentris.
Alam hidup manusia merupakan “alam hidup berbulatan” yang
digambarkan sebagai lingkaran-lingkaran besar kecil yang semuanya
bersatu titik pusat dimana orang duduk atau berdiri di atas titik pusat
itu. Lingkaran terkecil adalah alam diri pribadi, lingkaran diluarnya
adalah alam keluarga, lingkaran diluarnya yang lebih luas adalah
alam bangsa dan kebangsaan, dan yang terluas adalah alam manusia
dan kemanusiaan. Sama halnya dengan pendidikan wayang,
43
keseluruhan aspek ataupun ranah, baik formal, informal, ataupun
formal harus bersinergi satu sama lain untuk mempertinggi derajad
kemanusiaan anak didik. Hal ini di karenakan, pendidikan memiliki
tugas pokok yaitu mengajar keterampilan bertahan hidup dengan
pendidikan pragmatis, mempersiapkan warganegara sesuai dengan
kepribadian kelompok serta meningkakat martabat manusia35.
Pendidikan sebagai usaha sadar yang terus menerus untuk mewujudkan
manusia yang unggul dalam ilmu pengetahuan dan anggun dalam sikap
moralnya dapat dijadikan sebagai instrument penegak moralitas bangsa. Hal
ini karena pendidikan dijadikan salah satu kegiatan yang dapat melatih anak-
anak dalam memahami nilai-nilai sosial yang penting agar tatanan sosial dapat
ditegakkan. Dalam peradaban dan budaya manapun, masyarakat pasti
mengenal apa yang disebut moralitas. Agar nilai-nilai moralitas tersebut
sampai ke peserta didik, maka dibutuhkan suatu media pembelajaran yang
mengenalkan nilai-nilai luhur dan kebudayaan seperti wayang. Selain itu, di
Indonesia sepertinya belum bisa untuk menghadapi kemajuan teknologi.
Dimana dengan adaya proyektor malah membuat pelajar bosan, karena harus
melihat tulisan yang berderet deret.
Sebenarnya media pembelajaran melalui media pewayangan tidak harus
terikat dalam satu sifat materi pelajaran itu sendiri. Artinya, seorang guru
tidak mengajar hanya disesuaikan dengan materi pelajaran satu saja, akan
tetapi juga implikatif digunakan untuk materi pelajaran yang lain. Hal tersebut
35Ibid., 70.
44
bisa menjadi sebuah paradoks baru yang membidangi kontak kultur sosial
jawa.Dalam dunia pendidikan, guru bisa belajar pada cara dalang dalam
memainkan wayang kulit menjadi tokoh yang berkarakter dan mampu
membawa penonton hanyut dalam cerita yang dimainkan dalang. Guru bisa
memanfaatkan wayang kulit sebagai media pembelajaran untuk
menyampaikan materi.
Keahlian guru memainkan wayang kulit menjadi prasyarat yang harus
dimiliki, sehingga wayang bergerak dengan luwes.Selain itu, guru juga perlu
mengerti karakter tokoh wayang yang dimainkan serta keahlian yang
dimilikinya. Memanfaatkan wayang sebagai media pembelajaran kreatif
merupakan bagian dari cara menjaga dan melestarikan serta mengembangkan
seni dan budaya kebanggaan bangsa di tengah-tengah pesatnya perkembangan
teknologi informasi dan komunikasi36.
Ada cara lain bagi guru dalam memanfaatkan wayang kulit sebagai
media pembelajaran, misalnya dengan download lakon wayang yang sudah
banyak beredar di youtube. Lakon yang dipilih tentu yang memiliki hubungan
dengan tema, materi yang akan dibahas di kelas. Melalui bantuan teknologi,
wayang menjadi mudah untuk digunakan sebagai media pembelajaran.
Sekarang, pendidikan karakter mulai digalakkan di sekolah-
sekolah.Namun timbul sebuah masalah yaitu kurangnya media pembelajaran
karakter.Media adalah alat yang digunakan oleh guru untuk membelajarkan
karakter pada siswa.Media ini sangat dibutuhkan karena membantu siswa
36 Sena Wangi, Ensiklopedi Wayang Indonesia Jilid 5 (TUWYDAN Lakon), (Jakarta:
Sekertariat Nasional pewayangan Indonesia, 1999,), 1407.
45
memahami serta melaksanakan karakter yang telah disampaikan oleh
guru.Penggunaan wayang sebagai media pembelajaran, guru cukup
menceritakan kisah pewayangan yang mengandung nilai kebaikan serta
mengajarkan karakter tokoh wayang tersebut untuk diteladani oleh
siswa.Misalnya kisah tentang Yudistira, kakak pertama Pandawa yang
memiliki sifat yang bijaksana, bertanggung jawab, dan berjiwa
pemimpin.Dengan perantara cerita wayang ini, siswa bisa belajar berbagai
karakter wayang yang pantas hingga yang kurang pantas diteladani sekaligus
memupuk pengetahuan tentang khasanah budaya Indonesia.
Pendidikan dan pengajaran menurut Ki Hadjar Dewantara adalah laku
yang semata-mata bersifat kultural. Yang dimaksud kultural disini adalah
layaknya ilmu bercocok tanam atau kultur tanaman yang dimulai dari cara
menanam, cara memelihara, cara memperbaiki pertumbuhannya yang dalam
tanam-tanaman itu akan dapat menambah hasilnya tanaman itu. Disamping
itu, dalam kultur tanaman adalah usaha memperbaiki jenisnya.
Dalam konteks yang sama, pendidikan dan pengajaran dengan demikian
bertujuan mempertinggi derajat kemanusiaan dari anak-anak yang dididik.
Jadi, jenis kemanusiaan yang dipertinggi oleh pendidikan dan
pengajaran.Oleh karena itu, pendidikan dan pengajaran disebut sebagai
pekerjaan kultural.Budaya wayang harus sudah harus masuk dan masak sejak
remaja, khususnya remaja putri.Hal ini ditujukan supaya ketika menjadi sosok
ibu, seorang perempuan sudah siap mentransferkan ilmu wayang kepada
anaknya. Menurut Bung Karno, sosok ibu adalah sumber awal budaya dan
46
moral anak. Lebih dari itu, sosok ibu adalah sumber peradaban.Dengan alasan
itu pula semasa revolusi Indonesia Bung Karno mendidik ibu-ibu supaya
melek politik. Demikian halnya dengan Ki Hadjar Dewantara yang mencipta
lagu Wasito Rini, yang berpesan bahwa sejak jaman dulu sampai sekarang
sebenarnya wanita atau perempuan memiliki kewajiban yang sama, yaitu
membentuk budaya keluarga yang akan membentuk budaya bangsa.
Pendidikan dan pengajaran harus beralaskan rasa kebangsaan37.
Jaman teknologi informasi sekarang ini, pengaruh media sosial sangat
menentukan sesuatu pengetahuan. Oleh karena itu, negara harus mempunyai
kebijakan pendidikan dan pengajaran khususnya melalui media massa yang
ada di negara ini.Dalam pendidikan informal yang dilakukan oleh para ibu
dan bapak (dalam keluarga) merupakan kunci kesuksesan melanjutkan budaya
wayang. Di pengajian, di kegiatan pemuda pemudi calon bapak ibu, arisan,
kursus dll.akan menurunkan generasi yang tahu wayang.
Wayang sebagai medium pendidikan dan pengajaran yang dilakukan
dalam lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat (mengacu pada UU
Sisdiknas) harus didukung oleh seluruh ranah pendidikan, baik formal, non
formal, maupun informal. Diantara ketiga ranah pendidikan tersebut harus
dalam kerangka saling melingkupi dan saling mendukung, tidak boleh justru
bertentangan satu sama lainnya. Hal seperti ini harus diimbangi dengan
pembuatan kebijakan yang tepat oleh negara.
37S Haryanto, Bayang-bayang Adhiluhung Filsafat Simbolis dan Mistik dalam wayang,
(Semarang: Dahara Pres, 1995,), 22.
47
Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan, juga memperlihatkan
peserta didik merasa dimudahkan dalam pencapaian tujuan pembelajaran.
Pendidik dalam konteks ini juga merasa terbantu dalam menyampaikan
materi. Oleh karena itu, di sini bisa untuk disimpulkan bahwa media ini
efektif dalam pembelajaran. Wayang kulit purwa yang diwujudkan dalam
masa Islam di Indonesia ini berkembang di daerah Jawa Tengah dan Jawa
Timur termasuk Madura, dan Yogyakarta, serta daerah lain yang mendapat
pengaruh agama Islam.Jenis wayang kulit purwa ini tetap lestari hidup hingga
sekarang dan menjadi sumber ide dalam penciptaan bentuk wayang kulit baru
yang sesuai dengan jiwa sekarang dan perkembangan jaman38.
Salah satu kesenian rakyat yang dijadikan media dakwah adalah
wayang. Sunan Kalijaga, misalnya, mengembangkan wayang purwa, yakni
wayang kulit bercorak Islam. Selain itu, Sunan Kalijaga juga menciptakan
corak batik bermotif burung (kukula) yang mengandung ajaran etik agar
seseorang selalu menjaga ucapannya. Wayang secara harfiah berarti
bayangan.Ia merupakan istilah untuk menunjukkan teater tradisional di
Indonesia. Ada yang berpendapat, wayang berasal dari India dan rekaman
pertama pertunjukan wayang telah ada sejak 930 M. Wayang dinilai sebagai
media dakwah Islam yang sukses di Indonesia. Wayang dianggap berhasil
sebagai media dakwah dan syiar Islam karena menggunakan pendekatan
psikologi, sejarah, pedagogi, hingga politik. Dulu, wayang dipertunjukkan di
masjid dan masyarakat bebas untuk menyaksikan.Namun, dengan syarat,
38 Sam Abede Pareno, Komunikasi Ala Punakwan & Abu Nawas, cet. Ke 1 (Yogyakarta:
Baraka Grafika, 2005)13
48
mereka harus berwudhu dan mengucap syahadat dulu sebelum masuk
masjid39.
Memang, wayang kulit yaitu produk budaya yang telah ada sebelum
Islam berkembang di Pulau Jawa.Namun, sejak Islam datang dan disebarkan,
wayang telah mengalami perubahan. Budaya keislaman dalam wayang kulit
purwa tak hanya dijumpai pada wujudnya, tetapi juga pada istilah-istilah
dalam bahasa padhalangan, bahasa wayang, nama tokoh wayang, dan lakon
(cerita) yang dipergelarkan. Nama-nama tokoh pewayangan khas Jawa
(Punakawan), seperti Semar, Petruk, Bagong, dan Gareng pun berasal dari
bahasa Arab. Setiap tokoh memiliki karakter tertentu, yang memiliki peran
sebagai media penyampai syiar dan dakwah Islam pada zaman itu. Tema
utama edisi ini secara khusus mengupas tentang peran wayang sebagai media
dakwah Islam40.
39Ibid., 25. 40Ibid.., 36.
49
BAB III
PEMBAHASAN
Biografi dan Pendapat Sri mulyono dan Purwadi purwacarita Wayang Sebagai
Media Pendidikan Karakter
A. Biografi Sri Mulyono.
Ir. Sri Mulyono Djojosupadmo dilahirkan 14 Juni 1930 di Wangen,
Klaten, Surakarta. Tahun 1959 lulus dari Fakultas Teknik jurusan Sipil
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Pada tahun itu juga diangkat menjadi
Perwira TNI Angkatan Udara sampai sekarang berpoangkat Marsekal Pertama
TNI. Tahun 1960 lulus Pendidikan Dasar Kemiliteran, kemudian Sekolah
Ilmu Siast (1963), Sekolah Kesatuan Komando Angkatan Udara (1966),
Sekolah Staf dan Komando Angkatan Laut (SESKOAL 1972).
Untuk pertama kalinya mendalang (selama 4 jam) tahun 1954 pada
Dies Natalis Universitas Gadjah Mada. Untuk pertama kalinya mendalang
semalam suntuk pada tahun 1956 di Istana Negara Jakarta, di Studio RRI
Jakarta, Semarang dan Surakarta. Tahun 1959 mendalang di Istana Yag
Dipertuan Agung Singapura, Tahun 1964 pernah juga mendalang di Istana
Bogor dengan wayang Kyai Kadung. Tahun 1968 dan tahun 1969 mendalang
selama 1 jam di Istana Negara Jakarta untuk menyambut Ny. Gorton istri
Perdana Menteri Australia41.
41 wayangku.id/penulis-buku-wayang-ir-sri-mulyono-djojosupadmo/ diakses 16 agustus 2018
50
B. Pendapat Sri Mulyono tentang wayang sebagai media pendidikan
karakter.
Dalam pembahasan ini, memaparkan tentang pendapat Sri Mulyo
tentang wayang sebagai media pendidikan karakter yang sering kita temui
pada suatu pagelaran seni wayang.Dan disitulah ada pendapat yang
dipaparkan seorang penulis buku cerita wayang. Sri mulyo memaparkan
pendapatnya bahwa “wayang merupakan salah satu karya seni dan hiburan
populer di masyarakan Indonesia sejak zaman dahulu. wayang bukan sekedar
karya seni yang dipengaruhi oleh agama Islam, yang diselipkan ke dalamnya
nilai-nilai keislaman, akan tetapi wayang merupakan suatu karya seni,
hiburan, dan media dakwah”42. Penget begelen menerangkan bahwa seni
wayang kulit itu pada zaman kartasura masih dipergunakan sebagai media
da’wah Islamiah.Malahan Mu’tamar Muhammadiyah pada permulaan zaman
Republik di Yogyakarta pernah juga menanggap wayang kulit.
Wayang adalah sebuah kata bahasa Indonesia (Jawa) asli yang berarti
“bayang”, kata-kata didalam bahasa Jawa yang mempunyai akar “yang”
dengan berbagai variasi vocalnya antara lain adalah selalu bergerak, tidak
tetap, samar-samar dan sayup-sayup43. Pertunjukkan wayang biasanya
dilakukan pada waktu malam hari, karena orang beranggapan, bahwa waktu
tengah malam itulah roh-roh berkelana dan mengembara. Sedang tempat yang
mereka pilih untuk mengadakan pertunjukkan bayang-bayang adalah tempat
42Sri Mulyono, Apa dan siapa semar(Jakarta: Gunung Agung, 1978), 7. 43Sri Mulyono, “Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang”, (Jakarta:CV Haji Masagung,
1989), 51.
51
khusus, angker wingit atau sakral, dimana telah disediakan tempat pemujaan
seperti: Dolmen, menhir, tahta-tahta dari batu, yaitu tempat berkumpul dan
tempat duduk roh-roh.
Dari uraian dan pernyataan tersebut diatas sampailah pada suatu
kesimpulan bahwa:
a. Pertunjukkan wayang dalam bentuknya yang sangat sederhana sudah
ada di Indonesia jauh sebelum kedatangan orang-orang hindu.
b. Sudah dapat dipastikan, bahwa wayang itu berasal dan diciptakan
oleh bangsa Indonesia asli di Jawa dan digunakan dalam upacara
religius atau suatu upacara yang ada hubungannya dengan
kepercayaan.
c. Pertunjukkan wayang itu dilakukan pada waktu malam dengan
tujuan mengadakan hubungan dengan roh para nenek moyang
karena pada waktu malam adalah saat yang paling tepat untuk
berkhusyuk bersembahyang kepada Tuhan Yang Maha Esa44.
Wayang salah satu puncak seni budaya bangsa Indonesia yang paling
menonjol di antara banyak karya budaya lainnya. Budaya wayang
meliputi seni peran: seni suara, seni musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis,
seni pahat, dan juga seni perlambang. Budaya wayang, yang terus
berkembang dari zaman ke zaman juga merupakan media penerangan,
dakwah, pendidikan, hiburan, pemahaman filsafat, serta hiburan. Wayang
merupakan seni pertunjukan asli dari Indonesia yang selalu menceritakan
44Ibid., 55.
52
nilai-nilai, norma, tradisi dan budaya yang tumbuh dan berkembang dalam
kehidupan masyarakat lokal. Setiap pertunjukan seni wayang, cerita yang
terkandung di dalamnya merupakan simbol dari kehidupan yang berperan
penting dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara45.
Pertunjukkan itu sendiri pada hakekatnya merupakan suatu lambang
yang bersifat religius-mistis, yaitu lambang kehidupan manusia dari lahir
sampai mati sebagaimana tercermin dalam struktur wayang.Bahkan, hampir
semua aspek pewayangan, seperti bentuk-bentuk fisik wayang dan berbagai
peralatan yang dipergunakan adalah berfungsi pelambangan (mulyono, 1989;
Amir, 1994)46.
Dari uraian diatas tersebut Prof. Ki.M.A.Machfoeld (kalau saya tidak
salah tangkap), mengajak kaumnya untuk tidak menganggap wayang kulit
sesuatu yang haram.Pendapat beliau mengenai peranan panakawan dalam
wayang yang memperagakan fungsi dan tugas wali songo dapat kita garis
bawahi dan memang demikianlah adanya.
C. Biografi Purwadi.
Dr, Purwadi SS. M,Hum dilahirkan di Yogyakarta 1966. Bertempat
tinggal di Jl kakap Raya 36 Minomartani Yogyakarta. Berstatus sebagai dosen
Universitas Negeri Yogyakarta mempunyai keahlian dibidang Sastra dan
Budaya Jawa.Pada tahun 1995 telah menyelesaikan pendidikannya S1 Sastra
45 FajrieNur, “Media Pertunjukan wayang untuk menumbuhkan karakter anak bangsa” :
pilihan artikel jurnal 219 46Burhan Nurgiyantoro, Wayang dan pengembagan karakter bangsa, Jilid 26, No.1 Oktober
Tahun 1998.(https://media.neliti.com/media/publications/121044-ID-wayang-dan-pengembangan-
karakter-bangsa.pdf diakses 16 januari 2018).
53
di UGM, berlanjut pada tahun 1998 telah menyelesaikan pendidikannya S2
Filsafat.Dan pada tahun 2001 telah menyelesaikan S3 Filsafat.Dan karya-
karyanya sudah banyak mengupas serat pedhalangan dan lain-lain.
D. Pendapat Purwadi tentang wayang sebagai media pendidikan karakter.
Dalam bab ini sedikit berbeda dengan pendapat sebelumnya yang
dipaparkan oleh Sri mulyo. Pendapat ini dikemukakan oleh Purwadi dalam
menulis bukunya yang berjudul “semar”.Memaparkan bahwa “wayang
diambil dari bahasa jawa, bayangan.Drama pertunjukan yang sekarang disebut
wayang itu kemungkinan sudah ada dalam berbagai bentuknya sejak 1000
tahun lalu. Para tokoh di dalam wiracarita tersebut dianggap merupakan
leluhur orang Jawa dan bersemayam di Jawa.Wayang Purwa merupakan karya
seni yang bisa mengikuti perkembangan zaman. Wayang sekarang tetap
berbeda dengan wayang zaman dulu namun setiap perubahannya tidak
mempengaruhi jati dirinya. Kesenian wayang tetap menjadi tontonan yang
memiliki landasan yang kokoh, yaitu hamot, hamong dan hamemangkat.
Hamot adalah keterbukaan menerima pengaruh dan masukan dari dalam dan
luar”47.
Hamong adalah kemampuan untuk menyaring unsur yang baru dan
sesuai dengan nilai yang ada, selanjutnya diangkat menjadi nilai yang cocok
dengan wayang sebagai bekal untuk menyesuaikan dengan masyarakat.
Adapun hamemangkat artinya perubahan dari suatu nilai menjadi nilai baru
yang melalui proses panjang yang dapat dicerna secara cermat, Karena itu
47Purwadi, Semar. “Jagad Mistik Jawa”, (Yogyakarta: Media Abadi, 2004), 79.
54
kesenian wayang tidak mati ditelan bumi. Selain sebagai sarana hiburan,
wayang juga setia menyampaikan pesan-pesan.
Jadi bisa diambil kesimpulan bahwa cerita wayang yang ditulis oleh
beliau mengikuti perkembangan sesuai jamannya, tidak hanya memberi
hiburan secara kontemporer tetapi juga menyelipkan nilai-nilai moral yang
mungkin menjadi pokok permasalahan pada era masa kini. Wayang berfungsi
sebagai sarana penerangan, pendidikan, dan komunikasi massa yang sangat
akrab dengan masyarakat pendukungnya48.
Nilai pendidikan budi pekerti dalam pertunjukan wayang akhir- akhir
ini menjadi luntur karena hanya menafsirkan muatan budi pekerti dalam
ucapan dalang, tetapi tidak utuh dalam keseluruhan pertunjukan wayang. Hal
ini karena pertunjukan wayang telah bergeser dari makna ritual menjadi
sebuah hiburan. Sebagai hiburan maka memuaskan kesenangan penonton
adalah tujuan, sehingga dalang sekarang sering berbicara porno dan humor
vulgar dan tidak sesuai dengan pakem dalang (Sutarso, 2008:7)49.
Banyak juga penjelasan beliau (Purwadi) yang ada pada buku cerita
“Serat Pedhalangan Lampahan WAHYU TOHJALI” berisikan tentang
bathara guru menjelaskan kepada Durga bahwa perjalanan menuntut ilmu
sangat penting untuk sebuah perjalanan hidup. Jika sudah cukup ilmu yang
48 Fajrie Nur, “Media Pertunjukan wayang untuk menumbuhkan karakter anak bangsa” :
pilihan artikel jurnal 220-221. 49Ibid.,227.
55
didapat maka sebarkan ilmu itu dan ajarkan kepada generasi penerus.Ilmu
yang bermanfaat adalah ilmu yang berguna50.
Pesan moral menjadi sangat dominan dalam wayang, termasuk ajaran
mengenal dan menyadari sangkan paraning dumadi atau asal mula kehidupan.
Pementasan hasil budaya berupa wayang kardus buah karyanya, minimal
siswa-siswa atau anak-anak yang terlibat tidak akan lupa dengan kisah dan
nilai-nilai yang terkandung dalam cerita wayang yang dilakonkan. Bagi siswa
lain sebagai penonton, juga akan lebih tertarik mengikuti kisah wayang
yang dipentaskan karena visual wayang kardus yang “kekanak-kanakan”,
dan bahasa yang mudah dimengerti sehingga pesan yang ingin disampaikan
dari pementasan itu sampai pada penonton yang masih muda.
Dalam mempergunakan wayang sebagai media pembelajaran,
setidaknya terdapat beberapa unsur sebagai berikut :
a. Suara Seni.
Melalui gending-gending pewayangan, anak-anak diajarkan untuk dapat
membandingkan berbagai macam suara dan irama.Sesuai dengan ciri
khasnya, irama yang cepat sangat disenangi oleh anak-anak.Lagunya,
wiletnya, dan cengkoknya harus sesuai dengan watak anak-anak;
sederhana, mudah disuarakan, nada jangan terlalu tinggi atau terlalu
rendah.Sebagai contoh dapat dipergunakan lagu-lagu dolanan.Didalam
wayang, anak-anak dilatih untuk membedakan suara laki-laki dan
50Purwadi. “serat pedhalangan lampahan wahyu tohjali”, (Surakarta : CV. Cendrawasih,
1991), 17.
56
perempuan, membedakan suara yang berat dan rendah semisal
Werkudoro/Bimo yang berat dan Arjuna yang halus, dan Dursosono
yang sombong dan keras.Dan lebih dari itu, melalui wayang pula anak
diajarkan untuk memahami karakter orang melalui karakter suara.
b. Seni Gambar.
Seni gambar dalam wayang memiliki tingkat kesulitan yang cukup
tinggi dan diperlukan kesabaran dan kesadaran. Mulai dari tahap
mewarnai hingga melukis pola akan mengajarkan arti keindahan yang
diperoleh dari laku sabar dan sadar kepada anak. Dari seni menggambar
itu akan muncul segala keindahan dari kodrat alam.
c. Seni Gerak.
Seni gerak ini diaplikasikan dalam tari dan permainan anak-anak.Tari
dan permainan anak (atau yang biasa disebut dengandolanan) bisa
digabungkan menjadi satu.Sehingga tari bersama dolanan hendaknya
gembira dan cepat. Konsep ini harus diimbangi dengan lagu-lagu
pengiring yang juga gembira dan cepat, memakai wiromo sampak,
wiromo playon, wiromo sabrangan atau tropongan, dsb., jangan
digunakan wiromo ladrang, wiromo ketawang dsb.51
Demikian juga dalam hal alur cerita.Alur cerita wayang amat
banyak, apalagi dengan semakin banyaknya cerita carangan yang dapat
dikembangkan secara terus- menerus selama tidak bertentangan dengan
cerita pokok (pakem).Pertentangan antara kedua kelompok baik dan
51Sutaryo, wayang sebagai pendidikan dan pengajaran,: pilihan artikel jurnal (diakses 5
maret 2018)
57
jahat tersebut selalu dimenangkan oleh kelompok baik, kelompok
pembela kebenaran. Hal inilah yang dewasa ini dikenal menjadi tema
tradisional, yaitu kebaikan pasti mengalahkan kejahatan, walau ditutup-
tutupi kejahatan akan terungkap, siapa yang berbuat jahat akhirnya
memetik buah perilakunya. Nilai- nilai kebaikan sebenarnya secara
substansial tidak pernah berubah sepanjang masa sebagaimana yang
tercermin dalam cerita dan karakter tokoh-tokoh wayang.Kalaupun ada
perubahan, hal itu sebenaranya hanya menyangkut manifetasinya saja
yang sejalan dengan kemajuan zaman.
Dalam pertunjukkan wayang selalu mengandung makna yang
bersentuhan dengan merasa, berfikir, dan bertindak manusia baik pada
tataran realitas personal maupun realitas sosiokultural52.Seni wayang
terdapat kearifan lokal yang bermanfaat untuk membangun karakter
dan jatidiri bangsa Indonesia yang tergambarkan melalui watak tokoh
dalam wayang. Beberapa watak tokoh yang dapat digunakan sebagai
contoh atau penerapan nilai-nilai karakter bisa dilihat pada kumpulan
tokoh-tokoh wayang purwa.Sebagian ditulis untuk memberikan
gambaran.
52Soetarno dan Sarwanto, Wayang Kulit dan Perkembangannya, (Surakarta: CV
Cendrawasih), 42.
58
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Analisis Khusus dan Umum, perbedaan dari Pendapat Sri Mulyono dan
Purwadi purwacarita.
Dalam pembahasan ini penulis menganalisa pendapat pendapat Sri
Mulyono dan Purwadi secara umum dan khusus.Serta sedikit mengulas
tentang pendidikan karakter melalui tokoh yang berkaitan dengan pesan-pesan
yang tertulis dalam buku tersebut.Perbedaan pendapat dari penulis tersebut
adalah sama-sama membahas tentang menyelipkan beberapa nilai-nilai
religius, nilai-nilai budi pekerti dan aspek moralitas.
a. Analisis umum.
Kesenian wayang kulit berasal daerah Jawa. Wayang merupakan
sebuah model atau kiasan dalam kehidupan manusia. Dan wayang juga
disebut sebagai simbol yang lebih bersifat rohaniah daripada jasmaniah.
Wayang mempunyai banyak peranan penting dalam kehidupan.Secara
umum banyak fungsi dari kesenian wayang, yaitu media informasi yang
efektif dan komunikatif, media hiburan bagi masyarakat, media
pendidikan.
Secara filosofis wayang merupakan bentuk pencerminan
karakter manusia, tingkah laku, dan kehidupannya.Salah satu contoh
wayang yang sampai saat ini masih hidup dan oleh masyarakat
Indonesia dijadikan sebagai suri tauladan dan panutan hidup adalah
punakawan.
59
Pagelaran wayang mengandung nilai hidup serta kehidupan
luhur yang dalam setiap akhir cerita atau pelakunya memenangkan
kebaikan dan mengalahkan kejahatan. Hal itu mengajarkan bahwa
perbuatan baiklah yang akan unggul, sedangkan perbuatan jahat akan
selalu menerima kekalahannya. Wayang dipandang sebagai suatu
bahasa symbol dari kidup dan kehidupan yang lebih bersifat rohaniyah
dari pada lahiriyah.
Pegunaan wayang sebagai media Pembelajaran dilakukan
melalui kegiatan bercerita. Perlu diketahui bahwa wayang disini bukan
dalam arti fisik, melainkan dalam bentuk nonfisik. Guru cukup
menceritakan kisah pewayangan yang mengandung nilai kebaikan serta
mengajarkan karakter tokoh wayang tersebut untuk diteladani oleh
siswa misalnya kisah tentang
b. Analisis Khusus
Sri mulyo berpendapat bahwa “wayang merupakan salah satu
karya seni dan hiburan populer di masyarakan Indonesia sejak zaman
dahulu. wayang bukan sekedar karya seni yang dipengaruhi oleh agama
Islam, yang diselipkan ke dalamnya adalah nilai-nilai keislaman, akan
tetapi wayang merupakan suatu karya seni, hiburan, dan media
dakwah”53.
53Sri Mulyono, Apa dan siapa semar, (Jakarta: Gunung Agung, 1978), 7.
60
Sedangkan Purwadi mengemukakan, “wayang Purwa merupakan
karya seni yang bisa mengikuti perkembangan zaman. Wayang
sekarang tetap berbeda dengan wayang zaman dulu namun setiap
perubahannya tidak mempengaruhi jati dirinya. Kesenian wayang tetap
menjadi tontonan yang memiliki landasan yang kokoh, yaitu hamot,
hamong dan hamemangkat.Hamot adalah keterbukaan menerima
pengaruh dan masukan dari dalam dan luar.Hamong adalah kemampuan
untuk menyaring unsur yang baru dan sesuai dengan nilai yang ada,
selanjutnya diangkat menjadi nilai yang cocok dengan wayang sebagai
bekal untuk menyesuaikan dengan masyarakat. Adapun hamemangkat
artinya perubahan dari suatu nilai menjadi nilai baru yang melalui
proses panjang yang dapat dicerna secara cermat, Karena itu kesenian
wayang tidak mati ditelan bumi. Selain sebagai sarana hiburan,
wayang juga setia menyampaikan pesan-pesan54.
Banyaknya media belajar yang digunakan, kesenian wayang
merupakan salah satu media yang cukup efektif dalam menyampaikan
pembelajaran tersebut.Sebagai pendidik, wayang sebagai media
pembelajaran tidak harus ditampilkan dalam sebuah pagelaran disetiap
materi pelajaran.Tetapi dapat memasukkan unsur-unsur yang
terkandung dalam cerita wayang.Misalnya, dalam pembelajaran budi
pekerti kita dapat meneladani tokoh wayang.
54 Purwadi, Semar “(Jagad Mistik Jawa)”, (Yogyakarta: Media Abadi, 2004), 79.
61
E. Perbedaan pendapat dan Persamaan.
a. Perbedaan :
1. Sri Mulyo.
Pendapat beliau yaitu wayang adalah karya seni yang sudah ada sejak
dulu. Namun wayang tidak hanya sebuah hiburan, tetapi juga
terselipkan nilai-nilai keislaman dan juga dapat menjadi media
dakwah pada tokoh-tokoh wayang .
a. Semar.
Semar berasal darikata Ismaya yang berasal dariasmaku atau
disebut symbol kemantaban dan keteguhan dari seorang pendidik
Islam. Dan Pendidkan Islamnya yaitu Semar itu seorang Guru besar
yang patut disegani oleh semua orang dengan tingkah lakunya
maupun akhlaknya. Semar menggambarkan figur yang sabar, tulus,
pengasih, pemeliharaan kebaikan, menjaga kebenaran, dan
menghindari perbuatan dur-angkara. Semar juga dijuluki
Badranaya, artinya badra adalah rembulan, naya wajah. Atau
nayantaka, naya adalah wajah, taka berarti pucat keduanya berarti
menyimbolkan bahwa semar memiliki watak rembulan (dalam
Pustaka Hasta Brata) dan seorang figur ang memiliki wajah pucat,
artinya semar tidak mengumbar hawa nafsu.
b. Nala Gareng.
Nala Gareng berasal dari kata Naala Qarin yaitu memperoleh banyak
kawan atau memperluas persahabatan yang disekelilingnya.Yang
62
mempunyai makna memperoleh banyak teman, dimana maksudnya
adalah sesuai dengan dakwah para wali dalam memperoleh teman
(umat) sebanyak-banyaknya untuk kembali ke jalan Allah SWT
dengan sikap arif dan harapan yang baik. Pendidikan Islamnya yaitu
jadi seorang pendidik tidak boleh menyerah untuk menggapai apa
yang dia kejar dan harus berusaha tidak boleh pantang menyerah.
c. Petruk.
Petuk berasal dari kata fat-ruk Fatruk yang dicukil dari kalimat
Tasawuf Fat-ruk kulla maa siwallahiyaitu tinggalkan, yang
dimaksud dari tinggalkan yaitu, tinggalkan perkara buruk yang
sedang dia alami dan tinggalkan semua apapun selain Allah Nilai
pendidikan Islamnya yaitu jadi seorang pendidik harus ikhlas, tanpa
pamrih, seperti bolongnya kanthong yang tanpah penghalang.
Wejangan atau petuah semacam inilah yang menjadi watak para wali
dan mubaligh pada masa itu.
d. Bagong.
Bagong berasal dari kata bagha yaitu pertimbangan makna dan rasa,
yang dimaksud dengan makna dan rasa itu pendidik harus bisa
membedakan anatara yang baik dan yang buruk.memberontak
melawan kelaliman dan kezaliman, yang dalam versi lain
berakar dari kata Baqa’ yang bermakna kelanggengan atau
keabadian, dimana setiap manusia tempatnya adalah di akhirat dan
63
dunia adalah tempat mampir ngombe (tempat menumpang minum
belaka)55.
2. Purwadi, pada bukunya lebih mengupas tentang cerita wayang purwa
dimana wayang tersebut adalah cerita wayang pakem yang sudah ada
pada abad awal XIX. Isi dalam cerita tersebut menggambarkan
beberapa tokoh seperti Semar, Petruk, Gareng sebagai simbol
penerapan nilai-nilai keislaman dan filosofinya.
a. Semar.
Semar berasal dari kata Samara (bergegas). Semar
merupakanpusat dari Punakawan sendiri dan asal-usul dari
keseluruhan Punakawan itu sendiri. Semar disegani oleh kawan
maupun lawan. Semar menjadi tokoh yang dihormati, namun tetap
rendah hati, tidak sombong, jujur, dan tetap mengasihi sesama.
Penuh kelebihan tetapi tidak lupa diri karena kelebihan yang
dimiliki.
Filosofi semar yaitu : dengan jari telunjuk seolah menuding,
melambangkan KARSA/keinginan yang kuat untuk menciptakan
sesuatu. Mata yang menyipit juga melambangkan ketelitian dan
keseriusan dalam menciptakan.
b. Gareng.
Nala Gareng berasal dari kata nala khairan (memperoleh
kebaikan). Nala gareng adalah seorang yang takpandai bicara.
55Ibid.
64
Karakter yang disimbolkan adalah cacat kaki menggambarkan
manusia harus berhati-hati dalam menjalani kehidupan. Tangan
yang cacat menggambarkan manusia bisa berusaha tetapi Tuhan
yang menentukan hasil akhirnya. Mata yang cacat menunjukkan
manusia harus memahami realitas kehidupan.
Filosofi Nala Gareng yaitu : anak pertama semar, dengan tangan
yang cacat, kaki yang pinang, mata yang juling, melambangkan
CIPTA, bahwa menciptakan sesuatu, dan tidak sempurna. Kita
tidak boleh menyerah, bagaimanapun kita sudah berusaha.Apapun
hasilnya, pasrahkan pada-Nya.
c. Petruk.
Petruk berasal dari kata fatruk (tinggalkanlah). Petruk adalah anak
kedua Semar. Tokoh petruk digambarkan dengan bentuk panjang
yang menyimbolkan pemikiran harus panjang dalam menjalani
hidup manusia harus berpikir panjang (tidak grusa-grusu) dan
sabar. Bila tidak berpikir panjang, biasanya akan mengalami
penyesalan di akhir.
Filosofi Petruk yaitu :Anak kedua semar, dari kegagalan
menciptakan Gareng, lahirlah Petruk. Dengan tangan dan kaki
yang panjang, tubuh tinggi langsing, hidung mancung, wujud dari
CIPTA, yang kemudian diberi RASA, sehingga terlihat lebih
indah dengan begitu banyak kelebihan.
d. Bagong
65
Bagong berasal dari kata albaghoya (perkara buruk).Bagong
adalah tokoh yang diciptakan dari bayangan Semar.Bagong
bertubuh tambun gemuk seperti halnya Semar. Bagong berkarakter
suka bercanda bahkan saat menghadapi persoalan yang teramat
serius serta memiliki sifat lancang dan suka berlagak bodoh.
Karakter yang disimbolkan dari bentuk bagong adalah manusia
harus sederhana, sabar, dan tidak terlalu kagum pada kehidupan di
dunia.
a. Persamaan :
Pendidikan karakter melalui media wayang bertujuan untuk membentuk
dan menciptakan peserta didik yang berkarakter atau berkepribadian
Islam tidak lepas dari kelemahan.Wayang merupakan bentuk kesenian
jawa yang masih hidup, masih dihidupi, dan menghidupi. Wayang juga
dapat diartikan sebagai salah satu kekayaan budaya yang bernilai seni
tinggi. Kehadiran wayang di tengah-tengah masyarakat sejatinya mampu
memberikan peranan penting. Kesamaan dari kedua penulis tersebut yaitu
sama-sama menjelaskan tentang pendidikan karakter yang diusung oleh
tokoh wayang semar, petruk, gareng, bagong, yang dapat menjadi
penggambaran dalam pembelajaran.
66
F. Wayang Sebagai Cermin dan Menumbuhkan Karakter.
Ketika banyaknya permasalahan kehidupan dikalangan masyarakat baik
lewat pemberitaan televisi, internet, surat kabar, maupun sosial media, bahwa
keadaan itu semua cenderung disebabkan oleh kurangnya pendidikan karakter
anak bangsa. Lembaga pendidikan yang seharusnya berada dalam tugasnya
yang menjaga penumbuhan karakter, bahkan tidak jarang menampilkan sosok
yang mencerminkan kurangnya status berkarakter itu.Sebagai pendidik
ataupun pengajar yang dianut oleh generasi penerus harus bisa menjaga
sikap.Seorang pendidik dalam memberikan pendidikan karakter haruslah
kreatif dalam menyampaikan tersebut.
Kedatangan agama Islam ditanah Jawa telah menimbulkan perubahan
kebudayaan yang melekat pada masyarakat Jawa. Perubahan yang terjadi
bukan semata-mata karena perombakan oleh dunia Islam, akan tetapi karena
adanya toleransi dari Islam untuk mengakulturasikan budaya yang telah ada.
Dalam Sejarah telah mengatakan bahwa akulturasi yang mendorong
perkembangan Islam di Jawa adalah Wayang.
Para tokoh punakawan juga berfungsi sebagai pamomong (pengasuh)
untuk tokoh wayang lainnya.Pada prinsipnya setiap manusia butuh yang
namanya pamomong, mengingat lemahnya manusia.Pamomong dapat
diartikan pula sebagai pelindung. Tiap manusia hendaknya selalu meminta
lindungan kepada Allah SWT, sebagai sikap introspeksi terhadap segala
kelemahan dalam dirinya
67
Penggunaan media dalam suatu pembelajaran sangat diperlukan untuk
membangkitkan keinginan dan minat baru, serta dapat memotivasi para
peserta didik.Dalam pembahasan ini media yang digunakan adalah seni
wayang.Keanekaragamaan kesenian di Indonesia ini sangat banyak untuk
dijadikan media.Disini memilih kesenian wayang karena dapat ditonton oleh
semua kalangan masyarakat hampir seluruh nusantara. Kesenian tersebut juga
memberikan banyak pesan-pesan moral dalam cerita wayang yang dapat
diterima baik oleh masyarakat dan diharapkan bisa diaplikasikan oleh
masyarakat setempat.
Pengenalan tokoh wayang kepada siswa sekolah dasar penting untuk
dilakukan. Terdapat beberapa alasan mengapa tokoh wayang perlu
diperkenalkan kepada siswa Pertama wayang merupakan kesenian
masyarakat Indonesia yang wajib bagi generasi penerus untuk tetap
melestarikannya. Kedua tidak tertariknya siswa terhadap cerita wayang.
Ketigat cerita wayang memiliki banyak nilai moral kehidupan.
Selain itu, tokoh wayang juga memiliki sifat-sifat yang berbeda dari
tokoh satu dengan tokoh lain. Terdapat tokoh dengan sifat terpuji yang dapat
dijadikan teladan bagi siswa.Terdapat pula tokoh dengan sifat tercela yang
dapat diantisipasi siswa, agar dapat menghindari sifat tercela. Wayang
merupakan gambaran hidup bagi manusia, sehingga baik jika digunakan
untuk bahan pembelajaran bagi siswa. Karakter bangsa merupakan
akumulasi dari karakter-karakter warga masyarakat.Merupakan nilai dasar
perilaku yang menjadi acuan tata nilai interaksi antar manusia.Secara umum
68
karakter yaitu nilai hidup bersama berdasarkan pilar kedamaian, menghargai,
kerjasama, kebebasan, kebahagiaan, kejujuran, kerendahhatian, kasih sayang,
tanggung jawab, kesederhanaan, toleransi, dan persatuan56.
Kedatangan agama Islam ditanah Jawa telah menimbulkan perubahan
kebudayaan yang melekat pada masyarakat Jawa. Perubahan yang terjadi
bukan semata-mata karena perombakan oleh dunia Islam, akan tetapi karena
adanya toleransi dari Islam untuk mengakulturasikan budaya yang telah ada.
Dalam Sejarah telah mengatakan bahwa akulturasi yang mendoron
perkembangan Islam di Jawa adalah Wayang.Para tokoh punakawan juga
berfungsi sebagai pamomong (pengasuh) untuk tokoh wayang lainnya.Pada
prinsipnya setiap manusia butuh yang namanya pamomong, mengingat
lemahnya manusia.Pamomong dapat diartikan pula sebagai pelindung.Tiap
manusia hendaknya selalu meminta lindungan kepada Allah SWT, sebagai
sikap introspeksi terhadap segala kelemahan dalam dirinya.
Secara tradisional, wayang merupakan intisari kebudayaan masyarakat
jawa yang diwarisi secara turun temurun, tetapi secara lisan diakui bahwa inti
dan tujuan hidup manusia dapat dilihat pada cerita serta karakter tokoh- tokoh
wayang. Secara Filosofis, wayang adalah pencerminan karakter manusia,
tingkah laku, dan kehidupannya. Meskipun isi cerita wayang berasal dari
India yang di daerah asalnya dianggap benar-benar terjadi dalam jalur mitos,
legenda sejarah, namun di Indonesia cerita-cerita itu mengisahkan perilaku
watak-watak manusia dalam mencapai tujuan hidup, baik lahir maupun batin
56Nurgiyantoro, Burhan. “wayang dan pengembangan karakter” : pilihan artikel jurnal. Hal
27-28 (diakses 15 maret 2018)
69
dengan pemahaman cipta rasa karsa karya. Bagi orang jawa, Wayang
merupakan pedoman hidup bagaimana mereka bertingkah laku dengan
sesamanya, bagaimana menyadari hakikatnya sebagai manusia dan bagaimana
dapat berhubungan dengan mencapai penciptanya57.
Sebagaimana diketahui bahwa dalam setiap pementasan wayang selalu
diwarnai dengan adanya tokoh-tokoh wayang yang memiliki karakter dan
peran yang beragam. Salah satu tokoh wayang yang sangat terkenal
dikalangan masyarakat Indonesia dan khususnya masyarakat Jawa adalah
tokoh Semar. Semar sangat identik dengan karakter dan peran seorang guru,
lebih tepatnya guru dan pembimbing spiritual para satria yang berwatak
mulia, yaitu yang dikenal dengan Pandawa Lima.
Jika Sunan Kalijaga diyakini sebagai pencipta tokoh punakawan itu
sebagai salah satu upaya untuk menyebarkan agama islam di tanah Jawa,
maka ia pun mempergunakan hakikat yang tersirat di dalamnya dalam
menjalankan aktivitas tersebut agar misinya bisa terlaksana dengan sebaik-
baiknya. Sudah barang tentu mengaitkan nama tokoh tersebut disesuaikan
dengan tujuan dan karakter yang bersangkutan58. Dalam memberikan
pendidikan budi pekerti bagi anak-anak dapat diselipkan dalam cerita wayang
sehingga penyampaian kepada anak dapat lebih efektif dan
efisien.Pertunjukkan wayang terkandung pesan moral yang sangat lengkap
biasanya pesan tersebut dibakukan dalam bentuk sanepa, piwulang, dan
pituduh yang dikaitkan dalam kehidupan manusia dalam menciptakan
57 S Haryanto, Bayang-bayang Adhiluhung Filsafat Simbolis dan Mistik dalam wayang,
(Dahara Pres, Semarang,1995),21. 58 Ardian Kresna, Punakawan, (Yogyakarta:Penerbit Narasi Anggota IKAPI 2012 ), 25.
70
kehidupan yang damai.Film animasi merupakan suatu bentuk media yang di
dalamnya menyajikan suatu pesan audiovisual maupun gerak yang dapat
memberikan kesan impresif bagi penontonnya.Media Film Animasi ini pada
umumnya sangat disenangi oleh anak-anak karena mengandung karakter
gambar animasi yang menarik.Karakter animasi yang dapat digunakan dalam
memperkanalkan budi pekerti kepada anak adalah karakter wayang. Analisis
dan Perancangan animasi pertunjukkan wayang dilakukan dengan tahapan
Konsep yaitu penulis melakukan analisis kebutuhan fungsional dan non
fungsional, membuat latar belakang cerita serta membuat storyboard.
Dengan ini kesenian wayang sangatlah efisian dan efektif dalam
penerapan pendidikan karakter. Beraneka ragam bentuk pertunjukan Wayang
seperti Arjuna dan Puntadewa yang memiliki karakter dengan wajah tampan
serta wajah menunduk dalam falsafahnya merupakan penggambaran dari
pencitraan seorang manusia dengan sikap budi pekerti dan rendah hati.
G. Pertunjukan Wayang Kulit.
Seni memainkan wayang yang biasa disebut pagelaran, merupakan
kombinasi harmonis dari berbagai unsur kesenian. Pada pagelaran wayang
kulit dituntut adanya kerjasamayang harmonis baik unsure benda mati
maupun benda hidup(manusia). Unsur benda mati yang dimaksud adalah
sarana dan alat yang digunakan dalam pagelaran wayang kulit. Sementara
unsur benda hidup (manusia) adalah orang-orang yang berperan penuh dalam
seni pagelaran wayang kulit.
71
a. UnsurBenda.
Unsur benda yang ada dalam pagelaran wayang kulit adalah alat-
alat yang berupa benda tertentu yang digunakan dalam pagelaran
wayang tersebut. Bahkan terdapat unsur materi yang harus ada
(karena tidak bisa digantikan). Unsur materi yang dimaksud antara
lain: wayang yang terbuat dari kulit lembu, kelir, debog (batang
pohon pisang), seperangkat gamelan, keprak, kepyak, kotak
wayang, cempala, dan blencong. Seperangkat alat tersebut harus
ada, karena alat-alat tersebut tidak bisa digantikan. Akan tetapi
pada perkembangan zaman ada modifikasi atau pengubahan yang
bibuat berdasar kebutuhan atau kreatifitas seniman, namun
keberadaan wayang dan kelir tidak bisa ditinggalkan.
b. Unsur Manusia.
Dalang, penyimping, penabuh, dan sinden adalah orang-orang
yang berperan penting dalam kelancaran dan keberhasilan sebuah
pagelaran wayang. Mereka adalah orang-orang yang memiliki
kemahiran khusus dalam bidangnya masing-masing. Berkat
kemahiran khusus tersebut, terkadang mereka tidak bisa digantikan
oleh sembarang orang59.
59Kusbiyanto Mari, upaya mencegah hilangnya wayang kulit sebagai ekspresi budaya warisan
budaya bangsa, Jurnal hal 11 Diakses
72
Membicarakan wayang tidak ubahnya membicarakan filsafat Jawa
karena wayang adalah sebagai symbol filsafat Jawa60.Jika orang melihat
pagelaran wayang, yang dilihat bukan wayangnya, melainkan masalah yang
tersirat dalam lakon wayang itu. Perumpamaan ketika orang melihat di kaca
rias, orang bukan melihat tebal dan kaca rias itu, melainkan melihat apa yang
tersirat dalam kaca tersebut. orang melihat bayangan di kaca rias oleh
karenanya, kalau orang menonton wayang, bukannya melihat wayang
melainkan melihat bayangan (lakon) dirinya sendiri.
Pagelaran wayang mengandung nilai hidup serta kehidupan luhur yang
dalam setiap akhir cerita atau pelakunya memenangkan kebaikan dan
mengalahkan kejahatan. Hal itu mengajarkan bahwa perbuatan baiklah yang
akan unggul, sedangkan perbuatan jahat akan selalu menerima kekalahannya.
Wayang dipandang sebagai suatu bahasa symbol dari kidup dan kehidupan
yang lebih bersifat rohaniyah dari pada lahiriyah61.
Walaupun cerita wayang yang popular di masyarakat masa kini
merupakan adaptasi dari karya sastra India, yaitu Ramayana dan
Mahabarata.Kedua induk cerita itu dalam pewayangan banyak mengalami
perubahan dan penambahan untuk menyesuaikan dengan falsafah asli
Indonesia.Penyesuaian konsep filsafat ini juga menyangkut pada pandangan
filosofis masyarakat jawa terdapat kedudukan para dewa dalam
pewayangan.Para dewa dalam pewayangan. Para dewa dalam pewayangan
60 Suwardi Endraswara, Mistik Kejawen Sinkrestisme Simbolisme dan sufisme dalam budaya
SpiritualJawa,(Yogyakarta: Narasi, ,2003), 3. 61 Sri Mulyono, Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang, (Jakarta: Gunung Agung, 1983),
hal 15
73
bukan lagi merupakan sesuatu yang bebas dari salah, melainkan seperti juga
makhluk Tuhan lainnya, kadang-kadang bertindak keliru, dan bias jadi
khilaf.
Pertunjukan wayang kulit purwa tradisi baik gaya Surakarta maupun
gaya Yogyakarta hingga sekarang masih segar, hidup di tengah masyarakat
pendukung budaya Jawa oleh karena adanya fkator internal dan faktor
eksternal. Faktor internal yang datang dari para senimannya atau para pelaku
wayang selalu berusaha menyesuaikan diri dengan perubahan zaman, ia
mencoba membuat garapan baru atau pengembangan wayang baru. Hal itu
ditandai dengan munculnya bentuk-bentuk pertunjukan wayang, seperti
bentuk pakeliran wayang padat, wayang layar lebar, wayang sandosa, wayang
multimedia, wayang kemasan dan sebagainya. Hal itu di dukung dengan
hadirnya pendidikan formal dalang yang berbentuk akademis seperti Institut
Seni Indonesia yang memiliki program studi seni pedalangan.
Sedangkan faktor eksternal yang datang dari para penonton atau
pendukung wayang, mereka beranggapan bahwa pertunjukan wayang di
dalamnya terkandung nilai- nilai historis, nilai filosofis, pedagogis dan niali
simbolis. Selain dilestarikan, wayang kulit juga dapat dilestarikan dengan cara
mengenal budaya wayang kulit itu sendiri. Dengan hal ini setidaknya kita
dapat mengantisipasi pencurian kebudayaan yang dilakukan oleh negara-
negara lain. Penyakit masyarakat kita adalah mereka terkadang tidak bangga
terhadap produk atau kebudayaannya sendiri.Kita lebih bangga terhadap
74
budaya-budaya impor yang sebenarnya tidak sesuai dengan budaya kita
sebagai orang timur.Budaya daerah banyak hilang dikikis zaman.
Oleh sebab kita sendiri yang tidak mau mempelajari dan
melestarikannya. Akibatnya kita baru bersuara ketika negara lain sukses dan
terkenal dengan budaya yang mereka curi secara diam-diam. Pemerintah dapat
mengeluarkan kebijakan untuk menampilkan wayang kulit pada setiap event-
event akbar nasional. Hal tersebut harus dilakukan sebagai upaya pengenalan
kepada generasi muda, bahwa wayang kulit yang ditampilkan itu adalah
warisan dari leluhurnya dan bukan berasal dari negara tetangga.
Demikian juga upaya-upaya melalui jalur formal pendidikan. Masyarakat
harus memahami dan mengetahui berbagai kebudayaan wayang kulit yang
kita miliki.
75
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Berdasarkan uraian yang dipaparkan penulis tentang pendidikan
karakter melalui media tokoh wayang hasil dari mengkaji kedua pendapat SRI
MULYO dan PURWADI seorang penulis buku cerita wayang. Dari BAB I
sampai BAB IV, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Pendapat sri mulyono tentangtokoh:wayangsemar, figur yang sabar,
tulus, pengasih, pemeliharaan kebaikan, menjaga kebenaran, dan
menghindari perbuatan dur-angkara. Wayang gareng, sikap arif dan
harapan yang baik. Wayang petruk sikap yang bijak dalam menyikapi
hal buruk. Wayang bagong tokoh yang baik dalam bergaul.
2. Pendapat purwadi purwacarita tentang tokoh : wayang semar, rendah
hati, tidak sombong, jujur, dan tetap mengasihi sesama. Wayang gareng,
dengan tangan yang cacat, kaki yang pinang, mata yang juling,
melambangkan CIPTA, bahwa menciptakan sesuatu, dan tidak
sempurna. Wayang petruk, digambarkan dengan bentuk panjang yang
menyimbolkan pemikiran harus panjang dalam menjalani hidup
manusia harus berpikir panjang (tidak grusa-grusu) dan sabar. Wayang
bagong, Bagong berkarakter suka bercanda bahkan saat menghadapi
persoalan yang teramat serius serta memiliki sifat lancang dan suka
berlagak bodoh.
76
3. Mengetahui perbedaan tokoh wayang Sri Mulyono tentang semar,
gareng, petruk, bagong, lebih terselipkannya pendidikan karakter.
Sedangkan tokoh wayang Purwadi purwacarita terdapat pendidikan
islam serta filosofinya.
77
B. SARAN.
1. Mengimplementasikan pendidikan karakter melalui media tokoh wayang
Sri Mulyono.
2. Mengimplementasikan pendidikan karakter melalui media tokoh wayang
Purwadi purwacarita.
3. Menjelaskan persamaan dan perbedaan .
C. Kata penutup.
Segala puji Allah SWT yang menjadikan kemudahan setelah kesulitan.
Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala nikmat dan
kasih sayang, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan lancar
tanpa ada halangan. Penulis telah berusaha semaksimal mungkin dalam
berikhtiar dan berdoa dalam penyusunan skripsi ini, namun demikian penulis
menyadari bahwa manusia merupakan tempat lupa dan salah, sehingga dalam
penulisan dan penyusunan masih banyak kekurangannya.Oleh karena itu
kritik dan saran selalu terbuka dan sangat mengharapkan demi tercapainya
kesempurnaan skripsi ini.
Semoga penulisan skripsi dapat memberikan manfaat bagi siapa saja
yang membaca baik kalangan muda maupun usia lanjut dikalangan akademis
dan dunia pendidikan. Selanjutnya tidak lupa penulis mengucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu penyusunan ini, semoga amal
baik mereka mendapat balasan dari Allah SWT.
78
DAFTAR PUSTAKA
Sugiyono, Metode penelitian pendidikan pendekatan kuantitatif, kualitatif,
dan R&D, Bandung: Alfabet, 2008.
Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter Konsepsi dan Aplikasinya dalam
Lembaga Pendidikan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011.
Soetarno dan Sarwanto, Wayang Kulit dan Perkembangannya, Surakarta: CV
Cendrawasih.
Fajrie, Nur. “Media Pertunjukan wayang untuk menumbuhkan karakter anak
bangsa” : pilihan artikel jurnal 220-221.
Purwadi, Semar “(Jagad Mistik Jawa)”, Yogyakarta: Media Abadi, 2004.
Burhan Nurgiyantoro. Wayang dan pengembagan karakter
bangsa, Jilid 26, No.1 Oktober Tahun
1998.(https://media.neliti.com/media/publications/121044-ID-
wayang-dan-pengembangan-karakter-bangsa.pdf diakses 16
januari 2018).
Kusuma, Dony. Pendidikan Karakter, Jakarta : Grasindo, 2004
Abdul Majid & Dian Handayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam,
Bandung: PT. Remaja Eosdakarya, 2012, hal. 30.
Rif’an, Ali. 2010. Buku Pintar Wayang. Jogjakarta: Garailmu.
Burhan Nurgiyantoro. Wayang dan pengembagan karakter bangsa, Jilid 19,
No.1 Oktober Tahun
1998.(https://media.neliti.com/media/publications/121044-ID-wayang-dan-
pengembangan-karakter-bangsa.pdf diakses 16 januari 2018).
Soetarno dan Sarwanto. 2010. Wayang Kulit dan Perkembangannya.
Surakarta: ISI Pres Solo.