25
PENDIDIKAN ISLAM BERWAWASAN PLURALIS Oleh. Arif Rahman Abstrak Membangun pendidikan Islam berwawasan pluralisme, merupakan awal dari praktik pendidikan Islam yang carut marut di negeri ini. Pendidikan agama Islam belum mampu memberikan solusi terbaik bagi anak didik untuk hidup ditengah-tengah keberagaman untuk dapat saling toleransi. Konflik sosial, kekerasan, bahkan teror merupakan tindakan yang lahir dari kurangnya sikap menghargai dan mencintai orang lain. Dimensi kebersamaan dalam membangun harmoni sesama penganut agama yang berlainan adalah proyek besar yang harus mulai dipikirkan oleh kita semua. Nilai-nilai yang diterima dalam pendidikan agama seolah menyuguhkan doktrin-doktrin dan cenderung anti dialog menjadikan keyakinan yang eksklusif dan fundamentalis. Dan metodologi pendidikan agama yang dilakukan belum terlalu banyak beranjak jauh dari metodologi pra modernitas. Setidaknya kegagalan pendidikan agama selama ini disebabkan oleh tiga faktor. Pertama, pola pengajaran yang lebih disebabkan pada transfer of knowledge dari pada transfer of values. Kedua, pendidikan agama tidak lebih hanya sebagai hiasan kurikulum dan kurang bermakna keberadaannya. Ketiga, kurangnya penekanan pengajaran agama pada dimensi kesalehan sosial dan penanaman nilai cinta kasih, persahabatan, suka menolong, cinta damai dan toleransi. Untuk mencermati realitas kemajemukan di Indonesia adalah penting mempertimbangkan perancangan pola dan metodologi pengajaran agama Islam yang menyentuh dimensi-dimensi kemanusiaan, terutama persoalan hak asazi manusia dan akhlak. Indonesia harus dibangun sebagai negara pluralis dimana semua pemeluk agama dapat saling menghargai dan hidup berdampingan tanpa kecurigaan. Ajaran untuk semua (rahmatan lil ‘alamin) harus menunjukkan komitmen menuju tujuan dan cita-cita mulia tersebut. 1

Pendidikan Islam Berwawasan Pluralis

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Membangun pendidikan Islam berwawasan pluralisme, merupakan awal dari praktik pendidikan Islam yang carut marut di negeri ini. Pendidikan agama Islam belum mampu memberikan solusi terbaik bagi anak didik untuk hidup ditengahtengah keberagaman untuk dapat saling toleransi. Konflik sosial, kekerasan, bahkan teror merupakan tindakan yang lahir dari kurangnya sikap menghargai dan mencintai orang lain.

Citation preview

Page 1: Pendidikan Islam Berwawasan Pluralis

PENDIDIKAN ISLAM BERWAWASAN PLURALIS

Oleh. Arif Rahman

Abstrak

Membangun pendidikan Islam berwawasan pluralisme, merupakan awal dari praktik pendidikan Islam yang carut marut di negeri ini. Pendidikan agama Islam belum mampu memberikan solusi terbaik bagi anak didik untuk hidup ditengah-tengah keberagaman untuk dapat saling toleransi. Konflik sosial, kekerasan, bahkan teror merupakan tindakan yang lahir dari kurangnya sikap menghargai dan mencintai orang lain. Dimensi kebersamaan dalam membangun harmoni sesama penganut agama yang berlainan adalah proyek besar yang harus mulai dipikirkan oleh kita semua. Nilai-nilai yang diterima dalam pendidikan agama seolah menyuguhkan doktrin-doktrin dan cenderung anti dialog menjadikan keyakinan yang eksklusif dan fundamentalis. Dan metodologi pendidikan agama yang dilakukan belum terlalu banyak beranjak jauh dari metodologi pra modernitas.

Setidaknya kegagalan pendidikan agama selama ini disebabkan oleh tiga faktor. Pertama, pola pengajaran yang lebih disebabkan pada transfer of knowledge dari pada transfer of values. Kedua, pendidikan agama tidak lebih hanya sebagai hiasan kurikulum dan kurang bermakna keberadaannya. Ketiga, kurangnya penekanan pengajaran agama pada dimensi kesalehan sosial dan penanaman nilai cinta kasih, persahabatan, suka menolong, cinta damai dan toleransi.

Untuk mencermati realitas kemajemukan di Indonesia adalah penting mempertimbangkan perancangan pola dan metodologi pengajaran agama Islam yang menyentuh dimensi-dimensi kemanusiaan, terutama persoalan hak asazi manusia dan akhlak. Indonesia harus dibangun sebagai negara pluralis dimana semua pemeluk agama dapat saling menghargai dan hidup berdampingan tanpa kecurigaan. Ajaran untuk semua (rahmatan lil ‘alamin) harus menunjukkan komitmen menuju tujuan dan cita-cita mulia tersebut.

Kata kunci: Pluralisme, Pendidikan, Islam

1

Page 2: Pendidikan Islam Berwawasan Pluralis

A. Pendahuluan

Pluralisme agama dinegeri ini merupakan realitas empirik yang tidak bisa

dipungkiri. Pluralisme sejak dulu telah dikenal sebagai potensi berbangsa dan

bernegara, menetapkan negara ini bukan menjadi negara agama atau negara sekuler.

Pilihannya berada tepat ditengah – tengah antara kedunya. Persoalannya adalah, siapa

yang memperkenalkan, dan memaknai selanjutnya sehingga kenyataan pluralisme

menjadi ruwet bak memendam demdam kesumat yang tidak ada hentinya. Dari

pergulatan yang amat menyesakkan itu, wajar bila dalam masyarakat kita tumbuh

subur,antar sesama penganut agama nyaris setiap hari muncul pertikaian,

permusuhan, bahkan pembunuhan.

Dan ironisnya agama senantiasa dibawa-bawa sebagai pembenarnya.

Akhirnya agama tidak pernah imun dari konflik yang berkepanjangan demi

kepentingan masing-masing penganutnya. Oleh sebab itu bolehlah dikatakan bahwa

rezim orde baru memang berhasil menjadikan agama sebagai idiologi masa bukan

sebagai agen transformasi masyarakat.

Konsep pendidikan Islam pluralisme berorientasi pada realitas persoalan yang

di hadapi bangsa dan umat manusia secara keseluruhan. Konsep pendidikan

pluralisme itu di gagas dengan semangat besar untuk memberikan sebuah model

pendidikan yang mampu menjawab tantangan masyarakat pasca moderenisme.

Mencermati hal itu, salah satu yang perlu dan penting untuk di jadikan bahan diskusi

dan dialog antara umat muslim dan non muslim secara keseluruhan perlu adanya

konsep pluralisme.

Pluralisme merupakan konsep yang berasal dari barat yang bertujuan untuk

menciptakan harmonisasi di antara agama-agama dunia. Pengakuan terhadap

pluralisme agama dalam suatu komunitas umat beragama menjadikan di kedepannya

prinsip inklusivitas yang bermuara pada tumbuhnya kepekaan terhadap berbagai

kemungkinan. Lebih-lebih kita semua sudah di hadapkan pada kenyataan adanya

masyarakat multikultuiralisma dan pluralisme, dimana dalam pandangan masyarakat

seperti ini, seluruh masyarakat dengan segala unsurnya di tutup untuk saling

2

Page 3: Pendidikan Islam Berwawasan Pluralis

tergaantung dan menanggung nasib secara bersama-sama demi terciptanya

perdamaian abadi.

Salah satu bagian penting dari konsekuensi tata kehidupan global yang di

tandai kemajemukan etnis, budaya, dan agama tersebut, adalah membangun dan

menumbuhkan kembali teologi pluralisme dalam masyarakat. Maksud dan tujuan

pendidikan Islam pluralisme, dengan begitu akan di jadikan sebagai jawaban atau

solusi alternatif bagi keinginan untuk merespon persoalan-persoalan di atas. Sebab

dalam pendidikannya, pemahaman Islam yang hendak di kembangkan oleh

pendidikan berbasis pluralisme adalah pemahaman dan pemikiran yang bersifat

inklusif. Melalui sistem pendidikannya, sebuah pendidikan Islam yang berbasis

pluralisme akan selalu berusaha memelihara dan berupaya menumbuh kembangkan

pemahaman yang inklusif pada peserta didik. Dengan suatu orientasi untuk

memberikan penyadaran terhadap para peserta didik akan pentingnya saling

menghargai, menghormati dan bekerjasama dengan agama-agama lain.

B. Pluralisme dan Toleransi

Dalam membangun pengertian sebuah istilah, umumnya dimulai dari arti

secara bahasa. Sebab, pengertian secara bahasa umumnya menjadi landasan atau

pijakan untuk membangun pengertian secara istilah.

Istilah pluralisme agama masih sering disalahfahami atau mengandung

pengertian yang kabur, meskipun terminologi ini begitu populer dan tampak disambut

begitu hangat secara universal, sungguh sangat mengejutkan, ternyata tidak banyak,

bahkan langka, yang mencoba mendefinisikan pluralisme agama itu. Karena

pengaruhnya yang luas, istilah ini perlu pendefinisian yang jelas dan tegas baik dari

segi konteks di mana ia banyak digunakan

Secara bahasa, kata pluralis berasal dari bahasa Inggris plural yang berarti

jamak, dalam arti keanekaragaman dalam masyarakat, atau ada banyak hal lain di luar

keanekaragaman dalam masyarakat, atau ada banyak hal lain di luar kelompok kita

yang harus diakui. Secara istilah, pluralisme bukan sekedar keadaan atau fakta yang

3

Page 4: Pendidikan Islam Berwawasan Pluralis

bersifat plural, jamak, atau banyak. Lebih dari itu, pluralisme secara substansial

termanifestasi dalam sikap untuk saling mengakui sekaligus menghargai,

menghormati, memelihara, dan bahkan mengembangkan atau memperkaya keadaan

yang bersifat plural, jamak, atau banyak.1

Dalam kamus besar bahasa Indonesia disebutkan bahwa arti plural adalah

jamak: lebih dari satu, pluralis bersifat jamak. Pluralisme hal menngatakan banyak

atau tidak satu. Pluralisme kebudayaan berbagai kebudayaan yang berbeda di suatu

masyarakat. Dengan demikian pluralisme adalah memahami dan menyadari suatu

kenyataan tentang adanya kemajemukan.

Alwi shihab menegaskan secara lebih terperinci, pluralisme merupakan

keberadaan atau toleransi keragaman etnik atau kelompok-kelompok kultural dalam

suatu masyarakat atau negara serta keragaman kepercayaan atau sikap dalam suatu

badan, kelembagaan, dan sebagainya. Pluralisme semacam ini disebut sebagai

pluralisme sosial. Untuk merealisasikan dan mendukung konsep tersebut, diperlukan

adanya toleransi. Sebab, toleransi tanpa adanya sikap pluralistik tidak akan menjami

tercapainya kerukunan antarumat beragama yang langgeng. Demikian juga

sebaliknya.2

Dalam konteks sosiologis masyarakat Indonesia, pluralisme tidak dapat

dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita mejemuk, beraneka

ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama. Sebab, jika hal semacam ini yang

menjadi pemahaman, maka bukan pluralisme yang dipahami, tetapi hanya

menggambarkan kesan fragmentatif. Selain itu, pluralisme juga tidak boleh dipahami

sekadar sebagai sebuah kebaikan yang negatif. Sebab, cara pandang semacam ini

hanya mampu meminimalisasi fanatisme, tetapi belum sampai ke taraf membangun

pluralisme secara hakiki.3

1 Kautsar Azhari Noer, Menyemarakkan Dialog Agama (Prespektif Kaum Sufi), (Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1999), hlm. 872

2 Alwi Shihab, Islam Inklusif, Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung: Mizan, 1998), cet. Ke-3, hlm. 41.

3 Ngainun Naim, Achmad Sauqi, Pendidikan Multikultural, Konsep dan Aplikasi, (Jogjakarta: Ar Rizz Media, 2008), hlm. 76

4

Page 5: Pendidikan Islam Berwawasan Pluralis

Pluralisme dan toleransi menjadi tantangan modernitas yang paling nyata. Hal

ini sebenarnya tidak menjadi persoalan pada generasi awal bagi umat Islam, Kristen,

maupun Yahudi. Generasi Islam awal cenderung lebih toleran jika dibandingkan

dengen generasi Islam yang lebih belakangan. Meminjam pendapat Lewis, Achmad

Sauqi mengatakan, semangat toleransi telah diwujudkan dalam kegiatan praktis

sehari-hari pada masa awal-awal kaum Muslim, Kristen, Yahudi. Meskipun mereka

menganut agama yang berbeda, namun mereka dapat membentuk masyarakat tunggal

yang di dalamnya perlawanan antarpribadi, kemitraan dalam bisnis, hubungan guru-

murid dalam kehidupan ilmu pengetahuan, dan bentuk-bentuk kegiatan bersama yang

lain berlangsung normal dan bahkan sangat umum.4

Alwi Sihab menjelaskan beberapa konsep pluralisme: Pertama, pluralisme

tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan. Nmun yang

dimaksud dengan pluralisem adalah keterlibatan aktif terhadap kemajemukan

tersebut. Pluralisme agama dan budaya, atau multikulturalisme, dapat dijumpai

dimana-mana. Tetapi, seseorang baru dapat dikatakan menyandang sifat sebagai

seorang pluralis apabila ia dapat berinteraksi secara positif dalam lingkungan

kemajemukan tersebut. Dengan kata lain, pengertian pluralisme agama adalah bahwa

tiap pemeluk agama dituntut untuk bukan saja mengakui keberadaan dan hak agama

lain, tetapi juga dituntut untuk terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan

persamaan guna tercapainya kerukunan dan kebhinekaan.

Kedua, pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme.

Kosmopolitanisme menunjuk kepada suatu realitas di mana aneka ragam ras dan

bangsa hidup di suatu lokasi. Misalnya, kota New York. Di kota ini, terdapat orang

Yahudi, Kristen, Muslim, Hindu, Buddha, bahkan orang-orang tanpa agama. Namun,

interaksi poditif antarpenduduk ini, khususnya dalam bidang agama, dangat sedikit.

Kalaupun ada, itu pun tidak mencerminkan sisi kualitas secara memadai.

Ketiga, konsep pluralisme tidak dapat disamakan dengan relativisme.

Seseorang yang menganut relativisme akan berasumsi bahsa hal-hal yang

menyangkut kebenaran atau nilai-nilai ditentukan oleh pandangan hidup serta

4 Ibid., hlm. 83

5

Page 6: Pendidikan Islam Berwawasan Pluralis

kerangka berpikir seseorang atau masyarakatnya. Sebagai konsekuensi dari paham

ini, agama apa pun harus dinyatakan benar. Atau tegasnya. “semua agama adalah

sama”.

Keempat, pluralisme agama bukanlah sinkretisme, yakni menciptakan suatu

agama baru dengan memadukan unsur-unsur tertentu atau sebagian komponen ajaran

dari beberapa agama untuk dijadikan bagian integral dari agama tersebut.5

Secara prinsipil, harus dibangun pemahaman yang tepat terhadap pluralisme.

Pluralisme, sekali lagi, bukanlah memiliki tujuan untuk membangun keseragaman

bentuk agama. Pemahaman pluralisme, terutama yang menyangkut perdebatan abadi

sepanjang menyangkut masalah keselamatan, yaitu bagaimana suatu teologi dari

suatu agama mendefenisikan dirinya di tengah-tengah agama lain, sampai sekarang

memang masih menjadi suatu persoalan besar.

C. Pluralisme Agama

Pluralisme merupakan salah satu istilah yang cukup sensitif. Pemahaman dan

pemaknaan terhadap pluralisme sesungguhnya memiliki makna yang cukup

signifikan dalam kehidupan yang kompleks dan heterogen. Namun, istilah pluralisme

sendiri telah menjadi komoditas yang masuk dalam ranah otoritas keberagaman.

Fatwa MUI bahwa pluralisme meupakan paham yang sesat dan menyesatkan, atau

dhal wal mudhil dalam istilah Wahbah Al- Zyhaily, merupakan bukti bahwa kata

pluralisme memang memiliki sensitivitas. Dengan demikian, pluralisme yang

sesungguhnya memiliki tujuan mulia dalam penciptaan kehidupan yang toleran dan

saling menghargai, tereduksi maknanya secara substansial.

Wacana pluralisme sebenarnya tidak berpretensi menghilangkan nilai-nilai

partikular dari agama, karena upaya seperti itu merupakan hal yang tidak mungkin.

Wacana ini, menurut istilah M. Amin Abdullah, hanya berupaya agar nilai partikular

ini tetap berada dalam exclusive locus, yaitu berada dalam wilayah komunitas yang

mempercayai nilai partikular itu saja. Sedangkan bagi masyarakat plural yang tidak

5 Alwi Shihab, Op.Cit., hlm. 41-42

6

Page 7: Pendidikan Islam Berwawasan Pluralis

percaya, maka diberlakukan nilai universal. Partikularitas nilai dari suatu agama,

lebih-lebih partikularitas ritual-ritual agama, hanya diperuntukkan bagi intern

pemeluk agama itu sendiri, dan tidak boleh dipaksakan kepada mereka yang tidak

mempercayainya. Dalam menghadapi pemeluk agama berbeda, yang harus

dikedepankan adalah nilai-nilai universal, semacam keadilan, kemanusiaan,

kesetaraan, berbuat baik terhadap sesama, kejujuran, dan lain sebagainya.6

Dasar pandangan semacam ini merupakan bentuk semangat humanitas dan

universalitas Islam. Humanitas maksudnya Islam merupakan agama kemanusiaan

(fitrah). Kerasulan Muhammad bertujuan mewujudkan rahmat bagi seluruh alam

(rahmatan lil ‘alamin). Jadi, bukan semata-mata untuk menguntungkan komunitas

Islam semata.

Pandangan semacam ini tidaklah teoritis semata. Sejarah Islam masa lalu

membuktikan bahwa Islam tampil secara inklusif dan sangat menghargai minoritas

non-Muslim. Sikap inklusivisme muncul karena Al-Quran mengajarkan tentang

kemajemukan beragama. Sebagaimana dinyatakan oleh Nucholis Madjid bahwasanya

Islam adalah agama terbuka yang menolak ekslusivisme dan absolutisme. Oleh

karena itu, hal yang penting untuk dilakukan adalah bagaimana umat Islam

mengembangkan dimensi pluralitas itu sehingga menerima pluralisme, yakni sistem

nilai yang memandang secara positif-optimis terhadap kemajemukan itu sendiri,

dengan menerimanya sebagai kenyataan dan berbuat sebaik mungkin atas dasar

kenyataan tersebut.

Nurcholis Madjid menegaskan, sebagai konsekuensi dari paham

kemajemukan beragama ini, umat Islam harus memosisikan diri sebagai mediator dan

moderator di tengah pluralitas agama-agama. Masalah Islam vis a vis pluralisme

adalah masalah bagaimana kaum Muslim mengadaptasikan diri dengan dunia

modern. Dan ini, pada gilirannya, melibatkan masalag bagaimana mereka melihat dan

6 M. Amin Abdullah, Kesadaran Multikultural; Sebuah Gerakan Interezt Minimalization Dalam Meredakan Konflik Sosial, dalam M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Pilar, 2006). Hlm. xiv

7

Page 8: Pendidikan Islam Berwawasan Pluralis

menilai perubahan dan kehausan membawa masuk nilai-nilai Islam normatif dan

universal ke dalam dialog dengan realitas ruang dan waktu.7

D. Wajah Pendidikan Agama Islam

Menarik menyimak komentar Azyumardi Azra ketika menulis tentang

kontribusi pendidikan agama Islam dalam membangun semangat progresivitas dan

etika kaum muslim. Menurutnya nuansa pendidikan Islam masih saja belum beranjak

dari pola yang hanya sekedar berfungsi sebagai transfer of knowledge, dan belum

menyentuh dimensi transfer of values. Islam sebagai totalitas ajaran hanya dicermati

sebagai materi agama yang harus dihapal dan tidak penting diupayakan begaimana

siswa mampu bersikap Islami. Oleh karena itu, sangat kuat terkesan bahwa yang

terjadi baru pada tahap proses “pengajaran” dan belum merambah fungsi

“pendidikan”.8

Kegagalan pendidikan agama Islam di negeri ini agaknya terletak pada

kenyataan bahwa proses yang terjadi dalam pendidikan tidak lebih dari sekedar

pengajaran dan itupun masih jauh dari hasil yang diharapkan dari proses pengajaran.

Pendidikan agama Islam sering hanya lebih mementingkan proses peningkatan

kemampuan akal, jasmani, dan keterampilan. Sebaliknya, sangat kurang menyentuh

proses peningkatan kualitas kalbu, rohani, dan etika. Akibatnya adalah kerusakan

akhlak anak didik tidak dapat dihindari.

Hingga saat ini, pendidikan agama di sekolah-sekolah maupun institusi

pendidikan lainnya, dianggap masih cenderung dogmatis serta kurang

mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif sehingga melahirkan

pemahaman agama yang tekstual dan eksklusif. Dalam konteks inilah maka

pendidikan agama melalui upaya pendekatan pluralis merupakan sebuah keniscayaan.

Pendidikan agama Islam berwawasan pluralis harus dirancang dan dikembangkan

secara integratif, komprehensif dan konseptual.

7 Nurcholis Madjid, Mencari Akar Islam bagi Pluralisme Modern; Pengalaman Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 102

8 Abdurrahmansyah, Op.Cit., hlm. 92

8

Page 9: Pendidikan Islam Berwawasan Pluralis

Dalam konteks pendidikan Islam yang pluralis, seorang pendidik dituntut

bersikap demokratis. Seorang pendidik sudah seharusnya menjelaskan bahwa inti dari

ajaran agama islam adalah menciptakan kedamaian dan kesejahteraan bagi seluruh

umat manusia, dan segala bentuk kekerasan sangat dilarang oleh agama. Dalam hal

ini, setiap unit pendidikan diharapkan dapat menerapkan peraturan lembaga yang di

dalamnya mencakup poin tentang larangan segala bentuk diskriminasi, sehingga

semua komponen yang ada di unit pendidikan itu dapat selalu belajar untuk saling

menghargai orang lain yang berbeda. 

Semua kita berpretensi membongkar (to deconstruct) semua persoalan sekitar

pengajaran agama dalam pengertiannya yang menjelimet. Untuk itu perlu kiranya

dipetakan (mapping) pelaksanaan pendidikan agama dalam institusi Islam (Islamic

education) dalam frame menawarkan jalan baru perambahan pengajaran Islam agar

proses pendidikan Islam mampu memberikan asa dan harapan untuk membangun

sikap keterbukaan, toleransi, demokrasi, inklusivisme dan pluralisme.

Semangat pluralisme yang harus mewarnai pelaksanaan pendidikan Islam

secara metodologis telah lama dikemukakan oleh banyak ilmuwan muslim.

Bediuzzaman Said Nursi misalnya, sebagai seorang ulama dari Turki yang sudah

mencapai tingkat spiritualitas yang mumpuni melalui tulisan-tulisannya juga

menegaskan bahwa Islam sebagai perangkat ajaran hikmah untuk seluruh alam,

sesungguhnya memiliki peran yang sangat besar untuk mewarnai pelaksanaan

pendidikan yang bersifat universal.

Adalah amat riskan jika agama diajarkan secara parsial dan anti dialog

sednagkan kita berada dalam sebuah masyarakat yang heterogen secara budaya da

agama. Para guru agama sesungguhnya dituntut untuk mengajarkan agama secara arif

dan menanamkan semangat pluralitas kepada anak didik, agar mereka tidak bingung

berdiri dalam arus keberagaman. Kegagalan guru-guru agama dalam menanamkan

nilai-nilai seperti ini akan sangat beresiko menanamkan bibit perselisihan dan konflik

agama.

Guru agama dengan seperangkat keterampilan dan pengetahuan

metodologisnya memiliki tanggungjawab dan menjadi tumpuan harapan bagi

9

Page 10: Pendidikan Islam Berwawasan Pluralis

tercerahnya peserta didik dari berbagai bentuk penindasan intelektual. Guru agama

harus benar-benar memiliki wawasan (insight) keislaman yang lintas kelompok, lintas

mazhab, lintas aliran, dan bahkan bila perlu lintas agama (passing over), sehingga

tidak terjebak pada pola dan kerangka pemikiran keagamaan sempit. Pendidikan

multikultural dan multiagama akan sangat mungkin didekati dengan metodologi

pendidikan agama yang lintas keyakinan. Melalui pendidikan agama yang sarat

dengan nilai-nilai kemanusiaan seorang guru agama amat dimungkinkan untuk

memberikan muatan-muatan dan penguatan (empowerment) terhadap pentingnya

menjaga kebersamaan dalam keberanekaragaman (pluralitas).9

E. Menggagas Pendidikan Islam Berwawasan Pluralisme

Perbincangan tentang pluralisme memang lebih banyak berkaitan dengan

aspek agama, sosial, ataupun politik. Sementara yang membahasnya dari aspek

pendididikan relatif lebih sedikit. Oleh karena itu, menjadi hal yang wajar jika

terminologi pendidikan pluralisme relatif belum banyak dikenal luas oleh publik. Hal

ini dapat dimaklumi mengingat konsepsi dan signifikansinya dalam konteks

masyarakat Indonesia baru menemukan momentumnya dalam beberapa tahun

belakangan seiring munculnya berbagai macam persoalan yang berkaitan dengan

realitas masyarakat Indonesia yang Pluralis. Apalagi kenyataannya, gaung

meyakinkan bagi masyarakat yang seharusnya mengapresiasi secara maksimal

terhadap diskursus ini. Masyarakat yang harus mengapresiasi pendidikan

multikultural adalah mesyarakat yang secara objektif memiliki anggota yang

heterogen dan pluralis. Paling tidak, heterogenitas dan pluralitas anggotanya bida

dilakukan dari eksistensi keragaman suku, ras, aliran (agama), dan budaya (kultur).

Diskursus tentang pendidikan pluralisme sebenarnya sudah mulai

bermunculan dalam beberapa waktu terakhir. Ngainun Naim misalnya, meminjam

definisi dari Frans Magnis Suseno, mendefinisikan pendidikan pluralisme sebagai

suatu pendidikan yang mengandaikan kita untuk membuka visi pada cakrawala yang

9 Abdurrahmansyah, SintetisKretaif: Pembaruan Kurikulum Pendidikan Islam Isma’il Raji al-Faruqi, (Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2002), hlm. 4.

10

Page 11: Pendidikan Islam Berwawasan Pluralis

lebih luas serta mampu melintas batas kelompok etnis atau tradisi budaya dan agama

kita, sehingga kita mampu melihat “kemanusiaan” sebagai sebuah keluarga yang

memiliki perbedaan maupun kesamaan cita-cita. Inilah pendidikan akan nilai-nilai

dasar kemanusiaan untuk perdamaian, kemerdekaan, dan solidaritas.10

Abdurrahmansyah menegaskan, diskursus pendidikan pluralis sangat relevan

diperbincangkan untuk konteks pendidikan di Indonesai. Secara kultural,

heterogenitas masyarakat Indonesia dengan varian suku, adat, bahasa, adgama, dan

pandangan hidup membutuhkan pencermatan yang matang dalam memformulasi pola

pendidikan untuk semua (education for all).11

Dalam konteks pendidikan Islam Pluralisme, sebagaimana yang menjadi tema

utama bahasan ini, pluralisme mengandung pengertian kemajemukan agama. Basis

utamanya dieksplorasi dengan melandaskan pada ajaran agama Islam, sebab dimensi

Islam menjadi dasar pembeda sekaligus titik tekan dari konstruksi pendidikan ini.

Penggunakan kata Pendidikan Islam tidak dimaksudkan untuk menegasikan ajaran

agama lain, atau pendidikan non-Islam, tetapi justru dengan ajaran yang menghargai

dimensi pluralis. Apalagi, pendidikan Islam sendiri telah eksis dan memiliki

karakteristik yang khas, khususnya dalam diskursus pendidikan di Indonesia.

Penggunaan istilah pluralis yang dirangkai dengan kata pendidikan Islam

dimaksudkan untuk membangun sebuah paradigma sekaligus konstuksi teoritis dan

aplikatif yang menghargai keragaman agama dan budaya.

Konstruksi pendidikan semacam ini berorientasi pada proses penyadaran yang

berwawasan pluralis secara agama. Dalam kerangka yang lebih jauh, konstruksi

pendidikan Islam Pluralisme dapat diposisikan sebagai bagian dari upaya secara

komprehensif dan sistematis untuk mencegah dan menanggulangi konflik etnis

agama, radikalisme agama, dan integrasi bangsa. Sedangkan nilai dasar dari konsep

pendidikan ini adalah toleransi, yaitu menghargai segala perbedaan sebagai realitas

10 Ngainun Naim, Ahcmad Sauqi, Op.Cit., hlm. 50 11 Abdurrahmansyah, Wacana Pendidikan Islam: Khazanah Filosofis dan Implementasi

Kurikulum, Metodologi dan Tantangan Pendidikan Moralitas, (Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2004), hlm. 89

11

Page 12: Pendidikan Islam Berwawasan Pluralis

yang harus diposisikan sebagaimana mestinya, bukan dipaksakan untuk masuk ke

dalam suatu konsepsi tertentu.

Pendidikan agama Islam harus mampu menawarkan pengajaran yang

membebaskan dan mampu mencerahkan peserta didik dalam membangun semangat

saling menghargai, toleransi, dan menerima perbedaan sebagai sunnatullah. Upaya

strategis pendidikan Islam diarahkan untuk membangun metodologi yang dapat

membangun karakter semua anak didik menjadi aris dan memiliki wawasan

kemanusiaan yang universal (rahmatan lil ‘alamin). Beberapa pendakatan wawasan

modern tentang pendidikan perlu diakses dan dicermati secara akademik ilmiah untuk

menemukan sebuah model dan pola pendidikan pluralis.

Seiring maraknya amuk massa, pertikaian dan permusuhan yang bermuara

pada berjatuhnya korban kemanusiaan yang akhir-akhir ini dirasakan Indonesia,

setidaknya memaksa kita semua mengevaluasi pelaksanaan pengamalan keagamaan.

Melihatnya dalam kacamata keagamaan cukup beralasan mengingat tidak sedikit aksi

kekerasan (violence) itu dimotivasi oleh sentimen dan fanatisme agama.12 Aneh

memang, agama yang latar belakang diturunkannya untuk menentramkan umat

manusia, justru menjadi pemicu terjadinya aksi kekerasan antar sesama. Apa yang

keliru dari semua ini. Banyak jawaban yang dapat diajukan untuk menjawab

pertanyaan itu. Orang bisa mengatakan bahwa semua kekerasan itu dilatarbelakangi

oleh faktor kesenjangan ekonomi, perebutan kekuasaan politik, dan seterusnya.

Namun, sebagai masyarakat akademik, agaknya penting pula untuk melihatnya dari

aspek perspektif pelaksanaan pendidikan Islam.

Mengangkat tema tentang pelaksanaan pendidikan Islam, sesungguhnya

menyiratkan secare general pada pelaksanaan pengajaran agama oleh semua institusi

agama yang ada di Indonesia, termasuk pengajaran agama Kristen, Buddha, Hindu,

Protestan dan seterusnya. Wacana ini penting didiskusikan untuk melihat sejauh mana

pola pengajaran agama yang telah dilakukan selama ini mampu mencerahkan

oenganutnya sehingga daat meneladani sifat Tuhan Yang Maha Agung itu.

Signifikansi selanjutnya dari mengangkat tema ini adalah realitas plural agama yang

12 Log. Cit., hlm. 89, lihat Karen Amstrong, The Battel for Gid, (New York: A Knotf, 2001)

12

Page 13: Pendidikan Islam Berwawasan Pluralis

sejak lama telah ada di negeri in, bukan disesali dan justru menggelisahkan salah satu

kelompok agama. Tetapi bagaimana pluralisme agama ini dapat mendidik kita

sebagai hamba Tuhan yang arif dan saling menghormati, yang hal ini menjadi inti

dari semua agama.

Sejarah masa lalu bangsa ini kurang lebih 32 tahun memang belum mampu

menjadikan agama sebagai agen transformasi masyarakat, tetapi justru agama hanya

dijadikan sebagai ideologi massa. Dengan demikian akan sangat wajar apabila

masyarakat beragama di Indonesia memiliki sikap intoleransi, parokial, dan gethoism.

Atar sesama penganut hampir setiap hari nyaris terjadi pertikaian, permusuhan,

bahkan pembunuhan. Yang menyedihkan, justru agama senantiasa dibawa-bawa

sebagai pembenar dari semua tindakan munkar itu. Agama akhirnya tidak pernah

imun dari konflik yang tidak berkesudahan demi kepentingan masing-masing

penganutnya.13

Realitas empirik dan carut marut perilaku keagamaan yang menyimpang

seperti digambarkan di atas, ternyata juga dikukuhkan oleh pendidikan agama

disekolah-sekolah, madrasah, seminar, dan institusi pendidikan agama lainnya, yang

justru membekali dan mendoktrin para siswa dan mahasiswa dengan mental yang

amat kerdil dan berpikiran negatif (su’udzon) terhadap orang lain yang berbeda

dengan pandangan yang dimilikinya. Pendidikan agama disekolah-sekolah adalah

pendidikan agam yang bersifat ideologis-otoriter. Kering nuansa dialog didalamnya.

Pendidikan agama diajarkan secara literer, formalistik sehingga wawasan

pluralisme yang menjadi ciri khas kultur bangsa Indonesia tidak nampak sama sekali.

Pengajaran agama yang mencoba menumbuhkembangkan kritisisme dan apresiasi

atas agamanya sendiri atau agama orang lain bahkan dapat dicap sebagai

menyesatkan. Oleh karena itu, dapatkah kita berharap akan muncul sebuah

masyarakat yang damai, saling menghargai dan harmonisasi dalam metodologi

pengajaran agama yang kaku dan rigid dan bahkan cenderung anti dialog ?

Tanpa adanya ruang dialog untuk membangun persepsi dan pemahaman

terhadap perbedaan yang ada, maka yang terbangun adalah sikap eksklusif, tidak

13 Ibid., hlm. 90

13

Page 14: Pendidikan Islam Berwawasan Pluralis

toleran, dan watakm “sangar” yang menunjukkan kekerasan tanpa kompromi.14

Dalam konteks inilah, kita dapat menemukan kelompok-kelompok keagamaan yang

cenderung tidak toleran, seperti kaum fundamentalis, ekstremis, bhakan teroris, yang

mana mereka memang tersingkir dalam beragam konstelasi. Ketersingkiran inilah

yang kemudian terekspresikan dalam cara pandang yang eksklusif dan tidak toleran.

Sekali lagi, dialog adalah jiwa universal yang melampaui pertempuran agama-

agam, konfrontasi pandangan ilmiah denga kehidupan agama dan spiritual, alienasi

dunia etnik yang destruktif, fragmentasi dan disintegrasi kehidupan batin individu,

frustasi kebudayaan-kebudayaan sekuler dalam upaya membuka ruang dan waktu

publik di mana pluralitas pandangan dunia, perspektif, dan ideologi dapat maju

bersama-sama dengan spirit perdamaian, rekonsiliasi (sulh), pengampunan (‘afw) nir-

kekerasan (lyn), dan berkeadaban (madani).15

F. Penutup

Melihat peta dan pola pengajaran agama Islam yang selama ini dilakukan

secara terus menerus, agaknya para peneliti, guru, dosen, dan masyarakat pendidikan

perlu mengevaluasi dan merekonstruksi kembali metodolodi dan pola pengajaran

agama untuk menemukan hasil pengajaran agama yang benar-benar dapat

“menyelamatkan”. Sebab terdapat banyak resiko jika memahami agama sebagai

urusan vertikal semata tanpa merancangnya dalam berbagai urusan kemanusiaan

dalam pola interaksi yang harmonis.

Upaya yang bernuansa reformatif dan inovatif-rekonstruktif terhadap model

pendidikan agama dan pendidikan sosial keagamaan di era kontemporer sangatlah

mendesak dilakukan Pluralisme sebagai sikap yang mengakui dan menghargai

keadaan yang majemuk secara etnis, kebudayaan dan paham keagamaan adalah

sangat dibutuhkan untuk menciptakan dan memelihara kerukunan antaragama.

14 Ngainun Naim, Ahcmad Sauqi, Op.Cit., hlm. 108 15 Zakiyuddin Baidhawy, Membangun Sikap Multikulturalis Perspektif Teologi Islam,

(Surakarta: PSB-PS UMS, 2005), hlm. 25-26

14

Page 15: Pendidikan Islam Berwawasan Pluralis

Kegagalan pendidikan agama selama ini, setidaknya disebabkan oleh tiga

faktor. Pertama, pola pengajaran yang lebih disebabkan pada transfer of knowledge

dari pada transfer of values. Kedua, pendidikan agama tidak lebih hanya sebagai

hiasan kurikulum dan kurang bermakna keberadaannya. Ketiga, kurangnya

penekanan pengajaran agama pada dimensi kesalehan sosial dan penanaman nilai

cinta kasih, persahabatan, suka menolong, cinta damai dan toleransi.

Melihat kemajemukan di negara ini adalah penting mempertimbangkan

perancangan pola dan metodologi pengajaran agama Islam yang menyentuh dimensi-

dimensi kemanusiaan, terutama persoalan hak asazi manusia dan akhlak. Indonesia

harus dibangun sebagai negara pluralis dimana semua pemeluk agama dapat saling

menghargai dan hidup berdampingan tanpa kecurigaan. Ajaran untuk semua

(rahmatan lil ‘alamin) harus menunjukkan komitmen menuju tujuan dan cita-cita

mulia tersebut.

Daftar Pustaka

15

Page 16: Pendidikan Islam Berwawasan Pluralis

Abdurrahmansyah, Wacana Pendidikan Islam: Khazanah Filosofis dan Implementasi Kurikulum, Metodologi dan Tantangan Pendidikan Moralitas, (Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2004)

_________, SintetisKretaif: Pembaruan Kurikulum Pendidikan Islam Isma’il Raji al-Faruqi, (Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2002)

Abdullah, M. Amin, Kesadaran Multikultural; Sebuah Gerakan Interezt Minimalization Dalam Meredakan Konflik Sosial, dalam M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Pilar, 2006).

Madjid, Nurcholis, Mencari Akar Islam bagi Pluralisme Modern; Pengalaman Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998)

Noer, Kautsar Azhari, Menyemarakkan Dialog Agama (Prespektif Kaum Sufi), (Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1999)

Ngainun Naim, Achmad Sauqi, Pendidikan Multikultural, Konsep dan Aplikasi, (Jogjakarta: Ar Rizz Media, 2008)

Shihab, Alwi, Islam Inklusif, Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung: Mizan, 1998), cet. Ke-3

Zakiyuddin Baidhawy, Membangun Sikap Multikulturalis Perspektif Teologi Islam, (Surakarta: PSB-PS UMS, 2005)

16