183

Pendidikan Anak Dengan - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/6529/1/BUKU HAMBATAN PENGLIHATAN.pdf · lemah penglihatan. Ada juga beberapa anak mengalami hambatan penglihatan sesudah

  • Upload
    others

  • View
    16

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

i

Pendidikan Anak Dengan

Hambatan Penglihatan

Penulis:

Utomo, M.Pd.

Nadya Muniroh, M.Pd.

Editor:

Dr. Mashud, S.Pd.,M.Pd.

Layout & Cover:

Ardi Maulana

Cetakan Pertama, Maret 2019

Ukuran : 14,8 x 21 cm

Jumlah hal : i-viii | 1-171

Penerbit :

Prodi. PJ JPOK FKIP ULM Press

Jl. Taruna Praja Raya Loktabat Utara Kota Banjarbaru Kal-Sel

E-Mail: [email protected]

ISBN: 978-602-53601-3-8

Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang

Ketentuan Pidana Pasal 112 - 119. Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak

Cipta. Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau

seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.

ii

iii

KATA PENGANTAR

engan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Penyayang,

segala puji bagi Allah Yang Maha Mengetahui lagi

Pemberi Petunjuk serta Pertolongan. Shalawat dan

salam senantiasa kita haturkan untuk Nabi Besar Muhammad

SAW, Nabi yang ikhlas memberi kita bimbingan hingga kita dapat

keluar dari zaman kegelapan jahiliyah menuju zaman yang

terang benderang seperti sekarang ini. Berkat hidayah Allah

serta taufiknya penulis dapat menyelesaikan buku “Pendidikan

Anak dengan Hambatan Penglihatan”.

Semua orang tua pastinya menginginkan anaknya terlahir

sesuai yang diharapkan. Semua orangtua tentu mengharapkan

anaknya terlahir dalam keadaan sempurna penglihatannya dan

sempurna yang lainnya. Namun ada beberapa keinginan yang

belum dikabulkan oleh Allah STW. Beberapa orangtua

melahirkan anaknya dalam keadaan mempunyai hambatan

penglihatannya, baik tidak bisa melihat sama sekali maupun

lemah penglihatan. Ada juga beberapa anak mengalami

hambatan penglihatan sesudah dilahirkan atau dalam masa

pertumbuhan dan perkembangan. Tapi bagaimana pun, mereka

adalah seorang anak yang juga tidak ingin dilahirkan sebagai

anak yang terlahir dalam keadaan mempunyai hambatan

D

iv

penglihatan. Kita sebagai orang tua, mau tidak mau harus

menerimanya dengan ikhlas meskipun perlu proses untuk

menerima keadaan.

Anak, dalam keadaan apapunkan tetap harus mendapatkan

perhatian, apalagi jika anak mempunyai hambatan penglihatan,

maka perlu mendapatkan perhatian yang lebih untuk optimalnya

pertumbuhan maupun perkembangannya, termasuk perhatian

dalam pendidikannya. Kita harus memahami apa yang mereka

butuhkan karena tidak semua kegiatan dapat mereka lakukan.

Kita juga harus mendidik mereka agar mereka tumbuh tidak

sebagai anak yang terpuruk sebagai dampak dari kelainannya,

melainkan seperti kebanyakan anak lainnya yang tumbuh

berbeda, meskipun pada kenyataanya berlainan. Seperti hal nya

yang diatur dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 1 bahwa : “Tiap-tiap

warga negara Indonesia berhak mendapatkan pengajaran”. Jelas

disitu tertuang bahwa tidak ada kata diskriminasi dalam proses

pembelajaran, baik mereka anak pada umumnya maupun anak

berkebutuhan khusus.

Penulis mencoba untuk mengurai siapa anak dengan

hambatan penglihatan dan bagaimana gambaran penanganan

pendidikannya. Semoga buku ini bermanaat bagi orangtua, guru-

guru, mahasiswa, maupun semua orang yang ingin mewujudkan

kepeduliannya terhadap anak-anak dengan hambatan

penglihatan.

Adalah wajar jika dalam buku ini banyak terdapat

kekeliruan, kesalahan dan kejanggalan baik dari susunan

bahasanya, tata cara penulisannya, maupun dari segi materinya

sendiri. Kesemuanya itu bukanlah perbuatan yang disengaja

namun demikianlah kemampuan yang ada pada diri penulis.

Karena penulis sebagai manusia merupakan tempatnya salah

dan khilaf, hanya Allah semata yang paling sempurna dan Maha

Memiliki Kesempurnaan.

v

Selamat membaca. Kritik dan saran dari para pembaca

untuk perbaikan buku ini pada penerbitan berikutnya sangat

kami harapkan. Salam!

Banjarmasin, April 2019

Penulis,

Utomo | Nadya Muniroh

vi

vii

DAFTAR ISI

HALAMAN REDAKSI ...................................................................................... i

KATA PENGANTAR ...................................................................................... iii

DAFTAR ISI ..................................................................................................... vii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1

BAB II KONSEP MELIHAT .......................................................................... 9

BAB III HAMBATAN PENGLIHATAN ................................................. 13

A. Definisi ...................................................................................................... 13

B. Faktor Penyebab ................................................................................... 15

C. Karakteristik ........................................................................................... 18

D. Gradasi ...................................................................................................... 22

BAB IV IDENTIFIKASI DAN ASESMEN HAMBTAN

PENGLIHATAN ............................................................................................. 27

A. Konsep Dasar Identifikasi ................................................................. 27

B. Ruang Lingkup Identifikasi............................................................... 31

C. Pelaksanaan Identifikasi ................................................................... 33

D. Prosedur Identifikasi........................................................................... 34

E. Indikasi Ketunanetraan...................................................................... 35

F. Konsep Asesmen ................................................................................... 39

G. Tujuan Asesmen .................................................................................... 40

H. Pengembangan Instrumen ................................................................ 42

viii

I. Teknik Asesmen .................................................................................... 45

J. Pendekatan Asesmen Anak Tunanetra ........................................ 49

K. Bentuk Asesmen Anak Tunanetra ................................................. 52

L. Asesmen Bagi Anak Tunanetra ....................................................... 54

BAB V GAMBARAN PSIKOLOGIS ANAK TUNANETRA

BERDASARKAN WAKTU TERJADINYA KETUNANETRAAN .. 59

A. Anak Tunanetra sejak Lahir ............................................................. 59

B. Anak Tunanetra yang Mengalami Ketunanetraan

pada Masa Perkembangan ................................................................ 60

BAB VI ALAT BANTU ANAK TUNANETRA DALAM

PEMBELAJARAN .......................................................................................... 61

A. Optimalisasi Indra dalam Proses Pembelajaran ...................... 61

B. Alat Bantu Pembelajaran ................................................................... 67

C. Pengembangan Media Belajar untuk Anak Tunanetra ...... 109

D. Pengembangan Konsep pada Anak Tunanetra ...................... 110

BAB VII BRAILLE SEBAGAI MEDIA BELAJAR

KOMPENSATORIS ANAK TUNANETRA ......................................... 129

A. Sejarah Braille......................................................................................... 129

B. Sistematika Penggunaan Huruf Braille ........................................ 139

BAB VIII ORIENTASI MOBILITAS SEBAGAI MEDIA BELAJAR

KOMPENSATORIS ANAK TUNANETRA ......................................... 147

A. Pengertian Orientasi dan Mobilitas ............................................... 147

B. Teknik-Teknik Orientasi dan Mobilitas ....................................... 149

DAFAR PUSTAKA ...................................................................................... 165

1

PENDAHULUAN

emiliki fungsi penglihatan yang sempurna adalah suatu

anugerah terbesar yang tidak semua orang dapat

merasakannya. Dengan memiliki fungsi penglihatan

yang sempurna kita dapat dengan mudah melangkah tanpa

harus takut hilang arah. Dengan memiliki fungsi penglihatan

yang sempurna kita dapat dengan mudah melihat dunia yang

penuh warna, bentuk juga rupa. Fungsi penglihatan yang

sempurna membuat kita belajar bisa lebih lengkap konsepnya,

sebab penglihatan memegang peranan penting di dalam

memahami sebuah konsep.

Pernahkah kita membayangkan bagaimana jika kita

terlahir sebagai seseorang dengan fungsi penglihatan yang

memiliki hambatan? Tidak memiliki kesempatan untuk

tersenyum lebar ketika memandangi indahnya warna-warni

dunia ini. Sulit melangkah sebab navigasi terbaik berupa

penglihatan tidak dapat difungsikan secara utuh. Rasa-rasanya

akan selalu membutuhkan bantuan untuk menyelesaikan

berbagai aktivitas. Dan perlu cara lain dalam memahami

berbagai ilmu pengetahuan. Sekian hal yang harusnya mudah

dilalui, terkadang menjadi sulit dan serba terbatas. Mungkin

seperti itulah sedikit gambaran yang dirasakan sahabat-sahabat

M

2

kita dengan hambatan penglihatan atau yang lebih dikenal

dengan tunanetra. Orang-orang dengan hambatan penglihatan

cukup besar jumlahnya. Menurut data dari PPLS tahun 2012,

populasi tunanetra di Indonesia diestimasikan sebesar 142.860

orang (Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan Kemenkes,

2014).

Stigma negatif terhadap orang-orang yang mengalami

hambatan penglihatan telah lama berlangsung. Sepanjang

sejarah, misalnya kebutaan telah digunakan sebagai istilah untuk

mengartikan bahwa sesuatu tidak dipahami, seperti "Saya buta

terhadap gagasan itu". Kebutaan juga sering untuk

menggambarkan keadaan orang lanjut usia: "tua dan buta."

Gambaran terhadap pengemis, juga sering menggunakan istilah

“pengemis buta”. Dan masih banyak lagi stigma-stigma negatif

yang “membawa” istilah yang berhubungan dengan hambatan

penglihatan. Seakan orang-orang yang mengalami hambatan

penglihatan, dikonotasikan orang yang tidak berdaya. Stigma

yang terkait dengan kehilangan penglihatan mempengaruhi cara

pandang, sikap, perlakuan yang diskriminatif. FENOMENA

DISKRIMINASI TERHADAP MEREKA YANG MENGALAMI

HAMBATAN PENGLIHATAN (DAN JUGA DISABILITAS

LAINNYA) HARUS KITA HENTIKAN. Mereka harus kita pandang

sebagaimana manusia lainnya. Hambatan penglihatan harus kita

pandang sebagai sesuatu yang wajar dan hanya sebagai sesuatu

yang berbeda saja, sebagaimana setiap orang juga mempunyai

perbedaan dengan yang lainnya. Perbedaan kita (orang yang

melihat) dengan mereka (orang yang mempunyai hamatan

penglihatan) hanyalah: “saya dapat melihat, anda tidak bisa

melihat atau lemah pengilhatan”. Memang bagi orang yang

mempunyai hambatan penglihatan memerlukan

penanganan/perlakuan khusus, akan tetapi kekhususan

penanganan terhadap mereka yang mempunyai hambatan

3

penglihatan harus kita pandang sebagai sesuatu yang wajar dan

memang sebuah kebutuhan sebagaimana orang lain juga

mempunyai kebutuhan khusus juga. MEREKA SETARA DENGAN

ORANG YANG MELIHAT (ORANG AWAS). SETARA TIDAK

HARUS SAMA.

Stigma negatif bagi orang-orang yang mempunyai

hambatan penglihatan tidak selamanya benar. Jika ada sesuatu

yang benar, maka hal tersebut sebenarnya kesalahan bagi kita

(lingkungan) yang oleh Allah diberi kelebihan “melihat.” Salah

satu kesalahan kita yaitu, kita tidak segera memberi kesempatan

yang kondusif untuk perkembangan dan kemajuan bagi orang-

orang disabilitas netra. Mereka sering tidak mendapatkan

penanganan yang semestinya. Mereka sering mendapatkan

pendidikan yang tidak tepat. Mereka sering tidak diberi

kesempatan untuk ikut bekerja bersama-sama dengan kita.

Mereka kita anggap orang yang tidak mampu. Intinya kesalahan

kita yaitu, mereka sering mendapatkan perlakuan yang

diskriminatif. Sebuah keyakinan yang mendasar, bahwa jika

mereka (disabilitas netra) tersebut diperlakukan setara seperti

orang-orang lain yang melihat, maka bukan tidak mungkin

mereka akan berkembang dan akan menjadi manusia yang ikut

serta dalam proses pembangunan, memajukan negeri tercinta

ini. Keadaan disabilitas tidak menutup kemungkinan untuk bisa

setara dan bahkan bisa melebihi kapasitasnya sebagai insan

daripada kita yang non disabilitas netra. Banyak orang-orang

disabilitas netra sukses dalam kehidupanya. Ternyata

kesuksesan mereka, selain motivasi yang`tinggi dari diri, juga

banyak sentuhan yang kondusif dari lingkungan. Sentuhan

kepedulian dari orangtua, guru, masyarakat, pemerintah dan

juga dunia usaha yang memberi kesempatan dan dukungan

untuk berkemabang. Di bawah ini beberapa kisah sukses orang-

orang yang mengalami hambatan penglihatan.

4

KISAH SUKSES HELEN KELLER

Hellen Keller, selain dia buta ternyata juga

Tuli. Akan tetapi berkat sentuhan gurunya

yang bernama Annie Sullivan yang luar

biasa, maka Hellen Keller menjadi seorang

tokoh Dunia. Perempuan cantik

penyandang tunanetra sekaligus tunarungu

ini adalah seorang penulis, aktivis politik

dan pengajar asal Amerika. Ia yang lahir

pada tanggal 27 Juni 1880 di Amerika

Serikat. Pada usia 19 bulan kedua mata dan

kedua telinganya tiba-tiba tidak berfungsi selamanya. Ia seorang

buta tuli pertama yang berhasil menyelesaikan kuliah seni,

berkat jasa gurunya Annie Sullivan yang berhasil mengajarkan

Helen cara berkomunikasi tanpa bahasa. Helen bahkan menjadi

pembicara terkenal di seminar-seminar internasional, dia

bahkan meraih academiy award untuk the unconquered, dalam

film biografinya. Hellen memang telah tiada, namun dia masih

hidup dalam karya-karya nyatanya dan menjadi penyemangat,

bahkan menjadi simbol kebangkitan dunia disability.

Menyandang disabilitas bukan berarti tidak berguna.

KISAH SUKSES STEVIE WONDER

Seorang penyanyi, penulis lagu,

produser rekaman, aktifis sosial ini

merupakan penyandang tunanetra

dari AS. Ia mempunyai nama asli

Steveland Judkins Hardaway. Ia

telah merekam dan menyanyikan

lebih dari 30 hit Top 10. pernah

meraih 21 Grammy Award,

penerima penghargaan Lifeme

5

Achievement Grammy Award, dan peraih piala oscar untuk

kategori lagu terbaik, lewat I Just Called its Say I Love You dari

albumnya The Woman in Red.

KISAH SUKSES MARY INGELLS

Mary Ingalls adalah seorang pelajar di

Iowa College for the Blind (sekarang Iowa

Braille and Sight) pada tahun 1881.

Upaya-upaya skolastiknya menjadi

terkenal melalui Laura Ingalls Wilder’s

Little House on the Prairie, yang

kemudian menjadi serial televisi.

Penggambaran Laura tentang penentuan saudara

perempuannya, Mary, dan keluarga mereka untuk melanjutkan

pendidikannya setelah dia kehilangan penglihatannta pada usia

14 tahun menunjukkan kepada dunia bahwa keberhasilan

seseorang yang buta dapat tercapai.

KISAH SUKSES SAHARUDIN DAMING

Beliau adalah seorang

tunanetra pertama yang lulus

kuliah S3 bidang hukum di

Universitas Hasanudin

Makasar. Keseharian Saharudin

Daming yang penyandang

Tunanetra sejak usia 10 tahun

ini adalah pernah menjadi

anggota Komnas HAM periode 2007-2012. Saharudin Daming

adalah satu-satunya anggota komnas HAM dari kalangan

disabilitas. Saharudin sekarang lebih banyak berkecimpung

dalam pekerjaan advokasi, terutama melakukan pembelaan

terhadap kaum disabilitas.

6

KISAH SUKSES DIDI TARSIDI

Ia menjadi tunanetra sejak berusia 5 tahun.

Seorang tunanetra yang meraih gelar

doktoralnya di UPI Bandung bidang

Bimbingan Kanseling ini meniti kariernya

mulai dari menjadi interpreter di Helen Keller

Internasional. Beliau kesehariannya mejadi

Dosen di UPI Bandung, khususnya di Jurusan

PLB dan Sekolah Pasca Sarjana. Aktifias beliau

lainnya diantaranya berkecimpung di Direktorat PSLB (sekarang

PK-LK Dikdas dan Dikmen), Menjadi pembicara forum-forum

ilmiah, terutama menyebarluaskan pendidikan lnkusif di tingkat

nasional maupun internasional, menjadi Ketua PERTUNI dua

periode (2004-2014). Sebagian tulisan beliau bisa anda akses di

https://d.tarsidi.blogspot.com. Tentu saja masih banyak lagi

aktifitas beliau. Beliau sukses, karena salah satu kiatnya adalah

“tidak ada kesulitan yang tidak bisa diatasi.”

Masih banyak lagi kisah-kisah sukses orang-orang yang

mengalami hambatan penglihatan. Banyak juga digambarkan

dalam sebuah film maupun media-media lainnya. Misalnya film

tentang orang-orang dengan gangguan penglihatan dan

publisitas tentang musisi dan atlet-atlet yang mengalami

hambatan penglihatan telah membantu mengubah citra orang

dengan hambatan penglihatan. Bahkan memuculkan berbagai

teknologi asistif seperti munculnya Braille di elevator, output

suara pada komputer, dan akses ke host restoran yang membaca

menu. Hal ini sebagai bukti telah mencerminkan pengakuan

bahwa orang dengan kehilangan penglihatan adalah hanya

dengan perbedaan ketajaman visual. Perubahan semacam itu

memungkinkan kemerdekaan bagi penyandang disabilitas netra

untuk bisa beraktifitas positif di dunia sehari-hari, walaupun

tentu memerlukan adaptasi. Adpatasi inilah yang harus

7

diciptakan oleh lingkungan, termasuk munculnya berbagai

produk teknologi asistif dan sentuhan akses bagi penyandang

disabilitas netra.

Paparan beberapa kisah sukses bagi orang-orang yang

mengalami hambatan penglihatan diatas menjadi bukti bahwa

selain motivasi yang kuat pada diri tunanetra, maka kepedulian

dari lingkungan turut andil bagian dalam memberikan

kesempatan yang seluas-luasnya. Bentuk kepedulian kita akan

lebih lengkap jika kita dapat memahami tentang fenomena

hambatan penglihatan. Jika kita tahu tentang mereka, Insya Allah

maka kita akan lebih tepat mewujudkan kepedulian kita agar

sesuai dengan yang mereka butuhkan.

Buku ini mencoba untuk mengungkapkan tentang siapa

sebenarnya orang-orang yang mengalami hambatan penglihatan

dan bagaimana cara penanganannya khususnya yang banyak

kaitannya dengan bidang-bidang pendidikan. Semoga dengan

membaca buku ini akan sedikit banyak bisa turut serta

memahamkan masyarakat bagaimana mereka harus peduli.

8

9

KONSEP MELIHAT

ata manusia adalah organ yang memberi kita indera

penglihatan, yang memungkinkan kita untuk belajar

lebih banyak tentang dunia sekitarnya daripada salah

satu dari empat indra lainnya. Mata digunakan di hampir setiap

aktivitas, baik membaca, bekerja, menonton televisi, menulis

surat, atau mengendarai mobil. Mata memungkinkan kita untuk

melihat dan menginterpretasi bentuk, warna, dan dimensi objek

dengan memproses cahaya. Cahaya masuk ke mata terlebih

dahulu melalui kornea yang bening dan kemudian melalui

bukaan melingkar dalam irpallil. Kemudian cahaya disatukan

oleh lensa kristal. Cahaya berkembang melalui humoral

gelatinous vitreous fokus yang jelas pada retina, area pusat di

antaranya macula. Di retina, impuls cahaya diubah menjadi

sinyal listrik dan dikirim sepanjang saraf optik ke lobus oksipital

(posterior) otak, yang menafsirkan sinyal listrik ini sebagai

gambar visual.

Tarsidi (2011) dalam tulisannya menyampaikan bahwa

Terdapat dua mispersepsi yang saling bertentangan di kalangan

masyarakat awam tentang keadaan yang mungkin terbentuk bila

orang kehilangan indera penglihatannya. Pertama, banyak orang

percaya bahwa bila orang kehilangan penglihatannya, maka

M

10

hilang pulalah semua persepsinya. Kedua, mispersepsi bahwa

secara otomatis orang tunanetra akan mengembangkan indera

keenam untuk menggantikan fungsi indera penglihatan.

Mispersepsi pertama tersebut terbentuk berdasarkan

bayangan yang menakutkan tentang betapa sulitnya kehidupan

tanpa indera penglihatan. Orang mencoba menutup mata

beberapa saat seraya berjalan beberapa langkah, dan mendapati

bahwa kebutaan merupakan pengalaman yang tak ingin mereka

bayangkan.

Di pihak lain, orang juga mengamati bahwa individu

tunanetra ternyata dapat melakukan banyak hal tanpa

menggunakan indera penglihatan, sesuatu yang tidak dapat

benar-benar mereka mengerti, sehingga kemampuan itu mereka

atribusikan sebagai kemampuan yang didasarkan atas

penggunaan indera "keenam" yang tumbuh secara alami.

Yang benar adalah bahwa orang awas dapat dengan

mudah menggunakan informasi yang diperolehnya secara visual

dan mengabaikan, tidak menghargai atau tidak menyadari semua

sumber informasi lain yang ada jika data visual awal diproses

oleh otak. Orang menjadi sangat berketergantungan pada

penglihatan sebagai sumber utama atau bahkan satu-satunya

sumber informasi, dan kebanyakan orang tidak ingin

membayangkan hidup tanpanya. Tetapi sesungguhnya sumber-

sumber lain itu tersedia bagi semua orang, dan hanya apabila

sumber utama informasi itu berkurang maka sumber-sumber

lain itu menjadi lebih dihargainya dan keterampilan berdasarkan

informasi non-visual itu terasah (Brenda Houlton-Aikin, 2001).

Jadi, sesungguhnya tidak ada indera keenam sebagaimana

dipersepsikan masyarakat awam (meskipun ada indera-indera

lain di samping pancaindera - yang akan dibahas kemudian), dan

bahkan juga tidak benar bahwa indera pendengaran, perabaan,

dan penciuman orang tunanetra otomatis lebih tajam daripada

11

orang awas. Yang pasti benar adalah bahwa orang tunanetra

dapat belajar mengunakan indera-indera lain dengan cara yang

berbeda dari yang dipergunakan oleh orang awas pada

umumnya sehingga mereka dapat meningkatkan informasi yang

diperolehnya untuk dapat berfungsi secara memadai di dalam

dunia awas (the Hadley School for the Blind, 1985).

12

13

HAMBATAN PENGLIHATAN

A. Definisi

Tarsidi (2011) memaparkan data yang dikeluarkan oleh

WHO (2011) menunjukkan bahwa terdapat sekitar 284 juta

orang tunanetra di seluruh dunia. Berdasarkan hasil survei

nasional tahun 1993-1996 angka kebutaan di Indonesia

mencapai 1,5 persen. Angka ini menempatkan Indonesia untuk

masalah kebutaan di urutan pertama di Asia dan nomor dua di

dunia setelah negara-negara di Afrika Tengah sekitar Gurun

Sahara. Sebagai perbandingan, di Bangladesh angka kebutaan

mencapai satu persen, di India 0,7 persen, di Thailand 0,3 persen,

Jepang dan AS berkisar 0,1 sampai 03 persen. (Gsianturi, 2004)

Apakah yang dimaksud dengan tunanetra ? Menurut Persatuan

Tunanetra Indonesia / Pertuni (2004) Orang tunanetra adalah

mereka yang tidak memiliki penglihatan sama sekali (buta total)

hingga mereka yang masih memiliki sisa penglihatan tetapi tidak

mampu menggunakan penglihatannya untuk membaca tulisan

biasa berukuran 12 point dalam keadaan cahaya normal

meskipun dibantu dengan kaca mata (kurang awas). Ini berarti

bahwa seorang tunanetra mungkin tidak mempunyai

penglihatan sama sekali meskipun hanya untuk membedakan

antara terang dan gelap. Orang dengan kondisi penglihatan

seperti ini kita katakan sebagai ”buta total”. Di pihak lain, ada

14

orang tunanetra yang masih mempunyai sedikit sisa penglihatan

sehingga mereka masih dapat menggunakan sisa penglihatannya

itu untuk melakukan berbagai kegiatan sehari-hari termasuk

untuk membaca tulisan berukuran besar (lebih besar dari 12

point) setelah dibantu dengan kaca mata. Perlu dijelaskan di sini

bahwa yang dimaksud dengan 12 point adalah ukuran huruf

standar pada komputer di mana pada bidang selebar satu inci

memuat 12 buah huruf. Akan tetapi, ini tidak boleh diartikan

bahwa huruf dengan ukuran 18 point, misalnya, pada bidang

selebar 1 inci memuat 18 huruf. Tidak demikian. Orang

tunanetra yang masih memiliki sisa penglihatan yang fungsional

seperti ini kita sebut sebagai orang ”kurang awas” atau lebih

dikenal dengan sebutan ”Low vision”.

Anak tuna netra merupakan anak yang mengalami

kehilangan penglihatan sehingga memberikan dampak baik

secara lamgsung maupun tidak langsung bagi perkembangannya.

Dampak yang nyata dari ketunanetraan tersebut adalah

keterbatasan/kehilangan alat orientasi yang utama, kesulitan

dalam melakukan mobilitas dan kesulitan bahkan tidak mampu

membaca dan menulis huruf (bagi tunanetra yang sangat berat).

Orang awas dapat dengan mudah melakukan orientasi atu

pengenalan lingkungan, dimana dia berada, melalui

penglihatannya. Oleh karena kehilangan penglihatan maka anak

tunanetra melakukan orientasi dengan menggunakan indra

lainnya, seperti pendengaran, perabaan/perasaan, dan

penciuman. Namun, untuk dapat melakukan orientasi dengan

baik, diperlukan suatu proses melalui latihan.

Kehilangan penglihatan menyebabkan anak tunanetra sulit

dalam melakukan mobilitas, artinya sulit untuk bergerak, dari

satu tempat ke tempat lain yang diinginkan. Oleh karena itu,

kepada mereka perlu diberikan suatu keterampilan khusus, agar

dapat melakukan mobilitas dengan cepat, tepat, dan aman.

15

Dampak lain dari kehilangan penglihatan ini adalah

kesulitan atau bahkan tidak mampu membaca dan menulis

hurup awas. Bagi anak tunanetra kurang lihat mungkin masih

bisa menggunakan sisa penglihatannya untuk membaca huruf

awas yang dimodifikasi dengan menggunakan kaca pembesar

atau media elektronik. Namun, bagi anak yang tergolong buta,

sisa penglihatannya tidak mungkin lagi digunakan untuk

membaca huruf awas sehingga bagi meraka digunakan huruf

Braille. Namun, untuk dapat membaca huruf Braille ini, juga

diperlukan suatu proses melalui latihan.

Adanya keterbatasan tersebut di atas,menghambat anak

tunanetra dalam berbagai aktivitas yang dilakukan oleh orang

awas dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun demikian,

mereka masih memiliki potensi yang dapat dikembangkan

melalui pendidikan.

Oleh karena memiliki berbagai hambatan maka selain

membutuhkan layanan pendidikan umum sebagaimana halnya

anak awas, anak tunanetra membutuhkan layanan khusus untuk

merehabilitasi kelainannya. Dengan layanan pendidikan

tersebut, diharapkan mereka dapat memberdayakan dirinya

sehingga bisa hidup mandiri tanpa ketergantungan pada prang

lain.

B. Faktor Penyebab

Penyebab ketunanetraan sangat bervariasi tergantung

lokasi geografis, status Sosio ekomi, dan usia. Secara umum

sebetulnya bisa dicegah dan diatasi.

Trachoma merupakan penyebab utama timbulnya

kebutaan di negara-negara berkembang. Banyak organisasi yang

berhubungan dengan kesehatan mempunyai program

pencegahan kebutaan. Mereka bekerja di perkampungan dan

daerah-daerah miskin dengan tujuan untuk memberikan

16

penyuluhan kepada masyarakat. Berikut akan dijelaskan lebih

lanjut faktor peyebab terjadinya ketunanetraan yang terdiri atas

faktor prenatal, natal dan postnatal :

1. Pre-natal (dalam kandungan)

Faktor penyebab tunanetra pada masa pre-natal sangat

erat kaitannya dengan adanya riwayat dari orangtuanya atau

adanya kelainan pada masa kehamilan.

a. Keturunan

Pernikahan dengan sesama tunanetra dapat

menghasilkan anak dengan kekurangan yang sama, yaitu

tunanetra. Selain dari pernikahan tunanetra, juga akan

mendapatkan anak tunanetra. Ketunanetraan akiat

faktor keturunan antara lain Retinitis Pigmentosa, yaitu

penyakit pada retina yang umumnya merupakan

keturunan. Selain itu, katarak juga disebabkan oleh

faktor keturunan.

b. Pertumbuhan anak di dalam kandungan

Ketunanetraan anak yang disebabkan pertumbuhan anak

dalam kandungan biasa disebabkan oleh:

1) Ganggan pada saat ibu masih hamil;

2) Adanya penyakit menahun, seperti TBC sehingga

merusak sel-sel darah tertentu selama pertumbuhan

janin dalam kandungan;

3) Infeksi atau luka yang dialami oleh ibu hamil akibat

terkena rubella atau cacar air dapat menyebabkan

kerusakan pada mata, telinga, jantung, dan sistem

susunan saraf pusat pada janin yang sedang

berkembang;

4) Infeksi karena penyakit kotor, toxoplasmosis,

trachoma, dan tumor. Tumor dapat terjadi pada otak

yang berhubungan dengan indra penglihatan atau

pada bola mata; dan

17

5) Kekurangan vitamin tertentu dapat menyebabkan

gangguan pada mata sehingga kehilangan fungsi

penglihatan.

2. Natal

Faktor natal merupakan masa pada saat bayi dilahirkan.

Tunanetra bisa saja terjadi pada masa ini.

a. Kerusakan pada mata atau saraf mata pada waktu

persalinan, akibat benturan alat-alat atau benda keras;

b. Pada waktu persalinan, ibu mengalami penyakit

gonorrhoe sehingga baksil gonorrhoe menular pada bayi,

yang pada akhirnya setelah bayi lahir mengalami sakit

dan berakibat hilangnya daya penglihatan.

3. Post-Natal

Faktor ini menjelaskan penyebab terjadinya

ketunanetraan ketika masa perkembangan seseorang atau

setelah masa kelahiran. Terbagi atas dua

a. Mengalami penyakit mata yang menyebabkan

ketunanetraan, misalnya:

1) Xeropthalmia, yakni penyakit mata karena

kekurangan vitamin A;

2) Trachoma, yaitu penyakit mata karena virus

chilirnidezoon trachomanis;

3) Catarac, penyakit mata yang menyerang bola mata

sehingga lensa mata menjadi keru, akibatnya

terlihat dari luar mata menjadi putih;

4) Diabetik Retinopathy, yaitu gangguan pada retina

yang disebabkan oleh penyakit diabetes melitus.

Retina penuh dengan pembulu-pembulu darah dan

dapat dipengaruhi oleh kerusakan sistem sirkulasi

hingga merusak penglihatan;

18

5) Macular Degeneration, yaitu kondisi umum yang

agar baik, ketika daerah tengah retina secara

berangsur memburuk. Anak dengan retina

degenerasi masih memiliki kemampuan untuk

melihat secara jelas objek-objek di bagian tengah

bidang penglihatan;

6) Retinopathy of prematurity, biasanya anak yang

mengalami ini karena lahirnya terlalu prematur.

Pada saat lahir, bayi maih memiliki potensi

penglihatan yang normal. Bayi yang dilahirkan

prematur biasanya ditempatkan pada inkubator

yang berisi oksigen dengan kadar tinggi sehingga

pada saat bayi dikeluargakan dari inkubator terjadi

perubahan kadar oksigen yang dapat menyebabkan

pertumbuhan pembuluh darah menjadi tidak

normal dan meninggalkan semacam bekas luka

pada jaringan mata. Peristiwa ini sering

menimbulkan kerusakan pada selaput jala (retina)

dan tunanetra total.

b. Kerusakan mata yang disebabkan terjadinya

kecelakaan, seperti masuknya benda keras atau tajam,

cairan kimia yang berbahaya, kecelakaan dari

kendaraan, dan lain-lain.

C. Karakteristik

Bayangkan ketika seorang anak dengan penglihatan yang

normal dapat dengan mudah bergerak di lingkungannya,

menemukan mainan dan teman-teman bermainnya, serta

melihat dan meniru orang tuanya dalam aktifitas sehari-hari.

Anak-anak tunanetra kehilangan saat-saat belajar kritis

seperti itu, yang mungkin akan berdampak terhadap

perkembangan, belajar, keterampilan sosial, dan perilakunya.

19

Berikut adalah karakteristik anak tunanetra berdasarkan

aspek kognitif, akademik, sosial-emosional dan perilaku menurut

Rahardja (2007) :

1. Karakteristik Kognitif

Ketunanetraan secara langsung berpengaruh pada

perkembangan dan belajar dalam hal yang bervariasi.

Lowenfeld menggambarkan dampak kebutaan dan low

vision terhadap perkembangan kognitif, dengan

mengidentifikasi keterbatasan yang mendasar pada anak

dalam tiga area berikut ini:

Tingkat dan keanekaragaman pengalaman. Ketika

seorang anak mengalami ketunanetraan, maka

pengalaman harus diperoleh dengan mempergunakan

indera-indera yang masih berfungsi, khususnya perabaan

dan pendengaran. Tetapi bagaimanapun indera-indera

tersebut tidak dapat secara cepat dan menyeluruh dalam

memperoleh informasi, misalnya ukuran, warna, dan

hubungan ruang yang sebenarnya bisa diperoleh dengan

segera melalui penglihatan.

Tidak seperti halnya penglihatan, ketika mengeksplorasi

benda dengan perabaan merupakan proses dari bagian

ke kesuluruhan, dan orang tersebut harus melakukan

kontak dengan bendanya selama dia melakukan

eksplorasi tersebut. Beberapa benda mungkin terlalu

jauh (misalnya bintang, dan sebagainya), terlalu besar

(misalnya gunung, dan sebagainya), terlalu rapuh

(misalnya binatang kecil, dan sebagainya), atau

membahayakan (misalnya api, dan sebagainya) untuk

diteliti dengan perabaan.

Kemampuan untuk berpindah tempat. Penglihatan

memungkinkan kita untuk bergerak dengan leluasa

dalam suatu lingkungan, tetapi tunanetra mempunyai

20

keterbatasan dalam melakukan gerakan tersebut.

Keterbatasan tersebut mengakibatkan keterbatasan

dalam memperoleh pengalaman dan juga berpengaruh

pada hubungan sosial. Tidak seperti anak-anak yang

lainnya, anak tunanetra harus belajar cara

berjalandengan aman dan efisien dalam suatu lingkungan

dengan berbagai keterampilan orientasi dan mobilitas.

Interaksi dengan lingkungan. Jika anda berada di suatu

tempat yang ramai, anda dengan segera bisa melihat

ruangan dimana andaberada, melihat orang-orang

disekitar, dan anda bisa dengan bebas bergerak di

lingkungan tersebut. Orang tunanetra tidak memiliki

kontrol seperti itu. Bahkan dengan keterampilan

mobilitas yang dimilikinya, gambaran tentang lingkungan

masih tetap tidak utuh.

2. Karakteristik Akademik

Dampak ketunanetraan tidak hanya terhadap

perkembangan kognitif, tetapi juga berpengaruh pada

perkembangan keterampilan akademis, khususnya dalam

bidang membaca dan menulis. Sebagai contoh, ketika anda

membaca atau menulis anda tidak perlu

memperhatikansecara rinci bentuk huruf atau kata, tetapi

bagi tunanetra hal tersebuttidak bisa dilakukan karena ada

gangguan pada ketajaman penglihatannya. Anak-anak seperti

itu sebagai gantinya mempergunakan berbagai alternatif

media atau alat untuk membaca dan menulis, sesuai dengan

kebutuhannya masing-masing. Mereka mungkin

mempergunakan braille atau huruf cetak dengan berbagai

alternatif ukuran.

Dengan asesmen dan pembelajaran yang sesuai, anak

tunanetra tanpa kecacatan tambahan dapat mengembangkan

21

kemampuan membaca dan menulisnya seperti teman-teman

lainnya yang dapat melihat.

3. Karakteristik Sosial dan Emosional

Bayangkan keterampilan sosial yang biasa anda lakukan

sehari-hari sekarang ini. Apakah seseorang mengajarkan

kepada anda bagaimana anda harus melihat kepada lawan

bicara anda ketika anda berbicara dengan orang lain,

bagaimana anda menggerakan tangan ketika akanberpisah

dengan orang lain, atau bagaimana anda melakukan ekspresi

wajah ketika melakukan komunikasi nonverbal? Dalam hal

seperti itu mungkinjawabannya tidak.

Perilaku sosial secara tipikal dikembangkan

melaluiobservasi terhadap kebiasaan dan kejadian sosial

serta menirunya. Perbaikan biasanya dilakukan melalui

penggunaan yang berulang-ulang dan bila diperlukan

meminta masukan dari orang lain yang berkompeten. Karena

tunanetra mempunyai keterbatasan dalam belajar melalui

pengamatan dan menirukan, siswa tunanetra sering

mempunyai kesulitan dalam melakukan perilaku sosial yang

benar.

Sebagai akibat dari ketunanetraannya yang

berpengaruh terhadap keterampilan sosial, siswa tunanetra

harus mendapatkan pembelajaran yang langsung dan

sistematis dalam bidang pengembangan persahabatan,

menjaga kontak mata atau orientasi wajah, penampilan

posturtubuh yang baik, mempergunakan gerakan tubuh dan

ekspresi wajah dengan benar, mengekspresikan perasaan,

menyampaikan pesan yang tepat pada waktu melakukan

komunikasi, serta mempergunakan alat bantu yang tepat.

22

4. Karakteristik Perilaku

Ketunanetraan itu sendiri tidak menimbulkan

masalahatau penyimpangan perilaku pada diri anak,

meskipun demikian hal tersebut berpengaruh pada

perilakunya. Siswa tunanetra kadang-kadang sering kurang

memperhatikan kebutuhan sehari-harinya, sehingga ada

kecenderungan orang lain untuk membantunya. Apabila hal

ini terjadi maka siswa akan berkecenderungan berlaku pasif.

Beberapa siswa tunanetra sering menunjukkan perilaku

stereotip, sehingga menunjukkan perilaku yang tidak

semestinya. Sebagaicontoh mereka sering menekan matanya,

membuat suara dengan jarinya, menggoyang-goyangkan

kepala dan badan, atau berputar-putar. Ada beberapateori

yang mengungkap mengapa tunanetra kadang-kadang

mengembangkan perilaku stereotipnya.

Hal itu terjadi mungkin sebagai akibat dari tidak adanya

rangsangan sensoris, terbatasnya aktifitas dan gerak di

dalam lingkungan, serta keterbatasan sosial.

Biasanya para ahli mencoba mengurangi atau

menghilangkan perilaku tersebut dengan membantu mereka

memperbanyak aktifitas, atau dengan mempergunakan

strategi perilaku tertentu, misalnya memberikan pujian atau

alternatif pengajaran, perilaku yang lebih positif,dan

sebagainya.

D. Gradasi

Dalam tulisannya Tarsidi (2011) menjelaskan bahwa

seseorang dikatakan tunanetra apabila ketajaman

penglihatannya kurang dari 6/18. Ini berarti bahwa tingkat sisa

penglihatan orang tunanetra itu berkisar dari 0 (buta total)

hingga <6/18. Ini juga berarti bahwa orang yang dikategorikan

sebagai buta (blind) itu tidak hanya mereka yang buta total

23

melainkan juga mereka yang masih mempunyai sedikit sisa

penglihatan (<3/60) atau yang lebih sering dikenal dengan

istilah low vision.

Tunanetra sering dianggap orang yang tidak dapat melihat

alias buta total, hal ini tidak benar. 90% tunanetra masih

memiliki sisa penglihatan yang bisa dirangsang untuk dapat

digunakan meskipun hanya untuk membantu melancarkan

mobilitasnya. 60% dari yang disebut tunanetra ternyata masih

mampu menggunakan sisa penglihatannya untuk membaca dan

menulis awas, baik ia menggunakan alat Bantu penglihatan

seperti kaca mata dan alat pembesaran lainnya maupun tanpa

alat Bantu penglihatan. Dengan demikian tidak semua tunanetra

memerlukan tulisan Braille dalam pendidikannya. Orang awam

menyangka bahwa semua tunanetra itu buta tidak melihat.

Karena menyangka buta maka ia menganggap semua tunanetra

tidak bisa melihat sama sekali. Berikut adalah klasifikasi

ketajaman penglihatan menurut WHO.

No. Sisa Penglihatan Kondisi

1. 6/6 hingga 6/18 Normal vision

(penglihatan normal)

2. <6/18 hingga >3/60 (kurang

dari 6/18 tetapi lebih baik atau

sama dengan 3/60)

Low vision (kurang

awas)

3. <3/60 Blind (buta)

Untuk lebih lengkapnya gradasi tunanetra akan dijelaskan

sebagai berikut:

1. Totally Blind / Tunanetra Total

Seseorang dikatakan Tunantra Total jika mengalami

hambatan visual yang sangat berat atau tidak dapat melihat

sama sekali. Kadang-kadang di lingkungan sekolah juga

digunakan istilah functionally blind atau educationally blind

untuk kategori ini. Penyandang Tunanetra total

24

mempergunakan kemampuan perabaan dan pendengaran

sebagai saluran utama dalam belajar. Orang seperti ini

biasanya mempergunakan huruf Braille sebagai media

membaca dan memerlukan latihan orientasi dan mobilitas.

Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa tunanetra

adalah seseorang yang karena sesuatu hal tidak dapat

menggunakan matanya sebagai saluran utama dalam

memperoleh informasi dari lingkungannya.

Dalam praktek sehari-hari terbukti bahwa Tunanetra

relatif kurang mendapatkan pelayanan yang memadai baik

mengenai koleksi-koleksi buku , format media bahan

pustaka, ataupun dari segi layanan dan komunikasi

untukmemenuhi kebutuhan yang berhubungan dengan

keperluan informasi bagi para Tunanetra secara adil.

Sering kali, untuk dapat melakukan kegiatan

kehidupannya sehari-hari secara mandiri, orang tunanetra

harus menggunakan teknik alternatif, yaitu teknik yang

memanfaatkan indera-indera lain untuk menggantikan fungsi

indera penglihatan dalam kegiatan kehidupannya sehari-hari

sehingga pola kehidupan kesehariannya pun sangat berubah

dan dalam banyak hal menjadi berbeda dari orang pada

umumnya.

2. Low Vision

Istilah low vision mungkin kurang dikenal dikalangan

masyarakat. Bila diartikan ke dalam bahasa Indonesia, low

berarti rendah dan vision artinya penglihatan. Mungkin

sekedar sebatas itu saja masyarakat memahami pengertian

low vision. Kebanyakan orang tidak mengetahui bahwa

sebenarnya istilah low vision memang diberikan untuk

orang-orang yang mengalami keterbatasan penglihatan.

25

Jadi istilah low vision digunakan untuk membedakan

antara orang yang tidak dapat melihat (buta) dengan orang

yang mengalami gangguan penglihatan. Low vision

merupakan bagian dari kebutaan. Tetapi istilah low vision

diberikan kepada orang yang memiliki lemah daya

penglihatan namun masih dapat melihat meskipun

terbatasLow vision bisa digolongkan sebagai ketunanetraan,

tetapi tunanetra tidak dapat disebut low vision. Tidak semua

yang mengalami gangguan penglihatan dapat disebut low

vision.

Low vision adalah rusaknya fungsi penglihatan yang

tidak dapat dikembalikan seperti keadaan semula meskipun

melalui penanganan medis, seperti operasi, penggunaan obat-

obatan, dan tidak dapat dikoreksi secara refraktif dengan

kacamata ataupun lensa kontak. Tetapi Low Vision masih

mempunyai sisa penglihatan yang dapat digunakan untuk

melakukan kegiatan sehari-hari seperti; mampu berjalan

tanpa bantuan tongkat, meskipun mengalami berbagai

hambatan dan kesulitan, misalnya saat menyeberang atau

menghentikan kendaraan umum, mereka juga dapat

membaca huruf latin dengan bantuan kaca pembesar

(magnifying glass) dan CCTV (Closed Circuit Television),

menonton TV dapat dilakukan meskipun tidak senyaman

orang awas , karena hanya dapat dilakukan dari jarak yang

sangat dekat dan aktivitas lainnnya. Meskipun terbatas, Low

Vision bukan berarti buta, tetapi tidak pula dapat dikatakan

normal dalam penglihatan.

26

27

IDENTIFIKASI DAN ASESMEN

HAMBATAN PENGLIHATAN

A. Konsep Dasar Identifikasi

1. Pengertian Identifikasi

Identifikasi merupakan kegiatan awal yang

mendahului proses asesmen. Identifikasi adalah kegiatan

mengenal atau menandai sesuatu, yang dimaknai sebagai

proses penjaringan atau proses menemukan anak apakah

mempunyai kelainan/masalah, atau proses pendeteksi

dini terhadap anak yang di duga memiliki berkebutuhan

khusus.

Identifikasi mempunyai dua konsep yaitu konsep

penyaringan (screening) dan identifikasi aktual (actual

identifikcation). Menurut Wardani (1995) dalam

Munawir Yusuf, M.Psi, identifikasi merupakan langkah

awal dan sangat penting untuk menandai munculnya

kelainan atau kesulitan.

Istilah identifkasi anak dengan kebutuhan khusus

dimaksudkan merupakan suatu usaha seseorang (orang

tua, guru, maupun tenaga kependidikan lainnya) untuk

mengetahui apakah seorang anak mengalami

kelainan/penyimpangan (fisik, intelektual, social,

emosional /tingkah laku) dalam pertumbuhan/

28

perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain

seusianya (anak-anak pada umumnya).

Mengidentifikasi masalah berarti mengidentifikasi

suatu kondisi atau hal yang dirasa kurang baik. Masalah-

masalah pada anak ini didapat dari keluhan-keluhan

orang tua dan keluarganya, keluhan guru, dan bisa

didapat dari pengalaman-pengalaman lapangan,

Identifikasi dapat dilakukan oleh orang-orang yang dekat

(sering berhubungan/ bergaul) dengan anak, seperti

orang tuanya, pengasuhnya, gurunya, dan pihak-pihak

yang terkait dengannya. Sedangkan langkah berikutnya,

yang sering disebut asesmen, akan di bahas dalam

pembelajaran selanjutnya.

2. Tujuan identifikasi

Secara umum tujuan identifikasi adalah untuk

menghimpun informasi apakah seorang anak mengalami

kelainan/penyimpangan (phisik, intelektual, social,

emosional, dan/atau sensoris neurologis) dalam

pertumbuhan/ perkembangannya dibandingkan dengan

anak-anak lain seusianya (anak-anak normal), yang

hasilnya akan dijadikan dasar untuk penyusunan

program pembelajaran sesuai dengan keadaan dan

kebutuhannya.

Kegiatan identifikasi anak dengan kebutuhan khusus

dilakukan untuk lima keperluan, yaitu:

a. penjaringan (screening),

b. pengalihtanganan (referal),

c. klasifikasi,

d. perencanaan pembelajaran, dan

e. pemantauan kemajuan belajar.

29

Adapun penjelasan dari kegiatan tersebut sebagai

berikut:

1) Penjaringan (screening)

Pada tahap ini identifikasi berfungsi menandai

anak-anak mana yang menunjukan gejala-gejala

tertentu, kemudian menyimpulkan anak-anak mana

yang mengalami kelainan/hambatan tertentu,

sehingga tergolong Anak Berkebutuhan Khusus.

Dengan alat identifikasi ini guru, orangtua,

maupun tenaga profesional terkait, dapat

melakukan kegiatan penjaringan secara baik dan

hasilnya dapat digunakan untuk bahan

penanganan lebih lanjut.

2) Pengalihtanganan (referal),

Pengalihtanganan (referal) merupakan perujukan

anak oleh guru ke tenaga profesional lain untuk

membantu mengatasi masalah anak yang

bersangkutan. Berdasarkan gejala-gejala yang

ditemukan pada tahap penjaringan, selanjutnya

dikelompokkan menjadi 2 kelompok:

Pertama, ada Anak yang perlu dirujuk ke ahli lain

(tenaga profesional) dan dapat langsung ditangani

sendiri oleh guru dalam bentuk layanan

pembelajaran yang sesuai.

Kedua, ada anak yang perlu dikonsultasikan

keahlian lain terlebih dulu (referal) seperti

psikolog, dokter, orthopedagog (ahli PLB), dan

therapis, kemudian ditangani oleh guru.

3) Klasifikasi

Klasifikasi, kegiatan identifikasi bertujuan untuk

menentukan apakah anak yang telah dirujuk

ketenaga professional benar-benar memerlukan

30

penanganan lebih lanjut atau langsung dapat

diberi pelayanan pendidikan khusus.

Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan tenaga

profesional ditemukan masalah yang perlu

penangan lebih lanjut (misalnya pengobatan,

terapi, latihan-latihan khusus, dan sebagainya)

maka guru tinggal mengkomunikasikan kepada

orang tua siswa yang bersangkutan.

Jadi guru tidak mengobati dan atau memberi terapi

sendiri, melainkan memfasilitasi dan meneruskan

kepada orang tua tentang kondisi anak yang

bersangkutan. Guru hanya memberi pelayanan

pendidikan sesuai dengan kondisi anak. Apabila

tidak ditemukan tanda-tanda yang cukup kuat

bahwa anak yang bersangkutan memerlukan

penanganan lebih lanjut, maka anak dapat

dikembalikan ke kelas semula untuk mendapatkan

pelayanan pendidikan khusus di kelas reguler.

4) Perencanaan pembelajaran

Pada tahap ini, kegiatan identifikasi bertujuan

untuk keperluan penyusunan program

pembelajaran yang diindividualisasikan (PPI).

Dasarnya adalah hasil dari klasifikasi. Setiap jenis

dan gradasi (tingkat kelainan) anak berkebutuhan

khusus memerlukan program pembelajaran yang

berbeda satu sama lain. Mengenai program

pembelajaran yang diindividualisasikan (PPI) akan

dibahas secara khusus dalam buku yang lain

tentang pembelajaran dalam pendidikan inklusif.

5) Pemantauan kemajuan belajar

Kemajuan belajar perlu dipantau untuk

mengetahui apakah program pembelajaran khusus

31

yang diberikan berhasil atau tidak. Apabila dalam

kurun waktu tertentu anak tidak mengalami

kemajuan yang signifikan (berarti), maka perlu

ditinjau kembali. Beberapa hal yang perlu ditelaah

apakah diagnosis yang kita buat tepat atau tidak,

begitu pula dengan Program Pembelajaran

Individual (PPI) serta metode pembelajaran yang

digunakan sesuai atau tidak dll.

Sebaliknya, apabila intervensi yang diberikan

menunjukkan kemajuan yang cukup signifikan maka

pemberian layanan atau intervensi diteruskan dan

dikembangkan.

Dengan lima tujuan khusus di atas, indentifikasi

perlu dilakukan secara terus menerus oleh guru, dan

jika perlu dapat meminta bantuan dan atau bekerja

sama dengan tenaga professional yang dekat dengan

masalah yang dihadapi anak.

B. Ruang Lingkup Identifikasi

Secara sederhana ada beberapa aspek informasi yang

perlu mendapatkan perhatian dalam pelaksanaan identifikasi.

Contoh alat identifikasi sederhana untuk membantu guru dan

orang tua dalam rangka menemukenali anak yang memerlukan

layanan pendidikan khusus, antara lain sebagai berikut:

Form 1: Informasi riwayat perkembangan anak

Form 2: Informasi/ data orangtua anak/wali siswa

Form 3: Informasi profil kelainan anak (AI-ALB)

Dari ketiga informasi tersebut secara singkat dijelaskan

sebagai berikut:

1. Informasi riwayat perkembangan anak

Informasi riwayat perkembangan anak adalah informasi

mengenai keadaan anak sejak di dalam kandungan hingga

32

tahun-tahun terakhir sebelum masuk SD/MI. Informasi ini

penting sebab dengan mengetahui latar belakang

perkembangan anak, mungkin kita dapat menemukan

sumber penyebab problema belajar.

2. Data orang tua/wali siswa

Selain data mengenai anak, tidak kalah pentingnya

adalah informasi mengenai keadaan orang tua/wali siswa

yang bersangkutan.

Data orang tua/wali siswa sekurang-kurangnya

mencakup informasi mengenai identitas orang tua/wali,

hubungan orang tua-anak, data sosial ekonomi orang tua,

serta tanggungan dan tanggapan orang tua/ keluarga

terhadap anak. Identitas orang tua harus lengkap, tidak

hanya identitas ayah melainkan juga identitas ibu, misalnya

umur, agama, status, pendidikan, pekerjaan pokok, pekerjaan

sampingan, dan tempat tinggal.

Data mengenai tanggapan orang tua yang perlu

diungkapkan antara lain persepsi orang tua terhadap anak,

kesulitan yang dirasakan orang tua terhadap anak yang

bersangkutan, harapan orang tua dan bantuan yang

diharapkan orang tua untuk anak yang bersangkutan.

3. Informasi mengenai profil kelainan anak

Informasi mengenai gangguan/kelainan anak sangat

penting, tanda-tanda kelainan atau gangguan khusus pada

siswa (jika ada) perlu diketahui guru. Kadang-kadang adanya

kelainan khusus pada diri anak, secara langsung atau tidak

langsung, dapat menjadi salah satu faktor timbulnya

problema belajar. Tentu saja hal ini sangat bergantung pada

berat ringannya kelainan yang dialami serta sikap

penerimaan anak terhadap kondisi tersebut.

33

C. Pelaksanaan Identifikasi

Setelah saudara mempelajari pengertian identifikasi

memahami tujuan identifikasi anak berkebutuhan khusus

subunit ini akan disajikan tentang sasaran identifikasi, petugas

identifikasi dan alat identifikasi anak berkebutuhan khusus.

Untuk dapat melaksanakan identifikasi anak berkebutuhan

khusus akan dijelaskan terlebih dahulu untuk memahami

sasaran identifikasi, petugas dan alat identifikasi bagi anak

berkebutuhan khusus yang ada di SD/MI. Setelah mengikuti

uraian ini diharapkan saudara memiliki kompetensi untuk

melakukan identifikasi anak berkebutuhan khusus.

1. Sasaran Identifikasi

Sasaran identifikasi anak dengan kebutuhan khusus

adalah seluruh anak usia pra-sekolah dan usia sekolah.

Sedangkan secara khusus (operasional), sasaran identifikasi

anak dengan kebutuhan khusus adalah:

1) Anak yang baru masuk sekolah baik di SLB maupun di

Sekolah penyelenggara Inklusif

2) Anak yang sudah bersekolah di Sekolah Dasar/Madrasah

Ibtidaiyah;

3) Anak yang belum/tidak bersekolah karena orangtuanya

merasa anaknya tergolong anak dengan kebutuhan

khusus sedangkan lokasi SLB jauh dari tempat

tinggalnya; sementara itu, semula SD terdekat

belum/tidak mau menerimanya;

4) Anak yang drop-out Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah

karena faktor akademik.

2. Petugas Identifikasi

Untuk mengidentifikasi seorang anak apakah tergolong

anak dengan kebutuhan khusus atau bukan, dapat dilakukan

oleh:

34

1) Guru kelas;

2) Orang tua anak; dan/atau

3) Tenaga professional terkait

D. Prosedur Identifikasi

Ada beberapa langkah dalam rangka pelaksanaan

identifikasi anak berkebutuhan khusus. Untuk identifikasi anak

usia sekolah yang belum bersekolah atau drop out sekolah, maka

sekolah yang bersangkutan perlu melakukan pendataan ke

masyarakat sekitar kerjasama dengan Kepala Desa/Lurah, RT,

RW setempat. Jika pendataan tersebut ditemukan anak

berkelainan, maka proses berikutnya dapat dilakukan

pembicaraan dengan orangtua, komite sekolah maupun

perangkat desa setempat untuk mendapatkan tindak lanjutnya.

Untuk anak-anak yang sudah masuk dan menjadi siswa

pada sekolah tertentu, identifikasi dilakukan dengan langkah-

langkah sebagai berikut:

1. Menghimpun data tentang anak

Pada tahap ini petugas (guru) menghimpun data

kondisi seluruh siswa di kelas (berdasar gejala yang nampak

pada siswa) dengan menggunakan Alat Identifikasi Anak

dengan kebutuhan khusus (AI ALB).

2. Menganalisis data dan mengklasifikasi anak

Pada tahap ini tujuannya adalah untuk menemukan

anak-anak yang tergolong anak dengan kebutuhan khusus

(yang memerlukan pelayanan pendidikan khusus). Buatlah

daftar nama anak yaang diindikasikan berkelainan sesuai

dengan ciri-ciri dan standar nilai yang telah ditetapkan. Jika

ada anak yang memenuhi syarat untuk disebut atau

berindikasi kelainan sesuai dengan ketentuan tersebut, maka

dimasukkan ke dalam daftar nama-nama anak yang

35

berindikasi kelainan sesuai dengan format khusus yang

disediakan seperti terlampir.

Sedangkan untuk anak-anak yang tidak menunjukkan

gejala atau tanda-tanda berkelainan, tidak perlu dimasukkan

ke dalam daftar khusus tersebut.

3. Mengadakan pertemuan konsultasi dengan kepala sekolah

Pada tahap ini, hasil analisis dan klasifikasi yang telah

dibuat guru dilaporkan kepada Kepala Sekolah untuk

mendapat saran-saran pemecahan atau tindak lanjutnya.

4. Menyelenggarakan pertemuan kasus (case conference)

Pada tahap ini, kegiatan dikoordinasikan oleh Kepala

Sekolah setelah data anak dengan kebutuhan khusus

terhimpun dari seluruh kelas.

Kepala Sekolah dapat melibatkan: (1) Kepala Sekolah

sendiri; (2) Dewan Guru; (3) orang tua/wali siswa; (4)

tenaga professional terkait, jika tersedia dan dimungkinkan;

(5) Guru Pembimbing Khusus (Guru PLB) jika tersedia dan

memungkinkan.

Materi pertemuan kasus adalah membicarakan temuan

dari masing-masing guru mengenai hasil identifikasi untuk

mendapatkan tanggapan dan cara-cara pemecahan serta

penanggulangannya.

5. Menyusun laporan hasil pertemuan kasus

Pada tahap ini, tanggapan dan cara-cara pemecahan

masalah dan penanggulangannya perlu dirumuskan dalam

laporan hasil pertemuan kasus. Format laporan hasil

pertemuan kasus dapat menggunakan contoh seperti

terlampir.

E. INDIKASI KETUNANETRA

Sering kali kelainan mata baru teridentifikasi ketika anak

masuk sekolah, baik itu terungkap melalui pemeriksaan

36

kesehatan rutin di sekolah atau karena adanya indikasi dalam

perilaku anak atau pencapaian akademiknya yang menyadarkan

guru tentang adanya kemungkinan kesulitan penglihatan pada

diri anak. Ada beberapa indikasi kelainan penglihatan seperti

yang di sampaikan Didi Tarsidi dalam Asesmen penglihatan

dalam http://d-tarsidi.blogspot.co.id/2008/06/ asesmen-

penglihatan .html sebagai berikut:

1. Tampilan Mata

Pada umumnya mata yang normal bening dan lurus, dan

bergerak bersama-sama dan menatap secara mantap.

Gejala-gejala abnormalitas mencakup:

meradang, keruh, merah atau berair;

kelopak mata layu, bengkak atau kaku;

sering timbilan;

juling (mata sering tampak silang, satu mata mengarah ke

dalam

atau ke luar, pandangan kedua mata tidak tampak lurus,

terutama bila anak letih);

gerakan mata yang tidak umum, termasuk gerakan cepat

tak sadar pada kedua mata, baik gerakan horizontal

ataupun vertikal, yang

dalam istilah medis disebut "nystagmus");

sering mengedipkan atau menggosok-gosok mata dan

tampak tidak

nyaman dalam cahaya terang, mata terasa "berdebu";

cornea tampak buram.

2. Indikasi lain tentang ketunanetraan

Pengamatan terhadap perilaku umum anak dapat

memberikan bukti yang dapat menunjukkan adanya kelainan

penglihatan:

gerakan kepala bukannya gerakan mata pada saat

membaca;

37

jarak membaca yang terlalu dekat atau terlalu jauh;

postur yang buruk pada saat duduk, kaku atau bungkuk

atau bergerak terus;

menatap ke samping bila sedang berkonsentrasi pada

suatu tugas visual;

sering mengerutkan dahi atau meringis;

sering mengeluh pusing, sakit kepala atau merasa tidak

nyaman pada mata;

gerakan yang kaku, menabrak benda-benda dengan

samping tubuhnya atau kakinya;

sangat berhati-hati pada saat menuruni tangga;

merasa gamang bila berada pada ketinggian;

tersandung atau menabrak benda-benda;

keseimbangan buruk; enggan turut dalam kegiatan

bermain di halaman;

tidak menjawab pertanyaan atau suruhan kalau tidak

disebut namanya (sering dikira tidak sopan atau tidak

kooperatif);

memalingkan kepalanya untuk menggunakan satu mata

saja atau menutupi satu matanya;

tubuhnya tegang apabila membaca atau memandang

benda yang jauh.

3. Tanda-tanda dalam Hasil Pekerjaan Sekolah

Gejala-gejala berikut ini harus dicermati secara berhati-

hati karena beberapa di antaranya dijumpai juga pada

banyak anak yang berpenglihatan normal, tetapi gejala-gejala

ini dapat dicurigai sebagai tanda-tanda kelainan atau tidak

stabilnya penglihatan anak:

kualitas hasil pekerjaan yang inkonsisten atau bervariasi

dalam jumlah pekerjaan yang dapat diselesaikannya;

luar biasa letih selama atau sesudah mengerjakan suatu

tugas visual;

38

semakin buruk dalam tampilan membacanya sesudah

berlangsung lama;

perhatiannya atau konsentrasinya tidak dapat bertahan

lama, terutama bila kegiatan didemonstrasikan di

seberang ruangan;

sering gagal dalam melakukan kegiatan yang

membutuhkan koordinasi mata-tangan yang halus;

ingin sangat dekat ke TV atau monitor komputer;

sering membuat kesalahan dalam membaca dan menulis -

terbalik atau terlewati;

mengalami kesulitan dalam membaca kata-kata yang

panjang;

bingung dalam membaca huruf-huruf tertentu, misalnya

"cl: tertukar dengan "d", "m" tertukar dengan "n";

menuliskan huruf-huruf dan kata-kata serta mengatur

spasinya secara tidak wajar;

tulisan sangat kecil dan miring, kurang menghiraukan

baris-baris;

bentuk huruf kurang tepat atau huruf-huruf dituliskan

dengan urutan yang salah;

sulit membaca kembali tulisan sendiri;

mengalami kesulitan menyalin dengan benar dari papan

tulis atau

bahkan juga dari buku teks atau sumber-sumber lain;

meningkatnya kesenjangan antara pemahaman dan skor

kecepatan

dan ketepatan membaca bila diuji dengan tes standar

seperti the Neale Analysis of Reading Ability;

sangat lambat dalam membaca, menggunakan jari sebagai

penunjuk tempat dan untuk menuntun gerakan mata;

selalu kehilangan tempat bila membaca;

39

kesulitan mencari informasi pada suatu halaman,

misalnya bila menggunakan kamus atau menafsirkan

grafik;

resah dan kurang berminat terhadap kegiatan yang

menuntut penglihatan dekat untuk waktu lama;

kesulitan dalam membaca lembar kerja yang berkualitas

buruk atau dalam memproses informasi yang tidak

disajikan secara linear; Pekerjaan tertulis yang tidak

mencerminkan kemampuan lisan.

Tanpa memandang usia anak, sangat penting bahwa

setiap kecurigaan tentang adanya kelainan penglihatan

ditelaah secara seksama

F. Konsep Asesmen

Asesmen dapat dipandang sebagai upaya yang sistematis

untukmengetahui kemampuan, kesulitan, dan kebutuhan ABK

pada bidang tertentu. Data hasil asesmen dapat dijadikan

bahan dalam penyusunan program pembelajaran secara

individual. Sehubungan dengan itu, asesmen harus menjadi

kompetensi bagi seluruh guru khususnya dalam menangani

ABK.

Asesmen adalah suatu penilaian yang komprehensif dan

melibatkan anggota tim untuk mengetahui kelemahan dan

kekuatan anak. Hasil keputusan asesmen dapat digunakan

untuk menentukan layanan pendidikan yang dibutuhkan anak

dan sebagai dasar untuk menyusun suatu rancangan

pembelajaran.

Istilah asesmen dapat diartikan sebagai proses

mempertanyakan hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan

belajar siswa sebagai dasar agar pengajaran yang diberikan

menjadi tepat dan sesuai dengan kebutuhan.

40

Istilah lain yang hampir mirip dengan asesmen ialah

evaluasi atau penilaian, tetapi istilah asesmen lebih banyak

menekankan pada penilaian sebelum mengajar, sedangkan

evaluasi mencakup kedua-duanya.

Asesmen juga dapat disamakan dengan analisis, tetapi

asesmen lebih mengarah kepada analisis yang mempersiapkan

tindakan. Seperti halnya evaluasi, asesmen juga seringkali

perlu diulang.

Asesmen ulangan bisa sama dengan asesmen yang

sudah dilakukan dan bisa juga berbeda. Dalam banyak hal,

asesmen juga bergantung pada intervensi.

Hubungan antara keduanya demikian erat sehingga

kadang-kadang sukar membicarakan asesmen tanpa

menggambarkan terlebih dahulu intervensi yang akan

digunakan. Dalam asesmen dapat menggunakantes atau

prosedur pengukuran yang baku maupun tidak baku (buatan

guru)

G. Tujuan Asesmen

Tujuan utama dilakukannya asesmen adalah untuk

memperoleh informasi yang dapat digunakan sebagai bahan

pertimbangan dalam merencanakan program pembelajaran

bagi anak yang bersangkutan.

Moh.Amin (1995) mengemukakan bahwa tujuan

dilakukannya asesmen berkaitan erat dengan waktu

mengadakannya. Kegiatan asesmen yang dilakukan setelah

ditemukan bahwa seseorang itu ABK atau setelah kegiatan

deteksi, maka asesmen diperlukan untuk:

1. Menyaring kemampuan ABK; hal ini dimaksudkan untuk

mengetahui kemampuan anak dalam setiap aspek.

Misalnya: bagaimana kemampuan bahasanya, kemampuan

41

kognitifnya, kemampuan geraknya, atau kemampuan

penyesuaian dirinya.

2. Untuk keperluan pengklasifikasian, penempatan, dan

penemuan program pendidikan ABK

3. Untuk menentukan arah atau tujuan pendidikan serta

kebutuhan ABK. Tujuan pendidikan ABK pada dasarnya

sama dengan tujuan pendidikan pada umumnya. Mengingat

kemampuan dan kebutuhan mereka berbeda-beda dan

perbedaan tersebut sedemikian rupa, sehingga perlu

dirumuskan tujuan khusus yang disesuaikan dengan

kemampuan dan kebutuhan tersebut.

4. Untuk mengembangkan program pendidikan yang

diindividualisasikan yang dikenal dengan IEP

(Individualized Educational Program). Dengan data yang

diperoleh sebagai hasil asesmen dapatlah diketahui

kemampuan dan ketidakmampuan ABK. Kemampuan dan

ketidak mampuan menjadi dasar untuk mengembangkan

kemampuan berikutnya. Dengan demikian program yang

dikembangkan akan sesuai dengan kemampuan dan

kebutuhan setiap anak.

5. Untuk menentukan strategi, lingkungan belajar, dan

evaluasi.

Pengajaran. McLoughlin & Lewis (1986) mengemukakan

bahwa sekurang-kurangnya ada lima keperluan mengapa kita

melakukan asesmen, yaitu untuk: screening (penyaringan),

referal (pengalihtanganan), perencanaan pembelajaran,

memonitor kemajuan siswa, dan evaluasi program Selanjutnya

Sunardi & Sunaryo (2006) mengemukakan bahwa secara

umum asesmen bermaksud untuk:

a. Memperoleh data yang relevan, objektif, akurat, dan

komprehensif tentang kondisi anak saat ini.

42

b. Mengetahui profil anak secara utuh, terutama

permasalahan dan hambatan belajar yang dihadapi,

potensi yang dimiliki, kebutuhan-kebutuhan khususnya,

serta daya dukung lingkungan yang dibutuhkan anak.

c. Menentukan layanan yang dibutuhkan dalam rangka

memenuhi kebutuhan-kebutuhan khususnya dan memonitor

kemajuannya.

H. Pengembangan Instrumen Asesmen.

Untuk dapat mengembangkan instrument asesmen ada

beberapa prosedur atau strategi yang dapat dipilih, yaitu

asesmen formal dan asesmen informal. Asesmen formal

dilakukan dengan menggunakan tes baku yang dilengkapi

dengan petunjuk pelaksanaan tes, kunci jawaban, cara

menafsirkan hasilnya dan alternative penanganan anak yang

bersangkutan.

Penyusunan asesmen formal memerlukan keahlian

tinggi, waktu yang lama, dan biaya yang besar, karena harus

didasarkan atas validitas tertentu, memerlukan perhitungan

reliabilit as, dan tiap butir soal perlu dikalibrasi untuk

mengetahui daya pembeda dan derajat kesulitannya.

Karena penyusunan instrument asesmen formal tidak

mudah, maka tidak mudah pula untuk menemukan instrumen

asesmen formal tersebut.

Karena pentingnya asesmen ini para ahli di bidang

pendidikan bagi anak tuanentra, umumnya mempercayai

bahwa asesmen informal merupakan cara yang terbaik untuk

memperoleh informasi tentang penguasaan anak.

Berbagai observasi tentang perilaku anak sehari-hari

dalam menyelesaikan tugasnya atau hasil tes bidang tertentu

yang dibuat oleh guru berdasarkan kurikulum dapat

43

menyajikan informasi yang sangat berharga sebagai landasan

pelayanan pengajaran bagi anak tunanetra.

Yusuf, M (2005) mengemukakan beberapa jenis asesmen

informal yang dapat digunakan guru, seperti: observasi,

analisis sampel kerja, inventori informal, daftar cek, skala

penilaian, wawancara, dan kuesioner.

Observasi, adalah suatu strategi pengukuran dengan

cara melakukan pengamatan langsung terhadap perilaku

siswa, misalnya keterampilan sosial, keterampilan akademik,

dan kebiasaan belajar. Adapun teknik yang dapat digunakan

berupa: event recording (catatan berdasarkan frekuensi

kejadian), duration recording (mencatat perilaku berdasarkan

lamanya kejadian), interval time sample recording (mencatat

hasil amatan berdasarkan interval waktu kejadian). Agar

pelaksanaan observasi ini efisien dan akurat, perlu

diperhatikan hal-hal berikut: 1) tentukan perilaku yang akan

diamati, 2) perilaku harus dapat diamati dan diukur, 3)

tentukan waktu dan tempat, 4) sediakan form catatan, dan 5)

cara pengukuran.

Analisis sampel kerja, merupakan jenis pengukuran

informal dengan menggunakan sample pekerjaan siswa,

misalnya hasil tes, karangan, karya seni, respon lisan. Ada

beberapa tipe analisis sample kerja, yaitu: analisis kesalahan

dari suatu tugas dan analisis respon, baik respon yang benar

maupun yang salah.

Analisa Tugas, lebih banyak digunakan untuk

pengukuran maupun perencanakan pengajaran. Analisa tugas

merupakan proses pemisahan, pengurutan, dan penguraian

sebuah komponen penting dari semua tugas. Analisa tugas

umumnya digunakan dalam bidang menolong diri sendiri.

Misalnya tugas menyetrika baju/dari tahapan-tahapan yang

dilakukan anak.

44

Infentori Informal, biasanya digunakan untuk melihat

prestasi siswa dalam bidang akademik. Meskipun demikian

dapat pula digunakan untuk mengukur aspek-aspek non

akademik, seperti kebiasaan dan perilaku social.

Inventory informal memberikan jawaban terhadap

pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya lebih umum, seperti

sejauh mana kemampuan membaca siswa ? Dari pertanyaan

umum ini dijabarkan ke dalam beberapa bagian yang dapat

diuji, seperti dalam pengenalan atau pemahaman bacaan.

Daftar Cek, biasanya digunakan untuk meneliti perilaku

siswa di dalam kelas, atau patokan-patokan perkembangan.

Daftar cek dapat juga untuk mengetahui apa yang sudah

dicapai pada masa lalu, kinerja siswa di luar sekolah, kurikulum

yang sudah dicapai dan sebagainya.

Skala penilaian, memungkinkan diperolehnya informasi

tentang opini dan penilaian, bukan laporan perilaku yang

dapat diamati. Misalnya sikap terhadap suatu obyek, persepsi

anak mengenai pengasuhan orang tua, konsep diri anak dan

sebagainya.

Kuisioner, biasanya berupa instrument tertulis, sedangkan

wawancara dilakukan secara lisan. Keduanya dapat disusun

secara sistematis atau secara terbuka. Wawancara dan

kuisioner merupakan salah satu teknik asesmen yang cukup

tepat untuk menghimpun informasi seseorang termasuk

informasi masa lalu, seperti pengalaman masa kecil,

kebiasaan di rumah, sejarah perkembangan anak dan

sebagainya.

Berdasarkan beberapa strategi/teknik dalam melakukan

asesmen seperti tersebut di atas, dapat disusun suatu skala

pengukuran terhadap aspek tertentu. Selanjutnya Yusuf M.

(2005) mengemukakan bahwa ada beberapa kriteria yang

45

dapat digunakan sebagai acuan dalam pengembangan skala

pengukuran :

1. Aspek apa yang akan diukur

2. Rumuskan definisi konsep dan operasional

3. Sebutkan indiktor dari aspek yang diukur

4. Susun daftar pertanyaan

5. Pilih tehnik/strategi yang akan digunakan.

I. Teknik Asesmen

1. Skala Penilaian.

Skala penilaian merupakan alat asesmen non tes.

Disebut non tes karena tidak ada jawaban yang benar

atau salah. Kelemahan skala penilaian adalah mudah

bias. Hal ini terjadi karena penilaian yang salah. Misal:

penilaian terhadap diri seseorang yang semestinya

rendah dinilai tinggi. Akibatnya data yang dikumpulkan

kurang cocok hasilnya.

Kelebihan skala penilaian adalah lebih cepat

pelaksanaannya, mudah digunakan disbanding alat

asesmen lainnya (observasi, wawancara, test objektif)

(Dharma Adji 1986).

2. Wawancara (wawancara dengan guru pendamping atau

ternan, menghubungi pihak keluarga).

Wawancara merupakan percakapn yang bertujuan

(Endang Warsigi Ghoali, wawancara mudah

dipergunakan untuk anak-anak. Hal ini disebabkan

karena wawancara bersifat fleksibel atau luwes.

Kelebihan wawancara adalah memungkinkan melacak

jawaban atau mendapatkan penjelasan lebih lanjut.

Biasanya berkaitan dengan harapan, aspirasi,

kesenangan, kesedihan.

46

Wawancara terdiri dari tiga tahap yang berbeda:

Pertama untuk mengadakan pendekatan secara pribadi.

Hal ini akan menjalin hubungan yang akrab. Hubungan

ke arah terbentuknya keterbukaan dan penerimaan

tujuan-tujuan wawancara secara umum. Kedua, saatnya

pewawancara mengarahkan pembicaraan ke arah topik-

topik yang ingin ditanyakan. Ketiga, saat mengambil

kesimpulan.

Hal lain yang perlu diinga dalam melakukan

wawancara adalah proses komunikasi. Di dalam proses

komunikasi terjadi saling menerima dan merespon satu

sama lain. Dalam merespon jawaban ada dua teknik

yang dapat membantu dalam mengambil kesimpulan.

Dua teknik tersebut adalah:

a. Teknik Parafrase.

Teknik untuk menyatakan kembali jawaban yang

telah dikatakan anak. Manfaatnya untuk melihat

kebenaran jawaban. Mungkin terjadi salah dalam

mengartikan jawaban.

b. Teknik Persepsi.

Teknik ini dipergunakan untuk melihat perasaan

orang lain. Maksudnya apakah perasaan yang

dirasakan oleh pewawancara sama dengan perasaan

anak. (McLoughlin dan Lewis (1981).

3. Observasi (observasi langsung dengan tunanetra,

observasi langsung tentang gerak gerik tunanetra,

observasi tidak langsung).

Observasi merupakan teknik asesmen yang tinggi.

Observasi adalah proses pengamatan yang cermat pada

tujuan tertentu. Tujuan utama observasi adalah

mengenal siswa; menentukan penyebab masalah tingkah

laku; dan menjelaskan pada orang tua masalah tingkah

47

laku anaknya. Dua pendekatan utama dalam observasi

adalah:

a. Observasi klinis.

Observasi klinis dilakukan bagi siswa yang

mengalami hambatan fisik. Hambatan ini

mengganggu situasi belajar di kelas. Observasi

dilakukan dalam situasi bebas (istirahat di luar

ruang, atau waktu bebas di kelas). Situasi-situasi

ini sangat mendukung untuk menghasilkan catatan

rinci. Catatan tersebut berupa gerakan motorik

(gerakan yang dihasilkan tubuh), afektif (gaya atau

gerakan yang menunjukkan perasaan) dan gerakan

kognitif siswa (kegiatan siswa memperoleh

pengetahuan melalui pengalaman). Teknik observasi

klinis ini sangat tepat bila guru yang

melaksanakannya. Hal ini disebabkan guru telah

mengenal siswa, dan lingkungannya. Di dalam

observasi klinis terdapat dua bagian yaitu:

1) Gambaran obyektif masalah yang dihadapi

siswa.

2) Gambaran atau penafsiran pengobservasi atau

guru terhadap masalah siswa.

Catatan observasi ini dilengkap dengan data:

1) Sketsa autobiografi (gambaran tentang diri

siswa).

2) Buku agenda proyek (catatan harian tentang

perkembangan masalah siswa).

3) Sosiogram (gambaran tentang diri siswa

terhadap lingkungan kelasnya).

b. Observasi pengukuran

Observasi pengukuran dikenal dengan sebutan

pendekatan ekologi. Prosedur pengumpulan data

48

dilakukan dengan mengamati lingkungan kelas.

Pemahaman terhadap lingkungan siswa dapat

membantu memberikan penjelasan penyebab

permasalahan. Viola E. Cardwell (1993), menyusun

checklist (daftar tentang lingkungan kelas yang

perlu diobservasi) meliputi:

1) Susunan ruang.

2) Lingkungan ruang.

3) Pemberian hadiah atau penghargaan.

4) Pelaksanaan pengajaran individual.

5) Pemilihan materi pengajaran.

6) Keadaan anak pada umumnya dikelas tersebut.

7) Kegiatan kelas selama diadakan pengamatan.

8) Ketepatan pengamatan atau kecermatan dalam

pengamatan.

4. Tes formal dan Informal.

Test adalah alat asesmen. Tes formal bila telah

baku. Tes formal dirancang untuk kelompok dan atau

perorangan. Prosedur pelaksanaan dan pemberian skor

sangat ketat. Sehingga orang yang sedang mengadakan

diagnose tidak dapat leluasa menafsirkannya.

Macam tes formal menurut Viola E. Cardwell (1993),

sebagai berikut:

a) Test intelegensi.

b) Test bakat.

c) Test ketajaman penglihatan

5. Penilaian Klinis

Penilaian klinis (clinical judgement) merupakan

penilaian berdasarkan pengetahuan, pengalaman dan

data diagnosa. Penilaian klinis merupakan penilaian

yang benar dipahami, bukan merupakan perkiraan

49

yang sembrono (asal-asalan). Penilaian klinis

merupakan penilaian yang cocok bagi anak kecil.

J. Pendekatan Asesmen Anak Tunanetra

Menurut haryanto (2010/2011) menyatakan pendekatan

asesmen tunanetra sebagai berikut:

1. Model konstruk (konsep) atau atribut.

Model ini paling cocok untuk mencari penyebab

hambatan dalam belajar yang akan berhubungan langsung

dengan bagaimana cara belajar, pribadi seseorang akan

menentukan cara belajamya. Karena memang model

konstruk ini akan melihat langsung pada atribut seseorang

(keadaan seseorang secara psikologis).

Contoh:

Deni umur 7 tahun dengan IQ 70, duduk di kelas 1

cawu 3. Guru mengeluh bahwa Deni belum dapat membaca

padahal teman-temannya pada umumnya sudah bisa

membaca.

Bagaimana cara kita menolong guru agar Deni dapat

membaca ? Tahap ke 1 kita telah menemukan bahwa Deni

mengalami kesulitan dalam membaca.

Tahap ke 2 bagilah tahap-tahap belajar membaca

dalam beberapa katagori atau beberapa tingkatan.

Tahap ke 3 buatlah kata atau kalimat sesuai dengan

tahap-tahap belajar membaca kemudian lakukanlah

diagnosa, pada tahap mana anak mengalami kesulitan.

Tahap ke 4 kembangkan program bantuan sesuai

dengan hasil diagnosa.

2. Model Fungsional

Model fungsional sangat dipergunakan untuk

mengetahui tingkat kemampuan seseorang, karena sukses

atau tidaknya seseorang dalam melakukan tugas tergantung

50

pada tingkat kemampuannya. Maka dalam model fungsional

ini akan dipergunakan task analysis (analisa tugas).

Tahap ke 1 kita membuat identifikasi tentang

kemampuan-kemampuan yang dimiliki anak sesuai dengan

tugas perkembangan anak. Maka akan terlihat pada tahap

tugas apa ia mengalami hambatan.

Tahap ke 2 kita dapat mempelajari langkah-langkah

apa yang dapat diberikan secara khusus untuk mempelajari

langkah/tahap di mana anak mengalami hambatan.

Tahap ke 3 kita mencoba mengembangkan program

bantuan yang telah ditetapkan sesuai dengan hasil diagnose

pada tahap sebelumnya. Dalam pembuatan task analysis ini

harus cukup cermat karena tiap jenjang yang akan

dilakukan sangatlah berarti bagi keberhasilan latihan.

Ada 3 hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan

task analysis yaitu:

1) Janganlah membuat jenis latihan yang panjang tapi

hendaknya sepenggal demi sepenggal.

contoh: latihan berpakaian, latihan ini harus dibagi

menjadi beberapa penggal yaitu: memakai baju,

mengkancingkan baju, membuka kancing baju, dan

membuka baju.

2) Telah menguasai latihan prasyarat.

Contoh: sebelum anak bisa makan dengan sendok, maka

anak harus terlebih dahulu dapat makan menggunakan

tangan.

3) Tugas dan jenjang urutan, setiap tugas dari jenjang

urutan/langkah haruslah mendapat penilaian agar

mengetahui kesalahan-kesalahan dalam menyusun atau

melaksanakan task analysis. Karena ada beberapa

kesalahan dalam analisa, yaitu: anak selalu membuat

kesalahan yang sama dalam semua jenis tugas, karena

51

anak takut melakukan tugas maka setiap langkah yang

dikerjakan tidak dengan sepenuh hati, dalam membuat

task analysis kurang memperhatikan kondisi anak

sehingga ada sesuatu yang terlupakan, kesalahan dalam

penyusunan jenjang-jenjang dalam task analysis.

Contoh task analysis: sikat gigi.

a) Penggalan 1: Cara memasang pasta gigi pada sikat

gigi. Tangan kiri memegang kepala sikat gigi.

Telunjuk dan ibu jari tangan kiri berada di

luar/menjepit bulu-bulu sikat gigi yang sedang

dipegang.

Ujung tube gigi diletakkan pada ujung sikat

gigi.

Pasta gigi ditekan sambil ditarik ke belakang

seperluanya.

b) Penggalan 2: Cara gosok gigi.

Ambil gayung atau gelas.

Masukkan gayung atau gelas pada air dalam bak

mandi atau isi dengan air matang.

Pegang gayung atau gelas dengan menggunakan

tangan kiri.

Pegang sikat gigi dengan tangan kanan.

Kumurlah dengan air yang ada dalam gayung

atau gelas.

Masukkan sikat gigi dalam mulut.

Gerakkan sikat gigi turun naik, atas bawah,

sikatlah semua gigi dengan cara demikian.

Kumurlah dengan sisa air yang ada dalam

gayung atau gelas.

Bersihkan sikat gigi dengan air.

52

Persyaratan yang harus dipenuhi oleh anak agar ia

dapat melakukan kegiatan ini adalah:

Telah dapat membuka menutup pasta gigi.

Telah mengetahui cara menuangkan air dalam gelas.

Telah mengetahui cara membersihkan sikat.

Telah mengenal keadaan kamar mandi.

3. Model Ekologi

Model ekologi paling cocok untuk membantu anak

dalam mengadakan sosialisasi dengan lingkungannya. Hal-

hal yang dibutuhkan sebagai informasi adalah keadaan

lingkungan anak, tugas-tugas yang biasanya dilakukan

lingkungan, menilai kemampuan anak dalam melaksanakan

tiap tugas, hal-hal yang tidak dapat dilakukan anak dalam

bersosialisasi.

Dalam membuat program sosialisasi ini haruslah

memperhatikan hasil dari assessment lingkungan agar

program yang direncanakan tidak gagal sehingga anak tidak

jengkel dan gurupun senang atau tidak frustasi.

4. Model Membuat Keputusan

Prinsip dalam model ini adalah mencari informasi

assesmen sebanyak mungkin sehingga dapat membuat suatu

keputusan sementara, dari keputusan ini akan diadakan

evaluasi untuk menentukan altematif pemecahan

masalahnya. Informasi assesmen dapat diperoleh dari

berbagai macam test yang berhubungan dengan keadaan

anak.

K. Bentuk Asesemen Bagi Tunanetra

Asesmen Bagi Anak Tunanetra Total

1. Identifikasi data anak meliputi:

a) Nama :

b) Tempat/tanggal lahir :

53

c) Jenis kelamin :

d) Pendidikan/kelas :

e) Alamat :

f) Penyebab kebutaan :

g) Sejak kapan mengalami kebutaan :

2. Kemampuan yang dimiliki anak:

a) Kemampuan keterampilan dasar, bagaimanakah

reaksi anak

Anak dapat mandiri dalam mengerjakan sesuatu

tanpa perintah.

Hanya melalui instruksi yang diucapkan guru,

anak baru dapat melakukan perintah, tanpa

instruksi anak tidak dapat melakukan apapun.

Dengan gerakan tangan, anak baru mengerti

perintah.

Contoh: membuka kran,

Guru memberi contoh dengan gerakan jari-

jari tangan dalam membuka kran.

Anak menirukan cara membuka kran, setelah

guru lebih dahulu melakukannya.

Secara fisik guru membantu anak dalam

memutar kran yaitu dengan cara menuntun

tangan anak.

b) Kemampuan dalam bidang akademik.

Kemampuan dalam bidang akademik yang meliputi

berbahasa, membaca, menulis, berhitung, sehingga

guru dapat menentukan program pengajaran yang

harus diterima anak.

c) Kemampuan dalam bekerja dan berkarya.

Kemampuan bekerja dan berkarya di sini anak dilihat

tingkat kemampuan bekerja dan potensi yang

54

dimilikinya sehingga program yang dibuat sesuai

dengan kemampuan dan potensi anak.

d) Kemampuan mengadakan sosialisasi.

Bagaimana kemampuan dalam mengadakan

sosialisasi dengan lingkungannya.

e) Kebutuhan.

Hendaknya mengadakan identifikasi kebutuhan anak

secara menyeluruh, setelah itu dapat dipisahkan

mana kebutuhan primer atau yang mendesak dan

mana kebutuhan sekunder dalam arti kebutuhan

tersebut masih dapat ditunda dan tidak

mengakibatkan kefatalan. Pemilihan kebutuhan

primer dan sekunder dapat diasumsikan, andai 2

atau 3 tahun mendatang bila kebutuhan itu belum

dilatihkan, apa yang akan terjadi pada diri anak

tersebut.

Contoh

Untuk sekolah anak membutuhkan membaca,

menulis, berhitung, memasak, berjalan mandiri,

membuat keterampilan bunga, dan lain sebagainya.

Dengan perkiraan bila 2 atau 3 tahun mendatang

kebutuhan itu tidak diberikan maka akan fatal, maka

kebutuhan primernya adalah membaca, menulis,

berhitung dan berjalan mandiri sedangkan

kebutuhan sekundemya adalah masak, membuat

keterampilan bunga.

L. Asesmen Bagi Anak Tunanetra Kurang Lihat (low vision)

Tujuan diadakan pemeriksaan awal ini adalah untuk

mengetahui tingkat ketajaman penglihatan dan untuk

menentukan tingkat fungsi daya lihat low vision. Untuk itu

langkah-langklah yang harus dilakukan adalah:

55

1. Mengukur berapa jarak antara mata anak dengan halaman

kertas atau benda yang dipegangnya.

Kurang dari 10 cm.

Sekitar 15 cm.

Sekitar 20 cm.

2. Bagaimanakah cara melihatnya.

Menggunakan kedua matanya sekaligus atau

Hanya menggunakan satu mata sebelah kiri selanjutnya

menggunakan kedua matanya atau

Mula-mula menggunakan mata sebelah kanan

selanjutnya menggunakan kedua matanya atau

Hanya menggunakan mata kiri atau

Hanya menggunakan mata kanan atau

Menggerakkan kepalanya dalam mengamati gambar

sampai bisa menemukan titik gambar yang dimaksud.

3. Bagaimanakah dalam melihat gambar.

Dapat sekaligus mengerti gambar yang dilihatnya atau

Melihat bagian demi bagian secara berurut (searah

dengan jarum) baru dapat mengerti gam bar yang

dilihatnya atau

Melihat bagian demi bagian secara sembarang (tanpa

pola arah) baru dapat dimengerti gambar apa yang

sedang dilihatnya.

4. Apa komentar atau reaksi anak saat melihat gambar.

Member komentar

Menggerakkan tangan, kaki atau kepala sebagai respon

terhadap apa yang dilihat.

5. Bagaimana perhatian saat melihat gambar.

tegang

santai

acuh tak acuh

56

6. Bagaimanakah reaksi terhadap cahaya.

Menghindari cahaya

Mencari cahaya agar dapat melihat dengan jelas.

7. Penggunaan cahaya penerangan

25W

40W

60W

100W

8. Reaksi lainnya .

Menangis

Menaikkan alis dengan maksud untuk lebih jelas dalam

melihat

Badan gemetar karena takut diminta untuk melihat

gambar.

Membawa benda kemulut dengan maksud untuk

mengetahui benda yang sedang dipegang.

Meraba-raba benda yang sedang dibawa.

Mengubah-ubah posisi benda dari dekat ke jauh dan

sebaliknya terus menerus.

9. Penggunaan warna yang dapat dilihat.

Warna hitam pekat pada kertas putih.

Warna hijau pada kertas putih.

Warna biru pada kertas putih.

Warna merah pada kertas putih.

Warna kuning pada kertas putih.

10. Pergunakan spidol kecil untuk membuat sebuah gambar

pada kertas.

Dari tes ini akan terlihat apakah anak masih mampu meniru

atau tidak, karena gambar akan terlihat di tengah di atas atau

di luar garis.

57

Contoh:

tepat pada lambang yang ditentukan

di samping kiri lam bang yang ditentukan

di samping kanan lambang yang ditentukan

di atas lambang yang telah ditentukan

di bawah lambang yang telah ditentukan.

58

59

GAMBARAN PSIKOLOGI ANAK

TUNANETRA BERDASARKAN WAKTU

TERJADINYA KETUNANETRAAN

A. Anak Tunanetra Sejak Lahir

Tuna netra yang terjadi sejak lahir secara kondisional

mereka lebih dapat menerima dirinya secara wajar seperti orang

pada umumnya, mereka cenderung bahagia, tidak ada beban,

santai dan bahkan ada yang sangat energik seolah-olah tiada

beban dalam hidupnya.

Pada awalnya tuna netra secara umum merasa berbeda

dengan yang lain dan rasa berbeda ini yang berakibat

selanjutnya menjadikan mereka memiliki rasa minder, tidak

mampu dan cenderung menolak keadaan dirinya. Bila

ketunanetraan itu terjadi sejak dari lahir atau sejak kecil maka

perasaan seperti di atas kebanyakan tidak terjadi lagi. Kaum tuna

netra yang mengalami ketunanetraan sejak kecil sebelum dapat

melihat maka lebih dapat menerima keadaan dirinya secara

wajar.

60

B. Anak Tunanetra Yang Mengalami Ketunanetraan Pada

Masa Perkembangan

Mereka yang mengalami ketunanetraan setelah mereka

pernah dapat melihat, maka ada kecenderungan mereka sangat

terganggu emosionalnya. Mereka merasa bahwa dalam dirinya

ada yang kurang, merasa hidupnya tertekan, kurang dapat

menerima dirinya, menyalahkan terhadap nasibnya dan banyak

lagi efek-efek psikologis yang dideritanya. Mereka lebih meratapi

hidup sebagaimana cobaan dan tidak sedikit dari mereka yang

frustasi.

Sifat rendah diri akan berdampak pada rasa tidak percaya

pada kemampuan dirinya sendiri yang akibat selanjutnya tuna

netra akan menarik diri dari komunitas sosial secara wajar dan

berikutnya mereka akan tertekan dan sering meratapi kejadian

yang dialami sebagai suatu persoalan hidupnya yang tak

berujung.

Tekanan jiwanya ini akan berakibat mereka menjadi

pendiam, pemurung, menyalahkan diri sendiri dan juga orang

lain di sekitarnya dan sering emosinya tidak setabil. Dalam

kondisi demikian tuna netra akan semakin terpuruk beban

psikologisnya dan tidak memiliki sikap hidup yang positif.

61

ALAT BANTU ANAK TUNANETRA

DALAM PEMBELAJARAN

A. Optimalisasi Indra dalam Proses Pembelajran

Dalam proses pembelajaran anak tunanetra akan banyak

mengandalkan indra-indra lainnya beberapa diantaranya yang

paling sering digunakan adalah indra perabaan dan indra

pendengaran, tetapi pada dasarnya dalam pembelajaran akan

selalu lebih baik jika semua indra dioptimalkan. Berikut adalah

penjelasan Tarsidi (2011) terkait optimalisasi indra lainnya

untuk mengkompensasi hambatan penglihatan yang dialami oleh

tunanetra :

1. Indra Pendengaran

Cobalah bereksperimen dengan menutup mata anda

dengan blindfold selama satu hari dan tinggal di rumah

sepanjang hari. Tidak ada informasi visual yang dapat anda

peroleh, tetapi anda akan menyadari kemajuan waktu

(meskipun di rumah anda tidak terdapat jam dinding yang

berdentang dari waktu ke waktu), melalui informasi auditer

yang anda dengar dari lingkungan anda. Jika burung-burung

mulai berkicau dan bunyi lalu-lintas semakin ramai, anda

akan yakin bahwa matahari sudah terbit untuk memulai

kehidupan siang hari; dan bila suara-suara ini mereda, itu

62

tandanya malam hari mulai menjelang. Suara tukang koran

atau bunyi koran yang dilemparkannya ke beranda rumah

anda mengindikasikan koran pagi atau koran sore telah

datang untuk menandai tibanya pagi dan berlalunya sore.

Dengarkan juga kalau-kalau ada bunyi bel atau sirine

yang terdengar dari sekolah atau pabrik pada jam-jam

tertentu, atau azan dari mesjid-mesjid. Anda juga akan

menyadari langkah kaki dan celotehan anak-anak pada saat

pergi atau pulang dari sekolah, serta bunyi-bunyi lain yang

khas untuk daerah tempat tinggal anda - seperti bunyi

gerobak sampah atau pedagang keliling yang biasa lewat di

sekitar rumah anda. Suara-suara ini memang tidak akan

memberikan gambaran yang tepat tentang jam, tetapi akan

terus menyadarkan anda tentang kemajuan hari dan

meningkatkan pengetahuan umum anda tentang daerah

tempat tinggal anda.

Pengembangan keterampilan mendengarkan juga

secara bertahap akan membuat anda sadar akan pola

perilaku tetangga anda - kapan mereka berangkat kerja,

kembali ke rumah, menonton TV, dan memasak.

Diperlengkapi dengan pengetahuan ini, seorang individu

tunanetra akan tahu ke mana dan kapan dia dapat meminta

bantuan jika benar-benar memerlukannya.

Dengan dilatih, pendengaran juga akan menjadi peka

terhadap bunyi-bunyi kecil di rumah anda seperti tetesan air

dari keran yang bocor, desau komputer yang lupa tidak

dimatikan, desis kompor gas yang belum dimatikan secara

sempurna.

Dari bunyinya, anda juga dapat memperkirakan apa

yang tengah dilakukan oleh orang-orang di sekitar anda -

bunyi kaki yang sedang dimasukkan ke celana, garitan

pencukur janggut ketika seseorang sedang bercukur, bunyi

63

goresan pena saat orang sedang menulis, dan perbedaan

antara bunyi gelas dan piring atau panci yang sedang

diletakkan orang di atas meja.

Dengan melatih keterampilan pendengaran seperti ini,

tanpa menggunakan indera penglihatan anda akan dapat

menyadari apa yang sedang dilakukan oleh orang-orang di

sekitar anda - melalui sumber informasi bunyi yang telah ada

di sana tetapi anda tidak menyadarinya karena anda selalu

bergantung pada indera penglihatan, satu hal yang harus

dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh individu

tunanetra karena kondisi yang memaksanya.

Di samping itu, dengan sedikit imaginasi dan

kreativitas, anda dapat memanfaatkan indera pendengaran

ini untuk memberikan informasi tentang hal-hal yang

normalnya tidak diperoleh secara auditer. Misalnya, bola

yang diberi bunyi-bunyian memungkinkan anak tunanetra

bermain bola. Dia akan dapat mengikuti arah bola dengan

telinganya. Dengan teknologi, berbagai peralatan dapat

dimodifikasi agar memberikan informasi auditer. Misalnya

komputer, jam tangan, termometer, dll. dapat diakses oleh

tunanetra setelah dibuat bersuara.

2. Indra Perabaan

Hampir sama pentingnya dengan indera pendengaran

adalah indera perabaan. Anda mungkin tidak menyadari

bahwa indera perabaan ini dapat memberikan informasi

yang biasanya anda peroleh melalui indera penglihatan.

Anda ingat bahwa dengan indera perabaan anda pasti dapat

membedakan bermacam-macam benda yang ada di dalam

saku belakang celana anda, dan untuk itu anda tidak

menggunakan indera penglihatan, bukan? Keterampilan

seperti ini dapat anda kembangkan juga untuk hal-hal lain

dalam berbagai macam situasi. Dengan meraba perbedaan

64

bentuk kemasannya atau teksturnya, anda dapat

membedakan bermacam-macam bahan makanan yang akan

anda masak. Anda pasti tidak akan mempertukarkan kecap

dengan minyak goreng, atau beras dengan kacang hijau,

misalnya.

Dengan meraba bentuk dan besarnya kancing, kerah

atau bagian-bagian lain dari pakaian anda serta

memperhatikan tekstur bahannya, anda juga dapat

menggunakan indera perabaan untuk mengenali pakaian

anda.

Jika anda sudah mengembangkan kesadaran akan

fungsi indera perabaan, anda akan mendapati bahwa banyak

informasi tentang lingkungan anda yang dapat diberikan

oleh ujung-ujung jari - informasi yang sesungguhnya selalu

ada di sana tetapi anda tidak membutuhkannya karena anda

terlalu bergantung pada indera penglihatan. Sebagaimana

dikemukakan di atas, indera perabaan tidak terbatas pada

tangan saja. Arus udara yang menerpa wajah anda dapat

menginformasikan bahwa pintu atau jendela telah dibiarkan

terbuka. Kaki anda dapat belajar mendeteksi perbedaan

antara karpet, tikar dan permukaan lantai, antara jalan aspal

dengan tanah atau rumput.

Bagi individu tunanetra, tongkat merupakan

perpanjangan fungsi indera perabaan. Tongkat tidak hanya

mendeteksi hambatan jalan, tetapi juga memberikan

informasi tentang tekstur permukaan jalan, sehingga orang

tunanetra dapat mengetahui apakah yang akan diinjaknya itu

tanah becek, rumput, semen, dll.

Daya imaginasi dan kreativitas orang telah membantu

para tunanetra mengakses berbagai peralatan yang

normalnya diakses orang secara visual. Misalnya, pembuatan

peta timbul, jam tangan Braille, kompas Braille, dsb. Di atas

65

semua itu, diciptakannya sistem tulisan Braille oleh Louis

Braille merupakan karya taktual terbesar bagi tunanetra.

3. Indra Penciuman

Indera penciuman juga harus dikembangkan. Lihatlah

betapa banyaknya bahan makanan yang dapat anda kenali

melalui indera penciuman. Misalnya, jika anda tidak dapat

membedakan antara kunyit dan jahe melalui perabaan,

kenalilah baunya. Indera penciuman juga dapat membantu

anda mengenali lingkungan anda. Bila anda memasuki pusat

perbelanjaan, anda pasti dapat membedakan aroma toko

makanan, toko pakaian, toko sepatu, toko obat, dll.

4. Indra Taktil

Mungkin anda sering menyaksikan orang tunanetra

berjalan dan, tanpa terlihat mendeteksi dengan tongkatnya,

dia belok pada saat dan tempat yang tepat, memperlambat

langkahnya tepat di depan tangga yang akan dinaiki atau

dituruninya. Anda bilang dia dapat melakukannya karena

hafal? Ya. Hafalan semacam ini disebut kinesthetic memory.

Ingatan kinestetik adalah ingatan tentang kesadaran gerak

otot yang dihasilkan oleh interaksi antara indra perabaan

(tactile), propriosepsi dan keseimbangan (yang dikontrol

oleh sistem vestibular, yang berpusat di bagian atas dari

telinga bagian dalam. Sistem ini peka terhadap percepatan,

posisi dan gerakan kepala). Ingatan kinestetik ini dimiliki

oleh semua orang, termasuk anda yang awas. Mungkin anda

pernah mengalami pemadaman listrik ketika anda sedang

makan malam, dan anda tahu pasti bahwa tidak ada

persediaan lilin di rumah. Anda terus makan tanpa salah

menyuapkan sendok ke hidung, bukan? Sistem kinestetik

anda sudah hafal rute gerakan sendok dari piring ke mulut.

Ingatan kinestetik hanya terbentuk sesudah orang

66

melakukan gerakan yang sama di daerah yang sama atau

untuk kegiatan yang sama secara berulang-ulang.

5. Sisa Indra Penglihatan

Sebagian besar orang yang dikategorikan sebagai

tunanetra masih mempunyai sisa penglihatan. Tetapi tingkat

sisa penglihatan mereka itu sangat bervariasi, begitu pula

kemampuan mereka untuk memanfaatkan sisa penglihatan

tersebut. Kondisi fisik secara keseluruhan, jenis gangguan

mata yang dialami, bentuk pengaruh cahaya terhadap mata,

dan durasi baiknya penglihatan, kesemuanya ini akan sangat

berpengaruh terhadap seberapa baik individu yang low

vision dapat menggunakan sisa penglihatannya. Seorang

individu low vision harus dapat mengamati kondisi matanya

untuk menentukan kekuatan dan kelemahannya sendiri

dalam hal-hal ini. Kebanyakan orang low vision dapat

merespon secara baik terhadap warna-warna kontras, dan

mereka harus memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya.

Misalnya, lantai dasar dan puncak tangga dapat dicat atau

diberi karpet dengan warna mencolok dan menandai

pinggiran anak tangga dengan isolasi pemantul cahaya agar

mereka lebih waspada. Untuk memudahkan mencarinya,

benda-benda kerja yang kecil seperti pulpen atau obeng,

mereka dapat meletakkannya pada alas dengan warna

mencolok. Cara lainnya adalah dengan memilih barang

kesukaannya dengan warna yang mudah dibedakan dari

barang-barang lain yang serupa.

Untuk mempertinggi kekontrasan dan meningkatkan

lingkungan visual pada umumnya, pertimbangkanlah pentingnya

penggunaan cahaya yang lebih terang. Kondisi mata masing-

masing individu low vision akan menentukan pengaturan

pencahayaan yang bagaimana yang paling baik bagi dirinya.

Seberapa besar kekuatan bohlam yang dipergunakan, di mana

67

lampu sebaiknya diletakkan, apakah lebih baik menggunakan

lampu neon atau lampu biasa, cara-cara pengaturan cahaya agar

tidak silau, dll., semuanya ini akan tergantung pada situasi

tempat tinggal dan kondisi penglihatan individu. Di kebanyakan

rumah, sering terlalu sedikit orang memperhatikan kondisi

pencahayaan yang memadai ini, dan penghuninya sering

menerima keadaan itu sebagaimana adanya saja tanpa

mempertimbangkan bagaimana kondisi tersebut dapat

diperbaiki. Bagi anggota keluarga yang lain, perbaikan kondisi

pencahayaan ini dapat meningkatkan kenyamanan, tetapi bagi

individu low vision lebih dari sekedar kenyamanan, melainkan

juga menentukan apakah dia dapat melaksanakan tugas atau

tidak, dan juga akan mencegah terjadinya hal-hal yang dapat

membahayakan keselamatan dirinya.

Di samping gagasan-gagasan tentang penggunaan warna

kontras dan pengaturan pencahayaan lingkungan ini,

pertimbangan juga harus dilakukan untuk memodifikasi alat-alat

bantu belajar/kerja agar sisa penglihatan dapat lebih fungsional.

Misalnya, penyediaan buku-buku bertulisan besar, jenis kaca

pembesar yang tepat, penggunaan program magnifikasi untuk

memperbesar tampilan pada monitor komputer, dsb., akan

sangat membantu meningkatkan keberfungsian individu low

vision.

B. Alat Bantu Pembelajaran

1. Identifikasi Media Pembelajaran Bagi Anak Tunanetra

Media merupakan bentuk jamak dari medium yang

berarti sarana atau alat komunikasi sekaligus merupakan

sumber informasi. Disebut alat komunikasi karena istilah

media merujuk pada segala sesuatu yang membawa atau

mengantar pesan dari sumber kepada penerima

(receiver). Sedangkan media dikatakan sumber informasi

68

karena isi pesan yang terkandung di dalam sarana

tersebut. Beberapa contoh dapat disebut di sini antara

lain gambar, foto, televisi, video, diagram, barang-barang

cetakan, program komputer, radio, realia, dan model.

Contoh-contoh media di atas dapat menjadi media

pembelajaran ketika benda-benda itu mengandung pesan

untuk tujuan pembelajaran. Jadi media pembelajaran

adalah benda-benda yang berisi pesan yang digunakan

dalam proses pembelajaran untuk mencapai tujuan

pembelajaran.

Media pembelajaran meliputi alat yang secara fisik

dapat digunakan untuk menyampaikan isi materi

pembelajaran yang antara lain terdiri atas buku, tape

recorder, kaset, video camera, video recorder, film, slide,

foto, gambar, grafik, televisi, komputer, realita, dan

model. Dengan kata lain, media adalah komponen

sumber belajar atau peralatan fisik yang mengandung

materi pembelajaran di lingkungan peserta didik yang

dapat merangsang peserta didik untuk belajar.

Berdasarkan beberapa batasan pengertian media

tersebut dapat dikemukakan bahwa media pembelajaran

adalah sarana komunikasi dalam belajar-mengajar yang

berupa perangkat keras maupun lunak yang digunakan

untuk mencapai tujuan pembelajaran secara efektif dan

efisien.

Ada beberapa pendapat para pakar mengenai jenis

media. Media pembelajaran diklasifikasikan menjadi tiga

jenis, yaitu (1) media audio, (2) media visual, (3) media

audio-visual. Media audio meliputi radio, piringan hitam,

dan tape recorder. Media visual dibagi menjadi dua

kelompok. Pertama, media yang penampilannya perlu

diproyeksikan, termasuk dalam media ini adalah (a) slide

69

dan film bisu, (b) fil strip /loop, (c) overhead projector,

dan (d) epidiascop. Kedua, media yang penampilannya

tidak perlu diproyeksikan, diantaranya adalah: (a)

wallsheets, contohnya, peta, chart, diagram, dan poster,

(b) model, contohnya mook up, miniatur, dan maket, dan

(c) objek, contohnya spesiment (herbarium-akuarium-

insektarium). Sedangkan media audio-visual meliputi

televisi, radio vission/video, film (bicara) dan sound

slides.

Rumampunk (1992:12-13) menegaskan beberapa

manfaat media dalam pembelajaran, yaitu:

membangkitkan rasa ingin tahu;

membuat konsep abstrak menjadi konkrit;

mengatasai batas-batas ruang kelas;

mengatasi perbedaan pengalaman peserta didik;

menyajikan informasi belajar secara konsisten;

menyajikan peristiwa yang telah lewat;

memusatkan perhatian;

mengatasi objek yang kompleks;

mengatasi penampilan objek yang terlalu cepat atau

lambat, besar atau kecil.

Sebelum memutuskan untuk menggunakan media

tertentu dalam suatu proses pembelajaran, seorang guru

perlu memahami prinsip-prinsip atau faktor-faktor yang

harus dipertimbangkan dalam memilih dan menetukan

media pembelajarannya. Cukup banyak jenis dan bentuk

media yang telah dikenal saat ini, dari yang sederhana

sampai yang berteknologi tinggi, dari yang mudah hingga

susah, ada media natural sampai kepada yang harus

dirancang sendiri oleh guru bersama-sama dengan

peserta didik.

70

Prinsip pemilihan media pembelajaran yang akan

digunakan di sekolah, hendaknya memperhatikan hal

berikut ini sebagaimana dikemukakan oleh Sudjana

(1991) :

menentukan jenis media dengan tepat, artinya guru

harus dapat memilih media manakah yang sesuai

dengan tujuan dan bahan pelajaran yang akan

diajarkan;

menentukan atau mempertimbangkan subyek dengan

tepat, artinya perlu diperhitungkan apakah

penggunaan media itu sesuai dengan tingkat

kematangan atau kemampa peserta didik;

menyajikan media dengan tepat, artinya teknik dan

metode penggunaan media dalam pembelajaran harus

disesuiakan dengan tujuan, bahan, metode, waktu dan

sarana pendukung lainnya;

menempatkan atau memperlihatkan media pada

waktu, tempat dan situasi yang tepat, artinya kapan

dan dalam situasi bagaimana media pembelajaran itu

digunakan, agar penggunaan media itu memiliki

pengaruh dan tujuan yang jelas.

Sedangkan faktor-faktor yang harus

dipertimbangkan dalam memilih media adalah sebagai

berikut:

Objektivitas, artinya pemilihan media tidak

didasarkan pada kesukaan pribadi, atau sekedar

hiburan sehingga menghiraukan kegunaan dan

relevansinya dengan materi dan karakteristik peserta

didik.

Situasi dan kondisi, pemilihan media harus

disesuaikan dengan situasi pembelajaran, artinya

71

disesuaikan dengan metode, materi, serta lingkungan

sekolah dan kelas.

Keefektifan dan efisiensi penggunaan artinya

penggunaan media bukan semata-mata karena

melaksanakan salah satu komponen pembelajaran

tetapi apakah media itu berguna untuk memudahkan

penguasaan materi bagi peserta didik.

Media yang digunakan dalam pembelajaran

hendaknya memenuhi beberapa kriteria berikut:

menarik perhatian peserta didik;

membantu mempecepat pemahaman dalam proses

pembelajaran;

memperjelas penyajian pesan agar tidak bersifat

verbalitis;

mengatasi keterlibatan ruang;

pebelajaran lebih komunikatif dan produktif;

waktu pembelajaran bisa dikondisikan;

menghilangkan kebosanan peserta didik dalam

belajar;

meningkatkan motivasi peserta didik dalam

mempelajari sesuatu dan menimbulkan gairah belajar;

meningkatkan kadar keaktifan dan keterlibatan

peserta didik dalam kegiatan pembelajaran.

Anak tunanetra membutuhkan dukungan sarana

dan media pembelajaran khusus, baik dalam

penyelenggaraan pendidikan di SLB maupun Sekolah

Inklusif. Sarana dan media khusus itu diperlukan agar

pelayanan pendidikan yang disediakan dapat diberikan

secara optimal untuk menghasilkan pendidikan yang

bermutu.

Tidak mudah bagi setiap sekolah untuk

menyediakan sarana dan media pembelajaran khusus

72

secara memadai. Persoalannya mungkin karena memang

pihak sekolah belum mengetahui sarana dan media yang

dibutuhkan bagi anak tunanetra, atau jika sekolah

mengetahui berbagai jenis sarana dan media khusus

yang diperlukan, tetapi tidak tahu ke mana harus

mendapatkannya. Di samping itu persoalan harga juga

menjadi salah satu kendala dalam pengadaan sarana dan

media khusus untuk pembelajaran bagi anak tunanetra.

Beberapa sekolah melalui guru yang ada dengan

kreativitasnya sendiri mencoba melakukan rekayasa

media pembelajaran dengan menggunakan bahan-bahan

yang ada di sekitarnya. Tentu saja hal ini sangat positif

dan memang seharusnya semua sekolah didorong untuk

melakukan hal yang demikian. Tetapi tidak sedikit

sekolah yang cenderung pasif tidak berusaha keras untuk

mengadakan sarana dan media pembelajaran khusus

tersebut, sehingga pendidikan dan pembelajaran yang

disediakan di sekolah terkesan asal berjalan. Tentu saja

hal ini tidak positif untuk pengembangan mutu

pendidikan. Untuk mengatasi hal tersebut, pada bagian

ini dibahas berbagai sarana dan media pembelajaran

khusus yang dapat digunakan untuk kelancaran

penyelenggaraan pendidikan bagi ABK.

2. Totally Blind (Tunanetra total)

1. Komputer Berbicara

Khoerunnisa (2010 : 4) menyatakan bahwa

Komputer Berbicara adalah Komputer dengan

program JAWS. Komputer yang memudahkan

penyandang tunanetra mengakses informasi dari

internet maupun ketika mengetik adalah computer

yang memiliki aplikasi screen reader yang disebut

73

JAWS. Cara kerja aplikasi screen reader yaitu

komputer menerangkan tampilan yang ada pada

layar monitor (screen) dengan suara. Mulai dari

menu program yang tersedia, sampai

menginformasikan dimana letak kursor dan

menerangkan tulisan apa saja yang terbaca pada

screen (membaca kata perkata maupun huruf demi

huruf).

Suara yang dihasilkan oleh JAWS terkesan

seperti robot yang berlogat barat. Kecepatannya pun

dapat diatur, dipercepat maupun diperlambat.

Program JAWS dapat juga mentranslate kata dari

Bahasa Indonesia ke bahasa Inggris (saduran dari

kamus Hasan Sadili). Pembrailannya pun

menggunakan dua program, yaitu Duxbury dan MBC

MBC (Mitra Netra Braille Conventer). Duxbury

merupakan program dari luar negeri, sedangkan MBC

berasal dari Indonesia. Persamaan dari keduanya

adalah dapat mengubah tulisan Braille ke tulisan

awas maupun sebaliknya. Namun, proses ini memilki

kelemahan yaitu file yang disimpan formatnya akan

berubah dan simbol-simbol khusus (misal arab dan

metematika) tidak dapat dikonversikan langsung.

74

2. Huruf Braille

Huruf Braille ditemukan oleh Louis Braille

(1809-1852), seorang guru berkebamgsaan Perancis

yang mengalami kebutaan pada usia 3 tahun. Braille

menemukan sistem cetakan dan tulisan khusus untuk

penderita tunanetra ini pada tahun 1824 saat masih

menjadi siswa pada Institution Nationale des Jeunes

Aveugles (National Institute for Blind Children),

Paris, Perancis.

Tulisan braille berupa huruf-huruf timbul yang

sederhana dan praktis dan metoda membaca dipakai

diseluruh dunia. Tulisan braille yang ditulis menonjol

atau timbul di atas kertas dan dibaca dengan cara

meraba secara lembut dan perlahan tulisan, terdiri

atas 6 titik atau lubang dan dijadikan 2 baris, masing-

Komputer Bicara

75

masing 3 titik dari atas kebawah. Jika hanya titik

pertama dari baris pertama yang timbul, itu huruf a,

jika titik pertama dan kedua dari baris pertama yang

timbul itu huruf b. Tulisan braille terdiri dari 63

karakter, yang meliputi huruf, angka, tanda baca,

tanda ulang, huruf besar .

Pada tahun 1932, tulisan braille diakui sebagai

Standard English Braille oleh perwakilan dari

perkumpulan penyandang cacat netra seInggris Raya

dan Amerika Serikat. Untuk melengkapi dan

menyempurnakan tulisan braille, pada tahun 1065

The Nemeth Code of Braille Mathematics and

Scientific Notation memodifikasi tulisan braille yang

mewakili bermacam-macam simbol khusus yang

digunakan untuk bidang matematika dan teknik. Di

samping itu juga, masih banyak tulisan braille yang

dimodifikasi untuk penulisan notasi musik, tulisan

cepat (stenografi) dan macam-macam bahasa di

dunia. Saat ini, tulisan tangan dengan menggunakan

tulisan braille sudah dimungkinkan dengan

menggunakan alat yang bernama ”slate”. Yang terdiri

dari 2 buah lembaran baja, yang dihubungkan dengan

menggunakan sendi yang berguna untuk

memasukkan selembar kertas diantaranya.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa tulisan

penemuan Louis Braille sangat berperan penting

untuk membantu para penyandang cacat netra

mengatasi kendala dalam bersosialisasi dan

berkomunikasi antar sesama penyandang cacat netra

dan dengan masyarakat umum. Kendala ini dapat

teratasi karena masalah pokok penyandang cacat

netra adalah individu yang mempunyai kelainan fisik

76

(physical handicap) yang berpengaruh terhadap

fungsi sosial dan fungsi emosional, yang

termanifestasi dalam bentuk gangguan kepribadian

(sikap pasif dan sikap ragu) serta gangguan dalam

penyesuaian diri (rendah diri, kurang berani

mengenal orang lain, merasa tidak berguna). Karena

tulisan braille sudah diakui sebagai standar cetakan

dan tulisan bagi penyandang cacat netra, sehingga

para penyandang cacat netra tidak perlu takut dan

cemas untuk berkomunikasi dengan sesamanya,

karena mereka mempunyai ”tilisan” sebagai akses

yang bisa dipakai sebagai identitas diri, dimana hal

ini nantinya akan menumbuhkan keberanian mereka

untuk berkomunikasi dengan orang normal dan

melakukan tugas dan fungsinya dalam masyarakat,

tanpa terganggu oleh ketunaannya, sama dengan

orang normal.

Jane Ware (2002 : 2) menyatakan bahwa Huruf

Braille adalah kode didasarkan pada enam titik,

disusun dalam dua kolom tiga titik. Ada berbagai

jenis kode braille. variasi menggunakan ini dari enam

titik untuk mewakili semua huruf dari alfabet, angka,

tanda baca dan kelompok yang sering terjadisurat.

orang buta membaca dari kiri ke kanan di halaman

dengan sentuhan ringan, menggunakan satu atau

kedua tangan. Bantalan lembut jari-jari digunakan

untuk merasakan titik terangkat, karena ini lebih

sensitif dibandingkan dengan ujung jari. Sebagian

besar pembaca braille terlihat membaca huruf braille

oleh penglihatan. Jari sensitif dibutuhkan untuk

membaca braille. Ukuran huruf braille yang umum

digunakan adalah dengan tinggi sepanjang 0.5 mm,

77

serta spasi horizontal dan vertikal antar titik dalam

sel sebesar 2.5 m

Huruf Braille

Angka Braille

78

3. Digital Ascesible System (DAISY) Player

PlayerDigital Ascesible System (DAISY)Player.

DAISY Player digunakan untuk mempermudah

penyandang tunanetra untuk memperoleh informasi

dari buku tertentu yang telah diubah menjadi bentuk

suara. Kecepatan dan volume suara dapat diatur

sedemikian rupa sesuai kebutuhan. Buku bicara yang

digunakan untuk DAISY player ini berupa compact

disk.

4. Buku bicara (Digital Talking Book)

Digital talking books adalah perangkat yang

memungkinkan pembaca tidak hanya bisa menikmati

suara audio yang dibacakan dari buku, namun juga

memungkinkan pengguna untuk melewati beberapa

teks untuk mencari topik atau pencarian kata

tertentu. Buku-buku dioperasikan dengan

menggunakan pemutar buku digital berbicara,

dengan serangkaian tombol kontrol yang

memungkinkan pembaca untuk manuver melalui

DAISY player

79

teks di dalamnya. Ini membuktikan buku bicara lebih

dari sekedar buku audio sederhana yang hanya

memungkinkan pembaca untuk berhenti, mulai, dan

mundur untuk mencari titik tertentu dalam

presentasi.

Kemampuan untuk mengatur bookmark

elektronik dapat sangat berguna, karena

memungkinkan pembaca untuk berhenti bahkan di

tengah bagian atau bab, dan mengambil di tempat

yang sama di lain waktu. Pembaca juga dapat

menggunakan fungsi untuk melewatkan sebuah

paragraf membosankan, atau melakukan pencarian

kata kunci.

Buku bicara pada dasarnya memilki cara kerja

yang hampir sama dengan buku bicara dalam bentuk

compact disk (CD). Hanya saja pengoperasian kaset

bicara harus menggunakan radio tape.

Buku Bicara

80

5. Printer Braille

Khoerunnisa (2010 : 4) menyatakan bahwa

Printer Braille memiliki cara kerja yang mirip dengan

printer dot matrix. Proses pencetakan dilakukan

dengan cara pengetukan pada kertas, sehingga

printer ini lebih bersuara jika dibandingkan dengan

printer tinta. Printer braille terdiri dari dua tipe,

yaitu COMET dan BRAILLO NORWAY (tipe 200 dan

400). Perbedaan dari dua tipe ini terletak pada hasil

cetakannya. Printer COMET hanya dapat mencetak

dari dua sisi (satu muka), sedangkan BRAILLO

NORWAY dapat mencetak dua sisi (bolak-balik).

Printer Braille

81

6. Termoform

Termoform merupakan mesin pengganda (copy)

bacaan penyandang tunanetra dengan penggunakan

kertas khusus, yaitu braillon.

7. Telesensory

Telesensory merupakan suatu alat yang

digunakan untuk memperbesar huruf awas agar

terbaca oleh penderita tunanetra low vision.

Termoform

Telesensory

82

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa

pelayanan pengguna tunanetra adalah memberikan

layanan kepada penyadang tunanetra dengan

memberikan fasilitas buku secara manual yaitu buku

braille maupun teknologi seperti komputer

berbicara, buku elektronik,yang menggunakan

program jaws. Dengan adanya layanan berbasis

teknologi, diharapkan dapat memfasilitasi

penyandang tunanetra untuk mengakses informasi.

8. Gambar-gambar Alat Bantu Tunanetra Lainnya

a. Globe timbul

bahan fiber, diameter 42 cm, dilengkapi garis

lintang/bujur dan keterangan-keterangan dalam

huruf braile

b. Riglet kecil

Bahan plastik, terdiri dari 4 baris 28 petak

c. Abakus

Bingkai plastik, alas karpet, tiang stainlis, terdiri

atas 13 digit

d. Tongkat lipat

Bahan aluminium galfanis vernikel panjangg

110cm

e. Jam bicara bahasa inggris dan bahasa indonesia

f. Peta indonesia

Bahan relief fiber, bingkai triplek, ukuran

40x100cm

g. Bola kaki bunyi

Bahan kulit imitasi, terdapat kerincingan

didalamnya

h. Busur derajat braille

Bahan fiber, diameter 20 cm, dilengkapi jarum

penunjuk terdapat titik-titik setiap 5 derajat dan

83

terdapat angka braille pada sudut-sudut

istimewa

Globe Timbul Tongkat Lipat Peta Timbul

Riglet Kecil Abakus

Busur Derajat Braille Bhs Indonesia Bhs Inggris

Bola Berbunyi Gambar Timbul

84

3. Low Vision (Tunanetra dengan sisa penglihatan)

Alat-alat bantu optik maupun nonoptik dapat

membantu orang dengan low vision memgoptimalkan

sisa penglihatannya dan meningkatkan kualitas hidup

penderita serta mengurangi ketergantungan kepada

orang lain.

Dalam rangka menentukan bentuk alat bantu low

vision bagi seorang anak diperlukan kerjasama antara

setidaknya seorang optometris (orang yang menguji

ketajaman pandangan mata), guru spesialis tunanetra

dan orangtua anak tersebut. Kerjasama dilakukan dalam

bentuk pertemuan konsultasi untuk mengetahui alat low

vision seperti apa yang sesuai dengan kebutuhan

individu anak.

Bagi banyak anak, sebuah alat bantu low vision

dapat merupakan alat yang serba guna. Akan tetapi, bagi

kasus-kasus tertentu, alat-alat ini mungkin terbatas atau

spesifik kegunaannya, dan tidak ada pendekatan yang

standar ataupun cara pemecahan yang seragam, karena

setiap anak memiliki kebutuhan visual yang berbeda

Kegiatan

85

(Tarsidi, 2008). Berikut ini merupakan alat bantu yang

umumnya digunakan oleh lowvision:

a. Standar Baca (Reading Stand)

Standar baca digunakan karena banyak alat

optik menuntut jarak baca yang dekat. Standar baca

dapat memenuhi tuntutan ini.

Contoh standar baca duduk (sumber:

www.livingmadeeasy.org.uk)

Contoh standar baca berdiri (sumber:

www.shop.aph.org)

86

Contoh standar baca berdiri (sumber:

www.wakefieldscearce.com)

Standar baca itu harus dilengkapi dengan alat

untuk mengubah-ubah ketinggiannya dan

kebesaran sudutnya, dan dilengkapi dengan alat

untuk menyimpan dan menahan bahan bacaan.

Ada standar baca yang dilengkapi dengan klip pada

bagian atasnya untuk menahan kertas- kertas lepas

(Tarsidi, 2008).

b. Cahaya

Alat bantu low vision yang paling efektif

adalah cahaya. Cahaya merupakan alat bantu low

vision pertama yang harus dipertimbangkan,

dibahas dan diasesmen dalam konsultasi low vision

(Tarsidi, 2008).

Jika tingkat iluminasi (pencahayaan)

lingkungan rendah, dan cahaya lampu yang ada

tidak cukup terang, maka sebaiknya dipergunakan

lampu belajar yang dapat diputar ke segala arah,

sebaiknya dengan watt yang rendah.

87

Contoh lampu belajar duduk (sumber:

www.tradekorea.com)

Contoh lampu belajar berdiri (sumber:

www.hammacher.com)

Watt yang rendah itu sangat penting untuk

kenyamanan karena panas yang dipancarkannya

minimum dibandingkan dengan yang dipancarkan

dari lampu pijar biasa (Tarsidi, 2008).

88

c. Kacamata Resep

Alat bantu low vision yang paling efektif

berikutnya adalah kaca mata yang cocok, yang

diresepkan secara tepat. Antara 10 hingga 15%

anak penyandang ketunanetraan dapat dibantu

dengan kaca mata, dan sering kali hanya inilah yang

dibutuhkannya.

Contoh kacamata resep (sumber:

www.specsaver.co.uk)

d. Magnifikasi (Magnifier)

Magnifikasi (pembesaran) dapat dilakukan

dengan berbagai cara, yaitu (Tarsidi, 2008):

1) memperbesar ukuran obyek (magnifikasi

ukuran);

2) memperkecil jarak lihat ke obyek (magnifikasi

jarak relatif);

3) memperbesar sudut penglihatan (magnifikasi

sudut relatif),biasanya dilakukan dengan sistem

multi-lensa seperti teleskop.

Sering kali ketiga teknik dasar tersebut

dipergunakan sekaligus. Jika hal ini dilakukan, maka

hasil magnifikasinya akan merupakan produk

magnifikasi yang dihasilkan oleh berbagai metode.

Dalam contoh berikut ini, seorang anak tunanetra

ingin menonton televisi dan memerlukan

89

magnifikasi 2x untuk melakukannya. Untuk itu

terdapat tiga kemungkinan opsi:

1) mengganti pesawat televisi berdiameter 10 inci

dengan 20 inci;

2) memperdekat jarak duduk anak dari yang

biasanya 6 meter menjadi 3 meter;

3) memberi anak teleskop dengan

magnifikasi 2x. Jika ketiga cara di atas

dipergunakan sekaligus, maka total magnifikasi

yang diperoleh bukan 6x melainkan 8x (yaitu 2

x 2 x 2). (Tarsidi, 2008)

Macam-macam Alat Magnifikasi

Secara umum, alat-alat magnifikasi terdiri dari tiga

jenis (Tarsidi, 2008):

1) Alat magnifikasi dasar berteknologi rendah,

terdiri dari:

a) Alat magnifikasi genggam (hand magnifier)

Alat ini merupakan bentuk alat bantu low

vision yang paling sederhana dan paling

banyak dipergunakan.

Contoh alat magnifikasi genggam

(sumber: www.csvrlowvision.co.uk)

90

Tingkat magnifikasi yang dinyatakan pada

alat ini mungkin tidak sesuai dengan yang

dibutuhkan anak. Ini dikarenakan, para

produsen alat magnifikasi menggunakan

formula yang berbeda- beda untuk

menghitung tingkat magnifikasi bagi

produknya.

Alat magnifikasi genggam ini dayanya

berkisar dari +4,00 D (1x) hingga +24,00 D

(6x). Dengan daya di atas ini, alat

magnifikasi itu kadang-kadang disebut

"loupe", dan dayanya dapat mencapai

+64,00 D (16x).

Model alat magnifikasi genggam ini pada

umumnya adalah berupa lensa cembung

tunggal (plano convex) atau lensa cembung

ganda (bi convex) dengan bingkai plastik

dan bertangkai.

Jarak antara mata dengan alat magnifikasi

genggam itu harus mendekati jarak fokus

alat magnifikasi itu. Misalnya, jika alat

magnifikasi itu memiliki daya +12,00 D

(3x), maka harus dipegang pada jarak 8 cm

dari mata. Jika anak itu memakai kaca mata

baca, maka dia harus belajar menjaga agar

jarak dari matanya ke alat magnifikasi itu

konstan, dan mendekatkan bahan

bacaannya ke arah matanya hingga

fokusnya tercapai (Tarsidi, 2008).

b) Alat magnifikasi berdiri (stand magnifier)

Alatmagnifikasi berdiri tersedia dari

ukuran 8,00 D (2x) hingga 80,00 D (20x),

91

baik yang bersumber cahaya maupun yang

tidak (lihat Gambar 7.4 dan 7.5). Pada jenis

yang berdaya tinggi, alat magnifikasi ini

biasanya dilengkapi dengan lampu

sehingga permukaan bahan bacaan

menjadi terang. Untuk tingkat magnifikasi

yang tinggi seperti ini, dibutuhkan banyak

cahaya, dan alat magnifikasi itu mungkin

menggunakan tenaga listrik, batrai atau

gabungan keduanya. Disarankan agar

digunakan tenaga listrik karena baterai

cepat sekali habisnya.

Contoh alat magnifikasi berdiri tanpa

lampu (sumber: www.visionaustralia.org)

92

Contoh alat magnifikasi berdiri dengan

lampu (sumber :

www.telesightmagnifiers.org)

Alat magnifikasi berdiri yang sederhana

sering merupakan alat pertama yang

ditawarkan kepada anak tunanetra. Jika

ketajaman penglihatan anak itu cukup baik,

maka alat magnifikasi dengan daya 20,00 D

biasanya cocok. Bila anak kecil diberi alat

magnifikasi berdiri seperti coil Horseshoe

magnifier, biasanya mereka meletakkannya

dengan benar di atas halaman yang akan

dibacanya, melihatnya sebentar kemudian

menyingkirkan alat itu untuk mengecek

apakah obyek yang dilihatnya melalui alat

magnifikasi tadi masih berada di

tempatnya! Pada tahap inilah intervensi

melalui latihan yang efektif diperlukan,

dengan peragaan yang memadai (Tarsidi,

2008).

93

c) Alat magnifikasi tidur (Flat Bed Magnifier)

Disebut juga brightfield magnifier, alat

magnifikasi tidur ini diletakkan di atas

kertas dan fokusnya tetap.

Contoh alat magnifikasi tidur (sumber:

www.dx.com)

Alat ini dirancang dengan lensa cembung

tunggal dan dipergunakan dengan

menempelkan bahan bacaan pada bagian

yang datar dari alat magnifikasi ini. Flat

bed magnifier tersedia dalam berbagai

diameter dari 20 mm hingga 90 mm dan

tingkat magnifikasinya berkisar dari 1,75x

hingga 2,00x, meskipun perkembangan

teknologi lensa akhir-akhir ini telah sedikit

mempertinggi tingkat magnifikasinya

hingga 2,2x.

Jika seorang anak menggunakan flat bed

magnifier antara 4 hingga 5 mm dari

permukaan lembar kerja, ini biasanya

merupakan suatu tanda bahwa dia

94

membutuhkan tingkat magnifikasi yang

lebih tinggi, atau bahwa kaca mata anak itu

perlu diperiksa lagi dan diperbaharui.

Contoh alat magnifikasi tidur dengan

layar (sumber: www.ashlowvision.com)

Alat magnifikasi ini dapat dipergunakan

dengan memakai kaca mata baca jika

efeknya dirasakan lebih baik. Kelebihan

utama dari flat bed magnifier adalah bahwa

alat magnifikasi ini lebih banyak menyerap

cahaya. Dalam hal ini, sumber cahaya yang

menyebar seperti cahaya matahari atau

cahaya lampu ruanganlebih baik, karena

cahaya langsung dari sebuah lampu sorot

cenderung menimbulkan cahaya silau

akibat pantulan dari permukaan alat ini

sehingga mengurangi kinerja visual.

Kelebihan lainnya adalah tidak adanya

distorsi optik dan hal ini akan

meningkatkan dan memelihara potensi

binokuler.

95

Kekurangannya adalah bahwa bidang

pandangnya relatif sempit dan alat ini lebih

berat daripada alat magnifikasi genggam

ataupun alat magnifikasi berdiri (Tarsidi,

2008).

d) Alat magnifikasi garis (line magnifier)

Line magnifier terbuat dari plastik optik

berbentuk silinder. lat ini diletakkan di atas

lembar kerja sejajar dengan bahan bacaan,

dan memiliki daya magnifikasi antara 6,00

D (1,5x) hingga 8.00 D (2x). Beberapa jenis

alat magnifikasi garis memiliki skala atau

garis-garis cm atau mm, dan pada

umumnya ada pegangannya pada satu

ujungnya untuk memudahkan

penggunaannya.

Berbagai contoh alat magnifikasi garis

(sumber: www.gxoptical.com dan

www.kisbysundown.com)

96

2) Alat Magnifikasi Berteknologi Menengah, terdiri

dari:

a) Alat magnifikasi dengan bingkai kacamata

Kaca mata resep pada umumnya

merupakan alat bantu low vision yang

paling bermanfaat yang akan dipergunakan

oleh seorang anak tunanetra. Dalam

bentuknya yang paling sederhana, alat ini

terdiri dari lensa cembung atau positif yang

diberi bingkai kaca mata.

Alat ini akan memberi penggunanya bidang

pandang maksimum untuk tingkat

magnifikasi tertentu, dengan berat

minimum dan dengan ketebalan yang wajar

jika dibuat dengan bentuk yang tepat. Bila

tingkat magnifikasinya tinggi, maka prisma

dasarnya dimasukkan ke dalam resep

pembuatan kaca mata pembesar ini untuk

meningkatkan kemampuan konvergensi

penggunanya (Tarsidi, 2008).

Gambar 4. 13 Contoh alat magnifikasi

bingkai kacamata (sumber:

www.magnifyingaids.com dan

www.kisbysundown.com)

97

b) Alat magnifikasi teleskopik

Cara yang paling sederhana dan praktis

untuk meningkatkan ketepatan

penglihatan jauh pada anak-anak tunanetra

adalah dengan memperkecil jarak antara

mata dan obyek yang ingin dilihatnya

(Tarsidi, 2008). Dengan memperkecil jarak

pandang dengan setengahnya, besarnya

citra pada retina otomatis berlipat dua,

tetapi kualitas citranya tidak terganggu.

Permasalahan timbul jika jarak pandang

dari mata ke obyek pandang itu tidak dapat

diubah.

Dalam hal seperti ini, alat bantu low vision

teleskopik merupakan cara yang tepat

untuk meningkatkan ketepatan penglihatan

jauh itu. Teleskop ada yang dirancang

untuk fokus tertentu dan ada pula yang

dirancang untuk fokus yang dapat diubah-

ubah, dan dapat dipergunakan dengan kaca

mata ataupun tanpa kaca mata.

Terdapat dua jenis dasar teleskop, yaitu:

1. Teleskop Galilea

Contoh alat magnifikasi teleskop Galilea

(sumber: www.aliexpress.com)

98

2. Teleskop Kepleria, atau teleskop

astronomik.

Contoh alat magnifikasi teleskop Kepleria

(sumber: www.magnifyingaids.com)

Kedua jenis alat ini menggunakan lensa

obyektif, artinya lensa diposisikan sedekat

mungkin ke obyek, tetapi berbeda dalam

kekuatan lensa matanya; jenis Galilea

menggunakan lensa negatif (cekung), dan

jenis Kepleria menggunakan lensa positif

(cembung).

Yang menggunakan bingkai kaca mata

biasanya jenis Galilea dan dipergunakan

untuk membaca, sedangkan yang

digenggam mungkin dari jenis Galilea

ataupun Kepleria dan biasanya

dipergunakan untuk melihat jauh. emua

alat magnifikasi teleskopik dispesifikasikan

dalam format A x B, di mana A adalah

tingkat magnifikasi sistem itu dan B adalah

diameter (dalam milimeter) lensa

obyektifnya.

99

Selain itu, terdapat juga jenis teleskop yang

lain (Tarsidi, 2008):

Teleskop dengan fokus yang dapat

diubah-ubah (variable focus telescope)

Alat magnifikasi jenis ini dapat diubah-

ubah jaraknya antara lensa obyektif

dan lensa matanya, sehingga kisaran

fokusnya luas. Lensa-lensanya

tersimpan dalam bingkai pelindung

dari logam sehingga terhindar dari

kerusakan oleh debu. Dengan memutar

pelindung logamnya, teleskop ini

berubah fokusnya dari jauh ke dekat.

Contoh teleskop dengan fokus yang

dapat diubah-ubah ini antara lain

adalah Eschenbach, teleskop

monokuler untuk fokus pendek, dan

teleskop monokuler Keeler 8x. Alat

magnifikasi teleskopik Keeler itu

terutama bagus karena dilapisi karet

pelindung sehingga sangat tercegah

dari kerusakan akibat benturan

(Tarsidi, 2008).

Contoh Teleskop dengan fokus yang

dapat diubah-ubah (sumber:

www.aliexpress.com)

100

Kebanyakan teleskop jenis ini adalah

teleskop genggam, tetapi yang dayanya

rendah dapat ditempelkan ke kaca

mata dengan sebuah klip. Jika anak

tunanetra mempunyai ketajaman

penglihatan yang hampir sama pada

kedua matanya, maka dua teleskop

jenis ini dapat diberi bingkai kaca mata

dan berfungsi sebagai alat magnifikasi

binokuler, juga dengan

menggabungkannya dengan kaca mata

resepnya (Tarsidi, 2008).

Teleskop dengan jarak fokus tertentu

(fix focus telescope)

Alat ini tidak dapat diubah-ubah jarak

fokusnya seperti yangdigambarkan di

atas, dan oleh karenanya hanya dapat

dipergunakan bersama-sama dengan

kaca mata jauh yang diresepkan bagi

anak yang bersangkutan. Alat

magnifikasi ini terutama dipergunakan

untuk melihat jauh (Tarsidi, 2008).

Contoh Teleskop dengan fokus tertentu

(sumber: www.aliexpress.com)

101

Teleskop dengan fokus tertentu untuk

jarak dekat juga dapat ditempelkan

pada lensa kaca mata dan

dipergunakan bersama-sama dengan

kaca mata resep. Carl Zeiss dan

Eschenbach memproduksi teleskop

jenis ini untuk berbagai jarak. Teleskop

dengan fokus tertentu untuk jarak jauh

juga dibuat dalam bentuk binokuler,

seperti jenis binokuler untuk teater

(Tarsidi, 2008).

3) Alat Magnifikasi Berteknologi Tinggi, terdiri

dari:

a) Closed circuit television

CCTV kini cenderung dipergunakan untuk

anak-anak yang menyandang

ketunanetraan yang lebih berat yang

membutuhkan tingkat magnifikasi yang

lebih tinggi daripada yang dapat diperoleh

dari alat optik.

CCTV terdiri dari sebuah kamera televisi

yang diletakkan di atas sebuah meja X Y

yang dapat dipindah-pindahkan dan

dihubungkan ke monitor tayangan video

(Tarsidi, 2008).

102

Contoh closed circuit television (sumber:

www.kcvisionperformance.com)

Penyimpan bahan bacaan itu tidak dapat

diatur ketinggiannya sehingga magnifikasi

hanya dapat diperoleh secara elektronik

atau dengan menggunakan "zoom camera".

Magnifikasi berkisar dari 2x hingga 100x.

Sebaiknya menggunakan monitor

berkualitas baik yang frekuensi

kerdipannya lebih besar dari 50 Hertz (Hz),

karena ini dapat menghilangkan kerdipan

listrik yang mengurangi ketajaman

penglihatan pada penyandang low vision.

Sistem modern dibuat dengan frekuensi

kerdipan di atas 60 Hz (Tarsidi, 2008).

CCTV tersedia dalam versi monokrom

(hitam-putih) ataupun warna. Penggunaan

CCTV warna untuk anak-anak pengidap

disfungsi macula patut dipertanyakan

karena sistem yang hitam- putih biasanya

akan memberikan hasil yang lebih baik.

103

Dua opsi yang tersedia pada CCTV

monokrom adalah menayangkan tulisan

hitam pada latar putih atau menggunakan

sistem negatif untuk menayangkan tulisan

putih pada latar hitam. Telah ditemukan

bahwa menggunakan tulisan putih pada

latar hitam lebih nyaman dan memberikan

ketajaman yang lebih baik bagi mereka

yang mengidapretinitispigmentosa

(Tarsidi, 2008).

Kelebihan dari sistem CCTV adalah

kemampuannya untuk memvariasikan

iluminasinya dan kekontrasan citra yang

dihasilkannya. Seorang anak tunanetra

sering lebih menyukai kekontrasan yang

lebih tinggi daripada yang terdapat pada

dokumen aslinya. Pengalaman telah

menunjukkan bahwa anak yang mengidap

kondisi macula degeneratif dan mereka

yang kehilangan kebeningan pada media

optiknya membutuhkan cahaya yang lebih

terang dan kekontrasan yang lebih tinggi.

Sistem CCTV yang lebih kompleks mungkin

menyediakan beberapa fitur tambahan.

Sistem ini mungkin dapat dihubungkan ke

mesin tik atau komputer. Sebuah kamera

jarak jauh mungkin juga tersedia, sehingga

papan tulis maupun bahan bacaan dapat

terbaca.

Dalam hal ini, CCTV itu perlu dilengkapi

dengan layar monitor yang dapat terbagi

sehingga tulisan jarak jauh dapat terlihat

104

pada satu sisi layar itu dan bahan bacaan

ditayangkan pada sisi lainnya. Juga

memungkinkan untuk "menutupi" bagian-

bagian tertentu dari layarnya sehingga

hanya satu baris tulisan saja yang terlihat.

Dalam mode hitam-putih, bagian layar yang

tertutupi itu tampak hitam, dan dalam

mode putih-hitam bagian yang tertutupi itu

tampil putih. Terdapat juga fasilitas untuk

menggarisbawahi teks.

Tentu saja banyak masalah yang terkait

dengan sistem CCTV dibandingkan dengan

alat-alat optik yang sederhana. CCTV lebih

mahal dan tidak mudah dibawa-bawa.

Untuk mengatasi hal yang kedua tersebut,

dalam beberapa tahun terakhir ini telah

diperkenalkan kamera genggam seperti

mouse komputer yang dapat dihubungkan

ke pesawat televisi biasa. Kisaran

magnifikasinya bervariasi, tergantung pada

besarnya layar, tetapi dengan layar datar

modern yang lebih besar, magnifikasinya

dapat mencapai 25x. Semua sistem dengan

model genggam ini kini hanya tersedia

dengan tayangan hitam- putih; akan tetapi,

sistem warna pun akan tersedia dalam

waktu dekat ini (Tarsidi, 2008).

105

Contoh closed circuit television yang lebih

canggih (sumber: www.binoculas.com)

b) Closed circuit television dengan kombinasi

alat-alat lain

Alat-alat bantu low vision lainnya dapat

dipergunakan dengan CCTV. Misalnya, alat

magnifikasi garis yang dipasang pada

kedua tepi layar monitor dapat merupakan

cara yang efektif untuk meningkatkan

magnifikasi dari CCTV. Selain itu, sebuah

alat magnifikasi genggam dapat diberi

standar yang fleksibel seperti standar

lampu baca, sehingga dengan mudah dapat

didorong ke depan layar dan ditarik

kembali jika tidak diperlukan. Satu cara

lain untuk meningkatkan magnifikasi CCTV

adalah dengan menghubungkannya ke

sistem komputer, dan untuk ihni

diperlukan perangkat lunak khusus

(Tarsidi, 2008).

106

Selain alat bantu optik di atas, ada juga

alat-alat bantu nonoptik, yaitu sebagai

berikut:

a. Typoscope: garis berlubang untuk

membantumembaca

b. Letter writter: garis berlubang untuk

membantumenulis

c. Signature guide: untuk membantu

membuat tandatangan

d. Notex: untuk menentukan nilai uang

(belum digunakan di Indonesia karena

ukuran uang kertas takberaturan)

e. Reading Stand: untuk penyaangga buku

atau media bacalain

f. Bold line book: buku bergaris tebal agar

anak mudah melihatgaris

g. Adjustable Reading Lamp: lampu

belajar yang dapat diatur intensitas

cahayanya

h. Felt Tip Pen: alat tulis dengan warna

hitam yang memiliki ukuran ketebalan

garis yang lebih besar dari ballpoin

biasa (sejenis boxi atau spidol

hitamkecil)

i. Pensil 2B atau lebih: pensil ini dianggap

memiliki tingkat kehitaman yang cukup

pekat sehingga kontras bila dituliskan

pada kertas warna putih. Misalnya

untuk keperluanmenggambar

j. Needle traider: Alat bantu untuk

memasukkan benang ke liang jarum

untukmenjahit

107

k. Large Print: Buku bertuliskan huruf

berukuranbesar

l. Talking book: Kaset,CD.

4. Modifikasi Baca-Tulis untuk Low Vision

Selain alat bantu di atas, modifikasi lain untuk media

baca-tulis anak low vision yang tergolong non optik

adalah:

a. Kertas bergaris tebal

Penggunaan kertas bergaris tebal ini adalah untuk

menunjukkan baris yang tepat untuk menulis. Agar

tulisan berada tepat di dalam baris dan tidak keluar

garis.

b. Spidol hitam

Ketika kita menulis menggunakan pulpen biasa,

tulisan akan terlihat tipis dan mungkin tidak terlihat

oleh penderita low vision. Penggunaan spidol hitam

bertujuan agar tulisan menjadi lebih tebal dan mudah

dilihat kekontrasannya ketika dituliskan di kertas

berwarna putih.

c. Pensil hitam tebal/pensil 3b

Meskipun memakai pensil, tulisan akan menjadi tebal

karena memakai pensil ini.

d. Buku-buku dengan tulisan diperbesar (large print)

Huruf dicetak dengan ukuran yang lebih besar,

biasanya di atas 14 poin. Ini bertujuan agar tulisan

menjadi lebih jelas dan dengan mudah dibaca.

e. Bingkai untuk menulis

Pemakaian bingkai bertujuan agar penulis

mengetahui batas kertas ketika mereka menulis.

f. Reading stand/penyangga buku

Pemakaian reading stand bertujuan agar buku tetap

108

berada di tempatnya. Pemakaian alat ini juga

bertujuan agar buku tepat berada di depan orang

yang ingin membaca buku tersebut.

g. Lampu meja

Penggunaan lampu meja bertujuan agar intensitas

cahaya yang kita gunakan ketika membaca dapat

diatur

h. Typoscope reading guide

Dengan menggunakan typoskop kita dapat

mengarahkan kepada huruf yang ingin dibaca.

i. Kode warna-warna terang dan kontras

Kode warna digunakan pada tempat-tempat seperti

anak tangga untuk memudahkan penyandang low

vision ketika melangkah, tulisan pada kemasan agar

terlihat lebih jelas.

j. Topi

Pemakaian topi ini bertujuan agar cahaya matahaari

yang masuk tidak berlebihan dan membuat penderita

low vision menjadi silau.

Alat bantu nonoptik (non-optic devices) yang dapat

digunakan oleh siswa low vision dalam kegiatan

membaca antara lain:

Typoscope untuk mengarahkan huruf

Reading stand untuk penyangga buku

Adjustable reading lamp yaitu lampu belajar yang

dapat diatur intensitas cahayanya

Large print berupa buku yang menggunakan tulisan

huruf awas besar- besar dengan menggunakan huruf

di atas 14 point.

109

C. Pengembangan Media Belajar untuk Tunanetra

Tunanetra membutukan prinsip pembelajaran yang

mampu mengakomodasi hambatan penglihatan yang mereka

alami. Salah satu prinsip yang harus diperhatikan adalah

bagaimana media belajar dapat lebih disesuaikan ukurannya

sehingga anak tunanetra dapat memanfaatkan indra lain selain

penglihatan misalnya yang banyak digunakan dalam hal ini

adalah indra peraba untuk mengenali dan memahami media

belajar tersebut. Media belajar yang dimaksud adalah media

belajar semi kongkrit untuk memahami konsep tertentu. Media

belajar semi kongkrit digunakan dan dikembangkan jika benda

asli tidak bisa dihadirkan. Media semi kongkrit yang banyak

digunakan adalah replika, mialnya replika alat transportasi,

replika sayur-sayuran dan lain sebagainya. Replika digunakan

dengan prinsip-prinsip berikut :

a) Samaatur

Samaatur merupakan alat peraga replika yang ukurannya

sama atau hampir sama dengan benda aslinya. Analisis

replika yang samaatur yaitu jika alat peraga memenuhi daya

jangkau anggota tubuh, terutama tangan. Jika ukurannya

tidak terjangkau dan memerlukan lebih banyak gerak maka

dikawatirkan akan memecah konsep memadukan/utuh.

Misalnya replika kelinci, kambing, ayam dsb.

b) Miniatur

Miniatur merupaka alat peraga berupa replika yang

ukurannya diperkecil dari benda aslinya. Alasan pengecilan

bertujuan untuk menyatukan konsep. Jika memakai alat

peraga aslinya yang cukup besar, maka anak akan kehilangan

konsep yang utuh/konsep memadukan. Misalnya miniatur

rumah.

110

c) Besaratur

Besaratur merupakan sebuah replika yang ukurannya

diperbesar dari benda aslinya.

Alasan pembesaran karena jika menggunakan alat peraga

yang ukurannya sama dengan aslinya, maka indera perabaan

tidak mampu untuk mengakses. Misalnya alat peraga

binatang serangga kecil (semut, rayap, dll)

D. Pengembangan Konsep Pada Tunanetra

1. Pengembangan Konsep pada Anak Tunanetra

a. Pengembangan Konsep

Pengembangan konsep adalah proses

penggunaan informasi sensoris (sensory information)

untuk membentuk suatu gambaran ruang (space) dan

lingkungan (Juang Sunanto, 2003). Dalam hal ini

konsep dapat disamakan dengan kognitif dalam teori

perkembangan kognitif Piaget. Menurut Piaget

kemampuan kognitif akan berkembang jika anak

berinteraksi dengan lingkungannya. Konsep tentang

ruang (spasial) akan berkembang tergantung

terutama pada indera penglihatan. Oleh karena itu,

keterbatasan luas dan variasi pengalaman akibat

ketunanetraan perlu dikompensasi melalui program

pengembangan konsep.

Menurut Piaget pengembangan kognitif

memiliki beberapa tahap secara hierarki, yaitu mulai

tahap sensori motor, preoperational, concrete

operation (operasi konkrit), dan formal operation

(operasi formal). Karena tidak memiliki indera

penglihatan (visual), tunanetra mengalami kesulitan

untuk mencapai tahap konkrit dalam memahami

konsep tertentu bahkan ada beberapa konsep yang

111

tidak mungkin dipahami oleh tunanetra seperti

misalnya warna, bulan, bintang, matahari dan

sebagainya.

Konsep tentang jarak atau ruang yang secara

ideal dapat dipahami melalui indera penglihatan,

tunanetra harus memahaminya melalui haptic atau

kinesthetic. Konsep tentang ruang atau jarak ini

sangat berguna untuk mengetahui atau mengenali

hubungan antar obyek. Misalnya benda B terletak

lebih jauh di samping kanan benda A, sementara

benda C terletak lebih dekat dengan A dibandingkan

dengan B. Untuk mengenal konsep seperti ini

tunanetra tidak menggunakan indera penglihatan

dan memerlukan teknik khusus.

Dalam kehidupan sehari-hari terlalu banyak

konsep yang perlu dipahami oleh manusia tak

terkecuali tunanetra. Meskipun tunanetra tidak dapat

memahami semua konsep yang dapat dipahami oleh

orang awas sekurang-kurangnya mereka perlu

mengenal beberapa istilah yang digunakan untuk

menggambarkan konsep tersebut misalnya nama-

nama warna, matahari, bulan, bintang dan lain-lain.

Pengenalan istilah ini diperlukan untuk memenuhi

sebagai alat komunikasi dengan orang awas.

Hill dan Blasch (1980) mengklasifikasi jenis-

jenis konsep terutama yang diperlukan untuk

keterampilan orientasi dan mobilitas menjadi tiga

kategori besar yaitu (1) konsep tubuh (body

concepts), (2) konsep ruang (spatial concepts), dan

konsep lingkungan (environmental concepts).

Informasi yang diperlukan oleh tunanetra untuk

mengenal konsep tubuh mencakup kemampuan

112

untuk mengidentifikasi atau mengenali nama bagian-

bagian tubuh serta mengetahui lokasi, gerakan,

hubungannya dengan bagian tubuh yang lain, dan

fungsi bagian-bagian tubuh tersebut. Pengenalan

tubuh yang baik merupakan modal dasar untuk

mengembangkan konsep ruang dan sebagai dasar

untuk proses orientasi dirinya terhadap lingkungan

yang diperlukan untuk mencapai mobilitas yang baik.

Konsep ruang (spatial concepts) mencakup

posisi (positional) atau hubungan (relational), bentuk

dan ukuran. Sebagai contoh konsep tentang

posisi/hubungan melikputi depan, belakang, atas

(top), bottom (dasar), kiri, kanan, antara, paralel dan

sebagainya. Yang termasuk konsep bentuk meliputi

bulat, lingkaran, persegi panjang, segi tiga dan

sebagainya. Sedangkan yang termasuk konsep

ukuran meliputi jarak, jumlah, berat, volume,

panjang, dan sebagainya. Konsep ukuran dapat

berupa satuan. seperti: kg, cm, m2 dan lain- lain.

Selain itu juga berupa ukuran relatif seperti kecil,

besar, berat, ringan, sempit, jauh dan lain-lain.

b. Ciri Penguasaan Konsep

Suatu konsep akan bermakna bila ia fungsional

alias terasa manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari

seseorang, termasuk untuk seorang anak dengan

hambatan penglihatan. Menurut Irham Hosni dalam

“Buku Ajar Orientasi dan Mobilitas,” bukti yang

tampak ketika seorang anak telah mampu

memanfaatkan konsep yang dimilikinya yaitu apabila

ia dapat:

Mengenal (Identifying) yaitu kemampuan untuk

mengetahui dan mengenal suatu obyek atau

113

benda.

Menjelaskan (Describing) yaitu kemampuan

untuk mengungkapkan ciri utama dari suatu

obyek.

Melabel (Labeling) yaitu kemampuan memberi

nama pada suatu obyek yang bisa menjelaskan

isi, keadaan, apa yang dimilikinya, siapa yang

memilikinya, dan sebagainya.

Mengelompokkan (Grouping) yaitu kemampuan

menyatukan kelompok orang atau benda

berdasarkan klasifikasi yang sama atau

mendekati.

Memilih (Sorting) yaitu kemampuan memilah

dan meletakkan orang atau benda yang

kualitasnya sama.

Menyusun (Ordering) yaitu kemampuan

menyusun berdasarkan urutan yang sistematis.

Menyalin (copying) yaitu kemampuan meniru

sesuatu.

Membuat pola (Paterning) yaitu kemampuan

membuat model, contoh atau petunjuk untuk

ditiru.

Membedakan (Contrasting) yaitu kemampuan

memperlihatkan perbedaan dari sesuatu.

Seorang anak harus memiliki berbagai

kemampuan di atas agar ia dapat dengan mudah

menghubungkan konsep dengan

lingkungandisekitarnya. Misalnya mengenai konsep

bentuk. Ia harus dapat mengenal bentuk tersebut,

menjelaskan dan memberi nama pada bentuk

tersebut.

114

Setelah itu ia harus mampu mengelompokkan

berbagai bentuk sesuai kategorinya, memilih bentuk

dengan kualitas yang sama, dan menyusun bentuk

suatu obyek menjadi teratur atau sistematis. Selain

itu ia dapat meniru bentuk dari aslinya, membuat

pola/model/contoh dari berbagai bentuk, dan

menemukan perbedaan dari suatu bentuk yang sama

(misalnya ukuran yang berbeda).

Proses Pengembangan Konsep pada Anak

Tunanetra Pengembangan konsep merujuk kepada

myg

ifte

dch

ild.c

om

115

pemahaman dasar yang diperlukan untuk memahami

dunia seseorang. Hal ini termasuk ide atau gagasan

tentang diri dan orang lain, benda-benda, serta

lingkungan. Pemahaman dasar ini krusial

untuk melakukan komunikasi, bepergian, dan

kemandirian. Ketika anak-anak tipikal— dalam hal

ini anak-anak awas—umumnya

mengembangkan pemahaman mengenai

konsep dasar dengan belajar secara

insidental, anak-anak dengan hambatan penglihatan

seringkali harus secara formal diajarkan mengenai

konsep-konsep tersebut berulang- ulang (Barbara &

Barbara, 2010).

Fungsi mata dalam menangkap informasi dari

lingkungan tidak dapat sepenuhnya digantikan oleh

indera lainnnya. Pengamatan indera- indera selain

mata tidak sekonkrit dan sedetail hasil pengamatan

dari indera penglihatan kita. Oleh karena itu,

seseorang dengan hambatan penglihatan

memerlukan waktu yang lebih lama daripada orang

tipikal (orang awas) dalam memahami suatu obyek.

Orang tanpa hambatan penglihatan ketika

mengamati suatu obyek, ia dapat melakukannya dari

jarak jauh dan mendapat informasi utuh mengenai

berbagai aspek dari benda tersebut. Namun tidak

demikian halnya dengan orang yang mengalami

hambatan penglihatan. Ketika hendak memperoleh

informasi mengenai suatu obyek, orang dengan

hambatan penglihatan harus secara langsung

melakukan kontak dengan obyek tersebut. Obyek

yang memiliki ukuran lebih besar dari genggaman

tangannya, tidak dapat dipelajari atau diamati

116

sekaligus. Ia harus melakukannya bagian per bagian

hingga menjadi satu kesatuan yang utuh. Ini berbeda

dengan orang awas yang mengamati obyek dari

keseluruhan yang utuh, lalu menuju ke bagian-bagian

yang lebih kecil untuk mengetahui detailnya.

Menyatukan bagian-bagian kecil menjadi satu

kesatuan utuh bukanlah hal yang gampang. Hal ini

menuntut kemampuan untuk mengingat sesuatu

yang abstrak dan kemudian menggabungkannya.

Memasuki tahap abstrak dalam mempelajari dan

memahami suatu obyek merupakan hal yang sulit

bagi seseorang yang tidak dapat menggunakan

matanya sebagai saluran utama informasi (Hosni,

halaman 173).

Seseorang dianggap telah memiliki konsep yang

utuh mengenai suatu obyek bila ia memiliki dan

mampu memasuki tiga tahap pembentukan konsep,

yaitu:

1) Tahap konkrit, adalah tahap ketika seseorang

melihat obyek sebagaimana adanya.

2) Tahap fungsional, merupakan tahap saat

seseorang mulai dapat memikirkan fungsi dari

berbagai obyek yang ada di sekitarnya. Fungsi

suatu obyek artinya apa yang dapat dilakukan

oleh obyek tertentu, dan apa yang dapat

dilakukan manusia terhadap obyek tersebut.

3) Tahap abstraksi, yaitu tahap ketika seseorang

mampu membuat gambaran dalam mentalnya

mengenai intisari dari semua sifat atau ciri

utama obyek. Melalui kemampuan ini, seseorang

dapat membuat generalisasi dan batasan

mengenai sekelompok obyek atau konsep.

117

2. Pengajaran Konsep pada Anak Tunanetra

a. Mengajarkan konsep

Selama proses belajar mengajar atau

komunikasi pada orang lain khususnya dengan anak

tunanetra, seringkali kita menggunakan konsep-

konsep yang tidak mudah atau bahkan sulit dipahami

oleh anak. Misalnya, ketika berkomunikasi dengan

anak tunanetra kita menggunakan istilah (konsep)

„ini‟, „itu‟, „di sana‟ yang semuanya tidak dapat

dipahami oleh anak tunanetra. Di samping itu, kita

juga sering beranggapan bahwa istilah yang kita

gunakan sangat mudah, tetapi kenyataannya tidak

bagi anak-anak. Jika hal semacam ini berlangsung

cukup lama dan banyak konsep yang tidak dipahami,

maka dapat menghambat perkembangan konsep

anak-anak. Untuk memperkenalkan suatu konsep

pada anak-anak agar dipahami secara benar perlu

dilakukan dengan pendekatan sistematis.

Terdapat dua langkah dalam menyampaikan

konsep melalui pendekatan yang sistematis, yaitu:

1) Memberikan atau mengembangkan definisi

tentang konsep yang dimaksud.

Pembuatan definisi ini dimaksudkan untuk

memberikan karakteristik suatu konsep secara

umum dengan cara sesederhana mungkin. Oleh

karena itu definisi ini tidak harus selalu diambil

dari kamus. Definisi yang sederhana akan

membantu memudahkan orang untuk

memahaminya.

2) Melakukan proses analisis secara konseptual agar

konsep tersebut dapat dipahami dengan langkah-

118

langkah yang strategis secara hierarkis.

Sebagai contoh, kita akan memperkenalkan

konsep „depan‟. Diharapkan anak dapat

menunjukkan secara verbal, atau perabaan

bagian depan suatu obyek yang tidak memiliki

bagian depan dan belakang secara jelas (misalnya

meja). Untuk itu, pertama-tama konsep „depan‟

tersebut kita pecah sekurang-kurangnya satu

tingkat di bawah level pemahaman anak. Dalam

contoh ini konsep „depan‟ dipecah menjadi

prosedur sebagai berikut:

1) Anak diminta menunjukkan bagian depan

tubuhnya atau mengidentifikasi obyek-obyek

yang tidak memiliki bagian depan dan bagian

belakang secara jelas (definitif).

2) Anak diminta mengidentifikasi obyek-obyek

yang tersentuh tubuh dengan mengatakan

bahwa obyek-obyek tersebut berada di

depan tubuhnya.

3) Anak diminta mengidentifikasi benda-benda

yang berada di depannya.

4) Anak diminta mengidentifikasi bagian depan

suatu obyek yang berada di depannya.

Melalui prosedur seperti ini diharapkan anak

mendapatkan pengertian istilah „depan‟ dengan

berbagai makna.

b. Memilih konsep untuk diajarkan

Sebelum memulai pembelajaran konsep,

identifikasi terlebih dahulu konsep-konsep yang

penting untuk dipelajari anak dengan hambatan

penglihatan, baik dalam konteks sekolah ataupun

119

kegiatan sehari-hari di luar sekolah.

Sejumlah konsep penting yang perlu diberikan

pada anak untuk pengembangan konsepnya, menurut

Sunanto (2005) adalah sebagai berikut:

1) Kesadaran Tubuh, yaitu konsep-konsep yang

berkaitan dengan tubuh.

Tabel Kesadaran Tubuh dan Posisi Tubuh

Atas, bawah, tengah, belakang,

depan, kiri, kanan

Keseluruhan tubuh, nama bagian

tubuh, tubuh bagian atas, tubuh

bagian bawah

Tabel Kesadaran Kinestetik

Kesadaran Kinestetik Sensasi Ekspresi Wajah

Belok Perabaan Senyum

Arah gerakan Pendengaran Cemberut

Gerak, diam Pembauan Marah

Gaya gravitasi Pengecap Tertawa

Tabel Kesadaran Proprioseptif

Kesadaran proprioseptif Gesture (bahasa tubuh)

Menengadah Ya, tidak

Menggenggam Menunjuk

Tegap Melambai

Dan lain-lain Besalaman, dan sebagainya

2) Kesadaran Lingkungan, yaitu obyek-obyek

penting di lingkungan dan hubungan khusus di

antara obyek di dalam lingkungan.

Tabel Kesadaran Lingkungan

Jalan Lampu lalulintas Mobil

Trotoar Kotak pos Kereta api

Jalan setapak Tempat sampah Toko

Perempatan Meja-kursi Rumah

Tangga Pintu Warung

120

Gang Lemari Pohon

Dan lain-lain Toilet Cermin, dan lain-lain

3) Kesadaran Karakteristik Obyek, yaitu

karakteristik umum obyek.

Tabel Kesadaran Karakteristik Obyek (1)

Ukuran Bentuk Warna

Kecil, sedang, besar Lingkaran Gelap

Lebar, sempit Segitiga Terang

Panjang, pendek Persegi Keruh

Dalam, dangkal Oval Nama warna

Gemuk, kurus Bujursangkar, dan

lain- lain

Dan sebagainya

Tabel Kesadaran Karakteristik Obyek (2)

Suara Tekstur Perbandingan

Tinggi, rendah Kasar, halus Lebih besar

Keras, pelan Kaku, lentur Lebih kecil

Irama Keras, lunak Sama berbeda

4) Kesadaran Waktu, yaitu konsep yang

berhubungan dengan waktu.

Tabel Kesadaran Waktu

Mulai, berakhir Hari ini, besok

Sebelum, sesudah Kemarin, lusa

Pertama, berikutnya Yang akan datang

Selama Siang, sore

Selalu Konsep jam

Sering, dan lain-lain Dan lain-lain

121

5) Kesadaran Ruang, yaitu konsep yang

berhubungan dengan posisi ruang.

Tabel Kesadaran Ruang

Paralel

Siku-siku

Pinggir, tengah

Di dalam

Lurus

Di antara

Jauh, dekat

6) Aksi, yaitu konsep yang berkaitan dengan

gerakan atau kegiatan.

Tabel Konsep Aksi

Menulis, membaca Melompat

Makan, minum Merangkak

Dorong Memukul

Tarik Melempar

Tendang Menepuk

Mengikuti Dan lain-lain

7) Kualitas, yaitu konsep yang berhubungan dengan

angka atau kombinasi angka.

Tabel Konsep Kualitas

Kualitas Pengukuran Operasi hitung

Setengah Inci, meter, kubik Tambah

Sepertiga Ons, kilo, detik, menit, jam Kurang

Sedikit Meter persegi Bagi

Banyak Dan lain-lain Kali

122

8) Kesadaran Simbol, yaitu konsep simbol yang

penting.

Tabel Kesadaran Simbol

Arah mata angin

Warna

Kata ganti orang (saya, kamu, dia, kami, kita,

dan sebagainya)

9) Kesadaran emosi dan sosial, yaitu konsep yang

berhubungan dengan penyesuaian psikososial.

Tabel Kesadaran Emosi

Bahasa tubuh

Konsep diri

Suasana hati (sedih, senang, kecewa, marah,

dan sebagainya)

Intonasi atau tinggi rendah suara saat

berbicara

Cara bertanya, dan sebagainya

10) Reasoning, yaitu cara berpikir yang

menggunakan konsep (masuk akal).

Tabel Konsep Reasoning

Orientasi

Estimasi

Memutuskan

Mempertimbangkan (baik, buruk, benar,

salah, dan sebagainya)

Klasifikasi

Perbandingan, dan lain-lain

123

Dalam pembelajaran orientasi dan mobilitas,

konsep mengenai obyek dipelajari dengan

mengidentifikasi tiga hal, yaitu: tujuan, karakteristik

dan fungsi. Misalnya konsep tentang pintu dipelajari

sebagai berikut:

a) Tujuan:

Untuk memisahkan dua ruang dalam suatu

bangunan atau memisahkan antara ruangan

(indoor) dan luar ruang (outdoor/outside)

b) Karakteristik:

Pintu dapat dibuat dari kayu, metal, kaca, dan

lain-lain.

c) Fungsi:

Untuk membuka dan menutup dengan

menggunakan engsel

Pemahaman konsep juga sangat terkait dengan

pengembangan bahasa. Seorang anak dipandang

telah memahami suatu konsep jika ia dapat

mengikuti perintah yang disampaikan dengan kata-

kata. Selain itu, anak dapat menggunakan kata-kata

yang menggambarkan konsep tertentu dan dapat

menggunakannya dalam percakapan (Sunanto, 2005:

135).

Misalnya kita meletakkan bola di samping tubuh

anak, lalu kita bertanya “Apa ini?” dan ia menjawab

“Bola.” Kemudian kita bertanya lagi “Ada dimana

bolanya?” lalu ia menjawab “Di samping.” Kondisi ini

menggambarkan bahwa anak telah memahami

konsep bola dan konsep posisi (di samping) serta

dapat menggunakan bahasa untuk menjelaskan

konsep tersebut.

124

3. Asesmen Pemahaman Konsep

Dari penjelasan di atas kita telah mengetahui

berbagai jenis konsep yang penting untuk dipelajari anak

dengan hambatan penglihatan. Langkah selanjutnya

adalah melakukan asesmen untuk mengetahui sejauh

mana pemahaman konsep yang telah dikuasai anak dan

menentukan kebutuhan anak dalam hal pengembangan

konsep.

Asesmen adalah proses mengumpulkan informasi

mengenai siswa yang akan digunakan untuk membuat

penilaian dan menentukan keputusan mengenai siswa

tersebut (Lerner & Kline, 2006: 44). Asesmen

dimaksudkan diantaranya untuk mengetahui sejauh

mana anak memiliki kemampuan pengembangan konsep.

Pembelajaran yang dilangsungkan tanpa didahului

pelaksanaan asesmen cenderung tidak berjalan dengan

baik akibat tidak diketahuinya tingkat pengembangan

konsep yang dikuasai anak.

Seperti telah dinyatakan sebelumnya bahwa

pemahaman konsep berkaitan dengan pengembangan

bahasa, maka asesmen yang dilakukan harus mencakup

respon verbal (lisan) anak dan juga perilaku

(performance) anak. Prinsip asesmen yaitu mengases

pemahaman yang sebenarnya—secara luas dan

mendalam—mengenai suatu konsep.

Tingkat pemahaman konsep sangat bervariasi,

tergantung pada kemampuan anak dan tingkat

kerumitan konsep itu sendiri. Dalam menentukan tingkat

pemahaman konsep seorang anak, harus

dipertimbangkan usia anak, fungsi penglihatan yang

dimiliki anak, dan jenis konsep yang diases.

125

Berikut disajikan model asesmen pemahaman

konsep sebagaimana dipaparkan oleh Juang Sunanto

dalam buku “Mengembangkan Potensi Anak Berkelainan

Penglihatan” (2005). Namun mengingat betapa

bervariasinya konsep, maka contoh yang diberikan ini

tidak dapat mencakup semua jenis konsep yang ada.

Meski demikian, model ini dapat menjadi acuan untuk

pengembangan asesmen pemahaman konsep yang

diperlukan guru di lapangan.

Tabel Format 1:

Asesmen Pemahaman Konsep mengenai Benda Konkrit Obyek yang

Familiar Obyek yang

Kurang Familiar

1. Identifikasi: Tunjukkan obyek yang disebut guru

Sebut nama obyek yang ditunjukkan guru

2. Deskripsikan fungsi obyek yang disebutkan atau ditunjukkan guru

3. Deskripsikan hubungan antara obyek yang ditunjukkan/disebutkan guru dengan obyek lain

126

Tabel Format 2:

Asesmen Pemahaman Konsep mengenai Bagian Tubuh

Diri sendiri Orang lain

1. Identifikasi: Tunjukkan bagian tubuh yang disebut oleh guru

2. Sebutkan fungsi obyek yang disebutkan/ditunjukkan oleh guru

3. Sebutkan hubungan antara bagian tubuh

yang ditunjukkan/disebutkan guru dengan bagian tubuh lain

Tabel Format 3:

Asesmen Pemahaman Konsep mengenai Karakteristik Obyek Contoh Karakteristik

yang lebih rinci

1. Identifikasi: Tunjukkan karakteristik suatu obyek, atau tunjukkan obyek dengan karakteristik tertentu yang disebutkan oleh guru

2. Sebutkan nama obyek yang karakteristiknya

disebutkan oleh guru

127

Tabel Format 4: Asesmen Pemahaman Konsep mengenai Aksi

Diri sendiri Obyek atau orang Lain

1. Identifikasi:

Tirukan gerakan yang dilakukan oleh guru

Lakukan gerakan yang disebut oleh guru

Sebutkan nama gerakan yang

Dilakukan

2. Jelaskan fungsi dari suatu aksi yang

Dilakukan

Tabel Format 5:

Asesmen Pemahaman Konsep mengenai Posisi Hanya bagian

tubuh sendiri

Orang atau

obyek lain

dan

bagian

tubuh

sendiri

Hanya

orang

atau

obyek

lain

1. Identifikasi:

Gerakkan tubuh ke

posisi yang disebut

oleh guru

2. Sebutkan posisi yang

ditunjukkan oleh

guru

128

Tabel Format 6: Asesmen Pemahaman Konsep Abstrak

1. Jelaskan fungsi dari (“guru menyebutkan satu konsep abstrak”)

2. Sebutkan jenis kategorinya

3. Jelaskan persamaan dengan konsep lain yang sudah diketahui

129

BRAILLE SEBAGAI MEDIA BELAJAR

KOMPENSATORIS TUNANETRA

A. Sejarah Braille

Tarsidi (2016) menjelaskan Braille pertama kali

diperkenalkan di Indonesia oleh Belanda pada awal abad ke-20

di Blinden Instituut, Bandung, menggunakan sistem yang berlaku

di Negeri Belanda. Setelah kemerdekaan, sistem yang berlaku di

Kerajaan Inggris dan Amerika Serikat juga diperkenalkan.

Pada tahun 1960-an, guru-guru di berbagai Sekolah

Khusus bagi Tunanetrra menyadari pentingnya keberadaan

sistem Braille yang seragam. Oleh karena itu, Kementerian

Pendidikan membentuk sebuah Kelompok Kerja untuk

penyeragaman sistem Braille tersebut. Hasil kerja kelompok

tersebut dibakukan dan diterbitkan oleh Kementerian

Pendidikan pada tahun 1972. Sistem tulisan Braille tersebut

mencakup Braille bahasa Indonesia (literary Braille) termasuk

sistem tulisan singkat Braille Indonesia (Indonesian contracted

Braille) dan tanda-tanda matematik.

Pada tahun 1676, seorang tunanetra Katolik di Roma,

Italia, bernama Francesco Terzi, menciptakan sejenis “abjad tali”.

Dia membentuk huruf-huruf dari berbagai variasi simpul tali,

dan menggunakan abjad talinya itu untuk mentranskripsikan

kitab Injil. Seorang musisi wanita tunanetra dari Wina, Maria

130

Theresa von Paradis (lahir tahun 1741) belajar membaca dengan

alat bantu berupa paku-paku yang ditancapkan pada sebuah

bantalan untuk membentuk huruf-huruf. Dengan cara ini dia

berhasil belajar membaca partitur musik (Andersen, 2000).

Hingga awal abad ke-19, orang masih memusatkan usaha

membantu tunanetra belajar membaca dan menulis itu dengan

memperbesar huruf Latin atau Romawi dengan menggunakan

berbagai macam cara dan bahan seperti tali-temali, potongan-

potongan logam, kayu, kulit, lilin atau kertas, tetapi hasilnya

masih jauh dari memuaskan. Dari semua cara ini memiliki ciri

yang sama yaitu memerlukan bahan yang sulit dibuat atau sukar

dimanipulasi sehingga tidak cocok sebagai media komunikasi.

Misalnya, orang tidak mungkin membawa begitu banyak balok

kayu untuk memungkinkannya berkomunikasi secara tertulis

dengan orang lain secara efisien. Kriteria standar yang sangat

penting bagi suatu bentuk teknologi komunikasi adalah mudah

diproduksi, permanen, mudah difahami, dan mudah dibawa-

bawa (portable).

1. Perkembangan Sistem Tulisan bagi Tunanetra oleh Hauy

Salah satu upaya yang paling terkonsentrasi untuk

menciptakan sistem tulisan bagi tunanetra terjadi di Paris pada

tahun 1780-an. Valentin Hauy (1745-1822), pendiri dan direktur

sekolah pertama bagi tunanetra di dunia, menghasilkan huruf-

huruf timbul pada kertas tebal yang dapat diraba dan dibaca

dengan ujung-ujung jari. Untuk menghasilkan huruf timbul

tersebut, pertama-tama dia membuat cetakan huruf dari logam.

Huruf-huruf pada cetakan tersebut dibentuk terbalik. Kertas

tebal yang sudah dibasahi diletakkan di atas cetakan tersebut.

Sebuah "pena" yang bermata bundar dari logam digoreskan di

atasnya mengikuti bentuk huruf pada cetakan di bawahnya.

Setelah kertas itu dikeringkan, kini huruf-huruf timbul telah

131

terbentuk pada kertas tersebut. Buku pertama menggunakan

teknik penimbulan huruf ini diterbitkan pada tahun 1787 yang

berisikan essay tentang pendidikan bagi anak tunanetra

(Shodorsmall, 2000).

Gagasan untuk menghasilkan huruf yang ditimbulkan ini

muncul secara kebetulan. Franqois Lesueur, seorang anak laki-

laki tunanetra, dia adalah murid pertama Hauy sebelum

sekolahnya itu berdiri secara resmi. Pada suatu hari, ketika

Lesueur sedang membereskan kertas di meja kerja Hauy, jarinya

merasakan ada sebuah tonjolan pada salah satu lembaran kertas

itu: kesan sebuah huruf pada sisi belakang sebuah kartu ucapan

bela sungkawa yang baru dicetak. Lesueur bertanya kepada

gurunya itu apakah kesan yang dirasakan oleh jarinya itu adalah

huruf “o”. Memang benar, dan kejadian ini memunculkan

pemahaman pada diri Hauy bahwa jika jari-jari tangan seorang

anak tunanetra dapat mendeteksi sebuah huruf yang sedikit

timbul akibat tekanan yang tidak disengaja, maka jari-jari itu

pasti dapat mengenali huruf-huruf dengan baik apabila huruf-

huruf itu sengaja dibuat timbul. Hauy menguji pemikirannya

tersebut dengan mencetak berlembar-lembar teks dengan huruf

yang ditimbulkan. Lesueur ternyata dapat membedakan setiap

huruf dan dalam waktu enam bulan dia mampu membaca dan

menulis. Kemampuan Lesueur tersebut dipertunjukkan di

hadapan para anggota the Royal Academy of Sciences demi

memperoleh persetujuan mereka dan izin dari pemerintah

Perancis untuk membuka sekolah bagi anak tunanetra. Pada

tahun 1784 sekolah tersebut resmi berdiri dengan nama

L’Institute Nationale des Jeunes Aveugles, dengan 14 orang

murid pertama, dengan Hauy sebagai kepala sekolah dan

Franqois Lesueur sebagai asistennya (Koestler, 1984). Salah satu

tujuan Hauy dalam mendidik anak-anak tunanetra adalah

sedapat mungkin mempertahankan kesamaan antara cara

132

belajar anak tunanetra dan anak awas. Teorinya adalah bahwa

media dan teknologi pendidikan bagi siswa tunanetra

seyogyanya tidak menyimpang secara signifikan dari media dan

teknologi pendidikan yang dipergunakan oleh siswa-siswa yang

awas. Sistem tulisan timbul yang digagas oleh Hauy itu

mengalami sejumlah modifikasi, sebagian oleh Hauy sendiri dan

sebagian lainnya oleh orang lain.

2. Perkembangan Sistem Tulisan bagi Tunanetra oleh

Moon

Kurun waktu dari tahun 1825 hingga 1835 tampaknya

merupakan masa di mana terdapat kegiatan yang universal

untuk menciptakan dan mencetak tulisan timbul. di Inggris ada

Gall, Alston, Moon, Fry, Frere, dan Lucas, yang masing-masing

memiliki keunikan tersendiri dan mempunyai pendukungnya

masing-masing, dan di Amerika ada Friedlander, Howe dan lain-

lain (Shodorsmall, 2000). Tampaknya yang paling menonjol di

antara mereka adalah Dr. William Moon, seorang tunanetra

Inggris. Pada tahun 1845 dia menciptakan sebuah sistem huruf

timbul yang menggunakan abjad Romawi dengan beberapa

huruf dimodifikasi atau disederhanakan. Prinsip yang

digunakannya adalah bahwa sedapat mungkin huruf timbul itu

sama dengan bentuk aslinya (abjad Romawi) tetapi harus mudah

dikenali dengan perabaan. Dalam abjad Moon ini, 8 huruf tetap

sama, 14 huruf disederhanakan, dan 5 huruf dirancang sama

sekali baru. Sistem Moon ini dipergunakan oleh relatif banyak

orang tunanetra untuk jangka waktu yang cukup panjang. Abjad

ini masih dipergunakan hingga awal abad ke-20.

133

Pada dasarnya sistem Hauy dan sistem Moon ini adalah

tulisan awas (tulisan biasa) yangdiperbesar dan dibuat timbul

pada kertas. Keuntungan utama menggunakan abjad ini adalah

bahwa tulisan ini dapat dibaca oleh orang tunanetra maupun

orang awas. Kelemahannya adalah orang tunanetra tidak dapat

membacanya dengan cepat sehingga sangat tidak efisien sebagai

media penyerap informasi.

3. Perkembangan Sistem Tulisan bagi Tunanetra oleh

Barbier

Yang mendasari sistem tulisan Braille yang kita kenal

sekarang ini adalah sistem titik-titik timbul yang diciptakan oleh

Charles Barbier, seorang perwira artileri Napoleon. Pada tahun

1815, dalam peperangan Napoleon, Barbier menciptakan tulisan

sandi yang terdiri dari titik-titik dan garis-garis timbul yang

dinamakannya "tulisan malam". Dia menggunakan tulisan ini

untuk memungkinkan pasukannya membaca perintah-perintah

militer dalam kegelapan malam dengan merabanya melalui

ujung-ujung jari. Sistem ini didasarkan atas metodologi fonetik

(atau sonografi). Setiap kata diuraikan menjadi bunyi, dan setiap

bunyi dilambangkan dengan konfigurasi titik-titik dan garis-

134

garis tertentu (Davidson, 2005; Shodorsmall, 2000). Barbier

menggunakan pola 12 titik yang terdiri dari dua deretan vertical

yang masing-masing terdiri dari enam titik. Titik-titik tersebut

dibuat dengan menusukkan sebuah alat tajam pada kertas tebal

yang diletakkan pada sebuah cetakan dari logam. Alat yang

inovatif ini masih bertahan hingga kini sebagai alat tulis Braille

yang paling banyak dipergunakan. Di Indonesia, alat ini disebut

“pen” dan “reglet”.

Sistem Barbier tidak dimaksudkan sebagai alat pendidikan

bagi anak tunanetra ataupun untuk memungkinkan orang

tunanetra berkomunikasi secara tertulis. Barbier adalah seorang

insinyur di angkatan darat Perancis. Motivasinya adalah

menciptakan metode untuk mengirim pesan rahasia yang dapat

dibaca dalam kegelapan malam (dengan perabaan). Oleh karena

itu, sistem Barbier ini disebut “tulisan malam”. Namun demikian,

Barbier tertarik untuk memperkenalkannya kepada orang

tunanetra. Maka pada tahun 1820, dia mempresentasikan

mnetodenya itu di lembaga pendidikan tunanetra di Paris. Pada

awalnya, anak-anak tunanetra di lembaga itu sangat senang

dengan tulisan ini karena lebih mudah dikenali dengan ujung-

ujung jari. Namun, mereka menyadari bahwa sistem tulisan

malam ini memiliki banyak kekurangan. Sistem ini tidak

membedakan huruf kapital dan huruf kecil, tidak ada tanda-

tanda untuk angka ataupun tanda-tanda baca sebab

membutuhkan banyak ruang, dan sulit dipelajari. Tulisan malam

mungkin efektif untuk menuliskan pesan-pesan singkat seperti

“maju” atau “musuh ada di belakang kita” tetapi tidak bagus

dipergunakan untuk membuat buku bagi tunanetra (Davidson,

2005).

135

4. Perkembangan Sistem Tulisan bagi Tunanetra oleh

Louis Braille

Sistem tulisan bagi tunanetra yang kita kenal sekarang ini

diberi nama penciptanya, yaitu Braille. Louis Braille lahir pada

tanggal 4 Januari 1809 di Coupvray, sebuah kota kecil sekitar 40

kilometer di sebelah timur Paris. Dia menjadi buta pada usia tiga

tahun sebagai akibat kecelakaan dengan pisau milik ayahnya

yang seorang pembuat pelana kuda. Ayahnya

menyekolahkannya di sekolah biasa di daerah tempat tinggalnya,

dan dia membantunya dengan membuat tulisan yang dapat

dibacanya yaitu dengan membentuknya dari paku-paku yang

ditancapkan pada papan kayu. Pada usia sepuluh tahun, Louis

dimasukkan ke sekolah khusus bagi tunanetra di paris, di mana

dia bertemu dengan Kapten Charles Barbier dan diperkenalkan

dengan sistem tulisan Barbier. Louis Braille menyadari bahwa

sistem Barbier kurang baik sebagai media baca/tulis, tetapi dia

sangat menyukai gagasan penggunaan titik-titik untuk tulisan

bagi tunanetra. Maka setelah pertemuannya dengan Charles

Barbier, Louis Braille selalu memanfaatkan setiap kesempatan

yang ada untuk membuat titik-titik dan garis-garis pada kartu-

kartu untuk berusaha menciptakan tulisan yang cocok bagi

tunanetra. Dia selalu mencobakan setiap perkembangan

tulisannya itu kepada kawan-kawannya yang tunanetra.

Menyadari bahwa jari jari kawan-kawannya lebih peka terhadap

titik daripada terhadap garis, maka dia memutuskan untuk

hanya menggunakan titik-titik saja dan mengesampingkan garis-

garis bagi tulisannya itu. Di samping itu, dia mengurangi jumlah

titiknya dari dua belas hanya menjadi enam saja. Akan tetapi

modifikasi yang paling penting adalah bahwa sistem tulisannya

itu tidak didasarkan atas metodologi sonografi melainkan

didasarkan atas sistem abjad Latin dalam bentuk yang berbeda

136

dan menggunakan titik-titik timbul dengan konfigurasi yang

unik.

Akhirnya, pada tahun 1834, ketika Louis Braille berusia

awal 20-an, setelah bereksperimen dengan inovasinya itu selama

lebih dari sepuluh tahun, sempurnalah sistem tulisan yang

terdiri dari titik-titik timbul itu. Louis Braille hanya

menggunakan enam titik “domino” sebagai kerangka sistem

tulisannya itu – tiga titik ke bawah dan dua titik ke kanan (lihat

di gambar ). Untuk memudahkan pendeskripsian, tiga titik di

sebelah kiri diberi nomor 1, 2 dan 3 (dari atas ke bawah), dan

tiga titik di sebelah kanan diberi nomor 4, 5 dan 6. Satu atau

beberapa dari enam titik itu divariasikan letaknya sehingga

dapat membentuk sebanyak 63 macam kombinasi yang cukup

untuk menggambarkan abjad, angka, tanda-tanda baca,

matematika, musik, dan lain-lain.

Ketika Louis Braille masih sedang menyederhanakan

sistem tulisannya itu, dia diangkat sebagai guru di L'Institute

Nationale des Jeunes Aveugles (Lembaga Nasional untuk Anak-

anak Tunanetra) di Paris yang didirikan oleh Valentin Hauy pada

tahun 1783. Dia segera menjadi guru yang sangat disukai. Dia

137

dipercaya untuk mengajar sejarah, geografi, matematika, tata

bahasa Perancis, dan musik.

Ketika sistem tulisannya sudah cukup sempurna, dia mulai

mencobakannya kepada murid-muridnya. Mereka

menyambutnya dengan gembira dan sangat merasakan

manfaatnya. Meskipun Dr. Pignier, kepala lembaga itu

mengizinkan sistem tulisan itu dipergunakan dalam pengajaran

di sekolah itu, namun tak seorang pun di luar lembaga itu mau

menerima keberadaannya. Karena mereka belum pernah melihat

betapa baiknya sistem tulisan ini, mengajarkan tulisan yang

berbeda dari tulisan umum dianggapnya sebagai sesuatu yang

amat ganjil dan tidak masuk akal. Karena badan pembina

lembaga itu pun tidak menyukai sistem tulisan ini, maka mereka

memecat Dr. Pignier ketika ia merencanakan menyalin buku

sejarah ke dalam braille. Kepala yang baru, Dr. Dufau tidak

menyetujui sistem Braile itu dan melarang keras

penggunaannya. Karena murid-muridnya telah mengetahui

kebaikan tulisan Braille itu, mereka tidak kurang kecewanya

daripada Braille sendiri. Maka, mereka meminta Braille

mengajarnya secara diam-diam. Demi murid-muridnya itu, dia

setuju mengajar mereka di luar jam sekolah. Karena guru dan

semua murid di dalam kelas itu tunanetra, maka tidaklah

mustahil bagi guru guru lain untuk mengintip kelas rahasia itu

dan memperhatikannya tanpa mereka ketahui. Kepala staf

pengajar, Dr. Guadet, sering mengamati pelajaran rahasia ini

dengan penuh minat dan simpati. Setelah melihat betapa

cepatnya murid-murid itu memahami pengajaran yang

disampaikan oleh Braille itu, maka Dr. Guadet mengimbau

kepada Dr. Dufau agar mengubah pendiriannya dan mengizinkan

penggunaan sistem tulisan itu. Akhirnya Dr. Dufau setuju dan

menjelang tahun 1847 Louis Braille kembali dapat mengajarkan

ciptaannya itu secara leluasa. Pada tahun 1851 Dr. Dufau

138

mengajukan ciptaan Braille itu kepada Pemerintah Perancis

dengan permohonan agar ciptaan tersebut mendapat pengakuan

pemerintah, dan agar Louis Braille diberi tanda jasa. Tetapi,

hingga dia meninggal pada tanggal 6 Januari 1852, tanda jasa

ataupun pengakuan resmi terhadap ciptaannya itu tidak pernah

diterimanya. Baru beberapa bulan setelah wafatnya, ciptaan

Louis Braille itu diakui secara resmi di L'Institute Nationale des

Jeunes Aveugles, dan beberapa tahun kemudian dipergunakan di

beberapa sekolah tunanetra di negara-negara lain. Baru

menjelang akhir abad ke-19 sistem tulisan ini diterima secara

universal dengan nama tulisan "Braille".

Braille adalah sistem tulisan yang terdiri dari titik-titik

timbul yang dimaksudkan untuk memungkinkan orang

tunanetra membaca dengan merabanya menggunakan ujung-

ujung jari. Sistem tulisan ini diciptakan pada awal abad ke-19

oleh Louis Braille, seorang Perancis yang menjadi tunanetra

pada usia tiga tahun. Louis Braille hanya menggunakan enam

titik “domino” sebagai kerangka sistem tulisannya itu – tiga titik

ke bawah dan dua titik ke kanan. Untuk memudahkan

pendeskripsian, tiga titik di sebelah kiri diberi nomor 1, 2 dan 3

(dari atas ke bawah), dan tiga titik di sebelah kanan diberi

nomor 4, 5 dan 6. Satu atau beberapa dari enam titik itu

divariasikan letaknya dalam kerangka domino itu sehingga dapat

membentuk sekurang-kurangnya 63 macam kombinasi yang

cukup untuk menggambarkan abjad, angka, tanda-tanda baca,

matematika, musik, dan lain-lain.

Pengajaran tulisan Braille kepada siswa-siswa tunanetra

pada umumnya dilaksanakan oleh guru-guru pendidikan khusus

lulusan universitas yang mempunyai Departemen Pendidikan

Khusus. Terdapat sekurang-kurangnya 11 universitas di

Indonesia yang telah mempunyai Departemen Pendidikan

139

Khusus, yaitu tujuh universitas di pulau Jawa, satu di Sumatera,

satu di Kalimantan, dan dua universitas di Sulawesi.

B. Sistematika Penggunaan Huruf Braille

Sistem tulisan Braille mencapai taraf kesempurnaan di

tahun 1834. Huruf-huruf Braille menggunakan kerangka

penulisan seperti kartu domino. Satuan dasar dari sistem tulisan

ini disebut sel Braille, di mana tiap sel terdiri dari enam titik

timbul yaitu tiga baris dengan dua titik. Keenam titik tersebut

dapat disusun sedemikian rupa hingga menciptakan 64 macam

kombinasi. Huruf Braille dibaca dari kiri ke kanan dan dapat

melambangkan abjad, tanda baca, angka, tanda musik, simbol

matematika dan lainnya. Ukuran huruf Braille yang umum

digunakan adalah dengan tinggi sepanjang 0.5 mm, serta spasi

horizontal dan vertikal antar titik dalam sel sebesar 2.5 mm.

Braille terdiri dari sel yang mempunyai 6 titik timbul yang

dinomorkan seperti berikut dan kehadiran atau ketiadaan titik

itu akan memberi kode untuk simbol tersebut. Huruf Braille

Bahasa Melayu adalah hampir sama dengan kode huruf Braille

Inggris. Perkataan, simbol (seperti tanda seru dan tanda soal),

beberapa perkataan dan suku kata bisa didapat secara terus.

Contohnya, perkataan orang disingkat menjadi org. Ini

membolehkan buku Braille yang lebih tipis dicetak.

Huruf Braille juga telah diperkaya sehingga dapat

digunakan untuk membaca nota musik dan matematik. Kini

Braille telah diubahsuai dengan menambah dua lagi titik

menjadikan Braille menjadi kode 8 titik. Ini memudahkan

pembaca Braille mengetahui huruf tersebut adalah huruf besar

atau kecil. Selain itu, penukaran ini membolehkan huruf huruf

ASCII dipertunjukkan dan kombinasi 8 titik ini dikodekan dalam

standard Unicode.

140

Braille boleh dihasilkan menggunakan batuan loh ( slate)

dan stilus ( stylus ) di mana titik dihasilkan daripada belakang

muka kertas, menulis dengan gambar cermin, menggunakan

tangan, atau menggunakan mesin taip Braille yang dikenali

sebagai Perkins Brailler. Braille juga dapat dihasilkan

menggunakan mesin cetak Braille yang disambung kepada

komputer.

Simbol Braille untuk sejumlah bahasa yang tidak

menggunakan abjad Latin dikembangkan sejak awal abad ke-20.

Ini mencakup simbol Braille bahasa Jepang, Cina, Arab, dll.

Perkembangan lainnya adalah penyusunan system tulisan

singkat Braille. Sejak diciptakan, disadari bahwa salah satu

kekurangan utama system Braille adalah ukuran hurufnya yang

besar. Ukuran standar sebuah karakter Braille adalah sekitar 4

mm lebar dan 6 mm tinggi dengan ketebalan sekitar 0,4 mm.

Ukuran ini ideal untuk diidentifikasi dengan ujung jari tetapi

mengakibatkan buku Braille menjadi sangat besar, makan

tempat untuk penyimpanannya, dan tidak nyaman untuk

dibawa-bawa. Di samping itu, pembaca Braille yang

berpengalaman pun tidak dapat membaca Braille secepat rekan-

rekanya yang awas. Hal ini terutama disebabkan oleh kenyataan

bahwa ujung-ujung jari tidak dapat secara fisik mengamati

tulisan Braille secepat orang awas menggunakan matanya untuk

mengamati tulisan awas. Hasil penelitian Simon & Huertas

(1998) menunjukkan bahwa kecepatan membaca rata-rata

tunanetra pembaca Braille yang berpengalaman adalah 90-115

kata per menit dibandingkan dengan 250-300 kata per menit

untuk mereka yang membaca secara visual. Pada awal tahun

1900-an, para pendukung Braille berusaha mengatasi kedua

keterbatasan tersebut. Solusinya adalah pengembangan sistem

tulisan singkat Braille, di mana satu simbol dipergunakan untuk

mewakili satu kata atau bagian kata atau keduanya. Sesudah

141

melalui diskusi Selama beberapa tahun, dengan memadukan

versi Inggris dan versi amerika, pada tahun 1932 ditetapkan

Standard English Braille, yang mencakup kesepakatan tentang

sistem singkatan yang seragam untuk bahasa Inggris. Sistem

tulisan singkat Braille dalam bahasa Inggris itu disebut “grade

two Braille” atau “contraction”. Penggunaan sistem singkatan ini

dapat mengurangi ketebalan dan beratnya buku Braille dan

dapat mengurangi jumlah karakter yang harus diraba dalam

membaca sehingga kecepatan membaca pun menjadi lebih

tinggi. Sistem tulisan singkat Braille Indonesia (yang dikenal

dengan istilah “tusing”) dikembangkan sejak tahun 1960-an dan

versi terakhir dibakukan dengan Surat Keputusan Menteri

Pendidikan Nasional Nomor 053/U/2000. Salah seorang

penggagas utama tusing itu adalah Suharto, seorang tunanetra di

Bandung (Tarsidi, 1998). Pengembangan simbol-simbol lainnya

yang berlaku secara universal dilakukan di bawah koordinasi

World Braille Council (Dewan Braille Dunia), sebuah badan yang

dibentuk oleh World Blind Union (Persatuan Tunanetra Dunia).

Braille dapat diproduksi menggunakan beberapa macam

alat, yaitu (1) reglet dan pen, (2) mesin tik Braille, dan (3)

computer dengan printer Braille.

Reglet dan Pen

142

Reglet dan pen (slate and stylus) adalah alat tertua yang

dipergunakan untuk menulis Braille. Prototipe alat ini diciptakan

oleh Charles Barbier (Shodorsmall, 2000). Keuntungan utama

alat yang sederhana ini adalah portabilitasnya dan harganya

yang terjangkau. Reglet ini terdiri dari dua plat logam atau

plastik yang dihubungkan dengan engsel. Satu plat logam (plat

bawah) mempunyai lubang-lubang tak tembus yang berfungsi

sebagai cetakan titik-titik sedangkan satu plat lainnya (plat atas)

mempunyai lubang-lubang tembus yang berfungsi untuk

mengarahkan penggunanya dalam membentuk titik-titik itu.

Lubang-lubang pada plat atas itu disebut petak. Dalam keadaan

plat bawah dan plat atas ditutupkan, setiap petak merupakan

pedoman untuk mengarah pada enam lubang titik yang

membentuk kerangka tulisan Braille. Untuk menulis, kertas

dijepit di antara kedua plat logam tersebut. Sebuah pen (paku

dengan pegangan kayu) ditusuk-tusukkan di atas kertas itu

melalui lubang-lubang pada plat atas untuk membentuk titik-

titik dengan cetakan plat bawah.

Kelemahan utama reglet dan pen adalah soal orientasi

menulisnya. Karena titik-titik itu ditusukkan dari atas ke bawah,

maka ini berarti bahwa untuk membacanya, kertas harus dibalik

sehingga menulisnya pun harus dengan orientasi yang

berlawanan. Jadi, agar tulisan dapat dibaca dari kiri ke kanan,

menulis dengan reglet harus dari kanan ke kiri. Terdapat

bermacam-macam reglet berdasarkan jenis bahannya, jumlah

barisnya, dan jumlah petak perbaris. Pada awalnya reglet dibuat

dari logam, tetapi kemudian diproduksi juga reglet dengan

bahan plastik. Jumlah barisnya berkisar dari dua hingga 36 baris,

sedangkan jumlah petaknya berkisar dari 18 hingga 40 petak

perbaris. Akan tetapi, yang paling umum dipergunakan adalah

reglet dengan empat baris dan 27 petak perbaris.

143

Mesin Tik Braille

Mesin tik Braille (Braille writer atau Brailler) adalah alat

yang dipergunakan untuk menghasilkan tulisan Braille dengan

cara yang banyak persamaannya dengan cara mesin tik biasa

menghasilkan tulisan awas. Prototipe mesin ini diciptakan pada

tahun 1951 oleh David Abraham, seorang guru di Perkins School

for the Blind, Amerika Serikat (Perkins School for the Blind,

2007). Terdapat beberapa macam mesin tik Braille yang

diproduksi oleh beberapa Negara, tetapi prinsip kerjanya sama.

Mesin tik Braille yang paling banyak dipergunakan di seluruh

dunia adalah Perkins Brailler buatan Howe Press, Amerika

Serikat. Berbeda dari mesin tik biasa, mesin tik Braille hanya

mempunyai enam tombol untuk menghasilkan karakter Braille,

satu tombol spasi (di tengah), dan dua tombol lainnya (masing-

masing satu tombol di pinggir kiri dan kanan mesin) untuk

menggerakkan kertas. Tiga tombol di sebelah kiri tombol spasi

ditekan menggunakan telunjuk, jari tengah dan jari manis kiri,

dipergunakan untuk menghasilkan titik 1, 2 dan 3 sedangkan

tiga tombol di sebelah kanan tombol spasi ditekan menggunakan

telunjuk, jari tengah dan jari manis kiri, dipergunakan untuk

menghasilkan titik 4, 5 dan 6. Untuk menghasilkan satu huruf,

tombol-tombol tersebut ditekan bersama-sama. Misalnya, untuk

menghasilkan huruf “g”, tombol untuk titik 1 (telunjuk kiri), titik

144

2 (jari tengah kiri), titik 4 (telunjuk kanan), dan titik 5 (jari

tengah kanan), ditekan berbarengan. Titik-titik tersebut akan

muncul ke permukaan kertas dan dapat langsung dibaca tanpa

mengeluarkannya terlebih dahulu dari mesin tik tersebut.

Printer Braille

Printer Braille (yang

juga dikenal dengan

istilah Braille

embosser) digunakan

untuk mencetak data

yang dikirim dari

komputer. Braillo

merupakan satu dari

banyak produsen

printer Braille di dunia. Printer ini banyak terdapat di Indonesia

sebagai hasil kerjasama antara pemerintah Indonesia dan

pemerintah Norwegia untuk mengembangkan pendidikan bagi

tunanetra di Indonesia. Untuk dapat mencetak data

menggunakan printer Braille, terlebih dahulu data itu dibuat

menggunakan program pengolah data seperti Microsoft Word.

Kemudian data Word itu dikonversi ke dalam format Braille

menggunakan program aplikasi penerjemah Braille. Program

inilah yang mengirim data Braille dari komputer ke Braille

embosser itu. Inovasi ini telah membuat pencetakan Braille

menjadi lebih mudah dan lebih cepat.

145

Kertas Braille

Istilah kertas Braille digunakan

untuk mengacu pada jenis kertas

yang cocok untuk menulis Braille

yaitu kertas yang berukuran

maksimal 12 kali 11,5 inci (±30,4

kali 29,2 cm), dengan ketebalan

antara 100 hingga 160 gram.

Ukuran kertas itu terkait dengan

kapasitas alat tulis Braille

(terutama mesin tik Braille dan

printer Braille) sedangkan

ketebalan kertas terkait dengan

daya tahan tulisan Braille terhadap

tekanan, baik tekanan yang diakibatkan oleh penumpukan

ataupun akibat tekanan jari-jari tangan pada saat dibaca oleh

pembaca tunanetra. Kertas yang tidak cukup tebal rentan

mengakibatkan tulisannya mudah terhapus.

146

147

ORIENTASI DAN MOBILITAS

SEBAGAI MEDIA BELAJAR

KOMPENSATORIS TUNANETRA

A. Pengertian Orientasi dan Mobilitas

a. Orientasi

Orientasi adalah proses penggunaan indera-indera

yang masih berfungsi untuk menetapkan posisi diri dan

hubungannya dengan objek-objek yang ada dalam

lingkungannya. Orientasi itu mencari informasi untuk

menjawab pertanyaan: (1) di mana saya berada? (2) di

mana tujuan saya? dan (3) bagaimana saya bisa sampai

tujuan?

Orientasi melibatkan proses kognitif yang dimulai

dari proses persepsi, analitik, seleksi, perencanaan dan

pelaksanaan. Proses asimilasi data dari lingkungan yang

diperoleh melalui indera-indera yang masih berfungsi

seperti penciuman, pendengaran, perabaan, persepsi

kinestetis, atau sisa penglihatan. Proses analitik

merupakan pengorganisasian data yang diterima ke

dalam beberapa kategori berdasarkan ketetapannya,

keterkaitannya, keterkenalannya, sumber, jenis dan

intensitas sensorisnya. Proses seleksi merupakan

pemilihan data yang telah dianalisis yang dibutuhkan

148

dalam melakukan orientasi yang dapat menggambarkan

situasi lingkungan sekitar. Proses perencanaan

merupkan perencanaan tindakan yang akan dilakukan

berdasarkan data hasil seleksi sensoris yang sangat

relevan untuk menggambarkan situasi lingkungan.Proses

melaksanakan hasil perencanaan dalam suatu tindakan.

Kelima proses kognitif itu akan efektif jika anak

tunanetra memiliki pengetahuan/knowledge) dan

pemahaman/Comprehension) terhadap hal- hal khusus

sebagai berikut.

1) Landmarks (ciri medan): Setiap benda, suara, bau,

suhu, atau petunjuk taktual yang mudah dikenali,

menetap, dan telah diketahui sebelumnya, serta

memiliki lokasi yang permanen dalam lingkungan.

2) Clue (petunjuk): Setiap rangsangan suara, bau,

perabaan, kinestetis, atau visual yang mempengaruhi

penginderaan yang dapat segera memberikan

informasi kepada siswa tentang informasi penting

untuk menentukan posisi dirinya atau sebagai garis

pengarah

3) Indoor Numbering System (sistem penomoran di

dalam ruangan): Pola dan susunan nomor-nomor

ruangan di dalam suatu bangunan.

4) Measurement (pengukuran): Tindakan atau proses

mengukur. Mengukur merupakan suatu keterampilan

untuk menentukan suatu dimensi secara pasti atau

kira-kira dari suatu benda atau ruang dengan

mempergunakan alat.

5) Compass Directions (arah-arah mata angin): Arah-

arah mata angin adalah arah-arah tertentu yang

ditentukan oleh medan magnetik dari bumi. Empat

arah pokok ditentukan oleh titik-titik yang pasti,

149

dengan interval 90 derajat setiap sudutnya. Keempat

arah tersebut adalah utara, timur, selatan, dan barat.

6) Self Familiarization (pengakraban diri) –Proses

pengakraban diri merupakan aktivitas khusus

sebagai upaya untuk memadukan kelima komponen

orientasi dan menunjukkan saling

keterhubungannya. Kelima komponen orientasi

merupakan dasar dari proses pengakraban diri.

Kelima komponen tersebut adalah: arah mata angin,

pengukuran, clue, landmark, dan sistem penomoran.

b. Mobilitas

Mobilitas adalah kemampuan, kesiapan, dan

mudahnya bergerak dan berpindah untuk mencapai

tujuan yang diinginkan. Mobilitas juga berarti

kemampuan bergerak dan berpindah dalam suatu

lingkungan ke lingkungan yang lain. Mobilitas amat

berkaitan dengan kesiapan fisik. Kesanggupan mobilitas

amat ditentukan oleh kemampuan orientasi. Kekuatan

orientasi akan berdampak pada jangkauan mobilitas

anak tunanetra.

c. Orientasi dan mobilitas

OM adalah satu kemampuan, kesiapan dan

mudahnya bergerak dari satu posisi/tempat ke satu

posisi/tempat lain yang dikehendaki dengan baik, tepat,

efektif, dan selamat.

B. Teknik-Teknik dalam Orientasi dan Mobilita

1. Jalan dengan Pendamping awas

a. Tehik Membuat Kontak: Membuat kontak antara

pendamping dengan tunanetra, lebih dahulu

pendamping menyentuh punggung telapak tangan

tunanetra. Kontak dapat dilakukan oleh pendamping

150

awas ataupun tunanetra. Jika tunanetra yang

mengajak, tunanetra dapat mengajak pendamping

baik dengan lisan maupun dengan sentuhan tangan,

sedangkan jika pendamping awas yang melakukan

kontak, maka pendamping dapat menyentuh

pungggung tangan tunanentra dan dibarengi dengan

ajakan lisan. Kemudian tunanetra segera memegang

lengan pendamping dengan erat, tetapi relax sedikit

di atas sikut. Ibu jari tunanetra berada di sebelah luar

dan jari-jari yang lain berada di sebelah dalam lengan

pendamping. Lengan bawah tunanetra paralel

dengan tanah dan lengan atas paralel dan dekat

tubuhnya sendiri. Posisi tunanetra berada setengah

langkah di belakang pendamping dan di samping

pendamping. Bahu lurus dan sejajar di belakang bahu

pendamping.

b. Melalui jalan sempit atau tempat yang padat orang:

Bila tunanetra bersama pembimbing melalui jalan

yang sempit, maka agar perjalannya lancar,

tunanetra tidak tersangkut-sangkut, pendamping

menggerakkan siku ke arah belakang ke arah

tengah-tengah punggung. Ini adalah merupakan

isyarat kepada tunanetra kalau akan melalui tempat

yang sempit atau tempat yang banyak orang (padat

suasannya), untuk selanjutnya tunanetra

memanjangkan lenganya, sehingga jarak tunanetra

dan pendamping menjadi satu langkah, agar

tunanetra tidak menginjak/ menendang tumit

pembimbing. Setelah perjalanan melampaui tempat

yang sempit atau tempat yang padat, pendamping

menarik sikunya ke samping kembali dan tunanetra

juga posisinya kembali ke posisi semula dan berada

151

di samping pendamping dengan jarak setengah

langkah di belakang pendamping kembali. Jadi pada

waktu melalui jalan sempit tersebut tunanetra harus

benar-benar berada satu langkah penuh di belakang

pendamping.

c. Berjalan melalui pintu tertutup: Bila perjalanan

pendamping dan tunanetra akan melalui pintu,

pendamping memberitahukan kepada tunanetra agar

jaraknya dipersempit sampai menjadi satu baris

dengan pendamping. Kemudian pendamping

menyebutkan tentang variasi terbukanya pintu.

Misalnya : pintu membuka ke kiri atau ke kanan,

membukanya menjauh kita atau mendekati kita (ke

luar atau ke dalam).Waktu membuka pintu, yang

membuka pendamping, tunanetra membantu

menahan dengan meletakkan telapak tangan yang

bebas pada tengah-tengah daun pintu, agar

pendamping tidak kewalahan melayani pintu. Jika

pintu membukanya ke arah yang berlawanan dengan

pegangan tunanetra, tunanetra pegangannya ganti

dengan tangan yang bebas dan tangan yang tadi

untuk berpegangan dilepas kemudian posisi

berdirinya di belakang pendamping seperti bila

melalui jalan sempit dan tangan tunanetra yang tadi

untuk berpegangan utnuk menahan pintu. Misalnya

jika tunanetra pegangannya ada sebelah kanan,

sedangkan pintu membukanya ke arah kiri, maka

pegangan tunanetra ganti dengan tangan yang kanan.

Pendamping dapat membuka dengan tangan kanan

atau dengan tangan kiri, tetapi bagi tunanetra yang

selanjutnya menutup pintu, bila pintu membuka ke

arah kiri menutup juga dengan tangan kiri, kalau

152

membukanya ke arah kanan, tunanetra menutupnya

juga dengan tangan kanan. Bila telah lewat pintu

posisi pegangan tunanetra segera kembali seperti

biasa.

d. Teknik naik dan turun tangga: Waktu akan naik

tangga suatu gedung atau rumah pendamping awas

memberi tahu tunanetra bahwa akan naik tangga,

kemudian kalau sudah dekat tapi tangan pendamping

berhenti. Tunanetra mengikuti berhenti dengan

mengambil jarak setengah langkah di belakang

pendamping. Bila siku pendamping terasa naik,

tunanetra maju setengah langkah lagi dan

selanjutnya adalah melangkah naik mengikuti

pendamping. Berat badan tunanetra bertumpu pada

ujung telapak kaki dan tetapi berada satu tangga di

belakang pendamping sampai naik tangga tersebut

habis, sehingga pada waktu mencapai tempat yang

datar siku pendamping terasa memberi isyarat pada

tunanetra, bahwa tangga naik sudah habis. Pada

waktu turun tangga, caranya juga sama dengan

waktu naik tangga. Pendamping juga lebih dahulu

memberi tahukan kalau mau turun tangga. Kemudian

berhenti di tepi tangga sebentar, baru seterusya

turun. Tunanetra mengikuti pendamping dengan

posisi satu tangan di belakang pendamping seperti

ketika naik tangga, sampai siku pendamping terasa

memberi isyarat kalau turun tangga sudah sampai di

tempat yang datar.

e. Duduk di kursi: Jika akan duduk di kursi, pendamping

lebih dahulu harus meyakinkan pada tunanetra

tentang bentuk, ukuran dan kondisi dari pada kursi

cukup kuat atau tidak. Jika datang dari depan kursi,

153

pendamping membawa tunanetra sejauh setengah

langkah dari bagian depan kursi dan menerangkan

posisi dan jarka kursi terhadap tunanetra. Kemudian

tunanetra melepaskan pegangannya dna maju ke

depan sampai tulang kering kakinya menyentuh

pinggiran depan kursi. Seterusnya tunanetra

mengecek kursi dengan menyapukan tangannya ke

seluruh permukaan kursi, sandaran dan tempat

duduknya benar- benar kosong ataukah ada benda di

atasnya. Bila tak ada benda di atasnya, tunanetra

selanjutnya berputar, berdiri membelakangi kursi

dengan meluruskan atau menyentuhkan bagian

belakang kakinya pada pinggiran kursi, baru untuk

duduk sambil berpegangan pada kedua sisi (tepi)

kursi sebelum duduk. Mungkin juga pendamping dan

tunanetra datangnya dari belakang kursi. Maka bila

demikian pendamping harus merabakan tunanetra

pada bagian belakang kursi. Tunanetra seterusnya

meraba sandaran dan tempat duduk dengan sebelah

tangan tetap memegang sandaran kursi. Tehnik

duduknya sama dengan kalau datangnya dari depan

kursi. Bila di ruang makan di mana terdapat kursi

yang bermeja, caranya sama dengan kalau dari

belakang kursi. Yang penting bagaimana posisi

tunanetra di depan meja itu, seudah lurus atau

belum, sudah terasa enak atau belum dan sebagainya.

Untuk mengontrol ini, tunanetra dapat

merentangkan tangannya ke bagian pinggir meja

sesudah duduk. Sedang untuk mengatur letak kursi

agar cukup enak untuk duduk, sebelum duduk

tunanetra dapat mengontrol dengan memegang kursi

dan tangan sebelahnya lagi meraba meja, bila jarak

154

meja dan kursi terlalu rapat dapat ditarik

direntangkan agar dapat untuk duduk dengan enak.

f. Masuk mobil: Setelah sampai di depan pintu mobil,

pendamping menjelaskan posisi pintu mobil,

membukanya ke sebelah kanan atau kiri, kemudian

tangan tunanetra dipegangkan pada handlenya

supaya tunanetra membuka sendiri. Setelah pintu

terbuka tangan tunanetra yang satunya mengontrol

pinggiran atas pintu mobil, terus meraba tempat

duduk untuk mengetahui posisi tempat duduk dan

mengontrol ada benda-benda di atasnya atau tidak.

Setelah tunanetra yakin kalau tempat duduk benar-

benar kosong, barulan tunanetra masuk dan duduk.

Jika tunanetra akan naik bus umum yang pintunya

agak besar dan tinggi, maka tangan tunanetra

dipegangkan pada besi pegangan yang ada di pintu

atau dekat pintu, selanjutnya dengan tehnik trailing

(merambat) pada tepi sandaran tempat duduk

tunanetra akan dapat menemukan tempat duduk

yang masih kosong.

g. Memindahkan pegangan tangan: Tunanetra bila

memegangnya pada pendamping sudah terlalu lama

mungkin merasa capai, sehingga ingin memindahkan

pegangannya dengan berganti tangan yang sebelah.

Hal ini dapat dilakukan dengan lebih dahulu bertanya

kepada pendamping, apakah sisi yang sebelah yang

akan digunakan untuk pindah itu suasananya aman

atau tidak. Kalau pendamping menjawab kalau

keadaan aman, tunanetra dapat pindah pegangan

dengan cara tangannya yang bebas berpegangan

pada tangan pendamping yang semula dipegang.

Tangan yang pertama kali berpegangan dilepas dan

155

sambil menggeser ke belakang pendamping untuk

memegang tangan pendamping yang bebas.

Kemudian tangan yang untuk pegangan kedua

dipindahkan ke tangan pendamping yang dipegang

oleh tangan pertama, setelah itu tangan yang pertama

kali berpegangan dilepas dan tangan yang kedualah

yang memegang tangan pendamping pada sisi yang

sebelahnya tadi.

h. Berbalik arah: Jika pendamping dan tunanetra dalam

perjalanan menemui jalan buntu atau mungkin

karena sesuatu hal yang menyebabkan mereka harus

berbalik arah, ini dapat dilakukan dengan cara,

pendamping berhenti sebentar, kemudian berputar

45 derajad dari posisi semula menghadap ke arah

tunanetra demikian pula tunanetra juga berputar 45

derajad ke arah pendamping, sehingga tunanetra dan

pendamping berhadap-hadapan posisinya. Tangan

tunanetra yang bebas kemudian memegang tangan

pendamping yang bebas. Selanjutnya pendamping

berjalan ke arah yang berlawanan dengan arah

semula dan tunanetra melepaskan tangan yang

pertama kali memegang pendamping dan berjalan

seperti biasa.

2. Jalan mandiri tanpa alat bantu

a. Trailing (Menyusuri): Trailing adalah kegiatan

dengan menggunakan punggung jari manis dan

kelingking untuk menyusuri permukaan yang datar,

seperti dinding, meja lemari dan sebagainya untuk

menentukan posisi diri, mengetahui sesuatu tempat

dan untuk menentukan arah yang sejajar dengan

benda-benda yang ditrailing.

156

b. Squaring Off (Menertibkan): Squaring off adalah

sikap berdiri lurus sesempurna mungkin dengan

menggunakan tubuh dan bagian-bagiannya untuk

menentukan posisi di suatu tempat (misalnya di

ambang pintu) dan di samping itu meletakkan posisi

tubuh sejajar dengan garis pengarah, sehingga

tunanetra mengetahui posisi awal dan garis arah

menuju suatu benda. Pada waktu tunanetra

mengadakan squaring off pada ambang pintu tangan

direntangkan sampai menyentuh tiang kusen,

kemudian tubuhya menyesuaikannya. Squaring off

dapat juga pada tembok dengan merapatkan

punggung dan tumit keduanya pada tembok. Cara

lain ialah dengan merapatkan betis pada pinggiran

tempat tidur, merapatkan pantat pada pinggiran meja

dan sebagainya. Dalam kegiatan ini yang penting

harus selalu ingat bahwa seluruh tubuh harus

mengikuti penyesuaian yang dilakukan oleh bagian-

bagiannya.

c. Upper Hand and Fore Arm (Tangan di atas menyilang

tubuh): Tahnik ini diciptakan guna melindungi badan

bagian atas dan kepala dari benturan- benturan

benda-benda yang tinggi, seperti : pintu yang

setengah teruka, sudut bangunan yang menonjol,

tiang dan sebagainya. Cara tangan kanan atau kiri

diangkat ke depan/atas setinggi bahu/dada

menyilang badan, sikut membentuk sudut kira-kira

120 derajad, telapak tangan menghadap ke depan

dan ujung jari segaris dengan bahu dengan rilek.

Tehnik ini digunakan dalam lingkungan yang sudah

betul-betul dikenal, misalnya di rumah sendiri atau di

kantor, sehingga tunanetra dapat menggunakan

157

tehnik ini dengan tepat pada satu atau dua langkah

terakhir saja.

d. Lower Hand and Fore Arm (Tangan di bawah

menyilang tubuh): Tehnik ini digunakan untuk

melindungi tubuh bagian bawah, yaitu daerah perut

dan pangkal paha, supaya tidak terbentur pada

benda-benda seperti : kursi, meja, tempat jemuran

handuk dan sebagainya. Caranya, tangan kanan atau

kiri ke arah bawah disilangkan badan, telapak tangan

pada tengah-tengah tubuh mengharap badan

(punggung telapak tangan ke luar). Jarak telapak

tangan dan tubuh kira-kira 20 centimeter. Tehnik ini

penddunannya seperti teknik upper hand and fore

arm, yaitu di tempat yang betul-betul sudah dikenal

oleh tunanetra.

e. Menentukan Arah (Direction taking): Teknik ini

digunakan untuk memperoleh garis pengarah dari

suatu benda atau bunyi agar tunanetra dapat

berjalan lurus dan dapat sampai ke tujuan dengan

tepat. Caranya, tunanetra berdiri sejajar dengan garis

pengarah yang menuju ke tempat tujuan. Teknik ini

mirip dengan teknik trailing, jadi tunanetra dapat

menentukan arah dengan menggunakan permukaan

rata dari benda- benda seperti bangku, papan tulis,

dan sebagainya, sebagai alat bantu orientasi dan

mobilitas.

f. Pencari Benda Jatuh (Dropped Objects): Tunanetra

kalau mempunyai sesuatu benda yang jatuh penting

sekali untuk mendengarkan dan menghadapkan

muka ke arah sumber bunyi itu berhenti. Sebab

dengan berbuat begitu akan mudah untuk

mengadakan pencarian. Kemudian segera berbalik ke

158

arah bunyi, untuk menemukan kembali. Untuk

mencari benda yang jatuh ini ada dua cara: Pertama,

dengan jalan membunkukkan badan ke arah benda

dengan sikap tangan melindungi muka (upper hand

yang disesuaikan dengan situasi). Kemudian tangan

mencari dengan teknik membuat lingkaran kecil

berupa rabaan ke tempat benda yang jatuh, makin

meluas sampai benda ketemu. Kedua, dengan

jongkok badan tegak lurus, agar kepala tidak

membentur sesuatu benda yang mungkin ada di

dekat tunanetra. Setelah memegang lantai/anah,

telapak tangan diletakkan terbuka rata di lantai

untuk mencari dengan cara yang sistimatis, dengan

cara meraba mulai dari lingkaran kecil yang semakin

meluas atau dengan merabakan kedua belah telapak

tangan digerakkan ke arah samping, kemudian

kembali ke tengah-tengah badan dengan diulang-

ulang makin menjauh ke depan sampai benda dapat

ditemukan kembali.

g. Pengenalan Ruangan (Search Pattern): Bagaimana

dengan tunanetra dapat mengenal suatu ruangan

dengan mendetail dan menyeluruh, sehingga dapat

mengetahui keadaan sesuatu ruangan berapa luasnya

dan benda-benda apa saja yang ada dalam ruangan

itu? Untuk mengetahui hal ini ada dua cara: Pertama,

dengan cara Perimater Method (mengelilingi

ruangan), untuk mengetahui berapa kira-kira luas

ruangan. Untuk ini tunanetra dapat menentukan titik

tolak (vacal point) lebih dahulu, misalnya

menggunakan pintu, sehingga setiap gerakan

tunanetra dapat bertitik tolak pada pintu itu. Mula-

mula tunanetra berdiri pada vacal point, kemudian

159

dengan trailing mengelilingi ruangan menurut arah

jarum jam sampai kembali ke vacal point. Kedua,

ialah dengan Grid System (menjelajahi ruangan).

Tujuang menggunakan teknik ini adalah untuk

mengetahui keadaan ruangan secara menyeluruh.

Caranya : Tunanetra dapat berjalan diagonal dari

sudut yang satu menyeberang ke sudut yang lain atau

dapat juga menyeberang dari dinding yang satu ke

dinding yang lain, sehingga seluruh ruangan dapat

dijelajahi.

h. Shaking Hand (Berjabat tangan): Kesulitan sering

dialami oleh dua orang tunanetra yang ingin saling

berjabat tangan. Bila tunanetra bermaksud jabat

tangan dengan orang awas, mungkin sudah tidak

problem, sebab orang yang awas dapat melihat

tunanetra, tetapi bila tunanetra dengan tunanetra

bermaksud akan berjabat tangan ini merupakan suatu

kesulitan, karena sama-sama tidak melihat. Bila

antara tunanetra dengan tunanetra ingin berjabat

tangan hendaknya kedua tunanetra itu saling

mengulurkan tangannya ke depan tingginya jangan

sampai melewati dada, kemudian digerakkan ke

kanan dan ke kiri atau ke kiri terus ke kanan. Kalau

kedua telapak tangan tersebut sudah bersentuhan,

barulah berjabat tangan. Buat orang awas yang ingin

berjabat tangan dengan tunanetra, maka

sentuhkanlah punggung telapak tangan pada

punggung telapak tangan tunanetra, kemudian baru

jabat tangan.

160

3. Teknik tongkat

a. Teknik trailing: Teknik ini sebetulnya adalah teknik

diagonal yang digunakan untuk trailing. Tujuan

penggunaan teknik ini agar tunanetra mampu

berjalan di dalam ruangan yang sudah dikenal dan

dengan teknik ini tunanetra dapat berjalan lurus

dalam mencapai tujuan tertentu Caranya posisi

tongkat sama dengan teknik diagonal, tetapi posisi

tip/ujung tongkat menempel pada permukaan datar

yang ada pada tembok atau mungkin pagar batu

yang datar pada pinggiran yang horisontal dan

vertikal.

b. Teknik di luar ruangan (out door technique): eknik

ini dapat digunakan di daerah yang sudah dikenal

maupun yang belum dikenal oleh tunanetra. Panjang

tongkat harus sudah diukur yang sebaik-baiknya

dengan tunanetra yang memakainya. Panjangnya

yang paling ideal adalah setinggi tulang dada

tunanetra yang memakainya. Dalam hal ini perlu

diperhatikan beberapa teknik yang harus dikuasai

dengan baik oleh tunanetra, yaitu : (a) Mengenai cara

memegang tongkat (grip); (b) Lebar busur ke kiri dan

ke kanan harus selalu sama dan stabil (arc

consistent; (c) Sebelum melangkahkan kaki,

tunanetra harus mengecek dulu tempat yang akan

diinjak untuk berjalan (clearing before walk); (d)

Posisi tangan lentur di depan pada tengah-tengah

badan (arm resting on body); (e)Gerak tongkat dan

langkah kaki ada koordinasi yang harmonis

(coordination/keep in step). Teknik-teknik itu

mencakup teknik sentuhan dan teknik 2 sentuhan.

161

c. Teknik sentuhan (Touch technique): Teknik ini dapat

digunakan di daerah yang sudah dikenal maupun

daerah yang belum dikenal oleh tunanetra, yang

masih asing bagi tunanetra untuk menjelajahi tempat

tersebut, namun tunanetra dapat berjalan dengan

selamat. Prosedur dari teknik sentuhan ini adalah

sebagai berikut: (a) Cara memegang tongkat (grip)

Cara memegang grip diharapkan tidak tegang, tetapi

harus relax seperti orang yang sedang berjabat

tangan. Dari yang benar-benar berfungsi dalam

memegang tongkat in adalah jari telunjuk yang untuk

menahan tongkat dan ibu jari, untuk menekan

pegangan atau grip. Sedang jari-jari yang lain

fungsinya hanya sebagai pembantu saja. Posisi

tongkat harus rapat pada telapak tangan dengan

telunjuk lurus pada bagian tongkat atau grip yang

datang (rata); (b) Lebar Busur: Lebar busur ke kiri dan

ke kanan harus selalu sama atau stabil sehingga dapat

melindungi kaki kiri dan kanan (tip tepat lurus

dengan bahu) tidak boleh terlalu lebar ke kiri atau ke

kanan. Posisi pergelangan tangan juga tidak boleh

terlalu ke tepi / sisi kiri atau kanan, terlalu ke atas atau

ke bawah; (c) Mengecek sebelum melangkah

(clearing) Sebelum melangkahkan kaki, tunanetra

harus mengecek lebih dulu tempat yang akan diinjak

untuk berjalan. Bila menyentuh sesuatu harus benar-

benar diperhatikan apakah jenis benda itu. Cara

mengecek : Ujung tongkat (tip) digeserkan dari

samping kiri ke samping kanan (atau sebaliknya),

kemudian digeserkan kembali ke depan pada tengah-

tengah badan, selanjutnya ditarik digeser menuju

tengah-tengah ke dua telapak kaki. Teknik ini

162

digunakan juga waktu akan menyeberang jalan; (d)

Posisi tangan: Posisi pergelangan tangan di tengah-

tengah badan, sehingga kalau menyentuh / menabrak

sesuatu benda atau terkait tidak menusuk perut dan

bagian busurnya akan menyentuh benda itu lebih

dulu.(e) Gerak tongkat dan langkah kaki ada

koordinasi yang harmonis.

d. Teknik Dua Sentuhan (Two Touch Technique): Teknik

dua sentuhan ini pada dasarnya adalah sama dengan

teknik sentuhan, perbedaanya hanya pada

penggunaan dan geseran tongkat saja. Teknik dua

sentuhan digunakan untuk berjalan di jalan / tempat

yang kasar, dimana kalau tongkat digeser busrnya

akan kerap tersangkut/menusuk jalan atau tanah,

sehingga gerakan tongkat ke kiri dan kanannya tidak

dengan digeser, melainkan sedikit diangkat ujungnya

dari tanah (jangan lebih dari 10 sentimenter diatas

tanah), dan disentuhkan ke sebelah kiri dan kanan di

depan telapak kaki jaraknya sama dengan teknik

sentuhan. Tujuan penggunaan teknik ini untuk

berjalan mengikuti shore line, mencari belokan, jalan

masuk, jalan yang bahaya (kasar) dan untuk

mengecek posisi tubuh berada di pinggir atau tidak.

Teknik sentuhan maupun teknik dua sentuhan ini

tidak selalu digunakan sepanjang perjalanan, tetapi

hanya digunakan dalam hal-hal seperti tersebut ditas.

e. Teknik Menggeserkan Tip (Slide Technique):

Prosedur teknik ini juga sama dengan prosedur

kedua teknik tersebut diatas. Perbedaannya juga

hanya pada penggunaan geseran waktu menggerakan

tongkat. Teknik ini digunakan pada jalan / trotoar /

tempat yang rata / licin permukaannya dengan

163

menggunakan ujung tongkat ke kiri atau ke kanan

pada jalan / trotoar / tanah yang rata, sehingga

semua benda, lubang baik besar maupun kecil dapat

tersentuh oleh bagian busur tongkat dan akhirnya

tidak ada sesuatu halangan pun yang tidak tersentuh

oleh bagian busur dari geseran tongkat sebelumnya.

Berjalan dengan teknik menggeserkan tip yang besar,

akan membawa tunanetra sampai ke tempat tujuan

dengan aman dan sleamat karena semua halangan

akan terdeteksi.

f. Teknik Naik dan Turun Tangga (Up and Down Stair

Technique): Tujuan penggunaan teknik ini, agar

tunanetra mampu berjalan nai dan turun tangga

dengan aman dan selamat sampai habis seluruh

tangga yang sedang dilalui. Sebelum naik atau turun

tangga tu harus mengadakan penertiban dulu

(squaring off) pada pinggir tangga yang pertama

untuk naik atau turun, dengan menggunakan ujung

ke dua telapak kaki, dirasakan pada bagian pinggir

tangga (lurus dengan tangga). Setela squaring off,

tunanetra mengecek tinggi angga dan lebar tangan

serta posisinya sudah di tengah-tengah jalan atau

belum, untuk menghindari kalau tangga naik atau

turunnya tidakmenggunakan pegangan agar

tunanetra tidak terjun ke samping tangga. Tetapi

kalau disamping kiri / kanan ada pegangan,

tunanetra lebih baik naik atau turun mendekati

pegangan. Tunanetra dapat naik atau turun denga

sebelah tangan memegang tongkat dan sebelumnya

berpegangan pada pegangan tangan.

164

165

DAFTAR PUSTAKA

Amin, Moh. (1995). Ortopedagogik anak tunagrahita, Jakarta:

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Anastasia Widjajantin, Dra, dkk, Ortopedagogik Tunanetra I, Departemen Pendidkian dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan tinggi.

Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan (2014), Jakarta:

Kemenkes. Conrad,R. (1979) The Deaf Schoolchild. Language and cognitive

function. Harper & Row Ltd. Coon,N. (1953) The Modern Typewriter. A Device for the Blind.

Upublished paper. Perkins Institution, Watertown, Mass., US. Lash,J.P. (1980) Helen and Teacher. The Story of Helen Keller

and Anne Sullivan Macy.Allen Lane, London (First published in the US - 1980 - by Delacorte

Press/Seymour Lawrence). LondonDepartemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1985)

“Pedoman Guru Olahraga dan Kesehatan”.. Jakarta.

166

Dewi, Alif (2013). Prinsip-prinsip Layanan Pendidikan bagi Anak Tunanetra. [http://aliphdewi.blogspot.co.id/2013/05/prinsip-prinsip-layanan-pendidikan- bagi.html diakses 25/12/2018].

Dewi, Alif (2013). Prinsip-prinsip Layanan Pendidikan bagi Anak

Tunanetra. [http://aliphdewi.blogspot.co.id/2013/05/prinsip-prinsip-layanan-pendidikan- bagi.html diakses 25/12/2018].

Dharma Adji. (1986). Major Diagnosa Fisik, Jakarta: DGC.

Penerbit Buku Kedokteran. Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa (2006). Identifikasi

Anak Berkebutuhan Pendidikan Khusus dalam Pendidikan Inklusif, diambil dari http://www.ditplb.or.id/ new/index. php?menu= profile&pro=52

Djadja, R. (1994). Dasar-dasar O&M Bagi Anak Tunanetra Usia

Pra Sekolah, Bandung:Jurusan PLB FIP IKIP Bandung. Dijk,J.van (1991) Persons Handicapped by Rubella.Swets &

Zeitlinger B.V., Amsterdam,Lisse (The Netherlands). Ghozali, Endang Warsigi. (1993). Deteksi Dini Aspek

Sosial Psikologis Anak Balita,

Surabaya: Dinas Kesehatan prop. Jawa Timur. Hallahan, D.p. & Kauffman, J.m. (1991). Exceptional Children

Introduction to Special Education. Virginia:Prentice hall International, Inc.

Haryanto. (2010/2011). Pengantar Asesmen Anak Berkebutuhan

Khusus. Jurusan Pendidikan Luar Biasa Fakultas Ilmu

167

Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta. (untuk Kalangan Sendiri).

Heri Purwanto. (2007). Bahan Ajar Cetak Pendidikan anak

berkebutuhan khusus, Jakarta: Dirjen Dikti Depdiknas. Humairo, Noer (2015). Makalah Tunanetra

dari https://www.academia.edu/5269460/makalah_tuna_netra diakses 10/11/2018

Hosni, Irham (2005). Buku Ajar Orientasi dan Mobilitas. Jakarta:

Depdikbud, Dirjen Dikti. Hosni, Irham. 2012. Membaca dan Menulis bagi Anak Low Vision.

Pusat Layanan Terpadu Low Vision. Jurusan Pendidkan Luar Biasa. Fakultas Ilmu Pendidikan. Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung. Diunduh tanggal 20 November 2018 .http://file.upi.edu/browse.php?dir=Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR _BIASA/195101211985031-IRHAM_HOSNI/

Houlton-Aikin, B. (2001). Reflections on a White Cane Seminar.

The Braille Monitor, June 2001. Baltimore: The National Federation of the Blind.

Jernigan, K., (1994). If Blindness Comes. USA: National

Federation of the Blind. Marzano, R. J. (1998). A Theory- Based Meta- Analysis of

Research on Instruction. Aurora, Colorado: Mid- continent Regional Educational Laboratory.

Mason, H. & McCall, S. (Eds.). (1999). Visual Impairment: Access

to Education for Children and Young People. London: David Fulton Publishers

168

McLoughlin, LA. dan Lewis, RB. (1981). Assessing Special_Student Columbus: Charles E. Merrill. Bab 11 292 s.d 339 tentang classroom Behavior.

McLoughlin,James,A. & Lewis, Rena,B, (1986). Assessing Special

Students (2nd) USA: Merril Publishing Company. Mulyasa, E (2004). Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung:

Remaja Rosdakarya. Nawawi, Ahmad (2010). Makalah Pendidikan Inklusif bagi Anak

Low Vision. Bandung: UPI. Nurjana, Fitri (2009). Tunanetra.

[http://bintangbangsaku.com/artikel/tunanetra.

Diakses 25/12/2015]. Nursiam, Afifah. (2015). Karakteristik Anak Tunanetra. Diambil

dari http://membumikan- pendidikan.blogspot.com/2015/05/karakteristik-anak-tunanetra.html. tanggal 5 November 2018.

Oxford Food & Fitness Dictionary (2003), Body Awareness.[http://www.answers.com/topic/body-awareness diakses pada 28-10-2015].

Permendiknas Nomor 32 tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi

Akademik dan Kompetensi Guru Pendidikan Khusus. Pertuni (2004). Anggaran Rumah Tangga Persatuan Tunanetra

Indonesia. Jakarta: Pertuni. Pradopo, Soekini dkk. (1977). Pendidikan Anak-Anak Tunanetra.

Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Psychology Facts (2006), Concept Formation.

[http://psychologyfacts.blogspot.com/2006/06/concept-formation.html diakses pada 29-10-2018].

169

Rahardja, Djadja (2010). Sistem Pengajaran Modul Orientasi dan Mobilitas. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Riyanti,Widi (2013). Karakteristik dan Pendidikan

Anak. [http://widiriyanti.blogspot.co.id/2013/03/karakteristik-dan-pendidikan- anak.html. diakses 12/11/2018].

Rochyadi & Alimin, Z. (2005), Pengembangan Program Individual

Bagi Anak Tunagrahita, Jakarta: Depdiknas Slamet Riadi, Drs., dkk, Identifikasi dan Evaluasi Anak Luar Biasa,

Cv. Haran Baru, Jakarta. Smith, M. K. (1999) „The humanistic to learning‟, the

encyclopedia of informal education.http://infed.org/mobi/humanistic-orientations-to-learning/. diakses 27/11/2018].

Smith, M. K. (1999). „The social/situational orientation to

learning’, the encyclopedia of informal education. [http://infed.org/mobi/the- socialsituational-orientation-to-learning/. diakses 29/10/2015].

Smith, M. K. (2015). What is education? A definition and

discussion. The encyclopaedia of informal education. [http://infed.org/mobi/what-is-education- a-definition-and-discussion/ diakses 21/10/2015].

Sugiarti (2008). Vision 2020 The Right to Sight. Bandung: Syamsi

Dhuha Foundation. Sunanto, Juang. Asesmen dan Pembelajaran Tunanetra, dalam

file.upi.edu/.../ASESMEN_DAN_PEMBELAJARAN_BAGI_TUNANET... di download 7 November 2018.

170

Tarsidi (2011). Definisi Tunanetra. [d-tarsidi.blogspot.com/2011/10/definisi-tunanetra.html. diakses 02/12/2018].

Tarsidi (2008). Dampak Kehilangan Penglihatan. [http://d-

tarsidi.blogspot.co.id/2008/06/dampak-kehilangan-penglihatan.html. diakses 12/11/2015].

Tarsidi, D. (1998). Analisis tentang Sistem Tulisan Singkat Braille

Indonesia (Tusing). Makalah disajikan pada Seminar Sistem Braille Indonesia Tingkat Nasional. Jakarta, 13-15 Oktober 1998.

(Tn.). (1985). Independent Living for the Visually Impaired.

Winnetka: The Hadley School for the Blind. /> Utah Deaf blind Conference (1997), Conceptual Development.

[http://www.nationaldb.org/dish/conceptmonaco.pdf diakses pada 24-10-2015].

Viola E. Cardwell. (1993). Cerebral Palsy, An Anvances in

Understanding and Care, New York: Assosiation for the Aid of Crippled Children.

World Health Organization (2011). Visual impairment and

blindness. (Online). Tersedia: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs282/en/. Diakses. 2 Maret 2019.

Winkel, W.S.. 1996. Psikologi Pengajaran. Fakultas Keguruan

Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Darma. Grasindo. Jakarta

Yatiningsih, Rusli (2009). Skripsi: Meningkatkan Prestasi Belajar

Matematika pada Pokok Bahasan Geometri melalui Media Geoboard pada Siswa Tunanetra. Surakarta: Universitas

171

Sebelas Maret. [https://eprints.uns.ac.id/8656/1/162812708201005241.pdf].

Yusuf, Munawir .(2005). Asesmen perkembangan pada anak

tunagrahita, Jakarta: DepartemenPendidikan Nasional. Yusuf, Munawir, dkk. (1997). Mengenal Siswa Berkesulitan

Belajar, Jakarta: Depdikbud

172